HARTA KARUN JENGHIS KHAN (BAGIAN KE-6 SERIAL PEDANG KAYU HARUM)












Jilid 1

KOTA An-keng terletak di tepi Sungai Yang-ce, sebuah kota besar di utara Sungai itu dari Propinsi An-hwi. Karena letaknya yang sangat strategis, yaitu dekat dengan Sungai besar Yang-ce yang datang dari kota besar Wu-han dan menuju ke kota Nan-king, maka kota An-keng ini amat ramai dan menjadi pusat perdagangan yang diangkut melalui sungai itu. Perdagangan yang amat ramai di kota itu membuat An-keng menjadi tempat yang banyak dikunjungi oleh para pedagang sehingga bukan hanya toko-toko besar, akan tetapi juga restoran-restoran dan hotel-hotel tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Di samping terkenal sebagai kota dagang yang ramai, juga An-keng mempunyai tempat plesiran di tepi Sungai Yang-ce yang sengaja dibuat oleh pemerintah daerah. Tempat ini adalah sebuah telaga buatan yang memperoleh airnya dari sungai itu dan di sekitar telaga ini ditanami bunga-bunga yang indah. Juga telaga itu sendiri merupakan tempat bersantai yang menarik. Pada satu bagian terdapat tanaman bunga teratai merah putih yang melatar belakangi angsa-angsa putih berleher panjang yang berenang-renang dengan cantiknya di sekitar bunga-bunga teratai itu. Ada bagian di mana orang dapat memancing ikan, berperahu, atau duduk dengan santai di restoran-restoran di tepi danau buatan, minum arak sambil menikmati pemandangan indah, melihat perahu-perahu berlalu lalang ditumpangi muda mudi yang asik berpacaran. Angin yang sejuk membuat orang semakin betah dan suasana yang nyaman itu membuat orang lupa bahwa dia telah menghabiskan seekor bebek panggang yang amat terkenal di tempat itu, ditemani arak seguci kecil! Makin mabok, maka makin menarik dan indahlah suasana di sekitar Telaga Teratai Merah Putih di kota An-keng itu. Di sana sini terdengar sasterawan-sasterawan yang sedang mabok bernyanyi, atau membaca sajak-sajak yang indah. Makin siang, suasana menjadi semakin meriah, apa lagi karena beberapa orang hartawan sudah menyewa sekelompok wanita pemain musik dan penyanyi, membawa mereka ke dalam perahu dan suara nyanyian dan yang-kim mengalun bersama-sama permukaan air danau yang diguncang oleh perahu-perahu itu. Di dalam sebuah di antara restoran-restoran yang dibangun di tepi pantai, bangunannya merupakan panggung agak tinggi yang menjulur ke air sehingga para tamu yang duduk makan minum seolah-olah merasa tengah berada di atas perahu besar yang tak bergerak, nampaklah sepasang orang muda duduk sambil menghadapi bebek panggang dan arak. Mereka berdua merupakan pasangan yang amat cocok dan sedap dipandang mata. Yang pria berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, berkulit muka putih dengan sepasang alis hitam berbentuk golok, wajahnya tampan sekali dan gerak-geriknya juga amat halus. Pakaiannya mirip seperti pakaian seorang pemuda pelajar, akan tetapi jika biasanya para pelajar itu berpakaian dan bersikap sederhana, sebaliknya pakaian pemuda itu rapi sekali, bahkan mendekati pesolek walau pun sikapnya tidak berlebih-lebihan seperti biasa sikap pemuda-pemuda bangsawan yang kerjanya hanya menjual tampang sambil memamerkan kekayaan padahal batinnya kosong. Pemuda ini berpakaian rapi, bersikap halus dengan senyum manis selalu tersungging di bibirnya. Akan tetapi, kalau ada orang yang sudah biasa berkecimpung di dunia persilatan dan mempunyai pandang mata seorang ahli, tentu dia akan curiga kepada pemuda halus tampan ini. Kedua matanya mencorong penuh kekuatan, tajam menusuk seperti hendak menembus dada orang lain untuk menjenguk isi hatinya. Selain itu, juga ada sesuatu yang tersembunyi di dalam gerakan halus itu, sesuatu yang membayangkan kekuatan yang sangat hebat. Regangan-regangan jemari tangannya jika bergerak, atau kedudukan tubuh dan kedua lengannya, bagi orang yang berpemandangan tajam tentu akan mengenal gerakan otomatis seorang ahli silat! Temannya juga sangat menarik perhatian. Seorang wanita muda yang usianya sebaya, atau andai kata lebih tua sedikit pun tidak akan ketahuan sebab wanita itu memang cantik sekali dan ada kelembutan yang membuat dia nampak lebih muda dari pada temannya. Wanita muda itu sungguh cantik jelita dan manis, kulitnya putih kemerahan dan seperti juga temannya itu, dia pun mengenakan pakaian indah. Wajahnya yang cantik manis itu tidak memakai hiasan terlalu tebal, dan memang hal itu tidak perlu, bahkan mungkin akan merusak kecantikannya yang asli. Bibir yang tipis penuh itu memang tidak membutuhkan pemerah lagi karena sudah merekah merah dan selalu seperti basah. Alisnya yang kecil panjang itu memang sudah hitam sekali, tidak perlu ditambah penghitam alis lagi. Ketawanya cerah dan suaranya merdu. Sepasang matanya juga akan membuat ahli silat yang berpandangan tajam terkejut karena mata itu kadang-kadang mencorong, kadang-kadang mengeluarkan sinar yang demikian dingin dan menyeramkan, akan tetapi kadang-kadang juga penuh gairah yang hangat dan hidup. Sejak tadi keduanya duduk di restoran itu, makan minum, bercakap-cakap, kadang kala berbisik-bisik dan nampak nyata kasih sayang terpancar pada pandang mata mereka saat mereka sudah berbisik-bisik dan saling pandang seperti itu. Ada kalanya mereka nampak seperti sepasang muda mudi yang asik berpacaran, akan tetapi kadang-kadang mereka bicara serius. Pada waktu terdengar suara nyanyian dan suara sasterawan-sasterawan tua yang mabok bersajak di atas perahunya yang meluncur tanpa tujuan di permukaan air, terdengar gadis muda itu tertawa merdu dan tangan kirinya menutupi mulut dengan gaya yang menarik. "Apa yang kau tertawakan?" tanya pemuda itu sambil menatap wajah temannya dengan penuh kagum. Sudah tiga tahun dia hidup di samping wanita ini namun setiap kali dia masih terpesona mengagumi kecantikannya. Apa bila gadis itu sudah tertawa, dengan sepasang matanya ikut tertawa, dan hidungnya yang kecil itu agak dikernyitkan seperti itu, ada sesuatu yang membuatnya merasa terharu, keharuan yang muncul karena rasa sayang yang demikian besar yang seolah-olah menembus jantungnya dan membuat dia yakin betapa besar rasa cintanya kepada gadis ini. Rasa cinta inilah yang mendatangkan semua keindahan dan kecantikan itu. Bagi pandang mata orang lain, belum tentu gadis itu akan nampak sedemikian cantik dan indahnya di waktu tertawa seperti itu, akan tetapi bagi dia, dunia seolah-olah ikut tertawa bersama mata yang bersinar-sinar, hidung yang tertarik ke atas dan gigi yang mengintai sekilas di balik sepasang bibir merah basah yang terbuka itu. "Kau tidak dengarkan sajak sasterawan tua yang berdiri bergoyang-goyang mabok di atas perahunya yang lewat tadi?" "Tentu saja. Sajaknya indah dan dia mengeluh tentang hari tuanya. Dia ingin selamanya tinggal muda untuk menikmati keindahan Danau Teratai Merah Putih." jawab si pemuda. "Sajak itu menyedihkan, kenapa kau tertawa mendengarnya? Kurasa tidak ada lucunya di situ." "Hi-hik, itulah karena engkau pun sama dengan dia. Beberapa tahun lagi dan engkau pun akan menangisi usia tuamu seperti dia, hidup sebatang kara dan kesepian, hi-hik!" "Ihh, mana mungkin? Kan ada engkau di sisiku?" "Aku pun akan tua dan meratapi nasibku kalau aku bersikap sepertimu. Itulah yang lucu. Mengapa dia menyesali hari tuanya? Lihat, bukankah danau ini, Sungai Yance itu, jauh lebih tua dari pada kita, dari pada sasterawan cengeng tadi? Namun lihat, berkurangkah keindahannya? Nampakkah tuanya? Adakah penyesalan pada danau dan sungai, juga pohon-pohon tua di seberang itu, akan ketuaannya? Sama sekali tidak, mereka semua itu masih tetap muda, cantik menarik bahkan dalam ketuaan mereka sekali pun." Pemuda itu memandang serius dan mengangguk-angguk. "Ada isinya dalam ucapanmu itu, sayang. Memang. keindahan dan kebahagiaan terdapat di mana-mana dan pada saat apa pun. Seorang muda pun tak akan bisa melihat keindahan dan menikmati kebahagiaan kalau dia tidak mengenal indahnya saat ini. Dia, seperti juga sasterawan itu, hanya akan menyesali diri, menyalahkan nasib, menginginkan hal-hal yang tidak ada, maka datanglah kekecewaan, penyesalan dan duka cita. Wah, wah, masih sepagi ini engkau sudah mulai berfilsafat!" Gadis itu tertawa. "Alam seindah ini, cuaca senyaman ini, dan hawa sesejuk ini, siapa orangnya yang tidak berubah menjadi penyair dan ahli filsafat?" Tiba-tiba pemuda itu menyentuh tangan si gadis yang tergeletak di atas meja. Gadis itu terkejut sebab sentuhan itu bukan sentuhan biasa, melainkan sentuhan yang menyatakan guncangan perasaan. Maka dia pun menengok dan ikut memandang ke arah pemuda itu memandang ke luar jendela dan dia pun melihat seorang laki-laki mendayung perahunya lewat di bawah tempat itu dengan tergesa-gesa. Laki-laki itu sudah setengah tua dan dari pakaiannya mudah diketahui bahwa dia adalah seorang dusun sederhana. Akan tetapi wajahnya pucat dan matanya terbelalak ketakutan. Dan agak jauh di belakangnya, sebuah perahu lain meluncur dengan cepatnya. Perahu ini ditumpangi oleh dua orang laki-laki yang kelihatan kokoh kuat dan kasar, yang mendayung perahu itu dengan sangat cepatnya, mengejar perahu pertama itu dan pada wajah mereka terbayang kemarahan dan keganasan. Karena banyak perahu yang berlalu lalang di situ, orang tidak akan tahu bahwa perahu yang ditumpangi oleh kakek dusun itu sedang dikejar oleh dua orang dalam perahu yang lebih besar itu. Hanya karena pemuda dan gadis itu duduk di atas dan kebetulan memandang ke telaga dan melihat wajah orang di perahu pertama, mereka melihat hal yang tidak wajar ini. Apa lagi karena memang keduanya mempunyai pandang mata yang amat tajam, berbeda dari kebanyakan orang lain. "Lihat, dia terluka...," bisik gadis itu. Pemuda itu mengangguk. Dia pun sudah tahu bahwa kakek petani yang dikejar-kejar itu telah mengalami beberapa luka pada tubuhnya. Luka memar dan gosong akibat pukulan-pukulan berat di leher dan tengkuknya yang coba ditutupinya dengan leher baju dan juga lengan bajunya yang kanan berlepotan darah yang sudah mulai mengering. Dan semua ini dapat terlihat oleh pemuda dan gadis itu dari jarak jauh! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa sepasang muda mudi ini memiliki ketajaman mata yang lain dan jauh lebih dari pada mata orang biasa. Kini perahu petani itu sudah tiba di darat dan petani itu naik ke darat, lalu tergesa-gesa meninggalkan perahunya. "Mari kita lihat!" kata pemuda itu dengan tenang. Dia pun memanggil pelayan, membayar harga makanan minuman, lantas bersama gadis itu mereka keluar dari restoran, agaknya tidak tergesa-gesa akan tetapi langsung mereka menuju ke arah larinya petani yang kini dikejar-kejar oleh dua orang itu. Petani itu bukan lari ke arah kota An-keng, melainkan keluar kota, ke tempat yang sunyi, agaknya memang ingin melarikan diri dari kejaran dua orang itu. Dia seorang petani biasa agaknya, usianya kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya kurus dan kasar, kulitnya agak kehitaman karena terlalu sering tertimpa terik matahari. Jelas merupakan seorang miskin yang biasa bekerja keras dan kasar. Sepasang matanya yang kadang-kadang digunakan untuk memandang ke belakang dengan ketakutan itu kini terbelalak. Mukanya pucat dan jalannya terpincang-pincang, tanda bahwa di bagian kakinya pun sudah menderita luka. Dari belakangnya, dua orang yang tadi mengejarnya dengan perahu, sudah hampir dapat menyusulnya. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus, mulutnya yang terlampau lebar itu menyeringai dan selalu seperti mengejek, matanya yang sangat sipit itu seperti terpejam dan lehernya mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh laksana orang yang berpenyakit batuk kering. Orang yang ke dua bertubuh gemuk pendek, dengan mata lebar yang mengeluarkan sinar kejam, mukanya seperti muka babi dengan kulit bertotol-totol merah. Di kedua punggung mereka nampak tergantung sebatang golok besar. "Petani busuk, kau hendak lari ke mana? Ha-ha-ha-ha!" Si gendut berteriak mengejar. Tentu saja petani yang berlari menggunakan kekuatan biasa, apa lagi dengan kaki yang terpincang-pincang itu, bukanlah lawan dua orang yang agaknya memiliki kepandaian ilmu silat dan pandai berlari cepat itu. Tahu-tahu dua orang itu telah menghadang dari depan dan melihat ini, kakek petani itu dengan mata terbelalak lalu membalik ke kanan dan lari sekuatnya, kembali ke arah danau! Akan tetapi sekali ini dia tiba di bagian pinggir danau yang sunyi dan tidak ada orangnya. Sambil tertawa mengejek, dua orang itu mengejar, mempermainkannya laksana dua ekor kucing yang sedang mempermainkan seekor tikus yang sudah tersudut, tidak mau segera menerkamnya, seolah-olah hendak menikmati lebih dulu pemandangan tikus itu ketakutan setengah mati. "He-he-heh, petani tua bangka, lebih baik lekas berikan benda itu kepada kami dan kami akan membunuhmu dengan cara lunak." "Tidak, tidak! Sampai mati tidak!" Petani itu berteriak dan tiba-tiba dia menubruk seorang di antara mereka yang menghadang di depannya. Tubrukan petani ini sama sekali tidak memakai perhitungan, tidak menggunakan teori ilmu berkelahi, namun tubrukan yang dilakukan karena terjepit dan terpaksa. Akan tetapi justru serangan seperti inilah yang kadang-kadang membingungkan ahli silat yang tingkatannya masih rendah dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kakek itu menabrak dada orang tinggi kurus itu sampai terjengkang! "Keparat! Kau berani melawan?!" bentak si gendut itu, lalu nampak sinar golok berkelebat ketika goloknya membacok. Kakek petani yang telah nekat itu tak mau mengelak, melainkan terus saja menubruknya. Mengelak pun akan sia-sia belaka karena memang dia tak biasa berkelahi, dan tidak tahu bagaimana caranya mengelakkan diri dari sambaran golok itu. "Crakkk...!" Tubuh kakek itu lalu terguling, pundaknya terluka parah oleh bacokan golok serta sebuah tendangan yang mengenai lambungnya membuat dia terguling-guling. Kini kembali golok itu menyambar ke arah leher kakek petani. "Desss...!" "Uughhhh...!" Si gendut berteriak mengaduh saat pergelangan tangannya bertemu dengan sepatu yang menendangnya dari samping. Demikian kerasnya tendangan pemuda tampan itu, sehingga bukan hanya goloknya yang terlempar, akan tetapi tulang pergelangan tangan itu juga menjadi patah. Si tinggi kurus menjadi marah. Goloknya menyambar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara. "Ngekkk...!" dan dia pun roboh terguling karena tengkuknya disambar tangan halus gadis teman pemuda itu. Pasangan muda mudi itu ternyata telah tiba di situ, agak terlambat sehingga kakek petani itu sempat menerima bacokan serta tendangan, akan tetapi masih belum terlambat untuk mencegah terjadinya pembunuhan. Mereka menggerakkan kaki menendang, maka tubuh dua orang penjahat itu terlempar ke arah danau. "Byurrrrrr...!" Dua orang itu gelagapan dan berdaya upaya sekuatnya agar jangan sampai tenggelam. Mereka telah terluka, akan tetapi karena terancam bahaya mati tenggelam, mereka bagai memperoleh tenaga baru dan berenang ke darat, menjauhi pemuda dan gadis yang amat lihai itu. Sepasang muda mudi yang lihai ini tidak lagi memperdulikan mereka, melainkan cepat menolong petani tua yang menggeletak dengan napas empas-empis. "Bagaimana keadaanmu, lopek?" tanya si pemuda tampan sambil memeriksa semua luka yang diderita oleh kakek itu. "Lekas... lekaslah bawa aku pergi... tolonglah... auhhh... jumlah para penjahat itu banyak sekali... lekas sembunyikan aku... ahhhh!" Dan kakek itu tak sadarkan diri. Pemuda dan gadis itu saling pandang dan mereka melihat dua orang penjahat tadi telah berhasil mendarat dan melarikan diri. "Bagaimana?" tanya si gadis tenang. "Kita menanti di sini kemudian menghajar mereka semua?" Pemuda itu menggeleng. "Lebih baik kita sembunyikan dia dan merawatnya. Kurasa ada tersembunyi rahasia yang menarik di balik peristiwa ini. Aneh kalau penjahat-penjahat itu mengejar-ngejar dan mendesak seorang kakek petani miskin seperti ini. Dan tadi agaknya mereka menghendaki suatu benda..." "Baik," jawab gadis itu. Pemuda itu memondong tubuh si kakek petani dan sebentar saja dia bersama temannya sudah berlari dengan cepat meninggalkan tempat itu. Cara mereka berjalan cepat tentu akan mengejutkan hati seorang ahli silat kelas tinggi sekali pun karena mereka itu sudah mempergunakan ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang amat luar biasa! Siapakah gerangan pemuda dan gadis yang luar biasa ini? Orang yang mengenal mereka tentu tidak akan heran menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian mereka karena pemuda itu bukan lain adalah tokoh dunia persilatan yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan julukannya yang amat menyeramkan, yaitu Pendekar Sadis! Dan temannya, gadis cantik jelita itu pun pernah menjadi datuk kaum sesat yang berjuluk Lam-sin atau Malaikat Selatan! Pendekar Sadis itu bernama Ceng Thian Sin. Di dalam usianya yang baru dua puluh tiga tahun, pemuda ini telah berhasil mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan yang pada saat itu jarang bisa dicari bandingannya. Dia bukanlah keturunan sembarangan orang, karena mendiang ayah kandungnya adalah Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai, yaitu seorang pangeran yang dulu pernah berambisi untuk menjadi Jagoan Nomor Satu di dunia, sedangkan mendiang ibunya adalah Lie Ciauw Si, cucu dari ketua Cin-ling-pai! Pendekar Sadis ini bukan hanya sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, bahkan telah menerima gemblengan dari banyak orang sakti, dan terutama sekali dia sudah mewarisi peninggalan ilmu yang mujijat dari mendiang ayah kandungnya. Sedangkan temannya itu, yang dahulu pernah menyamar sebagai seorang nenek dengan julukan Lam-sin sebagai datuk selatan, bernama Toan Kim Hong, juga bukanlah seorang wanita sembarangan. Seperti juga Ceng Thian Sin, nona cantik jelita ini adalah keturunan bangsawan karena dia adalah puteri seorang pangeran bernama Toan Su Ong yang sakti. Ibu kandungnya adalah seorang wanita sakti pula bernama Ouwyang Ci yang mewarisi ilmu rahasia dari Perdana Menteri The Hoo yang sangat terkenal itu. Seperti juga Thian Sin, orang tua Kim Hong telah tiada dan dia hidup seorang diri, mewarisi ilmu-ilmu yang sangat hebat. Dalam petualangan mereka, kedua orang muda yang sama-sama keturunan bangsawan tinggi ini berjumpa, lantas saling tertarik, dan akhirnya saling mencinta. Sudah tiga tahun mereka hidup bersama, hidup sebagai sepasang kekasih, sebagai suami isteri walau pun mereka berdua tak pernah menikah secara sah. Hal ini sudah mereka kehendaki berdua, dan walau pun mereka tidak disahkan dengan upacara pernikahan, namun mereka saling mencinta, melebihi suami isteri yang menikah dengan sah. Thian Sin dan Kim Hong hidup berdua di sebuah pulau kosong yang disebut Pulau Teratai Merah, yang jauh dari daratan Tiongkok. Mereka hidup di pulau kosong itu dengan penuh kebahagiaan, tetangga mereka hanya penghuni pulau-pulau lainnya yang berdekatan dan kadang-kadang mereka naik perahu mendarat. Sudah tiga tahun lamanya mereka bertualang berdua, penuh kebahagiaan, penuh kasih sayang. Dalam menghadapi apa pun mereka bersatu padu, saling mencinta, saling setia, biar pun kekerasan hati masing-masing membuat mereka kadang-kadang bercekcok juga! Akan tetapi, setiap percekcokan mereka seakan-akan merupakan pupuk bagi cinta kasih mereka karena setiap kali habis bercekcok, mereka menjadi lebih mesra lagi! Demikianlah riwayat singkat tentang Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong, dua sejoli yang sama cantik sama tampan, juga sama lihai ini. Sudah lama Ceng Thian Sin tidak lagi mau menggunakan nama julukan Pendekar Sadis, juga Toan Kim Hong tak lagi menggunakan nama julukan Lam-sin. Betapa pun juga, para tokoh kaum sesat masih ngeri mendengar kedua nama julukan ini. Sesudah berkenalan sejenak dengan Thian Sin dan Kim Hong, mari kita lanjutkan dengan mengikuti perjalanan mereka yang penuh dengan petualangan itu. *************** Luka-luka yang diderita oleh petani tua itu amat parah, Thian Sin dan Kim Hong melihat kenyataan ini dan mereka berdua hanya dapat memberi obat untuk mengurangi rasa nyeri saja, akan tetapi mereka maklum bahwa nyawa petani itu tidak mungkin dapat ditolong lagi. Petani itu agaknya juga merasa bahwa keadaannya amat parah dan bahwa dia harus meninggalkan rahasianya kepada dua orang yang telah menolongnya itu, maka dengan suara tersendat-sendat dan napas terengah-engah dia lalu menceritakan keadaannya. Petani itu bernama Ciang Gun, hidup di dusun Cin-bun-tang bersama dengan isterinya dan seorang puteranya yang kini sudah berusia dua puluh lima tahun. Keadaan mereka sedemikian sederhana dan miskinnya sehingga untuk menikahkan putera tunggal mereka yang bernama Ciang Kim Su saja, mereka tidak punya biaya. Sebidang tanah yang tak begitu subur menjadi sumber nafkah mereka, tapi hanya cukup untuk mencegah mereka mati kelaparan saja. Untuk itu pun mereka bertiga, Ciang Gun, isterinya dan Ciang Kim Su, harus mengerahkan tenaga bekerja di ladang mereka. Pada suatu hari, kurang lebih satu tahun yang lalu, karena membutuhkan air yang mahal karena musim kering yang terlampau lama, keluarga ini menggali sumur di tengah ladang mereka. Ketika mereka sudah menggali tanah sedalam kurang lebih dua meter, cangkul mereka bertemu dengan sebuah peti hitam kecil. Dengan hati penuh ketegangan mereka mengeluarkan peti itu, membukanya dan di dalam peti itu mereka menemukan sebuah peta dengan catatan huruf-huruf kuno, dan sebuah kunci yang terbuat dari pada emas. "Kunci ini terbuat dari emas!" kata isteri Ciang Gun. "Cukup untuk dapat ditukar dengan beberapa karung gandum!" "Dan sebagian untuk membeli bibit!" kata Ciang Gun girang. Akan tetapi Kim Su, putera mereka yang pernah duduk di bangku sekolah sungguh pun hanya untuk dua tahun, menggeleng kepala. "Ayah dan ibu, kurasa kita telah menemukan sesuatu yang amat berharga, yang jauh lebih berharga dari pada kunci emas ini." Ayah itu memandang wajah puteranya dengan heran. "Maksudmu, gambaran corat-coret ini?" Kim Su mengangguk. "Ini adalah sebuah peta dan kurasa peta ini menunjukkan tempat penyimpanan sesuatu yang amat berharga dan kunci ini untuk membukanya. Bayangkan saja. Baru kuncinya saja sudah terbuat dari emas, apa lagi barang-barang yang disimpan di dalam tempat terkunci itu!" "Harta karun...?" Ayahnya bertanya dan ibunya terbelalak. "Aku belum tahu benar, ayah. Itu hanya dugaanku. Sayang bahwa huruf-huruf ini sangat kuno dan aku tidak dapat membacanya. Akan tetapi, bukankah paman Su yang tinggal di kota raja mengenal banyak sasterawan pandai?" "Kau benar, Kim Su!" kata ibunya yang merasa bangga akan adiknya yang tinggal di kota raja dan yang dianggapnya mempunyai pengetahuan banyak dan kenalan-kenalan orang besar. "Dia tentu dapat membantumu membaca huruf-huruf itu." "Sebaiknya, sekarang juga aku berangkat ke kota raja membawa peta ini, ayah. Ada pun kuncinya ayah simpan saja baik-baik, jangan sampai hilang sambil menunggu sampai aku pulang dari kota raja dan mengetahui rahasia peta ini." Berangkatlah Kim Su ke kota raja dan ayah ibunya menanti dengan penuh harapan. Akan tetapi, bulan berganti bulan dan sampai setahun lamanya Kim Su tidak pulang, juga tidak pernah ada beritanya ke rumah. Setelah lewat setahun lebih, pada suatu siang muncullah empat orang laki-laki yang sikapnya amat kasar. Kakek Ciang Gun menerima kedatangan mereka dengan heran dan menanyakan maksud kedatangan mereka. Salah seorang di antara mereka yang bercodet di pipi kirinya, dengan suara lantang lalu menerangkan maksud kedatangan mereka. "Kami disuruh oleh Ciang Kim Su..." Baru sampai di sini, kakek dan isterinya itu girang bukan kepalang. "Bagaimana kabarnya dengan Kim Su? Di mana dia sekarang dan mengapa sampai sekarang dia tidak pulang dan tidak memberi kabar? Apakah dia sudah berjumpa dengan pamannya?" Pertanyaan bertubi-tubi diajukan oleh suami isteri itu kepada empat orang pengunjung ini. "Dia baik-baik saja dan menyuruh kami untuk datang mengabarkan kepada lopek berdua bahwa semua urusan berjalan beres. Dia menyuruh kami datang untuk menerima sebuah kunci dari lopek." Sambil berkata demikian, Si Codet ini memandang tajam kepada petani tua itu. Ciang Gun mengerutkan alisnya. "Kunci? Kunci apa?" Biar pun dia hanya seorang petani dusun, namun dia telah hidup cukup lama untuk dapat mengenal ciri-ciri orang yang tidak dapat dipercaya dan dia tidak percaya kepada empat orang ini. Selain itu, ketika hendak pergi dahulu puteranya pernah berpesan bahwa kunci emas itu tidak boleh diberikan kepada siapa pun juga selain kepadanya sendiri. Bahkan membicarakan soal kunci emas itu pun dilarang. "Sebuah kunci emas!" Si Codet mendesak. "Kunci emas...? Aku tidak mengerti." Ciang Gun menjawab. Tiga orang tamu yang lain mengerutkan alis dan kelihatan marah, akan tetapi Si Codet cepat memberi isyarat dengan tangannya supaya mereka bersabar. "Kami pun tidak tahu. Puteramu itu, Ciang Kim Su, hanya menyuruh demikian saja dan katanya engkau akan mengerti sendiri, lopek." "Tapi... tapi..." "Jangan ragu-ragu, lopek. Kami berempat adalah sahabat-sahabat baik puteramu dan Kim Su sendiri yang mengutus kami. Serahkan saja kunci emas itu kepadaku, lopek." "Tidak mungkin!" Tiba-tiba isteri petani itu berteriak. "Tidak mungkin Kim Su bersahabat dengan kalian!" Empat orang itu kini menjadi marah dan mereka mengurung suami isteri itu. Si Codet kini menanggalkan kedok matanya, lantas dengan suara geram dia mendekati petani itu dan menghardik, "Tidak perlu banyak cerewet lagi. Serahkan kunci emas itu kalau engkau ingin selamat!" Ciang Gun terkejut sekali dan mukanya pucat, matanya terbelalak dan dia cepat mundur-mundur sambil menggelengkan kepala. Isterinya, seorang wanita yang berani sebab sejak kecil sudah terlampau kenyang menghadapi hidup sulit, kini melangkah ke depan, seperti hendak melindungi suaminya dan membentak dengan suara marah, "Kalian ini orang-orang jahat! Sejak tadi aku tidak percaya bahwa anak kami bersahabat dengan orang-orang seperti kalian. Hayo kalian pergi dari sini! Kami orang-orang miskin tidak mempunyai apa-apa..." "Plakkk!" Sebuah tamparan yang keras membuat tubuh wanita itu terpelanting lantas roboh di atas tanah. Suaminya berteriak kaget, akan tetapi hanya dapat memandang dengan dua mata terbelalak saja pada waktu melihat Si Codet itu menubruk ke depan, menginjak punggung isterinya dengan lutut dan mencengkeram rambut wanita itu untuk ditarik keras-keras ke belakang. "Petani busuk! Serahkan kunci emas atau leher istrimu akan kupatahkan!" "Tidak... tidak... jangan kau lakukan itu. Lepaskan isteriku... harap kalian jangan sekejam itu..." Petani itu meratap. "Serahkan kunci emas dan kalian akan selamat!" Si Codet menghardik lagi. "Jangan berikan!" Mendadak isteri petani itu berteriak lantang kepada suaminya. "Jangan berikan. Ingat, mungkin anak kita telah mereka bunuh pula!" Teriakan isterinya ini mengingatkan si petani dan wajahnya menjadi pucat sekali, matanya terbelalak memandang kepada Si Codet yang masih membekuk isterinya itu dan petani ini lalu menggelengkan kepala keras-keras. "Ciang Gun, lekas berikan kunci emas itu kepada kami, atau engkau akan melihat isterimu kami siksa sampai mati, kemudian engkau sendiri pun akan kami siksa sampai mati dan akhimya kunci itu pun akan dapat kami rampas!" "Jangan percaya! Mereka ini penjahat-penjahat kejam, pembohong dan penipu semua!" isterinya menjerit lagi memperingatkan suaminya. "Tangkap dia, geledah seluruh rumah!" bentak Si Codet kepada teman-temannya. Seorang di antara mereka menubruk kakek Ciang Gun, lalu merobohkannya dan mengikat kaki tangannya. Isteri petani itu juga diikat kaki tangannya dan empat orang itu kemudian menggeledah-geledah pakaian yang mereka pakai sampai hampir menelanjangi mereka. Sesudah tidak berhasil menemukan kunci emas pada tubuh mereka, empat orang itu lalu menggeledah seluruh tempat di dalam rumah itu, mengobrak-abrik semua barang. Akan tetapi tetap saja kunci itu tidak dapat mereka temukan. Mengertilah Si Codet bahwa kunci emas itu tentu disembunyikan oleh suami isteri itu di suatu tempat yang sukar untuk dapat dia temukan tanpa pemberi tahuan dari mereka berdua. "Hayo katakan, di mana kunci emas itu!" Si Codet menghardik sambil menjambak rambut isteri petani itu. Akan tetapi wanita tua yang sudah nekat ini memandang dengan penuh kebencian dan dia pun meludah. "Cuhh! Engkau boleh membunuh kami, akan tetapi jangan harap dapat menemukan kunci itu!" "Plak! Plakk!" Dua kali Si Codet menampar lalu meninggalkan wanita itu yang berdarah pada mulutnya akan tetapi yang sedikit pun tidak mengeluh. Kini codet kejam itu berjalan menghampiri Ciang Gun. "Hayo katakan, di mana kunci itu? Atau engkau lebih senang melihat isterimu kusembelih di depan matamu?" "Suamiku, jangan katakan! Jangan kira dia akan melepaskanmu jika kunci kau serahkan. Kita serahkan, tetap saja kita akan mereka bunuh. Biarlah kita mati, berkorban demi anak kita. Jangan beri tahukan, jangan serahkan kunci!" "Perempuan keparat!" Si Codet meninggalkan petani itu, melompat ke dekat si wanita dan menendang tubuh yang terbelenggu itu sampai bergulingan dekat suaminya. Kakek Ciang Gun memejamkan matanya dan menangis. "Kuatkanlah hatimu, suamiku. Paling-paling kita mati, akan tetapi mereka ini, binatang-binatang buas ini takkan dapat merampas kunci kita, demi untuk Kim Su... aughhh..." Sebuah tendangan mengenai dadanya dan wanita itu tak mampu berbicara lagi. Si Codet mencabut goloknya dan memodongkan goloknya pada leher wanita yang sudah setengah pingsan itu. "Petani busuk, engkau lebih memberatkan kunci keparat itu dari pada nyawa isterimu? Lihat ini!" Ujung golok itu menggores sedikit kulit leher. Darah muncrat membasahi leher dan baju. Melihat ini, kakek Ciang Gun kembali memejamkan kedua matanya dan dia tidak mampu bersuara lagi, hanya menggeleng-geleng kepalanya keras-keras sambil menangis. "Hi-hi-hik! Kalian anjing-anjing busuk, tidak mungkin dapat memaksa suamiku. Dia adalah seorang gagah, benar, suamiku seorang gagah perkasa yang tak takut mati!" Ujung golok itu menusuk dada dan kembali darah muncrat. "Petani Ciang, sekali lagi, kunci emas itu atau nyawa isterimu?" "Suamiku, kutunggu engkau di akhirat..." Isterinya masih sempat menjerit sebelum golok itu membacok lehernya dan dia pun tewas seketika. Biar pun dia memejamkan kedua matanya, petani itu masih dapat mengikuti penderitaan isterinya melalui pendengarannya dan telinga pulalah yang memberi tahu padanya akan keadaan isterinya. Dia lalu membuka matanya dan melihat isterinya menggeletak dengan bermandikan darah dan tak bergerak-gerak lagi. Dia hanya dapat merintih dan memanggil nama isterinya sambil menangis. "Lihat, isterimu mati karena membandel. Hayo kau katakan, di mana kunci itu!" Si Codet membentak. "Kalian bunuhlah aku! Bunuhlah aku...!" Kakek Ciang Gun berteriak-teriak dan menangis. Si Codet menendang dan memukulinya, akan tetapi tidak sampai membunuhnya karena para penjahat ini maklum bahwa mayat tidak mungkin dapat memberi tahukan di mana adanya kunci emas yang mereka cari-cari itu. Bahkan atas isyarat Si Codet, mereka lalu meninggalkan kakek Ciang Gun sesudah membebaskannya dari belenggu, membiarkan kakek itu menangisi isterinya. Kakek itu, dibantu oleh para tetangganya yang tidak ada yang berani mencampuri urusan itu, lalu mengubur jenazah isterinya dan berkabung dengan penuh kedukaan. Empat orang penjahat itu tidak muncul lagi. Akan tetapi kakek Ciang teringat akan nasehat dan kata-kata isterinya yang diucapkan di waktu mereka menghadapi penjahat-penjahat itu, maka dia pun dapat menduga bahwa tentu para penjahat itu tidak mau melepaskan dia begitu saja. Dia menduga bahwa para penjahat itu tentu diam-diam membayanginya. Untuk meyakinkan dugaan hatinya, beberapa hari kemudian, pada tengah malam, kakek Ciang diam-diam meninggalkan rumahnya lalu pergi ke sudut ladangnya, berindap-indap. Kemudian, seolah-olah baru mengambil sesuatu, dia kembali ke rumahnya dan benar saja seperti yang telah disangkanya, begitu memasuki rumahnya, di situ sudah menanti empat orang penjahat itu! "Ha-ha-ha, bagus sekali. Engkau telah mengambilkan kunci itu untuk kami, ya? Serahkan kepadaku!" kata Si Codet. Kakek Ciang menggeleng kepala. "Tidak ada kunci!" Si Codet marah sekali dan menubruk maju. Kakek itu dipegangi dan digerayangi seluruh tubuhnya, akan tetapi memang benar tak ada ditemukan kunci padanya. Kembali, seperti tempo hari, rumah itu diobrak-abrik, akan tetapi semua usaha itu sia-sia belaka, mereka tidak temukan kunci yang dicari-cari. Setelah memukuli kakek itu tanpa membunuhnya untuk melampiaskan kedongkolan hati, mereka kemudian meninggalkan Ciang Gun yang hanya dapat mengeluh sambil meratapi nasibnya yang buruk. Semenjak ditemukan benda aneh dari dalam tanah itu, keluarganya tertimpa mala petaka hebat. Isterinya mati dibunuh penjahat, nasib anaknya masih belum diketahui dan dia sendiri kini berada dalam ancaman penjahat-penjahat kejam. Kakek Ciang tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu. Pertama-tama, dia harus dapat melepaskan diri dari pengamatan para penjahat itu, kemudian mengambil kunci emas yang disimpannya di suatu tempat tersembunyi. Setelah itu, dia harus cepat pergi ke kota raja menyusul anaknya. Hanya itulah satu-satunya jalan. Dia pernah pergi ke kota raja menengok adik laki-laki isterinya, yaitu alamat yang hendak dikunjungi oleh Kim Su ketika pemuda itu meninggalkan dusun menuju ke kota raja. Kakek Ciang lalu mencari kesempatan dan kesempatan itu terbuka baginya pada waktu dia mengadakan sembahyangan bagi arwah isterinya. Pada malam hari itu para tetangga berdatangan dan seperti yang telah diduganya, dalam keadaan menerima tamu-tamu para tetangga, para penjahat menjadi agak lengah. Para penjahat yang terus mengamati dan membayanginya tentu sama sekali tak pernah menduga bahwa kakek itu akan melarikan diri justru pada malam hari ketika para tetangga menjadi tamunya itu. Malam itu Petani Ciang Gun berhasil menyelinap pergi. Bahkan para tetangganya yang menjadi tamunya pada malam itu pun tidak tahu akan kepergiannya. Mereka menyangka bahwa tuan rumah itu pergi ke belakang, ke kamar mandi untuk buang air atau lainnya. Sesudah lama dia tidak muncul, barulah para tamu menjadi heran lantas mencari-carinya tanpa hasil. Kakek Ciang sudah pergi dan tak seorang pun tahu ke mana perginya! Tentu saja empat orang penjahat yang mengamati tempat itu dari jauh menjadi bingung dan marah-marah. Mereka mencari ke sana sini tanpa hasil pula. Sambil menyumpah-nyumpah mereka lalu berpencaran dan mencari terus. Ciang Gun berhasil menyelinap pergi dan mengambil kunci emas yang disembunyikan di antara akar pohon besar. Kemudian dia membawa kunci itu, diikatkannya di pinggang dan larilah petani ini pada malam hari itu juga meninggalkan dusunnya, menuju ke kota raja. Karena para penjahat yang mengamatinya tak mengira bahwa kakek ini berani melarikan diri ke kota raja, maka mereka mencari di sekitar dusun saja dan karena ini, petani Ciang memperoleh banyak waktu untuk melarikan diri dengan aman. Akan tetapi, bagaimana pun juga, dia hanyalah seorang petani lemah biasa saja, ada pun para pengejarnya adalah penjahat-penjahat yang ulung. Empat orang penjahat itu segera berpencar, bahkan mereka sudah menghubungi kawan-kawan mereka yang mencari ke berbagai jurusan. Oleh karena itu, tidaklah aneh begitu tiba di daerah An-keng, jejak petani Ciang itu dapat ditemukan sehingga dia pun dikejar-kejar oleh dua orang penjahat. Dan seperti yang telah kita ketahui, secara sangat kebetulan dia tertolong oleh sepasang pendekar yang sakti, yaitu Pendekar Sadis dan kekasihnya, yang berhasil menyelamatkannya setelah petani itu menderita luka-luka berat. *************** Setelah selesai menceritakan riwayatnya, kakek petani itu memandang kepada Thian Sin dan Kim Hong dengan napas empas-empis, tinggal satu-satu. Dia pun tahu bahwa tiada harapan baginya untuk hidup lebih lama lagi, maka satu-satunya harapannya untuk dapat menyampaikan kunci emas kepada puteranya hanyalah muda mudi yang gagah perkasa ini. "Ji-wi (anda berdua)... sudah menolongku... ji-wi terimalah ini..." Dia mengeluarkan kunci emas yang digantungkan pada lehernya itu. "Carilah Kim Su di kota raja... petanya ada padanya... ji-wi adalah orang-orang gagah yang baik... harap bantu dia membuka rahasia harta karun itu... bagi-bagilah di antara kalian... dan..." Kakek itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya, terkulai dan tewas. Thian Sin cepat memeriksa lantas saling pandang dengan Kim Hong. Kemudian dengan sederhana mereka berdua lalu mengubur jenazah kakek itu di tepi telaga. Karena adanya rahasia kunci emas di tangan mereka, kedua orang ini merasa tidak perlu untuk memberi tahu orang lain atau melaporkan kepada petugas keamanan tentang adanya peristiwa itu. cerita silat online karya kho ping hoo Setelah mereka selesai mengubur jenazah petani itu, Kim Hong bertanya, "Apa yang akan kita lakukan sekarang dengan kunci emas ini? Mencari orang bernama Ciang Kim Su itu?" "Kau tertarik?" balas tanya Thian Sin. Yang ditanya tersenyum, semacam senyuman yang tidak pernah gagal mengguncangkan hati pemuda yang jatuh cinta itu. Diciumnya Kim Hong karena Thian Sin tak pernah dapat menahan hatinya untuk tidak mencium setiap kali melihat senyum khas ini, sehingga bagi keduanya, senyuman khas itu seperti menjadi tanda agar Thian Sin mencium Kim Hong! Cinta kasih antara pria dan wanita memang bisa melahirkan atau menciptakan bahasanya sendiri tanpa perlu sepatah kata! "Kau tahu, aku bukan gila harta. Akan tetapi aku kasihan kepada petani itu yang sudah menjadi korban kejahatan dan ingin tahu apakah anaknya itu masih hidup. Selain itu, biar pun kita tidak gila harta, kalau benar ada harta karun sampai terjatuh ke tangan penjahat, kan sayang?" Thian Sin mengangguk. "Bagaimana pun juga, kakek petani itu telah percaya kepada kita dan pesan terakhir seorang yang mati sungguh tak baik untuk diabaikan begitu saja." "Jadi kita ke kota raja?" "Bagaimana kau pikir sebaiknya?" Thian Sin balas bertanya sambil memandang dengan sikap bertanya dan menguji. Kim Hong memang tidak perlu banyak bicara dengan kekasihnya ini. Dari pandang mata saja mereka sudah dapat saling mengutarakan isi hati masing-masing. Wanita cantik itu tersenyum manis, namun kali ini bukan senyuman khas minta dicium. "Mari kita tulis pendapat kita masing-masing," katanya sambil membalikkan tubuhnya dan berjongkok, membuat corat-coret di atas tanah. Thian Sin tersenyum, kemudian juga membalikkan tubuhnya. Seperti yang juga dilakukan oleh kekasihnya itu, dia mencorat-coret di atas tanah. Hampir berbareng mereka selesai dan tanpa bicara, keduanya membaca tulisan masing-masing. Mereka lalu tertawa dan saling rangkul. Tulisan mereka, walau pun dengan kalimat yang berbeda, isinya sama! Mereka berdua berpendapat bahwa mereka akan mempergunakan kunci itu untuk memancing datangnya para penjahat sebagai pintu atau jembatan pertama ke arah perkara kakek petani itu! Mereka masih tertawa-tawa geli dan juga gembira sekali ketika mereka kembali ke rumah penginapan mereka di kota An-keng, berjalan bergandeng tangan dan tidak tergesa-gesa karena mereka sengaja ingin meninggalkan jejak atau memberi kesempatan kepada para penjahat untuk membayangi mereka dan mengetahui di mana mereka tinggal. Akan tetapi, begitu mereka masuk ke dalam kamar rumah penginapan, diam-diam Thian Sin mempergunakan kepandaiannya untuk lolos dari dalam kamar, membawa kunci emas itu dan pergilah dia ke tukang pembuat perhiasan emas untuk meminta kepada tukang itu agar membuatkan sebuah kunci emas untuknya. Tentu saja hanya bentuknya yang mirip, akan tetapi dengan mata kunci yang jauh berbeda. Setelah selesai, kunci emas palsu itu dibawanya kembali ke hotel lantas dia memberikan kunci emas yang asli kepada Kim Hong, sedangkan yang palsu dia simpan di dalam saku bajunya. Sesudah membuat persiapan ini mereka pun hanya tinggal menanti. Dan mereka tidak usah menanti terlalu lama. Malam itu juga, selagi keduanya duduk di serambi samping rumah penginapan, menghadapi taman bunga yang diatur cukup nyeni, bercakap-cakap menikmati malam cerah penuh bintang dan merasakan nyamannya angin malam bersilir sepi, tiba-tiba nampak cahaya berkelebat karena adanya benda meluncur tertimpa sinar lampu. Akan tetapi, dua orang muda perkasa itu dapat mengikuti luncuran benda ini dengan pandang mata mereka dan maklum bahwa benda itu masih jauh dari tubuh mereka. "Ceppp....!" Sebatang pisau runcing menancap di daun jendela di belakang mereka, hanya beberapa belas sentimeter lewat di atas kepala mereka. Bila bukan seorang ahli yang telah memiliki kematangan dalam ilmu silat sehingga ilmu itu seakan-akan sudah mendarah daging di tubuh mereka, tentu keduanya tadi sudah kaget dan mengelak. Kim Hong hendak meloncat ke arah datangnya pisau, akan tetapi sentuhan halus tangan Thian Sin menahannya sehingga dia hanya melirik ke arah jendela, melihat bahwa pisau itu membawa sesampul surat yang kini tertancap di daun jendela. Maka mengertilah dia akan maksud kekasihnya. Pihak lawan sudah mulai mengadakan hubungan dan karena lawan mengirim surat, maka tidak baik kalau mempergunakan kekerasan. Lagi pula, yang melemparkan pisau secara ahli itu pun tentu hanya merupakan anak buah belaka dan tidak ada artinya kalau hanya berurusan dengan anak buah. Isi surat itu singkat saja, ditulis oleh orang yang agaknya lebih biasa memegang pedang dan golok dari pada pena. Akan tetapi sudah cukup jelas bagi Thian Sin dan Kim Hong yang membaca bersama. Kalian mengetahui rahasia Ciang Gun dan kami mengetahui rahasia Ciang Kim Su. Kita dapat saling menukar pengetahuan itu besok pagi di hutan cemara sebelah utara telaga. Surat itu tidak ditanda tangani, tetapi isinya sudah sangat jelas. Pihak penjahat, agaknya teman-teman dari dua orang penjahat yang menyerang mendiang Ciang Gun, menawarkan semacam kerja sama atau saling menukar rahasia. Tentu maksud mereka adalah untuk mengetahui sebagian dari rahasia yang ditemukan keluarga petani Ciang. "Hemm, umpan mulai didekati ikan," kata Thian Sin sambil merobek-robek surat itu. "Baik kalau yang mendekati itu ikan kakap, bagaimana kalau hanya teri?" kata Kim Hong. "Kakap atau teri, setidaknya lebih mendekatkan kita pada rahasia Ciang Kim Su. Melalui mereka kita dapat mengetahui tentang putera petani itu dan ke mana harus mencarinya, atau apa yang telah terjadi dengan dirinya. Nah, kita boleh bersabar sampai besok pagi." Pada keesokan harinya, setelah semalaman tidak terjadi sesuatu yang mengganggu tidur mereka, pergilah Thian Sin dan Kim Hong menuju ke luar kota An-keng, ke hutan cemara yang berada di sebelah utara telaga. Sunyi sekali tempat di hutan itu, bukan hanya karena hari masih terlalu pagi, melainkan karena memang tempat ini jarang didatangi pelancong. Tempat ini agak liar, ada pun pemandangannya juga tidak indah, di antara pohon-pohon cemara terdapat banyak semak-semak belukar yang berduri dan jalannya pun tidak rata. Karena sunyinya, jarang ada yang tertarik untuk mendatangi tempat ini, apa lagi tempat-tempat yang sunyi biasanya merupakan daerah rawan. Dengan sikap tenang, seperti sepasang suami isteri muda pelancong saja, Thian Sin dan Kim Hong memasuki hutan ini. Biar pun berupa sebuah hutan, akan tetapi karena pohon-pohonnya adalah pohon cemara, maka tidaklah begitu rimbun dan gelap. Cahaya matahari pagi mulai menerobos di antara celah-celah batang dan daun pohon, menciptakan berkas-berkas cahaya yang putih kekuningan dan sangat indahnya. Burung-burung pagi berkicau di antara pohon-pohon cemara, menambah indahnya suasana dan kegembiraan yang mendalam terasa sekali dalam hati muda mudi itu. Mereka adalah dua orang pendekar yang telah terlalu sering menghadapi bahaya-bahaya besar, maka urusan yang sedang mereka hadapi sekarang ini merupakan persoalan kecil saja yang sama sekali tidak mengganggu ketenangan batin mereka, malah ketika mereka berdua menikmati suasana hening pada pagi hari itu, urusan kunci emas sudah mereka lupakan! Akan tetapi, panca indera mereka yang terlatih dan sangat tajam langsung membuyarkan keheningan itu. Mereka pun maklum bahwa terdapat banyak sekali orang, ada dua puluh orang lebih yang diam-diam berada di sekitar tempat itu dan diam-diam telah mengurung mereka dari jarak jauh. Akan tetapi dua muda-mudi itu hanya saling pandang saja sambil tersenyum-senyum, seperti dua orang dewasa yang melihat tingkah anak-anak kecil yang nakal. Kemudian, muncullah dua orang laki-laki dari balik semak-semak. Salah seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang pendek, gendut berkepala botak bermata lebar. Di punggungnya tergantung sebatang ruyung yang besar dan berat dan kakek yang usianya sudah lima puluh lebih ini nampak kuat sekali. Orang ke dua adalah seorang lelaki berusia empat puluh tahun lebih, mukanya mirip tikus, membayangkan kelicikan dan kecerdikan, dan tubuhnya kurus kering. Melihat dua orang ini menghadang di depan dan bersikap seolah-olah mereka itu hanya berdua saja, Thian Sin dan Kim Hong kembali saling pandang sambil mengulum senyum. Mereka segera maju menghampiri dan Thian Sin lalu bertanya dengan suara ramah. "Maaf, kami mencari orang yang mengenal Ciang Kim Su. Dapatkah ji-wi menunjukkan?" Si pendek gendut tertawa bergelak, suara ketawa yang kasar dan walau pun dia sudah mendengar bahwa sepasang orang muda ini telah mengalahkan dua orang pembantunya yang paling lihai, yaitu Si Codet dan temannya, akan tetapi melihat keadaan pemuda dan gadis itu, si gendut ini memandang rendah. Betapa pun juga, karena dia membutuhkan kunci emas yang diduganya tentu berada pada muda mudi ini, dia memaksa diri bersikap ramah. Setelah tertawa, dia berkata, "Kamilah orangnya yang mengenal Ciang Kim Su. Kalian berdua mengenal Ciang Gun. Nah, mari kita saling menukar pengetahuan kita." Thian Sin mengangguk-angguk, nampak amat girang seperti sikap seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh, mudah untuk ditipu orang. "Bagus sekali. Nah, harap engkau suka memberi tahu kepada kami tentang Ciang Kim Su, dan kami akan memberi tahu tentang rahasia Ciang Gun." "Tentang kunci emas?" tanya si gendut sambil memandang tajam. Dia masih meragukan dan tidak mau lancang turun tangan sebelum dia tahu pasti apakah muda mudi ini sudah menguasai kunci emas. Kalau ternyata belum, dia tidak akan turun tangan, karena kini setelah kakek Ciang Gun meninggal dunia, kiranya orang-orang yang tahu akan kunci emas itu hanyalah muda-mudi ini. "Benar, tentang kunci emas. Nah, ceritakan dulu tentang pemuda putera petani itu." "Dan engkau akan menunjukkan kepada kami di mana adanya kunci emas?" "Benar sekali." jawab Thian Sin. Tentu saja kakek gendut yang merupakan kepala gerombolan penjahat itu menjadi girang sekali. Kegirangan ini coba untuk ditutupinya, akan tetapi masih nampak jelas oleh Thian Sin dan Kim Hong. "Baik, dengarlah ceritaku. Setahun yang lalu, pemuda petani tolol Ciang Kim Su itu telah tiba di kota raja. Dia juga berhasil menemui pamannya, yaitu Su Tong Hak yang menjadi pedagang rempah-rempah di kota raja. Mereka berdua membagi peta rahasia harta karun yang dibawa pemuda dari dusun itu menjadi dua dan masing-masing menyimpan sebuah potongan peta. Akan tetapi, secara tiba-tiba pemuda itu menghilang dan karena mereka berdua itu ceroboh, rahasia mereka lantas ketahuan oleh Mo-ko." Si gendut itu berhenti dan menarik napas panjang. "Mo-ko? Siapakah itu?" "Ahh, engkau tidak mengenal Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang menjadi raja dunia hitam di kota raja?" si gendut itu bertanya dengan heran. Hampir semua orang kang-ouw tentu mengenal Mo-ko, kenapa muda mudi ini tidak mengenalnya? "Kami tak mengenalnya, akan tetapi... kau lanjutkanlah ceritamu dan bagaimana engkau sendiri sampai mengetahui rahasia itu?" kata Thian Sin. Si gendut pendek itu tertawa, "Pat-pi Mo-ko boleh jadi lihai dan menjadi raja dunia hitam di kota raja, akan tetapi aku Liong-tut-pian Ban Lok, tidak ada keduanya di kota raja dalam urusan membongkar rahasia orang! Sebelum diketahui oleh Mo-ko, aku telah mengetahui lebih dahulu rahasia besar yang dibawa dari dusun oleh pemuda she Ciang itu, bahkan aku tahu bahwa selain peta rahasia itu, terdapat pula kunci emasnya yang dipegang oleh ayah pemuda itu. Tanpa adanya kunci emas ini, peta itu pun tidak akan ada gunanya." "Jadi peta itu dibagi menjadi dua, masing-masing bagiannya disimpan oleh Su Tong Hak dan Ciang Kim Su yang lenyap secara tiba-tiba?" tanya pula Thian Sin. Si gendut mengangguk. "Benar dan apa yang kuceritakan ini adalah yang sesungguhnya. Nah, aku sudah menceritakan tentang peta dan Ciang Kim Su, sekarang giliranmu untuk menukarnya dengan penjelasanmu tentang kunci emas..." Thian Sin menepuk kantung di bajunya. "Kunci emas itu sudah berada di sini, oleh kakek Ciang Gun diberikan kepadaku sebelum dia tewas akibat luka-luka pada tubuhnya yang dilakukan oleh anak buahmu." Mendengar ini, segera terpancar sinar aneh dari sepasang mata kakek gendut itu saat dia memandang ke arah baju Thian Sin. Akan tetapi, si gendut yang mengaku bernama Ban Lok dan berjuluk Liong-kut-pian (Ruyung Tulang Naga) itu agaknya masih saja menahan keinginan hatinya untuk dapat segera merampas kunci yang diinginkannya itu. "Kalau aku tidak melihat sendiri, bagaimana aku dapat percaya omonganmu? Siapa tahu engkau membohong atau kunci itu hanya kunci palsu belaka?" "Kalau orang tidak percaya kepada kita, perlu apa kita melayaninya?" Tiba-tiba Kim Hong berkata dengan sikap mendongkol. "Mari kita pergi saja untuk mencari kerja sama dengan orang lain yang akan lebih dapat menghargai dan percaya kepada kita!" Melihat Thian Sin dan Kim Hong hendak pergi, Ban Lok cepat berkata, "Eiitttt, nanti dulu. Aku sudah memberi keterangan tentang rahasia pemuda she Ciang itu, dan kalian belum memberi penukarnya. Bukan aku tidak percaya, hanya aku harus berhati-hati karena aku belum mengenal kalian. Nah, biarkan aku melihat kunci itu." Thian Sin memperlihatkan sikap ragu-ragu dan khawatir, mirip sikap orang yang merasa enggan berpisah dari sebuah benda yang amat berharga, lalu mengeluarkan kunci emas dari saku bajunya sebelah dalam. Sesudah mengirim pandang mata curiga, dia kemudian mengacungkan kunci emas itu ke atas dan berkata, "Nih, lihatlah. Kunci emas yang tulen!" Sinar matahari pagi menimpa kunci emas itu dan nampaklah sinar mencorong membuat Ban Lok menelan ludahnya dan matanya bersinar-sinar. Memang itu adalah sebuah kunci emas tulen! Dia mengulur tangan hendak meraih, akan tetapi Thian Sin cepat menariknya kembali. "Lihat saja pun cukuplah...!" katanya. Si gendut itu mendelik. "Kau tidak percaya padaku? Bagaimana hatiku dapat yakin kalau hanya melihat? Tentu aku harus memegangnya dan memeriksanya dulu secara teliti." Dia menghardik disertai sikap mengancam. "Berikanlah, dari pada ribut-ribut!" terdengar Kim Hong berkata, sikapnya agak takut-takut membuat kepala penjahat itu tersenyum mengejek. Thian Sin menyerahkan kunci emas itu dan Ban Lok yang gendut cepat menyambarnya lantas memeriksanya dengan jantung berdebar penuh rasa tegang dan gembira. Sebuah kunci yang benar-benar terbuat dari pada emas dan bentuknya aneh dan kuno. Emas itu saja sudah menjanjikan harta karun yang tentu luar biasa besarnya. Tiba-tiba saja, sambil menyimpan kunci emas itu ke dalam saku bajunya sebelah dalam, Ban Lok meloncat ke belakang dan berteriak kepada anak buahnya yang masih bersembunyi di belakangnya. "Serbu dan bunuh mereka!" Thian Sin dan Kim Hong sama sekali tidak merasa kaget ketika melihat betapa dari balik semak-semak dan pohon-pohon besar itu muncul berlompatan banyak sekali orang-orang kasar. Jumlah mereka kurang lebih ada tiga puluh orang dan mereka semua membawa senjata tajam dan kini mereka telah bergerak mengurung. Akan tetapi, Thian Sin bersikap kaget dan penasaran. "Ehh, apa artinya ini? Kembalikan kunci emas itu kepadaku!" Kepala penjahat yang gendut itu pun membuang sikap palsunya dan dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Kalian sudah mendengar rahasia peta yang kuceritakan tadi, berarti kalian tidak boleh hidup lebih lama lagi. Sudah berbulan-bulan aku mencari kunci ini dan setelah sekarang kudapatkan, mana mungkin kulepas lagi?" "Curang! Engkau sudah berjanji saling menukar keterangan!" Kim Hong berteriak. Kembali kepala penjahat itu tertawa bergelak. "Engkau seorang wanita yang cantik sekali, untung bertemu denganku sehingga engkau akan mati tanpa ternoda. Coba kalau engkau berjumpa dengan Pat-pi Mo-ko, jangan harap dapat mati seenak itu, tentu engkau akan dipermainkannya hingga rusak binasa. Ha-ha-ha-ha! Hayo serbu...!" Dia memberi aba-aba lagi. Puluhan orang itu lantas memperketat kurungan dan mereka mulai mendekat dengan senjata ditodongkan. Tentu saja ancaman maut yang bagi orang lain pasti akan menimbulkan kengerian hebat itu, malah nampak menggelikan bagi pasangan pendekar yang memiliki kepandaian amat tinggi itu. Thian Sin membuang sikapnya yang berpura-pura takut tadi, kemudian dia pun tersenyum. "Baiklah, kalian mencari penyakit sendiri!" Thian Sin dan Kim Hong masih berdiri dengan sikap seenaknya saja, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti biasanya para ahli silat kalau menghadapi ancaman lawan, menghadapi ancaman begitu banyak orang. Mereka hanya saling pandang dan keduanya langsung mengerti apa yang harus mereka lakukan, yaitu menghajar para pengepung itu habis-habisan tanpa melakukan pembunuhan. Beberapa tahun yang lalu, Ceng Thian Sin terkenal dengan julukan Pendekar Sadis. Dari julukannya ini saja mudah diduga bahwa dia mempunya hati yang sangat kejam terhadap para penjahat. Dia sangat membenci para penjahat sehingga setiap kali bentrok dengan tokoh-tokoh penjahat, dia bukan hanya menurunkan tangan sakti membunuhnya, namun menyiksanya terlebih dulu dengan cara-cara yang amat sadis. Dia mendapatkan kenikmatan dengan menyiksa orang-orang yang dianggapnya jahat itu sebagai peluapan rasa dendamnya yang sangat besar terhadap para penjahat. Semenjak kccil, dia telah mengalami banyak kesengsaraan hidup sebagai akibat dari perbuatan para penjahat sehingga dia menaruh dendam yang amat hebat. Ada pun Toan Kim Hong, wanita muda yang cantik jelita itu, tadinya pernah menyamar sebagai seorang nenek yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan), yang merupakan salah seorang di antara empat datuk kaum sesat. Dia pun amat ganas dan kejam, membunuh lawan dengan tangan dingin. Akan tetapi sejak keduanya saling bertemu, saling jatuh cinta, kemudian bersama-sama menghadapi para tokoh golongan hitam yang sakti, sampai akhirnya mereka berhadapan dengan para pendekar Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang mereka cinta, puja dan takuti, keduanya telah berubah. Mereka berdua kini tinggal di Pulau Teratai Merah dan tidak lagi menuruti hati yang ingin membasmi para penjahat. Bahkan keduanya juga telah berjanji bahwa mereka akan selalu menghadapi penjahat-penjahat dengan keadilan, bukan lagi dengan kekejaman. Karena inilah maka sekarang, walau pun mereka diancam oleh para penjahat dan bahkan dicurangi, mereka yang saling pandang itu langsung maklum akan isi hati masing-masing, yaitu bahwa mereka masih ingat untuk tidak membunuh orang walau pun mereka harus menghajar kumpulan penjahat yang kejam itu. Karena jumlah mereka yang terlalu banyak sehingga tidak mungkin ketiga puluh orang itu maju serentak melakukan serangan, maka kini begitu gerombolan itu bergerak, hanya ada delapan orang yang dapat maju menggerakkan senjata mereka menyerang Thian Sin dan Kim Hong yang kelihatan masih tetap bersikap enak-enakan sehingga bagi para penjahat itu dianggap sebagai makanan lunak. Akan tetapi, begitu mereka delapan orang itu maju, tiba-tiba saja nampak dua bayangan berkelebatan dan delapan orang itu merasa seperti disambar halilintar! Delapan orang itu sendiri tidak tahu apa yang sudah terjadi dan selamanya mereka itu tidak akan sanggup menceritakan apa yang telah menimpa mereka. Tadinya mereka dengan ganas menyerbu dan menyerang pemuda dan gadis itu, akan tetapi tiba-tiba kedua orang muda itu lenyap dan sebagai gantinya, mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu dunia tiba-tiba menjadi gelap bagi mereka! Pada waktu mereka siuman kembali, mereka sudah mendapatkan tubuh mereka malang melintang, senjata mereka entah terbang ke mana dan tubuh mereka luka-luka, ada yang benjol-benjol kepalanya, ada yang patah tulang lengannya, ada pula yang memar-memar badannya, ada yang pingsan, ada pula yang hanya nanar saja. Pendeknya, secara aneh dan dalam waktu segebrakan saja, delapan orang itu telah terlempar ke sana sini lantas terbanting tanpa dapat bangun kembali! Bahkan di antara mereka ada yang tidak sempat lagi berteriak karena sudah keburu tidak sadar. Melihat ini, kawanan penjahat itu menjadi terkejut dan marah. Mereka berebut maju dan mengeroyok dengan buas. Akan tetapi, mereka itu seperti sekumpulan nyamuk menyerbu api lilin saja, sebab siapa yang maju lebih dahulu tentu terkapar atau terlempar, terbanting keras, berteriak kesakitan kemudian berobohanlah para pengeroyok itu malang melintang. Senjata mereka terlempar ke empat penjuru, bahkan ada yang patah-patah pada waktu bertemu dengan lengan dua orang pendekar muda itu. Menyaksikan kehebatan dua orang muda itu, tentu saja si gendut Ban Lok merasa amat terkejut dan gentar. Boleh jadi dia memperoleh nama besar dari kepandaiannya atau juga dari kekejamannya, dan julukannya adalah Liong-kut-pian karena senjata ruyungnya itu memang hebat. Akan tetapi bagaimana pun juga, dia hanyalah seorang yang kejam dan orang kejam itu biasanya berwatak pengecut dan penakut. Hanya penakut sajalah yang mampu bersikap kejam, karena seorang penakut itu selalu khawatir akan keselamatan dirinya maka dia condong untuk meniadakan ancaman bagi dirinya. Sungguh pun tidak akan diakuinya sendiri, namun jelas bahwa di sudut hatinya, seorang yang kejam selalu dibayangi oleh rasa takut yang hebat. Begitu pula halnya dengan Liong-kut-pian Ban Lok ini. Ketika melihat bahwa keadaannya tidak aman baginya, hatinya merasa gentar dan lupalah dia akan kedudukannya sebagai seorang kepala atau pemimpin. Kiranya keganasan dan kekejamannya itu hanya menjadi selimut dari kepengecutannya, dan semua keberaniannya hanya timbul akibat dia merasa ada banyak anak buah di belakangnya. Biasanya memang demikian. Segerombolan orang akan menjadi nekat dan berani, akan tetapi kalau seseorang terpisah dari kelompoknya, maka keberaniannyapun akan lenyap. Ban Lok yang sudah merasa berhasil mengantongi kunci emas, sesudah melihat betapa mudahnya sepasang pendekar muda itu merobohkan para anak buahnya, lalu mengambil langkah seribu, melarikan diri dari situ untuk menyelamatkan diri dan kunci emas. Melihat ini, Kim Hong berkata kepada kekasihnya. "Thian Sin, kau hajar semua anjing ini dan aku akan mencegah anjing besar melarikan diri!" Tanpa menunggu jawaban karena dia sudah tahu bahwa kekasihnya pasti menyetujuinya, sekali menggerakkan tubuh, Kim Hong sudah meloncat dan melayang dengan kecepatan seekor burung walet terbang, mengejar Ban Lok. "Ehh...?" Kepala penjahat yang gendut ini terbelalak saat melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang gadis cantik jelita, berdiri dengan santainya, bertolak pinggang sambil tersenyum bagai seorang guru menghadapi seorang murid taman kanak-kanak yang bandel! Lebih terkejut lagi hati kepala garong ini sesudah mengenal bahwa gadis ini bukan lain adalah gadis yang dikeroyok tadi. Dia menoleh dan melihat betapa sisa anak buahnya masih terus mengeroyok si pemuda. Maklumlah dia bahwa dia harus berkelahi mati-matian untuk mempertahankan kunci emas itu. Maka tangan kanannya meraba ke belakang dan ruyung itu telah berada di tangannya. Ruyung yang mengangkat namanya tinggi-tinggi itu dilintangkan di depan dada. Ruyung itu terbuat dari pada baja dan kelihatan sangat berat. Agaknya bentuk ruyung yang diukir mirip seperti seekor ular itulah yang membuat ruyung itu lantas dinamakan Liong-kut-pian (Ruyung Tulang Naga), jadi bukanlah tulang naga atau ular sungguh-sungguh. "Minggir kalau tidak ingin hancur kepalamu itu!" bentaknya sambil mengamang-amangkan ruyung yang berat itu. Kim Hong tersenyum mengejek, senyum yang manis sekali akan tetapi kalau orang sudah lama mengenal wanita jelita ini, tentu akan bergidik karena senyum mengejek itu adalah senyuman khas yang menyembunyikan ancaman hebat! "Hati-hatilah bermain-main dengan ruyung berat itu. Jangan-jangan kepalamu sendiri yang akan terpukul dan pecah. Lebih baik kembalikan kunci emas tadi dan engkau boleh pergi sebagai anak yang baik." Ucapannya sungguh seperti ucapan seorang guru menasehati seorang anak kecil yang nakal. Tentu saja Liong-kut-pian Ban Lok menjadi marah bukan main. Dia adalah seorang kepala penjahat yang sudah biasa merampok dan menodong selama puluhan tahun. Kini usianya sudah lima puluh tahun lebih dan dia diperlakukan sebagai anak kecil oleh seorang gadis yang masih begitu muda. "Bocah lancang yang bosan hidup!" Bentaknya dan ruyungnya sudah menyambar dengan dahsyat. Melihat gerakan ini, Kim Hong pun maklum bahwa si gundul ini memang memiliki tenaga yang besar. Akan tetapi hanya tenaga besar itu sajalah modalnya, di samping kenekatan karena gerakannya tidak menunjukkan ilmu silat yang tinggi. Maka dengan mudahnya dia mengelak hanya dengan menarik kepala ke belakang saja. Ruyung itu lewat saja di atas kepalanya, membawa suara berdesir dan menimbulkan angin yang kuat sehingga rambut di kepala Kim Hong berkibar dibuatnya. Ban Lok menjadi semakin penasaran. Dia lalu mengeluarkan suara geraman nyaring dan mempergunakan jurus Hun-in Toan-san (Awan Melintang Memutuskan Gunung). Jurus ini dilakukan dengan gerakan ruyung dari atas menyambar dengan gerakan agak menyerong ke arah leher lawan. Ketika lawan mengelak, ruyung itu lantas membalik dan menyambar pula ke arah dada, dilanjutkan sambaran ke arah perut. Serangan beruntun ini merupakan perkembangan jurus Hun-in Toan-san. Akan tetapi, dengan mudah dan indah, bagai gerakan seorang anak manis bermain loncat tali, dengan lincah dan cekatan Kim Hong dapat menghindarkan diri dari sambaran ruyung yang bertubi-tubi itu. Ban Lok melanjutkan jurus Hun-in Toan-san yang gagal itu dengan jurus Sin-liong Tiauw-wi (Naga Sakti Menyabetkan Ekor), tubuhnya segera memutar dan membalik, ruyungnya mendahului gerakannya sehingga ruyung itu seperti ekor naga yang membalik dan menyambar amat ganasnya. Melihat jurus yang selain cepat kuat juga mematikan ini, Kim Hong mengerutkan alisnya. Kepala penjahat ini terlalu kejam, pikirnya lantas dia membayangkan, entah sudah berapa ratus nyawa orang yang tak berdosa melayang oleh ruyung ini. Melihat sambaran ruyung yang diayun dari belakang dengan gerakan tubuh memutar itu ke arah pinggangnya, Kim Hong lalu mengangkat kaki kirinya dan menotol dengan ujung kakinya ke arah ujung ruyung! Sungguh merupakan perbuatan yang amat berani karena meleset sedikit saja, tentu tulang kakinya akan dihajar ruyung sampai remuk-remuk! Akan tetapi, ternyata ujung sepatunya dapat mendorong dengan tepat sehingga luncuran gerakan ruyung itu menyeleweng dan membuat pemegangnya kehilangan keseimbangan dirinya. Ban Lok terkejut dan marah. Tubuhnya terbawa oleh luncuran ruyung sehingga dia terhuyung. Akan tetapi, kepala penjahat ini sengaja membuang diri ke bawah dan menggelundung. Tubuhnya yang gendut itu menggelinding laksana bola dan ternyata kepala penjahat ini sudah melanjutkan dengai jurus yang dinamakan Thi-gu Keng-te (Kerbau Besi Membajak Tanah). Tubuhnya yang menggelinding ini menyerbu ke arah lawan dan tiba-tiba saja dia meloncat dan menyeruduk dengan ruyungnya ke arat perut Kim Hong. Gerakan ini dahsyat dan berbahaya bukan main. Akan tetapi sekarang Kim Hong sudah mengambil keputusan untuk merobohkan Ban Lok. Dia berdiri tegak dan seolah-olah tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi diam-diam dia menanamkan tenaga sinkang pada kedua kakinya. Kemudian tangan kirinya membuat gerakan dari samping, menangkis ruyung dan melanjutkan dengan dorongan tangan kanan ke arah ruyung. Sebetulnya gadis sakti itu tidak menangkis, melainkan memapaki ruyung dengan telapak tangannya, seperti menempel atau menangkap, lalu melanjutkannya dengan mengalihkan tenaga luncuran ruyung itu membuat gerakan menyerong dan membalik. Tenaga luncuran oleh tangan Ban Lok itu masih kuat, kini ditambah tenaga dorongan tangan kanan Kim Hong, melayang ke arah kepala Ban Lok sendiri. "Prakkk...!" Ban Lok mengeluarkan suara mengorok dari lehernya, kemudian tubuhnya terpelanting ke kanan, roboh dengan kepala penuh berlumuran darah, kepala yang telah retak-retak oleh hantaman ruyungnya sendiri! Kim Hong berdiri sambil bertolak pinggang, memandang ke arah korbannya, lalu menarik napas panjang. "Hemm, kau membunuhnya juga?" terdengar suara orang bertanya. Kim Hong menoleh dan melihat bahwa kekasihnya juga telah selesai merobohkan semua orang yang mengeroyoknya tanpa membunuh seorang pun di antara mereka. Tiga puluh lebih anak buah penjahat yang sekarang menggeletak malang melintang itu hanya dapat memandang kepada sepasang pendekar itu dengan mata terbelalak penuh ketakjuban. Tidak mereka sangka sama sekali bahwa mereka semua roboh seperti itu, bahkan kepala mereka telah tewas! Sekarang baru terbuka mata mereka bahwa mereka telah kecelik, menabrak batu karang. "Aku tidak membunuhnya, melainkan dia yang hendak membunuhku namun salah pukul sehingga ruyungnya memukul kepalanya sendiri!" jawab Kim Hong setengah berkelakar. Thian Sin mengerti akan isi hati kekasihnya. Dia menarik napas panjang. "Dia adalah manusia licik dan jahat. Entah sudah berapa banyak orang dibunuhnya dan membiarkan orang macam dia tinggal hidup, berarti memperbanyak jumlah calon korban saja. Engkau benar Kim Hong, sudah sepatutnya kalau dia dibunuh dan anak buahnya diberi hajaran seperti ini." Thian Sin cepat menghampiri tubuh si gendut yang telah menjadi mayat itu, membalikkan tubuh menelungkup itu dengan kakinya, lalu mencari dan mengambil kembali kunci emas dari saku baju kepala penjahat itu. Dia sengaja mengangkat kunci emas itu tinggi-tinggi supaya nampak oleh para anak buah penjahat yang rebah malang melintang karena dia ingin mempergunakan kunci itu untuk memancing semua pihak yang tersangkut di dalam perkara harta karun yang peta dan kuncinya ditemukan oleh keluarga petani Ciang yang sial itu. *************** Kota raja Peking nampak tenang-tenang saja, penduduknya nampak hidup makmur dan perdagangan berjalan dengan lancar dan ramai. Akan tetapi, sebenarnya keadaan di kota raja ini tidak dapat dipakai sebagai ukuran keadaan negara pada waktu itu. Walau pun di bawah pimpinan Kaisar Hung Chih, yakni kaisar yang menggantikan Kaisar Ceng Hwa, kerajaan masih cukup kuat dan tidak lagi terjadi pemberontakan-pemberontakan, namun kejahatan-kejahatan merajalela dan agaknya pemerintah tidak cukup tangguh untuk dapat mengatasi kekacauan-kekacauan kecil yang cukup membuat rakyat menderita ini. Tentu saja semua kekacauan itu terjadi di luar kota raja, karena kota raja sendiri di mana kaisar dan para pembesar tinggi berada, selalu dijaga dengan kuat dan dibersihkan dari pengacauan. Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa tidak ada kejahatan terjadi di kota raja. Banyak masih. Bahkan penjahat-penjahat berkaliber besar juga berpusat di kota raja. Hanya saja, para tokoh penjahat itu tidak berani melakukan kejahatan di kota raja secara menyolok dan mereka itu lebih banyak beroperasi di luar kota raja. Kota raja yang ramai ini menyimpan banyak rahasia-rahasia besar. Pernah menyaksikan jatuh bangunnya para kaisar, dan juga dinasti yang berganti-ganti saling memperebutkan kekuasaan. Menjadi saksi bisu pula dari banyak peristiwa kejahatan yang menjadi rahasia selamanya bagi penduduknya. Dan di kota raja ini pula tersimpan rahasia hilangnya pemuda dusun Ciang Kim Su yang datang ke kota raja sambil membawa peta rahasia yang ditemukannya bersama ayahnya di ladang mereka. Apakah yang sudah terjadi setahun yang lalu ketika pemuda itu datang berkunjung ke kota raja? Benarkah seperti yang diceritakan oleh Liong-kut-pian Ban Lok kepada Pendekar Sadis dan Lam-sin itu? Pertanyaan-pertanyaan itu mengaduk di dalam otak Thian Sin dan Kim Hong ketika pada suatu pagi mereka memasuki kota raja yang ramai. Beberapa tahun yang lalu, sebagai Pendekar Sadis, Thian Sin pernah menggegerkan kota raja. Akan tetapi ketika itu, hanya namanya saja dikenal orang sebagai Pendekar Sadis, akan tetapi jarang ada orang yang pernah melihatnya. Maka sekarang dengan tenang dia memasuki kota raja tanpa khawatir akan dikenal orang sebagai Pendekar Sadis. Betapa pun juga, pada saat dia bersama Kim Hong melewati pintu gerbang istana yang megah, dari jauh jantungnya berdebar tegang. Dia teringat akan mendiang ayahnya, yaitu Ceng Han Houw, yang masih keturunan kaisar yang menempati istana itu. Bahkan darah yang mengalir di tubuhnya sendiri pun masih darah keluarga istana ini! Agaknya Kim Hong dapat pula membaca isi hati kekasihnya sesudah melihat sinar mata kekasihnya memandang dengan termenung ke arah istana ketika mereka lewat perlahan. "Ingin menjenguk keluarga di dalam?" Thian Sin terkejut, menengok, saling pandang, lalu tersenyum pahit dan balas bertanya. "Kau kira aku haus akan kedudukan dan kehormatan kosong itu?" Kim Hong sadar bahwa pertanyaannya tadi telah menyinggung hati kekasihnya, maka dia pun cepat berkata menutupi rasa sesalnya. "Maksudku, kalau engkau ingin melihat-lihat ke dalam istana, apa salahnya kalau malam nanti kita masuk? Sudah sampai di kota raja, rugi kalau tidak melihat-lihat dalam istana. Kau kan tidak takut?" "Hush, siapa takut? Hanya kau lupa bahwa yang membawa kita ke kota raja bukan untuk pelesir. Sebelum urusan ini selesai, kita main-main di istana dan ketahuan, bukankah itu akan menggagalkan usaha kita?" Kim Hong mengangguk-angguk, menyadari kesalahannya. "Mari kita cari orang bernama Su Tong Hak itu." "Mudah-mudahan dia masih hidup," kata Thian Sin. "Dialah satu-satunya orang yang bisa kita harapkan untuk menemukan peta." "Kau pikir dia..." "Belum tentu. Akan tetapi kita sama tahu bahwa urusan ini telah tercium oleh gerombolan penjahat. Siapa tahu dia pun sudah dibereskan dan petanya dirampas." "Kalau memang demikian, masih ada jalan. Kita datangi Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng!" kata Kim Hong penasaran. "Sstttt, jangan keras-keras. Nama itu amat terkenal di sini. Sebaiknya kita mencari kamar rumah penginapan lebih dulu untuk menaruh pakaian dan menjadi tempat peristirahatan kita." Keduanya lalu memilih dan mendapatkan sebuah kamar yang cukup bersih dan besar di rumah penginapan Hi-lok Li-koan. Setelah menaruh buntalan pakaian di kamar itu, mereka lalu keluar dari rumah penginapan dan mencari Su Tong Hak yang telah mereka ketahui nama dan alamatnya dari seorang anak buah mendiang Ban Lok....

