PENDEKAR LEMBAH NAGA (BAGIAN KE-4 SERIAL PEDANG KAYU HARUM)


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
JILID 01
BETAPA indahnya alam! Betapa indahnya susunan tubuh kita sendiri! Alangkah indah dan juga ajaibnya keadaan diri kita sendiri dan di sekeliling kita. Akan tetapi sayangnya kita seperti buta terhadap itu semua. Kita tidak pernah membuka mata menikmati semua keindahan dan keajaiban itu, melainkan menerawang jauh, menginginkan hal-hal yang tak terjangkau oleh kita. Kalau kita tinggal di tepi laut, pemandangan laut tidak lagi menarik perhatian kita karena perhatian kita diterbangkan oleh pikiran yang menginginkan pemandangan digunung-gunung. Sebaliknya bila kita tinggal di gunung, kita menganggap bahwa pemandangan di laut yang jauh dari kita itu lebih indah. Betapa bahagianya manusia yang selalu membuka mata memandang penuh perhatian akan segala sesuatu di dalam dan di luar dirinya sendiri. Dialah yang akan melihat segala keindahan dan keajaiban itu. Dan dialah yang akan menyaksikan kekuasaan Tuhan yang penuh berlimpah dengan berkah, dengan keindahan, dengan keajaiban, dengan mukjijat, dengan CINTA KASIH. *************** DI KAKI PEGUNUNGAN Khing-an-san, di tikungan Sungai Luan-ho, di luar tembok besar dan termasuk wilayah Mongol, terdapat Lembah Naga. Lembah yang sangat liar dan penuh dengan hutan lebat, binatang-binatang buas dan amat jarang didatangi manusia. Memang sekali waktu ada para pemburu yang menyusup-nyusup memasuki hutan, namun mereka tidak berani sampai Lembah Naga karena lembah itu terkenal sebagai tempat keramat yang amat berbahaya. Kabar angin mengatakan bahwa pada lembah itu terdapat sebuah istana yang dihuni oleh iblis-ibils dan siluman-siluman. Dan karena sudah ada beberapa orang yang tewas ketika berani mendekati istana itu, maka akhirnya tidak ada seorang pun pemburu yang berani memasuki daerah Lembah Naga, betapa pun gagah dan beraninya pemburu itu. Pemandangan di lembah ini sungguh sangat mentakjubkan. Jauh di bawah kaki lembah membentang luas sebuah padang rumput dan karena keadaan padang ini pulalah yang terutama membuat orang makin segan mendekati Lembah Naga. Padang itu dinamakan orang Padang Bangkai, oleh karena di sekitar padang itu terdapat banyak rangka-rangka manusia dan binatang, bahkan ada suatu bagian yang berlumpur di mana terdapat mayat-mayat manusia dan bangkai-bangkai binatang yang tidak dapat membusuk, sehingga sampai bertahun-tahun masih menjadi bangkai terbungkus lumpur. Namun, dipandang dari atas, semua kengerian itu sungguh tidak kelihatan, yang nampak hanyalah keindahan yang sangat mentakjubkan. Apa lagi pada waktu matahari terbit atau waktu matahari tenggelam, bukan main indahnya pemandangan di kaki langit, pada waktu bumi terbakar oleh sinar keemasan dan segala sesuatu nampak jelas dan indah. Memang tidak mengherankan bila orang mendekati lembah itu, apa lagi mendekati Istana Lembah Naga yang nampak angker itu. Sebuah istana yang besar dan kokoh kuat, penuh dengan ukiran dan arca-arca indah. Sayang istana itu tidak terawat dengan baik sehingga tembok-temboknya yang tadinya putih itu sekarang penuh dengan lumut hijau, begitu pula arca-arca itu. Istana ini dibangun oleh Raja Sabutai, raja liar dari Suku Bangsa Mongol bercampur suku bangsa lain yang menguasai daerah tak bertuan di utara. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan siapa adanya Raja Sabutai ini. Dia adalah keturunan seorang jenderal besar di jaman Dinasti Goan, pada waktu bangsa Mongol menguasai seluruh daerah Tiongkok. Sebagai keturunan seorang jenderal yang gagah perkasa, Sabutai ini pun memiliki ambisi yang amat besar. Cita-citanya setinggi langit dan dia mengangkat diri sendiri menjadi raja di antara suku bangsa Mongol yang sudah terpecah-pecah dan lemah itu, dan dia pernah bercita-cita untuk menyerbu ke selatan dan ingin menegakkan kembali kebesaran bangsa Goan seperti pada ratusan tahun yang lalu. Akan tetapi cita-citanya itu gagal dan kandas di tengah jalan sehingga kini dia hanya puas dengan menjadi raja kecil di utara, jauh dari perbatasan. Istana Lembah Naga itu dahulunya di bangun oleh Raja Sabutai, dijadikan sebagai istana dan markasnya. Kemudian, setelah dia melakukan gerakan ke selatan dan gagal, dia lalu memperbaiki istana itu dan memberikan istananya itu kepada kedua orang gurunya, yaitu Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, nenek dan kakek iblis dari Sailan yang sangat sakti. Di dalam pertempuran melawan orang-orang gagah yang dipimpin oleh kakek Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, tewaslah Pek-hiat Mo-ko dan kalau saja tidak cepat muncul Raja Sabutai yang menyelamatkannya, tentu Hek-hiat Mo-li yang sudah terluka parah itu akan tewas pula. Pek-hiat Mo-ko telah tewas dan Hek-hiat Mo-li yang terluka itu dibawa pergi oleh Raja Sabutai, semua orang gagah juga telah pergi meninggalkan Lembah Naga, dan istana itu menjadi sepi, sunyi dan menyeramkan. Semenjak itu, tidak ada lagi seorang pun manusia dari luar yang berani mendekati istana itu. Akan tetapi, benarkah demikian? Benarkah istana itu kosong tidak ada penghuninya lagi? Sebetulnya tidak demikian. Setelah semua orang meninggalkan istana itu dalam keadaan sunyi dan menyeramkan, masih nampak bekas-bekas pertempuran yang mengorbankan nyawa puluhan orang perajurit dan anak buah kedua fihak, pada malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan seorang diri di lembah ini, sambil menundukkan mukanya dan menangis. Dia lalu menghampiri istana, memasuki istana itu seperti bayangan setan yang bangkit dari kuburan, langkahnya ringan namun terhuyung-huyung dan dia langsung memasuki sebuah kamar di dalam istana itu kemudian melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu! Terbayang dalam benaknya saat dia menyerahkan dirinya, menyerahkan kehormatannya kepada seorang pemuda yang amat dicintainya, seorang pemuda yang sama sekali tidak mau mengakui dirinya, tidak mau menerimanya, seorang pemuda yang dijunjung tinggi, dikaguminya dan dicintainya. Pemuda gagah perkasa yang sekarang telah pergi pula dan meninggalkannya seorang diri di tempat itu, padahal dia sudah menyerahkan kehormatan tubuhnya, menyerahkan cinta di hatinya, bahkan pula tangan kirinya! Tangan kirinya, sebatas pergelangan tangan telah putus, dibabat putus sebagai hukuman karena dia berani menolong pemuda itu yang tadinya menjadi tawanan di sana, ketika tempat itu masih dikuasai oleh kakek dan nenek iblis Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Dan kini, Cia Bun Houw, pemuda itu, telah meninggalkannya dan tak mau menerimanya! Wanita itu masih muda, usianya baru dua puluh lima tahun, wajahnya manis sekali, dan pakaiannya serba merah berpotongan ketat membungkus tubuhnya yang ramping padat. Dia bernama Liong Si Kwi dan dia bukanlah wanita sembarangan. Dia adalah murid tunggal dari seorang nenek yang sakti berjuluk Hek I Siankouw, seorang nenek yang selalu berpakaiain serba hitam dan amat terkenal di dunia kang-ouw. Sebagai seorang wanita muda yang berilmu tinggi Liong Si Kwi juga terkenal di dunia kang-ouw dan karena dia mempunyai keistimewaan dan gerakan ringan dalam ilmu ginkang, seperti burung terbang saja kalau dia bergerak, maka di dunia kang-ouw dia pun terkenal dengan julukan Ang-yan-cu (Burung Walet Merah). Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Si Kwi menolong pemuda Cia Bun Houw yang tertawan, dan karena sebelumnya pemuda itu diberi makanan yang dicampur racun pembangkit nafsu birahi, maka dalam keadaan seperti orang mabok itu Bun Houw lalu melakukan hubungan kelamin dengan Si Kwi. Wanita muda ini memang menaruh hati dan cinta kepada Bun Houw, maka dia tidak menolak, bahkan dia membantu pemuda itu semakin tenggelam ke dalam amukan nafsu sehingga terjadilah hubungan itu. Setelah sadar, tentu saja Bun Houw merasa menyesal sekali dan tentu saja dia tidak mau menerima Si Kwi sebagai kekasih atau jodohnya, lantas pemuda ini meninggalkan Si Kwi yang menjadi hancur hatinya. Dia kehilangan sebelah tangan, kehilangan kehormatannya sebagai seorang gadis perawan, dan kehilangan pria yang dicintanya pula! Dia kehilangan segala-galanya. Gurunya pun sudah tewas dalam pertempuran itu ketika gurunya membantu kakek dan nenek iblis. Keluarga dia sudah tidak punya. Dia hanya sebatang kara saja di dunia ini dan harapannya untuk hidup bahagia sudah terbawa pergi oleh pemuda yang dicintainya itu. Demikianlah, Liong Si Kwi menjadi penghuni tunggal istana Lembah Naga. Mula-mula dia memang hendak menghibur diri dengan bersembunyi di tempat sunyi itu, jauh dari dunia ramai, dengan harapan akan dapat melupakan Bun Houw, bisa melupakan kedukaannya. Kegairahannya untuk melanjutkan hidup mulai timbul sehingga dia mulai memperhatikan dirinya, mulai membuat pakaian-pakaian dari bahan-bahan kain yang banyak terdapat di dalam istana itu, mulai menyulam. Namun, semangat hidup ini akhirnya malah merupakan tekanan hebat bagi batinnya saat dia mendapat kenyataan bahwa dia telah mengandung! Dia seorang perawan dan kini dia mengandung tanpa suami. Kiranya, hubungan kelamin yang dilakukannya dengan Bun Houw, di dalam keadaan mabok dilanda nafsu itu, sudah menghasilkan kandungan di dalam perutnya! Makin tua kandungannya, makin tertekan pula rasa hati wanita yang bernasib malang itu. Bernasib malang? Benarkah NASIB yang membuat Liong Si Kwi seperti itu? Benarkah NASIB yang membuat lengannya buntung, hidupnya terasa merana, dan perutnya terisi kandungan anak tanpa ayah? Betapa mudahnya kita melontarkan segala peristiwa yang menimpa diri kita kepada nasib! Nasib baik, nasib baik dan sebagainya! Tidak ada sesuatu terjadi tanpa sebab, dan sebab itu sama sekali bukanlah nasib! Sebab itu pada hakekatnya SUDAH PASTI timbul dari hasil perbuatan kita sendiri, perbuatan termasuk sikap, kata-kata, pikiran dan sebagainya. Sumber dari segala sesuatu yang terjadi pada diri kita terletak di dalam diri kita sendiri! Akan tetapi, kita tidak pernah mau memandang diri sendiri, dan kita lebih condong untuk mencari kambing hitam pada diri orang lain, pada keadaan di luar diri, atau kalau sudah kehabisan calon kambing hitam, kita lantas meraih NASIB dan menjadikannya sebagai kambing hitam! Kapankah kita mau membuka mata memandang diri sendiri di mana terdapat sumber segala rahasia hidup ini? Sesudah tahu bahwa dirinya mengandung, mulai terjadi perubahan dalam kehidupan Si Kwi. Mulailah dia merana dan tidak mempedulikan pakaiannya sehingga dia berkeliaran di sekitar Lembah Naga dengan pakaian yang kotor dan butut, dan sikapnya laksana orang yang sudah miring otaknya! Makin tua kandungannya, semakin tersiksa rasa hatinya dan hampir setiap malam, di waktu tubuhnya mengaso dan tak ada hiburan yang membuatnya terlupa, dia menangis mengguguk seorang diri di dalam kamarnya di istana yang besar itu. Ada terpikir oleh Si Kwi untuk mengakhiri penderitaan batinnya dengan jalan membunuh diri saja. Akan tetapi, dia tidak mempunyai keberanian untuk melakukan hal itu. Ataukah dia masih terlampau sayang kepada kehidupan ini dan masih mengharapkan untuk kelak menemui kebahagiaan? Apa pun juga alasannya, Si Kwi tidak sampai hati untuk bunuh diri, maka dia rela hidup menderita, penuh kebingungan. Dia tidak tahu bagaimana dia harus menghadapi kelahiran anak dalam kandungannya. Untuk pergi ke dusun-dusun di sekitar kaki pegunungan itu, dia merasa malu sekali. Kalau ada orang bertanya mana suaminya, mana ayah dari anak yang dikandungnya, apa yang akan dijawabnya? Tidak, dia lebih baik mati dari pada harus menderita aib seperti itu di mata orang-orang lain. Tentang melahirkan, dia menyerahkan diri kepada Tuhan saja. Di dalam kesengsaraan ini, satu-satunya yang menjadi pegangan Si Kwi hanyalah Thian. Kesengsaraannya itu lebih mempertebal kepercayaannya kepada Thian yang diharapkan sebagai penolongnya yang tunggal. Betapa banyaknya manusia yang tidak kuat menghadapi penderitaan hidup dan selalu mencari jalan pelarian untuk menjauhkan diri atau membebaskan diri dari penderitaan hidup itu. Banyak macam cara pelarian ini, tapi di antaranya yang terburuk dan paling mengerikan adalah bunuh diri! Ada orang yang bersembunyi di balik hiburan-hiburan atau kesenangan-kesenangan yang dicari-cari, atau menggantungkan kepercayaan terhadap sesuatu. Kita tidak sadar bahwa semua bentuk pelarian itu adalah hal sia-sia belaka. Mengapa sia-sia? Karena apa yang kita namakan penderitaan hidup itu sesungguhnya tak lain tak bukan adalah permainan pikiran kita sendiri! Pikiran kita selalu melekat kepada masa lalu, kepada hal-hal yang telah terjadi, kepada hal-hal yang akan terjadi! Pelekatan pikiran ini tentu saja menimbulkan sesal, duka, dan khawatir. Kita tidak pernah mau menghadapi setiap peristiwa sebagai sesuatu yang wajar, menghadapi langsung dan mempelajarinya setiap saat, dengan penuh perhatian tanpa menyalahkan sana-sini, tanpa rasa iba kepada diri sendiri. Kita baru dapat bebas dari semua penderitaan bila kita menghadapinya secara langsung apa yang kita anggap penderitaan itu! Kalau kita menghadapinya langsung, memandang dan mengamatinya secara langsung, melihat apa adanya, kewajarannya sebagai sebuah fakta, maka sudah pasti penderitaannya akan lenyap. Kita akan bebas dari penderitaan karena penderitaan itu hanyalah PENDAPAT PIKIRAN yang terdorong oleh kekecewaan, iba diri dan sebagainya. Setelah Si Kwi menghitung bahwa bulan ke sembilan dari kandungannya sudah tiba, dia segera keluar dari istana itu. Istana itu dianggapnya sebagai tempat yang keramat, karena di tempat itulah dia menyerahkan kehormatannya, juga di tempat itulah adanya kenang-kenangan manis dan penuh babagia ketika dia menyerahkan diri, bermain cinta dengan Cia Bun How, ingatan yang tidak pernah dapat dilupakannya selama ini. Dia tidak mau mengotori istana yang keramat itu dengan kelahiran anak dalam kandungannya! Anak inilah yang menjadi penyebab penderitaannya! Anak ini merupakan anak yang tidak diharap-harapkan dan karena itu sangat dibencinya sebelum dia terlahir. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa mesra dan memaafkan semua akibat kehadiran anak dalam kandungannya itu, yaitu kenyataan bahwa anak itu keturunan Bun Houw, pria yang dicintanya, dan masih dicintanya biar pun Bun Houw sudah menolak dan menghinanya. Dia tidak ingin melahirkan di dalam Istana Lembah Naga. Seolah-olah istana yang pernah dihuni banyak orang itu mempunyai mata untuk memandangnya dan dia merasa malu! Tidak, dia tidak mau mengotori istana itu dan seperti orang gila, Si Kwi kemudian pergi meninggalkan istana itu dan tinggal di dalam sebuah goa, tidak jauh dari istana itu. Di dalam hutan sekitar Istana Lembah Naga itu terdapat banyak sekali kera dan monyet besar semacan orang hutan. Mereka itu tadinya menjauhkan diri dari istana ketika tempat itu dihuni oleh Pek-hiat Mo-ko, Hek-hiat Mo-li dan anak buah mereka yang seratus orang banyaknya, karena mereka itu senang mengganggu monyet-monyet, bahkan membunuh untuk dimakan dagingnya. Akan tetapi sesudah kini istana itu sunyi dan yang tinggal di situ hanya Si Kwi seorang yang tak pernah mau mempedulikan monyet-monyet itu, maka mulai berdatangan pulalah binatang-binatang itu karena di sekitar istana itu terdapat banyak pohon-pohon buah yang tadinya ditanam oleh anak buah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Si Kwi tidak pernah mengganggu mereka karena dia sendiri pun tidak pernah kekurangan makanan. Di sana terdapat banyak buah-buahan, tanaman-tanaman sayur dan binatang yang dapat dimakan dagingnya seperti kelinci, kijang, burung dan lain-lainnya. Maka tidak mengherankan apa bila binatang-binatang itu menjadi makin jinak, bahkan mereka tidak lari melihat munculnya Si Kwi. Apa lagi monyet-monyet yang besar, mereka tidak merasa takut sungguh pun mereka juga tidak pernah mengganggu Si Kwi. Beberapa ekor monyet besar malah mempergunakan sebatang pohon besar di belakang istana sebagai sarang mereka atau tempat berteduh di siang hari. Kalau malam mereka bersembunyi dan tidur di dalam goa-goa yang hanyak terdapat di sekitar tempat itu. Pada siang hari itu, terdengar suara hiruk-pikuk di atas pohon besar itu. Seekor monyet betina yang besar sedang berkelahi dengan seekor ular yang telah membunuh anaknya. Anak monyet yang masih bayi itu mati dengan kepala berdarah bekas gigitan ular, dan induk monyet menjadi marah, dengan nekat menangkap ular itu dan menggigit lehernya. Ular itu melawan, membelit-belit tubuh monyet betina, akan tetapi dengan kedua tangan atau kaki depannya, monyet besar itu menarik-narik dengan sekuat tenaganya sehingga akhirnya tubuh ular itu tercabik-cabik dan lehernya hampir putus oleh gigitan mulut yang penuh dengan gigi yang kuat terhias beberapa buah gigi taring yang runcing itu. Monyet betina itu lalu memondong anaknya yang telah mati, mengeluarkan suara merintih seperti sedang menangis dan menjauhkan diri dari teman-temannya sambil memondong bangkai anaknya itu. Sementara itu, dari dalam sebuah goa yang besar dan gelap terdengar rintihan pula yang hampir sama suaranya dengan rintihan induk monyet yang kematian anaknya. Rintihan ini keluar dari mulut Liong Si Kwi. Wanita muda ini rebah terlentang di atas tanah di dalam goa dan punggungnya bersandar pada batu-batuan di dinding goa. Wajahnya pucat sekali, matanya memandang liar dan ketakutan, tubuhnya hanya tertutup dengan jubah panjang karena dia sudah melepaskan celananya. Rintihan dan keluhan yang keluar dari mulutnya sungguh mengenaskan. Pada saat-saat tertentu Liong Si Kwi menyebut-nyebut ibu serta ayahnya yang telah tiada! Air matanya bercucuran, bercampur dengan keringat yang memenuhi kening dan lehernya, membuat mukanya basah semua. Tubuhnya kadang-kadang menggigil, napasnya terdengar sesak dan terengah-engah menahan rasa nyeri yang amat hebat. Kelahiran merupakan suatu peristiwa yang amat suci, merupakan suatu keajaiban yang amat hebat, merupakan kekuasaan Tuhan yang sangat mengharukan. Dalam peristiwa ini terjadilah pengorbanan yang tiada taranya yang dapat dilakukan oleh seorang manusia. Ibu! Betapa luhurnya sebutan ini! Derita kenyerian yang ditanggung seorang ibu dalam melahirkan anaknya saja sudah cukuplah merupakan suatu alasan yang sangat kuat bagi seorang anak agar mencintai ibunya, dan bagi seorang suami agar menghormati isterinya. Seorang ibu yang melahirkan menghadapi suatu rasa kenyerian yang sukar dilukiskan, bahkan menghadapi pula ancaman bahaya yang bukan tak mungkin merenggut jiwanya. Namun betapa kejam dan kejinya, banyak sekali manusia yang melupakan pengorbanan ibunya sendiri ketika mengandung, melahirkan dan menyusuinya ketika dia masih kecil, betapa banyak sekali manusia yang melupakan penderitaan isterinya ketika melahirkan anaknya! Ibu, betapa pun manusia melupakan jasa dan pengorbananmu, namun kenyataan tidak akan dapat disangkal bahwa di waktu melahirkan, engkaulah manusia suci! Malam mulai tiba. Dalam goa itu gelap sekali. Rintihan dari goa masih terdengar, kadang-kadang mulai lagi, sesuai dengan rasa nyeri yang kadang-kadang terasa oleh Si Kwi dan kadang-kadang lenyap lagi. Tanda-tanda dari seorang yang akan melahirkan. Perlahan-lahan, sinar bulan merayap mendekati goa dan akhirnya ada sinar bulan yang memasuki goa sampai menerangi bagian bawah tubuh Si Kwi. Si Kwi yang masih tersandar dengan tubuh lemah, mengerang dan menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan dan kiri, lidahnya menjilat-jilat bibirnya yang kering dan dia berusaha menelan ludah yang terasa kering, kemudian dengan mata yang masih terpejam dan alis berkerut, bibirnya komat-kamit, terdengar bisikannya, "Air... air... aku haus... air...!" Akan tetapi tentu saja tidak ada yang mendengar bisikannya. "Air... aku ingin minum...!" Dia kini berseru nyaring. "Ibu... ayah... aku ingin minum...! Cia Bun Houw, tolong ambilkan air...!" Yang menjawab hanya gema suaranya yang membalik keluar dari goa. Anehnya, yang terdengar olehnya hanyalah gema suara yang memanggil, "Cia Bun Houw...!" Suara ini membuat dia sadar dan membuka matanya. Ketika dia melihat sinar bulan, dia menoleh ke kiri, lalu dia merangkak menuju ke sebuah poci air yang disediakannya di situ. Diminumnya air jernih itu dengan lahapnya. Dan segarlah rasa tubuhnya. Kemudian dia meletakkan kembali poci air di sudut goa dan matanya memandang ke luar. Ketika melihat bulan di angkasa, Si Kwi merangkak keluar dari dalam goa. Dia hanya bisa merangkak, tidak kuat bangkit berdiri karena kedua kakinya gemetar, tubuhnya terasa berat. Dia berlutut di luar goa, memandang bulan dan dilihatnya bulan seperti wajah Bun Houw. Diangkatnya kedua tangannya ke atas, tangan kanan dan lengan kiri yang buntung menghadap bulan. "Bun Houw... Bun Houw... tidak kasihankah kau kepadaku...? Anakmu... anakmu... akan terlahir... ohhh!" Dia cepat-cepat merangkak kembali ke dalam goa karena merasa betapa perutnya sakit sekali. Dengan terengah-engah dia segera merebahkan diri terlentang lagi di tempat tadi, menyandarkan punggungnya yang terasa seperti patah-patah itu pada batu-batu dinding goa. Mulailah lagi datang rasa nyeri yang bertubi-tubi, membuat seluruh tubuhnya menggigil, wajahnya semakin pucat dan dia memejamkan mata, sambil mengerahkan tenaga untuk mendorong keluar bayi yang meronta dalam perutnya, terengah-engah dan merintih-rintih. Dia tidak tahu bahwa kemunculannya di luar goa tadi menarik perhatian beberapa ekor monyet yang ketika melihat dia merangkak masuk goa diam-diam lalu berdatangan dan memasuki goa. Melihat Si Kwi terengah-engah itu, monyet-monyet yang mengikutinya masuk ke dalam goa, berjongkok dan memandang dengan sikap seperti menaruh kasihan dan ada yang menyeringai. Mereka sedah-olah mengerti apa yang sedang terjadi dengan manusia wanita ini. Dan di antara monyet-monyet itu terdapat pula monyet betina besar yang masih memondong bangkai anaknya yang mati digigit ular tadi! Kegelisahan mendesak di hati Si Kwi. Gelisah kalau-kalau anak di dalam kandungannya itu tidak akan dapat keluar. Demikian sukar agaknya. Demikian menyakitkan. Dia tidak peduli lagi bagaimana jika anak itu sudah keluar nanti. Pikirannya tak sempat memikirkan soal nanti. Rasa nyeri menguasai seluruh pikirannya dan keinginan satu-satunya hanyalah mengeluarkan anak yang menyiksanya itu! Akhirnya, setelah berkali-kali diserang oleh rasa nyeri yang nyaris membuatnya pingsan, menjelang tengah malam, lahirlah bayi itu. Tangis nyaring meledak dan memecahkan kesunyian di dalam goa. Si Kwi merasa kelegaan yang amat luar biasa menyelubunginya dibarengi keharuan yang membuat dia sesak napas dan begitu mendengar suara jerit tangis pertama dari bayi yang tergolek di antara kedua pahanya, Si Kwi mengeluh dan pingsan. Segala sesuatu yang terdapat di alam ini memang sudah mempunyai ketertiban sendiri. Bukan ketertiban terpisah-pisah dan terpecah-pecah, namun ketertiban yang menyelimuti seluruh alam semesta. Segalanya bergerak dengan tertib seolah-olah diatur oleh tenaga yang tak nampak. Lihatlah ke luar, awan berarak di angkasa, berlapis-lapis, gerakan mereka ada yang ke kiri ada yang ke kanan, mendung berkumpul di tempat-tempat tertentu digerakkan angin besar sebelum turun hujan. Perjalanan dunia, bulan, bintang, kekuasaan matahari serta kegunaan sinarnya. Tumbuhnya pepohonan dengan batangnya, akar-akarnya, daunnya, bunganya, buahnya. Rontoknya daun menguning menjadi satu di antara pupuk menyuburkan tanah. Kemudian lihatlah ke dalam, lihatlah diri kita sendiri. Tiap bagian tubuh kita mengandung keajaiban yang amat besar, dari pertumbuhan setiap helai rambut di tubuh kita sampai pada denyut jantung, peredaran darah, pemapasan, otak, hati dan segala ini yang membuat kita hidup, bergerak, mengerti, memandang, mendengar dan sebagainya. Betapa ada api panas yang terus-menerus bernyala atau membara dalam diri kita pada waktu kita masih hidup. Segala keajaiban ini terlewat begitu saja bagi mata kita yang seperti buta, tidak pernah memperhatikannya, tak mempedulikannya, dan kita mengalihkan pandangan mata pada hal-hal ajaib lain yang kita anggap menguntungkan kita, mistik, dan sebagainya! Kekuasaan alam memang amat luar biasa, tak terukur oleh hati dan pikiran kita. Kelahiran yang terjadi dalam goa itu, yang dialami oleh Liong Si Kwi, tanpa pembantu sama sekali, merupakan satu di antara keajaiban-keajaiban yang terjadi setiap saat di dunia ini, namun yang tidak nampak oleh orang-orang yang memang tidak memperhatikannya. Si Kwi pingsan dan segala sesuatunya tergantung sepenuhnya kepada ketertiban alamiah itu. Pemulihan segala yang rusak karena kelahiran itu, datang dengan sendirinya. Dalam keadaan pingsan itu, pulih kembali kenormalan di dalam diri Si Kwi, napasnya menjadi teratur, wajahnya menjadi merah lagi, dan darah pun berhenti mengalir. Himpitan perasaan batin yang lebih banyak mempengaruhi pingsannya Si Kwi sehingga membuat dia tak sadarkan diri sampai keesokan harinya, ketika sinar matahari pagi telah menerobos masuk ke dalam goa yang amat sunyi itu. Tidak ada seekor pun monyet yang berada di situ lagi ketika Si Kwi menggerak-gerakkan pelupuk matanya, tanda datangnya kesadaran pertama. Pelupuk mata yang tergetar dan bergerak-gerak itu diikuti gerakan bulu mata, lalu mata itu terbuka. Sinar mata yang lesu menerawang ke langit-langit goa, kemudian dia mengeluh dan rasa nyeri yang tersisa itu menyadarkannya sama sekali. Teringatlah dia akan yang terakhir memasuki benaknya, yaitu tangis bayi. "Ahhh...!" Dia berseru dan cepat dia meluruskan punggungnya, matanya mencari-cari ke bawah, ke atas tanah di antara kedua kakinya. Dia melihat sebuah benda kecil di antara kedua pahanya itu, tidak begitu jelas karena sinar matahari masih sangat muda. Dengan tangan gemetar Si Kwi mengambil benda itu, dibantu oleh lengan kirinya yang buntung, mengangkat benda itu dekat dengan matanya, memandang dan tiba-tiba dia menjerit dengan mata terbelalak, melemparkan benda itu dan dia sendiri lalu terkulai dan pingsan lagi! Benda yang dilemparkan itu adalah bangkai seekor monyet kecil yang kepalanya masih berdarah! Sementara itu, jauh dari tempat itu, di atas cabang pohon tertinggi, induk monyet besar menyusui seorang bayi. Bayi yang tadinya menangis teroek-oek itu berhenti menangis ketika mulutnya disumbat puting susu yang besar dari mana mengalir air susu yang cukup banyak. Dengan penuh sikap sayang monyet betina itu mendekap tubuh bayi manusia itu. Dialah yang tadi sudah menukarkan bangkai bayinya dengan bayi manusia yang baru dilahirkan ini. Perbuatannya ini entah digerakkan oleh apa, karena pada umumnya, binatang tidak menggunakan pikiran dan akal budi. Mungkin karena tangis bayi itulah maka dia tergerak, atau oleh naluri yang memberi tahu dia bahwa anaknya telah mati. Setiap ada seekor monyet lain yang mencoba mendekatinya untuk melihat bayi manusia itu, induk monyet ini meringis dan mengeluarkan bunyi geraman, matanya memandang penuh ancaman dan siap mempertahankan bayinya dengan nyawa. Bahkan ketika seekor monyet jantan besar sekali berani mendekat, tangan kirinya mencakar dan monyet jantan itu terpaksa lari menjauhkan diri pula. Induk monyet itu menjadi curiga dan tidak percaya kepada siapa pun juga setelah dia kehilangan bayinya yang digigit ular namun sekarang sudah memperoleh penggantinya. Demikianlah, bayi manusia anak Si Kwi itu semenjak lahir dibawa ke atas puncak pohon oleh monyet betina itu. Biar pun tidak secepat bayi-bayi monyet lainnya, namun beberapa hari kemudian bayi itu sudah pula pandai bergantung pada rambut-rambut dada dan leher induknya dan enak saja dibawa berloncatan dari cabang ke cabang, disusui diberi makan buah dan kadang-kadang juga ulat dan cacing! Entah apa pula yang menyebabkan monyet betina itu kini menjauhi Istana Lembah Naga, menjauhi tempat di mana wanita yang melahirkan bayi itu tinggal. Mungkin juga hanya nalurinya, karena dia tak ingin manusia itu melihat anak yang kini dirawatnya, yang telah menjadi anaknya sendiri. Dia membawa anak itu jauh dari istana, ke dalam hutan-hutan yang paling lebat dan liar, dan dia jarang sekali turun ke tanah kecuali untuk mencari makan. Setelah anak itu berusia enam bulan dan sudah pandai berayun-ayun, tubuhnya sudah kuat, barulah induk kera ini membawanya turun. Anak itu belum dapat berjalan seperti manusia, akan tetapi sudah pandai merangkak dan berloncatan dari cabang ke cabang. Seorang anak lelaki yang sehat dan berwajah tampan, rambutnya lebat dan hitam sekali, mukanya bundar dan matanya bersinar tajam dan liar seperti mata monyet-monyet. Pada suatu pagi, ketika anak yang baru berusia enam bulan itu mencokel-cokel batu di bawah pohon mencari cacing, tiba-tiba terdengar suara mengaum. Anak itu mengangkat muka dan memandang terbelalak ketakutan kepada seekor harimau yang tahu-tahu telah berada di depannya! Harimau itu besar sekali, sudah tua dan tubuhnya agak kurus seperti harimau kurang makan! Akan tetapi justru hal ini membuat dia menjadi lebih buas dari pada biasanya. Kelaparan membuat binatang menjadi buas dan galak! "Aaauuughhhmmm!" Harimau itu menggereng melangkah maju. Agaknya dia merasa terheran-heran melihat makhluk yang tidak berbulu ini. Dia sudah terbiasa menubruk dan menjadikan mangsanya binatang-binatang yang lebih kecil dan lemah, namun hampir semua binatang itu berbulu, tidak seperti makhluk ini. Seperti segumpal daging yang lunak dan tinggal menelan saja! Air liur membusa keluar dari mulut harimau itu. Pada saat itu, dengan kecepatan yang amat luar biasa bagi seorang anak berusia enam bulan, anak itu meloncat dan menggunakan kedua tangan dan kaki menangkap batang pohon. Akan tetapi lompatannya tidak begitu tinggi dan harimau itu pun dengan cepatnya meloncat dan menerkam ke arah batang pohon itu sambil berdiri. Cakar yang amat tajam meruncing dari kaki kirinya menancap d pundak kiri anak itu. Anak itu mengeluarkan pekik mengerikan dan terbanting lagi ke bawah. Pundaknya robek dan nampak darah mengalir keluar dari luka memanjang pada pundaknya, dari pundak hingga ke punggung. Sebelum harimau itu menubruk lagi, tiba-tiba saja terdengar pekik dan gerengan dahsyat. Induk monyet itu sudah melayang turun, cepat menyambar tubuh anak itu dengan lengan kanannya dan dengan taring nampak mengancam dia lalu menghadapi harimau, tangan kirinya bergerak-gerak dan mengeluarkan pekik berkali-kali. Monyet betina itu siap untuk melindungi anaknya dengan taruhan nyawanya. Padahal biasanya, kalau melihat harimau ini dia tentu akan lari dan mengamankan diri di cabang tertinggi dari pohon-pohon besar. Akan tetapi, ketika melihat anaknya terluka dan terancam, dia lupa rasa takut dan menghadapi harimau itu dengan memperlihatkan taring sambil memberi tanda kepada kawan-kawannya! Di antara para binatang liar, rombongan monyet memang memiliki naluri untuk bersetia kawan. Meski pun mereka semua takut dan ngeri menghadapi harimau yang sudah biasa makan seekor di antara kawan-kawan mereka yang lengah, akan tetapi kini melihat induk monyet itu terancam, dan juga melihat anak manusia yang telah mereka terima sebagai satu di antara kawan-kawan mereka sendiri itu terluka, mereka langsung berlompatan dan berdatangan ke bawah, menggereng dan menghadapi harimau itu dengan marah! Harimau itu mengaum, akan tetapi monyet-monyet itu menggereng. Sang harimau kalah gertak agaknya, maka dia lalu menggereng dan menyambar ke kanan di mana terdapat seekor monyet jantan yang masih muda. Monyet ini memekik, akan tetapi sekali sambar saja sang harimau sudah menggigit tengkuknya dan binatang buas itu lalu melarikan diri sambil membawa korbannya yang sudah digigit patah batang lehernya dan sudah tidak berkutik lagi itu. Anak kecil itu menangis dan monyet betina itu lalu merawat luka anaknya dengan penuh kasih sayang, menjilati luka itu sampai bersih. Setiap hari dijilatinya luka di pundak anak pungutnya itu dan agaknya karena ini maka luka itu cepat sekali sembuh. Belum sebulan lamanya, luka itu sudah sembuh sama sekali, hanya nampak bekas luka memanjang dari pundak ke punggung. Kini anak itu sudah bermain-main dan mencari makan lagi seperti biasa, berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon dengan cekatan sekali. Kehidupan di dalam hutan liar memang penuh dengan bahaya. Oleh karena itu, binatang-binatang hutan, terutama golongan monyet yang lebih cerdik di antara binatang-binatang itu, memiliki naluri tajam sekali dan pertumbuhannya cepat. Sayang bahwa anak manusia itu sesuai dengan hukum alam, tidak sama pertumbuhannya dengan monyet, maka oleh para monyet lain dianggap sebagai monyet aneh yang lemah. Monyet-monyet lain, dalam usia setahun telah menjadi monyet yang dapat berdiri sendiri, tidak lagi mengandalkan induknya. Akan tetapi anak yang tidak berbulu itu tidak mungkin hidup tanpa pengawasan dan penjagaan induknya. Agaknya monyet betina itu maklum pula akan keadaan anaknya yang lemah ini. Dia tak mau lagi didekati monyet jantan dan seluruh waktunya hanya dipergunakan untuk mengasuh anak itu, diasuh dan diikutinya ke mana pun anak itu pergi. Setahun kemudian, anak itu sudah mulai dapat berdiri akan tetapi jalannya membungkuk setengah merayap, meniru gerakan monyet, hanya dia makin pandai memanjat pohon, pandai meloncat dari dahan ke dahan. Bagi seorang manusia, atau bagi ukuran manusia tentu saja gerakannya sangat mentakjubkan, cepat bukan main. Akan tetapi bagi ukuran monyet, tentu saja dia amat lamban dan lemah! Betapa pun juga, agaknya karena dia jauh lebih cerdik dari pada monyet, memiliki daya tangkap lebih tajam dengan pikirannya, maka di dalam banyak hal anak itu mengalahkan monyet-monyet itu dan dia pun tidak sebuas monyet-monyet itu sehingga dia disukai oleh semua monyet dari yang kecil sampai yang besar. Pada suatu hari, pada waktu anak itu sedang bermain-main dengan monyet-monyet kecil setelah kenyang makan buah, tiba-tiba terdengar pekik seekor monyet kecil yang bermain agak jauh dari teman-temannya. Semua monyet cepat meloncat ke pohon dan mencari tempat sembunyi yang aman. Akan tetapi anak itu sebaliknya malah cepat menghampiri tempat temannya itu menjerit dan dia melihat bahwa seekor monyet kecil sedang berhadapan dengan seekor ular. Ular itu kecil saja, sebesar lengan kanak-kanak dan panjangnya hanya kurang lebih tiga kaki, kulitnya belang-belang dan lehernya berkembang lebar. Ular itu mengangkat kepalanya, mengeluarkan suara mendesis hingga monyet kecil itu ketakutan, seperti lumpuh saking takutnya dan hanya dapat menjerit-jerit. Anak manusia itu tiba-tiba meloncat sambil menyambar sebatang ranting, lalu dipukulnya kepala ular itu. Ular yang marah itu mengelak, lalu kepalanya meluncur dan tiba-tiba anak itu berteriak keras saat betis kakinya tergigit oleh ular. Dia roboh dan berusaha menggigit leher ular. Mereka bergumul dan monyet kecil tadi segera berlari dan naik ke atas pohon sambil memekik-mekik. Terdengar gerengan keras dan monyet betina besar yang sudah cepat datang ke tempat itu, kini melayang turun diikuti kawan-kawannya. Melihat anaknya bergumul dengan ular yang menggigit betis anak itu, monyet betina menjadi marah sekali, Demikian pula teman-temannya. Mereka menubruk ular itu, menggigit leher dan seluruh tubuhnya, mencabik-cabiknya sehingga sebentar saja ular itu sudah putus-putus tubuhnya. Akan tetapi anak itu menggeletak dalam keadaan pingsan dan kaki yang tergigit ular itu membengkak dan berwarna biru! Bagi monyet-monyet itu, mereka tidak akan mudah terpengaruh oleh racun ular. Mungkin dari perbedaan susunan di dalam tubuh, entah bagaimana, akan tetapi racun ular tidak mudah mencelakakan mereka sehingga gigitan seekor ular berbisa itu kiranya tidak akan membuat mereka tewas. Akan tetapi berbeda dengan anak manusia itu. Anak itu pingsan dan kalau tidak memperoleh pengobatan yang tepat, tentu dia akan tewas dalam waktu sehari dua hari saja. Dengan nalurinya monyet betina besar itu tahu bahwa anaknya terancam bahaya maut. Dia memondong tubuh anak itu seperti tubuh bangkai anaknya dahulu, dibawanya lari ke sana-sini dan berloncatan dari dahan ke dahan, menjauhi teman-temannya dan akhirnya dia sampai di dekat goa di mana dulu dia mengambil anak itu yang baru terlahir, setahun yang lalu. Dengan suara menguik-nguik seperti orang menangis, monyet betina itu memasuki goa. Ada tiga ekor temannya mengikutinya dengan takut-takut. Monyet betina itu memandang ke kanan kiri, namun goa itu kosong. Bahkan bangkai anak monyet atau pun rangkanya tidak nampak lagi di situ. Ke manakah perginya Liong Si Kwi? Seperti kita ketahui, satu tahun yang lalu, wanita ini kembali roboh pingsan sesudah dia siuman pada waktu paginya dan melihat bahwa yang menggeletak di antara pahanya adalah bangkai seekor anak monyet. Rasa terkejut dan ngeri membuatnya pingsan kembali. Akan tetapi kali ini, karena tubuhnya telah mulai pulih kekuatannya, dia tidak lama dalam keadaan tidak sadar itu. Sesudah dia siuman kembali, dia lebih tenang dan pikirannya bekerja sambil dia duduk dan memandang ke arah bangkai monyet itu. Diambilnya bangkai itu dan diperiksanya. Benar-benar bangkai seekor monyet kecil. Jelas dia tidak melahirkan anak monyet! Tentu anaknya telah terlahir dan ada yang mengambil anaknya itu, menukarnya dengan seekor monyet kecil yang mati dengan kepala terluka. Ini bukan anak monyet yang baru saja terlahir, pikirnya. Hatinya lega. Tidak, dia tidak melahirkan monyet! Tidak mungkin keturunan Cia Bun Houw berupa monyet! Akan tetapi timbullah kekhawatiran lain di dalam hatinya. Siapakah yang menculik anaknya? Jantungnya berdebar kencang. Jangan-jangan ayah kandungnya yang datang mengambil anaknya? Mudah-mudahan demikian, pikirnya penuh harap. Akan tetapi kalau Bun Houw yang datang, mengapa pemuda itu membiarkan saja dia pingsan tanpa menolong dirinya? Bukan demikian watak pendekar sakti itu. Dan mengapa pula menukar anaknya dengan bangkai seekor monyet kecil? Ini pun tidak masuk akal! Yang sanggup melakukan hal sekeji dan seaneh itu pantasnya hanyalah seorang tokoh kaum sesat. Akan tetapi siapakah yang akan melakukan hat seperti itu kepada anaknya? Di antara tokoh sesat yang tadinya membantu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li di Istana Lembah Naga, semuanya telah tewas ketika terjadi pertempuran melawan para pendekar sakti. Hanya Hek-hiat Mo-li seorang yang tidak tewas dan nenek iblis itu sudah pergi bersama muridnya, yaitu Raja Sabutai. Nenek itukah yang melakukan hal ini? Dia bergidik kalau teringat kepada nenek bermuka hitam yang mengerikan itu. Akan tetapi mengapa nenek itu melakukan hal seperti ini, menculik seorang bayi yang baru terlahir. Si Kwi bangkit berdiri, mengepal kedua tangannya dan memandang keluar goa. "Hek-hiat Mo-li, agaknya engkaulah yang melakukan hal ini. Nenek jahanam, iblis laknat, sungguh engkau bukan manusia, melainkan iblis betina yang keji!" Dia lalu menangis karena merasa tidak berdaya menghadapi nenek itu. Gurunya sendiri, Hek I Siankouw, takut terhadap nenek bermuka hitam itu. Apa lagi dia. Andai kata benar nenek itu yang melakukan dan dia dapat mencarinya, apakah yang mampu dia lakukan terhadap nenek itu? Kepandaian nenek itu jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Dan dia teringat bahwa memang terdapat ilmu-ilmu sesat yang hanya baru dapat dikuasai dengan syarat makan dan minum darah bayi yang baru terlahir. Dia bergidik dan menangis lagi. "Bun Houw... Cia Bun Houw... hanya engkau seoranglah yang sanggup melawan nenek itu, hanya engkau seoranglah yang akan dapat menyelamatkan anak itu, anakmu, darah dagingmu... akan tetapi mana engkau sudi melakukannya...?" Si Kwi kembali menangis sesenggukan. Sesudah reda tangisnya, dia lalu keluar dari dalam goa, membawa bangkai anak monyet itu. Entah bagaimana, melihat bangkai anak monyet itu, dia merasa kasihan. Seolah-olah dia teringat bahwa anaknya sendiri pun berada di dalam bahaya, dan mungkin saja mati seperti anak monyet ini. Membayangkan betapa anak yang dikandungnya itu mati tanpa ada yang menolong, timbul rasa iba di hatinya terhadap anak monyet itu dan meski pun tubuhnya masih lemah, dia memaksa diri mengubur bangkai itu baik-baik. Semenjak melahirkan dan anaknya hilang, Si Kwi hidup makin tak peduli lagi. Pakaiannya jarang digantinya, tubuhnya kurus, mukanya pucat, rambutnya awut-awutan dan dia lebih sering tidur di dalam kamarnya di Istana Lembah Naga, bermalas-malasan dan hanya kalau rasa lapar di dalam perutnya sudah terlalu hebat saja dia terpaksa keluar mencari bahan makanan. Hidupnya terasa kosong dan hampa dan dia seperti mayat hidup saja. Kecewa menimbulkan iba diri, dan iba diri menimbulkan duka. Duka semakin mendalam karena dorongan ingatan, dan sengsaralah manusia yang telah menjadi korban dari duka. Hidup terasa kosong dan sengsara, lenyaplah segala keindahan serta kegembiraan, hati selalu tersiksa dan pikiran selalu melamun dan melayang jauh. Padahal, sebelum terjadinya peristiwa dengan Bun Houw di Lembah Naga, sebelum dia bertemu dengan pemuda yang sangat dikaguminya itu, Liong Si Kwi adalah seorang dara cantik manis dan angkuh, yang selalu mengandalkan kepandaian dan merasa tak pernah kekurangan sesuatu dalam hidupnya! Sebetulnya Liong Si Kwi bukanlah keturunan orang jahat, tidak pula menjadi murid orang jahat. Mendiang ayahnya adalah seorang piauwsu (pengawal kiriman barang berharga) yang terkenal gagah dan jujur. Akan tetapi ayahnya tewas di tangan penjahat, dan ibunya meninggal karena duka setelah ayahnya meninggal. Dia dirawat dan dididik oleh Hek I Siankouw. Gurunya itu, Hek I Siankouw, sesungguhnya juga bukan seorang jahat. Sebaliknya malah, Hek I Siankouw adalah seorang pendeta wanita, seorang penganut Agama To dan selain mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sekali, juga tokouw ini tidak pernah melakukan kejahatan, bahkan selalu menentang para penjahat yang mengganggu ketentraman. cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Akan tetapi sayang, seperti halnya setiap orang pandai, dia tetap manusia seperti para manusia lain, tetap memiliki kelemahan. Semenjak masih mudanya, Hek I Siankouw telah menjadi pendeta, menguasai segala macam nafsunya, terutama nafsu birahi. Akan tetapi, ketika dia bertemu dengan seorang pendeta Agama To lain, yaitu Hwa Hwa Cinjin, seorang tosu yang sangat sakti, yang bersikap lemah-lembut, yang pada waktu mudanya memang tampan sekali, dia tidak kuat menahan gelora hatinya yang tertarik! Demikian pula Hwa Hwa Cinjin, ketika bertemu dengan Hek I Siankouw yang ketika itu sudah berusia lima puluh tahun, dia tertarik sekali dan terjadilah hal yang aneh di antara kedua orang pendeta ini! Mereka tidak dapat menahan nafsu birahi mereka dan terjadilah hubungan cinta gelap di antara mereka! Memang aneh sekali, akan tetapi kalau diingat bahwa mereka hanyalah manusia-manusia biasa dengan segala macam kelemahan mereka, sesungguhnya hal itu tidak pula aneh. Apakah bedanya tua atau muda kalau nafsu sudah menguasai diri? Baik Hek I Siankouw mau pun Hwa Hwa Cinjin, keduanya bukan pula termasuk golongan jahat, bukan tokoh-tokoh kaum sesat. Akan tetapi keadaan menyeret mereka sehingga mereka terpaksa bersekutu dengan kaum sesat dan memusuhi golongan pendekar. Yang menjadi sebab adalah karena mendiang suheng dari Hwa Hwa Cinjin yang bernama Toat-beng Hoatsu, sudah tewas di tangan kaum pendekar. Untuk membalas dendam atas kematian suheng-nya inilah maka Hwa Hwa Cinjin akhirnya bermusuhan dengan ketua Cin-ling-pai, yaitu Pendekar Cia Keng Hong! Dan karena Hek I Siankouw adalah kekasih dari Hwa Hwa Cinjin, maka tentu saja tokouw ini membela kekasihnya. Dan karena Cia Keng Hong serta keluarganya adalah keluarga yang memiliki kesaktian hebat, maka mereka terpaksa bergabung dengan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari mereka. Untuk menghadapi keluarga Cia itu sendiri, tentu mereka berdua tidak akan sanggup melawan! Demikianlah, sesudah Hek I Siankouw berdiri di fihak musuh keluarga Cia, maka dengan sendirinya sebagai murid tokouw itu, Liong Si Kwi terpaksa pula membela gurunya dan berdiri pada fihak gurunya bermusuhan dengan kduarga Cia. Akan tetapi sungguh celaka baginya, dia jatuh cinta kepada Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai itu, bahkan dia telah menyerahkan kehormatannya kepada pemuda itu! Semua itu telah dituturkan dengan jelas di dalam cerita Dewi Maut. Liong Si Kwi bukan keturunan orang jahat, akan tetapi dia terjerumus ke dalam lingkungan jahat sehingga dia pun terseret dan menerima akibatnya. Dan kini, sungguh dia merupakan seorang wanita muda yang patut dikasihani. Ia telah kehilangan kehormatannya, kehilangan tangan kirinya, kehilangan pria yang amat dicintanya, kehilangan harapan, dan kini setelah melahirkan dia kehilangan anaknya pula! Segala-galanya telah habis bagi Si Kwi dan agaknya dia hanya tinggal menanti datangnya kematian di tempat sunyi itu seorang diri saja. Akan tetapi kehidupan manusia selalu berubah. Hidup adalah gerakan, seperti air sungai mengalir yang selalu baru dan berubah. Hari ini boleh jadi berduka, besok belum tentu demikian. Hari ini menangis, besok mungkin tertawa. Hari ini melakukan kejahatan, esok mungkin berbuat kebaikan. Sebaliknya kesenangan hari ini mungkin berubah menjadi kesusahan pada hari esok dan selanjutnya. Oleh karena itu, kelirulah kalau menilai hidup dan keadaan seseorang dari perbuatan atau keadaannya di masa lalu! Dan tidak benar pula mengukur baik buruknya seseorang dari SATU perbuatan saja! Keadaan Si Kwi yang sudah putus asa itu, yang menganggap kehidupan sebagai tempat derita belaka, tanpa adanya harapan akan terjadi perubahan, yang menganggap bahwa tidak mungkin bagi dia untuk dapat bergembira lagi, ternyata tidaklah demikian. Terjadilah perubahan yang sama sekali tidak pernah dibayangkannya dalam mimpi. Hari itu, pagi-pagi sekali Si Kwi telah meninggalkan istana untuk mencari makanan karena perutnya terasa lapar sekali. Dia pergi memetik sayur-sayuran di ladang yang sudah tidak terawat itu dan ketika hendak pulang dia melihat seekor kelinci lari dari ladang. Dia cepat mengejarnya dan kelinci itu memasuki hutan. Dengan sebuah batu yang disambitkannya, dia dapat merobohkan kelinci itu. Akan tetapi ketika dia mengambil bangkai kelinci dan hendak pulang, dia melihat goa besar di mana dia dahulu melahirkan. Melihat goa ini dari jauh, hatinya tertarik dan seperti di luar kehendaknya sendiri, kedua kakinya melangkah menuju ke goa itu. Setelah sampai di depan goa, niatnya hanya ingin menjenguk ke dalam sebentar lalu pergi lagi. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tangis anak-anak yang aneh sekali dari dalam goa! Si Kwi kaget setengah mati. Dengan mata terbelalak dia memandang ke arah goa, sayur beserta bangkai kelinci yang dipegangnya terlepas dari kedua tangannya, muka menjadi pucat dan dia merasa bulu tengkuknya meremang. Setan? Roh anaknya? Bermacam bayangan yang mengerikan terbayang di dalam benaknya. Akan tetapi rasa takutnya itu dibantahnya sendiri. Mana mungkin di siang hari muncul setan? Telah hampir dua tahun dia tinggal seorang diri di tempat itu dan belum pernah sekali pun dia bertemu setan! Tahyul belaka! Si Kwi adalah seorang wanita perkasa, maka rasa takut itu segera dibuangnya kemudian dengan langkah lebar dia memasuki goa besar itu. Tadinya dia hanya berdiri saja karena mengira bahwa tentu telinganya yang salah dengar, mungkin karena memikirkan anaknya maka telinganya mendengar suara khayalan. Akan tetapi ketika tangis itu terus terdengar, bahkan makin keras terdengar, dia cepat memasuki goa. Dan di tengah goa itu, di tempat di mana dia dulu melahirkan anaknya, nampak seorang anak kecil rebah terlentang sambil menangis! Kaki kiri anak itu membengkak hitam, dan di situ terdapat empat ekor monyet besar-besar yang menjaga anak itu. Seorang anak lelaki, anak manusia dijaga empat ekor monyet! Seketika, bagaikan cahaya kilat memasuki benaknya, Si Kwi mengerti bahwa itulah anaknya! Bahwa itulah anaknya yang lenyap setahun yang lalu, diculik oleh monyet-monyet itu! Dan kini mengertilah dia bahwa yang menukar anaknya dengan monyet adalah monyet-monyet besar ini! Entah siapa yang terlebih dahulu menerjang maju. Si Kwi sudah marah karena menduga bahwa monyet-monyet itu yang dulu mencuri anaknya, sedangkan empat ekor monyet itu, didahului oleh induk monyet, marah oleh karena melihat wanita itu menghampiri anaknya. Mereka sudah saling terjang dan Si Kwi dikeroyok oleh empat ekor monyet besar yang mencakar dan menubruk, dengan mulut bertaring dan hendak menggigitnya. Akan tetapi, selama dua tahun kurang itu, Si Kwi tidak kehilangan kepandaiannya serta kesigapannya sungguh pun dia tidak pernah berlatih. Ilmu silat yang dipelajarinya serta dilatihnya selama bertahun-tahun dahulu itu telah mendarah daging di tubuhnya sehingga gerakannya sudah menjadi otomatis. Kedua kakinya bergerak-gerak menendang, tangan kanannya menampar dan tubuhnya bergerak dengan sigapnya mengelak dari setiap tubrukan. Tendangan-tendangan berikut tamparannya mengenai tubuh monyet-monyet itu dengan tepat sehingga dalam beberapa gebrakan saja dia sudah berhasil menghajar monyet-monyet itu yang langsung terlempar dan terbanting jatuh bergulingan. Akhirnya tiga ekor monyet melarikan diri, tinggal seekor monyet betina besar saja yang masih melawan. Akan tetapi dia bukanlah lawan Si Kwi sehingga beberapa kali dia kena ditendang atau pun dihantam. Pukulan tangan kanan Si Kwi yang terakhir tepat mengenai tengkuk monyet betina itu, membuat monyet itu terpelanting roboh dan tak bergerak lagi, pingsan. Si Kwi lalu menghampiri anak laki-laki yang masih menangis itu. Dia memegangnya, akan tetapi dia bergerak kaget dan mengelak ketika anak itu tiba-tiba saja menggunakan mulut untuk menggigit tangannya sambil mengeluarkan suara gerengan! Si Kwi berdiri bengong. Benarkah ini adalah anaknya? Benar bahwa anak ini tidak salah lagi adalah seorang anak manusia, bocah laki-laki yang bertubuh sehat dan kuat, namun kaki kirinya bengkak menghitam, agaknya telah keracunan. Dan anak ini memang berusia kurang lebih satu tahun, maka tepat sekali kalau anak ini adalah anak yang dilahirkannya setahun yang lalu. Namun anak ini merupakan seekor monyet bertubuh dan berwajah manusia! Kemudian teringatlah dia bahwa mungkin sejak lahir, anak ini tumbuh di tengah-tengah sekumpulan monyet, maka tentu saja tingkah lakunya mirip monyet. Pikiran ini membuat dia merasa terharu sekali. "Anakku...!" bisiknya dan air matanya jatuh bercucuran. Dia lalu memondong anak itu, tidak mempedulikan anak itu menggigit lengannya karena dengan kulit tubuhnya yang terlatih dan kuat, tentu saja gigitan anak berusia setahun itu tidak menyakitkan. Melihat keadaan kaki anak itu yang membengkak dan membiru, Si Kwi cepat berlari pulang, memasuki istana dan langsung dia masuk ke dalam kamarnya. Anak itu yang tadinya meronta-ronta kini tidak bergerak lagi, agaknya pingsan. Si Kwi cepat mengambil obat yang banyak terdapat dalam salah sebuah kamar di istana itu. Sebagai orang-orang sakti yang mempunyai banyak anak buah ketika mereka tinggal di istana ini, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li tentu saja menyimpan berbagai macam obat-obatan, sangat banyak sehingga memenuhi satu kamar dan mereka adalah ahli-ahli racun yang tentu menyimpan obat-obat untuk orang keracunan pula. Ada pun Si Kwi adalah murid dari Hek I Sainkouw yang juga ahli dalam mengobati segala macam luka akibat keracunan, kepandaian yang penting bagi orang-orang kang-ouw yang sering melakukan perantauan, sering pula menghadapi bahaya dari lawan yang memakai senjata beracun, maka tentu saja wanita muda ini mengerti pula tentang pengobatan luka beracun. Dia sudah memeriksa luka pada kaki anak itu dan dapat menduga bahwa tentu luka itu disebabkan oleh gigitan binatang beracun, agaknya ular melihat ada lubang kecil di kaki itu, bekas taring ular. Maka dia cepat memilih obat-obat yang khusus untuk menghadapi racun ular. Dengan hati penuh kekhawatiran dan dengan cekatan sekali dia lalu menggunakan obat gosok untuk pertama-tama mengobati luka itu. Dengan ujung pisau runcing yang sudah dibakarnya dulu, dia merobek kulit daging betis kaki itu, lalu mengisap dengan mulutnya, mengeluarkan darah menghitam dari dalam luka. Kemudian dia memaksakan obat yang telah digodoknya ke dalam mulut anak itu sedikit demi sedikit. Dengan penuh ketelitian Si Kwi merawat anak itu dan dalam waktu satu hari satu malam saja Si Kwi sudah berhasil menolong anak itu terbebas dari ancaman racun yang dapat membawa maut. Anak itu siuman kembali, mula-mula hendak meronta akan tetapi karena tubuhnya lemah, dia diam saja hanya memandang kepada Si Kwi penuh kecurigaan dan kadang-kadang mengeluarkan suara menggereng dan memperlihatkan giginya! Si Kwi makin terharu. Anak ini sudah hampir menjadi monyet karena gerak-geriknya! Dia lalu menimang-nimangnya, memberinya makan. Akan tetapi mula-mula anak itu tak mau makan segala macam masakan, kecuali hanya buah-buahan. Persis benar seperti seekor monyet. Naluri seorang ibu sangat kuat. Cinta kasih seorang ibu memang memiliki getaran halus yang amat kuat, yang dapat menembus kebodohan anak itu. Agaknya sebagai seorang manusia pula, anak itu juga mempunyai perasaan dan dapat menerima getaran cinta kasih ibu kandungnya sehingga dalam waktu beberapa hari saja dia sudah menjadi jinak, makin berkurang kebuasannya, dan dalam waktu sebulan, dia sudah begitu melekat kepada Si Kwi sehingga mau digandeng dan diajar berjalan karena jalannya masih seperti orang hutan, dengan sepasang kaki ditekuk rendah, kedua lengan bergantung hampir mencapai tanah dan punggung membungkuk! Kini, dia mulai meniru cara Si Kwi berjalan! Juga dia mulai mau makan masakan sayuran dan daging yang disuguhkan oleh ibu kandungnya. Pertama kali Si Kwi memberi pakaian kepadanya, dia ketakutan. Ketika pakaian itu oleh Si Kwi dipakaikan pada tubuhnya, dia merobek-robeknya. Akan tetapi agaknya karena meniru Si Kwi pula, akhirnya dia mau juga mengenakan pakaian, mau pula dimandikan dan lain-lain. Persis seperti menjinakkan seekor kera. Si Kwi sering kali mengamat-amati anak itu di waktu anak tidur. Hatinya penuh rasa haru, penuh rasa sayang dan dibelainya anak itu, luka-luka di tubuh anak itu diusapnya dengan jari-jari tangan gemetar, terutama sekali luka memanjang di pundak sampai ke punggung. Luka itu memanjang dan bentuknya seperti seekor naga. Bekas luka inilah yang membuat Si Kwi mengambil keputusan untuk memberi nama Liong (Naga) kepada anaknya. Dan karena dia teringat akan kegagahan ayah kandung anak ini, akan kesaktiannya, maka dia mengharapkan agar anaknya kelak dapat menjadi seorang naga sakti. Karena itu dia lalu menamakan anak itu Sin Liong (Naga Sakti) dan tentu saja dia menambahkan she Cia kepada Sin Liong. Cia Sin Liong, demikianlah nama anak yang sejak bayi dipelihara oleh monyet, hidup di antara monyet-monyet dan hampir saja dia menjadi seekor monyet yang aneh itu. Setelah menemukan anaknya, terjadilah perubahan besar sekali dalam kehidupan Si Kwi. Kini dia dapat tersenyum lagi, dapat tertawa terkekeh-kekeh melihat kelucuan anaknya, dapat berseru kagum melihat ketangkasan anak berusia setahun lebih itu yang pandai sekali melompat, pandai memanjat pohon dan memiliki kekuatan yang jauh melebihi anak biasa. Kini Si Kwi mulai merasa gembira, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar dan bibirnya sering kali tersenyum. Mulai pula dia memperhatikan dirinya, membersihkan dirinya dan mengenakan pakaian yang patut-patut. Dia seolah-olah mulai memasuki suatu kehidupan baru! Mulai dia mengkhawatirkan sesuatu, mempedulikan sesuatu, tak lagi seperti biasa, hidup seperti mayat berjalan tanpa mempedulikan apa-apa. Mulai dia melihat keindahan-keindahan lagi di dalam kehidupannya. Tiga bulan kemudian, keadaan di Istana Lembah Naga itu telah berubah sama sekali. Dari dusun-dusun yang berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, Si Kwi mengundang lima orang wanita yang dipekerjakan sebagai pelayan. Seluruh istana itu dibersihkan, dirawat baik-baik, ladang-ladangnya ditanami sayur-sayur lagi, bahkan di samping istana dibuat sebuah taman yang penuh bunga. Pendeknya, dalam waktu beberapa bulan saja, keadaan diri Si Kwi dan sekelilingnya telah mengalami perubahan luar biasa. Wanita itu kini mau berdandan kembali, mengenakan pakaian indah karena di dalam istana itu memang banyak terdapat kain-kain yang serba indah, semangatnya bangkit dan hidup kembali. Lima orang wanita yang menjadi pelayan-pelayan itu juga suka bekerja di situ. Dua orang di antara mereka adalah orang-orang Han dan yang tiga lagi peranakan Mongol. Mereka biasanya ikut dengan rombongan suku bangsa yang suka berpindah-pindah, hidup serba kekurangan dan selalu menghadapi kesukaran. Kini, mereka hidup di istana yang besar serta indah, dan tidak kekurangan makan dan pakaian, tentu saja mereka suka berada di situ. Apa lagi, mereka hanya melayani seorang ibu dan seorang anak, tentu saja pekerjaan mereka tidak berat. Akan tetapi, ternyata tidaklah mudah untuk mengasuh Sin Liong. Anak ini sudah mulai belajar bicara, akan tetapi sekali waktu, dalam keadaan marah atau khawatir, timbul saja semacam sifat monyetnya, menggereng, mencakar dan hendak menggigit, bahkan lari memanjat pohon sampai di ranting yang paling puncak, tidak mau turun! Akan tetapi sisa watak seperti monyet ini makin lama makin menipis sungguh pun tidak dapat lenyap sama sekali seperti luka di pundak dan betisnya, biar pun sudah sembuh sama sekali, namun masih ada saja nampak bekas-bekasnya. Sering sekali para pelayan dan juga Si Kwi sendiri, memergoki monyet mendekati istana, bahkan ada satu dua kali mereka melihat Sin Liong bermain-main dengan mereka. Dan pada suatu malam, ketika anak itu sudah berusia dua tahun, anak itu lenyap dari dalam kamarnya! Sudah tentu saja para pelayan menjadi panik. Akan tetapi Si Kwi yang melihat jendela kamar itu terbuka, bersikap tenang biar pun jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kegelisahan. Dia tidak mau kehilangan puteranya untuk kedua kali! Akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu anaknya itu pergi mengunjungi teman-temannya, yaitu rombongan monyet-monyet itu. Maka pada pagi hari itu, dia bersama para pelayannya lalu menuju ke sebuah hutan lebat tidak jauh dari sana karena dia tahu bahwa di hutan inilah monyet-monyet itu berkumpul dan hidup. Sesudah mereka berenam sampai di tengah hutan, benar saja mereka melihat Sin Liong berada di antara monyet-monyet besar. Si Kwi mengerutkan alisnya dan marah sekali melihat betapa anak itu bermain-main, berloncatan dengan pakaian sudah cabik-cabik tak karuan, bersama monyet-monyet kecil makan ulat dan cacing! Monyet-monyet besar itu jumlahnya hanya belasan ekor, tidak lebih dari lima belas ekor. Banyak memang monyet-monyet kecil di situ dari lain jenis, akan tetapi monyet-monyet kera kecil ini tidak berani mendekati monyet-monyet orang hutan yang besar-besar itu, yaitu kelompok yang menjadi teman Sin Liong. "Sin Liong...!" Si Kwi segera memanggil sambil memandang ke atas pohon di mana anak itu nongkrong dengan sikap gembira. Sin Liong memandang ke bawah dan mengeluarkan suara teriakan, "Ibu...!" Hanya satu kata inilah yang selalu teringat oleh anak itu dan yang diucapkannya dengan baik. Akan tetapi dia tidak mau turun, bahkan meloncat ke dahan yang lebih tinggi lagi. "Sin Liong, kau turunlah! Mari pulang bersama ibu!" teriak Si Kwi lagi. Sin Liong tetap tidak mau turun dan kini yang turun malah seekor orang utan jantan yang amat besar. Orang utan ini adalah pemimpin dari kelompok itu, orang utan jantan yang paling besar dan kuat. Dia berloncatan turun diikuti oleh lima ekor orang utan jantan yang lain, sikap mereka sangat mengancam dan pemimpin monyet itu sudah memperlihatkan taringnya. Akan tetapi Si Kwi tidak merasa gentar dan dia tetap berdiri tegak di bawah pohon sambil memanggil-manggil Sin Liong. Lima orang pelayannya, biar pun sudah mulai dilatih silat oleh Si Kwi, merasa ngeri dan mundur-mundur ketakutan, menjauhi pohon itu. Kini keenam monyet besar itu sudah menghadapi Si Kwi. Pemimpin monyet menggereng-gereng seperti menggertak, diikuti oleh lima ekor anak buahnya. Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar gerengan lain dan sesosok tubuh kecil melayang turun dari atas pohon, dari cabang pohon paling rendah dan tahu-tahu Sin Liong sudah berada di sana, di tengah-tengah antara monyet-monyet itu dan ibunya. Dan anak ini pun menggereng-gereng dan memperlihatkan giginya yang kecil-kecil dan sama sekali tak menyeramkan, menghadapi monyet-monyet seolah-olah dia marah kepada mereka dan hendak membela ibunya. Melihat pertunjukan ini, jantung di dalam dada Si Kwi berdebar penuh rasa kagum dan keharuan. Anaknya ini, yang baru berusia dua tahun itu sudah tahu bagaimana membela ibunya! Akan tetapi monyet besar itu lantas menggereng, kemudian tangannya bergerak hendak mencengkeram atau mendorong pergi tubuh Sin Liong. Seperti sikap seekor monyet kecil menghadapi monyet besar, Sin Liong mengelak dan tidak berani melawan, hanya terus menggereng-gereng dan memperlihatkan giginya menyeringai. Si Kwi menjadi marah. "Sin Liong, minggirlah! Biar kuhajar monyet-monyet biadab ini!" Sesudah berkata demikian, Si Kwi menerjang maju, dua kali kakinya bergerak dan dua ekor monyet terpelanting! Empat ekor lainnya maju, akan tetapi Si Kwi yang sudah marah itu sekarang tidak mau membuang waktu lagi. Dengan gerakannya yang amat gesit, dia mengelak ke kanan kiri sambil membalas dengan tendangan kakinya dan dengan pukulan tangan kanannya. Akan tetapi, tubuh monyet-monyet besar itu kebal dan kuat sekali. Begitu mereka roboh, mereka sudah meloncat bangun lagi dan menyerang makin ganas, dengan mata merah dan mulut membusa, menyerang kalang kabut dengan tubrukan-tubrukan dahsyat! Si Kwi merasa kewalahan juga karena sudah tiga empat kali dia merobohkan monyet-monyet itu, namun untuk kesekian kalinya kembali mereka bangkit dan menyerang makin ganas. "Hemmm, kalian ingin mampus!" Si Kwi berteriak marah sambil meloncat ke belakang. Ketika pemimpin monyet yang terbesar dan paling ganas itu menyerang ke depan, Si Kwi menggerakkan tangan kanannya dan sebatang paku hitam meluncur. "Cappp...!" Paku itu menancap dan lenyap ke dalam tenggorokan monyet besar itu. Monyet itu mengeluarkan pekik aneh dan roboh bergulingan, berkelojotan dan tidak lama kemudian tewaslah monyet itu. Monyet-monyet yang lain, aneh sekali, menjadi ketakutan dan lari berloncatan ke atas pohon. "Grrhhhh...!" Tiba-tiba Si Kwi mengelak dan alangkah kagetnya pada waktu dia melihat anaknya sudah menerjang serta mencakarnya! Dia cepat menangkap tangan anaknya, lalu diangkatnya, dipondongnya dan diciuminya, dipeluk erat-erat. "Sin Liong... aku terpaksa membunuhnya... terpaksa...!" Lalu dia mengajak anaknya itu pulang dengan setengah memaksa. Sin Liong tak meronta lagi, akan tetapi dia diam saja, dan wajahnya memperlihatkan kemarahan. Semenjak peristiwa pembunuhan pimpinan monyet itu, watak Sin Liong menjadi pendiam dan sering kali dia memandang kepada Si Kwi dengan curiga. Akan tetapi karena sikap Si Kwi yang sangat baik kepadanya, akhirnya kecurigaannya itu lenyap dan dia mulai mau tersenyum lagi kepada ibunya itu. Liong Si Kwi juga bersikap bijaksana. Dia tahu bahwa puteranya itu tidak akan mudah menghapuskan kenangan lama, kebiasaan lama ketika hidup selama satu tahun bersama monyet-monyet itu, maka dia pun tidak melarang anaknya untuk bermain-main dengan monyet-monyet itu. Betapa pun juga, ada rasa terima kasih di hatinya terhadap monyet-monyet itu, karena tanpa adanya monyet-monyet itu, entah apa jadinya dengan anaknya karena begitu selesai melahirkan, dia langsung pingsan! Diam-diam Si Kwi membayangkan betapa anehnya kehidupan ini. Anaknya terlahir tanpa bantuan, kemudian begitu lahir langsung diculik oleh monyet besar. Heran dia memikirkan bagaimana dan apa jadinya dengan ari-ari yang ikut keluar bersama anaknya ketika lahir itu. Bagaimana cara para monyet itu memelihara bayinya? Bagaimana cara pemotongan pusarnya? Dia melihat pusar Sin Liong biasa saja seperti anak-anak lainnya. Memang demikianlah. Kita manusia lupa bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah dalam keadaan tertib, dan sudah tertib dengan sendirinya, sempurna segala-galanya. Karena manusia berakal budi, maka manusia selalu mempunyai kecondongan untuk membantu jalannya kekuasaan alam, membantu kelancarannya. Dan karena semenjak jutaan tahun bantuan-bantuan manusia ini makin berkembang, maka manusia sudah menjadi terbiasa karenanya, sehingga manusia merasa kehilangan tanpa adanya bantuan-bantuan itu. Dan mungkin sekali, karena terbisa oleh bantuan-bantuan dari luar ini, jasmani manusia menjadi kehilangan kepekaannya, kehilangan kecerdasannya, malah mungkin juga daya ketertiban yang ajaib itu sudah berkurang sehingga manusia akan merasa tidak berdaya tanpa adanya bantuan-bantuan luar yang sudah biasa diterimanya itu. Kita bisa melihat bukti adanya ketertiban alamiah yang amat dahsyat dan ajaib itu dalam kehidupan binatang-binatang hutan yang masih jauh dari peradaban manusia. Kelahiran di antara binatang-binatang itu terjadi di mana-mana, dan tentu saja di dunia mereka itu tidak mengenal adanya bantuan dari luar! Namun, semua kelahiran berjalan lancar dan sempurna! Hanya binatang-binatang yang sudah dekat dengan manusia saja, yang biasa menerima bantuan-bantuan dari manusia, akan merasa kehilangan dan mungkin akan terancam bahaya kegagalan apa bila mereka terlepas dari pada bantuan manusia yang sudah biasa mereka terima turun-temurun itu. Kini Sin Liong sering kali bermain-main dengan para monyet, bahkan melihat betapa Si Kwi tidak pernah marah dan tidak pernah mengganggu mereka, monyet-monyet itu mulai berani mendekati istana, bahkan berani bermain-main dengan Sin Liong di istana. Si Kwi memesan kepada para pelayannya agar jangan mengganggu mereka. Di dalam hatinya wanita muda ini bisa memaklumi bahwa tak mungkin Sin Liong dapat melupakan kehidupan di antara para monyet setelah sejak bayi dia minum air susu dari dada monyet betina besar yang dia lihat sering kali datang dan memandang kepada Sin Liong dengan matanya yang seperti mata seorang manusia! Monyet betina besar yang hanya menatap dari jauh, bersikap diam saja, namun sinar matanya penuh dengan kasih sayang yang dapat terasa oleh Si Kwi. Malam itu bulan bersinar terang. Si Kwi bermain-main dengan anaknya di serambi depan, sedangkan para pelayan sudah mengaso di kamar belakang. Para pelayan itu kini telah merupakan wanita-wanita yang tidak lemah lagi. Sudah beberapa bulan lamanya mereka dilatih ilmu silat oleh Si Kwi dan sungguh pun mereka tentu saja belum dapat menguasai jurus-jurus silat yang tinggi, namun setidaknya mereka telah memperoleh kesigapan dan kekuatan yang lumayan. Si Kwi sedang mengajar anaknya bercakap-cakap. Sudah lumayan juga kemajuan yang diperoleh Sin Liong dalam hal ini. Tentu saja dia ketinggalan jauh sekali jika dibandingkan dengan anak-anak biasa. Usianya sudah dua tahun setengah, namun dia hanya baru bisa mengeluarkan beberapa patah kata saja, di antaranya yang paling jelas adalah IBU, YA, TIDAK, MAKAN, MINUM dan TIDUR. Namun dengan bahasa isyarat dia sudah mengerti jauh lebih banyak, dan pengertiannya menangkap kata-kata jauh lebih baik dari pada kepandaiannya mengucapkan kata-kata. Juga kini dia sering kali tertawa-tawa ditimang oleh Si Kwi, dan dapat pula menunjukkan kasih sayangnya dengan memeluk leher ibunya kalau dia sedang dipangku. Tiba-tiba saja terdengar bunyi cecowetan dan di antara bayangan pohon-pohon nampak beberapa ekor monyet kecil menghampiri serambi itu. Si Kwi mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tidak melarang pada waktu Sin Liong merosot turun dari atas pangkuannya dan berlari keluar, menyambut kedatangan monyet-monyet itu. Biarlah, pikirnya. Anak itu berhak untuk bergembira dan bermain-main, seperti anak-anak lain. Dan karena di situ tidak ada anak lain, maka tentu saja anak itu bersababat dengan monyet-monyet yang memang sejak lahir sudah menjadi sababatnya. Hatinya lega ketika melihat Sin Liong tidak merobek-robek pakaiannya lagi, bahkan di dalam kegembiraannya itu terdengar gelak tawanya seperti seorang anak manusia di antara suara cecowetan monyet. Anak itu sudah makin mendekati sifat manusia dari pada sifat monyet, pikirnya dan dia pun melangkah masuk ke dalam kamarnya, membiarkan anaknya bermain-main di luar karena dia tahu bahwa kini, semenjak peristiwa pertempurannya melawan monyet-monyet itu, Sin Liong tidak mau pergi jauh dari halaman depan istana. Si Kwi sedang membaca kitab yang berisi cerita kuno sambil rebah di pembaringannya, ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dari luar dan nampak anaknya memasuki kamar sambil berlari setengah merangkak cepat sekali. Si Kwi bangkit duduk dan terkejut. Kalau Sin Liong sudah melupakan pesannya bahwa anak itu tidak boleh merangkak melainkan harus berjalan seperti manusia, dan kini anak itu berjalan setengah merangkak karena hal ini membuat dia dapat bergerak lebih cepat, tentu ada apa-apa yang penting pikirnya. "Liong-ji... ada apakah...?" Hatinya lega melihat Sin Liong tidak terluka, dan agaknya tidak terjadi apa-apa dengan anak itu, akan tetapi anak itu kelihatan gugup dan takut. "Ibu... keluar... keluar...!" Dia berkata, sukar sekali, akan tetapi kedua tangannya jelas memberi isyarat kepada ibunya agar ibunya suka keluar dari dalam kamar itu. Si Kwi meloncat turun dan mengikuti anaknya yang kembali lari setengah merangkak dan berloncatan keluar dari dalam kamar, terus ke serambi depan dan hendak terus keluar dari halaman istana. Akan tetapi Si Kwi memegang lengan anaknya dan berdiri tegak di tengah halaman istana yang amat sunyi itu. Sinar bulan menerangi tempat itu. "Ibu...!" Sin Liong menuding ke depan. "Sstttttt...!" Si Kwi menaruh telunjuk di depan mulut, isyarat yang dikenal oleh Sin Liong agar dia berdiam diri. Si Kwi yang memiliki pendengaran tajam terlatih itu telah mendengar sesuatu dari jauh. Maklumlah dia bahwa ada datang beberapa orang pengunjung. Siapa pula yang berani datang mengunjungi tempat ini? Dulu sebelum dia melahirkan, pernah beberapa kali ada orang-orang yang berkeliaran di dekat istana, mungkin pemburu-pemburu binatang. Akan tetapi dia telah mempergunakan kepandaiannya, menyambit mereka dari jauh dengan kerikil-kerikil kecil hingga membuat mereka langsung lari ketakutan karena sambitannya tepat mengenai mereka dan cukup menyakitkan. Akan tetapi sekali ini, malam-malam ada orang-orang datang. Siapa mereka dan apa maksud kedatangan mereka? "Liong-ji, kau masuklah ke dalam!" kata Si Kwi sambil menuding ke arah serambi istana. Si Liong yang mempunyai naluri monyet dan tahu bahwa ada bahaya mengancam, cepat berloncatan dan dia sudah bersembunyi di balik tiang di serambi itu sambil mengintai ke arah ibunya yang berdiri tegak dan tenang menanti datangnya orang-orang yang sudah dia dengar langkah kaki dan suaranya itu. Tak lama kemudian nampaklah enam orang laki-laki tinggi besar yang melihat lagak dan pakaiannya, tentulah sebangsa orang-orang kasar yang biasa mengandalkan keberanian serta kekuatan mereka untuk melakukan apa saja tanpa mempedulikan hukum dan peri kemanusiaan. Mereka tercengang ketika melihat Si Kwi yang berdiri di tengah halaman istana itu dan mereka semua menahan langkah kaki, memandang ke depan dan memperhatikan Si Kwi dari kepala sampai ke kaki. "Bukan main...! Cantik sekali...!" "Seperti bidadari! Dewi kahyangan rupanya!" "Orang bilang, di sini ada setannya, kiranya yang ada hanyalah dewi manis!" "Sayang tangan kirinya buntung!" "Tidak apa, yang penting buat kita kan bukan tangan kirinya, heh-heh!" Mereka semua bergelak tertawa dan masih terdengar lagi ucapan-ucapan tidak senonoh yang membuat muka Si Kwi menjadi merah dan terasa panas. Kini mereka melangkah maju dan menghadapi Si Kwi sambil menyeringai. Seorang di antara mereka, yang kulit mukanya hitam dan penuh brewok, matanya lebar, tubuhnya tinggi besar dan agaknya dialah yang memimpin rombongan keenam orang itu, berkata, "Heh-heh, nona manis. Inikah yang dinamakan Istana Lembah Naga?" Si Kwi bersikap tenang dan menahan kemarahannya, akan tetapi mendengar pertanyaan itu dia menjawab, "Benar!" Laki-laki itu tertawa. "Ha-ha-ha, kami dengar di sini ada setannya. Mana setannya? Dan siapa engkau, nona manis?" "Penghuni istana ini adalah aku! Lebih baik kalian lekas pergi dari sini! Tidak ada seorang pun boleh mendatangi tempat ini!" kata Si Kwi dengan nada suara dingin mengancam. Akan tetapi enam orang laki-laki itu tentu saja memandang rendah dan mereka semua tertawa. Si brewok itu tertawa paling keras lantas berkata, "Ha-ha-ha, boleh jadi engkau aneh, nona, seorang wanita muda cantik manis tinggal di istana besar seorang diri. Akan tetapi engkau hanya seorang wanita muda yang lemah, berpakaian indah serba merah, malah tangan kirimu buntung. Andai kata engkau benar-benar setan, heh-heh-heh, aku senang berteman dengan setan seperti engkau ini. Aku tidak takut kau gigiti. Ha-ha-ha!" "Ha-ha-ha-heh-heh!" Lima orang temannya tertawa semua. "Bhong-twako, boleh engkau nikmati dia, kami akan menikmati barang-barang di dalam istana itu saja, heh-heh!" Pada saat itu, mereka semua tercengang dan memandang ke serambi depan. Ternyata lima pelayan sudah berada di situ semua. Mereka itu semua ditarik-tarik dan diajak keluar oleh Sin Liong dan kini mereka berdiri di serambi sedangkan Sin Liong sudah sembunyi lagi sambil mengintai. "Wah, wah, kiranya masih ada lima orang lagi? Ha-ha, sungguh tepat. Enam lawan enam! Ah, Bhong-twako, kami juga sudah dijemput, biar pun tidak secantik si buntung ini, akan tetapi mereka itu jelas perempuan, tidak banci. Itu saja sudah cukup, ha-ha!" Lima orang itu tertawa-tawa, mata mereka memandang ke arah lima orang pelayan itu. Pelayan-pelayan itu terdiri dari wanita-wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh lima tahun, dan karena mereka itu sehat-sehat dan berpakaian cukup bersih, maka nampak pula sifat kewanitaan mereka. Sambil bersorak kelima orang itu sudah bergerak hendak menyerbu ke serambi. "Tahan!" Tiba-tiba Si Kwi berseru, suaranya nyaring dan penuh wibawa sebab dia berseru sambil mengerahkan khikang-nya. "Tahan atau kalian akan mati di tempat!" Enam orang itu terkejut dan si brewok memecahkan perasaan kaget yang mencekam itu dengan suara ketawanya. "Ha-ha-ha, lagakmu sangat hebat, nona. Seorang wanita muda sepertimu ini, bersama lima orang temanmu itu, apa gunanya melawan kami? Lebih baik menurut saja, menyerah dan kalian akan memperoleh kesenangan dan selanjutnya hidup bersama kami..." "Hemm, kalian enam orang sungguh lancang. Katakan dulu siapakah kalian, dari mana kalian datang sehingga kalian tidak mengenal tempat ini dan berani melanggarnya?" "Kami? Ha-ha-ha, kami datang dari Padang Bangkai dan..." "Padang Bangkai?" Si Kwi cepat-cepat memotong dan terheran-heran. "Bukankah Padang Bangkai telah kosong dan penghuninya telah tewas semua? Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li sudah tewas, anak buahnya juga sudah terbasmi habis. Bagaimana kalian berani mengaku datang dari Padang Bangkai?" Dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Padang Bangkai dijadikan sarang oleh suami isteri kaum sesat yang amat terkenal, yaitu Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya Coa-tok Sian-li, dan suami isteri ini bersama anak buah mereka sudah takluk terhadap kakek dan nenek iblis penghuni Istana Lembah Naga dan menjadi pembantu-pembantu mereka. Adalah Ang-bin Ciu-kwi inilah yang menjadi sebab pertama mengapa Si Kwi jatuh cinta pada Cia Bun Houw, yaitu ketika dia dirobohkan dan akan diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi si pemabok itu, dia diselamatkan oleh pendekar sakti muda itu....
JILID 02
PADA saat terjadi pertempuran-pertempuran hebat di antara para penghuni Istana Lembah Naga dengan para pendekar perkasa, Ang-bin Ciu-kwi, isterinya, bersama semua anak buahnya telah tewas dan Padang Bangkai, tempat yang amat berbahaya dan mengerikan itu sudah menjadi kosong. Bagaimana kini dapat muncul enam orang ini yang mengaku datang dari Padang Bangkai? Si brewok itu tertawa, "Aha, kiranya engkau mengenal nama-nama mendiang Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, nona? Ketahuilah bahwa tai-ong (raja sebutan untuk kepala perampok) kami adalah sahabat baik dari mereka, dan melihat bahwa Padang Bangkai sudah kosong, maka tai-ong kami lalu mengambilnya sebagai tempat tinggal kami sejak setengah tahun yang lalu. Tai-ong mendengar bahwa di sini terdapat Istana Lembah Naga dan ada... ehhh, setannya, maka dia mengutus kami untuk menyelidikinya. Siapa kira, bukan setan yang kami dapatkan, melainkan... sorga tempat para bidadari. Heh-heh-heh!" "Bhong-twako, perlu apa banyak bicara dengan dia? Tubruk dan peluk saja, habis perkara! Kami akan menangkap lima ekor kelinci gemuk di sana! Ha-ha!" Seorang di antara anak buahnya berkata dan mereka berlima tertawa semua itu menyerbu ke serambi. "Kiranya perampok-perampok laknat! Keparat, mampuslah kalian!" Si Kwi membentak dan tubuhnya bergerak cepat sekali ke depan, menghadang lima orang yang menyerbu ke serambi itu. Dengan kemarahan meluap, Si Kwi menggunakan tangan kanan, dua kali dia menghantam kepada dua orang terdepan, disusul tendangan kakinya yang menyambar ke arah bawah pusar mereka. "Plak-plak! Dess-desss…!" Dua orang itu memekik kemudian terpental ke belakang, menimpa teman-temannya dan mereka terbanting, berkelojotan dan... tewas! Melihat hal ini, empat orang lainnya menjadi kaget setengah mati, kaget dan juga marah. Si brewok segera mencabut goloknya, diikuti oleh tiga orang anak buahnya. "Ternyata engkau benar-benar setan!" teriak si brewok dan dia sudah menerjang maju, membacokkan goloknya ke arah leher Si Kwi. Tiga orang anak buahnya juga langsung menggerakkan golok mereka menyerang. Akan tetapi Si Kwi sudah siap sedia. Wanita muda ini merasa menyesal mengapa dia tadi tidak membawa pedangnya atau kantung pakunya. Akan tetapi, menghadapi perampok-perampok kasar ini tentu saja dia tak menjadi gentar. Dengan ginkangnya yang luar biasa, dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini sedemikian cepatnya sehingga empat orang pengeroyoknya kadang-kadang menjadi bingung karena wanita itu lenyap dari pandang mata mereka saking cepatnya gerakan itu. Sementara itu, lima orang pelayan yang baru saja belajar ilmu silat, menonton dengan mata terbelalak. Tadinya mereka tidak mengira bahwa nona majikan mereka benar-benar sangat lihai sekali sehingga dikeroyok enam orang laki-laki sekasar itu, mampu melawan bahkan segebrakan saja telah merobohkan dua orang! Timbul gairah dalam hati mereka untuk belajar silat semakin mendalam karena majikan mereka ternyata merupakan guru yang amat hebat! Dan Sin Liong yang tadinya mengintai, kini sudah meloncat naik ke atas meja, menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ibunya hebat! "Mampuslah kalian, perampok-perampok laknat!" bentak Si Kwi lantas tangan kanannya menyambar. "Krekkk!" Jari-jari tangan yang halus akan tetapi karena diisi oleh tenaga sinkang menjadi kaku dan keras bagaikan baja itu menghantam tenggorokan si brewok yang besar. Tulang-tulang tenggorokan itu menjadi remuk dan si brewok mengeluarkan suara bagai babi disembelih, tubuhnya roboh berkelojotan. Sebuah tendangan kilat dari Si Kwi mengenai pelipisnya, membuat kepalanya retak sehingga dia tidak berkelojotan lagi! Tiga orang perampok itu makin terkejut dan kini mereka mulai menjadi gentar. Namun Si Kwi tidak memberi ampun. Ketika dia meloncat ke kiri, seorang perampok membacokkan goloknya dari belakang. Sambaran golok memecah angin dari belakangnya, maka suara angin itu dapat ditangkapnya sehingga dia cepat miringkan tubuh. Golok menyambar di samping pundaknya, dia membalik dan memutar kaki, lengan kiri yang ujungnya hanya tinggal tulang terbungkus kulit itu menotok siku tangan orang yang memegang golok. "Dukkk!” “Uhhhhh...!" Golok besar itu terlepas dan sebelum jatuh ke tanah, sudah disambar oleh tangan kanan Si Kwi yang langsung membuat gerakan membalik. "Cappp...!" Golok itu amblas ke dalam perut pemiliknya sampai menembus punggung! Si Kwi mencabut golok itu sambil meloncat ke kiri sehingga darah yang mengucur keluar dari perut itu tak sampai mengenai bajunya. Dua orang perampok itu cepat membalikkan tubuhnya dan lari tunggang langgang. Namun golok di tangan Si Kwi langsung terbang menyambar dan menancap di punggung seorang di antara mereka. Orang itu terhuyung dan roboh menelungkup. Yang seorang lagi sudah menghilang di dalam gelap. Si Kwi mengejar, akan tetapi orang itu sudah lenyap sehingga terpaksa dia kembali ke pekarangan Istana Lembah Naga. Dengan tenang dia lalu memerintahkan para pelayan untuk membantu dia menyeret mayat kelima orang itu dan melempar-lemparkan semua mayat itu ke dalam jurang di belakang istana. Jurang-jurang itu dalam sekali, sampai tak nampak dasarnya, maka mayat-mayat itu pun menghilang di dalam jurang gelap. Si Kwi segera kembali ke dalam istana, diikuti oleh lima orang pelayan yang mula-mula merasa ngeri akan tetapi kini merasa bangga sekali! "Ibu...!" Sin Liong meloncat ke dada ibunya. Si Kwi memeluknya sambil berkata, "Liong-ji. Sekarang engkau tidak boleh bermain-main terlalu jauh, ya? Lihat, banyak orang jahat berkeliaran!" "Toanio, siapakah mereka itu? Mengapa mereka memusuhi toanio?" seorang di antara para pelayannya bertanya. Si Kwi duduk sambil memangku Sin Liong, lalu dia mengumpulkan lima orang pelayannya dan bercerita. "Padang Bangkai adalah padang rumput yang nampak dari atas itu, tempat yang amat berbahaya. Dahulu menjadi sarang orang-orang jahat yang amat pandai, akan tetapi sekarang sudah kosong dan ternyata ditempati oleh segerombolan perampok yang anak buahnya tadi mengacau ke sini. Sayang salah seorang di antara mereka sempat melarikan diri, maka kepala perampoknya tentu akan datang ke sini. Akan tetapi jangan kalian khawatir, aku sanggup menghadapi mereka!" kata Si Kwi dengan gemas. "Mereka itu sudah bosan hidup, tidak tahu bahwa Ang-yan-cu yang tinggal di sini!" katanya pula dengan sikap angkuh dan timbul kembali sifatnya yang gagah, yang selama dua tahun lebih, hampir tiga tahun, terpendam di tempat sunyi itu. Melihat sikap majikan mereka yang gagah, dan karena sudah pula menyaksikan sendiri kelihaian majikan mereka ini, lima orang pelayan itu berbesar hati, bahkan mereka pun menjadi bersemangat sehingga malam itu sebelum tidur mereka giat melakukan latihan gerakan silat yang telah diajarkan oleh majikan mereka. Apa yang diduga oleh Si Kwi memang terbukti kebenarannya. Tiga hari kemudian, pada suatu pagi, muncullah dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi kurus berusia empat puluh tahunan. Laki-laki ini memegang sebatang tombak bergagang panjang, sikapnya gagah dan pakaiannya mewah. Wajahnya yang kurus itu kekuning-kuningan, matanya sipit namun sinarnya sangat tajam. Sikapnya tidak sekasar para anak buahnya yang rata-rata memiliki tubuh tinggi besar dan nampak kuat-kuat, orang-orang yang biasa mengandalkan kekasaran dan kekerasan. Kali ini Si Kwi sudah siap siaga. Dengan pedang di pinggang dan sekantung Hek-tok-ting tergantung pula di pinggang, dia menyambut kedatangan mereka di pekarangan istana. Lima orang pelayannya, biar pun belum pandai ilmu silat, namun mereka pun telah berdiri di serambi, berjajar dengan pedang di tangan dan hati berdebar tegang! Sin Liong sudah bersembunyi lagi, seperti seekor monyet kini dia memanjat genteng dan bersembunyi di wuwungan genteng istana, sambil mengintai! Dengan kedua tangan bertolak pinggang dan kedua kaki terpentang lebar, sikap gagah dan tenang sekali, Si Kwi berdiri menanti kedatangan mereka. Setelah gerombolan itu tiba di dalam pekarangan depan istana yang lebar, si kepala rampok mengangkat tangan kiri ke atas dan anak buahnya berhenti, kemudian membuat barisan melengkung setengah lingkaran menghadapi Si Kwi yang sama sekali tidak bergerak, berkedip pun tidak, akan tetapi dengan pandang matanya Si Kwi sudah mengukur dan mengira-ngira berapa orang akan dapat dirobohkan kalau sekaligus dia menyebarkan paku-paku hitamnya! Ditaksirnya bahwa sedikitnya sepuluh orang akan dapat dirobohkannya dan persediaan paku di kantungnya ada lima puluh batang lebih. Dia sama sekali tidak khawatir dan dia menatap langsung kepada kepala perampok itu, menaksir-naksir dan menyelidiki. Biar pun orang itu kelihatan paling lemah tubuhnya, namun tentu merupakan orang yang terlihai di antara mereka. Orangnya tidak tinggi besar, akan tetapi tombak di tangannya itu kelihatan berat, tanda bahwa kepala perampok itu tentunya seorang ahli lweekeh yang mengandalkan tenaga dalam yang kuat. Juga, orang yang mengandalkan ilmu tombak adalah seorang ahli silat yang sudah tinggi ilmunya, karena ilmu tombak jauh lebih sukar dipelajari dari pada ilmu senjata lainnya. Maka dia memandang orang itu dengan sikap hati-hati. Si kepala perampok juga bukan seorang yang bodoh atau ceroboh seperti anak buahnya yang datang tiga hari yang lalu itu. Dia sudah mendengar pelaporan anak buahnya yang berhasil menyelamatkan diri, betapa dengan seorang diri saja siluman wanita cantik dari Istana Lembah Naga berhasil membunuh lima orang anak buahnya dengan mudah! Maka dia pun sudah dapat menduga bahwa wanita muda cantik itu tentu adalah seorang tokoh kang-ouw yang kenamaan. Akan tetapi, sesudah berhadapan kepala perampok itu merasa heran. Belum pernah dia melihat tokoh kang-ouw seperti wanita ini, dan belum pernah pula dia mendengar tentang seorang tokoh wanita yang buntung tangan kirinya di dunia persilatan. Dia meragu, dan setelah melihat anak buahnya berhenti, dia lalu melangkah maju sampai dia berhadapan dalam jarak tiga tombak dari wanita itu. Sejenak mereka saling pandang, seperti dua ekor jago yang hendak bertarung dan saling menaksir keadaan lawan masing-masing. "Toanio," si kepala perampok akhirnya berkata, sikapnya cukup hormat, akan tetapi dia tidak memberi hormat. "Saya adalah Coa Lok, di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Sin-jio (Tombak Sakti). Bersama para pengikut saya, kami tinggal di Padang Bangkai dan sejak setengah tahun yang lalu, boleh dibilang saya adalah majikan Padang Bangkai." Si Kwi menjebikan bibirnya. "Hemm, majikan Padang Bangkai adalah mendiang Ang-bin Ciu-kwi yang sekarang sudah mati dan setahuku, dia tidak mewariskannya kepada siapa pun juga." Sin-jio Coa Lok memandang dengan alis berkerut dan mukanya yang berwarna kuning itu menjadi agak kemerahan. Untuk mengatasi rasa tidak enak di hatinya ini dia menumbuk tanah dengan gagang tombaknya, kemudian baru dia berkata lantang, "Memang tidak ada yang mewariskan Padang Bangkai kepadaku, namun mendiang Ang-bin Ciu-kwi adalah seorang sahabatku yang baik, maka kurasa sudah sepantasnya apa bila aku melanjutkan pemeliharaan atas bekas tempat tinggalnya itu. Apakah ada yang berkeberatan terhadap hal itu?" Pertanyaan itu mengandung tantangan dan matanya memandang tajam kepada Si Kwi. Kembali Si Kwi mengeluarkan ejekan dari hidungnya. "Huh, siapa peduli tentang Padang Bangkai tempat buruk yang terkutuk itu? Aku adalah pemilik dan penghuni Istana Lembah Naga dan aku tidak peduli siapa yang menempati Padang Bangkai!" Kepala perampok itu menarik napas lega, kemudian suaranya tidak begitu lantang ketika dia berkata lagi, "Toanio yang sudah mengenal mendiang Ang-bin Ciu-kwi, tentu bukanlah sembarang orang dan bolehkan kami mengetahui nama dan julukan toanio?" "Namaku Liong Si Kwi, orang menyebutku Ang-yan-cu, dan mendiang subo-ku adalah Hek I Siankouw dan suhu-ku adalah Hwa Hwa Cinjin." Si Kwi yang tidak ingin mencari perkara itu sudah sengaja menyebut nama mendiang subo-nya berikut kekasih subo-nya untuk membikin keder hati orang itu. Dan usahanya memang berhasil. Kepala perampok itu terbelalak dan tercengang, tampak gentar juga. Akan tetapi dia segera teringat bahwa tokoh-tokoh kaum sesat yang pernah menggemparkan dunia kaum sesat itu sekarang telah mati, hanya tinggal namanya saja, maka dia tersenyum dan berkata, "Ahh, kiranya Liong-toanio adalah murid para locianpwe itu!" "Kalau engkau sudah mengenal mendiang subo dan suhu, itu baik sekali dan kuharap kau suka pergi saja secepatnya dari sini," kata Si Kwi. Sesungguhnya Si Kwi sama sekali tidak merasa takut atau gentar, hanya dia segan untuk bermusuhan. Apa lagi orang-orang ini adalah para penghuni Padang Bangkai yang boleh dibilang merupakan tetangganya, maka hidupnya serta hidup anaknya tidak akan menjadi tenang dan tenteram kalau dia bermusuhan dengan Padang Bangkai. "Toanio, sesungguhnya kami pun tidak ingin mengganggu toanio kalau saja toanio tidak membunuh lima orang anak buah kami tiga hari yang lalu." Kepala perampok itu mulai mengakui maksud kedatangannya, akan tetapi, dengan hati-hati dan tidak mau sembrono setelah dia mendengar bahwa Ang-yan-cu Liong Si Kwi ini adalah murid Hek I Siankouw. Si Kwi maklum bahwa kepala perampok itu telah mulai membuka kartunya. Maka dia pun tidak berlaku sungkan lagi dan segera dia berkata dengan suara lantang, "Sin-jio Coa Lok! Apakah engkau tidak memperoleh laporan lengkap dari anak buahmu yang berhasil lolos dari tanganku itu? Tanyakan saja kepadanya apa yang menyebabkan lima orang anak buahmu mati terbunuh olehku di sini!" Wajah kepala perampok itu menjadi merah, akan tetapi di depan anak buahnya dia tidak boleh memperlihatkan sikap terlalu mengalah, apa lagi jeri menghadapi wanita cantik ini. Maka dia berkata, "Liong-toanio, tentu saja aku sudah menerima laporan, akan tetapi aku ingin mendengar keterangan dari pembunuhnya sendiri." "Hemmm, begitukah? Nah, dengarlah baik-baik. Tiga hari yang lalu, di malam hari muncul enam orang anak buahmu. Mereka muncul dan menghinaku, mengeluarkan ucapan kotor yang tidak senonoh, kemudian mereka hendak mempergunakan kekerasan menghina aku dan lima orang pelayanku. Coba kau jawab, tai-ong, apakah perbuatan mereka itu tidak patut untuk dihukum mati? Apakah kini kau sengaja datang untuk membela mereka yang sudah berani menghina aku?" Pertanyaan terakhir ini merupakan sebuah tantangan yang tidak langsung. Coa Lok menoleh kepada anak buahnya dan dapat melihat betapa wajah anak buahnya kelihatan penasaran dan marah. Dia merasa tidak enak kalau tidak memperlihatkan sikap marah dan penuh teguran kepada wanita ini. "Liong-toanio, tentu engkau maklum akan sikap laki-laki yang sudah lama tinggal di hutan belukar dan jauh dari para wanita. Tentu saja aku datang bukan untuk membela kekurang ajaran mereka, akan tetapi sebagai seorang pemimpin mereka, tentu saja aku tidak bisa merelakan kematian mereka begitu saja, baik olehmu mau pun oleh siapa pun juga." "Bagus! Lalu kau mau apa? Mau mengeroyok aku? Hayo majulah, jangan kira aku takut menghadapi pengeroyokan semua anak buahmu!" Si Kwi sengaja mengeluarkan gertakan ini untuk menyinggung kehormatan Sin-jio Coa Lok sebagai seorang pemimpin perampok yang berkepandaian. "Ho-ho-ho, kau sungguh takabur, toanio. Aku tahu bahwa engkau lihai, akan tetapi jangan kira bahwa engkau akan mudah mengalahkan tombakku. Bila engkau telah membuktikan dapat mengalahkan tombakku ini, barulah aku mengakui kelihaianmu dan akan bersedia mintakan maaf kepadamu bagi para anak buahku, kemudian untuk selanjutnya tak akan mengganggu Istana Lembah Naga." "Baik, hendak kucoba bagaimana kepandaianmu, tai-ong. Dan aku pun sama sekali tidak berniat untuk memusuhi Padang Bangkai. Akan tetapi siapa pun yang datang hendak mengganggu kami, baik dari Padang Bangkai mau pun dari akhirat, tentu akan kuhadapi dengan pedang di tangan!" Sesudah berkata demikian, tangan kanan wanita itu bergerak ke pinggang. "Singggg...!" Nampak cahaya menyilaukan dan pedang itu sudah dicabutnya, pedang yang berkilauan saking tajamnya karena sejak terjadi penyerbuan, maka tiga hari yang lalu Si Kwi sudah menyuruh pelayannya mengasah pedang itu sampai mengkilap. "Liong-toanio!" Coa Lok berkata sambil melintangkan tombaknya di depan dada dengan sikap gagah. "Aku sudah berianji bahwa kalau engkau dapat mengalahkan tombakku, aku berjanji tidak akan memperbolehkan siapa pun menggangu Istana Lembah Naga. Akan tetapi bagaimana kalau engkau tidak mampu mengalahkan tombakku dan sebaliknya aku mengalahkan pedangmu?" Si Kwi berpikir sejenak. Mereka ini adalah sebangsa perampok, gerombolan orang kasar yang kejam. Tentu mereka akan melakukan kekerasan bila dia sampai kalah oleh kepala perampok itu. Maka dia harus menjanjikan hal yang lebih menguntungkan mereka untuk mencegah mereka melakukan pemerkosaan dan siksaan kalau sampai dia benar kalah, hal yang dia anggap mustahil. "Jika sampai aku kalah olehmu, Sin-jio Coa Lok, aku berjanji akan pergi bersama anakku dan para pelayanku meninggalkan tempat ini dan menyerahkan Istana Lembah Naga ini kepadamu." Berseri wajah kepala perampok itu. "Bagus! Itu janji yang adil!" serunya. Si Kwi menjanjikan hal itu tidak terdorong oleh pikiran pendek. Wanita ini maklum bahwa tanpa dijanjikan sekali pun, kalau sampai dia kalah bukan saja dia dan para pelayannya akan mengalami mala petaka dan akan diperkosa, akan tetapi mungkin anaknya akan dibunuh dan istana itu tidak urung tentu akan dikuasai oleh mereka! "Nah, kita sudah saling berjanji sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Mulailah, tai-ong!" dia menantang, pedangnya melintang depan dada, kedua lutut ditekuk agak turun dan lengan kiri yang tidak bertangan itu menunjuk ke samping dengan lengan dikembangkan. "Jagalah, toanio!" Coa Lok yang diingatkan akan kegagahan itu lalu berlagak, lebih dahulu memperingatkan sebelum menyerang laksana sikap seorang gagah tulen, padahal dia ini adalah kepala perampok yang biasanya tidak mempedulikan sopan santun para pendekar persilatan! Tombaknya membuat lingkaran lebar dan ujungnya tergetar ketika menusuk ke arah dada Si Kwi dengan kecepatan seperti kilat menyambar. "Hyaahhhhh...!" kepala perampok itu membentak pada saat mata tombaknya menyambar ganas. "Haaaaiiiitttt...!" Si Kwi cepat mengelak dan dia terkejut juga menyaksikan betapa tombak itu menyambar luar biasa cepatnya. Tahulah dia bahwa lawannya ini tidak percuma mempunyai julukan Sin-jio (Tombak Sakti) sebab ternyata gerakan ilmu tombaknya memang amat cepat. Dia tidak hanya mengelak, melainkan mengelak sambil mengirimkan serangan balasan, yaitu menusuk dari samping sambil mencondongkan tubuhnya. "Singggg...! Tranggg...!" Sekarang Coa Lok yang terkejut. Tidak disangkanya bahwa wanita bertangan kiri buntung itu dapat membalas demikian cepatnya, maka dia pun memutar tombaknya menggunakan gagang tombak untuk menangkis tusukan pedang. Sambil memutar tombak di atas kepala sehingga membentuk lingkaran lebar, dia kembali menyerang. Ujung tombaknya tergetar hingga bayangannya pecah-pecah menjadi empat lima batang yang semuanya menyerang Si Kwi dari berbagai jurusan dan selain itu, juga tombaknya yang tergetar itu mengeluarkan bunyi nyaring. "Bagus...!" Si Kwi memuji karena memang dia sangat kagum menyaksikan ilmu tombak yang dahsyat ini. Dia pun tidak mau membiarkan dirinya terancam bahaya. Maklum akan kehebatan ilmu tombak lawan, dia kemudian mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia memutar pedangnya lantas mainkan ilmu pedangnya yang sangat hebat. Itulah ilmu pedang yang berdasarkan ilmu Im-yang-lian-hoan-kun. Ilmu ini sebenarnya adalah gabungan dari ilmu Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw. Ilmu yang biasanya dimainkan oleh dua orang kakek dan nenek itu merupakan ilmu pasangan yang amat tangguh. Akan tetapi kakek dan nenek itu telah menciptakan ilmu gabungan ini menjadi semacam ilmu silat yang disarikan dari penggabungan itu sehingga ilmu yang berdasarkan percampuran sifat Im dan Yang ini dapat dimainkan dengan tangan kosong mau pun dengan senjata, terutama senjata pedang. "Ehhh...!" Coa Lok terkejut bukan main ketika melihat sinar berkilauan, bergulung-gulung, seperti seekor naga yang bermain-main di angkasa itu. Sinar yang bergulung-gulung itu kini menggulung sinar tombaknya, merupakan benteng sinar yang mencegah tombaknya menembus namun di lain fihak dari gulungan sinar itu mencuat sinar-sinar ujung pedang yang menyerangnya secara bertubi dan amat berbahaya. Sesudah mengerahkan ginkang-nya dan mendesak kepala perampok itu, mengertilah Si Kwi bahwa tingkat kepandaian perampok ini memang sudah cukup tinggi, bahkan tenaga sinkang-nya juga sudah cukup kuat sehingga dia hanya dapat mengandalkan ginkang-nya saja yang masih melebihi lawan, sehingga jika dia mau, tentu dia dapat merobohkan dan menewaskan kepala perampok itu. Akan tetapi dia mengerti bahwa hal itu amatlah tidak baik. Kecuali kalau dia berkeinginan menundukkan para perampok itu untuk merampas kedudukan kepala dari Coa Lok. Akan tetapi dia tidak ingin mengepalai para perampok ini, apa lagi menguasai Padang Bangkai. Dia harus berbaik dengan mereka dan menaklukkan mereka tanpa membunuh sehingga dia akan memiliki tetangga yang boleh diandalkan bantuannya kalau dia memerlukannya. Akan tetapi, oleh karena di dalam hal ilmu silat dan tenaga dia tidak menang banyak, dan dia hanya mengandalkan ginkang-nya, maka tidaklah mudah baginya untuk merobohkan lawan tanpa melukainya. Karena itu dia lalu menggunakan akal. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya yang bergerak cepat sekali ltu sudah mencelat ke belakang, berjungkir balik dan terdengar dia berseru, "Tai-ong, awas paku!" Sin-jio Coa Lok sudah mendengar dari pelaporan seorang anak buahnya yang berhasil lolos dari tangan maut Si Kwi bahwa wanita ini mahir sekali menggunakan senjata dengan melontarkannya, maka dia terkejut dan siap-siap. Akan tetapi, tiba-tiba saja ada tiga sinar menyambar dari tangan Si Kwi yang telah menyimpan pedangnya dan telah menggunakan tiga batang paku untuk menyerang. Tiga batang paku itu meyambar ke arah tangan kanan lawan, dan yang dua menyambar ke arah kedua kakinya. Sin-jio Coa Lok terkejut sekali dan cepat meloncat ke atas sambil memutar tombaknya. Dua batang paku dapat dielakkannya dan yang sebatang lagi dapat ditangkisnya dengan gagang tombak, akan tetapi dengan kecepatan kilat, menyusul paku-pakunya tadi, Si Kwi telah menerjang lagi dengan pedangnya secara hebat sekali. "Trang-cringgg...! Plakkk!" Dua kali pedangnya berhasil ditangkis oleh Coa Lok yang sudah terhuyung, akan tetapi sebuah tendangan kilat dari kaki kiri Si Kwi secara tepat mengenai lutut kaki kanan kepala perampok itu hingga tanpa dapat ditahannya lagi dia jatuh berlutut dengan kaki kanannya. Tubuh Si Kwi berkelebat, tombak menyambar tetapi Si Kwi langsung menendang gagang tombak, sehingga serangan tombak menyeleweng ke samping dan sebelum Coa Lok bisa mengulangi serangan sambil berlutut itu, pedang di tangan Si Kwi telah menempel pada lehernya dari belakang! "Sin-jio Coa Lok, engkau terlambat!" kata Si Kwi, akan tetapi dia lalu meloncat lagi ke belakang dan menyimpan pedangnya. Wajah Sin-jio Coa Lok berubah pucat, lalu menjadi merah sekali dan dia bangkit berdiri, menyeringai dan mengurut-urut lututnya yang tadi kena tendang, kemudian menancapkan tombaknya di atas tanah di hadapannya. Dia maklum bahwa sudah jelas wanita itu tadi memperoleh kemenangan dan jika wanita itu menghendaki, tentu dia sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Maka, dia lalu menjura dan berkata, "Liong-toanio, sungguh engkau amat gagah perkasa. Aku Sin-jio Coa Lok mengaku kalah dan aku berjanji tak akan mengganggu lagi Istana Lembah Naga, bahkan siapa pun orang luar yang berani memasuki daerah Lembah Naga, sebelum bertemu dengan toanio akan berhadapan lebih dulu dengan tombakku." Si Kwi tersenyum dengan hati girang sekali. Dia telah menaklukkan orang-orang kasar ini. Maka dia pun balas menjura. "Tai-ong terlalu merendah. Ilmumu sangat hebat dan kalau tidak mengandalkan Hek-tok-ting, belum tentu aku dapat menang. Kita adalah tetangga dan sudah sepatutnya kalau kita berbaikan. Maafkan tentang peristiwa tiga hari yang lalu, tai-ong, karena hal itu terjadi karena salah paham." "Toanio baik sekali, gagah sekali, maafkan kami." Sin-jio Coa Lok lalu terpincang-pincang meninggalkan tempat itu sambil menyeret tombaknya sesudah memberi isyarat kepada para anak buahnya. Para perampok itu memandang kepada Si Kwi dengan penuh rasa kagum. Mereka juga membungkuk sebagai tanda penghormatan terhadap wanita lihai itu, lalu mereka semua pergi mengikuti kepala mereka. Si Kwi memang cerdik sekali. Dia telah berhasil menundukkan hati para perampok yang ganas itu. Mula-mula dia memperlihatkan kelihaiannya dan juga kekejamannya yang tidak mengenal ampun ketika dia membunuhi para perampok yang berani menyerbu ke istana. Kemudian, pada saat kepala perampok datang bersama anak buahnya, dia mengalahkan kepala perampok tanpa membunuhnya! Sekaligus dia sudah memperlihatkan bahwa dia berbahaya namun juga pengampun kalau tidak diganggu! Dan kepala perampok yang berjuluk Sin-jio (Tombak Sakti) itu benar-benar merasa takluk dan tunduk, sehingga dia segera melupakan kematian lima anak buahnya karena dengan kepandaiannya, kalau wanita yang buntung tangan kirinya itu pun telah mengampuninya, dan dia tahu kalau wanita itu menghendaki tentu dia tadi akan dapat dibunuhnya dengan mudah! Hal ini sekaligus mendatangkan rasa takluk, segan dan hormat di dalam hatinya sehingga semua hal ini tentu saja merupakan keuntungan besar bagi Si Kwi. Keadaan di dalam istana itu penuh dengan harta yang besar sehingga Si Kwi dapat hidup mewah dan cukup terjamin. Sekarang wanita ini tampak penuh gairah hidup, gembira dan bersemangat, kelihatan cantik serta selalu berpakaian indah serba merah. Dia kini lebih tekun melatih diri bersama lima orang pelayannya, dan hanya kadang-kadang saja wanita ini duduk melamun seorang diri dengan hati penuh kerinduan. Rindu kepada Bun Houw dan rindu kepada cinta kasih seorang pria! Hanya Sin Liong seorang yang menjadi penghiburnya, akan tetapi anak ini masih senang bermain-main dengan para monyet besar. Si Kwi tidak melarangnya, karena dia maklum bahwa kalau dia melarang, terdapat bahaya bahwa dia akan kehilangan kasih sayang anak itu yang mulai diperlihatkan terhadap dirinya. Demikianlah, biar pun hidup di tempat terasing, namun Si Kwi merasa cukup bergembira. *************** Di kaki Pegunungan Khing-an-san sebelah selatan itu terdapat sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Selama beberapa tahun ini dusun itu mengalami kemajuan, yaitu setelah para penghuninya mengusahakan rempah-rempah dan daun atau akar obat yang banyak tumbuh di sekitar kaki gunung itu. Setelah mendapat kenyataan bahwa kota-kota besar amat membutuhkan barang-barang itu, maka semua penghuni dusun Pek-hwa-cung lalu beramai-ramai menanam dan memelihara tanaman-tanaman berharga itu. Tempat yang ramai dan makmur senantiasa menarik perhatian orang, Pek-hwa-cung juga demikian. Mendengar betapa dusun itu sangat ramai dan mencari penghasilan di daerah itu mudah sekali dibandingkan dengan daerah lain, maka banyaklah penduduk-penduduk baru berdatangan dari lain daerah, sehingga dusun itu menjadi makin besar dan ramai. Akan tetapi, Bhe Coan bukanlah penghuni baru di dusun itu. Dia terhitung penghuni lama karena ayahnya yang sudah meninggal merupakan seorang di antara para pembangun atau penemu tempat itu dan sejak kecil dia tinggal di Pek-hwa-cung. Seperti mendiang ayahnya, Bhe Coan juga merupakan seorang pandai besi yang ahli dan pandai. Boleh dibilang segala keperluan penduduk Pek-hwa-cung yang terbuat dari besi adalah buatan orang she Bhe ini. Akan tetapi, apa bila keahlian Bhe Coang hanyalah membuat alat-alat besi saja, agaknya namanya tidak akan terkenal dan dia tentu hanya menjadi seorang pandai besi biasa saja yang banyak terdapat di dunia ini. Tidak, Bhe Coan bukanlah pandai besi biasa dan dia memiliki suatu keahlian lain dalam menggembleng dan membentuk baja, keahlian yang tidak dimiliki oleh ayahnya dan yang dia pelajari dari seorang sakti yang kebetulan pada suatu waktu lewat di Pek-hwa-cung kemudian mengajarkan kepandaian itu kepada Bhe Coan. Kepandaian itu adalah keahlian membuat senjata, khususnya senjata pedang. Pedang buatan Bhe Coan mempunyai bentuk yang sangat indah dan yang lebih penting lagi, memiliki berat yang seimbang antara gagang dan mata pedang sehingga enak sekali dipakai. Selain itu, juga pandai besi ini memilih bahan pedang yang sangat baik. Ilmu ini merupakan kepandaian istimewa yang tidak mudah ditiru orang hingga membuat namanya menjadi terkenal di dunia kang-ouw, sungguh pun Bhe Coan bukan seorang ahli silat yang pandai, namun seorang pandai besi yang bertubuh kuat, berwatak keras dan jujur. Dan mengenal ilmu silat karena dia pernah mempelajarinya, walau pun tidak secara mendalam. Ketenarannya di dunia kang-ouw bukan karena ilmu silatnya tetapi karena kepandaiannya membuat pedang itulah. Banyak sudah tokoh-tokoh kang-ouw yang mengunjunginya dan minta dibuatkan pedang. Mereka berani membayar berapa pun juga sehingga Bhe Coan tak kekurangan penghasilan dan di dalam dusun Pek-hwa-cong dia pun terkenal sebagai orang yang cukup mampu karena penghasilannya membuat pedang-pedang itu. Bahkan dia mengenal banyak tokoh kang-ouw yang semua, baik dari golongan hitam mau pun putih, datang minta dibuatkan pedang olehnya. Akan tetapi, bila dalam pekerjaannya pandai besi ini dapat dikatakan berhasil, sebaliknya dalam kehidupan rumah tangganya dia tertimpa nasib buruk. Kurang lebih dua tahun yang lalu isterinya meninggal dunia ketika melahirkan anaknya yang pertama. Pandai besi ini menikah ketika dia berusia tiga puluh lima tahun, menikah dengan seorang gadis Pek-hwa-cung juga, seorang gadis petani biasa yang sederhana. Setelah tiga tahun menikah, barulah isterinya mengandung. Akan tetapi, pada dua tahun yang lalu, isterinya itu meninggal dunia ketika melahirkan seorang bayi perempuan! Bhe Coan yang amat mencinta isterinya, hampir gila oleh kedukaan. Kalau pada waktu itu tidak terdapat banyak orang, yaitu para tetangganya, mungkin saja anak perempuan yang terlahir selamat itu akan dibanting serta dibunuhnya karena dia menganggap anak itulah yang menyebabkan kematian isterinya tercinta! Para tetangga mengingatkan dia dan akhirnya dia sadar, walau pun sukar baginya untuk mengatasi kesedihannya akibat ditinggal mati oleh isterinya yang tercinta itu. Selanjutnya dia hidup menduda dan memanggil seorang inang pengasuh untuk merawat dan menjaga anaknya yang diberi nama Bhe Bi Cu. Seperti kita ketahui, dusun Pek-hwa-cung yang makin makmur itu menarik banyak sekali penghuni baru. Kemudian, beberapa bulan semenjak kematian isteri Bhe Coan, di dusun Pek-hwa-cung itu datanglah seorang janda muda yang cantik manis dan bersikap genit. Janda muda ini telah tiga tahun ditinggal mati suaminya, tanpa anak dan usianya baru tiga puluh tahun. Wajahnya memang manis dan sikapnya juga menarik. Dia tinggal bersama ibunya yang sudah tua di dusun Pek-hwa-cung. Karena janda ini pandai menyulam dan menjahit, sungguh pun sebagai penghuni baru dia segera dapat bekerja dan memperoleh penghasilan yang cukup lumayan dari hasil menjahit pakaian di dusun yang mulai maju itu. Banyak pria di Pek-hwa-cung yang terpikat oleh kecantikan janda muda itu dan di antara mereka yang terpikat, termasuk pula Bhe Coan! Karena keadaan pandai besi ini cukup mampu, juga dia merupakan seorang duda yang baru satu tahun ditinggal mati isterinya, maka menanglah Bhe Coan dalam persaingan itu dan pada suatu hari, secara resmi dia memboyong janda itu menjadi isterinya! Dan ternyata bahwa janda itu sangat pandai dalam merayu hati pria sehingga terobatlah kedukaan Bhe Coan ditinggal mati isterinya dan dalam waktu beberapa bulan saja dia pun jatuh bertekuk lutut di depan kaki isterinya! Karena dia tergila-gila, maka dia menurut saja ketika isterinya minta kepadanya agar Bhe Bi Cu, anak perempuannya yang baru berusia setahun itu, disingkirkan dari dalam rumah. "Suamiku, kalau engkau menghendaki agar hubungan cinta kasih di antara kita lancar dan bersih dari gangguan, sebaiknya kalau Bi Cu itu kau serahkan kepada orang lain supaya dirawatnya, jangan dirawat di dalam rumah ini. Kalau dia masih di sini, mana mungkin aku melupakan bahwa engkau bukanlah milikku sepenuhnya, akan tetapi masih ada ikatan dengan mendiang isterimu? Ingat, aku sendiri telah bebas dan terlepas sama sekali dari mendiang suamiku yang tidak meninggalkan apa-apa untuk diingat." Bhe Coan adalah seorang pandai besi yang kasar dan jujur, dan karena ini agaknya dia seperti seorang yang bodoh. Dia menganggap bahwa pendapat isterinya itu benar belaka maka akhirnya, sesudah memilih-milih, dia lalu menyerahkan Bhe Bi Cu kepada seorang piauwsu (pengawal barang berharga) yang dikenalnya dengan baik. Piauwsu ini adalah seorang kepala piauwsu yang terkenal di kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning dan dia terkenal sebagai pengawal barang-barang yang sering kali keluar masuk batas propinsi di utara, keluar atau masuk daerah propinsi itu. Piauwsu itu bernama Na Ceng Han dan sudah lama mengenal Bhe Coan karena pandai besi inilah yang selalu dipesannya membuatkan pedang untuk dia sendiri dan para anak buahnya, bahkan Na-piauwsu itu pernah pula membawa bahan baja yang luar biasa, yang didapatnya di daerah suku liar di utara, kemudian baja murni yang mengeluarkan sinar ini dijadikan sebatang pedang oleh Bhe Coan yang kemudian menjadi pedang kesayangan Na-piauwsu. Ketika pada suatu hari Na-piauwsu lewat di dusun Pek-hwa-cung dan mengunjungi Bhe Coan, maka pandai besi ini kemudian memilihnya sebagai ayah angkat Bhe Bi Cu, dan kebetulan sekali bahwa Na-piauwsu memang sudah lama ingin mempunyai seorang anak perempuan. Dia hanya memiliki seorang anak laki-laki saja, anak tunggal yang kini telah berusia empat tahun. Karena itu saat dia ditawari oleh sahabatnya itu untuk menjadi ayah angkat dan merawat Si Cu, dia menjadi girang bukan main. Dia mengerti akan keadaan Bhe Coan yang baru saja menikah dengan janda cantik itu. Na Ceng Han adalah orang kang-ouw yang sudah banyak pengalaman, dan dia memiliki pandangan yang amat bijaksana. Andai kata sahabatnya itu belum menikah dengan janda itu, tentu dia dapat memberi nasehatnya. Akan tetapi, Bhe Coan telah menjadi suami isteri dengan wanita itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Ia maklum bahwa kehadiran anak perempuan itu hanya akan menjadi bahan percekcokan antara suami isteri itu yang akhirnya akan membuat Bhe Coan merasa tersiksa hidupnya. Di samping ini, juga dia suka sekali melihat Bi Cu yang sehat dan mungil, karena itu dia menerimanya dan anak perempuan berusia setahun lebih itu dibawanya pulang ke kota Shen-yang. *************** Seperti juga semua orang Han yang meninggalkan kampung halaman dan merantau jauh di luar tembok besar, seperti keturunan Bhe Coan yang sudah dua keturunan tinggal di luar tembok besar, tentu saja Bhe Coan juga merasa rindu untuk kembali ke selatan dan sebelum isteri pertamanya meninggal, dia pun sudah memiliki cita-cita untuk memboyong keluarganya itu ke sebelah dalam tembok besar apa bila dia sudah cukup mengumpulkan uang, karena kehidupan di selatan tidaklah mudah. Akan tetapi, setelah dia menikah dengan janda manis itu, harapannya ini membuyar. Isteri barunya itu sama sekali tidak setuju untuk pergi ke selatan. Berbeda dengan Bhe Coan, isterinya itu merupakan seorang peranakan Mancu sehingga sudah menganggap daerah Pegunungan Khing-an-san sebagai kampung halamannya sendiri, bahkan daerah selatan di sebelah dalam tembok besar merupakan daerah asing baginya. Betapa pun juga, isterinya itu bersikap manis kepadanya sehingga dia terhibur juga dan biar pun isteri barunya itu belum juga kelihatan mengandung setelah satu tahun menjadi isterinya akan tetapi dia merasa cukup gembira, hidup rukun dengan isterinya yang cantik dan merasa dirinya cukup berbahagia. Bahkan sekarang isterinya merupakan pendorong baginya untuk bekerja lebih giat, karena isterinya yang baru ini selalu ingin memajukan keadaan mereka, memperbaiki rumah, membeli beberapa perabot baru dan sebagainya. Dorongan ini membuat Bhe Coan bersemangat sekali, bekerja mulai pagi sampai sore tanpa mengenal lelah, dan malamnya menikmati pelayanan isterinya yang kelihatan amat mencintainya. Pada suatu hari, selagi Bhe Coan sibuk di dalam dapur kerjanya, menempa besi untuk dibuatnya menjadi tapal kuda memenuhi pesanan para pemilik kuda di dusun itu, muncul seorang laki-laki di pekarangan rumahnya. Pada saat itu pula kebetulan isteri Bhe Coan berada di luar, maka ketika melihat ada seorang pria memasuki pekarangan rumahnya, dia mengangkat muka memperhatikan dan hampir saja kain yang sedang disulamnya itu terlepas dari pegangannya. Jantungnya berdebar dan kedua pipinya menjadi kemerahan, sepasang matanya memandang wajah yang tampan itu penuh kagum. Yang datang itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan berlenggang dengan lagak sopan santun akan tetapi gagah dan agung, lagak seorang sasterawan atau seorang kongcu golongan atas! Laki-laki itu memiliki wajah yang manis, sepasang matanya tajam bersinar-sinar, dan mulutnya selalu tersenyum, senyum penuh pikatan, senyum seorang lelaki yang bisa menundukkan hati wanita, seorang pria petualang asmara! Pakaiannya indah dan rapi sekali, pakaian seorang kongcu yang terpelajar atau seorang putera hartawan, dari kain sutera yang halus dan baru, demikian pula sepatunya masih baru, biar pun waktu itu sepatu dan jubahnya tertutup debu, tanda bahwa dia melakukan perjalanan jauh. Tangan kirinya memegang kendali seekor kuda yang juga kelihatan telah kelelahan, kuda besar pilihan, kuda yang baik dan mahal pula. Isteri dari Bhe Coan cepat sadar akan keadaannya dan menurut sepantasnya, dia harus cepat menyembunyikan diri. Akan tetapi tadi dia terlongong kagum, maka dia terlambat dan kini pria itu telah berdiri di depannya, menjura penuh hormat dan dengan senyum di bibir dan lirikan mata penuh daya pikat seperti biasa dilakukannya kalau dia berhadapan dengan seorang wanita, apa lagi kalau wanita itu muda lagi cantik seperti Leng Ci, isteri dari Bhe Coan itu. "Nona, harap sudi memaafkan saya kalau saya berani lancang memasuki pekarangan rumah nona. Akan tetapi, saya seorang dari luar daerah ini, datang dari jauh dan tidak mengenal tempat ini. Kalau boleh saya bertanya, benarkah di sini tempat tinggal saudara Bhe Coan, pandai besi ahli pembuat pedang yang terkenal itu?" Suara pria muda itu halus, tutur sapanya sopan dan sikapnya ramah sehingga seketika itu juga hati Leng Ci, nyonya Bhe Coan itu terpikat dan dengan suara gemetar dia menjawab tanpa berani mengangkat muka, menunduk akan tetapi kadang-kadang kedua matanya yang tajam mengerling dari bawah. "Benar, kongcu, di sini rumah Bhe Coan..." Suaranya merdu dan lirih, agak gemetar dan tersendat karena jantungnya telah berdegup kencang. "Ahh... sungguh beruntung sekali saya! Tadi saya mendengar bunyi dencing gemblengan besi di landasan, maka secara untung-untungan saya masuk ke sini. Kiranya benar! Aht nona yang baik, bolehkah saya bertemu dengan dia? Apakah nona ini puterinya?" cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Leng Ci tersenyum, senyum simpul yang manis dan tangannya segera menutupi mulut, matanya menyambar seperti gunting tajam lalu terdengar dia menahan kekehnya secara genit. "Hi-hi-hik... saya bukan anaknya, melainkan isterinya... hi-hik." "Apa...?" Pemuda sasterawan itu membelalakkan matanya dengan lebar seolah-olah dia mendengar berita tentang sesuatu yang luar biasa dan amat mengherankan. "Nona... eh, nyonya tidak main-main?" "Kenapa?" Leng Ci bertanya, kini lebih berani dan tidak lagi menutupi mulutnya sehingga mulut yang tersenyum lebar itu memperlihatkan kilauan gigi yang berderet rapi. "Sungguh mati siapa dapat menduganya? Kouw-nio... eh, toanio sungguh kelihatan masih sangat muda... dan saya mendengar... ehh, maaf, saudara Bhe Coan itu sudah berusia hampir empat puluh tahun dan toanio masih kelihatan amat muda... maaf..." Bukan main senangnya hati Leng Ci mendengar ini. Tidak ada pujian lainnya yang lebih mendebarkan jantung seorang wanita dari pada dikatakan masih kelihatan muda, apa lagi kalau cara mengatakannya seperti pemuda sasterawan ini! "Ahhh, kongcu terlalu memuji..." katanya tersipu-sipu, kedua pipinya menjadi kemerahan menambah kemanisannya. "Suami saya memang sudah berusia hampir empat puluh, akan tetapi saya pun sudah... ehhh, hampir tiga puluh tahun..." "Ahhh...! Siapa dapat percaya? Menurut pandangan saya, toanio tidak akan lebih dari dua puluh tahun, atau jauh kurang dari itu!" Jantung nyonya itu semakin berdebar, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau percakapan yang tidak semestinya itu akan terdengar orang lain, maka dia lalu cepat-cepat berkata, "Kongcu hendak bertemu dengan suami saya?" "Benar, toanio. Saya bernama Hok Boan she Kui. Saya datang jauh dari selatan dan sengaja mencari suami nyonya untuk memesan pedang yang baik. Berapa pun harganya akan saya bayar, karena saya mendengar dari teman-teman bahwa suami nyonya adalah seorang ahli membuat pedang yang pandai. Dan melihat... ehh..." di sini dia menyambung kata-katanya dengan suara berbisik "...melihat nyonya sebagai isterinya, maka saya tidak ragu-ragu lagi akan kepandaiannya, dia pandai sekali memilih..." Ucapan itu sudah melewati batas pujian dan sepasang mata Leng Ci mengeluarkan sinar marah. Dia mengangkat muka memandang wajah pria itu, siap untuk memaki, akan tetapi melihat wajah itu, melihat sinar mata yang seolah-olah membelainya, senyum yang penuh pikatan dan tantangan itu, hatinya luluh dan dia menunduk kembali. "Dia sedang bekerja di dapur, harap kongcu langsung saja masuk ke sana melalui jalan samping. Silakan." Setelah berkata demikian, Leng Ci lalu memasuki rumahnya. Ia langsung memasuki kamarnya dan menuju ke depan cermin untuk memeriksa keadaan wajah dan bentuk tubuhnya yang baru saja mendapat pujian secara tak langsung namun amat menyenangkan hatinya itu, pujian dari seorang pemuda yang amat menarik hatinya. Dia tersenyum-senyum melihat wajahnya kemerahan dan berseri, matanya bersinar-sinar dan otomatis tangannya menyentuh dadanya yang membusung untuk merasakan debar jantungnya yang membuat dadanya tergetar. Sementara itu, sambil tersenyum sasterawan itu mengikuti langkah nyonya muda yang memasuki rumah itu dengan sinar mata penuh kekaguman, melihat betapa buah pinggul itu bergerak-gerak membayang di balik pakaian ketika nyonya itu memasuki rumah. Tentu saja sejak pertama kali bertemu dia sudah tahu bahwa yang berdiri di depannya itu adalah seorang wanita muda yang usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, wanita yang sudah matang. Tentu saja dia juga tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita itu bukanlah seorang gadis dan dia tidak heran mendengar bahwa wanita manis itu adalah isteri ahli pembuat pedang Bhe Coan. Akan tetapi, kebiasaan membuat dia bersikap seperti tadi, sikap yang selalu memikat hati wanita mana pun yang dijumpainya, terutama kalau wanita itu muda dan manis seperti Leng Ci. Sesudah mengikat kendali kudanya pada batang pohon yang tumbuh di depan rumah pandai besi itu, sasterawan muda yang bernama Kui Hok Boan itu sambil tersenyum lalu melangkah memasuki pintu di samping rumah dari mana terdengar suara berdentang dan berdencingnya besi bertemu besi. Ketika dia melangkah memasuki pintu pekarangan samping, tiba-tiba suara berdencing itu berhenti, dan pada saat dia memasuki pintu dapur di mana suara itu tadi terdengar, dia melihat seorang lelaki yang hanya memakai celana hitam tanpa baju, muka dan dadanya belepotan angus, bangkit berdiri dari sebuah bangku yang kotor oleh bubuk besi. Tampak olehnya nyonya rumah yang manis tadi baru saja meninggalkan tempat kerja pandai besi itu, memasuki pintu samping rumah tetapi sempat melempar kerling dari sudut matanya yang menunduk. Karena pandai besi itu sudah berdiri dan memandangnya, Kui Hok Boan membungkuk memberi hormat kepada nyonya rumah yang lewat, dengan sikap sopan sekali dan muka tunduk, sedikit pun tidak mengerling kepada wanita yang manis itu. Kemudian, sesudah wanita itu lenyap di balik pintu, dia mengangkat muka dan menghampiri pandai besi itu. Mereka saling berhadapan, seorang sasterawan muda yang tampan dan bersikap halus, dengan seorang pandai besi yang bertubuh kuat berotot dan bertelanjang baju. Keadaan mereka sungguh jauh berbeda, bahkan merupakan kebalikan, maka tidak mengherankan kalau Leng Ci tadi begitu tertarik melihat pemuda sasterawan itu. Sejenak Bhe Coan hanya tercengang. Biasanya, mereka yang datang mencarinya untuk memesan pedang adalah orang-orang kang-ouw yang kasar, atau tokoh yang aneh, para piauwsu, para kauwsu (guru silat), atau perwira-perwira dan bahkan ada pula utusan dari pembesar-pembesar. Akan tetapi belum pernah ada seorang sasterawan yang memesan pedang! Umumnya, sepanjang pengetahuannya, sasterawan biasa memegang kertas dan pensil untuk menulis, suling atau yangkim untuk bermain musik, atau kuas untuk melukis, sama sekali bukan pedang. Karena itu dia tercengang dan hanya memandang bengong kepada sasterawan yang bersikap sopan dan berwajah terang berseri itu. Kui Hok Boan agaknya maklum akan keheranan tuan rumah, maka dia cepat melangkah maju dan menjura dengan hormat. "Tadi saya sudah diperkenankan oleh nyonya rumah yang terhormat untuk masuk ke dapur pekerjaan ini. Benarkah saya berhadapan dengan saudara Bhe Coan, ahli pembuat pedang yang terkenal sampai ke dalam tembok besar?" Sepasang mata pandai besi itu bersinar, tanda bahwa kata-kata pemuda sasterawan itu berkenan di hatinya. Dia pun merasa terheran. Biasanya, orang-orang yang kaya, atau berkedudukan, atau berkepandaian seperti para sasterawan bersikap angkuh dan merasa lebih tinggi dari pada orang-orang kasar seperti dia, tetapi pemuda ini sungguh bersikap sopan dan menyenangkan sekali. "Ahh, kongcu terlalu memuji. Silakan duduk... ahh, akan tetapi bangkunya kotor, khawatir akan mengotorkan pakaian kongcu saja..." Kui Hok Boan tersenyum lebar, nampak giginya yang putih bersih. "Bhe-twako, ternyata twako adalah seorang yang ramah dan gagah. Terimalah salam hormat saya, saya Kui Hok Boan, dari kota Shen-yang..." "Ahhh...!" wajah pandai besi itu kelihatan berseri mendengar disebutnya kota ini, dan dia cepat bertanya. "Dari Shen-yang? Apakah kongcu mengenal piauwsu yang juga tinggal di Shen-yang?" Pemuda she Kui itu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tahu siapa yang dimaksudkan itu. Nama Na Ceng Han cukup terkenal di Shen-yang. Akan tetapi sebagai seorang yang cerdik sekali, pemuda ini tak segera menjawab, melainkan memperlihatkan wajah seperti orang kaget dan heran kemudian balik dia bertanya, "Ada hubungan apakah Bhe-twako dengan Na-piauwsu?" "Hubungan baik sekali!" Bhe Coan berkata sambil mengangguk. Dia memang orang jujur yang tidak pernah mau menyimpan rahasia apa pun. "Dialah sahabat baik saya nomor satu! Bahkan anakku satu-satunya menjadi anak angkat dari Na-piauwsu. Apakah kongcu mengenalnya?" Wajah sasterawan muda itu berseri dan dia tersenyum, lalu mengangkat kedua tangan kembali menghormat kepada pandai besi itu. "Aihhh, kiranya twako adalah sahabat baik piauwsu Na Ceng Han yang terhormat itu? Tentu saja saya mengenalnya, twako. Saya kagum kepada piauwsu yang gagah perkasa itu!" Wajah pandai besi itu makin berseri dan dia melangkah maju, memegang kedua tangan sasterawan itu. "Kui-kongu, saya gembira sekali mendengar ini! Apakah kongcu pernah melihat seorang anak perempuan yang kira-kira berusia dua tahun di rumah piauwsu itu? Bagaimana keadaan anak itu?" Sebagai seorang yang amat cerdik Kui Hok Boan tidak lama-lama menjawab. Dia lantas tersenyum dan dengan wajah gembira, dia berkata, "Bulan yang lalu saya mengunjungi Na-piauwsu dan memang saya melihat ada seorang anak perempuan kecil, dipangku dan ditimang-timang oleh Na-piauwsu. Bukankah anak itu manis, mungil dan montok sekali?" Bhe Coan mengangguk-angguk. "Benar... benar... itulah dia anak saya, itulah Bi Cu anak saya..." Suaranya terdengar agak tergetar karena keharuan dan kegirangan hatinya ketika mendengar bahwa anaknya sehat dan selamat. Dia tidak ingat bahwa sudah tentu saja anak perempuan kecil semua juga manis, mungil dan montok kalau anak itu sehat! "Kiranya anak itu anak twako? Ahh, selamat, twako. Anak twako begitu manis!" "Ha-ha-ha-ha, Thian agaknya mengutus kongcu untuk datang dan menyampaikan berita menggirangkan itu kepada saya! Ahhh, kongcu, marilah kita duduk di dalam dan bicara. Kongcu adalah seorang tamu agung bagi saya, tamu yang membawa berita baik sekali. Marilah, kongcu, eh... saya akan mencuci tangan dulu..." Pandai besi itu menghampiri bak air dan mencuci muka dan kedua tangannya sebelum memakai bajunya yang juga hitam kotor. Dengan wajah gembira dan sikap ramah dan wajar, Bhe Coan lalu menggandeng lengan tamunya, dibawa masuk ke dalam rumah. Isterinya menyambut mereka dengan wajah berseri akan tetapi pandang matanya agak terheran melihat tamu yang tampan itu oleh suaminya digandeng dan diajak memasuki rumah. "Kui-kongcu, perkenalkan, ini adalah isteri saya. Ahh, tadi kongcu telah bertemu dengan dia, bukan? Isteriku, ini adalah kongcu Kui Hok Boan dari kota Shen-yang. Dia membawa berita baik sekali tentang Bi Cu. Anak kita itu selamat dan sehat." Kui Hok Boan cepat-cepat menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil menundukkan mukanya dan berkata kepada nyonya muda. itu, "Twaso, maafkan kalau saya mengganggu." Wajah nyonya muda itu berseri, kedua pipinya berubah merah dan dia pun cepat-cepat balas menjura sambil berkata, "Kongcu adalah sahabat dan tamu suami saya, tentu saja tidak mengganggu." "Ha-ha-ha, isteriku yang baik, lekas kau sediakan masakan dan arak. Kita harus menjamu Kui-kongcu!" kata pandai besi itu. Leng Ci bergegas pergi meninggalkan mereka, memasuki dapur dan segera sibuk dengan persiapan hidangan. Dia pun merasa gembira sekali dan wajahnya selalu berseri, bibirnya tersenyum dan matanya termenung. Bhe Coan duduk menghadapi meja dan tamunya duduk di seberangnya. Pandai besi itu menghujankan pertanyaan kepada Kui Hok Boan tentang anaknya di Shen-yang, tentang keadaaan dan keluarga Na Ceng Han, tentang kota Shen-yang dan tentang tokoh-tokoh yang dikenalnya ketika mereka memesan pedang kepadanya. Ternyata Kui Hok Boan memiliki pengetahuan yang amat luas. Pemuda ini pandai sekali berbicara sehingga sebentar saja Bhe Coan yang jujur dan bodoh itu merasa amat tertarik dan kagum, mendengarkan semua penuturan pemuda itu dengan wajah berseri. Beberapa kali Leng Ci datang menghampiri mereka, menyuguhkan arak beserta masakan yang telah diselesaikannya. Setiap kali dia mendekati meja, jantungnya berdebar tegang, matanya mengerling tajam dan dia melihat betapa pemuda tampan itu pun mengerling kepadanya secara diam-diam dan halus sambil tetap bercakap-cakap dengan Bhe Coan. "Kui-kongcu adalah seorang terpelajar, dan pengetahuan kongcu juga amat luas sehingga kongcu mengenal semua tokoh kang-ouw dan para pembesar. Akan tetapi, saya sungguh merasa heran kalau mendengar bahwa kongcu hendak memesan pedang! Untuk apakah sebatang pedang bagi seorang sasterawan seperti kongcu?" Akhirnya Bhe Coan bertanya sambil memandang wajah orang itu dengan kagum. Kui Hok Boan tersenyum lebar dan pada saat itu Leng Ci datang lagi membawer mangkok besar terisi masakan terakhir. Dia lalu meletakkan mangkok itu di atas meja, di samping masakan-masakan lain yang dipersiapkannya secara cepat tadi, dan sekarang dia berdiri di dekat meja, lalu menyambung ucapan suaminya, "Selamanya saya sendiri pun belum pernah mendengar suami saya membuatkan pedang untuk seorang sekolahan!" Bhe Coam tertawa. "Nah, Kui-kongcu. Isteri saya berkata benar. Dia pun tentu merasa heran mendengar bahwa kongcu memesan pedang. Kongcu datang berkuda, bila kongcu memesan tapal kaki kuda, hal itu tentu saja tidak mengherankan. Akan tetapi, pedang..." "Benar, untuk apakah sebatang pedang bagi kongcu?" Leng Ci bertanya juga, pertanyaan yang diajukan seolah-olah dia juga terheran dan ingin sekali mendengar alasan pemuda itu. Kui Hok Boan menarik napas panjang. Dia mengerutkan alis, kemudian baru menjawab, "Sebenarnya, pedang yang saya pesan bukan untuk saya sendiri. Hendaknya Bhe-twako dan twaso mengetahui bahwa pada tahun ini saya akan mengikuti ujian di kota raja. Saya mengenal pengujinya sebagai seorang pembesar yang suka sekali pedang yang bagus, maka saya hendak membawa oleh-oleh sebatang pedang yang baik sekali untuk hadiah kepadanya. Dan saya mendengar bahwa Bhe-twako di sini adalah seorang ahli pedang yang hebat, maka jauh-jauh saya datang untuk memesan sebatang pedang yang baik dan indah yang akan saya hadiahkan kepada pembesar itu. Saya bersedia untuk membayar berapa saja harga pedang itu..." "Ahhh... begitukah? Ha-ha-ha, Kui-kongcu tidak keliru kalau datang kepada saya. Tentang harga pedang, ahhh, mari kita makan dulu. Urusan itu dapat kita bicarakan nanti." "Benar, kongcu. Silakan makan seadanya, dan maklumlah, karena tinggal di dusun maka kami tidak berkesempatan untuk menyajikan masakan yang baik." Kui Hok Boan bangkit berdiri dan menjura kepada Bhe Coan, kemudian kepada Leng Ci, "Twako dan twaso sungguh budiman dan ramah sekali terhadap saya, sudah menerima kedatangan saya sebagai seorang anggota keluarga saja. Oleh karena itu, rasanya tidak enak apa bila saya makan sendiri masakan twaso yang sudah berjerih telah membuatkan masakan-masakan ini. Kalau boleh, saya persilakan agar twaso ikut pula makan bersama kami, karena bukankah kalian berdua memperlakukan saya sebagai anggota keluarga sendiri?" Bhe Coan adalah seorang dusun yang jujur dan penuh kepercayaan kepada orang lain. Apa lagi dia pun merupakan keturunan pandai besi dan sudah menjadi kenyataan bahwa orang-orang yang bekerja sebagai pandai besi sejak kecil biasanya berwatak polos, jujur dan mudah percaya, juga bisa dipercaya. Maka, mendengar ucapan ini dan melihat sikap sasterawan muda yang begitu halus dan ramah, dia tertawa girang dan menarik tangan isterinya yang berdiri menunduk dengan muka merah. "Ha-ha-ha, Leng Ci isteriku. Mengapa mesti malu-malu? Kui-kongcu berkata benar. Dia adalah seorang tamu agung, seorang sahabat kita, dan memang seperti anggota keluarga sendiri. Maka tidak ada salahnya kalau kau menemani kami makan. Duduklah!" Leng Ci tersenyum malu-malu dan duduk di samping kiri suaminya, berhadapan dengan tamunya yang agak di sebelah kirinya karena Hok Boan duduk tepat berhadapan dengan Bhe Coan. Dengan cekatan nyonya rumah ini segera menuangkan arak ke dalam cawan tamunya dan suaminya, lalu berkata, "Silakan minum, Kongcu." Bhe Coan mengangkat cawannya kemudian berkata, "Kui-kongcu, mari kita minum untuk menyatakan selamat datang kepada kongcu!" Hok Boan melirik ke arah Leng Ci dan melihat wanita ini agaknya tidak turut minum, dia lalu tertawa dan berkata, "Twaso, mana arakmu?" "Ha-ha-ha, benar isteriku, hayo kau ikut minum untuk menghormati Kui-kongcu!" Leng Ci hanya tersenyum ketika dengan cekatan Hok Boan menuangkan arak dari guci ke dalam cawan di depan nyonya itu. Mereka bertiga lalu minum arak mereka. "Dan kini saya ingin mengajak twako dan twaso minum untuk menghaturkan terima kasih saya." Hok Boan lalu berkata sambil kembali menuangkan arak ke dalam cawan mereka. Kembali mereka minum secawan arak. Mereka silih berganti menghaturkan selamat sambil makan minum. Kemudian, sesudah menghabiskan lima cawan arak, wajah yang manis dari nyonya rumah itu menjadi makin merah, senyumnya makin genit dan matanya yang tajam lebih sering menyambar dengan kerlingan dari sudut matanya ke arah tamunya. Bhe Coan yang juga sudah dipengaruhi arak, tak melihat perubahan sikap isterinya ini dan kegembiraan isterinya dianggap wajar saja karena tamu mereka itu amat menyenangkan. Kui Hok Boan tentu saja melihat perubahan sikap wanita di hadapannya, agak di sebelah kanannya itu. Dia telah banyak berpengalaman dengan wanita, maka bukanlah hal yang lancang atau tidak diperhitungkan ketika mendadak kakinya menyentuh betis kaki nyonya muda itu di bawah meja. Leng Ci sedang membawa sepotong daging ke mulutnya. "Ihhkk...!" serunya dengan kaget sekali ketika merasa betapa betis kakinya diusap oleh sebuah kaki, matanya terbelalak saking kagetnya melihat keberanian tamu itu. "Ehh, kenapa kau...?" Suaminya bertanya heran. Wajah itu menjadi merah sekali dan tak dapat menjawab. "Apakah twaso tersedak? Baiknya diberi minum teh, twaso," kata Hok Boan dengan kaki masih mengusap betis itu. Wanita itu menarik kakinya menjauh dan cepat menyambar cangkir teh dan diminumnya teh itu untuk menutup mukanya yang menjadi merah. Jantungnya berdebar keras sekali, akan tetap kini dia menjadi tenang. Sesudah minum dia lalu memandang suaminya dan tersenyum. "Aku tersedak memang, agaknya terlalu banyak minum membikin orang mabok dan tidak menyadari apa yang dilakukannya." Sambil berkata demikian, dia mengangkat muka memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh teguran. Kui Hok Boan tertawa. "Ha-ha-ha-ha, bagi yang tidak biasa minum, memang arak dapat memabokkan. Akan tetapi bagi yang sudah biasa seperti saya, sukar untuk mabok oleh arak, walau pun tentu saja saya bisa mabok oleh yang lain." Ucapan ini mengandung arti mendalam dan kembali kedua pipi wanita itu menjadi merah. Bhe Coan yang polos itu memandang kepada tamunya. "Kongcu, kalau bukan arak yang dapat membikin engkau mabok, habis apa lagi?" Sasterawan muda itu tersenyum. "Ha-ha-ha, twako. Banyak yang dapat membikin mabok orang, yang lebih hebat dari pengaruh arak. Keindahan misalnya, saya bisa mabok ketika melihat sesuatu yang indah menarik...," kembali kongcu itu melirik ke arah nyonya rumah yang sekarang menunduk karena nyonya ini jelas sekali dapat menangkap arti kata-kata pemuda itu. Apa lagi kini tiba-tiba dia merasa ada tangan yang dengan halus mengusap pahanya! Nyonya itu tidak berani bergerak, takut apa bila diketahui suaminya, akan tetapi tangan itu merayap-rayap membuat seluruh bulu di tubuhnya meremang dan jantungnya berdegup demikian keras sehingga dia khawatir suaminya akan mendengar bunyi degup jantungnya itu. Maka dia lalu bangkit berdiri sehingga tentu saja tangan Bok Hoan itu terlepas dari pahanya. "Sebaiknya aku menyingkirkan mangkok-mangkok kosong sekalian mencucinya." Memang masakan-masakan itu telah mereka makan habis. Mukanya merah sekali, akan tetapi kalau pun suaminya melihat ini, tentu akan disangkanya bahwa muka isterinya itu merah karena terlalu banyak minum arak. "Dan saya pun harus berpamit untuk mencari penginapan dulu. Twako, berapa lamakah engkau dapat menyelesaikan sebatang pedang yang baik dan indah untukku?" "Kurang lebih tujuh hari." "Sepekan? Kalau begitu aku harus mencari kamar penginapan yang baik untuk tinggal selama sepekan di dusun ini." Kongcu itu bangkit pula. Mendengar ini, Leng Ci tidak jadi meninggalkan meja melainkan tetap berdiri memandang wajah tampan yang sekarang agak kemerahan itu. Wajah suaminya juga merah dan kalau kemerahan wajah sasterawan muda itu menambah ketampanannya, baginya kemerahan wajah suaminya malah menambah keburukan dan kebodohan wajah suaminya itu. Betapa jauh perbedaan yang terdapat di antara dua orang pria ini! Dan Leng Ci untuk ke sekian kalinya menghela napas panjang. "Kui-kongcu sudah seperti keluarga kita sendiri, suamiku, kalau dia sudi tinggal di rumah kita yang buruk ini, kamar di belakang itu dapat kubersihkan untuk dia pakai selama dia menunggu pedang itu jadi," katanya dengan suara datar sambil memandang suaminya. Sikapnya begitu wajar sebagai seorang nyonya rumah yang baik. "Kau setuju? Ha-ha-ha, tadinya aku hendak menawarkan kepadanya akan tetapi khawatir engkau tersinggung, maka aku ragu-ragu. Nah, Kui-kongcu, setelah isteriku yang berkata demikian, aku minta kepadamu untuk tinggal saja di rumah kami..." "Ah, twaso dan twako sungguh budiman dan baik sekali kepadaku. Akan tetapi, mana aku berani mengganggu seperti itu?" "Tidak ada yang mengganggu! Kami persilahkan kongcu tinggal di sini, kecuali tentu saja kalau kongcu merasa rumah ini terlalu buruk dan kotor, maka kami tidak dapat memaksa kalau kongcu mencari kamar lain...," kata Leng Ci. "Ha-ha-ha, Kui-kongcu, isteriku amat pandai berdebat. Engkau tidak akan menang, maka harap engkau suka menerima saja, sementara tinggal di sini bersama kami supaya kita dapat bercakap-cakap kalau aku sedang berhenti bekerja. Dan selagi aku bekerja, kongcu dapat pergi ke mana pun untuk melewatkan waktu menganggur." Kui Hok Boan menghela napas memperlihatkan sikap kewalahan, lantas dia menjura dan berkata, "Baiklah, apa bila twako dan twaso menghendaki demikian. Mana mungkin saya berani menolak lagi? Biarlah segala kebaikan kalian itu dapat saya balas dengan imbalan apa saja yang mampu saya lakukan." "Ha-ha-ha, bagus sekali! Saya girang sekali, Kui-kongcu..." "Bhe-twako, setelah menerima segala kebaikan ini, harap twako jangan menyebut kongcu kepadaku. Bukankah kini kita sudah seperti keluarga sendiri? Sebaiknya twako menyebut siauwte saja kepadaku." "Ahhh, mana saya berani?" "Kalau twako dan twaso bersikap sungkan, mana aku berani tinggal di sini?" "Ha-ha-ha, ternyata engkau juga pandai berdebat seperti twaso-mu! Baiklah, Kui-siauwte, sungguh merupakan kehormatan besar bagiku." Demikianlah, Hok Boan tinggal di rumah Bhe Coan dan isterinya, tinggal di sebuah kamar di belakang yang lebih dulu sudah dibersihkan oleh Leng Ci. Kamar itu berada di bagian paling belakang dan mempunyai pintu belakang yang menembus ke kebun belakang. Ternyata sasterawan muda itu dapat bersikap sangat menyenangkan, sopan dan ramah. Hal ini membuat Bhe Coan menjadi makin suka sehingga ketika beberapa kali Hok Boan menanyakan harga pedang, dia bilang bahwa hal itu akan dibicarakan kalau pedang telah selesai saja! Dia bermaksud hendak menghadiahkan sebatang pedang kepada tamunya yang amat menyenangkan itu. Tidak demikian dengan keadaan Leng Ci. Wanita ini merasa tersiksa sekali. Dia semakin tertarik, bahkan tergila-gila kepada sasterawan itu. Apa lagi ketika dia mendengar suara nyanyian atau tiupan suling Hok Boan yang sering bermain suling dan bernyanyi seorang diri di dalam kamarnya, dia makin tergila-gila. Malah di waktu dia tidur dengan suaminya, dia sering membayangkan alangkah akan senangnya kalau yang tidur di sampingnya itu adalah Hok Boan, bukan suaminya yang kalau tidur mengorok seperti babi disembelih! Akan tetapi, dia adalah isteri Bhe Coan, dan tinggal serumah, tentu saja dia takut untuk mendekati Hok Boan dan dia selalu menghindar, sungguh pun hatinya amat ingin, namun dia tidak berani melayani bujuk rayu yang terpancar dari sepasang mata sasterawan itu apa bila bertemu dengan dia. Kui Hok Boan sendiri merasa penasaran. Dia merasa yakin bahwa nyonya rumah yang manis itu sudah pasti terpikat olehnya dan seperti biasa, dia merasa yakin bahwa dia tidak akan gagal mendekati Leng Ci. Kalau nyonya rumah itu tidak muda dan manis seperti Leng Ci, sudah tentu dia tidak suka tinggal di rumah pandai besi itu, lebih senang ditinggal di penginapan di mana dia dapat bersenang-senang dengan bebas! Kini, melihat betapa nyonya muda yang sudah jelas terpikat olehnya itu seolah-olah takut dan tidak pernah mau mendekatinya, dia merasa sangat penasaran dan nafsunya makin memuncak! Gemaslah rasa hatinya, dan dia pun bertekad untuk mendapatkan wanita itu dengan akal apa pun juga! Memang demikianlah sifat nafsu apa pun kalau sudah mencengkeram batin seseorang. Nafsu terdorong oleh pikiran yang membayangkan kesenangan yang akan dinikmatinya. Nafsu adalah keinginan untuk memperoleh sesuatu yang dianggap amat menyenangkan, bayangan dari pengalaman-pengalaman masa lalu yang dinikmati, dikunyah lagi seperti seekor kerbau mengunyah daun-daun muda yang tadi telah dimakannya. Kenangan akan kesenangan ini, bayangan akan kesenangan yang diharapkan akan bisa dinikmati nanti, kemudian menimbulkan nafsu atau keinginan. Dan makin sukar sesuatu yang diinginkan itu diperoleh, makin berkobarlah nafsu keinginan itu. Nafsu birahi, seperti juga nafsu keinginan lain, akan makin mendorong kita hingga membuat kita mata gelap, tidak lagi peduli akan cara-cara yang bagaimana pun untuk memperoleh apa yang kita inginkan itu, baik dengan cara yang benar mau pun cara yang kotor! Sesudah tinggal di sana selama dua malam dan belum nampak tanda-tanda bahwa dia berkesempatan mendekati nyonya rumah karena di waktu siang nyonya rumah sibuk di dapur kemudian setelah selesai lalu menyembunyikan diri dalam kamar sambil menyulam sedangkan di waklu malam tentu saja Leng Ci tak pernah dapat meninggalkan suaminya. Hok Boan tidak sabar lagi. Sejak pagi itu, telah terdengar suara berdencing di dapur atau bengkel kerja di mana Bhe Coan bekerja dengan giat menyelesaikan pembuatan pedang untuk tamunya. Hok Boan maklum bahwa setiap pagi Leng Ci mengantarkan secangkir teh kental untuk suaminya di bengkel itu. Dia menanti dan mengintai dari belakang. Pada saat dia melihat wanita itu keluar dari kamarnya menuju ke bengkel suaminya, dia cepat-cepat berjalan membayanginya dan begitu melihat nyonya itu memasuki pintu bengkel, dia lalu masuk pula dan berkata, "Twako... ah... maaf aku kesiangan... aku... agaknya terserang penyakit demam panas..." Dia berhenti lalu menoleh kepada isteri tuan rumah yang memegang cangkir lalu berkata, "Ahh, maafkan, twaso... aku tidak bermaksud mengganggu..." Bhe Coan terkejut dan cepat bangkit, membersihkan tangannya pada kain yang tersedia di situ dan memandang pemuda itu. Memang wajah Hok Boan pucat sekali dan kelihatan seperti orang sakit, bahkan berdirinya juga bergoyang-goyang seperti orang akan jatuh. Bhe Coan cepat menghampiri dan memegangnya agar tidak sampai jatuh, dan ketika dia memegang tangan sasterawan itu, dia terkejut. "Ahhh, badanmu panas sekali! Kui-siauwte, kau tidak perlu datang ke sini... ahhh, jangan-jangan kau terkena penyakit yang berbahaya. Sebaiknya kau pergi tidur dan mengaso di kamarmu saja, siauwte!" "Agaknya... agaknya... begitulah." Hok Boan melepaskan tangan tuan rumah dan hendak melangkah ke pintu, akan tetapi dia terhuyung dan tentu jatuh kalau tidak berpegangan kepada pintu. "Aihhh...!" Leng Ci berteriak kaget dan khawatir sekali. "Kau benar-benar sakit, kongcu...!" Dia masih belum dapat menyebut sasterawan itu ‘adik’ seperti yang dilakukan suaminya. "Sebaiknya kita panggilkan tabib..." "Benar, kau kembalilah ke kamarmu, mari kubantu, siauwte. Nanti segera kupanggilkan tabib untukmu." Bhe Coan lalu memapah pemuda itu keluar dari bengkelnya, diikuti oleh Leng Ci yang memandang dengan hati kasihan sekali terhadap sasterawan itu. Dengan bantuan Bhe Coan, Hok Boan segera merebahkan diri di atas pembaringannya. Beberapa kali dia mengeluh lirih dan mukanya makin pucat, dahinya penuh keringat. "Biar kupanggilkan tabib sekarang," kata Bhe Coan. "Tidak usah... tidak perlu, twako. Aku hanya mengganggu pekerjaan twako saja, dan... dan pedang itu menjadi makin terlambat jadinya. Aku pernah terserang penyakit demam seperti ini dan aku... aku bisa... menulis resep obatnya. Tolong ambilkan kertas dan pena bulu... oughhh..." Dia menuding ke atas meja dalam kamar itu, lalu bangkit duduk dengan sukar. Leng Ci yang melihat perabot tulis di atas meja segera mengambilkan apa yang diminta pemuda itu. Dengan jari-jari tangan gemetar, Hok Boan lalu membuat corat-coret di atas kertas dan menyerahkannya kepada Bhe Coan. "Tolong twako suruhan orang membeli obat ini... dan tolong panggil seorang tetangga yang suka melayaniku untuk menggodok obat dan memberi minum setiap jam sekali..." "Ahhh, mengapa siauwte demikian sungkan? Isteriku dapat membelikan obat dan untuk melayanimu di waktu sakit, bukankah di sini ada twaso-mu?" "Ahh, ...aku tidak ingin... membikin susah twaso saja..." Leng Ci berkata dengan suara terharu. "Kui-kongcu, kau sedang sakit, jangan berpikiran yang tidak-tidak dan jangan sungkan. Aku suka untuk merawatmu, bukankah kau seperti adik suamiku sendiri? Nah, aku akan membeli obat." Wanita itu melangkah pergi dan Bhe Coan kemudian duduk di atas bangku dalam kamar. "Kuharap saja penyakitmu tidak parah, siauwte." Hok Boan kembali merebahkan dirinya mencoba untuk tersenyum. "Tidak apa-apa, twako, aku pernah diserang penyakit ini. Asal aku dapat beristirahat beberapa hari dalam kamar dan setiap jam minum obat itu, tentu akan cepat sembuh kembali. Jangan membikin repot twako, dan harap twako kembali ke bengkel menyelesaikan pedang itu..." "Baiklah kalau begitu. Jangan kau sungkan-sungkan pada twaso-mu, siauwte. Anggaplah dia seperti kakak iparmu sendiri. Dia akan merawatmu." "Sebaiknya panggilkan saja orang lain... aku... aku merasa tidak enak kalau aku harus merepotkan twaso..." "Aaahh, kau terlalu sungkan, sudahlah. Aku akan memberi tahu dia supaya merawatmu sebaik mungkin, jangan kau khawatir." Pandai besi itu lalu meninggalkan Hok Boan yang masih mengeluh lirih, dengan hati-hati menutupkan daun pintu kamar pemuda itu. Setelah langkah-langkah tuan rumah tak terdengar lagi dan tak lama kemudian terdengar bunyi dencing besi dipukul, Hok Boan tidak mengeluh lagi, bahkan bibirnya tersenyum! Dia mengusap peluh pada dahinya dan mukanya kembali menjadi merah, lalu dia bangkit duduk, tersenyum dan mengepal tinju. Dapat kau sekarang olehku, manis! Demikian dia berkata kepada diri sendiri. Akal ini sudah direncanakan sejak malam tadi dan ternyata berhasil baik sekali. Siapakah sebenarnya sasterawan muda ini? Orang macam apakah dia dan bagaimana dia mampu bermain sandiwara sehebat itu sehingga dia dapat berpura-pura sakit sampai dahi dan lehernya mengeluarkan keringat, dan tubuhnya terasa panas, mukanya menjadi pucat sekali? Tentu saja Kui Hok Boan dapat melakukan hal ini sebab dia adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki sinkang amat kuat sehingga dengan menggunakan sinkang-nya, dia dapat membuat wajahnya pucat, keringatnya bercucuran, dan tubuhnya panas! Sebenarnya, Kui Hok Boan yang selalu berpakaian sebagai sasterawan itu bukan hanya pandai dalam hal sastera, akan tetapi dia juga seorang ahli silat yang tinggi ilmunya! Di selatan, di dalam tembok besar, namanya sudah amat terkenal dan dia malang-melintang sebagai seorang petualang besar yang sering kali mengandalkan ilmunya untuk melakukan apa saja yang disenanginya! Sebetulnya, orang she Kui yang baru berusia tiga puluh tahun ini bukanlah seorang jahat, bukan pula termasuk golongan kaum sesat. Sama sekali bukan. Dia seorang petualang yang hidup sendirian, malang-melintang mengandalkan kepandaiannya. Akan tetapi dia sangat cerdik sehingga dia mempunyai banyak sahabat, baik di kalangan kaum sesat mau pun di kalangan para pendekar. Dia sendiri berdiri di tengah-tengah, tidak mau bergabung pada suatu golongan tertentu. Kadang-kadang, apa bila memang hatinya menghendaki dan tentu saja kalau dia melihat terdapat keuntungan di dalamnya, dia tidak segan-segan untuk menentang golongan hitam. Akan tetapi, dia sendiri pun memiliki kelemahan terhadap kesenangan dunia sehingga tidak heran pula melihat dia berhari-hari menghabiskan waktu di rumah judi atau di rumah pelacuran. Juga, dia tak segan-segan untuk menggunakan wajahnya yang tampan, gerak-geriknya yang halus, dan ilmu silatnya yang tinggi untuk menggoda wanita baik-baik. Akan tetapi dia tidak pernah melakukan perkosaan, tak pernah menggunakan kekerasan untuk memaksa seorang wanita. Dengan modal yang ada pada dirinya, memang jarang sekali dia dikecewakan oleh wanita, jarang sekali ada wanita yang mampu menolak bujuk rayunya! Beberapa bulan yang lalu, dengan kepandaiannya membujuk rayu Kui Hok Boan berhasil menundukkan hati seorang gadis, puteri seorang guru silat di kota Koan-sui. Akan tetapi guru silat itu tidak menyetujui, bahkan hampir saja dia tertangkap basah dan tentu akan dikeroyok kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri. Kalau dia mau melawan, agaknya dia akan dapat mengalahkan guru silat itu dan semua muridnya. Akan tetapi Hok Boan adalah orang yang cerdik. Dia tidak mau melihat dirinya dimusuhi dunia kang-ouw hanya karena seorang wanita, apa lagi di kota Koan-sui terdapat banyak orang pandai. Maka dia terus melarikan diri, dan karena mendengar akan kepandaian Bhe Coan membuat pedang, maka dia sampai tiba di Pek-hwa-cung, yaitu pertama untuk menjauhkan diri dari Koan-sui sementara waktu ini, dan kedua kalinya karena dia ingin memiliki sebatang pedang yang baik. Tentu saja cerita yang dituturkan kepada Bhe Coan serta isterinya bahwa dia hendak mengikuti ujian di kota raja hanya bohong belaka dan hanya dipergunakan untuk menarik perhatian mereka terutama perhatian nyonya muda itu, sekalian untuk menyembunyikan kepandaiannya dalam ilmu silat. Kui Hok Boan adalah seorang bekas murid dari Go-bi-pai yang murtad. Dia adalah murid seorang tokoh Go-bi-pai yang terkenal gagah perkasa dan amat saleh, yaitu Kauw Kong Hwesio yang sudah tua. Sebenarnya, Kauw Kong Hwesio sangat sayang kepada pemuda yang cerdas ini, tetapi ketika pada suatu hari ia mendapatkan muridnya yang tersayang itu melakukan hubungan gelap dengan isteri seorang petani di kaki gunung, dan pendeta itu menerima pelaporan dari si suami yang tidak berani menegur atau melawan Kui Hok Boan, pendeta ini menjadi marah dan mengusir Kui Hok Boan, tidak mau mengakuinya lagi sebagai murid dan dia melarang pemuda itu menggunakan nama Go-bi-pai sebagai golongannya. Masih untung bagi Hok Boan bahwa dia tidak sampai dipukul mati oleh gurunya. Kauw Kong Hwesio sudah tua sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya ketika hal itu terjadi, dan dia sudah lebih condong kepada keagamaan dari pada terhadap urusan dunia. Karena itu dia dapat memaafkan muridnya dan tidak membunuhnya, apa lagi kalau diingat bahwa hubungan gelap itu dilakukan atas dasar sama-sama suka, jadi muridnya sama sekali tidak melakukan kekerasan, tidak memakai ilmu silat untuk menaklukkan atau merampas isteri orang. Tentu saja perbuatan itu tetap tidak dibenarkan oleh hwesio tua ini, maka dengan hati berat dia pun mengusir dan tak mau mengakui lagi murid berbakat yang sebenarnya sangat disayangnya itu. Setelah terlepas dari pengawasan gurunya, Hok Boan yang memang hidup sebatang kara tanpa keluarga ini mulai dengan petualangannya. Dia bagaikan seekor burung liar yang terbebas dari kurungan!....
JILID 03
SEJAK kecil dia sudah belajar sastera karena sebelum keluarga ayahnya terbasmi dalam perang pemberontakan yang lalu, ayahnya adalah seorang yang kaya raya dan dia diberi kesempatan mempelajari sastera sampai mendalam. Pada saat keluarganya tewas dalam kerusuhan perang, hanya dia seorang yang selamat dan akhirnya dia diambil murid oleh Go-bi-pai. Semenjak saat itu, di samping giat mempelajari ilmu silat tinggi, dia juga masih tekun memperdalam ilmunya tentang sastera. Setelah dia diusir oleh gurunya, Hok Boan lalu mencoba untuk mengikuti ujian di kota raja dengan harapan akan lulus dan memperoleh pangkat. Akan tetapi harapannya menjadi buyar karena dia gagal dalam ujian. Dia merasa bosan untuk mengulang lagi dan mulailah dia merantau dan bertualang. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar baginya untuk memperoleh uang karena dia tidak pantang memasuki gudang harta seorang hartawan dan mengambil beberapa kati uang emas atau perak untuk keperluannya bertualang. Selama beberapa tahun, dia terus berpindah-pindah, sampai akhirnya dia hampir dikeroyok oleh guru silat dan anak muridnya di Koan-sui itu. Kini di dalam perjalanannya ke utara, ke dusun Pek-hwa-cung untuk memesan sebatang pedang yang baik, buatan pandai besi Bhe Coan yang terkenal, dia bertemu dengan isteri Bhe Coan yang demikian manis menarik, yang bertubuh montok dan padat, tentu saja wanita seperti Leng Ci itu tidak dapat terlewatkan begitu saja dari pandangan mata Hok Boan yang berminyak! Dan ketika mereka makan bersama dan dia mengujinya dengan rabaan di bawah meja, mendorong Hok Boan untuk melanjutkan petualangannya sampai berhasil. Tak lama kemudian, suara dencing di bengkel itu berhenti dan terdengarlah langkah kaki Bhe Coan dan isterinya menuju ke kamar. Hok Boan cepat merebahkan dirinya lagi dan dengan pengerahan sinkang-nya, dia sekarang berkeringat dan mukanya pucat kembali. Terengah-engah dia rebah terlentang seperti orang kepanasan. Bhe Coan beserta isterinya masuk ke kamar itu. "Siauwte, ini obatnya. Akan tetapi tidak kelirukah? Menurut isteriku..." Bhe Coan memandang isterinya. "Kui-kongcu, tukang obat yang menjual obat-obat menurut catatanmu tadi mengatakan bahwa ini bukanlah obat untuk penyakit demam panas. Ketika aku bertanya obat apa, dia hanya tertawa dan dia tidak mau menjawab, hanya berkata bahwa ini bukan obat penyakit panas. Jangan-jangan kau keliru membuat catatan, kongcu." "Ahh, tukang obat kampungan... mana dia tahu...? Aku sudah pernah mengobati penyakit ini dengan obat itu... harap twaso suka cepat menggodoknya, dengan air tiga mangkok sampai tinggal semangkok... dan harap sediakan arak yang keras... sebagai campuran..." Dia kembali merebahkan diri dan terengah-engah, napasnya memburu, juga keringatnya semakin banyak. "Cepat masak obat ini!" kata Bhe Coan kepada isterinya dan wanita itu cepat melakukan perintah suaminya. Bhe Coan mendekati tamunya. "Bagaimana siauwte? Berbahayakah keadaanmu?" Hok Boan memaksa senyum dan menggelengkan kepala. "Jangan khawatir, twako... jika berbahaya tentu aku juga tahu... aku… aku pernah mengalaminya, malah lebih hebat dari sekarang. Tetapi obat itu pasti akan menyembuhkan aku... tinggalkan saja aku, lanjutkan pembuatan pedang itu supaya tidak terlambat... aku berterima kasih kepada twako dan twaso..." Bhe Coan menarik napas lega dan menepuk-nepuk pundak sasterawan muda itu. "Jangan berkata demikian, jangan sungkan-sungkan, kami hanya mengharapkan kesembuhanmu." Dia lalu pergi dan tidak lama kemudian sudah terdengar lagi bunyi dencing palunya yang memukul-mukul. Leng Ci melangkah memasuki kamar itu membawa semangkok obat yang berwarna hitam berikut seguci arak. Diletakkannya obat dan arak di atas meja, kemudian dia mendekati pembaringan di mana Hok Boan masih rebah terlentang dengan muka pucat. "Kui-kongcu, obatnya sudah selesai kumasak, dan sudah kudinginkan. Apa mau diminum sekarang?" "Baik... baik..." Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi mengeluh. "Auhhhh..." Dan dia hampir terguling. Leng Ci cepat merangkul pundaknya dan membantunya bangkit duduk. Hampir tidak kuat rasa hati Hok Boan ketika merasakan kehangatan tubuh itu dan mencium bau minyak harum bercampur bau khas wanita. Akan tetapi dia memejamkan matanya dan duduk. "Pusingkah, kongcu...?" Dia mengangguk dan membuka matanya "Ya, agak pusing, twaso..." "Mau minum obat sekarang? Sudah kusediakan bersama araknya." "Nanti dulu, twaso. Ketahuilah, penjual obat itu benar, obat ini sama sekali bukanlah obat untuk demam panas. Akan tetapi penyakitku ini aneh, twaso. Dan bila sampai obat yang kau beli itu tidak cocok dan mendatangkan hawa dingin, maka justru merupakan racun bagiku dan dapat membunuhku seketika..." "Ihhh...!" Wanita itu mundur selangkah dan mukanya berobah pucat, matanya terbelalak memandang kepada obat di atas meja itu. "Kalau begitu, jangan diminum, kongcu!" Kui Hok Boan tersenyum. "Akan tetapi obat itu sama sekali tidak berbahaya bagi orang yang sehat, bahkan kalau ada yang mau, dapat menolongku untuk mengujinya, apakah obat itu cocok atau tidak untukku. Bagi yang sehat seperti twaso umpamanya, obat itu sama sekali tidak berbahaya, bahkan menyehatkan. Akan tetapi... ahhh, aku hanya akan merepotkan twaso saja..." "Ahhh, tidak, kongcu. Sama sekali tidak. Bagaimana cara mengujinya?" "Campurannya adalah, setengah mangkok obat itu dicampur setengah mangkok arak, lalu diminum. Kalau orang sehat yang meminumnya lalu terasa hangat, berarti obat itu cocok untukku dan pasti akan menyembuhkan aku. Akan tetapi kalau orang sehat meminumnya lalu terasa agak dingin, berarti aku tidak boleh minum obat itu. Harap twaso suka mencari seorang tetangga yang suka menguji obat itu dan menolongku." "Kalau cuma begitu saja, aku pun dapat menolongmu, kongcu. Akan tetapi benarkah obat itu tidak berbahaya?" "Aku tanggung dengan nyawaku, twaso. Apakah twaso tidak percaya kepadaku?" Leng Ci menahan senyum lalu melangkah mendekati meja, memberi kesempatan kepada Hok Boan untuk melihat gerak pinggulnya. Dia menuangkan obat yang semangkok itu ke dalam mangkok lain, setengah mangkok banyaknya, lalu dicampurinya dengan setengah mangkok arak. Baunya sedap sekali. "Aku akan mencobanya, kongcu." "Minumlah, twaso, dan kalau terasa hangat, berarti aku akan sembuh dengan cepat." Tanpa curiga nyonya muda itu lalu minum obat semangkok itu, rasanya agak manis dan memang bukan tidak enak, apa lagi karena dicampur arak yang keras. Hanya arak itu terlalu keras baginya namun ditahannya dan habislah obat semangkok itu. "Kalau arak itu terlalu keras, duduklah, twaso..." Leng Ci tidak menjawab melainkan duduk dan memang kepalanya agak pening, maka dia duduk di atas bangku sambil memejamkan mata. Sunyi di kamar itu. Bunyi dencing besi dipukul dari bengkel terdengar satu-satu dengan jelas sekali. "Bagaimana, twaso?" Hok Boan bertanya lagi saat melihat wanita ini membuka matanya. Wajah wanita itu menjadi kemerahan dan napasnya sedikit memburu, matanya bersinar aneh. "Panas... rasanya panas dan hangat di seluruh tubuh..." "Ah, kalau begitu cocok untukku!" Hok Boan bangkit duduk. "Tolong campurkan obat itu dengan arak seperti tadi..." Leng Ci bangkit berdiri kemudian menuangkan arak ke dalam mangkok obat yang tinggal separuh itu, lalu dia mendekati pembaringan. Hok Boan menerimanya dan meminumnya sampai habis, kemudian dia merebahkan diri. Seketika dahinya penuh dengan keringat, juga lehernya. Dia bergerak gelisah sedangkan Leng Ci duduk kembali dan memandang kepadanya. "Ahhh... panas sekali... panas...!" Hok Boan merintih dan berguling ke kanan kiri. "Bagaimana, kongcu?" Leng Ci bangkit dan menghampiri pembaringan, lalu duduk di tepi pembaringan dengan khawatir. Dia tidak sadar bahwa dia sendiri mulai berkeringat halus membasahi dahi dan lehernya. "Panas, tolong bukakan kancing bajuku..." Hok Boan merintih. Jari-jari tangan yang kecil itu agak gemetar saat membukakan kancing-kancing baju Hok Boan, apa lagi karena pemuda itu terus menggerakkan tubuhnya, maka jari-jari tangannya kadang-kadang mengusap kulit dada yang putih halus itu. "Panas sekali...," kembali Hok Boan merintih. "Aku... aku pun merasa panas dan gerah, kongcu. Mungkin obat itu..." "Kalau begitu, kenapa bajumu tidak dibuka saja?" "Kongcu... ehhh...?" Namun kedua lengan pemuda itu telah merangkulnya, merangkul pinggang dan lehernya, dan tubuh Leng Ci telah ditariknya ke atas pembaringan. Wanita itu hendak meronta akan tetapi terlambat. Hok Boan sudah memeluk dan menciumnya, dan Leng Ci telah diamuk oleh nafsunya sendiri yang didorong oleh obat yang diminumnya, karena memang obat itu adalah obat perangsang! Nyonya muda itu memang telah mempunyai hati terpikat dan menyeleweng terhadap Hok Boan. Kini, berada begitu dekat dengan pemuda yang amat menarik hatinya itu, apa lagi didorong oleh obat yang diminumnya, dia lupa segala, lupa bahwa tak jauh dari kamar itu, suaminya sedang bekerja dan bunyi dencing besi dipukul terdengar jelas dari situ. "Sakitku adalah sakit rindu kepadamu, Leng Ci... dan hanya engkau seorang yang dapat menyembuhkan aku...," Hok Boan berbisik kepada wanita yang sudah diamuk nafsu itu, yang kini sama sekali tidak lagi menolak, bahkan bersama Hok Boan dengan suka rela memasuki jurang perjinahan! Kini yang terdengar hanya suara puputan pembuat api dan suara dencing besi dipukul. Pekerjaan pandai besi adalah pekerjaan yang mengeluarkan suara hiruk-pikuk, dan Hok Boan tidaklah lupa daratan sama sekali seperti halnya Leng Ci. Tidak, dia amat hati-hati dan telinganya tak pernah meninggalkan suara dari bengkel itu sehingga dia tahu bahwa suami wanita ini masih sibuk bekerja! Menjelang tengah hari, barulah dia mendorong tubuh Leng Ci yang kelelahan itu sambil menyuruhnya cepat membereskan pakaiannya. "Suamimu sudah berhenti bekerja..." bisiknya dan dia sendiri cepat membereskan pakaian dan sudah kembali rebah terlentang ketika terdengar langkah kaki Bhe Coan menuju ke kamar itu! Dengan amat tergesa-gesa Leng Ci membereskan pakaiannya dan rambutnya. Pada saat suaminya muncul di pintu, dia sedang membawa mangkok-mangkok kosong keluar dari kamar. Bhe Coan tidak memperhatikan isterinya. Jika dia memperhatikan tentu dia akan melihat wajah yang kemerahan, napas yang masih memburu dan rambut yang agak awut-awutan itu. Akan tetapi pandai besi ini segera menghampiri Hok Boan dan sejak memasuki kamar dia sudah memandang ke arah pemuda itu karena memang sama sekali dia tidak pernah menaruh kecurigaan apa pun terhadap isterinya. "Bagaimana, Kui-siauwte?" tanyanya. "Wajahmu tidak sepucat tadi, sudah agak merah, akan tetapi engkau kelihatan basah semua penuh keringat..." "Ahh, terima kasih, twako. Keadaanku sudah banyak baik. Obat yang dimasak twaso itu sungguh hebat dan menyembuhkan. Aku hanya perlu beristirahat dan terus minum obat itu. Nyawaku tertolong berkat kebaikanmu dan terutama sekali berkat perawatan twaso, twako." Bhe Coan tersenyum. "Ahhh, jangan sungkan, siauwte. Aku girang mendengar engkau sudah mendingan." Demikianlah, semenjak saat itu, hampir setiap saat selagi Bhe Coan sibuk di bengkelnya membuat pedang, Hok Boan dan Leng Ci tidak pernah membuang kesempatan itu untuk bermain cinta, melakukan hubungan jinah yang kotor itu. Mereka berenang dalam nafsu mereka, terseret oleh gelombang nafsu birahi yang memabokkan. Memang demikianlah nafsu. Seperti api. Makin diberi umpan dan bahan bakar, semakin berkobar. Seperti babi yang rakus. Makin diberi makan, semakin kurang! Segala macam bentuk nafsu keinginan selalu demikian, makin dituruti keinginan itu, makin banyak yang didapatnya, makin serakah pula. Seorang yang gila uang, makin banyak mendapat uang, makin serakahlah dia, tak akan ada puasnya seolah-olah makin diberi minum makin haus. Orang yang gila kekuasaan, gila kedudukan, gila nama dan sebagainya juga begitu. Kalau nafsu keinginannya makin dikejar, kalau yang didapatkannya makin banyak, maka makin kuranglah dia merasa! Sama pula dengan semua itu, nafsu birahi pun demikian. Karena makin banyak dialami dalam pemuasannya, semakin bertumpuk kenangan di dalam ingatan, semakin kuat pula pendorong yang membuat orang ingin mengulanginya kembali, bahkan kalau bisa ingin mendapatkannya lebih banyak lagi. Leng Ci bersama Hok Boan yang sudah sekali terjun memasuki pengejaran kenikmatan melalui pelampiasan nafsu birahi, menjadi makin haus dan selalu ingin lebih banyak lagi memperoleh kesempatan untuk mengulanginya. Kini mereka bagaikan orang-orang yang kelaparan, bahkan kadang-kadang mereka lupa akan kewaspadaan. Sekarang mereka mulai berani saling bertemu pada waktu malam, pada waktu Bhe Coan tidur mendengkur dan secara diam-diam Leng Ci menyelinap meninggalkan kamarnya untuk menikmati kepuasan sejenak bersama dengan kekasihnya di dalam kamar tamu itu, lalu kembali menyelinap ke dalam kamar suaminya sambil mencibirkan bibirnya kepada tubuh suaminya yang tidur mendengkur! Beberapa hari lewat dan bagi Bhe Coan, tamu yang dihormatinya itu masih beristirahat di kamar saja! Juga dia tidak menaruh curiga kalau di waktu malam isterinya selalu menolak dia melakukan pendekatan dengan dalih lelah karena harus melayani makan dua orang ditambah merawat dan memasakkan obat untuk Hok Boan! Karena di situ terdapat tamu, maka Bhe Coan mengalah dan tidak mau ribut-ribut dengan isterinya. Sementara itu, pedang yang dibuatnya sudah mulai mendekati kerampungannya. Sudah berbentuk pedang yang baik sekali. Pedang itu pedang pendek, hanya sepanjang lengan Hok Boan, ringan dan indah bentuknya, seperti yang dipesan oleh sasterawan itu. Terbuat dari baja murni yang waktu pembakarannya serta pembenamannya di dalam air sudah diperhitungkan secara tepat. Dengan hati puas Bhe Coan menyentil ujung pedang dengan kuku jari tangannya, dan terdengar suara berdencing nyaring! Tanda bahwa pedang itu memang hebat! Bentuknya sudah sempurna, hanya tinggal memperhalus dan memperindah gagangnya saja. Dengan senyum di bibir dan dengan hati girang Bhe Coan membawa pedang itu ke kamar tamunya. Sekali ini, karena kegirangan dan tidak sabar untuk cepat-cepat memamerkan hasil karyanya kepada tamunya, dia masih tak berbaju dan melepas sepatu karena dia memang masih hendak bekerja. Tiba-tiba saja dia mendengar suara ketawa isterinya, ketawa cekikikan yang membuat dia terheran-heran! Itu hanyalah suara ketawa Leng Ci di waktu wanita itu bergurau di dalam kamar dengan dia! Akan tetapi ketika dia sampai di depan pintu kamar yang terbuka, dia melihat Hok Boan masih rebah terlentang, ada pun Leng Ci cepat mengambil guci arak dan mangkok obat, lalu pergi meninggalkan kamar. Wajah isterinya biasa saja dan ketika Bhe Coan memandang ke arah pembaringan, dia melihat pemuda itu masih tidur dengan dengkur halus! Ah, tak mungkin. Dia cepat keluar lagi dan mengejar isterinya. "Leng Ci...!" panggilnya perlahan. Isterinya berhenti dan memutar tubuh, memandangnya dengan heran. "Ada apakah?" "Tadi aku mendengar suara tertawa... seperti ketawamu. Apakah aku salah dengar?" Isterinya tersenyum. "Hi-hi-hik, lucu! Ketika aku masuk mengambil mangkok, aku melihat Kwi-kongcu mengigau sambil bernyanyi kecil, lalu tertawa-tawa. Aku geli melihatnya, dan mungkin saja aku menahan ketawaku." "Ahhh..." Bhe Coan mengangguk dan pada saat itu terdengarlah suara dari dalam kamar tamunya. "Nah, kau dengar...?" Leng Ci berkata lalu melanjutkan langkahnya pergi dari situ untuk mencuci mangkok. Berindap-indap Bhe Coan mendatangi kamar itu, menjenguk dan benar saja. Dia melihat pemuda itu sedang mengigau, kedua tangan bergerak-gerak dan mulutnya mengeluarkan nyanyian sumbang. Peristiwa itu menghapus keheranan hati Bhe Coan. Akan tetapi ada sesuatu yang masih mengganggu hatinya. Dia tadi mencium bau harum pada saat menghentikan Leng Ci dan melihat betapa isterinya itu merias wajahnya dan memakai wangi-wangian. Padahal, pada waktu pagi biasanya isterinya tidak pernah merias diri seperti itu apa lagi memakai wangi-wangian. Dan anehnya pula, biar pun muka isterinya memakai bedak dan gincu, akan tetapi gincu di bibirnya agak rusak terhapus dan rambutnya yang disisir rapi itu agak awut-awutan di bagian dahinya. Dia belum menduga yang bukan-bukan, hanya merasa aneh dan heran saja. Sore hari itu Bhe Coan berpamit pada isterinya dan juga Hok Boan untuk pergi ke kota yang berdekatan untuk membeli sarung pedang. Sarung pedang terbuat dari kayu dan di kota itu terdapat tukang kayu yang pandai dan yang biasa membuat sarung pedang atau senjata lain. Sesudah pandai besi itu pergi, walau pun kepergiannya itu tidak akan makan waktu lama, tetap saja merupakan peluang yang tidak mau disia-siakan oleh Hok Boan dan Leng Ci. Mereka bersenda-gurau dan bergumul dalam kamar, melampiaskan nafsu mereka yang tak kunjung padam dan tidak pernah mengenal kenyang itu. Di kota kecil itu, secara kebetulan saja Bhe Coan bertemu dengan tukang obat yang telah lama dikenalnya. Begitu melihat Bhe Coan, tukang obat itu tersenyum lebar menyeringai dan mengacungkan telunjuknya ke arah muka pandai besi itu sambil berkata, "Hemmm, orang she Bhe! Engkau makin tua makin muda saja hatimu, ya." Bhe Coan memandang tukang obat itu dengan alis berkerut, "Ehh, Lao Tung, apa pula maksudmu berkata demikian? Sudah lama tidak bertemu, sekarang sekali berjumpa kau mengatakan demikian. Apa maksudmu?" "Ha-ha-ha, masih pura-pura tak tahu lagi! Dan masih berani menyuruh isterinya lagi yang membeli, tidak mau membeli sendiri, bahkan dengan dalih hendak mengobati orang sakit demam. Sakit demam? Ha-ha-ha, memang demam, tetapi demamnya orang yang berhati muda!" Orang itu tertawa lagi, membuat Bhe Coan makin penasaran. "Lao Tung, jangan mempermainkan aku. Katakanlah, apa maksudmu? Isteriku memang membeli obat penyakit demam, apakah dia membeli darimu? Kalau begitu mengapa?" "Memang dia membeli obat dariku, akan tetapi menurut resep itu, ha-ha-ha, sama sekali bukan obat untuk penyakit demam!" Bhe Coan teringat akan kata-kata isterinya pada saat pulang dari membeli obat. Isterinya menyatakan bahwa penjual obat berkata tentang obat itu yang dianggapnya bukan obat penyakit demam panas akan tetapi tidak mau mengaku obat untuk apa. "Lao Tung, kalau obat itu bukan untuk penyakit demam, lalu untuk apakah?" Dengan mulut masih menyeringai Lao Tung menjawab, "Apakah kau benar-benar tidak tahu? Itu adalah obat perangsang, obat untuk membangkitkan gairah nafsu birahi, obat untuk orang-orang yang suka pelesir. Ha-ha-ha!" Bhe Coan menjadi bengong. Dia meninggalkan tukang obat yang masih tertawa-tawa itu dan meski pun dia melanjutkan pergi mencari tukang kayu dan memesan sarung pedang akan tetapi hati dan pikirannya tidak karuan. Obat perangsang? Untuk apa? Kui Hok Boan membeli obat perangsang? Akan tetapi, dia melihat sendiri bahwa sasterawan muda itu memang sakit. Wajahnya yang pucat, keringatnya yang bercucuran, badannya yang panas! Tidak mungkin semua itu pura-pura belaka. Dan mungkin saja obat yang dianggap obat perangsang oleh tukang obat itu memang merupakan obat penyembuhnya. Dia tidak tahu tentang obat-obatan. Dia sendiri tidak pernah minum obat. Tubuhnya selalu sehat. Akan tetapi sikap isterinya...! Mulailah kecurigaan dan kecemburuan menggerogoti hati dan pikirannya. Belakangan wajah isterinya selalu gembira, kedua matanya bersinar-sinar. Anehnya, semenjak ada Kui Hok Boan, telah enam malam ini isterinya tidak pernah mau didekatinya pada waktu malam. Seperti orang murung dan lelah, akan tetapi kalau siang kelihatan demikian penuh semangat dan kegembiraan. Ada apakah yang terjadi dengan isterinya? Dan isterinya demikian tekun merawat Hok Boan, sampai-sampai pernah pula beberapa kali isterinya terlupa mengirim minuman kepadanya! Pada waktu tiba kembali ke rumahnya, Bhe Coan datang bersama seorang anak laki-laki tanggung berusia tiga belas tahun. Dia mendapatkan Hok Boan dan isterinya duduk di serambi depan. Melihat tamunya itu kini sudah keluar dari kamar dan kelihatan wajahnya kemerahan dan sehat, Bhe Coan tersenyum girang. "Ahhh, kiranya engkau sudah sembuh, Kui-siauwte!" katanya dan dia mengerling ke arah isterinya. Wajah isterinya juga kelihatan berseri gembira, dengan riasan muka yang baru sehingga wajah yang manis itu kelihatan makin cantik karena makin putih oleh bedak. Rambutnya licin sekali, tentu baru saja disisir rapi, pakaiannya juga baru dan berbeda dengan malam tadi, tampaknya isterinya baru saja berganti pakaian. Hal ini saja sudah aneh. Biasanya tidak demikian. Isterinya biasanya baru berganti pakaian di sore hari. "Terima kasih, twako. Sudah jauh lebih baik, hanya masih tinggal lemas dan masih perlu minum obat untuk beberapa hari ini. Apakah pedang itu sudah selesai, twako?" "Sudah, tinggal memperhalus saja yang akan makan waktu dua hari sambil membuatkan hiasan sarung pedang yang kubeli ini. Mudah-mudahan dalam dua hari ini akan selesailah pesananmu, siauwte." "Terima kasih, twako. Engkau baik sekali, dan twaso juga..." "Ehh, siapakah anak ini dan mengapa kau ajak ke sini?" tiba-tiba Leng Ci bertanya sambil menuding kepada anak laki-laki itu. "Dia adalah anak tetangga di sudut dusun, kumintai bantuan untuk mendorong puputan api agar pekerjaan lebih lancar," jawab Bhe Coan singkat dan dia lalu mengajak anak itu masuk ke dalam bengkelnya. Tak lama kemudian terdengarlah dua orang itu sudah sibuk bekerja di bengkel. Mengingat bahwa waktu berada di rumah itu tinggal dua hari lagi, Hok Boan dan Leng Ci makin menggila dalam hubungan perjinahan mereka. Agaknya mereka bersepakat untuk mempergunakan sisa waktu dua hari itu untuk menikmati hubungan mereka sekenyang-kenyangnya dan sepuas-puasnya. Mereka seperti tak mengenal lelah, dan karena mereka mengandalkan pendengaran mereka untuk merasa yakin bahwa Bhe Coan selalu sibuk di dalam bengkelnya, maka mereka menjadi lengah dan lalai. Kini mereka berdua bermain cinta di dalam kamar tanpa mengunci daun pintu! Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Bhe Coan sudah bekerja di bengkelnya, dibantu oleh anak itu dan terdengarlah suara berdencingnya palu baja menghantam pedang pada landasan, nyaring dan tinggi rendah berirama. Sementara itu, dalam kamarnya Hok Boan juga menyambut datangnya Leng Ci yang terlihat segar sehabis mandi. Begitu memasuki kamar pemuda itu, Leng Ci lari menghampiri dan menubruk pemuda itu, merangkul lantas menangis! Heh, mengapa menangis, sayang?" Hok Boan memeluk dan membelai rambut halus itu, mencium air mata yang membasahi pipi. "Tiada pertemuan tanpa perpisahan, namun kita masih mempunyai waktu sehari ini." "Kongcu, aku tidak tahan kalau harus berpisah darimu. Besok... besok kau bawalah aku besertamu, kongcu..." "Hemm, mana mungkin begitu, manis? Engkau adalah isteri Bhe-twako dan..." "Sekarang aku tidak sudi lagi menjadi isterinya! Setelah aku menjadi milikmu, setelah aku menyerahkan diri lahir batin kepadamu, bagaimana aku dapat didekatinya, kongcu?" "Kau memang manis! Aku sungguh sayang padamu, Leng Ci." "Kongcu... kau kasihanilah aku, bawalah aku besok..." "Ssstttt... bagaimana besok sajalah." Leng Ci memang tidak dapat banyak cakap lagi karena dia kini sudah terbuai oleh belaian pemuda itu yang menariknya ke bawah selimut. Di luar terdengar suara berdencing yang berirama dan dua orang ini, yang sudah lupa segalanya, membiarkan saja pintu setengah terbuka. Yang berada dalam kamar sudah tenggelam kembali ke dalam lautan nafsu yang bergelora. Bunyi suara berdencing yang berirama masih terdengar di luar kamar pada waktu Leng Ci rebah terlentang, kepalanya miring berbantalkan lengan kekasihnya yang membelai-belai rambutnya yang sudah terlepas dari sanggulnya. "Kongcu..." "Hemmm..." "Kalau kau tidak mau membawaku, aku akan hidup seperti dalam neraka...!" "Ahh, jangan kau berkata demikian. Suamimu amat mencintaimu, Leng Ci." "Akan tetapi aku tidak cinta padanya." "Bukankah engkau sudah setahun lebih menjadi isterinya dan bukankah engkau menjadi isterinya secara suka rela?" "Ya... akan tetapi setelah bertemu denganmu..." "Kau memang manis!" Hok Boan membalikkan tubuh wanita itu dan menarik mukanya, lalu mencium mukanya. Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Bhe Coan telah berdiri di pintu dengan pedang di tangannya! Memang pandai besi ini sengaja menyuruh anak yang membantunya untuk membuat tapal kaki kuda, dan karena itulah maka suara berdencing berirama itu masih terdengar terus. Akan tetapi dia sendiri keluar meninggalkan bengkel, membawa pedang yang sudah jadi itu untuk diperlihatkan kepada Kui Hok Boan, juga sekalian ingin melihat apakah isterinya tidak melakukan sesuatu yang tidak selayaknya. Dapat dibayangkan betapa kaget, heran, marah dan malunya pada waktu dia melihat isterinya sedang berciuman dengan pemuda itu dalam keadaan setengah telanjang! "Jahanam busuk kau orang she Kui!" bentaknya dengan kemarahan yang berkobar-kobar! Leng Ci dan Hok Boan terkejut setengah mati dan mereka sudah bangkit duduk. Leng Ci menjadi pucat sekali wajahnya dan dia menggigil, lalu mencoba untuk menyembunyikan tubuhnya di balik punggung kekasihnya yang duduk dengan mata terbelalak memandang pandai besi yang tahu-tahu telah berdiri di depan pembaringan itu. Telinganya masih jelas mendengar suara dencing berirama di luar kamar, maka tahulah pemuda ini bahwa yang memukul-mukulkan palunya itu adalah anak yang membantu pandai besi itu! Alangkah bodohnya! Mengapa dia tidak membedakan suara pukulan yang jauh lebih lemah itu! Sejenak Bhe Coan terheran-heran melihat sikap sasterawan muda itu. Begitu tenangnya! Sama sekali tidak kelihatan takut, malah sekarang tersenyum! Kemarahannya memuncak karena kini terbayanglah olehnya betapa sasterawan muda ini sejak datangnya, semenjak ‘sakit’ itu tentu telah berjinah dan bermain gila dengan isterinya! Kini barulah dia mengerti. Pantas saja sejak pemuda ini menginap di rumahnya, isterinya tidak pernah mau melayaninya! Ternyata pada waktu siangnya, dari pagi sampai petang, selagi dia bekerja setengah mati mengerjakan pedang pesanan sasterawan ini, isterinya berjinah di dalam kamar ini dengan tamunya itu. Dan dia sudah menganggap tamunya sebagai keluarga sendiri! "Bedebah, engkau memang layak mampus!" bentaknya dan tiba-tiba Bhe Coan menubruk ke depan menusukkan pedang yang selama sepekan ini digemblengnya itu ke arah dada Hok Boan. Akan tetapi, gerakan yang sangat cepat dan kuat itu dihadapi oleh Hok Boan seolah-olah tidak pernah ada bahaya yang mengancam dirinya. Setelah ujung pedang meluncur dekat, tiba-tiba dia meloncat turun dari atas pembaringan laksana seekor burung terbang saja ringannya. "Creppppp... aiiiihhhh...!" "Ohh, tidak...!" Bhe Coan berseru kaget, matanya terbelalak memandang kepada isterinya yang menjerit. Pedang yang tadi ditusukkan ke arah dada Hok Boan, sekarang sudah amblas menusuk dada isterinya sendiri, tepat pada ulu hati, di antara dua buah bukit dada membusung itu. Kemarahannya kepada Hok Boan makin meluap. Dia mencabut pedangnya hingga darah muncrat dari dada Leng Ci dan nyonya muda ini langsung terjengkang terlentang di atas pembaringan, darahnya muncrat-muncrat menodai tilam kasur yang selama beberapa hari ini telah dinodai oleh perjinahannya dan kaki tangannya berkelojotan, matanya terbelalak seperti orang kaget dan takut. "Keparat kau! Jahanam kau!" Bhe Coan memaki-maki dan membalik, menghadapi Hok Boan yang sudah membereskan pakaiannya dengan sikap tenang saja. "Sudahlah, Bhe-twako, engkau baru saja membunuh isterimu. Sudah saja dan serahkan pedang itu kepadaku. Aku akan pergi dari sini sekarang juga." Sikap tenang dan kata-kata Hok Boan membuat kemarahan Bhe Coan makin memuncak. Dia masih belum menduga bahwa tamunya ini memiliki kepandaian silat yang jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. "Bangsat hina Kui Hok Boan! Aku sudah menerimamu sebagai keluarga sendiri, aku telah bersusah payah membuatkan pedang pesananmu, akan tetapi engkau bahkan menggoda isteriku. Nah, pedang ini akan merobek-robek perutmu, dan aku akan mencincang hancur lebur tubuhmu yang kotor dan hina!" Bhe Coan kini menerjang dan pedang itu menyambar-nyambar. Namun, dengan tenang Hok Boan mengelak ke kanan dan kiri, kemudian selimut yang tadi dibawanya ketika dia meloncat itu menyambar ke depan, menutupi kepala tuan rumah. "Wuuuttt...! Prakkk!" Tubuh Bhe Coan terpelanting, ada pun pedang itu telah dirampas oleh tangan Hok Boan. Sasterawan muda ini segera meninggalkan kamar itu, tidak mempedulikan lagi tubuh Bhe Coan yang kepalanya tertutup selimut dan perlahan-lahan selimut itu menjadi merah oleh darah dari kepala pandai besi itu yang retak-retak akibat pukulan tangan Hok Boan yang ampuh. Tanpa melihat pun sasterawan muda ini maklum bahwa tamparannya tadi telah merenggut nyawa orang! Dengan tenang Hok Boan mengumpulkan pakaiannya dan tidak lama kemudian sudah membalapkan kudanya keluar dari dusun itu. Anak kecil pembantu Bhe Coan yang menanti kembalinya majikannya, kini menjadi tidak sabar karena dia harus menanyakan sesuatu mengenai tapal kaki kuda yang dibuatnya. Dia memasuki rumah dan mencari-cari Bhe Coan. Ketika dia menjenguk ke dalam kamar yang pintunya terbuka itu, dia terbelalak, mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil. Nyonya majikannya sudah menggeletak terlentang dengan tubuh bagian atas telanjang sama sekali, bermandi darah dan tak bergerak lagi dengan mata terbelalak menakutkan, sedangkan majikannya terbujur di atas lantai, kepalanya tertutup selimut dan selimut itu penuh darah pula. Anak itu menjerit dan berlari keluar, jatuh bangun dan sebentar saja, dusun Pek-hwa-cung menjadi gempar! Semua orang menduga bahwa Bhe Coan serta isterinya tentu terbunuh oleh tamunya seperti yang dituturkan oleh anak pembantu pandai besi itu, namun karena sejak datang ke dusun itu Hok Boan tidak pernah keluar pintu dan selalu mengeram diri saja di kamarnya bersama Leng Ci, maka tidak ada orang yang pernah melihatnya atau mengenalnya. *************** Sebenarnya munculnya Kui Hok Boan di Pegunungan Khing-an-san bukan semata-mata karena dia ingin memesan pedang, akan tetapi ada hal lain yang lebih penting baginya. Dia telah mendengar berita di dunia kang-ouw bahwa di utara, di kaki Pegunungan Khing-an-san, terdapat dua tempat yang amat terkenal dan amat menyeramkan. Dua tempat itu adalah Padang Bangkai dan Lembah Naga. Menurut berita yang seperti dongeng itu, di kedua tempat ini tersimpan harta pusaka yang tidak ternilai harganya. Bahkan kabarnya, di dalam sebuah istana kuno di Lembah Naga, terdapat barang-barang berharga peninggalan Raja Sabutai. Berita inilah yang menarik hati Kui Hok Boan dan ketika dia tiba di dusun Pek-hwa-cung, dia teringat akan nama Bhe Coan ahli pembuat pedang, maka dia singgah di situ dan memesan pedang sebelum dia mencari dua tempat yang amat menari hatinya itu. Berita itu datang dari para prajurit yang dahulu pernah menyerbu Lembah Naga bersama para pendekar sakti. Akan tetapi tidak ada orang kang-ouw yang berani mencoba untuk mengunjungi tempat-tempat itu. Pertama, karena tempat itu memang berada sangat jauh dari tembok besar, ke dua karena mereka tidak percaya akan berita itu dan ke tiga karena mereka sudah tahu bahwa tempat-tempat itu amat berbahaya sehingga tidak sepadanlah menempuh bahaya yang amat besar itu untuk mencari sesuatu yang masih belum tentu kebenarannya. Akan tetapi Kui Hok Boan adalah seorang petualang yang selalu hidup malang-melintang seorang diri saja di dunia ini. Dan terutama sekali kesenangannya akan wanita membuat dia senang saja berada di mana pun, karena di mana pun dia mengharapkan untuk dapat bertemu dengan wanita yang berkenan di hatinya. Dan ternyata benar, di Pek-hwa-cung dia bertemu dengan Leng Ci yang membuatnya cukup merasa senang dan puas. Istana Lembah Naga sesungguhnya adalah bekas markas besar yang dijadikan tempat tinggal oleh Raja Sabutai pada belasan atau puluhan tahun yang lalu. Kemudian markas atau benteng itu oleh Raja Sabutai dirombak menjadi istana dan diberikan kepada dua orang gurunya, yaitu kakek dan nenek iblis yang berjuluk Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Lembah itu berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, tepat di tepi Sungai Loan-ho yang menikung di situ kemudian diikuti oleh tikungan-tikungan kecil. Kalau dilihat dari atas Bukit Khing-an-san, lembah itu kelihatan bagai seekor naga yang tubuhnya berliku-liku. Karena inilah maka lembah itu dinamakan orang Lembah Naga. Oleh karena lembah ini berada di luar Tembok Besar, di daerah Mongol yang berbahaya, penuh dengan pegunungan tinggi dan luas, hutan-hutan yang lebat dan padang-padang rumput yang seperti lautan tidak bertepi, diselingi gurun-gurun pasir yang tandus, maka daerah ini merupakan daerah terasing karena jarang ada orang berani mengunjunginya, bahkan mendekatinya. Jalan menuju ke Lembah Naga hanya ada satu, yaitu dari selatan, karena sungguh tidak mungkin mendatanginya dari arah lain mengingat bahwa lembah itu terkurung oleh jurang-jurang yang luar biasa dalamnya. Dari arah selatan ini pun bukan merupakan jalan yang mudah. Sama sekali tidak! Hanya saja jalan dari selatan ini kelihatannya masih mungkin dilalui manusia, sungguh pun dalam kenyataannya, jalan yang kelihatan mudah ini penuh dengan ancaman bahaya maut yang mengerikan. Mengapa demikian? Karena jalan melalui selatan ini berarti melalui Padang Bangkai. Dari namanya yang menyeramkan itu saja sudah dapat diduga bahwa daerah itu berbahaya sekali. Dan memang benarlah. Padang rumput yang luas itu demikian aneh keadaannya, sehingga banyak binatang yang terjebak dan mati di sekitar tempat itu, hanya tinggal tulang-tulangnya saja yang nampak, dan karena seringnya orang melihat bangkai binatang, kadang-kadang juga manusia yang melakukan perjalanan lewat di tempat itu lalu tersesat dan kemudian menjadi korban pula sehingga bangkai-bangkai dan mayat berserakan di sekitar padang rumput, maka tempat itu dinamakan Padang Bangkai. Daerah Padang Bangkai ini memang amat berbahaya. Banyak sekali tempat-tempat yang kelihatan indah menyenangkan, kiranya menyembunyikan tangan maut yang amat kejam. Ada bagian yang kelihatannya seperti padang rumput biasa saja, dengan rumput-rumput yang hijau segar laksana beludru, akan tetapi bagi mereka yang sudah mengenal daerah ini, bagian yang rumputnya hijau segar tanpa mengenal musim itu, baik di musim panas mau pun di musim semi tetap hijau segar itu merupakan tempat maut yang mengerikan. cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Salah sangka akan membuat banyak manusia mau pun binatang yang kebetulan lewat, terperosok ke tempat ini dan sekali kaki mereka terjeblos, sukar untuk menyelamatkan diri karena rumput hijau segar itu seolah-olah merupakan umpan atau perangkap yang kalau diinjak ternyata di bawahnya merupakan lumpur lembut yang sanggup menyedot apa saja dengan kekuatan yang tidak terukur besarnya. Lumpur lembut itu amat dalam dan sekali kaki menginjak, sukarlah ditarik kembali sampai akhirnya orang atau binatang yang terjebak itu ditelan habis ke dasarnya! Ada pula yang sebelum tertelan habis, dapat berpegang kepada rumput-rumput dan biar pun mereka itu tetap dapat mempertahankan sehingga tubuh atas mereka berada di luar, tetap saja orang atau binatang itu mati dengan separuh tubuh masih di luar. Apa yang terjadi? Tubuh bawah yang terhisap lumpur itu sebentar saja akan habis dihisap darahnya dan digerogoti dagingnya oleh binatang-binatang kecil semacam lintah atau pun lain-lain binatang yang hidup di dalam lumpur itu! Ada pula terdapat bagian yang rumputnya berwarna aneh, berwarna kebiruan dan kiranya bahwa rumput pada bagian ini mengandung racun yang amat berbahaya. Sekali saja kaki atau bagian tubuh lain yang terluka terkena getah rumput ini, orangnya atau binatangnya tentu akan roboh dan tewas. Juga terdapat bagian yang rumputnya berupa ilalang setinggi orang dewasa, yang mudah menyesatkan karena luasnya, juga karena lorong di antara ilalang tinggi ini bercabang-cabang dan berliku-liku, dan bentuknya sama semua, yaitu lorong setapak yang di kanan kirinya diapit-apit oleh ilalang tinggi. Orang dapat tersesat dan sampai berhari-hari tidak mampu keluar dari tempat ini. Tentu saja tempat ini amat berbahaya, belum lagi bila diingat akan banyaknya binatang-binatang buas yang menghuni tempat ini, bersembunyi di dalam rumpun ilalang yang tinggi lebar itu. Dan di tengah-tengah perjalanan di antara tempat-tempat berbahaya itu dengan Lembah Naga, terdapat sebuah dusun kecil yang dikelilingi air sungai. Air yang mengelilingi dusun ini dahulu sengaja dibuat oleh Raja Sabutai, karena tempat ini merupakan semacam pintu gerbang maut untuk menghalangi musuh yang hendak menyerbu Lembah Naga. Air yang mengelilingi dusun itu dialirkan dari Sungai Luan-ho, maka siapa pun juga yang hendak pergi ke Lembah Naga tentu akan terhalang dan harus lebih dulu menyeberangi sungai itu dengan melewati jembatan yang terdapat di situ, satu-satunya jembatan yang menghubungkan orang ke dusun kecil itu, kemudian menyeberangi lagi melalui jembatan kecil di belakang dusun. Jalan lain menuju ke Lembah Naga tidak ada lagi, karena kalau orang tidak mau melewati dusun itu, dia harus mengambil jalan melalui padang rumput hijau berlumpur di bawahnya yang berada di sebelah kiri dusun, atau melalui padang rumput beracun yang berada di sebelah kanan dusun. Untuk melanjutkan perjalanan dengan perahu pun jelas tidak mungkin, karena selain tak nampak sebuah pun perahu di situ, juga andai kata ada orang yang membuat perahu dan menggunakannya untuk mengelilingi dusun, maka sebelum sampai di tempat tujuan tentu perahunya sudah akan digulingkan oleh mereka yang menjadi penghuni dusun itu. Beberapa tahun yang lalu, pada saat Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih tinggal di Istana Lembah Naga, Padang Bangkai menjadi tempat tinggal suami isteri golongan sesat yang terkenal dan berilmu tinggi, yaitu Ang-bin Siu-kwi dan isterinya Coa-tok Sian-li. Akan tetapi, kurang lebih tiga tahun yang lalu, pada waktu rombongan pendekar sakti menyerbu Lembah Naga, suami isteri ini bersama semua anak buah mereka sudah terbasmi habis, dan seperti juga Lembah Naga, maka Padang Bangkai juga menjadi tempat kosong yang menyeramkan sekali. Akan tetapi, semenjak kepala perampok Coa Lok yang berjuluk Sin-jio (Tumbak Sakti) dan anak buahnya menjadi penghuni Padang Bangkai, tempat itu mulai terawat lagi, akan tetapi kini menjadi makin menyeramkan karena di samping keadaan yang berbahaya dari tempat itu, masih ditambah lagi oleh ancaman bahaya yang datang dari para perampok itu sendiri. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ada anak buah perampok yang berani mencoba untuk menyerbu Istana Lembah Naga dengan akibat yang mencelakakan mereka karena lima orang telah tewas di tangan Liong Si Kwi, penghuni dan juga majikan yang baru dari Istana Lembah Naga. Kemudian Sin-jio Coa Lok sendiri yang memimpin anak buahnya menyerbu, akan tetapi dia pun lantas ditundukkan oleh Liong Si Kwi sehingga dia takluk dan menganggap wanita itu sebagai seorang yang patut dihormati. Demikianlah, Coa Lok hidup di Padang Bangkai bersama anak buahnya yang berjumlah kurang lebih tiga puluh orang. Tentu saja mereka tak dapat mengharapkan banyak hasil di tempat seperti itu, dan mereka tidak pula mau mengganggu para penduduk Khing-an-san, karena di samping hal ini amat berbahaya, juga penduduk dusun-dusun itu adalah petani-petani yang miskin. Bahkan mereka juga tak berani mengganggu penduduk dusun-dusun yang lebih makmur seperti dusun Pek-hwa-cung dan lain-lain, karena mereka tahu bahwa di tempat-tempat itu terdapat banyak orang pandai, juga mereka tidak mau memancing kemarahan Raja Sabutai yang mempunyai pengaruh besar di sekitar tempat itu. Maka, para perampok ini hanya ‘mencari nafkah’ dengan cara merampok para pedagang yang lewat di dekat tembok besar di perbatasan, atau di hutan-hutan yang dilewati oleh para pedagang yang keluar masuk daerah Propinsi Liao-ning. Jadi, Padang Bangkai itu hanya dijadikan sarang atau tempat sembunyi mereka saja. Selama tinggal di Padang Bangkai, para perampok itu belum pernah melihat ada orang berani mendatangi sarang mereka. Apa lagi mendatangi dusun yang kini mereka jadikan sarang itu, bahkan di sekitar daerah Padang Bangkai itu tidak pernah nampak seorang pun manusia kecuali mereka sendiri. Daerah itu memang merupakan daerah seram yang ditakuti, dan hal ini membuat para perampok itu merasa aman. Akan tetapi pada suatu hari, pagi-pagi ketika matahari baru mulai menyinari bumi dengan cahaya keemasan, nampak seorang penunggang kuda datang dari selatan. Ketika tiba di depan padang rumput yang sangat luas itu, si penunggang kuda menghentikan kudanya dan memandang ke depan dengan penuh perhatian. "Hemm, inilah agaknya yang dinamakan Padang Bangkai...," katanya seorang diri dan dia lalu turun dari atas kuda. Dibiarkan kudanya itu makan rumput di bawah pohon dan dia sendiri lalu meloncat naik ke atas pohon itu, mengintai jauh ke depan. "Bukan main luasnya," kata orang itu dan dia meloncat turun lagi, mengambil tempat air dari sela kuda kemudian sambil duduk di atas rumput, dia lalu minum beberapa teguk air, menyimpan kembali tempat air dan mengusap peluhnya di leher dan dahi dengan ujung lengan bajunya yang lebar. Orang ini bukan lain Kui Hok Boan. Setelah dia melarikan diri dari dusun Pek-hwa-cung di mana dia meninggalkan mayat Bhe Coan dan isterinya di kamar rumah mereka, pemuda sasterawan ini membalapkan kudanya, meninggalkan dusun itu dan langsung dia menuju ke Lembah Naga di kaki Pegunungan Khing-an-san. Sebelum dia menuju ke utara, dia memang sudah menyelidiki dan mempelajari keadaan Lembah Naga yang didengarnya dari penuturan beberapa orang anggota pasukan tentara kerajaan yang dulu pernah melakukan penyerbuan ke Lembah Naga. Dari para anggota pasukan inilah dia mendengar gambaran yang cukup jelas tentang Padang Bangkai dan Lembah Naga serta tempat-tempat yang berbahaya di sekitar Padang Bangkai. Dia tidak mau tergesa-gesa dan tidak mau bertindak ceroboh. Hok Boan adalah seorang yang selalu berhati-hati dan cerdik sekali. Dari atas pohon tadi dia mendapat kenyataan bahwa dia telah melalui jalan yang betul seperti yang digambarkan oleh anggota pasukan yang pernah datang ke tempat ini. Memang mengerikan keadaannya. Dari atas pohon nampak cahaya matahari menimpa padang rumput yang luas dan terdapat bermacam-macam warna di sepanjang padang yang luas itu. "Ada lorong kecil menuju ke arah selatan. Lorong itu tidak berbahaya. Akan tetapi setelah lorong itu berhenti dan habis, tempat itu disambung dengan padang-padang rumput yang hanya mempunyai lorong-lorong setapak. Itulah tempat-tempat yang amat berbahaya dan jangan sembarangan memasuki lorong setapak ini tanpa mengetahui keadaannya terlebih dahulu." Demikian antara lain penuturan anggota pasukan kerajaan itu. Sesudah membiarkan kudanya makan rumput dan beristirahat, Hok Boan lalu meloncat naik lagi ke atas punggung kudanya dan menjalankan kudanya melewati lorong kecil yang menuju ke selatan itu. Matanya selalu awas memandang ke kanan kiri yang mulai penuh dengan rumpun ilalang, juga dia awas menatap ke depan, siap menghadapi bahaya yang mungkin datang dari mana pun juga, sungguh pun tempat itu amat sunyi dan tampaknya merupakan tempat yang aman. Ketika matahari sudah naik tinggi, tibalah dia ujung jalan kecil itu. Sekarang di depannya terbentang luas rumput hijau, diselang-seling dengan rumput-rumput yang warnanya lain, ada yang merah, ada pula yang kebiruan dengan bentuk yang aneh-aneh. Hok Boan tidak turun dari kudanya, akan tetapi dengan hati ngeri dia memandang ke arah rumput-rumput hijau segar itu. Dia mendengar penuturan anggota pasukan itu bahwa di bawah rumput hijau segar ini bersembunyi tangan maut berupa lumpur yang dapat menghisap dan yang di dalamnya menanti binatang-binatang kecil yang suka menghisap darah serta menggerogoti daging! Mengerikan! Akan tetapi kalau melihat rumput-rumput hijau segar itu, sukar untuk dapat mempercayai cerita itu. "Lebih baik menempuh bahaya diserang ular dan binatang buas," pikirnya. Dia mendengar bahwa ilalang kuning di sebelah kiri, di mana terdapat pula jalan setapak, akan membawa orang ke padang ilalang yang tingginya seperti manusia dewasa di mana terdapat banyak ular dan binatang lain. Tadi Hok Boan telah mematahkan cabang pohon dan kini tangannya sudah memegang sebatang tongkat panjang seperti toya, kemudian dia menggerakkan kudanya memasuki lorong setapak di antara rumput-rumput kuning itu. Kudanya bergerak perlahan memasuki lorong itu dan benar saja, makin lama lorong itu makin menurun, agaknya karena rumput-rumput itu menjadi makin tinggi, ataukah rumput ilalang yang tumbuh di kanan kiri sudah setinggi paha kudanya. Kuda yang ditunggangi Hok Boan maju terus. Tiba-tiba kuda itu berhenti melangkah, lalu meringkik keras dan mengangkat dua kaki depan ke atas. Terdengar bunyi berkerosakan disusul oleh suara salak anjing dari jauh. Hok Boan terkejut, akan tetapi dia sudah siap dengan tongkatnya. Tak lama kemudian, muncul delapan ekor anjing liar yang menyerang dari depan, kanan dan kiri. Akan tetapi, Hok Boan sudah bersiap-siap dengan tongkatnya dan beberapa kali tongkatnya bergerak memukul. Setiap gerakannya tentu langsung meremukkan kepala seekor anjing sehingga tidak lama kemudian, bangkai delapan anjing liar itu berserakan di tempat itu. Akan tetapi kuda itu menggigil, agaknya ketakutan. Ketika Hok Boan memaksanya untuk maju, kuda itu meringkik dan maju perlahan-lahan. Kini mereka sampai di lorong setapak yang memisahkan antara rumput ilalang tinggi dengan rumput hijau segar yang berada di sebelah kiri. Hok Boan menjaga benar-benar agar kudanya tidak makan rumput itu atau menginjak bagian kiri. Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara mendesis-desis dan berkerosakan. Ilalang itu bergoyang-goyang dan kini kudanya menjadi semakin ketakutan, meringkik-ringkik ganas, mendengus-dengus. Kembali Hok Boan menyiiapkan tongkatnya dan begitu dia melihat muncuinya ular-ular yang datang menyerang, dia cepat memutar tongkatnya itu, memukul remuk kepala beberapa ekor ular yang datang mendekat. Akan tetapi, kuda itu menjadi ketakutan, tiba-tiba meringkik dan meloncat ke kiri, jauh sekali, ke arah padang rumput hijau. "Blessss...!" Begitu empat buah kaki kuda itu tiba di atas tanah berumput hijau, seketika kaki-kaki itu amblas ke bawah sampai seperut kuda! Hok Boan terkejut bukan main, akan tetapi dia memang cerdik. Dia tidak menjadi gugup dan masih ingat untuk tidak meloncat turun. Tahulah dia bahwa kudanya telah terperosok ke dalam lumpur maut yang menghisap dari bawah. Kuda itu tak akan dapat tertolong lagi. Maka dia lalu menggunakan kuda itu sebagai batu loncatan, meloncat ke kanan dan sampai di lorong setapak tadi. Dia mendengar kudanya meringkik-ringkik kadang mendengus-dengus. Ketika dia menoleh dan memandang, bulu tengkuknya meremang. Mengerikan sekali memang. Kuda itu tenggelam semakin dalam, kini tubuhnya sudah tenggelam semua, tinggal leher berikut kepalanya, matanya terbelalak, hidungnya mendengus-dengus, mulutnya berbusa. Bagian tubuh yang tinggal ini pun tidak lama bertahan karena leher dan kepalanya segera terbenam pula dan tidak nampak lagi bekas-bekasnya. Rumput hijau itu sudah menjadi rata kembali seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Hok Boan menjadi marah bukan main. Dengan menggunakan pedangnya dan batu yang terdapat di situ, dia lalu membuat api dan membakar padang ilalang yang penuh dengan ular-ular tadi. Api berkobar dan menjalar, membakar seluruh padang ilalang itu! Hok Boan sendiri menjauh, kembali ke tempat tadi karena dia merasa terlalu berbahaya untuk melanjutkan perjalanan. Biar tempat yang berbahaya itu habis terbakar lebih dahulu sebelum dia melanjutkan perjalanan, pikirnya. Untung pada saat dia meloncat dari atas kudanya tadi, dia tidak lupa untuk menyambar bungkusannya yang terisi pakaian dan bekal makanan. Sekarang dia duduk memandang padang ilalang yang terbakar itu sambil menggerogoti roti kering. Benar juga penuturan anggota pasukan kerajaan itu. Melakukan perjalanan menuju ke Lembah Naga akan melalui tempat-tempat berbahaya dan sampai berhari-hari tidak akan bertemu dengan dusun, karena itu sebaiknya membawa bekal makanan. Kalau dia tidak membawa bekal roti kering, dia bisa kelaparan. Kebakaran di Padang Bangkai itu hebat sekali. Padang ilalang itu penuh dengan ilalang kering dan sudah berbulan-bulan ini tidak pernah turun hujan, maka tentu saja api yang mengamuk itu memperoleh bahan bakar secukupnya sehingga api segera berkobar-kobar membasmi seluruh padang ilalang itu selama sehari semalam! Pada hari ke dua, setelah api kehabisan makanan dan mulai padam, meninggalkan puing, abu dan asap, muncullah serombongan orang dari Padang Bangkai, memeriksa keluar dan sampai di tempat yang kebakaran itu. Mereka ini adalah Sin-jio Coa Lok bersama tiga puluh orang anak buahnya. Ketika api sedang mengamuk, mereka ini tidak dapat berbuat apa-apa, hanya menonton saja ketika api mengamuk hebat, merubah padang ilalang itu menjadi lautan api. Akan tetapi setelah api mulai padam, mereka lalu keluar dari sarang mereka untuk mengadakan pemeriksaan dan untuk menyelidiki apakah yang menjadi penyebab kebakaran itu karena sepanjang pengetahuan mereka, tidak pernah ada orang yang berani mendekati daerah Padang Bangkai, apa lagi melakukan pembakaran. Akan tetapi sekali ini mereka keliru dan memandang dengan hati penuh keheranan ketika mereka melihat seorang laki-laki muda berpakaian sasterawan duduk melenggut di bawah pohon. Melihat ada seorang asing di daerah ini, mereka bukan hanya merasa heran, akan tetapi juga curiga sekali. Andai kata bukan orang ini yang melakukan pembakaran, tentu orang ini melihat siapa yang melakukannya, maka atas isyarat tangan kepala perampok itu, gerombolan ini cepat menghampiri pohon di mana laki-laki itu duduk di bawahnya dan mengurung pohon itu. Laki-laki itu adalah Kui Hok Boan. Tentu saja dia tahu ketika ada segerombolan orang kasar itu muncul dari Padang Bangkai. Mula-mula dia merasa heran bukan main dan juga terkejut karena menurut keterangan yang diperolehnya dari anggota pasukan kota raja itu, bahwa Padang Bangkai mau pun Lembah Naga kini merupakan tempat berbahaya yang kosong karena penghuninya telah dibasmi oleh para pendekar yang memimpin pasukan kerajaan. Bagaimana kini tahu-tahu muncul segerombolan orang itu? Dari gerak-gerik mereka, Kui Hok Boan yang sudah memiliki banyak pengalaman di dunia kang-ouw itu sudah bisa menduga bahwa mereka merupakan gerombolan penjahat, atau setidaknya orang-orang kasar yang hanya mengandalkan tenaga serta kekerasan untuk memaksakan kemauan dan keinginan mereka kepada orang-orang lain. Dan melihat pria berusia empat puluh tahun yang memegang sebatang tombak panjang itu, yang berjalan di muka dan memberi isyarat dengan tangan, dia dapat menduga pula bahwa laki-laki itu tentulah yang menjadi kepala dari gerombolan itu. Hok Boan bersikap tenang saja, malah ketika mereka melihatnya dan menghampiri dari jauh, dia sudah duduk melenggut di bawah pohon, seakan-akan tidak melihat kedatangan mereka. Akan tetapi tentu saja seluruh urat syaraf di dalam tubuhnya sudah siap siaga. Pedangnya dia sembunyikan di bawah buntalan pakaian sedangkan tongkat ranting pohon itu menggeletak di dekatnya. "Hemm, sungguh aneh, di tempat seperti ini ada seorang sasterawan kesasar!" kata Coa Lok sambil meraba dagunya, "Hai, kutu buku, bangunlah!" Akan tetapi Hok Boan masih pura-pura tidur. Dia ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh orang-orang ini sehingga dari perbuatan mereka, dia sudah bisa menilai orang-orang macam apa adanya mereka. Ketika melihat bahwa sasterawan muda itu masih enak saja melenggut, seorang anak buah perampok menjadi sangat penasaran lantas menghampiri, memegang pundak Hok Boan dan mengguncangnya dengan kasar dan kuat-kuat. Tubuh Hok Boan tergoncang-goncang keras. "Heh, babi malas! Tai-ong kami menegurmu! Bangun!" Kui Hok Boan gelagapan, menggosok-gosok matanya, lalu bangkit duduk. Di hadapannya berdiri Coa Lok yang bermuka kekuning-kuningan dan yang memegang tombak panjang. Tombak itu dipegang dengan tangan sambil berdiri di depannya. Sikap kepala perampok ini tidaklah begitu kasar dan buas, tidak seperti tiga puluh orang anak buahnya yang kini memandang dengan mulut menyeringai dan sinar mata buas. "Ahh, siapakah kalian? Dari mana kalian datang?" Hok Boan bertanya dan bangkit berdiri tanpa mengambil buntalan, pedangnya mau pun kayu ranting itu. Melihat sikap orang muda itu, Sin-jio Coa Lok yang menyangka bahwa pemuda itu tentu seorang sasterawan yang suka melancong dan kesasar di tempat itu, bersikap lunak dan berkata, "Orang muda, apakah engkau tidak tahu bahwa engkau sedang berada di daerah Padang Bangkai?" Hok Boan pura-pura terkejut. "Padang Bangkai? Betapa menyeramkan nama itu!" "Ha-ha-ha, dan engkau akan menjadi bangkai pula di sini, kutu busuk!" terdengar seorang anak buah perampok mengejek dan terdengar suara ketawa di sana-sini. "Orang muda, ketahuilah bahwa kami adalah para penghuni Padang Bangkai ini. Engkau telah memasuki wilayah kekuasaan kami. Siapakah engkau?" Coa Lok bertanya. "Namaku adalah Kui Hok Boan." "Bagaimana engkau bisa datang ke tempat ini?" "Bagaimana? Dengan berkuda, melalui padang ilalang itu. Akan tetapi ada segerombolan anjing liar menyerangku dan untung aku berhasil mengusir mereka. Ketika segerombolan ular datang menyerang, kudaku terkejut dan meloncat ke padang rumput hijau, terbenam dan tewas. Aku mendongkol sekali dan kubakar padang ilalang itu." "Setan alas!" "Keparat jahanam!" "Jadi kutu buku ini yang membakarnya!" Tiga puluh orang itu sudah mengepung dengan sikap mengancam, akan tetapi Coa Lok mengangkat tangan kiri ke atas dan mengisyaratkan anak buahnya untuk mundur. Dia melihat ada sesuatu yang aneh dan mengherankan. Bagaimana sasterawan muda yang kelihatan lemah ini mampu mengusir gerombolan anjing liar yang sangat galak dan buas itu? Dan sesudah kudanya tenggelam ke dalam lumpur maut, bagaimana sasterawan ini masih mampu menyelamatkan diri? Tentu orang ini bukanlah seorang sasterawan biasa yang lemah! "Kui Hok Boan, engkau telah lancang tangan membakar padang ilalang. Apa maksudmu datang ke sini?" Coa Lok membentak lagi. "Aku membakar padang ilalang itu karena padang itu membikin tempat ini menjadi buruk, membuat tempat ini merupakan tempat yang tersembunyi dan terputus dari dunia luar. Dan maksud kedatanganku ke sini? Aku hendak pergi ke Padang Bangkai dan Lembah Naga." Sejenak suasana menjadi sunyi sesudah pemuda ini menjawab seperti itu, lalu menjadi berisik karena anak buah perampok saling bicara sendiri. Akhirnya Coa Lok mengangkat tangan menyuruh mereka diam. Dia memandang kepada pemuda sasterawan itu penuh perhatian, lalu berkata, suaranya mengandung kemarahan. "Orang muda she Kui, jangan kau main-main! Padang Bangkai adalah daerah kekuasaan kami, seorang pun tidak boleh memasukinya, dan Lembah Naga adalah daerah terlarang bagi siapa pun juga. Katakan, apa sebetulnya kehendakmu?" Kini Hok Boan tersenyum lebar dan memandang kepala perampok itu. "Engkau masih belum tahu? Aku datang untuk menaklukkan Padang Bangkai dan Lembah Naga!" Terdengar suara ketawa bergelak ketika para perampok mendengar jawaban ini. Bahkan Coa Lok sendiri tersenyum masam. "Orang muda, agaknya engkau sudah menjadi gila!" katanya. "Tai-ong, serahkan kepadaku untuk menyembelih anjing ini yang sudah berani membakar padang ilalang!" kata salah seorang anggota perampok yang bertubuh tinggi besar dan bermuka brewok sehingga nampaknya menyeramkan sekali. Orang ini terkenal dengan tenaganya yang besar dan disegani di antara kawan-kawannya. Karena merasa bahwa orang muda berpakaian sasterawan ini memang keterlaluan, apa lagi sudah bersalah membakar padang ilalang yang merupakan pelindung bagi Padang Bangkai, Coa Lok mengangguk memberi ijin. Semua orang mundur untuk memberi ruang kepada si brewok yang hendak menyembelih sasterawan itu. Si brewok tinggi besar sekarang melangkah maju sambil menyeringai. Tangan kanannya memegang sebatang golok besar yang tajam mengkilap. Sepasang matanya yang lebar itu terbelalak penuh ancaman, ada pun hidungnya mendengus-dengus. Dia seperti seekor harimau kelaparan haus darah dan agaknya tugas membunuh orang ini mendatangkan ketegangan yang menggembirakan hatinya! Tentu saja Kui Hok Boan tidak merasa takut sama sekali. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan di pinggang, lantas berkata mengejek, "Heh, babi gemuk, bukannya aku yang akan menjadi korban golok pemotong babimu itu, melainkan engkau sendiri!" Dimaki babi gemuk, si brewok itu menjadi marah, apa lagi karena beberapa orang kawan-kawannya tertawa mendengar ini. "Anjing kurus! Kau berani memaki aku? Huh, terlalu enak kalau kau disembelih begitu saja! Aku akan merobek-robek seluruh tubuhmu dengan kedua tanganku ini saja!" "Capppp…!" Dia membanting goloknya ke bawah dan golok itu menancap di atas tanah sampai setengahnya, gagangnya bergoyang-goyang saking kerasnya bantingan itu. "Bagus! Dengan melepaskan golokmu, berarti engkau menyelamatkan nyawamu sendiri, babi gemuk," Hok Boan berkata. Pada saat si brewok itu menerjangnya dengan dua lengan dikembangkan seperti biruang besar, tiba-tiba saja pemuda sasterawan itu menggerakkan kedua kakinya dan si brewok menjadi bingung karena pemuda itu tiba-tiba saja lenyap dari depannya! Akan tetapi para anak buah perampok terkejut karena mereka melihat betapa tubuh sasterawan muda itu bagaikan seekor burung saja tadi sudah melayang melalui atas kepala si brewok dan kini telah hinggap dengan kaki kirinya di atas gagang golok yang menancap di atas tanah itu! Gagang golok itu masih bergoyang-goyang dan tubuh si sasterawan juga ikut bergoyang-goyang, akan tetapi kedua tangannya masih bertolak pinggang sedangkan kaki kanannya diangkat ke lututnya! "Dengarlah kalian semua! Aku datang untuk memimpin kalian dan hanya kalau pemimpin lama kalian itu mau berlutut dan minta ampun, maka aku suka mengampuninya!" Terdengar suara menggereng dan si brewok tadi sudah menubruk lagi ke depan dengan kemarahan meluap. Karena Hok Boan yang berdiri di atas gagang golok itu menghadapi kepala perampok, maka si brewok menyerangnya dari belakang. Kedua telapak tangan yang besar itu terbuka dan seperti cakar harimau hendak mencengkeramnya. Tanpa menoleh, Hok Boan mengayunkan kaki kanan yang tadi ditekuk ke lutut kaki kiri, dengan gerakan yang cepat sekali. "Wuuuuttt...! Desss...!" Tubuh si brewok terpelanting ketika perutnya bertemu dengan tendangan yang tiba-tiba ini. Kaki sasterawan itu sudah lebih dahulu mengenai perutnya sebelum kedua tangannya dapat menjamah tubuh lawan dan tendangan itu demikian kuatnya hingga dia terpelanting dan terguling-guling.....
JILID 04
SEJAK ditantang tadi muka Coa Lok sudah merah. Kini matanya terbelalak dan tahulah dia bahwa sasterawan itu memang sengaja datang untuk mencari perkara, untuk memusuhi dirinya dan ternyata bahwa sasterawan itu memang bukan orang biasa, namun seorang yang lihai. Dipegangnya tombaknya erat-erat. Akan tetapi pada saat itu pula si brewok yang merasa penasaran telah bangkit berdiri dan lari menerjang lawan yang masih berdiri di atas gagang golok. Coa Lok mendiamkannya saja karena dia ingin melihat sampai di mana kelihaian lawan itu. Para anggota perampok yang lain sekarang juga memandang dengan penuh perhatian tidak lagi mentertawakan si pemuda sasterawan yang ternyata adalah seorang pandai itu. “Haiiiitttt...!" Si brewok itu mengeluarkan bentakan nyaring. Sekali ini dia tidak mau bertindak sembrono lagi. Kini dia sudah tahu bahwa lawannya memang amat pandai, maka dia tidak lagi menubruk secara membabi-buta seperti tadi, melainkan menyerang dengan gerakan ilmu silat, memukul bertubi-tubi dengan sepasang tangannya yang berlengan panjang. Pukulannya keras sekali hingga mengeluarkan bunyi angin bersiutan. "Plakk-plakk-plakkk!" Semua pukulan dapat ditangkis dengan tenang saja oleh Hok Boan, bahkan setiap kali tertangkis, lengan si brewok yang amat kuat dan besar itu lantas terpental dan mulutnya meringis karena tangkisan itu membuat lengannya terasa nyeri, tulangnya seperti akan pecah rasanya. "Babi gendut, kau masih juga belum jera? Nah, robohlah!" Tiba-tiba Hok Boan meloncat turun dan sekali kakinya bergerak, kaki kiri itu melayang ke arah muka si brewok. Tentu saja si brewok terkejut bukan main dan langsung mengangkat kedua tangan untuk menangkis dan menangkap kaki lawan, akan tetapi tiba-tiba dia merasa kakinya lumpuh dan dia pun terguling roboh. Kiranya tendangan kaki ke arah muka itu hanya pancingan belaka, namun yang sungguh-sungguh menyerang adalah kaki yang sebelah lagi. Sambil melompat, kaki ini menendang lututnya sehingga dia roboh dengan sambungan tulang lutut terlepas! Dia hanya dapat rebah dan memegangi lututnya sambil mengeluh panjang pendek. Hok Boan membungkuk dan sekali cabut, golok itu sudah berada pada tangannya. Dia memandang kepada si brewok dan berkata, "Kalau aku mau, alangkah mudahnya untuk membunuhmu, babi! Akan tetapi telah kukatakan, aku membutuhkan kalian untuk menjadi anak buahku, maka aku tidak akan membunuhmu!" Setelah berkata demikian, dengan kedua tangannya, dia menekuk-nekuk golok itu. Terdengar suara nyaring lantas golok itu pun patah-patah menjadi beberapa potong yang kemudian dilemparkannya ke atas tanah. Potongan-potongan golok itu menancap dan lenyap amblas ke dalam tanah, hanya tinggal gagangnya saja yang dibuangnya dengan sikap tidak peduli. Semua anak buah perampok terkejut setengah mati. Si brewok memandang pucat, lalu dia merangkak menjauhkan diri. Coa Lok yang menyaksikan ini semakin kaget dan tahu bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan berat. Maka timbullah kecurangannya dan dia lalu membentak, "Hayo maju semua, keroyok dan bunuh pengacau ini!" Para perampok itu sudah biasa dengan perintah Coa Lok, maka mendengar bentakan ini mereka lalu mengacungkan senjata masing-masing, siap untuk maju mengeroyok. Hok Boan yang melihat hal ini, meloncat dan tubuhnya melayang ke dekat pohon di mana dia menyimpan pedang dan buntalannya. Sekali sambar dia sudah mengambil pedangnya sekalian menghunusnya, pedang yang kelihatan masih kasar namun mengeluarkan sinar menyeramkan, pedang buatan ahli pedang Bhe Coan itu. Dengan pedang melintang di depan dadanya, Hok Boan membentak dengan suara yang menggetarkan jantung karena dia membentak dengan pengerahan tenaga khikang dari pusar. "Tahan semua! Dengar baik-baik! Aku datang untuk memimpin kalian dan aku menjanjikan kepada kalian penghidupan yang baik dan jauh lebih makmur dari pada sekarang! Bukan berarti aku takut kepada kalian. Akan tetapi kalau kalian maju mengeroyok, terpaksa aku akan membunuh kalian semua dan aku harus bersusah payah mengumpulkan anak buah dari dusun-dusun. Biarkanlah aku berhadapan dengan kepala kalian dan kita lihat, siapa di antara kami berdua yang lebih patut menjadi pemimpin kalian, menjadi majikan Padang Bangkai!" Kiranya ucapan itu berpengaruh dan semua perampok menjadi ragu-ragu. Kesempatan ini digunakan oleh Hok Boan yang cerdik, untuk mencari kedudukan yang menguntungkan. "Hai, engkau si muka berpenyakitan yang berlagak jagoan dengan tombakmu dan hendak memimpin sekelompok orang gagah ini! Dengarlah baik-baik! Kalau benar engkau jagoan, hayo kau maju melawan aku, dan aku akan menghadapi tombakmu itu dengan ranting ini saja. Pedangku tak akan kugunakan. Ha-ha-ha, mukamu makin pucat dan engkau hanya seorang banci, seorang pengecut, seorang penakut yang beraninya hanya mengandalkan bantuan banyak anak buah saja. Engkau tidak patut menjadi pemimpin!" Wajah Sin-jio Coa Lok menjadi pucat saking marahnya. Kehormatannya tersinggung. Dia bukanlah seorang lemah. Sama sekali bukan. Tombaknya ditakuti banyak orang, bahkan dia pun telah dijuluki Si Tombak Sakti. Jika tadi dia hendak menggunakan pengeroyokan adalah karena dia ingin lebih yakin mengalahkan lawan ini. Sekarang ditantang seperti itu, tentu saja dia tidak sudi untuk memperlihatkan sikap takut. "Mundur semua! Kerbau-kerbau tolol, mundur semuanya!" bentaknya marah kepada anak buahnya yang tidak cepat-cepat menyerang lawan sehingga memberi kesempatan kepada lawan untuk mengejek dirinya. "Mundur dan lihat tombakku akan mengeluarkan ususnya yang busuk!" Perintah ini tak perlu diulang dua kali karena semua anak buah perampok sudah serentak melangkah mundur. Mereka ingin sekali melihat apakah kepala mereka itu benar-benar akan mampu membunuh pemuda sasterawan yang amat berani itu. Janji yang tadi diucapkan oleh pemuda sasterawan itu menarik hati mereka. Juga mereka telah terkesan sekali ketika melihat betapa pemuda itu tadi tidak membunuh si brewok tinggi besar yang menjadi teman mereka, padahal kalau pemuda itu mau, tentu si brewok itu telah tewas. Pemuda itu tidaklah sekejam dan seganas Si Tombak Sakti, maka hal ini saja sudah menimbulkan kesan baik di hati mereka. Sin-jio Coa Lok yang sudah marah sekali itu maklum bahwa kini dia berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa takut. Dia terlalu percaya kepada tombaknya, maka dia telah menubruk dengan kecepatan kilat, tombaknya digerakkan dan tampaklah cahaya terang menyambar-nyambar ketika tombak itu membuat gerakan bergulung-gulung bagaikan ombak dahsyat menerjang ke arah Kui Hok Boan. Orang she Kui ini tidak melanggar janjinya, dia sudah menyambar ranting yang tadinya berada di bawah pohon. Melihat gerakan lawan yang amat hebat itu, diam-diam dia pun terkejut dan cepat dia menggerakkan rantingnya untuk melindungi dirinya. Akan tetapi dia maklum bahwa senjata rantingnya tak mungkin dapat digunakan untuk menangkis tombak lawan yang terbuat dari baja kuat itu, maka dia hanya mengandalkan ginkang-nya, terus mengelak dari sambaran tombak sambil menggerakkan ranting untuk menotok jalan darah lawan di beberapa bagian dengan kecepatan kilat yang bertubi-tubi. Serangan itu sudah merupakan penghambat bagi terjangan Coa Lok, karena Si Tombak Sakti itu tentu saja maklum akan bahayanya totokan-totokan yang walau pun dilakukan dengan sebatang ranting saja, namun didorong oleh tenaga sakti yang kuat. Ilmu tombak yang dimainkan oleh Coa Lok adalah ilmu tombak keturunan yang sangat hebat. Semenjak nenek besarnya, secara turun-temurun keluarga Coa telah mempelajari ilmu tombak itu dan selama beberapa keturunan, ilmu tombak itu telah mengangkat tinggi nama keluarga Coa. Sebagai ilmu simpanan keluarga, maka ilmu tombaknya itu berbeda sifat dan gerakannya dengan ilmu tombak yang diajarkan oleh partai-partai persilatan umum, maka menghadapi ilmu tombak yang tidak dikenalnya itu, Kui Hok Boan menjadi repot dan kewalahan juga. Ujung tombak itu tergetar-getar sehingga menjadi beberapa batang banyaknya dan setiap batang seolah-olah bergerak sendiri-sendiri menyerang dari pelbagai jurusan. Sebaliknya, Kui Hok Boan, anak murid Go-bi-pai itu, meski telah mempelajari permainan delapan belas macam senjata, tapi terutama memiliki keahlian dalam permainan pedang. Padahal, apa bila dibandingkan dengan Coa Lok tingkat kepandaiannya hanya lebih tinggi setingkat saja, maka kini dengan menggunakan sebatang ranting sebagai senjata, tentu saja kemenangan tingkatnya menjadi tak banyak artinya, sebab jika lawan menggunakan senjata yang menjadi keahliannya, sebaliknya dia hanya mempergunakan senjata yang sama sekali tidak dapat menonjolkan kepandaiannya. Betapa pun juga, Hok Boan memang patut dipuji. Sampai hampir seratus jurus mereka bertanding, namun belum juga tombak di tangan Coa Lok mampu merobohkannya, meski pun kadang kala membuat sasterawan itu repot bukan main dengan elakan ke sana-sini. Bahkan nyaris saja perutnya tertembus tombak ketika dia mengelak dan untung bagi dia, hanya bajunya yang tertembus dan robek. Dia terkejut sekali dan terdengar suara tertawa mengejek dari para anak buah perampok yang menonton pertempuran mati-matian itu. "Ha-ha-ha, kutu buku sombong, bersiaplah kau untuk mampus!" Sin-jio Coa Lok tertawa mengejek dan kembali menubruk dengan tombaknya, memutar-mutar tombaknya hingga lenyaplah mata tombak itu dan berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung menerjang ke arah Hok Boan. Hok Boan maklum bahwa kalau dia mempertahankan terus senjata rantingnya, akhirnya dia akan kalah dan celaka. Dia tidak perlu menjaga kehormatannya terhadap orang-orang yang tidak terhormat ini, pikirnya. Bahkan omongan besarnya hendak menghadapi kepala perampok ini dengan sebatang ranting, dapat dia gunakan demi keuntungannya, pikirnya pula. Dengan menggunakan ranting sehingga dia terdesak hebat, kepala perampok ini menjadi lengah oleh bayangan kemenangannya. Karena itu dia sengaja melambatkan gerakannya sehingga dia terdesak makin hebat dan bermain mundur terus. Seperti tidak disengaja, kakinya tergelincir dan dia jatuh ke atas tanah. "Ha-ha-ha, mampuslah kau...!" Coa Lok mengejar dengan tombaknya. Akan tetapi Hok Boan terus menggerakkan tubuhnya menggelundung dan menjauh. Pada saat Si Tombak Sakti itu mengejar terus sambil tertawa-tawa dan berusaha menusukkan tombaknya ke arah tubuh lawan yang bergulingan, tiba-tiba saja Hok Boan mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kanannya bergerak dan ranting itu meluncur seperti anak panah menuju ke arah dada Coa Lok! "Ehhhhhh...!" Coa Lok terkejut, cepat menangkis dengan tombaknya dan mematahkan ranting itu. “Krekk-krekkk...!" Akan tetapi pada saat itu nampak sinar berkelebat dari depan. Coa Lok terkejut melihat kecurangan lawan, namun sudah terlambat karena pedang yang ditangkisnya itu masih meleset dan meluncur memasuki perutnya. "Blessss...!" Pedang itu menembus perutnya, lalu oleh Hok Boan diputar ke atas hingga perut kepala perampok itu robek. Kepala perampok itu mengeluarkan teriakan mengerikan, tombaknya terlepas dan dia langsung roboh terjengkang ketika Hok Boan mencabut pedang sambil menendangnya. Para anak buah perampok memandang dengan mata terbelalak ke arah Coa Lok yang berkelojotan di atas tanah, kemudian memandang kepada Hok Boan yang berdiri tegak dengan pedang yang berlumuran darah itu di tangan kanan sambil tersenyum. "Nah, kepala kalian telah mampus. Apakah di antara kalian ada yang ingin menemaninya ke neraka? Ataukah kalian mau mengangkat aku menjadi pemimpin kalian yang baru?" tantang Hok Boan. Para perampok itu saling pandang. Mereka merasa ngeri karena maklum bahwa pemuda sasterawan ini benar-benar amat lihai. Beberapa orang di antara mereka yang termasuk tokoh-tokohnya lalu menjatuhkan diri berlutut, tentu saja segera diturut oleh yang lain dan mereka memberi hormat sambil berkata, "Tai-ong... kami mentaati perintah tai-ong...!" Kui Hok Boan tersenyum dan menyimpan pedangnya setelah membersihkan darah dari pedang itu ke atas tubuh Coa Lok yang sudah tidak bergerak lagi. Dia berkata dengan suara halus namun penuh wibawa. "Kalian tidak akan menyesal mengangkatku menjadi pemimpin kalian. Aku akan membuat Padang Bangkai ini menjadi tempat yang indah dan baik, juga makmur sesudah kalian membantuku mencari harta pusaka yang terpendam di sini. Aku bisa menduga bahwa kalian tentulah gerombolan perampok, bukan? Nah, mulai sekarang kita tidak perlu merampok lagi. Untuk apa melakukan pekerjaan yang hina dan memalukan itu kalau kita dapat mencari kekayaan dengan cara lain yang lebih mudah? Sekarang perintahku yang pertama adalah, kalian tidak boleh menyebutku tai-ong. Aku bukan perampok. Kalian harus menyebutku taihiap (pendekar besar), mengerti? Namaku Kui Hok Boan maka kalian menyebutku Kui-taihiap, tak kurang tak lebih! Dan ingat, siapa yang berani melanggar perintahku, akan kulemparkan ke lumpur maut!" Setelah berkata demikian, Hok Boan lantas menyambar tangan mayat Coa Lok kemudian mengerahkan tenaga, melontarkan mayat itu yang terlempar jauh hingga terjatuh ke atas rumput hijau yang menyembunyikan lumpur di mana kudanya menjadi korban kemarin dulu. Lumpur itu menerima mayat Coa Lok dan karena mayat itu menimpa lumpur dengan kekuatan besar, seketika mayat itu lenyap ditelan lumpur. Semua anggota perampok itu mengangguk-angguk dengan muka pucat sekali. Pemuda sasterawan ini kelihatan halus, ramah dan tidak kasar, akan tetapi mempunyai sikap yang menyeramkan dan lebih menakutkan dari sikap Coa Lok yang kasar. "Sekarang kalian tunjukkan aku jalan masuk ke dalam Padang Bangkai ini dan kita mulai dengan mencari harta pusaka yang tersimpan di suatu tempat yang sudah kuselidiki dari peta yang kudapat." Tiga puluh orang itu bersorak girang lalu mengantar ketua mereka yang baru memasuki padang yang luas itu menuju sarang mereka, dusun yang dikelilingi air itu. Memang tujuan utama Hok Boan datang ke Padang Bangkai dan Lembah Naga adalah untuk mencari harta-harta pusaka itu, yang dia dengar dari berita angin di antara para pasukan kerajaan. Bahkan secara teliti dia sudah melakukan penyelidikan, mengumpulkan berita-berita itu dan menemukan sebuah peta tua yang menunjukkan di mana kiranya harta-harta pusaka itu disimpan di kedua tempat yang penuh rahasia itu. Sesungguhnya berita yang didengarnya dari mulut ke mulut itu bukanlah hanya dongeng belaka. Harta pusaka itu merupakan harta hasil rampokan dan rampasan dari pasukan-pasukan liar di bawah pimpinan Raja Sabutai ketika raja liar ini menaklukkan banyak suku bangsa Nomad di sekitar daerah padang dan gurun di utara. Karena tidak mungkin bagi pasukan itu untuk membawa-bawa harta yang amat banyak dan berat dalam perjalanan mereka menaklukkan suku-suku lain, maka sebagian dari harta itu mereka sembunyikan dan mereka tanam di beberapa tempat, di antaranya di Padang Bangkai dan lebih lagi di Lembah Naga. Raja Sabutai sendiri tidak tahu akan hal ini, karena pekerjaan itu dilakukan oleh para anak buahnya yang ingin menyembunyikan sebagian dari harta rampasan itu. Dalam perang dan pertempuran-pertempuran selanjutnya, para penyimpan harta itu sudah gugur semua dan yang tinggal hanya cerita mereka yang diteruskan oleh teman-teman. Akhirnya Hok Boan si petualang itulah yang berhasil menemukan penggambaran petanya dan yang percaya akan adanya harta itu, malah kini benar-benar melakukan penyelidikan dan pencarian. Orang lain, walau pun percaya akan adanya harta itu, merasa jeri untuk menyelidiki karena di samping tempat itu berada di wilayah kekuasaan Raja Sabutai, juga di sana banyak terdapat suku-suku liar dan kedua tempat itu pun kabarnya merupakan daerah berbahaya yang tak mungkin dimasuki orang luar. Dalam waktu setahun saja terjadilah perubahan besar-besaran di Padang Bangkai. Dusun di tengah padang yang dikelilingi air sungai itu, yang tadinya hanya terdiri dari beberapa rumah petak sederhana, sekarang sudah berubah menjadi bangunan besar dan megah, dikelilingi taman bunga dan dipasangi jembatan-jembatan indah di atas sungai itu. Juga jalan menuju ke Padang Bangkai dibangun dan dibuat lebar dan tidak berbahaya. Bahkan kini mulai ada penduduk tinggal di luar padang itu, tidak lagi takut seperti dulu sehingga Padang Bangkai kini bukan lagi menjadi daerah ‘angker’ yang menyeramkan dan tidak ada orang berani mendekati. Padang Bangkai sekarang berubah menjadi sebuah dusun makmur milik Kui-kongcu yang dikenal sebagai seorang hartawan yang ramah dan manis budi. Semua perubahan ini dapat diadakan oleh Kui Hok Boan yang ternyata berhasil menemukan harta pusaka itu di sebuah goa. Harta pusaka yang amat banyak, terdiri dari emas permata yang mahal. Dengan harta pusaka ini, maka dibangunlah tempat itu, bukan hanya rumah gedung untuk dia sendiri, juga rumah-rumah petak yang indah untuk para anak buahnya yang tiga puluh orang banyaknya itu, dan pakaian-pakaian untuk mereka. Bahkan kini para anak buah itu ada yang mengambil isteri dan membentuk keluarga di Padang Bangkai. Hidup mereka tentram dan tenang, tidak lagi harus merampok seperti dahulu, melainkan mengusahakan tanah yang subur di daerah itu untuk bercocok tanam. Selain dari hasil ini, juga secara halus Hok Boan mulai menentukan semacam ‘pajak’ bagi para penghuni yang tinggal di sekitar Padang Bangkai, dengan dalih bahwa anak buah Padang Bangkai yang menjamin keselamatan mereka dari gangguan siapa pun juga. Karena sikap Hok Boan yang halus, juga anak buahnya yang tidak boleh menggunakan kekerasan, maka para penghuni itu dengan senang hati suka menyerahkan sebagian dari hasil mereka sebagai semacam pajak atau upah menjaga keamanan mereka! Telah beberapa kali Hok Boan ingin pergi melakukan penyelidikan ke Lembah Naga sebab memang dia ingin mencari pula harta pusaka yang terpendam di tempat itu. Bahkan menurut kabar, harta yang berada di sana lebih banyak lagi di samping adanya sebuah istana di Lembah Naga itu sebagai peninggalan Raja Sabutai. Namun berkali-kali anak buahnya memperingatkan Hok Boan agar jangan sembarangan menyerbu atau memasuki Lembah Naga. "Mendiang ketua kami yang dulu, Coa Lok, dengan keras melarang kami untuk mendekati istana itu, taihiap. Dan memang kami semua sudah jera untuk memasuki daerah Istana Lembah Naga, sesudah lima orang teman kami tewas secara mengerikan oleh iblis betina itu." Demikian antara lain anak buahnya memperingatkan. Hok Boan lalu mendengarkan cerita mereka tentang wanita cantik bertangan kiri buntung yang amat hebat kepandaiannya. Betapa dahulu mendiang Coa Lok sendiri tidak mampu mengalahkannya, dan betapa lima orang di antara mereka tewas oleh wanita itu. "Kepandaiannya seperti iblis, taihiap, gerakannya cepat seperti pandai menghilang saja. Akan tetapi selama ini dia tidak pernah mengganggu kami. Oleh karena itu, apakah tidak sebaiknya kalau kita juga tidak mengganggunya? Kita sudah hidup senang dan makmur di sini berkat kebijaksanaan taihiap, dan kami sudah puas." Biar pun mulutnya tidak berkata apa-apa, namun di dalam hatinya Kui Hok Boan merasa amat penasaran. Makin tertariklah hatinya untuk mengunjungi istana itu, di mana menurut cerita para anak buahnya tinggal wanita cantik yang kepandaiannya seperti iblis betina itu, ditemani oleh lima orang pelayan wanita yang cantik-cantik pula. Mendengar wanita-wanita cantik, jantung sasterawan muda ini sudah berdebar tegang dan girang. Sudah terlalu lama dia kesepian, semenjak dia meninggalkan Leng Ci yang cantik dan genit. Memang di antara para penghuni dusun terdapat pula wanita-wanita muda, dan dia telah mengunjungi dan menghibur dirinya dengan dua tiga orang di antara mereka, akan tetapi hatinya tidak puas. Mereka adalah wanita-wanita dusun yang sederhana, bodoh dan juga berkulit kasar dan kehitaman karena kerja berat dan terbakar cahaya matahari di sawah ladang. Karena dia tidak ingin mengganggu ketentraman hidup para anak buahnya, maka dia lalu mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri saja. Dia tahu bahwa anak-anak buahnya adalah bekas-bekas perampok yang berjiwa kasar serta ganas. Kini, oleh keadaan yang makmur dan tentram, anak-anak buahnya itu seperti harimau-harimau yang kekenyangan dan tidur bermalas-malasan. Kalau sampai digerakkan kemudian bangkit kembali keganasan mereka, maka akan repot jugalah dia untuk menanggulangi mereka. Maka biarlah mereka menjadi harimau-harimau jinak karena memang dia sedang tidak membutuhkan tenaga mereka. Di tempat seperti itu, agaknya tidak akan ada musuh yang mengganggu. Demikianlah, pada suatu pagi, tanpa diketahui oleh orang lain, diam-diam Kui Hok Boan memasuki daerah Lembah Naga dari arah selatan. Daerah yang luas dan indah, tanahnya subur dan tidak lama kemudian, ketika jalan itu mulai menanjak berat, dia sudah melihat genteng istana dari jauh, kemerahan dan tinggi. Akan tetapi selagi dia melenggang seenaknya, tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring dan merdu, "Hei, berhenti! Tidak boleh memasuki tempat itu tanpa ijin!" Dengan tenang Hok Boan menoleh dan melihat lima orang wanita bermunculan. Melihat kaki dan tangan mereka yang masih berlepotan lumpur, tahulah dia bahwa mereka tadi sedang asyik bekerja di sawah ketika mereka melihat kedatangannya dan menghadang di sini. Wanita-wanita itu tidak terlalu cantik, akan tetapi bila dibandingkan dengan wanita-wanita dusun, mereka ini jauh lebih bersih menarik. Bahkan ada seorang di antara mereka, yang berbaju hijau, tentu belum ada tiga puluh tahun usianya, dan wajahnya manis. Dia sudah menduga bahwa tentu mereka inilah yang oleh anak buahnya disebut pelayan-pelayan dari wanita cantik bertangan buntung itu, maka dia tersenyum manis dan memasang aksi yang ramah. Kui Hok Boan memang berwajah tampan. Apa lagi pagi hari itu dia sengaja mengenakan pakaian baru yang indah dan bersih. Ketika melihat pemuda itu tersenyum dan sikapnya yang sopan dan lemah lembut, lima orang itu tercengang, kemudian seorang di antara mereka, kebetulan yang muda berbaju hijau itu, berseru, "Ahh, bukankah Kui-taihiap... dari Padang Bangkai...?" Seperti diketahui, kadang-kadang, untuk memenuhi keperluan mereka, tentu ada di antara para pelayan dari istana lembah itu yang turun dari lembah dan pergi ke dusun-dusun untuk membeli keperluan mereka. Oleh karena, itu maka mereka mendengar belaka akan semua perubahan yang terjadi di Padang Bangkai. Mereka sudah melapor kepada majikan mereka, yaitu Liong Si Kwi, bahwa kini Padang Bangkai sudah memiliki majikan atau pemimpin baru, dan betapa Padang Bangkai sudah dibangun dan banyak penghuni dusun yang berdatangan lantas membuka dusun-dusun baru di luar Padang Bangkai. Akan tetapi Si Kwi tidak mau mencampuri urusan itu. Untuk apa dia mencampuri urusan para perampok di Padang Bangkai itu? Biar berganti pimpinan seribu kali pun tetap saja perampok dan dia tidak sudi berurusan dengan para perampok. Maka dia hanya berpesan kepada para pelayannya supaya mereka jangan berhubungan atau mencampuri urusan orang Padang Bangkai. Dia tidak akan peduli selama orang-orang Padang Bangkai tidak mengganggu Lembah Naga. Akan tetapi, lima pelayan itu telah mendengar bahwa kepala di Padang Bangkai sekarang adalah seorang pemuda sasterawan yang tampan dan halus, dan yang disebut Kui-taihiap oleh para anak buah Padang Bangkai dan juga oleh semua penduduk dusun di sekitarnya. Dan pada saat seorang dua orang di antara mereka pergi berbelanja, mereka mendengar penuturan para penduduk bahwa majikan Padang Bangkai itu amat ramah dan baik hati, sama sekali bukan bersikap sebagai kepala perampok, dan bahwa tidak pernah ada satu pun anggota Padang Bangkai yang mengganggu dusun-dusun baru itu. A Ciauw, pelayan berbaju hijau itu, sudah pernah satu kali melihat Kui Hok Boan dari kejauhan, maka kini dia mengenal pemuda itu. Mendengar teguran A Ciauw, empat orang temannya memandang penuh perhatian, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, biar pun majikan mereka sudah berpesan bahwa tidak ada orang luar, siapa pun juga dia itu, yang boleh masuk ke Lembah Naga. Hok Boan memperlebar senyumnya sehingga terlihat giginya yang putih, lalu dia memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada. "Ahhh, kiranya cu-wi (anda sekalian) sudah mengenal saya? Saya memang Kui Hok Boan, dari Padang Bangkai. Dan karena di antara kita adalah tetangga, maka saya ingin sekali datang mengunjungi Istana Lembah Naga, untuk berkenalan." Biar pun hanya A Ciauw seorang saja di antara mereka yang pernah melihat majikan Padang Bangkai yang disohorkan orang itu, namun mereka semua telah lama mendengar nama sasterawan muda itu dan kini melihat orangnya dengan sikapnya yang demikian halus dan ramah, lima orang pelayan itu merasa tidak enak kalau harus bersikap kasar. Bahkan untuk mengusirnya sekali pun mereka merasa malu hati. Maka kini mereka hanya saling pandang atau menatap wajah tampan itu dengan bingung. Akhirnya, A Ciauw yang merasa betapa pandang mata kongcu itu terutama ditujukan kepadanya dengan sangat mesra, dengan kedua pipi berubah merah lalu menjura dengan hormat sambil berkata, "Maafkan kami, Kui-taihiap. Bukan keinginan kami untuk bersikap kurang hormat terhadap taihiap. Akan tetapi kami berlima hanyalah pelayan-pelayan dari nona kami yang mentaati perintah beliau..." "Ahhh, ternyata cici (kakak) berlima adalah pelayan-pelayan dari Istana Lembah Naga? Sungguh mati, siapa dapat percaya hal ini kalau tidak mendengar sendiri? Meski pun cici berlima berlepotan lumpur karena habis kerja di ladang, namun melihat wajah dan sikap kalian... ahh, sudahlah, betapa pun juga, saya merasa amat gembira dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian. Sekarang, cici berlima yang manis, tolonglah antar saya untuk menjumpai dan berkenalan dengan nona majikan kalian." "Itulah yang kami tidak berani lakukan, taihiap. Bahkan kalau bukan taihiap yang bertemu dengan kami di sini, tentu sejak tadi telah kami minta untuk segera meninggalkan tempat ini. Ketahuilah, Kui-taihiap, bahwa nona majikan kami telah berulang kali memesan bahwa tidak boleh orang luar datang memasuki Lembah Naga, apa lagi hendak bertemu dengan beliau. Oleh karena itu, demi kebaikan kita bersama, taihiap, kami mohon dengan hormat sukalah taihiap kembali saja ke Padang Bangkai dan kami akan menyampaikan kepada nona majikan kami betapa baiknya keadaan dan sikap taihiap terhadap kami." Kui Hok Boan tersenyum dan memainkan matanya, lantas berkata, "Aih, cici yang manis, mengapa demikian? Sudah setahun saya tinggal di Padang Bangkai dan sudah banyak saya mendengar tentang nona majikanmu yang kabarnya cantik seperti bidadari dan juga manis budi. Kami adalah tetangga, mengapa saya tidak boleh menjumpai dan berkenalan dengan dia? Tidak, sekarang juga saya harus menemuinya, kalau tidak maka saya Kui Hok Boan tentu akan mati penasaran, setidaknya malam ini saya tidak akan dapat tidur." A Ciauw dan teman-temannya menjadi semakin khawatir. "Jangan, taihiap, harap taihiap jangan memaksa, harap taihiap suka kembali saja..." "Hemm, kalau saya tidak mau kembali, bagaimana? Saya mendengar bahwa lima orang dayang Istana Lembah Naga memiliki kepandaian tinggi, apakah kalian hendak menghajar saya dan memaksa saya pergi dari sini?" "Ahhh, mana kami berani? Akan tetapi, kalau kami membiarkan saja taihiap memasuki istana, kami tentu akan mendapat marah besar dari nona majikan kami..." "Karena itu, kalian jangan membiarkan aku masuk, cobalah kalian menghalangiku. Tentu saja aku juga tidak ingin menyusahkan kalian, para enci yang manis," Hok Boan berkata dengan sikap main-main dan lebih akrab. A Ciauw dan teman-temannya saling pandang, kemudian A ciauw menarik napas panjang dan berkata, "Apa boleh buat, Kui-taihiap. Kami hanyalah pelayan yang harus mentaati perintah nona majikan kami, bila kami ingin selamat. Maafkan kami, terpaksa kami akan menghalangi taihiap. Harap saja taihiap menaruh kasihan kepada kami." A Ciauw sudah memasang kuda-kuda diikuti oleh empat orang temannya. "Mana mungkin aku sampai hati untuk menyusahkan kalian?" jawab Hok Boan dan dia pun lalu menerjang ke depan. Lima orang wanita itu menubruknya dan membuat gerakan menyerang untuk menangkap atau merobohkan tamu yang nekat ini, akan tetapi tentu saja mereka semua sama sekali bukan tandingan Kui Hok Boan. Dengan gerakan yang cepat bukan main, Hok Boan lalu membagi-bagi totokan, maka robohlah lima orang itu dalam keadaan lemas dan lumpuh tertotok! Hok Boan tersenyum, lalu menghampiri A Ciauw, berlutut di dekatnya dan berkata, "Aku menyesal sekali, harap kalian memaafkan aku. Akan tetapi hal ini perlu agar kalian tidak sampai mendapat marah. Kau manis sekali!" berkata demikian, Hok Boan mendekatkan mukanya dan mencium mulut wanita baju hijau itu, tangannya mengusap dan membelai. A Ciauw tak mampu bergerak dan hanya mengeluarkan suara di tenggorokannya seperti orang merintih atau mengeluh, matanya dipejamkan dan setelah pria itu pergi cukup lama, A Ciauw masih rebah terlentang dengan mata terpejam dan pikiran melayang jauh entah ke mana! Sementara itu, dengan ilmu berlari cepat, Hok Boan telah pergi meninggalkan lima orang wanita yang dirobohkannya dengan totokan yang untuk beberapa lamanya akan membuat mereka lumpuh tak berdaya, akan tetapi juga tidak membahayakan keselamatan nyawa mereka itu. Dia menuju ke istana, akan tetapi ketika mendengar suara anak kecil tertawa dan suara seorang wanita, dia tertarik dan mengalihkan langkahnya ke jalan kecil yang menuju ke dinding gunung penuh goa dari mana suara itu tadi datang. Tak lama kemudian dia melihat seorang anak laki-laki kecil, usianya tentu antara dua dan tiga tahun, tubuhnya sehat dan kuat, sedang bermain-main di depan goa. Tidak jauh dari situ nampak seorang wanita, dan Kui Hok Boan pun tercengang dan terpesona! Dia bukan seorang laki-laki yang hijau, sama sekali bukan. Dia adalah seorang petualang asmara, seorang kongcu hidung belang dan mata keranjang yang sudah sangat terbiasa mempermainkan wanita dan mengobral cintanya di antara banyak sekali wanita. Dia telah banyak bertemu, bahkan bercinta dengan wanita-wanita cantik. Akan tetapi melihat wanita yang duduk di atas batu itu, jantungnya berdebar keras dan dia tertarik sekali. Usia wanita itu belum ada tiga puluh tahun, wajahnya manis sekali dan pada wajah itu terbayang watak seorang wanita yang memiliki harga diri tinggi, yang memandang dunia dengan pandang mata seorang ratu, agung dan angkuh akan tetapi justru sikap semacam itulah yang bagi pandang mata Hok Boan kelihatan begitu menarik dan mempesona. Dia sudah terlalu biasa bertemu dengan wanita yang ‘murahan’ seperti sikap lima orang pelayan tadi, atau wanita yang ‘jual mahal’ agar dapat dinilai lebih tinggi. Namun wanita yang duduk di atas batu depan goa besar itu lain sama sekali, sikapnya wajar dan begitu agung, tangan kirinya yang buntung sebatas pergelangan itu tidak membuat dia menjadi buruk, bahkan menimbulkan rasa iba di hati Hok Boan. Wajah wanita itu manis sekali, berbentuk bulat dengan dagu meruncing dan mulut kecil. Sepasang matanya tajam dan dingin, akan tetapi mengandung kesuraman dan kesayuan. Rambutnya digelung sederhana dengan hiasan tusuk konde dari perak terukir dan diikat dengan pita rambut yang berwarna kuning. Pakaiannya juga sederhana bentuknya, tapi terbuat dari sutera halus dengan baju warna merah darah. Kombinasi warna pakaian yang menyolok sekali, dan anehnya, kebetulan sekali warna merah memang paling disuka oleh Hok Boan untuk dipakai oleh wanita! Dia sendiri merasa heran bukan kepalang mengapa hatinya begitu tergetar dan tertarik sekali melihat wanita yang mempunyai bentuk tubuh yang sudah matang itu, padat dan dengan lekuk lengkung yang sempurna! Wanita itu bukan lain adalah Liong Si Kwi. Seperti sudah diceritakan pada bagian depan, sejak wanita ini menemukan Sin Liong yang dia yakin adalah anak kandungnya sendiri, terjadi perubahan besar dalam kehidupannya. Dia tidak lagi melamun dan terpendam ke dalam kedukaan. Timbul kembali gairah hidupnya, timbul pula kegembiraannya, bahkan dia mendatangkan lima orang wanita sebagai pelayannya untuk mengurus istana yang besar itu, melayaninya dan menjadi temannya tinggal di tempat yang sunyi itu. Meski pun Sin Liong masih suka bermain-main dengan monyet-monyet besar, akan tetapi karena tahu bahwa monyet-monyet itu adalah kawan-kawan pertama Sin Liong semenjak lahir dan setelah dia yakin bahwa binatang-binatang itu tak pernah mengganggu anaknya sama sekali, maka dia pun tidak pernah melarang lagi. Kadang-kadang dia sendiri yang menemani Sin Liong bermain-main dan pagi hari itu pun dia sedang menemani anak itu bermain-main, suatu kesibukan yang mendatangkan kegembiraan besar di hati wanita itu. Biar pun Sin Liong belum pernah menerima gemblengan ilmu silat, namun nalurinya lebih tajam dari pada manusia biasa. Hal ini agaknya dia dapatkan dari air susu monyet yang menghidupinya sejak dia masih kecil, maka kedatangan Hok Boan lebih dulu dia ketahui sebelum ibunya, wanita yang telah digembleng ilmu silat tinggi itu mengetahui. "Eeehhh...?" Sin Liong mengeluarkan teriakan dan menudingkan telunjuknya ke arah pria yang melangkah datang hati-hati itu. Si Kwi cepat meloncat turun dari atas batu lantas membalikkan tubuh. Matanya berkilat bercahaya pada waktu dia melihat datangnya seorang laki-laki muda tampan berpakaian sasterawan dan diam-diam dia memperhatikan kanan dan kiri karena dia merasa heran mengapa lima orang pelayannya membiarkan orang asing ini memasuki Lembah Naga! Kui Hok Boan sudah lebih dahulu menggunakan senjatanya yang biasanya amat ampuh dalam menghadapi wanita. Dia memainkan matanya, menggerakkan alisnya yang tebal sambil tersenyum manis, lalu menjura dan merangkapkan kedua tangan di depan dada, memberi hormat dengan sikap sopan sekali. "Harap nona sudi memaafkan kelancanganku kalau aku mengganggu." Si Kwi mengerutkan alisnya, tidak menjawab, malah dia menoleh ke kanan kiri, merasa semakin heran dan penasaran, bagaimana kelima orang pelayannya yang setia itu sama sekali tidak mengetahui akan kedatangan orang ini. Jantung Hok Boan berdebar melihat wanita yang mempesona itu mengerutkan ails dan dengan sikap angkuh tidak menjawab kata-katanya melainkan memandang ke kanan kiri. Bukan main cantik dan manisnya wanita ini, pikirnya heran. Sudah banyak dia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah ada yang menggerakkan hatinya seperti wanita bertangan kiri buntung ini! Dia maklum atau dapat menduga apa yang dicari oleh wanita itu, maka dia kembali menjura dan berkata halus, "Kalau nona sedang mencari lima orang pembantumu itu, ketahuilah bahwa mereka tadi sudah menghadang dan ingin menghalangiku untuk datang berkunjung ke Istana Lembah Naga ini, oleh karena itu secara terpaksa sekali aku menidurkan mereka secara lembut dengan totokan. Akan tetapi totokan itu sama sekali tidak berbahaya, nona, sama sekali tidak berbahaya..." Sinar mata itu berkilat menatap wajah Hok Boan, sinar mata itu merayap dari atas ke bawah, dalam sekejap saja sudah meneliti keadaan jasmani pemuda itu, lalu sinar mata yang sangat tajam itu kembali menentang wajah Hok Boan. Bibir yang merah tipis dan manis itu terbuka, bergerak dan terdengar bentakan halus, "Siapa engkau? Apa kehendakmu datang ke tempat ini secara memaksa?" Pertanyaan yang mendesak dan mengandung teguran biar pun hati Si Kwi sama sekali tidak merasa heran kalau pemuda ini dapat menotok roboh lima orang pelayannya karena mereka itu baru dua tahun dilatih silat. Melihat keadaan pemuda yang lemah lembut ini, dia menduga bahwa tentu pemuda ini mempunyai kepandaian tinggi. Dia sudah terbiasa akan hal ini. Sebagai orang muda yang berdarah panas, maka setiap pemuda yang memiliki kepandaian sedikit saja tentu akan bersikap sombong dan suka berkelahi. Akan tetapi, seorang pemuda yang bisa membawa diri, bersikap tenang dan halus, tak mau menonjolkan kepandaian, pemuda seperti itulah yang berbahaya, dan biasanya menyembunyikan kepandaian yang sangat hebat. Seperti Cia Bun Houw misalnya! Teringat ini, kedua pipi Si Kwi menjadi merah dan cepat diusirnya bayangan pemuda itu dan nama pemuda itu. Mendengar pertanyaan yang singkat dan penuh teguran itu, kembali Hok Boan menjura dan menjawab halus, "Sekali lagi harap nona sudi memaafkan aku. Sebenarnya, aku Kui Hok Boan sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap nona atau semua penghuni Istana Lembah Naga. Seperti mungkin nona telah mengenal namaku..." "Aku tidak mengenal namamu!" Si Kwi memotong cepat dan ketus. Hok Boan tidak merasa menyesal apa lagi menjadi marah ketika mendengar pemotongan kata-katanya yang ketus itu. Dia tetap memandang dengan wajah berseri, lalu tersenyum dan berkata lagi, "Maaf, agaknya aku lupa bahwa penghuni Istana Lembah Naga tentu saja tidak mengenal nama seorang yang tidak berharga seperti aku ini. Karena itu, baiklah dalam kesempatan ini aku memperkenalkan namaku. Aku she Kui bernama Hok Boan dan aku memimpin teman-teman di Padang Bangkai." "Hemm, kiranya kepala perampok yang baru?" Hok Boan mengerutkan alisnya. "Nona boleh memandang rendah kepadaku, akan tetapi harap suka melihat dengan jelas dan dapat membedakan orang. Aku datang ke Padang Bangkai kurang lebih setahun yang lalu, dalam pertempuran membunuh kepala perampok Sin-jio Coa Lok dan karena kasihan kepada tiga puluh orang anak buahnya yang sudah menyerah maka aku memimpin mereka menuju ke jalan benar. Dan sekarang mereka itu bukanlah perampok lagi, nona. Padang Bangkai sudah mengalami perubahan besar dan bukan merupakan tempat angker dan menyeramkan lagi bagi manusia. Dusun-dusun baru telah mulai dibangun oleh mereka yang berdatangan." Si Kwi merasa tersindir. Memang dia sudah mendengar dari pelayan-pelayannya akan kemajuan Padang Bangkai dan betapa tempat itu kini mulai ramai dengan para penduduk baru yang membangun dusun-dusun, sementara itu Lembah Naga masih saja merupakan tempat angker yang tidak boleh didatangi orang luar. "Cukup, tak perlu kau memamerkan dan mempropagandakan Padang Bangkai kepadaku. Sekarang katakan apa keperluannya datang ke sini!" Kembali Hok Boan menjura dengan hormat. "Tidak ada keperluan lainnya kecuali datang berkunjung sebagai tetangga, sebagai sahabat..." "Seorang sahabat macam apa engkau ini! Begitu datang telah menotok roboh lima orang pelayanku." "Akan tetapi mereka yang memaksaku, nona..." "Hemmm, agaknya sesudah engkau berhasil merampas Padang Bangkai, engkau hendak main gila di sini mengandalkan kepandaianmu, ya? Kau kira aku takut menghadapimu? Kau kira akan mudah saja merampas Istana Lembah Naga seperti yang telah kau lakukan dengan Padang Bangkai?" "Ehh... ahhh... bukan begitu, nona..." "Cerewet! Perlihatkan kepandaianmu!" Si Kwi sudah menghardiknya dan seketika itu pula dia menerjang dengan tamparan tangan kanannya ke arah pipi Hok Boan. Pemuda sasterawan ini terkejut bukan main. Dia hanya melihat wanita itu menggerakkan tangan dan tahu-tahu ada angin menyambar dahsyat dan tangan itu sudah menyambar dekat sekali dengan pipinya! Hanya dengan jalan melempar tubuh atas ke belakang saja dia berhasil menghindarkan diri dari tamparan itu. Angin tamparan itu masih menyambar pipinya, dingin dan kuat sekali. Bukan main, pikirnya. Pantas saja wanita ini ditakuti orang, kiranya memiliki gerakan yang sedemikian cepatnya. Sementara itu, Si Kwi menjadi penasaran juga ketika tamparannya yang dilakukan cepat tadi dapat dielakkan lawan. Dia merasa gemas dan sambil mengeluarkan lengking nyaring dia menyerang secara hebat dan bertubi-tubi. Tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang meloncat tinggi sambil menerkam dan menyerang, kecepatannya seperti seekor burung walet terbang! "Eh... ohh... nanti dulu, nona...!" Hok Boan berseru kaget dan mengelak atau menangkis kalang kabut. Nona itu hanya mempunyai satu tangan kanan saja, akan tetapi tangan kiri yang buntung itu ternyata dipergunakan pula untuk menyerang, dengan jalan menotok jalan darah! Yang sangat mengagumkan hati Hok Boan adalah kecepatan wanita itu, kecepatan yang luar biasa dan dia harus mengakui bahwa dalam hal limu ginkang, agaknya dia sendiri tidak akan mampu menandingi nona ini. cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Karena dia berseru dan berkali-kali menahan, hampir saja sebuah tendangan mengenai dagunya, sebuah tendangan kilat yang dilakukan selagi tubuh wanita itu berada di atas. Dia terkejut dan mengeluarkan keringat dingin ketika tubuhnya dia lempar ke belakang sambil berjungkir balik, membuat salto. "Tahan, nona. Aku bukan musuh..." "Tidak peduli. Engkau sudah merobohkan lima orang pelayanku, berarti engkau adalah musuhku!" Si Kwi membentak dan kembali menyerang karena hatinya makin penasaran melihat betapa serangan-serangannya yang sudah dilakukan sebanyak belasan jurus itu tidak pernah mengenai sasarannya. "Baiklah, agaknya engkau berpegang kepada kebiasaan dunia kang-ouw bahwa sebelum bertanding tidak kenal!" Hok Boan berkata dan mulailah dia membalas serangan Si Kwi. Pemuda sasterawan ini amat tertarik kepada Si Kwi dan kini dia ingin mengukur sampai di mana tingkat kepandaian wanita yang amat menyentuh perasaan hatinya ini. Perkelahian hebat terjadi di depan goa. Melihat ini, Sin Liong mengeluarkan suara marah dan dia sudah melangkah maju perlahan-lahan, matanya mengeluarkan sinar berapi dan dia menyeringai, memperlihatkan giginya yang kecil-kecil seperti laku seekor monyet bila sedang marah! Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan monyet besar dan biang monyet yang selama ini selalu membayangi dan menjaga Sin Liong, cepat meloncat ke bawah dan menyambar tubuh Sin Long, segera dipondongnya dan dibawanya berloncatan naik melalui batu-batu di samping goa, terus dibawanya naik ke atas pohon di mana dia duduk nongkrong sambil memondong Sin Liong dan diajaknya anak itu menjadi penonton dari tempat yang aman itu. Legalah hati Si Kwi melihat ini. Dia tadi sudah khawatir kalau-kalau Sin Liong yang masih mempunyai watak liar dan kadang-kadang seperti seekor monyet yang susah dijinakkan itu akan menjadi marah dan maju membantunya. Kalau hal itu sampai terjadi, tentu saja akan membahayakan keselamatan anak itu sendiri. Lawannya ini seorang yang pandai, dan siapa tahu apa yang akan dilakukan oleh ketua Padang Bangkai ini terhadap anak itu kalau Sin Liong berani maju membantunya. Melihat Sin Liong dalam keadaan aman di pohon tinggi, dijaga oleh monyet betina besar itu, kini Si Kwi dapat mencurahkan seluruh perhatiannya kepada gerakan kaki tangannya dan mulailah dia menyerang dengan hebat. Dia tidak membawa pedang atau pun senjata rahasianya yang amat lihai, yaitu paku Hek-tok-ting, akan tetapi karena dia melihat bahwa pemuda sasterawan itu pun tidak membawa senjata apa pun, maka dia tidak merasa khawatir. Liong Si Kwi adalah murid seorang tokoh besar dunia kang-ouw, yaitu mendiang Hek I Siankouw, bahkan dia menerima banyak gemblengan ilmu silat tinggi pula dari kekasih gurunya itu, yaitu Hwa Hwa Cinjin. Dari dua orang kakek dan nenek ini dia menerima ilmu silat gabungan yang diberi nama Im-yang Lian-hoan-kun, yaitu ilmu yang dapat dimainkan dengan tangan kosong mau pun dengan senjata. Selain itu Si Kwi pun pandai sekali main silat dengan siang-kiam, yaitu sepasang pedang namun kini setelah tangan kirinya buntung, tentu saja dia tidak lagi dapat memainkan dua pedang, melainkan tinggal sebuah saja yang biasa dimainkan dengan tangan kanannya. Dan di samping ilmu senjata rahasia Hek-tok-ting, paku beracun hitam yang berbahaya sekali, juga dia adalah seorang ahli ilmu ginkang. Karena kecepatan gerakannya inilah maka pada waktu dia belum bersembunyi di Istana Lembah Naga, di dunia kang-ouw dia dijuluki orang Ang-yang-cu (Burung Walet Merah) karena gerakannya seperti terbang dan pakaiannya selalu berwarna merah. Kini, dalam keadaan marah serta penasaran, Liong Si Kwi menghadapi Hok Boan dan memainkan Ilmu Silat Im-yang Lian-hoan-kun yang hebat. Tubuhnya seperti beterbangan menyambar-nyambar dan dalam serangkaian serangan selama tiga puluh jurus pertama, Hok Boan yang terkejut dan kagum itu terdesak hebat! Namun, pemuda sasterawan ini adalah bekas murid Go-bi-pai yang pandai, ditambah lagi dengan pengalamannya yang sangat banyak di dunia kang-ouw, maka dia masih berhasil mempertahankan diri dengan baik. Tentu saja dia tak dapat mengandalkan kegesitannya untuk bergerak. Ketika dia menghadapi mendiang Sin-jio Coa Lok, dia kelihatan sangat lincah dan gesit karena dia memang menang gesit dibandingkan dengan Coa Lok. Akan tetapi sekarang, bertemu dengan Si Kwi, dia kelihatan lamban! Dia kalah gesit, kalah cepat sehingga tidak mungkin dia sanggup mengimbangi dan menandingi lawan ini apa bila dia mengandalkan kecepatan. Maka dia tidak mau banyak mengelak, khawatir kalau didahului lawan yang lebih cepat. Dia lebih bersikap tenang sambil mengandalkan pertahanannya yang kokoh kuat dengan jalan menangkis dan hanya kadang kala saja dia mengelak. Tiap tangkisannya dilakukan dengan pengerahan tenaga karena pemuda yang cerdik ini segera mengerti bahwa biar pun dalam hal ginkang dia kalah cepat, namun dalam hal sinkang dia menang kuat. Setelah tiga puluh jurus lewat dan selama itu Hok Boan hanya dapat mempertahankan diri selalu, kini mulailah dia balas menyerang! Serangan-serangan Hok Boan sangat kuatnya, mendatangkan angin bersiutan sehingga Si Kwi harus berhati-hati. Sebaliknya dari lawan, dia mengandalkan kecepatan gerakan ketika menghadapi serangan pemuda itu. Diam-diam Si Kwi terkejut dan juga kagum. Sasterawan muda yang bersikap sopan dan halus ini ternyata benar-benar sangat hebat! Dia teringat akan Cia Bun Houw, pendekar sakti pujaan hatinya yang juga kelihatan seperti seorang pemuda sasterawan lemah tapi sesungguhnya memiliki kesaktian yang amat luar biasa. Meski pun pemuda ini tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan pendekar muda yang sakti itu, namun keadaan pemuda yang menjadi ketua Padang Bangkai ini cukup menimbulkan rasa kagum di dalam hati Si Kwi. Seratus jurus lewat dan pertandingan itu bertambah seru. Kalau diam-diam Si Kwi kagum bukan main dan rasa penasaran di hatinya mulai lenyap karena memang harus diakuinya bahwa lawan ini berbeda dengan Coa Lok dan memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, sebaliknya Hok Boan juga kagum bukan main dan kekagumannya diucapkan berkali-kali oleh mulutnya. "Hebat sekali!" "Ahh, engkau amat cepat, nona!" Si Kwi tidak mempedulikan pujian-pujian ini, akan tetapi sebenarnya di dalam hati wanita ini telah timbul semacam perasaan yang aneh. Tadi dia merasa penasaran dan membenci pemuda ini yang dianggap menghinanya. Akan tetapi sekarang lenyap rasa penasaran di hatinya kerena dia mengakui kehebatan pemuda ini, dan perlahan-lahan rasa bencinya juga menipis mendengar betapa pemuda itu memuji-mujinya dengan suara bersungguh-sungguh, bukan pujian yang bersifat mengejek. Apa lagi ketika dia melihat munculnya lima orang pelayannya dalam keadaan sehat dan tidak mengalami cedera. "Nona, cukuplah. Harap nona suka memaafkan aku, sungguh aku tidak bermaksud untuk memusuhi nona. Cukuplah, biar aku mengaku kalah!" berkali-kali Hok Boan berkata. Akan tetapi Si Kwi masih terus mendesaknya. Wanita ini merasa malu ketika lima orang pelayannya muncul dan melihat pertempuran itu, malu bahwa dia masih juga belum dapat merobohkan laki-laki ini. Kalau tidak ada lima orang pelayan itu, agaknya dia masih akan mempertimbangkan permintaan Kui Hok Boan ini, akan tetapi di depan para pelayannya, dia tak ingin dilihat bahwa dia memperoleh kemenangan karena lawannya telah mengalah dan mengaku kalah padahal sebenarnya tidak demikian! "A Ciauw, kau cepat ambilkan pedangku!" teriaknya sambil terus menerjang. Melihat A Ciauw mentaati perintah nona majikannya itu dan berlari-lari menuju ke istana, hati Hok Boan merasa tidak enak. Dia tidak takut biar pun nona ini menggunakan pedang, akan tetap hal itu hanya akan membuat permusuhan makin menjadi-jadi, dan dia sama sekali tidak menghendaki ini. Tidak, dia tidak bisa bermusuhan dengan nona yang telah mencuri hatinya ini! Diam-diam dia telah jatuh hati, jatuh cinta kepada Si Kwi dan dia sendiri merasa heran mengapa dia begini tertarik kepada Si Kwi yang tangan kirinya buntung, dan yang meski pun cantik manis, akan tetapi tidak lebih cantik dari pada kebanyakan wanita yang pernah dijumpai dan diperolehnya. Dia tidak tahu mengapa dia begitu tertarik dan suka kepada nona majikan istana lembah itu! Segala sesuatunya pada diri wanita itu menarik hatinya, bahkan buntungnya tangan kiri itu tidak menimbulkan rasa jijik dan buruk, sebaliknya bahkan menimbulkan rasa iba dan juga kagum betapa dengan tangan kiri buntung nona itu masih demikian hebat! Kalau sampai nona itu menggunakan pedang, maka tak mungkin dia membiarkan dirinya terancam bahaya begitu saja, dan melawan orang yang bersenjata, apa lagi kalau lawan itu selihai nona ini, akan memaksa dia menggunakan tangan besi pula dan sama sekali dia tidak menghendaki hal ini. "Nona, kenapa engkau mendesak aku? Aku datang dengan niat baik, biarlah aku mohon maaf dan mohon diri, lain hari bila mana hatimu sudah dingin kembali, aku akan datang berkunjung lagi. Selamat tinggal, nona." Hok Boan lalu meloncat ke belakang, jauh sekali lalu melarikan diri dari tempat itu setelah melambaikan tangannya kepada Si Kwi sambil meninggalkan senyum dan lirikan matanya yang amat mesra dan memikat. Si Kwi tidak mengejar dan sampai beberapa lamanya dia berdiri bengong memandang ke arah lenyapnya bayangan sasterawan muda itu. A Ciauw datang membawa pedang, akan tetapi melihat lawan nonanya sudah pergi, dia lalu berkata, "Memang sebaiknya kalau dia pergi. Kui-taihiap itu tidak berniat buruk maka sangat tidak baik kalau sampai dia tewas di sini." Ucapan itu ditujukan kepada teman-temannya atau kepada diri sendiri. Si Kwi menoleh lantas memandang kepada pelayan manis berbaju hijau itu. Dia sudah menggerakkan bibirnya akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata, melainkan mengambil pedangnya dari tangan A Ciauw dan mencari-cari Sin Liong dengan matanya. Akan tetapi di atas pohon itu sudah tidak nampak Sin Liong yang tadi dipondong monyet besar, maka dia lalu kembali ke istana. Di dalam hatinya ada rasa malu untuk bicara tentang pria itu dengan para pelayannya. Ada pun tentang Sin Liong dia tidak merasa khawatir karena kini dia maklum bahwa anak itu mempunyai dua dunia, yaitu dunia bersama monyet-monyet di atas pohon dan dunia bersama dia di dalam istana. Dia tidak mengganggu lagi karena yakin bahwa nanti sebelum malam tiba, Sin Liong tentu akan pulang atau diantar pulang oleh monyet-monyet itu. Dugaannya benar karena sore hari itu, selagi duduk termenung di dalam kamarnya, Sin Liong meloncat masuk melalui jendela! Semenjak peristiwa pertempurannya dengan Hok Boan itu, sering kali Si Kwi nampak duduk termenung di dalam kamarnya atau kadang-kadang di taman bunga di belakang istana. Apa lagi semenjak hari itu, sering kali ada kiriman dari Padang Bangkai! Kadang-kadang ada kiriman emas dan permata berbentuk hiasan rambut, sutera halus, sepatu baru model terakhir, bahkan kadang-kadang ada kiriman masakan yang masih panas! Mula-mula ditolaknya kiriman-kiriman yang datang dari Kui Hok Boan dan sengaja dikirim kepadanya itu, akan tetapi dibacanya surat terlampir yang berisi sajak-sajak indah yang memuji-muji kecantikannya, menghibur kesunyiannya. Huruf-huruf indah itu mengandung rasa cinta dan iba yang amat mengharukan hatinya. Akhirnya, diterimanya juga kiriman-kiriman itu, bahkan beberapa bulan kemudian, Kui Hok Boan yang datang berkunjung secara resmi itu, diterimanya sebagai seorang tamu terhormat! Memang tidak terlalu mengherankan jika melihat kekerasan hati Liong Si Kwi mencair. Dia adalah seorang wanita yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya. Dia pernah jatuh cinta, pernah merasakan belaian cinta kasih seorang pria sungguh pun hal itu terjadi di luar kesadaran pria itu. Dia mencinta Cia Bun Houw dan di dalam batinnya dia sudah menyerahkan seluruh jiwa raganya kepada pemuda itu. Akan tetapi, setelah Cia Bun Houw pergi meninggalkannya, dia melihat kenyataan yang mengerikan dan amat pahit. Cintanya ditolak. Hatinya hancur luluh. Kemudian, hati itu menjadi dingin membeku. Betapa pun juga, dia adalah seorang wanita normal yang masih muda, yang di balik kebekuannya itu sebenarnya bernyala api gairah yang besar, bersembunyi kehausan akan belaian kasih sayang seorang pria. Keadaan di Istana Lembah Naga yang sunyi, jauh dari dunia ramai, jauh dari kaum laki-laki, sedikit banyak telah menolong dan menghiburnya, mempertebal kebekuan hatinya terhadap pria. Namun, kini muncul Kui Hok Boan, seorang pria yang masih muda, tampang halus dan juga lihai. Walau pun tidak sesakti Cia Bun Houw, setidaknya merupakah pemuda yang keadaannya seperti Bun Houw. Apa lagi Hok Boan pandai merayu, pandai memuji-muji, dan dari sinar mata pemuda itu memancar kasih sayang yang besar dan mesra. Maka, herankah bila hati wanita itu menjadi terbakar, bila kebekuan itu mencair dan jantungnya berdebar penuh gairah? Anehkah itu kalau sebulan kemudian semenjak kunjungan resmi dari Hok Boan, dia mau pula membalas kunjungan pemuda itu, pergi ke Padang Bangkai dan mengagumi segala kemajuan yang dicapai oleh daerah itu di bawah pimpinan Kui Hok Boan? Dan anehkah jika dia tidak marah, melainkan tunduk dengan muka merah dan jantung berdebar ketika pada suatu hari Kui Hok Boan menyatakan cintanya dan mengajukan pinangan padanya? Dia tidak mampu menjawab dan hanya menunduk. Kedua pipinya merah sekali, bibirnya tersenyum malu-malu dan jari tangan kanannya memilin-milin rambutnya yang terlepas dari sanggul dan berjuntai ke depan dadanya. "Liong-moi, engkau tahu bahwa lamaranku ini keluar dari hati yang tulus dan mencintamu, maka harap engkau bersikap jujur untuk menjawabku supaya aku tidak tersiksa di dalam kebimbangan." Kui Hok Boan mengulang dan mendesak. Setelah berkenalan kurang lebih dua bulan saja, dia sudah menyebut moi-moi (adik) kepada Si Kwi dan wanita itu pun menyebutnya ko-ko (kakak)! Jantung di dalam dada Si Kwi berdebar. Sungguh dia sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa akan ada seorang laki-laki yang dapat jatuh cinta kepadanya, bahkan yang akan meminangnya sebagai isteri! Apa lagi seorang pria setampan dan selihai Kui Hok Boan! Tentu saja hatinya menerima pinangan ini dengan rasa gembira dan terharu, akan tetapi dia bukanlah seorang wanita muda yang sembrono. Dia maklum bahwa ikatan pernikahan adalah hal yang tidak boleh dipandang ringan, dan merupakan suatu ikatan selama hidup. Karena itu, sebelum diambil keputusan untuk mengikatkan diri di dalam suatu pernikahan, dia harus bersikap terus terang. Antara kedua fihak harus membuka diri, sehingga tidak terdapat rahasia lagi di antara mereka yang kelak hanya akan menggagalkan ikatan itu. Biar pun hal yang dikeluarkan itu amat sukar dan membuatnya merasa malu sehingga dia bicara sambil menundukkan terus mukanya, namun akhirnya dapat juga dia bicara. "Kui-koko, sebelum aku menjawab, sebaiknya engkaulah yang harus mempertimbangkan terlebih dahulu pinanganmu itu dengan baik dan tidak tergesa-gesa karena engkau belum mengenal betul siapa adanya diriku." "Liong-moi, apa lagi yang harus kupertimbangkan? Meski pun baru selama dua bulan kita berkenalan, akan tetapi rasanya aku sudah mengenalmu bertahun-tahun lamanya. Aku tahu bahwa engkau adalah Liong Si Kwi, akan tetapi aku lebih tahu lagi bahwa engkau adalah seorang wanita yang hidup sebatang kara di tempat sunyi ini, hidup ditemani lima orang pelayan serta seorang anak angkat yang diasuh oleh monyet-monyet itu. Engkau belum mau menceritakan kepadaku mengapa engkau sampai kehilangan tangan kirimu, akan tetapi agaknya hal itu yang membuat engkau merasa malu dan menyembunyikan diri di sini. Bagiku, engkau adalah seorang wanita yang pandai dan yang menimbulkan rasa iba dalam hatiku, yang membuat aku ingin menghibur hatimu yang seperti tertekan, selalu melindungi dirimu yang seperti orang putus asa itu. Dan lebih dari semua itu, aku meminangmu karena aku cinta padamu, moi-moi." Si Kwi memejamkan matanya. Hatinya terharu sekali. Pernyataan itu dahulu dia rindukan dari mulut Bun Houw, akan tetapi pernyataan itu tidak kunjung muncul, dan kini keluar dari mulut Hok Boan! Selama hidupnya, baru kali ini ada seorang pria mengaku cinta padanya, pengakuan yang dia tahu amat jujur dan setulus hati. Hampir dia menangis. "Kui-koko...," katanya dengan suara gemetar. "Engkau belum tahu akan riwayatku, akan latar belakang hidupku..." "Aku tak peduli, moi-moi. Tak peduli apa pun latar belakang hidupmu, apa pun riwayatmu yang telah lalu, yang kucinta bukanlah Liong Si Kwi yang dahulu, melainkan Liong Si Kwi sekarang ini, yang duduk di depanku ini!" "Tetapi, koko... aku... aku bukanlah seorang perawan seperti yang mungkin kau duga..." Muka wanita itu menjadi pucat dan dia tidak berani mengangkat muka. "Hemm, perawan atau bukan bagiku tidak ada bedanya, moi-moi. Akan tetapi... apakah engkau sudah menikah? Ataukah seorang janda?" Liong Si Kwi menggelengkan kepalanya, lalu mengangkat muka menatap wajah pria itu penuh selidik dan hatinya girang melihat bahwa pernyataan bahwa dia bukan perawan itu, agaknya tidak merobah sikap pria itu terhadap dirinya. "Aku tidak pernah menikah, karena itu tentu saja bukan janda. Akan tetapi..." kembali dia menunduk, "Aku bukan perawan, bahkan aku... aku pernah melahirkan anak..." Hening sejenak setelah kata-kata ini. Akan tetapi Hok Boan tidak terkejut. Bagi seorang petualang asmara seperti dia, soal perawan atau bukan tidaklah penting, apa lagi kini dia benar-benar jatuh cinta kepada wanita ini. Dan dia pun bukan seorang bodoh. Dia sudah banyak pengalaman sehingga ketika pertama jumpa saja dia pun sudah tahu bahwa Si Kwi bukanlah seorang perawan. Dan dia tidak peduli. Akan tetapi, ketika mendengar bahwa Si Kwi pernah melahirkan, membuat dia terkejut juga. Bukan main-main kalau begitu hubungan antara Si Kwi dengan ayah dari anak yang dilahirkannya itu. "Dan di mana sekarang dia? Ayah dari anak itu? Apakah masih ada ikatan antara engkau dan dia?" tanyanya meragu. Si Kwi kembali mengangkat mukanya. Terheran dia, juga girang karena kembali tidak ada perubahan sikap Hok Boan sesudah mendengar bahwa dia pernah melahirkan! Ahh, dia tidak boleh bertindak terlalu jauh. Pria ini hebat, penuh pengertian dan penyabar! Akan tetapi tentu ada batasnya, karena itu sekali-kali dia tidak boleh mengemukakan dugaannya Sin Liong adalah anak kandungnya yang dibesarkan oleh monyet. Hal itu tentu kelak akan mendatangkan hal-hal yang tidak enak! Pria ini baik sekali, akan tetapi dia tidak boleh terlalu mendesaknya, tidak boleh mengujinya terlalu berat. "Dia? Dia masih hidup, entah di mana, akan tetapi, Kui-koko, bagiku dia telah mati." "Apakah dia mencintamu?" Si Kwi menggeleng kepala keras-keras. "Sama sekali tidak! Seujung rambut pun tidak!" "Hemmm... dan kau? Cintakah kau kepadanya, moi-moi?" Kembali Si Kwi menggeleng kepala, akan tetapi tidaklah begitu keras. "Tidak, kukira tidak, aku menganggapnya telah mati." "Baik sekali, kalau begitu berarti engkau bebas, moi-moi! Dan anak itu?" "Dia... dia mati ketika terlahir." "Ahhh, kalau begitu, sama sekali tidak ada hal yang memberatkanmu untuk menerima pinanganku, Liong-moi!" Si Kwi mengangkat mukanya, menatap wajah pemuda itu penuh selidik bercampur rasa keheranan. "Koko! Engkau sudah mendengar semua itu dan engkau masih melanjutkan pinanganmu kepadaku? Engkau seorang pemuda sasterawan yang pandai dalam hal bun dan bu, bahkan engkau telah menjadi majikan Padang Bangkai yang terhormat, seorang pemuda pilihan dan yang akan mudah saja mencari isteri seorang dara cantik yang jauh lebih baik dari pada aku! Koko, berpikirlah dulu sebelum kelak engkau menyesal!" "Ha-ha-ha, engkau terlalu merendahkan diri, sayang. Aku sendiri, biar pun belum menikah dalam usia tiga puluh tahun lebih ini, mana berani mengaku perjaka? Ha-ha-ha, apa sih artinya perjaka atau... atau bukan? Yang terpenting adalah kita saling mencinta. Dan aku cinta kepadamu, moi-moi, Dengan cintaku ini, aku menerimamu seperti apa adanya, aku menerima engkau baik dengan keperawananmu mau pun dengan kejandaanmu, dengan segala kebaikan berikut semua cacad-cacadmu. Nah, engkau sudah mendengar semua, Liong-moi, sekarang jawablah, maukah engkau menerima pinanganku? Apakah engkau bersedia menjadi isteriku?" Sepasang mata itu tak dapat menahan lagi air mata yang bercucuran keluar membasahi kedua pipinya. "Koko... engkau... engkau baik sekali... baik sekali..." Hok Boan bangkit berdiri dan menghampiri wanita itu yang duduk sambil menangis dan menundukkan mukanya. Dengan lembut dan mesra, Hok Boan memegang dagu wanita itu, mengangkat muka yang basah itu menghadap kepadanya, lalu dia bertanya, "Jawablah, moi-moi, maukah kau...?" Dengan air mata masih bercucuran, Si Kwi menggerakkan kepalanya mengangguk dan bibirnya hanya dapat berbisik serak. "Aku mau... aku mau... ahhh, aku mau, koko..." "Moi-moi...!" Hok Boan sudah mencium mulut itu, menciumi muka yang basah air mata itu, kemudian mencium lagi mulut Si Kwi. Si Kwi tersedu, kemudian menggerakkan kedua lengannya, merangkul leher Hok Boan dan menariknya sehingga mereka berpelukan ketat. Segala menjadi indah kalau cinta sudah berpadu. Cinta tidak membedakan baik buruk, tidak membedakan derajat dan tingkat. Cinta tidak memandang kedudukan, kepandaian, harta, kebangsaan, agama, kepercayaan, dan sebagainya lagi. Semua itu hanya pakaian belaka. Bagi cinta, yang mutlak adalah manusianya dan semua embel-embel itu sudah tercakup di dalamnya. Bagi cinta, yang terpenting adalah si dia! Apa pun adanya dia, bagaimana pun adanya dia, karena dalam cinta dia menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan, dan tanpa si dia yang dicinta, hidup menjadi tidak lengkap! Dengan cinta, kita menjadi bijaksana dan kebijaksanaan itu membuat kita dapat melihat bahwa tidak ada yang tanpa cacad di dunia ini. Setiap kali kita menilai segi kebaikannya, sudah pasti muncul segi keburukannya karena baik dan buruk adalah saudara kembar, seperti senang dan susah. Tiada sesuatu yang tanpa cacad, dan si dia yang kita cinta itu pun termasuk di dalam segala sesuatu yang pasti ada cacadnya, itu kebaikannya dan juga ada keburukannya. Padang Bangkai yang kini sudah menjadi tempat yang indah dan tidak berbahaya untuk dikunjungi orang luar itu terhias meriah. Semua anak buah Padang Bangkai sibuk, dibantu oleh para penghuni dusun di sekitar tempat itu, dan suasana yang gembira dan meriah diramaikan oleh suara musik itu menandakan bahwa di tempat itu sedang diadakan pesta. Memang demikianlah. Hari itu adalah hari yang gembira, semua orang bergembira karena hari itu adalah hari pernikahan antara majikan Padang Bangkai, Kui Hok Boan, dengan penghuni Istana Lembah Naga, Liong Si Kwi! Dalam kesempatan ini, Kui Hok Boan memperlihatkan kepopulerannya di dunia kang-ouw dengan mengundang banyak tokoh kang-ouw! Dengan sejumlah besar harta pusaka yang ditemukannya di Padang Bangkai, tentu saja dia dapat mengadakan pesta besar dengan mengundang tukang-tukang masak dari selatan. Daerah kaki Pegunungan Khing-an-san yang biasanya amat sunyi dan jarang dikunjungi orang itu, pada hari itu menjadi ramai dan sejak kemarin sudah berdatangan tamu-tamu dari selatan yang sebagian besar terdiri dari orang-orang kang-ouw yang bersikap gagah. Dan memang hanya orang-orang kang-ouw saja yang berani dan sanggup mengadakan perjalanan sejauh dan sesukar itu. Yang sangat menggirangkan dan mengharukan hati Hok Boan adalah ketika dia melihat munculnya seorang hwesio tinggi besar yang bermuka hitam dan bermata lebar. Hwesio ini adalah Lan Kong Hwesio, seorang tokoh Go-bi-pai. Lan Kong Hwesio masih terhitung sute dari Kauw Kong Hwesio, guru Hok Boan yang telah meninggal dunia. Pada saat Hok Boan mengirim undangan kepada bekas gurunya, ternyata gurunya itu sudah meninggal dunia dan sebagai wakilnya kini yang datang adalah Lan Kong Hwesio atau susiok-nya (paman gurunya). Sebenarnya, kedatangan Lan Kong Hwesio, tokoh Go-bi-pai yang sudah berusia enam puluh lima tahun ini, sama sekali bukan hanya untuk menghadiri pernikahan bekas murid keponakannya itu. Akan tetapi sesungguhnya dia berkewajiban untuk menyelidiki, apakah murid Go-bi-pai yang telah diusir oleh mendiang suheng-nya dan tak boleh mengaku lagi sebagai murid Go-bi-pai itu telah berubah menjadi orang yang baik dan benar-benar tidak lagi mencemarkan atau menggunakan nama Go-bi-pai. Dan giranglah hati Lan Kong Hwesio ketika mendapat berita betapa Kui Hok Boan yang dikenal sebagai Kui-taihiap di daerah Khing-an-san, sama sekali tidak pernah menyebut Go-bi-pai, dan lebih lagi, nama sasterawan muda itu cukup baik, bahkan berjasa dalam membangun Padang Bangkai yang tadinya merupakan daerah maut yang berbahaya itu menjadi daerah terbuka dan maju. Maka hwesio ini memasuki ruangan pesta dengan hati gembira. Di samping tokoh Go-bi-pai ini, banyak pula wakil-wakil dari partai-partai persilatan lainnya yang hadir, akan tetapi lebih banyak lagi adalah tokoh-tokoh dari golongan yang biasanya disebut golongan hitam atau golongan sesat! Memang Kui Hok Boan memiliki hubungan yang sangat luas di dunia kang-ouw, oleh karena itu pesta pernikahannya itu merupakan pertemuan di antara dua golongan yang menamakan dirinya golongan putih dan golongan hitam sehingga di dalam pesta itu terdapat ketegangan-ketegangan yang berbahaya. Namun karena mereka semua menghormat tuan rumah yang menjadi pengantin, dan juga karena kedua fihak bersikap hati-hati mengingat bahwa mereka bukan berada di daerah sendiri, melainkan daerah liar yang sesungguhnya termasuk wilayah kekuasaan raja liar Sabutai, maka mereka tidak berani menimbulkan kekacauan dan bersikap sabar menanti serta berjaga-jaga saja.....
JILID 05
PESTA berjalan dengan lancar dan hidangan-hidangan yang dikeluarkan adalah hidangan-hidangan pilihan karena memang Kui Hok Boan tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk menjamu para tamunya. Selagi para tamu menikmati hidangan yang disuguhkan, mendadak terdengar suara hiruk pikuk, lantas teriakan-teriakan kaget itu menjalar ke dalam dan suasana gembira menjadi geger ketika para tamu melihat puluhan ekor monyet besar kecil menyerbu tempat pesta dipimpin oleh seorang anak kecil yang usianya belum ada empat tahun! Seperti juga monyet-monyet lainnya, anak itu berloncatan dengan gerakan yang sangat cekatan. Mereka segera menyerbu makanan-makanan di atas meja, ada pun para tamu menjauhkan diri karena kaget dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Ketika para orang kang-ouw itu pulih kembali ketenangan mereka, tentu saja mereka menjadi marah saat melihat bahwa yang datang menyerbu itu adalah monyet-monyet liar besar dan kecil, maka mereka sudah siap untuk menghajar binatang-binatang itu. Akan tetapi mendadak terdengar suara merdu dan nyaring, "Cu-wi sekalian harap jangan turun tangan mengganggu monyet-monyet itu!" Semua orang terkejut dan menoleh. Yang berbicara adalah pengantin wanita yang sudah bangkit berdiri di samping pengantin pria yang juga telah ikut berdiri. Dari balik tirai manik yang bergantungan di depan muka pengantin wanita, nampak sepasang mata yang tajam bersinar, kemudian terdengar suara nyaring yang ditujukan kepada anak kecil yang masih menikmati makanan di atas meja bersama monyet-monyet itu, "Liong-ji (anak Liong), hayo lekas kau ajak teman-temanmu pergi! Lekas pergi!" Anak itu memandang ke arah pengantin wanita, kelihatan sangat penasaran dan marah, kemudian mengeluarkan gerengan dari kerongkongannya seperti seekor kera marah. "Sin Liong, lekas ajak teman-temanmu pergi!" Kembali Si Kwi membentak dan sekali ini di dalam suaranya terkandung kemarahan. Anak itu menyambar sepotong paha ayam, lalu meloncat turun dan sambil mengeluarkan mengeluarkan teriakan segera berlari keluar, diikuti oleh monyet-monyet besar dan kecil itu. Lucunya, ada monyet yang menyambar seguci arak, dan ada pula yang menyambar mangkok berikut sumpitnya. Para tamu tertawa ketika melihat lagak monyet-monyet itu dan mereka terheran-heran memandang kepada pengantin wanita. Tadi pengantin itu menyebut anak yang memimpin monyet-monyet itu dengan ‘anak Liong’! Apa artinya ini? Apakah pengantin itu, yang bagi seorang pengantin usianya sudah tidak muda lagi, telah mempunyai anak? "Cu-wi sekalian yang mulia," terdengarlah suara Hok Boan sambil menjura ke arah para tamu ada pun Si Kwi sudah duduk kembali sambil menundukkan mukanya. "Harap cu-wi memaafkan bila kedatangan rombongan monyet tadi mengejutkan dan mengganggu cu-wi. Hendaknya diketahui bahwa kumpulan monyet itu adalah monyet-monyet yang tinggal di sekitar tempat ini dan dipimpin oleh seorang anak kecil. Ketahuilah bahwa di sini terjadi hal aneh sekali. Dua tahun yang lalu anak itu ditemukan oleh isteri saya dalam keadaan luka-luka tergigit oleh ular beracun dan dirawat oleh monyet-monyet besar. Isteri saya lalu menolongnya dan merawatnya sampai sembuh, kemudian mengangkatnya sebagai anak dan diberi nama Sin Liong. Akan tetapi, karena sejak kecil dirawat oleh monyet-monyet, agaknya anak itu masih suka bermain-main dengan rombongan monyet-monyet dan tidak kami sangka bahwa hari ini dia mengajak para monyet itu untuk ikut berpesta!" Keterangan yang lucu ini disambut suara ketawa, akan tetapi semua tamu menjadi amat terheran-heran hingga suasana menjadi berisik karena membicarakan peristiwa aneh ini. Seorang bocah yang jelas adalah seorang manusia cilik, dirawat oleh monyet-monyet dan hidup di antara monyet-monyet! Akan tetapi, dengan cekatan para pelayan cepat membereskan tempat-tempat yang telah dikacaukan oleh rombongan monyet tadi, mengganti semua hidangan masakan dan arak. Pesta dilanjutkan lagi dan kini suasana menjadi lebih gembira sebab mereka memperoleh bahan percakapan yang amat mengasyikkan, yaitu anak kecil pemimpin monyet-monyet tadi. Mereka menduga-duga dan mengkhayal menurut perkiraan masing-masing. "Hemmm, anak angkatmu itu perlu dididik secara baik, kalau tidak kelak dia bisa menjadi binal," bisik Hok Boan kepada isterinya. Dengan muka masih tetap menunduk, Si Kwi menjawab suaminya dengan bisikan pula. "Aku mengharapkan kebijaksanaanmu untuk mendidiknya." "Jangan khawatir, anak angkatmu berarti juga anak angkatku. Karena telah menjadi anak angkat kita, maka dia harus dididik. Bukankah akan memalukan kalau anak angkat kita berwatak seperti monyet?" Hok Boan berkelakar dan isterinya hanya tersenyum. Akan tetapi karena wajah itu berada di balik tirai manik, maka Hok Boan tidak melihat betapa wajah isterinya agak pucat dan betapa jantung wanita itu berdebar tegang. Di antara para tamu itu terdapat seorang guru silat dari kota Koan-sun-jiu, seorang yang bernama Tio Kok Le. Dia mengenal baik Hok Boan sebab itu dia datang pula, akan tetapi diam-diam dia merasa iri hati melihat kemakmuran hidup Hok Boan. Dulu pernah dia bersama Hok Boan menjadi teman senasib dalam keadaan yang serba kekurangan. Kini, setelah melihat betapa Hok Boan menjadi majikan Padang Bangkai dan menikah dengan wanita cantik, juga dapat mengadakan pesta pernikahan yang demikian mewahnya, mengundang banyak tokoh kang-ouw, hatinya menjadi iri. Dia tahu pula akan peristiwa di kota Koan-sui, di mana Hok Boan hampir dikeroyok oleh murid-murid guru silat yang juga dikenalnya, pada saat Hok Boan berani main gila merayu anak perempuan guru silat itu. Bahkan dialah yang dahulu sudah membantu Hok Boan menyembunyikan diri ketika dikejar-kejar, dan membantunya mencari jalan keluar dan lari ke utara. Dia tahu pula siapakah Kui Hok Boan, tahu bahwa temannya ini adalah bekas murid Go-bi-pai yang telah diusir karena berjinah dengan isteri petani dan ketahuan oleh gurunya. Sekarang, melihat keadaan temannya serta melihat pula kehadiran seorang hwesio yang diketahuinya sebagai seorang tokoh Go-bi-pai, susiok dari temannya itu, dia memperoleh kesempatan untuk melampiaskan iri hatinya dengan jalan merusak suasana yang meriah dan tenang itu! Keberaniannya diperbesar karena semenjak tadi dia sudah terlalu banyak minum arak untuk menutupi iri hatinya. Kini dia bangkit berdiri, membawa guci dan cawan arak, agak terhuyung menghampiri tempat duduk kedua mempelai. "Ha-ha-ha, Kui-hiante, apakah engkau sudah lupa kepadaku?" Tio Kok Le berkata sambil tertawa, berdiri di depan pengantin pria yang masih duduk. Kui Hok Boan tersenyum, "Tentu saja tidak, Tio-twako. Duduklah dan nikmatilah hidangan kami seadanya." "Cukup... sudah cukup... aku hanya ingin memberi selamat kepadamu dengan secawan arak, Kui-hiante." Biar pun dia agak limbung tetapi guru silat ini masih dapat menuangkan arak ke dalam cawan itu lalu menyerahkannya kepada Hok Boan. Pengantin pria ini maklum bahwa bekas sahabat baiknya ini sudah mabok, maka dia pun menerima cawan itu dan berkata, "Terima kasih atas ucapan selamatmu, twako," lalu dia minum cawan itu sampai kosong. "Ehh, mana walimu, Kui-hiante? Aku ingin memberi selamat kepada walimu." Hok Boan mengerutkan alisnya. "Tio-twako, agaknya engkau sudah lupa bahwa aku tidak mempunyai ayah bunda lagi." "Ha-ha-ha, yang kumaksudkan adalah gurumu, hiante." Makin dalam kerut di antara kedua mata pengantin pria itu. "Tio-twako, kau tahu aku tidak mempunyai guru." "Ahhh, di hari baik begini mengapa membohong, hiante? Engkau adalah murid Go-bi-pai yang pandai dan terkenal! Engkau adalah Kui-taihiap, jago muda dari Go-bi-pai, seorang tokoh kang-ouw baru di daerah utara ini!" Suaranya meninggi dan mengeras sehingga kini banyak tamu yang sudah menoleh dan memperhatikan guru silat itu. "Tio-twako, sudahlah. Bekas suhu-ku juga sudah meninggal dunia. Kembalilah ke tempat dudukmu, twako, dan terima kasih atas kebaikanmu," Hok Boan membujuk. Akan tetapi tentu saja Tio Kok Le tidak mau berhenti sampai di situ, karena memang dia bermaksud untuk mengacau dan membongkar rahasia riwayat busuk pengantin pria yang menimbulkan iri dalam hatinya itu. Dia menoleh ke arah tempat duduk hwesio tinggi besar muka hitam itu dan tiba-tiba wajahnya berseri, "Haaa, bukankah beliau itu Lan Kong Hwesio, tokoh Go-bi-pai yang menjadi susiok-mu, hiante?" Tio Kok Le lalu menghampiri tempat itu sambil membawa guci arak dan cawan kosong. "Tio-twako, jangan...!" Hok Boan mencoba untuk mencegah. Akan tetapi guru silat itu sudah menghampiri Lan Kong Hwesio dengan langkah lebar dan diikuti oleh pandang mata banyak tamu yang merasa tertarik. Dia lalu menjura di depan hwesio bermuka hitam itu. "Locianpwe, harap locianpwe sudi menerima pemberian selamat saya kepada locianpwe untuk hari yang berbahagia ini." Tentu saja pendeta itu tidak menerima suguhan cawan arak itu dan dengan alis berkerut dia bertanya, "Apakah maksudmu, sicu?" Para tamu kini memandang ke arah mereka dengan penuh perhatian. "Ah, bukankah locianpwe adalah Lan Kong Hwesio tokoh Go-bi-pai?" Tio Kok Le bertanya dengan suara nyaring hingga terdengar oleh para tamu yang kini makin memperhatikan. "Benar, pinceng seorang murid Go-bi-pai, bukan tokoh besar. Habis, mengapa?" "Ha, kalau begitu saya tidak keliru. Kui Hok Boan merupakan murid mendiang Kaw Kong Hwesio tokoh Go-bi-pai, sebab itu pengantin pria adalah keponakan locianpwe. Bukankah sepantasnya kalau locianpwe saya anggap sebagai walinya dan saya memberi selamat kepada locianpwe dengan secawan arak?" Pendeta itu memandang dengan penuh selidik kepada wajah guru silat itu. "Omitohud, pinceng tidak mengerti apa yang sicu maksudkan dengan sikap ini, akan tetapi ketahuilah bahwa sudah sejak lama Kui-sicu bukan lagi terhitung murid Go-bi-pai. Pinceng datang bukan sebagai paman gurunya, melainkan sebagai tamu biasa, karena itu pinceng tidak dapat menerima selamat itu." "Wah, wah ini namanya penasaran!" Guru silat itu berseru dengan muka merah, ditujukan kepada para tamu. "Pengantin pria adalah seorang gagah perkasa yang berkedudukan tinggi sebagai majikan Padang Bangkai dan sudah jelas dia merupakan tokoh Go-bi-pai, mengapa tidak diakui oleh golongan atasan dari Go-bi-pai sendiri? Locianpwe, agar tidak membikin para tamu yang terdiri dari kaum kang-ouw menjadi penasaran, harap sukalah locianpwe memberi tahu apa sebabnya pengantin pria tidak lagi dianggap sebagai murid Go-bi-pai?" Wajah Kui Hok Boan menjadi pucat, maka dia memandang kepada guru silat itu dengan marah. Dia tidak tahu mengapa bekas sahabat baiknya itu secara tiba-tiba menyerangnya dengan ucapan seperti itu? Kalau saja dia tidak sedang menjadi pengantin dan menjadi tuan rumah, tentu sudah diserangnya bekas sahabat yang kini berkhianat itu, agaknya berusaha untuk mencemarkan namanya di dalam pesta ini! "Sicu, urusan Go-bi-pai adalah urusan kami sendiri, sebagai orang luar sicu tidak berhak mencampuri atau bertanya-tanya!" ucapan hwesio itu dilakukan dengan nada menegur dan suara menggeledek sehingga terdengar oleh semua orang. Secara diam-diam Hok Boan merasa kagum dan berterima kasih kepada bekas susiok-nya itu. Tio Kok Le menyeringai setelah mendengar bentakan itu. Dia tidak berani main-main di depan hwesio ini, akan tetapi dia merasa belum puas apa bila belum berhasil menyeret nama teman atau bekas teman yang kini makmur itu ke lumpur penghinaan, maka dia lalu berkata lantang, "Cu-wi sekalian, apakah cu-wi ingin mendengar mengapa pengantin pria tidak diakui lagi sebagai murid Go-bi-pai? Apakah cu-wi ingin mendengar apa yang pernah terjadi di kota Koan-sui ketika pengantin pria ini masih menjadi sahabat baikku senasib sependeritaan? Ha-ha-ha, cu-wi akan tertawa kegelian mendengar cerita-cerita saya yang amat lucu..." "Orang she Tio! Apakah engkau bermaksud hendak mengacau hari baikku ini?" Tiba-tiba terdengar Hok Boan berteriak karena dia sudah marah sekali. "Siapa dia yang mempunyai she Tio?" Suara ini nyaring merdu dan mengandung getaran sedemikian hebatnya sehingga mengatasi semua suara yang ada dan memaksa semua muka menoleh dan memandang ke arah pintu luar. Sepasang pengantin itu sendiri merasa terheran-heran saat melihat bahwa tahu-tahu dari luar berjalan masuk seorang wanita yang amat luar biasa. Wanita ini tampak masih amat muda, agaknya paling banyak berusia dua puluh dua tahun, wajahnya memiliki kecantikan campuran antara wajah orang Han dan wajah orang Mongol. Kulitnya halus kuning seperti wanita Han. Wajah yang cantik itu dirias dengan bedak dan yanci, juga bibirnya yang berbentuk indah itu dipermerah lagi dengan gincu. Rambutnya digelung dengan model seperti gelung puteri kerajaan dan agaknya rambutnya panjang sekali karena gelung itu malang melintang dan terhias hiasan rambut dari emas permata. Pakaiannya juga merupakan kombinasi pakaian Han dan Mongol, maka bila dilihat pantasnya dia adalah puteri bangsawan Mongol yang sudah ‘terpelajar’, yaitu sudah mempelajari kebudayaan Han. Dari hiasan pakaian, tata rambut dan sikapnya yang angkuh, dengan dagu terangkat dan dada dibusungkan, dapat diduga bahwa dia tentu tergolong wanita keluarga bangsawan atau hartawan. Akan tetapi, sebatang pedang yang terikat di punggungnya mendatangkan rahasia keanehan meliputi dirinya. Lebih aneh lagi, wanita cantik ini membawa sebungkus hio (dupa bergagang) yang membuka bagian gagangnya. Semua mata terus mengikuti gerakan wanita ini yang melangkah memasuki ruang pesta dengan sikap angkuh. Ketika dia menggerakkan tangan kiri yang memegang bungkusan hio itu, terdengar bunyi gelang-gelangnya berkerincing nyaring. Biar pun dia cantik manis dan memiliki bentuk tubuh yang padat menggiurkan, namun terdapat sesuatu yang amat dingin menyelubungi seluruh pribadinya, yang membuat orang-orang merasa seram dan berhati-hati. Pada punggung wanita itu, selain sebatang pedang juga tergantung sebatang kayu papan yang bentuknya seperti salib dan sesudah tiba di tengah-tengah ruangan itu, mata yang berbentuk indah, lebar serta bersinar tajam itu memandang ke kanan kiri, lalu terdengar suaranya yang merdu dan nyaring seperti tadi. "Siapa di antara kalian yang memiliki nama keturunan ini?" Tangan kanannya bergerak ke punggung melalui atas pundaknya dan tahu-tahu dia sudah memegang papan kayu yang berbentuk salib tadi lantas mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas kepalanya, membalikkan papan itu sehingga kini dapat terbaca tiga huruf besar yang tertulis di situ. Di atas papan yang melintang, terdapat tiga huruf yang berbunyi, CIA-YAP-TIO, tiga macam she (nama keluarga) Bangsa Han. Semua orang membaca tiga huruf itu, akan tetapi tidak ada yang mengerti apa maksud wanita itu menanyakan tiga buah nama keturunan atau nama keluarga itu. "Siapa tadi yang mengaku she Tio?" terdengar lagi dia bertanya, suaranya merdu sekali, akan tetapi juga nyaring melengking sehingga dapat terdengar oleh mereka yang duduk di bagian paling sudut dari ruangan pesta itu. Tio Kok Le yang tadi sudah berada di puncak hendak menyeret turun pengantin laki-laki yang membuat dia iri hati itu, telah siap untuk mencemarkan nama Hok Boan di hadapan orang banyak, merasa amat mendongkol akibat kemunculan wanita ini yang dianggapnya mengganggu dan menggagalkan usahanya melampiaskan isi hatinya. Akan tetapi, ketika melihat wanita ini cantik dan berpakaian mewah, dia cepat-cepat melangkah maju dengan guci arak masih di tangan, menyeringai dan memandang wanita itu dengan mata haus. "Sayalah she Tio bernama Kok Le, nona. Apakah saya akan menerima nasib baik seperti sahabatku Kui Hok Boan itu? Ha-ha, percayalah, mutu diriku tidak kalah oleh sahabatku itu!" Kok Le adalah manusia kasar, akan tetapi saat itu dia menjadi lebih kasar lagi karena pengaruh arak. Akan tetapi suara ketawanya mendadak terhenti ketika secara tiba-tiba sinar mata wanita itu menyambar laksana kilat kepadanya. Dan wanita itu kembali berseru, "Siapa lagi yang she Cia, she Yap dan she Tio? Majulah yang merasa mempunyai she itu, jangan bersikap pengecut dan aku hendak bicara!" Biar pun wanita itu memperlihatkan sikap luar biasa dan penuh rahasia, tapi nampaknya dia hanyalah seorang wanita muda yang cantik, maka tentu saja tidak menimbulkan rasa takut kepada orang-orang kang-ouw itu. Terdengar suara tertawa-tawa kemudian nampak beberapa orang laki-laki maju dan menghampiri wanita itu. Dua orang mengaku she Tio dan tiga orang pula mengaku she Yap. Tidak ada seorang pun she Cia. "Hemm, hanya tiga orang she Tio dan tiga orang she Yap?" Wanita cantik itu bertanya dengan suara kecewa. "tidak seorang pun she Cia di sini?" Tidak ada yang menjawab, dan agaknya memang tidak ada, atau kalau pun ada, tentu orang itu diam saja. Dan memang ada seorang she Cia dan beberapa orang lagi she Yap dan she Tio yang tidak mau melayani panggilan wanita itu. Enam orang laki-laki itu kini berdiri menghadapi si wanita, sikap mereka seperti anak-anak yang akan diberi hadiah, tersenyum-senyum agak malu-malu. "He, nona manis. Engkau telah memanggil kami berenam di sini, sebenarnya kau hendak memberi apakah?" tanya salah seorang di antara mereka yang bernama keluarga Yap, orangnya tinggi besar dan kelihatan kuat sekali, di punggungnya terselip sebatang golok besar. Selain Tio Kok Le dan orang she Yap tinggi besar ini, empat orang yang lain juga jelas memperlihatkan diri sebagai orang-orang kang-ouw yang mempunyai kepandaian. Malah salah seorang di antara mereka, she Tio yang bertubuh tinggi kurus, membawa sepasang senjata siang-kek (sepasang tombak cagak) dan orang yang mahir memainkan senjata ini tentu memiliki ilmu silat yang sudah tinggi. Akan tetapi wanita itu mencibirkan bibirnya dan makin tampak nyata sebuah titik tahi lalat hitam yang menghias dagunya sebelah kiri, menambah manis wajahnya. Wanita ini tidak menjawab, melainkan mengambil enam batang hio dari dalam bungkusan hio, kemudian menyelipkan sisa bungkusan di ikat pinggangnya. Dengan sikap tenang sekali dia lalu membuat api dan menyalakan enam batang hio itu. Gerak-geriknya dilakukan dengan sikap tenang dan dingin sehingga di dalam kesunyian yang mencekam itu semua orang mengikuti semua gerak-geriknya sambil di dalam hati masing-masing semua orang menduga-duga apa yang hendak dilakukan oleh wanita luar biasa ini. Sementara itu, Kui Hok Boan sudah hendak bangkit dari tempat duduknya untuk menegur wanita yang aneh dan yang dianggapnya hendak mengacaukan pestanya itu, akan tetapi tiba-tiba tangannya disentuh oleh tangan kanan Si Kwi. Dia menoleh dan melihat isterinya memandang dengan dua mata terbelalak ke arah papan salib yang bertuliskan tiga buah nama keluarga itu, bibirnya berbisik, "Jangan bergerak..." Kui Hok Boan terheran-heran, akan tetapi melihat sikap isterinya dan juga melihat wajah isterinya yang tiba-tiba berubah pucat itu, ia merasa seram sehingga tidak jadi melakukan sesuatu, hanya menonton saja dengan berdebar dan dengan urat syaraf siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak wajar. Kini wanita cantik itu telah selesai membakar enam batang hio. Enam orang she Tio dan she Yap itu sudah menjadi tidak sabar. Mereka berdiri bagaikan anak wayang, menjadi tontonan banyak orang akan tetapi didiamkan saja oleh wanita yang memanggil mereka, seolah-olah wanita itu sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada mereka. "Heiiiii! Engkau memanggil kami mau bicara apakah?" bentak orang she Yap yang tinggi besar itu, nadanya kehilangan kesabaran dan sudah mulai marah. "Nona yang baik, kalau aku akan kau ajak kawin, sebelum sembahyang harus memakai pakaian pengantin dulu!" Tio Kok Le berkelakar dan terdengar suara tertawa di sana-sini karena kelakar ini setidaknya mengurangi ketegangan hati mereka yang penuh dengan dugaan-dugaan. "Aku akan menyembahyangi roh yang baru saja meninggalkan badannya." "Ehh, dalam pesta pernikahan ini kenapa menyebut-nyebut orang mati? Siapa yang akan mati dan siapa yang akan kau sembahyangi itu?" tanya Tio Kok Le dengan mulut masih menyeringai dan menganggap ucapan wanita itu sebagai kelakar belaka. "Hari ini yang kusembahyangi adalah enam orang, yaitu tiga oreng she Tio dan tiga orang she Yap. Semua orang she Cia, Yap dan Tio harus mati!" "Heiii...!" Tio Kok Le membentak marah, Akan tetapi tiba-tiba tampak sinar-sinar api menyambar. Orang she Yap yang tinggi besar itu cepat mencabut golok, demikian pula empat orang lain sudah siap, akan tetapi mereka itu tidak mampu menghindar ketika ada sinar-sinar api meluncur dan menyambar ke arah mereka. "Oughhh...!" "Aduhhh...!" "Iiiihkkk...!" Jerit-jerit mengerikan terdengar susul-menyusul dan keenam orang itu roboh terpelanting, berkelojotan sebentar dan tidak bergerak lagi. Mereka itu tewas seketika dengan gagang-gagang hio menancap pada ulu hati mereka, menancap sampai dalam sekali, menembus jantung sehingga yang terlihat hanya sebagian hio yang masih terbakar dan mengepulkan asap. Senjata-senjata mereka terlempar ke sana-sini dan guci arak di tangan Tio Kok Le yang masih dipegangnya erat-erat itu tumpah hingga arak wangi berhamburan baunya. Sesudah suara berisik jeritan mereka, diikuti jatuhnya senjata-senjata mereka lalu disusul robohnya tubuh mereka, disusul pula oleh teriakan dari para tamu, kini keadaan menjadi sunyi sekali. Sunyi yang menyeramkan dan semua wajah menjadi pucat, semua mata memandang kepada wanita itu dengan terbelalak dan kebanyakan dari para tamu merasa ngeri dan jeri. Menggunakan hio-hio biting sekaligus membunuh enam orang yang tidak lemah, hanya dengan sekali serang, benar-benar membayangkan tenaga dan kepandaian seperti iblis! Dan wanita cantik itu sama sekali tidak pernah berkedip menyaksikan hasil perbuatannya yang mengerikan. Dia hanya mencibirkan bibirnya dan memandang ketika enam orang itu berkelojotan dan mati, kemudian dengan tenangnya dia menyimpan salib yang bertuliskan nama she tiga macam itu, diselipkannya di punggung dengan terbalik sehingga huruf-huruf itu tidak nampak lagi. Tentu saja kawan-kawan dari enam orang yang dibunuh secara mengerikan itu menjadi marah. Mereka meloncat dan mencabut senjata mereka. Ada delapan orang laki-laki yang meloncat dan menerjang wanita cantik itu dengan senjata mereka. "Siluman betina...!" "Bunuh iblis keji ini!" cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Mereka lalu menyerbu dengan senjata pedang, golok dan sebagainya. Tapi dengan bibir masih tetap mencibir dan bersikap tenang saja wanita itu membiarkan mereka menerjang. Ketika mereka sudah datang dekat, tiba-tiba tangan kanannya yang sudah mengeluarkan sehelai sabuk merah itu bergerak, dan nampaklah sinar bergulung-gulung menyambar ke sekeliling tubuhnya. Terdengar delapan kali bunyi ledakan-ledakan seperti pecut, dan delapan orang itu lantas terhuyung ke belakang, senjata mereka terlepas dan mereka pun mengaduh-aduh sambil memegangi lengan tangan yang tersambar sinar merah itu, bahkan ada yang terbanting roboh dan ada pula yang lengannya berdarah, ada yang lepas sambungan tulang sikunya atau pergelangan tangannya! Delapan orang itu mundur semua dan memandang dengan mata terbelalak. Wanita itu kini tersenyum mengejek. Senyuman itu dimaksudkan untuk mengejek, akan tetapi tahi lalat hitam di dagu itu betul-betul membuat dia nampak manis sekali pada saat tersenyum, sungguh pun senyum itu dibuat-buat untuk mengejek. "Untung bahwa kalian bukan orang-orang she Cia, Yap atau Tio, sehingga tidak perlu aku membunuh kalian!" Setelah berkata demikian, dengan langkah ringan dia lalu melangkah ke depan, hendak menghampiri sepasang mempelai. "Omitohud, dari mana datangnya wanita yang begini kejam?" Seruan itu keluar dari mulut Lan Kong Hwesio dan kakek pendeta besar bermuka hitam tokoh Go-bi-pai itu sudah berdiri menghadang di hadapan wanita itu. Lan Kong Hwesio adalah seorang tokoh Go-bi-pai dan sebagai hwesio, juga seorang ahli silat tingkat tinggi, tentu saja dia selalu menentang segala bentuk kejahatan dan kekejaman, apa lagi melihat wanita yang seperti iblis ini agaknya mengancam keselamatan sepasang mempelai. Melihat hwesio tinggi besar itu menghadang dan menggerakkan ujung lengan baju yang menyambar dahsyat ke arah pinggangnya, ujung lengan baju yang dapat digunakan untuk menotok sehingga serangan itu dahsyat dan hebat bukan main, wanita itu mengeluarkan seruan marah dan ujung sabuk merahnya menyambar ke depan. "Pratttt…!" Sabuk merah itu membalik keras, akan tetapi ujung lengan baju Lan Kong Hwesio juga pecah-pecah! Hwesio tinggi besar itu terkejut bukan main. Kiranya wanita yang masih sangat muda ini telah memiliki tingkat tenaga sinkang yang amat hebat, dan ujung sabuk itu merupakan senjata maut. Kalau tadi wanita itu menghendaki, tentu delapan orang itu sudah menjadi mayat semua! Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar yang tentu saja tidak mau mendiamkan fihak yang jahat merajalela, Lan Kong Hwesio sudah kembali menubruk ke depan. Sekali ini dia menggunakan jurus pukulan tangan kosong yang amat lihai dari Go-bi-pai, yang bernama jurus Siang-liong Pai-hud (Sepasang Naga Memuja Buddha). Dua tangannya menyambar dari luar, dari kanan kiri dan menyambarlah angin yang amat dahsyat dari dua jurusan. Gerakan ini membuat dua buah ujung lengan baju yang panjang itu laksana dua ekor ular menotok ke arah leher dan pinggang, atas dan bawah dengan kecepatan yang sukar diduga mana lebih dulu. "Plakk-plakk!” “Aihhhhh...!" Wanita itu berhasil menangkis dua serangan itu dan meloncat ke belakang sambil melengking. "Losuhu adalah seorang tokoh Go-bi-pai yang berjubah pendeta, tapi kenapa begitu kejam sudah mempergunakan jurus Siang-liong Pai-hud untuk membunuh orang?" Ketika tertangkis tadi, Lan Kong Hwesio merasakan betapa kedua lengannya tergetar. Dia kaget bukan main, apa lagi ketika mendengar ucapan itu. Gadis muda ini mengenal ilmu silatnya! Padahal, jurus itu merupakan jurus simpanan dan hanya dikenal oleh para tokoh Go-bi-pai yang sudah tinggi ilmunya. Seorang murid dengan tingkat seperti Kui Hok Boan itu pun tentu belum dapat mengenalnya! Dan melihat betapa wanita itu dapat menangkis dengan tepat, dia tidak akan heran kalau wanita itu bukan hanya mengenal melainkan juga dapat memainkan jurus itu! Akan tetapi, mendengar teguran itu, Lan Kong Hwesio menjadi makin penasaran. "Omitohud...! Gadis muda yang kejam, engkau sendiri tanpa sebab apa pun membunuh enam orang yang tidak berdosa, sekarang engkau berani menegur pinceng yang hendak menentang kejahatanmu?" Sementara itu, para tamu sudah bangkit semuanya dan kini mengurung gadis itu sambil meraba gagang senjata masing-masing. Jumlah tamu ada kurang lebih dua ratus orang dan mereka kelihatan sudah marah semua, baik golongan putih mau pun golongan hitam karena di antara mereka tidak ada yang mengenal wanita muda ini! Mereka itu, kedua golongan yang biasanya saling bertentangan, sekali ini mempunyai niat yang sama, yaitu menentang wanita yang telah mengganggu kesenangan mereka berpesta. "Losuhu, aku bukanlah orang gila yang membunuh orang tanpa sebab. Urusanku dengan semua orang she Cia, Yap dan Tio adalah urusan pribadi, merupakan permusuhan dan dendam turun-menurun yang seluas bumi, sedalam lautan dan setinggi langit. Apakah engkau hendak mencampuri urusan pribadi?" Mendengar kata-kata ini, hwesio itu tercengang. Dia menjadi ragu-ragu hingga berkali-kali mengucapkan kata-kata memuji untuk memohon kekuatan batin dari Sang Buddha yang dipujanya. "Omitohud... omitohud..." Sementara itu, para tamu berbeda pendapat dengan Lan Kong Hwesio. Mereka semua tidak ragu-ragu lagi dan karena itu mereka mulai berteriak-teriak. "Bunuh siluman ini!" "Tangkap iblis betina ini!" "Kurung!" "Serbu...!" Akan tetapi tiba-tiba saja wanita itu mengangkat kedua tangannya dan terdengarlah bunyi ledakan keras bertubi-tubi empat kali dan terdengar suara berisik dari banyak sekali orang di empat penjuru mengurung gedung besar tempat pesta itu. Semua orang terkejut dan menengok keluar dan nampaklah banyak sekali prajurit berpakaian seragam dan bersikap gagah telah mengurung tempat itu dengan rapat seperti tembok benteng yang kokoh kuat! "Hemm, kalian adalah orang-orang yang telah memasuki wilayah yang mulia Sri Baginda Raja Sabutai tanpa ijin, dan kini masih ingin berlagak? Tempat ini telah dikepung oleh tiga ratus orang prajurit-prajurit sri baginda, dan kalian masih berani hendak mengurung aku? Aku adalah utusan sri baginda, hayo kalian semua mundur! Ataukah kalian ingin dibasmi semua sebagai pelanggar-pelanggar wilayah kami?" Semua orang terkejut sekali. Tentu saja mereka telah mendengar akan raja liar yang dulu pernah menggemparkan Tiong-goan dengan serbuan-serbuannya itu. Ternyata wanita ini adalah utusan raja itu untuk membasmi mereka! Para tamu yang berhati kecil menjadi panik, akan tetapi mendadak Si Kwi bangkit berdiri, mengangkat tangan kanannya ke atas kemudian berkata dengan suaranya yang lantang, "Cu-wi, sekalian, silakan duduk kembali dan harap tenang! Cu-wi adalah tamu-tamu kami dan kalau ada sesuatu, kamilah yang harus bertanggung jawab karena kedatangan cu-wi adalah atas undangan kami!" Kui Hok Boan merasa terkejut dan kagum menyaksikan keberanian isterinya. Dia sendiri sudah gemetar saking jerinya menyaksikan kelihaian wanita itu yang mampu menandingi susiok-nya dan yang telah membunuh enam orang secara begitu mudah dan mengerikan. Tentu saja dia tidak pernah menyangka, karena memang isterinya belum pernah bercerita kepadanya, betapa isterinya itu pernah membantu suhu dan subo-nya yang menjadi kaki tangan Raja Sabutai! Karena itu, Si Kwi juga mengenal raja liar itu, dan melihat tiga huruf yang menjadi tiga nama keturunan itu, Si Kwi segera mengerti siapa yang dimaksudkan dengan tiga huruf she itu. Karena itu dia berani bertindak menenangkan semua tamu dan hendak menghadapi sendiri wanita yang mengaku utusan Raja Sabutai. Kini wanita cantik itu telah melangkah maju, berhadapan dengan Si Kwi. Pengantin wanita ini segera menjura dan membungkuk rendah sambil berkata, "Kami tidak tahu akan kunjungan utusan Sri Baginda Sabutai yang terhormat, maka tidak cepat-cepat menyambut. Harap sudi memaafkan kami." Wanita itu tersenyum, dan kini senyumnya sangat ramah, membuat wajahnya nampak makin manis saja. Dia bertepuk tangan tiga kali dan dari luar masuklah seorang prajurit Mongol yang tinggi besar memanggul sebuah peti hitam berukir indah. Atas isyarat wanita utusan Raja Sabutai itu, prajurit ini menurunkan peti di depan kaki sepasang mempelai, lalu mundur lagi dan keluar setelah memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki. Wanita itu berkata lagi, "Liong-kouwnio, kami diutus oleh Sri Baginda Raja Sabutai untuk menyampaikan ucapan selamat beliau dan mengirimkan hadiah bagi sepasang mempelai, harap diterima dengan baik." Dia menuding ke arah peti itu. Wajah di balik tirai pengantin itu berseri saking girangnya. Sungguh tidak pernah disangka oleh Si Kwi bahwa Raja Sabutai masih ingat kepadanya, bahkan masih ingat pula untuk mengirimkan hadiah pernikahan. Hal ini selain menggirangkan hatinya, juga mengejutkan karena menjadi bukti bahwa daerah yang ditempatinya bersama suaminya ini bukanlah daerah bebas, melainkan milik Raja Sabutai dan bahwa raja itu agaknya tahu akan segala gerak-geriknya di Lembah Naga dan Padang Bangkai! "Ahh...!" Dia cepat memberi hormat. "Sungguh mulia sekali sri baginda! Harap sampaikan permohonan ampun dari kami berdua bahwa kami tidak berani mengundang sri baginda. Karena itu, harap saja nona yang menjadi utusan beliau suka duduk sebagai tamu agung kami." Akan tetapi wanita itu menggelengkan kepala dan mengibaskan tangannya. "Tugas saya hanya menyampaikan selamat dan hadiah ini. Selain itu, juga kami diutus menyampaikan pesan sri baginda kepada Liong-kouwnio dan Kui-sicu. Sepasang mempelai itu saling pandang dengan hati berdebar tegang akan tetapi mereka telah mendengarkan lagi suara wanita itu. "Tadinya, sri baginda sudah akan turun tangan melihat Padang Bangkai ditempati orang tanpa perkenan dari beliau. Kalau Liong-kouwnio memang dianggap orang sendiri dan boleh saja mendiami istana yang kosong itu. Akan tetapi kemudian Kui-sicu muncul dan setelah melihat usaha Kui-sicu memajukan Padang Bangkai, maka sri baginda memberi ampun, apa lagi sesudah beliau mendengar bahwa Kui-sicu hendak menikah dengan Liong-kouwnio, maka beliau malah memberikan ucapan selamat dan hadiah, dengan pesan agar ji-wi dapat hidup bahagia di sini dan selalu ingat bahwa daerah ini masih termasuk daerah kekuasaan sri baginda, jadi sewaktu-waktu apa bila diperlukan agar ji-wi suka menyerahkan dengan baik-baik kepada sri baginda." Si Kwi lalu memegang tangan suaminya dan cepat menariknya sehingga mereka berdua berlutut. "Harap sampaikan ucapan terima kasih kami kepada sri baginda dan tentu kami akan selalu mentaati perintah beliau." Wanita itu menggangguk dan menjura ketika sepasang mempelai itu bangkit berdiri lagi. "Nah, tugasku sudah selesai, saya mohon diri, Kui-sicu dan Liong-kouwnio." Tanpa menanti jawaban dia segera membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan sepasang mempelai itu menuju keluar. Ketika tiba di tengah-tengah ruangan, dia berhenti, memandang sekeliling di antara tamu-tamu sambil berkata, suaranya nyaring seperti tadi, penuh tantangan dan ancaman. "Jika cu-wi sebagai orang-orang kang-ouw di selatan masih merasa penasaran, dengarlah bahwa aku adalah Kim Hong Liu-nio. Katakan kepada semua orang she Cia, Yap dan Tio bahwa mereka harus menjaga kepala mereka baik-baik, karena akan tiba saatnya Kim Hong Liu-nio akan datang mengambil kepala mereka sampai di dunia ini tidak tersisa lagi keturunan she Cia, Yap, dan Tio!" Setelah berkata demikian, wanita cantik yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio itu melangkah pergi, diikuti oleh pandang mata semua tamu sampai akhirnya dia lenyap di tengah-tengah pasukan Mongol yang berbaris pergi. Kini sibuklah Kui Hok Boan menyuruh anak buahnya untuk menyingkirkan mayat-mayat itu, membersihkan tempat pesta kemudian melanjutkan pesta. Akan tetapi, suasana pesta sudah berubah dan para tamu tidak bisa bergembira lagi. Mereka semua menjadi tegang karena secara tak terduga-duga, di utara muncul seorang wanita yang demikian lihainya, seorang wanita yang tidak saja mempunyai tingkat kepandaian yang tinggi, akan tetapi bahkan juga menjadi utusan dari Raja Sabutai sehingga tentu saja kedudukan wanita itu amat kuat. Wanita itu telah memperlihatkan kepandaian di depan hidung mereka tanpa mereka dapat menentangnya, karena wanita itu dilindungi oleh ratusan orang prajurit Mongol. Peristiwa ini merupakan pukulan bagi orang-orang kang-ouw ini, baik golongan putih mau pun hitam sehingga suasana pesta tidak lagi gembira. Bahkan sebelum pesta selesai, sudah banyak yang berpamit kepada sepasang mempelai dan sebelum lewat hari itu, semua tamu telah meninggalkan Padang Bangkai! Malam itu, setelah sepasang mempelai itu berada berdua saja di kamar, barulah Si Kwi memperoleh kesempatan untuk bercerita kepada suaminya yang merasa terheran-heran. Dia lalu bercerita bahwa suhu dan subo-nya, yaitu mendiang Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw pernah membantu Raja Sabutai, bahkan membantu kakek dan nenek iblis yang menjadi guru dari Raja Sabutai, yaitu mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang tinggal di Istana Lembah Naga. Dan pada waktu itu dia sendiri pun ikut dengan subo-nya tinggal di Lembah Naga sampai tempat itu diserbu oleh pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pendekar sakti. Kui Hok Boan sudah mendengar sedikit-sedikit tentang penyerbuan itu dari para anggota pasukan kerajaan pada saat dia menyelidiki tentang keadaan Lembah Naga dan Padang Bangkai, akan tetapi dia tidak tahu akan keadaan yang sesungguhnya, maka dia merasa tertarik sekali. "Kiranya Raja Sabutai diam-diam masih memperhatikan tempat kita ini dan menganggap tempat ini sebagai daerahnya," katanya. "Tentu saja," isterinya menjawab. "Memang tempat ini bukan termasuk daerah kekuasaan kerajaan di selatan, akan tetapi aku juga tak mengira bahwa beliau masih menaruh minat akan tempat-tempat kita ini." "Isteriku, tahukah engkau tentang orang-orang she Cia, Yap dan Tio itu?" Si Kwi mengangguk dan menarik napas panjang. "Yang dimaksudkan adalah tiga orang pendekar yang mempunyai kesaktian hebat. Tak kusangka bahwa Raja Sabutai menaruh dendam pribadi yang demikian mendalam terhadap mereka. Ataukah, barang kali bukan Raja Sabutai yang menyuruh Kim Hong Liu-nio itu memusuhi tiga pendekar itu?" "Tiga pendekar? Siapakah mereka dan mengapa dimusuhi demikian hebat?" "Pendekar she Cia itu ialah Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai, pendekar sakti Cia Keng Hong..." "Ahhh...!" Kui Hok Boan terkejut bukan kepalang sehingga dia tidak melihat betapa terjadi perubahan pada wajah isterinya ketika menyebutkan nama Cia Bun Houw tadi. "Kenapa kau terkejut?" Si Kwi bertanya, memandang wajah suaminya. "Apakah kau kenal kau dengan nama itu?" "Kenal? Tentu saja orang seperti aku ini tidak mungkin dapat kenal secara pribadi dengan mereka, akan tetapi aku sudah mendengar nama Cia-taihiap tua dan muda itu. Ayah dan anak itu merupakan pendekar-pendekar sakti yang namanya menduduki deretan paling tinggi di dunia kang-ouw." Si Kwi menggangguk kemudian menunduk. Memang terlampau tinggi kedudukan Cia Bun Houw, terlampau tinggi sehingga tentu saja tidak mau memandang kepadanya. Biarlah, dia yang duduk di tingkat rendah sekarang bertemu dengan suaminya yang juga mengaku sebagai seorang yang bertingkat rendah. Teringat akan ini, hatinya menjadi gembira dan dia memegang tangan suaminya. Gerakan ini disambut senyum oleh Hok Boan yang lalu merangkul. Mereka berangkulan dan berciuman. "Eh, nanti dulu, isteriku yang manis. Kau lupa untuk menceritakan dua she yang lainnya. She Yap dan Tio? Siapa mereka itu?" "Yang she Yap itu adalah nona Yap In Hong, seorang pendekar wanita yang luar biasa lihainya, dan dia itu adalah adik kandung dari pendekar sakti Yap Kun Liong..." "Wah, aku belum pernah mendengar nama Yap In Hong ini, akan tetapi nama Yap Kun Liong, sama tingginya dengan nama ketua Cin-ling-pai! Hebat sekali, kenapa orang berani memusuhi dua orang pendekar Cia dan Yap itu? Dan yang she Tio?" "Yang dimaksudkan adalah Tio Sun, juga seorang pendekar muda, putera dari seorang bekas panglima pengawal kota raja yang bernama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan." "Wah-wah-wah...! Kakek bertenaga raksasa itu pun amat terkenal! Heran sekali, mengapa mereka dimusuhi orang?" "Merekalah yang dahulu selalu menentang orang-orang kang-ouw yang membantu Raja Sabutai, dan mereka pula yang mengobrak-abrik Istana Lembah Naga." "Kalau begitu, mereka juga termasuk musuh-musuh mendiang gurumu?" Si Kwi mengangguk. "Jadi termasuk musuh-musuhmu juga?" Si Kwi menghela napas panjang. "Sudah semenjak dahulu aku tidak setuju dengan sepak terjang subo yang membantu Raja Sabutai. Aku... aku tidak memusuhi mereka... karena aku tahu bahwa para pendekar itu adalah patriot-patriot sejati, orang-orang gagah yang berada di fihak yang benar." "Ahh, syukurlah, isteriku! Apa bila engkau juga memusuhi mereka, sungguh... berbahaya sekali. Akan tetapi, membantu mereka pun berbahaya! Wanita itu tadi sungguh amat lihai dan mengerikan. Engkau yang pernah mengenal para pembantu Raja Sabutai, mengapa tidak mengenal dia?" "Entah, beberapa tahun yang lalu dia tidak ada, mungkin belum menjadi kaki tangan Raja Sabutai. Mungkin dia seorang pembantu baru. Bahkan nama Kim Hong Liu-nio pun baru sekarang aku mendengarnya." Suami isteri pengantin baru ini lalu membicarakan soal mereka dan biar pun siang tadi terjadi hal yang amat menegangkan, namun penumpahan rasa cinta mereka pada malam pertama sebagai pengantin baru itu membuat mereka melupakan segala hal yang buruk dan mengkhawatirkan. Mereka saling mencinta, dan ini sudah cukup bagi mereka, cukup kuat untuk bersama-sama menghadapi segala bahaya, senasib sependeritaan, sehidup semati. Mulai malam itu, kedua orang itu menemukan kebahagiaan. Bahkan Kui Hok Boan yang benar-benar mencinta Si Kwi, merasa menyesal bila dia teringat akan segala petualangan dan perbuatannya di masa lalu, dan berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjadi suami yang mencinta dan baik dari isterinya. Manusia selalu berubah. Tidak ada kedukaan yang abadi seperti juga tiada kesenangan yang kekal. Juga manusia tidak selalu baik atau selalu jahat, dalam diri manusia terdapat unsur kebaikan dan unsur kejahatan ini. Sekali waktu kejahatannya menonjol, tetapi ada kalanya kebaikannya nampak. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya pikiran kita sendirilah yang menentukan, yang menguasai seluruh kehidupan sehingga kita diombang-ambingkan antara susah dan senang, baik dan jahat, indah dan buruk, yang timbul dari pikiran yang menilai-nilai dan membanding-bandingkan, semua merupakan permainan dari pikiran kita sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menolak kesusahan. Oleh karena perbandingan dan penilaian ini, maka terciptalah sifat-sifat kebalikan, susah senang, baik jahat, dan sebagainya. Dan sifat-sifat kebalikan ini pula yang menimbulkan adanya kebalikan tunggal, kebalikan abadi yang lalu menguasai serta menyengsarakan kehidupan, yaitu kebalikan antara cinta dan benci. Yang menyenangkan atau dianggap menyenangkan kita cinta, sebaliknya yang kita anggap menyusahkan kita benci. Karena itu terjadilah pertentangan, permusuhan kelompok, bangsa, dan perang! Apakah kita bisa terbebas dari cengkeraman pikiran yang menilai dan membandingkan? Mungkin bisa jika kita bebas dari keinginan untuk mengejar kesenangan. Segala macam KEINGINAN, dalam bentuk apa pun juga, adalah hal yang MENYESATKAN. Ingin baik, ingin bebas, ingin suka, ingin damai dan sebagainya, pada hakekatnya adalah INGIN SENANG! Betapa pun tinggi dan mulianya nampaknya yang diinginkan itu, tetap saja itu merupakan keinginan untuk mencapai kesenangan, baik itu kesenangan batin mau pun kesenangan lahir. Dan setiap pengejaran kesenangan, baik dalam bentuk apa pun juga, pasti akan mendatangkan konflik dan ada yang menghalangi, ada yang merintangi, maka timbullah kekerasan dan pertentangan, timbullah rasa benci dan permusuhan. Betapa banyaknya hal ini terjadi di sekeliling kita! Betapa memang demikianlah hidup ini. Contohnya, seorang pendeta bertapa hendak mencari kedamaian. Ini merupakan suatu keinginan, ingin mencapai kedamaian. INGIN SENANG! Karena kalau dalam keadaan damai, dianggapnya akan senang. Karena itu, setiap ada gangguan dalam pertapaannya, dia akan menentang si pengganggu ini maka terjadilah permusuhan. Dengan sendirinya kedamaian yang dicari-cari itu pun hancur lebur! Betapa banyaknya hal ini dilihat dalam kehidupan kita sekarang ini! Bangsa-bangsa berteriak-teriak mencari perdamaian, INGIN DAMAI, yang berarti ingin senang pula! Bukan enggan perang, melainkan ingin damai, ingin senang. Maka, dalam mengejar perdamaian ini, apa bila perlu dengan jalan perang! Dan kalau sudah perang, mana ada perdamaian lagi? Padahal, perdamaian tidak perlu dikejar, tidak perlu dicari. Hentikan perang, jangan berperang, maka tanpa dicari sudah ada kedamaian itu! Demikian pula dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita terlalu banyak MENGINGINKAN hal-hal yang tidak ada. Kita tidak mau membuka mata akan kehidupan kita sehari-hari, tidak mau memandang keadaan kita setiap saat, lahir batin. Kita INGIN sabar, padahal kita pemarah. Sama seperti ingin damai tetapi dalam keadaan perang tadi. Apa bila kita mengenal diri sendiri, melihat kemarahan sendiri, penglihatan ini akan menyadarkan dan menghentikan marah itu. Kalau sudah tidak ada marah perlukah belajar sabar lagi? Kita manusia sebagai perorangan, sebagai kelompok, atau sebagai bangsa, agaknya lupa bahwa segala sumber peristiwa berada di dalam diri kita sendiri. Kuncinya berada dalam diri kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari ke luar. Kita tidak pernah mau mempelajari diri sendiri dalam hubungannya dengan kehidupan. Kehidupan adalah kita, kitalah pokoknya, kitalah, ujung pangkalnya, kitalah dasarnya, kitalah sebab akibatnya. Kita lebih suka mempelajari orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain dan mencari kesenangan untuk diri sendiri belaka selama hidup. Maka tidaklah aneh kalau selama hidup kita diombang-ambingkan oleh gelombang kehidupan penuh suka-duka, jauh lebih banyak dukanya dari pada sukanya. Maukah kita menyadari semuanya ini dan mulai meneliti diri sendiri. Bercermin sepanjang hari setiap saat? Bercermin lahir batin? Kapan dimulai? SEKARANG JUGA! HAYO...! Sang waktu berlalu terus tanpa mempedulikan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Matahari timbul tenggelam setiap hari tanpa mempedulikan segala yang terjadi, bebas tanpa ikatan, melalui jalan kehidupan dengan wajar. Itulah ABADI! Apa pun yang terjadi atas dirinya, ada mau pun tiada, begini mau pun begitu, tidak mempengaruhinya. Tidak ada kemarin, tidak ada esok, yang ada hanya SEKARANG. Dan sekaranglah abadi!....
JILID 06
TANPA terasa karena tidak diingat-ingat, sepuluh tahun telah lewat sejak hari pernikahan antara Liong Si Kwi dan Kui Hok Boan di Padang Bangkai itu. Sepuluh tahun telah lewat semenjak terjadinya peristiwa menggegerkan di dalam pesta pernikahan itu. Dan selama sepuluh tahun itu, Liong Si Kwi dengan Kui Hok Boan hidup sebagai suami isteri yang saling mencinta. Hidup rukun dan damai, menikmati kebahagiaan hidup suami isteri yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan. Dan selama sepuluh tahun itu, terjadi perubahan hebat di tempat itu. Tempat yang dulu bernama Padang Bangkai dan merupakan tempat yang berbahaya serta menyeramkan, kini sudah menjadi sebuah perkampungan besar. Sudah banyak dibuka toko dan pasar di tempat itu. Kui Hok Boan sendiri bersama isteri dan keluarganya sudah pindah ke Istana Lembah Naga, dan kini Padang Bangkai hanya tinggal dongengnya saja. Sekarang telah menjadi dusun-dusun yang makmur karena tanah di daerah itu memang subur. Sekarang Kui Hok Boan dan isterinya telah mempunyai dua orang puteri. Dua orang anak perempuan kembar yang kini sudah berusia sembilan tahun. Dua orang anak kembar itu diberi nama Lan dan Lin. Sulit sekali bagi orang lain untuk membedakan antara Kui Lan dan Kui Lin. Wajah mereka sama benar. Bahkan ayah bunda mereka sendiri kadang-kadang suka keliru memanggil dan hanya sesudah melihat leher sebelah kiri dari seorang di antara mereka saja maka ayah bunda ini tahu mana yang Kui Lan dan mana yang Kui Lin. Di leher kiri Kui Lan terdapat sebuah titik berwarna merah, tanda semenjak lahir. Selain tanda itu, tidak ada lagi tanda lahiriah yang dapat membedakan antara dua orang anak kembar itu. Segala-galanya sama dari ujung kaki sampai ke ujung rambut! Akan tetapi kalau dua orang anak itu berbicara atau bergerak, terdapat perbedaan antara mereka. Sejak kecil, Kui Lan atau yang biasa dipanggil Lan Lan selalu cerewet dan nakal, sedangkan Lin Lin lebih pendiam. Lan Lan agak bandel dan pemberani, sebaliknya Lin Lin agak penakut dan cengeng. Akan tetapi kalau keduanya duduk diam dan Lan Lan tidak memperilhatkan tanda titik merah pada leher kirinya, biar ayah bundanya sendiri pun tidak akan dapat mengenal dan membedakan mereka. Selain Lan Lan dan Lin Lin, di dalam Istana Lembah Naga yang menjadi tempat tinggal sasterawan Kui Hok Boan dan isterinya itu, terdapat pula dua orang anak laki-laki yang sebaya, berusia kurang lebih dua belas tahun. Mereka ini adalah keponakan-keponakan dari Kui Hok Boan, yang oleh sasterawan itu diambil dari selatan untuk menjadi teman dua orang anak kembarnya. Yang seorang bersikap gagah dan berwajah tampan dan angkuh, bernama Kwan Siong Bu. Anak ini memang tampan dan biar pun usianya baru dua belas tahun, namun dalam segala hal dia meniru pamannya sehingga seperti juga pamannya, dia selalu berpakaian bersih dan rapi, rambutnya disisir rapi pula, muka, leher dan tangannya tak pernah kotor. Wajahnya tampan, membayangkan keangkuhan, keangkuhan yang timbul dari kesadaran bahwa dia adalah keponakan penghuni Istana Lembah Naga yang sangat disegani, kaya raya dan ilmu silatnya pun lihai. Sikapnya halus meniru pamannya, sikap seorang kongcu hartawan Sedangkan anak ke dua sungguh jauh bedanya dengan Kwan Siong Bu. Anak ini juga keponakan dari Kui Hok Boan, akan tetapi meski pun wajahnya juga tidak buruk, bahkan boleh dibilang tampan, tapi wajahnya bulat dengan sepasang pipi yang gendut. Matanya lebar penuh kejujuran, mulutnya selalu menyeringai lucu, tersenyum bukan untuk melucu, akan tetapi memang wajahnya memiliki garis-garis yang lucu. Tubuhnya juga kegemuk-gemukan sehingga cocok benar dengan wajahnya yang bulat dan bundar itu. Anak ini bernama Tee Beng Sin, seorang anak yang tidak bisa membohong dan terlampau jujur sehingga menyenangkan hati siapa pun juga yang berhadapan dengan dia. Sejak berusia lima tahun, Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin dibawa oleh paman mereka ke Istana Lembah Naga, menjadi teman bermain Lan Lan dan Lin Lin. Karena suaminya sangat mencintai dua orang keponakan itu, dan karena dia sendiri pun tidak mempunyai anak laki-laki dari suaminya, maka Si Kwi juga menyayangi mereka. Tentu saja Si Kwi sama sekali tidak pernah menduga bahwa kedua anak laki-laki itu sebetulnya sama sekali bukan keponakan dari Kui Hok Boan, melainkan anak-anak kandungnya sendiri! Seperti diketahui, pada waktu mudanya Kui Hok Boan adalah seorang petualang asmara, seorang yang gila perempuan dan entah sudah berapa ratus orang wanita yang dirayunya dan dijatuhkannya, menjadi kekasihnya. Baik wanita itu sudah bersuami, janda mau pun perawan, jarang ada yang sanggup bertahan terhadap rayuan petualang asmara ini. Dan tanpa dapat dihindarkan lagi, di antara wanita-wanita yang sudah dijatuhkannya itu, ada pula yang mengandung dan melahirkan anak keturunannya! Kwan Siok Bu adalah anak keturunannya sendiri dari seorang janda bernama Kwan Sian Li, dan Tee Beng Sin adalah anak keturunannya dari seorang gadis yatim piatu bernama Tee Cui Hwa yang sekarang telah menjadi seorang nikouw. Tentu saja Kui Hok Boan tak berani mengakui mereka sebagai putera-puteranya sendiri, maka dia memakai she dari ibu anak masing-masing ketika dia mengajak Siong Bu dan Beng Sin ke Lembah Naga. Dan bagaimanakah dengan keadaan Sin Liong? Anak dari Si Kwi yang semenjak lahirnya dipelihara oleh monyet betina? Kini Sin Liong sudah besar pula, sudah berusia kurang lebih dua belas tahun. Tubuhnya tegap dan kuat karena semenjak kecil anak ini sering kali bergaul dengan monyet-monyet, berloncatan dari pohon ke pohon. Ketika anak itu sudah berusia lima tahun, Kui Hok Boan mendesak kepada isterinya agar Sin Liong tidak lagi diperkenankan untuk hidup liar di hutan-hutan bersama para monyet. "Anak itu bukan monyet, melainkan manusia," kata sasterawan ini. "Dan dia adalah anak angkat kita, maka sudah sepatutnya kita didik menjadi calon manusia yang baik. Paling tidak, dia harus diajar baca tulis agar kelak menjadi manusia yang berguna." Si Kwi yang masih merasa yakin bahwa anak itu adalah anak kandungnya, melihat betapa wajah anak itu mirip dengan pendekar sakti Cia Bun Houw, tidak membantah. Memang dia setuju dengan pendapat suaminya. Akan tetapi, melihat betapa suaminya amat mencintanya, amat baik terhadap dirinya dan dia menemukan kebahagiaan di samping suaminya dan dua orang anak kembarnya, Si Kwi sama sekali tidak berani menceritakan kepada suaminya bahwa Sin Liong adalah puteranya sendiri! Maka, sungguh pun dalam hatinya dia kadang-kadang merasa kasihan, rindu dan prihatin melihat putera kandungnya ini, namun pada lahirnya dia tidak pernah memperlihatkan sesuatu yang melebihi sikap seorang ibu angkat! Sin Liong amat taat kepada ibu angkatnya. Maka ketika Si Kwi melarang dia berkeliaran di hutan lagi, dia menurut biar pun merasa berduka. Hanya kalau semua orang sudah tidur saja, anak berusia lima enam tahun itu masih suka keluar dari kamarnya untuk menemani para monyet itu bergembira di bawah sinar bulan. Dan dia pun tidak pernah menolak apa bila Kui Hok Boan memberi dia pekerjaan, yaitu membersihkan rumah, menyapu halaman, dan menggembalakan sapi dan kuda. Bahkan dia sayang sekali kepada kuda dan sapi yang dipelihara oleh ayah angkatnya sehingga pekerjaannya amat memuaskan. Akan tetapi, karena sudah menjadi kebiasaan, Sin Liong tak pernah dapat menjaga bersih pakaiannya sehingga pakaiannya selalu kotor. Akhirnya, untuk menanamkan kebersihan dan kerapian kepada anak itu, Kui Hok Boan menyuruh isterinya mengajarkan anak itu menjahit serta menambal sendiri pakaiannya yang mudah robek karena dia tidak pernah menjaganya. Demikianlah, pada waktu berusia dua belas tahun, Sin Liong bekerja di istana itu sebagai seorang jongos atau pelayan, berpakaian cukup bersih namun ada tambal-tambalannya, dan mempelajari, membaca dan menulis huruf di bawah pimpinan Kui Hok Boan sendiri, bersama-sama dengan Lan Lan, Lin Lin, Siong Bu dan Beng Sin. Walau pun pada waktu sama-sama mempelajari ilmu bun (sastera) ini dia duduk di sudut terpisah, namun ternyata bahwa Sin Liong amat cerdas dan dapat lebih cepat menghafal dibandingkan dengan empat orang anak yang lain itu. Juga dia sudah mempunyai bakat menulis baik, coretan-coretan tangannya ketika menulis huruf amat kuat dan mengandung keindahan serta gaya tersendiri yang mengagumkan. Dia pandai pula menggambar dan suka membaca kitab-kitab kuno. Anak ini berwatak sederhana, pendiam dan lebih suka menyendiri. Wajahnya tampan dan matanya mempunyai sinar yang tajam. Dia lebih banyak mendengarkan dari pada bicara, dan memiliki kekerasan hati yang amat luar biasa. Anak ini tidak pernah menangis! Atau setidaknya, tak pernah kelihatan menangis oleh orang lain. Agaknya anak ini mempunyai pantangan menangis di depan orang lain! Kecuali pakaian dan pelajaran ilmu silat, di dalam segala hal Kui Hok Boan tidak pernah membedakan sikapnya terhadap Sin Liong mau pun terhadap dua orang keponakannya itu. Dia selalu bersikap baik dan manis terhadap anak angkatnya ini. Hal ini kadang-kadang membuat Si Kwi merasa tidak puas. Dia mengerti bahwa dalam hal pakaian, memang Sin Liong yang sembarangan itu patut memelihara pakaiannya sendiri, dan memang tidak mengapalah memakai pakaian sederhana karena seingatnya, ayah kandung anak ini, pendekar sakti Cia Bun Houw juga seorang pria berjiwa sederhana. Akan tetapi dia tidak setuju kalau Sin Liong tidak diberi latihan ilmu silat. Anak pendekar sakti Cia Bun Houw namun tidak belajar ilmu silat! Akan tetapi suaminya membantah, "Isteriku, kita harus mencegah Sin Liong nanti menjadi seorang manusia yang mudah menyeleweng ke dalam kejahatan. Ingatlah, anak itu sejak kecil dipelihara monyet dan sampai sekarang pun dia masih memiliki watak aneh, penuh rahasia dan pendiam sekali, kadang-kadang seperti masih mengandung watak atau sifat liar. Bayangkan saja, anak sebesar itu sejak kecil belum pernah menangis! Aku khawatir sekali, apa bila dia diberi pelajaran ilmu silat dan sudah menguasai ilmu itu, kelak akan muncul sifat liarnya dan dia tentu sukar untuk dikendalikan lagi. Lebih baik kita jejali dia dengan pelajaran bun dan kebudayaan, karena pelajaran ini tentu akan dapat menahan keliarannya. Dan aku melihat dia sangat tekun dan berbakat mempelajari sastera. Kalau kelak dia sudah pandai kemudian menempuh ujian di kota raja sampai berhasil, alangkah baiknya." Seperti biasa, Si Kwi tidak berani membantah lagi. Dia amat tunduk kepada suaminya yang telah mengembalikan kebahagiaan dalam kehidupannya itu. Dia tidak pernah dapat melupakan kebaikan suaminya, tidak ada habisnya dia berterima kasih kepada suaminya yang telah menuntunnya kembali ke dalam kehidupan yang bahagia, setelah dia hampir kehilangan harapan untuk memperoleh kebahagiaan di dalam istana kuno yang sunyi itu. Apa lagi, dia tahu bahwa suaminya amat baik hati dan menyayangi Sin Liong. Dan memang sesungguhnyalah. Sama sekali tidak ada rasa benci dalam hati Kui Hok Boan terhadap anak itu. Dia menganggap anak itu sebagai anak angkat isterinya, dan dia pun merasa kasihan kepada anak yang aneh sekali riwayatnya ini, anak yang tak pernah mengenal siapa ayah bundanya, anak yang ditemukan isterinya dalam rawatan monyet-monyet. Dia malah pernah mencoba untuk menyelidiki asal usul anak ini dengan bertanya-tanya kepada para penduduk dusun, akan tetapi tidak pernah dapat menemukan jejak orang tua anak itu. Sebab itu dia juga tidak keberatan memberikan she Kui kepada anak yang tidak mempunyai nama keturunan itu. Hanya dia menekankan supaya diketahui oleh Sin Liong bahwa she Kui hanyalah she pinjaman saja. "Sin Liong, engkau tahu bahwa meski pun engkau memakai nama Kui Sin Liong, namun she-mu itu bukanlah she-mu yang sesungguhnya. Oleh karena itu, belajarlah yang tekun supaya kelak engkau dapat memperoleh kedudukan yang tinggi dan engkau mendapat kesempatan untuk menyelidiki siapa orang tuamu yang sesungguhnya, atau kalau engkau memperoleh kedudukan, maka engkau tentu akan dihadiahi she oleh kaisar." Memang pada masa itu terdapat kebiasaan aneh bahwa orang yang sudah berjasa dan membuat pahala, dihadiahi she yang terhormat oleh kaisar! Semenjak kecil sudah tertanam dalam hati Sin Liong bahwa dia bukanlah anak dari ayah dan ibu angkatnya. Dia tahu diri dan tidak banyak minta. Hanya satu hal yang membuat hati Sin Liong kadang-kadang merasa tidak senang, yaitu bahwa dia tidak pernah diajar ilmu silat! Hanya satu kali saja dia pernah mengajukan permintaan dan pertanyaan ini kepada Hok Boan. "Gihu (ayah angkat), mengapa saya tidak diberikan pelajaran ilmu silat seperti yang gihu ajarkan kepada kedua siocia dan kedua kongcu?" Sin Liong menyebut siocia (nona) kepada Lan Lan dan Lin Lin, sedangkan kepada dua orang keponakan dari Kui Hok Boan itu dia menyebut kongcu (tuan muda). Hal ini adalah atas perintah dari Hok Boan dan ditaati oleh Sin Liong, juga tidak dibantah oleh Si Kwi. Bagaimana pun juga, Hok Boan menganggap bahwa Sin Liong bukan darah dagingnya, juga bukan keluarga dari isterinya. Sin Liong adalah seorang anak berdarah lain, karena itu sudah semestinya menyebut nona dan tuan muda kepada anak-anak kandungnya! "Sin Liong, ilmu silat tidaklah tepat untuk kau pelajari. Bakatmu lebih baik dalam ilmu bun saja, oleh karena itu maka kau tekunlah menghafal kitab dan memperdalam pelajaranmu dalam kesusasteraan agar supaya kelak engkau dapat menjadi seorang sasterawan yang berkedudukan tinggi." Sekali saja bertanya dan meminta, sekali ditolak, Sin Liong tidak mau meminta lagi. Akan tetapi, kadang kala dia termenung dan ingin sekali mempelajari ilmu silat, bahkan secara diam-diam dia selalu memperhatikan bila mana empat orang anak itu berlatih ilmu silat di bawah pimpinan Kui Hok Boan. Dan kadang-kadang juga dipimpin sendiri oleh Liong Si Kwi. Kini wanita ini tidak lagi prihatin melihat anak kandungnya, Sin Liong, tidak diperbolehkan belajar ilmu silat, karena dia menganggap suaminya benar. Lebih baik melihat Sin Liong kelak menjadi seorang sasterawan yang lemah lembut dan berhasil menjadi seorang yang berpangkat dari pada anak itu terancam bahaya tersesat karena memiliki sifat keras dan liar setelah mempelajari ilmu silat. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Sin Liong sudah menyapu pekarangan belakang. Tidak banyak kotoran di pekarangan ini karena musim rontok telah tiba, pohon-pohon banyak yang gundul tak berdaun. Maka sebentar saja dia telah selesai menyapu. Pada pagi hari itu, Kui Hok Boan melatih ilmu silat di pekarangan belakang ini kepada empat orang anaknya. "Kalian kurang giat berlatih," terdengar dia mengomel. "Masa sudah hampir satu bulan berlatih, jurus itu belum juga kalian kuasai dengan baik." "Ayah, jurus Heng-pai-hud (Memuja Sang Buddha dengan Tangan Miring) itu memang sukar sekali, terutama perubahan dari tangan memukul kemudian menangkis dalam satu gerakan sukar sekali, ayah," kata seorang di antara dua anak kembar itu. Baik ayah mereka sendiri mau pun Siong Bu dan Beng Sin, tidak mungkin dapat yakin siapa yang berbicara itu. Lan Lan ataukah Lin Lin. Akan tetapi Sin Liong yang berdiri di belakang dua orang anak kembar itu sambil memegang gagang sapunya, diam-diam bisa mengenal dan tahu bahwa yang bicara adalah Lan Lan. Bagi anak ini, dia bukan hanya mengenal dan dapat membedakan antara dua orang anak kembar itu dari tahi lalat merah di leher atau sifat mereka, akan tetapi dari gerak-gerik mereka dia dapat membedakan mereka. Kepekaan atau naluri ini didapatnya dari monyet-monyet itu. Tadi dia melihat betapa kepala anak perempuan yang bicara itu agak bergoyang, maka tahulah dia bahwa yang bicara adalah Lan Lan. Biar pun tidak diketahui orang lain, namun kewaspadaan Sin Liong yang diperoleh ketika dia hidup di antara monyet-monyet, dapat membuat dia mengenal kebiasaan dari gerakan yang sekecil-kecilnya. Lan Lan biasa menggoyang-goyangkan kepala tanpa disadarinya, mungkin dari perasaan yang menggerakkan syarafnya kalau bicara, sedangkan kebiasaan Lin Lin kalau berbicara adalah agak menundukkan muka. "Memang benar, paman. Agak sukarlah gerakan jurus itu, harap paman suka mengulang lagi dan memberi contoh," kata Siong Bu. "Saya sudah melatih diri setiap hari, akan tetapi belum juga dapat bergerak dengan baik!" Beng Sin juga berkata, matanya terbelalak dan sikapnya lucu. Kui Hok Boan menarik napas panjang. "Ilmu silat bukan hanya membutuhkan ketekunan, akan tetapi juga membutuhkan bakat. Bagi yang berbakat, setiap gerakan akan terasa sampai di tulang sumsum, gerakan seperti menjadi berirama dan otomatis saja sehingga setiap jurus yang baru bisa dikuasai dengan mudah, seperti pada gerakan menari. Kalian jangan hanya menguasainya secara lahiriah saja, melainkan harus dapat menjiwai ilmu itu! Ah, memang tidak mudah! Ilmu kesusasteraan hanya pekerjaan otak, akan tetapi ilmu silat adalah pekerjaan seluruh tubuh, lahir batin, harus ada keserasian antara otak, otot, tulang dan syaraf. Nah, kalian lihat baik-baik, aku akan memberi contoh lagi bagaimana harus bergerak dalam jurus Heng-pai-hud." Kui Hok Boan segera bersilat, memainkan jurus itu. Jurus ini adalah jurus serangan yang sekaligus juga merupakan jurus pertahanan. Jadi, dengan menggunakan jurus ini dapat saja orang menyerang atau menangkis serangan lawan. Kedua tangan itu berganti gerakan, dari memukul ditarik ke depan dada dengan tangan miring untuk menghalau serangan lawan, dan dari menangkis ditarik ke pinggang lantas memukul lagi. Memang harus ada keseimbangan antara memukul dan menangkis dengan tangan miring di depan dada ini agar dapat menjadi otomatis dan tidak kaku. Jurus ini amat llhai, dalam keadaan diserang dapat membalas serangan dengan cepat, dan dalam keadaan menyerang selalu terjaga dan tidak terbuka. "Nah, sekarang coba kau lakukan jurus itu lebih dahulu, Beng Sin!" berkata Kui Hok Boan kepada si gendut itu. Siong Bu menonton penuh perhatian dan dia duduk setengah berlutut di atas batu sambil menunjang dagunya, ada pun dua orang anak perempuan kembar berdiri berdampingan sambil memperhatikan dengan kedua mata terbuka lebar. Sin Liong masih berdiri di belakang mereka, memegang gagang sapunya dan menonton pula dengan hati tertarik. Dia tadi memperhatikan gerakan ayah angkatnya dan mencatat di dalam ingatannya semua gerakan itu hingga yang sekecil-kecilnya. Apa sih sukarnya bergerak seperti itu, pikirnya. Di dalam benaknya dia menirukan gerakan itu dan merasa sudah dapat meniru dengan sempurna! Beng Sin mulai memainkan jurus itu. Dengan penuh kesungguhan dia mencoba untuk menirukan gerakan pamannya. Anak ini mempunyai gerakan yang mantap dan tenaganya besar, akan tetapi gerakannya terlalu lamban. "Keluarkan bentakan dan atur napas!" kata Kui Hok Boan. "Heiiiittt! Ahh...! Heiiittt! Ahh...!" Anak gendut itu memukul dan menangkis sambil mengatur langkahnya, beberapa langkah maju ke depan sesudah memukul dan menangkis, membalik dengan merubah kuda-kuda dan sekaligus memukul lantas cepat menangkis, mulutnya terus mengeluarkan bentakan-bentakan. Terlalu lamban, pikir Sin Liong dan ketika memukul, Beng Sin kurang memutar lengannya. Seharusnya lengan itu cepat diputar, dengan kepalan menelungkup ketika tiba di ujung pukulan sehingga pada waktu disambung gerakan menangkis, dapat dilakukan tangkisan dengan tangan miring di depan dada secara tepat. Kelihatan jelas olehnya kelemahan-kelemahan anak gendut itu. Tetapi tentu saja dia tidak berani mengeluarkan pendapatnya itu dan hanya menonton. Kui Hok Boan masih belum puas juga dengan hasil yang diperlihatkan Beng Sin. Kadang-kadang dia menghentikan gerakan anak itu, lantas memberi petunjuk-petunjuk. Beng Sin mainkan jurus itu berulang-ulang tanpa mengenal lelah. "Masih belum sempurna, kau harus banyak belajar," kata Kui Hok Boan dan sekarang tiba giliran Siong Bu. Siong Bu juga memainkan jurus itu di bawah petunjuk pamannya. Gerakannya jauh lebih gesit dari pada gerakan Beng Sin, dia lincah dan kuat, namun tidak semantap gerakan si gendut. Kedudukan kedua tangan Siong Bu sudah banyak lebih baik dari pada Beng Sin, akan tetapi gerakan sepasang kakinya masih kurang berirama dan kurang sesuai dengan gerakan tangan sehingga dia pun mendapat teguran dan harus mengulang terus. Begitu pula Lan Lan dan Lin Lin diharuskan melatih jurus itu di bawah petunjuk-petunjuk ayah mereka. Agak jengkel hati Kui Hok Boan melihat betapa empat orang anaknya itu tidak mudah menguasai jurus Heng-pai-hud, maka ketika dia melihat Sin Liong sejak tadi berdiri saja menonton, kejengkelan hatinya membuat dia menegur ketus, "Sin Liong, mau apa engkau berdiri di situ? Apakah tidak ada lagi pekerjaan yang lain?" Sin Liong terkejut, lalu menunduk dan melangkah pergi untuk mengurus kuda yang harus diberi makan dan sapi yang harus dibawa keluar. Akan tetapi, jurus Heng-pai-hud itu tidak pernah terlupa olehnya dan ketika dia mengambil makanan kuda, tanpa disadari kedua kakinya melakukan gerak langkah jurus itu, dari ketika dia sudah menaruh makanan kuda di depan lima ekor kuda itu, tanpa disadarinya pula kedua tangannya melakukan gerakan memukul dan menangkis dalam jurus Heng-pai-hud! Diam-diam di hatinya timbul rasa iri terhadap empat orang anak itu dan mulai saat itu dia mengambil keputusan untuk mengintai di waktu mereka berlatih dan menirukan gerakan-gerakan mereka. Dengan cara demikian, dalam waktu tiga bulan Sin Liong sudah dapat mencuri empat macam jurus dan sudah mampu melakukan gerakan-gerakan itu dengan baiknya. Dia selalu melihat gerakan itu ketika dimainkan oleh ayah angkatnya, kemudian menirunya. Dia tidak mau meniru gerakan empat orang anak itu yang dianggapnya kaku dan tidak sama dengan gerakan ayah angkatnya. Di dalam pergaulan sehari-hari, Sin Liong seperti sahabat-sahabat biasa dengan keempat orang anak itu. Terutama sekali Lan Lan dan Lin Lin. Kedua orang anak perempuan ini suka sekali kepada Sin Liong yang amat ringan tangan dan kaki, mau memenuhi segala permintaan mereka sungguh pun Sin Liong kurang pandai bergaul, tidak banyak bicara dan lebih suka menyendiri. Beng Sin sering kali menggoda Sin Liong, akan tetapi diam-diam Sin Liong suka kepada anak gendut yang jujur dan suka melucu ini. Satu-satunya anak yang menimbulkan rasa tidak senang dalam hati Sin Liong hanyalah Siong Bu karena anak ini agak angkuh dan terhadap dirinya bersikap bagaikan seorang majikan. Bahkan kadang-kadang dia merasa sakit hati karena Siong Bu seringkali memakinya sebagai anak monyet! Pada suatu hari, dengan amat tekun dan sungguh-sungguh Sin Liong berlatih silat, yaitu gerakan-gerakan dari empat jurus yang dikenalnya dan dikuasainya dari hasil mengintai itu. Dia tidak mengetahui bahwa Lan Lan, Lin Lin dan Beng Sin, mengintai dengan mata terbelalak heran dari balik semak-semak. Ketika itu, Sin Liong sedang menggembala sapi di padang rumput tak jauh dari taman istana. Tiga orang anak ini bermain-main dan akhirnya tiba di tempat itu, melihat dari jauh betapa Sin Liong bergerak-gerak seperti orang bersilat maka dengan penuh keheranan mereka menghampiri dan bersembunyi, mengintai. Pada waktu melihat Sin Liong bergerak dengan jurus Heng-pai-hud, Beng Sin tidak dapat menahan keheranannya dan dia meloncat keluar dari balik semak-semak sambil berseru, "Heii, itu adalah jurus Heng-pai-hud!" Sin Liong kaget bukan main, cepat menghentikan gerakannya dan menengok. Wajahnya berubah merah ketika dia melihat Beng Sin dan dua orang anak perempuan itu berlari-lari menghampirinya. "Heiii, Sin Liong, dari mana engkau dapat memainkan jurus-jurus itu?" Beng Sin berkata dengan mata terbelalak, "Apakah paman diam-diam mengajarmu?" Sin Liong menggelengkan kepala. "Ahh, aku hanya main-main, Tee-kongcu." "Aha, kalau di sini tidak ada paman, jangan menyebut kongcu-kongcu-an segala. Namaku Beng Sin dan kau Sin Liong. Bukankah kita sahabat?" "Terima kasih, Beng Sin. Akan tetapi lebih baik aku menyebutmu kongcu sesuai dengan perintah gihu." "Sin Liong, aku melihat engkau tadi memainkan Heng-pai-hud. Dari mana engkau dapat melakukan gerakan itu?" Kui Lin bertanya. "Lin-siocia, aku hanya menonton kalian berlatih dan meniru-niru saja..." "Ahh, tapi gerakanmu tadi baik benar!" Kui Lan juga memuji. "Benar!" kata Beng Sin. "Sebaliknya aku belum juga dapat melakukan gerakan jurus itu dengan baik." "Gerakanmu sudah baik, hanya perlu lebih dipercepat, kongcu. Terlalu lamban sehingga gerakan kedua tanganmu kalah cepat oleh kedua kakimu. Juga di waktu kau memukulkan tanganmu ke depan, engkau kurang memutar lenganmu sehingga saat gerakan memukul itu disambung gerakan menangkis, kurang tepat." Beng Sin membelalakkan matanya dan menjadi gembira. "Ah, begitukah? Biar kucoba!" Dan anak ini segera bergerak melakukan jurus Heng-pai-hud dan mengubah gerakannya sesuai dengan petunjuk Sin Liong. Dia merasa betapa setelah dia mempercepat gerakan kedua lengannya, dia dapat mengikuti gerakan kaki secara baik, dan ketika dia memukul, dia memutar lengannya dan mendapat kenyataan bahwa perubahan gerak dari memukul menjadi menangkis dapat dia lakukan dengan baik! "Horeeee...! Aku dapat melakukannya dengan baik!" Dia bersorak girang sekali dan dua orang anak perempuan itu pun ikut gembira, tertawa-tawa melihat si gendut itu bersorak dan menari-nari dengan pinggul megal-megol. "Hei, apa-apaan kalian di situ?" tiba-tiba terdengar teguran Siong Bu yang datang berlari ke tempat itu. "Ahh, Bu-ko, terjadi keajaiban di sini!" Beng Sin berkata sambil tertawa dan menudingkan telunjuknya pada Sin Liong. "Kau lihat, Sin Liong ternyata pandai mainkan Heng-pai-hud, dan dia telah memberi petunjuk sehingga sekarang gerakanku menjadi baik!" "Betul, Bu-ko, dan Sin Liong dapat pula mainkan jurus-jurus lain dengan baiknya, padahal dia hanya melihat dan meniru-niru kita saja!" Lan Lan berkata. Alis yang sudah kelihatan panjang tebal di atas sepasang mata Siong Bu berkerut pada saat dia memandang kepada Sin Liong, akan tetapi dia memandang rendah anak angkat bibinya ini dan menganggap seorang bujang yang derajatnya lebih rendah dari pada dia dan saudara-saudaranya. "Sin Liong, bukankah paman sudah melarangmu untuk belajar silat?!" bentaknya. Sin Liong menundukkan mukanya. "Memang aku tidak belajar, hanya melihat dan ingat gerakannya." "Dia benar, Bu-ko. Dia hanya mengenal jurus yang pernah dilihatnya saja, akan tetapi gerakannya hebat. Dia bisa memainkan jurus Heng-pai-hud lebih baik dari pada engkau, Bu-koko!" Beng Sin berkata lagi dengan jujur, tidak tahu betapa kata-katanya itu membuat hati Siong Bu menjadi makin panas dan iri. "Hemmm, golongan monyet mana bisa bermain silat?" dia mengejek. "Ah, jangan begitu, Bu-ko. Menurut penuturan paman, bukankah banyak ilmu silat diambil dari gerakan-gerakan binatang, misalnya harimau, bangau, monyet dan lain-lain?" bantah Beng Sin. "Ingat jurus-jurus seperti Hek-wan Hian-ko (Lutung Hitam Memberi Buah), atau Sin-kauw Pai-bwe (Kera Sakti Menggerakkan Ekor) dan lain-lain." "Hemmm, jurus-jurus itu ciptaan manusia. Mana ada anak monyet bisa bersilat?" kembali Siong Bu mengejek. "Bu-koko, mengapa kau menghina Sin Liong? Dia tidak mempunyai kesalahan apa-apa," tiba-tiba Lin Lin mencela Siong Bu. "Benar, kau sengaja hendak memakinya anak monyet. Kau terlalu, Bu-ko, dan kau sudah mengganggu kami yang sedang bergembira di sini!" Lan Lan juga membela Sin Liong. Melihat dua orang anak perempuan itu membela Sin Liong, semakin panaslah rasa hati Siong Bu. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang cerdik. Dia tidak mau mendesak lagi karena biar pun dia sudah dapat memperolok Sin Liong, dia tidak mau kalau untuk itu dia menimbulkan rasa tidak suka di hati Lan Lan dan Lin Lin. "Aku sebenarnya tidak menghina, hanya tidak percaya. Akan tetapi kalau Sin Liong mau berlatih silat bersamaku, baru aku percaya," katanya sambil menghampiri Sin Liong. Beng Sin berseru girang. "Bagus! Itu bugus sekali! Sin Liong, hayo layani Bu-ko berlatih. Dia baru akan percaya setelah melihat sendiri dan engkau pun akan mendapat kemajuan kalau mau berlatih dengan dia." Sin Liong tentu saja tak mengerti apa yang dimaksudkan. Dia memang ingin sekali belajar silat, akan tetapi dia tidak berani belajar dari ayah angkatnya yang sudah melarangnya. Kini dia meragu dan memandang kepada Lan Lan dan Lin Lin. Kedua orang anak perempuan itu pun mengangguk dengan gembira. Mereka suka sekali belajar silat, dan melihat gerakan Sin Liong tadi, mereka mengira bahwa tentu Sin Liong sudah pandai pula, maka tiada buruknya untuk berlatih bersama Siong Bu. Sin Liong adalah seorang anak yang keras hati. Tadinya dia ingin meninggalkan mereka pergi, akan tetapi melihat Siong Bu berlagak menantang, hatinya pun menjadi panas. Dia menatap wajah Siong Bu dan berkata, "Kwan-kongcu, kau mau mengajarku?" Siong Bu menyeringai. "Kata mereka engkau pandai. Kalau engkau lebih pandai, berarti engkaulah yang mengajariku. Mungkin engkau mempunyai jurus-jurus monyet lain yang belum kukenal." Ucapan ini tentu saja bermaksud mengejek. Beng Sin mengerti juga akan ejekan itu. Hati anak gendut ini berpihak kepada Sin Liong karena tidak jarang dia juga menjadi sasaran kenakalan dan ejekan-ejekan Siong Bu yang lebih tua beberapa bulan dari dia dan merasa lebih menang. "Sin Liong, apakah kau takut? Aku tahu engkau kuat sekali, dan... hemmm, siapa tahu engkau benar-benar menyimpan jurus-jurus monyet sakti. Hayo, kau layani Bu-ko!" Dia mendesak. "Benar, kau hadapi dia, Sin Liong!" kata Lan Lan. "Aku ingin sekali melihatnya!" sambung Lin Lin. Sin Liong merasa tersudut, apa lagi sekarang Siong Bu telah menghampirinya dekat, lalu mempergunakan jari telunjuk mendorong dada Sin Liong, dengan lagak angkuh berkata, "Kalau takut, kau berlutut saja minta ampun tiga kali!" Marahlah Sin Liong. "Kwan-kongcu, terhadap setan pun aku tidak takut, apa lagi terhadap engkau!" "Heh-heh-heh, dia memakimu setan, Bu-ko!" kata Beng Sin tertawa keras. "Dia memaki engkau setan!" Anak nakal ini sengaja mempergunakan kesempatan ini untuk memaki kepada Siong Bu yang sering memakinya tanpa dia berani membalas. Merahlah wajah Siong Bu. "Anak monyet! Berani kau?" Dan tangannya lalu memukul ke arah muka Sin Liong. Sin Liong terkejut, dan dengan gerakan otomatis dia memalingkan mukanya. "Plakkk!" Bukan hidungnya yang kena dijotos, melainkan pipinya. Sin Liong terhuyung ke belakang. "Ehh, kenapa kau memukulku?" tanyanya, matanya terbelalak heran. "Itu namanya latihan silat, tolol! Habis apa lagi artinya silat jika bukan saling pukul? Nah, kau jaga ini!" Kembali Siong Bu menyerangnya dengan sebuah pukulan yang ditujukan ke arah dada Sin Liong. Kini Sin Liong sudah siap. Kalau tadi mukanya terkena pukulan adalah karena dia tidak menyangka bahwa latihan itu berarti saling pukul! Kini dia pun lalu teringat akan gerakan Heng-pai-hud, yaitu dengan tangan miring melakukan tangkisan, karena itu dia pun cepat memasang kuda-kuda seperti yang sering dilatihnya, melangkah mundur sambil miringkan tangan ke depan dada, menangkis pukulan itu. "Dessss...!" Karena cara Sin Liong memasang kuda-kuda tidak tepat, walau pun gerakannya benar namun dia tidak tahu untuk apa kuda-kuda itu, maka penanaman tenaga di kakinya tidak benar dan dia terhuyung oleh pertemuan lengannya dengan lengan lawan, dan sebelum dia tahu harus berbuat apa, tiba-tiba kaki lawan sudah membabatnya dari samping, tepat mengenai belakang lututnya. "Bresss...!" Tubuh Sin Liong terpelanting roboh. "Hei, kenapa begitu mudah roboh?" Lan Lan berseru heran. "Hayo, Sin Liong, kau jangan mengalah. Serampangan kaki itu mestinya bisa dihindarkan dengan loncatan, dan kau boleh balas memukul!" Beng Sin berseru. Sin Liong bangkit berdiri dan pada saat itu pula Siong Bu sudah menerjang lagi dengan pukulan bertubi-tubi. Sin Liong masih mencoba untuk bergerak dengan jurus-jurus yang pernah dilihat dan dilatihnya, akan tetapi tentu saja gerakan-gerakan itu biar pun sangat baik akan tetapi tidak tepat, dipergunakan bukan pada saatnya, oleh karena itu mulailah dia menjadi bulan-bulanan pukulan tangan serta tendangan kaki Siong Bu. Sudah empat kali mukanya menerima pukulan keras sehingga kedua pipinya menjadi biru dan mata kanannya membengkak! "Bu-koko, jangan memukul sungguh-sungguh!" Lin Lin berseru marah. "Sin Liong, kenapa kau tidak membalas? Kau boleh membalas! Latihan ini umpamakanlah kau sedang berkelahi! Kalau kau diserang harimau, masa diam saja?" Beng Sin berteriak-teriak gemas melihat Sin Liong dijadikan bulan-bulanan. Mendengar ucapan diserang harimau, seketika bangkitlah kemarahan di hati Sin Liong. Seperti terbayang olehnya pengalamannya pada waktu kecil ketika dia hampir mati oleh harimau dan diselamatkan oleh teman-temannya, yaitu para monyet. Kini dia tidak peduli akan latihan ilmu silat, tidak peduli akan jurus-jurus ilmu silat, akan tetapi menggunakan naluri dan tanggapan syarafnya terhadap ancaman dari luar. Dengan cekatan dia lalu meloncat ke sana-sini, seperti seekor monyet, dan dia pun dapat menghindarkan semua pukulan lawan. Pada waktu tangan kiri Siong Bu meluncur lewat, dengan cepat sekali dia menangkap tangan itu, memilinnya ke belakang sampai Siong Bu berteriak kesakitan, dan hampir saja dia lupa. Hampir saja tadi Sin Liong menggigit leher lawannya! Akan tetapi dia masih teringat dan segera menggunakan kedua tangannya, mencengkeram pakaian lawan dan mengangkat tubuh Siong Bu ke atas dengan kedua tangan kemudian melemparkannya ke depan. "Brukkk...!" Debu mengepul ketika tubuh Siong Bu terbanting. "Hebat...! Kau hebat, Sin Liong...!" Beng Sin memuji dan bersorak, akan tetapi tiba-tiba Siong Bu yang sudah bangkit itu menerjang lagi dan sebuah tendangan mengenai perut Sin Liong, membuatnya terhuyung. "Ehh, kau curang, Bu-ko. Engkau sudah roboh dan latihan ini sudah berakhir," kata Beng Sin. Akan tetapi Siong Bu tidak peduli dan dia menerjang terus, menghujankan pukulan serta tendangan. Akan tetapi, Sin Liong yang tidak bisa silat itu memiliki tubuh yang jauh lebih kuat, mempunyai daya tahan yang kuat, kegesitan sewajarnya yang didapatkan karena pergaulannya dengan monyet-monyet. Dia dapat mengelak ke kanan kiri, dan satu dua kali pukulan yang mengenai tubuhnya tidak dirasakannya. Betapa pun juga, mukanya sudah terasa panas dan nyeri karena pukulan-pukulan yang tadi, dan kemarahannya memuncak ketika Siong Bu sambil menyerang memaki-makinya. "Anak monyet bocah hina!" Dia mengeluarkan suara menggereng seperti binatang dan tiba-tiba dia maju menubruk. "Bukkk!" Pukulan yang mengenai lehernya tidak dirasakannya dan kini sepasang tangannya sudah mencengkeram pundak Siong Bu. Meski pun anak ini sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi kepandaiannya masih belum matang, maka ketika merasa pundaknya dicengkeram dan sakit, dia pun Ialu mencengkeram dan terjadilah pergulatan yang tidak memakai jurus ilmu silat lagi! Mereka saling jambak, saling cengkeram dan saling cekik! Tadinya Sin Liong tak ingin berkelahi sungguh-sungguh. Akan tetapi, dia merasa sangat nyeri ketika rambutnya dijambak, maka dia segera membuka mulut dan menggigit daun telinga Siong Bu! Begitu keras gigitannya sehingga ujung daun telinga Siong Bu robek dan anak ini berteriak-teriak kesakitan! "Heii, berhenti kalian!" terdengar bentakan keras dan tiba-tiba dua buah tangan yang amat kuat sudah menarik tubuh Siong Bu dan Sin Liong ke kanan kiri dan mendorong mereka terpisah. Siong Bu cepat berlutut di depan pamannya, terisak menangis sambil memegangi telinga kanannya yang berdarah. Sedangkan Sin Liong berdiri dengan kepala tunduk, mukanya bengkak-bengkak dan biru-biru, akan tetapi sedikit pun tidak ada tanda-tanda bahwa dia menderita kesakitan atau menangis! Kui Hok Boan berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak marah. Tangannya sudah meraih sebatang ranting kayu dan dia menoleh kepada Siong Bu. "Kenapa telingamu?" "Di... digigit... oleh monyet cilik itu... aduhhhh...!" Siong Bu mengeluh ketika pamannya memeriksa telinga itu. Ternyata hanya ujungnya yang robek bekas gigitan. "Bocah liar! Berani kau berkelahi dengan kongcu dan menggigit telinganya? Kalau tidak dihajar, engkau tentu akan menjadi monyet liar!" Kui Hok Boan segera menghampiri Sin Liong yang masih berdiri. "Hayo berlutut kau!" Sin Liong berlutut dan sasterawan yang marah itu kemudian mengayun ranting itu yang segera meledak-ledak dan melecuti tubuh anak itu. Kulit leher dan punggung Sin Liong pecah-pecah dan darah mulai mengalir keluar pada saat ranting itu menyambar-nyambar ganas. Akan tetapi, anak itu hanya menunduk dan memejamkan matanya, menahan rasa nyeri dan sedikit pun tak mengeluarkan suara mengeluh. Juga tak nampak dia menangis. "Prat-prat-prat-prat!" Ranting itu terus menari-nari dan sesudah melihat baju itu berdarah, barulah Hok Boan menghentikan sabetannya. Dia terengah-engah dan kemarahannya semakin memuncak melihat anak itu sama sekali tidak mengeluh atau menangis. Hal ini diterimanya sebagai tantangan! "Kau bandel, ya? Kau berkulit tebal, ya? Ingin kuhajar sampai mampus?" teriak Hok Boan yang semakin marah mengingat bahwa daun telinga puteranya digigit sampai pecah dan melihat Sin Liong sama sekali tidak menangis atau mengeluh. "Ayah... harap ampunkan Sin Liong, ayah...!" Mendadak terdengar suara Lin Lin meratap dan terdengar isak terkandung dalam suara itu. Anak ini tidak tega dan merasa kasihan melihat keadaan Sin Liong. cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Hok Boan tidak jadi mencambuki lagi, lantas menoleh kepada Beng Sin. "Beng Sin, hayo katakan apa yang terjadi!" bentaknya. Beng Sin berlutut dengan tubuh agak menggigil. "Mereka... mereka berkelahi... dan..." Dia melirik ke arah Siong Bu, melihat pandang mata kakaknya itu sehingga dia tidak berani untuk berterus terang. "Dan... paman lalu datang." Dia menutup mulut dan menunduk. "Sin Liong, engkau tidak tahu diri! Berani engkau berkelahi dengan seorang dari mereka? Apakah kerjamu di sini hanya untuk menentang dan berkelahi? Hayo jawab!" bentak Hok Boan. Akan tetapi Sin Liong tetap menunduk, tidak mau menjawab. "Kau sungguh bandel! Apa ingin dihajar lagi?" "Ayah, Sin Liong tidak bersalah!" tiba-tiba Lan Lan berkata dengan suara lantang. Hok Boan memandang puterinya itu, dan Lan Lan melanjutkan kata-katanya. "Mula-mula kami bertiga di sini melihat Sin Liong berlatih silat seorang diri, dia pandai mainkan jurus Heng-pai-hud..." "Ehhh...?!" Hok Boan terkejut bukan main. "Dia menonton ketika kami berlatih, ayah, lalu dia meniru-niru gerakan kami. Akan tetapi gerakannya baik sekali dan selagi kami bergembira, datang Bu-koko yang menantang Sin Liong." "Dan Bu-koko memaki Sin Liong monyet," sambung Lin Lin. "Bu-koko menantang untuk berlatih silat, mereka berkelahi sungguh-sungguh," sambung pula Lan Lan. "Akan tetapi Sin Liong terus didesak, maka dia melawan, apa bila Bu-koko tidak mendesak dan memaksa, tentu dia tidak akan balas memukul dan menggigit." Kui Hok Boan mengerutkan alisnya. Soal perkelahian antara anak kecil tidak begitu aneh baginya, akan tetapi mendengar Sin Liong pandai memainkan jurus Heng-pai-hud, hal ini benar-benar mengejutkan hatinya. Dan kenyataan yang lebih mengejutkan hatinya adalah bahwa Siong Bu yang sudah dilatihnya selama lima tahun itu ternyata kini tidak mampu mengalahkan Sin Liong biar pun muka Sin Liong matang biru dan kalau dia tidak datang, bukan tidak mungkin Siong Bu akan kalah! "Sin Liong, benarkah engkau sudah menonton jurus-jurus itu dan menirunya?" bentaknya kepada Sin Liong. "Benar, gi-hu." "Mulai sekarang, engkau tidak boleh lagi menonton dan meniru-niru. Mengerti?!" "Baik, gi-hu." "Mulai malam nanti, engkau harus menulis kalimat 'Saya tidak boleh melawan terhadap Kwan-kongcu dan Tee-kongcu' sampai seribu kali di atas kertas!" "Ayah, Sin Liong tidak bersalah!" Lan Lan dan Lin Lin berkata hampir berbareng. "Diam kalian! Hayo semua pulang! Dan kau jaga sapi-sapi itu baik-baik!" kata Hok Boan dengan bengis. Empat orang anak itu bangkit dan mengikuti Kui Hok Boan meninggalkan Sin Liong yang masih berlutut di situ. Setelah semua orang pergi, barulah Sin Liong menggunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap darah dan keringat dari lehernya, kemudian cepat-cepat menghapus dua titik air mata dengan kepalan tangannya. Malam itu, pada saat semua orang belum tidur, dengan tekun Sin Liong mulai menuliskan kalimat hukuman itu di atas kertas. Akan tetapi setelah semua orang tidur, dia lalu pergi menemui monyet-monyet, jauh tinggi di atas pohon dan monyet betina tua itu menjilati luka-luka bekas cambukan di leher, lengan dan punggungnya. Akhirnya Sin Liong tertidur di atas pohon, tetapi pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah kembali ke dalam kamarnya. *************** Semenjak terjadi peristiwa itu, sikap Siong Bu semakin angkuh dan menghina Sin Liong. Siong Bu masih merasa penasaran dan sakit hati karena daun telinganya digigit. Biar pun kini lukanya telah sembuh, tetapi ujung telinganya masih berbekas, dan ini mengingatkan dia betapa dia hampir kalah oleh anak monyet itu! Kekalahan ini lebih menyakitkan dari pada luka di daun telinganya. Akan tetapi kini Sin Liong tidak pernah mau melayaninya biar pun dia sudah sering kali menghinanya dan memancing suatu perkelahian lagi. Oleh karena sikap Sin Liong yang mengalah ini, maka hal itu menimbulkan perasaan tidak senang di hati Beng Sin yang menganggap bahwa Sin Liong pengecut dan penakut. Juga Lan Lan dan Lin Lin merasa tidak senang. Rasa kagumnya terhadap Sin Liong yang berani melawan Siong Bu bahkan hampir saja menang, segera lenyap sebab mereka pun menganggap bahwa Sin Liong penakut. Padahal, bukan demikianlah sesungguhnya. Ada sebabnya mengapa Sin Liong tidak lagi mau melayani penghinaan Siong Bu yang merasa sakit hati kepadanya itu. Bukan karena takut dihajar lagi oleh ayah angkatnya. Pada keesokan harinya sesudah perkelahian itu, Sin Liong dipanggil oleh Si Kwi. Dalam pertemuan empat mata ini, Si Kwi menerimanya dengan alis berkerut dan memandang wajahnya dengan penuh perhatian. "Sin Liong, aku mendengar bahwa engkau berkelahi dengan Siong Bu?" tanya nyonya ini dengan suara halus. Semalam dia diceritakan oleh suaminya betapa Sin Liong mencuri belajar silat dan berani berkelahi melawan Siong Bu, lantas dalam keliarannya menggigit telinga Siong Bu hampir putus! Sin Liong menunduk dan mengangguk. Satu-satunya orang yang dipandang dan dihormati serta dicintanya di dalam rumah itu hanyalah ibu angkatnya ini. Dia tidak ingin membuat ibu angkatnya ikut berduka atau marah kepadanya. "Dan engkau telah mencuri dan mempelajari ilmu silat mereka?" "Ibu... saya... saya hanya menonton dan meniru-niru saja." "Hemm, yang sudah lalu biarlah. Akan tetapi mulai sekarang jangan kau ikut mempelajari ilmu silat mereka, dan terutama sekali jangan engkau berkelahi dengan siapa pun." Sin Liong menundukkan mukanya, wajahnya kelihatan berduka sekali, akan tetapi dia tak menjawab. Melihat wajah itu, teringatlah Si Kwi kepada Cia Bun Houw maka dia menarik napas panjang. Dia sendiri merasa heran kenapa anaknya ini, yang semenjak kecil tidak pernah belajar ilmu silat, dapat bersilat hanya dengan menonton saja. Dan yang lebih mengejutkan lagi, dapat melawan dan menandingi Siong Bu yang sudah memiliki kepandaian lumayan dan paling kuat di antara empat orang anak yang dipimpin suaminya! "Sin Liong, mengapa kau ingin sekali belajar silat?" Tiba-tiba dia bertanya, pertanyaan yang digerakkan karena teringat akan Cia Bun Bouw. Tiba-tiba anak itu mengangkat mukanya dan Si Kwi merasa jantungnya tergetar ketika melihat sepasang mata yang mencorong dan tajam sekali itu! "Ibu, katakan... siapa yang membuntungi tangan kiri ibu?" Wajah Si Kwi seketika menjadi pucat dan matanya terbelalak. "Ahhhh...!" "Saya ingin membalasnya, saya ingin memotong dan membuntungi kedua tangannya! Siapa dia, ibu?" "Ohhh... Liong-ji...!" Si Kwi merintih dan tak dapat menahan air matanya. Dia cepat-cepat menggunakan sapu tangan untuk menyusuti air mata yang mengalir turun di atas kedua pipinya itu. Melihat ini, Sin Liong cepat berlutut di depan kaki ibu angkatnya. "Ibu, ampunkan saya... sakit sekali hati saya melihat ada orang berbuat demikian keji terhadap ibu. Saya ingin belajar silat karena ingin membalasnya!" Si Kwi menggunakan tangan kanannya mengelus-elus rambut kepala anak itu. Sejenak tangannya membelai rambut itu dan jantungnya seperti diremas-remas. Anak ini adalah anaknya! Tidak salah lagi! Anak Cia Bun Houw! "Jangan salah mengerti, anak yang baik. Tangan kiriku ini bukan dibuntungi oleh musuh, melainkan oleh mendiang guruku sendiri." "Ahhh...!" Sin Liong memandang wajah ibu angkatnya dengan mata terbelalak. "Betapa kejamnya! Mengapa ibu?" "Itulah kalau orang belajar ilmu silat, anakku. Guru-guru yang mengajar ilmu silat memang biasanya keras. lbumu ini sudah melakukan kesalahan maka hukumannya adalah potong tangan kiri! Oleh karena itu, janganlah kau belajar ilmu silat, tidak ada gunanya, anakku. Ayah angkatmu masih lunak ketika menghajarmu dengan cambukan. Maka, kalau engkau suka mendengarkan kata-kata ibumu, mulai sekarang, jangan engkau layani siapa pun untuk berkelahi. Belajarlah dengan tekun, anakku, supaya kelak engkau menjadi seorang manusia yang baik dan berguna." Sin Liong kecewa sekali, akan tetapi dia amat mencinta ibunya ini yang sejak dia kecil amat baik kepadanya, maka dia pun mengangguk, lalu bangkit dan meninggalkan kamar ibunya. Ketika sampai di pintu, dia menengok. "Ibu, apakah sampai sekarang ibu belum juga mendengar siapa adanya ayah dan ibuku yang sesungguhnya?" "Ahhh...!" Si Kwi merasa ditampar lalu dicekik lehernya. Dia hanya memandang dengan wajah pucat. Entah sudah berapa kali anak ini menanyakan hal itu, dan selalu dijawabnya bahwa dia tidak tahu, bahwa dia akan berusaha untuk menyelidikinya. Dan sekarang anak itu kembali menanyakan masalah itu. Dia tidak mampu menjawab, hanya menggelengkan kepalanya. Sin Liong menunduk, memutar tubuh dan melangkah pergi. "Liong-ji...!" Sin Liong berhenti dan ibunya sudah berada dekatnya. Dengan sentuhan mesra Si Kwi membuka baju anaknya, melihat jalur-jalur merah di punggungnya. Dia lalu berkata, "Mari kuobati luka-lukamu akibat cambukan itu dan... heiiii, sudah kering semua..." "Tidak perlu, ibu. Semalam luka-luka itu sudah dijilati oleh monyet betina tua dan sudah sembuh." Sesudah berkata demikian, Sin Liong melangkah pergi, menghilang di dalam gelap. Nah, itulah sebabnya mengapa Sin Liong tidak pernah mau melayani godaan dan ejekan Siong Bu. Dia selalu teringat akan pesan ibu angkatnya dan dia tidak ingin menyusahkan hati ibu angkatnya. Maka ditelannya semua hinaan dan godaan, dan dia sama sekali tidak pernah mau melayani. Akan tetapi, sebenarnya Sin Liong menderita batin yang sukar dapat dipertahankannya. Pada dasarnya dia memiliki watak keras dan tidak takut terhadap siapa pun juga, maka ejekan, hinaan dan tantangan Siong Bu yang dilontarkan kepadanya dan tidak dijawabnya karena dia teringat akan ibu angkatnya, membuat hatinya sakit sekali. Akhirnya dia tidak mampu menahan kemarahannya lagi, apa pula ketika melihat betapa Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin mulai tidak suka kepadanya dan menganggapnya sebagai seorang anak yang pengecut dan penakut. Dia tahu bahwa tiga orang ini tadinya berfihak kepadanya dan tidak suka melihat dia dihina dan ditantang, mereka menghendaki supaya dia melawan. Akan tetapi, bukannya dia takut terhadap Siong Bu, bukan pula takut akan hukuman dari ayah angkatnya, melainkan dia tak ingin menyusahkan hati ibu angkatnya, tidak ingin melanggar pesan ibu angkatnya. Akan tetapi kekerasan hatinya membuat dia makin tidak kuat bertahan, apa lagi sesudah dia merasa kesepian karena anak-anak yang lain mulai menjauhkan diri darinya. Karena itu, pada suatu malam diam-diam dia meninggalkan kamarnya, pergi menemui kawan-kawannya, yaitu para monyet besar dan bersama mereka dia memasuki hutan lebat dan tidak mau kembali lagi ke Istana Lembah Naga! Pada keesokan harinya, semua orang di Istana Lembah Naga kehilangan. Si Kwi menjadi bingung sekali. "Biarlah," kata suaminya. "Aku sudah tahu bahwa dia terlampau banyak terpengaruh oleh monyet-monyet itu sehingga dia tak betah lagi tinggal bercampur dengan manusia biasa. Kita sudah terlalu baik kepadanya, dan kalau kita lebih baik lagi, aku khawatir dia akan menjadi manja dan rusak. Ingat akan sifat-sifatnya yang liar." Akan tetapi tentu saja Kui Hok Boan tidak tahu bahwa hati seorang ibu kandung mana mungkin bisa menegakan anaknya begitu saja? Si Kwi juga masih tidak berani membuka rahasianya. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat mengerahkan tenaga para anak buah suaminya yang banyak jumlahnya. Akan tetapi dia tahu akan kekerasan hati dan keanehan watak Sin Liong. Kalau hanya mengandalkan para anak buah itu untuk mencari dan membujuknya, sudah pasti anak itu tidak akan sudi pulang! Maka dia lalu diam-diam mencari sendiri dan dia tahu ke mana dia harus mencari. Si Kwi membawa seperangkat pakaian dan memasuki hutan. Tepat sekali dugaannya, lewat tengah hari dia tiba di tengah hutan dan dengan hati hancur dia melihat anaknya itu sedang berloncatan dari dahan ke dahan di atas pohon-pohon yang sangat besar dan tinggi bersama beberapa ekor monyet besar. Yang mengharukan hatinya adalah melihat anak laki-laki itu sama sekali telanjang bulat! Agaknya Sin Liong sudah membuang semua pakaiannya dan bertelanjang seperti teman-temannya. Dan dari tempat dia mengintai, Si Kwi melihat betapa wajah anak itu tampak berseri-seri, penuh keberuntungan dan kegembiraan, terbebas dari kungkungan manusia berikut segala peraturannya, iri hatinya, kebenciannya dan permusuhannya! Melihat wajah yang tampan dan gembira itu, hampir saja Si Kwi pergi lagi. Tidak tega dia mengganggu kebahagiaan anak itu! Akan tetapi dia kemudian teringat bahwa anaknya itu adalah seorang manusia. Dia akan merasa sangat berdosa, berdosa terhadap Sin Liong, terhadap dirinya sendiri dan terhadap Cia Bun Houw jika dia membiarkan saja anaknya menjadi monyet! "Liong-ji...!" Dia meratap, memanggil dan air matanya bercucuran. "Grrrr... grrrr...!" Monyet-monyet itu menggereng dan Sin Liong juga mengeluarkan suara gerengan seperti monyet. Akan tetapi ketika dia melihat ibu angkatnya di bawah pohon, dia terkejut sekali. Cepat dia meloncat ke dahan lain dan hendak melarikan diri. "Sin Liong... kau... kau... tidak kasihankah kepada ibumu...? Sin Liong, anakku...!" Mendengar seruan dan ratapan yang dikeluarkan dengan isak tangis ini, Sin Liong segera berhenti, termenung, kemudian dia berloncatan turun. "Ibu...!" Dia meloncat ke atas tanah lalu berlutut di depan kaki ibunya. Sudah dua hari dua malam dia tinggal bersama monyet-monyet itu, dan sekarang ibunya menyusulnya. Kalau saja ibunya tidak menangis dan keadaannya demikian menyedihkan, tentu dia tadi sudah melarikan diri. "Liong-ji... mengapa kau meninggalkan ibumu? Apakah kau tidak suka lagi kepada ibumu, anakku?" "Ibu..." Sin Liong merasa lehernya seperti dicekik. Dua hari dua malam tidak bicara, hanya mengeluarkan suara seperti monyet-monyet itu, membuat lidahnya kaku dan sukar baginya untuk bicara. Akan tetapi akhirnya dapat juga dia berkata, "Aku tidak meninggalkan ibu, tapi aku meninggalkan mereka itu!" Suaranya mengandung kemarahan. "Akan tetapi, meninggalkan mereka berarti engkau meninggalkan ibu, anakku. Marilah kita kembali, kau tidak boleh meninggalkan aku." Sin Liong mengangkat mukanya, matanya mengeluarkan sinar berapi lalu dia menggeleng kepalanya. "Tidak, ibu! Aku tidak mau kembali ke sana untuk menerima hinaan mereka!" Si Kwi merangkul dan memeluk anaknya, mengelus kepala anaknya. "Salahku, Liong-ji, salahku. Sekarang aku berjanji bahwa tidak akan ada orang yang berani mengganggumu lagi. Aku akan melarang mereka! Ya, aku akan melindungi anakku!" "Akan tetapi... mereka pandai silat dan aku tidak boleh..." "Aku akan melatihmu, Liong-ji. Aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu." "Benarkah?" Sin Liong girang sekali. "Menurut Lan-siocia dan Lin-siocia..." "Mulai sekarang kau boleh menyebut mereka moi-moi, jangan menyebut siocia!" "Ahhh...! Menurut mereka, kepandaian ibu tidak kalah oleh gi-hu..." "Asal engkau rajin belajar, engkau tentu akan pandai, anakku, karena engkau mempunyai bakat dan tenaga yang kuat." "Akan tetapi, apa artinya belajar silat kalau aku tidak tahu siapa ayah dan ibuku?" Si Kwi menarik napas panjang dan membantu anaknya memakai pakaian yang dibawanya dari rumah tadi. "Pakailah ini dan marilah kita pulang, nanti akan kuceritakan kepadamu siapa adanya ayahmu..." Janji dan bujukan ini berhasil. Wajah Sin Liong berseri, matanya terbelalak lebar penuh harapan. Dia tak membantah lagi, cepat mengenakan pakaian itu kemudian dia mengikuti ibunya pulang. Mereka tiba di rumah di waktu senja. Karena tidak ingin melihat Sin Liong merasa malu dan sungkan bertemu dengan anggota keluarga lain, maka dia langsung mengajak Sin Liong memasuki kamar anaknya itu di dekat kandang kuda. Sin Liong lalu menyalakan lampu minyak sederhana yang berada di atas meja kasar di dalam kamarnya. Semua gerak-geriknya terus diikuti oleh pandang mata Si Kwi dengan penuh keharuan. Insyaflah wanita ini bahwa dia memang telah membiarkan anak kandungnya ini terlantar! Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipinya ketika dia duduk di atas bangku dan melihat keadaan di kamar itu. Dia telah memperlakukan anaknya sendiri seperti seorang bujang saja! Hal itu dia terpaksa lakukan agar suaminya dan semua orang tidak akan ada yang menyangka bahwa Sin Liong adalah anak kandungnya. Sin Liong menoleh. Melihat ibunya menangis, dia lalu menubruk, menjatuhkan diri berlutut di hadapan ibunya dan berkata, "Ibu... aku hanya tahu bahwa ibu merawatku sejak kecil, bahwa aku adalah anak angkat dari ibu... bahwa katanya ibu menemukan aku di antara monyet-monyet itu. Akan tetapi aku tahu, aku juga melihat perbedaan antara aku dengan mereka, aku tahu bahwa aku bukanlah anak monyet, melainkan anak manusia seperti juga kedua kongcu dan kedua siauw-moi. Hanya ibu yang tahu siapa ayah bundaku yang sesungguhnya..." "Liong-ji..." Si Kwi memejamkan matanya, membelai kepala anaknya yang rebah di atas pangkuannya itu. Biar pun anak itu lenyap semenjak dilahirkan, biar pun dia tak menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa anak ini adalah anak yang dilahirkannya di dalam goa itu, namun dia yakin. Inilah anaknya itu! Wajah anak ini mengingatkan dia kepada Cia Bun Houw, terutama matanya. "Angkatlah mukamu anakku, lapangkan dadamu. Engkau bukan anak orang sembarangan saja, Sin Liong. Ayahmu adalah seorang pendekar sakti yang sukar dicari bandingannya di dunia ini." Sin Liong mengangkat mukanya, memandang kepada wajah wanita yang selama ini dia anggap sebagai ibunya itu, "Ayah saya... siapa namanya, ibu?" "Namanya adalah... Cia Bun Houw..." "She Cia?" Sin Liong yang merasa tegang hatinya itu tidak memperhatikan suara ibunya yang tergetar penuh keharuan ketika menyebut nama itu. Ibunya mengangguk. "Engkau pun sesungguhnya she Cia..." "Dan ibuku...?" "Ibumu... ibumu... dia sudah meninggal dunia, anakku." "Ahhh...!" Sin Liong tertegun, mukanya berubah agak pucat, akan tetapi dia tak menangis lagi. Tadi pun dia hanya menitikkan beberapa butir air mata yang cepat diusapnya. Sesudah mendengar bahwa ayahnya adalah seorang pendekar sakti yang tiada keduanya atau tak ada bandingannya di dunia ini, dia merasa malu untuk menangis! "Ya, dia sudah meninggal dunia, dia adalah murid seorang wanita sakti yang berjuluk Hek I Siankouw dan yang sudah meninggal pula..." "Namanya, ibu? Siapa namanya?" "Aku tidak tahu. Kelak engkau akan mengetahuinya dari ayahmu... kalau... kalau engkau ada jodoh bertemu dengan dia..." "Di mana ayah kandungku itu tinggal, ibu?" Si Kwi menggelengkan kepalanya. "Aku sendiri tidak tahu, anakku. Dia adalah putera dari ketua Cin-ling-pai di Pegunungan Cin-ling-san. Hanya itu saja yang kuketahui. Sudahlah, jangan kau bertanya-tanya lagi... mulai sekarang, kau belajarlah ilmu silat yang tekun dan kelak... siapa tahu, engkau akan dapat mencari ayahmu itu." "Baik, ibu!" Sin Liong berkata penuh semangat. Dia kemudian bangkit berdiri, memandang kepada Si Kwi dengan sepasang matanya yang lebar. "Mulai sekarang, selain menjadi ibu angkatku, engkau juga menjadi guruku!" Dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut dan memberi penghormatan dengan jalan menyentuhkan dahinya ke atas lantai di depan kali ibunya. "Sin Liong..." Si Kwi merangkulnya penuh keharuan. Ibu dan anak ini tidak tahu bahwa di dalam keremangan senja, ada orang di luar jendela yang sejak tadi mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Orang itu adalah Kwan Siong Bu yang memang sejak tadi sudah berada di dekat pondok itu sehingga dia tahu akan kedatangan ibu dan anak itu dan dengan mudah dia dapat mengintai tanpa diketahui oleh Si Kwi yang pandai. Kalau anak itu banyak bergerak, atau kalau Si Kwi tidak sedang dilanda keharuan, tentu wanita yang lihai ini akan segera tahu bahwa ada orang lain yang mendengarkan percakapan mereka di luar jendela pondok itu. Demikianlah, mulai saat itu, Sin Liong belajar silat di bawah asuhan ibunya sendiri. Dan Si Kwi menegur kedua orang keponakan dari suaminya itu agar jangan lagi mengejek dan menghina Sin Liong. Melihat pembelaan dan perlindungan yang diberikan oleh isterinya kepada anak angkat itu, Kui Hok Boan pun hanya mengangkat bahu saja. Dia tentu saja tidak mau ribut-ribut dengan isteri yang dicintainya itu hanya karena urusan Sin Liong, si anak monyet. Dengan sangat rajin dan tekun sekali Sin Liong mulai mempelajari dasar-dasar ilmu silat. Ternyata memang dia amat berbakat sehingga pelajaran ilmu silat itu dapat dikuasainya dengan lancar sekali. Hal ini membuat Si Kwi merasa girang. Akan tetapi, selain mempelajari ilmu silat dari ibunya, Sin Liong masih tetap melakukan pekerjaannya sehari-hari, tak pernah dia kelihatan malas. Anak ini tahu bahwa dia adalah seorang luar dalam keluarga itu, hanya seorang anak pungut atau anak angkat, maka dia pun tahu diri. Karena sikapnya ini, biar pun di dalam hatinya Kui Hok Boan merasa tidak senang dengan anak ini, akan tetapi dia tidak menemukan alasan untuk memperlihatkan ketidak senangannya itu dan Sin Liong dapat bekerja seperti biasa. Setahun sudah lewat tanpa terasa. Pada suatu pagi yang cerah, terdengar suara nyaring dan merdu dari dua orang anak perempuan yang bermain-main di dalam taman indah Istana Lembah Naga. Mereka adalah Kui Lan dan Kui Lin yang sedang bermain-main di situ. Tadinya kedua orang anak perempuan kembar ini berlatih silat, tetapi sebagai anak-anak yang baru berusia sepuluh tahun, mereka pun merasa bosan lalu bermain-main sambil tertawa-tawa. Mereka saling berkejar-kejaran, mengumpulkan bunga-bunga, kadang kala mengejar kupu-kupu yang beterbangan di antara bunga-bunga yang sedang bermekaran. Memang, musim bunga sudah tiba sehingga taman itu penuh dengan bunga-bunga yang beraneka ragam dan warna. "Ahhh, bunga di pohon itu indah sekali, Lin Lin," kata Kui Lan sambil menuju ke puncak pohon besar yang tumbuh di tengah-tengah taman. "Benar," jawab Kui Lin. "Ibu juga suka memakai kembang ini sebagai hiasan rambut. Nah, itu di sana ada beberapa tangkai yang gugur dari atas." Kui Lin berlari dan mengambil bunga berwarna merah muda yang rontok dari atas pohon. "Ah, aku tidak suka bunga yang sudah gugur, sudah hampir layu dan kotor, Lin Lin. Kalau bisa mendapatkan yang masih segar di atas itu, baru indah!" "Mana bisa, Lan Lan? Tempatnya begitu tinggi. Ngeri bila harus memanjat pohon setinggi ini dan cabangnya banyak yang basah pula, licin dan sukar." "Hei, Lin-moi! Kenapa engkau mulai lagi menyebut namaku begitu saja? Sudah berapa kali ibu mengharuskan engkau menyebut cici kepadaku?" Kui Lan menegur. Kui Lin cemberut. "Memangnya berselisih berapa sih usia kita? Tidak ada sehari, hanya beberapa menit!" "Kau memang bandel! Sudahlah, kita mencari bunga lain saja, aku tidak suka bunga yang layu itu." Tiba-tiba muncul Sin Liong yang tadi menyapu di pinggir taman. Jalan menuju ke taman itulah yang harus selalu bersih dan harus disapu setiap pagi karena penuh dengan daun dan bunga gugur. "Kalian menginginkan bunga merah yang ada di atas itu? Biar kuambilkan untuk kalian." katanya melihat dua orang anak perempuan itu kecewa karena tidak dapat memperoleh bunga-bunga yang mereka inginkan. "Kau bisa mengambil bunga itu?" Kui Lin menudingkan telunjuknya di atas. "Tentu saja dia bisa! Dia ahli memanjat pohon! Lekas ambilkan, Sin Liong!" kata Kui Lan dengan girang. "Lan Lan, bukankah ibu sudah memesan agar kita menyebut koko kepadanya?" Kui Lin menegur kakaknya. Sekarang Kui Lan yang cemberut dan melotot kepada adiknya. "Huh, kau sendiri tak mau menyebut cici kepadaku!" Sin Liong tersenyum. "Sudahlah, segala sebut-sebutan itu apa bedanya sih? Lihatlah, aku akan mengambilkan bunga-bunga yang paling segar untuk kalian. Akan kuambilkan yang berada di paling puncak!" Sebelum dua orang anak perempuan itu menjawab, Sin Liong sudah melompat kemudian bagaikan seekor kera saja, dengan cekatan dan cepat sekali dia sudah memanjat pohon besar itu. Ketika tiba di atas, dia sengaja berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon. Dua orang anak perempuan kembar yang berada di bawah bertepuk tangan dan berteriak-teriak memuji, kadang-kadang mereka menjerit karena merasa ngeri menyaksikan tubuh Sin Liong berayun-ayun seperti itu. Hati mereka merasa ngeri.....
JILID 07
SEMENJAK kecil, manusia telah mengenal pujian-pujian yang tentu saja mula-mula dimulai dengan timang dan puji dari ayah ibunya sendiri, lalu lama-kelamaan sifat suka dipuji ini dibentuk oleh keadaan sekeliling. Makin besar pertumbuhan anak itu, makin besar pula sifat suka dipuji ini, dan agaknya sifat ini dibawa terus sampai tua dan sampai mati. Betapa manusia selalu haus akan pujian. Sifat haus akan pujian ini makin memperbesar gambaran kita tentang diri kita sendiri sehingga membuat kita bertambah sukar untuk memandang dan mengenal diri sendiri seperti apa adanya. Kita ini kerdil, namun gambaran-gambaran itu membuat kita melihat diri kita besar dan agung! Kita ini kotor, tetapi gambaran-gambaran itu membuat kita melihat bayangan kita sebagai yang paling bersih! Sehingga kekotoran kita sendiri itu tidak pernah nampak oleh kita, dan karena tidak pernah kelihatan maka tentu saja tidak pernah terjadi perubahan yang membersihkan kekotoran itu. Sin Liong sebagai anak, baru berusia dua belas tahun, tentu saja tidak terlepas dari sifat ini. Mendengar dua orang anak itu bersorak memuji, dan kadang-kadang menjerit karena merasa ngeri, dia kemudian sengaja hendak memamerkan kepandaiannya! Bagi dia yang hidup di atas pohon sejak lahir, berayun-ayun dan bermain-main di pohon itu, betapa pun tingginya, tiada bedanya dengan bermain-main dan berlarian di atas tanah saja. Melihat Sin Liong berayun-ayun demikian cepatnya, melepaskan cabang dan meloncat ke cabang lain, kemudian memutar-mutar tubuhnya dengan tangan berpegang pada ranting, mengenjot-enjot ranting, kedua orang anak perempuan itu bersorak memuji. Akan tetapi tiba-tiba, pegangan Sin Liong terlepas dan tubuhnya melayang ke bawah! "Aihhhh...! Dua orang anak perempuan itu menjerit dengan berbareng. Akan tetapi, tiba-tiba kaki Sin Liong mengait ranting dan tubuhnya terayun dengan kepala di bawah dan dia tertawa-tawa, lalu berjungkir balik dan telah memanjat naik kembali. Dua orang anak perempuan itu juga tertawa, akan tetapi muka mereka berubah agak pucat. Ketangkasan Sin Liong bermain-main di atas pohon itu memang tak ada bedanya dengan seekor monyet. Hal ini tentu saja tidak mengherankan kalau diingat bahwa sebelum dia bisa berjalan kaki, Sin Liong sudah pandai sekali berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon. Tidak lama kemudian Sin Liong sudah turun dari pohon itu membawa dua tangkai bunga merah segar yang indah. Dia menggigit tangkai bunga-bunga itu. Bunga-bunga itu segar dan masih basah oleh embun pagi. "Engkau hebat, Sin Liong!" kata Kui Lin. "Kembang itu indah sekali untuk hiasan rambut!" kata Kui Lan. "Mari kupasangkan di rambut kalian, seorang satu," kata Sin Liong. Dua orang anak perempuan itu tertawa-tawa girang dan Sin Liong lantas memasangkan setangkai bunga pada rambut kepala Kui Lan, kemudian setangkai pula di rambut kepala Kui Lin. Setelah kembang itu berada di atas kepala dua orang anak perempuan kembar ini, Sin Liong memandang mereka dengan kagum. Cantik bukan main mereka itu, cantik dan amat baik kepadanya. Dan kembang-kembang itu membuat mereka nampak makin mungil. "Kalian cantik sekali...," dia memuji. "Ah, engkau yang hebat, Sin Liong. Tangkas sekali engkau memanjat pohon tadi, dan aku berani bertaruh bahwa kedua suheng kami pun tidak mungkin bisa memetik kembang ini seperti yang kau lakukan tadi!" Kui Lan memuji. "Dan sebagai hadiahnya, maka engkau boleh memasangkan kembang di rambut kami," Kui Lin menambahkan. Mereka tidak tahu bahwa di balik sebatang pohon, Kwan Siong Bu mengintai dan melihat serta mendengar semua itu dengan mata terbelalak, muka merah dan tangan terkepal. Dia merasa iri hati sekali. Tadi dia mendengar sorak dan jerit dua orang anak perempuan itu, maka dia menghampiri dan mengintai dari balik pohon. Kini hatinya menjadi panas oleh iri. Akan tetapi apa yang dapat dibuatnya? Untuk memanjat pohon dan bermain-main di atas pohon seperti yang dilakukan Sin Liong tadi, tentu saja dia tidak mampu. Huh, kau anak monyet, tentu saja pandai memanjat pohon, pikirnya marah. "Sin Liong, tangkapkan kupu-kupu kuning itu untukku!" mendadak Kui Lan berkata sambil menudingkan telunjuknya kepada seekor kupu-kupu berwarna kuning yang gerakannya gesit sekali. "Ya, untukku seekor, Sin Liong. Tadi kami mencoba-coba menangkapnya tetapi selalu gagal," kata pula Kui Lin. Mendengar ini, tentu saja Sin Liong ingin sekali menyenangkan hati dua anak perempuan itu. Untuk sementara dia melupakan pekerjaannya menyapu dan dia pun berkata dengan wajah berseri, "Baiklah, Lan-moi dan Lin-moi, kalian tunggu saja. Aku akan menangkap dua ekor kupu-kupu kuning untuk kalian!" Dan dia pun sudah berlari mengejar kupu-kupu yang terbang menjauh itu. Mendengar betapa Sin Liong bermain-main dengan kedua orang sumoi-nya itu, bahkan menyebut moi-moi pula, hati Siong Bu menjadi amat panas. Huh, anak monyet, sombong kamu! Demikian pikirnya. Kalau selama satu tahun ini dia hanya menahan-nahan ketidak senangan hatinya terhadap Sin Liong adalah karena dia takut terhadap bibinya yang kini kelihatan melindungi Sin Liong. Kini, melihat Sin Liong pergi mengejar kupu-kupu, Siong Bu cepat mencari akal untuk mengganggunya. Iri hati selalu menimbulkan rasa benci dan dendam. Benci dan dendam mendatangkan kecerdikan yang selalu didorong oleh kejahatan untuk mencelakakan orang lain atau pun menguntungkan diri sendiri. Oleh karena itu, sepatutnya kalau kita waspada terhadap diri sendiri yang mudah dikuasai oleh iri hati. Iri hati timbul dari perbandingan. Kita suka membandingkan keadaan kita dengan orang lain, menganggap orang lain lebih beruntung dari kita, lebih senang dan lebih enak dari pada kita, maka timbullah iba diri yang berkawan dengan iri hati. Dua orang anak perempuan itu sedang tersenyum-senyum dan saling pandang. Melihat saudaranya demikian cantik memakai kembang di kepala, mereka tahu bahwa mereka pun masing-masing seperti saudaranya itulah. Dan mereka merasa bangga dan girang. "Wuutt... wuuttt...!" Dua buah benda menyambar. "Pratt! Prattt!" Kui Lan dan Kui Lin menjerit dan cepat memegang kepala masing-masing. Bunga-bunga di kepala mereka tadi sudah runtuh dan mendadak kepala mereka menjadi kotor terkena lumpur! Entah dari mana datangnya mereka tidak tahu, akan tetapi ada tanah berlumpur yang menyambar bunga mereka sehingga bunga itu runtuh dari atas kepala mereka dan rambut mereka menjadi kotor. Kui Lan dan Kui Lin adalah dua orang anak manja. Melihat bunga itu jatuh rusak dan rambut mereka kotor, yang mereka ketahui dari melihat rambut saudara mereka, keduanya lalu menangis. Mendengar jerit itu yang disusul tangis, Sin Liong menjadi terkejut. Kupu-kupu kuning tadi memang lincah sekali, kelihatan terbang rendah akan tetapi beberapa kali ditubruknya selalu gagal dan luput. Pada saat mendengar jerit kedua orang anak perempuan itu dia menoleh dan kagetlah hatinya melihat mereka menangis sambil memegangi kepala. Cepat dia berlari menghampiri. Napasnya sampai terengah-engah karena dia terkejut dan berlari cepat sekali. Ketika melihat betapa bunga itu sudah rontok dari kepala mereka dan rambut mereka kotor terkena lumpur, Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang ke kanan kiri. Akan tetapi tak nampak seorang pun di situ dan dia lalu membersihkan rambut kepala Kui Lan karena anak inilah yang lebih keras tangisnya, sambil menghibur. "Sudahlah, biar nanti kucarikan lagi." Sin Liong menggunakan ujung lengan bajunya untuk membersihkan rambut kedua orang anak perempuan itu. "Heeei Sin Liong, kau berani kurang ajar terhadap dua orang sumoi-ku, ya? Kau telah menggoda mereka dan mengotorkan rambut mereka, ya?" Sin Liong terkejut dan menoleh. Dia melihat Siong Bu tiba-tiba saja muncul dan selagi dia hendak membantah, Siong Bu sudah menerjang dan menyerangnya dengan pukulan ke arah dadanya. Sin Liong mundur-mundur, akan tetapi dia tidak mampu menghindar dari pukulan itu. "Bukkk...!" dan dia terhuyung ke belakang. "Heeeiii, aku aku tidak..." "Pengecut! Beraninya hanya menggoda anak perempuan!" Siong Bu menerjang lagi, kini mengirim tendangan ke arah perut Sin Liong. Gaya serangan Siong Bu kini sudah makin berisi, berbeda dengan setahun yang lalu. Sin Liong meloncat ke belakang mengelak, akan tetapi pemuda kecil yang berwajah tampan dan pemarah itu sudah mendesaknya dan mengirim pukulan bertubi-tubi. Setahun yang lalu, walau pun Sin Liong belum pernah mempelajari ilmu silat, namun dia memiliki ketangkasannya karena hidup secara liar bersama para monyet. Kini, karena dia telah mempelajari ilmu silat, maka menghadapi serangan-serangan Siong Bu yang marah tentu saja dia bergerak menurut itu silat yang selama ini dilatihnya di bawah bimbingan ibunya. Dan justru hal inilah yang membuat dia menjadi bulan-bulanan serangan Siong Bu. Siong Bu telah mempelajari ilmu silat sejak kecil, maka dibandingkan dengan Sin Liong yang baru belajar satu tahun itu, tentu saja Siong Bu jauh lebih menang, maka kalau Sin Liong menghadapinya dengan mengandalkan gerakan silat, tentu saja dia kalah jauh dan elakan-elakannya menurut gaya silat yang belum matang itu tak berhasil menghindarkan dia dari serangan-serangan Siong Bu. Dengan kepandaian silatnya yang masih mentah, namun yang dipakainya dalam gerakan, Sin Liong bahkan mengurangi kecepatannya sendiri, kehilangan ketangkasan yang telah didapatnya secara wajar dan otomatis itu. Andai kata dia tidak lagi terikat dengan gerakan silat, kiranya dia malah akan dapat bergerak lebih cepat karena bebas, dan dia pun dapat mengandalkan nalurinya yang sangat kuat untuk menghindarkan diri dari semua pukulan dan tendangan. Namun, dia menangkis dan mengelak dengan gerakan silat yang masih mentah sehingga berkali-kali dia terkena hantaman dan tendangan Siong Bu. Beberapa kali dia terpelanting dan terbanting roboh! "Heiiii, suheng! Sin Liong! Jangan berkelahi...!" Beng Sin datang berlari-lari ke tempat itu dan mencoba untuk melerai. Akan tetapi hampir saja dia terkena sambaran tendangan kaki Siong Bu. "Sudah... sudah... kenapa berkelahi?" Beng Sin berseru lagi akan tetapi kini dia hanya berdiri dengan khawatir. Akan tetapi, Sin Liong adalah seorang anak yang keras hati. Meski pun hidungnya sudah mengeluarkan darah dan mukanya benjol-benjol membiru, pakaiannya koyak-koyak serta tubuhnya babak belur, dia masih terus melawan dan sekali dua kali ada juga pukulannya yang mengenai tubuh Siong Bu. Akan tetapi, kembali dia terjengkang oleh tendangan kaki Siong Bu yang mengenai dadanya. "Desss...!" Sin Liong terjengkang dan terbanting keras. "Sudah... sudah, jangan berkelahi...!" Kui Lin berseru. "Kwan-suheng, sudah jangan memukul dia lagi!" Kui Lan juga berteriak. Akan tetapi Siong Bu bukan hanya marah, akan tetapi anak ini juga ingin memamerkan kepandaiannya di hadapan kedua orang sumoi-nya, untuk menonjolkan kelebihannya dari Sin Liong agar harga dirinya naik dalam pandangan dua orang sumoi-nya itu, juga untuk merendahkan Sin Liong di depan mereka. "Hayo kau minta ampun, baru aku mau sudah!" bentak Siong Bu kepada Sin Liong yang sudah babak belur itu. Akan tetapi, bagi Sin Liong lebih baik jika dia dipukul mati dari pada harus minta ampun kepada Siong Bu, minta ampun tanpa bersalah. Maka dia sudah merangkak bangun lagi kemudian dengan gerengan di dalam kerongkongannya, dia menubruk ke depan. Begitu terdengar gerengan ini, Sin Liong menyerang dengan ganas dan liar, tidak menggunakan gerak silat lagi. Dia sudah lupa akan silatnya, kini berubah menjadi seekor monyet marah, matanya mendelik dan mulutnya menyeringai, tubrukannya dahsyat sekali. "Plakkk! Dukkk!" Tendangan dan pukulan Siong Bu memapaki tubuhnya, akan tetapi kini Sin Liong seperti tidak mengenal rasa sakit lagi dan masih saja dia menubruk dan mencengkeram. Rambut kepala Siong Bu dijambak dan ditarik sekuatnya sehingga anak itu menjerit dan berusaha melepaskan jambakan. Namun Sin Liong tetap mencengkeram rambut itu seperti seorang yang hanyut di sungai berpegangan kepada ranting pohon penyelamat. Siong Bu kesakitan dan berteriak-teriak, kakinya menendang-nendang dan ketika lutut Sin Liong tertendang, dia terguling, akan tetapi karena jari-jari tangannya masih mencengkeram rambut Siong Bu, maka anak ini pun terbawa pula ikut terguling bersamanya. Mereka kini bergulat dan bergulingan di atas tanah. Tiba-tiba terdengar bentakan, "Lepas...!" Mendengar suara ibunya, Sin Liong terkejut sekali lantas melepaskan cengkeramannya. Juga Siong Bu melepaskan cekikannya dan kedua orang anak itu bangkit berdiri. Pakaian mereka penuh debu dan mereka berdiri dengan muka tunduk karena takut. Akan tetapi Sin Liong segera mengangkat mukanya dan memandang kepada ibunya. Si Kwi terkejut bukan main melihat muka anaknya itu benjol-benjol biru dan berdarah di bibir dan hidungnya. Jelas bahwa Sin Liong telah dihajar oleh Siong Bu karena pada muka anak ini tidak ada bekas pukulan Sin Liong. Si Kwi adalah seorang wanita yang keras hati dan dia tidak mudah dipengaruhi oleh perasaan. Biar pun hatinya marah melihat muka anaknya seperti itu, namun dia tidak menuruti hatinya dan ingin tahu apa yang terjadi sebelum dia menyalahkan. "Sin Liong, mengapa kau berkelahi dengan Siong Bu?" Sin Liong menentang pandang mata ibunya. Sepasang matanya tajam menusuk sehingga diam-diam Si Kwi bergidik. Mata anak ini serupa benar dengan mata Cia Bun Houw, tetapi kalau dalam pandang mata Cia Bun Houw selain ketajaman luar biasa juga terkandung kelembutan, sebaliknya ketajaman pandang mata anak ini bercampur dengan cahaya liar dan ganas! Dan anak itu sama sekali tidak menjawab, sebaliknya kini malah menunduk. Si Kwi tahu akan watak aneh dari anaknya ini, maka dia menoleh kepada Siong Bu dan bertanya, "Siong Bu, hayo cepat katakan apa yang terjadi! Kenapa engkau memukuli Sin Liong?" Siong Bu yang sejak tadi menunduk, kini mengangkat mukanya dan sambil menoleh ke arah Sin Liong dengan pandang mata marah, dia berkata, "Dia menggoda Lan-sumoi dan Lin-sumoi, mengotori rambut mereka dan membuat mereka menangis, maka saya lalu menghajarnya, bibi." Si Kwi menoleh kepada Sin Liong yang masih berdiri dengan muka tunduk. "Sin Liong, benarkah engkau menggoda Lan Lan dan Lin Lin?" tanyanya dengan alis berkerut. Sin Liong mengangkat mukanya, memandang ibunya sejenak, lalu menunduk lagi tanpa menjawab! Si Kwi maklum bahwa kalau sudah begitu, diapakan pun juga, Sin Liong tidak akan mau menjawab. Dia menoleh kepada Beng Sin yang gemuk dan yang semenjak tadi berdiri agak jauh tanpa berani ikut bicara. Melihat bibinya memandang kepadanya, dia tersenyum ramah akan tetapi tidak berkata apa-apa. Si Kwi tidak mau bertanya kepada Beng Sin, karena dia tahu bahwa Beng Sin tidak ikut-ikut dalam hal ini. Yang paling tepat adalah menanyai anak-anaknya sendiri. "Lan Lan dan Lin Lin, benarkah Sin Liong menggoda kalian dan mengotori rambut-rambut kalian?" "Tidak, ibu. Sama sekali tidak!" Kui Lin berkata. "Hemm, kalau begitu mengapa mereka berkelahi?" Si Kwi mendesak. Kui Lan yang kini menjawab karena Kui Lin memang tidak begitu pandai bicara. "Sesungguhnya Sin Liong tidak menggoda kami, ibu. Sin Liong malah mencarikan bunga dan bermain-main dengan kami. Tahu-tahu Kwan-suheng datang dan menuduh Sin Liong menggoda kami lalu memukulnya." Si Kwi menoleh dan memandang kepada Siong Bu dengan alis berkerut. Melihat ini Siong Bu cepat berkata, "Saya... saya melihat kedua sumoi menangis, maka tentu mengira Sin Liong menggoda mereka dan..." "Kenapa kalian menangis?" Si Kwi memotong dan kembali memandang pada dua orang anaknya. "Kembang kami jatuh...," Kui Lin berkata. "Entah kenapa, ibu, kembang pemberian Sin Liong terjatuh dari rambut kami dan rambut kami menjadi kotor terkena tanah lumpur. Kami menangis, Sin Liong menghibur kami dan tahu-tahu Kwan-suheng muncul dan memukuli Sin Liong," kata Kui Lan. Si Kwi kini memandang Siong Bu dengan mata marah. Dia kini dapat menduga apa yang terjadi dan dia lalu melangkah maju mendekati Siong Bu. Tangannya bergerak ke depan menyambar ke arah muka anak itu. "Plakk! Plakk!" Dua kali kedua pipi Siong Bu ditampar oleh nyonya itu. Siong Bu terpelanting, lalu berlari sambil menangis dan memegangi kedua pipinya. Hemmm, dia tentu akan mengadu kepada pamannya, pikir Si Kwi. Lalu dia menegur Sin Liong dengan suara halus, "Liong-ji, kenapa engkau mencari gara-gara? Kalau ada orang menyerangmu, mengapa engkau tidak pergi saja mencariku biar aku yang turun tangan? Kenapa engkau melawan sendiri sedangkan kepandaianmu masih amat rendah? Engkau mencari penyakit." Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab, bahkan langsung pergi meninggalkan ibunya untuk melanjutkan pekerjaannya menyapu lorong di taman itu. Si Kwi menarik napas panjang, tidak berani dia memperlihatkan kasih sayangnya secara terbuka kepada Sin Liong, maka dia pun lalu menggandeng tangan kedua orang anak perempuan itu dan mengajaknya kembali ke dalam rumah. Dugaan Si Kwi memang ternyata terbukti benar. Siong Bu yang merasa betapa pamannya amat menyayangi dan memanjakannya, dan yang tahu pula bahwa pamannya itu tidak suka pada anak angkat bibinya, sambil menangis lalu mengadu kepada pamannya bahwa dia ditampari oleh bibinya karena bibinya membantu Sin Liong. Melihat kedua pipi keponakan yang sebenarnya adalah anaknya sendiri itu bengkak dan merah, marahlah Hok Boan. Apa lagi sesudah mendengar pengaduan Siong Bu bahwa perkelahian antara anak itu dengan Sin Liong disebabkan karena Sin Liong dianggapnya menggoda dua orang anak perempuannya. "Anak monyet itu memang tak tahu diri!" bentaknya dan cepat dia menemui Si Kwi dengan muka merah dan mata mengandung kemarahan besar. "Niocu, perbuatanmu sekali ini sungguh tidak menyenangkan hatiku!" Hok Boan berkata kepada isterinya yang sedang mencuci rambut kedua anaknya yang kotor terkena lumpur itu. Si Kwi tahu bahwa suaminya marah dan tentu sudah terkena pengaduan Siong Bu, akan tetapi melihat betapa dalam kemarahannya Hok Boan masih bersikap halus kepadanya, dia pun hanya memandang dan berkata dengan halus pula, "Kui-long (kakanda), apakah aku sebagai isterimu tidak boleh mengajar keponakanmu?" Hok Boan amat mencintai isterinya, maka biar pun marah, dia tidak dapat bersikap kasar. Sekarang, ditanya seperti itu, pertanyaan yang mengandung teguran, dia menjadi gugup, lalu menarik napas panjang dan berkata, "Tentu saja engkau berhak dan boleh sekali mengajarnya karena keponakanku adalah keponakanmu pula. Bukan pengajaranmu itu yang tidak menyenangkan hatiku, niocu. Biar engkau mengajar Siong Bu lebih keras lagi, aku tidak akan merasa menyesal bahkan bersyukur bahwa engkau sebagai isteriku ikut memperhatikan pendidikan untuk keponakanku. Akan tetapi apa bila engkau mengajarnya sebagai pembelaan terhadap anak monyet itu, sungguh hal ini amat tidak tepat!" "Kui-long, aku sama sekali bukan hanya membela Sin Liong. Kalau Sin Liong melakukan hal yang tak patut, tentu dia akan kuajar pula. Akan tetapi aku melihat Sin Liong dipukuli oleh Siong Bu tanpa kesalahan. Suamiku, ingatlah bahwa kita mendidik anak-anak bukan untuk menjadi tukang pukul dan menjadi orang yang berhati kejam! Engkau tahu bahwa baru saja aku mengajarkan silat kepada Sin Liong dan dia tentu saja tidak akan mampu membela diri terhadap Siong Bu. Kalau dia tidak diserang, mana dia berani kepada Siong Bu? Urusan ini merupakan urusan anak-anak, dan kita sebagai orang tua wajib mendidik mereka, kalau perlu menghajar mereka yang menyeleweng. Kalau kini engkau membela Siong Bu, bukankah terdapat bahaya bahwa seakan-akan kita membela murid masing-masing?" Diam-diam Hok Boan terkejut. Benar juga, pikirnya. "Tia (ayah), Sin Liong tidak bersalah apa-apa dan suheng salah sangka, datang-datang lalu memukulnya. Suheng mengira Sin Liong menggoda kami berdua, padahal tidak sama sekali." Kui Lan berkata, membela Sin Liong dan membela ibunya. Mendengar ini, Hok Boan semakin tidak mampu berkata apa-apa. Dia sendiri pun tahu bahwa puteranya itu, Siong Bu, memang berwatak keras. Dia menarik napas panjang lalu berkata kepada isterinya, "Maafkan aku, niocu. Aku tidak menyalahkan engkau karena memberi hajaran terhadap keponakan kita itu. Aku hanya khawatir bahwa melihat engkau menampari di depan anak monyet itu, hal ini akan membuat dia besar kepala dan makin liar. Ingat, sejak kecil dia itu sudah terpengaruh oleh keliaran binatang buas, maka kalau dia merasa dimanja, bukan maksudku mengatakan kau memanjakannya, akan tetapi kalau dia merasa dimanja, dia bisa menjadi semakin liar. Dia harus dididik secara keras seperti mendidik seekor monyet liar supaya anak itu menjadi jinak sehingga kelak tidak akan mencemarkan nama baik kita sebagai orang tua angkatnya." Mendengar ini, Si Kwi mengangguk dan dia membenarkan pendapat suaminya. Dia amat mencinta Sin Liong yang diketahuinya adalah puteranya sendiri. Akan tetapi tentu saja dia lebih mencinta suaminya ini. Suami yang sah, sedangkan Sin Liong bukanlah anaknya yang sah. "Engkau memang benar, biar aku akan memperkeras pengawasanku terhadap Sin Liong." "Hemmm, kurasa sebaiknya sekarang aku memberi hukuman kepadanya supaya dia tahu bahwa lain kali dia tidak boleh berkelahi dengan orang." Sesudah berkata demikian, Hok Boan pergi mencari Sin Liong yang biasanya pada waktu seperti itu tentu masih bekerja di belakang memberi makan kuda. Akan tetapi ketika Hok Boan tiba di kandang kuda, anak itu tidak berada di situ. Hanya kuda yang makan makanan kuda dari bak yang nampak di dalam kandang. "Sin Liong...!" Hok Boan memanggil dengan suara marah. Tidak ada jawaban. Hok Boan telah membawa sebatang ranting yang dipersiapkan untuk menghajar Sin Liong. Hatinya menjadi makin marah ketika dia tidak melihat anak itu dan tidak mendengar jawabannya, maka dia lalu meninggalkan kandang kuda dan mencari ke tepi hutan di belakang kandang kuda itu. "Sin Liong...!" Suaranya memanggil-manggil menggema di dalam hutan. Namun panggilan itu hanya dijawab oleh gema suaranya sendiri. *************** Sementara itu, setelah mengadu kepada pamannya tentang dia ditampar oleh bibinya dan tentang Sin Liong, diam-diam Kwan Siong Bu menjadi takut sendiri. Dia tahu betul bahwa sesungguhnya dia yang lebih dulu memukuli Sin Liong karena hatinya panas melihat anak yang dianggapnya anak monyet itu bermain-main demikian akrabnya dengan Kui Lan dan Kui Lin. Biar pun dia disayang oleh pamannya, akan tetapi bibinya agaknya lebih menyayang Sin Liong, dan apa bila pamannya mendengar akan semua yang terjadi, mungkin dia malah yang akan mendapat kemarahan pamannya itu. Oleh karena itu, setelah melapor sambil menangis di depan pamannya dan melihat pamannya pergi dengan marah, Siong Bu lalu pergi pula meninggalkan rumah dan masuk ke dalam hutan. Dia memasuki hutan besar itu, lantas duduk di bawah pohon besar, tersembunyi di balik semak-semak belukar. Memang dia bermaksud untuk bersembunyi dan baru akan pulang kalau keadaan rumah sudah mereda, kalau paman dan bibinya tidak marah-marah lagi. Kalau dia teringat kepada Sin Liong hatinya menjadi semakin panas. Terbayang di dalam ingatannya saat Sin Liong menangis dengan kepala di atas pangkuan bibinya, dibelai oleh bibinya. Hal itulah yang sesungguhnya menimbulkan iri di dalam hati anak ini. Dia sendiri tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Semenjak kecil dia dibawa secara paksa oleh pamannya ke Istana Lembah Naga. Melihat Sin Liong yang dikenalnya hanya sebagai seorang anak angkat, sama sekali tak ada hubungan darah daging dengan paman mau pun bibinya, malah anak yang kabarnya ditemukan dari sekumpulan monyet, akan tetapi demikian disayang oleh bibinya, tentu saja dia merasa iri hati dan perasaan ini menimbulkan kebencian di dalam hatinya. Kedua pipinya masih terasa panas dan nyeri. Gara-gara anak monyet itu, pikirnya sambil mengusap kedua pipinya. Bibinya sudah menamparnya demi membela anak monyet itu! Hatinya merasa amat penasaran dan sakit sehingga dua tetes air mata kembali menuruni pipinya. Siong Bu merebahkan diri di atas rumput, berbantal lengan dan sebentar saja dia pun tertidurlah. Dia terkejut dan bangun mendengar suara-suara tidak jauh dari situ. Dengan heran Siong Bu bangkit duduk dan ketika mendengar suara orang bercakap-cakap, dia cepat-cepat merangkak dan mengintai dari balik semak-semak. Jantungnya berdebar keras karena dia mendengar suara wanita, menduga bahwa bibinya yang datang mencarinya. Akan tetapi setelah dia sadar betul, dia mendapat kenyataan bahwa suara itu bukanlah suara bibinya. Timbul keberaniannya dan dia lalu mengintai. Ternyata wanita itu adalah seorang wanita yang berpakaian amat indah, usianya sepantar dengan bibinya akan tetapi wanita ini cantik sekali, cantik dan pakaiannya sangat mewah. Rambutnya digelung malang melintang dan membelit-belit bagaikan beberapa ekor ular saling belit dan rambut itu dihias dengan hiasan rambut yang gemerlapan. Lengan kirinya memakai gelang emas kecil-kecil yang banyak, sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan kiri, terdengar suara gemerincing nyaring. Wajah itu cantik dan manis, akan tetapi dingin sekali dan kelihatan angkuh sehingga menakutkan hati Siong Bu. Sekarang Siong Bu mengalihkan perhatiannya dan memandang orang kedua yang berdiri berhadapan dengan wanita itu. Orang ini adalah seorang pemuda kecil, usianya kurang lebih empat belas tahun, akan tetapi perawakannya tinggi tegap, setinggi orang dewasa. Seperti juga wanita itu, pemuda ini memakai pakaian yang amat mewah, topinya terhias mainan seekor naga dengan mata mutiara indah. Wajahnya tampan dan gerak-geriknya halus, mulutnya selalu tersenyum. Siong Bu merasa terheran-heran. Memang sudah banyak orang tinggal di sekitar Lembah Naga, akan tetapi mereka semua adalah orang-orang dusun yang miskin dan berpakaian sederhana. Lantas dari mana datangnya dua orang yang berpakaian seperti bangsawan-bangsawan tinggi itu? Dia mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian tanpa berani bergerak. "Suci, kenapa kita harus meninggalkan kereta dan pengawal?" anak laki-laki itu bertanya kepada wanita yang disebutnya kakak seperguruan itu. "Sute, di dunia kang-ouw, hal yang paling terpandang adalah keberanian dan kegagahan. Kalau kita datang bersama banyak pengawal, tentu orang akan mengira bahwa kita hanya mengandalkan kekuatan pasukan pengawal dan hal itu berarti akan mencemarkan nama suci-mu ini." Mendengar ucapan itu, Siong Bu terheran maka kini dia memandang wanita itu dengan makin penuh perhatian. Tadinya dia tidak berani memandang terlalu lama karena wajah wanita yang dingin dan angkuh itu menakutkan hatinya. Baru sekarang dia melihat bahwa wanita yang cantik dan berpakaian indah itu ternyata membawa sebatang pedang yang tergantung pada punggungnya. Di samping pedang ini, juga nampak sebuah kayu salib tergantung di punggung itu, kayu salib yang jelas kelihatan ada tulisan tiga huruf besar, yaitu CIA, YAP dan TIO. "Suci, banyakkah jagoan-jagoan di dunia kang-ouw?" Wanita itu menarik napas panjang. "Banyak? Sampai tidak terhitung, sute. Dan masing-masing memiliki keistimewaan sendiri. Di dunia ini penuh orang pandai, oleh karena itu, di dalam melakukan perjalanan ke kota raja di selatan nanti bersama suci-mu, engkau harus berhati-hati dan selalu menurut bimbingan suci-mu, jangan bertindak ceroboh, sute." "Akan tetapi kenapa kita harus berhenti dulu di Lembah Naga, suci? Bukankah itu hanya membuang-buang waktu belaka?" anak laki-laki itu mencela. "Ayahmu sri baginda yang mengutus aku ke sini, sute. Selain itu, ada beberapa urusan pribadi yang harus kuselesaikan. Ada beberapa orang musuh menantang suci-mu untuk mengadakan pertemuan di tempat ini." "Apakah mereka lihai, suci?" "Ahh, tidak berapa lihai, hanya beberapa orang yang datang hendak mengantar nyawa saja." "Suci, biarkan aku menghadapi mereka!" "Bagaimana nanti sajalah..." Pada saat itu terdengar bentakan nyaring. "Kim Hong Liu-nio, perempuan sombong! Kami datang menagih nyawa saudara-saudara kami!" Dan bermunculanlah lima orang laki-laki dari balik pohon-pohon. Namun wanita cantik itu hanya tersenyum mengejek, sedangkan anak laki-laki itu pun memandang dengan wajah gembira dan dia tersenyum lebar. "Suci, kenapa baru sekarang mereka muncul? Bukankah semenjak tadi mereka itu sudah bersembunyi di balik pohon-pohon itu?" Siong Bu terkejut. Ternyata anak laki-laki itu sudah tahu akan kedatangan lima orang ini! Jangan-jangan suci dan sute itu pun sudah tahu akan tempat dia bersembunyi! Siong Bu makin ketakutan dan dia mengintai terus dengan hati penuh ketegangan. Dia melihat bahwa lima orang yang baru datang itu kelihatan gagah dan kuat, dikepalai oleh seorang laki-laki berusia enam puluh lima tahun lebih yang bertubuh pendek besar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar. Orang ini pakaiannya serba hitam, dengan sabuk dan kain kepala berwarna kuning. Empat orang lainnya agak lebih muda, antara empat puluh tahun usia mereka dan sikap mereka juga gagah, dengan memegang bermacam senjata, sikap mereka penuh ancaman dan kemarahan. Kim Hong Liu-nio, wanita cantik itu, menghadapi kelima orang dengan sikap memandang rendah, lalu dia mengangkat muka memandang kakek pendek besar itu, bertanya dengan sikap tak acuh, "Jadi kalian inikah yang mengirim surat tantangan supaya aku datang ke tempat ini?" "Suci, apakah mereka ini jagoan-jagoan kang-ouw juga?" Anak lelaki itu bertanya setelah memandang kepada lima orang itu penuh perhatian. Wanita itu mendengus dan bibirnya berjebi. "Sute, di dunia kang-ouw, orang-orang seperti mereka ini hanya merupakan cacing-cacing busuk yang tiada artinya." Kakek pendek besar yang membawa golok besar di pinggangnya itu membentak marah. "Perempuan sombong! Aku Twa-sin-to Kui Liok selama hidupku tidak pernah bermusuhan denganmu! Akan tetapi tanpa dosa sama sekali dua orang keponakanku telah kau bunuh, hanya karena mereka itu she Tio!" "Semua orang she Cia, Yap dan Tio harus mampus di tanganku!" kata wanita itu sambil memperlihatkan papan kayu salib yang diambilnya dari punggung. "Siluman betina, engkau juga telah membunuh sute kami yang she Yap!" Kini tiga orang laki-laki yang memegang pedang melangkah maju dengan sikap mengancam. "Dan engkau membunuh ibuku yang she Cia!" kata orang ke lima, juga marah sekali. "Sute, apakah engkau jadi ingin menghadapi cacing-cacing in!?" "Benar, suci. Aku ingin mencoba apa yang telah kupelajari dari subo dan darimu." Anak itu lalu melangkah maju, menghadapi lima orang itu dengan sikap tenang. Lima orang itu saling pandang dengan ragu-ragu. Tentu saja mereka tak sudi mengeroyok seorang anak laki-laki yang usianya belum dewasa ini. Mereka adalah orang-orang yang terkenal di perbatasan utara ini. Bahkan Twa-sin-to Kui Liok adalah seorang perampok tunggal yang amat terkenal di selatan. "Kim Hong Liu-nio, lekas kau suruh anak ini minggir! Kami hanya ingin membalas dendam kepadamu dan menagih nyawa!" bentak kakek itu sambil melangkah maju. "Twa-sin-to, biarlah aku yang mewakili suci-ku. Cabutlah golok besarmu dan kalian boleh maju semua, aku akan menghadapi kalian dengan tangan kosong saja," anak laki-laki itu berkata dengan sikapnya yang halus, namun senyum di bibirnya penuh ejekan dan penuh ketinggian hati. Selagi Twa-sin-to Kui Liok meragu, seorang di antara mereka, yang termuda, kurang dari empat puluh tahun usianya, bermuka hitam, telah melangkah maju kemudian membentak. "Biarlah aku melemparkan setan cilik yang sombong ini!" Lelaki itu bertubuh tinggi besar, bermuka hitam menyeramkan dan karena kedua lengan bajunya tergulung sampai ke atas siku, maka nampak kedua lengannya yang berotot dan amat kuat. Kini, menghadapi anak itu, dia menyimpan lagi pedangnya ke sarung pedang yang tergantung di pinggangnya dan dia menghadapi anak itu dengan dua tangan kosong yang telah dikembangkannya ke kanan kiri, siap untuk menubruk. "Nanti dulu!" kata anak yang tampan itu. "Apakah engkau juga seorang jagoan kang-ouw dan mempunyai nama julukan? Lebih baik kau beritahukan nama julukanmu itu agar aku dapat mencatat namamu sebagai jagoan kang-ouw pertama yang kurobohkan." Muka yang hitam itu menjadi makin hitam, matanya melotot. "Bocah sombong, setan cilik yang bosan hidup!" bentaknya dan dengan cepat, seperti seekor harimau kelaparan, si muka hitam ini sudah menerjang ke depan, menubruk dengan tangan kiri mencengkeram ke arah pundak anak itu dan tangan kanan mencekik ke arah leher! "Hemm... dia kasar sekali, suci!" anak itu berseru dan sekali tubuhnya bergerak, dengan langkah kaki yang indah sekali, serangan orang itu mengenai tempat kosong, dan sambil mengelak itu kaki kanannya diangkat sedikit menyentuh lutut kiri lawan. "Dukkk...!" Perlahan saja tendangan itu, akan tetapi karena tepat mengenai sendi lutut tak dapat dicegah lagi si muka hitam jatuh berlutut! "Wah, dia tahu aturan juga, suci. Lihat, belum apa-apa dia sudah berlutut minta ampun!" anak itu berkata mengejek. Tentu saja si muka hitam menjadi semakin marah dan malu. Dia adalah seorang jagoan yang telah terkenal mempunyai kepandaian tinggi dan nama besar. Sekarang, dalam satu gebrakan saja dia telah dihina oleh seorang anak kecil belasan tahun! "Bocah keparat!" Dia meloncat dan kini dia mengirim serangan hebat, bukan lagi serangan biasa karena memandang rendah seperti tadi, melainkan serangan yang berdasarkan ilmu silat. Kedua tangannya secara bergantian menghantam ke arah leher dan pusar, lantas kaki kanannya menyusul dengan tendangan maut ke arah dada. Cepat sekali terjangan yang dilakukan oleh si muka hitam ini. Akan tetapi baru saja dia bergerak, anak itu telah berseru, "Wah, suci, bukankah ini jurus Go-houw Pok-sit (Macan Kelaparan Menyambar Makanan)? Kalau kutangkis begini, tentu dia akan menyusul dengan tendangan, nah sebaiknya kutangkap kakinya dari bawah dan kudorong terus ke atas, ya?" Sambil bicara demikian, dia melaksanakan kata-katanya. Serangan pukulan kedua tangan si muka hitam itu berhasil ditangkisnya dan ketika kaki si muka hitam menyambar, dia langsung meloncat ke samping, lalu secepat kilat tangannya menyambar kaki yang lewat, menyangga dari bawah dan mendorongnya terus ke atas. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh si muka hitam itu terjengkang dan terbanting berdebuk ke atas tanah sampai mengeluarkan debu mengepul! "Bagus, sute, memang sungguh tepat perhitunganmu!" Wanita cantik itu memuji sambil mengangguk-angguk. "Akan tetapi jangan terlalu lama main-main dengan dia, masih ada empat ekor lagi yang lain!" Si muka hitam itu menjadi marah bukan main. Marah dan malu sekali. Jagoan seperti dia sampai dua kali dirobohkan oleh seorang anak kecil dan hanya dalam dua gebrakan saja! Saking marahnya dia sampai lupa diri, lupa bahwa yang kini dihadapinya adalah seorang anak laki-laki yang belum dewasa. Dia sudah bangkit berdiri, mukanya makin menghitam dan matanya mendelik lalu dia membungkuk seperti seekor kerbau marah, mendengus-dengus. "Wah, tadi berlutut dan kini menjura. Sudahlah, muka hitam, jangan menggunakan terlalu banyak peradatan dan sopan santun. Aku tidak bisa menerima penghormatanmu!" Anak itu yang ternyata selain lihai juga memiliki lidah tajam dan pandai mengejek, menggerak-gerakkan kedua tangan ke depan seperti orang menolak. Melihat kehebatan anak laki-laki ini, secara diam-diam Siong Bu menjadi kagum bukan main. Akan tetapi terkejutlah dia ketika melihat tiba-tiba si muka hitam itu mengeluarkan suara gerengan seperti harimau, lalu tubuhnya sudah menerjang ke depan dengan kepala di depan, menyeruduk seperti seekor kerbau gila! Siong Bu terkejut bukan main. Dahulu dia pernah mendengar dari pamannya tentang ilmu menyeruduk seperti ini, yang mengandalkan latihan lweekang yang dipusatkan di kepala, dan ilmu ini amat berbahaya karena lawan yang kena diseruduk tentu akan remuk tulang-tulang dadanya. Biar pun dia belum pernah menyaksikan kehebatan ilmu aneh ini, namun mendengarkan penuturan pamannya dia merasa ngeri dan sekarang melihat anak yang dikaguminya itu diserang dengan ilmu aneh ini, dia terbelalak dan merasa tegang. Juga empat orang laki-laki yang menjadi teman si muka hitam merasa tegang dan mereka hampir merasa yakin bahwa kini anak kecil itu tentu akan celaka. Anehnya, wanita cantik yang menjadi suci anak itu hanya memandang dengan sikap tenang saja, sama sekali tidak merasa kaget atau gelisah. cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Bagai seekor gajah atau seekor kerbau gila, si muka hitam menyeruduk dan nampaknya anak yang menjadi lawannya itu pun tidak tahu harus berbuat apa. Dia sama sekali tidak mengelak dan berdiri tegak saja. Ketika kepala yang mengancamnya itu sudah meluncur dekat, tiba-tiba saja anak itu menggerakkan tangan kanannya, dengan jari-jari terbuka dia menusuk ke depan, menyambut kepala itu dengan tusukan jari-jari tangannya. "Crokkk...!" Tubuh anak itu terhuyung ke belakang bergoyang-goyang dan mukanya agak pucat, akan tetapi tubuh si muka hitam terguling dan dari kepalanya mengalir darah merah bercampur cairan otak putih! Dia tewas seketika! Empat orang temannya menjadi kaget bukan main dan mereka memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, wanita cantik itu tidak mempedulikan mereka, cepat menghampiri sute-nya kemudian dua kali dia mengurut dada sang sute yang menjadi tenang dan pulih kembali. "Ah, sute, kenapa kau begitu ceroboh? Kau harus ingat bahwa orang yang menggunakan serangan dengan kepala adalah orang yang mempunyai lweekang kuat, apakah kau lupa lagi? Dan melawan kekerasan dengan kekerasan merupakan kecerobohan besar. Untung bahwa lweekang-nya tadi belum kuat benar, kalau lebih kuat setingkat saja, bukankah engkau pun akan menderita luka biar pun kau berhasil membunuhnya?" Anak laki-laki itu mengangguk. "Aku telah keliru, suci, mengharapkan petunjukmu." "Sekarang lihatlah baik-baik. Nah, kau lontarkan dia dalam kedudukan menyerang seperti tadi kepadaku!" Anak itu mengangguk, lalu menghampiri mayat si muka hitam. Dicengkeramnya baju di tengkuk dan di belakang pinggul mayat itu, kemudian sambil mengerahkan tenaga, dia lalu melontarkan mayat itu ke arah suci-nya. Mayat itu meluncur dengan cepatnya ke arah wanita tadi dengan kepala di depan, seperti ketika dia menyeruduk anak itu. Dan seperti juga sikap anak tadi, wanita ini tenang saja, baru setelah serudukan itu dekat, tiba-tiba saja dia menggeser kakinya, tubuhnya sudah berputar ke kiri dan pada waktu kepala yang menyeruduk itu lewat, secepat kilat jari-jari tangannya bergerak seperti gerakan anak tadi, menusuk ke arah pelipis kanan mayat yang lewat. "Crokkk!" Mayat itu terbanting dan pelipis kanannya nampak berlubang-lubang bekas jari tangan, sedangkan wanita itu tetap berdiri tegak. "Nah, kau sudah lihat, sute? Apa bila kau memapaki dari depan, selain melawan tenaga lweekang-nya, juga tenaganya itu ditambah lagi dengan tenaga luncuran tubuhnya, tentu saja menjadi sangat kuat. Sebaliknya, kalau engkau menusuk dari samping, engkau tidak memapaki tenaga lawan secara langsung." Tadinya keempat orang teman si muka hitam itu hanya memandang dan mendengarkan dengan mata terbelalak, akan tetapi kini mereka telah sadar dan menjadi marah sekali. "Jahanam! Bocah setan, berani kau membunuh teman kami?" bentak Twa-sin-to Kui Lok kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh pendek gemuk itu. Goloknya yang besar panjang tahu-tahu telah berada di tangan kanannya dan begitu dia menggerakkan tangan, terdengar suara berdesing dan golok itu lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata. "Jangan lawan dengan tangan kosong, pergunakan pedangmu!" tiba-tiba wanita cantik itu berseru setelah melihat gerakan Kui Lok. "Prattttt...!" Nampaklah sinar berkeredepan dan tahu-tahu anak itu pun sudah mencabut pedangnya, yaitu sebatang pedang yang amat indah, gemerlapan dan mengkilat sekali seperti perak kebiruan, gagangnya berukir tubuh naga dengan ronce-ronce merah berbentuk lidah yang keluar dari kepala naga yang terukir di ujung gagang. Twa-sin-to Kui Lok yang dihadapi oleh anak itu, merasa dipandang rendah sekali, karena itu dia terus saja menggerakkan goloknya dengan dahsyat. Si pendek gemuk ini berjuluk Twa-sin-to (Si Golok Besar Sakti) maka tentu saja ilmu goloknya amat hebat dan dengan goloknya itu dia telah membuat nama besar di selatan. Kini dia dihadapi oleh seorang anak yang usianya baru empat belas tahun, tentu saja dia marah sekali dan ingin cepat-cepat membunuh anak ini agar dapat mencurahkan seluruh perhatian dan memusatkan tenaga serta kepandaian untuk menghadapi Kim Hong Liu-nio yang menjadi musuh besarnya itu. Dia tidak mau berlaku sungkan-sungkan lagi, maka goloknya yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung itu kini seperti gelombang samudera datang menerjang anak yang telah melintangkan pedang di depan dada sambil memandang permainan lawan dengan penuh perhatian. "Awas, yang dimainkan itu adalah pecahan dari Lo-han-to yang tidak asli lagi, akan tetapi masih memiliki dasar-dasar Lo-han-to!" mendadak wanita cantik itu berseru ketika melihat gerakan golok Twa-sin-to Kui Lok. Diam-diam si gemuk pendek ini kaget bukan main, kaget dan juga marah. Dia merasa sudah menguasai Lo-han-to, ilmu golok yang sangat hebat dari cabang persilatan Siauw-lim-pai itu dengan baik, kini disebut pecahan yang tidak asli lagi! Memang dia bukan murid langsung dari Siauw-lim-pai, akan tetapi dia mengira sudah menguasai Ilmu Golok Siauw-lim-pai itu. Lo-han-to (Golok Orang Tua Gagah) memang merupakan Ilmu Golok Siauw-lim-pai yang hebat, gerakannya gagah bersemangat dan sungguh pun digerakkan dengan lambat, namun mengandung lweekang yang sangat kuat dan sinarnya bergulung-gulung seperti ombak. Akan tetapi, Kui Lok tidak mau perhatiannya terpecah oleh kata-kata wanita itu, dia telah menerjang ke depan, gerakannya ringan dan goloknya menyambar-nyambar seperti kilat dari atas, mengarah tubuh atas anak itu. "Itulah jurus Yan-cu Tiak-sui (Burung Walet Menyambar Air), engkau tahu sifatnya, sute, jaga yang atas jangan lupakan yang bawah!" kembali wanita itu berseru. Anak itu menggerakkan pedangnya menangkis. Terdengarlah bunyi trang-tring-trang-tring nyaring sekali dan kemana pun golok itu menyambar dari atas, selalu bertemu dengan bayangan pedang. Kui Lok terkejut juga dan cepat kakinya bergerak. Memang tendangan merupakan imbangan dari serangan golok jurus itu, dan karena itulah maka tadi wanita itu mengingatkan sute-nya supaya tidak melupakan yang bawah! Maka begitu kaki Kui Lok bergerak menendang, tiba-tiba saja anak itu membalikkan pedangnya menyambut kaki yang menendang. "Ehhhh....!" Si gemuk pendek cepat menarik kembali kakinya dan meloncat ke belakang sehingga dia agak terhuyung. Mukanya berubah dan keringat dingin membasahi lehernya karena dia mengingat betapa hampir saja dalam satu gebrakan kakinya dibikin buntung oleh bocah lihai ini. Dengan kemarahan meluap dia lantas menerjang lagi dengan kecepatan yang lebih dari tadi, dan sekali ini dia sengaja mengeluarkan ilmu golok simpanannya yang biasanya hanya dia pergunakan kalau menghadapi lawan tangguh. "Sute, itulah Ngo-houw-toan-bun-to (Lima Harimau Menjaga Pintu) yang terkenal itu. Akan tetapi yang ini lebih palsu lagi, hanya tinggal gayanya saja, akan tetapi hati-hati terhadap tangan kirinya!" kembali wanita itu berseru. Makin marahlah hati Kui Lok. Tadi, Lo-han-to yang dikuasainya dikatakan tidak asli, kini Ngo-houw-toan-bun-to yang dibanggakan itu dikatakan tinggal gayanya saja, bahkan lebih palsu lagi! Maka goloknya sampai mengeluarkan suara berdesing-desing dan bersiutan ketika dia menyerang dengan dahsyat. Anak itu ternyata hebat sekali. Dengan lincah anak itu bergerak dengan sepasang kakinya digeser ke sana-sini, melangkah ke depan belakang, kanan kiri dengan cara yang aneh, tetapi semua sambaran sinar golok selalu mengenai tempat kosong. Kalau Kui Lok sudah merasa yakin bahwa goloknya akan mengenai tubuh lawan, ternyata kemudian bahwa yang diserangnya hanya bayangan saja dan anak itu sudah mengelak dengan cepat dan tak terduga-duga. Dalam menghindarkan semua serangan-serangan, anak itu lebih mengandalkan gerakan kakinya dari pada menangkis, sungguh pun kadang-kadang dia menangkis juga dengan pedangnya. Agaknya dia seperti orang sedang berlatih, melatih kelincahan atau melatih langkah-langkah kakinya menghadapi hujan serangan golok itu. Kui Lok yang memainkan goloknya sampai menjadi sangat heran dan penasaran karena telah tiga puluh jurus dia menyerang, tapi sama sekali goloknya belum mampu mengenai tubuh lawan, bahkan mencium ujung bajunya belum pernah! Sementara itu, tiga orang saudara seperguruan yang tadi mengatakan hendak menuntut balas atas kematian sute mereka she Yap, sekarang telah mencabut pedang mereka dan menyerang ke depan untuk membantu Kui Lok merobohkan anak itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring disusul berkelebatnya sinar merah dan teguran suara halus wanita itu, "Jangan kalian berani mengganggu sute yang sedang berlatih!" Sinar merah itu bergulung-gulung menyambar ke arah tiga orang pemegang pedang itu. Mereka terkejut bukan main melihat sinar yang panjang seperti seekor naga itu, dan cepat mereka menggerakkan pedang untuk membacok putus sinar yang ternyata adalah sehelai sabuk merah itu. "Wuut-wuut-wuuttt...!" Pedang itu bertemu dengan sinar merah dan otomatis sinar merah itu melibat tiga batang pedang. "Ouhhhh...!" Tiga orang itu terkejut bukan main ketika tahu-tahu pedang mereka terlibat sabuk merah dan ketika wanita itu menggerakkan tangan, sabuk itu menyendal dan tiga batang pedang itu sudah terampas biar pun mereka tadi telah mengerahkan tenaga untuk mempertahankan. Mereka hanya melongo melihat tiga batang pedang mereka terbang ke atas terbelit sabuk merah dan beberapa kali tiga pedang itu beterbangan di atas kepala wanita itu. "Terimalah!" Tiba-tiba wanita itu berseru dan ketika dia menggerakkan tangan, tiga batang pedang yang tadi terbelit sabuk itu lantas meluncur ke depan, menuju ke arah pemiliknya masing-masing! Ketiga orang itu terkejut bukan main dan berusaha untuk mengelak, akan tetapi lontaran pedang dalam belitan sabuk merah itu cepat bukan main dan tahu-tahu pedang-pedang itu telah menembus tubuh mereka, ada yang terkena dadanya, ada pula yang tertembus perutnya. Mereka roboh, sejenak berkelojotan, kemudian tewas! Sebelum mereka roboh, wanita cantik itu sudah tidak memperhatikan mereka lagi dan kini sudah memperhatikan lagi sute-nya yang berlatih di bawah hujan sinar golok. Ilmu golok dari Kui Liok memang hebat. Meski pun ilmu atau jurus Ngo-houw-toan-bun-to yang dimainkannya itu tidak asli, namun karena sudah terlalu sering dilatihnya, maka memiliki daya serang yang hebat dan lihai. Setiap serangan yang luput dari sasaran selalu disambung dengan serangan lain, tusukan disambung tikaman, bacokan disusul bacokan membalik. Dan sampai lima jurus lamanya anak itu dapat selalu menghindarkan diri. Akan tetapi apa yang diperingatkan oleh wanita tadi tidak kunjung tiba, yaitu tangan kiri Kui Liok. Tadi wanita itu sudah memperingatkan sute-nya agar berhati-hati terhadap tangan kiri si pemegang golok itu, akan tetapi setelah lewat lima puluh jurus, tetap saja Kui Liok belum pernah mempergunakan tangan kirinya. Hal ini sama sekali bukan karena peringatan itu keliru, melainkan karena Kui Liok sengaja tidak mau mempergunakan tangan kirinya yang belum apa-apa sudah diterka oleh wanita itu! "Sute, sekarang latihlah serangan pedangmu!" wanita yang semenjak tadi memperhatikan jalannya pertandingan itu tiba-tiba berseru. Anak itu tak menjawab, melainkan mengubah gerakannya. Kini pedangnya mengeluarkan suara berdengung yang nadanya naik turun, seperti suara orang bersenandung! Kui Liok terkejut melihat pedang itu tahu-tahu telah berada di dekat lehernya. "Tranggg...!" Dia menangkis dengan keras. Pedang terpental akan tetapi tahu-tahu telah hinggap dekat pundaknya. Pundaknya tentu akan putus kalau pedang itu membabat turun, maka cepat dia melempar tubuh ke belakang lalu berjungkir balik sambil bergulingan dan memainkan ilmu golok yang dinamakan Tee-tong-to (Ilmu Golok Bergulingan). Tubuhnya bergulingan dan dari gulingan itu goloknya menyambar, membabat ke arah kaki lawan. Kalau tadi dia bergulingan untuk menghindarkan diri dari ancaman pedang, kini tubuhnya bergulingan mengejar lawan untuk balas menyerang! Namun, dengan cekatan anak itu melompat dan tahu-tahu pedangnya telah menusuk dari belakang ke arah tengkuk Kui Liok. Orang gemuk pendek ini merasa tengkuknya dingin, cepat dia meloncat dan menyampok ke belakang. Akan tetapi, anak itu menarik kembali pedangnya dan kini tahu-tahu pedang telah menodong lambung lawan! Kembali Kui Liok menahan jeritnya dan ia cepat meloncat ke belakang sambil menangkis. Bulu tengkuknya benar-benar meremang saking ngerinya menghadapi ilmu pedang yang amat aneh ini. Telinganya terus mendengar bunyi pedang bersenandung dan tampak sinar pedang putih bergulung-gulung, kemudian ujung pedang secara aneh tiba-tiba saja sudah berada di sekitar tubuhnya, sudah menempel tinggal menusuk saja! Twa-sin-to Kui Liok maklum bahwa meski pun yang dihadapinya itu masih kanak-kanak, akan tetapi ternyata telah mempunyai kepandaian yang amat luar biasa. Maka dia cepat menangkis pedang itu dengan goloknya sambil mengerahkan tenaga sinkang menyedot sehingga pedang dan golok melekat. Saat itu dipergunakannya untuk menggerakkan tangan kirinya, secepat kilat tangan itu terbuka lantas menghantam ke arah dada anak itu. Itulah pukulan Ang-see-jiu yang amat hebat. Pukulan beracun yang sudah dilatih dengan pasir merah beracun dan yang sejak tadi tidak dipergunakan karena telah didahului oleh peringatan wanita itu. "Awas, sute!" Wanita itu memperingatkan. Akan tetapi semenjak tadi anak itu agaknya memang tidak pernah melupakan peringatan suci-nya. Melihat sinar merah dari telapak tangan kiri lawan, dia lalu membuka mulut dan mengeluarkan bentakan nyaring. "Puiiihhh!" Dari mulut anak itu menyambar sinar putih ke arah tenggorokan Twa-sin-to Kui Liok. "Aughhhh...!" Tubuh yang pendek gemuk itu langsung terjengkang, matanya terbelalak, di tenggorokannya menancap sebatang jarum putih yang amblas sampai lenyap. Akan tetapi Kui Liok masih dapat melanjutkan pukulan tangan kirinya ke arah dada anak itu. "Dessss...!" Wanita itu mendorong dari samping dan walau pun tangannya tidak sampai menyentuh tubuh Kui Liok, namun angin pukulannya yang kuat membuat tubuh itu terpelanting roboh, pukulan Ang-see-jiu tadi tidak sampai mengenai dada anak itu dan begitu roboh, Kui Liok sudah tegang kaku dan tewas seketika! Anak itu menyimpan kembali pedangnya lantas memandang mayat Kui Liok. Ada sedikit peluh pada dahinya dan suci-nya cepat menghampiri lalu menyusut peluh itu dengan sapu tangannya yang halus dan berbau harum. "Sute, latihanmu berhasil dan baik sekali. Akan tetapi sayang, ketika engkau menyerang dia dengan pek-ciam (jarum putih) tadi, sasarannya kurang tepat. Kalau sasaranmu kau tujukan ke dahinya, tepat di antara kedua alisnya, tentu pukulan Ang-see-jiu dari tangan kirinya itu tak dapat dilanjutkan. Karena kau memilih tenggorokan sebagai sasaran, maka hampir saja engkau terkena pukulan. Harap lain kali engkau lebih cermat lagi." Anak itu mengangguk. "Suci memang benar, dan tadi aku pun sudah berpikir demikian. Akan tetapi aku merasa sangsi untuk menyerang antara sepasang alisnya, karena kupikir bagian itu lebih keras. Dengan sinkang yang belum kuat seperti yang kumiliki ini, aku khawatir jarumku tidak akan dapat menembus tulang kepalanya dan tentu hal itu malah berbahaya sekali." "Ah, engkau kurang percaya kepada diri sendiri, sute. Sekarang engkau boleh mencoba!" Dia lalu menggunakan kakinya mencokel pundak mayat Kui Liok dan tiba-tiba mayat itu mencelat ke atas, berdiri dan seperti hendak menyerang anak itu. Anak itu tiba-tiba membuka mulut dan mengeluarkan seruan. "Huuihhh...!" Sinar putih menyambar, kini ke arah dahi mayat itu yang segera roboh kembali. Anak itu membungkuk dan memeriksa dahi yang ditembusi jarumnya dan dia tersenyum. "Engkau benar, suci. Jarum itu masuk hampir seluruhnya!" "Nah, engkau harus mempunyai rasa kepercayaan kepada diri sendiri, sute. Kepercayaan kepada diri sendiri akan menambah kesanggupanmu dan menenangkan hatimu apa bila engkau bertemu dengan lawan yang pandai. Akan tetapi jangan sekali-kali kepercayaan kepada diri sendiri itu berbalik menjadi kesombongan tanpa perhitungan. Sekarang cabut pedangmu. Tadi aku melihat ada beberapa gerakan inti yang masih kurang tepat, maka sebaiknya kau perhatikan seranganku dan lawanlah dengan pedangmu sebaik mungkin!" Tanpa memberi kesempatan sute-nya untuk menjawab, wanita itu segera menggerakkan sabuknya. "Wirrr... suitttt...!" Sabuk itu melayang ke udara, bergulung-gulung dan menukik ke bawah dan ujungnya sudah menotok ke arah ubun-ubun kepala sute-nya. "Wessss...!" Anak itu tahu-tahu sudah mencabut pedang dan cepat menangkis dengan niat hendak membabat sabuk itu. Namun sabuk lemas itu sudah bergerak lagi ke atas, seperti burung terbang dan berlatihlah dua orang kakak beradik seperguruan itu dengan cepat sekali. Siong Bu yang masih mendekam di balik semak-semak merasa silau, maka terpaksa dia memejamkan matanya yang menjadi berair, karena kecepatan gerakan sinar bergulung-gulung itu benar-benar amat hebat. Dia tidak dapat melihat lagi dua orang itu, melainkan hanya dua sinar putih dan merah bergulung-gulung amat cepatnya. Jantungnya seperti berhenti berdetik ketika dia mendengar suara bersuitan dan angin menyambar sampai ke atas semak-semak itu dan ketika dia melihat ujung semak-semak itu, daun-daun muda jatuh berhamburan seperti dibabat pisau tajam! Tiba-tiba saja terdengar bunyi melengking dari dalam hutan sebelah utara. Sinar putih dan merah yang bergulung-gulung itu berhenti dan wanita itu telah berdiri tegak bersama anak laki-laki, sambil menoleh ke utara. Terdengarlah suara nyaring seorang pria, "Maaf, toanio. Saya hanyalah seorang utusan dari Jeng-hwa-pang, mohon menghadap toanio untuk menyampaikan undangan dari ketua kami!" Wanita itu mencibirkan bibir lantas mendengus, "Merangkaklah ke sini!" katanya dengan nada merendahkan. Nampak sosok bayangan berkelebat cepat dan seorang lelaki berusia empat puluh tahun tinggi kurus berpakaian sederhana, di dada kirinya terhias setangkai bunga hijau terbuat dari pada kertas dan lilin, membawa sebuah bungkusan yang besar, bentuknya persegi, kurang lebih tiga puluh sentimeter setiap seginya. Siong Bu melihat betapa sebelum laki-laki ini muncul, wanita cantik itu telah mengenakan sepasang kaus tangan yang warnanya sama dengan kulitnya sehingga sesudah dipakai, sama sekali tidak kentara. Kini, wanita itu memandang pria yang membawa bungkusan, lalu bertanya, "Selain menyerahkan undangan, engkau disuruh apa lagi?" Orang itu menjura dengan hormat, "Hanya menyampaikan undangan ini lalu diharuskan pergi agar jangan mengganggu toanio lebih lama." "Hemm, kalau begitu lemparkan undangan itu ke sini dan segera menggelindinglah pergi!" bentaknya. Orang itu kemudian melontarkan bungkusan itu ke arah anak laki-laki tadi. Anak itu cepat menggerakkan tangan hendak menyambut, akan tetapi dia didahului oleh suci-nya yang meloncat dan menyambar bungkusan itu dengan kedua tangannya. "Ehkh? Kenapa, suci?" tanya anak itu, heran sekali melihat suci-nya berbuat seperti itu. "Bungkusan ini pasti mengandung racun, sute." "Ahhh, keparat!" Anak itu menjadi marah dan begitu melihat di situ terdapat sebuah batu besar sekali, sebesar perut kerbau bunting, dia lalu menyambarnya dengan kedua tangan dan melontarkannya ke arah laki-laki yang sudah membalik dan pergi itu. "Sute, jangan...!" Wanita itu masih sempat menepuk lengan sute-nya sehingga lontaran itu menyeleweng. Akan tetapi tetap saja masih dapat melampaui laki-laki tadi kemudian jatuh berdebuk tidak jauh di depannya, melesak dalam sekali ke dalam tanah. Laki-laki itu terbelalak dan mukanya berubah pucat. Kalau dia tertimpa batu sebesar itu, tentu akan remuk tubuhnya! Dia menoleh dengan ngeri, akan tetapi melihat anak yang luar biasa itu tidak mengejarnya, dia cepat-cepat lari dari tempat itu. "Suci, mengapa pula engkau mencegah aku membunuh keparat curang itu?" "Dia hanyalah seorang utusan dan engkau tentu lebih tahu bahwa kita sama sekali tidak boleh membunuh seorang utusan, sute. Bukan dia yang menaruh racun di bungkusan ini, melainkan orang yang menyuruhnya. Hemm, Jeng-hwa-pangcu telah mengirim undangan, agaknya dia tidak main-main lagi sekarang. Hendak kulihat sampai di mana kelihaiannya!" Wanita ini lalu meletakkan bungkusan di atas batu besar. "Jangan menyentuhnya, sute, dan kau lihat saja, jangan mendekat. Harap mundur lima langkah dari sini." Biar pun alisnya berkerut, anak itu menurut juga, melangkah mundur dan melihat dengan penuh perhatian. Juga Siong Bu menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Sejak tadi dia sudah merasa ngeri melihat orang-orang yang dibunuh itu, kini dia melihat hal lain yang lebih aneh sehingga membuat dia semakin ketakutan. Wanita cantik itu memandang kepada sepasang telapak tangannya yang telah terbungkus sarung tangan, lalu tersenyum mengejek, "Kau lihat, sute." Dia lalu menggunakan kedua tangannya meraba rumput-rumput di dekatnya dan rumput-rumput itu seketika menjadi layu dan agak gosong seperti dibakar! "Racun yang dioleskan pada bungkusan ini saja sudah cukup untuk membuat kulit tangan terbakar hebat." Kemudian dengan hati-hati sekali dia membuka tali bungkusan itu. Ternyata isinya adalah sebuah doos merah. Dibukanya tutup doos merah dan hampir saja Siong Bu menjerit bila dia tidak cepat-cepat mendekap mulutnya. Dari doos merah itu muncul seekor ular yang tiba-tiba saja menyerang ke arah leher wanita itu! "Capppp!" Bagaikan sepasang gunting yang amat tajam, dua jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri wanita itu telah menangkap leher ular kemudian sekali mengerahkan tenaga, leher ular itu pun putus! "Hemmm, kiranya hanya begini saja kepandaian orang-orang Jeng-hwa-pang!" Wanita itu mengejek lantas dia menarik keluar sebuah doos yang berukuran lebih kecil dari dalam doos besar itu. Doos ini pun tertutup. "Suci, hati-hati. Mereka itu terlalu curang!" Anak itu berseru. Tadi dia terkejut menyaksikan ular yang demikian ganasnya. Dia tahu bahwa ular merah seperti itu sangat berbahaya karena bisanya dapat membunuh orang dengan sekali gigit saja. Wanita itu menengok dan hanya tersenyum penuh kepercayaan kepada diri sendiri, lalu tanpa ragu-ragu lagi tutup doos yang lebih kecil itu dibukanya. Tiba-tiba nampak asap mengepul dari dalam doos itu dibarengi suara mendesis. Wanita itu terkejut dan cepat sekali dia meloncat ke belakang, tepat pada saat terdengar ledakan keras. Banyak sekali paku dan jarum yang menyambar ke empat penjuru dan wanita yang sedang meloncat itu pun terserang sambaran paku dan jarum. Akan tetapi, dengan cekatan dua tangannya menyampok dan menangkap, sehingga pada waktu dia meloncat turun, kedua tangannya penuh dengan jarum dan paku yang dapat ditangkapnya tadi. Asap masih mengepul dan doos itu pecah, memperlihatkan selembar kertas yang sebagian hangus. Wanita cantik itu lalu menghampiri batu dan melemparkan jarum dan paku yang beracun itu ke dalam doos yang telah hangus dan pecah-pecah, lalu dia mengambil kertas merah itu dan membaca huruf-huruf hitam yang tertulis di situ. JENG HWA PANG MENGUNDANG KIM HONG LIU-NIO UNTUK MEMBUAT PERHITUNGAN Demikianlah bunyi huruf-huruf besar yang tertulis di kertas merah. Wanita itu meremasnya hancur dan biar pun mulutnya masih tersenyum mengejek, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi karena marahnya. Sute-nya sudah mendekatinya, terbelalak memandang ke arah jarum-jarum dan paku-paku yang mengeluarkan sinar kehijauan itu. "Sungguh berbahaya...," katanya ngeri. "Jeng-hwa-pang memang terkenal dengan caranya yang kotor, suka bermain racun. Akan tetapi aku akan membalas semua ini, sute. Memang aku sudah bersiap-siap sehingga aku menggunakan sarung tangan. Betapa pun kebalnya tangan kita, kalau terkena racun yang berada di kertas pembungkus itu, atau tergigit oleh ular merah tadi, apa lagi racun hijau di paku dan jarum itu, tentu kita celaka. Racun hijau pada puku dan jarum ini lebih lihai lagi, sute. Itulah racun jeng-hwa (bunga hijau) yang menjadi keistimewaan mereka sehingga perkumpulan mereka pun memakai nama Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau)." "Siapakah mereka itu, suci?" Wanita itu menarik napas panjang. "Menurut penuturan subo, pendirinya adalah mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang lihai dan selain ilmu silatnya tinggi, juga mahir ilmu sihir. Akan tetapi, kakek itu sudah tewas dan kini perkumpulannya dipegang dan dipimpin oleh muridnya yang ahli dalam soal racun. Mereka bersarang di daerah perbatasan, di dekat tembok besar." "Mengapa perkumpulan itu memusuhi suci?" Wanita itu melepaskan sarung tangan yang melindunginya dari racun tadi. Sarung tangan itu memang istimewa sekali, bukan hanya dapat melindungi kulit tangan dari racun, akan tetapi juga segala macam racun yang tersentuh oleh sarung tangan itu menjadi hilang dayanya, dan di samping ini, juga sarung tangan itu dapat menahan bacokan senjata-senjata tajam. Setelah menyimpan sarung tangannya, wanita itu lalu menurunkan papan kayu salib dari punggungnya, mengangkatnya tinggi-tinggi dan berkata, "Seperti juga halnya lima orang tolol ini, Jeng-hwa-pang memusuhi aku karena ini." Anak itu sudah tahu akan maksud kayu salib yang ditulisi tiga huruf itu. Dia tahu bahwa tiga huruf itu adalah tiga nama keturunan yang menjadi musuh besar subo mereka dan suci-nya ini sudah bersumpah kepada subo mereka untuk membasmi semua orang yang memiliki she Yap, Cia dan Tio. Untuk tugas inilah maka subo mereka menurunkan seluruh kepandaiannya kepada suci-nya ini hingga suci-nya menjadi seorang wanita yang bukan main saktinya. "Suci, apakah ketua Jeng-hwa-pang itu she Yap, Cia, ataukah Tio?" "Bukan, akan tetapi isterinya she Tio dan sembilan orang keluarga isterinya yang she Tio sudah kubunuh semua. Itulah sebabnya dia memusuhi aku," jawab suci-nya dengan sikap tak peduli. Anak laki-laki itu lalu memandang ke arah papan kayu salib dan melihat betapa suci-nya menggunakan kuku jari telunjuknya yang panjang terpelihara rapi untuk membuat guratan lima kali di bagian bawah papan salib itu. Itulah tanda bahwa suci-nya sudah membunuh lima orang. Setiap guratan menandakan satu nyawa dan hanya mereka yang dibunuh karena urusan permusuhan itu saja yang dicatat di papan kayu salib ini. Palang kiri untuk korban she Tio, papan atas untuk yang she Cia dan papan kanan untuk she Yap, ada pun papan bagian bawah untuk orang-orang she lainnya yang membela tiga she itu kemudian terlibat dalam permusuhan ini. Anak itu melihat betapa yang banyak sekali coretannya justru papan bawah di bagian she Tio lebih banyak dari papan bagian Cia dan she Yap. Akan tetapi di bagian papan atas, untuk yang she Cia, baru ada dua guratan saja. Anak itu termenung. Dia selalu tertarik kalau membicarakan urusan permusuhan pribadi subo-nya yang aneh itu, dan yang pembalasannya diwakili oleh suci-nya, sebab subo-nya kini telah menjadi pikun dan lemah. "Suci, sudah berapa lamakah suci mulai melaksanakan perintah subo untuk membasmi orang-orang dari tiga she itu?" "Sudah belasan tahun, sute, sejak aku berusia dua puluh tahun kurang." "Dan sampai kapan berakhirnya? Apakah selama hidup suci akan terus menerus mencari orang-orang dari tiga she itu untuk kemudian dibunuh?" Anak itu merasa betapa tugas ini benar-benar gila! Wanita itu menggeleng kepala. "Tugasku baru sempurna dan berakhir kalau musuh yang sesungguhnya dari subo sudah dapat kubunuh. Mereka itu adalah Cia Bun Houw, Yap In Hong, dan Tio Sun. Mereka bukanlah orang-orang lemah, melainkan pendekar-pendekar yang berkepandaian tinggi sekali, akan tetapi aku sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh mereka bertiga. Oleh karena itu, sekarang aku mengantarmu ke kota raja sambil hendak menyelidiki mereka, sute." "Aku akan membantumu, suci." Suci-nya menggeleng kepala. "Engkau baik sekali, sute, dan biar pun usiamu baru empat belas tahun, namun kepandaianmu sudah boleh diandalkan. Akan tetapi mereka itu lihai sekali, terutama Cia Bun Houw itu. Subo pernah terluka pada saat menghadapinya. Akan tetapi... aku telah mempelajari ilmu-ilmu khusus yang diciptakan oleh subo, ilmu istimewa untuk menghadapi mereka bertiga. Aku tidak takut." Tiba-tiba wanita itu lalu bersuit nyaring. Suaranya melengking bergema di seluruh hutan, dan Siong Bu yang mengintai hampir saja terjengkang. Dia cepat-cepat menutupi kedua telinganya dan menahan napas. Terdengar suara derap kaki kuda dan roda kereta, dan tidak lama kemudian nampaklah sebuah kereta yang amat indah, ditarik oleh empat ekor kuda dan di belakang kereta itu nampak belasan orang penunggang kuda, kesemuanya gagah perkasa, tinggi besar dan berpakaian sebagai perwira-perwira. Mereka semua turun dari kuda dan memberi hormat secara militer kepada anak itu, dengan berlutut sebelah kaki. Anak itu mengangkat tangan ke atas sebagai tanda menerima salut mereka dan wanita itu lalu berkata, "Kalian antar kami sampai ke perbatasan, di sana harus berganti kuda. Akan tetapi kita singgah lebih dulu di Istana Lembah Naga karena aku ada urusan dengan para penghuninya." Para perwira itu mengangguk dan wanita tadi lalu memasuki kereta bersama sute-nya. Kereta berderak-derak meninggalkan tempat itu diikuti oleh tujuh belas orang pengawal yang membuang ludah ketika melihat mayat lima orang tadi. Sesudah mereka pergi, barulah Siong Bu berani bernapas. Akan tetapi jantungnya masih berdebar tegang. Wanita itu mengatakan hendak singgah di Istana Lembah Naga! Ke rumah pamannya! Dia teringat ketika dia mengintai ke kamar Sin Liong di dekat kandang kuda, ketika anak monyet itu menangis di pangkuan bibinya dan dia teringat betapa bibinya mengatakan bahwa Sin Liong adalah seorang she Cia, bahkan menyebutkan nama ayahnya, yaitu Cia Bun Houw! Dan bukankah Cia Bun Houw ini merupakan musuh utama dari wanita tadi? Siong Bu lalu menyelinap di antara semak-semak, segera menuju pulang dengan jantung berdebar penuh
JILID 08
SIAPAKAH wanita cantik dan anak laki-laki yang tampan dan lihai itu? Pernah diceritakan di bagian depan cerita ini bahwa sepuluh tahun yang lalu, ketika diadakan pesta pernikahan di Istana Lembah Naga, pernikahan antara Liong Si Kwi dengan Kui Hok Boan, muncul wanita cantik ini di dalam pesta di mana secara mengerikan dia sudah membunuh enam orang di antara para tamu yang mempunyai she Tio, Yap, dan Cia. Wanita ini adalah yang menjadi utusan Sabutai itu, seorang wanita cantik yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio, yang memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan. Sekarang dia masih tampak cantik sekali, biar pun usianya sudah kurang lebih tiga puluh lima tahun sekarang, masih cantik dan agung, bagaikan seorang puteri raja saja, sikapnya angkuh, dingin, akan tetapi tahi lalat kecil di dagunya itu membuat dia nampak manis sekali. Siapakah sebenarnya Kim Hong Liu-nio ini? Melihat wajahnya dan suaranya ketika bicara tadi, jelas bahwa dia adalah seorang wanita bersuku Han. Akan tetapi kenapa dia menjadi utusan raja liar Sabutai? Kim Hong Liu-nio adalah seorang dayang atau pelayan wanita yang amat disayang oleh Permaisuri Khamila, yaitu isteri Raja Sabutai. Dia adalah seorang wanita Han yang ketika kecilnya menjadi tawanan perang, yaitu pada waktu pasukan Raja Sabutai menyerbu ke selatan. Karena Raja Sabutai tertarik melihat kecantikan anak yang ketika itu baru berusia belasan tahun, maka dia tidak dibunuh, tidak pula dijadikan korban perkosaan oleh para prajurit dan perwira seperti yang menjadi nasib para wanita tawanan perang. Bahkan dia ditarik ke dalam istana dan dijadikan dayang. Karena ternyata dia cerdik, setia, serta cekatan, akhirnya sang permaisuri merasa suka kepadanya, maka diangkatlah dia menjadi dayang yang melayani sang permaisuri yang amat tercinta itu. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Raja Sabutai mempunyai dua orang guru yang memiliki kepandaian luar biasa, merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari bandingannya pada saat itu. Mereka berdua itu adalah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang kakek dan nenek iblis yang tadinya berasal dari Negara Sailan. Dalam pertempuran mereka menghadapi para pendekar sakti, Pek-hiat Mo-ko tewas dan Hek-hiat Mo-li terluka parah. Dengan mengandalkan kekuasaannya, Raja Sabutai berhasil menyelamatkan subo-nya itu dari kematian dan membawa subo-nya untuk dirawat, pergi meninggalkan Istana Lembah Naga di mana tadinya kakek dan nenek iblis itu tinggal. Karena Hek-hiat Mo-li sudah tua, pikun, mempunyai watak aneh, suka marah dan mudah membunuh orang begitu saja, maka sulitlah untuk merawat dan melayaninya. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio yang cerdik sekali itu dapat merawatnya dengan baik sehingga sangat menyenangkan hati nenek itu dan akhirnya dayang inilah yang ditugaskan untuk merawat Hek-hiat Mo-li. Kim Hong Liu-nio memang cerdik bukan main. Semenjak dia menjadi tawanan kemudian menjadi dayang, dia selalu mencari jalan untuk dapat meningkatkan kedudukannya dan akhirnya dia berhasil menjadi dayang kesayangan permaisuri, dan hal ini tentu saja sudah merupakan kemajuan besar karena kedudukannya menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan dayang-dayang istana yang biasa. Namun dia belum juga puas. Dia tahu bahwa nenek seperti iblis itu adalah guru dari sri baginda sendiri, maka tentu saja merupakan seorang yang amat terhormat dan disegani semua orang. Dan dia sendiri selama ini telah rajin berlatih silat dari para pelatih silat yang biasa melatih para pengawal di istana. Dia sendiri suka akan ilmu silat, maka melihat nenek itu terluka dan dirawat di istana, melihat betapa jarang ada yang berani dan sanggup melayaninya, dia kemudian ‘memperlihatkan’ kesetiaannya, menawarkan diri untuk merawatnya! Dan dia berhasil! Kim Hong Liu-nio melihat kesempatan baik sekali baginya. Bukan saja kesempatan untuk membikin senang hati nenek itu beserta sri baginda, akan tetapi juga kesempatan untuk mempelajari ilmu kesaktian karena dia tahu bahwa Hek-hiat Mo-li adalah seorang nenek luar biasa yang mempunyai ilmu kepandaian seperti dewa! Memang harus diakui bahwa wanita muda itu memang cerdik bukan main. Bukan hanya ilmu silat yang menariknya mendekati Hek-hiat Mo-li, meski pun memang dia ingin sekali menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi lebih dari itu, apa bila dia bisa menjadi murid nenek itu, berarti dia menjadi adik seperguruan Sri Baginda Sabutai sendiri dan hal ini tentu saja akan mengangkat derajatnya tinggi sekali, dari seorang dayang menjadi adik seperguruan raja! Dan dia memang berhasil menyenangkan hati nenek itu. Hek-hiat Mo-li adalah seorang nenek yang sudah pikun, maka melihat ada dayang yang merawatnya penuh ketekunan, melayaninya dan merawatnya ketika dia masih menderita sakit sehingga dia berak dan kencing di atas pembaringan, dibersihkan dan dicuci, dimandikan oleh dayang ini, hatinya tertarik sekali dan dia menjadi suka kepada dayang itu. Mulailah nenek pikun ini mengajaknya bercakap-cakap, bahkan lalu menceritakan tentang sakit hatinya terhadap para musuhnya. Menyatakan betapa dia sudah terlalu tua sehingga sakit hatinya itu tentu akan dibawanya sampai mati tanpa terbalas, karena muridnya yang hanya seorang, yaitu Sabutai, adalah seorang raja yang tidak mungkin mengurus urusan pribadi. Mendengar ini, secara cerdik sekali Kim Hong Liu-nio lalu menawarkan diri untuk mewakili nenek itu membalas musuh-musuhnya! "Kau...? Hi-hi-hi-hi! Tiga orang musuh besarku itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Orang semacam engkau mana mampu mewakili aku untuk membunuh mereka?" Nenek itu mentertawakan. Kim Hong Liu-nio segera menjatuhkan diri berlutut. "Kalau locianpwe mau mendidik saya dan suka menurunkan semua kepandaian locianpwe kepada saya, apa sulitnya bagi saya untuk membunuh mereka sehingga kelak locianpwe boleh naik ke alam baka dengan hati tenang?" Hek-hiat Mo-li terbelalak, berpikir dan akhirnya dia mengangguk-angguk. "Hendak kulihat dulu bakatmu!" Dia lalu mencoba dan menyuruh wanita itu mainkan ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Hatinya girang sekali pada waktu mendapatkan kenyataan bahwa Kim Hong Liu-nio ternyata memiliki bakat yang amat baik! "Baik! Kau berlututlah dan bersumpahlah! Aku menerimamu menjadi muridku!" akhirnya dia berkata. Kim Hong Liu-nio ketika itu berusia dua puluh tahun lebih dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan pembaringan nenek itu. Hek-hiat Mo-li terkekeh, lalu mengelus kepala muridnya dan tiba-tiba bertanya, "Engkau masih perawan?" Pertanyaan ini tentu saja amat mengejutkan dan mengherankan hati gadis itu, dan juga membuat pipinya menjadi merah sekali karena malu. Akan tetapi dia mengangguk. "Bagus! Aku telah menciptakan beberapa macam ilmu yang hanya dapat dipelajari secara sempurna oleh perawan-perawan dan jejaka-jejaka. Sekarang terlebih dulu engkau harus bersumpah bahwa kelak engkau akan membunuh semua orang she Yap, Tio, serta Cia yang kau temukan, dan kau tidak akan berhenti melakukan pembunuhan terhadap semua keturunan tiga she itu sebelum engkau berhasil membunuh ketiga orang musuh besarku, yaitu Yap In Hong beserta kakaknya Yap Kun Liong, Cia Bun Houw, dan Tio Sun. Hayo bersumpahlah...!" Sambil berlutut, Kim Hong Liu-nio kemudian bersumpah menurutkan kata-kata nenek itu. Selesai bersumpah, tiba-tiba gadis itu merasa dagunya sakit sekali ketika tangan nenek itu menyambar, kepalanya pening dan dia roboh pingsan! Ketika dia siuman kembali, dia merasakan dagunya masih amat sakit. Dia merabanya dan ternyata dagunya terluka. "Biarkan saja, sudah kuobati. Nanti di sana akan tumbuh sebuah tahi lalat kecil, dan tahi lalat itu adalah tanda bahwa engkau masih perawan. Sekarang bersumpahlah lagi bahwa sebelum kau berhasil membunuh tiga orang musuh besarku itu, maka engkau tidak boleh menikah! Dan awas, sekali saja engkau melanggar pantangan itu dan keperawananmu lenyap, tentu tahi lalat di dagumu itu pun akan lenyap dan aku akan membunuhmu!" Bukan main kagetnya hati gadis itu. Akan tetapi dia tahu bahwa nenek ini memang amat sakti dan luar biasa keji. Dengan suara tenang dia kemudian mengucapkan sumpahnya lagi bahwa dia tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh tiga orang musuh besar dari gurunya. Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati senang. "Hi-hik-hik, sekarang engkau menjadi muridku, akan tetapi jangan kira bahwa engkau akan dapat melepaskan diri dari sumpahmu. Hayo lekas panggil suheng-mu ke sini." "Su... suheng...?" "Raja Sabutai itu! Siapa lagi dia kalau bukan suheng-mu?" bentak nenek itu. "Hayo lekas minta supaya dia datang ke sini, sekarang juga." Bukan main girang dan bangganya rasa hati gadis itu. Raja Sabutai adalah suheng-nya! Dia mengangguk lalu berlari ke luar, terus memasuki istana Raja Sabutai. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani selancang itu dan setelah tiba di depan sri baginda tetap saja dia bersikap hormat seperti biasanya. "Ehh, Kim Hong, kenapa engkau pergi meninggalkan subo dan datang menghadap tanpa diundang?" sri baginda berkata dengan halus. "Harap paduka sudi memaafkan hamba. Hamba diutus oleh... oleh lo-thai-thai (nyonya tua) untuk minta paduka suka datang kepada beliau sekarang juga..." Tentu saja dia tidak berani lancang menyebut ‘subo’ kepada nenek itu. Raja Sabutai mengenal watak gurunya yang aneh, maka dia pun bergegas pergi bersama Kim Hong Liu-nio memasuki kamar subo-nya. Begitu dia masuk, Hek-hiat Mo-li langsung berkata, "Ehh, sri baginda, sekarang engkau mempunyai seorang sumoi." "Sumoi...?" "Heh-heh, dia itulah sumoi-mu!" "Kim Hong...?" Sabutai terbelalak. Kim Hong Liu-nio merasa jantungnya berdebar tegang. Dia takut kalau-kalau raja marah dan merasa terhina, sebab itu dia cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan tanpa berani mengangkat muka dia lalu berkata, "Mohon paduka sudi memberi ampun kepada hamba. Hamba mendengar penuturan... lo-thai-thai..." "Ihh, kau menyebut nyonya tua kepadaku? Murid macam apa kau ini?" Tiba-tiba nenek itu membentak. Kim Hong Liu-nio terkejut, kemudian melanjutkan kata-katanya, "...subo bercerita tentang musuh-musuh beliau dan hamba merasa kasihan, maka hamba menawarkan diri untuk mewakili subo membalas sakit hati itu... lalu subo mengangkat hamba menjadi murid..." Raja Sabutai menoleh kepada nenek itu. "Subo, apakah dia pantas menjadi murid subo? Apakah kelak dia tidak akan mengecewakan dan memalukan kita?" "Huuh-huh-he-heh! Sri baginda lihat saja, beberapa tahun lagi kepandaiannya sudah akan melampaui tingkat kepandaianmu sendiri, hi-hik-hik! Dan pula dia sudah bersumpah akan membunuh empat orang she Yap, Cia dan Tio itu. Sri baginda saya panggil ke sini untuk menjadi saksi. Lihatlah tahi lalat di dagunya itu, sekarang merupakan luka, beberapa hari lagi akan tumbuh tahi lalat di situ sebagai tanda keperawanannya. Dia bersumpah tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh musuh-musuh kita dan kalau aku sudah mati, harap sri baginda mengawasinya. Apa bila musuh-musuh belum mati namun tahi lalat itu lenyap, berarti dia melanggar sumpah dan harus dibunuh!" Raja Sabutai mengangguk-angguk. "Jangan khawatir, subo, aku akan mengamatinya." Diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Ketika dia tadi bersumpah, memang timbul perasaan mengejek di dalam hatinya. Nenek itu sudah tua, mana bisa mengawasi dia terus? Dan tentang tahi lalat tanda keperawanan itu tentu tidak akan ada orang lain yang tahu. Siapa sangka, nenek iblis itu kini membuka rahasia ini kepada Raja Sabutai, bahkan sudah memesan kepada raja itu untuk mewakilinya menghukum kalau dia berani melanggar sumpahnya. Demikianlah, mulai hari itu Kim Hong Liu-nio menjadi murid Hek-hiat Mo-li dan ternyata dia memang berbakat baik sekali. Dia masih bersikap hormat kepada raja, dan hanya di depan gurunya saja dia berani menyebut suheng kepada raja. Di tempat biasa, dia masih bersikap sebagai seorang dayang terkasih. Akan tetapi, semua orang dari pelayan terendah sampai panglima tertinggi tahu belaka, bahwa dayang ini adalah murid dari Hek-hiat Mo-li, adik seperguruan raja dan mempunyai ilmu kepandaian yang sangat hebat, maka tentu saja semua orang menghormatinya dan tidak ada yang memperlakukannya sebagai seorang dayang. Apa lagi sesudah putera dari Raja Sabutai mulai dilatih ilmu silat, maka pengaruh Kim Hong Liu-nio lebih besar lagi. Dialah yang diserahi tugas untuk mendidik anak laki-laki itu! Anak laki-laki itu bukan lain adalah Ceng Han Houw, putera tunggal dari Raja Sabutai. Nama Ceng Han Houw adalah nama pemberian dari Khamila, ibu kandung anak itu, ada pun nama pemberian ayahnya adalah Pangeran Oguthai! Mengapa Permaisuri Khamila memberi nama Ceng Han Houw kepada puteranya? Hal ini ada rahasianya yang hanya diketahui oleh Permaisuri Khamila beserta suaminya sendiri, yaitu Raja Sabutai. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan peristiwa itu yang terjadi belasan tahun yang lalu. Ketika itu, Raja Sabutai dan isterinya yang tercinta, yang masih sangat muda dan cantik jelita, belum memiliki keturunan. Waktu itu, Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng, yang baru berusia dua puluh tiga tahun, dijebak oleh kecurangan dan pengkhianatan seorang pembesar. Pada waktu melakukan perjalanan ke utara, kaisar muda ini telah menjadi tawanan raja liar, yaiti Raja Sabutai dan ditahan di daerah liar di utara. Kaisar Ceng Tung yang muda itu memperlihatkan sikap gagah perkasa, dan hal ini sangat menarik dan mengagumkan hati Raja Sabutai. Kaisar Ceng Tung tidak dibunuh oleh Sabutai karena memang hendak dijadikan sandera kalau dia menyerbu ke selatan. Ketika itu, Raja Sabutai merasa berduka dan kecewa karena dari permaisurinya yang amat cantik dan tercinta itu, dia belum juga memperoleh keturunan. Karena sejak dahulu sebelum menikah dengan isteri tercinta ini pun belum pernah ada selirnya yang berhasil memperoleh keturunan, maka dia pun dapat menduga bahwa dirinyalah yang tidak dapat memberikan keturunan kepada permaisurinya yang tercinta itu. Padahal dia ingin sekali mempunyai anak dari permaisurinya terkasih ini. Pada saat dia kelihat kegagahan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanannya, timbullah rencananya yang amat luar biasa. Dia hendak menggunakan kaisar yang dikaguminya itu agar dapat meninggalkan keturunan di dalam rahim permaisurinya, keturunan yang kelak akan menjadi anaknya secara resmi! Dia tidak akan merasa malu mempunyai anak yang sebetulnya memiliki darah kaisar yang besar dan gagah perkasa itu. Bahkan kedudukan kaisar itu masih jauh lebih tinggi dari pada kedudukannya sebagai raja liar. Demikianlah, dengan sepengetahuannya, bahkan atas perintahnya, Permaisuri Khamila yang muda dan cantik jelita itu mendekati tawanan terhormat itu. Kemudian terjadilah hal yang tidak mengherankan mengingat bahwa keduanya masih sama muda dan keduanya merupakan pria dan wanita yang tampan dan cantik. Kedua orang muda itu saling jatuh cinta! Kemudian, tepat seperti yang diharapkan oleh Raja Sabutai, permaisurinya mengandung, bahkan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Sementara itu, Kaisar Ceng Tung telah berhasil lolos dari tawanan dan kembali ke Tiong-goan untuk menjadi kaisar lagi. Demikianlah cerita ringkas dari peristiwa itu yang dituturkan dengan jelas di dalam cerita Dewi Maut. Rahasia tentang diri anak yang kini bernama Pangeran Oguthai alias Ceng Han Houw itu hanya diketahui oleh ayah dan ibunya sendiri. Raja Sabutai memberi nama Oguthai kepada puteranya, diambil dari nama seorang pangeran gagah perkasa bangsa Mongol, putera ke tiga dari raja besar Jenghis Khan yang termashur itu. Akan tetapi atas permintaan Permaisuri Khamila, anak itu diberi nama Ceng Han Houw. She Ceng diambilnya dari nama Kaisar Ceng Tung yang sebetulnya adalah ayah kandung dari anak itu, dan nama Han Houw adalah nama pemberian Kaisar Ceng Tung sendiri yang diam-diam disampaikan kepada bekas kekasihnya itu. Hal itu membuktikan bahwa sampai saat itu pun sang permaisuri itu masih belum dapat melupakan kekasihnya, ayah kandung dari anaknya. Meski pun dia seorang raja, namun Sabutai adalah seorang yang suka akan kegagahan, maka tentu saja dia ingin melihat putera tunggalnya itu menjadi seorang gagah perkasa dan berilmu tinggi. Oleh karena itu, semenjak masih kecil, Oguthai atau Ceng Han Houw itu oleh Raja Sabutai diserahkan kepada subo-nya supaya digembleng kepandaian silat, maka dengan sendirinya anak itu dekat sekali dengan suci-nya, Kim Hong Liu-nio yang kadang-kadang mewakili gurunya untuk melatih sang pangeran ini. Demikianlah keadaan anak laki-laki berusia empat belas tahun yang tampan dan lihai itu, yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, dan Kim Hong Liu-nio yang kini sudah menjadi seorang wanita yang luar biasa lihainya, dan tepat seperti apa yang pernah dijanjikan oleh Hek-hiat Mo-li kepada Sabutai, kepandaian Kim Hong Liu-nio kini sedemikian hebatnya sehingga sudah melampaui tingkat kepandaian Raja Sabutai sendiri! Banyak ilmu-ilmu baru ciptaan nenek yang sudah tua renta itu berhasil dikuasai oleh Kim Hong Liu-nio, ilmu-ilmu yang sengaja diciptakan oleh Hek-hiat Mo-li bagi muridnya untuk menghadapi musuh-musuh besarnya, ilmu yang bahkan Hek-hiat Mo-li sendiri tak mampu menguasainya karena tidak sempat lagi melatih diri. Pada hari itu, Kim Hong Liu-nio diutus kembali oleh Raja Sabutai untuk pergi ke Lembah Naga dan dalam kesempatan ini, secara diam-diam Khamila memanggil Kim Hong Liu-nio menghadap. Setelah wanita yang masih bersikap sebagai dayang di depan permaisuri itu menghadap, Permaisuri Khamila lalu memegang tangannya dan berkata, "Kim Hong, sebagai murid Hek-hiat Mo-li, kurasa engkau sudah tahu akan rahasia yang meliputi diri anakku, Oguthai. Benarkah dugaanku ini?" Permaisuri yang masih kelihatan cantik sekali itu memandang wajah Kim Hong Liu-nio dengan penuh selidik. Wajah ini masih cantik dan muda, bahkan kelihatan lebih muda dari pada wajah sang permaisuri, sungguh pun usia Kim Hong Liu-nio pada waktu itu sudah tiga puluh lima tahun sedangkan usia sang permaisuri baru tiga puluh tahun lebih sedikit. Hal ini adalah karena Kim Hong Liu-nio menguasai suatu ilmu mukjijat yang diajarkan oleh gurunya, ilmu yang akan membuat dia tidak akan pernah nampak tua! Kim Hong Liu-nio yang dahulu sebelum menjadi murid Hek-hiat Mo-li bersifat riang itu kini menjadi orang yang pendiam sekali, pendiam dan dingin akan tetapi terhadap permaisuri dia masih tetap menghormat. Dia berlutut dan menjawab. "Hamba ada mendengar sedikit mengenai hubungan sang pangeran dengan Kaisar Kerajaan Beng di selatan, akan tetapi mana hamba berani untuk mengetahui lebih banyak?" Khamila tertunduk sejenak, lalu berkata lagi, "Kim Hong, engkau adalah orang yang amat setia, bahkan engkau masih terhitung saudara seperguruan dari sri baginda sendiri dan juga engkaulah yang membantu gurumu mendidik anakku, oleh karena itu tidak perlu lagi aku merahasiakannya. Ketahuilah bahwa Han Houw adalah keturunan Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng." Akan tetapi Kim Hong Liu-nio tidak kelihatan terkejut mendengar ini, karena memang dia telah dapat menduganya. Karena menduga itulah maka dia selalu menyebut ‘sute’ kepada Han houw, bahkan selalu mengajarkan Han Houw untuk berbahasa Han sehingga anak itu selain pandai limu silat, juga pandai pula berbahasa Han bahkan pandai membaca dan menulis pula! "Hamba telah mendengarkan dan terima kasih atas kepercayaan paduka kepada hamba. Apakah maksud paduka dengan membuka rahasia ini? Dan perintah apakah yang hendak paduka berikan kepada hamba?" "Aku mendengar bahwa engkau diutus ke selatan, ke Lembah Naga. Benarkah?" "Memang benar demikian, apakah ada sesuatu yang harus hamba lakukan?" "Engkau diperintahkan apa oleh sri beginda?" "Hamba diperintah untuk menyampaikan kepada penghuni Lembah Naga bahwa dalam waktu setengah tahun mendatang ini, Lembah Naga harus dikosongkan karena Istana Lembah Naga akan dipakai oleh sri baginda." "Ehh? Untuk apa istana tua yang sudah bobrok itu?" "Setengah tahun lagi usia sang pangeran sudah genap lima belas tahun. Sri baginda berniat mengundang kepada seluruh tokoh di dunia kang-ouw dan di dalam undangan itu nanti sesudah mereka berkumpul, sri baginda akan memilih orang yang paling pandai di antara mereka, yaitu yang mampu mengalahkan hamba, untuk selanjutnya mendidik ilmu silat kepada sang pangeran." "Ihhh... Apa perlunya itu? Kepandaianmu dan kepandaiannya sendiri sudah sangat hebat, dan masih ada Hek-hiat Mo-li yang mendidik puteraku. Mau dijadikan apa puteraku maka harus menerima pendidikan orang yang paling pandai di antara jagoan-jagoan itu?" "Sri baginda ingin melihat sang pangeran menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan hamba yakin melihat bakatnya, bahwa hal itu pasti akan terlaksana," kata Kim Hong Liu-nio yang ikut merasa gembira dan bangga karena sesungguhnya dialah yang selama ini mendidik Han Houw. "Aahhh, aku tidak mau tahu segala urusan tetek bengek itu! Dengarlah, Kim Hong, aku mempunyai urusan yang lebih penting lagi dan aku minta engkau suka melaksanakan perintahku ini. Aku telah memberi tahu kepada sri baginda dan beliau hanya setuju saja. Sanggupkah kau melaksanakan perintahku?" "Paduka tentu telah memaklumi bahwa hamba pasti akan melaksanakan segala perintah paduka dengan taruhan nyawa hamba." "Bagus, aku percaya kepadamu, Kim Hong. Begini, sesudah engkau mengunjungi Istana Lembah Naga, bersama Han Houw yang harus kau ajak serta, kau antarkanlah anakku itu melintasi Tembok Besar dan mengunjungi Kota Raja Kerajaan Beng." "Ahhhh...!" Kim Hong Liu-nio benar-benar terkejut bukan main karena sama sekali tidak diduganya bahwa tugas yang akan diserahkan kepadanya demikian hebatnya. "Hamba... hamba... mendengarkan...," katanya. "Aku mendengar bahwa saat ini kaisar sedang menderita sakit. Hatiku merasa tidak enak sekali dan aku selamanya tentu akan menderita tekanan batin kalau puteraku itu belum sempat melihat wajah ayah kandungnya. Maka ajaklah dia menghadap dan pertemukan dia dengan kaisar sebelum... terjadi apa-apa dengan kaisar, Kim Hong." "Hamba siap melaksanakan tugas! Akan tetapi... hamba kira tak akan mudah untuk dapat menghadap kaisar begitu saja, dan untuk menggunakan kekerasan... ahh, rasanya hal itu tidak mungkin. Tenaga hamba seorang mana mampu melakukan hal seperti itu?" Permaisuri Khamila tersenyum lembut, kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil. "Kau bawalah ini, di dalamnya terdapat suratku dan sebuah benda yang pasti akan dikenal di sana dan akan membuka semua pintu istana untuk puteraku." Kim Hong Liu-nio menerima sambil berlutut, tidak banyak bertanya. Hati wanita ini merasa lega ketika sri baginda sendiri datang dan dengan wajah yang keras mengatakan, "Kim Hong, aku serahkan keselamatan Oguthai kepadamu. Engkau adalah sumoi-ku sendiri, bahkan Oguthai adalah sute-mu juga. Sebab itu engkaulah yang bertanggung jawab atas keselamatan puteraku!" "Akan hamba lindungi dengan pertaruhan nyawa hamba. Selembar nyawa hamba yang menjadi tanggungannya, sri baginda!" jawab Kim Hong Liu-nio dengan tegas dan penuh dengan kebanggaan. Demikianlah, pada hari itu Kim Hong Liu-nio berangkat bersama Ceng Han Houw dengan menunggang kereta yang mewah menuju ke selatan dan dikawal oleh tujuh belas orang pengawal pilihan, yang bertindak sebagai anak buah dan juga melayani segala keperluan sang pangeran. Dan seperti diceritakan di bagian depan, perjalanan itu dihadang oleh orang-orang yang merasa sakit hati terhadap Kim Hong Liu-nio yang sudah banyak membunuhi orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Kim Hong Liu-nio mengajak sute-nya untuk meninggalkan kereta karena dia ingin ‘melatih’ sute-nya itu menghadapi orang-orang yang dianggapnya tidak terlalu berbahaya itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, lima orang itu dengan mudah dapat mereka tewaskan, kemudian sesudah itu mereka menerima undangan dari Jeng-hwa-pang yang mengirim surat beracun yang berbahaya itu. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, kini Kim Hong Liu-nio bersama Han Houw sudah menunggang kereta lagi, menuju ke Lembah Naga. Karena rombongan ini menggunakan kereta, maka mereka harus mengambil jalan raya yang lebar, jalan memutar, tidak seperti Siong Bu yang tadi mengintai dari tempat persembunyiannya, dan kini anak ini dapat mendahului pulang ke Istana Lembah Naga melalui jalan yang jauh lebih dekat namun tidak mungkin ditempuh oleh kereta itu. *************** "Sin Liong...!" Hok Boan memanggil-manggil dengan suara marah. Dia sudah membawa sebatang cambuk rotan yang sudah disiapkannya untuk menghajar anak itu. Hatinya menjadi semakin marah pada saat dia tidak melihat anak itu dan tidak mendengar jawabannya, maka dia lalu mencari ke belakang kandang kuda. "Sin Liong, di mana kau? Hayo cepat ke sini...!" kembali Hok Boan berteriak. Tiba-tiba saja terdengar jawaban Sin Liong dari atas sebatang pohon di tepi hutan dekat kandang itu. "Gi-hu memanggil saya? Saya berada di sini..." Hok Boan berlari ke bawah pohon itu, bertolak pinggang dan memandang ke atas. Dia melihat Sin Liong sedang duduk di cabang pohon itu. "Hayo lekas turun kau, anak jahat dan kurang ajar!" Sin Liong terkejut dan cepat dia merayap turun dari atas pohon lalu berdiri di depan ayah angkatnya itu dengan kepala ditundukkan. Dia tahu bahwa ayah angkatnya ini kelihatan marah tentu berhubung dengan peristiwa perkelahiannya dengan Siong Bu pagi tadi. "Engkau berani melawan Kwan-kongcu, ya?" bentak Hok Boan. "Bagaimanakah pesan dan laranganku dahulu itu? Engkau berani melanggarnya, ya. Hayo katakan, siapa yang kau andalkan? Hayo siapa?!" Kemarahan Hok Boan sebenarnya tertuju kepada isterinya yang menurut pengaduan Siong Bu telah menampar anak itu, akan tetapi karena dia tidak mau ribut-ribut langsung dengan isterinya, maka kemarahan itu kini ditimpakan kepada Sin Liong dan ingin dia mendengar anak ini mengandalkan ibu angkatnya! Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab. Dia tahu ayah angkatnya ini sangat memanjakan dua orang keponakannya itu, maka tentu akan percuma saja apa bila dia membela diri dengan kata-kata. Dia adalah seorang anak keras hati, maka kini dia berdiri menunduk sambil menggigit bibir. "Kau tidak lekas berlutut minta ampun?!" kembali Hok Boan menghardik, semakin marah melihat anak itu berdiri dengan bandelnya. Akan tetapi Sin Liong hanya melirik ke arah wajah ayah angkatnya itu sebentar, lalu menunduk lagi. Bagaimana dia mau minta ampun kalau dia tidak bersalah apa-apa? Dalam urusan antara dia dan Siong Bu, kalau mau bicara tentang minta ampun, sepatutnya Siong Bu yang harus minta ampun, karena anak itulah yang mulai lebih dulu menyerangnya. Maka dia mengeraskan hatinya dan tidak menjawab, juga tidak berlutut, apa lagi minta ampun. "Hayo kau minta ampun kepada Kwan-kongcu!" Hok Boan membentak. Dia mencengkeram pundak anak itu dan ditariknya kembali ke dalam rumah. Hok Boan mendorong-dorong hingga tubuh Sin Liong terhuyung, bahkan pada waktu dia mendorong melangkahi anak tangga, Sin Liong terjatuh. Akan tetapi Hok Boan menyeretnya bangun dan menariknya memasuki ruangan samping di mana Lan Lan, Lin Lin, serta Beng Sin memandang dengan mata terbelalak! Memang Hok Boan sengaja mengajak Sin Liong kembali ke rumah, untuk dihajarnya di rumah, bukan saja untuk minta ampun kepada Siong Bu, akan tetapi juga supaya dilihat semua isi rumah sehingga Sin Liong akan merasa malu dan bertobat benar-benar. "Mana Siong Bu?" tanya Hok Boan kepada tiga orang anak itu dengan suara membentak. "Suruh dia ke sini!" "Dia tidak ada ayah," jawab Lan Lan dan Lin Lin hampir berbareng. "Dia tadi berlari ke dalam hutan sambil menangis, paman," kata Beng Sin dengan mata terbelalak ketakutan. Mendengar ini, semakin kasihanlah rasa hati Bok Hoan kepada Siong Bu, dan semakin marahlah dia kepada Sin Liong. "Anak liar, hayo lekas kau berlutut dan minta ampun!" bentaknya. Cambuk rotan yang berada di tangan kanannya mulai dikerjakannya. Terdengarlah bunyi cambuk menyambar kemudian menimpa punggung Sin Liong, suaranya amat nyaring dan bertubi-tubi. "Hayo berlutut!" bentak Hok Boan. Akan tetapi Sin Liong hanya berdiri menghadap jendela, sepasang tangannya menekan tembok, mukanya pucat, bibirnya digigitnya sendiri untuk mencegah dia menangis. "Tar-tar-tar-tar!" Kembali cambuk itu menghantam punggung dan pinggulnya. Sin Liong memejamkan mata dan menggigiti bibir makin keras sebab rasa nyeri menggigit tubuhnya bagian belakang. Namun, dia sama sekali tidak menangis, tidak mengeluh, apa lagi berlutut minta ampun! "Tar-tar-tar-tar-tarrr...!" Hok Boan menjadi semakin marah menyaksikan kebandelan ini, merasa seolah-olah dia ditantang! Tiba-tiba Lan Lan dan Lin Lin menjatuhkan diri berlutut menghadap ayah mereka. "Ayah... jangan pukul dia...!" Lan Lan berkata dengan suara terisak. "Ayah, dia... dia tidak bersalah... ampunkan dia, ayah!" Lin Lin juga berkata dan anak perempuan ini sudah menangis. Melihat itu, Beng Sin juga berlutut. Anak yang gemuk ini merasa kasihan sekali kepada Sin Liong, apa lagi melihat betapa permintaan kedua anak perempuan itu agaknya belum menggerakkan pamannya yang masih terus mencambuki punggung Sin Liong. Ia melihat warna merah dari balik pakaian Sin Liong, tanda bahwa kulit punggung itu tentulah sudah pecah-pecah berdarah! "Paman... harap paman sudi mengampuninya... sesungguhnya Sin Liong tidak bersalah... paman ampunkanlah dia...," anak gendut itu pun minta ampun sambil berlutut. Hok Boan terengah-engah, bukan karena lelah, tetapi karena dibakar oleh kemarahannya sendiri. Dia tadi tak mendengar suara kedua orang anak perempuan itu, akan tetapi pada waktu Beng Sin juga mintakan ampun, dia agak merasa heran dan ragu, menghentikan cambukannya dan menoleh. Terbelalak dia memandang ke arah tiga orang anak yang berlutut itu. Mereka mintakan ampun untuk Sin Liong? Dia tertegun, terheran dan agak bingung. "Pamaaaann...! Celaka..., lekas... wah, celaka...!" Hok Boan terkejut, juga ketiga orang anak yang sedang berlutut terkejut bukan main lalu mereka cepat menoleh. Siong Bu memasuki ruangan itu sambil terengah-engah, mukanya amat pucat, matanya terbelalak ketakutan. Hanya Sin Liong yang masih bersikap tenang, bahkan masih berdiri seperti tadi, menghadap jendela, tidak mempedulikan segala yang terjadi, juga tidak mempedulikan apakah dia akan dicambuki lagi ataukah tidak. "Siong Bu! Ada apa...?" Hok Bow bertanya dengan kaget sekali. Juga tiga orang anak itu sudah bangkit berdiri dan menghampiri Siong Bu dengan kaget dan heran. "Paman, celaka... mereka datang... dan dia... siluman wanita itu... dia mau membunuh orang... tadi mereka sudah membunuh banyak orang di hutan sana..." Siong Bu berkata dengan gagap dan dia kelihatan amat ketakutan. Hok Boan mengerutkan alisnya. Dia tidak senang melihat Siong Bu yang disayangnya itu kelihatan begini ketakutan. Sungguh tidak patutlah kalau keponakannya, atau lebih tepat lagi muridnya atau anak kandungnya sendiri, puteranya sendiri, bersikap begini penakut! "Bicaralah yang jelas!" bentaknya dan sekarang dia sudah melupakan Sin Liong, bahkan dia sudah membuang cambuk rotan itu ke atas lantai. "Apakah yang telah terjadi?" Beberapa kali Siong Bu menelan ludah untuk menenteramkan hatinya yang terguncang. Memang anak ini tadi menyaksikan sepak terjang wanita cantik dan anak laki-laki yang membunuhi orang seenaknya itu. Setelah agak tenang hatinya karena teringat bahwa dia berada dalam perlindungan ayahnya, Siong Bu lalu berkata, "Di dalam hutan saya melihat seorang wanita yang seperti siluman, amat sakti dan kejam sekali, bersama seorang anak laki-laki yang seperti bangsawan. Mereka itu membunuhi orang-orang dan akhirnya mereka menunggang kereta yang sangat indah, dikawal oleh belasan orang prajurit, katanya hendak ke sini! Dan wanita itu betul-betul menyeramkan sekali, paman... dia cantik seperti puteri, akan tetapi kejam seperti iblis..." Diam-diam Hok Boan terkejut juga, alisnya berkerut. Teringatlah dia akan wanita utusan Raja Sabutai sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, yang muncul ketika dia merayakan pernikahannya dengan isterinya sekarang. Maka tiba-tiba dia bertanya, "Apakah wanita itu membawa salib kayu yang ada tulisannya tiga macam she...?" "Benar, paman...! She Yap, Tio, dan Cia...! Itulah celakanya, dia bilang mau membunuh semua orang dengan ketiga macam she itu dan dia... dia bilang mau datang ke Lembah Naga ini...!" Sekarang yakinlah Hok Boan bahwa memang betul wanita lihai utusan Raja Sabutai itulah yang dimaksudkan oleh Siong Bu. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa khawatir, dan dia berkata sambil menarik napas panjang, menekan kengerian hatinya membayangkan wanita itu agar terlihat oleh anak-anak itu bahwa dia tidak takut. "Mengapa engkau ketakutan seperti itu? Wanita itu bukanlah musuh kita, dia mencari orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Apakah yang mesti dikhawatirkan? Di sini tidak ada seorang pun yang mempunyai she Yap, Tio, atau Cia. Janganlah kau terlampau mudah ketakutan, Siong Bu..." "Tapi, paman, bukankah dia itu she Cia?" Hok Boan terkejut ketika melihat Siong Bu menudingkan jari telunjuknya kepada Sin Liong yang masih berdiri di depan jendela. "Apa katamu...?!" bentaknya. "Dia... dia adalah she Cia... maka celakalah kalau wanita itu datang..." Pada saat itu, terdengarlah suara halus dan nyaring, "Siapakah she Cia...?" Hok Boan cepat-cepat menoleh dan bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat wanita itu yang segera dikenalnya. Biar pun sudah lewat sebelas tahun, akan tetapi seolah-olah baru kemarin saja dia melihat wanita ini datang ke dalam ruangan pesta pernikahannya dan membunuhi orang. Tidak ada perubahan sama sekali pada wanita itu, wajahnya masih kelihatan cantik jelita seperti dulu, cantik dan agung, seperti seorang puteri raja, sikapnya dingin, angkuh, dan tahi lalat hitam kecil di dagunya membuatnya nampak makin manis. Masih kelihatan muda belia seperti dulu, padahal dibandingkan dengan kemunculannya yang pertama, tentu kini usianya sudah bertambah sebelas tahun! Cepat Hok Boan melangkah maju dan menjura dengan hormat sekali, lalu tersenyum dan berkata lembut, "Aihhh, kiranya kouwnio (nona) yang datang mengunjungi kami. Selamat datang, kouwnio, dan mudah-mudahan selama ini kouwnio dalam keadaan baik-baik saja. Silakan masuk dan mari duduk di dalam, kouwnio!" Akan tetapi wanita itu seolah-olah tidak mendengar penyambutan yang amat menghormat itu. Sepasang matanya yang jeli dan tajam itu menyambar ke sekeliling, ke arah wajah lima orang anak itu, dan sejenak menatap wajah Sin Liong karena anak ini juga sudah membalikkan tubuh menghadap dan memandang kepadanya. "Siapakah yang memiliki she Cia?" kembali terdengar pertanyaannya, pertanyaan yang singkat, lirih, terdengar satu-satu dan membawa suasana dingin dan tegang sekali karena di dalam suara ini terkandung ancaman maut! Hok Boan merasa mulutnya kering dan diam-diam dia mengerling ke arah Sin Liong. Baru tadi dia mendengar dari Siong Bu bahwa Sin Liong she Cia, dan hal ini sungguh sangat mengherankan hatinya dan tidak dimengertinya. Akan tetapi tentu saja dia tidak dapat menunjukkan Sin Liong kepada wanita itu bahwa anak itu she Cia karena sekali wanita itu tahu, tanpa banyak cakap lagi tentu Sin Liong akan dibunuhnya. Dan Hok Boan maklum bahwa dia tidak boleh melakukan hal itu. Dia tahu betapa isterinya amat sayang kepada Sin Liong. Walau pun dia agak membenci Sin Liong karena dianggapnya terlalu disayang Si Kwi dan dianggapnya nakal dan bandel, akan tetapi dia tak ingin melihat anak angkat isterinya itu dibunuh orang begitu saja. Maka dia cepat mengalihkan pandang matanya dari Sin Liong dan memandang kembali kepada wanita itu masih menanti dengan alis berkerut. "Tidak... tidak ada yang she Cia...," kata Hok Boan sambil menggelengkan kepalanya. "Hok Boan, berani engkau membohong kepadaku?" Tiba-tiba wanita itu suaranya dingin, amat menyeramkan. "Tidak..., mana saya berani membohong, kouwnio?" "Aku sendiri mendengar kalian tadi bicara tentang seorang she Cia di sini. Hayo mengaku, siapa she Cia di antara kalian?" Sejak tadi Sin Liong diam saja dan hanya memandang dengan matanya yang terbelalak lebar. Dia tidak takut kepada wanita ini, dan dia tahu bahwa dialah she Cia itu. Kini dia merasa heran mengapa ayah angkatnya yang membencinya itu tidak mau menyerahkan dia kepada wanita iblis itu. Bukankah wanita ini yang tadi diceritakan oleh Siong Bu dan yang hendak membunuh semua orang she Yap, Tio dan Cia? Mengapa ayah angkatnya tidak mau mengaku terus terang saja agar dia dibunuh oleh wanita itu? Dan dia melirik ke arah Siong Bu. Juga anak ini sama sekali tidak membuka mulut! "Hayo cepat katakan, kalau tidak, akan kusiksa kalian seorang demi seorang!" Wanita itu kembali melayangkan pandangan matanya, dari Hok Boan yang pucat mukanya sampai kepada semua anak yang tertunduk dan ketakutan. Hanya Sin Liong seorang yang berdiri dengan tegak, memandangnya dengan penuh keberanian. Kim Hong Liu-nio merasa heran dan mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang dan tidak puas melihat seorang anak laki-laki yang tidak kelihatan takut kepadanya! Padahal anak inilah yang tadi dirangket oleh Hok Boan, dicambuki tetapi sedikit pun anak itu tadi tidak mengeluh, padahal dari baju anak itu dapat dilihat bahwa kulit punggungnya pecah-pecah dan berdarah! cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Dia lalu menoleh pada Siong Bu yang tertunduk dan matanya melirik ke arah pamannya. Melihat wajah anak ini tampan dan mirip dengan wajah Hok Boan, Kim Hong Liu-nio lalu mendapatkan akal. "Hayo katakan, jika tidak, anak ini akan kusiksa lebih dulu!" katanya sambil menghampiri Siong Bu. Anak laki-laki yang tadinya memang telah merasa amat ngeri dan ketakutan menyaksikan sepak terjang wanita iblis ini, kini kedua kakinya menggigil dan wajahnya menjadi pucat sekali. "Bukankah engkau yang tadi bilang tentang orang she Cia? Hayo katakan, di mana dia, jika tidak, telingamu ini akan kucabut putus!" Sambil berkata demikian, Kim Hong Liu-nio mencubit telinga kiri Siong Bu. Anak itu makin ketakutan dan menggeleng-gelengkan kepala tidak mampu mengeluarkan suara. Diam-diam Sin Liong merasa makin heran dan juga terharu. Biasanya, Siong Bu begitu kasar dan jahat kepada dirinya, dianggap selalu memusuhinya, akan tetapi kenapa sekarang, biar pun diancam secara hebat, Siong Bu tidak mau mencelakainya dengan menunjukkan she-nya kepada wanita iblis itu? Dia tidak tahu bahwa dalam batin Siong Bu juga terdapat benih kegagahan yang tidak mau berbuat khianat! "Harap jangan ganggu dia...!" Tiba-tiba saja Hok Boan berseru dan cepat melangkah maju menghampiri wanita itu. Kim Hong Liu-nio melepaskan Siong Bu, lalu dengan perlahan-lahan membalikkan tubuh, tersenyum sambil mengangguk-angguk kepada Hok Boan. "Hemmm, jadi engkau berani menentangku, ya? Kau kira sukar bagiku untuk membasmi kalian sekeluarga apa bila aku menghendaki? Kalau aku membunuh anak ini, kau mau apa?" "Kouwnio, harap jangan mengganggu kami sekeluarga. Percayalah, kami tidak memiliki hubungan dengan musuh-musuhmu..." "Kalau aku tetap hendak mengganggu keluargamu, kau mau apa, Kui Hok Boan?" Hok Boan adalah orang yang biasanya amat mengandalkan kepandaian sendiri, bahkan biasanya dia memandang rendah orang lain karena percaya bahwa ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan jarang menemui tanding. Biar pun dia tahu bahwa wanita ini amat lihai dan mungkin sekali dia tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi karena dia didesak dan diejek terus, ditantang secara terang-terangan seperti itu, mukanya yang pucat tadi kini perlahan-lahan berubah memerah. "Apa yang akan dilakukan orang bila keluarganya diganggu? Tentu saja dia akan melawan sedapatnya!" katanya dengan sikap gagah, dan dadanya agak diangkat sedikit. "Bagus! Sudah lama aku mendengar bahwa ilmu silat yang kau warisi dari Go-bi-pai itu amat lihai. Nah, coba kau hadapi seranganku, apakah engkau sanggup bertahan sampai sepuluh jurus?" "Kouwnio, kami menyambut kedatangan kouwnio sebagai tamu yang kami hormati, dan saya sama sekali tidak hendak bermusuhan dengan kouwnio..." "Cukup! Lekas katakan siapa orang she Cia itu atau kau harus menghadapi aku sampai sepuluh jurus!" Melihat sikap wanita itu yang mendesak pamannya, Beng Sin diam-diam lalu merangkak ke pintu, hendak lari keluar dan melapor kepada bibinya. Dia tahu bahwa bibinya juga lihai, kabarnya tidak kalah lihai dari pada pamannya, maka kalau bibinya itu membantu pamannya dan mereka berdua maju menghadapi wanita iblis ini, agaknya mereka tidak akan kalah. "Ke mana kau?" Tiba-tiba wanita itu membentak, tangannya bergerak ke arah pintu dan... aneh sekali, tanpa disentuh, tubuh Beng Sin yang gemuk itu terjengkang seperti ditarik dan bergulingan masuk kembali ke dalam ruangan itu. Melihat ini, terdengar Lan Lan dan Lin Lin menjerit. Akan tetapi ternyata Beng Sin hanya kaget saja dan sedikit sakit karena terbanting, selain itu dia tidak terluka apa pun. "Kouwnio, engkau terlampau mendesak orang!" Hok Boan berseru marah setelah melihat keponakannya, yang sebenarnya juga puteranya, yang gemuk itu dirobohkan, maka dia lalu menerjang dengan kepalan tangannya, menyerang wanita itu. "Hemmm… ini adalah Hek-wan Hian-ko... (Lutung Hitam Memberi Buah) dari Go-bi-pai, bukan? Tidak terlalu jelek... tidak terlalu jelek..." kata Kim Hong Liu-nio sambil melangkah mundur dan menangkis serangan itu. Hok Boan terkejut karena baru saja bergerak ternyata lawan telah dapat mengenal jurus ilmu silatnya. Akan tetapi karena memang dia dapat menduga wanita ini lihai sekali, dia tidak peduli dan menyerang terus dengan jurus selanjutnya. Dan karena tahu lawan lihai sekali, dia pun segera mengeluarkan jurus-jurus pukulan yang paling ampuh. "Ehh? Berani kau menggunakan Hok-thian-hok-te (Membalikkan Langit dan Bumi) untuk membunuh aku? Hemm, kau harus dihajar!" Memang Hok Boan telah mempergunakan ilmu silat yang ampuh dari Go-bi-pai itu untuk menghadapi lawan tangguh ini. Akan tetapi, kembali lawannya sudah mengenal ilmunya dan tiba-tiba, ketika kedua tangannya memukul ke arah kepala dan ke arah pusar dengan berbareng secara hebat sekali, dia merasa kedua tangannya itu bertemu dengan hawa pukulan yang merupakan benteng yang menghentikan gerakannya, dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, wanita itu telah menampar punggungnya dari samping. "Plakkk!" "Aughhh...!" Hok Boan terguling roboh dan dari mulutnya dia muntahkan darah segar! "Berani kau melukai suamiku?" Teriakan ini keluar dari mulut Si Kwi yang baru saja tiba di tempat itu. Si Kwi tadinya berada di dalam kamarnya, karena dia masih mendongkol sehabis cekcok sedikit dengan suaminya. Dia tahu bahwa Sin Liong tentu akan dihajar, akan tetapi dia pun tidak mau sampai bentrok dengan suaminya hanya demi anak itu, dan memang dia juga tahu bahwa Sin Liong keras kepala dan bandel, mungkin perlu diberi sedikit hajaran pula. Maka dia diam saja di dalam kamarnya. Akan tetapi ketika tiba-tiba dia mendengar jerit Lan Lan dan Lin Lin, dia terkejut dan cepat melompat keluar sambil membawa pedangnya. Jeritan dua orang anak perempuan yang terdengar oleh ibu mereka itu adalah ketika mereka melihat Beng Sin dirobohkan oleh wanita tadi. Ketika Si Kwi memasuki ruangan itu dan melihat Kim Hong Liu-nio, dia terkejut sekali dan segera mengenal wanita itu karena wanita itu memang sama sekali tidak berubah sejak dilihatnya untuk pertama kali sebelas tahun yang lalu. Akan tetapi pada saat dia melihat wanita itu merobohkan Hok Boan, Si Kwi menjadi marah sekali. Tidak peduli wanita itu utusan Raja Sabutai, bila kini mengganggu keluarganya, maka harus dilawannya. Karena itu dia sudah membentak marah dan menerjang wanita itu dengan pedangnya! Ilmu pedang dari Si Kwi amat hebat. Dahulu wanita ini adalah seorang ahli menggunakan siang-kiam, yaitu sepasang pedang. Akan tetapi, sejak tangan kirinya buntung, dia hanya mempergunakan pedang tunggal, namun dengan menguasai Ilmu Im-yang Lian-hoan-kun maka dia dapat memainkan pedang tunggalnya secara hebat. Apa lagi karena Si Kwi terkenal dengan ginkang-nya sehingga dulu dia pernah mendapat julukan Ang-yan-cu (Si Walet Merah) karena gerakannya yang sangat cepat seperti walet terbang dan kegemarannya mengenakan pakaian warna merah. Maka kini serangannya terhadap Kim Hong Liu-nio juga hebat sekali. Namun, wanita cantik itu menghadapi serangan ini dengan sikap tenang bahkan mulutnya berkata mengejek, "Hemm, ilmu pedang apa ini yang kau pergunakan?" Dengan sangat mudahnya, Kim Hong Liu-nio mengelak. Akan tetapi ilmu pedang serta gerakan Si Kwi luar biasa cepatnya, tahu-tahu sinar pedangnya sudah menyambar lagi ke arah leher lawan dengan kecepatan tinggi. "Bagus! Kiranya diambil dari Im-yang Lian-hoan-kun, ya?" Wanita cantik itu tidak mengelak dari sambaran pedang yang mengancam lehernya, akan tetapi mengangkat sedikit tangan kirinya. "Cringgg...!" Tubuh Si Kwi tergetar dan terhuyung mundur. Tadi pedangnya hampir saja terlepas dari pegangannya ketika tertangkis oleh lengan wanita itu, lengan kiri yang memakai gelang emas kecil-kecil berjumlah belasan buah. Gelang-gelang kecil inilah yang tadi menangkis pedang dan membuat Si Kwi terhuyung. Bukan main! Maklum bahwa dia bukan tandingan wanita itu, melihat bahwa suaminya sudah tidak lagi mengalami luka parah, hatinya lega dan dia pun menghentikan serangannya. "Mengapa engkau menyerang suamiku?" demikian tanyanya sebagai pembelaan diri telah berani menyerang wanita itu. Dia teringat bahwa wanita ini adalah utusan Raja Sabutai, maka kalau saja tidak melihat wanita itu tadi merobohkan suaminya, dia pun akan berpikir panjang lebih dulu sebelum berani menyerangnya. "Kouwnio, harap kouwnio suka memaafkan kami dan harap jangan mengganggu keluarga kami yang tidak mempunyai kesalahan terhadap kouwnio," kini Hok Boan berkata karena dia maklum bahwa dia dan isterinya sama sekali tak akan mampu menghadapi wanita ini. Pula, memusuhi utusan Raja Sabutai sama saja dengan membunuh diri karena mereka berada di daerah kekuasaan raja liar itu. Karena itu lebih baik mengalah dan melupakan penghinaan tadi, bersikap merendah. Kim Hong Liu-nio kembali memandangi mereka itu satu demi satu dengan sinar matanya yang tajam dan dingin mengerikan. Lalu katanya, seperti tadi, lirih dan satu-satu namun penuh desakan dan ancaman, "Siapakah orang she Cia?" Si Kwi terkejut mendengar pertanyaan ini. "Orang she... Cia...? Apa maksudmu dengan pertanyaan itu, kouwnio?" tanyanya dengan wajah berubah pucat. Kim Hong Liu-nio memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik, sinar mata yang seolah-olah hendak menjenguk ke dalam isi hati wanita itu. "Nyonya buntung, siapakah orang she Cia di sini?" tanyanya, suaranya penuh ancaman. Dalam keadaan biasa, tentu Si Kwi akan marah disebut sebagai nyonya buntung. Akan tetapi pada saat itu, disebutnya she Cia membuat jantungnya berdebar tegang sehingga dia pun tidak mempedulikan sebutan itu. "Aku tidak tahu, di sini tidak ada yang she Cia!" jawabnya tegas. Sejenak Kim Hong Liu-nio beradu pandang dengan Si Kwi, kemudian wanita cantik itu menoleh kepada Kui Hok Boan, dengan suara seperti tadi, suara yang menyeramkan itu, dia mengajukan pertanyaannya kepada sasterawan itu, "Siapakah orang she Cia di sini?" Hok Boan cepat menggeleng kepalanya. "Tidak ada... tidak ada yang she Cia!" jawabnya dengan suara tegas pula. Kim Hong Liu-nio juga memandang tajam kepada laki-laki ini, baru kemudian dia menoleh kepada Lan Lan yang memandangnya dengan mata terbelalak. "Adik manis, siapakah orang she Cia di sini?" Lan Lan menjawab sambil menggeleng kepala, suaranya tidak jelas, "Tidak tahu... tidak ada she Cia..." Kim Hong Liu-nio lalu berpaling kepada Lin Lin yang menundukkan muka. "Dan kau, nona cilik, tahukah kau siapa orang she Cia di sini?" Lin Lin mengangkat muka memandang wanita itu, lalu menunduk kembali dan menjawab, "Tidak tahu, tidak ada she Cia." Kim Hong Liu-nio segera memutar tubuhnya. Di samping Lin Lin berdiri Sin Liong akan tetapi dia tidak bertanya kepada anak itu. Percuma saja, pikirnya, dan anak ini agaknya tidak disayang oleh suami isteri itu maka tak ada harganya bagi dia. Dipandangnya Beng Sin dan bertanyalah dia kembali, "Kau, bocah gemuk. Siapa orang she Cia di sini?" "Tidak tahu! Tidak tahu! Tidak ada orang she Cia!" Beng Sin menjawab gagap dan tegas, lalu menundukkan mukanya. Kini tiba giliran Siong Bu, Sin Liong yang sejak tadi terus mengikuti gerak-gerik wanita itu, sekarang ikut pula memandang kepada Siong Bu dan jantungnya berdebar penuh dugaan ketika mendengar wanita itu bertanya. "Sekarang engkau, yang tadi kudengar suaramu, hayo katakan siapakah orang she Cia di sini?" Siong Bu mengangkat muka memandang, lalu menoleh kepada yang lain, akan tetapi dia melewati muka Sin Liong, lalu menggeleng kepala, "Aku tidak tahu. Di sini tidak ada orang she Cia!" Setelah berkata demikian, cepat-cepat dia menundukkan muka pula agar jangan sampai menoleh kepada Sin Liong. Kembali Sin Liong merasa terharu. Baru sekarang dia melihat kenyataan bahwa betapa pun juga, ternyata keluarga ini tidak rela melihat dia terancam bahaya maut dan hal ini segera mendatangkan perasaan demikian gembira dan lega di dalam dadanya sehingga dia agak tersenyum dan wajahnya berseri-seri, rasa nyeri pada punggungnya lenyap tak terasakan lagi! Keadaan menjadi makin menegangkan dan Hok Boan bersama isterinya sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan kalau-kalau wanita itu akan memperlihatkan kemarahan dan kekecewaannya karena semua keluarga itu menjawab tidak tahu. Akan tetapi, wanita cantik itu tersenyum! Tersenyum manis sekali, senyum yang sangat mengherankan hati Hok Boan akan tetapi membuat bulu tengkuk Si Kwi meremang karena dia yang sejak dulu sudah biasa bergaul dengan tokoh-tokoh golongan sesat yang berwatak aneh-aneh, sudah mengerti senyum yang mengerikan ini. Manis memang, mungkin memikat bagi hati pria, akan tetapi di balik senyum itu terkandung ancaman maut mengerikan. Senyum itu melebar sehingga sekilas pandang nampak gigi putih kemilau di balik belahan bibir merah basah itu, lantas bibir itu bergerak-gerak dan berkatalah dia, "Bagus sekali, agaknya memang harus ada seorang di antara kalian yang disiksa, barulah kalian mau mengaku. Baik, anak manis ini tentu tidak akan menjadi manis lagi kalau ujung hidungnya kupotong...!" Cepat laksana kilat, tahu-tahu tangannya telah mencengkeram pundak Lan Lan kemudian diangkatnya tubuh anak itu ke atas. Lan Lan menjerit, Si Kwi dan Lin Lin juga menjerit. "Akulah orang she Cia!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan keras. Semua orang terbelalak dan memandang kepada Sin Liong yang mengeluarkan kata-kata itu dengan suara lantang tadi. Anak ini berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, dada diangkat dan sepasang matanya memandang wajah Kim Hong Liu-nio dengan sinar penuh kemarahan. "Lepaskan dia, jangan ganggu orang-orang yang tidak bersalah. Akulah orang she Cia yang kau cari-cari!" Perlahan-lahan tangan yang mencengkeraman pundak Lan Lan itu mengendur sehingga tubuh Lan Lan terlepas dan terhuyung. Anak perempuan ini terisak dan cepat dirangkul ibunya. Kim Hong Liu-nio kini memandang kepada Sin Liong dengan mata bersinar-sinar seperti kilat, penuh keheranan, kekagetan, dan juga kekaguman. Anak ini memang bukan anak biasa, pikirnya, ngeri juga menentang pandang mata yang mencorong seperti mata anak naga itu. "Liong-ji...!" Si Kwi berkata lirih dengan muka pucat sekali. Timbul niat di dalam hatinya untuk melindungi anak itu, anak kandungnya sendiri itu, dengan taruhan nyawa. Sin Liong menoleh kepada Si Kwi dan agaknya dia maklum akan niat dari ibu angkatnya itu. Dia masih kecil akan tetapi dia tahu bahwa wanita iblis itu lihai bukan main dan baik ibu angkatnya mau pun ayah angkatnya bukanlah tandingan wanita itu. "Ibu, harap jangan mencampuri. Ibu hanyalah ibu angkatku, tidak perlu mempertaruhkan nyawa untuk aku." Setelah berkata demikian, dia lalu melangkah maju menghampiri Kim Hong Liu-nio dengan sikap gagah sekali. Si Kwi terbelalak dan bulu tengkuknya meremang karena sikap Sin Liong itu membuat dia teringat kepada Cia Bun Houw. Anak ini benar-benar Cia Bun Houw kecil! Sinar matanya itu, keberaniannya, dan kegagahannya! Juga Kim Hong Liu-nio menjadi tertegun sehingga dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap anak kecil yang mengaku she Cia dan amat pemberani itu. Dan anak ini tadi dihajar oleh Kui Hok Boan, sedikit pun tidak mengeluh, bahkan dimintakan ampun oleh anak-anak lain! "Benarkah engkau she Cia?" Kim Hong Liu-nio bertanya, diam-diam merasa sayang kalau anak ini she Cia dan dia terpaksa harus membunuhnya. Dia kagum melihat keberanian anak ini. "Seorang gagah tidak akan mengingkari perbuatannya dan aku melihat bahwa engkau adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi sehingga ibu dan ayah angkatku sendiri tidak mampu menandingimu!" Sin Liong berkata dengan lantang, membuat ayah dan ibu angkatnya benar-benar merasa terkejut karena biasanya Sin Liong amat pendiam dan tak banyak bicara. "Karena itu engkau tentu mau mengatakan pula mengapa engkau mencari orang she Cia?" "Akan kubunuh! Semua orang she Cia harus kubunuh!" jawab Kim Hong Liu-nio. "Mengapa? Apa salahnya orang-orang she Cia?" tanya pula Sin Liong. "Anak kecil mau mampus, kau tahu apa?! Bersiaplah untuk mampus!" "Membunuh seorang anak kecil seperti aku tentu saja mudah bagimu dan perbuatanmu itu tak akan mengharumkan namamu. Kau membunuh aku sama dengan aku membunuh seekor semut, perbuatan itu mana dapat dibanggakan? Kalau kau memang gagah berani, hayo kau hadapi ayahku yang juga she Cia, barulah seimbang!" "Monyet kecil, siapa ayahmu?" Kim Hong Liu-nio membentak marah. Dia tidak tahu bahwa Sin Liong paling benci kalau dimaki monyet kecil, karena memang dia suka bergaul dengan monyet, akan tetapi dia tahu bahwa dia manusia bukan monyet. Mendengar makian itu, dia melotot dan balas memaki. "Dan kau srigala betina besar! Kau mau tahu ayahku? Ayahku adalah pendekar terhebat di dunia ini dan kalau kau bertemu dengan ayahku, tentu dia tidak akan memberi ampun kepada srigala betina yang kejam seperti engkau ini!" Kim Hong Liu-nio hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Sinar merah menyambar dan terdengarlah bunyi nyaring. "Prakkk…!" Ternyata meja di dekat Sin Liong hancur berkeping-keping terkena sambaran sinar merah itu yang bukan lain hanyalah ujung sabuk merah dari sutera yang diikatkan di pinggang wanita itu dan yang ujungnya masih berjuntai panjang. Hanya menggunakan ujung sabuk merah saja mampu menghancurkan meja batu, kepandaian ini benar-benar membuat Si Kwi dan Hok Boan menjadi pucat dan tubuh mereka mengeluarkan keringat dingin. "Liong-ji, jangan banyak bicara!" Si Kwi memperingatkan anaknya. "Bocah bermulut lancang! Kau layak mampus seribu kali, akan tetapi sebelum mampus, katakan dulu siapa ayahmu dan di mana dia!" "Huh, karena berada di sini maka engkau enak saja mengancam hendak membunuh aku, coba kalau ada ayah, mengganggu seujung rambutku pun engkau tak akan mampu. Aku menantangmu untuk bertanding dengan ayahku, dan kalau ayah sampai kalah olehmu, biarlah tanpa kau turun tangan, aku akan menggorok leherku sendiri di depanmu. Kalau engkau sekarang membunuh aku tanpa berani memenuhi tantanganku, maka engkau ini tiada bedanya dengan seekor srigala pemakan bangkai yang beraninya hanya menyerang bangkai, dan kau beraninya hanya mengganggu orang-orang lemah seperti anak-anak kecil. Huh, sungguh memalukan sekali!" "Liong-ji...!" Si Kwi mengeluh. Anak itu seperti bunuh diri saja, berani bicara seperti itu di depan wanita ini! Dan Kim Hong Liu-nio sendiri sampai tercengang, seolah-olah dia tidak percaya apa yang didengarnya. Selama hidupnya, belum pernah ada orang yang berani berbicara seperti itu kepadanya, bahkan Sri Baginda Sabutai sendiri tidak pernah menghina dirinya seperti itu. Saking herannya, dia sampai lupa akan amarahnya, atau mungkin juga saking marahnya, dia sampai tidak tahu lagi harus berbuat apa! "Katakan siapa ayahmu, anak setan! Kalau aku tak dapat membunuh ayahmu dan nenek moyangmu, selamanya aku tidak mau memakai nama Kim Hong Liu-nio lagi!" Wanita itu akhirnya menjerit seperti seorang anak perempuan yang digoda sampai hatinya mengkal sekali, dan Kim Hong Liu-nio juga sampai lupa diri, dia membanting kakinya ke atas lantai, seperti anak perempuan sedang berang. "Bresss!" Kaki Kim Hong Liu-nio kecil mungil, akan tetapi begitu dibantingnya di atas lantai dengan pengerahan sinkang, kaki itu langsung amblas sampai hampir selutut dalamnya! Kembali Si Kwi dan Hok Boan menelan ludah. Bahkan Siong Bu dan Beng Sin terang-terangan mengulurkan lidah mereka saking heran, kaget dan kagum. Kepandaian wanita itu benar-benar seperti sliuman! "Ayahku adalah pendekar sakti Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai kalau kau mau tahu!" Sin Liong berkata sambil mengangkat dada, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. Dia maklum bahwa di tangan wanita iblis ini, ayah dan ibu angkatnya tidak mungkin akan dapat menyelamatkannya, maka dia hendak menghadapi kematian dengan gagah dan mengangkat tinggi-tinggi nama ayahnya yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu. "Ahhhhh...!" Seruan ini bukan hanya terdengar dari mulut Kim Hong Liu-nio, akan tetapi juga dari mulut Kui Hok Boan yang menjadi terkejut setengah mati dan terheran-heran bukan main mendengar pengakuan Sin Liong. Tentu saja dia sudah mendengar nama pendekar sakti Cia Bun How, dan membayangkan betapa bocah ini yang tadinya dikenal sebagai anak peliharaan monyet mengaku putera Cia Bun Houw, bulu tengkuknya langsung meremang. "Bohong!" Kim Hong Liu-nio berseru. "Macam engkau ini anak Cia Bun Houw? Huh, siapa percaya omonganmu? Jangan kira engkau akan bisa menakut-nakuti orang dengan nama Cia Bun Houw yang kau akui sebagai ayahmu!" Sin Liong melangkah maju menghadapi wanita itu dengan dua tangan bertolak pinggang, sikapnya sungguh penuh keberanian. "Dan kau bilang bohong hanya untuk menutupi rasa takutmu! Aku adalah Cia Sin Liong, anak kandung dari Cia Bun Houw! Engkau mau percaya atau tidak adalah urusanmu, akan tetapi aku menantangmu untuk melawan ayah kandungku itu! Sekarang, mau bunuh, mau siksa, mau bakar, kau orang dewasa boleh berlaku sesuka hatimu terhadap anak kecil seperti aku. Akan tetapi awas, aku akan mati penasaran dan rohku akan selalu mengejar-ngejarmu sampai engkau berani berhadapan dengan ayahku. Rohku baru tidak akan penasaran lagi apa bila kau sudah menggelinding mampus di depan kaki ayahku!"....
