DEWI MAUT JILID 194
Yap Kun Liong sudah mengenal baik siapa kakek ini yang menjadi ayah mertuanya, yang selain memiliki kesaktian hebat juga amat bijaksana. Biarpun Mei Lan bukan anak kandung dari Hong Ing, namun oleh mendiang isterinya itu dianggap sebagai anak sendiri maka boleh dibilang juga masih cucu dari Kok Beng Lama. Tentu saja dia rela menyerahkan puterinya untuk digembleng oleh kakek itu.
“Mei Lan, lekas berlutut menghaturkan terima kasih kepada suhumu yang juga adalah kong-kongmu, karena beliau ini adalah ayah kandung dari mendiang ibumu.”
Mendengar ucapan ayahnya, Mei Lan terkejut sekali dan dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama, namun mukanya menoleh kepada ayahnya dan air matanya bercucuran ketika dia bertanyat
“Ibu... ibu... kenapa, ayah?”
Kun Liong menarik napas panjang, dan hanya berkata,
“Kelak kau dapat mendengar tentang kematian ibumu dari kong-kongmu.”
“Tapi... tapi...”
Mei Lan sesenggukan dan pada saat itu, Giok Keng tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia melepaskan puteranya dan menghampiri Mei Lan. Melihat Giok Keng, Mei Lan mengerutkan alisnya dan wajahnya kelihatan tidak senang. Akan tetapi Giok Keng tetap saja merangkulnya dan berkata halus,
“Mei Lan, aku pernah bersalah kepada ibumu dan kepadamu akan tetapi aku telah merasa menyesal sekali dan harap kau dapat melupakan sikapku dahulu itu. Ketahuilah, ibumu telah dibunuh oleh seorang iblis wanita bernama Yo Bi Kiok, akan tetapi iblis itu telah tewas pula di tangan ayahmu.”
“Ahhh, ibu...!” Mei Lan menjerit dan tangisnya mengguguk.
“Mei Lan, diam kau!”
Tiba-tiba terdengar bentakan Kok Beng Lama dengan suara menggeledek, mengejutkan semua orang dan Mei Lan sendiri juga terkejut dan mengangkat muka, memandang wajah kakeknya yang bengis itu.
“Sudah kukatakan tadi, apa gunanya menangisi orang yang sudah mati? Ketika aku mendengar ibumu dibunuh orang, aku sampai menjadi gila dan hal itu sama sekali tidak ada manfaatnya, malah mendatangkan kekacauan belaka. Anakku itu sudah mati, dan pembunuhnya telah terbalas, tidak ada apa-apa lagi yang perlu ditangisi. Hayo kau ikut bersamaku pergi. Lie Seng, hayo kita pergi!”
Mei Lan menoleh kepada ayahnya dan Lie Seng menoleh kepada ibunya. Dua orang anak ini memang suka sekali untuk menjadi murid Kok Beng Lama yang lihai, akan tetapi baru saja mereka bertemu dengan orang tua mereka dan belum melepaskan kerinduan hati mereka.
Giok Keng dan Kun Liong saling pandang dan pendekar ini dapat menduga apa yang dipikirkan oleh Giok Keng, maka dia lalu berkata kepada Kok Beng Lama,
“Gak-hu, tentu saja kami berdua merasa bersyukur dan berterima kasih bahwa gak-hu sudi membimbing mereka. Akan tetapi hendaknya gak-hu ingat bahwa dengan perginya mereka, baik saya maupun Cia-sumoi hidup sebatangkara. Oleh karena itu, kami harap gak-hu tidak lebih dari tiga tahun membimbing mereka berdua dan mengembalikan mereka kepada kami.”
Kok Beng Lama mengangguk.
“Baik, setelah lewat tiga tahun aku akan mengantar mereka ke tempat tinggal kalian masing-masing.”
Setelah berkata demikian, Kok Beng Lama mengangguk kepada Cia Keng Hong dan menggandeng Mei Lan dan Lie Seng dengan kedua tangannya, lalu pergi dari tempat itu dengan cepat sekali.
Cia Keng Hong menarik napas panjang dan memandang ke arah para perajurit yang sejak tadi sibuk menggali lubang dan mengubur para jenazah teman-teman mereka yang tadi roboh menjadi korban pertempuran, dipimpin oleh komandan mereka. Kemudian dia memandang kepada puterinya, dan berkata,
“Giok Keng, kalau engkau merasa kesepian, mari ikut bersamaku ke Cin-ling-san.”
Giok Keng menggeleng kepala.
“Aku hendak kembali ke Sin-yang, ayah. Nanti sewaktu-waktu aku akan berkunjung ke sana.”
“Kalau begitu, aku akan kembali lebih dulu.”