Jilid 2

ORANG yang mereka cari itu, Su Tong Hak, yaitu adik ipar dari mendiang petani Ciang Gun, ternyata sudah berhasil dalam usahanya dan kini menjadi seorang saudagar hasil bumi yang cukup kaya di kota raja. Tokonya cukup besar dan ketika pegawai toko melihat tamu suami isteri yang tampan dan cantik jelita, juga yang berpakaian rapi dan mewah, dengan mudahnya tamu yang dianggap penting dan hendak berdagang ini dipersilakan masuk ke dalam ruangan tamu kemudian diterima sendiri oleh majikan toko. Laki-laki itu berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tinggi tegap dan walau pun pada wajahnya masih terbayang bekas kekerasan yang berupa garis-garis mendalam seorang petani yang biasa hidup sukar, namun pakaian serta sikapnya menyelimuti bekas ini dan dia lebih patut menjadi tuan Su Tong Hak saudagar yang cukup berhasil di kota raja. Di wajahnya masih nampak keterbukaan seorang petani, akan tetapi cahaya matanya sudah penuh kecerdikan seperti sinar mata para pedagang yang pandai bersandiwara. Setelah saling memberi hormat, pedagang itu berkata, "Saya Su Tong Hak, dan siapakah ji-wi serta datang dari mana? Kabar baik apakah yang ji-wi bawa untuk kami?" Sikapnya ramah seperti biasa seorang pedagang. "Paman Su Tong Hak, kami datang untuk mencari seorang bernama Ciang Kim Su dari dusun Ciu-bun-tang yang setahun yang lalu datang ke sini mencari paman. Di manakah adanya Ciang Kim Su sekarang?" Pertanyaan ini diajukan oleh Thian Sin dengan tiba-tiba dan dia bersama Kim Hong lantas menatap wajah tuan rumah dengan sinar mata tajam penuh selidik. Akan tetapi pedagang itu ternyata adalah seorang yang mampu menguasai perasaannya. Kekagetan hatinya mendengar kata-kata tamunya itu hanya nampak pada sinar matanya yang agak terbelalak, akan tetapi sikapnya tetap tenang, bahkan kini dia pun memandang tamunya dengan alis berkerut dan pandang mata curiga. "Hemm, siapakah ji-wi sebetulnya? Ciang Kim Su adalah keponakanku, anak dari kakak perempuanku. Memang dia pernah datang ke sini, akan tetapi... sebelum aku ceritakan tentang dia, harap ji-wi suka memberi tahu apa keperluan ji-wi mencari keponakanku itu?" "Kami berdua adalah utusan dari Ciang Gun, ayah Ciang Kim Su, untuk mencari dia di sini." Pedagang itu masih mengerutkan alisnya. "Nama ji-wi?" "Aku Ceng Thian Sin dan dia adalah Toan Kim Hong." "Hemm, aku tidak pernah mendengar nama itu dan tidak pernah mengenal ji-wi. Mustahil bila kakak iparku Ciang Gun menyuruh ji-wi, karena ji-wi jelas bukanlah orang-orang dusun sedangkan kakakku..." "Masih tidak percayakah paman jika melihat ini?" Thian Sin sengaja mengeluarkan kunci emasnya, tentu saja yang palsu. "Apa... apa itu...?" Su Tong Hak bertanya, akan tetapi jelas bahwa dia terkejut sekali dan pura-pura tidak tahu karena matanya terbelalak dan wajahnya berubah ketika dia melihat kunci emas itu. "Tentu paman pernah mendengar tentang ini. Kunci emas yang ada hubungannya dengan peta yang dibawa Ciang Kim Su itu. Nah, percayakah paman sekarang bahwa kami diutus oleh paman Ciang Gun? Ceritakanlah di mana adanya Ciang Kim Su." "Baik, baik... akan tetapi aku tidak tahu ke mana perginya anak itu. Baiklah kuceritakan dari awal, setahun yang lalu..." Sesudah melihat kunci emas, lenyap keangkuhan pedagang ini dan agaknya ingin sekali bekerja sama, maka dia pun langsung menceritakan penuturannya yang lain lagi dengan penuturan yang pernah didengar oleh kedua orang pendekar itu dari mendiang Ban Lok. Cerita dari pedagang she Su ini lebih lengkap. Menurut cerita itu, setahun lebih yang lalu Ciang Kim Su memang datang ke kota raja dan berhasil bertemu dengan pamannya, adik ibunya, yang sudah menjadi seorang saudagar hasil bumi yang cukup berhasil. Setelah Kim Su menceritakan kepada pamannya tentang dia dan ayahnya menemukan peta rahasia dan hendak mencari orang pandai yang dapat menerangkan isi peta itu, Su Tong Hak menjadi tertarik sekali. "Untuk dapat menterjemahkan tulisan kuno itu, kita harus mendapat bantuan dari seorang sasterawan yang pandai," kata Su Tong Hak. "Kebetulan sekali aku tahu akan seorang sasterawan tua yang kabarnya ahli dalam huruf-huruf kuno. Mari kita mengunjungi Louw Siucai." Louw Siucai adalah seorang siucai (gelar lulusan ujian negeri) yang miskin dan usianya telah enam puluh tahun. Dia hidup menyendiri di tepi kota raja yang sunyi, tanpa keluarga karena isterinya telah meninggal dunia tanpa anak. Hidupnya amat sederhana dan setiap hari dia hanya termenung, membaca kitab, menulis sajak dan mabuk-mabukan. Ketika Su Tong Hak dan keponakannya datang berkunjung dan memperlihatkan peta itu sambil memohon pertolongan si sasterawan untuk menterjemahkan, Louw siucai meneliti peta itu dengan penuh perhatian. Wajahnya yang kurus itu berseri dan matanya bersinar-sinar. "Ya Tuhan...!" Dia berseru. "Kalian sudah menemukan sebuah benda yang harganya tak ternilai! Peta ini sudah ada seribu tahun usianya dan di sini terdapat tulisan tangan Sang Raja Besar Jenghis Khan!" Bagi sasterawan tua itu, yang dianggap tidak ternilai harganya adalah kekunoan peta dan terutama sekali tulisan tangan Raja Besar Mongol yang pertama itu, pendiri dari dinasti Goan-tiauw. Akan tetapi Su Tong Hak tidak tertarik akan kekunoan benda itu. "Apa isinya? Bagaimana bunyinya dan apa artinya peta ini?" Mendengar pertanyaan yang membayangkan kehausan akan keuntungan besar ini, maka si sasterawan tua mengerutkan alisnya, memandang tajam dan menarik napas panjang, kemudian menjawab dengan sebuah pertanyaan pula, "Dari manakah ji-wi bisa memperoleh benda yang amat langka ini?" "Louw siucai, kedatangan kami ini adalah untuk minta bantuanmu membaca isi peta, dan untuk itu kami sanggup membayarmu. Tak perlu kau hiraukan dari mana kami mendapat peta ini, yang penting bacalah dan apa isinya?" Suara saudagar itu terdengar tidak sabar dan marah. Kembali sasterawan itu menarik napas panjang, kemudian baru menjawab dengan suara perlahan, didengarkan dengan penuh perhatian oleh paman dan keponakan itu. "Tulisan tangan Raja Jenghis Khan ini dapat dengan mudah kubaca. Bunyinya begini: Harta karun ini milik Jenghis Khan yang maha besar, yang mengutus Yelu Kim untuk menyelidikinya. Nah, hanya tulisan inilah yang dapat kubaca. Untuk dapat membaca huruf-huruf di peta itu sendiri, membutuhkan waktu sedikitnya sehari semalam." Su Tong Hak sudah kegirangan luar biasa mendengar kata harta karun tadi, maka dia meragu untuk meninggalkan peta itu. Akan tetapi keponakannya yang berasal dari dusun sehingga kepercayaannya kepada sesama manusia jauh lebih tebal dari pada orang kota yang sudah terlalu sering mengenal kepalsuan manusia, berkata, "Kalau memang membutuhkan waktu, biarlah kita tinggalkan peta itu di sini untuk sehari semalam. Besok kita datang lagi untuk mengambilnya." "Tapi...," pamannya mencela. "Biarlah, paman. Apa artinya peta ini kalau kita tidak tahu bagaimana bunyinya?" Akhirnya Su Tong Hak mengalah dan sambil menatap tajam kepada sasterawan itu dia berkata, "Louw siucai, ingat! Peta ini milik kami dan amat berharga. Kami menitipkannya kepadamu untuk sehari semalam, agar dapat kau terjemahkan. Akan kubayar berapa saja uang lelahmu. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai dilihat atau terdengar oleh orang lain. Apa lagi kalau sampai hilang, nyawamu gantinya!" Sasterawan tua itu mengangguk-angguk sambil memandang kepada Ciang Kim Su, lalu berkata lirih seperti kepada diri sendiri, "Orang muda dari dusun membawa benda seperti ini, betapa bahayanya..." Diam-diam sasterawan itu agaknya maklum bahwa peta itu adalah milik si pemuda, jelas nampak dari sikap paman dan keponakan tadi. Maka ditinggalkanlah peta itu oleh mereka kepada si sasterawan yang akan mempelajarinya selama sehari semalam. *************** Pada keesokan harinya, paman dan keponakan itu datang lagi ke rumah Louw siucai dan dengan girang mereka menerima kembali peta bersama terjemahannya. Dan ternyatalah bahwa peta itu adalah peta yang menunjukkan tempat disimpannya harta karun Jenghis Khan atau harta karun kuno yang umurnya telah seribu tahun lebih dan yang oleh Jenghis Khan ditemukan petanya. Kemudian kaisar itu mengutus seorang pembantunya bernama Yelu Kim untuk menyelidiki tempat rahasia itu. "Agaknya, Yelu Kim itu gagal dalam usahanya dan mungkin peta itu terampas orang lain, kemudian lenyap dan sekarang tahu-tahu ditemukan oleh ji-wi." kata si sasterawan. "Akan tetapi peta ini tidak lengkap kalau tidak ada kuncinya." "Kuncinya? Apa maksudmu?" Su Tong Hak bertanya. "Kunci emas. Ada disebutkan di situ dan sudah kuterjemahkan, bahwa untuk menemukan tempat rahasia itu harus dengan bantuan peta ini, akan tetapi untuk dapat masuk, harus menggunakan kunci emas. Tidak tahu apakah kunci emas itu juga ji-wi temukan?" Su Tong Hak menoleh dan memandang kepada keponakannya. Tentu saja Ciang Kim Su mengerti apa yang dimaksudkan dengan kunci emas itu, yaitu benda yang ditemukannya bersama dengan peta ini dan yang kini disimpan oleh ayahnya. Akan tetapi pemuda ini menggelengkan kepala, tanda bahwa dia pun tidak tahu. Su Tong Hak kemudian meninggalkan uang yang cukup sebagai pembayaran jerih payah sasterawan Louw dan mengajak keponakannya pulang. Sampai di rumah, mereka berdua segera memeriksa terjemahan peta itu dan keduanya merasa girang sekali. Dengan jelas ditunjukkan pada peta itu bahwa tempat harta karun itu berada pada suatu tempat, di salah satu di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san. Memang sangat sukar didatangi dan kiranya tidak akan mungkin dapat ditemukan tanpa bantuan peta itu! "Kim Su, apakah benar engkau dan ayahmu tidak menemukan kunci emasnya?" paman itu bertanya sambil memandang tajam kepada wajah keponakannya. "Setahuku tidak, paman. Akan tetapi aku akan bertanya kepada ayah tentang itu." "Baiklah, sekarang sebaiknya engkau pulang dulu ke dusun dan membuat laporan kepada ayahmu tentang peta ini, dan sekalian kalian mencari kunci emas itu. Kalau belum kalian temukan, mungkin masih terpendam di tempat di mana kalian menemukan peta." "Akan tetapi peta itu..." "Sebaiknya kita bagi dua saja, Kim Su. Ingat, benda ini amat berharga sehingga jika kau bawa semua, sungguh amat berbahaya bagimu. Biarlah kita potong menjadi dua bagian, dan masing-masing kita membawa sepotong. Kau bawa yang sepotong pulang ke dusun, kemudian bersama ayahmu mencari kunci emas itu. Kalau sudah ketemu, engkau, ayah dan ibumu datanglah ke sini dan kita bersama akan pergi mencari harta karun itu. Semua biaya perjalanan mencarinya akan kutanggung." Ciang Kim Su menyetujui pendapat ini. Maka demikianlah, peta itu dipotong menjadi dua dan mereka masing-masing menyimpan sepotong. Kemudian, pemuda dusun itu pulang ke dusun naik kuda pemberian pamannya dan membawa bekal secukupnya, jauh berbeda dengan keadaannya pada waktu dia datang ke kota raja. *************** "Demikianlah apa yang sudah terjadi," Su Tong Hak mengakhiri ceritanya yang sejak tadi terus didengarkan dengan penuh perhatian oleh Thian Sin dan Kim Hong. "Lalu ke manakah perginya Ciang Kim Su?" tanya Kini Hung. "Kenapa dia tidak pernah pulang ke dusun sehingga ayahnya mencarinya?" Pedagang itu menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu. Aku sendiri pun menanti-nantinya dan tidak pernah ada berita darinya." "Hemm, sungguh aneh sekali." kata Thian Sin sambil mengerutkan alisnya. Diam-diam dia mengkhawatirkan nasib pemuda dusun itu. Paman pemuda itu, yang kini duduk di hadapannya, mempunyai sikap yang palsu dan patut dicurigai, maka di dalam hatinya, dia tidak mau percaya begitu saja akan apa yang diceritakan oleh pedagang itu. "Dan paman masih memegang sepotong dari peta yang dibagi dua itu?" tanyanya. Pedagang itu memandang tajam, alisnya berkerut. Lalu dia menggelengkan kepala keras-keras. "Tidak lagi! Peta harta karun itu membawa mala petaka! Baru sebulan setelah Kim Su pergi, rumahku kemalingan dan selain uang dan barang berharga, juga potongan peta itu dicurinya." "Bohong...!" Kim Hong berseru dengan marah. "Mungkin kau bunuh keponakanmu itu dan kau rampas potongan peta yang ada padanya!" Thian Sin hendak mencegah namun sudah tidak keburu dan anehnya, pedagang itu tidak merasa takut, bahkan tampak marah dan bangkit dari duduknya sambil bertolak pinggang. "Apa kau bilang?! Kalian datang membawa kunci emas dan mengaku utusan dari kakak iparku, datang-datang berani engkau menuduhku yang bukan-bukan? Ahh, jangan-jangan kalian inilah penjahat-penjahat yang telah membunuh keponakanku dan selain merampas kunci emas dari ayahnya, juga sudah merampas sebagian peta itu dan kini datang untuk mendapatkan potongan lainnya dariku!" Thian Sin bangkit menyabarkan kekasihnya, lalu berkata kepada pedagang itu, "Paman Su, kami sungguh diutus oleh mendiang paman Ciang Gun..." "Mendiang?" "Ya, dia terbunuh oleh Liong-kut-pian Ban Lok dan kaki tangannya..." "Ban Lok? Si keparat! Berani dia...!" Saudagar itu segera menahan kata-katanya seperti baru sadar bahwa sikapnya itu menunjukkan bahwa dia mengenal baik kepala penjahat itu. "Lalu... apa yang terjadi?" tanyanya, menahan rasa kagetnya. "Sebelum meninggal, paman Ciang Gun menyerahkan kunci emas ini kepada kami dan memesan agar kami mencari puteranya di sini." "Tapi peta itu..." "Kami akan cari sampai dapat." "Kalau sudah dapat?" "Akan kami cari harta karun itu untuk kami serahkan kepada yang berhak." "Akulah yang berhak. Akulah keluarga terdekat dari keluarga Ciang." "Bukan engkau, akan tetapi Ciang Kim Su," kata Kim Hong yang masih marah. "Akan tetapi dia... dia telah mati!" Mendadak Thian Sin memegang lengan tangan pedagang itu. Pedagang itu meronta dan agaknya dia juga cukup kuat dan menguasai ilmu silat sehingga dia berhasil melepaskan pegangan itu karena Thian Sin juga memegang secara biasa saja. "Bagaimana kau bisa tahu bahwa Kim Su telah mati?" bentak Thian Sin yang belum mau memperlihatkan kepandaiannya. "Ku... kurasa memang demikian, karena kalau dia masih hidup, di mana dia? Mengapa tidak memberi kabar kepadaku? Orang muda, marilah kita bekerja sama. Serahkan kunci emas itu kepadaku dan aku akan mengusahakan kembalinya peta dan..." "Tidak! Kami akan mencari sendiri dan memenuhi pesan mendiang Ciang Gun yang telah menjadi korban, bersama isterinya pula, sementara putera tunggalnya juga masih belum ketahuan bagaimana nasibnya." "Tapi... tanpa peta, apa gunanya kunci emas itu?" "Kami akan mencarinya." "Ke mana? Peta itu telah hilang." "Bagaimana nanti sajalah. Akan tetapi, mungkin saja kita masih akan saling berjumpa!" Setelah berkata denlikian, Thian Sin dan Kim Hong lalu meninggalkan pedagang itu yang masih memandang dengan bengong. Setelah tiba di luar gedung itu, Thian Sin dan Kim Hong tentu saja tahu bahwa tak lama kemudian, ada tiga bayangan orang yang mengikuti mereka dari jauh. Mereka tak merasa heran karena memang mereka sudah menyangka bahwa Su Tong Hak bukanlah orang baik-baik, dan ketiga bayangan orang itu tentulah kaki tangan pedagang itu yang hendak memata-matai mereka. Mereka berpura-pura tidak tahu dan langsung kembali ke rumah penginapan mereka. Memang kunjungan mereka kepada Su Tong Hak itu pun sebenarnya hanya merupakan gerakan pancingan belaka untuk memancing keluar kakap-kakap yang ada hubungannya dengan rahasia peta harta karun. Bagaimana pun juga, dua orang pendekar ini masih merasa ragu-ragu di mana adanya peta itu sekarang. Benarkah yang sepotong masih berada di tangan Kim Su yang lenyap tanpa meninggalkan jejak itu? Dan di mana adanya yang sepotong lagi? Mereka tahu bahwa tanpa peta itu, memang kunci emas tidak ada gunanya, sebaliknya, si pemegang peta pun tidak akan berhasil tanpa mempunyai kunci emas. Inilah sebabnya mengapa mereka menanti. Mereka merasa yakin bahwa dengan memegang kunci emas, akhirnya mereka pasti akan dicari oleh pemilik peta! *************** Mereka tidak usah menanti terlalu lama. Malam itu juga para penjahat telah mulai beraksi. Pada malam hari itu, oleh karena maklum bahwa mereka menghadapi urusan besar dan ancaman bahaya, Thian Sin dengan Kim Hong tidak tidur seranjang seperti biasanya. Di dalam kamar itu terdapat dua buah tempat tidur berdampingan, hanya terhalang sebuah meja kecil dan keduanya duduk bersila di atas pembaringan masing-masing. Menjelang tengah malam, tanpa mengeluarkan suara, Kim Hong meniup padam lampu penerangan yang terletak di atas meja dan kamar itu pun menjadi gelap. Lima bayangan orang berkelebat di atas genteng rumah penginapan itu. Gerakan mereka amat gesit, tanda bahwa mereka berlima telah memiliki ginkang yang cukup tinggi. Bagai lima ekor kucing saja, mereka bergerak di atas genteng dan kemudian satu demi satu mereka melayang turun dari atas genteng. Tidak terdengar suara sedikit pun pada waktu kaki mereka menginjak tanah,. Mereka adalah lima orang lelaki bertubuh kuat yang dipimpin oleh seorang yang tubuhnya jangkung. Pada punggung mereka kelihatan terselip sepasang golok tipis yang kadang-kadang mengeluarkan cahaya berkilauan kalau tertimpa sinar lampu. Mereka tidak pernah mengeluarkan suara, karena Si Jangkung hanya memberi aba-aba dengan isyarat tangan saja. Tak lama kemudian mereka telah berada di luar jendela dan pintu kamar yang dihuni oleh Thian Sin dan Kim Hong. Tanpa mengeluarkan suara, mereka berlima lantas mengeluarkan sapu tangan hitam dan memasang sapu tangan itu di depan hidung dan mulut sebagai kedok. Kemudian mereka menyalakan hio dan bau harum yang aneh langsung berhamburan dari asap hio. Melalui celah-celah daun pintu di bawah, juga dari celah-celah jendela, mereka lalu memasukkan hio-hio yang terbakar itu ke dalam kamar sehingga mulailah asap-asap harum memenuhi kamar. Beberapa menit kemudian, terdengarlah gerakan di dalam kamar itu disertai suara orang terbatuk-batuk kecil kemudian disusul suara orang menguap. Suara itu jelas menunjukkan bahwa yang berada di dalam kamar adalah seorang pria dan seorang wanita. Tentu saja lima orang berkedok sapu tangan hitam itu menjadi girang dan mereka saling pandang dengan sinar mata berkilat dan berseri. Batuk-batuk dan menguap? Tanda-tanda itu membuktikan bahwa asap hio mereka yang mengandung obat bius kuat itu sudah mengenai sasaran dan berhasil. Memang orang akan lebih dulu terbatuk-batuk, kemudian setelah menguap tak akan dapat tertahan lagi, pasti jatuh pulas seperti pingsan saja! Mereka menanti hingga kurang lebih sepuluh menit dan pada saat itu, kamar telah penuh dengan asap hio. Mereka juga mendengarkan dengan penuh perhatian dan merasa agak kecewa akibat tak mendengar suara orang mendengkur yang menjadi tanda mutlak bahwa orang-orang di dalam kamar itu telah tidur pulas. Akan tetapi, tidak semua orang tidur mendengkur. Biasanya, hanya orang-orang yang gendut sajalah yang tidur mendengkur dan mereka tahu bahwa pria dan wanita yang berada di dalam kamar itu sama sekali tidak gendut. Setelah hio-hio itu terbakar habis dan padam, dan asap harum mulai melayang keluar dari celah-celah jendela, si jangkung memberi isarat dengan tangan. Mereka lalu membongkar daun jendela dengan amat mudahnya karena mereka memiliki tenaga yang kuat. Nampak sinar-sinar berkilau ketika lima orang itu menghunus golok-golok mereka dengan kedua tangan dan dengan sepasang golok di tangan mereka pun berloncatan memasuki kamar melalui jendela, muka mereka terlindung oleh sapu tangan hitam yang sudah diberi penawar obat bius. Melihat ada tubuh terselimut yang membujur di atas dua buah pembaringan itu, lima orang pendatang ini menjadi ganas. Dengan isyarat si jangkung, mereka lalu menyerbu dengan golok terangkat dan dalam sekejap mata saja sepuluh batang golok di tangan mereka itu sudah membacok dan menusuk ke arah dua batang tubuh terseilmut yang nampak agak remang-remang di atas dua buah pembaringan. Terdengar suara crak-crok-crak-crok disusul seruan-seruan kaget dan heran ketika lima orang itu merasa betapa golok-golok mereka bertemu dengan tubuh yang lunak, yaitu guling dan bantal yang ditutupi seilmut! "Celaka, kita terjebak. Cepat keluar!" kata Si Jangkung dengan suara mendesis karena marah. Dan pada saat itu pula terdengarlah suara ketawa dari atas genteng, suara ketawa yang merdu dari seorang wanita dan suara ketawa mengejek seorang pria! Lima orang itu menjadi marah dan dengan gerakan cepat mereka berlima sudah meloncat keluar dari dalam kamar yang masih penuh dengan asap itu, kemudian mereka langsung berloncatan ke atas wuwungan rumah dengan sepasang golok masih berada di tangan masing-masing. Dan di situ, di atas wuwungan itu, diterangi oleh bulan muda dan bintang-bintang, nampak seorang pemuda dan seorang gadis berdiri dengan dua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bertolak pinggang sambil tersenyum-senyum mentertawakan mereka. Si Jangkung merenggut sapu tangan hitam dari mukanya, diturut oleh keempat orang kawannya ketika mereka mengejar ke depan. Melihat gerakan kelima orang itu yang cukup gesit, menandakan bahwa mereka itu bukan penjahat-penjahat sembarangan melainkan orang-orang yang sudah memiliki kepandaian tinggi, Thian Sin lalu mengacungkan sebuah kunci emas ke atas kepala sambil berkata, "Kalau kalian datang untuk mencari ini, ikutilah kami!" Dan dia pun meloncat turun bersama Kim Hong, lalu melarikan diri menjauhi tempat ramai itu menuju ke pinggir kota yang sunyi, di bagian yang dipergunakan orang untuk bercocok tanam. Di sana sunyi sekali dan cuaca hanya remang-remang diterangi bulan muda dan bintang-bintang. Tentu saja lima orang itu menjadi penasaran dan agaknya melihat berkilaunya kunci emas tadi, semangat mereka menjadi bertambah dan mereka pun melakukan pengejaran. Kejar mengejar ini digunakan oleh Thian Sin dan Kim Hong untuk mengukur ilmu berlari cepat lima orang itu dan mereka berdua harus mengakui bahwa lima orang itu betul-betul cukup lihai. Mereka menjadi girang karena semakin lihainya lawan yang datang mencari mereka, hal itu dapat diartikan bahwa makin dekatlah mereka dengan orang yang menguasai peta yang mereka cari! Thian Sin dan Kim Hong berdiri tegak menanti lima orang calon lawan yang kini pun mulai mengerti bahwa dua orang muda mudi yang dikejarnya itu bukanlah orang sembarangan. Dan melihat cara mereka menipu di dalam kamar, kemudian melihat cara mereka berdua lari, lima orang ini maklum bahwa ternyata pemilik kunci emas itu adalah dua orang muda yang lihai. Maka, sambil mengejar tadi, si jangkung memberi peringatan kepada kawan-kawannya agar berhati-hati. Setelah saling berhadapan, Thian Sin dan Kim Hong sekarang bisa melihat wajah mereka dengan jelas, walau pun di dalam cuaca remang-remang. Dan mereka berdua itu merasa heran karena wajah mereka itu bukanlah wajah penjahat yang kasar. Wajah orang-orang yang bersikap tenang, pantasnya wajah para jagoan yang merasa yakin akan kepandaian sendiri. Akan tetapi melihat sepak terjang mereka saat menyebarkan obat asap bius dan saat mereka menyerang guling dan bantal yang diseilmuti, sungguh-sungguh merupakan perbuatan kejam sekali. "Hemm, kalian lima orang maling kecil ini, tentunya hendak merampas kunci emasku ini, bukan?" Thian Sin kembali mengacungkan kunci emas itu di tangan kanannya. Si Jangkung menghardik, suaranya nyaring dan penuh kepercayaan terhadap diri sendiri, "Jika sudah tahu begitu, orang muda, lebih baik kau serahkan kunci itu kepada kami dan kalian boleh pergi dengan selamat." "Wah, wah, lima ekor tikus sawah yang hanya merupakan maling-maling kecil ini ternyata sombong sekali!" kata Kim Hong. "Kalian hanyalah pesuruh-pesuruh rendah," kata Thian Sin. "Kalau memang menghendaki kunci, suruhlah kepala kalian, atau orang yang memegang peta rahasia itu agar menemui kami. Kami sudah bosan berurusan dengan anak buah rendahan!" Lima orang itu jelas kelihatan marah sekali dan golok-golok di tangan mereka itu tergetar. "Orang muda yang sombong!" bentak si jangkung, "Kalian berdua tidak tahu dengan siapa kalian berhadapan! Kami adalah Siang-to Ngo-houw (Lima Harimau Bergolok Pasangan) dan bukan sekedar golongan rendahan!" Thian Sin dan Kim Hong belum pernah mendengar nama julukan Siang-to Ngo-houw ini karena memang sudah bertahun-tahun mereka tak lagi berkecimpung di dalam kalangan kang-ouw. Tentu saja nama ini tidak berarti apa-apa bagi mereka. "Siang-to Ngo-houw, kami hanya mau berbicara tentang kunci emas kepada orang yang memiliki peta rahasia itu. Apakah kalian menguasai peta itu? Kalau benar, keluarkanlah dan mari kita bicara!" kata pula Thian Sin. "Tidak perlu banyak cakap lagi. Lekas serahkan kunci emas itu atau terpaksa kita harus menggunakan kekerasan untuk merampasnya!" teriak pula Si Jangkung. "Hi-hik-hik, masih mengancam lagi. Padahal, bisanya hanya menggunakan asap bius dan membacoki bantal guling seperti maling-maling kecil." Kim Hong berkata mengejek lantas berpaling kepada kekasihnya. "Perlu apa melayani segala maling-maling kecil? Mereka ini tentu hanya kaum rendahan saja!" "Serbu!" Si Jangkung sudah memberi komando karena tidak sabar lagi melihat sikap dua orang yang jelas memandang rendah kepada mereka itu. Thian Sin menyimpan kunci emasnya dan hendak bergerak, akan tetapi Kim Hong sudah berkata kepadanya, "Biarkan aku menghadapi mereka sendiri!" "Ahh, bukan waktunya untuk main-main, Kim Hong!" Thian Sin membantah. Dia melihat bahwa lima orang ini tidak boleh dipandang ringan dan sungguh pun dia tahu betapa lihainya kekasihnya itu, dan kalau menghadapi mereka ini satu lawan satu tentu tidak sukar bagi Kim Hong untuk merobohkan mereka semua, akan tetapi bila mereka itu maju berlima, kiranya bukan tidak berbahaya bagi kekasihnya. "Siapa yang main-main? Justru sudah lama aku tidak latihan menghadapi lawan tangguh. Biarkan aku, Thian Sin, sekali ini saja ya...?" Kalimat terakhir ini terdengar begitu manja dan penuh keinginan sehingga Thian Sin terpaksa tersenyum sambil melangkah mundur. "Bandel! Sesukamulah, namun jangan salahkan aku kalau kau tergores golok!" Meski pun mulutnya berkata demikian, akan tetapi tentu saja dia pun siap waspada, tak mungkin dia membiarkan kulit halus kekasihnya itu tergores golok orang. Kim Hong tersenyum manis. Kalau saja gadis itu tidak sedang menghadapi perkelahian, tentu Thian Sin akan merangkul dan menciumnya karena senyuman itu adalah senyuman khas dari kekasihnya kalau hatinya lagi senang dan sedang mencumbu. Tentu senyum itu sebagai tanda terima kasih yang akan dibayar kalau kesempatan memungkinkan nanti. Gadis itu melompat ke depan, dengan gaya yang menantang sekali dia lalu menggulung kedua lengan bajunya sehingga nampaklah lengannya yang bulat dan berkulit putih halus. Demikian tipis serta halusnya kulit lengan Kim Hong ini sehingga kalau saja cuaca tidak segelap itu maka akan nampak urat-urat halus membayang di balik kulitnya. Nampaknya demikian halus dan lunak, akan tetapi jangan sekali-kali mengira demikian karena kedua lengan itu dapat terisi tenaga yang amat hebat dan sedemikian kuatnya sehingga mampu menangkis senjata tajam tanpa terluka! "Tahan...!" Tiba-tiba Si Jangkung berseru kepada teman-temannya. Bagaimana pun juga, julukan Siang-to Ngo-houw terlampau besar untuk dikotori dengan pengeroyokan terhadap seorang gadis muda yang bertangan kosong. Di kota raja, nama Siang-to Ngo-houw sudah terkenal sekali. Mereka ini adalah bekas tokoh-tokoh besar di perkumpulan Hwa-i Kai-pang yang bertugas di luar kota raja. Baru sesudah Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) mengalami musibah, yaitu sesudah terbunuhnya kedua orang pimpinannya, yaitu Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai sehingga perkumpulan itu menjadi berantakan, maka kelima orang ini datang ke kota raja. Dua orang pemimpin Hwa-i Kai-pang ini terbunuh oleh Pendekar Sadis dan hanya itulah yang diketahui oleh Siang-to Ngo-houw. Mereka sama sekali tidak pernah mengira bahwa Pendekar Sadis pembunuh dua orang suheng mereka itu adalah pemuda yang sekarang berhadapan dengan mereka inilah! Seperti yang telah diceritakan di dalam cerita Pendekar Sadis, dua orang pimpinan Hwa-i Kai-pang itu dibunuh oleh Pendekar Sadis Ceng Thian Sin karena mereka berdua pernah membantu pengeroyokan sehingga akhirnya menewaskan ayah bunda pendekar itu. Dan karena hanya sedikit saja orang yang mengenal muka Pendekar Sadis, maka lima orang jagoan ini pun hanya mendengar namanya saja akan tetapi tidak mengenal Thian Sin. Siang-to Ngo-houw adalah sute dari Lo-thian Sin-kai, dan mempunyai tingkat kepandaian yang tidak banyak selisihnya dengan bekas tokoh Hwa-i Kai-pang itu. Tentu saja mereka itu lihai bukan main, apa lagi jika mereka maju berlima karena mereka telah menciptakan bersama suatu ilmu silat gabungan yang amat dahsyat. Mereka kembali ke kota raja sesudah dua orang pimpinan Hwa-i Kai-pang tewas. Melihat bahwa perkumpulan itu sudah tidak begitu baik lagi namanya, maka kelima orang ini pun tak mau membangunnya kembali, bahkan mereka lalu membantu tokoh sesat yang pada waktu itu paling terkenal di kota raja, yaitu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Inilah sebabnya, maka sebagai tokoh-tokoh besar yang terkenal serta memiliki ilmu tinggi yang mereka andalkan, si jangkung yang memimpin adik-adiknya itu merasa malu untuk mengeroyok seorang gadis yang bertangan kosong, sehingga dia berteriak dan menahan adik-adiknya sebelum mereka itu sempat menggerakkan golok mereka. Empat orang adiknya menatap pada Si Jangkung dengan sinar mata penuh pertanyaan. Akan tetapi Si Jangkung telah menghadapi Kim Hong kemudian mengangkat dada untuk menunjukkan kegagahan. "Nona, Siang-to Ngo-houw memang sudah biasa maju bersama, akan tetapi belum pernah mengganggu wanita yang bertangan kosong. Karena itu kami minta supaya kalian berdua menyerahkan kunci atau maju bersama dengan menggunakan senjata." Melihat sikap ini, Kim Hong malah mentertawakan. "Hik-hik-hik, lagaknya! Apa sudah lupa betapa tadi yang berjuluk Siang-to Ngo-houw tidak bersikap jantan, sama sekali tak mirip seperti Lima Ekor Harimau akan tetapi lebih pantas menjadi Lima Ekor Tikus yang curang dan pengecut, mempergunakan obat bius dan menyerang orang-orang yang sedang tidur pulas? Hi-hik, kini berlagak lagi! Sungguh tidak lucu, malah menjemukan. Hayo tidak perlu cerewet lagi, ingin kulihat apakah ilmu kalian juga sebesar kecurangan kalian!" "Perempuan sombong!" Teriakan ini dilakukan oleh dua orang di antara lima tokoh sesat itu dan mereka pun sudah menerjang maju dengan sambaran sepasang golok mereka. Terdengar bunyi berdesingan ketika empat batang golok itu menyambar dengan dahsyat dan menghujankan serangan maut ke arah tubuh Kim Hong. Akan tetapi, hanya dengan sedikit gerakan tubuh saja, sambaran golok-golok itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Kim Hong dan hanya mengenai tempat kosong saja. Sekarang tiga orang lainnya tidak ragu-ragu lagi, apa lagi mereka juga sangat marah dan merasa terhina oleh ejekan Kim Hong tadi. Mereka lantas mengeluarkan suara bentakan dan mulailah lima orang itu mengurung Kim Hong sambil membuat langkah-langkah lebar memutari gadis itu. Mereka yang sudah dapat menduga bahwa seorang gadis muda yang demikian tabahnya menantang mereka pasti memiliki kelihaian, kini segera menggerakkan ilmu yang mereka andalkan, yaitu Ngo-lian To-tin (Barisan Golok Lima Teratai). Langkah-langkah mereka sangat teratur dan mereka itu merupakan rangkaian yang bekerja sama secara otomatis. Kadang kala sambil melangkah mengitari lawan, terdengar suara golok mereka bersiutan, digerakkan menembus udara, kadang-kadang berdencing karena saling sentuh sehingga suasana menjadi menegangkan. Akan tetapi Kim Hong berdiri dengan tenang saja, sama sekali tidak bergerak dan hanya sepasang matanya yang bergerak-gerak mengikuti gerakan lima orang pengepungnya dan tentu saja pendengarannya juga mengikuti setiap gerakan orang yang berada di sebelah belakangnya. Seluruh urat syarafnya telah siap siaga dan menegang, meski pun tubuhnya nampak tenang-tenang seenaknya saja. Gadis ini maklum bahwa kelima orang pengepungnya itu bukanlah lawan yang ringan dan sama sekali tak boleh dipandang rendah. Akan tetapi dia masih belum merasa perlu untuk menghunus sepasang pedangnya, yakni Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penaluk Iblis) yang berwarna hitam dan yang selalu disimpannya di balik baju itu. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, kalau tidak amat terpaksa, Kim Hong tidak akan mau menggunakan pedang. "Hiaaattt...!" Tiba-tiba saja Si Jangkung mengeluarkan teriakan nyaring dan sepasang goloknya sudah cepat menyambar dengan gerak tipu Hong-cui Pai-hio (Angin Meniup Runtuh Dedaunan), sepasang golok itu berkelebat saling susul, yang kiri menyambar ke leher dan yang kanan menusuk lambung. Serangan ini dilakukan ketika dia berada di sebelah kanan dari tubuh Kim Hong. "Hemmm...!" Kim Hong menggeser kaki mengelak. Cara mengelaknya memang istimewa sekali, kakinya tidak diangkat, melainkan menggeser atau meluncur seolah-olah di bawah sepatunya terdapat roda yang membuat tubuhnya dapat meluncur, akan tetapi cepatnya bukan main sehingga serangan sepasang golok itu gagal total. Akan tetapi, kiranya serangan pertama dari Si Jangkung ini merupakan pembukaan atau aba-aba, sebab mereka berlima kini seluruhnya mulai menggerakkan Ngo-lian To-tin atau Barisan Golok Lima Teratai itu dan memang hebat bukan main gerakan mereka. Sepuluh batang golok itu bekerja sama dengan demikian rapi dan cekatan, susul menyusul serta bertubi-tubi, seolah-olah digerakkan oleh satu otak saja, saling bantu hingga ke mana pun tubuh Kim Hong mengelak, tentu dia langsung dipapaki oleh golok lainnya. Dan susunan serangan mereka itu pun makin lama semakin kuat dan berbahaya! "Ciaaattt...!" Seorang di antara mereka yang berada di depan Kim Hong, menggunakan jurus Sin-eng Hoan-sin (Garuda Sakti Memutar Tubuh), sepasang goloknya itu tiba-tiba saja meluncur dengan gerakan membalik, amat berbahaya sekali dan saking cepatnya, sepasang golok itu lenyap bentuknya berubah menjadi dua berkas sinar yang menyilaukan mata. Kim Hong cepat mengelak dan kali ini dengan loncatan ringan ke kiri, di mana dia segera disambut oleh sepasang golok yang dimainkan dengan jurus Kim-liong Hian-jiauw (Naga Emas Mengulurkan Cakar) dengan sepasang golok itu menusuk secara berantai. Kembali Kim Hong mengelak ke belakang di mana dia disambut pula dengan serangan golok yang lebih berbahaya karena penyerangnya telah menggunakan jurus Giok-tai Wi-yauw (Sabuk Kemala Melilit Pinggang), sebuah gerakan yang indah sekali hingga golok itu seolah-olah melengkung melalui belakang pinggang dan langsung menuju ke pinggang lawan. Untuk kesekian kalinya Kim Hong mengelak dan lawan ke lima yang berada di belakang tubuhnya sudah menyambut dengan sebuah tendangan kilat yang disusul oleh sambaran golok ke leher. Sepasang golok itu sekaligus membuat gerakan menggunting dari kanan dan kiri. Itulah jurus yang dinamakan Ji-liong Jio-cu (Sepasang Naga Berebut Mustika). Menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilancarkan secara gencar, cepat dan kuat, serta saling membantu ini, yang maksudnya untuk menutup jalan keluarnya dan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk balas menyerang melainkan dipaksa agar mengelak terus, Kim Hong lantas mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia pun sudah memainkan ilmu silat tangan kosong yang dinamakan Kong-jiu Jip-pek-to (Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok) dan tubuhnya berkelebatan secara cepat bukan main! Lima orang jagoan itu terkejut sekali melihat betapa tubuh lawan mereka itu kadang kala lenyap dan demikian cepatnya gerakan gadis itu hingga membuat mata mereka menjadi silau dan kabur pandangannya. Hebatnya lagi, gadis itu kadang kala berani menyampok golok dengan tangan kosong dan tangan itu terasa demikian lunak bagai kapas sehingga tidak terluka oleh golok, namun di bawah kelunakan itu terkandung tenaga yang luar biasa kuatnya! Kini maklumlah Siang-to Ngo-houw bahwa mereka ini sedang menghadapi seorang gadis yang benar-benar lihai sekali, maka mereka bergerak dengan hati-hati sekali. Kerja sama mereka yang amat rapi itu tetap saja bisa mengimbangi ilmu silat istimewa dari Kim Hong sehingga membuat gadis itu masih sulit untuk dapat merobohkan salah seorang di antara mereka karena mereka itu selalu dalam posisi saling bantu dan saling melindungi. Memang kelima orang itu sudah mempunyai ilmu silat yang sangat kuat. Seperti juga ilmu kepandaian mendiang suheng mereka, yaitu Lo-thian Sin-kai tokoh nomor satu dari Hwa-i Kai-pang, mereka memiliki dua macam ilmu silat yang menjadi andalan mereka. Pertama adalah ilmu silat tangan kosong yang disebut Ta-houw Sin-ciang-hoat (Ilmu Silat Sakti Pemukul Harimau) yang dapat membuat tangan mereka menjadi demikian kerasnya hingga kepalan tangan mereka itu dapat mengalahkan harimau dan memecahkan kepala binatang itu. Dan yang ke dua adalah ilmu yang berdasarkan ilmu silat tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Silat Tongkat Lima Teratai). Ilmu ini mereka rubah menjadi Ngo-lian To-hoat (Silat Golok Lima Teratai) dan dengan ilmu golok ini, mereka berlima sudah menciptakan Ngo-lian To-tin (Barisan Go. lok Lima Teratai) yang amat tangguh itu. cerita silat online karya kho ping hoo Kalau dibandingkan satu lawan satu, tentu saja tingkat kepandaian Kim Hong masih jauh lebih tinggi, baik dalam hal ilmu silat mau pun tenaga sinkang, terutama sekali dalam hal ginkang karena memang gadis ini mempunyai ilmu meringankan tubuh yang sukar dicari bandingannya. Akan tetapi karena mereka itu maju berlima dan membentuk barisan golok yang amat tangguh itu, Kim Hong yang bertangan kosong mengalami kesulitan juga untuk menundukkan mereka. Kim Hong tetap tak mau mengeluarkan pedangnya, sebab merasa bahwa dia belum terdesak, hanya belum mampu merobohkan mereka. "Heh, bandel, kenapa tidak menggunakan siang-kiammu itu?" sudah berkali-kali Thian Sin berseru, akan tetapi Kim Hong hanya tersenyum saja. "Darah lima ekor tikus ini terlalu busuk untuk mengotori pedang-pedangku!" akhirnya dia menjawab dan jawaban ini membuat Siang-to Ngo-houw menjadi semakin marah. "Perempuan sombong!" Si Jangkung berteriak marah sekali, kemudian kembali memimpin adik-adik seperguruannya untuk mendesak semakin ganas. Akan tetapi tiba-tiba teriakannya itu yang disusul dengan tusukan golok ke arah dada Kim Hong, berubah menjadi teriakan kesakitan ketika tiba-tiba ada sinar hitam berkelebat dan terdengar bunyi meledak kecil yang disebabkan oleh lecutan ujung rambut Kim Hong yang menotok pergelangan tangan yang memegang golok. "Aduhhh...!" Golok itu segera terlepas dari pegangan tangan yang tiba-tiba terasa lumpuh dan sebelum Si Jangkung dapat memperbaiki posisinya, sebuah tendangan kaki kiri Kim Hong mengenai pahanya. "Dessss...!" Si Jangkung terlempar sambil menyeringai kesakitan, berusaha bangkit, akan tetapi jatuh terduduk lagi karena bekas tendangan pada pahanya itu telah membuat pahanya memar, matang biru dan rasa nyeri menusuk-nusuk sampai ke jantung! Empat orang yang lain menjadi terkejut dan marah. Mereka bergerak cepat dan memang ilmu barisan Lima Teratai mereka itu telah terlatih amat baik, bahkan sudah terlatih kalau-kalau ada di antara mereka yang terluka. Barisan itu memang berlima, akan tetapi mereka telah melatihnya sedemikian rupa sehingga bisa juga mereka mainkan berempat, bertiga, atau bahkan berdua saja tanpa menjadi kaku dan canggung. Sekarang empat orang itu berkelebatan dan gerakan mereka berbeda dari gerakan ketika mereka berlima tadi, akan tetapi tidak mengurangi ketangguhan mereka. Bagaimana pun juga, kini Kim Hong tidak hanya menghadapi mereka dengan kaki tangan kosong, melainkan dia sudah mempergunakan senjatanya yang ampuh, yaitu rambutnya! Senjata ini bahkan lebih ampuh dari pada senjata lainnya, karena selain tak terduga-duga datangnya, digerakkan oleh kepala, juga senjata ini dapat dijadikan kaku mau pun lemas tergantung penggunaan tenaga sinkang yang dikerahkan oleh gadis perkasa itu. Empat orang itu biar pun telah lama berkecimpung di dunia persilatan dan sudah banyak menghadapi lawan tangguh, akan tetapi baru sekaranglah mereka bertemu lawan seperti itu, dan melihat betapa suheng mereka telah roboh, maka mereka pun menjadi panik. Hal ini dapat terasa oleh Kim Hong, terasa dalam gerakan kerja sama yang tidak serapi tadi. Sekarang banyak terdapat lowongan-lowongan dan gadis perkasa itu pun segera hendak mempergunakannya. "Hiaaaaattt...!" Dia melengking lantas tubuhnya menerjang ke depan, melompat ke atas dan kaki kirinya menendang ke arah sepasang golok yang menyambutnya. Pemegang golok itu berteriak kesakitan dan sepasang goloknya terlempar, akan tetapi kaki kanan Kim Hong sudah tiba sebelum dia dapat mengelak. "Bukkk!" Orang itu terlempar ke belakang dan terbanting keras, terjengkang dan napasnya terasa sesak, dadanya terasa jebol. Sampai cukup lama dia hanya dapat terengah-engah sambil menekan dadanya. "Haiiitttt...!" Kim Hong kembali melengking, rambutnya menyambar bagaikan seekor ular hitam, tepat menotok pundak salah seorang pengeroyok yang tiba-tiba saja berubah menjadi patung, tak mampu bergerak dengan tangan kanan mengacungkan golok ke atas dan tangan kiri menusukkan golok ke depan. Kim Hong yang sudah berhasil menotoknya dengan ujung rambutnya, segera menggerakkan tangan kiri menampar. "Plakkk!" Tubuh orang ke tiga ini langsung terpelanting dan sepasang goloknya terlempar, matanya menjadi juling dan dia cepat-cepat duduk dengan kepala bergoyang-goyang karena bumi terasa berpusing di depannya. "Hyaaaaattt...!" Kembali Kim Hong mengeluarkan suara lengkingan panjang, tubuhnya telah melayang ke atas. Dua orang sisa lawannya yang telah menjadi gentar sekali itu menyambut tubuhnya dengan tusukan dan bacokan golok. Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuh yang ramping itu membuat gerakan salto di angkasa dan tahu-tahu dua orang itu kehilangan lawan mereka! Sebelum mereka sadar bahwa lawan yang amat lincah bagaikan burung walet itu berada di belakang mereka, tahu-tahu rambut kepala mereka sudah dijambak oleh sepasang lengan yang kecil halus namun kuat. "Dukkkk...!" Keduanya mengeluh dan roboh, di kepala mereka tumbuh sebutir telur angsa dan kepala mereka terasa nanar dan pandang mata terasa berkunang! Terdengar suara tepuk tangan. Kim Hong menoleh sambil tersenyum memandang kepada kekasihnya yang bertepuk tangan memujinya. Bulan telah naik tinggi dan sinarnya makin cerah. Langit bersih sekali sehingga cuaca menjadi semakin terang. "Bagus sekali cara engkau menjatuhkan mereka, Kim Hong," kata Thian Sin memuji. Yang dipuji amat girang dan bangga sekali. "Ahh, latihan yang menyenangkan. Kini tubuh terasa enak sekali!" kata Kim Hong sambil menggeliat seperti seekor kucing malas, muka diangkat seperti memandangi bulan, dada yang telah membusung itu makin dibusungkan, pinggang ditekuk, sepasang lengan yang masih tersingsing lengan bajunya itu diangkat ke atas dan ke belakang, menyanggul rambut yang tadi terlepas. Di antara semua keindahan dalam gerakan wanita, salah satu di antaranya yang paling mempesonakan hati pria adalah kalau wanita itu membereskan rambut kepalanya dengan mengangkat dua lengan ke atas dan ke belakang! Gerakan ini mengandung kelembutan, keindahan dan kehalusan wanita sepenuhnya, bahkan di saat itu tampak seperti gerakan yang penuh gairah yang menantang. Hemmm... Thian Sin merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan ini tandanya bahwa dia telah terangsang memandang kekasihnya seperti itu. Dia pun melangkah maju dan dipeluknya pinggang yang ramping dan sedang meliuk itu, ditariknya tubuh itu kemudian didekapnya kuat-kuat, lalu diciumnya mulut yang agak terbuka itu. Terdengar Kim Hong mengeluarkan suara seperti seekor kucing dan kedua lengan yang sedang menyanggul rambut itu pun melingkar di leher Thian Sin, membuat rambut yang belum selesai disanggul itu terlepas dan terurai lagi. Mereka berdua tak mempedulikan lagi lima orang yang telah dirobohkan tadi, tenggelam dalam buaian asmara, saling berangkulan, saling berciuman. Bahkan kesempatan itu lalu dipergunakan oleh lima orang Siang-to Ngo-houw untuk bangkit perlahan-lahan, menahan keluhan sambil menyeringai, kemudian perlahan-lahan mereka pun segera melarikan diri dari tempat itu. "Ehh, kita harus menangkap seorang!" Tiba-tiba Thian Sin melepaskan ciumannya. Akan tetapi Kim Hong menahan dengan rangkulannya, lalu gadis itu menggunakan tangan kiri melepas sebuah tusuk konde di atas telinga, kemudian mengayunkan tangannya. Terdengar jerit kesakitan dan seorang di antara Siang-to Ngo-houw terjungkal roboh dan tidak mampu bangkit lagi. Empat orang temannya melarikan diri dan agaknya melupakan seorang kawan mereka yang roboh. Sedangkan Kim Hong telah menarik muka Thian Sin lagi, melanjutkan permainan mereka yang tertunda tadi, tenggelam dalam kemesraan dan pencurahan kasih sayang. Bagi yang belum mengenal pasangan muda-mudi ini pastilah akan merasa heran melihat keadaan mereka. Akan tetapi bagi pembaca yang sudah mengikuti perjalanan hidup dua orang ini dalam cerita Pendekar Sadis, tentu tidak akan merasa heran lagi. Latar belakang kehidupan mereka begitu suram dan gelapnya, pengalaman-pengalaman pahit getir telah membuat hati kedua orang muda ini terasa hambar dengan segala peraturan yang dibuat oleh manusia, termasuk pernikahan. Mereka berdua saling mencinta, cinta yang tidak dibuat-buat, cinta yang memang timbul dari dalam hati mereka, bebas dari ikatan peraturan-peraturan umum. Mereka mengenal sifat dan cacat pasangan masing-masing. Mereka saling mencinta dengan mata terbuka. Mereka tidak mau mengikatkan diri dengan pernikahan, walau pun di dalam hati mereka terdapat kasih sayang mendalam yang agaknya tak memungkinkan mereka tertarik pada orang lain. Kemesraan bisa saja timbul di antara mereka, di mana pun juga, di saat apa pun juga dan mereka tidak akan menyembunyikan perasaan mesra itu. Mereka berani bermesraan di mana pun karena mereka berdua sudah tidak begitu mau mempedulikan lagi soal-soal peraturan dan hukum yang mereka anggap palsu dan pura-pura. Apa bila mereka saling menyayang lantas timbul gairah untuk saling memperlihatkan kasih sayang, untuk saling meraba memeluk dan mencium, mengapa harus disembunyi-sembunyikan? Mereka menganggap hal itu wajar dan tidak merugikan orang lain! Inilah sebabnya, maka sungguh pun sudah beberapa tahun hidup bersama di pulau kosong, sebagai suami isteri, mereka belum pernah menikah dalam arti kata disaksikan upacaranya oleh orang-orang lain, baik berdasarkan hukum agama, tradisi atau umum. Tentu banyak pula orang yang akan mengernyitkan hidung dan mencibirkan bibir melihat keadaan mereka itu. Tentu banyak yang memberi komentar: tak tahu malu, tidak sopan, jorok dan cabul, kotor dan sebagainya. Namun sebaliknya, di samping itu, mungkin ada pula yang membenarkan. Akan tetapi, bukan di situlah letaknya kebenaran. Bukan di dalam sehelai surat nikah, di dalam upacara agama, di dalam upacara tradisi, atau pun di dalam kesaksian para handai taulan letaknya kebahagiaan perjodohan. Melainkan di dalam cinta kasih! Apa artinya memiliki surat-surat lengkap, dengan upacara yang megah, dengan perayaan yang meriah, dengan penghormatan yang berlebihan, kalau di dalam sebuah pernikahan tidak terdapat cinta kasih? Bahkan banyak sekali suami isteri yang saling tidak merasa cocok, namun memaksa diri untuk hidup bersama karena adanya ikatan berupa surat atau upacara atau hukum-hukum itu. Akibatnya, biar pun pada lahirnya, oleh orang-orang lain, mereka nampak sebagai suami isteri yang hidup serumah dan rukun sampai kakek nenek, tapi pada hakekatnya batin keduanya menderita hebat! Mau terbang menghindar, kaki sudah terikat oleh segala hukum dan pendapat umum. Karena itu, tidak begitu penting mempertimbangkan benar tidaknya orang menjadi suami isteri dengan surat, dengan upacara, dan sebagainya. Yang paling penting adalah bahwa suatu perjodohan merupakan pendekatan antara dua orang, pria dan wanita, untuk hidup bersama dan hal ini baru benar kalau dilakukan dengan dasar saling mencinta! Hanya ini syarat utamanya, yang lain-lain itu hanyalah embel-embel yang tidak begitu penting bagi kebahagiaan bersuami-isteri. Syarat paling utama itu, yaitu cinta kasih dua fihak, harus dipenuhi lebih dahulu, baru orang boleh memikirkan syarat-syarat lain yang umum. *************** Antara Thian Sin dan Kim Hong kadang-kadang terdapat ketidak cocokan sebab memang keduanya memiliki kekerasan hati yang membuat mereka kadang-kadang tak mau saling mengalah sehingga terjadi bentrokan. Namun, pada hakekatnya, di dasar atau lubuk hati mereka, kedua orang ini saling mencinta dengan amat mendalam sehingga pertentangan-pertentangan yang ada selalu dapat dikalahkan oleh perasaan saling menyayang itu. Dan selain cinta kasih kedua pihak, juga di antara keduanya sudah terdapat suatu kepekaan bersama sehingga hanya dengan saling pandang saja mereka dapat menjenguk isi hati masing-masing. Setelah mencurahkan kasih sayang yang tiba-tiba timbul pada saat itu, keduanya menjadi lebih tenang. Kim Hong segera melepaskan diri dari pelukan kekasihnya lalu menengok, memandang ke arah salah seorang di antara Siang-to Ngo-houw yang tadi dirobohkannya dengan tusuk konde tadi. "Akan kita apakan dia itu?" "Dia penting sekali untuk membawa kita kepada pimpinannya, kepada yang mengutusnya atau kepada pemegang peta itu," kata Thian Sin dan keduanya lalu menghampiri orang itu. Sambitan tusuk konde tadi menembus paha hingga orang itu tidak mampu bangkit berdiri, hanya duduk sambil memijit-mijit pahanya, menggigit bibir menahan rasa nyeri. Berulang kali dia menyumpah-nyumpahi keempat orang saudaranya yang meninggalkannya begitu saja. "Bedebah! Pengkhianat mereka itu! Tidak mempunyai setia kawan sama sekali, keparat!" demikian dia menyumpah-nyumpah akan tetapi dia memandang dengan cemas pada saat melihat Thian Sin dan Kim Hong menghampirinya. Baru sekarang dia tahu bahwa dua orang muda itu adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian hebat sekali. Baru gadis itu saja sudah mampu merobohkan mereka berlima, belum lagi pemuda itu! Mulailah dia menduga-duga siapa gerangan pasangan muda mudi yang demikian lihainya ini. "Nah, engkau sudah membuktikan kelihaian kami?" Kim Hong mengejek. "Sekarang lebih baik engkau mengaku terus terang!" "Aku telah kalah dan telah ditinggalkan teman-temanku, kalian mau bunuh, terserah. Aku harus mengaku apa lagi?" Orang itu mencoba untuk menutupi rasa takutnya dengan sikap gagah. Siang-to Ngo-houw terkenal sebagai orang-orang gagah, karena itu dia pun harus bersikap gagah. "Sobat, kalian Siang-to Ngo-houw datang dan berusaha membunuh kami, juga berusaha merampas kunci emas yang ada padaku," kata Thian Sin. "Namun kami masih menaruh kasihan, tak mau membunuh kalian. Maka ceritakanlah, siapakah yang mengutus kalian? Siapa yang telah menguasai peta rahasia itu? Katakan dan kami akan membebaskanmu." Wajah yang sudah pucat itu nampak semakin ketakutan. Orang itu menoleh ke kanan kiri, sikapnya ngeri dan ketakutan, lalu dia menggelengkan kepala keras-keras. "Tidak! Tidak ada yang mengutus kami. Aku tidak tahu!" Thian Sin dan Kim Hong sudah cukup berpengalaman untuk dapat mengerti bahwa orang ini amat takut pada yang mengutusnya. Lalu Thian Sin berkata kembali, "Sobat, engkau tentu tidak asing dengan Hwa-i Kai-pang, bukan?" Orang itu nampak terkejut dan memandang kepada wajah Thian Sin dengan kedua mata terbelalak. "Bagaimana engkau tahu?" dia balas bertanya. "Aku mengenal dasar-dasar gerakan Ngo-lian Pang-hoat dalam ilmu golok kalian. Tentu kalian masih mempunyai hubungan dengan Hwa-i Kai-pang, atau lebih tepat lagi dengan Lo-thian Sin-kai tokoh utama Hwa-i Kai-pang itu." "Dia adalah mendiang suheng kami! Siapa... siapakah engkau?" Thian Sin maklum bahwa orang yang amat takut kepada kepalanya ini perlu dibuat gentar agar suka mengaku. "Aku adalah kenalan lama Hwa-i Kai-pang, dulu aku dikenal sebagai Pendekar Sadis..." "Ahhhh...!" Orang itu terbelalak dan berusaha menjauh seperti mendadak melihat seekor ular yang amat berbabaya. "Pendekar... Sadis...?" Diam-diam Thian Sin merasa girang melihat ketakutan terbayang di wajah itu. "Benar, dan engkau mengerti bahwa sebaiknya mengaku dari pada harus merasakan tanganku!" Dia sengaja mengancam. "Tapi... tapi... aku takut..." "Dan tidak takut kepada Pendekar Sadis?" kembali Thian Sin menghardik. "Ahh... ampunkan nyawaku... kami... kami disuruh..." Tiba-tiba terdengar suara berdesing-desing. Dua orang pendekar itu langsung meloncat untuk menghindarkan diri dari sambaran anak panah kecil yang meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada mereka tadi. Namun, pada saat itu terdengar pekik mengerikan dan orang yang mereka tanyai tadi terjengkang, berkelojotan dengan anak panah menembus dadanya! "Setan...!" Kim Hong yang memiliki gerakan cepat itu sudah melayang ke arah dari mana datangnya anak panah tadi, akan tetapi ia tidak dapat menemukan orang. Selain cuaca remang-remang yang menjadi penghalang, juga agaknya pelepas anak panah itu memiliki kecepatan yang hebat pula, maka secepat itu telah menghilang. Ketika Kim Hong kembali lagi, dia melihat Thian Sin melepaskan tubuh yang tadi diperiksanya itu. Tubuh itu terkulai lemas tanda tidak bernyawa lagi. "Orangnya telah pergi, terlampau gelap untuk dapat mengejarnya. Kau kira siapakah yang melakukannya? Teman-temannya tadi?" Thian Sin menggelengkan kepala. "Tentu orang lain. Anak panah itu menembus jantung, bahkan mematahkan tulang iga. Jelas bahwa tenaga orang yang melepaskannya sangat kuat, lebih kuat dari pada tenaga bekas-bekas lawanmu tadi. Dan ini membuktikan bahwa orang yang mengutus Siang-to Ngo-houw tadi, atau orang yang menguasai peta rahasia itu, bukanlah orang sembarangan. Kita berhadapan dengan penjahat besar yang memiliki banyak pembantu lihai, maka kita harus berhati-hati." Kim Hong menarik napas panjang, menyesal. "Akan tetapi ke mana kita harus mencari dia? Satu-satunya orang yang dapat menghubungkan kita kepadanya telah dibunuh." "Tak ada jalan lain kecuali menunggu. Dia telah mengirim Siang-to Ngo-houw dan gagal, kurasa seorang penjahat besar seperti dia tentu tak mudah putus asa dan akan mengutus pembantu lain yang lebih cakap dan lebih kuat. Kita menunggu saja. Umpan kunci emas masih ada pada kita dan tentu kakap-kakap besar akan berdatangan. Kita hanya tinggal waspada saja melihat ikan macam apa yang akan menyambar umpan." Thian Sin dan Kim Hong meninggalkan mayat itu, segera kembali ke rumah penginapan mereka. Karena tahu akan lihai dan berbahayanya musuh, ada sedikit ketegangan dalam hati mereka. Akan tetapi ketegangan ini membuat mereka menjadi makin akrab, merasa semakin dekat dan harus saling melindungi. Semuanya ini membuat mereka akhirnya menumpahkan perasaan masing-masing dalam keadaan amat mesra, sehingga malam itu mereka sama sekali sudah melupakan seluruh ketegangan dan ancaman bahaya, hanyut dalam kemesraan. *************** Selama dua hari berikutnya tidak terjadi sesuatu dan hal ini membuat Thian Sin dan Kim Hong merasa kecewa dan tidak sabar. Ikan yang dinanti-nanti tak kunjung muncul! Thian Sin tidak percaya bahwa kepala penjahat itu menjadi jeri. Perbuatannya membunuh salah seorang di antara Siang-to Ngo-houw itu saja sudah membuktikan bahwa kepala penjahat itu tidak menjadi jera dan jeri. Pasti akan muncul, pikirnya penuh keyakinan. Malam itu mereka berdua pergi ke rumah makan terbesar di kota raja. Rumah makan ini terkenal sekali dengan masakan ikan-ikan laut. Rumah makan besar itu sudah setengah penuh pada saat Thian Sin dan Kim Hong memasukinya, disambut oleh seorang pelayan dengan ramahnya dan pelayan itu segera menyodorkan daftar masakan. Thian Sin dan Kim Hong tersenyum-senyum gembira membaca daftar masakan itu. Daftar yang sungguh luar biasa dan sangat berbeda dengan yang terdapat di restoran-restoran lainnya. Selain terbuat dari kain yang indah, juga tulisannya amat indah, daftar itu memuat nama-nama masakan yang aneh-aneh. "Jantung ular laut?" Kim Hong membaca sambil terbelalak. "Benarkah itu?" "Ahh, paling-paling itu hanya daging belut laut. Coba lihat ini. Masak Burung Hong Merah! Bukan main! Aku berani bertaruh bahwa ini tentu hanya masak ayam saus tomat, tentu saja kemerahan." "Wah, ini ada Ca Kaki Biruang, ada Otak Ki-lin goreng, Sup Naga Hitam, dan Panggang Daging Srigala!" teriak Kim Hong. "Ha-ha, biruangnya tentu hanya babi, ki-lin itu tak salah lagi tentu babi hutan, naga hitam itu boleh jadi hanya daging ular hitam saja, dan srigala itu, apa lagi kalau bukan anjing?" Mereka tertawa-tawa dan ketika pelayan datang, mereka bertanya dan memang sebagian besar dugaan Thian Sin tadi benar adanya. "Di samping sebagai penambah selera, juga untuk menguji kecerdasan tamu yang suka menduga-duga." kata si pelayan sambil tersenyum ramah. Maka sibuklah Kim Hong memillh masakan yang namanya seram-seram dan aneh-aneh itu. Ada yang disebut siluman laut bongkok yang ternyata hanyalah udang besar saja! Rajawali leher panjang ternyata hanya bebek! Betapa pun juga, sesudah semua hidangan dikeluarkan, sepasang muda mudi ini harus mengakui bahwa masakan di rumah makan itu memang istimewa lezatnya. Ketika mereka berkelakar tentang nama-nama hebat dari masakan-masakan itu, seorang pemuda yang telah lebih dahulu duduk tidak jauh dari meja mereka, memandang kepada mereka dengan wajah ramah. Thian Sin melihat ini dan diam-diam dia memuji wajah yang tampan dan sepasang mata yang kelihatan cerdas itu. Akan tetapi, ketika pernah satu kali Kim Hong bertemu pandang mata dengan pemuda itu, dia tersenyum dan kedua pipinya menjadi agak merah. Sebagai wanita, ia segera merasa betapa sinar mata yang ditujukan padanya itu penuh dengan kekaguman dan kegairahan yang tidak disembunyikan. Kalau saja si pemandang tidak berkenan di hatinya, tentu Kim Hong sudah marah. Akan tetapi ada sesuatu di wajah pemuda itu yang menarik hatinya, wajah tampan dan halus, sinar mata tajam dan dagu yang membayangkan kegagahan. Seorang pemuda yang tentu bukan orang sembarangan, pikirnya. Pula, melihat betapa pemuda itu diam-diam memperhatikan mereka dan tersenyum serta bersikap ramah bersahabat terhadap mereka, diam-diam di dalam hati Thian Sin dan Kim Hong sudah timbul kecurigaan. Mereka saling pandang dan tahu akan isi hati masing-masing yang menaruh curiga terhadap pemuda tampan itu. Siapa tahu, dialah ikan kakap yang mereka nanti-nanti selama dua hari ini! Secara sambil lalu, mereka mulai memperhatikan pemuda itu. Dan seperti juga mereka, pemuda itu memesan beberapa macam masakan dan kelihatannya cukup royal, sungguh pun tidak sangat gembul karena masakan-masakan itu hanya dicicipi sedikit-sedikit saja. Akan tetapi pemuda itu sungguh kuat sekali minum arak. Sudah ada sepuluh cawan yang diminumnya, tetapi mukanya masih nampak berseri, sama sekali tidak menjadi pucat atau merah seperti biasanya kalau orang mulai terpengaruh arak. Usia pemuda itu kurang lebih dua puluh tiga tahun, pakaiannya seperti pelajar, sederhana biar pun terbuat dari sutera yang cukup halus. Ketika itu, guci kecil araknya telah kosong dan dia pun menggapai kepada seorang pelayan yang lewat didekatnya. Setelah pelayan mendekat, dengan suara yang cukup lantang sehingga bisa terdengar oleh Thian Sin dan Kim Hong, pemuda itu bertanya, sambil memandang catatan pada daftar makanan, "Bung, selain Arak Bunga Surga seperti yang kau suguhkan tadi, apakah ada juga Arak Dewa Panjang Usia yang disimpan dalam kamar pusaka dengan kunci emas?" Suaranya berlagu, terdengar lucu bagai orang membaca sajak sehingga beberapa orang menengok dan tersenyum. Pelayan itu sendiri tertawa. "Ha-ha-ha, kongcu pandai sekali membuat nama yang bagus. Biar saya usulkan kepada majikan supaya menambahkan nama itu. Arak Dewa Panjang Usia! Bagus sekali!" kata si pelayan. "Akan tetapi sayang, arak yang ada di sini, yang terbaik hanyalah Arak Bunga Sorga tadi." "Baiklah, tambah satu guci lagi." kata si pemuda yang wajahnya bulat itu. Alisnya yang hitam tebal itu bergerak-gerak, matanya berkilat dan senyumnya berseri. "Awas, jangan keliru mengambilkan Arak Bunga Neraka, ya?" Beberapa orang tertawa keras atas kelakar pemuda ini. Thian Sin dan Kim Hong saling pandang. Bagi mereka, yang paling penting adalah disebutnya kunci emas tadi oleh si pemuda. Tidak salah lagi, tentu pemuda ini mempunyai hubungan dengan urusan yang sedang mereka selidiki. Seorang utusan lainkah? Apa bila memang demikian, sungguh luar biasa sekali kepala penjahat itu. Bermacam-macam saja pembantunya. Ataukah pemuda ini tak sengaja dan hanya kebetulan saja menyebut kunci emas tadi? Kelihatannya begitu tenang saja, tidak memperlihatkan tanda-tanda hendak menghubungi mereka. Pemuda itu minum lagi sambil menyumpit hidangan di depannya, kemudian dengan lagak orang mabok, menggoyang-goyangkan kepala sedikit padahal matanya masih bening, dia pun bernyanyi. Mengganyang kaki biruang melahap sup naga mengunyah daging srigala minum arak bunga sorga! betapa enak tak terkira akan tetapi biruang naga dan srigala mengepung diri kita! betapa mengerikan jadinya! Hiiiiiihh! Kembali terdengar orang tertawa di sana sini mendengar sajak yang lucu ini. Kim Hong juga memandang dan memang pemuda tampan itu nampak lucu pada saat menggoyang-goyangkan kepala sambil membaca sajak itu. Apa lagi kata terakhir yang membayangkan ketakutan itu, diucapkan dengan mata terbelalak dan muka membayangkan kengerian. Thian Sin berbisik, "Dia inikah...?" Kim Hong menggeleng. "Entah, tapi dia lucu." Pada saat itu nampak seorang gadis muda memasuki rumah makan, langsung disambut dengan penuh kehormatan oleh kepala pelayan sendiri. "Selamat sore, nona. Silakan duduk. Apakah nona sudah pesan seperti biasa? Untuk beberapa orangkah?" Gadis itu tersenyum dan jantung Thian Sin berdebar. Gadis yang manis dan mempunyai daya pesona yang kuat! Terutama sekali lesung pipit pada pipi kiri dan tahi lalat kecil di bawah mata kanan itu. Sungguh menyegarkan mata! Usia gadis itu kurang lebih dua puluh satu tahun dan melihat dandanannya, tentu seorang nona yang kaya raya. Pinggangnya tak seramping pinggang Kim Hong, akan tetapi dada dan pinggul yang membusung itu mendatangkan gairah. "Kali ini aku sendirian saja, Kwa-lopek. Sediakan masakan kesukaanku, cepatan sedikit karena aku tidak akan lama di sini." jawab gadis itu dan dari percakapan antara gadis itu dan si kepala pelayan, mudah diduga bahwa tentu gadis ini amat dikenal dan merupakan seorang langganan yang amat baik dari restoran besar ini. Thian Sin juga melihat betapa beberapa orang yang berada di situ, mengangguk dengan hormat kepada si nona manis. "Lopek, aku ingin duduk di meja ini, tidak begitu panas di sini, memperoleh angin dari luar. Malam ini panas sekali!" katanya sambil mengipasi leher dengan kipasnya. Wangi harum menyambar ke arah meja Thian Sin dari gerakan kipas itu. Meja yang dipilih adalah meja yang berdekatan dengan meja Thian Sin, di antara meja pendekar itu dan meja pemuda yang bersajak tadi. Akan tetapi meja itu dipakai oleh dua orang laki-laki bersama isteri mereka. Sesudah mendengar bahwa nona itu memilih meja mereka, empat orang itu cepat-cepat bangkit berdiri dan berkata kepada kepala pelayan, "Biarlah hidangan kami dipindahkan ke meja lain agar meja ini dapat dipakai oleh nona..." Gadis manis itu hanya memandang pada mereka dengan sedikit menganggukkan kepala sebagai pernyataan terima kasih. Mendongkol juga rasa hati Kim Hong melihat ini. "Ini namanya tak mengenal budi!" katanya agak keras sehingga tentu saja terdengar oleh nona itu, akan tetapi karena dia bicara bukan sebagai penyerang langsung, nona itu pun hanya melirik saja. Setelah dua pasangan itu pindah dan meja dibersihkan, nona itu kemudian duduk sambil mengipasi lehernya. Dia mengambil sebuah tas kecil yang lalu dibukanya, dan dibereskan rambutnya sambil memandang sebuah cermin kecil yang berada di dalam tas. Akan tetapi, Thian Sin yang berada di belakang gadis itu tetapi agak ke samping, sempat melihat cermin itu dan melihat sepasang mata jeli yang memandang langsung kepadanya, kemudian sebuah di antara dua mata jeli itu berkedip kepadanya! Kedipan yang memang disengaja, kedipan yang ada maksudnya! Dan sekarang nampak sepasang bibir merah di cermin itu tersenyum kepadanya, memperlihatkan deretan gigi putih mengintai dari balik daging merah mulut itu! Sebuah tantangan yang manis! Akan tetapi, kalau Thian Sin tertarik memandang kepada gadis manis itu melalui cermin di dalam tas yang sengaja diarahkan kepadanya, sebaliknya dengan diam-diam Kim Hong memperhatikan pemuda yang bersajak tadi. Pemuda itu pun jelas kelihatan tertarik sekali kepada gadis ini, dan wajah yang tadinya mengandung seri jenaka itu kini berubah serius, akan tetapi tetap saja kekaguman terbuka terpancar dari matanya pada saat memandang gadis itu, seperti ketika memandang kepadanya. Diam-diam ada rasa tidak enak di hati Kim Hong, seolah-olah dia merasa bahwa dia telah memperoleh seorang saingan yang cukup berat! Maka dia mengerling ke arah gadis itu dan matanya yang tajam sempat melihat wanita itu mempermainkan cermin kecil di dalam tasnya. Akan tetapi, biar pun ia tahu bahwa melalui cemin itu si gadis manis tentu sedang menyelidiki sesuatu, Kim Hong tidak tahu bahwa wajah Thian Sin-lah yang terpantul di dalam cermin yang dipermainkan oleh jari-jari tangan gadis itu. Sebagai seorang langganan yang baik, tentu saja pesanan nona itu mendapat pelayanan yang cepat sekali. Sebentar saja, semua hidangan yang dipesannya sudah datang, diatur di atas meja depan nona itu, mengepulkan uap panas. Karena ia hanya seorang diri saja, maka yang dipesannya hanya empat macam masakan sehingga meja itu terlampau besar baginya, sebab sebagian besar meja itu masih kosong. Nona itu pun mulai makan dengan sikap tenang, sedikit pun tidak merasa canggung biar pun dia tahu bahwa banyak pasang mata lelaki memandang kepadanya, sebagian besar secara melirik sembunyi-sembunyi, kecuali mata beberapa orang laki-laki, termasuk mata pemuda sastrawan tadi yang duduk berhadapan dengannya, serta mata Thian Sin yang duduk di arah belakangnya. Thian Sin melihat pula betapa pemuda sastrawan itu menatap wajah orang yang sedang makan dengan asyik sekali. Hemm, agaknya dia akan membuat sajak dari gerakan mulut gadis yang tengah makan itu, pikirnya mendongkol karena tempat duduk pemuda itu lebih trategis apa bila dibandingkan dengan tempat duduknya yang hanya memungkinkan dia memandang wajah itu dari samping agak belakang saja. "Huh, jalangmu kumat pula!" Mendadak terdengar bisikan Kim Hong dan sebuah cubitan pada pahanya hampir membuat Thian Sin menjerit. "Hushhh..." Bisiknya membalas. "Siapa tahu dia adalah kakap pula..." "Memang kakap untuk kejalanganmu!" hati Kim Hong masih panas akibat melihat pemuda sastrawan itu agaknya mengalihkan perhatian, tertarik kepada si gadis yang baru datang saja sudah membuat hatinya panas, merasa tersaing. Apa lagi dia melihat Thian Sin juga longak longok! Dia mengenal watak Thian Sin yang romantis, yang senang akan kecantikan wanita dan hatinya mudah jatuh pada wajah cantik, akan tetapi dia pun tahu bahwa di lubuk hatinya, Thian Sin hanya mencinta dia seorang. Dan ia pun tahu bahwa ia tak dapat menyalahkan Thian Sin, karena dia sendiri selalu tertarik dan kagum apa bila melihat pria tampan dan gagah, walau pun cintanya hanya untuk Thian Sin seorang.....

Jilid 3

TIBA-TIBA semua orang menengok ketika melihat masuknya seorang laki-laki tinggi besar yang berjalan agak sempoyongan. Jelas bahwa lelaki tinggi besar ini sudah agak mabok, maka sungguh mengherankan sekali, kenapa orang yang sudah agak mabok, yang berarti sudah terlalu banyak minum arak, sekarang memasuki restoran? Seorang pelayan segera menyambutnya. "Tuan hendak makan? Silakan, di sudut belakang masih ada meja kosong." Walau pun di ruangan depan juga masih tersisa beberapa buah meja yang kosong, akan tetapi pelayan yang cerdik ini sengaja memilihkan di sudut belakang agar orang tinggi besar yang sudah agak mabok dan kelihatannya kasar ini tidak mengganggu tamu-tamu lainnya. Si tinggi besar yang usianya hampir empat puluh tahun itu melotot. Mukanya kasar dan kumis serta jenggotnya tidak terpelihara, pakaiannya juga kumal akan tetapi keseluruhan tubuhnya membayangkan kekuatan dan kekasaran. "Apa katamu? Di belakang? Tidak. Aku ingin duduk di meja ini!" Sambil berkata demikian, dia menunjuk ke arah meja yang sudah ditempati nona manis yang sedang makan itu. Pelayan itu terkejut. "Harap tuan tidak membikin ribut, meja ini sudah ditempati oleh nona ini, apakah tuan tidak melihatnya?" "Peduli apa? Yang dipakai hanya separuh meja juga tak ada, masih banyak bagian yang kosong! Dia hanya sendirian, ada pun meja ini untuk delapan orang! Masa mau diborong sendiri? Pula, tidak baik membiarkan wanita muda dan cantik seperti dia ini duduk makan sendirian saja! Boleh kan aku duduk di sini menemanimu, manis?" Gadis itu berhenti makan, memandang dengan alis berkerut. "Hemmm, siapakah engkau? Tidak kenalkah engkau siapa aku maka berani kurang ajar?" gadis itu bertanya. Si tinggi besar tertawa bergelak. "Hua-ha-ha-ha, karena belum kenal maka sekarang kita berkenalan! Aku Can Hoa, orang-orang menyebutku Hai-pa-cu (Macan Tutul Laut), di kota Yen-tai namaku terkenal sekali. Nona siapakah?" Dan si tinggi besar ini mau duduk begitu saja di atas bangku dekat nona itu. "Pergilah dan jangan ganggu aku!" Nona itu berseru dan tangannya menampar ke arah muka orang itu. "Plakkk!" Si tinggi besar itu menangkis dan akibatnya, nona cantik itu hampir saja terjatuh dari atas bangkunya! Kiranya si tinggi besar itu menggunakan tenaga keras. "Ha-ha-ha-ha, nona manis, jangan terlalu galak Hai-pa-cu tidak biasa menghadapi wanita galak karena biasanya semua wanita jinak kepadaku, ha-ha-ha-ha!" Hai-pa-cu Can Hoa itu tertawa bergelak. Nona itu terkejut akan tetapi tidak kelihatan takut, bahkan ia menjadi marah dan meloncat turun dari atas bangkunya, alisnya terangkat dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi. "Bangsat kurang ajar! Berani engkau mengganggu orang di tempat ini?" teriaknya dan ia pun sudah siap untuk menyerang si tinggi besar itu. Dari gerak-geriknya, Thian Sin dan Kim Hong maklum bahwa gadis itu pun bukan orang sembarangan dan belum tentu kalah kalau hanya oleh penjahat kasar itu saja. Kalau tadi nona itu hampir terjatuh dari atas bangkunya ketika si penjahat menangkis, adalah karena nona itu tidak menyangka bahwa si penjahat akan menangkis dengan pengerahan tenaga besar. Akan tetapi sebelum gadis itu bergerak, mendadak terdengar suara nyaring, "Maaf, nona. Saya kira sungguh tidak layak mempergunakan sebatang tongkat gading untuk memukul seekor anjing kudisan. Hanya akan mengotori tongkat indah itu saja." Gadis itu memutar tubuh menengok ke kanan dan ternyata yang berbicara itu adalah si sastrawan muda yang sejak tadi makan seorang diri. Kini pemuda itu sudah bangkit dan meninggalkan mejanya, melangkah menghampiri nona muda yang cantik manis itu, lantas menjura dengan sikap sopan sekali. Gadis itu memandang heran karena dia tidak pernah mengenal pemuda itu. Pula, dia pun tidak mengerti apa yang dimaksudkannya. "Apa maksudmu?" tanyanya ragu. Pemuda itu tersenyum sehingga nampak betapa tampannya wajah itu, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. "Maksudku, nona. tidak sepatutnya jika menggunakan tangan nona untuk menghajar anjing ini. Biarkan aku yang mewakilimu untuk menghajar dia agar dia tahu sopan santun sedikit!" Tanpa menanti jawaban nona itu, si sastrawan muda segera membalik dan menghadapi penjahat tinggi besar yang kini kelihatan agak ragu-ragu melihat ada orang berani campur tangan. "Hai, kamu Hai-ci-cu (Tikus Laut), apakah kamu tidak pernah sekolah?" Pertanyaan itu terdengar begitu wajar dan akrab sehingga si tinggi besar terbawa hanyut dan otomatis dia pun menggelengkan kepala. "Tidak..." Akan tetapi dia pun segera sadar dan mukanya menjadi merah, lalu mengepal tinju. "Bocah lancang! Mau apa engkau mencampuri urusanku?" Ia pun melangkah maju sambil mengamangkan tinjunya yang besarnya hampir sama dengan besar kepala pemuda itu. "Apa kau ingin kepalamu pecah?" Pemuda itu dengan lagak lucu meraba-raba kepalanya. "Kepala pecah? Wah, jangan ahh, kepala cuma satu dipecah, lalu ke mana aku harus mencari gantinya?" "Pemuda gila, pergilah, jangan sampai aku marah!" Hai-pa-cu Can Hoa membentak lagi sambil mengamangkan tinjunya ke depan hidung pemuda itu. Si pemuda mengernyitkan hidungnya, lalu menggunakan dua jari tangannya untuk menutup lubang hidungnya sambil mundur dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Huh, tanganmu bau! Tentu engkau tidak pernah mencuci tangan dan tak pernah mandi!" katanya. Karena hidungnya sedang dijepit jari, maka suaranya menjadi lucu dan bindeng, membuat beberapa orang yang berada di situ tak dapat menahan ketawa mereka. Biar pun semua tamu maklum bahwa si tinggi besar itu adalah seorang penjahat, akan tetapi karena tidak ada yang mengenalnya, maka kesannya tak begitu menakutkan. Apa lagi mereka semua rata-rata mengenal siapa adanya gadis manis yang diganggu itu maka tentu saja mereka semua berpihak kepada si nona dan semua orang menganggap bahwa si tinggi besar itu sungguh mencari penyakit. Munculnya pemuda sastrawan yang juga tidak dikenal orang itu mendatangkan kegembiraan dan keinginan tahu. Si Macan Tutul Laut menjadi marah bukan main. Tadi dia sudah dimaki Tikus Laut, dan sekarang dikatakan tangannya bau dan dia tidak pernah mandi. Mukanya yang berkulit kasar hitam itu menjadi semakin hitam. "Bangsat bermulut lancang! Engkau benar-benar sudah bosan hidup!" Setelah berteriak demikian, si tinggi besar ini sudah menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang itu bergerak ke depan mengirim serangan. Memang serangannya itu cukup dahsyat, yang kanan menghantam ke arah kepala lawan sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah dada. Semua serangan ini dilakukan dengan pengerahan tenaga yang besar sehingga membawa angin pukulan yang cukup kuat. Akan tetapi, pemuda yang nampaknya lemah dan lucu itu sama sekali tidak merasa takut atau gentar, juga tidak nampak gugup sedikit pun juga. Menghadapi serangan seperti itu, dengan tenang saja dia melangkah mundur sambil menarik kepalanya ke belakang dan kedua tangan lawan yang menyerangnya itu hanya mampu mendekati saja akan tetapi sama sekali tidak sampai mengenai tubuhnya! Dan dia pun masih sempat menengok ke arah nona manis itu sambil tersenyum dan mengedipkan matanya, seakan-akan memberi isyarat, bahkan dia pun sempat berkata, "Mari kita semua lihat, siapa yang bosan hidup. Anjing kudisan semacam dia ini berani mengganggu seorang siocia terhormat di tempat umum, sungguh dialah sebenarnya yang bosan hidup!" Dia masih juga berkata-kata ketika serangan ke dua datang dengan hebatnya. Sekali ini, karena si tinggi besar sudah dapat menduga bahwa pemuda yang kelihatannya lemah itu sebenarnya bukan lawan yang boleh dipandang ringan, telah mengirim serangan dengan lebih dahsyat lagi, terdorong oleh rasa marahnya. Dan nona itu pun memandang dengan bingung. Thian Sin dan Kim Hong yang sejak tadi duduk tenang sambil memperhatikan, melihat betapa nona itu nampak bingung melihat ada orang membantunya. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari pandang mata mereka yang tajam dan mereka merasa alangkah anehnya sikap nona itu. Seolah-olah nona manis itu tidak menghendaki bantuan pemuda tampan itu. Sementara itu, serangan yang ke dua itu pun dielakkan dengan amat mudahnya oleh si pemuda yang masih tersenyum-senyum. "Hati-hati, jangan kau membuat rusak perabot rumah makan ini, karena engkau harus menggantinya nanti!" Pemuda itu masih sempat memperingatkan kepada penyerangnya yang menjadi semakin marah. Sesudah empat lima kali menyerang namun gagal dan selalu mengenai tempat kosong, akhirnya si tinggi besar itu mencabut senjatanya dari pinggangnya, yaitu sepotong rantai baja yang tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang atau sabuk. Rantai ini besar dan berat, terbuat dari pada baja, seperti rantai yang biasa dipergunakan oleh tukang perahu. Sepasang matanya yang besar melotot dan kemerahan, mulutnya cemberut, sedangkan hidungnya kembang kempis pada waktu si tinggi besar itu melangkah maju menghampiri pemuda yang mengganggunya. "Wah, apakah engkau tukang perahu? Ataukah biasa menjagal kerbau dan rantai itu biasa kau pakai untuk mengikat kerbau yang hendak kau sembelih? Hati-hati, rantai itu berat, jangan main-main, bisa-bisa menimpa kepalamu sendiri hingga benjol!" Pemuda itu terus memperolok dan semua orang yang kini sudah mulai percaya bahwa pemuda itu adalah seorang yang mempunyai kepandaian lihai tertawa, bahkan ada pula yang berteriak agar si pemuda menghajar orang kasar yang telah menghina gadis itu. Si gadis itu sendiri tidak lagi duduk menghadapi mejanya, melainkan mundur-mundur dan mendekati meja Thian Sin dan Kim Hong. Ketika Thian Sin memandang dan gadis itu pun kebetulan memandang kepadanya, sepasang mata Thian Sin bertemu dengan sepasang mata yang bening dan jeli, yang mengeluarkan sinar lain dari pada tadi. Apa bila tadi sepasang mata di dalam cermin itu seperti menantang dan merangsang, kini sepasang mata itu seperti mengirim suatu permohonan, yaitu agar Thian Sin membantu dirinya. Hal ini terasa benar oleh Thian Sin! Akan tetapi karena penjahat kasar itu sudah dihadapi oleh si pemuda sastrawan dan dia mulai percaya bahwa pemuda itu akan dapat mengatasinya, maka Thian Sin tidak bergerak dari tempat duduknya. Kim Hong juga diam-diam merasa kagum terhadap pemuda sastrawan itu. Tak diduganya bahwa pemuda sastrawan yang tadi bersajak dengan lucu, selain memiliki watak gagah berani membela wanita yang diganggu orang, juga ternyata mempunyai kepandaian yang mengagumkan. Cara pemuda itu mengelak, tanpa gerakan silat, seperti gerakan biasa saja, akan tetapi sedikit pun serangan-serangan si tinggi besar tak pernah mampu menyentuhnya, menjadi bukti bahwa pemuda itu memang mempunyai ilmu silat yang sudah mendarah daging dan tinggi sehingga setiap gerakannya otomatis mengandung gerakan silat. Juga pemuda itu mempunyai keberanian yang besar, terbukti saat melihat lawannya mengeluarkan senjata rantai baja yang berbahaya itu, dia masih dapat menghadapinya dengan olok-olok, sedikit pun tidak merasa gentar. Padahal, Thian Sin dan Kim Hong dapat melihat bahwa penjahat itu bukan hanya kasar dan bertenaga besar, melainkan juga memiliki kepandaian yang tidak rendah dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Melihat gerakan orang kasar itu, Thian Sin dan Kim Hong dapat mengukur bahwa kepandaian si kasar ini sedikitnya tidak kalah oleh tingkat kepandaian seorang di antara Siang-to Ngo-houw! Jadi dia bukan penjahat sembarangan saja, melainkan seorang penjahat yang sudah boleh dianggap sebagai tokoh dalam dunia kaum sesat. Dugaan Pendekar Sadis dan kekasihnya ini memang tidak keliru. Memang Hai-pa-cu Can Hoa sudah terkenal sekali di kota Yen-tai dan sekitarnya. Tentu saja dia tidak dikenal di kota raja dan dia belum cukup besar untuk berani beraksi di kota raja, di mana banyak terdapat penjahat besar dan orang-orang pandai. Maka, sungguh merupakan suatu keanehan kalau sekarang penjahat ini berani beraksi di kota raja, apa lagi mengganggu seorang nona cantik yang sudah dikenal banyak orang di tempat umum. Seolah-olah penjahat dari Yen-tai itu memang sengaja mencari perkara! "Wirrr... siuuuuttt...!" Rantai baja yang panjangnya ada satu setengah meter itu menyambar ganas dari atas ke bawah, ke arah kepala si pemuda sastrawan. "Uhhhh... luput!" Pada detik-detik terakhir pemuda itu meloncat ke kiri sehingga rantai itu menyambar tempat kosong. Sebelum rantai itu menyentuh lantai, tangan yang kuat itu menyendalnya hingga rantai itu segera membalik dan kini dari bawah menyambar ke samping, ke arah kedua kaki lawan. Gerakan ini saja menunjukkan bahwa Hai-pa-cu memang sudah mahir sekali memainkan rantainya, dan juga tenaganya besar bukan main sehingga rantai itu seolah-olah hidup di tangannya. "Eeiiittttt... tidak kena lagi!" Si pemuda mengejek sambil meloncat ke atas, membiarkan rantai itu menyambar lewat di bawah kedua kakinya. Akan tetapi baru saja kakinya turun, rantai itu sudah menyambar lagi, kini dari atas ke bawah lagi, dengan gerakan menyerong ke kiri. "Heiiittt...., luput lagi, sayang!" Lagi-lagi si pemuda mengelak dengan gerakan cepat bukan main, gerakannya seperti kacau balau, laksana monyet menari saja. Akan tetapi di dalam pandangan Thian Sin dan Kim Hong, mereka melihat kematangan gerak yang amat mengagumkan sehingga mereka menduga bahwa pemuda itu agaknya adalah seorang ahli silat tinggi, tentu seorang pendekar yang menyamar. Maka tentu saja keduanya merasa tertarik sekali. "Wuuuttt...! Prakkk...!" Sambaran rantai yang luput mengenai tubuh si sastrawan muda untuk ke sekian kalinya, kini menimpa meja. Pecahlah meja itu dan mangkok piring pun pecah berhamburan. "Wah-wah-wah, apa kukata? Engkau memecahkan meja dan mangkok yang tadi kupakai. Engkau harus menggantinya! Sialan, jangan-jangan aku yang disuruh mengganti. Engkau pantas dihajar!" Hai-pa-cu menjadi semakin marah dan sekarang dia sudah menubruk kembali, rantainya menyambar dengan membuat gulungan sinar melengkung lebar dari samping. Si pemuda menyambutnya dengan tangan. "Plakkk!" Dan ujung rantai itu membelit lengan si pemuda. Wajah si tinggi besar itu menyeringai kegirangan dan mengira bahwa sekarang dia dapat membalas. Ditariknya rantai itu dengan pengerahan tenaga agar pemuda itu terbawa dan terpelanting. Namun, ternyata tubuh pemuda itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah seorang anak kecil menarik batu karang saja! Dan pemuda itu pun tersenyum-senyum, lalu tiba-tiba saja kakinya bergerak menendang, mula-mula kaki kiri lantas disusul kaki kanan. Tendangan pertama mengenai pergelangan tangan si tinggi besar yang memegang gagang rantai. Tidak keras, namun karena ujung sepatunya dengan tepat mengenai jalan darah, Hai-pa-cu langsung mengeluarkan seruan kaget, lengannya seperti lumpuh sehingga tangannya tidak mampu lagi mempertahankan rantainya yang terampas. Sebelum dia tahu apa yang sudah terjadi, tendangan ke dua datang. Kiranya pemuda itu menggunakan tendangan Soan-hong-twi, yaitu semacam tendangan berantai yang dapat dilakukan terus-menerus secara bergantian oleh kedua kaki. "Desss...!" Tendangan itu sangat keras dan tepat bersarang di dada Hai-pa-cu. Agaknya sekali ini si pemuda telah mengerahkan tenaga sinkang-nya karena tubuh lawan yang tinggi besar itu terlempar keras ke arah... meja Thian Sin dan Kim Hong! Kalau tubuh tinggi besar yang terlempar itu terbanting dengan kerasnya ke atas meja, tentu meja itu akan remuk dan akan menimpa masakan-masakan di dalam mangkok yang tentu akan membuat kuah masakan memercik ke muka dan pakaian Thian Sin dan Kim Hong. Mereka tentu saja tidak menghendaki hal ini terjadi, maka keduanya sudah bangkit berdiri dan mengulur lengan. Dengan berbareng tangan mereka menerima tubuh itu dan mendorongnya kembali ke arah si pemuda sastrawan! Melihat ini, pemuda sasterawan itu berseru kagum. "Bagus sekali!" Memang gerakan Thian Sin dan Kim Hong itu amat hebat dan hal ini hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Dapat mendorong kembali tubuh yang sedang melayang deras itu membutuhkan tenaga sinkang yang lembut dan kuat. Bukan melawan tenaga luncuran tubuh yang melayang itu, akan tetapi memutarnya sedemikian rupa sehingga tenaga luncuran itu tidak patah justru ditambah oleh tenaga mereka berdua sehingga si tinggi besar itu kini melayang ke arah si sastrawan muda dengan lebih cepat dari pada tadi! Hal ini memang disengaja oleh Thian Sin dan Kim Hong. Mereka tahu bahwa pemuda itu sudah mengenal mereka, atau setidaknya sudah maklum akan kepandaian mereka, maka tadi si pemuda sengaja melontarkan Hai-pa-cu ke arah mereka. Tentu dengan niat untuk menguji, maka kini mereka pun ingin menguji pemuda sastrawan yang aneh itu. Akan tetapi, agaknya pemuda sastrawan itu tidak berani menyambut lontaran yang kuat itu dengan tenaga sinkang, melainkan dia miringkan tubuhnya dan mencengkeram leher baju si tinggi besar itu, kemudian dengan bentakan nyaring dia langsung melemparkan tubuh itu ke arah pintu rumah makan sambil berseru, "Pergilah!" Tubuh Hai-pa-cu terbanting keluar rumah makan diiringi sorakan dan ejekan banyak orang. Si tinggi besar yang tadi bersikap sombong dan mengaku sebagai jagoan dari Yen-tai itu tidak berani banyak lagak lagi. Tanpa menoleh dia pun merangkak bangkit dan segera melarikan diri dengan terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu. Pemuda sastrawan itu kini menghampiri si gadis manis yang masih berdiri di dekat meja Thian Sin, menjura dengan senyum ramah. "Jangan khawatir, nona. Anjing itu telah kuusir dan persilakan nona melanjutkan menikmati hidangan nona." Gadis itu yang tadinya sedang memandang kepada Thian Sin, kini menoleh dan terpaksa menghadapi pemuda itu, mengangguk dan tanpa berkata apa pun lantas kembali duduk menghadapi mejanya. Tentu saja pemuda sastrawan itu melongo menghadapi sikap yang dingin ini. Bukankah dia telah menolongnya dan mengusir laki-laki yang kasar tadi? Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak memperlihatkan terima kasih, bahkan ramah sedikit pun tidak! Dan pada saat itu, kepala pelayan sudah datang dan menghampirinya, menjura sambil berkata dengan suara lirih dan hati-hati. "Maaf, kongcu. Meja dan perabot makan itu..." Pemuda itu agaknya masih merasa mendongkol oleh sikap si gadis yang tidak mengenal budi, maka kini dia menoleh memandang meja yang pecah-pecah serta perabot makan yang hancur, lalu mengangkat pundaknya. "Kau tadi melihat sendiri, yang membikin rusak adalah anjing besar itu. Apakah aku yang harus menggantinya?" "Tapi... maaf, orang tadi sudah pergi dan dia berkelahi di sini dengan kongcu...," Biar pun merasa segan, namun kepala pelayan itu terpaksa menuntut karena dia pun takut untuk mempertanggung jawabkan kerusakan dan kerugian itu kepada majikannya. Dan apa yang dilakukannya itu, yaitu menuntut kepada si pemuda sastrawan, juga bukan merupakan hal yang tidak benar karena bukankah perkelahian itu terjadi antara si tinggi besar dan si pemuda sastrawan? Dan karena si tinggi besar sudah pergi, siapa lagi kalau bukan pemuda itu yang harus menggantinya? Apa lagi pemuda itu tidak kelihatan sebagai seorang miskin. "Sudahlah, lopek. Masukkan semua kerugian itu ke dalam perhitunganku. Aku yang akan membayar ganti ruginya." Tiba-tiba gadis itu berkata, tanpa mengangkat muka dan terus melanjutkan makan seolah-olah tidak terjadi sesuatu. Pemuda sastrawan itu tersenyum dan mendekati meja nona itu. "Ahh, sebenarnya tidak perlu begitu, nona. Biarlah aku saja yang mengganti semua kerugian." "Biarlah, karena aku yang menjadi gara-gara semua itu, sungguh pun aku sama sekali tidak pernah minta atau mengharapkan bantuan darimu." Jawaban ini sungguh dingin dan anehnya, kembali nona itu melirik ke arah Thian Sin sehingga Kim Hong yang sejak tadi melihat ini, mengerutkan alisnya. Pasti ada apa-apanya sikap gadis ini terhadap Thian Sin, pikirnya. Bagi Kim Hong, tidak heranlah melihat gadis-gadis tertarik kepada kekasihnya yang memang amat tampan dan ganteng, namun mengapa gadis ini begitu memperhatikan Thian Sin, padahal, bukankah yang telah membantunya adalah pemuda sastrawan itu dan pemuda itu pun sama sekali tidak dapat dibilang buruk, bahkan tampan dan menarik sekali! Hemm... pasti ada kutang di balik baju. Akan tetapi, pemuda itu tidak nampak bingung atau kecewa mendengar ucapan itu. "Aku mengerti, nona. Aku tahu bahwa tanpa bantuanku sekali pun, anjing itu sama sekali tidak akan mampu mengganggumu. Hanya kupikir, tidak sepantasnya kalau nona sendiri yang turun tangan menghajar orang kasar macam dia. Padahal, andai kata tidak ada aku sekali pun di hadapan nona, terutama dengan hadirnya dua orang pendekar yang berilmu tinggi seperti kedua orang yang duduk di sebelah kiri itu, penjahat kecil semacam Hai-pa-cu itu akan mampu berbuat apakah?" Berkata demikian, pemuda itu menoleh kepada Thian Sin dan Kim Hong, lalu menjura ke arah mereka. Gadis itu pun menoleh, kemudian dia pun tersenyum manis kepada Thian Sin. "Aku pun tahu dan merasa kagum sekali kepada mereka," lanjut pemuda itu. Mendengar ini, Kim Hong tertawa dan berkata, "Ehh, sobat sastrawan yang hebat, setelah mejamu remuk, mengapa engkau tidak makan bersama kami sekalian belajar kenal?" Thian Sin juga cepat bangkit dan menjura kepada gadis itu. "Agaknya kita semua saling mengagumi, bagaimana jika kita berempat makan semeja dan minta disediakan hidangan baru yang segar? Sudikah nona...?" Tidak seperli ketika menghadapi pemuda sastrawan tadi, kini gadis ini tersenyum manis dan berkata, "Terima kasih, aku pun ingin sekali berkenalan dengan ji-wi..." Lalu gadis tu memanggil pelayan, menyuruh pelayan membersihkan meja baru dan mereka berempat pun lalu duduk di satu meja. "Ha-ha-ha-ha, sungguh baik sekali nasibku hari ini. Perkenalkanlah, aku she Bu bernama Kok Siang seorang pelancong dari Thian-cin. Sungguh berbahagia sekali hatiku karena dapat berkenalan dengan tiga orang yang lihai dan amat mengagumkan." Sambil berkata begini, pemuda itu bangkit dan menjura kepada mereka bertiga, satu demi satu, sikapnya akrab, ramah dan kocak sekali sehingga Kim Hong tersenyum dan merasa semakin suka kepada sastrawan yang berwatak lembut, tidak pemarah dan selalu gembira ini. "Aku she Bouw, bernama In Bwee." kata gadis itu, lebih ditujukan kepada Thian Sin dari pada kepada dua orang yang lain karena ketika memperkenalkan dirinya, matanya tidak pernah melepaskan wajah Thian Sin. "Nama yang amat indah!" kata Bu Kok Siang, sastrawan muda yang usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun itu. "Dan aku pun pernah mendengar bahwa di kota raja ada seorang hartawan besar. Nama Bouw-wan-gwe (Hartawan Bouw) sudah sangat terkenal, bukan hanya karena kaya raya melainkan juga karena dermawan..." "Ahhh, itu hanya berita yang dilebih-lebihkan. Bouw-wan-gwe adalah ayahku, dan jangan terlalu memuji...," kata Bouw In Bwee dan sekali ini mau tidak mau dipandangnya Kok Siang sambil tersenyum simpul. "Aha, ternyata puteri Bouw-wan-gwe! Wah, dibandingkan dengan harta kekayaan orang tuamu, aku tidak lebih hanya seorang jembel saja, siocia!" kata pula Kok Siang. "Hemm, saudara Bu terlalu merendahkan diri," tegur Kim Hong tersenyum. "Eh, eh, sampai lupa. Ji-wi (kalian berdua) belum memperkenalkan diri," kata Kok Siang, dan sepasang pendekar itu melihat sinar aneh berkilat dari kedua mata pemuda itu, sinar kecerdasan sehingga mereka dapat menduga bahwa di balik sikap yang acuh tak acuh itu sebenarnya tersembunyi perhatian yang besar. "Namaku Ceng Thian Sin dan dia adalah Toan Kim Hong." kata Thian Sin sambil lalu, tapi dia memperhatikan kalau-kalau kedua orang itu mengenal namanya. Akan tetapi gadis itu tidak kelihatan terkejut, dan pemuda itu pun hanya mengerutkan alisnya. "Ceng Thian Sin...? Serasa pernah aku mendengar nama ini, seperti tidak asing bagiku, akan tetapi... baru sekarang aku berjumpa dengan taihiap..." "Ahh, buang saja taihiap itu, engkau sendiri pun berkepandaian hebat, saudara Bu." "Tidak ada sekuku hitam Ceng-taihiap dan juga Toan-lihiap... ahh, nama Toan Kim Hong sungguh indah sekali!" Kim Hong tersenyum dan menatap wajah ganteng itu. "Hik-hik, agaknya saudara Bu Kok Siang ini selain pintar bersajak, pintar ilmu silat, juga memiliki kepandaian untuk merayu dan memuji-muji nama wanita. Sungguh mempunyai banyak macam kepandaian!" Ucapan ini sebenarnya dapat dianggap sebagai tamparan, akan tetapi karena Kim Hong mengatakannya dengan nada sungguh-sungguh, bukan mengejek, dan sambil tersenyum manis, maka pemuda itu pun tertawa gembira. Mereka segera makan minum sambil bercakap-cakap gembira. Thian Sin dan Kim Hong mendengar bahwa In Bwee selain menjadi puteri seorang hartawan yang kaya, juga sejak kecil dia mempelajari ilmu silat hingga mencapai tingkat yang cukup tinggi sehingga andai kata tadi Kok Siang tidak turun tangan, dia sendiri pun akan sanggup menghajar penjahat kasar itu. Karena selain sebagai seorang gadis kaya, juga dia merupakan seorang gadis ahli silat, maka tidaklah mengherankan kalau In Bwee suka melakukan perjalanan seorang diri, dan malam itu memasuki restoran tanpa teman lagi, seperti biasanya seorang gadis kang-ouw yang bebas. Ada pun Bu Kok Siang, menurut pengakuannya adalah seorang perantau yang bertempat tinggal di kota Thian-cin dan kebetulan sedang melancong ke kota raja. Baru tiga hari dia berada di kota raja. Semua nampaknya kebetulan saja, akan tetapi diam-diam pasangan pendekar ini menduga dengan penuh keyakinan bahwa kedua orang muda yang menjadi teman baru itu sama sekali bukan secara kebetulan saja bertemu dengan mereka. Malah kemunculan Hai-pa-cu tadi pun bukan tidak mungkin sudah direncanakan terlebih dahulu. Akan tetapi, tentu saja mereka tidak mau menyinggung soal ini. Semakin cerdik keadaan lawan, makin menariklah permainan itu! Mereka sendiri mengaku sebagai dua orang yang melancong kota raja, datang dari utara tanpa memberi tahu mengenai hubungan mereka berdua. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka adalah teman-teman baik saja. Mereka lalu berpisah sebagai kawan-kawan baru setelah saling berjanji akan berkunjung ke rumah Bouw In Bwee yang mengundang mereka. Akan tetapi yang terutama mendapat perhatian dan undangan khusus dari In Bwee adalah Thian Sin. "Tidak salah lagi, mereka berdua itu tentu ada hubungannya dengan urusan ini," demikian kata Thian Sin setelah mereka tiba di kamar hotel mereka. "Aku pun berpendapat begitu. Dan gadis itu memiliki she Bouw, sungguh kebetulan sekali she-nya sama dengan she dari kepala penjahat besar di kota raja yang pernah kita dengar dari Liong-kut-pian Ban Lok itu." "Kau maksudkan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng?" Kim Hong mengangguk. "Sikapnya sungguh mencurigakan sekali dan... dan... dia selalu memperhatikan engkau, juga kelihatan selalu hendak memikat..." "Ehhh, kau cemburu?" Tentu saja sejak tadi Thian Sin sudah dapat mengetahui betapa In Bwee selalu memikatnya dan betapa Kim Hong melihat hal ini dengan perasaan cemburu yang disembunyikan. "Siapa cemburu? Sastrawan itu pun ganteng dan menarik sekali!" jawab Kim Hong. Thian Sin maklum bahwa kekasihnya itu sengaja menyebut-nyebut nama Kok Siang untuk membalasnya. "Pemuda itu pun patut diperhatikan, dia tidak kalah menarik dan mencurigakan dari pada In Bwee. Karena itu, aku ingin agar engkau mencari dan menyelidikinya." "Dan engkau sendiri akan menyelidiki In Bwee?" "Tepat! Kita membagi tugas dan kurasa dari mereka itulah kita akan mengetahui tentang rahasia peta yang hilang." "Hemm, tugas yang manis dan menyenangkan bagimu, ya?" "Kim Hong, keadaan kita sama saja." "Maksudmu?" "Aku bisa tertarik kepada In Bwee yang manis, akan tetapi engkau pun bisa saja tertarik kepada Kok Siang yang ganteng. Bukan engkau saja yang bisa cemburu, aku pun bisa." "Jadi..." "Nah, kita uji diri serta batin sendiri. Sedikit main-main, apa salahnya? Dan yang paling penting adalah kita bukan mengejar asmara, namun mengejar rahasia peta. Ingat!" Thian Sin tersenyum. Kim Hong membalas pandang mata itu, dan tersenyum pula. Keduanya pun mengerti, lalu saling rangkul dan keduanya roboh di atas pembaringan sambil tertawa-tawa dan mereka segera tenggelam di dalam lautan kemesraan dan pencurahan kasih sayang mereka satu sama lain. *************** Gadis yang sedang membaca kitab seorang diri di pondak mungil di tengah taman bunga itu sungguh nampak cantik manis di bawah sinar lampu merah. Dan pondok yang terbuka jendelanya itu dipenuhi dengan keharuman bunga-bunga mawar yang sedang mekar dan juga bunga-bunga lain yang memenuhi taman. Tidak ada seorang pun pelayan yang menemani Bouw In Bwee. Memang In Bwee ingin bersendirian membaca kitab dan dia telah mengusir semua pelayan dari pondok di taman bunga keluarganya yang kaya raya. Bulan di luar pondok amat cemerlang karena malam itu memang menjelang bulan purnama yang akan muncul dua malam lagi. Bulan sudah nampak bundar dan cerah. Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di dalam pondok itu sudah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Sekali pria itu mengebutkan lengan bajunya, maka padamlah lampu yang terletak agak jauh, terletak di atas meja! Hal ini membuktikan betapa hebatnya tenaga sinkang dari pria itu. Keadaan dalam pondok mendadak menjadi gelap remang-remang karena kini hanya mendapatkan sedikit penerangan dari cahaya bulan. Akan tetapi In Bwee tidak nampak terkejut. Memang semenjak tadi dia telah menanti. Dia hanya bangkit berdiri, menoleh ke arah pria itu. "Paman...," katanya lirih sebagai sambutan. "In Bwee, bagaimana hasilnya?" "Aku telah berhasil menghubungi mereka, paman. Akan tetapi aku harus bertindak secara hati-hati sekali. Mereka berdua mempunyai ilmu yang amat tinggi, dan mengingat bahwa pemuda itu adalah Pendekar Sadis, hatiku sungguh tidak tenang sekali." "Hemmm..., sudah kukatakan bahwa engkau tak perlu mengandalkan ilmu silatmu. Untuk menghadapinya dalam hal itu, serahkan saja kepadaku kelak. Yang penting engkau harus dapat memikatnya, menarik perhatiannya sehingga dia dapat menceritakan dengan terus terang tentang kunci emas itu. Bagaimana hasilnya malam kemarin itu?" "Sebetulnya, dengan bantuan Hai-pa-cu telah kuatur seperti yang paman kehendaki. Akan tetapi sialan benar, ada yang campur tangan dan sama sekali di luar rencana kita. Muncul seorang sastrawan muda dari Thian-cin bernama Bu Kok Siang yang memiliki kepandaian tinggi juga. Melihat gerakannya ketika dia mengalahkan Hai-pa-cu, tentu kepandaiannya lebih tinggi dari pada tingkatku." "Hemm... jadi engkau gagal karena ulah sastrawan jahil itu?" "Gagal sama sekali sih tidak, sebab aku berhasil berkenalan dengan mereka, juga dengan sastrawan itu tentu saja, dan aku sudah menjadi kenalan mereka, malah sudah kuundang dia untuk datang ke sini..." "Bagus, kau atur saja dan jangan engkau main-main, In Bwee. Jika berhasil, maka selain akan mewarisi ilmu-ilmu simpananku, engkau juga akan memperoleh sebagian dari harta pusaka Jenghis Khan itu. Akan tetapi kalau engkau menolak dan mengkhianatiku, awas kau, aku tidak akan mengampunimu lagi. Ayah bundamu akan mendengar semuanya!" "Paman..." Gadis itu terisak. "Jangan khawatir, aku tidak akan sekejam itu, engkau adalah keponakanku sendiri. Akan tetapi engkau harus mentaati perintahku, hanya sekali ini. Mengerti?" "Baik, paman." "Nah, aku pergi dulu. Lakukan secepat mungkin dan harus berhasil!" Tiba-tiba orang tinggi besar itu berkelebat dan lenyap dari situ seperti setan saja. In Bwee menyalakan lampu dengan jari-jari tangan gemetar. Wajahnya masih agak pucat dan jantungnya berdebar tegang. Setelah lampu menyala, barulah hatinya tenang, akan tetapi pikirannya mengenang keadaan dirinya dan tanpa dapat ditahan lagi gadis itu pun menangis sambil meletakkan kepala di atas kedua lengannya di atas meja. Entah berapa lamanya dia terhanyut dalam kedukaan ini, dia tidak ingat lagi. "Nona In Bwee... kenapa kau menangis...?" In Bwee terkejut bukan main dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat keluar dari kamar pondok itu lantas dia berhadapan dengan seorang pemuda yang tadi berdiri di luar jendela, pemuda yang bersikap tenang dan bukan lain adalah Bu Kok Siang! "Ahh, kiranya engkau..." In Bwee berkata dengan hati lega ketika melihat siapa orangnya yang barusan menegurnya tadi. Akan tetapi segera dia teringat akan kedatangan orang pertama tadi, maka sambil berusaha menatap wajah di bawah sinar bulan yang sayu itu, dia pun bertanya, "Sudah lamakah engkau tiba di sini?" Kok Siang mengangguk. "Lama juga, aku tadi berlindung di balik rumpun bunga di sana." "Ahh...! Jadi... jadi kau tadi melihat...?" Pemuda itu mengangguk. "Ahh...!" In Bwee menjadi terkejut sekali dan menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya. Sentuhan tangan pemuda pada pundaknya itu halus sekali, sama sekali tak mengandung kekurang ajaran dan suara itu tergetar penuh perasaan. "In Bwee... nona... tenangkanlah hatimu. Aku tidak sengaja melihat semua itu tadi, tapi... percayalah aku tak akan pernah mengatakannya kepada siapa pun juga. Aku bersumpah! Dan kau jangan khawatir, aku... aku siap untuk melindungimu dari ancaman apa pun juga, dengan taruhan nyawaku!" Gadis itu menurunkan kedua tangannya dan sampai lama dia memandang wajah pemuda itu, memandang dengan penuh keheranan dan keraguan. Kemudian dia berkata, "Marilah kita bicara di dalam. Di sini bisa terlihat orang lain." Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, In Bwee memasuki pondok itu diikuti oleh Kok Siang. Kemudian, sesudah menutupkan daun jendela, In Bwee bersikap agak tenang dan mencoba untuk menahan getaran suaranya yang masih terguncang. "Bu-kongcu... ehh, saudara Kok Siang, kau duduklah." Mereka duduk berhadapan dan kembali di bawah penerangan lampu kini mereka saling pandang dan sinar mata mereka bertaut sampai lama sekali. Gadis itu lalu menunduk dan menarik napas panjang. "Jawab pertanyaan-pertanyaanku. Pertama, kenapa malam-malam begini engkau datang ke sini, bukan berkunjung sebagai tamu namun datang seperti ini, melalui taman seperti pencuri?" Pertanyaan itu tak mengandung kemarahan, akan tetapi tatapan mata itu demikian tajam seakan-akan gadis itu hendak menjenguk isi hati pemuda itu. Kok Siang yang biasanya berjenaka itu, sekarang nampak serius. "Entahlah... aku tidak dapat tidur... siang tadi aku ingin mengunjungimu akan tetapi selalu teringat akan perbedaan keadaan antara kita, membuat aku ragu-ragu. Tapi malam ini... aku begitu gelisah dan ingin sekali berjumpa denganmu, atau setidaknya melihatmu, atau paling tidak melihat rumahmu dan... di sinilah aku. Ketika lewat di rumahmu, aku semakin ingin melihatmu, maka dengan lancang aku telah meloncati tembok lalu ke taman ini dan sungguh kebetulan sekali aku melihatmu dan tadi..." "Cukup. Kini pertanyaan ke dua. Apakah kau tadi mengenal orang itu?" Pemuda itu menggeleng. "Terlalu gelap untuk dapat melihatnya dan gerakannya demikian cepat, seperti setan menghilang saja. Akan tetapi dia itu pamanmu, bukan?" Kedua tangan gadis itu mencengkeram lengan pemuda itu, bukan serangan, melainkan cengkeraman karena terkejut. "Kau... kau tahu...?" Kok Siang menggelengkan kepala. "Aku tadi lapat-lapat mendengar engkau menyebut dia paman, dan... aku... aku tidak sengaja mendengar ancamannya yang terakhir tadi, yaitu kata-kata ini: Nah, aku pergi, lakukan secepat mungkin dan harus berhasil." "Ahhh...!" Entah apa artinya keluhan ini, mungkin juga perasaan lega karena pemuda itu tidak mengetahui semuanya, atau juga khawatir. Kok Siang tidak dapat menyelami hati gadis ini. Akan tetapi In Bwee melepaskan cengkeraman tangannya, lalu duduk kembali. "Sekarang, jawablah sejujurnya, ahh, jangan sembunyikan rahasia, jawablah sejujurnya... kenapa engkau bersikap seperti ini kepadaku? Mengapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau hendak melindungi aku dari ancaman apa pun juga, dengan taruhan nyawamu?" Sekali ini, dengan terang-terangan In Bwee memandang wajah pemuda itu, sinar matanya seperti hendak menembus dan mengetahui isi hati pemuda itu. Berdebar rasa jantung Kok Siang. Beberapa kali dia menelan ludah sebelum menjawab, kemudian dia pun berkata, suaranya lirih dan tergetar penuh perasaan, "Demi Tuhan, aku bersumpah bahwa apa yang hendak kukatakan ini adalah yang sejujurnya. Nona... ehhh, Bwee-moi, terus terang saja, selama hidupku belum pernah aku jatuh cinta. Akan tetapi sejak aku bertemu denganmu di restoran itu, melihat sikapmu menghadapi penjahat, aku sudah jatuh hati kepadamu dan aku telah mengambil keputusan bahwa engkaulah wanita satu-satunya yang kuingin agar menjadi jodohku. Akan tetapi... mendengar bahwa engkau adalah puteri seorang hartawan besar, timbul keraguanku karena aku tidak ingin dianggap pengejar harta dan hendak mengawini hartamu. Aku... aku cinta padamu, Bwee-moi. Nah, terus terang saja kukatakan ini, dari pada kusimpan-simpan hingga menjadi racun hatiku. Ketika melihat engkau menangis begitu sedih tadi... aku merasa bahwa akulah orangnya yang harus melindungimu dengan taruhan nyawaku." "Ahh, tidak... tidak...!" Dan tiba-tiba In Bwee menutupi mukanya dan menangis lagi! "Bwee-moi, jangan salah sangka. Aku sungguh tidak menginginkan hartamu. Aku sendiri bukanlah orang yang terlampau miskin, walau pun tidak sekaya ayahmu. Akan tetapi aku mempunyai cinta dan biar pun baru satu kali kita saling berjumpa, akan tetapi aku sudah yakin bahwa aku cinta padamu dan... aku bersedia menjadi jodohmu walau pun engkau tidak membawa harta secuwil pun." Akan tetapi ucapan itu bahkan membuat In Bwee menangis semakin sedih. "Bwee-moi, maafkan aku... ampunkanlah kalau aku menyinggung perasaanmu..." In Bwee menggelengkan kepala. "Biarkan aku menangis... biarkan aku menangis..." dan dia pun mengguguk. Kok Siang diam saja, hanya memandang dengan hati terharu dan dia tahu bahwa gadis itu bukan tersinggung melainkan sedang berduka, dan agaknya baru sekarang mendapat kesempatan untuk menumpahkan semua kedukaan hatinya melalui air matanya. Setelah tangisnya mereda, akhirnya gadis itu mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu dengan wajah pucat dan mata merah. Sampai lama ia memandang, kemudian berkata lirih, "Aku percaya... sudah kurasakan sejak kemarin malam. Akan tetapi, aku... aku sungguh tidak berharga untuk menjadi isterimu atau isteri siapa pun juga." Kembali ia menangis. Kok Siang terkejut dan cepat memegang tangan yang tergetar itu. "Ah, moi-moi... kenapa engkau bicara seperti itu? Engkau seribu kali lebih berharga dari pada aku!" "Engkau tidak mengerti... ahh, baiklah, dengarkan akan kuceritakan kepadamu. Duduklah yang tenang, dan dengarkan ceritaku. Mala petaka itu terjadi tiga tahun yang lalu...! Kau tahu, semenjak kecil aku berlatih silat, dibimbing oleh pamanku yang ilmu silatnya amat tinggi. Aku berlatih bersama beberapa orang murid pamanku. Sesudah aku dewasa, tiga tahun yang lalu, aku berusia delapan belas tahun... dan keadaan pamanku itu, walau pun dia lihai tetapi... ahhh, dia bukan orang baik-baik... dia bergaul dengan orang-orang jahat, bahkan menjadi pemimpin mereka... begitu pula murid-muridnya... dan... ahh, aku terpikat oleh seorang suheng-ku... sampai... sampai pada suatu hari, dalam mabokku akibat kami minum arak, agaknya sudah disengaja oleh suheng-ku itu, aku... aku menyerahkan diriku padanya..." Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kemudian dia mengepal tinjunya dan mengangkat muka. "Nah, kini telah kau dengar baik-baik? Apakah engkau masih berani mengaku cinta padaku?" Pengakuan itu bagaikan halilintar menyambar kepala pemuda itu. Dia menjadi nanar dan wajahnya pucat, matanya menjadi sayu dan merenung kosong. Akan tetapi, dia segera menggoyang kepalanya dan juga mengepal tinju. "Bwee-moi, aku cinta padamu sekarang! Yang kucinta adalah engkau sekarang ini, bukan engkau dahulu-dahulu dan bukan pula keperawananmu! Nah, sudah dengarkah engkau?" Ucapan yang keras itu mengejutkan In Bwee, juga mengherankannya. "Tapi... tapi..." "Lanjutkan ceritamu!" "Aku merasa menyesal sekali akan peristiwa itu dan aku... aku lalu membunuh suheng-ku itu! Aku tahu bahwa dia sengaja memikat dan melolohku dengan arak keras, dan akhirnya aku juga tahu bahwa aku sama sekali tidak cinta padanya dan bahwa dia pun hanya mau mempermainkan aku. Paman, yaitu suhu kami sudah tahu akan hal itu. Dia membantuku, merahasiakan hal itu. Kalau dia memberi tahu kepada ayah, tentu ayah akan marah sekali dan mungkin aku akan diusir, tidak akan menjadi ahli warisnya karena ayahku tidak suka anak perempuan. Nah, kemudian paman membantuku, menyimpan rahasia itu akan tetapi sebaliknya aku juga harus membantunya." "Membantunya? Membantu apa?" "Macam-macam, pokoknya yang mendatangkan uang. Malah aku sering disuruh mencuri barang-barang berharga milik ayah dan ibu untuknya, dan aku disuruh pula melakukan kejahatan bersama murid-murid dan anak buahnya..." "Ahhh...!" "Aku terpaksa... aku takut kalau sampai ayah dan ibu tahu bahwa aku sudah bukan gadis lagi... aku bahkan terus menerus menolak kalau mau dikawinkan... ahh, betapa aku telah menderita hebat... bukan hanya karena keadaanku ini, akan tetapi juga akibat penekanan paman..." Gadis itu menangis lagi, dan kini tanpa ragu-ragu lagi pemuda itu melangkah maju, lantas memegang tangannya. "Bwee-moi, pandanglah aku baik-baik. Nah, apakah sekarang engkau percaya bahwa aku cinta padamu? Mencinta dengan murni dan tulus, bukan hanya mencinta keperawananmu atau harta bendamu?" Mereka saling pandang dan gadis itu mengangguk. "Dengarkan baik-baik kalau engkau percaya dan engkau dapat membalas atau menerima cintaku. Engkau sudah bertindak keliru. Semestinya, engkau berterus terang kepada ayah bundamu dan menghadapi segala akibatnya. Dengan membiarkan dirimu diperalat oleh orang lain, maka berarti engkau semakin dalam terperosok. Sekarang, kau ceritakanlah semuanya kepadaku..." "Tidak... aku tidak berani... engkau tidak tahu betapa lihainya pamanku," gadis itu berkata dengan muka pucat dan mata liar memandang ke kanan kiri. "Engkau pergilah, Siang-ko, pergilah dulu... dan biarkan aku berpikir dengan matang... kedatanganmu terlalu tiba-tiba. Besok... besok atau lusa kita bertemu lagi, di sini... malam-malam begini... sekarang kau pergilah..." Kok Siang menghela napas, tidak berani memaksa. "Baiklah, akan tetapi ingatlah selalu bahwa di dunia ini ada Bu Kok Siang yang akan melindungimu dengan taruhan nyawa, yang akan tetap mencintamu dan tidak mempedulikan riwayatmu yang sudah lalu. Nah, selamat tinggal, sampai jumpa besok atau lusa malam." "Baik, Siang-ko... kalau engkau melihat lampu merah di pondok ini, jendelanya terbuka, berarti aku menantimu di sini..." cerita silat online karya kho ping hoo Pemuda itu mengangguk, menggenggam kedua tangan itu, kemudian dia meloncat keluar dan lenyap dalam kegelapan malam. In Bwee memandang ke arah lenyapnya pemuda itu dengan mata sayu, kemudian termenung-menung dan akhirnya ia pun kembali menangis sendirian, menahan isaknya supaya tidak menimbulkan suara. Peristiwa yang baru saja terjadi itu terlalu hebat baginya. Dan ia sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang mendekatinya, kemudian terdengar suara orang di balik jendela. "Hemmm..., diam-diam engkau telah punya pacar, ya? Baik, selesaikan tugasmu sampai berhasil dan engkau akan menikah dengan pacarmu itu, aku yang akan membujuk orang tuamu agar setuju. Akan tetapi kalau engkau mengkhianatiku, pacarmu itu akan kubunuh dan rahasiamu akan kuumumkan tidak hanya kepada ayah bundamu, akan tetapi kepada semua orang!" "Paman...!" In Bwee berseru kaget sekali akan tetapi bayangan itu telah cepat berkelebat dan akhirnya lenyap. In Bwee hanya dapat merenung dengan wajah pucat. Kemunculan guru atau pamannya yang lihai itu seketika langsung membuyarkan harapan serta khayalnya yang baru timbul bersama munculnya pemuda sastrawan itu. Sedikit harapan itu bagaikan awan tipis yang tersapu badai. *************** "Bu-kongcu...! Tunggu sebentar...!" Bu Kok Siang yang sedang berjalan seorang diri pada pagi hari itu tentu saja mendengar teriakan suara wanita ini, maka ia pun cepat berhenti melangkah lalu menoleh. Wajahnya segera berseri dan bibirnya tersenyum ketika dia melihat siapakah gerangan wanita yang memanggilnya itu. Ternyata yang memanggilnya tadi adalah wanita cantik yang waktu itu telah dikenalnya di dalam rumah makan, yang bernama Toan Kim Hong! Setelah wanita itu tiba di depannya, Kok Siang cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil berkata, "Ahh, kusangka siapa, tak tahunya nona Toan. Dan harap jangan menyebutku kongcu (tuan muda), membuat aku menjadi malu saja." "Selamat pagi, Bu... twako! Biar kusebut twako, biar pun mungkin aku lebih tua. Engkau tahu, wanita selalu ingin dianggap lebih muda," kata Kim Hong tersenyum. Kok Siang tertawa. "Dan memang kelihatannya engkau jauh lebih muda dari pada aku, nona. Sepagi ini engkau hendak ke manakah? Dan mengapa nona sendirian saja? Mana saudara Ceng Thian Sin yang gagah perkasa itu?" "Dia tinggal di kamarnya di hotel. Aku memang sengaja keluar hendak mencarimu." Pemuda itu mengangkat dua alisnya dan memandang heran. "Lihiap... ehh, nona mencari aku? Ya nasib mujur! Sungguh beruntung sekali. Ada keperluan apakah gerangan...?" Kim Hong tertawa, manis sekali. "Kita sudah saling berkenalan, apakah kalau tidak ada urusan penting tidak boleh mencari dan mengunjungi? Tadi aku lewat di depan hotelmu tapi engkau tidak ada, lalu kulihat engkau berjalan sendirian, seperti orang tergesa-gesa, maka kupanggil. Apakah aku mengganggumu? Kalau begitu biarlah aku pulang lagi saja." "Ehh, ehhh... nanti dulu. Tentu saja aku girang dapat bertemu denganmu, nona. Aku pun belum sempat mengunjungi rumah penginapan kalian, dan kebetulan dapat berjumpa di sini. Nah, ke mana kita pergi sekarang untuk merayakan pertemuan ini?" "Aku ingin bercakap-cakap denganmu, Bu-twako." "Kalau begitu, mari kita pergi ke taman umum di tepi sungai, di sana indah dan sepi. Tidak enak bercakap-cakap di tepi jalan seperti ini." Mereka lalu berjalan bersama menuju ke taman yang luas itu. Kota raja terkenal dengan taman-tamannya yang indah, akan tetapi hanya beberapa buah saja yang terbuka untuk umum, di antaranya taman di tepi sungai yang dikunjungi oleh dua orang muda itu. Banyak orang yang bertemu dengan mereka di jalanan memandang pasangan ini dengan rasa kagum karena memang pasangan ini cocok sekali. Yang wanita cantik jelita, yang pria juga tampan dan ganteng. Dan keduanya tidak merasa canggung berjalan bersama, seolah-olah mereka memang telah menjadi sababat baik sejak dahulu. Pada sepanjang perjalanan menuju ke taman bunga itu, Kim Hong mendapat kenyataan bahwa pemuda itu telah hafal akan keadaan kota raja, dapat menunjukkan tempat-tempat penting kepadanya, seperti seorang penunjuk jalan yang pandai dan ramah. Pagi itu taman di pinggir sungai masih sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang sedang berkunjung dan berjalan-jalan di dalam taman, dan mereka itu tentu para pendatang dari luar kota. Ada pula yang pesiar naik perahu di pinggir sungai. Kim Hong dan Kok Siang memilih tempat duduk di tepi kolam ikan emas, di atas sebuah bangku panjang di mana mereka duduk berdampingan. "Nah, sekarang kita berada di tempat sepi, berdua saja. Apakah yang hendak kau katakan kepadaku, nona?" "Bu-twako, bukan aku yang ingin mengatakan sesuatu kepadamu, akan tetapi engkaulah yang sebaiknya mengatakan dengan terus terang kepadaku mengenai dirimu...," kata Kim Hong sambil menatap wajah tampan itu dengan tajam dan penuh selidik. Pemuda itu mengerutkan alisnya. "Maksudmu?" Kim Hong memutar tubuhnya sehingga sepenuhnya menghadapi pemuda itu dan pandang matanya mencorong, mengejutkan hati pemuda itu. "Bu-twako, kiranya engkau tidak perlu bersandiwara lagi. Kemunculanmu di restoran itu tentu bukan sebuah hal yang kebetulan saja. Engkau membawa suatu rahasia dan engkau tentu telah mengenal kami, setidaknya engkau mengetahui sesuatu tentang kami. Benarkah itu?" Hening sejenak. Pemuda itu masih mengerutkan kedua alisnya dan kini pandang matanya juga serius, berkilat dan penuh semangat, tak lagi disembunyikan di balik kejenakaan dan kegembiraannya. "Mengapa engkau dapat menduga seperti itu, nona? Adakah sesuatu yang mencurigakan dalam tindak tandukku selama ini?" Dia memancing karena masih meragukan kata-kata Kim Hong tadi yang dianggapnya hanya dugaan-dugaan belaka. Kim Hong tersenyum, senyuman yang mengandung ejekan. "Kau kira kami begitu bodoh? Engkau adalah seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi, tetapi engkau bersikap bodoh dan berkelakar. Kemudian secara sengaja engkau melemparkan Hai-pa-cu Can Hoa yang kau robohkan di restoran itu kepada kami. Ya, kami tahu bahwa dengan sengaja engkau melemparnya kepada kami, dan tentu saja ini berarti bahwa engkau hendak menguji kami dan berarti pula bahwa engkau sudah tahu atau menduga sesuatu mengenai kami. Nah, kuminta engkau bicara blak-blakan saja, kecuali kalau engkau hendak menganggap kami sebagai musuh." Sejenak pemuda itu memandang kagum, lalu menarik napas panjang. "Aihh, sungguh aku sudah bertindak ceroboh sekali, tidak tahu menghadapi gunung Thai-san yang menjulang tinggi, tidak tahu bahwa nona amatlah cerdas dan pandai. Tentu sikapku waktu itu sudah memancing tawa dalam hati kalian. Maafkanlah. Terus terang saja aku mengetahui pada waktu kalian menghadapi Siang-to Ngo-houw, dan biar pun aku tidak mendengar sendiri percakapan antara kalian dengan mereka, akan tetapi aku dapat menduga kenapa kalian dicari oleh mereka itu. Tentu karena urusan... peta rahasia dan kunci emas, bukan?" Kim Hong tidak terkejut, melainkan tersenyum. Memang dia dan Thian Sin telah menduga bahwa pemuda ini tentu ada kaitannya dengan urusan itu. "Bagus, ternyata engkau pun tersangkut. Tidak tahu engkau berdiri di pihak manakah?" katanya sambil melirik tajam. Kok Siang menggelengkan kepala. "Tidak berdiri di pihak mana pun, melainkan di pihakku sendiri. Aku hendak menyelidiki siapa yang telah membunuh pamanku." "Pamanmu?" "Ya, Louw siucai adalah pamanku." "Ahhh...!" "Engkau tentu pernah mendengarnya." Kim Hong mengangguk. "Sastrawan yang sudah membantu keluarga Ciang mengartikan peta kuno itu?" "Benar, dia adalah pamanku. Paman membantu mereka menterjemahkan peta kuno dan beberapa hari kemudian dia terbunuh. Tentu pembunuhnya menghendaki agar dia tidak membocorkan rahasia tentang peta itu." "Hemm, mungkin saja Su Tong Hak, paman Ciang Kim Su yang kurasa bukan merupakan orang baik-baik itu." kata Kim Hong. "Aku pun tadinya menduga demikian. Akan tetapi aku ingin tahu secara pasti agar tidak salah tangan. Aku harus membalas kematian pamanku itu. Dia amat mencintaku dan dia sudah seperti ayahku sendiri. Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda dan paman Louw itu kakak dari mendiang ibuku, bagiku merupakan pengganti orang tua. Dan dia dibunuh orang tanpa dosa!" Pemuda itu mengerutkan alis dan mengepal tinju. Kim Hong merasa kasihan. "Jangan khawatir, Bu-twako, aku... kami akan membantumu. Kami pun sedang menyelidiki mereka, yaitu mereka yang merampas peta kuno itu. Kami adalah utusan dari petani Ciang Gun atau mendiang petani itu karena dia pun dibunuh orang. Kami sedang menyelidiki perkara ini. Menurut keterangan Su Tong Hak, Ciang Kim Su juga lenyap. Kami merasa curiga. Tentu ada permainan kotor dalam urusan ini dan dia pun bilang bahwa peta yang mereka bagi dua itu, yang berada di tangannya, juga dicuri orang. Kami sedang menyelidiki, di tangan siapa gerangan peta itu." "Hemm, dan sekarang kunci emas itu berada di tangan kalian, bukan? Aku sudah tahu bahwa rahasia itu meliputi peta dan kunci emas." "Ya, dan kami hendak mempergunakan kunci emas itu untuk menjadi umpan memancing datangnya ikan yang menguasai peta." "Dan lihat, kurasa ada ikan-ikan yang datang!" tiba-tiba pemuda itu berkata sambil melirik ke arah kiri. Kim Hong juga melirik ke kiri dan memang benar ada sekelompok orang, sepuluh orang jumlahnya, mendatangi taman itu namun mereka itu nampaknya bukan seperti pelancong biasa. "Hemm, agaknya benar, mereka tentu anak buah yang dikirim ke sini," kata Kim Hong. "Jangan khawatir, aku akan membereskan mereka kalau mereka berani mengganggumu!" Kok Siang berkata sambil bangkit berdiri. Akan tetapi Kim Hong segera memegang lengannya dan menariknya agar duduk kembali. "Jangan, Bu-toako. Kalau mereka bergerak, tentu mereka itu berniat untuk menyerangku, ingin menangkap atau merampas kunci. Mereka datang untuk aku, sama sekali tidak ada hubungannya dengan engkau. Kau duduk sajalah dan biar aku menghajar mereka." Ketika sepuluh orang itu tiba di sana, Kim Hong masih saling berpegang tangan dengan Kok Siang dengan maksud mencegah pemuda ini menghadapi orang-orang yang nampak kasar dan kuat-kuat itu. Salah seorang di antara mereka, yang rambutnya riap-riapan dan matanya agak juling, yang nampaknya sebagai pemimpin dari sepuluh orang itu, tertawa. Perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang. "Ha-ha-ha, kiranya si manis ini mempunyai pacar di mana-mana, sering berganti pacar! Kawan-kawan, sekali ini kita tidak boleh gagal. Tangkap si manis ini dan bunuh saja pacar barunya!" Kim Hong adalah seorang dara yang selama beberapa tahun pernah menyamar sebagai Lam-sin, hal ini berarti bahwa ia pun pernah berkecimpung di dunia sesat, kaum penjahat, maka ucapan itu sebetulnya tidak aneh atau asing baginya. Ia sudah terbiasa mendengar kata-kata kasar. Ucapan kasar tidak akan membuat dia menjadi marah. Akan tetapi, tuduhan bahwa dia berganti-ganti pacar, bahwa Kok Siang adalah pacarnya yang baru, langsung membuat kedua pipinya berubah merah. Hanya biasanya, Kim Hong tak pernah memperlihatkan perasaan hatinya. Tidak ada seorang pun di dunia ini, kecuali Thian Sin tentunya, yang dapat menduga isi hatinya. Maka, walau pun pada saat itu dia sedang marah, namun wajahnya tetap berseri dan senyumnya bertambah manis. Sepuluh orang itu telah mengepung bangku di mana Kim Hong dan Kok Siang tadi duduk dan dari gerakan kaki mereka tahulah Kim Hong bahwa biar pun orang-orang ini nampak kasar, akan tetapi mereka adalah ahli-ahli silat pilihan! Terutama sekali si mata juling itu ternyata mempunyai kepandaian yang tinggi, dengan gerakan yang demikian ringan tanda bahwa ginkang-nya sudah mencapai tingkat yang tinggi. Maka diam-diam dia pun terkejut sekali. Melihat gerakan si mata juling ini, agaknya akan merupakan lawan yang berat dan amat berbahaya bagi Kok Siang, maka dia pun segera mengambil keputusan untuk menandingi sendiri pemimpin gerombolan ini. Maka, sebelum gerombolan itu menyerbu dan membahayakan Kok Siang, dia langsung melangkah maju dan mendekati pemimpin gerombolan itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung orang. "Ehh, mata juling gendut yang bermulut busuk! Kalau engkau beserta anjing-anjingmu ini mampu menangkapku, biar aku berjanji akan memberi ciuman sepuluh kali kepadamu!" Mendengar ucapan ini, si mata juling beserta teman-temannya tertawa. "Ha-ha-ha, nona manis, sungguhkah itu? Memberi ciuman dengan suka rela? Ha-ha-ha!" "Tentu saja, aku tidak pernah berbohong!" jawab Kim Hong dan mendengar ini, Kok Siang mengerutkan alisnya. Kenapa wanita cantik dan gagah perkasa ini mau melayani segala macam orang kasar seperti mereka? Akal Kim Hong ini berhasil. Tadinya, kepala gerombolan yang sudah mendengar betapa pemuda sastrawan itu pernah mengalahkan Hai-pa-cu, bermaksud untuk terlebih dahulu mengeroyok dan membunuh si pemuda, baru kemudian, menawan gadis itu seperti yang sudah diperintahkan kepadanya. Akan tetapi, mendengar ucapan Kim Hong dan melihat betapa manisnya gadis itu tersenyum kepadanya, dengan janji yang demikian mesra, dia pun tak mampu menahan gejolak hatinya lagi. Bagaimana pun juga, dia percaya kepada kepandaiannya sendiri dan juga kepada kekuatan anak buahnya yang sebenarnya adalah beberapa orang sute-nya dan murid-muridnya. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Nona manis, engkau agaknya belum pernah mendengar nama Tiat-ciang Lui Cai Ko, maka berani menantangku. Bersiaplah engkau untuk menciumku sepuasnya, ha-ha-ha!" Setelah tertawa bergelak, dia memberi isyarat kepada dua orang sute-nya untuk membantunya, sedangkan kepada tujuh orang muridnya ia berkata tegas, "Bunuh kutu buku itu!" Tujuh orang kasar itu adalah murid-murid pilihan dari Tiat-ciang Lui Cai Ko. Mendengar perintah suhu mereka, tujuh orang ini lalu mencabut pedang masing-masing dan dengan gerakan gagah mereka melintangkan pedang di depan dada, lalu memasang kuda-kuda yang nampak kokoh kuat. Kuda-kuda mereka berbagai macam, ada yang memasang kuda-kuda dengan kedudukan kaki Jao-pian-se, Tu-li-se, Kung-se biasa atau Su-se, dengan kedudukan pedang yang bermacam-macam pula. Ada yang dilintangkan di depan dada, ada yang diangkat ke atas kepala, ada yang menuding ke bumi dan ada pula yang menjulang ke langit. Akan tetapi, rata-rata mereka itu memiliki kuda-kuda yang indah dan kuat, tanda bahwa mereka telah memiliki ilmu pedang yang bukan sembarangan. Melihat ini, diam-diam Kok Siang terkejut sekali. Dia pernah mendengar nama Tiat-ciang (Tangan Besi) Lui Cai Ko itu, yaitu seorang begal atau perampok tunggal yang pernah membuat nama besar di sebelah utara kota raja. Maka dia pun sangat mengkhawatirkan keadaan Kim Hong dan karena dia dapat melihat dari gerakan para pengepungnya yang tujuh orang itu bahwa mereka adalah orang-orang yang merupakan lawan tangguh, maka Kok Siang tidak berani bersikap ceroboh. Maka dia segera mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu Im-yang Siang-pit (Sepasang Tangkai Pena Im Yang), yang kiri terbuat dari pada perak sedangkan yang kanan terbuat dari pada emas. Dan sepasang pit ini memang benar-benar dapat juga digunakan untuk menulis di samping sebagai senjata. Melihat betapa pemuda itu mengeluarkan senjata sepasang pit itu, tiba-tiba seorang di antara para pengepung itu berseru, "Kiranya engkau adalah Im-yang Siang-pit Bu Siucai!" Memang, sebetulnya nama pemuda sastrawan itu telah banyak dikenal di dalam dunia kang-ouw. Yang membuat dia terkenal, pertama adalah gurunya dan yang ke dua adalah sepasang senjatanya itu. Gurunya adalah datuk kaum sesat di utara, yaitu Pak-san-kui, biar pun pemuda ini tidak menerima datuk itu sebagai guru langsung. Pak-san-kui tertarik melihat bakat pemuda ini dan menurunkan beberapa macam ilmunya yang tinggi, sedangkan Bu Kok Siang juga hanya tertarik akan ilmu silat yang tinggi dari datuk itu, tetapi dia tidak senang melihat cara hidup gurunya sehingga sesudah menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi, terutama ilmu Im-yang Siang-pit itu, dia pun melepaskan diri dan tak pernah lagi mau berdekatan atau mencampuri urusan suhu-nya yang terkenal sebagai seorang datuk sesat. Dan di dunia kang-ouw, pemuda yang sudah memiliki titel siucai ini, yang menerima ilmu silat tinggi dari seorang datuk sesat sakti, mempergunakan senjatanya untuk menentang kejahatan itu sendiri. Maka nama julukannya adalah sepasang senjatanya itu yang lebih dikenal orang dari pada wajahnya. Apa bila dia tidak mengeluarkan senjatanya itu, jarang ada yang mengenal mukanya. "Hemm, bagus kalian mengenal senjataku. Lui Cat Ko adalah seorang perampok tunggal yang jahat, maka anak buahnya tentulah bukan manusia baik-baik pula!" kata Kok Siang sambil memasang kuda-kuda dan mengangkat pit emas di atas kepalanya, menunjuk ke langit, sedangkan pit perak dipegang ke bawah, menuding ke bumi. Inilah kuda-kuda yang dinamakannya Seng-thian Jip-te (Naik ke Langit Masuk ke Tanah), pembukaan dari pada ilmu silat Im-yang Siang-pit. Tujuh orang murid utama dari Tiat-ciang Lui Cai Ko itu menjadi marah mendengar ucapan ini, lantas dengan dahsyat mereka pun mulai menerjang dengan pedang mereka. Setiap gerakan mereka cukup dahsyat karena selain terkenal mempunyai sepasang tangan yang kuat dan keras seperti besi sehingga dia berjuluk Tiat-ciang, memang Tiat-ciang Lui Cat Ko, juga merupakan seorang ahli silat pedang yang tangguh. Melihat datangnya serangan yang bertubi-tubi itu, yang membawa kilatan sinar pedang yang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar ganas, Kok Siang cepat menggerakkan tubuhnya dan sekarang pemuda sastrawan ini baru memperlihatkan kepandaiannya. Gerakannya cepat bukan main dan ternyata sepasang senjatanya itu mengandung tenaga yang berlawanan. Sepasang senjatanya diputar melindungi tubuhnya dan tiap kali pedang lawan bertemu dengan kim-pit (Pit emas) maka terdengar suara nyaring dan pedang itu tentu terpental keras, sebaliknya kalau bertemu dengan gin-pit (Pit perak) tidak terdengar suara, namun tenaga si pemegang pedang seperti lenyap, seakan-akan pedang mereka bertemu benda lunak atau seperti membacok atau menusuk air saja. Di samping melindungi tubuh, sepasang pit itu juga mengirim serangan balasan berupa totokan-totokan ke arah jalan darah yang tak kalah dahsyatnya, membuat tujuh orang itu berputaran saling melindungi teman sendiri. Dan terjadilah pertandingan keroyokan yang amat seru, namun sedikit juga pemuda sastrawan yang dikeroyok tujuh itu tidak nampak kewalahan! Di lain pihak, Kim Hong yang dihadapi oleh Tiat-ciang Lui Cai Ko dan dua orang sute-nya itu, menarik napas lega. Jika si juling yang diduganya paling lihai ini telah menghadapinya dan tidak ikut mengeroyok, maka dia tidak begitu mengkhawatirkan keadaan pemuda itu. Terlebih lagi sesudah dia melihat cara Kok Siang memutar sepasang pitnya, membuat dia merasa yakin bahwa pemuda itu akan mampu mengatasi para pengeroyoknya, walau pun tujuh orang pengeroyok itu juga tidak boleh dipandang ringan sama sekali. Setelah dia tak lagi mengkhawatirkan pemuda keponakan mendiang Louw-siucai itu, dengan tersenyum tenang Kim Hong menghadapi tiga orang calon lawannya. Tak seperti tujuh orang yang bertugas membunuh Kok Siang, si juling bersama dua orang sute-nya itu tidak mengeluarkan senjata. Mereka bertugas untuk menawan nona ini hidup-hidup, dan hal ini pun diketahui baik-baik oleh Kim Hong. Memang para penjahat itu tidak membutuhkan dirinya, melainkan kunci emas, oleh karena itu tentu saja mereka tak akan membunuhnya sebelum mereka menemukan kunci emas itu! Tiat-ciang Lui Cai Ko juga telah mendengar bahwa nona ini pandai ilmu silat dan biar pun dia tidak merasa takut, akan tetapi dia juga tidak berani memandang rendah. Maka dia pun lalu menubruk ke depan sambil menampar dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sudah mencengkeram ke arah pundak nona itu. Tamparan tangan kirinya itu antep bukan main karena jagoan ini agaknya memang sudah mengerahkan tenaga dan mempergunakan tenaga sakti Tiat-ciang-kang (Tenaga Tangan Besi) untuk menggertak. Telapak tangan orang she Lui ini nampak hitam kehijauan. Selama belasan tahun ini dia melatih kedua tangannya itu, setiap hari mempergunakan telapak tangan untuk memukuli bubuk besi dan pada malam harinya merendam kedua tangan itu ke dalam adonan bubuk besi dengan racun yang membuat tangan itu selain kuat, juga beracun dan berbahaya sekali bagi lawan. Demikian kuat dan kerasnya telapak tangan Lui Cai Ko ini sehingga kedua telapak tangan itu tidak hanya dapat memukul hancur batu karang seperti sepasang palu besi yang kuat, akan tetapi juga mampu menangkis senjata tajam tanpa khawatir terluka! Itulah sebabnya maka dia terkenal dengan julukan Tiat-ciang (Si Tangan Besi). "Wuuuttt...! Plakk!" Kim Hong mengelak dengan mudah dan membiarkan tamparan itu lewat, kemudian ketika cengkeraman tangan kanan itu sudah mendekati pundaknya, tangan kirinya menyambar dari bawah, bukan menangkis namun menampar dengan tangannya ke arah sambungan siku tangan kanan itu. Walau pun tamparan itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga, namun sambungan siku bagian bawah yang seperti hanya diusap itu tiba-tiba saja terasa nyeri dan lengan kanan itu seperti menjadi lumpuh seketika! Tentu saja Lui Cai Ko tak dapat melanjutkan cengkeramannya, bahkan lalu mengeluarkan seruan kaget dan cepat melompat ke belakang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa wanita itu sedemikian hebatnya, hanya dalam satu gebrakan saja membuat lengan kanannya terasa lumpuh! Hanya orang yang berilmu sangat tinggi sajalah yang demikian tenangnya menghadapi cengkeraman mautnya, bukan mengelak atau menangkis untuk menghadapinya, tetapi mendahului menyerang siku sehingga lengan itu menjadi lumpuh dan tentu saja serangan cengkeraman itu pun gagal. Kim Hong hanya berdiri tenang sambil tersenyum. Ia maklum akan kelihaian Tiat-ciang Lui Cai Ko ini, akan tetapi tentu saja dia tidak merasa gentar, yakin benar akan kelebihannya dibandingkan dengan tiga orang pengeroyoknya itu. Dua orang sute dari Si Tangan Besi segera menyerang dari kanan kiri, bukan menyerang untuk merobohkan, melainkan untuk membuat nona itu tidak berdaya dan dapat ditawan. Mereka pun, seperti suheng mereka, mendapat perintah untuk menawan si nona cantik ini. Namun Kim Hong dapat menghindarkan diri dari tubrukan kanan kiri itu dengan langkah-langkah ajaibnya. Dengan enak saja kedua kakinya bergeser, melangkah mundur maju dan tubrukan-tubrukan mereka itu semua hanya mengenai tempat kosong saja walau pun tadinya nampak seolah-olah akan berhasil. Kok Siang juga mengamuk dan sepasang pit-nya menyambar-nyambar seperti sepasang naga. Lewat tiga puluh jurus saja, dua orang di antara para pengeroyoknya sudah roboh tertotok sehingga lima orang sisa pengeroyoknya menjadi agak gentar. Di lain pihak, Kim Hong mempermainkan tiga orang pengeroyoknya dengan langkah-langkah ajaibnya yang membuat Tiat-ciang Lui Cai Ko beserta dua orang sute-nya kewalahan dan juga semakin penasaran. Mereka lalu menubruk dan mencoba untuk menangkap, akan tetapi jangankan orangnya, ujung baju gadis itu pun tak pernah dapat tersentuh oleh tangan mereka. Hal ini membuat mereka menjadi penasaran dan marah sehingga kini mereka tidak hanya menubruk dan mencoba untuk menangkap saja, tetapi juga mulai menyerang dengan sungguh-sungguh untuk morobohkan nona yang amat lincah itu. Betapa pun juga, makin ganas mereka bergerak, semakin cepat pula nona itu mengelak, sehingga pandang mata mereka seperti kabur dan kadang-kadang mereka tidak tahu ke mana nona itu mengelak atau bergerak. "Duk-duk-duk-dukk...!" Empat kali Lui Cai Ko terpaksa menangkis sambil mundur akibat terdesak hebat. Padahal, sejak menampar sikunya tadi, baru sekaranglah Kim Hong membalas serangan tiga orang lawannya yang bertubi-tubi sampai tiga puluh jurus itu! Tetapi sekali membalas, Kim Hong sudah dapat mendesak Si Tangan Besi dengan empat kali tamparan berturut-turut. Setiap tamparan mengandung tenaga sinkang yang membuat tubuh si gendut yang rambutnya riap-riapan itu terhuyung-huyung. Melihat ini dua orang sute-nya cepat menubruk dari kanan kiri membantu, akan tetapi Kim Hong menunggu sampai keduanya menyerang dekat, lalu tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas dan kedua kakinya terpentang ke kanan kiri. Itulah tendangan yang istimewa sekali, yang sekaligus menghantam dada kedua orang yang menyerang dari kanan dan kiri itu, mendahului serangan mereka dengan tangan yang belum sampai! "Desss! Desss!" Tubuh kedua orang itu terlempar ke kanan kiri. Mereka menyeringai karena dada mereka terasa sesak sekali dan napas mereka seperti berhenti. Sambil memegangi dada mereka bangkit dan mata mereka menjadi merah. Juga Lui Cai Ko marah sekali. Tak disangkanya bahwa dia, jagoan yang terkenal, dibantu oleh dua orang sute-nya, bukan hanya tidak sanggup menawan gadis ini, bahkan mereka bertiga sudah mengalami malu karena terpukul dan tertendang oleh gadis itu. Akan tetapi, ada kekuasaan yang lebih tinggi dari pada Lui Cai Ko yang membuat dia masih ingat akan perintah yang diberikan kepadanya. Dia tetap tidak berani melanggar perintah itu hanya karena perasaan pribadi yang marah dan penasaran. Dia tidak berani mempergunakan senjata untuk menyerang, tidak berani melukai apa lagi sampai membunuh wanita ini karena hal itu berarti melawan perintah dan dia merasa ngeri untuk mempertanggung jawabkan hal itu. Maka, walau pun dia merasa marah serta mendongkol sekali, terpaksa dia lalu membuka mulut dan terdengarlah suara suitan panjang dan nyaring keluar dari mulut si gendut ini. Kim Hong terkejut dan menduga-duga apa maksud tanda rahasia itu. Memanggil kawan? Dia tentu merasa kewalahan dan memanggil kawannya, pikir Kim Hong. Mungkinkah kini ia memperoleh kesempatan untuk berhadapan dengan kepala penjahat yang mendalangi ini semua dan yang menguasai peta? Jantungnya berdebar tegang dan dia pun menanti saja. Ia mengerling ke arah Kok Siang dan melihat bahwa lawan pemuda itu kini tinggal empat orang lagi karena yang tiga sudah roboh oleh pena sastrawan yang lihai itu. Empat orang itu pun kini bergerak mundur sambil tetap mengepung sesudah mendengar guru mereka mengeluarkan suara bersuit tadi. Tidak lama kemudian muncullah banyak orang yang langsung mengepung tempat itu dan Kim Hong benar-benar merasa heran dan terkejut begitu melihat bahwa yang mengepung tempat itu adalah pasukan pemerintah! Pasukan itu dipimpin oleh seorang perwira yang berpakaian indah dan gagah, berusia empat puluh lima tahun dan bertubuh tinggi besar. Cepat Kim Hong meloncat mendekati Kok Siang yang juga memandang dengan heran. "Berhenti semua dan lepas senjata!" Bentak perwira itu dengan suara yang agaknya telah terbiasa mengeluarkan aba-aba atau perintah yang harus ditaati. "Yang berani bergerak dianggap pemberontak dan akan dihukum! Kalian berdua telah menimbulkan perkelahian dan kekacauan di tempat umum, semua harus menyerah dan ikut bersama kami ke kantor untuk dibawa ke pengadilan!" Kim Hong dan Kok Siang saling pandang. Tiba-tiba saja Kok Siang berbisik halus sekali sehingga hanya gadis itulah yang mungkin dapat mendengarnya, "Aku tahu di mana peta yang asli." Kim Hong terkejut sekali. Otaknya bekerja dengan cepat. Dia tidak meragukan kebenaran omongan pemuda ini dan tentu karena melihat bahaya maka pemuda sastrawan ini cepat membuka rahasia itu, atau karena sudah percaya penuh kepadanya. Bagaimana pemuda ini dapat mengetahui di mana adanya peta yang asli? Kalau begitu, yang kini menguasai peta tentu hanya menguasai peta palsu! Bagaimana mungkin terjadi demikian? Bukankah Ciang Kim Su dan pamannya, Su Tong Hak, telah membagi peta itu menjadi dua bagian dan peta yang dibawa Ciang Kim Su itu adalah peta yang asli? Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Pikirannya yang amat cerdas segera mencari sebab-sebab dan dugaan-dugaan. Tentu ada hubungannya dengan mendiang Louw siucai! Di antara semua orang, yang pertama kali mengetahui akan rahasia peta itu adalah Liuw Siucai. Bahkan dialah orang pertama yang sudah dapat mengetahui akan isi peta sebenarnya, karena dialah yang menterjemahkan peta itu! Akan tetapi, bagaimana siucai itu dapat menguasai peta aslinya? Apa yang sudah terjadi? Dia tidak sempat untuk bertanya, karena di sana terdapat banyak orang dan pasukan itu sudah mengepung ketat. Ketika dia melihat pasukan mengepungnya, timbul kemarahan di dalam hatinya. Akan tetapi Kok Siang bersikap lain. "Ciangkun, kami berdua tak bersalah. Kami berdua sedang duduk bercakap-cakap di sini lalu gerombolan ini datang menyerang kami, agaknya mereka hendak merampok kami!" katanya membela diri. "Bohong! Mana buktinya kami merampok?" Lui Cai Ko membentak marah. "Cukup, tidak perlu cekcok!" Perwira itu menegur. "Aku tidak peduli siapa di antara kalian yang bersalah. Yang sudah jelas, kalian berkelahi di sini dan hal ini berarti mendatangkan kekacauan. Kalian semua harus menyerah untuk kami bawa ke pengadilan!" Kim Hong mengerutkan alisnya hendak membantah, akan tetapi Kok Siang lalu berkata, sikapnya halus menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang terpelajar. "Baik, ciangkun. Kami percaya bahwa pengadilan tentu akan menyelidiki kemudian memberikan keputusan yang seadil-adilnya. Mari, adik Hong, kita ikut ke kantor pengadilan." Kim Hong cukup cerdik untuk mengerti kenapa pemuda itu bersikap mengalah. Kok Siang adalah penduduk Thian-cin yang telah dikenal, maka sangatlah berbahaya baginya kalau sampai dia dianggap melawan pasukan dan memberontak. Berbeda dengan Kim Hong yang belum dikenal, apa lagi mengingat bahwa tempat tinggal wanita ini juga jarang ada yang mengetahuinya. Untuk membiarkan Kok Siang ditangkap sendiri dan dia melarikan diri, Kim Hong merasa tidak tega. Apa lagi setelah ia tahu bahwa pemuda itu tahu di mana peta yang asli, maka pemuda itu menjadi amat penting baginya. Dia harus melindungi pemuda ini agar jangan sampai peta yang asli terjatuh pula ke tangan penjahat. Maka dia pun mengangguk dan menyetujui. Sepuluh anggota gerombolan itu bersama Kim Hong dan Kok Siang lantas digiring oleh pasukan menuju ke kantor kejaksaan. Sepuluh orang itu langsung dimasukkan ke dalam kamar tahanan besar, sedangkan Kim Hong dan Kok Siang dibawa ke bagian belakang di mana terdapat beberapa buah kamar tahanan. "Kalian berdua harus tinggal di dalam kamar tahanan ini dulu sambil menanti datangnya pembesar yang akan membuka sidang pengadilan," perwira itu berkata sambil membuka daun pintu kamar tahanan. Tentu saja Kim Hong merasa marah dan mengerutkan alisnya. "Kami bukan penjahat, kenapa mesti dijebloskan dalam kamar tahanan?" Akan tetapi, kembali Kok Siang yang berkata dengan sikap tenang dan suara halus. "Jika memang demikian peraturannya, kita tidak perlu membantah. Pula, kita sama sekali tidak bersalah, takut apa? Biarlah kita menunggu di sini." Dan pemuda itu pun lalu memasuki kamar tahanan. Melihat sikap pemuda ini, terpaksa Kim Hong mengalah. Kemudian, sambil cemberut dan mukanya merah saking marahnya, dia pun terpaksa turut masuk. Pintu kamar sel yang terbuat dari pada besi itu lalu dikunci dari luar, ada pun perwira itu bersama pasukannya masih berjaga di situ....