JILID 09
DIAM-DIAM Kim Hong Liu-nio merasa curiga dan ragu-ragu. Kalau benar anak Cia Bun Houw, sungguh mengherankan mengapa bisa berada di Lembah Naga? Bukankah anak ini katanya menjadi anak angkat Kui Hok Boan? Akan tetapi melihat sikapnya, anak ini jelas bukan anak sembarangan, dan memang ada pantasnya kalau menjadi anak seorang yang luar biasa. Membunuh anak ini memang mudah, akan tetapi hatinya akan selalu merasa penasaran, dan memang seperti dikatakan anak ini tadi, membunuh anak ini sama sekali bukan hal yang dapat dibanggakan, bahkan akan menodai nama besarnya sebagai seorang gagah perkasa. Tangan kirinya sudah diangkat, bersiap untuk mengeluarkan tamparan maut, akan tetapi tangan itu turun kembali. Bohwat (kehabisan akal) juga dia menghadapi anak yang luar biasa ini. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan sesuatu, lalu dia mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan anak ini sampai dia yakin betul sebelum dia turun tangan. "Ehh, anak setan! Kalau benar engkau putera Cia Bun Houw seperti yang kau akui itu, katakan siapa ibumu!" Kim Hong Liu-nio mendengar bahwa musuh besar utama gurunya itu, yaitu musuh utama yang bernama Cia Bun Houw itu, berjodoh dengan seorang pendekar wanita sakti yang menjadi musuh besar gurunya pula, yaitu yang bernama Yap In Hong. Akan tetapi dia tidak tahu apakah mereka itu lantas menjadi suami isteri ataukah tidak karena kabarnya mereka itu belum pernah menikah, atau belum pernah pernikahan di antara mereka itu dirayakan karena pernikahan mereka itu tidak direstui oleh ayah pendekar Cia Bun Houw itu. Akan tetapi jawaban Sin Liong benar-benar mengejutkan Kim Hong Liu-nio. Dengan suara lantang anak itu berkata, "Aku tidak tahu siapa nama ibuku, akan tetapi ibu kandungku itu sudah meninggal dunia dan dia juga seorang pendekar wanita yang sakti karena dahulu dia adalah murid mendiang Hek I Siankouw." "Ahhhh...!" Sekali ini Kim Hong Liu-nio berseru kaget lantas memandang kepada Si Kwi dengan mata terbelalak lebar. Kali ini wanita yang biasanya bersikap dingin dan angkuh itu tak mampu menyembunyikan perasaan herannya sehingga dia memandang bengong kepada Si Kwi seperti seorang yang tolol. Si Kwi menundukkan mukanya dan seperti kepada diri sendiri dia berbisik-bisik tanpa ada suara keluar dari mulutnya. Kim Hong Liu-nio masih tetap menatap wajah Si Kwi, dan tanpa mengalihkan pandang matanya, dia lalu bertanya akan tetapi ditujukan kepada Sin Liong. "Anak setan, kau bohong! Bagaimana kau tahu akan semua itu? Siapa yang memberi tahu kepadamu?" "Kau berani bilang bohong? Yang memberi tahu kepadaku adalah ibu angkatku sendiri! Jangan menuduh yang bukan-bukan, kalau kau takut terhadap ayahku, katakanlah saja terus terang!" Kini wanita itu melangkah maju menghadapi Si Kwi dan terdengar suaranya aneh sekali, agaknya seperti orang terheran-heran, "Liong Si Kwi, benarkah itu?" Si Kwi menundukkan mukanya dan muka itu kini menjadi merah sekali. Dengan suara lirih dia berkata, "Benar... ibu kandungnya... sudah mati..." Mendadak terdengar suara ketawa nyaring sekali dan Hok Boan bersama anak-anaknya yang berada di situ terkejut bukan main. Wanita itu kini tertawa, suara ketawanya aneh, merdu dan nyaring akan tetapi mendekati suara tangis! Wanita itu agaknya geli bukan main, tertawa-tawa sampai ada beberapa butir air mata membasahi pipinya dan dia masih tertawa seperti orang terisak ketika dia menggunakan ujung sabuk merah menghapus air matanya! "Hi-hi-hik, Liong Si Kwi, kau kira rahasia busuk bisa ditutupi selamanya? Jadi, pada waktu engkau berjinah dengan Cia Bun Houw dahulu itu, sampai tangan kirimu dibuntungi oleh gurumu sebagai hukuman, ternyata hasilnya adalah bocah ini? Ahh, kiranya engkau telah melahirkan keturunan Cia Bun Houw!" "Ehhh...?" Kui Hok Boan terkejut bukan kepalang. Dia sama sekali tak pernah mendengar rahasia itu dari isterinya, maka dia pun memandang kepada isterinya dengan kedua mata terbelalak. Liong Si Kwi merasa bahwa dia tidak perlu menyangkal pula karena rahasia itu kini telah terbuka oleh pengakuan Sin Liong tadi. Pengakuan anak itu tentu tidak akan membuka rahasianya kalau didengar orang lain. Akan tetapi wanita ini adalah utusan Raja Sabutai, tentu saja telah mendengar akan semua peristiwa yang dialaminya belasan tahun yang lalu di Lembah Naga, ketika Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li menawan pendekar sakti Cia Bun Houw. Mukanya menjadi merah dan karena sudah kepalang bahwa rahasianya sudah diketahui orang, dia lalu berkata, "Benar, anak ini adalah anak kandungku dari pendekar sakti Cia Bun Houw!" "Ibuuu...!" Sin Liong berseru. Akan tetapi pada saat itu pula nampak segulung sinar merah berkelebat dan Sin Liong terguling roboh ketika dia hendak lari kepada ibunya, karena dia sudah terdorong oleh sambaran ujung sabuk yang menyentuh pundaknya. Agaknya wanita itu tidak bermaksud membunuhnya, maka sentuhan ujung sabuk merah itu hanya membuat anak itu terguling. Kemudian terlihat asap mengepul dan ternyata wanita itu telah menyalakan sebatang hio (dupa biting) dan mengangkat kayu salib ke atas kepalanya. "Liong Si Kwi, karena engkau sudah melahirkan anak keturunan Cia Bun Houw, maka engkau terhitung keluarga dari Cia Bun Houw, maka bersiaplah engkau untuk menebus dendam guruku, Hek-hiat Mo-li dengan nyawamu!" "Tidak...! Jangan...!" Kui Hok Boan berteriak dan menerjang ke depan, akan tetapi kembali sinar merah berkelebat dan saterawan itu terpelanting. Si Kwi maklum bahwa percuma saja bila mencoba untuk menyelamatkan dirinya dengan kata-kata terhadap wanita iblis ini, juga melarikan diri pun tidak akan ada gunanya, maka karena dia masih memegang pedangnya, dia langsung berteriak nyaring dan tiba-tiba saja tangan kanan yang memegang pedang itu bergerak menyerang dengan tusukan kilat ke arah dada wanita yang menyeramkan itu. "Bagus, dengan begini engkau patut mati sebagai keluarga Cia!" kata Kim Hong Liu-nio dengan suara girang sekali karena memang dia akan merasa terhina dan kecewa kalau membunuhi musuh-musuh gurunya tanpa perlawanan, seperti yang dikatakan oleh anak setan tadi. Kalau musuhnya melawan, berarti dia membunuh musuh yang dapat melawan, bukan sebagai srigala yang menggerogoti bangkai! "Cringgg...!" Kembali pedang itu ditangkis oleh lengan kirinya yang memakai gelang. "Ihhhhh...!" Si Kwi menjerit. Pada saat tertangkis oleh gelang di lengan wanita itu, dia merasa pergelangan targannya tertotok oleh ujung biting, nyeri sekali rasanya dan tanpa dapat dicegahnya lagi, jari-jari tangannya yang seperti lumpuh sesaat itu melepaskan gagang pedangnya yang segera jatuh berdenting ke atas lantai! Terdengar wanita itu tertawa. Akan tetapi Si Kwi sudah cepat menggerakkan tangannya, maka terdengar suara angin bersiutan dan sinar-sinar kecil hitam menyambar mengarah ke tujuh jalan darah di depan tubuh wanita itu. Itulah Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun), senjata rahasia yang ampuh dari Liong Si Kwi. Setiap paku merupakan ancaman maut dan tujuh batang paku itu menyambar dengan kecepatan yang hebat bukan main karena dilepaskan dari jarak yang hanya tiga meter jauhnya! "Hemmm...!" Wanita cantik itu benar-benar hebat bukan main. Dia tidak kelihatan gugup sama sekali, bahkan memandang rendah. Tangan kiri yang memegang sebatang hio itu tidak bergerak, akan tetapi tangan kanan yang memegang kayu salib bergerak cepat ke atas kemudian menyambar ke bawah. Dan ternyata bahwa paku-paku itu semua menancap di atas papan kayu berbentuk salib itu, dan hebatnya, semua paku-paku itu menancap pada bagian ujung kayu yang bertuliskan huruf Cia! Wanita itu bukan hanya mampu menangkis semua paku, akan tetapi lebih dari pada itu, dia dapat membuat semua paku itu menancap di tempat yang sama, yaitu di ujung yang ditulisi huruf Cia, seolah-olah menjadi tanda bahwa calon korbannya itu adalah keluarga marga atau she Cia! Bukan main terkejutnya hati Si Kwi. Dia tadi mendengar bahwa wanita ini adalah murid Hek-hiat Mo-li, akan tetapi dia yang pernah menyaksikan kesaktian Hek-hiat Mo-li, kini harus mengakui bahwa wanita iblis ini agaknya malah lebih lihai dari pada gurunya. Akan tetapi dia telah nekat. Rahasianya telah dibuka dan tentu hal itu akan berpengaruh pada hubungan antara dia dan suaminya. Selain itu, dia harus mencoba untuk membela Sin Liong, anak kandungnya sendiri. Di samping itu, kini ketika terancam bahaya maut dalam mempertahankan nama Cia Bun Houw, pria pertama yang pernah merebut kasih sayangnya, dia teringat akan pendekar itu dan hatinya dipenuhi oleh perasaan mesra dan bangga karena dia diperbolehkan membela nama pendekar sakti itu sebagai keluarganya! Maka, dengan teriakan nyaring dia cepat menubruk ke depan, menggunakan tangannya untuk mencengkeram ke arah kepala lawan, sedangkan tangan kirinya yang buntung itu dipergunakannya untuk menotok ke arah ulu hati! "Robohlah engkau, ibu dari anak keturunan Cia Bun Houw!" Tiba-tiba Kim Hong Liu-nio membentak dan sinar api kecil meluncur ke depan ketika tubuhnya mencelat mundur. Itu adalah sinar api dupa biting yang masih bernyala dan yang kini melesat ke depan, mcluncur seperti anak panah cepatnya. Si Kwi pernah menyaksikan wanita ini membunuh orang dengan sebatang hio, maka dia terkejut sekali dan berusaha mengelak, namun dia kurang cepat karena dia tadi sedang dalam keadaan menyerang. "Cusss...!" Dupa biting itu menyambar dahinya dan tepat sekali menusuk di antara kedua alisnya sampai semua gagang hio itu lenyap! Si Kwi mengeluarkan jeritan lirih lantas tubuhnya terjengkang, roboh terlentang dan tewas seketika dengan hio masih menancap di dahinya. Hio itu masih membara, mengeluarkan asap ke atas, seakan-akan nyawa wanita itu melayang melewati asap yang keluar dari dahinya itu! Kui Hok Boan terbelalak pucat dan terdengar jerit-jerit memilukan dari Lan Lan dan Lin Lin yang menubruk ibu mereka sambil menangis. Terdengar suara gerengan liar bagai seekor monyet marah dan Sin Liong sudah meloncat, loncatan yang dilakukan menurutkan naluri anak itu sebagai binatang, yang diperolehnya dalam pergaulan dengan para monyet, dan dia sudah menubruk ke arah Kim Hong Liu-nio! Wanita ini sedang memandang mayat lawannya dengan senyum penuh kepuasan ketika Sin Liong menubruk. Tentu saja dia tahu akan serangan anak itu, karena itu dia sudah menggerakkan tangan kirinya untuk memapaki kepala anak itu dengan tamparannya. Akan tetapi dia segera teringat akan maki-makian dan tantangan anak itu tadi, maka dia menahan tangannya karena merasa malu kalau harus membunuh seorang bocah yang sudah berani menantangnya seperti itu. Karena dia menahan tangannya dan karena dia memandang rendah kepada Sin Liong, maka Sin Liong berhasil menubruknya dari arah belakang. Seperti seekor monyet marah atau seekor harimau kelaparan, Sin Liong mencengkeram dengan kedua tangannya. Tanpa disadarinya, dua tangan itu memeluk Kim Hong Liu-nio dan kedua tangan itu yang mencengkeram sekenanya sudah mencengkeram buah dada wanita itu! Kemudian Sin Liong membuka mulutnya dan menggigit tengkuk! "Ihhhhh...!" Kini Hong Liu-nio menjerit, bukan karena gigitan pada tengkuknya, melainkan karena cengkeraman pada kedua buah dadanya itu. Tiba-tiba dia merasa seluruh tubuhnya menggigil, jantungnya berdebar keras, kepalanya menjadi pening! Patut diketahui bahwa Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang masih perawan, yang selama hidupnya belum pernah bersentuhan dengan pria walau pun sudah sering dia mimpi akan hal itu. Kini, merasa betapa tubuhnya dipeluk dan dadanya diraba tangan seorang laki-laki, biar pun laki-laki yang masih anak-anak, dia seperti kemasukan getaran halilintar, tubuhnya menjadi panas dingin dan tanpa terasa lagi dia menjerit. Akan tetapi, hanya sebentar saja dia dikuasai perasaan aneh itu. Sekali wanita sakti ini menggoyang tubuhnya, Sin Liong terlempar dan terbanting keras ke dinding ruangan itu. Sin Liong roboh dan pingsan! Kui Hok Boan kini bangkit, kemudian dengan terpincang-pincang dia berdiri menghadang di hadapan anak-anak itu, khawatir kalau-kalau semua anak-anaknya akan dibunuh pula oleh wanita iblis itu. Akan tetapi Kim Hong Liu-nio tersenyum dan menggeleng kepala. Kemudian menyimpan kembali kayu salib yang telah dicoretnya satu kali di bawah nama Cia, memasangnya di punggung dan dia lalu memandang kepada Kui Hok Boan. "Jangan khawatir, karena engkau benar-benar tidak tahu-menahu tentang keluarga Cia, maka biarlah kau dan anak-anakmu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga Cia kuampuni. Akan tetapi anak itu akan kubawa, dia keturunan musuh besarku!" Kim Hong Liu-nio menuding ke arah tubuh Sin Liong yang masih pingsan. Kui Hok Boan adalah seorang yang pada dasarnya memang mempunyai watak pengecut, yaitu bila sudah terancam bahaya maut barulah sifatnya ini menonjol. Tadinya, dia masih berwatak gagah melindungi isterinya dan melindungi pula Sin Liong, akan tetapi sekarang semua kegagahannya itu luntur dan lenyap, dan dia telah berubah menjadi seorang yang rendah diri. "Terima kasih atas pengampunan kouwnio...," katanya lirih sambil menundukkan muka. "Sekarang dengarlah, Kui Hok Boan. Aku diutus oleh Sri Baginda Sabutai untuk memberi tahu kepadamu bahwa sebelum enam bulan, engkau harus sudah meninggalkan Istana Lembah Naga ini, dan semua penghuni dusun-dusun yang berada di sekitar tempat ini pun semua harus pergi. Kalau sudah lewat enam bulan dan masih ada orang yang berada di sekitar sini, jangan salahkan kami kalau kami akan membunuhnya. Mengertikah kau?" Kui Hok Boan terkejut sekali dan cepat dia mengangguk-angguk. "Baik... baik... akan saya taati..." Melihat betapa Kui Hok Boan yang tadi gagah seperti harimau kini menjadi jinak seperti domba, padahal mayat isterinya masih hangat rebah di hadapannya, Kim Hong Lim-nio mengeluarkan suara mengejek, "Huh!" Kemudian dia membalikkan tubuhnya, menyambar lengan Sin Liong yang diseretnya dan dibawanya keluar dari ruangan itu, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang lagi. "Sin Liong...!" tiba-tiba Lin Lin menjerit dan bangkit berdiri, hendak lari mengejar agaknya. "Lin Lin...!" Hok Boan membentak dan cepat dia menyambar lengan anaknya. Kim Hong Liu-nio berhenti melangkah ketika sampai di pintu, menoleh dan melihat betapa empat orang anak-anak itu memandang ke arah Sin Liong sambil menangis. Karena itu berkatalah dia, "Orang she Kui, empat orang anak itu jauh lebih baik dari pada engkau!" Lalu sekali berkelebat lenyaplah bayangan wanita itu dari situ. Maka terdengarlah tangis dan ratap di dalam ruangan itu, dan tak lama kemudian, ratap tangis itu semakin riuh ketika para pelayan melihat bahwa nyonya majikan mereka telah tewas. Istana Lembah Naga diliputi suasana berkabung. Lan Lan dan Lin Lin menangis tiada hentinya, dan Kui Hok Boan termenung dengan penuh penyesalan. Baru terhadap Si Kwi dia benar-benar pernah mencinta dan setelah menikah dengan Si Kwi, sifatnya yang mata keranjang menjadi reda. Akan tetapi kini Si Kwi telah tewas dan meninggalkan dia seorang diri bersama empat orang anak! Akan tetapi, kemudian dia teringat bahwa biar pun dia harus pindah dari Lembah Naga, dan dia memang bermaksud kembali ke selatan, akan tetapi dia telah menemukan harta karun dan kini sudah menjadi seorang yang kaya raya, maka dia tidak merasa khawatir. Hanya sedikit kebimbangan yang mengganggu hatinya. Di selatan dia mempunyai banyak musuh! Jeng-hwa-pang sekarang jauh berbeda dengan Jeng-hwa-pang belasan tahun yang lalu pada saat perkumpulan itu dipimpin oleh Jeng-hwa Sian-jin. Dahulu, perkumpulan itu tidak sehebat sekarang ini, setelah Jeng-hwa Sian-jin meninggal dan perkumpulan itu dipimpin dan dibangun kembali oleh muridnya. Kalau Jeng-hwa Sian-jin sebagai bekas tokoh-tokoh Pek-lian-kauw selain berilmu silat tinggi juga ahli dalam ilmu sihir, maka muridnya ini yang menuruni kepandalan ilmu silatnya tanpa menuruni ilmu sihirnya, ternyata mempunyai keahlian lain yang malah melebihi mendiang gurunya, yaitu dalam hal ilmu tentang racun. Jeng-hwa-pang sendiri mendapatkan namanya dari julukan Jeng-hwa Sian-jin, dan kakek itu dijuluki Jeng-hwa Sian-jin sebab dia telah menemukan kembang hijau yang hanya bisa ditemukan orang di salah satu di antara puncak-puncak Pegunungan Himalaya. Kembang hijau ini mengandung racun yang amat hebat, sehingga boleh dibilang rajanya kembang-kembang beracun. Akan tetapi, kalau Jeng-hwa Sian-jin mempergunakan khasiat kembang mukjijat itu untuk melatih dan memperdalam ilmu sihirnya, sebaliknya muridnya itu menggunakan kembang hijau itu untuk memperdalam ilmu tentang racun-racun! Dan kini terkenallah perkumpulan Jeng-hwa-pang sebagai perkumpulan orang-orang yang ahli dalam menggunakan racun sehingga tentu saja amat ditakuti oleh golongan lain. Akan tetapi, sesudah Kaisar Ceng Tung mendapatkan kembali tahta kerajaannya yang tadinya diserahkan kepada adiknya pada waktu dia menjadi tawanan Raja Sabutai, kaisar ini telah mengerahkan orang-orang pandai, mempergunakan tangan besi untuk menekan serta mengendalikan perkumpulan-perkumpulan golongan hitam yang suka menimbulkan kekacauan. Sebab itu, Jeng-hwa-pang yang termasuk sebagai perkumpulan yang diawasi dan dibatasi gerakannya kemudian mengungsi ke luar tembok besar dan untuk sementara mendirikan sarang di dekat tembok besar di utara. Ketua Jeng-hwa-pang bernama Gak Song Kam dan karena keahliannya bermain racun, dia dikenal orang sebagai Tok-ong (Raja Racun)! Nama julukannya sebagai Tok-ong ini sama terkenalnya dengan nama Jeng-hwa-pang yang tersohor. Dulu, saat Jeng-hwa-pang masih dipimpin oleh mendiang Jeng-hwa Sian-jin, perkumpulan ini lebih condong mempelajari ilmu-ilmu sihir yang keji dan cabul. Lalu Jeng-hwa Sian-jin ketemu batunya ketika sedang melaksanakan praktek keji dan cabul itu muncul seorang kakek sakti yang membuatnya tewas dan anak buahnya menyerah dan bertobat. Kakek sakti itu bukan lain adalah Bun Hoat Tosu. Untuk sementara perkumpulan itu benar-benar telah bubar. Akan tetapi setelah Gak Song Kam berhasil memperdalam ilmu-ilmunya di Pegunungan Himalaya dan mempelajari ilmu mengenai racun dari seorang pertapa di sebuah puncak pegunungan itu, dia kemudian mengumpulkan lagi bekas-bekas anggota Jeng-hwa-pang lalu dia membangun kembali perkumpulan itu. Akan tetapi, tindakan tangan besi oleh Kaisar Ceng Tung membuat dia terpaksa membawa para anggotanya yang jumlahnya ada sekitar seratus orang itu untuk sementara waktu mengungsi ke perbatasan di utara, dekat tembok besar. Jeng-hwa-pangcu she Gak ini telah menikah dengan seorang wanita she Tio, akan tetapi dia tidak mempunyai keturunan. Saat mengungsi ke utara, isterinya membawa beberapa orang sanak keluarganya yang juga she Tio dan mereka lalu ikut hidup senang sebagai keluarga isteri ketua perkumpulan besar, bahkan beberapa di antaranya ada pula yang akhirnya menjadi anggota Jeng-hwa-pang. Oleh ketuanya, semua anggota Jeng-hwa-pang diberi pelajaran mengenai racun sehingga selain pandai ilmu silat, mereka juga pandai mempergunakan racun untuk mengalahkan lawan. Mungkin karena mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan nama besar perkumpulan mereka, setelah pindah ke perbatasan di utara, dalam beberapa tahun saja Jeng-hwa-pang sudah dikenal serta ditakuti, malang melintang di perbatasan itu karena mereka merasa terlepas dari jangkauan tangan besi kaisar. Namun, pada suatu hari terjadilah mala petaka menimpa keluarga ketua Jeng-hwa-pang, yaitu pada suatu malam ketika ketua Jeng-hwa-pang dan beberapa orang pembantunya sedang pergi menangkap beberapa ekor ular gurun pasir, muncullah seorang wanita yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio dan wanita ini secara kejam sudah membunuh isteri ketua Jeng-hwa-pang dan juga sembilan orang keluarga wanita itu, kesemuanya she Tio! Tentu saja Jeng-hwa-pang menjadi geger, apa lagi ketika para anak buah Jeng-hwa-pang yang mengeroyok dibuat kocar-kacir oleh wanita yang amat lihai itu. Saat Gak Song Kam pulang dan mendapatkan isterinya beserta sembilan orang keluarga isterinya tewas semua dengan cara kematian yang aneh, yaitu dahi atau bagian tubuh lain yang mematikan tertancap dengan sebatang hio yang membara, tentu saja dia menjadi marah sekali. Akan tetapi kemudian tersiar berita bahwa wanita bernama Kim Hong Liu-nio itu sudah merajalela, membunuh-bunuhi semua orang she Tio, Yap, dan Cia yang dapat ditemukan di daerah itu, yang tentunya tidak banyak karena yang dicari adalah orang-orang Han, sedangkan daerah itu lebih banyak didiami oleh orang-orang suku bangsa lain. Tentu saja Gak Song Kam merasa sakit hati lalu berusaha untuk mencari wanita itu. Dia merasa amat menyesal kenapa dia pergi mengajak lima orang pembantunya yang pandai sehingga saat wanita itu datang membunuh isterinya, Jeng-hwa-pang sedang kosong dari semua tokoh yang terpandai. Dia percaya bahwa kalau dia berada di situ, tentu Kim Hong Liu-nio tidak akan begitu mudah membunuh orang, apa lagi membunuh isterinya! Akan tetapi, betapa kaget rasa hati Gak Song Kam ketika dia menyebar anak buahnya untuk mencari dan menyelidiki wanita itu, dia mendengar kabar bahwa wanita itu adalah seorang tokoh terkenal di utara, bahkan masih saudara seperguruan Raja Sabutai! Lemas rasa tubuh ketua Jeng-hwa-pang itu mendengar ini. Tidak mungkin baginya untuk menyerbu istana Raja Sabutai yang dilindungi ribuan orang pasukan itu dengan seratus orang anak buahnya! Akan tetapi, kematian isterinya harus dibalas! Oleh karena itu, Gak Song Kam ini selalu mencari kesempatan untuk menantang Kim Hong Liu-nio, menantangnya secara pribadi, bukan sebagai keluarga Raja Sabutai! Tantangan yang lajim dilakukan oleh orang-orang di dunia persilatan dan tak ada sangkut-pautnya dengan kerajaan atau perkumpulan. Demikianlah, kesempatan itu tiba ketika Kim Hong Liu-nio melakukan perjalanan menuju Lembah Naga bersama sute-nya, yaitu Ceng Han Houw, hanya dikawal oleh tujuh belas prajurit pengawal. Kesempatan ini tidak disia-siakan dan cepat Gak Song Kam menyuruh seorang di antara pembantu-pembantunya yang pandai untuk mengirim surat tantangan kepada wanita itu. Dan seperti sudah diceritakan di bagian depan, pembantu itu berhasil mengirim surat tantangan istimewa itu yang merupakan senjata-senjata maut berbahaya bagi penerimanya, namun yang dapat diterima dengan baik oleh Kim Hong Liu-nio. Setelah mendengar berita dari pembantunya bahwa surat tantangannya sudah diterima oleh wanita itu yang akan datang bersama seorang sute-nya dengan kereta indah yang dikawal oleh tujuh belas orang pengawal, Jeng-hwa-pang menjadi sibuk mempersiapkan penyambutan terhadap musuh istimewa itu. Sementara itu, Kim Hong Liu-nio yang menyeret tubuh Sin Liong telah tiba di dalam hutan di luar Lembah Naga, di mana Ceng Han Houw sedang menanti dengan tidak sabar di dalam keretanya sambil meniup seruling. Han Houw amat suka meniup seruling. Ketika melihat suci-nya datang sambil menyeret tubuh seorang anak laki-laki, Han Houw menyimpan sulingnya lantas memandang heran. Apa lagi ketika dia melihat anak laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun darinya itu telah membuka mata, telah siuman akan tetapi sedikit pun anak itu tidak mengeluarkan kata keluhan, bahkan memandang dengan mata melotot, dia menjadi makin terheran-heran. Dia melihat suci-nya melemparkan tubuh anak itu ke atas tanah dan memandang penuh kebencian. Sin Liong terguling, akan tetapi segera merangkak dan bangkit berdiri. Kedua kakinya menggigil, tanda bahwa dia lelah dan menahan nyeri akan tetapi matanya melotot dan sikapnya angkuh! "Ehhh, suci. Siapakah bocah ini?" tanyanya heran melihat betapa suci-nya yang biasanya tenang itu kini kelihatan marah-marah dan mendongkol. "Bocah setan dia! Anak iblis dari neraka!" Kim Hong Liu-nio memaki sambil memandang dengan mata mendelik kepada Sin Liong. Anak itu juga balas memandangnya dengan melotot lebar. "Wah, anak setan dan iblis?" Han Houw bertanya, matanya terbelalak kemudian dia pun memandang Sin Liong dari atas sampai ke bawah. "Kulihat tidak ada apa-apanya, kenapa disebut anak setan dan iblis?" "Dia adalah anak dari Cia Bun Houw, musuh besar dari subo, musuh yang paling besar dari subo!" kata Kim Hong Liu-nio. "Musuh yang paling besar dan paling ditakuti!" Tiba-tiba Sin Liong berkata. Dia sangat mendongkol, dia tidak akan dapat mampu membalas semua siksaan, akan tetapi biarlah dia membalas dengan kata-kata menghina agar menyakiti hati wanita ini! "Ahh, begitukah? Mengapa anaknya hanya begini saja?" Han Houw bertanya penuh rasa heran. Kalau ayahnya menjadi musuh utama yang kabarnya memiliki kepandaian hebat, tentu anaknya pun hebat. "Ehh, kenapa kau bilang bahwa suci takut kepada ayahmu?" tanya Han Houw yang mulai tertarik akan sikap bandel dan sama sekali tidak takut dari anak itu. Sepasang mata Sin Liong memandang anak laki-laki yang berpakaian sangat mewah itu dan kembali Han Houw terkejut. Mata anak ini seperti mata harimau saja, pikirnya. Maka hatinya makin tertarik. "Sudah jelas takut! Beraninya hanya mengganggu aku, anak ayah yang masih kecil, tidak berani langsung berhadapan dengan ayahku!" Han Houw tersenyum. "Dan apakah kau tidak takut kepada suci?" "Aku? Takut? Huh, paling-paling dia bisa membunuhku, akan tetapi dia pasti tidak akan lolos dari tangan ayahku. Anak harimau bisa saja dibunuh oleh sekumpulan srigala, akan tetapi anak harimau tidak akan merasa takut." "Wah, wah, sombongnya! Kau menganggap dirimu adalah anak harimau dan kami berdua kau namakan srigala? Wah, bukankah srigala itu anjing hutan? Celaka, suci, dia berani memaki kita anjing hutan!" "Itulah! Dia memang anak setan!" Kim Hong Liu-nio mengomel. "Kenapa dia tidak dibunuh saja agar mulutnya tidak banyak mengoceh lagi?" "Hemm, sute. Jika kita membunuh dia, maka makiannya itu terbukti, kita menjadi seperti srigala membunuh seekor anak harimau seperti yang dikatakannya itu." "Ehh, maksudmu...?" "Dia lemah akan tetapi penuh keberanian, karena itu kita berarti hanya membunuh dan mengganggu anak-anak lemah saja." Han Houw menggangguk-angguk, kini dia menoleh dan memandang kepada Sin Liong dengan pandang mata baru, penuh rasa kagum. Bocah ini luar biasa, pikirnya. "Ehh, siapa namamu?" dia bertanya, agak tersenyum dan suaranya ramah. Diam-diam Sin Liong juga mengagumi anak laki-laki ini. Demikian tampan dan gagah, pikirnya, dan sekecil itu telah menjadi sute dari wanita iblis ini! "Namaku Sin Liong... ehh, Cia Sin Liong!" tambahnya, menekankan nama keturunan itu. "Sin Liong? Naga sakti? Hemm, namamu sama sombongnya dengan sikapmu." "Aku tidak sombong, hanya paling benci kalau dikatakan takut. Aku tidak takut apa pun. Dan kau siapa? Benarkah kau masih sute dari Kim Hong Liu-nio ini?" Ceng Han Houw mengangguk. Hatinya senang. Baru sekarang ada bocah yang bicara kepadanya dengan sikap biasa, seperti dua orang yang sama derajatnya, seperti teman. Biasanya, semua orang yang berbicara kepadanya, terlebih lagi anak-anak, tentu nampak takut-takut dan bahkan dengan berlutut, memandang wajahnya pun tidak berani! "Namaku Han Houw, aku she Ceng." "Ceng Han Houw? Namamu juga gagah sekali. Dan apakah kau juga pandai silat seperti suci-mu ini?" Melihat dua orang anak itu berbicara seperti dua orang sahabat saja, Kim Hong Liu-nio menjadi tidak senang. "Anak cerewet! Kau kira engkau ini siapa? Tawanan, tahu? Sute, jangan layani dia!" Akan tetapi Han Houw sudah seperti seorang anak kecil yang mendapatkan mainan baru, merasa sayang untuk melepaskan begitu saja. "Eh, Sin Liong, kau betul-betul tidak takut kepada kami?" "Tidak, seujung rambut pun tidak. Paling-paling kalian akan dapat membunuhku." "Kau tidak takut mati?" Sin Liong menggelengkan kepala. "Apa kau takut?" dia balas bertanya. Han Houw terbelalak, berpikir sejenak lalu mengangguk. "Aku takut dan agak ngeri juga." "Apa kau pernah tahu bagaimana mati itu?" "Tentu saja belum!" "Kalau begitu, bagaimana bisa takut?" Han Houw tercengang, bingung, lalu menjawab ragu, "Entahlah. Eh, kalau kau tidak takut kepada kami apakah kau berani bertanding melawan aku?" Sin Liong memandang Han Houw dari atas sampai ke bawah. Anak itu tentu lebih tua dua tahun dari pada dia, lebih tinggi dan tegap. Dan mengingat bahwa anak ini adalah sute dari Kim Hong Liu-nio, maka tentu ilmu silatnya juga hebat. "Aku tidak ada urusan apa-apa dengan engkau, mengapa mesti bertanding?" "Kau takut?" "Takut sih tidak." "Kalau begitu kau berani." "Tentu saja berani, akan tetapi, aku tidak mau. Tidak ada persoalannya, mengapa harus berkelahi?" "Ha-ha-ha, itu hanya alasan. Kau tentu takut kalah." "Mengapa takut kalah? Tentu saja aku kalah olehmu, akan tetapi aku tidak takut." Dan melihat sinar mata penuh ejekan itu, Sin Liong melanjutkan. "Kalau ada alasannya yang kuat, tentu aku akan menerima tantanganmu." Kim Hong Liu-nio yang sejak tadi memang merasa mendongkol dan kini sedang duduk di atas batu dekat kereta sambil mendengarkan, tiba-tiba berbicara dalam Bahasa Mongol kepada Han Houw. Sin Liong tidak mengerti artinya, akan tetapi kemudian Han Houw lalu menghampirinya dan berkata, "Ahh, kiranya engkau ini anak monyet! Engkau anak gelap, anak haram!" "Bohong! Keparat kau!" Sin Liong membentak marah. "Kalau benar kau bukan anak monyet dan anak haram, kau tentu akan berani melawan aku!" "Ceng Han Houw, biar mati pun aku tidak takut padamu!" kata Sin Liong dan anak yang sudah marah sekali ini lalu menyerang dengan ganas! Han Houw tertawa, dengan mudah saja dia mengelak ke samping lantas sekali kakinya bergerak, kaki Sin Liong sudah ditendangnya dari samping sehingga membuat Sin Liong terpelanting roboh. Akan tetapi, tanpa mempedulikan rasa nyeri akibat terbanting itu, Sin Liong sudah meloncat bangun lagi dan menyerang kembali. Sin Liong menggunakan jurus ilmu silat akan tetapi bagi Han Houw tentu saja gerakannya itu masih amat kaku dan lemah dan kembali sambil mengelak Han Houw menggerakkan tangannya, menampar pundak Sin Liong hingga membuat anak itu terbanting lebih keras lagi! Namun berkali-kali Sin Liong bangun dan terus menyerang. "Kau tidak mau mengaku kalah? Hayo mengaku kalah!" berkali-kali Han Houw mendesak. Akan tetapi Sin Liong sama sekali tak mempedulikannya dan ia terus menyerang dengan membabi-buta, walau pun kulit tubuhnya sudah lecet-lecet dan luka-luka di punggungnya yang dicambuki oleh ayah angkatnya itu terasa nyeri dan berdarah lagi. Tadi oleh suci-nya, Han Houw diberi tahu dalam Bahasa Mongol bagaimana caranya bisa membangkitkan kemarahan dan perlawanan anak aneh itu. Dan benar saja, sesudah dia memaki anak monyet dan anak haram, Sin Liong melawannya mati-matian. Dan kini, Han Houw kewalahan melihat kenekatan bocah itu, yang sungguh pun sudah dibuatnya jatuh bangun, namun sama sekali tidak pernah mau menyerah dan mengaku kalah. Sebetulnya dia merasa kagum dan suka kepada anak ini dan tak ingin melukainya secara hebat, apa lagi membunuhnya. Maka, melihat kenekatan Sin Liong, mendadak Han Houw menggunakan jari telunjuknya menotok yang tepat mengenai pundak kanan, yaitu jalan darah Kian-keng-hiat, dan seketika Sin Liong pun roboh dengan lemas karena tubuhnya menjadi lumpuh seketika! Dengan sapu tangan Han Houw menghapus keringat pada dahinya. "Wuiiihhh, bocah ini benar-benar bernyali harimau!" katanya. "Suci, untuk apakah engkau menawan harimau cilik ini?" "Untuk memaksa ayah kandungnya muncul dan menghadapiku." "Hemm, untuk semacam sandera?" "Begitulah." "Wah, hal itu akan repot sekali. Dia buas dan ganas seperti harimau, tentu hanya akan menyusahkan saja sepanjang perjalanan," kata Han Houw. "Dan anak seperti ini, apa bila memperoleh kesempatan sedikit saja, tentu akan melarikan diri, suci." Kim Hong Liu-nio tersenyum dan mengeluarkan sebatang jarum putih terbuat dari pada perak. "Aku mempunyai cara untuk memaksanya agar jangan meninggalkan kita, jangan melarikan diri." Dari saku bajunya Kim Hong Liu-nio mengeluarkan sebuah bungkusan terbuat dari kertas, lalu membukanya dan nampaklah bubuk berwarna kuning. Dia mengoleskan ujung jarum perak di bubukan kuning itu dan seketika ujung jarum itu berubah menjadi biru kehitaman, tanda bahwa bubukan itu mengandung racun. Kemudian Kim Hong Liu-nio menghampiri tubuh Sin Liong yang masih rebah terlentang. Anak ini tidak mampu bergerak karena tubuhnya bagaikan lumpuh, akan tetapi matanya masih memandang dengan mendelik penuh kemarahan, sama sekali tidak terlihat takut. "Biarlah dia melarikan diri kalau bisa. Andai kata bisa pun, dia akhirnya akan mencari aku karena nyawanya berada di tanganku," kata Kim Hong Liu-nio dengan tersenyum. Han Houw membelalakkan matanya. "Suci hendak mempergunakan Hui-tok-san (Bubuk Racun Api)?" Kim Hong Liu-nio hanya tersenyum, lalu menghampiri Sin Liong. Dengan gerakan cepat dia menusukkan jarum perak yang ujungnya biru menghitam itu ke arah betis kaki kanan Sin Liong. Sin Liong merasa betis kanannya nyeri, akan tetapi dia tidak mengeluh, hanya memejamkan matanya. Betisnya terasa panas sekali seperti digigit ribuan ekor semut, dan dia harus menggigit bibirnya untuk menahan perasaan yang amat menyiksa ini, rasa panas gatal tanpa dapat menggaruknya! Han Houw lalu menotok pundaknya, membebaskan totokannya tadi, dan Sin Liong cepat meraba betis kanannya, hendak menggaruk. "Jangan garuk! Begitu kau garuk, kau akan mati konyol!" Kim Hong Liu-nio berseru. Sin Liong terkejut dan tidak jadi meraba betisnya. Dia tidak takut mati, tetapi dia belum mau mati konyol. Masih banyak hal yang harus dia lakukan di dunia ini, pertama mencari ayahnya dan ke dua, sekali waktu membalas kepada iblis betina ini. Maka dia tidak mau membunuh diri secara konyol. "Hui-tok-san telah berada di jalan darahmu." Kim Hong Liu-nio berkata dengan suaranya yang merdu dan halus, lalu bibirnya tersenyum. Akan tetapi kini Sin Liong mulai mengenal senyum seperti itu, senyum yang menyembunyikan kekejaman laksana iblis, "racun itu berhenti di betismu dan tidak akan berbahaya kalau tidak kau garuk. Apa bila kau garuk, maka racun itu akan berjalan cepat karena panasnya akibat garukan, dan makin cepat dia bergerak naik, semakin cepat pula dia mencapai jantung dan mencabut nyawamu. Kalau kau diamkan saja, dalam waktu enam bulan barulah racun itu akan sampai di jantungmu dan mencabut nyawamu. Dan dalam waktu enam bulan itu, tentu aku sudah akan dapat berhadapan dengan ayah kandungmu!" Han Houw bertepuk tangan memuji, "Wah kau hebat, suci! Dengan demikian, dia tidak akan berani melarikan diri. Bukankah hanya engkau yang mempunyai obat penawarnya, suci?" Kim Hong Liu-nio mengangguk. "Mari kita berangkat ke Jeng-hwa-pang, sute!" Wanita itu lalu mencengkeram tengkuk Sin Liong dan membawanya masuk ke dalam kereta, diikuti oleh Han Houw! "Biarkan dia duduk bersamaku, suci. Dia dapat menjadi teman seperjalananku." Sin Liong lalu didudukkan di atas bangku kereta, bersanding dengan Han Houw yang memandanginya penuh perhatian. Sin Liong duduk seperti seorang raja, tegak dan tidak mau melirik ke sana-sini, mulutnya cemberut dan dia seolah-olah tidak peduli sama sekali kepada dua orang yang berada di dalam kereta bersamanya itu. Kim Hong Liu-nio bersuit dan muncullah tujuh belas orang pengawal itu. Dia mengeluarkan aba-aba dalam Bahasa Mongol dan bergeraklah kereta itu, ditarik oleh empat ekor kuda besar, berangkat menuju ke selatan, dikawal oleh para pengawal yang menunggang kuda. cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Diam-diam Sin Liong merasa kagum dan heran juga. Mulailah dia melirik ke arah Han Houw yang duduk di sebelah kirinya. Dia menduga-duga siapa adanya pemuda ini yang ternyata amat lihai ilmu silatnya, jauh lebih lihai dari pada Siong Bu atau Beng Sin. Dia mendengarkan wanita cantik itu berkata-kata kepada anak laki-laki ini, berbicara dalam bahasa yang tak dimengertinya. Dia tidak tahu bahwa Kim Hong Liu-nio sedang bercerita kepada Han Houw tentang dirinya. Akhirnya percakapan mereka berhenti dan Han Houw menyentuh lengannya. Sin Liong menoleh. Dua pasang mata yang bersinar-sinar sama tajam saling bertemu. Han Houw tersenyum dan berkata, "Kau memang hebat, adik kecil. Ayahmu patut dipuji." "Dan kalian memang jahat, kekejaman kalian patut dicela!" jawab Sin Liong, memandang berani. Han Houw tertawa. "Ha-ha-ha-ha, belum pernah selama hidupku bertemu dengan bocah seperti engkau ini. Namamu Cia Sin Liong? Ehh, Sin Liong, setelah kita saling bertanding dan kini duduk sekereta, tentu engkau mau menjadi sahabatku bukan?" "Persahabatan bukan hanya omong kosong belaka, tetapi ditentukan oleh perbuatan dan perbuatanmu dan suci-mu terhadap diriku sama sekali tidak bersahabat!" Jawab pula Sin Liong. Dia masih marah sekali dan tentu saja dia marah karena dia juga maklum bahwa di dalam tubuhnya sudah mengeram racun jahat yang akan menewaskannya dalam waktu enam bulan, racun yang sengaja dimasukkan ke dalam tubuhnya oleh wanita itu. Perbuatannya itu demikian kejam dan anak ini bicara tentang persahabatan! Akan tetapi, Han Houw yang tadi mendengar dari suci-nya tentang keadaan Sin Liong, tidak menjadi marah oleh jawaban itu. Dia amat tertarik lalu berkata, "Engkau sejak kecil dipelihara oleh monyet-monyet besar? Betapa aneh, hebat, dan pengalamanmu itu luar biasa sekali. Ingin aku mengalami hal seperti yang sudah kau alami itu, Sin Liong. Dan engkau putera kandung Cia Bun Houw, pendekar yang kabarnya amat sakti itu. Bukan main! Aku ingin menjadi sahabatmu!" Akan tetapi Sin Liong tidak mau menjawab lagi, bahkan membuang muka memandang ke luar jendela kereta, melihat betapa kereta dijalankan cepat melintasi padang rumput yang agak tandus dan dari kejauhan, di depan nampak dinding yang amat panjang naik turun gunung, berbelok-belok seperti ular atau naga besar. Itulah agaknya Tembok Besar yang terkenal sebagai dongeng, yang pernah diceritakan kepadanya oleh Siong Bu dan Beng Sing, dua orang anak yang pernah menyeberangi tembok besar yang amat panjang itu. *************** Matahari sudah mulai condong ke barat ketika rombongan itu memasuki sebuah hutan di lereng bukit. Tembok besar nampak jelas dari bawah, akan tetapi ketika mereka sudah memasuki hutan, tembok panjang yang seperti naga itu lenyap tertutup oleh pohon-pohon yang memenuhi hutan dan yang tumbuh secara liar. Mendadak kereta itu berhenti dan pasukan pengawal cepat menggerakkan kuda mereka masing-masing, mengurung kereta untuk melindungi. "Mengapa berhenti?" Han Houw bertanya. "Apa yang terjadi?" Kim Hong Liu-nio juga bertanya, nada suaranya tidak sabar. Seorang pengawal mendekatkan kudanya dengan jendela kereta lantas memberi laporan dalam Bahasa Mongol secara singkat. "Hemmm, bagus! Mereka mencari mati di tempat ini? Sute, kau berdiam saja di sini dan lihat saja suci-mu menghajar mereka!" kata Kim Hong Liu-nio dan tiba-tiba tubuhnya telah melesat keluar dari dalam kereta. Han Houw membuka tirai-tirai kereta dan dari dalam kereta, dia bersama Sin Liong dapat melihat apa yang terjadi di depan. Kiranya perjalanan rombongan itu telah dihadang oleh serombongan orang yang jumlahnya tidak kurang dari tujuh puluh orang, yang kini semua berdiri seperti patung mengurung kereta itu. Mereka bergerak tanpa mengeluarkan suara, dan tubuh mereka hanya bergeser secara teratur sehingga tahu-tahu tempat di mana kereta itu berhenti telah dikepung dalam jarak kurang lebih lima meter. Para pengepung itu memakai pakaian seragam hijau muda dengan gambar bunga yang bentuknya aneh, berwarna hijau tua di dada baju masing-masing. Karena pakaian yang berwarna serba hijau ini, maka pandangan mata menjadi kabur karena warna pakaian mereka itu sama dengan warna di sekeliling tempat itu, warna daun dan semak-semak. Dan karena mereka mengurung dengan berdiri tegak dan sama sekali tidak bergerak atau mengeluarkan suara, maka keadaan menjadi makin menyeramkan. Akan tetapi Sin Liong melihat betapa Han Houw bersikap tenang saja, bahkan senyumnya mengandung ejekan dan memandang rendah sekali. Diam-diam dia merasa kagum sekali terhadap ketabahan pemuda cilik yang tampan dan berpakaiah mewah ini. Sementara itu, tujuh belas orang pengawal telah berbaris rapi mengurung kereta dengan membelakanginya, siap melindungi kereta itu dengan taruhan nyawa mereka. Tujuh belas orang pengawal yang berpakaian seragam ini pun kelihatan gagah dan tenang. Semua ini membuat hati Sin Liong menduga-duga siapa adanya anak ini sesungguhnya. "Han Houw, sebetulnya siapakah engkau ini? Apakah engkau anak bangsawan Mongol?" Akhirnya Sin Liong bertanya karena tidak dapat menahan lagi keinginan tahunya. Han Houw menoleh kepadanya lalu tersenyum. Dia sudah dipesan oleh ayah bundanya, juga suci-nya, supaya dia tidak mengaku sebagai putera Raja Sabutai, agar melakukan perjalanan dengan menyamar, karena jika dia dikenal sebagai putera Raja Sabutai, tentu keadaannya akan menjadi berbahaya sekali. Banyak kepala suku bangsa yang tentu saja akan mengincarnya, karena Sabutai memiliki banyak sekali musuh di antara suku-suku bangsa di utara. Kini, mendengar pertanyaan Sin Liong, Han Houw hanya tersenyum dan menjawab, "Kelak engkau akan mengetahui sendiri, Sin Liong." Sin Liong memang berwatak keras dan angkuh. Mendengar jawaban ini dia tidak sudi mendesak lagi, bahkan kini dia mengalihkan perhatiannya memandang ke luar jendela, ke arah Kim Hong Liu-nio yang telah berhadapan dengan para pimpinan gerombolan itu. Kini wanita itu telah berdiri tegak menghadapi enam orang pimpinan gerombolan dengan sikap tenang dan mulut tersenyum-senyum yang menyembunyikan kemarahan di hatinya akibat gangguan dan hadangan gerombolan itu. Tadi pimpinan pengawal sudah memberi laporan kepadanya bahwa gerombolan orang-orang Jeng-hwa-pang telah menghadang di tengah perjalanan sehingga membuatnya menjadi marah sekali. Setelah Kim Hong Liu-nio melompat turun dan melihat sekeliling, benar saja dia mengenal bahwa mereka itu adalah pasukan Jeng-hwa-pang! Tentu saja dia merasa marah sekali sehingga cepat dia menghampiri enam orang yang dia duga tentulah merupakan pimpinan Jeng-hwa-pang. Pada waktu dia pernah mengacau di Jeng-hwa-pang, membunuh-bunuhi orang-orang she Tio termasuk isteri ketua Jeng-hwa-pang, dia tak sempat bertemu dengan para pimpinan Jeng-hwa-pang yang kabarnya sedang pergi menangkapi ular-ular merah. Akan tetapi dia mendengar bahwa pimpinan Jeng-hwa-pang terdiri dari ketuanya yang dibantu oleh lima orang tokoh Jeng-hwa-pang yang berkepandaian tinggi. Maka kini, ketika melihat ada enam orang berdiri tegak dengan sikap angkuh, mudah saja bagi Kim Hong Liu-nio untuk menduga bahwa tentu mereka itulah para pimpinan Jeng-hwa-pang. "Jeng-hwa-pang mengundang kami untuk datang ke sarangnya, akan tetapi sekarang di dalam hutan menghadang seperti kelakuan para perampok berwatak rendah!" Kim Hong Liu-nio berseru dengan suaranya yang nyaring. "Jeng-hwa-pang mengundang orang untuk mengadu kepandaian atau hendak melakukan pengeroyokan seperti pengecut-pengecut hina?" Enam orang itu mengerutkan alis mereka dan memandang marah. Tak mereka sangka wanita secantik itu ternyata mempunyai lidah yang sangat tajam. Pria berusia lima puluh tahun yang wajahnya merah dan bertubuh tegap gagah, yaitu Jeng-hwa-pangcu sendiri melangkah maju kemudian menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah muka Kim Hong Liu-nio. "Kim Hong Liu-nio, baru sekarang kita ada kesempatan untuk saling bertemu! Engkau dan tujuh belas orang pengawalmu itu tak ada artinya. Engkau telah dikurung oleh anak buah kami yang berjumlah tujuh puluh lima orang! Kekuasaan ada padaku dan kelemahan ada padamu, maka tidak perlu lagi kau bersikap sombong. Kamilah yang menentukan apakah akan membasmi kalian satu demi satu ataukah sekaligus! Dan..." "Tunggu dulu!" Kim Hong Li-nio menghentikan ucapan lawannya itu dengan mengangkat tangan ke atas. Tangan yang diangkat ke atas ini merupakan isyarat bagi para anggota pasukan pengawalnya dan mereka itu cepat menurunkan busur dan anak panah dan siap dengan senjata itu di tangan mereka. "Agaknya engkau adalah Jeng-hwa-pangcu Gak Song Kam! Ehh, orang she Gak, apakah engkau tidak melihat keadaan pasukan pengawal itu?" Gak Song Kam dan lima orang pembantunya memandang dan melihat tujuh belas orang pengawal itu memegang busur dan anak panah, mereka tertawa, diikuti pula oleh puluhan orang anak buah mereka yang menyeringai. Akan tetapi tidak ada suara ketawa keluar dari mulut mereka sehingga Sin Liong bergidik. Sungguh menyeramkan melihat puluhan orang itu menyeringai sehingga nampak gigi mereka akan tetapi sama sekali tidak ada suara yang keluar! "Ha-ha-ha, Kim Hong Liu-nio, sungguh lucu sekali melihat gertakanmu ini! Apa sih artinya tujuh belas orang pengawalmu yang memegang busur dan anak panah itu? Apakah kau kira kami ini hanyalah kijang-kijang dan kelinci-kelinci yang lemah sehingga mudah saja ditakut-takuti dan ditodong dengan anak panah seperti itu? Ha-ha-ha!" "Jeng-hwa-pangcu, kalian bukan hanya kijang-kijang dan kelinci-kelinci lemah, akan tetapi malah adalah sekumpulan babi hutan yang tolol. Lihatlah baik-baik!" Kim Hong Liu-nio segera memberi isyarat dengan jari tangannya ke atas, ibu jari tangan kanannya diacungkan ke atas dan tujuh belas orang pengawal itu lalu menarik busur, dan para anggota Jeng-hwa-pang sudah siap untuk menangkis atau mengelak. Akan tetapi tiba-tiba saja anak panah itu dihadapkan ke atas dan begitu tali busur dilepas meluncurlah tujuh belas batang anak panah. Sesudah tiba di atas, anak-anak panah itu mengeluarkan ledakan kemudian nampaklah sinar merah bernyala di angkasa. Kiranya anak-anak panah itu adalah anak panah berapi yang dipergunakan untuk mengirim berita! Orang-orang Jeng-hwa-pang merasa terkejut, heran dan tidak mengerti. Akan tetapi tak lama kemudian mereka dikejutkan oleh suara bergemuruh dari empat penjuru. Kemudian, terdengarlah derap kaki kuda yang banyak sekali disertai sorak-sorai dari banyak sekali orang. Dan tampaklah oleh mereka karena hutan itu berada pada lereng bukit yang agak tinggi, betapa dari empat penjuru berdatangan pasukan-pasukan yang masing-masing tak kurang dari tiga ratus orang jumlahnya! Gak Song Kam dan para pembantunya saling pandang dan muka Gak Song Kam yang biasanya berwarna merah itu kini berubah menjadi pucat. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio tertawa dan kini terdengar suara berbisik ketika pasukan-pasukan itu mulai mendekat dan mengurung hutan itu, siap untuk menyerbu jika ada tanda dari Kim Hong Liu-nio. Tempat itu termasuk daerah kekuasaan Raja Sabutai, maka semua suku bangsa yang berada di sekitar tempat itu tentu saja merupakan bawahan-bawahan raja ini, dan begitu melihat tanda bahaya yang dilepas melalui anak panah tadi, lantas berbondong-bondong mereka datang dari segenap jurusan ke hutan itu. "Orang she Gak, apakah kau masih mau bicara tentang siapa yang mengurung dan siapa yang dikurung, siapa yang kuat dan siapa yang lemah, dan siapa pula yang menentukan? Pengawalku memang hanya tujuh belas orang, tapi anak buahmu hanya berjumlah tujuh puluh lima orang sedangkan pasukanku yang telah datang saja sudah lebih dari seribu orang, belum lagi yang sedang datang dari tempat yang agak jauh. Engkau mau bicara apa sekarang?" Hati Gak Song Kam menjadi gentar. Memang maksudnya hendak menghadapi wanita ini sebagai musuh pribadi dan dia memang tidak berani membawa-bawa nama Raja Sabutai yang dia tahu memiliki pasukan-pasukan yang amat kuat dan tidak mungkin dilawan oleh anak buahnya itu. Tadinya, pada waktu melihat musuh besarnya itu hanya dikawal oleh tujuh belas orang pengawal, maka begitu mendengar berita ini, dia cepat mengumpulkan anak buahnya dan melakukan penghadangan jalan sebab dia bermaksud membalas dendam dan membasmi semua orang di tengah hutan agar kalau Raja Sabutai mendengar tentang pembasmian itu, dia tidak akan menyangka bahwa orang-orang Jeng-hwa-pang vang melakukannya. Kalau Kim Hong Liu-nio tiba di sarang Jeng-hwa-pang, tentu saja Jeng-hwa-pang tidak memungkiri lagi dan berarti akan menanam bibit permusuhan dengan Raja Sabutai dan hal itu amatlah berbahaya. Akan tetapi, siapa kira wanita ini benar-benar amat cerdik dan tidak dapat ditundukkan dengan hanya mengandalkan banyak anak buah karena ternyata di belakang wanita itu berdiri pasukan yang ribuan orang jumlahnya. Maka terpaksa Gak Song Kam tersenyum-senyum masam untuk menutupi rasa gentar dan kecewanya. "Hemm, kiranya Kim Hong Liu-nio yang mengaku gagah perkasa itu hanya mengandalkan pasukan besar untuk menghadapi lawan!" "Cihh! Orang she Gak, sebaiknya engkau menelan kembali ludahmu itu! Engkaulah yang mengandalkan jumlah banyak! Sekarang cepatlah katakan, engkau mengundang aku ke Jeng-hwa-pang kemudian menghadang di tengah jalan ini, engkau mempunyai niat curang apakah?" Gak Song Kam berdehem untuk menenangkan hatinya yang terguncang. Kemudian dia menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan pula, "Kim Hong Liu-nio, benarkah engkau yang telah membunuh isteriku dan sembilan orang keluarga isteriku beberapa bulan yang lalu?" Kim Hong Liu-nio mengangguk, lantas menurunkan papan salib dari punggungnya sambil memperlihatkan tulisan tiga huruf di atas papan itu. "Bukan salahku, pangcu, akan tetapi salahnya isterimu dan salahmu sendiri. Kenapa isterimu she Tio? Kenapa pula engkau menikah dengan seorang she Tio dan di rumahmu tinggal sembilan orang she Tio itu?" Tentu saja jawaban ini amat bo-ceng-li (kurang ajar) dan mau menang sendiri saja. Muka Gak Song Kam menjadi semakin merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi melihat keadaan yang tak menguntungkan, dia tidak berani terlalu memperlihatkan kemarahannya. "Kim Hong Liu-nio! Engkau pasti tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat peraturan bahwa siapa hutang uang bayar uang, hutang budi bayar budi, dan hutang nyawa bayar nyawa," berkata orang she Gak itu dengan suara penuh ancaman dan tangan kanannya meraba gagang pedang di pinggangnya. Wanita itu tersenyum mengejek. "Hemm, kau maksudkan bahwa aku sudah membunuh isterimu dan keluarganya, sekarang engkau hendak membunuhku?" "Itu sudah merupakan kepantasan!" jawab ketua Jeng-hwa-pang. Kim Hong Liu-nio mengangguk-angguk. "Memang pantas! Seorang suami tentunya harus membalas kematian isterinya, atau mengikuti isterinya ke alam baka. Soalnya, engkau mampu membunuh aku ataukah sebaliknya. Dan apakah kau masih ingin mengandalkan pengeroyokan untuk membunuhku, pangcu?" Diejek demikian, makin marahlah Gak Song Kam. Kalau dia tidak ingat bahwa tempat itu sudah dikurung oleh seribu lebih pasukan, tentu dia akan menggerakkan anak buahnya untuk membunuh iblis betina ini. "Ataukah engkau akan bersikap pengecut dan curang, mempergunakan racun-racunmu?" kembali wanita itu mengejek. "Apakah engkau takut?" ketua Jeng-hwa-pang itu berkesempatan balas mengejek. Wanita itu tersenyum, manis sekali sehingga diam-diam Gak Song Kam merasa heran dan juga sayang mengapa wanita secantik itu berhati kejam seperti iblis dan juga harus dibunuhnya untuk membalas kematian isterinya dan sembilan orang keluarga isterinya. "Racun-racunmu itu hanya permainan kanak-kanak, siapa takut? Akan tetapi bila engkau akan menggunakan pengeroyokan anak buahmu, terpaksa aku pun akan menggerakkan pasukanku." Tiba-tiba lima orang pembantu utama Gak Song Kam bergerak maju ke depan. Seorang di antara mereka berkata, "Tidak ada pengeroyokan! Pangcu kami mengundang untuk pibu. Kami berlima adalah pembantu-pembantu utamanya dan kami berlima sudah biasa maju bersama. Biarlah kami mengawali pertandingan ini dan menjadi jago-jago fihak pangcu. Silakan kouwnio mengeluarkan jago kouwnio untuk menandingi kami!" Kim Hong Liu-nio masih tersenyum dan memandang lima orang laki-laki itu. Usia mereka itu kurang lebih empat puluh sampai lima puluh tahun, semua bertubuh tegap dan terlihat kuat, berpakaian ringkas dan mereka berlima memegang lima macam senjata pula. Ada yang memegang pedang, golok, tombak, toya dan ruyung. Dia sudah mendengar laporan dari para penyelidiknya bahwa lima orang pembantu dari Jeng-hwa-pang ini lihai sekali, apa lagi kalau mereka maju bersama karena kelimanya merupakan ahli dalam barisan Ngo-heng-tin. Dia sendiri banyak mempelajari ilmu-ilmu silat dari berbagai cabang persilatan, akan tetapi dia belum mengenal Ngo-heng-tin, maka hatinya tertarik sekali. "Hemm, jadi kalian berlima adalah pembantu-pembantu Jeng-hwa-pangcu yang terkenal dengan ilmu Ngo-heng-tin? Kabarnya kalian adalah perampok-perampok dari Heng-san, benarkah?" Wajah lima orang itu menjadi merah sekali. Memang mereka dahulunya sebelum menjadi tokoh Jeng-hwa-pang, adalah lima orang perampok di Heng-san yang terkenal. Sesudah mereka dikalahkan dan ditundukkan oleh Jeng-hwa-pang, mereka lalu menggabung dan karena mereka itu lihai, maka sekarang mereka menjadi pembantu-pembantu utama dari Jeng-hwa-pangcu. Kini, disinggung masa lalu mereka, tentu saja mereka menjadi sangat malu dan marah. "Kami adalah Heng-san Ngo-houw, dan kami sudah siap membela pangcu kami, silakan kouwnio mengeluarkan jago kouwnio." "Suci, biarlah aku menghadapi mereka!" Tiba-tiba terdengar Han Houw berteriak dan dia sudah meloncat keluar dari dalam kereta dan lari menghampiri tempat itu. Melihat ini, Sin Liong merasa tertarik dan dia pun meloncat keluar dan mengikuti Han Houw. Kim Hong Liu-nio mengerutkan alisnya. Sute-nya ini paling suka bertanding silat! Memang sudah pandai sute-nya ini, sudah banyak menguasai ilmu-ilmu silat tinggi karena memang mempunyai bakat yang amat hebat, akan tetapi sute-nya yang baru berusia empat belas tahun ini tentu saja masih belum memiliki pengalaman bertempur dan juga belum dapat dikatakan matang ilmu-ilmunya, sedangkan dia sudah dapat menaksir bahwa lima orang ini merupakan jago-jago yang sudah kawakan dan berbahaya. "Lebih baik jangan sute. Mereka ini adalah orang-orang berbahaya." "Biarlah, suci. Aku tidak takut." "Dan aku akan membantu Han Houw!" tiba-tiba Sin Liong ikut berkata. Kim Hong Liu-nio terkejut dan cepat menoleh, memandang Sin Liong sambil mengerutkan alisnya. Anak ini benar-benar lancang dan kurang ajar, menyebut sang pangeran dengan namanya begitu saja! Dan berlagak hendak membantu segala. "Minggirlah engkau!" bentaknya kepada Sin Liong. Kemudian dia menghadapi lima orang Hengsan Ngo-houw sambil berkata, "Kalian maju berbareng dengan berlima, sebaliknya sute-ku berani menghadapi kalian. Bagaimana kalau aku dan sute-ku maju bersama, jadi dua lawan lima? Aku ingin melatih sute-ku dan kalian merupakan lawan latihan yang baik sebelum aku membunuh kalian." Tentu saja lima orang itu menjadi semakin marah karena ucapan itu jelas mengandung pandangan rendah sekali terhadap mereka. "Majulah!" bentak orang tertua di antara mereka, "Majulah kalian berdua, mau ditambah beberapa orang lagi pun tidak mengapa!" "Suci, menurut suci, di antara mereka berlima ini, pemegang senjata mana yang paling berbahaya?" Han Houw bertanya, sikapnya tenang. "Kelima batang senjata itu mempunyai keistimewaan masing-masing, sute, seperti juga sute sudah ketahui dan pelajari. Akan tetapi, kalau sute menghadapinya dengan pedang, tentu saja masing-masing memiliki kelemahan sendiri. Engkau tentu masih ingat bahwa ketika melawan pemegang senjata panjang harus merapat, sebaliknya menghadapi lawan bersenjata pendek harus merenggang." "Tapi, senjata mereka ini lima macam, ada yang pendek ada yang panjang kalau mereka maju bersama..." "Itulah lihainya Ngo-heng-tin, harap sute berhati-hati dan mengerahkan ginkang..." Lima orang itu sudah tidak sabar lagi. Mereka dijadikan bahan pelajaran ilmu silat! Maka mereka segera bergerak mengurung wanita dan anak laki-laki itu, kemudian terdengarlah mereka berseru hampir berbareng, "Lihat senjata!" Dan mulailah lima orang itu menggerakkan senjata masing-masing melakukan serangan! "Cring-cringg-cringgg...!" Nampak sinar terang berkelebatan dan ternyata Han Houw sudah mencabut pedang dan menangkis tiga batang senjata lawan yang menyambar, sedangkan dua batang senjata lain sudah dikebut oleh ujung sabuk merah Kim Hong Liu-nio! Akan tetapi, lima orang itu sudah menyerang lagi lebih hebat dan gerakan mereka benar-benar amat luar biasa. "Jangan tangkis, elakkan, pergunakan ginkang dan lindungi diri dengan sinar pedang!" terdengar Kim Hong Liu-nio berseru dan dua orang ini segera berkelebatan dengan cepat sekali di antara sambaran lima batang senjata itu. Han Houw mengerti bahwa suci-nya menyuruh dia mengelak untuk dapat memperhatikan cara lima orang lawan itu melakukan penyerangan dengan tersusun dalam Ngo-heng-tin. Dan memang demikianlah, Kim Hong Liu-nio diam-diam mempelajari gerakan lima orang itu dan dengan cepat dia sudah dapat menangkap inti dari kerja sama lima orang itu. Ternyata memang ada unsur ngo-heng pada setiap gerakan-gerakan mereka yang saling membantu dan saling melindungi, seperti juga sifat dari lima zat pokok yaitu api, air, kayu, logam, dan tanah. Ilmu berdasarkan ngo-heng ini memang hebat bukan main, dan setelah saling melindungi maka menjadi amat kuat. Akan tetapi segera Kim Hong Liu-nio melihat bahwa dasar dari tingkat ilmu yang dimiliki oleh lima orang itu belum begitu kuat. Dan inilah kelemahan mereka. Andai kata mereka itu terdiri dari orang-orang yang mempunyai dasar ilmu yang kuat, maka Ngo-heng-tin ini benar-benar amat sukar ditundukkan. Setelah melihat kelemahan lawan, maka Kim Hong Liu-nio tersenyum dan berkata kepada sute-nya, "Sute, kau sekarang boleh serang mereka yang memegang pedang dan golok! Gunakan gerakan Lian-cu Siang-kiam (Tikaman Ganda Berantai)!" Han Houw mentaati perintah suci-nya dan cepat pedangnya membuat gerakan berganda, melakukan serangan bertubi-tubi kepada pemegang pedang dan pemegang golok tanpa mempedulikan yang lain. Berdasarkan silat Ngo-heng-tin, ketiga orang lainnya tentu saja telah menggerakan senjata secara otomatis melindungi kedua orang itu. Akan tetapi tampaklah sinar merah panjang berkelebatan dan sinar yang dibuat dari sabuk merah Kim Hong Liu-nio ini sudah membentuk benteng yang menghadang ketiga orang lainnya sehingga mereka terpisah dari si pemegang golok! Kini terpaksa kedua orang ini menghadapi serangan pedang Han Houw, dan mereka terkejut bukan main menyaksikan sinar pedang yang berkeredepan dan amat cepat itu. Mereka kini terdesak dan menangkis kalang-kabut, dan lebih kaget lagi hati mereka waktu mereka menangkis, pedang dan golok mereka menjadi patah ujungnya, tidak kuat beradu dengan pedang pusaka di tangan Han Houw. Apa lagi karena anak itu memang sudah mengerahkan sinkang yang istimewa, yang dikuasainya di bawah gemblengan Hek-hiat Mo-li sendiri! Sin Liong menonton dengan mata terbelalak penuh kagum. Bukan main, pikirnya. Kiranya Ceng Han Houw benar-benar mempunyai ilmu kepandaian yang sangat hebat. Pandang matanya sampai kabur menyaksikan anak itu mengamuk dikeroyok oleh dua orang yang memegang pedang dan golok itu, sedangkan tiga orang lainnya ditahan oleh sinar merah dari Kim Hong Liu-nio, membuat mereka bertiga bergerak bingung karena ujung sinar merah itu kini berubah banyak sekali dan terus melakukan totokan-totokan ke jalan-jalan darah maut mereka! Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan si pemegang golok roboh terguling, dari lehernya mengucur darah karena tenggorokannya telah tertembus oleh ujung pedang Han Houw! Dan kini si pemegang pedang dengan muka pucat berusaha untuk mempertahankan diri sambil memutar pedangnya yang telah buntung! Semua ini tidak terlepas dari pandang mata Gak Song Kam. Menyaksikan semua itu, ketua Jeng-hwa-pang ini terkejut bukan main. Dia sendiri, sesudah mengerahkan seluruh kepandaiannya, baru mampu mengimbangi Ngo-heng-tin. Dan kini, Ngo-heng-tin menjadi kocar-kacir hanya menghadapi seorang bocah yang dibantu oleh wanita cantik itu, bahkan seorang di antara mereka telah roboh dan tewas, sedangkan yang empat orang lagi dia tahu tentu hanya tinggal menanti waktu saja. Melihat gerakan sabuk merah milik Kim Hong Liu-nio, dia tahu bahwa kalau saja wanita itu menghendaki, tentu sudah sejak tadi tiga orang temannya itu dapat dirobohkan, akan tetapi agaknya wanita itu betul-betul hendak melatih sute-nya dan membiarkan sute-nya merobohkan lima orang itu dan dia hanya membantu, hanya untuk mencegah tiga orang itu mengeroyok. Dan melihat ini semua, tanpa bertanding pun tahulah ketua Jeng-hwa-pang ini bahwa dia sendiri bukanlah lawan Kim Hong Liu-nio dan usahanya membalas dendam akan sia-sia belaka, bahkan dia hanya akan menyerahkan nyawanya saja. Maka timbullah akal yang curang di dalam benak Gak Song Kam. Sejak tadi dia melirik ke arah Sin Liong. Dia tidak tahu siapa anak itu, akan tetapi melihat gerak-geriknya, anak itu tidaklah selihai anak laki-laki yang memegang pedang itu, akan tetapi karena datang bersama Kim Hong Liu-nio, tentu anak itu pun merupakan seorang anggota keluarga atau anggota rombongan. Maka diam-diam dia lantas memberi isyarat kepada para anak buahnya. Semua anggota Jeng-hwa-pang adalah orang-orang yang telah bersumpah setia kepada Jeng-hwa-pang, maka begitu melihat isyarat itu, mereka lalu bergerak dan mencabut senjata, menyerang Kim Hong Liu-nio dan Ceng Han Houw! Kim Hong Liu-nio terkejut dan marah sekali. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring untuk memberi aba-aba kepada pasukan yang telah mengurung tempat itu, kemudian dia sendiri sudah mencabut pedangnya dan mengamuk sambil melindungi Han Houw. Ketika dia mencari-cari dengan pandangan matanya di antara pengeroyokan anak-anak buah Jeng-hwa-pang, dia tidak lagi melihat Gak Song Kam. Ke mana perginya ketua Jeng-hwa-pang ini? Sesudah melihat anak buahnya menyerbu, orang yang cerdik ini lalu meloncat dan menyelinap di antara anak buahnya, bukan untuk mundur dan melarikan diri, melainkan untuk menghampiri kereta yang telah ditinggalkan oleh tujuh belas orang pengawal itu. Para pengawal yang melihat betapa anak buah Jeng-hwa-pang sudah turun tangan ikut mengeroyok, tentu saja segera menggerakkan senjata dan menghadapi mereka dengan sengit. Kesempatan ini lantas digunakan oleh Gak Song Kam untuk menyerang ke depan dan menangkap Sin Liong. "Eh, kau mau apa?" Sin Liong membentak dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya telah kena dicengkeram oleh ketua Jeng-hwa-pang itu. "Diam kau! Kau ikut saja bersamaku!" bentak Gak Song Kam sambil mengangkat tubuh Sin Liong, mengempitnya dan mencengkeram tengkuknya, lalu ketua Jeng-hwa-pang ini melarikan diri. Setiap kali bertemu dengan pasukan yang mulai berdatangan, dia mengancam, "Biarkan aku lewat, kalau tidak, kubunuh lebih dulu anak ini!" Para anggota pasukan tidak mengenal Sin Liong, akan tetapi karena pengawal yang tadi melihat Sin Liong naik kereta bersama sang pangeran, cepat berseru agar Gak Song Kam yang telah menawan anak itu tidak diganggu! Demikianlah, maka Gak Song Kam berhasil melarikan diri sambil mengempit tubuh Sin Liong. Akan tetapi, tiba-tiba saja terdengar suara Kim Hong Liu-nio yang nyaring. "Tahan dia itu! Tangkap ketua Jeng-hwa-pang yang curang itu!" Ternyata, sesudah melihat lenyapnya Gak Song Kam, Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan main. Sambil melindungi Han Houw, cepat dia merobohkan empat orang Heng-san Ngo-houw, kemudian dia mengajak Han Houw mundur dan membiarkan tujuh belas orang pengawal menghadapi para anak buah Jeng-hwa-pang, karena sekarang pasukan sudah bergerak maju dan tentu puluhan orang Jeng-hwa-pang itu akan dibasmi habis. Bersama Han Houw dia lalu mencari-cari Gak Song Kam dan akhirnya dia melihat orang itu yang melarikan diri sambil mengempit tuhuh Sin Liong. "Celaka, suci. Dia melarikan Sin long!" Seruan Han Houw ini mengejutkan Kim Hong Liu-nio. Kalau Han Houw pada waktu itu mengkhawatirkan keselamatan Sin Liong yang terjatuh ke tangan ketua Jeng-hwa-pang, sebaliknya Kim Hong Liu-nio sangat khawatir kalau-kalau dia kehilangan Sin Liong yang akan dijadikan sandera untuk menemukan musuh besarnya, ayah kandung anak itu, dan menundukkannya. Jadi kekhawatiran kedua orang ini mempunyai dasar yang jauh berbeda. Diam-diam Han Houw mengagumi dan merasa suka sekali terhadap Sin Liong yang dianggapnya jauh berbeda dari pada anak-anak biasa, apa lagi sikap Sin Liong terhadap dirinya yang tidak menjilat-jilat seperti anak-anak lain, benar-benar menimbulkan kesan di hatinya dan dia merasa suka bersahabat dengan anak itu. Melihat Gak Song Kam melarikan Sin Liong, Kim Hong Liu-nio lalu berteriak menyuruh pasukan yang berada di belakang untuk menahan orang, itu. Akan tetapi pada saat itu, Gak Song Kam telah berhasil keluar dari kepungan dan kini mendengar seruan Kim Hong Liu-nio, kurang lebih tiga puluh orang prajurit anggota pasukan kecil yang berada paling belakang, segera membalikkan tubuhnya dan mereka berlari-lari mengejar! Melihat tiga puluh orang lebih mengejarnya dan melepaskan anak panah, Gak Song Kam cepat menggerakkan tangan kanannya dan tangan itu sudah menyebar bubuk berwarna hitam di belakangnya. Bubuk itu tertiup angin lalu berserakan di sepanjang jalan dan juga terbawa angin sehingga tersebar sampai jauh.....
JILID 10
KETIKA tiga puluh orang lebih itu tiba di tempat itu tiba-tiba saja mereka itu menjerit dan robohlah tiga puluh lebih orang itu, berkelojotan di atas tanah sambil dua tangan mereka mencekik leher sendiri. Mereka sudah terkena hawa beracun dari bubuk hitam yang tadi ditaburkan oleh ketua Jeng-hwa-pang itu! Melihat ini, pasukan lain dari sebelah kiri bergerak maju untuk menghadang, tetapi pada saat itu pula Gak Song Kam telah melempar-lemparkan beberapa benda-benda kecil, dan terdengarlah suara ledakan lalu nampak asap kehitaman mengepul memenuhi jalan. "Jangan kejar! Kembali...!" Kim Hong Liu-nio berseru. Akan tetapi terlambat, karena belasan orang prajurit telah tiba di tempat itu dan kembali terdengar jerit-jerit mengerikan lalu mereka itu terguling roboh. Asap beracun itu seketika membunuh mereka dan muka mereka berubah menjadi kehijauan! "Keparat!" Kim Hong Liu-nio kini meninggalkan Han Houw. "Sute, jangan ikut mengejar!" teriaknya kemudian tubuhnya melesat. Ketika sampai di tempat di mana disebar racun, dia mengerahkan sinkang-nya menahan napas, lalu meloncat bagaikan seekor burung terbang melampaui tempat itu dan tiba di sebelah sana yang aman. Akan tetapi, karena pada waktu itu senja telah datang dan di sebelah depan merupakan hutan yang amat gelap, dia tidak lagi melihat bayangan ketua Jeng-hwa-pang. Kim Hong Liu-nio berdiri termangu-mangu. Dia adalah seorang yang sakti dan jangankan baru menghadapi seorang seperti Gak Song Kam saja, biar ada lima orang Gak Song Kam dia tak akan takut menandinginya. Akan tetapi, Gak Song Kam adalah seorang ahli racun, dan kini orang yang curang itu sudah berada di dalam hutan gelap. Menghadapi seorang curang seperti ketua Jeng-hwa-pang itu, di tempat gelap dan orang itu ahli racun, benar-benar merupakan bahaya besar dan Kim Hong Liu-nio bukanlah seorang bodoh. Memang dia kehilangan Sin Liong, akan tetapi dalam waktu enam bulan anak itu akan mati juga. Lagi pula, untuk mencari Cia Bun Houw tanpa bantuan Sin Liong pun dia masih sanggup. Maka sesudah mengepal tinju memandang ke arah hutan gelap dan di dalam hatinya berjanji untuk kelak membunuh Gak Song Kam, dia kemudian membalikkan tubuh kembali kepada sute-nya yang telah menantinya di dalam kereta. Ternyata bahwa tujuh puluh lebih anggota Jeng-hwa-pang, tidak ada seorang pun yang dapat lolos. Semua terbunuh oleh pasukannya, akan tetapi fihak pasukan juga kehilangan banyak orang. Hampir dua ratus orang anggota pasukan tewas dikarenakan orang-orang Jeng-hwa-pang tadi juga menggunakan racun-racun yang menjatuhkan banyak lawan. Setelah memesan agar para komandan pasukan mengurus anak buah yang telah tewas, Kim Hong Liu-nio lalu memilih dua ekor kuda terbaik, kemudian bersama Han Houw dia melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda, menuju ke selatan, ke tembok besar. Wanita ini mulai dengan perjalanannya yang jauh dan penuh bahaya, menuju ke Kerajaan Beng, selain untuk memenuhi perintah permaisuri, yaitu mengusahakan agar Han Houw dapat berjumpa dengan kaisar, juga untuk mencari musuh-musuh besar gurunya, yaitu Cia Bun Houw, Yap In Hong, dan Tio Sun. Sementara itu, Sin Liong terus dibawa lari oleh ketua Jeng-hwa-pang memasuki hutan lebat. Anak ini berusaha meronta, tetapi cengkeraman tangan Gak Song Kam amat kuat. Seorang dewasa yang bertenaga besar pun tidak akan dapat berkutik kalau dicengkeram oleh orang she Gak ini, apa lagi seorang anak kecil seperti Sin Liong. Malam sudah tiba ketika Gak Song Kam berhenti berlari. Dia menotok jalan darah pada punggung Sin Liong, membuat anak itu lemas tak mampu bergerak, lalu melemparkan Sin Liong ke atas rumput sedangkan dia sendiri segera menjatuhkan diri di atas rumput, lalu kakek yang bertubuh tinggi tegap dan kelihatan gagah perkasa itu menangis! Menangis terisak-isak dan bercampur keluhan panjang pendek yang keluar dari kerongkongannya. Air matanya bercucuran, diusapnya dengan kedua tangan, bagai seorang anak kecil yang menangis karena kecewa hatinya. Semua ini dapat dilihat oleh Sin Liong yang roboh terlentang, karena ada sinar bulan yang cukup terang menerobos di antara celah-celah daun pohon dan menyinari wajah kakek yang sedang menangis itu. Watak anak itu memang aneh bukan main. Hatinya keras dan dia akan menentang segala ketidak adilan dengan penuh keberanian, dan dia tabah sekali menghadapi ancaman apa pun juga. Akan tetapi di balik ini, dia memiliki watak yang mudah terharu, mudah menaruh iba terhadap orang lain. Maka, begitu melihat kakek itu menangis demikian sedihnya, dia merasa terharu sekali dan juga kasihan, lupa bahwa kakek ini telah menangkapnya dan membuatnya tidak berdaya dengan totokan. "Paman, kenapa engkau menangis begitu sedihnya?" tanpa tertahankan lagi dia bertanya, suaranya penuh keprihatinan. Mendengat pertanyaan itu, Gak Song Kam menangis semakin keras lagi, seakan-akan pertanyaan itu menggugah semua kenangan yang pahit dan dia merasa benar betapa dia kini hanya sendirian saja, kehabisan keluarga, kehabisan anak buah yang sudah dibasmi musuh! Akan tetapi, semua ini mengingatkan dia akan kekejaman Kim Hong Liu-nio dan mendadak tangisnya terhenti, dia terbelalak menoleh ke arah Sin Liong dan membentak, "Bocah setan! Mereka sudah membasmi semua anak buahku dan keluargaku. Baik, biar pun aku belum sanggup membalas kepada iblis betina itu, setidaknya aku sudah dapat memuaskan dendamku kepadamu!" Dia lalu meloncat, menyambar kedua kaki Sin Liong dan diseretnya tubuh anak itu ke bagian yang lebih dalam dari hutan itu. Tentu saja Sin Liong tersiksa sekali. Tubuhnya lecet-lecet dan babak belur akibat terkena duri-duri saat dia diseret dan dia sama sekali tak mampu bergerak karena tubuhnya masih tertotok. Akhirnya, kakek itu berhenti di sebuah lereng bukit dan di bawah pohon-pohon besar itu terdapat sebuah lubang yang dalamnya ada dua meter, seperti sebuah sumur. "Ha-ha-ha, akan kulihat engkau mengalami siksaan yang paling mengerikan! Sekarang ini bagianmu untuk menebus dosa itu, kelak baru akan kuseret iblis betina itu ke tempat ini!" Bagaikan orang gila Gak Song Kam tertawa bergelak dan karena ketika tertawa itu dia mengangkat mukanya, maka cahaya bulan persis menimpa mukanya, membuat wajah itu kelihatan kejam dan seperti muka setan! "Paman, apa yang akan kau lakukan terhadapku?" Sin Liong bertanya karena dia merasa tidak bermusuhan dengan orang ini akan tetapi kenapa orang ini menyiksanya? "Ha-ha-ha-ha, kau ingin tahu? Ingin melihat? Nah, kau lihatlah!" Dia menyambar tubuh Sin Liong dan menggantung tubuh itu dengan kaki di atas dan kepala di bawah, kemudian dia menggantung tubuh itu di sumur. Dengan kepalanya yang tergantung itu, Sin Liong dapat melihat lubang sumur yang gelap menghitam, akan tetapi masih nampak olehnya beberapa ekor ular merah bergerak-gerak di dasar lubang sumur itu! "Ha-ha-ha, sudah kau lihat? Itulah lima ekor ular merah yang kami kumpulkan di sini, kami pelihara untuk diambil racunnya. Lima ekor ular yang paling ganas di dunia ini, dan aku akan melemparmu ke dalam lubang itu!" Sesudah berkata demikian, kembali Gak Song Kam melemparkan tubuh Sin Liong ke atas tanah di dekat lubang sumur yang mengerikan itu. Melihat ular-ular itu, Sin Liong lantas bergidik. Ngeri juga hatinya melihat ular-ular itu, dan teringatlah dia akan cerita ibunya bahwa pada waktu kecil pun dia pernah digigit ular dan hampir mati. Teringat akan hal itu, dengan sendirinya dia segera teringat akan ibunya dan terbayanglah di depan matanya betapa ibunya, yang selama ini dianggapnya sebagai ibu angkatnya akan tetapi kemudian ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, telah tewas. "Ibuuuu...!" Sin Liong menjerit dan tiba-tiba saja anak ini menangis! Tangisnya sesenggukan karena semenjak saat ibunya terbunuh hingga saat ini, dia selalu berada di dalam ketegangan dan dia belum memperoleh kesempatan untuk meluapkan kesedihannya. Kini, ketika teringat akan kematian ibunya, ibu kandungnya, tiba-tiba dia merasa begitu berduka sehingga dia menjerit dan menangis tersedu-sedu. Air matanya bercucuran tak dapat diusapnya karena kaki tangannya lumpuh tertotok. "Ha-ha-ha-ha...!" Gak Song Kam girang bukan main. Terhibur juga hatinya yang sedang berduka melihat musuhnya tersiksa seperti itu. Dia mengira bahwa Sin Liong menangis karena ketakutan, maka memanggil-manggil ibunya! "Ibuu... ahhh, ibuuu... hu-hu-huuuh...!" "Ha-ha-ha-haahhh...!" Suara tangis dan tawa itu berselang-seling seperti saling berlomba, dan makin Sin Liong mengingat ibunya, makin hebatlah tangisnya dan makin keras pula suara tawa Gak Song Kam yang merasa sangat terhibur oleh kedukaan anak yang dianggapnya musuh besar atau setidaknya keluarga dari musuh besarnya ini. "Ha-ha-ha, sekarang menangislah engkau, menangis terus hingga arwahmu akan menjadi setan yang menangis. Ha-ha-ha!" Gak Song Kam menepuk punggung Sin Liong membebaskan totokannya sehingga anak itu kini dapat bergerak lagi. Kemudian sambil tertawa-tawa, ketua Jeng-hwa-pang itu lalu melemparkan tubuh Sin Liong ke dalam lubang sumur! "Bukkk!" Tubuh Sin Liong terbanting ke atas tanah yang agak lembek. Sin Liong terguling-guling sampai tubuhnya membentur dinding sumur. Anak ini terlentang, pakaiannya berlepotan tanah lumpur. Terdengar suara tertawa dan Sin Liong yang terlentang itu melihat kepala berikut wajah yang menyeramkan dari Gak Song Kam di atas lubang sumur. Kakek itu menjenguk ke bawah sambil tertawa. Tiba-tiba hidung Sin Liong mencium bau yang harum bercampur amis dan mendengar suara mendesis. Dia terkejut, teringat akan ular-ular merah tadi dan cepat dia meloncat bangun dan berdiri. Akan tetapi pada saat itu, dia merasa betisnya digigit dari bawah. "Aduhhh...!" Dia berseru kaget dan merasa betapa betisnya nyeri dan ada rasa cesss seperti terkena sesuatu yang amat dingin, akan tetapi rasa dingin yang menyusup hingga ke tulang sumsum dan mendatangkan kenyerian hebat. Saking nyerinya, ketika dia terjatuh dan meraba betis kirinya yang tergigit itu, tangannya mencengkeram seekor ular kecil, besarnya hanya seperti ibu jari kakinya dan panjangnya hanya beberapa jengkal. Akan tetapi ketika dia mencengkeram, tubuh ular yang membelit kakinya itu ternyata lemas dan ketika dia renggutkan terlepas dari kakinya, ternyata ular itu telah mati! "Cesss...! Aduhhh!" Kini tiba-tiba saja pahanya tergigit sesuatu lalu rasa dingin menyusup tulang membuatnya menggigil. Seperti tadi, tangannya yang sudah melempar bangkai ular merah itu kembali menangkap ular yang menggigit paha kanannya, dan sungguh aneh! Kembali dia hanya menangkap ular merah yang telah mati lemas, walau pun bangkai ular itu masih hangat dan tubuh ular itu masih berkelojotan sedikit. Di bawah sinar bulan purnama yang hanya sedikit memasuki sumur kering itu, dia melihat ular kedua yang kulitnya belang-belang merah itu. Akan tetapi kembali ada ular yang telah menggigit lengan kirinya. Sebelum Sin Liong menangkap ular ini, ada lagi yang menggigit pinggang dan ada yang menggigit pundaknya. Rasa dingin yang teramat hebat membuat Sin Liong terguling lagi dan mengaduh-aduh, kedua tangannya mencengkeram ke sana-sini dan seperti dua ekor ular yang pertama, juga tiga ekor ular merah itu langsung mati begitu menggigit tubuhnya. Sin Liong merintih-rintih, rasa dingin membuat seluruh tubuhnya menggigil. Dia tidak lagi mempedulikan suara ketawa di atas, suara Gak Song Kam yang menikmati pemandangan remang-remang di bawah sumur, di mana dia hanya melihat anak itu jatuh bangun dan mengaduh-aduh. Dia mengira bahwa tentu anak itu sedang dikeroyok oleh lima ekor ular yang dipeliharanya di dalam lubang itu. Dia membuka mata lebar-lebar, ingin sekali melihat anak itu ditelan oleh ular hutan besar yang juga berada di dalam lubang, ular yang tidak beracun akan tetapi besarnya sepaha manusia dan tentu akan senang sekali melihat anak itu, atau mayatnya perlahan-lahan ditelan oleh ular besar ini. Kalau saja Gak Song Kam dapat melihat dengan jelas, tentu dia akan terkejut setengah mati melihat betapa lima ekor ular merah itu telah mati seketika begitu menggigit tubuh Sin Liong! Hal ini terjadi karena kebetulan saja. Seperti sudah kita ketahui, di dalam tubuh Sin Liong mengeram racun Hui-tok-san, yaitu racun yang sangat hebat, yang akan membunuh anak itu sedikit demi sedikit. Racun ini sifatnya panas dan jahat bukan main. Sebaliknya, racun ular merah yang sama jahat dan berbahaya, justru memiliki sifat yang sebaliknya. Racun ular merah jenis yang dipelihara oleh ketua Jeng-hwa-pang itu mempunyai sifat dingin dan sekali racun ini memasuki jalan darah manusia, dalam waktu sebentar saja manusia itu tentu akan mati. Akan tetapi, darah Sin Liong sudah diracuni oleh Hui-tok-san. Maka, begitu ular-ular itu menggigit, mereka bertemu dengan lawan hebat sehingga ular-ular itu mati seketika, tak kuat menghadapi hawa panas yang menyerang dari dalam tubuh Sin Liong. Kini Sin Liong yang tersiksa hebat sekali. Biar pun lima ekor ular merah itu sudah mati, akan tetapi di dalam tubuhnya masih terjadi perang yang amat hebat dan menimbulkan penderitaan yang sukar dilukiskan. Seluruh tubuhnya terasa sakit, sebentar seperti akan terbakar, kemudian berganti berubah dingin bagaikan membeku, seluruh kulit tubuhnya seperti ditusuk-tusuk, dan dari dalam seperti ada ribuan ekor semut yang menggigitnya! Tanpa disadarinya, Sin Liong mengeluh dan jatuh bergulingan di atas dasar sumur yang berlumpur, tidak ingat dan tidak mendengar lagi akan suara ketawa dari atas sumur. Memang agaknya belum waktunya bagi Sin Liong untuk tewas. Dua macam racun yang menguasai tubuhnya itu justru mengandung sifat yang berlawanan, dan keduanya adalah racun-racun yang paling ganas di dunia ini. Kalau saja racun ular merah yang telah memasuki tubuhnya itu lebih banyak atau kurang sedikit saja, maka nyawanya takkan tertolong lagi! Akan tetapi yang memasuki tubuhnya justru tepat sekali, berimbang dengan racun Hui-tok-san, sehingga perimbangan yang tepat ini membuat dua macam racun itu saling serang dan akhirnya keduanya mati sendiri atau kehilangan dayanya, menjadi punah atau luntur sehingga tanpa disadari oleh anak itu kini Sin Liong terbebas dari ancaman maut. Racun Hui-tok-san yang oleh Kim Hong Liu-nio dimasukkan ke dalam tubuhnya dan yang akan membunuhnya dalam waktu enam bulan, kini sudah buyar dan punah. Sebaliknya, racun lima ekor ular merah itu pun kehilangan dayanya karena punah oleh Hui-tok-san! Namun, rasa nyeri akibat perang yang terjadi di dalam tubuhnya antara racun ular-ular merah dan Hui-tok-san, benar-benar amat menyiksa sehingga dalam keadaan setengah sadar Sin Liong bergulingan sambil mengeluh. Dan pada saat itu pula terdengarlah suara mendesis-desis. Seekor ular besar yang panjangnya ada tiga meter, meninggalkan akar besar di mana dia melingkar di dinding sumur itu lantas bergerak turun menghampiri Sin Liong yang masih bergulingan! Tubuh anak itu memang kuat sekali berkat bertahun-tahun digembleng oleh kehidupan liar bersama monyet-monyet di atas pohon. Maka, setelah kedua macam racun itu mulai kehilangan kekuatan masing-masing karena saling memunahkan, dia pun mulai sadar. Sin Liong sudah bangkit berdiri dan terhuyung, lalu bersandar pada dinding sumur. Dia membuka matanya dan pada saat itu dia melihat dua cahaya kecil mencorong, yaitu mata dari seekor ular besar yang telah berada di depannya, kepalanya tergantung ke bawah, lidahnya menjilat-jilat keluar! Sin Liong terkejut bukan main, terkejut, ngeri, juga marah karena tubuhnya tersiksa oleh rasa nyeri yang hebat. Semua perasaan ini mendorong keluar nalurinya dan tiba-tiba dia mengeluarkan pekik dahsyat, bukan pekik manusia lagi namun pekik seekor kera muda yang sedang marah. Kemudian, terdorong oleh naluri liar ini, dia bukannya menjauhkan diri dari kepala ular besar itu, melainkan sebaliknya malah. Dia menubruk maju dan mencengkeram leher ular itu! Ular itu mendesis lantas membuka mulut, akan tetapi dengan seluruh kekuatan Sin Liong mencekik leher ular. Ular itu lalu membelitkan tubuhnya, membelit-belit pinggang dan leher Sin Liong. Anak ini tentu saja tidak mampu bertahan dan dia terguling, tubuhnya terbelit-belit ular itu dan terasa betapa lehernya tercekik. Karena merasa marah, Sin Liong lalu menggereng, membuka mulut dan menggigit leher ular itu. Digerogotinya leher ular itu sekuat tenaga, penuh keganasan disertai kemarahan, dan dia segera merasa darah segar yang panas memasuki mulutnya. Akan tetapi dia tidak peduli dan menggigit terus, menggigit terus! Ular itu besar dan kuat sekali. Seorang laki-laki dewasa sekali pun tidak akan mungkin dapat melawan tenaga lilitannya, apa lagi Sin Liong. Kalau saja dia tidak berlaku nekat dan menggigit leher ular itu, tentu lehernya sendiri sudah patah dililit oleh ular itu. Karena gigitannya itulah, maka ular itu merasa kesakitan dan meronta, membuat lilitannya tidak teratur, tidak sampai mematahkan tulang leher atau punggung Sin Liong, akan tetapi tentu saja makin menyiksa anak itu. Ketika mendengar suara pekik dahsyat yang keluar dari mulut Sin Liong tadi, Gak Song Kam terkejut bukan main, akan tetapi juga merasa gembira. Dalam diri setiap orang manusia memang terdapat semacam nafsu yang buas ini, yaitu rangsangan yang menimbulkan ketegangan yang nikmat bila mana menyaksikan suatu siksaan atau kekejaman berlangsung menimpa diri lain orang atau lain makhluk. Nafsu yang mungkin diwarisi dari binatang inilah yang membuat manusia suka sekali nonton adu tinju, adu jengkerik, adu ayam, dan bunuh-membunuh, baik antar manusia mau pun antar makhluk hidup. Nafsu yang dikenal dengan sebutan sadisme ini menguasai orang-orang yang batinnya lemah, orang-orang yang menonjolkan iba diri sehingga dia akan merasa senang melihat orang lain atau makhluk lain lebih menderita dari pada dirinya sendiri. Nafsu inilah yang menimbulkan segala macam perbuatan keji dan kejam di antara manusia. Gak Song Kam yang mendengar pekik itu mengira bahwa tentu penyiksaan atas diri anak di dalam lubang sumur itu sudah mencapai puncaknya dan kakek ini tak ingin kehilangan kesempatan menyaksikan pemandangan yang dianggapnya sangat menegangkan namun menyenangkan itu. Maka cepat dia lalu membuat api, membakar sebongkok kayu kering sebagai obor, lalu dengan penerangan itu dia membantu sinar bulan menerangi ke dalam lubang sumur untuk menonton. Namun, selagi dia menjenguk ke dalam lubang dan menggunakan tangan kiri menutupi sinar obor yang terlalu menyilaukan pandangannya, tiba-tiba terdengar pekik-pekik seperti tadi, kini banyak dan berulang-ulang. Bekas ketua Jeng-hwa-pang itu terkejut bukan main karena mendengar pekik-pekik itu bukan keluar dari lubang sumur, melainkan dari arah belakangnya. Cepat dia membalikkan tubuh memandang sambil mengangkat obornya, dan hampir dia sendiri berteriak saking kagetnya. Tempat itu penuh dengan monyet-monyet besar yang menyeringai marah, memperlihatkan gigi-gigi bertaring dan mata kecil-kecil yang tajam dan liar! Sebetulnya, yang datang berloncatan dari atas pohon-pohon itu hanya ada belasan ekor monyet besar saja. Akan tetapi karena cuaca remang-remang dan pekik dahsyat yang keluar dari kerongkongan rombongan monyet itu saling bersahut, berloncatan dari segala penjuru, sedangkan hati Gak Song Kam sedang terkejut bukan main, maka dia merasa seolah-olah yang muncul ada ratusan ekor monyet! Dalam keadaan biasa, tentu saja orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi ini tidak takut menghadapi rombongan monyet-monyet itu. Akan tetapi pada saat itu, Gak Song Kam adalah seorang pelarian yang baru saja meloloskan diri dari ancaman maut, maka melihat munculnya ratusan ekor monyet besar itu, seketika timbul dugaannya bahwa hal ini tentulah merupakan siasat dari Kim Hong Liu-nio, wanita iblis itu. Maka, tanpa berpikir dua kali, dia segera membuang obornya dan melarikan diri dari tempat itu dengan cepat sebelum wanita yang ditakutinya itu muncul! *************** Sin Liong merasa betapa darah bercucuran dari leher ular yang sedang digerogotinya itu, membasahi seluruh mukanya dan membikin pedih kedua matanya. Akan tetapi dia nekat, terus menggigit dan tidak mau melepaskan leher ular itu. Lilitan tubuh ular pada lehernya makin mencekik sehingga dia tidak bernapas lagi, kepalanya terasa seperti mau meledak, hidungnya yang tadi mencium bau amis kini mencium bau hangus. Sin Liong tidak tahu lagi betapa pada saat itu, beberapa ekor monyet besar berloncatan, masuk ke dalam lubang sumur dan seekor monyet betina besar menggereng, merenggut ular yang melilit tubuhnya itu dengan penuh kemarahan, kemudian menggigit kepala ular itu. Beberapa ekor monyet membantu dan akhirnya tubuh ular itu mereka robek-robek. Kemudian, monyet betina besar itu mengeluarkan suara menguik-nguik seperti menangis melihat tubuh Sin Liong yang terlentang pingsan, dipondongnya tubuh itu dan dibawanya merayap naik bersama teman-temannya. Tidak lama kemudian, belasan ekor monyet itu menghilang di antara daun-daun pepohonan. Mula-mula pohon-pohon di sekitar tempat itu berkerosakan, dan cabang-cabangnya bergoyang-goyang, akan tetapi tak lama kemudian keadaan menjadi sunyi dan rombongan monyet itu telah pergi jauh. Tidak sampai sepuluh hari lamanya, Sin Liong sudah sembuh kembali dari luka-lukanya. Dia dirawat oleh monyet betina yang menjadi induknya pada waktu dia masih bayi, dan beberapa hari kemudian, dia telah dapat bergerak bebas dengan para monyet, berkejaran di pohon-pohon, mencari buah-buahan dan hidup bersama mereka dengan bebas. Sin Liong sama sekali tak merasa canggung hidup di antara binatang-binatang ini, bahkan dia merasa mendapatkan kembali dunianya yang amat dicintanya. Begitu bebas, begitu wajar, begitu sehat! Selama beberapa hari saja hidup di antara kawanan monyet itu, di dalam hutan lebat, dia telah melupakan semua kedukaannya, lupa dengan kematian ibu kandungnya, lupa akan orang-orang yang tadinya dianggap musuh besarnya, lupa akan dendamnya dan dia benar-benar hidup dengan wajar dan bahagia. Tidak pernah ada persoalan atau masalah yang timbul dari pikiran, yang ada hanyalah soal-soal yang wajar seperti perut lapar, tubuh lelah, panasnya matahari, dinginnya hawa malam, hujan, bahaya-bahaya yang muncul dari alam, dan segala masalah yang secara langsung dihadapinya dan langsung diatasinya pula. Tidak ada masalah yang timbul dari pikiran, seperti dalam kehidupan masyarakat manusia, yang berisi kecewa, dendam, iri, benci, dan sebagainya yang kesemuanya menuntun kepada penderitaan dan kedukaan hidup. Tidak dapat disangkal pula bahwa manusia adalah makluk yang paling pandai di antara semua makluk hidup dan telah memperoleh kemajuan yang amat hebat dalam masalah kebendaan, soal jasmaniah, soal lahiriah. Kemajuan-kenajuan pesat yang mentakjubkan telah dicapai oleh manusia dengan segala keajaiban tehnik. Akan tetapi, sungguh sayang, kemajuan jasmaniah ini tidak disertai kemajuan rohaniah, kemajuan lahiriah tidak diimbangi dengan kemajuan batiniah. Bahkan sebaliknya malah! Justru kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang lahiriah ini seakan-akan menjadi penghambat kemajuan batiniah, bahkan sudah membuat manusia mundur dalam bidang rohani. Bila mana kita membandingkan betapa beberapa ratus tahun yang lalu manusia masih menggunakan gerobak yang ditarik kuda dan kini manusia mempergunakan kendaraan-kendaraan bermesin yang hebat-hebat, bahkan bisa terbang dengan kecepatan melebihi suara, jelaslah bahwa manusia telah memperoleh kemajuan yang amat hebat di bidang kebendaan di banding lahiriah. Akan tetapi, kalau kita bandingkan pula keadaan batiniah manusia ketika masih berkendaraan gerobak dengan batin manusia sekarang, jelas pula nampak bahwa di bidang ini kita mengalami kemunduran hebat! Kejahatan makin merajalela. Permusuhan di antara manusia makin menghebat. Perang makin mengganas. Bunuh-membunuh makin menguasai seluruh negara di bagian dunia mana pun juga. Mengapa demikian? Apakah justru kemajuan lahiriah itu yang menyeret manusia mundur dalam bidang batiniah? Apakah kemajuan di bidang kebendaan itu telah mendatangkan kebahagiaan kepada manusia? Kita dapat membuka mata melihat kenyataan dan jawabannya jelas: Tidak! Kemajuan di bidang kebendaan jelas tidak mendatangkan kebahagiaan. Bukan berarti bahwa kita tak semestinya maju dalam bidang kebendaan. Sama sekali tidak! Namun kita tidak pernah mau meneliti dan menyelidiki tentang kehidupan batiniah kita. Kita terlampau dibuai oleh kemajuan lahir yang semuanya ditujukan kepada pencapaian kesenangan yang sebesar dan sebanyak mungkin! Kita lupa bahwa makin dikejar, kesenangan itu semakin mencengkeram kita, semakin membuat kita haus. Nafsu tak pernah dapat dipuaskan, karena sekali dituruti, akan terus menyeret kita supaya mendapatkan yang lebih banyak dan lebih besar lagi. Dan justru pengejaran kesenangan ini yang akhirnya menjerumuskan kita ke dalam segala bentuk kejahatan! Seluruh kehidupan kita telah dikuasai dan dipengaruhi oleh hasrat yang satu, yaitu ingin senang! Hasrat ingin senang ini sampai-sampai menyelinap ke dalam soal-soal yang kita namakan bidang rohaniah, sehingga sebagian besar dari kita memasuki suatu agama, suatu partai, suatu golongan, suatu kelompok kebatinan, hanyalah terdorong oleh hasrat INGIN SENANG inilah! Marilah kita membuka mata meneliti dan mengamati diri sendiri. Tidaklah di balik semua usaha kerohanian kita itu tersembunyi hasrat itu yang terselubung? Hasrat ingin menjadi orang baik, ingin bebas, ingin menjadi saleh, yang semuanya hanya merupakan bentuk terselubung dari hasrat INGIN SENANG. Dan selama masih terdapat pamrih ingin senang, berarti semua tindakan yang berpamrih mementingkan diri sendiri sudah pasti akan mendatangkan konflik. Karena itu muncullah agamaKu, negaraKu, partaiKu, keluargaKu, kelompokKu, TuhanKu, dan selanjutnya yang semuanya hanya berdasarkan kepada kesenanganKu, oleh karena itu bila kesenanganku sampai diganggu, aku menjadi marah, benci, dan siap untuk membunuh atau dibunuh! PERANG! INGIN SENANG! Apakah hidup ini lalu harus menjauhi kesenangan, menolak kesenangan lalu hidup bertapa di gunung-gunung, di goa-goa, atau mengasingkan diri di biara-biara. Sama sekali tidak demikian! Kita lupa bahwa menjauhi kesenangan seperti itu, bertapa dan sebagainya, pada hakekatnya juga masih MENCARI KESENANGAN dalam bentuk lain, menginginkan kesenangan yang kita anggap lebih luhur! Segala macam bentuk pencarian, segala bentuk daya upaya, pada hakekatnya terdorong oleh rasa ingin senang itu, bukan? Baik kesenangan itu kita tingkat-tingkatkan sebagai kesenangan rendah, sedang atau tinggi atau luhur, tetap saja pada dasarnya kita ingin senang! Dan selama ada KEINGINAN untuk senang, maka sudah pasti timbul konflik, timbul pertentangan, sebab keinginan yang dihalangi akan menimbulkan kemarahan dan kebencian, keinginan yang tak tercapai akan menimbulkan kekecewaan dan kedukaan, sebaliknya keinginan yang tercapai tak akan mendatangkan kepuasan abadi, melainkan mendatangkan kepuasan sesaat saja yang kemudian ditelan oleh keinginan yang lebih besar lagi. Kesenangan bukanlah hal yang jahat atau buruk. Manusia hidup berhak untuk senang! Kita mempunyai panca indra yang dapat merasakan kesenangan itu, dapat menikmati apa yang kita namakan kesenangan itu sehingga mata kita dapat menikmati keindahan setangkai bunga, telinga kita dapat menikmati kicau burung, hidung kita bisa menikmati keharuman bunga, mulut kita bisa menikmati asin, manis, gurih, dan sebagainya lagi. Anugerah sudah berlimpah! Akan tetapi, segala kesenangan yang sesungguhnya bukan kesenangan, melainkan kebahagiaan hidup ini, akan berubah menjadi kesenangan yang ingin kita ulang-ulangi, ingin kita peroleh sebanyak dan sebesar mungkin, selama kita MENYIMPAN pengalaman yang nikmat itu ke dalam ingatan kita! Maka lahirlah keinginan untuk senang, dan muncullah pengejaran kesenangan! Semua ini dapat kita sadari sepenuhnya kalau kita waspada dan mau mengamati diri sendiri setiap saat tanpa penilaian, tanpa usaha mengubah, hanya mengamati saja penuh pengertian, penuh kewaspadaan, yaitu diri sendiri mengamati diri sendiri. Sin Liong mengalami kebahagiaan karena hidup di antara para monyet itu, dia hidup saat demi saat, tidak lagi dibuai oleh pikiran yang mengingat-ingat dan mengenangkan segala hal yang telah lalu mau pun yang akan datang. Kalau lapar mencari makanan dan makan. Kalau lelah beristirahat, bila mengantuk tidur, kalau kepanasan atau kehujanan berteduh, habis perkara! Yang ada hanyalah tantangan-tantangan hidup yang muncul seketika dan ditanggulangi seketika pula. Tidak ada pikiran mengkhawatirkan masa depan dan tidak ada pikiran menyesali masa lalu. Memang amat mengherankan kalau pada suatu pagi orang melihat seorang anak laki-laki yang tampan berkejar-kejaran dengan sekelompok monyet, berayun-ayun dan berloncatan tinggi sekali di puncak-puncak pohon dengan amat cekatan, ikut pula mengeluarkan suara teriakan-teriakan seperti monyet dan kadang-kadang melayang dari dahan yang tinggi ke dahan yang lebih rendah dengan luncuran tubuh yang menimbulkan rasa ngeri. Kini tubuhnya sudah sembuh sama sekali dari pengaruh racun, sungguh pun hal ini sama sekali tak disadarinya. Sin Liong tidak tahu bahwa racun Hui-tok-san yang dimasukkan ke dalam tubuhnya oleh Kim Hong Liu-nio itu kini telah lenyap dan musnah oleh racun gigitan ular-ular merah dan bahwa dia telah bebas dari ancaman maut. Namun, Sin Liong sudah tidak mempedulikan lagi akan hal itu. Pagi hari itu dia sedang berloncatan dengan penuh kegembiraan, menuju ke bagian hutan di mana terdapat pohon-pohon yang berbuah. Tiba-tiba terdengar pekik ketakutan dari seekor monyet, jauh di depan. Suara itu demikian mengejutkan bagi kawanan monyet itu dan juga bagi Sin Liong sehingga mereka semua seketika berhenti bergerak membuat semua dahan-dahan pohon yang tadinya bergoyang-goyang, mendadak berhenti sama sekali, suara mereka yang tadinya ramai dan gembira itu pun berhenti. Suasana menjadi sunyi dan para monyet itu kelihatan ketakutan, bahkan ada yang menggigil dan memeluk dahan pohon seperti ingin berlindung. Kembali terdengar pekik dahsyat itu, dan para monyet makin ketakutan. Akan tetapi Sin Liong tiba-tiba mengeluarkan pekik dari kerongkongannya dan dia telah meloncat dengan gerakan cepat sekali, berloncatan dari pohon ke pohon sambil memekik-mekik. Melihat ini, timbul kembali keberanian para monyet itu dan mereka pun bergerak cepat mengejar Sin Liong sambil memekik-mekik. Biar pun semua binatang, termasuk monyet, tidak pandai berbicara seperti manusia yang sudah mengembangkan ilmu bercakap-cakap sehingga menjadi sangat luas dan lengkap, sehingga setiap benda telah diberi nama atau kata tertentu, namun binatang-binatang itu pun memiliki cara saling berhubungan melalui suara. Oleh karena itu, setiap suara yang dikeluarkan oleh binatang apa pun, sudah tentu mempunyai maksud tertentu bagi jenis mereka. Begitu pula dengan suara-suara pekik monyet, suara itu memiliki makna-makna tertentu dan karena sejak kecil sering kali bergaul dengan monyet-monyet, maka Sin Liong dapat menangkap makna dari suara-suara monyet itu. Pada saat mereka tadi mendengar pekik mengerikan dari seekor monyet, mereka maklum bahwa ada seekor monyet yang berada dalam ketakutan hebat, sedang menghadapi bahaya besar, lalu pekik-pekik selanjutnya memberi tahu kepada mereka bahwa monyet itu tengah berhadapan dengan musuh besar mereka yang amat ganas dan berbahaya, yaitu harimau! Harimau merupakan raja hutan yang sangat ditakuti oleh para monyet itu, karena sudah sering kali harimau menerkam dan membunuh seekor di antara mereka. Kalau mereka sedang bergerombol dalam jumlah banyak, harimau-harimau itu tidak berani menyerang. Akan tetapi begitu ada monyet yang terpencil sendirian, apa bila bertemu harimau, tentu akan menjadi korban dan mangsanya. Maka, begitu mendengar pekik itu, tentu saja para monyet tadi menjadi ketakutan. Akan tetapi, tentu saja Sin Liong berbeda dengan mereka. Anak ini sudah terlalu sering ditolong dan dlselamatkan oleh monyet-monyet itu, dan sebagai manusia yang memiliki daya ingatan kuat, tentu saja hal-hal ini membuat dia merasa berhutang budi dan timbul kesetia kawanan besar di dalam hati anak manusia ini. Sebab itu, begitu rasa kaget dan ngerinya mereda, dia teringat bahwa ada seekor monyet terancam bahaya, maka dia melupakan segala rasa takutnya dan cepat lari menuju ke tempat itu. Dan para monyet itu agaknya baru sadar bahwa mereka berjumlah banyak dan tidak usah takut menghadapi musuh besar itu, maka mereka pun cepat mengejar dan mengikuti Sin Liong. cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Sin Liong sudah meloncat turun dan benar saja, di depan terdapat seekor monyet besar yang sedang diserang oleh harimau. Monyet itu sudah luka-luka, akan tetapi dia melawan dengan nekat, berloncatan ke sana-sini dan berusaha untuk balas menggigit. Melihat ini, Sin Liong marah sekali, dia mengeluarkan suara gerengan keras dan meloncat ke depan, lantas menerjang harimau itu dengan penuh keberanian, menggunakan kakinya menendang ke arah perut harimau dan tangannya menyambar ke arah ekor harimau yang panjang. "Bukkk!" Walau pun tendangan itu cukup keras, namun mengenai perut harimau seperti mengenai sekarung beras saja. Kaki anak itu membalik, tetapi Sin Liong sudah berhasil memegang ekor binatang itu dan membetotnya. Harimau itu meraung, melepaskan monyet yang tadi sudah diterkamnya, lalu membalik, berusaha untuk mencakar manusia cilik yang memegangi ekornya. Akan tetapi Sin Liong cukup cerdik, dia memegangi ekor harimau itu dengan kedua tangan sekuat tenaga, tidak mau melepaskannya dan kadang-kadang kakinya menendang-nendang sekenanya, yang mengenai pantat dan kedua kaki belakang harimau yang menjadi makin marah. Harimau itu meraung-raung, menggereng-gereng, namun Sin Liong juga memekik-mekik nyaring. Suara yang hiruk-pikuk itu agaknya sudah menarik perhatian harimau lainnya. Dari balik semak-semak muncul seekor harimau lain yang menggereng dan dengan loncatan tinggi, harimau ke dua ini menubruk dan menerkam Sin Liong dari belakang! "Aughhhhh...!" Sin Liong berteriak kaget sekali, kedua pundaknya kena dicakar, bajunya robek dan kulitnya pecah-pecah. Akan tetapi dengan sigap dia segera membalikkan tubuhnya, lantas menyusup ke bawah sehingga terlepas dari terkaman itu. Sin Liong sudah menerjangnya dengan tendangan-tendangan dan pukulan secara membabi-buta. Akan tetapi, tentu saja tendangan serta pukulannya tidak dapat merobohkan harimau yang buas dan kuat itu. Kembali Sin Liong menjadi korban cakaran-cakaran kuku harimau sehingga bajunya makin robek-robek tidak karuan, berikut kulitnya sehingga pakaiannya mulai berlumuran darah. Baiknya, pada saat itu, rombongan monyet telah tiba dan mereka berloncatan turun. Kini jumlah mereka bertambah banyak karena tadi monyet-monyet lain yang sedang berada di lain tempat mendengar suara-suara itu dan mereka pun berdatangan. Melihat di bawah ada dua ekor harimau yang sedang menyerang Sin Liong dan seekor monyet lain yang sudah luka-luka parah, mereka mengeluarkan suara gerengan dan berloncatan turun, lalu mulailah terjadi pengeroyokan terhadap dua ekor harimau itu. Kedua ekor binatang buas ini sudah menjadi ketakutan melihat munculnya begitu banyak monyet, maka ketika mereka diterkam dan dikeroyok, mereka meraung-raung, mencakar ke sana-sini, menggigit sana-sini, namun akhirnya kedua ekor binatang buas itu terpaksa melarikan diri sambil menggeram marah karena musuh terlampau banyak bagi mereka yang memang sudah merasa ketakutan. Sin Liong duduk dengan lemas. Seperti beberapa ekor monyet lainnya, dia pun menderita luka-luka dan pakaiannya robek-robek. Dengan bantuan induk monyet besar, dapat juga dia memanjat pohon dan beristirahat di atas pohon, dirawat lagi oleh induk monyet besar dengan penuh kasih sayang, ada pun monyet-monyet lain yang luka-luka dapat merawat diri sendiri. Demikianlah, untuk ke sekian kalinya, kembali Sin Liong hidup di antara monyet-monyet. Karena dia sudah pernah digembleng ilmu silat oleh ibunya, maka kini dia dapat menilai gerakan-gerakan para monyet itu yang amat cekatan dan gesit, dan mulailah dia dapat mengambil intisari dari gerakan-gerakan itu untuk dipakai berlatih ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Mungkin karena anak ini dibesarkan dalam asuhan monyet, bahkan dihidupkan oleh air susu monyet, maka Sin Liong lebih dapat menangkap naluri monyet-monyet itu sehingga tanpa disadarinya sendiri, dia telah menciptakan ilmu silat monyet yang lebih mendekati aslinya dari pada ilmu silat monyet yang sudah ada dalam partai-partai persilatan besar. Dia bisa bergerak dengan kecepatan laksana monyet asli, cara mengelak, cara meloncat, ketajaman pandang mata dan telinga, kecekatan kaki tangan. Dan yang lebih dari semua itu, dia kini hidup bebas dan berbahagia karena dia tidak lagi mengenal persoalan-persoalan yang selalu memenuhi kehidupan manusia. Satu-satunya urusan baginya, seperti monyet-monyet yang lainnya, hanyalah menjaga dan memelihara diri, tubuh yang dimilikinya itu, dari ancaman luar, dan di dalam hubungan antara mereka dia memperoleh kebahagiaan. Kini dia tidak hanya dapat mengerti, bahkan dapat merasakan mengapa seluruh binatang di dalam hutan, bila sudah bergerombol, menjadi demikian gembiranya, mengapa burung-burung berkicau indah di pagi hari, kupu-kupu beterbangan berkejaran di antara bunga-bunga, kijang dan kelinci berloncat-loncatan lucu. Mereka semua itu dapat bergembira, dapat hidup berbahagia, karena selain tubuh mereka sehat dan terasa enak, juga mereka tidak pernah dibebani pikiran yang menimbulkan kekhawatiran, penyesalan, kebencian, iri hati, pengejaran bayangan kesenangan dan sebagainya lagi. *************** Kita tinggalkan dulu Sin Liong dalam dunianya yang menyenangkan itu, dan marilah kita tengok keadaan para penghuni Istana Lembah Naga. Seperti kita ketahui, keluarga Kui Hok Boan mengalami mala petaka besar pada waktu isteri dari orang she Kui ini tewas di tangan Kim Hong Liu-nio secara mengerikan. Sungguh pun hatinya merasa cemburu dan marah sesudah mendengar kenyataan bahwa isterinya dulu pernah bermain cinta dengan pendekar Cia Bun Houw sehingga kemudian melahirkan Sin Liong yang disangkanya benar ditemukan oleh isterinya itu, namun hati orang she Kui ini berduka sekali oleh kematian Liong Si Kwi. Dia sudah jatuh cinta kepada isterinya yang tangan kirinya buntung itu. Sebelum dia menikah dengan Si Kwi, Hok Boan adalah seorang petualang asmara yang belum pernah jatuh cinta. Semua perbuatannya terhadap wanita mana pun hanya didorong oleh nafsu birahi belaka. Oleh karena itu banyak wanita yang dia tinggalkan begitu saja setelah dia merasa puas kemudian menjadi bosan, dan di antara para wanita itu terdapat dua orang wanita yang akhirnya melahirkan keturunannya, yaitu dua orang anak laki-laki yang dibawanya ke Lembah Naga dan diakuinya sebagai keponakan. Dia belum pernah jatuh cinta dan hanya ketika dia bertemu dengan Liong Si Kwi maka dia benar-benar jatuh cinta. Setelah dia menikah dengan Si Kwi dan mempunyai dua anak perempuan kembar itu, dia merasa betapa hidupnya sudah aman tenteram dan makmur. Keadaan ini menjinakkan sifat binalnya sehingga dia bisa hidup sebagai seorang laki-laki terhormat, sebagai seorang suami dan seorang ayah baik-baik. Akan tetapi, siapa menduga akan datangnya mala petaka sehebat itu! Isterinya tewas di dalam tangan Kim Hong Liu-nio, seorang iblis betina yang amat lihai dan sampai bagai mana pun dia takkan mungkin melawannya. Kini dia kehilangan isteri yang dicintanya dan kembali dia hidup sebatang kara, bahkan kini dibebani dengan empat orang anak tanpa ibu! Kedukaan akibat kehilangan isterinya itu agaknya tak akan menjadi terlalu berat bagi Hok Boan yang tentu akan dapat menghibur hatinya dan menghilangkan kesepiannya dengan mencari wanita lain yang dapat melayaninya. Apa lagi sekarang dia merupakan seorang yang kaya dan terhormat, maka kiranya akan banyak gadis baik-baik yang cukup cantik untuk menjadi isterinya dengan senang hati. Akan tetapi yang membuat Hok Boan bingung adalah perintah yang datang dari raja liar Sabutai melalui utusannya yang mengerikan, Kim Hong Liu-nio, bahwa dalam waktu enam bulan dia harus pergi meninggalkan Lembah Naga! Inilah yang membuatnya menjadi agak bingung. Tentu saja dia dapat mengungsi ke selatan dengan membawa empat orang anaknya dan hartanya. Akan tetapi dia tahu bahwa di selatan terdapat banyak musuh-musuhnya dan tentu kehidupannya akan berubah sama sekali, akan lenyap pula semua ketenteraman hidup yang selama ini dinikmatinya di dalam Lembah Naga. Ikatan selalu menimbulkan duka. Kita hidup terbelenggu ketat oleh ikatan-ikatan hingga merupakan hal yang teramat sukar untuk dapat bebas. Kita terikat dan menyamakan diri atau menyatukan diri dengah isteri atau suami kita, dengan keluarga kita, kekayaan kita, kesenangan-kesenangan kita, nama kita, negara kita dan sebagainya. Dan sudah pasti bahwa kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah dari semua itu, timbullah duka. Bagaimana terjadinya ikatan itu? Kenapa kita suka sekali untuk mengikatkan diri secara sadar mau pun tidak kepada semua itu? Ikatan timbul apa bila kita menikmati suatu kesenangan dan menyimpan kesenangan itu di dalam ingatan, kemudian ingin seterusnya memiliki kesenangan itu. Kita mengalami kesenangan dalam hubungan dengan suami atau dengan isteri, dengan keluarga, dengan kekayaan dan sebagainya sehingga kita ingin memiliki mereka itu untuk selamanya, tidak mau terpisah lagi. Padahal, tiada yang kekal di dunia ini dan perpisahan pasti tiba, sehingga timbullah rasa takut, kekhawatiran akan kehilangan, kemudian timbullah duka kalau kehilangan. Timbul pula rasa takut akan kematian, yaitu perpisahan terakhir di mana kita harus melepaskan semua yang telah mengikut kita itu! Dapatkah kita hidup dengan mempunyai segala sesuatu secara lahiriah saja akan tetapi tidak memiliki sesuatu secara batiniah? Punyaku, suara lahiriah. Akan tetapi batin tidak memiliki apa-apa, bebas dan memberi kepada yang menjadi punya kita itu, tidak terikat. Bukan berarti acuh tak acuh, sebaliknya malah. Cinta kasih akan menjadi kotor dan palsu kalau disertai ikatan memiliki ini, karena ikatan ini timbul dari kesenangan yang kita dapat dari orang atau barang yang kita cinta itu! Ikatan berarti bahwa kita hanya ingin memperalat yang kita cinta itu demi kesenangan kita sendiri. Ikatan timbul dari pengejaran kesenangan dan seperti kita ketahui bersama, pengejaran kesenangan menimbulkan konflik, permusuhan, kekecewaan, kebosanan kebencian dan sebagainya. Kalau sudah tidak ada lagi keinginan mengejar kesenangan, maka baru ada kemungkinan batin bebas dari ikatan! Dan kalau batin bebas dari ikatan, baru nampak sinar cinta kasih yang sejati. Kui Hok Boan mulai berkemas, mengumpulkan semua harta bendanya yang sekiranya dapat dibawanya. Dia pun mulai memberi tahu kepada semua penghuni di sekitar daerah Lembah Naga akan perintah pengosongan tempat itu dalam waktu enam bulan dari Raja Sabutai. Para petani menjadi bingung, akan tetapi mereka tidak segelisah Hok Boan. Mereka, para petani itu, adalah orang-orang miskin yang hidup sederhana. Kesederhanaan hidup telah membentuk watak mereka menjadi sederhana pula, keinginan mereka pun sederhana. Mereka sudah biasa hidup serba kekurangan, maka perintah untuk pergi meninggalkan daerah Lembah Naga itu tidak terlalu menggelisahkan hati mereka. Tanpa tergesa-gesa, mulailah para penghuni itu mencari-cari tempat lain untuk pindah. Yang terpenting bagi mereka hanyalah tanah-tanah yang subur karena di mana ada tanah subur, mereka tidak khawatir untuk hidup. Dan tanah subur memang tidak banyak di utara, akan tetapi juga ada hal yang menguntungkan, yaitu bahwa tanah-tanah di utara itu masih belum dikuasai oleh pemilik-pemilik perorangan, masih merupakan tanah liar tak bertuan, sungguh pun merupakan daerah kekuasaan Raja Sabutai. Pada sore hari itu, selagi Kui Hok Boan bercakap-cakap dengan beberapa orang tetangga yang datang untuk membicarakan mengenai perintah pengosongan Lembah Naga, empat orang anak itu berada di dalam taman. Mereka itu, Lan Lan, Lin Lin, Siong Bu dan Beng Sin, juga bercakap-cakap akan tetapi yang mereka bicarakan adalah urusan kematian ibu kandung dua orang anak kembar itu dan terculiknya Sin Liong. "Aku bersumpah bahwa kelak akan membunuh wanita iblis itu!" Lan Lan berkata sambil mengepal tinjunya. "Aku juga!" Lin Lin berkata sambil menghapus air matanya karena kematian ibunya selalu memancing keluarnya air matanya kalau teringat olehnya. Hening sejenak. Lan Lan dan Lin Lin menahan isak, sedangkan dua orang anak laki-laki yang melihat keadaan mereka itu pun ikut merasa berduka. Akhirnya Siong Bu berkata, "Jangan khawatir, Lan-moi dan Lin-moi, kelak aku pasti akan membantu kalian. Aku akan memperdalam ilmu silatku dan kelak aku akan menghadapi iblis betina itu!" kata Siong Bu penuh semangat. "Kasihan sekali Sin Liong," Beng Sin berkata pula. "Entah bagaimana nasibnya di tangan iblis itu." Disebutnya nama Sin Liong membuat empat orang anak itu kembali termenung. Tidak mereka sangka bahwa Sin Liong ternyata adalah anak kandung dari ibu Lan Lan dan Lin Lin! Jadi anak monyet itu adalah saudara tiri kedua orang anak perempuan ini, saudara tiri seibu! Siong Bu yang dulu sering kali memusuhi Sin Liong akibat iri hati, menarik napas panjang dan dia berkata, "Sin Liong benar-benar seorang yang gagah berani. Aku kagum sekali kepadanya." "Dan dia adalah putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang menurut cerita bibi merupakan pendekar nomor satu saat ini di dalam dunia!" kata Beng Sin. Kembali mereka diam dan tiba-tiba mereka berempat menengok ke kiri karena mendengar suara langkah kaki. Mereka terkejut sekali melihat seorang kakek tinggi besar sudah berdiri di situ, entah dari mana datangnya. Kakek ini tubuhnya tinggi besar, kelihatan kuat sekali, pakaiannya sederhana, sepatunya juga tua berdebu, kain penutup kepalanya berwarna hitam, mukanya dipenuhi cambang bauk sehingga kelihatan gagah dan menyeramkan. Akan tetapi, suara laki-laki itu lembut ketika dia memandang kepada empat orang anak itu dan bertanya, "Apakah di antara kalian ada yang mempunyai ayah bernama Kui Hok Boan?" Siong Bu hendak mencegah, akan tetapi sudah terlambat, karena Lan Lan dan Lin Lin sudah menjawab, hampir berbareng, "Kui Hok Boan adalah ayah kami berdua!" Kini Siong Bu cepat bertanya, "Siapakah lopek ini dan kalau ingin bertemu dengan paman Kui Hok Boan, silakan masuk melalui pintu depan. Saya akan memberi tahukan kepada paman bahwa lopek datang..." "Heiii...!" Beng Sin berseru kaget ketika tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak dan sepasang langannya yang besar itu sudah menyambar ke depan dan tahu-tahu tubuh Lan Lan dan Lin Lin telah ditangkapnya. "Kalian ikut bersamaku!" katanya kepada dua orang anak perempuan yang menjadi kaget setengah mati dan tidak keburu mengelak itu. "Lepaskan mereka!" Siong Bu membentak dan menyerang kakek itu. Kakek yang mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu mendengus, kakinya yang besar dan panjang melayang ke depan, menyambut serangan Siong Bu. Anak ini terkejut, berusaha untuk mengelak, tetapi dia kalah cepat dan tubuhnya sudah terkena tendangan sehingga terlempar ke belakang dan terbanting keras! "Kau jahat...!" Beng Sin berseru kemudian juga menyerbu, akan tetapi tendangan ke dua membuat tubuhnya yang gendut itu terguling-guling. "Lepaskan aku...!" "Ayah, tolonggg...!" Lan Lan dan Lin Lin menjerit keras sekali. Kakek itu terkejut dan cepat melepaskan mereka, menotok jalan darah mereka membuat kedua orang anak itu tidak mampu bergerak lagi, kemudian menyambar tubuh mereka, mengempit di kedua lengannya dan membawanya lari cepat sekali. Melihat ini, Siong Bu dan Beng Sin berteriak-teriak sambil berusaha mengejar. "Paman...! Tolong cepat...! Lan-moi dan Lin-moi diculik orang...!" Demikian mereka berteriak-teriak. Kui Hok Boan yang sedang berada di dalam bersama beberapa orang penduduk dusun yang menjadi tamunya, menjadi terkejut bukan main mendengar teriakan-teriakan ini. Dia cepat menyambar pedangnya dan melompat ke dalam taman. "Apa yang terjadi? Mana Lan Lan dan Lin Lin?" teriaknya saat melihat kedua orang anak laki-laki itu menangis. "Dilarikan orang... ke sana..." Siong Bu menjawab. "Seorang kakek brewok... dia menculik mereka..." Beng Sin juga berkata dan mukanya yang bulat itu mewek-mewek. Hok Boan tidak membuang waktu lagi, cepat dia lari keluar dari dalam taman, melakukan pengejaran. Akan tetapi dia sudah tidak melihat bayangan orang itu lagi. Sampai cuaca menjadi gelap, dia tetap tak berhasil menemukan jejak orang yang menculik kedua orang anaknya, maka tentu saja hatinya menjadi gelisah bukan main. Dia lalu cepat kembali ke Lembah Naga, mengumpulkan semua anak-anak buahnya dan bersama anak buahnya, kembali dia memasuki hutan, mencari-cari anaknya yang diculik orang. Dua puluh orang lebih itu membawa obor di tangan, diangkat tinggi-tinggi sambil berteriak-teriak memanggil-manggil nama Lan Lan dan Lin Lin. Akan tetapi sampai semalam suntuk mereka mencari, mereka tidak berhasil menemukan jejak penculik yang melarikan dua orang anak perempuan itu. Tentu saja hati Hok Boan menjadi gelisah bukan main dan dia terus mencari. Siapakah sesungguhnya kakek gagah yang menculik dua orang anak perempuan itu? Dia adalah seorang guru silat yang bernama Ciam Lok yang tinggal di kota Ceng-tek sebelah utara kota raja. Nama Ciam Lok sebagai guru silat sudah terkenal juga di daerah itu dan Ciam-kauwsu ini dipercaya oleh para pembesar untuk mendidik anak mereka dengan ilmu silat. Sebagai seorang tokoh di dunia persilatan, tentu saja Ciam-kauwsu terkenal pula di antara orang-orang kang-ouw, bahkan pergaulannya luas sekali, baik dengan fihak orang kang-ouw mau pun liok-lim, kaum golongan sesat mau pun golongan bersih. Tidaklah aneh Ciam-kauwsu menjadi kenalan baik dari Kui Hok Boan ketika Hok Boan merantau dan sampai di kota Ceng-tek. Ciam-kauwsu suka terhadap orang muda yang di samping lihai ilmu silatnya, juga ahli dalam hal kesusasteraan itu. Memang Hok Boan merupakan seorang pemuda yang pandai bergaul dan pandai pula mengambil hati. Karena dia memang memiliki pengetahuan yang luas dalam ilmu silat, maka Ciam-kauwsu amat suka bercakap-cakap dengan dia sehingga lambat laun pemuda itu menjadi sahabat baiknya. Sering kali Hok Boan bermalam di rumah guru silat itu dan tidak asing pula dengan keluarga Ciam-kauwsu. Ciam-kauwsu mempunyai seorang anak gadis yang bernama Ciam Sui Nio, seorang gadis yang cukup manis dan tentu saja kemanisan wajah gadis ini tidak terlepas begitu saja dari pandang mata Hok Boan yang mata keranjang itu. Dan Hok Boan dengan sangat mudah menundukkan hati gadis itu seperti dia sudah menundukkan hati ayah dan ibu gadis itu. Tidak aneh lagi kalau akhirnya terjadi hubungan cinta antara dia dengan Sui Nio dan hal ini tidak ditentang oleh keluarga Ciam karena memang Ciam-kauwsu menaruh harapan menarik Hok Boan sebagai mantunya. Akan tetapi, keluarga ini tidak tahu bahwa pemuda yang menarik hati mereka itu adalah seorang pemuda bengal, seorang pria yang memandang semua wanita sebagai bahan untuk menyenangkan hatinya belaka. Bujuk rayu dan pikatan Hok Boan mengena, maka akhirnya gadis itu lupa diri dan jatuh ke dalam pelukannya, mau saja diperbuat apa pun oleh pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu. Dan hasilnya sungguh luar biasa bagi keluarga Ciam. Beberapa bulan kemudian, Sui Nio mengandung dan Hok Boan pergi tanpa diketahui lagi jejaknya! Tentu saja keluarga Ciam menjadi geger. Ciam-kauwsu cepat mencari Hok Boan, tetapi tidak ada seorang pun yang mengetahui ke mana perginya pemuda petualang asmara itu. Sampai tiga hari lamanya Ciam-kauwsu pergi mencari pemuda itu tanpa hasil dan ketika dia pulang, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat betapa puterinya itu telah tewas karena menggantung diri! Puterinya telah menebus aib yang menimpa keluarga Ciam itu dengan nyawanya! Ciam-kauwsu berduka sekali dan di dalam hatinya tumbuh dendam yang hebat terhadap Hok Boan. Dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, meski pun belum tentu dia kalah oleh pemuda she Kui itu, namun juga tidak akan mudah baginya untuk mengalahkannya. Akan tetapi, Ciam-kauwsu tetap selalu melakukan penyelidikan untuk dapat menemukan tempat persembunyian pemuda itu dan akan ditantangnya untuk mengadu nyawa. Tetapi, pemuda itu lenyap seperti ditelan bumi dan tidak meninggalkan jejak sama sekali. Sesudah dia hampir lupa dengan dendamnya karena sudah belasan tahun tidak pernah mendengar berita tentang Hok Boan, dan menganggap bahwa pemuda itu tentu sudah mati, tiba-tiba saja dia mendengar berita bahwa musuh besarnya itu sekarang telah hidup makmur di Lembah Naga, di luar Tembok Besar, sebagai seorang yang kaya raya, juga memiliki istana kuno, mempunyai isteri cantik dan mempunyai pula anak. Dendam yang hampir padam itu menyala kembali. Luka di hati yang sudah mulai sembuh oleh waktu itu berdarah kembali dan akhirnya Ciam Lok berangkat meninggalkan rumahnya, menuju ke utara, ke Lembah Naga. Demikianlah, ketika dia melihat anak-anak di taman, kemudian mendengar bahwa dua orang gadis cilik kembar itu adalah anak-anak dari musuh besarnya, timbul akalnya untuk membalas dengan cara yang sama, yaitu dia hendak menculik anak-anak dari Hok Boan itu agar musuhnya itu dapat merasakan penderitaan hati seorang ayah yang kehilangan anaknya. Diculiknya dua orang anak itu dan dibawanya lari memasuki hutan. Ciam-kauwsu mendengar akan pengejaran terhadap dirinya. Dia tengah berada di daerah kekuasaan musuh. Dia adalah seorang yang cerdik. Dia tahu kalau dia melawan dengan kekerasan, dan kalau hanya menghadapi Hok Boan seorang, belum tentu dia kalah. Akan tetapi kalau dia dikeroyok, belum tentu dia menang, bahkan mungkin sukar baginya untuk meloloskan diri dan dia tidak akan berhasil membalas dendam. Oleh karena itu dia cepat menyelinap dan tidak melanjutkan larinya ke selatan, melainkan membelok ke timur lalu memasuki hutan yang lebih besar untuk menghindarkan diri dari musuhnya yang mengejar ke selatan. Dia ingin membalas dendam terhadap musuhnya dengan cara yang sama, yaitu memisahkan orang itu dari anak-anaknya! Semalaman itu Ciam-kauwsu menghentikan larinya, hanya bersembunyi di dalam hutan. Dia melihat dari jauh betapa banyak sekali orang membawa obor dan mencari-cari. Dia menyumbat mulut dua orang anak itu dengan sapu tangan dan menotok tubuh mereka sehingga mereka berdua tidak mampu bergerak. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah melanjutkan larinya sambil mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu terus ke timur. Tubuhnya sudah terasa lelah akan tetapi hatinya lega karena dia tidak lagi melihat ada orang yang mengejarnya. Akan tetapi, pada saat dia melewati daerah yang penuh dengan pohon-pohon tinggi, tiba-tiba saja terdengar pekik dahsyat dari atas pohon. Ketika dia menoleh, saat itu pula ada bayangan menyambar dari atas pohon, bayangan seorang anak laki-laki kecil yang pakaiannya compang-camping, rambutnya yang panjang dikelabang secara kasar. Anak ini meloncat seperti seekor kera saja cepat dan sigapnya, dari atas dahan pohon dan langsung menerkam punggung Ciam-kauwsu! "Ehhhh...!" Ciam-kauwsu yang sedang berlari sambil mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu tidak sempat mengelak lagi dan tahu-tahu anak laki-laki itu telah menerkam punggungnya dan memiting leher guru silat itu dengan lengan kanan, kemudian dia menggigit tengkuk Ciam-kauwsu! Siapakah anak laki-laki yang liar itu? Dia bukan lain adalah Sin Liong!.....
JILID 11
SEPERTI yang telah kita ketahui, anak ini terhindar dari bahaya maut, tertolong oleh induk monyet besar yang menjadi pengasuhnya semenjak dia masih bayi bersama gerombolan monyet-monyet itu. Pakaiannya sudah compang-camping, malah pembungkus kepalanya sudah robek-robek sehingga dia membiarkan rambutnya terurai dan kadang-kadang dia menguncir rambutnya supaya gerakannya menjadi leluasa. Dia hidup seperti binatang liar, seperti kera-kera itu, akan tetapi karena pikirannya menjadi bebas dan hening, dia bahkan mengalami hidup yang amat berbahagia. Pada pagi hari itu, Sin Liong masih tidur lelap pada saat ada seekor monyet muda yang mengguncang-guncang tubuhnya. Dia terbangun, menggeliat sambil menguap. Monyet itu mengeluarkan suara mencicit dan menuding-nuding ke bawah. Sin Liong maklum bahwa tentu ada sesuatu yang aneh dan tidak beres, maka dia cepat mengikuti monyet itu yang membawanya berloncatan dari dahan ke dahan. Akhirnya, Sin Liong melihat laki-laki brewok yang mengempit dua orang anak perempuan itu. Hampir saja dia berteriak karena dia mengenal dua orang anak perempuan itu yang bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin! Melihat dua orang anak perempuan itu, seakan-akan Sin Liong terseret ke dalam dunia lain, dunia lama yang sudah hampir dilupakannya dan dia tertegun sejenak. Hampir saja dia lari pergi karena hatinya merasa enggan untuk kembali ke dunia lama itu. Akan tetapi dia tidak mampu mengusir bayangan Lan Lan dan Lin Lin, dua orang anak perempuan yang selalu bersikap manis kepadanya! Akhirnya, rasa kasihan kepada dua orang anak perempuan itulah yang menang dan dia segera mengikuti laki-laki itu dari atas. Kemudian, sesudah memperhitungkannya dengan tepat, melihat bahwa laki-laki itu tentu tidak mempunyai niat yang baik terhadap Lan Lan dan Lin Lin yang nampaknya tidak mampu bergerak itu, dia lalu melompat, menerkam punggung kakek itu, dan langsung menggigit tengkuknya! "Ihhhh...!" Kakek itu terkejut sekali. Segera dia membuang tubuh dua orang anak perempuan itu untuk melawan anak kecil yang liar dan ganas ini. Tengkuknya terasa sakit juga digigit oleh anak itu. Tubuh Lan Lan dan Lin Lin terlempar ke kanan kiri sampai bergulingan akan tetapi karena terbanting itu, sumbatan mulut mereka terlepas dan tubuh mereka dapat bergerak lagi karena ternyata pengaruh totokan itu telah habis. Lin Lin lalu merangkak mendekati kakaknya. Mereka menangis sambil mengurut-urut kaki dan tangan sendiri yang terasa kaku, lantas memandang ke arah Sin Liong yang masih menggigit tengkuk kakek itu. Tadinya, mereka tak mengenal anak yang menolong mereka itu, akan tetapi tiba-tiba Lin Lin berseru, "Sin Liong...!" Maka keduanya lupa akan keadaan diri sendiri yang masih belum dapat bergerak dengan leluasa. Melihat Sin Liong masih terus merangkul kakek itu dari belakang dan menggigit tengkuk, Lan Lin dan Lin Lin lalu meloncat bangun, terhuyung akan tetapi mereka berdua dengan marah sudah menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan tangan mereka yang kecil untuk membantu Sin Liong. "Dukkk! Dukkk!" Dua orang anak perempuan itu terlempar oleh tendangan-tendangan Ciam-kauwau yang tidak berniat membunuh, kemudian dia menggoyang-goyangkan tubuhnya. Akan tetapi anak laki-laki yang menggigit tengkuknya itu tidak terlepas, bahkan dari kerongkongannya keluar suara gerengan monyet marah! Diam-diam Ciam-kauwsu bergidik juga. Bagaimana tiba-tiba muncul anak liar ini, pikirnya dan tangannya cepat merenggut ke belakang, berhasil menjambak rambut Sin Liong dan memegang lengan anak itu, lalu dia mengerahkan tenaganya. Tentu saja Sin Liong kalah tenaga dan dia dapat diangkat lalu dibanting oleh kakek itu. "Bresss…!" Tubuh Sin Liong bergulingan sehingga kepalanya menjadi pening. Akan tetapi dia cepat bangun kembali, menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir kepeningan, lalu sambil mengeluarkan pekik dahsyat dia sudah menerjang lagi, kini dengan pukulan-pukulan aneh seperti gerakan seekor monyet lincah! "Anak liar, pergilah!" Ciam-kauwsu menghantam dari samping, menampar ke arah pundak anak itu dengan maksud merobohkannya dan menakutkannya. "Wuuutttt…!" Pukulan itu luput karena dengan mudahnya dielakkan oleh anak itu! Ciam-kauwsu terkejut dan penasaran, cepat dia maju lagi menyerang dengan tendangan kakinya. Kembali anak itu mengelak dan tendangan itu luput, bahkan Sin Liong kini mulai mainkan limu silat aneh yang dilatihnya selama ini dengan mengambil inti sari dari gerakan monyet-monyet itu. Gerakan-gerakan monyet tentu saja tidak teratur, hanya menurutkan naluri, perasaan dan ketajaman atau kepekaan tubuh sehingga membuat monyet-monyet itu mampu bergerak dengan amat cekatan. Akan tetapi Sin Liong telah mengambil inti dari gerakan-gerakan itu untuk dijadikan dasar dari gerakan silat, seperti yang dulu pernah dia pelajari dari ibunya, maka gerakan Sin Liong bukan liar dan tak teratur seperti gerakan monyet. Dia meloncat, mengelak sambil menyerang, dan membalas dengan pukulan seperti pukulan manusia, mencakar seperti monyet, dan juga menendang. Kakek itu menjadi semakin terheran-heran dan terkejut sesudah beberapa kali tamparan dan tendangannya luput, bahkan anak itu dapat membalas dengan serangan yang aneh. "Kau anak liar, pergilah jangan mencampuri urusanku!" bentaknya berkali-kali. Kakek Ciam ini bukan seorang yang berhati kejam. Dia tidak ingin membunuh anak liar yang tidak dikenalnya itu. Dan kalau dia berhati kejam, tentu sudah dibunuhnya dua orang anak perempuan kembar yang menjadi anak musuh besarnya itu. Tidak, dia tidak tega membunuh orang apa lagi membunuh anak-anak. Dia hanya hendak memisahkan kedua orang anak itu dari Kui Hok Boan, membalas dengan mendatangkan kedukaan dan kehilangan kepada musuh besarnya itu. Kalau dia bertemu Hok Boan, mungkin saja dendamnya akan membuat dia sampai hati membunuh musuh itu, kalau dia dapat tentu saja. Akan tetapi membunuh anak-anak yang tidak bersalah apa-apa, sungguh tak dapat dia lakukan. Kini menghadapi serangan anak kecil yang gerakannya aneh, liar namun cekatan sekali itu, Ciam-kauwsu menjadi marah akan tetapi dia mencoba membujuk anak ini agar tidak mencampuri urusannya. Namun Sin Liong tentu saja sama sekali tidak ada niat untuk mundur. Dia harus membela dan melindungi Lan Lan dan Lin Lin dengan nyawanya! Dua orang anak perempuan itu amat baik terhadapnya, merupakan sahabat-sahabatnya yang manis budi, bahkan tidak begitu saja sekarang. Kedua orang anak perempuan itu adalah adik-adiknya sendiri! Adik seibu berlainan ayah! "Grrrr...!" Sin Liong menggereng dan menerjang lagi sambil mengeluarkan teriakan yang memberi isyarat memanggil kawan-kawannya! Ciam-kauwsu marah, dia membiarkan pundaknya dicengkeram oleh anak itu, kemudian membarengi dengan tamparan dari samping. "Brettt...! Plakkk!" Baju Ciam-kauwsu di pundak robek oleh cengkeraman tangan Sin Liong, akan tetapi anak itu kena ditampar pipinya sehingga terpelanting! Kembali Sin Liong kepalanya pening, akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan pada saat itu terdengar gerengan-gerengan menyeramkan lantas belasan ekor monyet berloncatan turun dari atas pohon, dipimpin oleh seekor biang monyet yang besar, yaitu monyet betina tua yang memandang Sin Liong sebagai anaknya! Monyet betina inilah yang mendahului teman-temannya menubruk kakek Ciam dengan ganasnya saat melihat betapa ‘anaknya’ itu ditampar sampai terpelanting tadi. "Ehhh...!" Kakek Ciam terkejut bukan main melihat datangnya banyak monyet besar, apa lagi ketika seekor induk monyet telah menyerangnya. Dia maklum bahwa terdapat keanehan pada diri anak liar itu, yang ternyata kini dibantu oleh monyet-monyet besar dan dia segera melihat adanya bahaya. Maka cepat kakek itu mencabut pedangnya, mengelak dari terkaman induk monyet sambil menusukkan pedang dari samping. "Crotttt...!" Pedang itu mengenai lambung induk monyet sampai tembus. Ketika pedang itu dicabut, darah segera muncrat dan induk monyet itu terguling roboh sambil mengeluarkan suara yang memilukan. Melihat betapa monyet betina yang sangat disayangnya itu roboh tertusuk pedang, Sin Liong menggereng dan menyerang lagi, dibantu oleh monyet-monyet lain, sedangkan Lan Lan dan Lin Lin menjadi ngeri melihat datangnya banyak monyet. Mereka menjadi ngeri dan ketakutan, tidak berani ikut membantu melainkan mundur dan saling peluk dengan tubuh menggigil di bawah pohon. "Lan Lan...!" Lin Lin...!" Dua orang anak perempuan itu terkejut dan wajah mereka pun berseri, air mata mereka seketika mengalir turun. Itulah suara ayah mereka! Dan memang benar. Tak jauh dari situ, Kui Hok Boan bersama belasan orang anak buahnya datang mencari anak-anaknya itu, sesudah semalam suntuk mereka mencari tanpa hasil. Suara Hok Boan sampai menjadi parau karena semalam suntuk dia terus-menerus memanggil. "Ayahhhh...!" Lan Lan dan Lin Lin menjerit-jerit. "Ayah, cepat ke sinilah...!" Kakek Ciam terkejut bukan main. Tadinya timbul hati tidak tega untuk membunuhi semua monyet itu, dan hatinya menjadi gelisah ketika mendengar suara dua orang anak itu yang memanggil ayah mereka. Kalau Kui Hok Boan datang bersama orang-orangnya sedang di sini masih ada monyet-monyet ini yang mengeroyoknya dengan nekat dan buas, dia bisa celaka! Ciam-kauwsu mengeluh, karena usahanya untuk membalas dendam dengan menculik dan memisahkan dua orang anak perempuan itu dari samping Hok Boan ternyata gagal. Dia lalu mengeluh dan meloncat ke belakang, cepat dia melarikan diri sambil membawa pedangnya, menyusup di antara semak-semak belukar! Sin Liong dan monyet-monyet lain mengejar, meninggalkan Lan Lan dan Lin Lin. Monyet betina tua itu merintih dan melihat ini, Lan Lan dan Lin Lin cepat menghampiri dan berlutut di dekat tubuh monyet betina itu dengan perasaan kasihan. Mereka tadi melihat betapa monyet ini membantu Sin Liong sehingga terkena tusukan pedang. Monyet itu bergerak perlahan-lahan dan merintih sambil memegangi lambungnya yang tertembus pedang dan mengucurkan darah. "Lan-ji! Lin-ji!" Hok Boan berteriak dan meloncat ke tempat itu dengan pedang di tangan. Melihat kedua orang anaknya berlutut dekat seekor monyet besar, dia cepat menendang. "Desss...!" Tubuh monyet betina yang sudah terluka parah itu terlempar, terbanting dan nyawanya pun melayang. "Ayahhh...! Kenapa kau menendang dia...?" Lan Lan menjerit. "Ayah, monyet itu tewas karena menolong kami...!" Lin Lin juga berteriak. Hok Boan yang masih marah karena kegelisahan yang hampir membuatnya gila selama semalam itu terbelalak. "Apa...?! Apa maksudmu...?" Akan tetapi saking girangnya melihat ayah mereka telah datang, dua orang anak itu cepat menubruk ayah mereka sambil menangis. Hok Boan memeluk kedua orang anaknya itu, hatinya juga penuh rasa gembira yang amat besar. "Lan-ji, Lin-ji, ceritakan, apakah yang terjadi...?" tanyanya. Pada saat itu muncul pula Siong Bu, Beng Sin, dan beberapa anak buah Kui Hok Boan yang ikut mencari sampai semalam suntuk dan dilanjutkan pagi ini. Siong Bu dan Beng Sin juga merasa girang sekali melihat betapa dua orang sumoi mereka itu telah ditemukan dalam keadaan selamat. "Ayah, kami diculik kakek brewok... sampai di sini... lalu muncul... Liong-ko (kakak Liong) yang menyerang penculik itu...," kata Lan Lan yang semenjak kematian ibunya dan tahu bahwa Sin Liong adalah putera ibunya, tidak ragu-ragu lagi menyebut Sin Liong dengan sebutan koko (kakak). "Liong-koko kalah lalu dibantu oleh monyet-monyet, akan tetapi monyet tua itu, dia... dia terkena tusukan pedang si penculik...," sambung Lin Lin. "Sin Liong...?" Hok Boan terkejut bukan main dan juga merasa girang mendengar bahwa Sin Liong yang tadinya diculik oleh wanita iblis itu ternyata masih hidup, bahkan sudah menolong kedua orang anaknya. Dan lebih terkejut lagi hatinya ketika mendengar bahwa monyet itu yang ditendangnya tadi, ternyata adalah seekor monyet yang telah membantu Sin Liong pula melawan penculik itu. "Sekarang di mana Sin Liong?" tanya Hok Boan berusaha menutupi rasa tak enak hatinya karena dia sudah menendang monyet tua yang telah terluka tadi, monyet yang ternyata telah menolong anak-anaknya. "Tadi dia mengejar si penculik brewok, agaknya bersama monyet-monyet itu," kata Lan Lan. "Itu dia...!" tiba-tiba Beng Sin berseru sambil menuding. Semua orang menengok dan benar saja, tanpa ada yang melihat kedatangannya, kini tahu-tahu Sin Liong sudah berada di sana, berlutut dan memeluki tubuh monyet betina yang telah tewas itu. "Sin Liong...!" Siong Bu berseru. "Sin Liong...!" Hok Boan juga memanggil. "Liong-koko...!" Lan Lan dan Lin Lin berseru dan mereka semua menghampiri anak itu. Kui Hok Boan memandang penuh perhatian, secara diam-diam dia merasa kasihan juga terhadap anak ini. Pakaiannya compang-camping, mukanya matang biru bekas pukulan penculik, dan kini biar pun anak itu tidak menangis sesenggukan, akan tetapi ia memeluk tubuh monyet itu, jari-jari tangannya mengusap serta membelai kepala dan muka yang penuh bulu, matanya basah dengan air mata. Siong Bu, Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin berlutut di sekeliling Sin Liong. Lan Lan lalu menyentuh lengan Sin Liong dan berkata lirih, "Liong-ko, dia sudah mati..." Tangan yang mengusap-usap kepala monyet itu berhenti, dua titik air mata menggelinding turun disusul oleh dua titik lagi, kemudian terdengar suaranya berkata lirih, seperti bisikan kepada diri sendiri, "Dia... dia ibuku..." Kui Hok Boan yang sudah menghampiri tempat itu, terkejut mendengar kata-kata ini. "Sin Liong, ibumu telah..." Dia tak melanjutkan kata-katanya karena dia teringat akan isterinya yang tercinta itu, maka lehernya seperti dicekik rasanya. Sin Liong menggangguk. "Saya mengerti, ibu kandung saya sudah tewas oleh iblis betina itu, akan tetapi dia ini... dialah yang menyusui dan merawat saya pada waktu saya masih kecil dulu..." Sin Liong menggunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap dua titik air matanya tadi. "Ke manakah larinya penculik itu, Sin Liong? Biar aku mengejar dan menghajarnya!" Hok Boan teringat kepada penculik itu. "Dia telah pergi jauh tidak dapat dikejar lagi..., sekarang saya hendak mengubur dia..." Sin Liong lalu menggunakan tangannya untuk membongkar batu-batu dan tanah, agaknya dengan sepasang tangannya, tanpa minta bantuan siapa pun, anak ini hendak menggali sebuah lubang di tanah untuk mengubur bangkai monyet itu! Melihat ini, Hok Boan cepat-cepat menyuruh anak buahnya untuk membantu Sin Liong, menggali sebuah lubang dan dikuburkanlah bangkai monyet itu oleh Sin Liong. Sebelum menurunkan bangkai monyet itu ke dalam lubang, Sin Liong mencium muka monyet betina itu dan dengan menggigit bibir menahan tangis, anak ini lalu mengubur bangkai itu dengan dibantu oleh empat orang anak lain, lubang itu lalu diuruk. Kui Hok Boan lalu mengajak Sin Liong pulang ke istana tua di Lembah Naga. Sin Liong menurut tanpa banyak cakap. Di sepanjang jalan, Hok Boan hanya mendengarkan dua orang anaknya menceritakan pengalaman mereka saat diculik, kemudian mendengarkan Lan Lan dan Lin Lin yang dibantu pula oleh dua orang anak laki-laki itu, mendesak dan bertanya kepada Sin Liong bagaimana dia dapat lolos dari tangan iblis betina itu. Hok Boan sendiri tidak banyak bertanya karena hati orang ini masih diliputi rasa menyesal dan duka atas terjadinya peristiwa yang susul menyusul ini, yang menimpa dirinya dan keluarganya. Sama sekali dia tidak ingat lagi betapa tadi dia sudah menendang monyet betina yang telah terluka itu! Memang begitulah watak seorang yang selalu mementingkan diri sendiri belaka. Yang selalu diperhatikan hanya kepahitan-kepahitan yang menimpa dirinya, yang diprihatinkan hanyalah kesusahan yang diderita oleh diri sendiri dan keluarganya. Orang seperti ini sama sekali tidak pernah mau melihat penderitaan orang lain, sehingga hatinya menjadi kejam. Yang dicari hanya hal-hal yang dapat menyenangkan diri sendiri dan keluarganya, maka dalam mengusahakan kesenangan serta keselamatan bagi diri sendiri dan keluarganya, dia tidak segan-segan untuk melakukan apa saja, kalau perlu menyusahkan orang lain dengan perbuatan-perbuatannya yang kejam. Akan tetapi, jelaslah bahwa orang yang selalu mengejar kesenangan untuk diri sendiri itu adalah orang yang hidupnya selalu kecewa dan sengsara. Karena orang demikian itu selalu merasa kasihan kepada diri sendiri, selalu mengeluh, selalu menganggap bahwa di dunia ini dia seoranglah yang paling celaka, paling sengsara, paling patut dikasihani. Dengan demikian, apa bila sedikit saja menghadapi halangan di dalam hidup, dia akan merasa sengsara sekali! Orang seperti itu patut dikasihani, oleh karena dia belum mengerti, belum sadar bahwa sebetulnya dia telah dicengkeram oleh batinnya sendiri, oleh pikirannya sendiri, dikuasai dan dipermainkan oleh nafsu-nafsunya sendiri yang timbul dari permainan pikiran. Sin Liong tidak mau banyak bercerita. Ketika didesak-desak oleh empat orang anak itu, dia hanya mengatakan bahwa ketika dia dibawa pergi oleh Kim Hong Liu-nio, di tengah jalan wanita itu dihadang oleh orang-orang Jeng-hwa-pang. Mendengar disebutnya Jeng-hwa-pang, muka Kui Hok Boan langsung berubah sedangkan jantungnya berdebar tegang dan takut. "Jeng-hwa-pang...?" katanya mengulang nama itu dengan suara agak gemetar. "Benarkah Jeng-hwa-pang yang menghadangnya, Sin Liong?" Dia mendekat dan pertanyaannya itu terdengar lirih, seolah-olah dia merasa takut untuk membicarakan perkumpulan itu dengan suara keras, dan beberapa kali menengok ke kiri dan kanan dengan sikap jeri. Melihat ini, empat orang anak itu pun menjadi gelisah. "Saya tidak tahu pasti, paman..." "Sin Liong, engkau adalah anak kandung istriku, maka berarti engkau adalah anakku pula, sungguh pun anak tiri. Aku adalah ayahmu, tidak semestinya kau menyebut paman," kata Hok Boan. Sin Liong menunduk dan tidak menjawab. "Ayah, siapakah perkumpulan Jeng-hwa-pang itu?" mendadak Lan Lan bertanya kepada ayahnya. Kembali sasterawan itu kelihatan gelisah. "Sudahlah, nanti saja di rumah kuceritakan. Hayo kita cepat pulang!" Dia lalu mengajak anak-anak itu dan para anak buahnya untuk mempercepat perjalanan pulang ke Istana Lembah Naga. Setelah sampai di rumah, barulah Hok Boan kembali bertanya kepada Sin Liong tentang Jeng-hwa-pang. Sebagai seorang yang sudah banyak merantau sebelum dia menetap di Istana Lembah Naga, tentu saja dia sudah mendengar mengenai Jeng-hwa-pang, sebuah perkumpulan yang sangat ditakuti orang karena perkumpulan itu merupakan perkumpulan orang-orang yang luar biasa kejam dan pandai menggunakan segala macam racun yang mengerikan. Sin Liong masih banyak berdiam diri dan tidak banyak bercerita. Dia hanya menceritakan betapa di tengah jalan wanita iblis yang telah menculiknya itu dikeroyok oleh orang-orang Jeng-hwa-pang, betapa dia kemudian dilarikan oleh ketua Jeng-hwa-pang, meninggalkan anggota-anggotanya yang dihajar oleh iblis betina itu. "Jeng-hwa-pang juga tidak mampu mengalahkan dia?" Hok Boan bertanya dengan muka berubah pucat dan dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan main lihainya wanita itu...!" Sin Liong tidak mau menceritakan betapa sute dari wanita itu, yang masih kecil, hanya berselisih satu atau dua tahun saja dengan dia, sudah mengalahkan pembantu-pembantu utama dari ketua Jeng-hwa-pang! Jika diceritakannya, tentu orang ini akan menjadi makin terheran-heran lagi, pikirnya. Kini nampak olehnya betapa kepandaian suami dari ibu kandungnya itu, juga kepandaian dari mendiang ibunya, yang tadinya dianggap sangat hebat dan lihai, ternyata tidak ada artinya sama sekali apa bila dibandingkan dengan kepandaian ketua Jeng-hwa-pang, apa lagi kalau dibandingkan dengan kepandaian Kim Hong Liu-nio dan sute-nya. Ternyata di luar Istana Lembah Naga ini terdapat banyak sekali orang pandai! Hal ini membuat dia makin ingin untuk pergi, untuk mencari ayahnya, untuk menyaksikan sendiri betapa lihai ayahnya yang oleh ibunya dianggap sebagai pendekar nomor satu di dunia ini! Ingin sekali dia melihat ayahnya mengalahkan orang seperti iblis betina Kim Hong Liu-nio itu. "Lalu apa yang terjadi denganmu saat engkau dilarikan ketua Jeng-hwa-pang, Liong-ko?" tanya Lin Lin yang seperti anak-anak lainnya, tertarik bukan main mendengar pengalaman Sin Liong yang amat menyeramkan itu. "Aku dilempar ke dalam lubang penuh ular..." "Ihhh...!" Lan Lan dan Lin Lin menjerit ngeri. "Kau dilempar ke dalam lubang ular dan kau tidak apa-apa?" tanya Beng Sin, matanya yang lebar itu makin membesar, mulutnya melongo. "Aku digigit ular-ular itu, akan tetapi aku diselamatkan oleh..." Sampai di sini, Sin Liong menunduk dan kembali dia harus menggunakan ujung lengan bajunya yang robek-robek dan kotor untuk menghapus dua titik air matanya. Lin Lin dapat menduga. "Monyet betina itu yang menolongmu, Liong-ko?" Sin Liong mengangguk. "Dia dan teman-teman lain..., aku penuh luka lalu dirawat sampai sembuh. Kemudian tadi aku melihat kalian dilarikan penculik itu..." Sejak tadi Siong Bu hanya mendengarkan saja, kini dia berkata, "Ahh, kau hebat sekali, Sin Liong!" katanya penuh kagum dan juga mengandung iri karena kini dalam pandang mata Lan Lan dan Lin Lin, tentu Sin Liong merupakan seorang yang amat gagah perkasa dan hebat. Betapa pun hatinya tetap saja mengandung rasa tidak suka kepada anak itu, akan tetapi karena anak itu sudah menyelamatkan Lan Lan dan Lin Lin, karena andai kata tidak ada Sin Liong beserta monyet-monyet itu yang menyerang si penculik, kiranya dia dan anak buahnya tidak akan mampu menyusul penculik itu, Hok Boan lalu cepat memberi pakaian dan sepatu baru kepada Sin Liong dan bersikap manis kepada anak ini. Akan tetapi Sin Liong sudah tidak memiliki semangat dan minat sama sekali untuk tinggal lebih lama di istana itu. Setelah ibunya tidak ada, apa lagi setelah kini induk monyet yang disayangnya itu pun tewas pula, tidak ada apa-apa lagi yang menahannya di tempat itu. Benar bahwa dia akan merasa kehilangan kalau berpisah dari Lan Lan dan Lin Lin, akan tetapi ikatan ini tidak cukup kuat untuk menahannya. Demikianlah, pada suatu hari, pagi-pagi sekali, tanpa diketahui siapa pun juga, dan tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian yang menempel di tubuhnya, Sin Liong meninggalkan Istana Lembah Naga. Dia tidak tahu betapa Siong Bu menaruh perhatian padanya sejak Sin Liong kembali, dan anak ini melihat akan kepergian Sin Liong maka dia cepat-cepat memberi tahu kepada pamannya! Sin Liong berjalan seorang diri melalui padang rumput, menuju ke dalam hutan di sebelah selatan Lembah Naga. Selama ini belum pernah dia memasuki hutan sebelah selatan itu, karena selama tinggal di situ, dia selalu hanya bermain-main di dalam hutan-hutan yang dihuni oleh monyet-monyet yang menjadi teman-temannya, yaitu hutan di timur dan utara. Dan biasanya, apa bila bermain-main ke selatan dia hanya sampai Padang Bangkai yang kini telah menjadi pedusunan. Akan tetapi karena kini dia mengambil keputusan untuk merantau jauh ke selatan, untuk menyeberangi Tembok Besar dan mencari ayahnya yang kabarnya berada di selatan sebagai seorang pendekar besar, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menuju ke selatan. Akan tetapi baru saja dia tiba di tepi hutan, mendadak terdengar suara orang memanggil namanya. Dia menoleh dan dilihatnya Kui Hok Boan bersama Siong Bu berlari cepat mengejarnya. Dia mengerutkan alisnya dan berdiri tegak dengan sikap tenang. Siapa pun juga tak boleh melarang dia pergi, pikirnya dan pikiran ini membuat anak itu memandang dengan sinar mata penuh membayangkan kekerasan hatinya. Tentu Siong Bu, anak yang selalu jahat kepadanya itu yang memberi tahu pamannya, pikir Sin Liong, maka ketika mereka berdua sudah tiba di hadapannya, langsung saja dia menegur, "Siong Bu, perlu apa engkau memberitahukan paman tentang kepergianku?" Mendengar teguran ini, Siong Bu bertolak pinggang dan berkata, "Sin Liong, kau sungguh menyangka yang bukan-bukan. Aku memberi tahu paman demi kebaikanmu, karena aku khawatir engkau akan mengalami bencana kembali kalau engkau pergi!" Wajah Siong Bu memperlihatkan penasaran karena maksud baiknya dianggap keliru oleh Sin Liong. Sementara itu, Kui Hok Boan mengerutkan alisnya dan berkata kepada Sin Liong, "Anak baik, kenapa engkau hendak pergi lagi? Hendak kemanakah engkau? Ketahuilah bahwa setelah ibumu tidak ada, akulah yang bertanggung jawab terhadap dirimu, dan aku akan merasa menyesal sekali kalau terjadi sesuatu terhadap dirimu." Sin Liong masih teringat akan semua perlakuan orang tua ini terhadap dirinya, maka kini dengan sinar mata tajam penuh penasaran dia berkata kepada orang tua itu, "Paman, apakah paman melarangku pergi untuk diajak kembali dan dihajar seperti tempo hari?" Mendengar itu, wajah sasterawan itu berubah dan dia kelihatan berduka serta menyesal sekali. Dia pun menarik napas panjang dan berkata, "Agaknya benar kata-kata Siong Bu bahwa engkau terlalu keras hati dan terlalu penuh prasangka kepada orang lain, Sin Liong. Memang aku pernah bersikap keras kepadamu, akan tetapi hal itu ditujukan untuk kebaikanmu. Engkau terlalu liar, maka aku hanya ingin menjinakkanmu agar engkau tidak sampai menyeleweng. Akan tetapi, yahhh... katakanlah bahwa kami semua telah banyak bersalah kepadamu, banyak menduga secara keliru. Biarlah di sini aku minta maaf akan segala kesalahan yang sudah-sudah kepadamu, Sin Liong." Orang tua itu berkata dengan sungguh-sungguh karena dia pun teringat kepada isterinya, teringat akan penderitaan isterinya dan betapa dia betul-betul merasa kehilangan setelah isterinya meninggal dunia. Setidaknya, Sin Liong merupakan anak kandung isterinya yang tercinta itu, maka dia ingin berbaik dengan anak ini, demi kenangan terhadap isterinya. "Liong-ji, anakku... mari kita pulang, nak. Percayalah, aku sendiri yang akan menjagamu supaya jangan ada lagi orang atau siapa saja yang akan menghinamu. Aku juga akan mengajarkan ilmu silat kepadamu seperti juga kepada semua saudaramu." Sin Liong adalah seorang anak yang mempunyai watak aneh luar biasa, berbeda dengan anak-anak lain. Sejak kecil dia tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua, bahkan karena tidak ingin rahasianya diketahui orang, mendiang ibunya juga tidak menunjukkan kasih sayangnya kepadanya. Oleh karena haus akan kasih sayang orang tua serta orang lain itulah maka dia dapat bergaul dengan mesra bersama monyet-monyet itu. Dan keadaan sekelilingnya kemudian membentuk wataknya menjadi aneh. Semua kepahitan hidup telah dideritanya semenjak kecil, maka wataknya kadang-kadang dapat menjadi keras, dan kadang-kadang menjadi amat perasa dan mudah terharu. Kalau dia ditekan, dia akan melawan dan memberontak tanpa mengenal takut. Akan tetapi kalau orang bersikap manis dan halus kepadanya, dia menjadi terharu sekali. Kini menghadapi Kui Hok Boan yang bersikap manis kepadanya, lupalah dia akan segala perbuatan orang tua itu yang sudah-sudah terhadap dirinya dan dia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan sasterawan itu. Ia memejamkan mata untuk menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja Sin Liong menangis! Kalau dia ditekan, betapa pun hebatnya derita yang dirasakannya, biar pun dia diancam oleh siksaan dan kematian, dia tidak sudi mengeluh atau bersambat. Akan tetapi begitu hatinya terharu, dia tidak sanggup mencegah tangisnya dan kini air matanya yang sudah lama ditahan-tahannya itu bercucuran dan dia menangis terisak! "Sudahlah, Sin Liong, jangan menangis," Kui Hok Boan berkata dengan sikap terharu, sedangkan Siong Bu juga berdiri dengan bengong. Belum pernah dia melihat Sin Liong menangis, bahkan ketika dihajar pun anak ini tidak pernah menangis! Dia masih bertolak pinggang, akan tetapi lenyap semua penasaran dan dia kini terheran-heran. "Paman... selama ini sayalah yang selalu menyusahkan hati paman saja. Harap paman sudi memaafkan semua kesalahan saya. Kalau saya tinggal di istana, tidak lain saya pasti akan mendatangkan lebih banyak onar dan penyesalan hati paman saja. Oleh karena itu, saya sudah mengambil keputusan pasti untuk pergi mencari ayah kandung saya, paman." "Akan tetapi, mana mungkin kau dapat mencarinya sampai jumpa, Sin Liong? Ke mana engkau hendak mencarinya?" "Menurut penuturan ibu dahulu, ayah berada di selatan, di sebelah sana Tembok Besar, maka saya akan menyusul ke sana, paman." Diam-diam Hok Boan kagum juga akan keberanian anak ini, dan akan kekerasan hatinya yang luar biasa sehingga biar pun sudah ditegurnya, tetap saja sampai kini menyebutnya dengan panggilan paman. Setelah diusir oleh Raja Sabutai, dia sendiri merasa ngeri untuk pergi ke selatan, akan tetapi anak ini hendak mencari ayahnya ke selatan walau pun dia belum tahu di mana adanya ayahnya itu. Seolah-olah ‘selatan’ itu hanya dekat saja, asal sudah melampaui Tembok Besar sudah sampai dan akan berjumpa dengan orang yang dicarinya. "Sin Liong, apa kau kira daerah selatan itu kecil saja dan mudah kau jelajahi? Ketahuilah, bahwa daerah selatan, di sebelah dalam Tembok Besar itu sangatlah luas, biar engkau menjelajahi sampai selama hidupmu belum akan dapat kau datangi semua! Dan kau tidak tahu di mana kau hendak mencari? Marilah kau ikut bersama kami pulang ke rumah, dan kelak aku akan membantumu mencari-cari keterangan perihal ayah kandungmu itu." "Tidak, paman. Saya akan pergi sekarang juga mencari ayah sampai jumpa. Biar sampai mati sekali pun, sebelum dapat jumpa saya tidak akan berhenti mencarinya!" Kui Hok Boan sudah tahu bahwa anak ini memiliki watak yang luar biasa kerasnya, tidak mungkin ditentang karena andai kata dapat dibujuknya pulang juga, tentu pada suatu hari akan pergi juga tanpa pamit. Tidak mungkin baginya untuk terus-menerus menjaga anak ini dan mencegahnya pergi. Dia sendiri menghadapi kesibukan harus pindah dari Istana Lembah Naga sebelum enam bulan. "Kalau memang kau tidak dapat kutahan, Sin Liong, aku pun tidak mampu menahan dan mencegahmu. Siong Bu, cepat ambil pakaian yang baik-baik, buntal dan ambilkan uang di dalam kamarku. Di laci meja terdapat sekantung uang perak, bawa ke sini. Cepat!" Siong Bu cepat berlari kembali ke istana, sedangkan Kui Hok Boan lalu memberi nasehat kepada Sin Liong supaya berhati-hati melakukan perjalanan ke selatan. "Di sana banyak terdapat orang jahat yang amat pandai, Sin Liong. Lebih baik engkau tidak secara terang-terangan mengaku diri sebagai putera pendekar Cia Bun Houw, karena pengakuanmu itu hanya akan mendatangkan bencana dan bahaya. Dan juga sebaiknya kau tidak menyebut namaku. Ketahuilah, seperti juga pendekar Cia Bun Houw, aku pun mempunyai banyak musuh di selatan, maka menyebut namanya atau namaku akan memancing bahaya kalau sampai terdengar oleh mereka yang memusuhi ayah kandungmu atau aku." Sin Liong mendengarkan penuh perhatian tanpa bantahan di dalam hatinya karena sekali ini dia merasa betapa orang tua itu memberi nasehat dengan setulusnya hati. Dan dia pun dapat merasakan kebenaran ucapan itu, karena baru sekali saja dia mengaku sebagai putera Cia Bun Houw, nyawanya hampir melayang dalam tangan Kim Hong Liu-nio! Tidak lama kemudian datanglah Siong Bu berlari-lari dan anak ini membawa sebuntalan pakaian beserta sekantung uang. Kui Hok Boan lalu menyerahkan buntalan pakaian dan kantung uang itu kepada Sin Liong, sedangkan Siong Bu sendiri tadi membawa pisaunya yang amat disayang, yaitu pisau belati berbentuk golok kecil yang amat tajam dan selama ini dibanggakan. "Aku tidak dapat memberi apa-apa kecuali pisauku ini, Sin Liong." Sin Liong menerima buntalan, kantung uang dan pisau itu dengan terharu sekali. "Akan tetapi... engkau suka sekali kepada pisaumu ini, Siong Bu..." Siong Bu tersenyum. "Karena itulah maka kuberikan kepadamu, Sin Liong. Sebagai tanda persahabatan, maukah kau menerimanya?" "Terima kasih... terima kasih...!" Dan semenjak saat dia menerima buntalan dan pisau itu, maka lenyaplah seluruh rasa tidak senang di dalam hatinya terhadap Kui Hok Boan dan Siong Bu, lenyaplah seluruh anggapan bahwa mereka itu jahat kepadanya, bahkan kini berganti dengan anggapan bahwa mereka itu baik sekali kepadanya! Tidak aneh apa yang dirasakan oleh hati Sin Liong itu. Demikianlah adanya kita semua ini! Semenjak kecil kita sudah terbiasa untuk terombang-ambing di antara pendapat yang menjadi hasil dari PENILAIAN. Kita memandang segala sesuatu dengan penilaian, maka muncullah pendapat baik dan buruk, baik dan jahat, dan sebagainya. Segala macam kebalikan-kebalikan di dunia mempermainkan kita, dan juga membentuk pendapat-pendapat yang tidak lain hanya akan mendatangkan konflik saja dalam batin. Penilailan ini selalu tentu didasari oleh pengukuran atau pertimbangan yang merupakan kesibukan yang bersumber kepada kepentingan diri pribadi. Kita mengukur sesuatu, atau seseorang, dengan dasar menguntungkan atau merugikan diri kita sendiri. Kalau menguntungkan lahir atau batin, kalau menyenangkan hati, maka keluarlah pendapat kita bahwa orang itu adalah baik! Sebaliknya kalau merugikan lahir atau batin, kalau tidak menyenangkan hati, maka pendapat kita terhadap orang itu tentu buruk! Jadi jelaslah bahwa baik atau pun buruk itu hanya merupakan pendapat yang didasari oleh kepentingan si aku yang selalu ingin memperoleh kesenangan! Dan sudah jelas pula bahwa pendapat demikian adalah palsu dan tidak betul! Pendapat ini hanya merupakan penilaian yang bertiraikan kepentingan pribadi kita, dan tentu hanya akan mendatangkan pertentangan batin belaka. Betapa pun jahat seseorang menurut pendapat umum, apa bila dia itu baik kepada kita, menyenangkan kita, maka kita akan menganggap dia itu baik! Sebaliknya, dunia boleh menganggap seseorang itu amat baik, akan tetapi jika dia tidak baik kepada kita, kalau dia tidak menyenangkan kita, maka tak mungkin kita menganggapnya baik, dan kita pasti akan menganggap dia jahat! Begitulah kenyataannya! Maka, dapatkah kita memandang segala sesuatu tanpa penilaian? Memandang segala sesuatu, memandang orang lain, seperti apa adanya, seperti keadaan yang sebenarnya tanpa menilai yang didasarkan menyenangkan kita atau tidak? Karena hanya dengan memandang sesuatu seperti itu sajalah yang membebaskan kita dari penilaian, dan sesudah kita terbebas dari penilaian, maka kita bebas pula dari rasa suka atau tidak suka. Seni memandang seperti ini merupakan seni tersendiri yang hanya nampaknya saja sulit akan tetapi tidaklah sulit kalau kita memiliki perhatian sepenuhnya dan bila mana kita sadar benar-benar bahwa sudah semestinya terjadi perubahan dalam kehidupan kita yang lebih banyak sengsaranya dari pada bahagianya ini. Sin Liong segera berpamit meninggalkan Kui Hok Boan dan Kwan Siong Bu yang masih memandang kepada anak yang berjalan pergi itu dengan penuh kagum dan khawatir. Anak itu masih terlalu kecil untuk menempuh hidup yang penuh bahaya di sebelah dalam Tembok Besar. Ketika Sin Liong memasuki hutan di luar Tembok Besar, tiba-tiba dari jauh dia mendengar suara pertempuran. Suara teriakan-teriakan orang yang berkelahi itu diseling oleh suara berdencingnya senjata yang beradu. Sin Liong merasa sangat tertarik, namun dia cukup berhati-hati mengingat akan nasehat pamannya supaya dia tidak suka mencampuri urusan orang-orang lain, apa lagi urusan orang-orang kang-ouw. Betapa pun juga, karena hatinya tertarik sekali, dia tidak mungkin pergi begitu saja tanpa menonton! Memang pada dasarnya, anak ini suka sekali menyaksikan kegagahan, dan paling suka melihat orang mengadu kepandaian dengan ilmu silat. Karena itu dia lantas mengikatkan buntalannya di pundak dan cepat dia meloncat ke atas, menyambar cabang pohon paling rendah kemudian bagaikan seekor monyet saja dia memanjat dan berloncatan naik dari cabang ke cabang, berayun-ayun dari satu pohon ke pohon yang lain menuju ke tempat terjadinya perkelahian itu. Biar pun dia bersepatu, tapi dia tidak kehilangan kegesitannya, biar pun tentu saja kakinya yang terbungkus sepatu itu dirasakannya amat mengganggu gerakannya di atas pohon-pohon di antara cabang-cabang dan daun-daun. Akhirnya, tibalah dia di tempat pertempuran itu dan dia duduk di atas cabang pohon. Karena tepat seperti yang diduganya, pertempuran itu dilakukan oleh orang-orang yang menggunakan golok dan pedang, dan dilakukan dengan gerakan silat yang sangat cepat dan indah, maka hatinya menjadi tertarik sekali dan duduklah dia di cabang pohon yang dekat agar dia dapat menonton dengan enak. Saking tertariknya, Sin Liong tidak melihat bahwa ada bayangan-bayangan lain di atas pohon-pohon yang berayun-ayun dan mendekati tempat itu. Dia tidak sadar bahwa ada beberapa ekor monyet besar yang mengenalnya dan monyet-monyet ini lalu bersama kawan-kawan mereka datang mendekati anak itu. Sin Liong amat tertarik menonton pertempuran itu. Seorang laki-laki berusia kira-kira lima puluh tahun, bertubuh tinggi agak kurus namun kelihatan gagah sekali, wajahnya tampan membayangkan kegagahan dan keramahan, sedang mainkan pedangnya dengan cepat untuk menahan pengeroyokan tiga orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan yang mengeroyoknya dengan menggunakan golok besar. Tiga orang tinggi besar itu mempunyai gerakan yang liar dan ganas sekali, golok mereka menyerang dengan dahsyat dari tiga jurusan dan kedudukan mereka selalu membentuk segi tiga ketika mengepung kakek berpedang itu. Tadinya Sin Liong masih teringat akan nasehat pamannya sehingga tidak hendak mencampuri, hanya ingin menonton saja. Tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa tiga orang itu adalah anggota-anggota Jeng-hwa-pang! Hal ini dapat dikenalinya bukan hanya karena pakaian mereka yang tidak berlengan itu, akan tetapi juga karena dia mengenali seorang di antara mereka yang berkumis pendek kaku tanpa jenggot. cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Maka begitu dia mengenal tiga orang itu sebagai orang-orang Jeng-hwa-pang, teringatlah dia akan ketua Jeng-hwa-pang yang jahat bukan main, yang pernah menyiksanya dan melemparkannya ke dalam lubang yang penuh ular. Karena itu seketika hatinya sudah berfihak kepada kakek berpedang itu yang tidak dikenalnya akan tetapi yang mempunyai wajah yang gagah dan menyenangkan hatinya. Apa lagi ketika dia melihat betapa kakek itu makin lama makin terdesak hebat, dia makin berfihak kepada kakek itu. Dan penglihatannya memang tidak keliru. Orang yang berkumis pendek kaku itu memang seorang anggota Jeng-hwa-pang tingkat atas yang pernah dilihatnya. Ternyata bahwa ada pula anggota Jeng-hwa-pang yang bisa lolos dari tangan maut Kim Hong Liu-nio dan dua orang yang lain itu adalah tokoh-tokoh Jeng-hwa-pang yang baru datang. Mereka tidak ikut dalam rombongan Gak Song Kam, yaitu pangcu (ketua) dari Jeng-hwa-pang, dan mereka bertiga memiliki kepandaian yang cukup tinggi karena mereka bertiga ini menerima latihan langsung dari pangcu mereka sehingga tingkat mereka tidaklah lebih rendah dari pada tingkat Heng-san Ngo-houw yang menjadi pembantu-pembantu pangcu dari Jeng-hwa-pang itu. Ketika Sin Liong melihat dengan lebih teliti, maka tahulah dia bahwa kakek berpedang itu telah terluka di betis kirinya. Pantas saja gerakannya menjadi kaku dan tidak leluasa. Biar pun demikian, tetap saja sejauh ini pedangnya dapat menangkis tiga batang golok yang menyerangnya seperti hujan itu. Sin Liong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Apa bila tidak dibantu, kakek gagah itu akhirnya pasti akan roboh juga, pikirnya. Dia lupa akan keadaan dirinya sebagai seorang anak-anak yang belum memiliki kepandaian berarti. Terdorong oleh rasa penasaran dan kasihan kepada kakek itu, tiba-tiba Sin Liong meloncat turun dan membentak nyaring. "Tiga orang mengeroyok satu orang, sungguh pengecut!" Dan dia pun sudah menerjang maju, langsung menyerang ke arah dada dan perut seorang di antara para pengeroyok itu seperti seekor kera marah! Orang itu terkejut, akan tetapi melihat bahwa yang menerjangnya hanyalah seorang anak kecil, dia tertawa mengejek, melompat ke kiri dan pedangnya menyambar ke arah leher Sin Liong. "Singggg...!" Orang itu sangat terkejut karena sambaran pedangnya luput! Boleh jadi Sin Liong belum memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi jelas bahwa dia telah mempunyai ketangkasan yang luar biasa, kegesitan seekor monyet, kecepatan yang wajar dan yang hanya dapat dikuasai karena kebiasaan, bukan karena latihan. Juga dia memiliki naluri perasaan yang tajamnya bukan main, maka hal inilah yang menjadikan kelebihan dari Sin Liong dari pada orang-orang lain, dan membuat dia dengan mudah mengelak dari sambaran golok itu. Pada saat itu pula, tidak kurang dari sepuluh ekor monyet-monyet besar telah berloncatan turun dan dengan mengeluarkan gerengan dan suara riuh rendah, mereka ikut menyerbu dan mengeroyok secara membabi buta dan ngawur. Mereka itu menyerang empat orang itu, termasuk kakek berpedang. Hanya Sin Liong saja yang tidak mereka keroyok! Tentu saja monyet-monyet itu tidak tahu siapa musuh Sin Liong yang sebenarnya! Melihat munculnya bocah aneh itu dengan sekawanan monyet, tiga orang yang sejak tadi belum juga mampu mengalahkan kakek yang gagah perkasa itu menjadi jeri. Mereka lalu bersuit nyaring dan meloncat pergi, terus melarikan diri secepatnya dari tempat itu. Melihat betapa kini monyet-monyet itu hendak mengeroyok si kakek gagah, segera Sin Liong mengeluarkan bunyi pekik monyet yang nyaring hingga monyet-monyet itu segera mundur, hanya masih memandang ke arah kakek berpedang dengan mata marah dan memperlihatkan taring. Kakek itu yang juga terkejut, dengan pedang di tangan sekarang memandang kepada Sin Liong penuh keheranan. Sin Liong segera berkata, "Paman, setelah mereka pergi, harap paman juga cepat-cepat meninggalkan tempat ini sebelum mereka itu datang kembali." Kakek itu memandang dengan bengong. "Jadi kau... dan monyet-monyet itu... kalian telah menolongku tadi?" tanyanya, masih bingung karena merasa heran bagaimana dari dalam hutan tahu-tahu muncul seorang bocah tampan yang secara berani mati membantunya bersama sekawanan monyet liar itu. "Maafkan, mereka itu tadi tidak tahu aturan, tidak mengenal mana kawan mana lawan. Melihat paman dikeroyok, aku melupakan kebodohan sendiri dan membantu." Laki-laki itu semakin heran. Anak hutan yang berkawan dengan monyet-monyet ini pandai membawa diri, sikapnya halus dan sopan pula! Sungguh ajaib! "Anak baik, aku berterima kasih sekali kepadamu. Engkau siapakah? Apakah kau tinggal di sini?" Sin Liong menggeleng kepalanya. "Saya tidak mempunyai tempat tinggal, paman, tempat tinggal saya di dalam hutan, di atas pohon-pohon bersama monyet-monyet itu." "Ahhh...! Dan engkau membawa buntalan pakaian, agaknya hendak pergi?" "Benar, paman. Saya hendak pergi menyeberang Tembok Besar..." "Kau? Seorang diri pula? Anak baik, siapa namamu?" "Nama saya Sin Liong...," dia tidak mau menyebutken she-nya. "Nama keluargamu?" Kakek itu mendesak. Sin Liong menggelengkan kepala. "Saya tidak tahu." "Ayah ibumu?" "Tidak ada..." "Luar biasa sekali! Sin Liong, ketahuilah bahwa aku adalah seorang piauwsu, bernama Na Ceng Han, tinggal di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Aku datang ke tempat ini dalam perjalanan menuju ke kaki Pegunungan Khing-an-san mencari seorang sahabatku bernama Bhe Coan, seorang pandai besi. Akan tetapi ternyata sahabatku itu telah tewas dibunuh orang! Maka aku hendak kembali dan setibanya di hutan ini bertemu dengan tiga orang jahat yang tanpa sebab langsung menyerangku tadi. Untunglah ada engkau yang sudah menolongku. Sin Liong, anak baik yang aneh sekali. Jangan kau takut kepadaku, ceritakan saja terus terang, siapakah orang tuamu dan ke mana engkau hendak pergi?" Sin Liong mengerutkan alisnya dan menatap wajah kakek itu. Na-piauwsu atau Na Ceng Han terkejut bukan main. Anak itu memiliki sinar mata yang tajam luar biasa, menyambar seperti kilat pada waktu memandang kepadanya! Memang Sin Liong merasa tidak senang ketika didesak seperti itu. "Paman Na, di antara kita tidak ada urusan apa-apa. Setelah tiga orang itu pergi, harap paman suka pergi saja." "Jangan marah, Sin Liong. Aku bertanya karena merasa heran sekali di tempat seperti ini bertemu dengan seorang anak seperti engkau. Engkau mengaku tidak ada ayah bunda, sebatang kara dan tidak punya tempat tinggal, akan tetapi pakaianmu baik dan engkau membawa buntalan pakaian..." "Saya dapatkan dari orang-orang dusun yang memberi kepada saya," jawab Sin Liong secara singkat. "Benarkah kau sebatang kara dan hendak ke selatan?" "Paman, saya tidak biasa membohong!" "Bagus! Kalau begitu, marilah kau ikut bersamaku ke selatan, anak baik." "Akan tetapi, saya tidak mau terikat kepada paman..." Tiba-tiba Na Ceng Han tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, engkau seorang anak berjiwa gagah, akan tetapi agaknya belum tahu siapa orang yang boleh dipercaya dan siapa tidak. Aku selamanya tidak mau mengikat orang, anakku. Marilah!" Dia membalik dan hendak berjalan, akan tetapi mengeluh dan hampir saja jatuh terguling kalau Sin Liong tidak cepat menangkap tangan kakek itu. "Paman, engkau terluka!" "Ah, keparat itu...!" Na Ceng Han memaki dan cepat dia duduk di atas tanah dan merobek celananya pada bagian betis kiri. Di sana nampak tanda membiru dan lapat-lapat masih nampak ujung sebatang jarum yang menancap sampai dalam. "Celaka! Engkau telah terkena jarum rahasia yang beracun, paman!" Sekali pandang saja Na Ceng Han memang sudah menduga bahwa jarum yang mengenai betisnya itu beracun, akan tetapi dia heran bagaimana anak itu bisa tahu. Tanpa berkata apa-apa dia lalu mencabut pedangnya yang tadi telah disarungkan dan hendak membuka kulit betis yang terluka itu dengan pedang. "Paman, pergunakan ini saja!" Sin Liong cepat mengeluarkan pisaunya, pemberian Siong Bu karena menggunakan pedang yang panjang itu untuk membedah betis tentu saja amat canggung. "Terima kasih, kau baik sekali!" kata Na Ceng Han dan dia menerima pisau yang baru dan mengkilap tajam tanpa karat sedikit pun itu, lalu tanpa ragu-ragu lagi kakek ini merobek kulit betis yang terluka dengan pisau itu. Sin Liong memandang dan diam-diam anak ini juga kagum sekali akan kegagahan kakek itu yang berkejap pun tidak pada saat pisau itu ditusukkan ke dalam dagingnya kemudian merobeknya, membukanya sampai darah menguncur keluar. Dan memang benar dugaan Sin Liong, darah yang keluar itu berwarna agak kehijauan! "Darahnya harus disedot keluar, paman," kata pula Sin Liong dan karena agaknya tidak mungkin bagi orang itu untuk menyedot sendiri betisnya, maka dia melanjutkan dengan cepat, "Biar kulakukan itu, paman!" Na Ceng Han terkejut bukan kepalang dan hendak mencegah, akan tetapi anak itu telah memegang betisnya dan tanpa ragu-ragu sudah menempelkan mulutnya pada betis yang terluka lalu menyedotnya kuat-kuat. Sin Liong meludahkan darah yang disedotnya, cepat menyedot lagi sampai berulang lima kali dan setelah darah yang keluar berwarna merah, barulah dia berhenti menyedot. Na Ceng Han memegang pundak anak itu yang sedang membersihkan mulutnya dengan ujung lengan bajunya. Dia terharu bukan main. Anak ini tak dikenalnya sama sekali, baru saja bertemu, tetapi tadi telah menyelamatkan nyawanya ketika secara nekat membantu dia mengundurkan para perampok lihai itu. Dan sekarang dengan suka rela anak ini telah menyedot racun dari luka pada betisnya! Bukan main anak ini! Kedua mata orang tua itu menjadi basah karena hampir dia tidak percaya bahwa dia bertemu dengan seorang anak seperti ini. "Sin Liong, apa yang kau lakukan ini takkan dapat kulupakan selama hidupku!" katanya. Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab, melainkan segera menghampiri monyet-monyet besar kemudian dengan suara memekik-mekik dia minta kepada para monyet itu untuk mencarikan daun obat untuk luka Na Ceng Han. Kembali Na Ceng Han terbelalak memandang dan melihat para monyet itu berloncatan pergi dan tak lama kemudian datang membawa semacam daun berwarna kecoklatan. Sin Liong lalu mencuci daun-daun itu dengan air jernih yang mengalir tidak jauh dari situ, lalu perlahan-lahan dia meremas-remas daun-daun itu sampai daun-daun itu menjadi lunak dan mengeluarkan lendir. Dengan hati-hati dia lalu menutupkan daun-daun itu sampai lima enam tumpuk di atas luka pada betis Na Ceng Han, kemudian membalut luka yang ditutupi daun-daun obat itu dengan sehelai sapu tangan. Na Ceng Han merasa betapa luka yang tadinya panas itu kini menjadi dingin sekali. "Sin Liong, sungguh engkau seorang anak ajaib sekali! Bagaimana kau bisa berhubungan dengan monyet-monyet itu dan dapat memerintahkan mereka?" Na Ceng Han bertanya dengan pandang mata penuh kagum. "Tidak ada yang aneh, paman. Sejak kecil saya sudah bergaul dengan mereka dan tahu cara hidup mereka, bahkan saya pernah menderita luka-luka akibat cakaran dan gigitan harimau, dan mereka itulah yang mengobatiku, menjilati semua lukaku dan menaruhkan daun obat ini." "Bukan main! Dan bagaimana kau tahu bahwa aku terkena jarum beracun? Memang tadi ketika tiga orang lihai itu muncul, mereka menyerangku dengan jarum-jarum dan agaknya ada sebatang yang mengenai betisku. Aku hanya merasa agak kaku di kaki ini akan tetapi tidak sempat memeriksanya karena mereka sudah mengepung dan menyerangku." Sin Liong tidak ingin menceritakan keadaan dirinya secara selengkapnya karena dengan demikian dia harus mengaku siapa orang tuanya dan menceritakan pula mengenai Istana Lembah Naga, maka dia hanya berkata, "Saya dapat menduganya setelah melihat luka itu, karena saya mengenal tiga orang tadi, paman. Mereka itu adalah orang-orang dari Jeng-hwa-pang dan sudah tentu saja mereka menggunakan racun dalam senjata rahasia mereka." Akan tetapi ucapannya itu bahkan amat mengejutkan Na Ceng Han sampai dia terlonjak dan bangkit berdiri, tak merasakan kenyerian betisnya ketika dia berdiri saking kagetnya. Bahkan wajahnya pun lantas berubah, persis seperti keadaan Kui Hok Boan ketika untuk pertama kali mendengar disebutnya Jeng-hwa-pang. "Jeng-hwa-pang...?" Kakek ini bertanya, suaranya agak menggetar karena ngeri dan jeri. "Mereka... mereka itu orang-orang Jeng-hwa-pang? Ahh, Sin Liong, bagaimana kau bisa tahu?" "Saya... saya pernah melihat dan mendengar mereka dari atas pohon ketika mereka lewat dan bercakap-cakap, paman." "Kalau benar demikian, mari kita cepat pergi dari sini, Sin Liong!" Sin Liong mengangguk dan pergilah dua orang itu menuju ke selatan. Walau pun agak terpincang, akan tetapi Na Ceng Han tak lagi merasakan kakinya kaku seperti tadi, maka mereka dapat melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa ke selatan. Sebetulnya kita tidak perlu khawatir sehingga harus tergesa-gesa, pikir Sin Liong, karena Jeng-hwa-pang sudah dibasmi oleh Kim Hong Liu-nio, dan mungkin tiga orang tadi hanya sisanya saja. Akan tetapi mulutnya tidak berkata sesuatu, hanya diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia dapat bertemu dengan kakek ini karena kalau dia harus melakukan perjalanan seorang diri, mungkin dia akan sesat jalan dan akan makan waktu lebih lama untuk melewati Tembok Besar. Sebaliknya Na Ceng Han melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa dan dengan hati diliputi kekhawatiran besar. Seperti juga orang-orang lain yang sudah banyak merantau dan banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, tentu saja Na Ceng Han sudah pernah mendengar nama perkumpulan Jeng-hwa-pang yang amat ditakuti itu, maka ketika mendengar tiga orang penyerangnya tadi adalah orang-orang Jeng-hwa-pang, dia terkejut sekali dan ingin cepat meninggalkan tempat itu karena takut kalau-kalau orang-orang Jeng-hwa-pang akan mengejarnya. Dia masih merasa sangat heran dan tidak mengerti kenapa secara tiba-tiba orang-orang Jeng-hwa-pang memusuhinya tanpa bertanya-tanya, padahal tadinya dia menyangka tiga orang itu hanya perampok-perampok biasa saja. Pantas kepandaian mereka begitu hebat! Dan diam-diam dia pun dapat menduga bahwa di dalam diri anak yang berjalan dengan gagahnya di sampingnya itu tentu tersembunyi rahasia yang amat hebat. Tak mungkin ada anak biasa saja seperti Sin Liong ini. Mengakunya hidup sebatang kara di dalam hutan, akan tetapi memiliki pakaian yang cukup baik, mengenal tata susila dan sopan santun seperti anak kota yang terpelajar, dan jelas memiliki kepandaian silat yang aneh, keberanian luar biasa dan pandai memerintah monyet-monyet. Yang paling aneh, anak ini mengenal orang-orang Jeng-hwa-pang dan tahu tentang jarum-jarum beracun! Diam-diam hatinya girang juga bahwa dia bertemu dengan seorang anak seperti ini, apa lagi sesudah mendapat kenyataan betapa selama melakukan perjalanan dari pagi sampai sore ini anak itu tidak pernah mengeluh, meski pun keringatnya telah membasahi seluruh badan dan napasnya agak memburu. Tidak minta minum, tidak mengeluh sama sekali. Benar-benar anak ajaib! Na Ceng Han adalah seorang piauwsu yang cukup terkenal di kota Kun-ting di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Dia bukan saja terkenal sebagai seorang yang pandai ilmu silatnya, akan tetapi terutama sekali terkenal sebagai seorang piauwsu (pengawal barang kiriman) yang amat jujur, setia dan boleh dipercaya. Sudah puluhan tahun Na-piauwsu ini bekerja sebagai piauwsu dan belum pernah barang yang dikawalnya itu tidak sampai ke tempatnya dengan selamat. Dia melindungi barang kiriman yang dipercayakan kepadanya dengan taruhan nyawanya. Tetapi penyebab utama yang membuat dia selalu berhasil dalam melaksanakan tugasnya adalah karena hubungannya yang amat luas, baik dengan golongan para pendekar, mau pun dengan golongan hitam. Dia tidak segan-segan untuk membagi hasil jerih payahnya mengawal barang itu dengan fihak-fihak kaum sesat yang berkuasa di sepanjang jalan sehingga fihak kaum sesat juga merasa segan mengingat Na-piauwsu ini lihai dan banyak sekali sahabatnya di antara para pendekar ternama, juga karena Na-piauwsu bersahabat baik dengan banyak tokoh kaum sesat. Seperti pernah diceriterakan di bagian depan, pandai besi ahli pembuat pedang Bhe Coan yang tinggal di dusun di kaki Pegunungan Khing-an-san, juga termasuk seorang sahabat baik Na Ceng Han. Sebelum Bhe Coan menikah dengan janda Leng Ci yang genit, dia sudah kematian isterinya ketika melahirkan seorang anak perempuan. Sesudah menikah dengan janda genit dan cantik itu, si janda membujuknya untuk menyingkirkan anaknya, maka dia teringat kepada sahabatnya itu dan dia lalu memberikan anaknya perempuan itu kepada Na Ceng Han. Na-piauwsu menerima anak itu dengan senang, bukan hanya karena Bhe Coan adalah seorang sahabat baiknya, akan tetapi juga karena dia dan isterinya hanya mempunyai seorang anak laki-laki saja dan mereka berdua memang ingin sekali mempunyai seorang anak perempuan. Pada hari itu, pada saat pekerjaannya agak sepi, yang ada hanya barang-barang kiriman yang tak begitu penting sehingga cukup diantar dan dikawal oleh para pembantunya saja, Na-piauwsu teringat akan sahabat baiknya itu. Dia ingin mengunjunginya, bukan hanya karena sudah merasa rindu dan ingin tahu bagaimana keadaan sahabatnya yang dia tahu amat jujur dan agak bodoh, akan tetapi sangat ahli dalam pembuatan pedang itu, akan tetapi juga untuk mengabarkan tentang keadaan Bi Cu, yaitu puteri dari sahabatnya itu, dan untuk minta dibuatkan sebatang pedang yang baik untuk Bi Cu! Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan dukanya ketika dia mendengar bahwa Bhe Coan sahabatnya itu telah tewas bersama isteri barunya, tewas dibunuh orang tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya! Bahkan dia mendengar dari para tetangga betapa banyak orang gagah yang datang untuk memesan pedang, juga terkejut dan marah, ingin tahu siapa pembunuhnya. Akan tetapi sampai sekian lamanya tak ada pula yang pernah mengetahuinya karena memang tidak ada orang yang menyaksikan pembunuhan atas diri suami isteri itu. Demikianlah, dalam perjalanan pulang dari tempat tinggal sahabatnya, tanpa disangka-sangkanya Na Ceng Han bertemu dengan Sin Liong dan kini dia melakukan perjalanan pulang bersama Sin Liong. Di tengah perjalanan, beberapa kali Na Ceng Han memancing kepada anak itu untuk menceritakan riwayatnya. Akan tetapi Sin Liong lebih banyak tutup mulut dari pada berbicara dan bagaimana pun didesak, tetap saja Sin Liong mengatakan bahwa namanya Sin Liong dan dia tidak tahu siapa nama ayahnya dan siapa ibunya. Dia mengatakan bahwa semenjak kecil dia hidup di antara monyet-monyet yang merawatnya. "Akan tetapi engkau memiliki gerakan silat yang luar biasa anehnya. Dari siapa engkau mempelajari kepandaian itu, Sin Liong?" tanya Na Ceng Han ketika pada suatu malam mereka berhenti melewatkan malam di Tembok Besar. "Saya hanya ikut-ikut latihan bersama anak-anak dusun, paman. Saya juga meniru-niru gerakan monyet-monyet kalau berkelahi," jawab Sin Liong secara singkat. Melihat anak itu memang sifatnya pendiam dan kelihatannya amat keras hati, Na Ceng Han tidak mau mendesak lagi, sungguh pun keterangan itu tidak dipercaya sepenuhnya. "Maafkan aku kalau aku cerewet, Sin Liong. Akan tetapi aku amat tertarik kepadamu, dan sekarang aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan lagi harap kau suka jawab sejujurnya. Engkau yang hidup di dalam hutan, tanpa sanak kadang tanpa keluarga, kenapa engkau secara tiba-tiba saja hendak pergi ke selatan? Engkau tahu akan sopan santun, agaknya engkau tahu pula baca tulis, siapakah yang mengajarkan itu semua dan dari siapa kau tahu bahwa di sebelah sana Tembok Besar terdapat dunia yang amat luas?" "Ahh, paman. Di dusun banyak juga orang yang pandai baca tulis dan saya juga ikut-ikut belajar. Tentang maksudku berkunjung ke selatan Tembok Besar... ahh, saya hanya ingin meluaskan pengetahuan, paman..." Sesudah berkata demikian, Sin Liong menunduk dan jelas nampak dari wajahnya bahwa dia tidak ingin banyak bicara tentang dirinya sendiri lagi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah melanjutkan perjalanan mereka, menyeberang Tembok Besar menuju ke selatan. Jantung Sin Liong berdebar-debar penuh ketegangan ketika dia memasuki dusun pertama dari daerah selatan ini. Alangkah jauh bedanya keadaan di selatan dengan di utara. Di sini mulai tampak padat dengan penduduk, dan ingatan bahwa dia makin dekat dengan ayah kandungnya, membuat dia merasa tegang dan gembira. Dia tidak tahu atau belum dapat membayangkan bahwa dunia selatan ini amat luasnya, lebih luas dari pada langit yang dapat nampak olehnya, dan betapa mencari satu orang di antara ratusan juta orang bukan merupakan hal yang mudah! Akan tetapi dia mempunyai sebuah keuntungan, yaitu bahwa yang dicarinya itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang pendekar yang namanya pernah menjulang tinggi sekali di dunia kang-ouw pada belasan tahun yang lalu. Bahkan pada waktu itu juga, tidak ada seorang pun kang-ouw yang tidak mengenal nama Cin-ling-pai di mana kakeknya, yaitu ayah dari Cia Bun Houw, menjadi ketuanya! Melihat kegembiraan anak itu, diam-diam Na Ceng Han merasa terharu sekali. Anak ini sungguh patut dikasihani, pikirnya. Sesudah melakukan perjalanan selama beberapa hari ini bersama Sin Liong, dia semakin terkesan dan tertarik oleh anak ini yang benar-benar amat luar biasa. Pendiam, keras hati, tabah, sopan, dan sangat cerdik. Apa lagi anak ini telah menolongnya, bahkan kini luka di betisnya telah sembuh berkat perawatan Sin Liong yang membawa banyak daun obat untuk mengganti obat di luka itu setiap hari. Na Ceng Han merasa berhutang budi kepada anak ini maka dia mengambil keputusan untuk melakukan apa saja bagi anak ini. Dia lalu mengajak Sin Liong singgah di kota raja, tak lain hanya untuk menyenangkan hati anak ini. Dan Sin Liong memang senang bukan main. Dia merasa takjub melihat gedung-gedung indah, jembatan-jembatan besar yang indah, taman-taman yang seperti dalam dongeng saja di kota raja! Tiada habisnya dia mengagumi segala apa yang dilihatnya dan dia amat berterima kasih kepada Na Ceng Han. Akhirnya sampailah mereka di kota Kun-ting. Ternyata rumah Na-piauwau cukup besar, merupakan sebuah gedung yang meski pun tidak amat mewah, akan tetapi cukup bagus karena selama bekerja puluhan tahun sebagai piawsu, Na Ceng Han bisa mengumpulkan kekayaan sekedarnya. Kantor piauwkiok-nya (perusahaan ekspedisi) diberi nama Ui-eng Piauwkiok. Nama Ui-eng (Garuda Kuning) berasal dari nama julukan ayah dari Na Ceng Han yang kini sudah meninggal dunia. Ayah dari Na Ceng Han juga seorang piauwsu dan karena ayahnya itu suka sekali memakai pakaian kuning dan sepak terjangnya laksana seekor garuda, maka dia mendapatkan julukan Garuda Kuning. Maka pada waktu ayahnya itu membuka piauwkiok, julukan ini lalu dipakai. Karena itu terkenallah Ui-eng Piauwkiok sampai menurun kepada Na Ceng Han. Bendera berlatar belakang merah dengan gambar seekor garuda kuning amat dikenal oleh seluruh kaum liok-lim dan kalangan kang-ouw sehingga baru benderanya itu saja yang berkibar di atas gerobak pengangkut burang yang dikawal oleh Ui-eng Piauwkiok, sudah merupakan jaminan keamanan gerobak itu. Kedatangan Na Ceng Han disambut oleh isterinya, seorang wanita yang berusia empat puluh lima tahun, bersikap lemah lembut dan ramah, lalu nampak seorang anak laki-laki sebaya dengan Sin Liong. Anak ini adalah Na Tiong Pek, putera tunggal dari keluarga Na. Dan di belakang Tiong Pek ini muncul seorang anak perempuan yang manis sekali, yang mengingatkan Sin Liong kepada Lan Lan dan Lin Lin, akan tetapi anak perempuan ini sifatnya lemah lembut dan pendiam, bahkan agak malu-malu tidak seperti Lan Lan dan Lin Lin. Anak perempuan ini berusia kurang lebih dua belas tahun, memandang kepada Sin Liong dengan mata terbuka lebar keheranan. Anak ini adalah Bi Cu, puteri dari Bhe Coan yang sejak bayi dititipkan kepada Na Ceng Han. Bhe Bi Cu tidak diaku anak oleh Na Ceng Han, maka masih memakai she Bhe, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari, anak ini tidak dianggap orang lain oleh suami isteri Na, dianggap anak sendiri, bahkan amat disayang oleh mereka. Betapa pun juga, Bhe Bi Cu selalu ‘tahu diri’, merasa dia bukanlah anak mereka dan hanya seorang yang menumpang hidup! Inilah agaknya yang membuat Bi Cu selalu bersikap pendiam dan malu-malu. Keluarga Na menyambut kedatangan Na Ceng Han dengan penuh kegembiraan. Apa lagi setelah piauwsu itu mengeluarkan oleh-olehnya. Kain sutera halus untuk isterinya, hiasan rambut dari emas untuk Bi Cu, dan gendewa beserta anak panahnya yang terukir dan dicat indah untuk Tiong Pek. Semua benda ini dibelinya di kota raja dan hanya di kota raja sajalah ada yang menjual benda-benda seindah itu. Tentu saja anak-anak dan isterinya itu gembira sekali dan barulah isterinya bertanya siapa adanya anak laki-laki yang ikut bersama suaminya. Sejak tadi Sin Liong memandang pertemuan itu dengan hati perih dan penuh rasa iri di dalam hatinya. Belum pernah dia mengalami pertemuan seperti itu, demikian asyik dan mesra! Belum pernah dia merasakan betapa akan gembira hatinya ketika menyambut pulangnya seorang ayah yang membawa oleh-oleh! Akan tetapi dia hanya menunduk dan membiarkan ayah bersama keluarganya itu bertemu dan melepaskan rindu tanpa berani mengganggu, bahkan dia mundur di sudut. "Siapakah anak itu?" tanya nyonya Na dan kini dua orang anak itu pun yang tadinya bergembira dengan barang-barang mereka menoleh dan memandang kepada Sin Liong. Karena semua mata kini memandang kepadanya, Sin Liong yang tadinya menunduk kini malah mengangkat mukanya dan membalas pandang mata mereka dengan tenang. Dia melihat betapa wajah nyonya itu peramah sekali, betapa sepasang mata anak laki-laki itu memandangnya penuh curiga dan anak perempuan yang manis itu memandang padanya dengan sepasang mata terbuka lebar, agaknya terheran-heran. Na Ceng Han tertawa, kemudian menghampiri Sin Liong dan menaruh tangannya di atas pundak anak itu dan berkatalah dia kepada keluarganya. "Anak ini bernama Sin Liong dan ketahuilah, kalau tidak ada anak ini, aku sudah tidak akan berjumpa lagi dengan kalian. Aku tentu telah tewas di utara sana tanpa ada yang mengetahui." "Ihhh...?" Nyonya Na berseru dengan muka berubah pucat. "Ahh...!" Bi Cu juga berseru dan matanya makin terbelalak memandang kepada Sin Liong. "Ayah, apakah yang telah terjadi?" Tiong Pek juga berseru kaget. Na Ceng Han menarik napas panjang, lantas dengan halus mendorong Sin Liong maju menghampiri keluarganya. "Marilah kuperkenalkan dulu. Sin Liong, dia ini adalah bibimu, dan ini adalah anakku, Na Tiong Pek dan ini adalah keponakanku, Bhe Bi Cu." Sin Liong yang sejak kecil sudah diajar sopan santun oleh ibunya, cepat memberi hormat kepada nyonya itu sambil menyebut. "Bibi..." Nyonya Na segera mengulurkan tangan memegang pundak anak itu dan berkata, "Anak baik, duduklah." Kini mereka semua duduk mengelilingi meja, dan mulailah Na Ceng Han menceritakan pengalamannya ketika dia dihadang oleh tiga orang perampok lihai dan dia sudah terluka kakinya, kemudian Sin Liong muncul bersama rombongan monyet dan menyelamatkan dirinya dari bahaya maut. "Dia tidak hanya membantuku mengusir tiga orang itu, tetapi bersama teman-temannya, rombongan kera itu, dia telah mengobati luka pada kakiku sampai sembuh!" Na-piauwsu mengakhiri ceritanya tanpa menyebut-nyebut tentang kematian Bhe Coan. Nyonya bersama kedua orang anak itu mendengarkan dengan mata terbuka lebar, penuh perhatian dan penuh keheranan. "Luar biasa sekali...!" seru nyonya itu sambil memandang kepada Sin Liong. "Seolah-olah Thian sendiri yang mengutus dia turun dari kahyangan untuk menolongmu, suamiku!" Na Ceng Han tertawa. "Ha-ha-ha-ha, memang tadinya aku sendiri pun terheran-heran dan mengira dia seorang dewa sebangsa Lo-cia! Akan tetapi dia seorang manusia biasa yang ingin ke selatan, maka aku membawanya sampai ke sini." "Muncul bersama serombongan monyet?" Tiong Pek berseru heran sambil memandang kepada Sin Liong. "Apakah... apakah dia mengenal monyet-monyet itu...?" "Ha-ha-ha, mengenal mereka? Tiong Pek, sayang kau tidak melihat sendiri betapa dia ini sudah memerintahkan monyet-monyet untuk mundur ketika mereka itu salah sangka dan hendak mengeroyokku, kemudian betapa dia menyuruh monyet-monyet itu mencarikan daun obat untuk mengobati luka di betisku!" "Ahh...! Benarkah itu? Kalau begitu engkau bisa bercakap-cakap dengan monyet!" Tiong Pek bertanya kepada Sin Liong, sinar matanya penuh kekaguman dan Sin Liong melihat betapa anak ini memiliki watak yang jujur. Maka dia mengangguk tanpa menjawab. "Bagus, kau harus ajari aku bicara monyet!" Tiong Pek berseru sambil memegang tangan Sin Liong. "Dan kau boleh memilih benda-benda mainanku, mana yang kau suka boleh kau ambil!" Tiong Pek kemudian menarik tangan Sin Liong. "Marilah. Sin Liong, mari kita bermain di belakang!" Sin Liong hanyut oleh kegembiraan anak itu. Anak ini berbeda dengan Siong Bu, dan biar pun tidak selucu Beng Sin, akan tetapi anak ini jujur dan terbuka, tidak seperti Beng Sin yang tidak berani terang-terangan bersikap manis kepadanya. Akan tetapi dia tidak mau bersikap kurang hormat dan dia memandang kepada Na Ceng Han. Na-piauwsu tersenyum dan mengangguk. "Kau bermainlah bersama Tiong Pek dulu, Sin Liong, aku hendak bicara dengan bibimu dan dengan Bi Cu." Maka pergilah Sin Liong, setengah ditarik oleh Tiong Pek, menuju ke ruangan belakang dari rumah yang besar itu. Bi Cu mengikuti mereka dengan pandang matanya. Agaknya dia pun ingin bicara dengan Sin Liong, ingin bertanya mengenai kehidupan anak itu yang sangat aneh, yang pandai memerintah monyet-monyet, dan terutama sekali, yang datang dari utara, dari mana dia pun datang ketika masih bayi. Akan tetapi sebagai seorang anak perempuan, dia tidak mau menyatakan keinginannya itu, apa lagi dia tadi mendengar bahwa pamannya hendak berbicara dengan dia. Dia tahu bahwa pamannya baru saja pergi ke utara untuk mengunjungi ayahnya, yang kabarnya menjadi pandai besi, ahli pembuat pedang di utara sana, maka kini dia ingin mendengar tentang ayahnya itu dari Na-piauwsu. "Lalu sudahkah kau berjumpa dengan Saudara Bhe Coan?" Na-hujin bertanya. Hatinya sudah merasa tidak enak karena kepergian suaminya ke utara itu adalah untuk mengunjungi sahabat suaminya itu, akan tetapi semenjak tadi suaminya tak pernah bicara tentang orang she Bhe yang menjadi ayah kandung Bi Cu itu.....
JILID 12
KINI Bi Cu memandang kepada paman dan bibinya, lalu menatap wajah pamannya untuk mendengar mengenai satu-satunya orang yang menjadi keluarga terdekat baginya akan tetapi yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu karena dia masih bayi pada saat berpisah dari ayahnya, sedangkan ibunya telah meninggal dunia ketika melahirkan dia. Na-piauwsu menarik napas panjang dan menatap kepada Bi Cu dengan penuh perasaan kasihan. Dia mencinta anak ini seperti anaknya sendiri, begitu pula isterinya mencinta Bi Cu seperti anak sendiri. Biar pun Bi Cu tak pernah berdekatan dengan ayah kandungnya sehingga tentu saja tak ada pertalian rasa kasih sayang, akan tetapi untuk menceritakan tentang kematian ayah kandung anak itu dia merasa ragu-ragu dan tak enak juga. Betapa pun, dia tidak boleh merahasiakan hal itu dan harus dia ceritakan kepada Bi Cu. "Ahh, berita yang kubawa mengenai saudara Bhe Coan amatlah buruknya...," kembali dia menarik napas panjang "...sudah lama terjadinya, sudah bertahun-tahun yang lalu, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu...bahkan belum lama setelah Bi Cu berada di sini..." "Apa yang terjadi dengan dia?" tanya Na-hujin dengan wajah berubah dan dia memandang kepada Bi Cu yang hanya mendengarkan dengan alis berkerut. "Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, saudara Bhe Coan telah dibunuh orang..." "Ahhhh...!" Nyonya Na menjerit. Melihat Bi Cu memandang suaminya dengan wajah yang tiba-tiba menjadi pucat sekali, nyonya ini lalu merangkul Bi Cu dan menangislah nyonya Na karena dia merasa kasihan sekali terhadap Bi Cu. Akan tetapi, Bi Cu sendiri tidak menangis, dia hanya memandang dengan muka pucat kepada Na Ceng Han! Anak ini sama sekali tidak merasa berduka! Hal ini tidaklah aneh. Dia tak pernah melihat wajah ayah kandungnya, hanya tahu bahwa dia mempunyai seorang ayah kandung. Karena tidak pernah bertemu, tentu saja tidak ada ikatan di dalam hatinya, tidak ada dia merasa kehilangan ketika mendengar bahwa ayah kandungnya meninggal dunia. Memang ada perasaan nyeri mendengar ayah kandungnya dibunuh orang, akan tetapi duka sama sekali tidak dirasakannya. "Paman, siapakah yang membunuh ayahku?" tanyanya dengan suara lirih. Na Ceng Han menarik napas panjang. "Dia tewas bersama isterinya, yaitu ibu tirimu, di dalam kamar. Begitulah menurut cerita para tetangganya. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang melihat pembunuhnya, tidak ada yang tahu siapa yang membunuh Bhe Coan beserta isterinya. Bahkan sebelum aku datang ke sana, selama beberapa tahun ini para pendekar yang datang ke sana untuk memesan pedang, yang juga telah mengenal baik ayahmu, merasa penasaran dan juga menyelidiki, akan tetapi sampai sekarang agaknya tidak ada orang yang dapat menemukan siapa pembunuh Bhe Coan dan isterinya itu." Bi Cu melepaskan rangkulan bibinya. "Aku... aku mau mengaso ke kamarku...," katanya. Paman dan bibinya mengangguk dan memandang kepada anak yang pergi dengan kepala tunduk itu dengan hati kasihan. Mereka merasa kasihan sekali dan merasa makin sayang kepada Bi Cu. "Kasihan dia...," nyonya itu terisak. "Baiknya dia tidak sampai terpukul oleh berita ini," kata Na Ceng Han. "Sebaiknya dia kita jadikan anak kita saja..." Isterinya menggeleng dan berkata lirih, "Lebih baik begini saja. Bukankah kita juga sudah memperlakukan dia tiada bedanya dengan anak sendiri? Biarlah dia menyebut kita paman dan bibi, karena aku... aku mempunyai niat... dia dan Tiong Pek..." Wajah Na Ceng Han berseri-seri. "Ahh, begitukah? Baik sekali pikiran itu, dan aku setuju sepenuhnya!" Suami isteri itu membayangkan betapa akan bahagia mereka kalau Bi Cu kelak menjadi isteri Tiong Pek. Tidak akan keliru lagi pilihan ini karena merekalah yang mendidik Bi Cu semenjak kecil! Dan mereka berdua membayangkan betapa mereka akan sayang sekali kepada cucu yang terlahir dari Bi Cu dan Tiong Pek! Sementara itu, Sin Liong mengagumi mainan-mainan yang dimiliki oleh Tiong Pek. Anak ini memang amat ramah setelah berkenalan, bahkan Tiong Pek lalu memamerkan ilmu silatnya yang dia latih bersama Bi Cu di bawah pimpinan ayahnya sendiri. "Kau tahu, Sin Liong. Kepandaian kami adalah kepandaian warisan. Ilmu silat keluarga Na sangat terkenal di daerah ini dan ayah sudah turun-temurun menjadi piauwsu. Kelak aku pun ingin menjadi seorang piauwsu yang baik. Semenjak kakek masih hidup nama Ui-eng Piauwkiok telah terkenal!" Sin Liong memandang kagum ketika melihat Tiong Pek bersilat dengan sangat cekatan. Dia melihat betapa Tiong Pek sungguh tak kalah bila dibandingkan dengan Siong Bu atau Beng Sin. Bahkan Tiong Pek yang hendak memamerkan kepandaiannya kepada sahabat barunya ini dapat pula mainkan bermacam-macam senjata! Terutama pedang dapat dia mainkan dengan indah karena memang senjata utama dari keluarga Na adalah sebatang pedang. "Sin Liong, kau tinggallah saja di sini! Kau menjadi murid ayah sehingga kita bisa berlatih bersama-sama!" Sin Liong hanya tersenyum. "Ehh, mana sumoi?" "Siapakah sumoi-mu?" "Tadi engkau telah melihatnya. Bi Cu adalah sumoi-ku. Murid ayah hanya dua orang, aku sendiri dan Bi Cu." "Akan tetapi bukankah dia itu keponakan ayahmu?" "Hanya keponakan luar belaka, bukan keluarga Na. Dia adalah puteri dari paman Bhe Coan. Ibu kandungnya, adik ayahku, meninggal ketika melahirkan dia. Ayahnya kawin lagi maka semenjak bayi dia dirawat oleh ayah dan ibuku. Mari kita cari dia. Dia juga harus memperlihatkan ilmu silatnya kepadamu. Wah, dia juga lihai sekali. Dalam hal kecepatan, aku tidak pernah dapat menandinginya!" Tiong Pek lalu mengajak Sin Liong mencari Bi Cu. Akan tetapi anak itu tidak berada di dalam kamarnya. Pada saat mereka mencari ke dalam taman, ternyata Bi Cu menangis di atas bangku yang terpencil di dekat empang ikan. Melihat ini, Tiong Pek terkejut bukan main. "Sumoi tidak pernah kulihat menangis! Ada apakah?" Dia segera berlari-lari menghampiri sumoi-nya, diikuti oleh Sin Liong dari belakang. Di dalam hatinya, Sin Liong merasa kasihan sekali terhadap Bi Cu. Dia sudah mendengar dari Na-piauwsu bahwa ayah kandung Bi Cu yang bernama Bhe Coan itu sudah dibunuh orang. Agaknya tentu anak yang sudah tidak beribu lagi itu sudah mendengar mengenai kematian ayahnya. Kini Bi Cu sudah tidak lagi mempunyai ayah dan ibu! Setelah sampai di hadapan Bi Cu yang menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya, Tiong Pek cepat duduk di samping sumoi-nya, memegang lengan sumoi-nya dan berkata dengan sikap cemas, "Sumoi, ada apakah? Kenapa kau menangis?" Melihat sikap ini Sin Liong berdiri agak jauh dan memandang saja. Dia kini tahu bahwa Tiong Pek adalah seorang anak yang baik dan jelas nampak bahwa Tiong Pek sayang sekali kepada sumoi-nya itu. Hal ini memang tidaklah aneh. Semenjak mereka berdua masih anak-anak yang kecil, keduanya telah bermain bersama-sama sehingga tentu saja timbul rasa sayang di dalam hati masing-masing. Bi Cu mengangkat mukanya yang basah air mata. Melihat Tiong Pek yang memandang kepadanya penuh kegelisahan itu, tangisnya makin mengguguk! "Sumoi, katakanlah, apa yang terjadi? Mengapa kau menangis?" tanya Tiong Pek makin gugup dan gelisah. "Suheng... ibu... ibuku sudah mati semenjak melahirkan aku... dan sekarang... sekarang ayahku..." "Ayahmu kenapa?" "Ayahku telah mati pula dibunuh orang sepuluh tahun yang lalu..." Dan anak perempuan itu menangis makin sedih. "Ahhh!" Tiong Pek bangkit berdiri, mengepal tinju, matanya berapi-api, akan tetapi dia lalu duduk kembali. "Siapa bilang? Ayah?" Dara cilik itu mengangguk. "Siapa yang membunuhnya?" "Paman... paman juga tidak tahu, tidak ada yang tahu siapa yang membunuh ayahku sepuluh tahun yang lalu..." "Sudahlah, sumoi, jangan berduka. Hal itu sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu, akan tetapi percayalah, kelak aku yang akan membantumu mencari siapa pembunuh ayahmu itu!" Tiong Pek bicara penuh semangat sehingga terhibur juga hati Bi Cu. Ketika dilihatnya bahwa Sin Liong juga berada di situ, tangisnya segera terhenti karena dia merasa malu untuk menangis di depan anak yang baru datang ini. Ketika dibujuk oleh keluarga Na, dan melihat betapa keluarga itu amat baik kepadanya, akhirnya Sin Liong menerima juga untuk tinggal di situ dan mempelajari ilmu silat dari Na Ceng Han. Na-piauwsu maklum bahwa di dalam diri Sin Liong terdapat rahasia yang luar biasa, dan bahwa anak ini tentu bukan anak sembarangan, maka dia tidak berani menjadi guru anak itu. Dalam bujukannya yang meyakinkan hati Sin Liong sehingga anak itu mau menerima tawarannya, dia berkata, "Sin Liong, ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekaii orang-orang yang sangat pandai akan tetapi juga sangat jahat. Oleh karena itu, mengandalkan perantauan seorang diri di dunia ramai ini seharusnya membawa bekal sedikit ilmu untuk melindungi diri sendiri dari mara bahaya. Aku tidak berani menjadi gurumu, akan tetapi berilah kesempatan padaku untuk membalas budimu dengan menurunkan sedikit ilmu pembelaan diri kepadamu. Kau mempelajari ilmu dan mengenal keadaan dunia kang-ouw, sehingga satu atau dua tahun kemudian engkau boleh melanjutkan perantauanmu tanpa meninggalkan rasa khawatir di dalam hati kami." Demikianlah, mulai hari itu, Sin Liong tinggal di rumah Na-piauwsu dan setiap hari anak ini dilatih ilmu silat oleh Na Ceng Han. Diam-diam Na Ceng Han terkejut karena ternyata olehnya bahwa anak ini telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi yang aneh. Tentu saja dia tidak tahu bahwa memang ibu kandung anak ini sudah mengajarkan dasar ilmu silat tinggi, dan ibu anak ini adalah murid terkasih mendiang Hek I Siankouw, karena itu tidak mengherankan kalau Sin Liong telah mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi! Karena tidak memperoleh banyak kesempatan untuk mempelajari ilmu silat pada saat dia tinggal di Istana Lembah Naga, maka ketika dilatih ilmu silat oleh Na Ceng Han, gerakan-gerakannya sangat kaku sehingga Tiong Pek dan Bi Cu yang menonton kadang-kadang tertawa. Akan tetapi mereka bukanlah mentertawakan untuk mengejek, hanya karena hati mereka terasa geli melihat gerakan yang kaku itu. Betapa pun, ketika mereka mengadakan latihan bersama, segera nampak jelas oleh Na Ceng Han betapa dalam hal kecepatan, Sin Liong memiliki kecepatan yang wajar dan luar biasa sekali, kecepatan yang diperoleh dari kehidupannya bersama para monyet sehingga Bi Cu yang memiliki bakat baik sekali untuk ilmu ginkang sehingga tidak dapat ditandingi oleh suheng-nya itu pun masih kalah cepat dibandingkan dengan Sin Liong yang sudah sejak kecil mengandalkan tenaga untuk melindungi diri di hutan, dengan berayun-ayun, bahkan masih mengatasi Tiong Pek. Dengan demikian, kalau anak ini sudah dilatih ilmu silat dan sudah menguasai ilmu itu, sudah pasti bahwa dia akan lebih cepat dari Bi Cu dan lebih kuat dari Tiong Pek, berarti lebih lihai dari pada mereka! Pergaulannya dengan Tiong Pek dan Bi Cu akrab sekali karena dalam pergaulan itu tidak ada sesuatu yang menghalangi seperti pergaulannya dengan anak-anak di Istana Lembah Naga. Dan ternyata bahwa Na Ceng Han dan isterinya benar-benar merupakan suami isteri yang berbudi dan ramah sehingga Sin Liong merasa suka sekali kepada keluarga ini dan betah tinggal di rumah mereka. Dia bahkan kadang-kadang ikut dengan rombongan piauwsu mengawal barang. Hal ini memang atas anjuran Na Ceng Han yang ingin agar anak ini dapat memiliki pandangan luas dan pengalaman sebagai bekal niatnya untuk merantau. Dia dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang mendorong anak ini untuk merantau, akan tetapi dia tahu bahwa membujuk anak itu untuk mengaku akan percuma belaka, karena itu dia pun tidak pernah bertanya. Sin Liong berlatih rajin. Dia tidak memanggil suheng atau sumoi kepada Tiong Pek dan Bi Cu, dan juga sebaliknya dua orang anak itu tidak menyebutnya saudara seperguruan. Hal ini memang kehendak dari Na-piauwsu yang tidak berani menerima anak ajaib itu sebagai muridnya. Dia tidak mau mengikat Sin Liong, dan tentu saja kalau anak itu sendiri yang mengangkat dia sebagai guru, maka dia tentu akan menerimanya. Akan tetapi karena dia tidak tahu betul siapa adanya anak itu, maka dia pun tidak berani mengambil anak itu menjadi muridnya. Dan ternyata agaknya Sin Liong juga tidak mau terikat, maka anak itu pun diam saja, tetap memanggil paman Na kepada piauwsu itu, walau pun dia berlatih silat dengan amat tekun sehingga dua orang anak itu pun terseret dan ikut pula menjadi tekun. Hal ini amat menggirangkan hati Na-piauwsu. *************** Istana kaisar sedang dalam keadaan prihatin karena Kaisar Ceng Tung sedang menderita sakit keras. Tidak nampak senyum pada wajah semua orang yang berada di istana, dari penjaga sampai pelayan dalam istana, dari pengawal sampai para panglima yang keluar masuk untuk menjenguk keadaan kaisar. Semua ahli pengobatan istana dikerahkan, bahkan juga didatangkan ahli-ahli pengobatan dari luar, tidak ketinggalan pula para ahli mengusir setan untuk membuat persembahan dan memasang benda-benda yang dinamakan HU yang dianggap sebagai tumbal atau jimat penolak bahaya! Akan tetapi, penyakit yang diderita oleh kaisar tidak menjadi makin ringan, bahkan makin hari makin berat saja. Pada suatu hari, ketika kota raja mulai sibuk dengan arus manusia yang berlalu-lalang dan kesibukan para pedagang yang mulai dengan perlombaan mereka mencari untung hari itu, nampak dua orang yang mau tak mau menarik perhatian banyak orang dari pintu gerbang sebelah utara kota raja. Di antara banyak pintu gerbang kota raja, pintu gerbang sebelah utara merupakan pintu yang terbesar dan dijaga paling kuat. Dua orang ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau Ceng Han How, putera dari Raja Sabutai yang memasuki kota raja bersama dengan Kim Hong Liu-nio. Tentu saja banyak orang tertarik melihat seorang wanita yang cantik sekali dan berpakaian mewah, tata rambutnya seperti seorang puteri, akan tetapi langkahnya begitu tegap dan tenang seperti langkah seorang ahli silat yang biasa melakukan perantauan. Dan keadaan Ceng Han Houw juga menarik perhatian orang karena pemuda ini bertubuh tinggi tegap, tampan dan halus gerak-geriknya sedangkan sepasang matanya memiliki sinar yang tajam penuh wibawa. Akan tetapi karena banyaknya bermacam-macam orang memasuki kota raja, keadaaan mereka itu tidak menimbulkan kecurigaan, terlebih lagi karena Kim Hong Liu-nio bersikap hati-hati sekali sesudah memasuki daerah kota raja yang diketahuinya terdapat banyak orang pandai itu. Dia tak lagi menonjolkan papan kayu salib yang bertuliskan nama-nama marga musuh besar gurunya seperti biasa, bahkan dia pun lebih banyak berdiam dan tidak melayani pandang mata banyak pria yang memandangnya dengan penuh kagum. Ceng Han Houw tiada henti-hentinya mengagumi keadaan kota raja. Wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar pada saat dia menyaksikan jalan-jalan raya yang rata dan bersih, rumah-rumah besar serta istana-istana yang indah dan megah. Dia pun merasa sekali betapa suci-nya mendadak menjadi alim dan pendiam semenjak memasuki wilayah kota raja, padahal sebelum itu, semenjak di penyeberangan Tembok Besar, ketika melalui dusun dan kota, sudah belasan orang menjadi korban suci-nya itu yang tidak mau mengampuni setiap orang yang kebetulan memiliki nama keturunan atau marga Cia, Yap dan Tio. Tentu saja perbuatannya itu amat menggemparkan dan sebentar saja nama Kim Hong Liu-nio dikenal orang sebagai nama yang amat ditakuti seperti iblis. Akan tetapi, setelah tiba di perbatasan kota raja, Ceng Han Houw melihat betapa suci-nya itu tidak pernah lagi bertanya-tanya kepada orang, apakah di situ ada orang-orang yang memiliki tiga macam nama marga itu. "Suci, benarkah banyak orang lihai di sini?" bisiknya kepada suci-nya pada waktu mereka sedang berjalan di sepanjang jalan raya di kota raja. Pertanyaan itu diajukannya dengan menggunakan bahasa Mongol. "Ssttt, jangan bicara yang bukan-bukan, sute," wanita itu menjawab dalam bahasa Han. "Bericaralah dengan bahasa Han supaya kita tidak menarik perhatian orang, dan mari kita langsung saja pergi ke istana." Sejak dia berusia sepuluh tahun, Han Houw sudah mendengar dari ibunya bahwa kaisar yang maha besar di selatan itu adalah ayah kandungnya! Rahasia ini dibuka oleh ibunya karena dia dianggap sudah cukup besar untuk dapat menyimpan rahasia dan diam-diam Han Houw mempunyai rasa bangga yang amat besar. Ayahnya sendiri adalah seorang raja di utara, akan tetapi bila dibandingkan dengan kaisar, maka kedudukan ayahnya itu sama sekali tidak ada artinya. Ayahnya hanya menguasai tanah-tanah yang masih liar, dan mempunyai pasukan yang banyaknya hanyalah ribuan orang, sedangkan menurut buku-buku yang dibacanya, kaisar di selatan adalah seorang yang amat berkuasa, menguasai daerah yang tak terukur luasnya dan orang-orang serta pasukan yang tak terhitung banyaknya. Bahkan banyak sekali raja-raja kecil yang tunduk kepada kekuasaan kaisar. Dan orang ini adalah ayah kandungnya! Maka mendengar ucapan suci-nya, dia mengerutkan alisnya sambil memandang kepada pakaiannya. Pakaian yang dikenakannya memang cukup baik, namun sudah agak kotor berdebu akibat perjalanan terakhir memasuki kota raja. Dan dia tidak ingin menghadap ayahnya yang amat berkuasa itu dalam pakaian kotor! "Aku harus berganti pakaian lebih dulu, suci." Pada waktu dia hendak berangkat, ibunya sendiri yang memesan kepadanya agar kalau menghadap kaisar dia mengenakan pakaian terbaik yang telah sengaja dipersiapkan oleh ibunya, dan bahkan ibunya mengajarkannya pula bagaimana dia harus bersopan santun di dalam istana sebagai seorang pangeran putera kaisar! Kim Hong Liu-nio menoleh dan memandang wajah sute-nya. Tidak biasanya sute-nya ini membantah kata-katanya, karena sute-nya menganggap dia seperti guru juga. Meski pun sute-nya ini murid dari Hek-hiat Mo-li juga, akan tetapi selama ini dialah yang lebih banyak membimbing sute-nya ini dalam berlatih ilmu silat. Han Houw tahu bahwa suci-nya memandang kepadanya, maka dia berkata, "Untuk pergi menghadap kaisar, aku harus mengenakan pakaian bersih, begitu pesan ibu kepadaku." Kim Hong Liu-nio mengangguk. Dia tahu bahwa bagaimana pun juga, sute-nya ini adalah seorang junjungannya yang harus ditaatinya, karena itu dalam hal-hal tertentu, dia sama sekali tidak boleh dan tidak berani membantah. "Kalau begitu, terlebih dahulu kita mencari sebuah rumah penginapan," katanya singkat. Mereka lalu pergi mencari rumah penginapan dan tentu saja amat mudah mencari rumah penginapan di kota raja yang besar dan ramai itu. Setelah tiba di rumah penginapan dan memesan dua buah kamar besar, Kim Hong Liu-nio mempersilakan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw untuk mandi kemudian bertukar pakaian sedangkan dia sendiri juga membersihkan diri dan menukar pakaian yang bersih. Setelah selesai, Han Houw mengajak wanita itu untuk makan dulu. "Siapa tahu, di istana kita harus menanti sampai lama," kata Han Houw. "Menurut cerita ibu, di istana kita harus sopan dan sama sekali tidak boleh bergerak, berkata atau berbuat apa saja sebelum diperintah. Kalau di sana kita harus menunggu lama dan perutku lapar tanpa berani minta makan atau pergi mencari makan, wah, bisa kelaparan aku! Mari kita makan dulu sekenyangnya, baru kita pergi menghadap ke istana, suci. Dan menurut ibu, kabarnya di kota raja ini kita bisa makan apa pun juga! Bahkan segala macam daging pun bisa pesan. Kata ayah di sini orang-orangnya pandai sekali memasak, seperti dewa, bisa menyulap daging-daging ular, buaya, harimau, biruang, dan lain-lain menjadi masakan-masakan sedap. Bahkan kalau mau memesan daging paha burung hong, atau lidah naga laut, kabarnya bisa juga." Kim Hong Liu-nio tersenyum mendengar omongan sute-nya itu, dan begitu dia tersenyum, lenyaplah sifat dingin menyeramkan dari wanita ini. Sebenarnya Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang berwajah cantik dan manis sekali, apa lagi kalau tersenyum seperti itu, karena selain dia memiliki bentuk bibir yang indah, juga giginya putih dan rapi. "Sute, di jaman sekarang ini, mana ada segala macam burung hong, naga atau pun kilin? Itu hanya pandainya para pemilik restoran saja. Yang dimaksudkan dengan paha burung hong bukan lain adalah paha burung dara, dan lidah naga adalah lidah ular tertentu yang memang lezat dimasak, kalau yang masaknya pandai. Harimau itu paling-paling daging kucing, dan biruang itu tak salah lagi tentu daging anjing. Tidak salah bahwa memang di sini banyak terdapat ahli masak yang pandai dan memang segala macam daging itu yang enak apanya sih? Tanpa bumbu, mana bisa enak? Yang enak adalah bumbunya!" Mereka segera pergi ke sebuah restoran yang besar dan banyak tamunya. Karena Han Houw ingin melihat keadaan di luar restoran di mana terdapat arus lalu lintas yang cukup ramai, maka dia memilih tempat duduk paling pinggir, di sebelah luar menghadapi pintu dan jendela terbuka. Selain di sini tidak begitu panas karena jauh dari api dapur dan juga memperoleh hawa langsung dari luar yang terbuka, juga dia dapat melihat-lihat keadaan di luar restoran. Benar saja, pada saat mereka membaca menu masakan, terdapat istilah-istilah masakan yang amat hebat dan muluk-muluk seperti sop jantung harimau, jari kaki biruang masak kecap, goreng otak kilin, ca jamur dewa, dan sebagainya sehingga Han Houw tertawa geli membacanya. Sebagai seorang pangeran tentu saja dia berwatak royal dan dia memesan hampir semua masakan yang namanya aneh-aneh itu sehingga lebih dari dua belas macam masakan! Tentu saja pelayan memandang dengan mata terbelalak melihat betapa hanya dua orang saja memesan masakan sedemikian banyaknya, yang cukup banyak untuk dimakan oleh enam orang! "Ramai sekali di sini!" kata Han Houw ketika suci-nya menuliskan pesanan di atas kertas. Pelayan yang melayani mereka itu membungkuk-bungkuk. Dari pakaian dua orang tamu ini saja dia bisa menduga bahwa mereka ini tentulah keluarga bangsawan atau hartawan dari luar kota raja yang datang berkunjung ke kota raja, maka dia bersikap menghormat. "Biasanya jauh lebih ramai lagi, kongcu. Sebetulnya, biasanya pada bulan seperti ini tentu ada pesta di lapangan belakang pasar, di kuil besar dan di jembatan kuning. Akan tetapi semenjak sri baginda kaisar yang mulia menderita sakit, semua pesta untuk sementara dibatalkan..." "Sri baginda kaisar sakit...?" Han Houw bertanya, terkejut. "Ehh, kongcu belum tahu? Seluruh penduduk kota raja berprihatin karena sakit beliau itu agak berat..." Pelayan lalu menerima catatan pesanan dan tidak berani lagi lebih banyak membicarakan kaisar yang pada masa itu masih dianggap sebagai seorang manusia yang setingkat dengan utusan atau wakil Tuhan sehingga tidak boleh banyak disebut-sebut! Han Houw saling berpandangan dengan suci-nya. Kaisar sakit? "Ahh, kalau begitu kita terpaksa menunda sampai beberapa hari, sampai beliau sembuh, sute. Kalau beliau sakit, mana mungkin kita diperbolehkan menghadap?" bisik Kim Hong Liu-nio kepada sute-nya. Han Houw hanya mengangguk, akan tetapi diam-diam hatinya khawatir sekali. Memang ibunya sudah mendengar berita bahwa kaisar sakit, akan tetapi tidak disangkanya bahwa penyakitnya berat sehingga sampai sekarang pun masih sakit sehingga semua penghuni kota raja pun sampai berprihatin dan segala macam pesta ditiadakan! Berita itu mengurangi kegembiraan Han Houw, sungguh pun dia masih dapat menikmati hidangan masakan yang memang betul-betul lezat dan yang belum pernah dirasakannya itu. Ketika mereka sedang asyik makan minum, tiba-tiba pandang mata Han Houw tertarik oleh tiga orang kakek pengemis yang berpakaian menyolok sekali. Tiga orang kakek itu usianya tentu kurang lebih lima puluh tahun, namun tubuh mereka masih tegap dan sehat kuat. Yang menyolok adalah pakaian mereka, karena ketiga orang kakek pengemis itu memakai pakaian tambal-tambalan yang terbuat dari macam-macam kain berkembang yang beraneka warna, sehingga dari jauh mereka itu tampak seperti tiga orang yang aneh sekali, pakaian mereka dari baju sampai ke celana semua berkembang-kembang dan bertotol-totol dengan warna-warna menyolok. Mereka itu dapat dikenal sebagai pengemis-pengemis karena mereka memegang tongkat dan tempat makanan dari kayu, dan sepatu mereka berlubang-lubang, juga pakaian yang aneh itu walau pun warnanya menyolok sekali akan tetapi tambal-tambalan! Di punggung mereka nampak tumpukan buntalan, entah buntalan apa, warnanya kuning. "Suci, orang-orang apakah mereka bertiga itu?" tanya Han Houw sambil menunjuk dengan gerakan dagunya. Kim Hong Liu-nio yang duduknya saling berhadapan dengan Han Houw, kini menoleh dan sejenak matanya menyambar sambil memandang kepada tiga orang kakek yang berjalan mendatangi itu dengan tajam dan penuh perhatian. Diam-diam dia terkejut juga melihat cara tiga orang kakek itu melangkahkan kaki mereka. Begitu ringan dan penuh tenaga! Jelaslah bahwa mereka itu bukan orang-orang sembarangan dan pakaian mereka itu jelas pula merupakan tanda golongan mereka! Dia mengingat-ingat. Apakah mereka itu yang disebut-sebut sebagai orang-orang Hwa-i Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) yang menurut cerita amat berkuasa di daerah kota raja ini? Agaknya tidak salah lagi. Akan tetapi melihat lima tumpuk buntalan kuning di punggung tiga orang kakek itu, Kim Hong Liu-nio memandang tak acuh karena dia tahu bahwa mereka itu hanyalah tokoh-tokoh tingkat rendahan saja, tingkat lima! "Sute, jangan pedulikan mereka. Agaknya mereka adalah tokoh-tokoh kaipang," bisiknya kepada sute-nya. "Haii, Sam-wi Lo-sin-kai (Tiga Orang Pengemis Tua Sakti)! Sam-wi hendak ke manakah?" tiba-tiba terdengar teriakan orang yang duduk di dalam restoran itu, yaitu seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang bertubuh tegap dan sedang menghadapi meja penuh dengan masakan bersama tiga orang lainnya yang juga memandang gembira melihat tiga orang pengemis itu. "Ahh, kiranya Yu-kamsu (guru silat Yu) dari Cin-an dan tiga orang saudara dari Sin-houw Piauwkiok!" kata seorang di antara tiga kakek pengemis itu sambil berhenti melangkah di depan restoran, di luar jendela di mana empat orang itu duduk. "Mari silakan duduk makan minum bersama kami!" kata pula guru silat she Yu itu dengan sikap ramah dan gembira, menandakan bahwa mereka itu adalah kawan-kawan baiknya. "Terima kasih, Yu-kauwsu, kami masih harus menyelesaikan urusan penting. Nanti saja kalau urusan kami sudah selesai, kami tergesa-gesa!" "Ha-ha-ha-ha, kalau begitu biarlah dari sini saja aku menyuguhkan masakan dan arak!" Sesudah berkata demikian, sambil tertawa-tawa Yu-kauwsu bersama tiga orang piauwsu yang menjadi temannya itu melempar-lemparkan mangkok yang penuh masakan dan juga seguci arak ke luar jendela, ke arah tiga orang pengemis tua itu! Han Houw memandang penuh perhatian dan diam-diam juga kagum. Tiga orang kakek itu, benar seperti yang sudah diduga suci-nya, adalah tokoh-tokoh yang berkepandalan tinggi. Masing-masing sudah menangkap dua buah mangkok masakan yang terbang ke arah mereka, dan kakek pertama bahkan mampu menerima guci arak dengan sundulan kepalanya sehingga guci itu berdiri tegak di atas kepalanya. Semua ini mereka lakukan dengan cekatan dan tidak ada arak atau kuah masakan yang tumpah. Sambil tertawa-tawa mereka makan masakan itu dari mangkok begitu saja tanpa sumpit, kemudian mereka melempar-lemparkan mangkok kosong itu ke dalam jendela. Mangkok-mangkok itu berputaran dan kemudian hinggap di atas meja di depan kauwsu itu tanpa menimbulkan banyak suara bising, dan tidak pecah! Begitu pula guci arak setelah araknya mereka teguk bergantian sampai habis. Tiga orang kakek pengemis itu kelihatan gembira sekali karena banyak orang menonton demonstrasi mereka dengan penuh kagum. Nama Hwa-i Kaipang memang sudah amat terkenal dan di mana pun mereka berada, tentu akan terjadi sesuatu yang menarik karena mereka itu rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi. "Wah, terima kasih, Yu-kauwsu dan sam-wi piauwsu. Dengan suguhan itu, kami tak perlu lagi minta sumbangan dari para tamu restoran ini, kecuali terhadap seorang tamu yang datang dari tempat jauh." Mereka mengusap-usap perut mereka, kemudian melangkah maju menghampiri meja Han Houw! Pangeran dari utara ini, biar pun masih muda, namun dia telah memiliki kepandaian tinggi, maka pertunjukan tadi biar pun membuatnya kagum, akan tetapi dianggapnya bukanlah ilmu yang aneh. Sedangkan Kim Hong Liu-nio sama sekali tidak mempedulikan mereka, dan ketika tiga orang pengemis itu tiba-tiba berhenti melangkah di depan jendela mereka dan mereka bertiga memandang kepadanya dengan mata tidak pernah berkedip, dengan sinar mata yang tajam dan mengandung kemarahan, Kim Hong Liu-nio masih mengambil sikap tidak peduli! "Toanio, kasihanilah kami tiga orang pengemis tua...," kata yang seorang. "Kami bertiga mohon dermaan dari toanio...," sambung yang ke dua. "Semoga Thian memberkahi kebaikan toanio...," sambung pula yang ke tiga. Melihat suci-nya bersikap acuh tak acuh, Han Houw cepat mengeluarkan tiga keping uang perak dan menyerahkan tiga keping uang itu kepada mereka sambil berkata, "Ini sedikit sumbangan dari kami, harap diterima dengan senang." Tiga orang kakek pengemis itu menerima tiga keping uang perak itu, masing-masing satu keping, akan tetapi mata mereka mendelik dan salah seorang di antara mereka berkata, "Kongcu menganggap kami ini orang apa maka memberi sumbangan uang perak?" Dan tiba-tiba mereka melemparkan tiga keping uang perak itu di atas meja depan Han How. "Cep! Cep! Cepp!" Tiga keping uang perak itu menancap ke dalam papan meja sampai hampir rata dengan permukaan meja. Ketiga orang pengemis tua itu mengira bahwa tentu pemuda cilik yang tanpa disengaja telah menghina tiga orang tokoh tingkat lima dari Hwa-i Kaipang akan menjadi terkejut, setidak-tidaknya tentu akan pucat mukanya karena lontaran uang perak itu saja sudah menunjukkan kehebatan mereka. Akan tetapi, ketiga orang kakek pengemis itu saling lirik ketika melihat pemuda yang berpakaian mewah itu sama sekali tidak terkejut, bahkan lalu tersenyum! "Ahh, kiranya sam-wi tidak membutuhkan uang perak lagi. Terpaksa kusimpan kembali!" Setelah berkata demikian, Han Houw menggerakkan tangan kanannya ke arah tiga keping uang perak yang menancap dan berjajar di atas meja itu, menjepit tiga keping uang perak itu di antara jari-jari tangannya, mengerahkan sinkang lantas dengan enak saja dia sudah mencabut keluar tiga uang perak itu kemudian mengantonginya! Pemuda itu kemudian melanjutkan makan tanpa mempedulikan lagi kepada mereka! "Waspadalah, sute. Di kota raja ini banyak sekali srigala bertopeng domba, dan di depan restoran ini terlalu banyak lalat hijau! Sungguh menjijikkan!" kata Kim Hong Liu-nio. Merahlah wajah tiga orang kakek itu. Tadi mereka kaget bukan main menyaksikan betapa anak laki-laki itu sedemikian mudahnya mencabut uang perak dari atas meja. Maklumlah mereka bahwa anak laki-laki itu lihai sekali. Maka kini mereka tidak mau berpura-pura lagi, dan yang tertua di antara mereka segera berkata, "Toanio, kami mohon sumbangan untuk menyembahyangi arwah dari seorang pengemis she Tio di kota Huai-lai sebelah utara yang mati beberapa hari yang lalu. Perkabungan dengan sebatang hio saja masih belum mencukupi!" Diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut sekali. Ahh, kiranya pengemis yang dibunuhnya di kota Huai-lai itu juga merupakan anggota Hwa-i Kaipang? Akan tetapi kenapa pakaiannya tidak berkembang? Dia tidak tahu bahwa Hwa-i Kaipang merupakan perkumpulan pengemis yang amat besar kekuasaannya sehingga seluruh pengemis, baik yang berkelompok di dalam perkumpulan lain mau pun yang tidak memasuki perkumpulan, semuanya menganggap Hwa-i Kaipang sebagai induk perkumpulan yang bisa mereka andalkan untuk membela kaum pengemis, dan sebaliknya Hwa-i Kaipang juga menganggap seluruh pengemis dari mana pun juga sebagai 'umat' mereka! Itulah sebabnya pada saat pengemis she Tio yang kebetulan berjumpa dengan Kim Hong Liu-nio di Huai-lai dan dibunuh oleh wanita ini, maka hal itu terdengar oleh para anggota Hwa-i Kaipang sehingga tiga orang pengemis tokoh Hwa-i Kaipang tingkat lima itu segera melakukan pengejaran dan pengintaian sampai ke kota raja. Kim Hong Liu-nio segera maklum bahwa tidak mungkin lagi dia dapat menghindarkan diri dari bentrokan. Akan tetapi dia pun tidak ingin mendapat gangguan, dan tidak ingin pula mengikat tali permusuhan dengan Hwa-i Kaipang, maka dia mengambil keputusan untuk menghajar tiga orang kakek pengemis ini tanpa membunuh mereka, hanya ingin sekedar memperingatkan mereka supaya tidak main-main dengan dia. Diambilnya sekeping uang emas dari dalam saku bajunya, karena dia bermaksud hendak menyumbang sekeping uang emas, sebuah sumbangan yang luar biasa besarnya, untuk membuat para pengemis puas dan tidak mengganggunya lagi. "Pengemis itu sial karena dia memiliki she Tio," katanya. "Akan tetapi jika kalian hendak berkabung, biarlah aku menyumbang ini!" Dia lalu melemparkan sekeping uang emas tadi ke arah pengemis tertua. Pengemis itu menyambar kepingan uang emas itu dengan tangannya, lalu dipandangnya uang emas di atas telapak tangannya sambil menyeringai, "He-heh-heh, selembar nyawa dibeli dengan sekeping uang emas! Betapa murahnya engkau menghargai selembar jiwa pengemis, toanio. Tidak, tidak cukup!" Dan pengemis itu mengepalkan tangan, mengerahkan tenaga lalu mengembalikan uang itu dengan melemparkannya ke atas meja di hadapan Kim Hong Liu-nio. Terdengar suara berdencing dan kepingan uang emas itu kini telah menjadi gepeng! Kim Hong Liu-nio mengerutkan kedua alisnya. "Tidak cukup? Apa yang kalian kehendaki, orang-orang yang tamak?" tanyanya, mulai kehilangan kesabarannya. "Jiwa seorang pengemis memang tidak ada harganya, akan tetapi kiranya sangat pantas untuk ditukar dengan sebatang jari tangan pembunuhnya. Serahkan jari telunjuk atau jari tengahmu dan kami akan pergi tanpa banyak tingkah lagi." Tentu saja Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan main. Disambarnya uang emas itu dan dia berkata, "Sekali bicara tidak biasa menarik kembali, sekali menyerahkan sumbangan tidak akan diambil kembali. Terimalah sumbangan ini kemudian pergilah!" Dan wanita itu melontarkan kepingan emas kepada si pengemis tua yang cepat menyambutnya karena lontaran itu kuat sekali. "Crottt...!" "Ihhh...!" Pengemis tua itu segera menyeringai kesakitan ketika telapak tangannya yang menyambut kepingan emas itu ditembusi oleh kepingan emas yang kini telah gepeng itu sehingga menembus ke punggung tangannya! Darah mengalir dari telapak dan punggung tangan, sedangkan kepingan uang emas itu terjatuh ke atas tanah! Dapat dibayangkan betapa nyerinya tangan yang ditembusi benda seperti itu, akan tetapi pengemis tua itu menahan rasa nyerinya lantas memandang kepada Kim Hong Liu-nio dengan melotot. Dua orang pengemis yang lainnya menjadi terkejut dan marah. Mereka lalu menggerakkan tongkat mereka hendak menyerang ke dalam. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio yang setelah melontarkan uang emas tadi lalu mengambil tim ikan emas dan makan ikan itu dengan enaknya, ketika melihat dua orang pengemis lainnya mulai menggerakkan tongkat, dia telah menoleh dan mulutnya menghardik, "Tidak lekas pergi?!" Ketika dia membentak itu, dari mulutnya yang kecil meluncur beberapa batang duri ikan emas yang menyambar dengan luar biasa cepatnya ke arah dua orang pengemis yang sedang menggerakkan tongkatnya itu. Dua orang kakek itu kaget bukan main, dan cepat berusaha untuk mengelak. Akan tetapi, jarak antara mereka dan wanita itu terlalu dekat, dan duri-duri itu merupakan benda ringan yang bergerak cepat bukan main tanpa suara, maka yang nampak hanya sinar berkelebat dan tahu-tahu mereka berdua merasakan wajah mereka sakit bukan main seperti ditusuk jarum, terutama di tepi mata mereka. Saat mereka meraba, ternyata bahwa beberapa batang duri ikan telah menancap sampai dalam di bawah bola mata, di pipi dan di hidung mereka sehingga terasa nyeri dan tidak dapat dicabut karena sudah masuk semua! Kedua orang kakek itu menggunakan tangan kiri menutupi mata mereka dan darah mulai menetes keluar dari beberapa tempat pada wajah mereka yang terkena duri ikan. Melihat hal ini, kakek yang tangannya ditembus uang emas itu maklum bahwa wanita itu terlampau lihai bagi mereka. Sejenak dia memandang tajam, kemudian menghela napas, memungut uang emas yang menembus lengannya tadi, memasukkannya di dalam saku, kemudian membalikkan tubuh dan menyentuh tangan seorang temannya dengan tongkat. Teman ini memegang tongkat itu, lalu dia juga menyentuh teman di belakangnya dengan tongkat. Kakek ke tiga juga memegang tongkat itu dan dengan saling tuntun karena yang dua orang tidak dapat membuka mata, mereka meninggalkan tempat itu dengan berjalan terseok-seok seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dengan mereka. Tidak banyak orang menyaksikan peristiwa aneh dan hebat ini. Akan tetapi, guru silat dan tiga orang piauwsu yang tadi menyapa kakek-kakek pengemis itu dapat melihat karena selain kebetulan mereka juga duduk di luar, juga mereka sejak tadi memperhatikan tiga orang kakek itu dan agaknya mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat maka mereka dapat menyaksikan semua itu. Setelah tiga orang kakek pengemis itu tak nampak lagi, laki-laki yang berpakaian seperti guru silat itu cepat bangkit dan menghampiri meja Han Houw dan Kim Hong Liu-nio. Sute dan suci ini bersiap-siap akan tetapi bersikap tenang-tenang saja. "Lihiap, kepandaian lihiap sungguh sangat tinggi. Akan tetapi sebaiknya lihiap cepat-cepat meninggalkan tempat ini karena mereka tadi merupakan tokoh-tokoh ke lima dari Hwa-i Kaipang dan sesudah peristiwa tadi, tentu tokoh-tokoh yang jauh lebih tinggi tingkatnya akan datang. Jumlah mereka banyak sekali, mereka berpengaruh besar dan dipimpin oleh orang-orang yang amat pandai, maka bila lihiap tak segera pergi, tentu akan menghadapi bencana!" Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang berhati keras, pemberani, dan tidak biasa dinasehati orang. Mendengar kata-kata orang itu, dia lalu mengangkat muka memandang. Orang itu terkejut bukan main menyaksikan wajah cantik itu dingin bukan main dan kedua mata wanita itu seperti ujung dua batang pedang yang hendak menusuknya, sehingga dia mundur selangkah. "Kami datang atau pergi sesuka hati kami, tidak ada setan pun yang boleh memaksa atau mencegah kami!" "Ahhh, maaf...!" Guru silat itu menjadi merah mukanya. "Kulihat tadi engkau adalah sahabat-sahabat dari tiga orang kakek pengemis itu, kenapa sekarang tiba-tiba saja memberi nasehat kepada kami?" tanya Kim Hong Liu-nio dengan suara yang nadanya menegur atau sebagai alasan akan sikapnya yang ketus tadi. "Ah, lihiap tidak tahu rupanya. Siapakah yang tak akan bersikap bersahabat dengan para tokoh Hwa-i Kaipang? Tadi menyaksikan kelihaian lihiap, maka saya merasa khawatir dan lancang bicara, akan tetapi saya telah cukup banyak berbicara dan maafkan kalau saya lancang menasehati lihiap." Guru silat itu lalu menjura dan kembali ke mejanya. Tak lama kemudian empat orang yang tidak terdengar bicara lagi itu meninggalkan restoran, agaknya mereka berempat merasa jeri setelah tadi guru silat itu menasehati Kim Hong Liu-nio. Wanita cantik ini tak mempedulikan mereka. Wataknya memang aneh dan hatinya keras dan dingin sekali, karena itu sikap guru silat tadi pun tak membuatnya merasa menyesal sama sekali. Dia beserta sute-nya melanjutkan makan minum seenaknya hingga mereka selesai. "Sute, kau lihat betapa banyak bahaya di kota raja dan betapa banyaknya orang pandai. Oleh karena itu, lebih baik kita sekarang juga pergi menghadap ke istana." "Akan tetapi, suci, mana bisa... kalau kaisar sedang menderita sakit..." "Kurasa malah lebih baik lagi, kita dapat menggunakan alasan untuk menengok. Biar pun kaisar, tetap saja beliau seorang manusia dan menengok orang yang sedang sakit adalah perbuatan yang layak, tentu lebih mudah bagi kita untuk memasuki istana." Han Houw tidak membantah lagi dan mereka lalu meninggalkan restoran, berkemas lalu berangkatlah mereka menuju ke istana kaisar yang tentu saja dapat mudah mereka cari di kota raja itu. Gentar juga rasa hati Kim Hong Liu-nio melihat keagungan dan kemegahan istana yang dikurung pagar tembok, dijaga ketat oleh pasukan pengawal yang sangat kuat. Dari balik pintu gerbang sudah nampak bangunan istana yang amat besar, megah dan indah, yang membayangkan keindahan, keagungan dan kekuasaan besar itu. Bukan hanya di pintu gerbang istana itu saja yang penuh dengan pasukan penjaga yang bersenjata lengkap dan melakukan penjagaan ketat, namun juga nampak berkilauannya senjata dan pakaian penjaga yang melakukan penjagaan di atas tembok, dan Kim Hong Liu-nio maklum bahwa makin ke dalam tentu istana itu makin dijaga dengan ketat oleh pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi. Oleh karena itu, hanya orang gila sajalah kiranya yang akan berani memasuki istana itu tanpa ijin. Betapa pun pandainya seseorang, kiranya tak mungkin akan dapat menembus penjagaan-penjagaan yang amat ketat itu, apa lagi kalau diingat bahwa di sebelah dalam lingkungan tembok istana itu tentu terdapat pengawal-pengawal yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya. Ketika para penjaga melihat ada seorang wanita cantik dan seorang pemuda tanggung, keduanya berpakaian mewah serta indah berhenti di pintu gerbang, tentu saja mereka menaruh perhatian dan sebentar saja suci dan sute itu telah dikurung oleh para penjaga! Pada waktu dengan sikap tenang dan suara halus Kim Hong Liu-nio menyatakan bahwa mereka hendak menghadap kaisar, tentu saja para penjaga itu menjadi curiga sekali dan juga terheran-heran sehingga keinginan itu ditolak dengan keras. "Ahhh, apakah dikira mudah saja hendak pergi menghadap kaisar?" kata kepala penjaga sambil memandang wajah cantik itu dengan tajam dan penuh selidik. "Jangankan selagi sri baginda menderita kaisar sakit dan tak boleh diganggu sama sekali, sedangkan andai kata beliau sedang sehat sekali pun, tak akan mudah memasuki istana menghadap beliau begitu saja tanpa tanda-tanda khusus untuk itu." "Kami adalah utusan dari utara, dari Sri Baginda Raja Sabutai!" berkata Kim Hong Liu-nio yang mulai merasa tidak sabar. Semua penjaga tertegun. Tentu saja mereka telah mendengar nama Raja Sabutai di utara yang pernah menggegerkan kota raja dengan penyerbuan-penyerbuannya itu. Akan tetapi tentu saja mereka pun tidak percaya bahwa raja besar yang ditakuti atau pernah ditakuti itu mengirim utusan berupa seorang wanita cantik dan seorang pemuda tanggung! "Toanio, tentu saja engkau boleh mengaku utusan dari mana pun, akan tetapi apa tanda-tandanya dan bagaimana kami bisa tahu bahwa kalian adalah utusan raja? Apakah kalian memiliki kenalan seorang pembesar di kota raja? Hanya dengan perantaraan pembesar yang memang mempunyai kekuasaan saja kami dapat mempercaya." "Suci, perlihatkan benda pemberian ibu itu," mendadak Han Houw berkata dalam bahasa Mongol kepada suci-nya. Dia pun merasa terhina dan tak senang. Katanya kaisar adalah ayah kandungnya, jadi dia adalah seorang pangeran, namun kini penjaga-penjaga biasa saja melarangnya untuk memasuki istana ayah kandungnya! Kim Hong Liu-nio mengerutkan kedua alisnya. "Harap kalian suka memanggil komandan pengawal agar kami dapat bicara dengan dia sendiri!" Pada waktu itu kaisar sedang sakit, semua penjaga mengalami suasana yang sunyi dan tertekan karena mereka tidak diperkenankan untuk bergembira seperti biasa. Suasana ini sangat menegangkan dan mencekam hati, membuat mereka menjadi muram dan mudah bercuriga. Akan tetapi melihat pakaian wanita dan pemuda tanggung itu, mereka menduga bahwa dua orang ini tentu bukan orang kang-ouw yang hendak menyelundup sebagai mata-mata atau hendak melakukan sesuatu yang tak baik terhadap kaisar. Betapa pun juga, mereka tidak kehilangan kewaspadaan dan setelah sekarang wanita cantik itu minta dihadapkan kepada komandan, salah seorang di antara mereka segera lari ke sebelah dalam untuk melaporkan kepada komandan jaga yang berada di dalam kantor. Komandan jaga itu adalah seorang perwira gemuk pendek dan amat galak, akan tetapi di samping kegalakannya ini, dia juga mempunyai watak mata keranjang. Ketika mendengar laporan bahwa ada seorang wanita cantik yang minta untuk menghadap kaisar, maka dia langsung menghampiri cermin, mengurut kumisnya lalu membereskan pakaiannya, baru kemudian bergegas keluar menuju ke pintu gerbang di mana dua orang tamu itu masih dikepung oleh anak buahnya. Cuping hidung perwira gemuk itu kembang-kempis ketika dia melihat bahwa wanita yang datang dan hendak bertemu dengan dia benar-benar adalah seorang wanita yang cantik manis sekali! Dia menyeringai, kemudian dengan suaranya yang sudah biasa menghardik dan membentak bawahannya dia berkata, "Minggir semua! Biarlah aku memeriksanya!" Para anak buah pasukan penjaga lalu minggir dan mundur menjauh. Perwira gendut itu menghampiri Kim Hong Liu-nio, matanya yang berminyak itu mengamati wajah wanita itu, kemudian sinar matanya meraba-raba dari atas ke bawah seperti hendak menggerayangi wajah dan tubuh yang padat di balik pakaian yang mewah itu. Menyaksikan sikap ini saja, diam-diam Kim Hong Liu-nio telah merasa mendongkol bukan main. Akan tetapi dia segera maklum bahwa di tempat ini dia harus sanggup menahan kesabarannya dan tidak boleh menimbulkan keributan. Maka dia segera berkata, "Ciangkun, kami berdua adalah utusan dari utara, dari Raja Sabutai untuk menghadap sri baginda kaisar." Perwira itu agaknya baru sadar bahwa wanita itu baru saja mengajak dia bicara. Tadi dia memandang seperti orang terpesona karena memang dia tertarik sekali oleh kecantikan wanita itu. "Apa? Ahh, menghadap sri baginda kaisar? Mana bisa, beliau sedang sakit dan..." "Justru karena mendengar beliau sedang sakit maka Sri Baginda Raja Sabutai mengutus kami untuk menengok dan melihat keadaan sri baginda kaisar," jawab Kim Hong Liu-nio cepat-cepat. Perwira itu berpikir sejenak, lalu dia berkata, "Hal ini tidak dapat dilakukan secara begitu mudah dan sembarangan. Akan saya laporkan dulu ke dalam, kepada kepala pengawal dan sementara itu kalian harus menunggu di dalam kantorku untuk pemeriksaan. Kalian harus diperiksa." "Diperiksa?" Kim Hong Liu-nio bertanya. "Ya, diperiksa kalau-kalau kalian membawa senjata. Aku sendiri yang harus memeriksa, karena setiap orang yang ingin memasuki istana tanpa ada surat ijin atau surat perintah resmi, harus dicurigai dan diperiksa." "Akan tetapi, aku tidak membawa senjata dan dia ini... tentu saja dia membawa pedang karena dia adalah seorang pangeran, dia putera Sri Baginda Raja Sabutai!" Agaknya perwira itu tidak percaya dengan keterangan ini, akan tetapi karena pikirannya sudah membayangkan betapa dia akan 'memeriksa' atau menggeledah tubuh wanita ini untuk mencari senjata, padahal tentu saja maksudnya supaya memperoleh kesempatan untuk menggerayangi tubuhnya dengan kedua tangannya dan kalau mungkin, siapa tahu, membujuk wanita itu agar suka melayaninya di kamar kantornya, maka dia tidak begitu menaruh perhatian. "Pangeran atau bukan, harus diperiksa dulu. Marilah, nona, mari ikut bersamaku ke dalam kantorku untuk digeledah, baru aku akan melaporkan ke dalam untuk melihat keputusan apakah kalian bisa diperkenankan masuk ataukah tidak." Sambil berkata demikian, tanpa ragu-ragu lagi perwira itu lalu mengulurkan tangan hendak menggandeng tangan yang kecil halus berkulit putih itu. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang selama hidupnya belum pernah bermesraan dengan pria, belum pernah disentuh oleh pria, maka melihat dia mengulurkan tangan hendak menggandeng, hampir saja tangannya bergerak membunuh perwira itu dengan sekali pukul. Untung bahwa dia masih teringat dan cepat dia menarik tangannya sehingga pegangan perwita itu luput dan Kim Hong Liu-nio cepat melangkah mundur sambil mengerutkan alisnya. "Ciangkun, kami adalah orang-orang terhormat yang tidak selayaknya digeledah. Kalau memang engkau hendak melaporkan keadaan kami ke dalam istana, silakan, kami akan menunggu di sini!" kata Kim Hong Liu-nio dengan suara tegas. "Hemm, tidak bisa! Kalian harus kugeledah. Mari, kalian ikutlah aku memasuki kantorku." Melihat sikap keras ini, Kim Hong Liu-nio menjadi semakin marah. "Kalau kami tidak sudi digeledah?" "Hemm, kalau begitu kalian harus ditahan!" "Bagus! Dengan tuduhan apa pula?" "Tuduhan bahwa kalian mungkin sekali mata-mata musuh!" Hampir saja Kini Hong Liu-nio tidak dapat menahan lagi kesabarannya, akan tetapi pada saat itu pula muncul seorang laki-laki berpakaian panglima yang datang dari dalam istana dengan langkah kaki tergesa-gesa. Panglima ini adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian sebagai panglima yang gagah, sikapnya gagah dan berwajah jantan. Kedua matanya yang lebar itu berpandangan tajam dan jujur, tubuhnya tinggi besar tegap dan kelihatan jelas bahwa dia memiliki tenaga yang besar. Seorang panglima yang benar-benar gagah perkasa, perutnya kecil, dadanya bidang, tidak seperti kebanyakan panglima yang perutnya besar-besar. Semua orang, juga termasuk perwira pendek gemuk, cepat bersiap dan memberi hormat kepada panglima yang baru keluar ini. Panglima itu membalas penghormatan mereka dan ketika dia melihat wanita cantik berpakaian indah dan seorang pemuda tanggung berdiri di situ, dia lantas tercengang. Apa lagi ketika dia menatap wajah Han Houw, dia kelihatan terkejut dan cepat dia bertanya, "Apakah yang terjadi di sini? Siapakah adanya nona dan orang muda ini?" Si perwira tadi cepat-cepat menjawab, "Mereka ini adalah orang-orang mencurigakan yang katanya hendak mohon menghadap sri baginda kaisar." Panglima itu kelihatan kaget dan sekarang kembali dia memandang dua orang itu penuh perhatian, sambil dia bertanya kepada perwira gendut. "Dan kau sudah melaporkannya ke kantor pengawal di dalam?" "Be... belum..." "Kenapa belum?!" panglima itu menghardik. "Karena... karena... saya curiga dan hendak menggeledah mereka dulu..." Panglima itu tampak marah. Dia pernah mendengar dan sudah tahu praktek-praktek kotor yang dilaksanakan oleh para penjaga pintu gerbang, gangguan-gangguan terhadap wanita cantik, uang-uang sogokan bagi mereka yang ingin masuk, dan sebagainya. Akan tetapi sebelum dia memperlihatkan kemarahannya kepada perwira gendut itu, Kim Hong Liu-nio yang melihat sikap panglima ini segera melangkah maju. "Ciangkun, kami berdua datang dari utara, saya adalah utusan dari Sri Baginda Sabutai..." "Ahhh...!" Panglima itu terkejut sekali. "Dan dia ini adalah pangeran dari kerajaan kami." Makin kagetlah panglima itu dan cepat dia menjura. "Maafkan kami dan maafkan sikap para penjaga kami," dia mengerling penuh kemarahan kepada perwira gendut yang cepat melangkah mundur dengan sikap jeri. "Akan tetapi, hendaknya nona dapat memahami peraturan kami bahwa yang hendak memasuki istana harus memiliki tanda pengenal diri yang sah. Nona sebagai utusan tentu saja membawa tanda kuasa atau surat perintah dari Raja Sabutai sebagai utusan beliau." "Ciangkun, kami berdua hanya membawa ini, yang memberikan adalah sang permaisuri dari kerajaan kami sendiri." Kim Hong Liu-nio mengeluarkan kotak kecil dan membuka tutupnya dengan sikap hormat. Ketika panglima itu melihat sebuah kalung di dalamnya serta sesampul surat, dia makin terkejut. Tentu saja dia mengenal benda pusaka kerajaan itu, kalung kaisar yang tak ada ke duanya! Dan pembawa atau pemegang benda pusaka ini berarti sudah mendapatkan kekuasaan dari sri baginda kaisar sendiri! cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Maka dia cepat-cepat memberi hormat, kemudian untuk kedua kalinya dia melirik penuh kemarahan kepada perwira gendut yang menjadi pucat mukanya. "Saya panglima pengawal Lee Siang menghaturkan selamat datang dan memohon maaf sebesarnya atas penyambutan yang tidak layak ini karena kami tidak tahu sebelumnya akan kedatangan paduka. Silakan masuk bersama saya untuk melapor kepada pengawal dalam istana." Kim Hong Liu-nio tersenyum dan Ceng Han Houw juga bernapas lega. Dengan muka manis wanita itu menghaturkan terima kasih kepada panglima yang gagah itu, kemudian bersama sute-nya dia melangkah masuk diiringkan oleh panglima itu. Panglima itu bukan orang sembarangan, melainkan seorang kepercayaan kaisar karena dia bersama kakaknya yang bernama Lee Cin, semenjak muda sudah menjadi panglima pengawal Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Baju Emas). Dalam usia empat puluh tahun itu, Panglima Lee Siang telah menjadi duda, kematian isterinya tanpa meninggalkan seorang pun anak keturunan. Dan biar pun isterinya telah meninggal lima tahun yang lalu, sampai sekarang dia belum juga mau beristeri lagi. Kim Hong Liu-nio melihat betapa penjagaan amat ketat, makin ke dalam istana, semakin hebat dan kuatlah penjagaannya sehingga sepasukan besar musuh pun tentu akan sukar menembus istana yang dijaga kuat ini. Dia tidak tahu bahwa hal ini berbeda dari biasanya. Dia tidak tahu pula bahwa di dalam istana terjadi ketegangan-ketegangan, bukan hanya karena kaisar menderita penyakit yang cukup berat, akan tetapi terutama sekali karena adanya desas-desus bahwa akan timbul pemberontakan di dalam istana! Karena itulah, maka para panglima pengawal, juga termasuk Lee Siang dan kakaknya, Lee Cin, selalu kelihatan sibuk mengatur penjagaan untuk mencegah terlaksananya desas-desus tentang pemberotakan itu. Panglima Lee Siang mengajak mereka berhenti sebentar di ruangan dalam yang luas, di mana berkumpul beberapa orang berpakaian panglima yang sudah berusia tua, dan ada pula yang berpakaian sebagai pembesar sipil. Akan tetapi semuanya menunjukkan bahwa mereka itu adalah pembesar-pembesar tinggi. Kim Hong Liu-nio dan Han Houw hanya berdiri di tempat agak jauh ketika mereka melihat betapa Panglima Lee Siang bercakap-cakap lirih dengan mereka itu, memperlihatkan isi kotak kecil dan mereka itu pun kelihatan terkejut dan tegang. Mereka semua memandang kepada Han Houw dan akhirnya Panglima Lee Siang mengajak mereka berdua untuk melanjutkan lagi perjalanan melewati lorong-lorong dan ruangan-ruangan indah, agaknya telah memperoleh persetujuan para pembesar itu. Ceng Han Houw menjadi kagum bukan main melihat kemewahan dan keindahan di dalam istana ini. Bukan main besarnya istana itu, dan di setiap ruangan terdapat perabot-perabot ruangan yang sangat indah dan megah. Pada setiap ruangan atau lorong tentu terdapat pengawal-pengawal yang berjaga dengan berdiri tegak dan sikap waspada, dan di sana sini terdapat pula dayang-dayang istana yang cantik-cantik, sutera-sutera beraneka warna bergantungan di mana-mana dan tak nampak sedikit pun debu di dalam ruangan-ruangan itu. Akhirnya tibalah mereka di depan sebuah kamar besar dan kembali di depan kamar ini terdapat sepasukan pengawal yang sangat gagah karena pakaian mereka semua terdiri dari baju bersulam benang emas. Inilah pasukan Kim-i-wi yang sangat terkenal, pasukan pengawal pribadi kaisar yang terdiri dari orang-orang yang gagah perkasa. Pada saat melihat dua orang ini dikawal oleh panglima mereka sendiri, para pengawal itu cepat memberi hormat dan memberi jalan. Dua orang dayang cantik membukakan pintu dan Panglima Lee mengawal dua orang tamu itu memasuki kamar. Kamar itu indah sekali dan sangat luas. Kaisar nampak rebah terlentang dengan bantal tinggi mengganjal kepala dan punggungnya, wajahnya pucat akan tetapi sikapnya tenang. Banyak orang berlutut di atas lantai menghadap ke pembaringan sri baginda, terdapat beberapa orang laki-laki tua berpakaian sipil, ada juga yang berpakaian panglima, dan ada pula seorang laki-laki muda berpakaian mewah. Pemuda ini adalah Pangeran Ceng Su Liat, salah seorang di antara pangeran-pangeran yang ada di kerajaan itu. Juga di dalam kamar besar ini ada sembilan orang pengawal yang selalu memegang tombak di tangan, siap untuk melindungi kaisar bila mana terjadi sesuatu. Dayang-dayang cantik dan muda berkumpul di sudut, siap melaksanakan segala perintah kaisar. Suasana dalam ruangan itu sunyi dan agaknya semua orang tidak berani bergerak karena kaisar sedang beristirahat. Akan tetapi kaisar tidak tidur karena ketika melihat masuknya Kim Hong Liu-nio bersama Ceng Han Houw yang dikawal oleh Panglima Lee Siang, sri baginda kaisar mengangkat muka memandang. Begitu memasuki pintu, Lee Siang langsung mengajak dua orang itu berlutut, kemudian menggeser kaki mendekat ke pembaringan. Akan tetapi sejak tadi, perhatian kaisar telah tercurah kepada Han Houw yang beberapa kali mengangkat muka dan memandang, akan tetapi begitu bertemu dengan pandangan kaisar, dia segera menunduk kembali. Keadaan yang sangat angker di dalam kamar itu membuat jantung berdebar tegang juga. Segala sesuatu di dalam kamar itu penuh wibawa yang menakutkan! "Mohon beribu ampun dari paduka sri baginda kaisar atas kelancangan hamba mengawal masuk dua orang utusan dari Sri Baginda Sabutai yang mohon menghadap," Panglima Lee Siang berkata dengan suara halus agar tidak mengejutkan kaisar. Akan tetapi kaisar yang semenjak tadi memperhatikan Han Houw, menjadi tertarik sekali mendengar disebutnya nama Sabutai, dan kaisar segera miringkan tubuhnya menghadapi Han Houw yang masih berlutut. "Utusan Sabutai...?" Kim Hong Liu-nio cepat memberi hormat lalu mengeluarkan kotak itu, mengangkatnya tinggi di atas kepala sambil berkata dengan kepala menunduk. "Hamba Kim Hong Liu-nio diutus oleh yang mulia Permasuri Khamila agar menghaturkan isi kotak ini kepada paduka yang mulia sri baginda kaisar!" "Kha... Khamila...?" Kaisar terbelalak dan wajahnya berseri sejenak, lalu dia mengangguk kepada panglima pengawal lain yang sudah berusia enam puluh tahun dan yang berlutut di dekat pembaringan. Panglima ini adalah panglima pengawal Lee Cin yang setia. Panglima ini lalu melangkah menghampiri Kim Hong Liu-nio, menerima kotak itu lantas membukanya untuk meneliti bahwa isinya tidak mengandung sesuatu yang membahayakan kaisar. Sesudah melihat bahwa kalung dan sampul surat itu tidak mengadung sesuatu dan yang mencurigakan, dia baru menyerahkan kotak yang sudah dibukanya itu kepada kaisar. Kaisar mengambil kalung dan sampul surat itu. Kaisar Ceng Tung yang oleh dua orang dayang dibantu duduk sambil bersandar dengan bantal pada punggungnya, sejenak memandang kalung itu. Wajahnya termenung karena memang kaisar ini terkenang akan Khamila, permaisuri Sabutai yang menjadi kekasihnya, wanita yang sesungguhnya berkenan merampas hatinya dan amat dicintanya. Dia teringat bahwa dia telah memberikan kalung itu kepada Khamila pada waktu mereka harus saling berpisah. Dibelainya kalung itu di antara jari-jemari tangannya, kalung yang dia percaya selama ini tentu telah tergantung di leher yang panjang, berkulit putih halus dan amat dikenalnya itu. Kemudian kaisar teringat bahwa dia tidak berada seorang diri di dalam kamar itu, maka kalung itu pun digenggamnya erat-erat dan dia lalu membuka sampul surat dan dibacanya huruf-huruf tulisan Khamila! Sri Baginda Kaisar Ceng Tung pujaan hamba! Perkenankanlah hamba untuk memperkenalkan anak Ceng Han Houw kepada paduka, dan sudilah paduka memberkahi anak yang haus akan doa restu serta kasih sayang ayahandanya itu. Hamba yang rendah, Khamila Kaisar Ceng Tung memejamkan matanya dan surat itu terlepas dari jari-jari tangannya, melayang turun ke atas dadanya. Untuk sejenak terbayang wajah yang cantik jelita dan lembut, terngiang-ngiang di telinganya suara yang merdu halus itu. Kemudian dia kembali membuka mata dan menoleh. Sepasang mata kaisar itu agak basah saat dia memandang kepada Han Houw. "Namamu Han Houw...?" tanyanya. Ceng Han Houw terkejut, cepat dia memberi hormat sampai dahinya membentur lantai. "Kau angkat mukamu dan pandang padaku!" kata kaisar dengan halus. Han Houw mengangkat mukanya memandang dan dia melihat wajah seorang yang amat tampan dan pucat, yang memandang kepadanya dengan penuh perasaan haru. "Majulah ke sini!" perintah kaisar. Ceng Han Houw merasa takut, akan tetapi dari belakangnya, suci-nya segera berbisik, "Majulah...!" Dia lalu menggeser kakinya maju menghampiri pembaringan. Kaisar lalu menggerakkan tangannya, menyentuh kepala anak laki-laki yang usianya sudah hampir dewasa itu, lalu dia mengambil kalung pusaka kerajaan itu dan mengalungkan ke leher Han Houw. Semua orang terkejut melihat ini, karena kalung itu adalah benda yang biasanya hanya dipakai oleh para pangeran sebagai tanda bahwa dia adalah keturunan darah keluarga kaisar! "Ketahuilah kalian semua yang hadir di sini. Ini adalah Ceng Han Houw, Pangeran Ceng Han Houw, seorang puteraku! Ibunya adalah puteri yang mulia dari utara, hendaknya dia diperlakukan sebagai seorang pangeran, sebagai puteraku!" Semua orang menyatakan setuju dan memberi hormat dengan berlutut. Pada waktu itu, dari pintu muncul pula seorang pemuda dan ketika Kim Hong Liu-nio menoleh, dia terkejut bukan kepalang. Pemuda yang baru muncul ini bagaikan pinang dibelah dua saja apa bila dibandingkan dengan sute-nya. Wajah mereka begitu mirip! "Pangeran mahkota datang menghadap sri baginda!" seorang dayang memberi tahukan dengan suara halus. Kaisar mengangkat muka dan Panglima Lee Siang lalu menarik tangan Han Houw agar mundur dan bersama Kim Hong Liu-nio berlutut di pinggir untuk memberi jalan kepada pangeran mahkota yang baru tiba. Pangeran muda ini bukan lain adalah Pangeran Ceng Hwa, yaitu pangeran yang telah dipilih untuk menjadi pangeran mahkota, calon pengganti kaisar! Tentu saja semua orang menghormat calon kaisar ini. Dengan sikap tenang Pangeran Ceng Hwa melangkah maju menghampiri pembaringan ayahnya setelah dia melempar kerling ke kanan kiri dan tersenyum kepada semua orang yang amat dikenalnya dengan baik sebagai orang-orang yang dekat dengan ayahnya itu. Hanya dia agak heran ketika melihat Han Houw dan Kim Hong Liu-nio, akan tetapi dia tidak menyatakan keheranannya dan langsung menghampiri pembaringan ayahnya, lalu duduk di tepi pembaringan. "Semoga Thian senantiasa memberkahi ayahanda kaisar dengan kebahagiaan dan usia panjang hingga selaksa tahun," kata pangeran itu dengan ucapan yang sungguh-sungguh dan penuh hormat, ucapan yang menjadi kebiasaan atau kesopanan di dalam istana. Kaisar tersenyum mendengar kata-kata ini dan dengan tangannya dia menyentuh pundak puteranya yang disayangnya itu seolah-olah menjadi pengganti rasa terima kasihnya. "Bagaimanakah keadaan paduka? Semoga sudah lebih baik," kata sang pangeran. "Aku gembira hari ini!" sang kaisar berkata. "Lihat, dia itu adalah saudaramu! Dia adalah Ceng Han Houw, ibunya adalah seorang puteri di utara!" Ceng Hwa bangkit berdiri dan memandang. Pada saat itu, Han Houw juga mengangkat muka memandang sehingga kini semua orang dapat melihat betapa miripnya dua orang pangeran ini! Agaknya sri baginda sendiri melihat kemiripan ini, maka dia tersenyum lebar dan berseru dengan girang, "Betapa miripnya kalian! Ahhh... sungguh mirip seperti kembar...!" Agaknya kegembiraan itu sedemikian besarnya sehingga tidak dapat tertahan oleh jantung yang telah lemah itu. Sri baginda kaisar terguling dan dari keadaan duduk itu dia terguling. Cepat Pangeran Mahkota Ceng Hwa merangkul ayahnya dan pada saat itu pula terjadilah hal-hal luar biasa yang mengejutkan semua orang. Pada saat kaisar terguling dan dipeluk oleh Pangeran Ceng Hwa itu, melompatlah seorang yang berpakaian panglima, berusia lima puluh tahun, dengan muka penuh brewok. Panglima itu berseru, "Sekarang...!" Dan dengan pedang yang sudah dicabutnya dia segera menubruk ke depan, menyerang Pangeran Mahkota Ceng Hwa dengan tusukan pedangnya dari belakang! Semua orang terperanjat dan saking kagetnya sampai tidak mampu berbuat sesuatu. Akan tetapi pada saat itu, Ceng Han Houw sudah berteriak nyaring dan tubuhnya langsung mencelat ke depan, menerjang kepada panglima yang menyerang pangeran mahkota itu! Dengan tangkisan nekat, Han Houw mengejutkan panglima tua itu sehingga pedangnya menyeleweng dan melukai lengan kiri Han Houw lalu terus meluncur dan melukai pundak kanan pangeran mahkota! Dan pada saat itu pula, Kim Hong Liu-nio telah bergerak dan nampaklah sinar merah meluncur dan menyerang panglima itu ketika dia menggerakkan sabuk merahnya! Pada saat itu pula tujuh di antara sembilan orang pengawal pribadi kaisar telah bergerak, tombak mereka berkelebatan dan mereka mulai menyerang ke arah pangeran mahkota dan kaisar yang masih berpelukan di atas pembaringan! Akan tetapi Han Houw sudah menerjang dan menyambut mereka dengan pedangnya dan pemuda cilik ini mengamuk dengan hebatnya, sedangkan di fihak lain Kim Hong Liu-nio sudah mendesak sang panglima pemberontak dengan sabuk merahnya. Barulah para panglima beserta pembesar yang berada di sana menjadi geger dan sadar bahwa telah terjadi pemberontakan. Ternyata pemberontakan yang didesas-desuskan itu, yang kemudian hendak dicegah dengan penjagaan ketat, tidak datang dari luar, melainkan dari dalam, bahkan komplotan pemberontak itu telah berkumpul di dalam kamar kaisar! Panglima Lee Cin dan Lee Siang cepat bergerak pula membantu Han Houw menghadapi tujuh orang pengawal pemberontak. Dengan adanya Kim Hong Liu-nio di situ, bersama juga Han Houw yang biar pun lengan kirinya sudah terluka namun masih mengamuk dan sebentar saja dia sudah merobohkan dua orang pengawal pemberontak, maka akhirnya pemberontak itu dapat dihancurkan sebelum menjalar keluar. Dengan sabuk suteranya, Kim Hong Liu-nio berhasil menotok leher dan sepasang lengan panglima pemberontak sehingga panglima itu roboh pingsan sedangkan Han Houw yang dibantu oleh dua orang Panglima Lee telah dapat menewaskan tujuh orang pengawal itu. "Jangan bunuh panglima khianat itu!" kata Panglima Lee Siang kepada Kim Hong Liu-nio maka wanita ini pun tidak bergerak untuk membunuhnya. Dia tahu bahwa tentu panglima pemberontak ini akan dipaksa mengaku siapa penggerak pemberontakan. Akan tetapi, mendadak terdengar jerit mengerikan dan orang muda yang sejak tadi sudah berada di situ, yaitu Pangeran Ceng Su Kiat, sudah roboh dengan dada tertusuk pedang pendek yang dipegang oleh tangan kanannya. Kiranya pangeran ini telah membunuh diri di situ setelah melihat betapa usaha pemberontakan itu gagal! Semua mayat dan panglima yang tertawan itu sudah dibawa keluar dengan cepat, lantas tempat itu dibersihkan. Akan tetapi sri baginda kaisar minta dipindahkan ke kamar lain, mengajak pangeran mahkota yang sudah diobati pundaknya, Han Houw yang juga telah dibalut lengannya, dan ditemani pula oleh Kim Hong Liu-nio, Panglima Lee Siang beserta para panglima lain. Di dalam kamar ini sri baginda kaisar dan pangeran mahkota menyatakan kekaguman dan terima kasih mereka kepada Ceng Han Houw dan Kim Hong Liu-nio, karena harus diakui bahwa kalau tadi tidak ada mereka, keadaan pangeran dan kaisar sungguh bisa terancam bahaya maut. Apa lagi Pangeran Ceng Hwa, dia tahu betul bahwa serangan tiba-tiba dari panglima tadi tentu akan menewaskannya kalau di sana tidak ada Han Houw yang cepat menangkis dengan mengorbankan lengannya sendiri sehingga terluka itu. Panglima pemberontak yang tentu saja dijatuhi hukuman mati itu, sebelum tewas sudah mengakui bahwa pemberontakan itu diatur oleh Pangeran Ceng Su Liat. Sesungguhnya bukan merupakan pemberontakan umum yang besar-besaran, namun hanya merupakan niat untuk membunuh pangeran mahkota supaya Pangeran Ceng Su Liat memperoleh kesempatan untuk menggantikan pangeran mahkota kalau pangeran ini tewas. Maka tadi ketika melihat sri baginda kaisar terguling karena serangan jantung, panglima pengkhianat itu menyangka bahwa sri baginda telah meninggal dunia, maka dia melihat kesempatan bagus sekali untuk turun tangan, sesuai dengan perintah Pangeran Ceng Su Liat yang menjanjikan pengampunan bahkan kedudukan tinggi apa bila usaha itu berhasil! Tentu saja Ceng Han Houw serta Kim Hong Liu-nio menjadi orang-orang yang berjasa besar di dalam istana kaisar! Mereka menjadi orang-orang terhormat yang dikagumi, dan karena Ceng Han Houw sudah diumumkan oleh kaisar sendiri sebagai pangeran, maka tentu saja di mana-mana dia diterima dengan terhormat. Ada pun Kim Hong Liu-nio yang dikenal sebagai pengasuh sekaligus pengawalnya, juga dikagumi orang karena di samping cantik jelita dan bersikap agung pendiam, juga semua orang kagum bahwa wanita cantik ini mampu menundukkan seorang yang telah demikian terkenal sebagai seorang panglima yang pandai ilmu silat seperti Panglima Boan yang membantu pemberontakan atau pengkhianatan Pangeran Ceng Su Liat itu. Akan tetapi, peristiwa di dalam kamar kaisar itu membuat penyakit yang diderita kaisar menjadi makin berat. Perbuatan puteranya sendiri yang hampir saja membunuh pangeran mahkota dan dia sendiri, mendatangkan kedukaan yang sangat hebat sehingga sesudah menderita serangan jantung berkali-kali, akhirnya sebulan kemudian Kaisar Ceng Tung meninggal dunia! Seluruh istana berkabung, bahkan seluruh rakyat diharuskan untuk berkabung. Sesudah ikut hadir dalam pemakaman kaisar dan turut pula berkabung, Han Houw yang merasa kehilangan ayah kandungnya kemudian merasa bahwa tidak ada perlunya lagi baginya untuk lebih lama tinggal di istana Kerajaan Beng. Juga suci-nya membujuk kepadanya untuk segera berpamit dan kembali ke utara, karena suci-nya selalu merasa tidak enak hati bila teringat akan ancaman orang-orang kang-ouw kepadanya, seperti yang telah terjadi sebelum mereka memasuki istana, yaitu pada saat mereka bertemu dengan tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang. Han Houw lalu menghadap Pangeran Ceng Hwa untuk mohon diri pulang ke utara. akan tetapi Pangeran Ceng Hwa menahannya. Pangeran ini merasa suka sekali kepada Han Houw, yang biar pun hanya seorang pangeran kelahiran utara, di daerah setengah liar itu, tapi ternyata tak mengecewakan menjadi seorang Pangeran Beng, karena selain pandai ilmu silat, juga pangeran muda ini cukup luas pengetahuannya yang didapatkannya dari kitab-kitab yang dia pelajari di utara. Pangeran Ceng Hwa menahan Han Houw agar suka tinggal di kota raja hingga hari penobatannya sebagai kaisar pengganti ayah mereka yang telah meninggal dunia. "Sebaiknya biar Kim Hong Liu-nio kembali lebih dulu ke utara untuk memberi laporan dan menyampaikan undangan kami kepada Raja Sabutal untuk menghadiri hari penobatan kami sebagai kaisar." demikian Pangeran Ceng Hwa berkata. Akhirnya diputuskan bahwa Kim Hong Liu-nio akan kembali dulu ke utara dan Ceng Han Houw untuk sementara tinggal di istana. Kim Hong Liu-nio tidak merasa keberatan karena keamanan sute-nya itu tentu saja akan terjamin selama berada di dalam istana Kerajaan Beng. Maka berpamitlah dia dan berangkatlah wanita perkasa yang cantik jelita itu keluar dari istana, di mana dia telah hidup terhormat sampai lebih dari satu bulan lamanya. Kita tinggalkan dulu keadaan Ceng Han Houw yang masih tinggal di istana, dan Kim Hong Liu-nio yang melakukan perjalanan kembali ke utara, dan mari kita menengok keadaan Sin Liong untuk memperlancar jalannya cerita. Seperti kita ketahui, Sin Liong kini tinggal di rumah Na-piauwsu, yaitu Na Ceng Han yang gagah perkasa dan ramah sekali itu. Pada waktu itu, tanpa terasa lagi, Sin Liong sudah hampir satu tahun tinggal di dalam rumah keluarga Na. Setiap hari dia berlatih ilmu silat dari Na Ceng Han, bersama-sama dengan Na Tiong Pek dan Bhe Bi Cu. Dia bersahabat akrab sekali dengan dua orang yang disebut sumoi dan suheng itu. Usia Sin Liong kini sudah empat belas tahun, sebaya dengan Tiong Pek, sedangkan Bi Cu telah berusia dua belas tahun. Bi Cu memang manis sekali. Biar pun usianya baru dua belas tahun, namun jelas nampak sudah bahwa dia merupakan seorang dara yang sangat manis. Dan Sin Liong juga dapat melihat betapa Tiong Pek selalu bersikap manis kepada Bi Cu, agak berlebihan malah, membuktikan bahwa pemuda tanggung itu agaknya amat menyukai dan mencinta sumoi mereka! Bahkan kadang kala nampak Tiong Pek bermanis-manis muka, membujuk rayu, sehingga kalau melihat hal ini, Sin Liong cepat menjauhkan diri karena dia merasa malu sendiri. Diakuinya bahwa Tiong Pek amat ramah dan baik, akan tetapi dia melihat bahwa sikap Tiong Pek kepada Bi Cu agaknya terlalu mendesak dan selalu mencoba untuk mengambil hati anak perempuan itu. Dan dia melihat betapa Bi Cu selalu bersikap hormat dan manis kepada Tiong Pek, bahkan demikianlah sikap Bi Cu kepada seisi rumah keluarga Na. Hal ini dapat dimengerti oleh Sin Liong karena tentu dara kecil itu merasa betapa dia adalah seorang yang menumpang hidup di dalam rumah keluarga Na! Diam-diam Sin Liong merasa kasihan kepada anak perempuan ini karena merasa betapa mereka berdua mempunyai nasib yang hampir mirip. Memang benar bahwa dia tidak seperti Bi Cu, hanya ditinggal mati ibu dan masih mempunyai seorang ayah, akan tetapi dia tidak tahu di mana ayahnya berada dan selamanya belum pernah bertemu dengan ayahnya, sehingga dibandingkan dengan Bi Cu yang kematian ayahnya, agaknya tidaklah begitu banyak bedanya. Pada suatu hari, Sin Liong yang sudah selesai melakukan pekerjaan sehari-hari di rumah itu, ingin sekali berlatih silat dan dia lalu mencari-cari dua orang suheng dan sumoi-nya itu. Rumah itu nampak kosong karena keluarga wanita sibuk di belakang, di dapur, ada pun Na-piauwsu sedang pergi ke luar kota untuk mengawal sendiri barang kiriman yang penting. Maka rumah itu kelihatan sunyi. Sin Liong merasa heran kenapa suheng dan sumoi-nya itu tidak nampak. Padahal, tadi mereka masih kelihatan di ruangan depan. Dia tidak berani memanggil-manggil, karena takut menimbulkan bising dan mengganggu seorang bibi keluarga yang tidur di kamarnya karena bibi tua ini sedang tidak enak badan. Maka dia terus mencari dan akhirnya dia pergi mencari ke kamar Bi Cu. Ketika dia tiba di luar kamar itu, dia mendengar sesuatu di dalam kamar. Dia mendekati pintu kamar dan mendengarkan. "Jangan... suheng...," terdengar Bi Cu berkata lirih sambil menahan tangis. "Sumoi, mengapa engkau tidak mau bersikap manis kepadaku? Kurang baik apakah aku kepadamu? Kurang banyakkah budi yang dilimpahkan oleh kami sekeluarga kepadamu?" Terdengar Bi Cu terisak. "Aku berterima kasih... uh-uhhh... aku berterima kasih kepada kalian... tapi... tapi..." "Aku tak akan mengganggumu, aku tak ingin menyakitimu, aku hanya ingin engkau tahu bahwa aku suka sekali kepadamu, sumoi..." Sin Liong tidak dapat menahan lagi ketegangan hatinya dan dia mendorong pintu kamar itu dengan keras. Dia melihat Tiong Pek sedang memegangi kedua tangan Bi Cu dan hendak memaksa untuk merangkul dara cilik itu, sedangkan Bi Cu terlihat menolak halus. Mereka bersitegang sampai Bi Cu jatuh berlutut di atas lantai dan Tiong Pek berusaha untuk mendekatkan mukanya, untuk mencium wajah yang manis akan tetapi agak pucat ketakutan itu. "Tiong Pek!" Sin Liong membentak dan mencengkeram baju pundak Tiong Pek sambil menariknya ke belakang. Memang Sin Liong tidak pernah menyebut suheng dan sumoi kepada Tiong Pek dan Bi Cu, karena memang dia tidak dianggap sebagai murid oleh Na Ceng Han, sungguh pun dia dilatih ilmu silat dan dia selalu berlatih bersama dengan dua orang anak itu. Mereka bertiga itu seperti teman-teman baik, bukan seperti kakak beradik seperguruan. Tiong Pek terkejut sekali dan segera menengok dengan alis berkerut. Dia melepaskan kedua lengan tangan Bi Cu yang tadi dipegangnya, kemudian dia menggerakkan tangan kanannya menangkis ke belakang. "Dukkk!" Tangan itu menyampok tangan Sin Liong yang mencengkeram baju pundaknya sehingga terlepas dan bajunya robek. Tiong Pek meloncat bangun dan berdiri dengan muka merah menandakan bahwa dia marah bukan main. Akan tetapi Sin Liong juga sudah menentang pandang matanya dengan bengis. "Sin Liong!" Tiong Pek berseru marah sekali. "Engkau berani lancang mencampuri urusan orang lain? Sungguh tidak tahu malu engkau hendak menghalangi cinta orang? Apakah engkau merasa iri hati?" Diserang dengan kata-kata seperti itu, tiba-tiba saja muka Sin Liong menjadi merah dan dia menjadi bingung. "Akan tetapi kau... kau..." Sukar baginya untuk melanjutkan karena hatinya masih menilai-nilai apakah artinya perbuatan yang dilakukan Tiong Pek terhadap Bi Cu tadi. "Aku cinta kepada Bi Cu sumoi, kau mau apa? Aku siap untuk bertanding melawan siapa pun juga untuk memperebutkan sumoi! Hayo, apakah kau hendak memperebutkan sumoi dengan aku?" Pemuda tanggung itu mengepal tinju dan siap untuk berkelahi! Sin Liong menjadi semakin bingung. Kalau tadi dia bersikap kasar terhadap Tiong Pek adalah akibat dia melihat seolah-olah Tiong Pek hendak melakukan pemaksaan terhadap Bi Cu, akan tetapi sekarang dia menjadi bingung ketika ditantang dan ditanya apakah dia hendak memperebutkan Bi Cu dengan pemuda itu! "Ahh, siapa yang akan memperebutkan siapa?" katanya masih bingung. Akan tetapi dia dapat menekan dan menenangkan perasaannya, lalu memandang kepada Tiong Pek dengan sikap lebih tenang, sungguh pun kemarahannya belum mereda karena dia melihat Bi Cu sekarang berdiri dengan kepala menunduk dan masih kadang-kadang menahan isak. "Tiong Pek, Bi Cu bukanlah sebuah benda yang boleh diperebutkan oleh siapa pun juga. Dalam hal rasa suka... hal itu Bi Cu berhak menentukan sendiri, jangan kau memaksa-maksanya seperti itu." "Bi Cu juga cinta kepadaku! Kau mau apa?" Tiong Pek yang masih marah itu menyerang lagi dengan kata-katanya yang penuh tantangan. Dia memang marah bukan main karena merasa terganggu. Kalau Sin Liong tidak datang mengganggu, tentu dia sudah berhasil mencium Bi Cu, suatu hal yang sudah sering kali direnungkan dan diimpikan itu! Mendengar ucapan ini, Sin Liong memandang kepada Bi Cu penuh keraguan. Benarkah itu? Kalau Bi Cu benar mencinta Tiong Pek, mengapa tadi bersikap seperti menentang? Dan apa gerangan yang hendak dilakukah oleh Tiong Pek terhadap Bi Cu tadi? Sin Liong sudah berusia empat belas tahun, atau hampir, akan tetapi dia belum tahu benar tentang cinta kasih antara pria dengan wanita. Melihat Bi Cu menunduk dan kini mukanya tidak sepucat tadi, bahkan menjadi agak kemerahan, dia lalu melangkah menghampiri. "Bi Cu, apakah Tiong Pek... ehh, hendak berlaku jahat kepadamu?" Dia tidak tahu bagai mana harus menanyakan urusan tadi. Bi Cu mengangkat muka dan ketika dia bertemu pandang dengan Sin Liong, dia cepat menunduk kembali, jari-jemari tangannya bermain dengan ujung rambutnya yang panjang terurai, lalu kepalanya digelengkannya sebagai jawaban pertanyaan Sin Liong tadi. "Dan kau... kau... cinta kepada Tiong Pek?" Muka Bi Cu menjadi merah sekali dan kepalanya makin menunduk. Sekali ini dia sama sekali tidak mau menjawab. "Bagaimana, Bi Cu? Jawablah, apakah benar kau cinta kepada Tiong Pek?" Sin Liong mendesak. Dara cilik itu mengangkat muka dengan gugup, memandang kepada Sin Liong sebentar, lalu memandang kepada Tiong Pek, dan menunduk kembali tanpa menjawab, hanya ada dua titik air matanya yang turun mengalir di sepanjang kedua pipinya yang merah. Melihat ini, kembali timbul rasa kasihan di dalam hati Sin Liong dan teringatlah dia akan percakapan yang didengarnya tadi. Dia kembali menghadapi Tiong Pek kemudian berkata dengan alis berkerut, "Tiong Pek, sungguh tidak patut sekali kalau engkau hendak mempergunakan kekerasan. Apakah engkau ingin menjadi penjahat hina? Aku tadi mendengar engkau membujuk dan juga melihat engkau menggunakan kekerasan. Engkau menonjolkan jasa-jasa serta budi keluargamu yang kau limpahkan kepada Bi Cu. Apakah itu kebaikan namanya kalau kau tonjolkan dan kalau engkau minta imbalan dari pertolongan yang kalian berikan kepada Bi Cu?" "Sin Liong, kau ini siapa berani bermulut selancang ini?" Tiong Pek marah sekali dan dia segera menerjang dengan pukulan ke arah mulut Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong cepat mengelak dan ketika Tiong Pek menerjang lagi, dia menangkis kemudian bersiap untuk melawan. Akan tetapi, sambil menangis Bi Cu cepat melerai dengan melompat ke tengah-tengah antara mereka, "Jangan berkelahi... ahh, harap jangan berkelahi...!" Tentu saja Sin Liong cepat meloncat mundur, dan Tiong Pek juga tidak mendesak setelah melihat Bi Cu menangis sambil melerai itu. Kedua orang pemuda tanggung itu sekarang memandang kepada Bi Cu yang menangis sesenggukan di tengah-tengah antara mereka, menutupi muka dengan kedua tangannya. Mereka berdua menjadi bingung. "Sumoi, jangan menangis, sumoi. Maafkanlah kalau aku bersalah...," akhirnya terdengar Tiong Pek berkata halus. "Aku tadi hanya ingin menciummu... jahatkah perbuatan itu... padahal aku hanya ingin membuktikan cintaku...?" Mendengar kata-kata itu, diam-diam Sin Liong menjadi jengah sekaligus terheran-heran bagaimana Tiong Pek berani bicara terang-terangan seperti itu! Bi Cu menahan isaknya dan tangisnya agar mereda, kemudian terdengarlah kata-katanya lirih di antara isaknya, "Aku tidak tahu... aku tidak tahu apa itu cinta! Aku... aku suka kepada suheng karena suheng baik sekali, dan seluruh keluarga suheng baik kepadaku, menganggap aku seperti keluarga sendiri. Aku telah berhutang budi besar sekali kepada suheng sekeluarga, akan tetapi... aku tidak tahu tentang cinta, dan aku tidak tahu... jahat atau tidak di... dicium, akan tetapi aku takut sekali..." Diam-diam Sin Liong tersenyum. Biar pun usia mereka berdua ini sebaya dengan dia, Bi Cu berusia dua belas tahun dan Tiong Pek empat belas tahun, namun mereka berdua ini seperti anak-anak yang masih kecil saja! Anak-anak kecil yang ingin masuk ke permainan orang-orang dewasa! "Tiong Pek, apa bila engkau tahu bahwa Bi Cu takut, kenapa kau hendak memaksanya? Kalau engkau memang kasihan dan suka kepadanya, tidak mungkin engkau main paksa membikin dia takut dan menangis..." Tiong Pek menarik napas panjang, kini dia melihat bahwa dia telah benar-benar membuat Bi Cu berduka, takut dan malu. Seakan-akan baru sekarang dia merasa sadar, sesudah gairah aneh yang membuat seluruh tubuhnya panas, membuat dia ingin sekali mencium Bi Cu itu kini mendingin dan lenyap. Baru dia tahu bahwa dia memang bersalah. "Maafkan aku, Bi Cu. Kau benar, Sin Liong, aku memang layak dipukul karena aku telah membikin sumoi ketakutan dan menangis. Sumoi, sekali lagi, kau maafkanlah aku." Bi Cu menghapus air matanya. Kini barulah dia dapat memandang suheng-nya itu dengan senyum yang tampak mulai berkembang mengusir kedukaannya. "Tidak kenapa, suheng, kita lupakan saja hal tadi." "Seorang yang dapat menyadari kesalahannya sendiri barulah patut disebut orang gagah, Tiong Pek," kata Sin Liong. "Ahh, benarkah itu?" Tiong Pek berkata girang, sekarang wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar penuh kenakalan. "Akan tetapi jangan hal itu membuat engkau keenakan dan setiap kali ingin menjadi orang gagah lalu melakukan kesalahan lebih dulu untuk kemudian disadari!" sambung Sin Liong. Tiong Pek tertawa, Bi Cu juga tertawa dan mereka berdamai kembali. Lenyaplah semua dendam dan kemarahan. "Eh, kalau kalian berdua benar-benar sudah memaafkan aku, harus kalian buktikan dulu!" tiba-tiba Tiong Pek berkata. "Buktikan bagaimana?" Sin Liong menuntut dan memandang tajam. Jangan-jangan bocah nakal ini minta bukti aneh-aneh, seperti cium dari Bi Cu misalnya! Kalau begitu dia tentu tidak akan ragu-ragu untuk menjotosnya! "Buktinya adalah bahwa kalian tak akan mengatakan sesuatu tentang urusan tadi kepada ayah." "Kau tahu bahwa aku tidak akan berkata apa-apa kepada paman, suheng," kata Bi Cu cepat. "Akan tetapi aku hanya mau berjanji tidak akan menyampaikan kepada paman Na asal engkau pun berjanji tidak akan mengulangi perbuatan sesat tadi!" kata Sin Liong. "Sesat? Ahhh, memang salah akan tetapi jangan namakan itu sesat, Sin Liong. Baiklah, dengarkan kalian. Aku berjanji tidak akan mencoba untuk mencium Bi Cu kecuali kalau memang sumoi Bi Cu mau kucium!" Tentu saja mendengar janji yang seperti itu, seketika wajah Bi Cu kembali menjadi merah sekali. "Dasar engkau setan!" Sin Liong menegur sambil tertawa dan Tiong Pek juga tertawa. Bi Cu terpaksa ikut pula tertawa dan ketiga orang anak itu kemudian memasuki lian-bu-thia (ruangan berlatih sliat) di mana mereka berlatih silat dengan tekunnya. *************** Wanita cantik itu melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa menuju ke pintu gerbang kota raja sebelah utara. Para penjaga di pintu gerbang itu segera berdiri dengan sikap menghormat ketika wanita itu berjalan keluar dari pintu gerbang. Bahkan komandan jaga yang bertubuh tinggi besar itu memberi hormat dan berkata, "Selamat jalan, lihiap!" Wanita itu bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio. Semenjak terjadi peristiwa pemberontakan di dalam istana yang bermaksud membunuh pangeran mahkota dan kaisar, dan usaha jahat itu digagalkan oleh Kim Hong Liu-nio dan Ceng Han Houw, maka wanita ini menjadi seorang tokoh yang terkenal di kota raja, terutama di lingkungan istana dan di antara para pengawal. Oleh karena itu, ketika dia keluar dari pintu gerbang, semua penjaga memberi hormat, bahkan komandan jaga menghaturkan selamat jalan. Seperti kita ketahui, Kim Hong Liu-nio terpaksa berangkat pulang ke utara seorang diri saja, meninggalkan sute-nya di istana karena Pangeran Mahkota Ceng Hwa, calon kaisar, atau juga saudara tiri dari Han Houw, menahan pemuda tanggung itu untuk tidak lebih dahulu meninggalkan istana sampai hari penobatannya sebagai kaisar. Maka Kim Hong Liu-nio pulang seorang diri untuk melaporkan semua peristiwa yang dialami oleh sute-nya itu kepada Raja Sabutai dan Permaisuri Khamila, dan di samping itu juga menyampaikan undangan pangeran mahkota kepada Raja Sabutai untuk menghadiri hari penobatannya sebagai kaisar pengganti ayahnya. Hati Kim Hong Liu-nio lega karena sute-nya itu berada dalam keadaan aman, maka dia melakukan perjalanan cepat sekali, tak mempedulikan orang-orang yang memandangnya dengan heran. Siapa orangnya tidak akan terheran-heran melihat seorang wanita cantik berjalan sedemikian cepatnya seperti terbang saja? Sebentar saja dia sudah keluar dari pintu gerbang itu diikuti oleh pandang mata semua penjaga sampai bayangannya lenyap. Akan tetapi ketika dia tiba di padang rumput di sebelah utara pintu gerbang utara kota raja itu, tiba-tiba saja dia memandang ke depan dengan alis berkerut karena jauh di depannya dia melihat banyak orang sedang berdiri menghadangnya dan dari jauh saja dapat dilihat pakaian mereka yang berkembang-kembang dan tangan mereka yang memegang tongkat dengan punggung memanggul buntalan-buntalan kuning. Orang-orang Hwa-i Kaipang! Setelah agak dekat Kim Hong Liu-nio melihat bahwa di antara mereka terdapat beberapa orang yang memanggul buntalan sedikit saja. Ada dua orang yang memanggul tiga buah buntalan kuning, bahkan ada seorang yang memanggul dua buntalan saja, berarti bahwa di antara mereka itu ada dua orang tokoh Hwa-i Kaipang tingkat tiga dan bahkan ada seorang tokoh tingkat dua! Jantung Kim Hong Liu-nio berdebar tegang. Dia maklum bahwa yang menghadangnya adalah tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang tingkat tinggi! Dan selain tiga orang tokoh yang tinggi tingkatnya itu, dia melihat tokoh-tokoh tingkat empat dan lima yang jumlahnya ada tujuh belas orang! Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio adalah murid terkasih dari Hek-hiat Mo-li, dan dia sama sekali tidak pernah mengenal arti takut. Dengan sikap tenang penuh kewaspadaan dia berjalan terus dengan cepat tanpa mengurangi pengerahan ginkang-nya, maka sebentar saja dia sudah berhadapan dengan belasan orang yang sengaja menghadang memenuhi jalan itu. Terpaksa Kim Hong Liu-nio berhenti dan memandang mereka dengan sinar mata mengejek, tak mempedulikan pandang mata belasan orang itu yang ditujukan kepadanya dengan penuh kemarahan. Yang menjadi perhatian Kim Hong Liu-nio adalah tiga orang kakek di depan itu, yaitu dua orang tokoh tingkat tiga dan seorang yang bertingkat dua, karena dia tidak memandang sebelah mata kepada mereka yang bertingkat empat dan lima. "Perlahan dulu, nona!" kata pengemis baju kembang yang memanggul dua buah buntalan kuning di punggungnya. Pengemis ini usianya tentu mendekati enam puluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti cecak mati saking kurusnya sehingga tubuh yang tingginya biasa saja itu kelihatan lebih jangkung. Pakaiannya sederhana akan tetapi bersih dan berpakaian tambal-tambalan dari kain-kain berkembang dan berwarna itu nampak lucu karena banyak merahnya, mungkin menjadi tanda bahwa pemakainya memang mempunyai kesukaan akan warna merah. "Hemmm, kulihat kalian ini tentulah tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang," jawab Kim Hong Liu-nio sambil mengerling ke arah tiga orang kakek pengemis yang pernah dikalahkannya tempo hari, yaitu mereka yang bertingkat lima. "Apakah orang-orang Hwa-i Kaipang yang sangat tersohor itu kini sudah berubah menjadi segerombolan perampok yang suka menghadang orang lewat di jalan raya?" Kakek kurus kering itu tersenyum lebar. Biar pun dia marah sekali, akan tetapi kakek ini dapat menguasai kemarahannya dan menghadapi wanita yang dia dengar sangat lihai itu dengan tenang. "Andai kata kami menjadi perampok sekali pun, kami tak akan merampok nyawa orang yang tidak berdosa seperti yang telah kau lakukan pada seorang pengemis she Tio di kota Huai-lai." Kim Hong Liu-nio sudah tahu mengapa para pengemis itu menghadangnya, maka dengan jujur dan penuh keberanian dia berkata, "Memang aku telah membunuh pengemis she Tio itu." Mendengar jawaban yang berani itu, para pengemis kelihatan makin marah dan terdengar mereka ramai-ramai mengeluarkan suara sehingga keadaan menjadi bising. Akan tetapi Kim Hong Liu-nio sama sekali tidak mempedulikan mereka. "Kenapa?" bentak tokoh kedua Hwa-i Kaipang. Kakek ini memiliki julukan Lo-thian Sin-kai (Pengemis Sakti Pengacau Langit). "Setiap orang akan merasa kasihan kepada seorang pengemis yang hidup serba kekurangan, akan tetapi mengapa engkau malah membunuh pengemis tidak berdosa itu?" "Karena dia she Tio! Baik dia pengemis mau pun seorang raja, karena dia she Tio, maka berjumpa dengan aku dia harus mati! Dia yang she Tio atau yang she Cia dan yang she Yap!" kata Kim Hong Liu-nio dan tahu-tahu dia telah mengeluarkan papan kayu sallb yang bertuliskan nama keluarga Tio, Yap, dan Cia itu. "Apa?!" Lo-thian Sin-kai terbelalak. "Kau hendak membunuh semua orang yang memiliki tiga macam she itu? Jadi engkau membunuh pengemis she Tio itu tanpa ada permusuhan pribadi sama sekali?" "Kenal pun tidak aku kepadanya, hanya aku mendengar dia she Tio maka dia harus mati." "Iblis betina keji!" Terdengar bentakan marah. Dua orang tokoh Hwa-i Kaipang tingkat tiga yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, agaknya sudah tidak mampu menahan kemarahan mereka dan kini mereka berdua sudah menerjang maju, menggerakkan tongkat mereka dari kanan dan kiri menyerang Kim Hong Liu-nio. Yang memaki itu adalah kakek pengemis yang punggungnya agak bongkok. "Hutang nyawa bayar nyawa!" bentak kakek pengemis kedua yang mukanya hitam sekali, agaknya hitam karena bekas penyakit karena melihat leher serta tangannya, sebetulnya dia berkulit putih. Kakek bongkok dan kakek muka hitam ini berusia kurang lebih lima puluhan tahun dan mereka merupakan tokoh-tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kaipang, maka tentu saja mereka mempunyai kepandaian silat yang tinggi. Yang punggungnya bongkok itu terkenal dengan julukan Tiat-ciang Sin-kai (Pengemis Sakti Tangan Besi), sedangkan yang bermuka hitam berjuluk Hek-bin Mo-kai (Pengemis Iblis Muka Hitam). Mereka berdua pun maklum betapa lihainya wanita itu karena sudah mendengar dari tiga orang pengemis tingkat lima, maka mereka maju berbareng dan serentak telah menyerang dengan senjata tongkat mereka. Melihat cara menyambarnya tongkat-tongkat itu, maklumlah Kim Hong Liu-nio bahwa dia menghadapi lawan yang cukup tangguh dan cepat dia menggerakkan tubuhnya mengelak ke belakang. Dua sinar hitam dari tongkat itu menyambar dahsyat di dekat tubuhnya. "Wuuut...! Wuuutt...!" Sebelum menyentuh tanah, ujung-ujung tongkat itu telah ditahan oleh para pemegangnya dan kelihatan ujung tongkat itu menggetar hebat. "Wiirrrrrrr...!" Ujung tongkat sampai mengeluarkan suara saking kerasnya sambaran itu dan kini ditahan oleh dua orang kakek pengemis itu. Kemudian tongkat itu menyambar lagi dan Kim Hong Liu-nio sudah didesak dan dihujani serangan bertubi-tubi yang kesemuanya mengandung tenaga kuat sekali. "Hemm, kalian mencari penyakit!" bentak wanita itu. Begitu dua tangannya bergerak, tampak sinar merah yang panjang bergulung-gulung dan ternyata wanita ini dengan tenang namun cepat bukan main sudah menggerakkan sabuk merahnya dan sambil mengelak dia telah balas menyerang! "Wirrrrr... syuuuuttt...!" "Plakkk!" Sabuk merah itu hebat bukan main, menyambar dahsyat menyilaukan mata dan hampir saja leher Hek-bin Mo-kai kena totok. Untung dia dapat menangkis dengan cepat dan kini tongkatnya terlibat ujung sabuk merah yang bergerak seperti ular itu. Pada saat Hek-bin Mo-kai bersitegang untuk melepaskan tongkat dari libatan sabuk, Tiat-ciang Sin-kai sudah menghantamkan tongkatnya dari samping ke arah kepala wanita itu. "Cringgg...!" Tiat-ciang Sin-kai terkejut bukan main. Tongkatnya yang menghantam kepala itu ditangkis oleh lengan kecil halus yang bergelang kerincing. Tapi anehnya, lengan kecil dan gelang-gelang emas kecil itu tidak saja mampu menangkis tongkatnya, malah dia sendiri sampai terhuyung ke belakang saking kuatnya tangkisan itu! Dengan marah dia cepat mengatur keseimbangan tubuhnya lantas menubruk lagi, kini tongkatnya menusuk ke arah lambung dari sebelah kanan wanita itu. Pada saat itu, ujung sabuk merah masih melibat ujung tongkat di tangan Hek-bin Mo-kai dan agaknya Kim Hong Liu-nio tidak akan dapat menghindarkan diri dari tusukan tongkat kakek pengemis bongkok. Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong Liu-nio mengeluarkan bentakan nyaring dan bentakan ini disusul teriakan keras Hek-bin Mo-kai yang tak dapat menguasai tongkatnya lagi. Bagai ditarik tenaga gajah, tongkatnya yang terlibat itu terbetot sehingga dia tidak mampu mempertahankan ketika tongkatnya itu bergerak ke kiri. "Takkkkk...!" Keras bukan main pertemuan antara tongkat Hek-bin Mo-kai itu yang menangkis tongkat Tiat-ciang Sin-kai yang menusuk tadi sehingga keduanya merasa betapa telapak tangan mereka nyeri dan senjata mereka itu hampir saja terlepas dari tangan. Keduanya memang memiliki tenaga yang seimbang dan tadi mereka sudah mempergunakan seluruh tenaga, yang seorang ingin menarik kembali tongkatnya ada pun yang ke dua sedang menyerang. "Wuuuttt...!" Baru saja kedua tongkat itu bertemu tiba-tiba sinar merah menyambar dan tahu-tahu ujung sabuk telah melibat kedua batang tongkat itu dengan eratnya! "Iblis jahat...!" Tiat-ciang Sin-kai berseru marah dan dia menerjang maju dengan tangan kanannya, mengirim pukulan yang sangat dahsyat. Kakek bongkok ini berjuluk Tiat-ciang (Si Tangan Besi) maka tentu saja dia memiliki tangan gemblengan yang amat hebat, kuat seperti besi dan ketika dia melancarkan pukulan itu tangannya berubah agak kehitaman! Akan tetapi, melihat datangnya pukulan itu, Kim Hong Liu-nio sama sekali tak mengelak, bahkan dia segera mengangkat tangan kirinya menerima pukulan itu dengan tangkisan, gerakannya seenaknya saja seolah-olah dia tidak tahu bahwa pukulan itu adalah pukulan ampuh, bukan sembarang pukulan. Melihat ini, giranglah kakek pengemis bongkok itu. Remuk tulang tanganmu sekarang, pikirnya girang, dan dia mengerahkan seluruh tenaga Tiat-ciang-kang ke dalam tangannya itu. "Dessss...!" Hebat sekali pertemuan ke dua tangan itu kemudian terdengar Tiat-ciang Sin-kai berteriak kesakitan dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Dia melepaskan tongkatnya yang masih terlibat menjadi satu dengan tongkat Hek-bin Mo-kai dan pada saat yang sama, Kim Hong Liu-nio membetot sabuknya dengan kuat dan ketika Hek-bin Mo-kai mempertahankan, dia tiba-tiba melepaskan libatan sabuknya sehingga si muka hitam ini pun terhuyung seperti temannya! Tiat-ciang Sin-kai menyeringai karena tangan kanannya terasa nyeri bukan main, seperti patah-patah rasa tulang-tulang tangannya. Dia tidak tahu bahwa wanita cantik itu tadi telah melindungi tangannya yang kecil berkulit halus itu dengan sarung tangannya yang istimewa, yaitu sarung tangan halus dengan warna sama dengan kulitnya. Sarung tangan ini dapat dipakai untuk menyambut senjata tajam, apa lagi hanya pukulan tangan kosong, biar pun tangan itu sama kerasnya dengan besi! "Wanita kejam, engkau boleh juga!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan halus dan si kakek kurus kering, Lo-thian Sin-kai, tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kaipang, telah menerjang dan menyerang Kim Hong Liu-nio dengan tongkatnya. Terdengar suara berdesir-desir dan kini tongkat yang digerakkan secara istimewa itu telah membentuk lingkaran-lingkaran yang lima buah banyaknya. Itulah Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat yang sangat hebat! Lima lingkaran sinar tongkat itu bergerak-gerak, lantas dari setiap lingkaran menyambar-nyambar ujung tongkat yang mengeluarkan suara berdesing tanda bahwa tongkat yang terlihat seperti kayu itu ternyata menyembunyikan benda logam keras di dalamnya dan tenaga yang dipergunakan untuk menggerakkan tongkat itu amat kuatnya! "Hemm! Kalian benar-benar hendak memusuhi aku? Majulah!" bentak Kim Hong Liu-nio. Dia sama sekali tidak merasa jeri menghadapi ilmu tongkat lawan ini, bahkan dia merasa gembira sekali.....
JILID 13
Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang suka sekali akan ilmu silat. Sudah banyak dia mengumpulkan dan mempelajari ilmu-ilmu silat dari semua aliran yang ada di dunia persilatan, dan kalau bertemu dengan suatu ilmu baru yang belum dikenalnya, dia merasa gembira sekali dan ingin mengenal serta mempelajarinya. Maka, begitu dia melihat ilmu tongkat dari kakek pengemis kurus kering ini, dia melihat ilmu tongkat yang sangat hebat sehingga timbul pula kegembiraannya dan dia cepat menghadapi ilmu tongkat itu dengan kedua tangan kosong sambil mainkan sabuk merahnya. Sekarang terjadilah pertandingan yang amat hebat. Tongkat yang dimainkan oleh Lo-thian Sin-kai memang luar biasa sekali. Ujung tongkat itu nampak menjadi lima buah sehingga seakan-akan kakek kurus itu memainkan lima batang tongkat, dan setiap ujung tongkat membentuk lingkaran-lingkaran yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Sedangkan Kim Hong Liu-nio juga memutar sabuk merahnya sehingga nampak gulungan cahaya merah yang sangat indah dan kuat menyelimuti dirinya yang menghalau setiap sambaran tongkat. Kadang-kadang wanita perkasa ini mempergunakan tangannya untuk menangkis tongkat sebab tangannya telah terlindung oleh sarung tangan mukjijat itu, dan kadang kala dia membalas dengan serangan kilat, menggunakan ujung sabuknya untuk menotok ke arah jalan darah di tubuh lawan yang berbahaya. Diam-diam kakek pengemis itu terkejut bukan main. Ketika dia mendengar bahwa tiga orang murid keponakannya, tokoh-tokoh tingkat lima dari Hwa-i Kaipang dikalahkan oleh seorang wanita cantik yang sudah membunuh seorang pengemis she Tio di Huai-lai, dia menyangka bahwa wanita itu adalah seorang wanita kang-ouw yang memiliki kepandaian lumayan saja. Akan tetapi pada waktu tadi dia melihat dua orang pengemis tingkat tiga dikalahkan, dia merasa penasaran. Dan kini dia terkejut setelah memperoleh kenyataan betapa lihainya wanita ini. Selama lima puluh jurus, nampaknya pengemis tua kurus itu dapat mendesak wanita itu, buktinya, Kim Hong Liu-nio lebih banyak menghindari serangan atau menangkis dari pada membalas. Karena mengira bahwa jagoan mereka akan menang, maka para pengemis itu hanya menonton saja, mengharapkan dalam waktu singkat wanita itu akan dirobohkan. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Kim Hong Liu-nio memang sengaja membiarkan dirinya diserang dan dia hanya mempertahankan diri sebab dia memang ingin memancing keluar semua jurus ilmu tongkat yang menarik hatinya itu. Walau pun dia tidak mungkin dapat menguasai atau menghafal semua gerakan yang dilihatnya dalam pertandingan itu, namun setidaknya dia dapat mengenal ilmu ini dan dapat mengingat semua intinya yang penting. Setelah lewat lima puluh jurus, dia merasa cukup menonton ilmu tongkat orang, maka kini dia mengeluarkan lengking panjang yang sangat nyaring, kemudian tubuhnya berkelebat cepat dan terjadilah perubahan hebat dalam pertandingan itu! "Wiirrrr... plak-plakk!" "Ahhhh...!" Lo-thian Sin-kai berseru kaget. Hampir saja ubun-ubun kepalanya kena disambar oleh ujung sabuk yang disusul dengan tamparan tangan kilat ke arah ulu hatinya. Untunglah dia masih sempat mengelak lantas menangkis berkali-kali. Dia dapat selamat dari ancaman maut akan tetapi dia terhuyung ke belakang dan pada saat itu Kim Hong Liu-nio menerjang maju dan menghujani kakek itu dengan serangan-serangan dahsyat! Baru sekarang tahulah kakek kurus itu bahwa tadi lawannya belum bersungguh-sungguh, dan baru sekarang mengeluarkan serangan-serangannya yang dahsyat sehingga repotlah dia memutar tongkatnya untuk membentuk benteng pertahanan yang melindungi dirinya dari ancaman maut. Semua pengemis amat terkejut melihat perubahan ini. Jagoan mereka terdesak hebat dan mundur terus. Melihat hal ini, Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai berteriak keras dan mereka sudah maju membantu jagoan mereka itu dengan memutar tongkat. Gerakan ini diikuti pula oleh semua pengemis yang sudah mengepung Kim Hong Liu-nio dan mulailah terjadi pengeroyokan yang ketat. Akan tetapi wanita itu tidak menjadi jeri dan sabuk merahnya membentuk gulungan sinar yang lebar dan panjang, bukan hanya untuk menahan semua tongkat yang menyambar dari sekelilingnya, akan tetapi juga untuk membagi-bagi totokan. Dalam beberapa jurus saja dia sudah merobohkan tiga orang pengemis tingkat lima. Akan tetapi karena dia tak ingin menanam permusuhan yang hebat dengan perkumpulan pengemis yang amat besar dan berpengaruh ini, Kim Hong Liu-nio tidak mau membunuh orang, hanya merobohkan mereka dengan totokan-totokan pada bagian jalan darah yang tidak mematikan untuk membikin mereka tidak dapat mengeroyoknya lagi. Betapa pun juga, Kim Hong Liu-nio mulai terdesak hebat. Para pengeroyoknya terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, terutama sekali desakan dari Lo-thian Sin-kai yang dibantu Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai, sangatlah berbahaya baginya sehingga Kim Hong Liu-nio sudah mengambil keputusan untuk kabur dan melarikan diri saja. Akan tetapi pengemis itu agaknya maklum akan niatnya ini, karena itu pengepungan dilakukan makin rapat, gerakan tongkat-tongkat mereka menutup semua jalan keluar. Pada saat itu terdengarlah derap kaki kuda dari depan dan tak lama kemudian muncullah seorang penunggang kuda. Dia adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang perkasa, berpakaian sangat indahnya, pakaian seorang panglima pengawal Kim-i-wi yang mentereng, dengan bajunya yang disulam benang emas, kepalanya yang memakal topi berhiaskan bulu burung dewata, dengan tanda pangkatnya di dada kiri yang berkilauan. Melihat wanita cantik itu dikepung oleh para pengemis, panglima itu cepat melompat turun dari pelana kudanya, lantas sambil mengangkat kedua tangan ke atas dia berteriak-teriak, "Tahan senjata...! Hentikan perkelahian...! Para tokoh Hwa-i Kaipang, dengarkan dahulu penjelasanku!" Lo-thian Sin-kai menoleh dan ketika mengenal panglima itu adalah Lee Siang, Panglima Kim-i-wi yang gagah dan telah dikenalnya, dia lalu meloncat mundur dan berteriak kepada para temannya untuk menahan senjata. Kim Hong Liu-nio juga mengenal panglima itu, ialah panglima pengawal yang pertama kali menerimanya di istana, bahkan yang mengawalnya sampai menghadap kaisar. Maka dia segera menahan gerakannya dan menyimpan kembali sabuk merahnya, lalu mengusap sedikit peluh di dahinya dengan sapu tangan. Wajahnya menjadi merah pada saat dia bertemu pandang dengan panglima yang gagah perkasa itu. Semenjak pertemuannya yang pertama dengan Panglima Lee Siang ini, dia memang sudah amat tertarik dan diam-diam dia mengakui bahwa panglima ini merupakan seorang pria gagah yang pertama kali menarik hatinya dan membuatnya merasa kagum. "Locianpwe Lo-thian Sin-kai, harap locianpwe serta sahabat-sahabat dari Hwa-i Kaipang mengetahui bahwa lihiap Kim Hong Liu-nio ini bukan seorang musuh, sebaliknya malah, dia adalah seorang pendekar wanita yang telah berjasa, sudah menyelamatkan mendiang sri baginda kaisar dan pangeran mahkota." Lo-thian Sin-kai tentu saja tidak akan memandang kepada Panglima Lee Siang kalau saja tidak mengingat bahwa pria ini adalah seorang panglima pasukan pengawal Kim-i-wi yang amat kuat! Tentu saja akan merupakan bunuh diri bagi perkumpulan Hwa-i Kaipang kalau berani menentang seorang panglima Kim-i-wi seperti panglima gagah ini. Karena itu dia pun menjura dan berkata dengan suara halus, "Harap Lee-ciangkun mengetahui bahwa wanita ini sudah membunuh seorang di antara anak buah kami sehingga terpaksa kami menuntut balas." Lee Siang terkejut. Dia sudah mendengar akan kesetia kawanan para pengemis, dan dia tahu pula bahwa Hwa-i Kaipang adalah perkumpulan pengemis yang paling berpengaruh di daerah kota raja dan mempunyai anggota yang ribuan orang banyaknya. Dia menoleh kepada Kim Hong Liu-nio dengan pandang mata bertanya. Kim Hong Liu-nio tersenyum kepada panglima yang amat dikaguminya itu, "Lee-ciangkun, harap jangan percaya omongan mereka ini. Benar bahwa aku telah membunuh seorang pengemis she Tio di Huai-lai, akan tetapi pengemis itu kukira bukanlah anggota Hwa-i Kaipang karena sama sekali tidak memakai pakaian berkembang. Pula, aku membunuh dia sama sekali bukan karena dia pengemis, bukan pula karena dia ada sangkut pautnya dengan Hwa-i Kaipang atau kaipang dari mana pun juga, namun karena urusan pribadi ying tidak ada sangkut pautnya dengan jagoan-jagoan tukang keroyok dari Hwa-i Kaipang ini." Kata-kata itu sekaligus merupakan tamparan kepada para tokoh Hwa-i Kaipang sehingga Lo-thian Sin-kai menjadi merah mukanya. Memang memalukan sekali orang-orang seperti mereka ini terpaksa mengeroyok seorang wanita dan masih dibantu oleh belasan orang anak buah mereka lagi! Lee Siang merasakan ketegangan yang timbul dari sikap kedua belah fihak, maka untuk melenyapkan ketegangan itu dia tertawa. "Nah, para locianpwe serta sahabat dari Hwa-i Kaipang telah mendengar penjelasan lihiap Kim Hong Liu-nio bahwa sekali-kali lihiap tidak memusuhi Hwa-i Kaipang dan kejadian ini hanya timbul karena salah sangka belaka. Kini, mengingat bahwa lihiap ini merupakan sahabat pangeran mahkota, bahkan telah berjasa besar, maka aku percaya bahwa Hwa-i Kaipang suka menghabiskan perkara ini dan tidak menimbulkan keributan yang hanya akan mengacaukan keadaan!" jelas bahwa di dalam ucapan itu terkandung ancaman bagi Hwa-i Kaipang dan panglima itu berdiri tegak penuh wibawa! Lo-thian Sin-kai menarik napas panjang. "Biarlah sekali ini kami anggap bahwa Kim Hong Liu-nio tidak bermaksud menghina Hwa-i Kaipang. Kawan-kawan, hayo kita pergi!" Kakek ini lalu menjura kepada panglima itu. "Lee-ciangkun, maafkan kami dan terima kasih atas peringatanmu." Para pengemis itu segera pergi dari situ meninggalkan Kim Hong Liu-nio yang kini berdiri saling berhadapan dengan Lee Siang. Sejenak mereka saling berpandangan dan jantung wanita itu berdegup tegang ketika dia melihat jelas betapa sepasang mata dari panglima itu memancarkan sinar penuh kagum kepadanya. Dia sendiri merasa terheran-heran. Bagi dia, sudah biasa melihat sinar mata kaum pria ditujukan kepadanya dengan kagum dan penuh gairah seperti itu, malah biasanya hal ini kadang-kadang mendatangkan rasa muak dan marah di dalam hatinya. Akan tetapi entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, kini jantungnya merasakan girang dan bangga yang aneh menyaksikan betapa sinar mata pria ini begitu penuh kagum ketika memandangnya! Sesudah sinar mata mereka saling bertaut dan melekat untuk beberapa lamanya, Kim Hong Liu-nio merasa betapa mukanya menjadi panas dan ada perasaan jengah dan malu yang aneh, yang membuat dia tersipu dan cepat-cepat menutupi perasaan ini dengan senyum manis. "Ah, kembali Lee-ciangkun yang telah menyelamatkan aku dari keadaan yang tak enak," katanya halus, lalu tanpa disadarinya dia menundukkan mukanya, menahan senyum dan dari bawah menyambar sinar matanya dalam kerlingan tajam! Inilah ciri-ciri seorang wanita yang tergerak hatinya oleh seorang pria! Malu-malu, hendak mengelak, ingin menyembunyikan perasaan, akan tetapi tanpa disadarinya senyum dan kerling mata yang menyambar itu mengungkapkan isi hati yang sesungguhnya! "Ciangkun sudah dua kali menolongku, sebaliknya aku belum pernah melakukan sesuatu untukmu." "Dua kali?" Panglima yang merasa senang dan bangga itu pura-pura bertanya. Kim Hong Liu-nio mengangkat mukanya. Kembali mereka berpandangan dan wanita itu tersenyum. Sungguh, andai kata Ceng Han Houw pada saat itu melihat keadaan suci-nya ini, dia tentu akan merasa heran bukan main. Selamanya dia melihat suci-nya ini sebagai seorang wanita yang dingin dan keras, jarang tersenyum dan bila mana tersenyum, maka senyumnya itu itu boleh jadi merupakan tanda maut bagi lawan. Akan tetapi sekarang, seperti seorang dara remaja yang malu-malu, bersikap memikat, matanya bermain-main dan suaranya demikian halus. Pendeknya, terjadi perubahan yang luar biasa anehnya pada diri wanita ini! "Ahh, Lee-ciangkun memang selalu merendahkan diri dan tidak mau mengingat akan jasa sendiri, sebaliknya mengangkat jasa orang lain sehingga tadi menyebut-nyebut mengenai jasaku. Kalau tidak ada ciangkun, mana mungkin aku dan sute dapat memasuki istana? Dan barusan tadi, bila tidak ada ciangkun, mana aku dapat membebaskan diri sedemikian mudahnya dari pengeroyokan pengemis liar itu?" Lee Siang tertawa dan memang pria ini amat gagah. Biar pun usianya sudah empat puluh tahun, namun usia ini tidak mengurangi ketampanannya, bahkan membuat dia nampak gagah dan matang, seorang jantan yang menarik hati kaum wanita. "Ha-ha-ha, lihiap terlalu memuji. Tanpa adanya aku pun, sudah kulihat betapa tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang itu tidak berdaya menghadapi lihiap. Ah, sudahlah, aku merasa girang kita dapat saling berjumpa di sini dan pertemuan ini dapat saling mempererat persahabatan antara kita. Tidak tahu lihiap hendak pergi ke manakah maka berada di luar pintu gerbang kota raja?" "Aku hendak meninggalkan kota raja, sudah mendapat ijin dari pangeran mahkota untuk kembali ke utara melaporkan segala kejadian kepada sri baginda raja dan menyampaikan undangan pangeran mahkota kepada sri baginda agar dapat hadir pada hari penobatan pangeran mahkota nanti." "Ahh... ternyata lihiap hendak kembali ke utara...?" Wajah panglima itu kelihatan kecewa dan terkejut. "Karena melaksanakan tugas selama belasan hari, aku tidak tahu akan hal itu dan sekarang, begitu berjumpa, tahu-tahu lihiap sudah akan pergi. Padahal, mengingat akan persahabatan di antara kita, sudah sepatutnya kalau aku menjamu kepergian lihiap sekalian menghaturkan selamat jalan. Akan tetapi, kuharap saja masih belum terlambat bagiku untuk mengundang lihiap singgah sebentar ke rumahku untuk menerima secawan dua cawan arak ucapan selamat jalan dariku. Marilah, lihiap, dengan hormat dan sangat aku mengundang lihiap untuk singgah sebentar di rumahku, demi persahabatan kita. Aku tidak ingin melihat lihiap pergi dan kita saling berpisah tanpa kesan, hanya berpamitan di tengah jalan seperti ini!" Pandang mata panglima itu penuh permintaan, penuh keharuan dan penuh kemesraan dan hati yang dingin dan keras dari wanita itu seketika mencair dan dia mengangguk sambil tersenyum! Dengan girang sekali Panglima Lee Siang lalu menuntun kudanya dan pergilah mereka berdua kembali ke selatan, menuju ke pintu gerbang di mana para penjaga menyambut mereka dengan sikap hormat dan juga dengan penuh heran mengapa Kim Hong Liu-nio yang baru saja pergi meninggalkan pintu gerbang sekarang telah datang kembali, berjalan bersama Panglima Lee yang duda itu dalam keadaan begitu mesra laksana dua orang sahabat lama. Tidak lama kemudian kedua orang ini sudah duduk saling berhadapan di dalam ruangan besar di gedung Panglima Lee. Sebuah meja melintang menghalang di antara mereka, meja yang dipenuhi dengan hidangan masakan-masakan yang masih mengepulkan uap panas dan tercium bau harum arak yang baik. Sesudah para pelayan mempersiapkan hidangan-hidangan itu di atas meja, dengan gerakan tangannya Panglima Lee Siang lalu memberi isyarat mengusir mereka semua. Sekarang Lee-ciangkun dan Kim Hong Liu-nio hanya berdua saja di dalam ruangan itu dan Panglima Lee segera menuangkan arak dan mengajak wanita itu minum arak. Tanpa hanyak cakap mereka lalu mulai makan minum. Keduanya merasa canggung! Sungguh sangat mengherankan hati mereka sendiri masing-masing mengapa mereka kini tiba-tiba saja menjadi pemalu sekali dan canggung, jantung mereka berdebar seperti dua orang pemuda dan dara remaja saja! "Silakan minum demi persahabatan kita lihiap!" kata Lee Siang sambil mengangkat cawan araknya yang sudah dipenuhinya bersama cawan tamunya itu. Sambil tersenyum, Kim Hong Liu-nio mengangkat cawan dan meminumnya. "Kini aku yang minta agar ciangkun suka minum sebagai pernyataan terima kasihku atas pertolongan dua kali itu!" Kim Hong Liu-nio menuangkan arak ke dalam cawan mereka dan sambil tersenyum Lee Siang meminum habis arak itu. "Dan sekarang aku persilakan lihiap minum sebagai ucapan selamat jalan... ahhh, tidak! Belum! Jangan lihiap pergi dulu...!" kata panglima itu yang sudah mulai merah mukanya. Biar pun Lee Siang juga seorang gagah yang memiliki kepandaian tidak rendah sebagai seorang Panglima Kim-i-wi, akan tetapi, dalam urusan minum arak, dia masih kalah kuat dibandingkan dengan Kim Hong Liu-nio yang mempunyai tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat sangat tinggi itu. Tiba-tiba panglima itu nampak berduka begitu teringat bahwa wanita itu sebentar lagi akan pergi meninggalkannya. "Lihiap, harap jangan pergi sekarang..., harap lihiap menunda keberangkatan itu sampai besok pagi... dan aku mempersilakan lihiap untuk bermalam di sini, dan anggaplah rumah ini sebagai rumah lihiap sendiri..." Kim Hong Liu-nio memandang tajam, akan tetapi karena dia tidak melihat sikap kurang ajar pada waktu panglima itu mengeluarkan kata-kata itu, dia tidak jadi marah dan malah tersenyum. Makin heranlah rasa hatinya. Jika saja yang mengucapkan kata-kata itu adalah pria lain, tentu dia telah menggerakkan tangan membunuhnya! Akan tetapi aneh, ucapan itu sama sekali tak membuat dia marah, bahkan sebaliknya, jantungnya berdebar aneh dan ada rasa gembira yang sangat besar memenuhi hatinya! Dan rasa gembira ini membuat mukanya menjadi merah sekali. Dia menjadi gugup dan untuk menyembunyikan perasaannya itu, dia menoleh ke kiri. "Sunyi sekali di ruangan yang besar ini, ciangkun. Kalau aku boleh mengetahui, mengapa begini sunyi? Di mana keluarga ciangkun? Aku ingin berkenalan dengan mereka." "Ahhh...!" Dan wajah panglima itu menjadi muram sekali. Sejenak dia menunduk tanpa dapat menjawab. "Mengapa, ciangkun? Maafkan kalau pertanyaanku tadi menyinggung. Bukan maksudku untuk menyinggung, akan tetapi..." "Tidak, engkau tidak bersalah, lihiap. Karena engkau tidak tahu. Ketahuilah bahwa aku hanya tinggal seorang diri saja di gedung ini, tentu saja hanya bersama para pengawal dan pelayanku. Tentang keluarga... ahhh, aku hidup seorang diri, hidup sebagai seorang duda kesepian. Isteriku telah meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan dan sejak itu, aku hidup dalam dunia yang sepi dan... dan baru sekarang inilah, baru saat ini aku merasa... betapa senangnya hidup..." "Aihh..., maafkan aku ciangkun." Kim Hiong Liu-nio berkata dan tidak dapat melanjutklan kata-katanya lagi. Hatinya terharu dan dia merasa semakin malu. Kiranya panglima ini adalah seorang duda, tanpa isteri dan tanpa keluarga! "Kim Hong Liu-nio...!" Mendadak terdengar suara panglima itu, suaranya menggetar dan agak parau, sungguh berbeda dengan tadi, dan dalam menyebutkan nama itu, terdapat kemesraan yang mengejutkan. Wanita itu mengangkat muka dan memandang. Dua pasang mata bertemu menyeberang meja, sampai lama mereka saling pandang seperti hendak menjenguk isi hati masing-masing. Wanita itu tidak menjawab, melainkan memandang dengan penuh penantian, kedua pipinya merah, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum malu-malu seolah-olah dia sudah tahu apa yang akan didengarnya dari mulut panglima itu. "Kim Hong Liu-nio, ketahuilah bahwa aku Lee Siang sejak dahulu suka berterus terang, suka bersikap sebagai seorang lelaki sejati dan tidak ingin menyimpan rahasia yang akan mendatangkan derita. Oleh karena itu, sebelumnya maafkanlah apa bila aku terlalu terus terang kepadamu karena aku mengenalmu sebagai seorang wanita perkasa yang tentu juga menghargai kegagahan dan kejujuran..." "Katakanlah, dan jangan ragu-ragu, ciangkun, aku pun suka akan kejujuran..." Hampir wanita itu tidak mengenal suaranya sendiri! Suaranya menjadi gemetar dan agak parau, padahal belum pernah selama hidupnya dia merasakan ketegangan seperti ini. Dan hampir dia tak berani menatap wajah panglima yang duduk amat dekat di depannya itu, hanya terhalang sebuah meja yang kecil saja, meja yang kini sudah bersih karena mangkok piring telah disingkirkan oleh pelayan. Wajah yang begitu gagah dan tampannya dalam pandang mata Kim Hong Liu-nio, yang membuat jantungnya berdebar tegang dan membuat dia merasa terheran-heran sebab seolah-olah dia telah mengenal wajah tampan itu selama hidupnya! Dan sebaliknya, tanpa pernah berkedip panglima itu menatap wajah yang cantik manis di hadapannya itu, terutama sekali titik hitam, tahi lalat di dagu bawah bibir itu, membuat wanita itu kelihatan cantik bukan main. "Liu-nio, aku cinta padamu!" Ucapan itu dikeluarkan dengan ketegasan seorang panglima perang! Demikian tiba-tiba sehingga Kim Hong Liu-nio cepat mengangkat mukanya dan sejenak mereka berpandangan, pandang mata mereka saling melekat dan agaknya sukar untuk dipisahkan lagi. "Aku cinta padamu, dan perasaan ini timbul semenjak pertama kali aku melihatmu di pintu gerbang istana itu. Tadinya terus kutahan-tahan, mengingat bahwa aku hanyalah seorang panglima kasar yang sudah duda ada pun engkau seorang pendekar wanita yang berjasa terhadap sri baginda, akan tetapi makin lama tidak dapat aku menahannya dan kebetulan sekali kita berjumpa di luar dinding kota raja. Maka sebelum terlambat, sebelum engkau pergi, kukatakan ini, Liu-nio, bahwa aku cinta padamu!" Perlahan-lahan Kim Hong Liu-nio tersenyum, lalu menundukkan mukanya, kedua pipinya menjadi merah sekali. Dia merasa betapa hatinya nyaman dan senang sekali, perasaan yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Biasanya, pandang mata pria yang terang-terangan terpesona kepadanya menimbulkan muak dan marah, apa lagi kalau sampai ada yang menyatakan cinta dengan kata-kata seperti itu. Tentu tanpa ampun lagi akan dibunuhnya pria yang berani berlancang mulut mengatakan hal itu padanya. Akan tetapi sekali ini, dia merasa diayun-ayun ke sorga ke tujuh ketika mendengar pengakuan cinta Panglima Lee Siang. Tiba-tiba saja seluruh tubuh Kim Hong Liu-nio terasa panas dingin dan kakinya menggigil ketika dia merasa betapa tangan kanannya yang tadi berada di atas meja telah dipegang oleh sebuah tangan yang besar dan kuat hangat. Kim Hong Liu-nio ialah seorang wanita yang selain masih perawan, juga selama hidupnya belum pernah dia berdekatan dengan seorang pria, apa lagi sampai dipegang tangannya dengan cara yang sedemikian mesra dan penuh perasaan! Dia mengangkat mukanya. Akan tetapi begitu bertemu pandang dengan sepasang mata Lee Siang yang memandangnya dengan penuh perasaan, dia langsung membuang muka dengan malu, akan tetapi dia tidak menarik tangan kanannya yang masih digenggam oleh panglima itu. "Liu-nio kau... sudilah kiranya engkau minum secawan arak ini...," panglima itu berkata dengan suara agak gemetar dan juga jari-jari tangannya yang menggenggam tangan kecil wanita itu mengeluarkan getaran-getaran yang terasa sampai ke dalam lubuk hati Kim Hong Liu-nio. Wanita ini menjadi gugup dan malu bukan main, dia tidak berani memandang, tidak berani berbicara, hanya mempergunakan tangan kirinya untuk menolak cawan yang disodorkan kepadanya. "Liu-nio, aku tahu betapa lancangnya mulutku dan betapa sukarnya bagi seorang wanita terhormat seperti engkau menjawab pertanyaanku. Maka, biarlah arak di dalam cawan ini sebagai lambang cintaku kepadamu, kuhaturkan kepadamu. Apa bila engkau menerima cintaku, terima dan minumlah arak ini, apa bila engkau menolak berarti engkau menolak cintaku." "Aihhh...!" Kim Hong Liu-nio terkejut mendengar itu dan dia menjadi serba salah. Diangkatnya mukanya memandang dan begitu menatap pandang mata panglima itu, dia pun tahu bahwa dia tidak akan mampu menolaknya! Dia tahu bahwa seluruh jasmaninya, seluruh hatinya, condong kepada panglima itu dan seolah-olah menanti dan rindu akan cinta kasih Panglima Lee Siang! Maka dengan tangan gemetar diterimanya cawan itu lalu sekali tenggak kosonglah cawan itu. "Kekasihku...!" Lee Siang berseru girang bukan main. Dia cepat bangkit berdiri, memutari meja dan pada lain saat dia telah menarik tubuh Kim Hong Liu-nio, ditariknya berdiri, dipeluknya dan seperti ada besi sembrani yang menarik keduanya, tiba-tiba saja mereka telah berciuman! "Ohhh... ciangkun...!" Kim Hong Liu-nio terisak ketika ciuman itu dilepaskan dan dia lalu menyembunyikan mukanya di dada yang bidang tegap itu. Sambil memeluk dan mendekap kepala itu, Lee Siang berdongak ke atas. "Terima kasih, Liu-nio, terima kasih atas sambutanmu terhadap cintaku! Akan tetapi di sini tidak leluasa, setiap saat pelayanku dapat masuk. Mari kuantar engkau ke kamarmu, sayang. Malam ini engkau bermalam di sini!" Seperti orang yang kehilangan semangat dan seluruh tubuhnya lemas bagai tak bertulang lagi, setengah dipondong Kim Hong Liu-nio membiarkan dirinya dibawa ke dalam sebuah kamar, dan ternyata itu adalah kamar panglima itu sendiri! Lee Siang masih merangkul leher Kim Hong Liu-nio dan hanya menggunakan kakinya untuk menutupkan pintu kamar, kemudian dia membawa wanita itu ke atas tempat tidur dan mereka pun terguling di atas pembaringan dalam keadaan saling merangkul. "Sayangku, kekasihku, dewiku..." Lee Siang terus berbisik-bisik dan memeluk, menciumi, membuat Kim Hong Liu-nio seperti mabok dan lupa segala. Akan tetapi ketika merasakan jari-jari tangan itu di tubuhnya, tiba-tiba dia sadar dan dia memegang lengan panglima itu. "Jangan...! Lee-ciangkun, jangan...!" Katanya dan tiba-tiba wanita itu terisak! Sungguh luar biasa sekali. Sejak menjadi murid Hek-hiat Mo-li, belum pernah Kim Hong Liu-nio menangis, dan agaknya merupakan pantangan bagi wanita dingin serta ganas itu untuk menangis, menangis terisak-isak seperti seorang perawan di malam pengantin! "Maafkan aku, Liu-nio. Tapi kenapakah? Bukankah kita sudah saling mencinta dan besok pagi-pagi akan kuumumkan mengenai pertunangan kita, kemudian kita boleh cepat-cepat mengatur hari pernikahan kita. Ahh, Liu-nio, kekasihku, aku menghendaki bukti dari cinta kita, aku tidak ingin gagal..." Kembali panglima itu memeluk dengan penuh kemesraan, akan tetapi Kim Hong Liu-nio menolak dengan halus. "Ciangkun, kalau kau kasihan kepadaku, jangan...!" rintihnya. Lee Siang memegang kedua pundak wanita itu, memaksanya menghadapinya sehingga mereka kini saling memandang. Wanita itu masih terisak dan menggunakan sapu tangan di tangan kirinya untuk menutupi mulut dan hidungnya, akan tetapi matanya yang basah kemerahan itu menentang wajah Lee Siang penuh permohonan. "Kim Hong Liu-nio, katakanlah, engkau tadi sudah menerima cintaku, bukankah itu berarti bahwa bukan aku saja yang cinta kepadamu, akan tetapi engkau juga cinta kepadaku, bukan?" Wanita itu mengangguk dengan gerakan kepala tegas. "Nah, lalu mengapa pula engkau menolak pencurahan cintaku? Liu-nio, lihatlah baik-baik. Aku bukanlah seorang muda lagi. Usiaku sudah empat puluh tahun dan aku telah menjadi duda! Dan engkau sendiri, sungguh pun engkau kelihatan seperti seorang dara remaja, akan tetapi aku bisa menduga, bahwa engkau pun bukanlah seorang dara ingusan! Maka apa salahnya perbuatan kita ini apa bila kita lakukan dengan dasar cinta dan suka sama suka, terlebih lagi sesudah kita besok akan bertunangan dan disusul dengan pernikahan? Liu-nio kekasihku, setelah kita saling cinta, apakah engkau masih tak percaya kepadaku? Kalau aku berlaku curang dalam hubungan kita ini, dengan kepandaianmu yang tinggi itu apa sukarnya engkau membunuhku setiap waktu? Sayang marilah..." Dan dia sudah kembali merangkul dan menciumi bibir wanita itu. Karena gelora nafsunya sendiri, untuk beberapa lamanya Kim Hong Liu-nio tak menolak, bukan hanya menyerah, bahkan secara halus dia pun memperlihatkan perasaannya terhadap panglima itu dengan gerakan bibirnya yang membalas ciuman. Akan tetapi kembali dia menolak saat panglima itu hendak bertindak lebih jauh. "Lee-ciangkun, sabarlah dulu dan dengarkan baik-baik kata-kataku. Kalau sekarang aku menyerahkan diri kepadamu, kalau aku menuruti permintaanmu, sekali saja, berarti kau tidak akan melihat aku lagi, ciangkun, berarti aku akan mati..." "Ehhh...!" Lee Siang terkejut bukan main sehingga tiba-tiba dia melepaskan rangkulannya lantas bangkit berdiri, memandang wanita cantik yang masih duduk di atas pembaringan dengan rambut dan pakaian kusut itu. "Apa... apa maksudmu...?" Wajah panglima ini berubah menjadi pucat dan pandang matanya gelisah sekali. Ucapan kekasihnya itu benar-benar mengejutkan dan membuatnya cemas sekali. "Ketahuilah, ciangkun," kata wanita itu sesudah menghapus air matanya dan dia menjadi tenang kembali. "Biar pun usiaku kini telah tiga puluh lima tahun, akan tetapi sebenarnya aku masih seorang... perawan yang belum pernah dijamah seorang pria. Selama hidupku baru sekarang ini aku jatuh cinta kepada seorang pria. Sekarang kau lihatlah ini, apa yang terdapat di daguku ini?" Mendengar bahwa wanita ini masih seorang perawan, biar pun begitu cantik jelita dan usianya sudah tiga puluh lima tahun, bahkan baru sekarang jatuh cinta, Lee Siang merasa bangga sekali dan dia mengelus dagu itu. "Aku melihat sebuah titik hitam, sebuah tahi lalat yang membuat engkau kelihatan lebih manis, sayang!" "Akan tetapi titik itu adalah titik tanda maut bagiku, ciangkun!" "Eh?" Seperti meraba api, tangan yang menjamah dagu itu cepat ditarik kembali. "Kenapa begitu?" "Ketahuilah, titik ini merupakan titik tanda keperawananku dan begitu aku menyerahkan diri kepada seorang pria, titik ini akan lenyap dan aku pun akan mati di tangan subo atau di tangan suheng. Aku sudah bersumpah demikian, oleh karena itulah maka betapa pun aku... aku juga cinta padamu, namun aku tetap tidak dapat menyerahkan diri kepadamu sebelum terpenuhi sumpahku. Kalau sekali saja kulanggar, biar pun aku bersembunyi di seberang lautan sekali pun, aku tak akan bisa lolos dari tangan maut subo atau suheng." "Ahhh, sungguh penasaran sekali!" Lee Siang menepuk kepalanya sendiri lantas berjalan mondar-mandir di dalam kamar itu. "Ahh, penasaran sekali! Di dunia ini mana ada aturan seperti itu? Mana ada subo dan suheng sekejam itu?" "Kau tunggu sebentar, ciangkun, akan kuambilkan barang buktinya sehingga kau dapat mendengarnya nanti." Wanita itu cepat keluar dari kamar, mengambil buntalannya yang tadi ditaruh di ruangan di mana mereka makan, kemudian dengan cepat dia telah kembali ke dalam kamar di mana Lee Siang masih kelihatan penasaran sekali. Kim Hong Liu-nio mengambil kayu papan berbentuk salib itu dan memperlihatkannya kepada Lee Siang. "Inilah yang menjadi sumpahku." Lee Siang menerima kayu papan salib itu dan membaca tiga huruf Cia, Tio, dan Yap, juga melihat banyak coretan-coretan di bawah ketiga huruf itu. Dia membalik-balikkan salib itu lalu memandang tidak mengerti. "Apa artinya ini?" Kim Hong Liu-nio menarik napas panjang baru kemudian dia duduk di tepi pembaringan, bersanding dengan Lee Siang dan untuk menguatkan hatinya, dia lalu memegang tangan panglima itu. Mereka duduk berdekatan dan saling berpegang tangan, kemudian wanita itu mulai bercerita. "Belasan tahun yang lalu, aku adalah seorang dayang di istana Raja Sabutai, dan ketika subo dari Sri Baginda Raja Sabutai terluka dan sakit parah sesudah bertanding dengan musuh-musuhnya, aku lalu ditugaskan untuk merawat nenek itu. Agaknya nenek itu suka kepadaku maka aku lalu diambil murid. Aku tentu senang sekali karena nenek itu adalah seorang yang sakti dan memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, apa lagi dengan menjadi muridnya berarti aku juga menjadi sumoi dari Sri Baginda Raja Sabutai sendiri." "Siapakah nama subo-mu itu?" "Namanya Hek-hiat Mo-li..." "Ahh...! Sudah pernah kudengar nama itu, pernah menggemparkan ketika terjadi peristiwa penawanan kaisar dahulu. Jadi engkau adalah sumoi dari Raja Sabutai sendiri? Hebat!" "Tidak hebat, Lee-ciangkun, karena untuk menjadi murid subo aku harus bersumpah dan sumpah itulah yang kini mengikatku, yang membuat aku terpaksa menolak keinginanmu, bahkan menekan gelora hatiku sendiri." cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Lee Siang merangkul pundaknya kemudian mencium pipinya. "Aku akan memakluminya, moi-moi, cintaku kepadamu melarang aku untuk membikin susah padamu. Kini lanjutkan ceritamu, apakah isi sumpah itu?" "Aku bersumpah bahwa aku tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh tiga orang musuh dari subo dan membunuh orang-orang yang mempunyai tiga she itu. Setelah aku berhasil membunuh tiga orang musuh besar subo itu barulah aku diperbolehkan menikah. Dan titik hitam di daguku ini adalah buatan subo, sebagai tanda keperawananku. Sekali saja aku menyerahkan diriku kepada seorang pria maka tanda ini akan hilang dan subo tentu akan membunuhku, bahkan kalau subo sudah tidak ada, suheng-ku, Raja Sabutai yang telah diserahi tugas mewakili subo dan membunuhku." Lee Siang mengangguk-angguk. "Pantas... pantas engkau memaksa diri menolakku tadi, moi-moi. Dan aku tidak bisa menyalahkan engkau. Akan tetapi, siapakah musuh-musuh dari subo-mu itu? Siapa tahu barang kali aku dapat membantumu sehingga pelaksanaan sumpahmu itu dapat segera terpenuhi." "Mereka adalah Cia Bun Houw, Yap Kun Liong dan Tio Sun." Seketika wajah panglima itu menjadi pucat. "Ahhh...!" Dia memandang wajah kekasihnya dengan mata terbelalak. "Kau mengenal mereka?" "Tentu saja! Siapa yang tidak mengenal nama pendekar-pendekar sakti itu? Cia-taihiap dan Yap-taihiap sangat terkenal, tidak ada seorang pun belum pernah mendengar nama mereka, sedangkan Tio Sun kalau tidak salah, bukankah dia adalah putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas panglima pengawal di istana?" Kim Hong Liu-nio mengangguk. "Tahukah engkau di mana mereka tinggal?" "Cia-taihiap dan Yap-taihiap entah berada di mana, akan tetapi aku tahu di mana tempat tinggalnya Tio Sun. Akan tetapi, moi-moi, bagaimana mungkin engkau mampu melawan mereka itu, terutama Cia-taihiap dan Yap-taihiap? Mereka amat sakti! Bahkan kabarnya mendiang Pek-hiat Mo-ko bersama Hek-hiat Mo-li, subo-mu itu sendiri, masih tak mampu menandingi Cia Bun Houw taihiap!" Kim Hong Liu-nio mengangguk dengan tenang. "Akan tetapi subo telah membekali aku dengan ilmu yang khas untuk menghadapi mereka itu, ciangkun." "Moi-moi, kenapa engkau masih menyebutku ciangkun?" Kim Hong Liu-nio yang tadinya sudah bersikap dingin pada waktu membicarakan musuh-musuhnya, sekarang tersenyum dan wajahnya menjadi hangat kembali. Dia merangkul panglima itu dan berkata manja, "Koko yang baik, kau bantulah aku. Di mana mereka tinggal? Jika aku dapat membunuh mereka, tentu tidak ada halangan bagi kita..." Lee Siang mencium mulut dengan dagu yang bertahi lalat manis itu. Sejenak mereka pun tenggelam ke dalam keasyikan gelora nafsu mereka, kemudian teringat akan sumpah itu, Lee Siang menarik napas dan cepat-cepat melepaskan rangkulannya yang hanya akan menambah gelora gairahnya yang akhirnya toh tidak akan dapat tercurahkan dan hanya akan mendatangkan kekecewaan belaka. "Tidak ada orang yang tahu di mana adanya Cia-taihiap, akan tetapi aku dapat menyebar penyelidik-penyelidik, moi-moi. Kalau Tio Sun, tadinya dia tinggal di kota Yen-tai, di bekas rumah mertuanya, akan tetapi sudah tiga bulan ini dia dengan keluarganya pindah ke kota raja." "Di sini?" Kim Hong Liu-nio memandang wajah kekasihnya dengan berseri. "Bagus sekali, di mana? Biar aku ke sana sekarang juga." "Jangan tergesa-gesa...!" "Mengapa tidak? Biar tiga orang musuh besar subo itu berkurang satu, tinggal mencari yang dua lagi." "Moi-moi, Tio Sun adalah putera dari mendiang Ban-kin-kwi, seorang yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya dan kabarnya Tio Sun bahkan tidak kalah lihai oleh ayahnya itu. Juga isterinya mempunyai kepandaian tinggi. Apa kau merasa yakin bahwa kau akan mampu menandinginya?" Kim Hong Liu-nio mengangguk. "Tetapi jangan sekarang. Biarlah malam ini kau beristirahat di sini, besok saja kau pergi mencari dia." Lee Siang tetap menahannya. "Moi-moi, kalau kau pergi aku akan khawatir sekali..." Panglima yang sudah kegilaan itu merangkul lagi. Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong Liu-nio mendorongnya agak keras dan sebelum panglima itu lenyap rasa kagetnya, wanita itu telah meloncat ke pintu kamar itu dan mendorongnya terbuka. Akan tetapi tidak nampak siapa-siapa di situ, hanya nampak ada sebatang hui-to (pisau terbang) yang menancap di pintu kamar itu, masih tergetar dan di bawah pisau itu terdapat sehelai surat. Kim Hong Liu-nio mencabut pisau itu dan membawa pisau serta surat ke dalam kamar kembali. "Dari... dari mana pisau itu?" tanya Lee Siang. "Dilemparkan oleh seorang yang berkepandaian tinggi, berikut suratnya," jawab Kim Hong Liu-nio dengan tenang. Lee Siang adalah seorang panglima pengawal yang juga memiliki kepandaian, maka dia menjadi marah sekali. "Biar kukejar dia, kusiapkan pengawal-pengawal!" "Percuma, koko. Dia sudah pergi jauh. Dia telah melemparkan pisau itu dengan tenaga sinkang yang amat tinggi sehingga pisau itu bisa mencari sasarannya sendiri ke pintu ini, maka orangnya tentu berada di atas genteng dan sekarang sudah pergi jauh." Akan tetapi Lee Siang merasa penasaran. Belum pernah ada yang berani mengganggu rumahnya, maka dia segera berlari keluar, hanya dipandang saja oleh wanita itu sambil tersenyum, Kim Hong Liu-nio tidak mengikuti kekasihnya, hanya membuka kertas berlipat itu yang ternyata adalah sehelai surat. Tidak lama kemudian Lee Siang sudah masuk kembali dengan alis berkerut dan wajah penasaran. "Engkau benar, moi-moi, tidak ada tanda sedikit pun juga. Ehh, surat apakah itu?" Kim Hong Liu-nio sudah membaca surat itu dan dengan tenang dia menyerahkan sehelai surat itu kepada Lee Siang yang segera membacanya di bawah penerangan lampu dalam kamar itu. Kim Hong Liu-nio, Kalau dalam waktu tiga hari engkau belum datang ke hutan pertama di sebelah utara pintu gerbang kota raja untuk bertanding satu lawan satu dengan aku, terpaksa aku akan datang mengunjungimu di gedung Lee-ciangkun pada malam ke empat. Hwa-i Kaipangcu "Ahhh...! Sungguh berani dia!" Lee Siang berseru sambil mengepal tinju dan meremas surat itu. "Akan kukerahkan pasukan untuk..." "Jangan, koko. Lihat, dia menantangku secara gagah untuk bertanding satu lawan satu. Kalau engkau mengerahkan pasukan, bukankah sama halnya dengan aku menjadi takut dan hendak bersembunyi di balik keangkeran pasukanmu? Sungguh akan mencemarkan namaku kalau begitu, koko." "Habis, bagaimana?" "Besok pagi-pagi aku akan pergi ke hutan untuk membunuhnya!" "Kau kira siapa dia itu? Ketua kaipang itu amat lihai!" "Aku tidak takut." Tiba-tiba Lee Siang memandang kekasihnya dengan wajah berseri. "Ah? Kenapa tidak? Dia akan datang ke sini pada malam ke empat. Bagus sekali, kita adu domba mereka dan engkau akan bisa melenyapkan seorang musuh besarmu tanpa menimbulkan keributan." Dengan girang panglima itu lalu merangkul kekasihnya dan hendak menciumnya. "Nanti dulu, koko." Kim Hong Liu-nio mengelak. "Katakan dulu, apa maksudmu?" "Begini, moi-moi," panglima itu menuntun kekasihnya kemudian mereka kembali duduk berdampingan di tepi pembaringan. "Aku akan mengundang Tio Sun untuk membantuku. Kukatakan bahwa aku diancam oleh seorang penjahat lihai. Dan kalau pada malam ke empat itu pangcu itu datang, biarlah dia bertanding melawan Tio Sun. Nah, di situ kau turun tangan membunuh musuh subo-mu itu. Kemudian kita menyiarkan bahwa Tio Sun terbunuh oleh Hwa-i Kaipang. Bukankan itu baik sekali, berarti sekali tepuk memperoleh dua ekor lalat?" Kim Hong Liu-nio mengangguk-angguk. "Aih, ternyata engkau hebat dan pandai bersiasat koko." Demikianlah, semalam suntuk itu kedua orang laki-laki dan wanita yang sudah lebih dari dewasa ini bagaikan pengantin baru di dalam kamar itu, hanya mereka tidak melampaui garis yang akan mengakibatkan lenyapnya tahi lalat di dagu wanita itu. Bagaikan api yang diberi umpan, nafsu yang ditahan-tahan akan menjadi makin berkobar ganas. Dan orang yang sudah dicengkeram nafsunya sendiri akan menjadi seperti buta. Lee Siang, seorang panglima pengawal istana yang selalu menjunjung kegagahan, akibat cengkeraman nafsunya, kini hanya memiliki satu tujuan, yaitu menyingkirkan penghalang-penghalang agar dia dapat segera memiliki wanita itu menjadi isterinya, dan dalam usaha menyingkirkan penghalang-penghalang ini tentu saja dia tidak lagi memperhitungkan baik buruknya! Orang yang mabok akan keinginan mengejar sesuatu, mana mungkin ada yang mau mempedulikan baik buruk dari caranya mengejar untuk memperoleh itu...? *************** Tio Sun adalah seorang pendekar yang tidak terkenal karena memang pendekar ini tidak pernah menonjolkan dirinya dan semenjak dia menikah dengan isterinya yang tercinta, dia tidak pernah mau mencampuri urusan kang-ouw sehingga namanya tidak begitu menonjol dan tidak dikenal umum, kecuali hanya oleh orang-orang kang-ouw tertentu saja. Padahal, Tio Sun adalah seorang pendekar yang sangat lihai. Usianya sudah tiga puluh tiga tahun, melihat pakaiannya yang sederhana dan dia suka dengan warna kuning, orang tidak akan menyangka bahwa dia adalah putera tunggal mendlang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, jagoan istana yang pernah menjulang tinggi namanya. Tio Sun bukan seorang pria yang tampan, akan tetapi dia memiliki sifat gagah dan jantan, pendiam, halus budi, berhati mulia, bersikap tegas dan jujur. Kedua matanya yang sipit itu seperti orang yang selalu mengantuk, namun dari balik mata sipit itu bersinar pandangan mata yang tajam dan penuh kewaspadaan. Sudah kurang lebih sebelas tahun pendekar ini menikah dengan Souw Kwi Eng, seorang gadis yang luar biasa cantiknya, yang memiliki kecantikan yang khas, karena Souw Kwi Eng ini seorang gadis peranakan, ibunya pribumi ada pun ayahnya seorang asing, yaitu seorang berkebangsaan Portugis yang bernama Yuan De Gama. Souw Kwi Eng ini juga mempunyai nama Portugis, yaitu Maria De Gama. Para pembaca cerita Si Dewi Maut tentu sudah mengenal baik suami isteri Tio Sun dan Souw Kwi Eng ini, karena keduanya juga merupakan tokoh-tokoh penting dalam cerita Si Dewi Maut itu. Seperti telah diceritakan dalam cerita Dewi Maut, Souw Kwi Eng adalah seorang anak kembar, yaitu dengan saudaranya atau kakaknya yang bernama Souw Kwi Beng alias Ricardo De Gama. Karena ayah mertuanya adalah seorang pedagang yang kaya raya, sedangkan dia sendiri sudah sebatang kara, maka setelah menikah, Tio Sun tinggal di kota Yen-tai di pelabuhan Po-hai di mana ayah mertuanya tinggal dan di sana dia membantu pekerjaan ayahnya bersama iparnya, yaitu Souw Kwi Beng. Dia tinggal di Yen-tai dengan tentram dan hidup saling mencinta dengan istrinya, sampai anak tunggal mereka lahir dua tahun sesudah mereka menikah. Tentu saja kelahiran Tio Pek Lian, anak perempuan mereka itu, semakin membahagiakan suami isteri itu, bahkan anak ini sangat disayang oleh kakek dan neneknya, juga oleh pamannya yang tinggal serumah. Kemudian, setelah Tio Pek Lian berusia sembilan tahun, terjadilah perubahan. Yuan De Gama bersama isterinya, yaitu bekas pendekar wanita Souw Li Hwa yang menjadi murid dari panglima sakti The Hoo yang merasa sudah tua dan rindu kepada tanah airnya di Eropa, lalu mengajak isterinya untuk pulang ke Portugis. Semua pekerjaan ditinggalkan kepada Souw Kwi Beng yang tetap tinggal di Yen-tai. Kemudian, usaha perdagangan itu membutuhkan perwakilan di kota raja, maka Tio Sun dan isteri serta puterinya lalu pindah ke kota raja sebagai cabang dari perusahaan iparnya di Yen-tai itu. Demikianlah, tanpa banyak ribut-ribut dan tanpa diketahui orang, Tio Sun pendekar putera mendiang seorang jagoan istana itu kini tinggal di kota raja dengan diam-diam, bersama dengan isterinya dan puterinya yang telah berusia sembilan tahun. Di kota raja Tio Sun membuka toko dan menjual dagangan-dagangan yang didatangkan dari luar negeri oleh iparnya di Yen-tai. Hidupnya cukup tentram dan suami isteri ini mulai mendidik puteri mereka dengan ilmu silat karena selain Tio Sun sendiri adalah seorang pendekar yang pandai, juga isterinya, Souw Kwi Eng, adalah seorang pendekar wanita yang lihai pula. Tentu saja di samping pendidikan ilmu silat, Tio Sun juga tidak melupakan pendidikan ilmu baca tulis kepada puterinya, sedangkan Souw Kwi Eng juga tak melupakan untuk memberi pelajaran segala macam kepandaian puteri kepada Pek Lian. Segala sesuatu berjalan lancar, hanya saja keluarga ini sama sekali tidak mengira bahwa perpindahan mereka dari Yen-tai ke kota raja itu diam-diam diketahui oleh para tokoh di istana, termasuk pula Panglima Lee Siang. Betapa pun juga, nama mendiang ayah Tio Sun, yaitu Ban-kin-kwi (Iblis Selaksa Kati) Tio Hok Gwan, sudah terlampau terkenal untuk melewatkan putera tunggalnya begitu saja. Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan adalah pembantu yang dipercaya oleh mendiang Panglima Besar The Hoo, maka tentu saja biar pun dia sudah tidak ada, namun puteranya masih diperhatikan oleh para tokoh di istana, sungguh pun pendekar ini tidak diganggu karena dia kini sudah menjadi seorang pedagang. Baru saja tiga bulan semenjak Tio Sun pindah ke kota raja, pada suatu pagi muncullah Panglima Lee Siang yang berpakaian seperti penduduk biasa ke rumah pendekar ini. Tio Sun tidak mengenal Lee Siang, maka dia memandang heran ketika tamu itu mengenalkan diri sebagai panglima pengawal Lee Siang! Sebagai seorang yang sopan dan ramah, Tio Sun lalu mempersilakan tamunya duduk di ruangan tamu. Setelah saling memberi hormat dan duduk saling berhadapan, Lee Siang lalu berkata, "Harap Tio-taihiap suka memaafkan saya kalau kedatangan saya ini mengganggu. Saya datang bukanlah sebagai panglima pengawal istana, melainkan sebagai seorang sahabat yang amat menghormat dan mengagumi mendiang ayah taihiap." Tio Sun merasa seperti sudah pernah mengenal wajah itu, maka dia lalu teringat kepada Panglima Lee Cin, juga seorang Panglima Kim-i-kwi dari istana. "Maafkan saya, akan tetapi rasanya saya belum pernah berkenalan dengan ciangkun." "Nama saya Lee Siang..." "Ahh, apakah masih ada hubungan dengan Panglima Lee Cin?" "Lee Cin adalah kakak saya." "Ahh...!" Tio Sun tersenyum girang. "Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa saya menerima kunjungan dari Lee-ciangkun. Tidak tahu ada urusan apa yang membawa ciangkun datang ke tempat kami ini?" "Sekali lagi maaf, taihiap. Kedatanganku ini hanya mengganggu saja, akan tetapi karena saya sudah merasa putus asa dan gelisah sekali, maka mendengar bahwa taihiap kini tinggal di kota raja, maka saya segera teringat akan mendiang ayah taihiap yang berjiwa pendekar dan selalu menolong siapa saja yang sedang menghadapi kesukaran. Karena saya sedang terancam bahaya mohon pertolongan taihiap untuk menyelamatkan saya." Tio Sun tersenyum tenang, menganggap bahwa omongan itu seperti kelakar saja. "Aihh, Lee-ciangkun, harap jangan main-main. Ciangkun merupakan seorang Panglima Kim-i-wi, maka siapa yang berani main-main dengan ciangkun? Bagaimana mungkin keselamatan ciangkun dapat terancam bahaya sedangkan ciangkun menguasai pasukan Kim-i-wi yang terkenal kuat?" Lee Siang menarik napas panjang. "Itulah susahnya, taihiap. Oleh karena saya seorang panglima, maka saya tidak mau membawa-bawa nama Kim-i-wi, karena apa bila hal itu diketahui oleh sri baginda kaisar, tentu saya akan mendapat hukuman. Urusan ini adalah urusan pribadi, maka saya datang kepada taihiap juga dengan pakaian preman, sebagai Lee Siang yang pernah mengagumi ayah taihiap dan yang ingin minta tolong kepadamu, bukan sebagai seorang Panglima Kim-i-wi." Karena Lee Siang menyebut-nyebut nama mendiang ayahnya, dan mengingat bahwa panglima ini adalah adik dari Panglima Lee Cin yang dikenalnya dan dihormatinya, maka Tio Sun lalu berkata, "Harap ciangkun ceritakan apakah sebenarnya urusan itu? Mungkin tanpa bantuanku juga engkau akan dapat membereskannya." "Urusan ini adalah urusan pribadi, yang mula-mulanya timbul dari urusan seorang wanita, taihiap. Karena itulah maka saya tidak berani memberitahukan orang lain, karena malu, apa lagi kalau harus menggunakan Kim-i-wi! Mungkin taihiap sudah mendengar tentang seorang pangeran putera dari sri baginda kaisar dari utara yang baru saja datang dengan seorang wanita pengawalnya dan yang telah menyelamatkan kaisar dari pengkhianatan, bukan?" Tio Sun tersenyum. Dia sudah mendengar akan hal itu dan dia tahu pula siapa pangeran itu. Siapa lagi kalau bukan putera Ratu Khamila di utara? Dahulu, bersama Souw Kwi Beng yang belum menjadi iparnya, dia pernah pergi ke utara dan menjadi tamu dari Sabutai, dan dia telah bertemu Ratu Khamila yang minta dia menyampaikan pesan ratu cantik itu setelah menjenguk puteranya, agar diberitakan kepada kaisar bahwa puteranya itu mempunyai tahi lalat merah di sebelah kanan pusarnya. Tentu saja dia sudah menduga bahwa putera Ratu Khamila itu adalah keturunan kaisar ketika kaisar ditawan dahulu. Dan kini, putera kaisar itu sudah hampir dewasa, bahkan bersama pengawal wanitanya yang kabarnya lihai itu sudah menyelamatkan kaisar, ayah kandungnya. "Saya sudah mendengar tentang itu, Lee-ciangkun." Lee Siang menarik napas panjang. Mudah berbicara dengan pendekar ini yang pendiam akan tetapi penuh pengertian. "Nah, wanita itu bernama Kim Hong Liu-nio, pengawal dari sang pangeran. Sebelum dia menghadap ke istana, Kim Hong Liu-nio sudah salah faham dengan fihak Hwa-i Kaipang sehingga terjadi pertempuran dan fihak Hwa-i Kaipang kalah. Akan tetapi, ternyata fihak Hwa-i Kaipang tidak menerima kekalahan itu dan ketika Kim Hong Liu-nio hendak keluar kota raja, dia dikepung dan dikeroyok. Untung saya datang dan saya melerai mereka, lalu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio ke rumah saya. Dan kami... eh, mungkin taihiap belum pernah mendengar bahwa sudah beberapa lama saya hidup menduda setelah isteri saya meninggal tanpa mempunyai keturunan. Saya dan Kim Hong Liu-nio... ehh, kami saling tertarik dan saya bertekad melindunginya dari ancaman Hwa-i Kaipang." Tio Sun mengangguk-angguk. Walau pun panglima ini usianya sudah kurang lebih empat puluh tahun, akan tetapi masih tampan gagah dan duda, berkedudukan baik pula, maka tidaklah mengherankan kalau panglima ini main asmara dengan seorang wanita. "Lalu apa hubungannya semua itu dengan saya, ciangkun?" "Beberapa hari yang lalu kami menerima surat ini, dilempar dengan pisau yang menancap di pintu kamar saya." Lee Siang mengeluarkan sehelai surat dan menyerahkan surat itu kepada Tio Sun.....
JILID 14
PENDEKAR itu dengan tenang membacanya. Itu adalah surat tantangan yang ditulis oleh Hwa-i Kaipangcu dan ditujukan kepada Kim Hong Liu-nio itu. Sesudah membaca surat tantangan itu dan maklum bahwa malam nanti adalah malam ke empat yang dimaksud dalam surat itu, Tio Sun mengerutkan alisnya dan memandang wajah panglima itu dengan tajam menyelidik. "Saya masih belum mengerti juga apa hubungannya surat tantangan itu dengan saya, Lee-ciangkun." "Saya gelisah sekali, taihiap. Saya tidak ingin dia... dia yang saya harapkan menjadi isteri saya... melakukan sesuatu yang menggegerkan kota raja. Dan terutama sekali saya amat khawatir kalau dia celaka, karena saya mendengar bahwa ketua Hwa-i Kaipang adalah seorang yang amat lihai." "Ciangkun, saya telah mendengar bahwa Kim Hong Liu-nio, pengawal pangeran dari utara itu berkepandaian tinggi apa lagi yang perlu dikhawatirkan?" "Saya takut kalau-kalau dia celaka dalam pertemuan itu, dan andai kata dia menang dan ketua Hwa-i Kaipang yang tewas, juga tentu hal itu menimbulkan geger. Maka saya telah mencegah dia pergi keluar kota raja, dan saya lalu teringat kepadamu dan tergesa-gesa saya mohon pertolonganmu, taihiap." "Hemmm, apakah yang dapat saya lakukan dalam urusan permusuhan pribadi ini?" tanya Tio Sun. Tentu saja dia tidak dapat membantu satu fihak karena dia pun tidak tahu urusannya. Dia mendengar bahwa Hwa-i Kaipang adalah perkumpulan pengemis yang sangat besar dan berpengaruh, dan belum pernah terdengar melakukan kejahatan-kejahatan di sekitar kota raja, sungguh pun di kalangan kang-ouw juga tidak mempunyai nama yang harum. Sebaliknya, dia tidak kenal sama sekali kepada wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu. Kalau hanya karena wanita itu adalah kekasih Lee Siang lalu dia membantu wanita itu, sungguh hal ini sama sekali tidak mungkin. "Begini, taihiap. Saya hanya mohon kepada taihiap sudilah kiranya menerima kedatangan ketua Hwa-i Kaipang itu dan mendamaikan. Mungkin melihat taihiap, apa lagi kalau tahu bahwa taihiap adalah putera mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, saya percaya bahwa ketua Hwa-i Kaipang itu mau menyudahi saja urusan permusuhan yang tak berarti itu." Tio Sun mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Permintaan itu sudah sepatutnya. Mendadak dia merasa tertarik dan sebagai orang penengah tentu saja dia tidak berkeberatan, tetapi sebagai penengah dia harus mengetahui pula apakah yang menimbulkan permusuhan itu. "Mengapa Kim Hong Liu-nio sampai bermusuhan dengan Hwa-i Kaipang?" Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini, Lee Siang agak kaget juga. Akan tetapi urusan ini memang sebelumnya telah dia rencanakan, maka untuk itu dia pun telah menyediakan jawabannya. Dia menarik napas panjang dan kemudian berkata, "Ahh, sesungguhnya hanya urusan sepele saja, taihiap. Dan bersumber kepada pangeran dari utara itu. Terjadinya di kota Huai-lai ketika Kim Hong Liu-nio mengantarkan Pangeran Ceng Han Houw ke kota raja. Di kota itu, mereka berjumpa dengan seorang pengemis kotor yang minta sedekah ketika mereka sedang makan di restoran. Pangeran Ceng Han Houw merasa jijik melihat pengemis yang kakinya luka dan dirubung lalat itu, maka Kim Hong Liunio segera mengusirnya. Akan tetapi ternyata pengemis itu adalah seorang yang memiliki kepandaian dan dia malah mengeluarkan kata-kata menghina sehingga terjadilah pertempuran antara mereka. Dan engkau tahu, taihiap, jika dua orang yang memiliki ilmu silat sudah bertanding dengan marah, maka tentu seorang di antaranya menjadi korban. Pengemis itu pun roboh dan tewas. Kim Hong Liu-nio kemudian mengajak sang pangeran cepat-cepat ke kota raja, menyangka bahwa urusan itu sudah tidak berekor lagi karena pengemis itu tidak mengenakan pakaian sebagai anggota Hwa-i Kaipang. Tetapi ternyata ada tiga orang tokoh Hwa-i Kaipang yang mengejar dan membikin ribut, minta kepada Kim Hong Liu-nio untuk menyerahkan tangannya. Terjadilah lagi pertempuran dan ketiga orang pengemis itu dapat diusir. Lalu panjanglah akibatnya sampai wanita itu dikepung di luar kota raja dan saya kebetulan lewat lalu melerai. Nah, itulah sebabnya sehingga kini ketuanya mengirim surat tantangan itu." Tio Sun menarik napas panjang. Biasa sudah, urusan orang kang-ouw yang semuanya didasari keangkuhan, tidak mau saling mengalah, mengandalkan kepandaian, lalu kalau sudah ada yang menjadi korban, timbul dendam dan balas-membalas! Betapa dia sudah bosan dengan semua itu dan karena itu pulalah maka dia dengan isterinya, sungguh pun keduanya merupakan pendekar-pendekar lihai, semenjak menikah sudah mengundurkan diri dan tidak mau mencampuri urusan kang-ouw. Melihat pendekar itu termenung, Panglima Lee Siang cepat berkata, "Bagaimana, taihiap? Harap taihiap sudi menaruh kasihan kepada kami dan sudi menolong kami." "Lee-ciangkun, sesungguhnya hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan saya, akan tetapi apa bila hanya menjadi seorang penengah saja, tentu saya tidak keberatan. Akan tetapi, bagaimana kalau dia, ketua Hwa-i Kaipang itu, tidak mau didamaikan?" "Kalau begitu, terserah kepada mereka berdua, hanya saya harap taihiap sudi melindungi saya karena siapa tahu ketua pengemis itu, kalau-kalau mendendam pula kepada saya yang menyelamatkan Kim Hong Liu-nio pada waktu dikeroyok. Saya tidak mungkin dapat menggunakan pasukan untuk urusan pribadi ini, taihiap. Dan pula... saya minta dengan hormat sudilah kiranya taihiap merahasiakan urusan pribadi saya dan Kim Hong Liu-nio! Saya tidak ingin didesas-desuskan, sesungguhnya saya mengharapkan dia menjadi calon isteri saya kelak." Tio Sun tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, ciangkun." Lee Siang cepat bangkit berdiri dan menjura sampai dalam, sehingga Tio Sun juga segera membalasnya. "Terima kasih, Tio-taihiap, terima kasih. Saya harap sesudah lewat senja taihiap benar-benar datang ke gedung saya, dan kepada hujin (nyonya) sekali pun, harap taihiap jangan menceritakan urusan pribadi saya itu. Saya malu..." "Saya mengerti, ciangkun. Nanti begitu malam tiba, saya mengunjungi ciangkun." Panglima itu kemudian berpamit dengan wajah girang, dan Tio Sun lalu masuk ke dalam rumahnya. Isteri dan puterinya menyambutnya dan Tio Sun lantas memondong puterinya yang sudah berusia sembilan tahun itu. Pek Lian tertawa girang dan isterinya mengomel, "Ihhh, anak sudah begini besar dipondong, bikin dia tambah manja saja!" "Ah, Pek Lian tidak manja, ya? Ayah menggendong karena sayang, bukan memanjakan!" Pek Lian mengangguk-angguk dan mengerling kepada ibunya. "Aku tak minta dipondong, ibu. Ayah sendiri yang memondongku, apa tidak boleh?" Dikeroyok dua begini, Souw Kwi Eng atau nyonya Tio Sun itu tersenyum saja, lalu dia bertanya, "Siapa sih orang tadi? Kulihat dia bukan seorang pedagang langganan atau pun kenalan kita, akan tetapi kalian bicara demikian serius!" "Ohh, dia? Dia adalah Panglima Lee Siang, adik dari Panglima Kim-i-wi Lee Cin. Masih ingatkah kau kepada Panglima Lee Cin?" "Ahh, Panglima? Kenapa dia berpakaian preman, dan apa pula maksudnya mengunjungi kita?" tanya Kwi Eng dengan curiga. Selama ini mereka hanya mengurus perdagangan, kenapa ada Panglima Kim-i-wi mengunjungi suaminya dan bicara demikian serius? Diam-diam Tio Sun memasukkan surat tantangan yang tadi lupa tidak dibawa pergi oleh Lee Siang dan masih digenggamnya itu ke dalam saku bajunya tanpa sepengetahuan isterinya, kemudian sambil duduk memangku Pek Lian dia berkata, "Dia datang minta tolong kepadaku untuk mendamaikan urusan. Dia mempunyai sedikit salah paham dengan ketua Hwa-i Kaipang dan minta tolong kepadaku agar mendamaikan urusan itu." "Ketua Hwa-i Kaipang? Ihhh, perkumpulan pengemis itu tidak berbau harum. Suamiku, urusan apakah yang perlu kau damaikan itu?" Tio Sun sudah menduga bahwa tentu isterinya akan mendesak terus sehingga tidak ada gunanya bagi dia untuk berbohong. Maka dia lalu menceritakan urusan itu, yaitu betapa ketua Hwa-i Kaipang merasa tidak senang karena Panglima Lee Siang sudah menolong seorang musuh Hwa-i Kaipang ketika ribut dengan para pengemis di luar pintu gerbang. Dan kini ketua Hwa-i Kai-ipang mengancam, maka Panglima Lee Siang yang tidak ingin menimbulkan keributan lalu minta kepada dia untuk menjadi orang penengah. "Mengapa justru engkau yang dimintainya tolong? Bukankah dia itu panglima dan banyak mengenal orang pandai di sini?" "Dia adalah pengagum mendiang ayah. Maklumlah sama-sama panglima pengawal. Dan kukira tidak ada jahatnya bila hanya menjadi penengah saja, isteriku. Urusan kecil ini tidak perlu kau khawatirkan." hatinya merasa lega karena isterinya tidak tertarik tentang orang yang dikeroyok oleh para pengemis dan yang menjadi biang keladi urusan itu. Setelah mandi, tukar pakaian dan makan malam, Tio Sun lalu berpamit kepada isterinya dan dengan tenang dia lalu pergi ke rumah gedung Panglima Lee Siang yang mudah saja ditemukannya di antara rumah-rumah para pembesar istana. Rumah itu sunyi saja dan lampu-lampu telah menyambut datangnya malam. Panglima Lee Siang sendiri menyambut kedatangannya dan agaknya memang panglima itu sudah menunggu di rumah depan. Dari wajahnya nampak betapa panglima itu sedang gelisah dan begitu menyambut Tio Sun, dia lalu menggandeng tangan pendekar itu dan diajaknya masuk ke dalam, langsung memasuki sebuah ruangan yang agaknya sengaja dikosongkan, dan di sana hanya terdapat sebuah meja dengan dua bangku untuk mereka berdua. Ketika Lee Siang menyuruh pelayan mengeluarkan hidangan, Tio Sun cepat mencegah dengan mengatakan bahwa dia sudah makan malam sebetum berangkat. Panglima Lee Siang lalu menyuruh pelayannya mengambilkan dua cawan dan seguci arak. "Ah, hati saya lega bukan main, Tio-taihiap!" kata panglima itu sambil menuangkan arak ke dalam cawan dengan tangan gemetar. Melihat ini, Tio Sun yang bersikap tenang itu tersenyum menghibur, "Tenanglah, ciangkun, kenapa harus gelisah? Bukankah kita akan menawarkan perdamaian dan bukan hendak menyambut orang dengan kekerasan? Akan tetapi sunyi benar gedungmu ini?" "Memang saya sengaja menyuruh para pelayan menyingkir supaya percakapan kita nanti tidak sampai terdengar oleh orang. Akan tetapi jangan khawatir, diam-diam saya sudah mempersiapkan pasukan pengawal, kalau-kalau tamu kita nanti menggunakan kekerasan. Akan tetapi talhiap berjanji akan melindungi saya, bukan?" Tio Sun mengangguk dan menerima cawan arak yang disuguhkan tuan rumah, kemudian meminumnya. "Saya kira tidak perlu, karena saya yakin ketua itu tak akan menggunakan kekerasan kepadamu, ciangkun. Akan tetapi... ehh, mana dia wanita pengawal dari utara itu? Bukankah dia yang dicari?" "Ah, saya suruh dia bersembunyi dulu, taihiap. Jika melihat dia, salah-salah urusan akan menjadi panas dan sukar didamaikan. Kalau sudah buntu jalan, barulah dia akan muncul. Sebaiknya tidak mempertemukan dahulu dua orang yang saling marah dan mendendam, bukan?" Tio Sun mengangguk, setuju. Lee Siang yang nampaknya selalu gelisah itu lalu hendak menutupi kegelisahannya dengan membicarakan urusan masa lalu, waktu Tio Sun masih terjun di dunia kang-ouw bersama-sama dengan pendekar-pendekar sakti seperti Cia Bun Houw, Yap Kun Liong, Yap In Hong, dan yang lain-lain. Secara cerdik dan sepintas lalu seakan-akan tidak sengaja dan hanya ingin mengisi waktu yang menegangkan itu dengan percakapan, Lee Siang mencari keterangan tentang pendekar-pendekar yang lainnya itu. Mula-mula dia menanyakan mengenai pendekar tua Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Kemudian dengan hati-hati dia menanyakan di mana adanya putera ketua Cin-ling-pai itu, yaitu pendekar Cia Bun Houw dan pendekar Yap Kun Liong! "Setahu saya, Yap Kun Liong taihiap tinggal di Leng-kok, akan tetapi tentang Cia-taihiap, entah dia berada di mana. Semenjak kembali dari utara, dia menghilang bersama Yap In Hong lihiap, entah mereka berada di mana." Diam-diam giranglah hati Lee Siang karena dia sudah mendapatkan keterangan di mana adanya Yap Kun Liong, salah seorang di antara musuh-musuh yang harus dibasmi oleh kekasihnya! Dan pada saat itu pula, Tio Sun menaruh telunjuk di depan bibirnya nambil memasang telinga dan matanya yang sipit itu seperti terpejam, seluruh panca inderanya ditujukan ke bagian atas karena pendengarannya yang terlatih dan lebih tajam dari pada pendengaran tuan rumah itu menangkap suara yang tidak wajar. Wajah Lee Siang menjadi pucat. Jelas bahwa dia kelihatan gelisah sekali! Diam-diam Tio Sun pun merasa heran mengapa tuan rumah ini, adik dari Panglima Lee Cin yang gagah berani, juga seorang Panglima Kwi-i-wi, ternyata demikian kecil nyalinya! Dan pada saat itu pula terdengarlah suara dari atas, suara yang jelas sekali akan tetapi perlahan, seolah-olah orangnya yang bicara itu berada dekat di dalam kamar itu! Seperti setan tidak kelihatan yang bicara! Akan tetapi Tio Sun terkejut karena dia maklum bahwa orang itu telah menggunakan ilmu Coan-im-jip-bit, yaitu ilmu khikang, dengan tenaga sakti di dalam pusar sudah mendorong keluar suara hingga menjadi getaran yang mampu menempuh jarak jauh biar pun hanya diucapkan secara lirih! "Kim Hong Liu-nio, lekaslah keluar dan jangan bersembunyi di balik perlindungan seorang panglima!" Tio Sun mengerutkan alisnya. Dari suaranya saja sudah dapat diduga bahwa orang yang mengeluarkan suara itu adalah seorang yang tinggi hati, angkuh dan merasa tidak perlu menghormati seorang panglima istana! Bahkan terdapat nada mengejek di dalam suara itu terhadap Lee-ciangkun tanpa menyebut nama! Akan tetapi dia diam saja, menanti perkembangan lebih lanjut, karena bukankah tugasnya hanya melerai dan menengahi, apa bila mungkin mendamaikan kedua fihak yang sedang bersengketa? Mendadak terdengar Lee Siang berkata, suaranya cukup nyaring, tidak nampak lagi sisa ketegangan mau pun kegelisahannya yang tadi, "Apakah yang datang itu adalah Hwa-i Kaipangcu?" Suaranya nyaring dan sudah pasti terdengar oleh orang yang berada di atas. Kembali terdengar suara lirih tadi, namun jelas sekali, penuh dengan kewibawaan, "Kami adalah ketua Hwa-i Kaipang, dan kami datang hanya untuk berurusan dengan seorang wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio!" Sebelum Tio Sun dapat memikirkan harus berkata apa, kembali Lee Siang sudah berkata nyaring. "Pangcu, harap kau turun saja. Kami sudah menanti di ruangan ini! Marilah kita bicara!" Suara panglima itu kini terdengar keras, tegas dan galak, bahkan seperti orang menantang. Tio Sun kembali merasa heran dan ketika dia mengerling, dia melihat panglima itu sama sekali tidak kelihatan takut lagi! Diam-diam dia merasa geli juga. Tadi sebelum orangnya datang panglima itu nampaknya begitu ketakutan, akan tetapi sekarang setelah orangnya datang dan sudah memperlihatkan Ilmu Coan-im-jip-bit yang membayangkan kepandaian tinggi, panglima ini malah berkaok-kaok menantang! Sungguh tak tahu diri! Akan tetapi dia tidak memperhatikan lagi kepada panglima itu sebab seluruh perhatiannya dicurahkan untuk menangkap gerakan yang kini terdengar. Angin menyambar dan seperti seekor burung saja, sesosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di dalam ruangan itu telah berdiri seorang kakek. Aneh sekali kakek ini, terutama pakaiannya sebab dia memakai pakaian baru yang penuh tambal-tambalan belang-bonteng serta berkembang-kembang, sungguh menyolok sekali. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut. Pakaiannya yang penuh tambalan itu masih baru, yang memang sengaja ditambal-tambal, juga sepatunya baru. Tubuhnya pendek kecil, rambutnya digelung ke atas dan mukanya seperti muka tikus karena selain kecil sempit juga agak meruncing ke depan, di bagian mulutnya merupakan ujungnya, dan sepasang matanya yang kecil itu tiada hentinya bergerak-gerak. Berbeda dengan tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang lain yang menandai kedudukan atau tingkat mereka di dalam perkumpulan itu dengan banyaknya buntalan di punggungnya, kakek ini sama sekali tidak menggendong buntalan. Justru inilah tanda bahwa dia merupakan tokoh nomor satu atau ketua dari Hwa-i Kaipang! Seperti semua ketua Hwa-i Kaipang, setelah menjadi ketua maka dia meninggalkan namanya sendiri, dan hanya menggunakan nama Hwa-i Sin-kai (Pengemis Sakti Baju Kembang). Usia kakek ini sudah enam puluh tahun lebih. Sepasang mata yang liar dan amat tajam sinarnya itu hanya menyapu saja dua orang laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya, karena pandang mata itu lalu mencari-cari di sekeliling ruangan itu. Dan tanpa mempedulikan dua orang pria itu, bahkan seolah-olah menganggap mereka itu tidak ada, kakek ini kemudian berseru, "Kim Hong Liu-nio, keluarlah untuk mengadu kepandaian!" Sikap ini memang angkuh sekali, maka diam-diam Tio Sun merasa menyesal mengapa seorang ketua perkumpulan sebesar Hwa-i Kaipang bersikap demikian congkaknya. Lee Siang melangkah maju dengan sikap marah. "Lo-kai (pengemis tua), betapa kurang ajarnya engkau! Rumah ini adalah rumahku, dan kau sama sekali tidak memandang mata kepada tuan rumah!" Mendengar kata-kata ini, pengemis tua itu memandang kepada Lee Siang dan sepasang alisnya berkerut, sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat. "Lee-ciangkun, kami tidak akan datang ke rumah ini kalau engkau tidak menyembunyikan Kim Hong Liu-nio di sini! Selamanya kami tak pernah ada urusan dengan seorang Panglima Kim-i-wi, maka harap lekas kau suruh wanita iblis itu keluar, dan kami akan menganggap bahwa antara kami dan ciangkun tidak pernah ada urusan apa-apa!" Lee Siang menjadi marah mendengar ucapan yang terus terang itu. "Kalau aku melarang kalian pengemis-pengemis jahat Hwa-i Kaipang mengganggu Kim Hong Liu-nio yang telah menjadi penyelamat kaisar, engkau mau apa?" Pengemis yang bertubuh pendek kecil itu membusungkan dadanya dan berkata, "Kami selamanya tidak pernah menentang kaisar mau pun pasukan Kim-i-wi, akan tetapi kalau ciangkun melindungi wanita itu, berarti ciangkun secara pribadi memusuhi kami dan tentu kami tidak akan memandang pangkat ciangkun lagi!" "Jembel tua busuk, kau sungguh kurang ajar. Kau kira aku takut kepadamu?" Sesudah berkata demikian, Lee Siang sudah menerjang maju dengan pedangnya yang memang sudah dia persiapkan lebih dulu! Dengan dahsyat panglima yang bertubuh tinggi tegap ini menyerang dan memang tenaganya besar bukan main, sehingga pedangnya berdesing dan mengeluarkan sinar kilat. "Ciangkun, jangan...!" Tio Sun berseru kaget. Semua itu terjadi demikian cepatnya sehingga dia yang memang berwatak pendiam dan tidak pandai bicara, tidak sempat untuk melerai. Akan tetapi Lee Siang tak mempedulikan atau tidak mendengar cegahannya tadi karena panglima itu langsung menyerang dengan tusukan pedangnya ke arah pengemis tua itu! "Lee-ciangkun, jangan mencampuri urusan kami!" Pengemis itu membentak dan dengan mudah saja dia menghindarkan tusukan itu dengan miringkan tubuhnya. Akan tetapi kembali Lee Siang telah menggerakkan pedangnya yang luput menusuk tadi, disabetkan ke samping mengarah leher kakek itu! Dan pada saat itu juga kakinya sudah bergerak menendang ke arah pusar lawan. "Hemm, engkau terlalu sombong dan perlu diberi hajaran!" pengemis tua itu membentak, tongkatnya bergerak menangkis dan kakinya juga diangkat memapaki tendangan itu. "Tranggg...! Dukkk...!" Tubuh Lee Siang terguling dan pedangnya terlepas dari pegangan. Dia mengaduh dan terpincang karena kakinya yang digares oleh kaki kecil pengemis itu terasa nyeri seperti dipukul dengan linggis besi saja! Akan tetapi, Lee Siang menjadi semakin marah dan dia sudah menubruk ke depan, menyerang dengan kedua tangan kosong secara nekat! Tio Sun maklum bahwa dia harus turun tangan, karena kalau tidak, panglima itu dapat terancam bahaya. Kakek pengemis itu lihai bukan main, dan juga ganas. Ketika Panglima Lee Siang menyerbu, kakek itu telah menggerakkan tongkatnya, maksudnya hanya akan menotok roboh panglima itu. Akan tetapi Tio Sun mengira lain, menyangka bahwa kakek itu akan menurunkan tangan kejam, karena itu dia langsung menerjang ke depan sambil menggunakan tangan untuk mencengkeram tongkat itu! "Aihh...!" Hwa-i Sin-kai terkejut sekali menyaksikan gerakan Tio Sun, apa lagi dari tangan pendekar ini menyambar hawa yang sangat kuat. Kakek pengemis ini menyangka bahwa tentu orang ini adalah pengawal pribadi Lee-ciangkun, karena itu dia pun semakin marah. Kiranya panglima ini sudah bersiap untuk menghalanginya menantang Kim Hong Liu-nio dan menerimanya dengan serangan-serangan. Dia sudah marah kepada Lee Siang ketika dilapori anak buahnya betapa Lee Siang telah menyelamatkan Kim Hong Liu-nio di luar pintu gerbang dan kini, sesudah melihat sendiri betapa panglima itu menyerangnya, bahkan dibantu seorang pengawal yang sangat lihai, kemarahannya memuncak dan tanpa bertanya lagi dia telah menggerakkan tongkat yang akan dicengkeram itu, langsung menariknya kembali sehingga tidak jadi menyerang Lee Siang melainkan menotok ke arah leher Tio Sun! "Ahhh...!" Tio Sun terkejut sekali dan juga marah. Totokan ke arah lehernya itu merupakan serangan maut yang mengarah nyawa! Betapa ganas dan kejamnya kakek pengemis ini! Dan memang Hwa-i Sin-kai berniat membunuh pengawal itu walau pun dia masih berpikir dua kali untuk melukai Panglima Lee secara parah. Hwa-i Sin-kai juga terkejut sekali saat melihat betapa pengawal itu menangkis tongkatnya dengan tangan kosong dan berhasil membuat tongkatnya menyeleweng dan luput! Inilah hebat, pikirnya! Jarang ada orang sanggup menangkis tongkatnya dengan tangan kosong saja! Di lain fihak, Tio Sun juga terkejut karena tangkisannya tadi membuat dia terdorong dan lengannya terasa nyeri bukan main, tanda bahwa kakek itu memang amat lihai. "Bagus! Pengawal busuk, kau anjing penjilat pembesar, harus mampus!" bentak kakek itu sambil menggerakkan tongkatnya. "Nanti dulu, pangcu! Aku tidak bermaksud memusuhimu..." Akan tetapi dari samping, Lee Siang sudah menerjang lagi dengan marah, "Hantam dia, kakek jembel ini memang jahat!" Melihat Lee Siang kembali terjungkal oleh tendangan kaki pengemis itu, Tio Sun menjadi marah. "Tarr-tarrr-tarrrr...!" Suara ledakan ini adalah ujung senjata dari pendekar ini, yaitu sabuk yang digerakkan seperti sebatang pecut dan dimainkan seperti orang memainkan joan-pian, dan tahu-tahu ujung cambuk ini sudah menotok ke arah tengkuk kakek pengemis itu. "Bagus!" kakek itu berseru kaget dan juga kagum. Dia memang tahu bahwa di kota raja banyak pengawal pandai, akan tetapi tidak dikiranya dia akan bertemu dengan seorang pengawal sepandai ini di gedung Panglima Lee Siang. Tongkatnya segera diputar menyambut, dan dalam belasan jurus saja Tio Sun terdesak hebat! Kiranya kakek yang menjadi ketua Hwa-i Kaipang itu memang luar biasa lihainya. Ilmu tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) sudah mencapai puncaknya sehingga tongkat itu lenyap bentuknya dan berubah merupakan lima gulungan sinar yang makin lama makin lebar, dan dari sinar gulungan itu kadang-kadang mencuat ujung tongkat yang menotok ke arah jalan darah yang berbahaya! "Hebat...!" Tio Sun berseru kaget setelah baru saja dia terbebas dari totokan yang amat berbahaya. "Pangcu, tahan dulu..." Dia melompat ke belakang dan mencabut pedangnya. "Aku tidak bermaksud memusuhimu, aku hanya datang untuk menjadi orang penengah!" "Pengawal busuk, keluarkan semua kepandaianmu kalau memang kau lihai!" kata kakek pengemis itu yang salah duga ketika melihat Tio Sun mencabut pedang pula di samping sabuknya yang amat lihai, padahal pendekar itu mencabut pedang hanya untuk menjaga diri setelah terdesak hebat oleh tongkat yang amat lihai itu. Tio Sun menjadi marah juga, segera menggerakkan pedang menusuk setelah sabuknya menangkis dan berusaha melibat ujung tongkat. "Prakkkk!" Tio Sun terkejut bukan main karena kakek itu mempergunakan tangan kiri yang telanjang untuk menangkis pedangnya! Memang tadi kakek itu belum mengeluarkan ilmunya yang paling hebat, yakni Ta-houw Sin-ciang-hoat (Tangan Sakti Pemukul Harimau), dan baru sekarang kakek itu mempergunakan tangan saktinya untuk menangkis pedang dan terus memukul dan dari pukulannya itu menyambar angin dingin yang dahsyat. Tio Sun mengeluarkan suara kaget, mengeluh dan terjengkang roboh dan tidak bergerak lagi! Kakek pengemis itu terkejut bukan kepalang. Dia tadi telah menduga bahwa Tio Sun tentu bukanlah pengawal, melainkan seorang sahabat dari panglima itu, maka dia hendak mencoba kepandaiannya saja lalu merobohkan tanpa membunuhnya. Akan tetapi kenapa orang gagah itu kini roboh terjengkang dan tidak berkutik lagi? Dia memandang wajah orang itu dan makin terkejut mendapat kenyataan bahwa orang gagah itu benar-benar telah tewas! Padahal dia tahu benar bahwa pukulannya Ta-houw Sin-ciang-hoat tadi belum mengenai tubuh lawannya, hanya menangkis pedang saja! "Tangkap pembunuh! Tangkap penjahat!" Tiba-tiba Lee Siang berteriak-teriak. Maka muncullah belasan orang pengawal dari segenap penjuru gedung itu dan terutama sekali, secara tiba-tiba ada sinar merah panjang menyambar dan dalam sekali serangan saja ujung sinar merah itu telah melakukan totokan bertubi-tubi sampai tujuh kali ke arah jalan darah maut di sebelah depan tubuh Hwa-i Sin-kai! Kakek itu kaget bukan main dan dia pun terdesak mundur, terpaksa memutar tongkatnya dan sesudah menangkis ketujuh totokan bertubi-tubi yang sangat hebat itu, bahkan yang membuat tangannya tergetar keras, dia memandang dan melihat seorang wanita cantik jelita telah berdiri di depannya sambil memegang sehelai sabuk sutera merah! "Kau Kim Hong Liu-nio!" bentak kakek itu. Wanita cantik itu tersenyum, manis sekali. "Dan engkau tua bangka tak tahu diri, datang mengantarkan nyawa!" bentaknya halus dan kembali dia menerjang, kini dengan kedua tangan kosong sambil mengalungkan sabuknya di lehernya, seperti seorang penari yang sedang beraksi melakukan tarian yang amat indah. "Bedebah kau!" Hwa-i Sin-kai membentak dan tongkatnya menyambar. "Cring-cring-cringgg...!" Tiga kali tongkat itu bertemu dengan lengan halus yang memakai gelang, maka kakek pengemis itu semakin terkejut merasa betapa tangkisan lengan halus itu membuat kedua tangannya sampai kesemutan, tanda bahwa wanita cantik ini betul-betul amat lihai, cocok dengan laporan para anak buahnya. Pantas semua anak buahnya tak ada yang sanggup menandingi wanita ini! "Menyerahlah kau, pembunuh kejam!" Lee Siang membentak. "Engkau telah membunuh Tio Sun taihiap, putera dari mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Tangkap dia!" Bukan main kagetnya Hwa-i Sin-kai mendengar disebutnya nama itu. Dengan terbelalak dia memandang ke arah tubuh yang rebah terlentang tak bergerak dari Tio Sun itu, dan karena terkejut ini, hampir saja lambungnya kena dicengkeram oleh tangan yang halus dari wanita itu. Dia cepat meloncat ke belakang sambil mengelebatkan tongkatnya, dan dengan jantung tegang dia berkata, "Ahh, tidak...!" Melihat semua pengawal mulai menerjangnya, dia maklum bahwa apa bila dia melawan, biar pun belum tentu dia kalah dan meski pun di situ terdapat wanita yang amat lihai itu, akan tetapi tentulah dia akan dicap sebagai pemberontak yang berani melawan pasukan pengawal! Maka sambil mengeluh panjang kakek itu lalu meloncat keluar dari ruangan itu, seperti terbang saja melalui atas kepala para pengawal yang mengepungnya, kemudian berloncatan ke atas genteng dan melarikan diri dari tempat itu. Lee Siang memerintahkan orang-orangnya mengejar, namun sia-sia saja karena gerakan pengemis tua itu sangat cepat, sebentar saja sudah lenyap dari pandang mata. Dia lalu memeriksa Tio Sun yang ternyata sudah tewas! Maka dia lalu menyuruh para pengawal mengantarkan mayat itu pulang ke rumah keluarga Tio, sedangkan dia sendiri mengikuti dari belakang dengan wajah muram. Dapat dibayangkan betapa terkejut rasa hati Souw Kwi Eng ketika melihat sebuah kereta dikawal oleh sepasukan pengawal berhenti di depan rumahnya. Apa lagi ketika melihat tamunya siang tadi, yang oleh suaminya dikatakan adalah Panglima Kim-i-wi Lee Siang, tiba-tiba saja memasuki rumahnya dan menjura di depannya sampai dalam sekali, penuh dengan tanda duka. "Tio-hujin...!" Suara Lee Siang terhenti oleh isak tertahan. Saya datang dengan membawa berita duka... Tio-taihiap" "Ada apa? Apa yang terjadi? Mana suamiku?" Tiba-tiba saja Souw Kwi Eng bertanya dan matanya yang agak kebiruan itu memandang terbelalak, mencari-cari. "Dia... dia... telah mati terbunuh orang... jenazahnya kami bawa dalam kereta..." Terdengar jerit mengerikan dan nyonya muda itu terhuyung, lalu berlari menuju ke kereta, seperti orang gila dia merenggut tirai kereta hingga terbuka dan melihat jenazah suaminya menggeletak tak bergerak di dalam kereta itu. Souw Kwi Eng kembali menjerit, jerit yang melengking nyaring menyayat hati. Dia menubruk jenazah itu, memeluki suaminya sambil menangis tersedu-sedu. Para pelayan berlarian dengan bingung dan ada yang sudah ikut menangis. Dari dalam rumah keluar Tio Pek Lian berlari-lari karena anak ini mendengar jerii ibunya yang sangat mengejutkan itu. Ketika dia melihat ibunya menangis di kereta yang berhenti di halaman rumah, dia berlari menghampiri ibunya, merangkul ibunya dari belakang, menarik-narik bajunya dan bertanya dengan suara ketakutan. "Ibu, ada apakah ibu...? Kenapa ibu menangis?" Dia masih belum dapat melihat jenazah ayahnya karena pintu kereta itu terhalang oleh tubuh ibunya. Mendengar suara anaknya, Souw Kwi Eng tersentak dan tangisnya tertahan, lalu perlahan dia memutar tubuh lantas memandang anaknya melalui genangan air mata, kemudian dia menubruk anaknya dan merangkulnya. "Pek Lian, anakku... ahh, ayahmu... ayahmu...!" Dan kalau saja dia tidak merasa bahwa ada anaknya di dalam pelukannya, tentu nyonya muda ini sudah roboh pingsan. Semua sudah kelihatan gelap dan berputar, cepat-cepat dia memejamkan mata dan menahan napas, mengerahkan kekuatan batinnya sehingga semuanya menjadi terang kembali. "Ibu, ada apakah...? Ayah kenapa...?" Lapat-lapat terdengar suara anaknya. Souw Kwi Eng membuka matanya. "Ayahmu...? Ahhh, ayahmu... telah meninggal dunia, anakku... Dia terisak, lalu membalik, memasuki kereta. Pada saat itu Lee Siang dan para pengawal mendekati kereta dan hendak mengangkat jenazah itu. Akan tetapi Souw Kwi Eng melarangnya. "Biarkan aku yang mengangkatnya sendiri...!" Tenang sekali wanita itu. Air matanya masih bercucuran, dia pun masih terisak-isak, akan tetapi dengan tenang dia lalu mengangkat tubuh suaminya yang masih hangat itu, segera dipondongnya, lalu dia melangkah perlahan-lahan ke dalam rumah, diikuti oleh Pek Lian yang memandang pucat dan mata terbelalak. Anak ini belum mengerti benar, bagaimana kematian itu dan mengapa ayahnya mati. Semua orang memandang dengan sinar mata diliputi keharuan dan kekaguman, jantung mereka bagai ditusuk-tusuk saat menyaksikan nyonya muda yang cantik itu memondong jenazah suaminya, melangkah satu per satu menuju ke dalam rumah dengan sikap yang penuh khidmat. Semua orang menundukkan muka ketika jenazah yang dipondongnya itu lewat di depan mereka. Kwi Eng meletakkan jenazah itu di atas pembaringan di kamar suaminya, kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan, memeriksa suaminya. Tidak ada luka di tubuh suaminya, akan tetapi jelas bahwa suaminya sudah tewas. Maka dia lalu memeluk dan menangis lagi, tangis mengguguk dan akhirnya nyonya muda ini tak dapat menahan dirinya lalu terguling roboh di atas lantai. Kwi Eng siuman mendengar tangis anaknya yang memanggil-manggil dirinya. Dia bangkit duduk dan ternyata dia telah diangkat oleh para pelayan di atas pembaringan. Dan ketika dia duduk, dia melihat jenazah suaminya rebah di atas pembaringan yang lain, karena itu kembali air matanya kembali bercucuran. "Ibu...!" "Pek Lian...!" Dia merangkul anaknya dan mendekap kepala anaknya. "Tio-hujin... kami sungguh menyesal sekali..." Kwi Eng mengangkat mukanya memandang melalui air matanya. Lalu dia memondong puterinya, turun dari pembaringan dan memandang kepada Panglima Lee Siang yang berdiri dengan muka menunduk. Sampai beberapa lama Kwi Eng memandang panglima itu, air matanya turun perlahan ke atas sepasang pipinya yang pucat dan suasana dalam kamar itu hening, kecuali suara isak tertahan dari para pelayan yang semua menangis. Kemudian terdengarlah suara nyonya muda itu, suaranya menggetar dan parau, kadang-kadang tertahan isak. "Sekarang katakan, siapa yang membunuh suamiku? Siapa...?" Pertanyaan itu, terutama kata terakhir itu mengandung ancaman yang hebat bukan main, mengandung dendam dan kemarahan yang terasa oleh semua orang sehingga semua yang mendengarnya merasa bulu tengkuk mereka maremang. Dengan muka pucat Lee Siang yang masih menunduk itu kemudian menjawab, "Yang membunuhnya adalah ketua dari Hwa-i Kaipang." "Ketua Hwa-i Kaipang...?" Kwi Eng seakan-akan hendak menanamkan nama ini di dalam benaknya, kemudian dia bertanya lagi, perlahan. "Apa yang terjadi? Mengapa suamiku sampai terbunuh olehnya?" Lalu dia pun teringat akan cerita suaminya pagi tadi, maka dia menambahkan, "Bukankah suamiku ke sana hanya untuk menjadi orang penengah?" Lee Siang menarik napas panjang. "Sesungguhnya memang begitulah. Akan tetapi, ketua Hwa-i Kaipang itu mendesaknya, mereka lalu bertanding, kami telah berusaha membantu dengan pasukan pengawal, akan tetapi terlambat. Tio-taihiap... sudah roboh dan tewas, dan... sungguh menyesal sekali kami tidak mampu mencegahnya..." "Dan ketua Hwa-i Kaipang itu? Ke mana dia...?" "Dia melarikan diri, kami tidak mampu melawannya, tidak mampu menangkapnya." Souw Kwi Eng menghampiri pembaringan suaminya, lalu berlutut dan menyentuh lengan suaminya. "Tenanglah, aku bersumpah untuk membalas kematianmu!" Lalu dia kembali merangkul dan menangis lagi. Pek Lian juga menghampiri, dengan agak takut-takut memandang pada jenazah ayahnya, kemudian sesudah memandang wajah ayahnya yang biasanya amat mencintanya itu, dia pun menubruk ayahnya dan berteriak-teriak, "Ayahhhh... ayaaaahhh..." Dan menangislah anak itu bersamanya. Setelah mengucapkan keprihatinannya, maafnya dan hiburannya yang sama sekali tidak ada artinya, Panglima Lee Siang lalu berpamit dan meninggalkan rumah itu bersama para pengawalnya, naik kereta yang tadi dipakai untuk mengangkut jenazah Tio Sun. Semalam itu Souw Kwi Eng dan anaknya menangisi jenazah suaminya, dan para pelayan serta pegawal sibuk mengurus keperluan sembahyang, peti mati dan sebagainya. Juga ada yang cepat-cepat malam itu juga pergi ke kota Yen-tai untuk memberi kabar kepada Souw Kwi Beng, kakak kembar dari nyonya Tio. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Souw Kwi Beng sudah berangkat meninggalkan rumahnya dengan hati penuh kedukaan ketika dia mendengar berita kematian iparnya itu. Dia membalapkan kudanya dan lewat tengah hari sampailah dia di kota raja dan langsung menuju ke rumah adiknya. Kakak beradik kembar ini berangkulan sambil menangis. Sedapat mungkin Kwi Beng menghibur adiknya dan keduanya lalu berlutut di depan peti mati Tio Sun. Dia mendengarkan cerita adik kembarnya tentang kematian Tio Sun, sambil memangku keponakannya, Pek Lian yang sudah tidak menangis lagi. Memang hanya anak-anak saja yang mempunyai watak yang wajar, tidak terus menerus dicengkeram oleh suka mau pun duka. Suka dan duka bagi anak-anak hanya merupakan kejadian selewat saja, tidak seperti kita orang-orang dewasa yang paling suka menyimpan suka dan duka di dalam batin sampai berlarut-larut. Pek Lian hanya mulai menangis lagi kalau melihat ibunya begitu berduka, melihat ibunya menangis. Akan tetapi dia belum begitu merasa kehilangan atas kematian ayahnya, dan memang batin anak-anak lebih bebas dari pada batin orang dewasa yang sudah terikat oleh berbagai hal dan benda sehingga kalau sewaktu-waktu ikatan itu dicabut lepas, akan mendatangkan luka parah di dalam batin. "Aku akan membantumu, Eng-moi. Aku akan membantumu menghadapi jambel-jembel busuk yang kejam itu!" berkali-kali Kwi Beng menghibur adiknya di depan peti mati adik iparnya. *************** cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Perkumpulan Hwa-i Kaipang sebenarnya tidak mempunyai sarang tertentu karena para anggotanya berkeliaran dan tersebar di seluruh daerah kota raja dan di seluruh Propinsi Ho-pak. Akan tetapi karena ketuanya yang sekarang, yaitu Hwa-i Sin-kai, memilih sebuah kuil tua di dalam hutan kecil di dekat pintu gerbang sebelah utara kota raja, maka tempat itu boleh dibilang menjadi sarang dari Hwa-i Kaipang. Hal ini adalah karena para tokoh biasanya berkumpul di tempat tinggal ketuanya, maka hampir setiap hari kuil tua yang dijadikan tempat tinggal Hwa-i Sin-kai itu ramai dikunjungi oleh tokoh-tokoh dari perkumpulan itu, selain untuk melayani ketua mereka juga untuk membawa laporan-laporan mengenai perkumpulan mereka yang memiliki banyak anggota yang tersebar luas itu. Tentu saja yang berdatangan ke tempat tinggal ketuanya hanyalah tokoh-tokoh kaipang yang bertingkat tinggi, yaitu yang bertingkat lima ke atas. Setelah terjadi peristiwa permusuhan antara mereka dan Kim Hong Liu-nio yang menjadi berkepanjangan, bahkan yang merambat kepada seorang tokoh Panglima Kim-i-wi, maka para tokoh Hwa-i Kaipang menjadi khawatir akan serbuan-serbuan, maka mereka mulai melakukan penjagaan serta mempergunakan kuil tua di dalam hutan itu sebagai tempat berkumpul dan bertahan. Hwa-i Sin-kai merasa menyesal dan juga terkejut bukan main setelah terjadinya peristiwa kematian Tio Sun di dalam gedung Panglima Lee Siang itu. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa Tio Sun yang lihai itu adalah putera mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, seorang panglima jagoan istana yang juga merupakan seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw. Kalau dia tahu, sudah pasti dia tidak akan melawan orang muda itu sebagai musuh. Dia menyesal mengapa dia tidak lebih dahulu bicara dengan orang muda itu, dan sudah menuruti kemarahan yang ditimbulkan oleh Panglima Lee Siang. Namun dia juga merasa heran mengapa orang muda yang segagah itu demikian mudah tewas, hanya setelah dia mengeluarkan pukulan Ta-houw Sin-ciang, padahal menurut perasaannya, pukulannya itu belum mengenai tubuh lawan! Bagaimana pun juga, ketua Hwa-i Kaipang ini tidak merasa bersalah! Bila mana putera Ban-kin-kwi itu sampai tewas dalam pertandingan melawan dia, maka hal itu merupakan kesalahannya sendiri. Mengapa pula pendekar muda itu melindungi Lee Siang, panglima yang telah mencampuri urusan pribadi antara Hwa-i Kaipang dan iblis betina Kim Hong Liu-nio? Sebagai ketua Hwa-i Kaipang dia hanya memiliki permusuhan pribadi dengan Kim Hong Liu-nio yang selain telah membunuh seorang anggota pengemis juga telah menghina dan melukai beberapa orang tokoh Hwa-i Kaipang. Maka dia tidak merasa salah kalau sampai dia bentrok dengan orang-orang yang membela atau melindungi iblis betina itu, seperti halnya Lee Siang dan Tio Sun! Akan tetapi beberapa hari semenjak terjadi peristiwa di rumah gedung Panglima Kim-i-wi itu, tidak terjadi apa-apa. Tidak ada pasukan Kim-i-wi yang menyerbu ke dalam hutan itu seperti yang dikhawatirkan oleh Hwa-i Sin-kai. Yang amat dikhawatirkan hanyalah campur tangan pemerintah, karena tentu saja kalau harus melawan pasukan pemerintah, Hwa-i Kaipang tidak akan berdaya banyak, dan adalah berbahaya kalau sampai Hwa-i Kaipang dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah. Juga mata-mata yang disebar di dalam kota raja oleh Hwa-i Kaipang telah memberi laporan bahwa tidak terjadi gerakan apa-apa di fihak pasukan Kim-i-wi. Hal ini melegakan hati ketua Hwa-i Kaipang. Akan tetapi suatu pagi, dua orang laki-laki dan wanita muda, yang mengenakan pakaian serba putih, pakaian orang yang sedang berkabung, berjalan dengan tenang dan sedikit pun tidak mengeluarkan suara, memasuki hutan itu. Beberapa orang tokoh Hwa-i Kaipang yang diam-diam melakukan penjagaan, lalu mengikuti gerak-gerik dua orang ini dengan penuh perhatian. Keadaan dua orang laki-laki dan wanita itu memang amat menarik hati dan sekaligus juga mencurigakan. Hanya pakaian serta gerak-gerik mereka saja yang membedakan satu sama lain, yang membuat orang dapat membedakan bahwa mereka adalah seorang pria dan seorang wanita. Akan tetapi kecuali perbedaan jenis kelamin ini, wajah kedua orang itu benar-benar mirip satu sama lain, bahkan serupa! Wajah yang amat tampan dan amat cantik. Dan rambut mereka yang agak kekuning-kuningan, mata mereka yang berwarna agak kebiruan! Dua orang ini bukan lain adalah Souw Kwi Beng atau Ricardo de Gama bersama adik kembarnya, Souw Kwi Eng atau Maria de Gama. Setelah mengurus pemakaman jenazah Tio Sun sampai beres, Kwi Eng lalu menitipkan puterinya pada para pelayan, kemudian dia mengajak kakak kembarnya untuk mencari sarang Hwa-i Kaipang! Tidak sulit bagi mereka untuk menemukan sarang itu di dalam hutan di luar pintu gerbang utara dari kota raja, dan pada pagi hari itu, dengan hati penuh kegeraman kakak beradik kembar ini menuju ke hutan itu dengan hati bulat untuk membalas dendam atas kematian Tio Sun kepada ketua Hwa-i Kaipang! Dengan cepat para tokoh pengemis itu memberi laporan kepada ketua mereka mengenai kedatangan dua orang muda itu, sedangkan Lo-thian Sin-kai, yaitu kakek pengemis kurus tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kaipang, cepat menghadang di tengah jalan sebelum kedua orang muda ini sampai di kuil tua. Kakek ini melintangkan tongkatnya di depan tubuhnya, memandang tajam dan segera berkata, "Maafkan, dua orang muda yang gagah perkasa. Kami dari Hwa-i Kaipang minta dengan hormat agar ji-wi sudi mengambil jalan lain kalau hendak melewati hutan ini." Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng saling pandang. Melihat buntalan di punggung kakek pengemis itu, Kwi Beng tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan tokoh Hwa-i Kaipang tingkat kedua. Maka Kwi Beng lalu mewakili adiknya menjawab, "Kami berdua memang hendak memasuki sarang Hwa-i Kaipang, mengapa kami harus mengambil jalan lain?" Mendengar jawaban ini, Lo-thian Sin-kai mengerutkan alisnya dan tiba-tiba saja tempat itu penuh dengan pengemis-pengemis dari tingkat lima hingga tingkat tiga, ada sepuluh orang banyaknya! Namun, dua orang muda itu tetap tenang saja, biar pun setiap urat syaraf di tubuh mereka sudah menegang dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan. "Ah, begitukah?" Tiba-tiba suara kakek kurus itu berubah dan sinar matanya memandang penuh selidik. Dia melihat dua orang laki-laki dan wanita seperti kembar itu memang telah menunjukkan sikap mencurigakan, apa lagi melihat betapa keduanya telah siap dengan senjata pedang di punggung, dan kantong hui-to, yaitu pisau-pisau kecil yang digunakan sebagai senjata rahasia, tergantung di pinggangnya masing-masing. Pendeknya, dua orang muda itu jelas memperlihatkan kesiapan orang yang hendak bertarung! Dan pakaian mereka pun adalah pakaian orang berkabung! "Siapakah kalian berdua? Dan ada keperluan apakah sehingga kalian memasuki sarang Hwa-i Kaipang?" Souw Kwi Beng memandang kepada kakek pengemis kurus itu. "Kami melihat bahwa engkau merupakan seorang tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kaipang. Ketahuilah bahwa kami datang bukanlah untuk berurusan dengan Hwa-i Kaipang, melainkan dengan pangcu dari perkumpulan kalian. Maka bawalah kami bertemu dengan dia, karena urusan kami adalah urusan pribadi dengan Hwa-i Kaipangcu!" Lo-thian Sin-kai memandang tajam sambil menduga-duga siapa gerangan adanya kedua orang kembar ini! "Siapakah kalian berdua? Dan apa keperluan kalian mencari pangcu kami?" "Tidak akan kuberi tahukan kepada siapa pun, kecuali ketua Hwa-i Kaipang si jahanam keparat!" Mendadak Kwi Eng yang sudah tidak sabar lagi itu membentak dengan marah sekali. "Ahh...!" Lo-thian Sin-kai memandang kepada nyonya muda itu dan kecurigaannya timbul. "Apakah toanio mempunyai hubungan dengan orang she Tio...?" "Jembel busuk! Orang she Tio yang dibunuh ketua kalian itu adalah suamiku, mengerti? Nah, ketuamu hutang nyawa kepadaku, dia harus membayarnya sekarang juga!" Sambil berkata demikian, Kwi Eng sudah mencabut pedangnya dengan gerakan cepat sehingga pedang itu mengeluarkan cahaya berkilauan. "Dan kalau pangcu kalian terlalu pengecut untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, aku akan mencarinya sampai dapat!" "Dan harap kalian para tokoh Hwa-i Kaipang tidak mencampuri karena urusan ini adalah urusan pribadi!" sambung Kwi Beng yang sudah mencabut pedangnya. "Orang-orang muda yang tinggi hati! Aku telah berada di sini!" Tiba-tiba terdengar suara halus. Dari jauh muncullah seorang kakek pendek kurus yang mukanya seperti tikus, memegang sebatang tongkat dan kakek ini berjalan seenaknya ke tempat itu. Ternyata sebelum orangnya tiba, suaranya sudah terdengar dengan halus dan jelas. Itulah dia Hwa-i Sin-kai, pangcu dari Hwa-i Kaipang sendiri. Kwi Eng dan Kwi Beng memandang kepada kakek yang baru datang ini. Mereka melihat betapa semua tokoh Hwa-i Kaipang membungkuk dengan hormat lalu mundur, memberi ruang kepada kakek kecil pendek yang baru datang. maka tahulah Kwi Eng bahwa kakek ini adalah Hwa-i Kaipangcu, musuh besarnya yang sudah membunuh suaminya. Tanpa terasa lagi dua titik air mata berlinang keluar dari sepasang matanya yang memandang dengan penuh dendam dan kebencian. "Engkaukah orangnya yang telah membunuh suamiku yang bernama Tio Sun?" Kwi Eng bertanya, suaranya menggetar dan sepasang matanya berlinang air mata. Kakek itu menarik napas panjang. Dia menyesal bukan main bahwa urusan kaipang dengan iblis betina itu ternyata telah merembet sampai jauh. Dari sikap kedua orang ini saja dia sudah tahu bahwa kedua orang ini adalah pendekar-pendekar yang gagah, dan tentu datang terdorong oleh api dendam yang hebat dan hendak mengadu nyawa dengan dia! "Apakah kami berhadapan dengan Tio-hujin?" tanyanya dengan suara halus. "Benar, aku adalah isteri dari Tio Sun yang telah kau bunuh tanpa dosa itu. Sekarang kau datang hendak menebus kematian suamiku, kau bersiaplah!" "Dan orang muda ini siapa?" "Aku adalah kakak kembar dari adikku ini, dan aku pun menyediakan selembar nyawaku untuk membalas dendam ini!" "Ahh, sungguh aku orang tua merasa menyesal sekali. Akan tetapi tahukah kalian berdua mengapa Tio-taihiap itu sampai tewas? Karena dia membantu Panglima Lee Siang yang di lain fihak membantu iblis betina Kim Hong Liu-nio, musuh pribadi kami. Dan sebetulnya aku sendiri tidak mengerti bagaimana Tio-taihiap bisa tewas, padahal pukulan sakti yang kupergunakan belum juga menyentuh tubuhnya!" Ucapan itu keluar dari hati yang sungguh-sungguh, akan tetapi bagi Kwi Eng dan Kwi Beng terdengar seperti ejekan atas kelemahan mendiang Tio Sun! Memang apa bila hati sudah diracuni oleh dendam, adanya hanya benci dan kalau sudah benci, apa pun yang diucapkan atau dibuatnya oleh orang yang dibencinya tentu saja selalu salah! "Keparat keji, tua bangka sombong!" Kwi Eng sudah menerjang ke depan dan pedangnya menyerang dengan cepat dan kuat, disusul oleh kakak kembarnya yang juga langsung menyerang dengan pedangnya. "Ahh, terpaksa aku melayani kalian orang-orang muda yang tidak mau berpikir panjang!" ketua Hwa-i Kaipang itu berkata dengan penuh sesal sambil menggerakkan tongkatnya menangkis dan balas menyerang. Dia sudah kesalahan tangan membunuh Tio Sun dalam sebuah pertandingan yang jujur, dan kalau sekarang dia sekalian membunuh isteri pendekar itu serta kakak kembarnya dalam pertandingan yang jujur, bahkan dia membiarkan dirinya dikeroyok, maka dia tidak khawatir akan mendapat teguran dan penyesalan dari tokoh-tokoh kang-ouw. Dia dipaksa oleh mereka ini, bukan dia yang mencari permusuhan! Apa boleh buat! Dua orang kakak beradik kembar itu adalah putera-puteri dari pendekar wanita sakti Souw Li Hwa, akan tetapi mereka berdua itu tidak mempunyai bakat yang terlalu baik sehingga kepandaian silatnya tidak menonjol. Sedangkan mendiang Tio Sun saja yang lebih lihai dari isterinya dan adik iparnya masih belum mampu menandingi kakek yang amat lihai ini, apa lagi kakak beradik kembar itu! Karena itu dalam dua puluh jurus lebih saja, pedang mereka sudah dibikin terpental oleh kakek sakti itu yang masih merasa segan dan tidak tega untuk membunuh mereka! Melihat kelihaian kakek itu dan karena pedangnya telah terpental pula, dua orang kakak beradik ini maklum bahwa lawan mereka terlalu tangguh, maka sambil berteriak nyaring Kwi Eng segera mengeluarkan hui-to (pisau terbang) yang menjadi kepandaiannya yang istimewa, dan berkelebatanlah hui-to yang dilepasnya, beterbangan cepat menyambar ke arah tubuh ketua Hwa-i Kaipang. Melihat ini, Kwi Beng tidak mau tinggal diam dan dia pun latu melepaskan pisau-pisau terbangnya. "Hemmm...!" Hwa-i Sin-kai berseru keras. Dia lalu memutar tongkatnya sedemikian rupa sehingga tongkat itu berbentuk sinar yang bergulung-gulung hingga merupakan benteng sinar yang melindungi tubuhnya. Terdengar suara nyaring berkali-kali kemudian pisau-pisau terbang itu terlempar ke kanan kiri dan kesemuanya runtuh oleh tangkisan sinar tongkat itu. Sampai habis seluruh pisau-pisau di kantung kedua orang kakak beradik itu, akan tetapi tidak ada sebatang pisau pun yang mengenai sasaran. "Kakek iblis, kalau begitu biar aku mengadu nyawa denganmu!" Kwi Eng berseru dengan putus asa dan dia lalu menyerang dengan kedua tangan kosong! Sesungguhnya, kakak beradik ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, warisan dari Panglima The Hoo melalui ibu mereka, yaitu ilmu It-ci-san, semacam ilmu totok dengan menggunakan sebuah jari tangan yang amat lihai, dan di samping itu, juga mereka telah mewarisi ilmu silat tangan kosong Jit-goat Sin-ciang dan sudah mengusai penggabungan tenaga Im dan Yang. Akan tetapi, karena bakat mereka tak terlalu besar, maka mereka hanya dapat menguasai sebagian saja dari ilmu-ilmu ini, maka biar pun kini keduanya menggunakan ilmu-ilmu itu untuk mengeroyok Hwa-i Sin-kai, mereka ini tidak dapat banyak berdaya. Bahkan dalam waktu belasan jurus saja ujung tongkat di tangan kakek itu telah menghajar pinggul Kwi Beng sehingga pemuda ini bergulingan, dan juga menotok pundak kiri Kwi Eng sehingga nyonya muda itu pun terguling roboh. "Iblis tua kejam, kau mampuslah!" Kwi Beng membentak dan tiba-tiba tangan kanannya telah mencabut sebuah pistol peninggalan ayahnya. Memang dia sudah mempersiapkan senjata api ini karena Kwi Beng bukanlah seorang yang bodoh, dan dia sudah menduga bahwa ketua Hwa-i Kaipang itu tentu seorang yang memiliki ilmu tinggi sekali sehingga seorang pendekar seperti adik iparnya itu pun sampai tewas bertanding melawan kakek itu. Maka ketika berangkat, dia sudah mempersiapkan senjata api ini, meski pun ayahnya meninggalkan pesan supaya dia jangan sembarangan mempergunakan senjata maut itu kalau tidak terpaksa dan terancam keselamatannya. Sekarang agaknya keselamatannya memang tidak terancam, karena kakek itu agaknya tidak hendak membunuh dia dan adiknya, akan tetapi dia maklum bahwa adiknya tentu akan melawan terus sampai mati. Dari pada adiknya yang mati, lebih baik kakek itu! "Darr-darrr...!" Pistol itu meledak dua kali dan robohlah seorang kakek pengemis tingkat tiga dengan pundak dan lengan terluka. Ternyata tadi pada saat pemuda itu mencabut pistol, seorang kakek tingkat tiga segera menubruk ke depan pemuda itu sehingga pada saat pistol meledak, yang roboh adalah kakek ini dan bukan Hwa-i Sin-kai. Kakek itu terkejut dan marah, tubuhnya menyambar ke depan dan begitu tongkatnya bergerak pistol di tangan Kwi Beng sudah terlempar jauh dan tangan pemuda itu berdarah! Akan tetapi Kwi Eng sudah datang menerjang dan Kwi Beng juga telah bangkit dan terus menerjang lagi dengan nekatnya. Kakek itu mendengus dan kembali tongkatnya membuat keduanya roboh terguling. "Orang-orang muda yang tak tahu diri! Kepandaian kalian terlampau rendah untuk berani kurang ajar terhadap kami!" kata Lo-thian Sin-kai. "Lebih baik kalian cepat-cepat pergi dan jangan membikin marah pangcu kami!" Para pengemis kelihatan marah melihat betapa kakek pengemis yang terkena tembakan tadi terluka parah, namun tidak membahayakan nyawanya. "Biarlah, mereka berdua perlu dihajar sampai tobat!" bentak Hwa-i Sin-kai sambil berdiri menanti dengan muka marah. Dua orang muda itu bangkit lagi, menerjang lagi dan roboh lagi! Sampai tiga empat kali mereka roboh dan kini para tokoh Hwa-i Kaipang mulai menertawakan mereka. Mereka itu hanya seperti dua anak kecil yang nakal melawan ketua Hwa-i Kaipang yang sakti. Kalau ketua itu mau, tentu saja dengan sangat mudahnya dia dapat membunuh kedua orang muda itu. Muka Kwi Eng sudah bengkak akibat kena tamparan sedangkan mulut Kwi Beng bahkan mengeluarkan darah karena bibirnya pecah, akan tetapi untuk ke sekian kalinya, kedua orang muda yang sudah nekat dan mata gelap itu menyerang lagi. "Plakkk! Dukkk!" Kini dua orang kakak beradik itu terjungkal karena tamparan dan hantaman tongkat dari kakek itu ditambah tenaga. Kwi Eng terbanting keras dan kepalanya pening, sedangkan kaki Kwi Beng terpukul tongkat sehingga ketika dia bangkit berdiri, dia terpincang. Namun mereka berdua masih belum mau sudah. Tekad mereka adalah untuk melawan sampai mati! Pada saat itu terdengar suara merdu dan nyaring, suara seorang wanita muda, "Sungguh tak tahu malu, kakek-kakek tua bangka menghina orang-orang muda mengandalkan ilmu kepandaian yang tidak seberapa!" Semua orang terkejut dan menengok. Kiranya yang bicara itu adalah seorang gadis yang berwajah cantik manis, berpakaian ringkas sederhana, namun wajahnya cerah dan sinar matanya lincah, mulutnya yang manis tersenyum mengejek saat dia memandang kepada para kakek pengemis tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang itu. Di sebelahnya berdiri seorang pemuda yang tubuhnya tinggi tegap, wajahnya serius dan agaknya pemuda ini adalah adik dari dara itu. Dara itu tidak remaja lagi, tentu usianya sudah kurang lebih dua puluh lima tahun, ada pun pemuda itu berusia antara dua puluh tiga tahun. Seperti juga si gadis, pemuda ini berpakaian ringkas sederhana dan tak terlihat membawa senjata, malah kelihatannya seperti seorang pemuda petani biasa saja, hanya sepasang matanya yang tenang itu mengeluarkan sinar tajam mengejutkan. Mendengar ucapan gadis itu, seorang tokoh pengemis tingkat tiga menjadi marah. Kakek pengemis tingkat tiga ini tadi secara diam-diam sudah memperhatikan gerakan dua orang yang bertempur melawan ketuanya itu dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian dua orang itu belum begitu tinggi, bahkan dia sendiri pun berani menghadapi salah seorang di antara mereka. Dia merasa penasaran mengapa ketuanya maju sendiri melayani segala macam lawan selemah itu, tidak mewakilkan kepada para tokoh yang lebih rendah tingkatnya. Ketika melihat gadis yang berani mengatakan bahwa mereka mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa, dia menjadi marah sekali, menganggap kata-kata itu menghina. Kini dia memperoleh kesempatan untuk mewakili ketuanya, maka dia mendahului ketuanya itu menegur, "Bocah bermulut lancang, mau apa kau buka mulut mencampuri urusan kami?" Gadis itu tersenyum dan melirik kepada pengemis tingkat tiga ini. "Aku telah mendengar di dalam perjalanan bahwa kakek jembel dari Hwa-i Kaipang ditandai tingkatnya dengan tumpukan buntalan di punggungnya. Agaknya yang lebih banyak tumpukan buntalannya berarti lebih pandai mengemis, dan kau ini mempunyai tiga buntalan, jadi lumayan juga kepandaianmu mengemis. Akan tetapi kalau engkau mengemis kepadaku, aku tidak akan sudi memberi apa-apa karena wajahmu tidak menimbulkan iba seperti pengemis tulen!" Pengemis tingkat tiga itu marah bukan main. Dia adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, yaitu bukan lain ialah Hek-bin Mo-kai, tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kaipang yang berangasan itu. Dia dihina terang-terangan oleh gadis ini, maka dia menjadi marah sekali. Kulit tubuhnya yang lain, yang biasanya berwarna putih itu menjadi merah, sedangkan mukanya yang hitam menjadi makin hitam ketika dia mengetukkan tongkatnya ke atas tanah. Semua orang memandang tegang, bahkan Kwi Eng dan Kwi Beng yang masih nanar itu juga memandang, tidak tahu siapa adanya wanita dan pria yang datang ini. "Bocah lancang mulut! Kalau tidak ingat bahwa engkau seorang wanita muda yang lemah tentu kelancangan mulutmu itu akan kau tebus mahal sekali!" Gadis itu ternyata lincah dan jenaka sekali. Ia tersenyum manis dan memandang kepada si muka hitam dengan sinar mata berseri-seri. "Ahh, kaum pengemis agaknya mengenal harga juga, ya? Berapa mahalkah tebusan kelancanganku itu? Sebungkus sayuran sisa? Ataukah beberapa keping uang tembaga?" Bukan hanya Hek-bin Mo-kai saja yang marah, akan tetapi semua tokoh Hwa-i Kaipang menjadi marah sekali. Telah berkali-kali mereka mengalami penghinaan dari wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu, bahkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai, dua orang tokoh Hwa-i Kaipang tingkat tiga itu, juga Lo-thian Sin-kai tokoh tingkat dua, sudah tidak berhasil mengalahkan seorang wanita muda cantik. Dan kini muncul seorang wanita muda cantik lain yang datang-datang telah mengejek dan memandang rendah, tentu saja hati mereka menjadi panas sekali. Lebih-lebih Hek-bin Mo-kai yang memang berwatak berangasan. Dia pernah dikalahkan oleh Kim Hong Liu-nio. Kekalahan pahit sekali karena dia sebagai tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kaipang yang sangat tersohor, sampai kalah oleh seorang wanita muda! Sungguh merupakan suatu hal yang membikin merosot nama besarnya, bahkan mencemarkan namanya sebagai seorang tokoh. Maka kini, menghadapi seorang wanita muda lagi yang berani bersikap lancang dan memandang rendah, tentu saja dia menjadi marah bukan main. "Perempuan kurang ajar dan lancang! Apa kau sudah bosan hidup? Siapakah engkau?" bentaknya. Akan tetapi gadis cantik itu tersenyum dan melirik ke arah Hwa-i Sin-kai yang sejak tadi hanya berdiri memandang, lalu dia berkata, "Aku tidak ada waktu untuk berbicara dengan segala macam jembel rendahan. Eh, engkau kakek pengemis yang tidak menggendong buntalan, agaknya engkau yang menjadi kepala di sini. Benarkah?" Melihat sikap gadis itu bicara seperti itu kepada ketua mereka, semua pengemis menjadi semakin marah, akan tetapi Hwa-i Sin-kai mengangkat tangan kirinya ke atas dan semua suara bising dari para pengemis pun terhenti sama sekali. Suasana menjadi hening dan menegangkan, sedangkan Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng hanya terus memandang dengan perasaan heran. "Nona, benar dugaanmu bahwa aku adalah pangcu dari Hwa-i Kaipang. Nona siapakah dan..." "Pangcu, anggap saja aku dan adikku ini adalah orang-orang yang kebetulan lewat di sini dan menyaksikan perbuatan yang tidak bagus dari Hwa-i Kaipang! Engkau adalah ketua kaipang dari perkumpulan pengemis yang sudah tersohor di daerah ini dan menurut kabar adalah sebuah perkumpulan pengemis yang terbesar. Akan tetapi melihat betapa seorang pangcu yang besar menghina dua orang muda yang tidak berdaya, sungguh merupakan kenyataan yang sebaliknya, bahwa Hwa-i Kaipang hanya merupakan sekumpulan jembel yang suka meghina orang di belakang layar, akan tetapi di atas panggung berpura-pura mohon belas kasihan orang dengan mengemis!" Kembali terdengar suara berisik pada saat para pengemis itu menjadi marah mendengar ucapan ini, akan tetapi pangcu itu mengangkat tangan dan semua pengemis itu menjadi diam. Pangcu ini bukan orang sembarangan dan berbeda dengan para pembantu serta anak buahnya, dia yang berpemandangan tajam bisa mengenal bahwa pemuda dan gadis yang datang ini bukan orang-orang muda sembarangan maka berani bersikap seperti itu. Jangan-jangan mereka ini, seperti juga Kim Hong Liu-nio, adalah orang-orang muda sakti yang diutus oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengacau, pikirnya. "Nona muda, mengambil kesimpulan dan mengeluarkan pendapat atas sesuatu hal yang keadaannya belum diselidiki lebih dulu adalah tindakan yang sangat coroboh. Ketahuilah bahwa kedua orang muda ini datang sendiri ke sini untuk menantang dan mengacau. Sesudah mereka menantang kami dan aku maju memenuhi permintaan mereka sehingga terjadi pertandingan ini, bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kami menghina mereka? Kau lihat sendiri tadi, bukankah mereka berdua yang mengeroyok aku seorang tua?" Gadis itu agaknya tidak dapat membantah hal ini. Memang tadi dia melihat betapa kakek ini dikeroyok dua, hanya saja tingkat kepandaian dua orang muda itu jauh sekali di bawah tingkat kakek ini sehingga jangankan baru dikeroyok oleh mereka berdua, biar ditambah lagi sepuluh orang yang tingkat kepandaiannya seperti kedua orang muda itu pun tidak mungkin akan sanggup menandingi kakek itu. Maka dia lantas menoleh dan memandang kepada Kwi Eng sambil tersenyum. "Enci yang baik, mengapa kalian berdua yang belum mempunyai kepandaian cukup tinggi berani menandingi ketua jembel ini dan ingin mencari celaka sendiri?" Pertanyaan itu lebih menyerupai teguran. Kwi Beng yang sejak tadi sudah melihat dan mendengarkan dengan hati panas, menjadi semakin penasaran. Dalam percakapan itu dia merasa betapa dia beserta adiknya amat direndahkan orang. Dia pun memiliki keangkuhan, dia tidak mengharapkan bantuan siapa pun juga dalam urusan pribadi ini, apa lagi karena dia sama sekali tidak mengenal dara yang cantik dan pemuda yang pendiam itu. "Kami tak membutuhkan bantuan siapa pun! Hayo, tua bangka kejam, mari kita lanjutkan pertempuran kita tadi, kami berdua tidak akan berhenti sebelum nyawa kami putus!" Dan Kwi Beng telah menyerang kembali dengan nekatnya, mengirim pukulan dari jurus It-goat Sin-ciang yang cukup dahsyat. "Wuuuuuttt...! Plakkk!" Betapa pun dahsyatnya pukulan itu, akan tetapi karena tenaga sinkang-nya jauh di bawah tingkat kakek itu, maka sekali tangkis saja, ketua yang lihai itu kembali membuat tubuh Kwi Beng terguling! Pemuda yang nekat ini telah bergerak kembali, kini melakukan penyerangan dengan Ilmu Totok It-ci-san, yaitu sepasang tangannya mengeluarkan jari telunjuk untuk menotok jalan darah lawan. Akan tetapi kembali kakek itu menggerakkan tangan kirinya, menangkis dan mendorong hingga tubuh Kwi Beng terjungkal, kini terbanting agak keras sehingga ketika bangkit kembali dia terhuyung-huyung! Melihat ini, Kwi Eng bergerak hendak menerjang, akan tetapi gadis cantik itu sudah memegang lengannya. "Enci, tidak ada perlunya membunuh diri! Dan orang muda ini benar-benar amat gagah, akan tetapi keberanian yang hanya nekat dan membabi-buta, dipakai tanpa perhitungan sudah bukan merupakan kegagahan lagi melainkan suatu ketololan! Mundurlah kau, orang muda yang berhati baja!" "Nona, suamiku telah dibunuh mati tanpa kesalahan oleh ketua para jembel ini. Apakah kau menganggapnya tidak benar kalau aku bersama kakakku ini mengadu nyawa untuk membalas dendam?" Kwi Eng berusaha melepaskan tangannya yang dipegang gadis itu, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa betapa lengannya yang dipegang itu sama sekali tidak dapat dia gerakkan, apa lagi hendak melepaskan diri dari pegangan itu. Mendengar kata-kata Kwi Eng tadi, sepasang mata gadis cantik itu mengeluarkan sinar berkilat ketika dia memandang kepada Hwa-i Sin-kai, sedangkan pemuda pendiam yang tadi diakuinya sebagai adiknya, kini pun memandang kepada kakek pengemis itu dengan alis berkerut. "Ahh, kiranya begitukah? Pangcu, engkau tadi mengatakan bahwa dua orang saudara ini datang untuk menantang dan mengacau, akan tetapi engkau sama sekali tak mengatakan mengapa mereka berbuat demikian. Kalau engkau telah membunuh suami enci ini secara sewenang-wenang, maka tidak mengherankan kalau mereka kini datang untuk membalas dendam. Dan engkau mengandalkan kepandaian silatmu yang tidak seberapa itu, apakah kau juga ingin membunuh mereka ini?" Mendengar ucapan yang memandang rendah kepada ketuanya itu, Hek-bin Mo-kai tidak dapat menahan kesabarannya lagi. "Bocah lancang dan kurang ajar, engkau benar-benar bosan hidup! Pangcu, ijinkan aku menghajarnya!" Dan tanpa menunggu ijin dari ketuanya, Hek-bin Mo-kai sudah menggerakkan tongkatnya menotok ke arah leher gadis cantik itu dengan kecepatan yang luar biasa sekali sehingga tongkatnya mengeluarkan bunyi mengiuk. Kwi Beng adalah seorang pemuda yang berwatak gagah. Biar pun keadaan dirinya telah babak-belur dan luka-luka, akan tetapi melihat gadis yang datang untuk membela dia dan adiknya itu diserang secara demikian hebatnya dan dia lihat berada dalam bahaya, maka dia segera meloncat dan memapaki serangan kakek pengemis bermuka hitam itu untuk melindungi gadis yang diserangnya. "Wuuuuttt...! Plakkk...! Desss!" Kakek bermuka hitam ini terhuyung ke belakang dan hampir saja Kwi Beng terbanting kalau saja lengannya tidak cepat disambar oleh gadis cantik itu. Tadi ketika dia menerjang dan memapaki tongkat yang menyerang gadis itu, dia memang berhasil menangkisnya, akan tetapi tangkisan tangannya itu membuat lengannya terasa nyeri bukan main. Kemudian, tongkat yang tadinya menyerang gadis itu dan tertangkis, lalu membalik dan dengan kemarahan meluap, pengemis bermuka hitam itu meluncurkan ujung tongkatnya menusuk ke arah dada Kwi Beng. Akan tetapi pada saat itu, gadis yang ditolong oleh Kwi Beng menggerakkan tangannya mendorong dan kakek bermuka hitam itu segera terhuyung ke belakang sedangkan Kwi Beng yang juga terhuyung dan hampir terbanting itu diselamatkan oleh tangan kecil halus yang telah menangkap lengannya. "Saudara Souw Kwi Beng, tenanglah, dan serahkan jembel-jembel ini kepadaku." Gadis itu tiba-tiba berkata halus. Kwi Beng terkejut bukan main dan membelalakkan mata, memandang tajam. Memang tadi dia merasa seperti mengenal gadis ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi di mana dan dalam keadaan marah dan tengah berhadapan dengan ketua kaipang itu, dia tak memiliki waktu untuk memperhatikan gadis ini. Sekarang, sesudah dia memandang dengan penuh perhatian, barulah dia teringat. "Adik Mei Lan...?!" katanya meragu, seperti bertanya apakah benar gadis ini adalah Mei Lan, gadis cilik yang pernah dijumpainya sebelas tahun yang lalu, ketika gadis itu berusia empat belas tahun dan ketika itu pun gadis ini pernah menolongnya, yaitu ketika dia, Tio Sun dan yang lain-lain sedang berada di Lembah Naga dan tertawan oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li beserta anak buah mereka. Gadis cantik itu memandang padanya, tersenyum kemudian mengangguk membenarkan. Memang gadis itu adalah Yap Mei Lan, puteri tunggal dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Di dalam cerita Dewi Maut sudah dituturkan bagaimana Mei Lan sampai berpisah dari ayahnya.....
JILID 15
Yap Mei Lan adalah puteri tunggal dari Yap Kun Liong bersama isterinya yang bernama Pek Hong Ing. Akan tetapi, sesungguhnya ibu kandung Mei Lan bukanlah Pek Hong Ing, melainkan seorang wanita bernama Liem Hwi Sian. Rahasia ini tidak diketahui oleh Mei Lan yang menganggap Pek Hong Ing adalah ibu kandungnya. Pada suatu hari, dalam percekcokan mulut antara Cia Giok Keng, puteri dari ketua Cin-ling-pai, dengan Pek Hong Ing, Mei Lan mendengar akan rahasia itu dan larilah dia meninggalkan rumah ibunya itu. Dalam pelariannya karena kecewa dan berduka ini, bertemulah dia dengan kakek sakti Bun Hoat Tosu dan menjadi murid kakek sakti yang sudah tua renta itu. Kemudian, ketika kakek Bun Hoat Tosu meninggal dunia, dia ‘dioperkan’ oleh kakek itu kepada seorang kakek lain yang sakti dan aneh, yaitu Kok Beng Lama sehingga dia menjadi murid Kok Beng Lama yang telah ditinggali ilmu-ilmu oleh Bun Hoat Tosu untuk disampaikan kepada Mei Lan sesuai dengan ‘taruhan’ antara dua orang kakek sakti ini ketika mereka berdua bertanding catur! Demikianlah, Mei Lan lalu menjadi murid Kok Beng Lama bersama pemuda pendiam itu yang bukan lain adalah Lie Seng, putera dari mendiang Lie Kong Tek dan Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai. Semua ini telah diceritakan dalam cerita Dewi Maut. Selama sebelas tahun lebih, Mei Lan beserta Lie Seng pergi meninggalkan keluarga dan dunia ramai, dibawa oleh Kok Beng Lama ke Pegunungan Himalaya di dunia barat, di mana kedua orang anak ini digembleng oleh kakek sakti itu. Karena mewarisi ilmu-ilmu dari mendiang Bun Hoat Tosu dan Kok Beng Lama, maka dua orang muda itu sekarang menjadi orang-orang yang mempunyai kepandaian luar biasa sekali, sebab hampir semua kepandaian Kok Beng Lama diwarisi oleh mereka, demikian pula ilmu-ilmu yang paling hebat dari Bun Hoat Tosu telah mereka warisi melalui Kok Beng Lama. Mereka berdua baru saja tiba dari Pegunungan Himalaya sebab guru mereka menyatakan bahwa tiba saatnya bagi mereka untuk turun gunung dan mencari keluarga mereka. Dan secara kebetulan, mereka melihat ribut-ribut di dalam hutan itu lalu cepat menghampiri. Begitu melihat Kwi Beng, tentu saja Mei Lan segera teringat kepada pemuda ini. Tidaklah sukar untuk mengenal Kwi Beng, pemuda yang tampan, gagah dan juga memiliki ciri-ciri khas pada mata dan rambutnya. Maka, tanpa diminta tentu saja Mei Lan lalu turun tangan membantu Kwi Beng dan Kwi Eng yang belum dikenalnya, akan tetapi melihat persamaan antara wanita ini dengan Kwi Beng, dia dapat menduga bahwa wanita itu tentulah saudara kembar dari Kwi Beng, seperti yang pernah didengarnya dahulu. Setelah Kwi Beng kini mendapat kenyataan bahwa gadis cantik itu adalah Yap Mei Lan, puteri dari pendekar sakti Yap Kun Liong, tentu saja dia menjadi girang sekali dan tentu saja dia tak lagi merasa enggan dibantu, karena Yap Mei Lan bukanlah ‘orang luar’, maka cepat dia berkata, "Adik Mei Lan, jembel tua bangka itu sudah membunuh iparku, suami dari adikku yang bernama Tio Sun!" "Apa...?!" Mei Lan terkejut bukan main. Tentu saja dia masih ingat kepada Tio Sun, pendekar yang gagah perkasa, yang dahulu pernah menyerbu di Lembah Naga bersama Kwi Beng dan juga telah tertawan di Lembah Naga. Jadi, Tio Sun sudah menjadi suami adik kembar dari Kwi Beng dan Tio Sun telah terbunuh oleh ketua Hwa-i Kaipang? Tentu saja berita ini membuatnya kaget bukan main. "Pangcu, benarkah apa yang dikatakan oleh sahabatku itu? Betulkah bahwa engkau telah membunuh seorang pendekar seperti Tio Sun?" tanya Mei Lan sambil melangkah maju mendekati ketua Hwa-i Kaipang itu. Ketua Hwa-i Kaipang menegakkan kepalanya dan sambil menatap tajam dia menjawab, "Mendiang Tio-taihiap mencari kematiannya sendiri. Kami bermusuhan dengan seorang iblis betina di rumah Panglima Lee Siang, namun dia membela iblis betina itu sehingga bentrok dengan kami. Dalam pertempuran antara dia dengan kami, dia kalah dan tewas, sama sekali kami tidak bermaksud membunuhnya karena antara dia dan kami tidak ada permusuhan apa-apa." Mei Lan mengerutkan alisnya. Dia juga sudah mendengar berita tentang pengaruh Hwa-i Kaipang yang tentu saja menjadi agak sewenang-wenang, seperti yang biasa dimiliki oleh semua golongan yang berpengaruh dan ditakuti. Akan tetapi jika memang Tio Sun tewas dalam pertandingan yang adil, maka tewas di dalam pertandingan merupakan hal yang lumrah bagi seorang pendekar. Betapa pun juga, dia sudah mengenal siapa Tio Sun, seorang pendekar gagah perkasa yang budiman. Maka andai kata terdapat perselisihan faham antara pendekar itu dengan para pengemis ini, sudah dapat dipastikan bahwa tentu para pengemis ini yang bersalah. Betapa pun juga, dia harus membela Kwi Beng! Tiba-tiba Lie Seng, pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang semenjak tadi diam saja, menyentuh lengan Mei Lan sambil berkata. "Lan-ci, biarkan aku bicara sebentar dengan dia." Mei Lan memandang heran karena adik seperguruannya ini jarang sekali mau bicara jika tidak penting, maka kini tentu mempunyai alasan kuat untuk bicara. Dia mengangguk. Lie Seng yang bersikap tenang sekali itu melangkah maju, memandang pada kakek yang bertubuh pendek kurus itu, lalu berkata, "Pangcu, aku pernah mendengar bahwa pangcu adalah seorang kenalan baik dari ketua Cin-ling-pai. Benarkah itu?" Sepasang mata pangcu itu terbelalak. "Tentu saja! Bahkan kami telah berhutang budi kepada Cia-locianpwe, pangcu dari Cin-ling-pai. Orang muda, mengapa engkau bertanya demikian?" "Ketahuilah bahwa aku adalah cucu luar dari ketua Cin-ling-pai." "Ahhh...!" "Bukan itu saja, akan tetapi mendiang Tio Sun yang kau bunuh itupun merupakan sahabat baik dari kakekku. Mendiang Tio Sun terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah dan budiman, oleh karena itu, sungguh amat mengherankan mengapa engkau, yang mengaku kenal dengan kakekku sampai membunuhnya!" Kakek itu menarik napas panjang. "Aku sendiri masih bingung memikirkan. Ketika aku menantang wanita iblis itu, yang kutantang tidak muncul, sebaliknya yang muncul adalah Tio-taihiap, dan kami memang bertanding, akan tetapi sebelum aku menyentuhnya, dia telah roboh dan tewas..." "Jembel sombong! Kau terlalu menghina suamiku! Suamiku tidak selemah itu!" Kwi Eng berteriak. "Mari kita mengadu nyawa, aku tidak akan berhenti sebelum dapat membalas kematian suamiku!" Hwa-i Sin-kai adalah seorang pangcu, maka karena semenjak tadi orang-orang muda itu menghinanya, dia menjadi marah juga. "Aku sudah bicara, dan bagaimana pun juga, tidak kusangkal bahwa aku telah bertanding melawan Tio Sun dan dia roboh dan tewas dalam pertandingan itu. Sekarang, aku siap mempertanggung jawabkan perbuatanku dan kalau ada yang hendak menuntut balas, tentu saja akan kulayani dengan baik!" "Bagus!" Mei Lan berseru. "Kalau begitu, dengarlah baik-baik, pangcu dari Hwa-i Kaipang. Aku datang mewakili keluarga Tio untuk menuntut balas. Majulah dan mari kita main-main sebentar, ingin sekali kulihat sampai di mana kelihaian orang yang suka mengandalkan kepandaian untuk menghina dan membunuh orang lain yang tidak berdosa." "Kalian bocah-bocah yang sombong dan tidak tahu diri!" Hek-bin Mo-kai yang sejak tadi sudah menahan kemarahannya itu kini membentak dan meloncat ke depan. "Siapa sih yang takut kepada kalian? Jelas bahwa orang she Tio itu bersalah kepada ketua kami dan kalau dia mampus, hal itu adalah kesalahannya sendiri. Kalau kalian mau menuntut balas, atau mau mengikutinya pergi ke neraka, majulah!" Dengan sikapnya yang galak, pengemis bermuka hitam tingkat tiga dari Hwa-i Kaipang itu telah berdiri di depan Mei Lan, dengan tongkatnya melintang di depan dadanya, matanya kemerahan dan mukanya makin hitam akibat marah. Mei Lan sudah ingin menandinginya, akan tetapi Lie Seng melangkah maju dan berkata, "Suci, biarlah aku menghadapinya." Mei Lan mengangguk dan melangkah mundur. Lie Seng lalu mendekati pengemis muka hitam itu dan dengan kedua tangan kosong pemuda ini berdiri seenaknya, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti orang hendak bertanding. "Mulailah, lo-kai!" Hek-bin Mo-kai yang sudah marah itu ingin sekali membersihkan mukanya dan menebus kekalahan-kekalahan yang pernah dideritanya, maka kini dia tanpa sungkan-sungkan lagi sudah menggerakkan tongkatnya lantas menerjang dengan dahsyatnya, menghantamkan ujung tongkatnya itu ke arah kepala pemuda yang tenang itu. Gerakannya begitu dahsyat sehingga sebelum tongkatnya tiba, tongkat itu mengeluarkan suara dan angin menyambar ke arah Lie Seng. Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng kini sudah berdiri di pinggir sambil menonton dengan hati tegang. Mereka berdua melihat betapa tongkat itu menyambar dahsyat dan kelihatan pemuda itu masih enak-enak saja sampai tongkat sudah menyambar dekat sekali dengan kepalanya. "Wuuuttttt...!" Sedikit saja Lie Seng miringkan kepalanya dan tongkat itu pun menyambar luput. Melihat ini, Hek-bin Mo-kai terkejut. Pemuda ini tenang bukan main dan gerakannya yang hanya sedikit sekali itu, akan tetapi cukup berhasil, membuktikan bahwa pemuda itu benar-benar seorang ahli silat tingkat tinggi. Makin tinggi tingkat ilmu silat seseorang, semakin tenanglah gerakannya karena dia tidak lagi menggunakan kembangan-kembangan gerakan yang tidak ada gunanya, dan setiap gerakannya sudah diperhitungkan dengan masak-masak sehingga setiap gerakan selalu mendatangkan hasil. "Sambutlah ini!" Hek-bin Mo-kai membentak dan kini tongkatnya diputar cepat sehingga lenyaplah bentuk tongkatnya, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan bagaikan ombak samudra, sinar bergulung-gulung ini menyerbu ke arah Lie Seng. Namun pemuda ini tidak menjadi bingung menghadapi serbuan yang hebat itu. Dia tidak terpengaruh oleh sinar yang bergulung-gulung itu, namun memandang tajam sehingga dia dapat melihat di mana tongkat bersembunyi di dalam serangan itu. Dia tak mempedulikan bayangan tongkat yang banyak dan membentuk gulungan sinar, melainkan memandang ke arah tongkat yang dapat dia ikuti gerakannya, maka pada waktu tongkat itu menusuk ke arah lambungnya, dia menggeser kaki dan miringkan tubuh sehingga tongkat lewat di dekat lambungnya, lalu secepat kilat menyambar, tangan kirinya yang dibuka membacok dari atas ke arah tongkat lawan itu. "Krakkkk!" Tongkat itu patah menjadi dua potong! Wajah hitam dari Hek-bin Mo-kai menjadi agak pucat, matanya terbelalak lebar memandang tongkat di tangannya yang tinggal sepotong, sedangkan telapak tangannya berdarah! Tidak pernah dia membayangkan betapa tongkatnya yang dianggapnya sebagai senjata pusaka itu bisa dipatahkan lawan hanya dengan hantaman telapak tangan miring, padahal senjata tajam pun tidak akan mampu mematahkannya. Kekagetan serta keheranannya berubah menjadi kemarahan, maka sambil mengeluarkan suara gerengan, dia menubruk kembali dengan tongkat sepotong. Tongkat yang menjadi pendek itu menghantam kepala, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar. Serangan maut! "Plak! Desss...! Bruuukkk!" Cepat sekali terjadinya hal itu. Serangan kakek muka hitam itu disambut dengan elakan dan tangkisan yang dilanjutkan dengan cengkeraman pada tengkuk kakek itu dan sekali dia membuat gerakan melemparkan, tubuh Hek-bin Mo-kai terlempar sampai jauh, tidak kurang dari sepuluh meter kemudian terbanting di atas tanah! Semua orang memandang bengong, karena tidak mengira bahwa pemuda itu akan dapat mengalahkan Hek-bin Mo-kai sedemikian mudahnya. Akan tetapi, Hek-bin Mo-kai yang terbanting itu tidak mengalami luka berat, hanya agak nanar saja dan pinggulnya terasa nyeri. Dia cepat-cepat meloncat berdiri dengan muka yang makin hitam, dan pada saat temannya, Tiat-ciang Sin-kai, juga tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kaipang, menerjang maju dengan tongkatnya menyerang Lie Seng, dia sendiri pun sudah berlari menghampiri dan membantu temannya ini mengeroyok Lie Seng! "Jembel-jembel busuk! Pengecut yang main keroyok!" Kwi Beng memaki-maki pada saat melihat betapa Lie Seng yang bertangan kosong itu dikeroyok dua, dan dia sudah maju hendak membantu. Akan tetapi, Mei Lan mencegahnya. "Biarkan saja, saudara Souw. Sute tidak akan kalah." Dan memang apa yang dikatakan oleh Mei Lan ini merupakan kenyataan. Lie Seng masih tetap tenang saja, berdiri tanpa bergerak, bahkan tidak memasang kuda-kuda karena dia berdiri tegak dengan dua tangan tergantung di kanan kirinya, hanya matanya saja dengan tajam memandang kepada dua orang pengemis tua yang sudah datang menyerangnya dari kanan kiri itu. Tiat-ciang Sin-kai maklum akan kelihaian pemuda yang tadi dengan mudah mengalahkan temannya itu, maka kini dia menyerang dengan tongkatnya di tangan kanan, ditusukkan ke arah dada lawan sedangkan tangan kirinya yang ampuh dan keras seperti besi hingga dia mendapat julukan Tiat-ciang (Si Tangan Besi), telah menyambar pula dengan pukulan dahsyat ke arah pelipis kanan lawan. Dan pada saat itu pula, Hek-bin Mo-kai yang sudah menyambar sebatang tongkat dari seorang pengemis yang berada di dekatnya, telah menyerang pula sambil menggerakkan tongkatnya dengan jurus dari Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat. Tongkatnya membentuk lingkaran-lingkaran. Seperti tadi, Lie Seng hanya bergerak sedikit saja dan serangan Tiat-ciang Sin-kai sudah dapat dielakkan, sedangkan serangan si muka hitam itu dibiarkannya saja, hanya setelah dekat, sekali pemuda itu menggerakkan kakinya, dia telah meloncat dan tubuhnya lenyap dari depan kedua orang pengeroyoknya itu! Dua orang kakek pengemis itu sangat terkejut dan karena merasa betapa angin loncatan pemuda tadi menyambar ke arah belakang mereka, keduanya cepat membalikkan tubuh dan benar saja, pemuda itu sudah berada di belakang mereka, berdiri tegak dan tenang. Kembali mereka menyerbu dengan gerakan yang lebih dahsyat lagi karena mereka sudah menjadi marah sekali. Akan tetapi sekali ini, Lie Seng tidak mengelak, melainkan dia malah maju memapaki! Dua pasang kaki dan tangannya bergerak secara aneh dan semua orang melihat betapa dua orang kakek pengemis itu terpelanting bagaikan disambar petir, roboh ke kanan kiri terdorong oleh hawa pukulan dan tendangan yang amat cepat itu! Melihat ini, Lo-thian Sin-kai, tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kaipang, menjadi marah sekali. "Bocah sombong, sambut ini!" bentaknya. Dia lalu menyerang dengan tangan kirinya yang menampar keras. Tamparan ini bukanlah tamparan biasa, namun tamparan yang dilakukan dengan pengerahan sinkang sehingga mengeluarkan angin keras dan tenaga pukulannya sangat ampuh. Melihat ini, Lie Seng tidak mengelak melainkan mengangkat tangan menangkis. "Dukkk!" Dua lengan bertemu dan Lo-thian Sin-kai mengeluarkan seruan kaget karena kuda-kuda kakinya tergempur, membuat dirinya hampir terpelanting kalau saja dia tidak cepat-cepat menggunakan tongkatnya yang ditekan di atas tanah sehingga dia berhasil memulihkan keseimbangan tubuhnya. Marahlah kakek ini, juga dua orang kakek tingkat tiga itu sudah bangkit kembali. Tanpa banyak cakap lagi, Lo-thian Sin-kai menggerakkan tongkatnya menyerang dengan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat, sedangkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai juga sudah maju. Kini Lie Seng dikeroyok tiga! Akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja, bahkan Mei Lan juga masih menonton sambil tersenyum. Gadis ini berpikir bahwa yang menjadi musuh-musuh dari dua orang saudara kembar she Souw ini adalah Hwa-i Sin-kai pribadi dan tidak ada sangkut-pautnya dengan perkumpulan Hwa-i Kaipang, akan tetapi ternyata kini pangcu itu hanya diam saja malah membiarkan anak buahnya yang turun tangan. Karena itu, dia mengerling ke arah ketua itu yang memandang dengan alis berkerut melihat betapa pembantu-pembantu utamanya jelas bukan tandingan pemuda perkasa itu. "Orang yang gagah selalu mempertanggung jawabkan sendiri semua perbuatannya, akan tetapi sungguh aneh, seorang pangcu dari perkumpulan besar dan terkenal seperti Hwa-i Kaipang ternyata berlindung kepada anak buahnya!" Merahlah wajah ketua Hwa-i Kaipang mendengar ucapan ini. Memang semenjak tadi dia sudah hendak turun tangan sendiri, akan tetapi melihat para pembantunya sudah turun tangan untuk membelanya, dia mendiamkannya saja karena dia pun ingin melihat sampai di mana kelihaian dua orang muda yang datang membantu dua orang saudara kembar yang nekat itu. Terkejutlah dia tadi melihat gerakan-gerakan Lie Seng dan selagi dia melihat ketiga orang pembantu utamanya mengeroyok pemuda itu, sekarang gadis cantik yang menjadi suci dari pemuda itu telah menyindirnya. Maka dia lalu melangkah maju. "Nona, kalau kau hendak mewakili keluarga Tio, majulah. Siapa takut kepadamu?" Mei Lan tersenyum. "Bagus, hal ini sudah kutunggu-tunggu, pangcu. Nah, aku sudah siap menghadapi tongkat bututmu. Mulailah!" "Sambutlah, gadis sombong!" Kakek itu menggerakkan tongkatnya dan terdengar suara mencicit nyaring keluar dari sinar tongkat yang menyambar gadis itu. Mei Lan terkejut juga dan cepat mengelak. "Trakkk!" Batang pohon yang berada di belakang gadis itu patah terkena sambaran hawa pukulan tongkat itu! Maklumlah Mei Lan bahwa ketua ini benar-benar seorang jagoan yang lihai, maka dia pun dengan tenang lalu menghadapinya dengan waspada. Memang Hwa-i Sin-kai, ketua dari perkumpulan pengemis itu sudah marah sekali melihat para pembantunya kalah, maka begitu menyerang dia telah mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa dan mengerahkan sinkang sehingga sambaran tongkatnya mendatangkan angin pukulan yang amat ganas. Akan tetapi, serangan pertama tadi dapat dihindarkan oleh gadis itu secara mudah saja, maka dia menjadi penasaran dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa, dia sudah menerjang lagi dengan dahsyat. Dan terjadilah pertandingan yang membuat Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng melongo penuh kekaguman. Gadis cantik itu tiba-tiba saja lenyap dan tubuhnya berubah menjadi sosok bayangan yang sukar diikuti pandang mata, bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar tongkat kakek itu yang sudah menyerang dengan hebatnya, karena kakek itu mengeluarkan ilmunya Ta-houw Sin-ciang yang mengeluarkan hawa dingin, pukulan-pukulan tangan kiri yang amat ampuh untuk membantu Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat yang sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi gadis itu seperti bertubuh kapas saja, begitu ringan dan setiap kali disambar tongkat, seolah-olah angin sambaran itu sudah mendorongnya sehingga selalu tongkat itu sendiri tidak dapat mengenai tubuhnya. Dan hebatnya, setiap kali tangan yang kecil dan halus itu menangkis pukulan Ta-houw Sin-ciang yang dingin sekali, nampaklah uap putih keluar dari pertemuan kedua tangan mereka, dan kakek itu merasa betapa tangan kirinya menjadi panas seperti dibakar! Bukan itu saja, malah kakek itu selalu merasa lengannya tergetar hebat pada setiap pertemuan tangan. Hwa-i Sin-kai sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya, sehingga dia boleh dibilang merupakan seorang datuk ilmu silat di dunia kang-ouw. Namanya dikenal luas oleh semua jago-jago silat, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitam. Ilmu tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) sudah amat terkenal dan sukar dilawan, karena kalau dia mainkan ilmu tongkat ini, sama saja dengan lima batang tongkat yang dimainkan oleh lima orang. Terlebih lagi ilmu pukulannya yang disebut Ta-houw Sin-ciang itu, diberi nama demikian sebab kabarnya dengan sekali pukul saja kakek ini dulu pernah menewaskan seekor harimau yang menjadi pecah kepalanya! Ta-houw Sin-ciang (Ilmu Tangan Sakti Pemukul Harimau) digerakkan dengan pengerahan sinkang yang mengandung hawa dingin menusuk tulang, maka lihainya bukan kepalang. Inilah sebabnya, karena merasa bahwa dia adalah seorang cabang atas, seorang datuk persilatan, Hwa-i Sin-kai merasa marah sekali dengan adanya gangguan dari Kim Hong Liu-nio yang berani memusuhi perkumpulannya, seolah-olah berani menentang dirinya. Akan tetapi, setelah bertanding selama hampir tiga puluh jurus, kakek itu segera menjadi terheran-heran dan kaget setengah mati melihat betapa gadis itu benar-benar luar biasa sekali! Ginkang dari gadis itu membuat tubuh si gadis ini seperti dapat menghilang saja, bahkan dapat berkelebatan di antara sinar-sinar tongkatnya yang telah mengurung rapat. Yang lebih hebat lagi, gadis itu berani dan kuat menangkis pukulan Ta-houw Sin-ciang! Bukan hanya berani dan kuat, bahkan dapat membuat dia merasakan hawa panas yang luar biasa menyerang lengannya. Padahal seingatnya, belum pernah ada tokoh persilatan yang dapat menghadapi Ta-houw Sin-ciang seperti ini! Secara diam-diam kakek ini menjadi bingung dan khawatir karena tidak pernah mengira bahwa di dunia persilatan akan muncul seorang gadis yang begini lihai bersama adiknya atau sute-nya yang juga lihai bukan main! Dia segera mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena bagaimana pun juga, dia tidak boleh kalah oleh seorang gadis muda seperti ini. Kekalahan itu tentu akan langsung menghancurkan nama besarnya. Meski pun dia dikeroyok tiga orang kakek lihai, namun dibandingkan dengan suci-nya, Lie Seng menghadapi lawan yang jauh lebih lunak. Dengan enaknya pemuda ini menghadapi serbuan-serbuan itu bagai seekor kucing yang mempermainkan tiga ekor tikus. Dia hanya kadang-kadang mendorong untuk membuat tiga orang pengeroyoknya terhuyung-huyung atau pun terpelanting, tanpa menjatuhkan tangan keras untuk melukai mereka, apa lagi membunuh mereka. Akan tetapi, begitu dia melihat suci-nya sudah bertanding melawan ketua Hwa-i Kaipang dan mendapat kenyataan betapa kakek itu sangat lihai, Lie Seng ingin berjaga-jaga dan kalau perlu melindungi suci-nya, maka dia lalu berseru keras, dan gerakannya berubah menjadi cepat bukan main. Pada saat itu, dia baru saja menghindar dari sambaran tongkat Lo-thian Sin-kai yang jauh lebih lihai dari pada dua orang kakek pengemis yang lain. Begitu tongkat itu luput, kakek tingkat kedua ini langsung menghantam dengan tangan kirinya yang mengandung tenaga sinkang dahsyat. Akan tetapi Lie Seng yang ingin cepat menyelesaikan pertempuran itu tidak lagi mengelak, melainkan menggerakkan tangannya, dengan sengaja dia memapaki hantaman itu dengan sambutan tangan kanannya. "Plakkk...!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lo-thian Sin-kai terguling dan kakek ini roboh lemas, tidak dapat bangkit kembali karena tubuhnya terasa lumpuh semua. Dua orang kakek tingkat tiga yang melihat ini menjadi terkejut dan menubruk dari kanan kiri, namun Lie Seng memapaki mereka dengan tamparan-tamparan yang ampuh hingga kedua orang ini pun terpelanting dan tidak mampu bangun kembali karena sekali ini Lie Seng mempergunakan tenaga yang agak besar sehingga mereka yang kena ditampar itu roboh pingsan! Walau pun tubuhnya seperti lumpuh, Lo-thian Sin-kai masih mampu berseru kepada para pengemis lainnya, "Maju semua! Keroyok dia...!" Dan bergeraklah semua anggota Hwa-i Kaipang maju menyerbu dan mengeroyok Lie Seng! "Hemm, kalian benar-benar jahat!" Lie Seng berseru. Pemuda ini lalu mengamuk, merobohkan para pengeroyok dengan tamparan tangan dan tendangan kakinya. Melihat ini, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng juga tidak mau tinggal diam, mereka berdua lalu mengamuk pula, tidak mempedulikan tubuh mereka yang sudah sakit-sakit akibat dihajar oleh ketua Hwa-i Kaipang tadi. Kini mereka dapat melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka kepada anggota kaipang itu, bertempur bahu-membahu dengan Lie Seng yang gagah perkasa. Sementara itu, pertempuran antara Mei Lan dan Hwa-i Sin-kai juga makin hebat. Melihat betapa sute-nya dan dua orang saudara kembar itu dikeroyok oleh para anggota Hwa-i Kaipang, Mei Lan berkata mengejek, "Jembel-jembel busuk benar-benar tak tahu malu!" Dan dia pun lantas menggerakkan tubuhnya dengan cepat sekali, maka lenyaplah bentuk tubuh gadis ini, berubah menjadi bayangan yang banyak dan yang mengeluarkan angin menyambar-nyambar ke arah kakek ketua kaipang itu. Inilah Pat-hong Sin-kun, ilmu silat tangan kosong yang amat sakti dari mendiang Bun Hoat Tosu! Hwa-i Sin-kai terkejut bukan main, mengenal ilmu silat yang amat tinggi dan biar pun dia sudah memutar tongkatnya dengan cepat dan kuat, tetap saja angin menyambar ke arah lehernya dan dia cepat miringkan tubuhnya. "Brettttt...!" angin itu masih menyambar leher bajunya yang menjadi robek seketika! "Uhhhhh...!" Kakek itu meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat. Maklumlah dia bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran, akan terjadi pertempuran adu nyawa dengan dara yang ternyata luar biasa lihainya itu. Dia tidak mau memperpanjang urusan dan permusuhan, apa lagi tadi dia mendengar bahwa pemuda itu adalah cucu luar dari ketua Cin-ling-pai! Dan kini dia melihat betapa anak buahnya sudah kocar-kacir dan mulai dihajar habis-habisan oleh pemuda perkasa itu yang dibantu oleh sepasang saudara kembar. Dia merasa menyesal sekali dan cepat kakek ini berseru nyaring, "Semua saudara pengemis, mundur!" Dan dia mendahului meloncat dan melarikan diri. Mendengar seruan ini, para pengemis terkejut. Belum pernah selama mereka menjadi anggota Hwa-i Kaipang, ada perintah mundur dari ketua mereka, apa lagi melihat ketua mereka melarikan diri. Tentu saja hal ini membuat nyali mereka menjadi kecil dan tanpa diperintah dua kali, para pengemis itu langsung meninggalkan gelanggang pertempuran, melarikan diri sambil menyeret tubuh teman-teman mereka yang terluka atau pingsan. Sebentar saja sunyilah di halaman kuil kosong itu, tidak nampak seorang pun pengemis. Banyak pengemis yang roboh oleh amukan Lie Seng, namun tidak seorang pun tewas karena pemuda ini tidak mau membunuh, hanya merobohkan mereka sehingga ada yang patah tulang, salah urat dan pingsan karena pening. Setelah semua pengemis pergi, Kwi Eng teringat kembali pada suaminya dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil menangis. Melihat keadaan adiknya ini, Kwi Beng cepat menghampiri akan tetapi tiba-tiba pemuda ini terguling roboh dan pingsan! "Ahh...!" hanya dengan sekali loncatan saja Mei Lan sudah menyambar tubuh pemuda itu sehingga kepala Kwi Beng tidak sampai terbanting. Cepat Mei Lan merebahkan tubuh Kwi Beng dan memeriksa luka-lukanya. Memang keadaan pemuda ini lebih parah dari pada adiknya, akan tetapi dengan hati lega Mei Lan mendapat kenyataan bahwa luka-luka itu hanyalah luka-luka luar saja dan tidak ada yang berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Diam-diam Mei Lan mengakui bahwa ketua Hwa-i Kaipang itu sebenarnya bukanlah seorang yang kejam sebab kalau memang dikehendakinya tentu dengan mudah kakek itu dapat membunuh dua orang kakak beradik kembar itu. Dengan bantuan Lie Seng, Mei Lan kemudian mengobati kakak beradik kembar itu dan perlahan-lahan Kwi Beng siluman. Ketika dia melihat dirinya sendiri rebah terlentang dan di dekatnya nampak gadis cantik dan gagah perkasa tadi sedang berlutut, Kwi Beng lalu memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut dan melekat penuh dengan macam perasaan haru. Akhirnya Mei Lan menundukkan mukanya dan Kwi Beng merasa mukanya agak panas. Dia tidak tahu betapa mukanya menjadi merah sekali dan dia lalu bangkit duduk sambil memegangi kepalanya. "Bagaimana rasanya kepalamu?" tanya Mei Lan. Gadis ini biasanya lincah jenaka dan tidak pernah merasa sungkan terhadap siapa pun, akan tetapi dia sendiri tidak mengerti mengapa kini sesudah berhadapan dengan pemuda yang bermata biru dan rambutnya agak menguning keemasan ini, dia merasakan suatu hal yang luar biasa, yang membuatnya merasa agak malu-malu. "Tidak apa-apa... hanya agak pening sedikit. Agaknya engkau sudah menolongku ketika aku roboh pingsan, adik Mei Lan. Ahhh, seperti baru kemarin saja engkau menolongku, melepaskan aku dari ikatan di Lembah Naga dahulu itu..." "Kalian berdua sungguh terlampau berani menentang Hwa-i Kaipang." Mei Lan menegur. "Pangcu itu lihai sekali. Sebenarnya apakah yang sudah terjadi dan bagaimana saudara Tio Sun sampai tewas di tangan mereka?" Mendengar pertanyaan ini, Kwi Eng menangis ada pun Kwi Beng menarik napas panjang berulang kali. Kwi Eng tidak mampu bicara karena sedang menangis dan berduka, maka Kwi Beng kemudian mewakili adiknya bercerita kepada Lie Seng dan Mei Lan. "Kami sendiri tidak tahu bagaimana asal mulanya urusan ini. Iparku itu hanya berpamit kepada isterinya hendak pergi mengunjungi Panglima Kim-i-wi yang bernama Lee Siang, katanya dimintai tolong oleh panglima itu untuk menjadi orang penengah atau pendamai. Akan tetapi, tahu-tahu dia telah diantar pulang oleh panglima itu, dalam keadaan sudah tewas dan menurut cerita Panglima Lee, iparku telah dibunuh oleh pangcu Hwa-i Kaipang tanpa sebab, diserang setelah iparku berusaha untuk mendamaikan mereka. Demikianlah penuturan dari Panglima Lee Siang." Kwi Beng berhenti bercerita lantas menarik napas panjang, berduka karena teringat akan kematian iparnya sehingga adiknya yang masih muda telah menjadi janda. "Lalu kalian mendatangi ketua Hwa-i Kaipang dan menantangnya?" Mei Lan bertanya. Kwi Beng mengangguk. "Tentu saja kami berdua tidak mau menerima begitu saja, sebab sepanjang pengetahuan kami, keluarga kami tak pernah bermusuhan dengan fihak Hwa-i Kaipang, dan iparku itu bukan ingin membela Panglima Lee, melainkan hendak menjadi orang penengah yang mendamaikan. Ketika kami bertemu dengan ketua Hwa-i Kaipang, dia berkata bahwa dia tidak bermusuhan dengan iparku, tak sengaja membunuhnya, dan dia bertempur dengan iparku karena iparku itu hendak melindungi Kim Hong Liu-nio yang dibela oleh Panglima Lee Siang. Dan dia mengatakan bahwa kalau ada yang menuntut balas, dia siap untuk melayani karena dia merasa tidak bersalah." Mei Lan mengerutkan alisnya. "Hemm, kurasa dia tidak berbohong." Kakak beradik kembar itu mengangkat muka memandang dengan perasaan heran. "Tidak berbohong? Jembel tua itu...!" Kwi Eng berseru, penasaran bukan main. Mei Lan membuat gerakan dengan tangannya untuk menyabarkan. "Harap kalian berdua ingat bahwa kalau kakek itu mempunyai niat jahat, tentu kalian berdua telah dibunuhnya. Apa sukarnya bagi ketua itu yang dibantu oleh anak buahnya? Tidak, dia tidak membunuh kalian, dan ini saja sudah membuktikan bahwa dia tidak bermaksud buruk, tidak berniat memusuhi keluargamu dan karena itu maka kematian saudara Tio Sun ini perlu diselidiki lebih lanjut lagi. Yang menjadi biang keladi adalah panglima she Lee itu, dan siapakah gerangan wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio, yang dimusuhi ketua Hwa-i Kaipang itu?" Kwi Eng menjawab, "Menurut penuturan suamiku yang mendengar dari Panglima Lee, wanita itu adalah seorang yang berjasa besar terhadap kaisar, bahkan penyelamat nyawa kaisar ketika terjadi pemberontakan. Dia adalah utusan dari Raja Sabutai." Kwi Eng lalu bercerita tentang Kim Hong Liu-nio seperti yang didengarnya dari penuturan suaminya. "Ahh...!" Mei Lan terkejut sekali mendengar semua itu, lalu dia pun mengangguk-angguk. "Urusan menjadi makin berbelit. Dan kenapa pula Kim Hong Liu-nio bermusuhan dengan pangcu dari Hwa-i Kaipang?" "Kabarnya, wanita itu pernah bentrok dengan seorang anggota Hwa-i Kaipang sehingga anggota perkumpulan itu tewas, kemudian dia mengalahkan beberapa orang tokoh Hwa-i Kaipang sehingga pada suatu hari dia dikepung oleh banyak anggota Hwa-i Kaipang di luar pintu gerbang di utara. Pada saat itulah Lee-ciangkun menyelamatkannya," kata pula Kwi Eng. "Hemmm, urusan dendam-mendendam!" Mei Lan kembali mengangguk-angguk. "Kini kita mengerti bahwa agaknya saudara Tio terlibat dalam urusan dendam pribadi antara pangcu Hwa-i Kaipang dan Kim Hong Liu-nio. Dia dimintai tolong untuk melerai akan tetapi timbul kesalah fahaman dan terjadi pertempuran sehingga saudara Tio tewas di tangan pangcu itu. Tewas dalam suatu pertempuran yang adil memang menjadi resiko orang gagah, dan sesungguhnya tidak ada yang patut dibuat sakit hati." "Akan tetapi, jembel tua itu sudah membikin sengsara kehidupan adikku yang kehilangan suaminya dan keponakanku yang kehilangan ayahnya. Bagaimana mungkin kami dapat mendiamkannya saja?" bantah Kwi Beng penasaran. "Dan iparku tewas bukannya karena urusan pribadi, melainkan sebagai seorang penengah yang mendamaikan. Bukankah hal itu menimbulkan penasaran sekali?" Mei Lan yang merupakan seorang gadis muda berusia dua puluh lima tahun itu menarik napas panjang, lantas keluarlah kata-kata yang padat dan penuh pengertian, "Penasaran selalu timbul pada fihak yang merasa dirugikan, akan tetapi orang bijaksana memandang persoalan sesuai dengan kenyataannya tanpa dipengaruhi oleh rugi untung bagi dirinya sendiri. Urusan ini menyangkut fihak-fihak yang amat berpengaruh. Hwa-i Kaipang adalah sebuah perkumpulan besar yang berpengaruh sekali, karena itu tentu mempunyai banyak sekutunya. Di lain fihak, apa bila benar Kim Hong Liu-nio itu adalah utusan Raja Sabutai bahkan penyelamat jiwa kaisar, maka tentu saja dia pun memiliki kedudukan yang kuat dan pengaruhnya besar. Maka, jika kalian berdua tidak berkeberatan, marilah kalian ikut bersama kami ke Cin-ling-san. Kami hendak menghadap Cia-locianpwe, kongkong dari sute Lie Seng dan mengingat bahwa Cia-locianpwe mengenal pula ketua Hwa-i Kaipang, maka tentu nasehat beliau amat berharga untuk dipertimbangkan." "Baik, aku setuju. Mari kita ikut pergi ke Cin-ling-san, Eng-moi," kata Kwi Beng seketika. Dengan amat cepat seperti tanpa dipikirkannya lagi dia telah menyetujui, karena memang hatinya membisikkan bahwa dia tidak ingin berpisah dengan gadis cantik yang amat lihai itu, yang sejak tadi telah begitu menarik hatinya! Di lain fihak, sesudah mendengar ajakannya sendiri, Mei Lan juga terheran dan bahkan terkejut sekali kenapa dia mengajak kedua orang kembar itu untuk melakukan perjalanan bersamanya ke Cin-ling-san! Mukanya menjadi merah sekali sebab diam-diam dia harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia merasakan hal seperti ini, dan dia tahu bahwa dirinya tidak ingin berjauhan dari pemuda tampan dan gagah yang mengagumkan hatinya itu! Berangkatlah empat orang muda yang gagah perkasa itu menuju ke Cin-ling-san, dan di dalam perjalanan ini tumbuh perasaan yang mesra di dalam dada Kwi Beng dan Mei Lan. Hal ini tentu saja dimengerti pula oleh Kwi Eng yang diam-diam, dalam kedukaan akibat kehilangan suami tercinta, merasa girang dan senang sekali kalau kakak kembarnya itu mungkin dapat berjodoh dengan seorang gadis seperti Yap Mei Lan yang demikian gagah perkasa. Lie Seng yang juga sudah cukup dewasa itu pun dapat merasakan adanya kemesraan antara suci-nya dan pemuda bermata kebiruan dan berambut kekuningan itu, akan tetapi karena dia seorang pendiam yang tentu saja merasa sungkan kepada suci-nya, maka dia pura-pura tidak tahu saja. Sungguh sute yang penuh pengertian. *************** Ui-eng Piauwkiok dengan tanda kebesarannya berupa bendera piauwkiok yang dasarnya berwarna merah dengan lukisan seekor burung garuda kuning sudah sangat terkenal di seluruh Propinsi Ho-pei sebagai perusahaan ekspedisi yang boleh dipercaya. Tentu saja setiap perusahaan apa pun dapat maju atau mundur, jatuh atau bangun tergantung dari kebijaksanaan sang pimpinan. Dan di dalam hal ini, Na Ceng Han termasuk seorang yang pandai berusaha di samping kejujuran serta kegagahannya yang membuat perusahaan ekspedisinya sampai terkenal dan dipercaya orang. Na-piauwsu memang pandai bergaul dan hubungannya luas sekali dengan para tokoh dunia persilatan, baik dengan golongan pendekar atau golongan putih mau pun dengan golongan hitam atau kaum perampok dan bajak. Karena mempunyai hubungan yang luas inilah maka barang-barang yang dikawal oleh perusahaannya tak pernah diganggu penjahat sebab hampir semua golongan liok-lim dan kang-ouw merasa enggan untuk mengganggu barang-barang yang dikawal oleh piauwsu yang mereka kenal sebagai seorang yang ringan tangan dan suka membantu itu, selain ini, juga setiap orang pendekar tentu akan membantu kalau mendengar betapa piauwsu ini diganggu orang. Akan tetapi, sungguh pun Na Ceng Han tidak pernah memusuhi orang lain, hal itu bukan berarti bahwa tidak ada orang lain yang memusuhi dirinya! Kita ini hidup di dalam dunia di mana masyarakat telah diracuni oleh iri hati! Di segala lapangan nampak jelas iri hati ini yang hampir mengotori setiap orang manusia. Na Ceng Han tidak terluput dari incaran mata orang lain yang mengandung iri hati seperti itu, bahkan juga mengandung dendam. Yang mengincar dari jauh itu adalah mata Ciok Khun, juga seorang piauwsu yang tinggal di kota Kun-ting itu. Ciok Khun adalah piauwsu yang membuka piauwkiok yang bernama Gin-to Piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Golok Perak). Nama ini diambil dari senjatanya yang terkenal, yaitu sebatang golok dari perak. Bendera piauwkiok-nya berdasar hitam dengan lukisan sebatang golok putih. Telah menjadi penyakit umum di antara manusia untuk saling bersaing dalam kehidupan. Penyakit ini memang sudah dipupuk semenjak kecil. Pada waktu manusia masih menjadi kanak-kanak pun para orang tua dan gurunya sudah selalu menekankan agar dia ‘tidak kalah’ dari orang lain. Penekanan yang memupuk jiwa persaingan itulah, yang dilakukan oleh kita semua tanpa kita sadari bahwa kita telah menanamkan benih-benih yang akan menimbulkan sengketa dan kekerasan dalam diri anak-anak kita! Semenjak kecil, setiap orang anak telah dirangsang oleh orang tuanya, guru-gurunya, dan masyarakat yang menerima hal itu sebagai suatu kehormatan serta kebudayaan, untuk menonjolkan dirinya sendiri, supaya tidak kalah oleh siapa pun juga. Di dalam kelas saja sudah terdapat penekanan ini berupa angka-angka tertinggi untuk nilai-nilai kepandaian, pujian bagi yang pintar dan celaan-celaan bagi yang bodoh, penghormatan-penghormatan bagi yang kaya dan penghinaan-penghinaan bagi yang miskin, memandang tinggi bagi yang berkedudukan tinggi dan memandang rendah kepada yang berkedudukan rendah. Inilah yang membentuk jiwa seseorang sehingga seperti keadaan kita sekarang ini! Kita bersaing dalam hal apa pun juga. Dalam perdagangan, dalam perusahaan, dalam kedudukan, dalam olah raga, dalam semua kehidupan kita. Persaingan ini, dalam bentuk apa pun juga, tidak mungkin tidak menimbulkan kekerasan dan konflik, biar pun dengan seribu macam alasan kita mau memperhalus persaingan dengan tambahan kata ‘sehat’. Persaingan sehat! Mana mungkin ini? Karena persaingan itu sendiri adalah sama sekali tidak sehat! Keinginan menonjolkan diri agar ‘tidak kalah’ oleh orang lain ini menimbulkan persaingan, menimbulkan konflik, menimbulkan iri hati. Iri hati timbul karena perbandingan, jika kita membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain yang lebih pandai, kedudukannya lebih tinggi, lebih kaya, dan segala macam lebih lagi. Hidup akan menjadi sesuatu yang lain sama sekali dari pada sekarang ini bila tidak ada perbandingan, tak ada persaingan, tak ada keinginan menonjolkan diri. Dapatkah kita hidup bebas dari persaingan? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, kita harus menghayatinya, bukan hanya sekedar memikirkan dan berteori lalu berbantahan dengan kata-kata kosong belaka. Penghayatan dapat dilakukan kalau kita mengenal diri sendiri setiap saat, mengenal iri hati diri sendiri, mengenal keinginan menonjolkan diri sendiri, mengenal kesukaan diri sendiri untuk bersaing dan menang! Demikianlah, tanpa disadari sendiri oleh Na Ceng Han, diam-diam terdapat seorang yang amat membencinya, bukan hanya didorong oleh iri hati dan persaingan dalam perusahaan yang sama sifatnya, melainkan juga kebencian yang terdorong oleh dendam dan sakit hati! cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Sebelum menjadi piauwsu, tadinya Ciok Khun adalah seorang perampok tunggal. Tentu saja hubungannya dengan para penjahat di dunia liok-lim lebih erat dibandingkan dengan hubungan Na-piauwsu terhadap mereka. Dan sesudah Ciok Khun menjadi piauwsu, dia melihat kesempatan-kesempatan baik. Bukan hanya dia dapat mengawal barang-barang dengan aman karena tidak akan diganggu teman-temannya, atau bekas rekan-rekannya, melainkan juga dia dapat bersekongkol dengan para penjahat itu untuk memeras para pengirim barang yang dipercayakan kepadanya! Beberapa kali sudah terjadi kalau ada kiriman barang-barang berharga yang dikawalnya, Ciok Khun bersekutu dengan teman-temannya kemudian di tengah jalan teman-temannya itu mengganggu dan merampas barang-barang yang berharga di bawah pengetahuan si pemilik barang sendiri. Kalau sudah begitu, Ciok Khun menawarkan jasa-jasa baiknya dan barang-barang itu tentu akan dapat diperolehnya kembali asal saja si pemilik barang suka ‘menyogok’ para perampok yang dikenalnya itu. Padahal, yang mengatur kesemuanya itu tentu saja adalah Ciok Khun sendiri! Praktek-praktek pemerasan seperti ini tak hanya dilakukan oleh orang-orang seperti Ciok Khun yang memang tadinya adalah seorang perampok, tetapi dilakukan oleh kebanyakan orang yang mempunyai kedudukan atau juga yang mempunyai banyak kesempatan untuk melakukannya. Sejak jaman kuno hingga sekarang, dapatlah dilihat betapa banyaknya orang-orang yang bertugas menjadi penjaga dan pelindung keselamatan tapi malah melakukan pemerasan kepada mereka yang mestinya dijaga atau dilindungi keselamatannya! Justru penjagaan atau perlindungan itulah yang dijadikan sebagai jalan untuk melakukan pemerasan. Keadaan seperti ini sungguh amat mengherankan dan menyedihkan, tapi kenyataannya memang demikian. Dan semuanya itu, seperti juga bentuk kemaksiatan atau kejahatan apa pun juga, didorong oleh keinginan manusia untuk mencari kesenangan sendiri. Jadi sumbernya adalah pada diri kita sendiri! Kitalah yang harus berubah, bukan keadaannya, bukan sekeliling kita, bukan masyarakat, bukan dunia, melainkan kita sendiri, masing-masing harus berubah seketika! Tanpa adanya perubahan dalam diri kita masing-masing jangan mengharapkan keadaan sekeliling atau masyarakat akan bisa berubah. Biar pun diatur bagaimana juga, selama diri kita belum berubah, maka peraturan itu hanya akan menjadi alat baru untuk saling memperebutkan kesenangan bagi kita sendiri dan karenanya pasti timbul pelbagai bentuk kemaksiatan dan kejahatan baru. Apa bila kita sudah berubah, maka akan terjadilah perubahan dalam segala hal. Harta, kedudukan, pendeknya segala macam antar hubungan akan mempunyai arti yang lain sama sekali. Mengapa Ciok Khun menaruh dendam dan sakit hati terhadap Na-piauwsu? Apa bila dia merasa iri hati, maka hal itu sudah jelas karena dalam hal persaingan pekerjaan sebagai piauwsu, Ciok Khun kalah jauh. Para pedagang besar dan pembesar-pembesar lebih suka mengirimkan barang-barang berharga milik mereka di bawah lindungan bendera Ui-eng Piauwkiok dari pada dilindungi oleh bendera Gin-to Piauwkiok. Akan tetapi, dendam dan sakit hati di hati Ciok Khun timbul karena urusan pribadi, yaitu karena dulu Na-piauwsu pernah menentang praktek-prakteknya yang memeras seorang pedagang yang mengirim barangnya di bawah perlindungan Gin-to Piauwkiok. Na-piauwsu yang menghentikan pemerasan itu dan yang dengan terang-terangan mendatanginya dan menegurnya karena pedagang itu merupakan seorang kenalan baik dari Na-piauwsu yang datang menceritakan pemerasan yang ditimpakan kepadanya itu. Ciok Khun tidak berani menentang secara berterang dan pada lahirnya dia menurut, akan tetapi diam-diam timbul ganjalan di dalam hatinya, melahirkan dendam dan setiap hari dia mencari kesempatan supaya dia dapat membalas kepada Na-piauwsu yang dianggapnya musuh besarnya itu. Hanya karena dia tahu bahwa dalam hal ilmu kepandaian dia tidak akan mampu menandingi Na-piauwsu, maka dia masih belum turun tangan dan menanti saat sampai bertahun-tahun lamanya. Kesempatan yang dinanti-nantikan itu akhirnya tibalah. Dia berkenalan dengan seorang yang bernama Lu Seng Ok, yaitu seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang memiliki kepandaian tinggi. Lu Seng Ok ini adalah seorang bekas tokoh Hwa-i Kaipang yang murtad dan telah dikeluarkan dari Hwa-i Kaipang karena ketahuan telah melakukan kejahatan dengan jalan minta-minta secara paksa kepada para penghuni sebuah dusun. Walau pun hanya merupakan sebuah perkumpulan pengemis, akan tetapi Hwa-i Kaipang memiliki peraturan keras terhadap para anggotanya. Mereka dilarang untuk melakukan pencurian atau perampokan, maka perbuatan Lu Seng Ok yang menjadi tokoh tingkat tiga itu dianggap perampokan dan dia pun dikeluarkan dari Hwa-i Kaipang oleh ketua Hwa-i Kaipang sendiri. Sesudah keluar dari perkumpulan itu, tentu saja Lu Seng Ok menjadi seorang penjahat yang suka menggunakan kekerasan dan ilmu silatnya yang tinggi. Akhirnya, bertemulah Lu Seng Ok dengan Ciok Khun dan menjadi sahabat baik. Pada suatu malam yang gelap dan sunyi. Hujan turun sejak sore tadi, dan biar pun kini hujan tinggal rintik-rintik kecil, namun hawa yang dingin membuat orang merasa enggan untuk keluar dari pintu, apa lagi air hujan membuat jalan di luar rumah menjadi becek dan berlumpur. Toko-toko sudah tutup sejak tadi ketika hujan turun deras karena dibuka pun percuma saja, tidak ada pembeli, bahkan jalan-jalan sunyi tidak ada orang lewat. Hawa udara yang sejuk dan nyaman membuat orang sore-sore sudah memasuki kamar mereka, dan membuat orang merasa betah tinggal di rumah. Di rumah keluarga Na juga sudah sepi sekali. Na Ceng Han serta isterinya sudah memasuki kamar, bercakap-cakap dan mereka berdua membicarakan tentang diri Sin Liong yang sudah satu setengah tahun berada di rumah mereka. Suami isteri ini merasa suka sekali kepada Sin Liong yang tahu diri dan rajin membantu pekerjaan rumah, dan juga rajin sekali berlatih silat serta belajar membaca dan menulis, mendalami kitab-kitab kuno, dan selain kerajinan ini, juga Sin Liong adalah seorang anak yang patuh dan tidak banyak bicara. Para pembantu rumah tangga, juga para piauwsu yang berada di kantor, semua sudah beristirahat di tempat masing-masing. Bhe Bi Cu sudah tidur di dalam kamarnya, ada pun Na Tiong Pek, putera tunggal Na-piauwsu, sejak sore tadi memanggil Sin Liong ke dalam kamarnya dan mengajak anak itu bermain catur. Kini Tiong Pek sudah rebah di atas pembaringan, sedangkan Sin Liong masih membaca kitab di kamar Tiong Pek. Suasana sangat sunyi dan dari celah-celah jendela kamar itu dapat terdengar hembusan angin malam yang kadang-kadang mengeluarkan bunyi yang menyeramkan, seperti iblis meniup-niup di luar rumah, di antara pohon-pohon yang gelap. Dan kalau saja pada waktu itu ada penghuni rumah keluarga Na yang mengintai keluar, mungkin dia akan dapat melihat keadaan yang menyeramkan di sekitar rumah keluarga Na itu. Beberapa bayangan orang berkelebat cepat dan sebentar saja ada bayangan tujuh orang berada di sekitar tempat itu, menyelinap di antara bayangan-bayangan gelap dan pohon-pohon. Suara angin yang bertiup keras pada daun-daun pohon di luar rumah menyelimuti suara golok seorang di antara mereka yang mencokel daun pintu hingga terbuka dan bagaikan bayangan-bayangan iblis mereka lantas berloncatan masuk dari pintu samping yang telah mereka bongkar. Ternyata bahwa mereka itu adalah tujuh orang laki-laki yang bermuka bengis dan di tangan mereka tampak golok atau pedang yang berkilauan tertimpa sinar api lampu yang tergantung di tempat itu. Seorang di antara mereka adalah seorang lelaki yang bermuka bengis, dengan alis tebal dan dia memegang sebatang golok yang berwarna putih berkilauan. Inilah Si Golok Perak Ciok Khun sendiri yang sedang memimpin penyerbuan secara diam-diam itu. Di sebelahnya berdiri seorang lelaki berusia lebih dari empat puluh tahun, mukanya kecil bagaikan tikus dan orang ini memegang sebatang toya baja yang kelihatan berat sekali. Tubuhnya tinggi kurus, dan muka yang laksana tikus dengan sepasang mata yang agak menjuling itu telah membayangkan adanya watak yang culas dan curang. Orang ini bukan lain adalah Lu Seng Ok, bekas tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kaipang yang murtad dan telah dikeluarkan dari perkumpulan itu. Ada pun lima orang lainnya adalah para pembantu Ciok Khun, yaitu para piauwsu dari Gin-to Piauwkiok. Beberapa di antara mereka ini ada yang memegang golok, akan tetapi ada pula yang berpedang, sesuai dengan kepandaian masing-masing. Malam itu memang hendak digunakan oleh Ciok Khun untuk melaksanakan niatnya yang sudah ditahan-tahan sampai bertahun-tahun, yaitu melampiaskan dendamnya kepada Na Ceng Han! Tentu saja dia dibantu oleh sahabat barunya, yaitu Lu Seng Ok yang hendak diandalkannya untuk dapat menandingi Na-piauwsu yang lihai. "Lepaskan api sekarang!" bisik Ciok Khun sesudah mereka semua berhasil membongkar daun pintu dan menyelinap masuk. Sebelumnya memang telah mereka rencanakan untuk melepaskan api agar mengacaukan keadaan dan memancing keluar Na Ceng Han, juga untuk membuat bingung dan berpencaran para piauwsu yang berada di situ. Dua orang anak buahnya yang bertugas untuk melepas api mengangguk, lalu berpencar ke kanan kiri dan mereka segera mengeluarkan alat-alat untuk menimbulkan kebakaran, yaitu minyak, kain dan api. Sebentar saja terjadilah kebakaran di kanan kiri. Api segera menjilat-jilat dan asap mengepul tinggi. "Api...! Kebakaran...!" Terdengar teriakan seorang pelayan yang lebih dulu melihat api. Kamar Na Ceng Han terbuka dan piauwsu itu dengan mata terbelalak berseru, "Di mana kebakaran?!" Akan tetapi dia langsung meloncat kembali ke dalam kamarnya ketika ada sinar senjata berkelebat. Ketika dia meloncat ke dalam dan memandang ternyata yang menyerangnya adalah Ciok Khun yang tadi begitu melihat munculnya musuh besar ini telah menerjang dengan golok peraknya. "Ahhh, ternyata engkau, penjahat keji!" bentak Na Ceng Han sambil meloncat ke dekat pembaringan lantas menyambar pedangnya. Isterinya yang sudah tidur terkejut dan turun dari pembaringan, mukanya pucat ketika melihat ada dua orang asing di dalam kamarnya. "Lu-twako, inilah dia orangnya!" kata Ciok Khun kepada laki-laki yang memegang toya. Biasanya, ketika masih menjadi tokoh Hwa-i Kaipang Lu Seng Ok tentu saja bersenjata sebatang tongkat seperti semua tokoh perkumpulan pengemis itu. Akan tetapi setelah dia dikeluarkan dari Hwa-i Kaipang dan tidak lagi berpakaian pengemis, tentu saja dia pun tidak mau mempergunakan tongkat dan sebagai gantinya dia lalu membeli sebatang toya baja yang kokoh kuat dan berat itu. Mendengar seruan Ciok Khun, Lu Seng Ok langsung menggerakkan toyanya dan berdesirlah angin yang kuat ketika toya itu menyambar ke arah kepala Na Ceng Han! Na Ceng Han marah sekali. Tak pernah diduganya bahwa Ciok Khun, kepala dari Gin-to Piauwkiok yang dia tahu adalah bekas perampok dan melakukan pemerasan kepada para pengirim barang itu, akan berani melakukan penyerbuan dengan cara pengecut seperti perampok-perampok. Cepat dia menggerakkan pedangnya menangkis serangan toya dari orang tinggi kurus yang tidak dikenalnya itu. "Tranggg...!" Bunga api berpijar dan terkejutlah Na Ceng Han sebab tangkisan itu membuat pedangnya terpental dan telapak tangannya terasa nyeri. Tahulah dia bahwa orang yang memegang toya ini lihai dan memiliki tenaga yang kuat bukan main. "Siapakah engkau?! Mengapa engkau memusuhi aku?!" bentaknya dengan heran sambil memandang tajam. Lu Seng Ok tertawa mengejek. "Orang she Na, siapa adanya aku tidak perlu kau ketahui, diberi tahukan juga apa artinya karena engkau akan mampus!" toyanya menyambar lagi dengan sangat dahsyat sehingga Na Ceng Han segera meloncat ke belakang, kemudian menggerakkan pedangnya untuk membalas dengan tusukan kilat. Akan tetapi ternyata pemegang toya itu lihai sekali dan dengan mudah dapat mengelak pula. Terjadilah pertandingan yang sangat seru dan hebat antara Na-piauwsu dan bekas tokoh Hwa-i Kaipang itu. Ciok Khun juga tidak tinggal diam dan dia sudah menerjang maju membantu kawannya mengeroyok Na-piauwsu. "Ihhh... tolooonggg...!" Nyonya Na berteriak ketika melihat api dari pintu kamarnya dan melihat suaminya dikeroyok dua. Dia teringat kepada puteranya dan kepada Bi Cu, maka saking khawatirnya nyonya ini lalu menjerit-jerit di atas pembaringannya untuk memanggil para pembantu suaminya yang berada di kamar. Mendengar jeritan ini, Ciok Khun cepat meloncat dan goloknya digerakkan dengan cepat. Melihat ini, Na Ceng Han membentak keras, "Orang she Ciok, jangan ganggu isteriku!" Namun terlambat sudah. Golok itu sudah membacok. "Crokkk...!" Dada dan leher nyonya itu terobek, darah menyembur keluar dan tubuh nyonya itu roboh menelungkup, mulai pinggang ke bawah masih berada di atas pembaringan, akan tetapi dari pinggang ke atas berada di bawah pembaringan, tergantung dan darah membasahi lantai di bawahnya. "Jahanam keji...!" Na Ceng Han terbelalak melihat isterinya terbunuh. Dia meloncat meninggalkan Lu Seng Ok, tidak mempedulikan lagi kepada lawan bertoya ini karena saking marahnya, dia hanya melihat Ciok Khun dan pedangnya menyambar. Akan tetapi, kemarahannya yang meluap ini malah mencelakakan dia. Karena dia hanya memandang kepada Ciok Khun, dan tidak mempedulikan lawan yang lebih lihai itu. Ketika dia meloncat, toya di tangan Lu Seng Ok menyambar dan menyodok punggungnya. "Dukkk...!" Tubuh Na Ceng Han yang sedang meloncat dan menyerang Ciok Khun itu terhuyung dan saat itu dipergunakan oleh Ciok Khun untuk membalik dan menggerakkan goloknya yang baru saja membunuh nyonya Na itu untuk membacok! Na Ceng Han merasa punggungnya nyeri bukan main dan ketika melihat bacokan golok, dia mencoba untuk miringkan tubuhnya. Akan tetapi, biar pun dia berhasil mengelak dari bacokan golok itu, sebelum dia bisa mengatur keseimbangan tubuhnya, dari belakangnya kembali toya yang berat itu menyambar, kini membabat ke arah kedua kakinya. Na Ceng Han masih sempat meloncat ke atas, membalikkan tubuh kemudian pedangnya meluncur untuk membalas serangan musuh. Akan tetapi pada saat itu, golok Ciok Khun membacok dari belakang, sedangkan toya di tangan Lu Seng Ok menyambar dari depan. Na-piauwsu sudah terluka parah di sebelah dalam tubuhnya akibat hantaman toya pada punggungnya tadi, maka gerakannya menjadi kaku dan lambat. Dia berhasil menangkis toya, akan tetapi golok Giok Khun mengenai bahu kirinya sampai terbabat hampir putus! Dia terguling roboh dan ketika terguling, tangan kanan yang memegang pedang bergerak. Pedang itu meluncur ke arah Lu Seng Ok di depannya. Bekas tokoh Hwa-i Kaipang ini terkejut sekali dan menangkis dengan toyanya, akan tetapi demikian cepatnya luncuran pedang itu sehingga biar pun tertangkis, masih saja meleset hingga mengenai pangkal pahanya, menyerempet merobek celana berikut kulit sehingga pangkal paha itu berdarah. Akan tetapi, Ciok Khun sudah meloncat ke depan dan sekali goloknya berkelebat, leher Na-piauwsu terbacok hampir putus. Darah muncrat-muncrat membasahi lantai kamar dan tubuh Na Ceng Han tidak bergerak lagi, tewas seperti juga isterinya yang telah mendahuluinya. "Keparat...!" Lu Seng Ok mengomel sambil memeriksa luka pada pangkal pahanya, akan tetapi hatinya lega karena luka itu tidak hebat. "Mari kita bantu teman-teman di luar!" kata Ciok Khun dengan wajah berseri. Hatinya lega sekali karena dia telah berhasil membunuh musuh besarnya itu beserta isterinya. Mereka berdua cepat berloncatan keluar. Ternyata lima orang piauwsu dari Gin-to Piauwkiok sedang bertempur melawan tiga orang anak yang dibantu oleh tujuh orang piauwsu dari Ui-eng Piauwkiok. Ketika para piauwsu dari Ui-eng Piauwkiok melihat munculnya Ciok Khun serta seorang pemegang toya yang lihai, yang dalam beberapa gebrakan saja sudah merobohkan dua orang piauwsu Ui-eng Piauwkiok, maka mereka menjadi jeri dan segera melarikan diri! Hanya tiga orang anak itu yang masih terus melawan dengan gigih dan nekat. Tiga orang anak kecil itu adalah Sin Liong, Na Tiong Pek, dan Bhe Bi Cu. Sin Liong mempergunakan senjata sebatang toya sedangkan Na Tiong Pek bersenjata pedang, juga Bhe Bi Cu memegang sebatang pedang. Ketika tadi Sin Liong yang masih membaca kitab di dalam kamar Tiong Pek mendengar ribut-ribut, dia cepat berlari keluar dan dia melihat kebakaran-kebakaran itu. Cepat dia menyambar sebatang toya kemudian membantu para pelayan untuk memadamkan api, memukuli barang-barang yang terbakar agar tidak menjalar naik. Sedangkan Tiong Pek yang juga terkejut karena baru saja akan pulas, cepat berlari ke luar dan dia melihat beberapa orang asing yang berada di halaman belakang. Maka dia langsung menggerakkan pedangnya menyerang. Tak lama kemudian muncul Bi Cu yang segera membantu suheng-nya. Akan tetapi, dua orang di antara para piauwsu Gin-to Piauwkiok tentu saja memandang rendah terhadap dua orang anak itu dan mereka ini hanya menghadapi mereka dengan tangan kosong sambil mentertawakan. Melihat ini, Bi Cu langsung menjerit minta tolong, maksudnya minta tolong kepada paman Na dan para piauwsu lainnya. Yang pertama kali muncul adalah Sin Liong! Anak ini mendengar jerit Bi Cu cepat berlari ke ruangan belakang dan segera dia membantu dan menyerang seorang musuh dengan toyanya. Akan tetapi, lima orang pembantu Ciok Khun itu adalah orang-orang pilihan yang mempunyai kepandaian, karena itu tentu saja Sin Liong bukanlah lawan seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar. Dengan mudah saja Sin Liong ditampar dan ditendang sampai berkali-kali roboh. Akan tetapi anak ini tidak pernah mengenal takut. Dia bangun kembali dan walau pun bajunya sudah robek-robek, dia tetap menyerang terus. Demikian pula dengan Tiong Pek dan Bi Cu yang terus memutar pedang mereka dengan nekat. Akhirnya muncullah tujuh orang piauwsu Ui-eng Piauwkiok, maka terjadilah pertempuran kecil yang hebat itu. Sayangnya, para piauwsu ini menjadi jeri melihat munculnya Ciok Khun dan Lu Seng Ok, dan mereka cepat-cepat melarikan diri untuk minta bantuan dan melaporkan kepada para penjaga keamanan kota. Tinggal Sin Liong, Tiong Pek, dan Bi Cu yang tidak pernah mau menyerah, apa lagi melarikan diri! Ciok Khun yang sudah berhasil membunuh musuh besarnya, segera berkata, "Mari kita pergi, jangan layani anak-anak!" Dia bersama Lu Seng Ok sudah mendahului meloncat keluar, dan lima orang pembantunya sudah berlarian keluar pula. "Penjahat-penjahat busuk, kalian hendak lari ke mana?!" Sin Liong membentak dan anak ini cepat mengejar, diikuti pula oleh Tiong Pek dan Bi Cu. Sesudah tiba di depan rumah, kembali Sin liong, Tiong Pek, dan Bi Cu menyerang tiga orang di antara mereka yang menjadi marah. "Kalian ini anak-anak setan, sudah bosan hidupkah?!" bentak seorang di antara mereka yang cepat memukul ke arah kepala Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong mengelak sambil menggerakkan toyanya untuk balas menyerang. Tiong Pek juga meloncat seperti seekor burung garuda, pedangnya digerakkan menusuk seorang di antara mereka pula. Demikian pula Bi Cu juga menyerang seorang musuh. "Cepat robohkan mereka, jangan main-main. Kita harus lekas pergi!" Ciok Khun berseru karena dia tidak ingin ada orang yang melihat bahwa dialah yang telah menyerbu rumah Na-piauwsu. "Baik!" kata tiga orang pembantunya yang menghadapi tiga orang anak itu. Kini mereka bertiga hendak memperlihatkan kepandaian. Akan tetapi terdengar teriakan bergantian, tiga kali berturut-turut dan tiga orang itu roboh dengan tubuh berkelojotan, lalu diam dan tewas! Ciok Khun dan Lu Seng Ok terkejut setengah mati. Juga ketiga orang anak itu terkejut sekali karena mereka sendiri tidak tahu kenapa tiga orang lawan mereka itu tiba-tiba saja roboh dan berkelojotan lalu mati! Bahkan Bi Cu menjadi ngeri melihat bekas lawannya berkelojotan itu, dia melempar pedang dan menutupi kedua mata dengan tangan mengira bahwa pedangnyalah yang membunuh orang itu. Akan tetapi Lu Seng Ok tadi melihat menyambarnya sinar merah dan tahulah dia bahwa ada orang yang datang membantu fihak tuan rumah. Cepat dia membalik dan benar saja dugaannya. Di situ telah berdiri seorang wanita yang luar biasa cantiknya, seorang wanita yang berdiri tegak sambil tersenyum, sinar lampu di depan rumah yang muram itu hanya menggambarkan garis muka yang manis, yang memiliki sepasang mata jeli dan tajam, dan tangan wanita itu mempermainkan sehelai sabuk merah yang sebagian masih terikat pada pinggangnya yang kecil ramping! Dia tak mengenal wanita itu, akan tetapi maklum bahwa wanita itu adalah seorang pandai, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu memutar toya bajanya dan menyerang dengan dahsyat. Pada saat itu, Ciok Khun yang melihat betapa dua orang pembantunya tewas, menjadi marah sekali dan dia pun segera memutar goloknya menyerang dan mengeroyok. Akan tetapi, wanita cantik itu dengan tenang-tenang saja menyambut serangan mereka berdua sambil tersenyum dan membentak dengan suara halus, "Kalian dua orang jahat yang tak tahu malu dan suka menyerang anak-anak kecil layak mampus!" Sambil berkata demikian, tangannya bergerak, sabuk merah berubah menjadi sinar merah menyambar-nyambar dan terdengar pekik mengerikan ketika dua orang penyerang itu pun roboh dan tewas! Semua piauwsu dari Gin-to Piauwkiok menjadi terkejut bukan main. Kepala mereka dan pembantu mereka yang lihai itu dalam segebrakan saja roboh dan tewas! Tentu saja nyali mereka terbang dan mereka berusaha untuk melarikan diri, akan tetapi para piauwsu dari Ui-eng Piauwkiok tentu saja tidak membiarkan mereka lari dan sisa tiga orang piauwsu dari Gin-to-piawkiok itu akhirnya roboh dan tewas semua oleh pengeroyokan para anak buah Ui-eng Piauwkiok. Ketika semua orang mencari-cari wanita cantik yang menolong mereka tadi, mereka pun melongo karena wanita itu telah lenyap dan bersama dia lenyap pula Sin Liong! Tiong Pek dan Bi Cu memanggil-manggil Sin Liong, akan tetapi pada waktu mereka berdua masih mencari-cari, terdengarlah jerit-jerit dan tangis di sebelah dalam rumah. Mereka dan para piauwsu yang sudah merasa terheran-heran mengapa Na-piauwsu tidak muncul dalam keributan itu, cepat berlari masuk dan dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hati mereka ketika melihat bahwa Na-piauwsu serta isterinya ternyata sudah tewas dalam keadaan yang amat mengerikan! Tiong Pek dan Bi Cu menubruk mayat-mayat itu sambil menjerit-jerit menangis, dan gegerlah di dalam rumah keluarga Na itu. Siapakah adanya wanita cantik yang amat lihai dan yang telah menyelamatkan tiga orang anak dari ancaman maut di tangan para piauwsu Gin-to Piauwkiok itu? Wanita ini bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio. Seperti kita ketahui, dengan bantuan Panglima Lee Siang, wanita ini berhasil membunuh Tio Sun, seorang di antara musuh-musuh besar gurunya yang harus dibunuhnya dengan jalan meminjam nama Hwa-i Kaipangcu. Pada waktu keluarga Tio bertangis-tangisan dan berkabung, Kim Hong Liu-nio bersama Panglima Lee Siang merayakan kemenangan dan hasil siasat mereka itu dengan pesta di dalam kamar, di mana mereka berdua saling mencurahkan rasa kasih sayang di antara mereka. Akan tetapi tetap saja Kim Hong Liu-nio masih bertahan dan tidak mau menyerahkan diri sebelum semua musuhnya terbasmi habis, yang kini tinggal dua orang lagi, yaitu Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Panglima Lee Siang tidak berani memaksa karena hal itu amat membahayakan keselamatan wanita yang dicintanya, maka dia berjanji akan membantu dan menyebar mata-mata untuk menyelidiki di mana adanya dua orang musuh besar itu. Sesudah mencurahkan kasih sayang mereka dengan mesra namun terbatas, dan saling berjanji untuk bersetia sampai kelak terbuka kesempatan bagi mereka untuk bisa menjadi suami isteri, maka pergilah Kim Hong Liu-nio ke utara untuk melapor kepada Raja Sabutai tentang segala yang dialaminya dan tentang keadaan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw kepada raja dan permaisuri yang mendengarkan dengan hati gembira. Akan tetapi, Raja Sabutai masih merasa sangsi dan curiga untuk berkunjung ke selatan. Di dalam istana kaisar, satu-satunya orang yang dipercayanya hanyalah Kaisar Ceng Tung seorang, dan kini kaisar itu sudah meninggal dunia, maka dia merasa sangsi dan mengkhawatirkan keselamatannya. Juga para menteri pembantunya menasehatkan agar raja ini jangan lengah dan membiarkan dirinya terancam bahaya jika mengunjungi selatan. Oleh karena itu, Raja Sabutai tidak datang menghadiri hari penobatan kaisar baru, yaitu Kaisar Ceng Hwa dan mengutus Kim Hong Liu-nio untuk kembali ke selatan, membawa barang sumbangannya kepada kaisar dan mewakilkan kehadirannya kepada puteranya, pangeran Oguthai. Sebelum berangkat, Kim Hong Liu-nio lebih dahulu menghadap subo-nya, Hek-hiat Mo-li, menceritakan tentang hasilnya membunuh seorang di antara musuh-musuh itu, yaitu Tio Sun. Nenek tua renta itu terkekeh senang, dia berkata, "Bagus, muridku. Hanya sayang bahwa yang kau bunuh itu merupakan orang yang paling lemah di antara musuh-musuhku. Kau harus cepat mencari yang dua orang lagi itu. Dan aku sendiri akan ikut pergi ke selatan, muridku, karena aku sangsi apakah engkau akan mampu menanggulangi mereka." Giranglah hati Kim Hong Liu-nio karena dengan bantuan subo-nya, dia merasa yakin akan dapat dengan cepat membunuh dua orang musuh besar yang lain itu sehingga dia akan dapat segera bebas dan bisa melangsungkan pernikahannya dengan Panglima Lee yang telah menjatuhkan hatinya itu. Maka berangkatlah guru dan murid itu meninggalkan utara. Raja Sabutai ketika mendengar bahwa Hek-hiat Mo-li hendak merantau ke selatan untuk mencari musuh-musuh besarnya, merasa tidak tega karena gurunya itu sudah tua sekali, maka dia lalu mengutus seorang panglima membawa sepasukan pilihan yang mengawal nenek itu secara diam-diam, dengan menyamar. Jumlah pasukan yang membantu nenek ini ada selosin orang-orang pilihan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Setelah menghadiri perayaan di istana ketika Kaisar Ceng Hwa dinobatkan sebagai kaisar baru, Kim Hong Liu-nio lalu mulai dengan penyelidikannya mencari musuh-musuh besar gurunya. Subo-nya sendiri yang sudah tua itu tentu saja tidak ikut mencari hanya menanti di dalam sebuah gedung di kota raja, menunggu sampai muridnya berhasil menemukan dua musuh besar itu. Dalam usaha mencari jejak musuh-musuhnya ini, Kim Hong Liu-nio dibantu oleh kekasihnya, Panglima Lee Siang yang telah menyebar kaki tangannya untuk menyelidiki di mana adanya pendekar Cia Bun Houw dan pendekar wanita Yap In Hong. Demikianlah, di dalam penyelidikannya, pada hari itu secara kebetulan Kim Hong Liu-nio lewat di kota Kun-ting, di sebelah selatan kota raja dan dia melihat keributan yang terjadi di dalam rumah keluarga Na-piauwsu. Wanita ini pada hakekatnya bukanlah seorang jahat, bahkan dia condong untuk bersikap sebagai pendekar wanita yang tidak suka menyaksikan penindasan. Dia dapat bersikap kejam dan ganas hanya terhadap musuh-musuhnya, atau musuh-musuh gurunya yang harus dibasminya, sesuai dengan sumpahnya. Maka begitu melihat tiga orang anak kecil diserang oleh orang-orang dari Gin-to Piauwkiok, dia menjadi marah dan segera turun tangan menghajar, bahkan membunuh Ciok Khun, Lu Seng Ok, dan tiga orang anak buah mereka itu. Kemudian, dalam keributan itu, Kim Hong Liu-nio yang sudah berhasil membunuh Ciok Khun dan Lu Seng Ok, melihat Sin Liong dan wanita ini terkejut bukan main! Anak setan itu masih hidup! Padahal dia telah memasukkan racun Hui-tok-san ke tubuh anak itu. Dan anak itu dahulu sudah ditawan oleh ketua Jeng-hwa-pang yang kejam, maka dia mengira bahwa anak itu tentu telah tewas. Akan tetapi, sekarang dia melihat bocah itu masih segar bugar! Dan menurut pengakuannya sendiri anak ini adalah putera Cia Bun Houw, tokoh utama yang menjadi musuh besar subo-nya. Tentu saja hati wanita itu menjadi girang sekali. Tak disangkanya dia akan bertemu lagi dengan bocah ini yang tentu akan dapat menunjukkan jalan ke tempat musuh besarnya she Cia itu! Maka dia tak mau lagi mempedulikan segala keributan di tempat itu, dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah menangkap Sin Liong kemudian menotok bocah itu sebelum Sin Liong mampu berteriak atau bergerak, lantas sekali berkelebat lenyaplah wanita itu bersama Sin Liong dari situ! *************** Begitu tubuhnya ditangkap dan dibawa lari seperti terbang, Sin Liong memandang dan tahulah dia bahwa dia terjatuh ke dalam tangan musuh lamanya! Tadi pada waktu Kim Hong Liu-nio membunuh tiga orang penyerbu rumah keluarga Na, dia pun telah mengenal wanita itu dan saking heran dan terkejutnya dia sampai tidak mampu berkata apa-apa. Kini, melihat dirinya ditawan, dia tidak berusaha meronta karena dia pun tahu bahwa dia telah tertotok dan tidak akan mampu membebaskan diri dari cengkeraman wanita yang amat lihai ini. Akan tetapi, sekali ini Sin Liong tidak menjadi marah, bahkan diam-diam dia berterima kasih kepada wanita ini. Dia tahu bahwa tanpa adanya wanita aneh ini, tentu Tiong Pek dan Bi Cu sudah tewas, juga dia sendiri. Wanita aneh ini telah menyelamatkan nyawa mereka bertiga, maka kalau sekarang menawannya bahkan hendak membunuhnya sekali pun, dia tidak akan merasa penasaran! Cepat bukan kepalang larinya Kim Hong Liu-nio dan dia membawa Sin Liong ke sebuah puncak pegunungan yang tandus dan kering, sunyi bagaikan kuburan. Setelah tiba di atas puncak yang sangat sunyi dan panas, Kim Hong Liu-nio melemparkan tubuh Sin Liong ke atas tanah....

