DEWI MAUT JILID 195
“Kemana kita sekarang, Hong-moi?”
“Terserah kepadamu, koko.”
“Aku tidak mempunyai tujuan.”
“Kalau begitu kita membuat tujuan bersama.”
“Kemana?”
“Kemanapun kau pergi, aku harus selalu bersamamu, Houw-koko.”
“Aku tidak dapat kembali ke Cin-ling-san.”
“Kalau begitu jangan ke Cin-ling-san.”
“Habis kemana?”
“Sesukamulah, biar ke neraka sekalipun, aku ikut denganmu. Selamanya kita tidak boleh berpisah lagi, aku tidak mau berpisah lagi dari sampingmu.”
Mereka berjalan berdampingan di dalam hutan itu dan kini Bun Houw berhenti, memegang kedua lengan In Hong. Mereka berdiri berhadapan, saling menatap wajah masing-masing di bawah sinar matahari senja yang kemerahan.
“Hong-moi, biarpun telingaku sudah mendengar sendiri akan pengakuanmu di depan ayah, akan tetapi aku masih belum puas karena kata-katamu tidak kau tujukan kepadaku. Hong-moi, benarkah bahwa engkau cinta padaku?”
Bibir itu tersenyum manis dan sepasang pipi yang halus itu menjadi merah sekali. Tatapan sinar mata Bun Houw membuat In Hong merasa malu.
“Ihhh, pandang matamu begitu... mengerikan, koko!”
Bun Houw tertawa.
“Katakanlah, moi-moi, katakanlah.”
“Aku cinta padamu, Houw-koko. Aku cinta padamu sejak pertama kali bertemu denganmu!”
Bun Houw merangkulnya dan mereka berpelukan dengan ketat. Bun Houw berbisik di dekat telinga kekasihnya,
“Hong-moi, akupun cinta padamu, aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, dengan seluruh hati dan sukmaku.”
“Aku tahu, koko.”
“Akan tetapi...”
Suara Bun Houw mengejutkan In Hong dan dia melepaskan pelukannya, menarik tubuh ke belakang agar dapat memandang wajah kekasihnya. Dia memandang penuh selidik dan makin terkejutlah hatinya ketika dia melihat wajah kekasihnya itu kelihatan berduka dan penuh kekhawatiran.
“Ada apakah, koko? Sejak meninggalkan Lembah Naga, kau pendiam dan kelihatan ada sesuatu mengganggumu. Aku dapat merasakannya itu dan dapat kulihat dari kerut di antara matamu. Houw-koko, di antara kita tidak boleh ada rahasia. Kita sudah merupakan dua badan satu hati, kebahagiaan dan penderitaan kita menjadi satu, kita nikmati dan kita pikul bersama.”
“Hong-moi...”
Bun Houw memeluk dan dengan terharu dia mendekatkan mukanya. Biarpun jantungnya berdebar keras penuh rasa malu dan ketegangan, namun In Hong menyambutnya dengan bibir tersenyum, setengah terbuka, menanti apa yang akan dilakukan oleh kekasihnya itu terhadap dirinya penuh keikhlasan.
In Hong memejamkan mata dengan jantung berdebar tegang ketika merasa betapa bibirnya tersentuh bibir Bun Houw, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu menarik diri dan ketika In Hong membuka matanya, dia melihat pemuda itu mengerutkan alisnya dan kelihatan cemas sekali.
“Houw-koko, ada apakah?” dia bertanya merasa khawatir juga.
“Moi-moi, aku tidak berhak menyentuhmu sebelum kau mengetahui segalanya!” kata Bun Houw.
“Sudah kuduga tentu ada sesuatu, koko, maka ceritakanlah kepadaku. Tidak boleh ada rahasia menghalang di antara kita.”
Bun Houw melepaskan pelukannya dan dia lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. In Hong juga duduk di atas batu di depannya. Sampai lama In Hong menanti, namun pemuda itu diam saja, mukanya agak pucat. Setelah berulang-ulang dia mendesak, barulah Bun Houw bicara.