Jilid 4

MELIHAT wajah perwira itu yang kelihatan girang sekali, diam-diam Kim Hong merasa tidak enak. Ia merasa bagai seekor harimau yang dijebak ke dalam kerangkeng. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa khawatir. Bagaimana pun juga, dia terjatuh ke tangan petugas pemerintah, bukan tangan penjahat. Dan kalau dia mengbendaki, apa sih sukarnya untuk membongkar pintu kamar itu dan meloloskan dirinya? Pikiran ini membuatnya menjadi tenang, akan tetapi karena perwira bersama para anak buahnya masih berada di luar kamar, dia tidak dapat bicara dengan leluasa kepada Kok Siang Sesungguhnya, ingin sekali dia mengajukan banyak pertanyaan mengenai peta itu dan rahasianya. Karena hal itu tidak mungkin dilakukan pada waktu itu, Kim Hong lantas duduk bersila di tengah ruangan yang tidak berapa luas itu untuk mengumpulkan tenaga dan menenangkan hatinya yang diliputi rasa penasaran dan kemarahan itu. Sedangkan Kok Siang sendiri juga duduk di sudut kamar itu dengan tenang-tenang saja. Urusan perkelahian adalah urusan kecil dan para pembesar pengadilan tentu akan lebih percaya kepada keterangannya dari pada keterangan orang semacam Lui Cai Ko yang kasar. Paling tidak, dia lebih pandai bicara, lebih sopan dan sebagai seorang terpelajar, tentu dia akan memperoleh perhatian dan penghormatan dari para petugas pengadilan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa Bu Kok Siang adalah seorang pemuda pilihan, pandai dalam ilmu silat, juga ahli sastera serta mempunyai pengetahuan yang cukup luas. Akan tetapi, bagaimana pun juga, dia masih muda dan belum mengenal benar akan kepalsuan manusia seperti keadaan yang sesungguhnya. Kebenaran dan keadilan selalu menjadi lemah dan goyah di mana terdapat kekuasaan yang jauh lebih hebat, yaitu ketamakan akan uang! Uang berarti kesenangan. Di bagian dunia mana pun, manusia benar-benar telah dicengkeram serta dikuasai oleh uang atau lebih luas lagi, dikuasai oleh keinginan untuk memperoleh kesenangan. Dan kesenangan ini, harus diakui, hanya bisa dicapai kalau orang mempunyai uang. Untuk memperoleh uang sebagai sarana utama agar dapat hidup senang ini, maka orang tidak segan-segan melakukan apa saja! Dari yang paling licin sampai yang paling keji dan kejam. Orang tidak segan-segan untuk berpura-pura, untuk merendahkan diri sedemikian rupa, untuk menipu, untuk menyiksa kalau perlu membunuh, menjadi penjahat-penjahat, wanita menjual diri menjadi pelacur, pendeknya segala kemaksiatan itu terdorong oleh keinginan mendapatkan uang sebanyaknya. Uang membuat apa saja dapat terjadi, yang nampaknya tidak mungkin sekali pun! Kok Siang tidak atau belum sadar bahwa karena kekuasaan uang, dia akan menghadapi hal-hal yang nampaknya tidak mungkin terjadi. Dia tidak pernah menduga bahwa seorang pembesar tinggi dapat saja melakukan hal-hal yang lebih rendah dari pada pencuri atau perampok, karena kehausan akan uang. Kedudukan disalah gunakan, kekuasaan menjadi alat untuk mencari uang sebanyaknya, martabat terlupa, hati nurani tiada bisikan murni lagi, prikemanusiaan menipis, semua ini terjadi apa bila manusia telah dikuasai oleh pengejaran kesenangan melalui pengumpulan uang. Halal atau tidak sudah tidak diperhitungkan lagi. Dan hal ini kemudian menjadi suatu kebiasaan dan bila sudah menjadi kebiasaan, ahlak makin menipis sehingga keburukannya tidak terasa atau teringat lagi. Orang yang untuk pertama kali melakukan pencurian tentu akan merasa adanya penyesalan dalam hatinya, penyesalan yang datang karena kesadaran bahwa apa yang dilakukannya itu adalah tidak baik atau tidak benar. Akan tetapi kalau dia sudah terbiasa dengan perbuatan mencuri, maka penyesalan itu akan semakin menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. Demikian pula dengan segala macam kemaksiatan lainnya. Bu Kok Siang masih tebal kepercayaannya akan kebenaran dan keadilan. Dia tidak tahu bahwa pengaruh kesenangan melalui penumpukan uang sudah menjalar sampai ke mana pun, sampai ke dalam kantor-kantor para pembesar, bahkan sampai ke dalam istana. Dan kantor kejaksaan itu pun tak terluput, kantor pengadilan pun telah digerayangi oleh setan ini sehingga yang namanya keadilan pun dikemudikan oleh uang! Selagi kedua orang muda itu tenggelam ke dalam keheningan masing-masing, mendadak terdengar suara keras dan lantai di dalam kamar tahanan itu pun terbuka ke bawah! Hal ini terjadi sedemikian cepat dan tiba-tiba sehingga mengejutkan Kim Hong dan Kok Siang karena mendadak tubuh mereka kehilangan tempat berpijak sehingga terjeblos ke bawah. Akan tetapi, mereka adalah dua orang yang terlatih baik dan sudah menguasai ilmu silat sehingga gerakan ilmu itu sudah mendarah daging dalam tubuh mereka. Terutama sekali Kim Hong yang memiliki ginkang tinggi. Begitu tubuhnya terjeblos ke bawah, dia langsung mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuh yang telah meluncur ke bawah itu tiba-tiba saja telah membuat gerakan dengan kaki yang mengenjot atau menendang ke bawah, ada pun kedua tangannya bergerak seperti sayap dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas! Kok Siang juga telah berhasil meloncat ke atas, akan tetapi ginkang-nya tak sehebat Kim Hong sehingga tubuhnya kembali meluncur ke bawah karena dia tidak bisa berpegangan pada apa pun. Berbeda dengan Kim Hong yang mampu membuat gerakan menyamping sehingga tubuhnya yang mencelat ke atas itu bisa meluncur ke arah pintu besi. Kim Hong mengerahkan tenaga sinkang-nya dan sambil meluncur ke arah pintu, dia menggerakkan kaki tangannya untuk menerjang pintu dan membobolkannya. Akan tetapi ia melihat seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh hitam tinggi besar, mendadak muncul di luar daun pintu berjeruji itu dan kakek itu pun mendorongkan dua tangannya menyambut terjangan Kim Hong. Dari dorongan kedua tangan ini segera menyambar hawa pukulan dahsyat sekali yang amat mengejutkan pendekar wanita itu. Ia mengenal tenaga yang amat kuat, maka Kim Hong lalu mengerahkan seluruh tenaganya pula. "Brakkkkk...!" Pintu besi yang kokoh kuat itu tidak sanggup menahan himpitan dua tenaga raksasa dari dalam dan luar kamar, pecah dan patah-patah berantakan. Akan tetapi, tubuh Kim Hong yang tertahan oleh tenaga kakek itu pun terdorong ke belakang dan tentu saja sekarang meluncur ke bawah tanpa dapat dicegah pula. Sebaliknya, kakek itu sendiri pun terdorong mundur sampai empat langkah. Agaknya dia terkejut bukan main, mengeluarkan seruan aneh, mukanya pucat dan matanya terbelalak. Dia tidak mengira bahwa gadis muda itu sedemikian lihainya. Sementara itu, tubuh Kim Hong yang meluncur ke bawah itu tiba-tiba sudah diterima oleh sepasang lengan yang kuat. Karena di tempat itu amat gelap, maka Kim Hong tidak dapat melihat siapa yang menerimanya dengan pondongan sepasang lengan itu, akan tetapi dia merasa jantungnya berdebar keras dan mukanya terasa panas ketika mendengar suara yang dikenalnya, "Hong-moi, engkau tidak apa-apa?" Kiranya yang menerima tubuhnya itu adalah Kok Siang! Tentu saja ia merasa malu dan cepat meloncat turun. "Aku tidak apa-apa, dan engkau?" "Untung bahwa lantai yang menjadi dasar tempat ini agak lunak sehingga aku tak sampai terluka. Tadi ketika melihat ada tubuh meluncur dari atas, aku merasa khawatir sehingga menangkapmu. Maafkan aku, adik Hong." Betapa sopan pemuda ini, pikir Kim Hong. Dia mengerti bahwa pemuda itu sama sekali tidak mempunyai bayangan pikiran kotor saat menerima tubuhnya. Dan sekarang, melihat dia tidak apa-apa dan sesungguhnya tidak perlu ditangkap dalam pondongan, pemuda itu minta maaf. Bagaimana mungkin dia bisa marah terhadap pemuda seperti ini? "Tidak apa-apa dan terima kasih, Bu-twako. Kita berada di mana? Kita harus dapat keluar dari tempat ini. Tak kusangka bahwa kita telah terjebak." "Tadi sudah kuperiksa dengan teliti, akan tetapi baru sebentar karena kulihat engkau jatuh ke bawah. Agaknya tempat ini buntu, merupakan lubang seperti sumur. Sama sekali tidak ada jalan keluar dari sini kecuali melalui atas." "Belum tentu. Mari kita periksa lagi dengan meraba-raba." Mereka pun mulai meraba-raba pada sepanjang dinding yang bentuknya bundar seperti sumur itu. "Apakah yang telah terjadi? Bukankah kita dimasukkan kamar tahanan kantor kejaksaan? Mengapa kita terjebak seperti ini? Mungkinkah di kantor pemerintah ada tempat jebakan seperti ini?" Sambil memeriksa dinding, Kok Siang mengomel karena dia sungguh merasa penasaran dan terheran-heran. "Ahh, twako. Di mana pun juga, apa pun juga kedudukannya, manusia tetap merupakan makhluk yang palsu dan kejam. Sebenarnya aku sudah tidak setuju untuk menyerahkan diri. Kurasa penangkapan itu memang sudah diatur sebelumnya. Tentu ada hubungannya antara Tiat-ciang Lui Cai Ko dengan perwira itu. Dan kulihat tadi kakek yang menyambut pukulanku ke arah pintu, hemmm... sungguh dia seorang lihai, seorang lawan tangguh." "Siapa dia?" "Aku belum pernah mengenalnya, akan tetapi aku dapat menduganya. Mungkin dia itulah yang menjadi dalang dan biang keladi ini semua, yang menjadi raja penjahatnya." "Siapa?" Pemuda itu berhenti meraba-raba karena memang sekeliling dinding ruangan itu tanah padas belaka. "Kalau tidak salah tentu yang bernama Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng." "Ahhh...!" "Kau mengenal dia?" "Mengenal orangnya sih belum, akan tetapi siapa yang tak pernah mendengar namanya? Pat-pi Mo-ko adalah nama seorang datuk kaum sesat yang baru. Semenjak empat orang datuk kaum sesat itu lenyap, boleh dibilang dia inilah yang dikenal sebagai datuk. Engkau tentu pernah mendengar nama-nama keempat datuk kaum sesat, bukan? Pertama adalah See-thian-ong datuk dunia barat yang kabarnya telah tewas oleh Pendekar Sadis. Ke dua adalah Pak-san-kui Siongkoan Tiang yang kabarnya juga tewas di tangan Pendekar itu. Ke tiga adalah Tung-hai-sian datuk timur yang kini sudah melepaskan kedudukannya dan mencuci tangan, hidup sebagai seorang saudagar yang tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw lagi. Ke empat adalah Lam-sin datuk selatan yang lenyap tanpa ada yang tahu ke mana perginya. Nah, setelah keempat orang datuk kaum sesat itu lenyap, lantas muncullah Pat-pi Mo-ko ini!" Tentu saja apa yang diceritakan oleh Kok Siang itu diketahui dengan baik oleh Kim Hong karena dia sendirilah yang dulu menyamar sebagai seorang nenek yang berjuluk Lam-sin. Dengan sendirinya dia tidak tertarilk oleh cerita itu, akan tetapi dia sangat memperhatikan nama Pat-pi Mo-ko. "Jadi Pat-pi Mo-ko ini mengangkat diri menjadi pengganti para datuk itu?" "Bukan mengangkat diri menjadi datuk, namun semua penjahat di seluruh empat penjuru takut dan menganggap dia sebagai datuk mereka karena ilmunya yang sangat hebat dan kekejamannya terhadap siapa saja yang tak mau tunduk kepadanya. Akan tetapi, selalu dia bekerja secara rahasia, bahkan para anak buahnya sendiri tidak pernah berhubungan langsung dengannya dan siapa saja yang ingin mengetahui rahasianya tentu dibunuhnya. Apa lagi membuka rahasianya. Dia orang aneh dan hanya dugaan orang saja dia berada di kota raja sebagai sarangnya, karena dia sering mengirim perintah dari kota raja. Kalau saja benar dia yang berdiri di belakang urusan harta karun Jenghis Khan ini..." Kok Siang berhenti seolah-olah merasa terlanjur bicara. Keadaan di sumur itu amat gelap, mereka hanya dapat saling melihat bayangan masing-masing. Akan tetapi suara ini cukup bagi Kim Hong yang segera mendesak. "Harta karun Jenghis Khan? Peta dari dusun itu?" "Ya, jika benar dia yang memimpin semua itu, celakalah. Agaknya hanya Pendekar Sadis saja yang akan sanggup menghadapinya dan kabarnya, dia tidak pernah muncul karena jeri terhadap Pendekar Sadis yang sudah membunuh See-thian-ong dan Pak-san-kui. Dia sendiri kabarnya adalah seorang sute dari mendiang See-thian-ong. Kalau saja Pendekar Sadis dapat muncul... ahh... aku... sungguh mengagumi kegagahan pendekar itu." Kim Hong diam saja. Ia pun memikirkan Thian Sin. Di sini ia terjebak bersama Kok Siang! Apa dayanya? Dan apakah Thian Sin akan bisa menemukan mereka sebelum terlambat? Tiba-tiba terdengar suara mendesis dan tempat itu segera penuh dengan asap! "Celaka, asap beracun!" seru Kok Siang sambil mendekap hidung dan mulutnya. "Ahhh, terlambat...!" Kim Hong juga berseru, melanjutkan lamunannya tentang Thian Sin tadi. "Cepat tiarap dan rapatkan muka ke lantai!" Mereka cepat-cepat bertiarap. Akan tetapi usaha ini hanya dapat menolong sejenak saja dan memperpanjang siksaan mereka karena akhirnya tempat itu penuh dengan asap dan setelah hawa udara di atas tanah itu habis, maka asap pun tersedot oleh mereka. Mereka terbatuk-batuk dan akhirnya keduanya roboh pingsan. *************** Thian Sin yang berada sendirian di dalam kamar hotelnya, tersenyum simpul mendengar jejak-jejak kaki halus di atas genteng kamarnya. Kim Hong telah pergi menyelidik tentang pemuda sastrawan yang mencurigakan itu dan dia juga sudah pergi menyelidiki ke rumah gedung tempat tinggal Bouw Wan-gwe (Hartawan Bouw) di mana tinggal Bouw In Bwee yang cantik jelita. Akan tetapi dia gagal untuk dapat berjumpa dengan gadis itu karena agaknya gadis itu tinggal di dalam kamarnya bersama beberapa orang pelayan dan dia tidak berani memaksa masuk ke dalam kamar. Dia hanya menyelidiki keadaan gadis dan keluarganya dengan mencari keterangan di luar dan dia mendengar bahwa Bouw Siocia terkenal sebagai seorang gadis kaya raya yang berhati mulia, suka menolong orang dan di samping itu juga gadis ini dikenal mempunyai kepandaian silat tinggi sehingga semua orang mengagumi dan menghormatinya. Agaknya tidak ada yang mencurigakan pada diri gadis ini. Maka, dia segera kembali ke kamar hotel, dengan keputusan untuk mengunjungi gadis itu secara berterang pada keesokan harinya, kalau bisa bersama dengan Kim Hong, sebagai sahabat-sahabat baru. Namun pada malam hari ini, menjelang tengah malam, dia mendengar jejak kaki di atas genteng kamarnya itu. Bukan Kim Hong, pikirnya. Kalau Kim Hong yang datang, bahkan dia sendiri pun tidak akan dapat mendengar jejak kakinya, kecuali kalau dia sedang dalam semedhi dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dalam keadaan seperti itu, jarum jatuh pun akan terdengar olehnya. Namun dalam keadaan biasa, sukarlah dicari orangnya yang akan mampu mendengar telapak kaki Kim Hong yang memiliki ginkang hampir sempurna itu. Bukan, ini tentu orang lain. Ginkang-nya belum sehebat Kim Hong, akan tetapi sudah cukup lumayan, bukan penjahat biasa. Siapa lagi kalau bukan utusan para penjahat itu? Dengan pendengarannya yang tajam, Thian Sin mengikuti gerak gerik orang yang datang itu tanpa bergerak dari atas pembaringannya di mana dia sedang duduk bersila. Karena dia kini memusatkan perhatiannya, maka dengan jelas dia dapat mengikuti gerakan orang itu. Beberapa lamanya orang itu mendekam di atas genteng, membuka genteng mengintai ke dalam, lalu berlari di atas genteng, melompat turun dan menghampiri jendela kamarnya. Thian Sin tersenyum geli. Seorang penjahat yang masih hijau, pikirnya. Akan tetapi, senyumnya segera lenyap dari mukanya ketika tiba-tiba dia mendengar suara berbisik dari luar jendela itu. "Taihiap... jangan kaget, aku yang datang..." Suara Bouw In Bwee! Tentu saja hal ini sama sekali tak pernah disangkanya dan jantung pemuda itu berdebar kencang. Mau apa gadis itu malam-malam datang mengunjunginya dan dalam keadaan yang demikian mencurigakan? Apakah ini merupakan perangkap dan tipu muslihat pula dari pihak lawan? Dia harus selalu berhati-hati. Pihak lawan agaknya tak akan pernah berhenti dalam usaha mereka untuk memperoleh kunci emas itu. Dan siapa tahu gadis jelita ini pun merupakan salah seorang di antara mereka, walau pun menurut penyelidikannya siang tadi, agaknya tidak mungkinlah bila seorang gadis seperti In Bwee menjadi kaki tangan penjahat! Akan tetapi, siapa tahu? Sebelum Thian Sin sempat menjawab, daun pintu telah didorong dari luar sehingga jebol, kemudian gadis itu dengan pakaian serba hitam yang ringkas dan ketat, yang membuat tubuhnya kelihatan demikian menggairahkan dengan lekuk lengkung sempurna, meloncat masuk dengan ringannya lalu cepat-cepat menutupkan kembali daun pintu itu. "Ahh, nona Bouw In Bwee...! Kenapa masuk seperti itu dan menutupkan daun jendela?" tegur Thian Sin sambil tersenyum dan melompat turun. In Bwee membalikkan tubuhnya dan sejenak mereka bertukar pandang. Di bawah cahaya lilin tunggal itu, wajah yang halus manis itu nampak kemerahan. "Habis, apakah aku harus berkunjung secara terang-terangan dan biar terlihat oleh orang lain? Betapa janggalnya seorang gadis berkunjung di tengah malam melalui pintu depan begitu saja!" "Lalu... tentu ada hal penting sekali maka gadis itu datang berkunjung pada tengah malam melalui atas genteng dan membongkar jendela!" kata pula Thlan Sin, masih tersenyum. Wajah gadis itu menjadi semakin merah seperti terbakar api lilin dan mukanya menunduk, akan tetapi segera diangkatnya kembali dan dengan mata berseri ia memandang pemuda itu. "Apakah engkau menyesal atas kedatanganku, taihiap? Jika begitu, biarlah aku pergi saja..." Dan dia membuat gerakan hendak membuka daun jendela. Akan tetapi Thian Sin bukan anak kecil. Sudah beberapa kali dia bergaul dengan wanita dan dia sudah mengenal benar kemanjaan dan kepura-puraan dalam sikap wanita seperti yang diperlihatkan gadis itu. Dia pun memegang tangan gadis itu. "Tunggu dulu, nona. Siapa bilang aku menyesal? Aku merasa gembira sekali, seolah-olah kejatuhan bulan dan aku merasa terhormat sekali!" In Bwee membalik lagi. Tangan kirinya yang kecil lembut itu masih dipegang oleh Thian Sin. Tangan itu menggelepar hangat, terasa oleh Thian Sin seperti seekor burung pipit di dalam genggamannya. Lalu In Bwee menarik perlahan tangannya, dan sambil tersenyum simpul dia bertanya, "Beginikah menerima tamu? Tidak disuruh duduk? Betapa sopannya..." Thian Sin tertawa. "Aihh, maaf. Silakan duduk, nona." In Bwee lalu duduk di atas kursi, sedangkan Thian Sin duduk pula di atas pembaringan. Sejenak mereka kembali berpandangan dan gadis itu tersenyum manis. "Kau bilang tadi girang seperti kejatuhan bulan? Jika benar kejatuhan bulan, mungkinkah masih dapat bergirang hati? Aku pernah membaca dalam kitab kuno bahwa bulan hanya indah dan kecil nampak dari sini. Padahal merupakan sebuah dunia yang besar!" Thian Sin tersenyum. "Bukan begitu maksudku. Akan tetapi bulan demikian indahnya dan wajahmu juga indah dan manis seperti bulan..." "Ihhhh...! Engkau perayu benar, Ceng Taihiap!" In Bwee melempar senyum dan kerling tajam memikat. Thian Sin menduga-duga apa gerangan yang tersembunyi di balik senyum dan kerling itu. Kalau benar gadis ini merupakan kaki tangan penjahat, tentu mudah diterka. Senyum dan kerling itu merupakan daya pikat, untuk memikat dirinya. Pihak lawan yang agaknya telah kewalahan untuk menundukkannya melalui kekerasan, tentu mungkin saja menggunakan kecantikan seorang gadis seperti In Bwee ini untuk menjatuhkannya. Akan tetapi, mungkinkah In Bwee menjadi kaki tangan penjahat? Ia adalah puteri seorang hartawan besar, pandai silat dan hidupnya terhormat, juga terkenal sebagai seorang gadis gagah perkasa yang budiman. Mana mungkin menjadi kaki tangan penjahat? "Nona, katakanlah terus terang saja, apa maksud kedatangan nona mengunjungiku pada tengah malam seperti ini? Sungguh mati, aku merasa heran sekali dan ingin tahu." Gadis itu tersenyum lagi, lebih manis, dan dia memandang langsung dengan sinar mata tajam, seolah-olah hendak menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu. "Ceng Taihiap, coba katakan padaku, apa yang sepatutnya menyebabkan seorang gadis seperti aku ini malam-malam datang mengunjungi seorang pendekar sepertimu?" Sungguh merupakan jawaban yang sekaligus merupakan pertanyaan yang jelas menantang! Diam-diam Thian Sin merasa semakin tegang dan terheran. Apakah gadis ini merupakan seorang petualang asmara? Ini lebih besar kemungkinannya, mengingat ia seorang gadis kaya dan lihai. Apa lagi kalau bukan seorang petualang cinta? Namun, pikirannya masih terikat akan urusan peta dan kunci emasnya, maka dia pun mencoba dan memancing. "Hemmm, apa bila gadis itu selihai engkau, nona Bouw, maka besar kemungkinan kalau kunjunganmu ini untuk membalas dendam kepadaku." In Bwee menggeleng kepala keras-keras. "Tidak ada urusan apa-apa antara engkau dan aku yang boleh membuat aku sakit hati. Lagi pula, kalau aku hendak membalas dendam, apakah caranya mengunjungi seperti ini, dalam keadaan akrab? Tentu semenjak tadi-tadi aku sudah mencoba untuk menyerangmu, baik dari atas genteng, dari luar jendela, atau sekarang. Bukan mengajakmu bercakap-cakap secara santai begini." "Kemungkinan ke dua adalah bahwa kunjunganmu ini mengandung maksud tertentu..." "Tentu saja, yang kutanyakan adalah apakah kira-kira maksud itu?" "Mungkin saja untuk menyelidiki aku." Thian Sin memandang wajah itu dengan tajam saat mengucapkan kata-kata pancingan ini. "Menyelidikimu?" Biar pun cahaya lilin itu tidak cukup terang, akan tetapi Thian Sin yang memandang penuh perhatian itu dapat melihat adanya perubahan pada wajah yang cantik itu. "Menyelidiki apanya?" "Hemm... misalnya... menyelidiki tentang kunci emas..." Sekarang gadis itu benar-benar terkejut. "Kunci... kunci emas...? Apa... apa maksudmu, taihiap?" Thian Sin tertawa. "Maksudku adalah seperti yang kau maksudkan." "Ahh, harap jangan mengada-ada, taihiap. Aku datang sebetulnya..." Melihat keraguan gadis itu Thian Sin mendesak. "Sebetulnya bagaimana?" "Karena aku... kagum sekali padamu. Semenjak kita bertemu di restoran itu, aku merasa amat kagum dan..." "Ya? Bagaimana?" "Aku... aku ingin mempererat persahabatanku denganmu." "Begitukah? Sungguh beruntung sekali aku! Tentu saja kuterima dengan tangan dan hati terbuka!" Gadis itu mengangkat muka. Wajahnya yang tersorot cahaya lilin kemerahan itu sunggub cantik manis. "Dengan hati terbuka? Kulihat hatimu sudah tertutup penuh oleh enci Kim Hong..." Thian Sin tersenyum. Ternyata benar saja, gadis cantik manis yang kaya raya ini adalah seorang petualang asmara! Mungkin juga hendak memikatnya. Kita sama-sama lihat saja, pikirnya. Siapa yang terpikat nanti! "Ha-ha, In Bwee yang manis, dalam hatiku masih terbuka ruang yang lebar untuk seorang gadis seperti engkau!" Dan dia pun meraih dan menangkap pergelangan tangan gadis itu, lalu ditariknya ke arah dirinya. "Ihh, mau apa kau?!" Gadis itu berseru dan kedua tangannya langsung mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah muka, leher dan dada Thian Sin. Serangan yang sungguh-sungguh, bukan main-main dan dilakukan pada jarak sangat dekat. Namun, tentu saja serangan itu tidak terlalu berbahaya bagi Thian Sin. "Plak-plak-plak-plak!" Empat kali pukulan gadis itu dapat ditangkis dengan mudah oleh Thian Sin dan tangkisan terakhir disertai tangkapan pada kedua pergelangan tangan itu sehingga In Bwee hanya dapat meronta-ronta tanpa dapat memukul lagi. "Lepaskan aku...! Lepaskan aku..." serunya dengan suara lirih karena dia pun tidak ingin membangunkan para tamu di kamar-kamar lain. Akan tetapi Thian Sin belum mau melepaskan pegangan kedua tangannya. "Benar-benar hebat. Tengah malam engkau datang memasuki kamarku, kemudian merayu dan bahkan sekarang hendak membunuhku. Nona Bouw In Bwee, sebenarnya apa sih yang engkau kehendaki dariku?" "Lepaskan aku...! Kau... laki-laki kurang ajar!" In Bwee masih meronta-ronta, akan tetapi pegangan kedua tangan pemuda itu sungguh kuat bukan main. "Kau dengar baik-baik, nona manis. Aku Ceng Thian Sin selama hidupku belum pernah memakai kekerasan untuk memaksa seorang wanita mencintaku. Aku bukannya seorang jai-hwa-cat, aku bukan pula seorang hidung belang. Aku hanya akan mendekati wanita kalau wanita itu pun menghendakiku. Maka, jangan khawatir, nona. Ingat, yang datang ke kamarku malam-malam adalah engkau." Sesudah berkata begini, Thian Sin menarik nona itu mendekat, lantas memegang kedua pergelangan tangan yang kecil itu dengan jari-jari tangan kanannya, dan dengan tangan kirinya yang kini bebas itu dia menjambak rambut In Bwee, menarik mukanya mendekat lalu mencium bibir itu. "Uhh... uhhh...!" In Bwee meronta-ronta, akan tetapi makin meronta, ciuman itu semakin kuat hingga akhirnya tubuhnya terkulai lemas, dia menyerah dan terisak. Ketika Thian Sin melepaskannya, dia pun langsung jatuh terkulai di atas pembaringan. "Itu tadi adalah hukumanmu karena engkau sudah datang di sini pada tengah malam dan mencoba merayuku, lantas menyerangku tanpa memberi tahukan sebab-sebabnya. Sudah selayaknya kalau engkau dipukul, akan tetapi aku tidak tega. Nah, ciuman itu tadi adalah hukumannya sebagai pengganti pukulan. Sekarang, bicaralah atau keluarlah!" In Bwee yang menerima tugas dari suhu-nya untuk merayu dan menjatuhkan pemuda ini, dengan menggunakan kecantikannya, kini sadar bahwa usaha yang dilakukannya secara terpaksa itu sudah gagal sama sekali. Ketika tadi kedua lengannya ditangkap tanpa dia mampu melepaskan diri, lalu ketika dia dicium, hatinya sudah jatuh terhadap kegagahan pria ini. Seorang pria yang luar biasa! Kini dia mengangkat tubuhnya, duduk dan memandang kepada pemuda itu dengan mata basah dan berlinang air mata. Dia lalu teringat akan keadaan dirinya, akan tekanan yang dilakukan oleh pamannya atau gurunya dan tiba-tiba dia pun menangis sesenggukan. "Hemm, masih belum terlambat bagimu untuk bisa memperbaiki semua kesalahan, nona. Jangan menangis, aku paling tidak tahan jika melihat wanita cantik menangis." Thian Sin berkata halus sambil meraba pundak yang bergoyang-goyang itu. Mendengar ucapan halus ini, tangis In Bwee makin menjadi dan dia pun merangkul dan menangis di atas dada Thian Sin, menangis sampai mengguguk. Thian Sin mengerti bahwa tangis ini bukanlah air mata buaya, bukan tangis buatan untuk menundukkan hatinya, akan tetapi tangis yang timbul dari hati duka dan menyesal. Maka dia pun merasa kasihan, lantas merangkul dan menggunakan tangannya untuk mengelus rambut kepala yang agak kusut itu. Sentuhan tangannya, rabaan dan elusan tangan yang lembut itu sama sekali tidak mengandung gelora birahi, melainkan rasa iba yang tulus dan hal ini terasa oleh In Bwee yang menjadi makin terharu. "Maafkan aku... ahhh, Ceng-taihiap, maafkan aku..." Demikian dia berbisik-bisik di antara isaknya. Thian Sin mendekap tubuh itu, dipeluknya dengan erat, diciumnya rambut yang harum itu lantas dia pun berkata. "Menangislah sepuasmu, kemudian kalau engkau suka, ceritakan padaku apa artinya semua ini, In Bwee." Dara itu tak menjawab, menghabiskan isaknya di atas dada pemuda itu, membasahi baju Thian Sin dengan air matanya dan air hidungnya. Sesudah hatinya yang tadinya terhimpit itu terasa lapang, seakan-akan himpitannya terbawa keluar oleh air mata, maka dia pun mulai bicara. "Taihiap, aku tahu bahwa engkau adalah Pendekar Sadis." Tentu saja kalimat pertama ini sangat mengejutkan Thian Sin, sungguh pun tidak terlalu mengherankan karena memang sebagai Pendekar Sadis dia pernah menggegerkan kota raja sehingga sedikit banyak tentu ada juga yang mengenalnya. Dia hanya terkejut oleh pernyataan tiba-tiba ini karena tadinya dia tidak pernah menyangka bahwa gadis ini telah mengenalnya pula. Karena kagetnya, dia segera memegang kedua pundak gadis itu dan mendorongnya agar dia dapat memandang wajahnya. Wajah itu masih pucat dan basah, juga matanya agak kemerahan dan memandang sayu. "Taihiap, anak buah suhu mengenalmu dan aku diberi tahu oleh suhu-ku..." "Suhu-mu...?" Kini Thian Sin mulai mengerti. Keluarga gadis itu tak ada sangkut pautnya dengan rahasia harta karun Jenghis Khan, akan tetapi di sana ada suhu-nya! "Ya, suhu-ku... juga pamanku..." "Ahh, sekarang aku mengerti! Tentu dia itu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, bukan?" Gadis cantik itu menarik napas panjang lantas mengangguk. "Taihiap, aku bertugas untuk menundukkanmu dengan rayuan, aku terpaksa... akan tetapi... mana mungkin hal itu aku lakukan terhadapmu yang telah kukagumi sejak kita pertama kali bertemu?" Thian Sin menarik tubuh itu dan kembali memeluknya, diam-diam dia tersenyum senang. "Nona... ehh, In Bwee, adik yang manis, di antara kita telah terasa adanya suatu ikatan persahabatan yang akrab. Mana mungkin kita saling menundukkan? Engkau sudah tahu bahwa dulu memang aku pernah berjuluk Pendekar Sadis, julukan yang sebetulnya amat kubenci. Dan tentu engkau tahu pula bahwa aku datang ke sini sebagai wakil keluarga Ciang yang malang itu, untuk menemukan kembali peta harta karun Jenghis Khan yang dirampas dari tangan Ciang Kim Su. Nah, engkau sudah tahu tentang semua keadaanku, maka sebagai sahabat, sudah adil kalau aku pun dapat mengetahui latar belakang semua perbuatanmu ini." Sampai lama In Bwee berdiam diri di dalam pelukan Thian Sin hingga akhirnya pemuda itu mengangkat mukanya dan mencium bibir itu. Ciuman yang halus dan mesra, bukan paksaan seperti tadi dan sekali ini, terdengar In Bwee mengeluh dan memejamkan kedua matanya, merasa seperti dihanyutkan dan tenggelam ke dalam kemesraan. Setelah Thian Sin melepaskan ciumannya, In Bwee menarik napas panjang kemudian menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu. "Taihiap... betapa mudahnya bagiku untuk jatuh cinta pada seorang pria seperti engkau. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau dan enci Kim Hong saling mencinta, hidup sebagai suami isteri..." "Hemm, pamanmu itu agaknya menyebar banyak mata-mata." "Benar, aku tahu dan aku merasa iri sekali kepada enci Kim Hong. Betapa bahagianya mempunyai seorang suami atau kekasih sepertimu, taihiap. Aku... aku hanyalah seorang wanita yang malang, yang ternoda dan terhimpit..." "Ceritakanlah, aku siap untuk membantumu." "Semenjak kecil aku dilatih ilmu silat oleh pamanku yang mempunyai kepandaian tinggi. Engkau sudah mengenal namanya, yaitu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Dia benar-benar sangat sakti, taihiap, harap engkau berhati-hati menghadapi dia. Ahh, betapa aku sudah mengkhianati guru dan pamanku dan aku tak akan dibiarkan hidup kalau dia mengetahui hal ini." "Jangan khawatir, aku akan melindungi dan membelamu, adik In Bwee. Teruskan dahulu ceritamu." "Aku sendiri tidak tahu benar tentang rahasia harta karun Jenghis Khan. Aku tidak pernah mencampuri urusan guruku, karena aku tidak suka akan cara hidupnya yang bergelimang dengan kejahatan dan dia selalu bergaul dengan para tokoh jahat. Ayahku sendiri juga membencinya, bahkan tidak mengakui lagi sebagai adiknya. Yang kutahu dari penuturan suhu hanyalah bahwa dia telah menguasai sebuah peta, akan tetapi tanpa adanya kunci emas, maka peta itu tak ada gunanya. Dan menurut suhu kunci emas itu ada pada kalian, yaitu padamu dan enci Kim Hong. Maka aku lalu diperintah oleh suhu untuk menyelidiki dirimu, untuk menundukkanmu dengan rayuan, bahkan bila perlu mengorbankan diri dan kehormatan asalkan aku bisa mendapatkan kunci emas itu, atau paling tidak keterangan darimu mengenai kunci emas itu. Nah, sudah kuceritakan semua! Lega hatiku sekarang, akan tetapi sekaligus juga khawatir, karena pengakuan ini mungkin merupakan keputusan mati bagiku..." Wajah itu pucat sekali, matanya terbelalak memandang ke arah pintu dan jendela, seolah-olah dia merasa takut kalau-kalau ceritanya tadi dicuri dengar orang lain. "Jangan takut, tidak ada orang yang mendengarkan, kecuali aku. Kalau ada orang yang mendekat, aku tentu mengetahuinya," kata Thin Sin yang mengerti akan isi hati gadis itu. "Akan tetapi, Bwee-moi, sungguh aku merasa heran sekali. Kalau engkau memang tidak suka akan semua perbuatan dan watak suhu-mu, mengapa engkau mau saja diperintah olehnya! Kenapa engkau tidak menjauhinya saja?" Ditanya demikian, kembali In Bwee menangis, air matanya mengalir keluar namun cepat dihapusnya dengan ujung lengan bajunya yang sudah basah, "Aku terpaksa, terhimpit... aku... aku pernah menyeleweng, pada waktu aku berusia delapan belas tahun, aku sudah menyerahkan diri, ternoda oleh seorang suheng-ku, murid suhu juga. Semua murid suhu adalah orang-orang dunia hitam! Suhu mengetahui hal ini, sedangkan murid itu tidak mau bertanggung jawab, lalu suhu menggunakan rahasia itu untuk menekanku. Jika aku tidak menurut, bukan saja dia hendak membuka rahasiaku itu agar diketahui oleh ayah, ibu dan oleh umum, akan tetapi dia mengancam pula untuk membunuh ayah, ibu dan keluargaku. Aku terpaksa, taihiap... aku terpaksa dan... aku takut..." Thian Sin masih merangkul dan memeluknya. Diam-diam dia pun merasa kasihan kepada gadis ini. Seorang gadis yang lemah sehingga di dalam hidupnya sudah tersandung dan terjatuh. Betapa sukar dan beratnya menjadi wanita, pikirnya. Kehormatan seorang wanita diukur dari keperawanannya. Sekali saja dia lemah sehingga tergelincir, maka hal itu merupakan malapetaka yang akan merubah jalan hidupnya, akan mempengaruhi sepanjang hidupnya. Rasa takut akan selalu membayanginya, takut kalau aib yang menimpa dirinya ketahuan. Noda yang satu kali itu seolah-olah merupakan noda yang melekat kuat lahir batinnya, tidak dapat terhapus lagi sampai orangnya mati! Seolah-olah, tidak ada kejahatan di dunia ini yang lebih hebat dari pada seorang gadis kehilangan keperawanannya! Gadis seperti itu, seperti In Bwee itu, tidak akan diampuni, akan dikutuk, selalu dicaci, dihina dan tidak ada seorang pun laki-laki agaknya yang akan mau mengambilnya sebagai isteri! Seorang gadis yang kehilangan keperawanannya seolah-olah merupakan manusia yang paling kotor di dunia ini! Thian Sin menarik napas panjang. Persoalan ini pernah dia bicarakan dengan Kim Hong dan mereka sependapat. Tentu saja, seorang gadis yang menyerahkan keperawanannya begitu saja kepada seorang pria tanpa melewati sebuah pernikahan yang sudah menjadi hukum dan kebiasaan umum, merupakan perbuatan yang bodoh, hanya terdorong oleh nafsu dan kelemahan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa selama hidup dia tidak dapat sembuh dan sama sekali tidak adil kalau dijadikan semacam noda kotor yang menjijikkan sehingga para pria akan menolaknya sebagai barang hina! Apa lagi bagi Kim Hong yang dulu menyerahkan keperawanannya pada Thian Sin tanpa syarat apa pun, karena ikatan sumpah dan karena memang cinta. Anggapan yang sudah merupakan pendapat umum tentang hal itu sangat ditentangnya. Kim Hong sudah banyak memperbincangkan hal ini dengan Thian Sin, bahkan berdebat. Upacara dan pesta pernikahan adalah suatu hal untuk umum, akan tetapi hubungan sex dan cinta adalah urusan pribadi dua orang yang bersangkutan. Orang yang benar-benar mencinta, tidak mungkin akan mau mencelakakan orang yang dicintanya itu. Apa bila ada seorang pemuda mencinta seorang dara, benar-benar mencintanya, bukan sekedar suka hanya karena dorongan nafsu, tentu pemuda itu akan selalu menjaga supaya orang yang dicintanya itu tidak sampai mengalami bencana, apa lagi kalau bencana itu terjadi karena ulahnya. Pandangan umum dan tradisi memutuskan bahwa hubungan sex di luar nikah merupakan suatu perbuatan yang buruk dan hina maka pelanggarnya, khususnya kaum wanita, akan dipandang rendah dan menderita aib. Karena sudah mengerti akan hal itu, pemuda yang mencinta pacarnya, benar-benar mencintainya, tentu tidak akan mau membujuk pacarnya untuk melakukan hubungan sex di luar nikah. Bila dia tetap melakukannya, berarti bahwa cintanya itu adalah cinta birahi belaka! Untuk memuaskan hasrat birahinya, dia lupa bahwa pacarnya, yang katanya merupakan satu-satunya wanita yang dicintanya, terancam mala petaka hebat bila terjatuh oleh bujuk rayunya. Dan banyak terjadi kenyataan bahwa setelah nafsu sexnya terpuaskan, pemuda itu baru melihat bahwa sesungguhnya dia tidak mencinta wanita itu, seolah-olah seorang kehausan yang setelah minum air sepuasnya lalu tidak lagi menginginkan air. Akan tetapi, dengan Thian Sin dan Kim Hong soalnya berbeda lagi. Mereka berdua hidup sebagai suami isteri walau pun belum disahkan dengan upacara serta pesta pernikahan, bukan sekedar dorongan sex semata. Ada pertalian cinta yang amat mendalam di antara mereka dan hanya karena pandangan keduanya yang ingin bebas dan memberontak dari pada segala peraturan yang dianggap merupakan ikatan yang memuakkan maka mereka tidak peduli tentang upacara dan pesta pernikahan. "Aku memang pengecut..." Akhirnya gadis itu mengeluh lalu perlahan melepaskan diri dari rangkulan Thian Sin, "dan aku... aku memang lemah terhadap rayuan pria. Aku tak berani menentang pamanku yang sesat itu dan aku... aku begini mudah jatuh hati kepadamu, padahal... padahal aku telah jatuh cinta kepada seorang lain...! Ah, Bu Kok Siang, betapa kelirunya engkau jatuh cinta kepada seorang gadis seperti aku..." Dan gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan, nampaknya menyesal sekali. Thian Sin memegang kedua lengan gadis itu, tidak lagi bersikap mesra. "Maafkan aku, In Bwee, bukan maksudku merayumu. Ah, kita ini memang hanya manusia-manusia lemah. Berdekatan dengan seorang seperti engkau ini, hati siapa takkan tertarik? Engkau saling mencinta dengan sastrawan itu? Bagus, dia seorang pemuda yang hebat. Dan memang sepantasnya bila seorang gadis seperti engkau ini tak usah takut-takut untuk menentang kelaliman dan kejahatan. Mati pun tak akan penasaran bila kita berada di atas kebenaran, In Bwee. Dan aku pun akan melindungimu dari ancaman iblis yang menjadi pamanmu itu. Sekarang katakan, di mana aku bisa bertemu dengan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng itu?" "Biar pun namanya amat terkenal di kota raja, namun tidak ada yang tahu di mana tempat tinggalnya. Bahkan para pendekar pun tidak mampu menemukan tempatnya itu." "Tapi engkau tahu tempatnya?" Gadis itu mengangguk. Lalu dia mengangkat mukanya memandang wajah Thian Sin yang amat tampan dan menarik itu. "Ceng-taihiap, begitu inginkah engkau dan enci Kim Hong memperoleh pusaka harta karun Jenghis Khan itu? Jika cuma uang yang kalian butuhkan, kiranya aku akan dapat membantu..." Thian Sin tersenyum. "Maksudmu?" tanyanya sambil menatap tajam wajah yang cantik itu. "Pamanku itu amat lihai, taihiap. Bukan hanya dia amat lihai, akan tetapi dia pun memiliki banyak kaki tangan yang pandai. Boleh dibilang semua tokoh sesat di kota raja adalah kaki tangannya, atau setidaknya tunduk kepadanya. Selain itu, juga di belakangnya ada pasukan pemerintah yang mendukung dan siap membantunya. Maka, kalau hanya untuk uang, amat berbahaya jika taihiap menentangnya. Lebih baik taihiap berikan kunci emas itu kepadanya, dan saya akan suka membantu taihiap, kalau memang uang yang..." "Hushh... kau pikir kami adalah orang-orang yang haus akan harta, In Bwee? Tidak, kami tidak butuh uang. Akan tetapi kami adalah petualang-petualang yang selalu tertarik akan hal-hal yang berbahaya serta mengandung rahasia. Kami melihat betapa seorang petani tua dibunuh, juga isterinya, bahkan betapa putera petani itu pun agaknya sudah dibunuh orang pula. Kami melihat kejahatan dan kesewenang-wenangan terjadi di hadapan mata kami, tak mungkin kami mendiamkannya saja. Pula, kami ingin juga menemukan pemuda petani itu dan kepada dialah kami akan menyerahkan semua harta karun itu, sebab dialah satu-satunya orang yang berhak memperolehnya." Mendengar ini, gadis itu mengangguk-angguk sambil menarik napas panjang. "Selama ini nama Pendekar Sadis selalu membuat aku merasa seram dan takut, akan tetapi setelah bertemu orangnya, ternyata taihiap adalah seorang pendekar yang berhati mulia, budiman dan sama sekali tidak menyeramkan, bahkan amat menarik. Bagaimana pun juga, hatiku khawatir sekali kalau membayangkan betapa taihiap akan berhadapan dengan pamanku dan semua kaki tangannya." "Jangan khawatir dan engkau tidak perlu ikut-ikut, In Bwee. Katakan saja di mana tempat persembunyian pamarmu yang sesat itu." In Bwee kembali menoleh ke luar jendela, seolah-olah takut kalau-kalau kata-katanya itu akan terdengar orang lain. Kemudian, dengan suara lirih dan agak gemetar, seolah-olah ia membukakan suatu rahasia yang amat besar, ia berkata. "Pamanku itu bersembunyi... di gedung jaksa..." "Ehh...?" Thian Sin terbelalak, merasa heran bukan kepalang. "Di rumah jaksa? Bukankah jaksa itu seorang pembesar yang bertugas memberantas serta menuntut para penjahat? Bukankah jaksa itu tugasnya melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan dan himpitan orang-orang jahat?" In Bwee tersenyum pahit. "Ceng-taihiap, agaknya biar pun engkau seorang pendekar yang sudah banyak bertualang, akan tetapi engkau masih belum tahu benar akan keadaan di kota raja ini. Di sini para petugas dan penjaga keamanan itu sama sekali tidak melindungi rakyat, melainkan melindungi orang yang mampu memberi kesenangan kepada mereka, terutama sekali yang mampu memberi uang. Mereka itu tak ada bedanya dengan tukang-tukang pukul bayaran, hanya bedanya mereka itu mengandalkan pakaian seragam dan kedudukan. Di sini, uang bisa membeli apa saja, taihiap. Uang bisa membeli kehormatan, bisa membeli kebenaran, bisa membeli keadilan." "Hemm, kau hendak mengatakan bahwa keadilan dan kebenaran dapat diperjual belikan di kota raja ini? Dan apakah jaksa itu pun telah dibeli oleh Pat-pi Mo-ko dengan sogokan harta?" "Tidak dengan harta. Paman adalah seorang yang tak dapat dikatakan kaya. Segala harta yang diperolehnya juga dihamburkan seperti pasir. Bahkan dia banyak minta kepadaku. Akan tetapi, semenjak dahulu paman menjadi sahabat baik jaksa Phang-taijin. Aku sendiri tidak tahu bagaimana paman dapat mempengaruhi dan menundukkan Phang-taijin seperti itu, akan tetapi persembunyiannya di sana pun hanya aku yang mengetahui, di samping tentu saja kaki tangannya yang telah dipercayanya benar." "Seperti Siang-to Ngo-houw, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko itu?" Gadis itu mengangguk. "Akan tetapi harap engkau jangan memandang rendah, taihiap. Mungkin mereka itu tidak merupakan lawan tangguh bagimu, akan tetapi suhu itu..." Thian Sin mengusap dagu yang halus itu. "Jangan khawatir, kami akan bertindak dengan amat hati-hati dan terima kasih atas segala keteranganmu. Tanpa bantuanmu itu, agaknya kami akan sukar untuk mencari pamanmu itu." "Akan tetapi aku... suhu tentu akan marah bukan main dan mungkin akan menjatuhkan hukuman karena aku telah gagal merayumu..." "Siapa bilang gagal? Ahh, belum percayakah engkau bahwa aku sudah hampir jatuh hati kepadamu, In Bwee? Engkau begini manis, jelita dan menawan hati. Kalau saja engkau tadi tidak mengatakan bahwa engkau saling mencinta dengan Bu Kok Siang, hemmm... agaknya sekarang juga aku masih akan mau untuk bercinta denganmu. Akan tetapi, tidak! Engkau seorang gadis baik dan engkau tentu akan menjadi seorang isteri yang baik sekali dari Bu Kok Siang." In Bwee bangkit dan memandang dengan wajah berseri-seri. "Memang, dia sangat cinta kepadaku, taihiap. Dia sudah kuberi tahu mengenai keadaanku, akan tetapi, seperti juga engkau, dia tidak menghinaku, bahkan dia kasihan kepadaku. Biarlah kalau suhu hendak membunuhku, terserah! Aku telah bertemu dengan Bu Kok Siang yang amat mencintaku, dengan engkau yang begini baik kepadaku, maka kalau sekarang suhu membunuhku pun aku tidak akan penasaran lagi." "Hushh, siapa yang bicara tentang mati? Engkau akan hidup seratus tahun lagi, In Bwee. Tentang suhu-mu, jangan khawatir. Kalau dia menuntut hasil rayuanmu, nah, kau berikan ini kepadanya." Kemudian Thian Sin mengeluarkan sebuah kunci emas dari dalam saku bajunya, lantas memberikannya kepada In Bwee. Gadis ini terbelalak memandang kunci emas itu, lalu dia menatap wajah Pendekar Sadis. "Taihiap, bukankah taihiap tadi mengatakan bahwa taihiap harus mendapatkan harta karun itu dan menyerahkan kepada yang berhak?" Thian Sin tersenyum dan di dalam hatinya dia tahu bahwa gadis ini benar-benar sudah berubah, telah berpihak padanya dan secara diam-diam mulai menentang dan memusuhi guru atau pamannya. Dia pun bangkit berdiri dan memegang kedua lengan gadis itu. "Bwee, adikku yang manis, jangan kau khawatir. Serahkan saja kunci emas ini, karena kunci ini akan menyelamatkanmu dari kecurigaan dan ancamannya. Kunci ini pun tidak akan ada gunanya bagi Pat-pi Mo-ko. Percayalah engkau padaku..." "Hemm, kunci palsu?" bisik gadis itu. Thian Sin tersenyum. "Engkau jauh lebih cerdas dari pada para kaki tangan Pat-pi Mo-ko. Nah, kau kembalilah dan tenangkan hatimu." Berserilah wajah In Bwee. Memang, dengan membawa kunci emas itu, baik asli atau pun palsu, akan menolongnya kerena itu merupakan bukti bahwa dirinya telah menyelesaikan tugasnya dengan baik sehingga suhu-nya tidak memiliki alasan untuk marah kepadanya. Andai kata kunci emas itu palsu sekali pun, hal itu bukanlah kesalahannya, karena mana dia tahu kalau kunci itu palsu? Dia akan selamat, akan dapat berjumpa kembali dengan Bu Kok Siang dengan selamat dan siapa tahu, hubungannya dengan Kok Siang akan tumbuh dengan baik dan akhirnya ia masih akan dapat menjadi isteri orang yang mencintanya dan tidak memandang rendah kepadanya. "Terima kasih, taihiap, terima kasih...," katanya dan sejenak In Bwee membiarkan dirinya dipeluk dan mukanya terdekap di dada yang bidang itu. Ia merasa betapa aman dan tenteramnya berada di dalam pelukan pria ini, akan tetapi ia segera teringat akan Kok Siang dan teringat pula kepada Kim Hong, maka dilepaskannya pelukannya dan ia pun lalu keluar dari kamar itu, melalui jendela. Setelah melihat bahwa gadis itu pergi jauh dan tidak ada gerakan lain yang menunjukkan bahwa ada orang yang membayangi dan mengancam In Bwee, Thian Sin menutupkan kembali jendela dan pintu kamarnya, lalu merebahkan diri terlentang di atas pembaringan kamarnya, tersenyum-senyum puas. Dia mengepal tinju. cerita silat online karya kho ping hoo Dia sudah berhasil memperoleh rahasia Pat-pi Mo-ko, di mana sembunyinya iblis itu dan tentu iblis itu yang telah menguasai peta rahasia yang harus dirampasnya kembali. Juga tentu iblis ini yang tahu di mana adanya Ciang Kim Su atau apa yang telah terjadi dengan pemuda petani itu. Hatinya terasa girang maka sambil menanti sampai kembalinya Kim Hong, dia pun dapat tidur pulas. *************** Akan tetapi Kim Hong yang ditunggu-tunggu oleh Thian Sin itu tidak juga kunjung datang! Di samping kegelisahan hatinya, tentu saja Thian Sin merasa heran sekali. Kekasihnya itu sedang melakukan penyelidikan atas diri Bu Kok Siang, sudah sejak kemarin, akan tetapi mengapa sehari semalam telah lewat dan Kim Hong belum juga pulang? Dia tidak merasa khawatir kalau-kalau Kim Hong jatuh cinta pada sastrawan itu. Cemburu tidak pernah menyelinap di dalam hatinya seperti juga Kim Hong tak pernah menunjukkan rasa cemburu terhadap dirinya, walau pun gadis itu sering menyinggung tentang sifatnya yang mata keranjang! Perasaan cemburu hanya meracuni cinta! Cinta kasih membutuhkan kepercayaan yang mutlak, cinta kasih artinya memberi kebebasan kepada orang yang dicinta. Cinta kasih antara dua orang, pria dan wanita, adalah cinta kasih kedua pihak, yang dirasakan oleh kedua pihak itu sendiri. Tak mungkin ada unsur pemaksaan di sini. Yang ada hanyalah mencinta atau tidak! Bila mencinta, dengan sendirinya tidak ada penyelewengan, sebaliknya kalau tidak mencinta, tak akan mungkin dipaksakan, karena itu hanya akan menjadi cinta palsu dan pura-pura belaka. Kegelisahan di dalam hati Thian Sin adalah karena mengingat bahwa dia dan kekasihnya menghadapi komplotan yang lihai, orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh sesat yang berbahaya. Siapa tahu, sastrawan muda itu pun termasuk komplotan jahat, sungguh pun In Bwee telah menyatakan saling mencinta dengan sastrawan muda itu. Tentu saja dia percaya penuh kepada kekasihnya. Tidak sembarang orang akan mampu menandingi Kim Hong. Akan tetapi, menghadapi orang-orang dari dunia sesat sangatlah berbahaya dan tidak boleh hanya mengandalkan kepandaian tinggi saja. Kaum sesat itu sangat berbahaya dengan kelicikan serta kecurangan mereka, penuh tipu muslihat yang berbahaya. Akan tetapi dia tidak tahu ke mana Kim Hong menyelidiki pemuda sastrawan itu. Pula, kalau dia menyusul, tentu Kim Hong akan menjadi marah dan akan mengira bahwa dia tidak percaya kepada Kim Hong, bahkan mungkin akan dikira cemburu! Maka, walau pun hatinya gelisah, Thian Sin terpaksa menanti sampai sehari lagi. Dan malam hari itu, In Bwee kembali datang ke kamarnya melalui jendela! Akan tetapi, begitu melihat bahwa yang masuk adalah gadis itu, dan dia segera menyalakan lilin lalu memandang pada wajah yang cantik itu, maklumlah dia bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat. Wajah itu amat pucat dan ada bekas-bekas menangis pada mata yang indah namun agak merah itu. "Ada apakah, In Bwee?" tanya Thian Sin. "Celaka, taihiap... celaka, kau tolonglah dia...," In Bwee berkata dengan suara setengah meratap. Melihat gadis yang nampak amat gelisah dan kedua kakinya gemetaran itu, Thian Sin lalu memegang tangannya dan menariknya ke sebuah kursi, dengan halus menyuruh gadis itu untuk duduk. "Tenangkanlah hatimu, In Bwee, dan ceritakan apa yang telah terjadi." "Mereka... mereka ditawan... ohhh... aku khawatir sekali..." "Tenanglah. Begitukah sikap seorang gagah? Tenanglah dan bicara yang jelas!" Sikap Thian Sin itu ada pengaruhnya dan sesudah memandang wajah yang tenang itu, In Bwee akhirnya berhasil menguasai keguncangan hatinya. "Ceng-taihiap, kemarin mereka telah tertawan. Enci Kim Hong dan Bu-koko... ehh, maksudku Bu Kok Siang." "Tertangkap oleh Pat-pi Mo-ko maksudmu?" Gadis itu mengangguk, menarik napas panjang, lantas menunduk. "Mereka dikeroyok di taman ketika mereka sedang bercakap-cakap. Mereka kemudian mengamuk akan tetapi akhirnya datang pasukan penjaga keamanan..." "Hemm, pasukan yang dikerahkan jaksa Phang?" "Benar. Mereka menyerah saat melihat pasukan pemerintah, mengira akan diadili dengan sebagaimana mestinya. Akan tetapi mereka kemudian dibawa ke tempat tahanan jaksa di mana terdapat kamar jebakan. Mereka lantas terjebak, kemudian dibius hingga tertawan, dan kini berada dalam kekuasaan suhu..." Thian Sin mengerutkan alisnya. "Cepat beri tahukan aku di mana tempat tahanan itu dan bagaimana keadaan di sana." In Bwee segera memberi tahukan tempat itu, akan tetapi dia pun tidak tahu benar tentang seluk beluk tempat itu karena belum pernah ke sana. Namun hal itu tidak ada artinya bagi Thian Sin. Baginya, yang terpenting tahu di mana kekasihnya itu ditawan. "Pulanglah, aku akan cepat menolong mereka. Jangan khawatir," katanya. Dan gadis itu pun lalu pergi meninggalkan rumah penginapan untuk kembali ke rumahnya sendiri dengan hati gelisah. Akan tetapi baru saja tiba tak jauh dari rumahnya, dia terkejut ketika melihat ada sesosok tubuh tinggi besar menghadangnya di tengah jalan. Ternyata sosok itu adalah gurunya, atau juga pamannya yang amat ditakutinya itu! "Paman..." "Hemm, apa maksudmu mengunjungi Pendekar Sadis?" suara pamannya penuh dengan kemarahan dan kecurigaan. "Aku..." In Bwee merasa takut sekali, akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan anjuran Thian Sin agar jangan takut menghadapi siapa pun juga asalkan berada dalam kebenaran. Maka ia pun mengeraskan hatinya, memandang wajah pamannya itu dan berkata lantang, "Paman, aku dengan Bu Kok Siang saling mencinta. Maka, melihat dia kau tawan, hatiku menjadi sangat gelisah sehingga aku pergi mengunjungi Pendekar Sadis itu untuk minta agar dia suka menolong dan membebaskan Bu Kok Siang." Kakek itu memandang tajam. "Hanya untuk itu saja?" "Habis untuk apa lagi? Bukankah saya telah mendapatkan kunci emas itu dan telah saya serahkan kepada paman? Saya tak akan berani mengkhianati paman, akan tetapi melihat Bu Kok Siang ditawan, saya merasa khawatir dan untuk dia... saya rela mengorbankan nyawa sekali pun." Sejenak kakek itu diam, lalu mendadak tangannya bergerak dan sebelum keponakan atau juga muridnya itu dapat menghindarkan diri, kakek itu telah menotoknya, lalu menyambar tubuhnya dan dibawanya pergi dengan cepat. Kejadian itu tidak dilihat oleh siapa pun juga karena terjadi di tempat sunyi dan gelap. "Kalau begitu, engkau harus ikut denganku. Siapa tahu ada gunanya nanti." *************** Sementara itu, Kim Hong bersama Kok Siang juga telah mengalami keadaan yang tidak menyenangkan. Seperti kita ketahui, dua orang muda itu terjebak di dalam kamar bawah tanah dan kemudian roboh pingsan oleh asap pembius yang tidak mungkin dapat mereka elakkan. Pada waktu siuman kembali, mereka mendapatkan diri mereka telah terbelenggu di atas dua dipan yang terdapat dalam sebuah kamar yang luas. Agaknya dipan itu bukan dipan yang biasa dipakai untuk tidur, namun dipan yang khusus dibuat untuk menyiksa orang! Dan teringatlah mereka bahwa mereka kini terjatuh ke dalam tangan petugas pemerintah yang entah mengapa telah menjebak dan menangkap mereka. Dipan itu terbuat dari pada besi, ditanam di dalam lantai dan kuat sekali. Dan dipan itu diperlengkapi dengan kalung-kalung baja untuk membelenggu kaki serta tangan, juga ada alat putaran untuk menyiksa orang, menarik kedua kaki, menjepit jari-jari kaki atau tangan, bahkan terdapat pula alat pemanas untuk dibakar yang berada di bawah dipan. Begitu siuman, Kim Hong segera teringat keadaannya dan sekali pandang, maka tahulah dia bahwa dia sungguh tidak dapat berdaya. Selain gelang baja yang membelenggu kaki tangannya itu terlampau kuat, juga dia mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya berada di bawah pengaruh totokan. Andai kata pengaruh totokan itu telah hilang sekali pun. belum tentu dia akan mampu membebaskan diri dari belenggu kaki tangannya. Dia melirik ke kiri dan melihat betapa Kok Siang juga sudah siuman, bahkan pemuda itu menoleh ke kanan, memandang padanya kemudian tersenyum lebar! Tersenyum dalam keadaan seperti itu, sungguh hal yang luar biasa! Diam-diam Kim Hong merasa heran dan juga kagum. "Engkau masih bisa tersenyum?" tanyanya. "Kenapa tidak?" jawab pemuda itu dan senyumnya melebar. "Hadapilah segala sesuatu dalam hidup ini dengan senyum! Kematian pun akan terasa ringan kalau dihadapi dengan senyum. Sama-sama menggerakkan mulut, dan sama-sama tidak akan mampu merubah keadaan, mengapa tidak memilih senyum di antara pilihan senyum dan tangis? Ha-ha-ha, kalau dipikir lucu juga, ya?" Diam-diam kekaguman Kim Hong terhadap pemuda ini melonjak. Seorang pemuda yang hebat, pikirnya. Seorang pemuda yang ahli sastra, mempunyai ilmu silat yang tak rendah, juga mempunyai keberanian yang mengagumkan, hampir menyamai Thian Sin, dan patut dijadikan seorang sahabat baik. Dan di samping itu, masih menyimpan rahasia peta yang amat menarik itu! "Apanya yang lucu?" tanyanya untuk menanggapi sikap gembira yang mengagumkan hatinya itu. "Masa tidak lucu? Kita dikeroyok para penjahat di taman, lalu pasukan pemerintah datang untuk menangkap semua orang yang berkelahi, termasuk kita. Tapi, pasukan pemerintah malah menjebak kita dan menawan kita dengan cara-cara kaum penjahat, menggunakan jebakan dan obat bius. Dan kini kita sudah dibelenggu di sini, bagaikan penjahat-penjahat besar! Sungguh lucu dan aneh. Sebenarnya, siapakah yang jahat? Para pengeroyok itu, pasukan pemerintah, ataukah kita?" "Tentu saja kita!" Kim Hong menjawab sambil tersenyum. "Buktinya kita yang dibelenggu dan ditelikung seperti babi akan disembelih di sini!" "Ha-ha-ha, seperti babi akan disembelih? Kurang tepat penggambaranmu itu, nona. Kita terlampau kurus jika disamakan dengan babi, tidak berdaging dan penyembelihnya hanya akan menemukan kulit dan tulang belaka!" Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan masuklah beberapa orang pria ke dalam kamar yang luas itu. Kalau tadinya Kim Hong dan Kok Siang menduga bahwa mereka berada di tangan pasukan dan yang memasuki ruangan itu tentulah komandan, maka mereka pun kecelik. Ternyata yang masuk itu adalah delapan orang yang berpakaian biasa saja, biar pun kebanyakan dari mereka besikap kereng dan menyeramkan. Kim Hong memandang penuh perhatian dan ia pun tahu siapakah mereka itu. Ada empat orang pria berusia empat puluh tahun yang segera dikenalnya sebagai sisa dari Siang-to Ngo-houw, lima jagoan yang telah kehilangan seorang anggotanya akibat tewas oleh anak panah yang sengaja dilepaskan untuk membungkam mulut orang itu, kemungkinan besar oleh kepala mereka sendiri. Kemudian Kim Hong mengenal Hai-pa-cu Can Hoa yang pernah membikin ribut di rumah makan kemudian dihajar oleh Kok Bu Siang itu. Juga Jiat-ciang Lui Cai Ko yang perutnya gendut, matanya juling dan rambutnya riap-riapan nampak pula di antara mereka. Kim Hong tidak merasa heran pula melihat munculnya Su Tong Hak di antara mereka dan kini orang itu memperlihatkan air mukanya yang sebenarnya, tanpa kedok manis seperti ketika dia dan Thian Sin mengunjunginya. Pedagang ini sekarang kelihatan sekali betapa mukanya penuh dengan nafsu, mulutnya menyeringai, matanya berkilat penuh kecerdikan hingga tahulah Kim Hong bahwa selama ini paman dari Ciang Kim Su ini memang sudah bersekongkol dengan para penjahat. Ada pun orang yang ke delapan, yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, berusia lima puluh tahun lebih, mudah saja diduganya. Siapa lagi orang ini kalau bukan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, pikir Kim Hong. Dari gerak-gerik dan pandang matanya, Kim Hong dapat menduga bahwa orang ini mempunyai kepandaian tinggi dan mungkin orang ini pula yang membuatnya gagal mendobrak pintu ketika dia terjeblos ke dalam kamar rahasia itu, yang memiliki hawa pukulan amat kuat. Sementara itu, Kok Siang juga memandang mereka penuh perhatian. Dia merasa sangat terkejut saat melihat bahwa yang menjebaknya bukanlah pasukan pemerintah, melainkan orang-orang jahat itu. Dan pemuda yang cerdik ini pun segera tahu bahwa tentu jaksa itu sudah bersekutu dengan para penjahat ini. Akan tetapi dia berpura-pura bodoh dan begitu melihat mereka masuk, dia pun berteriak-teriak. "Heiii! Apa-apaan ini? Sungguh penasaran! Kami tidak berdosa, mengapa ditangkap? Di mana adanya keadilan? Dan siapa kalian ini? Mengapa bukan komandan pasukan yang datang? Kami menuntut keadilan!" Hai-pa-cu Can Hoa yang bertubuh tinggi besar, yang kumis jenggotnya malang melintang tak terpelihara itu telah melangkah maju mendekati Kok Siang, tangan kirinya yang besar itu bergerak menampar. "Plakk! Plakk!" Dua kali wajah Kok Siang ditampar dengan keras. Karena Kok Siang sendiri juga masih terpengaruh oleh totokan hingga dia tidak mampu mengerahkan sinkang, maka tentu saja tamparan itu harus diterimanya dengan mandah sehingga pipi kanannya menjadi merah membengkak. "Wah, bukankah engkau ini bajingan yang pernah mengacau di rumah makan? Ha-ha-ha, sobat, kiranya engkau pun seorang pengecut, beraninya hanya sesudah aku terjebak dan dibelenggu. Coba lepaskan belenggu ini, maka aku akan membuat engkau tidak sanggup bangun kembali!" "Siucai sombong!" Kembali tangan kanan Can Hoa bergerak menampar dua kali. "Plakk! Plakk!" "Cukuplah!" kata kakek hitam tinggi besar yang sejak masuk tadi memandang kepada Kim Hong, sehingga Hai-pa-cu Can Hoa segera menghentikan tamparannya. Kakek hitam itu lalu menghampiri Kok Siang yang kini kedua pipinya telah menjadi merah dan agak membengkak akibat tamparan-tamparan Hai-pa-cu Can Hoa tadi. Sejenak mata yang lebar dan tajam itu seperti hendak menembus dada Kok Siang, kemudian terdengar kakek itu berkata, suaranya dalam dan tenang, namun penuh wibawa. "Apa engkau yang dikenal sebagai Im-yang Siang-pit Bu Siucai dari Thian-cin?" Seperti juga Kim Hong, pemuda ini telah dapat menduga siapa adanya kakek hitam tinggi besar ini. Dia belum pernah berjumpa dengan kakek ini, akan tetapi nama besarnya telah lama didengarnya dan bahkan belum lama ini dia tahu bahwa Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng adalah paman dari gadis yang dicintanya, yaitu Bouw In Bwee! Jadi inilah orangnya yang sudah menindas kekasihnya itu. Dan dia hampir merasa yakin bahwa orang ini pulalah, atau setidaknya juga para kaki tangannya yang telah membunuh pamannya sendiri, yaitu Louw siucai! Akan tetapi dia segera menekan perasaannya dan ketika dia ditanya, dia pun mengangguk. "Benar," jawabnya. "Kawan-kawanku menyebutku Im-yang Siang-pit Bu Siucai, dan aku datang dari Thian-cin. Tidak tahu siapakah engkau! Dan bagaimana kami yang tadinya menjadi tangkapan pasukan pemerintah, kini bisa terjatuh ke tangan kalian?" "Tutup mulutmu yang lancang itu dan jawab saja semua pertanyaan!" bentak Hai-pa-cu dengan sikap galak. Jagoan dari kota Yen-tai ini memang merasa sakit hati terhadap Kok Siang yang pernah menghajar dan mempermainkannya, membuatnya malu di restoran tempo hari. Kalau dia tidak takut kepada Pat-pi Mo-ko, tentu dia akan menghajar habis-habisan malah mungkin membunuh pemuda yang amat dibencinya itu. "Bu Siucai," kata pula Pat-pi Mo-ko, suaranya tenang akan tetapi mengandung nada yang penuh ancaman. "Tahukah engkau siapa aku?" Kok Siang menggelengkan kepala. "Tidak, aku tak tahu. Yang kukenal hanyalah penjahat kecil yang pernah mengacau di rumah makan ini, dan juga si juling itu yang mengeroyok kami di taman. Yang lain-lain, aku tidak tahu..." "Engkau berhadapan dengan Pat-pi Mo-ko!" kata kakek hitam itu, dan matanya berkilat ketika dia melihat pemuda yang terbelenggu itu nampak terkejut. "Ahhh...! Tapi... tapi mengapa aku ditangkap? Dan bukankah yang menangkapku adalah pasukan pemerintah?" Kok Siang berpura-pura bodoh. "Itu bukan urusanmu. Yang jelas, engkau sudah berani menentangku dan siapa pun yang berani menentangku di dunia ini, tentu dia sudah bosan hidup. Bu Siucai, namamu amat terkenal di Thian-cin sebagai seorang gagah yang tidak pernah lancang tangan. Sekarang engkau muncul di kota raja, apakah kehendakmu?" Sepsang mata itu memandang tajam penuh selidik. Kok Siang bukan seorang yang bodoh. Dia telah menduga bahwa Louw siucai, pamannya itu, tentu terbunuh oleh iblis-iblis ini, maka jika dia mengaku bahwa dia adalah keponakan Louw siucai yang hendak mencari pembunuh pamannya, sama saja dengan membunuh diri. "Apa yang hendak kulakukan di kota raja? Tentu saja melancong, apa lagi?" "Hemm, kalau engkau tidak bergulang-gulung dengan nona ini, mungkin aku masih dapat percaya omonganmu." Pat-pi Mo-ko menuding ke arah Kim Hong. "Ahh, nona ini? Kami berkenalan secara kebetulan saja, di rumah makan. Tentu jagoan Yen-tai itu sudah menceritakan kepadamu. Pat-pi Mo-ko, namamu terkenal sebagai orang besar, maka harap kau suka membebaskan kami yang tidak bersalah apa-apa. Terutama nona ini. Bagaimana kalau dunia kang-ouw mendengar bahwa Pat-pi Mo-ko yang besar itu menawan seorang nona muda dengan cara menjebaknya dan bersekongkol dengan pasukan pemerintah?" "Tutup mulutmu! Apakah kau sudah bosan hidup?" Hai-pa-cu Can Hoa membentak dan mendekat, akan tetapi Kok Siang hanya tersenyum saja. Ia tadi memang sengaja hendak menggerakkan harga diri Pat-pi Mo-ko, memanaskan hatinya. Akan tetapi kakek iblis hitam itu pun sangat cerdik dan tidak mudah dibakar hatinya. Dia lalu menghampiri Kim Hong, dan Kok Siang mengikuti gerakan kakek itu dengan jantung berdebar tegang dan khawatir. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, akan tetapi dia tahu benar betapa berbahayanya bagi seorang gadis cantik seperti Kim Hong bila terjatuh ke tangan orang-orang macam ini. Ada bahaya penghinaaan yang lebih hebat dari pada kematian bagi gadis itu. Akan tetapi, dia yang tentu saja tak akan mampu melindungi Kim Hong dengan kekuatan badannya yang sudah tak berdaya, merasa yakin bahwa ia akan mampu menyelamatkan Kim Hong dalam saat terakhir, karena dia masih memegang kunci rahasia yang sangat penting, yaitu peta yang asli! Dengan ini dia akan dapat menebus diri Kim Hong, kalau perlu. "Nona, engkau bernama Toan Kim Hong yang menjadi sahabat serta kekasih Pendekar Sadis, bukan? Hemm, kasihan Pendekar Sadis, tidak tahu bahwa kekasihnya suka main gila dengan setiap orang pemuda ganteng seperti Bu Siucai di luaran!" Pat-pi Mo-ko lalu tersenyum menyeringai, agaknya merasa amat girang ketika mendapat kenyataan bahwa kekasih Pendekar Sadis mempermainkan pendekar itu. Hal ini saja sudah dapat menimbulkan dugaan di dalam hati Kim Hong dan Kok Siang bahwa penjahat ini agaknya membenci Thian Sin. Akan tetapi, tanpa diketahui oleh siapa pun juga, diam-diam Kok Siang terkejut setengah mati mendengar disebutnya Pendekar Sadis. Dia pun merasa seperti pernah mendengar nama Ceng Thian Sin ketika mereka saling berkenalan di rumah makan, akan tetapi sama sekali dia tidak pernah menduga bahwa pemuda itu adalah Pendekar Sadis yang pernah menggegerkan seluruh kota raja! Akan tetapi, dia dapat menyembunyikan keheranannya dan pura-pura tidak terpengaruh sama sekali oleh sebutan itu. Akan tetapi, Kim Hong sama sekali tidak mau memberi jawaban dan hanya memandang dengan senyum mengejek, dan pandang matanya menghina sekali. Melihat ini Tiat-ciang Lui Cai Ko yang bermata juling itu mendekat. "Twako, biarlah kusiksa dulu gadis ini supaya mau bersikap lunak dan mau menjawab pertanyaanmu!" Agaknya sudah gatal-gatal rasa tangan penjahat ini untuk menyiksa Kim Hong. Jari-jari tangannya sudah terbuka dan bersiap mencengkeram. Akan tetapi Pat-pi Mo-ko tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Sabarlah, Cai Ko. Belum tiba waktunya untuk itu." Dan kepala penjahat ini menghadapi Kim Hong lagi. "Nona, meski pun engkau tidak mengaku, kami sudah tahu bahwa engkau dan Pendekar Sadis datang sebagai utusan mendiang petani Ciang Gun, membawa kunci emas dan engkau tahu tentang rahasia harta karun Jenghis Khan itu. Marilah kita bicara secara terbuka saja karena kita sudah sama-sama tahu tentang hal itu. Kami juga telah menggeledah dan tidak temukan kunci emas di tubuhmu atau pakaianmu. Nah, katakan. Di manakah adanya kunci emas itu? Apakah dibawa oleh Pendekar Sadis?" Diam-diam Kim Hong merasa sangat mendongkol. Ternyata dalam keadaan pingsan tadi tubuhnya sudah digeledah, tentu saja digerayangi tangan-tangan yang kotor dan kurang ajar itu. Untung tidak terjadi sesuatu dengan dirinya. Hal ini tentu saja karena kepala penjahat ini masih membutuhkan keterangan-keterangan darinya, masih melihat manfaat pada dirinya. Akan tetapi bila sampai sekarang dia masih selamat, hal itu hanya soal waktu saja. Kalau ia sudah tidak dibutuhkan lagi, tentu ia akan dilempar kepada orang-orang kasar itu, untuk disiksa, diperkosa dan dipermainkan, bagai segumpal daging dilempar kepada anjing-anjing kelaparan. Atau mungkin Pat-pi Mo-ko ini sendiri yang akan mempeloporinya, melihat sinar matanya yang juga penuh mengandung nafsu ketika memandangnya itu. Akan tetapi, dia sengaja tidak mau membuka mulut dan otaknya dikerjakan. Apa perlunya dia menjawab? Iblis ini tahu bahwa kunci emas masih berada di tangan Pendekar Sadis, jadi iblis itu tidak akan mampu berbuat sesuatu dan agaknya tidak akan mengganggunya secara sangguh-sungguh sebelum kunci itu didapatnya. Mungkin ia akan dijadikan umpan untuk memancing datang Pendekar Sadis. Hampir saja Kim Hong tersenyum. Tanpa perlu dipancing sekali pun, Thian Sin pasti akan datang untuk menolongnya. Hal ini dia yakin benar. Akan tetapi dia pun merasa khawatir karena sekali ini mereka menghadapi penjahat-penjahat yang selain kejam, juga kuat dan curang sekali. Dia sendiri sudah bertindak sangat berhati-hati dan kalau saja di taman itu tak ada pasukan pemerintah yang turun tangan, belum tentu pula dia akan begitu lengah sehingga dapat ditangkap begitu saja! Melihat gadis itu tinggal diam saja, Pat-pi Mo-ko tersenyum. Kalau lain orang, tentu sudah marah bukan main. Akan tetapi iblis ini bukan penjahat sembarangan dan karena itu dia dijadikan semacam raja tanpa mahkota oleh para penjahat lainnya di kota raja. Dia cerdik sekali. "Nona, apa gunanya nona bersikap diam dan membisu? Meski pun Pendekar Sadis terus memegang kunci emas, apa gunanya jika dia tidak memiliki peta rahasia itu! Dan petanya berada di tangan kami! Kini engkau sudah berada di dalam kekuasaan kami. Pendekar Sadis akhirnya tentu akan menyerahkan kunci itu kalau memang dia sayang kepadamu." Kim Hong hanya tersenyum mengejek saja, memandang dengan sinar mata menghina, bahkan lalu membuang muka. Sikapnya sungguh memandang rendah sekali. Pat-pi Mo-ko kemudian bangkit berdiri, mukanya agak merah walau pun dia masih belum menunjukkan kekecewaan serta kemarahannya. "Baiklah, mari kita lihat siapa yang lebih keras hati di antara kita. Kami sudah menyaksikan bahwa engkau bermain cinta dengan sastrawan ganteng ini di taman. Nah, karena dia ini tidak ada gunanya bagi kami, maka biarlah engkau melihat ia tersiksa dan mampus di depan matamu. Hendak kulihat, apakah engkau akan tega melihat kekasih barumu ini tersiksa sampai mati dan tetap bersikeras menutup mulut?" Kim Hong yang membuang muka tadi sudah memandang ke arah Kok Siang. Dilihatnya pemuda itu berkedip memberi isyarat agar jangan mau tunduk, akan tetapi diam-diam hati Kim Hong merasa khawatir. Pemuda itu merupakan orang yang amat penting, terpenting malah karena pemuda itu menguasai peta asli atau mengetahui tempat peta asli itu. Tentu saja pemuda itu sekali-kali tidak boleh tewas begitu saja. Betapa pun juga, dia tidak mau tunduk oleh gertakan dan hendak dilihatnya dulu apakah benar iblis ini seorang yang memenuhi kata-katanya, bukan hanya penjahat besar mulut yang suka main gertak saja. Hal ini pun perlu baginya untuk mengenal watak dan sifat Pat-pi Mo-ko yang merupakan seorang lawan tangguh dan licik sekali. Dan Pat-pi Mo-ko agaknya pun bukan orang yang suka banyak cakap. Tanpa menoleh kepada Kim Hong untuk melihat apa reaksi dari kata-katanya terhadap gadis itu, dia pun sudah memberi isyarat kepada para pembantunya. Hai-pa-cu Can Hoa segera melangkah maju dan mulutnya menyeringai puas sekali. Inilah yang dinanti-nantinya. Kebenciannya terhadap sastrawan muda itu kini akan terpuaskan, dendamnya akan terbalas. "Heh-heh-heh, semalam aku memang sudah mimpi melihat engkau terbakar hangus. Aku tak mau memulai dengan siksaan-siksaan kecil, melainkan langsung saja membakarmu. Ehh, kutu buku busuk, pernahkah engkau dipanggang hidup-hidup?" Kok Siang tentu saja tahu apa yang sedang dihadapinya. Akan tetapi dia adalah seorang pendekar sejati yang tidak takut menghadapi apa pun juga. Karena itu, dia pun tersenyum ketika melihat wajah yang menyeringai itu, lalu menjawab dengan suara lantang. "Memang aku pernah melihat, akan tetapi engkaulah yang dipanggang dalam api neraka, sehingga si Macan Tutul Laut berubah menjadi bangkai macan hangus, ha-ha-ha!" "Keparat!" bentak Hai-pa-cu (Macan Tutul Laut) Can Hoa dan dengan tangan membentuk cakar dia hendak menyerang pemuda yang terbelenggu di atas dipan besi itu. "Can Hoa!" terdengar Pat-pi Mo-ko membentak. Dan jagoan dari Yen-tai itu tidak melanjutkan serangannya, akan tetapi menarik sebuah pipa besi mononjol di bawah dipan. Terdengar suara berkerotokan dan dari dalam lubang rahasia muncullah sebuah panci baja terisi minyak yang sudah bernyala, minyak bernyala itu berada tepat di bawah dipan dan sebentar saja Kok Siang sudah merasa betapa dipan yang ditidurinya berubah menjadi hangat, lalu panas, makin lama semakin panas. Hanya dalam waktu beberapa menit saja, seluruh tubuhnya sudah menjadi basah, peluh membasahi pakaiannya dan uap terus mengepul dari dipan itu. Akan tetapi, tak terdengar sedikit pun keluhan dari mulut pemuda itu. Dia hanya memejamkan kedua matanya dan karena dia tidak mampu mengerahkan sinkang, maka dia pun hanya menyerahkan nasib kepada Tuhan saja. Akan tetapi, hawa panas itu ternyata menolongnya karena dia merasa betapa pengaruh totokan itu kini telah pudar dan bebas. Maka dia pun mengumpulkan tenaga sinkang dan mengerahkan hawa di tubuhnya untuk melawan rasa panas sehingga keadannya tidaklah sehebat tadi, penderitaannya berkurang, walau pun kalau dilanjutkan, akhirnya dia tentu akan terbakar hangus. Tiba-tiba terdengar suara Kim Hung lantang, akan tetapi nadanya masih mencemoohkan dan memandang rendah sekali. "Huh, biar kau membakar dia, biar kau cincang dia, apa hubungannya dengan kami? Tapi kalau dia kalian bunuh, aku akan menganggap dia mati karena aku, maka kalian berhutang nyawa kepadaku!" Mendengar ini, Pat-pi Mo-ko memberi isyarat maka dengan kecewa sekali Hai-pa-cu Can Hoa menyingkirkan panci minyak bernyala itu dengan menarik pipa besi. Panci bersama api bernyala itu lenyap ke dalam lubang rahasia. Dan Kok Siang malah semakin tersiksa lagi. Setelah tadi mengerahkan sinkang melawan panas yang luar biasa, kini dia pun menggigil sesudah tiba-tiba saja api itu disingkirkan! Kim Hong melihat hal ini, akan tetapi tahu bahwa pemuda itu telah terhindar dari bencana. Diam-diam dicatatnya di dalam hati tentang perbuatan Hai-pa-cu Can Hoa ini. Pat-pi Mo-ko menghampiri Kim Hong. "Aku tak ingin menanam kebencian dalam hatimu, nona. Nah, marilah kita bicara dengan baik. Benarkah engkau dan Pendekar Sadis telah menemukan kunci emas itu? Hanya kunci emas saja? Tidak bersama petanya?" Kim Hong teringat akan pemberi tahuan Kok Siang tentang peta palsu dan diam-diam ia pun tertawa di dalam hati, mentertawakan iblis ini. Pertanyaan tentang peta yang diajukan oleh iblis ini bahkan telah membuktikan kebenaran omongan Kok Siang dan agaknya iblis ini sudah tahu pula bahwa yang dikuasainya itu hanyalah peta palsu belaka! Su Tong Hak yang agaknya juga menaruh perhatian kepada seluruh peristiwa itu, tiba-tiba saja ikut berbicara. "Nona, sebaiknya jika kalian bekerja sama dengan Bouw-sicu. Kalian akan dapat ikut menikmati hasilnya. Apa bila menentang, maka berarti kalian hanya akan membuang nyawa dengan sia-sia dan tidakkah sayang sekali seorang muda seperti nona mati konyol?" "Ha-ha-ha, ucapan berbau busuk!" terdengar suara Kok Siang. Semua orang menoleh karena terkejut. Pemuda yang baru saja tersiksa itu sudah dapat tertawa dan mengejek lagi! "Mati muda dalam kebenaran adalah matinya seorang gagah, akan tetapi matinya seorang jahat dalam kehinaan sama dengan matinya seekor babi!" Kim Hong juga memandang kepada pedagang itu dan langsung membentak. "Su Thong Hak! Engkau pengkhianat tak tahu malu, sudah mencelakakan keluarga kakakmu sendiri hingga Ciang Gun beserta isterinya terbunuh, juga keponakanmu Ciang Kim Su terbunuh. Sekarang masih berani membuka mulut di hadapanku?" Bentakan dan ejekan Kim Hong dan Kok Siang sungguh mengejutkan hati orang she Su ini, apa lagi bentakan Kim Hong yang mengingatkan dia akan perbuatannya yang kejam itu. "Tidak... tidak...!" Dia menggeleng kepala. "Aku tidak membunuh mereka... dan Kim Su tidak mati..." "Diam!" Pat-pi Mo-ko membentak dan orang itu surut ke belakang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tentu saja Kim Hong mencatat semua ini di dalam hatinya. "Nah, nona Toan, kami bemaksud baik dan berniat untuk kerja sama dengan engkau dan Pendekar Sadis. Maka, harap kau ceriterakan semua yang kalian ketahui tentang rahasia harta pusaka ini." Kim Hong maklum bahwa baginya tak ada jalan lain lagi kecuali menceritakannya, karena menceritakan hal itu pun tidak ada salahnya. Akan tetapi dia tetap bersikap angkuh. "Hemm, Pat-pi Mo-ko, engkau tentu telah mengerti bahwa dunia kita berlainan, kita saling berselisih jalan, engkau berkecimpung dalam dunia sesat dan kami bukanlah orang-orang yang suka mengejar harta dengan kejahatan. Mana mungkin kita dapat bekerja sama?" Si tinggi besar itu menarik napas panjang, lantas berkata dengan suara bersungguh hati. "Nona Toan, engkau tentunya maklum bahwa di dunia ini tak ada orang mau menempuh jalan sesat yang penuh dengan bahaya bila tidak terpaksa. Jika kita berhasil memperoleh harta karun Jenghis Khan dan bagianku lebih dari cukup, untuk apa lagi aku mengambil jalan sesat? Aku akan mencuci tangan lalu hidup makmur dan tenteram dengan harta itu." "Hemmm, hal itu masih harus dibuktikan. Akan tetapi, engkau bicara tentang kerja sama. Apakah begini caramu dalam bekerja sama, Pat-pi Mo-ko? Yang diajak kerja sama harus terlentang di dipan penyiksaan dengan kaki tangan terbelenggu dan tubuh tertotok?" "Maafkan aku, nona. Engkau adalah seorang yang lihai maka dalam keadaan bebas akan mendatangkan banyak repot bagi kami. Aku harus yakin dulu bahwa engkau benar-benar mau bekerja sama, dan setelah aku yakin barulah kita akan bicara seperti antara sahabat dan rekan yang bekerja sama. Nah, sekarang ceritakanlah dulu. Ceritamu akan menjadi pertimbangan apakah benar engkau mau bekerja sama denganku." Sungguh seorang penjahat yang matang dan cerdik sekali. Seorang lawan yang tangguh dan berbahaya, pikir Kim Hong. "Baiklah. Dengarkan. Kami berdua tidak sengaja mencampuri urusan harta karun Jenghis Khan ini. Di An-keng kami melihat kakek Ciang Gun dikejar-kejar dan diserang anak buah Liong-kut-pian Ban Lok. Kami lalu turun tangan, akan tetapi tidak berhasil menyelamatkan kakek petani itu walau pun kami dapat membunuh Liong-kut-pian dan dari kakek itu kami menerima kunci emas, dan kami juga ditugaskan untuk mencari puteranya, Ciang Kim Su, membantunya untuk mencari harta karun yang menjadi haknya. Sampai di sini, kami lalu mendengar dari orang she Su ini bahwa peta itu dibagi dua antara dia dan Kim Su dan bahwa peta bagiannya hilang dan Kim Su pun lenyap entah ke mana. Nah, selanjutnya tentu engkau sudah tahu sampai aku terjebak olehmu sekarang ini." Pat-pi Mo-ko mengerutkan sepasang alisnya yang tebal. "Dan kakek Ciang Gun itu tidak memberikan sebuah peta lain kepada kalian berdua?" tanyanya sambil menatap tajam. Kim Hong maklum apa artinya pertanyaan ini. Kembali dia mendapat bukti kebenaran dari pemberi tahuan Kok Siang mengenai peta yang tulen. Penjahat ini bukan hanya mencari kunci emas, melainkan juga peta aslinya! Dia menggelengkan kepala dan berkata, "Kami justru sedang mencari peta itu yang katanya hilang dan kami merasa yakin bahwa engkaulah yang menguasai peta itu, bukan?" Pat-pi Mo-ko mengangguk. "Memang benar." "Akan tetapi peta itu tiada gunanya jika engkau tidak memiliki kunci emasnya, bukankah begitu?" Kim Hong memancing karena kiranya tidak perlu disembunyikan lagi kenyataan bahwa mereka saling memperebutkan peta dan kunci emas. Kakek itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah benda. "Sudah ada padaku." Kim Hong terkejut, bahkan Kok Siang mengeluarkan seruan heran melihat bahwa benda di tangan kakek itu adalah sebuah kunci emas! Kim Hong segera mengenal kunci emas palsu yang biasanya dibawa oleh Thian Sin! Tentu saja jantungnya langsung berdebar tegang. Bagaimana mungkin kunci emas itu, kunci emas yang palsu, dapat dikuasai oleh kakek ini. "Dari mana engkau memperoleh kunci emas itu?" Kakek itu tersenyum. "Tak perlu kau tahu, pokoknya kunci emasnya kini sudah berada di tanganku." Hening sejenak dan dengan pandangan matanya yang tajam Kim Hong menatap wajah orang. Ia dapat melihat bahwa di dalam mata kakek ini tidak ada sinar tanda kebanggaan atau kemenangan, maka hatinya pun terasa lega. Entah bagaimana kunci itu dapat diambilnya, akan tetapi dia merasa yakin bahwa Thian Sin dalam keadaan selamat. Kalau kakek ini mampu merobohkan atau membunuh Thian Sin, tentu kakek ini akan merasa bangga sekali, akan membual di depannya atau paling tidak akan nampak di dalam sinar matanya. "Hemm, Pat-pi Mo-ko, peta sudah ada padamu, juga kunci emasnya sudah ada padamu. Lalu kenapa pula engkau masih mengganggu dan menjebakku? Apa artinya perbuatanmu yang curang ini?" Kakek hitam tinggi besar itu nampak kecewa dan penasaran sekali. Dia menjatuhkan diri duduk di atas bangku di dekat dipan di mana Kim Hong terbelenggu, dan sambil menatap tajam wajah Kim Hong dia menggelengkan kepalanya. "Peta yang dibagi dua antara Ciang Kim Su dengan Su Tong Hak itu adalah peta palsu! Tempat itu sudah kuselidiki menurut peta dan aku tidak dapat menemukan apa-apa." "Ha-ha-ha-ha!" Terdengar Kok Siang tertawa bergelak dan diam-diam Kim Hong merasa kaget dan khawatir sekali. Apakah pemuda itu tidak bisa melihat suasana sehingga berani tertawa, mentertawakan iblis yang sedang dilanda kekecewaan dan penasaran itu? Benar saja, Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng segera menoleh ke arah pemada itu. Mukanya yang hitam itu menjadi semakin hitam karena marah, matanya mengeluarkan cahaya kilat dan Kim Hong tak akan merasa heran kalau iblis itu segera turun tangan membunuh Kok Siang. "Orang she Bu, kenapa kau tertawa?" Suara iblis itu terdengar tenang saja, akan tetapi di balik ketenangan itu jelas terbayang kemarahan besar. Kok Siang yang telah terbebas dari totokan oleh hawa panas tadi, masih saja tertawa geli, kemudian berkata. "Siapa yang tidak akan tertawa mendengar kelucuan itu? Harta karun Jenghis Khan sudah mengorbankan banyak nyawa, tenaga serta pikiran, namun ternyata hanya merupakan lelucon dari Jenghis Khan! Ha-ha-ha-ha, raja itu memang sangat hebat, pandai, kuat, gagah, keras, kejam sekaligus juga seorang pelawak besar!" Pat-pi Mo-ko bangkit dari tempat duduknya. Dan ketika itu pula, Kim Hong yang melihat bahwa kemarahan iblis itu mungkin saja akan berarti tewasnya Kok Siang yang sudah mengeluarkan ejekan bukan pada saat yang tepat itu, segera berkata, "Hemmm, Pat-pi Mo-ko, engkau yang sudah menjadi seorang tokoh kawakan dalam dunia kang-ouw, ternyata mudah saja ditipu orang. Kiranya tidak sulit untuk menyelidiki di mana adanya peta yang tulen." Ucapan Kim Hong ini seperti sinar terang di antara kegelapan yang menyelubungi pikiran Pat-pi Mo-ko, juga membuat semua orang yang hadir di sana langsung memandang ke arahnya. Tak ketinggalan Kok Siang menoleh dan memandang kepada Kim Hong dengan alis berkerut dan pandang mata kaget. Pat-pi Mo-ko sudah sering mendengar tentang kelihaian dan kecerdikan Pendekar Sadis. Dan karena wanita cantik ini adalah sahabat dan juga kekasih Pendekar Sadis, maka tentu bukan merupakan seorang wanita sembarangan. Timbullah harapan di dalim hatinya.....

Jilid 5

SUDAH berbulan-bulan dia tersiksa oleh rahasia harta karun Jenghis Khan ini. Ketika dia mula-mula dihubungi oleh Su Tong Hak, dia tidak percaya sehingga tidak begitu menaruh perhatian. Dia mengenal saudagar ini melalui Phang-taijin, yakni jaksa di kota raja yang kini menjadi sahabat baik dan pelindungnya. Pat-pi Mo-ko adalah seorang yang berilmu tinggi dan baru dua tahun dia tinggal dl kota raja setelah meninggalkan goa pertapaannya di sebuah gunung di barat. Begitu terjun ke dunia kang-ouw, dia mengalahkan serta menundukkan semua tokoh sesat sehingga dia pun akhirnya diakui sebagai raja tanpa mahkota di antara tokoh sesat di kota raja dan daerah sekitarnya. Banyak tokoh-tokoh dari luar kota yang merasa penasaran dan datang untuk menentang jagoan baru ini, akan tetapi satu demi satu roboh di tangan Pat-pi Mo-ko sehingga akhirnya tak seorang pun lagi yang berani menantangnya. Akan tetapi, kota raja bukanlah merupakan tempat di mana seorang tokoh sesat dapat bersimaharajalela seenaknya saja sebab selain di kota raja terdapat banyak orang pandai dan pendekar-pendekar, juga jagoan-jagoan dari istana banyak yang memiliki kepandaian tinggi, di samping adanya para penjaga keamanan yang sangat kuat dan terlampau kuat bagi para penjahat. Oleh karena itu, Pat-pi Mo-ko juga tidak berani menonjolkan dirinya. Iblis tinggi besar berkulit hitam ini memang memiliki seorang saudara, seorang adik yang kaya raya dan terkenal dengan sebutan Bouw Wan-gwe (hartawan Bouw), yang tinggal di kota raja. Akan tetapi, adiknya ini sejak muda tidak suka kepada kakaknya yang memiliki kebiasaan dan kesukaan yang lain dari pada dia. Jika sejak kecil dia tekun berdagang dan mencari uang, maka kakaknya itu lebih suka berkeliaran, belajar ilmu silat, dan bergulang-gulung dengan orang-orang jahat. Maka Bouw wan-gwe ini pun diam-diam merasa tidak suka kepada Pat-pi Mo-ko! Biar pun dengan terpaksa karena takut, akhirnya Bouw Wan-gwe memberi juga uang dan bahkan membelikan sebuah rumah untuk kakaknya itu. Kemudian, pada suatu hari Bouw Wan-gwe memperkenalkan kakaknya itu kepada Phang-taijin, yakni seorang jaksa di kota raja yang pada waktu itu sedang membutuhkan bantuan orang yang memiliki kepandaian tinggi, yaitu untuk menyingkirkan beberapa orang musuhnya. Sebagai seorang jaksa, Phang-taijin mempunyai tiga orang musuh, dan dua di antaranya adalah sesama rekannya yang menentangnya karena urusan sogokan orang yang terlibat dalam perkara dan dua orang itu mengancam untuk melaporkan kecurangannya di dalam menangani perkara itu kepada atasan. Dan seorang lainnya adalah seorang penjahat yang merasa dilakukan dan diadili secara sewenang-wenang oleh Phang-taijin. Melihat bahwa kedudukan jaksa Phang-taijin akan dapat melindungi dirinya, maka dengan senang hati Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng memenuhi permintaan ini lantas dengan mudah dia dapat membunuh tiga orang musuh yang membahayakan keselamatan Phang-taijin itu tanpa ada yang mengetahui dan menyangkanya. Mulai saat itulah Pat-pi Mo-ko menjadi orang kepercayaan Phang-taijin. Pat-pi Mo-ko lalu melindungi pembesar itu dari para saingannya, sebaliknya pembesar itu melindungi si penjahat untuk bersembunyi di kejaksaan. Bahkan dengan mudahnya Pat-pi Mo-ko menghubungi banyak tokoh penjahat di ibu kota, menguasai mereka dan menekan mereka supaya mereka semua melakukan operasinya di luar kota raja. Dengan demikian, mereka tak akan bentrok dengan kedudukan dan tugas Phang-taijin, sebaliknya pembesar ini pun menutupkan matanya terhadap pembantunya yang menjadi raja tanpa mahkota di antara para tokoh penjahat di kota raja. Ketika Pat-pi Mo-ko berhubungan dengan Su Tong Hak, dia berhasil menguasai dua peta yang ada di tangan Su Tong Hak dan Ciang Kim Su dan dengan perjanjian akan bekerja sama kemudian memperoleh bagian masing-masing, mereka berdua lalu mencari tempat rahasia menurut petunjuk peta itu. Namun, hasilnya selalu nihil dan gagal! Sampai berbulan-bulan mereka mencari-cari, akan tetapi ternyata peta itu tidak membawa mereka ke tempat penyimpanan harta karun yang diidam-idamkan itu. Terlebih lagi kunci emas belum juga dapat ditemukan. Baru belakangan ini mereka mendengar mengenai kunci emas ini dan ketika Pat-pi Mo-ko mengutus orangnya menuju ke dusun Cin-bun-tang di daerah An-keng, utusan itu kembali dengan tangan kosong dan mengatakan bahwa kakek petani itu dan isterinya telah tidak ada lagi di dusun. Isterinya terbunuh oleh orang jahat dan kakek itu sendiri lenyap tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya! Tentu saja Pat-pi Mo-ko amat menjadi penasaran, marah dan kecewa. Sampai akhirnya dia mendengar dari sisa-sisa anak buah Liong-kut-pian Ban Lok yang dilaporkan oleh para pembantunya bahwa Ban Lok serta kawan-kawannya yang telah membunuh suami isteri petani itu, juga betapa Ban Lok terbunuh oleh seorang pemuda dan seorang gadis yang lihai sekali, juga bahwa diduga, kunci emas itu berada di tangan pemuda dan dara itu. Maka mulailah anak buahnya melakukan pengejaran dan pencarian, juga dia mengutus muridnya untuk mendekati mereka sesudah dia mendengar bahwa pemuda itu ternyata adalah Pendekar Sadis! Sesudah berhasil menerima kunci emas dari muridnya sebagai hasil bujuk rayu muridnya atau keponakannya yang cantik itu terhadap Pendekar Sadis, hatinya menjadi semakin kecewa dan penasaran lagi. Kunci emas sudah didapatkan, akan tetapi peta itu ternyata palsu dan tidak mampu membawanya ke tempat penyimpanan harta karun Jenghis Khan. Inilah yang membuat dia semakin kecewa dan penasaran. Kini, dalam keadaan hampir putus asa mendengar ucapan Kim Hong yang mengatakan bahwa tidak sukar untuk menyelidiki di mana adanya peta yang tulen, tentu saja serentak semangatnya tergugah dan harapannya timbul kembali. Wajahnya telah berseri ketika dia mendekati dipan di mana Kim Hong terbelenggu. "Nona Toan, maukah engkau bekerja sama dengan kami?" Kim Hong mengerutkan alisnya, mengambil sikap seperti orang berpikir. Padahal gadis ini memang sengaja mencari kesempatan untuk membuat penjahat ini membutuhkan dirinya. Melihat kunci emas itu sudah berada di tangan penjahat ini, sungguh pun dia tidak melihat tanda-tanda bahwa kekasihnya mengalami bencana, namun hatinya merasa gelisah dan ragu. Betapa pun juga, kenyataan membuktikan bahwa kekasihnya telah menyerahkan kunci itu atau dipaksa menyerahkan dan tentu telah terjadi sesuatu dengan Thian Sin. Kalau hal ini benar, maka sebaiknyalah kalau dia mendekati dan berbaik dengan Pat-pi Mo-ko, bukan karena harta karun itu sebab dia tahu bahwa kepala penjahat ini hanya memiliki peta dan kunci palsu belaka. Akan tetapi dia harus lebih dulu tahu bagaimana keadaan Thian Sin. Lagi pula, dia harus pula melindungi Kok Siang yang masih tertawan, sebab dia berkeyakinan bahwa pemuda inilah yang menguasai peta aslinya, sedangkan kunci emas yang asli ada pada dia dan Thian Sin. "Pat-pi Mo-ko, kita sama-sama adalah petualang-petualang dan di mana ada kesempatan untuk mendapat keuntungan besar, tentu saja kami mau bekerja sama denganmu. Akan tetapi, bekerja sama yang bagaimana maksudmu?" "Terlebih dahulu engkau harus mmbantuku mencari peta asli dan menemukan harta karun Jenghis Khan." "Imbalannya?" "Engkau mendapatkan seperempat bagian." "Aku tidak mau menyerahkan sebagian dari hakku yang setengahnya atas harta karun itu kepadanya!" Tiba-tiba Su Tong Hak berkata. "Diam dan jangan mencampuri urusan kami!" Bouw Kim Seng membentak dan pedagang itu undur kembali dengan alis berkerut. "Pat-pi Mo-ko, engkau berkali-kaii mengajak aku untuk bekerja sama, akan tetapi engkau memperlakukan aku sebagai tawanan. Mana mungkin ini?" "Maukah engkau? Berjanjilah lebih dahulu dan aku akan membebaskanmu." "Aku berjanji akan bekerja sama denganmu!" kata Kim Hong dengan suara bersungguh-sungguh. "Toan Kim Hong!" Tiba-tiba Kok Siang berteriak dan nampak marah bukan main. "Kiranya sebegitu saja keteguhan hatimu! Setelah terjepit, nampak belangmu dan engkau mau saja bekerja sama dengan kalangan sesat? Huh, ternyata engkau hanya petualang yang haus akan harta kekayaan!" "Bu Kok Siang! Tutup mulutmu dan jangan mencampuri urusanku!" Kim Hong juga turut membentak dengan nada marah. "Engkau tidak tahu malu! Engkau pengecut! Huh, kalau aku bebas, sebelum menggempur para penjahat ini, engkau akan kuhancurkan lebih dulu!" Kok Siang berteriak marah. "Kutu buku yang pura-pura menjadi orang gagah! Siapa takut akan ancamanmu? Engkau takkan lolos dari tempat ini dengan hidup!" Kim Hong memaki dan kedua orang itu saling mencela dan memaki. Melihat hal ini, Pat-pi Mo-ko diam-diam memandang dengan sinar mata berkilat dan wajah berseri. Dia menghampiri Kim Hong dan dengan kedua tangannya sendiri dia melepaskan belenggu besi dari kaki serta tangan gadis itu dengan kunci, kemudian memulihkan jalan darah gadis itu yang masih tertotok. Kim Hong mengurut pergelangan kaki serta tangannya yang terasa nyeri bekas belenggu besi. Pat-pi Mo-ko dan para pembantunya bersiap menghadapi kalau-kalau gadis itu akan melanggar janjinya dan mengamuk. Akan tetapi Kim Hong sama sekali tidak mengamuk, melainkan membereskan pakaiannya, kemudian memandang kepada Pat-pi Mo-ko sambil tersenyum. "Mana siang-kiamku, apakah tidak dikembalikan kepadaku setelah kita menjadi rekan?" "Nanti dulu, nona Toan, jangan tergesa-gesa. Pedang pasangan itu berada padaku dan bila engkau membutuhkan, tentu akan kuberikan kepadamu. Sekarang katakan lebih dulu, apa maksudmu tadi mengatakan bahwa tidak sulit untuk menyelidiki di mana adanya peta yang tulen?" Kim Hong duduk di atas dipan bekas tempat dia dibelenggu, melonjorkan kedua kakinya sambil menarik otot-ototnya yang tegang sebelum menjawab. Ia menatap wajah penjahat besar itu dan tahu bahwa ia harus berhati-hati. Sikap Pat-pi Mo-ko dan para pembantunya jelas menaruh kecurigaan besar terhadapnya. Ia harus berdaya upaya menarik kepercayaan mereka. Hanya dengan demikianlah maka dia akan bisa memperoleh kesempatan untuk meloloskan diri dari tempat itu, juga untuk menyelamatkan Kok Siang, dan kalau perlu menolong Thian Sin, kalau benar seperti yang dikhawatirkannya bahwa kekasihnya itu mungkin saja terjebak pula seperti dia dan Kok Siang. "Pat-pi Mo-ko, apa sih sukarnya untuk menyelidiki hal itu? Pertama-tama, pembawa peta itu adalah Ciang Kim Su maka dialah orang pertama yang mungkin saja menyembunyikan peta asli karena dia penemunya sehingga memiliki kesempatan menggantikannya dengan peta palsu untuk melindungi yang tulen kalau terjadi sesuatu. Maka kepadanyalah harus ditanyakan di mana adanya peta yang tulen, yakni kalau dia masih hidup." Pat-pi Mo-ko mengangguk. "Sudah kami lakukan itu akan tetapi tanpa hasil." "Hemmm, apa sukarnya menyiksanya sampai dia mengaku? Dia hanya seorang pemuda petani lemah, disiksa sedikit saja tentu akan mengaku," Kim Hong berkata dengan sikap kejam. "Aku tahu mengenai beberapa cara penyiksaan yang akan membuat orang lemah mengaku. Misalnya, mencabuti kuku jari kaki dan tangan satu demi satu, menusukkan jarum ke bawah kuku jari tangan, merobek kulit pelipis melalui tarikan rambut pelipis ke atas. Biarkan aku yang menyiksanya, tentu dia mengaku." "Tidak, jangan siksa lagi dia! Dia sudah hampir... hampir mati..." "Plakkk!" Tubuh pedagang itu terpelanting ketika terkena sambaran tangan Pat-pi Mo-ko yang menamparnya. "Sudah beberapa kali kuperingatkan. Jangan engkau lancang mulut dan ikut mencampuri urusan ini! Sekali lagi melanggar, aku akan lupa diri dan akan membunuhmu pula!" Su Tong Hak yang tadinya merasa menjadi sekutu tokoh sesat itu, sekarang hanya dapat berdiri dengan muka pucat dan barulah dia menyadari bahwa dia sendiri berada di dalam bahaya, bahwa nyawanya bagai telor di ujung tanduk. Mulailah dia merasa ketakutan dan bingung, hanya mengangguk-angguk dan mundur sampai ke sudut ruangan. Tentu saja semua ucapan dan sikap ini tidak terlepas dari pandang mata Kim Hong yang tajam. Dia menduga bahwa agaknya pemuda petani itu masih hidup, akan tetapi dalam keadaan parah karena disiksa. Mulailah dia bisa mengerti dan menggambarkan keadaan. Agaknya pemuda petani itu sudah datang ke kota raja dan diantar oleh pamannya yang berhati busuk itu kepada Louw siucai. Dan siucai tua itu telah menterjemahkan peta, akan tetapi mungkin sekali siucai itu telah menukarnya dengan peta yang palsu. Sesudah peta itu diterjemahkan lalu diterima oleh Kim Su dan dibagi dengan pamannya. Akan tetapi agaknya Su Tong Hak bersekongkol dengan Pat-pi Mo-ko dan pemuda petani yang sedang menuju pulang itu lantas diculik serta dirampas bagian petanya. Kemudian, setelah gagal menemukan tempat rahasia harta karun melalui peta, barulah Pat-pi Mo-ko sadar bahwa peta itu palsu dan mereka lalu menyiksa Ciang Kim Su yang mereka kira mengetahui di mana adanya peta yang asli. "Nona Toan, perkiraanmu itu pun telah menjadi perkiraan kami. Akan tetapi agaknya peta tulen tidak berada di tangan pemuda petani itu." "Kalau begitu, masih ada beberapa kemungkinan lain. Peta tulen itu bisa saja berada di tangan sastrawan yang menterjemahkan itu, yang menukarnya dengan yang palsu. Akan tetapi, sastrawan itu kabarnya sudah mati terbunuh, jadi tentu peta itu berada di tangan pembunuhnya." Berkata demikian, Kim Hong menanti dan memandang penuh perhatian. "Tidak...! Tidak...!" Tiba-tiba saja Su Tong Hak berteriak saat melihat betapa Pat-pi Mo-ko menoleh dan memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong ganas. "Kami sudah memeriksa dengan teliti dan tidak menemukan apa-apa di rumahnya. Tanya saja kepada Hai-pa-cu Can Hoa kalau tidak percaya!" "Sesungguhnyalah, kami berdua tidak menemukan apa-apa di sana." Kata Hai-pa-cu Can Hoa dengan suara tenang. Tentu saja jawaban kedua orang ini langsung menjelaskan kepada Kim Hong dan juga kepada Kok Siang siapa orangnya yang membunuh Louw siucai. Bukan lain adalah Su Tong Hak yang mungkin menjadi penunjuk jalan, sedangkan yang melaksanakan adalah Hai-pa-cu Can Hoa! Akan tetapi Kok Siang sama sekali tidak memperlihatkan reaksi apa pun pada wajahnya yang masih memandang kepada Kim Hong dengan marah. "Hemm, dalam urusan ini banyak orang tersangkut dan kita tidak tahu siapa yang palsu. Akan tetapi, kalau kita bekerja sama, aku pasti akan menemukan peta itu, Pat-pi Mo-ko! Aku berjanji akan menemukannya sekaligus menemukan orangnya yang bertindak curang kepadamu!" Pat-pi Mo-ko tersenyum, "Bagaimana pun juga, engkau yang tadi masih menjadi musuh kami, mana mungkin dapat kupercaya kalau tidak ada bukti tentang kesetia kawananmu lebih dulu?" "Engkau hendak mencoba? Cobalah!" kata Kim Hong. "Memang kami harus menguji kesetiaanmu dulu. Malam ini juga, engkau harus membantu kami menundukkan saingan kita. Engkau sudah membunuh Liong-kut-pian Ban Lok. Nah, gerombolannya itulah saingan kita dan hampir saja mereka dapat merampas kunci emas dari kakek Ciang Gun. Liong-kut-pian Ban Lok masih memiliki seorang suheng yang jauh lebih lihai dari padanya, dan suheng-nya itulah yang kini memimpin gerombolan mereka untuk menyaingi kita. Siapa tahu, mereka sudah berhasil mendapatkan peta yang tulen! Maka, sebelum mereka bergerak mendapatkan kunci emasnya yang sudah ada padaku, kita harus mendahului mereka dan menghancurkan mereka. Membasmi musuh-musuh yang akan mendatangkan kerepotan harus sampai ke akar-akarnya. Nah, apakah engkau sanggup membantuku?" "Baik, aku akan membantumu, Mo-ko. Akan tetapi kutu buku itu tak ada sangkut pautnya dengan urusan kita. Lebih baik tendang dia keluar saja!" Pat-pi Mo-ko memandang tajam. "Apakah engkau tidak ingin melihat dia tersiksa atau pun terbunuh dan malah menghendaki dia bebas, nona?" Kim Hong tersenyum mengejek. "Apa peduliku dengan dia? Kami bukan apa-apa, hanya secara kebetulan saja berkenalan!" "Kalau begitu, biarlah sementara dia menjadi tahanan kita di sini hingga selesai urusan ini. Kalau sekarang dia dibiarkan bebas, tentu dia hanya akan mendatangkan kerepotan saja. Dia telah berani menentangku, karena itu dia harus dihukum!" Pat-pi Mo-ko lalu memerintahkan anak buahnya untak menjaga baik-baik pemuda itu agar jangan sampai lolos, akan tetapi juga melarang pemuda itu diganggu atau dibunuh. Dan setelah itu, dia pun mengajak Kim Hong pergi meninggalkan Kok Siang. Ketika Kim Hong melihat bahwa pasukan yang hendak dibawa oleh tokoh sesat itu sama sekali bukan anak buahnya atau orang-orang biasa, melainkan pasukan pemerintah, dia merasa heran sekali. Ditanyakannya hal ini kepada Bouw Kim Seng dan orang ini tertawa. "Memang sebaiknya kita berlindung di balik pasukan pemerintah yang kebetulan hendak mengadakan pembersihan terhadap sarang-sarang penjahat, bukan? Ha-ha, nona Toan. Orang harus mempergunakan kecerdikan otak, bukan hanya mengandalkan kekuatan otot belaka." "Di mana pedangku?" "Jangan khawatir, pedangmu sudah dibawa dan sewaktu-waktu kau membutuhkan tentu akan kuserahkan kepadamu." "Mo-ko, engkau masih tidak percaya kepadaku! Hemm, andai kata aku melanggar janjiku, sekarang pun aku dapat berbalik melawanmu, tidak perlu mempergunakan pedang!" kata Kim Hong mendongkol. Kakek hitam itu tertawa. "Engkau tak akan menentangku, nona. Engkau terlampau cerdik untuk melakukan kebodohan itu. Pertama, engkau telah mengeluarkan janji membantuku. Ke dua, kalau engkau memberontak, engkau akan berhadapan langsung dengan aku dan pasukan pemerintah. Ke tiga, pemuda sastrawan itu juga akan kami bunuh lebih dulu. Ke empat, engkau tidak akan mendapatkan bagian harta karun Jenghis Khan. Ha-ha-ha-ha, tidak, engkau tidak sebodoh itu." Kim Hong merasa lega. Setidaknya, dia merasa yakin bahwa untuk sementara waktu Kok Siang berada dalam keadaan aman. Ia tadi memang sengaja telah memperlihatkan sikap mengejek dan menghina pada Kok Siang yang lantas ditanggapi secara baik sekali oleh pemuda sastrawan yang cerdas itu. Mereka memperlihatkan sikap yang saling mengejek dan bermusuhan sehingga dengan demikian pemuda itu dijauhkan dari prasangka buruk. Kalau sampai diketahui atau terduga oleh Mo-ko bahwa peta aslinya berada pada tangan pemuda itu, tentu keselamatan Kok Siang takkan dapat dijamin lagi. Untuk sementara ini, dia harus berpura-pura menurut dan bekerja sama dengan iblis ini. Kalau tidak, selain nyawa Kok Siang terancam, juga dia sendiri dapat terancam bahaya besar. Ia harus menyelamatkan Kok Siang dulu, baru dia akan meloloskan diri sendiri dan hal ini agaknya tidak akan mudah, harus menanti saat yang baik. *************** Penyerbuan ke sarang penjahat bekas pimpinan Liong-kut-pian Ban Lok berjalan dengan sangat lancar. Anak buah penjahat yang jumlahnya hanya kurang lebih dua puluh lima orang itu tidak sanggup mengadakan perlawanan yang berarti terhadap serbuan seratus orang pasukan keamanan. Mereka dirobohkan atau ditangkap dengan alasan melakukan kejahatan dan kekacauan di kota raja. Tentu saja mereka melakukan perlawanan, namun segera mereka itu tertangkap semua karena kalah banyak. Hanya seorang saja yang masih terus mengamuk dan dia ini adalah Sin-siang-to Tang Kin. Sesuai dengan julukannya, Sin-siang-to (Sepasang Golok Sakti) dengan gencar memutar sepasang goloknya sehingga tidak ada anggota pasukan yang mampu mendekatinya, apa lagi menangkapnya. Sepasang goloknya membentuk sinar bergulung-gulung yang sangat dahsyat dan setiap ada senjata prajurit yang mendekat, tentu terpental atau patah-patah. Tiba-tiba saja Pat-pi Mo-ko berteriak menyuruh komandan pasukan menarik mundur para prajurit yang mengeroyok Sin-siang-to Tang Kin. Dia sendiri bersama Kim Hong kemudian menghampiri kepala gerombolan itu. Kim Hong memandang dengan penuh perhatian. Kepala gerombolan itu adalah seorang kakek yang usianya sekitar lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus. Suheng dari mendiang Liong-kut-pian Ban Lok ini memang jauh lebih lihai dari pada sute-nya. Dari permainan sepasang golok tadi Kim Hong telah melihat betapa lihainya sepasang golok itu. Dia sendiri tadi membantu Mo-ko, dan dengan mudah merobohkan beberapa orang anak buah gerombolan musuh. Sin-siang-to Tang Kin melintangkan sepasang goloknya di depan dada, lalu memandang kepada Pat-pi Mo-ko dan Kim Hong dengan kedua mata mendelik marah. Tadi dia sudah mendengar dari laporan para anak buahnya sebelum mereka itu ditangkap semua bahwa penyerbuan pasukan pemerintah ini dipimpin oleh Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, tokoh jahat di kota raja yang seolah-olah menjadi raja di antara para penjahat, akan tetapi yang selalu menyembunyikan diri itu. Dan dia pun mendengar bahwa wanita cantik yang membunuh sute-nya juga ikut datang bersama Pat-pi Mo-ko. Kini, biar pun dia belum pernah bertemu dengan mereka berdua, begitu berhadapan, dia tahu bahwa inilah dua orang itu. "Hemm, sekarang nampak semua belangmu, Pat-pi Mo-ko!" katanya mengejek. "Kiranya engkau berlindung di bawah naungan pasukan pemerintah. Huh, tokoh kang-ouw macam apa engkau ini?" Pat-pi Mo-ko hanya tertawa saja dan tidak menjadi marah. "Sin-siang-to, sudah lama aku mendengar namamu yang menggempartan di pantai timur dan baru karena kebetulan kita dapat saling bertemu di sini. Engkau melanjutkan gerakan sute-mu, memimpin anak buah mengacau di kota raja. Kalau kini pasukan kami datang membasmi gorombolanmu, hal itu sudah jamak dan jangan kau menyalahkan aku. Aku menentang sute-mu karena dia telah berani menyaingi aku. Sekarang semua anak buahnya telah diringkus. Kalau engkau mau membantuku dan bekerja untukku, biarlah aku ampuni engkau dan kita bekerja sama!" "Lebih baik mampus! Siapa takut kepadamu?" bentak Sin-siang-to sambil mengelebatkan goloknya. "Ha-ha, sudah kuduga bahwa engkau akan keras seperti itu, aku sengaja mengajak nona Toan ini untuk membunuhmu seperti yang telah dilakukannya terhadap sute-mu." Kini Sin-siang-to Tang Kin menatap tajam kepada Kim Hong. Sambil menudingkan golok kanannya ke arah muka Kim Hong, dia lalu berkata, "Aku telah mendengar bahwa sute-ku tewas di tanganmu. Hal ini kuanggap lumrah karena memang sute-ku bermain api. Akan tetapi, sekarang ternyata bahwa engkau hanyalah kaki tangan Pat-pi Mo-ko, maka mari kita membuat perhitungan atas kematian sute!" Sesudah berkata demikian, Sin-siang-to lantas menerjang ke depan dan dua sinar berkelebat menyambar dari kanan kiri, ke arah leher dan pinggang Kim Hong. Kim Hong dapat menduga orang macam apa adanya ahli golok ini. Seorang tokoh sesat juga, maka dia pun tidak ragu-ragu untuk menghadapinya. Menyingkirkan seorang seperti ini bukan hanya perlu untuk menumbuhkan kepercayaan Pat-pi Mo-ko kepadanya, akan tetapi juga berarti menyingkirkan sebuah sumber penyakit dari rakyat jelata. Karena dia memperoleh kenyataan bahwa Pat-pi Mo-ko tidak juga memberikan sepasang pedangnya kepadanya, maka dia pun bergerak cepat mengelak dari dua serangan yang cukup berbahaya itu. Gerakannya memang gesit luar biasa, karena ginkang dari nona ini sudah mencapai tingkat yang amat tinggi sehingga Sin-siang-to Tang Kin terkejut bukan main ketika tiba-tiba melihat nona itu menghilang! Akan tetapi dia dapat menangkap gerakan di sebelah belakangnya, maka dia cepat-cepat membalikkan tubuh dan kembali sepasang dari goloknya bersilang lantas berkelebat dari atas dan bawah! Memang hebat permainan golok pasangan dari kakek ini sehingga Kim Hong terpaksa harus menggunakan kecepatan gerakannya lagi untuk menghindarkan diri dari sambaran golok. Terjadilah perkelahian yang nampak berat sebelah karena kakek itu selalu menghujankan serangan sedangkan Kim Hong hanya mengelak ke sana sini dengan sangat cepatnya. Hanya kadang-kadang saja gadis ini menyerang, yaitu kalau ada kesempatan membalas dengan tendangan atau pukulan tangannya. Akan tetapi kesempatan itu terlampau sedikit karena gerakan sepasang golok itu membentuk sinar bergulung-gulung yang amat cepat dan luas. Di samping tinggi ilmu silatnya, Kim Hong adalah seorang wanita yang juga sangat cerdik. Sekarang dia sedang menunggu kesempatan untuk mendapatkan kepercayaan dan untuk dapat membebaskan Kok Siang. Dan untuk mendapatkan kepercayaan itu, sementara ini dia harus menyembunyikan kepandaiannya, agar iblis itu tidak merasa khawatir dan akan menganggapnya tidak berbahaya. Karena itu, dia harus melayani Sin-siang-to ini dengan sebisa mungkin menyembunyikan kepandaian aslinya, hanya memainkan ilmu-ilmu yang sederhana saja. Akan tetapi, celakanya, Sin-siang-to Tang Kin bukanlah lawan sembarangan yang boleh dihadapi dengan ilmu yang rendah. Sepasang goloknya sedemikian lihainya sehingga Kim Hong harus mengerahkan ginkang-nya jika dia ingin selamat. Apa lagi untuk merobohkan kakek itu. Tentu ia harus menggunakan ilmunya yang tinggi. Hal ini membuat Kim Hong kerepotan juga. Pada satu pihak dia ingin menyembunyikan kepandaiannya dari mata Mo-ko yang dia tahu membiarkan dia menghadapi Sin-siang-to untuk mencobanya, mencoba kepandaiannya dan mencoba kesetiaannya. Namun, di lain pihak dia harus mengerahkan kepandaian untuk dapat mengimbangi kelihaian lawan ini. Maka dia menjadi serba salah dan ragu-ragu sehingga terdesak hebat! Pat-pi Mo-ko melihat perkelahian itu dengan penuh perhatian. Dia membiarkan gadis itu terdesak sampai puluhan jurus, tetapi diam-diam dia mengagumi ginkang yang hebat dari gadis itu, mengaku bahwa dia sendiri pun tak akan dapat menandingi gadis itu jika harus bertanding dalam hal ginkang. Dari gerakan-gerakannya saja dia dapat menduga bahwa jika gadis itu memperoleh kembali sepasang pedangnya, tentu akan mampu menandingi Sin-siang-to walau pun belum tentu akan dapat menang. Ilmu sepasang golok dari Tang Kin memang istimewa dan lihai sekali. "Tahan...!" Bentaknya dan nampak dua gulungan sinar hitam ketika kakek tinggi besar ini menerjang ke depan. "Sin-siang-to, perlihatkan kepandaianmu kepadaku!" dan sepasang pedang bersinar hitam di tangan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng telah bergerak menyerang dengan gerakan dahsyat sekali. Kim Hong yang sudah meloncat ke belakang itu terkejut dan mendongkol. Ternyata yang dipergunakan oleh Pat-pi Mo-ko adalah sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedangnya yang dirampas ketika dia pingsan. Akan tetapi dia segera dapat mengusir rasa gemas ini dan diam-diam dia memperhatikan permainan pedang itu. Kiranya iblis ini pun merupakan seorang ahli ilmu silat pedang pasangan! Dan dia segera mendapat kenyataan betapa ganas dan dahsyatnya sepasang pedangnya itu pada waktu dimainkan oleh Pat-pi Mo-ko. Benar-benar merupakan seorang lawan yang amat tangguh, yang harus dihadapi dengan amat hati-hati. Agaknya tingkat kepandaian kakek iblis hitam ini tak berada di bawah tingkat para datuk kaum sesat yang pernah dilawannya beberapa tahun yang lalu! Agaknya memang Pat-pi Mo-ko sengaja hendak memamerkan kepandaiannya. Dia lantas mengeluarkan jurus-jurus terampuh dan menekan sepasang golok di tangan Sin-siang-to yang berusaha keras untuk menandingi sepasang pedang hitam itu. Akan tetapi semua hasilnya sia-sia belaka. Sinar goloknya menjadi semakin sempit terhimpit. Dan belum ada tiga puluh jurus semenjak ia melayani terjangan Pat-pi Mo-ko, tiba-tiba dia menjerit lantas tubuhnya terjengkang, sepasang goloknya terlepas dan ada darah mancur dari tenggorokannya! Tubuh Sin-siang-to berkelojotan bagai ayam yang disembelih sebab lehernya memang telah tertembus pedang hingga dia mirip seekor ayam yang disembelih. Kini dengan tersenyum Pat-pi Mo-ko mengembalikan sepasang pedang hitam itu kepada pemiliknya sambil meloloskan sarung pedang itu yang tadinya dia sembunyikan di bawah jubahnya. Tanpa bicara Kim Hong menerima pedang itu dan menyarungkannya kembali, memasangnya di pinggang. Pat-pi Mo-ko mengeluarkan sepasang pedang lain, yang putih seperti perak dan berkata, "Pedang hitammu amat hebat, nona. Akan tetapi jika tadi aku mempergunakan sepasang pek-kong siang-kiam (Sepasang Pedang Sinar Putih) milikku ini, aku pasti akan sanggup merobohkan dia dalam waktu yang jauh lebih singkat." Kim Hong menjura dan berkata, "Ilmu pedangmu sungguh hebat, Pat-pi Mo-ko." Iblis hitam tinggi besar itu tertawa dan menjawab untuk merendahkan diri akan tetapi ada kebanggaan terkandung dalam suaranya, "Ah, ilmu silatmu juga luar biasa, nona. Engkau memang patut sekali menjadi pembantuku yang terutama!" "Jadi aku sudah lulus ujian?" tanya Kim Hong tersenyum. "Belum, masih ada satu lagi ujian." "Hemm, apa itu?" "Mari kita pulang dan engkau akan tahu." Kakek itu segera mengajaknya untuk melakukan penggeledahan bersama pasukan. Akan tetapi ternyata di sarang gerombolan itu mereka tidak menemukan apa yang dicari oleh Pat-pi Mo-ko, yaitu peta harta karun atau tanda-tanda tentang peta itu. Pat-pi Mo-ko memang tidak terlalu mengharapkan akan menemukan apa yang dicarinya di situ. Dia sudah merasa puas telah dapat membasmi saingan yang dianggapnya hanya mendatangkan kesulitan saja baginya itu dan dia pun mengajak Kim Hong untuk kembali ke rumah Phang-taijin. Di kompleks perumahan pembesar Phang, jaksa kota raja ini, Pat-pi Mo-ko memperoleh kebebasan dan menempati bagian belakang di mana selain dipergunakan untuk kantor dan tempat tahanan, juga terpasang banyak kamar-kamar rahasia. Karena mereka tiba di gedung itu sudah malam, Bouw Kim Seng mempersilakan Kim Hong untuk beristirahat. Gadis itu memperoleh sebuah kamar tidur di bagian tengah dan Kim Hong maklum bahwa semua gerak geriknya diawasi dan juga tempatnya mengaso itu pun dijaga ketat sehingga tidak mungkin dia dapat meninggalkan kamar tanpa diketahui orang. Akan tetapi, gadis ini memang tidak berniat untuk meloloskan diri sebelum dia dapat membebaskan Kok Siang. Ia tidak tahu di mana pemuda itu ditahan, maka dia pun bersabar menanti sampai besok karena tubuhnya juga terasa lelah dan dia perlu beristirahat mengumpulkan tenaga. Satu-satunya hal yang menggelisahkan hatinya adalah Thian Sin. Apa yang telah terjadi dengan kekasihnya itu dan bagaimana kunci emas palsu itu sampai dapat jatuh ke tangan Pat-pi Mo-ko? Ia tidak berani bertanya dengan terus terang kepada penjahat itu, khawatir kalau-kalau menimbulkan kecurigaan dan hal itu bahkan akan menambah kewaspadaan pihak lawan saja. Pada sore hari berikutnya, barulah Pat-pi Mo-ko mengatakan apa adanya ujian ke dua itu. Kim Hong dibawa ke sebuah ruangan yang luas, ruangan yang agaknya menjadi tempat berlatih silat atau mungkin menjadi tempat penyiksaan di kompleks perumahan kejaksaan bagian penjara itu. Sebuah ruangan yang tertutup oleh jendela-jendela besi baja dan pintu baja pula, yang terjaga ketat oleh pasukan penjaga dan para pembantu iblis itu. Kim Hong melihat Kok Siang duduk di atas bangku besi dengan kaki dirantai! Pemuda itu agak pucat, akan tetapi tersenyum mengejek pda saat melihatnya masuk bersama Pat-pi Mo-ko. Di dalam ruangan itu sudah hadir para pembantu iblis itu, yaitu keempat Siang-to Ngo-houw, Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko dan tidak ketinggalan terdapat pula Su Tong Hak yang wajahnya agak pucat dan sikapnya tidak segembira ketika Kim Hong melihatnya kemarin. "Nona Toan," kata Pat-pi Mo-ko kepada Kim Hong yang sedang menduga-duga apa yang harus dilakukannya kali ini. "Engkau tahu sendiri bahwa Bu Kok Siang itu adalah seorang jagoan dari Thian-cin dan dia sudah berani menentangku. Lebih dari itu, dia juga berani menghina engkau yang membantuku, berarti dia sudah menghinaku juga. Untuk itu saja dia sudah pantas kubunuh! Akan tetapi, mengingat bahwa engkau yang paling dihinanya dengan makian-makiannya, maka aku serahkan dia padamu. Kalau dia bisa mengalahkan engkau, biarlah dia boleh pergi dengan bebas. Sebaliknya, tentu saja aku percaya penuh bahwa engkau akan dapat merobohkannya dan biar pun tidak sampai membunuhnya, tapi setidaknya dapat memberi hajaran yang layak kepadanya." Tentu saja Kim Hong merasa kaget bukan main. Tak disangkanya bahwa dia akan diadu dengan Kok Siang! Dan kemarin dia bersama Kok Siang sudah terlanjur memperlihatkan sikap bermusuhan, maka alasan untuk menolak tidak ada sama sekali. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Menolak tidak mungkin, dan tentu akan menimbulkan kecurigaan dan hal itu dapat membahayakan dia dan juga Kok Siang. Sementara itu, diam-diam Kok Siang juga terkejut. Pat-pi Mo-ko memberi isyarat kepada Siang-to Ngo-houw yang tinggal empat orang itu dan mereka segera membuka belenggu pada kaki Kok Siang, kemudian bersama Pat-pi Mo-ko, mereka semua itu cepat meninggalkan ruangan itu yang pintunya segera ditutup dari luar. Mereka semua menonton dari luar, seperti nonton adu ayam atau lebih tepat lagi mengadu dua ekor singa berbahaya sehingga para penonton berdiri di luar kerangkeng. Memang tadinya Kim Hong bermaksud hendak mengajak Kok Siang untuk memberontak dan bersama-sama menerjang begitu kakinya dibebaskan. Akan tetapi, pemuda itu tidak memberi reaksi apa-apa sehingga dia pun mengeluh. Kalau Thian Sin yang menjadi Kok Siang pada saat itu, dengan pandang mata saja dia dapat memberi isyarat sambil menerima isyarat pula. Akan tetapi Kok Siang agaknya tidak mengerti akan isyarat pandang matanya dan pemuda itu tentu akan terlambat kalau harus diteriakinya lebih dahulu. Jika sampai pemuda itu dirobohkan lebih dulu oleh mereka dan tertawan kembali, apa artinya dia memberontak? Saat yang baik belum tiba, maka Kim Hong hanya dapat memandang dengan menyesal ketika melihat Pat-pi Mo-ko beserta para pembantunya keluar dari ruangan itu dan berdiri di luar pintu, menonton dari balik jeruji pintu dan jendela. Terpaksa dia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Kok Siang. Karena ia berdiri membelakangi mereka, ia berani mengedipkan mata kepada Kok Siang, tanda bahwa ia mengajak pemuda itu agar bersandiwara. Kok Siang tidak memperlihatkan tanda bahwa dia mengerti, tetapi dia malah tertawa mengejek. "Ha-ha-ha, pendekar wanita yang berubah menjadi penjahat wanita kaki tangan para iblis jahat kini datang hendak membunuh bekas teman sendiri! Bagus, majulah. Aku memang ingin memberi beberapa kali tamparan padamu. Kim Hong!" "Kok Siang manusia sombong! Siapa takut kepadamu? Lihat, aku akan menghadapimu dengan kedua tangan kosong saja!" Dengan sikap memandang rendah Kim Hong segera melepaskan sarung pedangnya dan melempar sarung berikut sepasang pedang hitamnya itu ke atas lantai, di sebelah dalam, jauh dari pintu dan jendela. Sesudah membuat gerakan ini, tanpa menanti reaksi dari Kok Siang yang tidak mengerti maksudnya, dia telah menerjang ke depan dan menyerang Kok Siang dengan pukulan cepat dan dahsyat. "Hemm...!" Kok Siang cepat mengelak. Kim Hong menyerang terus bertubi-tubi, sengaja mendesak pemuda itu hingga Kok Siang terus berloncatan mundur menjauhi pintu. Agaknya pemuda ini pun cerdik untuk melihat keinginan Kim Hong mendesaknya agar mereka dapat menjauhi mereka dan pada waktu Kim Hong menyerang dengan tubuh membelakangi mereka, gadis itu lalu berbisik lembut sekali sambil mengerahkan sinkang sehingga gerakan kedua tangannya mendatangkan suara bersuitan menutupi suara bisikannya. "Aku mengalah, kau robohkan dengan totokan..." Tentu saja Kok Siang terkejut mendengar ini. Dia mengalahkan Toan Kim Hong? Tentu saja kalau hanya bersandiwara bisa saja dia menang, akan tetapi apa maksudnya? Apa baiknya kalau dia menang dan dapat menotok roboh gadis ini? "Kita siap memberontak...," Kim Hong menambahkan. "Totok kin-ceng-hiat..." Kim Hong kembali mendesak dan tidak mengeluarkan kata-kata lagi karena tahu betapa bahayanya hal itu. Orang selihai Mo-ko pasti akan dapat melihatnya atau menduganya, dan para pembantu iblis itu pun bukan orang lemah. Akan tetapi ia merasa girang melihat pemuda itu akhirnya mengangguk ketika mengelak, tanda bahwa pemuda itu kini sudah maklum akan siasatnya. Kim Hong memang sengaja memainkan ilmu silat Hok-mo-kun (Ilmu Silat Penakluk Iblis) untuk mendesak Kok Siang. Pemuda ini kagum bukan main dan dia pun berusaha untuk menahan serangan-serangan itu dengan seluruh kepandaiannya, akan tetapi sia-sia saja karena tingkatnya memang kalah jauh. Ia terdesak terus dan dua kali dia terpelanting oleh sapuan kaki serta dorongan tangan kiri Kim Hong. Terdengar suara memuji girang dari luar pintu pada saat pemuda itu dua kali terpelanting. Memang hal ini disengaja oleh Kim Hong sehingga saat Kok Siang mengambil sepasang senjata Siang-koan-pit yang memang sudah dikembalikan kepadanya dan diletakkan di dekat dia duduk tadi, maka hal ini sudahlah sewajarnya. Kini Kok Siang mainkan senjatanya itu dengan dahsyat. Memang hebat sekali kim-pit dan gin-pit itu, dua batang alat tulis dari emas dan perak. Nampak gulungan cahaya emas dan perak saling kejar dan bersilang-silang menyilaukan mata. Dua cahaya itu semakin ganas saja dan kini Kim Hong nampak terdesak! Mereka yang menonton di luar memandang dengan penuh perhatian. Beberapa kali Pat-pi Mo-ko mengerutkan alisnya yang tebal sambil menggeleng kepala, seakan-akan merasa kecewa bahwa jagonya terdesak. Sesungguhnya dia sedang merasa keheranan sekali. Dia pernah menyaksikan gadis itu ketika melawan Sin-siang-to Tang Kin dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak berada sebelah bawah tingkat Sin-siang-to. Padahal pemuda sastrawan itu, melihat gerakan-gerakannya, tidak mungkin lebih lihai dari pada Sin-siang-to. Apakah pemuda itu mempunyai kepandaian simpanan yang kedahsyatannya tak nampak oleh mata? Apakah di dalam gerakan sepasang pit itu terkandung suatu kekuatan yang amat hehat? "Nona Toan, cepat kau pergunakan pedangmu!" Bouw Kim Seng berteriak ketika melihat betapa hampir saja pelipis kanan nona itu terkena sambaran pit emas yang mematuk dari atas seperti paruh seekor rajawali. Sungguh berbahaya sekali serangan-serangan kedua pit itu. Akan tetapi Kim Hong tidak mau mengambil sepasang pedangnya, biar pun dia semakin terdesak dengan hebatnya. "Nona, pergunakan pedangmu! Apa engkau sengaja hendak membiarkan dirimu kalah?" Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng kini berteriak nyaring. cerita silat online karya kho ping hoo Sekali ini agaknya Kim Hong menurut karena dia sudah mengirim pukulan yang dahsyat, membuat lawannya terpaksa mundur sehingga kesempatan ini digunakan oleh Kim Hong untuk meloncat ke arah sepasang pedangnya. Akan tetapi karena letak pedang itu agak di belakang Kok Siang, terpaksa loncatannya itu pun lewat dekat pemuda itu dan pada saat itu, secepat kilat pemuda itu mengirim serangan yang tiba-tiba. Kim Hong masih berusaha untuk menggulingkan tubuhnya yang sedang meloncat, akan tetapi sebuah totokan yang cepat sekali tepat mengenai pundak kirinya dan jalan darah kin-ceng-hiat telah tertotok. Terdengar gadis itu mengeluh lantas tubuhnya terguling roboh dan lemas tak mampu bergerak pula! Mereka yang nonton di luar memandang dengan mata terbelalak. Pat-pi Mo-ko kemudian berkata kepada ke empat Siang-to Ngo-houw, "Tangkap bocah itu!" Empat orang bekas tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang ini segera memasuki ruangan itu setelah daun pintunya dibuka. Begitu mereka masuk, daun pintu ruangan itu ditutup kembali dari luar. Dengan dua tangan masih memegang sepasang senjata pit, Kok Siang menghadapi empat orang itu. Empat orang itu masih merasa sakit hati karena salah seorang saudara mereka tewas. Biar pun tewasnya itu di tangan Mo-ko sendiri, akan tetapi yang menjadi sebabnya adalah Kim Hong. Gadis inilah yang merobohkan saudara mereka itu, kemudian Mo-ko terpaksa membunuhnya agar dia tidak sampai membocorkan rahasia. Kini, begitu menerima perintah untuk menangkap Kok Siang, mereka maju dengan penuh semangat. Begitu menerjang, mereka berempat telah mainkan ilmu andalan mereka, yaitu Ngo-lian to-hoat (Ilmu Golok Lima Teratai). Tingkat kepandaian empat orang pengeroyok ini rata-rata hanya sedikit di bawah tingkat Bu Kok Sing. Andai kata mereka maju satu demi satu, tentu saja Kok Siang akan dapat mengalahkan mereka semua. Akan tetapi karena kini mereka maju bersama, dan dengan kerja sama yang amat baik, tentu saja mereka itu merupakan lawan yang terlampau berat bagi Kok Siang. Sebentar saja Kok Siang telah terdesak hebat dan hanya bisa melindungi dirinya dengan putaran kedua senjatanya yang terlampau kecil dan pendek, juga terlampau ringan untuk menghadapi pengeroyokan delapan buah golok itu. Agaknya, keempat anggota Siang-to Ngo-houw itu bernafsu sekali untuk merobohkan Kok Siang, kalau perlu dengan melukai berat atau membunuh sekali pun. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tubuh Kim Hong yang tadinya menggeletak di atas tanah itu mencelat ke atas lantas sekali bergerak, dia sudah menyambar sepasang pedangnya hingga nampaklah sinar hitam berkelebatan dan dua orang di antara Siang-to Ngo-houw roboh mandi darah dan tewas seketika karena dada mereka sudah tertembus pedang! Kok Siang yang sudah tahu atau telah dapat menduga akan hal ini menjadi bersemangat, kemudian sepasang pitnya juga bergerak cepat merobohkan seorang pengeroyok. Tinggal seorang lagi yang tidak dapat menahan serangan berikutnya dari Kim Hong. Robohlah dia dan empat orang itu kini menggeletak dan tewas! Tentu saja semua orang yang berada di luar ruangan itu terkejut, kecuali Pat-pi Mo-ko yang agaknya memang sudah setengah menduga tentang hal ini. Karena itulah maka tadi dia sengaja hanya menyuruh empat orang Siang-to Ngo-houw saja untuk menangkap Kok Siang, membiarkan mereka lalu menutupkan kembali pintu ruangan. Ia telah mengorbankan empat orang pembantunya itu untuk membuka rahasia Kim Hong. Dan hal ini bukan tanpa sebab. Mo-ko sadar bahwa setelah dia membunuh salah seorang di antara Siang-to Ngo-houw, membunuh secara terpaksa untuk menutup mulutnya, tentu empat orang yang lain diam-diam merasa menyesal dan tidak suka kepadanya. Maka, dia lalu mengorbankan empat orang itu dan sekaligus dia pun berhasil membuka rahasia Kim Hong yang tadi berpura-pura roboh oleh Kok Siang! Kekalahan Kim Hong oleh Kok Siang itu tidak dapat diterima begitu saja oleh kakek iblis yang amat cerdik ini, maka dia tidak mau bersikap lengah. Dan melihat betapa Kok Siang memperoleh kemenangan itu, biar pun ada kemungkinan kecil bahwa memang Kim Hong yang lengah sehingga roboh tertotok, Mo-ko lalu menyuruh empat orang pembantunya itu untuk mengeroyoknya. Apa bila Kim Hong tidak berpura-pura, berarti memang Kok Siang merupakan lawan yang tangguh dan perlu dilenyapkan seketika. Sedangkan kalau Kim Hong berpura-pura, tentu gadis sakti itu akan turun tangan dan tidak membiarkan Kok Siang celaka dan jika hal ini terjadi, paling-paling dia hanya akan kehilangan empat orang pembantunya yang sudah tidak dipercayanya lagi itu karena dugaan bahwa mereka mendendam kepadanya akibat kematian seorang saudara mereka. Dengan demikian dapatlah diketahui betapa licik serta matangnya siasat Mo-ko yang sudah memperhitungkan dengan cermat mengenai segala tindakannya. Memang benar kecurigaannya itu terhadap Kim Hong. Gadis ini memang bersandiwara, dibantu oleh Kok Siang yang dapat menangkap keinginan gadis yang luar biasa ini. Ketika melihat kesempatan terbuka, Kok Siang menotok jalan darah di pundak gadis itu seperti yang dimintanya tadi. Dia tahu bahwa totokannya itu cukup hebat dan akan membuat lawan pingsan dan lemas tanpa mampu bergerak sampai sedikitnya setengah jam. Akan tetapi dia pun sudah dapat menduga bahwa kalau Kim Hong menyuruh dia menotok jalan darah itu, tentu gadis yang lihai itu sudah mempunyai akal untuk menahan totokan ini. Akan tetapi, sungguh sama sekali di luar perhitungan Kim Hong bahwa Mo-ko tidak maju sendiri memasuki ruangan itu, bahkan menyuruh empat orang Siang-to Ngo-houw yang masuk lantas pintu ruangan itu ditutup kembali. Tidak disangkanya bahwa Mo-ko secerdik itu. Tadinya Kim Hong ingin melanjutkan sandiwaranya dan terus pura-pura pingsan, menanti hingga terbuka kesempatan agar bisa meloloskan diri dari situ bersama-sama Kok Siang. Akan tetapi, ternyata Kok Siang tidak mampu menandingi keempat orang pengeroyoknya dan melihat bahaya mengancam diri Kok Siang, tentu saja Kim Hong tidak dapat tinggal diam saja membiarkan pemuda itu tewas dalam pengeroyokan. Maka secara terpaksa ia pun menghentikan permainan sandiwaranya, lantas meloncat sambil menyambar Hok-mo Siang-kiam dan segera merobohkan tiga di antara empat pengeroyok itu, sedangkan yang seorang lagi dirobohkan oleh Kok Siang. "Bu-twako, mari serbu keluar!" Kim Hong berteriak sesudah mereka berhasil merobohkan empat orang lawan itu. Akan tetapi terlambat sudah. Dari luar, Mo-ko sudah menggerakkan alat rahasia dan itu pula menunjukkan betapa cerdiknya penjahat besar ini. Dia memang sudah sejak pertama kalinya mengatur sehingga peristiwa diadunya Kok Siang dengan Kim Hong itu terjadi di dalam sebuah ruangan yang mengandung alat rahasia jebakan berbahaya! Pada waktu Kim Hong dan Kok Siang hendak menyerbu ke pintu yang sudah tertutup itu, tiba-tiba saja terdengar angin menyambar dari empat penjuru lalu anak-anak panah yang banyak sekali jumlahnya menyambar-nyambar ke arah mereka. Tentu saja Kim Hong dan Kok Siang cepat menggunakan senjata mereka untuk melindungi tubuh. Akan tetapi, mendadak lantai yang mereka injak itu bergeser dengan cepatnya, terpisah menjadi dua dan dengan cepat tertarik ke kanan kiri memasuki dinding ruangan. Tentu saja tubuh kedua orang itu langsung terjatuh ke bawah! Kiranya, penyerangan anak panah yang banyak tadi pun hanya merupakan siasat untuk mengalihkan perhatian mereka yang terjebak sehingga pada saat lantai bergeser, mereka kurang perhatian dan baru sadar setelah semuanya terlambat. Betapa pun pandainya Kim Hong, sekali ini dia pun tidak berdaya dan bersama dengan Kok Siang, tubuhnya terjatuh ke bawah. "Byuurrr...! Byuuurrrr...!" Dan mereka berdua terjatuh ke dalam air yang dingin dan dalam! "Mo-ko...! Peta asli itu berada pada kami...!" Itulah suara Kok Siang yang kemudian ditelan oleh suara air karena ternyata pemuda ini tidak pandai renang. Kim Hong dapat renang walau pun tidak begitu pandai, maka ketika dalam kegelapan itu dia berusaha menolong Kok Siang, pemuda ini dalam kepanikannya memeluknya sehingga keduanya tak dapat dihindarkan lagi tenggelam ke dalam air yang dalam itu! *************** Ketika Thian Sin mendengar berita dari In Bwee tentang tertawannya Kim Hong dan Kok Siang oleh Pat-pi Mo-ko yang mempergunakan pasukan pemerintah dan agaknya dibantu oleh Jaksa Phang, diam-diam dia merasa tekejut bukan main. Kalau sampai Pat-pi Mo-ko mampu menjebak dan menawan Kim Hong dan Kok Siang, hal itu berarti bahwa Pat-pi Mo-ko merupakan lawan yang jauh lebih tangguh dan berbahaya dari pada yang dikiranya semula. Apa lagi sesudah dia tahu bahwa kepala penjahat itu bersekongkol dan dibantu oleh jaksa yang memimpin pasukan penjaga keamanan yang kuat! Sungguh merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan. Dia pun cepat menghilang ke dalam kegelapan malam dan sebentar saja dia telah berada di halaman sebelah belakang kompleks gedung Phang-taijin. Kumpulan gedung besar itu merupakan tempat tinggal, juga kantor dan tempat-tempat tahanan. Meski pun tidak jelas benar, dia sudah memperoleh gambaran tentang kompleks perumahan jaksa ini. In Bwee sendiri tidak hafal dan tidak mengenal betul tempat ini, akan tetapi mengetahui di mana kekasihnya itu ditawan, maka keterangan ini sudah cukup bagi Thian Sin. Dengan kepandaiannya yang tinggi, mudah saja baginya untuk menyelidiki. Demikianlah pikirnya. Akan tetapi ketika sampai di tempat itu, diam-diam dia terkejut. Tempat itu dijaga dengan ketat sekali! Bahkan di atas genteng-genteng juga ditaruh para penjaga sehingga seekor kucing sekali pun yang memasuki kompleks itu tentu akan ketahuan oleh para penjaga! Thian Sin maklum bahwa kalau sampai dia sendiri gagal kemudian tertawan, maka akan habislah riwayat mereka berdua! Dia harus berlaku hati-hati sekali. Ketika dia melihat ada sebuah kereta memasuki halaman depan dan ternyata yang keluar dari kereta itu adalah Su Tong Hak, dia memperoleh akal yang baik sekali. Kiranya Su Tong Hak, paman dari petani Ciang Kim Su, adalah seorang yang curang dan sudah mengkhianati keluarganya sendiri. Kehadiran Su Tong Hak di sana menjelaskan banyak hal baginya. Tentu pencurian peta dan lenyapnya Ciang Kim Su, merupakan akibat dari pada persekongkolan pedagang itu dengan Pat-pi Mo-ko! Karena ini tahulah dia bahwa dari orang ini dia dapat memperoleh banyak keterangan. Maka sebelum orang itu memasuki pintu gerbang, dengan kecepatan kilat dia menyelinap lantas dengan gerakan kilat, dia sudah dapat menyambar tubuh pedagang itu yang tidak sempat berteriak karena urat gagunya telah dicengkeram oleh Thian Sin. Pendekar Sadis ini membawanya agak menjauh, ke tempat gelap dan membawanya loncat ke atas pohon yang tinggi. Tentu saja Su Tong Hak terkejut setengah mati, apa lagi ketika dia dapat melihat wajah orang yang menangkapnya itu, yang dikenalnya sebagai pemuda yang diutus oleh kakak iparnya, Ciang Gun, dan yang sudah didengarnya dari Pat-pi Mo-ko sebagai Pendekar Sadis! Tubuhnya menggigil dan dia hampir pingsan saking takutnya, apa lagi ketika dia dibawa ke atas pohon yang tinggi itu. Akan tetapi, di dalam pikiran pedagang yang cerdik ini, di samping rasa takutnya, muncul pula sebuah harapan baru. Dalam beberapa hari terakhir ini dia selalu gelisah, makan tak enak dan tidur pun tidak nyenyak, memikirkan perubahan sikap Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng terhadap dirinya. Dia bahkan mempunyai perasaan yang amat mengerikan, yaitu bahwa kalau semua ini telah selesai, bukan saja dia tidak akan diberi apa-apa oleh penjahat itu, bahkan mungkin untuk menutup rahasia, dia akan dibunuh, seperti yang telah dilakukan terhadap Louw siucai! Kini, melihat munculnya Pendekar Sadis, satu-satunya lawan yang tangguh dan agaknya ditakuti oleh Mo-ko, timbul pikiran yang amat baik. Mengapa dia tidak bekerja sama dan berlindung kepada yang kuat? Yang penting adalah menyelamatkan diri, dan tentu saja mendapatkan harta karun Jenghis Khan itu. "Su Tong Hak, ternyata engkau adalah komplotan Pat-pi Mo-ko. Nah, sekarang engkau harus menjelaskan segala-galanya kalau tak ingin kucekik mampus dan kulemparkan dari atas pohon ini!" Thian Sin mengancam dengan suara mendesis. "Taihiap... ampunkan saya, kebetulan sekali kita dapat bertemu di sini. Kita dapat saling membantu, taihiap. Jangan mengira bahwa saya komplotan mereka, bahkan nyawa saya juga sedang terancam..." "Huh, siapa yang percaya omonganmu? Jangan mencoba untuk membujuk atau menipu, karena sebelum kubasmi mereka, engkau akan kubunuh lebih dahulu dengan penyiksaan yang akan membuat engkau menyesal telah dilahirkan di dunia ini." "Taihiap... sungguh, percayalah padaku. Memang tadinya aku adalah sekutu Mo-ko. Akan tetapi sekarang dia telah berubah, dia tentu akan menguasai seluruh harta dan kemudian membunuhku. Taihiap, aku tahu bahwa pendekar wanita sahabatmu itu sudah tertawan. Marilah kita bekerja sama. Aku akan membantumu agar engkau dapat menolong sahabat-sahabatmu itu. Dan sebagai gantinya..." "Sebagai gantinya apa? Orang she Su, ingat, kini engkaulah yang menjadi tawananku dan kalau aku menghendaki, sekali lempar engkau akan jatuh dan remuk. Bukan engkau yang mengajukan syarat, melainkan aku!" "Ampun... ah, tentu saja, taihiap... akan tetapi, saya hanya minta agar dilindungi terhadap ancaman mereka itu. Saya mau membantumu dan... dan memperoleh bagian atas harta pusaka itu..." Kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin sekali Thian Sin melemparkan pedagang yang loba ini ke bawah. Akan tetapi, dia membutuhkannya, maka segera ditekannya perasaan muak dan marahnya. "Nah, baiklah. Aku hendak menolong mereka yang tertawan. Bagaimana caranya engkau dapat menyelundupkan aku ke dalam?" "Dengan menyamar sebagai prajurit penjaga atau sebagai pengawalku," jawab pedagang yang cukup cerdik itu. Akhirnya, dengan sedikit penyamaran pada wajahnya, Thian Sin pun berhasil memasuki kompleks kejaksaan itu bersama dengan Su Tong Hak dan setelah mendapat keterangan lengkap dari pedagang itu tentang keadaan di dalam, juga tentang jalan-jalan rahasianya, Thian Sin lalu membekuk seorang penjaga, menelikungnya dan menyumbat mulutnya lalu menyembunyikannya di tempat gelap, kemudian melucuti pakaiannya. Dia lalu menyamar sebagai seorang prajurit dan dengan mudahnya dia lalu menggunakan pengetahuannya tentang keadaan di tempat itu untuk melakukan penyelidikan ke dalam. Ketika Thian Sin berhasil mencampurkan diri dengan para penjaga di tempat gelap dan ikut mengurung ruangan tahanan di mana kekasihnya ditawan, kedatangannya tepat pada saat Kim Hong berkelahi dengan Kok Siang. Tentu saja dia terkejut sekali melihat mereka itu saling serang sendiri. Akan tetapi, begitu dia melihat para penjahat di luar pintu dan jendela berjeruji sebagai penonton, serta melihat gerakan-gerakan kekasihnya yang membuat dia maklum bahwa Kim Hong sengaja mengalah terhadap Kok Siang, maka tahulah pendekar yang cerdik ini bahwa dua orang itu sengaja diadu oleh pihak penjahat dengah maksud menguji. Tadi dia sudah mendapat keterangan dari Su Tong Hak bahwa Kim Hong telah menyerah dan takluk, bahkan telah membantu Pat-pi Mo-ko untuk membasmi Sin-siang-to Tang Kin dan para anak buahnya yang menjadi saingan. Mendengar ini, pendekar itu tidak merasa heran dan dapat menduga bahwa tentu di balik penyerahan diri dari kekasihnya ini ada suatu pamrih yang merupakan siasat tertentu. Entah karena terpaksa atau tentu ada hal lain. Dan kini, melihat betapa kekasihnya mengalah terhadap Kok Siang, maka dia pun dapat menduga bahwa mereka berdua itu tentu sedang bersandiwara. Tentu saja kedua tangannya telah gatal-gatal untuk menyerbu para tokoh penjahat ini dan monolong mereka berdua yang diadu seperti binatang. Akan tetapi dia pun cukup cerdik untuk melihat kenyataan bahwa kalau dia menyerbu, keadaan dua orang kawannya itu malah terancam bahaya. Selain para tokoh sesat yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama Pat-pi Mo-ko, juga tempat itu dikurung oleh pasukan pemerintah dan anak buah penjahat. Maka dia pun hanya ikut menonton dan mencari kesempatan. Dia tahu bahwa kalau Kim Hong dan Kok Siang masih ditahan, bahkan diadu, tentu ada maksud-maksud tertentu dari Pat-pi Mo-ko. Kalau kedua orang itu tidak dibutuhkan, tentu sudah dibunuh oleh pihak penjahat. Keyakinan akan hal ini membuat Thian Sin bersabar menanti, walau pun hatinya terasa tegang dan khawatir sekali. Ketika dia melihat Kim Hong roboh tertotok oleh pit di tangan Kok Siang, Thian Sin lantas mengepal tinju. Dia maklum bahwa Kim Hong mempunyai ilmu memindahkan jalan darah sehingga totokan yang tampaknya tepat sekali itu tentu dapat diterimanya tanpa membuat tubuhnya menjadi lemas atau lumpuh. Karena itu dia tahu jelas bahwa semua itu hanya merupakan gerakan pura-pura belaka. Bagi orang lain mungkin akan tertipu, akan tetapi mungkinkah seorang tokoh jahat seperti Pat-pi Mo-ko dapat ditipu sedemikian mudahnya? Dan permainan apakah yang sedang dimainkan oleh Kim Hong dan Kok Siang? Dia tidak berani lancang turun tangan, khawatir kalau-kalau nantinya malah akan mengacaukan rencana kedua orang itu yang agaknya sudah diatur lebih dulu dan dilaksanakan dengan baiknya. Pada waktu kakek tinggi besar muka hitam itu memerintahkan empat orang sisa Siang-to Ngo-houw supaya menangkap Kok Siang, kemudian melihat mereka memasuki ruangan lantas pintunya ditutupkan kembali, Thian Sin mengerutkan alisnya. Kalau perhitungannya tidak keliru, agaknya kekasihnya itu merencanakan pemberontakan bersama Kok Siang, dengan pura-pura berkelahi sungguh-sungguh dan membiarkan dia kelihatan kalah. Akan tetapi dia merasa sangsi apakah akal itu akan berhasil ketika melihat betapa empat orang Siang-to Ngo-houw saja yang disuruh masuk dan pintu besi itu ditutup kembali. Dia melihat kebenaran dugaannya ketika Kim Hong bangkit dari keadaan tertotok tadi lantas bersama dengan Kok Siang merobohkan empat orang lawannya. Thian Sin kini merasa yakin bahwa dugaannya benar, bahwa kekasihnya bersama Kok Siang hendak melakukan penyerbuan keluar untuk meloloskan diri. Akan tetapi, baru saja dia ingin turun tangan membantu, tiba-tiba kakek hitam tinggi besar sudah menggerakkan alat rahasia, dan Thian Sin sempat melihat kekasihnya dan Kok Siang terjatuh ke bawah karena lantai ruangan itu bergeser cepat ke kanan kiri. Dia hendak meloncat, akan tetapi tiba-tiba didengarnya teriakan Kok Siang. "Mo-ko! Peta asli itu berada pada kami!" Thian Sin cepat menahan gerakannya. Dia tahu bahwa jika dia mengamuk sekali pun, dia tidak keburu menolong kedua orang itu lagi, yang agaknya terjatuh ke dalam air di bawah ruangan rahasia itu. Dan teriakan Kok Siang itu ternyata amat berpengaruh. Dia melihat kakek hitam tinggi besar yang kini diduganya tentu Pat-pi Mo-ko adanya nampak gugup. "Cepat...! Selamatkan mereka. Tawan mereka, jangan sampai mereka itu tewas di dalam air!" Perintah dari tokoh jahat ini membuat hati Thian Sin terasa lega maka dia pun tidak mau lancang turun tangan, yang tidak banyak artinya untuk dapat menyelamatkan kekasihnya dan Kok Siang. Maka dia pun hanya berjaga-jaga karena melihat para prajurit lain juga melakukan penjagaan ketat menerima perintah dari komandan mereka. Ketika komandan pasukan mengumpulkan pasukannya untuk melakukan pemeriksaan, dengan menggunakan kepandaiannya Thian Sin menyelinap pergi dan dia pun berhasil mendapatkan sebuah tempat persembunyian di dalam gudang barang lapuk di belakang. Tempat ini pun adalah tempat sembunyi yang ditunjukkan oleh Su Tong Hak baginya, di mana dia dapat menyembunyikan dirinya. Sementara itu, dalam keadaan lemas dan setengah pingsan, kembali Kim Hong dan Kok Siang tertawan lagi. Pada saat mereka sadar, keduanya mendapatkan diri mereka sudah terbelenggu lagi di atas dipan, dalam keadaan terlentang dan semua kaki tangan mereka dibelenggu dengan rantai baja yang sangat kuat. Pakaian mereka masih basah, demikian juga rambut mereka. Di dalam ruangan itu nampak Pat-pi Mo-ko duduk bersama dengan Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko, Su Tong Hak dan di luar kamar itu nampak penjagaan yang ketat, oleh pasukan penjaga. Wajah kakek berkulit hitam itu nampak berseri dan sepasang matanya berkilat-kilat ketika dia memandang kepada dua orang tawanan yang sudah mulai siuman itu. Kemudian dia menghampiri Kok Siang dan melihat pemuda itu membuka matanya, mengejap-ngejapkan matanya kemudian memandangnya dan wajah yang tampan itu nampak pucat akan tetapi sadar sepenuhnya. "Selamat hidup kembali, Im-yang Siang-pit Bu Siucai!" kata Pat-pi Mo-ko dengan suara lantang. "Engkau tahu, apa yang menyebabkan kami menyelamatkan kalian dari bahaya tewas tenggelam dalam air. Nah, Bu Siucai, sekarang ceriterakanlah kepada kami tentang peta asli itu!" "Kalau aku menceriterakannya, engkau akan membebaskan kami berdua, Mo-ko?" tanya Kok Siang, suaranya meragu karena sesungguhnya dia tidak percaya kalau penjahat ini mau membebaskan mereka. "Tentu saja! Bukankah baru saja kami juga telah menyelamatkan kalian dari kematian ini? Ceritakan dengan sesungguhnya mengenai peta itu dan kami akan membebaskan kalian. Sebenarnya kami tidak bermaksud memusuhi kalian. Bukankah kami sudah menawarkan kerja sama dengan sebaiknya kepada nona Toan? Sayang, dia mengkhianati kami. Akan tetapi, kami akan melupakan semua itu apa bila kalian suka menceritakan mengenai peta sehingga kami dapat memperoleh peta asli itu." "Dia bohong, Bu-twako. Jangan percaya omongannya!" tiba-tiba Kim Hong berkata. "Hemmm, yang membohong adalah engkau, nona Toan. Kami dengan sungguh-sungguh menarikmu sebagai kawan, akan tetapi engkau malah mengkhianati kami dan membunuh empat orang sisa Siong-te Ngo-houw yang menjadi pembantu-pembantu kami. Lagi pula engkau pura-pura kalah ketika melawan Bu Siucai, apa disangka kami tidak tahu?" "Mo-ko, engkau pun menipuku. Pura-pura mengulurkan tangan bekerja sama, akan tetapi begitu aku memasuki ruangan itu dan pintu dikunci dan kalian menonton di luar, aku tahu bahwa kalian hanya menipuku. Apa kau sangka aku juga begitu bodoh untuk tidak dapat melihat siasatmu itu? Bu-twako, jangan ceritakan apa-apa!" Wajah Pat-pi Mo-ko yang hitam itu menjadi semakin hitam karena darah sudah naik ke mukanya karena marah. "Bocah she Bu! Kalau engkau menuruti kata-kata perempuan ini, apakah engkau lebih sayang peta dari pada nyawamu? Aku tidak akan ragu-ragu untuk membunuhmu!" "Bu-twako, jangan percaya omongannya! Dia tidak akan membunuh kita karena peta itu masih ada pada kita! Peta itulah satu-satunya gantungan hidup kita saat ini!" kata pula Kim Hong. Kok Siang tertawa. "Ha-ha-ha, engkau benar juga, nona Toan. Heii, Mo-ko, apa kau kira kami begitu bodoh? Kalau aku menyerahkan peta, tentu engkau akan segera membunuh kami! Tidak, aku tidak tahu apa-apa tentang peta, aku sudah lupa lagi, ha-ha-ha!" Pat-pi Mo-ko adalah seorang yang sudah kenyang akan asam garam di dunia kang-ouw, maka dia pun tahulah bahwa tidak ada gunanya untuk menggertak kedua orang muda ini lagi. "Bagus, katakanlah bahwa pendapat kalian benar. Aku tidak bisa membunuh kalian, akan tetapi jangan mengira bahwa aku tidak dapat memaksa kalian bicara. Ada hal-hal lainnya yang bahkan lebih hebat dari kematian!" Dia lalu menghampiri dipan di mana Kim Hong menggeletak terlentang dengan kedua kaki dan tangan dibelenggu rantai besi. "Bu-siucai, hendak kulihat apakah engkau tetap hendak menutup mulutmu apa bila melihat gadis ini diperkosa dan dihina di depan matamu!" Lalu jari-jari tangannya bergerak ke depan. "Breeetttt...!" Terdengar kain robek akibat pakaian luar yang menutup tubuh Kim Hong terkoyak-koyak oleh jari-jari tangan yang hitam besar dan kuat itu. Kini nampaklah kulit tubuh yang putih mulus di balik pakaian dalam yang tipis! Akan tetapi, demikian hebatnya kekuatan dalam yang dikuasai oleh Kim Hong sehingga tidak ada segaris pun uratnya bergerak. Dia hanya memejamkan matanya dan wajahnya tidak memperlihatkan perubahan apa pun! Namun tidak demikian dengan Kok Siang yang langsung menoleh dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia melihat tubuh pendekar wanita itu, yang sekarang sedang terancam bahaya yang amat hebat. "Siapa di antara kalian yang mau menikmati tubuh wanita ini?" teriak Pat-pi Mo-ko keluar, ke arah para penjaga. Tidak ada yang menjawab, akan tetapi belasan orang penjaga itu mendekat dengan mulut menyeringai dan muka merah. Mereka memandang ke arah tubuh itu dengan mata penuh gairah dan nafsu birahi! Thian Sin yang telah berada di antara para penjaga itu mengepalkan tinjunya, akan tetapi wajahnya pun tidak memperlihatkan tanda sesuatu. "Masih belum mau bicara, Bu-siucai? Bagaimana kalau kubuka sedikit lagi?" Tangan itu kembali bergerak, terdengar kain robek dan kini penutup dada Kim Hong telah terbuka sama sekali. Nampak bagian depan tubuhnya dari perut ke atas! Gadis itu tetap memejamkan matanya dan wajahnya tetap biasa saja! Demikian hebat gadis ini sehingga dalam keadaan seperti itu, ia masih dapat bersikap tenang dan seolah-olah ia telah dapat mematikan rasa. Kok Siang langsung membuang muka sambil mengeluarkan suara kutukan. "Demi Tuhan, Mo-ko, engkau bukan manusia! Jangan lanjutkan!" "Ha-ha-ha, kalau engkau tetap tidak mau mengaku tentang peta itu, aku akan menyuruh dua orang prajurit untuk memperkosanya di depan matamu, Bu-siucai!" "Bu-toako, jangan dengarkan dia! Dia hanya mampu menghina tubuhku, akan tetapi tidak mampu menjamah hatiku. Paling-palling aku mati, atau kalau tidak, maka hinaan ini tentu akan dibayarnya dengan bunga berlipat ganda! Jangan mengaku, karena sekali engkau mengaku, maka nyawa kita akan tidak ada harganya lagi!" demikian Kim Hong berkata, suaranya tetap tenang, sama sekali tidak gemetar. "Hemm, biar pun hatiku berat sekali rasanya, agaknya engkau benar, nona," jawab Kok Siang. Pat-pi Mo-ko menjadi semakin marah. Kakek ini sudah menggerakkan tangan lagi untuk merenggut penutup tubuh terakhir, akan tetapi tiba-tiba Su Tong Hak mendekatinya dan berbisik, "Pemuda itu tentu akan menyerah kalau melihat kekasihnya yang terancam!" Mendengar ini, tiba-tiba Pat-pi Mo-ko tertawa. "Ha-ha-ha, engkau benar juga!" dan sambil tertawa-tawa kakek hitam tinggi besar itu lalu berlari keluar dari dalam ruangan itu. Tidak lama kemudian dia sudah kembali sambil menarik tangan seorang gadis, atau lebih tepat lagi setengah menyeretnya. Gadis itu bermuka pucat, sedangkan matanya merah bekas menangis, rambutnya dan pakaiannya kusut. "Murid durhaka, lihat siapa itu, dan selamatkan nyawanya! Dia akan kubebaskan kalau dia mau mengaku tentang peta asli!" kata Pat-pi Mo-ku sambil mendorong gadis itu ke depan, ke arah dipan di mana Kok Siang rebah terlentang. "Siang-koko...!" Gadis itu menubruk, berlutut dan menangis di dekat dipan. "Bwee-moi... engkaukah ini? Hemmm, akhirnya engkau juga merasakan kekejaman iblis yang menjadi guru dan pamanmu sendiri?" kata Kok Siang sambil mengerutkan alisnya. In Bwee merangkulnya dan menangis di dada pemuda itu. "Siang-koko... demi keselamatanmu, menyerah sajalah, katakan kepadanya tentang peta itu... ahh, koko, kalau engkau mati, aku pun tidak mau hidup lagi... berikanlah peta itu dan mari kita pergi berdua, tidak mencampuri urusan ini dan aku rela hidup melarat asal selalu bersamamu, koko..." Gadis itu menangis sehingga Kim Hong mengerutkan alisnya. Dia tidak mencela gadis itu bahkan kagum akan cinta gadis itu terhadap Kok Siang. Akan tetapi gadis itu juga telah memperlihatkan kelemahannya dan hal ini merusak siasat mereka berdua yang hendak mempertahankan peta. Siapa tahu, demi cintanya terhadap gadis itu, Kok Siang akhirnya mau menyerah dan kalau sudah begitu, maka percuma sajalah semua siasat mereka dan akhirnya mereka semua akan celaka! "Huh, tolol!" Dia membentak. "Apakah kalau peta itu diberikan, iblis itu mau melepaskan kita bertiga? Jangan kira begitu enak, ya? Bahkan dia akan segera membunuh kita semua untuk menutup mulut kita seperti yang dilakukannya terhadap diri Ciang Kim Su dan juga Louw siucai!" Dia sengaja menyebut nama Louw siucai untuk membakar semangat Kok Siang. Dan dia berhasil. Kok Siang yang tadinya ragu-ragu ketika melihat dan mendengar tangis kekasihnya, kini nampak bersinar-sinar matanya. "Mo-ko, muslihat apa pun yang kau lakukan, peta itu takkan kuberikan kepadamu!" teriak Kok Siang. "Bwee-moi, jangan kecil hati. Marilah kita lawan iblis itu, kalau perlu dengan pengorbanan nyawa dari pada dia berhasil dan akhirnya kita dibunuhnya juga!" "Keparat!" Pat-pi Mo-ko marah sekali, kemudian dengan langkah lebar dia menghampiri muridnya dengan tangan kanan menyambar. Akan tetapi, dibangkitkan oleh kata-kata kekasihnya, In Bwee meloncat sambil mengelak, lantas menyerang guru dan pamannya sendiri yang biasanya amat ditakutinya itu. Tentu saja kakek itu menjadi kaget dan marah bukan main. Jelaslah baginya bahwa muridnya ini sekarang telah berpihak kepada musuh secara berterang. Dia telah menangkap muridnya, ketika mendengar laporan bahwa muridnya itu diam-diam pada malam buta mengunjungi Pendekar Sadis. Dia membayangi dan melihat muridnya bicara dengan Pendekar Sadis, maka pada waktu pulang murid itu lalu ditangkapnya dan dijadikan tawanan.....



Jilid 6

KINI, melihat In Bwee melawan, cepat dia pun turun tangan dan tentu saja gadis itu bukan lawannya. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, dia telah berhasil merobohkan In Bwee dengan dua kali totokan, membuat gadis itu roboh dengan tubuh lemas dan tidak mampu bangkit kembali, rebah miring dengan kaki dan tangan seperti lumpuh rasanya. "Murid murtad! Kalau begitu biar kekasihmu melihat engkau diperkosa di depan matanya!" Tiat-ciang Lai Cai Ko yang perutnya gendut dan matanya juling, rambutnya riap-riapan itu segera maju dan menyeringai. "Heh-heh-heh-heh, twako, kalau memang gadis ini hendak diperkosa, serahkan saja kepadaku untuk melaksanakannya. Sudah lama aku tergila-gila padanya, hanya karena mengingat dia itu muridmu maka aku tidak berani mengganggu. Sekarang dia berkhianat dan berpihak kepada musuh, kalau memang mau diperkosa, biar aku yang..." "Boleh, lakukanlah! Akan tetapi harus di sini dan sekarang juga, supaya kekasihnya dapat melihatnya!" kata kakek tinggi besar berkulit hitam itu. Tiat-ciang Lui Cai Ko adalah seorang begal tunggal yang usianya sudah empat puluh lima tahun, kejam dan sudah terbiasa dengan kekerasan. Perasaannya sudah kebal sehingga tak mengenal malu lagi. Maka, biar pun di situ terdapat banyak orang yang menyaksikan, tanpa malu-malu dan sambil tertawa bergelak dia maju menghampiri tubuh In Bwee yang menggeletak di atas lantai dengan lemas itu. "Mo-ko, manusia iblis! Tega engkau terhadap murid dan keponakan sendiri?" Kok Siang berteriak-teriak. "Brettttt...!" Sebagian dari baju In Bwee terkoyak dalam genggaman tangan Tiat-ciang Lui Cai Ko. Semua mata mereka yang hadir, juga para penjaga, langsung terbelalak ada pun jantung mereka berdebar tegang membayangkan peristiwa yang akan mereka saksikan di dalam ruangan itu. In Bwee sendiri tidak lagi mampu bergerak, hanya matanya terbelalak seperti seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman kuku harimau. "Ha-ha-ha, engkau sungguh manis sekali. Aha, malam ini untungku benar-benar besar!" Tiat-ciang Lui Cai Ko langsung merangkul, meremas dan menciumi muka gadis itu yang hanya dapat mengeluh akan tetapi tidak mampu bergerak untuk melawan. Semua orang yang hadir terbelalak melihat adegan ini, ada yang menelan ludah, ada yang membuang muka, ada yang tertawa-tawa dengan mata melotot hampir keluar dari rongga matanya. Si Tangan Besi Lui Cai Ko adalah orang yang sudah kebal, sama sekali tidak mengenal malu dan dia beraksi seolah-olah di tempat itu tidak ada orang lain. Tangannya meraih dan hendak menanggalkan sisa pakaian In Bwee. "Tahan...!" Mendadak Kok Siang berteriak, matanya terbelalak, mukanya pucat. "Mo-ko, aku mau mengaku...!" Akan tetapi Tiat-ciang Lui Cai Ko bagaikan tidak mendengar seruan ini dan hendak terus melanjutkan perbuatannya. Baru sesudah Mo-ko sendiri melangkah maju lantas menepuk pundaknya, dia berhenti dan memandang kecewa, akan tetapi tidak berani membantah. "Tiat-ciang, kau mundurlah." kata Pat-pi Mo-ko. Tiat-ciang Lui Cai Ko bangkit dan mundur, matanya melotot ke arah Kok Siang, kelihatan kecewa, mendongkol dan sangat marah. Daging yang sudah tersentuh bibir itu, sebelum dapat digigit dan dikunyah lalu ditelannya, telah direnggut orang dan terlepas! Kim Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya dapat memandang kepada sastrawan muda itu. Habislah harapannya. Dia tahu bahwa Kok Siang dan In Bwee hanyalah orang biasa yang jalan pikiran serta perasaannya sudah tercetak semenjak kecil sehingga sama dengan jalan pikiran dan perasaan umum pada waktu itu. Wanita diperkosa merupakan hal yang paling hebat bagi mereka, merupakan mala petaka yang tidak dapat diperbaiki lagi, seperti kematian, bahkan dianggap lebih hebat dari pada kematian. Karena inilah maka Kok Siang tak mampu bertahan ketika melihat kekasihnya hendak diperkosa di depan matanya. Alangkah bodohnya. Apakah kalau pemuda itu telah mengaku lalu In Bwee terbebas dari pada ancaman pemerkosaan atau pembunuhan? "Mo-ko, aku mau mengaku tentang peta yang asli, akan tetapi engkau harus berjanji lebih dulu bahwa engkau tak akan membiarkan nona Toan dan In Bwee diperkosa orang. Kalau engkau tidak mau berjanji, meski apa pun yang terjadi, maka jangan harap aku akan mau mengaku," kata Kok Siang dengan suara lantang. "Baiklah, aku berjanji bahwa mereka berdua tidak akan diperkosa," kata Pat-pi Mo-ko dan wajahnya nampak berseri gembira sekali. "Ingat, Mo-ko. Bagi seorang yang berkedudukan tinggi seperti engkau, biar hanya sebagai seorang datuk sesat, janji merupakan sumpah yang lebih berharga dari pada nyawa. Aku percaya bahwa engkau tidak akan melanggar janjimu tadi, disaksikan oleh semua orang yang mendengarnya." Wajah hitam itu semakin hitam dan sepasang mata itu mendelik. "Bu-siucai. Kau kira aku ini orang macam apa maka akan melanggar janji sendiri?" "Bagus, kalau begitu aku akan mengaku dengan hati lapang. Engkau dengarlah baik-baik. Aku adalah keponakan dari mendiang Louw Siucai." Semua orang sangat terkejut, terutama sekali Su Tong Hak dan Hai-pa-cu Can Hoa yang menjadi pelaksana dari pembunuhan terhadap Louw siucai. "Hemm, kiranya begitukah?" kata Pat-pi Mo-ko sambil mengangguk-angguk dan dia dapat menduga apa yang telah terjadi. "Lanjutkan ceritamu." "Paman Louw melihat gelagat yang tidak baik ketika Su Tong Hak beserta keponakannya datang untuk minta peta itu diterjemahkan. Paman sama sekali tidak menginginkan benda orang lain, akan tetapi dia tahu bahwa Su Tong Hak bukan manusia baik-baik dan bahwa keponakannya, pemuda dusun itu akan tertipu. Karena itu diam-diam paman minta waktu satu hari untuk menterjemahkannya lantas menukar peta yang asli itu dengan peta palsu. Ada pun peta yang asli lalu disembunyikannya dengan maksud kelak akan dikembalikan kepada yang berhak. Akan tetapi pemuda dusun itu akhirnya lenyap. Paman lalu menulis surat kepadaku dan memberi tahu tentang tempat peta asli disembunyikan. Ternyata aku terlambat dan paman telah terbunuh oleh kaki tanganmu." "Dan peta itu? Di mana...?" Pat-pi Mo-ko seakan-akan tidak mendengar cerita itu karena pikirannya segera terpusat kepada peta yang asli. "Di suatu tempat, di kebun rumah mendiang paman Louw." "Katakan di mana agar kami dapat membuktikan kebenaran omonganmu! Kalau engkau membohong, tentu janjiku tak akan berlaku dan aku akan menyuruh dua orang wanita ini diperkosa di depan matamu sampai keduanya mampus, sebelum engkau disiksa sampai mati pula!" "Di kebun itu ada sebatang pohon tua di dekat rumpun bambu, pada cabang yang ke tiga dari bawah terdapat lubang. Di situlah disimpannya peta itu, di dalam peti kecil." Mendengar ini, Pat-pi Mo-ko segera memerintahkan para pembantunya untuk melakukan pengajaan ketat. "Langsung bunuh saja mereka ini kalau ada tanda-tanda mereka hendak memberontak. Juga kalau Pendekar Sadis berani muncul, bunuh mereka ini dengan alat rahasia dalam kamar!" Pesannya dengan suara lantang. Kemudian, dengan membawa pasukan penjaga yang lima puluh orang banyaknya, Pat-pi Mo-ko sendiri berangkat menuju ke rumah Louw siucai di pinggir kota raja untuk mencari peta seperti yang diceritakan oleh Bu Kok Siang itu. Malam hari itu juga, Pat-pi Mo-ko datang kembali dengan kegirangan yang meluap-luap. Peta itu telah ditemukan! Dengan wajah berseri dia pun memasuki ruangan tempat ketiga orang muda itu ditahan. Dia mengeluarkan peta yang asli itu dan membebernya di depan Kok Siang dan Kim Hong yang memandang dengan mata berapi-api. "Ha-ha-ha, sudah dapat olehku. Ha-ha-ha! Akhirnya harta pusaka itu, harta karun Jenghis Khan, terjatuh ke dalam tanganku!" Kakek hitam itu menyimpan kembali gulungan peta ke dalam tubuh, lantas tiba-tiba dia berkata kepada dua orang pembantunya, yaitu Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Liu Cai Ko, "Sekarang, kalian bunuh bocah she Bu dan gadis she Toan ini! Kalau tidak, mereka itu akan menjadi perintang saja!" Tentu saja Kok Siang terkejut mendengar ini dan In Bwee yang sudah dapat bergerak itu menjerit dan menubruk kaki pamannya sambil menangis. "Paman, jangan bunuh dia... ah, jangan bunuh dia...!" Pat-pi Mo-ko menggerakkan kakinya hingga tubuh keponakan dan muridnya itu terlempar. "Huh, murid durhaka. Masih baik aku tidak menyuruh membunuh engkau sekalian!" "Paman, jangan bunuh dia... atau bunuh saja aku sekalian bersama dengannya!" In Bwee menangis. "Engkau tidak percaya padaku, Bu-twako! Omongan orang semacam dia itu mana dapat dipercaya? Begitu peta dikuasainya, tentu kita langsung dibunuh!" kata Kim Hong, sama sekali tidak menyesal karena gadis perkasa ini yakin bahwa pada saat itu, Thian Sin tentu sudah bersiap-siap untuk menolongnya. Tadi, lapat-lapat dia bisa mendengar suara burung ekor merah. Burung itu hanya terdapat di sekitar kepulauan yang berada di Laut Timur, terutama di Pulau Teratai Merah di mana mereka tinggal. Karena suara burung itu tidak dikenal oleh semua orang yang berada di situ ketika berbunyi, maka ialah satu-satunya orang yang mengenalnya dan tahu bahwa itu adalah tanda rahasia dari Thian Sin yang tentu berada di sekitar tempat penahanan itu. Maka dia pun merasa lega dan tenang saja. Kekasihnya itu tak mungkin membiarkan dia celaka tanpa turun tangan. Kok Siang marah sekali. Dengan mata mendelik dia memandang kepada Pat-pi Mo-ko, lalu berkata dengan suara nyaring. "Pat-pi Mo-ko, kiranya selain jahat dan kejam, engkau juga seorang pengecut yang suka menjilat ludah sendiri! Engkau telah berjanji..." "Ha-ha-ha, bagaimana janjiku, kutu buku? Semua orang tadi telah mendengar akan bunyi janjiku itu! Aku berjanji bahwa apa bila engkau memberi tahu tentang peta, aku tidak akan membiarkan dua orang gadis ini diperkosa, bukan? Nah, siapa yang hendak memperkosa mereka? Aku tidak pernah berjanji bahwa aku tidak akan membunuh engkau dan sahabat Pendekar Sadis ini! Jadi, bila sekarang aku menyuruh membunuh kalian, maka aku tidak menyalahi janji! Ha-ha-ha!" Kok Siang hanya dapat memandang dengan dua mata mendelik. Tak disangkanya bahwa datuk sesat itu sedemikian curangnya, akan tetapi tentu saja dia tidak mampu membantah lagi. Dia pun bukan pengecut yang takut mati, maka melihat sikap Kim Hong yang tenang, dia pun merasa malu kalau harus banyak ribut untuk mempertahankan nyawanya. Pada saat itu, Su Tong Hak melangkah maju mendekati Pat-pi Mo-ko. "Kurasa tidak benar kalau membunuh mereka sekarang." "Su Tong Hak! Engkau tadi telah memberi nasehat baik sekali untuk memaksa pemuda itu mengaku. Akan tetapi sekarang kenapa engkau melarang aku untuk membunuh mereka? Mereka itu berbahaya sekali!" Su Tong Hak tersenyum sambil meraba-raba kumisnya yang kecil panjang. "Pat-pi Mo-ko, aku melarangmu dengan perhitungan yang amat matang. Coba kau dengarkan baik-baik pendapatku. Pemuda itu sama sekali belum waktunya untuk dibunuh. Meski pun kita telah mendapatkan peta itu, akan tetapi siapa berani menanggung kalau peta itu benar-benar asli? Siapa tahu kalau itu pun hanya palsu saja dan yang asli masih dia sembunyikan di tempat lain?" Pat-pi Mo-ko nampak kaget dan cepat menoleh, memandang kepada pemuda sastrawan itu yang hanya tersenyum mengejek. Kakek tinggi besar hitam ini mengangguk-angguk, dapat melihat kebenaran pendapat pedagang yang cerdik itu. "Maka, membunuhnya sekarang sungguh tidak menguntungkan. Kita selidiki dulu apakah peta ini benar, baru kita boleh membunuhnya. Demikian pula dengan nona itu. Bukankah dia itu sahabat baik Pendekar Sadis? Kalau dia masih berada di tangan kita, setidaknya dia akan berguna untuk dijadikan sandera, untuk mencegah Pendekar Sadis mengganggu kita sampai usaha kita berhasil. Bagaimana pendapat ini, tepatkah?" Untuk sejenak Pat-pi Mo-ko menunduk sambil mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian dia menepuk-nepuk pundak Su Tong Hak dan tertawa lebar. "Ha-ha-ha, engkau sungguh berbakat untuk menjadi penasehat. Bagus sekali, aku setuju! Malah kita harus membawa mereka itu bersama ke tempat harta karun seperti yang ditunjukkan oleh peta ini, dan di sanalah nasib mereka itu ditentukan! Ha-ha-ha!" *************** Thian Sin yang menyamar sebagai prajurit penjaga dan menyaksikan, mendengar semua itu, tentu saja mengalami ketegangan dan kegelisahan yang sangat hebat. Beberapa kali tubuhnya menegang dan beberapa kali hampir saja dia tidak mampu lagi menahan gelora hatinya yang seolah-olah mendorongnya untuk cepat-cepat turun tangan. Ketika dia melihat pakaian luar Kim Hong dirobek, dia hanya mengepal tinju saja. Dia tahu bahwa Pat-pi Mo-ko hanya menggertak. Akan tetapi pada saat dia melihat In Bwee hampir saja diperkosa, dia harus menggigit bibirnya untuk menahan hatinya. Dia maklum bahwa dia harus kuat menghadapi semua itu. Keadaan masih tidak menguntungkan baginya. Kalau dia menyerbu, mungkin saja dia mampu menghadapi pengeroyokan mereka. Akan tetapi amatlah berbahaya bagi keselamatan tiga orang itu. Dia takkan mampu melindungi mereka karena di situ terlalu banyak terdapat orang-orang pandai yang tak mungkin dapat dirobohkan dalam waktu singkat sehingga selagi dia dikeroyok, Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee tentu mudah sekali terbunuh lawan. Dan dia tidak menghendaki hal itu terjadi. Terutama sekali dia tidak ingin kehilangan Kim Hong! Maka dia menanti sampai saat yang paling memuncak dan yang akan memaksanya turun tangan. Kalau masih ada harapan, dia akan sabar menanti. Dia pun kaget bukan main ketika mendengar pengakuan Kok Siang tentang peta asli itu. Ahh, tidak disangkanya bahwa pengakuan Kok Siang ketika mereka berdua itu terjatuh ke dalam air, ternyata bukan hanya siasat pemuda itu, melainkan memang satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri mereka. Kini mengertilah dia mengapa Kim Hong bertahan mati-matian. Kiranya kunci rahasia itu berada di tangan Kok Siang yang menyimpan peta rahasia yang asli. Dan kunci emasnya yang asli ada padanya! Kini Kok Siang sudah mengaku, tempat itu tentu akan ditemukan oleh Mo-ko. Akan tetapi Thian Sin masih dapat tersenyum geli karena dia tahu bahwa usaha Mo-ko yang sudah mendapatkan peta asli itu tetap saja akan sia-sia karena kunci emas yang asli berada padanya! Ketika melihat Kim Hong dan Kok Siang hendak dibunuh, dia sudah hampir meloncat ke depan. Akan tetapi hatinya lega pada saat dia mendengar Su Tong Hak yang membujuk datuk sesat itu dengan alasan yang amat kuat. Diam-diam Thian Sin mengerti bahwa Su Tong Hak memang merupakan orang yang amat cerdik. Pedagang itu kini menginjak dua perahu, keduanya memungkinkan dia untuk memperoleh keuntungan. Di satu pihak, pedagang itu menyelundupkan dia sehingga menganggap dia sekutunya, tentu dengan harapan untuk selain ada kawan menghadapi ancaman Mo-ko yang serakah, juga kalau sampai pihak Mo-ko gagal dan Pendekar Sadis yang menang, setidaknya pedagang itu dapat mengharapkan bagian. Sebaliknya, bila Pat-pi Mo-ko yang menang, saudagar ini pun masih bisa mengharapkan bagian. Maka dia menyelundupkan dan tidak membuka rahasia Thian Sin, akan tetapi di lain pihak ia pun membantu Mo-ko, salah satu di antaranya melalui nasehat kejinya untuk memperkosa In Bwee dalam usaha memaksa pengakuan Kok Siang. Ketika melihat Pat-pi Mo-ko membawa pasukan pergi untuk mengambil peta asli seperti yang ditunjukkan oleh Kok Siang, Thian Sin tidak ikut membayangi. Sebenarnya dia telah memperoleh kesempatan baik untuk membayangi datuk itu ke tempat penyimpanan peta asli lalu merampasnya, dan bila perlu membunuh kakek tinggi besar hitam itu. Akan tetapi kalau Kim Hong, Kok Siang dan juga In Bwee masih menjadi tawanan, apa artinya itu? Yang penting adalah melindungi mereka. Oleh karena itu, Thian Sin hanya menanti dalam persembunyiannya. Biarlah Pat-pi yang mengambilkan peta itu untuknya, bahkan biarkan saja datuk itu bersama anak buahnya mencarikan tempat penyimpanan harta karun Jenghis Khan itu untuknya! Maka, ketika pada keesokan harinya rombongan besar Pat-pi Mo-ko berangkat menuju ke tempat penyimpanan harta karun, diam-diam Thian Sin juga membayangi rombongan itu. Tiga orang tawanan muda itu pun dibawa dengan kereta dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng sendiri mengepalai pasukan ini dengan menunggang kereta bersama tiga orang tawanannya. Para pembantu utamanya, yaitu Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko, naik kuda dan mengawal di kanan kiri kereta. Su Tong Hak tidak ketinggalan, juga duduk di atas kereta di dekat kusir. Kereta ke dua berjalan di belakang dan di dalam kereta ini duduk Phang-taijin, pembesar yang menjadi sekutu Pat-pi Mo-ko! Setelah mendengar bahwa peta asli sudah terjatuh ke tangan sekutunya, jaksa ini tak dapat menahan keinginan hatinya untuk ikut menyaksikan pengambilan harta pusaka atau harta karun Jenghis Khan! Seratus orang prajurit pengawal turut memperkuat rombongan itu, sebagian mengawal di depan dan sebagian di belakang. Mereka itu bukan hanya mengawal untuk menjaga agar jangan ada pihak lawan, terutama sekali Pendekar Sadis yang masih mendatangkan rasa gentar di dalam hati Pat-pi Mo-ko, akan tetapi juga dipersiapkan untuk bekerja di tempat penyimpanan harta karun, kalau-kalau untuk mengambil harta karun itu diperlukan banyak tenaga untuk menggali dan sebagainya. Perjalanan itu cukup jauh dan merupakan perjalanan yang sangat menarik karena tempat itu ternyata berada di luar Tembok Besar! Mula-mula jantung Thian Sin berdebar tegang ketika rombongan itu menyeberang Tembok Besar di sebelah utara kota raja karena jalan itu menuju ke Lembah Naga! Akan tetapi ternyata rombongan itu membelok ke timur. Kalau dari luar Tembok Besar itu kemudian dilanjutkan ke utara sampai kaki Pegunungan Khing-an-san di tepi Sungai Huang-ho, di sanalah letaknya Lembah Naga tempat tinggal ayah angkatnya, Si Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong! Namun ternyata perjalanan ini tidak sejauh itu dan sesudah menunda perjalanan semalam di sebuah dusun, pada esok harinya mereka sampai di tempat tujuan, yaitu di kota Ying-kouw, sebuah kota pelabuhan yang letaknya di Teluk