JILID 16
Sin Liong rebah terlentang tanpa mampu bergerak dan ketika wanita itu menotoknya dan membebaskan dirinya, dia pun bangkit duduk dan memandang kepada wanita itu dengan mulut tersenyum dan mata berseri, lalu dia mengelus-elus bagian tubuhnya yang terasa nyeri karena luka-luka bekas pukulan lawan dalam perkelahian tadi. Melihat anak itu tersenyum kepadanya, Kim Hong Liu-nio mengerutkan alisnya. Senyum anak itu demikian terbuka dan sekiranya dia tidak begitu benci terhadap anak ini sebagai putera musuh besarnya, tentu dia tidak ingin mencelakai seorang anak laki-laki seperti ini. Dan sepasang matanya demikian tajam. "Uhh...!" Kim Hong Liu-nio mengusap peluh di dahinya dan diam-diam dia memaki dirinya sendiri mengapa tiba-tiba saja dia merasa begitu lemah. Dia tidak tahu bahwa setelah dia menjadi korban asmara, setelah dia jatuh cinta terjadi perubahan dalam dirinya dan dia sebenarnya mendambakan kehidupan yang damai dan tenteram, jauh dari kekerasan, penuh dengan cinta kasih dan kebahagiaan. Ada sesuatu yang mendorong hatinya untuk hidup akur dan damai dengan siapa pun juga, mengajak senyum dan bergembira kepada siapa pun juga. "Kenapa kau pringas-pringis seperti itu?" bentaknya marah. Senyum di bibir Sin Liong melebar. "Bibi yang baik, engkau telah menyelamatkan nyawa Tiong Pek dan terutama Bi Cu, karena itu aku merasa girang sekali dan berterima kasih kepadamu. Ternyata engkau bukanlah iblis betina seperti yang selama ini kukira, akan tetapi orang yang gagah perkasa dan baik, yang kadang-kadang berpura-pura jahat dan kejam." "Hemm, apa maksudmu? Siapa itu Tiong Pek dan Bi Cu?" bentak Kim Hong Liu-nio. "Tiong Pek dan Bi Cu adalah dua orang anak yang telah kau selamatkan nyawanya tadi, bibi yang baik..." "Aku bukan bibimu!" bentak wanita itu marah. "Tentu saja bukan, akan tetapi... ahh, agaknya engkau tidak suka kusebut bibi? Baiklah, kusebut kau enci juga boleh!" "Huh, kau anak ceriwis!" bentaknya lagi dan Sin Liong ini diam saja. Sampai lama mereka berdua tidak berkata-kata, dan wanita itu duduk di atas batu besar, matanya memandang jauh seperti orang melamun. Sin Liong juga memandang ke sana sini. Keadaan amat sunyi dan tiba-tiba Sin Liong melihat betapa tempat itu penuh dengan burung-burung gagak. Ada yang beterbangan di atas dan ada pula yang hinggap di atas pohon, di atas batu-batu. Bulu mereka yang hitam itu mengkilap tertimpa sinar matahari pagi. Hari itu masih belum siang benar, akan tetapi panas matahari telah menyengat. Dia ternyata telah dilarikan selama semalam suntuk oleh wanita itu, wanita yang luar biasa. "Luar biasa...!" tanpa disadarinya, kata-kata ini keluar dari mulutnya. Ucapan itu agaknya menyadarkan Kim Hong Liu-nio dari lamunannya. Dia sendiri tidak tahu mengapa akhir-akhir ini dia banyak melamun. Dia terkejut dan menoleh. "Apa katamu?!" bentaknya. Sin Liong juga terkejut karena dia sendiri tidak sadar bahwa jalan pikirannya keluar dari mulutnya. "Ehh, apa...? Oh, aku hanya ingin tahu apa yang akan kau lakukan terhadapku, enci? Mengapa kau mengajak aku ke tempat yang sunyi ini?" Mendadak terdengar bunyi burung gagak. Seekor berbunyi, yang lain lalu menjawab dan mereka berkaok-kaok saling bersahutan. Sin Liong merasa seram. Memang bunyi burung gagak selalu menimbulkan rasa seram dalam hatinya, mengingatkan dia akan kematian. Kematian? Ibunya sudah mati! Ibu kandungnya sudah mati dibunuh oleh wanita ini! Dan tiba-tiba saja Sin Liong meloncat dengan penuh kemarahan, langsung saja dia menyerang Kim Hong Liu-nio dengan jurus ilmu silat yang selama ini dipelajarinya dari Na Ceng Han! Pada waktu Sin Liong menyerang, wanita itu masih duduk di atas batu dan dia hanya memandang saja ketika Sin Liong menyerangnya. Sesudah anak itu tiba dekat, kaki Kim Hong Liu-nio baru bergerak. "Bukkkk!" Tubuh Sin Liong terlempar dan terbanting dengan keras sekali. Sin Liong memang sudah menderita luka-luka, dan tubuhnya masih lelah dan sakit-sakit, maka bantingan itu membuat dia seketika merasa pening. Akan tetapi dia sudah bangkit lagi, kemudian dengan hati terbakar kemarahan karena mengingat betapa wanita ini telah membunuh ibu kandungnya yang tercinta, dia menerjang lagi dengan nekat. "Iblis betina, kau telah membunuh ibuku!" bentaknya. Sekali ini, Kim Hong Liu-nio menggerakkan tangannya menotok. "Brukkk!" untuk kedua kalinya tubuh Sin Liong roboh, bahkan sekali ini dia tidak mampu bergerak lagi. "Aku memang telah membunuh ibumu, dan aku akan segera membunuh ayahmu juga!" Kim Hong Liu-nio menghardik, kini kebenciannya timbul karena dia pun seperti Sin Liong sudah teringat bahwa anak ini adalah putera dari musuh besarnya. Walau pun tubuhnya sudah lumpuh tak mampu bergerak, namun Sin Liong masih dapat bicara. Dengan suara mengejek dia berkata, "Huh, manusia macam engkau ini beraninya hanya menghina yang lemah. Jika kau bertemu dengan ayah kandungku, dalam sepuluh jurus saja engkau tentu akan mampus!" Sin Liong memang sengaja mengeluarkan kata-kata ini untuk mengejek dan menghina, satu-satunya hal yang mampu dilakukannya untuk melampiaskan kemarahan dan sakit hatinya. Akan tetapi ucapan itu diterima girang oleh Kim Hong Liu-nio. "Ah, jadi ayahmu berada di sini? Lekas katakan, di mana dia? Kalau kau memberi tahu di mana adanya Cia Bun How, aku akan mengampuni nyawamu!" Sin Liong adalah seorang anak yang luar biasa sekali. Wataknya amat keras dan dia tak pernah mengenal takut. Kalau orang bersikap baik dan halus kepadanya, maka dia akan menjadi lunak dan tunduk. Akan tetapi kalau ada orang bersikap keras kepadanya, meski dia diancam maut, biar dia disiksa, dia tidak akan sudi tunduk. Maka, mendengar ucapan itu, matanya yang bersinar tajam itu memandang dengan mendelik, sementara mulutnya tersenyum mengejek. "Aku tidak sudi mengatakannya!" Padahal, tentu saja dia sendiri pun tidak tahu di mana adanya ayah kandungnya itu. Akan tetapi dia memang sengaja ingin membikin panas hati wanita pembunuh ibunya ini. Dan memang Kim Hong Liu-nio menjadi marah sekali. Kini dia yakin bahwa anak itu tentu tahu di mana adanya Cia Bun Houw, dan dia telah mengambil keputusan untuk memaksa anak ini memberi tahu di mana adanya musuh besarnya itu. "Katakan di mana adanya Cia Bun Houw!" kembali dia membentak sambil mencengkeram tengkuk Sin Liong. "Tidak sudi!" anak itu balas membentak. "Hemm, kau agaknya ingin kusiksa sampai setengah mati!" "Huh, apa artinya siksaanmu? Dahulu pun kau meracuni tubuhku, dan aku tidak takut!" Ucapan ini mengingatkan Kim Hong Liu-nio, maka cepat dia memeriksa tubuh anak itu, meraba pergelangan tangannya dan dadanya. Mata wanita itu terbelalak heran. Anak itu sudah bebas sama sekali dari Hui-tok-san! "Siapa yang mengobatimu? Ayahmu itu?" Sin Liong yang diangkat ke atas sehingga mukanya berdekatan dengan muka wanita itu, tersenyum mengejek. "Kau tidak akan dapat mengetahui!" "Bressss...!" Kim Hong Liu-nio langsung membanting sehingga untuk ketiga kalinya tubuh Sin Liong terbanting ke atas tanah. "Hayo katakan, di mana ayahmu itu! Di mana Cia Bun Houw!" kembali dia berteriak-teriak penuh kemarahan. Sin Liong merasa kepalanya pening dan tubuhnya sakit-sakit tanpa dia mampu bergerak. Akan tetapi nyalinya tidak pernah berkurang besarnya. Dia memandang wanita itu lantas berkata, "Hemmm, kau ternyata lebih curang dari pada seekor ular, lebih ganas dari pada seekor srigala dan lebih jahat dari pada ketua Jeng-hwa-pang atau iblis sekali pun!" "Hayo katakan di mana ayahmu!" "Tidak sudi! Kau mau apa?" "Keparat, hendak kulihat apakah engkau masih tetap akan membandel!" Dengan marah Kim Hong Liu-nio, menyambar tubuh Sin Liong, yang dibawanya kepada sebatang pohon dan dia menggunakan akar pohon untuk mengikatnya pada batang pohon itu, diikat dari kaki sampai ke leher. Sesudah itu, dia lalu membebaskan totokan di tubuh anak itu agar Sin Liong merasakan sepenuhnya siksaan itu. "Kau mau bunuh sekali pun jangan harap aku akan sudi mengaku kepada orang jahat macam engkau!" Sin Liong memanaskan hati wanita itu. "Aku tidak akan membunuhmu. Kau lihat burung-burung itu? Nah, merekalah yang akan membunuhmu perlahan-lahan, mencabik-cabik dagingmu sekerat demi sekerat. Aku tidak akan pergi jauh, dan kalau kau berteriak memanggilku apa bila engkau sudah mengubah sikap kepala batumu itu, tentu aku akan mendengarmu!" Setelah berkata demikian, Kim Hong Liu-nio tersenyum, senyum yang manis sekali, akan tetapi senyum yang membuat Sin Liong bergidik karena anak ini sudah mulai mengenal musuhnya yang dapat melakukan hal yang teramat keji. Dengan sekali berkelebat saja, wanita itu sudah lenyap dari situ, meninggalkan Sin Liong terikat di batang pohon dengan muka menghadap ke matahari yang sudah mulai naik agak tinggi dan sinarnya yang terik itu sepenuhnya menimpa muka dan tubuh Sin Liong. "Gaooookkk...!" Seekor burung gagak hitam melayang turun dan hinggap di atas batu di mana tadi Kim Hong Liu-nio duduk. Burung itu memandang ke arah Sin Liong, kepalanya dimiringkan ke kanan kiri seperti hendak memandang lebih teliti atau mendengarkan sesuatu. Tidak lama kemudian nampak bayangan hitam menyambar turun dari atas dan seekor burung gagak lain telah hinggap di atas tanah, di depan Sin Liong. Anak itu memandang tajam, heran melihat burung-burung itu berani mendekatinya dan dia belum mengerti apa maksudnya Kim Hong Liu-nio meninggalkannya terikat di situ. Dia tidak tahu bahwa burung-burung ini adalah burung-burung pemakan bangkai yang sudah kelaparan karena sudah lama tidak makan, dan betapa mereka itu sudah tidak sabar menanti adanya bangkai yang boleh mereka makan. Agaknya burung-burung lain tertarik oleh dua ekor burung yang berkaok-kaok di dekat Sin Liong itu karena kini banyak burung melayang turun dan mengurung tempat di mana Sin Liong diikat pada batang pohon itu. Sin Liong masih belum tahu akan datangnya bahaya mengerikan mengancamnya, bahkan dia memandang tanpa bergerak-gerak. Inilah salahnya! Kalau saja dia bergerak atau mengeluarkan suara, tentu burung-burung itu akan menjadi takut. Tiba-tiba seekor burung gagak terbang dan hinggap di atas pundak kiri Sin Liong. Anak ini barulah merasa terkejut, apa lagi karena kuku-kuku jari kaki burung yang mencengkeram pundaknya itu menembus baju melukai kulitnya. "Hehhhhh....!" Dia membentak dan burung itu terbang dengan kaget, akan tetapi segera hinggap di atas tanah karena melihat anak itu tidak dapat bergerak. Keringat dingin mulai membasahi dahi dan leher Sin Liong. Kini dia memandang dengan kedua mata terbelalak kepada burung-burung yang bergerak-gerak di depannya dan bagi pandang matanya, burung-burung itu seperti sudah berubah menjadi iblis-iblis hitam yang menakutkan. Kembali ada dua ekor burung terbang atau meloncat dan mereka ini menerkam. Sin Liong membentak lagi dan dua ekor burung itu terbang turun, hanya untuk mengulang kembali perbuatan mereka. Sin Liong membentak-bentak lagi, akan tetapi dua ekor burung yang hinggap di pundak dan lengannya tidak mau pergi, bahkan sekarang dua ekor burung itu mulai mematuk-matuk ke arah mata Sin Liong! Anak itu terkejut dan merasa ngeri, cepat dia memejamkan mata, akan tetapi tak mampu mengelak karena lehernya tercekik kalau dia menggerakkan kepalanya. Dia mendengus-dengus dan agaknya suaranya inilah yang membuat kedua ekor burung itu meragu dan tidak mematuknya, hanya sayap mereka yang bergerak-gerak dan mengibas-ngibas, ada pun paruh mereka itu mengeluarkan bunyi berkaok yang terdengar nyaring sekali di dekat telinga Sin Liong! Sin Liong sama sekali tidak berani membuka mata dan hanya mendengus-dengus sambil menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri untuk mengusir burung-burung itu. Namun dua ekor burung gagak itu tidak mau pergi, sungguh pun mereka juga belum menyerang sebab mereka masih meragu dan agaknya hendak menanti hingga calon mangsa mereka itu sama sekali tidak mampu bergerak. Sin Liong merasa ngeri bukan main. Baru sekarang dia merasakan kengerian yang seolah mencekiknya, lebih mengerikan dari pada ketika dia dilempar ke dalam sumur ular oleh ketua Jeng-hwa-pang. Hampir saja dia berteriak minta tolong, akan tetapi bila dia teringat pada wanita yang membunuh ibunya itu, dia tidak jadi berteriak bahkan dia mengatupkan mulutnya dan mengambil keputusan untuk tidak sudi berteriak sampai mati. Lebih baik mati dicabik-cabik burung-burung ini dari pada dia berteriak, mengaku kalah dan tunduk kepada iblis betina itu, demikian tekad hatinya. Matahari naik makin tinggi. Sinarnya makin panas dan hampir Sin Liong tidak kuat untuk menahannya lagi. Anak ini merasa bahwa kalau sampai dia pingsan dan tidak bergerak, tentu burung-burung ini akan menyerangnya. Karena itu, biar pun panasnya membuat dia hampir tidak kuat bertahan, kepalanya pening dan matanya yang dipejamkan itu melihat warna merah, lehernya laksana dicekik oleh kehausan, namun dia mempertahankan diri sekuatnya. Dia merasa tubuhnya kering sama sekali, diperas habis airnya yang menguap menjadi peluh. Dari jauh Kim Hong Liu-nio mengintai. Wanita ini merasa kagum bukan kepalang. Kembali timbul rasa sayangnya kepada anak itu di balik kebenciannya. Anak itu benar-benar hebat sekali! Selama ini, hanya kepada sute-nya sajalah dia kagum dan menganggap sute-nya seorang anak laki-laki yang paling hebat. Akan tetapi, melihat sikap Sin Liong, dia benar-benar merasa heran dan kagum dan harus mengakui bahwa anak itu benar-benar luar biasa, lebih hebat dari pada sute-nya. Akan tetapi, rasa sayang ini diusirnya dengan ingatan bahwa anak itu adalah putera Cia Bun Houw, musuhnya yang terbesar. "Gaoookkkkk...!" Kembali burung yang hinggap di pundak kanan anak itu mengeluarkan bunyi tak sabar lagi. Kim Hong Liu-nio melihat betapa burung itu menggerakkan paruhnya, mematuk ke arah mata kanan yang terpejam itu. Akan tetapi, pada saat itu pula ada debu mengebul dari sebelah kanan anak itu dan ketika dia memandang, ternyata tiga ekor burung yang tadi hinggap pada kedua pundak dan lengan, kini telah jatuh dan mati di dekat kaki Sin Liong yang masih memejamkan matanya! Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main, dan cepat-cepat dia meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia meloncat dan berlari ke tempat itu. Juga Sin Liong yang merasa betapa di pundaknya tidak ada lagi burung yang mencengkeramnya, membuka mata dan terheranlah dia melihat bangkai tiga ekor burung di lekat kakinya. Akan tetapi pandang matanya langsung berkunang karena ketika dia membuka mata, dia melihat wanita itu datang berlari-lari. Habislah harapannya dan dia memejamkan matanya kembali. Akan tetapi, Sin Liong terkejut dan merasa heran ketika mendengar suara Kim Hong Liu-nio membentak marah. "Iblis dari mana yang berani bermain gila dengan Kim Hong Liu-nio?" Mendengar ini Sin Liong cepat membuka matanya. Dengan menggoyangkan kepala dia mengusir kepeningannya serta bintang-bintang yang menari-nari di depan matanya itu. Akhirnya dia melihat seorang kakek tua berjalan perlahan menuju ke tempat itu. Seperti juga Kim Hong Liu-nio, Sin Liong membuka matanya lebar-lebar dan memandang kakek yang mendatangi itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Sin Liong masih tidak tahu bagaimana burung-burung itu mati secara aneh. Tadinya dia menyangka bahwa Kim Hong Liu-nio yang membunuh binatang-binatang rakus itu, akan tetapi melihat munculnya kakek ini, dia meragu dan hatinya tertarik sekali. Sebaliknya, Kim Hong Liu-nio juga memandang penuh selidik dan hatinya menduga-duga. Benarkah kakek ini yang membunuhi tiga ekor burung gagak secara aneh itu? Dia masih belum tahu bagaimana burung-burung itu mati. Melihat adanya debu mengebul, tentu orang telah menggunakan pukulan jarak jauh. Akan tetapi, burung-burung itu hinggap di tubuh Sin Liong dan memukul mati burung-burung itu dengan hawa pukulan jarak jauh tanpa mengenai anak itu sendiri, sungguh merupakan ilmu yang luar biasa. Dia masih meragu dan memandang tajam penuh selidik. Kakek itu sudah tua sekali, paling sedikitnya tentu sudah tujuh puluh lima tahun usianya. Rambutnya yang halus dan terpelihara rapi dan bersih, sudah putih semua dan digelung ke atas dengan rapi, diikat dengan kain kuning yang bersih. Pakaiannya sederhana sekali, seperti pakaian petani, akan tetapi pakaiannya juga bersih. Wajah itu dihias kumis dan jenggot yang halus dan sudah putih pula. Namun, wajah kakek ini masih kelihatan sehat dan segar kemerahan, keriput di pipinya hampir tidak kelihatan. Wajah manis budi dan sabar, akan tetapi cahaya matanya membayangkan wibawa dan kekerasan hati seorang pendekar! Kakek ini berpakaian polos, agaknya tidak membawa senjata apa pun. Setelah tiba di tempat itu, kakek yang mendatangi dengan langkah ringan dan perlahan, sejenak memandang kepada Sin Liong, kemudian dia menoleh dan memandang kepada wanita cantik itu. Kim Hong Liu-nio merasa betapa jantungnya berdebar tegang ketika melihat sepasang mata tua itu menyambar ke arahnya dengan ketajaman pandang yang menyeramkan. Lalu terdengar suara kakek itu, halus dan lembut akan tetapi mengandung teguran dan wibawa. "Mengganggu orang yang tidak mampu melawan merupakan perbuatan yang pengecut, apa lagi bila menyiksa seorang bocah yang tak dapat melawan, itu merupakan perbuatan keji. Bagaimanakah seorang wanita muda dan cantik seperti engkau ini dapat melakukan perbuatan keji dan pengecut?" Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang memiliki tingkat kepandaian tinggi dan dia tidak pernah mengenal takut. Biar pun dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu seorang yang pandai, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa jeri dan kini mendengar kakek itu mencelanya, tentu saja dia menjadi marah sekali. "Kakek yang lancang tangan dan lancang mulut! Apakah orang setua engkau ini masih belum tahu bahwa mencampuri urusan orang lain adalah perbuatan hina yang tidak akan dilakukan oleh seorang kang-ouw?" "Menyelamatkan siapa pun dari perbuatan keji bukanlah berarti mencampuri urusan orang lain, melainkan sudah menjadi tugas setiap manusia yang waras. Bahkan andai kata anak yang akan kau siksa ini adalah anak kandungmu sekali pun, pasti aku akan turun tangan menyelamatkannya dan mencegah perbuatanmu yang keji itu." Tentu saja Kim Hong Liu-nio menjadi semakin marah. Pertama karena kakek itu barusan mengatakan anak itu anak kandungnya! Padahal dia adalah seorang perawan. Dan ke dua, dengan terang-terangan kakek itu menyatakan akan menentangnya! "Tua bangka yang bosan hidup!" bentaknya marah, mulutnya tersenyum, tanda bahwa kemarahannya telah mencapai puncaknya dan dia sudah siap untuk membunuh. Dengan tenang dia lalu mengenakan sarung tangannya. "Apakah engkau belum mendengar siapa aku? Tentu engkau tidak mengenal Kim Hong Liu-nio maka engkau berani bersikap seperti ini." "Hemmm, tentu saja aku tahu siapa engkau. Engkau adalah seorang wanita yang sudah berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi akan tetapi gurumu adalah seorang yang jahat sehingga tidak mendidik batinmu. Ilmu tinggi yang jatuh ke tangan seorang yang kejam, hanya akan mendatangkan bencana di dunia ini." "Keparat, terimalah ini!" Kim Hong Liu-nio yang sudah marah itu tak dapat bertahan lagi dan sudah mencelat ke depan dengan kecepatan kilat dan melakukan serangan pukulan dengan kedua tangannya. Pukulan maut yang datangnya sangat cepat sambil mengeluarkan suara angin bercuitan mengerikan. Karena menduga bahwa lawannya lihai, begitu menyerang Kim Hong Liu-nio telah mengerahkan sinkang-nya sehingga pukulan itu merupakan pukulan maut yang sulit dilawan! Akan tetapi kakek itu malah membalikkan tubuhnya, kemudian dengan kedua tangannya dia membuka ikatan tangan yang membelenggu Sin Liong! Melihat ini, Kim Hong Liu-nio menahan pukulannya dan alisnya berkerut. Demikian hebatkah kakek ini sehingga tidak memandang sebelah mata terhadap serangannya? Ketika dia melihat bahwa kakek ini sudah membebaskan ikatan Sin Liong yang segera jatuh terduduk dengan lemas dan anak itu menggosok-gosok kedua pergelangan tangan dan terengah-engah, Kim Hong Liu-nio membentak keras dan sekarang dia benar-benar menyerang ke arah kakek itu dengan pukulan maut yang mengarah pelipis dan ulu hati kakek itu. Diam-diam kakek itu tersenyum. Ternyata dugaannya tadi sudah keliru. Wanita ini tidak memiliki watak curang, buktinya serangan pertama tadi ditundanya pada saat dia sedang membuka ikatan anak itu. Akan tetapi dugaannya bahwa wanita ini memiliki ilmu tinggi adalah benar karena melihat serangan itu saja tahulah dia bahwa wanita ini benar-benar lihai sekali. Untuk mencoba kekuatan wanita itu, maka dia sengaja menggerakkan kedua tangannya menangkis. Dua kali dua pasang tangan bertemu. "Dukkk! Plakkk!" Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Tubuhnya lantas terdorong mundur oleh tangkisan-tangkisan itu! Pada lain fihak, kakek itu semakin kagum karena ternyata bahwa serangan wanita ini mampu membuat kedua lengannya tergetar! Maklum bahwa dia kalah kuat dalam hal sinkang oleh kakek aneh yang tak dikenalnya ini, Kim Hong Liu-nio menjadi penasaran dan marah. Dia mengeluarkan suara melengking panjang dan tiba-tiba tubuhnya sudah menerjang dengan gerakan cepat bukan main yang membuat dia seperti lenyap berubah menjadi bayang-bayang yang luar biasa cepatnya. Kaki tangannya menyerang bertubi-tubi ke arah bagian tubuh berbahaya dari kakek itu, setiap serangan merupakan serangan maut! Sementara itu, kakek yang ternyata amat luar biasa kepandaiannya itu, dengan alis putih berkerut memperhatikan gerakan lawan dan diam-diam dia pun merasa terheran-heran karena dia tidak mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh wanita itu. Padahal, dia hampir mengenal semua dasar ilmu silat tinggi dari seluruh partai-partai besar! Akan tetapi, dia pun selalu mengimbangi kecepatan wanita itu dan selalu dapat menghindarkan diri atau menangkis. Kembali Kim Hong Liu-nio terkejut bukan kepalang. Kakek petani ini ternyata amat hebat! Bukan saja sanggup menandingi sinkang-nya, bahkan tidak terdesak oleh ginkang-nya! Diam-diam dia lalu mencabut tiga batang hio dan dengan kuku jari tangannya menyentik batu api, maka muncratlah batu api membakar ujung tiga batang hio itu. Hio-hio ini sebetulnya dia sediakan untuk membunuh musuh-musuh gurunya, seperti yang telah dilakukannya kepada beberapa orang yang sudah berhasil dibunuhnya. Akan tetapi menghadapi seorang lawan tangguh seperti kakek ini, dia akan mempergunakannya juga karena senjata hio itu merupakan senjata istimewa pula. Kakek itu hanya memandang sambil mengelak ke sana-sini pada waktu wanita itu sambil menyerang mengeluarkan dan menyalakan tiga batang hio. Dia tidak tahu apa artinya dan tertarik sekali, menduga bahwa agaknya wanita ini adalah seorang ahli ilmu hitam yang hendak mempergunakan ilmu sihirnya. Dia tidak takut, melainkan tertarik sekali dan ingin melihat bagaimana wanita itu hendak menggunakan sihir atas dirinya! Akan tetapi, tiba-tiba saja wanita itu mengeluarkan bentakan nyaring sekali dan kakek itu melihat sinar-sinar keemasan kecil menyambar ke arah tiga jalan darah pada tubuhnya! Tahulah dia bahwa hio-hio menyala itu sama sekali bukan dipergunakan untuk main sulap atau sihir, melainkan untuk dipergunakan sebagai senjata rahasia yang menyerangnya! Kakek itu mengeluarkan seruan panjang, tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat ke atas dan ketika dia melayang turun kembali, tiga batang hio menyala itu sudah disambarnya dan berada di tangannya. Sekali dia melempar, tiga batang hio itu menancap di atas tanah dan asapnya bergulung-gulung kecil ke atas! Kim Hong Liu-nio terkejut, juga semakin penasaran dan marah. Tiba-tiba dia bergerak, tubuhnya didahului oleh sinar merah dan ternyata wanita ini telah menyerang lagi dengan menggunakan sabuk merahnya. Dengan gerakan seperti seekor ular hidup, ujung sabuk merah itu secara bertubi sudah menotok ke arah tujuh jalan darah kematian di sebelah depan tubuh kakek itu! "Hemm, sungguh keji...!" kakek itu mencela dan cepat dia menggunakan telapak kanan untuk menangkap ujung sabuk merah. Akan tetapi, begitu melihat lawan hendak menangkap ujung sabuknya, Kim Hong Liu-nio menggerakkan tangan dan kini ujung sabuk itu meluncur dan menotok ke arah telapak tangan itu secara langsung, untuk menotok jalan darah antara ibu jari dan telunjuk tangan kanan yang terbuka itu. Akan tetapi, kakek itu agaknya tidak tahu akan serangan ini dan tetap saja membuka tangan hendak menangkap ujung sabuk itu. Kim Hong Liu-nio menjadi girang sekali dan menambah tenaganya ketika ujung sabuk bertemu dengan telapak tangan lawan. "Plakkk...!" Ujung sabuk itu tepat mengenai telapak tangan dan melekat di situ. Tiba-tiba wajah cantik itu berubah pucat, matanya terbelalak lebar memandang kepada kakek itu ketika Kim Hong Liu-nio merasa betapa tenaga sinkang-nya memberobot keluar dari tangannya yang ujungnya menempel pada telapak tangan kakek itu. "Thi-khi I-beng...!" Dia berteriak kaget lantas membuat gerakan tiba-tiba menarik sabuk merahnya. "Pratttt...!" Sabuk merah itu terputus di tengah-tengah! "Ahhh...!" Kakek itu berseru kagum sekali. Kim Hong Liu-nio masih memandang terbelalak. Dia mengenal Thi-khi I-beng seperti yang pernah diceritakan oleh subo-nya. Thi-khi I-beng adalah ilmu yang aneh, sesuai dengan namanya yang memiliki arti Curi Hawa Pindahkan Nyawa, ilmu itu dapat menyedot hawa sinkang lawan sampai habis! Untung dia sudah mempelajari ilmu untuk melepaskan diri dari sedotan Thi-khi I-beng yang ampuh itu! "Siapakah engkau...?" Kim Hong Liu-nio bertanya, suaranya membayangkan kejerian hati menghadapi kakek yang hebat itu. Kakek itu melemparkan sabuk merah yang putus itu ke atas tanah. Ia pun menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara lirih dan seperti orang membaca sajak, "Namaku tidak lebih terkenal dibandingkan sebatang pedang, akan tetapi pedangku adalah pedang kayu yang tidak keras, juga tidak berbau darah kering melainkan harum semerbak. Ah, sampai terpaksa aku mempergunakan Thi-khi I-beng, menandakan bahwa kepandaianmu hebat sekali, nona." Kim Hong Liu-nio makin terkejut dan hatinya makin gentar. Dalam kata-kata perkenalan dari kakek itu terkandung kata-kata pedang kayu dan harum. Pedang Kayu Harum, Siang-bhok-kiam! Dia cepat membuat gerakan membungkuk. "Sudah kuduga...," bisiknya, "kiranya... maafkan saya..." Dan tanpa bicara apa-apa lagi, Kim Hong Liu-nio membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dengan cepat seperti terbang. "Nona, tunggu dulu...!" Kakek itu berseru, akan tetapi Kim Hong Liu-nio menjawab tanpa menoleh. "Lain kali kita akan saling bertemu berjumpa kembali!" Cia Keng Hong, atau ketua dari Cin-ling-pai, pendekar sakti yang amat terkenal dengan pedang kayu harumnya itu, memandang dan tidak mengejar. Dia merasa kagum sekali karena setelah puluhan tahun tidak bertemu lawan, baru sekarang dia bertemu tanding seorang wanita yang masih muda akan tetapi juga memiliki kepandaian yang tinggi sekali, bahkan dia tidak mengenal dasar ilmu silat yang dimainkan oleh wanita itu! Para pembaca dari cerita Siang-bhok-kiam, lalu cerita Petualangan Asmara, dan Dewi Maut, tentu tidak asing lagi dengan pendekar sakti Cia Keng Hong ini. Dia adalah seorang pendekar sakti yang namanya sangat terkenal di kalangan kang-ouw, sebagai ketua dari Cin-ling-pai di Pegunungan Cin-ling-san, di mana dia hidup dengan isterinya yang tercinta seorang bekas pendekar wanita yang lihai pula. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Cia Keng Hong telah meninggalkan keramaian dunia kang-ouw dan dia yang sudah tua hidup tentram di puncak Pegunungan Cin-ling-san sampai cerita ini terjadi. Pada waktu sekarang, Cia Keng Hong, dalam usia yang sudah tujuh puluh tahun lebih, pendekar sakti ini merasa betapa hidupnya penuh dengan duka. Isterinya, satu-satunya manusia di dunia ini yang paling dicintanya, telah meninggal dunia dua tahun yang lalu, meninggal dunia dalam usia yang sudah cukup tinggi, kurang lebih tujuh puluh tahun, akan tetapi sayangnya meninggal dalam keadaan duka pula karena kematiannya tidak ditunggui oleh puteranya yang terkasih, yaitu Cia Bun Houw. Diam-diam di dalam hati pendekar sakti ini timbul penyesalan besar. Dia tidak dapat menyalahkan Bun Houw yang sampai sepuluh tahun lebih lamanya belum pernah pulang itu. Dia sendirilah yang menyebabkannya. Dia yang seolah-olah mengusir puteranya itu karena puteranya itu nekat hendak hidup sebagai suami isteri bersama Yap In Hong, adik dari pendekar Yap Kun Liong. Dia melarang dan tidak setuju, akan tetapi Bun Houw nekat sehingga puteranya itu lalu pergi bersama In Hong dan sampai sekarang tidak ada kabar ceritanya. Setelah isterinya meninggal dunia, maka satu-satunya hiburan bagi Cia Keng Hong adalah cucunya yang semenjak kecil sudah digemblengnya di Pegunungan Cin-ling-san itu. Cucu perempuan ini bukan lain Lie Ciaw Si, puteri dari Cia Giok Keng dan mendiang Lie Kong Tek. Dengan tekun pendekar sakti itu menurunkan kepandaiannya kepada cucunya ini, dan walau pun Ciauw Si tidak memiliki bakat yang terlalu menonjol, akan tetapi dara ini telah mewarisi banyak ilmu tinggi kakeknya sehingga dia sekarang menjadi seorang dara yang hebat juga dan jarang ada yang akan mampu menandinginya. Betapa pun juga, setelah neneknya meninggal, dara yang kini berusia dua puluh tahun itu sering kali melihat kakeknya termenung di dalam duka, bahkan sering kali kakeknya itu seperti seorang pikun turun gunung dan merantau di kaki Pegunungan Cin-ling-san, lupa makan lupa tidur dan baru pulang kalau sudah disusul dan dibujuknya. Kemudian Ciauw Si mendengar dari penuturan ibunya yang masih tinggal di Sin-yang, di rumah mendiang suaminya, mengenai pamannya, adik ibunya, yaitu Cia Bun Houw dan bahwa kedukaan kakeknya itu disebabkan oleh kepergian Bun Houw yang hingga kini tak pernah ada beritanya itu. Mendengar ini, Ciauw Si yang mencinta kakeknya itu merasa sangat kasihan. Maka, pada suatu pagi pergilah dia meninggalkan Cin-ling-san sesudah meninggalkan surat untuk kakeknya, yang memberi tahu bahwa dia pergi untuk mencari pamannya, Cia Bun Houw! Akan tetapi, kejadian ini sama sekali tidak menggirangkan hati kakek pendekar itu. Malah sebaliknya. Dia merasa prihatin dan khawatir. Meski pun cucunya itu sudah mempunyai kepandaian tinggi, namun cucunya adalah seorang wanita muda dan kurang pengalaman, padahal dia tahu betul betapa bahayanya merantau di dunia kang-ouw seorang diri bagi seorang wanita muda. Kekhawatiran ini membuat hatinya tidak tenang, maka kakek ini pun lalu turun gunun untuk mencari cucunya! Demikianlah keadaan singkat dari kakek pendekar Cia Keng Hong yang usianya sudah tujuh puluh lima tahun itu. Dalam perantauannya mencari cucunya itulah secara kebetulan dia melihat Sin Liong yang sedang tersiksa oleh Kim Hong Liu-nio dan dia segera turun tangan menolongnya. Biasanya, kakek yang tengah merantau ini menyembunyikan diri dan kepandaiannya, dan kalau sekarang dia memperlihatkan kepandaiannya, adalah karena dia terpaksa sekali oleh kelihaian Kim Hong Liu-nio. Kakek itu merasa amat kagum menyaksikan sikap anak yang disiksa itu, maka diam-diam dia memperhatikan, bahkan ketika dia membebaskan belenggu itu jari-jari tangannya mengusap dan dia memperoleh kenyataan bahwa anak itu benar-benar memiliki tulang yang baik sekali. Sekarang kakek itu menghampiri Sin Liong yang sudah bangkit berdiri dengan bibir yang pecah-pecah. Biar pun anak itu lebih patut dikatakan setengah hidup dan dalam keadaan payah sekali, namun anak itu sudah bangkit berdiri dan memandang kepada kakek itu dengan mata merah, mata yang tadi disiksa oleh panasnya matahari. Setelah kakek itu datang mendekat, tiba-tiba Sin Liong tak dapat bertahan lagi. Dia pun terhuyung dan tentu terguling kalau tidak cepat disambar oleh tangan kakek itu. Sin Liong roboh pingsan, hal yang ditahan-tahannya sejak tadi. Sin Liong mengecap-ngecap bibirnya yang basah. Dia membuka mata dan melihat bahwa dia sedang rebah di bawah pohon yang teduh sedangkan kakek itu membasahi mukanya dan memberi minum air jernih yang dingin dan nikmat sekali terasa olehnya. Cepat dia bangkit duduk dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Sin Liong maklum bahwa tanpa adanya kakek ini, dia tentu sudah mati dalam keadaan mengerikan, dagingnya dirobek-robek oleh burung-burung gagak pemakan bangkai! Biar pun tadi kepalanya pening dan pandangan matanya berkunang, namun dia masih dapat menyaksikan betapa kakek yang sederhana ini ternyata mampu menandingi Kim Hong Liu-nio, bahkan wanita iblis itu melarikan diri! Maka Sin Liong yang cerdik mengerti bahwa kakek tua renta ini adalah seorang manusia sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. "Saya menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan locianpwe." Cia Keng Hong mengurut jenggotnya yang putih sambil memandang pada bocah itu penuh perhatian. Ketika dia merawat Sin Liong dari pingsannya tadi, kembali dia meraba-raba dan makin yakin dia akan bakat yang terpedam dalam diri anak ini. "Anak yang baik, siapakah namamu?" "Nama saya Sin Liong..." Tercengang juga hati kakek itu mendengar nama yang gagah itu. Nama anak ini berarti Naga Sakti! "Engkau she apakah, Sin Liong?" Sin Liong tahu bahwa dia adalah she Cia. Akan tetapi dia tak mau membawa-bawa nama ayahnya yang belum pernah dijumpainya itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab, "Locianpwe, semenjak kecil saya tidak tahu apakah she saya. Saya hanya bernama Sin Liong, tanpa she." Cia Keng Hong tercengang, alisnya berkerut. "Kalau begitu, siapakah ayah bundamu?" Sin Liong menggeleng kepalanya. "Saya hidup sebatang kara, tidak mempunyai ayah dan bunda. Saya bekerja sebagai pelayan dari Na-piauwsu yang tinggal di Kun-ting. Akan tetapi beberapa hari yang lalu Na-piauwsu serumah dibunuh orang-orang yang menjadi musuhnya. Lalu muncul wanita iblis itu yang berbalik membunuhi semua orang yang telah membasmi keluarga Na-piauwsu, akan tetapi wanita itu lalu membawa saya ke sini." Kakek itu mengelus jenggotnya yang putih dan alis matanya tetap berkerut. Benar-benar aneh cerita anak ini. "Dan mengapa kau dibawanya ke sini dan akan disiksanya sampai mati? Apakah dia memaksamu untuk menceritakan sesuatu?" Sin Liong menggelengkan kepala. "Saya sendiri tidak tahu, locianpwe." Cia Keng Hong adalah seorang kakek bijaksana. Dia sudah mengenal seorang anak yang luar biasa dan dia menduga bahwa tentu ada rahasia di balik diri anak ini dan bahwa anak ini sengaja tidak mau menceritakan tentang dirinya. Maka dia pun tidak mau mendesak. Hatinya merasa kasihan sekali dan entah mengapa, dia merasa amat tertarik kepada Sin Liong, merasa seolah-olah wajah anak ini tidak asing baginya. "Sin Liong, setelah keluarga Na itu dibasmi orang, lalu sekarang engkau akan tinggal di mana?" tanyanya. Sin Liong tidak mampu menjawab, akan tetapi akhirnya dia berkata, "Locianpwe, dunia begini luas, saya tidak merasa khawatir untuk tidak kebagian tempat tinggal. Bukankah di mana pun bisa ditinggali, misalnya di hutan ini sekali pun?" Cia Keng Hong terharu. Anak ini masih wajar, masih polos dan murni, belum dikotori oleh kebudayaan dunia di mana setiap orang manusia bergulat untuk memperoleh kemuliaan dan kesenangan, kalau perlu dengan jalan mendorong dan menginjak orang lain. Anak ini agaknya belum membutuhkan apa-apa! "Sin Liong, apakah engkau suka belajar ilmu silat?" Sejenak wajah anak itu berseri gembira. "Tentu saja, locianpwe." "Bagus! Kalau begitu marilah kau turut bersamaku dan aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu." Sin Liong memang telah merasa kagum dan suka sekali kepada kakek ini. Pelindungnya, Na-piauwsu telah tewas, maka tidak ada tempat lain baginya dan kakek ini ternyata jauh lebih lihai dari pada Na-piauwsu, bahkan agaknya lebih lihai atau setidaknya pun tidak kalah oleh Kim Hong Liu-nio! Maka dia segera berlutut lagi. "Terima kasih atas kebaikan locianpwe." Cia Keng Hong membangunkan anak itu dengan wajah berseri-seri. Semenjak dia pergi menyusul dan mencari cucunya, baru sekarang dia merasa girang. "Bangunlah dan mari kita berangkat sekarang juga, Sin Liong. Aku tidak ingin terjadi banyak keributan, namun kalau wanita itu kembali lagi, tentu akan terjadi keributan." Berangkatlah mereka meninggalkan tempat itu dan Cia Keng Hong mengambil keputusan untuk kembali ke Cin-ling-san dengan jalan memutar karena dia masih ingin mendengar-dengar dan mencari jejak cucunya yang pergi meninggalkan Cin-ling-san tanpa pamit itu. Hati Cia Keng Hong makin merasa suka kepada Sin Liong. Di sepanjang perjalanan, anak ini memperlihatkan sikap yang pendiam, tidak cerewet, tidak pernah mengeluh, kuat dan tahan uji, juga amat cerdik. Pernah dia mencobanya dengan mengajaknya berjalan semalam suntuk. Akan tetapi Sin Liong tidak pernah mengeluh, sungguh pun ketika berjalan semalam suntuk itu beberapa kali dia terhuyung dan kedua kakinya membengkak. Dan pada waktu diajak berpuasa itu pendengaran telinga kakek pendekar yang amat tajam itu dapat menangkap bunyi perut anak itu berkeruyuk berkali-kali, namun dia tetap tidak mengeluh. Pada suatu hari, tibalah kakek dan anak tanggung ini di sebuah batu karang. Pada waktu mereka sampai di kaki bukit, dari jauh saja keduanya sudah melihat serombongan orang berjalan terhuyung-huyung dan mereka semua itu terluka seperti serombongan pasukan kecil yang baru saja pulang dari medan pertempuran dengan menderita kekalahan. cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Cia Keng Hong yang tidak ingin mencampuri urusan orang lain, lalu menggandeng tangan Sin Liong hendak diajak mengambil jalan lain karena sekelebatan pandang saja dia tahu bahwa orang-orang itu adalah orang-orang kang-ouw atau orang-orang yang mempunyai kepandaian silat dan yang sudah luka-luka karena pertempuran. Orang-orang seperti itu tentulah orang-orang yang selalu mengandalkan kepandaian sendiri dan senang mencari permusuhan atau suka mencari kekerasan, maka dia hendak menjauhkan Sin Liong dari mereka. "Locianpwe...!" "Ahhh, agaknya Thian yang menuntun ciangbunjin (ketua) dari Cin-ling-pai ke sini untuk menolong kami...!" Tiba-tiba belasan orang itu semua menjatuhkan diri berlutut di hadapan Cia Keng Hong! Tentu saja kakek ini menjadi kaget dan tahulah dia bahwa mereka itu telah mengenalnya sehingga tak mungkin dia menyingkir lagi. Karena itu dia pun memandang kepada mereka penuh perhatian. Akhirnya dia pun teringat bahwa dia mengenal beberapa orang di antara mereka sebagai pendekar-pendekar yang gagah dan bukanlah kaum kasar, melainkan pendekar-pendekar yang suka menolong orang. Maka dengan sikap halus dia pun mendekati dan bertanya kepada mereka, "Cu-wi sicu (sekalian orang gagah) mengapa menderita luka-luka? Apakah yang sudah terjadi?" Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang pundaknya terluka, bajunya robek hingga kulit pundak itu terlihat biru dan lumpuh sebelah lengannya, segera menjawab, "Di puncak bukit ini terdapat seorang gila yang merampas kambing, kuda, sapi, anjing dan binatang apa saja milik penduduk dusun-dusun di sekitar bukit ini untuk dibunuh lantas diganyang mentah-mentah! Orang-orang dusun yang datang kepadanya semua dilukai. Kami yang mendengar ini lalu pergi untuk mengusirnya, namun ternyata orang gila itu lihai dan jahat sekali sehingga kami semua pun kalah dan terluka. Oleh karena itu, demi kepentingan para penghuni dusun-dusun di sekitar tempat ini, kami mohon kebijaksanaan dan keadilan locianpwe untuk mengusir orang gila itu dari daerah ini." Setelah bercerita, dengan amat tergesa-gesa kakek itu bersama teman-temannya segera bangkit berdiri dan menjura, kemudian pergi meninggalkan tempat itu dengan terhuyung dan terpincang-pincang, seolah-olah mereka masih merasa jeri dan khawatir kalau-kalau orang gila itu mengejar mereka! Cia Keng Hong mengerutkan kedua alisnya. Dia tidak tertarik untuk mengurusi orang gila! Berapa banyak sih binatang yang sanggup dimakan habis oleh seorang manusia, betapa gila pun dia? Dan biasanya, seorang gila tidak akan mengganggu orang lain kalau tidak lebih dulu diganggu! Mungkin anak-anak penggembala ternak itu yang lebih dulu mengganggu si gila sehingga menjadi marah-marah. Kalau para pendekar itu tidak mendatangi si gila di atas bukit, jelas bahwa si gila itu tidak akan melukai mereka pula. Dia tidak boleh hanya mendengarkan laporan sefihak lalu membela mereka. "Sin Liong, mari kita pergi..." Dia menoleh dan pandang mata kakek itu mencari-cari. Sin Liong tidak ada lagi di tempat itu. Tadi anak itu masih berada di belakangnya dan ikut mendengarkan, akan tetapi ternyata secara diam-diam anak itu telah pergi! "Sin Liong...!" Dia berseru memanggil, walau pun seruannya itu tidak keras, akan tetapi karena digerakkan oleh khikang maka gemanya terdengar hingga ke tempat jauh, bahkan terdengar sampai ke puncak bukit batu karang itu! Sunyi saja tidak ada jawaban dari Sin Liong, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa. "Ha-ha-ha-ha!" Cia Keng Hong terkejut bukan main. Itu bukanlah suara ketawa biasa, melainkan suara ketawa yang juga mengandung khikang sangat kuatnya dan suara itu datang dari atas puncak bukit itu. Dia menjadi khawatir sehingga pendekar sakti yang sudah tua ini cepat mendaki bukit menuju ke puncak. Setelah tiba di puncak, dia melihat hal yang membuat mukanya berubah pucat dan matanya terbelalak. Di atas puncak itu, di atas batu-batu besar yang permukaannya halus dan dikelilingi oleh puncak-puncak batu karang lainnya yang menjulang tinggi, dia melihat Sin Liong duduk bersila, berhadapan dengan seorang kakek tua renta tinggi besar yang kepalanya gundul, kakek yang membuat pendekar sakti ini memandang bengong karena dia mengenal baik kakek itu yang bukan lain adalah Kok Beng Lama! Para pembaca cerita Petualang Asmara dan cerita Dewi Maut tentu mengenal baik siapa adanya kakek gundul ini. Kok Beng Lama adalah seorang pendeta Lama dari Tibet yang memiliki kesaktian hebat, dan dia pernah menjadi kepala dari para pendeta Lama Jubah Merah di Tibet. Akan tetapi, sejak puterinya yang bernama Pek Hong Ing, yang menjadi isteri dari pendekar Yap Kun Liong, tewas dibunuh orang, Kok Beng Lama merasa begitu marah dan dukanya sampai dia menjadi tidak waras, otaknya menjadi agak miring! Kemudian dia dapat sembuh, bahkan dia lalu mewariskan ilmu-ilmunya kepada Lie Seng, cucu dari ketua Cin-ling-pai itu, dan Yap Mei Lan, puteri dari Yap Kun Liong, yang masih terhitung cucu tirinya sendiri karena Yap Mei Lan bukanlah anak Pek Hong Ing, melainkan anak yang lahir dari hubungan gelap antara Yap Kun Liong dan Lim Hwi Sian. Akan tetapi, ketika Lie Seng dan Yap Mei Lan, kedua orang muridnya yang terakhir itu sudah tamat belajar dan meninggalkan dia, Kok Beng Lama merasa kesepian dan kumat lagi gilanya, maka dia kemudian merantau seperti orang gila dan akhirnya pada hari itu dia berada di atas bukit batu karang, menimbulkan geger dan sampai dia bertemu dengan Cia Keng Hong dan Sin Liong! Cia Keng Hong memandang bengong pada waktu melihat kakek gundul itu duduk bersila berhadapan dengan Sin Liong sambil tertawa-tawa dan kedua orang itu ternyata sedang bercakap-cakap dengan asyiknya! "Kakek yang baik, kenapa kau lukai orang-orang itu?" terdengar Sin Liong bertanya. Kok Beng Lama meraba-raba kepala dan pundak Sin Liong sambil tertawa. "Ha-ha-ha-ha, mereka itu jahat! Mereka itu hendak menghina seorang tua seperti aku. Mereka datang dengan senjata di tangan. Ha-ha-ha-ha, untung mereka bertemu dengan aku yang masih mau mengampuni mereka. Manusia memang jahat dan palsu, tidak seperti binatang yang wajar dan lebih baik." "Memang binatang lebih baik, kakek," jawab Sin Liong yang teringat akan monyet-monyet besar yang menjadi teman-temannya. "Ha-ha-ha, bagus, bagus! Engkau binatang cilik yang baik sekali." "Dan engkau seperti monyet tua yang pernah merawatku." "Hu-huh-huh, memang aku monyet. Monyet gundul. Dan kau... ehhh, siapa namamu?" "Sin Liong." "Bagus! Engkau seekor naga. Bukan ular, naga lain lagi. Kalau ular sih seperti manusia, kadang-kadang licik dan curang. Kalau naga tidak, kau naga cilik yang menyenangkan. Semua orang takut padaku, tapi kau tidak, naga cilik." "Aku kasihan kepadamu, kek." "Kenapa kasihan? Heiii, hayo katakan, kenapa kau kasihan, naga cilik?" "Karena semua orang menghinamu, mengatakan kau gila." "Memang aku gila! Apakah kau tidak gila?" "Aku... aku..." Sin Liong menjadi bingung, tetapi dia benar-benar merasa kasihan kepada kakek yang seperti dia ini, yang hidup sebatang kara, maka dia hendak menyenangkan hatinya. "Aku juga gila." "Ha-ha-ha, bagus, bagus! Kita berdua orang-orang gila! Persetan dengan mereka yang menganggap diri sendiri tidak gila!" Kakek itu bangkit berdiri, kedua tangannya yang berlengan panjang menyambar tubuh Sin Liong kemudian melontar-lontarkan tubuh anak itu ke atas sampai tinggi sekali! Sin Liong maklum akan kesaktian kakek itu, karena itu dia pun tidak mau mengeluh, juga tidak mau memperlihatkan rasa takut. Cia Keng Hong khawatir kalau-kalau kakek gila itu akan mencelakai Sin Liong, maka sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah meloncat tinggi dan menyambar tubuh Sin Liong ketika untuk ke sekian kalinya dilontarkan ke atas Kok Beng Lama! Setelah menurunkan Sin Liong yang berdiri di belakangnya, Cia Keng Hong kini berdiri berhadapan dengan Kok Beng Lama dan ketua Cin-ling-pai itu menjura dengan hormat. "Sahabat baik Kok Beng Lama, apakah selama ini engkau baik-baik saja?" Cia Keng Hong berkata. Kakek gundul itu memandang dengan matanya yang lebar terbelalak, kelihatan dia amat terkejut dan tercengang, lalu menjura dengan kaku dan berkata, "Aih... kiranya... Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Silakan duduk." Kakek gundul ini pun lalu duduk bersila di atas batu, dan melihat ini, tentu saja Cia Keng Hong juga duduk bersila, berhadapan dengan kakek Lama dari Tibet itu. Sin Liong berdiri dan kini dia memandang bengong kepada kakek sakti yang selama ini membawanya melakukan perjalanan itu. Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai? Dia teringat akan pesan ibu kandungnya, Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai ini adalah kakeknya, ayah dari Cia Bun Houw, ayahnya, ayah kandungnya! Jadi kakek yang telah menolongnya dari tangan iblis betina Kim Hong Liu-nio ini, yang kemudian membawanya, adalah kakeknya sendiri! Tiba-tiba Sin Liong yang berdiri bengong itu terkejut ketika melihat perubahan pada wajah si kakek gundul. Matanya menjadi merah dan mulutnya yang bersembunyi di balik kumis dan jenggot putih itu menyeringai. Agaknya kakek gundul itu kumat lagi gilanya! Cia Keng Hong juga melihat ini, maka dia cepat-cepat bertanya, suaranya tetap halus, "Kok Beng Lama, di manakah cucuku Lie Seng dan Yap Mei Lan? Mengapa aku tidak melihat mereka?" Sungguh tak disangka sama sekali oleh Cia Keng Hong bahwa pertanyaannya itu malah merupakan minyak bakar disiramkan kepada api kegilaan yang mulai bernyala di dalam otak Kok Beng Lama itu. Kegilaan kakek gundul ini menjadi kumat sesudah dua orang muridnya itu pergi karena dia merasa kesepian dan rindu, dan sekarang kata-kata ketua Cin-ling-pai itu justru mengingatkan dia pada dua orang yang dicintanya itu! Maka makin merahlah mata itu, makin melotot dan sekarang ditujukan kepada Cia Keng Hong dengan penuh kebencian. Tiba-tiba kakek gundul itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai! Anakku tercinta mati karena puterimu, dan aku masih saja mendidik puteramu mendidik cucumu! Wah, sekarang cucumu juga pergi meninggalkan aku! Aku menderita sengsara dan berduka karena kau, maka kau harus bertanggung jawab sekarang! Ha-ha-ha, aku paling suka mengadu ilmu dan di dunia ini siapa yang dapat menandingi aku kecuali ketua Cin-ling-pai? Hayo, Cia Keng Hong, hari ini kita membuat perhitungan terakhir, ha-ha-ha!" Cia Keng Hong terkejut sekali dan mengerutkan alisnya. Celaka, pikirnya, kakek gundul ini sudah gila. Tentu saja dia langsung menolak dan mengangkat kedua tangan ke atas, menggoyang-goyangnya. "Jangan, Kok Beng Lama, jangan! Di antara kita tidak terdapat permusuhan, bahkan terikat persahabatan dan persaudaraan yang kekal, bukan?" "Ha-ha-ha, justru aku ingin mati dalam tangan seorang yang ternama seperti kau, bukan di tangan segala macam anjing busuk seperti belasan orang tadi. Hayo, lekas sambutlah seranganku ini, Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai!" Sesudah berkata demikian, tiba-tiba kakek gundul itu sambil tertawa lalu menggerakkan kedua tangannya ke depan dan angin pukulan yang amat hebatnya menyambar dahsyat ke depan, menyerang ke arah Cia Keng Hong! Kakek ketua Cin-ling-pai ini memang telah mengangkat kedua tangan ketika menggoyang-goyang tangan untuk menolak tantangan tadi. Melihat serangan yang dapat mencabut nyawanya itu, dia terkejut sekali dan cepat dia pun mendorongkan kedua lengannya ke depan untuk menyambut. Hebat sekali pertemuan dua tenaga sakti itu. Jarak antara tangan kedua orang kakek ini masih ada setengah meter, namun tenaga yang bertemu antara kedua pasang tangan itu sedemikian dahsyatnya sehingga segala sesuatu di sekitar tempat itu bagaikan tergetar hebat. Bahkan Sin Liong sendiri sampai terpental lantas bergulingan ke belakang. Akan tetapi, anak ini sudah cepat bangkit kembali dan berdiri menonton dengan mata terbelalak. Kalau tadinya dia merasa suka kepada Kok Beng Lama dan diam-diam mengasihani kakek itu, kini dia berfihak kepada kakeknya itu. Dia merasa khawatir sekali. Dia tidak tahu apa yang telah dan sedang terjadi, akan tetapi dia dapat menduga bahwa antara kedua orang kakek yang duduk bersila dan meluruskan kedua lengan itu pasti sedang terjadi pertandingan yang amat aneh dan hebat. Dia melihat betapa wajah Kok Beng Lama kelihatan gembira dan mulutnya menyeringai seperti hendak mentertawakan ketua Cin-ling-pai itu, sebaliknya Cia Keng Hong kelihatan prihatin sekali. Dia tahu bahwa kakek gundul itulah yang tadi memaksa kakeknya untuk bertanding. "Jangan berkelahi...!" Sin Liong berseru. Akan tetapi dua orang kakek itu sama sekali tak mempedulikannya. Kok Beng Lama yang sedang dilanda kegembiraan besar karena dia dapat mengadakan pertandingan melawan seorang yang amat lihai itu tentu saja sudah melupakan Sin Liong, sebaliknya, meski pun Cia Keng Hong mendengar seruan Sin Liong, akan tetapi dia tak dapat berbuat apa-apa. Tidak mungkin dia menghentikan perlawanannya, karena hal itu berarti bahwa dia akan tewas. Juga amat membahayakan dirinya bila membagi perhatian kepada Sin Liong. Dia merasa betapa tenaga sakti kakek gundul itu makin lama makin kuat menghimpitnya dan sudah beberapa kali mencoba untuk mendesak tenaga perlawanannya. Oleh karena itu, Cia Keng Hong lalu cepat mengerahkan tenaga mukjijat Thi-khi I-beng! "Ha-ha-ha, Thi-khi I-beng, ya? Bagus, aku memang ingin merasakan kehebatannya!" Kok Beng Lama berseru sambil tertawa. Tentu saja hal ini sangat mengejutkan hati Cia Keng Hong karena pendekar ini maklum betapa berbahayanya bagi Kok Beng Lama yang berani bicara dalam keadaan mengadu tenaga seperti itu. Ternyata kakek gundul itu sudah tidak lagi memperhitungkan bahaya. "Kok Beng lama, perlu apa kita bertanding? Hentikanlah!" serunya. Akan tetapi jawaban kakek gundul itu hanya suara tertawanya dan desakan tenaga yang lebih kuat lagi. Terpaksa Cia Keng Hong juga mengerahkan tenaganya dan tidak berani bicara lagi karena yang dibadapinya adalah bahaya maut, bukan main-main. "Hentikan! Jangan berkelahi!" Sin Liong kini melangkah menghampiri kedua orang kakek yang sedang mengadu tenaga sakti itu. Melihat ini, Cia Keng Hong merasa khawatir sekali, akan tetapi karena tenaga lawan amat kuat mendesak maka dia pun tak berani membagi perhatian dan diam saja, mencurahkan perhatian dan tenaganya untuk mempertahankan dan melindungi dirinya sendiri. Karena berkali-kali dia berteriak tanpa dipedulikan orang, juga melihat betapa sekarang dari kepala dua orang kakek itu mengepul uap putih, Sin Liong menjadi makin khawatir dan dengan nekat dia lalu meloncat ke tengah-tengah antara kedua orang kakek itu untuk memisahkan mereka! Hampir saja Cia Keng Hong berteriak saking kagetnya karena apa yang dilakukan oleh anak itu benar-benar amat berbahaya. Akan tetapi dia sendiri tidak mampu menolongnya, karena sedikit saja dia mengurangi tenaganya, maka dia akan celaka, apa lagi menarik tenaganya yang mempertahankan diri itu. Keadaannya seperti orang yang menggunakan kedua tangan menahan gencetan benda yang amat berat, apa bila tenaganya berkurang sedikit saja tentu benda itu akan menggencetnya sampai hancur. Sin Liong sendiri kaget setengah mati karena begitu dia meloncat masuk, tiba-tiba saja tubuhnya bagaikan disedot oleh tenaga yang luar biasa kuatnya sehingga dia tertarik dan tiba-tiba saja dia sudah jatuh terduduk di tengah antara kedua orang kakek itu, duduknya menghadapi Cia Keng Hong dan membelakangi Kok Beng Lama. Tubuh anak itu tergetar hebat seperti terkena aliran tenaga yang luar biasa. Ketika melihat betapa kedua telapak tangan yang lebar dari Kok Beng Lama menyentuh punggung anak itu, Cia Keng Hong yang tadinya agak menarik sepasang tangannya saat Sin Liong meloncat masuk, kini cepat-cepat dia mengulurkan tangannya menempel pada pundak anak itu. Dia segera merasa betapa tenaga amat dahsyat dari Kok Beng Lama menyerangnya melalui anak itu, maka dia pun seperti mempertahankan dan mengimbangi kekuatan itu sehingga tenaga keduanya kini saling bertanding melalui tubuh Sin Liong. Sin Liong merasa tersiksa bukan main. Dia sukar untuk bernapas, dan hawa panas dingin bergantian menyerang tubuhnya yang kadang terdorong ke belakang atau ke depan oleh dua tenaga dahsyat yang saling dorong di depan dan belakangnya itu. Dia tidak ingin membantu siapa pun, karena dia kasihan kepada kakek gundul yang gila, akan tetapi dia juga tentu saja bersimpati kepada kakeknya itu. Selain itu, andai kata dia ingin membantu sekali pun, bagaimana mungkin dia bisa membantu? Dia hanya melerai, akan tetapi siapa kira, dia malah terseret dan terhimpit tak dapat terlepas lagi. Sama sekali dia tidak sadar bahwa tanpa diketahuinya, dia sudah membantu Kok Beng Lama karena dia duduk berhadapan dengan kakeknya itu! Biar pun Sin Liong tidak mau membantu, akan tetapi di dalam tubuhnya terdapat hawa mukjijat yang timbul karena dia pernah keracunan Hui-tok-san yang kemudian dibikin punah oleh racun-racun ular hingga timbul semacam tenaga mukjijat di dalam tubuhnya. Tenaga inilah yang serentak bangkit dan melakukan perlawanan ketika tubuhnya dialiri dua tenaga dahsyat itu, dan karena dia duduk menghadap Cia Keng Hong, maka tentu saja perhatiannya ditujukan ke depan dan otomatis tenaga mukjijat di dalam tubuhnya itu juga meluncur ke depan! Tanpa disadarinya sendiri, tenaga ini membantu Kok Beng Lama dan menyerang Cia Keng Hong! Ketika ketua Cin-ling-pai merasa betapa ada tenaga yang amat kuat, seolah-olah tenaga kakek gundul itu menjadi bertambah besar, menyerangnya dan mendorongnya sehingga dia mendoyong ke belakang, dia menjadi terkejut sekali dan cepat dia lalu mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng untuk menyedot. Kini giliran Kok Beng Lama yang merasa terkejut ketika tiba-tiba tenaganya yang sangat kuat itu membanjir keluar tanpa mampu diremnya lagi. Cepat dia mengubah tenaganya, mempertahankan dan kini berubahlah sifat pertandingan itu. Kalau tadi kedua orang sakti itu mengerahkan sinkang untuk saling mendorong dan mengadu kekuatan untuk saling merobohkan, sekarang Cia Keng Hong menggunakan Thi-khi I-beng menyedot sedangkan pendeta Lama itu mempertahankan! Kembali Sin Liong yang menjadi sasaran utama dan yang paling hebat menderita! Anak ini merasa betapa tubuhnya kadang-kadang seperti kosong dan kering tersedot, lalu terisi kembali oleh tenaga dari Kok Beng Lama, seakan-akan dia sebentar mati sebentar hidup kembali, wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Dia mengeluh panjang pendek, akan tetapi untuk melepaskan diri dia tidak sanggup, biar pun dia telah beberapa kali berusaha untuk bergerak dan keluar dari dalam himpitan itu. Melihat hal ini, maklumlah Cia Keng Hong bahwa anak ini terancam bahaya maut. Akan tetapi, kakek sakti ini pun memperoleh kenyataan yang amat luar biasa, yaitu bahwa anak itu sama sekali tidaklah asing dengan tenaga sakti! Tahulah dia bahwa tadi tenaga Kok Beng Lama menjadi berlipat ganda karena memperoleh tambahan tenaga dari anak ini! Tahulah kakek ini bahwa Sin Liong betul-betul merupakan anak luar biasa, yang mungkin karena sesuatu hal yang tidak disadarinya sendiri oleh anak itu, telah mempunyai sinkang yang aneh. Kalau saja dia dapat mempergunakan sinkang anak itu untuk membantunya, tentu Kok Beng Lama akan kalah dan anak ini akan selamat. Keselamatan anak inilah yang penting baginya, anak ini masih kecil, masih berhak untuk hidup lebih lama lagi. Sedangkan dia dan Kok Beng Lama adalah dua orang kakek tua renta yang hanya tinggal menghitung hari saja, yang tinggal menanti kematian yang tentu tidak akan lama lagi karena mereka sudah tua. Pikiran untuk menyelamatkan anak inilah yang membuat Cia Keng Hong kemudian berbisik-bisik, membuka rahasia pelajaran untuk mengerahkan tenaga sakti di dalam tubuh, membangkitkan tenaga dahsyat dengan Ilmu Thi-khi I-beng! Sin Liong sudah hampir pingsan, berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang luar biasa, memiliki daya tahan yang besar berkat penderitaan yang terlalu sering dialaminya semenjak dia masih bayi, dan karena pernah hidup bersama monyet-monyet yang perasaannya tajam sekali dan peka terhadap segala sesuatu yang terjadi, memiliki naluri halus dan dekat dengan alam, maka walau pun dia dalam keadaan tersiksa, dia dapat mencurahkan perhatian terhadap bisikan-bisikan kakek sakti yang sesungguhnya adalah kakeknya sendiri itu. Mula-mula pening juga kepala Sin Liong mendengarkan kakek itu menyebut-nyebut hiat-to (jalan darah) yang bermacam-macam itu. Dia tidak tahu di mana adanya koan-goan-hiat, ci-kiong-hiat, thian-ti-hiat dan lain-lain. Akan tetapi ketika dengan teliti dan sabar Cia Keng Hong memberi penjelasan, maka perlahan-lahan anak itu mulai mengerti dan mulailah dia mengatur pernapasan menurutkan petunjuk kakek itu, menahan napas dan menggerakkan hawa dari pusarnya. Memang Sin Liong memiliki bakat yang amat hebat, dan juga Cia Keng Hong memang hendak menolongnya dan sudah mengambil keputusan untuk mewariskan Thi-khi I-beng kepada anak ini, maka perlahan-lahan muncullah tenaga sedot dari dalam tubuh anak itu yang makin lama makin kuat! "Oohhhh...!" Kok Beng Lama terkejut sekali ketika pertahanannya mulai jebol dan tenaga sinkang-nya perlahan-lahan mulai mengalir keluar melalui kedua telapak tangannya yang masih menempel di punggung Sin Liong! Akan tetapi, karena bocah itu belum dapat menguasai Thi-khi I-beng secara sempurna, meski pun tubuhnya sudah dapat mengeluarkan daya sedot, akan tetapi dia belum dapat mengalirkan sinkang-nya yang memasuki tubuhnya itu keluar melalui kedua tangan Cia Keng Hong, melainkan berkumpul dengan hawa pusarnya dan berputar-putar di seluruh tubuhnya, makin lama makin cepat putaran itu sehingga menimbulkan daya sedot yang makin kuat! Terjadilah hal yang sangat aneh. Cia Keng Hong juga mengeluh karena kini dia merasa betapa tenaga sinkang-nya sendiri pun tersedot masuk ke dalam tubuh Sin Liong melalui kedua tangannya! Ternyata dia sudah mempergunakan seluruh tenaga untuk saling tarik dengan tenaga Kok Beng Lama, maka ketika muncul tenaga baru ke tiga dari Sin Liong yang juga memiliki daya sedot, dia sendiri tak berani membagi tenaga untuk bertahan sebab membagi tenaga berarti mengurangi tenaga melawan Kok Beng Lama dan hal itu amatlah berbahaya. Oleh karena itu, kakek ketua Cin-ling-pai ini terpaksa membiarkan tenaganya pelan-pelan keluar dan mengalir masuk ke dalam tubuh anak yang baru saja diajari ilmu Thi-khi I-beng itu! Sama halnya dengan senjata makan tuan! Akan tetapi, yang keadaannya paling hebat adalah Kok Beng Lama. Sekarang tenaga sinkang-nya keluar seperti membanjir memasuki tubuh Sin Liong, tidak dapat dibendung atau ditahannya lagi. Cia Keng Hong tidak sadar akan hal ini. Kalau dia tahu tentu dia tidak perlu membiarkan tenaganya sendiri juga turut tersedot. Maka dia hanya memejamkan mata, membiarkan tenaganya sedikit demi sedikit tersedot, sedangkan dia tetap melanjutkan perlawanannya terhadap Kok Beng Lama. Kalau dua orang kakek itu terkejut oleh kenyataan betapa sinkang mereka terus tersedot, adalah Sin Liong yang paling repot dan paling menderita. Dia merasa betapa tubuhnya seperti sebuah balon karet yang ditiup terus melampaui takaran, dia merasa seolah-olah tubuhnya menggembung besar dan penuh, matanya berkunang dan melihat warna merah kuning, napasnya sesak dan setiap kali membuka mata, dia melihat dunia seperti kiamat, seperti kebakaran! Maka dia cepat memejamkan matanya kembali dan diam-diam dia menyesal mengapa dia tadi mempelajari ilmu setan yang diajarkan oleh kakek itu. Untuk menghilangkan ilmu itu sudah tidak mungkin lagi karena tanpa disadarinya sendiri hawa di tubuhnya sudah terus berputar-putar dan terus dibanjiri tenaga dari belakang dan dari depan! "Auhh... sudah... sudah...!" Berkali-kali Sin Liong mengeluh. Akan tetapi kedua orang kakek itu tidak mampu berbuat apa pun. Kok Beng Lama yang merasa amat terkejut itu melihat bahwa dia sudah terlambat untuk melepaskan diri, kedua tangannya sudah melekat dan tenaganya sudah terus membanjir keluar! Dia menyangka bahwa itulah kehebatan dari tenaga dalam Cia Keng Hong. "Cia Keng Hong... kau... kejam...!" Dia mengeluh dan terpaksa hanya melihat saja betapa tenaganya semakin lama semakin habis, seolah-olah tubuhnya yang tua itu mulai dihisap kering, laksana seekor laba-laba menghisap kering semua cairan dari tubuh seekor lalat yang telah tertawan dalam sarangnya. Akan tetapi, Cia Keng Hong sendiri pun tidak tahu akan hal ini. Disangkanya bahwa Kok Beng Lama sudah mengetahui rahasia Thi-khi I-beng dan kini dia bahkan mulai merasa betapa dia terancam maut di tangan kakek gundul itu. Maka dia terus saja mempertahankan! Jika saja tidak terjadi kesalah fahaman ini, kiranya kedua orang kakek itu masing-masing akan dapat menghentikan sinkang mereka yang diarahkan keluar, dan dapat terbebas dari sedotan hawa aneh yang berputaran di dalam tubuh anak itu. "Ouhhh... Cia Keng Hong... selamatkan anak ini...!" itulah keluhan terakhir dari Kok Beng Lama yang pada saat-saat terakhir telah waras kembali ingatannya dan dia masih dapat meninggalkan pesan agar menyelamatkan bocah yang tadi memperlihatkan sikap ramah kepadanya. Setelah berkata demikian, pendeta Lama ini menarik napas panjang sekali lalu tubuhnya menjadi lunglai kehabisan tenaga. Setelah pendeta Lama itu kehabisan tenaga, barulah Cia Keng Hong terkejut bukan main. Barulah dia tahu bahwa sejak tadi, tenaganya sendiri pun tersedot ke dalam tubuh anak itu, sama sekali bukan untuk menahan serangan Kok Beng Lama! Dan pendeta Lama itu agaknya juga kehabisan tenaga bukan untuk bertanding dengannya, namun habis akibat tersedot oleh anak itu. "Aihhhh...!" Ketua Cin-ling-pai itu mengerahkan tenaganya yang tinggal setengahnya itu, membuat gerakan menarik sehingga kedua tangannya dapat terlepas dari kedua pundak Sin Liong.....
JILID 17
DIA meloncat berdiri dengan tubuh lemas dan bergoyang-goyang, mukanya pucat sekali karena hampir setengah dari tenaganya juga sudah amblas! Dia mengalami luka di dalam tubuhnya, biar pun tidak terlalu berbahaya tetapi membutuhkan waktu untuk memulihkan kesehatannya. Ketika dia memandang lagi, kini tubuh Kok Beng Lama yang masih duduk bersila ternyata telah tidak bernyawa lagi! "Celaka...!" keluhnya. "Sin Liong, bangkitlah engkau!" Sin Liong tadinya bersila, kedua matanya terpejam, mukanya merah sekali dan napasnya kadang-kadang berhenti, kadang kala terengah. Mendengar ucapan ini, dia menggerakkan kepalanya dan menengadah, membuka mata. Terkejutlah Cia Keng Hong melihat sepasang mata yang mencorong seperti mata seekor naga sakti dalam dongeng itu! Dan tiba-tiba saja tubuh anak itu meloncat dan tubuhnya mencelat ke atas dengan cepatnya. "Aahhhhh... tolong, locianpwe...!" Ternyata ketika meloncat bangun tadi, otomatis Sin Liong menggunakan tenaganya. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa pada saat itu tenaga sinkang-nya sudah amat kuat memenuhi tubuhnya sehingga begitu dia menggerakkan syaraf-syarafnya, tenaga ini bangkit bekerja dan akibatnya tubuhnya mencelat seperti kilat ke atas tanpa dapat diremnya lagi. Tubuhnya meluncur deras ke arah sebuah puncak bukit batu karang dan untung baginya bahwa dia sudah biasa berloncatan dan memiliki kesigapan seekor monyet, maka walau pun dia terkejut sekali dan minta tolong, tapi kedua tangannya masih dapat menyambar ke depan dan dia dapat berpegang kepada ujung batu karang lalu berjungkir balik, tidak sampai terbanting pada batu karang. Sin Liong berdiri di atas batu karang itu dengan mata terbelalak. Tubuhnya masih terasa menggelembung besar, hampir meledak rasanya, dan tubuhnya terasa demikian ringan seolah-olah hembusan angin pun akan bisa membuat tubuhnya melambung tinggi seperti sebuah balon karet penuh hawa! Cia Keng Hong memandang ke atasan anak itu. Anak itu telah mengoper semua tenaga sinkang dari dalam tubuh Kok Beng Lama, yang telah tewas dalam keadaan bersila itu, bahkan, telah menyedot setengah dari tenaganya sendiri! Aneh sekali bagaimana anak itu masih dapat hidup! "Turunlah, jangan meloncat, berjalan saja dengan hati-hati!" kata Cia Keng Hong. Akan tetapi pada saat itu Sin Liong sudah merasa demikian tersiksa sehingga dia seperti tidak lagi mendengar suara kakek itu. Siksaan amat hebat dideritanya. Tubuhnya terasa panas semua seolah-olah dia dipanggang di atas api bernyala-nyala. Lebih tersiksa dari pada ketika dia teracun oleh Kim Hong Liu-nio yang menggunakan Hui-tok-san, bahkan lebih tersiksa dari pada ketika dia dijemur dan dikeroyok burung gagak. Panas yang dirasakan sekarang adalah panas dari dalam, yang mendadak dapat berubah jadi dingin sampai seluruh tubuh terasa seperti ditusuki ribuan batang jarum. Isi perutnya bagaikan diremas-remas, kepalanya seperti hampir meledak, telinganya terngiang-ngiang, matanya pedas dan perih, pendeknya, seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit sampai hampir tak tertahankan lagi. Dan celakanya, itulah. Kalau dia tidak tahu, pingsan atau mati, dia akan terbebas dari siksaan. Celakanya dia pingsan tidak mati pun tidak dan semua derita itu dapat dirasakannya. Dia memandang kepada kedua tangannya. Begitu dia memandang tangannya dan jalan pikirannya ditujukan kepada kedua tangan ini, maka otomatis tenaga sakti yang dahsyat mengalir ke arah kedua tangannya dan Sin Liong merasa betapa kedua tangannya itu tergetar hebat dan terasa panas-panas, gatal-gatal dan seolah-olah kedua tangan dengan sepuluh jarinya itu dibakar dalam api, digigiti semut-semut berbisa dan nyerinya bukan kepalang. "Setan...!" Dia memaki, kemudian dengan kedua tangannya itu dia menghantam batu di sampingnya, kanan kiri. "Pyarrrr! Pyarrrrr...!" Sin Liong terbelalak memandang pecahan-pecahan batu yang berhamburan disambar oleh kedua tangannya itu. Sejenak dia memandangi kedua tangannya dengan mata terbelalak. Kepalanya menjadi pening dan otomatis kedua tangan itu memegang kepalanya. Aku telah gila, pikirnya. Tak mungkin hanya dengan sekali tampar saja tangannya berhasil menghancurkan batu! Akan tetapi dia teringat betapa kedua tangannya yang tadinya terasa nyeri bukan main itu menjadi berkurang nyerinya ketika dipakai menghantam batu. Maka dia segera turun dari atas batu karang itu, lantas menggunakan kedua tangannya menghantam ke sana-sini, menghantami batu-batu besar yang berserakan di tempat itu. Terdengar suara-suara keras dan batu-batu itu remuk dan pecah berhamburan setiap kali terkena hantaman kedua tangannya. Sin Liong merasa betapa kedua tangan itu makin lama makin enak, tidak nyeri-nyeri lagi seperti tadi, bahkan makin hebat dia mengamuk memukuli batu-batu itu, sesak napasnya berkurang dan pening kepalanya juga mereda. Oleh adanya kenyataan ini, Sin Liong makin mengamuk, semakin hebat menggerakkan kedua tangannya, bahkan juga kedua kakinya, untuk memukul dan menendang batu-batu di sekelilingnya. Anehnya, batu-batu itu hancur tetapi kaki tangannya tidak merasa nyeri. Dia sendiri keheranan, seperti melihat sulapan saja. Akhirnya dia kelelahan dan duduk terengah-engah, tenaganya masih terus mendorongnya untuk bergerak, akan tetapi napasnya hampir putus dan di dalam dadanya terdapat hawa yang menggelora dan bergerak-gerak berputaran membuat dia seperti mau berpusing. Tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu Cia Keng Hong telah berada di depannya. "Kau diamlah, aku akan mencoba mengobatimu," kata kakek itu. Dan dia lalu mengulurkan kedua tangannya menempel di kedua pundak Sin Liong sambil mengerahkan tenaga Ilmu Thi-ki-i-beng! Cia Keng Hong maklum apa yang terjadi pada anak ini. Anak ini penuh dengan hawa sakti yang kalau dibiarkan saja tentu semua isi dadanya akan hancur atau luka-luka, maka dia akan menyedot hawa murni dan kuat itu dengan Thi-khi I-beng. "Ahhh...!" Cia Keng Hong terkejut dan cepat dia menggerakkan tangannya terlepas dari kedua pundak Sin Liong. Baru saja kedua tangannya menempel tadi, bukan dia yang menyedot, bahkan lagi-lagi dialah yang tersedot! Dan dia kalah kuat! Celaka, tanpa disadarinya bocah ini mempunyai tenaga sinkang yang luar biasa sekali dan satu kali diajari Thi-khi I-beng, tenaga sedotnya itu terus-menerus bekerja! "Kau jangan melawan, matikan semua gerakan dan pusatkan pikiranmu, jangan melawan, kendurkan semua, jangan kau ingat lagi pelajaran yang kuajarkan kepadamu tadi!" kata Cia Keng Hong. Sin Liong mengerti, maka dia mengangguk-angguk, masih terengah-engah. Kemudian dia merasa betapa tangan kakek itu kembali menempel di pundaknya dan dia mengosongkan pikirannya. Perlahan-lahan dia merasa betapa hawa yang mengamuk di dalam dadanya itu mulai berkurang. Dan memang dengan Thi-khi I-beng Cia Keng Hong mulai menyedot kelebihan hawa itu. Akhirnya, setelah dia merasa betapa tenaganya sendiri pulih, kakek itu lalu menghentikan sedotan itu dan melepaskan kedua tangannya. Dia telah sembuh, dan anak itu kini hanya memiliki sinkang dari Kok Beng Lama yang telah diopernya tanpa disadarinya itu. "Bagaimana rasanya tubuhmu?" tanya Cia Keng Hong. Sin Liong mengangguk. "Sudah agak baik... tapi masih mau muntah..." Dia bangkit berdiri dan terhuyung. "Sin Liong, tahukah engkau apa yang telah terjadi?" Anak itu menggeleng kepalanya. "Saya melihat locianpwe melakukan pertandingan aneh dengan kakek gundul itu... ahhh, bagaimana dengan dia?" "Mari kita turun dan lihat," kata Cia Keng Hong, lalu dengan hati-hati dia menggandeng tangan Sin Liong karena anak ini masih terhuyung-huyung dan jika dibiarkan turun sendiri dari puncak tentu akan terjatuh ke bawah. Setelah tiba di bawah, mereka melihat tubuh Kok Beng Lama masih duduk bersila. Sin Liong melihat betapa wajah kakek gundul itu aneh sekali, sepasang matanya masih terbuka akan tetapi pandang matanya kosong. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang luar biasa pada tubuh tinggi besar yang duduk bersila itu, maka dia bertanya. "Apakah dia tidak... apa-apa?" Cia Keng Hong menarik napas panjang. "Dia telah tewas..." Sin Liong terbelalak dan otomatis kakinya bergerak, tahu-tahu tubuhnya telah melayang ke arah kakek gundul itu dan begitu tangannya menyentuh pundak kakek itu, mayat itu langsung tergelimpang. "Ahhh...!" Sin Liong membalikkan tubuhnya, memandang pada kakek sakti yang ternyata adalah kakeknya sendiri itu. "Locianpwe... telah... membunuhnya?" Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. "Bukan aku yang membunuhnya." "Habis siapa? Mengapa dia mati?" Kembali kakek itu menarik napas panjang. "Kami berdua tadi sedang mengadu sinkang, maksudku... dia memaksaku untuk melindungi diriku karena dia tadi menyerangku dengan sinkang. Lalu kau tiba-tiba masuk di antara kami hingga kau terseret. Engkau terancam bahaya maut, maka aku mengajarkan Thi-khi I-beng kepadamu. Dan tanpa kau sadari, juga tanpa kusadari, ternyata semua hawa sinkang di tubuhnya telah berpindah ke dalam tubuhmu, membuat dia tewas..." Sin Liong menggigil dan kembali dia menoleh, memandang kepada tubuh yang telah tak bernyawa itu, dan tiba-tiba kedua matanya mengalirkan beberapa butir air mata. Kakek gila yang patut dikasihani. Dan dia yang membunuhnya! "Locianpwe mengajarkan saya ilmu iblis untuk membunuhnya!" Cia Keng Hong menggelengkan kepalanya. "Dia sendiri yang salah... ahhh, dalam usia setua itu kambuh kembali penyakit gilanya... sungguh patut dikasihani..." "Tetapi locianpwe mengajarkan Ilmu Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa! Dan dia mati karena saya! Ahh, locianpwe telah mengajarkan saya menjadi pembunuh orang yang tak berdosa!" "Tidak, Sin Liong. Aku mengajarkan Thi-khi I-beng padamu hanya untuk menyelamatkan nyawamu yang tadi terancam bahaya. Kok Beng Lama meninggal dunia akibat kesalahan dia sendiri dan memang dia sedang kumat gilanya, dan dia sudah tua. Engkau tidak membunuh, apa lagi karena hal itu terjadi di luar kesadaranmu, di luar pengetahuanmu." "Tapi... tapi dia mati karena saya..." Sin Liong merasa menyesal bukan main. Apa lagi sekarang tubuhnya masih juga terasa tidak karuan, masih sakit-sakit dan penuh dengan hawa yang bergerak-gerak mengerikan. Lebih-lebih sekarang, sesudah dia tahu bahwa yang terus bergerak-gerak di dalam tubuhnya itu adalah hawa sinkang dari kakek gundul itu yang telah berpindah ke dalam tubuhnya, dia merasa ngeri dan seram bukan main, seolah-olah nyawa kakek gundul itu telah memasuki jasmaninya! "Sudahlah, Sin Liong. Dari pada engkau meributkan hal-hal yang sudah terjadi di luar kesadaranmu, lebih baik kau membantu aku menguburkan jenazah Kok Beng Lama. Kau tidak tahu siapa dia. Dia adalah seorang tokoh besar di dunia persilatan. Kepandaiannya luar biasa sekali sehingga aku pun tadi hampir saja celaka dan kalah olehnya bila engkau tidak masuk di antara kami. Dan dia itu adalah guru dari putera saya sendiri, bahkan guru dari cucu saya sendiri, jadi dia bukanlah musuhku. Hal ini perlu kuberitahukan agar kau tidak salah duga, Sin Liong. Aku sama sekali tidak bermusuhan dengannya, apa lagi ingin membunuhnya!" Sin Liong memandang dengan jantung berdebar. Kakek tua ini adalah ketua Cin-ling-pai, kakek ini adalah kongkong-nya sendiri! Dan kakek gundul tadi adalah guru dari putera kongkong-nya, berarti guru dari ayahnya, ayah kandungnya! Akan tetapi karena masih meragukan kebenaran hal luar biasa ini, dia lalu bertanya, "Dia... dia itu guru putera locianpwe, siapakah putera locianpwe itu?" Pertanyaan itu terdengar sepintas lalu saja, maka tidak menimbulkan kecurigaan dalam hati Cia Keng Hong yang menarik napas panjang lagi. "Ahhh, puteraku itu bernama Cia Bun Houw..." Lalu kakek itu termenung karena sampai sekarang hatinya masih terluka oleh kepergian Bun Houw yang tiada kabar ceritanya itu. Mendengar ini, maka yakinlah hati Sin Liong dan ingin dia memeluk kakeknya ini saking girangnya, akan tetapi dia cepat-cepat menahan perasaannya dan berkata, "Akan tetapi, bukankah locianpwe tadi bertanding secara aneh dengan dia?" "Bukan bertanding, melainkan aku terpaksa membela diri karena dia menyerangku..." "Kalau dia itu bukan musuh locianpwe, kenapa dia menyerang locianpwe?" Kakek itu termenung. Memang ada sebabnya dan dia merasa tidak perlu menceritakan kepada anak ini mengenai sebab musababnya yang terlampau panjang. Di dalam kisah Dewi Maut diceritakan betapa puteri Kok Beng Lama tewas dan puteri ketua Cin-ling-pai ini yang tertuduh menjadi pembunuhnya sehingga pernah terjadi bentrok antara Kok Beng Lama dan Cin-ling-pai. Kemudian, biar pun ternyata bukan puteri Cin-ling-pai itu yang membunuh, namun kematian itu terjadi sebagai akibat dari percekcokan antara puteri Kok Beng Lama dan puteri ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, hal itu telah diselesaikan oleh kedua fihak, dan hanya kalau Kok Beng Lama kambuh penyakit gilanya maka urusan itu timbul lagi di dalam hatinya. Cia Keng Hong tentu saja merasa tidak perlu menceritakan urusan itu kepada anak kecil yang ditolongnya itu. "Dia bukan musuhku, akan tetapi dia itu mempunyai penyakit gila yang kadang-kadang kambuh. Dan sekarang dia sedang kambuh, maka tadi dia menyerangku. Sudahlah, Sin Liong, mari kita menggali kuburan untuk dia." Melihat betapa Cia Keng Hong hanya menggunakan sebatang kayu untuk menggali tanah berbatu itu, Sin Liong lalu ikut-ikut dan... alangkah heran hatinya ketika dia mampu pula mempergunakan sebatang kayu untuk menggali tanah berbatu! Walau pun tidak secepat kakek itu dan dia amat canggung hingga beberapa kali kayu itu patah dan harus diganti, namun dia dapat mengerahkan tenaga melalui kayu itu dan menggali tanah yang keras! Kagum sekali hati Sin Liong melihat betapa kakeknya itu meletakkan sebuah batu besar di depan kuburan itu sebagai batu nisan, kemudian menggunakan jari telunjuknya untuk menggores-gores permukaan batu yang halus dengan huruf-huruf indah yang berbunyi, MAKAM KOK BENG LAMA. Diam-diam dia kagum dan juga girang. Kakeknya ternyata adalah seorang yang luar biasa saktinya, juga seorang kakek yang berhati mulia! Mereka melanjutkan perjalanan dan Cia Keng Hong melihat betapa anak itu diam saja, padahal tubuhnya masih penuh dengan hawa mukjijat itu. Anak ini benar-benar hebat, pikirnya. Anak lain tentu akan mengeluh, dan mungkin sekali mengamuk atau melakukan hal-hal aneh, apa lagi setelah diketahuinya bahwa ada tenaga hebat di dalam tubuhnya. Dia mengajak Sin Liong mengaso duduk bersila di depannya. "Sin Liong, engkau tentu merasa bahwa ada sesuatu yang aneh dalam dirimu, bukan?" Anak itu segera mengangguk. "Di dalam seluruh tubuh saya terasa ada semacam hawa yang terus bergerak-gerak, locianpwe." "Dan engkau sudah tahu bukan, apa artinya itu?" "Locianpwe sudah memberi tahu bahwa tenaga sakti dari mendiang Kok Beng Lama telah pindah ke dalam tubuh saya." "Benar, dan engkau telah pula mengetahui rahasia Thi-khi I-beng. Biar pun kuberikan ilmu itu dalam keadaan mendesak, akan tetapi berarti engkau sudah mewarisi ilmu itu dariku. Ketahuilah bahwa puteraku sendiri, Cia Bun Houw, tidak mewarisi ilmu ini. Satu-satunya orang yang pernah mempelajarinya adalah Yap Kun Liong. Oleh karena itu, engkau boleh dibilang adalah seorang muridku, Sin Liong." Sin Liong menundukkan mukanya. "Terima kasih atas kebaikan locianpwe." "Aku tidak memberi kebaikan apa-apa. Hanya saja engkau harus berjanji. Tak sembarang orang boleh memiliki Thi-khi I-beng, dan sekarang sesudah engkau terlanjur memilikinya, maka engkau harus mengucapkan janji. Kalau tidak, terpaksa aku akan mencabut ilmu itu dengan merusak jalan darahmu, hal ini terpaksa agar kelak engkau tidak mendatangkan malapetaka bagi manusia di dunia." "Saya akan berjanji, locianpwe," jawab Sin Liong dengan alis berkerut. Untung bahwa yang bicara itu adalah Cia Keng Hong, atau lebih tepat lagi untung bahwa Sin Liong tahu bahwa kakek ini adalah kongkong-nya, karena andai kata tidak demikian, dia lebih memilih mati dari pada ditekan! "Kau harus bersumpah dan berjanji bahwa Thi-khi I-beng tak akan kau pergunakan untuk membunuh orang, kecuali dalam membela diri, dan juga kau harus berjanji bahwa engkau tak akan mengajarkan Thi-khi I-beng kepada siapa pun juga sebelum aku mati, dan kalau kelak terpaksa kau ajarkan kepada orang, maka engkau harus menyuruh dia bersumpah pula untuk mempergunakan demi kebaikan dan kebenaran." Sin Liong mengucap janji dan sumpahnya sehingga agak terhibur jugalah hati kakek itu. Setelah Sin Liong mengucapkan janjinya, keadaan menjadi hening dan akhirnya terdengar kakek itu berkata, "Dengan demikian, mulai sekarang engkau adalah muridku. Nah, sekarang perhatikan baik-baik dan dengarkan dengan penuh perhatian. Aku akan mengajarkan pertama-tama agar kau dapat menyimpan dan menyalurkan hawa yang amat dahsyat di dalam tubuhmu itu, karena kalau tidak, tubuhmu yang masih muda dan lemah tidak akan kuat bertahan dan engkau takkan dapat hidup lama." Kakek itu lalu mengajarkan cara-cara menghimpun tenaga sakti itu, cara bersemedhi dan mengatur pernapasan. Selama semalam suntuk kakek itu menggembleng sehingga Sin Liong mengerti benar dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Liong masih duduk bersemedhi. Dia sudah mulai merasakan betapa tubuhnya tidak begitu hebat lagi menderita kelebihan tenaga sakti itu, sungguh pun gerakannya masih kaku karena dia merasa kadang-kadang hawa itu hendak membawanya terbang ke angkasa, kadang-kadang pula mendatangkan berat yang hampir tak dapat terbawa oleh tubuhnya. Melihat keadaan anak itu, Cia Keng Hong maklum bahwa bagaimana pun juga, anak ini memerlukan tempat istirahat untuk terus berlatih mengendalikan hawa sakti yang terlalu kuat untuk tubuhnya itu. Karena itu dia mengambil keputusan untuk cepat pulang saja ke Cin-ling-san, biar pun hatinya masih amat penasaran dan menyesal bahwa dia belum juga berhasil menemukan Lie Ciauw Si, cucunya yang pergi mencari Bun Houw itu. Dia sendiri pun perlu istirahat untuk memulihkan tenaga. *************** Saat mereka mulai mendaki puncak Cin-ling-san, hati Sin Liong dilanda kegembiraan dan juga keharuan. Kakeknya tidak banyak bercerita tentang Cin-ling-san, maka dia pun tidak tahu apakah ayah kandungnya berada di tempat itu, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, dan ketika dia tiba di daerah pegunungan ini, merasa betapa tempat ini adalah tempat ayah kandungnya, dia merasa gembira dan terharu. Maka dalam kegembiraannya itu dia berjalan sambil menoleh ke kanan kiri, memperhatikan setiap keadaan di sekeliling pegunungan itu. Dari lereng telah nampak bangunan di puncak Cin-ling-san, yaitu bangunan yang menjadi tempat atau pusat dari Cin-ling-pai. Akan tetapi pagi hari itu sunyi saja di daerah puncak. Memang kini Cin-ling-pai tidaklah seramai dahulu. Apa lagi semenjak isterinya meninggal, Cia Keng Hong lalu menyuruh semua anggota Cin-ling-pai supaya meninggalkan puncak dan para murid atau anggota Cin-ling-pai lalu tersebar di mana-mana, banyak yang masih tinggal di kaki Pegunungan Cin-ling-pai dan hidup sebagai petani-petani. Cia Keng Hong tadinya hanya tinggal berdua saja bersama cucunya, yaitu Lie Ciauw Si, dilayani oleh dua orang pelayan wanita. Kakek ini serta cucunya sendiri turun tangan di kebun menanam sayur-mayur. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja para murid kadang-kadang naik ke puncak mengunjungi ketua mereka. Ketika Cia Keng Hong dan Sin Liong mendaki puncak, di puncak sudah menanti empat orang. Dari jauh Sin Liong melihat bahwa mereka itu adalah dua orang pria dan dua orang wanita yang menunggu kedatangannya kakek itu dengan wajah gembira, dan dia melihat betapa kakek itu mengeluarkan seruan tertahan kemudian dengan cepatnya tubuh kakek itu melesat ke atas puncak. Sin Liong juga berlari mengikutinya dan dia melihat betapa kakek itu kini berhadapan dengan mereka berempat, memandang dengan mata terbelalak kepada seorang di antara mereka, seorang laki-laki tampan yang berdiri dengan kepala agak tunduk. "Kau...? Kau...!" Dan tiba-tiba Cia Keng Hong terhuyung dan jatuh terguling! Pria tampan gagah berusia tiga puluh tahun lebih itu bukan lain adalah Cia Bun Houw dan wanita cantik jelita di sampingnya yang usianya satu dua tahun lebih muda itu adalah isterinya, Yap In Hong! Ada pun pria dan wanita lain yang berada di situ adalah Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Cia Bun Houw, putera bungsu dari ketua Cin-ling-pai itu, pergi meninggalkan ayah bundanya pada saat Cia Keng Hong menentang puteranya yang hendak menikah dengan Yap In Hong, karena putera bungsunya itu telah ditunangkan dengan orang lain. Ayah dan anak ini bersikeras mempertahankan kehendak mereka sendiri sehingga akhirnya Bun Houw pergi bersama In Hong dan menjadi suami isteri tanpa perkenan orang tua! Kepergian Bun Houw inilah yang menghancurkan hati Cia Keng Hong dan isterinya, sampai isterinya meninggal dunia karena sejak kepergian pemuda itu, tidak pernah ada berita lagi. Ketika Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai itu, mendengar bahwa puterinya Lie Ciauw Si yang ikut dengan kakeknya di Cin-ling-san untuk belajar silat dan menemani kakeknya, pergi meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi mencari pamannya, hatinya menjadi gelisah! Maka dia lalu pergi kepada pendekar Yap Kun Liong, pria yang sesungguhnya dicintanya itu, dan meminta pertolongan Yap Kun Liong untuk pergi mencari adiknya, Cia Bun Houw yang telah membuat orang tuanya berduka itu. Pergilah pendekar Yap Kun Liong hingga akhirnya dia dapat menemukan Cia Bun Houw serta Yap In Hong yang ternyata mengasingkan diri dan tinggal jauh di sebelah selatan. Yap Kun Liong lalu membujuk Cia Bun Houw untuk pulang ke utara menengok ayahnya. Bun Houw yang mendengar akan kematian ibunya dan kedukaan hati ayahnya, bersama isterinya lalu ikut dengan Kun Liong pergi ke utara. Mereka berhenti dahulu di Sin-yang, kemudian diantar pula oleh Cia Giok Keng, mereka semua pergi ke Cin-ling-san. Setelah sampai di puncak itu, mereka menemukan tempat itu kosong sehingga mereka menanti di situ selama dua hari. Demikianlah, pada pagi hari itu mereka berempat menyambut kedatangan Cia Keng Hong yang pulang bersama seorang anak laki-laki yang tidak mereka kenal. Akan tetapi, Cia Keng Hong yang baru saja kehilangan tenaga dan masih terluka meski pun sudah mulai sembuh, luka di sebelah dalam sebagai akibat pertandingannya dengan Kok Beng Lama, begitu melihat Bun Houw, jantungnya tergetar hebat. Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa gembira, rasa terharu, juga rasa marah dan mendongkol bercampur duka teringat akan isterinya, membuat dia tidak dapat menahan lagi dan dia jatuh terguling dan pingsan dalam rangkulan Cia Giok Keng yang tadi cepat menubruk dan menyambut tubuh ayahnya yang terguling. Melihat ini, Sin Liong terbelalak dan marah bukan main. Dia tadi melihat betapa kakek itu memandang kepada lelaki gagah yang berbaju kuning dan menggerak-gerakkan tangan ke arah laki-laki itu, maka sudah tentu laki-laki itulah yang telah membuat kakeknya roboh dan mungkin mati itu. Kemarahan memenuhi hatinya dan Sin Liong sudah menerjang ke depan sambil berteriak, "Kau manusia jahat...!" Semua orang merasa terkejut, terutama sekali Cia Bun Houw sendiri yang melihat dirinya diserang oleh anak yang datang dengan ayahnya tadi. Hati empat pendekar yang berilmu tinggi itu lebih terkejut lagi saat melihat betapa tubuh anak laki-laki tanggung itu bergerak luar biasa cepatnya dengan gaya seperti seekor harimau menubruk, atau seperti seekor binatang buas lainnya, dan ketika tangan kirinya mencengkeram ke arah leher Bun Houw dan tangan kanannya memukul ke arah dada, ternyata gerakan anak itu mendatangkan hawa pukulan yang luar biasa kuatnya sehingga terdengar angin menyambar dahsyat! "Ehhh...!" Cia Bun Houw mengelak cepat dan kaget sekali. Bagi pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini, tentu saja serangan Sin Liong itu tidak merupakan bahaya, akan tetapi pendekar ini terkejut melihat betapa seorang anak kecil yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun ini bisa memiliki tenaga sinkang sedahsyat itu, juga kecepatan yang luar biasa walau pun gerakannya ketika menyerang lebih patut gerakan seekor binatang buas dari pada gerakan silat. Akan tetapi, begitu serangannya luput, Sin Liong telah membalik dan kembali menyerang lebih dahsyat, menggunakan pukulan dengan pengerahan tenaga seperti yang diajarkan oleh kakeknya sehingga kini dia dapat mengerahkan tenaga yang terkumpul di pusarnya itu. Tenaga dahsyat yang hangat dan hidup mengalir ke dalam lengan sampai ke ujung-ujung jarinya ketika dia memukul sambil mengerahkan tenaga. Terdengar suara bercuitan dan kembali Bun Houw amat terkejut karena angin pukulan dari anak itu benar-benar dahsyat, seperti pukulan seorang ahli sinkang yang amat kuat! Dengan hati penuh keheranan dan keinginan tahu, pendekar ini lantas menggerakkan lengannya menangkis, dengan maksud untuk mengukur sampai di mana kekuatan anak yang luar biasa ini. "Dukkk!" "ihhhhh...!" Kini Cia Bun Houw mengeluarkan teriakan. Hati siapa yang tidak akan terkejut ketika dua lengan itu bertemu, selain dia merasakan kekuatan yang sangat dahsyat, yang tidak patut dimiliki oleh seorang bocah berusia dua belas atau tiga belas tahun, juga dia merasa betapa tenaga sinkang-nya tersedot ke luar! Itulah Thi-khi I-beng! Ataukah ada ilmu iblis lain yang juga bisa menyedot sinkang lawan? Sebagai murid terkasih dari Kok Beng Lama, dengan hanya sekali mengerahkan tenaga membetot, tentu saja lengannya dapat terlepas dari lekatan lengan lawan yang memiliki daya sedot, dan dia memandang dengan mata terbelalak kepada anak itu. Akan tetapi Sin Liong tak peduli orang terheran-heran. Dia tidak tahu sama sekali bahwa orang itu kagum dan terkejut melihat kehebatan tenaganya, dan dia merasa penasaran mengapa dia belum berhasil menghantam orang yang sudah membuat kakeknya sampai roboh pingsan itu. "Orang jahat kau...!" Dia berteriak lagi dan kini kembali dia menubruk, dengan gerakan yang ganas. Bun Houw kembali mengelak dan pada saat itu pula nampak bayangan berkelebat, lantas jari-jari tangan yang runcing mungil meluncur dan menotok pundak Sin Liong yang luput menyerang lawannya tadi. "Dukkk!" "iihhhh...!" Wanita cantik itu, Yap In Hong, terkejut bukan main. Karena tadinya dia memandang rendah kepada seorang bocah yang disangkanya hanya liar dan ganas, dia tentu saja menotok tanpa menggunakan tenaga sakti, khawatir kalau sampai membunuh anak itu. Akan tetapi ketika jari tangannya bertemu pundak Sin Liong yang ketika itu sedang mengerahkan tenaga, In Hong merasa betapa tenaga kasarnya membalik dan jari-jari tangannya terasa nyeri bukan main! Barulah dia tahu mengapa suaminya kelihatan terkejut dan terheran-heran, ragu-ragu, kini dia mengerti bahwa memang bocah ini luar biasa sekali, memiliki tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya. Maka dia pun menjadi marah dan kini tangannya kembali melayang, sekali ini mengandung tenaga sinkang yang kuat, bahkan dia mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh. "Dessss...!" Anak itu terpelanting dan roboh dengan tubuh lemas karena jalan darahnya tertotok. Akan tetapi, Sin Liong yang marah itu merasa betapa tenaga dan hawa aneh di dalam pusarnya bergolak, mendorong-dorong akan tetapi tidak mampu menembus jalan darah yang sudah tertotok. Dia sama sekali tidak menjadi jeri, bahkan matanya melotot memandang kepada Bun Houw dan In Hong yang menghampirinya, memandang penuh kebencian. "Kalian tunggu saja...," desisnya, "jika locianpwe Cia Keng Hong sampai mati, maka aku bersumpah kelak aku akan membunuh kalian berdua manusia-manusia jahat!" Sepasang matanya mencorong seperti naga sakti. "Aku benci kalian! Aku benci kalian...!" Melihat sinar mata yang penuh nafsu membunuh, seperti mata seekor harimau kelaparan yang marah, diam-diam In Hong bergidik. "Bocah setan ini perlu dihajar!" katanya dan dia sudah mengangkat tangannya untuk menampar. "Tahan, jangan pukul dia!" Bun Houw berseru menahan isterinya yang lalu menurunkan kembali tangannya sambil menoleh kepada suaminya. Mengapa suaminya melarang dia memukul anak yang mengeluarkan ancaman mengerikan itu? Melihat pandangan mata isterinya, Bun Houw cepat-cepat berkata, "Aku melihat dia tadi menggunakan Thi-khi I-beng." Mendengar ini, In Hong terkejut dan terheran-heran, akan tetapi mereka berdua segera menghampiri kakek Cia Keng Hong yang sudah mulai siuman. "Ah, kau datang, kalian datang semua... ah, aku agak lelah..." Akhirnya kakek itu bangkit duduk. "Ayah, engkau harus beristirahat dulu. Nanti saja kita bicara..." Cia Giok Keng kemudian merangkul dan memapah ayahnya, dibantu oleh Bun Houw. Namun kakek itu tidak mau dipondong dan dengan dipapah oleh kedua orang anaknya, dia melangkah tertatih-tatih memasuki pondoknya. Cia Keng Hong jatuh sakit! Beberapa kali dia jatuh pingsan dan terserang demam. Bun Houw dan enci-nya yang memeriksa, mendapat kenyataan bahwa tenaga ayah mereka itu berkurang banyak sekali, menjadi lemah, dan di sebelah dalam tubuh ayah mereka itu mengalami guncangan hebat dan seperti orang baru sembuh dari luka parah di dalam tubuh. Akan tetapi mereka belum dapat bicara dengan ayah mereka dan dengan penuh ketelitian kedua orang anak itu merawat ayah mereka, dibantu oleh Yap In Hong serta kakaknya, Yap Kun Liong. Seperti sudah diketahui jelas oleh para pembaca cerita Dewi Maut, isteri dari Cia Bun Houw, Yap In Hong, adalah adik kandung pendekar Yap Kun Liong. Dan semenjak Bun Houw dan isterinya ini meninggalkan orang tuanya, belasan tahun yang lalu, kakak dan adik ini pun tidak pernah saling jumpa, apa lagi karena Kun Liong juga selama ini hanya menyembunyikan diri saja di rumahnya, yaitu di Leng-kok. Biar pun antara Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng terdapat perasaan cinta kasih yang mendalam, duda dan janda ini tidak melanjutkan hubungan itu dengan hubungan jasmani, melainkan hanya saling mencinta saja di dalam hati masing-masing. Maka kini, pertemuan antara mereka semua tentu saja mendatangkan percakapan yang asyik, saling menuturkan keadaan mereka masing-masing. Hanya keadaan kakek ketua Cin-ling-pai itu yang menimbulkan prihatin dalam hati mereka, dan juga, anak aneh yang datang bersama ketua Cin-ling-pai itu tidak mau banyak membuka mulut, hanya berwajah muram dan ikut pula menjaga kakek yang sedang sakit itu. Yap Kun Liong telah menasehatkan yang lain agar jangan sembarangan terhadap bocah ini, karena dia pun menduga bahwa tentu ada rahasia di balik kedatangan bocah ini, dan tentu ada hubungan erat antara bocah itu dan pendekar sakti Cia Keng Hong, apa lagi ketika dia mendengar bahwa anak itu agaknya pandai Thi-khi I-beng. "Kita tunggu saja sampai Cia-locianpwe sudah sembuh kembali dan menceritakan siapa adanya anak itu," kata pendekar ini dan yang lain-lain merasa setuju. Anak itu benar-benar sangat luar biasa. Kalau ditanya, hanya memandang dengan mata mendelik marah karena Sin Liong memang merasa tidak suka kepada empat orang ini, terutama terhadap Cia Bun Houw dan isterinya yang dianggapnya jahat karena sudah membuat kakeknya roboh pingsan dan sakit. Dia tidak tahu siapa mereka dan juga tidak ingin tahu, dan dia pun tidak suka memperkenalkan diri ketika ditanya. Dia pun hendak menanti sampai kakek itu sembuh, baru dia akan mengambil keputusan apakah akan terus tinggal di situ ataukah akan pergi. Hanya terhadap Yap Kun Liong dia tidak begitu dingin dan ketus, karena pendekar yang usianya sudah empat puluh delapan tahun ini bersikap manis budi kepadanya. Bahkan hanya dari Yap Kun Liong saja dia mau menerima makanan. Biar pun dia diberi sebuah kamar, akan tetapi dia tidak mau tidur di kamarnya, sebaliknya dia terus berada di kamar Cia Keng Hong dan di sana dia duduk bersila, bersemedhi seperti yang telah diajarkan oleh kakek itu kepadanya. Dan dia pun tidur dalam keadaan bersila. Melihat cara anak itu bersemedhi, makin yakinlah hati empat orang pendekar itu bahwa anak ini pasti memiliki hubungan yang erat dengan ketua Cin-ling-pai. Ternyata guncangan batin ketika dia melihat wajah puteranya itulah yang membuat Cia Keng Hong jatuh sakit. Ketika dia mengadu ilmu melawan Kok Beng Lama, dia sudah merasa bahwa dia terluka di sebelah dalam tubuhnya, apa lagi sesudah sebagian tenaga sinkang-nya tersedot oleh kekuatan dahsyat yang mengeram di dalam tubuh Sin Liong. Sungguh pun kemudian dia dapat menyedot kembali tenaga dari tubuh Sin Liong dengan menggunakan Ilmu Thi-khi I-beng dan dengan demikian selain menyelamatkan Sin Liong juga memulihkan kembali tenaganya, akan tetapi luka yang dideritanya belumlah sembuh sama sekali. Maka ketika menerima guncangan hebat dan mendadak dalam perjumpaan yang tak disangka-sangkanya dengan puteranya itu, dia lalu jatuh pingsan dan jantungnya yang sudah tua itu mengalami tekanan berat yang membuat dia jatuh sakit. Setelah sepekan dirawat dengan penuh perhatian oleh putera dan puterinya, barulah Cia Keng Hong sembuh dari demam dan ingatannya kembali. Biar pun tubuhnya masih lemah namun dia sudah dapat bangun duduk dan bicara. Ketika melihat Sin Liong sedang duduk bersila di sudut kamar, Cia Keng Hong tersenyum dan wajahnya berseri. Dia mengangguk-angguk dan berkata kepada Bun Houw dan Giok Keng, "Bantu aku keluar, aku ingin duduk di luar pondok, di tempat terbuka yang sejuk." Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw lalu memapah ayah mereka itu, membawanya keluar. Di bawah sebatang pohon pek di depan pondok itu memang terdapat sebuah batu halus yang menjadi tempat duduk dan tempat semedhi kakek ini. Di sanalah dia duduk bersila dan empat orang pendekar itu pun duduk di atas tanah di depannya. "Sin Liong, kau ke sinilah..." kata kakek itu kepada Sin Liong yang ikut pula keluar dengan sikap sungkan, karena dia merasa bahwa dia adalah seorang pendatang baru yang asing. Namun hatinya lega melihat bahwa ternyata empat orang itu bukanlah musuh kakeknya. Mendengar ucapan kakek itu, Sin Liong cepat menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, lalu duduk bersila pula di depan batu besar yang diduduki kakek itu. Sejenak keadaan di situ sunyi. Udara pagi itu cerah dan hangat oleh sinar matahari pagi. Angin gunung mendatangkan kesejukan di bawah pohon itu dan mereka semua seperti tenggelam dalam keheningan yang maha luas. Cia Keng Hong memandang ke kanan dan kedua alisnya berkerut, hatinya diliputi penuh keharuan dan penyesalan. Melihat puteranya sekarang telah menjadi seorang pria yang matang, berusia tiga puluh tahun lebih, duduk bersila di dekat Yap In Hong yang memang cantik jelita dan gagah, dia pun melihat kesalahan yang telah dilakukannya belasan tahun yang lalu. Sudah jelas bahwa puteranya itu saling mencinta dengan wanita itu, mengapa dia dahulu berkeras tidak menyetujui perjodohan mereka? Padahal, mereka itulah yang akan saling berjodoh, yang akan hidup berdua selamanya, juga mereka berdualah yang akan hidup bersama membagi suka duka bersama-sama. Perjodohan adalah urusan mereka berdua, dengan hak dan kewajiban mereka berdua sepenuhnya pula. Mengapa dia ikut campur tangan, mengapa dia hendak mengatur kehidupan kedua orang itu, ingin menyesuaikan mereka berdua untuk menyenangkan hatinya? Alangkah bodohnya dia, dan alangkah bodohnya orang-orang tua yang ingin mencampuri urusan perjodohan anak-anak mereka! Memang dahulu dia mempunyai alasan kuat untuk menentang, mengingat betapa Yap In Hong sendiri pernah memutuskan pertunangannya dengan Bun Houw, dan ke dua betapa Bun Houw telah ditunangkan dengan gadis lain. Akan tetapi, segala macam alasan itu sesungguhnya hanyalah untuk mempertahankan pendiriannya atau kesenangan dirinya pribadi. Kini nampak jelas olehnya dan dia merasa menyesal sekali. Dan pada saat dia menoleh ke kiri, dia melihat si duda, Yap Kun Liong duduk bersanding dengan puterinya, Cia Giok Keng yang sudah menjadi janda, maka hatinya pun tertusuk keharuan bercampur kekaguman. Dua orang itu benar-benar memiliki cinta kasih yang murni, cinta kasih yang sama sekali tidak dikotori oleh nafsu birahi. Betapa mereka saling mencinta, dia bisa merasakannya, tapi keduanya tetap bertahan dan hanya berhubungan sebagai dua orang sahabat yang saling mencinta. Benar-benar mengagumkan dan patut dipuji kedua orang itu! Kemudian dia memandang ke depan, kepada Sin Liong. Bocah ini juga mengagumkan! Senanglah hati Cia Keng Hong karena biar pun sejak tadi tidak pernah ada yang bicara sepatah kata pun, namun dalam keadaan sehening dan seindah itu, memang kata-kata tidak banyak gunanya lagi. "Sin Liong, setelah beberapa hari engkau berada di sini, apakah engkau sudah mengenal siapakah adanya mereka ini?" Dia menoleh ke kanan dan kiri. Empat orang pendekar itu memandang kepada Sin Liong dan anak itu pun menoleh dan memandang kepada mereka dengan wajah yang masih muram. Dia menggeleng kepala. "Saya belum mengenal mereka, locianpwe," jawabnya kemudian. "Ahh! Engkau belum mengenal mereka? Kau lihatlah baik-baik, Sin Liong, yang duduk di sebelah kirimu itu adalah puteraku yang bernama Cia Bun Houw dan isterinya!" Kakek itu berhenti karena tiba-tiba Sin Liong menoleh ke kiri dan sepasang matanya mencorong aneh ketika dia memandang kepada Bun Houw. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang tahu betapa kagetnya hati Sin Liong ketika mendengar perkenalan itu. Jadi lelaki gagah itu adalah ayah kandungnya! Dan beberapa hari yang lalu dia telah menyerang orang itu sebagai orang yang dibencinya! Kiranya ayah kandungnya, yang oleh mendiang ibu kandungnya dipuji-puji sebagai pendekar sakti itu. Akan tetapi mengapa ayah kandungnya itu duduk di sana bersama wanita cantik yang diperkenalkan sebagai isteri ayahnya itu? Dan wanita itu telah turun tangan menotoknya! Sekarang dia memandang kepada Yap In Hong dengan pandang mata penuh kebencian. Ketika Bun Houw dan In Hong memandang Sin Liong, mereka melihat sinar mata anak itu dan keduanya terkejut sekali. "Ihhh...!" In Hong mengeluarkan seruan lirih dan Bun Houw mengerutkan alisnya. Cia Keng Hong juga merasa heran melihat sikap Sin Liong itu, maka dia bertanya. "Ada apakah Sin Liong?" Sin Liong tidak menjawab, hanya memandang kepada Bun Houw dan In Hong dengan sinar mata aneh. Kini tanpa disadarinya, sepasang mata yang menyinarkan kebencian itu menjadi basah dan dua titik air mata mengalir keluar. Melihat ini, Bun Houw langsung berkata, "Ayah, dia salah sangka terhadap kami berdua. Ketika ayah terkejut dan tidak sadarkan diri, dia langsung menyerangku, dan aku heran sekali melihat dia memiliki sinkang yang luar biasa, bahkan memiliki Thi-khi I-beng!" Cia Keng Hong tersenyum dan mengangguk-angguk mengerti. "Ahh, kiranya begitukah? Sin Liong, engkau salah duga. Dia bukanlah musuh, dia adalah puteraku. Hayo kau cepat minta maaf, biar pun kau melakukan hal itu tanpa kau sadari." Sin Liong menunduk, lalu menghadap kakek itu dan berkata, "Maafkan saya, locianpwe." Dia tidak minta maaf kepada Bun Houw, melainkan kepada kakeknya! Memang hati anak ini luar biasa kerasnya. Dia telah bertemu dengan ayah kandungnya, akan tetapi melihat kenyataan pahit betapa ayah kandungnya yang sudah meninggalkan ibu kandungnya dan bahkan menjadi suami dari wanita lain, mana mungkin hatinya tidak diliputi kekecewaan dan kebencian? "Dan yang duduk di sebelah kiri itu adalah puteriku, Sin Liong. Namanya Cia Giok Keng. Sedangkan pria itu adalah Yap Kun Liong, kakak ipar dari puteraku Bun Houw, juga dia boleh dibilang muridku karena hanya dia seorang yang pernah mewarisi Thi-khi I-beng dariku, di samping engkau sendiri, sekarang engkau telah menjadi muridku, maka engkau adalah sute mereka, sute paling kecil." Kakek itu mengangguk-angguk senang. Hatinya gembira sekali, terutama karena dia dapat melihat puteranya kembali. "Ayah, siapakah anak ini dan bagaimana asal mulanya sampai dia dapat memiliki sinkang sedemikian hebatnya, dan telah mewarisi Thi-khi I-beng pula?" tanya Bun Houw. Betapa pun juga, dia merasakan sinar mata benci dari anak itu, oleh karena itu, dia pun memiliki perasaan tidak senang terhadap Sin Liong! "Memang aneh dia, dan banyak pula terjadi hal-hal aneh menimpanya. Pertama-tama, ketahuilah, Bun Houw, bahwa gurumu telah meninggal dunia." "Ahhh...!" Bun Houw berseru kaget. "Ihhh...!" In Hong juga berseru tertahan. Dia merasa sayang kepada kakek pendeta Lama itu. "Hemm...!" Yap Kun Liong juga menahan seruannya karena dia pun merasa amat kagum kepada ayah mertuanya itu. Kok Beng Lama adalah ayah mertua pendekar ini, karena mendiang isterinya, Pek Hong In, adalah puteri tunggal dari pendeta Lama itu. "Ayah, apakah yang telah terjadi? Bagaimana suhu sampai meninggal dunia? Apakah dia dibunuh musuh?" Ayahnya menggelengkan kepala. "Dia memang sudah tua dan pikun, Bun Houw, dan agaknya memang sudah tiba saatnya bagi Kok Beng Lama untuk meninggalkan dunia ini. Betapa pun juga, kematian itu terjadi karena kesalahannya sendiri." Dengan singkat ketua Cin-ling-pai itu menceritakan mengenai pertemuannya dengan Kok Beng Lama, betapa Kok Beng Lama memaksanya untuk mengadu tenaga sinkang dan betapa Sin Liong yang mencoba untuk melerai itu tanpa disengaja malah mewarisi seluruh tenaga dari Kok Beng Lama, sungguh pun hal itu juga hampir saja menewaskannya, dan betapa dia terpaksa membuka rahasia Thi-khi I-beng kepada anak itu untuk menolongnya. Empat orang pendekar itu mendengarkan dengan penuh keheranan dan kekaguman dan mereka kini memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata lain. Memang anak luar biasa, pikir mereka. "Bagus, kalau begitu engkau adalah sute-ku, Sin Liong!" Bun Houw berseru dengan hati girang. "Engkau she apakah?" Sejenak Sin Liong menatap wajah ayah kandungnya itu. Hampir saja dia menitikkan air matanya, dan ingin hatinya berteriak bahwa dia adalah putera pendekar itu. Akan tetapi, hatinya memang keras sekali. Melihat ayah kandungnya mempunyai seorang isteri dan meninggalkan ibu kandungnya, dia tidak mau memperkenalkan diri. Hatinya terasa nyeri, dia lupa bahwa ibu kandungnya juga mempunyai suami baru! "Aku tidak mempunyai she," jawabnya sambil menunduk. "Ehh, kenapa begitu aneh?" Giok Keng yang biar pun usianya sudah empat puluh tujuh tahun tetapi masih cantik dan juga hatinya masih keras itu berseru. "Lalu siapakah nama ayahmu?" Sejenak Sin Liong memandang kepada puteri kakeknya yang sebenarnya adalah bibinya itu, lalu dia menunduk dan menjawab singkat, "Aku tidak mengenal siapa ayah bundaku." Cia Keng Hong tersenyum. "Memang dia agak aneh. Dia tidak tahu siapa ayah bundanya, dan dia hanya ingat bahwa dia bekerja sebagai kacung pada keluarga Na-piauwsu. Akan tetapi, untuk bertanya tentang asal-usul anak ini kepada keluarga Na-piauwsu juga tidak mungkin karena keluarga Na itu dibunuh oleh musuh-musuhnya. Anak ini dibawa oleh seorang wanita kejam yang bernama Kim Hong Liu-nio, seorang wanita yang benar-benar mempunyai kepandaian yang mengejutkan dan entah mengapa wanita iblis itu demikian bencinya kepada Sin Liong sehingga menyiksanya dan aku telah membebaskannya dari tangan wanita itu." "Sin Liong, siapakah wanita itu?" tanya Yap Kun Liong yang merasa tertarik karena dia pun tidak mengenal tokoh kang-ouw bernama Kim Hong Liu-nio itu. Kalau ada seseorang tokoh sampai dipuji kepandaiannya oleh Cia Keng Hong, sudah pasti bahwa tokoh itu bukan orang sembarangan dan kepandaiannya tidak boleh dibuat main-main. Sin Liong memang tidak ingin menceritakan banyak-banyak tentang dirinya, akan tetapi karena semua orang memandang padanya dan sinar mata mereka menunjukkan bahwa mereka itu ingin sekali mendengar tentang Kim Hong Liu-nio, dia kemudian teringat akan tantangannya terhadap Kim Hong Liu-nio dan dengan lantang dia lalu berkata, "Saya tidak mengenalnya. Pada waktu keluarga Na-piauwsu diserbu musuh dan dibunuh, dia muncul dan dia membunuh semua musuh keluarga Na itu lalu menangkap saya dan membawa saya pergi ke hutan di mana Cia locianpwe menolong saya. Akan tetapi, saya mendengar dia berkata-kata seorang diri bahwa dia akan membunuh semua orang yang she Cia, Yap dan Tio." "Ehhh?" "Ahhh?" "Heiii...?!" Seruan-seruan itu keluar dari mulut Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Mereka pun saling pandang, lalu memandang kembali kepada anak itu. Sin Liong merasa senang melihat mereka terkejut. Kalau benar mereka ini adalah pendekar-pendekar besar, ingin dia melihat wanita iblis yang lihai itu berhadapan dengan mereka. "Sungguh aneh sekali! Mengapa justru she-she dari kita yang dimusuhinya?" tanya Cia Bun Houw sambil memandang Yap In Hong. "Dan she Tio itu bukanlah ada hubungannya dengan Tio Sun twako?" tanya pula Yap In Hong. "Ahhh, sekarang aku ingat...!" Tiba-tiba kakek ketua Cin-ling-pai itu berkata. "Ya, benar. Tadinya aku merasa heran mengapa aku sampai tidak mengenal dasar ilmu silatnya. Kini, setelah mendengar bahwa dia memusuhi kita dan juga Tio Sun, teringatlah aku. Sudah tentu wanita itu ada hubungannya dengan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Benar, ilmu silatnya memang mempunyai dasar ilmu silat dua orang iblis tua itu!" "Akan tetapi mereka itu sudah mati!" Yap In Hong berkata. "Pek-hiat Mo-ko telah tewas olehmu dan Hek-hiat Mo-li terluka parah olehku." Dia bicara kepada Bun Houw. Bun Houw mengangguk-angguk. "Jika memang ada hubungannya dengan mereka, tentu ada hubungannya dengan Hek-hiat Mo-li. Pek-hiat Mo-ko jelas sudah mati, akan tetapi Hek-hiat Mo-li belum tewas biar pun terluka parah, akan tetapi dia diselamatkan dengan datangnya Raja Sabutai. Mungkin dia adalah murid dari Hek-hiat Mo-li yang masih selalu menaruh dendam terhadap kita." Bun Houw mengerutkan alisnya, dan teringatlah akan peristiwa belasan tahun yang lalu ketika dia dan In Hong mengalahkan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dalam pertandingan mati-matian. Cia Keng Hong juga mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya. "Kiranya begitu... ilmunya lihai bukan main dan sesudah mempergunakan Thi-khi I-beng baru aku berhasil menundukkannya. Akan tetapi dia segera mengenal ilmu itu dan mengenalku, lalu pergi. Agaknya tentu Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakangnya. Hemmm, musuh sudah mulai keluar dari sarang dan mencari gara-gara, harap kalian suka berhati-hati," katanya sambil memandang kepada dua pasang pendekar itu. Empat orang pendekar itu tinggal di Cin-ling-san sampai kakek itu sama sekali sembuh dari luka-lukanya. Dalam kesempatan itu, Cia Keng Hong secara bergiliran bicara berdua saja dengan dua orang anaknya. Pada waktu dia bertanya mengapa puteranya itu belum mempunyai keturunan, dia mendengar pengakuan dari Bun Houw yang berbicara dengan nada suara duka, dan pengakuan puteranya itu sangat mengejutkannya dan membuatnya terharu sekali. "Ayah, sebelum ayah memberi restu kepada kami berdua untuk menikah, mana mungkin kami berdua dapat menjadi suami isteri dan mempunyai anak?" Cia Keng Hong memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak. "Apa katamu?! Engkau dan In Hong... kalian... belum menjadi suami isteri?" Bun Houw mengangkat mukanya memandang kepada ayahnya, sepasang matanya jernih akan tetapi wajahnya agak pucat. "Ayah, kami berdua saling mencinta, saling menghormat, maka bagaimana mungkin kami saling merendahkan dengan jalan melakukan hubungan jinah? Biar pun kami telah hidup bersama selama belasan tahun ini, akan tetapi selama ayah masih ada, tanpa perkenan dari ayah atas perjodohan kami, mana mungkin kami berani melakukan hubungan yang akan menjadi perjinahan?" Sepasang mata yang terbelalak memandang itu kini menjadi sayu, bibir tua itu gemetar dan hati pendekar itu rasanya seperti ditusuk pedang. Sekarang terbukalah matanya dan tahulah dia betapa dahulu dia terlalu menuruti hati, terlalu mempertahankan kehendaknya sendiri sehingga dia mengorbankan puteranya yang menderita karena keangkuhannya. Dia memeluk puteranya, merangkul dan berbisik. "Houw-ji... kau maafkan aku... ahh, mendiang ibumu benar, aku terlalu keras kepala... aku telah membuatmu hidup menderita, kau maafkanlah aku, anakku..." Dua titik air mata membasahi mata pendekar sakti itu, sungguh hal yang luar biasa sekali, dan menandakan bahwa hati pendekar itu luar biasa sakitnya, tertindih oleh rasa sesal dan haru. "Tidak, ayah, sebaliknya akulah yang selama ini merasa berdosa dan membikin susah hati ayah," jawab Bun Houw lirih. "Aku yang bodoh, anakku, lupa akan keadaanku sendiri ketika masih muda. Ahhh, aku seperti buta dan lupa bahwa tak mungkin mengatur hati orang lain, dan aku bangga sekali mendengar betapa murni cinta antara kalian. Bun Houw, lekas kau panggil In Hong ke sini!" Bun Houw cepat pergi ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah kembali dengan In Hong. Melihat gadis itu, Cia Keng Hong makin terharu. Dia memegang tangan In Hong, memandang tajam dan berkata, "In Hong, kau maafkanlah aku, orang tua tidak tahu diri yang kukuh sehingga aku sudah membuat kalian berdua menderita. Kalau... kalau kalian masih mau menganggap dan mau menerima, biarlah detik ini aku menyatakan bahwa aku girang sekali kalian saling berjodoh! Kuharap kalian suka menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Sebelum aku mati, aku... aku... ingin sekali dapat melihat cucuku, putera dari kalian..." "Gak-hu...!" In Hong yang biasa menyebut locianpwe itu kini menyebut Ayah mertua dan menjatuhkan diri berlutut sambil meneteskan beberapa titik air mata. Keadaan tiga orang ini sungguh mengharukan, akan tetapi di dalam keharuan ini muncul sinar yang amat membahagiakan mereka bertiga, terutama di dalam hati Bun Houw dan In Hong sehingga dalam pertemuan pandang mata mereka, selain kasih sayang seperti biasanya, terdapat pula sinar yang membayangkan kegembiraan sekaligus juga perasaan malu-malu. Bun Houw segera berlutut di samping isterinya dan berkata, "Kami menghaturkan terima kasih kepada ayah atas kebijaksanaan ayah." Ucapan itu malah makin menusuk perasaan Cia Keng Hong, meski pun Bun Houw tidak bermaksud begitu. Dengan mata basah pendekar sakti yang sudah tua ini menggunakan kedua tangan meraba kepala putera dan mantunya, seperti hendak memberi berkah. "Ayahmu bersalah, ayahmu terlampau mementingkan perasaan dan keinginan hati sendiri sehingga kalian menderita dan menjadi korban selama belasan tahun. Ahh, anak-anakku, hendaknya peristiwa ini menjadi pelajaran bagi kalian berdua sehingga kelak kalian tidak melakukan kebodohan seperti yang sudah kulakukan ini, dan tidak membikin anak-anak kalian menderita..." Di samping mendatangkan kebahagiaan dalam hati dua orang yang saling mencinta itu, menjodohkan mereka sehingga mereka berdua bisa menjadi suami isteri secara sah oleh persetujuan orang tua, dapat menjadi suami isteri dalam arti kata yang sebenarnya, juga pendekar sakti Cia Keng Hong kemudian mengadakan pertemuan bertiga saja dengan puterinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong. Juga kepada dua orang yang sesungguhnya saling mencinta ini, Cia Keng Hong memberi 'lampu hijau'. Antara lain dia berkata dengan nada suara sungguh-sungguh dan yang didengarkan oleh kedua orang itu dengan muka menunduk. "Aku tahu bahwa kalian berdua saling mencinta, Kun Liong dan Giok Keng. Dan kalian adalah orang-orang bebas, seorang duda dan seorang janda. Oleh karena itu, yakinlah hati kalian bahwa aku akan merasa ikut berbahagia, apa bila kalian berdua dapat mengisi kekosongan hidup masing-masing dan menjadi suami isteri. Kalian berdua masih cukup muda untuk menikmati hidup, maka sudah selayaknyalah kalau saling mengisi dan saling menghibur. Nah, legalah kini hatiku, karena aku sudah menyatakan isi hatiku. Tentu saja pelaksanaannya terserah kepada kalian berdua." Di depan kakek tua renta itu, tentu saja Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng merasa malu untuk menjawab, akan tetapi terdapat sinar lain dalam pandang mata mereka pada waktu mereka saling bertemu pandang. Dan sinar-sinar mata ini pun dapat ditangkap oleh kakek Cia Keng Hong yang membuatnya tersenyum penuh kelegaan hati, seperti kelegaan hati seorang ayah yang melihat anak-anaknya hidup bahagia. Dua pasang pendekar itu tinggal di puncak Cin-ling-san, merawat Cia Keng Hong sampai kakek pendekar ini sembuh dari sakitnya. Selama beberapa hari itu, ada beberapa orang anggota Cin-ling-pai yang datang pula untuk menjenguk sehingga terjadilah pertemuan-pertemuan yang menggembirakan. Dalam kesempatan itu Cia Giok Keng mengusulkan kepada ayahnya apakah tak sebaiknya jika Cin-ling-pai dibangun kembali dan memanggil para anggota yang kini tinggal terpisah-pisah. cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum Kakek itu menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. "Tidak, Keng-ji. Tidak ada gunanya sama sekali. Kini nampak benar olehku betapa pendirian sebuah perkumpulan hanya berarti memisahkan diri dari orang-orang lain saja. Akan jauh lebih baik kalau kita menganggap dunia ini perkumpulan dan manusia adalah anggotanya! Dengan demikian, setiap orang manusia sebagai anggota perkumpulan besar itu akan selalu menjaga dunia, dan saling setia, saling mencinta antara manusia sebagai rekan hidup. Sebaliknya, kalau mendirikan perkumpulan-perkumpulan secara terpisah-pisah hanya akan mendatangkan lebih banyak permusuhan dan persaingan belaka. Tidak, biarlah Cin-ling-pai bubar saja, lebih baik begini...!" Diam-diam Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw melihat betapa ayah mereka telah berubah sama sekali. Dahulu, ayah mereka amat mementingkan nama dan kehormatan sehingga ayah mereka menentang perjodohan Bun Houw dengan In Hong karena hendak menjaga nama dan kehormatan pula. Sekarang, ayah mereka telah menjadi lunak dan mempunyai pandangan yang amat luas dan sama sekali tidak kukuh lagi. Dua pasang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu hampir setiap hari menjenguk makam ibu mereka, nyonya Cia Keng Hong. Pada suatu pagi, Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berdua saja bersembahyang di depan kuburan itu. Setelah selesai bersembahyang, mereka berdua lalu berjalan dan tanpa disadari mereka saling bergandengan tangan menuju ke pinggir jurang yang ditumbuhi rumput hijau yang gemuk. Mereka tak mengucapkan sepatah kata, akan tetapi jari-jari tangan mereka yang saling berpegang itu sudah bicara banyak. Mereka lalu duduk, saling berhadapan di atas rumput hijau di tepi jurang, saling memandang, kemudian Cia Giok Keng menundukkan mukanya ketika dia mulai berbicara, seolah-olah dia tidak dapat menatap wajah pria yang dicintanya itu. "Kun Liong, apa yang kau pikirkan?" Kun Liong memandang wajah yang menunduk itu. Baginya, wanita yang usianya sudah empat puluh tujuh tahun itu masih tampak seperti dulu, seperti ketika masih gadis remaja, masih tetap cantik menarik. "Giok Keng, agaknya apa yang berada dalam pikiranku tidak jauh bedanya dengan apa yang sedang kau pikirkan. Aku teringat akan pesanan ayahmu." Wajah yang memang masih jelas memperlihatkan raut yang cantik itu menjadi sedikit kemerahan, akan tetapi dengan berani Giok Keng mengangkat mukanya memandang. Kembali dua pasang mata bertemu dan melekat. Memang, di saat seperti itu, kata-kata dari mulut tidak lagi banyak artinya, bahkan terasa janggal dan kaku karena sinar mata lebih lancar menyatakan perasaan hati. "Lalu, bagaimana pendapatmu sendiri?" tanya Giok Keng, pertanyaan yang hanya untuk memecahkan kesunyian yang mendatangkan rasa kikuk baginya itu karena sebenarnya, tanpa bertanya pun dia sudah tahu apa yang menjadi isi hati Kun Liong. Mereka berdua memang saling mencinta, dan tidak ada kesenangan yang lebih besar dari pada perkenan ayahnya tadi yang bahkan menganjurkan supaya mereka berdua menjadi suami isteri. Membayangkan bahwa mereka berdua akan tinggal dalam satu rumah, akan selalu hidup berdampingan, akan membagi segala sesuatu yang mereka hadapi, dan juga bersama-sama menikmati kesenangan dan bersama-sama pula menanggung penderitaan, sungguh merupakan suatu hal yang amat menghibur dan membahagiakan hati. "Kau tahu alangkah akan bahagia rasa hatiku kalau kita selalu dapat saling berdekatan. Giok Keng, maukah engkau pergi bersamaku ke Leng-kok?" Giok Keng mengerutkan alisnya, berpikir sejenak kemudian berkata, "Sebetulnya, apakah bedanya bagi kita tinggal di Leng-kok atau di rumahku di Sin-yang? Di mana pun, asal kita berdua, apa bedanya?" Yap Kun Liong memegang tangan wanita itu dan menggenggamnya. "Engkau benar, aku meributkan soal-soal yang kecil saja. Jika memang engkau lebih suka tinggal di Sin-yang, aku pun tidak akan menolak tinggal di sana." Melihat betapa pria itu sudah memperlihatkan sikap mengalah. Giok Keng merasa tidak enak hati juga. Seolah-olah dia masih Cia Giok Keng yang dulu, yang keras hati sehingga kekerasan hatinya itulah yang dulu menggagalkan perjodohannya dengan Kun Liong, dan kekerasan hatinya pula yang mendatangkan atau mengakibatkan segala macam peristiwa hebat. Teringat akan ini, dia cepat berkata lagi. "Tentang di mana kita tinggal, kita lihat saja nanti. Bagiku, ke mana pun kau pergi dan tinggal, di situ aku merasa betah dan senang, Kun Liong. Akan tetapi, hatiku merasa tidak enak mendengar akan kepergian Ciauw Si yang mencari Bun Houw dan sampai kini belum pulang. Aku mempunyai keinginan untuk lebih dahulu pergi merantau mencari anakku itu sampai dapat. Engkau tentu tahu, Seng-ji dan Ciauw Si sekarang telah menjadi anak-anak yang telah dewasa. Dalam urusan antara kita ini, adalah bijaksana kalau aku lebih dulu memberitahukan kepada mereka. Mengertikah engkau?" Kun Liong menggenggam tangan itu. Ia mengangguk. "Tepat sekali. Memang semestinya demikian, Giok Keng. Aku pun akan merasa tidak enak apa bila mereka tidak diberi tahu terlebih dulu. Kalau begitu, aku akan membantumu mencari puterimu itu. Dan bagaimana dengan puteramu?" "Dia akan pulang kalau sudah tamat belajar dari Kok Beng Lama. Dan kurasa sekarang memang sudah tiba saatnya dia akan pulang. Kalau begitu, mari kita pergi mencari Ciauw Si besok. Ayah juga sudah sembuh." Demikianlah, pada keesokan harinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong berpamit kepada kakek Cia Keng Hong untuk pergi mencari Ciauw Si. Kakek tua itu langsung menyatakan persetujuannya. Dalam kesempatan ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong juga berpamit untuk kembali ke selatan. Karena merasa bahwa dia sudah sembuh, hanya tinggal memulihkan tenaganya saja, Cia Keng Hong sama sekali tidak menahan, bahkan diam-diam dia merasa gembira karena kepergian kedua pasang anak-anaknya itu disertai dengan pancaran kebahagiaan pada wajah mereka! Dia merasa bahagia sekali dan ketika kedua pasang pendekar itu berpamit kemudian pergi, dia mengikuti bayangan mereka berempat dengan pancaran sinar mata penuh kebahagiaan. Sin Liong yang duduk bersila di dekatnya juga memandang dengan sinar mata sayu. Tak seorang pun di antara mereka tahu betapa anak ini menderita tekanan batin yang cukup hebat, melihat ayah kandungnya pergi tanpa menoleh sedikit pun padanya, bahkan tanpa mengetahui bahwa dia adalah anak kandungnya! Ingin dia berteriak, ingin dia mengaku akan keadaan dirinya sebelum ayahnya pergi, tapi anak ini tetap duduk bersila dan menggigit bibir untuk menahan dorongan hati yang ingin berteriak itu sampai akhirnya bayangan empat orang itu lenyap di sebuah tikungan. "Ehh, kenapa kau menangis?" Pertanyaan ini mengejutkan hati Sin Liong. Tanpa disadarinya, ketika melawan dorongan hatinya tadi, dia sudah menggigit bibirnya dan ada dua titik air mata meloncat keluar ke atas pipinya. "Menangis? Apakah saya menangis, locianpwe?" tanyanya sambil menggerakkan tangan mengusap dua titik air mata itu. Kakek itu lalu tersenyum maklum. Tentu anak ini diam-diam merasa suka kepada kedua putera dan puterinya, dan kini merasa berduka melihat mereka pergi. Kasihan sekali anak ini. Hidup sebatang kara di dunia yang luas dan penuh dengan kekerasan dan kekejaman ini. "Sin Liong, jangan khawatir. Sesudah engkau memiliki sinkang yang diwariskan oleh Kok Beng Lama kepadamu, sesudah engkau memiliki Thi-khi I-beng, dan dalam waktu dekat aku akan mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi kepadamu, kelak engkau mampu menjaga diri sendiri dan dapat mengembara ke mana pun sebagai seorang pendekar, seperti kedua anakku itu." Sin Liong tidak menjawab, melainkan segera berlutut di depan kakeknya itu. Dia kagum kepada kakeknya ini, sangat menghormatnya, dan sangat sayang kepada kakeknya yang dianggap merupakan seorang manusia budiman yang amat baik kepadanya. "Terima kasih, locianpwe, terima kasih..." Diam-diam Cia Keng Hong merasa heran mengapa anak ini tidak pernah menyebut suhu kepadanya, akan tetapi karena dia sekarang tidak lagi mau mempedulikan tentang segala macam upacara dan sebutan, dan karena dia pun tahu bahwa Sin Liong adalah seorang anak yang aneh sekali, maka dia pun tidak pernah menegurnya. Baginya tak ada bedanya apakah dia akan disebut locianpwe ataukah suhu, sebab mata pendekar sakti yang tua ini mulai terbuka bahwa segala macam upacara dan sopan santun, segala macam sebutan itu hanyalah kosong belaka, seperti kosongnya semua kata-kata yang keluar dari mulut, yang hanya merupakan permainan dari hawa dan angin kosong belaka! Baginya, yang penting adalah tindakan, kenyataan, bukan segala macam sebutan dan omongan. Pendekar sakti Cia Keng Hong memenuhi kata-katanya kepada Sin Liong. Mulai hari itu, semenjak kedua orang putera dan puterinya pergi, dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada Sin Liong. Ketika dia melatih cucunya, Lie Ciauw Si, dia juga melatih dengan tekun, akan tetapi sekarang, melihat keadaan diri Sin Liong, pendekar ini menjadi kagum dan gembira bukan main. Cucunya perempuan itu hanya memiliki bakat biasa saja, karena itu Ciauw Si tidak begitu mudah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi yang sangat sukar dipelajari itu. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Sin Liong. Anak ini benar-benar sangat luar biasa sekali. Segala macam pelajaran dasar ditelannya dengan mudah, bahkan ketika kakek itu mulai mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi yang rumit mudah saja bagi Sin Liong untuk menguasai semuanya. Seolah-olah sekali diberi pelajaran setiap teori ilmu silat baru, semua itu telah melekat di dalam benaknya dan tidak lupa lagi. Dan pada saat dia mulai melatih diri, juga di dalam gerakan-gerakannya terkandung bakat yang amat besar, gerakannya tidak kaku dan seakan-akan gaya ilmu silat itu memang sudah mendarah daging di dalam tubuhnya. Maka semua pelajaran dapat diterimanya dengan lancar. Cia Keng Hong merasa betapa amat sukar baginya untuk dapat memulihkan tenaganya. Tubuhnya sudah sehat kembali, akan tetapi tenaganya tidak dapat pulih seperti sebelum dia bertanding melawan Kok Beng Lama. Dia menganggap bahwa hal ini karena usianya sudah sangat tua dan ini pula yang membuat dia tergesa-gesa menurunkan semua ilmu silat tinggi kepada Sin Liong. "Pelajari dulu kauwkoat (teori silat) sampai kau hafal betul. Melatihnya boleh belakangan, Sin Liong." Demikianlah kakek itu berkata. Dia lalu mengajarkan teori-teori dari ilmu-ilmu silat yang dahulu pernah menggemparkan dunia persilatan, seperti San-in Kun-hoat, Thai-kek Sin-kun, Siang-bhok Kiam-sut dan ada banyak lagi ilmu-ilmu silat yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan. Dan semua teori ilmu silat yang aneh-aneh itu sudah dicatat oleh ingatan dalam otak Sin Liong yang luar biasa cerdasnya. Dalam waktu kurang lebih setahun lamanya, Sin Liong sudah berhasil menghafal semua teori ilmu silat yang banyak macamnya itu, dan selain hafal, juga dia telah diberi petunjuk oleh kakek itu bagaimana untuk melatih ilmu-ilmu itu seorang diri kelak. Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Cin-ling-pai sekarang sama sekali tidak sama dengan Cin-ling-pai belasan tahun yang lalu, ketika Cin-ling-pai masih merupakan sebuah perkumpulan besar dengan para tokohnya yang terkenal sebagai Cap-it Ho-han (Sebelas Pendekar) dari Cin-ling-pai. Tapi semenjak Cap-it Ho-han tewas di tangan musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa), maka Cin-ling-pai bagai kehilangan pamornya. Apa lagi setelah Cia Keng Hong kehilangan puteranya dan kematian isterinya, kakek ini lalu membubarkan Cin-ling-pai sehingga semua murid atau anggota Cin-ling-pai menjadi tersebar ke mana-mana. Bagaimana pun juga, masih ada saja anak murid yang kadang-kadang naik ke Cin-ling-san untuk mengunjungi guru besar mereka itu. Para anggota atau lebih tepat lagi bekas anggota Cin-ling-pai yang datang berkunjung, mengerti bahwa kini guru besar mereka mempunyai murid lagi, seorang pemuda aneh yang pendiam dan serius, yang jarang sekali bicara bahkan tidak menjawab sepenuhnya apa bila ditanya. Juga Cia Keng Hong yang mengerti akan keanehan anak itu, tidak mau banyak bicara mengenai Sin Liong, hanya samar-samar kakek ini mengatakan bahwa Sin Liong merupakan pewarisnya yang terakhir dan yang paling berbakat! Pada suatu senja yang cerah dan indah, seperti biasa sejak dia pulang ke Cin-ling-san bersama Sin Liong, kakek Cia Keng Hong duduk bersemedhi seorang diri di dalam kebun di belakang pondoknya. Bersemedhi setiap matahari timbul dan matahari tenggelam telah merupakan pekerjaan sehari-hari kakek itu, dan dalam keadaan seperti itu, dia tidak mau diganggu. Oleh karena itu, Sin Liong dan para anggota Cin-ling-pai tidak ada yang berani mendekati kakek itu kalau kakek Cia Keng Hong sedang berada di kebun. Dan pada senja hari itu terdapat belasan orang bekas anggota Cin-ling-pai yang datang berkunjung. Mereka ini berkumpul di ruangan besar bercakap-cakap, karena Cin-ling-san sekarang merupakan suatu tempat bertemu dan berkumpul di antara mereka dan dalam pertemuan ini tentu saja banyak yang mereka bicarakan. Di antara mereka ada beberapa orang bekas anggota golongan tua yang memiliki kepandaian tinggi karena mereka dulu adalah tokoh-tokoh tingkat dua, yaitu murid-murid langsung dari mendiang Cap-it Ho-han, yaitu sebelas orang pendekar dari Cin-ling-pai itu. Sin Liong sendiri yang juga maklum akan kebiasan kakeknya, tidak berani mengganggu dan dia berada di dalam kamarnya untuk melatih pernapasan seperti yang diajarkan oleh kakeknya. Kini, anak berusia empat belas tahun ini sudah dapat menguasai hawa sinkang yang amat kuat di tubuhnya itu, bahkan tahu cara memeliharanya dengan pengumpulan hawa murni dan mengatur pernapasan. Dia dapat pula menggerakkan hawa sinkang itu di seluruh tubuhnya sehingga biar pun semua ilmu silat tinggi itu belum dikuasainya, namun dengan tenaganya yang dahsyat dia sudah merupakan seorang pemuda tanggung yang amat tangguh. Kakek Cia Keng Hong duduk bersila di atas batu bulat di kebunnya, di bawah sebatang pohon yang-liu yang daunnya bergerak-gerak lembut tertiup angin senja. Dia bersemedhi dengan tenang, kedua tangannya bersilang di depan dada. Kakek ini tenggelam di dalam semedhinya, dan biar pun kini kesehatannya sudah pulih kembali, namun tenaganya jauh berkurang dibandingkan dengan dahulu. Dia pun sudah tak berminat lagi untuk lebih memperkuat tubuhnya, hanya memperdalam ketenangan batinnya, menghentikan segala macam gangguan pikiran. Kini tidak ada lagi kedukaan mengganggu batinnya. Dia sudah bertemu kembali dengan puteranya, bahkan telah memberi persetujuan kepada puteranya untuk berjodoh dan menikah dengan wanita yang dipilihnya sendiri. Ia pun telah memberi dorongan kepada puterinya untuk menikmati kehidupan bersama pria yang dicintanya. Dan dia pun merasa lega bahwa dia bertemu dengan seorang anak luar biasa seperti Sin Liong sehingga dia dapat menurunkan semua kepandaiannya. Dalam diri Sin Liong dia melihat bakat yang ada pada dirinya sendiri, dan dibandingkan dengan puteranya, Bun Houw, bakat Sin Liong bahkan masih menang setingkat. Maka hatinya sudah puas dan kakek ini merasa sudah siap untuk meninggalkan dunia ini dengan hati tenang dan tenteram. Kini tidak ada lagi duka dan persoalan yang mengikat batinnya, maka semedhinya demikian mendalam, membuat dia lupa segala. Kakek yang telah bebas dari kekhawatiran itu tidak tahu bahwa pada saat dia tenggelam dalam semedhinya itu tiba-tiba saja muncul dua orang yang mendaki puncak dan dengan gerakan yang cepat sekali langsung memasuki taman di belakang pondoknya. Mereka adalah seorang wanita yang cantik sekali bersama seorang nenek bermuka hitam yang memegang sebatang tongkat. Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio dan gurunya, Hek-hiat Mo-li! Seperti telah kita ketahui, wanita cantik jelita ini sudah berhasil menewaskan seorang di antara tiga tokoh utama yang menjadi musuh besar gurunya, yaitu Tio Sun. Maka sudah berkuranglah sumpahnya dan kini dia tidak perlu lagi mengejar-ngejar dan membunuhi orang-orang she Tio karena orang she Tio yang utama telah berhasil dibunuhnya. Ketika dia sedang menyiksa Sin Liong yang diketahuinya sebagai putera Cia Bun Houw menurut pengakuan anak itu sendiri, dia bertemu dengan pendekar tua Cia Keng Hong dan dia terkejut bukan main menyaksikan kelihaian kakek tua itu. Memang sudah lama dia mendengar tentang ketua Cin-ling-pai itu dari gurunya, akan tetapi Kim Hong Liu-nio yang tadinya terlampau mengandalkan kehebatan ilmu kepandaiannya sendiri, mula-mula memandang rendah. Setelah dia bentrok dengan Cia Keng Hong, baru dia terkejut setengah mati dan merasa jeri, meninggalkan kakek itu dan cepat-cepat dia mencari gurunya yang memang sudah hendak turun tangan sendiri, meninggalkan utara, dan kini Hek-hiat Mo-li sudah berada tidak jauh dari tempat itu. Maka Kim Hong Liu-nio segera menceritakan kepada gurunya mengenai pertemuannya dengan pendekar tua Cia Keng Hong sambil menceritakan pula betapa lihainya pendekar tua itu. Mendengar ini, Hek-hiat Mo-li lalu mengajak muridnya untuk melatih diri dan memperkuat diri sebelum mereka berdua turun tangan. Sampai beberapa bulan lamanya guru beserta muridnya ini melatih diri dan setelah merasa diri mereka benar-benar kuat, keduanya lalu pergi mendaki Bukit Cin-ling-san sehingga pada senja hari itu mereka memasuki kebun di mana pendekar tua Cia Keng Hong sedang duduk bersemedhi seorang diri. Ketika Kim Hong Liu-nio yang berjalan di depan dengan langkah ringan sekali itu melihat betapa dari kepala kakek yang sedang duduk bersemedhi itu mengepul uap putih yang tebal, dia terkejut dan tertegun, merasa semakin jeri. Akan tetapi tidak demikian dengan Hek-hiat Mo-li. Nenek ini merasa girang sekali melihat uap putih itu dan dia tahu bahwa saat itu musuh besarnya sedang dalam keadaan 'kosong', maka dengan mukanya yang hitam berubah beringas, nenek ini lalu meloncat dan menggerakkan tongkatnya ke arah punggung kakek itu sambil mengerahkan tenaga sinkang sepenuhnya. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio menjadi berani dan dia pun meloncat dan dengan tangan kanannya dia memukul pula ke arah tengkuk kakek itu. "Blukk! Plakkk!" Hampir berbareng hantaman tongkat dan tamparan tangan itu tepat mengenai punggung dan tengkuk Cia Keng Hong, akan tetapi dua orang penyerang gelap itu menjadi terkejut setengah mati. Tongkat di tangan Hek-hiat Mo-li sudah patah menjadi dua potong, ada pun Kim Hong Liu-nio merasa betapa telapak tangan kanannya panas dan nyeri bukan main. Mereka terkejut dan meloncat mundur. Pada saat menerima pukulan-pukulan tadi, Cia Keng Hong dalam keadaan semedhi yang amat mendalam, akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang telah amat tinggi tingkatnya, apa lagi karena dia sudah menguasai Thi-khi I-beng dengan sempurna, maka tubuhnya dapat secara otomatis menjaga diri. Begitu pukulan-pukulan itu tiba, tenaga sinkang-nya sudah bergerak dan menolak sehingga mengejutkan kedua orang lawannya, akan tetapi sesungguhnya dia telah menderita luka-luka yang hebat di dalam tubuhnya! Pukulan tongkat dan hantaman tangan guru dan murid tadi hebat bukan main dan takkan dapat ditahan oleh seorang ahli yang bagaimana kuat pun. Jangankan pukulan itu diterima oleh Cia Keng Hong dalam keadaan tidak sadar, bahkan andai kata diterimanya dalam keadaan sadar sekali pun, tentu dia akan terluka hebat. Akan tetapi hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Kim Hong Liu-nio dan gurunya, maka mereka berdua terkejut bukan main. Kim Hong Liu-nio menjadi semakin jeri, akan tetapi Hek-hiat Mo-li yang sudah amat marah bertemu dengan seorang di antara musuh-musuh utamanya itu, kini sudah menerjang maju lagi dengan tongkatnya. Tubuh Cia Keng Hong yang masih bersila tadi, kini melayang turun dari atas batu lantas dengan dorongan-dorongan kedua tangannya, dia membuat guru dan murid itu terhuyung ke belakang. Pendekar tua itu memaksa dirinya untuk menggunakan sinkang yang hebat, dan hal ini membuat luka-lukanya di dalam tubuh menjadi makin parah. Dia maklum akan hal ini, akan tetapi dia tahu pula bahwa tanpa memamerkan kekuatan sinkang-nya dia tidak akan dapat membikin jeri dua orang lawan tangguh ini, dan untuk mengadu silat, dia merasa bahwa dia tidak akan dapat bertahan lama dengan luka-luka hebat itu. Untuk menambah kekuatannya, Cia Keng Hong kemudian mengeluarkan suara melengking yang dahsyat dan kembali kedua tangannya mendorong ke arah dua orang lawannya sehingga guru dan murid itu kembali terhuyung ke belakang, meski pun mereka sudah mencoba untuk mempertahankan diri. Suara melengking itu telah mengejutkan belasan orang anggota Cin-ling-pai yang sedang berkunjung dan berkumpul di dalam ruangan besar, juga terdengar pula oleh Sin Liong. Mereka semua menjadi terkejut sekali dan cepat-cepat mereka berlarian menuju ke kebun di belakang. Begitu melihat betapa ketua Cin-ling-pai itu sedang bertanding dan dikeroyok oleh seorang wanita cantik dan seorang nenek tua bermuka hitam, mereka terkejut sekali dan tidak berani sembarangan turun tangan tanpa ada perintah dari guru besar itu. Akan tetapi, selagi belasan orang tokoh Cin-ling-pai itu tertegun dan meragu, tiba-tiba saja terdengar gerengan laksana suara seekor monyet besar atau seekor harimau marah dan sesosok bayangan berkelebat lantas bayangan itu langsung menerjang Kim Hong Liu-nio dengan terkaman dahsyat dan dengan pukulan kedua tangannya. Sejak kecil Sin Liong sudah sering kali melihat orang-orang yang disayangnya dibunuh orang tanpa dia mampu membantu atau mencegah kejadian itu. Pertama-tama dia melihat ibu kandungnya dibunuh orang, juga biang monyet yang memellharanya dibunuh orang, kemudian melihat Na-piawsu dibunuh orang. Sekarang, melihat kakek yang amat disayangnya itu diserang oleh dua orang ini, apa lagi mengenal bahwa seorang di antara mereka yang menyerang kakeknya adalah Kim Hong Liu-nio, wanita yang bukan hanya telah membunuh ibu kandungnya akan tetapi juga telah sering menyiksanya, dia menjadi marah sekali dan timbullah sifat liarnya. Dia menyerang laksana seekor binatang buas dan kemarahan yang hebat ini mendorong keluar semua tenaga sinkang yang mengeram di dalam tubuhnya. Begitu melihat Sin Liong, wanita itu langsung mengenalnya dan tentu saja memandang rendah, bahkan menyambut terjangan Sin Liong itu dengan hantaman tangan kirinya. "Desss...!" "Ihhhh...!" Tubuh Kim Hong Liu-nio terlempar dan bergulingan, lalu dia meloncat bangun, mukanya agak pucat dan matanya terbelalak. Tak disangkanya betapa pertemuan tenaga dengan anak berusia empat belas tahun itu membuat dia terlempar, dan hampir saja dia celaka! Melihat betapa anak itu berani turun tangan membantu guru besar mereka, para anggota Cin-ling-pai juga lalu menerjang maju. Sementara itu, nenek Hek-hiat Mo-li yang merasa sangat penasaran karena hantaman tongkatnya tadi tidak menewaskan Cia Keng Hong, kini membentak keras dan tubuhnya melayang ke depan, menyerang Cia Keng Hong. Pendekar ini menanti sampai nenek itu datang dekat, kemudian dengan gerakan istimewa dia menangkis hantaman nenek itu, sambil membarengi dengan tamparan tangan kirinya. Itulah sebuah gerakan dari jurus Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang tidak disangka-sangka oleh Hek-hiat Mo-li, maka tanpa dapat dicegah lagi pundaknya kena ditampar sehingga dia pun terlempar dan jatuh bergulingan seperti halnya Kim Hong Liu-nio tadi. Namun baik nenek muka hitam ini mau pun Kim Hong Liu-nio, telah memiliki kekebalan yang luar biasa, kekebalan yang bukan hanya dapat menghadapi pukulan kosong bahkan mampu pula bertahan terhadap pukulan sakti dan pukulan senjata tajam! Kekebalan inilah yang dahulu membuat mendiang kakek Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li sangat sukar dilawan. Pendekar Cia Bun Houw baru berhasil membunuh Pek-hiat Mo-ko dan Yap In Hong baru berhasil melukai Hek-hiat Mo-li setelah mereka berdua ini mengetahui rahasia kelemahan kakek dan nenek itu. Cia Keng Hong sudah mendengar dari puteranya bahwa nenek ini memiliki kelemahan di telapak kakinya, akan tetapi karena dia sendiri sudah terluka hebat, maka tidaklah mudah baginya untuk menyerang tempat berbahaya lawannya ini. Apa lagi hantaman-hantaman yang dilakukannya tadi menggunakan sinkang pula sehingga keadaannya menjadi makin parah dan hampir saja dia tidak kuat berdiri lagi. Hanya dengan paksaan dan pengerahan tenaga terakhir dia masih mampu menghadapi lawan. Kini para anggota Cin-ling-pai sudah mengeroyok nenek serta wanita cantik itu, dan Sin Liong yang terutama sekali menerjang dan mendesak Kim Hong Liu-nio yang dibencinya. Melihat betapa kakek Cia Keng Hong benar-benar lihai bukan main, bahkan kini ditambah pula oleh orang-orang Cin-ling-pai, nenek dan muridnya itu mulai merasa gentar. Mereka mengamuk dan ada empat orang anggota Cin-ling-pai yang roboh dan tewas, sedangkan Sin Liong yang baru menguasai teori-teori belaka dari ilmu-ilmu silat tinggi, tentu saja di dalam hal ilmu silat masih kalah jauh dibandingkan dengan Kim Hong Liu-nio sehingga berkali-kali dia kena dihantam sampai bergulingan. Akan tetapi diam-diam Kim Hong Liu-nio bergidik karena bukan saja anak itu tidak sampai tewas atau terluka oleh hantamannya, bahkan sering kali tangannya segera melekat dan tenaganya tersedot oleh ilmu Thi-khi I-beng yang amat ditakutinya itu. Kalau saja dia tidak memperoleh latihan khusus dari gurunya untuk melepaskan diri terhadap ilmu mukjijat itu, tentu dia sudah kena ditempel dan disedot sampai tenaganya habis oleh anak ini! Sesudah berhasil merobohkan empat orang, Hek-hiat Mo-li maklum bahwa dia bersama muridnya tak akan berhasil, bahkan kalau tokoh-tokoh lain seperti putera Cin-ling-pai itu, dan wanita perkasa Yap In Hong muncul, juga kakak wanita itu yang bernama Yap Kun Liong, tentu dia dan muridnya akan celaka. "Mari kita pergi!" bentaknya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang jauh, pergi dari situ. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio juga meloncat pergi menyusul gurunya. Sin Liong yang marah bukan main sudah bergerak hendak mengejar, juga para anggota Cin-ling-pai, akan tetapi terdengar suara lemah kakek itu mencegah, "Jangan kejar...!" Sampai lama Sin Liong beserta para anak buah Cin-ling-pai berdiri memandang ke arah lenyapnya dua orang musuh itu, baru kemudian para bekas anggota Cin-ling-pai itu sibuk merawat mereka yang luka dan tewas dalam pertempuran itu. "Kongkong...!" Teriakan itu mengejutkan semua orang. Mereka menengok dan melihat Sin Liong menangis di hadapan kakek yang telah duduk bersila kembali di atas batu itu. Semua bekas anggota Cin-ling-pai berlari menghampiri dan terkejut bukan main melihat bahwa guru besar mereka itu ternyata telah tak bernapas lagi! Kiranya setelah mencegah semua orang mengejar musuh-musuh yang amat lihai itu, Cia Keng Hong kembali duduk bersila dan kakek ini melepaskan napas terakhir sambil duduk bersila. Pukulan-pukulan dua orang lawan yang amat lihai itu tadi telah mengguncangkan jantung dan melukai isi dada serta perutnya. Hanya karena semangatnya yang luar biasa saja kakek tua renta ini tadi masih mampu melawan, bahkan membikin jeri hati kedua orang musuhnya. Akan tetapi justru perlawanannya itu membutuhkan pengerahan tenaga dan dalam keadaan terluka hebat dia mengerahkan tenaga, maka hal ini tentu saja membuat luka-lukanya menjadi makin parah lalu mencabut nyawanya setelah dia duduk bersila. Sin Liong yang pertama kali melihat keadaan kakek itu, menjerit dan dalam kedukaannya dia sampai lupa diri dan menyebut kakek itu 'kongkong' karena dia memang merasa amat sayang kepada kongkong-nya (kakeknya) itu. Melihat kakeknya mati, dia berteriak lalu menangis mengguguk seperti anak kecil. Belum pernah selamanya dia menangis seperti itu. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis. Sesudah berhenti menangis, dia hanya diam saja seperti patung ketika melihat para bekas anak buah Cin-ling-pai sambil menangis lalu mengangkat jenazah kongkong-nya bersama keempat orang anggota Cin-ling-pai lainnya yang juga tewas dalam pertempuran tadi, membawanya masuk ke dalam pondok. Sampai semua jenazah dimasukkan peti dan dijajarkan di ruangan depan bersama peti jenazah bekas ketua Cin-ling-pai itu di depan dan empat buah peti jenazah para anggota itu di belakang, Sin Liong tidak pernah menangis lagi, juga tidak pernah mengeluarkan sepatah pun kata. Dia hanya duduk bersila di dekat peti jenazah kongkong-nya itu, tak pernah makan tak pernah tidur, hanya duduk bersila seperti sebuah arca. Setiap kali terdengar orang menangis dan berkabung, yaitu para keluarga empat orang anggota Cin-ling-pai itu. Bekas anak buah Cin-ling-pai berbondong-bondong datang dan menangis. Berita secepatnya dikirim melalui dunia kang-ouw dan beberapa hari kemudian berturut-turut datanglah Cia Bun Houw dengan Yap In Hong, lalu Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng yang datang bersama. Riuh rendah tangis mereka di depan peti mati. Seperti telah diceritakan di bagian depan, empat orang muda itu, Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng, datang ke Cin-ling-pai untuk mengabarkan tentang kematian Tio Sun di tangan ketua Hwa-i Kaipang yang ternyata kenal baik dengan ketua Cin-ling-pai, kongkong dari Lie Seng. Namun, ketika mereka akhirnya tiba di Cin-ling-san, mereka hanya mendapatkan bahwa ketua Cin-ling-pai telah tewas. Sesudah bertangis-tangisan dan berkabung, Bun Houw dengan isterinya bercakap-cakap dengan empat orang itu. Sesungguhnya, kalau saja tidak terjadi hal yang menyedihkan sehubungan dengan kematian kakek Cia Keng Hong, tentu pertemuan itu akan sangat menggembirakan. Yap Mei Lan adalah keponakan dari In Hong, ada pun Lie Seng adalah keponakan dari Bun Houw. Bahkan, Souw Kwi Eng pernah ditunangkan dengan Cia Bun Houw! Akan tetapi, kini mereka semua sedang berkabung dalam kedukaan, maka tentu saja tak ada suasana gembira dalam pertemuan mereka. Hanya nampak In Hong yang merangkul keponakannya yang dia duga tentu sudah memiliki kepandaian hebat setelah digembleng oleh Kok Beng Lama itu. Tiba-tiba Souw Kwi Eng menangis lagi, tetapi kini tangisnya tidak seperti ketika menangis di hadapan peti mati kakek Cia, bahkan dia menangis dengan penuh kedukaan sehingga mengejutkan Bun Houw dan In Hong. Yap In Hong yang tidak lagi cemburu kepada bekas tunangan suaminya ini karena dia sudah tahu bahwa wanita peranakan barat ini sudah menikah dengan Tio Sun, segera mendekatinya dan memegang pundaknya. "Adik Kwi Eng, sudahlah, jangan engkau terlalu berduka...!" dia menghibur. Kwi Eng mengangkat muka memandang, dan tiba-tiba dia merangkul leher In Hong dan tangisnya semakin mengguguk. Di antara tangisnya In Hong mendengar kata-kata yang membuatnya terbelalak dan terkejut sekali, "...bagaimana... takkan berduka... kalau... kalau suamiku dibunuh orang...?" Tentu saja bukan hanya In Hong yang amat terkejut mendengar ini, juga suaminya, Cia Bun Houw kaget bukan main. Mereka tadi melihat betapa nyonya muda yang cantik jelita ini memakai pakaian berkabung, akan tetapi mereka hanya mengira bahwa nyonya muda ini karena sudah mendengar akan kematian kakek Cia yang amat dikaguminya, memang sengaja mengenakan pakaian berkabung. Siapa kira, nyonya muda ini berkabung karena kematian suaminya yang dibunuh orang! "Siapa yang membunuh Tio-twako? Siapa?" Bun Houw berseru dengan penasaran sekali. Ayahnya baru saja dibunuh orang, dan kini dia mendengar bahwa Tio Sun dibunuh orang pula. Dengan panjang lebar Souw Kwi Beng mewakili saudara kembarnya, menuturkan tentang kematian Tio Sun di tangan ketua Hwa-i Kaipang dalam sebuah pertempuran gara-gara seorang wanita bernama Kim Hong Liu-nio. "Iparku itu hanya hendak mendamaikan antara Panglima Lee Siang dengan ketua Hwa-i Kaipang," demikian dia menutup ceritanya, "akan tetapi siapa kira, ketua Hwa-i Kaipang mengira bahwa iparku itu membela wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu sehingga terjadi pertempuran dan iparku tewas..." "Kim Hong Liu-nio...?" Bun Houw bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. "Kiranya wanita itu pula yang menjadi gara-gara?" Kini giliran empat orang itu, Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng, dan Souw Kwi Beng yang mendengar betapa kakek Cia juga tewas oleh Kim Hong Liu-nio dan gurunya, Hek-hiat Mo-li! "Dan semuanya ini adalah gara-gara bocah itu!" tiba-tiba saja Bun Houw berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah Sin Liong yang masih duduk seperti arca di dekat peti jenazah dengan muka pucat. Mendengar kata-kata ayah kandungnya sambil menudingkan telunjuk kepadanya itu, Sin Liong memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Semua mata kini ditujukan kepadanya. "Mendiang ayah bentrok dengan Kim Hong Liu-nio akibat menolong bocah itu!" Bun Houw berkata penuh penyesalan. "Dan bocah itu pula yang bercerita kepada kami bahwa Kim Hong Liu-nio memusuhi orang-orang she Tio, Yap dan Cia. Sebelum muncul bocah itu kita semua hidup tenteram dan tidak pernah terjadi permusuhan dengan siapa pun. Bocah ini benar-benar mendatangkan sial!" Yap In Hong menyentuh lengan suaminya yang sedang dicekam kedukaan dan amarah itu, lalu dia menghampiri Sin Liong dan bertanya, "Sin Liong, menurut keterangan para anggota Cin-ling-pang nenek itu berwajah hitam. Engkau yang telah mengenal Kim Hong Liu-nio, tentunya engkau tahu pula siapa nenek yang datang bersama wanita itu. Apakah benar dia itu Hek-hiat Mo-li?" Yap In Hong ini pernah bertanding dengan Hek-hiat Mo-li, bahkan berhasil melukai nenek yang kebal itu karena dia tahu di mana letak kelemahan nenek itu. Akan tetapi sebelum dia sempat membunuh nenek iblis itu, keburu datang Raja Sabutai yang menyelamatkan nenek yang juga menjadi guru raja itu. Kini dia bertanya kepada Sin Liong, selain untuk memperoleh keyakinan, juga untuk menghentikan suaminya memarahi anak itu. Sin Liong tidak menjawab, bahkan tidak mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Yap In Hong itu. Sejak tadi dia mengalami tekanan batin, merasa berduka sekali, penasaran dan juga amat marah mendengar bahwa ayah kandungnya sendiri memaki dan menyalahkan dirinya. Dia hanya bersila sambil menundukkan mukanya, dua alisnya berkerut, bibirnya dikatupkan keras-keras. "Kalau dia tidak bisa berbicara lagi, biar saja tidak usah ditanya!" Bun Houw yang masih merasa marah karena terdorong kedukaan dan penyesalan, kembali berkata. "Tidak perlu mendapatkan keterangan anak sial itu pun sudah jelas bahwa nenek muka hitam itu pasti Hek-hiat Mo-li orangnya. Dan perempuan itu tentu muridnya. Setelah selesai pemakaman jenazah ayah, aku akan mencarinya dan membunuh mereka!" "Tidak perlu!" Tiba-tiba Sin Liong yang sejak tadi diam saja, kini membentak dengan suara yang amat lantang sehingga mengejutkan semua orang. Bagaikan sebuah gunung berapi yang sudah ditahan-tahan sekian lamanya dan kini meletus, Sin Liong bangkit berdiri, dua matanya mencorong seperti mata naga sakti, kedua tangannya dikepal dan dia berkata, "Akulah yang akan membalaskan kematian kongkong! Akulah yang akan mencari kedua orang musuh besar itu kemudian membunuh mereka. Aku tidak mengharapkan bantuan para pendekar. Para pendekar yang hebat-hebat hanya namanya saja pendekar, duduk di tempat tinggi, mabok kemuliaan dan nama besar seolah-olah mereka adalah dewa-dewa di sorga, bukan manusia! Padahal, namanya saja pendekar-pendekar mulia, akan tetapi perbuatannya banyak yang rendah dan hina, di balik nama-nama besar itu tersembunyi perbuatan kotor!" "Bocah lancang mulut...!" Bun Houw membentak akan tetapi isterinya menyentuh lengan kanannya. "Ssttt...!" kata In Hong berbisik sambil memandang kepada Sin Liong dengan mata penuh kagum dan tertarik. Bocah itu bukan sembarang bocah dan dia melihat sesuatu yang aneh pada mata bocah itu, dan dia merasa seolah-olah dia sudah mengenal anak ini, entah di mana dan kapan. "Para pendekar merasa bahwa mereka itu orang-orang paling mulia, paling suci, paling terhormat dan paling tinggi, paling hebat! Tetapi semua itu hanya untuk menyembunyikan perbuatan-perbuatan mereka yang kotor dan tak bertanggung jawab! Biarlah aku seorang yang akan membalas dendam, aku yang akan mencari mereka berdua itu dengan taruhan nyawaku, jangan ada yang turut campur!" Setelah mengeluarkan kata-kata sebagai peluapan rasa marah dan penasarannya itu, Sin Liong terisak sekali lalu duduk bersila lagi di dekat peti jenazah, menunduk dan apa pun yang akan dilakukan orang kepadanya, jangan harap dia akan mau membuka mulut lagi. Dia sudah menyampaikan isi hatinya yang penuh penasaran. Ketika dia bicara, dia teringat akan ibu kandungnya yang ditinggalkan ayah kandungnya, maka dia bicara tentang perbuatan kotor para pendekar yang dikatakan tidak bertanggung jawab! Tentu saja dia tujukan ucapan itu kepada ayah kandungnya. Dia memang menaruh dendam kepada Kim Hong Liu-nio, lebih dari pada mereka semua, karena wanita itu telah membunuh ibu kandungnya di depan matanya, dan membunuh pula kongkong-nya. Semua orang bengong menyaksikan sikap dan mendengar ucapan Sin Liong itu. Yap In Hong masih memegang lengan suaminya, mencegah suaminya marah-marah, karena amat tidak baik marah-marah di depan peti jenazah ayah mertuanya itu. Pada saat semua orang masih bengong memandang kepada Sin Liong, tiba-tiba terdengar jerit tertahan, "Ayahhhh...!" Dan berkelebatlah sesosok bayangan orang. Bayangan ini adalah Cia Giok Keng yang begitu tiba di situ langsung menjatuhkan diri berlutut di depan peti mati jenazah ayahnya, memeluki peti dan menangis tersedu-sedu, kemudian dia tentu akan terguling roboh kalau tidak cepat-cepat Yap Kun Liong menyambar tubuh yang pingsan itu. Kembali terjadi hujan tangis di tempat itu sebab semua orang yang menyaksikan ini mulai menangis lagi. Sin Liong telah dilupakan orang yang kini tenggelam dalam kedukaan dan keharuan itu. Ternyata Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong yang belum berhasil menemukan Lie Ciauw Si, mendengar berita tentang kematian kakek Cia dari suara di dunia kang-ouw. Mereka cepat-cepat kembali ke Cin-ling-san dan di sepanjang jalan Cia Giok Keng telah menangis sedih, dihibur oleh Yap Kun Liong. Maka begitu tiba di depan peti jenazah, wanita ini lalu menjerit dan menangis, kemudian roboh pingsan. Suasana di situ diliputi keharuan dan kedukaan. Cia Giok Keng menangis tersedu-sedu ketika dia telah siuman kembali dan dia berangkulan dengan Cia Bun Houw. Dua orang inilah yang merasa paling terpukul dengan kematian ayah mereka, dan kini pendekar sakti Cia Bun Houw tak dapat lagi menahan tangisnya sesudah melihat enci-nya, apa lagi dia teringat betapa dia telah pernah marah dan meninggalkan ayahnya sampai belasan tahun sehingga kematian ibunya pun tidak diketahuinya. Sekarang, baru saja dia pulang dan berbaik kembali dengan ayahnya, merasakan betapa ayahnya sebenarnya sangat mencintanya, baru saja berjumpa satu kali dengan ayahnya, kini ayahnya sudah mati dibunuh orang, atau setidaknya, meninggal akibat pertempuran melawan orang lain. Dia mengerti bahwa sesungguhnya ayahnya tidaklah langsung dibunuh orang, melainkan bertempur melawan guru dan murid itu, bahkan menurut cerita para anggota Cin-ling-pai, ayahnya tidak kalah, malah membikin jeri musuh-musuh yang melarikan diri. Akan tetapi dia tahu bahwa ayahnya memang sudah sangat tua dan lemah, tenaganya telah banyak berkurang sehingga ketika menghadapi dua orang yang tangguh itu, ayahnya terluka dan tewas. Pada saat itu, di antara para tamu yang mulai berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah dalam peti, muncul orang laki-laki tua yang aneh sekali bentuk tubuhnya. Melihat wajahnya, jelaslah bahwa laki-laki ini sudah tua sekali, seorang kakek yang memang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah tua sekali. Mukanya yang kurus itu penuh dengan keriput, matanya agak juling dan kepalanya gundul pelontos serta halus kulitnya, hanya ada sedikit rambut kering yang tumbuh di padang tandus, tumbuh di atas kepala, di tengah-tengah menutupi ubun-ubun. Kepalanya besar dan bulat, tetapi kurus, dengan dua buah daun telinga yang tebal dan lebar. Alisnya tebal, sudah bercampur uban, bengkak-bengkok di atas sepasang matanya yang juling. Hidungnya pesek dan mulutnya lebar sekali, agaknya memang tidak dapat ditutup secara baik sehingga balik bibirnya selalu nampak. Gigi bawahnya sudah habis dan gigi atasnya tinggal beberapa buah saja, berderet jarang. Kepala dan wajah itu biar pun sangat buruk dan menyeramkan, namun belumlah aneh kalau dibandingkan dengan bentuk tubuhnya dari leher ke bawah. Kakek yang kelihatan sudah tua sekali ini ternyata memiliki bentuk tubuh seperti kanak-kanak yang usianya baru sepuluh tahun! Tubuh itu kecil pendek, dengan dua tangan yang kecil dan dua kaki bersepatu yang kecil pula. Siapakah adanya kakek yang aneh itu? Semua orang yang hadir di situ tidak ada yang mengenalnya. Padahal, kakek ini sesungguhnya adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, yang datang dari barat dan sudah lama merantau di dunia utara, di balik tembok besar. Kakek ini bernama Ouwyang Bu Sek! Di dalam cerita Petualang Asmara, terdapat seorang tokoh yang merupakan datuk kaum sesat yang ditakuti orang dan yang berjuluk Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun) dan datuk ini bernama Ouwyang Kok, seorang datuk dari utara. Datuk ini tewas di tangan Cia Keng Hong. Kakek cebol aneh ini adalah seorang keponakan dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok itu. Dia masih muda pada waktu mendengar bahwa pamannya telah terbunuh oleh seorang pendekar bernama Cia Keng Hong. Akan tetapi karena putera tunggal pamannya itu yang bernama Ouwyang Bouw juga terbunuh oleh suci dari Pek Hong Ing (mendiang nyonya Yap Kun Liong), maka pamannya itu tidak mempunyai orang lain lagi kecuali dia untuk membalaskan kematiannya. Dia adalah keponakan pamannya itu dan akan kecewalah dia sebagai seorang keturunan keluarga Ouwyang, keluarga yang terkenal sebagai keluarga pandai, kalau dia tidak menuntut balas. Akan tetapi, dia juga tahu betapa lihainya pendekar Cia Keng Hong, bahkan pendekar ini memiliki keluarga yang terdiri dari orang-orang lihai. Inilah yang menyebabkan Ouwyang Bu Sek harus menahan diri hingga bertahun-tahun lamanya, bahkan hingga puluhan tahun lamanya karena dia harus memperdalam kepandaiannya lebih dulu. Sampai puluhan tahun lamanya dia merantau ke barat dan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari para pertapa aneh di Pegunungan Himalaya dan di Tibet. Baru sesudah dia merasa bahwa kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi dari pada tingkat mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, dia berani meninggalkan barat sebagai seorang kakek aneh dan pergi ke Cin-ling-san mencari musuh besar keluarga Ouwyang itu. Akan tetapi, betapa menyesal, kecewa dan juga mendongkol rasa hatinya ketika dia tiba di puncak Cin-ling-san, dia menemukan musuh besarnya itu sudah berada di dalam peti mati! Pada waktu itu, semua anggota keluarga dari bekas ketua Cin-ling-pai sedang berduka dan dibangkitkan kembali kedukaan serta keharuan mereka akibat kedatangan Cia Giok Keng. Mereka sedang bertangisan sehingga tidak ada yang memperhatikan kedatangan kakek cebol itu. Akan tetapi Sin Liong yang sejak tadi memandang ke arah para keluarga yang sedang bertangisan itu, melihat kakek ini di antara para tamu dan dia merasa terkejut dan tertarik sekali. Keanehan bentuk tubuh kakek ini sungguh sangat menonjol di antara para tamu sehingga secara diam-diam dia memperhatikan ketika kakek itu seperti para tamu yang lain menghampiri peti dengan langkah-langkah yang pendek dan lucu. Akan tetapi, tidak seperti para tamu lainnya yang memberi penghormatan kepada jenazah dengan hio menyala di tangan, tamu aneh ini hanya berdiri tegak di depan peti jenazah dan tiba-tiba dia mengeluarkan kata-kata yang cukup lantang. "Cia Keng Hong, engkau sungguh seorang pengecut besar! Setelah susah payah puluhan tahun aku mempelajari ilmu dan sekarang datang berkunjung, engkau malah melarikan diri melalui kematian. Huh, kalau tidak merusak tubuhmu dalam peti, hatiku selamanya akan merasa penasaran!" Mendengar ini, semua orang terkejut dan terutama sekali Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng sudah meloncat berdiri lantas menengok ke arah tamu aneh itu dengan sinar mata berapi karena marahnya. Akan tetapi, sebelum mereka berdua sempat bergerak, tiba-tiba saja terdengar suara gerengan aneh laksana seekor binatang buas yang marah, disusul teriakan, "Jangan ganggu jenazah kakekku!" Serangan yang dilakukan oleh Sin Liong menyusul teriakannya itu mengejutkan Ouwyang Bu Sek. Tidak disangkanya bahwa anak yang tadi bersila di dekat peti mati, tiba-tiba saja meloncat dan menerkamnya seperti seekor binatang buas. Ouwyang Bu Sek melihat betapa anak itu memiliki tenaga sinkang yang amat luar biasa, pukulan dalam terkamannya itu mendatangkan angin berdesir menuju arahnya. Dia kaget, kagum dan juga girang menghadapi anak yang mengaku cucu dari musuh besarnya itu. Kalau tidak dapat membalas kepada Cia Keng Hong, kini dapat menangkap cucunya juga sudah baik, pikirnya. Maka dia mendiamkan saja anak itu menyerangnya. Kemudian setelah terkaman datang dekat, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kirinya menangkap pundak Sin Liong. "Desss! Desss!" Pukulan kedua tangan Sin Liong itu dengan tepat mengenai tubuh kakek cebol itu, akan tetapi alangkah kagetnya hati Sin Liong saat merasa betapa kedua pukulannya itu seperti dua buah batu dilemparkan ke dalam air. Tenaganya amblas dan pukulannya mengenai tubuh yang lunak dan yang membuat tenaga pukulannya buyar dan tahu-tahu pundaknya telah kena dipegang dan dicengkeram. Ketika Sin Liong hendak mengerahkan tenaga dari pusar, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas dan dia tidak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya seperti lumpuh, semua jalan darahnya seperti tiba-tiba menjadi kacau dan dia tidak mengerahkan tenaga lagi! "Jahanam, berani engkau mengacau di sini?!" Bun Houw sudah membentak dan sambil meloncat dia telah mengirim pukulan jarak jauh ke arah kakek cebol itu. Melihat ada pukulan jarak jauh yang mengeluarkan suara mencicit seperti itu, Ouwyang Bu Sek terkejut dan kagum sekali. Hebat, pikirnya dan dia menggunakan tangan kirinya mengebit. Dua tenaga sakti bertemu di udara dan sungguh pun kakek cebol itu berhasil menangkis pukulan Bun Houw, namun dia terkejut karena tangan kirinya tergetar. Pada saat itu terdengar bunyi lengking nyaring dan Yap In Hong sudah menyerang dari depan. Kembali kakek itu melihat tenaga dahsyat sekali seperti angin puyuh menerjang tubuhnya! Dia pun cepat menggerakkan tangan kirinya mengebut dan kembali pukulan In Hong yang dilakukan sambil menerjang ke depan itu dapat ditangkisnya, dan juga sekali ini Ouwyang Bu Sek terkejut karena wanita cantik itu memiliki tenaga yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan penyerang pertama. "Orang tua, siapakah engkau dan mengapa engkau berani mengacau di sini?" Tiba-tiba terdengar bentakan halus. Ouwyang Bu Sek semakin kaget karena tahu-tahu suara itu sudah berada di belakangnya dan sesudah dia membalik, dia melihat seorang laki-laki gagah berusia kurang dari lima puluh tahun yang gerakannya mendatangkan angin dahayat ketika orang itu mengulurkan tangan menepuk ke arah pundaknya. Ternyata orang ini pun lihai bukan kepalang, dapat bergerak tanpa diketahuinya, bahkan gerakan tangannya itu sama sekali tidak mendatangkan angin atau suara ketika menuju ke pundak, tahu-tahu sudah dekat dan mengandung kekuatan dahsyat! Cepat dia mengelak dan meloncat mundur. Ketika dia melihat mereka itu menghampirinya dari depan dengan langkah-langkah sangat ringan dan pandang mata penuh kemarahan, dia menjadi jeri juga. Bukan main, pikirnya. Keluarga Cia ini memang hebat! Apa bila hanya melawan mereka satu demi satu, tentu saja dia tidak akan gentar. Akan tetapi kalau harus menghadapi pengeroyokan orang-orang yang mempunyai kepandaian seperti mereka, biar pun dia sudah memiliki kesaktian hebat, dia tahu bahwa akhirnya dia yang akan celaka. "Ha-ha-ha! Berhenti kalian semua! Kalau tidak, serangan kalian akan mengenai tubuh anak ini!" Dia mengangkat tubuh Sin Liong dan mempergunakan tubuh itu sebagai perisai. Melihat ini, Yap Kun Liong yang tadi merupakan penyerang terakhir, cepat berhenti dan demikian pula para pendekar itu berhenti melangkah. Mereka semua adalah orang-orang yang berjiwa pendekar. Sungguh pun mereka tidak senang kepada Sin Liong, akan tetapi mereka melihat betapa Sin Liong adalah orang yang pertama kali membela jenazah itu dan mungkin saja kakek cebol itu tadi telah berhasil merusak jenazah jika tidak dihalangi dan diserang oleh Sin Liong, maka kini mereka tidak berani turun tangan terhadap kakek itu yang sudah menawan Sin Liong. Kakek cebol itu jelas mempunyai kepandaian tinggi, maka jika mereka nekat menyerang dan kakek itu mempergunakan tubuh Sin Liong sebagai senjata atau perisai, tentu anak itu yang akan kena pukulan. "Ha-ha-ha-ha, dengarlah baik-baik, kalian keluarga dari Cia Keng Hong! Aku Ouwyang Bu Sek, mewakili keluarga Ouwyang dan kedatanganku tadinya ingin menagih hutang nyawa kepada Cia Keng Hong. Akan tetapi dia sudah mati dan dia menebus dosanya dengan menyerahkan cucunya ini kepadaku. Ha-ha, biarlah aku menerimanya dan hitung-hitung sudah lunas hutangnya kepada keluarga Ouwyang!" Setelah berkata demikian, kakek itu meloncat dan semua orang terkejut karena kakek itu ternyata dapat bergerak cepat bukan main, loncatannya membawa tubuhnya melayang jauh dan dia lalu melarikan diri sambil membawa Sin Liong. Yap Kun Liong mengerutkan alisnya. "Ouwyang...? Ahh, kiranya keluarga dari dia si jahat itu...!" Semua orang mendekati pendekar ini. "Siapakah yang kau maksudkan, Yap twako?" tanya Bun Houw. "Dahulu ada musuh besar ayahmu yang bernama Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, salah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat dari utara. Ouwyang Bu Sek tadi tentu masih keluarganya yang datang untuk membalas dendam," jawab Yap Kun Liong. "Dan dia telah membawa pergi Sin Liong!" In Hong berkata dengan suara menyesal. "Kita tidak mampu mencegahnya," kata pula Cia Giok Keng penasaran. "Biarlah aku yang akan mengejarnya dan merampas kembali anak itu, ibu," kata Lie Seng dengan penuh semangat. "Benar kata sute, biarlah aku membantunya. Kami tentu akan dapat merampas kembali anak itu, ayah!" kata Yap Mei Lan kepada ayahnya. Yap Kun Liong menggeleng kepalanya dan mengerutkan alisnya. "Kukira tidak bijaksana itu. Merampas kembali anak itu dengan kekerasan bahkan mungkin akan membahayakan nyawa anak itu. Kurasa kakek cebol itu tidak akan membunuh anak itu, karena kalau dia berniat demikian, tentu tadi sudah dibunuhnya. Dia hanya ingin menggunakan Sin Liong tadi sebagai sandera supaya dia dapat lari dari sini dan mungkin dia hendak membalas dengan cara menculik anak itu supaya kita menjadi berduka. Dia tidak tahu bahwa anak itu bukan keluarga Cia, bukan cucu dari musuh besarnya." Sekarang semua orang teringat betapa tadi Sin Liong berteriak supaya kakek itu jangan mengganggu jenazah kongkong-nya, jadi anak itu seolah-olah mengaku sebagai cucu Cia Keng Hong. Kakek cebol itu telah salah mengerti, mengira bahwa Sin Liong adalah cucu ketua Cin-ling-pai! "Kalau begitu, biarkan sajalah," kata Bun Houw yang merasa tidak suka kepada anak itu. "Anak itu hanya mendatangkan sial belaka, bahkan urusan sampai berlarut-larut, keluarga kita terperosok ke dalam permusuhan pula, sampai-sampai ayah harus turun tangan dan menghadapi lawan, semua adalah gara-gara bocah itu. Biarlah, memang dia lebih pantas berdekatan dengan orang-orang macam kakek iblis tadi." Semua orang tidak ada yang mau membantah, karena mereka pun tidak mengenal siapa sebenarnya Sin Liong, anak yang begitu disayang oleh mendiang Cia Keng Hong hingga ditarik sebagai muridnya. Mereka semua sama sekali tidak pernah menduga bahwa anak yang bernama Sin Liong itu oleh kakek Cia Keng Hong sudah dipilih untuk menjadi ahli warisnya dan telah diberi pelajaran dari seluruh ilmu yang dimilikinya, walau pun sebagian besar hanya baru dipelajari teorinya saja. Dan tentu saja mereka itu, terutama Bun Houw, tidak pernah mimpi bahwa anak itu adalah benar-benar cucu dari ayahnya, karena anak itu adalah anak kandungnya! ***************
JILID 18