“Betapa sukarnya menceritakan hal itu kepadamu, Hong-moi. Peristiwa terkutuk itu terjadi ketika kita berdua terpengaruh oleh racun perangsang itu, ketika kita berada dalam tahanan...”
“Ahhhh...!”
In Hong teringat semua itu dan wajahnya makin merah. Dia masih merasa malu dan jengah kalau teringat betapa di bawah pengaruh racun, dia telah bersikap luar biasa sekali, sikap yang membuatnya malu bukan main.
“Akan tetapi... mengapa hal itu sekarang membuatmu risau, koko? Bukankah kita berdua telah berhasil melawan pengaruh racun, berkat keteguhan hatimu?”
“Bukan berkat keteguhan hatiku, melainkan berkat kemurnian hatimu, moi-moi. Sedangkan aku... ah, aku manusia lemah!”
“Tapi kita tidak melakukan pelanggaran, koko!”
“Benar, denganmu memang tidak karena engkau seorang dara yang suci dan hatimu bersih. Aku masih berterima kasih kepadamu karena keteguhan dan ketahanan hatimu di waktu itu. Akan tetapi, ahhh...!”
Bun Houw menarik napas lagi. Sungguh berat rasanya untuk menceritakan peristiwa itu kepada kekasihnya.
“Ceritakanlah, koko. Ingat, di antara kita tidak boleh ada rahasia.”
“Benar, aku harus menceritakan kepadamu, betapapun berat dan sukarnya. Dengarlah, di waktu engkau terlena dalam keadaan pingsan akibat pengaruh racun itu, tiba-tiba di sudut ruangan itu nampak lubang dan ternyata pembuat lubang itu adalah Liong Si Kwi, gadis murid Hek I Siankouw itu. Ingatkah kau?”
In Hong mengangguk.
“Aku ingat padanya. Nah, lalu bagaimana?”
“Dia muncul dari dalam lubang dan ternyata lubang itu digalinya dari kamarnya sampai menembus ke tempat tahanan kita. Maksudnya membuat lubang itu adalah untuk menolongku, menyelamatkan aku...”
“Hemm, rupanya dia jatuh cinta kepadamu sampai berlaku begitu nekat dan berbahaya, koko.”
“Demikianlah agaknya. Dia memondongku dan membawaku melalui lubang itu dan sampai di dalam kamarnya. Maksudnya memang hendak membebaskan aku, akan tetapi... ah, keparat racun itu... dan dia... dia berbeda dengan engkau, Hong-moi... dalam keadaan seperti itu, dia malah merayuku... dan aku... aku tidak sadar sama sekali dan aku... tidak kuat bertahan dan...”
Bun Houw tidak melanjutkan ceritanya, menutupi mukanya dengan kedua tangan, tidak berani memandang wajah kekasihnya.
Berkerut kedua alis In Hong. Sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, wajahnya sebentar pucat sebentar merah, hatinya dibakar oleh api cemburu, napasnya agak memburu. Akhirnya, perlahan-lahan sinar matanya melembut kembali, napasnya teratur lagi dan dia bertanya, suaranya agak gemetar dan tersendat,
“Jadi kau... kau dan dia... telah... bermain cinta?”
Bun Houw mengepal kedua tangannya.
“Hong-moi, harap jangan gunakan istilah itu. Memang kami telah melakukan hubungan kelamin, kau tahu bahwa aku sama sekali tidak cinta kepadanya, akan tetapi di bawah pengaruh racun yang amat kuat itu... dan ditambah rayuan wanita tak tahu malu itu...” Bun Houw membuka matanya yang menjadi merah.
“Kalau tidak ada suhu dan ayah, tentu sudah kubunuh wanita itu!”
“Hushhh... jangan bicara sembarangan saja, koko. Dia cinta padamu, dia sudah mengorbankan tangan kirinya. Kita patut merasa kasihan kepadanya.”
Bun Houw menoleh kepada In Hong dengan mata terbelalak.
“Apa...? Kau... kau tidak marah...?”
In Hong mengangguk dan tersenyum.
“Tentu saja hatiku penuh iri dan cemburu dan marah, akan tetapi aku dapat memaklumi keadaanmu dan aku maafkan engkau, Houw-koko.”