Cili atau Teluk Po-hai sebelah utara! Setelah mereka tiba di kota Ying-kouw, kehadiran Jaksa Phang ternyata amat berjasa dan berguna. Pembesar setempat menyambutnya dengan penuh hormat dan memberi tempat menginap yang layak, bahkan juga menjamu mereka dengan makan minum. Kepada para pembesar setempat Jaksa Phang menjelaskan bahwa dia sebagai jaksa kota raja sedang menyelidiki sebuah perkara pencurian dan menurut penyelidikan harta yang dicuri itu telah dilarikan menuju ke tempat ini. Tentu saja para pembesar di kota Ying-kouw amat terkejut dan bersedia untuk membantu sedapat mungkin. Akan tetapi Jaksa Phang langsung menolak, mengatakan bahwa untuk menemukan harta curian itu dia sudah mempersiapkan para pembantunya, juga pasukan. Sementara itu, tiga orang muda yang menjadi tawanan, yang oleh Jaksa Phang dikatakan sebagai orang-orang yang tersangkut di dalam pencurian besar-besaran itu, dimasukkan tahanan dan dijaga ketat sekali. Pada malam itu, diam-diam Pat-pi Mo-ko bersama Jaksa Phang, juga para pembantunya, Su Tong Hak, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko, mempelajari peta asli yang sudah diterjemahkan itu. Ternyata menurut catatan dalam peta kuno itu, harta karun yang dimaksudkan itu berada di dalam sebuah di antara goa-goa yang banyak terdapat di tepi pantai yang curam, di luar kota Ying-kouw sebelah timur. Semalam itu mereka tidak dapat tidur, dengan hati tegang mereka menunggu datangnya pagi karena mereka ingin segera dapat menemukan harta karun Jenghis Khan itu. Pagi itu cerah sekali. Langit bersih, tiada segumpal pun awan yang menghalangi cahaya matahari pagi yang muncul dari permukaan laut, kemudian makin meninggi merubah sinar kemerahan menjadi keemasan, kemudian semakin meninggi dan sinar itu berubah pula menjadi keperakan. Dan matahari pagi itu agaknya menenangkan lautan yang semalam menggelora dan menyerbu jauh ke pantai. Sekarang ombak mulai kembali ke lautan dan permukaan laut menjadi tenang, hanya ada keriput-keriput kecil yang membuat bayangan jalan putih matahari itu bergoyang-goyang lucu. Dari atas tebing, rombongan itu memandang ke bawah. Dari tempat setinggi kurang lebih tiga ratus meter itu, lautan tampaknya semakin lembut dan tenang, seperti permukaannya tertutup beludru biru yang terhampar luas hingga ke ujung kaki langit. Menjenguk dari atas tebing itu mendatangkan rasa ngeri, membuat bulu tengkuk meremang dan menimbulkan rasa takut. Rasa takut melihat tempat tinggi, seperti juga perassan takut akan apa pun juga, timbul oleh bayangan pikiran yang membayangkan hal-hal yang mengerikan. Kalau kita berdiri di atas tebing lantas melihat ke bawah, tidak akan timbul rasa takut kalau saja kita tidak membayangkan sesuatu. Akan tetapi begitu pikiran membayangkan bagaimana ngerinya jika sampai tergelincir dan terjatuh dari tempat yang demikian tingginya, maka otomatis bulu tengkuk meremang dan muncullah rasa takut yang membuat jantung berdebar dan kaki gemetar. Tiga orang muda yang menjadi tawanan dikurung oleh satu pasukan yang dipimpin oleh komandan pasukan, juga oleh Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Liu Cai Ko, sedangkan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng sendiri melakukan pemeriksaan dan dengan hati-hati sekali dia menuruni tebing yang curam itu, bergantungan pada batu-batu dan akar-akar pohon. Sementara itu, dengan kaki dan tangan terikat rantai panjang, tiga orang muda itu duduk berkumpul. Seperti biasa pada beberapa hari selama menjadi tawanan ini, Kim Hong nampak tenang saja, memandang kepada Kok Siang yang duduk bersandar pada batu dan In Bwee yang duduk menyandarkan kepalanya pada dada kekasihnya. Sejak In Bwee dijadikan tawanan pula bersama kekasihnya, gadis ini selalu mendekati Kok Siang dan nampak sudah begitu pasrah, ingin sehidup semati dengan pemuda itu yang dari pandang matanya juga amat menyayangnya. Malam tadi, pada saat dua orang muda yang saling berkasihan itu menyatakan ingin mati bersama, Kim Hong menghibur mereka. "Jangan putus asa lebih dahulu, harapan masih banyak bagi kita untuk meloloskan diri," katanya berbisik sehingga tidak terdengar jelas oleh para penjaga di luar kamar tahanan mereka yang agaknya sudah jemu menjaga. "Hemmm, kematian kita sudah berada di depan mata, aku tidak pernah putus asa, akan tetapi aku pun tahu apa bila keadaan kita sudah tidak ada kemungkinan untuk lolos pula," kata Kok Siang. "Aku tidak takut mati selama bersamamu, koko," kata In Bwee sambil merebahkan diri di atas pangkuan kekasihnya. Kim Hong tersenyum. "Kalian lupa bahwa di luaran masih ada kekasihku yang tak akan mungkin membiarkan kita mati." "Pendekar Sadis?" In Bwee berkata penasaran. "Kalau memang dia mempedulikan kita, kenapa tidak sejak tadi dia turun tangan?" "Dia bukan anak kecil yang ceroboh. Dia menanti saat baik. Percayalah kepadanya. Dia akan berusaha dengan taruhan nyawanya untuk menyelamatkan kita. Bahaya masih jauh sekali. Kalau tidak, apa kalian kira aku akan enak-enak saja begini?" Berkata demikian, Kim Hong memandang kepada rantai di kaki tangannya. Memang, jika saja dia menghendaki, dengan sinkang-nya dia akan mampu mematahkan belenggu ini dan mengamuk. Pat-pi Mo-ko terlalu memandang rendah kepadanya dan hal ini baik sekali. Memang inilah yang dia kehendaki maka ketika diadu melawan Kok Siang, dia sengaja mengalah. Karena memandang rendah, maka tentu Mo-ko menjadi lengah, bahkan kini memasang rantai belenggu sembarangan saja, tidak melumpuhkannya dengan totokan. Mungkin Kok Siang dan In Bwee tidak akan sanggup mematahkan belenggu mereka, akan tetapi dia merasa yakin bahwa dia akan dapat melakukannya bila mana memang tiba saatnya yang baik. Kedua tangan mereka diikat belenggu di pergelangan tangan dan kedua lengan itu berada di belakang tubuh. Jarak antara dua lengan itu hanya kurang lebih tiga puluh sentimeter, namun cukup untuk melalui kepala. Ia pernah mempelajari ilmu Sia-kut-hoat, yaitu sejenis ilmu melemaskan diri melepaskan tulang dan dengan ilmu ini, yang membuat tubuhnya menjadl lemas seperti tubuh ular, dia akan dapat menarik kedua lengan itu dari belakang ke atas kepala, kemudian diturunkan ke depan dengan menekuk sambil melemaskan tulang pangkal lengan hingga sepasang lengannya itu akan berpindah ke depan! Dengan kedua tangan di depan, ia akan mengerahkan sinkang mematahkan belenggu itu, atau setidaknya, ia sudah akan dapat mempergunakan kedua tangannya untuk membuat para penjaga tidak berdaya lantas merampas kunci-kunci belenggu mereka. Akan tetapi saatnya belum tiba dan bila ia melakukannya sebelum waktunya, tentu ia akan dikeroyok sedangkan sebelum dia mampu meloloskan Kok Siang dan In Bwee, dia tidak akan mau mencobanya. Saat yang ditunggu-tunggu itu adalah saat kemunculan Thian Sin, maka dia tetap bersabar karena merasa yakin bahwa belum munculnya kekasihnya itu tentu atas dasar perhitungan yang matang. Setelah menyelidiki sampai ke bawah, Pat-pi Mo-ko lalu naik lagi. Dia sudah mempelajari tebing itu dan maklum bahwa hanya para pembantunya yang pandai ilmu silat sajalah yang akan mampu menuruni tebing itu. Padahal, menurut peta, goa di mana harta karun itu disimpan, tertutup oleh batu-batu karang yang berguguran dari atas selama ratusan tahun dan untuk menyingkirkan batu-batu besar ini dibutuhkan tenaga para prajurit. Maka mereka semua harus dapat turun ke bawah, ke tepi pantai di mana terdapat goa-goa itu. Sesudah tiba di atas tebing, Pat-pi Mo-ko lalu berunding dengan jaksa Phang dan para pembantunya, kemudian mengambil keputusan hendak mengerahkan anak buah mereka untuk membuat jalan darurat ke bawah tebing. Mereka memang sudah bersiap membawa alat-alat, dan mulailah seratus orang prajurit itu bekerja, membuat jalan dari atas tebing ke bawah. Lewat tengah hari, mereka semua sudah berhasil menuruni tebing itu dan berkumpul di pantai yang luas di bawah tebing, di mana terdapat goa-goa batu karang yang sebagian besar tertutup dengan batu-batu karang sebesar perut kerbau yang berguguran dari atas. Mulailah mereka bekerja keras membongkari batu-batu karang di depan dan atas sebuah goa menurut petunjuk Mo-ko yang telah mengukur sesuai dengan petunjuk peta. Menurut peta itu, apa bila dari bawah ini orang melihat ke atas, maka akan terdapat tonjolan tebing yang bentuknya seperti kepala naga. Goa itu terletak persis di bawah kepala naga itu. Tenaga seratus orang yang dikerahkan tentu saja segera dapat menyelesaikan pekerjaan itu dengan cepat. Setelah matahari mulai condong ke barat sehingga tempat itu tak panas lagi karena sinar matahari tertutup oleh puncak tebing, para prajurit yang bekerja tiba-tiba bersorak ketika mereka melihat goa besar yang tertutup batu-batu tadi. Pat-pi Mo-ko lalu menyuruh mereka semua mundur. Dia sendiri segera mengajak jaksa Phang, Su Tong Hak, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko, beserta dua orang pembantunya yang menarik rantai yang membelenggu ketiga orang muda itu, memasuki goa. Para prajurit disuruh menanti di luar. Dengan wajah berseri serta jantung berdebar mereka semua memasuki mulut goa yang cukup lebar itu. Juga Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee merasakan ketegangan di dalam hati mereka. Kim Hong dan Kok Siang merasa tegang karena mereka pun ingin melihat harta karun itu, ada pun In Bwee merasa tegang karena dia merasa khawatir kalau-kalau kekasihnya akan dibunuh setelah harta karun itu terdapat oleh pamannya. Goa yang lebar itu ternyata di bagian dalamnya menyempit dan akhirnya mereka berhenti pada sebuah pintu batu. Dari bentuknya, dapat diduga bahwa daun pintu ini tentu buatan manusia, merupakan batu tebal berbentuk persegi empat dan di tengah-tengah daun pintu batu itu terdapat sebuah lubang kecil. Itulah lubang kuncinya! "Ahh, di sinilah tempatnya! Tak salah lagi!" kata Pat-pi Mo-ko dan suaranya gemetar, juga tangannya ketika dia mengeluarkan sebuah kunci emas dari dalam saku bajunya. Kunci emas yang sudah diterimanya dari In Bwee yang telah berhasil mengambilnya dari tangan Pendekar Sadis! Semua mata para pembantu Pat-pi Mo-ko memandang dengan penuh ketegangan serta kegembiraan, akan tetapi pandang mata Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee yang sudah tahu bahwa kunci emas itu palsu, adalah kegembiraan yang bercampur dengan kegelian hati, akan tetapi juga tegang karena mereka tidak dapat membayangkan bagaimana akan jadinya nanti setelah datuk sesat itu tidak berhasil membuka dengan kunci palsu. Seperti juga kuncinya, lubang kunci itu terbuat dari pada emas, akan tetapi ketika Pat-pi Mo-ko memasukkan kunci itu ke lubangnya, ternyata ukurannya tidak cocok dan kunci itu sama sekali tidak dapat masuk! "Ehh...?!" Pat-pi Mo-ko mengerutkan alisnya dan menusuk-nusukkan kunci itu, memutar-mutar, akan tetapi tetap saja kunci emas itu tidak dapat memasuki lubang kecil itu karena memang bukan ukurannya. Lubang itu kecil memanjang dan berlika-liku, harus menggunakan kunci yang pas ukuran serta cetakannya. Akhirnya Pat-pi Mo-ko menjadi marah karena dia mulai sadar bahwa kunci emas itu adalah palsu! "Keparat!" bentaknya sambil mencabut kembali kunci itu, memandang kepada kunci itu kemudian menoleh kepada keponakannya yang memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. "In Bwee! Keparat kau! Kunci apa yang kau berikan kepadaku ini?" "Katanya itu kunci emas..." "Bohong! Ini kunci palsu!" "Paman, aku hanya menerima dari dia yang mengatakan bahwa itulah kuncinya. Mana aku bisa tahu apakah kunci itu palsu ataukah tulen?" bantah Im Bwee. "Hi-hik, orangnya berhati jahat dan palsu, mendapatkan peta palsu dan sesudah akhirnya menemukan peta asli dengan cara yang keji, masih juga tidak berhasil karena kuncinya pun palsu!" Kim Hong mentertawakan. "Jahanam!" Pat-pi Mo-ko membentak marah. "Kalau engkau tidak memberikan kuncinya yang tulen, akan kusiksa kau sampai mampus!" "Hi-hik, lucunya! Jangan-jangan sesudah kau dapatkan harta karun itu, ternyata harta itu pun palsu, Mo-ko! Alangkah lucunya! Ingin sekali aku melihat mukamu!" Kim Hong tidak mempedulikan ancaman orang. Mendengar ini, Mo-ko menoleh ke arah pintu yang tidak dapat dibukanya itu. Ucapan itu sungguh terasa menusuk perasaannya. Bagaimana jika betul demikian? Bagaimana kalau sesudah semua jerih payah, semua harapan muluk ini, ternyata harta karun itu palsu dan hanya merupakan permainan orong gila di jaman dahulu belaka? Dia bukan hanya akan kecewa setengah mati, akan tetapi juga amat malu karena namanya tentu akan menjadi buah tertawan orang sedunia kang-ouw bahkan dia akan dianggap seperti seorang badut! Bayangan ini membuatnya menjadi marah dan penasaran sekali. Sementara itu, ketika melihat betapa Pat-pi Mo-ko tak mampu membuka pintu itu dengan kunci emasnya, tahulah Su Tong Hak bahwa kunci emas yang katanya diterima oleh In Bwee dari Pendekar Sadis itu adalah palsu. Tentu kunci aslinya masih berada di tangan pendekar itu, pikirnya. Maka bekerjalah otak yang bercabang itu. Kini tidak menguntungkan jika menempel kepada Pat-pi Mo-ko. Lebih baik sekarang juga berusaha mendekati Pendekar Sadis dan dia merasa yakin bahwa pendekar itu berada di antara para prajurit yang berjaga di luar. Berpikir demikian, diam-diam, mempergunakan kesempatan selagi semua orang dicekam ketegangan melihat betapa kunci itu tidak dapat membuka pintu, Su Tong Hak cepat meninggalkan goa itu dan keluar, menghampiri para prajurit yang sedang beristirahat di luar goa sambil mencari-cari. Para prajurit itu sedang berkumpul di depan goa, di luar sambil mencoba untuk melihat ke dalam karena mereka pun ingin sekali melihat apakah harta karun itu dapat ditemukan. Pat-pi Mo-ko sudah menjadi marah bukan kepalang, marah karena kecewa dan merasa dipermainkan. Dia menggulung lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang berotot, kekar dan kelihatan kuat sekali. Dengan menggerak-gerakkan kedua lengannya yang besar, dia mengerahkan tenaga sinkang-nya hingga terdengar suara berkerotokan dari kedua lengan itu, bahkan nampak uap mengepul dari kedua telapak tangannya. Melihat ini, diam-diam Kim Hong terkejut dan kagum. Ternyata bahwa datuk ini memang sudah mempunyai tingkat kepandaian yang tinggi dan memiliki sinkang yang sangat kuat. Teringatlah dia ketika pertama kali terjebak dalam kompleks tahanan kantor kejaksaan, ia pernah melompat untuk mendobrak pintu tetapi disambut oleh pukulan kakek itu sehingga dia terlempar kembali ke bawah. "Hyaattttt...!" Tiba-tiba Pat-pi Mo-ko menerjang ke depan, ke arah pintu, kedua tangannya menghantam ke arah pintu batu itu dengan niat untuk menghantam pecah pintu rahasia itu, membukanya tanpa bantuan kunci lagi. Hebat bukan main pukulan kedua telapak tangannya ini. Tiba-tiba saja seluruh ruangan goa itu tergetar keras, disusul oleh gemuruh dari atas goa. Suara bergemuruh itu semakin hebat, pintu batu itu retak akan tetapi tidak pecah dan tidak runtuh, malah kini terdengar suara yang amat berisik dari luar goa, disusul oleh teriakan-teriakan mengerikan dari para prajurit yang tadi berkumpul di luar goa. Mendengar suara itu, Pat-pi Mo-ko dan semua orang yang berada di dalam goa itu cepat memutar tubuh dan memandang. Ketika mereka melihat apa yang tejadi di luar goa, mata mereka terbelalak dan pucat. Ternyata dari atas tebing sedang berjatuhan ratusan batu-batu besar, menggelinding ke bawah kemudian menghantam para prajurit yang berada di luar goa itu bagaikan hujan lebatnya! Ketika akhirnya suara gemuruh berhenti dan tidak ada lagi batu yang melayang turun, semua orang keluar dan penglihatan di luar goa sungguh amat mengerikan. Hampir seluruh prajurit yang jumlahnya seratus orang itu tewas tertimbun atau terhimpit batu-batu besar. Darah mengalir ke mana-mana dan suara erangan-erangan orang yang terhimpit batu sangat mengerikan. Paling banyak tinggal belasan orang saja yang selamat secara ajaib dan hanya mengalami luka-luka kecil. Dan di antara mereka yang tewas itu terdapat pula Su Tong Hak yang terhimpit batu dengan kepala remuk dan lenyap menjadi berkeping-keping! Melihat hal ini, pucatlah wajah Jaksa Phang. "Celaka...!" serunya dengan tubuh menggigil melihat betapa pasukannya terbinasa. "Keparat! Harus kubunuh bedebah-bedebah itu!" Dan dia pun lari kembali memasuki goa teringat kepada tiga orang tawanannya. Akan tetapi matanya terbelalak melihat betapa Toan Kim Hong dan dua orang yang lain itu sudah bebas dari belenggu dan di situ telah berdiri pula seorang pemuda tampan yang berpakaian sebagai seorang prajurit. Mula-mula dia mengira bahwa tentu dia seorang di antara prajurit yang lolos dari hujan batu. Namun melihat sikap prajurit itu yang merangkul Kim Hong, jantungnya segera berdebar tegang, ada pun matanya memandang terbelalak kepada prajurit muda yang tampan dan gagah itu. Prajurit itu bukan lain adalah Thian Sin, Si Pendekar Sadis! Seperti sudah kita ketahui, pendekar ini menanti saat baik dan membiarkan pihak musuh mencarikan tempat harta karun itu untuknya. Dia melihat bahwa keselamatan kekasihnya, Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee masih terancam. Maka dia mengikuti semua persiapan Pat-pi Mo-ko yang hendak memimpin rombongan untuk mencari harta karun Jenghis Khan menurut petunjuk di peta asli, kemudian diam-diam dia pun membayangi rombongan itu, kadang-kadang menyamar sebagai prajurit, kadang-kadang pula membayangi dari jauh. Sesudah rombongan itu tiba di tempat tujuan dan membongkari batu-batu besar, dia pun menyamar sebagai prajurit dan turut pula membantu! Pada waktu Pat-pi Mo-ko serta para pembantunya memasuki goa untuk membuka pintu rahasia, dia pun melihat dari luar, di barisan terdepan sehingga dengan ketajaman matanya dia dapat menyaksikan apa yang terjadi di dalam goa. Thian Sin sendiri terkejut bukan main ketika Pat-pi Mo-ko menggunakan tenaga sinkang yang amat kuat untuk menghantam pintu rahasia di dalam goa, yang lalu mengakibatkan hujan batu dari atas. Dia tahu bahwa pukulan itu menggetarkan tebing sehingga batu-batu karang yang berada di atas goa menjadi terguncang kemudian longsor. Untung bahwa dia masih sempat bertindak cepat, dan dengan cekatan sekali dia melompat ke depan lantas berlindung di dalam goa kecil di samping goa besar itu. Pada saat hujan batu sudah mereda dan semua orang yang berada di dalam goa besar itu keluar, dia lalu menggunakan kepandaiannya untuk menyelinap masuk. Mula-mula dia menggabungkan diri dengan tenaga Kim Hong untuk mematahkan belenggu dari lengan dan kaki kekasihnya itu. Setelah menciumnya sekali tanpa mengeluarkan kata-kata, Thian Sin dibantu oleh Kim Hong lalu melepaskan belenggu yang merantai tangan dan kaki Kok Siang dan In Bwee. Itulah sebabnya ketika Pat-pi Mo-ko kembali ke dalam goa, mereka telah bebas semua dari belenggu mereka! Thian Sin tersenyun memandang kepada musuh yang baru pertama kali ini dihadapinya dan dia berkata, "Selamat bertemu, Pat-pi Mo-ko! Bagaimana dengan kiriman kunci emas dariku itu? Cukup menyenangkan?" "Pendekar Sadis! Engkau telah menipuku dengan kunci palsu!" Bentak Pat-pi Mo-ko yang dengan mudah bisa menduga siapa adanya pemuda tampan dan gagah yang menyamar sebagai seorang prajurit ini. "Kuncinya yang asli juga ada, Mo-ko, ada padaku. Akan tetapi tidak akan mudah engkau bisa mendapatkannya dariku!" Sambil berkata demikian, Thian Sin mengeluarkan sebuah kunci emas dari saku bajunya dan mengacungkannya ke atas, memamerkannya kepada datuk jahat itu. Hal ini membuat muka Pat-pi Mo-ko menjadi semakin hitam. Pada saat itu, Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko serta Phang-taijin sudah masuk pula ke dalam goa. Mereka pun terheran dan terkejut melihat betapa tiga orang tawanan itu telah bebas dan sekarang memandang kepada pemuda yang berpakaian prajurit, yang tahu-tahu telah muncul di dalam goa itu. Hai-pa-cu Can Hoa segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda teman Kim Hong yang pernah dijumpainya di dalam rumah makan ketika dia dikalahkan oleh Kok Siang. Akari tetapi Tiat-ciang Lui Cai Ko memandang dengan heran. Dia pun sudah mendengar dari Mo-ko tentang Pendekar Sadis dan berpesan supaya berhati-hati karena Pendekar Sadis di samping terlibat dalam urusan harta karun, juga tentu tidak akan tinggal diam karena kekasihnya, Toan Kim Hong, menjadi tawanan mereka. Dan kini, tahu-tahu pada saat-saat terakhir yang menegangkan, ada pemuda menyamar prajurit yang berada di dalam goa dan agaknya telah membebaskan para tawanan. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Pendekar Sadis? Betapa pun juga, agak lega hati Tiat-ciang Lui Cai Ko karena pendekar itu ternyata sama sekali tidak membayangkan kesan yang menyeramkan, bahkan membuat dia agak memandang rendah kepada seorang pemuda tampan seperti itu. "Berikan kunci itu kepadaku, Pendekar Sadis!" bentak Pat-pi Mo-ko dengan suara penuh geram. "Atau, engkau akan mati di tanganku!" "Ha-ha-ha, suaramu tinggi amat! Padahal, kalau aku menghendaki, sudah semenjak lama namamu tinggal menjadi kenangan saja. Akan tetapi aku menanti sampai engkau selesai membantuku menemukan tempat penyimpanan harta karun Jenghis Khan. Engkau ingin minta kunci? Marilah kita putuskan hal itu di luar, tempat yang lebih luas." "Baik! Aku pun sudah lama mendengar nama Pendekar Sadis dan sekarang ingin sekali melihat apakah kepandaianmu juga sehebat namamu!" Sesudah berkata demikian, Pat-pi Mo-ko lalu keluar, diikuti oleh Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko, dan juga Phang-taijin yang memandang khawatir. cerita silat online karya kho ping hoo Sesudah tiba di luar, Phang-taijin segera memberi isyarat kepada sisa pasukannya untuk melindunginya. Enam belas orang prajurit yang sudah payah lahir batin, lahirnya sudah penuh luka-luka dan lemah, batinnya sudah penuh oleh rasa ngeri dan takut, lalu datang mengerumuninya dan entah siapa yang mengharapkan perlindungan siapa! Mereka semua berkumpul, bagaikan sekumpulan kanak-kanak yang ketakutan dan saling membutuhkan hiburan. Thian Sin bersama tiga orang muda itu pun melangkah keluar dari dalam goa. Di luar, tiga orang tokoh sesat itu sudah berdiri dengan sikap galak dan siap sedia. Dan seperti sikap jagoan-jagoan besar, mereka bertiga tidak mengeluarkan senjata masing-masing. Seorang jagoan besar cukup mengandalkan keampuhan kaki tangannya, dan baru dalam keadaan terpaksa dan terdesak saja dia akan menggunakan senjatanya! Pada saat melangkah keluar, Kok Siang sudah berkata kepada Thian Sin, "Ceng-taihiap, Hai-pa-cu Can Hoa itu bagianku, serahkan saja kepadaku!" "Dan Pat-pi Mo-ko itu bagianku!" kata pula Kim Hong. "Tidak, Kim Hong. Biar aku yang menghadapi Mo-ko, engkau bereskan saja si mata juling Tiat-ciang Lui Cai Ko itu." "Ahh, si gendut itu tidak ada harganya untuk dilawan!" kata Kim Hong. Thian Sin tersenyum. "Bagianmu sudah cukup, Kim Hong. Selama ini aku yang banyak menganggur, maka biarlah kuhadapi Mo-ko itu. Tidak adil kalau dalam perkara ini, engkau saja yang banyak mengeluarkan keringat dan aku enak-enakan saja!" Kim Hong tersenyum dan mengangguk. "Baiklah. Akan tetapi mereka adalah orang-orang jahat semua, patut untuk dibasmi habis." "Bagaimana dengan jaksa korup itu?" tanya Thian Sin. "Serahkan saja kepadaku!" kata Kok Siang yang tersenyum nakal. "Dia pun perlu dihajar dengan cara lain." Maka sesudah mereka bertiga sampai di luar, diikuti oleh In Bwee yang tentu saja hanya menonton karena dia tidak berani menentang pamannya atau gurunya, mereka telah siap siaga dan menghampiri lawan masing-masing yang sudah dipilihnya. "Nah, Pat-pi Mo-ko. Kita tiga lawan tiga. Adil, bukan? Di tempat sunyi dan para prajurit itu agaknya sudah tidak mampu lagi untuk membantumu mengeroyok kami," kata Than Sin tersenyum. In Bwee yang merasa tidak kebagian pekerjaan itu tiba-tiba saja berkata, "Kalau mereka berani bergerak, biarlah aku yang akan menghajar mereka!" Pat-pi Mo-ko yang biasanya sangat pemberani dan tidak pernah mengenal takut itu, kini memandang ke kanan kiri dan mukanya yang hitam itu agak pucat. Penglihatan di sana memang sungguh mengerikan. Para prajurit yang terhimpit batu, ada yang tertimbun dan hanya nampak kakinya, ada yang masih merintih, ada pula yang berkelojotan dan darah di mana-mana! Semua itu merupakan tanda mala petaka hebat di pihaknya. Dan dia tahu bahwa Hai-pa-cu Can Hoa pernah kalah oleh Kok Siang dan kini terpaksa harus menghadapinya kembali. Sedangkan Tiat-ciang Lui Cai Ko juga tak bisa terlampau diharapkan akan dapat mengatasi Toan Kim Hong. Meski dia sendiri tidak takut melawan Pendekar Sadis, akan tetapi setelah dia mendengar segala kehebatan Pendekar Sadis di masa lalu, diam-diam dia merasa gentar juga. "Pendekar Sadis, jika kita saling gempur, tentu satu di antara kita akan tewas sedangkan yang lain besar kemungkinan akan menderita luka-luka pula. Harta karun itu tentu banyak sekali dan tidak akan habis oleh satu pihak saja. Bagaimana kalau aku menawarkan kerja sama sekali lagi dan yang terakhir! Kita bersama temukan harta karun itu dan kita bagi rata!" Thian Sin tersenyum sambil bertolak pinggang. "Pat-pi Mo-ko, kalau kami ini merupakan orang-orang hamba nafsu dan pengejar kekayaan macam kalian, mungkin saja usulmu itu akan kami pertimbangkan. Akan tetapi sayang untukmu, kami adalah orang-orang yang menentang kejahatan dan kalau kami bertanya kepada arwah kakek petani Ciang Gun dan isterinya, lalu arwah Louw siucai yang terbunuh tanpa dosa, akan nasib Ciang Kim Su yang malang, apa engkau bisa mengharapkan kami sudi bekerja sama dengan kalian?" "Benar-benarkah engkau tidak mau bekerja sama dengan aku?" Sekali lagi Pat-pi Mo-ko membentak. "Sayang sekali..." Baru sampai di situ Thian Sin bicara, tiba-tiba lawannya sudah menubruk ke depan dan mengirim serangan dahsyat sekali. Agaknya Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang sudah maklum akan kehebatan Thian Sin itu ingin merobohkan lawan secepatnya, maka begitu menyerang dia sudah mengerahkan sinkang-nya yang tadi mampu mengguncangkan goa dan membuat batu-batu terbongkar dan longsor. Tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanannya menghantam dengan jari tangan terbuka ke arah dada lawan. Dari kedua tangan itu keluar uap putih dan didahului oleh angin pukulan yang mengeluarkan suara bercuitan. Thian Sin tidak berani memandang rendah karena dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka dengan tenang dia pun menggerakkan tubuhnya mengelak dan balas menampar. Memang tamparannya kelihatannya sembarangan dan tidak keras, tetapi membuat kakek tinggi besar itu terkejut karena sebelum tamparan itu tiba, dia telah merasakan sambaran hawa pukulan panas yang luar biasa kuatnya. Kakek ini cepat mengerahkan tenaga pada lengannya kemudian menangkis, sengaja hendak mengadu tenaga dengan pendekar yang masih muda itu. "Dukkk...!" Dua tenaga raksasa bertemu sehingga batu-batu yang bertebaran di sekeliling tempat itu seperti tergetar. Akibat benturan dua tenaga raksasa melalui dua lengan itu, tubuh Thian Sin masih kokoh dan tidak tergoyang sedikit pun juga, akan tetapi Pat-pi Mo-ko terpaksa melangkah ke belakang sampai tiga langkah dan tubuhnya agak menggigil kedinginan! Kedua matanya terbelalak dan dia terkejut setengah mati. Tadi, sambaran hawa pukulan itu terasa panas, akan tetapi setelah beradu lengan, bagaimana ada hawa yang demikian dinginnya menyelinap ke dalam tubuh melalui lengan? Dan kekuatan itu! Bukan kepalang dahsyatnya dan harus diakuinya bahwa tadi dia telah mengerahkan seluruh tenaga. Akan tetapi, kalau Pendekar Sadis sama sekali tidak goyah, dia sendiri terdorong sampai tiga langkah. Dari sini saja dapat dia mengerti bahwa dalam hal kekuatan sinkang, dia tak mampu menandingi pendekar yang aneh dan hebat itu. Dia pun lalu mencabut sepasang senjatanya, yaitu sepasang pedang dan begitu dia menggerakkan tubuh dan tangannya, maka nampaklah dua gulungan sinar membungkus dan menyelimuti bayangan tubuhnya dan terdengar suara mengaung-ngaung seperti suara lebah-lebah mengamuk. Itulah ilmu pedang pasangan Pek-hong Siang-kiam (Sepasang Pedang Seratus Lebah) yang menjadi ilmu andalan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Datuk ini dijuluki Pat-pi Mo-ko (Iblis Berlengan Delapan) karena dia mempunyai kecepatan gerak tangan yang membuat lengannya seperti nampak menjadi banyak. Akan tetapi menghadapi Pendekar Sadis, dia tak berani hanya mengandalkan kedua lengannya dan sekarang mengandalkan sepasang pedangnya yang memang hebat itu. Akan tetapi, sudah lama Thian Sin seperti telah melupakan senjata di luar kaki tangannya sendiri. Meski pun dia maklum bahwa lawan ini merupakan lawan yang berat, tidak kalah berat dibandingkan dengan para datuk yang pernah dilawannya, namun dia tidak merasa khawatir dan mengandalkan ginkang-nya untuk menghadapi amukan sepasang pedang itu. Tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang bagaikan kapas ringannya sehingga sebelum pedang menyambar, tubuhnya seperti telah terdorong oleh angin pedang sehingga dapat menghindar dengan cepatnya, lantas kedua kaki tangannya tidak tinggal diam dan segera membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan serangan sepasang pedang lawan. Hai-pa-cu Can Hoa sudah pernah dikalahkan oleh Kok Siang. Kini, menghadapi pemuda itu, dadanya penuh dengan nafsu membalas dendam atas kekalahannya. Dia tak merasa gentar karena kini dia sudah memegang sebatang golok gergaji yang kelihatannya sangat mengerikan. Can Hoa maklum akan kelihaian lawan, maka walau pun tadi dia bertangan kosong, sekarang melihat Kok Siang sudah menghadapinya, dia pun tidak ragu-ragu lagi mencabut goloknya. Bukan saja golok besar ini yang membuat hatinya tabah, akan tetapi dia pun tahu bahwa pemuda ini sudah mengalami siksaan dan dibelenggu selama beberapa hari, kurang tidur dan kurang makan. Hal ini tentu melemahkan pemuda sastrawan ini. Selain itu, pemuda ini telah kehilangan senjatanya yang diandalkan, yaitu siangkoan pit dari emas dan perak itu. Senjatanya itu terjatuh saat pemuda ini terjebak ke dalam air dan seperti juga senjata milik Kim Hong, siangkoan pit itu sudah dirampas dan tidak pernah dikembalikan kepada pemuda ini. Maka, jika dibandingkan dengan pertemuannya pertama, kini pihaknya lebih banyak memperoleh keuntungan dan dia merasa yakin bahwa sekali ini dia akan menang dan akan dapat membalas kekalahannya tempo hari. "Kutu buku, bersiaplah untuk mampus! Darahmu akan diminum oleh golokku ini!" Berkata demikian, Hai-pa-cu Can Hoa sudah menerjang ke depan sambil memutar goloknya dan menyerang kalang kabut. Tiba-tiba saja nampak sinar emas dan perak berkelebat, bersilang dan menangkis golok itu dengan gerakan menggunting dari kanan kiri. "Cringggg...!" Hai-pa-cu Can Hoa terkejut setengah mati ketika merasa betapa goloknya tergetar hebat dan cepat dia mencabut golok itu dari jepitan sepasang siangkoan pit emas dan perak. "Ehhh...!" Teriaknya kaget dan heran ketika melihat betapa pemuda itu sudah memegang sepasang senjatanya! Tentu saja dia tidak tahu bahwa senjata itu, juga sepasang pedang hitam milik Kim Hong, sudah diambil oleh Thian Sin dari tempat penyimpanan senjata di gudang dekat tahanan. Ketika pemuda itu membayangi rombongan, kedua macam senjata itu dibawanya dan tadi di dalam goa, dia telah mengembalikan senjata itu kepada pemiliknya masing-masing. Kok Siang tersenyum mengejek. "Hai-pa-cu Can Hoa, arwah pamanku Louw siucai telah menanti di sana untuk membuat perhitungan denganmu!" Hai-pa-cu Can Hoa mengeluarkan bentakan nyaring, dan dia pun sudah menyerang lagi, goloknya menyambar-nyambar dengan ganasnya, namun di balik keganasan sikapnya ini, tersembunyi rasa gentar yang amat hebat, membuat mukanya pucat dan kedua matanya terbelalak. Di lain pihak, Kok Siang bergerak dengan cekatan dan tenang, merasa yakin bahwa akhirnya dia pasti akan mampu mengalahkan penjahat yang hanya besar gertak dan kekasarannya ini. Kim Hong tadinya menghadapi Tiat-ciang Lui Cai Ko dengan tenang, bertangan kosong dan dengan senyum mengejek. "Nah, gendut, sekarang kita berhadapan satu lawan satu! Keluarkanlah semua kepandaianmu!" Tiat-ciang Lui Cai Ko masih hendak berlagak karena dia melawan seorang gadis cantik. Dia masih merasa malu apa bila harus mengeluarkan senjata, maka dia pun tertawa dan berkata. "Nona yang manis, kalau sekali ini aku dapat meringkusmu, maka engkau akan kutelanjangi dan kuperkosa di sini juga!" Sebelum kata-katanya habis, dia telah menubruk ke depan, tangan kirinya menyambar ke arah dada ada pun tangan kanan menyusul kaki kanan yang menendang, mencengkeram ke arah pundak. Serangan yang sangat hebat dan sekaligus sudah menggunakan kedua tangan dan sebelah kaki. Akan tetapi, Kim Hong yang mempunyai tingkat kepandaian jauh lebih tinggi itu, dengan mudahnya berloncatan mengelak lantas ketika tubuhnya turun, kakinya mencuat dengan gerakan kilat yang sama sekali tidak dapat diikuti oleh pandang mata lawan. "Wuuuuttt...! Plakk!" Dan sepatunya yang kecil dan terkena lumpur itu telah mengenai dagu lawan, membuat tubuh Tiat-ciang Lui Cai Ko terjengkang dan bahkan nyaris jatuh terbanting kalau saja dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya! Setelah bergulingan, dia meloncat bangun kembali. Wajahnya merah, matanya berapi-api dan mulutnya menyeringai, seperti orang tertawa! Dia merasa malu dan marah bukan main. Dalam satu gebrakan saja dia telah dirobohkan lawan! Sekarang dia pun tahu bahwa gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sebagai seorang ahli silat tinggi, dia mengerti bahwa Kim Hong ini adalah seorang yang memiliki ginkang luar biasa hebatnya, membuat gerakannya cepat sekali, tak dapat diikuti dengan pandang mata, maka tentu merupakan lawan yang berbahaya sekali, walau pun agaknya tenaga wanita ini tidak begitu besar dan tendangannya tadi pun tidak begitu kuat. Benar-benar pendapat yang didasari kesombongan kosong belaka sehingga membuat dia kurang waspada. Dia tidak melihat bahwa jika Kim Hong menghendaki, sekali tendangan tadi saja sudah akan dapat meremukkan tulang gerahamnya! Gadis itu memang sengaja hendak mempemainkan, maka belum menurunkan tenaga dalamnya. "Wuuut...! Wuuut...!" Tiat-ciang Lui Cai Ko menggunakan kedua tangan meraba pinggangnya dan ternyata kini tangan kirinya telah memegang sebatang pisau yang panjangnya sekitar tiga puluh senti, ujungnya berkarat dan berwarna kehijauan, tanda bahwa pisau itu direndam dalam cairan beracun! Dan tangan kanannya memegang sebatang sabuk atau cambuk baja yang pada ujungnya dipasang kaitan seperti mata kail! Sungguh senjata-senjata yang sangat berbahaya dan hebat, pikir Kim Hong. Akan tetapi karena ia sudah dapat mengukur sampai di mana kepandaian lawan, ia pun tidak merasa perlu untuk mengeluarkan sepasang pedangnya melainkan hanya menanti dengan sikap tenang, dengan kedua kaki ditekuk di bagian lutut dan kedua lengan tergantung lepas di kanan kiri, akan tetapi biar pun nampaknya santai saja, sebenarnya seluruh urat syaraf di tubuhnya telah siap siaga dan tubuh itu telah dipenuhi dengan tenaga sinkang yang tinggi dan kuat. "Hi-hik, itu senjatamu? Pisau penyembelih babi cocok dengan perutmu yang gendut, dan matamu menjadi juling itu tentu karena terlampau sering memutar cambuk itu. Hati-hati, jangan-jangan kaitan cambukmu akan mengenai matamu sendiri, lalu dari juling menjadi buta!" Kim Hong mengejek tanpa mempedulikan serangan lawan yang sudah menyambar sebelum kata-katanya habis itu. Dengan hanya sedikit menggerakkan leher, mukanya ditarik ke belakang maka sambaran pisau pada lehernya itu lewat beberapa senti di depan lehernya. Dan ketika pada detik berikutnya cambuk baja itu melecut dari atas, ke arah ubun-ubun kepalanya, Kim Hong menggeser kakinya, melangkah sambil memutar dan cambuk itu hanya menyambar lewat ada pun ujungnya yang dipasangi kaitan itu mengenai tanah yang tertutup batu karang. Terdengar suara keras dan debu mengepul, batu karang hancur pinggirnya kena hantem ujung cambuk. Tentu saja Tiat-ciang Lui Cai Ko menjadi penasaran dan semakin marah. Dia menyerang kalang kabut dan seperti biasanya, kewaspadaan orang yang sedang dihimpit kemarahan akan berkurang dan dia hanya menuruti nafsu amarah, menyerang tanpa menggunakan perhitungan lagi. Cambuknya meledak-ledak menyambar dari atas dan bawah, pisaunya juga berkilauan menyambar-nyambar. Akan tetapi dengan amat mudahnya Kim Hong selalu dapat menghindarkan diri. Dara ini belum juga balas menyerang karena dia ingin mempermainkan lawan sampai sepuasnya sebelum turun tangan. Sementara itu, melihat betapa ketiga orang itu sudah berkelahi, Phang-taijin yang hampir kehabisan prajurit sekaligus juga kehabisan nyali itu, dengan diam-diam memerintahkan sisa pasukannya yang tinggal enam belas orang itu supaya mengawalnya naik ke tebing dan melarikan diri. Akan tetapi, baru saja dia maju beberapa langkah diiringkan oleh para prajurit, menuju ke jalan darurat menuju naik ke tebing, tiba-tiba tubuh In Bwee berkelebat dan gadis ini sudah mendahuluinya dan menghadangnya sambil bertolak pinggang. "Orang she Phang, engkau hendak lari ke mana? Siapa pun tidak boleh pergi dari sini!" kata In Bwee dengan sikap kereng. Melihat ini, Phang-taijin membelalakkan matanya. "Nona Bouw, apa engkau tidak tahu siapa aku maka berani melarangku pergi? Ingat, aku boleh menangkapmu dan menuduhmu pemberontak yang melawan pejabat!" Phang-taijin menggertak dan bersikap galak. In Bwee tersenyum manis. Sekarang dara ini mulai berbesar hati. Biar pun dibandingkan dengan tiga orang teman lain ilmu silatnya masih terlampau rendah, akan tetapi sebagai seorang murid Pat-pi Mo-ko, pandangannya sudah cukup tajam untuk bisa menilai bahwa keadaan teman-temannya berada di atas angin. Dia lalu teringat akan ucapan Kok Siang tadi yang menyanggupi untuk membereskan dan memberi hukuman yang keras untuk pembesar yang bersekongkol dengan penjahat ini, maka ketika melihat pembesar itu hendak melarikan diri, dia pun segera menghadang dan mencegahnya untuk membantu kekasihnya. "Orang she Phang, pada saat sekarang, engkau masih ingin mengandalkan kedudukan? Siapa pun tahu bahwa engkau bukanlah pejabat lagi melainkan penjahat atau kaki tangan penjahat, dan urusan di sini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah." Karena yang menghadang hanya seorang gadis, Phang-taijin lalu menyuruh enam belas orang perajutit itu maju. "Hajar gadis lancang ini!" katanya. Enam belas orang prajurit itu sebenarnya sudah kehabisan semangat seperti bola kempis, dan menurut kehendak hati mereka, satu-satunya keinginan mereka adalah melarikan diri dari tempat yang telah berubah menjadi seperti neraka ini. Akan tetapi mereka takut untuk membangkang perintah, terlebih lagi melihat bahwa gadis itu hendak menghalangi mereka melarikan diri. Maka mereka lalu menjadi nekat dan menyerbu. In Bwee menyambut mereka dengan gerakan kaki tangannya dan terdengar para prajurit itu mengaduh-aduh ketika tubuh mereka terbanting ke sana sini. Ketika Kok Siang melihat kekasihnya dikeroyok oleh para prajurit, dia menjadi marah dan khawatir. Dia segera mengeluarkan teriakan melengking lantas sepasang siangkoan-pit di tangannya bergerak cepat. Nampak sinar perak berkelebat di depan mulut Hai-pa-cu Can Hoa yang menjadi silau dan pada lain waktu, sebuah tendangan dengan keras mengenai pergelangan tangan kanannya, membuat goloknya terlempar jauh dan sebelum Si Macan Tutul Laut itu sempat memperbaiki posisinya, ada sinar emas berkelebat dan menyambar tenggorokannya. "Aughhhhh...!" Tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan Hai-pa-cu Can Hoa roboh lalu tewas tidak lama kemudian karena pit emas di tangan kanan Kok Siang telah menembus tenggorokan dan menotok jalan darah maut. Kok Siang tidak melihat lagi keadaan lawan yang sudah roboh itu dan cepat dia meloncat ke arah kekasihnya. Akan tetapi kekhawatirannya tadi sama sekali tidak beralasan karena belasan orang itu sekarang telah dirobohkan semua oleh In Bwee, bahkan belum terkena pukulan atau tendangannya telah menjatuhkan diri dan pura-pura luka sehingga tak dapat melawan lagi. Kini tinggal Phang-taijin yang berdiri dengan wajah pucat dan kedua kaki menggigil lemas, tanpa mampu mengeluarkan suara. Melihat betapa Kok Siang sudah merobohkan lawannya, Kim Hong merasa bahwa sudah terlampau lama ia mempemainkan lawan. Ketika cabuk atau cambuk baja itu menyambar lagi ke arah kepalanya, tiba-tiba saja dia mengeluarkan suara melengking dan sinar hitam menyambar, menyambut cambuk itu dan tahu-tahu ujung cambuk itu sudah terbelit oleh ujung rambutnya. Pisau yang menyambar dari arah kanannya hanya dielakkannya saja, sambil tangan kirinya dari bawah menghantam ke atas dan tepat mengenai dada lawan. "Ngukkk!" Tiba-tiba saja tubuh yang perutnya gendut sekali itu menjadi lemas, napasnya terengah, kedua tangan melepaskan senjata dan mendekap ke arah atas perut gendutnya, matanya semakin juling menatap ke arah perut dan akhirnya dia pun roboh terkulai. Sekali pukulan dari jari tangan halus Kim Hong tadi sudah menyalurkan kekuatan sinkang dan merusak jantung lawan sehingga pukulan itu sudah cukup untuk merenggut nyawa Tiat-ciang Lui Cai Ko yang sebenarnya masih kalah jauh dibandingkan dengan Toan Kim Hong. Sekarang mereka bertiga menonton perkelahian antara Thian Sin dan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng dan memang pertandingan ini sajalah yang nampak paling seru dan seimbang. Memang pada waktu itu, Thian Sin sedang berada dalam puncak kelihaiannya. Biar pun dia bertangan kosong dan lawannya yang berilmu tinggi itu mempergunakan sepasang pedangnya dengan amat hebatnya, namun Thian Sin sama sekali tidak pernah terdesak. Tubuhnya bagai menyelinap dan beterbangan di antara dua sinar pedang yang bergulung-gulung itu. Amat mengerikan dipandang jika diingat betapa sedikit saja tergores sinar itu, tubuh bisa koyak-koyak! Akan tetapi juga amat indahnya! Sesudah lewat puluhan jurus dan sepasang pedang yang sangat diandalkannya itu tidak mampu mendesak lawan, Pat-pi Mo-ko mulai merasa gentar dan juga takjub sekali. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan lawan yang sehebat ini. Kini mengertilah dia mengapa datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru dunia beberapa tahun yang lalu kalah semua melawan Pendekar Sadis. Ternyata ilmu kepandaian pemuda ini memang hebat bukan main, hebat dan juga aneh, hampir semua gerakan pemuda ini tidak dikenalnya. Karena merasa kewalahan untuk bisa mendesak lawan, akhirnya Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri saja. Sepasang pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga andai kata ada hujan lebat dari atas menimpa dirinya sekali pun, tidak akan ada setetes air yang mampu mengenai tubuhnya. Demikian rapat sinar pedang bergulung-gulung menyelimuti tubuhnya, seolah-olah telah berubah menjadi benteng baja yang menutupi tubuhnya dan yang melindunginya dari ancaman apa pun dari luar. Melihat siasat lawan ini, Thian Sin maklum bahwa jika dia tidak cepat mengeluarkan ilmu simpanannya, maka akan makan waktu terlalu lama menjatuhkan lawan tangguh ini. Dia lalu diam-diam mengerahkan tenaganya, dan pada saat lawan mundur, dia merendahkan dirinya dan mendadak dari mulutnya keluar suara melengking nyaring yang menggetarkan jantung lawan, disusul dengan tubuhnya yang tadi merendah itu kini tiba-tiba meluncur ke depan dengan kecepatan kilat dan dengan kekuatan dahsyat sekali. Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng terkejut ketika merasa ada angin hebat melanda dirinya. Dia berusaha untuk secepatnya menggerakkan sepasang pedangnya menyambut ke depan, ke arah bayangan lawan yang meluncur itu. "Bressss...!" Terjadinya benturan itu sukar diikuti dengan pandangan mata, akan tetapi tahu-tahu tubuh Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang tinggi besar itu terpelanting dan terjengkang kemudian terguling-guling, menabrak batu karang besar dan berhenti. tidak bergerak lagi. Sebatang pedang, pedangnya sendiri, menembus lehernya sampai ke tengkuk, ada pun pedang ke dua masih terkepal di tangan kiri. Kiranya dalam benturan tadi, saking hebatnya daya serang Thian Sin, pedang kanan itu membalik lalu menembus leher sendiri. Maka tewaslah Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng dan habislah sudah komplotan jahat yang berlindung di balik kedudukan Jaksa Phang di kota raja itu! *************** Kota raja lantas geger ketika pada suatu pagi, tubuh Jaksa Phang tergantung tinggi-tinggi di depan kantornya dengan kaki tangan terikat dan ikatan tangannya itu digantungkan di atas wuwungan bagian depan sehingga nampak dari jalan. Hal ini segera menarik banyak perhatian, apa lagi karena ada sehelai kain putih lebar yang tergantung dan tubuh jaksa Phang itu penuh dengan tulisan yang rapi dan indah. Ketika orang-orang menolongnya dan membaca tulisan itu, keadaan menjadi makin geger dan berita itu segera menjalar luas di kota raja. Isi tulisan itu membuka rahasia jaksa itu tentang perbuatan-perbuatannya yang korup dan jahat, tentang persekutuannya dengan penjahat-penjahat dan betapa kantor kejaksaan dijadikan tempat persembunyian penjahat besar Pat-pi Mo-ko! Berita ini sampai ke dalam istana sehingga kaisar sendiri menjadi marah dan malu, lalu memerintahkan untuk menangkap jaksa Phang itu, dipecat dan dijatuhi hukuman berat. Mudah kita duga bahwa yang melakukan perbuatan itu tentulah Bu Kok Siang orangnya! Sesudah Thian Sin muncul lantas membebaskan dia, Kim Hong dan In Bwee, kemudian mereka berhasil membasmi para datuk sesat berikut anak-anak buahnya, maka Thian Sin lalu mengajak mereka bertiga, sambil membawa Phang-taijin sebagai tawanan, pergi ke goa di mana terdapat pintu tadi. Kok Siang menotok roboh jaksa itu dan melemparnya ke sudut, kemudian Thian Sin mengeluarkan kunci emas yang asli dari sakunya dan ternyata kunci itu tepat sekali memasuki lubang kunci dari emas di tengah-tengah daun pintu baja. Thian Sin memasukkan kuncinya kemudian memutar-mutar. Tiba-tiba terdengar suara keras hingga semua orang menjadi kaget dan berhati-hati, takut kalau-kalau terjadi longsor batu-batu karang lagi seperti tadi. Akan tetapi sesudah suara keras itu berhenti, ternyata lantai di sebelah kanan daun pintu itu amblong dan berlubang. Kiranya kunci itu hanya menggerakkan alat rahasia yang sudah dipasang di situ di mana terdapat batu besar yang digerakkan oleh alat baja bergeser dan menurun. Di balik batu besar itu terdapat lubang dan inilah tempat rahasia penyimpanan harta karun. Bukan di belakang daun pintu, karena belakang pintu itu tidak ada apa-apanya, hanya ada dinding tebing batu karang. Sesudah rasa kagetnya hilang, Thin Sin lalu memeriksa lubang dan di sini mereka menemukan empat buah peti kuno berukir. "Ah, inilah harta karun itu!" Thian Sin berseru. Empat orang itu merasa girang bukan main, seperti sekumpulan anak-anak yang berhasil menemukan sesuatu yang menarik. Mereka lalu mengeluarkan empat buah peti kuno itu dan sesudah empat buah peti itu dibuka, ternyata berisi emas dan permata intan berlian ratna mutu manikam, logam mulia dan batu mulia berkilau-kilauan menyilaukan mata! Bagaikan anak-anak kecil yang melihat mainan bagus, mereka merakup benda-benda itu, dipermainkan di antara jari-jari tangan dengan sepasang mata bersinar-sinar serta wajah berseri-seri. "Bukan main! Kalau saja benda sebanyak ini sampai terjatuh ke tangan mereka, sungguh sayang!" akhirnya Kok Siang berkata. "Harta karun Jenghis Khan ini rahasianya ditemukan oleh keluarga Ciang, maka kita harus menyerahkan kepada yang berhak, yaitu Ciang Kim Su," Kim Hong berkata dengan suara tegas. Mendengar ini, tiba-tiba Kok Siang menjura kepada wanita itu. "Nona Toan, sungguh bijaksana sekali ucapan itu dan aku merasa takluk. Seorang seperti nona ini dan juga Ceng-taihiap, barulah pantas disebut pendekar!" "Sayang, orang yang berhak sudah tidak ada lagi!" kata Thian Sin. "Apa maksudmu, Thian Sin?" Kim Hong bertanya dan Kok Siang bersama In Bwee juga memandang heran. "Aku sudah melihat pemuda petani itu. Dia disiksa untuk dipaksa mengaku tentang peta asli. Tentu saja dia sendiri tidak tahu dan penyiksaan itu membuat dia terluka parah maka ketika aku mengunjunginya di dalam sel tahanannya di kompleks kejaksaan itu, dia pun meninggal dunia tanpa dapat ditolong lagi." "Ahhh...!" In Bwee berseru dan merasa kasihan sekali. Karena menemukan harta karun Jenghis Khan, keluarga petani yang terdiri dari ayah ibu dan anak itu semua telah tewas! Agaknya jalan pikiran In Bwee ini terasa juga oleh tiga orang pendekar itu. Kok Siang menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jenghis Khan terkenal dengan kekerasan dan kekejamannya, dan harta karunnya ini pun ternyata membawa kutukan bagi para penemunya. Untung sekali sekarang telah jatuh ke tangan kalian, sepasang pendekar budiman. Mudah-mudahan saja harta karun itu akan dapat bermanfaat dan mendatangkan kebaikan bagi banyak orang melalui tangan kalian berdua." "Sekarang harta karun ini milik kita bersama, Bu-twako," kata Kim Hong. "Kita bersama yang sudah mendapatkannya, oleh karena itu kita semua pula yang berhak memilikinya. Kita akan bagi rata..." "Tidak, aku tidak mau! Sejak kecil aku menjadi anak orang kaya, dan aku bahkan sering kali melihat betapa kekayaan tak selalu mendatangkan kebahagiaan. Tidak, kini aku ingin hidup seadanya dan miskin... di samping Siang-koko..." Dan gadis itu segera memegang lengan pemuda pujaannya itu sambil memandang mesra. Kok Siang tersenyum. "Baik, Bwee-moi atau pun aku tidak berhak sama sekali, juga tidak membutuhkan. Aku sendiri bukan orang miskin. Aku menerimanya dari paman Louw, dan paman Louw sama sekali tidak berhak. Lagi pula, mendiang pamanku itu memalsu peta, bukan karena ingin menguasai yang asli, melainkan karena curiga kepada Su Tong Hak dan ingin menolong dan kelak menyerahkannya kepada yang berhak, yaitu Ciang Kim Su. Maka, sesudah sekarang jatuh ke tangan kalian yang memang berjasa dan hanya karena adanya kalian maka harta ini dapat ditemukan, maka hanya kalian berdualah yang berhak memilikinya, Ceng-taihiap dan Nona Toan." Thian Sin menghela napas kemudian memandang kagum pada Kok Siang dan In Bwee. "Ahh, dalam dunia ini sungguh jarang dapat ditemukan orang-orang seperti kalian berdua. Biasanya, di mana terdapat harta, tentu terjadi perebutan. Untuk memiliki harta, manusia tak segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman. Akan tetapi kalian malah menolaknya. Kami sendiri juga tidak membutuhkan harta. Akan tetapi karena harta karun ini telah terjatuh ke tangan kita, sudah seharusnya kalau kita pergunakan untuk kebaikan. Memerangi kejahatan bukan merupakan suatu hal yang mudah dan ringan, juga kadang-kadang membutuhkan banyak biaya. Oleh karena itu, harta karun Jenghis Khan yang aku yakin tentu sudah bergelimang darah ini, yang sekarang saja sudah membunuh puluhan orang di luar goa, akan dapat kita pakai untuk menebus dosa-dosanya, untuk bermanfaat bagi banyak orang dan untuk biaya memerangi kejahatan. Engkau pun berhak mendapat bagianmu, Bu-siucai." Akan tetapi Kok Siang menggeleng kepalanya sambil tersenyum lalu merangkul leher In Bwee yang memegang lengannya. "Tidak, taihiap. Dalam peristiwa perebutan harta karun Jenghis Khan ini, aku telah memperoleh bagianku sendiri, telah memperoleh harta karun yang tiada keduanya di dunia ini, yang jauh lebih berharga dari pada semua harta dalam empat peti itu, yaitu Bwee-moi!" Thian Sin dan Kim Hong tersenyum saling pandang, sedangkan In Bwee menjadi merah mukanya dan tersenyum bangga dan bahagia. Pendekar Sadis dan kekasihnya tidak mau memaksa lagi dan mereka pun lalu meninggalkan tempat itu, membawa empat peti harta karun dan juga membawa Phang-taijin sebagai tawanan. Mereka menggunakan kereta yang tertinggal di atas tebing dan pada malam itu juga, Kok Siang membereskan Phang-taijin, menulis surat pembeberan rahasia busuk pembesar itu dan menggantungkan pembesar korup serta suratnya ke wuwungan depan rumah gedung pembesar itu. Ketika Kok Siang melakukan hal ini, dia ditemani oleh In Bwee, Thian Sin dan Kim Hong. Akan tetapi Pendekar Sadis beserta kekasihnya tidak mau mengganggu dan membiarkan saja sastrawan perkasa itu bisa memuaskan hatinya dengan melakukan hukuman itu sendiri. Sesudah selesai melakukan tugas terakhir dalam urusan harta karun Jenghis Khan itu, mereka berkumpul di tempat sunyi di luar kota raja, di mana telah menanti sebuah kereta yang akan membawa Pendekar Sadis bersama kekasihnya meninggalkan kota raja pada malam hari itu juga. Empat buah peti harta karun itu sudah disusun rapi di dalam kereta, ditutupi dan tidak nampak dari luar. Dua pasang orang muda itu kini saling berhadapan di bawah sinar bulan purnama. Cuaca dan pemandangan indah sekali, mendatangkan rasa kegembiraan luar biasa walau pun ada sedikit rasa haru karena mereka hendak saling berpisahan. "Kami harap saja kalian akan dapat menjadi pasangan yang baik dan berbahagia," kata Kim Hong sambil memeluk In Bwee dan gadis hartawan ini mengusap air matanya karena selama beberapa hari menjadi kenalan Kim Hong dia merasa sangat kagum dan sayang kepada pendekar wanita itu. "Mudah-mudahan saja kami akan dapat menjadi pasangan berbahagia seperti ji-wi," kata In Bwee. "Bagaimana rencanamu selanjutnya dengan nona Bouw, Bu-siucai?" Thian Sin bertanya. "Kami akan minta persetujuan dari orang tua Bwee-moi secara terang-terangan. Dan kami sudah bersepakat bahwa andai kata orang tuanya tidak menyetujui, maka kami berdua akan pergi begitu saja!" Kim Hong dan Thian Sin tertawa. "Aih, mudah-mudahan tidak. Kami kira, orang tua adik Bwee akan cukup bijaksana untuk dapat melihat bahwa mereka sudah memiliki seorang calon mantu yang hebat!" kata Kim Hong. "Dan bagaimana dengan ji-wi (kalian berdua)?" tanya Bu Kok Siang. "Kami akan pulang dan beristirahat," jawab Thian Sin. "Di mana... ahh, ji-wi sudah menjelaskan bahwa ji-wi tak akan memberi tahukan tempat tinggal ji-wi kepada siapa pun juga. Biarlah, kami hanya berdoa semoga kelak kita masih akan dapat saling bertemu pula," kata Kok Siang. Setelah bersalaman kemudian saling memberi hormat, akhirnya Thian Sin dan Kim Hong memasuki kereta dan Thian Sin melarikan kuda-kuda penarik kereta, diikuti oleh pandang mata Kok Siang dan In Bwee, sampai kereta itu lenyap ditelan kegelapan di sudut sana. Mereka merasa terharu dan kehilangan, akan tetapi ketika mereka teringat bahwa mereka kini bersama, lenyaplah rasa kehilangan itu maka sambil bergandeng tangan mereka pun pulang kembali ke kamar mereka di rumah penginapan di mana mereka menyewa dua buah kamar untuk mereka. Dan dapat dibayangkan betapa terkejut hati mereka ketika melihat bahwa di kamar Kok Siang terdapat sebuah di antara empat peti harta karun itu, dengan isi yang masih penuh dan utuh! Dan di atas peti itu terdapat tulisan SEMOGA KALIAN BERBAHAGIA. Kedua orang itu saling pandang dan akhirnya In Bwee menubruk calon suaminya sambil menangis, terharu akan kebaikan hati Pendekar Sadis dan kekasihnya. *************** Sementara itu, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dua sosok tubuh berada di dalam sebuah perahu layar, dan perahu itu dengan perlahan meninggalkan pantai menuju ke laut bebas. Sebuah perahu layar yang berukuran sedang saja, tidak ada anak perahunya kecuali mereka berdua. Di atas dek perahu terdapat tiga buah peti kuno berukir indah. Mereka itu adalah Thian Sin dan Kim Hong yang sedang berlayar menuju pulang, ke tempat tinggal mereka yaitu di Pulau Teratai Merah, membawa hasil petualangan mereka, yaitu tiga peti berisikan harta karun Jenghis Khan! T A M A T Serial Selanjutnya : Siluman Goa Tengkorak



Komentar