KITA tinggalkan keluarga yang masih berkabung dan yang sebentar saja sudah melupakan Sin Liong yang diam-diam tidak mereka sukai itu, dan mari kita mengikuti pengalaman Sin Liong yang dilarikan oleh kakek cebol yang amat sakti itu.

Ouwyang Bu Sek tertawa-tawa dengan hati puas. Ia telah memperlihatkan kepada semua keluarga musuhnya, dan juga kepada para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, bahwa keluarga Ouwyang bukanlah keluarga yang lemah, bahwa keluarga Ouwyang tidak melupakan penghinaan yang ditimpakan orang kepadanya dan hari ini keluarga Ouwyang telah membalas sakit hati keluarga itu dengan menculik cucu dari ketua Cin-ling-pai!

Akan tetapi terjadi keanehan dalam perasaan hatinya terhadap Sin Liong. Dia tadi sudah terkejut dan kagum sekali pada saat bocah ini menyerangnya. Seorang bocah yang belum dewasa, paling banyak empat belas tahun usianya, sudah memiliki tenaga yang demikian dahsyat. Cucu dari pendekar sakti Cia Keng Hong ini memang tidak memalukan menjadi cucu ketua Cin-ling-pai yang terkenal sekali kelihaiannya itu.

Dan yang lebih mengagumkannya lagi adalah sikap anak ini. Sama sekali tidak mengeluh! Sama sekali tidak ketakutan, apa lagi menangis! Setiap kali dia melirik dan memandang wajah anak yang dipanggulnya itu, dia melihat sepasang mata yang mencorong bagaikan mata naga, dan wajah yang sedikit pun tidak kelihatan takut atau khawatir!

Ouwyang Bu Sek melarikan diri dengan cepat sekali dan tidak pernah berhenti. Dia hanya berhenti untuk menotok lagi tubuh Sin Liong bila mana merasa betapa anak itu telah mulai dapat bergerak, sehinga anak itu terus menerus dalam keadaan lumpuh.

Sesudah hari mulai gelap, baru kakek itu melempar tubuh Sin Liong ke atas tanah yang berumput. Mereka tiba di sebuah hutan yang sunyi. Sejenak kakek cebol itu memandang kepada Sin Liong yang rebah terlentang. Anak itu pun memandangnya dengan sinar mata berapi-api.

"Ha-ha-ha, kenapa engkau melotot kepadaku?" Ouwyang Bu Sek bertanya, tertawa untuk menutupi kemendongkolan hatinya.

Ia ingin melihat cucu dari musuhnya ini menderita, menangis, atau setidaknya mengeluh. Hal itu amat baik baginya. Dia sudah mengorbankan waktu puluhan tahun lamanya untuk dapat membalas dendam kepada Cia Keng Hong, tetapi setelah dia memiliki kepandaian, ternyata musuh besar itu telah mati. Tentu saja dia amat kecewa, dan kalau dia melihat cucu musuhnya ini menderita, hal itu tentu akan memperingan kekecewaannya.

"Kakek cebol, engkau adalah seorang manusia yang berhati iblis, jahat dan kejam. Tentu saja semua orang akan memandang kepadamu dengan penuh kebencian!"

Wajah kakek itu menjadi merah. Dia belum pernah melakukan hal yang kejam, kecuali tentu saja kalau menghadapi musuhnya! Apa lagi jahat, dia malah menentang kejahatan! Maka ucapan itu tentu saja membuat dia marah.

"Bocah bandel, lancang mulut! Kau mau memamerkan keberanianmu kepadaku, ya? Kau sombong bukan main, mentang-mentang menjadi cucu Cia Keng Hong kau boleh bersikap kepala batu, ya? Merasa gagah dan tidak takut mati, ya?"

"Aku memang tidak takut mati. Hayo kau bunuhlah aku, kakek tua bangka yang berhati curang dan pengecut besar, beraninya hanya kepada anak kecil!"

Kakek itu makin marah dan penasaran. Anak ini akan tahu rasa, pikirnya. Dia dihadapkan pada suatu tantangan lain sekarang. Dia harus melihat anak ini ketakutan, menangis dan minta ampun. Baru akan dilepaskannya anak ini.

"Wah, kau benar-benar tidak mengenal takut? Mari kita sama-sama melihatnya! Jika aku tidak bisa membikin kau menjerit-jerit minta ampun, menangis ketakutan, jangan panggil aku Ouwyang Bu Sek!" Setelah berkata demikian, dia menyambar tubuh Sin Liong dan menyeretnya memasuki hutan itu lebih dalam lagi.

Setelah hari menjadi gelap, kakek itu sudah berada di puncak sebuah bukit yang penuh dengan padang rumput dan alang-alang yang liar dan amat luas. Sambil terkekeh senang kakek itu lalu membuat salib dari dua batang balok besar, lalu mengikat tangan dan kaki Sin Long pada kayu salib itu.

"Kau tidak mengenal takut? Benar-benar kau tidak mau minta ampun kepadaku?"

Sejenak Sin Liong memandang wajah kakek yang tingginya hanya sampai di dadanya itu, lalu tiba-tiba dia meludah, "Cuhh! Dari pada minta ampun kepadamu, lebih baik aku mati seribu kali!"

Ouwyang Bu Sek berjingkrak dan berloncatan saking marahnya. Kedua tangannya sudah gatal-gatal hendak menghantam anak itu dan dengan sekali hantam saja tentu Sin Liong akan mati.

"Begitu, ya? Nah, kau boleh mati seribu kali, selaksa kali!" teriak kakek itu dengan marah dan dia lalu meninggalkan Sin Liong yang terbelenggu di atas kayu salib dengan kedua lengan terpentang itu.

Malam itu bulan hanya muncul seperempat bagian saja. Cuaca remang-remang sangat menyeramkan, apa lagi ditambah dengan suara angin yang menggerakkan ujung rumpun ilalang dan yang mengeluarkan bunyi mengerikan, seolah-olah semua siluman, setan dan iblis sedang berkeliaran di tempat itu.

Malam semakin larut dan di langit terdapat banyak awan berarak. Sin Liong menengadah dan memandang ke atas. Awan-awan itu membentuk makhluk-makhluk aneh dan berarak perlahan-lahan menuju bulan. Kalau awan-awan itu melintasi bulan, maka cuaca menjadi gelap remang-remang dan nampak betapa bayangan bulan sepotong itu bagaikan berlari cepat di antara awan-awan yang sebentar-sebentar merubah bentuknya. Indahnya bukan main!

Sin Liong hampir lupa bahwa dia sedang terbelenggu dan berada dalam keadaan tertotok lumpuh. Bahkan ada rasa gembira di dalam hatinya ketika menyaksikan keindahan langit itu! Dan rasa gembira ini bukan hanya karena melihat pemandangan indah itu, melainkan juga oleh perasaan bahwa dia sudah berkorban untuk kongkong-nya! Dia tidak percuma menjadi cucu kakeknya yang gagah perkasa itu, dia telah membela nama kakeknya dan biar pun dia akan mati karenanya, dia merasa puas.

Akan tetapi kalau dia teringat kepada ayah kandungnya dan semua keluarga kakeknya, dia merasa marah dan benci. Jelas bahwa ayah kandungnya itu benci kepadanya. Dia dilarikan musuh, namun tidak ada seorang pun di antara mereka yang mempedulikannya. Dia juga tidak butuh dengan pertolongan mereka! Keangkuhan dan perasaan tinggi hati ini memenuhi benak dan hati Sin Liong. Tidak, dia tidak membutuhkan mereka!

Tiba-tiba saja terdengar suara aneh di antara suara desir angin yang menggerakkan ujung rumpun ilalang di sekelilingnya,. Suara melengking nyaring yang makin lama makin keras, yang datangnya dari arah kanan. Sin Liong tak mampu bergerak karena terbelenggu dan juga tertotok, akan tetapi dia dapat melirik dan tiba-tiba matanya terbelalak.

Ia merasa tengkuknya dingin sekali dan seolah-olah semua bulu tubuhnya bangkit berdiri karena merasa seram. Sin Liong bukan seorang penakut, akan tetapi apa yang dilihatnya membuat dia terkejut dan ngeri. Dia melihat sesosok tubuh tanpa kepala yang berloncat-loncatan di sebelah kanannya dan mengeluarkan suara melengking nyaring memekakkan telinga. Setan! Iblis! Tak salah lagi. Mana mungkin ada makhluk lain seperti ini?

Akan tetapi, Sin Liong adalah seorang anak yang memiliki kekuatan luar biasa, dia tabah dan sebentar saja rasa kaget serta ngerinya sudah mereda, bahkan kini dia memandang dengan penuh perhatian karena amat tertarik. Dia melihat betapa makhluk itu berkerudung kain putih, tanpa kepala, akan tetapi kedua kakinya kecil bersepatu, karena itu tiba-tiba dia tersenyum.

"Kakek cebol tolol! Kau kira aku takut dengan permainanmu ini?"

Mendengar ucapan itu, makhluk aneh itu mengeluarkan seruan kecewa, kemudian sekali berkelebat makhluk itu telah lenyap dan suasana menjadi sunyi kembali.

Sin Liong menengadah dan melanjutkan lamunannya. Kakek itu sengaja ingin menakut-nakutinya, pikirnya. Hemmm, dia ingin sekali melihat aku ketakutan dan mengeluh, lantas minta-minta ampun. Engkau takkan berhasil! Biar sampai mati sekali pun aku tidak akan memperlihatkan rasa takut di depanmu.

Demikianlah watak Sin Liong, makin dia ditekan, makin melawan pula dia. Makin dihimpit, maka makin keras dia menentang. Dia seperti baja keras yang tidak tunduk menghadapi tempaan yang mengandalkan kekerasan.

Mendadak dari sebelah kirinya terdengar suara seperti orang menangis dan merintih. Sin Liong mengerling ke kiri dan dia pun melihat bayangan sebuah kerangka manusia dengan tengkorak yang menakutkan bergerak-gerak. Kini Sin Liong sudah bebas dari rasa takut. Dia memandang penuh perhatian dan pandang matanya yang amat tajam itu bisa melihat tali-tali halus di antara kerangka itu yang menggerak-gerakkan kaki tangan kerangka itu, maka dia kembali tertawa.

"Ha-ha-ha, kakek tolol. Kau kira aku anak kecil yang mudah kau takut-takuti begitu saja? Membuang-buang waktu saja. Kalau kau mau bunuh, lekas bunuh, siapa takut padamu?"

Kerangka manusia itu kembali lenyap, dan Sin Liong melanjutkan renungannya.

Memang, perasaan takut hanya timbul dari bayangan yang dipantulkan oleh pikiran kita sendiri. Kita tidak mungkin dapat takut akan sesuatu yang tidak kita kenal. Kita hanya takut akan sesuatu yang sudah kita kenal, baik kita kenal melalui pengalaman kita sendiri, mau pun melalui pengalaman lain orang yang kita dengar atau baca dalam buku.

Orang yang takut terhadap setan tentu pernah mengenal setan itu, baik melalui cerita orang atau pun dongeng dalam buku. Dia membayangkan setan itu dalam benaknya dan membayangkan betapa akan ngerinya apa bila dia bertemu setan itu. Maka terpantullah bayangan-bayangan setan yang menakutkannya ketika dia berada seorang diri di tempat sunyi, dan terjadilah rasa takut.

Orang yang tidak pernah mendengar tentang setan takkan mungkin takut kepada setan. Orang yang tidak pernah mendengar tentang siksa neraka tentu tak akan takut terhadap neraka. Dan selanjutnya lagi.

Jadi rasa takut timbul dari kenangan masa lalu yang dihubungkan dengan kemungkinan masa depan. Kita pernah membaca tentang setan sehingga terbentuk bayangan setan dalam benak kita. Lalu kita merasa khawatir kalau-kalau kita akan diganggu setan, dan timbullah rasa takut. Kita pernah melakukan sesuatu pada masa lampau, perbuatan yang tidak patut dan memalukan, dan kita khawatir kalau-kalau di masa depan akan ada orang mengetahui perbuatan itu, maka timbullah rasa takut.

Jelaslah bahwa rasa takut timbul kalau kita membayang-bayangkan sesuatu yang tidak enak bagi kita! Dan segala yang dibayangkan itu pastilah sesuatu yang belum atau yang tidak ada! Yang merasa takut akan wabah tentulah dia yang belum terkena penyakit itu, dia membayangkan betapa bahaya dan ngerinya kalau terkena penyakit wabah itu, maka takutlah dia. Bagaimana kalau dia sudah benar-benar terkena penyakit itu? Tentu saja hilang pula rasa takut terhadap penyakit itu, akan tetapi rasa takut yang berikutnya yaitu takut kalau-kalau akan mati! Dan demikian selanjutnya.

Dengan membuka mata memandang semua ini, maka timbullah pengertian bahwa yang menyebabkan rasa takut adalah pikiran kita, pikiran yang membayangkan hal yang lalu, yaitu ingatan-ingatan, kemudian membayangkan hal yang mendatang, yang kita sangka mungkin akan terjadi menimpa diri kita.