“Hong-moi... terima kasih, Hong-moi...!”
Mereka berangkulan dan kini dua mulut pemuda yang saling mencinta itu bertemu dalam satu ciuman yang amat mesra, ciuman yang mengandung getaran hati mereka sepenuhnya, seolah-olah dua perasaan hati bertemu menjadi satu lewat ciuman itu, bertaut dan tidak akan terpisah lagi.
Mereka seperti lupa diri, masing-masing melimpahkan kemesraan tanpa mengenal bosan dan matahari senja agaknya cepat-cepat menyingkir untuk memberi kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berasyik mesra.
“Hong-moi...” Bun Houw berbisik sambil mengelus-elus rambut hitam panjang dan halus itu.
“Hemmm...”
In Hong berbisik kembali dari atas dada kekasihnya dimana dia menyandarkan kepalanya setelah debar jantungnya agak tenang sehabis diamuk badai kemesraan tadi.
“Engkau masih ingat kepada Liok Sun?”
“Heh? Liok Sun? Siapakah dia?”
“Yang berjuluk Kiam-mo (Pedang Setan), pemilik perjudian Hok-pokoan di Kiang-shi.”
“Ah, dimana engkau dahulu menjadi pengawalnya? Majikanmu itulah?”
“Hushh, jangan menghina aku!” Bun Houw menghardik dan mencubit pipi kekasihnya dengan mesra. “Kau tahu bahwa aku bukanlah pengawalnya, melainkan hanya menyamar sebagai pengawalnya untuk menyelidiki keadaan Lima Bayangan Dewa.”
“Aku tahu, koko. Nah, ada apa dengan dia?”
“Dia telah tewas, moi-moi, dan betapapun juga, dia adalah seorang yang mempunyai setia kawan dan seorang sahabat yang baik. Sebelum dia mati, dia telah meninggalkan pesan kepadaku, pesan yang sudah kusanggupi.”
“Heh, kau memang terlalu baik hati, Houw-ko. Apa itu kesanggupanmu?”
“Dia meninggalkan pesan sebelum tewas bahwa dia menitipkan anaknya kepadaku, anaknya bernama Sun Eng, seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang ditinggalkan di Kiang-shi.”
“Dia bershe Liok, kenapa anaknya she Sun?” In Hong bertanya heran.
“Sebenarnya namanya dahulu adalah Sun Bian Ek, nama Liok Sun hanya nama penyamaran saja untuk menyembunyikan diri.”
“Hemm, belum juga menjadi isterimu sudah harus mempunyai seorang anak perempuan yang berusia sepuluh tahun!” In Hong mengomel. “Sedangkan kita belum menikah belum mempunyai rumah.”
“Bukan anak, moi-moi, melainkan.. yah, anggap saja seorang murid. Tidak mungkin aku mengingkari janji kepada seorang yang telah mati.”
In Hong menghela napas panjang, sengaja untuk menggoda kekasihnya.
“Baiklah... baiklah... memang sudah nasibku, menjadi jodoh seorang yang belum mempunyai tempat tinggal tertentu akan tetapi telah dibebani seorang anak yang besar. Hehh, enaknya menjadi jodoh pendekar sakti Cia Bun Houw!”
Bun Houw menjadi gemas dan menggelitik leher dan lambung kekasihnya. In Hong terkekeh kegelian, meronta akan tetapi kedua lengan Bun Houw sudah merangkulnya, dan ketika dia mencium mulut yang terbuka itu, In Hong menghentikan gerakannya meronta dan kedua lengannya seperti dua ekor ular merayap dan melingkari leher pemuda itu.
Sampai di sini, pengarang menyudahi cerita “Dewi Maut” ini dengan permintaan maaf apabila terdapat kejanggalan-kejanggalan dan kesalahan-kesalahan dalam cerita ini, dan disertai harapan mudah-mudahan cerita ini dapat sekedar menghibur hati para pembaca sebagai pengisi waktu terluang dan mengandung manfaat. Selamat berpisah dan sampai jumpa di lain cerita.
T A M A T
Komentar