Lalu pendekar ini mengangguk kepada semua orang yang berada di situ dan pergi membawa pedang pusaka Siang-bhok-kiam, kembali ke Cin-ling-san.
Tio Sun juga pergi bersama Kwi Beng. Pemuda peranakan Portugis ini sudah cepat dapat menguasai kekecewaan hatinya. Bahkan ketika dia mendengar percakapan antara Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama tadi, terbuka pula mata batinnya dan dia maklum bahwa memang In Hong lebih cocok untuk menjadi jodoh Bun Houw. Dia merasa malu kepada diri sendiri, merasa betapa bodohnya dia. Dan kini diapun dapat mengerti akan keadaan Tio Sun, maka dia mengajak Tio Sun untuk pergi bersama dia ke Yen-tai.
“Engkau harus membantuku, twako, membantuku untuk memberi penjelasan kepada ibu dan kepada Kwi Eng,” demikian dia berkata kepada Tio Sun ketika dia membujuk agar Tio Sun suka menemani dia pulang.
Padahal dia ingin untuk mempertemukan pemuda perkasa ini dengan Kwi Eng dan sekarang tidak ada lagi halangannya setelah jelas bahwa pertunangan antara Kwi Eng dan Bun Houw telah putus. Dan memang diam-diam timbul pula harapan di hati Tio Sun setelah melihat betapa Bun Houw memilih In Hong sebagai jodohnya, timbul harapan di hatinya terhadap Kwi Eng yang membuatnya setiap malam bermimpi!
Kini tinggallah Giok Keng dan Kun Liong di tempat itu. Sejenak mereka saling pandang tanpa kata-kata. Akhirnya Giok Keng menundukkan mukanya dan berkata lirih,
“Selamat berpisah, suheng. Sebaiknya kita berpisah disini.”
“Kurasa sebaiknya begitulah, sumoi, Biarlah kita saling mendoakan dan dengan mengingat bahwa anak-anak kita berkumpul menjadi satu di bawah bimbingan ayah mertuaku, hal itu akan menolong banyak untuk melawan kesunyian kita. Aku akan selalu tetap ingat kepadamu, sumoi.”
“Dan aku selamanya takkan melupakan engkau, suheng.”
Mereka kembali saling pandang dan sinar mata mereka penuh dengan kasih sayang dan perasaan iba karena mereka merasa senasib sependeritaan, merasakan dengan jelas betapa cinta kasih di dalam hati mereka yang dulunya seolah-olah terpendam kini tumbuh dengan suburnya, namun kesadaran mereka menjauhkan cinta kasih itu dari pengotoran nafsu berahi.
Mereka saling mencinta, sebagai suheng dan sumoi, sebagai pria dan wanita, sebagai sahabat senasib sependeritaan, tanpa adanya hasrat untuk saling memiliki sungguhpun mereka ingin sekali untuk saling menghibur dan meringankan beban derita batin masing-masing. Akhirnya mereka berpisah, Kun Liong kembali ke Leng-kok dimana dia hidup tenteram menanti kembalinya puterinya, dan Giok Keng kembali ke Sin-yang, juga hidup menjanda dan menyepi menanti kembali puteranya.
Pasukan Kim-i-wi yang mengubur semua jenazah telah selesai pula dengan pekerjaan mereka lalu mereka berbaris pergi, kembali ke kota raja. Lembah Naga ditinggal sunyi. Tidak ada seorangpun manusia di situ. Sunyi menyeramkan karena tempat itu baru saja menjadi gelanggang pertempuran yang mengorbankan nyawa puluhan orang manusia, sungguhpun kini yang nampak hanya bekas-bekasnya saja, ceceran darah di sana-sini, tumbangnya pohon-pohon dan rusaknya rumput yang terinjak-injak.
Akan tetapi, malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan seorang diri di lembah itu, berjalan sambil menundukkan muka dan menangis. Wanita ini adalah Liong Si Kwi, murid mendiang Hek I Siankouw yang sudah buntung tangan kirinya, wanita yang cantik namun bernasib malang.
Cintanya terhadap Bun Houw ditolak oleh pemuda itu, padahal dia telah menyerahkan kehormatannya, menyerahkan dirinya dan dia merasa di dalam lubuk hatinya bahwa perbuatannya itu tentu akan mendatangkan akibat! Kini gurunya telah tiada, hidupnya seorang diri, kehilangan tangan kiri dan kehilangan semangat dan hati yang dibawa terbang pergi oleh bayangan Bun Houw.
Maka dia tidak mau meninggalkan Lembah Naga dan mengambil keputusan untuk tinggal selamanya di situ, di tempat dimana dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Bun Houw, satu-satunya pria di dunia ini yang pernah dicintanya.
Komentar