Oleh karena itu kalau kita terbebas dari masa lalu, terbebas dari segala macam ingatan masa lalu dan kepercayaan dan ketahyulan yang termasuk hal-hal masa lampau, apakah masih ada rasa takut di dalam batin kita? Kalau kita tidak mengenangkan soal-soal yang berhubungan dengan setan umpamanya, maka kiranya andai kata pada suatu waktu ada setan yang muncul di hadapan kita, tanpa kenangan masa lalu tentang setan, kita akan memandang dan timbullah keinginan tahu untuk menyelidiki, seperti kalau kita tiba-tiba melihat seekor kupu-kupu yang aneh dan belum pernah kita lihat! Hidup penuh dengan rasa takut, kekhawatiran, hampir di semua lapangan. Setelah mengerti akan semua itu, tidak mungkinkah bagi kita untuk hidup tanpa rasa takut sama sekali?

Akhirnya Sin Liong tak dapat menahan kelelahan dan kantuknya. Dia dapat tidur pulas dengan kedua lengan bergantung pada kayu salib itu!

Memang luar biasa anak ini, pikir Ouwyang Bu Sek sambil berdiri bertolak pinggang di depan anak itu, memandangi anak yang tidur pulas sambil bergantung pada kayu salib. Anak itu tidur pulas, mendengkur halus dan wajahnya tenang dan cerah, bahkan bibirnya agak tersenyum seolah-olah anak itu sedang mimpi indah!

Rasa kagum dan heran membuat hati tua itu semakin penasaran karena dia ingat bahwa anak ini adalah cucu dari musuh besarnya.

"Ingin kulihat apakah dia masih dapat bersikap setabah itu kalau benar-benar menghadapi ancaman bahaya maut yang sangat mengerikan," katanya penasaran dan kakek cebol itu lalu berkelebat pergi.

Salak dan gonggongan anjing yang riuh rendah membangunkan Sin Liong. Dia membuka kedua matanya dan menjadi silau oleh sinar matahari. Kiranya matahari telah naik tinggi. Dia cepat memandang ke bawah dan melihat ada empat ekor anjing menyalak-nyalak dan menggonggong-gonggong di sekelilingnya. Bukan anjing, pikirnya, namun srigala! Srigala-srigala yang liar dan buas!

Kedua matanya terbelalak dan otaknya segera bekerja untuk mencari akal. Dia terancam bahaya! Srigala-srigala itu meraung-raung, dan lidah mereka terjulur keluar, lidah yang basah dan air liurnya berpercikan ke mana-mana, tanda bahwa mereka itu sudah sangat lapar dan ingin menikmati daging manusia muda itu!

"Ha-ha-ha, anak bandel. Kalau tidak minta ampun kepadaku, empat ekor srigala itu akan mencabik-cabik kulit berikut dagingmu, mengganyangmu hidup-hidup!" Tiba-tiba terdengar suara kakek cebol di sebelah kanannya.

Kehadiran kakek ini seketika mengusir semua kekhawatiran dalam hati Sin Liong, terganti dengan keangkuhan dan kekerasan hati yang luar biasa. Maka dia tersenyum. "Anjing-anjingmu ini tidaklah sekejam engkau, kakek iblis. Biar pun kau tambah dengan engkau sendiri yang menyalak-nyalak, aku tidak merasa takut sama sekali!"

"Bocah setan!" Kakek itu berkelebat pergi dengan hati kecewa.

Dari jauh dia mengintai karena dia tidak percaya kalau anak itu benar-benar sedemikian tabahnya sehingga sanggup menghadapi kematian yang amat mengerikan dengan sikap begitu tenang saja. Lihat kalau dia sudah digigit srigala, pikirnya.

Sin Liong kembali memandang kepada empat ekor srigala yang mengelilinginya sambil terus menyalak-nyalak itu. Naluri kebinatangannya timbul seketika dan dia pun langsung menyeringai, memperlihatkan gigi seekor monyet muda dan mengeluarkan gerengan dari kerongkongannya. Srigala-srigala itu terkejut dan mundur, akan tetapi melihat orang muda itu tidak bergerak menyerang, mereka berani lagi dan mulai mengelilingi lebih dekat.

Aku harus dapat membebaskan diri, pikir Sin Liong. Dia lalu memejamkan kedua matanya sambil mengingat-ingat pelajaran yang dia terima dari kakek Cia Keng Hong. Dia sudah menguasal Thi-khi I-beng, dan dia sudah menghafalkan semua bagian jalan darah pada tubuh. Kini dia tertotok oleh kakek cebol itu, dan dia merasa betapa jalan darah utama di punggungnya yang dibikin lumpuh sehingga kaki tangannya tidak mampu bergerak.

Dia memutar otak mengingat-ingat jurus Thai-kek Sin-kun, lantas dengan tenaga sinkang dari pusar, mulailah dia menyalurkan tenaga itu menurut pelajaran Ilmu Thai-kek Sin-kun yang telah dia hafal di luar kepala. Semua pelajaran yang telah diterimanya dari kakeknya adalah teorinya belaka yang sudah dihafalnya baik-baik dan kini dalam keadaan terhimpit bahaya maut, Sin Liong mulai menyalurkan hawa dari pusar itu sesuai dengan pelajaran itu.

Mula-mula hawa itu macet di sana-sini karena dia berada dalam keadaan tertotok, hawa murni di dalam tubuhnya seperti air mengalir yang berhenti di tempat-tempat saluran yang tersumbat. Akan tetapi, hawa itu berkumpul dan menjadi makin kuat di setiap sumbatan, bagaikan air yang kelihatan lembut tetapi mengandung kekuatan dahsyat, satu demi satu sumbatan itu jebol dan hawa murni seperti air itu mengalir terus, makin lama makin kuat membobolkan sumbatan-sumbatan akibat totokan itu dan jalan darahnya pun mulai lancar kembali.

Perlahan-lahan Sin Liong berhasil membebaskan diri dari totokan yang amat luar biasa dari kakek itu! Hal ini saja sudah merupakan sesuatu yang amat hebat dan tentu akan membuat kakek itu terheran-heran dan terkejut sekali karena jarang ada tokoh persilatan di dunia kang-ouw yang akan mampu membebaskan totokannya dalam waktu sesingkat itu, apa lagi hanya seorang anak-anak!

Akan tetapi, pada saat itu pula empat ekor anjing srigala tadi telah mulai menerjangnya! Dengan suara gerengan menyeramkan, mereka menubruk dan ada yang menggigit kaki Sin Liong, ada yang mencakar dadanya sehingga bajunya robek dan kakinya berdarah.

Dari jauh, Ouwyang Bu Sek memandang penuh perhatian dan bersiap untuk turun tangan membunuh empat ekor srigala itu begitu dia mendengar anak itu menjerit, menangis atau mengeluh. Akan tetapi anak itu sama sekali tidak mengeluarkan suara keluhan! Bahkan sebaliknya, gigitan srigala pada kakinya itu dibarengi gonggong dan gerengan binatang-binatang itu membangkitkan hawa murni dari dalam pusar Sin Liong.

Dia terbelalak dan dari dadanya, melalui kerongkongannya, terdengar suara lengking yang menyeramkan dan pada saat itu pula putuslah semua tali yang mengikat tubuhnya! Itulah tenaga sinkang yang diwarisinya dari Kok Beng Lama, tumbuh sepenuhnya dan bangkit serentak sehingga hanya dengan sedikit gerakan saja tali-tali itu pun putuslah! Dan kini Sin Liong mengamuk!

Srigala yang masih menggigit kakinya itu langsung terlempar ke atas pada saat Sin Liong menggerakkan kakinya. Tangan kirinya dikepal dan memukul muka anjing yang menggigit dadanya.

"Prakkk!"

Tubuh anjing srigala itu terbanting dan kepalanya pecah, dengan rintihan aneh srigala itu menggerak-gerakkan tubuh, berkelojotan dan mati! Anjing yang terlempar tadi terbanting ke atas tanah, akan tetapi dia sudah menerjang lagi bersama dua ekor temannya.

Sin Liong mengeluarkan suara gerengan seperti seekor monyet, disambarnya ekor srigala yang terdekat, kemudian diangkatnya dan dia membanting tubuh srigala itu.

"Krakkk!" terdengar suara dan kepala srigala itu pecah berantakan karena menimpa batu!

Dua ekor lagi menubruk dan menggigit Sin Liong, akan tetapi kini tubuh anak itu sudah menjadi kebal dan keras sehingga gigitan itu sama sekali tidak merobek kulitnya, hanya merobek bajunya. Sin Liong mempergunakan kedua tangannya, yang kiri mencekik leher srigala ke tiga sedangkan yang kanan kembali memukul kepala srigala ke empat.

Pukulannya itu pun membuat pecah kepala srigala, dan saking marahnya, Sin Liong lalu menggunakan mulutnya menggigit leher srigala yang dicengkeramnya dengan tangan kiri. Demikian kuat dia menggigit sehingga robeklah leher srigala itu yang sia-sia saja meronta karena cengkeraman tangan Sin Liong telah membuat jari-jari tangannya menembus kulit srigala! Setelah puas merobek-robek leher srigala, dia mengangkat tubuh srigala itu dan membantingnya.

"Nguikk!" Srigala terakhir itu berkelojotan dan mati pula.

Dari tempat sembunyinya, Ouwyang Bu Sek terbelalak dan melongo, bagai melihat setan di tengah hari. Akan tetapi, dia melihat anak itu terhuyung, mengeluh sambil memegangi kepalanya, lalu terhuyung ke depan dan hampir roboh.

Melihat ini, kakek cebol itu lalu melompat dan mulutnya berkata, "Ah, anak luar biasa...!" Dan tepat ketika Sin Liong terguling, dia sudah tiba di situ dan dia menyambut tubuh anak itu sehingga tidak sampai terbanting.

"Anak luar biasa... anak baik... anak ajaib...!" Ouwyang Bu Sek berkali-kali mengeluarkan pujian ini ketika dia memeriksa tubuh Sin Liong dan melihat bahwa pada tubuh itu hanya terdapat sedikit luka-luka, dan di dalam tubuh itu mengandung hawa sinkang yang luar biasa sekali, yang tarik-menarik secara kuat sehingga anak itu sendiri sampai tidak kuat menahan dan menjadi pingsan. Dia segera mendukung anak itu dan dibawanya lari cepat meninggalkan tempat itu.

Ouwyang Bu Sek adalah seorang manusia yang berwatak aneh. Tadinya dia memang tak berniat untuk menculik Sin Liong. Hanya setelah menduga bahwa anak itu adalah cucu musuh besarnya yang sudah mati, juga melihat betapa di Cin-ling-san terdapat banyak sekali orang sakti yang takkan sanggup dilawannya kalau dikeroyok, maka dia menawan anak itu untuk dipergunakan sebagai perisai agar dia dapat meloloskan diri.

Kemudian, dia pun tak mempunyai niat untuk membunuh atau menyiksa anak itu. Hanya melihat kebandelan dan kekerasan hati Sin Liong, dia menjadi penasaran, merasa seperti ditantang dan dia kemudian menakut-nakuti anak itu untuk mematahkan kebandelannya.

Namun, melihat betapa Sin Liong bahkan dapat membebaskan diri dan membunuh empat ekor srigala, dia merasa terkejut, terheran-heran dan juga kagum sekali. Timbul rasa suka di dalam hatinya, maka dengan rasa sayang dia lantas membawa pergi Sin Liong untuk dirawat.

Sebelum dia mengambil keputusan dan memberanikan diri pergi ke Cin-ling-san mencari ketua Cin-ling-pai untuk membalaskan sakit hati atas kematian pamannya, Ouwyang Bu Sek yang baru turun dari Gunung Himalaya itu berada di selatan sampai selama hampir tiga tahun. Karena kepandaiannya memang tinggi sekali, maka sebentar saja dia sudah dikenal oleh semua tokoh kang-ouw di dunia selatan, bahkan dia diakui sebagai seorang di antara datuk-datuk dunia persilatan dan disegani orang.

Akan tetapi kakek ini memang seorang yang sangat aneh, dia selalu menjauhkan diri dan tidak mau menerima murid. Akan tetapi hampir semua tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw mengenal kakek cebol ini, dan setiap ada pertemuan-pertemuan penting, pesta-pesta dan sebagainya, tentu kakek cebol ini menerima undangan dan menjadi tamu kehormatan.

Sepak terjang Ouwyang Bu Sek memang aneh dan kadang kala mencengangkan orang di dunia kang-ouw. Kakek ini agaknya sudah tidak mau mengenal lagi rasa sungkan dan tidak mau mempedulikan segala peraturan dan sopan santun, akan tetapi ketika terjadi pemilihan bengcu di daerah selatan, kakek ini sempat menghebohkan dunia kang-ouw.

Pada waktu itu, dua tahun yang lalu, di daerah selatan diadakan pemilihan bengcu, yaitu seorang yang dianggap cukup pandai, berwibawa dan cakap untuk menjadi kepala atau pemimpin dari apa yang dinamakan golongan hitam wilayah selatan. Dan yang memiliki harapan besar untuk terpilih sebagai bengcu dan wakil-wakilnya adalah tiga orang tokoh besar di selatan yang dikenal sebagai Lam-hai Sam-lo (Tiga Datuk Laut Selatan).

Mereka bertiga ini di samping terkenal sebagai tokoh-tokoh tua di selatan, juga terkenal mempunyai kepandaian tinggi dan juga mempunyai pengaruh yang sangat luas, terutama sekali karena seluruh bajak laut di laut selatan merupakan anak buah mereka atau paling tidak mengakui mereka sebagai datuk para bajak laut.

Akan tetapi, kesempatan baik dan harapan tiga orang datuk ini hancur akibat munculnya Ouwyang Bu Sek dalam persidangan pemilihan bengcu itu, dengan membongkar rahasia tiga orang kakek itu yang oleh Ouwyang Bu Sek dinyatakan tidak patut menjadi bengcu karena mereka bertiga adalah orang-orang berjiwa cabul dan suka mengeram dara-dara muda untuk perbuatan-perbuatan cabul!

Semua hadirin tercengang menyaksikan keberanian Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena Ouwyang Bu Sek mengajukan hal itu sebagai fakta-fakta dengan mengajukan pula bukti dan saksi, maka tiga orang datuk itu tidak mampu menyangkal lagi, hanya dengan marah menyatakan bahwa urusan dalam kamar adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan pemilihan bengcu.

Bagaimana pun juga, pembongkaran rahasia oleh Ouwyang Bu Sek itu tentu saja sudah menjatuhkan nama mereka dan banyak pemilih yang menarik kembali suara mereka sehingga akhirnya pemilihan bengcu jatuh pada orang lain.

Tentu saja tiga orang datuk ini menaruh dendam yang amat mendalam kepada Ouwyang Bu Sek. Mereka tidak berani menyatakan permusuhan itu secara berterang, karena hal itu akan membuat mereka makin jatuh dalam mata para tokoh kang-ouw yang memandang tinggi kepada Ouwyang Bu Sek.

Bagi dunia kang-ouw di daerah selatan perbuatan Ouwyang Bu Sek membongkar rahasia kecabulan tiga orang Lam-hai Sam-lo itu bukan dianggap sebagai penyerangan pribadi, melainkan sebagai tindakan bijaksana demi pemilihan bengcu yang tepat. Dan memang sesungguhnya Ouwyang Bu Sek tidak memusuhi Sam-lo itu, hanya karena dia seorang yang aneh dan tidak mau memakai banyak peraturan dan sopan santun maka dia berani membongkar rahasia kecabulan mereka di depan umum, bukan dengan niat menghina atau mendatangkan aib, melainkan untuk melihat bahwa bengcu yang dipilih benar-henar tepat.

Kalau tiga orang datuk itu mendendam kepada Ouwyang Bu Sek, sebaliknya kakek cebol ini sama sekali tidak memusuhi mereka, bahkan dia sudah lupa lagi bahwa dia pernah menghalangi mereka untuk menjadi bengcu. Akan tetapi, kenapa Ouwyang Bu Sek selalu menyembunyikan diri dalam sebuah pondok sunyi di puncak Bukit Tai-yun-san di Propinsi Kwan-tung di selatan? Apa bila dia tidak merasa bermusuhan dengan Lam-hai Sam-lo, mengapa dia harus bersikap seperti orang yang mengasingkan diri atau menyembunyikan diri?

Memang kakek aneh ini menyimpan suatu rahasia besar dan memang dia selalu merasa takut akan sesuatu. Rahasia itu adalah bahwa kepergiannya dari Pegunungan Himalaya adalah sebagai seorang pelarian!

Dari sebuah kuil yang amat tua di Pegunungan Himalaya, kuil yang disebut Kuil Sanggar Dewa, di mana hampir semua pendeta dan pertapa dari seluruh dunia singgah ke tempat suci itu untuk berdoa, dia melarikan sebuah peti hitam yang berisi pusaka-pusaka yang sudah ratusan tahun usianya, pusaka-pusaka yang merupakan kitab-kitab kuno yang tak pernah dibuka orang, karena selain tulisan-tulisan dalam kitab-kitab itu amat sukar dibaca, juga kitab-kitab itu dianggap sebagai benda keramat dan tak boleh sembarangan disentuh tangan. Para pendeta dan pertapa mempunyai kepercayaan bahwa kitab-kitab itu adalah peninggalan dari Sang Buddha, oleh karena itu dianggap sebagai benda keramat.

Inilah sebabnya mengapa Ouwyang Bu Sek kini melarikan diri jauh ke selatan dan jarang mencamputi urusan dunia kang-ouw walau pun namanya dikenal sebagai seorang datuk yang disegani. Di luar tahunya siapa pun, dia menyimpan kitab-kitab kuno itu dan dengan penuh ketekunan dia mempelajarinya, mencoba untuk memecahkan rahasia tulisan kuno dalam kitab-kitab itu.

Demikianlah sedikit catatan tentang keadaan kakek cebol yang luar biasa itu, yang tanpa direncanakan lebih dulu telah menawan Sin Liong dan kemudian karena merasa suka dan kagum, dia lalu membawa Sin Liong yang pingsan untuk pulang ke tempat tinggalnya di dalam pondok sunyi di puncak Bukit Tai-yun-san, di mana dia merawat dan mengobati Sin Liong yang menderita luka dalam.

Pada saat Sin Liong siuman dari pingsannya dan merasa betapa tubuhnya dipondong dan dilarikan dengan sangat cepatnya oleh si kakek cebol, dia merasa amat heran. Kemudian teringatlah dia betapa dia telah disiksa oleh kakek ini, bahkan diberikan kepada srigala-srigala untuk dikeroyok, maka dia cepat meronta.

"Eh, ehh, kau sudah sadar...?" Ouwyang Bu Sek yang merasa betapa tubuh yang sedang dipanggul dan dipondongnya itu meronta, lalu berhenti berlari dan menurunkan tubuh Sin Liong.

Pemuda kecil itu turun dan terhuyung-huyung, kepalanya terasa pening sekali. Tentu dia sudah jatuh kalau tidak cepat dipegang tangannya oleh kakek cebol itu.

"Heh, hati-hatilah, engkau masih lemah, tidak boleh mengerahkan tenaga dulu biar pun sudah tidak berbahaya lagi."

Sin Liong mengerutkan alisnya dan menatap wajah kakek cebol itu, memandang dengan sinar mata penuh perhatian. Teringat dia betapa dia dikeroyok srigala-srigala dan setelah berhasil membunuh binatang-binatang itu, dia roboh pingsan.

Dia memandang ke sekeliling dan mendapatkan dirinya berada di lereng sebuah gunung. Dia merasa kepalanya masih pening dan dadanya masih terasa nyeri. Mendengar ucapan kakek itu dia bertanya, "Apakah engkau telah menolongku dan mengobatiku?"

Kakek itu terkekeh dan mengangguk. "Kalau tidak begitu dan aku meninggalkan engkau di sana, apa kau kira masih hidup saat ini?"

Sepasang mata Sin Liong memandang dengan sinar mata mencorong, membuat kakek itu semakin kagum sekali. "Kau menawanku, menyiksaku, kenapa lalu menolongku? Apa kehendakmu?"

Bukan main, pikir Ouwyang Bu Sek. Bocah ini memang luar biasa sekali, sikapnya penuh wibawa. Benar-benar seorang bocah yang memiliki dasar dan bakat hebat sekali. Akan tetapi dia pun berwatak aneh dan biasanya dia pun tidak mau tunduk kepada siapa pun juga.

"Aku memang mau begitu."

"Aku tidak membutuhkan pertolonganmu."

"Aku pun tidak perlu engkau minta tolong, aku memang mau menolong."

"Engkau memusuhi keluarga Cin-ling-pai."

"Huh, apa kau kira engkau disuka oleh mereka? Engkau agaknya amat berbakti kepada kongkong-mu, akan tetapi jelas engkau tidak disuka oleh keluarga Cin-ling-pai."

"Buktinya?"

"Mereka itu tentu sudah mengejarku kalau memang mereka sayang kepadamu. Mereka tidak mengejar, berarti mereka tidak menghiraukan nasibmu."

Sin Liong menundukkan mukanya, menarik napas panjang dan perasaan hatinya terasa sakit. Memang benar, mereka itu, termasuk ayah kandungnya, sama sekali tak berusaha menolongnya, padahal dia sudah membela peti mati kakeknya, ketika hendak diganggu oleh kakek cebol ini. Hatinya menjadi panas.

"Betul juga, mereka tidak suka kepadaku," katanya.

Kakek itu memandang wajah yang menunduk itu dengan mata terbelalak heran. Anak ini makin aneh saja dalam pandang matanya. "Siapakah ayahmu? Apakah ayah bundamu tidak berada di sana dan ikut berkabung?"

Sin Liong mengangkat mukanya yang menjadi agak pucat dan memandang kepada kakek yang wajahnya lucu itu. "Aku tidak punya ayah bunda, tidak punya keluarga, tidak punya siapa-siapa di dunia ini!"

"Ehh? Dan kau bilang engkau cucu dari mendiang Cia Keng Hong?"

Sin Liong menggelengkan kepalanya. "Dia pernah menolongku dan kusebut kongkong... beliau satu-satunya orang yang baik kepadaku..."

"Tapi beliau sudah meninggal, dan yang lain-lain itu tidak suka kepadamu? Ah, kebetulan sekali!"

"Apa kebetulan?"

"Kau sebatang kara, aku sebatang kara, aku suka kepadamu dan..."

"Dan aku tidak suka padamu!"

"Kenapa?"

"Kau jahat! Kau mengganggu peti jenazah kongkong."

"Dia yang mulai lebih dulu. Dia dahulu membunuh pamanku. Aku terlambat datang karena dia telah mati, maka sedikit mengganggu peti jenazahnya untuk melepaskan rasa dongkol di hatiku, apa salahnya?"

"Kau jahat, engkau menyiksaku, hampir membunuh."

"Anak bodoh! Itu hanya untuk mengujimu, karena engkau bandel hingga membikin hatiku penasaran."

"Lalu kau mau apa sekarang?" tanya Sin Liong.

"Mau apa? Aku mau mengajakmu ke tempatku di puncak Tai-yun-san, tinggal bersamaku di sana, menjadi muridku, menjadi anakku... he-he, kita memiliki sifat-sifat yang cocok!"

"Tidak, aku mau pergi saja!"

"Kembali ke Cin-ling-san di mana semua orang tidak suka padamu?"

"Tidak, aku tidak sudi ke Cin-ling-san. Aku akan pergi ke mana saja!"

"Kalau tidak karuan yang kau tuju, mengapa tidak bersamaku saja ke selatan? Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu."

Sin Liong memandang dengan sinar mata penuh selidik, lalu berkata dengan nada suara mengejek sekali, "Engkau? Mengajarku? Huh, apa sih kepandaianmu, baru menghadapi orang-orang Cin-ling-pai saja engkau lari terkencing-kencing!"

"Aku? Lari? Hah, bocah tolol, engkau tidak tahu siapa Ouwyang Bu Sek! Kalau aku sudah berhasil menguasai ilmu-ilmu rahasiaku, biar mereka semua itu ditambah seratus orang lagi, semua takkan mampu melawanku. Sekarang pun, jika mereka maju satu demi satu, apa kau kira aku akan kalah?"

"Cin-ling-pai adalah gudang orang-orang sakti, dan mendiang kongkong merupakan orang yang luar biasa tinggi ilmunya. Aku pernah dididik oleh kongkong, sekarang mana bisa aku merendahkan diri menjadi muridmu? Kepandaianmu sampai di mana saja aku belum tahu."

Kakek itu mencak-mencak saking marahnya. Kemudian dia meloncat ke depan, tangan kanannya menghantam sebatang pohon kayu sebesar tubuh manusia, sedangkan tangan kirinya menampar sebongkah batu sebesar kerbau di bawah pohon itu.

"Plakk! Plakk!"

Sin Liong hanya mendengar suara itu, akan tetapi pohon dan batu itu sama sekali tidak bergoyang! Anak ini hampir tidak kuat menahan ketawanya. Dia lalu memandang dengan senyum mengejek. Kakek ini lucu seperti badut, pikirnya.

"Uhh, hanya sebegitu saja kepandaianmu? Lalat pun tidak akan mati kau tampar, dan kau bilang mau mengambil aku sebagai murid?"

"Eh, apakah engkau buta? Bocah bodoh, lihatlah baik-baik!" Kakek itu lalu menggunakan tangannya mendorong batu dan batang pohon itu.

Sin Liong terbelalak memandang dengan kaget sebab batu itu ternyata telah hancur lebur dan batang pohon itu tumbang. Dua pukulan yang kelihatan perlahan dan tidak berakibat apa-apa tadi ternyata sudah meremukkan batu serta mematahkan bagian dalam pohon, akan tetapi permukaan batu dan kulit pohon tidak kelihatan pecah.

Dia tidak dapat membandingkan siapa yang lebih sakti antara kakeknya dan kakek cebol ini, akan tetapi dia tahu bahwa kakek ini benar-benar lihai sekali. Kalau dia dapat terdidik langsung oleh kakek ini, sungguh merupakan keuntungan baik. Pula, biar pun dia sudah banyak mempelajari ilmu dari mendiang kongkong-nya, akan tetapi yang dia pelajari baru teorinya saja, karena kongkong-nya agaknya sudah dapat menduga bahwa tak lama lagi dia akan meninggal dunia, karena itu semua ilmunya diturunkan kepada Sin Liong secara tergesa-gesa.

"Bagaimana? Kau masih memandang rendah padaku?" Ouwyang Bu Sek bertanya ketika melihat anak itu bengong saja.

"Aku... aku suka belajar silat kepadamu, locianpwe, akan tetapi aku tidak tahu apakah aku mau menjadi muridmu...?"

Mendengar anak itu kini menyebutnya locianpwe, Ouwyang Bu Sek tersenyum dan dia pun berkata, "Aku pun tidak mudah menerima murid dan selama hidupku belum pernah aku mempunyai murid. Mari kita saling mencoba dahulu, seperti orang hendak membeli buah boleh dicoba dulu, kalau cocok baru beli. Kita pun saling coba, kalau cocok, barulah menjadi guru dan murid."

Sin Liong tidak dapat menolak lagi. Memang dia tak ingin kembali ke Cin-ling-san setelah kongkong-nya tidak ada, dan ke manakah dia hendak pergi? Keluarga Na Ceng Han telah terbasmi musuh dan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Na Tiong Pek dan Bhe Bi Cu.

Dulu, ketika dia meninggalkan utara, dia masih mempunyai tujuan, yaitu hendak mencari ayah kandungnya di Cin-ling-san. Kini, sesudah melihat ayah kandungnya memiliki isteri lain dan tidak suka kepadanya meski pun belum tahu bahwa dia adalah puteranya, maka dia tidak lagi mempunyai tujuan.

"Baik, saya mau ikut locianpwe," katanya.

Ouwyang Bu Sek girang sekali dan dia cepat menyambar tubuh Sin Liong lalu dibawanya berlari lagi seperti terbang cepatnya. Dan karena kakek cebol ini ingin memamerkan ilmu kepandaiannya kepada bocah yang agaknya masih belum percaya kepadanya itu, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan Sin Liong terpaksa memejamkan mata ketika melihat tubuhnya meluncur seperti terbang di atas tanah, kadang-kadang melewati jurang yang amat curam. Dan diam-diam dia makin kagum kepada kakek yang benar-benar amat sakti ini.

Perjalanan itu memakan waktu cukup lama, sampai hampir satu bulan barulah mereka tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san di selatan itu. Di sepanjang perjalanan, tiap hari Sin Liong dibantu memulihkan kesehatannya oleh Ouwyang Bu Sek, yang menempelkan telapak tangan di dada anak itu dan menyalurkan sinkang-nya mengobati luka di dalam dada Sin Liong.

Beberapa kali kakek ini terheran-heran dan merasa takjub ketika dia merasakan sinkang yang benar luar biasa sekali, yang terkandung dalam tubuh anak itu. Dia tidak tahu bahwa anak itu telah mewarisi sinkang dari Kok Beng Lama, dan hanya menduga bahwa anak ini memang memiliki bakat yang amat hebat.

Setelah mereka tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san yang amat sepi, melihat pondok sederhana dan kebun luas di belakang pondok yang menjadi tempat tinggal kakek itu, Sin Liong merasa suka sekali. Tempat itu amat indah, hawanya sejuk dan kesunyian tempat itu yang penuh dengan hutan mengingatkan Sin Liong akan Lembah Naga di mana dia terlahir.

Sin Liong mulai dengan hidup baru yang penuh keheningan dan ketenteraman di tempat sunyi itu, setiap hari hanya mengurus kebun sayur dan mempelajari ilmu silat yang mulai diajarkan oleh Ouwyang Bu Sek kepadanya. Akan tetapi di samping mempelajari ilmu silat yang aneh dari kakek itu, diam-diam Sin Liong mulai pula melatih diri dengan teori-teori ilmu-ilmu yang pernah dia pelajari dari mendiang kongkong-nya.

Tiga bulan telah lewat dengan aman dan damai di pondok sunyi puncak Bukit Tai-yun-san itu. Akan tetapi pada suatu malam terang bulan, terjadilah hal yang sangat mengejutkan hati Sin Liong dan yang seketika mengusir ketenteraman hidup yang telah tiga bulan itu.

Pada waktu itu, bulan purnama menciptakan pemandangan yang sangat indah dan hawa yang amat sejuk sehingga Sin Liong merasa sayang untuk meninggalkan semuanya itu, maka dia tidak mau memasuki kamarnya yang sederhana, melainkan duduk di belakang pondok, di atas batu besar dalam keadaan setengah bersemedhi atau merenung.

Tiba-tiba anak itu dikejutkan oleh suara orang bercakap-cakap dan ketika dia mendengar bahwa di antara suara itu terdapat suara Ouwyang Bu Sek, dia cepat meloncat turun dan berindap-indap menuju ke depan pondok dari mana suara-suara itu datang. Dia kemudian terheran-heran melihat tiga orang kakek berdiri berhadapan dengan Ouwyang Bu Sek di depan pondok itu, di bawah sinar bulan purnama. Sikap tiga orang kakek itu sangat kaku dan marah, sebaliknya Ouwyang Bu Sek tersenyum ramah.

"Ha-ha-ha-ha, ternyata Lam-hai Sam-lo, tiga iblis penghuni laut selatan yang kini datang berkunjung. Ha-ha-ha-ha, selamat datang, tiga orang sahabat baik. Agaknya sinar bulan purnama yang mendorong kalian bertiga berkunjung ke pondokku yang buruk!" Ouwyang Bu Sek menyambut mereka sambil tertawa-tawa.

Sin Liong memperhatikan ketiga orang kakek yang kelihatan marah itu. Orang pertama ialah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan muka menyeramkan, seperti muka Panglima Tio Hui di jaman Sam Kok, penuh cambang bauk yang membuatnya tampak gagah. Kakek ini dijuluki Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) Phang Tek. Kakek ini orangnya pendiam, serius dan ilmu pedangnya amat disegani oleh seluruh dunia kang-ouw di selatan.

Hai-liong-ong Phang Tek inilah yang mewarisi kepandaian dari mendiang Lam-hai Sin-ni, seorang di antara datuk-datuk dunia hitam pada waktu puluhan tahun yang lalu. Karena dia tidak pandai berbicara, maka dia menyerahkan kesempatan kepada adik kandungnya untuk menjadi wakil pembicara dari Lam-hai Sam-lo (Tiga Kakek Laut Selatan) di dalam segala macam pertemuan.

Adiknya itu bernama Phang Sun, berjuluk Kim-liong-ong (Raja Naga Emas), berusia enam puluh tahun akan tetapi sungguh tak patut dia menjadi adik kandung Hai-liong-ong Phang Tek. Kalau kakaknya itu merupakan seorang laki-laki yang tinggi besar dan gagah sekali, sebaliknya Phang Sun ini tubuhnya pendek kecil seperti orang berpenyakitan, kepalanya pun kecil lonjong tidak ditumbuhi rambut tapi matanya tajam sekali.

Dia kelihatan aneh, lebih mirip setan dari pada manusia karena di samping bentuk kepala gundul lonjong dan tubuhnya yang aneh itu, juga dia mempunyai kebisaan janggal, yaitu tidak pernah memakai baju dan sepatu. Tubuh atasnya dibiarkan telanjang, hanya tubuh bawah tertutup celana panjang sampai ke bawah betis, kemudian kedua kakinya itu pun telanjang. Pada lengan kirinya yang kecil pendek itu nampak sebuah gelang emas tebal.

Akan tetapi, biar pun kakek ini kelihatan aneh dan ringkih, namun sesungguhnya dia lihai bukan main, tak kalah lihai dibandingkan dengan kakaknya. Dia memiliki tenaga sinkang yang luar biasa, di samping kecerdikannya dan juga dia terkenal mempunyai kepandaian tentang racun-racun jahat.

Orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo juga memiliki wajah yang mengerikan. Bentuk tubuh dan pakaiannya biasa saja, akan tetapi wajahnya amat buruk mengerikan, dengan hidung pesek sekali, melesak ke dalam dan mulut lebar dengan gigi tidak karuan susunannya, membuat wajahnya itu nampak seperti tengkorak. Akan tetapi, kakek yang usianya juga sudah enam puluh tahun ini memiliki tenaga kasar yang amat kuat, sekuat gajah dan ilmu silatnya juga tinggi sehingga bila dibandingkan dengan kedua orang rekannya, dia hanya kalah sedikit saja. Namanya Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) Cu Bi Kun.

"Ouwyang Bu Sek, kami bertiga datang bukan untuk beramah-tamah atau pun mengobrol denganmu!" kata Kim-liong-ong Phang Sun si kecil pendek dengan suaranya yang lantang dan besar, sungguh berlawanan dengan bentuk tubuhnya.

"Aihhh... habis mau apa? Sayang aku tidak punya arak wangi dan hidangan sedap maka tidak dapat menyuguhkan apa-apa."

"Ouwyang Bu Sek, bersiaplah engkau. Kami bertiga datang untuk membuat perhitungan denganmu. Mari kita selesaikan perhitungan di antara kita dengan mengadu kepandaian," kata pula Phang Sun.

"Wah-wah, ini namanya mengkhianati alam yang begini indah! Tadinya kusangka kalian hanya ketularan penyakit umum dari manusia yang tidak dapat menikmati keadaan dan keindahan sehingga orang-orang di tepi laut tidak dapat menikmati lagi keindahan lautan dan pergi mencari keindahan di pegunungan, sebaliknya orang pegunungan sudah bosan dengan keindahan di pegunungan lalu pergi mencari keindahan di tepi laut. Kiranya kalian datang untuk menantangku berkelahi mati-matian, hendak mengotori pemandangan yang demikian indahnya. Dan kalian ingin menyelesaikan perhitungan, padahal aku tak merasa mempunyai hubungan apa-apa kepada kalian."

"Ouwyang Bu Sek, tidak perlu kau berpanjang lidah! Dua tahun yang lalu engkau sudah menjatuhkan fitnah atas diri kami pada saat diadakan pemilihan bengcu. Apakah engkau masih hendak menyangkal hal itu?" bentak Kim-liong-ong marah, ada pun Hek-liong-ong sudah mengepal tinjunya, dan Hai-long-ong sudah memukul-mukulkan tongkatnya ke atas tanah.

Kembali kakek cebol itu tertawa, kelihatannya tenang-tenang saja melihat betapa mereka itu marah-marah. "Aihh-aihh, jadi ternyata hal itukah yang kalian maksudkan? Aku tidak merasa menjatuhkan fitnah. Kawan-kawan, tahukah kalian apa artinya fitnah itu? Fitnah adalah tuduhan terhadap orang lain tanpa bukti nyata, itulah fitnah. Akan tetapi, aku telah membongkar rahasia kecabulan kalian bertiga dengan bukti-bukti, itu sama sekali bukan fitnah namanya!"

Wajah tiga orang kakek itu menjadi marah sekali dan kemarahan mereka makin berkobar. "Kau mencampuri urusan pribadi orang lain!" bentak Hai-liong-ong Phang Tek.

"Kau menghina kami di depan orang banyak!" bentak pula Hek-liong-ong Cu Bi Kun.

"Ouwyang Bu Sek, tidak perlu banyak cakap. Kami datang untuk membalas penghinaan yang kau lemparkan ke atas kepala kami. Hayo kau lawan kami, kalau tidak berani, lekas berlutut minta ampun, barang kali kami masih hendak mempertimbangkan hukumanmu!" Kim-liong-ong Phang Sun berkata.

"Ha-ha-ha, aku tidak berani? Lam-hai Sam-lo, kalau aku melawan, apamukah yang kalian andalkan untuk dapat menang?"

Mendengar ucapan ini, Hek-liong-ong sudah tidak sanggup menahan kemarahannya lagi. Sebagai seorang datuk yang amat terkenal, biar pun tadi dia sudah meraba-raba gagang goloknya, akan tetapi dia tidak mau sembarangan mengeluarkan senjata. Kepandaiannya terlalu tinggi untuk secara sembrono menggunakan senjata, karena kaki tangannya saja sudah merupakan senjata-senjata maut yang ampuh.

Maka, sambil menggereng marah dia sudah menubruk maju dan karena kakek raksasa muka hitam ini memang kuat bukan main, begitu dia menjejakkan kakinya di atas tanah sebagai landasan untuk menubruk, bumi seperti tergetar dan gerakannya didahului angin yang kuat.

"Wuuuttt...! Bresss...!"

Debu mengepul tinggi ketika kakek raksasa ini menubruk, akan tetapi yang ditubruknya telah lenyap sehingga dia menangkap angin belaka. Begitu cepatnya gerakan Ouwyang Bu Sek, sehingga elakannya itu sampai tidak kelihatan oleh lawannya yang menyerang. Akan tetapi tentu saja nampak oleh Hai-liong-ong Phang Tek yang juga memiliki ginkang istimewa.

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Maka, begitu melihat tubrukan temannya itu luput dan melihat pula betapa kakek cebol itu mempergunakan ginkang-nya yang hebat, dia pun langsung berseru keras dan tubuhnya menyambar ke depan seperti kilat cepatnya, lalu kedua tangannya sudah menampar dari kanan kiri dengan gerakan melingkar sehingga gerakan kedua tangan ini sudah menutup semua jalan keluar!

"Bagus!" Ouwyang Bu Sek memuji sebab memang serangan orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu hebat bukan main. Dia tidak lagi melihat jalan keluar untuk mengelak sehingga otomatis dia harus memapaki dua tamparan dari kanan kiri itu dengan tangkisan kedua lengannya yang pendek.

"Dukkk! Dukkk!"

Hebat sekali benturan antara dua pasang lengan itu dan akibatnya, tubuh Hai-liong-ong Phang Tek terdorong ke belakang sedangkan kakek cebol itu menertawakannya! Jelas bahwa kakek cebol itu lebih kuat dalam mengadu tenaga sinkang tadi.

"Hemmm...!" Suara ini keluar dari mulut Kim-liong-ong yang sudah menggerakkan tangan menyerang. Sekali ini Ouwyang Bu Sek merasa terkejut karena sambaran angin dahsyat yang keluar dari tangan kakek kurus pendek ini ternyata amat kuatnya hingga terdengar suara mencicit nyaring.

"Bagus!" Dia memuji lagi dan cepat dia pun mendorongkan tangannya menyambut.

"Plakkk!"

Dua telapak tangan kanan bertemu dan saling melekat, dari dalam dua telapak tangan itu meluncur tenaga sinkang yang sangat kuat dan kini mereka saling mendorong. Meski pun Kim-liong-ong Phang Sun nampak terdorong ke belakang, akan tetapi dia masih mampu mempertahankan sehingga Ouwyang Bu Sek maklum bahwa orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki sinkang yang terkuat di antara mereka bertiga. Dan tiba-tiba saja dia mengeluarkan seruan aneh ketika merasa betapa telapak tangannya gatal-gatal.

"Ih, kau iblis beracun!" bentaknya dan Ouwyang Bu Sek yang maklum bahwa selain amat kuat sinkang-nya, juga Kim-liong-ong ini ternyata memiliki tangan beracun, mengerahkan tenaganya dan tubuh lawannya itu terpental, telapak tangan mereka terlepas dari lekatan lawan.

Namun, Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong sudah menyerang lagi dari kanan kiri, membuat Ouwyang Bu Sek kewalahan juga. Kakek cebol ini masih dapat tertawa-tawa ketika dia menyambut serangan mereka dan gerakannya aneh dan lincah, tubuhnya yang kecil itu menerobos ke sana-sini di antara sambaran tangan dan kaki tiga orang lawannya yang lihai.

Namun, walau pun kakek cebol itu masih tertawa-tawa, sebenarnya dia repot bukan main menghadapi pengeroyokan Lam-hai Sam-lo. Tiga orang kakek ini bukan sembarangan orang melainkan datuk-datuk selatan yang lihai sekali, selain memiliki sinkang yang amat kuat juga mereka memiliki ilmu-ilmu silat yang aneh. Kalau mereka bertiga belum juga mengeluarkan senjata, hal ini adalah karena selain si cebol juga bertangan kosong, juga mereka merasa berada di fihak yang mendesak dan menang.

Andai kata mereka itu maju seorang demi seorang, agaknya mereka masih tidak akan mampu menandingi Ouwyang Bu Sek. Akan tetapi dengan maju bersama, mereka dapat saling melindungi dan tentu saja keadaan mereka menjadi tiga kali lipat kuatnya sehingga membuat Ouwyang Bu Sek repot sekali. Kakek cebol ini hanya mampu mempertahankan diri, mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak ke sana-sini, dan kadang-kadang mengandalkan sinkang-nya untuk menangkis. Akan tetapi dia sudah tak memiliki kesempatan lagi untuk balas menyerang.

Betapa pun juga, setelah dia berhasil mempertahankan diri lebih dari seratus jurus, ketika agak terlambat gerakannya, Ouwyang Bu Sek segera kena dihantam oleh telapak tangan Kim-liong-ong pada pundaknya.

"Desss...!"

Biar pun Ouwyang Bu Sek sudah mengerahkan tenaga saktinya sehingga tubuhnya kebal dan hantaman itu tidak sampai melukainya, namun tubuhnya terpelanting dan bergulingan di atas tanah.

Pada saat itu pula terdengar suara gerengan seperti seekor binatang buas yang marah dan nampaklah sesosok bayangan yang berkelebat dengan cepatnya menubruk ke arah Kim-liong-ong Phang Sun yang baru saja menghantam Ouwyang Bu Sek. Bayangan ini bukan lain adalah Sin Liong.

Pemuda ini tadi hanya menonton karena dia maklum betapa lihainya ketiga orang lawan kakek cebol itu. Akan tetapi melihat kakek cebol itu terpukul roboh, dia segera meloncat dan menerjang kakek kecil aneh itu, dan langsung menyerang dengan pukulan-pukulan keras dan totokan-totokan satu jari tangan kirinya. Pemuda ini memang memiliki sinkang luar biasa, maka tentu saja serangan-serangannya mendatangkan angin yang dahsyat, membuat Kim-liong-ong terkejut dan cepat mengelak.

Ouwyang Bu Sek tertawa girang dan dia telah meloncat bangun lagi. Sekarang kakek ini kembali mendesak dan melawan pengeroyokan Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong sambil tertawa-tawa. Mendengar kakek cebol itu tertawa-tawa, hati Sin Liong merasa lega karena hal itu membuktikan bahwa kakek cebol itu tidak mengalami luka parah, maka dia dapat mencurahkan perhatiannya menghadapi kakek kecil yang aneh itu.

Kim-liong-ong Phang Sun kini marah bukan main. Kiranya yang menolong musuh mereka itu hanya seorang pemuda cilik dan biar pun dia tahu bahwa pemuda ini memiliki tenaga sakti yang besar dan ilmu silat yang aneh dan tinggi, namun gerakan pemuda ini masih mentah. Maka pada saat dia melihat Sin Liong mendesak dan menghantam, dia sengaja mengerahkan sinkang-nya untuk menangkis lengan pemuda itu dan mematahkannya.

"Plakk...!"

"Ihhhh...!" Kim-liong-ong berteriak kaget bukan main karena tangannya bertemu dengan lengan seorang pemuda kecil dan tangan itu melekat, kemudian mendadak dia merasa betapa tenaga sinkang yang dipergunakan untuk menangkis tadi kini memberobot keluar, membanjir meninggalkan tubuhnya melalui tangan, disedot oleh lengan bocah itu! Dia lalu berusaha untuk menarik kembali tangannya dengan mengerahkan sinkang, akan tetapi celakanya, makin dia mengerahkan sinkang, makin banyak tenaganya membanjir keluar!

Melihat wajah temannya yang matanya terbelalak dan mukanya pucat itu, Hek-liong-ong terkejut dan menduga bahwa tentu bocah itu melakukan hal aneh dan mungkin memiliki ilmu luar biasa, maka dia pun menerjang sambil menghantamkan kepalan tangannya ke arah Sin Liong.

Pada waktu itu, Sin Liong sudah memiliki kewaspadaan dan kegesitan seorang ahli silat tinggi. Kepekaan tubuhnya mulai bangkit setelah dia menerima latihan dari Ouwyang Bu Sek, maka menghadapi hantaman yang mengandung tenaga raksasa yang amat kuat itu, dia tidak menjadi bingung. Dengan miringkan sedikit tubuhnya, dia dapat menghindarkan pukulan langsung, kemudian lengannya menangkis.

"Plakkk!"

Dan kini tangan Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) itu pun menempel pada lengannya dan tidak dapat ditarik kembali karena tenaganya membanjir keluar seperti yang dialami oleh Kim-liong-ong Phang Sun.

Akan tetapi, kedua orang itu adalah tokoh-tokoh besar dari dunia kang-ouw dan mereka telah memiliki kepandaian yang amat hebat. Melihat keadaan ini, mereka dapat menduga bahwa bocah aneh itu memiliki tenaga sedot yang luar biasa, dan mereka saling pandang kemudian Kim-liong-ong berkata, "Sute, kita kerahkan tenaga bersama. Satu-dua-tiga...!"

Akan tetapi celaka, semakin hebat kedua orang itu mengerahkan tenaga untuk menarik tangan mereka, makin hebat pula tenaga mereka membanjir keluar, seperti air yang terjun ke dalam samudera! Tentu saja wajah mereka menjadi pucat sekali. Dan pada saat itu, Ouwyang Bu Sek menotok ke arah pundak Sin Liong sambil membentak,

"Lepaskan!"

Sin Liong terkejut dan otomatis syarafnya bergerak dan tenaga menyedot itu pun sudah disimpannya kembali sehingga dua orang yang tadi melekat padanya terlempar beberapa meter ke belakang karena mereka sudah dilontarkan oleh Ouwyang Bu Sek.

Hai-liong-ong Phang Tek terkejut bukan main, mengira bahwa kepandaian Ouwyang Bu Sek memang hebat bukan kepalang. Melihat kedua orang kawannya sudah terluka dan dirobohkan, dia lalu menjura.

"Lain kali kita bertemu kembali," katanya dan dia kemudian menyambar tubuh dua orang temannya yang masih lemas, dan sekali melompat dia sudah menghilang dari tempat itu.

Sejenak Ouwyang Bu Sek berdiri tegak dan memandang ke arah menghilangnya Lam-hai Sam-lo, kemudian dia menoleh dan menghadapi Sin Liong yang masih berdiri. Dia segera merangkul Sin Liong dan... menangis! Kakek itu menangis seperti anak kecil kehilangan layang-layang yang putus terbawa angin, terisak-isak bercampur sesenggukan hingga Sin Liong menjadi bingung sekali.

"Locianpwe, kenapa kau menangis? Kenapa...?" tanyanya berkali-kali.

Dia membiarkan saja kakek itu merangkulnya sambil menangis dan dia merasa betapa pundak kirinya di mana kakek itu bersandar telah menjadi basah oleh air mata. Akhirnya, tangis itu mereda dan kakek itu melepaskan rangkulannya, lalu menggunakan ujung baju untuk membuang ingus dengan suara nyaring bukan main.

Akhirnya dapat juga dia bicara. "Ahhh, tak kusangka bahwa malam ini Ouwyang Bu Sek sudah diselamatkan oleh seorang anak-anak..."

Sin Liong memandang dengan heran, dan tidak menjawab.

"Dan mengingat betapa aku telah menganggap anak itu sebagai kacung, bahkan selama berbulan-bulan aku tidak tahu dan tidak ingin menanyakan namanya, tidak mempedulikan dia dan hanya menurunkan ilmu sekedarnya, tahu-tahu malam ini dia menyelamatkan nyawaku, hati siapa tak akan terharu?"

Mendengar ini, Sin Liong baru mengerti dan dia merasa heran dan juga geli. Kakek yang luar biasa lihainya ini seperti anak kecil saja. "Locianpwe, memang nama saya tidak ada harganya untuk diketahui oleh locianpwe."

Kakek itu melompat dan berjingkrak. "Tidak, siapa bilang tidak berharga? Engkau adalah in-kong (tuan penolong) bagiku. Hayo katakan, siapakah namamu?"

"Nama saya Sin Liong..."

"Hebat! Naga Sakti? Memang hebat dan tepat sekali. Cia Sin Liong!"

Sin Liong terkejut. "Saya... saya... bukan she Cia!"

"Habis she apa?"

"Saya... saya tidak tahu, locianpwe."

"Justru karena tidak tahu itu maka engkau she Cia, seperti kongkong-mu..."

"Akan tetapi... saya hanya mengaku-aku saja beliau sebagai kongkong..."

"Kalau bukan kongkong-mu sendiri, mana mungkin engkau diwarisi Thi-khi I-beng? Yang kau gunakan tadi adalah Thi-khi I-beng, bukan? Hayo kau coba terima ini!" Cepat bukan main kakek itu sudah menerjang dan menghantam ke arah kepala Sin Liong.

Bukan main kagetnya Sin Liong melihat pukulan yang sangat cepat dan kuat ini. Otomatis dia menggerakkan lengan ke atas untuk menangkis dan otomatis pula dia mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng yang menjadi lebih kuat karena baru saja dia 'minum' tenaga atau hawa sakti dari dua orang kakek itu.

"Plakk!"

Telapak tangan kakek itu bertemu dengan lengan Sin Liong dan seketika itu pula tenaga sinkang-nya tersedot! Akan tetapi, kakek cebol itu cepat-cepat melepaskan sinkang-nya dan ternyata daya lekat itu pun lenyap.

Memang demikianlah keistimewaan Thi-khi I-beng. Kalau yang menyerang pemilik Thi-khi I-beng itu tidak menggunakan tenaga sinkang, maka dia tidak akan melekat dan tersedot. Akan tetapi begitu tenaga sinkang tersedot, sulitlah untuk membebaskan diri, karena baik menyerang mau pun berusaha menarik tangan tentu harus dilakukan dengan pengerahan tenaga yang akan makin hebat tersedot saja.

Ouwyang Bu Sek yang telah bertahun-tahun lamanya mempersiapkan diri untuk melawan mendiang Cia Keng Hong, sudah mendengar akan keistimewaan Ilmu Thi-khi I-beng yang dimiliki pendekar Cin-ling-pai itu, maka dia sudah mempelajari kelemahannya dan sudah tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri dari Thi-khi I-beng. Selain melepaskan diri dengan menyimpan sinkang-nya, juga dia dapat menotok bagian yang menyedot itu sehingga urat-urat syaraf di bagian itu tergetar dan saat itu dia dapat menarik anggota tubuhnya yang melekat.

"Memalukan! Memalukan sekali!" Tiba-tiba kakek itu berkata sambil memandang kepada Sin Liong.

"Apa yang memalukan, locianpwe?"

"Kau!"

"Saya...?"

"Ya, engkau yang memalukan. Pertama-tama, engkau menyebutku locianpwe. Mulai saat ini sebutan itu harus kau buang jauh-jauh dari benak dan mulutmu. Awas, kalau sekali lagi menyebut, engkau akan menjadi musuhku karena berarti engkau menghinaku, tahu?"

"Eh? Ini... ini... locian..." Sin Liong menghentikan sebutan itu. "Lalu saya harus menyebut apa?"

"Aku adalah suheng-mu, mau sebut apa lagi?"

"Suheng...?"

Sin Liong memandang dengan mata terbelalak bingung. Kakek ini suheng-nya? Dengan perhitungan bagaimanakah tahu-tahu kakek ini menjadi suheng-nya?

"Ya, sute, aku adalah suheng-mu. Kita sama-sama menjadi murid dari Bu Beng Hud-couw di Himalaya!"

"Siapakah Bu Beng Hud-couw (Dewa Tanpa Nama) itu?"

"Nanti kujelaskan. Sekarang, hal ke dua yang memalukan. Yaitu, engkau sudah menjadi pencuri yang menjemukan bila menggunakan Thi-khi I-beng untuk menyedot dan mencuri tenaga sinkang lawan. Huh, benar-benar memalukan sekali."

"Tapi, lo... eh, ssuu... heng..." Sulit sekali bagi Sin Liong untuk menyebut suheng kepada kakek itu, akan tetapi dia takut kalau-kalau benar kakek aneh itu akan memusuhinya jika dia berani menyebut locianpwe lagi. "Aku tak bermaksud mencuri tenaga orang. Memang begitulah sifat Thi-khi I-beng, menyedot tenaga lawan yang menyerang. Adalah kesalahan lawan itu sendiri karena dia menyerang..."

"Alasan dicari-cari! Mendiang Cia Keng Hong sendiri tentu tidak sudi menggunakan ilmu itu untuk mencuri sinkang orang. Ilmu itu hanya untuk menghindarkan diri dari terluka oleh pukulan orang, bukan untuk mencuri hawa sinkang. Mulai sekarang, engkau tidak boleh menggunakannya untuk menyedot tenaga orang. Huh, seperti perempuan cabul saja!"

Sin Liong melongo, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu dan mengapa dia dimaki seperti perempuan cabul segala! Akan tetapi dia tidak membantah, dan tidak menjawab.

"Aku adalah suheng-mu, maka juga mewakili guru kita. Hayo kau cepat ikut bersamaku untuk melakukan upacara pengangkatan guru terhadap guru kita Bu Beng Hud-couw di Himalaya!"

Sin Liong tidak membantah pula dan dia kemudian mengikuti kakek itu, bukan memasuki pondok melainkan pergi menjauhi pondok ke sebuah lereng bukit! Anak ini merasa amat terheran-heran. Betulkah kakek ini memiliki seorang guru yang tinggal di tempat terpisah?

Di bawah penerangan sinar bulan purnama, dua orang itu berjalan berdampingan menuruni puncak. Dilihat dari jauh, tentu disangka orang bahwa Sin Liong lebih tua karena kakek itu hanya setinggi pundaknya!

Ketika tiba di lereng yang penuh dengan batu-batu karang dan goa-goa kecil, kakek itu berhenti, sejenak dia berdiri di atas batu memandang ke kanan kiri penuh perhatian. Setelah dia merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, dia lalu mengajak Sin Liong menghampiri sebuah batu sebesar gajah. Dengan hati-hati dia lalu mendorong batu itu sampai bergeser dan ternyata di balik batu besar itu terdapat sebuah goa kecil yang lebarnya hanya satu meter, goa kecil namun gelap karena selain terhalang batu besar juga agaknya dalam sekali.

Kakek itu merangkak masuk dan tidak lama kemudian dia sudah keluar lagi membawa sebuah peti hitam yang bentuknya persegi dan ukurannya kurang dari setengah meter. Dengan penuh khidmat dia meletakkan peti hitam itu di atas sebuah batu, kemudian dia menjatuhkan diri di depan peti itu.

"Sute, cepat kau berlutut memberi hormat," dia berbisik.

Sin Liong merasa seram karena dia tidak melihat siapa-siapa, akan tetapi dia sama sekali tidak membantah dan cepat dia pun berlutut di samping kakek itu, menghadapi peti hitam. Kakek itu memberi hormat dengan berlutut dan bersoja tiga kali, kemudian terdengar dia berkata,

"Suhu, sekarang teecu membawa sute datang menghadap suhu, maka perkenankanlah teecu memperlihatkan ilmu-ilmu pemberian suhu kepada sute."

Setelah berkata demikian, kakek itu lalu mengeluarkan sebungkus obat bubuk putih dari sakunya. "Cepat kau tiru perbuatanku, melumuri muka, leher dan tangan, semua bagian tubuh yang nampak, dengan bubuk putih ini."

Sin Liong terheran-heran, akan tetapi dia tidak membantah dan dia pun meniru kakek itu membedaki semua kulitnya yang tidak tertutup pakaian. Hampir saja dia tertawa melihat betapa wajah kakek itu menjadi putih seperti wajah seorang badut yang hendak berlagak di atas panggung. Akan tetapi dia teringat bahwa tentu wajahnya sendiri pun putih seperti itu, maka dia tidak jadi tertawa.

Kakek itu sekali lagi memeriksa. Setelah melihat benar bahwa seluruh kulit yang nampak dari anak itu memang telah tertutup bubuk putih, dia lalu memberi hormat lagi dan kedua tangannya membuka tutup peti.

"Kriyeeettt...!"

Peti hitam terbuka tutupnya dan tiba-tiba terdengar suara mendesis nyaring dan nampak berkelebat sinar emas dari dalam peti menyambar keluar. Kiranya sinar emas itu adalah seekor ular berkulit kuning keemasan yang menyambar keluar, lehernya menggembung dan dari mulutnya keluar uap hitam, lidahnya yang merah keluar masuk dan sepasang matanya seperti menyala!

"Kim-coa-ko (saudara ular emas), kami berdua sudah mendapat perkenan suhu untuk memeriksa kitab, harap kau tenang saja."

Aneh sekali. ular yang 'berdiri' dengan penuh sikap mengancam itu lalu turun kembali dan melingkar di sudut peti hitam, di mana terdapat setumpuk kitab-kitab yang sudah kuning saking tuanya.

"Lihatlah, sute. Inilah kitab-kitab wasiat, kitab-kitab pusaka yang diturunkan oleh suhu Bu Beng Hud-couw kepada kita. Aku sudah terlampau tua untuk mempelajarinya, hanya baru dapat membacanya saja yang membutuhkan waktu puluhan tahun. Aku tidak mempunyai waktu lagi untuk melatih ilmunya, maka semua penterjemahanku atas kitab-kitab ini akan kuserahkan kepadamu sehingga engkaulah yang akan dapat melatih diri dan menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab ini."

Sin Liong memandang dengan mata terbelalak dan ular itu diam saja ketika Owyang Bu Sek mengambil kitab paling atas kemudian membalik-balik lembarannya. Di dalam kitab itu terdapat tulisan-tulisan yang sangat sukar dibaca, karena sebagian besar merupakan gambaran-gambaran yang menjadi huruf-huruf kuno. Namun kitab itu juga mengandung gambar-gambar gerakan orang bersilat.

"Aku sudah mempergunakan waktu bertahun-tahun untuk menterjemahkannya, sute, dan kini aku sudah kehabisan waktu untuk melatihnya. Pula, orang setua aku, untuk apa sih mempelajari ilmu-ilmu baru? Maka aku mewariskan semua ini kepadamu, sute. Jangan khawatir, aku akan membimbingmu untuk mengerti isi kitab-kitab ini."

Setelah kakek itu menutupkan kembali peti hitam dan membawanya masuk lagi ke dalam goa, Sin Liong membantu kakek itu mendorong batu besar kembali ke tempat semula, yaitu menutupi goa rahasia itu.

"Lo... suheng, mengapa ular itu ditaruh di dalam peti?" tanyanya.

"Ha-ha-ha, itu adalah akalku. Tadi sudah kumasukkan lima ekor katak ke dalam peti. Ular itu merupakan ular yang paling berbahaya, gigitannya mematikan dan walau pun orang memiliki kepandaian tinggi sekali pun, sekali kena digigitnya, bahayalah nyawanya. Akan tetapi dengan obat bubuk putih ini, dia menjadi jinak."

"Dan siapakah Bu Beng Hud-couw... guru kita itu, suheng?"

"Sstt, kita menghaturkan terima kasih lebih dulu!" kata kakek itu dan tiba-tiba dia menarik tangan Sin Liong, diajaknya berlutut di luar goa di hadapan batu, dan kakek itu berkata, "Suhu, teecu berdua menghaturkan terima kasih kepada suhu dan mohon suhu sudi untuk membimbing sute agar bisa mempelajari ilmu-ilmu dari suhu dengan lancar dan berhasil."

Sin Liong hanya meniru saja saat suheng-nya yang aneh itu berlutut dan memberi hormat. Kemudian Ouwyang Bu Sek menarik napas panjang dan kelihatan lega hatinya.

"Ahhh, suhu senang sekali dengan keputusanku ini, sute."

Sin Liong menengok ke kanan kiri. Tidak ada siapa-siapa di situ sejak tadi kecuali mereka berdua, bagaimana kakek ini bisa bicara tentang suhu-nya merasa senang dan lain-lain?

"Di manakah suhu, suheng? Aku tidak melihatnya."

"He-heh-heh, mana bisa begitu mudah, sute? Tingkatmu belum sampai ke situ. Kelak kau tentu akan dapat bertemu dengan suhu kita yang mulia."

"Suheng, harap kau sudi menceritakan kepadaku mengenai suhu itu." Sin Liong merasa tertarik sekali.

Kakek itu menarik napas panjang lalu duduk di atas batu besar. Sin Liong juga duduk di hadapannya, siap untuk mendengarkan karena dia benar-benar merasa penasaran dan heran mengapa dia tidak mampu melihat orang yang disebut Bu Beng Hud-couw dan yang oleh kakek ini dikatakan sebagai guru mereka.

"Guru kita, yaitu yang mulia Bu Beng Hud-couw adalah seorang manusia suci yang telah mencapai tingkat tinggi, tingkat para dewa dan nabi-nabi," dengan suara yang sungguh-sungguh kakek itu mulai bercerita. "Selama lebih dari tiga ratus tahun beliau tinggal di salah satu di antara puncak-puncak Pegunungan Himalaya..."

"Tiga ratus tahun? Sampai sekarang?"

Kakek itu mengangguk. "Ya, sampai sekarang."

Sepasang mata Sin Liong terbelalak. "Tidak mati?"

Kakek itu tersenyum. "Dikatakan mati, beliau masih memakai jasmaninya, dinamakan hidup, beliau sudah berbeda dari kita. Namun dia masih hidup, sute, bertempat tinggal di dalam pondok sunyi dan suci di puncak sana. Akan tetapi tidak sembarang manusia dapat menjumpainya, hanya yang sudah mempunyai tingkat seperti aku dan sudah ada kontak dengan beliau. Apa bila sudah ada kontak, biar di sini pun aku dapat berjumpa dengan beliau, karena sesungguhnya beliau itu dapat datang ke mana pun dalam sekejap mata."

"Bagaimana caranya?"

"Melalul alam pikiran, melalui getaran perasaan."

Sin Liong makin bingung akan tetapi dia merasa seram dan tidak berani membantah. Dia masih terlampau muda dan terlampau wajar untuk dapat mengerti permainan orang-orang tua seperti yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek itu.

Memang, betapa banyaknya manusia di dunia ini yang suka sekali, bahkan merindukan dan mengejar-ngejar hal-hal yang bersifat mistik, yang penuh rahasia, pendeknya yang lain dari pada yang kita lihat sehari-hari dalam kehidupan kita di dunia ini! Kita manusia pada umumnya menghendaki hal-hal yang aneh, ajaib, yang tidak lumrah, dan semua ini timbul karena kita telah menjadi seperti buta.

Kita tidak lagi dapat melihat betapa di dalam kehidupan ini sudah terdapat keajaiban-keajaiban yang amat hebat, sudah terjadi berkah berlimpahan dan kekuasaan cinta kasih memenuhi alam. Kita seperti tidak melihat lagi keindahan dan keajaiban yang terjadi pada waktu kita bernapas, pada waktu jantung kita berdenyut, pada saat rambut dan kuku kita bertumbuh tanpa terasa, di waktu seluruh anggota tubuh kita hidup.

Kita tidak lagi dapat menikmati atau melihat keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam cahaya matahari, bulan dan bintang, dalam keharuman bunga-bunga, warna-warni yang tertangkap oleh mata, suara-suara yang memasuki telinga, keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam setiap tarikan napas kita!

Kita sudah buta akan semuanya itu, dibutakan oleh keinginan mengejar segala macam kesenangan, termasuk kesenangan untuk bertemu dengan keajaiban-keajaiban baru dan lain berupa mistik-mistik dan keanehan dan untuk itu kita tidak segan-segan untuk pergi bertapa, menyiksa diri, berpantang, dan sebagainya lagi.

Apa yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek memang tidaklah aneh, dan mungkin saja terjadi. Apa pun yang diangan-angankan oleh pikiran memang dapat terwujud, sungguh pun wujud itu bukan berupa kenyataan tapi hanya merupakan gambaran angan-angan belaka, merupakan pemantulan dari pada khayal kita sendiri.

Bukan bohong kalau ada orang yang mengatakan bahwa dia melihat setan, akan tetapi setan yang dilihatnya itu tentulah berupa suatu wujud atau rupa yang telah diangankan sebelumnya, telah didengar dari dalam cerita, telah dikenal dari dongeng atau penuturan orang lain.

Bukan hal aneh pula kalau seseorang dapat melihat atau bertemu dengan seorang tokoh dewa atau nabi, akan tetapi yang dilihat atau dijumpainya itu tentulah tokoh yang memang dipuja-pujanya, atau setidaknya yang berkesan di hatinya, dan sudah pasti merupakan tokoh yang pernah didengarnya, jadi telah dikenal pula penggambarannya sehingga telah terbentuk suatu gambaran khayal di dalam batinnya. Hal ini sangatlah jelas dan mudah dimengerti, bukan teori kosong belaka.

Oleh karena itu, tidaklah aneh kalau seorang tokoh aneh seperti Ouwyang Bu Sek dapat bertemu dengan seorang tokoh pujaannya yang disebutnya Bu Beng Hud-couw itu, biar pun Sin Liong atau orang lain tidak dapat melihatnya. Dan tidak aneh pula kalau dia dapat bercakap-cakap dengan tokoh bayangan itu. Bukankah sering kali kita dapat bercakap-cakap di dalam batin kita pula, seolah-olah ada dua, bahkan lebih banyak lagi fihak yang bercakap-cakap dan bahkan berbantahan?

Betapa pun juga, Sin Liong beruntung berjumpa dengan kakek itu karena sesungguhnya kitab-kitab yang dahulu dilarikan oleh Ouwyang Bu Sek dari dalam kuil tua di Himalaya itu mengandung pelajaran-pelajaran ilmu yang sangat tinggi. Mulailah Sin Liong mempelajari isi kitab di bawah petunjuk dan bimbingan Ouwyang Bu Sek.

Dan memang Sin Liong mempunyai bakat yang baik sekali, terutama sekali karena dia memiliki dasar yang amat kuat setelah dia mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu dari pendekar sakti Cia Keng Hong.

                    ***************

Kota Yen-ping terletak di tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian. Karena tempat ini terletak di pegunungan yang subur dan sunyi, juga karena Sungai Min-kiang itu mengalir terus ke laut, maka tempat ini telah dipilih oleh para tokoh liok-lim dan kang-ouw sebagai tempat berkumpul dan pada hari itu di sebuah lereng di luar kota Yen-ping kelihatan ramai sekali dengan berkumpulnya banyak tokoh karena pada hari itu mereka mengadakan pemilihan seorang "bengcu" baru.

Kota Yen-ping terletak di tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian. Karena tempat ini terletak di pegunungan yang subur dan sunyi, juga karena Sungai Min-kiang itu mengalir terus ke laut, maka tempat ini telah dipilih oleh para tokoh liok-lim dan kang-ouw sebagai tempat berkumpul.

Pada hari itu di sebuah lereng di luar kota Yen-ping terlihat ramai sekali, padahal tempat ini biasanya amat sunyi. Di sana banyak tokoh yang sedang berkumpul karena pada hari itu mereka akan mengadakan pemilihan seorang Bengcu baru. Seorang bengcu adalah seorang yang dianggap sebagai pemimpin untuk menjaga keutuhan para tokoh kang-ouw, liok-lim, dan seluruh partai yang banyak terdapat di selatan.

Pada jaman itu, para tokoh dunia hitam yang juga disebut kaum sesat adalah golongan hina atau rendah. Tapi sebaliknya, mereka menganggap diri mereka sebagai orang-orang gagah berani yang hidup dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Bagi mereka ini, hukum berada di ujung senjata atau di dalam kepalan tangan mereka sendiri!

Betapa pun juga, mereka maklum bahwa tanpa adanya seorang bengcu yang berwibawa dan pandai, maka persatuan dan keutuhan tidak dapat dipertahankan dan mereka tentu akan mudah diserang atau dibasmi oleh fihak lain. Juga tanpa adanya seorang bengcu, maka pertikaian-pertikaian di antara mereka sendiri bisa berlarut-larut dan membahayakan ketahanan mereka sendiri. Dengan adanya bengcu, maka segala dapat didamaikan dan diselesaikan dengan baik dan cepat yaitu urusan yang timbul di antara mereka sendiri yang menganggap sebagai orang-orang segolongan dan senasib.

Pemilihan bengcu tahun ini diselenggarakan atau dipelopori oleh perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu perkumpulan yang paling terkenal di daerah itu. Perkumpulan ini bergerak dalam bermacam lapangan, di antaranya membuka perusahaan ekspedisi, yaitu pengawal barang-barang kiriman, baik melalui darat, sungai mau pun laut. Oleh karena itu, perkumpulan ini tentu saja berhubungan baik dengan golongan perampok dan bajak. Di samping itu, juga perkumpulan ini membuka bandar-bandar judi serta tempat-tempat pelacuran di kota-kota besar, maka selain perkumpulan ini terkenal dan kuat sekali, juga berhasil mengumpulkan kekayaan yang lumayan besarnya.

Dari namanya saja menunjukkan bahwa perkumpulan ini adalah perkumpulan orang-orang yang memiliki kepandaian sin-ciang (tangan sakti) dan tiat-thouw (kepala besi), pendek kata, orang-orang yang merupakan jagoan-jagoan. Dan kali ini Sin-ciang Tiat-thouw-pang mengambil prakasa melakukan pemilihan bengcu dan membiayainya sebab perkumpulan yang berpengaruh dan luas daerah operasinya ini merasa kedudukan mereka terancam oleh perkumpulan-perkumpulan lain yang mereka anggap suka menjilat pada pemerintah. Kalau mereka mengambil prakasa, maka bengcu yang dipilih kelak tentu akan melindungi mereka.

Tempat yang dipilih untuk pertemuan besar antara tokoh-tokoh kaum sesat itu adalah di puncak sebuah bukit yang datar dan dilindungi oleh pohon-pohon, yang tanahnya tertutup rumput segar seperti permadani hijau. Di tengah-tengah padang rumput di puncak bukit itu didirikan sebuah panggung yang cukup luas, terbuat dari papan-papan tebal di atas tiang-tiang batang pohon yang besar dan kokoh kuat.

Karena pertemuan itu merupakan rapat umum, demi kepentingan umum, bukan undangan pribadi dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka tidak ada yang menjadi tuan rumah dan perkumpulan itu pun tak menyediakan meja kursi. Para tokoh kang-ouw yang datang mengambil tempat duduk di sekitar lapangan itu, ada yang duduk di atas batu dan akar pohon, di atas rumput, ada yang nongkrong berjongkok seenaknya, ada pula yang sambil rebah melepaskan lelah, ada yang bersila dalam semedhi dengan sikap yang lebih hendak menjual tampang dari pada bersemedhi benar-benar, ada pula yang nongkrong di atas pohon.

Bermacam-macam sikap orang-orang liok-lim yang kasar-kasar ini, tidak jarang pula yang sikapnya aneh-aneh. Dan lucunya, seperti yang sering dapat kita saksikan sampai hari ini, kekasaran dan keanehan sikap itu tidaklah wajar, melainkan disengaja dan dibuat-buat karena pada dasarnya semua sikap itu terdorong oleh keinginan untuk menonjolkan diri agar menjadi perhatian orang lain!

Betapa kita ini, orang-orang dewasa, orang-orang tua, masih saja seperti kanak-kanak, yaitu mempunyai kecenderungan ingin menjadi pusat perhatian orang, ingin menonjolkan, ingin lain dari pada yang lain sehingga muncullah sikap bermacam-macam.

Ada pula di antara mereka yang datang hanya dengan mengenakan cawat saja, bertubuh kurus kering akibat kurang makan atau berpuasa. Sepintas lalu orang akan merasa segan karena menganggap dia itu seorang pertapa sederhana yang menjauhkan diri dari segala urusan dunia! Akan tetapi, kehadirannya di situ saja membuktikan bahwa dia sama sekali tidaklah sederhana!

Kesederhanaan cawat dan tubuh kurus itu tak lain dan tak bukan hanya merupakan suatu kesengajaan yang memang di pasang untuk menarik perhatian belaka. Kesederhanaan yang berteriak lantang, "lihatlah aku ini, lihatlah kesederhanaanku! Hebat, bukan?"

Karena pada waktu itu keadaan kerajaan sedang dalam kemelut, pergantian kaisar tua yang meninggal oleh kaisar muda mendatangkan keguncangan hebat, maka guncangan itu terasa pula sampai ke dunia hitam dan oleh karena itu pertemuan rapat yang diadakan untuk memilih bengcu ini mendapat perhatian yang amat besar, tak hanya oleh golongan sesat, oleh partai-partai persilatan, akan tetapi juga oleh golongan pendekar.....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 19



SEMENJAK pagi para tokoh datang membanjiri tempat itu. Wakil-wakil dari partai persilatan, wakil-wakil dari perkumpulan dan golongan, juga perorangan, semua memenuhi tempat itu dan keadaan seperti pesta karena rombongan-rombongan itu membawa bendera dan tanda perkumpulan masing-masing. Juga terdapat suasana kegembiraan karena dalam kesempatan inilah mereka dapat saling bertemu dan berkumpul, dan di antaranya banyak terdapat teman-teman lama yang tentu saja menjadi gembira karena dapat saling jumpa.

Di antara para wakil-wakil dari partai persilatan besar, terdapat seorang pemuda berusia kurang lebih delapan belas tahun, bertubuh tinggi tegap, berkulit agak kecoklatan, gagah sekali sikapnya akan tetapi tarikan dagunya membayangkan ketinggian hati seorang jago muda yang memandang diri sendiri terlampau tinggi dan seolah-olah tidak ada orang lain di dunia ini yang lebih lihai dari pada dia! Ketika dia memperkenalkan diri, semua orang memandang padanya dengan agak segan oleh karena pemuda itu memperkenalkan diri sebagai wakil dari Cin-ling-pai!

"Ahh, taihiap adalah wakil dari Cin-ling-pai? Silakan taihiap duduk di tempat kehormatan!" Demikianlah para penyambut dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang berkata dengan hormat dan sebutan ‘sicu’ berubah menjadi ‘taihiap’.

Dengan angkuhnya pemuda itu lantas duduk di ‘tempat kehormatan’ yang sesungguhnya hanyalah bangku-bangku kayu biasa, hanya saja diletakkan di belakang panggung dan di tempat yang agak tinggi.

Sin Liong yang berada pula di situ, yang menyelinap di antara para tamu yang sangat banyak dan tidak seorang pun memperhatikan pemuda tanggung berpakaian sederhana ini, merasa tertarik sekali ketika mendengar bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah wakil Cin-ling-pai. Dia cepat menyusup di antara orang banyak dan duduk tidak jauh dari pemuda tampan gagah itu. Akan tetapi dia tidak mengenal pemuda ini, padahal baru tiga tahun dia meninggalkan Cin-ling-san.

Sin Liong kini telah berusia enam belas tahun, dan sudah tiga tahun dia berada di tempat tinggal Ouwyang Bu Sek. Hari itu dia diutus oleh suheng-nya untuk mewakili suheng-nya yang sudah tua dan malas pergi ke tempat pertemuan itu. Karena dia hanya seorang pemuda tanggung berusia enam belas tahun yang tidak menarik perhatian, maka fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang tidak menyambutnya dan dia pun menyusup di antara banyak tamu. Tentulah dia hanya dianggap seorang pengikut dari sekian banyaknya rombongan yang datang.

Tentu saja Sin Liong tidak mengenal pemuda yang gagah itu. Pemuda itu bernama Kwee Siang Lee. Dia adalah putera dari seorang tokoh Cin-ling-pai yang terkenal pula. Ayahnya adalah Kwee Tiong, seorang anak murid Cin-ling-pai yang telah memiliki tingkat lumayan, ada pun ibunya adalah seorang wanita dari Tibet bernama Yalima, puteri seorang kepala dusun di Tibet yang melarikan diri untuk mencari Cia Bun Houw yang menjadi kekasihnya, akan tetapi kemudian karena Cia Bun Houw tidak lagi mencintanya, lantas mendapatkan penggantinya dalam diri Kwee Tiong, sehingga akhirnya mereka berdua pun menikah di Cin-ling-san.

Kwee Siang Lee, pemuda yang berusia delapan belas tahun itu merupakan anak tunggal suami isteri ini, dan sejak kecil tentu saja Kwee Siang Lee telah digembleng oleh ayahnya dengan ilmu-ilmu yang khas dari Cin-ling-pai. Sebenarnya pemuda ini sama sekali bukan seorang wakil Cin-ling-pai yang diutus oleh perkumpulan itu.

Seperti sudah kita ketahui, semenjak kematian Cia Keng Hong sebagai ketua dan pendiri Cin-ling-pai, perkumpulan ini seolah-olah telah bubar dan hanya menyisakan bekas-bekas anggotanya saja yang tinggal di sekitar Pegunungan Cin-ling-san, atau bahkan banyak pula yang sudah pergi ke tempat lain yang jauh.

Pada saat itu Kwee Siang Lee sedang melakukan perjalanan merantau dan ketika dia tiba di daerah itu, dia mendengar akan pertemuan yang diadakan untuk melakukan pemilihan bengcu. Sebagai seorang pemuda yang masih berdarah panas dan menganggap bahwa perkumpulan Cin-ling-pai adalah perkumpulan terbesar dan bahwa kepandaiannya sudah boleh diandalkan untuk menjadi wakil perkumpulan kebanggaannya itu, maka dia hendak mengangkat nama Cin-ling-pai dan mewakili perkumpulan itu secara pribadi!

Setelah matahari naik tinggi, tempat itu sudah penuh dengan para pendatang. Tempat kehormatan yang berada di dekat panggung itu pun telah penuh dengan para tokoh besar di dunia persilatan bagian selatan. Tidak lama kemudian, fihak penyelenggara pertemuan itu, yaitu dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maju ke atas panggung dan memberi hormat ke empat penjuru. Mereka berdua itu adalah Sin-ciang Gu Kok Ban yang tinggi kurus sebagai ketua pertama dan Tiat-thouw Tong Siok yang tinggi besar sebagai ketua ke dua atau wakil ketua dari perkumpulan itu.

Sesudah menghaturkan terima kasih dan selamat datang kepada hadirin semua, dengan suara lantang Sin-ciang Gu Kok Ban lalu berkata, "Seperti cu-wi (anda sekalian) ketahui, bengcu kita yang lalu adalah seorang tua yang kurang tegas dan kini sudah meninggal dunia, maka perlulah bagi kita untuk mengangkat seorang bengcu yang baru. Setelah kita semua berkumpul, maka sebaiknya sekarang kita mengajukan calon masing-masing untuk pemilihan bengcu baru. Hendaknya cu-wi memilih seorang yang benar-benar cakap, berkepandaian tinggi, berwibawa dan berani untuk diajukan sebagai calon. Pertama-tama, kami dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang hendak mengajukan calon kami, yaitu Tiat-thouw Tong Siok, wakil ketua dari perkumpulan kami sendiri!"

Orang tinggi besar berusia empat puluh tahun itu kini menjura ke empat penjuru, disambut tepuk sorak para anggota Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang memenuhi tempat itu dan tentu saja mereka ini menjagoi calon mereka.

Sin Liong memandang penuh perhatian. Wakil ketua dari perkumpulan itu bertubuh tinggi besar, mukanya penuh bopeng, dan kepalanya yang botak itu mengkilap agak kebiruan. Melihat julukannya, Tiat-thouw (Kepala Besi) dapat diduga bahwa kepala yang botak itu tentu ampuh sekali.

"Para calon dipersilakan naik untuk memperkenalkan diri," berkata pula Sin-ciang Gu Kok Ban yang memberi isyarat kepada Tong Siok untuk kembali ke tempat duduknya di fihak tuan rumah. Gu Kok Ban sendiri, yaitu seorang kakek berusia empat puluh lima tahun yang tinggi kurus dan bermuka pucat, masih berdiri di situ menanti datangnya calon-calon untuk diperkenalkan.

Tidak banyak tokoh yang berani muncul di atas panggung. Pemilihan bengcu bukanlah hal yang remeh dan hanya orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi sajalah yang patut menjadi bengcu. Kepandaian dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah terkenal sekali, maka majunya wakil ketua itu sebagai calon sudah merupakan hal yang membuat jeri para calon lain karena mereka merasa tak akan mampu untuk menandingi kepandaian Tiat-thouw Tong Siok!

Tetapi tentu saja ada pula beberapa golongan yang merasa penasaran dan menginginkan tokoh dari golongan masing-masing yang menjadi bengcu. Mereka segera mengajukan tokoh yang mereka pilih sebagai calon.

Pertama-tama yang melayang ke atas panggung dengan gaya yang kasar adalah seorang kakek yang pakaiannya penuh tambalan. Dari pakaiannya jelas dapat dikenal bahwa dia adalah seorang pengemis tua yang memegang sebatang tongkat butut. Mukanya selalu tertawa-tawa penuh kepercayaan pada diri sendiri. Kakek ini adalah seorang tokoh yang sangat terkenal di selatan dan semua orang, termasuk Sin-ciang Tiat-thouw-pang sendiri menjadi tercengang karena mereka tak menyangka bahwa kakek tokoh pengemis ini juga akan muncul menjadi calon bengcu!

Padahal biasanya, kaum pengemis itu seperti ‘tahu diri’ sehingga tidak pernah ada yang mencalonkan diri sebagai bengcu, sungguh pun pada setiap pemilihan mereka hadir dan mereka juga ikut menentukan pilihan. Akan tetapi baru sekarang ini mereka mengajukan seorang calon yang keluar dari golongan mereka sendiri.

Kakek ini adalah Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan) yang biar pun tidak secara resmi menjadi ‘raja pengemis’ namun sudah diakui sebagai datuk yang ditaati oleh semua perkumpulan pengemis di daerah selatan.

Hadirnya Lam-thian Kai-ong sebagai calon bengcu benar-benar mencengangkan, seakan merupakan tanda bahwa kini fihak pengemis juga sudah mulai menaruh perhatian kepada kedudukan dan pengaruh, dan hal ini ada hubungannya dengan kemelut yang terjadi di kota raja sebagai akibat dari penggantian kaisar.

Setelah Lam-thian Kai-ong diperkenalkan kepada hadirin sebagai calon ke dua, banyak tokoh yang tadinya berniat memasuki pemilihan ini diam-diam mengundurkan diri. Setelah orang-orang lihai seperti Tiat-thouw Tong Siok dan Lam-thian Kai-ong maju, maka siapa yang akan berani menandingi mereka? Dari pada kalah dan mendapat malu, lebih baik siang-siang mengundurkan diri! Karena itu, sekarang yang berani muncul menjadi wakil golongan masing-masing hanya tinggal lima orang saja!

Calon pertama adalah Tiat-thouw Tong Siok, wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang menjadi tuan rumah. Calon kedua adalah Lam-thian Kai-ong, pengemis tua yang mewakili golongan pengemis dan gelandangan. Ke tiga adalah seorang tosu renta bermuka putih yang bermata tajam dan bersikap angkuh. Tosu ini bernama Kim Lok Cinjin, wakil ketua Pek-lian-kauw bersama belasan orang tokoh perkumpulan itu.

Calon ke empat adalah seorang guru silat yang terkenal sekali dari kota Amoi, memiliki kepandaian tinggi dan menerima murid-murid dengan bayaran mahal. Guru silat ini dipilih oleh golongan tukang pukul, guru silat, dan para piauwsu. Dia bernama Ouw Bian, dikenal dengan sebutan Ouw-kauwsu, berusia sekitar lima puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan matanya lebar.

Ada pun calon ke lima yang dicalonkan oleh para maling tunggal dan dunia pelacuran, adalah seorang maling tunggal yang sangat terkenal di wilayah selatan. Dia seorang pria berusia empat puluh lima tahun dan berwajah tampan. Tubuhnya sedang saja, akan tetapi pakaiannya selalu indah seperti pakaian seorang hartawan. Namanya adalah Bouw Song Khi.

Orang ini selain terkenal sebagai seorang maling tunggal yang lihai dan ditakuti, juga dia terkenal sebagai seorang hidung belang yang biasa keluyuran di tempat-tempat pelacuran dan selain itu juga dia dikenal sebagai seorang yang suka mengganggu wanita, seorang jai-hwat-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang cabul, sungguh pun dia tidak pernah mau melakukan kejahatan-kejahatan itu di daerahnya sendiri, melainkan memilih daerah di luar kekuasaannya sehingga namanya disegani dan dihormati. Itulah sebabnya mengapa dia sampai dapat terpilih menjadi seorang calon bengcu.

Lima calon ini saja sudah terhitung cukup banyak, karena andai kata pada saat itu muncul orang-orang seperti Lam-hai Sam-lo, agaknya beberapa orang di antara mereka akan mundur lagi! Para gerombolan yang termasuk golongan bajak sudah merasa tidak puas dan heran mengapa datuk-datuk mereka itu tidak muncul.

Melihat tidak ada orang lainnya yang maju sebagai calon, Sin-ciang Gu Kok Ban sebagai ketua penyelenggara pemilihan bengcu lantas berseru nyaring kepada semua yang hadir. "Apakah tidak ada lagi saudara-saudara yang hendak mengajukan calon bengcu kecuali lima orang ini saja?"

Memang pemilihan sekali ini agak sepi. Pemilihan bengcu pada beberapa tahun yang lalu diikuti oleh belasan orang calon! Hal ini disebabkan calon yang maju adalah orang-orang yang sangat terkenal sehingga para calon yang merasa tidak mungkin dapat menandingi calon-calon yang terkenal ini telah lebih dulu mundur untuk menghindarkan diri mendapat malu, kalah dalam perebutan itu. Lima orang yang tinggal ini adalah tokoh-tokoh yang biar pun sudah saling mengenal namun belum pernah menguji kepandaian masing-masing, maka mereka berani untuk maju.

Tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh suara yang nyaring. "Aku maju sebagai seorang calon!"

Yang membuat semua orang terkejut kemudian memandang heran adalah karena mereka melihat bahwa yang berseru nyaring itu adalah seorang pemuda remaja yang tadi sudah mengaku sebagai utusan atau wakil dari Cin-ling-pai! Sekarang semua mata memandang kepada Kwee Siang Lee dengan penuh perhatian.

Pemuda itu memang gagah dan tampan, sepasang matanya yang lebar dan bukan seperti kebanyakan orang itu sangat tajam, menentang semua orang dengan penuh keberanian. Memang pemuda ini memiliki mata seperti mata ibunya, wanita Tibet itu.

Pemuda ini memang mengesankan sekali. Usianya baru delapan belas tahun, wajahnya bersih tampan dengan rambut hitam lebat yang disisir rapi lalu digelung ke atas dibungkus dengan kain berwarna merah. Bajunya berwarna biru, diikat dengan sabuk sutera kuning, dan celananya berwarna putih bersih.

Walau pun pakaiannya tidak dapat disebut mewah, bahkan terbuat dari bahan sederhana, namun karena bersih dan yang memakainya seorang pemuda remaja yang tampan, maka kelihatan amat pantas dan rapi. Tubuhnya sedang saja, tetapi padat dan membayangkan tenaga muda yang kuat.

Semua orang yang hadir merasa terkejut dan heran karena mereka semua mendengar bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah partai yang besar dan termasuk partai dari golongan pendekar, partai bersih yang biasanya menjadi lawan dari golongan sesat atau golongan hitam. Apa bila Cin-ling-pai hanya mengirim utusan sebagai peninjau saja, seperti partai-partai lain yang juga mengirim utusan seperti partai-partai Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain itu, maka hal ini tak mengherankan. Akan tetapi bagaimana Cin-ling-pai mengirim seorang wakil yang mencalonkan diri menjadi bengcu?

Namun karena pemuda yang mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai itu sudah mengajukan diri sebagai calon bengcu, maka ketua Sin-ciang Toat-thouw-pang menjadi bingung juga. Dia tentu saja tidak berani menolak, apa lagi ketika para wakil golongan bersih yang lain bertepuk tangan dan mengangguk-angguk tanda setuju. Tentu saja mereka ini merasa suka sekali kalau bengcu terjatuh ke tangan seorang Cin-ling-pai yang terkenal menjadi pusat para pendekar.

Semenjak tadi Sin Liong memang sudah memperhatikan Kwee Siang Lee yang mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai. Kini, ketika melihat pemuda tampan itu bahkan mengajukan diri sebagai wakil yang mencalonkan diri sebagai bengcu, tentu saja Sin Liong menjadi makin terheran-heran.

Kehadirannya di tempat itu hanya karena dorongan suheng-nya Ouwyang Bu Sek yang menyuruh dia menghadiri pemilihan bengcu hanya untuk melihat dan mencari pengalaman saja. Kini, mendengar pemuda tampan itu mewakili Cin-ling-pai mengajukan diri sebagai calon bengcu, tentu saja dia amat tertarik karena dia menjunjung tinggi nama Cin-ling-pai sebagai partai dari kongkong-nya (kakeknya).

Selagi ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu meragu dan tidak berani menolak, akan tetapi juga belum menerima Kwee Siang Lee sebagai calon bengcu yang ke enam, tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring, "Tidak pantas...!"

Dan nampak bayangan orang meloncat ke atas panggung, langsung berdiri menghadapi Sin-ciang Gu Kok Ban ketua perkumpulan tuan rumah.

Semua orang memandang. Kiranya yang meloncat ke atas panggung itu adalah Kim Lok Cinjin, wakil ketua Pek-lian-kauw yang tadi telah diangkat menjadi salah seorang di antara calon-calon bengcu.

Kim Lok Cinjin ini adalah sute dari Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw di selatan. Dan sejak dulu, Pek-lian-kauw memang membenci Cin-ling-pai yang dianggap menjadi musuh mereka. Oleh karena itu, Kim Lok Cinjin juga membenci Cin-ling-pai sehingga begitu tadi melihat Cin-ling-pai diwakili seorang pemuda remaja yang mengajukan diri sebagai calon bengcu, hatinya sudah terasa panas dan dia cepat meloncat ke atas panggung sambil mencela.

Melihat tosu ini, Sin-ciang Gu Kok Ban menjura kemudian bertanya, “Apakah yang totiang maksudkan?”

"Pangcu, kami menolak keras jika bocah itu menjadi calon bengcu mewakili Cin-ling-pai!" bentaknya dengan nada keras dan menghina. "Semua calon bengcu yang berada di sini adalah orang-orang terhormat, yang menjadi calon karena diangkat oleh golongan masing-masing sebagai orang pilihan. Akan tetapi, siapakah yang mengangkat wakil Cin-ling-pai ini? Huh, siapakah yang tidak mendengar Cin-ling-pai itu perkumpulan macam apa? Mana mungkin ada kerja sama antara Cin-ling-pai dengan kita? Lihat saja buktinya. Cin-ling-pai mengirim wakilnya yang hanya seorang, itu pun masih seorang bocah ingusan pula, dan sekarang bocah itu malah mengajukan diri sebagai calon bengcu! Bocah ingusan seperti itu menjadi bengcu? Ha-ha-ha, bisa ditertawakan oleh cucu-cucu kita! Coba cu-wi (anda sekalian) pikir baik-baik, bukankah perbuatan Cin-ling-pai itu berarti memandang rendah dan menghina jagoan-jagoan selatan? Apa Cin-ling-pai mengira bahwa pemilihan bengcu di antara kita ini hanya permainan kanak-kanak belaka yang boleh dimasuki oleh bocah ingusan itu?"

"Tosu sombong...!" terdengar teriakan nyaring.

Semua orang melihat pemuda Cin-ling-pai yang tampan itu tiba-tiba saja meloncat tinggi sekali dan tubuhnya lalu membuat poksai (salto) berjungkir balik tiga kali dengan gaya yang indah sekali, baru dia turun ke atas panggung tanpa menimbulkan suara tanda bahwa pemuda ini memiliki ginkang yang sudah lumayan tingkatnya. Ketika Kwee Siang Lee meloncat, banyak orang bertepuk tangan memuji.

Sin Liong mengerutkan kedua alisnya. Dia mengerti pula bahwa loncatan dengan gaya jungkir balik seperti itu memerlukan latihan dan juga membutuhkan tenaga ginkang yang lumayan, akan tetapi dengan memamerkan kepandaian seperti itu di hadapan demikian banyaknya orang pandai sungguh merupakan suatu kebodohan dan menandakan bahwa pemuda Cin-ling-pai itu benar-benar berwatak angkuh, sombong dan tolol! Akan tetapi dia hanya melihat saja dan mencurahkan penuh perhatian untuk melihat perkembangannya.

Kwee Siang Lee sudah berdiri di depan tosu Pek-lian-kauw yang memandangnya dengan mulut mencibir, ada pun ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang telah turun dari atas panggung. Ketua perkumpulan ini memang cerdik juga.

Dia tahu siapa adanya tosu itu dan tosu itu tentu saja akan merupakan saingan berat bagi sute-nya yang dia calonkan menjadi bengcu. Kalau sekarang tokoh Pek-lian-kauw ini ribut dengan wakil Cin-ling-pai yang ternyata memiliki ginkang yang boleh juga itu, hal ini akan merupakan sebuah keuntungan besar baginya. Dua orang calon bengcu yang datang dari perkumpulan besar sudah hendak ribut dan bermusuhan sebelum pemilihan dilakukan, hal itu baik sekali bagi fihaknya, setidaknya akan mengurangi seorang saingan, fihak yang kalah.

Maka dia pun diam saja bahkan segera menyingkir untuk memberi ‘kesempatan’ kepada kedua fihak agar keributan itu makin berkobar. Dan semua orang yang hadir di situ adalah kaum sesat yang paling senang menyaksikan perkelahian dan pertumpahan darah, maka kini terdengar suara-suara yang memihak keduanya, bagaikan para penonton adu ayam yang hendak bertaruhan!

"Tosu bau, siapa tidak mengenal nama Pek-lian-kauw di mana engkau tadi diperkenalkan sebagai wakil ketuanya? Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang biasa menipu rakyat, memeras, membohongi dengan agama palsu, dan memikat perempuan-perempuan untuk diperkosa! Dan kau masih berani menghina Cin-ling-pai? Jangan kira bahwa aku, biar pun hanya seorang anggota muda Cin-ling-pai, takut menghadapimu!" Ucapan yang dilakukan dengan sikap gagah dan dengan suara lantang itu disambut tepuk tangan dari mereka yang memihak pemuda ini.

Kim Lok Cinjin tertawa mengejek. "He-heh-heh, bocah ingusan! Baru memiliki kepandaian ginkang macam itu saja sombongnya sudah demikian hebat sampai memuakkan perutku! Padahal ginkang seperti itu hanya patut untuk dipamerkan di dalam permainan komidi di pasar saja, untuk menarik perhatian orang supaya menderma. Kami tadi bicara menurut aturan, bukan seperti engkau yang hanya pandai menyombongkan diri saja. Bila engkau ingin menjadi calon bengcu, siapakah yang mencalonkanmu? Kalau tidak ada, siapakah percaya bahwa engkau ini orang Cin-ling-pai? Jangan-jangan engkau ini bocah sinting hanya mengaku-aku saja wakil Cin-ling-pai! Hayo jawab, siapa yang mencalonkan engkau sebagai wakil Cin-ling-pai?"

Tiba-tiba terdengar suara melengking, "Aku yang mencalonkan dia!"

Tentu saja semua orang menengok ke bawah panggung, ke arah penonton dan melihat seorang anak laki-laki berusia enam belas tahun mengacungkan jari telunjuknya. Bahkan wakil ketua Pek-lian-kauw dan Kwee Siang Lee yang berada di atas panggung juga ikut menoleh dan memandang kepada Sin Liong. Siang Lee memandang dengan perasaan terheran-heran karena dia sama sekali tidak mengenal pemuda remaja yang berpakaian sederhana itu.

"Aku mencalonkan dia sebagai wakil Cin-ling-pai untuk menjadi calon bengcu! Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan yang maha besar, maka cukuplah dengan mengutus anggota mudanya. Karena dia sudah ada yang mengangkatnya sebagai calon, maka dia sudah memenuhi syarat dan dia harus diterima menjadi seorang calon bengcu!" kata Sin Liong dan karena memang anak ini memiliki hawa sinkang yang luar biasa kuatnya di dalam pusarnya, ketika dia berteriak suaranya melengking nyaring sekali.

Mereka yang berfihak kepada Kwee Siang Lee lalu menyambut dengan sorakan gembira. Akan tetapi Kim Lok Cinjin mengangkat kedua tangan ke atas dan suaranya terdengar melengking tinggi mengatasi sorakan itu,

"Kesaksian itu lebih tidak pantas lagi! Lihatlah, siapa yang mengangkat bocah ini sebagai calon bengcu? Benar-benar kita semua sedang dihina orang! Yang diajukan adalah bocah ingusan, akan tetapi yang mengajukan malah bocah yang masih menetek!" Mereka yang pro kakek ini tertawa dan bersorak mengejek.

"Pendeknya, bocah ingusan ini terlebih dulu harus membuktikan bahwa benar-benar dia adalah wakil Cin-ling-pai dan buktinya hanyalah kalau dia dapat memperlihatkan ilmu-ilmu asli dari Cin-ling-pai. Kalau mellhat usianya, andai kata benar dia murid Cin-ling-pai, tentu kepandaiannya masih terlalu rendah dan mentah, maka biarlah kami akan mengajukan jago tingkat empat saja untuk mengujinya. Kita semua dapat melihat apakah benar-benar dia mempunyai ilmu Cin-ling-pai dan sanggup mengalahkan jago tingkat ke empat dari Pek-lian-pai!"

Mendengar ini, Siang Lee menjadi marah bukan main. Wajahnya yang tampan menjadi merah sekali dan dia sudah ingin menerjang kakek Pek-lian-pai itu. Akan tetapi pada saat itu, Kim Lok Cinjin sudah melompat turun dan sebagai gantinya dari tempat kehormatan tadi melompatlah seorang kakek yang berpakaian sebagai petani, kakek yang usianya sudah enam puluh tahun, namun gerakannya masih gesit, sepasang matanya liar.

Memang Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang anggotanya terdiri dari banyak macam orang, terutama sekali para petani dan penduduk dusun. Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) adalah perkumpulan yang selain menyebar luaskan agama campuran dari Buddha dan Tao dicampur dengan mistik dan sihir, juga mengandung cita-cita untuk menguasai kerajaan demi berkembangnya agama mereka. Agar maksud itu tercapai, Pek-lian-kauw selalu menyusup ke dusun-dusun dan mempengaruhi rakyat kecil. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau tokoh ke empat ini berpakaian sebagai seorang petani.

"Orang muda, coba perlihatkan jurus-jurus Cin-ling-pai kepadaku," kata kakek petani itu. Tubuhnya yang kurus itu sudah memasang kuda-kuda dan sikapnya memandang rendah. Tokoh ke empat dari Pek-lian-kauw sudah terhitung seorang pandai kerena ilmu silatnya sudah mencapai tingkat pelatih bagi para anggota muda, yaitu pelatih dasar-dasar ilmu silat Pek-lian-kauw.

Siang Lee yang berwatak keras dan memang dia seorang pemuda berdarah panas sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi, juga tak dapat mengeluarkan kata-kata karena marahnya, maka tanpa bicara apa-apa lagi dia lantas membentak nyaring dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan yang amat keras.

Cin-ling-pai bukanlah sebuah partai sembarangan, melainkan sebuah partai perkumpulan yang dipimpin oleh seorang pendekar sakti, yaitu Cia Keng Hong. Seperti kita ketahui dari cerita Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum), Cia Keng Hong telah menguasai banyak ilmu silat tinggi yang hebat dan sukar dicari bandingnya di dunia persilatan.

Sesudah mendirikan perkumpulan Cin-ling-pai, pendekar sakti ini kemudian menciptakan ilmu silat khusus untuk perkumpulannya, yang diambilnya dari ilmu-ilmu silat yang sudah dikuasainya dan para anak murid Cin-ling-pai digembleng dengan ilmu yang khas ini. Ilmu silat itu dinamakan Cin-ling Kun-hoat dan terdiri dari ilmu silat yang dapat dimainkan baik dengan tangan kosong mau pun dengan senjata apa saja.

Hanya para anggota Cap-it Ho-han yang merupakan sebelas orang murid utama sajalah yang diberi pelajaran ilmu-ilmu hebat seperti Siang-bhok Kiam-sut dan sebagian Thai-kek Sin-kun, akan tetapi murid-murid lainnya hanya digembleng dengan Cin-ling Kun-hoat saja yang sudah merupakan ilmu silat lengkap dan amat tangguh.

Siang Lee juga sudah mempelajari Cin-ling Kun-hoat sampai tingkatan yang cukup tinggi sehingga dia merupakan seorang ahli dalam mainkan ilmu silat itu dengan pedang mau pun dengan tangan kosong. Karena itu, begitu menyerang dia lantas menggunakan jurus Cin-ling Kun-hoat yang ampuh.

Tangan kanannya dikepal menyerang dengan jotosan ke arah muka lawan ada pun tangan kirinya dengan jari-jari terbuka dan miring membacok ke arah ulu hati. Sesungguhnya, serangan tangan kiri inilah yang merupakan inti jurus serangan ini, sedangkan yang kanan walau pun dilakukan dengan kuat sebenarnya bertugas sebagai pancingan dan menutupi serangan inti itu.

"Dukkk!"

Kakek itu menangkis jotosan tangan kanan, dan terkejutlah dia ketika merasa ada angin dahsyat menyambar disusul bacokan tangan miring sebelah kiri.

"Plakkk!"

Kembali dia berhasil menangkis, namun dia terhuyung ke belakang dan dadanya terasa sesak.

"Hehhhh...!" Dia membuang napas dan dengan marah kakek itu lalu menubruk ke depan dengan jurus Singa Mengejar Mustika.

Tubrukan itu berbahaya sekali karena kakek itu menggunakan kedua tangan dan kedua kakinya untuk menyerang, setelah meloncat, kedua tangannya mencengkeram dan kedua kakinya menginjak dengan pengerahan tenaga.

Namun, Siang Lee menggunakan ginkang-nya dan tubuhnya telah mencelat ke belakang lalu dilanjutkan dengan loncatan ke samping sehingga tubrukan kakek itu yang dilanjutkan pula dengan tendangan kaki kiri tidak mengenai sasaran.

Para penonton tertarik sekali hingga suasana di sekeliling panggung menjadi riuh dengan suara penonton. Tentu saja hanya semua anak buah Pek-lian-kauw saja yang menjagoi kakek petani itu, sedangkan para penonton selebihnya tidak berfihak, melainkan menjagoi karena penafsiran masing-masing akan kekuatan dua orang yang sedang bertanding itu.

Dan mulailah mereka itu mengadakan taruhan. Akan tetapi karena gerakan Siang Lee amat sigap dan cepat, sedangkan sikap pemuda itu pun angkuh dan angker, maka lebih banyak yang menjagoi pemuda ini.

Kalau di bawah panggung orang ramai bertaruhan, di atas panggung terjadi perkelahian yang semakin lama semakin seru. Kakek itu makin merasa penasaran sekali. Dia adalah seorang tokoh tingkat ke empat dari Pek-lian-kauw, dia dianggap sebagai tokoh besar dan juga pelatih yang amat pandai oleh ratusan orang anggota Pek-lian-kauw, terlebih pula, melihat lawan yang baru belasan tahun usianya itu sedangkan dia sudah berusia enam puluh tahun, tentu saja dia merasa menang segala-galanya, baik tenaga, ilmu silat, mau pun pengalaman. Maka sesudah pertandingan berlangsung hampir lima puluh jurus dan dia belum mampu mengalahkan pemuda itu, dia merasa penasaran bukan main.

Pada lain pihak, Siang Lee yang terlalu percaya kepada kepandaian sendiri juga merasa penasaran sekali. Karena keduanya sudah marah, maka sekarang perkelahian itu bukan sekedar menguji kepandaian, melainkan menjadi perkelahian mati-matian untuk mencari kemenangan, kalau perlu dengan merobohkan dan membunuh lawan!

Tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan suara menggereng laksana harimau dan dia sudah menubruk lagi, serangannya sekali ini adalah serangan nekat untuk mengadu nyawa. Dia tak peduli lagi dengan segi penjagaan diri, melainkan mengerahkan seluruh kemampuan dan perhatian untuk menyerang dalam nafsunya untuk menjatuhkan lawan dan mendapat kemenangan. Tentu saja sikap seperti ini tidak benar sama sekali bagi seorang ahli silat yang menghadapi lawan pandai, yang seharusnya membagi kekuatan untuk menjaga diri, tidak semua dikerahkan untuk menyerang dan membiarkan diri terbuka.

Siang Lee terkejut juga menyaksikan serangan nekat itu. Memang hebat sekali serangan itu dan dia pun tahu bahwa kalau dia menangkis berarti keras lawan keras dan karena dia tahu pula bahwa tenaganya hanya seimbang dengan tenaga lawan, maka hal itu sangat berbahaya dan bisa membuat dia terluka, baik menang mau pun kalah dalam adu tenaga itu.

Maka, dengan kecepatan kilat menggunakan ginkang-nya yang diandalkan, dia melempar diri ke samping hingga berhasil lolos melalui bawah lengan kiri lawan, akan tetapi sambil mengelak itu pemuda ini masih sempat mengayun tangan menyerang ke bawah pangkal lengan kiri itu.

"Dukkk!"

Tubuh kakek itu terpelanting, lambungnya kena ditonjok dan dia roboh, meringis sambil memegangi lambungnya yang kena pukul.

Pada saat itu terdengar gerengan keras dan seorang kakek yang seperti raksasa telah muncul di atas panggung. Kakek ini menyeramkan sekali, selain tubuhnya tinggi besar dan otot-ototnya menonjol pada seluruh bagian tubuhnya, juga mukanya bengis, alisnya tebal, matanya lebar, kumis dan jenggotnya pendek namun lebat dan kaku seperti kawat. Bajunya berlengan pendek sampai di pundaknya, memperlihatkan sepasang lengan yang besar berotot, di kedua pergelangan tangannya nampak masing-masing seekor ular kecil melingkar seperti gelang.

Dua ekor ular itu sebenarnya adalah ular-ular asli, hanya saja ular yang sudah mati lalu diberi obat sehingga menjadi kaku dan keras. Di punggungnya nampak tersembul gagang golok besar, gagangnya berbentuk kepala harimau dan dandanan seperti itu menambah seram keadaan raksasa yang usianya sekitar lima puluh tahun ini.

"Sute, minggirlah engkau!" bentaknya dengan suara kasar dan parau kepada kakek petani yang telah kena dipukul oleh Siang Lee tadi. Kakek petani itu meringis, mengangguk dan kembali ke tempatnya di mana dia lalu diberi sebutir obat oleh Kim Lok Cinjin yang segera ditelannya.

"Bocah sombong dari Cin-ling-pai! Engkau sudah mengalahkan sute-ku, marilah engkau bermain-main sebentar denganku! Apa bila engkau takut, biarlah aku mengampuni orang Cin-ling-pai, akan tetapi engkau harus berlutut dan memberi hormat kepadaku sembilan kali sambil minta ampun, kemudian menggelundung pergi dari tempat ini!" Suara kakek raksasa ini lantang dan ketika dia bicara, matanya melotot dan perutnya bergerak-gerak, kedua lengannya yang diayun-ayun itu mengeluarkan suara berkerotokan!

Melihat ini, Sin Liong terkejut bukan main dan maklumlah dia bahwa kalau pemuda murid Cin-ling-pai itu tetap memaksa diri maju, maka dia akan celaka di tangan raksasa itu. Dia melihat betapa selain raksasa itu mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada kakek petani tadi dan juga pemuda itu, raksasa ini memiliki sifat kejam dan besar sekali kemungkinan si pemuda akan terbunuh kalau dia berani melawan. Dan dia tahu pula bahwa dari sinar matanya, pemuda itu tentu malu untuk mundur, apa lagi kini pemuda itu sudah membusungkan dada, sangat bangga karena kemenangannya tadi, kemenangan yang amat tipis.

"Hemm... siapa takut..."

"Haii, nanti dulu! Penasaran ini! Melanggar peraturan dan merusak tata susila pemilihan bengcu!"

Teriakan ini nyaring sekali dan semua orang memandang, lalu terdengar suara tertawa di sana-sini ketika mereka melihat betapa yang berteriak itu ternyata adalah pemuda remaja yang tadi mengangkat Siang Lee sebagai calon bengcu, dan kini pemuda remaja itu telah memanjat tiang penyangga panggung untuk naik ke atas. Hal ini membuat orang merasa geli.

Mereka semua adalah ahli-ahli silat dan untuk naik ke atas panggung yang hanya kurang lebih dua meter tingginya itu, tentunya mereka akan menggunakan kepandaian meloncat. Akan tetapi pemuda remaja itu agaknya tidak pandai meloncat tinggi, maka dia memanjat seperti seekor monyet.

Akan tetapi karena teriakan itu nyaring sekali, Siang Lee tidak melanjutkan kata-katanya, dan si kakek raksasa juga ikut menoleh, memandang ke arah Sin Liong yang kini sudah muncul kepalanya dan dengan susah payah kakinya mengait pinggir panggung, berdiri di depan Siang Lee untuk menghalangi pemuda itu berhadapan dengan kakek raksasa.

"Cu-wi (tuan-tuan sekalian) yang mulia adalah orang-orang gagah yang tentu mengenal peraturan!" Demikian Sin Liong mulai berteriak sambil memandang ke empat penjuru dan menggerak-gerakkan dua lengannya yang dikembangkan seperti gaya seorang ahli pidato di hadapan rapat umum. "Saudara ini adalah seorang di antara para calon bengcu yang mewakili Cin-ling-pai. Tadi ada fihak yang meragukan dan ingin mengujinya apakah dia benar-benar tokoh Cin-ling-pai dan cu-wi sudah melihat sendiri bahwa dia keluar sebagai pemenang. Jelas bahwa dia adalah seorang tokoh Cin-ling-pai dan sebagai calon bengcu tentu saja tidak boleh bertanding dulu. Hal ini merugikannya karena kalau calon-calon lain masih segar bugar, dia tentu menjadi lelah. Apa bila ada fihak yang hendak menantang Cin-ling-pai di sini, jangan ditujukan kepada calon bengcu, biarlah aku yang akan mewakili Cin-ling-pai untuk menghadapi fihak yang menantang Cin-ling-pai!"

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Setelah berkata demikian, dengan cepat Sin Liong menghadapi Siang Lee dan mengedip-ngedipkan matanya, lalu berkata dengan sikap hormat, "Taihiap, harap taihiap sudi duduk saja di tempat kehormatan, menanti sampai dimulainya sayembara perebutan kedudukan bengcu. Ada pun badut-badut yang hendak mengacau, biarlah serahkan saja kepadaku."

Jelas bahwa sikap dan kata-kata Sin Liong ini amat mengangkatnya tinggi sekali, maka tentu saja Siang Lee tidak hendak membantah. Dengan sikap bangga dan angkuh dia lalu mengangguk kepada Sin Liong, sikapnya persis seperti kaum atasan memandang kepada bawahannya dan dia masih berkata,

"Kau hati-hatilah!" lalu Siang Lee berlenggang menuju ke tempat duduknya semula. Tentu saja diam-diam Sin Liong merasa geli menyaksikan sikap pemuda yang kosong itu.

Sementara itu, selagi semua penonton terheran-heran menyaksikan pemuda remaja yang naik ke panggung saja harus memanjat itu tapi kini hendak mewakili pemuda Cin-ling-pai menghadapi tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, kakek raksasa tadi juga bengong hingga sejenak tak dapat berkata apa-apa. Akan tetapi setelah melihat Kwee Siang Lee, calon lawannya yang tadi telah mengalahkan sute-nya itu mundur, dia menjadi marah sekali.

"He, bocah ingusan! Apakah kau sudah gila? Mau apa engkau naik ke sini dan menyuruh lawanku mundur? Kalau dia tidak berani, dia harus berlutut dulu dan minta ampun...!"

Sin Liong menggerakkan tangan kanannya mencela. "Eihh! Siapa bilang dia tidak berani? Kedudukannya masih terlampau tinggi untuk melawanmu. Bukankah dia calon bengcu? Masih ada aku di sini, kenapa dia harus turun tangan sendiri?"

Kakek itu terbelalak. "Kau...?! Kau maksudkan bahwa kau berani melawan aku? Ha-ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa geli karena merasa lucu, dan banyak orang yang hadir ikut pula tertawa.

"Kakek harimau, engkau menggereng seperti harimau dan mukamu juga seperti harimau, jangan tertawa dahulu. Ketahuilah bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang namanya setinggi langit. Pendirinya, pendekar sakti Cia Keng Hong adalah seorang pendekar sakti yang tanpa tanding, kepandaiannya sudah mencapai langit. Ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai tak ada keduanya di dunia ini. Dan aku mendapat berkah, pernah aku belajar sedikit ilmu dari Cin-ling-pai, oleh karena itu, kalau ada yang menghina dan memandang rendah Cin-ling-pai, biarlah aku mewakili Cin-ling-pai untuk membuka mata orang yang menghina itu!"

Kakek itu tidak marah, bahkan tertawa semakin keras karena dia menganggap bocah di depannya itu seperti badut sedang berlagak saja. "Ehh, anak lucu, siapakah namamu?"

Melihat kakek itu bertanya sambil berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, dua tangan bertolak pinggang dan dadanya dibusungkan, Sin Liong lalu meniru dengan berdiri tegak, kedua kaki dipentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang, lalu berkata lantang.

"Ahh, kakek yang tidak lucu, siapakah namamu?"

Bagi orang-orang yang pernah mengenal Sin Liong semenjak kecil sampai dia berada di Cin-ling-pai ikut kakeknya, tentu akan terheran-heran kenapa terjadi perubahan demikian besar pada diri anak ini. Semenjak masih kecil sampai dia berada di Cin-ling-pai, anak ini berwatak pendiam dan serius, wajahnya lebih sering muram dari pada cerah dan dia tidak pandai berkelakar.

Akan tetapi, semenjak dia menjadi sute dari Ouwyang Bu Sek, terjadi perubahan pada wataknya yang pendiam itu. Ouwyang Bu Sek adalah seorang kakek yang pandai bicara, jenaka dan lucu, maka selain ilmu kepandaiannya, juga sifatnya ini agaknya menurun pula kepada Sin Liong. Akan tetapi, karena pada dasarnya Sin Liong pendiam, maka sifat itu hanya sewaktu-waktu saja timbul padanya, terutama ketika menghadapi saat berbahaya, dan sifat ini timbul sebagian besar sebagai siasat.

Tentu saja sikap ini memancing suara ketawa geli dari banyak hadirin sampai ada yang terkekeh-kekeh, terutama sekali bagi mereka yang memang merasa tidak suka terhadap Pek-lian-kauw. Melihat kakek yang wajahnya menyeramkan itu dipermainkan dan diejek oleh seorang bocah ingusan yang baru berusia belasan tahun, benar-benar merupakan penglihatan yang lucu dan tentu saja memuaskan hati mereka yang anti Pek-lian-kauw.

Kakek itu terbelalak. Dia adalah seorang tokoh besar Pek-lian-kauw. Bahkan orang-orang kang-ouw yang pandai pun tidak berani sembarangan terhadap dia, bahkan banyak pula yang takut. Akan tetapi kenapa anak ini demikian beraninya? Akan tetapi kakek raksasa itu mempunyai dua dugaan. Pertama, tentu saja anak ini sama sekali buta akan keadaan di dunia kang-ouw, dan karena tidak mengenal siapa dia maka berani bersikap seperti itu, dan yang ke dua, boleh jadi anak ini agak miring otaknya maka berani bersikap demikian gila-gilaan!

"Engkau malah berani balas bertanya sebelum menjawab?!" bentaknya.

"Tentu saja! Engkau adalah fihak yang mencari perkara, ada pun aku hanyalah fihak yang melayanimu, maka boleh dibilang engkau ini tamunya dan aku ini tuan rumahnya. Maka, tidakkah sudah sepatutnya kalau tuan rumah lebih dulu mengetahui nama si tamu baru memperkenalkan diri? Betul tidak, cu-wi yang mulia?" Dia menoleh ke bawah panggung.

"Betul...! Betul…!"

Tentu saja mereka yang menonton pertunjukan lucu itu menyetujui. Di dalam keadaan seperti itu, pada saat Sin Liong mendapatkan simpati karena kelucuan dan keberaniannya mempermainkan seorang tokoh besar yang ditakuti, tentu saja apa pun yang dikatakan anak itu akan disetujui mereka.

Sin Liong kini menghadapi lagi kakek raksasa sambil tersenyum lebar. "Nah, kakek yang tidak lucu, kalau aku saja yang bicara tentu engkau tidak percaya, akan tetapi pendapat semua orang gagah yang terhormat itu, apakah engkau berani untuk melanggarnya? Nah, jawablah dulu, siapakah namamu!"

Kulit muka yang kasar dan agak hitam itu menjadi lebih hitam lagi karena kakek itu sudah marah sekali dan mukanya menjadi kemerahan, matanya melotot dan anehnya, bila mana kakek ini sedang marah terjadilah hal yang lucu di luar kesadarannya sendiri, yaitu cuping hidungnya yang kiri bergerak-gerak kembang kempis dengan keras sehingga kumisnya sebelah kiri juga ikut pula bergerak-gerak, persis seperti kumis kelinci! Melihat hal ini, Sin Liong merasa geli sekali dan dia pun terkekeh-kekeh.

Kakek raksasa itu menjadi makin marah. "Anak bedebah! Mengapa engkau tertawa?"

"Heh-heh-ha-ha-ha, engkau lucu sekali! Aku menarik kembali omonganku tadi, kalau tadi aku menyebutmu kakek yang tidak lucu, sekarang aku menamakan engkau kakek yang lucu. Nah, kakek yang lucu, siapakah sih namamu? Jangan jual mahal, ah!"

Kembali banyak orang tertawa dan kakek itu kembali mendongkol. "Bocah sial! Kau kira aku ini orang apa maka kau berani main gila seperti ini? Dengar baik-baik agar terbawa mampus olehmu. Aku adalah tokoh tingkat ke tiga di Pek-lian-kauw, dan julukanku adalah Kiu-bwee-houw, namaku... ahhh, bocah macam engkau tidak pantas mengenal namaku. Biarlah arwahmu nanti ingat selalu bahwa engkau mampus di tangan Kiu-bwee-houw!"

Bukan tidak ada sebabnya kenapa kakek yang berjuluk Kiu-bwee-houw (Harimau Berekor Sembilan) ini tidak mau memperkenalkan namanya kepada Sin Liong. Melihat anak itu amat lincah dalam bicara, pandai mempermainkan orang dan kelihatan nakal dan kurang ajar, maka kakek ini sengaja menyembunyikan namanya karena khawatir kalau namanya diperkenalkan, maka nama itu akan menjadi bulan-bulan dan olok-olok anak itu. Namanya adalah Toa Bhi dan dia she Bhe. Nama itu dapat pula diartikan Si Hidung Besar!

"Pantas... pantas...!" Sin Liong mengangguk-angguk. "Wajahmu seperti harimau, lagakmu seperti harimau, gerakanmu seperti harimau hendak menubruk, dan gagang golokmu pun ukiran kepala harimau. Pantas julukanmu Harimau Ekor Sembilan, akan tetapi aku sama sekali tidak melihat ekormu! Apakah benar-benar ekormu itu ada sembilan? Cobalah kau perlihatkan kepadaku, kakek lucu!"

Tentu saja ucapan ini segera disambut oleh ketawa riuh rendah oleh para penonton dan Kiu-bwee-houw menjadi makin gemas. "Bocah yang sudah bosan hidup! Hayo lekas kau katakan siapa namamu agar kelak aku dapat memberitahukan kepada Cin-ling-pai bahwa engkau telah mampus di tanganku!"

"Uuuhhhh, tidak gampang, sobat. Namaku adalah Sin Liong!"

Kwee Siang Lee yang sejak tadi memperhatikan anak itu, diam-diam terkejut bukan main. Dia belum pernah bertemu dan berkenalan dengan Sin Liong, akan tetapi tentu saja dia pernah mendengar nama Sin Liong, nama anak yang katanya merupakan murid baru dan murid terakhir dari sucouw-nya, yaitu Cia Keng Hong!

Pernah dia mendengar betapa seorang anak kecil aneh diambil murid oleh sucouw-nya itu, dan kabarnya anak itu dilarikan penjahat sakti pada saat peti mati sucouw-nya sedang dihormati dalam upacara berkabung oleh keluarga sucouw-nya. Jadi dia inikah anak yang menjadi murid terakhir dari sucouw-nya itu? Diam-diam dia terkejut bukan main.

Anak yang usianya paling banyak enam belas tahun ini ternyata masih terhitung paman kakek gurunya! Karena kakeknya, mendiang Kwee Kin Ta, salah seorang di antara Cap-it Ho-han, adalah murid dari Cia Keng Hong, dan bocah yang menjadi murid bungsu dari Cia Keng Hong ini terhitung sute dari kakeknya sendiri.

Keringat dingin keluar dari seluruh tubuh pemuda ini. Dia tadi telah bersikap keterlaluan! Dia telah dengan lancang mengangkat diri sendiri menjadi wakil Cin-ling-pai! Bahkan lebih dari itu, dia telah lancang dan berani mencalonkan dirinya menjadi calon bengcu sebagai wakil Cin-ling-pai pula! Padahal di situ ada pemuda ini yang masih terhitung susiok-kong atau paman kakek guru darinya!

"Sin Liong? Heiii, bocah sombong! Engkau ini tokoh tingkat berapakah dari Cin-ling-pai? Dengan nyali sebesar ini, agaknya engkau tentu seorang tokoh yang penting juga!" Kakek itu memancing untuk kelak memperolok Cin-ling-pai bila mana dia sudah merobohkan, ah, bahkan membunuh bocah yang telah memanaskan perutnya itu.

"Tokoh tingkat berapa? Wah, orang macam aku ini di Cin-ling-pai dapat kau temui losinan banyaknya, sulit dihitung, dan belum masuk hitungan kelas sama sekali! Aku sepatutnya hanya menjadi jongos atau tukang sapu saja di sana!"

Makin mengkal rasa hati kakek raksasa itu. Dengan kata-kata itu, kembali bocah itu yang kelihatan meremehkan diri, sebetulnya menyeret dia ke tempat rendah, karena bukankah bocah itu seakan mengatakan bahwa dia hanya patut bertanding melawan jongos atau tukang sapu dari Cin-ling-pai saja? Kalau dia belum terlanjur maju, tentu dia tak akan sudi untuk melayani seorang kacung Cin-ling-pai!

Akan tetapi karena mereka sudah berhadapan, tak ada jalan lain baginya untuk menebus penghinaan dan rasa malu itu dengan merobohkan atau pun membunuh anak ini secepat mungkin. Dia mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dan memang gerengannya itu dilakukan dengan pengerahan khikang, suara yang keluar dari dalam perut dan dapat menggetarkan jantung para pendengarnya, terutama sekali Sin Liong yang berdiri tepat di depannya. Apa bila anak ini tidak mempunyai kepandaian, tentu dia akan menjadi pucat, menggigil atau lumpuh seketika, mirip seperti pengaruh gerengan harimau tulen terhadap manusia.

Akan tetapi, murid kakek sakti Ouwyang Bu Sek ini tentu saja cepat-cepat mengerahkan sinkang-nya sehingga gerengan itu baginya tidak lebih berbahaya dari pada bunyi suara kucing saja. Dia tersenyum mengejek.

"Wah, julukanmu macan, gerenganmu seperti macan pula. Seekor macan muda dan kuat memang berbahaya, akan tetapi macan tua ompong macam engkau ini tidak menakutkan melainkan menggelikan. Aku berani bertaruh bahwa menghadapi seekor domba muda saja engkau tidak akan mampu merobohkannya. Eh, orang tua, percaya tidak engkau?"

Ditanya demikian, seperti orang tua latah raksasa itu menjawab, "Tidak percaya!" Akan tetapi dia segera sadar bahwa dia telah melayani pembicaraan anak itu maka dengan marah dia membentak, "Bersiaplah untuk mampus!"

"Mampus ya mampus, akan tetapi aku ingin melihat apakah macan ompong ini mampu membunuh seekor domba. Biar aku yang menjadi dombanya."

"Biar engkau berubah menjadi anjing, kau akan tetap mampus di tanganku, bocah setan!"

"Ehhh, kau menantang anjing? Ingat, anjing lebih kuat dari pada domba, lho! Kau tidak menyesal nanti kalau dikalahkan aniing? Biar aku menjadi anjing dulu!"

Dan seketika itu juga Sin Liong menjatuhkan diri merangkak-rangkak dengan empat kaki seperti seekor anjing. Selagi semua orang masih merasa terheran-heran, mendadak anak itu mengeluarkan gonggongan keras dan menyalak-nyalak, suaranya persis seekor anjing tulen! Orang-orang tertawa dan memuji karena andai kata tidak melihat anak itu, tentu mereka mengira bahwa memang anjing tulen yang menyalak-nyalak itu.

Hal ini sebenarnya tidaklah mengherankan. Karena semenjak bayi dipelihara oleh monyet-monyet liar, maka penangkapan dari pendengaran Sin Liong lebih peka dari pada manusia biasa sehingga dia lebih dapat menangkap ‘inti’ dari suara binatang-binatang hutan. Yang ditirunya itu adalah suara yang memang dikenalnya benar, suara anjing hutan, maka dia dapat mengeluarkan bunyi yang persis dengan suara anjing tulen.

Saat melihat pemuda remaja itu merangkak-rangkak, menyalak-nyalak dan menggoyang-goyang pinggul yang tidak ada ekornya, meledaklah suara ketawa mereka yang hadir dan disuguhi tontonan lucu ini. Hanya orang-orang dari Pek-lian-kauw yang tidak bisa tertawa karena mereka itu ikut merasa gemas dan marah ketika melihat betapa tokoh ke tiga dari Pek-lian-kauw itu dipermainkan oleh seorang bocah!

"Mampuslah!" Tiba-tiba tubuh tinggi besar itu menubruk.

Tubrukan ini bukan tubrukan ngawur belaka yang didorong oleh nafsu amarah, melainkan tubrukan yang telah diperhitungkan masak-masak, yang hendak ditangkap ialah tengkuk dan pinggul Sin Liong. Sekali tertangkap, tentu tubuh anak itu akan dibantingnya sampai tulang-tulangnya remuk.

Akan tetapi, seperti gerakan seekor anjing tulen, Sin Liong meloncat dengan tekanan kaki dan tangannya sehingga tubrukan itu pun luput! Hal ini amat mengejutkan hati para tokoh Pek-lian-kauw.

Mereka tahu bahwa Kui-bwee-houw tadi telah mempergunakan jurus Harimau Menerkam Domba yang sangat dahsyat, dan tubrukan pertama itu disusul dengan cengkeraman ke mana pun lawan yang diserang itu mengelak. Akan tetapi, seperti seekor anjing, anak itu benar-benar telah melompat cepat ke samping kemudian cepat pula memutar sehingga si raksasa sama sekali tidak mampu melanjutkan serangannya dan gagallah jurus pertama dari serangannya itu.

Terpaksa dia membalik sambil memutar dan mengayun kaki kirinya. Itulah jurus Harimau Memutar Tubuh yang mirip dengan ilmu para tokoh kaipang (perkumpulan pengemis), yaitu ilmu yang sangat diandalkan oleh mereka dan yang dinamakan Ilmu Silat Mengusir Anjing.

"Huk-huk-huk!" Sin Liong menyalak-nyalak. Melihat sambaran kaki itu, dia menggerakkan kepala dan kaki depan ke samping, kemudian dia menggigit ke arah betis yang lewat di depan mukanya.

"Brettt...!”

“Aughh...!" Kakek itu mengguncang kakinya yang tergigit dan semua orang bersorak-sorai melihat pemuda cilik itu betul-betul menggigit betis lawan, persis seperti seekor anjing.

Celana si raksasa itu robek dan sesudah kaki yang tergigit diguncang-guncang, terpaksa Sin Liong melepaskan gigitannya.

"Monyet cilik, akan kubunuh kau!" Kiu-bwee-houw berteriak, mukanya merah dan kedua matanya terbelalak liar.

Akan tetapi sebelum kakek ini menyerang kembali, Sin Liong segera membuat gerakan meloncat ke atas dan berdiri dengan sikap seperti seekor monyet!

"Aha, kebetulan sekali, engkau menyuruh aku menjadi monyet? Baiklah, dan marilah kita lihat apakah macan ompong mampu mengalahkan monyet!"

Pemuda itu langsung mengeluarkan suara aneh, suara monyet tulen. Dan cara dia berdiri dengan kedua pundak diangkat, mukanya dengan mulut agak meringis, kedua tangannya, memang mirip, bahkan persis monyet. Dan hal ini tentu saja lebih tidak aneh lagi karena Sin Liong sudah tahu benar bagaimana gerak-gerik seekor monyet. Bahkan sebelum dia bertemu dengan ibu kandungnya, dahulu dia adalah seekor monyet cilik.

Melihat lagak ini, kembali suasana di bawah panggung menjadi riuh rendah karena lagak Sin Liong benar-benar lucu dan menarik hati. Juga dalam hati mereka timbul rasa kagum bukan main. Jelas bahwa pemuda ini agaknya sama sekali tidak becus (mampu) bersilat, akan tetapi sudah berani melawan seorang tokoh besar seperti Kiu-bwee-thouw. Bukan hanya berani melawan, bahkan memperolok-oloknya sehebat itu.

Kembali Kiu-bwee-houw menggereng lantas menyerang. Kepalan tangan kanannya yang sebesar kepala Sin Liong itu menyambar deras, meluncur ke depan bagai peluru meriam, mengarah ke kepala Sin Liong. Bagi pandangan Sin Liong yang kelihatan hanya bulatan besar mengerikan itu meluncur ke arah kedua matanya. Namun dia tidak menjadi gugup dan bergerak lincah sekali, gerakannya tidak lagi gerakan kuda-kuda ilmu silat melainkan gerakan monyet mengelak, dan pukulan itu pun hanya mengenal angin saja.

"Aihh... macan ompong main tubruk dan cakar, tidak ada gunanya! Gigimu sudah ompong semua, cakar kukumu telah puntul!" Sin Liong mengejek dan raksasa itu semakin marah.

Diserangnya Sin Liong secara bertubi-tubi, namun semua gerakan serangan itu sia-sia belaka karena ‘manusia monyet’ itu dengan amat mudahnya berloncatan ke sana-sini, mengelak ke sana-sini. Sorak-sorai penonton menyambut pertandingan itu, pertandingan yang amat menarik di mana kakek raksasa itu sama sekali tak pernah dapat menangkap atau memukul anak kecil yang kini bergerak-gerak persis monyet, mengeluarkan suara seperti monyet tulen pula.

Dapat dimengerti bahwa andai kata Sin Liong belum mempunyai demikian banyak ilmu, pertama-tama ilmu-ilmu silat tinggi yang diturunkan atau diwariskan oleh Cia Keng Hong kepadanya, kemudian gemblengan-gemblengan yang diberikan oleh kakek Ouwyang Bu Sek, dan kalau dia hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya meniru monyet, sudah pasti dalam satu dua jurus saja dia akan celaka! Adalah karena pemuda ini telah mewarisi ilmu silat tinggi, maka dia dapat mempermainkan lawannya yang dalam tingkat ilmu silat masih jauh sekali di bawah tingkat anak yang luar biasa ini.

Tingkah yang lucu dan gerakan yang amat luar biasa gesitnya dari Sin Liong membuat pertandingan itu nampak ramai dan juga lucu. Ada kalanya ujung jari-jari tangan kakek itu hampir saja menyentuh tubuh Sin Liong, tapi pemuda itu sudah dapat menghindarkannya dengan cepat dan dengan gerakan aneh.

Tak terasa lagi lima puluh jurus telah lewat dan meski pun Sin Liong belum pernah balas menyerang, hanya pertama kali tadi dia menggigit robek celana lawan, akan tetapi kakek raksasa itu pun belum pernah mampu menyentuh ujung baju pemuda yang perkasa yang lihai ini....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 20



TIBA-TIBA ada angin menyambar ke depan. Angin ini kuat sekali dan memaksa Sin Liong yang mengenal pukulan ampuh cepat berjungkir balik, membuat poksai (salto) di udara sampai lima kali lalu turun dan memandang. Kiranya di tepi panggung sudah berdiri Kim Lok Cinjin, kakek muka putih yang matanya kini makin beringas nampaknya.

"Bocah kurang ajar, engkau sudah menipu kami! Engkau pasti bukan orang Cin-ling-pai, melainkan dari golongan lain. Melihat gerakan-gerakanmu yang liar, engkau sama sekali bukan murid Cin-ling-pai. Mengapa engkau berani membela Cin-ling-pai?" bentak Kim Lok Cinjin, sedangkan Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi nampak menghapus peluh dari muka dan lehernya, menggunakan ujung bajunya. Dia merasa lelah sekali.

"Sudah kukatakan tadi bahwa aku pernah mempelajari ilmu yang tidak ada bandingnya di dunia ini, ilmu dari Cin-ling-pai, akan tetapi aku bukan tokoh bukan pula murid. Aku hanya membela tokoh muda Cin-ling-pai tadi... ehh, mana dia?"

Sin Liong mencari-cari dengan pandang mata namun ternyata tempat duduk Kwee Siang Lee telah kosong! Kemudian ada seorang tamu menerangkan bahwa tidak lama setelah pertarungan di atas panggung dimulai, pemuda tampan dari Cin-ling-pai itu segera pergi secara diam-diam.

Sin Liong menarik napas panjang, napas yang melegakan dadanya. Dia memang sangat mengkhawatirkan keselamatan pemuda lancang itu dan sesudah kini pemuda itu pergi, hatinya gembira dan enak. Dia tersenyum kepada Kim Lok Cinjin, lalu berkata,

"Aku memang tidak menggunakan jurus-jurus agung dan ampuh dari Cin-ling-pai tadi, dan sekarang, melihat betapa saudara Kwee Siang Lee tokoh Cin-ling-pai sudah pergi tanpa pamit, agaknya enggan turun tangan menghadapi lawan-lawan yang terlalu rendah tingkat kepandaiannya, maka aku pun tidak lagi membelanya, dan karena di sini Cin-ling-pai tidak mempunyai wakil, maka aku pun tidak lagi membela Cin-ling-pai atau membela siapa pun juga. Dan hendaknya kalian ketahui bahwa kalau aku tadi tidak mau menggunakan jurus Cin-ling-pai adalah karena sekali aku mengeluarkan jurus dari Cin-ling-pai, maka dalam satu jurus saja macan ompong itu tentu roboh."

Terdengar seruan kaget dari semua penonton. Bahkan para tokoh besar yang duduk di panggung kehormatan mengerutkan kening. Anak ini boleh jadi lihai dan menyembunyikan kepandaian hebat, akan tetapi terlampau sembrono dan terlalu sombonglah kalau berani mengatakan bahwa dengan satu jurus dari Cin-ling-pai, orang semacam Kiu-bwee-houw akan dapat dirobohkan!

"Bocah bermulut besar! Kalau benar dengan satu jurus dari Cin-ling-pai engkau mampu merobohkan murud pertamaku, Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi itu, biarlah pinto memberi hormat kepadamu!" teriak Kim Lok Cinjin marah dan kakek ini lalu mundur dan duduk kembali ke atas kursi kehormatan.

"Hemm, kakek lucu, beranikah engkau menyambut satu jurus seranganku menggunakan ilmu Cin-ling-pai?" Tiba-tiba Sin Liong menantang kepada Kiu-bwee-houw.

Tentu saja semua orang tertawa lagi, akan tetapi suara ketawa mereka terkendalikan oleh perasaan sangsi dan khawatir karena siapa pun orangnya tak akan percaya bahwa bocah yang kelihatan tidak pandai limu silat, yang agaknya hanya memiliki kecepatan gerakan seperti monyet, dan tidak mempunyai tenaga besar, buktinya tadi tidak pernah menyerang dan tidak pernah menangkis, akan dapat merobohkan kakek raksasa itu dalam satu jurus saja! Jurus apa gerangan yang demikian hebat?

"Anak iblis! Tadi suhu telah berjanji kalau aku roboh dalam satu jurus olehmu, beliau akan memberi hormat kepadamu. Akan tetapi bagaimana kalau ternyata engkau tidak berhasil merobohkan aku dalam satu jurus?" Kiu-bwee-houw bertanya.

"Kalau tidak bisa pun tidak mengapa, dan aku yang akan memberi hormat kepada gurumu dan kepadamu. Boleh saja, kan?"

"Seenak perutmu sendiri! Kalau engkau tidak berhasil merobohkan aku dalam satu jurus, engkau harus menjilati sepatu guruku sampai bersih, kemudian melanjutkan pertempuran ini sampai seorang di antara kita roboh."

Hebat bukan main syarat itu, penghinaan yang sangat besar. Namun dengan sikap enak saja Sin Liong mengangguk.

"Boleh, itu sudah adil sekali! Sekarang aku ingin engkau memilih, satu jurus dari ilmu yang manakah dari Cin-ling-pai yang harus kugunakan untuk merobohkan engkau? Ilmu-ilmu Cin-ling-pai amat banyak, ampuh dan luar biasa. Pilih saja yang mana. Apa mau San-in Kun-hoat, Siang-bhok Kiam-sut yang bisa dimainkan dengan pedang atau tangan, atau Thai-kek Sin-kun? Masih ada lagi ilmu-ilmu simpanan dari pendekar sakti Cia Keng Hong, di antaranya Sin-kun Hok-houw (Pukulan Sakti Menaklukkan Harimau), masih ada pula yang disebut Ta-houw-ciang (Tangan Pemukul Harimau) dan masih banyak lagi pukulan-pukulan yang sengaja diciptakan untuk mengalahkan segala macam harimau, termasuk harimau tua yang ompong."

Jelaslah bahwa ilmu-ilmu yang terakhir itu adalah isapan jempol saja dari Sin Liong, yang sengaja menggunakan nama harimau untuk mengejek lawannya. Akan tetapi, disebutnya banyak ilmu itu, membuat Kiu-bwee-houw diam-diam merasa kaget. Jangan-jangan anak ini memang benar ahli silat kelas satu! Dia merasa jerih juga mendengar nama ilmu-ilmu yang mengancam harimau itu. Maka dia memilih nama ilmu yang kedengarannya tidak begitu seram, yaitu Ilmu Silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung).

"Aku pernah mendengar bahwa di antara semua ilmu silat dari Cin-ling-pai, yang paling hebat adalah ilmu Thi-khi I-beng dan San-in Kun-hoat. Nah, kau pergunakan dua ilmu itu untuk merobohkan aku dalam satu jurus!" Kakek ini tersenyum lebar mengejek.

Dia sudah mendengar bahwa di dunia ini, hanya dua orang yang menguasai ilmu Thi-khi I-beng (Ilmu Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa), yaitu mendiang Cia Keng Hong dan Yap Kun Liong. Bahkan kabarnya, putera dari pendekar Cia Keng Hong itu sendiri tidak diberi pelajaran Thi-khi I-beng, apa lagi bocah ingusan ini! Kakek ini merasa dirinya cerdik menyebut nama ilmu itu, dan dia pun tidak gentar menghadapi Ilmu San-in Kun-hoat, ilmu yang namanya saja lemah lembut itu, apa lagi kalau hanya dipergunakan satu jurus saja.

Akan tetapi Sin Liong menjadi girang sekali. Ilmu San-in Kun-hoat adalah ilmu yang amat halus dan hebat, apa lagi sesudah dia digembleng oleh Ouwyang Bu Sek, ilmu silat ini telah dilatihnya secara luar biasa. Dan tentang Thi-khi I-beng, kecuali kakeknya tidak ada orang lain tahu bahwa dia sudah menguasai sepenuhnya ilmu itu, bahkan tidak kalah kuat dibandingkan dengan kakeknya sendiri!

"Bagus, kau bersiaplah. Dalam satu jurus aku akan membanting tubuhmu yang gemuk itu ke atas papan panggung!" bentaknya.

Kakek raksasa itu menyeringai, lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang dan dia mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya pada kaki dan tangannya, siap untuk menangkis atau mengelak dari jurus serangan yang akan dipergunakan oleh Sin Liong. Dia merasa yakin bahwa dia mampu mengelak, dan kalau gerakannya kurang cepat, dia boleh mengandalkan dua tangannya untuk menangkis dan pengerahan tenaga sekuatnya itu tentu akan membuat bocah ini terpental. Demikianlah pikirannya dan dia merasa yakin sekali akan kemenangannya.

"Cu-wi yang terhormat, harap suka menjadi saksi. Aku akan mempergunakan satu jurus saja dari ilmu silat sakti San-in Kun-hoat, yaitu jurus yang disebut Pek-in Tui-san (Awan Putih Mendorong Gunung). Dengan tangan kiri aku akan menyerang ke arah kepalanya, kemudian disusul dengan cengkeraman tangan kananku untuk mengangkat tubuhnya dan membantingnya ke atas lantai, aku menjadi awan putih dan dia menjadi gunungnya. Nah, harap suka melihat baik-baik!"

Tentu saja ucapan ini mengandung kesombongan besar sekali. Semua orang terkejut sekali. Bagaimana bocah ini berani bersikap sedemikian sombong dan sembrono? Belum diberitahukan saja tentang jurus itu, agaknya tidak mungkin dia akan berhasil merobohkan Kiu-bwee-houw, apa lagi setelah jurus itu dia perkenalkan, tentu mudah bagi lawan untuk menghadapinya. Benar-benar seorang bocah tolol yang besar mulut.

Kiu-bwee-houw juga merasa geli. "Ha-ha-ha-ha! Keluarkanlah jurus kentut busukmu!" Dia mengejek.

"Sambutlah gerakan pertama jurus mautku!"

Sin Liong mengerahkan tenaga sinkang, tangan kirinya sudah melayang ke arah kepala atau kedua mata lawan. Karena pukulannya ini dilakukan dengan pengerahan sinkang yang amat kuat, pula dilakukan cepat sekali, maka terkejutlah Kiu-bwee-houw dan dia tidak berani main-main lagi.

Cepat dia menggerakkan tangan kanan dari sebelah luar dan ditangkapnya pergelangan tangan Sin Liong dengan kelima jari tangannya yang panjang dan kuat. Sekali tangkap, lengan anak itu sama sekali tidak mampu bergerak lagi dan Kiu-bwee-houw sudah mulai tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha... huahhhh...!" Suara ketawa berubah menjadi kekagetan setengah mati ketika dia merasa, betapa hawa sinkang yang dipergunakan tangan kanannya untuk menangkap pergelangan tangan kiri pemuda remaja itu kini melekat pada pergelangan tangan itu dan hawa sinkang-nya membanjir keluar, disedot oleh pergelangan tangan lawan!

"Thi... Thi-khi I-beng...!" Keluhnya tergagap, namun sudah terlanjur.

Makin dia mengerahkan sinkang untuk melepaskan tangannya, makin hebat pula tenaga sinkang-nya membanjir keluar. Sedemikian cepat dan kuatnya hawa murni itu keluar dari tubuhnya disedot oleh lawan hingga sebentar saja mukanya menjadi pucat dan tubuhnya terasa lemas kehilangan tenaga.

"Kini gerakan ke dua dari jurus mautku!" teriak pula Sin Liong dan dengan tangan kanan dia mencengkeram ke arah ikat pinggang lawan, lalu diangkatnya tubuh raksasa itu dan sambil melepaskan daya sedot Thi-khi I-beng, lalu dibantingnya tubuh itu ke atas papan panggung.

"Brukkk!"

Papan panggung lantas jebol dan tubuh kakek raksasa itu amblas ke dalamnya sampai sepinggang! Tentu saja kejadian ini sama sekali tidak pernah diduga oleh semua orang sehingga bantingan itu disusul oleh keheningan yang menegangkan.

Semua orang seperti menahan napas menyaksikan peristiwa yang sangat aneh ini dan tidak ada seorang pun yang tidak meragukan apa yang mereka lihat. Akan tetapi ketika mereka melihat Kiu-bwee-houw meronta-ronta dan keluar dari dalam lubang papan sambil terengah-engah, keheningan itu segera pecah oleh sorak-sorai dan tepuk tangan mereka.

Pada saat itu nampaklah sesosok bayangan putih berkelebat dan Kim Lok Cinjin menarik Kiu-bwee-houw dibawanya melayang ke tempat duduknya, setelah diperiksa dan ternyata tidak terluka apa-apa, wakil ketua Pek-lian-kauw wilayah selatan ini segera melompat lagi ke tengah panggung menghadapi Sin Liong.

Mereka berdiri berhadapan, untuk beberapa saat lamanya Kim Lok Cinjin memandang dengan penuh perhatian, mukanya yang putih itu agak merah dan matanya yang beringas menjadi makin galak. Dia merasa malu dan terhina sekali melihat betapa muridnya telah dipermainkan oleh seorang pemuda setengah kanak-kanak, bukan hanya dipermainkan, bahkan dihina sekali karena dirobohkan dalam satu jurus saja. Dia tidak percaya bahwa bocah ini sedemikian lihainya sehingga mampu merobohkan muridnya dalam satu jurus. Tentu ada apa-apa dalam pertandingan tadi, atau memang muridnya yang tidak hati-hati.

Tadi Sin Liong penuh semangat ketika naik ke atas panggung karena dia melihat betapa keselamatan Kwee Siang Lee, pemuda yang mengaku menjadi anak murid Cin-ling-pai itu, terancam bahaya. Kini, melihat betapa Siang Lee telah pergi tanpa pamit, maka dia kehilangan nafsunya untuk membikin ribut di atas panggung.

Dia hanya mewakili suheng-nya untuk menonton dan menerima pesan dari suheng-nya supaya ikut menjaga tertib dan adilnya pemilihan calon bengcu itu tanpa mengajukan diri sebagai calon bengcu. Demikianlah, melihat bahwa tak ada lagi yang harus dilindunginya, Sin Liong mendapatkan kembali ketenangan dan watak aslinya yang pendiam dan tidak suka mencampuri urusan orang. Dia menjura dan suaranya halus penuh hormat ketika dia berkata, "Harap maafkan saya."

Akan tetapi Kim Lok Cinjin sudah marah sekali. "Bocah sombong, kalau memang engkau mewakili Cin-ling-pai hendak menghina Pek-lian-kauw, hayo maju dan kau lawan pinto!"

Kembali Sin Liong menjura, "Saya tidak tahu apa-apa mengenai permusuhan di antara Cin-ling-pai dan Pek-lian-kauw, tadi saya hanya membela pemuda itu. Harap locianpwe tidak mendesak dan saya hendak menjadi penonton saja." Setelah berkata demikian, Sin Liong sudah meloncat turun dari atas panggung.

Semakin marahlah Kim Lok Cinjin. Dia adalah wakil ketua Pek-lian-kauw di selatan dan Kiu-bwee-houw adalah muridnya yang pertama, yang amat diandalkan oleh Pek-lian-kauw sebagai tokoh ke tiga, yaitu setelah ketua dan dia sebagai wakil ketua. Mana dia dapat menghabiskan urusan itu begitu saja setelah Pek-lian-kauw mengalami penghinaan hebat dari bocah Cin-ling-pai?

"Bocah hina, hayo kau cepat naik ke sini!" bentaknya dan kakek bermuka putih pucat itu menggerakkan tangannya ke bawah, ke arah Sin Liong yang sudah meloncat turun dari atas panggung.

"Syuuuuttt...!"

Angin pukulan yang sangat dahsyat langsung menyambar ke arah punggung Sin Liong. Itulah pukulan jarak jauh yang hanya mengandalkan angin pukulan saja, akan tetapi amat berbahaya melebihi pukulan tangan langsung.

"Hemmm, harap jangan terlalu mendesak, locianpwe!" Sin Liong mengibaskan tangannya dan pukulan itu dapat ditangkisnya!

Tentu saja wakil ketua Pek-lian-kauw itu terkejut dan makin marah. Akan tetapi sebelum dia menyerang lagi, nampak ada bayangan dua orang berkelebat naik ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah Sin-ciang Gu Kok Ban, dan Tiat-thouw Tong Siok, dua oang pimpinan dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Mereka berdua sudah menjura kepada wakil ketua Pek-lian-kauw dan berkatalah Sin-ciang Gu Kok Ban.

"Harap totiang suka bersabar. Totiang sebagai calon bengcu tidak semestinya bertanding sebelum waktu sayembara dimulai, dan tidak semestinya jika bertanding dengan seorang di antara penonton. Kecuali kalau pemuda remaja itu diangkat menjadi calon pula, maka nanti totiang akan dapat berhadapan dengan dia secara sah."

"Betul! Kami mencalonkan dia menjadi bengcu!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari para wakil peninjau rombongan Kun-lun-pai.

Suara ini segera disusul pula oleh para wakil dari golongan-golongan bersih, dari Siauw-lim-pai serta dari beberapa orang kang-ouw yang tadinya hanya datang sebagai penonton saja. Melihat kelihaian bocah ini, apa lagi mendengar bahwa bocah itu murid Cin-ling-pai, mereka ini merasa suka dan setuju kalau Sin Liong menjadi bengcu yang berarti bahwa golongan sesat atau dunia hitam dapat dikendalikan.

Akan tetapi Sin Liong cepat bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke atas. "Saya tidak ingin menjadi bengcu, saya hanya ingin menjadi penonton saja!"

Sin-ciang Gu Kok Ban kemudian berkata lantang, "Kalau orang tidak mau menjadi calon bengcu, pun tidak dapat dipaksa. Harap totiang suka mundur dulu dan sebaiknya urusan pribadi dapat dikesampingkan dan diselesaikan sendiri sesudah urusan pemilihan bengcu selesai. Setelah urusan beres, jika totiang menghendaki apa pun, biar dia bersayap mana bisa meloloskan diri dari totiang."

Kim Lok Cinjin mengangguk dan dia merasa malu untuk mendesak seorang bocah. Dia menoleh ke arah Sin Liong, memandang tajam lantas berkata, "Engkau tunggulah saja!" Lalu dia kembali ke tempat duduk semula.

Kini dimulailah sayembara pemilihan bengcu dan ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang segera mengadakan undian untuk menentukan siapa yang harus maju lebih dahulu untuk saling berhadapan. Ketika undian dibuka, ternyata yang mendapatkan nomor satu dan nomor dua adalah Lam-thian Kai-ong dan Ouw-kauwsu, yang menurut peraturan harus lebih dulu bertanding untuk menentukan kemenangan di antara keduanya agar si pemenang dapat maju ke babak berikutnya.

Dua orang jago itu kini sudah meloncat ke atas panggung dengan gaya masing-masing, disambut sorak-sorai oleh para penonton dan para rombongan yang memihak.

Lam-thian Kai-ong, kakek berusia enam puluhan tahun itu memegang tongkat butut. Dia bertubuh tinggi kurus, bibirnya tersenyum-senyum, dan di dunia kang-ouw bagian selatan, nama Lam-thian Kai-ong ini sudah sangat terkenal karena dia diakuinya sebagai Kai-ong (Raja Pengemis). Hanya jarang ada tokoh yang mengetahui sampai di mana tingkat ilmu kepandaiannya, karena sebagai golongan pengemis dan gelandangan, Lam-thian Kai-ong ini tentu saja biasanya mengundurkan diri di tempat sunyi sehingga jarang sekali bentrok dengan fihak lain.

Memang, di dunia kang-ouw, golongan pengemis ini agak dijauhi oleh golongan-golongan lain karena agaknya menurut perhitungan mereka, apa untungnya berselisih dengan para pengemis? Tak ada apa-apa yang diperebutkan dan karena kehidupan para gelandangan itu amat sengsara, maka tentu membuat mereka menjadi orang-orang nekat yang sukar dilawan! Hanya ada kabar angin saja yang dibawa oleh para jembel itu yang mengatakan bahwa Raja Pengemis itu memiliki kesaktian yang luar biasa.

Ada pun orang ke dua, Ouw Bian atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ouw-kauwsu, amat terkenal di antara para guru silat, para tukang pukul, dan para piauwsu (pengawal barang kiriman) sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan paling disegani di kota Amoi. Tubuhnya tinggi besar, matanya lebar dan dari gerak-geriknya sudah cukup menunjukkan bahwa guru silat ini memiliki tenaga yang besar.

Meski pun dia tidak memegang senjata seperti calon lawannya yang memegang tongkat, tapi orang dapat melihat bahwa ikat pinggangnya terbuat dari baja sehingga menimbulkan dugaan bahwa agaknya benda itulah yang merupakan senjata Ouw-kauwsu. Dan dugaan ini memang benar. Ikat pinggang itu dapat dimainkan seperti senjata pian yang lihai.

"Kai-ong, apakah begitu maju engkau hendak mempergunakan tongkatmu?" Ouw-kauwsu bertanya.

Raja Pengemis itu tersenyum. "Tidak, Ouw-kauwsu, aku cukup mengerti akan peraturan. Pertandingan diadakan dua kali, bukan? Pertama dengan tangan kosong dan bila selama seratus jurus dengan tangan kosong ini masih belum ada yang menang atau pun kalah, maka barulah kedua calon boleh menggunakan senjata masing-masing. Benarkah begitu, pangcu?" tanyanya sambil menoleh ke arah Sin-ciang Gu Kok Ban.

Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu mengangguk. "Tapi hanya senjata di tangan, bukan senjata rahasia! Penggunaan senjata rahasia tidak diperkenankan, kecuali kalau kedua calon saling menyetujui."

"Ha-ha-ha, tongkat bututku ini sudah cukup untuk mengusir segala macam anjing, perlu apa menggunakan senjata rahasia? Nah, aku sudah siap, kauwsu yang baik."

Sambil berkata demikian, kakek pengemis itu melontarkan tongkat bututnya yang segera meluncur seperti anak panah dan menancap di ujung papan panggung, menggetar dan mengeluarkan bunyi. Tenaga lontaran ini saja sudah membuktikan betapa lihainya kakek itu sehingga tongkat bambunya dapat menancap pada papan kayu yang keras itu seperti sebatang anak panah saja.

Ouw Bian juga maklum akan kelihaian lawan pertamanya ini, karena itu dia sudah siap memasang kuda-kuda dengan dua lengan disilangkan, jari-jari tangannya dibuka hingga membentuk cakar harimau. Kauwsu ini memang sangat terkenal dengan ilmu silat gaya pesisir timur yang mengutamakan cengkeraman dan tangkapan, diselingi dengan totokan jari tangan yang amat lihai.

Agaknya Lam-thian Kai-ong juga sudah mengenal ilmu itu. Maka, dengan tenang dia pun memasang kuda-kuda dengan sikap lembut untuk mengimbangi permainan lawan yang hendak mempergunakan serangan berdasarkan kekuatan jari tangan dan kecepatan.

"Lihat serangan!" Ouw Bian mulai menyerang, dua tangannya bergerak hampir berbareng, yang kiri mencakar ke arah kedua mata lawan sedangkan yang kanan menyusul dengan cengkeraman ke arah pusar. Serangan pertama sebagai serangan pembukaan ini cukup mengandung maut!

"Bagus!" Kai-ong berteriak dan dia memutar tubuhnya ke kanan, membalik dan sesudah menghindarkan cakaran pada kedua matanya dan berhasil menangkis cengkeraman pada pusar, lalu dibarengi dengan kaki kirinya yang panjang itu meluncur dan menendang ke arah lutut lawan. Kakek jembel ini memang ahli sekali dalam mainkan kaki, baik untuk melangkah secara teratur dan mudah mengelakkan serangan lawan mau pun untuk balas menyerang dengan tendangan kilat.

"Hemmm...!"

"Dukkk!"

Dengan tangan kanan dimiringkan, Ouw Bian berhasil menangkis tendangan itu lalu balas mencengkeram ke arah leher yang dapat pula dielakkan oleh Lam-thian Kai-ong. Kiranya kedua orang ini begitu bergebrak telah saling mempergunakan kecepatan untuk mencari kemenangan.

Pertandingan berjalan semakin cepat sehingga akhirnya pandang mata mereka yang ilmu kepandaiannya kurang tinggi menjadi kabur dan tidak dapat lagi mengikuti gerakan kedua orang yang sedang bertempur itu saking cepatnya gerakan mereka. Yang nampak hanya bayangan tubuh kedua orang itu berkelebatan dan kadang-kadang ruwet menjadi satu!

Hanya para tokoh yang berkepandaian tinggi, terutama mereka yang duduk sebagai calon bengcu, yang masih bisa mengikuti gerakan mereka dan tahulah mereka ini bahwa kalau dibuat perbandingan, maka Lam-thian Kai-ong masih menang sedikit dalam hal kecepatan gerakan.

Ouw-kauwsu juga maklum akan hal ini, maka tiba-tiba dia mengeluarkan suara gerengan keras dan gerakan sepasang cakar tangannya menjadi semakin kuat. Kiranya dia hendak mengatasi kekurangannya dalam ilmu ginkang (meringankan tubuh) dengan kekuatannya yang ternyata memang menang sedikit dibandingkan dengan lawannya.

Sekarang terjadilah serang-menyerang yang makin sengit. Semua serangan Ouw-kauwsu kebanyakan dielakkan dengan gesit oleh lawan, dan sebaliknya serangan balasan Kai-ong sengaja ditangkis oleh kauwsu itu dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.

Para anak buah berbagai rombongan yang menonton menjadi gembira bukan main dan segera terjadi pemisahan menjadi dua kelompok yang mendorong jagoan masing-masing dengan sorakan dan anjuran. Bahkan banyak di antara mereka, terutama anak buah yang menganggap Ouw-kauwsu sebagai jagoannya, yaitu mereka yang tergolong tukang pukul dan tukang judi, sudah mulai ramai mengadakan taruhan.

Sungguh mengherankan sekali karena dari fihak rombongan pengemis banyak pula yang menanggapi dan melayani taruhan dalam jumlah uang yang cukup besar itu. Ternyata di antara pengemis-pengemis itu banyak pula yang mempunyai simpanan uang besar!

Tak terasa lagi, lima puluh jurus telah terlewat dan kedua orang yang sedang bertanding itu belum juga mampu merobohkan lawan. Kalau pun ada pukulan atau tendangan yang mengenai tubuh lawan, tapi kenanya tidak telak dan tidak cukup kuat untuk merobohkan lawan, padahal, di dalam pertandingan ini, yang berlaku dan yang dianggap kalah adalah kalau lawan roboh di atas papan atau terlempar keluar panggung.

Sebenarnya, kedua fihak sudah merasa penasaran sekali sehingga tangan mereka sudah gatal-gatal untuk mencabut senjata dan mengandalkan keahlian mereka dengan senjata itu untuk merebut kemenangan. Akan tetapi karena mereka pun tahu bahwa pertandingan mereka belum lewat seratus jurus, maka mereka kini terus saling serang dengan semakin seru.

Tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek dibarengi berkelebatnya bayangan orang tinggi besar ke atas panggung, "Kalian berdua menggelindinglah!"

Dan sungguh luar biasa, dua orang kakek lihai yang sedang saling serang itu mendadak terdorong dan terlempar ke kanan kiri dan terjatuh keluar panggung!

Semua orang memandang dan ternyata yang berdiri di atas panggung itu adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar mukanya hitam bopeng dan tanpa daging seperti tengkorak. Tentu saja mereka semua langsung mengenal, terutama sekali para bajak karena mereka sudah bersorak riuh rendah menyambut munculnya orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo ini!

Kakek itu bukan lain adalah Hek-liong-ong Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Tiga Kakek Laut Selatan yang amat lihai. Dalam satu gebrakan saja dia mampu melempar dua orang lihai yang sedang bertanding tadi dari atas panggung, ini sudah membuktikan betapa lihainya raksasa muka tengkorak ini. Dan dia ini baru orang ke tiga! Belum yang ke dua dan yang pertama.

Oleh karena calon bengcu sudah roboh dua orang, maka kini tinggal tiga orang lagi, yaitu Tiat-thouw Tong Siok sendiri sebagai tuan rumah, kemudian Kim Lok Cinjin wakil ketua Pek-lian-kauw, dan Sin-to Bouw Song Khi Si Maling Sakti. Hati tiga orang ini agak gentar karena memang mereka pernah mendengar akan kehebatan ilmu dari Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena belum pernah bentrok sehingga belum mengukur tenaga mereka, tiga orang sakti ini pun merasa penasaran.

Sebagai ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang menjadi penyelenggara dan juga tuan rumah, Sin-ciang Gu Kok Ban cepat-cepat meloncat naik ke atas panggung dan menjura kepada Hek-liong-ong Cu Bi Kun.

"Kiranya Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang datang. Kenapa lo-enghiong melanggar peraturan pibu untuk memilih calon bengcu? Apa bila lo-enghiong berminat memasuki sayembara, mengapa tadi tidak mendaftarkan diri?" Demikian dia menegur dengan halus.

"Sekarang pun kami mendaftarkan diri juga belum terlambat!" terdengar suara halus dan tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang tahu-tahu sudah berada di atas panggung pula.

Semua orang mengenal mereka ini, karena yang pertama adalah Hai-liong-ong Phang Tek, yaitu kakek enam puluh lima tahun yang tinggi besar menyeramkan, wajahnya penuh brewok seperti Panglima Thio Hwi di jaman Sam-kok. Ada pun orang ke dua adalah adik kandungnya, Kim-liong-ong Phang Sun, yang usianya enam puluh tahun dan tubuhnya berbeda sekali dengan kakaknya karena dia ini bertubuh pendek kecil berkepala gundul lonjong dan dia tidak pernah pakai baju dan sepatu.

Melihat munculnya ketiga orang kakek sakti itu, hati Sin-ciang Gu Kok Ban menjadi makin gentar. Akan tetapi dia tetap menyambut dengan hormat. "Kiranya Lam-hai Sam-lo yang terhormat sudah hadir selengkapnya. Tentu saja locianpwe boleh mendaftarkan sebagai calon. Siapakah di antara locianpwe yang hendak memasuki sayembara?"

"Kami bertiga!"

"Tapi... tapi... setiap rombongan hanya diperbolehkan mengajukan seorang calon..."

"Ahh, aturan mana itu? Sin-ciang Gu-pangcu, engkau dan semua yang hadir tahu belaka bahwa semenjak pemilihan beberapa tahun yang lalu, sebenarnya kamilah yang berhak menjadi bengcu. Akan tetapi gara-gara pengacauan dari Ouwyang Bu Sek, maka terjadi keributan dan kami mengundurkan diri. Sekarang, dalam pemilihan kali ini, kami tak mau gagal lagi. Bila tadi kami agak terlambat adalah karena kami memang menanti munculnya setan cebol itu. Dia tidak berani muncul, maka kami segera datang dan kalau masih ada calon-calon lain, silakan naik dan asal dapat mengalahkan kami seorang demi seorang, baru dia atau mereka dapat diangkat menjadi calon."

Sunyi senyap suasana di tempat itu setelah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini bicara. Sin-ciang Gu Kok Ban mengerutkan alisnya. Munculnya Lam-hai Sam-lo dengan sikapnya itu melanggar peraturan dan sebagai fihak yang menyelenggarakan sayembara, Sin-ciang Tiat-thouw-pang tentu akan kehilangan muka.

Lagi pula dia mengenal siapa adanya Lam-hai Sam-lo ini, yang termasuk penjilat-penjilat pemerintah yang hendak mengejar kekuasaan dan kedudukan di daerah selatan. Apa bila Lam-hai Sam-lo yang menjadi Beng-cu, tentu para anggota liok-lim dan kang-ouw akan tergencet.

Dengan muka merah ketua ini lantas menghadap tiga orang kakek itu dan dengan suara lantang berkata, "Tadinya ada lima orang calon, akan tetapi setelah dua di antara mereka sam-wi robohkan, tinggal tiga orang lagi, yaitu sute Tiat-thouw Tong Siok, Kim Lok Cinjin dari Pek-lian-kauw, dan Sin-to Bouw Song Khi."

"Kim Lok Cinjin?" Tiba-tiba saja Hai-liong-ong Phang Tek berseru sambil memutar tubuh memandang ke arah tosu Pek-lian-kauw yang duduk di panggung kehormatan. "Benarkah hal itu? Sedangkan suheng-nya, Kim Hwa Cinjin sendiri selalu mendukung kami sebagai calon bengcu!"

Pek-lian-kauw juga terkenal sebagai perkumpulan yang anti pemerintah pada waktu itu, dan dalam hal ini, Pek-lian-kauw lebih condong kepada Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang juga anti pemerintah. Wakil Pek-lian-kauw ini maklum pula bahwa Lam-hai Sam-lo adalah orang-orang yang berusaha untuk mendekati pemerintah dan mencari kedudukan dengan menjilat-jilat, maka dia pun enggan untuk mundur, meski pun dia tahu betapa suheng-nya sendiri merasa jeri kepada tiga orang kakek sakti itu.

"Siancai... tidak disangka bahwa Lam-hai Sam-lo datang juga! Pinto telah terlanjur masuk sebagai calon bengcu, sebelum gagal dalam ujian mana mungkin mundur kembali?"

Akan tetapi kata-kata itu disambut cepat oleh suara yang halus ramah, suara Sin-to Bouw Khi "Seekor harimau pun akan mundur kalau melihat munculnya singa, maka biarlah aku yang bodoh menarik diriku sebagai calon bengcu dan aku kini menjadi pendukung saja dari seorang di antara Lam-hai Sam-lo untuk menjadi bengcu!"

Sikap ini pun dapat dimengerti karena Si Maling Sakti ini memang pernah ditolong oleh Lam-hai Sam-lo, yaitu ketika beberapa tahun yang lampau dia tertangkap oleh kepungan penjaga keamanan kota Amoi yang dipimpin oleh seorang pendekar, dan Lam-hai Sam-lo yang akhirnya menghubungi pembesar sehingga dapat mengeluarkannya dari tahanan. Di samping itu dia pun maklum bahwa kepandaiannya masih jauh dari pada cukup untuk mengalahkan tiga orang kakek sakti itu.

"Terima kasih atas pengertianmu, Sinto!" berkata Hai-liong-ong Phang Tek yang kembali menghadapi ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, "Apakah masih ada calon-calon yang lain, ataukan hanya kalian berdua saja?"

"Karena yang terhormat Sin-to Bouw Song Khi mengundurkan diri, maka yang tinggal hanya dua orang yaitu sute Tong Siok dan Kim Lok Cinjin," jawab Sin-ciang Gu Kok Ban dengan suara kering tanda bahwa dia marah sekali.

"Ha-ha-ha, bagus sekali! Ji-wi suheng turunlah, biarlah mereka berhadapan dengan aku!" kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun di tinggi besar muka tengkorak. Dua orang saudaranya itu mengangguk dan dengan ringannya mereka berdua meloncat turun dari atas panggung, berdiri di samping panggung dengan lagak angkuh.

Terdengar bentakan nyaring dan Kim Lok Cinjin sudah berada di atas panggung lantas menjura kepada Sin-ciang Gu Kok Ban. "Karena Tong-sicu sebagai wakil dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang merupakan tuan rumah, biarlah pinto yang lebih dulu maju."

Kim Lok Cinjin adalah tokoh Pek-lian-kauw yang wataknya pemarah dan tadi baru saja dia mengalami penghinaan ketika muridnya dipermainkan oleh seorang bocah. Oleh karena dia sedang marah, maka munculnya Lam-hai Sam-lo yang tak disukanya itu menambah kemarahannya. Dia maklum bahwa kepandaian ketiga orang kakek itu luar biasa sekali, namun mengingat bahwa mereka itu adalah antek-antek pemerintah yang dibencinya, dan mengingat pula bahwa dia harus mempertahankan nama besar Pek-lian-kauw, maka dia menjadi nekat hendak melawan.

"Sudah lama pinto mendengar akan nama besar Lam-hai Sam-lo, maka kini berhadapan dengan seorang di antara mereka, benar-benar merupakan kehormatan besar bagi pinto untuk mohon sedikit petunjuk," katanya sambil menjura kepada si muka tengkorak itu.

"Ha-ha-ha-ha, engkau terlalu merendah, totiang. Aku telah mendengar bahwa tingkat ilmu kepandaianmu hanya sedikit di bawah tingkat Kim Hwa Cinjin, maka engkau tentu sangat lihai. Marilah kita main-main sebentar!" kata orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo.

Dua orang jago tua itu sudah memasang kuda-kuda. Sebagai seorang tokoh besar dari Pek-lian-kauw, Kim Lok Cinjin segera memasang kuda-kuda Pek-lian (Teratai Putih), ada pun lawannya yang menjadi pewaris dari mendiang Lam-hai Sin-ni juga telah memasang kuda-kuda dengan dua tangan membentuk cakar naga, karena Ilmu Liong-jiauw-kun (Ilmu Silat Cakar Naga) merupakan ilmu andalan Lam-hai Sam-lo.

Mereka bergerak sebentar saling mengelilingi dan melihat betapa tokoh Pek-lian-kauw itu mengambil kedudukan bertahan, suatu sikap yang berhati-hati dalam pertandingan, maka sambil mengeluarkan gerengan nyaring Hek-liong-ong Cu Bi Kun sudah mulai membuka serangan. Kedua lengannya bergerak seperti sepasang kaki depan naga, menyambar ke arah lawan dari kanan kiri dan atas bawah dengan kecepatan bagai kilat dan mengandung tenaga yang sampai mengeluarkan bunyi saking kuatnya.

Namun wakil Pek-lian-kauw itu sudah waspada, cepat menggunakan keringanan tubuhnya bergerak ke belakang, mengelak sambil mengibaskan kedua tangannya keluar dan ke kiri kanan untuk menangkis kedua tangan lawan yang mengejarnya.

"Plak! Plak! Plak! Plak!"

Empat kali mereka saling mengadu pergelangan tangan dan akibatnya, kedua pundak Kim Lok Cinjin tergetar sedikit, tanda bahwa dalam adu tenaga sinkang ini, dia masih kalah kuat setingkat. Namun, Kim Lok Cinjin tidak menjadi gentar dan secepat kilat kedua kakinya mengirim tendangan berantai, yaitu semacam Ilmu Tendangan Siauw-cu-tui yang dilakukan secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian saling susul sehingga sangat berbahaya bagi lawan karena setiap tendangan mengarah bagian yang berbahaya dan mematikan.

Menghadapi tendangan seperti itu, terpaksa Hek-liong-ong cepat mengelak mundur dan akhirnya dia menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram dan menangkap kaki yang menyambar-nyambar itu. Hal ini menghentikan serangan wakil ketua Pek-lian-kauw karena tentu saja dia tidak mau membiarkan kakinya kena dicengkeram hancur.

Pertandingan berlangsung makin seru dan sampai lewat lima puluh jurus belum juga ada yang nampak akan memperoleh kemenangan. Sebenarnya, kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo masih jauh lebih tinggi, akan tetapi oleh karena wakil ketua Pek-lian-kauw itu bersilat dengan hati-hati sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melindungi dirinya, maka sampai sekian lamanya dia masih dapat bertahan dan belum terkalahkan.

Hal ini membuat Hek-liong-ong Cu Bi Kun menjadi penasaran dan marah sekali. Tadinya dia memandang rendah lawannya dan ternyata sampai sekian lamanya dia belum mampu merebut kemenangan, bahkan melukai lawan pun belum.

Tiba-tiba saja dia mengeluarkan teriakan nyaring dan nampaklah sinar menyilaukan mata berkelebat, disusul dengan muncratnya darah dan teriakan wakil ketua dari Pek-lian-kauw yang terhuyung ke belakang sambil memegangi pundaknya yang terobek oleh golok di tangan Hek-liong-ong.

Ternyata dengan kecepatan kilat Cu Bi Kun tadi sudah mencabut dan mempergunakan goloknya untuk menyerang dan karena memang keahliannya adalah main golok besar itu, maka Kim Lok Cinjin tak sempat mengelak sehingga pundaknya terkena bacokan golok dan terluka cukup parah.

"Memandang muka Kim Hwa Cinjin, biarlah totiang boleh mundur!" kata Cu Bi Kun sambil melintangkan goloknya di depan dada dengan sikap angkuh.

Dengan mata mendelik karena penasaran, akan tetapi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, wakil ketua Pek-lian-kauw itu meloncat turun dari atas panggung, lalu pergi dari situ sambil memegangi pundaknya, diikuti oleh semua anggota Pek-lian-kauw yang berada di situ.

"Tidak adil ! Sebelum seratus jurus telah mempergunakan senjata, itu namanya curang!" Tiba-tiba Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, berkepala botak dan mukanya bopeng itu meloncat ke atas panggung, toya besi di tangannya dan matanya mendelik memandang ke arah Hek-liong-ong.

"Hemm, apa maksudmu?" bentak Hek-liong-ong marah.

"Sebagai seorang cianpwe, perbuatanmu melukai Kim Lok Cinjin dengan senjata sebelum pertandingan tangan kosong melewati seratus jurus sangatlah tercela. Pertandingan ini diadakan di antara teman untuk memilih bengcu, bukan pibu di antara musuh!" tegur orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu dengan marah.

"Hemm, Tiat-thouw Tong Siok, engkau bukan anak kecil lagi dan engkau juga tentu tahu bahwa ilmu silat sangatlah luasnya, baik dengan tangan kosong mau pun dengan senjata merupakan bagian dari ilmu silat, dan di dalam setiap pertandingan ilmu silat pasti ada bahaya terluka atau pun terbunuh. Sekarang, calon terakhir tinggal engkau seorang, kalau engkau takut terluka, lebih baik mengundurkan diri sebelum terlambat."

"Hek-liong-ong Cu Bi Kun, omonganmu ini benar-benar keterlaluan!" Tiat-thouw Tong Siok membentak ketika mendengar ucapan yang sifatnya meremehkan bahkan menghina itu.

"Sute, sudahlah, serahkan saja kedudukan bengcu kepada Lam-hai Sam-lo, kita tak perlu turut campur!" Terdengar Sin-ciang Gu Kok Ban berseru karena dia mengkhawatirkan keselamatan sute-nya.

Akan tetapi Tiat-thouw Tok Siok adalah orang yang berhati keras. Dia telah dihina orang di depan orang banyak, mana dia mau sudah begitu saja?

"Biarlah, suheng. Ini sudah bukan masalah perebutan kedudukan bengcu lagi, melainkan urusan pribadi yang menyangkut kecurangan dan penghinaan. Tadi Kim Lok Cinjin sudah dicurangi, sekarang aku dihina orang, mana mungkin aku mendiamkannya saja? Harap suheng jangan mencampuri, urusan ini adalah tanggunganku pribadi. Mari, Hek-liong-ong, mari kita membuat perhitungan sebagai akibat kecurangan dan penghinaanmu tadi!"

Sambil berkata demikian, Tong Siok segera menggerakkan toya besinya dan dia sudah menyerang dengan ganasnya ke arah Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang cepat menyambut serangan itu dengan tertawa besar.

Tingkat kepandaian Tiat-thouw Tong Siok masih lebih rendah kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kim Lok Cinjin, maka kalau wakil ketua Pek-lian-kauw itu saja tidak kuat melawan Hek-liong-ong, apa lagi dia. Baru lewat belasan jurus saja sudah nampak betapa sinar toya sudah dibelit dan ditekan oleh sinar golok sehingga orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu hanya mampu mengelak saja tanpa sempat membalas lagi dan beberapa kali terdengar Hek-liong-ong mengeluarkan suara tawa penuh kebanggaan.

Dia memang sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya, dan dia pun bukan orang bodoh maka dia tidak ingin mencelakai Tong Siok, hanya ingin menundukkan saja. Kalau dia bertiga kakak-kakaknya ingin menguasai semua orang di kalangan kaum sesat, tentu saja dia tidak boleh sembarangan membunuh.

"Pergilah!" Tiba-tiba Hek Liong-ong berseru dan goloknya membabat keras sekali ke arah toya yang melintang itu.

"Trang... krekkk!" Dan toya di tangan Tong Siok patah menjadi dua potong!

"Ha-ha-ha, aku maafkan engkau. Turunlah!" kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun dengan lagak sombong sekali.

Tiat-thouw Tong Siok membanting dua potongan toyanya dengan mata mendelik, lalu dia berteriak nyaring, "Hek-liong-ong, aku harus mengadu nyawa denganmu!"

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Setelah berkata demikian, dia lalu menyeruduk ke depan dengan kepala lebih dulu seperti seekor kerbau mengamuk, mengarahkan kepalanya ke perut lawan. Itulah ilmunya yang sudah membuat dia dijuluki Tiat-thouw (Kepala Besi), dan di dalam serudukan kepalanya ini terkandung tenaga yang dahsyat sehingga tembok yang kokoh pun akan roboh dan pecah oleh serudukan kepalanya itu.

"Sute...!" Sin-ciang Gu Kok Ban berteriak, namun sudah terlambat karena sute-nya itu sudah menyerang dengan cepat.

"Ha-ha-ha!" Hek-liong-ong tertawa dan sengaja memasang perutnya yang gendut untuk menerima serudukan itu tanpa mempergunakan goloknya.

"Dukkk...!"

Dengan hebatnya kepala botak itu menumbuk perut hingga tubuh Hek-liong-ong tergetar, akan tetapi hanya untuk sebentar saja karena mendadak kepala itu sudah menancap ke dalam perut, seperti disedotnya.

"Slupppp...!" Kepala itu terbenam ke dalam perut sampai ke hidung!

Ketika merasa betapa kepalanya tersedot ke dalam, Tong Siok menjadi nekat maka dia cepat menggerakkan dua tangannya untuk mencengkeram ke atas! Akan tetapi, dengan mudah saja Hek-liong-ong menangkap pergelangan kedua tangan itu sehingga sekarang tinggal kedua kaki Tong Siok saja yang meronta-ronta!

"Locianpwe, harap menaruh kasihan terhadap sute!" teriak Sin-ciang Gu Kok Ban yang mengkhawatirkan keselamatan sute-nya.

"Hemmm, dia menghendaki nyawaku, mana bisa begitu mudah?" Tiba-tiba Hek-liong-ong memperkeras cengkeramannya pada kedua pergelangan tangan Tong Siok.

"Krekk! Krekk!" terdengar suara dua kali dan kedua pergelangan itu patah tulangnya dan menjadi lemas!

Pada saat itu nampak berkelebat sesosok bayangan ke atas panggung dan semua orang yang sudah merasa tegang menyaksikan kejadian yang mengerikan di atas panggung itu menjadi makin tegang pada waktu mengenal bahwa yang meloncat ke atas panggung itu adalah Sin Liong, pemuda remaja yang tadi telah menggegerkan pertempuran pemilihan bengcu itu.

Dengan langkah-langkah lebar Sin Liong menghampiri Tong Siok yang kepalanya masih menancap di perut Hek-liong-ong, lalu dia menepuk pinggul Tong Siok secara main-main sambil berkata dengan lantang. "Ehh, kenapa main-main dengan perut orang?"

"Plakk!"

Terdengar suara begitu tangan Sin Liong menepuk pinggul itu, dan tubuh Hek-liong-ong menggigil.....!

Tadinya, Tong Siok merasa betapa kepalanya terjepit dan terasa sangat panas, namun tepukan pada punggung itu mendatangkan hawa dingin yang menembus kepala lantas menyerang perut sehingga Hek-liong-ong kaget bukan kepalang, maklum bahwa pemuda remaja itu sedang main gila, dia lalu menggerakkan golok yang sudah dicabutnya lagi dari punggungnya.

Akan tetapi, Sin Liong mendorong lagi pinggul Tong Siok maka akibatnya, Hek-liong-ong mengeluarkan seruan keras, jepitan perutnya pada kepala itu terlepas dan dia terhuyung lalu roboh pingsan di atas panggung, goloknya tidak tercabut.

"Terima kasih...!" Tong Siok berkata kepada Sin Liong dan terhuyung dia turun dari atas panggung, dipapah dan dibantu oleh suheng-nya.

Pada saat itu juga Hai-liong-ong Phang Tek dan adiknya, Kim-liong-ong Phang Sun telah melayang naik ke atas panggung. Mereka berdua menghadang Sin Liong dari depan dan belakang.

Hai-liong-ong Phang Tek cepat memeriksa sute-nya dan merasa lega bahwa sute-nya itu hanya terguncang saja oleh kekuatan luar biasa sehingga pingsan tanpa mengalami luka parah, maka setelah ditotok beberapa kali, Hek-liong-ong telah bangkit kembali.

"Siapakah engkau, bocah setan?" bentak Kim-liong-ong Phang Sun sambil mendekati Sin Liong dengan sikap mengancam.

"Hemm, Lam-hai Sam-lo memang amat jahat dan selalu mendatangkan keributan, hendak merebut kedudukan bengcu juga secara curang," kata Sin Liong dengan marah.

"Ahhh, bukankah dia ini bocah yang bersama Ouwyang Bu Sek dahulu?" Hai-liong-ong Phang Tek berteriak, lalu menoleh ke kanan kiri, kemudian menantang, "Keluarlah kau, Ouwyang Bu Sek dan lawanlah kami!"

Sin Liong tersenyum, "Suheng telah mewakilkan aku untuk mengamati jalannya pemilihan ini agar jangan dicurangi lagi oleh kalian Lam-hai Sam-lo."

"Keparat!" Hai-liong-ong Phang Tek sudah menubruk dengan kecepatan bagaikan kilat ke arah kepala Sin Liong, kecepatannya luar biasa sekali karena memang orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki ginkang yang luar biasa. Selain cepat, juga tubrukannya itu mendatangkan sambaran hawa yang amat kuat dan tahu-tahu kedua tangannya telah mengancam kepala dan dada Sin Liong!

Kini Sin Liong tak berani main-main lagi seperti saat dia menghadapi tokoh Pek-lian-kauw tadi, karena dia pun maklum alangkah lihainya ketiga orang kakek pertama dari Lam-hai Sam-lo yang telah menyerangnya secara demikian hebatnya.

Menghadapi serangan itu, reaksinya cepat sekali. Dia menarik kepalanya ke belakang untuk menghindarkan cengkeraman ke arah kepala, dan ketika jari tangan lawan sudah menyentuh dada, cepat dia mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng sepenuhnya.

"Plakk...!"

"Iihhhhh...!" Orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu mengeluarkan suara teriakan kaget ketika tiba-tiba jari tangannya yang menyentuh dada pemuda remaja itu melekat lantas sinkang-nya membanjir keluar keluar.

Pengalaman seperti ini pernah dialami mereka bertiga tiga tahun yang lalu ketika dia dan adik-adiknya menyerang Ouwyang Bu Sek dan kakek cebol itu dibantu oleh bocah ini, dan dia bersama dua orang saudaranya sudah mempelajari serta menyelidiki hal itu penuh keheranan.

Sekarang dia cepat menggetarkan tangannya dan dengan kecepatan kilat, kuku jarinya menyentil jalan darah pada dada Sin Liong sehingga anak itu merasa tergetar seluruh tubuhnya dan pada saat itulah Hai-liong-ong Phang Tek berhasil menarik jari tangannya terlepas dari sedotan tenaga sakti Thi-khi I-beng!

"Bocah setan! Apa hubunganmu dengan si keparat Cia Keng Hong?" Mendadak orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu membentak dan memandang kepada Sin Liong dengan mata melotot penuh kebencian.

Sin Liong terheran mendengar ini, akan tetapi juga marah sekali karena kakeknya dimaki keparat. Dia tidak menjawab, akan tetapi kini pemuda remaja ini segera bergerak dan kedua tangannya sudah bergerak perlahan, kelihatannya seenaknya saja kedua tangan itu menampar dengan tangan kiri ke arah dada Hai-liong-ong Phang Tek, ada pun tangan kanannya sudah menotok dengan satu jari ke arah lambung Kim-liong-ong Phang Sun.

Serangannya terhadap dua orang kakek sakti itu dilakukan dengan lambat dan perlahan, seperti main-main saja. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda remaja ini telah mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakeknya, bahkan selama tiga tahun terakhir sudah digembleng oleh Ouwyang Bu Sek yang menjadi suheng-nya dan mempelajari ilmu-ilmu yang ajaib dari kitab-kitab aneh yang katanya diturunkan oleh manusia dewa Bu Beng Hud-couw dari Himalaya.

Maka selama ini, tanpa diketahui orang, Sin Liong sudah mencapai tingkat tinggi sekali, tingkat di mana kekerasan dan kekasaran sudah tak nampak lagi dan tenaga yang besar tertutup oleh gerakan halus. Oleh karena itu, walau pun dia hanya menggerakkan kedua tangan seenaknya saja, namun sebenarnya gerakannya itu mengandung hawa pukulan sakti yang kuat, bahkan terasa oleh dua orang kakek itu angin menyambar dahsyat dan panas dibarengi suara mencicit nyaring!

"Aihhhh!"

"Ohhhh...!"

Dua orang kakek itu mengelak dan menangkis, akan tetapi tetap saja mereka terhuyung oleh dorongan hawa pukulan ajaib itu. Maka marahlah mereka dan cepat mereka balas menyerang, bukan dengan pukulan biasa, melainkan serangan maut karena Hai-liong-ong Phang Tek telah menusukkan tongkatnya ke arah ubun-ubun kepala Sin Liong sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun sudah memukul dengan pukulan beracun. Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini memang ahli dalam mempergunakan pukulan beracun dan kini tangan kirinya yang melancarkan pukulan itu sudah mengandung hawa yang berwarna kehijauan yang menyambar ke arah lambung Sin Liong.

Sin Liong mengerti bahwa dua orang kakek itu agaknya telah menguasai ilmu yang dapat membebaskan mereka dari pengaruh sedotan tenaga Thi-khi I-beng, yaitu dengan jalan menggetarkan bagian yang tersedot, maka dia pun tak mau lagi mempergunakan Thi-khi I-beng yang memang tidak boleh sembarangan dipergunakan itu.

"Manusia-manusia curang!" bentaknya ketika dia melihat betapa kejam pukulan-pukulan itu.

Dia kemudian membuat gerakan memutar dengan tangan kirinya. Tangan kirinya yang membuat gerakan memutar itu menerbitkan angin atau hawa pukulan yang melingkar dan hawa ini demikian kuatnya mengurung atau meringkus serangan dua orang itu sehingga kembali kedua orang kakek itu terhuyung seperti terbawa oleh pusaran angin yang kuat!

Hai-liong-ong Phang Tek kembali menjadi kaget setengah mati. Dia meloncat ke belakang diikuti oleh adiknya, dan kini Hek-liong-ong Cu Bi Kun juga telah pulih kembali tenaganya, lalu dengan golok di tangan kakek tinggi besar ini juga ikut mengurung.

"Bocah setan, hayo cepat katakan, apa hubunganmu dengan Cia Keng Heng?!" bentak Hai-liong-ong Phang Tek.

Sin Liong yang berdiri di tengah-tengah dan dikurung, sejenak memandangi wajah mereka dengan sinar mata mencorong seperti mata naga, kemudian dia mengedikkan kepalanya lantas menjawab lantang. "Pendekar sakti Cia Keng Hong adalah orang yang kujunjung tinggi, sangat kuhormati dan namanya akan kubela sampai akhir jaman dengan taruhan nyawaku. Kalian ini tiga orang tua kotor tidak ada harganya untuk menyebut namanya!"

Tentu saja anak itu sama sekali tidak tahu mengapa tiga orang kakek ini kelihatan amat benci kepada Cia Keng Hong dan dia tidak tahu pula apa hubungan mereka ini dengan kakeknya.

Seperti telah diceritakan dalam rangkaian cerita Pedang Kayu Harum, pendekar sakti Cia Keng Hong berjodoh dengan seorang wanita gagah bernama Sie Biauw Eng, dan wanita itu di waktu masih gadis adalah puteri datuk kaum sesat di selatan, yaitu Lam-hai Sin-ni! Karena Lam-hai Sam-lo itu adalah pewaris ilmu-ilmu dari mendiang Lam-hai Sin-ni, maka dengan sendirinya mereka menganggap Sie Biauw Eng sebagai suci (kakak seperguruan) mereka dan tentu saja mereka membenci pendekar Cia Keng Hong yang dianggap telah menarik dan menyelewengkan suci mereka sehingga suci itu meninggalkan dunia hitam.

Akan tetapi, ketika mendengar betapa lihainya Cia Keng Hong yang telah menjadi ketua Cin-ling-pai, apa lagi ilmunya yang disebut Thi-khi I-beng, juga karena merasa sungkan memusuhi suami suci mereka, sebegitu jauh Lam-hai Sam-lo tidak pernah mencari atau memusuhi Cia Keng Hong yang mereka benci.

Akan tetapi kini, melihat pemuda remaja yang mahir ilmu seperti Thi-khi I-beng itu, tentu saja mereka teringat akan musuh besar mereka dan membentak. Kini, mendengar betapa anak ini benar-benar ada hubungannya dengan musuh mereka, tiga orang kakek itu tanpa malu-malu lagi lalu menggerakkan tangan dan senjata masing-masing, dan mengepung serta mengeroyok Sin Liong dengan serangan-serangan maut yang amat dahsyat.

Harus diakui bahwa pada waktu itu, mungkin sukar mencari seorang yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang demikian hebatnya seperti yang diwarisi oleh Sin Liong. Apa lagi dia telah secara langsung mengoper tenaga sinkang milik Kok Beng Lama dan secara langsung pula dilatih oleh kakeknya, Cia Keng Hong, kemudian sudah mempelajari isi kitab-kitab ajaib dari Himalaya di bawah petunjuk suheng-nya, Ouwyang Bu Sek.

Akan tetapi, usianya masih terlalu muda, baru enam belas tahun dan biar pun di dalam tubuhnya sudah mengeram tenaga yang amat hebat, namun dia belum dapat menguasai tenaga itu sepenuhnya dan juga harus diakui bahwa dia masih kurang matang dalam hal latihan.

Padahal, ketiga orang kakek yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk dari selatan yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang memang mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan banyak sekali pengalaman dalam pertempuran besar.

Maka, walau pun dengan gerakannya yang aneh Sin Liong mampu sekaligus menangkis tiga serangan lawan itu sehingga ketiga orang kakek itu terhuyung ke belakang dengan kaget seperti disambar halilintar, namun tetap saja Sin Liong juga terpelanting dan hampir saja terjungkal dari atas panggung kalau dia tidak cepat berpegang pada pinggiran papan panggung lantas meloncat naik ke atas, berjungkir-balik beberapa kali dan kembali berdiri dengan tegak, sudah dikepung pula oleh tiga orang kakek itu.

Lam-hai Sam-lo berdiri dengan mata terbelalak, wajah mereka agak pucat dan terdapat rasa ngeri dan takjub pada pandang mata mereka. Belum pernah selama hidup mereka yang menjelajahi dunia selatan mereka bertemu dengan lawan seperti pemuda remaja ini!

Hai-liong-ong Phang Tek yang merupakan orang pertama yang paling lihai, tadi melihat betapa hantaman tongkatnya pada leher anak remaja itu membalik, kemudian tongkatnya itu terpental menghantam dirinya sendiri sebelum tongkat itu menyentuh leher lawan. Dia pun maklum bahwa entah secara bagaimana, anak ini telah memiliki sinkang yang sukar dipercaya kehebatannya, yang dapat bergerak otomatis melindungi tubuh dan membuat tongkatnya membalik tadi. Maka dia bersikap lebih hati-hati dan mengurung bersama dua orang adiknya.

Sementara itu, kini keadaan menjadi geger karena semua orang yang berada di situ baru tahu, seolah-olah baru terbuka mata mereka bahwa pemuda remaja yang kelihatan tolol tadi sesungguhnya adalah seorang manusia luar biasa sehingga Lam-hai Sam-lo sendiri terpaksa dan tidak malu-malu lagi untuk mengeroyoknya!

Sin-ciang Gu Kok Ban yang segera menolong sute-nya dan menyambung pergelangan tangannya yang patah-patah serta memberinya obat, kini hanya menonton dengan penuh takjub. Dia tadi pun tidak berdaya menyaksikan keadaan sute-nya, dan dia tahu bahwa pemuda remaja yang luar biasa itu sudah menyelamatkan nyawa sute-nya. Akan tetapi, melihat pemuda itu dikeroyok oleh Lam-hai Sam-lo, tentu saja dia tak berani mencampuri, sungguh pun di dalam hatinya dia mengharap pemuda remaja itu dapat lolos.

Pertandingan di atas panggung itu benar-benar hebat bukan kepalang dan semua orang menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan karena mereka tahu bahwa tiga orang kakek itu sekarang sama sekali tidak main-main, melainkan berusaha keras untuk membunuh pemuda remaja yang tadi mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu.

Yang hadir di tempat itu sebagian besar adalah golongan hitam dan mereka ini rata-rata memang tidak suka kepada Cin-ling-pai yang dianggap sebagai perkumpulan fihak lawan. Akan tetapi sikap pemuda remaja itu tadi menarik rasa suka di hati mereka sehingga biar pun mereka tidak memihak secara terang-terangan, juga seperti Sin-ciang Gu Kok Ban, mereka itu kebanyakan mengharapkan kemenangan di fihak pemuda remaja itu, sesuatu hal yang agaknya tidak mungkin sama sekali.

Sementara itu, para tamu yang terdiri dari wakil-wakil dari Kong-thong-pai, Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain saling pandang, dan mereka juga menonton dengan hati penuh takjub. Mereka tidak berani turun tangan mencampuri karena selain tiga orang Lam-hai Sam-lo itu merupakan tokoh-tokoh terkenal, juga pertandingan itu agaknya merupakan urusan pribadi antara mereka dengan pemuda remaja luar biasa yang mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu.

Tadinya, orang-orang gagah, seperti para wakil Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, memang sudah bersiap-siap untuk menolong pemuda itu karena sebagai orang-orang yang berjiwa pendekar, tentu saja mereka tidak akan membiarkan seorang pemuda remaja dikeroyok oleh tiga orang datuk hitam secara curang itu. Akan tetapi ketika menyaksikan gerakan-gerakan Sin Liong, mereka melongo dan memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa pemuda remaja itu adalah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali dan sama sekali tidak pantas apa bila dibantu oleh mereka yang hanya memiliki kepandaian terbatas dan masih rendah dibandingkan dengan kepandaian pemuda itu atau tiga orang pengeroyoknya.

"Hyaaaaattt... aihhh!" Seruan yang keluar dari kerongkongan Kim-liong-ong Phang Sun ini hebat bukan main.

Orangnya sih kecil pendek saja, akan tetapi ternyata ketika dia mengeluarkan pekik itu, terdengar lengking yang lantang besar dan amat nyaring memekakkan telinga dan papan panggung seolah-olah tergetar oleh lengkingannya. Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini telah menerjang dengan cara meloncat tinggi, kemudian dari atas dia melayang turun dan menyambar ke arah Sin Liong seperti seekor naga terbang. Dua tangannya diputar-putar secara aneh, yang kiri mengeluarkan pukulan beruap hitam yang berbau amis, sedangkan yang kanan mendorong dengan tenaga dahsyat ke arah kepala Sin Liong.

Biar pun Sin Liong selama beberapa tahun ini digembleng oleh orang-orang sakti dengan ilmu-ilmu pilihan yang amat tinggi, namun selama ini dia hanya mempelajari teori-teori dan latihan-latihan belaka, belum pernah dia mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menghadapi bahaya serangan lawan. Maka sekali ini, dia sungguh-sungguh diuji serta dituntut untuk membuktikan sampai di mana kemampuannya selama dia dilatih secara tekun dan tidak mengenal lelah itu.

Memang anak ini semenjak kecil sudah digembleng oleh keadaan alam, sering kali hidup dalam keadaan liar dan menghadapi tantangan-tantangan alam yang mengerikan, maka dia mempunyai keberanian hebat dan tidak mudah gugup. Oleh karena itu, biar pun kini menghadapi serangan demikian dahsyatnya, dia tidak merasa gentar atau gugup, bahkan dapat mempergunakan otaknya dengan baik, mengikuti gerak otomatis yang timbul dari kewaspadaannya.

"Hemmm...!" Dia mengeluarkan suara dari dada, suara yang langsung keluar dari pusar dan sekaligus dengusan suara itu membuyarkan kekuatan khikang yang menggetarkan dari teriakan Kim-liong-ong, kemudian tangannya mengebut ke atas, disusul totokan jari telunjuk ke arah pergelangan kaki lawan yang menubruknya.

"Aihhhh...!" Kim-liong-ong menjerit karena terkejut bukan main.

Kebutan tangan anak itu membuyarkan uap hitam yang menghantam mukanya sendiri, ada pun tangannya yang tadi mendorong, bertemu dengan jari telunjuk lawan, membuat seluruh lengannya kesemutan dan jari tangan anak itu masih saja terus meluncur ke arah pergelangan kakinya secara aneh. Selama hidupnya dia belum pernah menyaksikan jurus seperti itu dan biar pun dia hendak merubah gerakannya, namun terlambat sebab totokan itu meluncur terus, agaknya tak akan dapat dielakkannya lagi.

"Celaka!" teriaknya. Dia tidak tahu bahwa pemuda remaja itu tadi ternyata telah mencoba mengeluarkan satu jurus dari kitab ajaib yang dipelajarinya dari kitab-kitab lama di bawah bimbingan suheng-nya, yaitu Ouwyang Bu Sek.

Dari kitab-kitab yang menurut Ouwyang Bu Sek merupakan pemberian seorang manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, Sin Liong telah dapat meringkas semua ilmu itu menjadi semacam rangkaian jurus yang aneh sekali, yang oleh Ouwyang Bu Sek diberi nama Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis), yang berupa tiga belas rangkaian gerakan-gerakan yang bisa berkembang secara luas sekali dan demikian aneh lika-likunya, penuh rahasia mukjijat sehingga Ouwyang Bu Sek sendiri pun tidak sanggup mempelajarinya!

Melihat adiknya menjadi pucat dan tubuhnya melayang turun dalam keadaan terancam oleh totokan anak itu, Hai-liong-ong Phang Tek bergerak cepat dan berteriak keras sambil mengayunkan tongkatnya, membabat ke arah jari tangan pemuda remaja itu yang terus mengancam pergelangan kaki adiknya. Juga dari samping, Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang merasa penasaran karena tadi sampai pingsan oleh pemuda itu, sudah mengayun golok besarnya membacok ke arah pergelangan tangan Sin Liong dengan pengerahan tenaga sekuatnya.

"Wuutttt...! Singggg...!" Tongkat dan golok itu menyambar dengan dahsyat sekali, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar-sinar yang menyilaukan mata.

"Krekkk...! Takkk...!"

"Ahhhh...!"

"Heiii...!"

Kim-liong-ong dapat meloncat ke belakang dan terhindar dari mala petaka, akan tetapi tubuh Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong terdorong ke belakang, muka mereka pucat sekali. Hai-liong-ong memandang tongkat di tangannya yang sekarang telah patah menjadi dua potong, sedangkan Hek-liong-ong juga memandang kepada golok di tangannya dengan dua mata terbelalak dan tidak percaya karena baru saja golok yang amat diandalkan dan dibanggakannya itu dengan tepat mengenai lengan pemuda remaja itu namun terpental sama sekali, tidak melukai lengan itu!

Kiranya, totokan jari telunjuk Sin Liong yang mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, yaitu tenaga yang dia peroleh dari pengoperan Kok Beng Lama secara luar biasa, telah berhasil mematahkan tongkat, dan pada saat golok Hek-liong-ong mengenai lengannya, lengan itu telah penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga golok itu terpental dan membalik. Tenaga Thian-te Sin-ciang dari Kok Beng Lama memang merupakan tenaga sinkang dahsyat dan ajaib sekali yang dapat membuat tubuh menjadi kebal dan bertahan terhadap bacokan senjata tajam.

Tiga orang Lam-hai Sam-lo itu menjadi pucat dan mata mereka terbelalak memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri dengan tenang di depan mereka. Mereka sekarang merasa gentar sekali.

Pada saat itu pula terdengar bunyi terompet dan tambur, disusul suara nyaring, "Hentikan semua pertempuran! Beri tempat untuk sang pangeran...!"

Semua orang terkejut dan menengok. Mereka menjadi makin kaget ketika melihat bahwa tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang tentara yang berpakaian seragam, indah dan berwibawa, dan nampak beberapa orang komandan memimpin pasukan dan banyak pula bendera-bendera, tanda bahwa yang datang adalah seorang yang berpangkat besar.

Beberapa orang penunggang kuda mendekatkan kuda mereka ke panggung dan di antara mereka terdapat seorang pemuda yang sangat tampan dan gagah, berusia kurang lebih delapan belas tahun, menunggang seekor kuda yang terbesar dan terbaik.

Pemuda ini gagah sekali, pakaiannya sangat indah gemerlapan dan sepasang matanya seperti mata harimau, tajam dan bersinar-sinar. Bajunya terhias sulaman benang emas gemerlapan dan kepalanya memakai sebuah topi yang dihias bulu burung dewata amat indahnya, menambah tampan dan gagah wajahnya.

Dengan sikap seorang ahli, dia memegang kendali kudanya yang terus meringkik-ringkik. Mulutnya tersenyum dan matanya menyapu ke sana-sini, akhirnya sepasang mata yang tajam itu memandang ke atas panggung di mana Sin Liong masih berhadapan dengan Lam-hai Sam-lo.

"Sam-lo, apa yang kalian lakukan? Apa yang telah terjadi?" Tiba-tiba pemuda tampan itu bertanya.

Tiba-tiba terkejut dan kagumlah semua orang karena pemuda tampan itu melayang dari atas kudanya seperti terbang saja, dengan gaya yang amat indah telah meloncat naik ke atas panggung. Meloncat bukanlah ilmu yang luar biasa, akan tetapi kalau orang duduk di atas kuda dan tahu-tahu melayang ke atas, hal itu benar-benar hebat bukan main. Maka di sana-sini terdengarlah tepuk tangan memuji karena orang-orang merasa gembira sekali melihat betapa hari ini muncul banyak orang muda yang sangat hebat.

Akan tetapi keheranan demi keheranan menimpa orang-orang itu ketika tiba-tiba mereka melihat Lam-hai Sam-lo menjatuhkan diri berlutut di hadapan pemuda tampan itu dengan sikap sangat menghormat! Dan terkejutlah mereka ketika mendengar suara Hai-liong-ong Phang Tek berkata,

"Mohon paduka sudi mengampuni hamba, pangeran. Pemilihan bengcu ternyata sudah mendapat gangguan dari pemuda ini."

Ributlah keadaan di sana ketika mendengar betapa Hai-liong-ong menyebut pemuda itu Pangeran. Mendengar ini, tiba-tiba komandan pasukan berseru dengan suara lantang.

"Paduka yang mulia Pangeran Ceng telah hadir, hendaknya semua orang cepat memberi hormat!"

Pada waktu mendengar bahwa pemuda itu adalah seorang pangeran, berarti saudara dari kaisar, tentu saja semua orang menjadi terkejut dan cepat mereka semua menjatuhkan diri bertutut di tempat masing-masing, menghadap ke atas panggung di mana pangeran itu masih berdiri. Juga para hwesio Siauw-lim-pai, para tosu Kun-lun-pai, cepat memberi hormat menurut caranya masing-masing seperti kebiasaan mereka menghormati seorang pangeran agung.

Pangeran itu tersenyum dan berdiri mengangkat dada, memandang ke sekeliling dengan bangga, melihat semua orang berlutut dan bersujud kepadanya. Tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat ada seorang yang sama sekali tidak berlutut kepadanya, dan orang ini adalah seorang pemuda remaja yang berdiri di sudut panggung itu! Pemuda yang oleh Hai-liong-ong dikatakan mengganggu pemilihan bengcu tadi!...

Terima kasih telah membaca Serial ini.


JILID 21



PEMUDA itu adalah Sin Liong yang memang tidak berlutut, hanya berdiri dan memangku kedua tangan dan memandang semua itu seperti orang yang sedang nonton pertunjukan wayang.

Pangeran itu mengangkat kedua tangan ke atas lantas terdengar suaranya yang lantang, "Aku sudah menerima penghormatan kalian. Cukup dan kalian diperbolehkan bangkit lagi. Ehh, Sam-lo, mengapa pemilihan bengcu menjadi ribut seperti ini? Apakah kalian kalah dalam memperebutkan kedudukan bengcu?"

"Ampun, pangeran. Sebenarnya hamba bertiga sudah berhasil memenangkan kedudukan bengcu, akan tetapi anak ini... datang mengacau...!" Hai-liong-ong memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri tegak.

Pangeran muda itu memutar tubuhnya menghadapi Sin Liong, lantas sinar matanya yang tajam itu menyambar-nyambar, menyapu Sin Liong dari atas sampai ke bawah bagaikan orang yang kurang percaya.

"Dia ini? Bocah ini mampu mengacaukan kalian bertiga?" Mulutnya tersenyum-senyum, manis dan tampan, sikapnya juga halus sekali akan tetapi sinar matanya tajam seperti pedang. "Tadi kulihat dia berani menghadapi kalian bertiga. Bukan main! Ingin sekali aku mencobanya!"

Pangeran muda itu melangkah menghampiri Sin Liong yang tetap bersikap tenang-tenang saja dan tiba-tiba pangeran itu membuka mulutnya. Dari dalam mulut itu menyambar sinar putih seperti perak dan itu adalah jarum-jarum halus yang menyambar ke arah jalan darah di tubuh bagian depan dari Sin Liong, dari muka sampai ke pusar!

Melihat betapa jarum-jarum itu hanya tampak sebagai sinar-sinar putih berkeredepan saja dan semua mengarah jalan-jalan darah yang sangat berbahaya, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya serangan gelap yang tiba-tiba dan dilakukan dari jarak dekat ini.

Hwesio dari Siauw-lim-pai dan tosu dari Kun-lun-pai menahan napas sambil mengeluarkan keringat dingin karena mereka merasa yakin bahwa pemuda remaja itu, bagaimana pun lihainya, tentu akan sulit meloloskan diri dari serangan hebat oleh pangeran yang ternyata memiliki kepandaian tinggi pula itu.

Akan tetapi, semenjak melihat munculnya pangeran yang tampan ini, Sin Liong telah siap siaga dan waspada. Ia mengenal siapa pangeran ini, maka begitu pangeran itu membuka mulut kemudian meniupkan segenggam jarum-jarum putih dari mulutnya, Sin Liong sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang dan dengan kedua tangannya dia lalu membuat gerakan mencengkeram ke depan sehingga jarum-jarum itu telah dapat ditangkap dalam genggaman kedua tangannya!

"Ceng Han Houw, engkau selalu kejam dan curang!" katanya, kemudian dengan gerakan sembarangan dia melempar jarum-jarum halus itu ke atas papan panggung sambil terus memandang tajam wajah yang tampan itu.

"Ehhh...?!" Pangeran itu yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, terkejut bukan hanya karena melihat Sin Liong mampu menggagalkan serangan jarum-jarumnya, tetapi karena mendengar teguran Sin Liong. "Kau... siapakah kau…?" Kemudian pada wajahnya yang tampan itu nampak berseri gembira, ketika dia mengenal Sin Liong.

"Ahhh...! Sin Liong... engkau Sin Liong! Kiranya engkaukah ini? Bukan main, kau hebat sekali!" Pangeran Ceng Han Houw tertawa merdu dan halus lalu berkata kepada Lam-hai Sam-lo yang sudah siap untuk mengeroyok Sin Liong lagi, "Sam-lo, dia adalah sahabatku sendiri! Dia bocah luar biasa, raja monyet..., ha-ha-ha-ha! Tak kusangka dapat bertemu denganmu di sini!" Dengan sikap ramah dan bersahabat Ceng Han Houw lalu merangkul pundak Sin Liong!

Sebetulnya, tidak ada sedikit pun juga perasaan di dalam hati Sin Liong untuk bersahabat atau berbaik dengan Ceng Han Houw yang ternyata sudah menjadi pangeran ini. Akan tetapi karena sikap Han Houw betul-betul amat ramah kepadanya dan sama sekali tidak mengandung niat membujuk atau curang, maka tentu saja dia pun merasa tak enak untuk menolak rangkulan mesra bersahabat itu. Akan tetapi, karena Sin Liong adalah seorang yang jujur dan terbuka, sesuai dengan watak bawaannya sebagai anak yang diasuh oleh monyet di alam terbuka, dia lalu berkata.

"Ceng Han Houw, aku tidak mengerti bagaimana engkau bisa menganggap aku sebagai sahabatmu."

"Eh? Kau lupa lagikah? Ketika engkau berada di dalam kereta bersamaku itu, bukankah aku katakan bahwa aku suka kepadamu, aku kagum akan keberanian dan kegagahanmu, dan aku suka bersahabat denganmu?"

Sin Liong ingat akan ucapan itu. "Akan tetapi, suci-mu berdaya upaya dengan keras untuk membunuhku!"

"Ah, suci adalah suci dan aku adalah aku. Aku dan suci tidak sama, bukan? Kami adalah dua orang dengan dua selera dan dua pendapat, dan aku adalah pangeran, adik kaisar! Kau tunggu dulu, Sin Liong, aku ingin banyak bicara denganmu, tetapi biar kuselesaikan dulu urusan di sini!" Ceng Han Houw lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan dia sudah menghadap ke empat penjuru, suaranya terdengar lantang,

"Aku, Pangeran Ceng Han Houw, menyatakan bahwa urusan pemilihan bengcu selesai sampai di sini dan biar Lam-hai Sam-lo yang diangkat menjadi bengcu di selatan. Kalian semua orang-orang gagah segolongan harap tidak saling bermusuhan, bersatu padu dan tunduk terhadap pimpinan. Pemerintah tentu akan menganggap kalian sebagai golongan baik-baik, dan segala urusan bisa diselesaikan oleh bengcu. Siapa yang berani membuat kekacauan, bukan hanya dianggap memberontak terhadap golongan kang-ouw di selatan, akan tetapi juga dianggap pemberontak dan pengacau oleh pemerintah, dan karena itu akan dibasmi!"

Biar pun ucapan itu halus, akan tetapi sikap pangeran ini ramah dan berwibawa, maka semua orang yang berada di situ lalu menjatuhkan diri berlutut tanda bahwa mereka akan mentaati perintah ini! Apa lagi pasukan yang mengawal pangeran itu kelihatan siap dan penuh wibawa untuk bertindak begitu ada perintah dari atasan mereka.

Sungguh pun di antara para tokoh kang-ouw dan liok-lim banyak yang tidak suka kepada pemerintah, namun tentu saja rasa tidak suka itu hanya dipendam di dalam hati saja dan tak ada yang berani menentang pemerintah secara terang-terangan karena hal itu berarti bunuh diri.

"Sam-lo, sekarang aku akan pergi bersama saudara Sin Liong ini. Aku tak perlu pengawal lagi dan kalau aku memerlukannya, dapat kuminta kepada para pembesar di mana saja. Sediakan seekor kuda lain yang baik untuk saudaraku Sin Liong!"

Komandan pasukan yang sangat bersemangat untuk mengambil hati pangeran itu segera menyerahkan kudanya sendiri, seekor kuda yang biar pun tidak sehebat kuda tunggangan pangeran itu, namun merupakan kuda terbaik di antara kuda pasukan yang berada di situ.

"Pakailah kuda itu, Sin Liong, dan marilah kita pergi. Aku hendak mengajakmu melakukan perjalanan dan bercakap-cakap!" kata Pangeran Ceng Han Houw.

Sin Liong sendiri yang merasa bahwa dia tidak mempunyai banyak sahabat di tempat itu, tidak membantah, segera dia meloncat ke atas kuda besar itu dan menjalankan kudanya mengikuti sang pangeran yang sudah lebih dulu membedal kudanya pergi meninggalkan tempat itu, bukan memasuki kota Yen-ping, bahkan meninggalkan kota menuju ke utara.

"Sin Liong, mari kita berpacu, kau boleh mengejarku kalau mampu!" Han Houw berseru dengan wajah gembira setelah mereka tiba di tempat sunyi, dan pangeran itu kemudian menggunakan cambuk kudanya yang terbuat dari bulu halus itu, langsung membalapkan kudanya yang besar dan gagah.

Melihat kegembiraan itu, Sin Liong tersenyum dan dia pun cepat membalapkan kudanya mengejar. Melihat ini, Han Houw tertawa gembira dan kedua orang muda ini pun berpacu dengan cepatnya. Akan tetapi karena betapa pun juga kuda tunggangan Sin Liong tidak sebaik kuda tunggangan pangeran itu, Sin Liong akhirnya tertinggal jauh hingga akhirnya kuda pangeran itu lenyap di tikungan luar hutan.

Ketika akhirnya Sin Liong dapat melihat lagi pangeran itu, dia melihat kuda besar itu telah berhenti di tepi hutan dan Han Houw duduk di atas kuda berhadapan dengan tujuh orang yang mengepungnya dengan bentuk setengah lingkaran. Sin Liong membedal kudanya dan ketika dia sudah datang dekat, dia terkejut mengenal bahwa tujuh orang itu adalah orang-orang dari Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi, raksasa sombong yang pernah dihajarnya di atas panggung tadi.

Pada saat itu, Kiu-bwee-houw berteriak keras dan tujuh orang itu sudah bergerak dengan senjata masing-masing, menyerang Han Houw yang tetap duduk di atas kudanya dengan sikap angkuh. Karena Sin Liong merasa tidak ada hubungan dengan pangeran itu, dan juga pada dasarnya dia tidak dapat dibilang suka kepada pangeran itu, maka dia hanya menjalankan kudanya perlahan menuju tempat itu sambil memandang penuh perhatian. Dia tahu betul bahwa pangeran yang tampan dan gagah itu bukanlah seorang muda yang demikian mudah untuk diganggu begitu saja oleh gerombolan itu, maka dia pun sama sekali tidak khawatir kalau pangeran itu akan celaka.

"Bunuh pembesar lalim!"

"Basmi penindas rakyat!"

Tujuh orang itu berteriak-teriak bising dan mereka menjadi semakin ribut dan mencari-cari orang yang dikepungnya karena tiba-tiba saja pangeran itu telah lenyap, sedang kudanya meloncat sambil meringkik keras, menyepak-nyepak serta menjauhi mereka. Akan tetapi pangeran itu tidak berada lagi di tempat itu, padahal tadi mereka sudah mengepung dan mulai menyerang.

Dari tempat agak jauh, Sin Liong memandang sambil tersenyum mengejek. Dia kagum menyaksikan ginkang yang indah dari Han Houw yang tadi digunakannya ketika kudanya meringkik-ringkik itu. Dia telah meloncat ke atas dan tentu saja lenyap karena dia telah menyusup ke dalam pohon yang tinggi di atas mereka!

Sin Liong tak dapat menahan tawanya saat dia melihat betapa tujuh orang itu celingukan ke sana-sini mencari-cari, dan mendadak Han Houw tertawa berkata, "Hei, kalian semua orang-orang dari Pek-lian-kauw, lekas bersembahyang lebih dulu untuk menyembahyangi arwah kalian sendiri yang sebentar lagi akan melayang!"

Kiu-bwee-houw serta teman-temannya terkejut, dan ketika mereka melihat bahwa orang yang mereka cari-cari itu berada di atas pohon, mereka marah dan siap untuk meloncat naik pohon. Akan tetapi pada saat itu, Han Houw telah melayang turun dengan gaya yang indah dan pemuda bangsawan ini telah berdiri di atas tanah sambil menghadapi mereka dengan senyum mengejek.

"Hayo kalian cepat berlomba, siapa yang lebih dulu bisa merobohkan aku!" Dia mengejek dan tujuh orang itu yang merasa sangat penasaran kini menerjang dengan cepat, seperti sungguh-sungguh berlomba untuk merobohkan sang pangeran.

Sin Liong menonton dengan penuh kagum. Dia melihat betapa kedua kaki pangeran itu bergerak seperti menari-nari, melangkah ke sana-sini dengan ringan dan indahnya namun sedemikian cepat, teratur dan tepat sehingga tubuhnya dapat menyelinap ke sana-sini di antara terjangan tujuh orang pengeroyok itu dan semua serangan tidak ada yang pernah menyentuh tubuhnya.

Sin Liong mengerti bahwa pangeran itu menggunakan langkah-langkah sakti yang sangat lihai dan memang dugaannya benar. Ceng Han Houw telah menggunakan Ilmu Langkah Pat-kwa-po dan dengan langkah-langkah ini, jangankan baru dikeroyok oleh tujuh orang anggota Pek-lian-kauw saja, walau pun dikeroyok oleh lebih banyak lawan yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi pun jangan harap akan sanggup menangkap atau menyerang pemuda bangsawan itu dengan mudah!

"Ha-ha-ha, Sin Liong, kau lihat lalat-lalat busuk ini, betapa menjemukan!" kata pangeran itu dan tiba-tiba dia merubah gerakannya kalau tadi dia hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari-nari, kini kedua tangannya bergerak menampar ke kanan kiri dan terdengarlah jerita-jeritan mengerikan disusul robohnya tujuh orang berturut-turut.

Tujuh orang Pek-lian-kauw itu roboh dan tak dapat bergerak kembali karena mereka telah tewas oleh tamparan-tamparan Ceng Han Houw yang amat lihai! Ngeri juga rasa hati Sin Liong menyaksikan betapa pangeran itu membunuh mereka demikian mudahnya dan alisnya berkerut. Betapa kejamnya pemuda bangsawan itu!

"Salah kalian sendiri kalau tadi tidak mau bersembahyang bagi arwah kalian sehingga kini arwah kalian menjadi setan-setan berkeliaran!" kata Ceng Han Houw sambil menghampiri kudanya dan dengan tenang saja dia meloncat ke atas kudanya, lalu menghampiri Sin Liong seolah-olah tidak pernah ada terjadi apa pun.

Wajah Sin Liong masih membayangkan kengerian dan sepasang alisnya masih berkerut. Dia menyambut kedatangan pangeran itu dengan kata-kata yang mengandung teguran. "Kau... kau membunuh mereka?"

Mendengar suara yang mengandung teguran itu Han Houw memandang dan tersenyum. "Mengapa tidak? Apa kau lebih menghendaki kalau mereka itu berhasil membunuh aku?"

Wajah Sin Liong berubah agak merah dan dia cemberut. "Tentu saja tidak. Akan tetapi perlukah mereka semua itu dibunuh begitu saja?"

Pangeran itu tertawa dan memegang tangan Sin Liong sebentar, lalu melepaskannya lagi. "Engkau berwatak lembut sekali, Sin Liong, sungguh tidak sesuai dengan kegagahanmu. Hidup memang demikianlah, bergelimang dengan kekerasan, apa lagi hidup seperti aku ini, seorang pangeran yang selalu diincar musuh yang akan senang sekali kalau berhasil membunuhku. Persoalannya hanyalah mereka atau aku, Sin Liong, akan tetapi dalam hal kematian, tentu saja aku memilih lebih baik mereka yang mati dari pada aku. Apa artinya tujuh orang pemberontak itu? Ha-ha, kalau engkau melihat betapa aku pernah sekaligus membunuh dua ratus orang lebih anggota pemberontak yang merencanakan pembunuhan terhadap kaisar. Aku kurung mereka di dalam kuil dan kubakar kuil itu. Tidak ada seorang pun yang lolos!"

"Betapa kejam!"

Pangeran itu tertawa. "Engkau belum mengerti benar apa itu yang kau namakan kejam. Kalau saja sri baginda terjatuh ke tangan mereka, atau jika aku tadi tak mampu melawan dan aku terjatuh ke tangan mereka, tentu engkau akan turun tangan menolongku, tentu engkau akan mengatakan mereka yang kejam. Sin Liong, aku bernama Han Houw, dan aku seperti seekor harimau yang dikeroyok oleh tujuh ekor anjing srigala. Anjing-anjing itu mati olehku, maka engkau menganggap sang harimau kejam, akan tetapi andai kata sang harimau yang habis dikeroyok dan dagingnya digerogoti oleh kawanan srigala itu, tentu engkau akan menganggap anjing-anjing itu yang kejam. Ha-ha, engkau sungguh masih bodoh dan kurang pengalaman!"

Sin Liong tidak mampu menjawab. Dia membayangkan betapa pangeran ini seorang yang lemah dan tadi diancam oleh tujuh orang Pek-lian-kauw itu. Apakah dia akan turun tangan menolong? Tentu saja! Dia memang kagum dan tertarik kepada pangeran yang tampan dan memang gagah dan pemberani ini, mungkin saja ada rasa suka di hatinya, rasa suka yang terbendung karena mengingat bahwa pangeran ini merupakan sute dari Kim Hong Liu-nio yang selalu memusuhinya.

"Mereka memang jahat dan menyerangmu, akan tetapi perlukah dibunuh? Mengalahkan mereka tanpa membunuh bukan merupakan hal yang sukar bagimu," dia mencoba untuk membantah.

"Ha-ha-ha, melepaskan mereka supaya mereka mengumpulkan teman-teman yang lebih banyak dan kembali menghadangku di tempat lain? Itu bodoh sekali Sin Liong! Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan kita yang menggembirakan, apa perlunya bicara mengenai para pemberontak itu? Pek-lian-kauw memang merupakan gerombolan pemberontak, dan karena itu pula maka aku mengadakan perjalanan ke selatan dan mendukung Lam-hai Sam-lo menjadi bengcu di selatan."

Mereka menjalankan kuda mereka perlahan-lahan dan pergi meninggalkan hutan itu. Sin Liong agak heran mendengarkan pengakuan itu.

"Ahh, kiranya Lam-hai Sam-lo adalah orang-orangnya pemerintah?"

Han Houw tertawa. "Bukan sekasar itu, Sin Liong. Mereka tetap saja merupakan tokoh kang-ouw, akan tetapi mereka termasuk orang-orang yang tidak menentang pemerintah. Tentu saja fihak pemerintah menghendaki agar bengcu dipegang oleh orang yang tidak menentang pemerintah seperti Pek-lian-kauw. Dan untuk keperluan itu maka sri baginda mengutus aku pergi ke selatan."

"Ahh... jadi engkau adalah utusan sri baginda kaisar?"

Han Houw tersenyum dan mengangguk. "Tidak resmi benar. Aku sekalian hendak pesiar. Sesudah mendengar bahwa hanya Lam-hai Sam-lo yang boleh dipercaya, aku kemudian menghubungi mereka dan akulah yang menjagokan mereka supaya memasuki pemilihan bengcu itu. Sengaja datang belakangan untuk melihat keadaan."

Sin Liong mengangguk-angguk. "Dan kau sudah siap di belakang bersama pasukan itu?"

"Ha-ha-ha-ha, kau cerdik!" Han Houw menepuk pundak temannya karena pemuda remaja itu menyenangkan hatinya dan sudah dianggap sebagai seorang sahabatnya. "Aku jemu dengan semua itu, Sin Liong. Ke mana pun aku pergi, orang menyembah-nyembahku sebagai pangeran dan sebagai utusan kaisar. Maka ketika aku bertemu dengan engkau yang menyebut namaku begitu saja, yang tidak berlutut kepadaku, barulah aku gembira, merasa hidup wajar kembali. Dan kepandaianmu sekarang hebat! Benarkah seperti yang kudengar tadi bahwa engkau mewakili tokoh yang bernama Ouwyang Bu Sek dan yang menjadi musuh Lam-hai Sam-lo? Apakah engkau berambisi menjadi bengcu?"

“Ah, sama sekali tidak. Juga suheng-ku Ouwyang Bu Sek sama sekali tidak ingin menjadi bengcu, hanya kami ingin melihat agar pemilihan bengcu terjadi dengan jujur dan bersih.”

“Ha-ha-ha, engkau sungguh lucu. Mana ada perebutan kedudukan yang bersih di dunia ini? Kau masih harus belajar banyak, Sin Liong. Sekarang, setelah kita bertemu, mari kita bergembira. Aku sudah melepaskan diri dari segala ikatan upacara itu, sekarang aku ingin mengadakan perjalanan ke utara secara bebas bersamamu. Kita masih muda, Sin Liong, mari kita mencari pengalaman. Perjalanan dari sini ke utara tentu amat menggembirakan, penuh dengan bahaya, penuh pengalaman yang aneh-aneh dan akan kita hadapi berdua. Bagaimana?”

Sin Liong merasa tertarik sekali. Dia memang telah mendapat perkenan dari suheng-nya untuk berkelana meluaskan pengetahuan dan mencari pengalaman, karena semua ilmu dari kitab-kitab lama itu telah habis dipelajarinya, bahkan semua kitab itu oleh suheng-nya telah dibakar, sesuai dengan ‘perintah halus’ yang diterima melalui getaran dari apa yang disebut Bu Beng Hud-couw.

Dia sendiri pun belum tahu ke mana dia harus pergi merantau, karena setelah kakeknya meninggal dunia, dan ayah kandungnya ternyata telah mempunyai seorang isteri dan dia sama sekali tidak mau bertemu dengan ayahnya itu atau mengaku sebagai puteranya, dia tidak mempunyai tujuan.

“Apakah engkau sudah lupa akan Lembah Naga? Apakah tak ingin kembali ke sana, tidak rindu kepada tempat indah itu?” tiba-tiba terdengar suara halus pangeran itu.

Mata Sin Liong bersinar-sinar. “Lembah Naga…!” katanya dengan perlahan dan di depan matanya membayang semua kehidupannya pada waktu dia masih kecil, di lembah yang tentu saja tak pernah dapat dilupakannya itu.

“Ya, bukankah engkau berasal dari Lembah Naga? Namamu Sin Liong, hemmm…, naga sakti. Engkau naga sakti dari Lembah Naga!” Pangeran itu tertawa gembira.

Hampir Sin Liong terseret oleh kegembiraan ini karena betapa pun juga, ada rasa rindu di dalam hatinya terhadap tempat itu, kepada monyet-monyet di dalam hutan, kepada ibu kandungnya. Akan tetapi, baik ibu kandungnya mau pun biang monyet yang merawatnya, telah mati semua, dan juga keluarga Kui Hok Boan, ayah tirinya, tentu sudah tidak berada di sana lagi. Hal ini membuatnya lemas kembali, kehilangan gairah.

“Mau apa aku ke tempat itu?” katanya lirih, sementara matanya memandang jauh dengan kosong.

“Mau apa? Tentu melihat tempat-tempat lama. Tidakkah engkau rindu akan tempat lama pada waktu engkau bermain-main dahulu? Eh, Sin Liong, mari kau ikut bersamaku, aku akan pergi ke Lembah Naga di mana akan diadakan keramaian untuk memilih guru. Ayah mengundang seluruh orang sakti di dunia ini untuk dipilih menjadi guruku, di Lembah Naga.”

“Ehhh…?” Sin Liong terkejut.

“Tidak tahukah engkau bahwa Lembah Naga telah dibangun oleh ayah…”

“Ayahmu? Siapakah dia?”

“Raja Sabutai…”

“Bukankah engkau adalah pangeran adik kaisar…?” Sin Liong menjadi bingung.

Han Houw mengangguk. “Aku memang adik Kaisar Ceng Hwa, aku adalah anak kandung mendiang Kaisar Ceng Tung!” katanya gagah. “Akan tetapi semenjak kecil aku dititipkan pada ayah angkatku, yaitu Raja Sabutai yang gagah perkasa. Dan tahun depan, setelah ditunda bertahun-tahun, aku harus menghadiri pemilihan guru sebagai orang paling sakti di dunia ini yang diangkat oleh ayah angkatku itu sebagai guruku. Ayah angkatku, Raja Sabutai, ingin agar aku menjadi orang yang paling gagah di dunia ini.”

“Hemmm…, kulihat kepandaianmu sudah hebat, Han Houw. Dengan mudah saja engkau membunuh tujuh orang Pek-lian-kauw tadi.”

“Ahh, masih belum seberapa, Sin Liong. Ayah angkatku menghendaki agar aku menjadi orang yang paling pandai di dunia ini sehingga kelak aku akan dapat mengalahkan orang yang paling dibenci oleh ayah…”

“Siapa orang itu?”

“Cia Keng Hong…!”

“Ahhh…!”

“Sayang ketua Cin-ling-pai itu sudah meninggal dunia, akan tetapi masih ada puteranya yang bernama Cia Bun Houw, yang kabarnya lebih lihai lagi dari pada Cia Keng Hong. Nah, aku harus belajar ilmu setinggi-tingginya untuk pada suatu hari aku mengalahkan Cia Bun Houw.”

“Mengapa ayahmu, Raja Sabutai begitu membencinya?”

"Karena Cia Keng Hong itu telah banyak memusuhi ayah, dan juga karena subo sendiri sudah menjadi musuh besarnya. Ayah merasa marah karena subo telah berkali-kali kalah oleh Cia Keng Hong, bahkan beberapa tahun yang lampau ini, sebelum Cia Keng Hong meninggal dunia, subo Hek-hiat Mo-li yang dibantu dengan Kim Hong Liu-nio juga tidak mampu mengalahkannya. Memang pendekar itu sangat hebat. Aku merasa kagum sekali mendengar betapa subo dan suci masih kalah dan karena kagum inilah maka aku ingin sekali memenuhi keinginan ayah. Suatu saat aku harus mampu mengalahkan putera Cia Keng Hong yang bernama Cia Bun Houw itu, dan untuk itu, tahun depan ayah hendak mengumpulkan semua orang pandai untuk dipilih dan diangkat menjadi guruku."

Sin Liong termenung. Pangeran ini memusuhi kakeknya yang telah meninggal dunia, dan memusuhi ayah kandungnya! Kalau saja dia tahu bahwa cucu musuh besarnya berada di depannya…!

Akan tetapi Sin Liong mengusir perasaan tidak enak di hatinya. Dia tidak mempedulikan lagi ayah kandungnya. Ayah kandungnya itu bukanlah manusia baik-baik. Buktinya sudah membikin sengsara kehidupan ibu kandungnya dan ingin sekali dia mengunjungi kuburan ibu kandungnya.

"Baik, aku ikut bersamamu ke Lembah Naga!" Tiba-tiba dia berkata.

"Bagus, dengan begitu baru engkau seorang sababatku yang baik!"

"Maaf, aku hanya menjadi teman seperjalananmu, bukan berarti aku menjadi sahabatmu, pangeran," jawab Sin Liong dengan suara dingin.

"Ehh? Mengapa tiba-tiba menyebut pangeran? Aihh, apakah engkau pun akan ketularan penyakit umum dan bersikap hormat kepadaku? Akan memuakkan sekali kalau begitu, Sin Liong. Engkau lebih muda dariku, maka selanjutnya cukup kalau engkau menyebutku twako saja, dan aku akan menyebutmu Liong-te. Kita patut menjadi kakak beradik, bukan, walau pun hanya kakak beradik angkat saja."

Melihat sikap yang amat ramah dan mesra itu, mau tidak mau Sin Liong harus mengakui bahwa pangeran ini sangat baik kepadanya dan menarik hatinya, membuat dia merasa sukar untuk bersikap dingin. Dia menarik napas panjang dan berkata, "Baiklah, Houw-ko."

Wajah yang tampan itu berseri gembira dan diam-diam Sin Liong harus mengaku betapa gagah dan tampannya pangeran ini. Sepasang mata itu demikian jernih dan tajam, dan raut muka itu demikian gagahnya. Sayang bahwa seorang pria segagah dan setampan ini dapat memiliki watak yang kejam, membunuh orang seperti membunuh semut saja.

"Liong-te, mari kita cepat menuju ke benteng di depan itu!" katanya sambil menuding ke arah tembok yang agak jauh akan tetapi sudah nampak dari situ.

"Ke benteng? Mau apa pergi ke benteng?" tanyanya heran.

Han Houw tertawa. "Kita perlu dengan busur dan anak panah. Di dalam pegunungan di sebelah sana benteng terdapat hutan yang banyak dihuni oleh ayam hutan dan binatang-binatang lainnya. Senang sekali berburu di sana, Liong-te. Kita berburu di sana beberapa hari, setelah kenyang makan panggang ayam hutan, daging kijang dan mungkin kita bisa mendapatkan kulit harimau, baru kita melanjutkan perjalanan ke utara. Senang, bukan?"

Sin Liong tersenyum dan segera bangkit kegembiraannya. Hidup di samping pangeran ini agaknya selalu dikelilingi dengan kesenangan dan kegembiraan. Dia mengangguk.

"Baiklah."

Keduanya lalu membalapkan kuda menuju ke benteng. Mula-mula para penjaga dengan penuh curiga menghadang dua orang pemuda itu dan muncullah komandan jaga. Akan tetapi sesudah Ceng Han Houw mengeluarkan kim-pai, yaitu lencana terbuat dari pada emas yang menjadi tanda kuasa atau tanda utusan kaisar, komandan itu menjatuhkan diri berlutut dan semua pasukan cepat memberi hormat.

Akan tetapi Han Houw yang tidak suka atau sudah sangat bosan dengan segala macam penghormatan itu, dengan singkat menyatakan bahwa dia hanya ingin minta dua batang busur yang baik berikut anak-anak panah yang baik pula. Tentu saja permintaan ini cepat dipenuhi.

Tak lama kemudian, setelah memperoleh apa yang dikehendakinya, Han Houw bersama Sin Liong cepat membalapkan kuda meninggalkan pintu gerbang benteng, diikuti pandang mata para anak buah pasukan yang masih merasa terheran-heran seperti dalam mimpi karena tidak menyangka sama sekali bahwa hari itu ada seorang pangeran yang datang berkunjung!

                  ***************

Sambil tertawa-tawa Ceng Han Houw dan Sin Liong mengaburkan kuda mendaki daerah pegunungan yang penuh dengan hutan itu. Tiba-tiba Han Houw yang membalapkan lebih dahulu, menghentikan kuda itu lalu membalikkan tubuh kuda menanti dan menghadap ke arah Sin Liong yang datang menyusul. Dengan busur di tangan kiri pangeran itu memberi tanda kepada Sin Liong agar berhenti. Sin Liong menahan kendali kudanya dan berhenti di depan Han Houw, memandang ke kanan kiri karena dia mengira bahwa tentu akan terjadi sesuatu, akan tetapi sunyi saja di sekeliling tempat itu.

"Mengapa, berhenti, Houw-ko?" Akhirnya dia bertanya.

"Liong-te, seharusnya engkau siap dengan busurmu seperti ini, tidak kau gantungkan di punggung seperti itu. Kita sudah memasuki daerah perburuan," kata pangeran itu sambil tersenyum.

Sin Liong juga tersenyum. "Ahh, biarlah engkau yang akan menggunakan busur dan anak panahmu kalau muncul binatang. Aku... aku sesungguhnya belum pernah memanah..."

"Ahhh, benarkah? Engkau demikian gagah dan kepandaianmu tinggi, masa engkau tidak dapat menggunakan anak panah?"

Sin Liong menggeleng kepala. "Aku belum sempat belajar, twako. Dan pula, dengan perut sekecil perutku ini, perlu apakah membunuh binatang besar untuk dimakan? Tidak akan habis dan sia-sia saja."

"Aihh, tanpa busur dan anak panah, mana mungkin kau akan dapat merasakan nikmatnya panggang hati harimau dan merasakan kaki beruang? Apa lagi, anak panah bukan hanya senjata untuk berburu, Liong-te, melainkan juga merupakan alat perang yang ampuh dan yang harus dipelajari oleh setiap laki-laki yang gagah. Namun dengan kepandaian seperti yang kau miliki, engkau akan dapat menguasainya dengan mudah. Mari kuajari sebentar! Kau ambil busurmu, lantas perhatikan ini. Begini caranya meletakkan anak panah, begini menarik busur. Tangan kiri yang memegang busur harus kuat dan kokoh seperti baja, dan jari tangan yang memegang anak panah dan menarik busur haruslah tetap dan sedikit pun tidak boleh bergoyang. Pandangan mata dan perasaan hati harus seimbang ditujukan kepada sasaran. Lihat, aku membidik cabang melintang di sana itu, pada ranting paling ujung yang tak berdaun!"

Pangeran itu membidikkan busur dan panahnya, menarik tali kemudian terdengar suara menjepret disusul patahnya ranting yang kena disambar oleh anak panah! Sungguh tepat bidikan itu dan secara diam-diam Sin Liong kagum sekali sebab pangeran itu benar-benar seorang pemanah yang amat mahir. Maka dia pun mulai belajar memanah dan memang tepat seperti yang dikatakan oleh Han Houw tadi, dengan tenaga yang dimilikinya, dengan mudah saja dia dapat menguasai senjata ini setelah mencoba beberapa kali saja.

Akan tetapi ketika senja sudah mendatang dan pangeran itu mengajaknya untuk mencari bahan makan malam, Sin Liong membiarkan pangeran itu yang merobohkan seekor kijang muda dengan anak panahnya. Anak panah yang dilepaskan oleh Han Houw dari jauh itu dengan jitu sekali menembus leher kijang muda itu dan lewat senja, di bawah penerangan api unggun yang merah, sibuklah dua orang pemuda itu memanggang daging serta hati kijang.

Harus diakui oleh Sin Liong bahwa bau daging panggang yang masih segar itu sedap bukan main, apa lagi karena perutnya memang telah lapar sekali, dan suasana di dalam hutan bersama Han Houw sangatlah menggembirakan. Mereka makan panggang daging kijang yang lunak dan gurih sampai kenyang dan minum air dari sumber yang mengalir berupa anak sungai jernih di dalam hutan. Kemudian mereka memilih tempat yang bersih dan enak, di bawah sebatang pohon besar yang ditilami rumput, untuk tempat istirahat melewatkan malam.

Pada waktu mereka duduk saling berhadapan sambil bersandar pada batang pohon dan diterangi api unggun, Han Houw mengajak Sin Liong bercakap-cakap dan pangeran ini banyak bertanya tentang diri Sin Liong. Akan tetapi, pemuda remaja ini tidak suka banyak bercerita tentang dirinya sendiri, maka jawabnya selalu singkat-singkat saja dan bersifat mengelak. Ketika ditanya mengenai orang tuanya, Sin Liong menjawab bahwa dia tidak mengenal ayah bundanya, bahkan dia hanya tahu dirinya dirawat oleh monyet-monyet.

"Ahhh, jangan engkau merendah, Liong-te. Bukankah suci dahulu bilang, bahwa engkau adalah putera dari pendekar Cia Bun Houw, cucu dari pendekar sakti Cia Keng Hong?"

Sin Liong menatap wajah pangeran itu dengan penuh selidik. "Kalau engkau menyangka demikian, kenapa engkau mengajak aku untuk bersahabat? Bukankah engkau memusuhi mendiang Cia Keng Hong dan Cia Bun Houw? Kalau memang engkau menganggap aku ini keturunan mereka, mengapa engkau tidak membunuhku?"

Pangeran itu menarik napas panjang. "Ahh, engkau belum mengenal aku, adik yang baik! Aku sama sekali tidak membenci mereka, tidak membenci orang-orang she Cia, Yap dan Tio seperti subo dan suci. Aku hanya ingin mengalahkan Cia Bun Houw karena pendekar Cia Keng Hong telah meninggal, akan tetapi aku tak menaruh rasa benci kepada mereka, aku hanya ingin memenuhi kehendak ayah angkatku yang sudah banyak melepas budi kepadaku. Dan andai kata engkau benar putera Cia Bun Houw, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan niatku mengalahkan ayahmu itu, apa lagi aku sangat suka dan tertarik kepadamu..."

"Aku bukan anaknya!" Tiba-tiba Sin Liong berkata dengan kasar karena dia sudah marah membayangkan ayah kandungnya itu bersama wanita cantik itu.

Pangeran itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik menjelajahi wajah Sin Liong yang nampak muram. Pangeran itu tersenyum. Dia makin tertarik kepada Sin Liong karena dianggapnya bahwa anak ini sungguh berbeda jauh dengan anak-anak lain. Anak ini liar dan berwatak luar biasa.

Sudah tahu bahwa dia adalah seorang pangeran, adik kaisar, tetapi anak ini sama sekali tidak memperlihatkan sikap hormat, apa lagi menjilat. Hal ini saja sudah mendatangkan rasa suka dan kagum di dalam hatinya. Dan anak ini kelihatan benci dan marah ketika diingatkan bahwa dia putera pendekar Cia Bun Houw dan cucu pendekar Cia Keng Hong. Padahal, anak lain tentu akan merasa bangga sekali. Dan penolakannya itu jelas bukan dikarenakan takut kepadanya. Bocah ini sungguh menyimpan banyak sekali rahasia aneh, pikirnya dengan sinar mata berseri.

"Sudahlah, kita tidak akan bicara tentang keluarga Cia... eh, bukankan engkau juga she Cia?" Seperti tanpa disengaja, secara tiba-tiba pangeran itu bertanya.

"Aku tidak punya she!" jawaban ini seketika, timbul dari hati panas.

Kembali Han Houw tersenyum. "Baiklah, aku hanya akan mengenalmu sebagai Sin Liong Si Naga Sakti dari Lembah Naga! Akan tetapi tentu engkau mau memberi tahu dari mana engkau memperoleh ilmu-ilmu hebat itu sehingga engkau berani dan mampu menghadapi Lam-hai Sam-lo?"

Sin Liong mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mau menceritakan bahwa dia sudah digembleng oleh pendekar sakti Cia Keng Hong, kakeknya sendiri karena dengan begitu sama saja dengan mengaku bahwa dia adalah putera dari Cia Bun Houw. Dia tidak takut untuk mengaku putera musuh pangeran ini, bahkan dia akan menghadapi dengan berani, sungguh pun dia tidak ingin bermusuhan dengan pangeran yang luar biasa dan sangat disukanya ini. Akan tetapi dia amat segan untuk mengaku putera pendekar yang diagung-agungkannya itu, pendekar yang baginya hanyalah seorang pria yang kejam, yang sudah menghancurkan kehidupan ibu kandungnya.

"Aku hanya belajar sedikit ilmu di bawah bimbingan suheng Ouwyang Bu Sek," jawabnya pendek.

"Ha, sudah banyak aku mendengar tentang dia dari Lam-hai Sam-lo. Kabarnya dia adalah seorang manusia aneh yang memiliki ilmu tinggi sekali. Sayang dia tidak muncul sendiri sehingga aku tidak sempat berjumpa kemudian berkenalan dengan dia. Maukah engkau membawaku ke sana untuk berkenalan dengan kakek aneh itu, Liong-te?"

Sin Liong menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Suheng menyuruh aku menghadiri pemilihan bengcu dan suheng sendiri pergi entah ke mana, tanpa memberi tahu padaku." Ucapannya ini tidak bohong karena memang kakek itu mengatakan bahwa mereka harus berpisah dan menempuh jalan masing-masing sebab kakek itu ingin memberi kesempatan kepada Sin Liong untuk mencari pengalaman hidup.

"Sayang sekali. Siapa tahu dia akan mau ikut pemilihan calon guruku. Ehh, sungguh luar biasa anehnya!" Tiba-tiba pangeran itu berkata dan menepuk pahanya.

"Apanya yang luar biasa aneh?"

"Engkau! Kenapa kau menjadi sute-nya? Kalau begitu, engkau menjadi murid gurunya? Bukan main. Menurut kabar, usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, dan engkau menjadi sute-nya! Siapakah guru kalian kalau begitu?"

Sin Liong menjadi bingung dan dia menggeleng kepala. "Houw-ko, aku minta kepadamu, harap engkau jangan banyak bertanya tentang itu. Terus terang saja, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu dengan orang yang kami sebut suhu itu! Aku belajar ilmu silat di bawah bimbingan langsung dari suheng Ouwyang Bu Sek, jadi sebenarnya dialah guruku, akan tetapi suheng tidak mau dianggap guru dan berkeras mengatakan bahwa aku adalah sute-nya. Jadi, aku sendiri belum pernah melihat guru kami..."

"Bukan main...!" Pangeran itu memandang dengan dua mata terbelalak, akan tetapi sinar matanya berkilat dan wajahnya berseri, tanda bahwa dia tertarik sekali. "Sungguh engkau seorang pemuda yang luar biasa anehnya, mengalami hal-hal yang luar biasa aneh pula, Liong-te. Kau membuat aku merasa iri saja! Kehidupanku amat membosankan, tidak ada yang aneh, bahkan subo-ku yang katanya memiliki kepandaian setinggi langit itu ternyata telah berubah menjadi seorang nenek yang pikun. Liong-te, kalau kau percaya kepadaku, dan sungguh mati aku tidak memiliki niat yang buruk, hanya timbul dari keinginan hatiku yang amat tertarik, katakanlah siapa nama gurumu yang luar biasa itu. Sesudah kau beri tahu, aku tidak akan banyak bertanya lagi tentang itu, adik yang baik."

Sin Liong merasa tak enak hati untuk menolak dan dia pun tidak ingin mengecewakan hati pangeran yang sangat baik terhadapnya ini. Pula, suheng-nya tidak pernah melarang dia menyebutkan nama guru mereka itu, hanya yang tidak boleh dibicarakan adalah tentang kitab-kitab kuno yang telah dibakar itu.

"Kuberi tahu juga tidak apa-apa, karena aku sendiri belum pernah jumpa, Houw-ko. Nama guru kami adalah Bu Beng Hud-couw dan menurut suheng, tempat pertapaannya berada di Himalaya."

Sepasang mata yang lebar dan amat indah bentuknya itu terbelalak. "Gurumu... gurumu seorang dewa...? Bu Beng Hud-couw...? Tentu seorang dewa dan bagaimana suheng-mu mengadakan hubungan dengan seorang dewa?"

"Ahh, aku sendiri selamanya belum pernah mengadakan hubungan, dan menurut suheng, dia mengadakan hubungan lewat getaran..."

"Getaran? Bagaimana maksudmu?"

"Entahlah, Houw-ko, aku sendiri pun tidak tahu. Kata suheng, suhu itu usianya sudah tiga ratus tahun lebih, bertempat tinggal di puncak Pegunungan Himalaya dan setiap saat bisa dihubungi suheng lewat getaran-getaran, akan tetapi aku sendiri belum pernah merasakan getaran itu. Sudahlah, Houw-ko, suheng melarang aku banyak bicara tentang suhu."

Mata Han Houw masih terbelalak memandang kepada pemuda remaja itu penuh kagum. "Aihhh...!" Akhirnya dia menarik napas panjang. "Betapa beruntungnya engkau, Liong-te, memperoleh guru seorang dewa... ahh, kalau saja aku dapat berguru kepadanya."

Pangeran itu tak banyak bicara lagi, hanya termenung memandang ke dalam api unggun, membayangkan seorang guru yang luar biasa, guru dewa! Sin Liong tidak mempedulikan lagi sahabatnya itu dan dia telah merebahkan diri di atas rumput, terlentang dan berbantal buntalan pakaiannya. Karena tubuhnya sangat lelah dan perutnya kenyang, sebentar saja Sin Liong sudah pulas.

Biar pun Sin Liong telah menerima gemblengan orang-orang sakti yang berilmu tinggi dan pemuda ini di luar kesadarannya sendiri sudah mewarisi dan menguasai ilmu-ilmu yang amat hebat, namun dia hanyalah seorang pemuda remaja yang baru berusia enam belas tahun dan pengalamannya di dunia kang-ouw amatlah tipis dan dangkal. Inilah sebabnya maka malam itu dia dapat tidur nyenyak tanpa curiga apa pun, dan dia telah menyerahkan seluruh kepercayaannya kepada sahabat ini oleh karena melihat sikap Han Houw yang dianggapnya amat baik kepadanya itu.

Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Sin Liong ketika dalam keadaan pulas itu tiba-tiba dia merasa tubuhnya amat nyeri dan seketika dia terbangun. Begitu matanya terbuka, dia melihat bahwa malam sudah berganti pagi, akan tetapi yang sangat mengejutkan hatinya adalah melihat kenyataan bahwa dia berada dalam keadaan tertotok dan seluruh tubuhnya tidak mampu bergerak, lemas dan lumpuh! Tahulah dia bahwa dalam keadaan pulas tadi, dia telah ditotok orang secara hebat sekali!

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Pangeran itu duduk di sebelah kanannya dengan busur terpentang serta anak panah di atas busur itu ditodongkan ke arah dadanya! Dan di sebelah kirinya berdiri seorang kakek yang langsung dikenalnya karena orang itu bukan lain adalah Hek-liong-ong Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, kakek raksasa bermuka buruk seperti tengkorak yang pernah bentrok dengan dia di atas panggung sayembara perebutan bengcu kemarin.

Ketika Sin Liong membuka matanya, dia melihat betapa Hek-liong-ong sedang membujuk sang pangeran.

"Harap paduka lekas lepaskan anak panah itu selagi dia tak mampu bergerak, pangeran. Kalau dia dapat bergerak, sukarlah bagi kita untuk menundukkannya. Dia sudah mewarisi Thi-khi I-beng dan ilmu-ilmu lain yang dahsyat, bahkan hamba percaya bahwa dia tentu telah mewarisi kitab-kitab pusaka dari Himalaya yang hamba yakin sekarang tentu sudah dicuri oleh Ouwyang Bu Sek."

"Hemm, tak pertu tergesa-gesa, Hek-liong-ong. Munculmu mengejutkan hatiku. Jelaskan, kitab-kitab apa yang kau maksudkan itu dan kenapa engkau berkeras hendak membunuh dia?"

"Dalam pertemuan kita yang singkat, hamba belum sempat menceritakan kepada paduka tentang Ouwyang Bu Sek. Tokoh itu penuh rahasia dan selalu menentang hamba bertiga dan biar pun tahun ini dia tidak muncul, tetapi ada pemuda ini yang menjadi wakilnya dan mengaku sebagai sute-nya. Kabarnya kitab-kitab pusaka yang dicuri oleh Ouwyang Bu Sek itu adalah kitab-kitab pusaka yang amat hebat, ciptaan dari Bu Beng Hud-couw dan mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi."

"Hemm..., Bu Beng Hud-couw?" Pangeran itu bertanya dan matanya menyambar ke arah wajah Sin Liong, akan tetapi anak panah itu masih terus menodong ke arah dada pemuda remaja itu.

"Benar, pangeran. Pemuda ini lihai sekali, maka sebaiknya dia dibunuh dahulu, baru kita mencari Ouwyang Bu Sek untuk dilenyapkan, karena kalau tidak, mereka itu kelak hanya akan menimbulkan kepusingan belaka bagi paduka dan pemerintah. Dan kitab-kitab itu tentu berada di tangan Ouwyang Bu Sek, paduka tentu akan senang sekali kalau dapat memperoleh kitab-kitab itu. Biarkan hamba membunuhnya sekarang juga, hamba khawatir kalau-kalau totokan hamba masih tidak dapat menguasainya terlalu lama..."

Han Houw tersenyum dan kini cahaya matahari pagi menerobos celah-celah daun pohon, menimpa ke wajah pangeran itu sehingga Sin Liong dapat memandangnya dengan jelas. Pangeran itu menatap wajah Sin Liong, kemudian sambil tersenyum dia berkata kepada Sin Liong yang memandangnya dengan mata penuh kebencian dan kemarahan.

"Sin Liong, bagaimana pendapatmu dengan ini? Nyawamu berada di dalam tanganku!"

Sin Liong mendengar semua kata-kata mereka berdua, akan tetapi pada saat itu seluruh perhatiannya lahir batin tercurah pada jalan darahnya dan pernapasannya. Dari mendiang kakeknya, dia telah menerima pelajaran tentang Thai-kek Sin-kun dan di dalam ilmu yang amat hebat ini terdapat bagian yang sangat rahasia, yaitu penguasaan jalan darah melalui pernapasan.

Karena sulitnya ilmu ini, maka dia pun, seperti ilmu lain, hanya menghafalkannya di luar kepala saja dan belum mempunyai cukup waktu untuk melatihnya. Kini, dalam keadaan tertotok jalan darahnya dan terancam nyawanya, teringatlah dia akan ilmu itu dan secara diam-diam dia telah mengerahkan seluruh perhatiannya, kemudian mengatur pernapasan dan perlahan-lahan hawa murni dari pernapasannya itu menyusup ke dalam jalan darah dan membantu jalan darah yang terhenti karena totokan untuk membebaskannya.

Oleh karena itu, mendengar pertanyaan Han Houw, dia hanya mendengar sayup-sayup saja dan karena tidak terlalu memperhatikannya, maka dia pun menjawab sambil lalu dan suaranya masih seperti kalau dia bicara dengan Han Houw kemarin, sebelum terjadinya pengkhianatan ini.

"Houw-ko, aku memang tahu bahwa engkau amat kejam dan curang. Aku adalah seorang gagah, tentu saja tidak takut mati, lebih baik mati dalam keadaan gagah dari pada hidup menjadi manusia curang dan kejam seperti engkau."

"Bocah setan, berani engkau bicara seperti itu terhadap pangeran? Kurang ajar, engkau layak mampus seratus kali!" Tiba-tiba Hek-liong-ong meloncat ke depan dan mengangkat goloknya, membacok ke arah leher Sin Liong.

Pada waktu itu Sin Liong sedang mengerahkan seluruh hawa murni yang terbawa oleh tarikan napasnya untuk membobol jalan darahnya yang terhenti, maka ketika dia melihat serangan ini, dia hanya membelalakkan mata sambil menanti maut dengan mata terbuka. Harapannya habis ketika dia melihat betapa pada saat itu juga, anak panah di busur yang dipegang oleh pangeran itu melesat dengan cepat sekali, mengeluarkan bunyi mendesis yang mengerikan.

"Crotttt...!"

Karena dilepas dari jarak dekat, anak panah itu menancap ke ulu hati dan menembus ke punggung, namun bukan pada tubuh Sin Liong! Sepasang mata Hek-liong-ong terbelalak, melotot hampir keluar dari rongga mata, mulutnya mengeluarkan teriakan karena terkejut, nyeri dan juga heran.

"Oughhhhh... pangeran... mengapa...?" Tubuhnya terjengkang dan goloknya terlepas dari tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah anak panah yang sudah menembus dadanya sehingga anak panah itu patah, tubuhnya berkelojotan dan tak lama kemudian dia terkulai dan tewas karena anak panah itu telah menembus jantungnya.

Rasa kaget dan heran yang sangat hebat seperti mendorong hawa murni dan menembus jalan darah yang terhenti.

"Plong...!"

Dan Sin Liong pun dapat bergerak lagi. Dia bangkit duduk dan memandang pangeran itu sambil bertanya, melanjutkan pertanyaan sepotong yang keluar dari mulut Hek-liong-ong sebelum tewas tadi, "Mengapa engkau lakukan itu? Mengapa kau membunuh dia?"

Sekarang pangeran itu memandang dengan mata terbelalak. "Liong-te, kau... kau... dapat bergerak? Bukankah Hek-liong-ong tadi menotokmu?"

Sin Liong mengangguk. "Baru saja aku berhasil membebaskan diri. Akan tetapi, Houw-ko, mengapa sikapmu begini aneh? Apa yang terjadi dan mengapa kau membunuh dia yang menjadi pembantumu?"

Pangeran itu menarik napas panjang, melangkah menghampiri mayat Hek-liong-ong dan menyentuh dengan kakinya.

"Menjemukan dia ini! Dan engkau tadi mengatakan aku kejam dan curang. Memang aku kejam dan curang namun hanya pada waktu-waktu tertentu, seperti ketika melihat engkau terancam bahaya maut. Dia ini lihai sekali dan tanpa mempergunakan kecurangan, belum tentu aku dapat membunuhnya sedemikian mudahnya."

"Houw-ko, aku tahu bahwa engkau tadi telah menyelamatkan nyawaku, dan aku tahu pula kenapa Hek-liong-ong membenciku sehingga hendak membunuhku. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti kenapa engkau membunuhnya. Bukankah Lam-hai Sam-lo merupakan pembantu-pembantumu, pembantu pemerintah?"

"Dia ini layak mampus, Liong-te. Dosa-dosanya terlalu banyak terhadapku. Pertama, pada waktu aku tidur, dia lancang menotokmu dan juga mengejutkan aku. Itu saja sudah cukup baginya untuk mati. Ke dua, dia hendak membunuhmu, padahal engkau adalah seorang sababatku. Perbuatannya itu berarti dia tidak mengindahkan aku dan lancang, merupakan dosa yang tak berampun. Dan ke tiga, dia tak boleh membunuhmu, karena selain engkau seorang sahabat baikku yang kusayang, juga adalah calon saudara seperguruanku."

"Ehh...?!" Sin Liong berseru heran.

"Lupakah kau bahwa aku ingin sekali menjadi murid dewa yang bermukim di Himalaya itu, Liong-te? Sudahlah, kematian orang ini tak perlu diributkan lagi, dia mati sebagai seorang petugas yang menyeleweng dan kuanggap menentang kepada atasan. Mari kita lanjutkan perjalanan."

Mereka lalu naik ke atas punggung kuda masing-masing. "Houw-ko, aku berhutang nyawa kepadamu."

"Ahh, jangan berlebihan, Sin Liong. Engkau sudah berhasil membebaskan totokan maka tanpa kubantu pun, belum tentu Hek-liong-ong mampu membunuhmu."

Sin Liong tidak membantah, merasa tidak perlu berbantah tentang itu karena dia tahu benar bahwa tanpa bantuan pangeran itu, dia tentu telah tewas oleh golok Hek-liong-ong yang menyerangnya pada saat dia belum berhasil membebaskan diri dari totokan.

Pangeran itu bersikap seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu yang hebat. Membunuh Hek-liong-ong itu baginya seolah-olah merupakan hal biasa saja dan diam-diam Sin Liong merasa semakin menyesal mengapa pangeran yang telah menarik hatinya bahkan mulai disukanya ini memiliki watak yang demikian kejam dan dingin terhadap keadaan orang lain yang tidak disukanya.

Sin Liong juga melihat betapa Han Houw amat suka berburu. Sampai tiga hari lamanya dia terpaksa menemani pangeran itu berburu di dalam hutan yang memang dihuni oleh banyak sekali binatang liar itu. Tetapi dia sendiri tidak ikut menggunakan anak panahnya.

Sin Liong terlalu mencinta kehidupan di dalam hutan untuk merusaknya begitu saja. Dia sangat berduka melihat betapa Han Houw menyebar maut di antara binatang-binatang yang sama sekali tidak berdosa, membunuhnya, merobohkannya dengan anak panah lalu meninggalkan bangkainya begitu saja!

Melihat Hek-liong-ong tewas kemudian mayatnya ditinggalkan begitu saja, dia tak merasa terlampau menyesal karena memang orang itu hanya akan menyebar kejahatan dengan mengandalkan kepandaian. Akan tetapi saat melihat binatang-binatang hutan yang sama sekali tidak bersalah itu dibunuh begitu saja, benar-benar dia merasa betapa hatinya perih dan menyesal.

Memang demikianlah keadaan di dunia ini. Manusia, dengan akal budi serta pikirannya yang membuat manusia menganggap bahwa dia adalah makhluk teragung, terpandai dan terbaik di dunia ini, kadang-kadang melakukan kekejaman-kekejaman yang luar biasa mengerikan, kekejaman-kekejaman yang takkan pernah dilakukan oleh makhluk lainnya. Kekejaman yang sudah merupakan semacam ‘kebudayaan’ atau yang sering kali disebut ‘olah raga’ sehingga sudah menjadi sebuah kebiasaan yang dianggap sopan dan baik, menjadi bukti akan keunggulan manusia di antara segala makhluk.

Manusia memburu dan mengejar makhluk-makhluk lain, binatang-binatang dalam hutan, membunuh mereka, kadang membunuh untuk memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya lebih condong kepada kebutuhan selera dari pada kebutuhan perut, namun lebih sering lagi membunuh binatang-binatang itu hanya untuk kesenangan belaka, setelah binatang-binatang itu dibunuh, bangkainya ditinggalkan begitu saja!

Manusia menikmati kesenangan dari membunuh! Dan membunuh semacam ini, karena kebudayaan, atau karena kebiasaan, sudah bukan dianggap membunuh lagi. Membunuh dianggap kesenian, kebudayaan, olah raga!

Dan bukan manusia-manusia pedusunan atau pegunungan yang menganggap demikian, yang memiliki kebudayaan macam itu, sama sekali bukan. Penghuni dusun atau gunung memang banyak pula yang memburu binatang, namun mereka melakukan hal itu bukan untuk kesenangan membunuh, melainkan sebagai nafkah hidup.

Yang menganggap pembunuhan sebagai sebuah kebudayaan justru adalah orang-orang terpelajar, manusia-manusia kota yang mempropagandakan prikemanusiaan, yang bicara muluk-muluk mengenai kerohanian, dan sebagainya. Betapa menyedihkan kenyataan ini bagi mereka yang mau membuka mata melihat kenyataan dan mengenal keadaan diri sendiri lahir batin!

Selama tiga hari ini, Sin Liong melihat betapa pangeran yang tampan itu bergembira ria, mengejar harimau, kijang, atau binatang apa pun yang ditemuinya, dan selama tiga hari ini pula, belasan ekor binatang sudah menemui ajalnya, mati lantas dibiarkan bangkainya membusuk dan dimakan binatang-binatang lain. Memang ada di antara korban-korban itu yang dagingnya diambil dan dimakan oleh mereka berdua, akan tetapi hanya sedikit dan tidak ada artinya dibandingkan dengan banyaknya binatang yang tewas.

Pada suatu hari, tibalah dua orang muda itu di kota Kiu-kiang, sebuah kota yang ramai di tepi Sungai Yang-ce di tapal batas sebelah utara dari Propinsi Kiang-si. Seperti biasa apa bila mereka sampai di kota atau pedusunan, Han Houw lalu mengajak Sin Liong langsung menuju ke gedung kepala daerah di mana dia lalu mengeluarkan kim-painya dan setelah orang mengenal kim-pai itu, segera Han Houw disembah-sembah dan disambut dengan segala kehormatan. Sin Liong yang dikenalkan oleh Han Houw sebagai adik angkatnya, tentu saja juga menerima penyambutan yang amat ramah dan terhomat sehingga kadang kala pemuda remaja ini merasa canggung dan sungkan.

Pakaian-pakaian indah disediakan oleh Gu-taijin, pembesar dari kota Kiu-kiang itu untuk Han Houw dan Sin Liong. Tentu saja untuk Han Houw disediakan pakaian yang pantas untuk dikenakan oleh seorang pangeran, sedangkan untuk Sin Liong disediakan pakaian yang biasanya hanya dipakai oleh kongcu-kongcu bangsawan atau hartawan!

Melihat sikap Sin Liong yang kikuk, Han Houw tertawa dan dengan setengah memaksa dia berkata, "Liong-te, engkau adalah sahabatku yang baik, maka sudah sepatutnya kalau engkau menerima penghormatan dari siapa pun juga. Pakaianmu sudah kotor, hayo kau pakai pakaian baru ini. Kalau engkau memakai pakaian lama itu, sebagai sahabat baikmu tentu aku akan turut merasa malu, apa lagi engkau bukan hanya sahabat, melainkan adik angkatku!"

"Adik angkat? Apa maksudmu, Houw-ko?" tanya Sin Liong ketika mereka berada di dalam kamar mewah yang disediakan oleh Gu-taijin untuk mereka.

"Engkau adalah adik angkatku, Liong-te, tidak maukah engkau menjadi adikku? Aku ingin mengangkat engkau menjadi saudara, dan malam ini, di bawah sinar bulan purnama, kita akan melakukan sembahyang sebagai pengangkatan saudara."

"Ahhh...!" Sin Liong melongo dan ada rasa haru menyelinap di dalam hatinya.

Han Houw adalah seorang pangeran, adik dari kaisar! Dan nanti malam, di bawah sinar bulan purnama, pangeran ini hendak mengangkat dia sebagai adik, padahal dia hanyalah seorang anak tanpa keluarga, bahkan anak yang dirawat oleh monyet!

"Apakah engkau menolak, Liong-te?" pertanyaan itu diucapkan dengan suara sedemikian halusnya sehingga Sin Liong tidak berani untuk membantah.

"Aku... merasa terhormat sekali... akan tetapi, pantaskah aku menjadi adik angkatmu, Houw-ko...?" katanya gagap.

Han Houw merangkulnya dan tertawa. "Pantas? Ha-ha-ha, engkau adalah Naga Sakti dari Lembah Naga, mempunyai adik seperti engkau merupakan kebanggaan bagiku, Liong-te! Mari, Gu-taijin telah mempersiapkan segala peralatan sembahyang itu di taman."

Dan benar saja, pada waktu mereka memasuki taman, di sana telah diatur sebuah meja sembahyang yang lengkap serta mewah, dan lilin-lilin merah bernyala dengan meriahnya. Ternyata pangeran itu sudah memesan kepada Gu-taijin dan sudah mengatur segala-galanya, tanda bahwa pangeran itu sudah yakin bahwa Sin Liong tidak akan menolak!

Sin Liong merasa kikuk sekali. Apa lagi karena selain Gu-taijin sendiri dan nyonya Gu, di situ terdapat pula seorang dara cantik yang berpakaian amat indah, bersama dengan lima orang dara lainnya yang berpakaian sebagai pelayan akan tetapi yang kesemuanya cantik manis, melayani mereka berdua dengan penuh penghormatan!

Sin Liong merasa heran sekali mengapa Gu-siocia (nona Gu) puteri pembesar itu yang usianya kurang lebih enam belas tahun dan cantik sekali itu melayani Han Houw dengan manis budi dan dengan senyum dan kerling mata manis memikat. Dia juga merasa kagum betapa Han Houw bersikap biasa saja dan tidak kikuk sama sekali terhadap pelayanan Gu-siocia serta lima orang pelayan cantik itu, padahal dia sendiri merasa canggung dan gugup, bahkan Sin Liong merasa betapa kedua kakinya agak gemetar menghadapi enam nona cantik itu. Bau harum dari rambut dan pakaian mereka membuat jantung Sin Liong berdegup tegang.

Sebelum sembahyangan dimulai, pangeran itu mendekatkan mulutnya di samping telinga Sin Liong kemudian bertanya, "Liong-te, kau akan memakai she apakah dalam upacara pengangkatan saudara ini?"

Sin Liong menjadi bingung. Tadinya dia sudah mengambil keputusan untuk menggunakan nama Sin Liong saja, tanpa she. Akan tetapi dalam upacara resmi itu terpaksa dia harus menggunakan she dan dia tak sudi menggunakan she ayah kandungnya yang dibencinya.

"She Liong...," jawabnya berbisik pula.

Pangeran itu mengangkat alisnya lalu mengangguk. "She ibumu...?"

Sin Liong mengangguk. Ibu kandungnya adalah Liong Si Kwi, dan karena Cia Bun Houw ayah kandungnya agaknya tidak lagi mau mengakui ibunya dan dia, mengapa dia tidak memakai she ibunya saja?

Ketika mereka berdua mulai sembahyang dan berlutut di depan meja sembahyang, Sin Liong hanya menirukan kata-kata Han Houw.

"Diterangi sinar bulan purnama, disaksikan oleh bumi dan langit, kami berdua, Ceng Han Houw dan Liong Sin Liong, bersumpah saling mengangkat saudara satu sama lain dan seterusnya kami berdua akan saling membela dan saling membantu sebagai kakak dan adik. Semoga Thian memberkahi kami berdua."

Setelah selesai sembahyang, Sin Liong yang merasa terharu segera bangkit dan bersoja (mengangkat kedua tangan di depan dada) kepada Han Houw sambil berkata. "Twako, harap suka menerima penghormatan adikmu."

Han Houw balas mengangkat kedua tangannya, lalu merangkul pundak Sin Liong dengan wajah berseri. "Puas dan gembira sekali hatiku, Liong-te!"

"Kionghi..., kionghi...! Hamba menghaturkan selamat kepada paduka, pangeran!" Gu-taijin berseru gembira dan isterinya serta puterinya juga cepat mengucapkan selamat kepada Han Houw.

"Kionghi...(selamat), Liong-kongcu!"

Pembesar itu memberi selamat kepada Sin Liong, yang diikuti pula oleh isterinya serta puterinya. Menerima penghormatan dan ucapan selamat dari Gu-siocia, wajah Sin Liong berubah merah sekali sehingga Han Houw tertawa bergelak karena geli.

Untuk menyambut kedatangan tamu agung itu sekaligus untuk merayakan pengangkatan saudara, maka malam itu Gu-taijin mengadakan pesta bagi Han Houw dan Sin Liong. Dua orang pemuda itu diajak makan minum oleh Gu-taijin, isterinya serta puterinya, dilayani oleh gadis-gadis cantik. Juga di dalam pesta ini Sin Liong melihat sikap Gu-siocia sangat manis terhadap sang pangeran, dan betapa ayah serta ibu dara itu agaknya memang sengaja mendorong-dorong puteri mereka untuk bermanis-manis dengan Han Houw.

Yang membuat dia merasa sangat jengah dan malu adalah sikap Han Houw yang sama sekali tidak kikuk bahkan secara terang-terangan pemuda tampan itu telah bermain mata dengan Gu-siocia, dan di depan ayah bunda dara itu, Han Houw tidak segan-segan untuk memuji kecantikan Gu-siocia, bahkan kalau ada kesempatan, tangan Han Houw secara tidak tahu malu meraba lengan yang halus dari nona itu, dan beberapa kali jari tangan pangeran itu malah mengusap dan mencubit pinggul beberapa orang gadis pelayan yang kebetulan berada dekat dengannya sehingga gadis itu menjadi tersipu-sipu akan tetapi tidak marah bahkan tersenyum manis dan melempar kerling genit sekali!

Sin Liong memejamkan mata lantas menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali menyaksikan kenakalan pangeran itu. Tadinya dia menyangka bahwa mungkin pengaruh arak yang telah membuat Han Houw bersikap seperti itu. Akan tetapi dari percakapannya, tahulah dia bahwa memang Han Houw adalah seorang pemuda yang genit dan senang menggoda wanita!

Akhirnya Sin Liong tidak mampu menahan lagi dan dengan dalih mengantuk dia berpamit untuk mengundurkan diri.

"Ahhh, engkau sudah mengantuk, Liong-te? Nanti dulu sebentar, kita melihat kepandaian Gu-siocia menari. Bukankah engkau pandai menari, siocia? Maukah menarikan beberapa tarian untuk kami?"

Ayah dan ibu gadis itu turut membujuk dan karena agaknya memang sudah dipersiapkan sebelumnya, lima orang dara pelayan yang cantik itu sudah mengeluarkan alat-alat musik pipa, yangkim dan sebagainya untuk mengiringi nona mereka menari. Dan dengan sikap malu-malu buatan sehingga dia kelihatan lebih cantik menarik seperti jinak-jinak merpati, Gu-siocia mulai menari.

Di antara para pelayan itu ada yang memukul musik sambil menyanyi maka nona rumah menari makin bersemangat dan Sin Liong harus mengakui bahwa nona itu pandai sekali menari. Melihat betapa pinggang yang ramping itu terayun-ayun bagaikan tangkai pohon yang-liu tertiup angin, betapa ringan kedua kaki kecil itu menari-nari, jantungnya berdebar dan beberapa kali dia harus membuang muka agar jangan sampai terpesona dan menjadi bengong seperti Han Houw!

Sesudah nona itu selesai menari, Han Houw langsung bertepuk tangan memuji. "Bagus sekali... tarianmu hebat, nona, seperti bidadari dari kahyangan...!"

"Pangeran terlalu memuji..." kata nona itu dengan sikap malu-malu, suaranya merdu mirip nyanyian, dan sambil membungkuk nona itu menyembunyikan muka di balik ujung-ujung lengan bajunya yang terbuat dari sutera halus. Sikapnya amat menarik dan lemah gemulai membangkitkan birahi.

"Houw-ko, maafkan, aku ingin beristirahat...," kata Sin Liong.

Han Houw tertawa lalu bangkit berdiri. "Ah, adikku ini tidak biasa menghadiri pesta-pesta, maka merasa lelah dan ingin mengaso. Terima kasih atas segala kebaikanmu, Gu-taijin."

"A-bwee, antarkan pangeran beserta Liong-kongcu ke kamar mereka!" perintah sang ayah kepada anaknya.

Dengan sikap manis sekali Gu-siocia bersama lima orang dara pelayan itu mengantarkan Han Houw dan Sin Liong. Sesudah meninggalkan ruangan itu dan melalui lorong menuju ke kamar tamu, tanpa ragu-ragu lagi Han Houw merangkul pinggang Gu-siocia yang amat ramping itu. Gu-siocia hanya terdengar menahan jerit dan tawa lirih, ada pun Sin Liong mempercepat langkah dengan hati tidak karuan rasanya.

Akan tetapi, ketika Sin Liong memasuki ke kamarnya yang terpisah dari kamar pangeran itu, sebelah menyebelah, Han Houw mengikutinya bersama Gu-siocia yang masih terus dirangkul pinggangnya dan lima orang dara pelayan cantik itu.

"Liong-te, kau pilihlah. Siapa di antara mereka yang kau pilih untuk menemanimu?" Han Houw bertanya sambil tersenyum.

Wajah Sin Liong seketika menjadi berubah dan dua matanya terbelalak. "A... apa...? Apa maksudmu...?" tanyanya gagap.

Lima orang pelayan wanita itu tersenyum genit, ada pun Gu-siocia hanya menundukkan muka dengan malu-malu sebab tangan pangeran yang merangkul pinggangnya itu dengan nakal meraba ke atas.

"Liong-te, mereka ini memang disuruh menemani kita. Hayo kau pilih yang mana? Malam ini aku gembira sekali dan biarlah engkau kubiarkan memilih dulu. Apakah kau ingin agar Gu-siocia menemanimu malam ini? Nah, kau ambillah dia...!" Pangeran itu mendorong tubuh Gu-siocia ke depan.

Dara itu menjerit kecil dan tentu akan menabrak Sin Liong kalau saja pemuda remaja ini tidak cepat menangkap pinggangnya. Akan tetapi pinggang ramping itu cepat dilepaskan kembali dan wajah Sin Liong menjadi agak pucat.

"Aku... aku... tidak..."

"Jangan malu-malu, Liong-te..."

"Pangeran, Liong-kongcu tidak mau hamba temani, biar hamba menemani paduka saja..." Gu-siocia berkata dan kembali mendekati pangeran itu.

"Bagaimana, Liong-te?"

Kini Sin Liong sudah dapat mengembalikan ketenangannya dan dia berkata dengan suara tegas, "Houw-ko, selamanya aku belum pernah berdekatan dengan wanita dan tidak akan melakukannya malam ini. Aku ingin beristirahat, harap Houw-ko suka meninggalkan aku sendirian saja di kamarku. Nona-nona semua harap keluar dari sini."

"Ha-ha-ha...! Kau... kau masih perjaka tulen, Liong-te? Ha-ha-ha-ha, betapa engkau telah menyia-nyiakan hidupmu." Pangeran itu tertawa-tawa.

Akan tetapi Sin Liong tidak mempedulikannya, lantas dengan sikap sungguh-sungguh dia menggiring mereka keluar dari dalam kamar. Sin Liong cepat menutupkan daun pintu dan dia bersandar pada daun pintu itu dengan dada bergelombang.

Suara tawa Han Houw masih terdengar olehnya. Dia merasa bingung, tidak dapat menilai sikap Han Houw, kata-katanya dan sikapnya itu. Urusan dengan wanita merupakan suatu hal yang asing sama sekali baginya. Biar pun dia berada dalam asuhan Ouwyang Bu Sek dari masa kanak-kanak sampai menjelang dewasa, akan tetapi kakek itu sama sekali tak pernah bicara tentang tata susila.

Betapa pun juga, ketika dia masih dekat dengan ibu kandungnya, kemudian sesudah dia ikut Na-piauwsu, sudah banyak dia mendengar tentang pelajaran tata susila, bahkan dia pernah mendapat kesempatan untuk membaca kitab-kitab kuno mengenai sopan santun dan kehidupan, maka dia dapat melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Gu-siocia dengan Pangeran Ceng Han Houw itu merupakan perbuatan yang tidak senonoh dan melanggar batas-batas susila!

Biar pun dia sadar bahwa hal itu tidak baik untuk dilakukan dan dilanggar, namun darah mudanya yang dibangkitkan oleh bayangan-bayangan membuat dadanya berdebar-debar dan darahnya bergejolak! Makin ditekan perasaan yang menggelora itu, makin hebatlah menyerangnya sehingga Sin Liong tidak dapat tidur.

Dengan gelisah dia rebah dan bergelimpangan di atas pembaringan, telinganya seakan mendengar suara halus dan tawa yang menimbulkan gairah hatinya, suara wanita-wanita muda yang cantik dan genit tadi. Di matanya selalu terbayang wajah yang cantik manis, mata yang jeli dan senyum yang memikat tadi, bahkan kini dia seperti mendengar suara ketawa Han Houw diselingi suara cekikian dari wanita-wanita itu.

Semua ini makin mengganggu hatinya hingga akhirnya Sin Liong tidak kuat bertahan lagi dalam kamarnya, lalu diam-diam dia keluar melalui jendela dan membiarkan angin malam menyejukkan tubuhnya, sungguh pun hatinya masih juga panas dan berdebar. Dicobanya untuk bersemedhi di tengah taman indah yang sunyi dan remang-remang itu, akan tetapi usahanya sia-sia belaka, makin diusir bayangan-bayangan wanita itu, makin jelas nampak kecantikan mereka dan jelas terdengar suara halus mereka membujuk rayu.

Dari mana datangnya gelora nafsu birahi dan bagaimana terjadinya? Mengapa demikian sukarnya untuk diusir kalau datang mencengkeram batin sehingga amat menggelisahkan orang, mendorong-dorong orang untuk melaksanakan hasrat yang mencari pemuasan itu?

Nafsu birahi, seperti nafsu apa pun juga yang bisa meliputi batin, datang dari pikiran kita sendiri, datang dari ingatan atau kenangan. Memang ada naluri jasmaniah yang bergerak sesuai dengan kewajaran, yang menggerakkan atau menyentuh birahi demi kepentingan perkembangan dan pembiakan, mendekatkan jantan dan betina, pria dengan wanita satu sama lain berikut daya tarik masing-masing.

Akan tetapi, hasrat yang timbul dari daya tarik jasmaniah ini sungguh tidak sama dengan nafsu birahi yang menggerogoti batin dari sebelah dalam, karena nafsu birahi ini, seperti nafsu-nafsu lain, digerakkan oleh pikiran. Pikiran mencatat sebagai ingatan hal-hal yang dianggap atau dirasakan sebagai hal yang menyenangkan, yang menimbulkan nikmat, dan ingatan ini yang menghidupkan lagi pengalaman atau pengalaman orang lain yang dikenal itu, yang dianggap nikmat dan menyenangkan sehingga selalu timbul keinginan untuk mengulang, atau ikut mengalami, merasakan sendiri hal yang dibayangkan sebagai hal nikmat menyenangkan itu.

Pikiran menciptakan si aku yang ingin menikmati, ingin selalu mengulangi kesenangan dan menjauhkan penderitaan. Nafsu birahi tak mungkin timbul tanpa adanya pikiran yang membayang-bayangkan hal yang dianggap nikmat menyenangkan itu. Jadi, pikiran yang mengingat-ingat dan mengenang, membayangkan, merupakan pupuk yang menyuburkan nafsu birahi.

Tentu saja tidak mungkin untuk menghalau nafsu yang timbul dengan paksaan, dengan kemauan atau dengan pelarian. Memang mungkin berhasil, akan tetapi hasil ini hanya sementara saja dan nafsu itu akan timbul kembali sewaktu-waktu, kemudian akan kita usir, datang lagi, usir lagi maka kita terseret ke dalam konflik yang terus menerus antara kedatangan nafsu dan pengusirannya.

Apa bila nafsu birahi datang menyerang biasanya kita hanya melakukan satu di antara dua hal. Pertama, tunduk dan bertekuk lutut menyerah lalu membiarkan diri dibawa ke mana pun, dibuai nafsu yang menuntut pemuasan, maka terjadilah perjinahan, permainan cinta dengan cara apa pun juga demi pelampiasan nafsu kita yang pada tingkat terakhir hanya akan mendatangkan penyesalan dan kekecewaan belaka.

Ke dua, sesudah kita maklum bahwa pemuasannya hanya mendatangkan penyesalan, atau setelah kita yakin dari pelajaran bahwa nafsu itu tidak baik dan sebagainya, kita lalu menolaknya, kita melarikan diri dari padanya, atau kita berusaha sedapat mungkin untuk mengusirnya. Yang pertama akan membuat kita menjadi manusia hamba nafsu yang akhirnya membuat kita menjadi orang yang lemah lahir batin, sedangkan yang ke dua akan menyeret kita ke dalam lingkaran setan dari konflik yang terus menerus.

Mengapa kita tidak pernah menghadapi nafsu seperti apa adanya, memandangnya, dan mengamati nafsu itu yang bukan lain adalah pikiran kita sendiri, yang bukan lain adalah kita sendiri? Mengapa kita tidak mempelajari diri sendiri, apa yang terjadi dalam benak kita, di dalam hati dan perasaan kita, yang berhubungan dengan nafsu itu? Mengapa kita hendak melarikan diri?

Pelarian diri tidak mungkin sama sekali, karena betapa mungkin kita lari dari nafsu, yang sesungguhnya adalah kita sendiri, betapa mungkin kita lari dari diri sendiri? Siapa yang hendak lari itu? Siapa yang hendak mengusir nafsu itu? Yang mengusir adalah kita sendiri, yang diusir juga kita sendiri, betapa mungkin? Pikiran hendak mengusir akibat dari pikiran sendiri!

Kenapa kita tidak pernah mencurahkan perhatian terhadap nafsu ketika ia timbul, hanya memandangnya dengan penuh kewaspadaan serta kesadaran, tanpa pamrih sedikit pun untuk mengusir atau untuk melarikan dari padanya, tanpa menolak atau pun menerima kehadirannya, melainkan memandang saja dengan penuh perhatian dan kewaspadaan? Pengamatan inilah yang akan menciptakan kewaspadaan dan pengertian! Pengamatan tanpa pamrih ini yang akan menimbulkan perubahan, bahkan melenyapkan nafsu tanpa ada yang mengusirnya!

Demikian pula dengan halnya Sin Liong. Seperti juga orang lain, seperti kebanyakan di antara kita, dia ingin melarikan diri dari nafsu yang mencekamnya, ingin mengusir nafsu itu karena dia menganggap bahwa nafsu yang menguasainya itu tidak baik, melanggar tata susila dan sebagainya. Memang akhirnya dia berhasil, akan tetapi dia merasa lelah lahir batin ketika lewat tengah malam dia kembali ke kamarnya, dengan badan dan batin lemas, seolah-olah dia habis berkelahi melawan musuh yang amat kuat.

Dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan memang dia dapat juga tertidur pulas, namun di dalam tidurnya itu sang nafsu birahi masih terus melanjutkan sepak terjangnya dalam bentuk impian!

Sin Liong bermimpi dan dalam mimpi itu dia bertemu dengan Gu-siocia, yang membujuk rayu dia, dan berbeda dengan kenyataannya di sore tadi, dalam mimpi itu dia menyambut dara itu dengan gembira, segera memeluk dan menciuminya. Dalam keasyikan bercinta, kesenangan bermain cinta seperti yang belum pernah dirasakan sebelumnya, tapi hanya dibayangkannya saja itu, tiba-tiba kesadarannya melawan lagi dan Sin Liong terbangun. Tubuhnya penuh keringat dan celananya menjadi basah!

Mimpi adalah kelanjutannya dari keadaan batin kita di siang harinya, baik siang hari tadi, kemarin atau beberapa tahun yang lampau. Keadaan sehari-hari yang menggores kalbu, yang mendatangkan kesan, terukir dalam-dalam di batin kita dan batin yang memerlukan ketenangan dan pengosongan dari isinya yang padat itu, mencari penyelesaiannya sendiri dalam bentuk mimpi.

Sin Liong duduk terengah-engah, tubuhnya terasa lelah kehabisan tenaga, akan tetapi dia merasa lega, seolah-olah persoalan yang menekan hatinya kini telah selesai dan beres. Setelah membersihkan diri, dia lalu tidur lagi dan sekali ini tidurnya pulas tanpa gangguan apa pun, termasuk celana basah.

                  ***************

Pada keesokan harinya, Han Houw muncul dengan wajah berseri dan kedua lengannya memeluk pinggang ramping dua orang di antara lima pelayan wanita yang sejak kemarin melayaninya. Tidak nampak Gu-siocia di antara mereka.

Sesudah melihat Sin Liong keluar dari kamar dan sudah berpakaian rapi karena pagi tadi Sin Liong sudah bangun dan mandi kemudian bertukar pakaian, pangeran itu mencium mulut kedua orang itu bergantian, ciuman yang membuat Sin Liong berpaling membuang muka.

"Ha-ha-ha, kalian manis sekali dan akan kuingat kalian. Sekali waktu aku akan menyuruh utusan menjemput kalian menjadi selir-selirku. Nah, pergilah, sampaikan kepada Gu-taijin bahwa kami akan berangkat pagi ini, agar disediakan dua ekor kuda yang terbaik." Sambil tertawa pangeran itu mendorong dua orang dara pelayan yang tersenyum dengan muka berseri itu dan mereka pergi dari situ sambil berlari kecil, seperti dua ekor kupu-kupu yang indah beterbangan di atas bunga-bunga.

"Ha-ha, pilihanku tepat, Liong-te. Mereka berdua itu adalah gadis-gadis yang mulus dan manis, menyenangkan sekali. Kalau sudah ada kesempatan, tentulah aku akan mengirim utusan untuk menjemput mereka." Kemudian pangeran itu menatap ke wajah Sin Liong dengan alis berkerut. "Liong-te, kenapa kau begitu bodoh? Benarkah katamu malam tadi bahwa engkau belum pernah berdekatan dengan wanita?"

Sin Liong menggelengkan kepala dan cepat dia berkata untuk mengalihkan percakapan dari dirinya. "Dan yang lain-lain... Gu-siocia itu, ke mana? Kenapa dia tidak bersamamu, Houw-ko?"

Pangeran itu tertawa. "Aku bukan orang bodoh, Liong-te, dan aku paling benci kepada wanita yang palsu."

"Maksudmu?"

"Nona Gu itu sengaja hendak menyerahkan dirinya dalam pamrihnya untuk menjadi selir seorang pangeran, bahkan orang tuanya juga ikut mendorongnya. Aku tidak sudi dijebak seperti itu. Kalau dua orang dara pelayan itu lain lagi, mereka menyerahkan diri karena memang suka padaku. Sudahlah, engkau tentu tidak mengerti. Mari kita siap-siap untuk berangkat. Nah, itu Gu-taijin datang sendiri!"

Pembesar itu memberi hormat kepada Han Houw, akan tetapi biar pun sikapnya masih tetap ramah-tamah dan sopan santun, Sin Liong melihat adanya kekecewaan membayang pada wajah pembesar ini. Dia tidak tahu benar apakah kekecewaan itu ada hubungannya dengan penolakan Han Houw terhadap puterinya!

Tidak lama kemudian, dua orang pemuda itu melanjutkan perjalanan, menunggang dua ekor kuda baru pilihan, keluar kota dan melanjutkan perjalanan ke utara.

                 ***************

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 22



NAMA Raja Sabutai sangat terkenal di seluruh Tiongkok dan di luar tembok besar. Bagi para suku bangsa pengembara, nama ini dikenal sebagai seorang raja besar yang pernah menaklukkan hampir seluruh bangsa pengembara, menyusun kekuatan yang amat besar terdiri dari suku-suku bangsa yang dipersatukan.

Bagi kerajaan di Tiongkok, nama Raja Sabutai juga tak kalah terkenalnya. Siapakah yang tidak mengenal raja liar yang dulu pernah menawan mendiang Kaisar Ceng Tung bahkan kemudian pernah menyerbu masuk ke selatan, melewati tembok besar, bahkan jauh ke selatan dan pernah menjebolkan pertahanan kota raja? Walau pun akhirnya pasukan liar yang dipimpin Raja Sabutai itu berhasil dipukul mundur, namun namanya masih ditakuti dan banyak orang merasa seram dan ngeri apa bila mengingat akan keganasan pasukan Raja Sabutai ketika menyerbu ke selatan.

Bukan hanya terkenal di kalangan suku bangsa pengembara di luar tembok besar serta terkenal di sebelah dalam tembok besar sebagai raja liar yang ganas dan kuat, namun nama Sabutai ini bahkan terkenal pula di dalam dunia persilatan, di kalangan kang-ouw, terutama sekali di wilayah utara, karena selain Sabutai merupakan seorang raja, dia juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang lihai sekali, yang kepandaiannya sejajar dengan tingkat para datuk persilatan, karena raja itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko.

Bahkan di waktu mudanya, Sabutai pernah pula menggegerkan dunia persilatan dengan mengalahkan banyak tokoh kang-ouw terkenal sehingga namanya menjadi amat terkenal di dunia kang-ouw. Akan tetapi di samping itu semua, dia pun terkenal sebagai seorang raja yang royal terhadap tokoh-tokoh dunia kang-ouw dan dapat menghargai orang-orang kang-ouw sehingga diam-diam dia disuka dan dihormati, terutama sekali oleh golongan hitam atau kaum sesat.

Inilah sebabnya maka ketika terdengar berita bahwa Raja Sabutai mengundang seluruh orang kang-ouw yang berilmu tinggi untuk memasuki pemilihan guru silat untuk mengajar kepada pangeran putera raja itu, banyak orang pandai meninggalkan sarang atau tempat pertapaan mereka untuk pergi ke utara, keluar dari tembok besar. Mereka yang mengejar kedudukan, kemuliaan dan harta, tentu saja mengandung niat untuk memasuki pemilihan jagoan agar dapat dipilih menjadi guru silat.

Akan tetapi kebanyakan di antara mereka hanya datang ke tempat jauh itu karena tertarik dan hendak menonton. Setiap ada kesempatan di mana orang-orang yang berilmu tinggi datang dan saling bertemu, pasti dunia kang-ouw akan menjadi gempar sehingga banyak orang datang hanya untuk berkenalan, nonton adu silat, dan meluaskan pengetahuan dan pengalaman.

Maka, pada waktu hari pemilihan guru silat itu sudah makin mendekat, setiap hari tampak banyak orang menyeberangi tembok besar menuju ke utara, dan mereka ini tentu saja hanyalah orang-orang kang-ouw yang ingin mengunjungi tempat pemilihan guru silat itu, yaitu di Lembah Naga. Jika bukan orang kang-ouw yang memiliki kepandaian dan sudah biasa melakukan perjalanan jauh yang sukar, tentu tidak berani melakukan perjalanan yang selain jauh juga melalui daerah-daerah berbahaya itu.

Sebagian besar dari para tokoh kang-ouw itu adalah orang-orang daerah utara, karena tokoh-tokoh kang-ouw daerah selatan, terutama sekali yang bukan tergolong sesat, tentu saja tidak sudi untuk membantu orang asing, apa lagi bekerja kepada Raja Sabutai yang merupakan musuh rakyat dan negara. Kalau ada juga di antara mereka yang ikut datang, semata-mata mereka itu hanya tertarik dan ingin nonton adu kepandaian tingkat tinggi.

Ceng Han Houw dan Sin Liong melakukan perjalanan cepat dan mereka jarang berhenti, bahkan tidak pernah pula Han Houw bersenang-senang seperti yang dilakukannya ketika dia berada di rumah pembesar Gu, karena waktunya sudah amat mendesak dan dia pun merasa khawatir kalau-kalau dia akan datang terlambat. Maka dia bersama Sin Liong membalapkan kuda, dan setiap berhenti di sebuah kota hanya untuk meminta ganti kuda kepada pembesar setempat yang melayani pangeran ini dengan segala kehormatan.

Ketika mereka sudah melewati tembok besar, Sin Liong mulai mengenal daerah liar yang mendebarkan hatinya. Teringatlah dia akan perjalanannya pada saat keluar dari Lembah Naga, dibawa oleh Kim Hong Liu-nio sebagai tawanan, bersama dengan Han Houw ini, sampai dia dirampas oleh Tok-ong Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang, dan mulailah dia dengan perjalanannya ke selatan sampai akhirnya dia menjadi murid Ouwyang Bu Sek, atau lebih tepat lagi, menjadi sute dari kakek aneh itu karena dia bersama kakek itu menjadi murid dari guru mereka yang belum pernah dikenal oleh Sin Liong, yaitu kakek manusia dewa yang hanya baru dikenal namanya dari suheng-nya itu, yakni Bu Beng Hud-couw yang katanya bermukim di puncak Himalaya sebagai orang suci atau dewa!

Apa lagi ketika dia tiba di Rawa Bangkai, di sebelah selatan Lembah Naga, teringatlah dia akan semua pengalamannya pada waktu kecil karena daerah ini amat dikenalnya. Akan tetapi kini sejak dari Rawa Bangkai sudah nampak penjaga-penjaga, yaitu prajurit-prajurit dari pasukan Raja Sabutai, yang menjaga dengan tertib dan gagah, selain menjaga tapal batas itu, juga sekalian sebagai penghormatan terhadap para tamu yang hendak datang berkunjung berkenaan dengan adanya sayembara pemilihan guru silat. Karena itu tidak seperti biasanya, kini para penjaga itu berpakaian seragam baru yang gagah berkilauan, dengan tombak di tangan, dan bendera-bendera tanda kebesaran Raja Sabutai berkibar di mana-mana.

Ketika para penjaga itu melihat datangnya Ceng Han Houw yang mereka kenal sebagai Pangeran Oguthai, mereka menyambut dengan gembira sekali. Sambil memberi hormat mereka berseru, "Hidup Pangeran Oguthai!"

Wajah para prajurit yang tadinya kaku dan gelap, seketika menjadi terang penuh seri dan senyum, bahkan beberapa orang lalu cepat-cepat menunggang kuda untuk mengabarkan kedatangan pangeran ini ke Lembah Naga. Oguthai atau Ceng Han Houw tersenyum dan melambai ke kanan kiri menerima sambutan dan penghormatan anak buah ayahnya, dan ketika ada beberapa orang perwira tinggi besar yang gagah menyambut, diam-diam Sin Liong merasa kagum akan keagungan kakak angkatnya itu.

Pada waktu para perwira tua muda itu mengerumuni Han Houw, memberi hormat dan menyambutnya dengan berbagai cara, bicara dengan ramainya dalam bahasa utara yang dimengerti pula oleh Sin Liong karena anak ini sejak lahir berada di daerah ini, tiba-tiba Han Houw berkata lantang,

"Heiii... para perwira..., kalian beri hormat kepada Liong Sin Liong ini! Dia ini adalah adik angkatku!"

Semua perwira mengangkat alis dan membelalakkan mata, terkejut mendengar ini lantas mereka tergesa-gesa memberi hormat kepada Sin Liong sambil memohon maaf karena mereka tidak tahu bahwa Liong-kongcu ini adalah adik angkat dari Pangeran Oguthai! Dihormati secara berlebihan itu, Sin Liong juga merasa kikuk bukan main dan membalas penghormatan mereka, dipandang oleh Han Houw yang tertawa bergelak karena melihat kekikukan Sin Liong.

Ketika melihat banyaknya orang kang-ouw berbagai suku bangsa berbondong datang ke tempat itu, Sin Liong lalu menarik tangan Han Houw, diajak ke pinggir agar pembicaraan mereka tidak terdengar orang lain, kemudian dia berkata,

"Harap kau maafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat ikut bersamamu ke Lembah Naga."

Han Houw memandang heran. "Ehh, kenapa begitu, Liong-te? Jauh-jauh kau sudah ikut bersamaku ke sini, dan sekarang sesudah hampir memasuki Lembah Naga, engkau tidak mau melanjutkan? Kenapa sih?"

Sukar bagi Sin Liong untuk berbicara terus terang. Tentu saja selama ini dia tidak pernah dapat melupakan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li. Kim Hong Liu-nio telah membunuh ibu kandungnya, Kim Hong Liu-nio pernah menyiksanya dan nyaris membunuhnya, juga Kim Hong Liu-nio bersama Hek-hiat Mo-li sudah menyebabkan kematian kongkong-nya, yaitu Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, kakeknya yang amat dihormat dan disayangnya itu.

Sekarang, biar pun dia telah menjadi adik angkat Han Houw, biar pun kakak angkatnya itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan sute dari Kim Hong Liu-nio, bagaimana mungkin dia bisa bertemu dengan dua orang musuh besarnya itu tanpa menyerang mereka? Memang dia sudah mengambil keputusan untuk tidak menyerang dua orang itu di hadapan Han Houw melainkan mencari kesempatan bertemu dengan mereka di luar tahu Han Houw agar dia boleh membuat perhitungan tanpa menyinggung perasaan kakak angkatnya. Akan tetapi, tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus bicara terus terang kepada Han Houw.

"Maaf, Houw-ko, akan tetapi aku tidak suka ramai-ramai, aku tidak suka dikenal sebagai adik angkatmu lalu dihormati secara berlebihan. Selain itu, aku tidak suka dengan segala peraturan dan peradatan, aku akan merasa canggung dan kikuk bila berhadapan dengan ayahmu, seorang raja. Maka biarlah aku ikut bersama para penonton, dan aku... aku ingin sekali pergi mengunjungi hutan-hutan dan penghuni hutan, bekas teman-temanku. Aku ingin bebas dan sendirian di daerah ini, Houw-ko."

Han Houw mengangguk-angguk. Dia maklum akan perasaan adiknya itu. Dia juga telah mendengar bahwa ketika masih bayi, anak ini diasuh oleh monyet-monyet hutan, maka kalau kini dia merasa rindu akan hutan dan isinya, dia dapat memakluminya. Pula, kalau ayahnya mendengar bahwa dia mengambil seorang anak biasa sebagai adik angkatnya, tentu akan timbul banyak pertanyaan dan hatinya akan kecewa dan merasa tidak enak kalau ayahnya tidak menyetujui pengangkatan saudara itu.

"Baiklah, Liong-te. Akan tetapi jangan lupa untuk menemui aku, karena sesudah selesai menyaksikan pemilihan, aku pun harus kembali lagi ke selatan, ke kota raja menghadap kakanda kaisar, melaporkan perjalananku ke selatan. Dan kita akan melakukan perjalanan bersama lagi ke selatan, menyeberang tembok besar."

Girang sekali hati Sin Liong mendengar jawaban ini. Kakak angkatnya ini memang sangat bijaksana!

"Terima kasih, Houw-ko. Nah, aku pergi dulu."

"Eh, kenapa engkau tidak membawa kudamu? Bawalah, agar engkau tidak terlalu capai."

Sin Liong tersenyum, dan makin berat hatinya untuk menyinggung hati kakak angkatnya ini yang sering sudah memperlihatkan rasa sayang kepadanya. Dia mengangguk, lalu meloncat naik ke atas punggung kuda dan melarikan kudanya, setelah dua kali menoleh ke arah Han Houw yang memandangnya sambil tersenyum.

Sin Liong membalapkan kudanya memasuki hutan. Dia mengambil jalan simpangan, jalan melalui hutan-hutan dan padang-padang rumput yang sudah dikenalnya benar, menuju ke suatu tempat di daerah Lembah Naga, yaitu tanah kuburan yang biasanya dipakai untuk memakamkan seorang di antara para pembantu ayah angkatnya bila ada yang meninggal dunia.

Dia ingin mencari kuburan ibu kandungnya! Dan karena ibu kandungnya tewas di tangan Kim Hong Liu-nio, maka tentu saja dia tidak dapat berterus terang kepada Han Houw. Pula, dia khawatir kalau sampai bertemu dengan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li, dia tidak akan kuat menekan kemarahan hatinya.

Tidak sukar baginya untuk menemukan makam ibunya, karena di antara beberapa buah makam yang tak banyak jumlahnya itu dia melihat makam di mana terdapat batu nisannya yang bertuliskan huruf-hurut ukiran yang cukup indah karena ditulis oleh Kui Hok Boan yang pandai menulis. Di situ terukir nama Liong Si Kwi atau nyonya Kui Hok Boan!

Sin Liong yang telah mengikat kudanya pada sebatang pohon, sekarang berdiri di depan makam itu, sebuah makam yang terlantar dan tidak terpelihara karena siapa yang akan memeliharanya setelah keluarga Kui diharuskan pergi dari Lembah Naga? Kini makam itu penuh dengan rumput tebal dan tanaman liar.

Hingga lama Sin Liong berdiri termenung memandangi rumput-rumput tebal itu, kemudian terbayanglah wajah ibu kandungnya yang selalu bersikap lembut kepadanya. Sama sekali dia tidak merasa berduka, tidak merasa terharu, hanya merasa marah sekali, marah dan dendam kepada Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li!

Akan tetapi dia juga merasa tidak enak sekali kepada Ceng Han Houw yang begitu baik padanya, bahkan yang sudah pernah menyelamatkan dia dan mengorbankan nyawa anak buahnya sendiri, yaitu Hek-liong-ong untuk menyelamatkannya. Memang betul Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li hutang nyawa ibu kandungnya dan kakeknya kepadanya, akan tetapi dia pun hutang budi kepada Han Houw dan tidak semestinya kalau dia menyakitkan hati Han Houw. Oleh karena itu, dia harus bersabar, dia harus menanti kesempatan dapat bertemu berdua atau bertiga saja dengan dua orang musuh besarnya itu, di luar tahu Han Houw!

"Ibu...!" Dia berbisik. Sin Liong kemudian mempergunakan kedua tangannya untuk membersihkan tempat itu, mencabuti rumput-rumput dan tanaman liar yang tumbuh di atas makam sampai makam itu kelihatan bersih.

Setelah membersihkan makam ibunya dan berlutut di depan makam, Sin Liong kemudian bangkit dan meninggalkan makam, meloncat ke atas punggung kudanya dan memasuki hutan di mana dahulu dijadikan tempatnya bermain bersama para monyet besar. Begitu memasuki hutan, Sin Liong merasa gembira sekali. Ingin dia melepaskan pakaiannya dan berloncatan dari pohon ke pohon seperti dahulu!

Dan dia merasa malu sendiri duduk di atas punggung kuda besar yang sudah berkeringat itu. Dia meloncat turun, menurunkan pelana dan buntalan pakaian, melepaskan kendali dan membiarkan kuda itu bebas, lalu menepuk pinggul kuda itu.

"Nah, kau boleh bebas bermain-main di sini!" katanya.

Kuda itu lari congklang dan lenyap di sebuah tikungan, di antara pohon-pohon. Sin Liong tertawa, lalu dia meloncat ke atas sebuah pohon besar, menaruh pelana, kendali serta buntalan di atas pohon, di antara cabang-cabang yang tinggi, kemudian dia berloncatan dari dahan ke dahan, dari pohon ke pohon, mencari-cari teman-temannya!

Akan tetapi Sin Liong merasa kecewa. Ketika dia bertemu dengan segerombolan monyet, mereka itu memekik dan memperlihatkan taring, bahkan mereka lalu melarikan diri ketika didekatinya. Mereka tidak mengenainya lagi!

Ahh, tentu saja, pikirnya. Pada waktu dia masih bermain-main dengan mereka, dia adalah seorang anak kecil dan kini dia sudah menjadi seorang pemuda, dan monyet-monyet itu sesudah terlalu sering mendapat gangguan dari orang-orang dewasa, dari para pemburu, maka tentu saja mereka menganggap setiap orang manusia dewasa merupakan musuh mereka.

Bagaimana pun juga, Sin Liong merasa senang sekali berada di dalam hutan-hutan yang amat dikenalnya itu. Dia merasa seolah-olah menemukan dunianya kembali, sebab itu dia merasa enggan untuk meninggalkannya lagi. Oleh karena itu, seakan-akan dia telah lupa akan waktu, pemuda itu telah berkeliaran di dalam hutan-hutan itu selama tiga hari tiga malam!

Dia tentu masih akan terus berkeliaran di dalam hutan itu, entah untuk berapa lamanya, makan buah-buahan dan memanggang daging binatang-binatang hutan, tidur di puncak pohon-pohon besar, kalau saja pada pagi hari ke empat itu sesudah matahari naik tinggi dia tidak mendengar suara hiruk-pikuk dari jauh di sebelah utara ketika dia sedang duduk di antara daun-daun di atas pohon.

Sin Liong terkejut dan segera dia memperhatikan suara itu. Maka tahulah dia bahwa itu adalah suara banyak orang yang bersorak-sorak gembira, seolah-olah sedang menonton sesuatu yang menyenangkan sekali. Teringatlah dia akan sayembara pemilihan guru silat yang diadakan oleh raja di situ, ayah dari Ceng Han Houw! Baru dia teringat bahwa telah tiga hari tiga malam dia berada di dalam hutan-hutan itu, dan bahwa kedatangannya di daerah itu adalah karena terbawa oleh pangeran itu.

Sin Liong meloncat turun dari atas pohon, membereskan pakaian dan rambutnya, lantas dia berjalan cepat keluar dari hutan menuju ke arah suara yang terdengar dari jauh itu. Tak lama kemudian tibalah dia di Lembah Naga dan dari jauh saja sudah nampak olehnya sebuah panggung besar dan kokoh kuat dibangun di depan Istana Lembah Naga dan di atas panggung itu nampak dua orang sedang bertanding dengan hebat dan serunya.

Di depan istana itu nampak banyak kursi dan di sana duduk seorang laki-laki tinggi besar berpakaian indah dan mewah, mukanya penuh cambang bauk, muka yang gagah perkasa dan melihat Han Houw duduk di dekatnya bersama seorang wanita cantik jelita berusia kurang lebih empat puluh tahun, maka Sin Liong dapat menduga bahwa tentulah laki-laki gagah yang usianya kurang lebih enam puluh tahun itu adalah ayah Han Houw, raja di daerah itu yang bernama Sabutai.

Di sekeliling raja ini duduk banyak sekali orang, jumlahnya tidak kurang dari tiga puluh orang, dan di luar panggung terdapat banyak penonton yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Akan tetapi banyak pula terdapat orang-orang Han yang aneh-aneh, ada yang berpakaian seperti hwesio yang kepalanya gundul, seperti saikong, seperti tosu dan seperti pertapa, dan banyak pula yang pakaiannya jembel seperti pengemis, seperti para ahli dan guru-guru silat dan lain-lain.

Mereka inilah yang bersorak-sorak, karena mereka ini adalah yang orang-orang kang-ouw yang paling suka menonton orang mengadu kepandaian silat, sedangkan pada saat itu, dua orang yang bertanding di atas panggung memiliki kepandaian tinggi yang seimbang sehingga pertandingan itu amat seru dan menegangkan.

Kini Sin Liong sudah tiba di bawah panggung, menyelinap di antara para penonton yang berjubelan itu, menjaga supaya jangan terlalu dekat dengan tempat duduk raja dan Han Houw agar jangan sampai pangeran itu melihatnya. Kini mulailah dia memperhatikan dua orang yang sedang bertanding di atas panggung itu. Seorang pendeta Lama bertubuh tinggi besar seperti raksasa sedang bertanding melawan seorang laki-laki setengah umur yang pakaiannya seperti seorang tosu.

Pendeta Lama itu, seperti biasa para pendeta Lama dari Tibet, berkepala gundul dan memakai jubah lebar berwarna kuning. Ilmu silatnya bersifat keras dan mengandalkan tenaga yang kuat, gerakan kedua tangannya yang memukul demikian dahsyat sehingga mengeluarkan angin yang bersiutan, dan gerakan tubuhnya juga gesit dan bertenaga kuat sehingga jubah kuning itu berkibar-kibar seperti layar perahu mendapat angin.

Gerakan kakinya memiliki gaya yang gagah, seperti kaki rajawali yang sedang bertanding, ada kalanya berlompatan tetapi kadang-kadang kaki itu melakukan tendangan-tendangan dahsyat, langkahnya lebar-lebar dan sering kali pendeta Lama itu berdiri di atas ujung jari jemari kakinya hingga tubuhnya yang sudah jangkung itu menjadi makin tinggi. Diam-diam Sin Liong mengagumi gaya ilmu silat Pendeta Lama itu, karena memang gagah sekali dan sungguh sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar.

Akan tetapi lawannya, tosu yang tubuhnya sedang itu, juga amat lihai. Dia memiliki gaya yang berlawanan dengan pendeta Lama itu. Melihat betapa lawannya banyak menyerang dari atas, mengandalkan jangkungnya dan lengannya yang panjang, tosu itu banyak main di bawah, seperti seekor ular yang menghadapi serangan rajawali.

Dua kakinya melangkah gesit dan cepat bukan main, tubuhnya menyelinap ke sana sini menghindarkan semua serangan lawan, dan mendadak dia membalas serangan-serangan itu dari bawah dengan sama kuatnya, sungguh pun gerakannya lebih halus dan pukulan-pukulannya kelihatan tidak bertenaga, namun Sin Liong maklum bahwa tosu itu adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki pukulan mengandung tenaga dalam yang berbahaya.

Karena sifat ilmu silat kedua orang itu amat berlawanan, maka pertandingan itu kelihatan seru dan menarik bukan main. Yang amat menambah ketegangan adalah sikap sebagian penonton, yaitu kelompok tosu dan kelompok hwesio atau pendeta Lama yang agaknya saling bertentangan, menjagoi teman masing-masing yang sedang bertanding itu. Bahkan antara para tosu dan para pendeta berkepala gundul itu sudah saling pandang dengan mendelik dan saling mengamangkan tinju dengan sikap menantang!

Tentu saja sikap dua rombongan hwesio dan tosu yang saling bertentangan ini menambah tegang suasana. Dan sekarang tahulah Sin Liong bahwa memang terdapat persaingan atau permusuhan antara para hwesio atau para pendeta Lama itu dan para tosu.

Sin Liong tidak tahu bahwa memang terjadi persaingan hebat antara dua golongan ini. Pada waktu itu, Raja Sabutai merupakan kekuatan yang mulai menonjol di utara, bahkan raja ini pernah berhasil menyerang ke selatan, mempunyai tentara yang cukup kuat dan pengaruhnya makin besar di daerah utara itu. Oleh karena itu maka dua golongan ini mulai mengincar daerah ini untuk menjadi ladang penyebaran pelajaran agama masing-masing.

Memang amat mengherankan sekali bagi orang yang mau melihat kenyataan, akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa hal ini seperti ini, yaitu persaingan antara agama masih saja terjadi di mana-mana, di mana para penyebar agama saling merebutkan daerah untuk menyebar pelajaran agama masing-masing. Padahal inti pelajaran dari semua agama itu sendiri adalah sejalan, yaitu menjauhi kekerasan, menjauhi permusuhan, menghilangkan kebencian dan memupuk cinta kasih antara manusia!

Memang pada akhirnya, bukan agamanya yang menentukan, tetapi manusianya! Seperti juga segala sesuatu di dunia ini, baik itu benda-benda yang nampak mau pun yang tidak nampak, seperti ilmu agama, ilmu pengetahuan, ilmu silat mau pun ilmu surat, semua itu hanya merupakan alat bagi manusia dan baik buruknya semua itu tergantung kepada si manusia sendiri!

Tidak mungkin memupuk cinta kasih melalui kebencian, memupuk perdamaian melalui peperangan, memupuk kebaikan melalui kejahatan. Di dalam cara terkandung tujuan dan bukanlah tujuan menghalalkan segala cara. Cara yang jahat dan buruk tentu saja akan menghasilkan akhir yang jahat dan buruk pula, seperti juga pohon yang buruk tidak akan mungkin menghasilkan buah yang baik.

Akan tetapi sayang sekali, kita, atau rombongan tosu, dan Lama yang berada di sekitar panggung liu-tai itu, hanya mementingkan buahnya, hanya mementingkan akhir tujuan, sama sekali lupa akan pohonnya, lupa akan caranya, lupa akan tindakan mereka pada saat itu.

Pada waktu itu, memang banyak terdapat golongan-golongan agama yang sedang sibuk meluaskan pengaruh masing-masing. Tentu saja golongan-golongan ini hanya terdiri dari orang-orang yang hanya mengaku beragama, akan tetapi sebetulnya mereka itu adalah orang-orang yang ingin mengejar kesenangan melalui agama. Orang yang benar-benar beragama tidak mungkin mengejar sesuatu, tak mungkin mencari kesenangan untuk diri sendiri apa lagi kalau dalam mengejar kesenangan itu harus mencelakakan orang lain.

Oleh karena persaingan itu, maka ketika Raja Sabutai mengadakan sayembara memilih guru untuk puteranya, golongan-golongan agama yang ingin meluaskan pengaruhnya ini melihat terbukanya kesempatan baik untuk menanamkan pengaruh mereka ke daerah ini, maka mereka lalu berdatangan dan mengajukan jagoan masing-masing untuk merebutkan kedudukan itu.

Tentu saja sebagai orang-orang beragama mereka itu tak lagi mementingkan kedudukan atau harta, tetapi ingin memperlebar atau memperluas pengaruh untuk mengembangkan agama masing-masing melalui kedudukan sebagai guru dari putera Raja Sabutai. Dan bertemunya seorang pendeta Agama To dan pendeta Agama Buddha Lama di panggung lui-tai itu merupakan pertemuan antara dua golongan musuh lama yang selama ratusan tahun memang sudah saling mengejek dan saling menyalahkan ajaran masing-masing. Tentu saja masih banyak golongan agama lain yang saling bersaing pada masa itu, akan tetapi yang merupakan musuh bebuyutan adalah Agama To-kauw den Hud-kauw.

Sin Liong yang sejak kecil sudah menerima gemblengan orang-orang sakti dan memiliki dasar ilmu-ilmu silat tinggi, langsung melihat bahwa pertandingan antara kedua orang itu bukan hanya adu ilmu belaka, melainkan pertandingan yang dikuasai nafsu ingin menang, bila perlu dengan membunuh lawan, karena dia melihat betapa kedua fihak mengeluarkan serangan-serangan maut dengan pengerahan tenaga yang tidak dibatasi lagi.

Maka dia merasa tak senang dan tidak tertarik lagi, karena yang ditontonnya itu bukanlah pibu untuk mengadu kepandaian, melainkan orang berkelahi dengan hati dipenuhi dendam den kemarahan! Oleh karena itu, tidak seperti semua orang lain yang terus mencurahkan perhatian ke atas panggung, dengan hati tegang dan gembira seperti biasa orang-orang kang-ouw yang suka sekali akan adu silat bahkan makin keras dan seru makin baik bagi mereka, Sin Liong mulai mengalihkan perhatiannya dan pandang matanya menyapu ke kanan kiri di antara para penonton yang terdiri dari bermacam-macam orang itu.

Mendadak perhatian Sin Liong tertarik dengan sikap seorang laki-laki yang dianggapnya aneh. Semua orang mencurahkan perhatian mereka ke atas panggung, kecuali sebagian para tosu dan hwesio yang saling ejek dan saling ancam, akan tetapi dia melihat seorang laki-laki yang sikapnya amat mencurigakan.

Laki-laki ini memakai baju hitam, pakaiannya seperti seorang ahli silat, ringkas dan kedua matanya mengerling ke kanan kiri dengan tajam, seperti mata orang yang mempunyai niat buruk dan takut ketahuan orang. Laki-laki itu berusia sekitar enam puluh tahun, jenggot serta kumisnya pendek dan kaku, tubuhnya tegap dan dia berdiri sedikit membungkuk di antara penonton, kemudian dengan gerakan gesit dia menyelinap pergi.

Sin Liong terus memperhatikan orang itu sebab dia sempat melihat betapa orang itu telah mengeluarkan sebatang anak panah. Ujung anak panah itu mengeluarkan sinar kehijauan tanda bahwa anak panah itu ujungnya mengandung racun!

Bagi seorang kang-ouw, membawa senjata bukanlah hal yang aneh, dan andai kata sikap orang ini tidak mencurigakan hati Sin Liong, pemuda ini pun tentu akan menganggap hal itu wajar saja. Akan tetapi orang itu mengusik kecurigaan hatinya, maka diam-diam dia selalu membayangi orang itu dengan pandang matanya, bahkan kakinya mulai bergerak pula menyelinap di antara penonton pada saat dia melihat orang itu semakin mendekati panggung di mana duduk Han Houw dan keluarga raja.

Jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat laki-laki itu menggerakkan tangan dan sinar hijau menyambar ke depan ke arah Ceng Han Houw!

"Houw-ko, awas...!" Sin Liong cepat berseru nyaring sekali, mengatasi kegaduhan suara pertandingan di atas panggung dan para penonton.

Teriakannya itu menyadarkan Han Houw yang cepat bangkit berdiri, kemudian dengan tangkasnya pemuda bangsawan itu menggerakkan tangannya sambil miringkan tubuh, berhasil menangkap anak panah yang menyambar ke arahnya tadi.

Sin Liong meloncat ke atas, melemparkan orang yang tadi dia tangkap dan dia pegang tengkuknya tanpa orang itu mampu meloloskan diri atau melawan. Orang itu terbanting ke atas panggung di depan Han Houw.

"Dia inilah yang tadi melepas anak panah. Awas, anak panah itu beracun, Houw-ko!" kata Sin Liong.

Karena adanya keributan ini, otomatis dua orang yang sedang bertanding itu berhenti dan meloncat ke belakang, dan kini semua orang mengarahkan pandang mata mereka ke panggung tempat raja dan keluarga serta pembantu-pembantunya duduk.

"Ha-ha-ha, Liong-te, benarkah begitu? Jika begitu biar dia yang makan racunnya sendiri!" Han Houw menggerakkan tangannya dan anak panah itu segera meluncur secepat kilat, menancap ke pundak kanan orang berbaju hitam itu.

"Aughhhh...!" Orang itu memekik kesakitan dan tubuhnya berkelojotan, karena racun itu adalah racun Jeng-hwa-tok (Racun Kembang Hijau) yang amat ampuh dan kalau saja dia belum mempergunakan obat penawar, tentu dia tewas seketika. Betapa pun juga, racun itu masih mendatangkan rasa nyeri yang hebat.

"Hayo katakan, siapa engkau dan mengapa engkau menyerangku secara menggelap?" Han Houw membentak.

"Huh, kalau melihat anak panah beracun hijau, siapa lagi orang ini kalau bukan anggota Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau)?" Raja Sabutai berkata sambil mengelus-elus jenggotnya, girang melihat bahwa puteranya sudah sedemikian lihainya sehingga mampu menangkap anak panah yang dilepaskan untuk menyerangnya.

"Jeng-hwa-pang...?" Semua orang kang-ouw sangat terkejut mendengar ini dan mereka memandang penuh perhatian.

Melihat bahwa Raja Sabutai yang terkenal lihai itu telah dapat mengenalnya, maka orang berbaju hitam itu mengangguk dan berkata, sikapnya masih keras dan tidak mengandung rasa hormat atau takut,

"Benar, aku adalah anggota Jeng-hwa-pang dan kedatanganku ke sini tak ada urusannya dengan pemilihan guru silat, tiada hubungannya pula dengan kerajaan di sini. Aku datang untuk membalas dendam terhadap wanita iblis Kim Hong Liu-nio, akan tetapi karena aku tidak melihatnya di sini, maka aku tujukan panahku kepada dia yang menjadi sute dari wanita iblis itu!" sambil menahan rasa nyerinya laki-laki itu menuding ke arah Ceng Han Houw.

"Ahhh, kiranya masih ada lagi orang Jeng-hwa-pang yang masih hidup selain ketuanya? Ehh, orang yang bosan hidup. Mana dia Tok-ong Cak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang? Mengapa dia tidak datang sendiri memperlihatkan kebodohannya, akan tetapi mengutus orang tidak ada gunanya macam engkau?" Ceng Han Houw berseru sambil tersenyum mengejek.

"Aku sudah gagal oleh bocah setan itu!" Laki-laki berbaju hitam itu melotot ke arah Sin Liong yang masih berdiri di tepi. "Mau bunuh boleh bunuh, siapa takut mampus? Suheng Gak Song Kam pada suatu hari tentu akan membunuh engkau dan suci-mu, kau tunggu saja!"

"Heh-heh-heh, anjing dari mana ini menggonggong terus-menerus?" Tiba-tiba muncullah seorang nenek yang amat mengerikan.

Entah dari mana munculnya nenek ini dan semua orang memandang kepada nenek yang sudah berdiri di atas panggung itu sambil terkekeh mentertawakan orang Jeng-hwa-pang itu sambil menudingkan telunjuknya yang berkuku panjang sekali dan agak melengkung.

Nenek ini sudah tua sekali, tentu usianya sudah ada seratus tahun, punggungnya sudah bongkok dan tubuhnya kurus sekali seperti cecak kering. Kedua tangannya seperti cakar burung dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut. Wajahnya yang amat tua itu penuh kerut-merut, mulutnya seperti tidak ada bibirnya, hanya berupa garis melintang yang penuh keriput. Matanya juga hampir tidak nampak karena sangat dalam dan gelap sehingga orang tidak tahu apakah di rongga yang dalam itu ada bola matanya ataukah tidak.

Kalau orang bertemu dengan nenek ini di tempat sunyi apa lagi di waktu malam, dia tentu akan lari lintang-pukang karena seram dan menganggapnya siluman atau iblis. Akan tetapi di antara para tokoh kang-ouw ada yang mengenal nenek itu, dan tentu saja Sin Liong juga mengenalnya karena itulah seorang di antara dua musuh besarnya. Nenek itu adalah Hek-hiat Mo-li!

"Subo baru datang? Silakan duduk!" Raja Sabutai segera berkata saat melihat nenek itu.

Akan tetapi nenek itu tak menjawab, bahkan berkata lagi sambil terkekeh geli, "Heh-heh, anjing, kenapa tidak menggonggong lagi? Apakah racun Jeng-hwa-tok itu kurang manjur? Nah, kau coba rasakan racunku ini!"

Tiba-tiba saja Hek-hiat Mo-li menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu kuku jari tangan kirinya sudah menggores muka orang itu tanpa dapat dielakkannya, sedangkan tongkat butut itu tahu-tahu telah pindah ke tangan kanan.

Si baju hitam dari Jeng-hwa-pang itu sudah menderita hebat bukan main akibat pengaruh racun Jeng-hwa-tok di ujung anak panah yang menancap di pundaknya, akan tetapi rasa nyeri karena racun itu kalau dibandingkan dengan apa yang dideritanya saat ini, sungguh tidak ada artinya.

Dia merasa betapa tiba-tiba saja pipinya yang kena gores kuku itu menjadi gatal, rasa gatal yang makin menghebat, yang menggerogotinya dari kulit pipi terus masuk ke dalam, ke tulang-tulang pipi terus menjalar sampai ke seluruh muka dan kepala, seolah-olah ada ribuan semut menggerogoti daging-daging serta tulang-tulangnya. Rasanya gatal, pedih, ngilu dan sukar diceritakan bagaimana tepatnya karena seolah-olah segala macam rasa nyeri yang menimbulkan penderitaan berkumpul di situ.

Kiranya tak ada orang yang akan mampu menahan rasa nyeri seperti ini, rasa nyeri yang terlalu hebat namun tidak membuat dia pingsan, akan tetapi juga demikian luar biasanya sehingga tidak tertahankan lagi untuk tidak berteriak, bergulingan, mencakar-cakar muka sendiri dan orang Jeng-hwa-pang itu menjadi seperti gila! Mukanya telah habis dicakarnya sendiri, kulit mukanya pecah-pecah berdarah sehingga muka itu berubah merah seperti dicat, hidungnya remuk dicakar dan dicabiknya, bahkan kemudian, dalam usahanya untuk melenyapkan rasa gatal dan nyeri luar biasa itu, dia mempergunakan jari-jari tangannya untuk mencokel keluar kedua matanya!

Akhirnya, dengan suara pekik terakhir yang sungguh mengerikan, orang yang mukanya sudah tak karuan macamnya itu jatuh berkelojotan di atas panggung, lalu kaki tangannya merentang dan menegang, kaku dan mati!

Menyaksikan peristiwa yang sangat mengerikan ini, sang permaisuri, yaitu Puteri Khamila ibu Ceng Han Houw membuang muka dan Raja Sabutai segera memberi isyarat kepada para dayang dan pengawal untuk mengantar sang permaisuri memasuki Istana Lembah Naga. Juga semua orang yang hadir merasa ngeri bukan kepalang. Belum pernah mereka menyaksikan kekejaman seperti yang diperlihatkan oleh nenek tua renta itu.

Sin Liong sendiri diam-diam merasa menyesal bukan main. Meski pun si baju hitam tadi adalah seorang Jeng-hwa-pang dan utusan ketua Jeng-hwa-pang yang pernah menyiksa dan nyaris membunuhnya, juga walau pun orang tadi berusaha untuk membunuh kakak angkatnya, akan tetapi akhirnya orang itu tewas di bawah siksaan Hek-hiat Mo-li musuh besarnya. Jadi dialah yang sudah membantu musuh besarnya dan kematian orang itu di bawah siksaan keji itu sebagian adalah menjadi tanggung jawabnya.

Atas perintah raja, beberapa orang pengawal cepat turun tangan menyingkirkan mayat yang sudah tidak karuan mukanya itu dari atas panggung. Sementara itu, Hek-hiat Mo-li sudah berkata lantang kepada Raja Sabutai, suaranya masih nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang hadir di situ.

"Sri baginda, apa artinya ini? Saya mendengar bahwa sri baginda tengah mengumpulkan orang-orang tidak berguna ini untuk memilih seorang guru di antara mereka, guru yang akan melatih ilmu silat kepada putera paduka. Benarkah itu?"

Memang Raja Sabutai tidak memberi tahu akan sayembara itu kepada gurunya, Hek-hiat Mo-li. Nenek itu sudah tua, sudah setengah pikun dan wataknya aneh luar biasa, bahkan untuk mengajar Han Houw saja selama itu oleh nenek ini diserahkan kepada Kim Hong Liu-nio dan nenek itu tidak pernah melatih sendiri. Karena itu, Raja Sabutai menganggap bahwa nenek itu telah terlalu tua dan tidak tepat lagi untuk mengajarkan limu kepada Han Houw, maka tanpa memberi tahu dia mengadakan sayembara ini.

Dia sengaja tidak memberi tahu karena takut kalau gurunya itu akan merasa tersinggung. Siapa sangka, nenek yang dianggapnya pikun itu tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah panggung dan memperlihatkan kekejaman dan juga kelihaiannya di depan semua orang dan kini malah menegurnya di depan banyak orang dan menyebut para tamu kang-ouw itu sebagai orang tak berguna!

"Harap subo memaklumi," katanya lirih karena dia merasa tidak senang untuk berdebat dengan gurunya di depan banyak orang. "Memang aku mengadakan sayembara memilih guru untuk mendidik Pangeran Oguthai, karena aku tidak ingin merepotkan kepada subo yang sepatutnya beristirahat dan tidak diganggu."

"Jadi paduka menganggap saya sudah terlalu tua untuk menjadi guru pangeran? Hemm, saya mengerti bahwa memang paduka berhak mencarikan guru yang lebih pandai dari pada saya, akan tetapi hendak saya lihat apakah di antara tikus-tikus ini ada yang mampu menandingi saya. Hehh, kalian dua orang tosu dan Lama yang tadi bertanding! Apakah kalian berdua berani maju bersama untuk menandingi aku?" Nenek itu menantang dan menudingkan tongkat bututnya kepada tosu dan pendeta Lama yang tadi bertanding seru dan belum ada ketentuan menang kalahnya kemudian berhenti karena munculnya orang Jeng-hwa-pang.

Ditantang di hadapan begitu banyak orang, dua orang yang masih merasa penasaran itu tentu saja menjadi marah. Mereka merasa dihina oleh nenek kejam itu. Karena mereka tidak mau saling mengalah dan disangka takut, maka bagaikan berlomba keduanya telah meloncat naik lagi ke atas panggung dari kanan kiri, menghadapi nenek tua renta yang berdiri terbongkok-bongkok itu.

Mereka berdua tentu saja tidak berniat mengeroyok nenek itu, karena mereka adalah dua orang saingan yang sedang memperebutkan kedudukan guru pangeran. Namun karena nenek itu menyebut mereka berdua, maka mereka berloncatan naik untuk menunjukkan bahwa mereka tidak mengenal takut.

"He-he-he, betapa lucunya!" Hek-hiat Mo-li tertawa, memandang kepada mereka dengan sikap merendahkan. "Orang-orang semacam kalian ini hendak menjadi guru pangeran? Huh-huh, kebisaan apakah yang kalian miliki? Coba kalian tahan ini!"

Dan tiba-tiba tubuh yang bongkok dan kelihatan kurus kering dan lemah sekali itu sudah bergerak, tongkatnya merupakan sinar hitam menyambar ke kanan kiri dan dalam waktu yang singkat sekali Hek-hiat Mo-li telah melakukan serangan totokan dengan tongkatnya, masing-masing tiga kali ke arah tosu dan Lama itu!

Tosu dan pendeta Lama itu terkejut bukan main karena totokan tongkat itu mendatangkan hawa panas menyengat dan biar pun sudah tua renta, ternyata nenek itu memiliki gerakan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka, juga cepat sekali, maka mereka pun cepat-cepat menghindarkan diri. Tosu itu mempergunakan kelincahannya untuk mengelak, sedangkan pendeta Lama itu menggunakan kekuatannya untuk menangkis.

"Aduhhhh...!"

"Akhhhhh...!"

Tosu itu terhuyung karena meski pun sudah amat cepat dia mengelak, pundaknya tetap saja keserempet tongkat, sedangkan Lama itu pun terhuyung karena ketika lengannya menangkis, ada hawa panas yang amat hebat menerjangnya dari lengan lalu menjalar ke pundak.

"He-he-he, hanya begini saja jagoan-jagoan yang hendak menjadi guru pangeran?" ejek nenek itu dan kini dia menyerang lagi dengan hebatnya.

Memang tingkat kepandaian nenek ini jauh lebih tinggi dari pada tingkat kedua orang itu, maka meski pun mereka berdua berusaha sedapat mungkin untuk mengelak, akan tetapi lewat dua puluh jurus saja keduanya roboh terlempar ke bawah panggung dalam keadaan tewas. Tosu itu tertusuk ulu hatinya oleh ujung tongkat, ada pun Lama itu kena ditampar pelipisnya oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li yang mengandung tenaga sinkang yang ampuh sekali.

Gegerlah keadaan di tempat itu! Tidak ada yang mengira bahwa kini malah muncul guru dari Raja Sabutai sendiri yang menyebar maut di antara mereka yang hendak memasuki sayembara pemilihan guru!

Orang-orang kang-ouw itu menjadi penasaran, terlebih lagi rombongan tosu dan pendeta Lama. Mereka semuanya telah memandang ke atas panggung, akan tetapi pasukan Raja Sabutai telah menjaga dengan rapi dan teratur, menjaga kalau-kalau terjadi keributan dan pengeroyokan.

Akan tetapi nenek keriput itu masih tetap tenang-tenang saja sambil tersenyum-senyum mengerikan. Mulut ompong keriput itu tersenyum, akan tetapi bukan seperti senyum lagi jadinya.

"Hayo, masih ada lagi yang ingin menjadi guru pangeran? Naiklah, siapa yang sanggup melangkahi mayatku, baru boleh menjadi guru pangeran!" tantangnya.

Semua orang kang-ouw saling pandang dengan alis berkerut. Di antara mereka yang tadinya datang untuk mencoba-coba, tentu saja kini mundur teratur. Siapa orangnya yang mau mempertaruhkan nyawa hanya untuk menjadi guru, biar pun guru seorang pangeran? Apa lagi kalau harus bertanding mati-matian melawan nenek yang mengerikan dan yang lihai seperti iblis itu.

Mereka merasa penasaran sekali. Raja Sabutai mengumumkan pemilihan guru silat, lalu jauh-jauh mereka datang dari balik tembok besar, menempuh bahaya dan kelelahan, akan tetapi setelah sampai di sini mereka hanya dihadapkan kepada Hek-hiat Mo-li, datuk yang sudah amat terkenal tinggi ilmunya itu. Kalau mereka tahu akan begini jadinya, tentu saja mereka tak sudi menempuh jarak sejauh itu hanya untuk dihina! Maka, sambil bersungut-sungut mereka memandang Raja Sabutai, biar pun mulut mereka tak berani menyatakan sesuatu, namun pandang mata mereka mengandung protes.

"He-he-he-ha-ha, hayo, siapa yang berani lagi melawan Hek-hiat Mo-li? Majulah, majulah kalian pengecut-pengecut yang mengejar kedudukan, majulah!" Hek-hiat Mo-li seperti gila menantang-nantang, berjingkrak-jingkrak, menari-nari, dan tertawa-tawa di atas panggung sambil mengayun-ayunkan tongkatnya dan berputaran seperti anak kecil yang kegirangan dan merasa bangga sekali.

Raja Sabutai mengerutkan alisnya dan telah bangkit berdiri untuk menegur subo-nya dan mencegah nenek itu bersikap seperti itu, akan tetapi Han Houw yang melihat kemarahan ayahnya sudah berkata, "Ayah, biarkanlah. Aku pun tidak ingin mencari guru baru karena aku sudah memperoleh seorang guru yang hebat. Biarkan subo supaya dia tidak marah-marah."

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Sementara itu, pada saat melihat sikap nenek itu, di antara para tamu ada sebagian yang merasa jeri akan tetapi sebagian lagi merasa muak, maka berturut-turut pergilah mereka meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi! Melihat ini, Hek-hiat Mo-li terkekeh dan terus menantang-nantang,

"He-heh-heh, pengecut-pengecut hina. Siapa berani melawanku? Heh-heh, agaknya tidak ada seorang pun yang berani melawan Hek-hiat Mo-li!"

Rombongan tosu dan rombongan Lama telah mengangkat jenazah kawan masing-masing dan siap pergi pula dari tempat yang mulai kosong itu, sama sekali tidak mempedulikan ulah nenek gila di atas panggung.

"Hayo, siapa yang berani, siapa berani melawan Hek-hiat Mo-li! Apakah tak seorang pun di dunia ini yang berani melawanku?"

"Aku yang berani! Aku berani melawanmu!"

Semua orang yang masih belum meninggalkan tempat itu terkejut bukan main dan cepat memandang ke arah panggung di mana seorang pemuda telah berdiri tegak menghadapi nenek gila itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong!

Semenjak tadi pemuda ini sudah terbakar hatinya melihat musuh besarnya itu, lebih lagi menyaksikan kekejamannya. Kemudian, pada saat melihat kesombongannya menantang-nantang semua orang itu, dia tidak tahan lagi dan di luar kesadarannya dia telah meloncat ke hadapan nenek itu dari menyambut tantangannya.

Bukan hanya para sisa tamu yang memandang dengan hati terkejut dan heran, juga Raja Sabutai, keluarga beserta panglima-panglimanya terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak ke arah pemuda tanggung yang begitu berani mati menyambut tantangan Hek-hiat Mo-li yang sedang keranjingan itu.

"Liong-te, jangan...!" Han Houw juga terkejut sekali lantas berteriak, akan tetapi terlambat karena pada saat itu pula nenek Hek-hiat Mo-li sudah melakukan serangan maut setelah sesaat dia terbelalak kaget dan heran.

"Heh-heh, mampuslah, bocah!" bentaknya.

Tongkatnya sudah menyambar, disusul tamparan tangan kirinya. Dua serangan ini hebat sekali, keduanya mengandung hawa panas dari pukulan Hwi-tok-ciang (Tangan Racun Api) dan bahkan lebih hebat dari pada ketika nenek tadi menyerang tosu dan Lama. Hal ini adalah karena nenek itu marah sekali ditantang oleh seorang bocah, suatu hal yang dianggap sangat merendahkan dan menghinanya di hadapan orang banyak. Sebab itu dia menyerang hebat, dengan maksud untuk menghancurkan kepala dan memecahkan dada bocah yang lancang dan berani menghinanya itu.

"Krekk...! Plakk...!"

Pertemuan dua pasang tangan dan lengan itu akibatnya cukup mengejutkan. Keduanya terdorong ke belakang, bahkan nenek itu terhuyung dan tongkat bututnya patah menjadi dua potong! Pada waktu itu, Han Houw sudah meloncat dan menghadang di depan Sin Liong sambil berkata kepada Hek-hiat Mo-li yang masih terbelalak memandang kepada tongkatnya yang patah.

"Subo... tahan... jangan serang dia, dia adalah adik angkatku sendiri!"

Hek-hiat Mo-li tercengang. Dia merasa bagaikan mimpi. Ada bocah yang masih ingusan bukan saja sudah berani dan kuat menahan pukulan-pukulannya, bahkan mematahkan tongkatnya lantas membuatnya terdorong mundur dan terhuyung. Dadanya terasa sesak tanda bahwa lawan itu memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya!

"Adik angkatmu...? Heh, adik angkat macam apa ini...!" Dia mengomel, akan tetapi nenek itu meloncat jauh dan sebentar saja dia sudah lenyap dari pandangan mata, entah pergi ke mana.

"Maaf, Houw-ko, kesombongannya membuat aku lupa diri...," Sin Liong berkata kepada Han Houw, tidak peduli dengan pandang mata pangeran itu yang penuh kekaguman dan keheranan.

"Oguthai, siapakah dia itu?" Mendadak terdengar suara keras dan ternyata Raja Sabutai telah berdiri di belakang pangeran itu.

"Ayah, ini adalah Liong Sin Liong, adik angkatku."

"Adik angkat? Dia... dia hebat sekali..." Raja Sabutai memandang penuh keheranan dan kekaguman.

Sebagai murid tersayang dari Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko, tentu saja dia mengenal pukulan subo-nya tadi. Melihat betapa pemuda tanggung ini tidak hanya kuat bertahan terhadap pukulan itu, bahkan dapat menangkis hingga tongkat subo-nya patah dan subo-nya terdorong mundur, dia betul-betul merasa amat takjub. Dan kini mendengar bahwa bocah luar biasa ini adalah adik angkat dari puteranya, dia makin terheran-heran.

"Memang hebat dia, ayah. Dia adik angkatku dan juga suheng-ku."

"Hee? Bagaimana ini?" Raja itu bertanya heran.

"Kami sudah mengangkat saudara, dan karena dia lebih muda, maka dia adalah adik angkatku, akan tetapi karena aku akan belajar kepada gurunya, seperti kukatakan tadi bahwa aku telah mendapatkan seorang guru, maka dia pun terhitung suheng-ku."

"Ahh, begus sekali!" raja itu berseru girang. Melihat kelihaian pemuda tanggung itu yang sudah kuat melawan subo-nya, dia percaya bahwa guru yang didapatkan oleh puteranya itu tentu seorang yang sakti luar biasa. "Siapakah gurumu itu?"

"Aku belum diterima menjadi muridnya, akan tetapi aku ingin berguru kepadanya, ayah. Namanya adalah Bu Beng Hud-couw..."

"Ahh...?!" Raja Sabutai terbelalak kemudian memandang kepada puteranya seperti orang melihat setan di tengah hari. "Bu Beng Hud-couw? Akan tetapi itu... itu adalah nama tokoh dalam dongeng..."

"Akan tetapi buktinya, Liong-te sudah memperoleh ilmu yang hebat, bukan?" bantah Han Houw.

"Orang muda, benarkah..., benarkah engkau murid tokoh dongeng Bu Beng Hud-couw?" Raja Sabutai bertanya, suaranya mengandung ketidakpercayaan.

Sin Liong menjura. "Begitulah menurut keterangan suheng Ouwyang Bu Sek, sri baginda. Akan tetapi terus terang saja, saya sendiri belum pernah jumpa dengan suhu." Kemudian dia menoleh kepada Han Houw lantas berkata, "Houw-ko, maafkan aku, apa bila engkau masih banyak urusan di sini, aku hendak kembali dulu ke selatan."

"Ah, kenapa begitu tergesa-gesa, Liong-te? Aku mau minta bantuanmu," kata Han Houw sambil memegang lengan adik angkatnya.

"Bantuan apakah itu, Houw-ko?"

"Engkau tentu tahu bahwa selama ketua Jeng-hwa-pang masih berkeliaran maka nyawa dan keselamatanku terancam. Karena itu aku sendiri akan mencarinya dan harap engkau suka membantuku."

"Hemmm... kalau begitu baiklah," kata Sin Liong yang tidak mampu menolak karena dia juga tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang adalah seorang manusia keji, tidak kalah kejinya dibandingkan dengan Hek-hiat Mo-li atau Kim Hong Liu-nio, dan bahwa kegagalan utusan tadi tentu membuat ketua Jeng-hwa-pang itu penasaran dan akan turun tangan sendiri.

Terpaksa malam itu Sin Liong bermalam di Istana Lembah Naga, membiarkan Han Houw bertemu dengan ayah bundanya dan menceritakan segala pengalamannya. Raja Sabutai, dan terutama sekali permaisurinya, Ratu Khamila, merasa girang dan bangga bukan main mendengar bahwa Ceng Han Houw kini secara resmi sudah menjadi pangeran Kerajaan Beng-tiauw, menjadi saudara yang terkasih dari kaisar yang baru, yaitu Kaisar Ceng Hwa. Bahkan putera mereka itu menjadi utusan pribadi kaisar untuk mengadakan pemeriksaan ke daerah selatan dengan kekuasaan penuh!

Akan tetapi, lebih girang lagi hati Raja Sabutai setelah mendengar bahwa putera mereka akan dapat berguru kepada seorang tokoh dongeng yang memiliki kepandaian demikian hebatnya, terbukti dari kelihaian Sin Liong yang masih begitu muda.

Dua hari kemudian, berangkatlah Han Houw dan Sin Liong meninggalkan Lembah Naga untuk pergi mencari Tok-ong Gak Song Kam, ketua dari Jeng-hwa-pang. Pada saat Raja Sabutai hendak memberi pengawal sepasukan tentara, Han Houw segera menolak dan mengatakan bahwa dia, dengan bantuan Sin Liong, sudah cukup kuat untuk menghadapi Jeng-hwa-pang. Dia hanya memilih dua ekor kuda yang amat baik untuk mereka berdua, kemudian setelah membawa bekal secukupnya, berangkatlah dua orang muda ini menuju ke selatan kembali karena Han Houw tahu bahwa Jeng-hwa-pang selalu bersarang di daerah perbatasan tembok besar.

Lega rasa hati Sin Liong telah dapat meninggalkan tempat yang banyak menimbulkan kenangan sedih itu. Akan tetapi diam-diam dia masih merasa penasaran bahwa dia belum sempat menjumpai Hek-hiat Mo-li sendirian saja untuk dilawan sebagai musuhnya yang telah menyebabkan tewasnya Cia Keng Hong, kakek dan gurunya yang disayangnya itu.

Dan dia pun masih penasaran tidak melihat adanya Kim Hong Liu-nio, wanita iblis yang menjadi musuh besarnya pula, pembunuh dari ibu kandungnya. Di dalam hati dia berjanji bahwa kalau dia sudah dapat memisahkan diri dari Han Houw, maka dia akan kembali dan mencari kedua orang musuh besar itu.

                  ***************

 Di sebuah rumah besar yang sederhana di kota Leng-kok, terdapat suatu perayaan pesta pernikahan yang cukup sederhana, namun sangat meriah karena banyaknya tamu yang berdatangan. Tidaklah mengherankan kalau yang datang banyak terdiri dari orang-orang kang-ouw, bahkan wakil-wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar, karena yang punya kerja adalah seorang pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw, seorang pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Pendekar itu bukan lain adalah Yap Kun Liong.

Walau pun pendekar ini tidak pernah menonjolkan diri dan tidak pernah memperlihatkan kepandaian silatnya yang amat tinggi kalau keadaaan tidak memaksanya, namun setiap orang mengenal belaka siapa adanya pendekar sakti Yap Kun Liong. Di dalam cerita Petualang Asmara dan Dewi Maut, kita sudah cukup lama berkenalan dengan Yap Kun Liong, mengikuti riwayat hidupnya yang penuh suka duka seperti juga riwayat hidup setiap manusia!

Akhirnya, dengan berkah serta restu dari mendiang Cia Keng Hong, pendekar ini berani menempuh hidup berdua bersama wanita yang dikasihinya, yaitu puteri ketua Cin-ling-pai itu, Cia Giok Keng. Mereka hidup sebagai suami isteri yang saling mencinta, dua orang yang keadaannya tidak jauh bedanya.

Yap Kun Liong adalah seorang duda yang sudah ditinggal mati oleh isterinya, sedangkan Cia Giok Keng adalah seorang janda pula, ditinggal mati suaminya dan keadaan kematian isteri dan suami mereka pun sama, yaitu dibunuh orang. Biar pun Yap Kun Liong tidak mendapatkan anak dari isterinya yang terbunuh itu, yaitu Pek Hong Ing, akan tetapi dia mempunyai seorang puteri dari wanita lain sebelum dia menikah dengan Pek Hong Ing, yaitu Yap Mei Lan yang lahir dari ibunya yang bernama Liem Hwi Sian. Ada pun Cia Giok Keng ditinggal mati oleh suaminya dengan dua orang anak, yaitu yang pertama adalah Lie Seng, sedangkan yang ke dua adalah Lie Ciauw Si.

Pesta pernikahan siapakah yang dirayakan di rumah pendekar Yap Kun Liong itu? Pesta pernikahan yang sesungguhnya telah ditunda sampai tiga tahun berhubung dengan masa perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong, yaitu pernikahan antara Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng!

Antara dua orang muda yang sudah cukup dewasa ini, bahkan sudah terlampau dewasa, timbul perasaan saling cinta yang mendalam dan Souw Kwi Eng, yaitu janda Tio Sun, yang menyampaikan permohonan saudara kembarnya itu untuk meminang Yap Mei Lan kepada Yap Kun Liong. Karena memang sudah ada kontak di antara kedua orang itu, Yap Kun Liong langsung menerimanya dengan baik, akan tetapi pesta pernikahan itu terpaksa harus diundur sampai selesai masa perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong, yaitu selama tiga tahun.

Sepasang pengantin itu memang sudah agak kasep. Umur Souw Kwi Beng sudah tiga puluh tiga tahun, sedangkan umur Yap Mei Lan sudah dua puluh sembilan tahun! Akan tetapi, cinta tidak mengenal usia, dan bahkan dalam usia sedemikian itu keduanya sudah cukup matang, sudah hilang sifat kekanak-kanakan mereka lagi.

Pendekar Yap Kun Liong sudah berusia lima puluh dua tahun, namun dia masih nampak gagah dan tampan dalam pakaiannya yang baru ketika dia kelihatan menyambut para tamu dengan wajah berseri gembira. Hati siapa yang tak akan gembira menghadapi pesta pernikahan puterinya, untuk pertama kali?

Dalam keadaan seperti itu, seorang pria akan merasakan sesuatu yang istimewa, yang memberi tahu kepadanya bahwa dia sudah memasuki lapisan usia yang tertentu, yaitu mulai mempunyai mantu dan besar kemungkinan dalam waktu satu atau dua tahun dia akan menjadi kakek, mempunyai cucu! Melihat pria ini menyambut tamu dengan senyum ramah dan sikap lembut, tentu tidak akan ada yang menduga bahwa dia adalah seorang pendekar yang sukar dicari bandingnya di waktu itu!

Di sampingnya, nampak seorang wanita cantik sekali juga menyambut para tamu dengan ramah. Wanita ini adalah isteri pendekar itu, Cia Giok Keng, yang sesungguhnya sudah berusia lima puluh satu tahun, akan tetapi sulit dipercaya bila dia sudah berusia setengah abad lebih sebab melihat wajahnya yang cantik dan bentuk tubuhnya yang masih ramping padat, orang akan menyangka bahwa usianya tentu jauh kurang dari empat puluh tahun.

Walau pun Yap Mei Lan hanya anak tirinya, namun nyonya yang pada waktu mudanya merupakan seorang gadis yang berhati baja dan berkepala batu ini menganggap Mei Lan sebagai seorang anak sendiri. Memang terjadi perubahan besar sekali setelah Cia Giok Keng menjadi isteri Yap Kun Liong.

Suami isteri ini amat terkenal. Sang suami adalah pendekar besar di masa itu sedangkan sang isteri juga seorang pendekar wanita, puteri dari kakek Cia Keng Hong, yakni ketua Cin-ling-pai yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Maka, para tamu yang menerima penyambutan mereka semua tersenyum ramah, menghaturkan selamat dan memandang kagum kepada pasangan ini.

Di antara para penyambut, yang sibuk membantu fihak tuan rumah yang punya kerja, nampak terutama sekali Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Suami isteri yang berbahagia ini, yang sesungguhnya baru beberapa tahun saja menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya, tak kalah terkenalnya dibandingkan dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.

Pada waktu itu, Cia Bun Houw sudah berusia tiga puluh enam tahun dan Yap In Hong berusia tiga puluh lima tahun dan keduanya merupakan adik-adik kandung dari tuan dan nyonya rumah. Cia Bun Houw adalah adik kandung Cia Giok Keng, sedangkan Yap In Hong adalah adik kandung Yap Kun Liong!

Dalam hal kepandaian silat, kedua orang suami isteri ini bahkan tidak kalah dibandingkan dengan Yap Kun Liong dan isterinya! Apa lagi setelah pasangan suami isteri ini berhasil menggabungkan tenaga Thian-te Sin-ciang, mereka sudah mencapai tingkat yang sangat hebat dalam tenaga sakti peninggalan dari Kok Beng Lama itu. Para tokoh kang-ouw yang datang juga memandang kepada suami isteri muda itu dengan sinar mata kagum.

Selain Cia Bun Houw dan isterinya, masih terdapat pula Souw Kwi Eng, janda Tio Sun yang merupakan adik kembar dari mempelai pria, serta Lie Seng, yaitu putera Cia Giok Keng yang masih sute dari mempelai wanita. Sebagai murid mendiang Kok Beng Lama, tentu saja Lie Seng juga merupakan seorang pemuda yang amat lihai, seperti suci-nya yang kini duduk sebagai mempelai wanita.

Pendeknya, yang punya kerja dan yang menikah merupakan keluarga pendekar-pendekar yang memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi, tergolong pendekar-pendekar kelas satu! Maka tidaklah mengherankan apa bila pesta perayaan itu walau pun sederhana namun menjadi amat meriah dengan hadirnya tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan bahkan wakil-wakil dari partai-partai persilatan yang besar.

Hanya ada satu hal yang merupakan ganjalan di dalam hati keluarga itu, terutama dalam hati Cia Giok Keng, yaitu tidak hadirnya Lie Ciauw Si. Seperti telah diceritakan di bagian depan dara ini meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi menyusul pamannya, Cia Bun Houw yang kepergiannya mendukakan hati kongkong-nya. Dan semenjak dara itu pergi, sampai sekian lamanya belum juga kembali dan tidak diketahui ke mana perginya. Inilah yang merupakan ganjalan di hati keluarga itu.

Para tamu mulai memenuhi ruangan tamu yang dihiasi dengan bunga-bunga, kertas dan kain beraneka warna, sebagian besar yang diutamakan adalah warna merah, sedangkan meja-meja mulai penuh dikelilingi tamu yang semua memperlihatkan senyum dan wajah berseri-seri seperti yang biasa nampak dalam suatu pesta pernikahan. Suasana gembira mempengaruhi semua orang dan hampir semua tamu membicarakan keluarga tuan rumah dan memuji ketampanan mempelai pria yang berdarah campuran barat itu.

Sekarang tamu yang berdatangan mulai berkurang dan ruangan itu sudah hampir penuh. Tiba-tiba Souw Kwi Eng yang sedang sibuk mengurus dan mengepalai para pelayan itu menahan seruannya, dan matanya yang bersinar tajam dan agak kebiruan itu terbelalak memandang ke depan, ke arah seorang tamu tua yang masuk diiringkan dua orang lagi, dan wajah nyonya muda ini menjadi marah, matanya berkilat-kilat tanda bahwa hatinya menjadi panas dan marah sekali.

Melihat keadaan nyonya janda ini, Lie Seng cepat memandang dan terkejutlah dia ketika mengenal siapa orangnya yang datang itu. Pantas nyonya janda Tio Sun itu kelihatan marah karena yang muncul sebagai tamu dan diiringkan oleh dua orang pembantunya itu, bukan lain adalah seorang kakek yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi semua tambalannya terbuat dari kain baru, kakek yang usianya enam puluh tahun lebih, bertubuh pendek kurus dan mukanya sempit kaya muka tikus, kakek yang bukan lain adalah Hwa-i Sin-kai, ketua dari Hwa-i Kaipang! Kakek yang dituduh sebagai pembunuh suami nyonya janda ini!

Alanglah beraninya Hwa-i Sin-kai datang ke sini, pikir Lie Seng yang juga memandang penuh perhatian ke arah ketua Hwa-i Kaipang yang diikuti oleh dua orang kakek tokoh Hwa-i Kaipang tingkat dua itu.

"Bedebah... kubunuh dia...," desis Souw Kwi Eng, akan tetapi Lie Seng cepat menyentuh lengan janda muda ini.

"Enci... harap tenang dan sabarlah," bisiknya pelan. "Serahkan saja kepada ibu dan ayah sebagai tuan rumah, tidak baik kalau kita membikin kacau pada hari baik ini. Ingat, hari ini adalah hari pernikahan saudaramu, yaitu suami dari suci-ku."

Souw Kwi Eng mengangguk dan menggunakan punggung lengan baju untuk menghapus dua titik air mata dengan cepat, kemudian cepat menyibukkan dirinya dengan pekerjaan, sungguh pun perhatiannya tak pernah lepas dari kakek pengemis yang disambut oleh Yap Kun Liong dan isterinya.

Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng menyambut dengan wajah berseri dan bibir tersenyum ramah seperti ketika menyambut para tamu lainnya, akan tetapi mereka saling bertukar pandang dengan cepat dan sebagai suami isteri yang saling mencinta, yang seolah-olah mempunyai hubungan yang lebih mesra dan lebih dekat dibandingkan pandang mata dan kata-kata biasa, mereka pun telah saling mengerti.

Keduanya merasa heran akan kunjungan ketua perkumpulan pengemis ini. Mereka telah mendengar penuturan Cia Bun Houw, bahkan penuturan mantu mereka mengenai ketua pengemis ini yang disangka adalah pembunuh dari Tio Sun. Mengapa sekarang kakek ini berani datang?

Akan tetapi Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan juga tajam pandangannya. Melihat pandang mata dan sikap pengemis tua itu, Yap Kung Liong segera mengerti bahwa kedatangan kakek ini bukan semata-mata untuk menghadiri pesta perayaan, melainkan mengandung maksud lain yang mendalam. Oleh karena itu, ketika menerima ucapan selamat, dia berbisik,

"Apakah pangcu mempunyai sesuatu untuk disampaikan kepada kami secara rahasia?"

Kakek pengemis itu tersenyum dan memandang kagum. "Ah, Yap-taihiap memang hebat, saya akan senang sekali kalau dapat terpenuhi keinginan saya itu."

"Silakan, pangcu, silakan...!" Yap Kun Liong kemudian mendahului tamunya itu, bersama isterinya memasuki ruangan dalam.

Dengan isyarat matanya Yap Kun Liong menyuruh isterinya serta Yap In Hong adiknya untuk mewakilinya menyambut para tamu, kemudian dia bersama tamunya itu memasuki ruangan dalam. Tak lama kemudian muncul pula Souw Kwi Eng, Lie Seng, dan Cia Bun How. Dua orang kakek pengemis tingkat dua sudah dipersilakan duduk di ruangan tamu, karena kalau mereka dibiarkan ikut masuk, akan terlalu menarik perhatian orang.

Melihat wajah Souw Kwi Eng yang merah serta matanya yang memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepadanya, ketua Hwa-i Kaipang langsung menjura dan berkata kepada nyonya janda muda itu, "Percayalah, nyonya muda, kegelisahan dan kedukaanku tidak lebih kecil dari pada yang kau derita. Kedatanganku ini untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya."

"Duduklah, pangcu, mari kita bicara dengan terbuka," kata Yap Kun Liong mempersilakan semua orang duduk.

"Saya tidak akan mengganggu terlalu lama karena taihiap sekeluarga sedang sibuk, dan maafkan kedatanganku mengganggu. Memang saya sengaja datang pada saat ini supaya tidak menarik perhatian orang. Nah, sekarang harap taihiap sekalian suka mendengarkan penuturanku baik-baik."

Hwa-i Sin-kai lalu mulai menceritakan tentang asal mula sebab permusuhan antara Hwa-i Kaipang dan seorang wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio. "Seorang anggota kami, pengemis she Tio yang berada di Hua-lai telah dibunuh oleh wanita iblis itu tanpa sebab, tanpa kesalahan. Oleh karena itu, fihak kami terus membayanginya sampai dia berada di kota raja dan di sana para tokoh perkumpulan kami lalu minta pertanggungan jawabnya karena telah membunuh seorang anggota kami tanpa sebab. Tetapi wanita iblis itu tidak mempertanggung jawabkan, bahkan merobohkan beberapa orang di antara kami. Itulah asal mula permusuhan antara kami dengan Kim Hong Liu-nio."

Kemudian dia menceritakan tentang kekalahan berturut-turut dari para pembantunya, dan betapa ketika mereka berhasil mengepung wanita itu di luar kota raja, muncul Panglima Lee Siang yang menyelamatkan wanita itu dan membawanya ke gedungnya.

"Oleh karena wanita itu bersembunyi di dalam gedung Lee-ciangkun, maka saya terpaksa menantangnya. Dan ternyata wanita itu menjawab bahkan menantang supaya saya suka datang ke gedung itu pada waktu malam yang ditentukan untuk bertanding. Tentu saja saya penuhi permintaannya itu, dan ketika saya tiba di sana pada malam hari itu, yang muncul bukan wanita iblis itu melainkan Panglima Lee yang langsung menyerang saya. Kemudian, dan sungguh di luar dugaan saya, muncul pula Tio Sun taihiap yang agaknya membela Lee-ciangkun. Padahal Lee-ciangkun adalah orang yang melindungi wanita iblis itu, maka saya menjadi marah hingga terjadi perkelahian antara saya dan Tio-taihiap. Dan di dalam pertandingan itu, entah bagaimana, tahu-tahu Tio-taihiap roboh dan tewas! Saya terkejut sekali, apa lagi ketika muncul wanita itu dan Lee-ciangkun juga mempersiapkan penjaga-penjaga, maka saya lalu melarikan diri membawa keheranan kenapa Tio-taihiap tewas dalam perkelahian melawan saya, padahal saya tidak merasa menjatuhkannya."

"Seorang gagah tidak akan mengelak dari akibat perbuatannya!" Tiba-tiba Souw Kwi Eng berseru. "Sudah jelas bahwa kematian suamiku adalah dalam pertandingan melawanmu, padahal dia bukan hendak memusuhimu, hanya hendak mendamai ciangkun kepadanya. Akan tetapi kau... kau membunuhnya, tentu dengan kecurangan."

"Tenanglah, dan biarkan pangcu menjelaskan dahulu. Bagaimana selanjutnya, pangcu?" tanya Yap Kun Liong.....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 23



KAKEK pengemis itu menarik napas panjang, lalu melanjutkan. "Telah puluhan tahun saya malang melintang di dunia kang-ouw, meski pun menjadi pengemis namun belum pernah melakukan hal-hal yang memalukan dan pengecut. Juga saya belum pernah menghadapi urusan yang begini memusingkan dan mendatangkan duka, karena saya dituduh sudah membunuh seorang pendekar tanpa sebab. Memang betul saya telah membunuh banyak orang, akan tetapi tidak pernah tanpa sebab seperti yang terjadi atas diri Tio-taihiap. Saya merasa penasaran, apa lagi setelah tempat kami diserbu oleh sepasang suami isteri yang sekarang menjadi pengantin, oleh janda Tio-taihiap dan oleh pendekar muda yang lihai ini. Mulailah saya melakukan penyelidikan dan akhirnya terbuka juga semua rahasia itu."

"Apa yang sesungguhnya terjadi?" Yap Kun Liong bertanya, merasa tertarik.

"Semuanya adalah gara-gara perempuan iblis busuk itu! Dia bukan hanya bersembunyi di dalam gedung Lee-ciangkun, malah dia juga menjadi kekasih gelapnya. Celakanya, selain menjadi kekasih Lee-ciangkun, juga wanita itu pernah berjasa terhadap kaisar sehingga dilindungi oleh istana kaisar. Menurut penyelidikan yang saya peroleh dengan menyebar mata-mata di luar dan dalam gedung Lee-ciangkun, dengan menyogok pelayan-pelayan dan prajurit-prajurit pengawal, saya bisa memperoleh keterangan yang amat jelas bahwa ketika saya datang ke sana memenuhi tantangan wanita iblis itu, memang sebelumnya Lee-ciangkun telah menghubungi Tio-taihiap dan memang hal itu merupakan jebakan bagi Tio-taihiap. Wanita iblis itu memang ingin membunuh Tio-taihiap dan untuk keperluan itu saya dijebak pula agar kelihatannya saya yang menjadi pembunuhnya."

"Tidak masuk akal," Souw Kwi Eng membantah. "Suamiku tidak pernah mengenal wanita bernama Kim Hong Liu-nio itu, mengapa dia hendak membunuh suamiku?"

"Harap nyonya muda berlaku tenang dan sabar," pengemis tua itu berkata, "tadinya saya pun beranggapan demikian, akan tetapi kemudian setelah saya selidiki, saya teringat pula bahwa wanita itu ke mana pun dia pergi selalu membawa salib kayu yang bertuliskan tiga huruf, yaitu nama keturunan tiga keluarga, keluarga Cia, Yap dan Tio. Dan dia pun pernah mengaku bahwa pada waktu dia membunuh anggota kami yang she Tio di Huai-lai, yang dimusuhinya bukanlah Hwa-i Kaipang, melainkan she Tio itulah. Jadi anggota kami pun dibunuh karena she Tio. Jelas bahwa itulah sebab pembunuhan atas diri Tio-taihiap dan dalam hal ini dibantu oleh Lee-ciangkun yang sengaja memancing datangnya Tio-taihiap bersamaan waktunya dengan kedatanganku memenuhi tantangan Kim Hong Liu-nio."

"Ahh, keteranganmu ini memang cocok sekali, pangcu! Kini mengertilah aku!" Bun Houw berkata sambil mengepal tinjunya. "Kiranya nenek tua bangka itu juga memasukan nama Tio-twako dalam daftar musuh-musuhnya! Jelas bahwa she Cia itu dimaksudkan adalah aku sendiri, she Yap tentu Yap-twako dan isteriku. Karena memang tiga she itulah yang pernah menggempur Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga! Dan Kim Hong Liu-nio itu adalah murid Hek-hiat Mo-li, maka tentu saja dia sengaja hendak membunuh Tio-twako atas perintah gurunya, dan untuk melaksanakan hal itu dia sudah dibantu oleh Lee-ciangkun, bahkan kemudian melemparkan kesalahannya kepada Hwa-i Sin-kai yang juga menjadi musuhnya, untuk mengadu domba!"

Semua orang mengangguk-angguk mendengar ini, dan Souw Kwi Eng terisak. "Aku harus membalas dendam! Iblis betina itu tidak saja telah membunuh suamiku, akan tetapi juga menyebabkan kematian Cia-locianpwe..."

"Tidak, aku sendiri yang harus mencarinya, membunuh iblis betina itu dan gurunya!" kata Bun Houw marah.

"Dan pembesar Lee yang sangat curang dan pengecut itu pun harus diberi hukuman yang setimpal!" kata pula Lie Seng.

"Pembesar Lee itu amat berpengaruh dan kekuasaannya di kota raja cukup besar maka akan sulitlah untuk mengganggunya," kata Hwa-i Sin-kai. "Bila kita menyerang rumahnya, tentu dapat dicap pemberontak, maka sebaiknya harus memancing keluar iblis betina itu. Panglima Lee Siang adalah adik Panglima Lee Cin, kepala Kim-i-wi, pasukan pengawal kaisar yang terkenal..."

"Ah, adik dari Panglima Lee Cin?" Bun Houw dan Kun Liong berseru kaget. Tentu saja mereka mengenal Lee Cin, kepala pasukan yang memimpin pasukan ke Lembah Naga belasan tahun yang lalu itu.

"Lebih baik lagi kalau begitu," Yap Kun Liong berkata, "biar nanti kutemui Panglima Lee Cin yang kita kenal sebagai seorang panglima yang gagah dan jujur, dan kita ceritakan tentang perbuatan adiknya agar dia yang memaksa Kim Hong Liu-nio keluar."

"Akan tetapi, hal ini kiranya tidak perlu merepotkan Yap-twako. Biarlah aku sendiri pergi bersama isteriku, kami berdua kiranya sudah cukup untuk membasmi iblis semacam Kim Hong Liu-nio dan gurunya." kata Bun Houw dan Yap Kun Liong mengangguk menyetujui karena dia pun maklum akan kelihaian Bun Houw dan In Hong yang pernah mengalahkan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.

Tiba-tiba saja terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar. Suara gaduh dari banyak sekali orang, bahkan terdengar pula derap kaki kuda yang banyak sekali dan suara bentakan-bentakan nyaring. Mereka yang sedang bercakap-cakap di dalam ini menjadi terkejut dan heran, akan tetapi tiba-tiba Cia Giok Keng dan Yap In Hong menerobos masuk ke dalam kamar itu, wajah mereka membayangkan ketegangan den kekhawatiran.

"Ada pasukan pemerintah datang untuk menangkap kita!" berkata Cia Giok Keng kepada suaminya.

"Ahh, apa sebabnya?"

"Entah, akan tetapi komandannya membawa surat perintah untuk menangkap kita berdua, Bun How, dan In Hong!" jawab Giok Keng, mukanya menjadi pucat.

"Kita serbu saja dan usir mereka!" kata Yap In Hong, akan tetapi suaminya memegang lengannya, menyuruh isterinya bersikap sabar.

Mendadak terdengar suara lantang di luar, "Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng, atas nama kaisar, menyerahlah kalian berempat dan ikut bersama kami ke kota raja sebagai tawanan!"

Yap Kun Liong mengerahkan khikang-nya dan berseru dari dalam ruangan itu. "Apakah alasannya kami hendak ditangkap?"

Suaranya mengatasi semua kegaduhan dan terdengar bergema sampai di luar ruangan pesta.

Suasana menjadi sunyi sekali sesudah terdengar bentakan nyaring ini, dan semua tamu yang tadinya gaduh dan merasa tegang dan khawatir, kini mendengarkan dengan penuh perhatian. Semua mata memandang keluar, hampir semua pandang mata membayangkan penentangan terhadap pasukan pemerintah itu.

Kemudian terdengar suara nyaring menjawab, sungguh pun getaran dan gemanya tidak sekuat suara Yap Kun Liong tadi, namun suara ini pun cukup nyaring melengking karena didorong oleh tenaga khikang yang kuat.

"Kami membawa perintah dari Sri baginda Kaisar untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng yang dituduh telah bersekutu dengan para pemberotak Hwa-i Kaipang dan Pek-lian-kauw. Karena itu menyerahlah kalian berempat dengan baik-baik sebelum kami serbu!"

"Keparat!" Hwa-i Sin-kai berteriak dan tubuhnya sudah melesat keluar.

Kakek ini marah sekali mendengar bahwa Hwa-i Kaipang dituduh sebagai pemberontak, disamakan dengan Pek-lian-kauw. Memang dia dan anak buahnya tidak pernah merasa tunduk dan suka kepada pemerintah karena melihat para pembesarnya hampir sebagian besar terdiri dari pemeras-pemeras rakyat dan orang-orang yang korup, namun mereka tidak pernah memberontak.

Kini, ketika mendengar ada pasukan hendak menangkap para pendekar dengan tuduhan bersekutu dengan Hwa-i Kaipang yang dicap sebagai pemberontak, tahulah dia bahwa tentu perkumpulannya di kota raja sudah diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemerintah. Dia pun dapat menduga bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan Kim Hong Liu-nio dan Lee-ciangkun. Karena itu, kemarahannya meluap dan dia telah berlari keluar lantas mengamuk, merobohkan beberapa orang prajurit dengan tongkatnya yang digerakkannya secara lihai bukan main.

Maka gegerlah para prajurit yang mengepung tempat itu. Kakek yang berpakaian tambal-tambalan itu adalah ketua Hwa-i Kaipang dan dia adalah seorang tokoh yang terkenal memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Maka ketika kakek ini mengamuk, dalam waktu singkat robohlah dua puluh orang lebih kena disambar tongkatnya yang berubah menjadi sinar berkelebatan itu.

Akan tetapi, komandan pasukan segera memberi aba-aba dan kakek ini pun dikeroyok oleh banyak sekali prajurit. Juga sang komandan berikut para pembantunya yang memiliki kepandaian silat lumayan sudah bergerak pula ikut mengepung.

Bagaikan seekor jangkerik yang dikeroyok ratusan ekor semut, Hwa-i Sin-kai mengamuk. Makin banyak lagi prajurit roboh akibat amukan tongkatnya, akan tetapi kini para prajurit menggunakan senjata panjang, yaitu tombak dan bahkan mulai melepaskan anak panah.

Dihujani serangan tombak dan anak panah, walau pun pada mulanya Hwa-i Sin-kai dapat menangkis runtuh semua senjata, namun lambat-laun tenaganya yang sudah tua itu pun berkurang dan mulai ada anak panah yang mengenai tubuhnya dan menancap menembus kulit dagingnya.

Kalau saja dia menghendaki, agaknya kakek ini masih akan mampu untuk melarikan diri mempergunakan ginkang-nya. Akan tetapi agaknya dia sudah terlampau marah. Selama tiga tahun lebih dia menanggung dendam terhadap Kim Hong Liu-nio karena perbuatan wanita itu beserta Lee Siang telah menempatkan dia dalam kedudukan tidak enak sekali, yaitu bermusuhan dengan keluarga pendekar Tio, Cia dan Yap, bahkan anak buahnya banyak yang menjadi korban dalam pertempuran dan dia sendiri selalu menyembunyikan diri, khawatir bertemu dengan keluarga pendekar itu.

Sekarang, sesudah dia berhasil membongkar rahasia Kim Hong Liu-nio dan Lee Siang, sesudah dia mulai akan berbaik kembali dengan keluarga pendekar itu, tiba-tiba muncul pasukan pemerintah yang hendak menangkap para pendekar dan menuduh bahwa Hwa-i Kaipang memberontak. Kemarahan yang meluap-luap membuat kakek ini tak ingin untuk lari menyelamatkan diri, malah mendorongnya untuk mengamuk dan membasmi pasukan yang amat kuat dan besar jumlahnya itu.

Akhirnya kakek itu roboh juga dengan tubuh penuh luka. Dia telah merobohkan lebih dari empat puluh orang, ada yang tewas dan ada pula yang terluka, akan tetapi untuk itu dia sendiri harus menebus dengan nyawanya!

Para tamu tidak ada yang berani turut mencampuri, apa lagi mendengar bahwa pasukan itu datang untuk menangkap tuan rumah dan melihat bahwa yang mengamuk itu adalah Hwa-i Sin-kai yang dicap pemberontak oleh pemerintah! Urusan pemberontakan bukan urusan kecil dan mereka tidak berani tersangkut.

Sesudah Hwa-i Sin-kai roboh dan tewas, komandan pasukan berteriak lagi dengan suara nyaring, "Yap Kun Liong! Kalau engkau dan tiga orang lain tidak menyerah, terpaksa kami akan menyerbu!"

Yap Kun Liong bersama keluarganya sudah keluar semua. Akan tetapi dengan isyarat tangannya Kun Liong mencegah keluarganya untuk melakukan kekerasan, malah dia lalu mengangkat tangan kanan ke atas, lalu berkata kepada komandan yang sudah turun dari kudanya dan menghampirinya, suaranya lantang dan tenang, namun berwibawa,

"Siapakah yang memimpin pasukan ini?"

"Saya Ma Kit Su adalah panglima yang menjadi komandan pasukan ini."

"Harap Ma-ciangkun suka memperlihatkan tanda kekuasaan dan surat perintah itu!" kata pula Yap Kun Liong.

Seorang perwira maju, lantas mengangkat tinggi sebuah bendera leng-ki, yaitu bendera kekuasaan seperti yang biasa dibawa oleh utusan kaisar, lalu komandan yang bertubuh gemuk pendek itu mengeluarkan pula segulung kain bertuliskan perintah penangkapan itu, dibubuhi cap dari istana kaisar. Setelah melihat semua itu, Yap Kun Liong menarik napas panjang, tidak sangsi lagi bahwa memang kaisar mengutus pasukan itu untuk menangkap dia berempat.

"Baiklah, kami berempat akan menyerah dan ikut sebagai tawanan ke kota raja untuk minta keadilan, akan tetapi hanya dengan jaminan bahwa kalian tidak akan mengganggu pernikahan anakku," kata Yap Kun Liong dengan suara lantang.

"Kami setuju! Memang kami hanya diperintahkan untuk menangkap kalian berempat, dan bukan untuk mengganggu pesta pernikahan!" jawab Ma-ciangkun.

"Ayah...!" Yap Mei Lan, pengantin wanita itu, menangis dan memegangi lengan ayahnya. "Mengapa begitu? Apa sukarnya melawan pasukan ini?" isaknya.

"Ssttt, jangan, anakku. Kalian lanjutkan pernikahan ini dan jangan membikin rusak pesta pernikahanmu. Kami berempat akan minta keadilan dan percayalah, karena kami tidak berdosa, maka sri baginda kaisar akan dapat melihat kenyataan dan akan membebaskan kami. Kau dan suamimu kembalilah duduk di tempat kalian."

Sambil menangis Yap Mei Lan dituntun oleh Souw Kwi Beng, kembali ke tempat duduk mempelai, sedangkan Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong membiarkan diri mereka dibelenggu, kemudian mereka berempat dinaikkan ke atas kereta kerangkeng yang kokoh kuat, lalu dibawa pergi meninggalkan tempat itu.

Yap Mei Lan menangis terisak-isak, sementara itu Souw Kwi Beng memandang isterinya dengan muka pucat. Lie Seng mendekati suci-nya, menghibur dan berbisik. "Harap suci tenangkan diri agar tidak membikin canggung para tamu dan lanjutkan pesta ini. Jangan khawatir, aku akan membayangi pasukan itu dan aku akan menjaga dan menolong kalau sampai mereka berempat itu terancam. Jangan kau gelisah, suci, yang ditawan adalah ibuku dan ayahku sendiri, aku akan melindungi mereka dengan taruhan nyawaku."

Yap Mei Lan menghapus air matanya dan memegang lengan adiknya, adik seperguruan dan juga adik tiri itu dengan erat-erat, lalu bisiknya, "Sute, terima kasih dan hati-hatilah."

Lie Seng mengangguk, kemudian dia memberi hormat kepada cihu-nya (kakak ipar) yang juga memesan agar dia berlaku hati-hati, kemudian pemuda ini meninggalkan rumah itu melalui pintu belakang. Pesta pernikahan dilanjutkan akan tetapi tentu saja suasananya sudah tidak lagi meriah seperti tadi, bahkan para tamu kelihatan sangat gelisah, merasa terheran-heran mengapa keluarga pendekar itu ditangkap dengan tuduhan memberontak, padahal keluarga pendekar itu selalu menentang para penjahat dan pemberontak.

Karena suasananya sudah tidak menyenangkan dan menegangkan, maka akhirnya para tamu minta diri dan pesta itu pun bubar sebelum waktunya. Pengantin pria lalu membawa pengantin wanita pulang ke Yen-tai, kota tempat tinggal Souw Kwi Beng, di pantai Lautan Po-hai di timur.

Pada sepanjang perjalanan, mempelai wanita menangis terus, dan kalau saja tidak ingat bahwa dia adalah seorang pengantin yang tidak pantas untuk meninggalkan suami lantas melakukan perjalanan, tentu dia sudah pergi menyusul ayahnya yang tertawan. Kwi Beng berusaha menghiburnya dan orang muda ini memang sudah menyuruh beberapa orang untuk memata-matai keadaan keempat orang yang tertawan itu, sekalian membantu Lie Seng dan secepatnya memberi kabar ke Yen-tai kalau para tawanan sudah tiba di kota raja.

Sesungguhnya, apakah yang terjadi di kota raja dan mengapa kaisar mengutus pasukan untuk menangkap empat orang itu? Untuk mengetahui rahasia ini, maka sebaiknya kita mengikuti dulu perjalanan Kim Hong Liu-nio, wanita cantik murid Hek-hiat Mo-li dan orang kepercayaan yang juga menjadi sumoi dari Raja Sabutai itu.

Telah diceritakan di bagian depan bahwa biar pun sejak muda Kim Hong Liu-nio dididik oleh Hek-hiat Mo-li, seorang nenek iblis, dan dia menjadi seorang wanita yang berhati dingin dan kejam, namun betapa pun juga Kim Hong Liu-nio hanyalah seorang wanita biasa saja dari darah dan daging yang tidak terlepas dari nafsu-nafsu dan ingin menikmati kesenangan dalam hidupnya.

Maka ketika dia berjumpa dengan Panglima Lee yang tampan, gagah perkasa dan sudah berpengalaman, juga pandai merayu wanita itu, mencairlah kebekuan dan kedinginan hati wanita ini, hatinya tertarik dan dia jatuh kepada Lee-ciangkun. Rayuan maut dari panglima yang belum tua itu menjatuhkan hatinya, akan tetapi dia belum bisa menyerahkan dirinya karena ancaman subo-nya, Hek-hiat Mo-li bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada pria sebelum melaksanakan tugasnya membasmi musuh-musuh besar gurunya itu, dia akan dihukum mati oleh Hek-hiat Mo-li dan ancaman ini akan dilanjutkan oleh Raja Sabutai sendiri.

Sesudah mendengar sumpah itu, Panglima Lee Siang lalu membantu Kim Hong Liu-nio untuk membasmi musuh-musuh itu dan seperti sudah kita ketahui, musuh pertama yang menjadi korban adalah Tio Sun! Semakin mendalam rasa cinta Kim Hong Liu-nio kepada Panglima Lee Siang dan boleh dibilang hampir setiap hari dan setiap malam dia selalu berpacaran dengan panglima itu, walau pun dia masih belum berani menyerahkan dirinya karena masih banyak musuh yang belum dibasmi, yaitu Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng!

Lee Siang atau Lee-ciangkun adalah seorang pria yang usianya empat puluh tahun dan sekali ini dia betul-betul jatuh cinta kepada Kim Hong Liu-nio yang memang cantik jelita. Dia melihat bahwa dalam diri wanita yang kelihatannya dingin ini terdapat api yang panas dan gairah yang menyala-nyala, yang dapat dirasakannya saat mereka saling berpelukan dan berciuman.

Oleh karena itu, mana mungkin dia mampu menunggu sampai semua musuh wanita itu habis? Akan berapa lamakah hingga wanita itu selesai membunuh semua musuhnya yang terdiri pendekar-pendekar sakti yang ilmunya amat tinggi itu?

Maka, Lee Siang tidak dapat bertahan lagi dan pada suatu malam, dengan rayuan-rayuan yang membuat Kim Hong Liu-nio hampir gila, akhirnya Lee Siang pun dapat meruntuhkan pertahanan wanita itu yang manyerahkan diri pada malam yang dingin itu. Dengan birahi yang memuncak keduanya bermain cinta, dengan gairah yang tak kunjung padam sampai pagi mereka melampiaskan gairah nafsu masing-masing.

Dan setelah keesokan harinya cahaya matahari yang menerobos masuk melalui kaca di atas jendela kamar itu membangunkannya dari tidur nyenyak karena kelelahan, tiba-tiba Kim Hong Liu-nio teringat akan semua yang terjadi malam tadi. Dia mengeluarkan seruan lirih, meloncat turun, menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya dan dia sudah lari ke depan cermin di sudut kanan, mencari-cari tahi lalat pada dagunya akan tetapi dagunya itu putih halus, tidak ada tahi lalatnya lagi karena tahi lalat buatan dari subo-nya itu telah lenyap tanpa bekas, tepat seperti yang dikatakan oleh subo-nya dahulu bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada seorang pria, tahi lalat itu akan lenyap!

Lee Siang masih tidur dengan senyum di bibirnya. Dia merasa puas dan gembira sekali. Wanita yang ternyata masih perawan itu akhirnya menyerahkan diri kepadanya dan tepat seperti dugaannya, wanita itu adalah seorang wanita yang penuh gairah, hangat dan luar biasa.

Tiba-tiba Lee Siang terkejut dan terbangun karena pundaknya diguncang keras dan ketika dia membuka matanya, dia melihat wanita itu sudah berdiri di sisi pembaringan, tubuhnya hanya dibalut oleh selimut dan wanita itu menodongkan sebatang pedang yang ujungnya menempel di dadanya, bahkan kulit dadanya yang telanjang terasa nyeri oleh runcingnya pedang!

"Hong-moi! Apa... apa artinya ini...?" tanyanya dengan dua mata terbelalak, memandang wajah wanita yang pucat itu. Wajah yang pucat dan rambutnya kusut, akan tetapi bahkan menonjolkan kecantikannya.

"Bersiaplah untuk mati. Engkau harus mati, kemudian aku. Sekarang kita berdua harus mati, dan jauh lebih baik mati di tangan sendiri dari pada mati di tangan orang lain!"

Bukan main kagetnya hati Lee Siang. Tidak terlintas dalam pikirannya untuk melawan dan mencoba meloloskan diri karena dia maklum betapa lihai wanita ini.

"Akan tetapi, Hong-moi... kau tahu... aku cinta kepadamu, aku cinta kepadamu dengan seluruh jiwa ragaku, mengapa... mengapa kau hendak membunuhku, sayang? Lupakah engkau akan cinta kasih kita semalam...?"

Wanita itu mengejapkan mata dan dua titik air mata menetes di atas pipinya.

"Aku tahu... dan engkau pun tahu betapa besar cintaku kepadamu, Lee-ko. Akan tetapi justru karena cinta kita, maka kita harus mati saat ini juga, mati bersama agar kita dapat melanjutkan hubungan kita di alam baka."

"Tapi... tapi, tunggu dulu... setidaknya katakan dulu mengapa?" Lee Siang berteriak ketika merasa betapa dadanya nyeri dan kulitnya sudah tertusuk sedikit sehingga mengeluarkan darah.

"Kau lihat daguku! Di mana adanya tahi latat di daguku?"

Lee Siang memandang dan memang benar. Tahi lalat yang tadinya berada di dagu wanita itu, yang menambah kemanisannya, yang semalam diciuminya dan dipujinya kini sudah lenyap! Teringat dia akan cerita wanita itu mengenai sumpahnya kepada subo-nya, dan tentang tanda perawan yang dibuat subo-nya, yaitu tahi lalat itu yang kini lenyap bersama lenyapnya keperawanannya semalam!

Sebenarnya Lee Siang sudah mencari akal sebelum dia berhasil merayu sampai wanita itu akhirnya menyerahkan diri. Maka dia kemudian berkata,

"Hong-moi, kekasihku, sayangku, kau dengarkan aku. Aku punya akal untuk menghadapi subo-mu, akan tetapi kalau engkau memaksa hendak membunuhku, nah, tusuklah ini... aku terlalu cinta padamu, aku tak ingin melihat engkau menderita, sayangku, akan tetapi sebelum engkau membunuhku, aku... minta... sukalah agar engkau menciumku sekali lagi... agar dapat kubawa mati..."

Lee Siang membuka selimut yang menutupi tubuhnya, dan membiarkan tubuhnya yang telanjang itu terbuka sama sekali malah dia mengembangkan kedua lengan dengan sikap merayu.

"Ahhh...!" Kim Hong Liu-nio tidak dapat menahan keharuan hatinya. Pedangnya terlepas dan dia menubruk, merangkul lantas menciumi pria yang dicintanya itu, satu-satunya pria yang pernah dicintainya dan pernah menyentuh tubuhnya. "Ahh, Lee-ko... Lee-ko... bagai mana aku dapat membunuhmu...?"

Lee Siang balas memeluk dan mencium, hatinya lega karena baru saja dia terlepas dari cengkeraman maut.

"Adindaku yang terkasih, dengarlah. Bukankah dulu engkau pernah menceritakan bahwa subo-mu itu sudah tua renta dan sudah pikun? Walau pun ilmu kepandaiannya setinggi langit, akan tetapi kalau pandang matanya sudah kurang awas seperti yang kau katakan, apa sukarnya untuk mengelabui pandang matanya? Buat saja tahi lalat palsu dengan tinta hitam, apa sih sukarnya menaruh titik kecil di dagumu yang manis? Tentu dia tidak akan pernah tahu, sayangku, apa lagi kalau engkau jarang sekali bertemu muka dengan dia. Selagi masih ada jalan, mengapa kita harus mengambil jalan pendek? Bukankah kita berdua berhak menikmati hidup, berhak menikmati cinta kasih kita?" Lee Siang mencium lagi dengan sepenuh hatinya dan nafsu birahinya sudah berkobar lagi.

Melihat ini, Kim Hong Liu-nio memeluknya, "Ah engkau cerdik, koko, dan aku... aku yang bodoh... ahh, dadamu sampai terluka, berdarah..." Dia lalu mengecup darah di dada itu, menjilati luka kecil pada dada kekasihnya. Mereka berpelukan dan tenggelam lagi dalam madu asmara yang tidak kunjung puas dan padam.

Setelah terhibur dan dapat melupakan ancaman bahaya, Kim Hong Liu-nio menjadi penuh semangat kembali. Setiap waktu dia menuntut pernyataan kasih sayang dari Lee Siang yang membuat panglima itu kewalahan juga hingga akhirnya tibalah saatnya Kim Hong Liu-nio harus meninggalkannya untuk sementara.

Wanita itu harus pergi ke utara berkunjung kepada subo-nya dan suheng-nya yang akan mengadakan sayembara pemilihan guru silat untuk Pangeran Oguthai. Pada saat hendak berangkat, Kim Hong Liu-nio kembali menyatakan kekhawatiran hatinya tentang tahi talat yang hilang itu.

Akan tetapi Lee Siang menghiburnya, bahkan membuatkan titik hitam sebagai pengganti lahi lalat itu dengan tinta hitam yang tidak mudah luntur, lalu mencium dagu yang manis itu. "Ahhh, tidak ada bedanya seujung rambut pun, Hong-moi. Jangan khawatir, apa lagi subo-mu yang tidak awas lagi matanya, sedangkan aku sendiri tidak dapat membedakan mana yang tulen dan mana yang palsu. Berangkatlah, sayang, dan ingatlah bahwa aku selalu menantimu dengan hati penuh rindu."

Kim Hong Liu-nio telah berubah menjadi seorang wanita yang wajahnya periang ketika dia berangkat meninggalkan kota raja. Setelah dia mengenal Lee Siang, kehidupan ini sama sekali berubah baginya, penuh dengan kegembiraan dan kelembutan, bahkan selama ini dia sama sekali tidak pernah memikirkan adanya orang-orang she Tio, Cia dan Yap yang menjadi musuh gurunya! Dia ingin hidup selama-lamanya di dalam kamar bersama Lee Siang, bermain cinta sampai dunia kiamat!

Dan memang benar seperti dugaan Lee Siang, tidak ada seorang pun yang tahu akan kepalsuan tahi lalat pada dagu wanita cantik ini. Bahkan Hek-hiat Mo-li, begitu bertemu dengan muridnya itu, yang pertama-tama dilihatnya adalah tahi itu dan nenek ini berkata,

"Bagus, tahi lalatmu masih ada! Akan tetapi sayang, selama ini baru Tio Sun saja yang berhasil ditewaskan, juga si kakek Cia Keng Hong. Bilakah aku akan dapat mendengar akan tewasnya Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng?"

"Harap subo suka bersabar, teecu tak pernah berhenti berusaha," kata Kim Hong Liu-nio.

Pada saat itu dia baru ingat bahwa selama ini dia tidak pernah mencari musuh-musuh itu, dan dia pun tidak peduli lagi! Dia bahkan mulai merasa jemu dengan perintah subo-nya. Setelah memberi hormat kepada subo-nya dengan berlutut dan memberi hormat kepada Raja Sabutai, Kim Hong Liu-nio lalu bangkit dan berjalan perlahan untuk duduk di sudut.

Dia tidak tahu betapa Raja Sabutai terus memandang dirinya penuh perhatian, terutama sekali memandang ke arah pinggulnya yang menonjol dan bergoyang-goyang pada waktu dia melangkah tadi. Juga Kim Hong Liu-nio tidak tahu bahwa malam itu juga Raja Sabutai menemui Hek-hiat Mo-li dan berbicara empat mata dengan guru itu, pembicaraan yang membuat Hek-hiat Mo-li marah bukan main.

Kiranya, pandang mata Raja Sabutai yang sangat tajam, yang sudah banyak pengalaman memandang perbedaan antara wanita-wanita tua muda, perawan atau bukan, telah dapat menduga bahwa kini sumoi-nya itu bukan perawan lagi hanya dengan melihat bayangan pinggulnya! Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hek-hiat Mo-li memanggil Kim Hong Liu-nio dengan wajah bengis.

"Kim Hong, lekas kau cuci titik hitam di dagumu itu!" bentak sang guru.

Seketika wajah Kim Hong Liu-nio menjadi pucat dan tubuhnya gemetar, akan tetapi dia mempertahankan hatinya dan pura-pura memandang gurunya dengan heran.

"Apa maksud subo? Mana mungkin tahi lalat ini dicuci?"

"Hemm, kau masih hendak mengelabui gurumu, ya? Tahi lalat di dagumu itu palsu, dan engkau bukan perawan lagi! Berani engkau menyangkal?"

Maklumlah kini Kim Hong Liu-nio bahwa rahasianya telah terbuka, bahwa entah dengan cara bagaimana gurunya telah tahu bahwa tahi lalat di dagunya itu palsu dan bahwa dia bukan perawan lagi, bahkan dia sudah melanggar sumpahnya. Maka dia hanya berlutut, dan menangis!

"Keparat, berani engkau mengelabui gurumu sendiri? Hayo ceritakan, mengapa engkau melanggar sumpahmu?"

Dengan terisak-isak Kim Hong Liu-nio lalu mengaku terus terang bahwa dia jatuh cinta dengan Panglima Lee Siang. "Dia telah menyelamatkan teecu ketika teecu dikeroyok oleh pengemis-pengemis Hwa-i Kaipang, dan teecu bersama dia saling mencinta subo, dan... dan... teecu sudah menyerahkan diri kepadanya. Dia pula yang membantu teecu dan sute menghadap kaisar dan... dan..."

"Perempuan hina!" Hek-hiat Mo-li membentak, tangannya menampar dan tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting ketika pundaknya kena dihantam gurunya. Nyeri sekali rasanya, akan tetapi tidak mendatangkan luka hebat. Tahulah Kim Hong Liu-nio bahwa dia akan mati di tangan subo-nya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani melawan, hanya menangis dan membayangkan kekasihnya karena dia ingin mati dengan bayangan Lee Siang di depan matanya.

Hek-hiat Mo-li memang sudah marah sekali dan dia sudah mengangkat tongkatnya sambil berkata, "Murid durhaka, bersiaplah untuk mati!"

"Subo, tahan dulu!" Mendadak terdengar suara keras dan muncullah Raja Sabutai yang memasuki ruangan itu.

Nenek itu menoleh dan memandang Sabutai dengan wajah makin berkerut menyeramkan. "Murid tak tahu malu ini sudah sepatutnya mampus!"

Raja Sabutai tersenyum. "Subo, apa sih anehnya kalau sumoi ini tidak mampu menahan gelora nafsunya? Memang sumoi sudah melanggar sumpahnya, akan tetapi masih ada kesempatan baginya kalau dia menebus dosa. Berilah dia waktu tiga bulan untuk dapat membunuh empat orang musuh besar subo itu, dan kalau dia berhasil, biarlah dosanya diampuni dan biarkan dia hidup bahagia bersama kekasihnya. Akan tetapi kalau tidak berhasil, baru subo membunuh dia pun belum terlambat."

Hek-hiat Mo-li mengomel. "Kalau bukan engkau yang menyadarkan aku bahwa bocah ini bukan perawan lagi, tentu aku sudah kena dikelabui, maka biarlah aku setuju usulmu, sri baginda. Nah, kau telah dengar sendiri, murid durhaka. Bunuh atau tangkap empat orang musuhku itu, seret mereka atau mayat mereka ke sini, baru aku akan mengampunimu. Aku memberimu waktu tiga bulan lamanya mulai hari ini!"

Kim Hong Liu-nio menghaturkan terima kasih dan pada hari itu juga dia berpamit untuk melaksanakan perintah itu. Itulah sebabnya maka ketika diadakan pemilihan guru silat di Lembah Naga, Kim Hong Liu-nio tidak hadir, dan itu pula sebabnya kenapa Hek-hiat Mo-li marah-marah saat Sabutai mengadakan pemilihan guru silat untuk pangeran. Amarahnya karena kecewa terhadap Kim Hong Liu-nio itu membuat dia menantang semua peserta dan mengacaukan pemilihan guru silat itu.

                 ***************

Ketika Kim Hong Liu-nio tiba di dalam gedung Panglima Lee dan bertemu kekasihnya itu, dia segera menubruk Lee-ciangkun sambil menangis. Dengan terisak-isak diceritakannya pertemuannya dengan Raja Sabutai dan Hek-hiat Mo-li, kemudian betapa rahasianya telah ketahuan dan kemudian betapa subo-nya dan suheng-nya itu memberi waktu tiga bulan kepadanya untuk dapat membunuh atau menangkap empat orang pendekar itu.

"Ahh, betapa mungkin aku menundukkan empat orang yang berilmu tinggi itu? Lee-koko, lebih baik kau membunuhku saja. Aku lebih senang mati di tanganmu, dari pada di tangan subo atau suheng!" wanita itu menangis dalam rangkulan Lee Siang.

Tentu saja hati panglima ini menjadi tidak karuan rasanya. Dia juga mencinta wanita ini dan akan dibelanya dengan seluruh jiwa raganya.

"Jangan khawatir, kekasihku. Aku masih mempunyai akal dan harapan untuk menangkap empat orang itu," katanya.

Panglima muda itu lalu mencari akal, dan akhirnya dia mendapat akal yang sangat nekat dan berani. Dia lalu memalsukan cap dari kaisar, membuat surat perintah penangkapan yang palsu, bahkan membuat bendera kekuasaan yang palsu pula. Kemudian dia mulai mempersiapkan pasukan yang kuat dan mengutus seorang pembantunya dengan hadiah besar agar supaya pergi membawa pasukan dan menggunakan perintah palsu dari kaisar itu untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng.

Perwira yang menjadi pembantunya itu adalah perwira Ma Kit Su. Seperti telah diketahui, Ma-ciangkun ini berhasil baik di dalam tugasnya, selain membunuh Hwa-i Sin-kai dengan keroyokan, juga berhasil menangkap keempat orang pendekar itu yang menyerahkan diri karena di samping tidak ingin memberontak terhadap perintah kaisar, juga mereka tidak ingin mengacaukan pesta pernikahan Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng.

Memang, bila orang sudah tergila-gila maka apa pun sanggup dilakukannya. Baik dia itu seorang laki-laki yang tergila-gila kepada seorang wanita, atau sebaliknya seorang wanita yang tergila-gila kepada seorang pria, dia akan melakukan segala hal demi orang yang dicintanya, atau demi memelihara dan mempertahankan kenikmatan yang didapatkannya dari hubungan cintanya itu.

Demikian pula dengan halnya Panglima Lee Siang. Tentu dia sendiri tak pernah bermimpi bahwa dia pada suatu hari akan melakukan hal yang demikian gila dan nekatnya. Kalau bukan untuk Kim Hong Liu-nio, sampai mati pun kiranya dia tidak akan berani main-main seperti itu terhadap kekuasaan kaisar yang dipalsukannya, terlebih lagi berani mengatur siasat untuk mencelakakan dua pasang suami isteri pendekar seperti Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka.

Dia tahu bahwa perbuatannya itu akan membawa akibat yang amat besar dan luas. Apa lagi peristiwa penangkapan itu terjadi ketika pendekar Yap Kun Liong sedang merayakan pernikahan puterinya sehingga peristiwa penangkapan itu disaksikan oleh ratusan orang tokoh kang-ouw yang berkedudukan tinggi. Dunia kang-ouw akan menjadi geger karena peristiwa ini, dan hal ini diketahui benar oleh Lee Siang.

Akan tetapi, kalau orang sedang tenggelam dalam buaian asmara seperti Lee Siang, biar dunia kiamat pun tidak akan terasa olehnya. Kalau dia sedang tenggelam dalam pelukan wanita yang amat dicintanya, biar apa pun terjadi, dia tidak takut bahkan mati pun bukan apa-apa baginya asal saja dihadapinya bersama wanita yang dicintanya itu.

Dan memang peristiwa itu benar-benar menimbulkan kegemparan besar. Para tamu yang hadir dalam pesta pernikahan itu, yang tergesa-gesa pulang ke tempat kediaman masing-masing, segera menyebar luaskan berita tentang penangkapan itu sehingga seluruh dunia kang-ouw menjadi gempar.

Bila yang ditangkap itu seorang atau beberapa orang tokoh sesat yang suka menimbulkan kekacauan dan kejahatan, hal itu tentu saja dianggap lumrah dan tidak akan ada yang merasa heran. Akan tetapi apa yang tersiar menjadi berita itu sungguh sebaliknya, kaisar menangkap keluarga pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw! Alangkah aneh dan janggalnya berita ini.

Banyak di antara para tokoh kang-ouw yang merasa penasaran sekali dan mereka sudah mencari-cari daya upaya harus bertindak bagaimana menghadapi peristiwa aneh itu. Tapi tentu saja banyak pula para tokoh liok-lim dan kaum sesat yang bersorak gembira karena pembasmian terhadap setiap orang pendekar penegak keadilan dan kebenaran berarti hilangnya seorang perintang dan musuh bagi mereka.

                 ***************

Akan tetapi ternyata Lee Siang adalah seorang panglima perang yang pandai menyusun siasat. Setelah menurut perhitungannya yang ternyata tepat sekali bahwa para pendekar yang terkenal setia kepada pemerintah itu akan menyerah setelah melihat 'surat perintah' kaisar. Lee-ciangkun sudah mempersiapkan pasukan pengawal yang sangat kuat, bahkan di setiap kota selalu siap serombongan pasukan yang akan memperkuat pengawalan itu.

Dia maklum bahwa penawanan empat orang pendekar itu tentu menimbulkan kegemparan dan untuk menjaga agar keempat tawanan itu jangan sampai terlepas atau dibebaskan orang, maka pengawalan dilakukan amat kuat, bahkan dia mengumpulkan jagoan-jagoan di kota raja yang dapat disogok dan dibelinya untuk membantu dalam pengawalan itu. Ini pula sebabnya maka para pendekar yang berusaha turun tangan menyelamatkan empat orang tawanan itu selalu menemui kegagalan.

Apa lagi setelah pada suatu malam terdapat rombongan dari Siauw-lim-pai yang hendak mempergunakan kekerasan untuk membebaskan tawanan itu dan mengalami perlawanan hebat, lalu mendengar teriakan pendekar Yap Kun Liong sendiri yang meminta kepada kawan-kawan di dunia kang-ouw supaya jangan melawan pemerintah. Karena dia yakin akan diadakan pengadilan yang adil di kota raja, maka tidak ada lagi kaum kang-ouw yang berani menggunakan kekerasan untuk mencoba membebaskan empat orang itu.

Pada suatu senja, rombongan pasukan yang mengawal kereta kerangkeng tawanan ini memasuki kota Po-teng yang ramai. Kota ini berada di sebelah selatan kota raja dan rombongan pasukan yang dipimpin oleh perwira Ma Kit Su segera membawa tawanannya ke penjara untuk menitipkan tawanan itu di tempat yang terjaga kuat itu, kemudian dia mengunjungi pembesar Ciong di kota Po-teng yang juga menjadi sahabat baik dari Lee Siang.

Kereta kerangkeng itu dimasukkan ke dalam penjara, dalam sebuah ruangan yang dijaga ketat oleh selosin prajurit. Kerangkeng itu sendiri amat kuat, terbuat dari baja yang dikunci dari luar, dan kedua tangan para tawanan itu pun dirantai, sedangkan ruangan itu sendiri berjeruji baja dan dikunci dari luar, di luarnya masih dijaga oleh selosin prajurit pilihan!

"Hemm, kalau mengingat betapa kita dikerangkeng seperti binatang-binatang buas, ingin aku mematahkan semuanya ini dan mengamuk!" Cia Giok Keng berkata, muncul kembali kekerasannya karena mengalami penghinaan yang luar biasa ini.

"Tenanglah, kota raja sudah dekat dan setelah dihadapkan ke pengadilan, aku yakin kita akan segera dibebaskan. Dibebaskan setelah diadili jauh lebih terhormat dari pada bebas menggunakan kekerasan."

"Aku heran sekali, kenapa kaisar menyuruh tangkap kita berempat?" Bun Houw berkata.

"Ini tentu fitnah, maka aku sebetulnya setuju dengan pendapat enci Keng untuk lolos dan mengamuk. Sungguh pun kaisar sendiri, kalau melakukan fitnah dan tindakan sewenang-wenang, haruslah ditentang!" kata Yap In Hong.

"Hong-moi, simpan kembali kemarahanmu itu," kata Kun Liong kepada adiknya. "Kalau kaisar melakukan tindakan ini, pasti ada sebabnya. Andai kata difitnah sekali pun, tentu kaisar tidak tahu bahwa beliau dibohongi atau ditipu orang. Apa bila kita mempergunakan kekerasan, hal itu justru akan memperkuat bukti bahwa kita memang suka memberontak. Maka sabarlah, mungkin dalam dua hari lagi kita sampai di kota raja dan akan menerima keputusan. Bila kemudian ternyata bahwa kaisar bertindak sewenang-wenang dan lalim, masih belum terlambat bagi kita untuk memberontak."

Mereka berempat lalu duduk diam, melakukan semedhi seperti biasa sehingga mereka tidak merasa menderita apa-apa sama sekali. Menjelang tengah malam, ada suara yang mencurigakan dan mereka berempat membuka mata. Dengan heran mereka melihat para penjaga di luar ruangan beruji baja itu tertidur semua, ada yang duduk yang bersandar dinding sambil memegangi tombak, ada yang malang melintang saling tindih.

Mereka saling pandang dengan penuh keheranan dan tiba-tiba Kun Liong mengeluarkan suara lirih, "Ssssttt...!"

Kun Liong mendengar sesuatu yang juga sudah didengar oleh tiga orang lainnya. Tidak lama kemudian, nampak berkelebat bayangan merah lantas dengan gerakan yang sangat ringan melayanglah sesosok tubuh wanita yang berpakaian serba merah lalu turun di luar ruangan itu.

Seorang wanita muda yang cantik manis, berpakaian serba merah, pedangnya tergantung di punggung, rambutnya tergulung rapi dan pakaiannya juga indah bersih, wajahnya yang cantik itu dirias rapi. Seorang wanita muda cantik manis yang pesolek, dan senyum pada bibirnya serta kerling matanya membayangkan kegenitan yang panas!

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Selagi Kun Liong dan Giok Keng merasa heran melihat wanita muda yang tidak mereka kenal itu, mendadak Bun Houw dan In Hong mengeluarkan seruan marah ketika mereka melihat wanita itu.

"Mau apa kau ke sini?!" Bun Houw membentak.

"Pergilah kau!" In Hong juga membentak.

Suara kedua orang suami isteri ini jelas membayangkan kemarahan besar sehingga Yap Kun Liong dan isterinya merasa makin heran lagi.

Tiba-tiba wanita muda itu menjatuhkan diri berlutut di luar ruangan itu sambil menangis. "Suhu... subo... masih begitu bencikah ji-wi kepada teccu? Suhu dan subo kena fitnah, harap ji-wi perkenankan teecu untuk membantu suhu dan subo."

"Tidak. Pergilah, kami tidak ingin kau bebaskan!" bentak In Hong.

"Bila suhu dan subo tidak menghendaki kekerasan, biarlah teecu membujuk Ciong-taijin, pembesar Po-teng ini untuk membebaskan ji-wi. Teecu kenal baik dengannya dan teecu pasti dapat mempengaruhinya..."

"Sudahlah, kami sudah bukan guru-gurumu lagi. Pergilah, jangan membikin aku marah!" kata Bun Houw.

"Suhu, demi keselamatan suhu dan subo, teccu rela mengorbankan nyawa teecu...," gadis itu memohon.

"Diam! Pergi kau! Pergi, wanita tak tahu malu!" In Hong berseru marah sekali, mengepal tinjunya sehingga Kun Liong merasa khawatir kalau-kalau adiknya itu akan mematahkan rantai dan membobolkan kerangkeng.

"Pergilah, kami tidak ada sangkut paut lagi denganmu," kata Bun Houw.

"Suhu... subo..." wanita itu menangis, kemudian bangkit berdiri, dengan mata merah dan bercururan air mata dia memandang lagi kepada wajah Bun Houw, kemudian meloncat dan berkelebat pergi dengan cepat sekali.

Bun Houw dan In Hong saling pandang lalu menarik napas panjang, agaknya merasa lega bahwa gadis itu sudah mau pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat, gerakannya jauh lebih cepat dari pada gadis tadi dan tahu-tahu Lie Seng telah berada di luar ruangan itu.

"Seng-ji...!" Cia Giok Keng berseru ketika mengenal puteranya.

"Ohh, ibu dan yang lain-lain tidak apa-apa, bukan? Hatiku khawatir sekali melihat wanita baju merah tadi menggunakan bubuk racun obat bius membikin semua penjaga pingsan. Tadinya kusangka dia memiliki niat jahat atau mungkin juga hendak menolong, maka aku ragu-ragu dan hanya membayangi. Siapakah dia? Kulihat dia pergi lagi sambil menangis."

"Tidak ada apa-apa, jangan khawatirkan kami." kata Bun Houw kepada Lie Seng, agaknya merasa tidak suka untuk bicara tentang wanita cantik itu.

Yap Kun Liong maklum akan sikap Bun Houw ini dan karena dia tidak ingin penjaga baru datang dan melihat Lie Seng di situ, maka dia berkata, "Seng-ji, kau tinggalkanlah tempat ini. Baik sekali engkau selama ini membayangi kami, dan lakukanlah itu terus, akan tetapi hati-hatilah, jangan sampai ketahuan oleh fihak pengawal dan jangan melakukan apa pun sebelum ada tanda dari kami. Kami tidak menghendaki kekerasan."

"Benar kata ayahmu itu, Seng-ji. Kau pergilah dan bayangi saja dari jauh. Kami berempat sanggup menjaga diri." kata Giok Keng kepada puteranya, hatinya gembira dan bangga melihat puteranya itu ternyata terus membayangi mereka.

"Jangan khawatir, ayah dan ibu. Akan tetapi harap ayah dan ibu, paman dan bibi selalu berhati-hati dan periksa baik-baik dulu sebelum makan hidangan yang mereka suguhkan. Saya merasa curiga terhadap penangkapan ini."

Setelah meninggalkan pesan itu, Lie Seng lalu berkelebat pergi dan untung dia bergerak cepat karena para penjaga sudah mulai ada yang siuman dari pingsannya, bergerak dan menguap seperti orang baru bangun tidur.

"Bun Houw, siapakah wanita tadi dan benarkah dia itu murid kalian berdua?" Cia Giok Keng tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk bertanya kepada adiknya mengenai gadis yang hendak menolong mereka, akan tetapi ditolak dengan kasar oleh adiknya itu.

"Aku pun heran mengapa engkau bersikap sedemikian kaku dan penuh benci kepadanya, Hong-moi?" kata Yap Kun Liong kepada adiknya. "Siapakah dia?"

Bun Houw dan In Hong saling pandang dan di dalam pandangan mata ini terjalin saling pengertian mendalam. Bun Houw menarik napas panjang, lalu berkata sebagai jawaban kepada Yap Kun Liong dan isterinya,

"Sesungguhnya, kami berdua tadinya hendak merahasiakan tentang gadis itu selamanya, tetapi siapa sangka malam ini dia muncul, maka tidak perlu lagi kiranya kami menyimpan rahasia ini setelah diketahui oleh Liong-ko dan Keng-cici. Baik, akan kuceritakan semua tentang dia."

Pendekar ini mulai bercerita, dengan suara bisik-bisik supaya jangan terdengar oleh para penjaga yang mulai sadar, hanya dapat terdengar oleh mereka berempat saja. Beginilah ceritanya.

                   ***************

Seperti telah diceritakan di bagian terakhir dari cerita Dewi Maut, Bun Houw dan Yap In Hong terpaksa pergi meninggalkan ayah pendekar itu, yaitu Cia Keng Hong karena ketua Cin-ling-pai ini tidak menyetujui perjodohan antara mereka. Hati mereka sedih, akan tetapi karena cinta kasih mereka yang mendalam, mereka pun siap meninggalkan keluarga dan hidup berdua saja. Hal itu terjadi kurang lebih enam belas tahun yang lalu, dan keduanya lalu pergi menuju ke Kiang-shi untuk mengambil seorang anak perempuan bernama Sun Eng.

Dalam cerita Dewi Maut dikisahkan bahwa dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuh besar keluarganya, Bun Houw pernah bersahabat dengan seorang bekas penjahat yang telah menjadi seorang pemilik rumah judi, bernama Sun Bian Ek, kepala Hok-pokoan di Kiang-shi.

Sun Bian Ek ini sengaja mengganti namanya karena dia menjadi orang buruan, berganti nama menjadi Liok Sun dan berjuluk Kiam-mo (Setan Pedang). Kiam-mo Liok Sun atau Sun Bian Ek ini suka kepada Bun Houw, bahkan dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuhnya, akhirnya Kiam-mo Liok Sun sampai tewas di tangan para musuh Bun Houw. Sebelum tewas, Liok Sun atau Sun Bian Ek ini meninggalkan pesan kepada Bun Houw supaya suka memelihara dan mendidik puteri satu-satunya yang berada di Kiang-shi dan bernama Sun Eng.

Demikianlah, setelah dia melakukan perantauan dengan Yap In Hong, Cia Bun Houw tidak melupakan janjinya lantas bersama In Hong yang sudah diceritakannya tentang janji itu, mereka berdua pergi ke Kiang-shi untuk menemui anak perempuan yang pada waktu itu baru berusia sepuluh tahun, seorang anak perempuan yang cantik manis.

Kemudian, sesudah merantau sampai jauh dan memilih-milih tempat, akhirnya Bun Houw dan In Hong memilih kota Bun-cou di sebelah selatan Propinsi Ce-kiang, yakni sebuah kota yang cukup ramai tidak jauh dari pantai timur. Mereka sengaja menjauhkan diri agar tidak lagi bertemu dengan keluarga mereka, dan mereka seolah-olah mengubur diri jauh di timur.

Sun Eng menjadi murid mereka, akan tetapi karena kedua orang pendekar ini masih amat muda, mereka menganggap Sun Eng seperti adik sendiri dan secara bergantian mereka berdua mendidik serta memberi pelajaran surat dan silat kepada gadis itu. Semenjak kecil Sun Eng mempunyai watak yang periang dan lincah jenaka, sehingga keriangan anak itu menjadi sinar yang menerangi kehidupan sepasang kekasih yang merasa sangat prihatin karena jauh dari keluarga ini. Sayang sekali, mereka terlampau muda dan kesayangan mereka terhadap Sun Eng mereka perlihatkan sedemikian rupa hingga Sun Eng menjadi manja sekali.

Makin besar Sun Eng menjadi makin cantik, akan tetapi dalam kelincahannya terkandung sifat-sifat pesolek dan genit yang mengkhawatirkan hati In Hong dan Bun Houw. Namun mereka berdua terlampau sayang kepada Sun Eng, maka mereka membiarkan saja Sun Eng bertingkah genit, dan juga tidak melarang ketika Sun Eng mulai berkenalan dengan anak-anak tetangga.

Setelah lewat tujuh tahun, Sun Eng menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik manis, pesolek dan pandai berias, murah senyum dan kerling matanya amat tajam memikat. Disamping ini, juga ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi karena memang dia berbakat sekali sehingga apa yang diajarkan oleh suhu dan subo-nya dapat dia kuasai dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Setelah berusia tujuh belas tahun, nampak gejala-gejala tidak baik yang mulai terasa oleh Bun Houw, yaitu bahwa muridnya itu agaknya mempunyai kecondongan hati kepadanya! Dari sinar matanya, dari sikapnya, dari gayanya apa bila sedang dilatihnya silat, semua itu menunjukkan bahwa dara cantik manis ini berdaya upaya memikatnya dengan berbagai cara.

Bahkan ketika sedang berlatih silat di hadapannya, sering Sun Eng sengaja menonjolkan bagian-bagian tubuhnya yang menggairahkan, seperti bagian dadanya atau pinggulnya, sedemikian rupa untuk menarik perhatiannya! Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan menghibur hatinya sendiri serta memaki-maki diri sendiri sebagai mata keranjang dan tak tahu malu, menuduh murid sendiri yang dianggapnya seperti adik sendiri itu sedemikian rupa!

Setelah dewasa, Sun Eng mulai mengerti bahwa antara suhu dan subo-nya ini tidak ada hubungan jasmani. Belum pernah dia melihat suhu dan subo-nya yang mengaku suami isteri ini tidur sekamar, apa lagi sepembaringan! Mulailah dia tertarik dan bertanya-tanya, bahkan dengan cerdik dia memancing-mancing kenapa suhu dan subo-nya tidak pernah menjenguk keluarga mereka hingga akhirnya subo-nya menceritakan kepadanya karena menganggap dia sebagai keluarga sendiri yang dipercaya, mengenai perjodohan mereka yang ditentang oleh orang tua Bun Houw.

"Kami sudah berjanji tidak akan menjadi suami isteri dalam arti sesungguhnya sebelum mendapat restu orang tua," subo-nya mengakhiri ceritanya sebagai jawaban pertanyaan mengapa suhu dan subo-nya belum juga mempunyai keturunan!

Maka tahulah Sun Eng bahwa suhu-nya masih perjaka dan subo-nya masih perawan. Dia makin tertarik dan merasa kasihan kepada suhu-nya. Memang dia amat kagum dan cinta kepada Bun Houw, maka mendengar penuturan ini, dia menjadi semakin berani kepada gurunya yang masih muda itu, yang hanya lebih tua sepuluh tahun dari padanya.

Watak Sun Eng ini ditambah oleh pergaulannya dengan segala orang, mendengar cerita-cerita cabul dan melihat tindak-tanduk mereka yang tidak mempedulikan susila sehingga dia sendiri terseret dan menjadi seorang wanita yang mendambakan cinta birahi.

Pada suatu malam, selagi Bun Houw tidur di dalam kamarnya seorang diri seperti biasa, Sun Eng yang sudah tidak mampu menahan gelora hatinya yang dihantui oleh bayangan pikirannya sendiri mengenai adegan-adegan mesra seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kenalan-kenalannya, dengan nekat memasuki kamar gurunya itu.

"Seorang pria yang usianya hampir tiga puluh tahun seperti gurumu itu dan tidak pernah tidur dengan isterinya, tentu nafsunya besar bukan main, seperti air terbendung dan sekali bersentuhan dengan seorang wanita, tentu dia akan runtuh, seperti air bah yang menjebol bendungannya!" berkata seorang di antara wanita tetangga, seorang janda yang terkenal nakal dan mata keranjang sambil tertawa penuh arti saat Sun Eng menceritakan keadaan gurunya, "Sayang, dia begitu tampan dan gagah, sayang kalau seorang pria seperti dia tersia-sia."

Malam itu Sun Eng gelisah di atas pembaringannya. Ucapan-ucapan seperti itu terngiang di telinganya dan dia lalu membayangkan, betapa akan mesranya jika gurunya memeluk, menciuminya, bermain cinta dengan dia yang sudah sejak lama tergila-gila pada gurunya yang dia tahu merupakan seorang pendekar sakti yang amat hebat itu.

Betapa kaget rasa hati Bun Houw saat dia merasakan sesuatu yang lembut menindihnya, dua lengan yang mulus merangkulnya dan wajah yang terengah-engah menempel pada wajahnya, sebuah mulut yang lembut menciuminya! Syaraf-syarafnya yang terlatih segera menanggapi dan hampir saja dia menggerakkan tangan hendak menyerang, akan tetapi dia segera melihat bahwa wajah yang terengah-engah itu, yang kemerahan dan penuh dicengkeram nafsu birahi, adalah wajah cantik manis dari Sun Eng! Kekagetan berganti keheranan luar biasa.

"Suhu... ahhh, suhu... aku cinta padamu..." Bisikan di antara napas terengah-engah ini, ciuman pada pipinya, bibirnya, membuat Bun Houw yang tadinya terheran-heran menjadi marah bukan main.

Bun Houw sudah menggerakkan tangan, akan tetapi kesadarannya masih membuat dia dapat merubah pukulan itu menjadi dorongan sehingga tubuh dara itu terlempar dari atas tubuhnya, bahkan kemudian terbanting ke bawah pembaringan. Bun Houw sudah bangkit duduk.

Akan tetapi Sun Eng tidak menjadi takut, malah kini dara itu cepat membuka pakaiannya, memperlihatkan dadanya yang muda dan mempesonakan.

"Suhu... suhu... lihatlah aku cinta padamu, suhu... aku hendak mempersembahkan tubuh ini kepadamu..." Dan dara itu lalu merangkul lagi, mendekap kepala gurunya yang masih muda itu ke dadanya, kemudian mengangkat muka itu, menciumnya penuh nafsu birahi.

Bun Houw memejamkan mata dan seperti orang kehilangan dirinya sendiri, dia tenggelam dan terseret, kedua lengannya memeluk pinggang ramping itu, jari-jari tangannya bertemu dengan bukit-bukit pinggul dan dia pun balas mencium bibir yang menantang itu.

Tetapi, tiba-tiba seperti sinar terang yang berkilat menerangi kegelapan, kewaspadaannya membuat Bun Houw melihat betapa gilanya dia menyambut bujukan iblis yang berupa pikirannya sendiri yang ingin mereguk kepuasan dengan melayani muridnya itu, biar pun peristiwa yang amat kotor. Tiba-tiba dia mendorong tubuh Sun Eng, sedemikian kuatnya sehingga tubuh dara itu terlempar menabrak pintu kamarnya!

Bun Houw sudah bangkit berdiri, matanya berkilat-kilat, dan pada saat itu terdengar suara In Hong dari luar, "Houw-ko, ada apakah?"

Secepat kilat Sun Eng sudah membereskan bajunya lantas meloncat keluar dari jendela. Ketika In Hong memasuki kamar, dia cepat berkata dari luar jendela itu,

"Subo, teecu tadi seperti mendengar suara mencurigakan, teecu menyangka maling maka teecu hendak memberi tahu kepada suhu, tetapi celakanya, dalam kagetnya suhu malah mengira teecu malingnya!"

Cia Bun Houw menekan perasaannya yang tidak karuan, jantungnya berdebar kencang penuh ketegangan dan dia tahu bahwa kalau dia banyak bicara dalam saat itu, tentu In Hong akan menjadi curiga.

"Ahh, aku hanya melihat bayangan di luar jendela, maka aku segera menyerang. Untung Eng-ji dapat mengelak," katanya.

"Sun Eng, berhati-hatilah kau kalau mendekati kamar gurumu. Engkau tentu tahu bahwa seorang ahli silat yang sudah matang ilmunya dan ilmu silat sudah mendarah daging di dalam dirinya, syaraf-syarafnya selalu siap untuk menjaga diri dan dalam keadaan terkejut terbangun dari tidurnya dapat menyerang dengan tiba-tiba."

"Maaf, subo... teecu khawatir mendengar bunyi itu, mungkin saja hanya kucing..."

"Hemm, betapa pun, harus kuselidiki sendiri," kata In Hong yang cepat melayang naik ke atas genteng dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain dia lalu turun kembali dan memasuki kamarnya. Sedikit pun dia tidak menaruh curiga atas terjadinya peritiwa itu.

Akan tetapi tentu saja Bun Houw tak dapat tidur memikirkan keanehan dari muridnya itu. Dia melihat bahaya yang sangat besar mengancam dirinya dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Akan tetapi, melihat betapa suhu-nya tidak membuka rahasianya terhadap subo-nya, hal ini diterima salah oleh Sun Eng yang mengira bahwa suhu-nya melindungi dan bahwa diam-diam suhu-nya itu menanggapi pencurahan cintanya, maka dia bukannya mundur malah sikapnya menjadi makin mendesak. Sikapnya bukan hanya makin berani, bahkan di depan subo-nya, dia tidak dapat menyembunyikan kerling matanya yang penuh daya pikat dan penuh kasih mesra terhadap suhu-nya.

Tentu saja Bun Houw merasakan ini dan dia menjadi semakin gelisah dan tidak enak, apa lagi setelah dia melihat bahwa isterinya mulai memandang kepadanya dengan sinar mata aneh penuh curiga yang makin lama menjadi kecurigaan yang mengandung cemburu!

Cemburu adalah suatu di antara perasaan-perasaan manusia yang amat aneh dan amat kuatnya mencengkeram batin manusia. Banyak orang menyangka, bahkan berpendapat bahwa cemburu adalah tanda cinta, bahkan cemburu tak terpisahkan dari cinta! Betulkah perkiraan atau pendapat demikian itu?

Apa bila kita menanggapi dengan perkiraan atau pendapat yang lain, maka akan terjadi pertentangan pendapat yang ribuan macam banyaknya dan tiada habisnya, pula tidak ada gunanya. Sebaliknya kalau kita masing-masing menghadapi perasaan cemburu itu sendiri apa bila dia timbul, lalu mengamatinya dengan penuh kewaspadaan sehingga kita dapat menyelidikinya, mempelajarinya kemudian mengerti dengan sepenuhnya tentang susunan cemburu, bagaimana munculnya, apa sebabnya dan apa pula akibatnya.

Karena hanya pengertian yang mendalam, yang timbul dari pengamatan yang waspada ini sajalah yang akan menciptakan perubahan sehingga kita tidak lagi disentuh oleh racun cemburu. Dengan memandang kepada diri sendiri, maka kita bersama dapat melakukan penyelidikan apakah sebenarnya cemburu itu sehingga bukan hanya menjadi semacam pengetahuan teoritis yang hampa. Pengetahuan teoritis seperti itu tak akan melenyapkan cemburu.

Kita semua, tentu saja yang sudah pernah mengalaminya, tahu belaka apakah akibat dari perasaan cemburu ini. Cemburu menimbulkan derita batin, merasa sengsara, nelangsa, kecewa, berduka, kesepian, murung dan banyak pula yang menjadi marah, kemudian dicengkeram kebencian hingga menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan. Oleh karena itu, kita semua tahu betapa buruknya akibat dari cemburu, dan tentu saja sebaiknya bila kita tidak pernah lagi disentuh oleh racun cemburu ini.

Dari manakah timbulnya cemburu? Hendaknya jangan tergesa-gesa menjawab dari cinta! Cemburu mendatangkan penderitaan dan kekerasan, oleh karena itu amatlah tidak tepat kalau menghubungkan cemburu dengan cinta kasih! Bukanlah cinta kasih bila akhirnya mendatangkan kedukaan dan kebencian!

Cemburu muncul KARENA KITA TAKUT KEHILANGAN APA YANG MENDATANGKAN KESENANGAN KEPADA KITA! Cemburu baru timbul kalau kita merasa adanya bahaya bahwa sesuatu yang kita anggap milik kita yang kita sayangi, baik itu merupakan benda, sahabat atau pacar atau suami atau isteri, akan terpisah dari kita dan menjadi milik orang lain. Jadi cemburu datang karena kita ingin mempertahankan sesuatu atau sesuatu yang mendatangkan kesenangan kepada kita, dan yang ingin kita monopoli atau miliki sendiri saja itu.

Cemburu adalah kekecewaan dan kemarahan yang timbul karena PUNYAKU diganggu, karena milikKU diambil orang lain, atau, lebih tepat karena takut atau khawatir milikKU diambil oleh orang lain. Jadi cemburu bersumber dari si aku yang ingin senang sendiri, dan barang atau pun orang yang kita cinta itu menjadi sumber atau alat dari mana kita memperoleh kesenangan, maka kalau sumber atau alat itu diambil orang lain, kita lalu menjadi sedih, marah atau cemburu karenanya.

Cinta kasih tidak ada sangkut-pautnya dengan cemburu. Cinta kasih bukan berarti aku ingin senang, aku ingin mengusai, justru aku ingin senang dan aku ingin menguasai ini meniadakan cinta kasih! Cinta kasih tidak dapat dipaksakan, cinta kasih tidak mungkin dapat diikat.

Kalau kita merasa sayang kepada sebuah benda, tentu kita akan merawatnya baik-baik, menjaganya dengan hati-hati agar tidak rusak atau pecah, bukan? Dan kita melakukan semua itu karena benda tadi mendatangkan rasa senang kepada kita. Demikian pula kepada seorang pacar. Rasa senang itulah yang membuat kita menjaganya, supaya dia tidak sampai dipisahkan dari kita, karena hal itu berarti bahwa kita kehilangan itu!

Padahal, kalau bisa dinamakan keinginan, kiranya satu-satunya keinginan dari seorang yang mencinta adalah ingin melihat orang yang kita cinta itu berbahagia! Akan tetapi pengejaran kesenangan membuat kita berpendapat bahwa orang yang kita cinta itu HANYA BISA BERBAHAGIA kalau menjadi milik kita! Betapa picik pendapat seperti ini, bukan?

Demikianlah, Yap In Hong mulai dicengkeram perasaan cemburu ketika dia melihat sikap muridnya yang terlampau manis terhadap Bun Houw. Sebagai seorang wanita yang keras hati, In Hong tidak pernah dapat menyimpan rasa penasaran, setiap ganjalan hati tentu akan dikeluarkan melalui perbuatan dan kata-kata.

Oleh karena itu, setelah melihat jelas sikap muridnya yang ditangkapnya dengan ketajaman naluri kewanitaannya, pada suatu malam setelah beberapa hari lewat semenjak peristiwa malam itu, In Hong menemui Bun Houw dan dengan suara dingin dan sikap tegas dia berkata, "Houw-ko, sekarang ceritakanlah apa artinya sikap Sun Eng yang demikian manis dan memikat kepadamu!"

Bukan main kagetnya hati Bun Houw mendengar ini. Saking kagetnya karena hal yang mengganjal hatinya selama beberapa hari ini secara tiba-tiba disentuh oleh kekasihnya, dia menjawab dengan gagap. "Apa... apa yang kau maksudkan, Hong-moi...?"

"Houw-ko, bukankah sudah tidak ada rahasia lagi di antara kita? Engkau pun tahu akan sikap aneh dari Sun Eng kepadamu, sikap manis memikat yang tidak wajar. Apa artinya itu?"

Kini Bun Houw sudah dapat menenangkan hatinya lagi, maka dia sudah siap dan setelah menarik napas panjang dia lalu berkata, "Aahhh, hal ini menggangguku dalam beberapa hari ini, Hong-moi, membuatku sukar tidur nyenyak dan merasa gelisah karena aku selalu meragu apakah hal ini akan kuceritakan kepadamu secara terus terang atau tidak. Aku tadinya khawatir kalau-kalau engkau akan marah besar kemudian melakukan hal-hal yang mencelakakan kalau aku berterus terang. Akan tetapi melihat sikap anak itu yang makin menjadi-jadi, yang tentu menimbulkan kecurigaanmu, sebaiknya aku berterus terang saja. Hanya sebelumnya, harap engkau bersabar hati, Hong-moi, dan jangan bertindak keras, karena kasihan anak itu yang selain menjadi murid, juga seperti adik kita sendiri."

Biar pun alisnya berkerut tanda kemarahan, In Hong mengangguk karena dia sudah dapat menduga bahwa tentu murid itu telah jatuh cinta kepada kekasihnya ini. Maka dia dapat mendengarkan dengan sabar ketika Bun Houw menceritakan semua yang terjadi pada beberapa malam yang lalu, pada saat Sun Eng memasuki kamarnya dan memperlihatkan sikap yang sangat tidak patut, merayunya. Tentu saja dia tidak menyebut-nyebut tentang betapa dia hampir terseret oleh rayuan Sun Eng, betapa dia bahkan sudah membalas pelukan dan ciuman dara remaja itu.

Memang, pekerjaan yang paling sukar di dunia ini bagi manusia adalah membuka rahasia kekotoran dirinya sendiri! Semua manusia ingin dan berdaya upaya sekuat tenaga untuk menutupi kekotoran dirinya, akan tetapi di samping itu pun, berdaya upaya sekuat tenaga untuk membuka dan mengungkap semua rahasia kekotoran orang lain! Hanya dengan pengamatan waspada saja maka akan timbul kesadaran dan pengertian akan kepalsuan yang menyesatkan ini.

Wajah In Hong menjadi merah, sinar matanya berkilat penuh api kemarahan ketika dia mendengarkan penuturan kekasihnya sampai selesai. "Hemmm, bocah itu sungguh tidak tahu diri dan tak tahu malu!" gumamnya.

"Memang dia telah melakukan hal yang tidak sopan sama sekali, Hong-moi. Akan tetapi kasihanilah dia, dia itu masih kanak-kanak dan perlu bimbingan dan nasehat kita. Kukira sebaiknya kalau dia mengerti bahwa engkau sudah tahu akan perbuatannya itu agar dia menjadi takut. Bagaimana kalau kita panggil dia kemudian kita bersama menasehatinya dan memarahinya agar dia sadar kembali dari kesesatannya itu?"

In Hong menarik napas panjang untuk menekan kepanasan hatinya, lalu dia mengangguk. "Kurasa sebaiknya demikian. Kalau dipikir mendalam, memang kita pun bersalah, koko. Kita bertanggung jawab. Ketika dia kita bawa, dia adalah seorang anak perempuan yang belum tahu apa-apa dan masih bersih. Kalau dia sekarang ternoda oleh pikiran penuh gejolak nafsu itu, adalah karena dia terlalu banyak bergaul dengan orang-orang luar yang menghambakan diri kepada nafsu. Dan ini tentu saja tidak terlepas dari tanggung jawab kita yang agaknya kurang keras terhadap Sun Eng."

Bun Houw mengangguk. "Engkau benar, Hong-moi. Dan mudah-mudahan saja kita belum terlambat untuk mendidiknya kembali ke jalan benar supaya kelak di alam baka aku tidak usah merasa malu terhadap Kiam-mo Sun Bian Ek."

Maka dipanggillah Sun Eng. Ketika dara itu melihat wajah suhu dan subo-nya, wajahnya menjadi agak pucat. Dari sinar mata kedua orang gurunya yang seperti pengganti orang tuanya sendiri itu, tahulah dia bahwa sudah terjadi hal yang sangat penting dan dia dapat meraba apa adanya hal penting itu. Karena itu, sesudah memberi hormat, dia lalu duduk dan menundukkan mukanya.

Sejenak lamanya kedua orang pendekar itu menatap wajah yang menunduk itu, kemudian terdengar In Hong berkata, suaranya angker dan penuh wibawa, dingin akan tetapi juga mengandung rasa sayang,

"Sun Eng, engkau adalah murid kami, dan juga seperti keluarga kami sendiri, oleh karena itu, mengingat bahwa engkau kini sudah mulai dewasa, kukira sebaiknya kalau kita bicara dari hati ke hati secara terbuka."

Ucapan ini membuat Sun Eng makin gelisah dan tegang karena dia masih belum dapat meraba ke mana dia hendak dibawa oleh subo-nya dalam percakapan ini, karena itu dia hanya mengangguk, dan menjawab, "Baik, subo."

"Sun Eng, aku sudah tahu akan perbuatanmu terhadap suhu-mu beberapa malam yang lalu."

"Aihh...!" Sun Eng mengangkat mukanya yang berubah merah dan memandang kepada wajah Bun Houw.

Pendekar ini mengangguk. "Aku menceritakan hal itu kepada subo-mu, Sun Eng, demi kebaikan kita bersama dan supaya engkau mengerti benar betapa tidak benar dan tidak patut adanya sikap dan tindakanmu itu."

Sun Eng mengeluh kecil dan menunduk kembali.

"Eng-ji, engkau tentu sudah cukup dewasa untuk mengetahui bahwa sikapmu terhadap suhu-mu, terutama tindakanmu malam itu, sungguh amat tidak patut dan tersesat sekali. Suhu-mu adalah gurumu yang sekaligus menjadi pengganti ayahmu, atau seorang kakak yang membimbingmu. Bagaimana mungkin engkau merubah pandanganmu dari ketaatan dan kehormatan sebagai seorang murid kepada guru, menjadi cinta birahi seorang wanita terhadap pria? Kau tahu bahwa suhu-mu adalah seorang pendekar yang tentu tidak akan mau terperosok ke dalam perbuatan hina seperti itu! Lagi pula, engkau adalah seorang dara remaja, bagaimana engkau hendak merendahkan diri sedemikian rupa? Di manakah kesopananmu? Apakah engkau sudah tidak mempunyai rasa malu lagi?" Suara In Hong meninggi terbawa oleh perasaan marahnya.

"Dan engkau harus tahu bahwa sikap dan perbuatanmu itu merupakan suatu hal yang paling menyakitkan dan menghancurkan hatiku, Eng-ji. Engkau kuanggap sebagai adik sendiri, atau anak sendiri, dan sekarang engkau melakukan hal seperti itu kepadaku! Ah, hal itu dapat lebih mencelakakan dari pada kalau engkau menyerangku dengan pedang di tangan!" Bun Houw menambahkan.

Kepala itu terangkat dan menjadi pucat sekali, air matanya bercucuran kemudian dengan terisak-isak Sun Eng berkata. "Harap suhu dan subo mengampunkan teecu, atau kalau suhu dan subo menjadi marah dan hendak menghukum teecu, biar teecu dibunuh sekali pun teecu tidak akan merasa penasaran. Teecu tidak sadar bahwa perbuatan teecu itu menghancurkan hati suhu dan menyedihkan hati subo. Sebetulnya teecu kasihan kepada suhu, kasihan mendengar riwayat suhu dan subo, dan teecu... teecu hanya bermaksud ingin menghibur hati suhu..."

"Hemm, menghibur dengan jalan menyerahkan diri seperti itu?" In Hong berkata.

"Ampunkan, subo... teecu pikir... jangankan hanya menyerahkan diri... jangankan hanya mengorbankan badan... walau menyerahkan nyawa berkorban jiwa pun teecu rela untuk membalas budi kebaikan suhu dan subo..."

In Hong dan Bun Houw saling pandang, kemudian memandang pula kepada Sun Eng yang sudah menunduk dan menangis lagi.

"Sudahlah, kami hanya ingin agar engkau mengerti bahwa perbuatanmu itu tidak pantas kau lakukan dan agar mulai detik ini engkau merubah pandanganmu terhadap suhu-mu, menjadi seperti dulu lagi, ketika engkau masih kecil, pandangan seorang murid terhadap gurunya dan agar perasaan yang bukan-bukan itu kau enyahkan dari hatimu. Mengerti?"

Sun Eng mengangguk berkali-kali dan bibirnya menggumam di antara isaknya, "...teccu salah... teecu salah..."

Melihat murid itu, Bun Houw merasa kasihan sekali. "Sun Eng, sadarlah bahwa aku dan subo-mu menyayangmu sebagai guru-guru terhadap murid, atau sebagai kakak terhadap adik, maka jangan engkau menafsirkan secara keliru dan sesat. Yang sudah lalu biarlah lalu dan kita lupakan bersama, mulai detik ini engkau harus kembali ke jalan benar."

Demikianlah, sepasang pendekar itu mengampuni murid mereka. Akan tetapi semenjak hari itu, terdapat suatu kerenggangan dan kecanggungan antara murid dan kedua orang gurunya itu, suatu celah dan batas yang membuat guru dan muridnya itu tidak dapat sedekat dan seakrab dahulu lagi. Pandang mata antara mereka terselubung, dan senyum mereka dibuat-buat.

Agaknya peristiwa itu telah menimbulkan luka yang cukup mendalam, baik bagi si murid mau pun bagi dua orang gurunya. Dan karena kerenggangan ini, maka Sun Eng makin mendekatkan diri dan bergantung kepada teman-temannya, kepada para tetangganya.

Di dalam hati Bun Houw dan In Hong juga timbul semacam kehambaran dan kehampaan terhadap murid mereka, membuat mereka bersikap tak begitu mempedulikan lagi. Bahkan ketika mereka melihat dan mendengar betapa Sun Eng sering bergaul dengan pemuda-pemuda yang suka berkeliaran dengan pakaian-pakaian indah, pemuda-pemuda hartawan dan bangsawan yang pekerjaannya setiap hari hanya mengincar gadis-gadis cantik untuk dijadikan teman, sepasang pendekar ini yang tadinya kadang-kadang masih menegur dan menasehati, akhirnya juga diam saja. Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa kini mereka membenci Sun Eng, melainkan karena tidak ingin dianggap terlalu mengekang oleh gadis yang bukan keluarga mereka itu.

Beberapa bulan kemudian sepasang pendekar ini merasa terkejut sekali ketika menerima serombongan tamu yang ternyata adalah utusan dari keluarga Auw, seorang pembesar yang kaya raya di kota itu. Utusan ini datang untuk meminang Sun Eng, untuk menjadi jodoh Auw-kongcu, putera tunggal pembesar Auw itu.

Auw-kongcu adalah seorang pemuda yang sudah sangat terkenal sebagai pemuda mata keranjang di kota itu, berandalan dan terkenal pengganggu wanita-wanita di daerah itu, mengandalkan ketampanannya, hartanya dan kedudukan orang tuanya. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa murid mereka dilamar oleh pemuda yang tersohor buruk watak ini, tentu saja Bun Houw beserta Yap In Hong menjadi marah dan serta merta menolak pinangan itu.

Apa lagi In Hong! Kurang lebih dua tahun yang lalu pendekar wanita ini pernah menghajar Auw-kongcu, bahkan kalau saja tidak dicegah oleh Bun Houw tentu telah membunuhnya karena Auw-kongcu berani main gila kepadanya, berani mengeluarkan kata-kata yang tak sopan dan hendak menggodanya di depan kuil pada waktu dia melakukan sembahyang seorang diri. Dan kini pemuda kurang ajar itu telah mengirim utusan melamar Sun Eng! Maka, tidaklah mengherankan apa bila pendekar wanita yang berwatak keras ini seketika mengusir utusan-utusan itu dengan jawaban sejelas-jelasnya bahwa mereka menolak pinangan itu.

Para utusan itu lalu pergi dengan ketakutan, akan tetapi Bun Houw dan In Hong melihat betapa wajah murid mereka membayangkan kemarahan dan ketidak senangan hatinya oleh penolakan itu.

"Eng-ji, yang meminangmu itu adalah seorang pemuda yang namanya tersohor jahat dan busuk di kota ini, karena itu kami menolaknya dengan keras," kata In Hong.

"Terserah suhu dan subo," jawab dara itu dengan singkat kemudian meninggalkan kedua gurunya, jelas nampak bahwa dia merasa tidak senang.

Bun Houw menarik napas panjang. "Aihh, untunglah dia bukan adik atau anak kita, kalau demikian halnya, tentu benar-benar mengesalkan hatiku bukan main."

"Betapa pun juga, dia adalah murid kita maka sudah sepatutnya kita jaga agar jangan memperoleh suami yang brengsek," kata In Hong.

Peristiwa penolakan pinangan Aw-kongcu itu agaknya makin merenggangkan hubungan antara kedua orang guru dengan muridnya itu. Atau lebih tepat lagi, Sun Eng kini makin menjauhkan diri, dan kalau berada di hadapan kedua orang gurunya, dia selalu cemberut. Bahkan kini, dia tidak pernah lagi bertanya-tanya tentang ilmu silat kepada mereka, lebih banyak pergi ke tetangga dari pada berlatih silat, setelah selesai membantu subo-nya di dapur.

Bahkan beberapa hari kemudian sepasang pendekar itu melihat perubahan besar pada diri murid mereka. Wajahnya agak pucat dan sepasang matanya banyak melamun. Hal ini mencurigakan hati In Hong dan pendekar wanita ini membisiki kekasihnya bahwa mereka harus lebih memperhatikan Sun Eng.....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 24



DEMIKIANLAH, pada suatu malam, ketika mereka menaruh perhatian, mereka mendengar jendela kamar murid mereka terbuka perlahan kemudian mereka melihat berkelebatnya bayangan murid mereka itu keluar meninggalkan kamarnya, lalu meninggalkan rumah itu.

In Hong dan Bun Houw langsung membayangi dari jauh dan dengan penuh keheranan mereka melihat murid mereka itu memasuki sebuah hutan kecil di pinggir kota. Ketika tiba di padang rumput yang diterangi bulan purnama, di situ mereka melihat seorang laki-laki telah menanti kedatangan Sun Eng dan begitu mereka bertemu, keduanya saling rangkul dan saling berciuman dengan penuh gelora nafsu!

"Ah, kau datang juga... betapa aku sudah khawatir kau tidak dapat datang," terdengar pria itu berkata dan dengan hati mendongkol sekali Bun Houw dan In Hong mengenal bahwa pria itu bukan lain adalah Auw-kongcu!

"Aku tentu datang, kongcu, aku pun rindu sekali padamu."

"Ahhh, Eng-moi, engkau memang manis, sayang," kata Auw-kongcu.

Kini sepasang pendekar itu memandang dengan mata terbelatak ketika mereka melihat betapa murid mereka mandah saja dirangkul dan direbahkan di atas rumput, lalu digumuli pemuda itu dan bahkan tertawa cekikikan pada saat tangan pemuda itu meraba-raba lalu mulai membukai pakaiannya!

"Keparat!" In Hong memaki dan dia telah meloncat ke depan, tubuhnya melayang seperti seekor burung garuda menyambar dan di lain saat tubuh Aw-kongcu sudah diangkat dan dibantingnya, bagaikan membanting seekor anjing saja. Auw-kongcu berteriak kaget dan kesakitan.

"Anjing hina-dina!" kembali In Hong membentak ketika melihat muridnya dengan pakaian setengah terbuka itu menatapnya dengan mata terbelalak. "Manusia she Auw keparat, engkau memang sudah layak dibunuh!"

Akan tetapi tiba-tiba Sun Eng menubruk dan dara ini sudah berdiri menghadang subo-nya melindungi tubuh Aw-kongcu yang sudah merangkak bangun dengan muka ketakutan itu. Dengan muka merah sekali karena malu, akan tetapi sepasang matanya bersinar penuh keheranian Sun Eng menghadapi subo dan suhu-nya, lalu berkata dengan suara lantang.

"Subo tidak berhak membunuhnya! Subo tidak berhak memukulnya. Apakah kesalahan Ang-kongcu terhadap subo maka subo menyerangnya?"

Hampir In Hong tidak percaya mendengar pertanyaan itu. "Tidak berhak...? Dan dia... dia dan kau..."

"Memang aku telah menyerahkan diriku kepadanya! Aku telah menjadi... isterinya. Malah sudah lima kali aku menyerahkan diriku kepada laki-laki yang kucinta. Apa hubungannya ini dengan subo?" teriak Sun Eng menantang.

In Hong merasa mukanya seperti ditampar oleh tangan yang tak nampak, juga Bun Houw mengeluarkan seruan tertahan. Dara yang sejak kecil mereka pelihara, mereka didik dan mereka sayang itu kini berdiri tegak, menentang mereka bahkan berbicara dengan kasar, ber-aku dan tidak lagi menyebut teecu (murid) untuk diri sendiri!

"Sun Eng! Kau... kau...!" Saking marahnya, In Hong tak dapat melanjutkan kata-katanya, dan tangannya menyambar, mengirim pukulan maut ke arah kepala muridnya itu.

"Plakkk!" Tangan Bun Houw menahan lengannya.

"Sabarlah, Hong-moi, tak perlu kita menggunakan kekerasan."

In Hong terengah-engah saking marahnya.

"Suhu dan subo harus mengerti bahwa kami telah saling mencinta. Aku rela menyerahkan diri dan kehormatanku kepada orang yang kucinta, tapi mengapa suhu dan subo hendak menghalangi kami? Bahkan suhu dan subo sudah menolak pinangannya. Apakah suhu dan subo hendak mengulangi sikap dan perbuatan ayah suhu yang menolak dan tidak menyetujui perjodohan antara suhu dan subo yang saling mencinta?"

Ucapan-ucapan itu seperti ujung-ujung pedang berkarat yang menusuk hati sepasang pendekar itu. Wajah mereka menjadi pucat dan sejenak mereka tak mampu berkata-kata.

"Perbandinganmu itu tidak tepat, Sun Eng!" Bun Houw menahan kemarahannya. "Kalau engkau memilih pemuda yang tepat, kami tentu tidak akan mencampuri dan akan setuju saja. Akan tetapi, pilihanmu keliru. Yang kau pllih adalah pemuda yang berwatak busuk, seorang pemuda pemogoran, mata keranjang dan..."

"Suhu, selera orang memang tidak sama. Suhu mencinta subo maka tentu menganggap subo wanita yang paling baik di dunia ini, akan tetapi bagaimana pandangan ayah suhu yang tidak menyetujui subo menjadi isteri suhu? Tentu berbeda antara selera suhu dan ayah suhu, seperti juga selera antara aku dan suhu juga berbeda. Bagiku, Auw-kongcu adalah pria yang paling baik di dunia." Mendengar ini, sambil meringis menahan takut dan kaget, pemuda itu menggandeng tangan Sun Eng yang tersenyum kepadanya.

"Hemmm, pilihanmu yang kau lakukan dengan mata buta itu pun bukan soal yang terlalu berat, akan tetapi engkau telah menyerahkan kehormatan diri di luar pernikahan sah, apa hal itu patut dilakukan seorang gadis yang mengenal susila?" tanya In Hong dengan sepasang mata bersinar-sinar.

"Subo, bila aku menyerahkan kehormatan diriku kepada orang yang kucinta, itu tandanya aku cinta kepadanya! Auw-kongcu menghendaki bukti dari cintaku, dan bukti yang paling utama adalah penyerahan diri dan kehormatan. Maka aku menyerahkan, karena memang aku cinta kepadanya. Kami saling mencinta, maka apa lagi halangannya bagi kami untuk bermain cinta?"

"Bodoh! Orang semacam dia ini mana bisa dipercaya? Engkau akan disia-siakan setelah engkau dinodainya, akan dibuangnya setelah habis manis dan tinggal sepahnya. Butakah engkau tidak melihat bahaya itu?" bentak In Hong.

"Memang pendirian subo demikian, maka sampai kini pun subo tidak rela menyerahkan diri kepada suhu. Itu tandanya subo kurang mencinta suhu. Akan tetapi aku mencinta dan percaya kepada Auw-koko..., koko, bukankah engkau tidak akan pernah menyia-nyiakan diriku, bukan?"

Auw-kongcu merangkul. "Tentu saja tidak, sayang, aku bersumpah..."

Sungguh kasihan sekali Sun Eng. Dara remaja yang telah dibutakan oleh nafsunya sendiri itu dengan mudah tunduk dan menyerah, percaya akan bujukan manis seorang pria. Dia tidak tahu bahwa pria semacam Auw-kongcu ini hanya mengutamakan pemuasan birahi belaka.

Bagi pria macam ini, seperti kebanyakan pria di dunia, cinta adalah hubungan kelamin, cinta adalah pemuasan nafsu birahi! Jadi bagi mereka ini, bukti cinta adalah penyerahan diri seorang gadis kepadanya! Kalau tidak mau menyerahkan diri, berarti tidak cinta!

Betapa banyaknya gadis-gadis yang mau menyerahkan diri sebelum resmi menjadi isteri, sehingga mengandung dan membawa akibat-akibat yang amat menyedihkan. Tentu saja ada pula pria yang bertanggung jawab, tetapi hal ini tidak banyak dan lebih banyak yang melarikan atau menjauhkan diri karena memang cintanya hanya terletak pada pemuasan nafstu birahi belaka. Dan gadis-gadis yang dungu itu tidak mau membuka mata melihat kenyataan bahwa dalam hubungan di luar nikah ini, yang terancam adalah fihak wanita. Terancam keadaan jasmani dan keadaan rohaninya, terancam lahir batinnya. Tentu saja hal ini ada hubungannya dengan kebudayaan masyarakat setempat.

Karena itu, betapa pentingnya untuk mempelajari dengan sesungguhnya apa yang oleh kita dinamakan cinta itu! Apakah itu yang dinamakan cinta kalau cinta hanya mengejar pemuasan nafsu birahi belaka,? Dan yang amat menyedihkan, betapa pun kita selubungi dengan berbagai istilah muluk, namun pada dasarnya banyak di antara kita, juga para wanita, yang mempunyai anggapan bahwa hubungan kelamin adalah tanda cinta! Itu saja!

Ini bukanlah berarti bahwa kita harus menentang hubungan kelamin, bukan berarti kita menganggap bahwa cinta menolak hubungan kelamin. Sama sekali bukan!

Kita TIDAK BERPENDAPAT APA-APA, hanya mengajak kita semua untuk menyelami, untuk menyelidiki secara mendalam akan apa yang dinamakan cinta oleh kita semua itu. Cinta kasih tidak bersifat merusak, baik merusak badan mau pun batin. Maka sesudah melakukan hubungan badan lalu meninggalkannya dan merusak batinnya, jelas bahwa di situ sama sekali tidak terkandung cinta kasih, dan sepenuhnya hanya terisi oleh nafsu birahi belaka. Mengapa orang-orang muda buta terhadap hal yang gamblang ini?

Demikian pula halnya dengan Sun Eng. Gadis ini percaya sepenuhnya akan bujuk rayu Auw-kongcu, didorong oleh rangsangan serta dorongan nafsu birahinya sendiri, kemudian menyerahkan diri karena Auw-kongcu menuntut penyerahan diri sebagai bukti cintanya.

Bun Houw dan In Hong merasa sedih bukan main, sedih dan marah. "Sun Eng, engkau kelak akan menyesal! Bedebah ini menipumu, biar kubunuh dia!"

"Jangan subo bergerak! Jika subo hendak membunuhnya, bunuhlah dulu aku! Dan kalau subo membunuh kami berdua, itu hanya berarti bahwa subo merasa iri hati terhadap kami!" kata Sun Eng.

Sampai puyeng rasa kepala In Hong mendengar kalimat terakhir itu. Dia membelalakkan mata, wajahnya berubah beringas dan Bun Houw melihat sinar maut di dalam pandang mata kekasihnya. Cepat dia merangkulnya dan dengan marah dia berkata,

"Sun Eng, mulai saat ini, detik ini, engkau bukan murid kami lagi dan kami juga bukan guru-gurumu lagi! Biarlah kelak akan kupertanggung jawabkan hal ini dengan roh ayahmu yang dahulu menitipkan engkau kepadaku. Mulai saat ini juga segala perbuatanmu adalah menjadi tanggung jawabmu sendiri. Marilah, Hong-moi!" kata Bun Houw dan dia setengah memaksa kekasihnya meninggalkan hutan itu.

Sesudah tiba di luar hutan, tanpa tertahankan lagi In Hong menangis tersedu-sedu! Bun Houw merangkulnya, dan In Hong lalu menumpahkan semua rasa duka, penasaran dan marah itu melalui air matanya yang membasahi baju di dada Bun Houw.

Bun Houw merangkul sambil mengelus-elus rambut kepala kekasihnya menguras semua perasaannya. Sesudah tangis itu reda, In Hong mengangkat mukanya yang kini menjadi pucat dan basah air mata, memandang wajah Bun Houw.

"Houw-ko, aku tahu betapa sedih dan kecewa hatimu... ahhh, Houw-koko yang malang, betapa buruk nasib kita..."

Bun Houw menunduk. Dalam keadaan berduka yang membutuhkan hiburan itu mereka menemukan hiburan dalam diri masing-masing, dan tanpa mereka sengaja, kedua mulut itu bertemu dalam ciuman yang amat mendalam, penuh kemesraan, penuh permohonan untuk dihibur, untuk dilindungi, dan juga penuh kerinduan yang ditahan-tahan.

Malam itu bulan purnama. Karena memang keduanya telah bertahun-tahun menanggung rindu dendam yang sangat mendalam, yang mereka jaga dengan segala kekuatan batin mereka, sekarang setelah mereka berpelukan dan berciuman di dalam cahaya bulan, dan mungkin pula karena dipengaruhi peristiwa tadi, melihat murid mereka dan kekasihnya saling menumpahkan rasa cinta mereka melalui hubungan badan, maka pelukan mereka menjadi makin ketat dan ciuman mereka makin hangat.

Akhirnya sambil terengah-engah In Hong melepaskan ciuman dan pelukannya, lalu terisak melarikan diri pulang ke rumah, diikuti oleh Bun Houw yang napasnya juga agak terengah dan seluruh tubuhnya panas dingin.

Mereka tiba di dalam rumah, di ruangan dalam. Pintu dua buah kamar masing-masing masih terbuka. Mereka saling pandang, lalu seperti ada daya tarik luar biasa, keduanya saling tubruk, saling rangkul dan saling berciuman lagi. Akhirnya, Bun Houw memondong kekasihnya itu melangkah menuju ke pintu kamarnya.

Akan tetapi ketika tiba di depan pintunya, tiba-tiba In Hong meronta, melepaskan diri dan melangkah mundur. Kembali mereka saling berpandangan dan dari pandang mata mereka itu terpancar suara hati yang lebih jelas dari pada suara melalui kata-kata. Bun Houw menatap wajah yang cantik itu, melihat sinar mata kekasihnya yang harap-harap cemas dan bingung. Dia sadar lalu menunduk dan pada saat itu keduanya sudah mengeluarkan kata-kata yang sama dalam saat yang sama pula.

"Maafkan aku..."

"Maafkan aku..."

Keduanya saling pandang lagi, merasa lega sesudah saling minta maaf, kemudian Bun Houw memegang kedua pundak kekasihnya, memandang dengan tatapan penuh kasih sayang, lalu berbisik,

"Sudah terlalu lama kita menanggung derita... bagaimana kalau kita... eh, menengok ayah di Cin-ling-san...?" Tentu saja dengan ucapan ini Bun Houw membayangkan harapannya bahwa ayahnya sekarang sudah tidak marah lagi dan akan merestui perjodohan mereka setelah lewat sepuluh tahun lebih. Juga dia sudah merasa rindu kepada ibunya.

Akan tetapi In Hong mengerutkan alisnya. "Koko, selama ini, biar pun kita menanggung rindu dan tertekan derita batin, namun kita telah kuat bertahan. Kalau... kalau seandainya kita ke Cin-ling-san hanya untuk mendengar ayahmu masih menentang kita, kehancuran hati yang lebih hebat tentu akan kita derita dan belum tentu kita kuat bertahan seperti sekarang. Kenapa tidak menanti saatnya yang baik dan kita menyerahkan diri saja pada kehendak Tuhan?"

Bun Houw maklum betapa berat rasa hati kekasihnya untuk menghadap ayah bundanya setelah ditolak sebagai mantu! Dia hanya mengangguk, menarik napas, mencium dahi In Hong, kemudian membalikkan tubuh dan memasuki kamarnya, menutupkan daun pintu kamarnya, diikuti oleh pandang mata In Hong.

Wanita ini berlinang air mata dan hatinya merasa kasihan sekali. Betapa besar keinginan hatinya untuk menghibur hati Bun Houw, untuk melayaninya, untuk menyenangkannya, untuk menyerahkan dirinya!

Tiba-tiba dia teringat kepada Sun Eng dan dengan cepat dia pun memasuki kamarnya, merasa ngeri terhadap bayangan pikirannya sendiri karena kini dia dapat merasakan apa yang diperbuat oleh Sun Eng di dalam hutan tadi! Namun, dia mengerti benar bahwa hal itu adalah tidak benar, oleh karena itu, sampai bagaimana pun dia tidak akan melakukan apa yang diperbuat oleh Sun Eng!

Beberapa bulan semenjak peristiwa di dalam hutan itu yang mengakibatkan Sun Eng tak pernah kembali lagi ke rumah kedua orang gurunya, meninggalkan semua barang serta pakaiannya sebab kekasihnya yang kaya raya itu membelikan sebanyaknya pakaian baru untuknya, Bun Houw dan In Hong mendengar berita mengejutkan.

Mereka mendengar bahwa Auw-kongcu kedapatan tewas di dalam hutan di mana dia dahulu mengadakan pertemuan dengan Sun Eng dan menurut berita itu, pemuda Auw ini tewas dalam keadaan yang sangat mengerikan karena leher serta mukanya berlubang-lubang, berwarna kehijauan dan berbau wangi.

Tentu saja suami isteri ini terkejut bukan main karena luka-luka di leher dan muka seperti itu hanya dapat diakibatkan oleh senjata rahasia Siang-tok-swa (Pasir Beracun Wangi), yaitu senjata rahasia dari In Hong yang sudah diajarkan pula kepada Sun Eng! Mereka dapat menduga bahwa tentu Sun Eng yang sudah membunuh Auw-kongcu itu. Mereka lalu menyelidiki dan tahulah mereka bahwa memang Sun Eng yang membunuh pemuda itu karena mereka mendengar keterangan bahwa Auw-kongcu tidak mau mengawini gadis itu.

Bun Houw dan In Hong hanya dapat merasa berduka dan kasihan kepada murid mereka itu, akan tetapi di samping perasaan duka dan kasihan, terdapat perasaan marah yang besar terhadap murid yang dengan perbuatannya berarti juga menodakan nama mereka yang menjadi gurunya. Biar pun mereka berdua sudah tidak mengakuinya sebagai murid, namun baru penggunaan Siang-tok-swa ini saja sudah merupakan bukti langsung bahwa gadis itu adalah murid mereka.

Apa lagi ketika mereka mendengar berita bahwa kini setelah terlepas dari Auw-kongcu, Sun Eng bergaul dengan segala macam pemuda bangsawan mata keranjang yang kaya raya dan hidup berfoya-foya, terkenal sebagai seorang gadis yang mempunyai banyak pacar, hati sepasang pendekar ini menjadi semakin marah. Mereka memutuskan untuk tidak mau memusingkan lagi soal Sun Eng dan mencoba untuk melupakan bekas murid itu dengan tak pernah membicarakannya satu sama lain dan juga mengambil keputusan untuk tidak menceritakan tentang diri gadis itu kepada siapa pun juga.

Demikianlah, ketika Sun Eng tiba-tiba muncul di waktu sepasang pendekar ini bersama sepasang pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berada dalam penjara, dan gadis itu hendak menolong mereka, tentu saja Bun Houw dan In Hong menjadi marah lantas mengusir bekas murid itu. Dan peristiwa itu tentu saja memaksa mereka berdua untuk menceritakan tentang diri bekas murid itu kepada Yap Kun Liong dan isterinya.

"Tidak disangka perempuan hina itu muncul di sini, sungguh hanya untuk membikin kami berdua merasa malu dan penasaran!" kata In Hong dengan gemas, menutup penuturan Bun Houw yang kini telah menjadi suaminya.

Yap Kun Liong mendengarkan penuturan itu dan mengerutkan alisnya, berulang kali dia menarik napas panjang. "Ahh, anak itu patut dikasihani..."

"Tapi, Liong-ko, dia tak berakhlak, tak tahu malu, merusak nama kami!" In Hong berkata marah.

"Itulah, kalian hanya mengingat nama kalian saja, mengingat kepentingan kalian sendiri dan tidak pernah mengingat kebutuhan anak itu. Memang harus diakui bahwa anak itu lemah menghadapi nafsunya sendiri, akan tetapi jahatkah hal itu? Ataukah hal itu justru merupakan hal yang patut dikasihani, hal yang tidak terlepas dari pada pendidikan dan lingkungan? Kalian masih terlalu muda untuk mendidik, mungkin juga dia terlalu dimanja. Dia tidak jahat, buktinya, biar pun kalian telah membencinya, dia masih ingat budi, masih berani menempuh bahaya untuk menolong kalian. Hal ini saja membuktikan bahwa anak itu bukan orang yang tak ingat budi, bukan orang yang jahat. Dia hanya menjadi korban salah didik, salah asuhan sungguh pun kalian berdua tidak insyaf akan kesalahan kalian yang tidak disengaja."

Mendengar ini, In Hong dan Bun Houw tidak membantah lagi karena mereka juga dapat melihat kebenaran dalam ucapan Yap Kun Liong itu. Akan tetapi tentu saja In Hong tidak dapat menerima kesalahannya secara rela, maka secara diam-diam dia masih penasaran dan masih belum lenyap rasa bencinya kepada Sun Eng.

Sementara itu, di dalam gedung tempat tinggal Ciong-taijin, jaksa kota Po-teng di mana Ma-ciangkun bermalam, yaitu pembesar yang menjadi sahabat Lee-ciangkun, yang sudah membantu Ma Kit Su dalam menjaga para tahanan itu, datang beberapa orang tamu. Kedatangan mereka itu secara rahasia, tidak diketahui orang lain kecuali tuan rumah yang menyambut mereka dengan penuh hormat.

Tamu ini adalah Lee Siang atau Lee-ciangkun dari kota raja, Kim Hong Liu-nio, dan nenek Hek-hiat Mo-li. Ciong-taijin sendiri sampai merasa ngeri dan seram ketika dia berjumpa dengan nenek muka hitam yang sangat tua itu, dan memandang dengan penuh curiga kepada nenek itu, kemudian memandang dengan sinar mata penuh tanda tanya kepada sahabatnya dari kota raja itu.

Di samping ketiga orang ini, masih ada belasan orang tinggi besar, dan mereka ini adalah orang-orang yang menjadi pengikut Hek-hiat Mo-li, yang datang dari utara dan merupakan jagoan-jagoan dari utara yang oleh Raja Sabutai diberikan kepada gurunya supaya dapat membantu gurunya menghadapi musuh-musuhnya. Belasan orang ini diterima oleh para pembantu Ciong-taijin di tempat tersendiri dan dijamu oleh mereka.

Bagaimanakah Hek-hiat Mo-li bisa muncul di Po-teng? Seperti kita ketahui, penangkapan atas diri keempat orang pendekar itu adalah pelaksanaan siasat yang dilakukan oleh Lee Siang yang berdaya upaya untuk menyelamatkan kekasihnya dari ancaman hukuman mati oleh guru kekasihnya itu, yaitu waktu tiga bulan yang diberikan kepada Kim Hong Liu-nio untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng, hidup atau mati.

Maka setelah mereka mendengar berita bahwa siasat itu telah dilaksanakan dengan hasil baik, Kim Hong Liu-nio cepat menghadap gurunya dan melaporkan bahwa empat orang musuh besar itu telah ditawan dan kini sedang menuju ke kota raja.

"Mengingat lihainya mereka, sebaiknya kalau subo sendiri yang turun tangan membunuh mereka yang sudah ditawan dalam kerangkeng dan sedang dikawal menuju ke kota raja," kata Kim Hong Liu-nio.

Nenek itu terkekeh girang. "Bagus, begitu baru engkau muridku yang baik!"

Raja Sabutai juga merasa girang dan raja ini kemudian memilih tiga belas orang jagoan di antara para pengawal pribadinya dan memerintahkan mereka mengawal serta membantu gurunya yang hendak menewaskan musuh-musuh besar yang lihai itu.

Dengan cepat mereka pun berangkat menjemput Lee-ciangkun, kemudian bersama-sama menuju ke selatan untuk menyambut tawanan itu. Kini kebetulan mereka bertemu dengan rombongan tawanan yang sedang berhenti di Po-teng, karena itu Lee Siang lalu langsung membawa rombongannya itu ke gedung Ciong-taijin. Mereka berempat lalu mengadakan perundingan rahasia.

"Ciong-taijin, empat orang tawanan itu adalah orang-orang yang amat lihai dan berbahaya sekali. Sri Baginda sendiri sudah memberi perintah rahasia kepadaku bahwa mereka itu harus dapat dibunuh secepat mungkin, karena kalau mereka sampai lolos, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin pemberontak yang amat membahayakan keamanan negara. Mengingat akan lihainya mereka, maka kami menunjuk locianpwe ini untuk melaksanakan perintah rahasia kaisar itu, dibantu oleh murid beliau ini." Dia memperkenalkan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio kepada Jaksa Ciong.

Oleh karena menganggap bahwa nenek dan muridnya yang cantik itu adalah pelaksana-pelaksana dari perintah rahasia kaisar, maka tentu saja Ciong-taijin memandang kepada mereka dengan penuh hormat dan juga takut karena memang wajah dan sikap nenek itu amat menakutkan.

Sambil duduk di atas bangku dengan tegak dan kedua lengannya disilangkan di depan dada, mukanya seperti topeng yang sama sekali tidak pernah bergerak, nenek itu tanpa memandang kepada Ciong-taijin berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh pembesar itu. Setelah berkata-kata agak lama, nenek itu diam dan muridnya yang cantik lalu berkata sambil memandang kepada tuan rumah.

"Ciong-taijin, guruku baru berkata bahwa untuk melaksanakan perintah kaisar membunuh empat orang itu tidaklah begitu mudah kalau tidak memperoleh bantuan taijin. Maka subo mengusulkan untuk membakar penjara di mana empat orang itu terkurung. Hal ini untuk mencegah agar mereka jangan sampai lolos, karena kalau sampal lolos, tentu kaisar akan marah dan taijin juga ikut bertanggung jawab."

Mendengar ini, wajah pembesar itu lantas berubah pucat dan keringat dingin membasahi lehernya. "Akan tetapi... membakar penjara...? Lalu... bagaimana dengan para tahanan yang lain? Tentu akan jatuh korban, mereka akan terbakar hidup-hidup!"

Agaknya untuk mendengarkan omongan pembesar itu, Hek-hiat Mo-li tidak memerlukan terjemahan muridnya. Memang sesungguhnya dia juga pandai bicara dalam bahasa Han, akan tetapi dasar wataknya agaknya aneh, dia terlalu memandang rendah terhadap para pembesar sehingga tidak mau bicara secara langsung kepada pembesar Ciong itu. Kini mendengar ucapan Ciong-taijin, dia cepat bicara dalam bahasanya sendiri yang kemudian disalin pula oleh muridnya.

"Menurut subo, tidak mengapa jika sampai jatuh beberapa orang korban karena bukankah mereka itu orang-orang berdosa yang layak mati? Juga, yang dibakar hanyalah sekeliling ruangan di mana keempat orang tahanan itu berada, jadi tidak akan membakar seluruh penjara, karena itu, andai kata ada orang tahanan yang ikut tewas, kami rasa tidak akan begitu banyak jumlahnya."

Akhirnya Ciong-taijin terpaksa menyetujui juga dan menyerahkan semua pelaksanaannya kepada Lee-ciangkun.

"Jangan khawatir, Ciong-taijin, saya yang bertanggung jawab akal hal ini!" kata Lee Siang dengan girang, karena kini terbuka harapan besar baginya untuk dapat memiliki Kim Hong Liu-nio secara resmi dan keselamatan kekasihnya itu tidak akan terancam lagi.

Siang hari itu juga mereka sudah melakukan persiapan. Tanpa diketahui orang, secara rahasia, ruangan penjara di mana empat orang pendekar itu dikurung ditimbuni kayu-kayu dan bahan bakar lainnya, dan dari ruangan itu hanya ada satu jurusan saja terbuka, yaitu di pintu yang akan dijaga ketat oleh Hek-hiat Mo-li dan orang-orang Mongol yang sudah mempersiapkan segalanya untuk mencegah empat orang pendekar itu keluar dari tempat tahanan dan akhirnya dapat mati terbakar di sebelah dalam.

Tidak ada orang tahu bahwa diam-diam ada dua orang yang mengikuti semua kesibukan itu dari jauh. Dua orang yang melakukan kegiatan secara terpisah ini bukan lain adalah Sun Eng dan Lie Seng.

Walau pun sudah diusir oleh suhu dan subo-nya, akan tetapi Sun Eng yang benar-benar mengkhawatirkan keselamatan kedua orang gurunya itu tidak pergi benar-benar, namun berkeliaran di sekitar tempat itu, di kota dan akhirnya kembali lagi ke dekat penjara. Dia melihat kesibukan penuh rahasia itu, melihat pula belasan orang tinggi besar yang meski pun mengenakan pakaian penjaga penjara namun gerak-geriknya mencurigakan. Selain mereka itu semua tinggi besar dan memiliki bentuk muka asing, juga gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Sun Eng merasa makin gelisah. Dia melihat seorang komandan jaga yang nampak lelah dan kurang tidur, siang hari itu keluar dari lingkungan penjara, meloncat ke atas kudanya dan agaknya hendak pulang, karena di pintu penjara dia memesan kepada para penjaga agar berhati-hati dan menyatakan bahwa dia hendak beristirahat dan pulang sebentar.

Ketika komandan jaga ini melarikan kudanya, tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba seorang wanita muda menyeberang jalan dengan tak terduga-duga. Komandan itu terkejut sekali, berusaha menahan namun sudah terlambat karena kaki depan kudanya sudah menerjang wanita itu yang terpelanting dan terbanting ke atas tanah. Komandan itu menghentikan kudanya dan lari menghampiri.

Wanita itu masih muda dan cantik sekali, dan kini terlentang pingsan, pakaiannya agak tersingkap sehingga memperlihatkan sebuah betis yang berkulit putih mulus!

Wanita itu mengeluh, lirih, merintih dengan mata masih terpejam, "Aauhhhh... tolonglah aku..."

Komandan itu menelan ludahnya. Ketika melihat wanita itu mengeluh dan menggeliat, dia menjadi terpesona, kemudian setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang lain, dia lalu mengangkat tubuh yang setengah pingsan itu, segera membawanya ke atas kuda dan melarikan kudanya, bukan pulang ke rumahnya melainkan menuju ke tepi kota di mana terdapat sebuah pondok kosong, pondok ini adalah pondok tempat dia bersenang-senang dengan kawan-kawannya, jauh dari rumah dan isterinya!

Ketika komandan itu membaringkan tubuh yang hangat dan menggairahkan ketika berada dalam pelukannya tadi ke atas dipan, wanita itu kembali mengeluh dan mencoba untuk duduk.

"Auuuh, kakiku...," keluhnya.

"Mengapa kakimu, nona? Sakitkah? Coba kuperiksa." Komandan itu menghampiri lantas duduk di atas pembaringan.

Nona itu tidak membantah, segera melonjorkan kaki kirinya. Sang komandan yang mata keranjang itu lalu menyingkapkan celana kaki kiri, dan terus membukanya hingga ke lutut. Kembali dia menelan ludah melihat sebuah kaki yang bentuknya indah dan kulitnya putih halus dan hangat. Diusapnya kaki itu seperti orang memeriksa, akan tetapi usapannya itu makin kurang ajar, merupakan belaian dari tangannya yang gemetar.

"Aduh, sakit di situ... di bawah lutut...!" Wanita cantik itu mengeluh lagi.

Menduga bahwa lutut itu terkilir, sang komandan lantas mengurutnya dan menaruh obat, kemudian dibalutnya, "Tulangnya tidak patah, hanya terkilir, nona. Dalam waktu sehari saja akan sembuh kembali. Kau mengapa lari-lari menyeberang jalan sehingga tertabrak oleh kuda?"

Nona itu mengerling tajam, kemudian tersenyum malu-malu. "Aku... aku memang ingin melihatmu, ciangkun. Engkau begitu sering lewat dengan kudamu, dan aku... aku kagum melihat engkau begini gagah..."

Hampir komandan yang usianya sudah empat puluh tahun ini tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai. "Benarkah, nona? Dan setelah sekarang kita berhadapan, engkau mau apa?" tanyanya nakal, penuh pancingan dan bujukan, kemudian dia hendak merangkul.

Akan tetapi nona itu mencegahnya dengan kedua tangannya. "Ahhh, kakiku masih sakit sekali, ciangkun. Nanti kalau sudah sembuh, tentu boleh..."

"Boleh apa...?"

Wanita itu tersenyum malu, mengerling tajam seperti kilat, "Ihhh, engkau tentu mengerti sendiri. Sekarang, dipakai bergerak saja kakiku sakit, mari kita omong-omong saja dulu. Kalau tidak salah, ciangkun bekerja di penjara sana, bukan?"

"Benar, aku seorang di antara komandan penjara!" komandan itu menjawab bangga.

"Pantas pakaianmu begitu mentereng! Aku sudah menduga bahwa engkau tentu seorang perwira tinggi. Aku sering lewat dekat penjara hanya untuk dapat melihatmu, ciangkun."

"He-he-he, benarkah?" Komandan itu menyeringai sambil menelan ludah, kemudian dia mendekatkan hidungnya untuk mencium.

Wanita itu memalingkan mukanya, memberikan pipinya yang langsung dikecup dengan bernafsu oleh sang komandan, "Engkau manis, he-he-he, engkau cantik manis!"

Wanita itu mendorong dada komandan itu dengan kedua tangannya, dengan gerakan halus, "Sabarlah, ciangkun, kakiku tidak dapat digerakkan. Biarlah nanti... ehh, beberapa hari ini aku melihat kesibukan di dalam penjara, ada apakah? Apakah ada hubungannya dengan kereta kerangkeng di mana terdapat empat orang penjahat itu?" Secara sambil lalu wanita itu bertanya.

"Ha-ha-ha, rahasia manis, rahasia besar yang hanya diketahui oleh orang-orang penting macam aku ini. Tak boleh kuceritakan kepada siapa pun..."

Wanita itu cemberut lantas berusaha turun dari pembaringan, mukanya membayangkan kekecewaan dan kemarahan.

"Ehh, engkau mau ke mana?"

"Biarlah aku pergi. Biar pun engkau gagah dan tampan menarik, akan tetapi engkau tidak percaya kepadaku! Aku begini percaya kepadamu, mau kau bawa ke pondok ini, akan tetapi engkau masih menganggap aku orang asing yang tak boleh dipercaya. Untuk apa persahabatan berat sebelah ini dilanjutkan? Biarkan aku pergi!" Wanita itu terpincang-pincang hendak pergi.

"Ehh-ehh, nanti dulu... sayang, jangan marah. Aku hanya main-main. Siapakah namamu, manis?"

"Namaku Ang Bwee Hwa."

"Ang Bwee Hwa (Bunga Bwee Merah)? Heh-heh, nama yang bagus, sebagus orangnya. Dan aku bernama Ciok Kwan."

"Apa artinya perkenalan ini kalau kau tidak percaya..."

"Siapa bilang tidak percaya? Aku percaya padamu seratus prosen, manis."

"Kenapa kau tidak mau menceritakan rahasia orang tawanan itu?"

"Ssstttt, jangan keras-keras, aku takut terdengar orang. Dengar, mereka itu orang-orang penting dan berbahaya sekali sehingga sri baginda kaisar sendiri berkenan mengeluarkan perintah rahasia untuk membunuh mereka di sini..."

"Ohhh...?" Wanita itu terkejut dan sang komandan tersenyum karena tidak heran melihat seorang wanita lemah terkejut mendengar tentang pembunuhan. "Mengapa?"

"Aku sendiri tidak tahu, hanya menurut perintah atasanku, kami harus bersiap, dan karena empat orang itu sangat lihai, maka pelaksanaan pembunuhan itu akan dilakukan dengan membakar ruangan tahanan di mana mereka dikurung."

"Ahhh...!" kembali wanita itu terkejut dan membelalakkan mata.

"Dan untuk menjaga agar mereka tidak dapat lolos, kota raja telah mengirim jagoan yang mengerikan. Engkau tentu akan takut bila melihatnya, dia seorang nenek bermuka hitam seperti iblis, bersama seorang muridnya yang cantik sekali akan tetapi kabarnya murid itu pun lihai bukan main. Selain itu, masih ada belasan orang jagoan yang mengawal dan membantu mereka."

"Ihhh, mengerikan sekali. Kapan pembakaran itu akan dilaksanakan?"

"Sekarang juga, setelah lewat senja ini, untung aku sudah bebas tugas, karena tugasku hanya menjaga sampai sore ini, lalu diganti oleh petugas-petugas dari kota raja itu... eh, ada apa?" Komandan itu terkejut karena tiba-tiba berubahlah sikap wanita cantik itu. Tadi kelihatan begitu lemah ketakutan dan menderita nyeri, akan tetapi kini wajah yang manis itu kelihatan keras dan pandang matanya berkilat.

Akan tetapi wanita cantik yang bukan lain adalah Sun Eng itu kini sudah meloncat turun dari pembaringan. Ketika komandan Ciok itu mengulur tangan hendak meraih, tiba-tiba Sun Eng menampar dengan tangan kirinya, dengan kecepatan seperti kilat menyambar. Komandan Ciok hanya sempat menjerit satu kali lantas roboh dengan kepala retak-retak dan tewas seketika!

Dengan jantung berdebar tegang penuh kegelisahan mendengar berita itu, Sun Eng lalu berlari secepatnya menuju ke penjara. Senja telah mendatang dan cuaca mulai gelap. Dia khawatir kalau-kalau datangnya terlambat, maka dia mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat.

Sementara itu, di luar dan di dalam penjara terjadi kesibukan-kesibukan ketika Kim Hong Liu-nio sendiri bersama Lee Siang menyusun pasukan untuk menjaga dan mengeroyok empat orang pendekar yang hendak dibunuh itu. Juga Hek-hiat Mo-li bersama tiga belas orang pembantunya telah siap di pintu depan. Lampu-lampu sengaja belum dipasang oleh para penjaga sehingga keadaan di sana mulai gelap dan remang-remang. Para penjaga telah diganti dengan tenaga-tenaga baru yang pilihan.

Di dalam kegelapan senja yang mulai menyelimuti bumi itu mendadak terdengar teriakan melengking, teriakan dari seorang wanita dengan suara yang dikeluarkan melalui tenaga khikang sehingga terdengar menembus cuaca remang-remang itu.

"Suhuuuu...! Suboooo...! Keluarlah cepat, penjara hendak dibakar! Suhu dan subo sudah terjebak oleh musuh!"

Dan dari pintu depan penjara itu, muncullah seorang wanita yang bukan lain adalah Sun Eng. Para penjaga menjadi gempar dan cepat mereka menerjang dan mengurung, akan tetapi dengan Siang-tok-swa, pasir beracun harum yang digenggamnya, Sun Eng segera menyambut mereka sehingga dua orang penjaga memekik lantas roboh menutupi muka mereka. Berbareng dengan itu, Sun Eng telah mengelebatkan pedangnya dan roboh pula dua orang penjaga lain.

Keadaan menjadi makin geger, dan kini para penjaga mengurung rapat, belasan batang senjata ditujukan ke arah bayangan wanita yang mengamuk itu. Namun Sun Eng tidak menjadi gentar, pedangnya digerakkan dengan dahsyat dan yang nampak hanya sinarnya saja bergulung-gulung. Akhirnya, empat orang pengeroyok kehilangan senjata mereka, ada yang patah, ada pula yang terlempar entah ke mana!

"Suhuuuu...! Suboooo...! Keluarlah sebelum terlambat!" kembali Sun Eng berteriak sambil mengamuk dan amukannya membuat para pengeroyoknya menjadi gentar juga. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio menjadi marah.

"Dari mana datangnya bocah yang bosan hidup?!" bentaknya dan dengan gerakan yang dahsyat dan cepat sekali murid Hek-hiat Mo-li ini telah meloncat dan menyerang Sun Eng dengan tangan kirinya. Sebelum tangan kiri mengenai sasaran, sudah menyambar hawa panas dan terdengar suara berkerincingnya gelang-gelang emas di pergelangan tangan itu.

Sun Eng terkejut menyaksikan serangan yang dia tahu sangat ampuh ini, maka cepat dia mengelebatkan pedangnya dan menangkis ke arah pergelangan tangan yang bergelang itu untuk membacoknya buntung.

"Trikkk...!"

Sun Eng terkejut bukan kepalang karena wanita cantik yang berpakaian indah itu berani menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan pada saat tangan itu bertemu dengan pedangnya, mucrat bunga api dan telapak tangannya terasa panas! Tahulah dia bahwa dia menghadapi seorang lawan tangguh yang tangannya terlindung benda kebal, maka dia sudah memutar pedangnya dan mengirim serangan bertubi-tubi ke arah lawan yang lihai itu.

Namun, dengan lincah dan ringannya, Kim Hong Liu-nio mengelak dan kadang-kadang menangkis dengan tangannya yang terlindung oleh sarung tangan tipis itu.

"Suhuuu...! Subooo...! Lekas keluar...!"

Akan tetapi Sun Eng segera menahan teriakannya karena pada saat itu ada sinar merah menyambar ke arah matanya. Dia cepat-cepat mengelak mundur sambil mengelebatkan pedangnya, namun sinar merah itu tidak takut kepada pedangnya dan ternyata itu adalah sehelai sabuk merah yang kini langsung menotok ke arah lehernya. Dia terkejut, cepat miringkan tubuh, akan tetapi tetap saja pundaknya kena tertotok ujung sabuk yang biar pun kehilangan sasaran leher, namun masih amat kuat sehingga Sun Eng terhuyung ke belakang.

"Cepppp!"

Pada waktu itu, dari belakang menyambar tusukan tombak dan serangan yang dilakukan selagi tubuh Sun Eng terhuyung ini tidak mampu ditangkis atau ditolak oleh dara itu yang hanya mampu membuang diri ke samping sehingga tetap saja belakang pundak kirinya tertusuk tombak.

Darah mengucur keluar dan Sun Eng menahan rasa nyeri yang menyengat-nyengat, terus memutar pedang dan mengamuk. Akan tetapi sinar merah dari sabuk di tangan Kim Hong Liu-nio menahan semua gerakannya, membuatnya tidak berdaya dan kembali dia yang kini terdesak dan terkurung oleh para penjaga yang mendapat hati kembali melihat betapa Kim Hong Liu-nio dapat menguasai amukan wanita muda itu.

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Betapa pun lihainya Sun Eng yang telah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, akan tetapi karena memang tingkatnya kalah tinggi oleh Kim Hong Liu-nio, apa lagi karena dia sudah terluka dan dikeroyok oleh banyak penjaga, akhirnya kembali gadis itu harus terluka oleh bacokan golok yang merobek celana berikut kulit paha kanannya, membuat gerakannya makin kacau dan pakaiannya penuh dengan darah. Akan tetapi, seperti singa betina dia mengamuk terus dan setiap ada kesempatan, tentu dia berteriak agar suhu dan subo-nya segera melarikan diri!

"Perempuan sial!" Kim Hong Liu-nio marah karena dia khawatir kalau-kalau empat orang tawanan itu benar-benar dapat meloloskan diri oleh teriakan-teriakan itu. Maka dia segera melengking nyaring dan tiba-tiba ada cahaya api meluncur ke arah dahi Sun Eng. Itulah senjata rahasia berupa hio menyala yang amat hebat.

Sun Eng terkejut dan membuang diri ke belakang, akan tetapi tiba-tiba kaki kirinya terlibat ujung sabuk merah dan di lain saat dia sudah roboh terjengkang karena sabuk itu ditarik oleh Kim Hong Liu-nio. Melihat robohnya gadis ini, dua orang penjaga menubruk dengan golok mereka dan Sun Eng sudah tak berdaya lagi untuk mengelak atau menangkis. Akan tetapi dia membuka mata lebar-lebar, menyambut maut dengan mata terbuka!

"Tranggg-tranggg...!"

Pandang mata Sun Eng silau akibat berpijarnya bunga api dan kedua orang penjaga itu bersama golok mereka terjengkang ke kanan kiri, lantas tubuhnya disambar orang yang memiliki tangan kiri kuat bukan main sehingga sekali tarik saja dia sudah bangkit berdiri kembali. Ketika dia melirik, ternyata yang menolongnya adalah seorang pemuda tampan yang bertubuh tegap dan berwajah gagah. Pemuda itu bukan lain adalah Lie Seng!

Seperti kita ketahui, Lie Seng juga selalu membayangi keadaan ibunya, ayahnya dan dua orang paman dan bibinya itu, dan dia selalu mengamati keadaan penjara di mana empat orang itu ditawan. Dia pun terheran-heran melihat kesibukan para penjaga, tidak tahu apa yang akan terjadi.

Ketika dia melihat ada wanita mengamuk dan dikeroyok, terutama pada waktu wanita itu berteriak-teriak menyebut suhu dan subo ke dalam, dia sama tidak mengerti dan tidak tahu siapa wanita itu, siapa pula yang disebut suhu dan subo. Tentu saja dia tidak pernah menduga bahwa yang disebut suhu dan subo oleh wanita cantik itu adalah paman dan bibinya. Juga dia tidak tahu bahwa ayah tiri dan ibu kandungnya tidak pernah mempunyai murid seperti ini, maka Lie Seng menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

Akan tetapi dia merasa kagum akan kegagahan wanita itu dan baru setelah dia melihat gerakan wanita itu, dia menjadi terkejut. Dia mengenal dasar gerakan Thai-kek Sin-kun dalam langkah-langkah wanita itu dan hal ini berarti bahwa wanita ini memang masih ada hubungan perguruan dengan keluarganya! Maka melihat wanita itu terluka dan terancam bahaya maut, dia lalu meloncat turun tangan dan menolongnya, juga ingin tahu apa yang dimaksudkan oleh wanita itu ketika berteriak-teriak ke dalam.

Melihat munculnya seorang pemuda gagah perkasa yang dengan sekali berkelebat dan sekali tangkis langsung merobohkan dua orang pembantunya, Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan main.

"Tarr-tarrr-tarrr!" Tiga kali sinar merah sabuknya menyambar, melakukan totokan ke tiga jalan darah maut.

Akan tetapi dengan tenangnya Lie Seng mengangkat lengan menangkis dan setiap kali ditangkis, sinar merah sabuk itu terpental, dan untuk yang terakhir kalinya hampir saja Lie Seng berhasil menangkap ujung sabuk, akan tetapi dengan sentakan halus ujung sabuk itu melejit dan terlepas lagi dari pegangan Lie Seng bagaikan seekor ular bernyawa saja! Keduanya menjadi terkejut dan maklum akan kelihaian lawan masing-masing.

"Terima kasih, aku berhutang nyawa padamu!" kata Sun Eng dengan halus dan wanita ini sudah bangkit lagi dengan pedang di tangan, menyambut serbuan tiga orang pengeroyok dari samping.

Lie Seng juga menggerakkan kaki dan tangan, merobohkan dua orang pengeroyok lain. Kedua orang muda ini segera dikurung dan dikeroyok, akan tetapi Lie Seng menyambut mereka dengan seenaknya dan masih sempat bertanya-tanya kepada wanita gagah yang ditolongnya itu.

"Siapa yang kau sebut suhu dan subo-mu?"

"Cia Bun Houw dan Yap In Hong!"

Lie Seng terkejut. Ternyata wanita muda ini adalah murid paman bibinya! Dia sungguh merasa terheran-heran, akan tetapi karena dia tidak pernah mendengar tentang riwayat paman dan bibinya yang telah menghilang selama belasan tahun, maka dia pun percaya akan hal ini.

"Apa artinya teriakanmu bahwa mereka terjebak dan tempat ini akan dibakar?"

"Memang mau dibakar. Lihat di sana itu mereka sudah mulai membakar. Celaka, lekas minta suhu dan subo keluar!" teriak Sun Eng.

Melihat ini, Lie Seng terkejut sekali. Benar saja, di sebelah kiri ruangan penjara di mana ibunya dan yang lain-lain dikurung itu mulai berkobar api yang amat besar, tanda bahwa api itu bukan sembarangan kebakaran, melainkan kebakaran yang memang sudah diatur dengan diberi bahan bakar dan minyak.

"Ibu...! Ayah...! Paman dan bibi...! Lekas keluar, ruangan itu dibakar orang!" Dia berteriak dan karena Lie Seng mengerahkan khikang-nya, maka suaranya terdengar amat nyaring.

Sekarang giliran Sun Eng yang kaget setengah mati mendengar bahwa pemuda ini masih keluarga dari empat orang pendekar yang ditawan, dan menyebut paman dan bibi kepada suhu dan subo-nya!

Sementara itu, di dalam ruangan penjara itu, Bun Houw dan In Hong sama sekali tidak mempedulikan teriakan-teriakan Sun Eng tadi. Bahkan ketika Yap Kun Liong menyatakan keheranan dan kecurigaannya, Bun Houw berkata, "Harap Liong-ko jangan menghiraukan anak durhaka itu."

Ketika di luar terdengar ribut-ribut, empat orang pendekar ini hanya mendengarkan dan karena memang mereka tidak ingin memberontak, maka mereka diam saja. Biar pun ada golongan yang hendak menolong mereka lolos, mereka tidak akan mau meloloskan diri karena sebagai orang-orang gagah mereka hendak memperlihatkan kepada kaisar bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak seperti yang difitnahkan orang terhadap mereka. Akan tetapi, sesudah mereka berempat mendengar suara Lie Seng itu, mereka terkejut sekali.

"Celaka, kita benar-benar telah terjebak. Jadi penangkapan ini benar-benar hanya tipuan belaka dari musuh-musuh yang menghendaki kematian kita!" kata Yap Kun Liong. "Hayo kita loloskan diri dan bantu Lie Seng yang agaknya terkepung!"

Mereka cepat mengerahkan sinkang dan karena keempatnya adalah pendekar-pendekar sakti yang mempunyai kepandaian tinggi, maka begitu mereka mengerahkan sinkang dan menggerakkan kedua tangan, belenggu-belenggu di tangan mereka itu lantas patah-patah semua sehingga terdengar suara pletak-pletok.

Yap Kun Liong sedikit membantu isterinya karena di antara mereka berempat, hanya Cia Giok Keng yang tidak begitu kuat sinkang-nya. Sesudah terbebas dari belenggu, mereka berempat lalu menerjang pintu ruji baja itu dengan pengerahan tenaga. Karena pintu itu kuat bukan main, setelah empat kali menerjangnya, barulah pintu itu jebol.

"Awas senjata gelap!" Kun Liong berteriak dan mereka berempat cepat mengelak sambil menangkis anak panah yang datang berhamburan seperti hujan.

Mereka meloncat keluar dan melihat serombongan orang yang dipimpin Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio. Wanita cantik ini ternyata telah bergabung dengan subo-nya untuk membantu subo-nya membunuh empat orang musuh besar itu!

Kini mengertilah empat orang pendekar itu mengapa mereka ditangkap. Kiranya semua itu adalah tipuan belaka dan di balik semua itu berdiri musuh besar mereka ini! Teringat mereka akan cerita dari mendiang Hwa-i Sin-kai dan mereka mengerti bahwa tentu fitnah ini dilaksanakan oleh Panglima Lee Siang yang tergila-gila kepada Kim Hong Liu-nio yang juga telah menjebak sampai tewasnya Tio Sun.

"Ah, kiranya engkau iblis betina yang mengatur semua ini!" In Hong berteriak marah ketika melihat musuh besarnya itu.

"Heh-heh-heh, senang sekali melihat kalian akan mampus semua di tanganku, heh-heh!" Hek-hiat Mo-li tertawa.

Kim Hong Liu-nio cepat mengeluarkan aba-aba dalam bahasa Mongol. Tiga belas orang Mongol itu berbaris rapi dan menghadang sambil memasang kuda-kuda, tangan mereka memegang golok besar dan perisai. Ada pun di belakang mereka masih berdiri puluhan orang prajurit yang dikerahkan oleh Panglima Lee untuk membantu kekasihnya.

Jelaslah bagi empat orang pendekar itu bahwa mereka tidak mungkin dapat lolos begitu saja dan jalan satu-satunya hanyalah membuka jalan berdarah. Di belakang mereka ada ruangan yang mulai terbakar, di depan mereka menjaga nenek iblis itu bersama muridnya dengan dibantu begitu banyak prajurit.

Kembali Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba dan empat orang pendekar itu terpaksa harus bergerak cepat, mengelak dan menangkis sebab kembali datang hujan anak panah. Kun Liong selalu melindungi isterinya, sedangkan Bun Houw dan In Hong tidak khawatir karena dengan Thian-te Sin-ciang mereka memperoleh kekebalan sehingga kedua lengan mereka berani menangkis anak-anak panah itu.

Dan pada saat itu pula, Hek-hiat Mo-li, Kim Hong Liu-nio beserta tiga belas orang Mongol itu sudah menerjang dengan sangat hebatnya, menyerang empat orang pendekar yang tidak bersenjata itu. Maka terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian di mana empat orang pendekar itu mengamuk untuk menyelamatkan diri mereka.

Sementara itu, sesudah Kim Hong Liu-nio membantu gurunya untuk menghadapi empat orang musuh mereka yang amat lihai, pimpinan para prajurit penjaga yang mengeroyok Lie Seng dan Sun Eng diambil alih oleh panglima Lee Siang sendiri. Panglima ini berteriak marah,

"Kalian berani memberontak terhadap pasukan pemerintah? Hayo menyerahlah sebelum menerima hukuman berat!"

Akan tetapi Sun Eng yang juga marah sekali dan tidak mempedulikan luka-lukanya itu menerjangnya sambil berteriak, "Engkau hanya mempergunakan nama pemerintah untuk menipu dan mencelakakan orang!"

Pedang di tangan Sun Eng menusuk dengan cepat. Lee Siang cepat menangkis dengan pedangnya. Akan tetapi begitu pedangnya tertangkis, dengan putaran tangannya wanita yang sudah luka-luka itu dapat meneruskan pedang yang tertangkis itu menjadi sabetan yang menyerempet pundak Lee Siang.

"Ahhh!" Lee Siang berteriak kesakitan kemudian bersama empat orang pengawalnya dia menubruk ke depan.

Lie Seng hendak melindungi Sun Eng, namun dia sendiri sedang dikepung oleh banyak prajurit sehingga dia terpaksa mengamuk menggunakan kaki dan tangannya, melempar-lemparkan serta merobohkan banyak orang yang mengepungnya bagaikan serombongan semut.

Sebetulnya, tingkat kepandaian Sun Eng masih jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian Lee Siang dan beberapa orang pengawalnya. Akan tetapi gadis ini sudah luka-luka dan banyak mengeluarkan darah, maka gerakannya menjadi lemah dan tenaganya juga telah banyak berkurang. Sesudah dia berhasil membunuh dua orang pengeroyok lagi, akhirnya dia terdesak hebat sekali.

Lie Seng juga terkepung ketat dan sibuk sekali menghadapi para pengeroyoknya. Melihat ini, Sun Eng kemudian berseru, "Taihiap, kau larilah cepat, biar aku mencegah mereka menghalangimu! Cepat sebelum terlambat!"

Sun Eng mengerahkan tenaga terakhir untuk membuka jalan mendekati Lie Seng, tanpa mempedulikan luka baru di pangkal lengan kiri yang mengucurkan banyak darah. Melihat keadaan gadis itu yang pakaiannya penuh berlepotan darah, bahkan dari luka-lukanya itu mengucur banyak darah dan mukanya pucat sekali, Lie Seng menjadi terkejut, kagum dan juga terharu.

"Kau menyuruh aku lari? Dan kau sendiri?" tanyanya sambil menendang roboh seorang pengeroyok.

"Aku...? Biarlah, aku girang sekali dapat membalas budimu dan budi suhu serta subo! Kau larilah... selamat jalan...!" Sun Eng berkata dan karena bicara ini maka dia menjadi kurang waspada.

"Nona, awas...!" Lie Seng berteriak akan tetapi terlambat, tusukan pedang dari Lee Siang itu mengenai punggung Sun Eng.

Gadis ini menggeliat miringkan tubuhnya, dan walau pun dengan jalan itu pedang lawan tidak menembus punggungnya, akan tetapi tetap saja punggungnya terluka parah dan dia roboh terguling.

"Keparat curang!" Lie Seng berteriak marah dan menjadi beringas, cepat menubruk ke depan dan melancarkan pukulan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke arah Lee Siang.

Panglima ini mencoba untuk mengelak, akan tetapi dia kalah cepat sehingga pukulan itu menyambar pelipisnya. Terdengar suara keras karena kepala panglima ini retak-retak dan tubuhnya roboh ke atas tanah, tewas seketika!

Lie Seng menyambar tubuh Sun Eng dan mengamuk, membuka jalan berdarah. Ketika dia melihat betapa empat orang pendekar dari dalam penjara sudah menerjang keluar, hatinya lega dan dia pun segera meloncat, merobohkan setiap orang penghalang, sambil memondong tubuh Sun Eng yang pingsan dan berlumuran darah itu, terus melarikan diri meninggalkan tempat berbahaya itu. Dia merasa yakin bahwa orang-orang seperti ibunya, ayah tirinya, paman serta bibinya itu pasti akan sanggup meloloskan diri dari kepungan musuh.

Dugaan Lie Seng tadi memang tidak berlebihan. Tingkat ilmu kepandaian empat orang pendekar itu sudah tinggi sekali, terutama sekali Yap Kun Liong, Cia Bun Houw,dan Yap In Hong. Seorang demi seorang, ketiga belas pengawal Mongol yang diandalkan sebagai pembantu-pembantu Hek-hiat Mo-li sendiri bersama Kim Hong Liu-nio, terdesak mundur dan mundur terus, apa lagi para pengawal penjaga, setiap kali empat orang pendekat itu bergerak, tentu ada yang terjungkal!

Hal ini sama sekali tidak pernah dapat disangka oleh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, yang sudah merasa yakin akan dapat membunuh empat orang itu. Dan suasana menjadi tambah geger ketika ruangan itu terbakar hebat. Akan tetapi, empat orang itu telah keluar dari ruangan dan kini mengamuk di depan penjara.

Terdengar jerit mengerikan dari mulut Kim Hong Liu-nio pada saat dia melihat kekasihnya telah menggeletak tewas dengan kepala pecah! Dia menubruk kekasihnya dan menangis, tidak mempedulikan lagi kepada empat orang musuhnya.

Mundurnya Kim Hong Liu-nio dari pertempuran ini membuat Hek-hiat Mo-li makin lemah dan akhirnya empat orang pendekar itu dapat meloloskan diri dari kepungan dan secepat kilat mereka lenyap dari tempat itu menggunakan ginkang dengan loncatan-loncatan jauh. Hek-hiat Mo-li menyumpah-nyumpah dan malam itu juga nenek ini pergi meninggalkan kota itu, kembali ke utara dengan wajah muram, diikuti oleh muridnya yang terus-menerus menangis di sepanjang jalan!

"Sudah, apa perlunya menangis lagi? Engkau kini sudah bukan perawan lagi, dan dia sudah mampus. Di dunia ini masih banyak laki-laki, mengapa kau tangisi seorang laki-laki yang sudah mampus?" Hek-hiat Mo-li membentak.

Bentakan ini malah membuat Kim Hong Liu-nio menangis makin sedih sehingga gurunya menjadi makin marah dan meninggalkannya. Kim Hong Liu-nio mengikuti gurunya dengan terisak-isak, di dalam hati bersumpah untuk mencari jalan membunuh keluarga pendekar yang telah menewaskan kekasihnya itu!

Dendam, sakit hati, kemarahan dan kebencian meracuni kehidupan manusia. Dari mana timbulnya dendam yang melahirkan kebencian ini? Dendam-mendendam yang sebetulnya hanya merupakan rangkaian akibat dari tindakan-tindakan kekerasan, permusuhan serta kebendan itu pasti selalu timbul karena pementingan diri sendiri, karena merasa bahwa kesenangan dirinya terganggu oleh orang atau golongan lain.

Jadi jelaslah bahwa di mana ada pengagungan si aku, di sana pastilah timbul tindakan kekerasan yang dianggap sebagai tindakan pembelaan si aku atau pengejaran cita-cita dan kesenangan untuk si aku. Mengejar kesenangan seperti yang dicita-citakan untuk diri sendiri tak dapat tidak tentu menimbulkan tindakan kekerasan terhadap siapa saja yang dianggap merintangi tercapainya kesenangan yang dicita-citakan itu. Dan semua cita-cita adalah bayangan kesenangan yang diharapkan akan diperoleh, baik kesenangan untuk diri sendiri atau untuk keluargaNya, kelompokNya, bangsaNya dan lain-lain yang semuanya hanya merupakan perluasan dan pembesaran dari pada si aku juga.

Dan bagaimana terjadinya si aku, baik dalam keadaan tipis mau pun tebal, dalam batin kita? Si aku diciptakan oleh pikiran yang menimbulkan pengalaman dan ingatan tentang yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, yang enak dan tidak enak. Pikiran mengenang pengalaman-pengalaman itu, membayangkan semua itu sehingga timbullah keinginan untuk mengulang yang enak dan membuang yang tidak enak.

Begitu pikiran bekerja mengenangkan itu semua, si aku pun muncullah. Si aku sebagai pemikir, si aku sebagai yang ingin mengulang, si aku yang ingin menghindarkan yang tidak enak. Makin lama si aku ini makin menebal dan akhirnya manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sendiri yang selalu ingin menikmati yang dianggap menyenangkan dan menjauhi yang dianggap tidak menyenangkan. Dan di dalam pergulatan ini terjadilah konflik-konflik di dalam batin yang mencetus keluar menjadi konflik antara manusia karena masing-masing hendak memperebutkan kesenangan bagi dirinya sendiri, dan kalau perlu menyingkirkan orang lain yang menjadi penghalang, dengan kekerasan tentu saja!

Oleh karena kenyataan itu, maka timbullah pernyataan yang harus kita ajukan kepada diri kita sendiri, yaitu: Dapatkah kita terbebas dari pikiran yang selalu mengenangkan yang enak-enak dan yang tidak enak-enak sehingga tidak timbul si aku yang selalu mengejar-ngejar kesenangan dan karenanya menimbulkan konflik dan kekerasan? Pertanyaan ini penting sekali bagi kehidupan kita dan sudah selayaknya kalau diajukan oleh setiap orang manusia hidup kepada dirinya sendiri! Kalau sudah begitu, barulah hidup ini mempunyai arti, bukan hanya menjadi ajang kesengsaraan dan penderitaan yang timbul dari konfilk dan permusuhan setiap hari.

Melihat keadaan Sun Eng yang mandi darah, Lie Seng menjadi gelisah bukan main. Dia melarikan Sun Eng yang pingsan itu jauh meninggalkan Po-teng dan memasuki daerah pegunungan yang sunyi, karena khawatir kalau-kalau ada pasukan yang mengejarnya, padahal dia membutuhkan tempat sunyi untuk dapat menolong gadis yang penuh luka itu.

Fajar telah menyingsing ketika akhirnya dia menghentikan larinya dan dia berada di atas puncak bukit yang lengang, di padang rumput yang luas dengan pohon-pohon tua di sana sini. Sinar matahari pagi menyinari wajah cantik manis yang pucat itu.

Lie Seng cepat menurunkan tubuh itu ke atas tanah bertilamkan rumput hijau di bawah pohon besar, lalu memeriksa keadaan gadis itu. Tubuhnya penuh luka, pada punggung, pundak dan paha. Cepat Lie Seng menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan darah yang masih menetes-netes.

Kemudian dia pergi mencari sumber air yang bening, mengambil air dengan daun dan mencuci luka-luka yang parah itu, terutama di paha dan punggung. Untuk ini terpaksa dia merobek celana di bagian paha dan baju di punggung. Dia tidak lagi ingat bahwa matanya melihat kulit paha yang putih mulus dan kulit punggung yang amat halus, melainkan sibuk mencuci luka itu penuh perhatian.

Untung bahwa luka-luka itu diakibatkan oleh senjata yang tidak beracun, pikirnya. Dengan mencuci bagian-bagian yang terluka itu, tentu saja jari-jari tangannya harus menyentuh dan mengusap kulit halus mulus itu, namun hal ini sama sekali tidak disadari olehnya.

Memang demikianlah! Selama pikiran tidak mengenang dan membayangkan apa-apa, selama pikiran kosong tidak sibuk dengan ingatan-ingatan masa lalu, dengan bayangan-bayangan kenikmatan dan kesenangan, maka segala sesuatu adalah bersih dan wajar.

Sungguh pun kita melihat manusia dengan kelamin lain dalam keadaan telanjang bulat umpamanya, bila pikiran ini tidak diisi dengan bayangan-bayangan kotor, maka keadaan telanjang dari manusia lain itu sama sekali tidak menimbulkan apa-apa, seperti kalau kita melihat ketelanjangan seekor kucing saja. Akan tetapi, begitu pikiran kita terisi dengan bayangan-bayangan yang muncul dari kenangan, bayangan-bayangan yang kita anggap menyenangkan, mendatangkan nikmat, maka mulailah nafsu bangkit, baik itu merupakan nafsu birahi, nafsu amarah, dan segala macam nafsu lagi.

Jelaslah bahwa nafsu-nafsu itu diciptakan oleh pikiran yang mengenangkan segala yang enak-enak dan yang tidak enak, yang menyenangkan dan sebaliknya. Jadi pikiran yang mengingat-ingat inilah sumber dari segala konflik batin yang akhirnya pasti akan tercetus keluar dan menjadi konflik lahir antara manusia.

Sun Eng mengeluh lirih kemudian merintih. Kini barulah lega hati Lie Seng karena hal ini menandakan bahwa dia sudah berhasil menyelamatkan dara itu. Setelah menaruh obat bubuk pada luka-luka itu dan membalutnya, dia lalu mengangkat tubuh bagian atas dari Sun Eng dengan memangkunya dan memberinya minum air jernih.

"Aahhh...!" Kembali Sun Eng mengeluh setelah minum beberapa teguk air dan membuka matanya.

Melihat betapa dia dipangku oleh seorang pemuda tampan dan gagah, sepasang mata yang jeli itu terbelalak, akan tetapi dia segera teringat bahwa pemuda ini adalah pemuda perkasa yang telah membantunya menghadapi pengeroyokan pasukan saat dia berusaha menyelamatkan suhu dan subo-nya. Sungguh aneh sekali. Mengapa sekarang pemuda ini memangkunya dan memandangnya demikian mesra?

"Apakah... apakah aku sudah mati?" dia bertanya dengan suara berbisik karena merasa tegang dan takut. Membayangkan bahwa dia sudah mati dalam usia semuda itu, hatinya merasa ngeri.

Semenjak tadi, sesudah dia berhasil mengobati dara itu sehingga siuman, Lie Seng mulai memperhatikan wajah gadis yang dipangkunya itu dan dia terpesona. Bagi dia, wajah itu sedemikian cantik jelitanya, sedemikian lembut hingga sekaligus mendatangkan perasaan suka dan iba di dalam hatinya.

Rasanya belum pernah dia berjumpa dengan seorang gadis seperti ini, apa lagi tadi dia pun melihat betapa gadis ini telah berusaha menyelamatkan keluarganya dengan taruhan nyawa. Hal ini saja sudah membuat dia merasa herhutang budi, kagum dan suka.

Dia seperti tenggelam ketika memandangi wajah dari gadis yang dirangkunya itu, maka ketika melihat mata dan bibir yang manis itu mengajukan pertanyaan seperti itu, dia pun tersenyum. Hatinya girang karena dia yakin bahwa gadis itu akan selamat.

"Jangan khawatir nona. Engkau sudah terhindar dari bahaya dan luka-lukamu tentu akan sembuh."

"Luka-luka...?" Sun Eng seperti baru teringat dan merasa terkejut.

Tadi dia tidak merasa apa-apa, hanya lemas dan terasa demikian nikmat rebah di atas pangkuan pemuda itu yang merangkul pundak dan menyangga tubuhnya. Kini, diingatkan akan luka-luka, tiba-tiba saja dia tersentak dan ingin duduk, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, terutama sekali punggungnya.

"Aduhhhh... punggungku..." Dia menggeliat.

Lie Seng cepat membantunya duduk. "Maaf, aku... aku lupa dan menyentuh punggungmu yang terluka. Sebaiknya engkau duduk di atas rumput ini. Nah, begitu lebih enak, bukan? Engkau menderita banyak luka, nona, terutama yang agak parah adalah luka-luka pada paha, pundak dan punggung."

Sun Eng meraba paha dan pundaknya, melihat betapa pakaiannya di bagian luka-luka itu robek dan lukanya telah diobati dan dibalut. Dia mengangkat muka memandang pemuda yang duduk di depannya itu dan mendadak wajahnya berubah merah sekali, jantungnya berdebar tegang.

"Kau... kau yang mengobati luka-lukaku...?" tanyanya dan kedua matanya memandang penuh selidik.

Lie Seng mengangguk. "Bisa berbahaya kalau tidak cepat dicuci dan diobati. Maafkan aku yang telah lancang..."

"Maafkan? Ahhh, engkau sudah menolongku, menyelamatkan nyawaku, mengobatiku dan masih minta maaf? Engkau tentu seorang gagah perkasa yang sakti maka engkau dapat menyelamatkan aku dari kepungan begitu banyak lawan tangguh. Taihiap, aku berhutang nyawa padamu. Siapakah engkau?"

"Aku she Lie, bernama Seng. Engkau tak perlu bersikap sungkan padaku karena menurut pengakuanmu, engkau adalah murid dari Paman Cia Bun Houw, sedangkan dia adalah pamanku, karena dia adik kandung ibuku yang juga ikut tertawan bersama dengan paman dan bibi. Maka, kalau engkau murid mereka, berarti kita masih ada hubungan dan bukan orang lain."

"Ahhh...!" Sun Eng terbelalak dan wajahnya agak berubah, tidak lagi merah seperti tadi, melainkan agak kepucatan.

"Mengapa? Apakah luka-luka itu amat menyiksamu...?" Lie Seng mendekat dan pandang matanya penuh iba.

Melihat ini, Sun Eng menggelengkan kepalanya, menunduk dan memejamkan matanya, berusaha mengusir perasaan nyeri yang menikam hatinya. Teringat dia betapa suhu dan subo-nya amat membencinya, bahkan tidak sudi ketika dia berusaha menolong mereka.

Dan pemuda perkasa yang sudah menyelamatkan nyawanya ini, adalah keponakan dari suhu-nya! Dan hubungan antara dia dengan kedua gurunya telah putus, kelak pemuda ini tentu akan mendengar tentang dia, dan suhu serta subo-nya tentu akan bercerita banyak tentang dia!

Hal ini mendatangkan rasa nyeri di jantungnya, serasa tertusuk pedang berkarat. Dia tak akan ada harganya lagi dalam pandang mata pemuda ini. Pandang mata yang sekarang demikian penuh dengan kehalusan, iba dan mesra, tentu akan berubah menjadi marah, jijik dan benci.....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 25



LIE SENG memandang dengan alis berkerut, hatinya penuh dengan perasaan iba. Ingin dia menyentuhnya, ingin dia menghiburnya, ingin dia membantu menanggung rasa nyeri dari gadis itu, akan tetapi kini dia tidak berani menyentuh, bahkan jantungnya berdebar aneh ketika dia teringat betapa tadi dia telah melihat dan menyentuh paha dan punggung dara itu!

"Nona... ehh, siapakah namamu?"

"Aku she Sun, namaku Eng."

"Namamu bagus sekali. Sungguh aku merasa heran kenapa aku tidak pernah mendengar namamu dari paman dan bibi, nona Sun Eng..."

"Lie-taihiap, kalau engkau keponakan dari suhu, mengapa masih bersikap sungkan dan menyebutku nona?"

"Engkau pun menyebutku taihiap (pendekar besar)..."

"Engkau memang seorang pendekar yang sakti dan hebat, mana bisa aku menyebut lain? Akan tetapi aku..."

"Engkau seorang gadis yang hebat, gagah perkasa dan berani, juga setia dan berbakti sehingga hampir saja engkau mengorbankan nyawa untuk paman dan bibi, juga untuk ibu kandungku, dan ayah tiriku yang ikut tertawan."

"Ahhh... jadi engkau putera dari enci suhu, pendekar wanita Cia Giok Keng, dan pendekar sakti Yap Kun Liong itu ayah tirimu?"

Lie Seng mengangguk.

"Jadi engkau ini cucu mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang terkenal itu?"

Kembali Lie Seng mengangguk.

"Ahh, dan aku hanya... seorang gadis bodoh dan sesat... ahhh, dan aku tentu lebih tua darimu, taihiap. Usiaku sudah dua puluh lima tahun..." Sun Eng seperti mengomel dan bicara pada diri sendiri, suaranya penuh penyesalan dan kekecewaan akan kenyataan-kenyataan yang pahit ini.

"Kita sebaya. Aku berusia dua puluh empat, hanya selisih setahun denganmu."

"Nah, apa kataku? Aku lebih tua, sepatutnya engkau menyebut cici kepadaku."

Melihat wajah yang cantik itu sudah tak begitu pucat lagi dan sepasang mata yang tadinya membayangkan kedukaan dan kemuraman itu agak berseri, Lie Seng tersenyum, bangkit berdiri dan menjura. "Baiklah, cici Sun Eng. Mulai sekarang aku menyebutmu cici yang baik, dan aku..."

"Engkau tetaplah Lie-taihiap bagiku! Engkau keturunan keluarga yang sangat besar dan agung, sebaliknya aku..."

"Engkau seorang dara yang cantik jelita, cici. Jangan kau terlampau merendahkan dirimu. Aku masih terheran-heran mengapa paman Bun Houw dan bibi sama sekali tidak pernah bercerita tentang dirimu. Aku akan menegur mereka kalau sempat bertemu kelak."

"Ah, jangan...!" Sun Eng berseru dan dengan nekat dia bangkit berdiri, biar pun dia harus menyeringai kesakitan. Dia mengangkat kedua tangan ke atas. "Jangan tegur mereka... bahkan jangan sebut-sebut tentang diriku... ah, Lie-taihiap, engkau tidak tahu... aku sama sekali tidak berharga engkau tolong, bahkan tidak berharga untuk berhadapan dan bicara denganmu. Ah, sebaiknya engkau tinggalkan aku sekarang juga, taihiap..."

Dan wanita itu tak dapat menahan kedukaan hatinya lagi, menangis terisak-isak, teringat betapa bencinya suhu dan subo-nya padanya, betapa dia telah dianggap sebagai seorang wanita yang sudah rusak akhlaknya, dan betapa tidak mungkinnya dia berkenalan dengan seorang pemuda seperti Lie Seng ini, pemuda yang sangat menarik hatinya, yang amat mengagumkan hatinya.

"Ehh, cici Sun Eng... kenapa engkau? Apa artinya semua ucapanmu itu?" Lie Seng tentu saja terkejut bukan main dan memandang dengan penuh kekhawatiran.

"Tidak perlu engkau tahu... taihiap... hanya ketahuilah bahwa aku... aku tidak berharga... kau pergilah, tinggalkan aku seorang diri..."

Melihat dara itu menangis mengguguk dan berdiri dengan dua tangan menyembunyikan mukanya, pundaknya tenguncang-guncang dalam tangisnya, Lie Seng tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia melangkah maju dan menyentuh kedua lengan dara itu.

"Enci Eng... jangan begitu... mengapa engkau merendahkan diri seperti ini...? Aku tidak akan mau meninggalkan engkau seorang diri dalam keadaan terluka seperti ini."

"Kalau begitu... biarlah aku... aku yang pergi, taihiap..."

Dara itu lalu membalikkan tubuhnya dan mencoba untuk meloncat pergi. Akan tetapi dia mengaduh dan terguling roboh, bangkit lagi, merangkak, bangun dan mencoba untuk lari lagi, akan tetapi terhuyung-huyung dan dia tentu akan roboh lagi kalau tidak cepat-cepat dipegang oleh Lie Seng yang merangkulnya.

"Enci Eng, jangan engkau bersikap seperti itu. Mengapa engkau seperti sengaja hendak menghancurkan hatiku? Apakah salahku maka engkau hendak pergi begitu saja?"

Gadis itu menangis makin mengguguk dan membiarkan dirinya didekap oleh pemuda itu. Setelah dia bisa menguasai keharuan hatinya, dengan lembut dia melepaskan rangkulan itu, menghapus air matanya, memandang kepada pemuda itu dan berkata,

"Ahh, engkau tidak tahu, taihiap. Aku tidak berharga untukmu, bahkan untuk berkenalan atau bercakap-cakap denganmu sekali pun..."

"Siapa bilang demikian? Akan kuhancurkan mulutnya kalau ada yang berani mengatakan demikian kepadamu!" Lie Seng mengepal tinju, penasaran. "Aku kasihan kepadamu, enci Eng, aku.... suka padamu, engkau seorang gadis yang baik, yang gagah, berbudi, siapa bilang tidak berharga menjadi sahabatku? Dan mengapa?"

"Engkau tidak tahu, taihiap... ahhh, lebih baik kita berpisah seperti ini, sekarang sebelum engkau pun membenciku. Aku... aku pasti tak akan dapat tahan lagi. Semua orang boleh membenciku, akan tetapi kalau engkau... ikut pula membenciku, aku lebih baik mati saja. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, sebelum engkau membenciku pula."

"Tidak! Aku tidak mau meninggalkanmu, enci Eng. Apa pun yang terjadi denganmu, aku tak mungkin akan membencimu. Aku... aku cinta padamu. Dengarkah engkau? Aku cinta padamu begitu aku bertemu denganmu, enci Eng!" Pemuda itu berkata penuh semangat karena dia tidak lagi meragukan perasaan hatinya terhadap gadis ini.

Ucapan pemuda itu demikian mengejutkan hati Sun Eng sehingga dia terlonjak kaget dan meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan Lie Seng. Akan tetapi Lie Seng tak mau melepaskannya sehingga akhirnya Sun Eng mengguguk lagi, menangis dan membiarkan kepalanya didekap di dada pemuda yang amat dikaguminya itu. Dia memejamkan mata ketika merasa betapa pemuda itu menciumi rambutnya, kemudian dahinya dan tiba-tiba dia meronta.

"Tidak... tidak pantas itu...!" Dia meronta sekuatnya sehingga Lie Seng cepat melepaskan pelukannya. Wajah pemuda itu menjadi merah sekali.

"Maaf... kau maafkanlah aku, enci Eng. Aku telah lupa diri sehingga berlaku tidak sopan padamu, maafkan aku."

"Bukan itu maksudku, taihiap. Bukan engkau yang berbuat tidak pantas, melainkan tidak pantaslah bagiku untuk menerima cintamu itu, untuk kau perlakukan sebaik ini. Aku tidak pantas kau cinta, aku... aku..."

"Jangan berkata demikian, enci Eng. Aku jatuh cinta kepadamu, mengapa tidak pantas? Engkau seorang gadis yang cantik dan gagah, dan... ahh!" Pemuda itu nampak terkejut. "Apakah... kau hendak maksudkan bahwa engkau telah... bersuami?"

Tentu saja ingatan ini membuat dia terkejut dan wajahnya menjadi pucat seketika. Gadis itu bersikap demikian sungkan, jangan-jangan dia itu bukanlah seorang gadis yang masih bebas, melainkan seorang wanita yang sudah bersuami! Celaka kalau begitu! Berarti dia telah melakukan hal yang benar-benar tidak patut!

Akan tetapi hatinya menjadi lega seketika melihat dara itu menggeleng kepalanya. "Tidak, taihiap. Aku tidak menikah, akan tetapi... malah lebih baik tidak kau dengarkan. Aku tidak akan dapat tahan kalau melihat engkau membenciku, taihiap. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, berarti aku masih akan kuat mempertahankan hidup dengan bayanganmu sebagai kenangan indah. Aku akan selalu ingat bahwa seperti apa pun juga adanya diriku yang hina ini, di dunia masih ada orang yang mencintaku... selamat tinggal, taihiap..."

"Sun Eng...!" Lie Seng meloncat dan menubruk, dan kembali dia sudah merangkul gadis itu. "Enci Eng, engkau menyiksa diri sendiri. Coba ceritakanlah kepadaku semuanya, dan jangan takut!"

"Tidak... tidak mungkin... engkau akan membenciku...!"

"Enci Eng, kau anggap aku ini orang apakah? Aku cinta padamu karena engkau, karena keadaanmu, dan aku tidak akan terpengaruh oleh cerita yang bagaimana pun mengenai dirimu! Demi Tuhan, ceritakanlah, dan itu hanya merupakan satu-satunya jalan untuk bisa menyembuhkanmu dari cengkeraman siksaan batin yang kau derita ini."

Beberapa lama Sun Eng memejamkan mata di dalam pelukan Lie Seng, kemudian dia menarik napas panjang dan melepaskan diri dari pelukan itu. "Baiklah, memang agaknya engkau benar. Aku tidak boleh lari dari kenyataan hidup, taihiap. Maka biarlah ceritaku ini merupakan keputusan terakhir di dalam hidupku, tergantung dari anggapanmu terhadap ceritaku ini. Aku siap untuk menghadapi yang terburuk, siap menghadapi kiamat dan maut karena hanya itulah bagiku bila engkau pun membenciku. Nah, kau dengarkan baik-baik, taihiap..."

Dengan tubuh lemas dara itu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dan Lie Seng juga duduk di hadapannya. Jantung pemuda ini berdebar tegang dan pandang matanya makin mesra dan lembut karena dia merasa amat kasihan kepada dara ini yang dia duga tentu mempunyai latar belakang kehidupan yang amat pahit.

Sun Eng menarik napas panjang berulang kali, agaknya ingin mencari kekuatan dari hawa udara sejuk yang disedotnya. Dia telah mengambil keputusan untuk menceritakan segala-segalanya mengenai dirinya, tanpa menyembunyikan apa-apa karena dia tidak ingin kelak pemuda yang sangat mengagumkan hatinya ini akan menemukan sesuatu yang belum diceritakannya.

Pendeknya dia ingin berdiri telanjang di depan pemuda yang luar biasa ini, tanpa punya rahasia sedikit pun juga. Tinggal terserah kepada pemuda itu, apakah cintanya masih akan utuh, ataukah berbalik menjadi benci sesudah mendengar ceritanya. Kalau pemuda itu berbalik membencinya, dia tidak akan menyalahkan Lie Seng, sungguh pun dia tahu bahwa dia tidak akan kuat hidup menghadapi pukulan batin ini.

"Lie-taihiap, mendiang ayahku adalah seorang yang bernama Sun Bian Ek dan berjuluk Kiam-mo. Dahulu dia hidup sebagai seorang perampok besar, kemudian setelah berhenti menjadi perampok sampai dia meninggal dunia dia hidup sebagai pemilik sebuah rumah perjudian di kota Kiang-shi."

Dara itu berhenti sebentar untuk meneliti wajah pemuda itu sesudah dia berterus terang menceritakan keadaan mendiang ayahnya yang tidak dapat dibanggakan itu. Akan tetapi wajah yang tampan dan gagah itu tidak berubah, hanya mengandung kesungguhan dan penuh pengertian, bahkan di balik kesungguhan itu Sun Eng masih dapat melihat cahaya gemilang dari kasih sayang serta kemesraan yang ditujukan kepadanya hingga membuat dia merasa betapa kedua pipinya menjadi panas dan jantungnya berdegup kencang.

"Mendiang ayahku bersahabat dengan pamanmu, yaitu suhu Cia Bun Houw ketika beliau masih muda dan sedang menyelidiki musuh-musuh keluarganya. Ayah lalu membantunya mencari jejak musuh-musuh itu, dan ketika suhu menyerbu bersama ayah, maka ayahku itu gugur, tewas oleh musuh-musuh suhu."

"Hemm, ayahmu ternyata merupakan seorang sahabat sejati dan setia," Lie Seng memuji dengan setulusnya hati. Pujian ini tidak mendatangkan rasa girang di hati Sun Eng akan tetapi malah memberatkan perasaannya karena dia harus menceritakan keadaaan dirinya sendiri yang sama sekali tidak boleh dibuat bangga!

"Sebelum meninggal dunia dalam pangkuan suhu, ayah pesan kepada suhu agar kelak suhu suka merawat dan mendidik aku yang masih kecil ketika ditinggal ayah, baru berusia sepuluh tahun. Suhu memenuhi permintaan itu, dan ketika suhu pergi merantau bersama subo, suhu mengambilku dan semenjak itu aku ikut bersama suhu dan subo, dirawat dan dididik oleh mereka berdua dengan penuh kasih sayang bagaikan anak mereka sendiri..." Kembali dara itu berhenti dan menarik napas panjang, kini wajahnya yang cantik itu agak pucat dan kelihatan berduka sekali.

Lie Seng mengangguk-angguk. "Itu sudah sepatutnya sebab engkau adalah seorang anak dan murid yang amat baik dan berbakti."

"Jauh dari pada itu, Lie-taihiap. Beberapa tahun yang lalu, ketika aku berusia kurang lebih delapan belas tahun... suhu dan subo telah mengusirku dan tidak mau lagi mau mengaku sebagai murid..."

Ucapan ini benar-benar amat mengejutkan hati Lie Seng. Wajahnya menjadi pucat dan memandang dengan mata terbelalak. "Apa...?! Mengapa begitu? Apa yang terjadi...?"

Sun Eng menundukkan mukanya yang pucat. Jantungnya berdebar penuh rasa tegang dan takut. Ya, dia sangat takut. Beranikah dia mengakui kesemuanya itu? Beranikah dia menelanjangi dirinya sendiri di depan pemuda yang telah menarik hatinya ini, menuturkan segala kebusukannya? Beranikah dia menempuh bahaya dibenci oleh pria hebat ini?

Tidak ada jalan lain, dia harus berani menempuhnya, dengan taruhan nyawa! Akan tetapi tetap saja dia tak kuasa untuk mengangkat muka, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu dan dengan suara lirih dia melanjutkan ceritanya.

"Aku... aku telah jatuh cinta kepada suhu!"

"Ahhh...!" Lie Seng melongo, pandang matanya yang terbelalak itu menyelidiki wajah yang menunduk.

"Ya, aku sudah seperti gila. Aku kasihan melihat betapa suhu tidak hidup sebagai suami isteri dengan subo, tidurnya terpisah dan mereka berdua itu menderita tekanan batin yang hebat. Aku lalu... merayu suhu-ku sendiri! Ah, mau aku rasanya mati kalau mengingat itu semua. Kau dengar baik-baik, taihiap. Pada suatu malam aku memasuki kamar suhu di mana suhu yang gagah perkasa dan budiman itu tentu saja menolakku! Masih baik bagiku bahwa beliau tidak memukul mampus saja kepada muridnya yang murtad dan tidak tahu malu ini!"

Hening sekali setelah Sun Eng menghentikan ceritanya. Dara itu masih menunduk, tidak berani mengangkat muka, bahkan tidak berani bergerak, seluruh perhatiannya ditujukan ke arah pemuda itu, menduga bahwa pemuda itu akan marah, akan memakinya dan dia sudah siap menerima hal yang seburuk-buruknya.

Dan Lie Seng duduk termenung, apa yang diceritakan oleh dara itu membayang di depan matanya seperti lukisan. Dia melihat penyelewengan dara itu, akan tetapi dia tak merasa marah, tidak pula merasa cemburu, tidak merasa benci.

Bagi orang yang sadar akan dirinya sendiri, orang yang mengenal dirinya sendiri, akan melihat bahwa dirinya sendiri juga kotor, juga lemah, seperti orang-orang lain sehingga dia sendiri tak mungkin bisa mencela orang lain yang melakukan penyelewengan akibat kelemahannya. Kehidupan manusia tidak mungkin dapat selalu tetap, melainkan berubah setiap saat.

Orang yang melakukan penyelewengan dalam kehidupannya sama halnya dengan orang yang sedang dihinggapi suatu penyakit. Hanya saja, bukan badannya yang sakit, namun batinnya. Dan orang yang sakit itu tak selamanya sakit, tentu bisa sembuh. Sebaliknya, orang yang sedang waras belum tentu selamanya sehat, tentu bisa sakit sewaktu-waktu.

Oleh karena itu, orang yang sadar tidak akan mengejek atau mencela orang yang sedang menderita sakit batinnya dan melakukan perbuatan yang menyeleweng, sebaliknya malah akan merasa kasihan. Sudah sepatutnyalah kalau kita mengulurkan tangan kepada yang sedang sakit, agar dia sembuh kembali. Mengejek atau mencela orang yang sedang sakit batinnya sama saja dengan mendorong orang yang sedang terjeblos dalam lumpur!

Setiap orang pun tentu akan dapat melihat pada dirinya sendiri bahwa dia pun pernah melakukan dosa, melakukan penyelewengan, atau pernah menderita sakit batin seperti itu. Oleh karena itu, orang yang mencela atau mengejek orang lain yang sedang sesat, sedang sakit batinnya, adalah orang yang tak tahu diri, dan orang seperti ini akan selalu merasa dirinya bersih walau pun pada suatu waktu dia bergelimang lumpur. Sebaliknya, orang yang setiap saat mau waspada membuka mata dan memperhatikan dirinya sendiri lahir batin, akan terbuka mata hatinya sehingga akan dapat melihat lebih mendalam akan segala peristiwa dalam kehidupan ini.

Lie Seng membuyarkan awan yang menyelubungi dirinya dan membuatnya termenung. Terlalu hebat cerita yang didengarnya dari mulut dara yang menarik hatinya dan yang dicintanya itu.

"Taihiap...," terdengar suara Sun Eng yang sekarang telah memandang padanya dengan sinar mata penuh iba. Dia melihat pemuda itu bengong dengan wajah pucat, dan dia tahu atau menduga bahwa pemuda itu tentu hancur hatinya, tentu kecewa sekali mendengar akan kebusukannya, maka dia merasa amat kasihan. "Taihiap, sudah kukatakan bahwa aku tidak berharga..."

Lie Seng menggelengkan kepala dan tersenyum, pandang matanya tidak berubah, masih lembut dan penuh kasih mesra. "Enci Eng, siapa bilang engkau tidak berharga? Paman Bun Houw adalah seorang pendekar yang hebat, maka kalau sampai engkau jatuh cinta kepadanya, apakah anehnya tentang itu? Seorang seperti dia tentu dengan mudah akan menjatuhkan hati gadis yang mana pun juga, maka jika engkau jatuh cinta padanya, hal itu lumrah dan engkau tidak boleh disalahkan."

Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak menatap wajah yang tampan itu, seolah tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Ahh, untuk itu saja, untuk kata-kata itu saja, mau rasanya dia berlutut menyembah dan menciumi telapak kaki pria ini! Tak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang sama sekali tidak menyalahkannya, bahkan malah menghiburnya dengan kata-kata seperti itu, padahal pria ini menyatakan cinta kepadanya!

Akan tetapi, rasa bahagia ini segera berubah menjadi kegelisahan yang teramat besar. Dia masih harus menceritakan terus, dan makin berat rasanya kini kalau kebahagiaan itu terganti oleh mala petaka melihat pria ini kelak membencinya, muak kepadanya setelah mendengarkan semua penuturannya.

Ahhh, betapa inginnya dia untuk lari, untuk terbang ke angkasa, atau kalau bumi di depan kakinya terbuka, rela dia untuk terjun ke bawah dari pada harus menceritakan semuanya kepada pemuda ini! Akan tetapi, tidak terdapat jalan lain baginya.

Lie Seng tidak tega menyaksikan gadis itu seperti sangat tersiksa, seperti cacing terkena abu, atau seperti ikan kekeringan di darat. Dia tahu bahwa di dalam batin dara itu terjadi pertentangan hebat.

"Enci Eng, sudahlah. Apa bila engkau merasa tidak perlu dilanjutkan, aku pun tidak ingin mendengarkan kelanjutan ceritamu. Betapa pun juga, pandanganku terhadap dirimu tidak berubah. Aku... aku tetap cinta padamu."

Mendengar ini, Sun Eng memejamkan kedua matanya dan air matanya menetes-netes dari sepasang mata yang dipejamkan itu. Belum pernah selama hidupnya dia berjumpa dengan seorang pria seperti ini! Betapa hebat dan mulianya. Dan betapa agungnya. Pria seperti ini boleh dia agung-agungkan, boleh dia sembah-sembah dan boleh dipakai untuk menyandarkan dirinya selama hidup!

Akan tetapi dia menjadi ragu-ragu. Lie Seng belum mendengar semuanya dan bila mana sudah mendengar semuanya tentu akan berbalik muka. Akan tetapi lebih baik begitu dari pada kelak terjadi hal yang sama. Biarlah dunia hancur karenanya, karena memang dia sudah merasa bersalah.

"Dengarkan, taihiap, dengarkanlah baik-baik. Suhu dan subo mengampuniku, akan tetapi hubungan di antara kami menjadi renggang. Aku merasa betapa suhu dan subo marah dan membenciku, karena itu aku merasa seperti kehilangan pegangan. Mereka itu adalah pengganti orang tuaku, merupakan dua orang yang kumiliki satu-satunya di dunia. Maka, setelah hubungan kami renggang, aku lalu mencari pegangan ke luar... dan aku bertemu dengan seorang laki-laki, seorang pemuda laknat..."

Melihat muka yang makin pucat dan kedua mata masih dipejamkan itu, Lie Seng merasa kasihan sekali. Dia memang sudah dapat menduga bahwa latar belakang kehidupan dara ini tentu gelap dan penuh kepahitan.

"Sudahlah, enci Eng..."

Akan tetapi, karena merasa sudah tiba di tepi jurang, sudah terlanjur melangkah, Sun Eng ingin cepat menyelesaikan hal yang menegangkan hatinya itu. "Pemuda itu lalu menjadi tumpuan harapanku. Suhu dan subo sudah melarang karena mereka mengenal pemuda laknat itu, pemuda mata keranjang yang menganggap wanita-wanita hanyalah merupakan alat untuk bersenang-senang, untuk menghibur diri dan melampiaskan nafsu birahinya..."

"Cukup, enci Eng..."

"Akan tetapi aku nekat. Bahkan aku melarikan diri dengan pemuda itu..."

Lie Seng menunduk. Terlalu hebat cerita itu. Sakit rasanya jantungnya membayangkan semua peristiwa yang dilakukan dan dialami oleh wanita yang dicintanya ini dan dia tidak ingin mendengar lagi.

Akan tetapi Sun Eng sudah merasa melewati jurang yang paling dalam. Kini dia membuka mata, dan mata itu bersinar-sinar ketika dia melanjutkan, seolah-olah menantang maut, menantang kiamat.

"Benar seperti yang dikatakan suhu dan subo, laki-laki itu hanya mempermainkan diriku. Setelah dia puas menikmati diriku, dia lalu menjadi bosan dan hendak meninggalkan aku, tidak mau mengawiniku. Maka aku lalu membunuh si keparat itu!"

"Sun Eng..." Lie Seng mengeluh.

"Dan setelah itu, suhu dan subo tidak lagi mau mengakui aku. Aku lalu merantau, pindah dari pelukan satu pria kepada lain pria, mencari-cari, aku haus akan cinta kasih pria yang sejati, mencari pengganti pria seperti suhu. Namun yang kutemui hanyalah pria-pria yang kejam, pria-pria yang hanya ingin menikmati tubuhku belaka dan hendak menjadikan aku sebagai alat pemuas nafsu binatang mereka..."

"Cukup...!" Lie Seng membentak dan meloncat berdiri. Wajahnya pucat mengerikan sekali dan matanya terbelalak, mulutnya menyeringai seperti orang menderita kenyerian hebat.

Lemah lunglai rasanya seluruh tubuh Sun Eng setelah dia menceritakan semuanya. Kini dia siap menerima hukumannya yang paling hebat. Dia berlutut dan menyembah kepada Lie Seng.

"Perempuan macam ini engkau cinta? Ah, taihiap, sudah kukatakan aku tidak berharga, aku tidak patut menerima cinta dan kebaikanmu. Nah, sekarang telah kau dengar semua. Itulah sebabnya mengapa suhu dan subo tidak lagi mau mengakui muridnya ini, bahkan tak sudi menerima ketika aku datang hendak menolong mereka. Dan kau... silakan kalau hendak mengutuk, memaki dan boleh juga memukulku, taihiap. Aku akan rela dan puas mati di tanganmu..."

Sejenak Lie Seng berdiri seperti patung, tegak dan sama sekali tidak bergerak, menunduk dan memandang kepala yang rambutnya awut-awutan itu. Dia bertanya-tanya kepada diri sendiri memeriksa hatinya sendiri.

Heran! Dia memang menyesal sekali, berduka sekali, akan tetapi dia semakin kasihan kepada wanita ini, semakin mencintanya! Dia merasa berkewajiban untuk melindunginya, untuk menghiburnya, untuk membantunya melupakan semua peristiwa yang pahit itu!

Cinta memang aneh sekali! Akan tetapi, barulah patut dibicarakan sebagai cinta kalau di situ tidak ternoda oleh cemburu, oleh marah, oleh benci! Cinta tak mengenal baik buruk, cinta bukanlah sama dengan senang akan yang indah-indah, suka akan bersih-bersih. Cinta adalah cinta, di atas baik buruk!

Karena sampai lama dia menanti dengan pasrah dan pemuda itu tidak bergerak, tidak berkata apa-apa lagi, perlahan-lahan Sun Eng mengangkat mukanya yang basah oleh air mata. Air matanya masih turun menetes-netes dan dia melihat pemuda itu berdiri dengan muka menunduk, sepasang mata itu memandang kepadanya dengan lembut dan penuh iba, sama sekali tidak marah seperti yang diduganya. Sejenak mereka berpandangan dan air mata itu makin deras menetes turun.

Tiba-tiba, seperti digerakkan oleh tenaga gaib, keduanya saling turun. Hanya ada keluhan tertahan keluar dari dada Lie Seng, dan Sun Eng merintih, membiarkan dirinya dipeluk, ditarik berdiri dan dia pun hanya merintih dan merasa seperti tenggelam di dalam lautan yang tak berdasar pada waktu merasa betapa pemuda itu menciuminya di antara bisikan-bisikan yang terdengar seperti suara gaib baginya.

"Sun Eng... aku cinta padamu... apa pun yang terjadi, sedang terjadi atau akan terjadi... demi Langit dan Bumi, aku cinta padamu..."

Sun Eng adalah seorang wanita yang telah matang dalam hubungan asmara antara pria dan wanita. Bahkan selama dia mencari-cari pengganti gurunya, di antara banyak kaum pria, dia terkenal pandai membujuk, pandai merayu dan ahli dalam permainan cinta. Akan tetapi, sekali ini, di dalam dekapan Lie Seng, pemuda yang masih hijau dan canggung, dalam hujan ciumannya, Sun Eng hanya bisa gemetar, setengah pingsan dan tidak dapat apa-apa seperti seorang anak perawan yang masih belum tahu apa-apa!

Terasa sekali olehnya betapa api nafsu membakar dan berkobar-kobar di antara mereka, kemudian perlahan-lahan menghangatkan dan membakar dirinya pula, Sun Eng meronta dan melepaskan diri.

"Tidak...! Jangan lakukan itu, taihiap!" Dia terengah di antara ciuman Lie Seng yang amat terkejut dan melepaskannya dengan lembut, memandangnya dengan heran.

"Aku cinta padamu, enci Eng..."

"Demi Tuhan, terkutuklah aku bila tidak mempercayai cinta kasihmu, taihiap. Aku percaya dan engkau sudah mengangkatku dari jurang maut, engkau sudah mendatangkan cahaya terang di dalam hidupku yang gelap gulita ini. Dan demi Langit dan Bumi, aku pun cinta kepadamu, taihiap, aku memujamu, menjunjungmu seperti dewaku, pelindungku, dan aku rela menyerahkan jiwa dan ragaku kepadamu. Akan tetapi... ah, betapa aku masih muak dengan segala cinta nafsu birahi... aku mengganggapnya begitu kotornya, menjijikkan... semua itu karena selama ini aku haus akan cinta kasih yang murni, akan tetapi hanya mendapatkan cinta nafsu. Dan sekarang... aku tidak ingin mengotori cinta kasihmu yang demikian suci itu dengan nafsu birahi. Taihiap, berilah waktu kepadaku, atau kepada kita berdua. Aku tidak ingin gagal lagi dalam hubungan antara kita, akan tetapi aku pun tidak ingin engkau tergesa-gesa dan kemudian kecewa. Engkau sudah mendengar riwayatku, engkau tahu betapa busuk dan kotornya aku, namun engkau masih menyatakan cinta. Ya Tuhan, terima kasih, taihiap! Terima kasih, dan janganlah memberi bayangan kegagalan dalam hubungan ini! Biarlah engkau berpikir hingga masak betul untuk menyelidiki apakah benar cinta kasihmu ini murni. Aku tidak ingin melihat engkau kelak sengsara, lebih baik aku mati dari pada melihat engkau menderita, taihiap. Oleh karena itu, maka biarlah kita berpisah selama satu tahun. Dan setahun kemudian, aku akan menantimu di sini, tepat di tempat ini, dan kita bersama-sama akan melihat apakah benar-benar ada cinta kasih di antara kita. Nah, jangan membantah dan jangan halangi aku, taihiap, selamat berpisah, sampai setahun lagi... ingat, setahun tepat di tempat ini..."

Setelah berkata demikian, Sun Eng lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu tanpa menengok lagi karena dia maklum bahwa sekali dia menengok dan memandang pemuda itu, tidak akan ada kekuatan yang dapat memisahkannya lagi dari pemuda itu!

Lie Seng tertegun, berdiri seperti patung. Kata-kata yang panjang lebar itu menimbulkan kesan sangat mendalam di hatinya. Dia melihat kebenaran di dalam ucapan itu. Dia tidak boleh tergesa-gesa menurutkan perasaan hati pada saat itu. Akan tetapi dia hampir yakin akan cinta kasihnya kepada Sun Eng.

Hampir dia mengejar, menghalangi gadis itu pergi. Akan tetapi dia pun harus mengingat perasaan gadis itu. Apakah gadis itu merasa ragu-ragu akan cintanya? Apakah gadis itu tak percaya kepadanya, ataukah tidak percaya kepada dirinya sendiri? Sun Eng memiliki kekerasan dan keteguhan hati. Mengapa dia tidak?

"Enci Eng, engkau lihat, satu tahun kemudian aku akan berada di sini!" Dia berteriak ke arah bayangan gadis yang telah pergi jauh itu. Dia tak mendengar adanya jawaban, akan tetapi dia tahu bahwa gadis itu terisak-isak dan berjalan terhuyung-huyung, tanda bahwa gadis itu mendengar ucapannya.

Setelah bayangan Sun Eng lenyap, sampai lama Lie Seng berdiri di tempat itu, kemudian dia memandang sekeliling dan menghampiri sebatang pohon besar lalu menggunakan jari telunjuknya untuk mencorat-coret di batang pohon besar itu. Karena jari telunjuk itu terisi hawa Thian-te Sin-ciang, maka seperti pisau yang tajam saja jari itu membuat coretan huruf-huruf yang indah di batang pohon, mengiris kulit batang pohon itu.

Bertemu dan berpisah bagai mimpi Lie dan Sun membuat janji suci akan bertemu di awal musim semi!

Setelah puas dengan coretan-coretan yang merupakan perluapan perasaannya dan juga dipakai untuk menandai tempat pertemuan itu, Lie Seng lalu meloncat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dia tidak mengkhawatirkan keadaan ibu kandungnya, ayahnya, paman dan bibinya. Akan tetapi walau pun dia percaya bahwa mereka tentu dapat lolos, ada pula kekhawatiran bahwa mereka selanjutnya tentu akan dikejar-kejar sebagai musuh negara, sebagai pemberontak-pemberontak yang buron. Dan memang dugaan ini tepat.

Kota raja menjadi gempar dengan adanya peristiwa itu. Biar pun istana tidak tahu-menahu tentang penangkapan atas diri empat pendekar itu dan tidak tahu pula kenapa mendiang Panglima Lee Siang melakukan penangkapan itu, tetapi pembunuhan terhadap panglima itu serta perlawanan terhadap pasukan yang mengakibatkan tewasnya banyak pengawal cukup menggegerkan.

Apa lagi Kim Hong Liu-nio sendiri yang menyebarkan fitnah bahwa empat orang pendekar itu memang bermaksud memberontak, tentu saja omongan wanita yang pernah berjasa terhadap istana ini dapat dipercaya oleh kaisar yang segera memerintahkan agar empat pemberontak yang buron itu ditangkap dan dihukum! Karena itu, terpaksa empat orang pendekar itu bersembunyi untuk menghindarkan diri dari penangkapan serta pengejaran pemerintah!

                   ***************

Tembok besar raksasa yang melintang di sebelah utara Tiongkok sehingga memisahkan Tiongkok dengan daerah luar, dinamakan Tembok Besar Selaksa Mil. Dan tembok yang merupakan keajaiban hasil karya tangan manusia itu, selain amat kokoh kuat, tinggi dan besar, juga melintasi gunung-gunung, jurang-jurang, dan dipandang dari jauh mirip seekor ular raksasa berliku-liku antara pegunungan dan daerah liar itu.

Daerah semacam itu tentu saja merupakan tempat persembunyian yang baik sekali bagi gerombolan-gerombolan jahat. Di antara gerombolan-gerombolan penjahat di sepanjang tembok besar itu, yang paling terkenal, ditakuti oleh para pelancong dan pedagang yang melintasi tembok besar adalah perkumpulan Jeng-hwa-pang.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jeng-hwa-pang dipimpin atau diketuai oleh Gak Song Kam, seorang ahli racun yang telah berani mempergunakan julukan Tok-ong (Raja Racun) dan memiliki kepandaian tinggi karena dia adalah seorang di antara murid-murld terlihai dari mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang jagoan Pek-lian-kauw yang terkenal.

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Akan tetapi, sejak muncul Kim Hong Liu-nio, wanita luar biasa dari utara, Jeng-hwa-pang menemui hari naasnya sehingga perkumpulan itu pernah diobrak-abrik oleh wanita sakti itu. Banyak anak buah Jeng-hwa-pang yang tewas di tangan Kim Hong Liu-nio ini, bahkan Tok-ong Gak Song Kam sendiri nyaris tewas kalau saja dia tak cepat-cepat melarikan diri.

Akan tetapi, semenjak itu Gak Song Kam telah menghimpun lagi anak buahnya, bahkan sekarang dia memperkuat kedudukannya dengan mengundang seorang tokoh hitam yang sudah terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Bouw Song Khi yang berjuluk Jai-hwa Sin-to Si Maling Sakti Pemetik Bunga.

Bouw Song Khi berusia empat puluh enam tahun, seorang pria yang tampan dan pesolek, bersikap ramah dan menarik, akan tetapi sesungguhnya dia adalah maling tunggal yang lihai, juga seorang tukang memperkosa dan mempermainkan wanita yang luar biasa keji. Karena Bouw Song Khi ini pernah berguru kepada mendiang Jeng-hwa Sian-jin, maka dia terhitung masih sute dari Gak Song Kam sendiri, walau pun dalam hal ilmu kepandaian, dia tidak kalah lihai dari suheng-nya itu.

Karena Jeng-hwa-pang adalah perkumpulan yang sudah kuat keuangannya, maka dengan menggunakan simpanannya, Gak Song Kam berhasil membangun kembali perkumpulan itu, bahkan mendatangkan banyak orang untuk menjadi anak buahnya, pengganti anak buah yang roboh dan tewas ketika Kim Hong Liu-nio mengamuk.

Dan sekarang, dua tahun lebih kemudian, perkumpulannya telah bangkit kembali menjadi perkumpulan yang kuat dan menguasai daerah di luar tembok besar. Hasil pemungutan pajak jalan dari mereka yang lewat saja sudah lebih dari cukup, belum lagi sumbangan-sumbangan paksaan dari para penghuni di luar tembok besar atau dari rombongan yang lewat.

Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi suka sekali tinggal bersama suheng-nya itu, oleh karena suheng-nya mampu menyediakan wanita-wanita cantik yang cukup banyak supaya dapat menghibur hatinya setiap hari siang malam. Pekerjaannya ringan sekali, hanya tinggal di tempat itu dan menjaga keamanan Jeng-hwa-pang, dan kadang-kadang ikut pula melatih kepada anak buah Jeng-hwa-pang, membanggakan kepandaiannya di antara para anak buah yang memuji dan mengaguminya.

Akan tetapi, kadang-kadang Bouw Song Khi terserang penyakit yang kumat kembali, yaitu penyakit yang timbul dari kebiasaan lamanya. Dia ingin sekali mendapatkan gadis atau wanita hasil culikan seperti yang sering dia lakukan sebelum dia tinggal di luar tembok besar dulu. Kebiasaan menculik dan memperkosa wanita ini menjadi semacam penyakit sehingga persediaan wanita-wanita yang dengan suka rela mau melayaninya itu sekarang sudah mendatangkan bosan kepadanya dan dia merasa rindu untuk memperoleh wanita yang harus melayaninya secara paksa!

Sungguh keji sekali penyakit macam ini! Moral orang semacam Bouw Song Khi sudah sedemikian bejatnya sehingga memperkosa wanita, melihat wanita itu melawan, meronta dan menangis ketika diperkosanya, merupakan kesenangan serta kenikmatan tersendiri yang tidak bisa diperoleh dari para wanita yang disuguhkan oleh suheng-nya kepadanya. Karena itulah, maka dia merasa gelisah.

Pada suatu malam, begitu matahari tenggelam, jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) ini telah meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang untuk pergi ke sebuah dusun yang terdekat dan di sana, sesudah memilih-milih, akhirnya dia berhasil menculik seorang gadis petani yang manis. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat melarikan gadis ini tanpa ada yang mengetahui dan tanpa gadis itu dapat berteriak sedikit pun karena telah ditotoknya, lalu gadis itu dilarikannya ke sarang Jeng-hwa-pang.

Para anak buah Jeng-hwa-pang bersorak gembira menyambut kedatangan jagoan ini, dan hebatnya, Gak Song Kam sendiri hanya tertawa melihat tingkah laku sute-nya, sama sekali tidak menegurnya karena dia menganggap diculiknya seorang perawan dusun itu hanyalah merupakan soal kecil yang tidak perlu diributkan dan dianggapnya sebagai hal remeh.

Demikianlah, tanpa ada gangguan apa pun, Bouw Song Khi si penjahat cabul itu lantas membawa perawan dusun yang diculiknya itu ke dalam kamarnya, memaksanya untuk melayaninya makan minum dengan gembira. Biar pun dia telah memerintahkan beberapa orang wanita untuk memandikan dara desa itu secara paksa dan memberinya pakaian indah dan baru sehingga perawan dusun itu nampak makin manis, namun gadis itu selalu menangis dan hanya karena takut saja maka dia mau duduk semeja dengan penculiknya tanpa menjamah masakan yang dihidangkannya. Dia gemetar ketakutan dengan wajah pucat dan mata terbelalak, seperti seekor kelinci yang dipermainkan oleh seekor harimau yang menangkapnya.

Inilah keadaan yang dirindukan oleh Bouw Song Khi. Kalau gadis dusun itu menurut dan mau melayaninya dengan suka rela, agaknya dia pun akan merasa jemu karena biar pun gadis itu manis, akan tetapi bila dibandingkan dengan wanita-wanita yang disediakan oleh suheng-nya di tempat itu untuknya, yaitu wanita-wanita yang berpengalaman dan pandai bersolek, pandai pula merayu, tentu dara dari desa ini kalah jauh. Akan tetapi gadis itu gemetar ketakutan, dan inilah yang menimbulkan gairahnya!

Maka dia makan minum sambil tertawa-tawa, menikmati keadaan itu di mana gadis itu duduk dengan seluruh tubuh menggigil, ngeri membayangkan apa yang akan menimpa dirinya. Bouw Song Khi ingin menikmati keadaan ini perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa, untuk memperpanjang keadaan tegang bagi gadis itu yang amat menyenangkan hatinya. Agaknya seperti inilah seekor kucing menikmati permainannya dengan seekor tikus, lebih dulu mempermainkannya, membiarkannya lari lalu ditangkap kembali, menikmati tikus itu dalam ketakutan hebat selama mungkin sebelum akhirnya mengganyangnya.

Pada waktu Bouw Song Khi makan minum dengan gembira itu, nampak dua orang muda memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang! Sungguh peristiwa yang mengherankan dan mengejutkan sekali bagaimana ada dua orang asing berani datang memasuki sarang itu.

Dua orang pemuda itu berjalan masuk dengan langkah ringan dan lenggang seenaknya, seolah-olah mereka berdua tidak sedang memasuki sarang Jeng-hwa-pang yang ditakuti orang, melainkan sedang memasuki pintu halaman rumah mereka sendiri saja. Dan dua orang muda ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han How dan Sin Liong!

Seperti sudah diceritakan di bagian depan, dua orang muda ini berangkat meninggalkan istana Raja Sabutai untuk memberi hajaran terhadap Jeng-hwa-pang yang sudah berani mengirim orangnya untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Ceng Han Houw. Mereka berdua melakukan perjalanan menunggang kuda, tanpa diiringi oleh seorang pun pengawal. Setelah tiba di luar daerah yang menjadi sarang Jeng-hwa-pang, keduanya lalu meninggalkan kuda mereka, dicancang di dalam hutan kemudian melanjutkan perjalanan memasuki daerah musuh itu dengan jalan kaki hingga akhirnya mereka memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang dengan tenang.

Tentu saja kedatangan dua orang muda ini langsung ketahuan sehingga gegerlah sarang Jeng-hwa-pang itu. Hanya dalam waktu singkat saja sudah ada belasan orang anggota Jeng-hwa-pang yang datang mengurung kedua orang pemuda itu begitu mereka melewati pintu gerbang.

Obor dipasang dan dipegang tinggi-tinggi sehingga tempat itu menjadi terang benderang. Tetapi para anggota Jeng-hwa-pang menjadi terheran-heran melihat bahwa yang datang itu hanyalah dua orang pemuda remaja yang bersikap sedemikian tenangnya walau pun mereka telah dikurung banyak orang.

"Hai, dua bocah lancang! Siapa kalian yang berani datang ke tempat ini tanpa ijin, apakah kalian sudah bosan hidup?" bentak seorang di antara mereka.

Mendengar ini, Han Houw marah sekali. Dia seorang pangeran. Di kerajaan ayahnya, dia dihormati secara berlebihan, bahkan di kerajaan selatan, dia pun seorang pangeran yang pernah menjadi kuasa kaisar dan di mana-mana pun dia dihormati. Kini, teguran itu tentu saja membuat dia marah sekali. Ceng Han Houw bertolak pinggang dan dengan suara lantang dia pun berkata.

"Huh, kalian ini hanyalah tikus-tikus busuk kecil yang tidak berharga bicara dengan kami. Hayo suruh tikus besar Gak Song Kam keluar untuk menemui kami!"

Tentu saja ucapan yang bernada angkuh ini membuat semua anak buah Jeng-hwa-pang menjadi marah sekali. Salah seorang di antara mereka, yang tadi menegur, seorang yang bertubuh tinggi besar serta berkumis tebal, yang terkenal pemarah namun terkenal pula mempunyai tenaga besar seperti kerbau, cepat melangkah ke depan, menghampiri Ceng Han Houw dan membentak.

"Bocah bermulut kotor! Berani engkau memaki kami? Kuhancurkan mulutmu!" Dia sudah mengulur tangannya yang besar dengan jari-jari tangan yang kuat untuk mencengkeram ke arah mulut Han Houw!

Pemuda ini berdiri tegak, sedikit pun tak menangkis. Akan tetapi sebelum jari-jari tangan itu menyentuh mukanya, kurang beberapa sentimeter lagi, tiba-tiba saja si kumis tebal itu memekik keras lantas roboh terjengkang. Darah muncrat-muncrat keluar dari ulu hatinya yang telah berlubang karena tadi secara kilat cepatnya ditusuk oleh Han Houw yang telah mengeluarkan sebatang anak panah.

Anak panah itu adalah anak panah yang dahulu dipergunakan oleh tokoh Jeng-hwa-pang untuk menyerang dirinya, dan ujung anak panah itu mengandung racun yang berbahaya sekali, maka begitu ditusukkan ke ulu hati si kumis tebal, seketika orang ini terjengkang dan berkelojotan, terus tewas tak lama kemudian.

Semua anggota Jeng-hwa-pang segera terbelalak, apa lagi ketika mengenal anak panah itu. Anak panah itu adalah anak panah milik Jeng-hwa-pang yang hanya digunakan oleh orang-orang yang sudah mempunyai kedudukan tinggi di Jeng-hwa-pang. Dan pemuda ini menggunakan anak panah Jeng-hwa-pang untuk membunuh seorang di antara mereka!

"Siapa dia...?"

"Itu anak panah Jeng-hwa-pang kita!"

Maka ramailah orang-orang itu berteriak dan kini tidak ada lagi yang berani lancang turun tangan karena di samping kelihaian pemuda remaja yang angkuh ini, juga anak panah itu membuat mereka ragu-ragu.

"Lekas suruh Gak Song Kam menghadap ke sini sebelum kalian semua mampus oleh anak panah ini!" Han Houw kembali membentak, suaranya sangat nyaring dan penuh wibawa sehingga suasana menjadi lucu dan aneh karena begitu banyaknya anak buah Jeng-hwa-pang yang biasanya ditakuti orang-orang seperti takut setan, kini nampak jeri menghadapi gertakan seorang pemuda remaja yang nampaknya begitu lemah lembut!

"Pemuda sombong, aku telah berada di sini!" Tiba-tiba terdengar suara kereng dan semua anggota Jeng-hwa-pang merasa lega, cepat menyibak dan memberi jalan masuk kepada Gak Song Kam dan Bouw Song Khi yang telah datang karena diberi tahu oleh seorang anggota Jeng-hwa-pang.

Secara terpaksa dan penasaran, marah kepada si pengganggu, terpaksa Bouw Song Khi meninggalkan perawan dusun yang belum sempat diganggunya itu sebab dia belum habis makan minum ketika dipanggil oleh suheng-nya untuk diajak menanggulangi pengacau yang berani datang membikin ribut di Jeng-hwa-pang. Ketika dua orang tokoh besar ini melihat bahwa yang mengganggu hanyalah dua orang pemuda remaja, tentu saja mereka memandang rendah dan merasa penasaran sekali, apa lagi melihat betapa seorang anak buah mereka telah menggeletak dan tewas.

Han Houw dan Sin Liong segera membalikkan tubuh memandang. Sin Liong langsung mengenal laki-laki bertubuh tegap, bermuka merah dan amat gagah itu. Dulu dia pernah ditawan oleh ketua Jeng-hwa-pang ini, dan nyaris tewas disiksa oleh pria ini ketika dia dilempar ke dalam lubang ular!

Akan tetapi begitu dia melihat kakek berpakaian rapi dan pesolek yang datang bersama ketua Jeng-hwa-pang itu, dia amat kaget dan mengenal pula kakek ini sebagai seorang di antara para calon pemilihan bengcu yang beberapa waktu yang lalu diadakan di selatan! Dia mengenal Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi yang merupakan kaki tangan atau sahabat dari Lam-hai Sam-lo dan biar pun dia sendiri belum pernah bentrok dengan orang ini, dia dapat menduga bahwa tentu kepandaian si maling tunggal ini lihai sekali.

Juga Si Maling Sakti itu segera mengenal Sin Liong, bocah yang pernah menggegerkan pemilihan bengcu di selatan, maka kagetlah dia dan mukanya sudah berubah. Apa lagi dia pun mengenal Ceng Han Houw, utusan kaisar yang amat ditaati oleh Lam-hai Sam-lo dan biar pun dia sendiri tidak mempunyai hubungan dengan pemuda bangsawan itu, akan tetapi dia pun sudah merasa jeri.

Namun tidak demikian halnya dengan suheng-nya, ketua Jeng-hwa-pang. Dia ini sudah lupa kepada dua orang pemuda remaja itu, biar pun keduanya pernah dia jumpai. Melihat betapa seorang anggotanya tewas, dia sudah marah sekali.

"Siapa kalian dan mengapa kalian datang membunuh seorang anggota kami?" bentaknya sambil melangkah maju.

Han Houw tersenyum mengejek dan mengacungkan anak panah di tangannya yang tadi dipergunakan untuk membunuh Si Kumis Tebal itu. "Gak Song Kam, buka matamu yang lamur itu lebar-lebar! Dulu aku pernah datang bersama suci Kim Hong Liu-nio membasmi sarangmu ini! Sudah lupa lagikah engkau? Dan buka matamu, lihat anak panah siapa ini? Utusanmu yang hendak membunuhku telah mampus, dan ini anak panahnya kuantarkan kembali kepadamu, namun harus kau tukar dengan kepalamu! Dan kau tidak mengenal saudaraku ini?" Han Houw menoleh kepada Sin Liong.

"Houw-ko, tentu saja dia mengenalku. Tentu engkau tidak lupa ketika melemparku ke dalam lubang ular itu, pangcu!" kata Sin Liong.

Sepasang mata itu terbelalak dan muka yang merah itu semakin merah. Sekarang Gak Song Kam mengenal dua orang pemuda remaja ini dan kemarahannya makin memuncak. "Pasukan Api, maju!" teriaknya.

Tiba-tiba saja nampak sinar terang ketika dua belas orang laki-laki yang bertubuh tegap berloncatan ke depan. Mereka itu masing-masing memegang sebatang obor, akan tetapi bukanlah sembarang obor karena obor itu gagangnya terbuat dari baja dan tempat apinya besar sehingga apinya juga berkobar besar. Gagangnya cukup panjang, dapat digunakan sebagai pedang atau juga sebagai toya pendek.

Cara mereka memegang gagang obor menunjukkan bahwa mereka itu sudah mahir sekali memainkan obor ini sebagai senjata dan gerakan mereka teratur rapi ketika mereka maju mengurung. Kaki mereka bergerak perlahan dan mereka melangkah mengelilingi tempat itu, makin lama semakin menyempit. Mereka menggerak-gerakkan obor di tangan dengan teratur dan berbareng pula sehingga nampak sangat indah karena mereka itu seolah-olah sedang memainkan tarian obor.

"Houw-ko, mundurlah, biar aku menghadapi badut-badut ini!" kata Sin Liong yang dapat menduga akan kelihaian pasukan obor itu.

Diam-diam Han Houw memang merasa ngeri melihat pasukan obor itu, dan karena dia tahu betapa lihainya Sin Liong, maka dia pun mengangguk dan dengan sikap angkuh dia mundur lalu berdiri tenang dengan anak panah rampasan itu masih di tangan kanannya. Diam-diam dia mempersiapkan anak panah itu untuk membantu saudara angkatnya bila mana keadaan memerlukannya.

Pasukan obor yang terdiri dari dua belas orang itu kini mengurung Sin Liong. Setiap kali obor digerakkan, muncratlah bunga api dan terdengar suara mendesis disusul asap hitam bergulung-gulung. Cahaya api obor yang dimainkan itu membentuk pemandangan yang indah sekali memecah kegelapan malam. Dengan latar belakang malam gelap, nampak cahaya-cahaya kedua belas obor itu saling berkejaran dan asap hitam bergumpal-gumpal membubung tinggi ke angkasa yang kemerahan oleh sinar api obor.

"Sam-kak-tin...!" terdengar seorang di antara mereka membentak.

Dengan teratur sekali dua belas orang itu bergerak sehingga terbentuklah empat pasukan Sam-kak-tin (Pasukan Segi Tiga) yang rapi dan kini pasukan demi pasukan yang terdiri dari tiga orang mulai menyerbu dan menyerang Sin Liong secara bertubi-tubi!

Ceng Han Houw terkejut bukan main. Serangan-serangan itu demikian teratur, dilakukan secara berturut-turut dan hampir berbareng oleh setiap regu dari tiga orang, dari arah tiga jurusan yang membentuk segi tiga dan karena ada empat regu segi tiga, maka serangan-serangan itu hebat bukan main. Sinar-sinar obor menyilaukan mata, seolah-olah menjadi lautan api bergelombang yang hendak menelan Sin Liong!

Sin Liong juga terkejut. Dia telah menguasai ilmu amat tinggi dan luar biasa, akan tetapi laksana seekor burung, dia baru saja meninggalkan sarangnya sehingga pengalamannya bertanding masih sempit sekali. Kini, menghadapi serangan bertubi-tubi dari api-api yang menyilaukan mata ini, tentu saja dia terkejut. Namun, kepercayaannya kepada diri sendiri yang timbul semenjak dia masih kecil dan banyak menghadapi bahaya maka dia bersikap tenang sekali.

Dengan penuh waspada dia menghadapi semua serangan itu dan cepat menggunakan gerakan ajaib dari Thai-kek Sin-kun. Dengan langkah-langkah ajaib yang dipelajarinya dari kakeknya, maka Sin Liong mampu menghindarkan diri dari setiap sambaran cahaya api, menyelinap ke kanan kiri di antara sambaran obor-obor itu sehingga sampai barisan ke empat melakukan serangan, tetap saja tidak ada sebuah pun obor mengenai tubuhnya!

Gak Song Kam dan sute-nya, Bouw Song Khi, terkejut dan kagum bukan main. Gak Song Kam bahkan merasa panasaran sekali.

"Ngo-heng-tin...!" Dia berseru nyaring.

Dua belas orang itu langsung bergerak secara otomatis. Empat barisan Sam-kak-tin tadi kini bergabung lantas membentuk dua barisan Ngo-heng yang terdiri dari masing-masing lima orang sehingga berjumlah sepuluh orang, dan dua orang yang tersisa kini bertugas sebagai pemimpin pasukan dan berdiri di kanan kiri memberi aba-aba kepada musing-masing pasukan.

Berbeda dengan Pasukan Segi Tiga tadi yang menyerang secara susul-menyusul, kini pasukan Lima Unsur atau Ngo-heng ini bekerja sama saling membantu sesuai dengan aba-aba yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin. Dua pasukan Ngo-heng itu menyerbu dan berputar-putar, kadang-kadang berbareng sehingga merupakan kerja sama yang baik dan rapi sekali.

"Ehhh...?!" Sin Liong terkejut sekali karena biar pun dia masih mempergunakan langkah Thai-kek Sin-kun, tetap saja pundaknya sudah hangus! Untung belum terbakar dan cepat dia sudah menggerakkan tangannya dengan kibasan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang hingga api itu seperti tertiup membalik dan si pemegang obor sampai terhuyung ke belakang.

Maklum akan kelihaian pasukan Ngo-heng ini, Sin Liong tidak berani bersikap lambat. Dia berloncatan di antara kepungan obor-obor yang menyambar-nyambar itu, dan sekarang mengerahkan ginkang untuk menghindarkan diri. Bagaikan seekor naga sakti mengamuk di antara gumpalan awan, tubuh Sin Liong berkelebatan di antara asap-asap hitam dan api-api obor. Para pemegang obor menyerangnya seperti orang-orang yang memainkan pedang dan toya, gerakan mereka selain teratur rapi, juga cepat dan rata-rata mereka memiliki tenaga yang cukup kuat.

Namun, kelincahan pemuda itu benar-benar membuat mereka tidak berdaya. Walau pun mereka sudah mengerahkan seluruh kemampuan dari dua pasukan Ngo-heng-tin, tetap saja mereka tidak berhasil menyentuh tubuh Sin Liong.

"Pat-kwa-tin...!" Gak Song Kam berteriak marah.

Kini pasukan itu kembali bergerak, membentuk pasukan delapan orang yang membentuk pat-kwa (segi delapan) lantas menyerang Sin Liong dari delapan penjuru angin. Empat orang yang lainnya selalu siap menggantikan anggota pasukan yang terdesak! Ternyata pasukan ini lebih lihai dari pada Ngo-heng-tin dan kini Sin Liong nampak terdesak!

"Celaka...!" pikir pemuda itu. Kini dia tidak boleh hanya mengelak, harus membalas kalau dia tidak mau bajunya atau rambutnya terbakar.

Mulailah Sin Liong menggerakkan kaki tangannya dan begitu dia mengeluarkan lengking panjang dan tubuhnya membungkuk dengan dua tangan terpentang mendorong ke kanan kiri, maka terdengar pekik nyaring dan dua orang pengeroyok roboh bergulingan karena obor tadi membalik, yang satu mengenai mukanya sendiri yang penuh brewok sehingga rambut-rambut muka itu terbakar sedangkan yang ke dua terbakar pakaiannya, sehingga dia bergulingan pula sambil berteriak-teriak. Itulah satu di antara pukulan sakti Hok-mo Cap-sha-ciang yang terpaksa dikeluarkan oleh Sin Liong karena tadi dia sangat terdesak.

Melihat akibat pukulannya, Sin Liong menjadi ngeri sendiri, maka dia kemudian kembali menggunakan kegesitannya untuk mengelak dan meloncat ke sana ke mari, karena dua orang yang roboh itu kini telah digantikan oleh orang lain. Namun, dengan tamparan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang, Sin Liong mampu merobohkan mereka seorang demi seorang sehingga akhirnya kedua belas orang itu roboh semua, obor-obor mereka padam, ada yang patah, dan ada pula yang mengenai badannya sendiri sehingga dua belas orang itu kini hanya mampu merintih-rintih dan merangkak-rangkak mundur!

"Ha-ha-ha-ha, ternyata hanya begitu sajakah barisanmu? Mana lagi ilmu-ilmu ampuh dari Jeng-hwa-pang? Dengan kepandaian serendah itu kalian sudah berani menentang kami? Ha-ha-ha, adik Sin Liong, engkau sudah cukup bermain-main, sekarang mundurlah!" kata Han Houw sambil mentertawakan Gak Song Kam.

Melihat kesempatan ini, Bouw Song Khi meloncat ke depan. Dia memang sudah merasa jeri terhadap Sin Liong yang pernah dilihatnya menimbulkan kegemparan ketika diadakan pemilihan bengcu. Dia tahu bahwa pemuda remaja itu memang luar biasa sekali, apa lagi yang diperlihatkan oleh Sin Liong ketika menghadapi pasukan obor tadi membuat hatinya makin gentar lagi.

Oleh karena itu, begitu melihat Han Houw maju, dia segera mengambil kesempatan ini untuk turun tangan. Jauh lebih baik melawan pangeran ini dari pada menghadapi pemuda perkasa yang amat luar biasa itu. Memang, sebenarnya dia merasa sungkan pula untuk melawan pangeran yang ditakuti oleh Lam-hai Sam-lo ini, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat tinggal diam tanpa membantu suheng-nya setelah untuk beberapa bulan lamanya dia tinggal di Jeng-hwa-pang dan hidup bersenang-senang.

"Wuuuut...! Ting-tinggg...!"

Senjata rantainya bergerak dan mengeluarkan suara berdenting nyaring. Melihat ini Ceng Han Houw tersenyum, lantas dengan gerakan halus tangannya meraba pinggang dan dia sudah melolos sebatang pedang.

"Hemm, kalau tidak salah aku pernah melihat mukamu ini di selatan. Apakah engkau juga termasuk anggota Jeng-hwa-pang?" tanyanya sambil memperhatikan wajah Maling Sakti itu di bawah sinar obor yang banyak, dipegang oleh para anggota Jeng-hwa-pang yang mengurung tempat itu.

Bouw Song Khi merasa enggan untuk menjawab dan mukanya berubah merah. Sin Liong langsung berkata, "Han Houw-ko, aku masih ingat. Dia bernama Bouw Song Khi, dahulu menjadi seorang di antara calon-calon bengcu, akan tetapi lalu mundur dan mendukung Lam-hai Sam-lo!"

"Pemuda sombong, lihat senjata!" Bouw Song Khi membentak oleh karena dia tidak ingin banyak cakap lagi. Senjatanya, rantai yang terbuat dari pada baja dan panjangnya sampai satu setengah meter itu menyambar ganas hingga mengeluarkan suara angin berdesing dan menjadi sinar yang mengerikan mengancam kepala pangeran itu.

"Wuuuttt...!"

Dengan sedikit menundukkan kepala dan menekuk lututnya, tubuh pangeran itu merendah maka sinar rantai itu menyambar lewat di atas kepalanya. Dari bawah, pedang di tangan Han Houw meluncur seperti anak panah menusuk ke arah perut lawan.

Bouw Song Khi cepat-cepat mencondongkan tubuhnya ke kiri sehingga tusukan pedang itu luput, lalu rantainya yang tadi gagal menyambar kepala lawan telah membuat gerakan memutar dan kini menyambar turun ke arah lambung pangeran itu, gerakannya cepat dan berbahaya sekali. Rantai di tangannya itu seperti hidup, begitu luput mengenai sasaran dapat membalik dan langsung membuat serangan lanjutan.

Kaget juga Han Houw melihat kecepatan gerakan lawan ini, maka dia pun lalu memutar pedangnya ke bawah untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.

"Cringgg...!"

Bunga api berpijar dari pertemuan rantai dan pedang. Pada saat kedua senjata bertemu, Bouw Song Khi menggerakkan pergelangan tangannya dan ujung rantai itu laksana ular hidup melibat pedang di tangan Han Houw! Namun, pangeran muda yang lihai ini tidak menjadi gentar, bahkan dia menggerakkan kakinya maju lalu dengan cepat sekali kakinya menendang ke arah pergelangan tangan yang memegang rantai.

Terpaksa Bouw Song Khi melepaskan libatan rantainya dan kini ujung rantai menyambar ke arah kaki lawan yang terpaksa pula harus menarik kembali kakinya, lantas keduanya meloncat ke belakang. Dalam beberapa gebrakan itu, keduanya maklum bahwa mereka masing-masing menghadapi lawan yang lihai.

Akan tetapi Sin Liong maklum bahwa kakak angkatnya itu hanya main-main belaka. Dia sudah tahu akan kelihaian Han Houw dan dalam gebrakan-gebrakan pertama tadi dia pun mengerti bahwa kakak angkatnya itu jauh lebih lihai dari pada lawannya. Dan memang dugaannya ini tepat.

Kini Bouw Song Khi yang mengira bahwa lawannya hanya memiliki tingkat sampai sekian saja, telah menggerakkan rantainya dan mengirim serangan secara bertubi-tubi. Rantai itu berubah menjadi gulungan sinar yang nampaknya mengurung diri lawannya.

Bagi penglihatan semua orang, kelihatan pangeran itu terdesak hebat karena dia hanya berloncatan ke sana-sini sambil menggerakkan kedua kakinya mengatur langkah-langkah aneh. Akan tetapi diam-diam Sin Liong tersenyum dan memandang kagum.

Kakak angkatnya itu kembali telah memperlihatkan kelihaian Pat-kwa-po, yaitu Langkah Segi Delapan yang amat aneh. Pemuda tampan gagah itu hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari, tapi semua sambaran rantai itu luput dan hanya mengenai tempat kosong selalu.

Makin lama makin penasaran rasa hati Bouw Song Khi karena semua serangannya tak pernah berhasil, juga dia mulai merasa ngeri karena dia dapat menduga bahwa pangeran ini benar-benar amat lihai.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek dari pangeran itu dan dia telah menggerakkan tangan kirinya menangkis rantai yang datang menyambar! Hanya dengan tangan kosong saja dia berani menangkis rantai! Hal ini mengejutkan hati Sin Liong dan menggirangkan hati Bouw Song Khi.

Rantai itu terbuat dari pada baja murni dan juga digerakkan dengan pengerahan tenaga sinkang. Batu karang pun akan hancur apa bila terkena hantaman ujung rantai, apa lagi tangan yang terdiri dari kulit daging dan tulang, pasti akan hancur berantakan!

"Plakkk!"

Tangan itu menangkis ujung rantai hingga rantai itu membalik, hampir menghantam muka Bouw Song Khi sendiri! Dan tangan kiri pemuda bangsawan itu sama sekali tidak terluka, lecet sedikit pun tidak!

Bouw Song Khi menjadi pucat. Tidak disangkanya bahwa pemuda ini memiliki kekebalan yang sehebat itu. Dan Sin Liong kagum bukan main. Dia sendiri tidak tahu bahwa kakak angkatnya itu sudah mewarisi ilmu kekebalan yang hebat dari Hek-hiat Mo-li!

Bersama mendiang Pek-hiat Mo-ko, dulu nenek iblis ini telah menciptakan ilmu kekebalan yang ajaib, yang membuat seluruh tubuh mereka kebal terhadap senjata yang bagaimana ampuhnya, bahkan sepasang tangan mereka mampu menangkis senjata-senjata pusaka.....

Terima kasih telah membaca Serial ini.


JILID 26



DALAM cerita Dewi Maut, para pendekar pun sampai kewalahan menghadapi kekebalan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, sampai kemudian sepasang pendekar Cia Bun Houw dan Yap In Hong mengetahui rahasia kelemahan mereka yang dibuka oleh Khamila, ratu dari Raja Sabutai, bahwa kelemahan kakek dan nenek iblis itu berada pada telapak kaki mereka hingga akhirnya sepasang pendekar itu berhasil menewaskan Pek-hiat Mo-ko dan melukai Hek-hiat Mo-li. Kini, ternyata ilmu yang luar biasa itu telah diturunkan pula kepada Ceng Han Houw dan hanya pangeran ini sendiri yang tahu rahasia kelemahannya sendiri!

Sesudah menguji kekebalannya sendiri, Han Houw tertawa dan kini seenaknya saja dia menghadapi serangan rantai itu, bahkan kadang-kadang dia menerima gebukan rantai itu dengan tubuhnya! Makin pucatlah wajah Bouw Song Khi dan tiba-tiba saja tangan kirinya bergerak. Uap hitam menyambar ke arah muka Han Houw dan itu adalah bubuk beracun yang mengandung obat bius, yang biasa dipergunakan oleh jai-hwa-cat ini untuk membius wanita yang diculiknya.

Akan tetapi, perbuatannya inilah yang mendatangkan mala petaka baginya. Kalau tadinya Han Houw masih ragu-ragu untuk membunuh orang yang dianggapnya tidak ada sangkut-pautnya dengan Jeng-hwa-pang, kini melihat orang itu mempergunakan racun, pangeran muda ini menjadi marah.

Han Houw meloncat untuk menghindari dan tiba-tiba dari mulutnya menyambar sinar putih sedemikian cepat dan tidak terduga sehingga walau pun Bouw Song Khi sudah berusaha menghindar, namun tetap saja mata kirinya harus menerima sambaran pek-ciam (jarum putih) yang tersebar dari mulut pangeran itu.

Bouw Song Khi menjerit keras, rantainya terlepas dan kedua tangannya cepat mendekap matanya karena dia merasakan kenyerian yang menyusup sampai ke dalam jantungnya. Han Houw menggerakkan pedangnya yang semenjak tadi hanya dipakai menangkis saja. Pedang itu menembus dada dan ketika dicabutnya, darah muncrat dari tubuh lawan yang terjengkang dan tewaslah Bouw Song Khi.

Melihat ini, Gak Song Kam menjadi terkejut bukan main, juga amat marah. Dia berteriak mengeluarkan aba-aba kepada semua anak buahnya agar maju mengeroyok, sedangkan dia sendiri lalu menggerakkan pedangnya yang ampuh, pedang yang mengandung racun amat jahat, menerjang ke depan dan disambut oleh Sin Liong! Han Houw mengeluarkan suara tertawa mengejek dan pangeran ini segera menggerakkan pedangnya mengamuk, dikeroyok oleh puluhan orang anak buah Jeng-hwa-pang.

"Ha-ha-ha-ha, kalian orang-orang Jeng-hwa-pang benar-benar tidak tahu diri maka sudah selayaknya mampus! Kami adalah sepasang pendekar dari Lembah Naga! Kami adalah Harimau Sakti dan Naga Sakti dari Lembah Naga, dan pada hari ini Jeng-hwa-pang akan terbasmi habis oleh kami!"

Diam-diam Sin Liong terkejut mendengar suara yang sangat congkak ini, dan dia merasa ngeri ketika melihat betapa Han Houw mengamuk dengan pedangnya, merobohkan para anggota Jeng-hwa-pang seperti orang membabat rumput saja. Tentu saja para anggota Jeng-hwa-pang itu bukan lawan pangeran yang lihai itu. Sambil tertawa-tawa Han Houw merobohkan mereka seorang demi seorang. Darah muncrat-muncrat membasahi bumi dan teriakan-teriakan mengerikan terdengar susul-menyusul.

Melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini, Gak Song Kam merasa khawatir sekali. Apa lagi saat dia mendapat kenyataan betapa semua gerakan pedangnya yang ditujukan untuk menyerang pemuda remaja itu tak pernah berhasil mengenai sasaran, dia semakin gelisah dan maklum bahwa keadaannya amat berhahaya.

Ketua Jeng-hwa-pang ini memang seorang pengecut. Dulu pun pada saat Jeng-hwa-pang diserbu oleh Kim Hong Liu-nio, begitu dia tahu bahwa tidak ada harapan baginya untuk menang, diam-diam dia lalu melarikan diri sambil membawa pergi Sin Liong. Kini, ternyata kedua orang pemuda remaja itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan wanita iblis itu, bahkan sute-nya telah tewas dan anak buahnya banyak yang tewas pula dan kini sisanya sedang dihajar habis-habisan oleh pemuda yang berpakaian indah dan memakai sorban berhiaskan batu permata itu!

"Heiiiiikkkkk...!" Tiba-tiba ketua Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan teriakan nyaring.

Begitu kedua tangannya bergerak, dari tangan kirinya meluncur paku-paku hitam dan dari pangkal pedang dekat gagang juga meluncur jarum-jarum hitam. Baik paku-paku mau pun jarum-jarum itu semua mengandung racun yang sangat ampuh dan menyambar dengan cepat sekali ke arah Sin Liong!

Untung bahwa pemuda remaja ini pernah digembleng oleh orang-orang sakti seperti Cia Keng Hong dan Ouwyang Bu Sek hingga dia telah memiliki kematangan dan ketenangan batin yang luar biasa. Penyerangan jarum-jarum dan paku-paku itu sangat tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka-sangka, juga dilakukan dari jarak dekat. Kalau dia gugup dan menangkis, sedikit lecet saja pada lengannya akan cukup membahayakan sebab senjata-senjata rahasia itu direndam racun yang amat jahat.

Namun Sin Liong sudah tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang itu adalah ahli racun, maka dia pun secara otomatis melempar tubuhnya ke belakang, berjungkir balik sehingga terhindar dari sambaran senjata-senjata gelap yang beracun ini. Akan tetapi, kesempatan itu cepat digunakan oleh Gak Song Kam untuk melempar-lemparkan alat peledak yang kemudian mengeluarkan asap hitam tebal. Sambil tersenyum lega dia cepat meloncat melalui asap hitam yang beracun itu dan yang tidak mengganggu dirinya untuk melarikan diri seperti yang telah dilakukannya ketika Kim Hong Liu-nio menyerbu Jeng-hwa-pang dahulu.

Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda remaja yang menjadi lawannya tadi sudah berdiri di depannya, menghalanginya sambil tersenyum mengejek dan tidak kurang suatu apa. Dia tidak tahu bahwa Sin Liong masih ingat akan lihainya alat-alat peledak itu, maka saat melihat lawannya tadi melontar-lontarkan benda-benda itu, Sin Liong menggunakan ginkang-nya untuk menghindar jauh ke tempat gelap, lalu dia berkelebat menghadang ketika melihat ketua Jeng-hwa-pang itu hendak melarikan diri.

"Jangan harap kau akan dapat lari lagi seperti dahulu, pangcu!" Sin Liong berkata.

Dia merasa muak sekali akan kecurangan ketua yang pengecut ini, yang selalu hendak pergi meninggalkan anak buahnya dan menyelamatkan diri sendiri secara curang apa bila keadaan berbahaya baginya, sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang ketua yang tidak mempedulikan keadaan anak buahnya.

Akan tetapi, melihat pemuda yang luar biasa itu sudah menghadangnya, Gak Song Kam yang makin panik itu segera menubruk dengan pedangnya, mengirim serangan maut dan nekat karena dia maklum bahwa kalau dia tidak dapat segera melarikan diri dan pangeran yang sedang mengamuk itu turun tangan pula, tak mungkin lagi dia menyelamatkan diri.

Melihat serangan yang dilakukan dengan nekat ini, Sin Liong lalu merendahkan tubuhnya dan dari samping lengannya cepat mengibas. Serangkum hawa yang luar biasa kuatnya menyambar dan langsung menyerbu dada ketua Jeng-hwa-pang itu.

Gak Song Kam mengeluh, pedangnya terlepas kemudian dia terpelanting, roboh pingsan! Kiranya Sin Liong sudah menggunakan lagi sebuah jurus Cap-sha-ciang yang ampuh itu, dan akibatnya, baru terkena angin pukulannya saja lawan sudah terpelanting dan roboh pingsan. Memang dalam hati Sin Liong sama sekali tak terkandung niat untuk membunuh orang, maka dia pun tidak melanjutkan serangan dan hanya memandang kepada tubuh lawan yang tak bergerak itu.

"Ha-ha-ha, bagus. Liong-te, engkau telah berhasil merobohkannya!" Terdengar suara Han Houw bersorak dan Sin Liong melihat tubuh kakak angkatnya itu berkelebat, lalu cahaya pedang menyambar ke arah leher ketua Jeng-hwa-pang yang masih pingsan.

"Houw-ko, jangan...!" teriaknya, akan tetapi dia segera memejamkan mata ketika melihat darah muncrat-muncrat dan kakak angkatnya itu sudah memegang kepala yang buntung itu pada rambutnya, mengangkatnya tinggi-tinggi sambil tertawa-tawa!

Semenjak tadi, para anak buah Jeng-hwa-pang memang sudah gentar dan panik. Melihat betapa pasukan obor telah roboh semua oleh Sin Liong, disusul robohnya sute dari ketua mereka oleh Han Houw yang lantas mengamuk dan merobohkan banyak kawan mereka, para anak buah Jeng-hwa-pang itu sudah menjadi ketakutan. Hanya karena ketua mereka masih melawan Sin Liong mati-matian sajalah mereka masih mempunyai harapan untuk mengalahkan dua orang muda perkasa itu.

Akan tetapi, begitu Gak Song Kam roboh dan tewas, kemudian kepalanya dijambak dan diangkat oleh pangeran itu, nyali mereka terbang dan dengan ketakutan sisa anak buah Jeng-hwa-pang itu lalu melarikan diri dari tempat itu!

Han Houw tertawa bergelak dan menyambitkan kepala yang buntung lehernya itu ke arah anak buah yang melarikan diri.

"Trakkkk!"

Dengan tepat kepala dari Gak Song Kam itu menimpa kepala anak buah yang sedang lari, maka robohlah orang itu dengan kepala retak!

Ceng Han Houw lalu mengambil obor yang banyak dilempar di atas tanah oleh para anak buah Jeng-hwa-pang, kemudian dia membakari rumah-rumah yang berada di situ. Dalam waktu singkat saja, sarang Jeng-hwa-pang menjadi lautan api! Para wanita yang tadinya bersembunyi di dalam, kini berlari-larian keluar dalam keadaan panik, ditertawakan oleh Han Houw yang menganggap keributan itu sebagai tontonan yang lucu.

"Tolooooonggg...! Ayah... ibu... tolonggg...!"

Suara jerit wanita yang keluar dari sebuah di antara bangunan itu menarik perhatian Sin Liong dan dia cepat mendekati rumah terbakar dari mana terdengar jerit wanita itu. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan kiranya dia sudah didahului oleh Han Houw yang telah menerjang daun pintu rumah itu dan melompat ke sebelah dalam.

Hati Sin Liong merasa kagum dan girang. Bagaimana pun garang serta ganasnya sikap pangeran itu terhadap musuh-musuhnya, tapi di dalam dadanya terdapat watak pendekar juga yang siap menolong orang yang patut ditolong, seperti wanita yang menjerit-jerit itu.

Tak lama kemudian, di antara berkobarnya api yang mulai memakan daun pintu rumah itu, nampak Han Houw meloncat keluar sambil memondong tubuh seorang wanita muda yang manis dan kelihatan ketakutan.

Sambil tersenyum Han Houw berhenti di depan Sin Liong, menggunakan jari tangan kiri mencolek dagu gadis manis itu sambil berkata, "Dia ini perawan dusun yang diculik Bouw Song Khi dan belum sempat diganggu! Liong-te, tugas kita sudah selesai dan aku mau bersenang-senang. Banyak wanita cantik berlarian ke sana, engkau boleh pilih sesukamu. Aku cukup dengan perawan dusun ini, ha-ha-ha!" Pangeran itu lalu lari sambil memondong gadis itu.

Sin Liong berdiri dengan alis berkerut. Dilihatnya gadis itu meronta-ronta, menangis dalam pondongan Han Houw, namun tentu saja tak berdaya dalam pondongan lengan pangeran yang kuat itu.

"Houw-ko..., lepaskan dia...!" Tiba-tiba Sin Liong berseru dan berlari mengejar.

Dia tidak ingin melihat kakak angkatnya melakukan hal yang amat jahat itu! Kalau gadis itu mau melayani kakak angkatnya, dia tidak peduli, seperti yang dilihatnya ketika kakak angkatnya dilayani oleh wanita-wanita cantik dalam rumah-rumah pembesar yang mereka lewati dahulu. Akan tetapi, gadis dusun itu meronta sambil menangis, dan dia tidak ingin melihat kakak angkatnya itu menjadi seorang penjahat yang memaksa wanita.

Akan tetapi hanya terdengar suara ketawa dan pangeran itu berlari terus memasuki hutan di mana mereka meninggalkan kuda mereka. Sin Liong mengejar terus, dan pada waktu dia melihat pangeran itu melanjutkan larinya dengan naik kuda sambil memeluk tubuh perawan dusun yang ditelungkupkan melintang di atas punggung kuda, dia pun langsung meloncat ke atas punggung kudanya dan mengejar. Terjadilah kejar-kejaran pada malam hari itu dan Han Houw tertawa-tawa sambil membalapkan kudanya, terus dikejar oleh Sin Liong.

"Houw-ko, lepaskanlah gadis itu. Banyak wanita yang mau dengan suka rela melayanimu, mengapa engkau harus memaksa seorang gadis yang tidak mau?" berkali-kali Sin Liong berteriak dan membujuk.

Melihat ada orang mengejar dan agaknya hendak menolongnya, gadis itu berteriak minta tolong, akan tetapi Han Houw terus melarikannya sambil tertawa-tawa. Agaknya pangeran itu merasa gembira dengan permainan ini dan karena kudanya memang jauh lebih baik dari pada kuda yang ditunggangi Sin Liong, maka adik angkatnya itu belum juga mampu menyusulnya.

Kejar-kejaran itu berlangsung hingga pagi! Tentu saja gadis dusun itu tersiksa bukan main harus menelungkup di atas pangkuan Han Houw sambil terguncang-guncang. Dia sudah setengah pingsan dan tidak mampu berteriak lagi.

Dan kini timbul kemarahan di dalam hati Han Houw. Tadinya dia menganggap bahwa adik angkatnya itu hanya main-main saja, akan tetapi setelah melihat betapa Sin Liong terus mengejar, dia mulai merasa terganggu dan marah. Setelah tiba di lapangan rumput yang terbuka, Han Houw memperlambat larinya kuda yang sudah megap-megap kelelahan itu.

"Houw-ko, berhentilah dahulu, aku mau bicara...!" Terdengar teriakan Sin Liong dari arah belakangnya.

Han Houw menoleh. Melihat adik angkatnya itu sudah mengejar dekat, dia mengerutkan alisnya dan tiba-tiba dia menghentikan kudanya, lalu melemparkan tubuh gadis itu ke atas rumput. Gadis itu mengeluh dan terguling di atas rumput, hanya merintih dan menangis karena seluruh tubuhnya terasa lelah dan sakit-sakit, tidak mampu bangkit.

Han Houw melompat turun dari kudanya. Melihat ini, Sin Liong juga meloncat turun dari atas punggung kudanya dan membiarkan kuda yang sudah kelelahan itu beristirahat. Dua orang kakak beradik angkat itu kini berdiri saling berhadapan, dua pasang mata saling menentang pandang dan saling menyelidik.

"Sin Liong, kalau engkau menghendaki gadis itu, nah, kau ambillah dia! Kalau kau minta baik-baik pun tentu akan kuberikan, tidak perlu kau mengejar-ngejarku semalam suntuk!"

Sin Liong menarik napas panjang. "Houw-ko, maafkanlah aku apabila aku mengganggu kesenanganmu. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku mengejar-ngejar sama sekali bukan bermaksud mendapatkan wanita itu, melainkan aku ingin mencegah agar Houw-ko tidak melakukan perbuatan jahat terhadap wanita itu."

"Melakukan perbuatan jahat? Apa maksudmu?" Ceng Han Houw bertanya, suaranya kaku dan sinar matanya memancarkan kemarahan.

Sin Liong memandang tajam. Marahlah dia. Apakah Han Houw hendak mempermainkan dia sehingga masih berpura-pura bertanya lagi padahal sudah jelas betapa pemuda itu melarikan dan hendak memaksa seorang gadis yang tidak mau menuruti kehendaknya?

"Houw-ko, jelas bahwa engkau melarikan gadis itu, hendak memperkosa dan memaksa dia, dan engkau masih bertanya apakah maksudku?" dia berkata dengan suara bernada teguran.

Kini Han Houw memandang dengan sinar mata berapi dan mukanya yang tampan gagah itu menjadi merah sekali, matanya yang lebar itu terbelalak dan dia menggerakkan kedua tangannya bertolak pinggang. "Cia Sin Liong! Kau berani menuduhku demikian? Kau kira aku ini laki-laki macam apa? Sungguh engkau menghinaku, karena itu tidak mungkin aku membiarkan saja penghinaan itu!" Tiba-tiba tubuhnya menerjang ke depan dan pangeran ini sudah menyerang Sin Liong dengan hebatnya!

"Ehhh...!" Sin Liong terkejut bukan main dan cepat dia mengelak kemudian meloncat ke belakang.

Akan tetapi, kini Han Houw sudah melanjutkan serangannya dengan tendangan berantai, tendangan Soan-hong-twi yang bertubi-tubi karena kedua kakinya bergerak seperti angin puyuh, bergantian menyambar dengan amat kuat dan cepatnya.

"Plakk! Plakk!"

Sin Liong mengelak dan terpaksa menangkis sebab bila mengelak terus akan berbahaya. Akan tetapi dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya karena sebenarnya dia tidak ingin berkelahi dengan kakak angkatnya ini.

"Houw-ko, jangan...!"

"Sin Liong, apakah engkau akan menjadi pengecut? Sudah berani menghina tidak berani menanggung akibatnya?" bentak Han Houw.

Dia terus menyerang lagi, kini mengerahkan seluruh kepandaiannya karena memang dia ingin menguji adik angkatnya ini. Serangan demi serangan yang amat hebat dilancarkan oleh Han Houw, bahkan pemuda bangsawan ini juga segera mengerahkan sinkang-nya yang membuat tubuhnya kebal, maka Sin Liong terdesak hebat sekali. Saat dia mengelak dan mengatur langkah untuk menghindarkan diri tanpa membalas, tetap saja pundaknya kena sambaran pukulan Han Houw.

"Dessss...!"

Tubuh Sin Liong terguling. Pukulan tadi keras bukan main dan hanya karena ada tenaga Sin-ciang saja maka pundaknya terlindung dan tidak sampai terluka atau patah tulangnya. Namun Sin Liong menderita kenyerian yang membuat dia meringis. Han Houw gembira dapat merobohkan Sin Liong, maka dia lalu menubruknya dengan susulan pukulan yang amat keras.

Dalam keadaan bergulingan itu Sin Liong melihat datangnya pukulan keras, maka dia pun mengerahkan tenaganya dan menangkis dari bawah.

"Dukkk...!"

Tubuh Han Houw terpental sampai dua meter, akan tetapi dia dapat cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting jatuh. Diam-diam Han Houw merasa kagum sekali dan juga penasaran. Pemuda ini semenjak kecil bukan saja digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi oleh suci-nya dan juga oleh subo-nya, akan tetapi selain ilmu silat juga dia memiliki kepandaian seperti suci-nya, yaitu waspada dan bisa mengenal ilmu-ilmu silat orang lain, mudah menangkap dan mencatat ilmu-ilmu asing.

Maka ketika dia menyerang Sin Liong, dia sudah memasang mata untuk mencatat semua gerakan adik angkatnya itu. Seperti biasa, seperti yang diajarkan oleh suci-nya pula, dia ingin mencuri ilmu silat lawan yang tinggi. Akan tetapi sekali ini dia kecele.

Saat dia menyerang sambil memperhatikan gerakan Sin Liong, adik angkatnya itu hanya mengelak atau menangkis saja, sama sekali tidak mau balas menyerang sehingga dia tidak dapat mengenal perkembangan setiap gerakan. Apa lagi, gerakan Sin Liong terlalu sederhana, seperti bukan gerakan silat lagi, melainkan gerak otomatis melindungi diri dari bahaya.

Memang demikianlah. Makin tinggi dan makin matang ilmu silat yang dimiliki seseorang, makin lenyap pula kembangan-kembangan yang tidak ada gunanya, yang hanya bertugas sebagai hiasan belaka.

Sin Liong yang digembleng oleh orang-orang sakti telah membuat ilmu-ilmu yang tinggi itu mendarah daging dan menjadi satu dengan syaraf tubuhnya sehingga setiap gerakannya, biar tidak sedang berkelahi sekali pun, telah mengandung unsur-unsur melindungi diri ini. Oleh karena itu, begitu dia diserang, dia langsung bergerak tanpa hafalan ilmu silat lagi, melainkan secara otomatis dan gerakannya tidak lagi dibatasi oleh gerak hafalan. Setiap jurus yang dimainkannya hanya keluar intinya saja, yang disesuaikan dan dimanfaatkan dengan datangnya setiap bahaya.

Oleh karena itu, maka Han Houw yang memperhatikan dan ingin mempelajarinya, hanya melihat gerakan sederhana tanpa tahu ujung pangkalnya. Padahal, untuk menghindarkan diri dari semua serangan Han Houw yang sungguh amat berbahaya tadi, Sin Liong telah mempergunakan ilmu silat yang tinggi, di antaranya jurus-jurus dari San-in Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun, dan dia menggerakkan pula hawa sakti dari tubuhnya yang diwarisi dari Kok Beng Lama, yaitu Thian-te Sin-ciang.

Tidaklah aneh bahwa semua serangan Han Houw bisa dihindarkan oleh Sin Liong karena anak itu mempergunakan inti dari ilmu-ilmu yang sangat tinggi itu. Akan tetapi Han Houw menjadi makin penasaran.

"Sin Liong, coba kau sambut serangan pedangku!" Dia telah mencabut pedangnya lantas menyerang.

"Houw-ko... mengapa kau... hendak membunuhku?" Sin Liong berseru kaget, akan tetapi pedang itu sudah meluncur ke arah lehernya.

Tentu saja Sin Liong tidak mau dibunuh begitu saja. Melihat pedang meluncur dengan cepat ke lehernya, dia mulai merasa marah. Bagaimanakah kakak angkatnya ini? Sudah gilakah? Setelah dia mengenal kekuatan kakak angkatnya yang lihai, dia pun tahu bahwa serangan pedang itu tidak boleh dipandang ringan. Maka secara otomatis Sin Liong cepat menggerakkan tangan kanannya dengan mengerahkan Thian-te Sin-ciang yang membuat lengan dan tangannya menjadi kebal, menangkis ke arah pedang lalu mencengkeramnya.

"Plakkk!"

Pedang itu kena dicengkeram dan tangan kirinya lantas menangkap pergelangan tangan Han Houw.

"Ihhhhh...!" Han Houw berseru dan kaget bukan main.

Ia merasa betapa tenaga sinkang-nya memberobot keluar dari lengannya yang terpegang adik angkatnya itu. Maka tahulah dia bahwa Sin Liong telah menggunakan Thi-khi I-beng yang mukjijat, dan dia juga kagum melihat betapa adik angkatnya itu berani menyambut pedang dengan tangan kosong dan memiliki kekebalan yang tak kalah ampuhnya dengan ilmu kekebalan yang dimilikinya sendiri.

Tentu saja Han Houw tidak mau menerima kalah begitu saja. Dalam kekagetannya akibat tenaga sinkang-nya tersedot keluar, tangan kirinya langsung bergerak dan jari-jari tangan itu menusuk ke arah mata Sin Liong! Mata merupakan bagian tubuh yang tentu saja tidak mungkin dibikin kebal, maka serangan ini amat mengejutkan hati Sin Liong yang terpaksa melepaskan pedang dan lengan lawan, lalu melangkah mundur sambil mengelak dengan miringkan kepalanya.

Akan tetapi Han Houw benar-benar hebat. Baru saja pedang dan tangannya terlepas, dia menyusuli tusukan jari tangan ke arah mata tadi dengan tusukan pedang ke arah pusar dan tangan kirinya mencengkeram dengan ganas sambil mengerahkan tenaga sehingga dari telapak tangan kiri itu mengepul uap hitam.

Itulah pukulan beracun sejenis Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang mengeluarkan uap hitam. Baru bau uapnya itu saja telah cukup untuk merobohkan atau membuat pening lawan, apa lagi pukulannya sendiri!

Diserang seperti itu, Sin Liong kembali terkejut dan dia harus mengakui bahwa Han Houw merupakan lawan yang luar biasa lihainya dan kalau dia tidak segera mengeluarkan ilmu simpanannya, jangan-jangan dia akan celaka di tangan kakak angkatnya. Maka dia cepat meloncat ke belakang dan ketika kakaknya mendesak, dia merendahkan tubuhnya, dua tangannya bergerak aneh, mendorong ke depan.

"Eihhh...! Brukkkk!"

Tubuh Han Houw terbanting cukup keras sehingga dia menjadi pening! Dia hanya dapat bangkit duduk dan memejamkan mata sambil mengguncang-guncang kepalanya karena bumi seperti terputar di sekelilingnya.

"Houw-ko, maafkan aku...!" Sin Liong cepat menghampiri.

Han Houw mengangkat muka memandang, kemudian menarik napas panjang. Dia tidak membantah ketika adik angkatnya mengulurkan tangan dan membantunya bangkit berdiri. Disimpannya pedangnya dan dia bertanya dengan pandang mata penuh kagum,

"Liong-te, bukankah pukulanmu yang terakhir tadi merupakan sebuah jurus dari ilmu silat yang diajarkan oleh suhu Bu Beng Hud-couw?"

Sin Liong mengangguk. "Dari kitabnya karena aku belum pernah diajar secara langsung." Sin Liong mengingatkan.

"Ahhh, bukan main! Baru belajar tidak langsung saja sudah begitu hebat. Apa lagi kalau diajar oleh manusia sakti itu sendiri. Ah, aku harus menemuinya dan berguru kepadanya! Liong-te, engkau hebat sekali."

"Maafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi mengapakah engkau menyerangku seperti itu?" Sin Liong bertanya, nadanya menegur.

Han Houw memandangnya kemudian tersenyum. "Aku ingin mengujimu saja, adikku. Dan pula, mengapa engkau menghinaku dan menuduhku yang bukan-bukan? Kau menuduhku hendak memaksa dan memperkosa wanita!"

Sin Liong menengok dan melihat gadis itu sudah duduk dengan muka pucat, matanya terbelalak dan kelihatan takut sekali. Semenjak tadi dia tak berani bergerak, hanya duduk dan melihat perkelahian itu.

"Akan tetapi... mengapa engkau melarikan gadis itu?"

Han Houw menoleh ke arah gadis itu dan tersenyum lebar. "Kau kira aku ini orang apa? Aku adalah Pangeran Oguthai, lupakah engkau, adikku? Memperkosa wanita? Ahhh, apa perlunya? Semua wanita akan suka sekali melayaniku, kenapa aku harus memperkosa? Betapa hina dan rendahnya!"

"Tapi... tapi dia itu tidak mau dan berteriak-teriak..." Sin Liong berkata bingung.

"Ha-ha-ha, karena gelap dan karena dia tidak tahu aku siapa! Disangkanya aku sama dengan si laknat Bouw Song Khi yang menculiknya. Kini kau lihat saja, adikku, dan coba buktikan apakah aku memperkosa wanita ataukah tidak?" Setelah berkata demikian, Han Houw lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya, memakai kembali topinya yang tadi terjatuh, kemudian dengan langkah lembut dia berjalan menghampiri gadis yang masih duduk di atas rumput.

Melihat pemuda tampan bertopi indah itu menghampirinya, gadis itu memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia melihat betapa orang yang semalam melarikannya itu ternyata adalah seorang pemuda yang sedemikian tampan dan gagahnya! Hal ini sama sekali tidak disangkanya, maka dia menjadi terheran-heran, juga hatinya ragu-ragu dan masih takut-takut.

Han Houw tersenyum manis dan memang wajah pangeran ini amat tampan dan sikapnya halus serta gagah. Dia mempergunakan bahasa daerah, dengan lembut dia lalu berkata kepada gadis dusun itu.

"Nona, aku sudah menolongmu dari rumah yang terbakar, membebaskanmu dari tangan penjahat-penjahat kejam, mengapa engkau malah meronta-ronta dan menangis semalam suntuk sehingga saudaraku ini mengira yang bukan-bukan?" Suara itu halus dan dengan muka manis sehingga dara itu kehilangan rasa takutnya.

"Maafkan saya... saya tidak tahu dan menyangka... kawanan penjahat itu yang melarikan saya..."

"Hemm, anak manis. Engkau tidak tahu siapa aku maka kau mengira aku seorang jahat? Coba pandang wajahku dengan teliti. Apakah engkau belum pernah mendengar tentang Pangeran Oguthai?"

Dara itu terbelalak dan memandang wajah pangeran itu dengan takjub. "Pangeran... pangeran..."

"Akulah Pangeran Oguthai, putera Raja Sabutai!"

"Ahhh... ampunkan hamba, pangeran..." Dan gadis dusun itu langsung menjatuhkan diri berlutut sampai hampir menelungkup di atas tanah, di depan kaki pangeran itu.

Han Houw tersenyum dan menoleh ke arah Sin Liong yang hanya memandang dengan penuh perhatian. "Bangunlah, manis. Aku tidak ingin melihat pakaian dan wajahmu yang manis itu kotor oleh tanah. Bangunlah, aku mengampunimu."

Gadis itu bangun tapi masih berlutut, lalu menengadah, wajahnya berseri dan bertambah manis. "Ahhh, terima kasih, pangeran..." Sikapnya berubah sama sekali, kini sama sekali tidak lagi kelihatan takut, bahkan tersenyum manis sekali!

"Manis, engkau cantik dan aku suka padamu. Kalau aku minta padamu agar engkau suka melayaniku, karena aku cinta padamu, apakah engkau akan menolak?"

Wajah yang berseri itu seketika menjadi merah sekali dan wajah itu menunduk kelihatan malu-malu akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. Gadis itu menggelengkan kepala karena rasa malu membuat dia sukar untuk menjawab dengan mulut.

"Bagus!" kata Han Houw sambil tertawa dan mengangkat bangun gadis itu.

Pada saat berdiri, ternyata gadis itu hanya setinggi pundaknya. Gadis dusun itu bertubuh ramping padat dan kini wajahnya yang merah itu kelihatan bertambah manis.

"Kini, untuk membuktikan kepada saudaraku bahwa aku tidak memaksamu..." Pangeran itu mendekatkan mulutnya di telinga dara itu dan berbisik-bisik.

Gadis dusun itu menahan ketawa dan mukanya makin tersipu-sipu, matanya melirik ke arah Sin Liong dan akhirnya, tiba-tiba saja dia menahan ketawa dan merangkulkan kedua lengannya ke leher Han How, mencium pipi pangeran itu di depan Sin Liong! Kiranya itulah yang diminta oleh Han Houw kepada dara dusun itu untuk membuktikan kepada Sin Liong bahwa dia tidak perlu memperkosa wanita! Ketika gadis itu menciumnya, Han Houw tertawa dan menoleh ke arah Sin Liong. Ketawanya makin kenas ketika dia melihat Sin Liong membuang muka dan cemberut.

"Ha-ha-ha, adikku yang baik, kau tunggulah di situ sebentar!" kata Han Houw yang masih tertawa gembira lalu pangeran itu memondong tubuh gadis dusun yang masih merangkul lehernya, dibawanya menghilang ke balik semak-semak tak jauh dari tempat itu!

Sin Liong mendengar suara ketawa tertahan kedua orang itu dan dia merasa muak, lalu dijauhinya tempat itu sampai dia tidak mendengar apa-apa lagi. Dia lalu menghempaskan dirinya duduk di atas tanah berumput sambil termenung. Dia mengusir bayangan yang muncul dalam benaknya, bayangan Han Houw dan gadis itu dan dia menggigit bibirnya.

Ceng Han Houw bukan manusia baik-baik! Suara ini terdengar olehnya, seperti dibisikkan oleh hatinya. Memang benar bahwa Han Houw tidak memperkosa gadis itu dengan cara kekerasan, akan tetapi apa bedanya pemerkosaan dengan kekerasan kalau dibandingkan dengan bujukan? Gadis itu memang tidak menyerahkan diri karena paksaan, akan tetapi menyerahkan diri karena silau oleh kedudukan dan ketampanan yang akhirnya toh sama juga!

Dia tahu benar bahwa Han Houw tidak melakukan perbuatan itu karena cintanya kepada gadis yang sama sekali tidak dikenalnya itu, melainkan terdorong oleh nafsu seperti yang sering dilakukannya dengan wanita-wanita muda suguhan dari para pembesar. Ceng Han Houw adalah seorang pemuda mata keranjang, seorang laki-laki yang gila perempuan, hamba dari nafsu birahinya sendiri!

Betapa pun juga sikapnya amat baik kepadanya! Dan penyerangan Han Houw tadi pun hanya untuk menguji kepandaiannya! Dan di dalam dasar hatinya memang terdapat rasa suka kepada pangeran itu. Sin Liong merasa bingung dan penuh keraguan. Haruskah dia melanjutkan pendekatan diri dengan pangeran itu? Ataukah seharusnya dia cepat pergi meninggalkannya?

Kesenangan atau kenikmatan, yakni perasaan menikmati kesenangan, adalah berkah yang dimiliki setiap manusia. Namun, berkah ini berubah menjadi sumber kesengsaraan kalau kesenangan sudah mencengkeram dan memperbudak kita. Suatu peristiwa apa pun dapat mendatangkan suka cita, mendatangkan kebahagiaan pada saat itu juga.

Akan tetapi jika pikiran kita mencatat pengalaman itu, mengingatkan dan menginginkan terulangnya kembali pengalaman penuh nikmat itu, maka suka cita itu berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan setelah kita menjadi pengejar kegenangan, muncullah pelbagai konflik dan terseretlah kita ke dalam kesengsaraan.

Memang selera manusia berbeda-beda, tergantung dari lingkungan hidup dan pendidikan masing-masing. Setiap orang manusia tentu merasa benar dalam pengejarannya masing-masing terhadap sesuatu yang dinamakan cita-cita, yang dianggap benar dan akan dapat mendatangkan kebahagiaan hidup.

Seorang saterawan akan mengejar dan mendewa-dewakan kesusasteraan dan dia akan menganggap bahwa kesusasteraan itulah yang paling berharga dalam kehidupan, yang dianggapnya merupakan satu-satunya sarana menuju kebahagiaan. Seorang ahli silat akan mengejar-ngejar ilmu sliat dan menganggap ilmu silat sebagai satu-satunya hal yang terpenting dalam hidup. Seorang hartawan akan mengejar-ngejar harta dan menganggap bahwa hanya hartalah yang akan dapat membahagiakan kehidupan manusia. Seorang pembesar akan mengejar kedudukan atau nama yang dianggapnya terpenting di dunia ini. Seorang pendeta akan mengejar-ngejar kedamaian batin, dan sebagainya lagi.

Semua pengejaran itu, meski diselimuti dengan nama apa pun, yang rendah atau yang tinggi, yang hina atau yang agung, pada hakekatnya adalah sama saja! Segala sesuatu yang dikejar-kejar dan diinginkan, atau merupakan suatu hal yang dianggap akan bisa mendatangkan kesenangan, baik berupa kesenangan lahir mau pun kesenangan batin yang sesungguhnya sama saja, bagi si pengejar!

Dan karena pandangan setiap orang pengejar terhadap kesenangan itu berbeda-beda, tergantung pada keadaan dirinya yang dibentuk oleh lingkungan dan pendidikan, maka semua pengejaran kesenangan dalam berbagai bentuk itu hanya merupakan perpecahan. Yang dikejar-kejar itu hanya merupakan sebagian saja dari kehidupan, sebagian yang dipentingkan. Oleh karena itu, akhirnya akan mendatangkan kekecewaan karena tanpa yang lain-lain, maka satu yang dikejarnya itu takkan lengkap!

Si pengejar uang, biar pun berhasil menumpuk uang banyak, namun kalau tidak memiliki kesehatan, akan merasa kecewa dan sengsara. Si kaya dan sehat, kalau merasa rendah kedudukannya dan tidak terpandang, akan merasa kecewa juga. Begitulah, pengejaran selalu menimbulkan pengejaran akan suatu yang lain lagi dan tidak akan ada habisnya sebelum kita mati!

Kita akan menjadi hamba dari keinginan ini, selama hidup mengejar-ngejar apa yang kita anggap akan membahagiakan kehidupan kita, seperti mengejar bayangan sendiri yang tidak akan mungkin pernah dapat tertangkap. Pengejaran menunjukkan adanya ketidak puasan, dan hati yang tidak puas, mengejar dan memperoleh apa pun juga akan tetap tidak puas dan akan terus mengejar yang lain, yang dianggap lebih menyenangkan dari pada apa yang telah diperoleh atau dimiliki. Beginilah kenyataannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Oleh karena itu, timbul pertanyaan yang sangat penting bagi kita semua, yaitu: Apakah mungkin bagi kita untuk hidup tanpa mengejar apa pun? Bukan berarti kita lalu tidur pulas atau bermalas-malasan, bukan berarti kita menjadi tidak pedulian, bukan berarti kita putus asa! Sama sekali bukan! Bahkan sebaliknya!

Dengan bebas dari keinginan mengejar kesenangan, kita akan benar-benar hidup! Kita benar-benar waspada akan kehidupan saat demi saat, membuka mata melihat segala sesuatu yang terjadi di dalam kehidupan kita, tidak dibuai oleh khayalan dan bayangan cita-cita yang abstrak. Dan kalau kita sudah tidak ingin apa-apa yang tidak ada, maka barulah kita dapat waspada terhadap apa yang ada!

Sesungguhnya, kebahagiaan hanya terdapat dalam apa yang ada! Dan perhatian terhadap apa yang ada setiap saat ini, tanpa membiarkan diri diseret oleh lingkaran setan berupa kenangan masa lalu dan bayangan atau harapan masa depan, adalah benar-benar hidup yang sesungguhnya. Hidup adalah kenyataan setiap saat ini, bukan kenangan masa lalu, bukan pula bayangan khayal masa depan.

Sekali lagi, dapatkah kita hidup tanpa mengejar kesenangan dalam bentuk apa pun? Apa bila sudah begitu, mungkin akan nampak jelas oleh kita bahwa kebahagiaan terdapat di mana-mana, dalam segala waktu dan keadaan, karena kebahagiaan bukanlah soal di luar diri, melainkan soal batin, dan mungkin mata kita akan dapat melihat keindahan di mana-mana, dalam senyuman seorang manusia lain, dalam pandang mata isteri, suami, anak atau siapa saja, dalam lambaian ujung daun, dalam cahaya matahari, dalam awan berarak, dalam air hujan, dalam apa saja!

"Liong-te, apakah engkau sekarang masih menuduhku pemerkosa dan pemaksa wanita?"

Suara ini mengejutkan Sin Liong yang sedang melamun. Dia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya dan ternyata Ceng Han Houw telah berdiri di situ, wajahnya berseri dan lengan kirinya merangkul leher dan pundak gadis tadi yang sekarang berdiri dengan muka merah dan malu-malu namun matanya juga bersinar-sinar dan berseri penuh kegembiraan.

Sejenak Sin Liong memandang keduanya dengan sinar mata marah. Dia merasa amat jijik terhadap mereka, kemudian dengan bersungut-sungut dia meninggalkan mereka, mencari kudanya.

"Manis, kau pulanglah ke dusunmu. Kelak aku akan datang mencarimu," terdengar Han Houw berkata.

Gadis itu mengeluh, kemudian menangis ingin ikut. Han Houw membentaknya dan gadis itu diam. Dengan sudut matanya Sin Liong melihat betapa mereka berciuman, kemudian gadis itu pergi dengan muka tertunduk. Dan tidak lama kemudian Han Houw juga sudah meloncat ke atas kudanya.

"Ha-ha-ha, Liong-te, jangan murung. Mari kita pergi!"

"Aku akan kembali ke selatan!" Sin Liong berkata, suaranya masih kaku.

"Aku juga akan kembali ke selatan. Ingat, kita hendak mencari suhu Bu Beng Hud-couw bersama-sama. Mari kita pergi ke kota Ceng-lun di tepi Sungai Luan, kemudian di sana aku akan menyuruh orang mengabarkan kepada ayahku bahwa tugas kita sudah selesai dan Jeng-hwa-pang telah kita basmi."

Sin Liong tidak banyak membantah. Hatinya masih terasa panas dan tak enak. Dia masih marah karena urusan gadis dusun tadi. Akan tetapi Han Houw bersikap ramah sekali dan di sepanjang perjalanan dia bicara dengan gembira, menceritakan mengenai daerah yang mereka lewati.

Sebagai seorang putera raja, tentu saja dia banyak mempelajari tentang daerah-daerah di luar tembok besar. Dengan bangga dia menceritakan betapa ayahnya, Raja Sabutai telah menjelajahi seluruh daerah itu dan bahkan pernah menaklukkan hampir semua daerah di luar tembok besar. Karena sikap ramah dan ceritanya menarik, mau tidak mau Sin Liong mendengarkan dengan hati tertarik hingga sikap kakak angkatnya itu sebentar saja sudah menghapus rasa marah dari dalam hatinya.

Pangeran ini memang mata keranjang dan senang bermain gila dengan wanita, pikirnya. Akan tetapi dia melihat pula kenyataan bahwa walau pun pangeran ini mempergunakan kedudukan dan ketampanannya untuk menjatuhkan hati wanita, tetapi si wanita sendirilah yang salah. Dia melihat kenyataan bahwa wanita itu memang lemah, mudah terbujuk dan secara murah saja menyerahkan dirinya. Kalau wanita itu berhati bersih, tidak mungkin mau menyerahkan diri secara sedemikian mudah dan murahnya. Dan dia berjanji dalam hati bahwa bila dia bertemu dengan wanita seperti itu, maka dia akan melindunginya dan kalau perlu dia akan menentang kakak angkatnya!

Beberapa kali Sin Liong menoleh ke arah kakak angkatnya yang menjalankan kudanya perlahan di sampingnya. Dia heran melihat pangeran ini. Sekarang kelihatan begitu baik, begitu ramah, dan seakan-akan pengalaman dengan wanita tadi, perkelahiannya dengan dia, hanya merupakan hal remeh yang boleh dilupakan dalam sekejap mata saja!

"Houw-ko..."

"Ada apakah, Liong-te?" Han Houw menoleh dan tersenyum.

"Siapakah nama perempuan tadi?"

Han Houw terbelalak, senyumnya melebar. "Ahhh...? Mana aku tahu?"

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Sin Liong mengerutkan alisnya, keheranannya membesar. "Tidak tahu namanya?" Amat sukar dipercaya bahwa orang yang sudah berhubungan selekat itu masih belum diketahui namanya!

"Ha-ha, Liong-te. Perempuan seperti itu saja, mana pantas kita ingat namanya? Di dunia ini terdapat laksaan perempuan seperti itu, yang menyerah dengan mudah karena bangga melayani kita. Kalau kita harus memperhatikan mereka, wah, kiranya tidak ada apa-apa lagi yang dapat kita pikir karena sudah penuh dengan nama-nama mereka. Ha-ha-ha! Dia tidak ada harganya untuk diingat."

"Tapi... tapi... dia seorang gadis, dan kau... kau sudah... dan kau janjikan dia, kau suruh menanti di dusunnya..."

Kembali pangeran itu tertawa bergelak. "Wah, adikku yang baik. Engkau sungguh hijau, jujur dan masih polos benar-benar! Kalau aku tidak muncul dalam waktu beberapa bulan saja, dia, gadis seperti itu, tentu sudah memperoleh penggantiku. Ehh, Sin Liong, apakah benar-benar engkau tidak suka kepada wanita?"

Sin Liong mengerutkan alisnya, masih terlalu kaget dan terheran mendengar keterangan kakak angkatnya. Pangeran ini menganggap hubungan antara pria dan wanita demikian remehnya! Kemudian pertanyaan terakhir itu mengejutkannya sehingga wajahnya kembali menjadi merah.

"Aku bukannya tidak suka atau suka, akan tetapi jelas aku tak akan melakukan perbuatan seperti yang kau lakukan itu, Houw-ko!" katanya tegas dan dia menyuruh kudanya lari congklang. Han Houw tertawa bergelak dan mengejar.

                 ***************

 Kota Ceng-lun adalah sebuah kota di pinggir Sungai Luan yang berada di sebelah utara Peking dan berada di luar tembok besar. Kota ini cukup ramai dan dulu kota ini pernah diduduki oleh pasukan Raja Sabutai, bahkan dijadikan benteng ketika raja ini memimpin pasukannya untuk menyerbu ke dalam tembok besar di selatan. Biar pun kini daerah itu dikepalai oleh pasukan liar dari bangsa Nomad lain yang bersahabat dengan pemerintah Kerajaan Beng-tiauw pada waktu itu, akan tetapi suku bangsa ini pun masih tunduk akan kekuasaan Raja Sabutai yang sangat kuat dan yang merupakan bahaya lebih dekat dan lebih besar bagi suku bangsa itu dari pada bahaya yang datang dari dalam tembok besar.

Inilah sebabnya maka ketika Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw bersama Sin Liong sampai di kota Ceng-lun, para pembesar setempat mengenal pangeran ini, dan dua orang muda itu disambut dengan hormat dan meriah! Apa lagi sesudah Ceng Han Houw dapat membuktikan dirinya sebagai seorang pangeran Kerajaan Beng, dan dapat menunjukkan tanda kekuasaan yang diperolehnya dari Kaisar Beng yang baru, maka semua orang makin menyembah-nyembahnya!

Kembali Sin Liong melihat dengan hati tidak senang betapa kakak angkatnya itu bersikap congkak dan tinggi hati, menganggap fihak tuan rumah, yaitu para pembesar seperti anak buah saja, dan anehnya, yang diperlakukan seperti itu malah terlihat senang dan menjilat-jilat!

Lebih lagi ketika mereka berdua dijamu dengan hidangan yang serba mewah dan dilayani makan minum oleh sekumpulan gadis-gadis cantik. Sin Liong merasa sungkan, malu dan juga muak.

Sejak kecil dia sudah hidup bebas dan seadanya, sederhana, akan tetapi kebebasannya mendatangkan rasa nikmat dan bahagia yang luar biasa. Maka sekarang, keadaan yang mewah serta dikurung kesopanan dan peraturan yang memuakkan hatinya itu, tentu saja dia merasa tidak enak dan tidak senang.

Bagi Sin Liong yang berjiwa bebas, yaitu kebebasan yang diperolehnya karena keadaan hidupnya di waktu kecil, semua peraturan dan sopan santun, semua kebudayaan yang jelas kelihatan amat palsu olehnya itu, tentu saja nampak tidak menyenangkan dan malah merepotkan.

Memang, bila mana kita mau membuka mata dan melihat apa adanya, akan nampak oleh kita betapa kita ini hidup di alam kepalsuan! Sikap kita, senyum kita, ucapan-ucapan kita, semua itu terkendali, semua itu munafik dan palsu, tidak sewajarnya, semua itu demi kesopanan. Apakah sikap yang dibuat-buat itu sopan?

Kalau kita bicara dengan orang lain, terutama kalau kita bicara dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kita, atau lebih kaya, atau lebih pintar menurut anggapan kita, maka otomatis muncullah kepalsuan kita, senyum kita, pandang mata kita, kata-kata kita, semua itu disesuaikan dalam pertemuan itu sehingga kita menjadi manusia lain, yang berbeda dengan pembantu kita, yang berbeda dengan keluarga kita dan sebagainya!

Sopan santun pura-pura dan palsu! Beginikah kebudayaan kita? Beginikah peradaban kita? Betapa menyedihkan bila hal itu kita namakan kebudayaan, peradaban yang hanya merupakan kepintaran berpura-pura belaka, pandai bermanis selagi perasaan sepahit-pahitnya, pandai menghormat dan bersikap sopan selagi hati menghina dan membenci! Dan kita telah terdidik semenjak kecil untuk berpura-pura seperti itu!

Semenjak kecil kita dijejali pelajaran-pelajaran bagaimana harus bersikap sebagai orang yang sopan, sebagai yang orang berbudaya, terpelajar dan sebagainya! Kita tak pernah diperkenalkan kepada apa yang dinamakan kesopanan itu, dalam arti kata menyelami, mendalami, mengerti dan menghayati, dan bukan sekedar sikap lahiriah yang pura-pura belaka!

Kalau sudah ada rasa hormat dalam batin kita terhadap sesamanya, rasa hormat yang timbul bukan karena pura-pura, bukan karena penjilatan, melainkan rasa hormat yang dengan sendirinya muncul di mana terdapat cinta kasih terhadap sesama, apa bila sudah ada rasa cinta seperti itu di dalam batin kita, maka segala kepura-puraan itu, segala kesopanan hampa, segala kemunafikan, akan sirna dan hubungan antara manusia akan menjadi lain sama sekali!

Kalau segala kepalsuan itu sudah tidak ada, dan bila mana hubungan antara manusia didasari cinta kasih, maka hubungan itu baru benar-benar akan ada! Tetapi sebaliknya, hubungan seperti yang ada sekarang ini, hanyalah hubungan semu belaka, hubungan antara dua gambaran dari aku dan engkau yang keduanya palsu, tidak sewajarnya, tidak seadanya, dan dalam hubungan seperti itu, tentu saja muncul pertentangan-pertentangan.

Saat Han Houw minta kepada pembesar kota Ceng-lung untuk menyampaikan laporannya kepada Raja Sabutai tentang hasilnya membasmi Jeng-hwa-pang, pembesar itu terkejut bukan main, akan tetapi dengan tergopoh-gopoh dia cepat mengutus pasukan kecil untuk menyampaikan berita itu ke utara.

Para pembesar itu baru tahu bahwa dua orang pemuda ini ternyata memiliki kepandaian luar biasa, karena kalau tidak demikian, mana mungkin dua orang itu mampu membasmi perkumpulan Jeng-hwa-pang yang amat ditakuti itu?

Pada malam harinya, kembali dua orang muda itu dijamu secara besar-besaran oleh para pejabat di Ceng-lun. Han Houw nampak gembira bukan main dan minum sampai hampir mabuk. Malam makin larut dan akhirnya para pembesar itu minta diri, meninggalkan dua orang muda itu melanjutkan bersenang-senang dengan dilayani oleh delapan orang gadis cantik manis yang melayani sambil tersenyum-senyum. Karena dipaksa dan dibujuk oleh Han Houw, Sin Liong minum arak agak banyak pula. Meski pun dia tidak sampai mabuk, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa panas dan dia mulai pening.

"Houw-ko, aku pun hendak mengaso. Biarlah aku kembali ke kamar lebih dulu dan kalau engkau belum puas, kau lanjutkan sendiri pesta ini," katanya sambil bangkit sendiri.

Han Houw tertawa bergelak dan mengangkat cawan yang penuh arak. "Ha-ha-ha, engkau sudah hendak tidur? Ha-ha-ha! Bagus, bagus, dan selamat Liong-te, selamat bersenang-senang, ha-ha-ha!"

Sin Liong memandang kakak angkatnya dengan alis berkerut, dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakaknya itu. Akan tetapi Han Houw hanya tertawa sambil merangkul pinggang salah seorang di antara empat orang gadis cantik yang berpakaian serba merah, maka dia pun mengira bahwa kakak angkatnya itu sudah mabuk.

Dia tersenyum, menggeleng kepala lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke kamar yang sudah disediakan untuknya. Dia tidak tahu bahwa empat orang yang berpakaian serba hijau saling pandang, tersenyum lalu mereka pun membayanginya dari jauh.

Karena terlalu banyak minum, Sin Liong segera melempar tubuhnya ke atas pembaringan tanpa membuka pakaian atau sepatunya. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya panas. Tiba-tiba dia terkejut karena biar pun dia pening dan mengantuk, namun pendengarannya masih tajam sekali sehingga sedikit gerakan di pintu itu cukup membuat dia terkejut dan menoleh.

Dia terbelalak heran ketika melihat empat orang gadis berpakaian serba hijau yang tadi melayaninya makan minum, kini memasuki kamarnya itu dan gadis terakhir menutupkan pintu kamar. Mereka itu tersenyum-senyum memandang kepadanya dengan sikap sangat genit.

"Hee! Mau apa kalian masuk ke sini...?" Sin Liong sudah bangkit duduk lantas menegur dengan gugup.

Empat orang pelayan yang muda dan cantik-cantik itu sangat genit, dan tadi pada waktu melayaninya makan minum sudah membuat dia bingung dan gugup sehingga dia tidak dapat menolak mereka yang ikut-ikut Han Houw membujuknya sehingga dia minum terlalu banyak.

Empat orang itu tertawa cekikikan sesudah mendengar pertanyaan ini, dan mereka lalu mulai menanggalkan pakaian luar mereka! Dengan sikap genit seorang di antara mereka berkata, "Ah, kongcu..., masih bertanya mau apa? Hik-hik, apa pun mau asal kongcu yang menyuruh...! Kami berempat memang ditugaskan untuk melayanimu, kongcu..."

Sepasang mata Sin Liong makin terbelalak ketika dia melihat betapa empat orang wanita itu kini tinggal memakai pakaian dalam yang tipis berwarna hijau muda sehingga terkena sorotan lampu, nampak lekuk lengkung tubuh mereka membayang di balik pakaian dalam yang tipis itu.

"Tidak..., tidak...! Kalian layani saja Houw-ko..."

"Ahh, kongcu tidak usah khawatir. Pangeran sudah ada yang melayani, yaitu empat orang gadis berpakaian merah tadi. Kami bertugas melayanimu, kongcu, dan kami beruntung sekali karena kami merasa lebih senang melayanimu..."

"Ehh, mengapa?" Sin Liong merasa heran mendengar bahwa mereka ini lebih senang melayaninya dari pada melayani Han Houw.

"Hik-hik, karena... semua orang pun dapat melihat bahwa kongcu adalah seorang perjaka tulen..."

Wajah Sin Liong menjadi merah dan jantungnya berdebar kencang ketika melihat empat orang gadis cantik itu dengan langkah memikat maju menghampirinya, lenggang mereka seperti empat orang penari.

"Mari kubantu kongcu menanggalkan pakaian. Hawanya begini panas..."

"Biar kupijit badanmu, kongcu, engkau tentu lelah..."

"Kongcu hendak minum apa?"

"Aku yang akan mengipasimu, kongcu..."

Akan tetapi Sin Liong meloncat menghindarkan mereka. "Aku... aku... mau mencari hawa sejuk..." katanya gagap dan seperti orang takut setan pemuda ini lari keluar dari kamar itu.

Tentu saja empat orang gadis itu melongo, saling pandang lalu tertawa cekikikan. Sikap pemuda itu malah menimbulkan gairah di hati mereka karena jelaslah bahwa pemuda itu belum pernah berdekatan dengan wanita, dan hal ini sangat menarik hati mereka. Sambil tertawa-tawa mereka menyambar pakaian luar mereka, memakainya kembali dan mereka lalu keluar dari kamar, cekikikan dan berlomba untuk mencari pemuda itu.

Tiba-tiba muncullah Han Houw dan dia lalu berbisik-bisik dengan mereka, seperti orang yang mengatur siasat dan disambut oleh empat orang pelayan itu dengan tertawa geli.

Sementara itu, Sin Liong melarikan diri ke dalam taman dengan jantung berdebar tegang. Tubuhnya penuh keringat karena pengalaman tadi membuat dia menjadi sangat tegang. Dia sudah mengenal taman ini siang tadi dan tahu bahwa di situ terdapat sebuah telaga buatan kecil yang airnya jernih. Taman itu sunyi, dan di bagian utara telaga kecil itu amat indahnya.

Malam itu bulan bersinar terang dan cahayanya membuat permukaan air telaga kuning keemasan. Air sedemikian heningnya sehingga bulan bagaikan tenggelam ke dasarnya, tersenyum kepadanya. Ketika Sin Liong berdiri di tepi telaga dan memandang, bulan yang bundar itu membentuk wajah. Wajah yang berubah-ubah, wajah keempat orang pelayan wanita tadi yang kini tersenyum memikat kepadanya.

Dia bergidik, walau pun tubuhnya terasa gerah. Sin Liong mengusir semua bayangan itu dengan duduk di tepi telaga yang sunyi dan menujukan pikirannya kepada pelajaran ilmu yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan dan petunjuk Ouwyang Bu Sek. Di antara ilmu yang didapatinya di dalam kitab pemberian guru mereka yang pernah dilihatnya, yaitu Bu Beng Hud-couw, terdapat ilmu semedhi untuk menghimpun tenaga Im-kang dan waktunya tepat sekali pada saat itu.

Ilmu itu harus dilakukan dengan cara merendam diri di dalam air, di bawah sinar bulan purnama. Dan saat itu bulan purnama, dan di depannya terdapat air telaga yang bening dan jernih. Dia akan dapat melakukan ilmu menyedot dan menghimpun hawa Im dengan sebaiknya. Apa lagi dia memang sedang merasa panas, dan latihan itu dapat mengusir gangguan bayangan empat orang wanita tadi yang telah mengejarnya!

Karena taman itu sunyi dan tidak kelihatan ada seorang pun kecuali dirinya, Sin Liong tidak ragu-ragu lagi lalu menanggalkan semua pakaiannya, dan dengan hati-hati dia lalu turun ke dalam air telaga. Air yang sejuk sekali menyambutnya hingga dia merasa segar sekali. Dia terus melangkah ke tengah telaga di mana airnya mencapai perutnya, namun ketika dia duduk bersila, air merendam tubuhnya sampai ke leher.

Mulailah Sin Liong bersemedhi dan mengatur napas menurut pelajaran yang ada di dalam kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw dan mulailah dia menghimpun tenaga dari hawa Im yang berlimpahan bersama dengan sinar bulan purnama memenuhi telaga itu!

Dia segera merasakan betapa hawa yang sangat dingin itu meresap ke dalam tubuhnya, bergerak-gerak di dalam pusar karena hawa di dalam tubuhnya segera menolak hawa Im yang amat kuat itu. Namun dengan menurutkan petunjuk pelajaran itu dia tidak menolak, melainkan menghimpun dan menerima.

Mula-mula memang tubuhnya menggigil, akan tetapi makin lama hawa dingin itu semakin berkurang dan dia mulai merasa nyaman sehingga kalau dia tidak waspada, dia dapat tertidur dan akibatnya tentu akan berbahaya sekali baginya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa cekikikan yang amat mengejutkan hati Sin Liong dan dia terbelalak memandang ke pinggir telaga di mana empat orang pelayan cantik tadi sudah berdiri sambil tertawa-tawa dan mereka itu mulai menanggalkan pakaian mereka dengan cepat! Kini bukan hanya pakaian luar yang mereka tanggalkan, melainkan berikut pakaian dalam pula sehingga mereka itu semua berbugil!

"Aihhh, kongcu mandi mengapa tidak mengajak kami?"

"Mari kugosokkan punggungmu, kongcu."

"Kongcu, kau ajari aku renang, hi-hik!"

Tiga orang sudah terjun, kemudian sambil tertawa-tawa menghampiri dan mengurung Sin Liong, bersiram-siraman air dengan tangan mereka sambil tertawa-tawa. Orang ke empat sudah tergesa-gesa menanggalkan pakaian untuk terjun pula.

Empat orang wanita itu tertawa semakin geli ketika melihat keadaan Sin Liong. Memang lucu sekali keadaan pemuda ini. Dia bengong dan tetap mendekam dalam air, tidak berani bergerak sama sekali! Dia bertelanjang bulat, bagaimana dia berani bergerak? Kalau dia melarikan diri, tentu ketelanjangannya akan terlihat orang! Akan tetapi berdiam saja di situ juga tak mungkin. Empat orang wanita itu telah mendekatinya, bahkan mulai meraba-raba sambil tertawa-tawa.

"Jangan... pergilah kalian... pergilah..." Dia berkata gagap, akan tetapi keempat orang itu semakin geli tertawa-tawa, memperlihatkan dada mereka yang terbuka sambil melakukan gerakan-gerakan memikat di hadapan Sin Liong sehingga pemuda ini memejamkan mata agar tidak melihat semua pemandangan itu.

"Aihh, kongcu, mengapa malu-malu?"

"Malu-malu kucing, hi-hik..."

"Kongcu, berilah cium padaku..."

Sin Liong tidak dapat bertahan lagi. Dia membuka sepasang matanya dan tiba-tiba kedua tangannya bergerak. Air terpercik ke sekelilingnya.

"Aduhhh...!"

"Ahh, mataku..."

Empat orang wanita itu menjerit, cepat menggunakan kedua tangan menutupi muka dan mereka memejamkan mata karena percikan air itu bagaikan jarum-jarum saja menusuki muka mereka! Mereka hanya merasakan air bergerak kuat, kemudian sunyi.

Ketika akhirnya mereka berani membuka mata, ternyata pemuda yang tadi merendam diri bertelanjang di antara mereka itu telah lenyap. Demikian pula tumpukan pakaian pemuda itu di tepi telaga telah lenyap pula!

Dengan kecewa dan juga terheran-heran empat orang gadis cantik itu keluar dari dalam telaga. Muncullah Han Houw dan dengan kecewa pula dia berkata, "Ah, kalian sungguh bodoh! Mengapa kalian tidak memeganginya dan tidak berhasil menundukkannya? Tolol!"

Dan dengan gemas pangeran ini pun pergi dari sana, kembali ke dalam kamarnya. Dia merasa amat penasaran karena belum juga dapat berhasil menggoda adik angkatnya itu. Selama adik angkatnya itu dapat bertahan dan tinggal menjadi seorang perjaka, dia akan selalu merasa salah dan hal ini amat tidak enak baginya. Dia tidak mau kalah, dalam hal apa pun juga.

Dan apa bila dia sudah berhasil menemukan guru adik angkatnya itu, dia pun tidak akan mau kalah dalam hal ilmu silat. Akan tetapi sekarang, dia tidak saja kalah dalam ilmu silat, bahkan kalah pula dalam keteguhan hati mempertahankan kemurnian dirinya. Dia hanya menang dalam kedudukan dan pangeran ini mulai merasa menyesal dan kecewa.

Sementara itu, ketika tadi dia menggunakan akal untuk membuat empat orang wanita itu terpaksa menutupi muka mereka, Sin Liong berhasil melarikan diri tanpa mereka lihat dan pada saat dia melarikan diri, dia melihat Han Houw mengintai dari balik sebatang pohon, tidak jauh dari telaga buatan itu! Hatinya merasa penasaran bukan main karena dia dapat menduga bahwa kembali kakak angkatnya itulah yang tadi berusaha untuk menyeret dan menjatuhkannya dalam pelukan wanita-wanita itu!

Mulailah Sin Liong merasa betapa berbahayanya bila dia melanjutkan perjalanan bersama kakak angkatnya itu. Ada ketidak cocokan dalam banyak hal di antara mereka, meski pun harus diakuinya bahwa dia merasa suka kepada Han Houw dan mengagumi pangeran itu.

Karena dia merasa marah dengan perbuatan Han Houw yang jelas hendak menyeretnya jatuh ke dalam permainan cinta kotor dengan wanita-wanita itu, Sin Liong tidak kembali ke dalam kamarnya, melainkan terus melarikan diri pergi dari kota Ceng-lun. Bahkan kuda tunggangnya tidak diambilnya dan dia melanjutkan perjalanan seorang diri, menggunakan ilmunya berlari cepat melintasi padang pasir dan menyeberangi tembok besar, memasuki daerah selatan. Dia meninggalkan Han Houw begitu saja!

Sin Liong melakukan perjalanan jauh menuju selatan yang harus ditempuh dengan susah payah. Betapa jauh bedanya dengan saat dia melakukan perjalanan bersama Han Houw. Ketika dia melakukan perjalanan bersama pangeran dari selatan, jauh sekali dari selatan, dia dan Han Houw menunggang kuda dan selalu berhenti di setiap kota besar, disambut dengan penuh kehormatan oleh para pembesar, dijamu dengan hidangan-hidangan lezat, dilayani dan diberi tempat penginapan di kamar istimewa yang bersih dan mewah.

Kini, setelah dia meninggalkan Han Houw di Ceng-lun dan melakukan perjalanan dengan jalan kaki ke selatan, dia melakukan perjalanan seorang diri yang luar biasa melelahkan, bahkan sering kali kurang makan sehingga terpaksa dia makan seadanya, malah pernah dia terpaksa minta makan pada keluarga petani yang miskin!

Akhirnya dia tiba di kota raja, tempat yang memang ditujunya. Dia ingin mencari Kim Hong Liu-nio, wanita yang bukan saja telah membunuh ibu kandungnya, akan tetapi juga yang menyebabkan kematian kakeknya.

Akan tetapi, sesudah dia sampai di kota raja, kota yang besar dan ramai itu, mulailah dia merasa bingung. Ke mana dia harus mencari Kim Hong Liu-nio di tempat ramai dan besar ini? Dan mulai pula dia bingung karena tidak tahu bagaimana dia harus mencari makan!

Kalau dia berada di dalam hutan, mudah baginya untuk menangkap binatang hutan atau tetumbuhan untuk dimakan, akan tetapi di kota besar seperti kota raja ini, bagaimana dia bisa mendapatkan makan? Mengemis? Dia tidak sampai hati untuk mengemis makanan. Jalan satu-satunya hanyalah bekerja. Akan tetapi bekerja apakah?

Sin Liong merasa bingung sekali. Sudah dua hari dia tidak makan dan pada pagi hari itu, dia berdiri di depan sebuah restoran yang baru saja membuka pintu pintunya. Dia berdiri di situ karena asap dan uap masakan yang keluar dari rumah makan itu sungguh sangat sedap tercium hidungnya, membuat perutnya terasa makin lapar, hampir tak tertahankan lagi.

Sin Liong adalah seorang laki-laki muda yang berwajah tampan. Pakaiannya pun adalah pakaian yang tadinya sangat indah dan mahal, pemberian dari pembesar-pembesar yang menyambut Han Houw. Biar pun telah beberapa lama pakaian itu tidak dicuci atau diganti, sudah nampak kotor, namun masih mudah dikenal bahwa pakaian itu tadinya merupakan pakaian mahal.

Oleh karena itu, saat melihat pemuda ini berdiri bengong di depan rumah makan, majikan rumah makan itu menjadi amat tertarik. Dia memandang penuh perhatian dan keheranan. Kalau pemuda itu seorang kongcu, tentu sudah masuk restoran dan memesan makanan untuk sarapan pagi, akan tetapi kalau seorang tuan muda, biar pakaian dan sepatunya menunjukkan demikian, pakaian itu sudah terlalu kotor. Sebaliknya, kalau pengemis, tidak pantas pula. Wajah dan pakaian pemuda itu, juga sikapnya, sama sekali tidak memberi tanda bahwa pemuda itu seorang pengemis.

"Engkau... ada apakah berdiri di situ, orang muda?" Akhirnya majikan rumah makan itu berdiri di depan pintunya dan bertanya.

Ditegur orang, Sin Liong gelagapan dan dia menelan ludahnya, "Ah, aku... lapar sekali..."

Hemm, bukan pengemis, pikir majikan rumah makan itu. Kalau pengemis tentu dia sudah minta-minta.

"Kalau lapar, boleh membeli makanan," pancingnya.

Sin Liong makin gelisah. "Aku... aku tidak punya uang..."

Majikan rumah makan itu mengerutkan alisnya lantas memandang dengan teliti dari atas sampai ke bawah. "Lalu dengan apa engkau akan membayar makanan kalau tidak punya uang?"

Pertanyaan ini seolah-olah membuka kesempatan bagi Sin Liong. "Lopek, kalau engkau sudi memberi makanan kepadaku, aku dapat membayarnya dengan tenagaku. Aku mau bekerja apa saja untukmu!"

Majikan rumah makan itu mengelus jenggotnya yang jarang dan pendek. Hemmm, orang muda ini tidak kelihatan jahat, sikapnya halus dan tubuhnya kelihatan kuat.

"Kau mau menjadi pelayan?"

"Aku mau!"

"Apakah engkau bisa?"

"Aku dapat mempelajarinya."

"Siapa namamu, orang muda?"

"Namaku... panggil saja A-sin!"

"Di mana rumahmu?"

"Lopek, harap percaya padaku, aku bukan orang jahat. Akan tetapi aku tak punya rumah, dan aku pun tidak mau mengemis. Aku ingin bekerja untuk mendapatkan makan."

Sikap tegas dan gagah ini segera menarik hati majikan rumah makan itu. "Sudah berapa hari engkau tidak makan?"

"Sudah dua hari dua malam, dan aku telah melakukan perjalanan jauh sekali."

"Masuklah!"

Sin Liong segera masuk dan majikan rumah makan itu dengan penuh perhatian memberi hidangan bubur panas kepadanya. Sin Liong makan dengan lahapnya dan sebentar saja sudah menghabiskan bubur empat mangkok besar! Sesudah selesai makan, pemuda ini lalu bangkit berdiri, menjura kepada pemilik rumah makan sambil berkata lantang, "Lopek yang baik. Terima kasih atas kebaikanmu, dan sekarang aku mau bekerja untukmu!"

Mulailah Sin Liong bekerja di rumah makan itu. Mula-mula dia disuruh membantu tukang masak, mengambil air, membelah kayu, mencuci mangkok piring dan sebagainya. Karena pemuda itu sangat rajin dan pandai membawa diri, dia disuka dan sebentar saja majikan memberi kepercayaan kepadanya untuk menjadi pelayan.

Wajahnya yang tampan serta usianya yang masih muda itu dianggap memenuhi syarat untuk menjadi pelayan yang baik dan menyenangkan tamu, dan pekerjaan ini memang amat menyenangkan hati Sin Liong karena membuka kesempatan baginya untuk bertemu dengan macam-macam orang sehingga dari percakapan para tamu dia dapat mengetahui keadaan di luar, dan bahkan dari para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw dia mendapat kesempatan untuk mendengar banyak mengenai dunia persilatan sehingga dia dapat melakukan penyelidikan mengenai musuh besarnya.

Hingga berbulan-bulan lamanya Sin Liong bekerja sebagai seorang pelayan restoran, dan selama itu pula dia tidak pernah lalai untuk selalu melatih ilmu-ilmunya, bahkan dia makin memperdalam ilmu-ilmu aneh yang dahulu dipelajarinya dari kitab-kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw. Namun tidak ada seorang pun tahu akan keadaan dirinya ini karena Sin Liong amat pandai menyembunyikan semua kepandaiannya itu. Dia selalu menjauhkan diri dari masalah yang menimbulkan pertentangan atau keributan. Dia selalu mengalah sehingga tidak ada orang pernah memusuhinya.

Ketika melayani para tamu yang datang makan di restoran itu, Sin Liong selalu waspada sehingga dia tidak pernah melewatkan percakapan di antara tamu yang penting. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mempergunakan ketajaman pendengarannya untuk menangkap semua percakapan, meski pun yang dilakukan oleh tamu yang duduk di ujung restoran dan jauh dari tempat dia berdiri sekali pun.

Dengan jalan inilah dia mendengar pula mengenai tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di kota raja dan sekitarnya. Bahkan dengan hati kaget dia mendengar pula betapa keluarga mendiang kakeknya di Cin-ling-pai, yaitu Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong telah dicap sebagai pemberontak-pemberontak buruan pemerintah!

Berita ini membuatnya termenung sejenak. Betapa pun juga, seorang di antara mereka, yaitu Cia Bun Houw, adalah ayah kandungnya! Cerita tentang peristiwa itu selalu masuk dalam benaknya sungguh pun dia sudah selalu mengusirnya dengan ingatan bahwa ayah kandungnya itu adalah orang yang tidak baik, yang telah menyia-nyiakan ibu kandungnya sehingga dia terlahir tanpa ayah dan semenjak lahir tidak pernah ditengok ayahnya!

Pada suatu pagi, rumah makan itu ramai dikunjungi tamu. Hari itu kebetulan jatuh pada Pek-gwe Cap-go (tanggal lima belas bulan delapan), yaitu merupakan salah satu di antara hari-hari besar di Tiongkok, karena pada tanggal itu orang-orang melakukan sembahyang Tiong-ciu.

Seperti biasa, pada hari besar itu banyak penduduk dari luar kota raja berduyun-duyun datang ke kota raja, ada yang hanya berpesiar, akan tetapi sebagian besar untuk membeli kue-kue tiong-cu-pia yang lezat dan juga untuk berbelanja segala macam barang yang tidak bisa mereka dapatkan di dusun-dusun. Restoran di mana Sin Liong bekerja penuh dengan tamu sehingga semua pelayan menjadi sibuk, bahkan majikan rumah makan itu sendiri turut pula menyambut tamu di pintu depan dengan wajah berseri gembira karena keramaian itu seolah meramalkan bahwa hari itu akan memperoleh keuntungan yang tak sedikit.

Empat orang tamu baru saja memasuki rumah makan itu. Mereka ini terdiri dari dua orang pemuda dan dua orang gadis, Melihat empat orang muda yang dari pakaiannya saja telah menunjukkan bahwa mereka orang-orang kaya itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu karena restoran itu amat penuhnya, majikan restoran itu cepat-cepat menyambut mereka dengan senyum ramah.

"Silakan masuk, ji-wi siocia dan ji-wi kongcu, di sebelah dalam masih ada tempat duduk yang kosong. A-sin...! Lekas kau sambut tamu-tamu kita ini!" teriaknya kepada Sin Liong yang cepat berjalan keluar untuk menyambut tamu-tamu itu seperti yang diteriakkan oleh majikannya.

Begitu melihat empat orang tamu itu, wajah Sin Liong berubah dan jantungnya berdegup tegang. Cepat dia membungkuk-bungkuk untuk menyembunyikan wajahnya kemudian dia mempersilakan mereka masuk karena di sudut sebelah dalam memang masih ada meja yang kosong, baru saja ditinggalkan tamu lain dan sudah dibersihkannya.

Dia segera mengenal dua orang gadis itu. Andai kata dia salah mengenal dua orang gadis itu dan salah seorang di antara pemudanya, akan tetapi tak mungkin dia salah mengenal pemuda ke dua itu.

Pemuda itu sudah pasti adalah Beng Sin! Wajahnya yang bulat, tubuhnya yang gendut, mulut yang seperti selalu tersenyum dan mata yang lucu itu! Siapa lagi kalau bukan si gendut Beng Sin, seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, ayah tirinya?

Dan dua orang gadis itu, yang sukar dibedakan satu antara yang lain, tentulah si kembar Lan Lan dan Lin Lin, adik-adik tirinya! Ada pun pemuda tampan gagah itu siapa lagi kalau bukan Siong Bu? Masih nampak pesolek, angkuh dan gagah saja pemuda itu! Dan Lan Lan berdua Lin Lin, kini telah menjadi dara-dara remaja yang cantik manis......

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 27



JANTUNG di dalam dada Sin Liong berdebar tegang. Ingin dia menyapa, akan tetapi teringat bahwa dia hanyalah seorang pelayan restoran, dia menelan kembali seruan yang sudah berada di ujung bibirnya tadi. Jelas bahwa mereka berempat itu tidak mengenalnya. Tentu saja tidak mengenalnya. Dia hanyalah seorang pelayan restoran!

"Tuan-tuan muda dan nona-nona hendak memesan masakan apakah? Dan minum apa?" dia bertanya dengan sikap hormat dan seperti biasa bila dia melayani para tamu lainnya.

Empat pasang mata memandangnya hingga Sin Liong merasa betapa jantungnya makin berdebar.

"Ehh, aku pernah melihatmu!" Tiba-tiba Beng Sin si gendut berseru sambil memandang kepada Sin Liong.

Sin Liong terkejut. Dia langsung memasang aksi terheran-heran dan segera menekankan gaya bahasa selatan dalam kata-katanya. "Ah, kongcu tentu keliru mengenal orang. Atau barang kali kongcu pernah makan di sini, tentu saja pernah melihat saya."

"Aku belum pernah makan di sini, baru sekali ini," kata Beng Sin. "Sudahlah, sekarang hidangkan empat masakan yang paling lezat dari restoran ini!"

"Sin-ko, aku hanya ingin makan bubur ayam saja dan minum secangkir air teh panas," kata Lan Lan.

"Aku juga," sambung Lin Lin.

"Ha-ha, engkau hanya mengingat makanan saja, Sin-te! Kita berangkat dari rumah untuk berbelanja ke pasar kota raja, akan tetapi begitu masuk kota raja engkau memaksa kami masuk restoran untuk makan!" Siong Bu mencela sambil tertawa.

"Wah, Bu-ko, selagi kita masih hidup, tentu saja kita harus ingat urusan makan. Makan merupakan kebutuhan hidup yang pokok, ada pun berbelanja ke pasar hanya merupakan kesenangan biasa saja. Sesudah makan, barulah belanja, dan dapat berbelanja dengan senang karena tidak lagi diganggu perut lapar. Bukankah begitu?"

Lan Lan dan Lin Lin tertawa. "Bu-ko, sudahlah, berdebat tentang makan melawan Sin-ko, engkau tak akan menang!"

Sin Liong melihat dan mendengarkan percakapan antara empat orang muda ini dengan hati berdebar dan penuh keharuan. Terbayanglah dia akan masa anak-kanak ketika dia masih berada di samping empat orang ini. Dia merasa terharu karena ternyata mereka itu tidak berubah, atau yang jelas, Beng Sin sama sekali tidak berubah, masih seperti dahulu ketika anak-anak. Suka makan, jenaka dan gembira!

Dia lalu menyampaikan pesanan mereka ke dapur, namun diam-diam dia merasa heran mengapa empat orang itu kini berada di sini. Agaknya mereka tinggal tidak jauh dari kota raja. Apakah yang terjadi dengan mereka dan semenjak kapan mereka pindah dari utara? Tentu saja ingin sekali dia bercakap-cakap dengan mereka, akan tetapi karena dia masih ingin menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menahan hatinya dan melayani mereka tanpa membuka suara.

Akan tetapi, sesudah keempat orang muda itu selesai makan dan meninggalkan restoran dengan sikap gembira, Sin Liong cepat mendekati majikannya dan tiba-tiba dia mengeluh lantas terhuyung-huyung. Majikannya terkejut sekali dan cepat memegang lengannya.

"Ehh, kau kenapa, A-sin?" tanyanya. Akan tetapi melihat wajah A-sin menjadi pucat sekali serta tubuhnya terasa panas bukan main, dia segera memanggil pelayan yang lain dan dipapahlah A-sin memasuki kamarnya.

A-sin segera jatuh pingsan! Majikannya tentu saja menjadi bingung, akan tetapi pada saat majikannya hendak menyuruh orang memanggil tabib, Sin Liong siuman kembali lantas berkata lemah,

"Tidak usah memanggil tabib... mungkin hanya masuk angin saja... asal saya dibolehkan rebah mengaso, tentu akan segera sembuh..."

Majikannya tentu saja membolehkan dia mengaso di dalam kamarnya. Melihat bahwa Sin Liong tidak begitu payah lagi, majikannya dan pelayan lain lalu keluar lagi karena restoran amat sibuknya pada waktu itu.

Kesempatan ini digunakan oleh Sin Liong yang tadi hanya menggunakan ilmunya untuk membikin dirinya pucat dan panas, untuk menutupkan daun pintu dari dalam, kemudian dia meloloskan diri tanpa diketahui siapa pun melalui genteng rumah! Tak lama kemudian dia telah berada di dalam pasar dan membayangi empat orang muda tadi yang sedang berbelanja. Mereka membeli pakaian dan segala macam barang lain, dan lagak mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang muda yang membawa bekal uang cukup banyak.

Seperti biasa di tempat-tempat ramai pada waktu-waktu ramai dikunjungi oleh orang-orang dusun yang hendak berbelanja, di pasar itu pun terdapat banyak kaum pencopet! Mereka ini pun berpesta karena banyak terdapat korban-korban yang berkantong tebal dan yang bersikap agak lalai, yaitu orang-orang dusun yang membawa banyak uang.

Ketika Sin Liong membayangi empat orang muda itu dari jauh, dia pun melihat beberapa orang jembel muda berseliweran di tempat itu. Dia sudah mengenal mereka itu sebagai pengemis-pengemis yang kadang-kadang suka datang ke belakang restoran dan minta sisa-sisa makanan.

Dia selalu merasa kasihan kepada mereka, karena dia menganggap mereka itu sebagai orang-orang muda yang patut dikasihani, yang terlantar dan hidup mengandalkan kepada belas kasihan orang. Kadang kala Sin Liong bergidik membayangkan bila dirinya sampai harus terpaksa minta-minta makanan seperti mereka itu, maka timbullah rasa iba di dalam hatinya dan kadang-kadang dia rajin mengumpulkan sisa-sisa makanan para tamu untuk dibagi-bagikannya kepada mereka yang sudah menanti di pintu belakang.

Kini Sin Liong menyaksikan kenyataan yang membuatnya terbelalak penuh keheranan! Sekumpulan pengemis muda itu ternyata kini melakukan pekerjaan yang lain sama sekali. Mereka kini menggunakan kecepatan gerak tangan dan gerak isyarat memberi tanda satu kepada yang lainnya untuk mencopet!

Sin Liong melihat betapa para pengemis yang menjadi langganan restoran di mana dia bekerja itu kini dipimpin oleh seorang gadis muda berbaju biru yang amat lincah! Gadis itu usianya baru lima belas atau enam belas tahun, namun jelas kelihatan amat berwibawa di antara para pengemis muda itu!

Walau pun gadis itu sendiri tidak melakukan sesuatu, namun semua pengemis muda taat serta tunduk kepadanya, memperhatikan isyarat-isyarat yang dilakukan gadis ini dengan jari-jari tangan atau kerling matanya! Dan kini, jelas nampak oleh Sin Liong betapa gadis itu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk 'mengerjakan' Beng Sin beserta tiga orang temannya!

Gadis itu membawa sebuah keranjang yang penuh sayur-sayuran. Lalu, dengan langkah ringan dan lemah gemulai, gadis itu berjalan dan ketika tiba dekat rombongan Beng Sin, tiba-tiba gadis pembawa keranjang sayuran itu mengeluh dan kakinya tersandung lalu dia terhuyung ke depan, menabrak Beng Sin!

"Ehh, ehhh... hati-hatilah, nona..."

Beng Sin yang gemuk itu ternyata dapat bergerak sangat cepat dan dia sudah berhasil menangkap lengan nona itu sehingga nona itu tidak sampai jatuh, sungguh pun keranjang sayurnya terlempar hingga sayurannya berantakan. Beberapa orang pengemis muda ikut membantu mengumpulkan sayuran yang telah berhamburan dan untuk beberapa lamanya tempat itu menjadi ribut karena kerumunan banyak orang.

Sin Liong terkejut sekali ketika melihat betapa gadis yang terjatuh tadi, bersama beberapa orang pengemis mempergunakan kesempatan itu untuk menjambret beberapa buntalan barang belanjaan empat orang muda itu, bahkan gadis baju biru yang mukanya berlepotan lumpur dan yang tadi membawa keranjang dan terjatuh, dengan gerakan lihai bukan main, cepat seperti kilat menyambar sudah berhasil menyambar kantung uang dari pinggang Beng Sin!

Sin Liong melihat betapa cepatnya gadis itu menyambar kantung, menggunakan sebatang pisau kecil yang amat tajam memotong tali kantong dari gantungannya lalu dalam sekejap mata saja kantung itu telah lenyap ke balik bajunya! Dengan jelas Sin Liong dapat melihat hal ini, dan dia sudah menggerakkan kaki hendak maju dan menangkap para pencopet itu.

Akan tetapi ketika gadis itu menoleh kepadanya dan memandangnya dengan sepasang mata yang bening dan bersinar-sinar, seakan-akan sepasang mata itu bicara kepadanya, mohon agar dia jangan ikut mencampurinya, dan terutama sekali karena teringat bahwa mereka adalah para pengemis yang hidupnya kekurangan, ada sesuatu yang menahan Sin Liong dan membuat dia tidak jadi bergerak.

Apalagi karena dia pun tidak ingin memperkenalkan diri kepada empat orang muda itu. Maka dia hanya memandang dan menahan senyum ketika gadis itu pergi menyelinap di antara orang banyak di dalam pasar bersama teman-temannya dan tidak lama kemudian terdengar ribut-ribut ketika Beng Sin dan saudara-saudaranya merasa kehilangan.

"Keparat! Berani benar mengganggu kami?" Beng Sin mencak-mencak sambil mengepal tinju, akan tetapi dia hanya menjadi tontonan orang karena dia sendiri tidak tahu kepada siapa dia harus marah-marah.

Akhirnya empat orang muda itu pergi meninggalkan pasar dan kembali ke tempat tinggal mereka. Mereka tidak tahu bahwa semenjak tadi Sin Liong membayangi mereka sampai mereka tiba di sebuah dusun yang terletak tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat kota raja.

Setelah mengetahui dimana tempat tinggal mereka, yaitu di sebuah rumah besar di dusun itu, Sin Liong lalu mencari keterangan di dusun itu, dan mendengar bahwa Kui-wangwe (hartawan Kui) telah beberapa tahun tinggal di tempat itu, mempunyai banyak sawah dan menjadi tuan tanah paling kaya di dusun itu!

Setelah merasa puas karena dapat menemukan tempat tinggal keluarga Kui itu, Sin Liong lalu cepat kembali ke rumah makan dan siang hari itu juga dia sudah dapat membantu lagi pekerjaan di rumah makan, sehingga majikannya merasa senang.

Beberapa hari kemudian, ketika pada suatu sore Sin Liong sedang mencuci mangkok piring di bagian belakang restoran itu dan membuangi sisa makanan ke dalam keranjang sampah, terdengar seruan orang dari luar pintu belakang.

"Heh, bung A-sin, kenapa kau buangi sisa makanan itu? Berikan kepada kami...!"

Mendengar suara ini, Sin Liong segera menengok dan dia melihat tiga orang pengemis muda berlarian mendatangi sambil membawa kaleng mereka yang biasa mereka gunakan untuk menampung sisa-sisa makanan yang masih baik. Akan tetapi sekali ini, tak seperti biasanya, Sin Liong dengan gerakan marah lalu membuang sisa-sisa makanan ke dalam keranjang sampah sehingga ketiga orang pengemis muda itu tertegun dan memandang heran.

"Bung A-sin, kenapa kau buang?" Mereka terkejut karena biasanya, A-sin ini merupakan seorang di antara pelayan yang bersikap paling ramah dan baik kepada mereka.

Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang mereka dengah sikap marah, "Perlu apa kalian mencari sisa makanan? Bukankah sekarang kalian mampu membeli masakan-masakan yang mahal?"

Tiga orang pengemis muda itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka bertanya, "Ehh, saudara A-sin, apa maksudmu dengan kata-kata itu? Kami tidak mengerti."

"Hemmm, perlukah kalian berpura-pura lagi? Atau apakah kalian begitu royal membuang hasil kalian seperti pasir sehingga dalam waktu empat hari saja harus mengemis lagi?"

Tiga orang itu mengerutkan alis. "Saudara A-sin, apa maksudmu?"

Kini Sin Liong menjadi makin marah dan membentak. "Sudahlah! Kau kira tidak ada yang tahu ketika kalian melakukan pencopetan-pencopetan di pasar? Tak tahu malu!"

Tiga orang itu saling pandang dan wajah mereka berubah, kelihatan ketakutan dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu. Sin Liong juga diam saja, di dalam hatinya merasa menyesal sekali. Biasanya dia merasa kasihan pada pengemis-pengemis muda itu, merasa senasib dengan mereka. Akan tetapi melihat mereka menjadi pencopet-pencopet di pasar, perasaan kasihan di hatinya kini berubah menjadi sebal dan tak senang.

Keadaan lahir tidak selalu mencerminkan batin, pikirnya. Pengemis-pengemis muda yang menimbulkan perasaan iba itu ternyata hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tidak patut dikasihani!

Malam hari itu setelah restoran tutup, Sin Liong rebah di dalam kamarnya dan melamun. Sudah lama juga dia bekerja di restoran itu, sudah hampir setengah tahun! Selama itu dia tidak pernah lalai untuk melatih ilmu-ilmunya dan dia kini merasa sudah cukup kuat untuk menghadapi orang yang selama ini dicari-carinya, yaitu Kim Hong Liu-nio!

Selama ini dia sudah menyelidiki dan mendengar cerita di antara para tamu restoran. Dia tahu bahwa Kim Hong Liu-nio, sebagai utusan atau wakil dari Raja Sabutai, merupakan orang penting juga di kota raja bahkan kabarnya merupakan orang kepercayaan dalam istana. Jelaslah bahwa dia akan dapat mencari wanita pembunuh ibunya itu di kota raja ini, dan agaknya di dalam istana. Kalau perlu dia akan mencari ke dalam istana!

Tiba-tiba saja Sin Liong bangkit duduk. Pendengarannya yang amat tajam dan terlatih itu menangkap gerakan kaki manusia di atas genteng rumah! Gerakan kaki yang ringan dan terlatih, akan tetapi tidak cukup ringan baginya sehingga masih menimbulkan suara yang terdengar olehnya.

Sekali tiup, lilin di atas mejanya padam dan dengan hati-hati sekali Sin Liong lalu keluar dari dalam kamarnya melalui jendela. Setelah menyelinap dengan gerakan cepat akhirnya Sin Liong meloncat naik ke atas genteng dan mengintai gerak-gerik bayangan orang yang berada di atas genteng.

Ketika cahaya bulan menerangi wajah bayangan yang bertubuh langsing itu, dia terkejut. Kiranya bayangan itu adalah gadis berbaju biru, pemimpin para tukang copet di pasar! Atau lebih tepat lagi, gadis yang memimpin para pengemis muda menjadi pencopet! Mau apa dia berkeliaran di sini? Apakah di samping mencopet, gadis ini juga biasa melakukan pekerjaan sebagai maling?

Akan tetapi, gadis itu tidak kelihatan membawa senjata tajam dan dia merasa kagum juga menyaksikan gerakan yang cepat dan ringan itu, tanda bahwa gadis itu telah mempelajari ilmu silat yang lumayan tinggi. Dia melihat gadis remaja itu ragu-ragu dan tiba-tiba gadis itu mendekam.

Sin Liong juga menoleh karena pada waktu itu terdengar suara orang bernyanyi dengan suara serak, lalu nampak seorang lelaki gendut berjalan sempoyongan di belakang rumah makan yang sudah tertutup itu. Sin Liong mengenal laki-laki itu yang bukan lain adalah A-tong, pembantu tukang masak yang perutnya gendut.

Selain ahli masak dan gembul makan sehingga perutnya gendut, A-tong terkenal sebagai seorang laki-laki yang suka berpacaran dan minum sampai mabuk, pikir Sin Liong yang merasa geli melihat gadis itu terkejut mendengar nyanyian serak itu.

Akan tetapi Sin Liong menjadi terkejut ketika melihat gadis itu mendadak bangkit berdiri, kemudian melayang turun dengan gerakan seperti seekor burung kenari saja ringannya. Sin Liong cepat membayanginya dan bersiap untuk menolong si gendut karena agaknya gadis itu hendak menyerang si gendut!

Akan tetapi, dengan waspada Sin Liong melihat bahwa serangan gadis itu hanyalah untuk menotok saja, bukan untuk mencelakai. Maka dia pun diam saja, hanya mengamati dari balik pohon, dia baru akan turun tangan kalau gadis aneh itu berniat jahat.

"Uhhhh...!" A-tong tertotok pundaknya dari belakang dan roboh dengan lemas, akan tetapi sebelum roboh, gadis itu telah mencengkeram pundaknya dan menghardik dengan suara dibesar-besarkan, seperti suara laki-laki akan tetapi kedengarannya lucu sekali.

"Hemm... aku adalah setan penunggu kebun ini...!" hardiknya dengan suara menggeram.

Sin Liong yang mendengarkan ini, menjadi geli sekali. Apa maunya dara itu bermain-main seperti itu? Apakah gadis itu miring otaknya? Dan dia semakin geli melihat tubuh gendut yang lemas dan tidak dapat menengok ke belakang itu menggigil ketakutan.

"Ampun... ampunkan saya... Pek-kong...!" A-tong mengeluh. Di dalam keadaan setengah mabuk dia percaya bahwa dia telah dicengkeram oleh setan!

"Hemm... aku dapat ampunkan engkau, akan tetapi beri tahu di mana kamarnya si A-sin pelayan itu?"

Diam-diam Sin Liong semakin geli akan tetapi juga terkejut dan heran. Kiranya gadis itu mencari dia!

"Ehh... A-sin... A-sin... kamarnya di ujung kanan itu... harap ampun..."

"Plakk!" Gadis itu mengetuk tengkuk A-tong yang mengeluh dan terguling roboh.

Sin Liong makin geli karena dia tahu bahwa tamparan itu tidak melukai, akan tetapi saking takutnya, A-tong sudah jatuh pingsan. Cepat dia meloncat dan pada lain saat dia sudah memasuki kamarnya melalui jendela, kemudian dia melepas sepatunya dan rebah di atas pembaringan, terdengar suara dengkurnya tanda bahwa dia sudah tidur pulas!

Dengan menahan geli hatinya, Sin Liong mendengar betapa jendela kamarnya yang tadi dipalangnya dari dalam itu perlahan-lahan digerayangi dan dibuka orang! Kagum juga dia karena agaknya tidak makan waktu terlalu lama bagi gadis itu untuk dapat membuka daun jendelanya. Agaknya gadis ini pun ahli dalam ilmu membuka-buka daun pintu dan jendela rumah orang dari luar!

Hening sejenak setelah daun jendela itu terbuka, kemudian sesosok bayangan yang gesit meloncat masuk. Kakinya hanya menimbulkan sedikit suara saja saat menyentuh tanah, seperti lompatan seekor kucing!

Gadis ini mau apa sesudah menemukan kamarnya, pikir Sin Liong. Mau membunuhnya? Agaknya tidak, karena selain gadis itu tidak kelihatan jahat seperti terbukti saat memaksa A-tong mengaku, juga tidak membawa senjata. Lalu mau apa? Jantung dalam dada Sin Liong berdebar dan tiba-tiba dia memejamkan matanya ketika melihat sinar api.

Gadis itu menyalakan lilin di atas meja! Dan tiba-tiba saja, dengan gerakan cukup cepat, gadis itu sudah melompat ke dekat pembaringannya dan dengan tangannya siap untuk menotoknya seperti yang dilakukannya tadi terhadap A-tong! Akan tetapi dia diam saja, pura-pura tidur.

"Heh, A-sin bangun kau!" terdengar gadis itu membentak halus dan jari-jari tangan yang kecil halus itu mencengkeram pundak Sin Liong dan mengguncangnya!

Sin Liong pura-pura kaget, akan tetapi tiba-tiba dia kelihatan ketakutan ketika pundaknya dicengkeram makin kuat.

"Diam, jangan bergerak atau bersuara! Kalau berteriak, kubunuh kau!" bentak gadis itu.

"Ehh... ehhh... kabarnya Giam-lo-ong itu laki-laki, akan tetapi... kenapa ada Giam-lo-ong wanita...?" Sin Liong pura-pura gugup dan terheran-heran, terbelalak memandang wajah yang kini tidak lagi berlepotan lumpur sehingga kelihatan manis, nampak remang-remang di bawah sinar lilin yang lemah.

"Kau ngaco-belo apa? Siapa Giam-lo-ong?" Gadis itu juga menjadi heran dan membentak lirih.

"Kau bukan Giam-lo-ong? Mengapa mau mencabut nyawaku?" Sin Liong bersikap ketolol-tololan.

"Huh, ceriwis kau! Cerewet kau! Awas, kau lihat baik-baik ini!" Setelah berkata demikian, gadis itu menengok ke kanan kiri dalam kamar. Melihat ada sebuah sapu dengan gagang kayu sebesar lengan orang, dia lantas mengambil dan dengan sekali tekuk menggunakan kedua tangannya, gagang sapu itu pun patah kemudian dilemparkannya ke atas lantai. Sin Liong terbelalak dan bersikap ketololan.

"Ehh, ehh... apa dosanya sapu itu? Mengapa kau patahkan gagangnya? Wah, celaka, kau bikin aku susah, harus membuatkan gagang baru...!"

Gadis itu kelihatan gemas. Dia mendemonstrasikan kekuatannya untuk membikin takut pemuda tolol ini, si pemuda bukannya takut akan kekuatannya, malah mengomel karena gagang sapunya patah!

"Goblok! Kau bernama A-sin?"

"Benar, dan kau siapa, kenapa masuk kamarku? Apa kau babu baru di sini?"

"Cerewet! Aku datang untuk memperingatkanmu, mengerti? Dan kau harus taat padaku, kalau tidak, lehermu akan kupatahkan seperti gagang sapu tadi!"

"Wahhh... kau galak... mengerikan..." Sin Liong bangkit duduk dan meraba lehernya.

"Nah, kau takut padaku, bukan?"

Sin Liong menggelengkan kepala.

"Apa?!" Gadis itu mengerutkan alisnya dan menarik muka seram, akan tetapi akibatnya menjadi tambah manis dan jauh dari pada mengerikan. "Kau tidak takut padaku?"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Kenapa mesti takut?"

"Karena aku menakutkan!"

"Tidak, kau tidak menakutkan sama sekali..."

"Aku ingin kau takut!"

"Wah, kau ini aneh. Ehh, nona cilik..."

"Aku tidak cilik lagi!"

"Baiklah, nona gede, dengarkan. Apa kau suka menggigit?"

"Ehhh? Menggigit...? Wah, kau mau kurang ajar, ya? Porno, ya?"

"Lhoh! Mengapa kurang ajar? Aku tanya apakah kau suka menggigit maka kau ingin aku takut padamu. Kau tidak suka menggigit, bukan?"

"Gila kau! Aku anak perempuan masa menggigit, menggigit apamu?" dengan hati jengkel gadis itu membentak.

"Ya menggigit apaku, boleh kau pilih, akan tetapi aku tidak takut padamu. Habis, kau tidak menakutkan, sih!"

Gadis itu kini menyambar paku yang menancap di dinding, paku yang dipergunakan oleh Sin Liong untuk menggantungkan pakaiannya. Dicabutnya paku itu dengan jari tangannya, lalu di depan mata Sin Liong, dia menggunakan jari-jari tangannya untuk menekuk-nekuk paku itu! Sin Liong memandang dan membelalakkan matanya penuh keheranan.

Dengan puas dan bangga, dan sedikit membusungkan dadanya yang masih belum terlalu besar itu, gadis itu mendengus, "Huh, sekarang kau sudah takut padaku? Lihat kekuatan tanganku!"

"Ehh, apakah kau main sulap? Wah, kalau kau bermain sulap seperti itu besok siang di depan restoran, tentu banyak orang suka membayar..."

"Sulap hidungmu!" Gadis itu makin marah. Kiranya tolol benar orang yang namanya A-sin ini!

Sin Liong yang sudah bangkit duduk itu pun pura-pura marah. "Dengar kau, nona cilik... ehh, gede! Mau apa kau memasuki kamarku? Masa anak perempuan masuk kamar anak laki-laki! Cih, tak tahu malu!"

"Dengarkan aku, bocah tolol! Bukalah telinga keledaimu lebar-lebar! Aku adalah pimpinan anak-anak miskin di kota raja dan kalau kau banyak membantah, sekali tampar saja aku akan bisa membikin nyawamu melayang! Sore tadi engkau telah menghina anak buahku, mengatakan mereka mencopet! Awas, jika kau berani berkata kepada siapa pun tentang itu, kalau sampai ada anak buahku yang ditangkap polisi, aku akan datang lagi dan akan kupatahkan batang lehermu. Atau akan kubuat kepalamu seperti ini..."

"Crokkk...!"

Gadis itu menggunakan tiga jari tangannya menusuk meja dan... papan kayu meja itu tembus berlubang oleh tiga jari yang kecil mungil itu!

Sin Liong pura-pura terkejut dan membelalakkan matanya, di dalam hatinya dia memang kagum juga, bukan hanya kagum akan kelihaian gadis ini, melainkan akan keberaniannya dan juga sikapnya yang membela kawan.

"Nah, kau mengerti? Jangan bilang siapa pun juga atau aku akan kembali!"

"Siapakah namamu, nona?"

Gadis yang sudah hendak pergi itu membalik kembali dan memandang dengan sepasang matanya yang bening dan tajam, "Mau apa kau tanya-tanya namaku segala?"

"Lhoh, nona sudah tahu namaku, akan tetapi aku belum mengenal nona. Bukankah kita sudah saling mengenal jadi sudah sepatutnya aku mengenal namamu?"

Diam-diam gadis itu merasa amat jengkel akan tetapi juga geli menyaksikan ketololan ini. Betapa pun juga, dia merasa kagum akan keberanian bocah tolol yang wajahnya tampan ini!

"Semua anak miskin di kota ini mengenal Kim-gan Yan-cu!" Setelah berkata demikian, dia meloncat keluar dari jendela dan keadaan di situ menjadi sunyi kembali.

Sin Liong masih duduk termenung di atas pembaringannya. "Kim-gan Yan-cu (Walet Mata Emas)?"

Dan dia makin geli. Anak perempuan itu hebat! Sayang semuda itu sudah menjadi kepala jembel, kepala copet dan agaknya menjadi jagoan penjahat! Semalaman dia tidak dapat tidur kembali. Wajah anak perempuan itu terus terbayang olehnya dan dia merasa seperti telah mengenal gadis itu semenjak lama sekali. Wajah itu tidak asing sama sekali! Sinar mata itu!

Sin Liong masih mengantuk karena kurang tidur ketika pada keesokan harinya dia sudah harus bekerja lagi melayani tamu-tamu yang datang untuk sarapan pagi. Tiba-tiba muncul beberapa orang prajurit berkuda yang berhenti di depan restoran dan dengan suara galak memerintahkan majikan restoran supaya bersiap-siap melayani seorang pembesar yang ingin sarapan di restoran itu.

Majikan restoran menjadi sangat gugup dan segera mengerahkan semua anak buahnya untuk membersihkan meja-meja dan siap melayani pembesar dengan para pengikutnya, yang menurut para prajurit pengawal yang datang terlebih dulu adalah seorang pembesar dari luar kota raja yang datang berkunjung ke kota raja.

Majikan restoran menyuruh para pembantunya untuk cepat-cepat bertukar pakaian bersih sedangkan dia sendiri pun sibuk keluar masuk untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Kunjungan seorang pembesar pada sebuah rumah makan merupakan peristiwa besar dan sangat menegangkan bagi pemiliknya, karena peristiwa itu dapat mengakibatkan berbagai kemungkinan, yang baik mau pun yang buruk!

Tak lama kemudian, sebuah kereta berhenti di depan rumah makan dan turunlah seorang lelaki berpakaian pembesar dari kereta itu, kemudian dengan iringan para pembantu dan pengawalnya, rombongan itu memasuki restoran, disambut dengan penuh penghormatan oleh majikan restoran, sedangkan para pelayan, juga termasuk Sin Liong, hanya berdiri di kanan kiri dengan tubuh membungkuk penuh sikap hormat.

"Ehh, Liong-kongcu... kenapa berada di sini...?"

Sin Liong terlonjak kaget mendengar ini dan cepat dia mengangkat mukanya.

Kiranya pembesar yang memasuki restoran dan diiringi banyak pembantu dan pengawal itu bukan lain adalah Gu-taijin, pembesar dari kota Ku-kiang? Tentu saja pembesar Gu ini masih mengenalnya, karena dia pernah bermalam di rumah gedung pembesar ini, bahkan di rumah pembesar inilah dia mengangkat saudara dengan Han How!

"Siapa... ehh, paduka... salah lihat...," dia berkata gagap.

Akan tetapi Gu-taijin yang telah mengenalnya, tertawa. "Aihh, Liong-kongcu harap jangan main-main! Biar pun kongcu menyamar, tetap saja saya akan mengenalmu. Kalau tidak, tentu pangeran akan marah terhadap saya. Kongcu adalah tuan muda Liong Sin Liong, kenapa berada di sini dan apakah yang saya lihat ini? Apakah kongcu sedang menyamar sebagai pelayan...? Ha-ha-ha...!"

"Bukan... bukan...! Hamba adalah A-sin... pelayan restoran ini..."

"Ha-ha-ha, saya sudah tahu akan kesenangan pangeran untuk merantau dan menyamar seperti rakyat biasa. Kongcu sebagai adik angkatnya tentu mempunyai kesukaan yang sama. Akan tetapi saya tetap mengenali Liong-kongcu. Marilah, beri kesempatan kepada saya untuk menghormati kongcu dengan tiga cawan arak. Dan saya hendak memohon pertolongan kongcu..." Pembesar itu mendekatkan mulutnya. "Mengenai puteriku..."

"Tidak... bukan... aku bukan..." Sin Liong bingung bukan kepalang, apa lagi ketika melihat majikannya menjadi pucat dan memandang kepadanya dengan mata terbelalak.

Baru pagi tadi A-tong, pembantu tukang masak bercerita bahwa ada setan penjaga kebun menangkapnya dan setan itu bertanya tentang A-sin. Hal itu tentu saja ditertawakan dan orang-orang menganggap A-tong bermimpi, sedangkan A-sin yang mendengar itu hanya tertawa saja.

Dan sekarang, seorang pembesar yang berpakaian indah datang-datang memberi hormat kepada A-sin seakan-akan pelayan itu adalah seorang pemuda bangsawan yang sangat tinggi kedudukannya. Apa lagi pembesar itu juga menyebut-nyebut pangeran!

"Ah? Liong-kongcu menyimpan rahasia? Kalau begitu biarlah kita bicara di dalam saja... "

"Harap taijin sudi memaafkan hamba, akan tetapi hamba... hamba A-sin... pelayan, bukan orang lain... "

"Hemmm, benarkah itu?!" Tiba-tiba terdengar bentakan wanita. "Akulah yang akan dapat memaksa harimau keluar dari kulit domba!"

Bukan main kagetnya hati Sin Liong ketika dia mendengar suara wanita ini karena wanita itu bukan lain adalah seorang wanita cantik yang sudah amat dikenalnya. Seorang wanita cantik jelita dengan pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung ke atas seperti model gelung rambut seorang puteri istana, wajahnya manis akan tetapi kelihatan angkuh dan dingin, matanya bersinar kejam, lengan kirinya penuh dengan gelang-gelang emas dan di punggungnya tergantung kayu salib, ada pun di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang. Kim Hong Liu-nio!

Melihat musuh besar yang dicari-carinya ini tahu-tahu berdiri di depannya, tentu saja Sin Liong menjadi terkejut bukan main, gembira dan juga gugup karena dia berada di dalam restoran, di tempat ramai sehingga amat berbahaya baginya bila dia bertanding melawan musuh besarnya ini karena wanita ini merupakan seorang tokoh kepercayaan istana!

Akan tetapi, menghadapi Kim Hong Liu-nio dia tidak mungkin dapat menyangkal keadaan dirinya lagi, dan juga hal itu akan sia-sia karena pada saat itu, Kim Hong Liu-nio sudah menggerakkan tangan kirinya dan dua batang hio (dupa biting) langsung meluncur seperti anak panah, menyambar ke arah kedua matanya! Kiranya wanita itu bukan hanya ingin membuka rahasia, melainkan juga ingin membunuhnya secara keji.

Dan dugaan ini memang benar. Begitu melihat Sin Liong, kemarahan Kim Hong Liu-nio bangkit karena dia ingat bahwa anak ini mengaku keturunan Cia Bun Houw. Sakit hatinya karena kematian kekasihnya, Panglima Lee Siang, membuat dia langsung menurunkan tangan kejam, menyerang sepasang mata Sin Liong dengan senjata rahasia hionya yang telah banyak merobohkan korban manusia itu.

Diserang sehebat itu, tentu saja Sin Liong tidak dapat menyembunyikan kepandaiannya lagi. Dia melihat jelas dua batang hio yang sedang menyambarnya itu, maka dia cepat mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan dengan menggunakan tenaga sinkang dia berhasil memukul patah dua batang hio itu.

Dia tidak mungkin mengelak karena kalau hal ini dilakukan, maka dua batang hio itu tentu akan menelan korban, yaitu mengenai orang-orang yang berada di sebelah belakangnya. Maka terpaksa dia memperlihatkan kehebatannya dan kedua batang hio itu ditangkisnya runtuh.

Hal ini sangat mengejutkan Kim Hong Liu-nio karena dia tahu benar bahwa jarang ada tokoh di dunia kang-ouw ini yang berani menangkis sambaran hionya, dan kalau ada yang berani mencobanya pun tentu akan celaka, karena hionya itu didorong oleh tenaga sakti yang amat kuat sehingga jika ditangkis akan bisa melesat dan melanjutkan serangannya. Akan tetapi, dua batang hionya itu patah dan runtuh begitu bertemu dengan tangan Sin Liong!

Marahlah Kim Hong Liu-nio. Dia tahu bahwa Sin Liong pernah digembleng oleh kakek Cia Keng Hong, maka dia pun tidak heran kalau anak ini telah mewarisi ilmu yang hebat dari ketua Cin-ling-pai itu. Hal ini mendorongnya untuk segera membunuhnya, karena kalau tidak, kelak akan menambah deretan musuhnya yang berilmu tinggi.

"Hyaaaaattt...!" Kim Hong Liu-nio mengeluarkan suara melengking tinggi hingga membuat semua orang terkejut, bahkan ada beberapa orang yang terguling roboh karena jantung mereka tergetar dan kedua kaki mereka terasa lumpuh ketika mereka mendengar suara melengking tinggi itu.

Terasa angin menyambar ketika wanita itu sudah menerjang ke depan dan mengirimkan pukulan maut dengan tangan kirinya yang bergelang kerincing, dengan tangan terbuka menghantam ke arah dada Sin Liong. Sebelum tangan itu tiba, terlebih dulu sudah terasa angin pukulan dahsyat yang berhawa panas datang menyambar.

"Ehhhh...!" Sin Liong terkejut, maklum akan kehebatan pukulan itu. Maka dia pun cepat mengangkat tangan kanannya, dengan telapak tangan terbuka didorongkannya tangan itu ke depan menyambut pukulan lawan.

"Plakkk!"

Kedua telapak tangan bertemu dan seketika tubuh Kim Hong Liu-nio tergetar hebat dan tenaga sinkang-nya memberobot keluar tersedot melalui telapak tangan pemuda remaja itu.

"Eiiihhhhh...!" Kim Hong Liu-nio menjerit dan tangan kanannya cepat menyambar dengan totokan ke arah kedua mata Sin Liong!

Wanita ini telah mengenal Thi-khi I-beng maka dia merasa ngeri dan cepat mengeluarkan serangan yang dapat menolong dirinya dari ilmu sedot yang hebat itu. Ketika Sin Liong menggerakkan tangan kanan menangkis, maka wanita itu secepat kilat menarik tangan kirinya yang tersedot melekat pada tangan lawan sambil mengerahkan sinkang-nya dan terlepaslah tangannya. Dia menjadi marah bukan main.

"Tarrrrr...!"

Sabuk sutera merahnya telah menyerang, meluncur ke arah leher Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong maklum pula bahwa dia berada dalam bahaya sesudah kini semua orang tahu keadaan dirinya yang sebenarnya. Karena itu dia cepat mengerahkan tenaga lemas untuk menangkis sabuk.

"Pratttt...!"

Ujung sabuk merah itu membelenggu pergelangan tangannya. Akan tetapi Sin Liong lalu mengerahkan Ilmu Thian-te Sin-ciang, mengebutkan tenaga itu dengan telapak tangannya ke arah muka lawan.

"Ihhhhh...!" Kim Hong Liu-nio kembali menjerit.

Dia cepat mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya terdorong angin pukulan Thian-te Sin-ciang yang ampuh hingga dia terhuyung, sedangkan pergelangan tangan lawan yang terbelit sabuk sudah terlepas pula. Kesempatan selagi lawannya terhuyung ini digunakan oleh Sin Liong untuk meloncat keluar restoran dan menyelinap di antara penonton yang memenuhi tempat itu karena tertarik oleh kedatangan pembesar, kemudian oleh keributan yang terjadi di restoran itu.

"Tangkap dia! Dia itu putera pemberontak Cia Bun Houw...!" Kim Hong Liu-nio berteriak sambil mengejar. Akan tetapi dia terhalang oleh banyak orang, dan melihat para pasukan melakukan pengejaran, wanita ini dengan cemberut lalu masuk kembali ke dalam restoran di mana dia disambut oleh Gu-taijin yang masih terheran-heran.

Sementara itu, melihat dirinya dikejar-kejar oleh pasukan yang makin lama makin banyak jumlahnya, Sin Liong terus melarikan diri. Dia menjadi bingung. Apa bila dia dikabarkan sebagai anak pemberontak yang melarikan diri, tentu sukar baginya untuk keluar dari kota raja ini. Tentu pintu-pintu gerbang yang kuat itu telah terjaga dengan ketat, dan ke mana pun dia bersembunyi, tentulah dia akan terus dicari oleh para prajurit.

Mana mungkin dia mampu melawan pasukan yang banyak jumlahnya? Dan dia pun tidak mempunyai ingatan untuk melawan pemerintah. Dalam gugupnya dia segera membelok lantas masuk ke dalam pasar ketika arah berlarinya melewati tempat ini. Dari belakang terdengar hiruk-pikuk para prajurit yang mengejarnya.

Pasar itu menjadi geger ketika para prajurit memasukinya dan orang-orang berlarian ke mana-mana ketika mendengar betapa para prajurit itu sedang mengejar-ngejar seorang pemberontak! Makin ribut dan terkejutlah orang-orang itu ketika mendengar bahwa yang dikejar-kejar dan dianggap seorang sebagai pemberontak yang buron itu adalah seorang pelayan rumah makan bernama A-sin!

Saat Sin Liong tengah kebingungan, berdiri di antara orang-orang pasar yang menyelinap ke sana-sini itu, tiba-tiba tangannya dipegang oleh seorang pengemis muda yang lantas berbisik, "A-sin... cepat, kau ikut aku...!"

Melihat bahwa pemuda pengemis itu adalah seorang di antara langganannya, Sin Liong yang sedang kebingungan itu mengangguk dan cepat dia mengikuti pengemis muda itu menyelinap di antara orang-orang yang sedang panik itu. Dia dibawa ke bagian belakang pasar, di tempat pengumpulan sampah dan di sana dia melihat empat orang pengemis muda lainnya bersama seorang gadis.

Melihat gadis ini, jantungnya berdebar tegang karena dia segera mengenal yang semalam memasuki kamarnya! Gadis itu tetap memakai baju biru, entah baju yang semalam entah memang bajunya semua berwarna biru, akan tetapi sepasang matanya tetap bening dan bersinar tajam, pantas kalau dijuluki Walet Mata Emas! Melihat dia, gadis itu tersenyum mengejek.

"Aihh, kiranya si pelayan restoran yang tolol ini seorang pelarian pemberontak?"

"Aku... aku bukan..."

"Ahhh, sikapmu yang tolol itu hanya kedok belaka. Lekas kau sembunyi ke sini, itu para prajurit sudah datang!" Gadis itu dengan cekatan sudah menyambar tangan Sin Liong dan mendorong pemuda itu ke tempat sampah, kemudian dia bersama teman-temannya lalu menimbuni tubuh Sin Liong yang duduk di atas tanah itu dengan sampah!

Baunya bukan main, maka terpaksa Sin Liong mengerahkan tenaganya supaya jangan muntah-muntah dan juga agar jangan sesak napas. Dia tidak dapat melihat keluar, akan tetapi dia dapat mendengar suara para prajurit yang tiba di situ.

"He! Apakah kalian melihat pemberontak yang lari ke sini?" terdengar bentakan nyaring.

"He! He! Engkau berbicara dengan orang atau setan? Begitukah pendidikan sopan santun yang kau terima selama kau menjadi prajurit, menyapa orang hanya dengan he-he saja?" tiba-tiba terdengar suara gadis itu marah.

"Apa...?! Kalian ini sekumpulan pengemis...!" suara pertama menghardik.

"Ahh, jangan ceroboh, Ciong-ko, dia ini adalah Kim-gan Yan-cu...!" terdengar suara orang ke dua, agaknya seorang prajurit lain yang mengenal gadis itu.

"Ahhh... maafkan aku, nona. Aku tidak tahu...," kata suara pertama.

Terdengar gadis yang berjuluk Walet Mata Emas itu mengomel. "Hmm, setelah mengenal orang baru bersikap sopan, itu namanya sopan yang palsu. Biar pun kami orang miskin, apakah para prajurit berhak untuk memandang rendah dan menghina kami? Kalau tidak mampu bertanya dengan sopan, kami pun tidak mampu menjawab!"

"Kim-gan Yan-cu, maafkan kawan kami ini. Dia prajurit baru, pindahan dari luar kota raja. Kami sedang bingung dan sibuk, mengejar-ngejar seorang buronan, seorang pemberontak yang amat berbahaya. Biasanya engkau dan kawan-kawanmu tidak pernah mengganggu, bahkan sering kali membantu kami mengamankan daerah-daerah. Maka kini kami mohon bantuanmu dan kawan-kawanmu untuk mencari buronan itu. Dia seorang muda, namanya A-sin, tadinya bekerja sebagai pelayan restoran."

"Hemm, kami tidak melihat dia sekarang."

"Kalau kalian melihatnya, harap suka membantu kami menangkapnya, dan harap kalian menyuruh kawan-kawan kalian yang banyak untuk ikut mencarinya."

"Baik, baik...!"

Tak lama berselang para prajurit itu sudah pergi, kemudian Sin Liong disuruh keluar dari tumpukan sampah. Dia merasa heran bukan main. Ternyata para prajurit itu tidak hanya mengenal gadis ini, bahkan kelihatan takut dan sangat menghormatinya! Maka dia pun cepat menjura.

"Terima kasih atas pertolongan kalian..."

"Pertolongan apa? Kau masih terancam bahaya. Hayo kerjakan dia!" perintah gadis itu.

Empat orang pengemis muda itu lalu beramai-ramai mengenakan pakaian butut kepada Sin Liong kemudian dengan arang dan lumpur mereka menyulap wajah Sin Liong menjadi wajah yang kotor, wajah seorang pengemis yang terlantar. Sin Liong tak sempat menolak karena dia tahu bahwa mereka itu bermaksud baik terhadap dirinya.

"Nah, kau diam saja, pura-pura sakit dan kelaparan. Jangan mengeluarkan suara, kecuali rintihan dan keluhan kalau bertemu dengan prajurit," kata gadis itu.

Sin Liong yang masih sangat keheranan itu hanya mengangguk. Dia benar-benar merasa canggung sekali berhadapan dengan gadis yang ternyata amat berwibawa ini dan merasa makin canggung lagi ketika empat orang itu menggotongnya, seperti menggotong seekor kerbau yang akan disembelih! Dan gadis itu berjalan di depan!

Beberapa kali mereka bertemu dengan pasukan dan seperti yang dipesankan oleh gadis itu, setiap kali ada pasukan berhenti dan memandang kepadanya, dia mengeluh.

"Ini ada seorang pengemis kelaparan dari luar daerah. Mengotori kota raja saja, dan kami hendak mengirim dia kembali ke tempatnya, biarlah kalau sampai mati pun dia mati di tempatnya sendiri, tidak di kota raja!" demikian gadis itu menerangkan setiap kali ada pertanyaan dari para prajurit yang masih sibuk mencari-cari Sin Liong itu.

Akhirnya, dengan mudah para pengemis muda itu menggotong Sin Liong keluar dari pintu gerbang selatan. Agaknya mereka itu sangat dipercaya oleh para penjaga pintu gerbang, apa lagi keterangan gadis lincah itu agaknya tidak pernah diragukan orang.

Sesudah keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan dan para pengemis yang menggotong tubuh Sin Liong itu sudah tiba jauh dan tidak nampak lagi oleh para penjaga, Sin Liong lalu diturunkan.

"Nah, sekarang kita harus berlari cepat. Hayo ikut dengan kami, A-sin!" kata gadis baju biru itu. Sin Liong hanya mengangguk saja, lantas dia ikut berlari bersama gadis itu dan empat orang pengemis muda, menuju ke sebuah hutan kecil di lereng bukit yang nampak dari situ.

Ternyata di tengah hutan itu terdapat sebuah kuil rusak yang kosong dan ke tempat inilah mereka menuju. Agaknya gadis itu dan kawan-kawannya sudah biasa di tempat ini karena mereka langsung masuk dan membersihkan sebuah ruangan yang masih belum begitu bobrok dan dapat dipergunakan untuk tempat bersembunyi yang teduh dan terlindung dari panas atau hujan.

Memang demikianlah, tempat-tempat seperti kuil kosong, kolong-kolong jembatan, emper-emperan toko merupakan tempat-tempat yang tidak asing bagi kaum gelandangan seperti mereka itu, yang tidak mempunyai rumah atau keluarga.

Setelah membersihkan ruang itu dengan dibantu oleh empat orang pengemis muda yang agaknya menjadi anak buah gadis itu, mereka lalu berunding.

"Kalian harus cepat kembali ke kota raja dan menyelidiki keadaan. Apa bila ada bahaya mengancam, lekas beri tahu kami di sini. Aku terpaksa harus melindungi si lemah ini!" kata gadis berbaju biru itu kepada empat orang anak buahnya yang menyatakan setuju. Mereka segera berangkat meninggalkan Sin Liong berdua gadis itu.

Diam-diam Sin Liong merasa kagum menyaksikan kesigapan dara itu, kecerdikannya, wibawanya, dan juga kesederhanaannya. Gadis itu tentu paling banyak lima belas atau enam belas tahun usianya, akan tetapi sudah dapat memimpin pengemis-pengemis muda yang kelihatan begitu taat kepadanya!

Setelah empat orang pengemis muda itu pergi, gadis baju biru itu keluar dari dalam kuil. Tanpa diperintah, Sin Liong lalu mengikutinya dan ketika gadis itu duduk di atas sebuah bangku batu rendah yang berada di belakang kuil rusak, Sin Liong hanya berdiri sambil memandang, sinar matanya masih membayangkan rasa kekaguman dan juga keheranan karena kembali ada perasaan mengganggunya bahwa dia pernah bertemu dengan gadis ini!

Wajah gadis ini tidak asing baginya! Akan tetapi biar pun dia payah mengingat-ingat, dia merasa belum pernah berkenalan dengan seorang gadis pengemis, apa lagi pemimpin pengemis!

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Tiba-tiba saja gadis itu menoleh dan memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat sebentar. Gadis itu cemberut. "Ada apa engkau memandangku seperti itu? Engkau berani mengandung pikiran kurang sopan? Kugampar mukamu nanti!"

Sin Liong menjadi gugup dan mukanya menjadi merah, seperti sudah dipukul saja. Dia cepat menundukkan mukanya dan tidak berani memandang. Terdengar gadis itu tertawa kecil.

"Hik-hik, aku hanya main-main. Mengapa kau begini pemalu? Ehhh, A-sin, sungguh tidak kusangka bahwa engkau ternyata bukan sembarang orang, melainkan seorang penting yang menyembunyikan diri dan menyamar sebagai pelayan! Hebat! Semuda ini engkau sudah dijadikan buruan pemerintah. Wah, engkau pasti orang penting yang menyamar. Siapakah sebenarnya engkau dan mengapa engkau dikejar-kejar prajurit kerajaan?"

Sin Liong tidak ingin diketahui sebabnya dia dikejar-kejar para prajurit. Dia dikejar prajurit karena hasutan Kim Hong Liu-nio bahwa dia adalah putera pemberontak Cia Bun Houw dan dia sama sekali tidak suka mengaku sebagai putera pendekar itu. Akan tetapi, para pengemis muda pembantu gadis itu pergi menyelidiki ke kota raja. Mereka itu tentu akan mendengar pula bahwa dia menjadi buronan karena dia putera pendekar Cia Bun Houw. Setelah berpikir sejenak dia menemukan akal.

"Ahhh, aku adalah orang biasa dan bekerja sebagai pelayan untuk mencari sesuap nasi. Akan tetapi sungguh sial, mungkin karena persamaan wajah, aku dituduh sebagai anak pemberontak dan dikejar-kejar. Kalau tidak ada engkau yang menolongku, tentu aku telah ditangkap dan dihukum mati."

Gadis itu bangkit berdiri menghadapi Sin Liong, kemudian dengan penuh selidik sepasang matanya yang jeli itu mengamati Sin Liong, dari rambut sampai ke kaki, kemudian dia cemberut, menggelengkan kepalanya.

"Tidak, engkau bukan seorang pelayan restoran biasa! Engkau tidak setolol seperti yang ingin kau perlihatkan. Aku lebih percaya kalau engkau benar-benar seorang penting yang menyamar pelayan dari pada seorang pelayan tulen dari dusun yang buta huruf dan tolol. Dan... wajahmu ini tidak asing bagiku! Benar, aku merasa pasti sudah pernah melihatmu. Hayo, kau mengaku sajalah!"

Sin Liong terkejut dan dia kembali memandang. Mereka berpandangan dan makin terasa oleh mereka bahwa mereka memang pernah saling berjumpa, dan betapa wajah itu tidak asing sama sekali. Sekarang, setelah tidak berada dalam keadaan tegang, mereka dapat memperhatikan wajah masing-masing. Akan tetapi tetap saja Sin Liong tidak ingat pernah berkenalan dengan seorang gadis pemimpin pengemis, sebaliknya gadis itu agaknya juga tidak ingat pernah bertemu dengan seorang pelayan atau buronan pemberontak.

"Nona, siapakah namamu?" akhirnya Sin Liong bertanya karena dia merasa yakin bila dia mengetahui nama gadis ini tentu dia akan teringat.

Kembali sinar mata gadis itu memperlihatkan perasaan tak senang sekaligus juga curiga. "Mau apa kau tanya-tanya nama orang?" bentaknya curiga, menduga bahwa pemuda ini, seperti pemuda-pemuda lain berwatak ceriwis.

Galak betul bocah ini, pikir Sin Liong. Akan tetapi karena gadis ini telah menolongnya, dia tetap bersikap sabar. "Terus terang saja, nona, aku pun merasa seperti pernah bertemu denganmu. Apa bila aku mengetahui namamu, mungkin saja aku akan teringat lagi dan kenal padamu."

"Hemm, engkau sudah mendengar bahwa namaku dikenal sebagai Kim-gan Yan-cu!" kata nona itu dan mendengar nama julukan ini, mau tidak mau Sin Liong memperhatikan mata gadis itu dan memang pantaslah kalau gadis itu dijuluki Kim-gan (Si Walet Emas) karena sepasang mata itu memang amat indahnya!

"Aku tidak mengenal julukan itu."

"Hemmm, kalau tidak mengenal sudah saja!" Gadis itu mendengus marah karena hatinya merasa tidak senang mendengar ada orang yang tidak mengenal nama besarnya..."

Ketika mendengus marah itu, dia menggerakkan kepalanya sehingga rambut yang dikucir menjadi dua itu berpindah ke depan pundak dan gerakan itu membuat lehernya tersibak. Nampak kulit tengkuk leher yang amat mulus, akan tetapi bukan kemulusan kulit itu yang membuat Sin Liong terbelalak, melainkan setitik tahi lalat di kulit tengkuk yang putih mulus itu. Tahi lalat itu!

Sekarang dia teringat dan matanya terbelalak memandang kepada gadis itu. Tahi lalat itu membuat sepasang mata yang tajam dan jeli, hidung kecil mancung dan mulut dengan sepasang bibir mungil itu menjadi sama sekali tidak asing lagi baginya.

"Bi Cu...!" suara ini hanya terdengar sebagai bisikan saja keluar dari mulut Sin Liong yang masih menatap wajah itu tanpa berkedip.

Kini gadis itu yang kelihatan kaget bukan main. Selama ini tidak ada seorang pun yang mengenal namanya, dan dia hanya memperkenalkan nama dengan julukannya itu.

"Ehhh, bagaimana kau bisa mengenal namaku? Kau... kau siapa...?!" bentaknya, heran, kaget dan curiga.

Mendengar ini, yakinlah hati Sin Liong dan tiba-tiba dia merasa terharu sekali. Ia teringat akan mala petaka yang menimpa keluarga Na yang amat baik kepadanya itu.

"Bi Cu, lupakah engkau kepadaku? Aku Sin Liong...!"

Sepasang mata itu terbelalak lebar, amat indahnya. "Sin Liong...? Ahh, tentu saja...! Akan tetapi siapa sangka engkau menjadi pelayan restoran bahkan seorang buronan pasukan pemerintah pula?" Gadis itu juga teringat akan masa lalu, maka menjadi terharu dan juga gembira sekali. "Sin Liong...!"

Mereka saling berpegang tangan, lalu keduanya berloncatan menari-nari dengan gembira laksana dua orang anak kecil bermain-main. Kegembiraan meluap di dalam hati mereka karena mereka berdua sama sekali tidak pernah menyangka akan dapat saling berjumpa sesudah mala petaka itu menimpa mereka di dalam rumah keluarga Na Ceng Han atau Na-piauwsu.

Akhirnya keduanya ingat bahwa mereka sudah bersikap seperti anak kecil. Dengan muka berubah merah Bi Cu melepaskan pegangan tangannya, lantas terengah-engah duduk di atas bangku batu tadi. Wajahnya berseri dan merah sekali, akan tetapi matanya basah air mata.

"Aihh... siapa kira aku dapat bertemu denganmu lagi, Sin Liong," katanya dan dia terhenti karena lehernya seperti tercekik oleh rasa haru.

Sin Liong tersenyum. Bukan main gembira rasa hatinya, Bi Cu yang dahulu seorang anak perempuan pendiam itu kini sudah menjadi seorang gadis remaja yang lincah, cantik dan cerdik. Teringat akan waktu lampau, dia tertawa dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah gadis itu.

"Dan siapa sangka akan dapat bertemu engkau yang kini sudah menjadi ratu pengemis? Engkau dahulu begitu pendiam dan pemalu dan sekarang..."

Kegembiraan Sin Liong menular kepada Bi Cu yang kini memang berwatak lincah itu. Dia membuat gerakan lucu dan bersungut-sungut, tangan kirinya terbentang. "Dan sekarang kau hendak mengatakan bahwa aku cerewet dan tak tahu malu?"

"Ihh, tentu saja tidak!" Sin Liong tersenyum. "Engkau kini menjadi seorang gadis cerdas, lincah dan berani, sungguh mengagumkan sekali, Bi Cu! Sungguh mati, mana mungkin aku bisa mengenalmu lagi?"

"Tapi toh engkau tadi mengenalku lebih dulu!"

"Atas bantuan tahi lalatmu."

"Eh?" Bi Cu meloncat bangun dan berdiri menghadapi Sin Liong, menatap wajah pemuda itu dengan tajam. "Tahi lalat?"

"Ya, tahi lalat di tengkukmu. Tadi tampak pada waktu engkau memindahkan kuncirmu ke depan. Engkau mempunyai sebuah tahi lalat kecil di tengkuk, apakah engkau tidak dapat melihatnya?"

"Hik-hik, tolol engkau. Apa kau kira aku sudah menjadi siluman yang mempunyai mata di belakang kepala? Mana bisa melihat tahi lalat di tengkuk sendiri!"

Sin Liong juga tertawa. "Akan tetapi, sejak dahulu engkau sudah mempunyai tahi lalat itu, apakah kau lupa betapa tahi lalatmu itu dijadikan bahan godaan oleh... Tiong Pek?"

"Ohhh...!" Mendengar disebutnya nama ini, berubah wajah Bi Cu dan dia duduk kembali di atas bangku, termenung!

Tanpa ragu-ragu Sin Liong juga duduk di atas bangku itu sesudah Bi Cu menggeser ke pinggir. Mereka duduk berdampingan, seperti dulu pada waktu mereka baru berusia dua belas tahun. Sin Liong maklum bahwa tentu gadis ini mengalami banyak sekali hal luar biasa, maka dia sampai menjadi seorang pemimpin kaum jembel di pasar kota raja itu.

"Bi Cu, bagaimana engkau dapat berada di sini dan menjadi pemimpin para pengemis muda itu? Bukankah dahulu engkau masih bersama Tiong Pek dan tinggal di Kun-ting?"

Bi Cu bertopang dagu, mukanya masih muram dan bibirnya cemberut, seolah-olah saat itu dia terkenang akan hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya, kemudian dia melirik ke arah muka Sin Liong dan bertanya, "Dan engkau sendiri, sesudah dulu dibawa pergi oleh wanita itu, bagaimana tahu-tahu dapat muncul di kota raja sebagai pelayan restoran yang kemudian dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah?"

Sin Liong tersenyum dan memandang kagum. "Ahh, engkau benar-benar sudah berubah banyak sekali, Bi Cu. Engkau dulu pemalu dan pendiam, kini engkau demikian lincah dan pandai berbicara. Belum menjawab pertanyaan orang, engkau sudah menyerang kembali dengan pertanyaanmu."

"Sudah sepatutnya dan selayaknya seorang pria mengalah terhadap wanita, bukan? Nah, kau ceritakan pengalamanmu."

"Seperti yang engkau ketahui, ketika keluarga paman Na diserbu penjahat dan engkau bersama aku dan Tiong Pek melawan para penjahat, muncul wanita iblis itu dan aku lalu dibawanya pergi..."

"Wanita iblis? Apakah kau maksudkan wanita cantik gagah perkasa yang sudah berhasil membunuh semua penjahat keji yang telah menewaskan suhu sekeluarganya itu? Kenapa kau menyebut wanita gagah itu iblis?"

"Engkau tidak tahu saja, Bi Cu. Memang dia, entah mengapa, telah membunuh penjahat-penjahat yang membasmi keluarga paman Na itu, dan memang agaknya ada kegagahan tersembunyi dalam dirinya, akan tetapi wanita itu adalah seorang manusia iblis yang amat kejam sekali. Namanya Kim Hong Liu-nio, ahh, engkau tidak tahu betapa kejamnya. Aku nyaris tewas disiksa olehnya, untung aku dapat... ehhh, membebaskan diri, ditolong oleh seorang kakek."

Sin Liong tak ingin menceritakan tentang kakek Cia Keng Hong yang sebenarnya adalah kakeknya sendiri itu, juga dia tak ingin menceritakan bahwa dia telah mempelajari banyak ilmu yang tinggi. Dia ingin dikenal oleh Bi Cu sebagai Sin Liong yang dahulu pada saat mereka bersama-sama belajar di bawah bimbingan Na-piauwsu yang baik hati.

"Nona... nona Kim-gan Yan-cu...!"

Sin Liong dan Bi Cu segera menengok dan mereka melihat dua orang pengemis muda yang tadi membantu, kini datang dengan muka pucat dan penuh keringat, napas mereka terengah-engah. Semua pengemis muda yang menjadi anak-anak buah Bi Cu memang diharuskan menyebut nona oleh gadis itu. Melihat keadaan dua orang pembantunya yang dia tahu tidak mudah ketakutan itu, Bi Cu maklum bahwa tentu terjadi hal-hal yang hebat.

"Hemm, A-sam dan A-khun, ada apakah?" tanyanya dengan alis berkerut sambil bangkit berdiri. Sin Liong sudah berdiri, memandang penuh perhatian.

A-khun memandang kepada Sin Liong dengan mata terbelalak, sedangkan A-sam setelah menoleh ke arah Sin Liong berkata, "Nona, kita sudah tertipu... dia... dia ini benar-benar orang yang menyamar..., kabarnya dia... dia ini seorang yang berkedudukan tinggi, masih saudara dengan seorang pangeran, akan tetapi juga kabarnya dia dicari-cari karena dia keluarga pemberontak... wah, benar-benar celaka, nona, sekarang ada pasukan kerajaan sedang menuju ke sini untuk menangkap dia, dan juga untuk menangkap nona sendiri...!"

"Biar mereka menangkap aku!" Sin Liong berkata penasaran. "Akan tetapi kenapa mereka hendak menangkap Kim-gan Yan-cu?"

"Ya, mengapa mereka bendak menangkap aku, A-sam?"

"Karena mereka sudah mengetahui bahwa nona telah menolong dia melarikan diri. Cepat, nona, itu sudah terdengar bunyi derap kuda mereka!"

Benar saja dari jauh terdengar derap kaki kuda memasuki hutan. Sin Liong tidak merasa gentar, akan tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, sementara itu, A-sam serta A-khun sudah menyelinap dan melarikan diri di antara semak-semak belukar.

"Bi Cu, cepat mari ikut aku pergi!"

Dia lalu menggandeng tangan gadis itu dan mengajak lari. Bi Cu yang biasanya menjadi pemimpin, sekarang menurut saja karena dia masih terlampau kaget dan bingung. Dikejar pasukan pemerintah bukan merupakan hal yang remeh, pikirnya.

"Ke mana kita akan pergi, Sin Liong?"

Mereka sudah tiba di luar hutan bagian belakang atau bagian selatan dan derap kaki kuda kini tidak terdengar lagi. Agaknya pasukan yang mengejar mereka itu sedang mencari-cari dan berkeliaran di dalam hutan karena memang hutan belukar itu tidak memungkinkan mereka melarikan kuda cepat-cepat tanpa mengetahui pasti ke arah mana mereka harus mengejar.

"Bi Cu, aku menyesal sekali bahwa engkau terseret oleh kesialanku. Akan tetapi, aku sudah mempunyai tempat yang baik sekali untuk melarikan diri. Mari kau ikut bersamaku ke dalam dusun di mana tinggal keluarga Kui...!"

"Siapa itu keluarga Kui?" Bi Cu bertanya sambil terus melangkah mengikuti Sin Liong. Mereka tidak lari lagi, hanya berjalan cepat menyusup-nyusup di antara batu-batu besar, pohon-pohon dan semak-semak.

"Sin Liong, engkau ini aneh sekali. Benarkah engkau menjadi saudara seorang pangeran? Dan benarkah engkau keluarga pemberontak?" Di tengah perjalanan itu Bi Cu bertanya, suaranya penuh keheranan.

Sin Liong mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu Gu-taijin yang mengabar-ngabarkan keadaan dirinya sebagai saudara Pangeran Ceng Han Houw, dan tentu Kim Hong Liu-nio yang mengabarkan bahwa dia adalah putera pemberontak Cia Bun Houw! Dia tetap tidak ingin bercerita mengenai Cia Bun Houw kepada siapa pun juga, apa lagi kepada Bi Cu, hanya kenyataan tentang hubungannya dengan Han Houw tentu tidak mungkin lagi untuk dirahasiakannya.

"Baik, kuceritakan semuanya kepadamu, Bi Cu. Pertama-tama tentang keluarga Kui yang akan kita datangi dan dimana kita akan berlindung dan bersembunyi. Dia... Kui Hok Boan itu adalah ayah tiriku..."

"Ahhhh...!" Bi Cu menoleh dan memandang wajah Sin Liong dengan tertarik. Selama Sin Liong berada dan tinggal di rumah gurunya atau paman Na Ceng Han, belum pernah anak ini menceritakan keadaan keluarganya yang dirahasiakan. "Dan ibumu masih ada...?"

Sin Liong menggeleng kepala. "Ibu telah meninggal dunia. Beberapa hari yang lalu aku melihat keluarga Kui di kota raja, bahkan melihat mereka berbelanja di pasar kemudian melihat betapa engkau dan kawan-kawanmu mengganggu mereka dan mencopet barang-barang mereka..."

"Ahh, kau maksudkan... pemuda gendut itu?"

"Dia itu keponakan dari Kiu Hok Boan. Dua orang gadis..."

"Dua gadis kembar yang cantik manis itu?"

"Ya, mereka adalah saudara-saudara tiriku."

Bi Cu mengangguk-angguk, kemudian dia kelihatan meragu. "Kalau si gendut dan yang lain-lainnya itu mengenali aku, tentu mereka curiga dan mana bisa aku tinggal di tempat orang yang pernah kuganggu?"

"Tidak, Bi Cu. Mereka tidak mungkin mengenalmu. Pula, ada hal lain yang sangat perlu bagimu. Kui Hok Boan pernah tinggal lama di utara, dan mungkin dia pernah mendengar tentang ayahmu yang tinggal di utara."

"Ahh...! Bagus sekali kalau begitu, Sin Liong. Sekarang ceritakan tentang pangeran itu."

Dengan hati-hati Sin Liong menceritakan tentang Ceng Han Houw, betapa dia bertemu dengan pangeran ini kemudian sang pangeran suka kepadanya sehingga mengangkatnya sebagai saudara. Akan tetapi dia tetap tidak menuturkan tentang kepandaiannya, bahkan tidak menyinggung mengenai kelihaian Ceng Han Houw. Meski pun demikian, Bi Cu tidak mendesak lebih lanjut karena dara ini sudah merasa terlalu heran mendengar betapa Sin Liong menjadi saudara angkat seorang pangeran!

"Sungguh hebat pengalamanmu, Sin Liong. Akan tetapi engkau yang menjadi saudara angkat pangeran, mengapa lalu tinggal di restoran sebagai pelayan?"

"Aku tidak suka akan cara hidup mewah pangeran itu, disanjung-sanjung dan dihormati orang, dijilat-jilat secara berlebihan. Aku lebih suka menjadi orang biasa, bebas berbuat apa pun tanpa diperhatikan orang."

"Lalu apa sebabnya engkau yang menjadi saudara angkat pangeran dituduh pemberontak dan dikejar-kejar pasukan? Bukankah engkau dapat mengatakan bahwa engkau adalah saudara angkat pangeran dan pasukan itu tidak akan berani mengganggumu?"

Sin Liong menarik napas panjang. Bi Cu terlampau cerdik untuk menerima ceritanya yang tidak lengkap itu. Kalau dia tidak hati-hati, dia tentu akan terpaksa membuka rahasianya bahwa dia adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi. Akan tetapi, dia pun amat cerdik dan langsung dia mengambil keputusan untuk membuka sedikit rahasia pribadinya untuk tetap menutupi rahasia lain.

"Ahh, semua itu adalah gara-gara wanita iblis itu, Bi Cu."

"Ehh? Kau maksudkan... wanita cantik yang berjuluk Kim Hong Liu-nio itu?"

"Benar."

"Oya, kau pernah diculiknya dan kau bilang nyaris tewas disiksanya, tentu ada apa-apa antara dia dan engkau."

"Memang benar, dan karena itu pula aku berada di kota raja, menyamar sebagai pelayan rumah makan. Aku memang sedang menyelidikinya. Siapa kira dia telah melihat aku lebih dulu dan mengabarkan bahwa aku adalah pemberontak maka aku dikejar-kejar pasukan."

"Mau apa engkau menyelidiki wanita itu?"

"Karena dia musuh besarku. Dialah yang telah membunuh ibu kandungku."

"Ahh...!" Bi Cu sampai menghentikan langkahnya saking kagetnya.

Sebelum mendengar hal ini, dia selalu mengenangkan wanita yang telah membunuh para penyerbu dan para pembunuh keluarga Na itu dengan hati penuh kagum dan dia selalu menganggap wanita itu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan budiman, biar pun dia tidak mengerti mengapa pendekar wanita itu melarikan Sin Liong. Sekarang, dia mendengar bahwa wanita itu dianggap iblis oleh Sin Liong dan ternyata wanita itulah yang telah membunuh ibu kandung Sin Liong! Pemuda itu terpaksa berhenti pula. Sampai lama mereka hanya saling pandang.

"Dan ayah kandungmu, Sin Liong?"

Pemuda itu menggelengkan kepala. "Sudah mati!"

"Kasihan engkau, sudah yatim piatu."

"Sama dengan engkau, Bi Cu."

"Dan engkau menyelidiki wanita itu untuk apa?"

"Untuk apa? Apa bila kelak engkau mengetahui siapa pembunuh ayahmu, apa yang akan kau lakukan, Bi Cu?"

"Membunuhnya!"

"Demikian juga aku."

"Tapi, wanita itu demikian lihainya! Apa kau mampu menandinginya?"

"Demi membalas kematian ibuku, akan kucoba."

"Tapi... apakah engkau selama ini mempelajari ilmu-ilmu silat?"

"Hanya dari Na-piauwsu."

"Ahhh, dengan kepandaianmu seperti itu, mana engkau sanggup menandingi wanita itu? Akan tetapi, biar aku membantumu, Sin Liong!"

"Terima kasih, agaknya engkau sekarang telah memiliki kepandaian tinggi, Bi Cu."

"Cukup lumayan, walau pun aku juga tidak berani memastikan apakah aku akan mampu menandingi Kim Hong Liu-nio yang kelihatannya sangat lihai itu. Kini dengarlah ceritaku tentang pengalaman semenjak kita saling berpisah, Sin Liong."

Dengan sikapnya yang polos, gerak-gerik yang lincah dan sangat menarik bagi Sin Liong, gerak bibir yang manis dan gerak mata yang menunjukkan kecerdikan, dara remaja itu lalu menceritakan semua pengalamannya selama kurang lebih lima tahun ini.

               ***************

 Seperti telah kita ketahui, kurang lebih lima tahun yang lalu keluarga Na Ceng Han di kota Kun-ting telah diserbu oleh para musuhnya yaitu piauwsu dari Gin-to Piauwkiok bernama Ciok Khun yang dibantu oleh Lu Seng Ok, tokoh Hwa-i Kaipang yang murtad dan sudah diusir dari perkumpulan itu, dibantu oleh lima orang anak buah Ciok Khun.

Penyerbuan hebat ini mengakibatkan matinya Na Ceng Han dan isterinya serta beberapa orang anggota Ui-eng Piauwkiok yang dipimpin oleh Na-piauwsu itu. Malah putera tunggal Na-piauwsu, Na Tiong Pek, bersama Bhe Bi Cu dan Sin Liong nyaris tewas pula oleh para penyerbu itu.

Akan tetapi muncul Kim Hong Liu-nio yang timbul watak gagahnya saat melihat tiga orang anak-anak bertanding mati-matian melawan para penyerbu itu sehingga wanita sakti ini turun tangan membunuh Ciok Khun dan enam orang pembantunya, kemudian Kim Hong Liu-nio mengenal Sin Liong dan menculiknya lalu membawanya pergi.

Gegerlah kota Kun-ting dengan terjadinya peristiwa ini. Tiong Pek dan Bi Cu hanya dapat menangisi jenazah Na-piauwsu dan isterinya, lalu muncul para anggota Ui-eng Piauwkiok yang kemudian mengurus mayat-mayat itu. Ui-eng Piauwkiok berkabung dan untung bagi Tiong Pek dan Bi Cu bahwa para anggota piauwkiok itu cukup setia dan telah mengurus kedua jenazah itu sebaiknya sampai selesai dimakamkan.

Bahkan setelah selesai acara pemakaman itu, para tokoh Ui-eng Piauwkiok yang menjadi pembantu-pembantu utama dari mendiang Na Ceng Han segera mengadakan rapat dan kemudian diambil keputusan untuk melanjutkan Ui-eng Piauwkiok yang telah terkenal dan dipercaya oleh para pedagang. Sebagai pengganti Na Ceng Han diangkat Na Tiong Pek.

Akan tetapi karena anak itu baru berusia tiga belas tahun, dan ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat diandalkan menjadi piauwkiok, maka pengangkatan pemimpin ini hanya untuk mempertahankan nama Na-piauwsu saja dan rumah keluarga Na itu tetap dipakai sebagai pusat, namun yang memimpin adalah para pembantu-pembantu utama mendiang Na-piauwsu itulah. Mereka bahkan melanjutkan pelajaran Na Tiong Pek dan melatih ilmu silat kepada pemuda remaja ini.

Bi Cu tetap tinggal di rumah Tiong Pek. Akan tetapi gadis cilik ini merasa kesepian dan kehilangan sekali, dan merasa tak senang lagi tinggal di rumah besar itu. Apa lagi ketika nampak gejala-gejala betapa Tiong Pek makin tergila-gila padanya. Sudah beberapa kali pemuda ini menyatakan bahwa mereka adalah calon suami isteri!

Pada suatu senja, pada saat mereka berdua duduk di dalam taman bunga yang sedang indah-indahnya karena semua bunga sedang mekar di tengah-tengah musim bunga itu, kembali Tiong Pek menyatakan persoalan itu.

"Sumoi, mari duduk dekat denganku di sini." Dia menepuk papan bangku di sebelahnya.

Bi Cu mengerutkan alisnya dan menjawab, "Di sini pun sama saja, suheng." Dia sendiri duduk di atas bangku batu kecil tak jauh dari tempat duduk Tiong Pek.

"Ke sinilah, sumoi, aku mau bicara penting sekali."

"Di sini pun aku sudah dapat mendengarmu, suheng. Mau bicara apakah?" Diam-diam dara kecil ini merasa khawatir karena selama satu tahun sejak tewasnya Na-piauwsu dan isterinya, sering kali dia harus menolak bila Tiong Pek ingin memperlihatkan perasaannya dengan menyentuhnya atau memegang lengannya atau mengeluarkan kata-kata manis merayu!

"Sumoi, mengapa engkau selalu bersikap dingin dan malu-malu terhadap aku? Bukankah kita ini sudah menjadi calon suami isteri? Kita tinggal menanti beberapa tahun lagi sampai kita cukup dewasa dan kita akan menikah, menjadi suami isteri."

Bi Cu telah bosan mendengar pernyataan-pernyataan seperti itu. "Suheng, engkau selalu membicarakan tentang itu. Sudah kukatakan bahwa aku masih terlalu kecil untuk bicara soal pernikahan, usiaku baru dua belas tahun!"

"Akan tetapi kita telah saling bertunangan!"

"Sejak kapankah kita bertunangan?"

"Eh, semua orang tahu belaka bahwa ayah dan ibuku menghendaki begitu. Semua paman di Ui-eng Piauwkiok juga sudah mendengar sendiri pernyataan mendiang ayahku kepada mereka, yaitu bahwa engkau telah dipilihnya untuk menjadi jodohku."

Bi Cu yang biasanya pendiam itu menjadi khawatir dan bingung. Dia tahu bahwa dia telah berhutang budi kepada keluarga Na, semenjak kecil dia sudah hidup di dalam lingkungan keluarga itu, diperlakukan dengan baik sekali, seperti anggota sendiri. Mendiang ayah dan ibu Tiong Pek sangat baik kepadanya, bahkan dia harus mengakui pula bahwa Tiong Pek sendiri selalu bersikap manis dan baik kepadanya.

Agaknya, pengangkatan dirinya sebagai calon isteri Tiong Pek merupakan hal yang wajar, bahkan sudah semestinya, dan tentu akan disetujui oleh semua tokoh Ui-eng Piauwkiok dan mereka tentu menganggap bahwa nasibnya amat baik! Akan tetapi, dia sendiri tidak merasa suka! Bukan dia tidak suka kepada Tiong Pek yang sangat baik kepadanya, akan tetapi dia sama sekali belum memikirkan soal pernikahan! Apa lagi kalau dia teringat pada ayah kandungnya yang kabarnya dibunuh orang tanpa dia ketahui siapa pembunuhnya!

"Akan tetapi, suheng, hal itu belum resmi, jadi tidak semestinya kalau kau mengatakan bahwa kita telah bertunangan."

Sikap dari Bi Cu ini mengecewakan hati Tiong Pek. Pemuda ini memang semenjak masa kanak-kanak sudah merasa suka sekali kepada Bi Cu dan menjelang dewasa dia makin mencinta sumoi-nya ini. Melihat sikap Bi Cu, dia merasa kecewa dan juga khawatir, maka pada keesokan harinya dia lalu minta bantuan paman-pamannya.

"Seperti para paman sekalian tentu mengetahui, mendiang ayah dan ibu telah mengambil keputusan untuk menjodohkan aku dengan Bi Cu, dan karena mereka berdua meninggal dunia tanpa sempat meninggalkan pesan, maka keinginan hati mereka itu bagiku adalah pesan dan wasiat terakhir. Dan mengingat bahwa kami berdua sudah semakin besar dan menjelang dewasa, maka aku minta kepada paman agar suka mengatur sembahyangan dan meresmikan pertunangan kami di depan arwah ayah ibu agar mereka dapat tenang di alam baka."

Para tokoh Ui-eng Piauwkiok itu terdiri dari lima orang dan dipimpin oleh pembantu utama mendiang Na-piauwsu yang bernama Louw Kiat Hui, seorang laki-laki tinggi besar yang berwatak jujur dan bermata lebar. Louw Kiat Hui memang masih terhitung sute sendiri dari mendiang Na Ceng Han, yaitu ketika mereka berdua berguru kepada seorang guru silat kenamaan di daerah selatan. Jadi orang she Louw ini masih terhitung susiok dari Tiong Pek. Mendengar kata-kata keponakannya ini, Louw Kiat Hui mengangguk-angguk dengan hati girang.

"Memang kami semua juga sudah mengetahui akan hal itu, Tiong Pek. Dan jika demikian permintaanmu, memang sebaiknya pertunangan itu cepat-cepat diresmikan dan dilakukan sembahyang besar-besaran dengan mengundang tamu-tamu sebagai saksi."

"Terserah kepada Louw-susiok untuk mengaturnya," jawab Tiong Pek dengan girang.

Louw Kiat Hui adalah seorang gagah yang jujur dan berpemandangan luas. "Perjodohan adalah pertalian hidup antara dua orang manusia," katanya dengan wajah serius, "oleh karena itu, yang pertama kali tersangkut dan mempunyai kepentingan adalah dua orang yang akan mengikatkan diri di dalam pertalian perjodohan itulah. Oleh karena itu, sebelum kita mengambil langkah-langkah selanjutnya, sudah selayaknya bila kita mendengar dulu pendapat yang bersangkutan, yaitu Bi Cu."

Bi Cu segera dipanggil dan gadis kecil itu menghadap dengan hati menduga-duga, karena dia melihat lima orang penting dari Ui-eng Piauwkiok itu memandang kepadanya dengan wajah berseri dan bibir tersenyum, sedangkan Tiong Pek sudah lebih dulu berada di situ.

"Ada apakah Louw-susiok memanggilku?" tanyanya.

Bi Cu, seperti juga Tiong Pek, kini dipimpin oleh Louw Kiat Hui dalam pelajaran ilmu silat dan dia pun menyebut susiok kepada tokoh yang kini menggantikan kedudukan mendiang Na-piauwsu memimpin perusahaan itu.

"Duduklah, Bi Cu. Kita akan mengajakmu bicara tentang perjodohanmu dengan Tiong Pek seperti telah berkali-kali dinyatakan oleh mendiang Na-suheng dan isterinya."

Bi Cu mengerling kepada Tiong Pek dan dia dapat menduga bahwa hal ini tentu sengaja telah diatur oleh suheng-nya itu dalam usahanya untuk meresmikan pertunangan mereka. Jantungnya berdebar kencang dan mukanya menjadi merah, hatinya terasa panas dan timbul semacam perlawanan, alisnya berkerut.

"Apakah yang susiok maksudkan? Aku tidak mengerti," jawabnya lirih sambil menunduk.

Kelima orang pimpinan Ui-eng Piauwkiok itu tersenyum dan saling pandang. Menggelikan dan juga mengharukan melihat seorang dara remaja menundukkan muka kemalu-maluan kalau diajak bicara tentang perjodohan!

"Begini, Bi Cu. Semenjak engkau dan Tiong Pek masih kecil, mendiang Na-suheng serta isterinya sudah sering kali menyatakan bahwa kalian berdua akan saling dijodohkan, akan tetapi sayang, sebelum niat itu dilaksanakan, mereka sudah lebih dulu meninggalkan kita. Sekarang, karena kalian berdua sudah menjelang dewasa, kami merasa sudah menjadi kewajiban kami untuk melaksanakan cita-cita mereka berdua itu, dan agar arwah mereka tenang di alam baka, maka kami bermaksud hendak mengadakan sembahyangan untuk meresmikan pertunanganmu dengan Tiong Pek, dengan disaksikan oleh sahabat-sahabat dan para undangan. Maka sebelum itu, kami sengaja memanggilmu untuk memberi tahu dan mendengar bagaimana pendapatmu tentang maksud kami itu, Bi Cu."

Gadis kecil itu masih menundukkan mukanya dan semua orang memandang kepadanya, menyangka bahwa seperti kebiasaan para gadis pada umumnya yang ditanya tentang pernikahan, dia tentu akan menjawab "terserah kepada susiok", atau hanya mengangguk tanpa kata, atau juga lari memasuki kamarnya. Semua itu akan menjadi tanda bahwa Bi Cu sudah setuju!

Akan tetapi, terkejut dan heranlah semua orang di situ pada saat mereka melihat Bi Cu menggeleng kepalanya, mengangkat mukanya yang merah dan menjawab dengan suara gemetar, "Tidak, susiok, aku masih terlampau kecil untuk bicara tentang perjodohan. Aku belum memikirkan perjodohan dan tidak mau bicara tentang itu." Dia lalu menundukkan mukanya kembali.

Louw Kiat Hui saling pandang dengan teman-temannya, lantas mengerling kepada Tiong Pek yang hanya duduk diam sambil menundukkan mukanya pula. Kemudian orang tinggi besar ini memandang kepada Bi Cu yang menunduk itu dan berkata, suaranya lantang dan mendesak.

"Bi Cu, mengapa engkau menolak? Apakah engkau tidak setuju dijodohkan dengan Tiong Pek? Apakah engkau hendak menentang pesan terakhir dari Na-suheng dan isterinya?"

Di dalam hatinya, Louw Kiat Hui merasa penasaran karena dia tahu benar betapa gadis ini telah menerima budi berlimpah-limpah dari keluarga Na, dan bahwa Tiong Pek adalah seorang pemuda cukup tampan, gagah dan berharta sehingga tidak pantaslah jika gadis ini menolaknya.....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 28



GADIS yang baru berusia dua belas tahun itu mengangkat mukanya dan kini nampak mukanya agak pucat dan kedua matanya basah. Akan tetapi suaranya cukup tegas ketika terdengar dia berkata, "Susiok sekalian agaknya hanya mengingat keluarga sepihak saja, mengingat akan pesan dari suhu, yaitu ayah dari suheng. Agaknya sama sekali susiok sekalian tidak pernah mau mengingat keluargaku, tak mengingat orang tuaku sendiri sehingga aku diharuskan untuk memutuskan sendiri tentang perjodohanku."

Louw Kiat Hui terkejut sekali. Kembali dia saling berpandangan dengan teman-temannya, kemudian dia berkata dengan suara lembut, "Ahh, Bi Cu, janganlah engkau beranggapan seperti itu. Andai kata kami tahu bahwa engkau masih mempunyai orang tua, sudah tentu kami tidak akan berani lancang dan tentu kami akan minta pendapat orang tuamu. Akan tetapi, kita semua tahu bahwa ibumu telah tiada, sedangkan ayahmu..."

"Ayah dibunuh orang dan hingga sekarang aku belum tahu di mana kuburnya! Pantaskah aku sebagai anak tunggalnya kini memutuskan sendiri perjodohanku tanpa mempedulikan keadaan ayah? Tidak, susiok, sebelum aku tahu siapa pembunuh ayah, dan sebelum aku dapat bersembahyang di depan makam ayah kandungku, maka tidak mungkin aku bisa memutuskan tentang ikatan jodoh ini." Setelah berkata demikian, sambil menangis Bi Cu bangkit berdiri kemudian berlari memasuki kamarnya di mana dia langsung membanting dirinya menelungkup dan menangis di atas pembaringan.

"Sudahlah, susiok. Bi Cu memang benar, dan kita kurang memperhatikan hal itu. Biarlah pertunangan resmi diundurkan dulu, bagaimana pun juga kami toh sudah dapat dibilang bertunangan, biar pun belum resmi. Dan sebaiknya kalau susiok sekalian mencoba untuk menyelidiki tentang kematian ayah kandung sumoi di utara," kata Tiong Pek yang merasa terharu juga melihat sikap Bi Cu yang dicintanya.

Akan tetapi, para piauwsu yang sibuk dengan pekerjaan itu, mana memiliki kesempatan untuk dapat menyelidiki tentang kematian ayah Bi Cu jauh di utara, di luar tembok besar? Memang mereka ini sekali-kali pernah juga mengawal barang atau orang sampai keluar tembok besar, akan tetapi tidak sejauh tempat yang pernah menjadi tempat tinggal Bhe Coan, ayah kandung dari Bhe Bi Cu itu. Dan kalau mendiang Na-piauwsu sendiri pernah menyelidiki ke sana dan tidak berhasil mengetahui siapa pembunuh Bhe Coan, apa pula yang bisa mereka lakukan?

Sesudah terjadi peristiwa itu, Bi Cu merasa semakin gelisah dan tidak kerasan berada di rumah Tiong Pek. Dia merasa betapa dia sudah berhutang budi terhadap keluarga Na, betapa pemuda itu memang sangat baik kepadanya. Inilah yang menyebabkan dia makin gelisah. Tiong Pek amat baik kepadanya dan dia tidak ingin menghancurkan hati pemuda itu, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat membalas cinta Tiong Pek.

Setiap hari Bi Cu termenung duka, apa lagi setelah lewat berbulan-bulan, belum juga ada berita tentang hasil usaha Louw Kiat Hui beserta para paman lainnya yang mencari atau menyelidiki tentang pembunuh ayahnya. Sementara itu, sikap Tiong Pek makin hari makin mendesak dan semakin mesra, pandangan mata pemuda itu seperti hendak menembus hatinya dan senyum yang merayu itu mendatangkan rasa iba dalam hatinya.

Akhirnya Bi Cu tidak kuat menahan lagi dan pada suatu malam, dengan bekal beberapa potong pakaian, maka larilah dia meninggalkan rumah Tiong Pek untuk pergi ke utara dan melakukan penyelidikan sendiri!

Pada keesokan harinya, Tiong Pek bersama para tokoh Ui-eng Piauwkiok menjadi geger melihat kepergian Bi Cu yang tak meninggalkan pesan apa pun. Mereka menjadi bingung dan segera melakukan pengejaran ke utara karena mereka dapat menduga bahwa tentu dara cilik itu nekat pergi ke utara untuk menyelidiki tentang pembunuh ayah kandungnya.

Dugaan semua tokoh Ui-eng Piauwkiok itu ternyata tepat. Setelah melakukan pengejaran selama sehari penuh, akhirnya pada malam harinya Louw Kiat Hui beserta empat orang temannya, juga bersama Tiong Pek sendiri, telah dapat menyusul Bi Cu yang beristirahat di rumah seorang petani di dusun sebelah selatan kota raja. Mudah saja mencari jejak seorang gadis kecil yang melakukan perjalanan seorang diri pada waktu itu. Bi Cu terkejut dan menangis ketika lima orang pamannya itu bersama Tiong Pek muncul.

"Marilah kita pulang ke Kun-ting, Bi Cu," Louw Kiat Hui berkata dengan sikap halus tanpa banyak kata-kata teguran.

"Tidak, aku tidak mau...!" Bi Cu menangis. "Aku hendak pergi mencari pembunuh ayah. Tinggalkan aku sendiri!"

Tiong Pek menghampiri Bi Cu kemudian memegangi tangannya. "Sumoi, kenapa engkau hendak meninggalkan aku? Apakah kesalahanku kepadamu?"

"Tidak, suheng, engkau tak bersalah, kalian semua tidak bersalah. Akulah yang bersalah, akan tetapi... biarkan aku pergi, biarkan aku mencari sendiri pembunuh ayahku, jangan memaksa aku kembali ke Kun-ting."

Louw Kiat Hui memandang gadis yang menangis terisak-isak itu. "Bi Cu, engkau harus ikut kami kembali ke Kun-ting dan marilah di sana kita bicara."

Mendengar ucapan Louw Kiat Hui agak mendesak karena orang tinggi besar ini memang sudah tidak sabar lagi melihat Bi Cu menangis dan memang diam-diam dia pun merasa amat penasaran dan marah melihat gadis kecil itu nekat melarikan diri tanpa pamit, Bi Cu mengangkat mukanya memandang.

"Louw-susiok, mengapa susiok hendak memaksa aku kembali ke sana? Aku tidak mau kembali! Apakah susiok demikian jahat...?"

Louw Kiat Hui memandang tajam kepada murid keponakan itu. "Bi Cu!" Sekarang suaranya terdengar tegas dan menunjukkan kemarahan, "Omongan apa yang kau keluarkan ini? Kalau kami membiarkan engkau pergi, melakukan perjalanan berbahaya seorang diri sehingga akhirnya engkau mendapat celaka, maka barulah kami benar-benar jahat! Sebaliknya, kalau engkau memaksa hendak pergi minggat begitu saja meninggalkan rumah di mana engkau dibesarkan dan dirawat penuh kasih sayang, maka engkau adalah seorang anak yang tak mengenal budi dan jahat!"

Bi Cu adalah seorang anak yang wataknya pendiam dan keras. Mendengar ucapan itu dia lalu membantah, "Dan kalau aku akan dipaksa menikah hanya untuk membalas budi, apa itu namanya, paman?"

Sejenak Louw Kiat Hui terperanjat, akan tetapi dia lalu berkata, kembali suaranya halus, "Sudahlah. Mari kita semua pulang dulu ke Kun-ting dan segala sesuatu bisa dibicarakan dengan tenang di sana."

Louw Kiat Hui lalu mengeluarkan uang dan membayar secukupnya kepada pemilik rumah dusun itu yang telah mau menampung Bi Cu, kemudian dengan memaksa dia mengajak Bi Cu untuk kembali ke Kun-ting malam itu juga! Tindakan Louw Kiat Hui ini dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa dia telah melakukan hal yang benar.

Dia harus melindungi keselamatan Bi Cu, kalau perlu dengan paksaan. Dia tahu bahwa kalau dia membiarkan Bi Cu melanjutkan perjalanan seorang diri, sudah pasti gadis kecil ini akan mengalami mala petaka di tengah jalan. Ilmu silat yang dikuasai gadis itu masih terlampau rendah untuk dapat dipakai menjaga diri.

Karena lelah, maka akhirnya di tengah perjalanan mereka bermalam di sebuah kuil. Kuil itu adalah kuil milik seorang tosu yang merawat kuil bersama beberapa orang muridnya. Dengan ramah tosu-tosu itu menerima kedatangan Louw Kiat Hui yang terkenal sebagai seorang piauwsu yang budiman, dan mereka semua mendapatkan kamar.

Untuk mencegah gadis itu nekat melarikan diri lagi, maka Louw Kiat Hui sendiri bersama empat orang pembantunya menjaga di luar, tidur bergiliran, sedangkan Tiong Pek yang kelelahan sudah lebih dulu tidur di atas sebuah pembaringan di kamar sebelah.

Malam itu sunyi sekali. Semua penghuni dusun di mana kuil itu berdiri sudah tidur karena waktu itu menjelang tengah malam. Para tosu dan sebagian dari para piauwsu juga sudah tidur nyenyak. Hanya Louw Kiat Hui sendiri bersama seorang piauwsu lain yang bergilir melakukan penjagaan masih duduk di depan kamar Bi Cu. Di sebelah dalam kamar itu, Bi Cu sendiri juga tidak dapat tidur, masih menangis perlahan karena merasa tidak berdaya. Dia diharuskan kembali lagi ke rumah itu!

Tiba-tiba kesunyian malam itu terganggu oleh suara batuk-batuk kecil, kemudian disusul menyambarnya sebuah batu kecil yang dengan tepat mengenai lampu yang tergantung di luar kamar Bi Cu. Tentu saja tempat itu seketika menjadi gelap dan Louw Kiat Hui cepat meloncat berdiri, diikuti oleh piauwsu lainnya.

"Siapa di situ?" bentak Louw Kiat Hui yang sudah mencabut pedangnya, lalu dia meloncat ke arah suara batuk tadi.

Akan tetapi pada saat itu dia merasa ada angin menyambar dan ada orang berkelebat di dekatnya. Nampak bayangan remang-remang karena cuaca yang gelap dan yang hanya mendapat penerangan dari lampu yang tergantung agak jauh dari situ. Akan tetapi dapat dibayangkan alangkah kaget hati orang she Louw ini ketika melihat betapa bayangan itu telah mendorong daun pintu dan memasuki kamar Bi Cu!

"Heiii... tahan...!" Dia meloncat ke kamar, akan tetapi cepat menghindar ketika dari dalam kamar itu meloncat bayangan tadi, kini sudah mengempit tubuh Bi Cu!

"Lepaskan dia!" bentak piauwsu yang lain sambil menubruk dengan goloknya.

"Plakk! Tranggg...!" Piauwsu itu roboh dan goloknya terlempar.

"Berhenti! Siapa engkau berani menculik orang?!" teriak Louw Kiat Hui sambil mengejar.

Bayangan itu membalik dan Louw Kiat Hui yang tidak dapat melihat jelas muka orang itu karena cuaca yang terlampau gelap, sudah mendorong dengan tangan kirinya. Dia tidak berani lancang mempergunakan pedangnya. Akan tetapi bayangan itu tidak mengelak, melainkan menangkis dorongan itu dengan satu gerakan sembarangan.

"Plakkk!"

"Ahhhh...!" Louw Kiat Hui terhuyung dan merasa betapa tangkisan itu membuat lengan kirinya seperti lumpuh rasanya. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan tangguh, maka dia sudah menubruk lagi dengan pedangnya, membabatkan pedang ke arah kedua kaki lawan, dilanjutkan dengan tusukan ke arah lambung.

Akan tetapi dengan lincah dan mudahnya bayangan itu mengelak terus hingga lima jurus. Kemudian dia membentak dan sebatang tongkat menangkis pedang itu sedemikian kuat hingga pedang terlepas dari tangan Kiat Hui dan sebelum piauwsu ini mampu mengelak, dia sudah roboh tertotok.

Para piauwsu lainnya terbangun akibat suara gaduh. Akan tetapi selagi mereka hendak mengeroyok, bayangan itu sudah meloncat ke atas dan lenyap ditelan kegelapan malam sambil membawa pergi tubuh Bi Cu!

Gegerlah para piauwsu. Setelah Louw Kiat Hui dibebaskan totokannya, dia bersama para piauwsu lainnya mengejar dan mencari-cari, tapi mereka tidak berhasil menemukan jejak bayangan tadi. Mereka menanyakan kepada para tosu, namun para tosu yang lemah itu pun tidak dapat memberi keterangan.

Louw Kiat Hui dengan teman-temannya lalu mencari terus, sampai beberapa hari mereka mencari di sekitar tempat itu, akan tetapi jangankan menemukan jejak orang itu, bahkan keterangan tentang orang itu pun tak bisa mereka dapatkan. Mereka tidak tahu siapakah bayangan yang sedemikian lihainya, bayangan yang mempergunakan tongkat!

Louw Kiat Hui menghibur Tiong Pek yang merasa berduka dan khawatir sekali. Mereka terpaksa lalu kembali ke Kun-ting dengan tangan kosong dan meski pun para piauwsu itu masih selalu mencari-cari, namun mereka tidak pernah berhasil dan Bi Cu tetap lenyap tanpa meninggalkan jejak.

Siapakah yang menculik Bi Cu? Mari kita ikuti pengalaman dara cilik ini semenjak malam dia lenyap dari kuil itu. Pada saat itu, Bi Cu masih menangis perlahan ketika tiba-tiba dia mendengar suara gaduh lantas pintu kamarnya jebol. Dia hanya melihat bayangan orang menyerbu masuk dan sebelum dia tahu apa yang sudah terjadi, bayangan orang itu telah meloncat ke depan pembaringannya dan berkata,

"Mari kau ikut bersamaku melarikan diri dari mereka, anak yang baik."

Bayangan itu lalu menyambar tubuhnya dan Bi Cu tak mampu bergerak lagi. Dia merasa bingung harus berbuat apa, menyerah atau melawan. Apa bila menyerah, dia belum tahu siapa adanya orang ini, kalau melawan, dia merasa tertarik oleh kata-kata yang sifatnya hendak menolongnya membebaskan diri dari Tiong Pek dan para piauwsu itu. Lebih lagi ketika orang yang membawanya itu kemudian bertanding, dia merasa makin bingung dan khawatir.

Namun ketika dia dibawa pergi dengan berloncatan demikian cepatnya ke atas genteng, maka tahulah Bi Cu bahwa pembawanya adalah seorang yang berilmu tinggi. Apa lagi kini dia sempat melihat orang itu, seorang kakek tua yang berpakaian aneh, bajunya penuh tambalan layaknya baju pengemis, namun tambalan-tambalan itu berkembang-kembang, tubuhnya pendek kurus dan mukanya seperti tikus!

Sesudah terbebas dari pengejaran para piauwsu, kakek itu menurunkan tubuh Bi Cu dan memegang tangannya, menggandengnya dan mengajaknya berjalan kaki menuju ke kota raja.

"Nah, engkau kini sudah terbebas dari mereka, anak baik. Aku melihatmu dibawa mereka dan engkau menangis di sepanjang jalan, maka aku segera tahu bahwa engkau tak suka mereka bawa dan ingin bebas. Siapakah namamu dan mengapa engkau mereka paksa untuk ikut dengan mereka?"

Mendengar keterangan kakek ini, Bi Cu lalu menceritakan keadaan dirinya. "Aku hendak mencari pembunuh ayah kandungku, akan tetapi mereka melarangku, oleh karena itu aku berduka dan menangis, kek." Dia menutup penuturannya.

Kakek itu tersenyum. "Ha-ha-ha-ha, engkau sungguh keras hati dan berbakti. Akan tetapi engkau hanya seorang anak perempuan yang lemah, mana mungkin sendirian saja pergi ke tempat begitu jauh, di luar tembok besar mencari seorang musuh pembunuh ayahmu? Bagaimana kalau engkau belajar ilmu silat dahulu dariku, kemudian setelah pandai baru engkau pergi mencari musuhmu?"

Bi Cu tadi sudah menyaksikan kelihaian kakek ini, maka dia menjadi girang dan segera menjatuhkan diri berlutut. "Terima kasih atas perhatian suhu terhadap diri teecu!" katanya.

Kakek itu tertawa girang dan segera mengangkatnya bangun. "Ketahuilah, bahwa gurumu ini dinamakan orang Hwa-i Sin-kai dan aku pemimpin seluruh pengemis Hwa-i Kaipang untuk daerah kota raja dan sekelilingnya. Engkau boleh menjadi muridku, akan tetapi Hwa-i Kaipang memiliki suatu peraturan yang melarang menerima anggota wanita. Oleh karena itu, biar pun engkau ini muridku, namun engkau tidak boleh menjadi anggota perkumpulan Hwa-i Kaipang. Mengertikah engkau, Bi Cu?"

"Teecu mengerti, dan pula, teecu memang tidak ingin menjadi pengemis!"

Hwa-i Sin-kai tertawa lagi. "Dan mulai saat ini juga engkau tidak boleh memperkenalkan namamu, karena para piauwsu dari Ui-eng Piauwkiok itu tentu akan mencarimu. Maka kalau sampai ada orang yang mengenal namamu, tentu akan mudah bagi mereka untuk menemukanmu dan aku merasa tidak enak kalau harus bentrok dengan mereka. Mereka terkenal sebagai piauwsu-piauwsu yang baik. Tadi pun untuk menolongmu, aku terpaksa harus menggunakan kecepatan agar tidak sampai dikenal oleh mereka."

"Kalau tidak memakai nama teecu, habis lalu memakai nama apa, suhu?"

"Sudah kuperhatikan dirimu. Matamu amat tajam dan indah, merupakan ciri khas bagimu, maka sepatutnya kalau engkau memakai julukan Kim-gan (Si Mata Emas) dan mengingat engkau seorang anak perempuan kecil hidup sendirian di dunia ini dan sesudah menjadi muridku engkau kelak tentunya akan memiliki kegesitan, maka biarlah engkau tambahkan julukan Yan-cu (Burung Walet). Jadi mulai sekarang kalau kau terpaksa memperkenalkan nama, maka pakailah nama Kim-gan Yan-cu."

Mulai saat itu, Bi Cu menjadi murid Hwa-i Sin-kai, diajak pergi ke dalam hutan di sebelah utara kota raja, tinggal di dalam kuil tua dan di situ dia digembleng ilmu oleh kakek yang lihai itu. Dan mulai saat itu pula dia dikenal di antara para anggota Hwa-i Kaipang sebagai Kim-gan Yan-cu, murid dari ketua mereka.

Biar pun Bi Cu tidak menjadi anggota Hwa-i Kaipang, akan tetapi dia dikenal oleh semua anggota dan disuka oleh para anggota muda, apa lagi karena dia dikagumi sebagai murid sang ketua dan memang Bi Cu amat berbakat sehingga ilmu silatnya maju secara pesat. Dan karena pergaulan inilah maka sedikit demi sedikit sifat pendiam Bi Cu mulai berubah, menjadi lincah, gembira dan juga cekatan dan cerdas sekali.

Demikianlah riwayat Bi Cu seperti yang diceritakannya kepada Sin Liong dan didengarkan dengan penuh perhatian oleh pemuda remaja itu.

                ***************

"Menurut ceritamu tadi, engkau tidak boleh menjadi anggota perkumpulan pengemis itu, akan tetapi mengapa engkau kini malah menjadi pemimpin para pengemis muda di pasar itu, Bi Cu?" Sin Liong menegur setelah dara itu selesai bercerita.

"Karena terpaksa. Hal ini terjadi setelah Hwa-i Kaipang bubar!"

"Ehhh?! Bubar? Mengapa?"

"Karena dituduh pemberontak oleh pemerintah dan semenjak suhu tewas."

"Suhu-mu, kakek pangcu yang lihai itu tewas? Siapa yang membunuhnya?"

"Dikeroyok oleh pasukan pemerintah. Saat itu suhu sedang menghadiri pesta pernikahan keluarga pendekar sakti Yap Kun Liong, dan entah mengapa aku sendiri tidak tahu, pesta itu diserbu oleh pasukan tentara, dan suhu tewas dalam serbuan itu oleh pengeroyokan pasukan, sedang para pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri mereka kabarnya ditangkap pasukan."

"Ahhh...?" Tentu saja Sin Liong terkejut bukan main mendengar berita penangkapan atas diri ayah kandungnya itu.

"Akan tetapi menurut kabar, mereka berempat itu berhasil meloloskan diri lagi dan kini menjadi buronan pemerintah. Pemerintah memang sangat sewenang-wenang, masa suhu dan para pendekar sakti itu dianggap pemberontak! Terpaksa Hwa-i Kaipang bubar dan karena tidak puas dengan kelaliman pemerintah, maka aku lalu memimpin para pengemis muda itu yang sebagian besar merupakan keturunan para anggota Hwa-i Kaipang, untuk sekedar mengacau pemerintah! Dan itu pula sebabnya maka ketika pasukan mengejarmu dan menuduhmu sebagai pemberontak buronan, kami menolongmu mati-matian."

Sin Liong menarik napas panjang. Ternyata dara remaja ini pun mengalami hal-hal yang sangat pahit. Akan tetapi dia mengusir semua itu dari kenangannya dan dia tersenyum memandang wajah yang manis itu. "Aih, kiranya engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!"

"Tidak berani aku menganggap diri begitu, Sin Liong. Memang benar aku telah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari mendiang suhu sehingga kalau dibandingkan dengan dulu pada waktu kita masih sama-sama belajar kepada Na-piauwsu, tentu saja aku telah mendapatkan kemajuan yang sangat pesat. Akan tetapi sesudah berkecimpung di dunia kang-ouw, aku tahu benar bahwa kepandaianku masih belum masuk hitungan! Aku harus mematangkan kepandaianku lebih dahulu, barulah aku akan berangkat ke utara mencari pembunuh ayah."

"Aku akan membantumu, Bi Cu. Kita akan mencari keterangan dari ayah tiriku, kemudian aku akan menemanimu mencari ke utara. Ingat, aku datang dari Lembah Naga sehingga aku mengenal daerah di utara."

Bi Cu tersenyum. "Dan aku pun tadi telah berjanji untuk membantumu menghadapi musuh besarmu."

Sin Liong mengangguk. "Memang sebaiknya kalau kita saling bantu. Bersama-sama kita mencari pembunuh ayahmu dan pembunuh ibuku, kita berdua adalah orang-orang yatim piatu, maka memang sudah selayaknya saling bantu."

"Engkau baik sekali, Sin Liong. Aku girang dapat bertemu denganmu."

"Dan aku pun juga girang sekali. Mari kita percepat jalan kita, itu dusun di mana tinggal keluarga Kui sudah nampak. Hari sudah hampir gelap."

Mereka kemudian mempercepat jalan mereka, setengah berlari-larian menuju ke dusun di depan dan waktu itu sudah hampir senja. Akhirnya mereka berjalan memasuki dusun itu dan mereka berdiri di luar pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Sampai di sini Bi Cu termangu-mangu.

"Sin Liong, kau masuklah saja dulu," bisiknya. "Aku merasa malu, karena kalau kuingat betapa aku telah mencopet barang-barang mereka..."

"Ahh, mereka tidak akan tahu..."

"Kau masuklah dahulu, kalau engkau lihat tidak ada halangan bagiku untuk masuk, baru engkau panggil aku. Kau boleh beri tahukan dulu kepada mereka tentang kehadiranku..."

Akhirnya Sin Liong menyetujui juga karena memang dia sendiri baru saja akan bertemu dengan keluarga Kui, maka tidak enaklah jika datang-datang dia membawa teman. Lebih baik dia melihat gelagat lebih dulu, kalau sekiranya keluarga itu tidak keberatan menerima Bi Cu, baru dia akan memanggil dara itu. Andai kata mereka berkeberatan menerima Bi Cu, dia sendiri pun tidak akan mau tinggal di situ!

"Baik, kau tunggu di sini sebentar," katanya dan dia lalu melangkah masuk.

Pekarangan rumah itu sunyi saja, bahkan pada serambi depan juga kelihatan sunyi tidak terlihat adanya seorang pun. Karena merasa bahwa dia adalah seorang anggota keluarga ini, maka Sin Liong ingin mengejutkan mereka dengan kemunculan yang tiba-tiba melalui pintu belakang. Dia lantas mengambil jalan memutar, melewati samping rumah di mana terdapat sebuah kebun yang cukup luas.

Selagi dia jalan berindap-indap dengan jantung berdebar tegang penuh kegembiraan dan membayangkan betapa keluarga itu akan kaget sekali melihat kemunculan yang tiba-tiba dan betapa akan gembiranya pertemuan antara dia dengan keluarga itu, terutama dengan adik-adiknya, Lan Lan dan Lin Lin, tiba-tiba saja terdengar bentakan-bentakan halus dan nyaring lantas dari ujung tikungan dinding rumah itu berloncatan keluar dua orang gadis remaja yang cantik-cantik dan lincah, yang bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara remaja kembar ini masing-masing memegang sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerang Sin Liong dengan ganasnya!

Diserang secara mendadak itu Sin Liong tidak menjadi gugup, dan dengan beberapa kali melangkah ke belakang saja dia sudah dapat menghindarkan serangan-serangan pedang itu.

"Ehh... ohhh... nanti dulu...!" serunya.

"Maling hina, engkau sudah bosan hidup!" bentak salah seorang di antara sepasang dara kembar itu dan dengan loncatan cepat dia sudah menyerbu dan menusukkan pedangnya ke arah dada Sin Liong!

"Dia tentu kawan-kawan para pencopet itu, enci Lan. Hajar saja!" bentak dara ke dua lalu dia pun menerjang ke depan dan mengayun pedangnya menyerang ke arah kedua kaki Sin Liong!

"Eittttt... tahan dulu...!" Sin Liong membuat gerakan kaku menarik tubuh atas ke belakang dengan menekuk lututnya sehingga tusukan pedang Lan Lan tadi luput dan ujung pedang itu berhenti di depan hidungnya, sedangkan ketika pedang Lin Lin menyambar lutut, dia cepat meloncat ke belakang menghindarkan diri. Sungguh pun gerakannya kaku karena memang Sin Liong tidak ingin memamerkan kepandaian, akan tetapi tentu saja gerakan ini dengan mudah dapat membebaskan dia dari serangan yang tiba-tiba itu.

"Lan Lan dan Lin Lin, tahan dulu...!" teriaknya ketika melihat mereka menyerang kembali sehingga terpaksa dia meloncat ke sana-sini seperti monyet menari-nari, namun semua serangan bertubi-tubi itu luput semua.

Mendengar disebutnya nama panggilan sehari-hari mereka, kedua orang dara kembar itu menjadi semakin marah. "Kurang ajar kau!" bentak mereka hampir berbareng dan kini pedang mereka digerakkan makin gencar, bertubi-tubi mendesak ke arah Sin Liong.

Diam-diam Sin Liong gembira menyaksikan gerakan dua orang adik tirinya itu karena dia mendapat kenyataan bahwa gerakan mereka cukup gesit dan juga mengandung tenaga sinkang yang lumayan. Maka dia pun tak mau memperkenalkan diri lebih dulu karena dia ingin menguji lebih jauh sampai di mana tingkat kepandaian dua orang adik kembarnya. Tentu saja dia selalu membuat gerakan kaku dan terdesak, akan tetapi tak pernah ujung kedua batang pedang itu dapat menyentuh ujung bajunya sekali pun.

Mendadak nampak bayangan orang berkelebat dan ternyata Bi Cu sudah meloncat cepat ke tempat itu dan tangan kanannya memegang sebatang ranting kayu sebesar lengan. Dengan gerakan indah dia menangkis dengan ranting kayu itu.

"Trakk! Trakkk!"

Dua batang pedang itu terpukul mundur. Ternyata tangkisan ranting kayu yang digetarkan hebat itu membuat kedua orang dara kembar ini terkejut karena mereka merasa betapa pedang mereka tergetar dan tangan mereka nyeri!

"Jangan takut, Sin Liong, biar aku menghadapi mereka!" bentak Bi Cu.

Dua orang dara kembar itu terkejut dan heran. Mereka terbelalak memandang kepada Sin Liong dan dengan berbareng bibir mereka bergerak, "Sin Liong...?"

"Lan-moi dan Lin-moi, apakah kalian tidak mengenal kakakmu sendiri? Aku adalah Sin Liong...," kata Sin Liong dengan suara gemetar karena terharu.

Dua orang gadis itu terbelalak, lantas melemparkan pedang dan mereka langsung berlari menghampiri pemuda itu. "Liong koko...!"

Lan Lan dan Lin Lin merangkul dengan wajah berseri gembira. Sin Liong teringat ibunya. Dia merangkul dua orang dara kembar itu dengan penuh kasih sayang.

"Lan-moi dan Lin-moi, kalian sudah menjadi dua orang dara yang amat manis dan cantik jelita, juga kepandaianmu hebat, hampir saja aku kalian jadikan bakso!"

Akan tetapi dua orang dara remaja kembar itu tiba-tiba menoleh dan memandang kepada Bi Cu yang masih berdiri bengong sambil tetap memegang ranting kayu pada tangannya yang tadi digunakannya untuk melindungi Sin Liong. Dia memang mempunyai kepandaian istimewa dalam memainkan senjata tongkat, yaitu ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang dipelajarinya dari mendiang Hwa-i Sin-kai.

"Liong-ko, siapakah dia?" tanya Lan Lan.

Sin Liong baru teringat kepada Bi Cu, maka cepat-cepat dia memperkenalkan. "Bi Cu, inilah adik-adikku itu, Kui Lan dan Kui Lin. Lan-moi dan Lin-moi, ini adalah Bhe Bi Cu, yang pernah menjadi sumoi-ku."

"Ahhh...!" Dua orang dara kembar itu berseru girang dan mereka segera tersenyum ramah kepada Bi Cu. Lenyaplah kemarahan Bi Cu tadi ketika melihat dua orang dara kembar itu tersenyum demikian manisnya.

"Liong-ko, engkau mengagetkan orang saja!" Lan Lan menegur, "Mengapa tidak langsung masuk dari pintu depan?"

Sin Liong tersenyum. "Aku memang ingin membikin kalian terkejut. Bagaimana keadaan kalian sekeluarga?"

"Ayah pasti akan girang sekali mendengar kedatanganmu. Mari, Liong-ko, ayah berada di dalam. Mari kita temui dia! Enci Bi Cu, mari ikut!" kata Lin Lin yang mendahului mereka lari melalui pintu samping ke dalam rumah sambil berteriak-teriak.

"Ayah. Liong-koko telah pulang...!"

Sin Liong hanya tersenyum penuh keharuan pada saat dia menggandeng tangan Lan Lan mengikuti Lin Lin, ada pun Bi Cu mengikuti pula dari belakang. Dia ikut gembira melihat penyambutan dua orang dara kembar itu terhadap kedatangan kakaknya dan diam-diam dia merasa iri hati terhadap Sin Liong. Biar pun seperti juga dia, Sin Liong sudah yatim piatu, akan tetapi setidaknya Sin Liong mempunyai adik-adik tiri semanis dua orang dara kembar itu! Sedangkan dia, dia tidak mempunyai siapa-siapa.

Kui Hok Boan tercengang ketika mendengar bahwa Sin Liong muncul secara tiba-tiba di rumahnya. Diam-diam dia merasa tidak senang dan menganggap kedatangan ini sebagai gangguan. Selama beberapa tahun ini, sejak mereka pindah dari Lembah Naga, dia hidup tenteram sebagai seorang hartawan dan tuan tanah yang disegani di dusun itu.

Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, semenjak kematian isterinya, yaitu Liong Si Kwi ibu kandung Sin Liong, Kui Hok Boan yang tampan dan selalu berpakaian seperti sasterawan ini segera meninggalkan Lembah Naga karena memang hal ini diharuskan oleh Raja Sabutai. Ketika meninggalkan Lembah Naga, Kui Hok Boan membawa harta bendanya, yaitu harta pusaka yang diperolehnya di Istana Lembah Naga, maka dia dapat hidup sebagai seorang hartawan besar di dusun dekat kota raja itu dan memiliki sawah yang luas sekali.

Dia hidup dengan tenteram, mendidik dua orang puterinya dan dua orang keponakannya, yaitu Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin. Selama ini dia mengambil beberapa orang selir, akan tetapi tidak pernah menikah kembali, dan di antara selir-selirnya tidak ada seorang pun yang memiliki anak. Dia tidak pernah lagi ingat kepada Sin Liong yang dianggapnya dan diharapkannya telah meninggal dunia.

Maka, tentu saja dia amat tercengang ketika mendengar suara Lin Lin yang meneriakkan kedatangan Sin Liong. Betapa pun juga, Kui Hok Boan adalah seorang yang cerdik. Dia dapat menekan perasaan tidak senangnya dan dengan muka berseri dan senyum lebar dia keluar menyambut kedatangan anak tirinya itu. Alisnya terangkat ketika dia melihat Bi Cu ikut masuk bersama dua orang puterinya dan Sin Liong.

Akan tetapi sepasang matanya membuat Bi Cu diam-diam mencatat bahwa tuan rumah ini tergolong seorang laki-laki yang matanya berkilat dan berminyak apa bila memandang wanita! Sebagai seorang dara remaja yang sudah biasa bergaul dan setiap hari berada di pasar, tentu saja Bi Cu dapat mengenal pandang mata para laki-laki yang memandang dirinya.

Sejenak Kui Hok Boan dan Sin Liong saling pandang dan dalam waktu singkat itu masing-masing sudah menilai. Bagi Sin Liong, ayah tirinya itu nampak lebih kurus dari biasanya, dan kini telah berkumis dan berjenggot pendek. Di lain fihak, Kui Hok Boan memandang wajah Sin Liong penuh perhatian dan dia harus mengakui bahwa kini anak tirinya ini telah menjadi seorang pemuda remaja yang amat tampan dan membawa sifat-sifat gagah yang tersembunyi. Karena itu dia bersikap hati-hati sekali dan sambil tersenyum lebar dia maju menghampiri.

"Ahh, anak Sin Liong, ke mana saja engkau selama bertahun-tahun ini?" tegurnya ramah.

"Saya merantau sampai jauh, paman, hingga akhirnya saya tinggal di kota raja, bekerja sebagai pelayan rumah makan," jawab Sin Liong yang sampai sekarang tetap tidak mau menyebut ayah kepada ayah tirinya itu, melainkan menyebut paman, Hok Boan agaknya juga tidak peduli akan hal ini dan dia mendengarkan penuturan Sin Liong dengan penuh perhatian.

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

"Ahh, bagus sekali kalau begitu! Dan sekarang engkau datang ke sini, apakah hanya ingin berkunjung ataukah ada keperluan yang lain? Dan siapakah nona ini?" Dia memandang kepada Bi Cu dan kembali dara ini melihat sinar mata laki-laki ini berkilat, membuat dia makin tidak senang dan segera menundukkan mukanya.

"Saya datang hendak meminta pertolongan dan perlindungan dari paman Kui," Sin Liong berkata, "Saya dituduh pemberontak dan dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah."

Berubah wajah Kui Hok Boan mendengar ini, dan jelas bahwa dia nampak terkejut sekali dan juga terheran-heran. "Duduklah kalian berdua, dan ceritakanlah semuanya kepadaku, Sin Liong."

Sin Liong dan Bi Cu duduk saling berhadapan dengan orang she Kui itu, sedangkan Lan Lan dan Lin Lin duduk di samping ikut mendengarkan dengan penuh perhatian.

Karena memang mengharapkan perlindungan di dalam rumah keluarga itu, Sin Liong lalu dengan singkat akan tetapi jelas menuturkan keadaannya tanpa menyebut-nyebut tentang hubungannya dengan pemberontak Cia Bun Houw, bahkan dia tak menyinggung tentang kepandaiannya. Akan tetapi karena dia tahu bahwa Kui Hok Boan sudah mengenal Kim Hong Liu-nio, bahkan menjadi musuh besarnya sebab Kim Hong Liu-nio adalah pembunuh ibu kandungnya, juga ibu kandung Lan Lan dan Lin Lin, maka dia tidak menyembunyikan tentang wanita iblis itu.

"Ketika saya sedang bekerja di rumah makan itu, tiba-tiba saja muncul iblis betina musuh besar kita itu, paman, dan dia berteriak menuduh saya sebagai pemberontak. Saya lalu melarikan diri dan dikejar-kejar oleh pasukan. Untung ada nona Bhe Bi Cu ini yang telah menolong saya dan menyembunyikan saya sehingga pasukan itu tidak menemukan saya, kemudian saya mengajaknya untuk melarikan diri ke sini dengan harapan paman akan suka menolong kami dan memberi perlindungan di sini sampai keadaan menjadi aman."

Diam-diam Kui Hok Boan terkejut dan gentar bukan main mendengar penuturan Sin Liong itu. Baru mendengar bahwa wanita iblis itu muncul di kota raja dan melakukan pengejaran terhadap Sin Liong saja sudah mendatangkan rasa ngeri di dalam hatinya, apa lagi ketika mendengar bahwa Sin Liong sekarang dianggap pemberontak sehingga dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah.

Tentu saja dia merasa gentar, takut kalau-kalau wanita itu akan terus mengejar sehingga sampai ke situ, apa lagi kalau sampai pasukan pemerintah tahu bahwa Sin Liong tinggal di rumahnya, tentulah dia akan dituduh sebagai orang yang melindungi pemberontak dan akan menerima hukuman berat! Akan tetapi di wajahnya tidak kelihatan tanda sesuatu.

"Ayah, kita harus melindungi Liong-koko!" tiba-tiba Lan Lan berkata.

"Betul, ayah. Liong-ko dan enci Bi Cu biar tinggal dan bersembunyi dulu di sini!" sambung Lin Lin.

Kui Hok Boan memandang kedua orang puterinya itu dan dia semakin merasa tidak enak untuk menolak permintaan Sin Liong tadi. Dia sendiri memang tidak mempunyai perasaan apa pun terhadap Sin Liong karena memang anak ini bukan apa-apanya, hanya anak tiri, akan tetapi bagi Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong merupakan saudara seibu dan sekandung, biar pun berlainan ayah.

"Hemm, tentu saja aku tidak keberatan dan suka melindungimu, Sin Liong, hanya kita harus pikirkan baik-baik akan bahayanya kalau sampai wanita iblis itu mengejar ke sini."

"Kita akan lawan bersama!" teriak Lan Lan. "Apa lagi di sini ada enci Bi Cu. Ayah, enci Bi Cu ini lihai bukan main, tadi kami salah sangka menyerang Liong-koko, akan tetapi hanya dengan sebatang ranting saja enci Bi Cu dapat menangkis pedang kami!"

Bi Cu tersenyum dan dia tak pernah bosan memandang dua orang dara kembar itu yang dianggapnya sangat manis dan juga demikian serupa bentuk wajah serta gerak-geriknya sehingga biar pun dia tadi sudah diperkenalkan, dia tetap saja tidak mampu membedakan dan tidak dapat mengenal lagi yang mana Lan Lan dan yang mana Lin Lin.

Akan tetapi, tentu saja bagi Sin Liong tidak sukar untuk membedakan kedua adiknya itu karena dia tahu bahwa Lan Lan mempunyai titik kecil merah pada leher kirinya, dan yang sikapnya terbuka, lincah dan gembira adalah Lan Lan, sedangkan Lin Lin lebih pendiam.

Mendengar ucapan Lan Lan itu, Kui Hok Boan semakin tertarik kepada Bi Cu, maka dia memandang penuh perhatian. Kini sinar kekaguman terpancar dari kedua matanya tanpa disembunyikan lagi sehingga Bi Cu merasa makin kikuk.

"Ahh, kiranya nona mempunyai kepandaian silat yang tinggi? Kalau boleh saya bertanya, siapakah nama guru nona?" Laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh lima tahun itu tersenyum seramahnya kepada dara remaja yang cantik manis itu.

Bi Cu hanya memandang sebentar lalu menunduk kembali, mengerutkan alisnya karena dia merasa ragu untuk mengaku. Akan tetapi Sin Liong maklum akan kekerasan hati ayah tirinya, dan ketidak terus terangan Bi Cu akan menimbulkan curiga. Maka dia lalu cepat menerangkan,

"Paman Kui, Bi Cu adalah murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai."

"Ahhhh...!" Kui Hok Boan benar-benar terkejut bukan main mendengar disebutnya nama ini. Siapa orangnya yang tidak mengenal nama ketua Hwa-i Kaipang yang tersohor di kota raja dan sekelilingnya itu? Apa lagi sesudah perkumpulan itu dianggap pemberontak dan dimusuhi oleh pemerintah!

"Hwa-i Kaipangcu...? Bukankah... bukankah perkumpulan itu...?" Dia tidak melanjutkan dan menatap wajah dara itu dengan tajam.

Bi Cu yang merasa bahwa sekarang dia tak perlu merahasiakannya lagi setelah Sin Liong menceritakan siapa gurunya, dan pula terhadap keluarga ayah tiri Sin Liong memang tak perlu merahasiakan hal itu karena bukankah dia dan Sin Liong hendak berlindung di sini? Maka dia mengangguk.

"Benar, paman. Guruku adalah mendiang ketua perkumpulan Hwa-i Kaipang yang dituduh pemberontak pula. Akan tetapi semuanya itu hanyalah fitnah, Hwa-i Kaipang yang sudah dimusuhi dan kini terpaksa dibubarkan itu tidak pernah memberontak, dan aku pun sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hwa-i Kaipang, bahkan bukan menjadi anggotanya biar pun aku menjadi murid mendiang suhu yang menjadi ketua perkumpulan itu."

Selama Bi Cu bicara yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Hok Boan, orang ini sudah dapat menekan hatinya yang terkejut tadi dan kini dia tersenyum dan memandang kagum. "Ah, kiranya nona adalah murid seorang sakti! Tentu ilmu kepandaian nona amat tinggi. Mengingat akan bahaya yang mengancam kalian berdua, biarlah untuk sementara waktu kalian boleh bersembunyi di sini, akan tetapi kuharap kalian tidak memperlihatkan diri keluar karena kalian sendiri tahu bahwa kalau pasukan pemerintah menemukan kalian di sini, berarti keluarga kami akan binasa."

"Baiklah, paman dan banyak terima kasih kami haturkan atas kebaikan paman menolong kami. Kami pun hanya akan bersembunyi sampai keadaan mereda sehingga kami dapat melanjutkan perjalanan kami menuju ke utara."

"Apa? Engkau hendak ke sana...? Ke Lembah Naga...?" Hok Boan bertanya kaget.

Sin Liong menggelengkan kepala. "Bukan ke Lembah Naga, paman, melainkan ke dusun Pek-hwa-cung di kaki Pegunungan Khing-an-san..." Sin Liong berhenti dan memandang wajah ayah tirinya karena dia melihat perubahan pada wajah itu yang menjadi agak pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa ayah tirinya itu terkejut dan heran bukan kepalang mendengar disebutnya nama dusun itu.

"Pek-hwa-cung...?" Khi Hok Boan mengulang nama dusun itu dan matanya memandang jauh.

"Benar, paman, dan Bi Cu ingin menanyakan sesuatu kepada paman, mengingat bahwa paman sudah banyak menjelajah di sekitar daerah utara."

Ucapan ini memberi kesempatan kepada Kui Hok Boan untuk menenangkan jantungnya yang berdebar akibat kaget mendengar nama dusun yang mendatangkan kembali kenang-kenangan hebat yang pernah dialaminya di dusun itu. Dia tersenyum kembali dengan sikap tenang, menoleh ke arah Bi Cu dan memandang gadis itu dengan sikap ramah, lalu bertanya, suaranya biasa lagi.

"Nona, apakah yang hendak kau tanyakan padaku? Memang banyak juga aku mengenal tempat-tempat di sana, dan dusun Pek-hwa-cung tidak asing bagiku."

Berdebar jantung dalam dada Bi Cu, penuh ketegangan dan harapan. Siapa tahu dia akan berhasil memperoleh keterangan tentang ayahnya dari orang ini.

"Paman Kui, sebelumnya terima kasih atas kebaikanmu. Kami hanya ingin mengetahui apakah paman mengenal seorang laki-laki yang bernama Bhe Coan dan pernah tinggal di dusun Pek-hwa-cung sana?"

Kembali Kui Hok Boan mengalami guncangan batin hebat, akan tetapi kini dia sudah siap menghadapi segala sesuatu, maka wajahnya tidak memperlihatkan perubahan meski pun dia hampir terlonjak saking kagetnya. Sin Liong yang sejak tadi mengawasi ayah tirinya itu, diam-diam merasakan kekagetan ayah tirinya yang ditekan-tekan itu, namun dia diam saja.

"Bhe Coan...?" Kui Hok Boan pura-pura mengingat-ingat dan mengerutkan alisnya sambil menekan perasaannya yang terlontar melalui pengulangan nama yang sangat dikenalnya itu sehingga suaranya tadi terdengar agak sumbang dan gemetar.

"Ya, Bhe Coan, seorang pandai besi, seorang ahli pembuat pedang!" Bi Cu yang sedang dilanda ketegangan serta harapan itu tidak mendengar getaran suara itu dan cepat-cepat melengkapi keterangannya sambil memandang kepada wajah Hok Boan penuh perhatian dan pengharapan.

"Ahh, Bhe Coan...? Bhe Coan si pandai besi, ahli pembuat pedang itu? Tentu saja aku mengenal mendiang Bhe Coan! Dia telah meninggal dunia..."

Wajah Bi Cu gembira bukan main. "Memang dia sudah meninggal dunia, paman Kui. Aku tahu bahwa ayahku telah meninggal dunia dan karena itulah maka aku bertanya kepada paman..."

"Ayahmu...? Ahh, sungguh tak terduga! Jadi engkau ini anaknya...?" Hampir saja Kui Hok Boan kelepasan bicara.

Memang dahulu dia pernah mendengar dari Bhe Coan bahwa ahli pembuat pedang itu mempunyai seorang anak perempuan yang dititipkannya pada seorang sahabat baiknya ketika dia menikah dengan janda yang bernama Leng Ci. Menurut penuturan mendiang Bhe Coan, sahabatnya itu ialah seorang piauwsu she Na yang tinggal di kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Na-piauwsu semenjak menerima Bi Cu sebagai anak angkat atau muridnya, telah pindah ke kota Kun-ting di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Dia tidak tahu pula mala petaka yang menimpa keluarga Na itu.

"Benar, paman Kui. Aku adalah anak tunggal dari mendiang ayahku itu, dan yang hendak kutanyakan kepada paman adalah tentang kematian ayahku. Paman mengenalnya, tentu paman mendengar pula bagaimana ayah meninggal dunia." Sepasang mata yang jernih itu memandang dengan penuh perhatian dan juga penuh harapan kepada Kui Hok Boan yang tentu saja amat terguncang batinnya.

Segera terbayang semua peristiwa yang dialaminya di dalam rumah Bhe Coan, belasan tahun yang lalu itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Kui Hok Boan yang ketika itu masih merupakan seorang pria berusia tiga puluh tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sasterawan dan gerak-geriknya halus, datang bertamu ke rumah ahli pembuat pedang atau pandai besi yang terkenal itu untuk memesan sebatang pedang. Karena pandainya bersikap manis, Bhe Coan yang jujur tertarik dan mempersilakan Kui Hok Boan untuk bermalam dan tinggal di rumahnya selagi dia membuatkan pedang yang dipesannya.

Dalam kesempatan ini, Kui Hok Boan yang terkenal mata keranjang itu tentu saja tidak dapat melewatkan seorang wanita cantik seperti isteri Bhe Coan begitu saja. Dirayunya isteri Bhe Coan, bekas janda Leng Ci yang cantik genit itu dan mereka lalu mengadakan hubungan perjinahan di dalam rumah Bhe Coan sendiri!

Akhirnya, sesudah pedang selesai, Bhe Coan menangkap basah dua orang yang sedang berjinah di dalam kamarnya itu. Dengan kemarahan meluap-luap Bhe Coan menusukkan pedang yang baru selesai dibuatnya itu ke arah Hok Boan.

Hok Boan mengelak dan pedang itu menembus dada Leng Ci! Kemudian, terpaksa Hok Boan mempergunakan kepandaiannya untuk membunuh Bhe Coan, dan tanpa diketahui siapa pun dia meninggalkan dua jenazah itu dalam kamar dan melarikan diri!

"Bagaimana, paman Kui? Apakah paman dapat menceritakan kepadaku tentang kematian ayahku itu?" Bi Cu mengulangi pertanyaannya pada waktu dia melihat tuan rumah duduk termenung seperti tidak pernah mendengar pertanyaannya yang pertama tadi.

"Ohh? Tidak... aku tidak tahu, aku hanya mendengar bahwa dia meninggal dunia. Sudah lama aku tidak bertemu lagi dengan dia semenjak aku memesan pedang kepadanya, kau tunggu... pedang itu masih kusimpan sampai sekarang..." Kui Hok Boan segera bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu melalui pintu sebelah dalam.

Melihat sikap tuan rumah yang seolah-olah tergesa-gesa itu, diam-diam Sin Liong merasa heran sekali. Dia melihat seakan-akan ayah tirinya menjadi gugup dan bingung pada saat ditanya tentang kematian ayah kandung Bi Cu!

Sementara itu, begitu menutupkan daun pintu yang menembus ke ruangan itu, Kui Hok Boan cepat berlari memasuki kamarnya dengan napas agak memburu. Celaka, pikirnya, siapa sangka bahwa dia akan bertemu muka dengan puteri Bhe Coan yang dibunuhnya itu! Dan lebih celaka lagi, dara itu justru bertanya kepadanya tentang kematian ayahnya! Ini berbahaya! Kalau dia tidak cepat bertindak dan rahasia itu sampai terbuka, berarti dara itu merupakan musuh besar yang tentu akan selalu berusaha untuk membalas kematian ayahnya.

Dia menduga-duga sampai berapa jauh dara itu mengetahui tentang kematian ayahnya. Sementara itu, otaknya bekerja cepat dalam usahanya merencanakan suatu siasat untuk menyelamatkan dirinya dan menghancurkan orang-orang yang tidak disenanginya.

Di lain saat Kui Hok Boan telah menulis sehelai surat dalam kamarnya. Jari-jari tangannya yang memang cekatan dan pandai menulis itu kemudian bergerak cepat menyelesaikan sebuah surat yang dimasukkannya dalam sampul dan ditutupnya rapat-rapat. Setelah itu, dengan tergesa-gesa dia mengantongi surat itu dan mengeluarkan seguci arak dari dalam almari, berikut sebungkus obat putih dari saku bajunya. Dituangkannya sedikit bubuk putih ke dalam guci arak, kemudian setelah menyimpan kembali bungkusan obat bubuk itu, dia memanggil pelayan.

"Sediakan makanan untuk dua orang dan juga arak ini, lalu hidangkan ke kamar tamu!" perintahnya kepada pelayan wanita yang segera datang memenuhi panggilannya. "Dan coba panggil dulu kedua orang nona ke sini!"

Pelayan itu cepat-cepat berlalu menuju ke depan, ke ruangan di mana Lan Lan dan Lin Lin sedang bercakap-cakap dengan gembira bersama Sin Liong dan Bi Cu.

"Ehhh, Lan-moi, di mana adanya Siong Bu dan Beng Sin? Mengapa aku tidak melihat mereka?" tanya Sin Liong.

"Mereka disuruh oleh ayah untuk menagih uang sewa tanah, dan sore nanti baru akan pulang," jawab yang ditanya.

Pada saat itu muncullah pelayan yang menyampaikan panggilan Kui Hok Boan kepada dua orang puterinya. Dua orang dara kembar itu merasa agak heran, akan tetapi mereka segera minta maaf dan meninggalkan dua orang tamunya, langsung pergi ke kamar ayah mereka bersama pelayan yang juga kembali ke dalam untuk mengambil guci arak dan mempersiapkan hidangan untuk dua orang tamu seperti dipesan oleh majikannya.

"Ayah memanggil kami?" tanya Lan Lan.

"Ya, ayah mempunyai urusan yang amat penting. Kalian cepat pergilah kepada komandan Kwan di kota raja dan serahkan suratku ini kepadanya. Pergilah cepat-cepat dan kembali cepat."

"Tapi, ayah, di sini ada Liong-koko. Mengapa ayah tidak menyuruh seorang pelayan saja, atau menanti sampai Bu-ko atau Sin-ko pulang?" Lan Lan membantah.

"Urusan ini penting sekali, kalian harus cepat serahkan surat ini dan jangan membantah!" bentak Kui Hok Boan sambil menyerahkan surat itu. "Kalian naik kuda saja agar cepat!"

"Biar aku sendiri yang mengantar surat itu, biar enci Lan menemani Liong-ko dan enci Bi Cu," kata Lin Lin.

"Tidak! Tidak baik seorang gadis pergi sendirian saja. Kalian pergi berdua, jangan kalian khawatir tentang Sin Liong dan Bi Cu, aku yang akan menemani mereka. Aku masih ingin bicara banyak dengan mereka."

Dua orang gadis kembar itu saling pandang. Lin Lin adalah seorang gadis pendiam, lebih pendiam dibandingkan dengan watak Lan Lan yang lincah dan jenaka, akan tetapi karena pendiam ini dia lebih cerdas.

"Ayah, Liong-ko dan enci Bi Cu sedang dicari-cari pasukan pemerintah. Sekarang ayah mengirim surat kepada komandan Kwan, seorang komandan pengawal istana. Apakah ada hubungannya dengan kedatangan Liong-ko?"

Kui Hok Boan memandang wajah puterinya ini dan mengangguk-angguk. "Engkau cerdas sekali, Lin Lin. Memang benar sekali dugaanmu itu. Kalian tahu, mereka berdua itu harus bersembunyi di sini untuk beberapa pekan lamanya sampai keadaan mereda. Bagaimana kalau tiba-tiba Kwan-ciangkun berkunjung ke sini seperti biasanya? Oleh karena itu, aku mengirim surat kepadanya, memberi tahu bahwa hari ini aku hendak berangkat pergi ke selatan selama satu bulan sehingga dengan demikian, sebelum lewat satu bulan dia tentu tidak akan datang ke sini. Nah, cepat kalian sampaikan surat ini kepadanya!"

Mendengar ini, Lan Lan dan Lin Lin tidak banyak cakap lagi, lalu mereka berganti pakaian dan segera berangkat meninggalkan rumah mereka, menunggang dua ekor kuda pilihan. Sementara itu, Kui Hok Boan mengambil sebatang pedang dari dalam almari, kemudian membawa pedang itu ke luar kamar, kembali ke ruangan tamu di mana Sin Liong dan Bi Cu menanti tuan rumah yang pergi begitu lama, dan juga Lan Lan dan Lin Lin yang tidak nampak kembali, bahkan mereka tadi dengan jelas mendengar derap kaki dua ekor kuda membalap meninggalkan rumah itu.

"Sin Liong, perasaanku tidak enak sekali... aku... aku tidak kerasan tinggal di sini," bisik Bi Cu.

"Ssttt, kita terpaksa, Bi Cu. Hanya untuk beberapa hari sampai keadaan mereda. Jangan kahwatir, andai kata ayah tiriku itu kurang begitu suka kepadaku, tapi jelas bahwa kedua orang adikku Lan Lan dan Lin Lin itu amat sayang kepadaku."

Mendengar jawaban ini, legalah hati Bi Cu karena dia pun dapat melihat sendiri betapa sikap kedua orang dara kembar itu amat baik dan ramah. Mereka segera diam pada saat mendengar langkah kaki, kemudian muncullah Kui Hok Boan dengan wajah berseri dan tangannya membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir indah.

"Maaf, karena ada keperluan lain, maka terpaksa agak lama aku meninggalkan kalian di sini," katanya.

"Paman, di manakah adik Lan dan Lin?" Sin Liong bertanya, teringat akan bunyi derap kaki dua ekor kuda tadi.

"Ahh, mereka sedang pergi, kusuruh menyusul Siong Bu dan Beng Sin," jawab Hok Boan yang memang sudah siap-siap menghadapi pertanyaan itu. Sin Liong menjadi girang dan hilanglah kecurigaannya.

"Nona Bhe, inilah pedang buatan mendiang saudara Bhe Coan itu. Dan hanya satu kali itulah aku berjumpa dengan dia ketika aku berkunjung dan memesan pedang ini," Hok Boan mengulurkan tangan yang memegang pedang kepada Bi Cu.

Dara remaja ini segera menerima pedang, lalu menghunus pedang itu. Sebatang pedang yang amat baik. Tiba-tiba saja keharuan dan kedukaan menyerang hati Bi Cu dan dara ini tersedu sambil mendekap pedang dan mencium mata pedang buatan ayahnya, merasa seakan-akan dia sedang mencium tangan ayahnya. Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa pedang yang diciumnya itu dahulu pernah digunakan oleh ayah kandungnya untuk menyerang tuan rumah ini dan pedang itu menembus dada ibu tirinya. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis karena Bi Cu sudah dapat mengusai guncangan batinnya kembali, lalu mengembalikan pedang itu kepada pemiliknya.

Pada saat itu, Lan Lan dan Lin Lin sudah pergi jauh dengan kuda mereka yang mereka balapkan menuju ke kota raja. Debu mengepul tinggi di belakang kaki kuda mereka yang lari kencang. Akan tetapi ketika mereka berada di jalan di antara sawah ladang yang sepi, tiba-tiba Lin Lin berseru kepada enci-nya agar berhenti.

"Ada apakah?" Lan Lan bertanya setelah dia menahan kendali kudanya dan kedua ekor kuda itu berhenti di tengah jalan.

"Enci Lan, hatiku sungguh merasa tidak enak," kata si adik yang biasanya pendiam itu.

"Aih, jangan bilang bahwa engkau takut untuk melewati hutan di depan itu, Lin-moi. Sudah beberapa ratus kali kita lewat di situ dan tak pernah terjadi sesuatu. Pula, siapakah yang akan berani mengganggu kita? Andai kata ada yang berani mengganggu kita, kita pun tak usah takut! Pedang kita akan menghadapi dan menghajar siapa yang berani mengganggu kita!" Lan Lan menepuk pedang yang tergantung di pinggangnya.

Lin Lin menggeleng kepala. "Hatiku merasa tidak enak bukan mengkhawatirkan diri kita, enci, melainkan diri Liong-koko."

Lan Lan membelalakkan mata dengan heran. "Ehh, apa maksudmu, Lin Lin?"

"Surat yang kau bawa itu, enci. Liong-koko dituduh pemberontak dan kini berada di dalam rumah kita. Namun sekarang ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun. Benar-benar aneh dan mengkhawatirkan."

"Kau mencurigai ayah?"

"Aku tahu bahwa mencurigai ayah sendiri adalah hal tidak baik, akan tetapi aku pun tahu betapa ayah tidak suka kepada Liong-ko, kalau bukannya membenci malah. Lupakah kau akan sikap ayah terhadap Liong-ko dahulu? Aku khawatir sekali, enci."

Lan Lan juga menjadi bimbang. Diambilnya surat bersampul tertutup rapat itu dari dalam saku bajunya dan ditimang-timangnya. "Habis, bagaimana?" tanyanya bingung.

"Kita buka dan baca dulu isinya!"

"Ahhh...!" Lan Lan meragu. "Surat ini bersampul dan tertutup rapat..."

"Aku sengaja membawa perekat dari rumah, enci. Kita buka, baca dan tutup lagi dengan perekat ini." Lin Lin lalu mengeluarkan sebungkus perekat. Kiranya sejak dari rumah tadi gadis ini sudah menaruh curiga dan telah merencanakan untuk membuka surat ayahnya itu kemudian membaca isinya.

"Engkau benar, adikku. Sungguh pun perbuatan kita ini tidak patut, akan tetapi kita harus mencegah ayah melakukan hal yang jahat."

Mereka berdua segera turun dari punggung kuda, bersama-sama mereka lalu membuka sampul surat itu dengan hati-hati agar jangan sampai terobek, kemudian bersama-sama pula mereka membaca isi surat dalam sampul.

Kwan-ciangkun yang terhormat

Harap segera membawa pasukan untuk menangkap pemberontak-pemberontak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang berada di rumah saya. Cepat agar jangan terlambat!

Hormat saya. yang setia kepada negara, Kui Hok Boan

Wajah kedua orang dara kembar itu menjadi pucat seketika. "Celaka, kiranya dugaanmu benar sekali, Lin-moi!" seru Lan Lan dengan gemas. "Ayah sudah mengkhianati mereka! Ahhh, sungguh celaka!"

Lin Lin juga menjadi bingung sejenak, akan tetapi gadis yang cerdik ini lalu berkata, "Kita harus menggunakan akal, enci."

"Bagalmana akalnya? Ahh, betapa jahatnya ayah...!"

"Ssst, jangan berkata demikian, enci! Mungkin ayah melakukan hal itu terdorong oleh rasa setia kepada negara, atau juga karena rasa tidak sukanya terhadap Liong-koko. Betapa pun juga, kita harus menolong Liong-ko."

"Engkau benar, akan tetapi bagaimana caranya? Kalau kita tidak menyampaikan surat ini, tentu ayah akan marah sekali kepada kita dan hal itu pun bukan berarti sudah menolong Liong-ko terbebas dari ancaman bahaya."

"Kita harus cerdik, enci Lan. Surat itu tetap harus kita sampaikan kepada alamatnya, akan tetapi tidak perlu kita berdua yang ke kota raja. Sebaiknya engkau sendiri saja yang melanjutkan perjalanan ke kota raja dan menyampaikan surat ini kepada Kwan-ciangkun, dan aku sendiri akan kembali ke rumah dan aku akan memberi tahu kepada Liong-ko agar dia dan enci Bi Cu dapat melarikan diri sebelum pasukan itu datang."

"Bagus! Akan tetapi bagaimana jika ayah curiga kemudian marah melihat engkau pulang sendiri dan tidak menemaniku ke kota raja?"

"Jangan khawatir, hal itu dapat kuatur. Lagi pula, setelah tiba di rumah, tentu malam telah tiba dan aku dapat secara diam-diam melakukan hal itu. Engkau sendiri harap melakukan perjalanan lambat saja, semakin lambat semakin baik, enci Lan. Atau, dapat pula engkau menyerahkan surat itu besok pagi-pagi saja, dengan alasan bahwa malam-malam tidak enak datang berkunjung ke rumah Kwan-ciangkun. Sementara itu, malam ini Liong-koko dan enci Bi Cu sudah dapat menyelamatkan diri."

Lan Lan merangkul dan mencium pipi adik kembarnya. "Engkau hebat! Nah, kita berpisah di sini dan membagi tugas masing-masing."

"Surat itu harus direkat kembali lebih dulu, enci," kata Lin Lin.

Mereka berdua lalu merapatkan kembali sampul surat dan setelah Lan Lan memasukkan sampul surat itu ke dalam sakunya, keduanya lantas meloncat ke atas punggung kuda masing-masing, akan tetapi mereka berpisah jalan. Lan Lan terus melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan Lin Lin kembali ke dusun. Lan Lan menjalankan kudanya lambat-lambat, akan tetapi Lin Lin membalap.

Di sepanjang perjalanan, Lan Lan termenung sedih. Biar pun ada kemungkinan ayahnya melakukan pengkhianatan terhadap Sin Liong itu karena terdorong oleh keinginan berbakti kepada negara dan membantu penangkapan orang yang dituduh pemberontak, akan tetapi perbuatan itu kejam dan jahat. Betapa pun juga, Sin Liong adalah putera ibu kandungnya, dan anak tiri dari ayahnya, semenjak kecil tinggal serumah. Kenapa ayahnya begitu tega dan kejam untuk melakukan siasat penangkapan terhadap Sin Liong itu?

Lagi pula, siapa mau percaya bahwa Sin Liong adalah seorang pemberontak? Itu hanya tuduhan keji, fitnah keji. Tanpa terasa lagi sepasang mata Lan Lan menjadi basah karena hatinya amat sedih melihat kenyataan betapa ayahnya adalah seorang yang kejam dan jahat.

Kenyataan ini membuat dia semakin rindu kepada ibu kandungnya, dan teringat olehnya betapa ibu kandungnya adalah seorang wanita yang gagah perkasa. Dan hal ini membuat dia teringat pula akan kematian ibunya itu sehingga membuat hatinya semakin sakit dan mendendam kepada wanita iblis yang telah membunuh ibunya.

"Kim Hong Liu-nio iblis betina! Sekali waktu aku pasti akan memenggal batang lehermu!" teriaknya.

Dia lalu mencabut pedangnya, diputar-putar di atas kepalanya sehingga kudanya menjadi terkejut dan berlari kencang. Peluapan rasa marah dan dendam di hati Lan Lan ini sedikit banyak menghapus kedukaan dan kekecewaan hatinya melihat sikap ayahnya yang amat kejam terhadap Sin Liong....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 29



MALAM itu Lan Lan menginap dalam kamar sebuah hotel di kota raja dan pada keesokan harinya, sesudah matahari naik tinggi, barulah dia mengunjungi rumah komandan Kwan yang telah dikenalnya sebab komandan itu merupakan sahabat ayahnya. Telah beberapa kali dia mengunjungi rumah keluarga komandan Kwan itu, bahkan sering pula komandan Kwan datang berkunjung ke rumah mereka.

Kwan-ciangkun sendiri yang menyambut kedatangannya, dan kebetulan Kwan-ciangkun bertemu dengan dara ini di depan rumah karena komandan itu hendak pergi ke tempat kerjanya.

"Ehh, nona Kui Lin..."

"Aku Kui Lan, ciangkun."

"Ahh, ha-ha-ha-ha, maaf, sudah beberapa tahun berkenalan, tetap saja aku masih belum mampu membedakan di antara kalian berdua." Komandan yang bertubuh tinggi besar itu tertawa. "Dengan siapa nona datang? Dan bagaimana kabar ayahmu?"

"Aku datang sendirian saja, ciangkun. Aku disuruh oleh ayah untuk mengantarkan sebuah surat untuk Kwan-ciangkun."

"Ahh, agaknya penting. Untung aku belum pergi, mari silakan duduk di dalam nona."

"Terima kasih, ciangkun. Aku hanya mengantar surat saja dan akan terus kembali, karena banyak pekerjaan menanti di rumah."

"Kalau begitu, biar kubaca dulu surat ayahmu, barang kali membutuhkan balasan."

Komandan itu lalu merobek sampul dan mengeluarkan isinya, cepat membaca surat itu. Wajahnya berubah, matanya terbelalak lantas dia memandang kepada Kui Lan dengan mata bersinar-sinar. "Ahh, ternyata urusan yang sangat penting sekali! Aku harus segera melaporkan ke atasan dan mengumpulkan pasukan! Dan kebetulan sekali dia berada di kota raja..."

"Kwan-ciangkun, kalau tidak ada balasannya, aku minta pamit sekarang saja."

"Baik, baik... tidak perlu balasan, hanya katakan saja kepada ayahmu bahwa aku sudah menerima suratnya dan semua akan beres! Begitu saja...!" Perwira itu nampak gugup dan tergesa-gesa.

Lan Lan juga tidak mau ambil pusing lagi siapa yang dimaksudkan ‘dia’ oleh perwira itu. Dia memberi hormat lalu keluar dari pekarangan rumah itu, kembali ke hotelnya dan tak lama kemudian dia sudah membedal kudanya keluar kota raja, kembali menuju ke dusun tempat tinggalnya.

Kwan-ciangkun itu adalah seorang kepala atau komandan dari pasukan pengawal istana. Dia bersahabat dengan sasterawan she Kui yang merupakan orang terkaya di dusunnya, dan di samping itu, juga komandan ini tahu bahwa Kui Hok Boan adalah seorang hartawan yang mempunyai ilmu silat tinggi. Persahabatan di antara kedua orang itu mendatangkan keuntungan timbal balik.

Bagi Kwan-ciangkun tentu saja dia mendapat untung berupa pemberian hadiah-hadiah di samping dia pun mendapatkan seorang kawan yang pandai dalam ilmu silat mau pun ilmu surat sehingga enak untuk diajak berbincang-bincang, malah dalam ilmu silat, dia banyak memperoleh petunjuk dari hartawan she Kui itu.

Di fihak Kui Hok Boan, tentu saja dia merasa amat bangga mempunyai seorang sahabat yang menjadi komandan pasukan pengawal di istana karena selain hal ini mendatangkan kehormatan baginya, juga dia akan mudah memperoleh bantuan seorang ‘dalam’ apa bila terjadi sesuatu atau apa bila dia membutuhkan sesuatu dari fihak yang berkuasa.

Maka, begitu menerima surat dari sahabatnya itu, Kwan-ciangkun percaya sepenuhnya dan dia merasa girang sekali karena dengan menangkap pemberontak buronan itu, atau lebih tepat lagi putera dari pemberontak terkenal Cia Bun Houw, berarti dia akan membuat jasa yang besar.

Segera dia berlari-lari melapor ke atasannya, yaitu panglima pasukan keamanan di kota raja dan gegerlah keadaan di dalam benteng itu. Panglima itu segera menghubungi Kim Hong Liu-nio karena wanita ini yang pertama kali menyiarkan bahwa bocah yang tadinya bekerja sebagai pelayan di rumah makan itu adalah putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang menjadi buronan dan bocah itu bernama Cia Sin Liong.

Pemilik rumah makan telah ditangkap, disiksa untuk mengaku dan menceritakan keadaan Sin Liong, akan tetapi majikan rumah makan yang sial itu dalam keadaan setengah mati tetap mengatakan bahwa dia mengenal pemuda itu sebagai A-sin.

Pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Kwan Heng Lai atau Kwan-ciangkun, ditemani pula oleh Kim Hong Liu-nio, langsung berangkat melakukan pengejaran ke dusun kecil itu dengan menunggang kuda. Orang-orang pada sepanjang perjalanan memandang dengan takut-takut dan hati heran melihat pasukan yang bersenjata lengkap, berwajah serius dan melakukan perjalanan tergesa-gesa ini. Tentu ada sesuatu yang tidak beres, pikir mereka dan mereka merasa ngeri membayangkan dusun yang dijadikan sasaran oleh pasukan itu. Biasanya, tiap kali ada pasukan melakukan pembersihan di suatu dusun, akan terjadi hal-hal yang mengerikan.

                 ***************

Apakah yang terjadi dengan Sin Liong dan Bi Cu di rumah keluarga Kui? Seperti sudah kita ketahui, setelah Lan Lan dan Lin Lin pergi memenuhi perintah ayah mereka untuk menyerahkan surat malam itu juga kepada komandan Kwan di kota raja, Sin Liong dan Bi Cu dilayani oleh Kui Hok Boan sendiri yang memperlihatkan pedang buatan mendiang Bhe Coan kepada Bi Cu.

Selagi mereka bercakap-cakap itu, muncullah pelayan wanita yang membawa hidangan. Melihat ini, Sin Liong dan Bi Cu menjadi sungkan dan kikuk.

"Ahh, harap paman tidak usah repot-repot," kata Sin Liong melihat betapa Kui Hok Boan sendiri yang menemani mereka untuk makan minum.

"Sama sekali tidak. Hari sudah malam, sudah tiba waktunya makan malam. Mari silakan, aku sendiri sudah makan tadi. Mari silakan, nona Bhe."

Melihat kedua orang muda itu kelihatan sungkan-sungkan dan kikuk, Kui Hok Boan lalu bangkit berdiri dan berkata, "Harap kalian berdua makan yang enak, aku akan pergi dulu melakukan sesuatu di dalam. Silakan dan harap makan secukupnya, yang kenyang dan jangan malu-malu. Itu araknya harap diminum, arak wangi yang tidak keras."

Dengan ramah Kui Hok Boan mempersilakan dua orang tamunya, lantas dia mengangguk dan meninggalkan dua orang muda remaja itu. Sesudah Kui Hok Boan pergi, barulah Sin Liong dan Bi Cu tidak merasa kikuk lagi dan karena perut mereka memang sudah lapar, mereka berdua lalu mulai makan.

"Kau suka minum arak?" tanya Sin Liong sambil mengangkat guci untuk dituangkan ke dalam cawan yang tersedia. Bi Cu menggelengkan kepalanya.

"Kami kaum pengemis, mana biasa minum arak?" kata Bi Cu sambil tersenyum. "Pula, mendiang suhu mengatakan bahwa arak berhawa panas, hanya tepat untuk orang-orang tua yang memerlukan bantuan hawa panas supaya memperlancar jalan darah mereka. Tidak, aku tidak biasa minum."

Sin Liong meletakkan kembali guci arak itu ke atas meja. "Aku sendiri juga tidak begitu suka minuman arak. Terlalu banyak arak bisa memabukkan, dan saat-saat seperti ini kita berdua perlu selalu waspada dan sadar."

Mereka lalu makan secukupnya dan minum air teh, sama sekali tidak menyentuh arak di dalam guci. Selagi makan minum, dengan diam-diam Sin Liong memperhatikan ke arah pintu yang menembus ke dalam. Walau pun matanya tidak dapat menembus daun pintu, tapi pendengarannya yang amat tajam berkat kepandaiannya yang tinggi dan sinkang-nya yang kuat, dapat menangkap suara orang di balik daun pintu.

Mula-mula dia menduga bahwa tentu orang itu adalah pelayan yang siap untuk melayani mereka, akan tetapi makin lama dia semakin merasa curiga. Kalau dia pelayan, mengapa bersembunyi di balik pintu? Dan orang itu mempunyai kepandaian tinggi, saat mendekati pintu, langkah kakinya demikian ringan dan sesudah kini bersembunyi di balik pintu, tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali pernapasannya. Suara pernapasan ini sudah cukup bagi pendengaran Sin Liong untuk mengetahui bahwa di balik pintu itu ada orang sedang bersembunyi, agaknya mengintai dan mendengarkan.

Akan tetapi ia pura-pura tidak melihatnya dan melanjutkan makan minum dengan tenang. Bi Cu yang tidak begitu banyak makannya telah meletakkan mangkok dan sumpit di atas meja ketika Sin Liong masih melanjutkan makan. Pada saat itu, pintu terbuka dan sambil makan bakso dari mangkoknya Sin Liong melirik. Ternyata orang yang bersembunyi di balik daun pintu tadi adalah Kui Hok Boan sendiri!

Orang ini masuk sambil mencoba tersenyum, akan tetapi pandang matanya jelas nampak kecewa. "Silakan makan sekenyangnya, nona. Mengapa nona tidak makan?" Dia berkata mempersilakan sambil menghampiri meja.

"Terima kasih, aku sudah makan cukup," Bi Cu berkata, sedangkan Sin Liong masih terus melanjutkan makannya.

Kui Hok Boan duduk. "Ah, nona Bhe, kenapa makan hanya sedikit? Dan ini... ah, kenapa arak dalam guci masih penuh? Apakah kalian tidak mau minum arak yang kusuguhkan?"

"Terima kash paman, kami berdua tidak biasa minum arak," Sin Liong menjawab sambil meletakkan sumpit dan mangkoknya yang kini telah kosong.

"Ahh, bila terlalu banyak minum arak memang bisa mabuk dan tak baik untuk kesehatan. Akan tetapi kalau hanya dua tiga cawan saja, bahkan sangat baik bagi kesehatan. Orang bijaksana selalu berkata bahwa sedikit arak menjadi obat, terlampau banyak arak menjadi racun. Nah, sekarang, mengingat akan kegembiraan pertemuan antara kita, apa salahnya kalian minum barang dua tiga cawan? Nona, engkau adalah seorang murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai yang sejak dahulu kukagumi. Kini, bertemu dengan muridnya, perkenankan aku mengucapkan selamat datang dan hormatku kepada mendiang gurumu dan engkau sebagai wakil beliau!" Kui Hok Boan menuangkan arak ke dalam cawan di hadapan dara remaja itu.

Bi Cu merasa bingung akan tetapi tentu saja sulit baginya untuk menolak. Menolak berarti tidak menghormati tuan rumah yang sudah begitu baik hati.

"Aku tidak biasa minum arak, paman, tapi jika hanya secawan saja bolehlah," jawabnya. Ia kemudian mengangkat cawan itu dan meneguk arak dalam cawan sedikit demi sedikit, khawatir tersedak. Akhirnya arak itu pun habis dan Kui Hok Boan tertawa gembira.

"Secawan tadi adalah untuk selamat datang, kini secawan arak penghormatanku kepada mendiang suhu-mu belum kau minum." Dia menuangkan lagi secawan.

Bi Cu tersenyum. "Ahh, paman terlampau mendesak. Akan tetapi aku hanya mau minum secawan lagi kalau paman berjanji tidak akan menambahkan lagi. Yang secawan ini tadi saja sudah membuat perut terasa panas."

"Baik, cukup secawan lagi, minumlah, nona Bhe."

Bi Cu menerima secawan arak itu dan meminumnya lagi. Sin Liong memandang penuh perhatian ketika Bi Cu minum arak itu dan hatinya merasa lega sesudah dara remaja itu menghabiskan dua cawan arak tanpa ada terjadi sesuatu yang mencurigakan. Wajah yang manis dan berkulit halus putih itu sekarang mulai menjadi kemerahan, menambah cantiknya Bi Cu.

"Dan kini untuk kembalimu kepada keluarga kita, Liong-ji, untuk pertemuan yang sungguh menggembirakan ini, aku ingin memberikan selamat kepadamu dengan tiga cawan arak, harap kau suka menerimanya!"

Kui Hok Boan segera menuangkan arak ke dalam cawan Sin Liong sampai tiga kali, dan tanpa ragu-ragu Sin Liong meneguk tiga cawan arak itu ke dalam kerongkongannya. Dia merasa ada hawa aneh bersama arak itu, dan cepat dia lalu mengerahkan sinkang Thi-khi I-beng, Dengan hawa Thi-khi I-beng yang amat kuat dia dapat menekan dan menguasai hawa asing di dalam perutnya itu sehingga hawa itu tak sampai menjalar ke mana-mana! Penggunaan ilmu yang luar biasa ini tentu saja tidak diketahui oleh Bi Cu atau Kui Hok Boan sendiri.

Tak lama kemudian Bi Cu kelihatan mengantuk sekali, beberapa kali dia menutupi mulut dengan punggung tangan ketika dia menahan kuapnya.

"Ahh, nona Bhe kelihatan sudah lelah. Kalau mau tidur, silakan, nona, telah dipersiapkan dua buah kamar untuk kalian. Mari ikut bersamaku, mari Sin Liong, engkau pun agaknya perlu mengaso."

Sebetulnya Sin Liong belum merasa lelah atau mengantuk, akan tetapi melihat keadaaan Bi Cu dia pun berpura-pura mengantuk dan menguap. Dua orang muda itu lalu mengikuti Hok Boan masuk ke dalam dan diam-diam Sin Liong memperhatikan Bi Cu.

Sungguh tidak wajar jika Bi Cu demikian mengantuk dan lelah, padahal tadi masih segar-bugar. Sekarang dara remaja itu hampir tidak kuat melangkah lagi sehingga terpaksa dia memegangi tangannya.

Begitu sampai di depan pintu kamar dan ditunjukkan oleh Kui Hok Boan bahwa itu adalah kamar untuknya, Bi Cu langsung berlari masuk dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, dan terus saja dia pulas! Melihat ini, Kui Hok Boan tertawa.

"Ahh, kasihan, dia sudah sangat lelah," katanya sambil menutupkan daun pintunya. "Kau pun tentu amat lelah, Sin Liong."

Sin Liong mengangguk, masih terheran-heran melihat keadaan Bi Cu tadi. "Aku mengaso juga, paman," katanya sambil memasuki kamarnya yang berada di sebelah kamar Bi Cu.

Dia mendengar betapa langkah kaki pamannya meninggalkan kamar itu, maka Sin Liong cepat menutupkan pintu kamarnya, duduk bersila dan mengerahkan hawa sakti di dalam tubuhnya yang telah menekan dan menguasai hawa aneh yang masuk melalui arak tadi, kini memaksa hawa itu keluar dari mulutnya. Setelah semua hawa asing itu habis, barulah dia berani bernapas seperti biasa dan dia mencium bau harum yang aneh.

Diam-diam dia terkejut dan curiga sekali. Benarkah dugaannya bahwa pamannya bermain curang dan membius dia dan Bi Cu melalui arak tadi? Melihat keadaan Bi Cu, sudah jelas tentulah demikian, dan hawa aneh tadi tentu akan membuat dia pulas pula seperti Bi Cu kalau saja tidak dikuasainya dengan Thi-khi I-beng.

Dia segera menghampiri dinding pemisah kamarnya dan kamar Bi Cu, lalu menempelkan telinganya pada dinding itu dan mengerahkan tenaga saktinya untuk mendengarkan. Dia dapat menangkap lapat-lapat suara pernapasan Bi Cu maka tahulah dia bahwa gadis itu masih tidur pulas. Hatinya merasa lega dan dia pun lalu duduk bersila, sama sekali tidak berani tidur, hanya mendengarkan keadaan di sekitarnya, terutama dari arah kamar Bi Cu.

Kurang lebih satu jam kemudian dia mendengar ada suara bisik-bisik dari luar kamarnya, suara bisik-bisik dari tiga orang laki-laki. Dia tidak mampu menangkap kata-kata mereka karena mereka itu berbisik-bisik lirih sekali, akan tetapi dia tahu bahwa yang berbicara itu adalah Kui Hok Boan bersama dua orang laki-laki yang tidak dikenalnya. Mendengar nada suara mereka, tentu dua orang itu adalah laki-laki yang masih muda.

Akan tetapi sebentar saja mereka itu berbisik-bisik, lalu keadaan menjadi sunyi lagi dan terdengarlah bunyi langkah seorang di antara mereka menjauh. Hanya seorang saja yang pergi! Berarti bahwa ada dua orang lain yang tadi datang bersama Kui Hok Boan, tinggal di sekitar luar kamarnya dan kamar Bi Cu! Hati Sin Liong terguncang dan dia pun makin bercuriga. Apakah artinya semua ini?

Sin Liong tetap duduk bersila dengan penuh perhatian ke arah sekelilingnya, namun tidak terjadi sesuatu. Menjelang tengah malam, tiba-tiba saja seluruh urat syaraf pada tubuhnya menegang.

Terdengar suara langkah orang berindap-indap ke arah jendela kamarnya yang berada di belakang, berlawanan dengan pintu kamar. Kemudian, langkah orang ini berhenti di luar jendela kamarnya, kemudian terdengar daun jendela kamar itu bergerak dibuka orang dari luar!

Sin Liong tetap diam saja, menunggu sampai daun jendela itu terbuka dan orang yang membongkar daun jendela itu masuk. Begitu dia melihat bayangan hitam meloncat dan berkelebat masuk dari jendela yang sudah terbuka, dia pun meloncat dan sebelum orang itu mampu bergerak, dia sudah menangkap lengannya. Lengan yang kecil halus!

"Siapa kau...?"

"Sssttt... Liong-ko, aku Lin Lin...!" bisik orang itu yang menyeringai karena lengannya yang dipegang itu terasa nyeri sekali.

"Ehh, adik Lin...? Mengapa kau...?"

"Ssttt, jangan keras-keras... dengarlah baik-baik, Liong-ko. Kau harus cepat pergi dari sini bersama enci Bi Cu, sekarang juga. Cepat... segera akan datang pasukan dari kota raja untuk menangkap kalian...!" suara itu terisak dan ditahannya.

"Hemm, dari mana kau tahu? Siapa yang memberi tahu kepada pasukan kota raja bahwa kami berada di sini?" Sin Liong berbisik dan masih memegang lengan adik tirinya itu akan tetapi dia tidak mempergunakan tenaga lagi.

"...ayah..."

Sin Liong melepaskan pegangannya dan melangkah mundur, menatap wajah adik tirinya dalam kegelapan remang-remang itu. "Dan kalian disuruh ke kota raja untuk melaporkan kehadiran kami...?" Dia berhenti sebentar masih tidak mau percaya. "Mengapa kau... kau sekarang memberi tahu kepadaku...?"

Lin Lin menjadi tak sabar atas sikap Sin Liong yang tak mau cepat-cepat pergi melarikan diri itu. "Dengar, Liong-ko," bisiknya sambil mendekat. "Kami disuruh antar surat kepada Kwan-ciangkun di kota raja. Karena curiga, kami membukanya di jalan dan baru kami tahu bahwa ayah melaporkan engkau. Kami tidak berani membangkang, maka enci Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan aku diam-diam kembali untuk memberi tahu kepadamu. Nah, kau cepat ajak enci Bi Cu pergi sebelum terlambat!"

"Bi Cu... ahh, kami pun tadi telah disuguhi arak yang agaknya mengandung obat bius..."

"Ahhh... aku menyesal sekali, Liong-ko, ayahku..." Lin Lin tak melanjutkan kata-katanya.

Sin Liong merangkulnya kemudian mencium pipinya. "Lin Lin, kalian baik sekali, aku cinta kepadamu dan kepada Lan-moi..." Dia melepaskan rangkulannya. "Sekarang juga aku akan pergi, akan kuambil Bi Cu dari kamarnya." Dia lalu melangkah hendak keluar melalui jendela itu.

"Liong-ko...!" Lin Lin berbisik.

Sin Liong menoleh."Kau... harap kau maafkan ayahku...!"

"Hemmm...!" Sin Liong mendengus marah, teringat akan pengkhianatan ayah tirinya.

"Demi aku, demi enci Lan...!"

Hening sejenak, kemudian terdengar Sin Liong menarik napas panjang. "Baiklah, Lin-moi, jangan khawatir, akan kulupakan saja apa yang diperbuat oleh ayahmu malam ini."

"Nanti dulu, Liong-ko. Di depan pintu kamar enci Bi Cu dan di depan kamar ini terdapat penjaga-penjaga, mungkin Bu-ko dan Sin-ko juga diperintah oleh ayah untuk melakukan penjagaan. Biarlah kupancing mereka agar melepaskan perhatian dari kamar enci Bi Cu. Kalau engkau nanti sudah mendengar suara kami bercakap-cakap, nah, kau baru boleh memasuki kamar enci Bi Cu dari jendela belakang."

"Baik, Lin-moi, dan terima kasih."

"Akan tetapi, bagaimana selanjutnya engkau akan melarikan diri membawa enci Bi Cu? Bagaimana jika engkau dikejar-kejar kemudian tertawan?" Suara Lin Lin terdengar penuh kegelisahan.

"Serahkan saja kepadaku...!" Sin Liong lalu ke luar dari jendela, didahului oleh Lin Lin.

Dara itu kemudian menyelinap melalui jalan memutar, ada pun Sin Liong berindap-indap mendekati kamar Bi Cu. Memang benar, dia melihat beberapa bayangan orang bergerak dan menjaga di sekitar kamarnya dan kamar Bi Cu, maka dia mendekam di tempat gelap, mendengarkan.

Tak lama kemudian dia mendengar suara seorang laki-laki, suara seorang muda yang dia tahu tentu seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, menegur Lin Lin.

"Heiii, Lin-moi... engkau sudah pulang? Mana Lan-moi?"

"Aku... aku pulang lebih dulu, tadi perutku sakit, enci Lan melanjutkan perjalanan seorang diri..." terdengar suara Lin Lin menjawab. "Mengapa engkau belum tidur, Sin-ko? Mana ayah?"

"Ayah sudah tidur, aku dan Bu-ko ditugaskan menjaga..."

"Lin-moi, mengapa engkau pulang malam-malam? Bukankah engkau dan Lan-moi ke kota raja?" terdengar suara laki-laki lain dan tahulah Sin Liong bahwa laki-laki ini tentu Kwan Siong Bu dan yang tadi adalah Tee Beng Sin.

Betapa inginnya untuk keluar dan menjumpai mereka, akan tetapi teringat akan keadaan dirinya yang terancam, apa lagi Bi Cu yang mungkin masih tertidur nyenyak karena obat bius, dia menekan keinginan ini dan selagi mereka bercakap-cakap, cepat dia menyelinap menghampiri jendela kamar Bi Cu.

Mudah saja baginya membuka daun jendela itu tanpa mengeluarkan suara dan dia cepat meloncat ke dalam. Kamar itu remang-remang gelap seperti keadaan kamarnya tadi, tapi matanya yang amat tajam dapat melihat Bi Cu rebah miring di atas pembaringan dengan pakaian masih lengkap seperti ketika makan minum tadi.

Dia menghampiri dan ternyata dara itu masih tidur nyenyak sekali. Dia mengguncangnya beberapa kali, akan tetapi Bi Cu bagaikan dalam keadaan pingsan saja, sama sekali tidak bergerak. Maka tanpa ragu-ragu dia lantas memanggul tubuh Bi Cu pada pundak kirinya, merangkul dengan lengan kiri dan dibawanya ke luar dari dalam kamar melalui jendela!

Sin Liong mempergunakan kesempatan selagi Lin Lin mengalihkan perhatian dua orang muda serta para penjaga itu, menjauhi kamar ke sebelah belakang bangunan, kemudian dengan kepandaiannya yang tinggi dia lalu meloncat ke atas genteng tanpa menimbulkan sedikit pun suara, lantas berlarilah Sin Liong membawa tubuh Bi Cu yang masih belum sadar itu, menjauhi dusun itu.

Karena dia sudah tahu bahwa pasukan kerajaan tentu akan melakukan pengejaran, maka dia melarikan diri menuju ke barat di mana nampak pegunungan dari jauh. Dia harus pergi bersama Bi Cu ke utara, akan tetapi tidak boleh sekali-kali melewati kota raja, maka dia cepat mengambil jalan memutar, melalui sebelah barat kota raja di mana terdapat banyak pegunungan liar, kemudian baru ke utara.

Walau pun Sin Liong telah mempunyai ilmu kepandaian yang sangat tinggi dan dia dapat mempergunakan ginkang-nya untuk berlari cepat sekali, tapi malam itu amat gelap hanya diterangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Apa lagi dia harus memanggul tubuh Bi Cu, dan dia lari melalui jalan-jalan liar, maka tentu saja dia harus berhati-hati dan tidak dapat berlari cepat. Bagaimana pun juga, karena pandainya Lin Lin memancing perhatian para penjaga, tidak ada seorang pun dalam rumah keluarga Kui yang mengetahui bahwa dua ekor burung itu telah terbang dari sarangnya!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kui Hok Boan sudah bangun dari tidurnya dan segera dia pergi menuju ke kamar dua orang tamu itu. Hatinya lega melihat betapa Siong Bu dan Beng Sin bersama para penjaga masih berada di depan kedua kamar itu, akan tetapi Kui Hok Boan merasa heran melihat Lin Lin ikut pula menjaga di situ!

"Ehh, engkau sudah pulang? Mana Lan Lan?"

"Ayah, aku pulang lebih dulu. Di tengah perjalanan aku merasa sakit perut dan terpaksa aku kembali malam tadi, sedangkah enci Lan seorang diri melanjutkan perjalanan ke kota raja."

"Hemm, dan sekarang bagaimana sakit perutmu?" ayah ini bertanya sambil memandang wajah puterinya itu yang agak pucat, dan hal ini adalah karena semalam suntuk Lin Lin tidak tidur dan juga diam-diam merasa gelisah. "Mengapa engkau tidak tidur semalam dan ikut berjaga di sini kalau perutmu sakit?"

"Sekarang perutku sudah sembuh, ayah, dan aku memang turut berjaga bersama Bu-ko dan Sin-ko."

Ayah itu termenung sambil mengerutkan alisnya. "Mengapa Lan Lan belum juga pulang? Apa bila dia langsung ke rumah Kwan-ciangkun, seharusnya dia sudah pulang bersama pasukan..."

"Mungkin enci Lan merasa lelah dan bermalam di kota raja, ayah," kata Lin Lin dan Hok Boan mengangguk.

Akan tetapi tetap saja dia tidak merasa puas karena dianggapnya pengiriman pasukan dari kota raja amat lambat. Mestinya pagi-pagi sudah tiba di sini. Kalau pasukan sudah datang dan menangkap Sin Liong dan Bi Cu, baru dia merasa lega. Makin diperpanjang waktunya, makin gelisahlah dia.

Tentu saja dia tidak takut dua orang itu akan mampu melarikan diri, karena kepandaian dua orang muda seperti itu tentu tidak ada artinya baginya, akan tetapi betapa pun juga dia merasa sungkan dan tidak enak terhadap Sin Liong. Maka semakin cepat perkara ini selesai, semakin baiklah. Untuk menenangkan hatinya, dia menghampri kamar Sin Liong lalu mengetuk daun pintu kamar itu.

“Tuk-tuk-tukk…!”

"Liong-ji...! Sin Liong...! Sin Liong...!"

Tidak ada jawaban dari dalam kamar dan Kui Hok Boan menoleh sambil menyeringai, lalu berkata kepada para penjaga itu, "Dia masih tidur nyenyak!"

Kembali dia mencoba dengan ketukan dan panggilan di depan pintu kamar Bi Cu, akan tetapi hasilnya sama saja, tidak ada jawaban dari balik kamar yang tertutup pintunya itu.

"Biarkan mereka tidur, kalian jaga di sini dan jangan lengah sampai pasukan datang," kata Kui Hok Boan dengan hati lega. "Lin Lin, kau agak pucat, hayo kau mengaso ke kamarmu sana. Atau sebaiknya kau makan pagi dulu, baru mengaso."

"Aku ingin ikut berjaga di sini, ayah. Nanti jika sudah lelah, aku baru akan pergi mengaso. Aku menanti kembalinya enci Lan."

Kui Hok Boan mengangguk dan memasuki kamarnya kembali. Hatinya lega. Betapa pun juga, dua orang bocah itu tidak akan melarikan diri. Kalau perlu, sebelum pasukan datang, dan mereka itu hendak melarikan diri, dia dapat menggunakan kekerasan untuk menahan atau menangkap mereka, biar pun kalau bisa, jangan dia yang melakukan penangkapan, biar Kwan-ciangkun bersama pasukannya agar jangan terlampau kentara dia memusuhi mereka itu.

Matahari telah naik tinggi ketika terdengar derap kaki kuda dan Lan Lan muncul dengan muka agak pucat. Kui Hok Boan cepat-cepat menyambut kedatangan puterinya ini dan langsung bertanya,

"Bagaimana?"

Lin Lin juga sudah menyambut kakaknya dan kini mereka berdua berdiri berdampingan di depan ayah mereka dan keduanya memandang kepada Kui Hok Boan dengan sinar mata mengandung kemarahan.

"Ayah sungguh keterlaluan!" tiba-tiba Lan Lan berkata.

"Bagaimana ayah sampai bisa bertindak sekejam itu?" kata pula Lin Lin yang kini berubah sikapnya, tidak pendiam dan pura-pura tidak tahu seperti malam tadi ketika baru pulang sendirian. Kini dia bersikap seperti Lan Lan, menentang ayah mereka.

"Eh, ehh, mengapa kalian ini? Apa maksud kalian?" Kui Hok Boan membentak, pura-pura tidak mengerti.

"Ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun selagi Liong-ko berada di sini. Apa maksud ayah?" kata Lin Lin.

"Ahhh... bukankah kalian sudah kuberi tahu? Supaya Kwan-ciangkun tidak datang ke sini dan..."

"Ayah tidak perlu membohongi kami!" teriak Lan Lan marah. "Ayah melaporkan kehadiran Liong-koko kemudian menyuruh Kwan-ciangkun membawa pasukan datang ke sini untuk menangkap Liong-ko dan enci Bi Cu!"

Kui Hok Boan menarik napas panjang dan tersenyum, mengangguk-angguk. "Ah, kiranya Kwan-ciangkun telah memberi tahu kepadamu, Lan Lan? Hal itu lebih baik lagi. Memang kalian harus tahu, kita tidak mungkin dapat melindungi pemberontak-pemberontak! Selain hal itu amat membahayakan kita, juga memberontak merupakan perbuatan yang sangat berdosa. Kita sebagai rakyat yang baik harus menentang pemberontak-pemberontak, dan mengingat bahwa Sin Liong dengan Bi Cu merupakan keturunan dan murid pemberontak, juga menjadi buronan pemerintah, sudah seharusnya kalau kita melaporkan agar mereka ditangkap."

"Ayah sungguh kejam! Betapa pun juga Liong-koko adalah saudara kami, saudara seibu, sekandung! Kami tak dapat membiarkan dia celaka oleh ayah!" Lan Lan berseru.

"Kami tidak bisa mendiamkan saja ayah melakukan tindakan rendah dan kejam!" Lin Lin menyambung.

"Lan dan Lin! Tahan mulut kalian itu! Ini adalah urusan pribadiku, kalian berdua tidak usah ikut campur. Aku tidak ingin kalian ikut campur, karena itu aku tidak memberi tahu kepada kalian ketika aku mengutus kalian mengirimkan surat kepada Kwan-ciangkun. Akan tetapi Kwan-ciangkun sudah memberi tahu kepadamu, Lan Lan, maka engkau harus mengerti bahwa perbuatan ayahmu ini..."

"Kami tidak tahu dari Kwan-ciangkun! Kami tahu sendiri!" potong Lan Lan dengan berani.

"Dan aku telah membebaskan Liong-ko!" sambung Lin Lin.

Mendengar ini, terkejutlah Kui Hok Boan. Sejenak dia memandang kepada kedua orang puterinya dengan mata terbelalak dan bingung, kemudian dia berlari ke tempat dua orang tamu itu tidur. Siong Bu, Beng Sin dan para penjaga terkejut melihat Hok Boan datang berlari-lari diikuti oleh dua orang dara kembar itu, dan lebih terkejut lagi ketika melihat Hok Boan mendobrak pintu kamar Sin Liong.

"Krakkkk!"

Pintu itu jebol dan terbuka memperlihatkan kamar yang kosong! Kui Hok Boan berlari ke kamar Bi Cu, cepat dibukanya daun pintu dengan kasar dan ternyata kamar itu pun telah kosong.

"Keparat...!" Kui Hok Bean menyumpah-nyumpah, kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadapi dua orang puterinya dengan mata mendelik saking marahnya. "Hayo kalian katakan, apa artinya semua ini!" bentaknya marah.

Akan tetapi kedua orang dara itu menentang pandang mata ayah mereka dengan berani, kemudian Lan Lan berkata lantang, "Kami tidak ingin melihat ayah melakukan perbuatan yang khianat dan kejam, maka kemarin kami berdua lalu berpisah, membagi tugas. Aku melanjutkan perjalanan ke kota raja, dan baru pagi tadi aku menyampaikan surat kepada Kwan-ciangkun..."

"Dan aku cepat kembali ke sini untuk memperingatkan Liong-ko sehingga dia dapat pergi melarikan enci Bi Cu!" sambung Lin Lin.

Kemarahan Kui Hok Boan mencapai puncaknya mendengar ucapan dua orang puterinya itu. "Keparat! Kalian berdua anak-anak durhaka!" bentaknya lantas tangannya bergerak cepat menampar ke depan dua kali.

"Plak! Plak!"

Tubuh Lan Lan dan Lin Lin terpelanting dan pipi mereka menjadi biru membengkak oleh tamparan ayah mereka yang amat keras tadi.

"Ayah boleh membunuh kami!" teriak Lan Lan sambil bangun kembali.

"Lebih baik mati dari pada menjadi pengkhianat kejam!" teriak Pula Lin Lin.

"Jahanam, kalian berani melawan ayah sendiri? Kalian sudah bosan hidup?" Kemarahan Kui Hok Boan membuat dia mata gelap.

Dia telah melangkah maju lagi, siap untuk menghajar. Akan tetapi pada saat itu pula dua orang pemuda cepat maju menghadang dan berlutut di depan Hok Boan. Yang seorang adalah Kwan Siong Bu yang berwajah tampan dan berpakaian rapi, sedangkan pemuda yang ke dua adalah Tee Beng Sin yang berwajah ramah dan bertubuh gendut.

"Harap paman sudi mengampuni adik Lan dan adik Lin, dan... saya bersedia menerima hukuman mewakili mereka..." kata Tee Beng Sin, pemuda gendut itu dengan gerak-gerik dan suara yang lucu sungguh pun dia tidak bermaksud untuk melucu.

"Saya juga mintakan ampun untuk Lan-moi dan Lin-moi. Harap paman jangan khawatir, sekarang juga saya akan mengejar mereka berdua. Agaknya mereka belum lari jauh!" Kwan Siong Bu penuh semangat.

Tiba-tiba saja terdengar suara tawa, kemudian disusul kata-kata nyaring, "Wah, sungguh mengagumkan sekali dua tangkai bunga kembar itu, demikian cantik dan gagah perkasa, pantas menjadi adik-adik Liong-te!"

Semua orang terkejut dan menengok. Betapa kaget dan heran hati mereka ketika mereka semua melihat adanya dua orang yang tahu-tahu telah berdiri di situ, padahal mereka tadi tidak mendengar suara apa pun. Dari mana datangnya kedua orang ini, dan bagaimana mereka bisa masuk tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

Yang seorang adalah pemuda tampan sekali, tampan dan gagah, pakaiannya juga amat indah dan mewah, kepalanya terlindung topi bulu burung berwarna kuning emas. Pemuda inilah yang tadi mengeluarkan suara dan sikapnya amat berwibawa dan angkuh.

Orang ke dua adalah seorang wanita yang juga amat cantik jelita. Pakaiannya mewah, kedua lengan tangannya memakai gelang emas, pedang panjang tergantung di pinggang kiri sedangkan di punggungnya tergendong papan kayu salib.

Kui Hok Boan terkejut setengah mati ketika mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio, ada pun pemuda tampan gagah itu adalah Pangeran Ceng Han Houw! Juga Lan Lan dan Lin Lin mengenal wanita ini. Mana mungkin mereka dapat melupakan wanita yang telah membunuh ibu kandung mereka itu?

Maka, dengan kemarahan yang meluap-luap kedua orang dara kembar ini mengeluarkan teriakan nyaring dan bagaikan menerima komando saja, keduanya itu dengan berbareng telah meloncat ke depan sambil mencabut pedang mereka, kemudian serentak mereka menyerang Kim Hong Liu-nio dengan pedang! Serangan mereka dilakukan dengan ganas karena terdorong oleh kemarahan melihat musuh besar ini.

"Lan dan Lin, jangan...!" Kui Hok Boan berseru kaget.

Akan tetapi kedua orang anak perempuan itu tidak mempedulikan seruan ayah mereka. Bahkan mereka makin gemas saat mendengar larangan ayah mereka itu, teringat betapa dahulu pun ayah mereka ini sama sekali tidak pernah berdaya upaya untuk membalaskan kematian ibu kandung mereka. Dengan nekat mereka menyerang terus biar pun serangan pertama mereka tadi dengan amat mudahnya telah dielakkan oleh Kim Hong Liu-nio.

"Iblis betina keji!" bentak Lan Lan.

"Kau harus menebus kematian ibu!" bentak Lin Lin.

"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Sungguh bersemangat dan menarik sekali!" Ceng Han Houw tertawa girang melihat keganasan dua orang dara kembar itu yang menyerang suci-nya.

"Hemm, pergilah kalian!" bentak Kim Hong Liu-nio.

Dua tangannya bergerak cepat, lengan kiri yang dihias banyak gelang itu menangkis dua kali ke arah pedang sehingga dua batang pedang itu terlepas dari pegangan pemiliknya lantas terpental jauh, sedangkan tamparan perlahan dengan tangan kanan membuat dua orang dara kembar itu terpelanting ke kanan kiri!

"Berani kau merobohkan mereka?!" bentak Kwan Siong Bu marah.

"Engkau wanita kejam!" bentak pula Tee Beng Sin.

Dua orang pemuda ini sudah menerjang maju untuk membela Lan Lan dan Lin Lin. Siong Bu telah mencabut pedangnya, sedangkan Beng Sin juga sudah mengayun golok besar di tangannya.

"Siong Bu! Beng Sin! Mundur kalian!" bentak Kui Hok Boan.

Dua orang pemuda itu terkejut, meragu saling pandang, kemudian melangkah mundur, tidak jadi melanjutkan serangan mereka. Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin sudah bangkit kembali dan biar pun mereka sudah tidak memegang senjata, mereka masih nekat, maju menerjang dan menyerang dengan tangan kosong.

"Lan dan Lin, jangan kurang ajar kalian!" kembali Kui Hok Boan membentak.

Akan tetapi kedua orang dara kembar itu sama sekali tidak mempedulikannya, melainkan terus menyerang dengan pukulan-pukulan yang dahsyat.

"Heiiittt!!" Lan Lan menghantamkan kepalan kanannya ke arah muka musuh besarnya itu.

"Hiaaaaattt!" Lin Lin juga menyerang, menonjok ke arah ulu hati dengan sekuat tenaga.

"Hemm, kalian menjemukan!" bentak Kim Hong Liu-nio sambil menggeser kaki miringkan tubuhnya.

"Plak! Plak!"

Dua kali tangannya bergerak dan ternyata dia telah menotok pundak kedua orang lawan itu. Lan Lan dan Lin Lin mengeluh dan roboh terguling, tidak mampu bergerak lagi.

"Kalian ini bocah-bocah lancang berani menyerangku? Nah, bersiaplah untuk mati!"

"Kouwnio... harap ampunkan mereka...!" Kui Hok Boan meratap!

Lelaki ini memang mempunyai watak pengecut. Karena tahu bahwa wanita itu lihai sekali dan dia tak akan mampu untuk menandinginya, maka dia tidak berani berkutik dan hanya meratap minta ampun melihat nyawa dua orang puterinya terancam bahaya.

Kim Hong Liu-nio menoleh sambil tersenyum mengejek, "Orang she Kui, engkau hendak membela mereka? Majulah!"

"Tidak... tidak... harap kouwnio ampunkan kami..."

Akan tetapi Kim Hong Liu-nio yang merasa dihina oleh dua orang dara kembar itu tidak mempedulikan ratapan ini, dia melangkah maju mengangkat tangan kirinya ke atas dan menampar ke arah kepala Lan Lan dan Lin Lin.

"Plakk!" Sebuah tangan menangkis tamparannya.

"Aihh, suci, jangan bunuh mereka! Mereka ini amat menarik, sayang kalau dibunuh. Wah, sungguh manis dan serupa benar. Amat menarik! Sukar mengenal mana enci mana adik, dan andai kata diberi tahupun aku akan lupa lagi, ha-ha-ha! Kelak aku akan minta kepada Sin Liong agar kedua adiknya ini diserahkan kepadaku."

Aneh sekali, Kim Hong Liu-nio tidak jadi melanjutkan niatnya membunuh dua orang dara kembar itu setelah dicegah oleh sute-nya. Dan pada saat itu terdengar derap kaki banyak kuda, dan muncullah Kwan-ciangkun memasuki ruangan itu.

"Hee, Kui-sicu, di mana buronan-buronan itu?" begitu memasuki ruangan, Kwan-ciangkun berseru kepada Kui Hok Boan. "Ah, kiranya paduka telah mendahului ke sini, pangeran?" Dia memberi hormat kepada Ceng Han Houw, kemudian memberi hormat pula kepada Kim Hong Liu-nio sambil berkata, "Dengan adanya lihiap dan pangeran di sini sebetulnya tak perlu lagi mengerahkan pasukan menangkap dua orang buronan pemberontak kecil, ha-ha-ha!"

Ketika melihat munculnya sahabatnya ini, maka legalah hati Kui Hok Boan. "Wah, celaka, Kwan-ciangkun, tadi malam kedua orang itu telah berhasil meloloskan diri dan melarikan diri!"

"Ahhh...?!" Kwan-ciangkun berseru kaget.

"Ha-ha-ha, berkat ketangkasan dua orang dara kembar yang cantik dan gagah ini!" kata Han Houw.

"Orang she Kui, ke mana larinya mereka?"

Pertanyaan yang diajukan oleh Kim Hong Liu-nio dengan suara dingin ini membuat Kui Hok Boan gelagapan. "Mereka dan saya kemarin berbicara tentang Lembah Naga, sudah pasti mereka itu lari menuju ke utara. Saya... saya berani bertaruh nyawa bahwa mereka pasti melarikan diri ke utara."

"Jika lari ke utara, tentu bertemu dengan pasukan kami di jalan!" bantah Kwan-ciangkun.

"Hemm, mereka itu tentu tidak berani melalui kota raja! Mengapa engkau begitu bodoh? Hayo, coba engkau pergunakan pikiranmu, ke mana kiranya kedua orang buronan itu lari, Kwan-ciangkun?" Han Houw bertanya sambil mentertawakan perwira itu.

Perwira she Kwan itu kelihatan bingung, mukanya berubah merah dan sikapnya gugup. "Menurut penuturan Kui-sicu, agaknya mereka melarikan diri ke utara, akan tetapi kalau ke utara tentu bertemu dengan pasukan kita... maka agaknya... ehh, mereka itu tidak lari ke utara, pangeran."

"Ha-ha-ha, jawabanmu itu bodoh sekali, Kwan-ciangkun. Dan aku tahu bahwa Sin Liong sangat cerdik. Coba bayangkan seandainya engkau menjadi dia. Engkau tahu bahwa dari utara datang serombongan pasukan seperti diceritakan oleh dua adik tiri yang manis itu, padahal engkau hendak melarikan diri ke utara, maka jalan mana yang akan kau ambil? Melarikan diri ke utara sudah pasti tak mungkin melalui selatan, hanya bisa melalui barat atau timur. Dan karena engkau tahu bahwa pasukan tentu akan melakukan pengejaran, maka jurusan mana yang akan kau ambil? Bila melalui timur berarti melalui dusun-dusun dan kota-kota terbuka, sedangkan melalui barat berarti melalui daerah pegunungan dan hutan-hutan."

Wajah Kwan-ciangkun berseri. "Ahh, kalau begitu mereka tentu lari menuju ke barat!"

Pangeran Ceng Han Houw juga tertawa mengejek. "Kalau begitu, mengapa engkau tidak lekas mengejarnya?"

Perwira itu memberi hormat. "Terima kasih, pangeran!" lalu dia mengeluarkan aba-aba dan tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda pasukan itu membalap ke arah barat.

Kim Hong Liu-nio menghampiri Kui Hok Boan, memandang sejenak lalu berkata dengan suara dingin, "Hemm, orang she Kui, kembali engkau melibatkan dirimu, dahulu dengan isteri orang she Cia dan kini malah dengan puteranya."

"Akan tetapi, kouwnio, saya sudah berusaha untuk menghubungi Kwan-ciangkun supaya menangkap mereka...," Kui Hok Boan membantah dengan wajah pucat.

"Dan siapa yang memberi tahu mereka sehingga lolos? Dua orang puterimu ini, bukan? Seharusnya kubunuh mereka, akan tetapi karena pangeran sayang pada mereka, maka engkau ayahnya yang sepatutnya menjadi gantinya!" Wajah Kui Hok Boan semakin pucat, dan terdengar Ceng Han Houw tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, suci, hayo potong saja hidungnya atau sepasang telinganya!"

Orang she Kui itu makin ketakutan. Dia tahu bahwa melawan wanita itu akan sia-sia saja, kepandaiannya masih terlalu jauh untuk dapat menandinginya, dan dia tidak melihat jalan lain untuk menyelamatkan dirinya, apa lagi sesudah melihat betapa Kwan-ciangkun tadi sangat takut kepada pemuda tampan yang disebut pangeran ini. Kedua kakinya menjadi lemas dan dia menjatuhkan dirinya, berlutut di depan dua orang itu!

"Ampunkan hamba... ampunkan hamba..." ratapnya.

Lan Lan dan Lin Lin yang sudah mengambil kembali pedang mereka yang tadi terlempar, tiba-tiba melompat ke depan ayah mereka dengan pedang di tangan.

"Jangan membunuh ayah kami!" bentak Lan Lan.

"Kalau kami yang bersalah, hukumlah kami, ayah kami tidak bersalah!" bentak Lin Lin.

Dua orang dara kembar itu berdiri berdampingan dengan pedang di tangan, wajah mereka yang cantik itu memerah dan mereka siap bertanding mati-matian untuk melindungi ayah mereka.

Melihat betapa sang ayah berlutut minta ampun dengan wajah pucat namun sebaliknya dua orang anak kembar itu berdiri menentang dan melindungi ayah mereka dengan wajah merah, Ceng Han Houw bertepuk tangan memuji.

"Ha-ha-ha, sungguh mengherankan sekali seekor ular tanah yang merayap dapat memiliki dua orang anak seperti sepasang naga terbang di angkasa! Betapa gagahnya, alangkah cantiknya. Suci, biarkan aku menghadapi mereka!"

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Sambil tersenyum manis pangeran itu melangkah maju mendekati sepasang dara kembar itu, memandang mereka penuh kagum. "Nona berdua sungguh manis dan gagah sekali, benarkah kalian hendak melindungi ayah kalian?"

"Akan kami bela sampai mati!" Lan Lan menjawab tegas sambil memandang pangeran itu dengan mata bersinar penuh ketekadan.

"Hemm, kalian hebat! Dari pada menggunakan kekerasan, bukankah lebih baik kalian ikut bersamaku menjadi kekasihku dan kami akan mengampuni ayah kalian?"

"Tidak sudi!" bentak Lin Lin marah.

"Lebih baik kami mati!" teriak pula Lan Lan.

Han Houw menoleh kepada suci-nya yang memandang dengan wajah dingin saja. "Lihat, suci, betapa gagahnya mereka ini! Sayang masih terlampau muda, seperti bunga belum mekar benar. Beri waktu satu dua tahun lagi dan mereka akan menjadi sepasang bunga yang semerbak harum dan hebat!" Kemudian pangeran ini kembali menghadapi Lan Lan dan Lin Lin. "Engkau belum tahu aku siapa, maka biarlah kita saling berkenalan melalui pertandingan. Nah, aku akan membunuh ayah kalian, kalian boleh membelanya!"

Dengan tertawanya yang memikat Han Houw lalu menggertak hendak memukul Kui Hok Boan. Melihat ini Lan Lan dan Lin Lin langsung menerjangnya dan menyerang dengan pedang mereka, bukan hanya untuk mencegah pangeran itu mengganggu ayah mereka melainkan juga untuk merobohkan pangeran yang ceriwis itu.

Akan tetapi, dengan sangat mudahnya Han Houw menghindarkan sambaran dua batang pedang itu sambil tertawa-tawa menggoda. Lan Lan dan Lin Lin menjadi makin marah dan mereka sudah nekat hendak mengadu nyawa. Hati kedua orang dara kembar ini sudah merasa sakit bukan main, bukan hanya sakit karena melihat penghinaan-penghinaan dua orang ini, terutama sekali sakit melihat sikap ayah mereka yang mereka anggap sangat pengecut dan memalukan itu.

Melihat ayahnya berlutut sambil meratap-ratap minta ampun, mereka tak dapat menahan rasa jijik dan malu, maka mereka nekat maju menentang dua orang itu biar pun mereka cukup maklum bahwa mereka, terutama wanita iblis musuh besar mereka itu, mempunyai kepandaian yang sangat lihai. Kini, melihat pangeran itu bermaksud kurang ajar terhadap mereka, Lan Lan dan Lin Lin sudah menyerangnya dengan nekat dan mati-matian, sambil mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga mereka.

Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat hebat pula! Betapa pun mereka menyerang dengan ganasnya, namun tak pernah ujung pedang mereka dapat menyentuh tubuh pengeran itu yang hanya berloncatan ke sana-sini sambil tersenyum girang seperti seekor harimau yang mempermainkan dua ekor kelinci sebelum diterkamnya!

"Ha-ha-ha, cukuplah, kalian berdua benar-benar memiliki semangat berkobar-kobar, kelak akan menjadi kekasih yang menyenangkan sekali!" kata pangeran itu.

Akan tetapi ucapan ini bahkan makin mengobarkan api kemarahan di hati sepasang dara kembar itu, maka sambil berseru nyaring mereka menusukkan pedang mereka ke arah dada pangeran itu dengan kekuatan sepenuhnya. Tiba-tiba saja dua tangan pangeran itu bergerak mendahului.

"Tukk! Tukk!"

Jari tangan kanan kiri sudah berhasil menotok pundak kiri dua orang dara itu dan di lain saat dia sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang sehingga Lan Lan dan Lin Lin tidak mampu berkutik lagi.

Ketika Lan Lan dan Lin Lin hendak menggerakkan tangan kiri, ternyata lengan kiri mereka sudah lumpuh tertotok, dan pada saat itu, sambil tersenyum Han Houw lantas melangkah maju dan mencium pipi dua orang dara kembar itu bergantian. Lan Lan dan Lin Lin hanya mampu menarik muka mereka untuk mengelak, akan tetapi tetap saja pipi mereka kena dicium!

"Lepaskan mereka!" Siong Bu meloncat ke depan diikuti oleh Beng Sin.

"Siong Bu! Beng Sin, jangan lancang. Mundur kalian!" bentak Kui Hok Boan yang masih berlutut.

Dua orang muda itu kembali menahan kemarahan mereka dan tidak jadi bergerak, malah mundur kembali. Sementara itu, Han Houw sudah menepuk pundak kanan Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara itu mengeluh lirih dan roboh dengan tubuh lemas!

"Ha-ha-ha, menyenangkan sekali! Eh, orang she Kui, aku mengampunkan engkau, akan tetapi engkau harus berjanji bahwa setahun lagi engkau akan menyerahkan kedua orang puterimu ini kepadaku. Antarkan saja ke istana dan cari aku, Pangeran Ceng Han Houw. Mengertikah engkau?"

Kui Hok Boan yang masih berlutut itu mengangguk-angguk. "Hamba mengerti dan hamba menghaturkan terima kasih atas anugerah ini, pangeran!" Dan memang orang she Kui itu girang bukan main. Kalau dua orang puterinya menjadi isteri pangeran, maka tentu saja derajatnya akan naik tinggi sekali!

"Suci, hayo kita cepat mengejar Sin Liong!" Han Houw berkata dan sekali berkelebat, dia lenyap dari situ. Kim Hong Liu-nio mendengus ke arah Kui Hok Boan, lalu berkelebat pula dan lenyap!

Kui Hok Boan, Siong Bu dan Beng Sin melongo keheranan dan bergidik melihat kelihaian dua orang yang seperti iblis itu. Kui Hok Boan lalu menghampiri dua orang puterinya dan membebaskan totokan atas diri mereka. Setelah dua orang puterinya itu bangkit berdiri, Kui Hok Boan mengelus jenggotnya memandang kepada mereka.

"Bagus sekali nasib kita, terutama sekali nasibmu, Lan dan Lin, kalian menjadi tunangan seorang pangeran."

Lan Lan dan Lin Lin memandang kepada ayah mereka dengan sepasang mata terbelalak, seolah-olah ditampar karena mereka sungguh tidak mengerti mengapa ayahnya bersikap serendah itu. Mereka mengeluh dan berlari memasuki rumah sambil menangis!

Kui Hok Boan menyangka bahwa mereka itu seperti biasanya anak-anak perawan kalau mendengar tentang perjodohan mereka, merasa malu dan menangis, maka dia mengikuti mereka dengan suara ketawa puas.

"Paman, sebaiknya paman membawa Lan-moi beserta Lin-moi dan cepat pergi dari sini!" tiba-tiba Kwan Siong Bu berkata.

Kui Hok Boan menghentikan tawanya dan memandang heran. "Ehh, kenapa?"

"Bu-ko benar, paman. Sebelum mereka itu datang lagi, sebaiknya paman dan kedua adik sudah pergi dari sini dan Lan-moi berdua Lin-moi tidak akan menjadi korban!"

"Eh, ehh, apakah kalian sudah menjadi gila? Lan Lan dan Lin Lin akan menjadi isteri atau setidaknya selir-selir seorang pangeran! Itu merupakan suatu kehormatan besar! Mereka akan hidup mulia dan mewah dalam istana, dan aku... aku akan disebut mertua pangeran. Ha-ha-ha, siapa kira kemuliaan akan kudapatkan melalui kedua anak kembarku itu!"

Siong Bu dan Beng Sin saling pandang dan muka mereka menjadi pucat. "Akan tetapi, paman! Lan-moi dan Lin-moi akan menjadi permainan pangeran keparat itu!" Siong Bu berseru.

"Dan mereka berdua tidak sudi menjadi permainan pangeran itu!" sambung Beng Sin.

Kui Hok Boan memandang kepada mereka berdua dengan alis berkerut. "Hal ini bukan urusan kalian dan kalian tidak usah mencampuri! Dan lain kali, tanpa perintahku, kalian tidak boleh lancang hendak turun tangan. Apa kalian sangka kalian akan dapat menang melawan pangeran dan suci-nya itu? Mereka adalah orang-orang sakti, selain sakti juga berkedudukan tinggi di istana! Menjadi musuh pangeran jelas celaka, sama saja dengan bunuh diri. Akan tetapi menjadi mertuanya, hemmm, bahkan derajat kalian sendiri akan ikut terangkat! Pergilah!"

Dua orang pemuda itu dengan wajah pucat lalu pergi meninggalkan Kui Hok Boan yang masih berseri-seri membayangkan betapa bahaya maut yang baru saja mengancam dia sekeluarga berubah menjadi berkah yang sama sekali tak pernah dimimpikannya! Menjadi mertua pangeran! Bayangkan saja!

Akan tetapi, bayangan-bayangan muluk dari Kui Hok Boan ini pada keesokan harinya berubah menjadi kebingungan dan kemarahan ketika melihat kedua orang puterinya tidak berada di dalam kamar mereka. Kamar itu sudah kosong dan dua orang puterinya telah lolos dan pergi meninggalkan rumah dengan membawa beberapa potong pakaian serta uang bekal, tanpa meninggalkan surat atau jejak.

Lan Lan dan Lin Lin sudah lolos dan pergi dari rumah itu karena mereka merasa muak dengan sikap ayah mereka, dan terutama sekali karena mereka tak sudi diserahkan oleh ayahnya kepada pangeran itu! Mereka berdua mengambil keputusan untuk minggat dan mencari Sin Liong karena dari pada ikut dengan ayah mereka yang berwatak pengecut, pengkhianat dan penjilat itu, mereka lebih suka ikut merantau bersama kakak tiri mereka!

Tentu saja Kui Hok Boan menjadi bingung dan panik bagaikan kebakaran jenggot! Bukan saja dia sudah kehilangan dua orang puteri yang dicintanya, akan tetapi juga kehilangan bayangan muluk itu, dan terutama sekali dia akan terancam bahaya dari pihak pangeran itu dan suci-nya bila mana sampai dia tidak dapat menemukan kembali dua orang puteri mereka.

"Siong Bu! Beng Sin! Apa kerja kalian ini sampai tidak tahu mereka itu melarikan diri? Hayo kalian pergi mencari mereka sampai dapat! Dan jangan pulang kalau belum berhasil menemukan mereka!" bentaknya dengan marah kepada dua orang pemuda itu.

Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin lalu membawa senjata dan pakaian, berangkat mencari dua dara kembar itu dan supaya lebih cepat bisa berhasil, mereka lalu berpencar, Siong Bu mengejar ke barat dan Beng Sin mengejar ke timur. Tinggal Kui Hok Boan seorang diri dan dia duduk termenung di depan rumah, wajahnya muram membayangkan kedukaan, kekecewaan dan kekhawatiran.

Setiap keinginan untuk menyenangkan diri sendiri SELALU mendatangkan pertentangan, kebencian dan kesengsaraan! Keinginan untuk menyenangkan diri sendiri ini dapat saja berselubung dengan pakaian atau istilah yang lebih tinggi, lebih halus atau lebih mulia, seperti demi kebahagiaan anak, demi kemajuan golongan, demi partai, demi agama, atau demi bangsa. Padahal, semua itu hanya berintikan ‘demi aku’ yang berarti pengejaran keinginan untuk senang pribadi itulah!

Di mana terdapat pamrih menyenangkan diri sendiri, di situ sudah pasti TIDAK ADA cinta kasih! Pamrih menyenangkan diri pribadi meniadakan cinta kasih, karena demi untuk mencapai kesenangan itu segala sesuatu adalah benar atau salah disesuaikan dengan tujuan mencapai kesenangan itu. Dan siapa pun juga orangnya, yang menjadi perintang untuk mencapai kesenangan bagi diri sendiri, sudah pasti akan ditentang, dibenci dan dimusuhi. Maka terjadilah pertentangan, permusuhan, kebencian, yang kesemuanya itu merupakan pintu-pintu yang lebar menuju jurang kesengsaraan.

Seperti juga Kui Hok Boan dalam menghadapi perkara itu. Bisa saja dia mengemukakan alasan bahwa kalau sampai kedua orang puterinya menjadi isteri atau selir pangeran, tentu dua orang puterinya itu akan berbahagia hidupnya. Seolah-olah kebahagiaan kedua orang puterinya itu dialah yang menentukan! Dan bila dua orang puterinya itu menentang, dia lalu menjadi marah, benci, duka, kecewa! Inikah yang dinamakan cinta kasih orang tua terhadap anaknya?

Betapa banyaknya orang tua yang baik disadarinya mau pun tidak, bertindak seperti Kui Hok Boan ini, dan toh masih merasa benar selalu. Benarnya sendiri! Orang tua seperti ini selalu menganggap bahwa dia LEBIH MENGERTI, lebih berpengalaman, lebih ini dan itu sehingga dia berhak menentukan jalan hidup anaknya menurut dia, dan kalau anaknya menurut tentu akan berbahagia! Semua diaturnya, dengan alasan demi anaknya demi kebahagiaan anaknya, akan tetapi kalau si anak menolak dia lantas menjadi marah dan membenci anaknya!

Inikah cinta kasih? Yang setiap saat berubah menjadi benci bila keinginannya dibantah? Betapa bodohnya, betapa butanya! Bukankah orang yang mencinta akan merasa turut berbahagia kalau melihat orang yang dicintanya itu berbahagia dan turut berduka kalau melihat orang yang dicintanya itu sengsara? Cinta yang menuntut kesenangan untuk diri pribadi sama sekali bukan cinta, melainkan nafsu memuaskan diri sendiri belaka.

Orang bisa saja, dan semua ini adalah karena lihainya sang pikiran, lihainya sang aku, menyelubungi pula si aku yang ingin senang sendiri itu dengan istilah yang muluk-muluk, seperti pengorbanan. Cinta adalah pengorbanan, katanya. Padahal, orang yang merasa telah berkorban diri demi cinta juga menginginkan kesenangan melalui pengorbanan itu, yang menimbulkan bangga diri merasa suci, dan sebagainya lagi yang tak lain tak bukan juga merupakan kesenangan, yang dikejar. Dan semua bentuk kesenangan, yang kasar, yang halus, yang rendah, yang tinggi, selalu pasti dibayangi oleh kekecewaan, kebosanan dan kedukaan.

Orang tua yang bijaksana tak akan mengekang anaknya, tidak akan menekan anaknya, tidak akan mempergunakan anaknya untuk menyenangkan diri sendiri, membanggakan diri sendiri, tidak akan memperalat si anak untuk mendatangkan kepuasan, kebanggaan, atau kesenangan bagi diri sendiri. Tidak mengekang, bukanlah berarti acuh tak acuh, bukan berarti tidak peduli kepada si anak. Sebaliknya malah.

Cinta kasih selalu diikuti perhatian yang menyeluruh! Perhatian terhadap si anak, bukan terhadap keinginan diri sendiri! Kalau di sini ada keinginan, maka satu-satunya keinginan hanyalah melihat anaknya menjadi seorang manusia yang bahagia, benar dan bajik, di samping pelajaran-pelajaran yang menjadi syarat dalam kehidupan di dunia ramai.

Sungguh patut disayangkan betapa hampir saja sebagian orang tua hanya ingin melihat anaknya menjadi orang yang berhasil, dalam arti kata menjadi kaya raya, berkedudukan tinggi, dihormati, tidak kalah oleh orang-orang lain, dan sebagainya lagi. Padahal, jelas nampak bahwa kebahagiaan bukan terletak dalam kesemuanya itu.

                 ***************

"Eh, di manakah aku...?" Bi Cu membuka matanya dan ketika dia melihat bahwa dirinya berada di dalam pondongan Sin Liong, dia cepat meronta.

Sin Liong melepaskannya dan mereka berdiri saling pandang. Malam sudah berganti pagi biar pun sang matahari sendiri masih belum nampak cahayanya telah menciptakan sinar kuning keemasan yang cerah di permukaan bumi.

"Di mana kita...? Dan mengapa engkau memondongku ke tempat ini, Sin Liong?" Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada menegur dan pandang matanya penuh tuntutan.

"Ahh, engkau tidak tahu, Bi Cu. Semalam suntuk aku terpaksa berlari-lari memondongmu sampai ke sini akibat dikejar-kejar orang!" Sin Liong pura-pura mengomel dan memijit-mijit lengan kirinya yang memondong tadi.

"Semalam suntuk dikejar-kejar orang? Dan aku terus kau pondong? Aihhh, sungguh luar biasa sekali! Kenapa aku tidak terbangun? Padahal biasanya, walau pun aku sedang tidur nyenyak sekali, sedikit suara nyaring saja sudah cukup untuk membangunkan aku, apa lagi sampai dipondong dan dibawa lari semalaman suntuk! Aneh sekali!" Dara remaja itu memijit-mijit pelipisnya. "Dan aku masih merasa pening..."

"Tidak aneh karena engkau telah menjadi korban minuman yang mengandung obat bius."

"Aku? Dibius? Ahh, Sin Liong, apakah yang sudah terjadi? Bukankah kita tadinya menjadi tamu dari ayah tirimu... ahh, kini ingat aku! Apakah kau maksudkan arak itu mengandung obat bius?" Sepasang mata itu terbelalak dan bersinar-sinar demikian tajam seolah-olah dapat menembus dada Sin Liong.

Sin Liong menarik napas panjang, teringat akan pengkhianatan Kui Hok Boan dan juga pertolongan kedua orang adik tirinya. Sepanjang malam ketika dia melarikan diri, dua hal ini selalu terbayang di dalam ingatannya, membuat dia terheran-heran dan bingung. Ayah tirinya mengkhianatinya akan tetapi puteri-puteri ayah tirinya itu demikian baik kepadanya. Tidak tahu dia apakah hal itu akan membuat dia menangis atau tertawa!

"Bi Cu, dugaanmu benar. Arak yang disuguhkan kepada kita itu mengandung obat bius, sebab itu setelah minum beberapa cawan engkau lalu terbius dan tidur nyenyak semalam suntuk hingga engkau bahkan tak merasa bahwa engkau kubawa lari sepanjang malam."

"Akan tetapi... engkau sendiri kulihat juga minum arak itu, kenapa engkau tidak terbius?"

Gadis ini terlampau cerdas, kalau dia tidak berhati-hati, mana dia dapat menyembunyikan kepandaiannya? Matanya terlalu awas, otaknya terlalu tajam!

"Ah, aku pun tadinya sudah terbius dan sudah merasa pening ketika kita bersama menuju ke kamar kita masing-masing, akan tetapi belum kuceritakan kepadamu bahwa di dalam perantauanku, aku pernah bekerja kepada toko obat sehingga aku tahu gejalanya ketika itu. Karena pening itu aku dapat menduga bahwa aku minum obat bius, maka aku cepat menelan pil penawar racun yang kebetulan hanya tinggal sebuah dan selama ini kusimpan dalam saku baju. Pil itu menawarkan racun obat bius itu sehingga aku tidak sampai tidur nyenyak seperti engkau, Bi Cu."

"Ahh, engkau licik akan tetapi ceroboh, Sin Liong. Semestinya dalam keadaan seperti itu lebih baik kalau engkau memberikan obat itu kepadaku sehingga bukan aku yang terbius, melainkan engkau."

"Ehh? Kenapa begitu?"

"Kalau engkau yang terbius dan aku masih sadar, bukankah aku dapat melindungimu apa bila ada bahaya mengancam? Dalam keadaan semacam itu yang lebih kuat berkewajiban menghadapi bahaya yang mengancam."

Sin Liong tersenyum. "Baiklah, lain kali akan kuingat kata-katamu itu, Bi Cu."

"Sudahlah, buktinya engkau juga berhasil menyelamatkan diri kita, hanya kasihan, engkau harus memondongku semalam suntuk, tentu pegal-pegal rasa lenganmu."

Sin Liong memijit-mijit lengannya. "Seperti hampir patah rasanya!"

Akan tetapi sekarang teringat olehnya betapa hangat dan lunak tubuh yang dipondongnya semalam itu, biar pun ketika melarikan diri dia tidak ingat sama sekali akan hal itu, dan baru sekarang dia teringat yang membuat jantungnya berdebar aneh.

"Akan tetapi... mengapa ayah tirimu itu membius kita, Sin Liong? Padahal dia begitu baik dan ramah..." Bi Cu tiba-tiba menahan kata-katanya karena teringat kini betapa sinar mata tuan rumah itu amat kurang ajar seperti hendak menelanjanginya, sinar mata yang seperti dapat dia rasakan menjelajahi tubuhnya, sinar mata cabul!

Kembali Sin Liong menarik napas panjang. Inilah bagian-bagian yang paling sukar dalam pertanyaan-pertanyaan Bi Cu, dan dia tidak boleh berbohong. "Bi Cu, Kui Hok Boan itu hendak menangkap kita, hendak menyerahkan kita kepada pasukan pemerintah, bahkan dia telah mengirim surat kepada seorang perwira di kota raja, memberi tahukan mengenai adanya kita di rumahnya."

"Ahhh, sungguh jahat!" teriak Bi Cu. "Sungguh sikap manisnya itu hanya sebagai topeng domba di balik muka srigala! Akan tetapi... bagaimana engkau kemudian bisa mengetahui pengkhianatannya itu dan dapat melarikan diri, bahkan membawa aku yang masih terbius nyenyak?" Gadis itu memandang penuh perhatian pada wajah Sin Liong, seperti hendak menyelidiki keadaan pemuda itu.

"Kalau tidak ada Lan-moi dan Lin-moi, tentu sekarang kita sudah tertawan oleh pasukan kerajaan, Bi Cu. Tadi malam, tanpa diketahui orang lain Lin-moi memasuki kamarku lewat jendela lantas dia menceritakan semuanya. Dia bersama Lan-moi disuruh mengantarkan surat oleh ayah mereka untuk seorang perwira di kota raja. Karena merasa curiga mereka berdua membuka surat itu di tengah jalan maka tahulah mereka bahwa surat itu berisi pemberi tahuan bahwa kita berada di rumah mereka. Karena tidak berani membangkang, Lan-moi melanjutkan perjalanan ke kota raja, akan tetapi surat itu baru akan diserahkan pagi hari tadi, sedangkan Lin-moi bertugas pulang untuk memberi tahu kepada kita. Nah, setelah mendengar penuturan Lin-moi itu, aku lalu memasuki kamarmu lewat jendela dan membawamu kabur dari sana, dibantu oleh Lin-moi yang menarik perhatian para penjaga sehingga mudah bagiku untuk berlari keluar."

"Hebat sekali! Adik-adik tirimu itu sungguh manis dan gagah, Sin Liong, aku makin suka kepada mereka! Sungguh aneh, ayah tirimu itu demikian curang, akan tetapi sebaliknya anak-anaknya demikian baik. Bagaimana ini?"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Aku sendiri pun tak mengerti, semalam suntuk dua hal yang berlawanan itu menghantui pikiranku."

"Aihhh, aku tahu! Tentu saja begitu..." Tiba-tiba Bi Cu berseru dan wajahnya berseri-seri, sikapnya seperti orang yang baru saja dapat memecahkan suatu teka-teki yang sulit.

"Apa yang kau tahu? Bagaimana?"

"Tentu saja! Ayah tirimu itu seorang yang curang dan khianat, pendeknya seorang yang jahat! Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin tidak menuruti watak ayah mereka, tetapi mewarisi watak gagah dan baik dari mendiang ibumu! Tentu saja begitu, maka mereka demikian baik."

Sin Liong mengangguk-angguk, dan dia dapat percaya pendapat ini, juga hatinya girang sebab ucapan Bi Cu itu sekaligus memuji-muji ibunya yang dikatakannya gagah dan baik, padahal Bi Cu belum pernah bertemu dengan ibunya.

"Sin Liong, marilah kita kembali ke sana. Aku harus menghajar ayah tirimu yang curang dan jahat itu!" tiba-tiba Bi Cu berkata sambil mengepal tinjunya.

Diam-diam Sin Liong tersenyum dalam hati melihat lagak ini. Dia tahu bahwa kepandaian Bi Cu masih jauh untuk dapat menandingi kepandaian ayah tirinya.

"Mana mungkin itu, Bi Cu? Sekarang pun agaknya sudah ada pasukan yang menuju ke dusun itu, bahkan setelah menerima penjelasan, tentu akan mengejar kita ke sini."

"Ohh! Kalau begitu, bagaimana baiknya? Di mana kita ini sekarang, dan hendak pergi ke mana?"

"Aku sengaja mengambil jalan pegunungan yang penuh hutan liar ini, Bi Cu. Aku berlari menuju ke barat dan setelah sampai di sini, kita menyusuri pegunungan ini membelok ke utara. Kita akan pergi ke Lembah Naga dan ke tempat tinggal mendiang ayahmu untuk menyelidiki kematian ayahmu, tanpa melewati kota raja."

"Baik, dan aku berterima kasih kepadamu, Sin Liong," Bi Cu memegang lengan pemuda itu. "Percayalah, kalau ada kesempatan, aku akan membalas pertolonganmu itu, dan aku tidak akan ogah untuk menggendongmu semalam suntuk!"

"Wah, kalau bisa jangan terjadi hal itu. Sebagai seorang laki-laki yang digendong seorang wanita, aku pasti akan ditertawakan orang,." Sin Liong menjawab. "Mari kita melanjutkan perjalanan. Di depan itu ada hutan besar, kita memasuki hutan dan mencari sesuatu yang dapat dimakan."

Demikianlah, pemuda dan pemudi remaja ini lalu melanjutkan perjalanan mereka, masuk keluar hutan, naik turun gunung dan jurang-jurang karena mereka melalui jalan liar yang sama sekali tidak mereka kenal. Penunjuk jalan mereka hanyalah matahari. Mereka tahu arah utara, yaitu jika pagi hari matahari berada di sebelah kanan mereka dan pada sore hari matahari berada di sebelah kiri mereka.

Kadang-kadang mereka melewati dusun pegunungan dan di setiap dusun mereka diterima dengan ramah dan baik oleh para penghuni dusun yang rata-rata berwatak polos, jujur dan penuh peri kemanusiaan itu. Akan tetapi Sin Liong dan Bi Cu yang masih hijau dan belum berpengalaman dalam taktik sebagai buronan itu tidak tahu bahwa justru di dusun-dusun inilah mereka meninggalkan jejak yang sangat jelas! Para pemburu mereka tentu akan mudah mencari keterangan tentang mereka di dusun-dusun ini, dan tentu para penghuni dusun yang jujur itu akan menceritakan kepada siapa pun juga tentang mereka berdua!

Mereka telah melakukan perjalanan beberapa hari lamanya dan mereka sudah melewati batas Propinsi Ho-pei dan Shen-si, melalui kaki Pegunungan Tai-hang-san. Pada hari itu, pagi-pagi sekali mereka telah tiba di depan sebatang sungai yang besar dan karena pada waktu itu banyak turun hujan, maka air sungai meluap dan membanjir! Tidak nampak satu pun perahu di sekitar tempat itu, maka dua orang muda itu berdiri di tepi pantai dengan bimbang ragu dan bingung.

"Wah, mengapa sungai ini menghalangi perjalanan kita?" Bi Cu mengomel dan bersungut-sungut.

"Aihh, Bi Cu, engkau sungguh tidak adil apa bila menyalahkan sungai ini. Sudah beratus tahun, mungkin ribuan tahun lamanya, sungai ini tentu sudah berada di sini dan mengalir tiada hentinya. Dan hari ini, kita yang muncul di sini. Mengapa kau menyalahkan dia yang tidak berdosa? Lebih tepat menyalahkan kita yang mengambil jalan sampai di sini."

Bi Cu semakin cemberut. "Menyalahkan sungai tidak benar, menyalahkan diri sendiri pun apa gunanya? Sekarang ini bagaimana? Menyeberang sungai ini tanpa perahu, sungguh tidak mungkin!"

"Heran mengapa tidak ada perahu di sini?" Sin Liong menoleh ke kanan kiri.

"Tidak heran! Sungai banjir begini, tentu para nelayan sudah pergi. Mau apa berperahu di tempat berbahaya begini? Ikan-ikan pun tentu pada sembunyi, dan tidak ada pelancong yang begitu gila untuk menyeberang. Tentu perahu-perahu itu sudah ditarik ke darat oleh para nelayan agar jangan diseret pergi oleh air bah."

"Wah-wah, agaknya engkau mengerti betul tentang kehidupan nelayan."

"Tentu saja! Suhu pernah mengajakku hidup beberapa bulan di perkampungan nelayan dan aku malah pernah membantu mereka mencari ikan."

"Kalau begitu engkau tentu pandai berenang?"

"Tentu saja!"

"Wah, engkau ini gadis si segala bisa!"

"Apa engkau tidak pandai berenang, Sin Liong?"

Tentu saja Sin Liong dapat berenang dengan baik, karena ketika dia hidup secara liar di dalam hutan pun dia sudah sering kali mandi di telaga kecil di dalam hutan yang cukup dalam. Akan tetapi dia menggelengkan kepala dan merenungi sungai itu, seperti hendak mengukur dan menaksir dengan pandang matanya apakah mungkin menyeberangi sungai lebar yang sedang banjir itu dengan cara berenang.

"Bi Cu, apakah engkau dapat berenang menyeberangi sungai ini?"

"Hanya orang gila yang akan berenang menyeberangi sungai banjir seperti ini! Dia tentu akan hanyut dan tewas. Tidak, kurasa aku tak akan mampu menyeberanginya, Sin Liong. Lebih baik kita mencari perahu. Kalau kita menyusuri tepi sungai, tentu akhirnya kita akan bertemu orang yang mempunyai perahu."

Sin Liong setuju dan mereka berdua lalu berjalan mengikuti aliran sungai yang menuju ke timur itu. Setelah matahari naik tinggi, mereka tiba di sebuah perkampungan nelayan dan benar seperti diduga oleh Bi Cu tadi, perahu-perahu nelayan itu mereka ungsikan sampai jauh ke daratan supaya jangan terseret oleh banjir, dan setiap perahu itu dicancang pada sebatang pohon.

Giranglah hati mereka berdua melihat ini, lantas dengan wajah berseri mereka berlari-lari menghampiri sebuah rumah yang berada pada barisan pertama. Sin Liong menghampiri daun pintu rumah itu dan mengetuknya. Ketukan itu seperti aba-aba saja karena serentak muncullah banyak orang dengan pakaian seragam. Pasukan tentara kerajaan! Melihat ini, Bi Cu mengeluarkan jerit tertahan.

"Ha, inilah mereka, buronan-buronan itu!" teriak seorang anggota pasukan.

"Tangkap mereka!" bentak seorang perwira.

"Bi Cu, lari...!" Sin Liong berseru, cepat menggandeng tangan gadis itu dan melarikan diri menjauhi dusun.

Hanya sebentar saja Bi Cu menjadi gugup. Dia lalu teringat bahwa dialah yang lebih kuat dari pada Sin Liong, maka dialah yang sepatutnya memimpin untuk menyelamatkan diri mereka berdua.

"Lekas... ke sungai...! Tak mungkin lari...!" katanya dan memang kini terdengar derap kaki kuda yang ditunggangi para anggota pasukan itu. Kini Bi Cu yang berbalik menarik tangan Sin Liong diajak lari menuju ke sungai.

Setelah tiba di tepi sungai Sin Liong berkata, "Tapi... tapi... mana mungkin kita berenang di air yang deras itu...?"

"Kita terpaksa, hanya jalan satu-satunya. Lihat, mereka sudah dekat! Hayo cepat!" Bi Cu menarik tangan Sin Liong dan keduanya terjun ke dalam air sungai!

Gelagapan juga Sin Liong ketika terseret arus air yang amat kuat. Bi Cu menggerakkan kaki tangan melawan arus sambil berusaha menarik pundak baju Sin Liong. Akan tetapi pada saat itu pula beberapa orang tentara telah meloncat turun dari atas punggung kuda mereka, memegang busur berikut anak panah, lalu mereka menyerang dua orang yang melarikan diri itu dengan anak panah.

Melihat ini, Sin Liong cepat menggerakkan tangan dan kaki untuk menangkis dan setiap anak panah yang datang menyambar tepat ke arah mereka, bisa diruntuhkannya dengan gerakan ini. Akan tetapi, gerakannya itu membuat Bi Cu menjadi sibuk bukan main. Dara ini tidak melihat adanya serangan itu karena dia sibuk melawan arus.

"Ahh... ehhh... kau jangan meronta-ronta... kau menurut sajalah kutarik... aku pasti akan menyelamatkanmu, Sin Liong...!" Bi Cu berkata dengan terengah-engah dan menarik Sin Liong makin ke tengah.

Arus air sungai itu makin deras dan kuat bukan main. Sin Liong merasakan hal ini dan dia terkejut bukan main. Bahaya di air ini ternyata lebih besar dari pada bahaya yang menanti di darat. Kenapa dia tadi menurut saja pada waktu ditarik oleh Bi Cu? Kenapa dia masih bersikeras untuk menyembunyikan kepandaiannya? Apa bila dia tadi berada di darat, dia masih mampu memanggul Bi Cu untuk melarikan diri dan serangan-serangan anak panah itu tidak ada artinya baginya. Namun, kini sudah terlanjur dan dia harus melawan arus air yang amat kuat itu.

"Menyelamlah... kita menyelam... itu mereka membawa anak panah...!" baru sekarang Bi Cu melihat pasukan anak panah itu berjajar di tepi sungai.

Bi Cu berusaha untuk menarik Sin Liong menyelam, dan Sin Liong tetap meronta untuk menangkisi anak panah yang menyambar-nyambar. Rontaannya ini membuat Bi Cu amat kewalahan dan akhirnya mereka terseret oleh arus air yang kuat hingga bergulingan dan gelagapan!

Sin Liong timbul kembali dan bisa melihat seorang pemuda berpakaian mewah di pantai. Agaknya pemuda itu mencegah pasukan anak panah untuk melakukan serangan, karena pemuda itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan tak jauh dari pemuda itu berdiri Kim Hong Liu-nio!

"Sin Liong... ah... hauppp...!" Bi Cu meraih-raih sehingga akhirnya mereka dapat saling berpegangan lagi.

"Jangan pergunakan anak panah, tapi tangkap mereka hidup-hidup!" terdengar Han Houw berseru. Kemudian dia berteriak pula, "Liong-te, mengapa kau membunuh diri? Aku akan menolongmu, jangan khawatir, tidak akan ada yang mengganggumu. Kau tangkaplah tali ini!" Han Houw segera melontarkan sehelai tali panjang dan tali itu meluncur cepat sekali, ujungnya terjatuh di dekat Sin Liong.

"Tidak... jangan pegang tali itu... mereka akan membunuhmu...!" Bi Cu membantah sambil merangkul Sin Liong, mencegah pemuda itu memegang ujung tali.

Karena ini, ujung tali itu terbawa hanyut oleh air sehingga terpaksa Han Houw menariknya kembali, menggulungnya dan kembali dia memutar-mutar tali di atas kepalanya.

"Liong-te, kau tangkap ujung tali, jangan khawatir, aku akan melindungimu!"

Tali itu dilemparkan dengan sangat kuatnya dan kini tepat mengenai tubuh Sin Liong yang cepat menangkapnya.

"Jangan, Sin Liong...!"

"Tidak apa-apa, Bi Cu. Dia adalah kakak angkatku, lebih baik kita di darat dari pada mati konyol di air. Di darat, setidaknya kita bisa membela diri." Kemudian ditambahnya sambil tersenyum, sengaja memanaskan hati gadis yang wataknya keras ini, "Apakah engkau takut menghadapi mereka di darat?"

"Aku?! Takut?!" Bi Cu membentak. "Hayo kita mendarat!"

Sin Liong saling berpegang tangan dengan Bi Cu, ada pun tangannya yang sebelah lagi memegangi ujung tali yang dia libatkan pada lengannya. Kini tali itu ditarik oleh Han Houw ke pinggir. Akan tetapi saking derasnya air, dua orang muda itu masih terbanting-banting dan terguling-guling.

Sesudah mereka tiba dalam jarak sekitar tiga meter dari tepi sungai, tiba-tiba Han Houw mengeluarkan seruan keras dan membetot tali itu sekuat tenaga. Karena tali itu melibat lengan Sin Liong, maka pemuda ini tertarik dan melayang ke atas bersama Bi Cu yang saling berpegang tangan dengan dia!....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 30



Sin Liong berjungkir balik ketika turun ke atas tanah, akan tetapi dia melihat betapa Bi Cu sudah ditolong oleh Han Houw yang tadi dengan cekatan telah menyambut tubuh dara itu dengan tangkas. Sin Liong merasa bersyukur, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia melihat Han Houw menangkap kedua lengan dara itu dan ditelikungnya ke belakang.

"Houw-ko... apa yang kau lakukan itu...?!" bentaknya.

Para anggota pasukan langsung mengurungnya dengan senjata ditodongkan, akan tetapi Han Houw membentak mereka, menyuruh mereka itu mundur. Kim Hong Liu-nio hanya memandang dengan senyum dingin, agaknya wanita ini sengaja membiarkan saja segala yang dilakukan oleh sute-nya yang juga merupakan junjungannya.

"Pangeran, sebaiknya kita bunuh saja bocah keparat ini!" kata Kim Hong Liu-nio perlahan sambil memandang kepada Sin Liong. Semenjak Han Houw menjadi pangeran di dalam istana Kerajaan Beng, suci ini menyebut pangeran terutama sekali di tempat umum.

Sambil tersenyum Han Houw menoleh kepada perempuan cantik itu. "Ehh, suci, apa kau lupa bahwa dia itu adik angkatku yang tercinta? Siapa yang berani membunuhnya akan berhadapan dengan aku sendiri! Bukankah begitu, Liong-te? Bukankah kita sudah saling bersumpah sebagai kakak beradik?"

"Memang benar, Houw-ko, akan tetapi sikapmu ini sungguh tidak dapat dinamakan sikap seorang kakak angkat yang baik. Hayo kau lepaskan Bi Cu."

"Nona ini? Ha-ha, dia ini cantik dan gagah pula, pantas kalau engkau jatuh cinta padanya, Liong-te..."

"Jangan bicara yang tidak-tidak!" Sin Liong langsung memotong dan wajahnya berubah merah sekali. Ada pun Bi Cu meronta-ronta hendak melepaskan kedua tangannya, akan tetapi tangan yang memegang kedua pergelangan tangannya itu terlalu kuat baginya.

"Ha-ha, engkau masih seperti dulu, Liong-te, kokoh kuat seperti batu karang, dingin beku seperti es di musim salju. Akan tetapi sekali api cinta membakar hatimu, engkau segera berkobar bagaikan lautan api. Ha-ha-ha! Liong-te, aku terpaksa menawan dia ini supaya engkau tidak melakukan kenekatan yang bukan-bukan. Jika engkau menyerah baik-baik, maka aku tidak akan mengganggu dia ini."

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia memang suka terhadap Han Houw dan dia percaya kepada pangeran ini, akan tetapi dia juga tahu bahwa pangeran ini mempunyai watak aneh luar biasa dan kalau sudah hendak membunuh orang, agaknya sama seperti kalau membunuh ayam saja.

"Kau berjanji akan membebaskan dia?"

"Aku berjanji, asal engkau menyerah dan engkau penuhi pula permintaanku yang patut."

"Permintaanmu yang patut?" Sin Liong tersenyum mengejek.

"Benar-benar patut dan sudah semestinya. Akan kukatakan kepadamu nanti, akan tetapi agar tetap aman, engkau menyerah. Suci, totok dia dan Sin Liong, jika engkau melawan, maka nona ini akan kubunuh lebih dulu!"

Kim Hong Liu-nio tersenyum mengejek. "Apa sukarnya untuk merobohkan setan cilik ini, pangeran?" Sesudah berkata demikian, wanita itu menghampiri Sin Liong lantas tangan kirinya bergerak cepat sekali.

Kalau Sin Liong mau, tentu saja dia akan dapat mengelak atau menangkis, akan tetapi dia melihat sinar mata dari Han Houw dan dia tidak berani berkutik. Dia tahu betul bahwa sekali dia melawan, sekali pukul saja Han Houw akan mampu membunuh Bi Cu! Maka dia menyimpan tenaganya dan membiarkan dirinya ditotok. Begitu dua jari tangan Kim Hong Liu-nio mengenai tubuhnya, maka robohlah Sin Liong dalam keadaan lumpuh, tak mampu menggerakkan kaki tangannya.

"Ha-ha-ha, mari kita bicara baik-baik dalam rumah, Liong-te. Ringkus dia dan belenggu baik-baik, juga nona ini!"

Tiba-tiba Bi Cu merasa pundaknya ditekan dan dia pun mengeluh lirih, lalu terguling dan lumpuh karena dia telah ditotok pula oleh Han Houw. Para prajurit cepat mengikat kedua kaki tangan Sin Liong dan Bi Cu, mengikat kedua tangan ke belakang tubuh, kemudian beramai-ramai mereka menggotong kedua orang tawanan itu memasuki sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah nelayan itu, karena ini adalah rumah kepala dusun itu.

Atas perintah Han Houw, Bi Cu yang dibelenggu kaki tangannya itu dibawa ke dalam sebuah kamar dan direbahkan ke atas pembaringan, sedangkan Sin Liong didudukkan di atas sebuah bangku ruangan luar, di mana terdapat sebuah meja dan Han Houw duduk di atas kursi di belakang meja itu dengan lagak bagai seorang hakim yang hendak mengadili seorang pesakitan.

Pangeran ini lalu melepaskan topinya karena hawa dalam rumah itu agak panas, bahkan juga melepaskan baju bulunya dan memakai pakaian biasa dari sutera tipis sehingga dia kelihatan lebih tampan. Sambil tersenyum dia lalu memandang kepada Sin Liong, lantas memberi isyarat dengan tangan agar para pengawal yang menjaga di ruangan itu pergi semua.

Tanpa diminta, Kim Hong Liu-nio yang tadinya duduk pula di sudut, mengangkat pundak kemudian pergi meninggalkan ruangan itu. Wanita ini maklum pula bahwa sang sute yang menjadi junjungannya itu ingin berbicara berdua saja dengan tawanannya, maka sebelum sute itu minta dia pergi, dia telah mendahuluinya meninggalkan ruangan. Meski pun Ceng Han Houw seorang pangeran yang sudah sepantasnya memerintah dia, namun dia selalu merasa tidak enak kalau diperintah pangeran yang menjadi sute-nya ini, apa lagi di depan para prajurit atau orang-orang lain.

Sin Liong masih dalam keadaan terbelenggu dan tertotok. Jika dia menghendaki, agaknya dia akan mampu membebaskan diri dari totokan itu, apa lagi dari belenggu yang baginya tidak banyak berarti itu.

Akan tetapi Sin Liong bukanlah orang yang bodoh untuk bertindak ceroboh. Dia pun tahu bahwa keselamatan Bi Cu terancam bahaya, maka dia berpura-pura tidak berdaya sambil memikirkan bagaimana cara sebaiknya untuk menolong Bi Cu dan pergi membebaskan diri dari Han Houw dan pasukannya. Untuk melawan dengan kekerasan, amat berbahaya bagi keselamatan Bi Cu. Dia sendiri tidak takut menghadapi Han Houw, Kim Hong Liu-nio dan pasukannya, akan tetapi bagaimana dengan Bi Cu? Apa artinya dia dapat lolos kalau dara itu tertawan!

Han Houw kini tertawa dengan sikapnya yang khas, tertawa dan tersenyum lepas hingga wajahnya semakin menarik dan tampan. Sepasang matanya yang tajam itu memandang wajah Sin Liong ketika dia tertawa.

"Ha-ha-ha, sungguh tak kuduga kita akan saling berhadapan seperti ini, kau terbelenggu seperti seorang musuh! Rasanya bagai mimpi saja, atau seperti sedang main sandiwara!" Kembali pangeran itu tertawa seperti orang yang merasa amat geli melihat peristiwa yang lucu.

"Hemm, aku sendiri juga merasa sangat heran, Houw-ko, kenapa engkau melakukan hal seperti ini kepadaku setelah dahulu engkau mengajakku untuk bersembahyang dan saling bersumpah menjadi kakak dan adik angkat," Sin Liong berkata dengan suara dan sikap dingin.

Han Houw mengangkat alis, membelalakkan mata dan mengembangkan dua lengannya. "Aih, kenapa engkau malah menyalahkan aku, Liong-te? Aku selalu baik kepadamu, akan tetapi pada suatu waktu yang lalu engkau bahkan pergi meninggalkan aku tanpa pamit! Kemudian engkau juga merendahkan namaku dengan menjadi seorang pelayan restoran di kota raja. Adik angkatku menjadi pelayan restoran, bukankah itu berarti engkau hendak menyeret namaku ke dalam lumpur? Bukan itu saja, malah keluarga Cia, termasuk ayah kandungmu, Cia Bun Houw itu, semua menjadi pemberontak, melawan pemerintah dan membunuh banyak orangnya pemerintah sehingga tentu saja sebagai keluarga dari Cia Bun Houw itu engkau ikut terseret! Dan sesudah engkau dikepung dan nyaris tenggelam akulah yang menolongmu! Nah, katakan salah siapa semua ini?"

Sin Liong tahu akan kelihaian kakak angkatnya ini memutar lidah, maka dia merasa tidak perlu untuk menanggapi.

"Sudahlah, Houw-ko, sekarang katakan apa kehendakmu setelah engkau menawan kami berdua?" Dia tahu bahwa tentu Han Houw ingin minta dia melakukan sesuatu yang amat penting bagi pangeran itu, dan sebagai sandera atau cara untuk memaksanya maka Bi Cu ditawan.

"Hemm, agaknya engkau tergesa-gesa ingin melihat dara itu bebas, Liong-te! Ah, sebagai kakak angkatmu, aku berhak pula mengetahui apakah dia itu patut menjadi calon iparku? Memang dia cantik manis, akan tetapi aku mendengar bahwa dia itu berjuluk Kim-gan Yan-cu dan menjadi pemimpin para pengemis! Engkau memilih seorang wanita pengemis untuk menjadi jodohmu? Ahh, apakah tidak ada wanita lain di dunia ini, Liong-te? Biar pun dia cantik manis, akan tetapi..."

"Sudahlah, Houw-ko, aku tidak mau berbantahan lagi. Dia bukan apa-apaku, dan karena bukan apa-apa itulah maka aku tidak ingin dia celaka karena aku. Kau bebaskan dia dan mari kita bicara baik-baik."

"Ha-ha-ha, engkau cinta padanya! Benar, aku dapat melihat ini! Sungguh heran, padahal kalau engkau menginginkan seorang isteri, aku dapat memilihkan salah seorang di antara puteri-puteri istana yang cantik-cantik. Akan tetapi kata orang, cinta memang buta! Dan karena engkau mencinta gadis itulah maka dia kutawan, karena hendak kutukar dengan sesuatu darimu."

"Lekas kau katakan, apakah kehendakmu, Pangeran Ceng Han Houw?!" bentak Sin Liong marah.

Pangeran itu mengerutkan alisnya mendengar sebutan itu. "Liong-te, apa engkau sudah melupakan dan hendak melanggar sumpah kita bahwa kita telah mengangkat saudara? Seorang gagah tidak akan melanggar janji dan sumpahnya sendiri!"

"Baikiah, Houw-ko, nah, lekas katakan, apakah kehendakmu sebenarnya?"

"Liong-te, kita adalah kakak dan adik angkat, maka sepatutnya harus duka sama dipikul dan suka sama dinikmati. Bukankah begitu? Nah, aku sangat tertarik akan kepandaianmu yang amat hebat itu, Liong-te. Maka, aku minta agar engkau suka menceritakan semua rahasia kepandaianmu itu, sebab menurut pengakuanmu, engkau adalah murid Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kepandaianmu malah melebihi tingkat kepandaian Ouwyang Bu Sek, ini menurut penuturan Lam-hai Sam-lo. Nah, sekarang ceritakan terus terang kepadaku, dari mana engkau memperoleh kepandaian hebat itu? Kuharap engkau bersikap jujur!"

Sin Liong mengerutkan kedua alisnya. Tentu saja dalam keadaan biasa dia tidak akan mau membuka rahasia ini. Akan tetapi dia tahu bahwa keselamatan Bi Cu tergantung dari pertanyaan ini agaknya, maka dia menjadi bimbang.

"Dan engkau akan membebaskan gadis itu kalau aku menceritakannya kepadamu?"

"Tergantung dari sikapmu, Liong-te. Kalau engkau jujur, tentu saja akan kubebaskan dia. Aku tidak begitu gila untuk mengganggu gadis yang kau cinta."

Sin Liong marah mendengar ini, akan tetapi dia merasa tak perlu untuk berbantah tentang hal itu. "Baiklah, aku percaya bahwa engkau masih memiliki kegagahan untuk memegang janjimu."

Dulu pada saat melakukan perjalanan bersama pangeran itu, Sin Liong pernah bercerita bahwa dia dibimbing ilmu silat oleh Ouwyang Bu Sek, suheng-nya itu, dan bahwa dia tak pernah bertemu dengan gurunya yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, akan tetapi dia tak pernah memberi penjelasan lebih jauh tentang cara dia mempelajari ilmu-ilmu yang aneh itu. Dia tahu bahwa pangeran itu amat tertarik, bahkan sudah menyatakan ingin berguru kepada manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw namun belum pernah dilihatnya sendiri itu, dan kini pangeran itu minta penjelasan.

"Seperti yang telah kuceritakan kepadamu dahulu, Houw-ko, aku mempelajari ilmu silat di bawah bimbingan dan petunjuk suheng Ouwyang Bu Sek. Sebetulnya dialah guruku, akan tetapi dia tidak mau disebut guru, minta disebut suheng karena katanya aku sebetulnya juga murid Bu Beng Hud-couw seperti dia! Akan tetapi, seperti telah kuceritakan padamu, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu atau melihat suhu Bu Beng Hud-couw itu."

"Hemm...!" Han Houw mengerutkan alisnya karena merasa tidak puas dengan keterangan yang memang pernah didengarnya ini. "Tentu ada sesuatu yang menyebabkan Ouwyang Bu Sek tidak mau disebut guru, dan kenyataannya, kepandaianmu lebih tinggi dari pada dia. Sebagai sute-nya, apa lagi muridnya, tidak mungkin kepandaianmu dapat melampaui dia. Ceritakan terus terang, Liong-te."

Sin Liong menarik napas panjang. Tak mungkin dia menyembunyikan lagi. Pangeran ini terlampau cerdik, dan Bi Cu berada di tangannya. "Baiklah, Houw-ko. Sesungguhnya hal ini merupakan rahasia, akan tetapi apa boleh buat, kepadamu akan kuceritakan dengan terus terang. Suheng Ouwyang Bu Sek memiliki simpanan kitab-kitab dari suhu Bu Beng Hud-couw dan aku sudah mempelajari kitab-kitab itu, sedangkan suheng yang sudah tua tidak mau mempelajarinya, akan tetapi tentu saja aku mempelajarinya atas petunjuk dan bimbingannya."

"Ahhh...! Begitukah?" teriak Han Houw dengan girang. "Di mana adanya kitab-kitab itu?"

"Kitab-kitab itu telah dibakar oleh suheng."

"Ahhh...! Akan tetapi Ouwyang Bu Sek tentu masih menyimpan kitab-kitab lain atau minta kitab-kitab lain dari suhu-nya yang sangat luar biasa itu! Liong-te, sekarang engkau harus membawaku kepada Ouwyang Bu Sek dan membujuknya supaya dia suka menerimaku sebagai muridnya atau sute-nya, mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw!"

Sin Liong terkejut bukan main, kemudian menggeleng kepalanya. "Hal itu tidak mungkin, Houw-ko!"

Wajah yang tampan itu menjadi muram. "Liong-te, engkau lupa bahwa aku adalah kakak angkatmu sendiri? Dan engkau tidak ingin membantuku untuk memenuhi cita-citaku, yaitu menjadi jagoan nomor satu di dunia ini?"

"Bukan begitu, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak berani, karena suheng sudah memesan agar jangan bicara dengan orang lain tentang suhu dan kitab-kitab itu."

"Akan tetapi aku bukan orang lain! Aku adalah kakak angkatmu!"

"Houw-ko, kau mintalah yang lain akan tetapi jangan itu. Bagaimana kalau sampai suheng marah kepadaku?"

"Aku hanya ingin mewarisi ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, mengapa dia akan marah? Dan engkau akan membantuku hingga berhasil, hingga mau menerimaku dan memintakan ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, engkau harus membantuku!"

"Eh, apa maksudmu?" Sin Liong memandang tajam melihat sikap keras dan suara penuh ancaman itu.

"Mari kau lihat sendiri!" Han Houw lalu mengangkat tubuh Sin Liong, dibawanya masuk ke dalam kamar di mana terdapat Bi Cu yang masih terlentang dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya.

Dara itu memandang dengan mata terbelalak pada saat melihat Han Houw membawa Sin Liong masuk kemudian membelenggu kedua tangan Sin Liong pada tiang yang berada di dalam kamar itu. Gadis itu masih dalam keadaan setengah lumpuh oleh totokan sehingga hanya dapat menggerakkan tubuhnya sedikit saja, ada pun kedua pergelangan tangannya masih dibelenggu ke belakang punggungnya, demikian pula kedua pergelangan kakinya telah dibelenggu, sedangkan sepatunya telah dicopot dari kedua kakinya.

"Houw-ko, apa yang hendak kau lakukan ini?" tanya Sin Liong dengan wajah mengandung kekhawatiran.

Han Houw tersenyum dan menengok ke arah pembaringan di mana tubuh Bi Cu rebah terlentang. "Kau tentu tidak ingin melihat dia terganggu, bukan?"

"Maksudmu?!" Sin Liong membentak.

"Berjanjilah bahwa engkau hendak membantuku sampai aku diterima oleh Ouwyang Bu Sek!"

"Sejak tadi sudah kukatakan bahwa hal itu tak mungkin dapat kulakukan!" kata Sin Liong memancing, untuk melihat apa yang akan dilakukan pangeran itu kalau dia menolak.

"Kalau engkau menolak, maka terpaksa engkau akan melihat dia ini kuperkosa di depan matamu!"

Sin Liong terbelalak. "Tidak, tak mungkin engkau mau melakukan itu! Aku tidak percaya, hanya gertak kosong belaka!"

"Gertak kosong, ya? Nah, kau boleh lihat!"

Pangeran itu dengan tersenyum lalu melangkah menghampiri pembaringan di mana Bi Cu rebah terlentang dengan kedua mata terbelalak dan muka pucat. Kemudian setelah dekat, dengan cepat tangannya meraih ke arah dada Bi Cu.

Dara ini menjerit kemudian menggulingkan tubuhnya. Biar pun tubuhnya masih setengah lumpuh, tapi rasa takut mendatangkan tenaga tambahan dan tubuhnya dapat bergulingan menelungkup sehingga cengkeraman Han Houw kini mengenai leher bajunya.

"Breeetttt...!"

Sekali renggut saja baju Bi Cu sudah terobek berikut pakaian dalamnya sehingga nampak punggungnya yang telanjang, putih mulus.

"Jangan...! Houw-ko, jangan...! Aku menerima permintaanmu!" Sin Liong berseru.

Sekali renggut saja, kedua tangannya telah terlepas dari belenggu, demikian pula kedua kakinya. Akan tetapi, Han Houw juga sudah menubruk Bi Cu dan menaruh cengkeraman tangannya ke arah ubun-ubun kepala dara itu.

"Kau maju, dia mati!" katanya tenang.

Diam-diam pangeran ini terkejut dan kagum sekali melihat betapa pemuda itu sekaligus dapat membebaskan totokan dan juga dapat mematahkan belenggu kaki tangannya. Sin Liong tersentak kaget dan berdiri tak bergerak.

"Aku sudah berjanji kepadamu maka kau lepaskan gadis itu, Houw-ko!"

"Tidak, engkau harus bersumpah dulu bahwa engkau akan berusaha sampai aku berhasil diterima oleh Ouwyang Bu Sek menjadi muridnya."

"Baiklah, aku bersumpah untuk berusaha sampai engkau diterima menjadi muridnya dan sekarang kau lepaskan dia."

"Demi nama baik ayah dan ibu kandungmu!" Pangeran itu menyambung.

Sin Liong merasa penasaran sekali. Pangeran itu tidak percaya kepadanya!

"Baik, demi nama baik ayah dan ibu kandungku!"

Han Houw tertawa girang dan turun dari atas pembaringan. "Terima kasih, Liong-te. Aku memang sudah yakin engkau akan memenuhi permintaanku!"

"Dan sekarang, kau bebaskan dia!"

Han Houw bertepuk tangan dan muncullah lima orang pengawal. "Carikan pakaian untuk nona ini. Cepat!"

Lima orang pengawal itu memberi hormat dan cepat keluar. Tak lama kemudian mereka telah datang kembali membawa pakaian yang diminta itu, kemudian mereka keluar lagi.

"Nah, kau boleh bebaskan dia dan memberi pakaian ini untuk kekasihmu itu, Liong-te. Aku menanti di luar."

Setelah berkata demikian. Han Houw tersenyum dan melangkah keluar dari dalam kamar, sengaja menutupkan daun pintu dan membiarkan Sin Liong berdua saja dengan Bi Cu di dalam kamar itu.

Bi Cu tadi mendengarkan semua percakapan itu, akan tetapi dia tidak tahu betapa Sin Liong telah membikin putus semua belenggu kaki tangannya. Kini, dia merasa betapa Sin Liong melepaskan ikatan kedua tangan dan kakinya dan tiba-tiba dia merasa jalan betapa jalan darahnya mengalir kembali dengan normal sehingga dia dapat menggerakkan kaki tangannya. Bi Cu tidak tahu bahwa ketika melepaskan ikatan kedua pergelangan tangan tadi, seperti tidak sengaja jari tangan Sin Liong menekan punggung dan membebaskan totokan yang membuat Bi Cu lumpuh.

"Apa yang kau janjikan tadi, Sin Liong?" Bi Cu berbisik ketika dia sudah lepas dari ikatan.

Kini dia telah memakai baju yang diberikan oleh Han Houw tadi. Hanya bajunya saja yang dipakainya, karena celananya sendiri tidak ikut terobek. Dia tidak peduli betapa pakaian dalamnya juga ikut robek, dan dia hanya menutupi tubuhnya dengan baju itu yang cukup tebal, baju seorang wanita petani yang kuat.

"Tidak apa-apa, Bi Cu. Engkau sudah bebas maka cepatlah engkau pergi jauh-jauh dari tempat ini."

"Dan kau?"

"Aku tidak dapat ikut pergi."

"Kalau begitu aku tidak mau! Kita berdua mengalami mala petaka, kita senasib, mana mungkin sekarang aku harus menyelamatkan diri sendiri dan pergi meninggalkan engkau di tangan mereka yang jahat? Tidak, kita harus lari berdua, atau mati berdua. Mari kau ikut lari bersamaku!" Bi Cu menengok ke arah jendela dan memegang tangan Sin Liong hendak ditariknya untuk diajak lari.

"Engkau tidak mungkin bisa melarikan diri seperti itu, Bi Cu. Tempat ini sudah terkurung oleh pasukan. Engkau harus mengambil jalan dari pintu dan pergi biasa. Mereka tak akan mengganggumu karena sudah berjanji kepadaku."

"Tapi..." Bi Cu membantah dan dia meloncat ke tepi jendela, membuka daun jendela dan memandang keluar. Benar saja, di sana berdiri deretan pasukan yang berbaris rapi dan ketat, dengan senjata di tangan.

"Ihhhh...!" Dia menjerit lirih dan menutupkan kembali daun jendela. "Kau benar, banyak pasukan menjaga di sana."

"Sudahlah, Bi Cu, kau pergilah, mari kuantar keluar. Kita harus berpisah di sini sekarang, berpisah sementara. Aku harus ikut dengan mereka."

"Tapi..." Bi Cu kini memegang kedua tangan Sin Liong dan memandang wajah pemuda itu. "Kapan kita dapat saling jumpa kembali...?"

Sin Liong tersenyum. "Kita pasti berjumpa kembali kelak. Nah, sekarang kau pergilah dan hati-hatilah, Bi Cu, jangan bertualang dengan para pengemis itu, dan juga jangan mencari permusuhan karena di dunia ini banyak orang jahat yang lihai sekali. Mari kuantar kau keluar."

Mereka lalu melangkah keluar, dan ternyata Han Houw sudah menunggu di luar. Melihat pangeran ini, sepasang mata Bi Cu bersinar penuh kemarahan dan dua pipinya menjadi merah. Han Houw tersenyum, lalu menjura dengan lembut.

"Nona, harap engkau suka maafkan segala yang telah terjadi tadi, percayalah bahwa aku tetap menghormatmu sebagai kekasih adik angkatku..."

"Houw-ko! Hentikan ucapan seperti itu!" Sin Liong berseru marah.

Pangeran itu hanya tersenyum, lantas mengantar mereka keluar sampai di depan rumah, baru Bi Cu melihat bahwa di sana banyak sekali prajurit yang sudah mengepung rumah itu sehingga kalau menggunakan kekerasan untuk melarikan diri jelas amat sukar.

"Nah, pergilah engkau, Bi Cu dan selamat jalan," kata Sin Liong sambil melirik ke arah Kim Hong Liu-nio yang berdiri di samping.

"Tapi... tapi engkau...," Bi Cu berkata lirih.

"Jangan hiraukan aku, kita kelak akan saling jumpa kembali. Selamat jalan."

"Ha-ha-ha, perpisahan antara dua orang yang diam-diam sudah saling mencinta, betapa mengharukan!" kata Han Houw.

Hampir saja Sin Liong lupa diri dan sepasang tangannya sudah terkepal. Dia mendengar gerakan di sebelah kiri maka tahulah dia bahwa Kim Hong Liu-nio juga sudah siap untuk menerjang apa bila dia menyerang sang pangeran.

"Houw-ko, engkau harus berjanji lebih dulu bahwa engkau dan anak buahmu tidak akan mengganggu Bi Cu, kalau engkau tidak mau berjanji, sampai bagaimana pun aku tidak akan membawamu kepada Ouwyang Bu Sek!"

Melihat sikap pemuda ini kemudian mendengar suaranya yang keras serta mengandung ancaman, Han Houw lalu tersenyum dan berkata, mengangkat tangan kanannya dengan penuh lagak, "Baik, aku berjanji bahwa aku dan anak-anak buahku tak akan mengganggu nona ini." Suaranya lantang sehingga terdengar oleh semua prajurit. Barulah lega hati Sin Liong mendengar ini.

"Nah, pergilah, Bi Cu."

Nona itu nampak ragu-ragu, memandang kepada Sin Liong dengan khawatir, kemudian dia mengangguk dan berlari dari sana melewat jalan di mana berbaris pasukan di kanan kirinya. Setelah jauh, sebelum membelok, dia berhenti dan menengok, melihat Sin Liong masih berdiri mengikutinya dengan pandangan matanya, dan di sebelah Sin Liong berdiri pangeran itu dan wanita cantik yang amat lihai itu. Kemudian dia melanjutkan larinya dan membelok di tikungan jalan, lalu lenyap dari pandang mata Sin Liong yang menarik napas panjang karena hatinya merasa lega. Yang paling penting adalah keselamatan Bi Cu dan setelah dara itu bebas, barulah hatinya lega.

"Nah, kapan kita berangkat ke selatan?" tanyanya kepada Han Houw.

"Besok pagi-pagi, aku harus membereskan urusan di kota raja dulu dan berunding dengan suci."

Sin Liong tidak peduli lagi. Dia lalu memasuki kamar untuk beristirahat dan mencari jalan bagaimana sebaiknya menghadapi Ouwyang Bu Sek, karena dia sudah berjanji dan dia harus berhasil membuat Han Houw diterima sebagai murid suheng-nya itu.

                  ***************

Setelah Kaisar Ceng Hwa naik tahta, keadaan di Kerajaan Beng-tiauw kelihatan tenteram dan tenang, atau setidaknya demikianlah laporan-laporan yang diterima oleh Kaisar Ceng Hwa dari para bawahannya. Kaisar Ceng Hwa masih terlalu muda ketika naik tahta, masih hijau dan kurang pengalaman sungguh pun dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi kaisar yang baik.

Memang, semenjak para thaikam tidak lagi berkuasa di kota raja dan terutama di istana, yaitu semenjak Kaisar Ceng Tung kembali menduduki tahta kerajaan, keadaan di istana tidaklah seburuk ketika para thaikam masih merajalela. Akan tetapi, setelah Kaisar Ceng Hwa menduduki tahta kerajaan, para thaikam kecil yang tadinya hanya bertugas sebagai pelayan-pelayan di dalam istana, terutama di dalam bagian-bagian di mana tinggal para puteri, mulai beraksi mendekati raja muda itu. Kaisar Ceng Hwa memang masih hijau dan mudah tergelincir oleh sikap dan kata-kata yang manis menjilat-jilat.

Kim Hong Liu-nio yang dianggap sebagai seorang wanita yang berjasa besar di istana, sudah menyelamatkan Kaisar Ceng Hwa ketika masih menjadi pangeran, kini merupakan seorang tokoh yang amat disegani dan juga dihormati di istana. Bahkan wanita ini, seperti juga Pangeran Ceng Han Houw, memperoleh kekuasaan istimewa untuk memasuki istana setiap waktu, bahkan diperbolehkan pula untuk menghadap kaisar tanpa dipanggil!

Kesempatan ini sekarang dipergunakan sebaiknya oleh Kim Hong Liu-nio. Seperti telah diketahui, wanita yang usianya sudah tiga puluh lima tahun itu akhirnya jatuh cinta kepada seorang pria yang tadinya selalu dipandang rendah. Dia jatuh cinta kepada Panglima Lee Siang, bahkan dengan suka rela sudah menyerahkan diri, menyerahkan kehormatannya kepada pria yang dicinta itu. Akan tetapi, seperti yang sudah diceritakan di bagian depan, kekasihnya itu, Panglima Lee Siang, tidak dapat lama menjadi pria pertama yang berada dalam pelukannya. Lee Siang tewas di tangan Lie Seng!

Sejak saat itulah, bukan saja Kim Hong Liu-nio mendendam sakit hati yang amat besar kepada keluarga Cin-ling-pai, yang tadinya hanya ditentangnya karena dia diperintah oleh gurunya. Kini dia sendiri mempunyai dendam pribadi atas kematian kekasihnya.

Di samping dendam ini, juga ada sesuatu yang tumbuh di dalam hatinya. Kalau dahulu dia bersikap dingin dan membenci pria, semenjak ia menyerahkan dirinya kepada Lee Siang, semenjak dia menikmati belaian dan pencurahan kasih sayang seorang pria, sesudah dia merasakan permainan cinta antara dia dengan Lee Siang, wataknya kini ternyata sudah berubah sama sekali.

Sikap dan pandang matanya pada kaum pria telah mengalami perubahan besar, terutama terhadap pria-pria muda dan tampan, dan di dalam sinar mata itu terkandung gairah nafsu yang amat besar! Wanita ini merasa amat tersiksa oleh gairah yang mendesak-desak ini, membuat dirinya selalu kehausan, haus akan belaian dan kasih sayang seorang laki-laki!

Padahal, apa bila melihat kenyataan betapa tadinya wanita ini hanya merupakan seorang dayang di kerajaan kecil pimpinan Raja Sabutai, sekarang sudah menjadi seorang wanita terhormat di istana Kerajaan Beng yang sangat besar, hidup terhormat dan mulia, segala kehendaknya tentu terlaksana, tentu semua orang condong mengatakan bahwa dia telah mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hidup! Akan tetapi nyatanya tidaklah demikian keadaannya!

Memang merupakan kenyataan seperti terbukti dari catatan sejarah jaman dahulu sampai keadaan hidup di dalam masyarakat modern sekarang ini, bahwa manusia selalu menilai kebahagiaan hidup manusia dengan ukuran harta benda, kedudukan, nama besar, dan lain-lain nilai yang dianggap menyenangkan jasmani dan perasaan belaka. Sudah menjadi pendapat umum yang sudah diterima bahwa orang yang berhasil mengumpulkan harta benda disebut maju, mulia, senang, bahagia dan sebagainya.

Kalau seorang mengatakan bahwa si Polan sekarang sudah maju, sudah mulia hidupnya, sudah senang, dan sebagainya, tidak salah lagi bahwa yang dimaksudkannya itu adalah bahwa si Polan telah berhasil mengumpulkan harta benda, telah menjadi kaya raya, atau disebut sudah makmur hidupnya! Bahkan perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan sosial, budaya, politik, agama sekali pun, disebut maju apa bila gedungnya bertambah gagah. Pendeknya, semua penilaian diukur dari dasar harta benda!

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Akan tetapi benarkah kenyataannya demikian, yaitu bahwa manusia akan hidup bahagia bila sudah berhasil mengumpulkan banyak harta benda? Berbahagiakah manusia kalau sudah mempunyai kedudukan tinggi? Berbahagiakah manusia kalau sudah memperoleh kekuasaan besar atas manusia-manusia lain, bila sudah tenar namanya, dan sebagainya lagi itu? Bila kita mau membuka mata melihat kenyataannya dan tidak secara membuta mengikuti serta menerima saja anggapan dan pendapat umum yang sudah lapuk dan berkarat itu, kita akan melihat keadaan yang sama sekali tidak demikian!

Memang harus diakui bahwa semua kemuliaan duniawi itu, kedudukan, kekuasaan, harta benda, nama besar, dapat mendatangkan kesenangan, tapi setiap kesenangan itu selalu tak terpisahkan dari kesusahan. Demikian pula semua itu jika dianggap sebagai sumber kesenangan, maka kenyataannya menjadi pula sumber kesusahan!

Ada yang mengatakan tidak mungkin! Marilah kita melihat kenyataannya! Harta benda, kedudukan, nama tenar, dan sebagainya itu hanya nampaknya saja menyenangkan bagi yang belum memilikinya. Akan tetapi bagi yang telah memilikinya, kesenangannya sudah hambar dan tidak terasa lagi. Bila yang belum memilikinya hanya membayangkan segi senangnya saja, maka yang memilikinya telah bosan dengan segi senangnya, merasakan pula secara langsung segi kebalikannya, yaitu segi susahnya.

Misalnya yang mempunyai harta bisa saja sewaktu-waktu kehilangan hartanya itu, yang berkedudukan kehilangan kedudukannya, yang namanya tenar kehilangan ketenarannya, dan membayangkan semua kehilangan ini saja sudah merupakan siksaan batin terhadap si pemilik. Hal ini tentu saja tidak dapat dirasakan oleh mereka yang belum memilikinya, namun akan terasa kebenarannya oleh mereka yang telah memilikinya. Memiliki sesuatu itu, yang nampaknya menyenangkan, merupakan ikatan, sehingga yang memiliki selalu akan menjaga miliknya itu, karena hanya yang memiliki saja yang akan dapat kehilangan!

Apakah dengan kenyataan ini, lalu kita harus menyingkirkan semua milik itu, menolak harta benda, kedudukan, ketenaran dan sebagainya? Tentu saja tidak! Melainkan kita harus mengerti dan sadar bahwa semua itu hanya merupakan semacam pakaian saja bagi manusia, bukan merupakan keperluan mutlak bagi kehidupan! Sadar dan mengerti pula dengan membuka mata memandang penuh kewaspadaan bahwa semua itu, kalau sampai menjadi ikatan di mana kita melekatkan batin, akan berbalik menjadi siksaan karena menimbulkan rasa takut akan kehilangan, menimbulkan duka kalau semua itu sampai terlepas dari tangan kita!

Pengertian inilah yang akan membebaskan kita dari ikatan, sehingga sungguh pun kita memiliki harta benda, memiliki kedudukan, atau memiliki nama yang tenar, kita tak akan mabok, tidak akan terikat, mengerti bahwa semua itu hanyalah sesuatu yang tidak abadi, sesuatu yang fana, yang sekali waktu dapat saja terlepas dari kita.

Pengertian ini yang membebaskan, sehingga kita tidak terikat oleh semua itu, tidak lagi semua yang dianggap sumber kesenangan itu berakar dalam hati sanubari kita. Karena, kalau sampai berakar segala sumber kesenangan itu dalam batin kita, kemudian suatu waktu semua itu dicabut, maka akar-akarnya akan tercabut dan membuat batin kita terluka dan berdarah sehingga timbuilah duka!

Tak mungkin ada kebahagiaan tanpa adanya kebebasan! Bebas bukan berarti kita lalu menjadi apatis, menjadi lemah, menjadi pessimis, atau menjadi pemurung yang putus asa. Sama sekali bukan! Bebas berarti tidak terikat oleh apa pun juga! Tentu saja yang dimaksudkan adalah ikatan batin! Sekali kita terikat, maka muncullah duka.

Kita bisa saja menjadi seorang berharta, bisa saja menjadi seorang berkedudukan tinggi, menjadi seorang yang tenar namanya. Namun semua itu kita punyai tanpa kita miliki, atau lebih jelas kita mempunyai semua itu hanya lahir belaka, tidak mendalam menjadi ikatan batin.

Apakah kita dapat membebaskan diri seperti ini? Jawabannya hanya dapat ditemukan di dalam penghayatan, karena jawaban tanpa penghayatan di dalam hidup kita sehari-hari hanya akan menjadi teori kosong belaka, menjadi bahan perdebatan untuk menonjolkan diri sebagai orang yang sok tahu!

Hemm... pusing, kan? Semua gara-gara nafsu Kim Hong Liu-nio mendadak jadi gede!

Kim Hong Liu-nio memang sangat cerdik. Dia tahu bahwa dia sudah memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat, sebab itu dia pun tidak mau merendahkan diri menuruti gairah rangsangan nafsu yang dibangkitkan oleh mendiang Panglima Lee Siang dan kemudian dipelihara dan dipupuk oleh pikirannya sendiri yang menghidupkan kembali kenikmatan itu melalui kenang-kenangan. Dia dapat menahan diri dan menanti saat yang baik.

Kemudian, sesudah melihat kelemahan kaisar muda yang tampan itu, wanita ini berlaku amat cerdik dan mulailah dia mendekati kaisar dan mempergunakan kecantikannya untuk memikat kaisar muda itu melalui lirikan matanya yang jeli, senyuman bibirnya yang merah merekah, dan melalui suaranya yang merdu merayu!

Pada jaman itu, kehidupan kaum bangsawan, dan terutama sekali kaisar, pada umumnya memang tidak terpisahkan dari kehidupan bersenang-senang, terutama sekali kehidupan sex bagi kaum prianya. Bagi kaum pria bangsawan ini, kaum wanita dianggap sebagai benda hidup yang kedudukannya hanya sebagai penghibur kaum pria, sebagai hal yang selain menjadi sumber kesenangan juga menjadi sumber kebanggaan.

Pada jaman itu, agaknya kaum wanita menyadari dan menerima saja kedudukan itu, dan pada sebagian kaum wanita, yang terpenting bagi mereka hanyalah mendapatkan suami yang berkedudukan tinggi atau pun yang kaya raya! Bagi sebagian besar di antara kaum wanita di jaman itu, lebih baik menjadi isteri muda yang ke sekian belas atau ke sekian puluh dari seorang pria tua bangsawan atau hartawan dari pada menjadi isteri tunggal seorang pria muda yang miskin tanpa kedudukan! Inilah sebabnya mengapa kaum pria tua yang bangsawan atau hartawan, sangat mudahnya mempunyai koleksi kaum wanita yang menjadi isteri-isteri mudanya, menjadi pelayan-pelayan yang setia, dan setiap waktu bisa saja memperpanjang deretan bini muda!

Terutama sekali kaisar! Bagi hampir semua wanita pada jaman itu, menjadi selir kaisar merupakan anugerah seperti bintang jatuh dari langit! Bahkan menjadi dayang saja sudah merupakan kehormatan besar yang diimpikan oleh hampir setiap orang dara!

Ini adalah akibat dari pemujaan yang melampaui batas terhadap sang kaisar, sehingga setiap orang ibu menggambarkan kehebatan kaisar serta kehidupan di istana itu kepada puteri-puterinya sejak mereka masih kecil, menjejalkan kesenangan-kesenangan yang tak mungkin dapat mereka rasakan, seperti kesenangan-kesenangan di dalam sorga saja, ke dalam kepala-kepala kecil itu sehingga tentu saja bagi anak-anak perempuan itu semakin dewasa makin menariklah gambaran tentang kehidupan yang sangat mulia itu.

Dari dalam kamar-kamar indah mewah istana kaisar inilah lantas mengalir perkembangan kehidupan sex yang lalu dijadikan kitab-kitab ilmu senggama dan tersebar luas hingga ke seluruh dunia!

Kaisar Ceng Hwa pun tak terkecuali. Dia menjadi kaisar dalam usia sembilan belas tahun, sedang menginjak usia remaja yang berkembang sehingga dia begitu mudah diperhamba oleh kesenangan-kesenangan sex yang seolah-olah didorong-dorongkan kepadanya oleh para pejilat dalam istana. Bahkan ibunya sendiri, ibu suri, mendatangkan guru-guru yang khusus bertugas mengajarkan hal-hal mengenai hubungan pria dan wanita kepada kaisar muda ini, dan beberapa orang wanita muda yang cantik dan berpengalaman dipilih untuk mengajarkan hal-hal itu dalam praktek kepada sang kaisar muda.

Hal seperti ini bukan merupakan dongeng, melainkan merupakan kenyataan yang tercatat di dalam sejarah. Demikianlah, tidak mengherankan bila dalam waktu singkat saja Kaisar Ceng Hwa, seperti juga para kaisar ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya, telah jatuh menjadi seorang hamba nafsu birahinya sendiri! Mulailah dia mencari-cari, memilih-milih di antara para puteri dayang-dayang dan dara-dara yang cantik jelita untuk mengisi harem istana, untuk secara bergilir atau berkelompok menghiburnya, melayaninya, baik di taman mau pun di dalam kamar tidurnya.

Kemudian muncullah Kim Hong Liu-nio! Pada suatu senja, seorang pengawal melaporkan kepada kaisar bahwa wanita ini mohon menghadap. Ketika itu kaisar sedang bersenang-senang di dalam taman dengan ditemani oleh lima orang selirnya yang paling disukanya. Kaisar itu duduk di pinggir kolam ikan, memberi makan ikan-ikan emas, dibantu oleh dua orang selirnya sedangkan yang tiga orang lainnya memainkan alat musik yang-khim dan suling, melagukan nada-nada merdu dari lagu yang romantis sehingga suasana menjadi romantis sekali.

Mendengar bahwa Kim Hong Liu-nio minta menghadap, kaisar cepat-cepat memberi tahu kepada para pengawal agar wanita perkasa itu langsung saja memasuki taman, dan dia melepaskan rangkulannya pada dua orang selirnya, bahkan memberi isyarat kepada selir lain untuk menghentikan permainan mereka.

Lima orang selir itu sudah mengenal pula siapa adanya Kim Hong Liu-nio, maka mereka pun duduk dengan tenang dan hormat karena mereka tahu bahwa wanita ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan terhormat, dikenal sebagai penyelamat nyawa kaisar!

Biasanya kaisar melihat Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita yang gagah perkasa, yang menimbulkan kagum dan hormat. Belum pernah selama ini dia menggambarkan Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita dengan daya tarik kewanitaannya, namun sebagai seorang pendekar wanita yang serba keras dan kokoh kuat di balik kecantikannya. Akan tetapi ketika itu dia belum begitu matang dalam penilaiannya terhadap wanita dan sudah lama dia tidak berjumpa dengan wanita itu.

Maka kini, ketika memandang Kim Hong Liu-nio memasuki pintu taman dan melangkah menghampiri tempat itu, sepasang matanya yang telah terbiasa menilai wanita, sekarang memandang penuh perhatian dan penilaian! Bukan hanya wajah yang cantik segar dihias rambut yang disanggul tinggi itu, melainkan juga pandang matanya menurun ke leher, ke arah dada yang membusung angkuh, kepada tubuh yang tegak namun tinggi semampai, pinggang yang amat ramping dan pinggul yang membesar, kemudian langkah yang begitu tegap namun mengandung kelembutan dan daya tarik yang menjanjikan kemesraan.

Kaisar muda itu tertegun dan kagum! Kiranya Kim Hong Liu-nio ini bukanlah seorang yang seperti yang digambarkan semula, seorang wanita penyembelih musuh yang kejam dan berdarah dingin, melainkan di samping itu juga seorang wanita cantik yang mempunyai kecantikan, kelembutan dan kehangatan dengan bentuk tubuh yang menggairahkan!

Begitu menghadap, Kim Hong Liu-nio segera memberi hormat, berlutut kemudian berkata, "Perkenankan hamba membicarakan sesuatu dengan paduka tanpa didengar oleh orang lain."

Kaisar Ceng Hwa tersenyum sambil matanya tidak pernah meninggalkan wajah dan tubuh wanita yang sedang berlutut di hadapannya itu. Nampak leher yang berkulit putih mulus dan berbentuk panjang seperti leher angsa yang jenjang. Lalu dia memberi isyarat kepada para selirnya untuk meninggalkan taman.

Para selir itu tidak berani membantah, dengan sikap hormat mereka segera meninggalkan taman, sambil berlari-lari kecil dengan langkah seperti penari-penari yang lemah gemulai, meninggalkan bau semerbak harum.

Kini mereka tinggal berdua saja. Para pengawal hanya menjaga di sebelah luar taman, sama sekali tidak berani memperlihatkan diri atau mengganggu kaisar.

"Nah, sekarang kita hanya berdua saja di sini, lihiap. Apa yang hendak kau bicarakan?" Kaisar berkata halus.

"Ampunkan hamba yang berani minta untuk berbicara empat mata dengan paduka, akan tetapi karena yang hamba hendak bicarakan ini mengenai para pemberontak yang amat berbahaya, maka sangat tidak baik apa bila sampai terdengar orang lain. Hamba hendak membicarakan mengenai empat orang pemberontak yang berhasil lolos itu, sri baginda, yaitu pemberontak Cia Bun Houw, Cia Giok Keng, Yap Kun Liong, dan Yap In Hong."

"Oohh, tentang mereka?" Kaisar yang muda itu tidak begitu tertarik.

Tentu saja dia sudah mendengar tentang adanya para pemberontak yang kabarnya telah melawan pasukan kerajaan, membunuh banyak pasukan termasuk Panglima Lee Siang. Akan tetapi dia yang setiap harinya hanya bersenang-senang, mana sempat memikirkan soal pemberontakan kecil yang lebih patut disebut pengacau-pengacau itu saja? Apa bila yang memberontak itu merupakan pasukan besar, tentu saja persoalannya menjadi lain.

Dia lebih tertarik untuk memandang ke arah dada yang menonjolkan dua bukit tertutup baju sutera dari wanita di depannya itu, dan ketika wanita itu bicara sambil menengadah, dia melihat wajah cantik dengan bibir yang amat manis bergerak-gerak terbuka, kadang-kadang sedikit memperlihatkan sebelah dalam mulut kecil yang merah. Hatinya tergerak dan darahnya bergolak.

Kim Hong Liu-nio dapat melihat keadaan kaisar yang muda dan tampan itu. Wanita ini melihat kesempatan baik sekali, maka dia lalu menangis dalam keadaaan masih berlutut, kemudian tanpa dapat dilihat kaisar saking cepatnya, dia telah melonggarkan bagian atas tubuhnya sehingga dari atas kaisar yang duduk itu dapat melihat melalui celah-celah baju itu sedikit bagian dari dadanya, lereng dua buah bukit yang membusung.

"Ahh, kenapa kau menangis, lihiap?" Kaisar itu kaget juga karena sama sekali tak pernah dia dapat membayangkan bahwa wanita yang gagah perkasa ini dapat menangis! Makin kelihatanlah sifat kewanitaan pendekar wanita ini, apa lagi melihat celah baju bagian atas itu.

"Hamba... hamba teringat akan kematian tunangan hamba, Panglima Lee Siang di tangan para pemberontak itu, sri baginda... maafkan hamba... hamba merasa berduka karena kini hamba menderita kesepian yang menyesak di dada..."

Kaisar Ceng Hwa memang sudah mendengar dari para pengawal penyelidik akan adanya hubungan antara wanita perkasa ini dengan Panglima Lee Siang, dia tahu bahwa ada main antara mereka berdua, akan tetapi mendengar pengakuan wanita itu, dia pura-pura kaget dan bertanya,

"Ahh, jadi engkau telah menjadi isteri mendiang Lee-ciangkun?"

Wajah Kim Hong Liu-nio menjadi kemerahan, terutama sekali kedua pipinya. Sama sekali bukan karena malu atau jengah, namun akibat pengerahan sinkang-nya yang mendorong darah lebih banyak naik ke mukanya dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah memiliki kepandaian tinggi.

"Belum, sri baginda... hamba belum menikah, akan tetapi dia sudah menjanjikan hal itu kepada hamba..." Walau pun matanya masih agak basah air mata, namun dia tersenyum malu-malu dan sepasang mata itu mengerling tajam.

Melihat ini, kaisar muda itu makin tertarik. "Sudahlah, jangan kau menangis, lihiap, dan kau ke sinilah, duduklah di sini agar lebih enak kita bicara."

Jantung Kim Hong Liu-nio berdebar keras, bukan karena takut melainkan karena tegang gembira melihat ada tanda-tanda usahanya menarik perhatian kaisar itu berhasil agaknya!

"Hamba... hamba mana berani...?"

"Aku yang memerintahkan, mengapa tidak berani? Ke sinilah!"

"Ba... baik, sri baginda..." Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri, memberi hormat dan dengan kedua kaki jelas kelihatan gemetar dia melangkah maju ke depan kaisar, sampai dekat sekali.

Kaisar memegang tangan wanita itu lantas menariknya duduk di atas bangku bertilamkan kasur dan beludru lembut itu. Kaisar merasa betapa tangan itu selain gemetar, juga amat hangat dan mengeluarkan getaran yang sangat terasa sampai ke seluruh lengannya. Dia makin tertarik, apa lagi mencium bau harum yang keluar dari tubuh wanita itu.

"Hemmm, engkau sungguh cantik, lihiap...," bisik kaisar.

"Aihhhh... sri baginda..." Kim Hong Liu-nio mengeluh dan menunduk, nampak takut-takut seperti seekor kelinci dalam dekapan harimau.

Kaisar makin tertarik, dia meraih dan merangkul, kemudian memaksa wanita itu menoleh kepadanya dan mencium mulut Kim Hong Liu-nio. Beberapa lamanya kaisar menciumnya, kemudian kaisar melepaskan ciumannya dan matanya terbelalak. Selama dia mengenal wanita, belum pernah dia merasakan ciuman sehebat itu! Bukan saja wanita ini membalas ciumannya dengan penuh api menggelora, malah dia juga merasakan getaran yang amat menggoncangkan jantungnya.

Tanpa banyak cakap lagi, sri baginda kaisar bangkit dan menggandeng tangan wanita itu, diajak meninggalkan taman dan langsung masuk ke dalam kamar. Para selir yang melihat ini saling pandang dan diam-diam mereka pun merasa heran kenapa kaisar kini bersikap demikian mesra terhadap pendekar wanita itu! Namun, tentu saja tidak ada seorang di antara mereka berani membuka mulut, bahkan lalu berlutut membiarkan mereka berdua lewat. Para pengawal yang terdiri dari orang-orang kebiri sebab mereka adalah pengawal-pengawal di bagian keputren itu juga menunduk saja dengan sikap tegak.

Mulai saat itu, kaisar yang muda itu mengangkat Kim Hong Liu-nio sebagai kekasihnya yang baru dan dari wanita ini dia memperoleh pengalaman yang amat hebat dan belum pernah dia dapatkan dari wanita lain. Memang, dengan tenaga sinkang-nya yang sangat kuat, mudah saja bagi Kim Hong Liu-nio untuk mempermainkan kaisar muda itu sehingga menjadi tergila-gila kepadanya, walau pun usianya sudah tiga puluh lima tahun dan jauh lebih tua dibandingkan dengan para selir yang usianya belum ada dua puluh tahun itu.

Dan semenjak hari itu pula Kim Hong Liu-nio memperoleh ijin dari kaisar untuk memimpin pasukan-pasukan pilihan, untuk mengejar dan mencari musuh-musuhnya, yaitu keluarga Cia dan Yap yang menjadi buronan itu. Bahkan dia segera menyebar mata-mata untuk menyelidiki di mana mereka itu bersembunyi.

Untuk memperkuat dirinya karena dia tahu bahwa semua musuh-musuhnya itu memiliki kepandaian tinggi, Kim Hong Liu-nio segera mendatangkan gurunya, Hek-hiat Mo-li, yang kemudian menanti di kota raja dan siap untuk turun tangan kalau tempat sembunyi para pemberontak itu sudah dapat ditemukan.

Memang kekuasaan inilah yang diinginkan oleh Kim Hong Liu-nio. Dia pun tidak berambisi untuk memikat kaisar untuk selamanya. Dia tahu bahwa kaisar masih amat muda dan dia sendiri sudah jauh lebih tua sehingga tak mungkin dia akan dapat terus mempertahankan kaisar dalam pelukannya.

Karena itu, sesudah dia berhasil mendapatkan kepercayaan kaisar dan diberi kekuasaan menggunakan pasukan untuk menghadapi para musuh yang dicap pemberontak itu, dia sudah merasa puas dan hanya kadang-kadang saja dia memenuhi panggilan kaisar dan melayaninya. Tapi wanita ini lebih banyak pergi keluar kota raja sehingga akhirnya kaisar kembali kepada para selirnya yang muda-muda dan hal ini tentu saja menggirangkan hati para selir muda itu.

Di dalam keluarga kaisar terdapat seorang pangeran, yaitu kakak tiri dari kaisar muda itu. Pangeran ini sudah berusia hampir tiga puluh tahun, bernama Pangeran Hung Chih dan dia amat populer di antara para menteri-menteri tua yang setia. Pangeran ini merupakan calon kaisar ke dua setelah Ceng Hwa, dan memang dibandingkan dengan kaisar muda itu, dia lebih menaruh perhatian terhadap pemerintahan.

Pangeran Hung Chih inilah yang didukung oleh para menteri tua yang merasa tidak setuju ketika pemerintah memusuhi keluarga Cia di Cin-ling-pai. Mereka tahu bahwa keluarga itu sejak dahulu adalah keluarga pendekar-pendekar yang setia kepada kaisar. Mereka tahu benar bahwa keluarga itu dimusuhi gara-gara Kim Hong Liu-nio yang berhasil memikat kaisar, padahal wanita itu adalah seorang kepercayaan raja liar Sabutai!

Dengan jujur dan halus Pangeran Hung Chih sendiri yang mendekati kaisar yang menjadi adik tirinya itu dan memperingatkan kaisar agar tidak terlalu memberi kebebasan kepada Kim Hong Liu-nio yang mungkin saja menjadi mata-mata Raja Sabutai dan kelak hanya akan merugikan kerajaan sendiri.

"Ahhh, dia adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, bahkan dahulu pernah menyelamatkan nyawaku, mana mungkin dia mempunyai niat buruk? Lagi pula, dia minta pasukan untuk menangkap para pemberontak yang telah melawan pasukan kerajaan dan telah membunuh Lee-ciangkun, bukankah hal itu baik sekali?" demikian antara lain kaisar membantah.

Pangeran Hung Chih tidak berani mendesak. Betapa pun juga, peringatan dari pangeran ini telah membuat kaisar lebih berhati-hati dan kini jarang dia memanggil wanita itu untuk melayani dia bermain asmara.

Pagi yang cerah indah di lereng Bukit Bwee-hoa-san. Bukit ini, sesuai dengan namanya, penuh dengan bunga Bwee yang sedang mekar karena musim semi telah menjelang tiba. Memang amat sedap dipandang dan terasa nyaman di hati melihat bunga-bunga mekar di lereng yang subur dan berhawa sejuk itu, dengan ratusan ekor kupu-kupu beterbangan di sekitar bunga-bunga, mengepak-ngepakkan sayapnya yang beraneka warna itu dengan sibuknya. Di antara kupu-kupu yang memiliki warna bermacam-macam ini nampak pula beberapa ekor lebah yang gerakannya amat gesit terbang menyusup di antara daun-daun dan bunga sibuk mencari atau mengumpulkan madu.

Ada dua buah pondok kecil di lereng yang sunyi itu, agak terlindung oleh pohon-pohon besar di tepi hutan. Dua pondok kecil inilah yang menjadi tempat tinggal sementara, atau tempat persembunyian dari dua pasang suami isteri kakak beradik, yaitu Yap Kun Liong bersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong!

Sejak mereka melarikan diri dari penjara kota Po-teng di mana mereka ditawan, empat orang pendekar ini melarikan diri dan tinggal berpindah-pindah dari satu ke lain tempat sembunyi karena mereka maklum bahwa mereka terus dikejar-kejar pasukan pemerintah. Akhirnya, mereka tiba di lereng Bukit Bwee-hoa-san ini dan bersembunyi di tempat sunyi ini.

Sudah dua bulan mereka tinggal di tempat ini, dan mereka, terutama sekali Yap In Hong, merasa khawatir dengan keadaan mereka sebagai buronan itu karena kini nyonya muda ini sudah mengandung lima bulan! Seperti telah diceritakan di bagian depan, walau pun sudah belasan tahun dia melarikan diri bersama Cia Bun Houw dan sudah dianggap isteri pendekar itu, namun karena belum mendapat restu dari orang tua, kedua orang pendekar ini selalu tinggal terpisah, yaitu tidak pernah berkumpul sebadan seperti layaknya suami isteri.

Kemudian, sesudah lewat belasan tahun menahan derita ini, mereka menghadap ketua Cin-ling-pai ayah Cia Bun Houw dan mendapatkan restu dari kakek Cia Keng Hong yang telah menginsyafi kesalahannya dan merasa menyesal bahwa dengan kekerasan hatinya dia telah menyiksa batin puteranya sendiri dan mantunya.

Barulah mereka menjadi suami isteri dalam arti yang sebenarnya, dan baru sekarang Yap In Hong mengandung untuk pertama kalinya. Namun, dalam keadaan mengandung dia kini harus menjadi buronan, gara-gara fitnah yang dijatuhkan oleh Lee Siang yang hendak memenuhi permintaan Kim Hong Liu-nio, kekasihnya!

Pada pagi hari yang cerah itu, seperti biasa pendekar Yap Kun Liong dan pendekar Cia Bun Houw sedang bekerja di ladang sayur mereka tak jauh dari kedua pondok mereka itu. Untuk menghindarkan terlalu banyak hubungan dengan orang lain, kedua orang pendekar ini menanam sendiri berbagai macam sayur untuk kebutuhan makan sehari-hari mereka, sehingga mereka tidak perlu sering berbelanja ke bawah bukit, dan cukup hanya sebulan sekali saja berbelanja beras, bumbu, teh serta beberapa keperluan lain. Untuk lauk pauk cukup dengan tanaman sayur mereka sendiri dan daging binatang yang dapat mereka tangkap di dalam hutan-hutan di sekitar tempat itu.....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 31



PENDEKAR Yap Kun Liong kini sudah berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak muda dan gagah penuh semangat, sedangkan pendekar Cia Bun Houw yang berusia tiga puluh enam tahun itu kelihatan sehat gagah, biar pun di wajahnya yang tampan terbayang kekhawatiran. Tentu saja pendekar ini merasa amat gelisah bila mengingat akan keadaan isterinya yang mengandung pertama sudah harus menjadi buronan seperti itu.

Suara derap kaki kuda tunggal memecahkan kesunyian pagi hari yang tenteram itu. Dua orang pendekar itu terkejut, menunda cangkul masing-masing, saling pandang, kemudian mereka menoleh ke arah suara datangnya derap kaki kuda itu. Nampaklah oleh mereka seorang laki-laki berpakaian petani membalapkan kuda menuju ke sana, melalui sebuah lorong atau jalan setapak dengan cepat.

Tentu saja dua orang pendekar ini menjadi curiga karena walau pun orang itu berpakaian petani, namun cara orang itu duduk di atas kuda membuktikan bahwa orang itu adalah seorang ahli menunggang kuda dan tubuh orang itu yang duduk tegak jelas mengandung kekuatan terlatih. Maka begitu penunggang kuda itu melewati tempat kerja mereka dan terus membalap menuju ke arah pondok, dua orang pendekar ini pun cepat meninggalkan cangkul mereka di atas ladang, kemudian berlari mengejar. Tentu saja mereka tak begitu khawatir karena isteri mereka bukan orang-orang lemah, apa lagi yang datang berkunjung secara mencurigakan ini hanya satu orang saja.

Baru saja penunggang kuda itu meloncat turun dari kudanya di depan dua buah pondok itu, orang ini sudah berteriak dengan suara lantang. "Cia-taihiap! Yap-taihiap! Harap lekas keluar!"

Yang keluar adalah Cia Giok Keng dan Yap In Hong, dua orang pendekar wanita itu yang tadi telah mendengar suara derap kaki kuda dan sudah siap-siap. Dan pada saat itu juga, Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong juga sudah berada di situ.

"Siapakah engkau dan mau apa?" Yap Kun Liong berkata dengan suara halus akan tetapi penuh wibawa.

Orang itu sejenak memandang kepada dua orang pendekar ini. Dia belum pernah bertemu muka dengan mereka, namun dia telah memperoleh gambaran jelas tentang wajah kedua orang pendekar itu, maka kini dia mengenal mereka dan cepat menjura dengan hormat.

"Harap ji-wi taihiap sudi memaafkan saya kalau saya mengganggu dan mengejutkan ji-wi. Kedatangan saya ini membawa berita penting sekali, yaitu bahwa pada hari ini juga akan ada pasukan yang datang menyerbu ke sini, maka harap ji-wi taihiap dan ji-wi lihiap dapat bersiap-siap untuk meninggalkan tempat ini."

Sekali menggerakkan tubuh dan tangan, Cia Bun Houw sudah mencengkeram leher baju orang itu tanpa dia mampu mengelak lagi. Tentu saja Bun Houw menggunakan gerakan ini untuk menguji dan dia tahu bahwa orang ini tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, karena reaksinya ketika dia bergerak jauh kurang dan amat terlambat. Maka dia lalu menghardik dengan suara mengancam untuk membikin takut orang itu agar jangan membohong.

"Siapa engkau?!"

Orang itu kelihatan tenang saja dan ini sudah membuktikan bahwa dia tidak mempunyai iktikad buruk. "Nama saya Lie Tek," jawabnya cepat.

"Mengapa engkau datang memperingatkan kami dan bagaimana engkau dapat mengenal kami?" tanya Bun Houw lagi tanpa melepaskan cengkeramannya.

"Harap Cia-taihiap tidak salah sangka. Biar pun saya belum pernah bertemu dengan ji-wi taihiap, namun kami semua sudah memperoleh gambaran cukup jelas tentang ji-wi. Saya adalah salah seorang di antara banyak mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih untuk menyelamatkan ji-wi taihiap dari pengejaran pasukan yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio dan sekarang saya datang untuk memberi peringatan kepada ji-wi karena sudah pasti hari ini pasukan itu akan datang menyerbu karena tempat ini telah mereka ketahui."

Cia Bun Houw melepaskan cengkeramannya. Dengan tenang Yap Kun Liong lalu minta kepada orang yang mengaku bernama Lie Tek itu untuk bercerita selengkapnya tentang mereka yang mengaku mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih.

Lie Tek, mata-mata itu lalu menceritakan secara singkat tentang diri Pangeran Hung Chih. Ternyata pangeran yang tidak setuju dengan sikap kaisar mengenai keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak, pada saat melihat betapa Kim Hong Liu-nio berhasil merayu kaisar lalu mendapatkan kekuasaan untuk mengerahkan pasukan mencari para pendekar yang buron itu dan diperkenankan pula menumpasnya, diam-diam telah berunding dengan para menteri tua hingga akhirnya mereka mengambil keputusan untuk secara diam-diam membantu para pendekar itu agar jangan sampai terdapat oleh para pengejarnya.

"Pangeran Hung Chih dan para menteri tua yakin akan kesetiaan keluarga Cia dan Yap, oleh karena itu beliau berusaha melindungi, sungguh pun tentu saja tidak berani secara berterang, karena Kim Hong Liu-nio telah memperoleh dukungan dari sri baginda sendiri." Demikian Lie Tek mengakhiri penuturannya secara singkat.

Empat orang pendekar yang mendengarkan menjadi terharu kemudian diam-diam mereka mencatat nama Pangeran Hung Chih sebagai seorang pangeran yang bersahabat.

"Kalau begitu, kami berterima kasih sekali dan maafkan sikapku, Lie-twako," kata Cia Bun Houw.

Mata-mata itu menjura dan berkata, "Saya telah menyampaikan tugas, harap ji-wi berdua dan lihiap berdua suka cepat meninggalkan tempat ini sebelum terlambat, dan saya pun tidak berani lama-lama tinggal di sini. Saya mohon diri, ji-wi taihiap!"

Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong membalas penghormatan itu. Lie Tek lalu meloncat ke atas punggung kudanya, kemudian membalapkan kuda itu menuju lereng melalui arah yang berlawanan dengan ketika dia datang diikuti pandang mata keempat orang pendekar itu yang masih bersikap tenang.

Empat orang pendekar ini tidak tahu bahwa ketika Lie Tek tiba di sebuah tikungan di balik bukit, tiba-tiba muncul belasan orang mata-mata musuh, yaitu mata-mata dari pasukan Kim Hong Liu-nio. Dia ditangkap dan tidak mungkin dapat melawan menghadapi belasan orang itu. Dia disiksa agar mengaku, akan tetapi Lie Tek tetap menutup mulutnya sampai akhirnya dia mati dalam siksaan!

Kemudian para mata-mata ini cepat mengirim berita kepada Kim Hong Liu-nio yang lantas mengerahkan seratus orang lebih pasukan untuk mengepung dan menyerbu!

                 ***************

Kita tinggalkan dulu keadaan empat orang pendekar yang terancam bahaya maut itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Lie Ciauw Si. Kita hanya mengetahui bahwa gadis puteri Cia Giok Keng atau adik dari Lie Seng ini telah meninggalkan Cin-ling-pai beberapa tahun yang lalu akibat melihat kakeknya berduka saja. Dia mengambil keputusan untuk mencari pamannya, Cia Bun Houw yang dia tahu menjadi penyebab dari kedukaan kongkong-nya.

Ketika itu Cia Bun Houw berdua Yap In Hong masih mengasingkan diri dalam kedukaan akibat kemarahan Cia Keng Hong yang tidak menyetujui perjodohan di antara mereka sehingga usaha Lie Ciauw Si mencari kedua orang ini sama sekali tidak pernah berhasil. Ciauw Si yang keras hati itu tidak mau kembali ke Cin-ling-pai sebelum bertemu dengan orang yang dicarinya.

Dia merantau sampai jauh ke barat, kemudian pada akhir-akhir ini dia pergi merantau ke selatan. Dia sudah menjelajahi dunia kang-ouw, bertanya-tanya ke sana-sini, namun tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang dapat memberi keterangan kepadanya di mana gerangan adanya pendekar Cia Bun Houw, sungguh pun mereka itu tahu belaka siapa adanya pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu.

Pada suatu hari Ciauw Si tiba di kota Yen-ping. Ketika sedang berjalan-jalan di sepanjang tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hokkian dan tiba di dekat sarang perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, secara kebetulan Ciauw Si melihat empat orang sedang ribut mulut.

Dia tidak mengenal empat orang itu, namun sangat tertarik karena melihat bahwa empat orang laki-laki tua itu bukanlah orang-orang biasa, hal ini dapat dilihat jelas dari sikap dan gerak-gerik mereka. Di tempat itu terdapat pula dua kelompok orang-orang yang sedang menonton, semuanya memperlihatkan sikap orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, akan tetapi agaknya mereka merasa takut dan segan untuk mencampuri percekcokan itu.

Empat orang itu memang bukan orang-orang sembarangan. Yang sedang marah-marah adalah dua orang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang seorang tinggi besar dan mukanya brewok menyeramkan, tangannya memegang sebatang tongkat dan dengan tongkatnya ini beberapa kali dia menuding ke arah muka dua orang kakek yang dimarahi dan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun.

Kakek ke dua yang marah juga berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil pendek akan tetapi kepalanya gundul lonjong dan matanya tajam. Kakek ini menyeramkan sekali karena dia hanya memakai celana hitam hingga di bawah betis, sedangkan tubuh atasnya yang kurus itu telanjang sama sekali, seperti juga kedua kakinya. Suaranya lantang dan nyaring.

Kakek muka brewok itu bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, sedangkan kakek ke dua yang tak berbaju adalah Kim-liong-ong Phang Sun. Seperti telah kita ketahui, mereka berdua adalah tokoh-tokoh besar di selatan yang terkenal dengan julukan Lam-hai Sam-to (Tiga Orang Tua Laut Selatan).

Tadinya mereka bertiga bersama dengan Hek-liong-ong Cu Bi Kun, namun seperti sudah diceritakan di bagian depan, orang ini telah tewas oleh Pangeran Ceng Han Houw ketika Cu Bi Kun bermaksud membunuh Sin Liong. Kemudian seperti yang telah diputuskan oleh Pangeran Ceng Han Houw, Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu kini menjadi tokoh terbesar di selatan, dan menjadi bengcu (pemimpin) dari dunia sesat di selatan!

Ada pun dua orang kakek berusia lima puluh tahun yang sedang menghadapi kemarahan dua orang bengcu ini adalah ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Telah kita ketahui bahwa ketika dalam pemilihan bengcu di selatan, memang sudah terjadi bentrokan antara kedua orang tokoh ini dengan Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena ketika itu fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang merasa kalah kuat, maka mereka ini lalu mundur dan mengalah. Akan tetapi mengapa kini dua orang bengcu itu marah-marah kepada pemimpin Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini?

Walau pun dia tidak mengenal empat orang itu, namun Ciauw Si amat tertarik, menduga bahwa tentu mereka itu merupakan tokoh-tokoh penting dalam kalangan kang-ouw, maka diam-diam dia pun mendengarkan dengan penuh perhatian.

Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan mukanya bopeng terkenal lebih keras wataknya dari pada suheng-nya. Dengan kedua mata terbelalak lebar serta kemarahan yang tidak disembunyikan lagi dia berteriak, "Semenjak dahulu semua perkumpulan memberi sumbangan suka rela kepada bengcu sekuat kemampuan masing-masing. Sekarang bengcu menentukan jumlah seenak perut sendiri. Peraturan manakah ini?"

Kim-liong-ong Phang Sun yang kecil pendek dan bertelanjang baju itu tertawa mengejek dan berkata, "Eh-ehh, Tong Siok, berani engkau mengeluarkan suara macam itu? Setiap orang raja baru berhak menjatuhkan keputusan baru dan juga mengubah peraturan lama dengan peraturan baru! Kami pun demikian. Sebagai bengcu baru kami telah menjatuhkan keputusan bahwa tiap perkumpulan yang berlindung di bawah kami harus mengeluarkan pembayaran sesuai dengan yang sudah kami taksir dan keputusan kami inilah peraturan baru!"

Sebelum sute-nya sempat mengeluarkan kata-kata keras, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah cepat berkata, "Harap ji-wi bengcu suka bersabar. Terus terang saja, perkumpulan kami agak mundur dan lemah dalam hal keuangan, maka harap ji-wi suka menerima seadanya dulu menurut kemampuan kami. Lain kali tenti kami akan berusaha memenuhi permintaan ji-wi seperti jumlah yang telah ditentukan itu."

"Pangcu," kata Hai-liong-ong Phang Tek. "Keputusan bengcu mana boleh diganggu gugat dan ditawar-tawar lagi? Kalau kami tidak melaksanakan keputusan kami sendiri, maka hal itu sungguh akan menurunkan wibawa kami dan mengacau ketertiban."

"Habis, kalau kami tidak sanggup membayar iuran paksaan ini, kalian mau apa?" bentak Tiat-thouw (Kepala Besi) Tong Siok penuh kemarahan, toya besinya sudah tergetar dalam genggaman tangannya.

"He-heh-heh!" Kim-liong-ong (Raja Naga Emas) Phang Sun, adik dari Phang Tek, tertawa mengejek. "Apa bila kalian tidak mau membayar, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, Sin-ciang Tiat-thouw-pang harus mengganti ketuanya dengan orang yang lebih bijaksana dan dapat mentaati peraturan kami. Yang ke dua, bubarkan saja perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang agar tidak membikin kacau!"

"Kami tidak mau mengganti ketua, tidak mau membubarkan perkumpulan, juga tidak mau membayar uang paksa, kalian mau apa?" Tiat-thouw Tong Siok membentak, tidak keburu dicegah oleh Sin-ciang (Tangan Sakti) Gu Kok Ban.

"Bagus! Kalau begitu kami akan mengirim kalian berdua ke neraka!" kata Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) Phang Tek yang juga sudah marah menyaksikan sikap bandel dari dua orang ketua perkumpulan yang memang sejak dahulu menentangnya itu.

Kim-liong-ong Phang Sun sudah menerjang si muka bopeng Tong Siok. Kakek bertubuh kecil pendek ini bergerak dengan kecepatan kilat, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang dan tangannya yang kecil itu sudah bergerak menyambar ke arah kepala lawan.

Ciauw Si yang menonton terkejut sekali karena dia mengenal gerakan yang amat lihai dan pukulan si kakek kecil itu mengeluarkan suara bercuitan! Tong Siok adalah wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang berjuluk Si Kepala Besi, maka tentu saja kepandaiannya cukup hebat dan lebih dari itu, dia telah mengenal kesaktian lawan, maka dia tidak berani ceroboh, cepat dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan toya besinya diputar dalam serangan balasan yang dahsyat pula. Namun, sambil tertawa mengejek si kakek kecil itu menggerakkan tangan kiri menangkis.

"Ting-ting-cringgg...!"

Tiga kali tongkat besi bertemu dengan tangan kiri yang terlindung gelang emas sehingga terdengar suara berdencing nyaring dan tubuh wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terhuyung.

Pada saat itu pula, Hai-liong-ong Phang Tek juga sudah menyerang Gu Kok Ban dengan tongkatnya. Gu Kok Ban maklum akan kesaktian lawan, segera dia mencabut sepasang siang-kiamnya dan menyambut tongkat itu. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat, karena Gu Kok Ban dan Tong Siok yang maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang lawan itu masih lebih tinggi, tetap melawan dan tidak mau mundur, bertekad untuk membela nama perkumpulan sampai napas terakhir!

Betapa pun nekatnya mereka itu, tetap saja mereka tak mampu membendung datangnya serangan lawan yang bertubi-tubi. Dua orang kakek yang memakai julukan raja naga itu memang mempunyai ginkang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakan mereka jauh lebih cepat, membuat Gu Kok Ban dan Tong Siok menjadi repot sehingga harus memutar senjata mereka cepat-cepat untuk melindungi tubuh sendiri.

"Cinggg-cinggg...! Wuuuutttt...!"

Tong Siok terkejut bukan main. Selain toya besinya kena ditangkis, juga jari tangan kanan kakek kecil itu hampir saja menusuk pelipis kepalanya. Kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan jari telunjuk itu mengenal pelipis, tentu kepalanya sudah berlubang dan nyawanya melayang. Akan tetapi si kecil tertawa dan menendang.

Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Tong Siok yang tinggi besar itu mencelat kemudian bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Namun dia tidak terluka, hanya terkejut dan meloncat bangun lagi dengan muka pucat!

Tetapi, sebelum dia menerjang lagi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang dara yang cantik telah menyerang kakek kecil itu dengan amat hebatnya! Begitu menyerang, jari-jari tangan dara ini bercuitan menusuk dengan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah di bagian depan tubuh Kim-liong-ong!

"Ehh... ehhh...!" Kim-liong-ong Phang Sun kaget bukan main sebab semua tangkisannya luput karena jari tangan itu sudah ditarik kembali kemudian dengan kecepatan kilat telah menusuknya lagi. Terpaksa dia meloncat ke belakang, maklum akan bahayanya serangan nona yang baru datang ini.

Ternyata begitu menerjang Ciauw Si telah menggunakan jurus Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang ampuh. San-in Kun-hoat (Ilmu Awan Gunung) ini hanya mempunyai delapan jurus, akan tetapi setiap jurus merupakan gerakan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan. Tadi Ciauw Si sudah menyerang dengan jurus ke lima yang disebut San-in Ci-tian (Awan Gunung Mengeluarkan Kilat), maka tentu saja Kim-liong-ong menjadi kaget bukan main.

Sebaliknya, Ciauw Si tidak heran melihat lawannya dapat menghindarkan diri karena dia memang maklum bahwa kakek pendek kecil ini amat lihai, maka dia pun lalu menerjang lagi, sekali ini mengatur langkah menurut Ilmu Thai-kek Sin-kun dan terus mengejar dan menghujankan serangan kepada Kim-liong-ong Phang Sun!

Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi dan diam-diam kakek kecil pendek itu terkejut bukan main karena dara cantik ini benar-benar memiliki dasar ilmu silat tinggi yang amat kokoh kuat dan bersih! Selagi dia menduga-duga siapa adanya dara ini, Tong Siok yang merasa beruntung sekali memperoleh bantuan seorang dara yang lihai sudah menerjang lagi dengan tongkat besi.

Tentu saja Kim-liong-ong menjadi sibuk juga dikeroyok dua oleh lawan yang pandai ini sehingga dia banyak main mundur, mengelak dan kadang-kadang menggunakan gelang emasnya untuk menangkis. Dua tangannya kini mengeluarkan hawa dingin yang berbau amis sebab kakek ini sudah mengerahkan ilmunya yang amat keji, yaitu pukulan-pukulan beracun!

Betapa pun juga, karena kini Ciauw Si yang melihat penggunaan ilmu pukulan beracun telah mencabut pedangnya, kakek kecil itu tetap terdesak hebat. Sinar pedang bergulung-gulung bagai seekor naga putih ketika Ciauw Si memutar pedang Pek-kong-kiam. Sesuai dengan namanya, pedangnya ini terbuat dari pada baja putih, pemberian dari kakeknya.

Di lain fihak, melihat datangnya bantuan seorang dara lihai di fihak musuh, Hai-liong-ong Phang Tek menjadi marah dan juga khawatir melihat adiknya terdesak. Dia mengeluarkan teriakan nyaring dan mendesak Gu Kok Ban dengan tongkatnya.

Didesak secara hebat itu, Gu Kok Ban menjadi gugup sehingga kakinya kena ditendang dan membuat dia terguling. Dengan girang Hai-liong-ong menubruk dengan tongkatnya, mengirim pukulan maut ke arah kepala lawan.

"Tranggg...!"

Tongkatnya terpental dan ternyata yang menangkisnya adalah cahaya putih yang diikuti pedang Pek-kong-kiam di tangan Ciauw Si. Dara yang bermata tajam ini melihat bahaya mengancam ketua pertama dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka dengan kecepatan kilat dia telah menyelamatkan nyawa orang itu. Gu Kok Ban meloncat bangun dan membalas serangan lawan dengan senjata siang-kiamnya, sekarang dibantu oleh dara itu sehingga Hai-liong-ong terpaksa harus memutar tongkat agar lolos dari ancaman maut.

Kini Hai-liong-ong yang dikeroyok dua itu terdesak hebat, akan tetapi sebaliknya Tong Siok yang ditinggalkan Ciauw Si terancam dan terdesak hebat oleh Kim-liong-ong, sampai Ciauw Si meloncat lagi membantu wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini! Demikianlah, perkelahian itu menjadi seru bukan main di mana Ciauw Si berloncatan ke sana-sini untuk membantu jika seorang di antara dua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terdesak!

Munculnya dara ini benar-benar membuat para penonton, yang terdiri dari orang-orang Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan banyak pula orang-orang dari golongan sesat yang turut menyaksikan pertandingan itu, menjadi gempar! Mereka belum pernah melihat dara ini, dan sekali muncul dara ini telah berani main-main dengan Lam-hai Sam-lo.

Dan ternyata dara ini memiliki tingkat kepandaian yang hebat! Akan tetapi, mereka tidak berani turun tangan, karena mereka semua merasa jeri terhadap Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu.

Karena Ciauw Si harus membantu dua orang, maka tentu saja keadaan mereka bertiga tetap terdesak oleh dua orang kakek sakti itu dan jika dilanjutkan, agaknya tentu akhirnya seorang di antara mereka akan roboh oleh Lam-hai Sam-lo. Pada saat perkelahian sedang memuncak serunya, tiba-tiba terdengar teriakan halus,

"Lam-hai Sam-lo, kalian bikin ribut lagi? Mundurlah!"

Dua orang kakek itu memandang dan kaget bukan main melihat pemuda yang menegur mereka itu. Cepat mereka meloncat mundur dan menghampiri pemuda yang berpakaian indah itu, lalu menjatuhkan diri berlutut.

"Harap paduka mengampuni hamba, pangeran. Bukanlah hamba berdua, melainkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inilah yang membikin kacau!" kata Hai-liong-ong Phang Tek dengan muka ketakutan.

Yang muncul itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan Sin Liong! Seperti kita ketahui, dua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk mencari Ouwyang Bu Sek, sesuai dengan janji Sin Liong untuk membawa Han Houw kepada suheng-nya itu untuk dapat berguru kepada kakek cebol botak itu. Mereka singgah di Yen-ping dan kebetulan melihat perkelahian itu.

Meski pun ada orang berlutut kepadanya dan minta ampun, namun pada saat itu sang pangeran sama sekali tidak memandang kepada mereka, melainkan memandang kepada Lie Ciauw Si yang berdiri dengan pedang Pek-kong-kiam di tangan, berdiri dengan sikap gagah. Keringat yang membasahi kening dan lehernya, dan rambut yang kusut terjurai di atas keningnya itu menambah manis dara ini, sehingga Han Houw memandang laksana orang terkena pesona, penuh kagum.

Ciauw Si sendiri merasa sangat terkejut melihat munculnya dua orang pemuda remaja itu dan terheran-heran sesudah melihat dua orang lawan tangguh itu berlutut dan menyebut pangeran kepada pemuda yang mengenakan topi bulu indah dan berpakaian mewah itu. Akan tetapi pada waktu melihat pemuda yang tampan gagah ini memandang kepadanya, dia merasa jantungnya berdebar dan cepat menundukkan mukanya.

Sesudah dara itu menundukkan mukanya, barulah Han Houw menyadari bahwa dia tadi telah memandang kepada gadis itu secara berlebihan. Cepat dia menarik napas panjang dan kini mengalihkan pandang matanya kepada Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong.

"Hemm, Ji-lo, apa lagi yang terjadi di sini? Kulihat engkau menyerang kedua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang."

"Pangeran, mereka itu melanggar peraturan yang telah hamba tetapkan sebagai bengcu baru atas pengangkatan paduka," kata Hai-liong-ong dengan harapan untuk mendapatkan dukungan dari pangeran ini.

Ceng Han Houw menoleh kepada Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Dua orang itu berdiri dengan sikap hormat.

"Benarkan ji-wi sengaja melakukan pengacauan dan menentang bengcu?"

"Sama sekali tidak, pangeran!" Gu Kok Ban menjawab tegas. "Biasanya, semenjak dulu, perkumpulan kami selalu memberi sumbangan secara suka rela kepada bengcu, sesuai dengan kemampuan kami. Akan tetapi, sekarang kedua orang bengcu baru menentukan jumlah sumbangan yang terlalu besar bagi kami sehingga tidak dapat terbayar. Kami telah minta kelonggaran akan tetapi mereka malah marah lalu mengandalkan kepandaian untuk menyerang kami. Untunglah ada lihiap ini yang datang menolong, kalau tidak tentu kami berdua telah tewas di tangan mereka."

"Hemm, benarkah itu, Ji-lo?" bentak pangeran.

"Mereka... mereka sengaja tidak mau taat...," Hai-liong-ong mencoba untuk membantah.

"Hemm, seorang pemimpin baru dapat disebut baik bila dia itu tidak hanya mementingkan diri sendiri belaka, akan tetapi memperhatikan keluh-kesah dan kesulitan anak buahnya! Kalian menyalahkan anak buah hanya karena urusan uang, apakah kalian masih kurang memperoleh upah dari kerajaan?"

"Ampun, pangeran... hamba hanya ingin menjalankan tata tertib..."

"Diam! Kalian tak boleh menjatuhkan keputusan dan peraturan seenak kalian sendiri saja. Setiap peraturan baru haruslah diundangkan dan lebih dulu disetujui oleh semua anggota dan semua perkumpulan yang berada dalam lingkungan kita. Mengertikah kalian?"

"Hamba... hamba mengerti!" jawab Hai-liong-ong.

"Syukur... kalau tidak, tentu kalian berdua akan mengalami nasib seperti Hek-liong-ong! Nah, lekas minta maaf kepada pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang!"

Dua orang kakek itu tidak berani membantah dan mereka lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Gu Kok Ban dan Tong Siok yang cepat membalas pula penghormatan itu.

"Juga kepada nona itu!" kata pula Han Houw.

Muka dua orang kakek itu menjadi merah. Mereka tidak mengenal nona ini, akan tetapi karena takut kalau-kalau pangeran menjadi semakin marah, mereka lalu menjura kepada Ciauw Si dan minta dimaafkan. Ciauw Si juga membalas penghormatan itu, karena dia sendiri tidak tahu bagaimana duduknya perkara, hanya tadi dia membela dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena melihat mereka didesak dan ditindas.

"Sekarang pergilah dan tunggu perintahku," kata Han Houw.

Dua orang kakek itu mengangguk, kembali memberi hormat dan tanpa sepatah pun kata mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu seperti dua ekor anjing yang dibentak oleh majikannya.

Melihat semuanya ini, Ciauw Si menjadi terkejut dan terheran-heran, juga amat kagum. Pemuda yang disebut pangeran itu masih demikian muda, akan tetapi dua orang seperti dua orang kakek tadi yang mempunyai kepandaian hebat sekali, bahkan setingkat dengan kepandaian tokoh-tokoh terbesar di dunia kang-ouw, bersikap demikian takut-takut dan tunduk kepada pangeran muda ini! Betapa besar pengaruh dan kekuasaan pangeran ini, pikirnya.

Akan tetapi dia tidak berani bertemu pandang secara langsung dengan Han Houw, karena setiap kali bertemu pandang dia melihat seolah-olah pandang mata pemuda bangsawan ini menembus dan menjenguk ke dalam hatinya. Ciauw Si merasa jantungnya berdebar aneh, dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah sekali. Walau pun dia sudah berusia dua puluh empat tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik sekali, namun belum pernah dia jatuh cinta, belum pernah dia tergila-gila kepada seorang pria, dan baru sekali ini dia mempunyai perasaan yang aneh sekali ketika berhadapan dengan Pangeran muda ini!

Sekarang Han Houw menghadapi dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan Ciauw Si yang masih berdiri menundukkan muka dan pedang tadi telah disimpannya kembali ke dalam sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Sejenak Han Houw memandang wajah yang menunduk itu, kemudian berkata sambil tersenyum kepada Gu Kok Ban,

"Aihh, ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang boleh merasa beruntung sekali telah memperoleh seorang pembantu seperti nona ini yang amat lihai."

"Maaf, pangeran, sebenarnya kami selamanya belum pernah bertemu dengan lihiap ini, sama sekali tidak pernah mengenalnya dan baru sekarang kami bertemu dengan lihiap ini yang datang-datang langsung menolong kami. Bahkan kami belum sempat menghaturkan terima kasih kepadanya."

"Ahhh... sungguh mengagumkan! Kalau begitu nona tentu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan budiman!" Han Houw memuji, sikapnya bagaikan orang yang lebih dewasa, padahal usia pangeran ini baru sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun saja sedangkan nona itu sudah berusia dua puluh empat tahun.

Melihat betapa nona yang cantik dan gagah perkasa itu semakin menunduk mendengar pujian ini, Han Houw lalu berkata lagi, "Bolehkan kami mengetahui siapakah nama nona dan mengapa nona turun tangan membantu kedua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang tidak nona kenal ini?"

Dengan jantung berdebar karena merasa sangat malu terhadap pangeran ini, suatu hal yang sangat mengherankan bagi Ciauw Si sendiri, gadis ini mengangkat mukanya yang menjadi kemerahan dan menjura kepada mereka semua dengan sekali gerakan saja, lalu berkata, suaranya halus,

"Namaku adalah Lie Ciauw Si dan maafkanlah apa bila aku lancang mencampuri urusan orang-orang lain yang sama sekali belum kukenal. Kalau tadi aku sampai turun tangan membantu ji-wi pangcu ini, adalah aku melihat mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh dua orang yang menyebut diri mereka bengcu tadi."

Semenjak kecil Ciauw Si ikut kakeknya dan hidup di kalangan orang-orang gagah, maka dia tidak biasa terikat oleh segala peraturan sopan santun, dan wataknya terbuka serta jujur. Itulah pula sebabnya mengapa di hadapan seorang pangeran, dia masih bersikap begitu bersahaja dan seakan-akan tidak menghormati pangeran itu yang biasanya selalu dihormati dan dijilat oleh sikap orang-orang di sekitarnya.

Sikap dara ini saja sudah menimbulkan perasaan suka yang sangat besar di dalam dada Han Houw. Sikap seperti itu pulalah yang diperlihatkan Sin Liong maka pangeran itu pun merasa suka kepadanya, dan kini, begitu berjumpa, memang hatinya sudah amat tertarik oleh wajah, tubuh, dan kegagahan Ciauw Si, maka sikap terbuka ini makin memperbesar rasa sukanya.

Dengan wajah berseri Han Houw berseru, "Ahhh, ternyata nona seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman, yang tanpa memandang bulu selalu akan membantu fihak tertindas. Sungguh kami merasa kagum sekali, nona Lie!"

"Dan kami berdua beserta seluruh anggota Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan lihiap," Gu Kok Ban berkata sambil menjura, lalu dia mempersilakan pangeran bersama Sin Liong yang sudah mereka kenal sebagai seorang pemuda luar biasa berilmu tinggi, juga Ciauw Si, untuk duduk di dalam.

Mula-mula Ciauw Si menolak. "Terima kasih, aku hanya kebetulan lewat saja dan setelah urusan ini selesai aku hendak melanjutkan perjalananku."

"Aihh, Lie-siocia, mengapa begitu sungkan? Setelah pertemuan yang amat kebetulan ini, agaknya kita sudah ditakdirkan untuk menjadi sahabat, apa lagi kalau mengingat bahwa baru saja nona sudah menyelamatkan nyawa ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka aku ikut mengharap agar nona sudi memenuhi undangan kami, dan berbicara di dalam untuk mempererat persahabatan," kata Han Houw.

Ciauw Si tersenyum dan tidak mampu menolak lagi. Gu Kok Ban dan Tong Siok dengan sibuk lalu memerintah anak buahnya agar mempersiapkan pesta kecil untuk menghormati pangeran, Sin Liong dan Ciauw Si.

"Perkenalkanlah, Lie-siocia, aku adalah Ceng Han Houw, adik tiri dari sri baginda kaisar dan aku adalah kuasanya dalam melakukan pemeriksaan ke daerah-daerah. Dan dia ini bernama Sin Liong, adik angkatku yang lihai!"

Han Houw tidak mau menyebutkan nama keturunan Sin Liong, sesuai dengan keinginan Sin Liong. Dia sedang berusaha mengambil hati dan menyenangkan Sin Liong, maka dia tak mau menyinggung perasaan adiknya itu. Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga memperkenalkan diri kepada Lie Ciauw Si yang dijamu dengan segala kehormatan itu.

Semenjak tiba di tempat itu, Sin Liong tidak pernah membuka mulut dan dia tidak begitu mempedulikan nona yang gagah perkasa itu karena memang tidak mengenalnya.

"Apa bila kami boleh mengetahui, Lie-lihiap murid dari perguruan manakah? Ilmu silatmu sungguh sangat lihai dan mengagumkan sekali, bahkan kami orang-orang tua yang bodoh tak dapat mengenalnya," kata Tong Siok dengan suaranya yang parau dan besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, kepala botak dan mukanya yang bopeng kasar.

"Ah, ji-pangcu, ilmu silatku hanya hasil kupelajari dari sana-sini, tidak ada harganya untuk disebut," jawab dara itu secara sembarangan saja, dan jelas bahwa gadis ini memang tak ingin memperkenalkan perguruannya. Melihat ini, Pangeran Ceng Han Houw tertawa.

"Hemm, pangcu, banyak pendekar yang tidak ingin diketahui asal-usulnya, dan Lie-siocia ini agaknya juga termasuk seorang di antara para pendekar budiman yang penuh rahasia, maka janganlah bertanya tentang sumber kepandaiannya yang tinggi."

Mereka makan minum dan seperti biasanya, Han Houw pandai sekali bersikap ramah dan menyenangkan. Ada saja bahan percakapan bagi pangeran yang memang cerdik ini, apa lagi karena hatinya memang sangat tertarik kepada gadis itu, maka dia bersikap manis sekali sehingga diam-diam Ciauw Si makin tertarik.

Secara memutar dan tak langsung, seolah-olah bercerita sambil lalu saja, pangeran yang masih amat muda ini menyatakan betapa dia sangat dikasihi oleh sri baginda, dipercaya sekali sehingga memiliki kekuasaan besar di istana. Lalu diceritakannya tanpa disengaja agaknya, bahwa dia masih belum menemukan seorang wanita yang dianggapnya patut untuk mendampinginya.

"Sebagai seorang pangeran yang dekat dengan kaisar, tentu saja banyak gadis diberikan kepadaku," katanya sambil tersenyum dan menggerakkan kedua pundak seakan-akan dia terpaksa oleh keadaan itu, "akan tetapi sesungguhnya aku sudah merasa muak dengan wanita-wanita yang hanya pandai bersolek, bernyanyi atau menari itu, karena mereka itu adalah orang-orang lemah. Padahal sejak kecil aku paling suka akan kegagahan!"

"Ilmu kepandaian silat dari Pangeran Ceng Han Houw amat tinggi, lihiap," kata Tong Siok, bukan untuk menjilat tetapi berkata dengan sejujurnya karena dia pun sudah tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat lihai.

Mendengar ini, semakin kagumlah hati Ciauw Si. Hebat pemuda bangsawan ini, pikirnya. Begitu tampan dan ganteng, gagah perkasa, berkedudukan tinggi, manis budi bahasanya pandai bergaul dan tidak sombong, dapat menguasai orang-orang kang-ouw yang gagah dan lihai, dan ternyata malah mempunyai kepandaian yang tinggi pula! Jarang menjumpai seorang pria seperti ini memang!

Agaknya Han Houw dapat menyelami isi pikiran gadis itu melalui sinar mata mereka yang saling bertemu. Kini Ciauw Si lebih berani menentang pandangan mata pangeran itu, dan beberapa kali dia merasa betapa pandang mata yang bersinar tajam itu penuh arti ketika bertemu dengan pandang matanya.

Juga sang pangeran merasa betapa gadis itu kini tidak mengelak lagi, bahkan berusaha untuk menyatakan perasaan melalui sinar mata dan senyum pada bibirnya yang indah itu. Maka bangkitlah Han Houw, menjura ke arah Ciauw Si, kemudian berkatalah pangeran ini dengan suaranya yang halus dan kata-katanya yang teratur rapi seperti layaknya seorang pangeran yang berpendidikan tinggi.

"Lie-siocia, sudah semenjak jaman dulu para pendekar selalu mengutamakan perkenalan melalui ilmu silat yang menjadi kebanggaannya dan yang dilatihnya semenjak kecil. Kini, biar pun kita telah saling berkenalan, namun rasanya masih belum puas hati ini kalau aku belum mengenal ilmu kepandaian nona secara langsung. Maka, berilah kehormatan dan kebahagiaan padaku untuk mengenal ilmu silatmu, nona!" Ini merupakan tantangan untuk adu ilmu, tantangan yang amat halus dan sopan.

Wajah Ciauw Si kembali menjadi kemerahan. Dia cepat-cepat membalas penghormatan pangeran itu, berdiri dengan sikap lemah gemulai.

"Ahh, mana aku berani, pangeran? Kepandaianku biasa saja, sebaliknya pangeran tentu memiliki kepandaian yang amat hebat, karena dengan kedudukan pangeran yang begitu tinggi, apa sulitnya mencari guru yang amat pandai! Pula, ilmu pukulan adalah permainan yang berbahaya, maka aku khawatir kalau-kalau tangan kita yang tidak bermata ini akan mendatangkan malapetaka."

Ini bukan penolakan mutlak, bukan pula tanda takut, bahkan mengandung kekhawatiran kalau sampai mencelakakan pangeran itu. Han Houw tersenyum, "Nona, jangan mengira aku tidak tahu bahwa nona sudah mencapai tingkat yang sedemikian tingginya sehingga di setiap ujung jari nona seakan-akan sudah bermata, mana mungkin melukai orang kalau tidak dikehendaki oleh nona sendiri? Marilah, harap nona tidak sungkan karena sungguh aku ingin sekali menyaksikan kelihaian nona."

"Kami pun berharap agar lihiap sudi membuka mata kami dengan ilmu lihiap yang tinggi dan agar pertemuan ini menjadi semakin menggembirakan," kata pula Sin-ciang Gu Kok Ban memuji. Diam-diam ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini pun ingin sekali menyaksikan sendiri kelihaian sang pangeran yang hanya pernah didengarnya saja.

Oleh karena pada dasarnya Ciauw Si memang ingin sekali menguji kepandaian silat dari pangeran yang amat menarik hatinya ini, akhirnya setelah semua orang kecuali Sin Liong membujuknya, dia lantas berkata, "Baiklah, pangeran, akan tetapi kuharap pangeran suka menaruh kasihan dan jangan menurunkan tangan besi."

"Ha-ha-ha, nona bisa saja merendah. Akulah yang mohon kemurahan nona agar jangan sampai aku roboh mengukur tanah dalam beberapa jurus saja. Nah, silakan, nona."

Han Houw sudah menjauhkan diri dari meja kursi, berdiri di tengah ruangan yang lebar itu menanti Ciauw Si. Dua orang ketua itu memandang penuh perhatian, ada pun Sin Liong yang tidak merasa tertarik karena dia sudah mengenal betul watak pangeran yang mata keranjang dan pandai merayu wanita itu merasa jemu dan juga tidak senang, melanjutkan makan minum dan nampaknya tidak mengacuhkan pertandingan adu ilmu itu.

"Mulailah, pangeran," Ciauw Si berkata setelah berhadapan dengan pangeran itu, segera memasang kuda-kuda dengan gagahnya dan tersenyum manis, matanya menyambarkan kerling maut yang membuat jantung Han Houw makin terguncang.

Memang kekuasaan cinta asmara benar-benar mengherankan. Sekali Ciauw Si terpikat, maka secara otomatis muncullah sifat-sifat kewanitaan yang penuh pikatan dalam dirinya, karena terbawa naluri kewanitaannya! Padahal biasanya, gadis pendekar ini lebih dikenal sebagai seorang wanita yang keras dan agak dingin bila menghadapi kaum pria, bahkan mudah marah kalau mendengar mulut pria mengeluarkan kata-kata yang menggoda, atau melihat pandang mata yang penuh kagum ditujukan kepadanya. Sekarang dia memasang kuda-kuda dengan gerakan indah dan mempersilakan lawannya sambil tersenyum manis!

"Ahhh, engkau terlampau sungkan, Lie-siocia. Biarlah aku bergerak lebih dulu, maafkan," Tiba-tiba Han Houw lalu bergerak maju dan mengirim serangan yang cukup cepat dan dia menggunakan tenaga sinkang-nya yang kuat. Memang pangeran ini ingin sekali menguji sendiri kepandaian dara yang telah menjatuhkan hatinya ini.

"Hiaattttt...!"

Dia menyusulkan serangan lain sehingga secara bertubi-tubi pangeran ini telah mengirim empat kali pukulan yang susul menyusul, sangat cepat dan angin pukulan sampai terasa oleh mereka yang duduk di depan meja. Dua orang ketua itu terkejut bukan main karena dari serangan pertama ini saja sudah membuktikan bahwa nama besar pangeran muda ini bukanlah nama kosong belaka.

"Haaaiiitttt...!"

Ciauw Si bergerak dengan amat indah, langkah-langkahnya teratur dan tubuhnya seperti menari-nari ketika dia mengelak secara beruntun dengan sangat mudahnya, seolah-olah serangan yang sangat cepat serta bertenaga itu bukan apa-apa baginya, dan dia masih sempat melempar kerling dan senyum.

Akan tetapi, pada saat itu Sin Liong tertegun di atas kursinya. Dia mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh gadis itu! Itulah langkah-langkah Thai-kek Sin-kun! Tidak salah lagi! Thai-kek Sin-kun yang dimainkan dengan amat baiknya oleh gadis itu. Mudahlah diduga bahwa tentu gadis itu menerima pelajaran Thai-kek Sin-kun dari tangan pertama!

Ada hubungan apakah antara gadis ini dengan mendiang kakeknya, atau dengan ayah kandungnya? Mulailah Sin Liong tertarik sekali dan sekarang dia pun mengikuti jalannya pertandingan itu dengan penuh perhatian.

Diam-diam Ceng Han Houw juga girang dan kagum sekali. Tepat dugaannya. Nona ini bukanlah seorang gadis kang-ouw biasa, bukan seorang ahli silat biasa. Jelas bahwa ilmu silatnya bersumber dari ilmu silat yang amat tinggi! Maka makin hebatlah dia melancarkan serangannya.

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Akan tetapi semua serangan Han Houw dapat dielakkan atau ditangkis dengan baiknya oleh gadis itu! Bahkan ketika pangeran itu sengaja mengerahkan tenaga dan mengadu lengan untuk menguji tenaga lawannya, dia merasakan lengannya tergetar, tanda bahwa lengan halus itu penuh berisi tenaga sinkang pula! Makin kagum dan tertarik pula hatinya. Benar-benar seorang dara yang jarang terdapat, seorang gadis pilihan!

Di lain fihak, Ciauw Si juga terkejut dan kagum bukan main. Biar pun dia mengenal ilmu silat pangeran ini sebagai ilmu silat tingkat tinggi yang bersumber dari ilmu silat golongan sesat, namun harus diakuinya bahwa ilmu silat yang dimiliki pangeran itu amat hebat, dan tenaga sinkang-nya juga amat kuat! Kiranya pangeran ini benar-benar seorang yang lihai! Karena ingin memamerkan kepandaiannya, gadis itu tiba-tiba mengubah gerakannya dan tiba-tiba saja tubuhnya berputaran seperti gasing dan dengan gerakan ini dia menyerang lawan!

"Ehhhh...!" Pangeran Ceng Han Houw terkejut sekali.

Terpaksa dia main mundur dan bersikap waspada, dan karena tubuh gadis itu berpusing sedemikian cepatnya sambil keempat kaki tangannya kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba, Han Houw tidak dapat mengandalkan kelincahan tubuh mengelak, namun harus menjaga diri dengan tangkisan-tangkisan cepat.

Kembali Sin Liong menahan napas. Itu adalah In-keng Hong-wi (Awan Mencipta Angin dan Hujan), jurus ke delapan dari San-in Kun-hoat! Jelaslah bahwa gadis ini memang ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, tidak salah lagi!

Dengan jurus yang hebat ini, Pangeran Han Houw langsung terdesak. Pangeran ini cepat menggunakan langkah-langkah Pat-kwa-po maka barulah dia berhasil menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu.

"Hebat...!" serunya kagum ketika nona itu menghentikan serangannya dengan jurus luar biasa itu.

Tiba-tiba saja Ceng Han Houw melakukan dorongan kedua tangannya ke depan. Melihat betapa dahsyatnya serangan ini, dan terutama karena ingin menguji tenaga lawan, juga ada dorongan dari hatinya untuk mengadu telapak tangan dengan pangeran yang makin menarik hatinya itu, Ciauw Si cepat mendorongkan kedua tangannya pula.

"Plakkk!"

Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan untuk beberapa detik lamanya mereka saling dorong. Ciauw Si merasa betapa kuatnya lawan, dan dia hampir saja tidak mampu menahan ketika tiba-tiba pangeran itu mengurangi tenaganya sehingga kekuatan mereka berimbang.

Tentu saja Ciauw Si merasakan hal ini dan kini mereka merasakan betapa ada getaran-getaran halus menjalar melalui dua telapak tangan mereka yang saling melekat, getaran yang aneh dan terus menjalar sampai ke jantung, yang membuat pipi mereka berwarna merah sekali dan kedua mata mereka saling pandang bagaikan tidak mau berpisah lagi. Pandang mata yang mengandung kemesraan, dan getaran dari sentuhan telapak tangan itu berubah hangat dan nikmat, mendatangkan rasa malu kepada Ciauw Si yang cepat menarik kedua tangannya sambil berseru,

"Aku mengaku kalah...!"

Ceng Han Houw tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh nona terlampau merendah! Selama hidup belum pernah aku Pangeran Ceng Han Houw berjumpa dengan seorang yang demikian lihai seperti nona. Sungguh aku merasa takluk dan kagum sekali, Lie-siocia!"

"Pangeran terlalu memuji..." Ciauw Si tersipu malu, akan tetapi isi hatinya hanya dia yang tahu, girang dan bangga bukan main!

Mereka melanjutkan makan minum dan Sin Liong hanya mendengarkan saja ketika Han Houw dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang memuji-muji Ciauw Si. Akan tetapi kini dia pun mulai memperhatikan nona itu karena dia amat tertarik melihat ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai dimainkan secara demikian baiknya oleh nona ini.

Ia teringat akan cucu perempuan yang pergi meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari Cia Bun Houw, ayahnya! Gadis inikah cucu kakeknya itu, keponakan dari ayah kandungnya? Agaknya, melihat ilmu silatnya, tidak akan salah lagi kalau gadis ini menerima semua ilmu yang dimainkannya tadi dari kakeknya secara langsung, karena melihat betapa sempurna dan baiknya dia memainkannya.

Sayang bahwa dahulu dia tidak begitu memperhatikan sehingga sama sekali lupa akan nama cucu kakeknya atau saudara misannya itu ketika kakeknya menyebutkan nama itu secara sambil lalu. Benarkah nona Lie Ciauw Si ini keponakan ayah kandungnya? Akan tetapi, oleh karena dia sendiri hendak menyembunyikan hubungan keluarga dengan fihak Cin-ling-pai, maka dia pun diam saja, hanya dia berkeputusan untuk memperhatikan gadis ini dan melindunginya dari mara bahaya!

"Eh, Liong-te, kenapa sejak tadi kau diam saja? Apakah engkau tidak kagum melihat ilmu kepandaian Lie-siocia yang demikian hebatnya?"

Sin Liong terkejut dan mukanya berubah merah ketika semua orang, juga nona cantik itu memandang kepadanya.

"Lie-siocia, engkau tidak tahu bahwa adik angkatku ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada tingkat ilmuku sendiri!" kata pula sang pangeran sambil tertawa kepada Ciauw Si.

Mendengar ini, terkejutlah Ciauw Si. Dia tadi sudah melihat pemuda remaja yang tampan dan pendiam itu, tetapi sama sekali tidak memperhatikannya. Namun sekarang pangeran itu menyatakan bahwa adik angkat pangeran ini mempunyai kepandaian lebih tinggi lagi! Padahal pangeran itu sendiri sudah memiliki kepandaian hebat!

Maka gadis ini memandang dengan kaget dan penuh keheranan kepada Sin Liong, lalu dia pun berkata, "Ahh, pengertianku dalam ilmu silat masih amat dangkal..."

Mendengar ini, Sin Liong merasa kasihan terhadap nona ini. Seorang nona yang gagah perkasa, tetapi di balik pandang mata yang membayangkan kekerasan hati itu terkandung keramahan dan agaknya nona ini sudah terdidik baik untuk merendahkan diri, maka dia cepat bangkit berdiri kemudian menjura. "Ilmu silat Lie-lihiap sungguh amat tinggi sekali! Sungguh aku merasa kagum."

Ciauw Si balas menjura dan mengucapkan terima kasih atas pujian itu. Kemudian atas bujukan fihak tuan rumah yang diperkuat oleh Pangeran Ceng Han Houw, akhirnya Ciauw Si merasa sungkan untuk menolak ketika dia dipersilakan untuk tinggal selama beberapa hari di situ.

Selain fihak tuan rumah amat ramah dan baik kepadanya, juga adanya pangeran itu di situ merupakan daya tarik yang sangat kuat karena diam-diam gadis ini ingin berkenalan lebih akrab dengan Han Houw. Sementara itu, diam-diam Sin Liong selalu mengamati dan menjaga agar dara itu jangan sampai diganggu siapa pun juga.

"Nona Lie Ciauw Si, aku tak perlu menyembunyikan perasaanku kepadamu lagi, aku jatuh cinta kepadamu, nona."

Hening sekali di dalam taman itu mengikuti ucapan Han Houw ini. Mereka duduk saling berdampingan di atas bangku panjang dalam taman di belakang rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Semenjak tadi mereka duduk dalam taman bercakap-cakap dan setelah tinggal dua hari di situ, Ciauw Si sudah menjadi sahabat baik Han Houw. Mereka makin saling tertarik dan akhirnya, pada senja itu, ketika mereka duduk bercakap-cakap dalam taman, Han Houw dengan terus terang menyatakan cintanya!

Mendengar ucapan itu, Ciauw Si segera mengangkat muka memandang wajah pangeran itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Sekarang dia sudah bisa menguasai rasa malu dan sungkan terhadap pangeran yang selalu ramah dan manis budi kepadanya itu, dan saat mendengar pengakuan hati ini, dia ingin sekali meyakinkan dirinya bahwa pangeran itu bicara dari lubuk hatinya.

"Jangan kau ragu-ragu, nona, aku sungguh telah jatuh cinta kepadamu semenjak pertama kali berjumpa, aku kagum melihat kepandaian, kagum melihat kegagahanmu, dan kagum melihat kecantikanmu. Aku cinta padamu dan aku ingin dapat hidup bersamamu sebagai suami isteri."

Meski pun usianya baru sembilan belas tahun, namun Han Houw sudah memiliki banyak pengalaman dengan para wanita, maka mengaku cinta secara terang-terangan seperti itu bukan merupakan hal yang aneh baginya dan dapat dilakukannya dengan tenang-tenang saja! Tidak demikian dengan Ciauw Si. Walau pun usianya sudah dua puluh empat tahun, namun pengalaman ini merupakan yang pertama kali dalam hidupnya!

"Pangeran, sesungguhnyakah apa yang kau ucapkan tadi?" akhirnya terdengar Ciauw Si bertanya, suaranya halus tergetar karena hatinya merasa terharu.

Pangeran itu memegang tangan Ciauw Si, dan dari pertemuan antara kedua tangan itu kembali terdapat getaran halus yang langsung keluar dari perasaan hati mereka.

"Ciauw Si, apakah engkau tak percaya kepadaku? Pandanglah mataku dan engkau tentu dapat menjenguk hatiku melalui mataku. Sungguh mati, selama hidupku baru sekali ini aku jatuh cinta, walau pun sudah banyak wanita diberikan kepadaku sebagai selir. Belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti sekali ini, Ciauw Si. Aku cinta kepadamu, perlukah aku bersumpah?"

"Mungkinkah itu? Engkau adalah seorang pangeran yang berkedudukan tinggi sekali, ada pun aku... aku hanyalah seorang gadis..."

"Yang cantik dan manis, yang gagah perkasa, yang budiman, juga aku percaya dan yakin bahwa engkau adalah keturunan keluarga yang amat gagah perkasa!" sambung pangeran itu dan dengan penuh perasaan dia menggenggam tangan yang kecil hangat itu. Namun dengan lembut Ciauw Si menarik tangannya dari genggaman sang pangeran, kemudian menunduk dan alisnya berkerut.

"Tetapi, pangeran... hendaknya kau ingat baik-baik bahwa aku tentu jauh lebih... tua dari padamu! Ingat, usiaku sekarang sudah dua puluh empat tahun dan engkau tentu paling banyak dua puluh... dan..."

Akan tetapi Han Houw sudah merangkulnya dan membiarkan Ciauw Si terisak menangis di pundaknya. Dia mengelus rambut yang halus itu, mulutnya berbisik mesra dekat telinga Ciauw Si.

"Ciauw Si... kenapa engkau meragukan semua itu? Cinta kasih tidak mengenal usia, tidak mengenal kedudukan, bukan? Aku cinta padamu, berikut keadaanmu, kedudukanmu, dan usiamu. Aku mencinta engkau, karena engkau adalah engkau! Nah, apakah kini engkau masih ragu, Ciauw Si? Aku akan mengawinimu, bukan hanya menjadi selirku, aku akan mengambilmu sebagai isteri!"

"Tapi... tapi..."

Tiba-tiba saja Han Houw memegang kedua pundak gadis itu, lalu mendorongnya halus ke belakang sehingga mereka kini saling berhadapan, beradu pandang. "Dengar baik-baik, Ciauw Si! Aku cinta kepadamu, dan tidak ada hal-hal yang akan dapat menahan cintaku kepadamu, kecuali satu, yaitu apa bila engkau tidak dapat menerimanya! Akan tetapi, dari sikapmu, dari pandang matamu, dari suaramu, aku benar-benar yakin bahwa engkau pun cinta kepadaku, bukankah benar dugaanku, Ciauw Si?"

Sejenak mereka saling memandang dan perlahan-lahan ada dua butir air mata mengalir turun di atas kedua pipi yang agak pucat itu. Ciauw Si mengangguk, dan bibirnya berbisik lirih, "Aku... aku cinta padamu, pangeran..."

Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya, tidak dapat karena dengan cepat dan dibarengi seruan tertahan saking gembiranya Han Houw sudah menarik tubuh gadis itu ke dalam dekapannya, kemudian dia mencium bibir gadis itu dengan sepenuh hatinya!

Ciauw Si tersentak kaget. Selamanya baru sekarang dia mengalami ini dan kekagetan membuat tubuhnya menegang kaku, akan tetapi ketika dia merasakan ciuman mesra dari pria yang telah menjatuhkan hatinya itu, dia menjadi terharu lalu dia pun balas merangkul dan membiarkan dirinya hanyut dalam kemesraan yang timbul karena ciuman mesra itu.

Bagai dalam keadaan mimpi atau setengah sadar, Ciauw Si menyerah saja ketika dipeluk, dibelai, diciumi seluruh mukanya dan dia tenggelam ke dalam kemesraan yang membuat dirinya seperti mabuk. Setelah gelombang kegairahan yang menggelora itu agak mereda, Ciauw Si merebahkan kepala di atas dada pangeran itu dalam keadaan lemas laksana kehabisan tenaga.

Dia mendengar suara jantung pangeran itu yang berdentaman keras di dekat telinganya dan dia merasa sangat berbahagia, perasaan yang baru sekarang dirasakannya selama hidupnya. Jari-jari tangan yang membelai rambutnya itu terasa amat mesra, membuatnya memejamkan mata dengan hati merasa tenteram dan damai.

"Yakinkah engkau kini akan cinta kasih antara kita berdua, Ciauw Si? Lenyapkah sudah keraguanmu bahwa aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, dan bahwa sebenarnya engkau pun mencintaku?"

"...aku yakin... demi Tuhan, aku yakin dan bahagia... aku tak ragu-ragu lagi, pangeran...," bisik gadis itu dengan suara menggetar dan bibir tersenyum penuh kebahagiaan. Ciuman-ciuman tadi masih membuatnya pening, namun kepeningan yang penuh nikmat, seperti orang mabuk arak yang baik.

"Kekasihku... calon isteriku yang baik, kalau begitu mari kau ikut bersamaku ke kamarku, akan kubuktikan kepadamu cinta kasihku yang mendalam, Ciauw Si..."

Akan tetapi, begitu mendengar kata-kata ini, secepat kilat Ciauw Si menarik tubuhnya dari pelukan pangeran itu, cepat meloncat ke belakang lalu memandang dengan mata berkilat kepada pangeran itu.

"Kau... kau..."

Pangeran Ceng Han Houw terkejut bukan main melihat perubahan pada diri kekasihnya ini. "Ciauw Si, mengapa kau? Kau kelihatan marah, kenapa?"

"Pangeran, seperti itukah cintamu?"

"Ehh...? Kenapa? Apa salahku kepadamu, Ciauw Si?"

Wajah itu menjadi merah dan suaranya terdengar kaku dan dingin, "Hemm, engkau masih bertanya lagi? Engkau... mengajakku ke kamarmu! Patutkah itu? Begitu kotor dan rendah cintamu!"

Kini pangeran itulah yang terbelalak. "Ahhh? Bagaimana ini? Apa salahnya bagi kita yang saling mencinta untuk menumpahkan dan membuktikan cinta kasih antara kita di dalam kamar? Apa kotornya dan apa rendahnya hal itu, Ciauw Si? Sungguh aku tak mengerti..."

"Hemmm, jangan pura-pura tidak mengerti, pangeran! Kau kira aku semacam perempuan yang mudah saja kau rayu kemudian kau bujuk untuk menyerahkan kehormatanku? Aku bukan perempuan murah seperti itu!"

"Ehh, ehhh... nanti dulu, Ciauw Si, mengapa engkau berpandangan demikian? Aku cinta padamu... dan kalau aku mengajakmu ke kamarku, itu adalah karena cintaku kepadamu, sama sekali bukan dengan maksud yang tidak baik. Apa salahnya bila kita mengadakan hubungan, setelah kita saling mencinta?"

Kini Ciauw Si yang menjadi bingung. Benar-benarkah pangeran itu tidak menganggap hal seperti itu kotor, rendah dan menghina wanita? "Pangeran, seorang wanita yang sopan dan bersih sampai mati tidak akan mau menyerahkan kehormatannya kepada pria mana pun, kecuali kepada laki-laki yang telah resmi menjadi suaminya!"

"Ahhh...!" Kini wajah pangeran itu berseri. "Ahh, maafkan aku, Ciauw Si! Engkau benar, sungguh aku sudah lupa diri. Hal ini adalah karena setiap kali orang menyerahkan wanita untuk menjadi selirku, tidak pernah ada upacara apa-apa. Maka aku pun menjadi terbiasa dan bebas! Aku girang, aku bangga bahwa engkau berbeda dengan mereka! Tentu saja! Aku bersumpah tidak akan menjamahmu lagi sebelum kita resmi menjadi pengantin! Kau maafkanlah aku, Ciauw Si, bukan maksudku untuk menghinamu, sungguh mati, bukan..."

Pelan-pelan muka yang merah padam itu mulai menjadi normal kembali dan amarahnya mereda. Akhirnya wanita itu duduk lagi di samping pangeran dan memegang tangannya.

"Kaulah yang harus memaafkan aku, pangeran. Aku tadi terkejut sekali maka aku menjadi marah ahhh, engkau memang mengejutkan aku dengan ajakan itu. Syukur engkau tidak berniat buruk, engkau tidak sengaja... percayalah, setelah kita resmi menjadi suami isteri, aku tentu bersedia menyerahkan segala-galanya kepadamu dengan tulus ikhlas dan rela, pangeran."

Sang pangeran lalu merangkul dan kembali Ciauw Si merebahkan kepalanya di atas dada pangeran itu. Perasaannya nyaman sekali, makin besar kebahagiaannya bahwa pangeran ini sungguh-sungguh amat mencinta kepadanya, bukan sekedar hendak mempermainkan dirinya!

Mereka berdua tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, sepasang mata selalu mengintai dan mata ini adalah mata Sin Liong! Sejak tadi pemuda ini selalu mendengarkan percakapan mereka. Tadi dia mengalami ketegangan, tetapi akhirnya dia merasa lega dan dia merasa heran mengapa pangeran itu sekali ini benar-benar jatuh cinta dan tidak mempunyai niat buruk terhadap dara itu. Dia pun tidak mengintai lebih jauh karena tahu bahwa gadis itu tidak memerlukan perlindungannya lagi. Maka pergilah dia dari tempat sembunyinya.

"Ciauw Si, sungguh sikapmu tadi juga sangat mengejutkan dan mengkhawatirkan hatiku, akan tetapi akhirnya aku malah merasa bangga sekali! Engkau adalah gadis idamanku, cantik, gagah perkasa, budiman, dan juga bukan wanita murahan! Ahhh, sungguh aneh sekali. Kita saling mencinta seperti ini, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayat dirimu! Ciauw Si, ceritakanlah tentang keluargamu agar aku tahu kepada siapa aku harus meminangmu kelak."

Dengan hati terasa nyaman gadis itu lalu menceritakan keadaannya, bahwa ibunya telah menjadi janda dan bahwa ibunya adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia sendiri dididik ilmu silat oleh ketua Cin-ling-pai yaitu kakeknya. Bahwa dia sedang pergi meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari seorang pamannya, yaitu Cia Bun Houw yang amat dirindukan oleh kakeknya.

Dapatlah dibayangkan alangkah kaget hati Pangeran Ceng Han Houw mendengar bahwa gadis yang dicintanya itu adalah keponakan dari pendekar Cia Bun Houw, dan puteri dari pendekar wanita Cia Giok Keng yang pada saat itu sedang menjadi buronan! Akan tetapi hatinya terasa lega karena betapa pun juga, secara pribadi dia sama sekali tidak memiliki permusuhan apa pun dengan para pendekar itu. Yang memusuhi para pendekar she Cia dan Yap adalah Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, guru dan kakak seperguruannya, namun dia sendiri secara pribadi sama sekali tidak pernah bermusuhan dengan mereka. Apa lagi, gadis ini biar pun masih keluarga dari pendekar itu, nyatanya she Lie, bukan she Yap atau she Cia atau Tio! Maka tenanglah hatinya, bahkan dia merangkul dan berkata dengan suara penuh kebanggaan.

"Aihh! Kiranya engkau adalah cucu ketua Cin-ling-pai, bahkan muridnya! Pantas saja ilmu kepandaianmu demikian hebatnya, kekasihku," Dan dia mencium Ciauw Si yang merasa girang akan pujian itu.

Biar pun melakukan hubungan kelamin sebelum dia menikah merupakan pantangan keras bagi Ciauw Si, namun dia tidak dapat menolak ketika pangeran itu kembali mendekapnya, membelai dan menciuminya. Betapa pun juga, harus diakuinya bahwa ada gairah di dalam hatinya yang bernyala, bergelora dan yang mendorongnya untuk membalas penumpahan kasih sayang dari pangeran ini.

Sampai senja terganti malam gelap dan terdengar suara ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang mencari mereka, barulah mereka berdua bangkit dan sambil berpegangan tangan mereka pergi meninggalkan taman itu. Sambil melangkah perlahan-lahan, pangeran itu bertanya ke mana kekasihnya hendak pergi dan bagaimana dia dapat mengajukan pinangan.

"Sudah terlalu lama aku meninggalkan Cin-ling-pai," jawab Ciauw Si. "Dari sini aku akan kembali ke Cin-ling-san, kemudian aku akan pulang ke rumah ibuku di Sin-yang dan aku... aku akan menanti kunjunganmu di sana, pangeran."

Diam-diam hati pangeran itu terharu. Dia tidak berani menceritakan, akan tetapi dia dapat membayangkan betapa hati kekasihnya ini akan merana dan menderita pukulan hebat kalau mengetahui bahwa kakeknya, ketua Cin-ling-pai, telah meninggal dunia dan betapa ibunya kini telah menjadi buronan pemerintah!

"Baiklah, kekasihku, engkau tunggu saja. Kelak akan tiba waktunya aku mencarimu dan meminangmu dari ibumu. Sementara itu, jika engkau membutuhkan bantuanku, atau bila hendak mencariku, datanglah saja ke istana. Kalau engkau mengaku sebagai tunanganku atau sahabatku kemudian memperlihatkan cincin ini, tentu engkau akan diterima dengan kehormatan sebagai tamu agung."

Setelah berkata demikian, Pangeran Ceng Han Houw mencabut cincin yang dipakainya di jari manis tangan kirinya, sebuah cincin bermata mutiara yang amat indah, kemudian dia memegang tangan kanan Ciauw Si dan memasangkan cincinnya itu ke jari telunjuk Ciauw Si. Pas sekali!

Ciauw Si mencium cincin di jari tangannya itu dan barulah mereka memasuki ruangan di mana dua orang ketua telah menanti dan mereka itu memandang dengan wajah berseri. Sebagai orang-orang tua berpengalaman mereka maklum akan apa yang terjadi di antara dua orang muda itu. Sin Liong juga sudah menanti mereka di situ dan mereka lalu makan malam dengan penuh kegembiraan.

Pada keesokan harinya, Lie Ciauw Si melanjutkan perjalanannya, atau lebih tepat lagi, dia mengakhiri perjalanannya untuk kembali ke Cin-ling-san dengan hati ringan dan penuh kebahagiaan. Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw bersama Sin Liong lalu melanjutkan perjalanannya mencari Ouwyang Bu Sek.

                   ***************

Sementara itu, dua pasang suami isteri pendekar di lereng bukit Bukit Bwee-hoa-san, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong menjadi terkejut sekali ketika mereka mendengar suara bising dari pasukan kerajaan yang menyerbu ke lereng itu.

Terlambat, pikir mereka dan diam-diam mereka merasa kasihan kepada mata-mata yang menyampaikan berita kepada mereka tadi. Tentu sudah tertangkap. Akan tetapi, mereka tidak sempat memikirkan nasib mata-mata itu karena pasukan telah muncul dan mereka harus cepat bertindak.

Mengingat akan keadaan adiknya yang sedang mengandung, Kun Liong lantas menyuruh isterinya, Cia Giok Keng, menemani In Hong untuk lebih dahulu melarikan diri ke utara, sedangkan dia sendiri bersama Bun Houw akan menghadapi pasukan yang menyerbu dari selatan itu. Dua orang wanita pendekar itu mula-mula tidak setuju dan mereka ingin menghadapi musuh di samping suami mereka.

"Apa artinya empat orang dari kita menghadapi musuh yang ratusan orang, bahkan ribuan orang banyaknya?" bantah Kun Liong. "Tidak, kalian berdua harus pergi lebih dulu, apa lagi Hong-moi sedang mengandung, tidak baik untuk mempergunakan tenaga melakukan pertempuran."

"Apa yang dikatakan oleh Liong-ko itu sungguh tepat, dan kita tidak boleh ragu-ragu lagi," sambung Bun Houw. "Apa lagi kita bukanlah pemberontak, dan sama sekali tidak pernah terkandung di dalam hati kita hendak menentang pemerintah, apa lagi melawan pasukan kerajaan. Kita hanya membela diri, maka biarlah kalian melarikan diri lebih dahulu, kami berdua akan menahan mereka kemudian setelah mendapat kesempatan, kami pun tentu akan melarikan diri."

"Akan tetapi ke mana kami harus pergi?" Cia Giok Keng, nyonya muda yang masih amat bersemangat itu membantah.

In Hong yang di dalam hatinya juga tidak setuju, akan tetapi karena maklum bahwa dalam keadaan mengandung tak mungkin baginya untuk bisa mengerahkan tenaga sepenuhnya tanpa membahayakan kandungannya, hanya diam saja.

"Kau ajaklah Hong-moi lari ke rumah anak kita di Yen-tai, dan untuk sementara kalian bersembunyi di sana, kami akan menyusul kalian secepatnya," Kun Liong berkata dengan tergesa-gesa karena suara bising kini semakin mendekat. "Jangan lupa, hati-hatilah agar jangan sampai ada yang tahu bahwa kalian memasuki Yen-tai agar anak kita tidak sampai terbawa-bawa."

Karena kini pasukan kerajaan sudah datang dekat, dua orang nyonya itu tidak membuang waktu lagi dan cepat mereka melarikan diri ke utara, berlawanan dengan pasukan yang naik ke bukit dari selatan.

Biar pun sedang mengandung, tetapi karena tingkat kepandaiannya memang sudah amat tinggi, In Hong dapat melarikan diri dengan cepat tanpa membahayakan dirinya, tanpa mengerahkan tenaga banyak-banyak. Dengan cepat dua orang wanita perkasa ini sudah turun dari lereng Bukit Bwee-hoa-san.

Akan tetapi ketika mereka tiba di kaki bukit itu, tiba-tiba saja dari balik semak-semak dan pohon-pohon berlompatan keluar pasukan pemerintah yang agaknya sudah berjaga-jaga di tempat itu! Dalam waktu yang cepat sekali telah muncul puluhan orang prajurit, bahkan agaknya tak kurang dari seratus orang! Dan seorang perwira telah bergerak meneriakkan aba-aba kepada mereka untuk bergerak menangkap dua orang pendekar wanita itu!

Yap In Hong adalah seorang wanita yang cantik jelita meski pun dalam keadaan sedang mengandung lima bulan, sedangkan Cia Giok Keng, walau pun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, juga masih tampak cantik, maka para prajurit itu segera tersenyum dan menyeringai girang pada waktu menerima perintah yang dianggapnya menyenangkan dan sangat ringan itu.

Mereka seperti segerombolan srigala yang berebut saling mendahului hendak menerkam dua ekor kelinci. Akan tetapi begitu orang-orang pertama menerjang, ternyatalah bahwa yang disangka kelinci-kelinci gemuk itu adalah dua ekor singa betina yang amat liar dan hebat! Dua orang wanita itu langsung menggerakkan kaki tangan dan dalam segebrakan saja empat orang prajurit telah terlempar dan mengaduh-aduh, tak mampu bangkit berdiri lagi!

Gegerlah para pasukan itu dan baru teringat oleh mereka bahwa kedua orang wanita ini adalah pemberontak-pemberontak, buronan yang memiliki kepandaian amat tinggi! Maka mereka lalu mengurung dan menerjang dari semua jurusan. Terjadilah pertempuran yang hebat karena betapa pun juga, dua orang itu tidak mau menyerah begitu saja.

Sayang bahwa Yap In Hong sedang mengandung sehingga dia tidak berani mengerahkan tenaga sinkang terlalu kuat. Andai kata tidak demikian, tentu amukannya akan membuat seratus orang pasukan itu tidak berdaya, apa lagi ada Cia Giok Keng yang membantunya. Sekarang mereka dikepung rapat dan terdesak oleh serangan bertubi-tubi, biar pun tidak mudah pula bagi para prajurit itu untuk dapat merobohkan dua orang wanita perkasa ini.

"In Hong, larilah, biar aku menahan tikus-tikus ini!" kata Cia Giok Keng.

"Tidak, kita lari berdua, atau tinggal berdua!" In Hong berkata.

Mendadak Cia Giok Keng membentak ke arah para pengeroyoknya dengan suara lantang dan melengking tinggi, "Mundurlah kalian! Kami tidak ingin membunuh kalian! Akan tetapi kalau kalian mendesak, apa boleh buat, kami harus mempertahankan diri!"

Setelah berkata demikian, nyonya yang perkasa ini sudah mencabut pedangnya sehingga nampaklah sinar berkilauan putih. Nyonya itu sudah mencabut pedangnya yang sejak tadi tak pernah dipergunakan, yaitu Gin-hwa-kiam.

Memang kedua orang nyonya ini sudah beberapa kali menerima pesan dari suami-suami mereka bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak, oleh karena itu mereka tak boleh membunuh pasukan kerajaan yang hanya menerima perintah atasannya. Maka ketika dikeroyok tadi, mereka hanya mengandalkan kaki tangan untuk menjaga diri.

Menghadapi ancaman itu, tentu saja para prajurit tidak mau mundur, bahkan mereka kini pun mengeluarkan senjata masing-masing dan mengurung dua orang wanita itu dengan ketat.

"Lebih baik kalian berdua menyerah saja dari pada harus menghadapi kekerasan!" bentak seorang perwira.

"Majulah! Siapa maju lebih dulu akan mampus lebih dulu," In Hong yang sudah marah itu pun membentak.

Empat orang prajurit menyeringai, kemudian dengan tombak di tangan mereka menubruk ke arah nyonya cantik yang sedang mengandung ini. Akan tetapi nampak sinar hijau dan empat orang itu memekik ngeri dan roboh, tewas seketika karena mereka telah menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun) yang dilepas oleh Yap In Hong tadi. Gegerlah para prajurit dan mereka itu segera menerjang dengan senjata mereka. Cia Giok Keng memutar pedangnya dan Yap In Hong juga melawan sambil kadang-kadang merobohkan beberapa orang dengan pasir beracun itu.

Tiba-tiba saja terdengar bentakan halus dari luar kepungan. "Ibu, jangan takut, aku datang membantumu!"

"Ciauw Si...!" Cia Giok Keng berseru dengan isak tertahan pada saat dia mengenal suara puterinya yang telah pergi untuk bertahun-tahun itu.

Kepungan itu mulai bobol dan rusak akibat mengamuknya Lie Ciauw Si dari sebelah luar. Dara ini marah bukan kepalang melihat ibunya terkepung, maka dia melempar-lemparkan para prajurit seperti orang melempar-lemparkan rumput kering saja!

Tingkat kepandaian Lie Ciauw Si memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibunya, dan walau pun dia tidak dapat dikatakan selihai In Hong, akan tetapi nyonya ini sedang mengandung sehingga tidak dapat mengeluarkan kepandaiannya.

Munculnya dara yang mengamuk hebat itu membuat para prajurit yang tadinya memang sudah sangat gentar menghadapi kedua orang nyonya yang benar-benar lihai itu menjadi kalang kabut.

"Ibu... bibi... lari...!" Ciauw Si berseru setelah berhasil membuka kepungan itu.

Mereka kemudian melarikan diri, In Hong di depan, dan Giok Keng bersama puterinya di belakang sambil menahan para prajurit yang mengejar mereka. Dengan menggunakan ilmu berlari cepat, dan ditambah lagi karena para pengawal pengejar itu sudah merasa gentar dan mereka menanti bala bantuan, akhirnya tiga orang wanita ini dapat melarikan diri dan tidak dapat disusul lagi oleh para prajurit.

Sementara itu, Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw juga sudah mengamuk ketika mereka dikurung oleh banyak sekali prajurit. Mereka tidak mau membunuh, hanya merobohkan para pengeroyok tanpa mengakibatkan luka parah. Memang mereka sengaja mengamuk hanya untuk menahan agar para prajurit tidak melakukan pengejaran kepada isteri-isteri mereka. Mereka melihat seorang nenek muka hitam beserta seorang wanita cantik yang berdiri di belakang pasukan, dan tahulah dua orang pendekar ini bahwa yang memimpin pengepungan ini bukan lain adalah musuh-musuh lama mereka, yaitu Hek-hiat Mo-li dan muridnya, Kim Hong Liu-nio yang lihai!

Melihat mereka, dua orang pendekar ini menjadi amat marah, akan tetapi juga kaget dan khawatir akan keselamatan isteri mereka yang telah lebih dulu melarikan diri. Dua orang wanita itu adalah orang-orang yang kejam dan cerdik, maka sebaiknya kalau mereka itu dipancing agar makin menjauhi arah larinya isteri mereka. Kun Liong lalu berteriak nyaring dan meloncat jauh sambil berseru.

"Bun Houw, lari...!"

Bun Houw tidak membantah dan meloncat, mengikuti kakak iparnya dan mereka berdua melarikan diri ke barat.

Memang sejak tadi Kim Hong Liu-nio sudah merasa amat heran melihat bahwa dua orang wanita isteri kedua orang pendekar tidak nampak. Tidak mungkin kedua orang wanita itu bersembunyi karena keduanya adalah wanita-wanita yang berkepandaian tinggi. Tentu mereka itu kebetulan sedang pergi, pikirnya. Maka ketika melihat dua orang pendekar itu melarikan diri, Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba untuk melakukan pengejaran.

Dia maklum akan kelihaian kedua orang pendekar itu, maka walau pun dia dibantu oleh gurunya, dia tidak berani ceroboh turun tangan sendiri tanpa bantuan pasukan yang besar jumlahnya. Kim Hong Liu-nio mengira bahwa tentu dua orang pendekar itu akan memberi tahu isteri-isteri mereka untuk bersama-sama melawan pasukan atau bersama melarikan diri, maka dia mengajak gurunya untuk melakukan pengejaran.

Tentu saja Kun Liong dan Bun Houw bukan melarikan diri karena takut, melainkan untuk memancing mereka itu mengejar supaya isteri-isteri mereka sempat meloloskan diri dari Bwee-hoa-san. Mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa isteri-isteri mereka itu kini tengah menghadapi pengeroyokan para prajurit yang oleh Kim Hong Liu-nio memang telah ditugaskan untuk melakukan penjagaan di sekeliling bukit itu!

Setelah merasa cukup jauh meninggalkan Bwee-hoa-san dan tak lagi berlari terlalu cepat sehingga pasukan itu dapat mengikuti mereka terus, dua orang pendekar itu berhenti di luar sebuah hutan. Dengan bertolak pinggang mereka menanti datangnya pasukan yang masih dipimpin oleh nenek muka hitam dan muridnya itu. Setelah mereka tiba dekat, Cia Bun Houw lalu membentak dengan suara lantang berwibawa,

"Berhenti kalian semua! Sebagai prajurit-prajurit kerajaan, apakan kalian telah lupa bahwa keluarga Cin-ling-pai semenjak dahulu adalah keluarga pendekar yang selalu membantu pemerintah menghadapi para pemberontak? Mendiang ayahku, Cia Keng Hong, bahkan menjadi sahabat baik dari mendiang Panglima The Hoo! Kalau sekarang kami sekeluarga dianggap pemberontak, hal itu hanyalah fitnah semata! Dan pada suatu hari kami pasti akan dapat membongkar rahasia fitnah busuk ini!"

Melihat sikap pendekar yang amat gagah itu, dan juga mendengar ucapan itu, maka para prajurit, terutama mereka yang sudah lama mengenal nama besar keluarga Cin-ling-pai, nampak gentar. Dan benar saja, mereka berhenti bergerak dan hanya berdiri memandang kepada dua orang pendekar itu.

Melihat ini, Bun Houw dan Kun Liong cepat melompat ke depan dan masing-masing telah menerjang Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li! Dua orang wanita itu cepat menyambut serangan mereka dan dari mulut Hek-hiat Mo-li keluar suara meringkik yang aneh seperti seekor kuda marah, padahal nenek ini bermaksud tertawa karena hatinya gembira sekali memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan seorang musuh-musuhnya! Memang nenek ini sudah pikun, namun dia masih lihai sekali ketika menyambut terjangan Yap Kun Liong....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 32



Kun Liong yang sudah maklum akan kelihaian nenek bermuka hitam ini, begitu melihat si nenek menangkis pukulannya dengan tangan kirinya, sengaja dia mengadukan lengannya kemudian seketika itu pula dia mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng! Memang ilmu ini tidak boleh sembarangan dipergunakan, tetapi menghadapi seorang tokoh besar selihai nenek ini, dia tidak ragu-ragu lagi untuk mempergunakannya.

"Dukkk!"

Dua lengan bertemu dan menempel ketat karena Kun Liong sudah menggunakan tenaga menyedot.

"Iihhh-heh-heh-heh…!" Hek-hiat Mo-li terkekeh.

Tiba-tiba Kun Liong merasa betapa kini tenaga yang seketika tadi membanjir dari nenek itu telah berhenti sama sekali dan sebaliknya jari-jari tangan berkuku panjang yang hitam dan mengeluarkan bau busuk telah menyerang dengan gerakan menggores ke arah nadi pergelangan tangannya! Inilah serangan berbahaya sekali maka terpaksa dia menyimpan tenaga Thi-khi I-beng dan menarik kembali lengannya!

Ternyata Ilmu Thi-khi I-beng telah dapat dipunahkan secara demikian mudah dan liciknya oleh nenek itu, yaitu dengan menyimpan sinkang dan menyerang tempat berbahaya yang berdekatan dengan bagian tubuh yang menempel! Memang selama ini nenek itu sudah mempelajari semua ilmu-ilmu para musuhnya yang lihai untuk mencari jalan menghadapi ilmu-ilmu itu, termasuk Ilmu Thi-khi I-beng yang ditakuti!

Sesudah tahu bahwa Thi-khi I-beng tidak akan dapat memenangkannya melawan nenek ini, Yap Kun Liong lalu bersilat dengan gaya yang aneh sekali dan inilah ilmu silat aneh yang didapatkannya dengan mengambil inti sari kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Bun Ong!

“Ahhh…! Ohhh…!”

Terdengar nenek itu berkali-kali berseru karena heran dan bingungnya menghadapi ilmu silat aneh ini yang memang tidak pernah dikenal di dunia kang-ouw, merupakan ilmu silat tunggal dari Kun Liong. Akan tetapi, nenek itu pun hebat bukan main. Meski pun semua serangannya gagal menghadapi perlawanan Kun Liong, namun dia pun selalu berhasil menghindarkan diri dari pukulan-pukulan ampuh pendekar itu.

Keanehan ilmu sitat Kun Liong memang kadang-kadang menghasilkan satu atau dua kali pukulan, akan tetapi semua pukulan yang mengandung hawa sinkang amat kuat itu tidak melukai tubuhnya yang dilindungi kekebalan yang luar biasa.

Sementara itu, pertandingan antara Cia Bun Houw melawan Kim Hong Liu-nio juga amat seru dan mati-matian. Akan tetapi, jelaslah bahwa tingkat Cia Bun Houw masih jauh lebih tinggi, terutama dalam kekuatan sinkang. Pendekar ini maklum bahwa lawannya sangat lihai dan mahir bermacam-macam ilmu silat, sehingga jika dia hanya mengandalkan ilmu silat, agaknya akan sulit baginya untuk memperoleh kemenangan. Maka, Bun Houw lebih mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang sangat kuat dan memang benarlah, begitu dia mengerahkan seluruh tenaganya, Kim Hong Liu-nio tidak kuat menghadapinya dan hanya main mundur terus, sama sekali tidak berani mengadu lengan.

Kalau dilanjutkan pertempuran dua lawan dua itu, agaknya sudah dapat dipastikan bahwa Kim Hong Liu-nio akan roboh lebih dulu, dan kalau sudah demikian, tentu Hek-hiat Mo-li yang agaknya tidak akan mungkin dapat mengalahkan Yap Kun Liong itu pun akan celaka bila mana dikeroyok dua! Kim Hong Liu-nio bisa melihat kenyataan ini, maka dia segera berteriak memerintahkan pasukan untuk turut mengeroyok! Majulah seratus lebih prajurit itu mengepung dan mengeroyok Kun Liong dan Bun Houw.

"Bun Houw, marilah kita pergi!" Yap Kun Liong berseru nyaring karena mereka maklum bahwa dikeroyok demikian banyak orang amat berbahaya, apa lagi karena mereka tidak ingin membunuh para prajurit itu.

Keduanya lalu mengirim serangan yang dahsyat ke arah dua orang wanita itu, memaksa mereka itu mundur lantas menggunakan kesempatan itu untuk meloncat tinggi ke atas, melampaui kepala para pengeroyoknya dan mereka terus berloncatan pergi dari tempat itu memasuki hutan.

Pasukan itu mengejar sambil berteriak-teriak. Akan tetapi sekali ini dua orang pendekar itu memang sengaja hendak melarikan diri, maka tentu saja dengan ilmu berlari cepat, pasukan itu tidak mungkin sanggup menyusul mereka, sedangkan guru dan murid yang kalau mau dapat menyusul itu pun merasa jeri untuk menghadapi mereka berdua saja.

Dengan jalan memutari hutan itu, akhirnya dua orang pendekar ini pun dapat melakukan perjalanan secepatnya, bergegas menyusul isteri-isteri mereka menuju ke kota pelabuhan Yen-tai, tempat tinggal Souw Kwi Beng dan isterinya, Yap Mei Lan, puteri dari pendekar Yap Kun Liong.

                 ***************

"Suheng, aku sute-mu Sin Liong datang menghadap!"

Sudah tiga kali Sin Liong berteriak sambil berdiri di depan goa-goa besar itu bersama Han Houw, namun belum juga ada jawaban. Seperti telah dijanjikannya, Sin Liong mengajak Han Houw mendaki ke puncak Bukit Tai-yun-san di sebelah selatan Propinsi Kwang-tung dan tiba di depan goa-goa puncak itu yang menjadi tempat tinggal suheng-nya atau lebih tepat gurunya, yaitu Ouwyang Bu Sek. Namun, sampai tiga kali dia berteriak, suheng-nya itu tidak pernah menjawab atau muncul.

"Jangan-jangan suheng-mu itu tidak berada di sini, sedang pergi," kata Han Houw dengan suara bernada kecewa.

"Dia pasti ada, Houw-ko, tadi aku sempat melihat bayangannya berkelebat ketika kita tiba di puncak."

"Kalau begitu, mengapa dia tidak keluar?" Han Houw bertanya heran, tidak enak dan juga sangat kagum bagaimana Sin Liong dapat melihat berkelebatnya bayangan itu sedangkan dia tidak.

Sin Liong kembali menghadap ke goa, mengerahkan khikang dan berseru dengan sangat nyaring, sampai gemanya terdengar dari empat penjuru, "Suheng Ouwyang Bu Sek! Aku Sin Liong datang untuk bicara dengan suheng, urusan penting sekali!"

Setelah gema suara itu lenyap, tiba-tiba terdengar suara dari... atas! Pangeran Ceng Han Houw terkejut dan memandang ke atas, akan tetapi tidak ada apa-apa di atas, meski pun dia berani bersumpah, bahwa suara itu memang terdengar dari atas, seakan-akan turun dari langit! Itulah ilmu mengirim suara dari jauh yang telah mencapai tingkat amat tinggi, sehingga dengan kekuatan khikang pemilik ilmu itu dapat mengirim suaranya dari mana pun.

"Sute, mau apa engkau bawa-bawa orang asing ke sini?"

Walau pun suara itu datangnya dari atas, namun Sin Liong tahu bahwa suheng-nya itu memang bersembunyi di dalam goa di depannya. Maka dia menjura ke arah goa itu dan berkata, "Suheng yang baik, dia ini bukanlah seorang asing, melainkan kakak angkatku bernama Ceng Han Houw! Keluarlah, suheng, dan mari kita bicara dengan baik."

"Kalau aku tidak mau keluar, kau mau apa?"

Sin Liong tidak merasa heran lagi dengan keanehan watak suheng-nya itu. Dia telah tahu bagaimana harus menanggulangi watak aneh itu, maka dengan suara dingin dia berkata, "Aku tidak mau apa-apa, hanya aku tahu bahwa suheng Ouwyang Bu Sek bukanlah orang yang berwatak bong-im-pwe-gi (orang tidak ingat budi)!"

Tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu di depan dua orang muda itu telah berdiri seorang kakek yang membuat Han Houw terkejut bukan kepalang. Kakek itu cebol dengan tubuh seperti kanak-kanak, akan tetapi kepalanya besar sekali dan botak, dan wajahnya yang sama sekali bukan kanak-kanak lagi, melainkan wajah seorang kakek tua renta yang amat lucu. Pakaiannya sederhana dan kedua kakinya telanjang.

Sekarang dengan sepasang matanya yang agak menjuling itu dia menghadapi Sin Liong sambil bertolak pinggang dan berkata penuh teguran, "Kalau engkau hendak mengatakan bahwa aku bong-im-pwe-gi, sungguh engkau terlalu sekali, sute! Hehh, satu kali engkau menyelamatkan aku dari tangan Sam-lo, apakah selamanya aku harus mengingat budi itu terus?"

"Maaf, suheng, bukan maksudku demikian. Akan tetapi aku sungguh ingin bertemu dan berbicara denganmu," kata Sin Liong sungguh-sungguh. Memang ucapannya tadi hanya dipergunakan untuk memancing keluar kakek cebol yang berwatak aneh ini, dan dia telah berhasil.

"Ho-ho, sejak dulu engkau pintar bicara. Mau apa kau ingin bertemu dengan aku? Ha-ha, bocah nakal, jangan kau bilang bahwa engkau merasa rindu kepada kakek buruk macam aku ini!" Ouwyang Bu Sek tertawa bergelak dan mulut yang terbuka lebar itu sudah tidak ada giginya sama sekali.

"Tidak, suheng, aku tidak rindu kepadamu." Sin Liong menjawab sejujurnya karena akan percuma saja membohongi suheng-nya ini. "Namun aku datang karena aku perlu sekali memperkenalkan kakak angkatku Ceng Han Houw ini kepada suheng."

Kini kakek itu menghadapi Han Houw, bertolak pinggang dan matanya yang menjuling itu memandang penuh perhatian. Dia melihat seorang pemuda remaja yang sangat tampan dan gagah, yang berdiri sambil menjura padanya, yang mempunyai sepasang mata amat tajam dan dari gerak-geriknya dia bisa menduga bahwa pemuda remaja ini tentu memiliki kepandaian yang lumayan.

"Hemmm, aku tidak suka kepadanya, dia terlalu tampan... hemm, dan dia she Ceng lagi, seperti she bangsawan istana raja! Mau apa kau bawa dia berjumpa denganku?"

"Suheng, karena dia ini adalah kakak angkatku, maka dengan sendirinya dia pun terhitung sute-mu sendiri. Houw-ko ingin sekali belajar ilmu yang tinggi di bawah pimpinan suheng."

"Wah, aku tidak mau menerima murid, apa lagi setampan ini!"

"Bukan murid suheng, melainkan sute-mu! Dia ingin belajar ilmu dari suhu kita."

"Ahh, mana bisa itu?, Sute, kenapa kau ceritakan tentang suhu...?"

"Ingat, suheng, dia ini kakak angkatku, bukan orang lain. Dan percayalah, dia ini seorang yang bercita-cita besar, malah lebih besar dari pada cita-citaku. Dia ingin menjadi orang terpandai di kolong langit, ingin menjadi jagoan nomor satu!"

"Uwah, mana bisa? Orang yang halus seperti ini mana tahan uji? Mana tahan derita? Aku tidak mau...!"

Sejak tadi Han Houw diam saja bukan karena dia tidak bisa bicara, melainkan karena dia mengikuti setiap gerak-gerik kakek itu dan mendengarkan setiap omongan, dan pangeran yang sangat cerdik ini sudah dapat menduga akan kelemahan dari kakek aneh ini, maka kini dialah yang berkata, "Locianpwe, menilai orang lain jangan melihat keadaan luarnya saja. Melihat keadaan luar locianpwe ini, siapa orangnya yang akan dapat menilai bahwa locianpwe memiliki ilmu kepandaian yang hebat? Demikian pula dengan aku, biar pun aku kelihatan begini, jangan dikira bahwa aku tidak tahan uji! Dan adikku Sin Liong ini sudah berjanji akan membawaku kepada locianpwe untuk diterima sebagai murid atau pun sute, terserah. Apa bila hal itu sampai tidak terlaksana, apakah bukan berarti bahwa locianpwe menjadi suheng dari orang yang tidak dapat memegang janji?"

Sejenak kakek itu tertegun, kemudian membanting kakinya yang kecil. "Wah-wah, kakak angkatmu ini malah lebih pintar lagi bicaranya dibandingkan engkau, sute! Dan lagaknya seperti dia ini seorang bangsawan tinggi saja! Apa artinya bagiku menjadi guru atau pun suheng dari seorang bangsawan kecil?"

Han Houw sudah dapat menduga isi hati kakek ini yang ternyata diam-diam merupakan seorang yang agaknya amat mengagungkan kedudukan tinggi, maka tanpa meragu lagi dia berkata, "Locianwe, harap jangan memandang rendah padaku! Aku memang seorang bangsawan tinggi karena aku adalah seorang pangeran, adik kaisar yang sekarang ini!"

Benar saja. Kakek itu undur dua langkah dan memandang dengan kedua mata terbelalak kepada pemuda tampan itu, lantas menoleh kepada Sin Liong dengan mata mengandung penuh pertanyaan.

Sin Liong mengangguk dan berkata, "Memang betul apa yang dikatakannya itu, suheng."

Sejenak kakek itu melongo, kemudian dia mengerutkan alisnya dan bertanya kepada Han Houw, suaranya kasar seolah-olah dia tidak tahu bahwa pemuda ini seorang pangeran!

"Hei, apa kamu bisa berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah, kaki di atas dan kedua lengan bersedakap?"

Han Houw tersenyum mengejek. Matanya yang cerdik dapat menangkap kepura-puraan kakek itu yang agaknya tidak menghargai kedudukannya akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek itu sangat terkesan, dan kini hendak mengujinya.

"Apa sih sukarnya begitu saja?" katanya.

Dia memilih sebuah batu halus di depan goa, kemudian sekali menggerakkan kakinya, dia sudah berjungkir balik, dengan kepala yang bertopi itu di atas batu, dan kakinya di atas, kedua lengannya bersedakap.

"Hemm, jangan turunkan kaki sebelum kuperintahkan!" kata Ouwyang Bu Sek, kemudian dia menggandeng tangan Sin Liong. "Hayo sute, aku mau bicara denganmu!"

Keduanya lalu memasuki goa dan tidak nampak lagi, juga tidak terdengar suara mereka. Namun Han Houw yang berkemauan keras untuk memperoleh ilmu-ilmu tinggi sehingga akan terpenuhi cita-citanya menjadi jagoan nomor satu di dunia, tetap dalam keadaan jungkir balik, bahkan memejamkan matanya untuk memusatkan perhatian dan mematikan semua panca inderanya!

Ouwyang Bu Sek mengajak Sin Liong ke dalam goa dan di sini dengan suara berbisik agar jangan sampai terdengar oleh Han Houw, kakek cebol ini berkata kepada Sin Liong, "Hayo ceritakan siapa dia sebetulnya dan mengapa engkau bersusah payah membujukku untuk menerimanya sebagai murid, sute!"

Walau pun kadang-kadang dia merasa tidak cocok dengan watak Han Houw yang curang dan kejam, namun sesungguhnya Sin Liong merasa suka sekali kepada pangeran itu, apa lagi mengingat bahwa mereka sudah bersumpah mengangkat saudara. Maka sedikit pun juga dia tidak ingin menjerumuskan Han Houw ke dalam mala petaka dan sekarang pun dia masih ingin melindunginya, biar pun dia masih teingat apa yang pernah dilakukan oleh Han Houw terhadap Bi Cu untuk memaksanya. Oleh karena itulah pada saat ditanya oleh suheng-nya ini, dia masih hendak menutupi pemaksaan yang dilakukan oleh Han Houw dengan cara mengancam Bi Cu tempo hari.

"Kami memang sudah saling bersumpah mengangkat saudara, suheng, dan seperti telah diceritakannya tadi, dia adalah adik tiri seayah dengan sri baginda kaisar yang sekarang. Dia amat disayang oleh kaisar dan mempunyai kedudukan tinggi sekali di istana. Dia juga bercita-cita tinggi, ingin memiliki ilmu silat yang paling lihai, ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia."

Wajah kakek itu berseri. "Engkau tidak membohongi aku, bukan sute? Kini aku sudah tua sekali, aku sudah tidak kuat lagi mengajarkan ilmu-ilmuku kepada seorang murld, engkau pun tahu akan hal ini, mengapa engkau memaksa dia berguru kepadaku di sini?"

"Aku bersumpah bahwa apa yang kuceritakan kepadamu tidak bohong, suheng. Dan aku pun tidak mengharapkan engkau berpayah-payah mengajarnya sendiri. Bagaimana kalau suheng mengajarkan ilmu-ilmu dari suhu kepadanya? Dia sudah kuceritakan tentang suhu Bu Beng Hud-couw, dan dia ingin sekali menjadi murid beliau."

Kakek itu nampak terkejut. "Hemm, ahhh, kau lancang, sute. Tidak mudah menjadi murid suhu, harus kulihat dulu orang itu..."

"Terserah kepada suheng, aku hanya telah berjanji membawanya ke sini untuk kemudian mempertemukannya dengan suheng dan agar suheng menerimanya."

"Nanti dulu..., bagaimana wataknya? Apakah dia seorang yang mengenal budi?"

Sin Liong berpikir sejenak lalu tanpa ragu-ragu lagi dia mengangguk. Dia mengenal watak pangeran itu. Memang Han Houw mengenal budi, sungguh pun agaknya juga tidak akan mudah melupakan kesalahan orang kepadanya. Pendeknya, pendendam dan pembayar budi yang kuat!

"Jangan khawatir, suheng. Dia seorang pangeran yang mengerti akan kedudukannya, dan dia tidak akan melupakan orang yang telah menolongnya."

Memang benar dugaan Sin Liong ini. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa biar pun Han Houw suka membalas budi yang dilimpahkan kepadanya, akan tetapi dia lebih pendendam dan tidak akan pernah melupakan kesalahan orang kepadanya.

Watak seperti ini merupakan watak umum dari manusia! Agaknya kita akan cepat-cepat menolak dan membantah bila kita dikatakan berwatak seperti Pangeran Ceng Han Houw itu! Akan tetapi maukah kita membuka mata memandang diri sendiri dengan sejujurnya? Bukankah kita ini merupakan orang-orang yang ingin membalas budi orang lain namun di samping itu ingin pula membalas perbuatan orang lain terhadap kita yang kita anggap jahat dan merugikan?

Kita condong untuk membalas kebaikan orang dengan kebaikan yang lebih besar lagi, menghadapi keramahan orang dengan keramahan yang lebih besar lagi, namun kita pun ingin membalas kejahatan orang lain dengan kejahatan yang lebih merugikan lagi! Kalau kita diberi sejengkal kita ingin membalas sedepa, apa bila kita dicubit kita ingin balas memukul.

Tidakkah semua ini digerakkan oleh si aku yang ingin di atas selalu? Karena aku lebih dibaiki orang, aku ingin memperlihatkan bahwa aku lebih baik lagi dari dia, dari siapa pun juga. Pendeknya, agar dilihat bahwa akulah yang terbaik! Tetapi sebaliknya, kalau si aku diganggu, aku pula yang ingin membalas dengan gangguan yang lebih kejam lagi supaya hati yang mendendam, dan hati ialah si aku itu pula, menjadi puas. Si aku ingin selalu menang, ingin selalu serba lebih, tidak mau kalah baik, tidak pula mau kalah berani, biasanya si aku tidak mau menyebut lebih kejam, melainkan lebih berani!

Inilah sebabnya kenapa di antara saudara, di antara sahabat baik, di antara suami isteri, sering kali terjadi pertentangan dan percekcokan. Seribu satu kali kebaikan dari saudara, sahabat, suami atau isteri akan lenyap tanpa bekas oleh adanya sekali saja kesalahan! Pikiran ini, si aku ini, selalu mengejar kesenangan, maka apa yang menyenangkan aku, itulah baik, sebaliknya apa yang tidak menyenangkan aku, itu adalah buruk!

Apa bila setiap perbuatan didasari atas penilaian baik dan buruk yang pada hakekatnya adalah menyenangkan atau tidak menyenangkan aku, maka perbuatan yang berpusat pada diri sendiri itu sudah pasti akan menimbulkan pertentangan! Ini sudah jelas! Setelah kita membuka mata dan memandang dengan waspada dan kita dapat melihat semua ini, melihat berarti mengerti, mengerti berarti bertindak, apakah kita tidak dapat bebas dari penilaian baik buruk yang menimbulkan tindakan yang mengandung pertentangan ini?

Sesudah dia merasa yakin akan keadaan Ceng Han Houw, Ouwyang Bu Sek kemudian mengajak Sin Liong keluar.

"Sekarang kau boleh pergi, sute, apa bila engkau mau meninggalkan bocah itu di sini, terserah. Akan tetapi kalau ternyata dia tidak ada gunanya, maka dia akan kulemparkan ke dalam jurang!" kata kakek itu dengan lantang karena memang disengaja agar dapat didengar oleh Han Houw yang ternyata masih berdiri dengan jungkir balik di atas batu yang rata dan licin itu.

"Didik dia baik-baik, suheng, ingat, dia adalah kakak angkatku. Katakan kepada Houw-ko bahwa kelak kami akan dapat saling jumpa lagi. Selamat tinggal, suheng."

"Selamat jalan, sute."

Ceng Han Houw mendengar ini semua akan tetapi dia diam saja, tidak membuka kedua matanya. Dia maklum bahwa kakek cebol itu sedang mengujinya, maka dia pun hendak memperlihatkan bahwa dia merupakan seorang calon murid yang baik!

Bagi orang yang belum pernah berlatih ilmu silat tinggi, berdiri berjungkir balik seperti itu tentu saja merupakan siksaan, bahkan tidak mungkin dapat bertahan sampai lama. Akan tetapi, Han Houw adalah murid Hek-hiat Mo-li, sudah mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, sehingga berdiri jungkir balik seperti itu hanya merupakan permainan kanak-kanak saja baginya.

Dia mendengar semua percakapan antara adik angkatnya dan kakek itu sesudah mereka keluar dari dalam goa, juga mendengar langkah kaki Sin Liong pergi dari situ. Kemudian dia dapat mendengar kakek itu pergi pula meninggalkan tempat itu sehingga keadaan di sekeliling tempat itu sunyi sekali.

Han Houw masih tetap berdiri jungkir balik. Sejam, dua jam, tiga, empat, lima jam! Celaka, pikirnya. Apa bila hanya berjungkir balik seperti itu sampai beberapa jam saja dia masih kuat, akan tetapi kalau terus dilanjutkan tanpa ada ketentuan kapan kembalinya kakek itu, benar-benar merupakan siksaan hebat. Celaka! Dia merasa serba salah!

Jika terus berjungkir balik seperti itu, setelah lewat lima jam kepalanya mulai pening dan terutama sekali lehernya mulai terasa pegal-pegal dan lelah. Akan tetapi kalau menyudahi jungkir balik itu dan menurunkan kaki, tentunya akan disalahkan oleh kakek cebol tadi. Ini merupakan ujian!

Bukankah kakek cebol tadi sudah mengatakan bahwa dia tidak boleh menurunkan kedua kakinya sebelum diperintah oleh si kakek itu? Dan sekarang kakek itu tak pernah muncul! Agaknya hendak menyiksanya atau mempermainkan, atau bisa juga menjebaknya. Kalau dia menurunkan kakinya, tentu si kakek itu akan muncul dan menyatakan bahwa dia tidak memenuhi syarat sebagai murid! Celaka, kakek cebol itu sungguh sadis!

Han Houw mempertahankan diri, memejamkan mata dan menutup panca inderanya untuk melakukan ujian itu sekuatnya. Kembali waktu merayap lewat dengan sangat melelahkan. Hari sudah menjadi gelap! Sungguh pun dia tidak membuka mata, akan tetapi dia dapat merasakan perbedaan antara terang dan gelap dari balik pelupuk matanya. Kini hari telah menjadi gelap dan kakek itu masih juga belum datang membebaskannya!

Bukan main hebatnya penderitaan yang dirasakan oleh Han Houw pada saat-saat itu. Dan malam terus merayap tanpa ada perubahan pada dirinya. Dia merasa betapa kepalanya sudah menjadi besar, sebesar gantang, sebesar kepala kakek cebol itu! Bermacam warna menari-nari di depan matanya. Kedua pundak dan lehernya seperti sudah berubah menjadi batu, kaku dan tidak dapat merasakan apa-apa lagi!

Celaka, akan matikah dia? Tetapi, Han Houw adalah seorang pemuda yang sangat keras hati dan penuh semangat, terlebih lagi di dalam mengejar ilmu yang dicita-citakannya ini. Dia berkeras tidak akan menyerah sebelum tubuhnya yang menyerah dan roboh dengan sendirinya! Maka dikeraskanlah hatinya dan dia terus berjungkir balik seperti itu sampai semalam suntuk lewat!

Menjelang pagi, dengan hati penuh dendam Han Houw sudah membayangkan kakek itu sebagai iblis jahat yang sengaja menyiksanya. Berbagai umpat caci dan kutuk memenuhi benaknya, dilontarkan kepada penyiksanya. Namun mulutnya tetap terkatup dan kedua matanya terus terpejam. Setelah matanya yang terpejam kembali melihat cahaya di luar pelupuk matanya, akhirnya telinganya mendengar langkah kaki dan tahulah dia bahwa kaki telanjang kakek botak cebol itulah yang mendekatinya lalu terdengar suara kakek itu mengomel.

"Masih bertahan juga? Hemmm, menjemukan benar anak ini! Namun aku masih belum memerintahkanmu untuk menurunkan kaki, dan coba sekarang kau taati perintahku. Nah, kau tahan pernapasanmu sesudah menyedot sebanyak mungkin hawa, kemudian dorong hawa itu ke pusar, lalu tarik naik ke kepala, ya... ya... teruskan lagi...!"

"Brukkkk!"

Tubuh Han Houw terguling bagaikan sebatang balok, kepalanya terasa nyeri bukan main, terputar-putar rasanya hingga matanya berkunang-kunang, seluruh bagian atas tubuhnya nyeri semua!

"Ha-ha-ha, heh-heh-heh, engkau kena kuakali! Ha-ha, bagaimana rasanya? Sakit? Hayo katakan, apakah engkau masih ingin belajar dari aku? Akan kuajarkan lain ilmu yang lebih menyakitkan lagi! Hayo katakan, masih terus ingin belajar?"

Han Houw memejamkan kedua matanya, berusaha mengusir kepeningan yang membuat kepalanya seperti dipukuli palu besar, dan dadanya sesak. Namun dia mempertahankan, bahkan menekan semua ini, lalu dia bangkit duduk dan menjawab,

"Aku masih ingin belajar dari locianpwe, biar sampai mati pun aku tidak gentar!"

Diam-diam Ouwyang Bu Sek merasa heran dan juga girang. Tadinya dia tidak percaya bahwa seorang pangeran akan sanggup bertahan menghadapi siksaan seperti itu. Akan tetapi ternyata anak ini keras hati, tidak kalah dibandingkan dengan Sin Liong!

"Engkau benar-benar ingin belajar?" tanyanya, mulai merasa kalah.

"Benar, locianpwe."

"Dan engkau mau membayarku dengan selaksa tail perak?"

"Hal itu mudah dilaksanakan."

"Bagaimana kalau membayarku dengan kedudukan yang tinggi di kota raja?"

"Kedudukan yang tinggi sudah sepantasnya bagi locianpwe yang berilmu tinggi. Apa bila memang dikehendaki, tentu dapat kulaksanakan pula."

Tiba-tiba kakek itu tertawa dan merasa sudah cukup menguji. Memang dia telah menguji pangeran ini dan andai kata pangeran itu tidak memuaskan hatinya, bukan hal yang tak mungkin kalau dia melaksanakan kata-katanya di depan Sin Liong kemarin, yaitu hendak melemparkan pemuda ini ke dalam jurang! Akan tetapi, sikap Han Houw yang demikian keras hati, tahan uji, dan juga janji-janji yang diberikan oleh pangeran ini kepadanya telah membuat hatinya puas sekali.

Dia membandingkan pemuda ini dengan Sin Liong dan menganggap bahwa pangeran ini malah lebih baik, lebih berguna baginya dari pada sute-nya itu! Kakek ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa terdapat perbedaan besar sekali antara Sin Liong dan Han Houw.

Sin Liong memiliki kesederhanaan wajar dan juga memiliki kejujuran, namun sebaliknya, pangeran ini angkuh dan tidak pernah mau kalah oleh siapa pun juga, di samping itu, juga di sudut hatinya terkandung kekejaman dan kebuasan, akan tetapi semua itu ditutup oleh sikapnya yang ramah dan ini membuktikan betapa cerdik dan berbahaya dia.

Di lubuk hatinya, Han Houw merasa sakit hati dan benci sekali terhadap kakek ini yang bukan hanya sudah mempermainkannya, bahkan sudah menyakitinya dan menyiksanya. Namun kebenciannya itu sedikit pun tidak nampak pada wajahnya yang tampan!

"Heh-heh-heh, baik, baiklah! Engkau akan menjadi muridku, pangeran. Ha-ha-ha!" Sambil berkata demikian tangannya bergerak.

Han Houw merasa betapa leher dan punggungnya tertotok kemudian kesehatannya pulih kembali, peningnya lenyap, bahkan dia merasakan sesuatu kenyamanan yang aneh pada tubuhnya.

"Tubuhku terasa nyaman sekali, locianpwe!"

"Tentu saja, heh-heh-heh. Apa kau kira jungkir balik hampir sehari semalam itu tidak ada gunanya?"

Han Houw merasa tidak puas pada waktu kakek itu menyatakan bahwa dia akan menjadi muridnya. Bukan itu yang dikehendakinya. Dia harus dapat menjadi murid guru mereka, yaitu Bu Beng Hud-couw! Akan tetapi Han Houw amat cerdik, maka dia tidak menyatakan hal ini secara berterang, takut kalau-kalau kakek itu menjadi tidak senang hatinya.

"Locianpwe, aku adalah seorang pangeran dan juga kakak dari Liong-te, akan tetapi ilmu silatku kalah jauh apa bila dibandingkan dengan dia. Mana mungkin aku dapat memenuhi cita-citaku sebagai jagoan silat nomor satu di dunia ini kalau oleh adik angkatku sendiri saja aku masih kalah lihai!"

"Ha-ha-ha! Heh-heh! Tentu saja engkau tak akan menang melawan sute, sedangkan aku sendiri pun tidak akan mampu mengalahkannya!"

Han Houw mengerutkan alisnya, lalu menggeleng-geleng kepalanya dan seperti berbicara kepada diri sendiri, "Aihhh, pantas... pantas... Liong-te kadang-kadang besar kepala dan menyombongkan kepandaiannya! Ternyata dia demikian lihai sehingga locianpwe sendiri yang menjadi suheng-nya masih kalah lihai olehnya! Sungguh penasaran dan sukar untuk dipercaya bagaimana seorang suheng yang menurut Liong-te bahkan sudah membimbing dirinya dapat dikalahkan oleh sute sendiri yang dibimbingnya ini!"

"Aha, mana kau tahu, pangeran? Memang benar aku yang telah membimbingnya, akan tetapi kalau aku menjadi murid suhu hanya berhasil menafsirkan isi kitab-kitab suhu saja, sebaliknya sute telah melatih ilmu-ilmu yang amat sukar itu."

"Maksud locianpwe, gurunya dan guru locianpwe yang bernama Bu Beng Hud-couw?"

"Ha, engkau sudah tahu?"

"Liong-te pernah menceritakan kepadaku, bahkan Liong-te yang merasa paling pandai itu menyombongkan diri mengatakan bahwa sesudah dia mempelajari semua kitab dari Bu Beng Hud-couw, jangankan hanya locianpwe yang menjadi suheng-nya, meski Bu Beng Hud-couw sendiri tidak akan mampu menandinginya!"

"Omong kosong! Sombong dia!" kakek itu membentak marah dan diam-diam Han Houw merasa girang bahwa dia mulai berhasil membakar hati kakek aneh ini.

"Dan buktinya locianpwe mengaku sendiri tidak mampu menandinginya!"

"Memang benar karena aku tidak mempelajari ilmu-ilmu itu, akan tetapi akulah yang telah membimbingnya, dan mana mungkin dia dapat menandingi suhu? Berani benar dia bicara seperti itu!"

"Jalan satu-satunya bagi locianpwe adalah mempelajari sendiri kitab-kitab itu, kemudian menunjukkan bahwa tidak benar locianpwe sebagai suheng-nya kalah oleh sute-nya!"

Kakek itu menarik napas panjang, lalu duduk di atas tanah, kelihatan makin pendek dan sepasang matanya makin menjuling, wajahnya kelihatan berduka.

"Tidak mungkin... aku telah terlalu tua untuk mempelajari..."

"Jika begitu, tentu Liong-te akan tetap menyombongkan diri ke mana-mana, mengabarkan kepada seluruh dunia kang-ouw bahwa suheng-nya yang sakti, yang sangat terkenal dan bernama Ouwyang Bu Sek itu, juga suhu-nya yang maha sakti Bu Beng Hud-couw tidak akan mampu menandinginya."

"Tidak boleh... ini sama sekali tidak boleh dan harus dicegah!" Kakek yang sudah panas hatinya itu sekarang meloncat dan berjingkrak bagai cacing terkena abu panas, mukanya kemerahan dan dia sudah menjadi marah sekali.

"Sebaiknya dilaporkan saja kepada locianpwe Bu Beng Hud-couw." Han Houw memancing karena dia ingin sekali dapat berjumpa dengan manusia dewa yang ilmu-ilmunya sudah dipelajari oleh adik angkatnya itu.

"Tidak bisa... tidak mungkin... beliau tidak mungkin mau mengurus keramaian dunia... ah, tidak mungkin itu."

"Kalau begitu, masih ada satu jalan lain untuk menundukkan kesombongan Liong-te dan mencuci bersih nama baik locianpwe dan nama baik Bu Beng Hud-couw."

"Ehh? Kau ada jalan, pangeran? Bagaimana?"

"Biarlah aku yang mempelajari ilmu-ilmu dari locianpwe Bu Beng Hud-couw, dan akulah yang akan mewakili locianpwe dan Bu Beng Hud-couw untuk mengalahkan dia!"

Wajah kakek itu berseri, akan tetapi hanya sebentar. "Hemm, tetapi kitab-kitab itu sudah kubakar..., sungguh pun masih ada kitab-kitab yang belum pernah dipelajari orang, akan tetapi... ahhh, kurasa tidaklah mudah mempelajari kitab-kitab itu... dan memang sute Sin Liong lihai sekali..."

"Ilmu apakah yang telah dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw?"

"Hanya tiga belas jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, akan tetapi ilmu ini hebat bukan main dan sukar dikalahkan."

"Bukankah dahulu locianpwe yang membimbingnya? Tentu locianpwe dapat mengajarkan kepadaku, dan aku akan berlatih sebaik mungkin agar dapat mengatasi Liong-te."

Kembali kakek itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin... kitab-kitab itu sudah kubakar dan aku tidak hafal semua isinya, hanya sebagian saja dan tentu tidak cukup untuk dilatih sempurna dan tidak akan dapat mengalahkan dia."

Akan tetapi Han Houw tidak putus asa. Dia tahu bahwa kakek di depannya ini lihai bukan main, mungkin lebih lihai dari pada suci-nya atau subo-nya, akan tetapi kalau dia hanya menerima bimbingan dari kakek ini tentu tidak akan dapat mengalahkan Sin Liong! Dia harus mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw!

"Locianpwe, bagaimana kalau aku mempelajari kitab-kitab yang lain itu?"

"Wah, sulit sekali... sulit sekali... baru menafsirkan isinya saja aku sendiri sudah pening. Tulisan-tulisan kuno itu sukar sekali dan aku..."

"Harap locianpwe tidak memandang rendah kepadaku. Semenjak kecil aku hidup di istana yang penuh dengan simpanan tulisan-tulisan kuno dan aku pun telah banyak mempelajari isinya. Barang kali aku dapat membantu locianpwe, kemudian aku melatih ilmu-ilmu itu di bawah bimbingan locianpwe."

Kakek itu berseru girang. "Benarkah itu? Wah, kalau begitu engkau lebih hebat dari Sin Liong, pangeran! Hayo, kita melakukan upacara pengangkatan guru dan engkau menjadi sute-ku pula, jangan banyak membuang waktu!"

Bukan main girangnya hati Han Houw. Dia sudah berhasil! Maka dengan taat dia segera mengikuti kakek itu memasuki sebuah goa besar yang gelap. Goa ini berbeda dengan goa di mana dulu kakek itu membawa Sin Liong masuk. Memang, dia selalu memindah-mindahkan kitab-kitab pusaka yang disembunyikannya.

"Berlututlah, sute, dan ikuti kata-kataku."

Han Houw berlutut di samping kakek itu, menghadap ke dalam goa. Dia mencoba untuk menembus kegelapan itu dengan matanya, akan tetapi dia tidak melihat apa-apa, hanya melihat dinding batu yang gelap. Namun, tiba-tiba dia merasa bulu tengkuknya meremang dan dia merasa seram sekali, seolah-olah ada hawa aneh berada di dalam goa itu, maka cepat-cepat dia pun mengikuti kakak seperguruan yang aneh ini memberi hormat dengan berlutut delapan kali dan menirukan kata-kata sumpah yang diucapkan oleh Ouwyang Bu Sek.

"Teecu (murid) bersumpah untuk mempelaiari ilmu-ilmu dari kitab-kitab pusaka suhu Bu Beng Hud-couw dengan tekun dan mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menjunjung tinggi nama suhu, dan tidak akan menurunkan kepada siapa pun tanpa ijin dari suhu."

Demikianlah, Han Houw mengucapkan sumpah tanpa dia mengerti isinya. Apakah artinya ‘menjunjung tinggi nama suhu’ itu? Dan kalau dia tidak akan pernah bertemu dengan Bu Beng Hud-couw, bagaimana mungkin dia bisa memperoleh ijin suhu itu apa bila hendak menurunkan ilmu-ilmu itu kepada orang lain? Akan tetapi dia tidak peduli akan ini semua karena hatinya berdebar girang akibat usahanya sudah hampir berhasil.

Kakek itu lalu mengeluarkan sebuah peti hitam setelah dia melumuri tangan, muka dan leher juga kakinya, pendeknya semua bagian tubuh yang nampak, juga tubuh Han Houw yang tidak tertutup pakaian, dengan bubuk putih.

"Racun yang dioleskan pada peti ini dapat membunuh seketika apa bila tersentuh tangan yang tidak memakai obat penawar ini, pangeran," kata kakek itu dan Han Houw bergidik ngeri.

Diam-diam dia memperhatikan bahwa biar pun dia telah bersumpah menjadi murid Bu Beng Hud-couw, berarti dia sudah menjadi sute dari kakek ini, Ouwyang Bu Sek masih tetap menyebutnya ‘pangeran’, hal ini berarti bahwa kakek ini tetap menghargainya dan tentu mempunyai pamrih dalam cara sebutan yang menjilat itu!

Ouwyang Bu Sek membuka tutup peti, maka muncullah seekor ular merah. Han Houw mengenal jenis ular yang sangat berbisa. Ular macam ini jarang ada, dan di daerah utara memang kadang-kadang muncul ular seperti ini, akan tetapi kemunculannya tentu selalu menggemparkan karena mengakibatkan banyak manusia atau binatang lain yang jauh lebih besar, mati berserakan di mana ular itu muncul!

"Kim-coa-ko, tenanglah, aku hendak mengambil tiga kitab terakhir itu," kata Ouwyang Bu Sek dan sesudah ‘berdiri’ dan menggerak-gerakkan kepalanya, ular itu lalu melingkar lagi seperti tidur.

Ouwyang Bu Sek mengambil tiga buah kitab kuno yang lapuk dari dalam peti, kemudian dia menutupkan kembali petinya. Di bagian belakang peti itu telah diberinya lubang kecil sehingga ular itu sewaktu-waktu dapat keluar kalau lapar, untuk mencari makanan. Akan tetapi, biar pun peti itu sudah kosong, dia tidak mau membuangnya, membiarkan peti itu di sana agar kelak kalau ada orang yang hendak mencuri kitab, hanya akan menemukan peti kosong yang mengandung racun, ditambah lagi penjaganya yang amat berbahaya itu! Mereka lalu keluar membawa tiga buah kitab itu.

"Pangeran, tiga buah kitab inilah yang masih belum selesai kuterjemahkan. Kalau engkau mampu membantuku, kemudian kau latih isinya, hemm, engkau tentu akan mendapatkan ilmu-ilmu aneh yang tidak kalah oleh Hok-mo Cap-sha-ciang yang dikuasai oleh sute Sin Liong."

Han Houw menyembunyikan kegembiraan hatinya. "Akan kucoba, suheng. Akan tetapi, apakah hanyalah ini sisa kitab dari suhu? Bukankah peti itu besar sekali dan baru sebuah kitab saja yang diambil untuk Liong-te?"

"Bukan hanya sebuah, melainkan sute Sin Liong juga mempelajari hingga tiga buah kitab. Sedangkan kitab-kitab lain... ahh, yang tiga ini saja sudah cukup, pangeran. Kalau terlalu banyak, kita tak akan mempunyai waktu, selain melatihnya, juga harus mentafsirkannya. Ini saja kalau sudah kau kuasai dengan baik, agaknya akan sukar engkau mencari orang yang akan mampu menandingimu."

"Akan tetapi, tentu masih ada kitab-kitab lainnya itu, bukan suheng? Kita adalah saudara seperguruan, tentu suheng percaya kepadaku, bukan?"

"Tentu saja! Ada kitab-kitab itu, dan kusimpan baik-baik agar jangan sampai diambil oleh orang yang tidak berhak. Jangan khawatir, kalau memang kelak engkau masih ada waktu, engkau dapat saja menambah ilmumu dari kitab-kitab yang lain itu, pangeran."

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Han Houw tidak berani mendesak lagi, takut kalau-kalau kakek itu curiga lantas menjadi tidak suka kepadanya. Dia membuka-buka lembaran kitab-kitab itu dan mulai hari itu juga, bersama Ouwyang Bu Sek, Han Houw mulai membantu suheng-nya itu menyelesaikan penterjemahan.

Dan memang Han Houw tidak membobong atau membual ketika dia mengatakan bahwa dia sanggup membantu tadi. Bahasa yang dipergunakan dalam kitab itu adalah bahasa kuno, dan bahasa suku pedalaman di utara masih dekat dengan bahasa ini sehingga Han Houw yang sejak kecil banyak mempelajari bahasa-bahasa itu di utara, benar saja dapat membantu banyak sehingga menggirangkan hati Ouwyang Bu Sek.

Mulailah Pangeran Ceng Han Houw mempelajari ilmu-ilmu silat aneh-aneh dari tiga buah kitab itu di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek. Pangeran ini sangat tekun. Memang dia keras hati dan besar keinginannya untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, di samping memang dia berbakat baik sehingga makin sukalah Ouwyang Bu Sek kepada pangeran ini.

Hampir tidak ada waktu yang terluang begitu saja oleh Han Houw, selalu diisinya dengan berlatih silat menurut kitab itu atau berlatih sinkang menurut petunjuk kitab pula. Secara kebetulan sekali, di dalam kitab itu terdapat pula pelajaran semacam yoga dari India yang mengharuskan dia berjungkir balik seperti yang dilakukannya pada hari pertama ketika diuji oleh Ouwyang Bu Sek, maka kini sering kali pemuda bangsawan ini berdiri dengan kaki di atas kepala di bawah, kadang-kadang dia sanggup berlatih seperti ini sampai tiga hari tiga malam! Kemajuan yang diperolehnya pesat sekali.

                 ***************

Harap-harap cemas memenuhi hati Lie Seng pada saat pemuda itu memasuki hutan itu. Hari itu sudah diperhitungkannya benar-benar, bahkan semenjak setahun yang lalu, boleh dibilang setiap saat dia menghitung hari. Dia tidak akan salah hitung.

Hari itu adalah genap satu tahun dari janjinya dengan Sun Eng untuk saling berjumpa di hutan itu! Hitungannya tidak akan keliru, akan tetapi bagaimana kalau wanita itu yang lupa akan hari itu, keliru hitung, atau lebih celaka lagi kalau... telah lupa kepadanya?

Ahh, tidak mungkin! Dia yakin akan cinta kasih dalam hati Sun Eng terhadap dirinya. Dan dia lebih yakin lagi akan cinta kasih di dalam hatinya terhadap gadis itu. Dia sadar bahwa Sun Eng bukanlah seorang gadis lagi, bukan seorang perawan melainkan seorang wanita yang sudah banyak melakukan penyelewengan dalam hidupnya sehingga sudah banyak mengalami penderitaan batin.

Kenyataan ini bukan membuat muak atau membenci, sebaliknya malah, semakin diingat akan semua penderitaan yang dialami gadis itu, makin besar pula rasa belas kasih dalam hatinya terhadap Sun Eng, dan belas kasih ini agaknya memperdalam cintanya. Dia harus melindungi Sun Eng, harus menuntunnya dan menunjukkan bahwa hidup tidaklah seburuk yang pernah dialaminya, bahwa tidak semua laki-laki yang mendekatinya hanya mengaku cinta semata-mata untuk menikmati tubuhnya belaka!

Pagi hari itu amat cerah, bahkan sinar matahari pagi yang berkilauan berhasil menerobos masuk ke dalam hutan, melewati celah-celah daun pohon. Pagi yang cerah, secerah hati yang penuh harapan itu, penuh keyakinan dan penuh cinta!

Dengan langkah ringan Lie Seng menuju ke tempat di mana pada setahun yang lalu dia bertemu dan mencurahkan kasih sayang dengan Sun Eng, kemudian membuat janji untuk saling bertemu pula di situ setahun kemudian. Ini adalah kehendak Sun Eng, gadis yang merasa rendah diri itu, yang masih juga belum percaya benar bahwa orang seperti Lie Seng dapat mencinta gadis yang pernah menyeleweng seperti Sun Eng!

Ahh, kerendahan hati ini amat mengharukan hati Lie Seng. Itu saja sudah menjadi tanda betapa Sun Eng sudah menyesali semua perbuatannya dan orang yang telah menyesali semua perbuatannya jauh lebih baik dari pada orang yang selalu membanggakan semua perbuatannya sebagai orang yang bersih! Sun Eng minta waktu setahun untuk menguji perasaan kasih sayang di antara mereka, pertama karena merasa rendah diri, ke dua mungkin untuk menguji Lie Seng setelah berulang kali dia dikecewakan oleh kaum pria.

Akan tetapi kecerahan pada pagi itu tetap saja tak dapat mengusir bayang-bayang hitam gelap yang diciptakan oleh pohon-pohon yang rindang daunnya. Bayang-bayang panjang yang rebah ke barat. Bayangan-bayangan gelap berupa kecemasan juga mengganggu kegembiraan hati Lie Seng. Dia cemas dan gelisah membayangkan bagaimana kalau Sun Eng sampai tidak datang! Ke mana dia harus mencari gadis itu? Dia merasa cemas sekali membayangkan ini sehingga kini kakinya yang melangkah terasa amat berat.

Akhirnya tibalah dia di depan pohon. Dia tak pernah melupakan pohon itu dan huruf-huruf yang setahun lalu diukirnya pada batang pohon itu masih ada! Akan tetapi, Sun Eng tidak ada! Dia memandang ke sekeliling, lalu duduk di atas akar pohon itu. Mungkin dia datang terlalu pagi! Dan hatinya mulai cemas.

Mengapa dia begitu bodoh ketika dahulu mereka saling berjanji? Mengapa yang dijanjikan hanya harinya saja, ada pun jamnya tidak dijanjikan? Bagaimana bila Sun Eng baru akan datang pada sore hari nanti? Tidak apa! Dia akan menanti, biar pun sampai sore, bahkan sampai malam sekali pun! Dia sudah bertahan menanti selama setahun, dan apa artinya ditambah sehari atau dua hari?

Lie Seng lalu duduk termenung di bawah pohon itu. Dia merenungi perjalanan hidupnya, terutama sekali mengenai cintanya dengan Sun Eng. Usianya kini sudah dua puluh tujuh tahun, sudah cukup dewasa. Akan tetapi, selama ini belum pernah dia jatuh cinta kepada seorang wanita.

Hatinya selalu merasa dingin terhadap wanita, dan dia seakan-akan merasa ngeri kalau memikirkan pernikahan. Mungkin karena dia melihat begitu banyak kepahitan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga, banyak peristiwa menyedihkan yang terjadi akibat cinta dan pernikahan.

Dia melihat atau mendengar tentang kehidupan paman Yap Kun Liong, tentang kehidupan ibunya sendiri yang kini menjadi isteri paman Yap Kun Liong, melihat akibat cinta kasih dari pamannya yang lain, adik kandung ibunya, yaitu Cia Bun Houw.

Banyak sudah dia mendengar mengenai kegagalan cinta dan rumah tangga dan mungkin hal-hal inilah yang mendatangkan kesan mendalam hingga dia merasa ngeri untuk jatuh cinta dan menikah. Akan tetapi sungguh luar biasa, begitu dia bertemu dengan Sun Eng seketika dia jatuh cinta! Bahkan sesudah mendengar penuturan gadis itu tentang riwayat Sun Eng yang tidak harum, cintanya bahkan makin mendalam!

Bagi orang yang sedang menantikan sesuatu, waktu berjalan melebihi lambatnya seekor siput merayap. Terlampau lama waktu merayap, seolah-olah tidak pernah maju! Memang demikianlah anehnya waktu. Kalau dilupakan, dia meluncur seperti pesatnya anak panah dilepas dari busur, sebaiknya kalau diperhatikan, dia merayap sangat lambat!

Tentu saja bukan sang waktu yang bertingkah seperti ini, melainkan sang pikiran! Pikiran selalu menginginkan hal-hal yang lain dari pada apa yang ada, sehingga apa yang ada itu selalu nampak tidak menyenangkan, selalu berlawanan dengan apa yang dikehendaki agar waktu segera berlalu dan dia dapat bertemu dengan yang dinantikannya itu secepat mungkin, dan tentu saja, kenyataan yang ada sangat berlawanan dengan keinginannya sehingga terasa amat menyiksa. Konflik batin memang selalu menyiksa diri!

Lie Seng merasa sangat tersiksa. Sampai siang dia menanti, waktu merayap terus dan yang dinanti-nantinya belum juga muncul! Dia sampai lupa akan waktu, tidak sadar bahwa hari telah siang, hanya dia merasakan betapa lamanya sudah dia menanti. Serasa sudah bertahun-tahun! Waktu dari pagi sampai siang itu bahkan dirasakannya lebih menyiksa, lebih lama dari pada waktu setahun yang telah lalu!

Namun dia masih terus menanti di bawah pohon itu. Bayang-bayang pohon yang tadinya panjang rebah ke barat itu kini menjadi semakin pendek, sampai kemudian hanya berada di bawah pohon, tanda bahwa matahari telah berada di atas benar. Kini perlahan-lahan, bayangan pohon itu menggeser ke timur dan matahari pun mulai turun ke barat. Sebentar lagi, senja pun tibalah!

Lie Seng sudah tidak sabar lagi. Jangan-jangan Sun Eng lupa, atau salah hitung! Mungkin besok dia baru datang! Jangan-jangan... tiba-tiba saja Lie Seng menjadi pucat dan cepat dia menggoyang kepalanya membantahnya sendiri. Tidak, tidak ada apa-apa yang buruk terjadi atas diri wanita yang dikasihinya itu. Atau mungkin sengaja tidak mau datang?

Bermacam bayangan pikiran inilah yang menyiksa batin Lie Seng, membuatnya semakin gelisah hingga akhirnya dia tidak kuat bertahan lagi. Dia bangkit berdiri, dan mulailah dia berjalan-jalan, mula-mula hanya di bawah pohon, mengelilingi batang pohon, kemudian semakin menjauh seakan-akan dia hendak mencari Sun Eng di antara semak-semak dan pohon-pohon.

Mendadak dia mendengar suara isak tangis di sebelah kiri. Cepat Lie Seng meloncat ke arah suara itu dan bukan main kagetnya ketika dia melihat seorang wanita duduk di atas rumput di balik semak-semak sambil menangis, menutupi muka dengan dua tangannya, terisak-isak.

"Eng-moi...!" Dia meloncat, menubruk dan merangkul.

Akan tetapi Sun Eng terus menangis, bahkan kini mengguguk dalam rangkulan pemuda itu.

"Eng-moi, ada apakah? Apa yang terjadi? Kenapa engkau di sini dan bersembunyi, dan menangis?"

Akan tetapi Sun Eng tidak mampu menjawab, tangisnya makin mengguguk membuatnya tidak mungkin bicara, hanya kedua lengannya balas merangkul leher pemuda itu dan dia menyusupkan muka di dada yang bidang itu. Lie Seng mengelus rambut itu, membiarkan Sun Eng menangis karena dia pun maklum bahwa dalam keadaan seperti itu tak mungkin bagi gadis itu untuk bicara. Akhirnya Sun Eng mulai dapat menguasai hatinya, tangisnya mereda.

Lie Seng mengangkat muka yang basah itu, lalu menggunakan sapu tangan mengusap air mata yang membasahi pipi, kemudian dia mencium dahi yang halus putih itu dengan sepenuh hatinya. Hati yang lega seperti bunga kering tertimpa tetesan embun setelah dia bertemu dengan orang yang dinanti-nantinya sejak pagi tadi dengan gelisah.

"Nah, sekarang hentikanlah tangismu dan ceritakan mengapa engkau bersembunyi di sini dan mengapa engkau menangis?"

"Aku... aku tidak berani keluar...," jawabnya di sela isak.

"Ehh, kenapa? Sejak kapan engkau berada di sini, Eng-moi?"

"Sejak kemarin pagi!"

"Hah?" Lie Seng terkejut bukan main. "Akan tetapi... salahkah hitunganku? Setahun sejak dahulu itu adalah hari ini! Salahkah aku...?"

"Tidak, memang hari ini, koko. Akan tetapi aku... aku tidak dapat menahan lagi, aku ingin cepat-cepat ke sini..."

"Lalu kenapa engkau bersembunyi di sini? Apakah engkau tidak melihat aku datang pagi tadi di bawah pohon kita itu?"

Gadis itu mengangguk dan sesenggukan. "Aku... aku melihatmu... aku takut untuk keluar, ahhh, kau ampunkan aku, koko..."

Lie Seng memandang dengan mata terbelalak dan mulut tersenyum. "Betapa anehnya engkau ini, Sun Eng! Engkau datang lebih pagi sehari karena engkau ingin cepat-cepat ke sini, bertemu dengan aku, kemudian setelah aku datang engkau malah bersembunyi! Apa artinya ini?"

"Entah, koko, aku... selama setahun ini... setiap hari aku rindu kepadamu, ingin sekali aku cepat-cepat bertemu denganmu..."

"Eng-moi kekasihku..., percayalah bahwa aku pun demikian..." Lie Seng mendekap kepala gadis itu penuh kasih sayang.

Sejenak mereka berdekapan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, begitu ketat mereka saling dekap sampai keduanya dapat saling merasakan denyut jantung masing-masing.

"Akan tetapi... begitu melihatmu... ahhh, aku takut, koko. Engkau demikian mencintaku, engkau memenuhi janji, engkau datang dan ketika melihat betapa engkau menanti di situ dengan wajah berseri, wajah yang kurindukan selama ini... aku makin merasa betapa aku terlalu rendah untukmu, koko, bahwa engkau tidak patut menjadi..."

Sun Eng tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena mulutnya sudah ditutup oleh bibir Lie Seng yang menciumnya. Mata pemuda ini menjadi basah. Sun Eng meronta lembut, akan tetapi kemudian dia merangkulkan kedua lengan ke leher pemuda itu dan membalas ciuman itu dengan penuh pasrah dan kasih sayang, juga dengan air mata bercucuran!

Akhirnya mereka memisahkan muka mereka, saling pandang melalui air mata, dan Lie Seng mendekap lagi, berbisik di dekat telinga gadis itu. "Eng-moi, jangan kau ulangi lagi ucapan seperti itu. Aku cinta padamu, engkau adalah seorang wanita yang paling mulia di dunia ini untukku! Jangan kau selalu merendahkan diri, kita lupakan saja segala hal yang telah lalu, maukah engkau?"

Sun Eng mengangguk, mengangguk berkali-kali di atas pundak pemuda yang masih terus mendekapnya itu, air matanya bercucuran membasahi pundak Lie Seng. Hampir dia tidak percaya bahwa hidupnya menjadi begini bahagia, bahwa ada pria yang dapat mencinta dirinya seperti ini! Hampir dia tidak percaya bahwa semua ini bukan mimpi belaka!

"Koko..."

"Ya...?"

"Aku bersumpah..."

"Tak perlu bersumpah..."

"Aku bersumpah bahwa selama hidupku aku akan setia kepadamu, bahwa baru sekali ini aku jatuh cinta dalam arti yang sedalam-dalamnya pada seorang pria, yaitu engkau, dan hidupku selanjutnya hanyalah untukmu, koko, untuk membahagiakanmu, mengawanimu, membantumu..."

"Cukuplah, moi-moi, aku percaya kepadamu, kita saling mencinta, kenapa engkau harus bersumpah seperti itu?"

"Karena aku berhutang budi kepadamu, koko."

"Ahh, menyelamatkanmu ketika engkau terluka merupakan kewajiban, tidak layak disebut budi..."

"Bukan soal itu, koko. Pertolongan seperti itu memang sudah wajar di antara orang-orang kang-ouw, apa lagi seorang pendekar sepertimu. Akan tetapi maksudku budi yang lebih mulia lagi, yaitu bahwa... engkau telah sudi mencintaku, koko..."

"Hushhh...! Aku cinta padamu dan engkau cinta padaku, mana ada hutang budi segala? Kalau engkau hutang budi, aku pun berhutang budi kepadamu. Nah, kita saling hutang, sudah lunas, bukan?"

"Tidak, belum lunas, sampai mati pun belum lunas, kita harus saling membayar selama kita hidup."

"Kau benar..."

Mereka kembali saling pandang dan sekali ini, atas kehendak berdua karena dorongan hati yang penuh gelora asmara, muka mereka saling mendekat hingga bibir mereka saling bertemu dalam kecup cium yang mesra dan dengan sepenuh perasaan kasih mereka.

Dunia seakan-akan berhenti berputar dan mereka berdua seperti tenggelam dalam lautan madu asmara, mabuk dan lupa segala, seolah-olah di dunia ini hanya ada mereka berdua dan cinta kasih mereka. Akhirnya, ketika senja mulai gelap, Lie Seng menarik kekasihnya bangkit berdiri, menggandeng tangannya dan berkata,

"Mari, Eng-moi, mari kita sahkan ikatan jodoh kita."

"Mau... mau kaubawa ke mana aku ini...?" Sun Eng bertanya khawatir, namun hatinya ikhlas mau diajak ke mana pun oleh kekasihnya.

"Kepada keluargaku! Akan kuperkenalkan engkau kepada mereka sebagai calon isteriku agar kita memperoleh doa restu mereka."

Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi pucat sekali. "Tapi... suhu dan subo..."

Lie Seng mencium kening di antara kedua mata yang menakutkan itu. "Eng-moi, setelah engkau menjadi calon jodohku, setelah aku mencintamu dengan sepenuh jiwaku, apa lagi yang engkau khawatirkan? Katakanlah bahwa engkau pernah bersalah dalam pandangan paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong, akan tetapi semua itu adalah hal yang telah lalu, dan sekarang setelah kita saling mencinta dan sudah mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri, tak ada seorang pun di dunia ini yang boleh mencelamu! Siapa yang mencelamu akan berhadapan dengan aku, Eng-moi, karena engkau dan aku tidak akan terpisahkan lagi selama masih hidup!"

"Ahhh, koko..." Sun Eng merangkul dan sesenggukan, merasa terharu sekali akan tetapi juga bahagia.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka keluar dari hutan yang mulai gelap itu. Dalam perjalanan, Sun Eng menyatakan kekhawatiran hatinya sebab ibu dari kekasihnya itu juga termasuk seorang di antara mereka dianggap pemberontak buronan oleh pemerintah.

"Ke mana kita harus mencari ibumu?"

"Ibu dan ayah tiriku, juga paman Cia Bun Houw dan isterinya, telah menyembunyikan diri di Bwee-hoa-san. Aku pernah pergi ke sana, akan tetapi aku belum bicara tentang dirimu, karena kupikir belum tiba waktunya sebelum ada ketentuan antara kita seperti yang kita janjikan akan diadakan dalam pertemuan kita hari ini. Akan tetapi, kurasa amat berbahaya kalau kita ke sana. Tempat itu harus dirahasiakan, dan mengunjungi mereka di sana amat berbahaya, apa lagi kita berdua telah dikenal pula oleh fihak musuh."

"Siapakah fihak musuh itu, koko? Dan kenapa dulu suhu dan subo ditangkap dan dituduh pemberontak?"

"Hemmm, semua ini adalah fitnah, merupakan siasat dari musuh keluarga kami, keluarga Cin-ling-pai. Telah kuselidiki dan ternyata yang melakukan siasat ini adalah musuh-musuh lama dari keluarga Cin-ling-pai."

"Siapakah mereka?"

"Hek-hiat Mo-li dari utara. Dia pernah sakit hati terhadap keluarga Cin-ling-pai, terutama kepada paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong, juga kepada mendiang Tio Sun yang telah dapat terbunuh. Pula, Hek-hiat Mo-li dibantu oleh muridnya yang lihai, bernama Kim Hong Liu-nio. Bahkan kematian kongkong Cia Keng Hong juga setelah dia diserang oleh guru dan murid itu sehingga mengalami luka."

"Ah, jahat benar mereka. Bagaimana kalau kita langsung mencari mereka dan membasmi guru serta murid itu? Aku akan membantumu dengan taruhan nyawaku, koko!" kata Sun Eng dengan sikap gagah.

Lie Seng tersenyum pahit, "Aihh, Eng-moi, gampang saja engkau bicara. Ilmu kepandaian Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio itu demikian tinggi, dan agaknya yang akan sanggup menanggulangi mereka itu hanyalah orang-orang yang tingkat kepandaiannya telah tinggi sekali seperti paman Yap Kun Liong. Kalau hanya kita berdua, walau pun aku tidak takut, akan tetapi melawan mereka sama halnya dengan membunuh diri tanpa guna. Tidak, kita harus lebih dahulu menyelesaikan urusan kita di depan keluargaku, dan mengingat bahwa pernah ada sesuatu yang kurang enak di antara engkau dan paman Bun Houw serta bibi In Hong, maka sebaiknya kalau kita pergi menemui suci-ku dan minta dia yang menjadi penengah sehingga lebih mudah bagiku untuk menghadapi mereka tanpa timbul kesalah pahaman antara keluarga."

"Suci-mu? Siapakah dia itu, koko?"

"Dia adalah suci Yap Mei Lan, puteri dari paman Yap Kun Liong. Setahun yang lalu dia sudah menikah dengan Souw Kwi Beng dan kini tinggal di Yen-tai. Dia itu suci-ku, akan tetapi juga dapat disebut saudara tiri, karena ayah kandungnya, Yap Kun Liong, kini telah menjadi suami dari ibu kandungku. Nah, dengan perantaraan suci-ku, maka agaknya akan lebih mudah untuk menyelesaikan urusan kita di depan ibu. Yang penting bagiku adalah ibu kandungku. Jika beliau sudah setuju dengan perjodohan antara kita, orang lain peduli apa? Kalau setuju syukur, kalau tidak pun tidak apa-apa!"

Bukan main besar dan lapang rasa hati Sun Eng mendengar ucapan kekasihnya ini, maka dia menaruh kepercayaan penuh, menyerahkan jiwa raganya ke tangan pria yang sangat dicintanya dan dikaguminya ini. Mereka bermalam dalam sebuah rumah penginapan kecil dalam dusun di depan, dan diam-diam Lie Seng makin kagum ketika melihat kekasihnya itu berkeras minta agar mereka menggunakan dua buah kamar.

Sungguh pun dengan latar belakang riwayat seperti itu, ternyata kini Sun Eng benar-benar sudah insyaf dan tidak mau menjadi budak nafsu birahi, pandai menjaga diri dan pandai pula memasang batas-batas di antara mereka, biar pun dia sudah pasrah dan rela kepada Lie Seng yang dicintanya.

"Percayalah, koko, aku berkeras melakukan ini demi engkau. Aku tidak ingin melihat kau menjadi seorang pria yang merusak kepercayaan kita masing-masing. Pelanggaran yang terjadi karena tidak kuat menahan nafsu birahinya menunjukkan tipisnya cinta." Demikian katanya dan Lie Seng merasa terharu sekali, berjanji di dalam hati bahwa dia tidak akan menjamah kekasihnya, sebelum mereka menikah dengan resmi!

Pada suatu hari mereka memasuki kota besar Cin-an yang terletak di Propinsi Shan-tung. Mereka bermalam di kota ini, berbelanja dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berangkat menuju ke timur, ke kota Yen-tai yang berada di tepi Lautan Po-hai.

Akan tetapi, baru saja mereka keluar dari pintu gerbang kota Cin-an, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan ketika mereka menoleh, nampak pasukan besar menunggang kuda keluar dari pintu gerbang itu, dipimpin oleh seorang panglima tua yang gagah didampingi oleh seorang kakek tinggi besar dan seorang kakek pendek kecil yang masing-masing juga menunggang seekor kuda yang besar.

Lie Seng dan Sun Eng cepat minggir dan memalingkan muka. Mereka sudah dikenal, biar pun hanya sepintas lalu, oleh pasukan yang dahulu menangkap dua pasang suami isteri pendekar, maka sekarang Lie Seng tak ingin dikenal dan memalingkan muka. Akan tetapi, tiba-tiba pasukan itu berhenti di dekat mereka, bahkan panglima dan dua orang kakek itu sudah meloncat turun dari atas kuda dan menghampiri mereka!

Berdebar jantung Lie Seng. Dia memberi isyarat dengan kerling mata kepada Sun Eng agar kekasihnya itu bersiap-siap namun agar jangan membuka mulut dan membiarkan dia yang bicara bila mana datang pertanyaan. Dan ketika dia akhirnya terpaksa membalikkan tubuhnya karena komandan pasukan beserta dua orang kakek itu telah berdiri dekat, Lie Seng terkejut sekali, kekejutan yang ditekannya dan tidak diperlihatkan pada wajahnya.

Ia mengenal komandan itu, seorang komandan tua, seorang panglima pasukan pengawal kaisar, pasukan Kim-i-wi, yaitu pasukan pengawal baju bersulam emas, dan komandan itu bernama Lee Cin, seorang komandan yang gagah perkasa dan lihai, juga dahulu sering bekerja sama dengan keluarga Cin-ling-pai! Komandan itu kini sudah tua, sedikitnya tentu enam puluh lima tahun usianya, namun masih nampak gagah dan gerak-geriknya halus dan sabar.

Lie Seng pura-pura tidak mengenalnya dan dia hanya berdiri dengan hormat, seolah-olah tidak tahu atau tidak mengerti bahwa mereka itu berhenti untuk menemuinya! Akhirnya, sesudah menatap dengan tajam beberapa saat lamanya, terdengar komandan itu berkata dengan suara halus,

"Harap ji-wi (anda berdua) suka menyerah saja untuk kami tangkap!"

Barulah Lie Seng tahu bahwa memang dia dan Sun Eng yang sedang diincar, maka dia pun mengangkat muka, tidak pura-pura lagi meski pun dia tak mau memperkenalkan diri. "Apakah kesalahan kami berdua maka hendak ditangkap? Kami tidak merasa melakukan kejahatan apa pun!"

Komadan Lee Cin tersenyum getir, "Lie Seng taihiap, jangan menyangka bahwa kami pun senang menerima tugas ini. Taihiap merupakan cucu dari ketua Cin-ling-pai yang gagah perkasa, ada pun ibu kandung taihiap, Cia Giok Keng, merupakan seorang di antara para buronan. Semenjak taihiap berdua muncul di Cin-an, gerak-gerik ji-wi telah diawasi."

"Tapi... tapi kami berdua tidak melakukan pelanggaran apa-apa!" bantah Lie Seng.

"Biarlah kelak pengadilan yang akan memutuskan soal itu. Kami hanya mentaati perintah dan amat tidak baik kalau taihiap menambah dosa keluarga dengan membangkang pula. Menyerahlah ji-wi!" bujuk Lee Cin yang benar-benar merasa canggung sekali bahwa dia kini harus mengejar-ngejar keluarga Cin-ling-pai, padahal semenjak dahulu keluarga itu amat berjasa kepada kerajaan dan sering kali dia bekerja sama menghadapi pemberontak dengan para pendekar Cin-ling-pai itu.

"Baik, aku menyerah, akan tetapi nona ini tidak ada sangkut-pautnya, maka kuminta agar dia dibebaskan!"

"Koko, tidak...! Aku tidak mau kita saling berpisah!" teriak Sun Eng dengan kedua mata terbelalak.

"Perintah yang diberikan kepada kami adalah untuk menangkap kalian berdua, tak dapat ditawar-tawar lagi!" Kata pula Lee Cin yang mulai hilang kesabaran karena sebetulnya dia amat tidak menyukai tugas ini, akan tetapi dia tadi sudah bersikap terlalu manis terhadap orang-orang yang dianggap pemberontak ini, sehingga dia merasa tidak enak dan malu kepada dua orang kakek itu.

Dua orang kakek ini adalah dua orang tokoh dari daerah selatan yang sengaja dikirim oleh Pangeran Ceng Han Houw untuk membantu kerajaan menangkap para pemberontak buronan. Mereka berdua adalah orang-orang yang berilmu tinggi, dua orang ‘bengcu’ atau pemimpin kaum kang-ouw di selatan, yang tinggi besar bernama Hai-liong Phang Tek dan yang pendek kecil bernama Kim-liong-ong Phang Sun.

Karena membawa surat pribadi dari Pangeran Ceng Han Houw, tentu saja kedua orang kakek ini diterima dengan hormat oleh komandan di kota raja, dan kini dibantukan kepada Panglima Lee Cin yang diserahi tugas menangkap para pemberontak buronan membantu Kim Hong Liu-nio. Panglima ini selain merupakan kakak kandung dari mendiang Panglima Lee Siang yang tewas oleh para pemberontak, juga dianggap mengenal baik wajah-wajah para keluarga pemberontak, maka dianggap tepat untuk memimpin pasukan membantu Kim Hong Liu-nio, kini ditemani oleh dua orang kakek lihai itu.

Dan memang Lee Cin mengenal mereka semua, bahkan juga mengenal Lie Seng yang jarang dijumpainya karena pemuda ini lama pergi menjadi murid Kok Beng Lama, apa lagi setelah dia mendengar bahwa adik kandungnya itu tewas di tangan seorang pemuda lihai yang diduganya tentu Lie Seng adanya.

Lie Seng merasa bimbang. Dia tidak takut ditangkap, akan tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan Sun Eng! Tiba-tiba kakek pendek kecil yang tubuh bagian atasnya tertutup jubah prajurit lebar akan tetapi di balik baju yang tidak dikancingkan ini ternyata telanjang sama sekali, kakinya juga telanjang, terkekeh aneh dan kedua tangannya menyambar ke arah beberapa orang prajurit, tahu-tahu dia telah merampas empat batang tombak yang dilemparkannya ke depan.

"Cep-cep-cep-cep!"

Empat batang tombak itu meluncur seperti anak panah ke arah Lie Seng dan Sun Eng, akan tetapi ternyata tidak menyerang tubuh mereka, melainkan menancap sampai lenyap setengahnya di empat penjuru, mengurung dua orang muda itu! Benar-benar demonstrasi yang mengejutkan, membayangkan kekuatan sinkang yang hebat sekaligus kepandaian yang tinggi karena empat batang tombak itu dilontarkan berbareng akan tetapi mengenai sasaran empat macam sekaligus!

Panglima Lee Cin berkata, suaranya berwibawa, "Sebaiknya ji-wi menyerah saja. Kami tahu bahwa taihiap seorang yang lihai sekali, akan tetapi kami sudah siap-siap dan dua orang locianpwe ini pun memiliki kepandaian tinggi. Dari pada kami harus..."

"Eng-moi, larilah, biar kutahan mereka!" tiba-tiba saja Lie Seng berteriak dan dia segera menerjang ke depan, menangkap dua orang prajurit lantas melemparkan mereka ke arah dua orang kakek tinggi besar dan pendek kecil itu. Dua orang kakek ini tidak mengelak, melainkan menggerakkan kaki menendang sehingga tubuh dua orang prajurit malang itu terlempar dan terbanting tanpa bangkit kembali!

"Mati hidup di sampingmu, koko!" teriak Sun Eng pula, lantas dengan sigapnya dia pun menerjang ke depan merobohkan dua orang prajurit lain dengan pukulan dan tendangan kakinya. Gegerlah para prajurit mengeroyok, akan tetapi Lee Cin cepat berseru menyuruh mereka untuk mundur.

"Biarkan ji-wi locianpwe menangkap mereka!" teriaknya dan ini merupakan permintaan pula kepada dua orang kakek itu untuk membantu.

Dengan lagak angkuh, Hai-liong-ong Phang Tek maju menghadapi Lie Seng, sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun sambil cengar-cengir menghadapi Sun Eng. "Nona manis, mari kita main-main sejenak!"

Sun Eng marah sekali. Dia tidak mengenal si kecil pendek ini, dan melihat bahwa tubuh kakek ini seperti tubuh kanak-kanak saja, dia agak memandang rendah. Tubuhnya segera menerjang ke depan hingga tubuh itu menjadi bayangan merah karena pakaiannya yang berwarna merah, didahului oleh sinar pedangnya yang membabat ke leher, seakan-akan dengan satu sabetan saja dia hendak membuntungi leher kecil dari Kim-liong-ong Phang Sun!

"Cringgg…!"

Sun Eng terkejut dan meloncat mundur, pedangnya telah terlepas ketika bertemu dengan gelang di lengan kiri kakek itu!

"Awas, Eng-moi!" Lie Seng yang belum bergebrak dengan lawan, kini meloncat ke kiri dan dia masih sempat menangkis pukulan tangan kanan kakek pendek yang menampar ke arah kepala Sun Eng.

"Dukkk!" Akibat benturan kedua lengan ini, Lie Seng terhuyung akan tetapi Kim-liong-ong juga terpental ke belakang!

"Ehh, kau boleh juga...!" Kakek kecil pendek ini berseru.

"Serahkan dia padaku, Sun-te, kau tangkap saja nona itu!"

Setelah berkata demikian, Hai-liong-ong Phang Tek sudah melompat ke depan kemudian menyerang Lie Seng dengan tongkatnya yang diputar secara hebat. Memang kakek ini mempunyai tenaga besar sekali maka tongkat yang diputar itu mengeluarkan suara angin mengerikan dan nampak gulungan sinar tongkat seperti seekor naga bermain-main.

Melihat itu, Lie Seng terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan tangguh, akan tetapi yang dikhawatirkannya Sun Eng yang terpaksa harus menghadapi kakek kecil pendek yang lihai itu dengan tangan kosong. Tanpa menggeser kaki dia cepat menggerakkan kedua tangan untuk menangkis serangan-serangan tongkat lawan dengan menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, akan tetapi dia terus melirik ke arah kekasihnya yang benar saja, telah dipermainkan oleh Kim-liong-ong Phang Sun.

Kakek kecil pendek ini sengaja tidak mau cepat-cepat merobohkan gadis itu, akan tetapi menghujankan serangan-serangan berbahaya yang mengerikan, termasuk menusuk mata, mencengkeram buah dada, menotok jalan darah maut dan lain-lain serangan mengerikan yang selalu ditahannya dan tidak dilanjutkan setelah mendekati sasaran!

Repotlah Sun Eng harus mempertahankan diri, hingga akhirnya dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun yang lihai barulah dia dapat selalu mengelak dan mempertahankan diri biar pun sama sekali tak sempat lagi membalas karena memang tingkat kepandaiannya jauh di bawah kalau dibandingkan dengan orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini.

Selagi dua orang muda ini terdesak dan terhimpit, tiba-tiba saja terdengar teriakan tinggi melengking kemudian nampak berkelebat bayangan orang didahului segulung sinar putih diputar cepat!

"Tahan! Atas nama Pangeran Ceng Han Houw, mundurlah kalian!"

Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun menoleh dan terkejutlah mereka ketika mengenal nona muda yang dahulu pernah membantu dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang!

"Ehh, kau mau apa? Mengantar nyawa?"

"Hemm, nyawa kalian yang berada di tanganku!" bentak Lie Ciauw Si, dara itu.

"Si-moi...!" Lie Seng berseru kaget dan girang melihat adiknya, akan tetapi Ciauw Si cepat menghampiri Panglima Lee Cin.

"Ciangkun, apakah engkau komandan pasukan ini?"

"Benar, nona. Siapakah nona, dan... eh, bukankah nona ini nona Lie Ciauw Si cucu ketua Cin-ling-pai...?" Kini dia mengenalnya dan merasa heran.

"Betul, dan atas nama Pangeran Ceng Han Houw, kuperintahkan agar engkau membawa pasukanmu beserta dua orang tua bangka ini mundur, dan jangan mengganggu kepada kakakku! Lihat, siapakah berani menentang aku yang sudah memperoleh kekuasaan dari Pangeran Ceng Han Houw?" Sambil berkata demikian, Ciauw Si memindahkan pedang Pek-kong-kiam ke tangan kirinya, lalu dia mengangkat tangan kanan dan memperlihatkan cincin yang melingkari jari tengah tangan kanannya.....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 33



Cincin bermata biru itu adalah cincin tanda kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw yang diperolehnya dari kaisar sendiri dan semua pejabat tinggi tentu saja mengenali cincin ini! Maka Lee Cin lalu memberi hormat sambil menjura.

"Maafkan kami, kami mentaati perintah," katanya lalu dia memberi aba-aba kepada para prajurit untuk mundur.

Biar pun terheran-heran, tentu saja semua prajurit tak berani membangkang dan mereka itu terpaksa mundur, dan terus menjauhkan diri dari tempat itu sesuai dengan perintah yang dikeluarkan oleh Panglima Lee Cin.

Dua orang bengcu selatan yang dipilih oleh Ceng Han Houw itu, yaitu Phang Tek dan Phang Sun, terpaksa ikut pula mengundurkan diri, akan tetapi setelah pasukan bergerak meninggalkan tempat itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang merasa amat penasaran berkata,

"Tapi... tapi, ciangkun...! Kita sudah hampir dapat menguasai dan menangkap mereka...!"

Tanpa menghentikan langkahnya memimpin para pasukan yang meninggalkan tempat itu, Lee Cin lalu berkata, "Apakah locianpwe berani membantah dan membangkang terhadap cincin kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw?"

"Tapi... tapi gadis itu..."

"Locianpwe, cincin yang diperlihatkan oleh nona itu adalah cincin kekuasaan beliau!"

Mendengar ucapan ini, dua orang kakek itu bungkam dan diam-diam terkejut dan heran. Bukankah menurut Panglima Lee Cin ini, dara itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai pula? Keluarga Cin-ling-pai dianggap pemberontak dan buronan yang harus ditangkap, bahkan mereka berdua itu dipanggil ke kota raja supaya membantu Kim Hong Liu-nio menangkap pemberontak dan buronan ini, maka dengan sendirinya seorang cucu ketua Cin-ling-pai tentu merupakan buronan pula. Akan tetapi mengapa nona itu tadi malah memiliki cincin tanda kekuasaan dari Ceng Han Houw? Mereka bingung akan tetapi menghadapi cincin kekuasaan pangeran yang mereka takuti itu, tentu saja mereka tidak berani membantah lagi, apa pula melihat sikap Panglima Lee yang begitu takut menghadapi cincin tadi.

Sementara itu, sesudah semua pasukan itu mundur, barulah Ciauw Si yang berdiri tegak dengan gagah memandang kakaknya sambil tersenyum dan mengembangkan sepasang lengannya.

"Koko...!"

Pemuda dan pemudi itu lari saling menghampiri kemudian saling berangkulan. Suasana menjadi amat mengharukan saat kakak beradik ini berangkulan ketat tanpa mengeluarkan sepatah pun kata, dan dara yang gagah perkasa itu tidak mampu menahan air matanya yang mengalir turun.

"Seng-ko... betapa rinduku kepadamu...!"

"Ahhh, Ciauw Si, engkau adikku yang nakal...!"

Mereka melepaskan rangkulan, saling pandang dan keduanya tersenyum lebar walau pun wajah Ciauw Si masih basah air mata dan dua titik air mata juga membasahi bulu mata pemuda perkasa itu.

"Engkau... sungguh cantik dan gagah, adikku!"

"Dan engkau pun tampan dan gagah koko. Engkau tadi mengamuk seperti seekor naga sakti!"

"Ha-ha-ha, kalau engkau tidak keburu datang aku sudah menjadi naga tanpa nyawa!"

"Koko, siapakah enci yang manis itu?"

Wajah Lie Seng berubah merah, akan tetapi karena merasa sudah cukup dewasa, dia tidak mau menyembunyikan lagi persoalannya dengan Sun Eng. Dia menggapai Sun Eng dan gadis ini melangkah maju mendekat, saling berpandangan dengan Ciauw Si.

"Eng-moi, ini adalah adik kandungku, seperti yang pernah kuceritakan kepadamu. Adikku, dia ini bernama Sun Eng, dia adalah... ehh... calon soso-mu (kakak iparmu)!"

"Aihhh...!" Ciauw Si berseru girang dan dia cepat memberi hormat yang dibalas oleh Sun Eng dengan muka merah, kemudian Ciauw Si memegang lengan calon kakak iparnya itu. "Engkau sungguh cantik, soso...!"

"Ihh, Si-moi, belum waktunya engkau menyebut soso. Kami belum menikah!" kata Sun Eng tertawa.

"Maaf, Eng-cici, aku hanya bergurau. Akan tetapi aku ingin segera memanggilmu soso. Seng-koko, engkau sekarang sudah menjadi seorang pendekar perkasa setelah engkau belajar kepada locianpwe Kok Beng Lama! Hayo ceritakan semua pengalamanmu sejak engkau meninggalkan kami, koko!"

Mereka bertiga lantas duduk di atas rumput, maka berceritalah Lie Seng tentang semua pengalamannya semenjak dia meninggalkan rumah untuk ikut belajar kepada Kok Beng Lama sampai dia kembali, sampai dia bertemu dengan Sun Eng dan sampai perjumpaan mereka pada saat itu. Semua dia ceritakan secara singkat, akan tetapi tentu saja dia tidak pernah menyinggung tentang riwayat atau pun asal-usul Sun Eng, bahkan dia juga tidak menceritakan kepada adiknya bahwa calon isterinya itu adalah murid dari paman mereka Cia Bun How.

"Sekarang engkau harus ceritakan semua pengalamanmu, adikku yang nakal. Aku hanya bisa ikut merasa gelisah pada saat tidak melihatmu di Cin-ling-san dan hanya mendengar bahwa engkau minggat dari Cin-ling-san! Ke mana saja engkau pergi?"

Ciauw Si menarik napas panjang. Dia sudah merasa menyesal sekali setelah mendengar penuturan ibu kandungnya yang telah diselamatkannya dari kepungan pasukan kerajaan, mendengar bahwa kongkong-nya telah tewas, bahwa ibunya, ayah tirinya, dan pamannya serta isteri pamannya telah menjadi orang-orang buronan, dianggap sebagai pemberontak oleh kerajaan.

Dengan singkat dia pun menceritakan semua pengalamannya. Lie Seng merasa gembira sekali mendengar bahwa adiknya ini sudah menyelamatkan ibu kandungnya serta isteri pamannya yang sedang mengandung.

"Dan ke mana sekarang perginya ibu beserta bibi In Hong?" tanyanya. "Apakah mereka bersembunyi di rumah suci di Yen-tai?"

Ciauw Si menggeleng kepalanya. "Memang tadinya ibu dan bibi Hong bermaksud untuk pergi mengungsi ke sana, akan tetapi kemudian kami berpendapat bahwa hal itu akan amat membahayakan keselamatan keluarga enci Mei Lan sendiri. Tentu para penyelidik akan mudah diketahui orang. Maka, untuk sementara ini kutitipkan ibu dan bibi Hong ke tempat tinggal seorang sahabat baikku di Yen-ping."

"Di Yen-ping? Siapakah dia?"

"Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Kebetulan aku pernah menyelamatkan dia dan kurasa tempat itu sangat aman bagi ibu untuk menjadi tempat tinggal atau tempat bersembunyi sementara, sambil menanti bibi Hong melahirkan."

"Dan bagaimana dengan... paman Kun Liong dan paman Bun Houw?" Sampai sekarang sukarlah bagi Lie Seng untuk menyebut ayah kepada Kun Liong yang telah menjadi ayah tirinya, maka dia masih menyebutnya paman.

"Setelah aku menitipkan ibu dan bibi Hong kepada perkumpulan itu, aku lalu pergi ke kota Yen-tai untuk mengabarkan hal itu kepada enci Mei Lan. Di sana aku bertemu dengan mereka berdua. Malah bersama mereka aku kembali lagi ke Yen-ping, dan kini mereka semua berkumpul di sana."

"Kau sekarang ini sedang hendak ke sana, Si-moi?"

"Tadinya aku hendak pergi ke kota raja..."

"Kau? Ke kota raja? Keluarga kita dituduh memberontak dan kau malah hendak ke kota raja? Apakah mencari celaka?"

"Tidak, aku hendak mencari Pangeran Ceng Han Houw..."

"Ah, pangeran yang cincinnya engkau bawa dan telah menjadi jimat yang menyelamatkan kami tadi? Ehh, Si-moi, bagaimana engkau bisa memperoleh cincin pangeran itu?"

Jantung Ciauw Si berdebar kencang dan mukanya menjadi merah, akan tetapi cepat dia menekan perasaannya yang terguncang. "Aku bertemu dengan dia di selatan dan kami telah menjadi sahabat baik. Dia kemudian memberikan cincin ini kepadaku sebagai tanda persahabatan dan agar mudah bagiku kalau hendak mencarinya di kota raja. Sungguh tidak kusangka cincin ini dapat kupergunakan untuk mengundurkan semua pasukan itu. Baru kuketahui bahwa kekuasaan pangeran itu benar-benar tinggi."

"Lalu mau apa engkau mencarinya di kota raja?"

"Aku dapat menduga niat yang bijaksana dari adik Ciauw Si," tiba-tiba saja Sun Eng ikut bicara. "Setelah mempunyai sahabat seorang pangeran yang kedudukannya begitu tinggi, yang memiliki cincin kekuasaan yang mampu mengundurkan pasukan kerajaan itu, tentu adik Ciauw Si ingin minta bantuan pangeran itu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai, bukan?"

Ciauw Si memandang kepada wanita cantik itu dengan kagum, lalu mengerling kepada kakaknya dan berkata, "Wah, calon soso-ku rupanya jauh lebih cerdik dari pada engkau, Seng-ko! Memang dugaannya itu tepat sekali!"

Lie Seng tersenyum bangga. "Kalau tidak cerdik, masa dia menjadi pilihanku?" Mereka tertawa gembira.

"Karena pertemuan ini, biarlah terlebih dahulu kuantar kalian ke Yen-ping menjumpai ibu sebelum aku melanjutkan perjalananku ke kota raja. Marilah koko, mari enci Eng."

Akan tetapi Ciauw Si merasa heran sekali melihat mereka berdua itu saling memandang penuh keraguan, terlebih lagi Sun Eng yang memandang calon suaminya dengan wajah berubah agak pucat.

"Kau... kau bilang yang di Yen-ping itu... ibu kandungmu dan... dan...," Sun Eng tidak melanjutkan kata-katanya.

"Yang berada di rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang adalah ibu, ayah tiriku, paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong. Tidak ada siapa-siapa lagi," sambung Ciauw Si.

Sun Eng kelihatan ngeri mendengar dua nama terakhir itu. Akan tetapi tiba-tiba Lie Seng berkata penuh semangat, "Mari kita pergi! Memang aku ingin sekali bertemu dengan ibu dan membicarakan urusan perjodohanku!" Dengan kata-kata ini dia memandang kepada Sun Eng dan seakan-akan berjanji melalui pandangan matanya bahwa dialah yang akan menanggung semua urusan yang mungkin timbul bila calon isterinya itu bertemu dengan Cia Bun Houw dan Yap In Hong.

Melihat sinar mata calon suaminya ini, Sun Eng menundukkan kepala dan mengangguk. Maka mereka bertiga berangkat menuju ke Yen-ping dan di sepanjang perjalanan, kakak dan adik ini tiada hentinya saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing lebih lanjut.

Sun Eng tidak banyak berbicara karena wanita itu tenggelam dalam lamunannya sendiri, lamunan penuh penyesalan karena kini dia akan dijumpakan dengan bekas suhu-nya dan subo-nya, dan mengingat mereka maka teringat pula dia akan segala penyelewengannya yang amat memalukan.

Akan tetapi bila mana dia menoleh kepada Lie Seng, dan calon suaminya itu pun menoleh kepadanya, dia merasa memperoleh sandaran yang kuat karena dia maklum bahwa yang terpenting baginya adalah Lie Seng dan orang lain tidak masuk hitungan lagi! Bila sudah begini, maka kuatlah hatinya dan dia sanggup menghadapi apa pun juga di samping Lie Seng, satu-satunya pria di dunia ini yang masih sanggup mencintanya dengan tulus ikhlas sungguh pun telah mendengar semua penuturannya tentang penyelewengan pada masa lampau.

                 ***************

Mereka berempat itu, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong dua orang kakak beradik yang menjadi dua pasang suami isteri itu, pendekar-pendekar sakti yang menjadi tokoh-tokoh utama dari Cin-ling-pai yang kini sudah bubar setelah pendekar Cia Keng Hong meninggal, kini menjadi buronan-buronan pemerintah yang terpaksa harus menyembunyikan diri dalam salah sebuah di antara rumah-rumah di pusat perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang.

Mereka berempat jarang keluar dari rumah itu, dan mereka dilayani sebagai tamu-tamu agung oleh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Gu Kok Ban dan Tong Siok. Tentu saja dua orang ketua ini pun merasa sangat gelisah dengan adanya empat orang pendekar sakti itu yang menjadi orang-orang buronan pemerintah. Namun karena mereka merasa berhutang budi kepada Ciauw Si, apa lagi karena mereka memang merasa amat kagum kepada para pendekar Cin-ling-pai yang sakti itu, maka mereka berdua menerima mereka dengan penuh kehormatan dan menyatakan tidak keberatan melindungi mereka sampai nyonya muda yang mengandung itu melahirkan.

Kandungan Yap In Hong sudah berumur delapan bulan dan mereka berempat itu selalu menyembunyikan diri, tak pernah berhubungan dengan orang luar kecuali hanya dengan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu saja. Bahkan para anggota perkumpulan itu hanya tahu bahwa ketua mereka menerima tamu-tamu yang terhormat, akan tetapi mereka pun tidak diberi tahu siapa adanya tamu-tamu itu.

Ketika Ciauw Si datang kembali bersama Lie Seng dan Sun Eng, dua orang ketua itu menyambut dengan gembira. Mereka selalu merasa kagum dan penuh hormat terhadap Ciauw Si, maka ketika nona itu memperkenalkan Lie Seng sebagai kakak kandungnya dan Sun Eng sebagai calon kakak iparnya, dua orang ketua itu memberi hormat kepada mereka. Kemudian, tiga orang muda ini langsung memasuki rumah yang menjadi tempat persembunyian dua pasang suami isteri pendekar itu.

Empat orang itu sedang duduk di ruangan lebar dan mereka sudah merasa girang sekali mendengar akan kedatangan kembali Ciauw Si bersama Lie Seng. Pada saat tiga orang muda itu memasuki rumah ruangan, serta-merta Lie Seng dan Ciauw Si menghampiri ibu mereka dengan girang, dan Sun Eng yang ikut masuk pula dengan wajah pucat, langsung menjatuhkan diri berlutut menghadap Bun Houw dan In Hong sambil berkata lirih,

"Suhu... subo...!"

Suami isteri ini terbelalak memandang pada saat mereka mengenal Sun Eng. Berubahlah wajah Bun Houw dan In Hong, menjadi kemerahan. Mereka tidak ingin orang lain, apa lagi keluarga mereka, mendengar tentang diri murid murtad yang memalukan ini, tetapi siapa kira, murid ini sekarang berani mati muncul di depan mereka, di tempat persembunyian dan di depan para keluarga!

"Mau apa kau ke sini?" bentak Bun Houw.

"Hayo pergi! Pergi kau dari sini cepat, atau... kuhajar engkau!" bentak In Hong pula sambil bangkit berdiri. Dengan wajah merah dan sepasang mata menyinarkan cahaya kemerahan Suami isteri itu sudah berdiri menghadapi Sun Eng yang masih berlutut.

Melihat ini, tiba-tiba Lie Seng meloncat dan dia telah berdiri di depan Sun Eng, melindungi dara itu dan menghadapi paman dan bibinya dengan mata bersinar-sinar.

"Paman dan bibi, harap sabar dan mundur dahulu...!" katanya sambil mengangkat kedua tangannya.

"Minggir kau, Seng-ji, biar kami hajar bocah murtad ini!" bentak Bun Houw yang semakin marah melihat keponakannya ingin melindungi gadis yang dianggap sudah mencemarkan nama baiknya itu!

Mendengar ini, habislah kesabaran Lie Seng dan sikapnya menentang. "Paman dan bibi, siapa pun juga di dunia ini tidak boleh menyentuh Eng-moi, apa lagi hendak menghajar dia! Kalau paman dan bibi hendak memukulnya, kalian harus lebih dulu membunuh aku!"

Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut bukan kepalang mendengar ini. Mereka berdua terbelalak memandang wajah Lie Seng, kemudian Cia Bun Houw berseru, "Apa yang kau katakan ini, Lie Seng? Jangan kau mencampuri, dia itu adalah bekas murid kami yang murtad dan..."

"Aku tahu, paman. Akan tetapi hendaknya paman dan bibi juga mengetahui bahwa dia ini adalah calon isteriku yang tercinta!"

"Apa...?!" Bun Houw dan In Hong berseru hampir berbareng.

Sementara itu, Cia Giok Keng yang merasa terkejut sekali menyaksikan sikap tiga orang itu terhadap gadis cantik yang berlutut itu, kini sudah bangkit pula dan bertanya dengan gelisah, "Apakah artinya semua ini?"

"Cici, perempuan ini adalah murid kami yang murtad!"

"Ibu, nona Sun Eng ini adalah calon isteriku yang hendak kuperkenalkan kepada ibu..."

"Tidak boleh jadi! Aku tidak sudi membiarkan keponakanku menikah dengan perempuan hina..."

"Paman! Harap paman jangan melanjutkan kata-kata itu!" bentak Lie Seng dengan marah.

Melihat suasana yang panas itu, Yap Kun Liong segera bangkit berdiri dan menghampiri mereka, berdiri di tengah-tengah, kemudian dengan suara halus tetapi berwibawa dia pun berkata, "Hentikan semua kekerasan ini! Kita adalah di antara keluarga sendiri, kalau ada urusan dapat dibicarakan dengan tenang dan dengan kepala dingin. Agaknya terdapat perbedaan faham antara adik-adikmu dan puteramu, mari kita bicara baik-baik," sambung Kun Liong kepada isterinya yang menjadi bingung dan yang sudah pucat wajahnya itu.

Giok Keng mengangguk kemudian dia menoleh kepada Ciauw Si sambil berkata, "Engkau pergilah keluar dulu, Ciauw Si."

Ciauw Si mengerti bahwa ada apa-apa yang tidak beres dengan tunangan kakaknya itu, dan sebagai seorang gadis agaknya dia tidak diperbolehkan turut mendengarkan perkara yang hendak dibicarakan, maka dia pun mengangguk dan bangkit, hendak meninggalkan ruangan itu.

"Si-moi, jangan pergi!" Lie Seng berkata, dan pemuda ini nampak marah.

Memang dia telah menduga bahwa urusannya dengan Sun Eng pasti akan mendatangkan keributan dalam keluarganya, apa lagi guru-guru kekasihnya berada di situ pula, namun apa pun yang akan terjadi dan keadaan betapa pahit pun akan dihadapinya.

"Si-moi engkau sudah dewasa dan engkau pun anggota keluarga kita, karena itu biarlah engkau juga ikut mendengarkan dan mempertimbangkan. Apa yang dikatakan oleh paman Yap Kun Liong benar. kita harus berterus terang dan membuka kartu, dan biarlah nasib perjodohanku dibicarakan antara keluarga kita sampai selesai!"

Mendengar ucapan kakaknya dan melihat sikap yang keras itu, Ciauw Si menunduk dan tidak jadi pergi, diam-diam dia merasa sangat khawatir. Suasana menjadi hening sekali sesudah Lie Seng mengeluarkan kata-katanya terhadap adiknya ini, hening yang sangat menegangkan hati. Sejenak mereka semua hanya saling pandang, terutama sekali Cia Giok Keng yang masih bingung menghadapi peristiwa yang tidak disangka-sangkanya itu. Dalam beberapa saat ini hatinya mengalami guncangan-guncangan hebat.

Tadinya, ketika dia mendengar puteranya memperkenalkan wanita yang cantik gagah ini sebagai calon isterinya dia merasa girang. Akan tetapi ketika mendengar bahwa wanita inilah murid dari adiknya yang murtad, dia terkejut dan bimbang.

"Seng-ji, apakah artinya semua ini?" Akhirnya dia bertanya dengan suara gemetar dan biar pun pertanyaan ini diajukannya kepada puteranya, tapi pandang matanya diarahkan kepada Sun Eng yang masih berlutut.

"Ibu, sebetulnya tidak ada apa-apa yang aneh. Anakmu ini sudah berusia dua puluh enam tahun lebih, dan sekarang aku datang hendak memperkenalkan calon isteriku kepada ibu. Ibu, aku dan Sun Eng sudah saling mencinta dan kami berdua telah saling mengikat janji untuk menjadi suami isteri."

Menurut pandangan Giok Keng, wanita muda yang menjadi pilihan puteranya itu sudah tepat memang, cantik manis dan memiliki sifat gagah, akan tetapi tentu saja dia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah murid adiknya, murid yang murtad, bahkan pernah melakukan penyelewengan hebat seperti yang pernah didengarnya dari cerita adiknya ketika mereka berempat berada di dalam kamar tahanan dan ketika gadis itu berusaha untuk menolong mereka.

"Cici, Lie Seng sama sekali tidak boleh menikah dengan perempuan ini! Inilah murid kami yang murtad itu, yang tak tahu malu, yang hina dan kotor..."

"Murid durhaka!" In Hong membentak Sun Eng. "Berani engkau memikat hati keponakan kami? Apakah engkau tidak ingat akan semua perbuatanmu yang hina dan engkau berani merayu mendekatinya?"

Dengan muka pucat yang selalu menunduk, Sun Eng berkata lirih, "Subo... teecu sudah... sudah menceritakan semua riwayat teecu kepada kakanda Lie Seng..."

"Heh?!" Bun Houw berteriak dan memandang kepada Lie Seng dengan mata terbelalak. "Benarkah itu, Seng-ji? Engkau sudah tahu akan riwayatnya yang busuk?"

Lie Seng mengangguk gagah. "Benar, paman. Aku sudah tahu dan aku tidak peduli! Aku cinta kepadanya, dan cintaku tidak membiarkan aku mengingat-ingat akan hal lalu! Kami saling mencinta dan apa pun yang telah, sedang dan akan terjadi, kami akan tetap saling mencinta. Kami sudah mengambil keputusan untuk hidup bersama, untuk menjadi suami isteri!"

"Tidak! Tidak mungkin itu, Cici, engkau harus melarang Seng-ji untuk menikah dengan perempuan rendah ini!"

Cia Giok Keng menjadi semakin bingung, apa lagi melihat sikap adiknya dan puteranya makin berkeras itu. Wajahnya menjadi pucat dan lesu, pandang matanya sayu. "Houw-te, belum tentu keponakanmu telah mengetahui semua riwayat muridmu yang murtad, maka sebaiknya kau ceritakan kembali supaya dia mendengar sendiri bagaimana perbuatan dari wanita yang dicintanya itu." Suara nyonya ini cemas agar puteranya dapat melepaskan wanita yang sama sekali tidak patut menjadi calon isterinya itu.

Sun Eng menangis. Lie Seng cepat mendekatinya lalu merangkulnya sambil berlutut pula. "Tenangkan hatimu, Eng-moi, aku akan melindungimu...," bisiknya.

"Ahh... koko... aku tidak tega melihat engkau direndahkan... biarlah aku pergi saja... aku... aku memang tidak pantas menjadi... menjadi...," dia sesenggukan.

"Houw-te, lekas ceritakan supaya urusan ini menjadi terang, biar Seng-ji mendengarnya sendiri!" kata Cia Giok Keng.

Bun Houw masih merasa tidak enak, maka dia memandang kepada Lie Seng, kemudian berkatalah dia kepada keponakannya itu, "Seng-ji, engkau tentu tahu bahwa sekali-kali bukanlah kami ingin menghalangi kebahagiaanmu, akan tetapi kami melakukan ini malah demi kebahagiaanmu. Sekarang kami terpaksa membongkar rahasia perempuan ini untuk mencegah agar engkau tidak sampai terjebak dalam perangkapnya."

"Paman Bun Houw, kebahagiaan seseorang mana mungkin bisa diatur oleh orang lain? Tentang riwayat Eng-moi yang lalu, aku tidak peduli dan kalau engkau mau menceritakan hal itu kepada siapa pun juga, terserah saja, karena hal itu tidak akan merubah cintaku kepadanya." Lie Seng merangkul kekasihnya dengan erat, seakan-akan hendak memberi kekuatan kepada wanita itu untuk menghadapi penghinaan ini.

Kembali Bun Houw meragu. Betapa pun juga dia merasa sayang kepada keponakannya dan dia merasa tidak enak untuk membongkar rahasia orang, apa lagi orang itu adalah bekas muridnya yang dulu amat disayangnya. Dia pernah menceritakan tentang Sun Eng secara singkat kepada cici-nya dan kepada Yap Kun Liong, dan sebagai seorang gagah, berat rasa hatinya untuk mengulang-ulang kebusukan orang lain.

Melihat keraguan adiknya, Giok Keng kemudian berkata, "Houw-te, lekas ceritakanlah. Ini menyangkut perjodohan puteraku, maka segala sesuatunya harus jelas agar supaya dia mengerti!"

Bun Houw menarik napas panjang, menelan ludah beberapa kali lantas berkata, suaranya amat lirih, "Seng-ji, dengarlah baik-baik. Perempuan ini pernah menjadi muridku dan dia... perempuan cabul ini... dia pernah memasuki kamarku untuk menggodaku... secara tidak tahu malu! Bukan itu saja, dia bahkan bukan perawan lagi, dia telah menyerahkan dirinya kepada banyak orang, seperti seperti pelacur saja..." Dia berhenti sebentar, "aku pernah menceritakan ini kepada ibumu..."

"Cukup!" Cia Giok Keng membentak "Nah, sudah dengarkah engkau, Lie Seng?"

Giok Keng mengharapkan puteranya itu akan insyaf, namun alangkah gelisahnya melihat puteranya itu nampaknya tidak kaget mendengar cerita Bun Houw itu!

"Aku sudah tahu, ibu, Eng-moi telah menceritakan segalanya kepadaku..."

"Dan engkau masih nekat hendak mengambil dia sebagai isterimu?"

"Ibu, kami saling mencinta..."

"Tidak! Bohong! Dia tentu telah merayumu, menggunakan ilmu sihir... engkau tidak boleh menikah dengan seorang pelacur!"

"Ibu...!"

"Cukup! Dia... biar aku sendiri yang menghajarnya!" Cia Giok Keng maju dengan kedua tangan dikepalkan.

"Tidak, enci, biarkan aku yang menghajarnya. Dia itu bekas muridku, dan kini dia berani menggoda puteramu!" kata In Hong yang juga telah bergerak maju ke depan, siap untuk menghajar bekas muridnya yang dianggap sudah menimbulkan banyak sengketa ini dan dia merasa bahwa sebagai seorang bekas guru dia harus bertanggung jawab. Akan tetapi Lie Seng bangkit berdiri dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.

"Siapa pun tidak boleh menyentuhnya! Siapa yang hendak mengganggu Eng-moi, harus membunuh aku lebih dulu!" bentaknya.

Tentu saja In Hong mundur kembali dan Giok Keng menghadapi puteranya dengan hati marah. "Seng-ji, butakah engkau? Ibumu dan pamanmu, juga bibimu berbuat begini demi kebahagiaanmu! Aku tidak rela melihat anakku tergoda dan terpikat oleh rayuan seorang pelacur!"

"Ibu! Itukah perbuatan yang membahagiakan aku? Tidak, ibu malah akan menghancurkan kebahagiaanku. Jika ibu ingin membahagiakan aku, jangan halangi perjodohanku dengan Eng-moi. Akan tetapi kalau ibu dan paman hendak menentang, lebih baik bunuh saja aku lebih dulu sebelum menyentuh selembar rambut dari Eng-moi!"

Wajah Cia Giok Keng semakin pucat dan kata-kata itu seakan-akan merupakan pukulan sehingga dia mengeluh lantas terhuyung. Suaminya, Yap Kun Liong, cepat merangkulnya dan berbisik, "Kau tenanglah..."

"Lie Seng!" Bun Houw membentak keponakannya. "Begitukah sikap seorang pria gagah? Kau hendak mencemarkan nama keluarga, hendak menghancurkan hati ibu kandungmu, hendak membela seorang perempuan hina macam Sun Eng?"

"Paman, cukuplah segala omong kosong ini!" Lie Seng membentak, mukanya merah dan matanya liar. "Apakah paman hendak mengulangi lagi riwayat menyedihkan dari keluarga kita? Lupakah paman betapa mendiang kongkong juga pernah melarang paman menikah dengan bibi In Hong? Dan bagaimana sikap paman sendiri? Paman rela meninggalkan keluarga demi bibi In Hong karena paman mencintainya! Sekarang kenapa paman begitu tidak mau melihat kenyataan dan hendak bersikap tidak adil, menentang perjodohanku dengan wanita yang kucinta?"

"Anak bodoh! Dengan aku urusannya lain sama sekali! Bibimu In Hong adalah seorang wanita suci, baik-baik dan gagah! Tentu saja aku melindunginya dan rela meninggalkan keluarga..."

"Itu adalah karena paman mencintainya! Paman menganggap bibi In Hong wanita paling baik di dunia! Aku pun demikian. Aku menganggap Eng-moi wanita paling baik di dunia karena aku mencintanya dan siapa pun tidak boleh mengganggunya, seperti paman dulu membela dan melindungi bibi In Hong! Ahhh, betapa kalian telah kehilangan keadilan! Ibu, kalau ibu tidak setuju aku berjodoh dengan Eng-moi, biarlah aku pergi saja!"

"Seng-ji... apakah engkau mengira ibumu tidak ingin melihat anaknya bahagia hidupnya? Engkau keliru, nak. Aku melihat bahwa engkau hendak melakukan keputusan yang keliru, engkau akan menderita dan sengsara kalau engkau mengambil seorang wanita yang hina sebagai isterimu! Sebab itu aku melarang. Ibu mana yang benar-benar mencinta anaknya tak akan melarang kalau melihat anaknya itu mendekati tempat berbahaya yang mungkin akan mencelakakannya? Menurut cerita pamanmu tadi, wanita itu tak patut menjadi untuk calon isterimu. Dia pernah menyeleweng, tidak saja secara tak tahu malu menggoda guru sendiri, akan tetapi juga sudah hidup sebagai seorang pelacur, menjadi kekasih banyak orang! Bagaimana mungkin aku mempunyai mantu seperti itu?"

"Tetapi ibu! Mengapa ibu memandang Eng-moi dengan bayangan riwayat yang lalu itu? Pandanglah Eng-moi sekarang ini sebagai calon mantu ibu, sebagai kekasihku, sebagai wanita yang saling cinta denganku. Eng-moi yang dahulu sama sekali tidak sama dengan Eng-moi sekarang!"

"Tidak... tidak... aku tidak bisa merestui..." Giok Keng semakin pucat dan dia tentu sudah roboh kalau tidak dirangkul suaminya.

"Kalau begitu, selamat tinggal, ibu. Aku lebih memilih hidup bersama dengan Eng-moi dari pada harus hidup di dekat keluarga akan tetapi harus jauh dari orang yang kucinta!" Lie Seng kemudian bangkit berdiri sambil merangkul pinggang kekasihnya, "Eng-moi, marilah kita pergi!"

Sun Eng melangkah dengan tubuh lemas dan kaki gemetar, mukanya ditundukkan. Terlalu hebat dan menegangkan peristiwa yang kini dihadapinya dan diam-diam dia merasa amat terharu atas sikap Lie Seng yang betul-betul telah membelanya seperti itu. Dia menangis sambil berjalan terhuyung dalam rangkulan Lie Seng.

"Seng-ji... ahhh, Seng-ji...!" Cia Giok Keng menjerit dan ibu yang terguncang batinnya ini menjadi lemas.

Melihat isterinya pingsan, Yap Kun Liong segera memondongnya dan merebahkannya di atas kursi panjang kemudian mengurut punggung serta tengkuknya sehingga nyonya itu mengeluh dan siuman kembali.

Bun Houw meloncat dan sekali bergerak saja dia sudah menghadang Lie Seng. Dengan alis berkerut dan kedua mata bersinar tajam dia berkata, "Seng-ji, aku tidak ingin melihat keponakanku menjadi anak durhaka! Lihat, ibumu sampai menderita hebat akibat ulahmu. Hayo kau kembali kepada ibumu dan biarkan perempuan ini pergi sendiri!"

Lie Seng yang sudah marah itu memandang pamannya dengan bengis. "Paman Cia Bun Houw, engkau dulu tidak takut terhadap ancaman mendiang kongkong, apa kau kira aku kini takut menghadapi ancamanmu untuk melindungi kekasihku? Jika engkau mau bunuh, majulah, dan jangan engkau mengeluarkan kata-kata kasar terhadap calon isteriku!"

Bun Houw sudah bergerak hendak menyerang. Dia bermaksud turun tangan membunuh Sun Eng yang menjadi biang keladi keributan itu. Akan tetapi nampak sesosok bayangan berkelebat dan Ciauw Si sudah berdiri di samping kakaknya.

"Paman, jangan...!" seru dara ini. Melihat keponakannya yang perempuan juga membela Lie Seng, Bun Houw menjadi tertegun dan bingung.

"Houw-ko...!" Tiba-tiba terdengar keluhan panjang.

Bun Houw terkejut sekali dan cepat menengok. Dia melihat isterinya memejamkan mata, memegangi perutnya dan kelihatan limbung.

"Hong-moi...!" Bun Houw cepat meloncat mendekati isterinya dan merangkul. "Kau... kau kenapa, Hong-moi...?"

"Aku... perutku...ahhh, sakit...!"

Cia Giok Keng cepat menghampiri. "Bawa dia masuk... jangan-jangan dia akan segera melahirkan...!"

Bun Houw terkejut dan cepat memondong isterinya lalu membawanya masuk ke dalam kamar. Sementara itu Lie Seng sudah menggandeng tangan Sun Eng dan mengajaknya lari pergi dari tempat itu.

"Seng-ji...!" Cia Giok Keng berseru, kemudian menangis dalam rangkulan suaminya ketika puteranya itu tidak mau menoleh dan berlari terus di samping kekasihnya.

Ciauw Si lalu mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya, dia pun menangis terisak menyaksikan kedukaan ibunya. Semenjak tadi dara ini mendengarkan semua peristiwa itu dengan bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Diam-diam dia teringat kepada Pangeran Ceng Han Houw dan hatinya terasa ngeri.

Betapa pun juga, ibunya telah dituduh sebagai pemberontak hingga menjadi orang buruan pemerintah, maka sedikit banyak tentulah ibunya membenci para pangeran dan keluarga kaisar. Bila dia kelak menghadap ibunya bersama dengan Pangeran Ceng Han Houw dan memperkenalkannya sebagai calon suaminya, dia ngeri kalau membayangkan apa yang akan menjadi sikap ibunya.

Pertemuan keluarga yang tadinya diharapkan akan mendatangkan rasa gembira bahagia itu berubah menjadi suasana yang amat menyedihkan. Peristiwa semacam ini akan selalu terjadi apa bila manusia terlalu mementingkan diri sendiri masing-masing.

Betapa banyaknya orang-orang tua yang berkeras dengan sikap mereka yang menolak pilihan calon isteri atau suami dari anak mereka. Tentu saja mereka ini, orang-orang tua ini, merasa yakin bahwa sikap mereka itu terdorong oleh perasaan ingin membahagiakan anak, seperti juga Cia Giok Keng yang merasa yakin bahwa puteranya akan celaka, akan cemar, akan sengsara kalau melanjutkan perjodohannya dengan Sun Eng yang dianggap tidak patut menjadi isteri puteranya!

Namun sesungguhnya, di dasar lubuk hati orang-orang tua seperti ini terdapat perasaan mementingkan diri sendiri yang amat besar! DIA lah yang akan merasa sengsara, kecewa dan tidak puas apa bila perjodohan itu dilanjutkan, DIA lah yang akan merasa terhina, tercemar, dan malu!

Sesungguhnya, perjodohan adalah urusan antara dua orang yang hendak menjalaninya, urusan dua orang yang terikat oleh rasa kasih sayang, dan orang lain sama sekali tidak berhak ikut mencampurinya! Orang-orang tua yang bijaksana, yang benar-benar mencinta anaknya, tak akan mementingkan perasaan hatinya sendiri, tak akan menuruti seleranya sendiri saja. Namun bukan berarti bahwa orang tua harus tidak peduli, bersikap masa bodoh, bukan demikian.

Orang tua sudah selayaknya kalau memperingatkan anaknya agar anaknya jangan salah pilih, agar anaknya itu memilih dengan dasar cinta kasihnya, bukan hanya dorongan nafsu birahi yang tertarik oleh lahiriah belaka. Namun, semua ini dilakukan demi si anak, bukan demi kepentingan perasaan sendiri dan lepas dari pada selera sendiri. Namun semua keputusan terakhir haruslah diberikan kepada si anak yang hendak menjalani perjodohan itu! Si anaklah yang memilih calon jodohnya, si anak sendiri pula yang kelak langsung menghadapi segala akibatnya!

Kita condong untuk menganggap bahwa orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidup itu adalah orang yang selamanya tidak akan baik! Kita begitu pendendam terhadap orang lain, sebaliknya begitu murah hati terhadap diri sendiri sehingga semua kesalahan sendiri akan mudah saja dimaafkan, bahkan dibela dengan berbagai alasan! Kesalahan diri sendiri berarti kesalahan keluarga sendiri pula, yang bisa dikembangkan menjadi kelompok sendiri, teman sendiri, sekaum, sesuku, sebangsa dan sebagainya. Semua itu bersumber kepada pemusatan kepada si aku.

Mengapa kita tidak ingat bahwa setiap orang manusia di dunia ini sudah pasti pernah melakukan kesalahan, termasuk diri kita sendiri? Kenapa kita tidak mau membuka mata melihat kenyataan bahwa hidup ini adalah suatu gerakan terus menerus, sehingga kita tidak mungkin bisa menilai kehidupan seseorang dari satu peristiwa atau satu perbuatan saja? Orang-orang tua yang terlalu mementingkan dirinya sendiri tidak merasakan ini, dan mereka itu beranggapan bahwa mereka menoleh atau memilih calon jodoh anaknya demi untuk kebahagiaan anaknya! Betapa piciknya anggapan seperti ini!

Orang-orang tua yang beranggapan seperti itu agaknya menganggap kehidupan anaknya itu sebagai sesuatu yang mati, sesuatu yang tidak berubah-ubah lagi, sesuatu yang telah dapat dirumuskan dan dipastikan! Maka mereka ini merasa dapat menentukan bahwa kalau anaknya berjodoh dengan orang ini kelak akan hidup sengsara dan kalau berjodoh dengan orang itu barulah akan berbahagia! Betapa picik dan dangkalnya pendapat seperti ini!

Perjodohan, seperti urusan apa pun juga di mana terdapat hubungan antara manusia, seperti persahabatan dan sebagainya, sudahlah tepat dan benar di mana ada landasan cinta kasih! Dan cinta kasih sama sekali bukanlah pementingan diri sendiri! Bahkan di mana ada keinginan menyenangkan diri sendiri, di sana tidak mungkin ada cinta kasih, yang ada hanyalah cinta terhadap diri sendiri untuk mencari kesenangan, lantas segala sesuatu di luar dirinya hanya akan diperalat untuk mencapai kesenangan diri sendiri itu!

Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa orang tua hanya akan memejamkan mata saja. Tidak, orang tua harus mengamati dan memperingatkan, menunjukkan apa bila anaknya memilih secara membuta, kalau anaknya hanya terbuai oleh nafsu birahi semata, terbuai oleh kemilaunya emas atau kedudukan atau keelokan rupa belaka. Tetapi, bila orang tua melihat cinta kasih yang menghubungkan anaknya dengan orang yang dipilihnya, maka orang tua yang bijaksana akan menyetujui tanpa memasukkan pendapat-pendapatnya sendiri tentang pilihan anaknya itu!

Beberapa hari kemudian setelah terjadi peristiwa yang menimbulkan kedukaan di antara keluarga pendekar itu, Yap In Hong melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Dan atas usul para pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yang lama-lama merasa khawatir juga kalau-kalau akan ketahuan dan akan dianggap menyembunyikan buruan pemerintah, juga atas persetujuan para pendekar yang maklum bahwa mereka menaruh perkumpulan itu di tempat yang berbahaya, mereka lalu pindah dan tinggal di sebuah lereng bukit di seberang Sungai Min-kiang. Di lereng sunyi itu didirikan dua buah rumah kecil, di pinggir sebuah dusun yang menjadi tempat tinggal para petani yang merangkap pula sebagai nelayan-nelayan Sungai Min-kiang, dan di situlah mereka tinggal.

Lie Ciauw Si membantu ibunya dan pamannya pindah, dan sepekan kemudian sesudah mereka pindah, dia berpamit untuk mengulang lagi perjalanannya yang tertunda karena pertemuannya dengan Lie Seng, yaitu ke kota raja. Dia akan mencari Pangeran Ceng Han Houw untuk minta pertolongan pangeran itu, supaya ibu dan pamannya sekeluarga dapat dibebaskan dari tuduhan memberontak.

Tinggal mondok di rumah orang lain, betapa pun baiknya orang yang mempunyai rumah itu, memang merupakan hal yang amat tidak enak. Apa lagi bagi suami isteri, dua pasang pendekar itu. Bahkan semakin baik pemilik rumah, makin sungkanlah hati mereka.

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Oleh karena itu, sesudah kini pindah dan tinggal di dalam dusun kecil di lereng bukit itu, Yap Kun Liong yang tinggal serumah dengan isterinya, dan Cia Bun Houw yang tinggal di dalam rumah lain bersama isterinya serta anaknya, merasa gembira dan tenteram. Dua orang pendekar sakti itu berpakaian seperti para petani, bahkan mereka juga bertani, bahkan kadang-kadang juga ikut pula mencari ikan seperti para penduduk dusun itu. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa musuh besar mereka tidak pernah mengenal lelah dalam mencari jejak mereka.

Tadinya, Kim Hong Liu-nio memusuhi keluarga Cin-ling-pai terutama orang-orang she Cia dan Yap hanya karena tugasnya sebagai murid dari Hek-hiat Mo-li, dan dia menganggap para pendekar Cin-ling-pai itu sebagai musuh-musuh gurunya yang harus dibasminya.

Akan tetapi sekarang, wanita cantik ini mencari-cari musuh-musuhnya bukan hanya demi membalas sakit hati gurunya, melainkan terutama sekali karena dendam pribadinya atas kematian kekasihnya, yaitu mendiang Panglima Lee Siang.

Sesudah dia menggunakan kecantikannya dan dapat memikat hati kaisar sehingga selain menjadi wanita gagah penyelamat kaisar juga kini menjadi wanita cantik penghibur kaisar, dia memperoleh kekuasaan memimpin pasukan besar untuk mencari musuh-musuh yang telah berhasil dicapnya sebagai para pemberontak dan buronan itu. Kim Hong Liu-nio tak pernah berhenti mencari dan menyebar mata-matanya sehingga akhirnya tahulah dia di mana tempat sembunyi para musuhnya yang amat dibencinya itu!

Yap In Hong, ibu muda yang baru satu bulan melahirkan, dengan wajah berseri pulang dari pasar. Wajahnya cantik jelita dan gilang-gemilang seperti biasanya wanita muda yang menyusui anaknya dan belum lama melahirkan. Memang ada cahaya yang aneh selalu nampak pada wajah wanita yang mulai mengandung tua dan sampai dia melahirkan dan menyusui bayinya, cahaya berseri yang membuat wajahnya cantik menarik dan gemilang.

In Hong baru saja kembali dari pasar. Dia tadi berangkat pagi sekali membawa hasil ikan yang semalam diperoleh suaminya bersama para nelayan lain. Memang kadang-kadang dialah yang membawa ikan hasil tangkapan suaminya itu ke pasar, untuk dijual kemudian dibelikan bahan-bahan atau bumbu-bumbu masak lainnya.

Hidup sebagai seorang dusun, yang bebas dan tenang ini, benar-benar amat disukainya, dirasakannya begitu aman dan jauh sengketa, tidak seperti kehidupan wanita kang-ouw yang selalu harus mempergunakan kekerasan karena dunianya adalah dunia kekerasan. Begitu ringan langkah In Hong, seringan hatinya yang riang sekali di pagi hari itu sehingga hampir dia bernyanyi-nyanyi kalau saja dia tidak merasa malu karena kadang-kadang dia bertemu dengan penduduk dusun yang pergi ke ladang.

Ketika dia tiba di luar dusun, dari jauh dia melihat seorang wanita yang berjalan perlahan dengan tenang. Dari jauh saja In Hong sudah merasa sangat tertarik dan terheran. Dia dapat melihat bahwa wanita itu memakai pakaian yang indah, jelas bukan seorang wanita dusun. Sama sekali bukan, karena dari jauh saja sudah kelihatan betapa rambut wanita itu digelung indah dan di rambut itu nampak kilauan permata dan kedua lengannya juga memakai gelang emas yang berkilauan.

Setelah mereka saling berhadapan, barulah hati In Hong terkejut bukan main! Dari jauh tadi dia tidak mengenal wanita cantik ini, akan tetapi setelah dekat, melihat pedang yang tergantung di pinggang ramping itu, melihat kayu salib tergantung di punggung, barulah dia teringat bahwa wanita ini adalah musuh besar keluarga Cin-ling-pai Kim Hong Liu-nio!

Juga Kim Hong Liu-nio terkejut bukan kepalang setelah dia berhadapan dengan In Hong, karena dia pun tidak menyangka bahwa wanita dusun yang cantik dan kelihatan riang itu bukan lain adalah Yap In Hong, seorang di antara musuh-musuhnya yang terlihai! Baru satu kali dia bertemu dengan pendekar wanita gagah perkasa ini, maka tadi dia pun tidak mengenal In Hong, apa lagi karena pendekar itu memakai pakaian seorang wanita dusun.

Begitu mengenal musuh besar ini, maka giranglah hati Kim Hong Liu-nio. Memang dia baru memperoleh berita dari seorang di antara para penyelidik yang disebarnya di seluruh daerah bahwa keempat orang musuh besar yang sudah dicapnya sebagai pelarian dan buronan pemberontak itu berada di dusun itu. Begitu mendapat berita ini dia segera pergi sendiri mengadakan penyelidikan. Sungguh tidak disangkanya bahwa dia akan berjumpa dengan Yap In Hong di luar dusun.

Tadinya dia sudah merasa putus asa karena tak ada seorang pun penduduk dusun yang sederhana itu yang mengenal keempat nama pendekar yang dicarinya itu. Hal ini adalah karena memang dua pasang suami isteri pendekar itu mempergunakan nama palsu dan memang kehidupan mereka selayaknya petani-petani dan nelayan-nelayan biasa, sama sekali tidak seperti pendekar.

"Bagus, kiranya para pemberontak bersembunyi di dusun ini!" katanya sambil tersenyum mengejek.

Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang tinggi sekali ilmu silatnya, bahkan dia telah mewarisi hampir semua kepandaian subo-nya, maka bertemu dengan hanya seorang saja di antara musuh-musuhnya, dia sama sekali tidak merasa gentar. Apa lagi dia memang telah menyiapkan pasukan yang setiap waktu akan dapat membantunya, yang kini sudah memasang barisan pendam di sekitar tempat itu, sudah mengurung dusun itu dengan ketat!

Kekagetan hati In Hong juga hanya sebentar saja. Mendengar ucapan Kim Hong Liu-nio, dia sudah menjadi marah sekali. Tentu saja dia tidak takut menghadapi musuh ini. Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita yang sakti, yang sukar dicari tandingannya. Biar pun semenjak dia mengalami guncangan batin akibat kemunculan Lie Seng yang hendak memperisteri Sun Eng, muridnya yang murtad itu kemudian dia melahirkan anak agak di bawah waktu, membuat kesehatannya terganggu dan dia belum boleh terlampau banyak mengerahkan tenaga, namun dia sama sekali tidak menjadi jeri.

"Iblis betina, kalau engkau tidak menemukan kami akhirnya akulah yang akan mencarimu untuk membunuhmu dengan tanganku sendiri!"

Kim Hong Liu-nio tersenyum mengejek. Kedua tangannya yang kecil dan yang memakai sarung tangan tipis, yang tak kentara sebab warnanya sama dengan kulitnya itu bergerak perlahan mengeluarkan beberapa batang hio. Sekali jari yang kecil-kecil itu memegang tangkai hio dan kedua tangannya bergerak, terdengarlah benturan dua buah gelangnya, terdengar nyaring dan nampak api bernyala dan... bagaikan main sulap saja, hio-hio di tangannya itu telah terbakar ujungnya dan terciumlah bau harum!

In Hong tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi, akan tetapi dia tidak merasa heran. Sebagai seorang pendekar wanita yang sudah banyak menjelajah di dunia kang-ouw, dia sudah banyak melihat hal-hal yang aneh. Biar pun dia tidak tahu bagaimana akal musuh itu membakar hio, namun dia mengerti bahwa tentu ada cara tertentu dan dia tidak perlu merasa heran.

Memang benarlah dugaannya. Di ujung hio-hio yang istimewa itu memang telah dipasangi obat bakar, maka sekali terkena sentuhan benda keras, ujung-ujung hio itu akan terbakar. Semua ini dilakukan oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengikat perhatian lawannya, karena tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak dan nampak sinar-sinar terang meluncur seperti kembang-kembang api ke arah jalan-jalan darah di bagian depan tubuh In Hong!

Inilah keistimewaan Kim Hong Liu-nio, dan itulah bahayanya hio-hio itu. Pertama-tama dia bermain sulap dengan pembakaran hio sehingga calon korbannya menjadi lengah karena perhatiannya tertarik pada sulapan itu sehingga kalau tiba-tiba diserang dengan sambitan hio-hio itu lawan akan terkejut dan sukar menyelamatkan diri.

Namun, In Hong bukanlah seorang pendekar biasa. Semenjak tadi pun dia sama sekali tidak merasa heran, maka dia masih terus bersikap waspada dan kedua matanya dengan mudah sekali dapat menangkap gerakan tangan lawan dan luncuran hio-hio itu.

Memang serangan itu berbahaya sekali, maka In Hong juga tidak berani bersikap lambat. Dia tidak berani pula menangkis karena dia belum mengenal sifat hio-hio yang digunakan oleh lawan sebagai senjata-senjata rahasia itu. Maka dia sudah mengenjotkan kakinya ke atas tanah dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan hio-hio itu lewat di bawah tubuhnya.

Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio masih menyambitkan sisa-sisa hio mengejar tubuh In Hong sehingga kini pendekar wanita itu terpaksa harus melayang lagi ke bawah dengan kepala lebih dulu dan dia menggunakan kedua tangannya untuk menyampok dan menggunakan hawa pukulannya membuat hio-hio itu runtuh ke atas tanah. Di lain saat In Hong sudah turun lagi ke atas tanah dengan sikap tenang, namun wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, tanda bahwa gerakan-gerakan tadi membuat tubuhnya yang belum sehat benar itu menjadi lelah.

Dia marah sekali melihat kesombongan dan kecurangan wanita iblis itu. Maka, sekarang tangannya tiba-tiba saja bergerak dan sinar hijau yang mendatangkan hawa dingin sudah melesat dan menyambar ke arah muka dan dada lawannya.

Kim Hong Liu-nio juga cepat meloncat ke kiri untuk menghindarkan dirinya dan wanita ini tersenyum lebar. Dia dapat melihat dengan pandang matanya yang tajam itu betapa wajah lawannya pucat dan napasnya pun memburu, juga serangan dengan Siang-tok-swa (Pasir Beracun Wangi) itu dilakukan tidak dengan tenaga sepenuhnya.

Tahulah dia bahwa wanita cantik yang wajahnya berseri gemilang ini sebenarnya sedang dalam keadaan tidak sehat benar. Maka dia pun cepat menubruk maju. Dia harus dapat membunuh wanita musuh besar gurunya dan juga musuh pribadinya ini sebelum yang lain-lain muncul!

"Cring-cringgg...!"

Gelang-gelang yang menghias pergelangan tangan Kim Hong Liu-nio mengeluarkan bunyi nyaring dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan bersilang. Telapak tangan yang putih halus itu perlahan-lahan berubah kemerahan, dan semakin lama makin menghitam ketika wanita itu mulai melancarkan pukulan-pukulan dengan tamparan-tamparan tangan terbuka. Terdengar suara angin bersuitan tanda bahwa di dalam tamparan-tamparan itu terkandung tenaga dahsyat,

Melihat warna kedua telapak tangan itu, In Hong segera maklum bahwa lawannya telah menyerangnya dengan pukulan beracun! Namun dia tidak menjadi gentar. Dengan lincah dia menggeser kaki, membiarkan tamparan-tamparan itu lewat dan yang terlalu dekat lalu ditangkisnya dengan gerakan tangan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang.

"Plak-plak-plakk!"

Pertemuan antara dua pasang tangan yang sama kecil dan halus kulitnya itu merupakan pertemuan dua tenaga dahsyat yang mengakibatkan tubuh Kim Hong Liu-nio terdorong ke belakang. Namun In Hong merasa betapa kulit tangan yang bertemu dengan lawan itu panas dan nyeri sehingga perasaan nyeri ini kelihatan pada wajahnya yang pucat, atau nampak pada bibirnya yang bergerak. Hal ini dapat dilihat oleh Kim Hong Liu-nio. Wanita ini tertawa merdu dan kembali menubruk dengan pukulan-pukulan yang lebih hebat lagi.

In Hong kembali mengelak dan kini dia pun membalas dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya. Sesungguhnya, kalau saja In Hong tidak sedang dalam keadaan lemah, Kim Hong Liu-nio tentu akan menghadapi lawan yang luar biasa kuatnya karena nyonya muda ini bahkan pernah mengalahkan subo-nya, Hek-hiat Mo-li. Walau pun Kim Hong Liu-nio sudah mewarisi ilmu kepandaian nenek bermuka hitam itu, namun dasar ilmu silatnya dari golongan sesat itu tidak mungkin mampu mengatasi dasar ilmu silat In Hong yang kuat dan murni.

Akan tetapi, ibu muda itu sedang lemah, dan kini Kim Hong Liu-nio sudah memperoleh kemajuan pesat karena dia selalu menggembleng diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi, maka perkelahian ini membuat In Hong cepat merasa lelah hingga gerakan-gerakannya kurang kokoh. Beberapa kali ibu muda ini terhuyung bila mana mereka saling mengadu tenaga dengan pertemuan tangan.

"Plakkk! Plakkk!"

Kembali dua tangan mereka bertemu dua kali dan akibatnya, In Hong yang terhuyung. Kalau dalam pertemuan pertama kali tadi Kim Hong Liu-nio yang terhuyung, kini keadaan menjadi membalik, tanda bahwa tenaga ibu muda itu makin berkurang atau tidak berani mengerahkan seluruh tenaga karena begitu dia mengerahkan tenaga, perutnya langsung terasa sakit dan kepalanya pening.

"Hik-hik-hik, mampuslah engkau!" Kim Hong Liu-nio yang melihat lawan terhuyung lantas menerjang, mengirim tamparan cepat ke arah kepala lawan.

Melihat ini, kembali In Hong menangkis sambil mundur, namun dia tidak tahu bahwa di belakangnya terdapat sebuah batu. Maka kakinya menginjak permukaan batu licin dan dia pun tergelincir dan jatuh!

Terdengar suara ketawa merdu dan wanita iblis itu sudah menubruk dan menghantamkan kakinya ke arah kepala In Hong! Namun ibu muda yang sudah dalam keadaan berbahaya ini, cepat menggulingkan tubuhnya sehingga terluput dari injakan kaki lawan.

Kim Hong Liu-nio merasa penasaran, meloncat lantas menendang sambil terus mengejar ke arah mana tubuh lawan bergulingan. Setiap kali In Hong hendak meloncat bangun, dia menghantam dengan kedua tangannya yang ditangkis oleh In Hong sehingga kembali ibu muda ini terguling. Keadaan Yap In Hong sungguh terancam bahaya maut!

Akan tetapi pada saat itu pula nampak bayangan putih berkelebat dan tiba-tiba muncullah pendekar Cia Bun Houw di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa marahnya pendekar ini melihat isterinya yang dia tahu masih belum sehat benar itu didesak hebat oleh wanita yang dikenalnya sebagai musuh besar keluarganya.

"Hong-moi, mundurlah dan serahkan iblis ini kepadaku!" bentaknya.

Sekali dia meloncat, dia sudah berada di depan Kim Hong Liu-nio dan mengirim pukulan dengan tangan kirinya. Hebat bukan main pukulan yang datang ini, mengandung tenaga dahsyat sekali. Kim Hong Liu-nio terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi pukulan aneh itu terus mengejarnya sehingga terpaksa dia menangkis.

"Dukkk!"

Tubuh Kim Hong Liu-nio tergetar sehingga dia pun terpaksa meloncat ke belakang untuk mematahkan tenaga amat dahsyat yang mendorongnya secara hebat itu. Hatinya merasa menyesal sekali. Mengapa dia tidak cepat-cepat menewaskan Yap In Hong tadi?

Harus diakuinya bahwa dia tadi sengaja hendak mempermainkan nyonya itu lebih dahulu untuk memuaskan hatinya. Apa bila dia tadi menghendaki, tentu sudah dapat membunuh musuh besar itu. Kini muncul suami wanita itu, Cia Bun Houw yang memiliki kepandaian hebat sekali sehingga kini dialah yang terancam bahaya.

"Siluman betina, engkaulah biang keladi kematian ayahku! Kini bersiaplah untuk mampus di tanganku!" kata Bun Houw yang tidak mau memberi kesempatan kepada lawan. Kini pendekar itu sudah menyerang lagi dengan pukulan-pukulan dahsyat yang membuat Kim Hong Liu-nio terdesak hebat.

Wanita itu amat menyesal tidak sempat untuk melarikan diri, karena pendekar itu sudah menerjang dirinya dan mengirim pukulan bertubi-tubi, setiap pukulan merupakan serangan maut yang hebat sekali sehingga diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main.

Dahulu dia pernah berhadapan dengan ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar sakti Cia Keng Hong yang amat sakti, dan kini puteranya ini ternyata mempunyai kelihaian yang agaknya tidak kalah oleh ayahnya itu! Celaka, pikirnya, mengapa dia begini ceroboh, berani datang sendirian saja menghadapi orang-orang yang sakti seperti ini? Belum lagi kalau muncul pendekar Yap Kun Liong dan isterinya!

Maka dia pun segera menggerakkan kaki tangannya dan menghadapi desakan Cia Bun Houw sambil mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya, mengandalkan keampuhan sarung tangan yang melindungi kedua tangannya. Memang, tanpa perlindungan sarung tangan itu, tentu kedua tangannya tak akan kuat menghadapi sepasang tangan Cia Bun Houw yang ampuh.

Sementara itu, pada saat melihat suaminya muncul tadi, Yap In Hong yang tadinya masih bergulingan, lalu bangkit duduk dan bersila, mengatur napas mengumpulkan hawa murni, selain untuk menjaga supaya di sebelah dalam tubuhnya tidak sampai terluka, juga untuk memulihkan tenaganya. Oleh karena dia memang belum pernah terkena pukulan secara langsung, maka dia tidak menderita luka sehingga sebentar saja keadaannya sudah pulih kembali.

Dia membuka mata, melihat betapa suaminya mendesak wanita iblis itu. Dia tahu bahwa tidak lama lagi suaminya tentu akan mampu merobohkan Kim Hong Liu-nio. Kini timbullah perasaan marah di hatinya.

Wanita itu tadi nyaris membunuhnya, menggunakan kesempatan saat dia dalam keadaan tidak sehat. Hal ini dianggapnya sebagai penghinaan sehingga menimbulkan kemarahan di hatinya. Dia lalu bangkit dan menghampiri tempat perkelahian itu.

"Jangan bunuh dia dulu, aku harus memberi satu dua pukulan dahulu kepada iblis betina ini!" katanya dan nyonya muda ini lalu ikut menerjang ke depan, menghantamkan kedua tangannya dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mempergunakan seluruh tenaga, hanya seperempat bagian saja.

Kim Hong Liu-nio tentu saja makin terdesak. Baru melawan sang suami itu saja dia telah kewalahan, apa lagi kini sang isteri maju mengeroyoknya! Dia berusaha untuk menangkis, tahu akan kelemahan Yap In Hong, akan tetapi tangkisannya itu terhenti oleh tangan Bun Houw dan pukulan In Hong datang menuju ke dadanya. Dia miringkan tubuh tetapi tidak mampu menghindarkan diri.

"Bukkk!"

Pundaknya kena pukulan In Hong itu. Memang tidak dengan tenaga sepenuhnya, namun cukup hebat tenaga Thian-te Sin-ciang yang hanya seperempat bagian itu dan Kim Hong Liu-nio merasa dadanya sesak, tubuhnya terjengkang!

Akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan ketika dia hendak melarikan diri, Cia Bun Houw sudah menghadangnya! Agaknya pendekar ini yang tahu akan kemarahan isterinya, ingin memuaskan hati isterinya itu, karena itu dia tidak merobohkan wanita ini dan kembali dia menahan dengan tangannya ketika isterinya melakukan tamparan keras.

Kim Hong Liu-nio berusaha mengelak, namun kembali gerakannya tertahan oleh tangan Bun Houw sehingga dia tidak mampu menghindarkan diri ketika tamparan nyonya muda itu mengenai punggungnya.

"Plakkk!"

Kim Hong Liu-nio kembali terpelanting dan sekali ini dia muntahkan darah segar, lalu dia bangkit sambil mengeluarkan teriakan melengking berkali-kali dan menggunakan seluruh tenaganya untuk menangkis pukulan-pukulan suami isteri yang terus mendesaknya itu. Dia tahu bahwa kalau tidak segera datang bala bantuan yang sudah dipanggilnya melalui suara lengkingan tadi, tentu dia akan binasa. Melarikan diri pun tidak ada gunanya karena pendekar Cia Bun Houw itu benar-benar hebat!

Kembali suami isteri itu memukul dari depan. Kim Hong Liu-nio segera menyilangkan dua tangannya, hendak mengandalkan gelang-gelangnya untuk menangkis. Pada saat itu juga terdengar teriakan,

"Jangan bunuh dia...!" Dan nampaklah seorang pemuda remaja datang berlari-lari dengan cepat sekali ke tempat itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong!

Seperti kita ketahui, Sin Liong yang ingin melindungi Bi Cu terpaksa mengantar Ceng Han Houw bertemu dengan Ouwyang Bu Sek sesuai dengan janjinya. Dan setelah suheng-nya menerima pangeran itu, Sin Liong segera meninggalkannya dan pemuda ini pergi mencari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio.

Dia mendengar bahwa musuh besarnya itu sekarang memimpin pasukan dan melakukan pencarian untuk memburu keluarga Cin-ling-pai yang dituduh memberontak. Maka tidak begitu sukar baginya untuk mengikuti jejak wanita itu dan akhirnya dia mendengar bahwa wanita itu berada di pegunungan dekat Sungai Min-kiang Propinsi Hok-kian itu.

Saat dia tiba di luar dusun dan melihat betapa Kim Hong Liu-nio dikeroyok oleh pendekar Cia Bun Houw dan isterinya, dan keadaan wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu terdesak hebat dan robohnya sudah boleh dipastikan akan terjadi tak lama lagi, terjadi hal aneh dalam hati Sin Liong yang mendorongnya untuk berteriak mencegah suami isteri itu membunuh wanita iblis itu! Ada dua hal yang menimbulkan perasaan ini di hati Sin Liong.

Pertama-tama, ketika melihat wanita itu dikeroyok dan didesak hebat, teringatlah dia akan peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika dia, Bi Cu dan Tiong Pek putera mendiang Na Ceng Han terancam bahaya didesak oleh musuh-musuh yang menyerbu rumah keluarga Na itu. Pada waktu itu muncul pula Kim Hong Liu-nio ini yang membunuh para musuh itu sehingga bagaimana pun juga, wanita iblis ini pernah menyelamatkan nyawanya. Teringat akan hal itu, timbullah niatnya untuk sekali ini menolongnya pula dari ancaman kematian sebagai pembalasan atau pertolongannya dahulu itu!

Dan ke dua, ada rasa tidak rela di hatinya melihat wanita iblis ini akan terbunuh orang lain, biar pun orang lain itu adalah ayah kandungnya sendiri dan ibu tirinya! Dia ingin agar kematian wanita pembunuh ibu kandungnya dan pembunuh kakeknya itu di tangannya, bukan di tangan orang lain. Dialah yang harus menuntut balas kepada Kim Hong Liu-nio. Inilah sebabnya mengapa Sin Liong berteriak melarang mereka membunuh wanita iblis itu.

Akan tetapi Bun Houw dan In Hong yang tidak ingat lagi siapa adanya pemuda remaja itu, melihat pemuda itu berlari cepat sekali, mereka maklum bahwa pemuda itu mempunyai kepandaian pula dan menyangka bahwa pemuda itu tentulah kawan dari wanita iblis ini. Karena itu, maka Bun Houw dan In Hong memperhebat desakannya sehingga ketika Kim Hong Liu-nio menangkis dengan kedua tangannya dia terjengkang!

Melihat ini, Bun Houw segera menggerakkan tangannya, melakukan pukulan maut untuk membunuh wanita yang menjadi musuh keluarganya itu.

"Dukkk!"

Tangan pendekar itu bertemu dengan tangan Sin Liong dan Bun Houw merasa betapa lengannya tergetar keras. Dia terkejut, namun dia menggerakkan tangan kirinya, memukul lagi ke arah Kim Hong Liu-nio.

"Desss!"

Kembali Sin Liong menangkis dan sekali ini pertemuan tenaga antara mereka sedemikian kuatnya sehingga keduanya terdorong ke belakang! Kim Hong Liu-nio mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke belakang dan melarikan diri!

Bukan main marahnya hati Bun Houw pada waktu dia memandang kepada Sin Liong dan mengenal pemuda remaja ini sebagai anak yang dulu pernah dipelihara dan dididik oleh mendiang ayahnya di Cin-ling-san.

"Engkau...?!" bentaknya. "Engkau melindungi iblis itu...?"

"Aku tidak ingin orang lain membunuhnya...," jawab Sin Liong.

Sejenak kedua orang ini saling pandang dengan sinar tajam. Jantung Sin Liong berdebar rasanya. Inilah ayah kandungnya! Namun Bun Houw sama sekali tidak tahu akan hal ini dan dia hanya menganggap pemuda ini seorang yang tak tahu diri, yang sekarang malah membela musuh padahal anak ini tahu bahwa wanita tadi adalah biang keladi kematian ketua Cin-ling-pai!

"Bocah keparat, kau harus dihajar!" bentaknya dan dia sudah mengirim pukulan ke arah dada Sin Liong.

"Desss...!" Tubuh Sin Liong terlempar bergulingan.

"Houw-ko, jangan...!" In Hong berseru kaget.

Dia pun mengenal Sin Liong sebagai anak yang dahulu dicinta oleh mendiang Cia Keng Hong dan karena pernah menjadi murid ketua Cin-ling-pai itu, maka sebetulnya dia masih terhitung sute dan masih saudara seperguruan. Dia merasa khawatir kalau-kalau pukulan tadi menewaskan Sin Liong, karena dia tahu betapa hebatnya pukulan dari suaminya.

Akan tetapi, Sin Liong sama sekali tidak mati, bahkan tidak terluka oleh pukulan tadi. Dia tadi sudah mengerahkan sinkang-nya untuk melindungi dada sehingga tubuhnya menjadi seperti sebuah bola penuh hawa saja yang bisa dipukul hingga terpental dan bergulingan, namun tidak sampai melukainya, baik luka di luar mau pun di dalam.

Kini Sin Liong sudah meloncat bangun dan sepasang matanya memandang tajam, penuh rasa penasaran kepada Bun Houw. Ayah kandungnya ini sudah memukulnya, memukul anak kandung sendiri! Betapa kejamnya!

Bun Houw menjadi semakin marah dan penasaran ketika melihat betapa pukulannya tadi tidak merobohkan Sin Liong. Dia adalah seorang pendekar besar dan tentu saja hatinya tidak kejam. Dia tadi memukul dengan perhitungan yang masak sehingga pukulan itu tak akan membunuh dan yang dipukulnya bukanlah tempat berbahaya, namun cukup untuk merobohkan bocah itu.

Akan tetapi nyatanya bocah itu sama sekali tidak roboh bahkan terluka sedikit pun tidak. Dengan marah dia lalu menerjang kembali dan sekali ini dia memperkuat tenaga dalam pukulannya.

"Dukkk!"

Sekali ini Sin Liong menangkis dengan pengerahan tenaga pula, dan karena dia sudah mengerahkan tenaga yang lebih besar, maka akibatnya tubuh Bun Houw yang terjengkang ke belakang! Baiknya pendekar ini sudah cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting roboh. Matanya terbelalak karena dia tidak menyangka bahwa Sin Liong akan memiliki tenaga sekuat itu!

"Bocah setan...!" Dia memaki dan menyerang lagi.

Sin Liong cepat menggerakkan kaki mengelak dan menangkis. "Aku tidak ingin berkelahi denganmu!" katanya berkali-kali sambil terus mengelak dan menangkis, main mundur.

Bun Houw menjadi makin penasaran. Bocah ini hebat benar, semua serangannya dapat dilumpuhkan dengan elakan cepat dan tangkisan kuat!

Pada saat itu pula datang Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berlari-larian.

"Tahan, jangan berkelahi...!" Yap Kun Liong langsung berseru sesudah dia mengenal Sin Liong sebagai anak yang pernah diambil murid oleh ayah mertuanya.

Dia pun mengenal gerakan kaki anak itu yang bergerak dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun, akan tetapi dia tidak mengenal gerakan tangannya saat melancarkan tangkisan-tangkisan itu. Dia merasa amat heran melihat betapa Bun Houw yang telah mengerahkan tenaga sepenuhnya itu ternyata tak mampu merobohkan Sin Liong, dan setiap kali kedua tangan mereka saling bertemu, keduanya tergetar dan sama sekali tidak kelihatan anak itu kalah kuat!

Karena penasaran dan marah, Bun Houw tidak menghentikan serangan-serangannya biar pun sudah diteriaki oleh Kun Liong. Pada saat itu pula terdengar bunyi gemuruh kemudian datanglah pasukan besar yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio!

Melihat munculnya pasukan besar ini, empat orang pendekar itu terkejut bukan main dan otomatis Bun Houw menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah melompat jauh ke belakang. Bagaikan banjir yang datang mengamuk, pasukan itu langsung menerjang, dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio sendiri yang tadi merasa terheran-heran melihat Sin Liong bertanding melawan Cia Bun Houw.

"Larilah kalian! Lekas, larilah!" tiba-tiba Sin Liong berseru, seruan yang ditujukan kepada empat orang pendekar itu dan dia sendiri lantas berlari ke depan, menyambut datangnya para prajurit yang menyerbu!

Sejenak empat orang pendekar itu tertegun menyaksikan pemuda remaja itu mengamuk seperti seekor naga sakti. Sekali bergerak, kedua kakinya telah merobohkan empat orang prajurit dan kedua tangannya menangkap masing-masing seorang prajurit, lantas diputar-putarnya dan dilemparkan kepada para prajurit yang datang bagai air bah menyerang itu.

"Mari kita cepat pergi!" Yap Kun Liong berkata.

Keempat orang itu lalu berlari cepat memasuki dusun untuk mengambil anak bayi putera Bun Houw yang dititipkan kepada seorang wanita tua petani ketika ibunya pergi ke pasar tadi. Kemudian, In Hong menggendong anaknya dan melarikan diri keluar dari dusun itu dikawal oleh suaminya dan oleh Yap Kun Liong bersama isterinya.

Berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, mereka dapat berlari cepat sekali dan tentu saja pasukan itu tidak mampu menyusul mereka, sedangkan Kim Hong Liu-nio yang juga memiliki ginkang yang tinggi tidak berani melakukan pengejaran seorang diri saja karena empat orang buruan itu terlalu lihai baginya dan dia sendiri tidak mempunyai pembantu yang cukup pandai. Diam-diam dia menyesal mengapa dia tidak mengajak subo-nya.

Sementara itu Sin Liong terus saja mengamuk sampai lama untuk mencegah pasukan itu melakukan pengejaran. Setelah merasa cukup lama dan dia pun sudah terlampau banyak merobohkan prajurit tanpa membunuh mereka, Sin Liong lalu meloncat jauh dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio menghadangnya bersama beberapa orang perwira yang memiliki kepandaian lumayan.

"Engkau hendak lari ke mana?" Kim Hong Liu-nio menubruk sambil menggunakan kedua tangannya menyerang.

"Plakk! Plakk!"

Tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting. Para perwira cepat menyerang dan menghujankan senjata mereka kepada Sin Liong sehingga pemuda remaja itu tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan serangannya terhadap wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu. Dia lalu meloncat lagi dan dengan beberapa kali loncatan jauh dia lalu menghilang di balik hutan yang lebat.

Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan itu, alisnya berkerut dan dia terheran-heran. Bocah itu kini lihai bukan main, pikirnya. Akan tetapi dia tak mengerti bagaimana pendirian anak itu! Ketika dia terancam bahaya maut di tangan Cia Bun Houw dan Yap In Hong tadi, jelas bahwa anak itu sudah melindungi dan bahkan menyelamatkan dirinya dari ancaman maut, sampai anak itu bertanding melawan pendekar sakti Cia Bun Houw.

Padahal, menurut pengakuan anak itu dahulu, bukankah anak itu adalah putera kandung dari pendekar Cia Bun Houw? Mengapa anak itu menyelamatkan dia dan melawan ayah sendiri? Dan yang lebih aneh lagi, sesudah bocah itu melakukan hal yang luar biasa itu, mengapa tiba-tiba anak itu berbalik melindungi keempat orang pendekar buronan itu dan mengamuk, melawan pasukan kerajaan? Sungguh anak yang amat luar biasa sekali!

"Aku harus waspada terhadap dia... bocah itu berbahaya...!" Kim Hong Liu-nio mengepal tinju dan dia terpaksa lalu memerintahkan pasukannya untuk kembali dan tetap menyebar mata-mata untuk mengikuti jejak empat orang pendekar yang lolos itu.

                 ***************

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 34



SEMENTARA itu, Bun Houw, In Hong, Kun Liong dan Giok Keng yang melarikan diri juga terheran-heran melihat sikap Sin Liong. Kini mereka telah berhasil membebaskan diri dari pengejaran, dan sekarang sedang berjalan biasa karena In Hong masih terlampau lemah untuk melakukan perjalanan jauh sambil berlari cepat terus.

"Sungguh aku tidak mengerti anak itu!" kata Bun Houw sambil menggelengkan kepalanya. "Mula-mula dia melindungi iblis betina itu dan melawan kami, tapi kemudian dia berbalik melindungi kita dan melawan pasukan yang mengepung kita."

Yap Kun Liong menarik napas panjang. "Anak itu luar biasa sekali. Sekecil dia telah dapat memainkan Thai-kek Sin-kun dengan begitu baiknya, dan gerakan tangannya amat aneh, entah ilmu apa yang digunakannya ketika menangkis pukulan-pukulanmu tadi, Houw-te."

"Dia memiliki tenaga yang amat hebat pula...! Rasanya... rasanya... aku sendiri tidak akan mampu menandingi kekuatannya!"

Kata-kata Bun Houw ini membuat yang lain-lainnya terbelalak keheranan. Mereka semua tahu bahwa Bun Houw memiliki tenaga yang amat dahsyat dan pada jaman itu sukarlah mencari tokoh kang-ouw yang akan dapat menandinginya, akan tetapi sekarang pendekar ini mengaku bahwa dia kalah oleh seorang pemuda remaja! Tentu saja mereka menjadi terheran-heran akan tetapi juga bukan tidak percaya karena Bun Houw berbicara dengan serius.

"Betapa pun juga, kita harus berhati-hati kalau lain kali berjumpa dengan Sin Liong. Anak itu aneh dan kita tidak tahu bagaimana isi hatinya, sebentar menjadi lawan dan sebentar menjadi kawan," kata Yap In Hong.

Empat orang ini lalu berangkat menuju ke Propinsi Ce-kiang. Atas usul Yap In Hong dan suaminya, mereka akan bersembunyi di Bun-cou, yaitu di kota yang dulu menjadi tempat tinggal dia dan suaminya semenjak mereka berdua meninggalkan Cin-ling-san. Mereka pergi melakukan perjalanan seenaknya karena di antara mereka terdapat Cia Kong Liang, bayi yang baru berusia sebulan itu, putera dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong.

Biar pun sikap Sin Liong yang aneh itu mendatangkan keheranan dan dugaan-dugaan di dalam hati empat orang pendekar ini, tetapi diam-diam mulai tumbuh kebencian terhadap pemuda remaja itu. Terutama sekali dalam hati Bun Houw dan In Hong, karena bukankah anak itu yang mencegah mereka membunuh Kim Hong Liu-nio, musuh besar mereka, dan perbuatan anak itu mengakibatkan mereka harus kembali lari dari tempat tinggal mereka, karena Kim Hong Liu-nio masih hidup dan masih mengerahkan pasukan untuk mengejar mereka?

Sin Liong dianggap sebagai anak yang selain aneh akan tetapi juga merugikan, bahkan di lubuk hatinya, Bun Houw masih saja berpendapat bahwa gara-gara Sin Liong inilah maka ayahnya sampai meninggal dunia. Maka, sungguh pun kini di dalam sikap dan perbuatan Sin Liong itu terdapat dua hal yang berlawanan, di satu fihak merugikan karena pemuda itu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio dan di lain fihak menguntungkan karena pemuda itu telah melindungi mereka dengan melawan pasukan, namun segi buruknya lebih menonjol dan ini menimbulkan rasa tidak suka kepada anak itu. Terutama sekali karena dalam diri pemuda remaja itu Bun Houw melihat seorang lawan yang amat berbahaya.

                 ***************

Kita tinggalkan dulu empat orang pendekar bersama bayi yang melarikan diri dan mencari tempat persembunyian baru itu, dan meninggalkan Sin Liong yang kini mulai membayangi Kim Hong Liu-nio lagi untuk mencari kesempatan menemui wanita itu sendirian saja tanpa adanya pasukan yang melindunginya, untuk diajak bertanding dan membuat perhitungan. Sekarang mari kita ikuti perjalanan Ceng Han Houw, pangeran berdarah campuran yaitu ibunya Puteri Khamila adalah seorang puteri berbangsa Khitan sedangkan ayahnya, ayah kandungnya adalah mendiang Kaisar Ceng Tung.

Seperti sudah kita ketahui, Pangeran Ceng Han Houw atau yang oleh ayahnya yang sah, yaitu Raja Sabutai, diberi nama Pangeran Oguthai, atas bantuan Sin Liong telah berhasil menarik hati orang aneh yang sakti Ouwyang Bu Sek hingga diangkat menjadi sute-nya, menjadi murid Bu Beng Hud-couw yang dianggap sebagai guru besar di Himalaya, guru Ouwyang Bu Sek yang menulis kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi itu.

Dengan sangat tekunnya Ceng Han Houw membantu Ouwyang Bu Sek menterjemahkan kitab-kitab kuno yang tiga jilid banyaknya itu, menuliskannya menjadi belasan jilid dalam bahasa sekarang, kemudian di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek mulailah Han Houw mempelajari kitab-kitab itu yang ternyata memang mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang aneh dan mukjijat. Berkat otaknya yang cerdas, sebentar saja Han Houw sudah berhasil menghafal isi kitab-kitab itu dan kini dia tekun sekali bersemedhi menurutkan petunjuk kitab-kitab itu, di dalam sebuah goa besar yang kosong.

Sesudah Han Houw mulai melatih diri dengan isi kitab-kitab itu, maka Ouwyang Bu Sek sendiri tak mampu lagi membimbingnya. Seperti diketahui, kakek ini hanya membimbing teorinya saja, sedangkan untuk membimbing prakteknya tentu saja dia tidak mampu lagi. Kakek ini sudah terlalu tua untuk melatih diri dengan ilmu-ilmu yang amat sukar itu, maka untuk latihan prakteknya, dia menyerahkan sang sute itu bergantung kepada semangat dan kemauannya sendiri karena dia sama sekali tidak mampu memberi petunjuk lagi.

"Suheng," pada suatu hari, setelah dia benar-benar sudah hafal dengan isi seluruh kitab yang belasan jilid banyaknya sebagai terjemahan dari tiga kitab asli itu, "aku telah menjadi murid dari suhu Bu Beng Hud-couw, akan tetapi bagaimana aku dapat bertemu dengan beliau? Apakah suheng mengetahui di mana beliau tinggal sehingga aku pun dapat pergi mencarinya di Himalaya sana?"

Ouwyang Bu Sek, si kakek cebol yang mempunyai tubuh seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar seperti orang dewasa itu terkekeh genit. "He-he-heh-heh, sute, engkau ini lucu bukan main! Mencari tempat tinggal suhu kita adalah hal yang mustahil selama kita masih hidup! Engkau harus mati lebih dulu untuk dapat mencari tempat tinggal suhu, heh-heh-heh!"

Tentu saja hati pangeran itu sebal sekali mendengar ucapan ini. Kebenciannya terhadap sang suheng itu masih menebal, apa lagi karena sikap suheng-nya yang sama sekali tak menghargai atau menghormatinya itu membuat dia bertambah benci.

Semua orang selalu menghormatinya dan menyembah-nyembahnya. Biar pun Sin Liong tidak menyembahnya, namun pemuda itu sedikitnya masih bersikap halus dan jujur, tidak seperti kakek ini yang kadang-kadang sikapnya menghina sekali! Hanya karena maklum akan kelihaian Ouwyang Bu Sek dan karena kecerdikannya saja, maka Han Houw selalu bersikap lembut dan taat kepada suheng-nya ini.

"Akan tetapi, suheng. Bukankah suheng sendiri dapat berhubungan dengan beliau? Andai kata kita memang tidak dapat mencari beliau di tempat tinggalnya, tetapi aku ingin sekali dapat berhubungan dengan beliau dan berjumpa dengan beliau."

"Heh-heh-heh, orang setingkat engkau ini mana mampu untuk berjumpa dengan beliau? Hanya orang setingkat akulah yang dapat bertemu dengan beliau."

"Harap suheng sudi memberikan petunjuk, dan aku akan berusaha untuk memungkinkan perjumpaanku dengan beliau."

"Guru kita itu sewaktu-waktu dapat saja berhubungan dengan kita apa bila memang kita mampu mengirim getaran yang kuat, sute. Akan tetapi, untuk apa engkau ingin bertemu dengan suhu?"

"Supaya hatiku tenang dan puas, suheng, dan juga aku ingin bertanya sesuatu mengenai pelaksanaan latihan ilmu-ilmu yang kuterima dari kitab-kitab suhu."

"Hemm... tidak mudah, dan kalau batinmu tidak kuat, dalam usaha mendatangkannya itu salah-salah engkau bisa gila atau mampus!"

Akan tetapi Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang berhati keras seperti baja, dan memiliki keberanian yang sangat luar biasa. Maka, ancaman mati itu sama sekali tidak membuat dia jeri, tidak membuat dia mundur. "Aku akan menghadapi bahaya itu apa bila suheng sudi memberi petunjuk."

"Heh-heh, kalau gila atau mati jangan salahkan aku, ya?"

Kalau saja dia tidak merasa yakin bahwa ilmunya belum dapat mengatasi kakek itu, tentu Han Houw sudah memakinya atau menyerangnya. Namun, dengan tenang dia berkata. "Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa, juga tidak menyalahkan suheng."

Kini kakek itu kelihatan serius. Sejenak dia menentang tajam pandang mata sute-nya, lalu berkata, "Bila mana engkau sampai bisa berjumpa dengan suhu, hal itu sungguh sangat menguntungkanmu, sute. Ketahuilah bahwa sute Sin Liong sendiri tidak pernah bertemu dengan suhu."

Mendengar ini tentu saja hati Han Houw merasa girang bukan main, maka makin besar keinginan hatinya untuk bisa bertemu dengan orang tua yang disebut Bu Beng Hud-couw itu. "Aku akan berterima kasih sekali kepada suheng apa bila aku sampai dapat bertemu dengan suhu."

"Dengarkan baik-baik, sute. Untuk dapat berjumpa dengan suhu, pertama-tama engkau harus mengenal baik bagaimana bentuk bayangan beliau. Beginilah gambaran suhu itu. Beliau itu sudah tua sekali, tidak dapat ditaksir berapa usianya, mungkin tiga ratus tahun atau lebih. Rambutnya serta jenggotnya sudah putih semua, panjang sekali sampai ke pinggul dan perut, wajahnya penuh wibawa, pakaiannya serba putih dan amat sederhana, kakinya selalu telanjang, juga beliau selalu memegang sebatang tongkat bambu kuning. Nah, itulah gambaran beliau. Kalau engkau ingin bertemu, engkau harus bersemedhilah menurut petunjuk di dalam kitab itu, akan tetapi tujukan seluruh panca inderamu kepada bayangan beliau dan sebutlah namanya terus menerus hingga beliau datang. Jangan lupa buat api unggun di dalam goa, karena beliau biasanya datang melalui api dan asap. Nah, aku tidak bisa memberi penjelasan lebih jauh, lakukan saja apa yang kukatakan tadi, sute." Setelah berkata demikian, Ouwyang Bu Sek meninggalkan sute-nya.

Ceng Han Houw menjadi girang bukan main. Cepat dia membuat persiapan, memasuki goa kecil dimana dia biasa berlatih semedhi, membawa semua kitab-kitab terjemahannya, meletakkan kitab-kitab itu di dekatnya dan membuka halaman-halaman dimana dia masih merasa kurang mengerti dan hendak ditanyakannya secara langsung kepada suhu-nya karena suheng-nya sama sekali tidak mampu memberi petunjuk kepadanya dalam latihan praktek.

Dia membuat api unggun kecil di depannya, kemudian mulailah dia bersemedhi menurut petunjuk kitab, mengatur pernapasannya dan menyatukan panca indera merangkap kedua tangannya seperti menyembah di depan dada.

Karena sudah biasa berlatih semedhi seperti ini menurut petunjuk kitab-kitab yang sedang dipelajarinya, maka sebentar saja Han Houw telah tenggelam dan pikirannya sudah dapat dikumpulkan menjadi satu dengan panca inderanya, lalu bibirnya berbisik-bisik menyebut nama Bu Beng Hud-couw berulang-ulang.

Suara bisikan menyebut nama ini perlahan sekali sehingga hampir tidak terdengar di luar dirinya, namun suara itu terdengar jelas oleh telinganya dan suara ini terdengar aneh dan bergulung-gulung, seakan-akan merupakan sesuatu yang sambung menyambung lantas membubung ke atas, berupa tangga yang menuju ke tempat yang tak pernah dikenalnya.

Suara yang berulang-ulang ini membuat dia merasa seperti melayang-layang, terdengar makin lama semakin aneh. Dia tidak tahu lagi berapa lama dia sudah tekun bersemedhi seperti itu. Dia tak merasakan apa-apa lagi, tak mendengar apa-apa lagi kecuali suaranya yang terus menyebut-nyebut nama Bu Beng Hud-couw, yang seolah-olah bukan suaranya sendiri lagi, seolah-olah merupakan sesuatu yang terpisah darinya. Dia sama sekali tidak tahu apakah dia bersemedhi sudah satu jam, satu hari ataukah sudah sebulan!

Tiba-tiba saja tubuhnya terasa tergetar hebat dan dia merasa seperti membuka matanya karena ada sesuatu di depannya. Han Houw terkejut melihat bahwa di depannya, atau di atas api unggun yang masih bernyala kecil dan mengeluarkan asap putih, kini telah berdiri seorang kakek tua renta, persis seperti yang tergambar di dalam otaknya berdasarkan penuturan Ouwyang Bu Sek!

Kakek tua renta itu berdiri tak bergerak, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu kuning, persis seperti yang digambarkan oleh suheng-nya. Dalam kagetnya, Han Houw girang bukan main dan dia masih duduk bersila dengan kedua tangan dirangkap di depan dada, kemudian dia berkata dengan suara halus.

"Suhu, teecu mohon petunjuk...!" Ia lalu menyebutkan soal-soal dalam praktek latihannya yang mengalami kesukaran.

Kakek yang seperti bayangan, yang berdiri seperti menjadi sambungan asap putih yang mengepul dari api unggun itu, kelihatan diam saja. Han Houw mengulang kata-katanya sampai tiga kali. Kini kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas, seperti orang yang mempersilakan, mengangguk-angguk dan perlahan-lahan lenyap membuyar seperti asap tertiup angin.

Han Houw terkejut dan gelagapan seperti orang yang baru bangun dari tidur dan mimpi. Matanya mencari-cari namun kakek itu tidak kelihatan lagi, padahal tadi kakek itu berdiri jelas di depannya.

Dia menegok ke arah kitab-kitabnya dan cepat dia mengamati halaman-halaman kitab di mana terdapat bagian-bagian yang sukar baginya. Di bawah sinar api unggun dia meneliti dan membaca dan... betapa girang hatinya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa kini dia dapat mengerti hal-hal itu dengan jelasnya!

Keadaan seperti yang dialami oleh Han Houw ini bukan dongeng kosong belaka. Kiranya setiap orang pun akan dapat memperoleh pengalaman seperti itu, kalau saja dia memang percaya penuh dan tekun.

Orang yang mengosongkan pikiran dengan jalan mengulang-ulang kata-kata yang terus diucapkan dengan penuh pujaan akan berada dalam keadaan tersihir atau terpesona. Suara sendiri yang diulang-ulang itu mendatangkan pengaruh yang amat kuat menyihir diri-sendiri dan mengikat seluruh perhatian sendiri hingga dirinya dalam keadaan kosong sungguh pun kekosongan yang dipaksakan. Di dalam keadaan seperti ini, maka sesuatu yang dipujanya, yang diharapkan dan dipercayanya, tidak mengherankan bila betul-betul muncul di depannya, merupakan bayangan yang bukan lain adalah pantulan dari dalam batinnya sendiri.

Orang yang memuja Sang Buddha mungkin saja dapat berjumpa dengan bayangan yang sebenarnya merupakan pemantulan dari dalam hatinya, karena kepercayaan yang penuh, karena pemujaan yang tulus ikhlas ini membentuk bayangan atau gambaran dalam batin. Bayangan apa pun yang nampak oleh manusia, baik bayangan yang dinamakan setan mau pun bayangan dewa, nabi dan sebagainya, adalah bayangan yang terpantul dari dalam batin sendiri yang membentuk dan menyimpan gambaran bayangan itu. Hal ini amat jelas dan mudah dimengerti.

Seseorang yang mengaku pernah melihat setan umpamanya, pasti melihat setan seperti yang pernah didengarnya dari dongeng, dari buku dan dari cerita orang lain, atau pun dari khayalnya sendiri tentang setan. Begitu pula seseorang yang mengaku pernah bertemu dengan orang suci atau nabi, sudah pasti yang ditemuinya itu adalah orang suci atau nabi dari agamanya, atau dari kepercayaannya, seperti yang sudah pernah didengarnya dari dongeng, atau dilihatnya dalam gambar, dan sebagainya lagi. Tapi kita, yang haus hal-hal yang aneh, yang haus akan sesuatu yang dapat dijadikan pegangan, merasa sayang dan enggan melepaskan kepercayaan ini dan tidak mau atau tidak berani melihat kenyataan ini!

Sesudah merasa berjumpa dengan gurunya. Han Houw dengan mudah dapat mengerti pelajaran yang sedang dilatihnya. Hal ini pun tidaklah aneh karena pikiran yang kosong memang amat mudah menerima sesuatu dan pada saat itu Han Houw benar-benar dalam keadaan kosong sehingga begitu dia melihat halaman-halaman pelajaran yang tadinya dianggap sukar dimengerti itu, sekarang amat jelas dan mudah baginya.

Tentu saja dia menghubungkan ini dengan kemunculan bayangan suhu-nya yang secara gaib telah membimbingnya! Dia tidak sadar bahwa bayangan Bu Beng Hud-couw yang dijumpainya itu belum tentu sama dengan bayangan yang dilihat oleh Ouwyang Bu Sek, karena batin masing-masing membentuk bayangan yang tentu saja berbeda menurut selera masing-masing.

Keinginan akan sesuatu, betapa pun sesuatu itu dapat diberi sebutan luhur, suci, tinggi, sempurna dan sebagainya, tetap saja merupakan suatu keinginan yang timbul dari pikiran atau si aku yang ingin senang, ingin selamat, ingin terjamin dan tercapai keinginannya, baik keinginan dalam bentuk keenakan badan mau pun keenakan batin! Keinginan tetap merupakan keinginan dan keinginan ini lahir bermacam hal yang menjadi sumber segala konflik.

Keinginan berpusat pada pementingan diri, penonjolan si aku dan karenanya merupakan pengasingan diri yang amat picik. Semenjak kecil hingga tua kita selalu diperhamba oleh keinginan-keinginan kita. Yang berbeda hanya obyek dari keinginan-keinginan itu, ketika masih muda tentu keinginannya tertuju pada benda-benda duniawi untuk menyenangkan jasmani, lalu setelah tua dan bosan dengan semua kesenangan duniawi atau kenikmatan jasmani lalu berpindah kepada tujuan yang dinamakannya lebih tinggi, yaitu benda-benda rohani untuk menyenangkan batin, untuk menenteramkan batin, untuk keselamatan jiwa.

Namun, pada hakekatnya sama, yaitu si aku yang senang, ingin tenteram, ingin enak dan ingin terjamin! Dan selama batin masih dipenuhi keinginan ini, padahal keinginan ini hidup di alam khayal, sedangkan hidup ini berada di alam nyata maka kita akan terbuai terus oleh keinginan-keinginan itu yang melahirkan bermacam-macam khayal. Yang akan kita jumpai hanyalah bayangan-bayangan khayal kita sendiri belaka dan kita tak akan pernah dapat bersua dengan kenyataan yang suci murni!

Seorang tua akan mengatakan, "Aku tak butuh lagi dengan kesenangan dunia, aku ingin ketenangan batin, aku ingin kesempurnaan jiwa, aku tidak membutuhkan apa-apa lagi!" kata-katanya demikian, akan tetapi sesungguhnya pada dasarnya, keinginan itu masih menebal di dalam batin, yang berubah hanyalah tujuan keinginan itu saja.

Kalau dahulu yang dikejar adalah uang, kedudukan, kemuliaan, kesenangan jasmani, kini yang dikejar adalah kesenangan rohani atau apa yang dinamakan sesuatu yang lebih tinggi. Hasilnya pun akan sama saja!

Pada waktu mengejar uang, kedudukan dan sebagainya itu dia selalu bertemu dengan konflik, permusuhan, kepalsuan, kekecewaan, dan keserakahan yang tak kunjung habis, sekarang pun dia akan tetap berjumpa dengan semua itu! Karena yang dikejar adalah bayangannya sendiri!

Oleh karena itu, pertanyaan yang amat gawat dan penting perlu kita ajukan kepada diri sendiri masing-masing, yaitu: Dapatkah kita hidup bebas, dari segala macam keinginan? Dapatkah kita menghadapi apa adanya tanpa menginginkan hal-hal atau benda-benda yang tidak atau belum ada?

Segala sesuatu sudah ada pada apa adanya, namun mata kita seolah-olah buta, tidak melihat semua itu karena mata kita selalu ditujukan kepada hal-hal atau benda-benda yang tidak ada, kepada khayal-khayal kita, kepada gambaran-gambaran dari keinginan kita! Sama butanya dengan seorang penduduk di pegunungan yang tidak dapat melihat keindahan pada pegunungan karena dia gandrung akan bayangan keindahan lautan, dan sebaliknya seorang penduduk tepi laut yang tidak dapat melihat keindahan pemandangan tepi laut karena dia gandrung akan bayangan keindahan pemandangan di pegunungan! Sama butanya seperti seorang pemilik apel yang tidak dapat menikmati kelezatan buah apel itu karena dia membayangkan kenikmatan buah jeruk, dan pemilik jeruk yang tidak dapat menikmati kelezatan buah jeruknya karena dia membayangkan kelezatan buah apel!

Kita hidup dibuai lamunan, dibuai khayal belaka sehingga keadaan nyata tak tampak lagi, tak dapat dinikmati lagi, dan inilah yang menyebabkan mengapa kita selalu mengeluh dan mengatakan bahwa hidup adalah penuh derita dan kesengsaraan! Maka, dapatkah kita bebas dari segala macam keinginan itu kemudian hidup dalam saat ini, saat demi saat, menghadapi apa adanya dari saat ke saat penuh kewaspadaan?

Semenjak pengalamannya yang dianggapnya amat membahagiakan itu, Han Houw lalu berlatih amat tekunnya dan setiap kali menemui kesulitan dia lalu memanggil datangnya sang guru sehingga lama-kelamaan dia sudah menjadi terbiasa. Karena ketekunannya inilah maka tak lama kemudian, hanya dalam waktu beberapa bulan saja Han Houw telah dapat menguasai latihan ilmu-ilmu silat dari kitab-kitab yang diterimanya dari Ouwyang Bu Sek itu.

Dan memang hebat sekali hasilnya! Bukan saja pemuda bangsawan ini telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi yang amat aneh, tapi dengan latihan-latihan siulian dan menghimpun tenaga sakti yang amat kuat, jauh lebih kuat dari pada sebelum dia tekun belajar di dalam goa itu!

Berbedalah pemuda bangsawan ini dengan keadaannya beberapa bulan yang lalu ketika akhirnya dia mengambil keputusan untuk keluar dari goa tempat pertapaannya itu, dengan wajah yang agak pucat akibat banyak berpuasa, akan tetapi dengan sepasang mata yang mencorong aneh penuh kewibawaan, kekuatan! Berjilid-jilid kitab salinan dari tiga buah kitab itu dikempitnya dan dia lalu mencari-cari dengan matanya, karena dia ingin menemui suheng-nya Ouwyang Bu Sek.

Namun sunyi sekali di sekitar puncak Bukit Tai-yun-san itu. Goa-goa yang banyak berjajar di tempat itu, seperti mulut ternganga yang hitam gelap, atau seperti sarang lebah besar, tidak menampakkan kehidupan sama sekali. Sunyi dan mati.

Han Houw menggunakan tangannya melindungi kedua matanya dari sinar matahari yang menyilaukan. Setelah terlalu lama berada di dalam goa yang gelap, maka matanya tidak biasa menghadapi cahaya kemilauan yang amat terang itu sehingga menjadi silau.

Dengan mata setengah terpejam dia meneliti ke seluruh penjuru. Tidak nampak bayangan suheng-nya. Han Houw merasa jengkel sekali. Mendadak dia menggerakkan tubuhnya ke kiri, tangan kirinya menghantam, otomatis dia mengeluarkan jurus yang telah dilatihnya di dalam goa.

"Cuiiittt...!" Angin yang keluar dari tangan kirinya itu hebat bukan main, sampai dia sendiri terkejut mendengar suara bercuit nyaring itu.

"Byarrrr...!"

Batu besar yang berada di sebelah kirinya ambyar dan hancur lebur terkena pukulannya yang ampuh itu. Debu beterbangan dan Han Houw memandang dengan mata terbelalak, namun wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. Bukan main girangnya.

Dia lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus yang selama ini dilatihnya, dan akibatnya hebat bukan main. Bukan hanya terdengar suara bercuitan nyaring, namun muncul pula angin menyambar-nyambar, menggerakkan daun-daun pohon yang jauh, dan beberapa batang pohon sebesar orang, batu-batu sebesar kerbau, tumbang dan pecah terkena hantaman kedua tangannya yang menggunakan tenaga dahsyat itu. Makin tebal debu beterbangan di tempat sunyi itu.

"Desss...!"

Sebongkah batu sebesar kerbau bunting ditendangnya sehingga batu besar itu terlempar hingga jauh kemudian terbanting dan menggelundung turun ke dalam jurang. Sampai lama sunyi ketika batu ini meluncur ke bawah, kemudian terdengar suara keras sekali di bawah jurang ketika batu itu menimpa dasar jurang. Suara keras ini disusul gema suara panjang, seolah-olah setan penjaga gunung menjadi marah oleh gangguan manusia itu.

Han Houw merasa gembira dan bangga bukan main. Dia lalu mempergunakan ilmunya meringankan tubuh, mengerahkan tenaga yang selama ini dihimpunnya dalam semedhi menurut petunjuk ilmu-ilmu dalam kitab, dan tubuhnya lalu melesat dengan cepatnya ke depan. Han Houw terus berlari cepat ke arah puncak gunung yang tertinggi, kemudian dia sudah berdiri di atas batu besar di puncak gunung itu, dengan penuh kebanggaan dan dengan dada dibusungkan dia memandang jauh ke bawah.

Dia merasa seolah-olah dirinya telah menjadi seorang raja besar, atau menjadi dewa yang berkuasa penuh di gunung itu sedang memandang ke bawah, ke dunia yang akan berlutut di hadapan kakinya! Dia membayangkan betapa dia telah menjadi jagoan nomor satu di dunia ini dan seluruh dunia kang-ouw akan menyembahnya, seluruh dunia kang-ouw yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan, baik dari golongan hitam mau pun putih, berlutut menyembahnya sebagai jagoan nomor satu!

Bangga bukan main rasa hatinya, merasa seolah-olah dia menjadi seekor naga sakti yang beterbangan di atas bumi yang penuh dengan orang-orang yang ilmu kepandaiannya jauh berada di bawahnya! Akan tetapi dia harus lebih dulu membuktikan keunggulannya, dan dia akan menghadapi setiap orang yang dianggap terpandai di dunia ini!

Mendadak dia tertawa bergelak, wajahnya yang tampan dan agak pucat itu menentang langit, kedua tangannya dikepal dan kedua kakinya terpentang lebar di atas batu itu.

"Ha-ha-ha-ha! Sin Liong, aku akan membuktikan bahwa engkau pun tidak akan mampu menandingiku! Ha-ha-ha-ha!" Suara tawanya mengandung kekuatan khikang yang amat hebat sehingga bergema di bawah puncak.

Pada saat itu wajah yang tampan ini nampak mengerikan sekali, yang agak pucat dengan sepasang mata mencorong liar, seperti bukan mata orang waras lagi! Dia sudah memakai topinya, topi bulu yang indah, dan bulu burung penghias topinya itu bergerak-gerak tertiup angin.

Tiba-tiba saja wajah yang berseri itu nampak berubah. Matanya menjadi liar, alisnya yang tebal hitam itu berkerut dan bergerak-gerak, mulutnya yang manis itu cemberut dan dia menoleh ke belakang. Han Houw teringat akan tiga buah kitab itu!

Tiga buah kitab masih berada di tangan Ouwyang Bu Sek! Padahal, seluruh ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu-ilmu yang terkandung di dalam tiga buah kitab itu. Selama ini dia hanya membawa kitab-kitab terjemahan dari tiga buah kitab aslinya. Dan ini berarti bahwa seluruh kepandaiannya berada di tangan suheng-nya! Kalau ada orang lain yang kelak mempelajari ilmu-ilmu dari kitab itu, berarti kepandaiannya dapat ditandingi lain orang! Dia harus merampas kitab-kitab itu, dan menghancurkannya supaya tidak ada orang lain yang akan dapat mengetahui rahasia dari ilmu-ilmunya.

Teringat ini, dia lalu mengambil kitab-kitab terjemahan yang tadi dibawanya lari ke puncak gunung itu, dan satu demi satu kitab-kitab itu dicengkeramnya dengan kedua tangan dan dengan pengerahan sedikit tenaga saja kitab-kitab itu robek-robek dan remuk! Pecahan-pecahan kecil diterbangkan angin sesudah Han Houw melemparkan remukan kitab itu ke udara, tersebar ke mana-mana dan andai kata ada orang menemukan secuwil robekan, tak mungkin dia dapat membacanya.

Setelah mengikuti cuwilan-cuwilan kertas terakhir dengan pandang matanya dan merasa puas, Han Houw lantas melompat turun dari batu itu dan berlari seperti terbang cepatnya menuruni puncak tertinggi itu untuk kembali ke puncak di mana suheng-nya tinggal.

"Suheng...!" Han Houw berteriak. Suaranya melengking tinggi, penuh getaran, disambut oleh gema suara di empat penjuru.

"Suheng Ouwyang Bu Sek...!" Untuk kedua kalinya suaranya mendatangkan gelombang udara yang besar dan mencapai tempat jauh sekali.

Tidak lama kemudian, sebelum gelombang suara itu habis, terdengar jawaban dari jauh, namun suara itu terdengar dekat sekali, "Aku datang, sute...!"

Han Houw merasa girang karena dia mengenal suara kakek cebol itu. Dia lalu menunggu sambil berdiri tegak dan memasang wajah gelisah. Tidak lama kemudian, berbarengan dengan menyambarnya angin, muncullah kakek cebol lucu itu di hadapan Han Houw.

Ouwyang Bu Sek sejenak memandang sute-nya, dan melihat wajah yang agak pucat itu diam-diam dia terkejut dan kagum, karena dari wajah agak pucat kehijauan itu dia sudah dapat melihat adanya tenaga mukjijat di dalam diri sute-nya ini. Maka sambil tersenyum menyeringai sehingga memperlihatkan dua buah gigi besar di bagian atas mulutnya, dia bertanya,

"Bagaimana, sute? Engkau sudah berhasil...?"

Han Houw adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa suheng-nya ini bukan seorang bodoh dan sudah memiliki ilmu yang tinggi sekali sehingga tidak mungkin dapat membohonginya dengan mengatakan bahwa dia tidak berhasil. Maka dia menarik napas panjang dan berkata,

"Dengan petunjuk suhu yang mulia, aku telah berhasil, suheng. Akan tetapi ada beberapa bagian yang masih memusingkan aku, dan aku ingin sekali melihat catatan dalam kitab aslinya karena aku khawatir kalau-kalau terjemahan itu kurang cocok. Aku harap suheng suka memperlihatkan kitab aslinya sekali lagi kepadaku untuk dapat kuperiksa kembali agar dapat kuatasi kesukaran itu, suheng."

Kakek itu terkekeh girang. "Aha, dari cahaya di wajahmu dan sinar matamu saja aku telah melihat perubahan besar pada dirimu, sute. Akan tetapi apa bila memang ada kesukaran, sebaiknya sekali lagi meneliti isi kitab, akan tetapi ingat, hanya satu kali lagi saja, sute. Mari kuambilkan..."

"Aku tidak mau membuat engkau lelah, suheng. Biarlah aku yang mengambilnya sendiri, katakan saja di mana suheng menyimpan kitab-kitab itu."

"Oho-ho, kalau tidak aku sendiri yang mengambil, siapa pun tidak boleh, sute, dan pula terlalu berbahaya untukmu... heh-heh, mari kau ikut..."

Han Houw tidak mau membantah lagi dan dia mempergunakan kekuatan batinnya untuk menekan kelegaan dan kegirangan hatinya sehingga pada wajahnya yang tampan itu tak nampak perubahan sesuatu.

Namun Han Houw terlalu memandang rendah kepada suheng-nya itu. Sedikit kilatan sinar matanya sudah cukup bagi kakek itu untuk menaruh curiga terhadap sute-nya ini. Akan tetapi kakek itu tidak berkata apa-apa, melainkan menyeringai dan berlari terus, cepat sekali dengan langkah-langkah kecil dari dua buah kakinya yang kecil telanjang itu.

Han Houw mengikuti dari belakang dan dengan girang dia memperoleh kenyataan bahwa dia dapat mengikuti suheng-nya itu dengan sangat mudahnya, berloncatan dari batu ke batu, melewati jurang-jurang menuju ke sebuah goa yang berada di lereng. Di depan goa besar sekali, kakek itu berhenti dan berkata,

"Di dalam goa inilah kusembunyikan kitab-kitab itu."

"Biar aku yang mengambilnya, suheng!"

"Ihhh, jangan! Berbahaya sekali. Kau tunggu di sini, biar aku yang mengambilnya." Tanpa menanti jawaban, kakek itu menyelinap masuk ke dalam goa.

Han Houw menanti di luar goa sambil menahan senyum. Peduli amat dia, malah sangat kebetulan kalau kakek itu yang mengambilkan untuknya, pikirnya.

Tak lama kemudian tampak kakek itu berjalan keluar sambil membawa sebuah peti hitam. Akan tetapi ketika dari tempat gelap kakek itu memandang wajah sute-nya dan melihat sinar mata sute-nya, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan nampak terkejut.

Pada saat itu pula terdengarlah suara orang dari jauh, "Ouwyang locianpwe, kami datang memenuhi undangan!"

"Celaka, ada orang datang! Kita tunda dahulu urusan kita ini!" kata kakek itu dan bagaikan setan dia sudah menghilang lagi ke dalam goa yang gelap.

Dengan cepat Han Houw membalikkan tubuhnya memandang ke arah datangnya suara, akan tetapi orang yang datang belum nampak olehnya. Ia merasa ada angin menyambar dari dalam goa dan cepat dia menoleh. Kiranya suheng-nya telah berada di sampingnya.

"Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah datang, mari kita temui mereka lebih dulu!" kata Ouwyang Bu Sek.

Mendengar disebutnya dua orang ini, Han Houw terkejut dan wajahnya berseri karena dia teringat akan Lie Ciauw Si, wanita yang telah menjatuhkan hatinya itu, yang ditemuinya di rumah dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu sebelum dia pergi untuk menemui suheng-nya ini beberapa bulan yang telah lalu. Maka tanpa banyak cakap dia mengikuti suheng-nya, kembali menuju ke puncak, yaitu ke tempat pertapaan suheng-nya di mana banyak terdapat goa-goa itu.

Mereka tidak perlu menanti lama karena kembali terdengar suara, kini lebih dekat lagi dari tempat itu, "Ouwyang locianpwe, kami dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah menghadap!"

Ouwyang Bu Sek lalu membuka mulutnya yang lebar, "Aku telah menunggu di sini, harap ji-wi pangcu naik saja dan jangan sungkan-sungkan!"

Dari bawah puncak tampaklah bayangan dua orang berlari naik dan dari gerakan mereka saja mudah diketahui bahwa kedua orang itu mempunyai kepandaian yang lumayan dan setelah dekat dengan Han Houw dapat mengenal dua orang itu. Mereka adalah Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok, dua orang pimpinan dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang di kota Yen-ping.

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Ketika dua orang gagah itu melihat Han Houw berada di situ, berdiri di samping Ouwyang Bu Sek, mereka terkejut, heran akan tetapi juga girang. Cepat mereka itu memberi hormat kepada pangeran yang telah dikenalnya baik itu. Akan tetapi kedua orang ini pun merasa khawatir juga karena mereka teringat bahwa bagaimana pun baiknya, pangeran ini adalah adik kaisar, dan mereka berdua ingat bahwa mereka telah melakukan kesalahan terhadap kerajaan ole karena melindungi dan menyembunyikan empat orang pendekar Cin-ling-pai yang menjadi buronan.

Saat melihat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang gagah perkasa itu berlutut di hadapannya, Han Houw tersenyum dan mengangguk-angguk. Kemudian, dia menoleh kepada Ouwyang Bu Sek sambil berkata,

"Kalau suheng ada urusan dengan mereka, silakan."

Sejak tadi Ouwyang Bu Sek sudah melotot memandang kepada dua orang yang berlutut itu, kemudian dia membentak, "Kalian berdua berdirilah!"

Dua orang ketua itu lalu bangkit berdiri dengan sikap hormat, kemudian Sin-ciang Gu Kok Ban berkata, "Semalam locianpwe sudah mengundang kami berdua untuk datang ke sini, nah, kami sudah datang menghadap, tidak tahu ada urusan apakah locianpwe memanggil kami?"

Suara Ouwyang Bu Sek terdengar bengis pada saat dia membentak, "Ji-wi pangcu adalah orang-orang gagah dan sudah semenjak dulu Sin-ciang Tiat-thouw-pang terkenal sebagai perkumpulan orang gagah, maka harap suka bersikap jujur dan tidak membohong!"

Dua orang setengah tua yang gagah perkasa itu saling memandang, kemudian Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, berkepala botak dan muka bopeng, menggerakkan sebatang toya besinya yang berat itu sambil menegakkan kepalanya, menjawab dengan suaranya yang besar,

"Ouwyang locianpwe harap jangan memandang rendah kepada kami. Belum pernah kami membohong, apa lagi bersikap tidak jujur!"

"Bagus, bagus! Nah, kalau begitu lekas katakan ke mana larinya Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka?"

Seketika pucatlah wajah dua orang ketua itu. Mereka menatap wajah Ouwyang Bu Sek dan sejenak mereka tidak mampu menjawab.

"Kami... kami tidak tahu..." Akhirnya Sin-ciang Gu Kok Ban berkata.

"Ha-ha-ha-ha, sudah berbulan-bulan mereka tinggal di sarang Sin-ciang Tiat-thouw-pang, dan kini kalian menyatakan tidak tahu di mana adanya mereka. Aha, semenjak kapankah Sin-ciang Tiat-thouw-pang menjadi pelindung para pemberontak buronan?" kata kakek itu dengan nada mengejek.

Dua orang itu terkejut lantas keduanya otomatis memandang kepada Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran muda itu pun memandang kepada mereka dengan sinar matanya yang demikian tajam mencorong sehingga amat menyeramkan. Maka kini jawaban yang keluar dari mulut Gu Kok Ban bukan lagi ditujukan kepada Ouwyang Bu Sek, melainkan kepada sang pangeran itu.

"Tidak, mereka bukan pemberontak atau buronan. Bagi kami mereka adalah orang-orang gagah perkasa, pendekar-pendekar budiman dari Cin-ling-pai!"

"Hemmm, dan sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?" kakek itu mendesak dengan suara mengandung kemarahan.

Kini Tiat-thouw Tong Siok yang menjawab, "Ouwyang locianpwe, kami bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, siapakah yang boleh mengatur dan menentukan? Apa salahnya kalau kami bersahabat dengan mereka?"

Mata yang lebar itu makin terbelalak. "Hayo jawab, sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?" Ouwyang Bu Sek mengulang pertanyaannya dan kini suaranya terdengar lambat-lambat penuh ancaman.

Sin-ciang Gu Kok Ban adalah seorang yang cerdik. Dalam saat terdesak itu dia segera memperoleh akal, maka dengan wajah tenang dia lalu menjawab, "Ouwyang locianpwe, ketahuilah bahwa kami menganggap keluarga Cin-ling-pai sebagai sahabat-sahabat baik sejak kami menerima pertolongan dari nona pendekar Lie Ciauw Si, cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Di antara empat orang itu, nyonya Yap Kun Liong adalah ibu kandung nona Lie Ciauw Si! Sesudah kami menerima budi Lie-lihiap yang pernah menyelamatkan kami, tentu saja kami menganggap keluarganya sebagai sahabat-sahabat kami." Ucapan ini tentu saja ditujukan kepada Pangeran Ceng Han Houw.

Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini tentu saja dapat menduga bahwa ada hubungan cinta kasih mesra di antara pangeran itu dengan Lie Ciauw Si, maka dia sengaja menyinggung-nyinggung nama nona itu di depan sang pangeran, Dan benar saja, sepasang matanya yang berpengalaman itu sudah dapat melihat perubahan pada wajah pangeran itu ketika dia menyebut nama Lie Ciauw Si.

Akan tetapi Ouwyang Bu Sek langsung membanting kakinya yang telanjang. "Kalian telah bersahabat dan melindungi orang-orang Cin-ling-pai! Namun sebaliknya, aku memusuhi orang-orang Cin-ling-pai, mereka semua itu adalah musuh-musuh besarku! Dan karena kalian melindungi musuh-musuhku, berarti kalian juga menjadi musuhku!"

"Ouwyang locianpwe..."

"Hayo cepat katakan, di mana adanya keluarga Cin-ling-pai itu sekarang?"

"Kami tidak tahu, locianpwe, malah andai kata kami tahu juga, kami takkan mengatakan kepada siapa pun juga. Kami bukanlah semacam kaum pengkhianat yang suka membikin celaka orang-orang gagah, apa lagi kami telah berhutang budi. Lebih baik mati dari pada mengkhianati mereka!" jawab Gu Kok Ban dengan sikap gagah.

Kakek yang cebol seperti kanak-kanak itu berjingkrak marah. "Setan! Kalau begitu kalian sudah bosan hidup!" Kakek itu melangkah maju dengan sikap mengancam.

Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu tentu saja sudah siap-siap untuk membela diri. Biar pun mereka maklum bahwa mereka berdua bukan tandingan kakek Ouwyang Bu Sek yang mereka tahu sangat lihai itu, namun tentu saja mereka tidak mau mati konyol begitu saja tanpa melawan. Sin-ciang Gu Kok Ban sudah melolos siang-kiam dari sarung pedangnya, lalu melintangkan sepasang pedang itu di depan dada, sedangkan Tiat-thouw Tong Siok juga sudah melintangkan toya besinya dengan sikap gagah.

"Bagus, ha-ha-ha, memang aku ingin melihat kalian melawan, aku tidak suka membunuh orang yang sama sekali tidak melawan!" Kakek cebol itu tertawa dan tiba-tiba tubuhnya sudah menerjang ke depan.

Tiat-thouw Tong Siok memapaki tubuh kakek cebol ini dengan toya besinya yang segera dihantamkannya ke arah kepala yang besar itu. Pukulan toyanya ini mendatangkan angin dahsyat dan jangankan hanya kepala orang, biar batu gunung yang keras pun pasti akan hancur bila mana tertimpa toya besi yang digerakkan dengan kekuatan gajah itu. Namun, kakek cebol itu sama sekali tak mengelak atau menangkis dan agaknya memang sengaja menerima hantaman toya itu dengan kepalanya yang besar den botak kelimis.

"Takkkk!"

Toya besi itu terpental, seakan-akan mengenai bola baja yang jauh lebih keras dari pada toya itu! Dan si cebol itu hanya terkekeh memperlihatkan mulutnya yang ompong dan dua buah giginya di bagian atas.

Tong Siok kaget dan juga penasaran, toyanya diputar lebih cepat dan mengirim serangan bertubi-tubi ke arah tubuh lawan. Terdengarlah suara bak-bik-buk seperti orang memukuli kasur yang dijemur ketika beberapa kali toya itu menghantam ke tubuh Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kakek itu enak-enak saja dan setiap hantaman toya selalu membuat toya itu sendiri terpental!

"He-he-he, terima kasih untuk pijatan-pijatan itu, memang tubuhku beberapa hari ini agak pegal-pegal minta dipijati!" Ouwyang Bu Sek berkata.

Pada waktu toya itu terpental, Sin-ciang Gu Kok Ban langsung menerjang dengan siang-kiamnya. Nampak cahaya berkilat ketika sepasang pedang itu menggunting ke arah leher dan pinggang.

"Ehh... ohhh... pedangmu bisa merusak pakaianku!" Ouwyang Bu Sek berseru.

Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas sehingga terbebas dari guntingan sepasang pedang itu, kemudian dari atas dia menukik dengan kepala di bawah dan dua kali dia membuang ludah.

"Cuhh! Cuhhh!" Dua sinar putih menyambar ke bawah cepat sekali.

Biar pun Sin-ciang Gu Kok Ban sudah mengelak, tetap saja pundaknya terkena ludah dan bajunya berlubang dan kulit pundaknya terasa nyeri sekali karena lecet dihantam air ludah itu! Hal ini tentu saja mengejutkan Gu Kok Ban yang cepat memutar sepasang pedangnya dibantu oleh Tong Siok yang menggerakkan toya besinya.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat dan seru, akan tetapi juga lucu. Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Nama mereka sudah amat terkenal di dunia kang-ouw dan keduanya pun merupakan orang-orang pandai yang ditakuti karena memang mereka sudah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Namun, kali ini mereka berdua merasa dipermainkan oleh Ouwyang Bu Sek!

Biar pun keduanya memainkan senjata-senjata andalan mereka dan mengeroyok kakek cebol itu, namun si kakek cebol sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan tertawa-tawa sambil mengelak ke sana-sini, kadang kala berloncatan seperti kera menari-nari, kadang-kadang menggelinding dan bergulingan ke sana sini, kemudian meloncat dan membalas dengan tangkisan atau tamparan-tamparan yang membuat dua orang lawannya itu repot karena setiap tangkisan tentu membuat senjata mereka langsung terpental ada pun setiap tamparan harus mereka elakkan karena tak mungkin ditangkis tanpa membahayakan diri mereka!

Sesudah lewat lima puluh jurus yang penuh dengan main-main di fihak Ouwyang Bu Sek, tiba-tiba kakek itu meloncat jauh ke belakang sambil berkata, "Nah, cukuplah bagi kalian sehingga kalian akan mati sebagai orang-orang gagah yang mempertahankan diri! Kini bersiaplah untuk mampus!"

Tiba-tiba saja tubuh pendek kecil itu lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat bukan main. Dua orang ketua itu cepat menyambut bayangan ini dengan senjata mereka.

"Plakkk!"

"Suuuttt...! Cring-cringgg!" Tahu-tahu toya besi itu sudah dirampas, demikian pula dengan sepasang siang-kiam itu!

Dengan lagak seperti anak kecil sedang main-main, Ouwyang Bu Sek saling mengadukan kedua pedang itu. Terdengar bunyi nyaring dan sepasang pedang itu patah menjadi empat potong lalu dilemparkan ke arah kaki Gu Kok Ban. Ada pun toya besi itu dia belit-belitkan ke lengan kirinya sampai melingkar-lingkar seperti ular, kemudian dilemparkannya pula di atas tanah, depan kaki Tong Siok. Kakek cebol itu lalu menyeringai, memandang mereka berdua yang berdiri dengan muka pucat.

"Heh-heh-heh, kalian masih tetap belum mau memberi tahu di mana adanya orang-orang Cin-ling-pai itu?" tanya Si Cebol yang amat lihai ini.

Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian terdengarlah Gu Kok Ban berkata dengan tarikan napas panjang.

"Kami sudah kalah, mau bunuh lakukanlah!"

"Kami lebih baik mati dari pada mengkhianati mereka!" sambung Tong Siok.

Biar pun mereka sudah merasa kalah, namun keduanya masih memasang kuda-kuda dan siap untuk membela diri sampai napas terakhir.

"Hemm, tolol kalian! Kalau tidak mengingat kegagahan kalian, apakah sekarang ini kalian belum menjadi bangkai? Kalian masih berkeras, terpaksa aku orang tua minta kalian yang muda-muda mendahului aku untuk mati!" Ouwyang Bu Sek sudah mengepal dua tinjunya dan alisnya berkerut, sikapnya mengancam.

"Tidak ada pilihan lain bagi kami!" kata Gu Kok Ban dengan sikap gagah.

"Keparat, kalau begitu mampuslah!"

Kembali tubuh kakek itu menerjang dengan cepat bukan kepalang. Gu Kok Ban dan Tong Siok telah siap-siap untuk membela diri secara mati-matian, akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tubuh kakek cebol itu terhenti di tengah-tengah, malah terpental kembali ke belakang karena dorongan tangan Han Houw yang sudah menghadang.

"Suheng, jangan bunuh mereka!" teriak pemuda ini sambil bertolak pinggang dan berdiri di antara mereka menghadapi kakek cebol itu.

Sejenak Ouwyang Bu Sek memandang terbelalak kepada sute-nya itu. Sute-nya itu telah berani menentangnya, bahkan tadi mendorongnya sehingga dia terjengkang ke belakang! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Pangeran itu yang telah diterimanya sebagai sute, yang telah dibimbingnya dengan susah payah untuk bisa menguasai ilmu-ilmu tinggi dari Bu Beng Hud-couw, kini berani mencampuri urusannya!

"Sute! Biar pun engkau seorang pangeran, tetapi engkau tidak boleh mencampuri urusan pribadiku!" bentaknya dengan penuh rasa penasaran melihat sikap sute-nya yang berdiri tegak dan tenang penuh keangkuhan itu.

"Bukan urusan pribadimu lagi, suheng!" Han Houw menjawab dengan tenang dan tegas, sikapnya penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong, mengeluarkan cahaya aneh yang bahkan Ouwyang Bu Sek sendiri menjadi terkejut melihatnya. "Aku adalah seorang pangeran, karena itu tak mungkin aku membiarkan saja rakyatku dibunuh oleh siapa pun, termasuk engkau!"

"Eh, sute...!" Ouwyang Bu Sek hampir tak percaya sute-nya akan berani menentangnya, kemudian dia melanjutkan, "Ingatlah, justru karena engkau pangeran maka engkau harus tahu bahwa musuh-musuhku, yaitu orang-orang Cin-ling-pai itu, adalah musuh-musuhmu juga, musuh negara, pemberontak-pemberontak buronan!"

"Diam! Tentang pendirianku dalam menilai seseorang, tidak perlu dengan nasehatmu!"

"Sute! Bagaimana engkau berani bicara seperti itu terhadap aku? Aku suheng-mu, juga aku pembimbingmu..."

"Engkau seorang kakek tua bangka, dan aku pangeranmu, engkau harus taat kepadaku!" bentak Han Houw.

Kini marahlah Ouwyang Bu Sek. Selamanya belum pernah dia dihina orang seperti itu, apa lagi yang menghinanya itu adalah sute-nya, bahkan seperti juga muridnya sendiri!

"Keparat, engkau murid murtad! Hayo kembalikan semua ilmu yang pernah kau pelajari dariku! Aku harus membuntungi kedua tanganmu agar engkau tak dapat mempergunakan ilmu-ilmu itu!" bentak Ouwyang Bu Sek dan bagaikan seekor katak melompat, dia sudah menyerang Han Houw.

Hebat bukan main serangan Ouwyang Bu Sek ini! Dari kedua tangannya yang dipentang itu langsung menyambar hawa pukulan yang sangat dahsyat dan angin pukulan berputar menggerakkan daun-daun pohon, bahkan banyak pula daun pohon yang rontok, ada pun dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terpaksa harus cepat-cepat mundur karena mereka merasakan sambaran angin yang dingin dan seperti dapat mengiris kulit mereka! Angin yang berputar ini mengelilingi Han Houw seakan-akan menutup semua jalan keluar pemuda ini yang dipaksa harus menghadapi serangan langsung dari kakek yang sakti itu.

Han Houw terkejut bukan main. Dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri sesudah dia berhasil menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab itu dan menyaksikan kedahsyatan serangan kakek itu, dia merasa ngeri juga. Cepat dia mempergunakan ginkang-nya untuk mengelak ke kiri, akan tetapi pagar hawa pukulan itu menahannya dan terpaksa dia lalu menggerakkan kedua tangannya, mendorong ke depan menyambut kedua tangan kakek itu yang sudah bergerak menghantam ke depan.

"Dessss...!"

Pertemuan dua tenaga dahsyat ini membuat tubuh Ouwyang Bu Sek terpelanting ada pun tubuh Han Houw terlempar dan terjengkang ke belakang sampai beberapa kaki jauhnya! Dada pemuda itu terasa sesak, akan tetapi dia dapat segera melompat bangun kembali, lalu dengan kepala agak pening dia menghadapi kakek itu.

Ouwyang Bu Sek juga terbelalak karena tidak menyangka bahwa pemuda itu selain dapat menahan serangannya, bahkan sudah bisa membuat tubuhnya terpelanting, tanda bahwa pemuda itu sudah memperoleh tenaga dahsyat dan tidak kalah kuat olehnya! Tahulah dia bahwa pemuda ini sudah berhasil pula, seperti juga Sin Liong, mewarisi ilmu sakti dari Bu Beng Hud-couw. Dia merasa menyesal bukan main. Menyesal mengapa dia mempercaya pemuda bangsawan ini yang baru saja selesai belajar sudah berani menentangnya!

Kemarahan membuat wajah kakek itu menjadi merah sekali bagaikan udang direbus, dan kedua matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mengerikan, wajahnya menjadi berubah menyeramkan. Biasanya kakek ini tertawa-tawa dengan lucu jenaka, menganggap segala peristiwa seperti lelucon saja, akan tetapi sekali ini dia benar-benar marah sehingga sinar matanya mengandung ancaman maut bagi Han Houw.

"Sekarang aku akan membunuhmu!" bentaknya dan suaranya yang sedikit parau saking marahnya itu mengandung getaran dahsyat hingga membuat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang menggigil.

Dua orang ketua yang gagah perkasa ini masih berdiri di situ seperti patung, tidak kuasa untuk bergerak karena merasa tegang dan khawatir terhadap pangeran itu, juga mereka merasa terheran-heran bagaimana pangeran ini tiba-tiba menjadi sute kakek sakti itu, dan sekarang bahkan berani pula menentang suheng-nya. Mereka merasa bahwa sepatutnya mereka membantu pangeran itu untuk mengeroyok Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena pertentangan itu adalah urusan antara suheng dan sute, berarti merupakan urusan dalam kekeluargaan perguruan mereka, tentu saja mereka tak berani lancang mencampuri, apa lagi sekarang mereka pun tahu bahwa kakek itu luar biasa lihainya dan bahwa kalau tadi dikehendaki, maka dalam beberapa jurus saja mereka tentu sudah roboh dan tewas, oleh karena itu bantuan mereka pun takkan banyak gunanya. Maka, mereka kini hanya berdiri memandang saja dengan hati penuh ketegangan.

Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati mereka ketika mereka melihat kakek cebol itu sudah mengangkat sebongkah batu gunung yang besar sekali, kemudian dengan gerakan dahsyat kakek itu sudah menerjang maju dan menimpakan batu sebesar gajah itu ke arah kepala sang pangeran yang masih tetap berdiri dengan sikap tenang. Mereka terbelalak dan membayangkan betapa tubuh pangeran itu akan remuk-remuk, karena selain batu itu besar dan amat berat, juga ditambah lagi dengan tenaga kakek itu yang amat kuat.

"Blarrrrr...!"

Debu mengepul tebal sehingga menutupi pandangan mata. Setelah debu lenyap, nampak oleh dua orang ketua itu bahwa batu besar itu sudah hancur berantakan, akan tetapi sang pangeran masih tetap berdiri tenang seperti tadi! Ternyata hantaman batu besar itu telah disambut dengan pukulan kedua tangannya yang menghancurkan batu!

Hampir saja kedua orang itu bersorak saking gembira dan kagumnya. Mereka tahu bahwa pangeran ini memang seorang pemuda yang lihai, akan tetapi sama sekali mereka tidak pernah membayangkan bahwa pemuda itu ternyata adalah sute dari Ouwyang Bu Sek dan memiliki kehebatan seperti itu!

Kini Ouwyang Bu Sek menjadi makin marah. Banyak batu-batu dilontarkan dan ditendang ke arah sute-nya, akan tetapi dengan sikap sangat tenang Han Houw memapaki semua serangan batu-batu besar itu, baik dengan tendangan atau pun hantaman dua tangannya sehingga batu-batu itu ada yang pecah berantakan ada pula yang terlempar kembali ke arah penyerangnya. Kemudian dengan lengking parau yang menggetarkan, Ouwyang Bu Sek menerjang ke depan, mulai menyerang dengan pukulan-pukulan beruntun dari kedua tangannya yang pendek namun yang mendatangkan desir angin bercuitan mengerikan.

Han Houw juga bergerak dan pemuda ini mainkan ilmu sliat yang aneh, dengan langkah-langkah panjang dan kedua kaki ringan sekali sebab dia hanya menggunakan ujung-ujung jari kakinya untuk melangkah, dengan tumit terangkat bagaikan seorang penari. Gerakan-gerakannya aneh, tetapi selalu dapat membawa tubuhnya terhindar dari pukulan-pukulan kakek itu, bahkan dia pun lalu membalas dengan pukulan-pukulan yang berupa tamparan-tamparan dengan lengan dilengkungkan.

"Bukk! Bukk!"

Dua kali kedua tangan pemuda itu tepat mengenai sasaran, pukulan pertama mengenai lambung dan pukulan kedua mengenai dada. Akan tetapi kakek itu agaknya sama sekali tidak merasakan pukulan itu, padahal Han Houw telah mengerahkan tenaganya memukul tadi! Tentu saja Han Houw terkejut bukan main dan barulah dia tahu bahwa suheng-nya itu memiliki ilmu kekebalan yang amat luar biasa dan dapat diandalkan.

Ouwyang Bu Sek malah tertawa mengerikan ketika menerima pukulan-pukulan itu dan dia menubruk ke depan. Han Houw yang agak terperanjat ketika melihat pukulannya seperti tak terasa oleh lawan, menjadi gugup sehingga kurang cepat bergerak, maka pundaknya kena disambar. Hanya keserempet saja, namun akibatnya membuat dia terpelanting dan pundaknya terasa nyeri bukan kepalang, hingga menyusup ke tulang-tulang rasa nyeri itu! Namun, dia sudah dapat meloncat memperbaiki kedudukannya sehingga desakan kakek itu dapat dipatahkannya.

Han Houw memainkan ilmu silat yang dilatihnya dari kitab pertama, ilmu silat aneh yang dimainkan dengan sepasang kaki berdiri di atas jari-jari kaki dengan tumit terangkat, dan karena kitab-kitab itu masih belum memiliki nama, maka Han Houw memilih sendiri dan menamakan ilmu silat ini Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menalukkan Naga), sebab dia menganggap dirinya lebih lihai dari pada naga!

Dialah Pendekar Lembah Naga, dan teringat akan Sin Liong yang namanya berarti Naga Sakti, maka dia pun memilih nama itu untuk ilmu silatnya yang baru, tentu saja dengan maksud supaya ilmu ini dapat mengalahkan Sin Liong! Dari kitab ke dua dia memperoleh ilmu bersemedhi dan melatih pernapasan untuk mengumpulkan tenaga sakti, dan dari kitab ke tiga dia mendapatkan ilmu yang aneh, yang dimainkan dengan kepala di bawah, dan dia memberi nama Hok-te Sin-kun (Ilmu Silat Membalikkan Bumi) kepada ilmu ini.

Dengan ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dia sudah menghadapi suheng-nya itu selama lima puluh jurus dan ilmu ini ternyata cukup tangguh sehingga dengan ilmu ini dia selalu dapat menghindarkan semua serangan Ouwyang Bu Sek. Akan tetapi semua pukulannya yang mengenai tubuh lawan tidak mampu membuat lawannya roboh, bahkan agaknya kakek itu tidak merasakan sama sekali! Dan dia malah terancam, karena dia tahu bahwa dalam hal tenaga sinkang, dia masih kalah jauh dan sekali dia terkena pukulan yang tepat, dia akan roboh!

Maka dicarinyalah akal, dan pemuda bangsawan yang cerdik ini mendadak meloncat jauh ke belakang sambil berseru, "Tua bangka, kalau engkau berani hayo kau kejar aku!"

Ouwyang Bu Sek sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Sampai lima puluh jurus dia tidak mampu merobohkan sute-nya ini! Sungguh sebuah hal yang mengejutkan dan memalukan sekali, apa lagi pertandingan itu ditonton oleh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang! Rusaklah nama besarnya, apa lagi kalau didengar oleh Lam-hai Sam-lo yang menjadi musuh lamanya, tentulah dia akan ditertawakan karena ketololannya, yaitu selain menerima sute yang durhaka, juga kini malah tidak mampu mengalahkan sute-nya sendiri itu!

Maka, begitu pangeran itu melarikan diri, tanpa banyak cakap lagi dia sudah melakukan pengejaran! Mereka berdua itu bergerak cepat sekali hingga sebentar saja mereka telah lenyap dan hanya nampak bayangan mereka berkejaran ke puncak bukit di sebelah barat....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 35



Gu Kok Ban dan Tong Siok saling pandang, menghapus keringat dingin dan mereka itu merasa tertarik sekali. Tanpa bicara mereka seperti sudah tahu dan keduanya pun lalu lari mengejar pula sebab mereka ingin sekali melihat bagaimana kesudahan dari pertandingan yang amat seru dan hebat itu.

Ketika dua orang itu tiba di atas puncak di tepi sebuah jurang yang amat dalam, mereka melihat pangeran itu sudah bertanding lagi dengan sangat seru dan hebatnya melawan kakek cebol itu. Dua orang ketua itu melongo saking herannya melihat cara pangeran itu bersilat karena kini pangeran itu sudah berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah dan kedua kakinya di atas! Kedua kakinya itu melakukan gerakan tendangan dan tangkisan, dibantu oleh kedua tangan dari bawah yang menyerang ke arah kaki dan perut Ouwyang Bu Sek.

Itulah ilmu silat aneh yang diberi nama Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Membalikkan Bumi) oleh Han Houw. Dan memang ilmu ini aneh dan dahsyat bukan kepalang. Setelah dalam keadaan jungkir balik seperti itu, ternyata tenaga yang keluar dari kaki mau pun tangan pangeran itu jauh lebih besar dari pada tadi sehingga Ouwyang Bu Sek sendiri merasa amat terkejut karena setiap kali tangannya bertemu dengan kaki pemuda itu, dia merasa tubuhnya tergetar hubat. Namun, biar dia lebih sering menerima tendangan aneh dari kaki yang berada di atas itu, dengan mengandalkan kekebalannya yang luar biasa, dia selalu dapat menahan diri sehingga tidak sampai terluka, biar pun kini kekuatan aneh dari kedua kaki itu dapat membuatnya terhuyung, bahkan kadang-kadang terpelanting.

Perkelahian itu seru bukan kepalang. Terdengar kakek tua renta itu telah terengah-engah karena dia merasa lelah sekali. Betapa pun juga, dia harus mengakui bahwa sute-nya ini mempunyai ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab yang hanya dia ketahui teorinya belaka, namun dia sama sekali tidak pernah ikut melatih ilmu itu sehingga sekarang pada saat sute-nya menggunakan ilmu-ilmu itu untuk menyerangnya, dia menjadi repot sekali. Lebih dari itu, usianya yang amat tua membuat daya tahannya telah banyak berkurang, terutama sekali napasnya.

Dia sudah mandi keringat dan napasnya memburu sedangkan sute-nya itu masih segar dan serangan-serangannya semakin hebat saja. Akan tetapi, dengan mengandalkan ilmu kekebalannya, kakek itu masih terus dapat mendesak Han Houw dan sudah beberapa kali pemuda ini terkena pukulannya sehingga pemuda itu pun menderita luka-luka yang biar pun tidak berbahaya namun cukup membuat gerakannya semakin lemah.

Setiap pukulan pemuda itu tidak mendatangkan bahaya bagi kakek cebol yang terlindung kekebalan hebat itu, sebaliknya pukulan kakek itu selalu membuat Han Houw menderita. Karena itu, apa bila dilanjutkan agaknya Han Houw yang akhirnya akan harus mengakui keunggulan lawan.

Hal ini pun diketahui dengan baik oleh pangeran itu sebelum dia melarikan diri ke puncak ini tadi. Maka pangeran yang cerdik itu sengaja memancing suheng-nya sehingga mereka mengadakan pertempuran di tepi jurang yang amat dalam, di mana tadi dia menyebarkan robek-robekan kitab terjemahannya. Semenjak tadi dia memang sudah mengatur siasat dan tidak cepat-cepat menjalankan siasatnya itu agar kakek itu lengah.

Sesudah di tempat ini mereka melakukan perkelahian mendekati seratus jurus lamanya, barulah diam-diam Han Houw menanti kesempatan baik. Dengan ilmu silat aneh Hok-te Sin-kun, dia masih terus melakukan perlawanan dan diam-diam dia mendesak kakek itu mendekati jurang.

Sesudah memperhitungkan dengan matang, tiba-tiba terdengar pemuda itu mengeluarkan seruan lengkingan panjang dan menggetarkan, sehingga dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-touw-pang yang menonton sambil bersembunyi di balik batu terkejut bukan main dan otomatis mereka cepat menutupi dua telinga dengan telapak tangan sambil memandang dengan mata terbelalak.

Dan tiba-tiba saja tubuh yang berjungkir balik dari pangeran itu membuat loncatan kilat ke samping! Dengan gerakan indah, kakinya meluncur dan selagi tubuhnya masih melayang, kaki kirinya menendang secepat kilat, tepat mengenai dada Ouwyang Bu Sek yang berdiri membelakangi jurang.

"Blukkk!"

Kaki itu mengenai dada sedemikian kerasnya sehingga tubuh kakek itu terjengkang.

"Hukkkk...! Crotttt...!"

Dari mulut kakek yang terbuka itu menyembur darah segar. Kakek itu terkejut dan dengan tubuh terjengkang dia menggunakan kakinya yang pendek dan telanjang untuk melangkah mundur dan tentu saja tubuhnya terguling ke belakang karena kakinya menginjak tempat kosong. Terdengar teriakan mengerikan dan menyayat hati ketika tubuh kakek cebol itu melayang ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu.

Han Houw cepat lari mendekati tepi jurang dan menjenguk ke bawah. Dia masih sempat melihat tubuh suheng-nya itu sudah terbanting ke dasar jurang, terguling-guling makin ke bawah, lalu diam menelungkup. Walau pun dari tempat yang tinggi itu tidak dapat dilihat jelas, namun tak dapat disangsikan lagi bahwa tubuh itu tentu telah remuk-remuk terjatuh dari tempat setinggi itu.

Han Houw menarik napas lega. Baru terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit sebagai akibat hantaman-hantaman yang telah diterimanya dalam perkelahian yang amat seru itu tadi.

"Pangeran, kepandaian paduka sungguh amat hebat mengagumkan!"

"Dan hamba berdua berterima kasih atas pertolongan paduka tadi."

Han Houw lantas membalikkan tubuhnya memandang. Dua orang ketua itu telah berlutut menghadapnya dengan sikap sangat hormat dan memandang dengan penuh kekaguman. Sejenak dia merasa bangga sekali. Memang patut dibanggakan bahwa dia telah berhasil mengalahkan Ouwyang Bu Sek yang dianggap orang sebagai manusia sakti sukar dicari tandingannya, malah Lam-hai Sam-lo sendiri pun pernah dikalahkan oleh kakek itu. Akan tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya, lalu dia melangkah maju.

"Gu-pangcu dan Tong-pangcu, berdirilah, aku ingin bertanya kepada kalian."

Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bangkit berdiri dan memandang pangeran itu dengan wajah berseri dan penuh kagum. Mereka sama sekali tidak menduga, bahkan hampir tidak dapat percaya betapa seorang pemuda bangsawan seperti ini sudah berhasil mempunyai ilmu kepandaian sehebat itu sehingga sanggup mengalahkan seorang datuk persilatan seperti Ouwyang Bu Sek.

Setelah dua orang itu berdiri di depannya, Han Houw lalu bertanya, "Bagaimana kabarnya dengan nona Lie Ciauw Si? Di manakah dia sekarang?"

Berserilah wajah dua orang ketua itu. Memang mereka sudah dapat menduga apa yang terjadi antara pangeran yang tampan ini dengan pendekar wanita muda yang cantik itu.

"Sudah lama hamba tak berjumpa dengan Lie-lihiap, pangeran. Akan tetapi yang terakhir hamba mendengar bahwa Lie-lihiap hendak pergi ke kota raja untuk mencari dan ingin menghadap paduka," kata Gu Kok Ban sambil tersenyum.

Senang hati Han Houw mendengar kata-kata ini, kemudian dia bertanya, "Dan benarkah seperti yang dikatakan oleh Ouwyang Bu Sek bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai bersembunyi di tempat kalian?"

Mendengar pertanyaan ini, hati dua orang itu sangat terkejut. Akan tetapi ketika mereka memandang wajah pangeran itu, nampak pangeran itu bersikap biasa saja, tidak terlihat marah sehingga hati mereka menjadi besar kembali.

"Memang benar, pangeran. Untuk beberapa bulan mereka menjadi tamu hamba, karena isteri dari Cia Bun Houw taihiap sedang mengandung dan setelah melahirkan, mereka itu lalu pindah."

"Tidak tahukah kalian bahwa mereka adalah orang-orang yang dianggap pemberontak-pemberontak yang menjadi buruan pemerintah?"

Gu Kok Ban memandang kepada Tong Siok dengan muka pucat, namun kemudian dia menghadapi pangeran itu sambil berkata cepat, "Hamba tahu... akan tetapi sesungguhnya mereka itu bukanlah pemberontak, pangeran. Justru untuk inilah maka Lie-lihiap pergi ke kota raja untuk menghadap paduka, untuk mohon kebijaksanaan paduka untuk menolong empat orang pendekar itu supaya terbebas dari tuduhan memberontak. Mereka itu hanya difitnah, sebab semua orang kang-ouw pun tahu belaka betapa semenjak dulu, semenjak ketua Cin-ling-pai mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, Cin-ling-pai merupakan suatu perkumpulan orang-orang gagah yang selalu membantu pemerintah dalam membasmi para pemberontak."

Disebutnya nama Lie Ciauw Si membuat wajah Han Houw kembali nampak berseri-seri sehingga melegakan hati kedua orang itu. Kini dengan suara halus Han Houw bertanya, "Sekarang di manakah adanya empat orang pendekar itu?"

Kembali Gu Kok Ban memandang dengan hati khawatir. "Pangeran... seorang di antara mereka adalah... ibu kandung dari Lie-lihiap..."

Han Houw mengerutkan alisnya dan berkata tidak sabar. "Aku tahu, dan aku pun bertanya untuk pergi menemui mereka secara baik-baik agar bisa mengusahakan kebebasan untuk mereka..."

"Ahh, terima kasih, pangeran...!" Mereka berdua berkata dengan girang sekali.

"Katakanlah, di mana adanya mereka kini?"

"Tadinya mereka meninggalkan tempat hamba untuk pindah ke dalam sebuah dusun di lereng sebuah bukit, tidak jauh dari tempat kami. Akan tetapi, entah bagaimana, sebulan kemudian ada pasukan menyerbu tempat mereka sehingga mereka itu terpaksa kembali melarikan diri lagi...," ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu kelihatan berduka.

"Ke mana mereka melarikan diri? Di mana mereka sekarang?"

"Tadinya hamba juga tidak mengetahuinya, pangeran. Akan tetapi dari para penyelidik, yaitu para anggota yang hamba suruh mencari keterangan, hamba..."

"Suheng...!" Tiba-tiba saja terdengar Tong Siok memanggil kakaknya dengan nada suara memperingatkan sehingga Gu Kok Ban tidak berani melanjutkan keterangannya, namun memandang kepada pangeran itu dengan keraguan yang mulai timbul.

Han Houw mengerutkan alisnya, lantas menoleh kepada Tong Siok, sepasang matanya mencorong mengeluarkan sinar berkilat.

"Ji-wi pangcu! Apakah kalian masih tak percaya kepadaku? Aku telah membunuh suheng sendiri karena dia memusuhi mereka! Aku ingin melindungi ibu kandung nona Lie Ciauw Si!"

Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian Gu Kok Ban melanjutkan keterangannya, sekarang tak peduli lagi akan pandangan mata sute-nya yang masih merasa khawatir itu. "Menurut keterangan dari para penyelidik, mereka melarikan diri ke Propinsi Ce-kiang dan tinggal di kota Bun-cou..."

Tiba-tiba sepasang mata Gu Kok Ban terbelalak lebar, mukanya pucat melihat sepasang mata yang mencorong aneh itu dan begitu tangan Han Houw bergerak memukul, Gu Kok Ban yang mencoba menangkis itu masih tidak mampu menghindarkan hantaman itu.

"Desss...!"

Dadanya terpukul dan tubuhnya terlempar ke dalam jurang. Teriakannya yang menyayat hati bergema sampai lama ketika tubuhnya melayang turun ke bawah seperti yang dialami oleh Ouwyang Bu Sek tadi.

Wajah Tong Siok berubah menjadi pucat sekali, akan tetapi perlahan-lahan kulit mukanya yang bopeng itu berubah merah, matanya mengeluarkan sinar kebencian dan telunjuknya menuding ke arah muka Han Houw, "Kau manusia iblis berhati keji, ternyata kecurigaanku benar, engkau adalah seorang manusia laknat! Engkau bukan hanya membunuh suheng sendiri, akan tetapi juga membunuh suheng-ku dan hatimu palsu. Orang macam engkau ini kelak akan menjadi hantu neraka...!"

Han Houw tersenyum. "Engkaulah yang lebih dulu akan pergi ke neraka!" katanya sambil melangkah maju hendak memukul.

Akan tetapi Tiat-thouw Tong Siok sudah nekat, karena itu dia sudah mendahului gerakan pangeran itu. Sambil berteriak dahsyat dia lalu menerjang ke depan dengan kepala lebih dahulu, seperti seekor lembu jantan yang marah menyerang harimau.

Serudukan kepala ini tak boleh dipandang ringan, sebab ini merupakan serangan andalan ketua nomor dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini. Julukannya adalah Tiat-thouw atau Si Kepala Besi dan serudukan kepalanya itu dapat menghancurkan batu!

Namun Han Houw yang percaya akan kepandaian dan kekuatannya sendiri tidak menjadi gentar, bahkan tidak mengelak melainkan tetap berdiri tegak sambil tersenyum mengejek, kemudian tangan kirinya meluncur ke depan, menyambut kepala botak yang menyeruduk ke arah perutnya itu.

"Desss...!"

Terdengar suara keras seperti benda keras pecah, kemudian tubuh Tiat-thouw Tong Siok itu terlempar ke belakang dan langsung melayang turun ke dalam jurang dengan kepala retak-retak sehingga sebelum tubuhnya terbanting di dasar jurang, dia sudah tewas dan tidak terdengar jeritan mengerikan ketika dia terpelanting itu.

Sejenak Pangeran Ceng Han Houw berdiri dan memandang ke bawah jurang. Dia tidak merasa menyesal telah membunuh tiga orang itu. Pertama, dia memang ingin membunuh Ouwyang Bu Sek untuk menguasai kitab-kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw itu. Ke dua, dia harus membunuh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena mereka ini sudah menyaksikan betapa dia sudah membunuh suheng sendiri sehingga kelak mereka dapat menyebar berita yang sangat tidak baik untuknya itu ke dunia kang-ouw, dan selain dari itu, dua orang itu telah memperlihatkan sikap tidak setia kepada pemerintah sehingga berani melindungi orang-orang buruan pemerintah. Mereka itu patut dihukum!

Setelah merasa yakin bahwa tiga tubuh yang rebah di dasar jurang itu sudah tewas dan tidak bergerak-gerak lagi, Han Houw baru membalikkan tubuhnya, meninggalkan puncak bukit itu menuju ke goa di mana Ouwyang Bu Sek menyimpan peti hitam tempat tiga buah kitab yang ingin diambilnya agar jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain itu.

Goa yang besar dan gelap itu nampak menyeramkan, seolah-olah di dalamnya terdapat bahaya yang mengintai keselamatan siapa saja yang berani memasukinya. Tetapi dengan kepandaiannya yang amat tinggi, Ceng Han Houw tidak ragu-ragu lagi melangkah masuk kemudian dengan sangat hati-hati dia menggerakkan kedua kakinya, perlahan-lahan dan berindap-indap penuh kewaspadaan memasuki sebelah dalam yang amat gelap. Apa bila suheng-nya dapat memasuki goa itu untuk mengambil peti hitam, mengapa dia tidak?

Tiba-tiba saja dia mendengar suara mendesir dari kanan kiri, maka secepat kilat dia pun menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri untuk melindungi diri sambil mengerahkan sinkang pada tubuhnya. Bagaikan bermata, kedua tangannya itu dengan cekatan sudah menangkap dua batang anak panah yang menyambar dari kanan kiri dan mengeluarkan suara mendesir tadi! Kiranya dia sudah menginjak alat rahasia yang dipasang sehingga anak panah dari kanan kiri itu meluncur sendiri menyerang siapa saja yang berani masuk goa dan menginjak jebakan yang tidak nampak itu!

Han Houw mendengus dan melemparkan dua batang anak panah itu keluar, kemudian dia melangkah terus dengan beraninya. Setelah agak dalam, nampak cahaya menembus dari celah terbuka di atas goa. Remang-remang nampaklah olehnya sebuah peti hitam di sudut ruangan goa itu setelah berbelok ke kiri. Hatinya girang sekali, akan tetapi dia tetap berhati-hali, tidak mau menjadi lengah karena kegirangannya. Dengan waspada dia terus melangkah mendekati tempat peti itu tergeletak.

Han Houw kemudian menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kedua telapak tangan itu mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap, barulah dia mengambil peti itu dengan kedua tangannya. Ternyata tidak terjadi sesuatu dan cepat dia membawa peti itu ke luar goa.

Setelah tiba di luar, di tempat yang terang, dia menurunkan peti dan melihat betapa kedua telapak tangannya penuh hangus. Untung bahwa tadi dia telah melindungi kedua telapak tangannya dengan hawa panas dari pengerahan sinkang-nya, apa bila tidak tentu kedua telapak tangannya akan terkena racun jahat yang dioles-oleskan pada peti itu. Kini racun itu menjadi hangus sebab hawa panas yang melindungi kedua telapak tangannya. Setelah membersihkan kedua telapak tangannya, Han Houw lalu membuka tutup peti itu.

"Sssssttt...!"

Nampak segaris sinar merah menyambar dan seekor ular merah sudah meloncat keluar dan langsung menyerang ke arah lehernya! Namun, dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya, dia sudah menyumpit leher ular itu, lalu mengerahkan tenaga pada kedua jari itu.

"Krekkk!"

Terdengar suara dan tulang leher ular itu pun patah. Dia melemparkan bangkai ular yang masih berkelojotan dan melingkar-lingkar, kemudian memandang ke dalam peti yang baru saja dibukanya.

"Jahanam!" Dia mengutuk karena ternyata peti sama sekali kosong!

Dia merasa tertipu dan dengan marah dia masuk lagi ke dalam goa, mencari-cari. Namun goa itu kosong tak ada apa-apanya lagi. Dengan hati penasaran Han Houw lalu membuat obor dan memeriksa seluruh bagian dalam goa. Namun hasilnya nihil, tidak ada apa pun di dalam goa itu. Dia memeriksa peti, menghantamnya sampai berkeping-keping, namun juga selain ular merah yang kini telah mati, peti itu tidak berisi apa-apa lagi.

"Ouwyang Bu Sek tua bangka keparat!" Dia memaki-maki dan mencari-cari keluar masuk semua goa di tempat itu. Tetap tidak ada hasilnya. Tiga buah kitab kuno itu ternyata telah hilang! Tentu disembunyikan oleh Ouwyang Bu Sek di suatu tempat, akan tetapi setelah kakek itu tewas, siapa pula yang mengetahui di mana adanya kitab-kitab itu?

Sampai sore dia mencari-cari tanpa hasil dan menjelang senja dia melihat beberapa belas orang menuruni jurang di mana terdapat mayat Ouwyang Bu Sek, Gu Kok Ban dan Tong Siok. Dari tempat yang tidak kelihatan oleh mereka, Han Houw mengintai dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu adalah para anggota Sin-ciang Tiat-thouw-pang.

Diam-diam dia tersenyum mendengar kata-kata mereka. Mereka itu tentu mengira bahwa dua orang ketua mereka telah bertanding melawan Ouwyang Bu Sek sehingga akibatnya mereka bertiga tewas semua atau mati sampyuh. Lebih baik begitu saja, pikirnya lantas diam-diam dia meninggalkan puncak pegunungan itu.

                ***************

 Kuil di puncak bukit itu demikian besar, dikelilingi pagar tembok tebal yang berlapis-lapis bagaikan benteng saja kuatnya. Memang, kuil Siauw-lim-si adalah sebuah kuil yang amat besar dan kokoh kuat lagi kuno sekali. Kuil Siauw-lim-si sangat terkenal semenjak jaman dulu karena kuil inilah yang menampung para pendeta Buddha dari See-thian (India), dan kuil ini pula yang menyebar luaskan pelajaran Agama Buddha ke seluruh Tiongkok.

Selain sebagai tempat perkumpulan para tokoh Buddha dan menjadi pusat keagamaan itu, juga Siauw-lim-si mempunyai nama yang amat terkenal sebagai perkumpulan agama yang menghasilkan banyak sekali ahli-ahli silat yang pandai sehingga nama Siauw-lim-pai (partai Siauw-lim) sangat terkenal di dunia kang-ouw sebagai gudang ilmu silat dan para pendekar Siauw-lim-pai memiliki ilmu silat murni yang amat kuat dan disegani.

Bahkan menurut dongeng dari mulut ke mulut, kuil Siauw-lim-si merupakan sumber dan asal dari segala ilmu silat, yaitu ketika Tat Mo Couwsu, seorang pendeta Agama Buddha menciptakan gerakan-gerakan yang mula-mula hanya ditujukan untuk menyehatkan tubuh namun kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan ilmu bela diri yang amat hebat.

Sumber ilmu menggerakkan tubuh sebagai seni bela diri ini kemudian berkembang sangat luas, mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan keadaan setempat dan tumbuhlah bermacam-macam ilmu silat yang sesungguhnya bersumber satu. Namun, yang dianggap paling asli sampai sekarang adalah ilmu silat yang diajarkan oleh Siauw-lim-pai sehingga nama ini selalu didengung-dengungkan sebagai gudangnya ahli silat yang paling kuat.

Memang patut kalau Kuil Siauw-lim-si itu dikabarkan sebagai tempat orang-orang pandai. Bangunannya kuno dan kokoh kuat sehingga menimbulkan suasana keramat dan angker. Apa lagi karena sebagai pusat keagamaan di dalam kuil itu setiap hari diadakan upacara-upacara keagamaan dan hio mengepul terus setiap saat hingga dari jarak jauh saja sudah tercium bau harum dupa, maka suasananya menjadi semakin agung dan mendatangkan perasaan hormat akan sesuatu yang penuh rahasia bagi manusia.

Kuil besar itu tidak pernah sunyi. Kalau bukan suara orang membaca doa atau membaca ayat-ayat suci dari kitab, maka tentu ada nyanyi-nyanyian pujian. Ini suasana di bagian kuilnya. Ada pun di bagian belakang atau samping kanan kiri, selalu terdengar bentakan-bentakan orang yang berlatih silat!

Kompleks kuil itu memang amat luas. Kuilnya sendiri berada di tengah depan merupakan bangunan induk, akan tetapi di kanan kiri dan belakang kuil terdapat bangunan-bangunan kecil lainnya yang menjadi tempat tinggal para hwesio beserta para murid Siauw-lim-pai. Tidak kurang dari lima puluh orang pendeta dan murid-murid Siauw-lim-pai yang setiap hari berada di tempat itu.

Sedangkan murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah keluar dari tempat penggemblengan ini dan tersebar di seluruh negeri berjumlah ratusan, bahkan ribuan orang. Ada yang menjadi ketua kuil-kuil kecil, ada yang menjadi pendeta-pendeta pengembara untuk menyebarkan agama.

Ada pula yang menjadi orang-orang biasa, pedagang, sasterawan, piauwsu, buruh-buruh kasar, petani atau nelayan. Mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang tidak masuk menjadi hwesio sehingga tidak bertugas mengembangkan agama, melainkan terikat oleh peraturan-peraturan Siauw-lim-pai yang mengharuskan para murid itu agar supaya hidup sebagai orang-orang gagah yang menjunjung tinggi nama baik Siauw-lim-pai dan dilarang keras menggunakan kepandaiannya yang didapatkan dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan.

Memang pada waktu itu jarang sekali menemukan seorang murid Siauw-lim-pai menjadi penjahat. Kalau sampai terdengar ada seorang murid Siauw-lim-pai menyeleweng, maka perguruan ini sudah pasti akan mengutus murid yang lebih pandai untuk menangkap dan menghukum, kalau perlu membunuh murid yang menyeleweng. Sedikitnya, setiap murid yang menyeleweng tentu akan dikeluarkan dari perguruan itu, tidak diakui sebagai murid lagi dan jika ketahuan menggunakan ilmu dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan, tentu akan ditentang dan dimusuhi.

Karena peraturan yang sangat keras inilah maka nama Siauw-lim-pai amat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan. Namanya senantiasa bersih, bahkan di dalam pergolakan-pergolakan antara golongan-golongan yang memperebutkan kekuasaan di kota raja, fihak Siauw-lim-pai selalu menjauhkan diri dan tidak mau tersangkut.

Pagi hari itu cerah sekali. Matahari bagai berseri di angkasa timur, melimpahkan cahaya kehidupan ke permukaan bumi. Di pagi hari seindah itu nampak wajah para hwesio yang serius namun berseri, seolah-olah mereka ini dapat pula merasakan kecerahan pagi yang sehat itu.

Beberapa orang hwesio hilir-mudik melakukan tugas pekerjaan masing-masing di kuil, ada yang membersihkan semua perabot dan alat sembahyang, ada pula yang membersihkan lantai, menyapu halaman depan, pekarangan, atau menyirami bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam di sekitar bangunan itu. Ada yang sibuk menimba air dari sumber di bawah puncak lalu memikul air itu ke dalam kuil melalui pintu samping supaya tidak membasahi lantai kuil, ada pula hwesio-hwesio tingkatan tua yang sepagi itu sudah melakukan upacara sembahyang. Beberapa hwesio membaca kitab dengan suara yang menggetar penuh penghambaan diri, tetapi ada pula yang sedang bersemedhi di sebelah dalam, mengheningkan cipta, sama sekali tidak bergerak seolah-olah sudah menjadi arca seperti yang banyak terdapat di dalam kuil.

Di samping kegiatan yang tenang dan tenteram ini, terdengar pula suara murid-murid yang sedang berlatih silat, bertelanjang dada membiarkan cahaya matahari memandikan tubuh mereka karena sinar itu amat berguna bagi kesehatan tubuh mereka. Ada yang bergerak silat dengan pengerahan tenaga sehingga otot-otot di tubuh mereka menggembung dan kelihatan kuat bukan main penuh kejantanan, ada pula yang gerakannya lemah gemulai seperti seorang penari dan agaknya sama sekali tidak mengandung tenaga.

Memang Siauw-lim-pai adalah gudang ilmu silat, dari ilmu silat yang sifatnya keras hingga yang sifatnya lunak, dan ilmu-ilmu silat yang gerakannya diilhami oleh gerakan binatang-binatang buas.

Setiap pagi para anak murid tingkat terendah tentu berkumpul di dalam taman itu, di mana terdapat lapangan yang luas dan memang diadakan untuk tempat berlatih silat di bawah sinar matahari. Di sebelah dalam terdapat pula ruangan belajar silat, yaitu di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan di sini diajarkan jurus-jurus yang lebih tinggi dan di lian-bu-thia ini lengkap pula terdapat senjata-senjata yang delapan belas macam banyaknya.

Pagi hari itu, seperti biasa, sudah mulai nampak beberapa orang tamu yang datang untuk melakukan sembahyang. Bermacam-macam keperluan pribadi mereka yang datang untuk bersembahyang. Ada yang bermaksud hendak minta sesuatu, agar sesuatu yang mereka citakan akan segera terkabul, di antaranya ingin mempunyai anak, ingin segera mendapat jodoh, ingin agar dagangannya laris, ingin agar mendapatkan kenaikan pangkat, ingin agar ujiannya lulus, dan sebagainya.

Ada pula yang datang dengan wajah berseri untuk membayar kaul seperti yang dijanjikan. Banyak di antara mereka para peminta-minta ini yang dalam permintaannya selalu disertai janji-janji kepada yang mereka minta, janji-janji bahwa kalau sampai permintaan mereka berhasil, maka mereka akan melakukan ini atau itu, pendeknya melakukan sesuatu untuk menyenangkan yang diminta, sebagai semacam imbalan!

Memang demikianlah keadaan hidup kita semenjak jaman kuno dulu sampai pada jaman modern sekarang ini! Segala macam hubungan kita dengan apa pun dan dengan siapa pun, selalu didasari jual beli, rugi untung seperti itulah! Tidak ada lagi sinar cinta kasih di dalam batin kita, yang ada hanyalah perhitungan jual beli seperti itu.

Kita bersikap baik kepada sesama manusia hanya dengan dasar jual beli pula, kita baik sebagai pemberian sesuatu untuk memperoleh kebaikan pula yang lebih besar dari pada yang kita berikan sehingga hal itu akan menguntungkan! Kita menyembah seseorang atau sesuatu yang kita anggap lebih tinggi hanya dengan dasar keuntungan ini pula!

Kita menyembah-nyembah sesuatu yang baik atau yang kita anggap baik terhadap kita, dan kita mengutuk atau membenci sesuatu yang kita anggap tidak baik kepada kita! Inilah kenyataannya dalam kehidupan kita yang serba palsu ini.

Cahaya matahari itu memberkati dan menghidupkan bagi siapa pun juga, tanpa memilih apakah yang menerima itu baik atau buruk, tinggi atau rendah, agung atau hina! Cahaya matahari itu juga mendatangkan panas terhadap siapa pun juga, mulai dari raja sampai pengemis tanpa pandang bulu!

Tapi kita kehilangan sinar cinta kasih itu! Kita hanya suka dan cinta kepada orang-orang tertentu saja, yang menyenangkan kita, yang kita anggap baik terhadap kita. Sebaliknya kita membenci kepada orang-orang tertentu yang kita anggap merugikan lahir atau batin kepada kita.

Di antara para tamu yang memasuki kuil dengan membawa alat-alat sembahyang, terlihat seorang pemuda tampan. Pakaiannya sudah kumal, tanda bahwa lama dia tidak berganti pakaian, namun jelas nampak bahwa pakaian itu adalah pakaian yang mahal dan indah, juga topinya dan jubahnya yang terbuat dari kulit binatang berbulu itu menunjukkan bahwa pemakainya adalah seorang hartawan.

Tidak seperti para tamu lainnya, pemuda ini tidak membawa apa-apa, bertangan kosong saja dan dia memasuki halaman kuil dengan langkah-langkah tenang disertai sikap yang agung, bahkan dia tidak pedulian terhadap orang-orang lain yang memasuki halaman itu.

Pemuda ini adalah Ceng Han Houw. Mau apa pangeran ini muncul di Kuil Siauw-lim-si? Setelah Ceng Han Houw berhasil membunuh Ouwyang Bu Sek beserta dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, memang tadinya dia hendak cepat-cepat pulang ke kota raja, kembali ke istana yang sudah terlalu lama ditinggalkannya itu, apa lagi dia sudah merasa rindu sekali kepada Lie Ciauw Si dan hendak mencari dara yang dicintainya itu.

Akan tetapi, di samping itu timbul keinginannya untuk mulai memperkenalkan diri kepada dunia kang-ouw bahwa dialah satu-satunya jagoan tanpa tandingan di dunia ini! Dia ingin menguji kepandaian para tokoh kang-ouw dan hatinya belum puas kalau dia tidak dapat merobohkan mereka semua satu demi satu hingga akhirnya dunia akan mengakui bahwa dialah juaranya!

Untuk menguji diri sendiri, juga sebagai langkah pertama, maka yang paling tepat adalah mendatangi Siauw-lim-pai lantas menantang ketuanya untuk mengadu ilmu silat! Dia tahu bahwa Siauw-lim-pai merupakan mercu suar dalam dunia persilatan, maka menjatuhkan Siauw-lim-pai tentu akan membuat namanya terkenal hingga dunia persilatan akan geger karenanya. Jadi kedatangannya di pagi hari ini, bersama dengan para tamu yang hendak bersembahyang ke kuil itu, adalah hendak mencari dan menantang ketua Siauw-lim-pai untuk mengadu ilmu!

Melihat keadaan pemuda ini lain dari pada para tamu yang sudah biasa bersembahyang, tanpa membawa apa-apa, dan kelihatan mencari-cari dengan pandang matanya, seorang hwesio tinggi kurus yang bertugas melayani para tamu cepat-cepat menghampirinya dan memberi hormat sambil bertanya,

"Apakah kongcu hendak bersembahyang ataukah ada keperluan lain?"

Han Houw memandang wajah hwesio ini dan ketika melihat bahwa di wajah itu terdapat ketenangan besar, maka dia merasa kagum. Hwesio ini tentu kedudukannya rendah saja namun ada ketenangan yang mengagumkun pada dirinya. Maka dia pun cepat membalas penghormatan itu dan berkata,

"Saya datang bukan untuk bersembahyang melainkan untuk minta bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai."

Hwesio yang usianya tiga puluh tahun itu kelihatan tercengang. Jarang ada orang datang dengan maksud ingin bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai, apa lagi yang datang hanya seorang pemuda seperti ini, bukan seorang tokoh kang-ouw yang terkenal. Dia kemudian memandang penuh sangsi, akan tetapi akhirnya menjawab juga,

"Kongcu, tidak mudah untuk dapat bertemu dengan ketua, untuk itu kongcu harus terlebih dulu mendaftarkan diri dan menyebutkan nama, tempat tinggal dan maksud kedatangan kongcu."

Han Houw mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. Kadang kala dia lupa bahwa tidak semua orang tahu bahwa dia adalah seorang pangeran yang berpengaruh serta memiliki kedudukan tinggi sehingga sikap orang yang kurang menghormatinya bisa mendatangkan perasaan tidak senang di dalam hatinya. Ingin dia membentak serta memaki hwesio itu, akan tetapi dia tahu bahwa dia berada di tempat yang berbahaya, bahwa kini dia sudah memasuki goa naga dan harimau, maka dia harus bersikap hati-hati.

"Hwesio, katakanlah bahwa aku Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja ingin bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai."

Biar pun ucapan ini dikeluarkan dengan suara halus akan tetapi seketika wajah hwesio itu menjadi pucat. Ketenangannya membuat sejenak dia hanya melongo memandangi tamu itu dari kepala sampai ke kaki, agaknya sukar baginya untuk percaya, akan tetapi juga timbul semacam perasaan gelisah dan takut kalau-kalau pemuda ini benar-benar seorang pangeran dan dia telah bersikap kurang selayaknya!

Kalau benar pangeran, mengapa datang sendirian tanpa pengawal dan pakaiannya sudah agak kotor begitu? Mungkin dalam penyamaran, pikir hwesio itu dan karena dia tidak tahu bagaimana harus bersikap, maka dia hanya memberi hormat dengan membungkuk lantas berkata dengan suara ragu-ragu.

"Baiklah, akan pinceng laporkan ke dalam... silakan duduk menanti di ruang tamu..."

Han Houw mengangguk, mengikuti hwesio itu pergi memasuki ruang tamu, lalu duduk di atas sebuah bangku menanti kembalinya hwesio tadi yang segera bergegas pergi untuk melaporkan kedatangan pemuda yang mengaku pangeran itu.

Han Houw memandangi tulisan-tulisan dengan huruf-huruf indah dan gagah, juga lukisan-lukisan yang menghias dinding ruang tamu itu. Di istana kaisar dia sudah melihat banyak lukisan dan tulisan indah, akan tetapi baru sekarang dia melihat lukisan dan tulisan serta suasana yang semuanya membayangkan kegagahan dan juga kedamaian seperti dalam ruangan tamu itu. Diam-diam dia kagum.

Tidak bohonglah suara di dunia kang-ouw yang mengatakan bahwa Siauw-lim-pai adalah gudangnya ilmu silat, sastera dan agama. Sekarang makin besar keinginan hatinya untuk menundukkan ketua Siauw-lim-pai, karena sekali dia berhasil mengalahkan ketua Siauw-lim-pai, namanya tentu akan menjulang tinggi sekali!

Akan tetapi terlalu lama hwesio tadi pergi. Kesabaran Han Houw hampir habis. Dia tidak tahu betapa berita tentang kedatangannya itu menimbulkan kehebohan di sebelah dalam kuil, di antara para pimpinan Siauw-lim-pai.

Pada waktu itu, yang menjadi ketua dari Siauw-lim-pai adalah Thian Khi Hwesio, seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih. Akan tetapi kakek ini tidak terlampau mencampuri urusan dari kuil sebab dia sibuk mengembangkan agama Buddha dengan jalan merantau, mendatangi kuil-kuil cabang Siauw-lim-si di seluruh negeri, di samping untuk mengamati perkembangan agama juga untuk melihat sendiri agar tidak ada anak murid Siauw-lim-si yang menyelewengkan pelajaran. Untuk urusan di kuil, baik itu mengenai agama mau pun mengenai pelajaran sastera, silat serta hubungan dengan orang luar, diserahkan kepada tiga orang murid utamanya.

Yang pertama adalah Thian Sun Hwesio, yang bertubuh gemuk seperti patung Ji-lai-hud, dengan muka yang bulat lebar, sepasang mata yang lebih banyak menunduk setengah terpejam, gerak-gerik yang halus pendiam. Sesuai dengan sifatnya, Thian Sun Hwesio ini mewakili suhu-nya untuk mengepalai bagian keagamaan, selain menjadi ketua kuil juga dialah yang menjadi guru besar pelajaran agama.

Yang ke dua ialah Thian Bi Hwesio, berusia lima puluh tahun, beberapa tahun lebih muda dibandingkan Thian Sun Hwesio, dan hwesio ini bertubuh menyeramkan, tinggi besar dan berkulit hitam, nampak kokoh kuat seperti batu karang, dengan mata yang lebar menatap tajam, sikapnya kaku dan kata-katanya parau nyaring, wataknya jujur dan penuh disiplin. Hwesio inilah yang diserahi tugas mengajar ilmu silat kepada para murid.

Ada pun hwesio ke tiga ialah Thian Bun Hwesio, berusia lima puluh tahun pula, bertubuh tinggi kurus, sikapnya ramah sekali dan gerak-geriknya pun halus. Hwesio ini mengepalai bagian pelajaran sastera dan dia pula yang bertugas menerima tamu serta berhubungan dengan orang luar.

Sebagai murid-murid utama dari Thian Khi Hwesio, tentu saja ilmu kepandaian silat dari tiga orang hwesio ini sudah tinggi dan mereka itu memiliki keistimewaan masing-masing. Di samping tiga orang hwesio sebagai murid utama ini tentu saja masih terdapat belasan orang hwesio pandai yang setingkat lebih rendah dari pada mereka bertiga, namun bagi orang luar, tiap orang hwesio Siauw-lim-si, mulai dari tukang membersihkan lantai sampai tukang kebun, rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.

Pada saat hwesio yang tadi menerima Han Houw melapor ke dalam, para hwesio yang tadinya dalam keadaan tenang seperti biasanya itu, menjadi panik. Siapa orangnya tidak menjadi panik apa bila mendengar bahwa pangeran istana kerajaan menjadi tamu secara begitu tiba-tiba? Seorang pangeran adalah seorang yang amat tinggi kedudukannya, tidak boleh disamakan dengan pembesar-pembesar biasa setempat. Maka para hwesio itu lalu melapor kepada Thian Bun Hwesio.

Hwesio tinggi kurus ini juga terkejut dan karena Thian Sun Hwesio pada saat itu sedang bersemedhi dan tak boleh diganggu, maka Thian Bun Hwesio lalu mengajak suheng-nya, Thian Bi Hwesio yang tinggi besar untuk menemaninya menyambut tamu agung itu.

Han Houw sudah hampir hilang sabar dan dia merasa jengkel juga ketika akhirnya pintu sebelah dalam itu terbuka lalu muncul dua orang hwesio tua dari dalam. Dia tinggal duduk saja dengan sikap angkuh, matanya yang mencorong menatap kepada dua orang hwesio itu.

Thian Bun Hwesio dan Thian Bi Hwesio juga memandang dan diam-diam mereka terkejut melihat mata yang mencorong dari pemuda itu. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi tentu saja mereka mengerti apa artinya sepasang mata yang mengeluarkan cahaya mencorong itu dan mereka terheran-heran, juga menduga-duga. Mungkinkah ada seorang pangeran istana yang memiliki sinkang sedemikian kuatnya sehingga kekuatan itu sampai nampak pada sepasang matanya yang mencorong seperti mata naga? Ataukah hanya kebetulan saja?

Dua orang hwesio itu cepat memberi hormat dengan membungkukkan tubuh, lalu dengan suara halus dan muka ramah Thian Bun Hwesio kemudian berkata, "Harap paduka sudi memaafkan pinceng sekalian karena tidak tahu akan kunjungan yang terhormat ini, maka pinceng terlambat menyambut dan tidak ada persiapan. Tentu saja pinceng sekalian amat terkejut dan heran mendengar kunjungan seorang pangeran yang mulia tanpa pengiring dan berita terlebih dahulu." Dalam kata-kata ini terkandung pertanyaan-pertanyaan karena keganjilan kunjungan itu.

Han Houw juga mengetahui akan keanehan kunjungannya sebagai seorang pangeran ini, akan tetapi dia tidak peduli dan dia langsung bertanya, "Siapakah di antara ji-wi locianpwe ini yang menjadi ketua Siauw-lim-pai? Aku hanya ingin bertemu dan bicara kepadanya."

Dua orang hwesio itu saling lirik. Pemuda ini menyebut mereka Locianpwe, sebutan yang biasanya hanya dilakukan di kalangan persilatan sebagai tanda menghormat orang yang tingkat tinggi, orana-orang biasa tentu akan menyebut mereka losuhu saja, sebutan bagi para pendeta. Hal ini tentu saja semakin membingungkan sehingga menimbulkan banyak dugaan. Apakah pangeran ini seorang ahli silat? Melihat kedua matanya yang mencorong dan mendengar sebutan itu, sangat boleh jadi.

Thian Bun Hwesio menjura dengan penuh hormat. "Harap paduka sudi memaafkan kami, pada saat ini, suhu kami tidak berada di sini."

"Bukankah ketua Siauw-lim-pai bernama Thian Khi Hwesio? Ke manakah beliau pergi?"

Tidak mengherankan kalau orang mengenal nama ketua Siauw-lim-pai atau guru mereka. Akan tetapi pemuda yang mengaku pangeran ini berkeras hendak menemui guru mereka, inilah yang mengherankan. Akan tetapi, benarkah pemuda ini seorang pangeran? Hal ini harus dibuktikannya lebih dulu.

"Suhu Thian Khi Hwesio sedang mengadakan perjalanan ke selatan, akan tetapi setahu kami, suhu tidak pernah berurusan dengan fihak istana kerajaan. Oleh karena itu, apa bila memang ada urusan dari istana, kiranya paduka dapat mengurus hal itu dengan pinceng sebagai murid dan sebagai wakilnya. Pinceng Thian Bun Hwesio dan ini suheng Thian Bi Hwesio adalah murid-murid beliau yang telah mendapat wewenang untuk mewakili beliau mengurus segala sesuatu atas nama Siauw-lim-pai. Tidak tahu ada hal penting apakah seorang pangeran kerajaan seperti paduka sampai datang mencari suhu?"

Ucapan yang panjang lebar itu jelas berbau kecurigaan namun dia tidak peduli. Dengan nada suara dingin dia berkata, "Aku Pangeran Ceng Han Houw adalah adik Kaisar Ceng Hwa. Ji-wi locianpwe mau percaya atau tidak terserah. Akan tetapi kedatanganku ini tidak membawa urusan kerajaan, melainkan urusan pribadi dengan ketua Siauw-lim-pai, Thian Khi Hwesio."

Lega rasa hati Thian Bun Hwesio mendengar ini. Tadinya dia khawatir kalau-kalau ada urusan dengan pemerintah dan ini tentu saja akan melibatkan Siauw-lim-pai dalam urusan yang amat tidak enak. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini datang untuk urusan pribadi dan melihat keadaan dan sikapnya, sangat boleh jadi kalau pangeran ini hendak minta belajar silat dari ketua Siauw-lim-pai!

Tentu itulah kehendaknya, karena memang tidak jarang ada putera-putera bangsawan, bahkan dari istana, yang datang untuk mempelajari ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Sikapnya menjadi makin ramah karena kelapangan hatinya.

Pada saat itu pula, seorang hwesio yang memang tadi sudah dipesan, datang membawa cangkir-cangkir teh yang dihidangkannya ke atas meja. Thian Bun Hwesio dengan ramah mempersilakan tamunya minum. Kemudian dia berkata dengan wajah berseri,

"Bila mana paduka mempunyai urusan pribadi, dapat paduka sampaikan kepada pinceng. Andai kata suhu sedang ada di sini pun, tentu pelaksanaannya akan suhu berikan kepada pinceng. Ada keperluan apakah gerangan yang membuat paduka jauh-jauh datang ke kuil Siauw-lim-si kami?"

Mendengar ini, Han Houw yang telah minum teh yang dihidangkan itu, kini memandang kepada mereka berdua penuh perhatian, terutama Thian Bi Hwesio yang bertubuh tinggi besar dan bersikap kereng dan pendiam itu. Kemudian dia mengajukan pertanyaan yang membuat kedua orang hwesio itu terkejut, "Apakah ji-wi locianpwe yang mewakili ketua Siauw-lim-pai merupakan murid-murid utama?"

Thian Bun Hwesio hanya mengangguk.

"Ahhh, kalau begitu tentu ji-wi memiliki ilmu silat yang paling tinggi di antara semua murid Siauw-lim-pai?"

Thian Bun Hwesio tersenyum. "Ahh, orang-orang yang lemah seperti kami ini mana berani mengatakan memiliki kepandaian tinggi? Siauw-lim-pai amat luas dan mempunyai ribuan orang murid yang tersebar di seluruh negeri, maka sulit untuk mengukur siapa yang lebih tinggi kepandaiannya. Bahkan suhu sendiri tentu tidak berani menganggap diri terpandai di antara para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi kalau hanya di kuil ini, tentu saja suhu yang paling pandai dan pinceng sekalian adalah murid-murid utamanya."

"Bagus sekali! Jika begitu ji-wi locianpwe merupakan orang yang terpandai di sini setelah ketua Siauw-lim-pai!" Han Houw berkata girang.

Kenyataan ini menggirangkan hatinya yang tadi kecewa mendengar bahwa ketua Siauw-lim-pai sedang pergi. Setidaknya kalau dia sudah mampu menghadapi murid-murid utama Siauw-lim-pai, sudah cukuplah sebagai langkah-langkah pertama menuju kepada sebutan Jagoan Nomor Satu di dunia!

Thian Bi Hwesio juga menyangka bahwa pangeran ini tentu ingin belajar silat, maka kini dialah yang bicara dengan suaranya yang nyaring, parau dan jujur, "Pangeran, ketahuilah bahwa pinceng yang mewakili suhu di sini untuk memimpin para murid belajar ilmu silat. Kalau paduka berniat hendak belajar..."

Wajah Han Houw berseri dan mulutnya tersenyum, lalu dia bangkit berdiri. "Bagus sekali, Thian Bi Hwesio! Tadinya aku berniat belajar dari Thian Khi Hwesio ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi karena beliau sedang berada di luar, maka biarlah aku mempelajari beberapa jurus pukulan dari Ji-wi locianpwe. Marilah, locianpwe!"

Menyaksikan kegembiraan pemuda itu, dua prang hwesio itu tersenyum lebar. Pemuda ini begitu penuh semangat untuk belajar! Dan seketika itu juga minta diajari, seolah-olah ilmu silat itu adalah ilmu yang begitu didapat lalu seketika bisa! Akan tetapi karena mereka pun menduga bahwa tentu pemuda bangsawan ini sedikit banyak sudah mengenal ilmu silat, maka Thian Bi Hwesio lalu berkata.

"Baik, marilah kita ke lian-bu-thia, pangeran."

Pada waktu mereka memasuki ruangan belajar silat yang luas itu, di situ terdapat belasan orang hwesio serta murid Siauw-lim-pai yang muda-muda sedang berlatih silat. Ada yang sedang berlatih sendirian, berdua, ada pula yang sedang melatih otot-otot mereka dengan mengangkat benda-benda berat dan sebagainya. Tubuh atas mereka yang tidak berbaju itu mengkilap oleh keringat.

Melihat datangnya kedua orang guru mereka bersama seorang pemuda tampan, mereka semua segera memberi hormat dan berdiri di pinggir, menghentikan latihan mereka. Dari hwesio penyambut tamu tadi sudah tersiar berita tentang datangnya tamu agung, seorang pangeran, maka kini semua mata ditujukan kepada Han Houw dengan penuh perhatian karena mereka semua dapat menduga bahwa agaknya pemuda inilah yang disebut oleh hwesio penerima tamu tadi.

Melihat lian-bu-thia yang lengkap dengan semua alat-alat berlatih silat berikut rak senjata di mana terdapat semua bentuk senjata-senjata kaum persilatan dan dinding-dinding yang dihias gambar-gambar tubuh manusia dengan keterangan tentang letak otot-otot, tulang-tulang dan syaraf, Han Houw pun memandang dengan kagum. Memang luas dan lengkap sekali lian-bu-thia ini, patut menjadi tempat berlatih silat perkumpulan yang begitu besar dan ternama.

Dengan tangannya, Thian Bi Hwesio memberi isyarat kepada para murid untuk duduk di pinggir, maka mereka semua lalu duduk bersila di dekat dinding dengan rapi, siap untuk melihat seperti sikap mereka bila hendak diberi kuliah tentang ilmu silat oleh guru mereka. Juga Thian Bun Hwesio memandang sambil tersenyum. Hwesio ini duduk di atas sebuah bangku pada sudut ruangan, ingin melihat bagaimana suheng-nya akan memberi petunjuk kepada pangeran yang aneh ini.

Mereka saling berdiri berhadapan, Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Bi Hwesio, murid ke dua dari Thian Khi Hwesio. Pangeran yang bertubuh cukup jangkung tegap itu tampak kecil berhadapan dengan hwesio berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu.

"Pangeran, pernahkah paduka belajar ilmu silat?" tanyanya dengan suara nyaring akan tetapi sikapnya hormat. Pangeran itu mengangguk.

"Untuk dapat memberi petunjuk kepada paduka dalam ilmu silat, maka lebih dulu pinceng harus melihat sampai di mana tingkat yang paduka miliki, apakah kedudukan kaki pada pelajaran yang lalu sudah benar. Karena ilmu silat Siauw-lim-pai haruslah murni dan tidak boleh dikacaukan oleh dasar-dasar dari ilmu silat lain, barulah ilmu itu bisa dilatih dengan sebaiknya. Oleh karena itu, pinceng harap paduka suka memperlihatkan gerak ilmu silat yang sudah pernah paduka pelajari."

Han Houw tersenyum, "Locianpwe, sangat tidak enaklah kalau bersilat sendirian saja dan menjadi tontonan, karena ilmu silatku sangat buruk, sebaiknya kalau locianpwe memberi pelajaran satu dua jurus kepadaku." Itulah merupakan tantangan, biar pun nadanya minta diberi pelajaran.

Thian Bi Hwesio masih tersenyum. "Kalau begitu, maka biarlah seorang murid pinceng yang terbaik menemani paduka, dari gerakan paduka pun pinceng bisa menilai tingkat..."

"Jangan, locianpwe. Tadinya aku hendak minta pelajaran langsung dari Thian Khi Hwesio, untuk minta beliau menguji kepandaianku, akan tetapi karena beliau sedang tidak ada di sini, harap locianpwe saja yang menguji. Aku datang bukan untuk belajar ilmu silat Siauw-lim-pai, melainkan untuk minta ketua Siauw-lim-pai menguji ilmu silatku, locianpwe."

Kini barulah Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio, juga para murid Siauw-lim-pai yang berada di situ, terkejut bukan main. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini bukan ingin belajar silat dari Siauw-lim-pai, melainkan hendak minta Siauw-lim-pai menguji kepandaiannya, atau dengan lain kata, pemuda itu ingin menguji kepandaian ketua Siauw-lim-pai!

"Ahhh, harap paduka tidak main-main, pangeran. Paduka adalah seorang pangeran yang harus kami hormati, sedangkan ilmu silat adalah ilmu pukulan yang tidak bermata, karena itu kalau sampai kesalahan tangan melukai paduka, tentu akan menimbulkan penyesalan hebat!"

Han Houw tertawa sambil bertolak pinggang. "Ha-ha-ha, locianpwe, jangan menganggap aku sebagai seorang anak kecil yang takut terluka. Lagi pula, apakah locianpwe mengira bahwa aku akan dapat mudah kau kalahkan begitu saja? Kalau aku menganggap bahwa kepandaianku belum cukup, apakah aku berani datang ke Siauw-lim-pai?"

Ucapan yang mulai takabur ini mengejutkan semua orang hingga kedua alis dari Thian Bi Hwesio berkerut. Dia telah salah menduga. Pemuda yang mengaku pangeran ini kiranya seorang pemuda yang tinggi hati dan yang agaknya terlampau mengandalkan kepandaian sendiri sehingga berani berlagak demikian sombongnya. Hendak mengajak mengadu ilmu kepandaian dengan dia! Bahkan dengan suhu-nya! Gila benar!

"Pangeran," katanya dengan nada suara serius dan matanya yang lebar itu memandang tajam, "hendaknya pangeran tidak mencari perkara dan pinceng minta agar paduka suka menghentikan main-main ini. Kami fihak Siauw-lim-si tidak bersedia melayani permintaan paduka untuk main-main dengan ilmu silat. Ilmu silat Siauw-lim-pai bukan dimaksudkan sebagai alat untuk memukul orang atau menyombongkan diri!"

Han Houw memandang hwesio itu sambil tersenyum mengejek. "Apakah dengan lain kata locianpwe ingin menyatakan bahwa locianpwe tidak berani menerima tantanganku untuk saling menguji kepandaian atau pibu?"

Tantangan itu sudah terang-terangan sekarang! Seorang hwesio muda, tak lebih dari tiga puluh tahun usianya, yang bertelanjang baju, telah meloncat ke depan. Dia ini merupakan murid pertama dari Thian Bi Hwesio dan wataknya keras jujur seperti gurunya. Matanya lebar bundar.

"Suhu, biarlah teecu mewakili suhu untuk bermain-main sebentar dengan pangeran! Bila sampai kesalahan tangan, biarlah teecu yang menderita hukuman, bukan suhu!"

Murid ini agaknya maklum mengapa gurunya segan menyambut tantangan pemuda itu. Apa bila gurunya menerima berarti membahayakan Siauw-lim-pai, karena kalau suhu-nya sampai melukai pangeran itu, bukankah fihak kerajaan akan marah dan sakit hati? Maka, gurunya meragu. Akan tetapi dia sendiri tidak dapat menahan lebih lama lagi mendengar gurunya disebut takut menghadapi pangeran muda yang sombong itu.

"Baiklah, kau berhati-hatilah, jangan sampai kesalahan pukul," Thian Bi Hwesio berkata sambil mengangguk, lalu melangkah pergi menuju ke bangku di samping sute-nya. Di situ mereka berdua berbisik-bisik dengan alis berkerut, merasa amat khawatir melihat seorang pangeran agaknya sengaja hendak mendatangkan keributan.

Hwesio bermata lebar itu kini menghadapi Han Houw sambil tersenyum menyeringai dan berkata, "Pangeran, hambalah yang akan mewakili suhu Thian Bi Hwesio untuk menerima tantangan pibu paduka. Nah, paduka mulailah!" Sambil berkata demikian, hwesio ini telah memasang kuda-kuda dengan gagahnya.

Kedua kakinya terpentang lebar, dengan kedua lutut ditekuk membentuk segi yang lurus, dengan tubuh tegak serta mata tajam memandang kepada musuh, kedua tangan ditekuk dengan jari-jari terbuka membentuk cakar di bawah dan atas pusar. Kuda-kuda ini gagah sekali karena memang hwesio itu sudah membuka gerakan dengan kuda-kuda ilmu silat harimau. Akan tetapi Han Houw yang merasa kecewa dan juga diam-diam marah karena Thian Bi Hwesio memandang rendah kepadanya itu, hanya tersenyum.

"Hwesio, percuma saja kalau engkau yang maju. Dalam beberapa jurus saja engkau akan roboh!" Dia lalu menghampiri hwwsio itu dan dengan sembarangan tangannya bergerak menampar sambil berkata, "Nah, kau terimalah ini!"

Semua orang menahan napas menyaksikan kelancangan ini. Gerakan pemuda tampan itu sama sekali bukan gerakan silat, melainkan cara menyerang yang sangat lemah dan bodoh. Dengan kepandaian macam itu pemuda bangsawan ini berani menantang Thian Bi Hwesio, bahkan tadinya mencari Thian Khi Hwesio!

Hwesio itu tentu saja bergerak cepat. Dia masih ingat bahwa pemuda ini adalah seorang pangeran, karena itu dia hanya ingin mengalahkan tanpa melukai agar Siauw-lim-pai tidak sampai mendapat kesukaran, maka melihat tamparan itu, dia lantas mengelak cepat dan tiba-tiba tangan kirinya meluncur dari bawah, bukan lagi berupa gerakan cakar harimau karena dia sudah merubahnya menjadi totokan dengan dua jari ke arah jalan darah pada bawah lengan tangan Han Houw yang sedang menampar. Dia ingin dalam segebrakan saja menotok lumpuh pangeran itu, dengan demikian mengalahkannya tanpa melukai.

"Tukkk!"

Totokan itu tepat mengenai jalan darah di dekat ketiak Han Houw, akan tetapi hwesio itu terkejut bukan main ketika kedua jarinya bertemu dengan kulit yang kerasnya seperti baja dan kini tahu-tahu tangan Han Houw sudah menampar lagi ke arah lehernya. Hwesio itu cepat menggunakan kedua lengannya untuk menangkis dari kanan dan kiri, dengan jalan menggunting!

Akan tetapi dengan sikap tidak peduli, Han Houw melanjutkan tamparannya dan kedua lengan lawan itu dengan keras menggunting lengannya dari kanan kiri. Anehnya, kedua lengan hwesio itu terpental dan tangan Han Houw masih terus saja meluncur ke depan karena tangkisan itu sama sekali tidak mempengaruhinya.

"Plakkk!"

Tengkuk hwesio itu kena ditampar perlahan saja, dan hwesio itu mengeluh kemudian kaki Han Houw bergerak menendang hingga tubuh hwesio yang sudah lemas itu terlempar ke arah Thian Bi Hwesio!

Hwesio tinggi besar ini segera berdiri kemudian menerima tubuh muridnya. Dia langsung memeriksanya dan kagetlah dia melihat betapa muridnya itu telah pingsan tertepuk jalan darahnya secara lihai sekali. Dia tahu bahwa pemuda itu ternyata seorang yang lihai dan hanya berpura-pura saja tolol.

Dia pun tahu bahwa muridnya, yang sebenarnya terhitung pandai, dikalahkan dalam dua gebrakan saja bukan oleh ilmu silat, melainkan oleh tenaga dalam yang berselisih jauh. Jelas bahwa melihat kehebatan tenaga sinkang pemuda itu, muridnya sama sekali bukan tandingannya dan tahulah dia bahwa pemuda ini merupakan lawan tangguh.

"Sute, waspadalah...," bisiknya kepada Thian Bun Hwesio dan dia sendiri dengan sekali lompat sudah tiba di depan Han Houw.

"Ahh, kiranya paduka adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat!" Thian Bi Hwesio berkata. "Maafkan pinceng yang tidak mengetahuinya. Tidak tahu dari perguruan manakah paduka dan apa sebabnya paduka mengajak adu kepandaian dengan kami orang-orang Siauw-lim-pai yang tidak pernah menggunakan kepandaian untuk menghina fihak lain?"

"Hemmm, Thian Bi Hwesio! Aku tidak terikat dengan partai mana pun dan aku pun tidak memiliki permusuhan dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi karena mendengar bahwa Siauw-lim-pai merupakan gudang ahli-ahli silat, maka aku ingin sekali membuktikan. Alangkah akan kecewa hatiku kalau melihat bahwa ahli silat Siauw-lim-pai hanya seperti si lancang tadi! Karena itu aku ingin sekali mengadu ilmu dengan Thian Khi Hwesio atau setidaknya dengan orang terpandai di sini. Aku ingin melihat siapa di antara kita yang boleh disebut orang terpandai di dunia persilatan! Bila locianpwe yang mewakili Thian Khi Hwesio tidak berani menghadapiku, aku pun tak akan memaksa, akan tetapi kalau tidak berani, Siauw-lim-pai harus menyatakan secara tertulis dan mengakui saya sebagai jagoan nomor satu di dunia!"

Dua orang hwesio tua itu sampai terbelalak mendengar ucapan yang bernada tinggi hati dan sombong luar biasa itu! Mana ada ahli silat di dunia ini yang berani mengaku sebagai jagoan nomor satu di dunia? Akibatnya akan sangat hebat dan tentu seluruh kang-ouw akan bangkit menentangnya!

Dalam dunia persilatan berlaku istilah bahwa setinggi-tingginya puncak Gunung Thai-san, masih ada langit yang lebih tinggi lagi! Semenjak dahulu, belum pernah ada atau jarang sekali ada orang yang demikian sombongnya hendak mengangkat dirinya sendiri menjadi jagoan nomor satu di dunia, apa lagi oleh seorang pemuda seperti ini!

Thian Bi Hwesio adalah seorang hwesio yang jujur dan kasar, maka mendengar ucapan bernada sombong itu wajahnya menjadi semakin hitam. Dengan mata melotot dia lantas berkata, "Pangeran, tidak mungkin bagi kami untuk membuat pernyataan apa pun, dan memang Siauw-lim-pai tidak pernah takut menghadapi apa pun dan siapa pun. Kami telah menolak ajakan pibu dari pangeran hanya untuk mencegah terjadinya hal-hal tidak baik menimpa paduka akan tetapi kalau paduka memaksa, kami sebagai wakil suhu tentu saja tidak akan takut."

"Bagus, itu baru suara seorang gagah! Nah, Thian Bi Hwesio, marilah kita bermain-main beberapa jurus agar dapat menentukan siapa di antara kita yang lebih pandai!" Han Houw berkata girang dan dia sudah memasang kuda-kuda. Melihat kepandaian murid hwesio ini tadi, dia agak memandang rendah dan mengambil keputusan akan menggunakan ilmunya yang pernah dipelajarinya dari subo-nya melalui suci-nya.

Melihat bentuk kuda-kuda pemuda itu, Thian Bi Hwesio semakin berhati-hati. Kuda-kuda itu aneh, dengan kaki kiri diluruskan ke depan dan kaki kanan ditekuk hampir berjongkok, dan kedua lengan bersilang di depan muka, yang satu terkepal yang satu lagi terbuka.

"Silakan, pangeran!" katanya sambil memasang kuda-kuda.

Hwesio yang tidak berani memandang rendah ini sudah bergerak sambil memainkan Ilmu Silat Lo-han-kun. Dia tidak mau mempergunakan ilmu yang kasar, melainkan ilmu yang halus seperti Lo-han-kun akan tetapi mengerahkan tenaganya sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan mengerikan pada saat dia mengerahkan kedua lengan yang besar berotot itu.

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Han Houw girang sekali. Dia tahu bahwa hwesio ini cukup tangguh, tetapi makin tangguh lawan, makin gembiralah dia karena lawan itu ada harganya untuk dikalahkan. Karena dia sebagai tamu dan fihak tuan rumah sudah mempersilakan, tanpa sungkan lagi Han Houw segera menggeser kakinya dengan ilmu langkah ajaib Pat-kwa-po, kemudian tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah perut lawan dari bawah!

"Hiaaattt...!"

"Wuuuuttt...!"

"Aahhhh...!" Hwesio itu berseru dan menggunakan lengan menangkis ke bawah dengan pengerahan tenaga karena dia hendak membuat pemuda itu kesakitan dengan mengadu lengan.

Akan tetapi, biar pun dia tidak gentar untuk mengadu tenaga, Han Houw cepat menarik tangannya dan tubuhnya sudah berputar dengan langkah-langkah ajaib itu, sekarang dia bangkit berdiri dan tangan kirinya menampar.

"Wuuuuutttt...!"

"Ehhh...!" Thian Bi Hwesio terkejut bukan main melihat tamparan ini.

Sebagai seorang ahli silat tinggi yang sudah banyak pengalaman, dia mengenal tamparan yang mengandung hawa beracun. Dan memang Han Houw sudah mengerahkan tenaga dan menampar dengan ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang ampuh, ilmu yang dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li.

Hwesio tinggi besar itu mengebutkan ujung lengan bajunya dan menyambut tamparan ini dengan totokan ujung lengan baju ke arah pergelangan tangan Han Houw. Pangeran ini pun cepat-cepat menarik tangannya dan menyerang lagi dengan tonjokan ke arah dada, dibarengi tamparan ke dua ke arah pelipis lawan. Gerakannya cepat bukan kepalang dan langkah-langkah kakinya sangat indah, juga sangat cepat dan tidak terduga sebelumnya.

Akan tetapi Thian Bi Hwesio dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu dengan jalan mengebutkan ujung lengan baju, bahkan segera balas menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman kuat yang memaksa Han Houw untuk melangkah mundur dan memutar.

Kini baru tahulah semua murid Siauw-lim-pai bahwa pemuda yang mengaku diri sebagai pangeran itu benar-benar lihai bukan main! Dan jelas bahwa Ilmu Silat Lo-han-kun yang dimainkan dengan sedemikian baiknya oleh Thian Bi Hwesio itu sama sekali tidak dapat mendesaknya! Pemuda itu mempergunakan langkah-langkah ajaib, langkah-langkah yang membentuk segi delapan dan yang selalu dapat membawa dirinya terhindar dari desakan Ilmu Silat Lo-han-kun, dan pemuda itu pun mampu membalas dengan pukulan-pukulan, tamparan-tamparan serta totokan-totokan yang tak kalah hebatnya sehingga untuk dapat menyelamatkan diri dari semua itu, agaknya Thian Bi Hwesio harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya!

Seratus jurus sudah lewat dan diam-diam Han Houw kagum sekali. Hwesio ini di samping mempunyai tenaga yang sangat kuat, juga ilmu silatnya demikian bersih dan sempurna, demikian kokoh kuat sehingga dia tidak melihat adanya lubang sedikit pun untuk dapat memasukkan serangannya! Biar pun dia sendiri selalu dapat menghindarkan diri, namun sebaliknya dia pun tidak mampu mendesak lawannya!

Jelaslah baginya bahwa selama dia hanya mengandalkan ilmu-ilmunya yang dia pelajari dari subo-nya saja, dia tidak akan mampu mengalahkan tokoh Siauw-lim-pai yang sangat tangguh ini. Maka mulailah dia merubah gerakannya dan kini dia mulai mainkan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang sambil mengerahkan sinkang yang dipelajarinya dalam goa menurut kitab Bu Beng Hud-couw itu. Dan akibatnya hebat!

Beberapa kali Thian Bi Hwesio berteriak kaget pada saat pemuda itu mulai melancarkan pukulan aneh yang mendatangkan angin berpusing! Dia berusaha untuk mengelak atau menangkis, mengerahkan tenaganya, akan tetapi pukulan ke tiga yang datangnya sangat lambat, bahkan terlampau lambat itu, mendatangkan suara bercicitan seperti seekor tikus terjepit dan hwesio itu berseru kaget karena tangannya yang menangkis terasa perih dan bajunya robek.

Dia cepat melangkah mundur dan melihat betapa lengannya telah terluka seperti disayat pedang tajam! Sementara itu, kini Han Houw sudah mendesak lagi dengan kedua tangan didorongkan dari bawah. Kembali terdengar suara bercuitan dan ketika Thian Bi Hwesio mengerahkan tenaga menangkis, dan juga mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan, kembali hwesio ini mengeluh dan tubuhnya terjengkang, terbanting roboh dan dia berguling lantas meloncat bangun di dekat sute-nya, berdiri dengan tubuh bergoyang dan muka pucat, napasnya sesak dan dia memejamkan mata, lalu duduk bersila karena hwesio ini telah terluka di bagian dalam tubuhnya.

Bukan main kagetnya Thian Bun Hwesio melihat kakak seperguruannya dikalahkan oleh pemuda itu. Sejak tadi, dia sudah menonton dengan mata terbelalak, makin lama makin kagum dan heran pada pemuda bangsawan yang benar-benar amat lihai itu dan hampir dia tidak percaya melihat betapa suheng-nya benar-benar kalah oleh pemuda itu! Dia pun menjadi penasaran sekali.

Akan tetapi sebagai seorang tokoh besar Siauw-lim-pai, hwesio ini tak mau menuruti rasa penasaran dalam hatinya dan tetap berdiri dengan sikap tenang. Sebagai seorang kepala bagian pelajaran silat, tentu saja suheng-nya yang tadi baru saja kalah itu lebih kuat dari padanya, akan tetapi Thian Bun Hwesio juga memiliki suatu keistimewaan yang melebihi suheng-nya, yaitu dalam hal ilmu ginkang atau meringankan tubuh.

Setelah memperoleh kemenangan itu dengan amat mudah sesudah dia mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari kitab rahasia Bu Beng Hud-couw, Han Houw tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri. Hatinya merasa gembira bukan main bahwa dengan ilmunya yang hebat itu, dia sudah merobohkan hwesio Siauw-lim-pai yang merupakan tokoh besar itu hanya dalam waktu tiga jurus saja! Padahal ilmu-ilmunya itu belum dilatihnya dengan matang.

Makin besarlah kepercayaannya kepada diri sendiri, akan tetapi juga makin tinggilah dia memandang diri sendiri sehingga menimbulkan kesombongan. Perasaan sombong serta tinggi hati ini yang membuat dia tertawa lalu memandang kepada Thian Bun Hwesio dan timbul pula keinginannya untuk juga mengalahkan hwesio ini!

Dia merasa belum puas kalau hanya mengalahkan seorang hwesio saja, apa lagi dia tadi telah menggunakan waktu seratus jurus lebih karena tadinya dia menggunakan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li. Kini dia ingin membuka mata semua hwesio di situ bahwa dia mampu merobohkan guru-guru mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja dan dia merasa yakin akan dapat melakukan hal ini jika dia langsung menggunakan ilmunya yang amat hebat dari Bu Beng Hud-couw. Maka dia kini tertawa.

"Ha-ha-ha-ha, locianpwe, kalau engkau mau maju, aku berani pastikan bahwa aku akan mampu merobohkanmu dalam waktu kurang dari sepuluh jurus!"

Mendengar ini, hampir semua murid Siauw-lim-pai yang mendengarnya menjadi merah mukanya dan mereka itu marah sekali. Thian Bi Hwesio, guru dan pelatih mereka sudah kalah dalam pertandingan yang sewajarnya, namun hal ini bagi mereka tidak menjadikan rasa penasaran karena mereka telah digembleng lahir batin dan maklum bahwa menang kalah dalam adu silat adalah hal yang lumrah dan mereka pun tidak berpendapat bahwa guru mereka merupakan orang tak terkalahkan dalam dunia persilatan.

Akan tetapi, ketika mendengar pemuda itu mengatakan akan merobohkan susiok (paman guru) mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, sungguh merupakan ucapan yang amat keterlaluan dan berlebihan! Mereka tahu akan kelihaian susiok mereka yang dalam hal ilmu silat setingkat atau hanya berselisih sedikit saja dari pada suhu mereka, bahkan mereka juga maklum bahwa susiok mereka ini memiliki kelebihan dalam ginkang. Maka pernyataan pemuda bangsawan itu bahwa dia akan merobohkannya dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, sungguh merupakan suatu penghinaan yang keterlaluan.

"Pangeran, harap pangeran menghentikan adu kepandaian yang tiada manfaatnya ini dan suka duduk sebagai tamu terhormat atau paduka pergi saja meninggalkan tempat ini dan tidak mengganggu kami." Dengan sikap amat sopan dan lemah lembut Thian Bun Hwesio berkata sambil menjura dengan sikap hormat.

"Ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi bahwa aku hendak menguji sampai di mana kehebatan ilmu silat dari Siauw-lim-pai, locianpwe. Kalau locianpwe tak mau melayaniku untuk saling menyelami kepandaian masing-masing, aku pun tak dapat memaksa, hanya saja kuharap locianpwe suka memberi pernyataan tertulis bahwa ilmu silatku lebih tinggi dari pada ilmu silat Siauw-lim-pai!"

Berkerut alis pendeta yang bersikap halus itu. Dia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Omitohud... apa akan jadinya kalau ada orang berkedudukan tinggi bersikap seperti ini? Pangeran, pinceng tidak berwenang untuk memutuskan sesuatu mengenai tindakan yang harus diambil oleh Siauw-lim-pai. Suhu kami sedang tidak berada di sini, ada pun pinceng tidak berani membuat pernyataan seperti itu."

"Jika tidak berani, majulah supaya aku dapat mencoba tingginya ilmu silatmu, locianpwe," Mulutnya saja menyebut locianpwe atau orang tua yang gagah dan dihormati, akan tetapi sikap pangeran itu benar-benar memandang ringan sekali. Hal ini terasa oleh Thian Bun Hwesio dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengelak lagi, maka dia lalu menarik napas panjang.

"Agaknya paduka tidak akan puas apa bila belum merobohkan pinceng. Nah, bersiaplah. Pinceng hendak memperlihatkan kebodohan pinceng!"

Sesudah berkata demikian, hwesio itu menekan kedua kakinya di atas tanah dan di lain saat tubuhnya telah melayang naik ke atas, langsung menerjang dari atas ke arah Han Houw.

"Uhhhh...!" Pangeran itu terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa pendeta itu memiliki ginkang yang sedemikian hebatnya.

Akan tetapi, dengan jalan merendahkan tubuhnya Han Houw sudah dapat menghindarkan diri dan balas mengirim pukulan dari bawah. Terpaksa Thian Bun Hwesio mengelak dan berjungkir balik lalu turun beberapa meter jauhnya dari pemuda itu, kemudian dia sudah menerjang lagi dengan kecepatan luar biasa. Kedua lengan bajunya yang panjang lebar itu berkibar dan menyambar-nyambar, merupakan dua buah senjata yang menotok ke arah jalan-jalan darah yang penting dari tubuh Han Houw.

Namun, dengan langkah-langkah Pat-kwa-po yang indah dan lihai itu Han Houw berhasil menghindarkan diri dengan sangat mudahnya. Kemudian secara mendadak pemuda ini berjungkir balik, kepala di bawah, kaki di atas dan mulailah dia menyerang dengan kaki tangannya. Itulah jurus-jurus dari Ilmu Hok-te Sin-kun yang amat hebat itu.

Thian Bun Hwesio mengeluarkan seruan kaget dan biar pun dia telah berusaha mengelak secepatnya, namun serangan tangan dari bawah oleh pemuda itu tetap masih mengenai pahanya. Padahal waktu itu Thian Bun Hwesio meloncat ke belakang, maka loncatannya terdorong oleh pukulan itu menjadi keras sekali dan dia melayang seperti sebuah layang-layang putus talinya, dan dari pahanya nampak darah membasahi celana!

"Omitohud...!" Terdengar seruan halus dan tahu-tahu ada seorang hwesio tua lain yang menerima tubuh Thian Bun Hwesio dengan sebelah tangannya, lalu menurunkan tubuh Thian Bun Hwesio. Hwesio yang terluka pahanya itu cepat bersila dan memeriksa lukanya yang terkena pukulan ampuh dari tangan pemuda yang mengandung hawa beracun itu.

Han Houw memandang hwesio yang baru muncul itu dengan penuh perhatian. Hwesio itu bertubuh gemuk, berwajah halus dan penuh kesabaran, akan tetapi sepasang mata yang bersinar lembut itu kelihatan amat berwibawa, usianya beberapa tahun lebih tua dari pada Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio. Hwesio ini melangkah maju menghampirinya lalu menjura dengan penuh hormat, sikapnya halus sekali.

"Omitohud...! Dari laporan beberapa anak murid, pinceng tadi mendengar bahwa paduka adalah Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja. Perkenankanlah pinceng menghaturkan maaf sebesarnya atas kekasaran dua orang sute pinceng terhadap paduka."

Han Houw tersenyum. Kedua orang hwesio yang pertama tadi juga bersikap halus dan hormat kepadanya, dan kini sikap amat halus dari hwesio ke tiga ini dianggapnya sebagai sikap takut terhadapnya. Setelah berhasil mengalahkan dua orang hwesio itu dia merasa makin bangga dan angkuh, memandang rendah kepada Siauw-lim-pai.

Setelah dia mampu merobohkan dua orang itu, maka dia pikir bahwa untuk melawan guru mereka pun dia tentu akan menang. Dia memandang hwesio tua yang menyebut sute kepada kedua orang hwesio tadi, lalu bertanya.

"Siapakah locianpwe?"

"Omitohud, paduka masih begini muda dan memiliki kedudukan begitu tinggi akan tetapi paduka sudah pandai bersikap, sebagai seorang gagah yang menghormati orang tua, dan telah mempunyai tingkat kepandaian yang demikian tingginya! Pinceng adalah Thian Sun Hwesio, murid tertua dari suhu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai di kuil ini. Oleh karena itu, pincenglah yang mewakili suhu menghaturkan maaf sebesarnya kepada paduka."

"Hemmm, Thian Sun Hwesio. Kedatanganku ini bukan untuk beramah-tamah, bukan pula untuk menjadi tamu, bukan untuk mengacau atau pun mencari permusuhan. Akan tetapi, sejak kecil aku amat suka mempelajari ilmu silat dan aku ingin sekali menguji kepandaian semua tokoh persilatan, untuk melihat apakah aku telah patut menjadi jagoan nomor satu di dunia! Aku tadinya hendak mencari Thian Khi Hwesio untuk kuuji kepandaiannya, akan tetapi karena dia tidak ada, maka kuharap engkau sebagai murid tertua suka mewakilinya untuk menguji kepandaian denganku."

"Omitohud, mana pinceng berani begitu lancang? Pendeta-pendeta tua dan bodoh seperti pinceng ini mana ada kepandaian untuk memukul orang? Pinceng hanya dapat membaca liam-keng dan apa bila paduka minta petunjuk tentang peri kemanusiaan dan kehidupan, maka bolehlah pinceng memberinya sebisa pinceng. Akan tetapi ilmu silat? Pinceng tidak mengenal ilmu silat untuk memukul orang."

"Hemmm, Thian Sun Hwesio, locianpwe seperti anda ini tidak perlu lagi menyembunyikan kenyataan. Siapakah yang tidak tahu bahwa di samping ilmu keagamaan, para pendeta di Siauw-lim-si merupakan ahli-ahli silat yang pandai? Aku telah menguji kepandaian kedua orang sute-mu yang ternyata tidak seberapa tinggi, maka kini aku minta locianpwe suka mewakili Thian Khi Hwesio untuk mengadu kepandaian melawanku."

"Pinceng tidak berani."

"Jika tidak berani, harap locianpwe suka membuat pernyataan tertulis bahwa fihak Siauw-lim-pai tidak dapat menandingi ilmu silatku!"

"Ahh, untuk membuat itu pun pinceng mana berani? Sebaiknya kelak apa bila suhu telah pulang saja paduka datang kembali dan bicara sendiri kepada suhu. Tentang kepandaian silat, di dunia ini siapakah yang dapat menentukan atau mengukur?"

"Thian Sun Hwesio, bicaramu bercabang! Jika memang ada kepandaian, hayo keluarkan untuk kutandingi!"

"Omitohud... harap paduka pangeran jangan salah artikan. Memang pinceng tidak pernah mempelajari ilmu untuk berkelahi, tetapi hanya pernah belajar sedikit ilmu untuk menjaga kesehatan."

"Hemm, kalau begitu coba locianpwe memperlihatkan ilmu untuk menjaga kesehatan itu!" Han Houw mendesak dan menantang. Hwesio ini tentu merupakan tokoh nomor satu di kuil ini sesudah ketuanya yang sedang pergi, maka hatinya belum puas kalau dia belum mengalahkan hwesio ini.

Thian Sun Hwesio tersenyum ramah, lalu dia menghampiri sebuah sapu yang bersandar di sudut ruangan itu. "Beginilah pinceng menjaga kesehatan, yaitu dengan pekerjaan yang bermanfaat, misalnya menyapu lantai." Sambil berkata demikian, Thian Sun Hwesio lalu menggerakkan sapu tua itu dengan sekali ayun.

Han Houw terkejut bukan main karena dia langsung merasakan adanya sambaran angin yang berputar-putar hingga semua debu dan kotoran di dalam ruangan itu ikut berputaran seperti terbawa angin puyuh, kemudian semua kotoran dan debu terkumpul di suatu sudut ruangan itu. Dengan sekali ayun saja kakek itu sudah dapat menyapu lantai ruangan itu sampai bersih, dan angin yang berputar-putar keluar dari ayunan sapunya tadi saja sudah menunjukkan betapa kuatnya tenaga sinkang dari Thian Sun Hwesio!

Hwesio ini benar-benar tak boleh dipandang ringan, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan dua orang hwesio pertama tadi, dan dia harus berpikir sepuluh kali terlebih dahulu untuk dapat memastikan bahwa dia akan menang melawan kakek ini!

"Bagus sekali! Kekuatanmu demikian hebatnya, Thian Sun Hwesio, sekarang marilah kita bertanding mengadu ilmu beberapa jurus!" tantangnya dan dia telah melangkah maju lalu memasang kuda-kuda.

Akan tetapi hwesio itu tersenyum dan menggelengkan kepala. "Omitohud, pinceng sudah menyatakan bahwa pinceng tidak pernah mempelajari ilmu silat untuk berkelahi. Karena itu biar pinceng dipukul mati pun pinceng tak berani melawan dengan kekerasan. Pinceng hanya bisa menyapu lantai seperti tadi, tidak bisa berkelahi," jawab pendeta itu.

Han Houw mengerutkan alisnya. Dia merasa penasaran sekali, akan tetapi dia pun tahu bahwa amat tidak baik kalau dia menyerang orang yang tidak akan mau melawan. Selain hal itu amat tidak baik, terutama bagi namanya yang diharapkan akan bisa disebut jagoan nomor satu di dunia, juga dia tidak sudi dan tidak tertarik. Maka dia pun menarik napas panjang, dan untuk melampiaskan rasa penasaran di dalam hatinya, dia lalu menghampiri sapu yang sudah disandarkan di pojok tadi. Dipegangnya gagang sapu yang terbuat dari kayu itu, ditimang-timangnya, kemudian digerak-gerakkan seperti orang sedang menyapu, lalu diletakkannya kembali menyandar dinding.

"Jelas aku tak akan mampu menandingi kepandaianmu dalam menyapu lantai, Thian Sun Hwesio! Maafkan aku!" Han Houw berkata sambil mengangguk, kemudian membalikkan tubuhnya, pergi dari situ, diikuti oleh penghormatan Thian Sun Hwesio yang menjura dan merangkap kedua tangan di depan dada.

Sesudah Han Houw pergi jauh, hwesio muda murid Thian Bi Hwesio yang tadi dikalahkan oleh Han Houw berkata, "Omitohud... baiknya ada supek yang membuat dia jeri dan pergi. Kepandaian supek hebat bukan main sehingga pemuda sombong itu mundur tanpa berani mendesak!"

Thian Sun Hwesio mengerutkan alisnya sambil menggelengkan kepalanya. "Pangeran itu sungguh hebat luar biasa dan dunia kang-ouw tentu akan geger dengan kemunculannya, bukan hanya karena ilmunya amat tinggi, akan tetapi terutama sekali karena dia seorang pangeran. Kau kira dia takut? Kau periksa sapu itu baik-baik."

Mendengar kata-kata ini, hwesio yang bertubuh tinggi besar itu memandang heran, lantas dihampirinya sapu yang tadi dipegang oleh Han Houw. Nampaknya sapu itu tak apa-apa, akan tetapi begitu jari tangan pendeta itu menyentuhnya, sapu yang tadi kelihatan masih utuh itu tiba-tiba hancur berantakan! Tentu saja hwesio itu terkejut bukan main, kemudian mengeluarkan seruan kaget sambil melompat ke belakang.

"Nah, kalian lihat betapa lihai dan berbahayanya tangan pangeran itu. Pinceng sendiri pun belum tentu akan mampu menandingi kekuatan sinkang-nya yang mengandung keajaiban. Sute berdua apakah tadi mengenal gerakan-gerakannya, dan dari golongan manakah ilmu silatnya?" tanya hwesio ini kepada dua orang sute-nya.

Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio saling pandang, kemudian menggeleng kepala dengan pandang mata terheran. "Gerakannya amat aneh dan selama hidup belum pernah pinceng melihat dasar ilmu silat seperti itu," kata Thian Bi Hwesio.

"Terutama gerakan-gerakannya dengan kepala di bawah dan kaki di atas itu," sambung Thian Bun Hwesio. "Seperti didasari gerakan yoga dari India, akan tetapi tentu bercampur dengan ilmu kaum sesat."

Setelah munculnya Han Houw yang seperti badai mengamuk mendatangkan kekalutan di dalam kuil itu, suasananya menjadi sunyi dan tenteram setelah pemuda itu pergi dan para hwesio melanjutkan tugas masing-masing, sungguh pun badai yang baru saja mengamuk itu mendatangkan kesan di dalam hati mereka dan menimbulkan kekhawatiran.

                  ***************

 Sementara itu, Han Houw pergi dengan hati yang puas. Bagaimana pun juga, dia sudah mengalahkan dua orang tokoh besar dari Siauw-lim-pai, dan peristiwa ini saja tentu akan mengangkat namanya tinggi-tinggi di dunia kang-ouw! Dia lalu melanjutkan perjalanannya ke utara, ke kota raja, akan tetapi di setiap kota dia tentu berhenti, mencari tokoh-tokoh kang-ouw untuk diajak mengadu ilmu silat!

Sudah banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang dirobohkannya, sebagian besar dikalahkannya dengan ilmu silatnya yang memang sangat tinggi itu, akan tetapi ada pula sebagian tokoh besar dunia kang-ouw yang tidak berani melawan sungguh-sungguh sesudah tahu bahwa pemuda yang sangat lihai itu adalah Pangeran Ceng Han Houw, adik dari kaisar! Mereka lebih baik mengalah dari pada harus melukai atau salah-salah dapat membunuh seorang pangeran karena hal ini akan menimbulkan akibat yang amat hebat sekali!

Maka, kemenangan demi kemenangan diraih oleh Han Houw yang menjadi makin angkuh dan merasa bahwa sesungguhnya dialah jagoan nomor satu di dunia ini! Dan tentu saja, sepak terjangnya itu tersiar luas di dunia kang-ouw ketika berita bahwa di dunia persilatan muncul seorang jago muda yang sangat lihai, yaitu Pangeran Ceng Han Houw.

Bahkan tersiar pula berita bahwa selain banyak orang kang-ouw di selatan yang sudah kalah oleh pangeran ini, juga tokoh-tokoh Siauw-lim-pai roboh pula oleh jagoan muda ini! Berita ini tentu saja disiarkan oleh Han Houw sendiri dan para tokoh kang-ouw menjadi semakin ribut dan kagum.

                  ***************

Pemuda itu menghempaskan tubuhnya di atas rumput hijau di bawah pohon besar yang teduh. Dia mengeluh panjang, lalu mengambil sehelai sapu tangan lebar dan menyusuti keringatnya di muka dan lehernya, membuka kancing bajunya bagian atas untuk merogoh dada dengan sapu tangannya yang kini menjadi basah kuyup. Diperasnya sapu tangan itu sehingga air keringat mengucur, kemudian diusapnya lagi mukanya yang kemerahan. Dia mengeluh lagi.

Sinar matahari amat teriknya di waktu siang hari itu, lewat tengah hari. Dan keteduhan di bawah pohon besar itu sangat nyaman. Sehabis tertimpa panas matahari setengah harian lalu duduk berteduh di tempat itu, di tepi hutan, benar-benar menimbulkan rasa nyaman. Apa lagi ketika ada angin berhembus lembut, membuat muka, leher dan dada yang kini terbuka sedikit itu tertiup angin, nikmatnya bukan kepalang. Kulit yang tadinya gatal-gatal panas itu ditiup angin hingga terasa sejuk nyaman dan pemuda itu pun menguap. Kedua matanya mulai letih dan mengantuk.

"Aihh... Lan-moi dan Lin-moi, benar-benar membikin sengsara orang...!" keluhnya.

Dia pun merebahkan tubuhnya yang gemuk itu di atas rumput, berbantal lengan kiri, ada pun lengan kanannya memegangi golok pada gagangnya, golok besar yang diletakkannya di atas rumput di samping tubuhnya yang besar. Tak lama kemudian dia pun mendengkur, sudah tertidur dengan nyenyaknya!

Pemuda itu bukan lain adalah Tee Beng Sin, keponakan dari Kui Hok Boan yang tinggal di dusun Pek-jun dekat kota raja. Pemuda bertubuh gendut berwajah lucu ini seperti kita ketahui telah meninggalkan dusun Pek-jun bersama Kwan Siong Bu, seorang keponakan lain dari Kui Hok Boan, untuk mencari jejak Lan Lan dan Lin Lin yang melarikan diri akibat mereka hendak diberikan kepada Pangeran Ceng Han Houw. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Beng Sin dan Siong Bu bersimpang jalan dan mereka tidak diperkenankan pulang oleh Kui Hok Boan sebelum menemukan dua orang gadis kembar yang minggat itu.

Sudah berbulan-bulan, kurang lebih enam bulan lamanya, Beng Sin mencari-cari kedua orang adik seperguruan atau adik misan itu, dan akhirnya dia memperoleh jejak mereka di daerah ini. Dia mencari terus dan siang hari itu, saking lelah dan sedihnya dia jatuh pulas di tepi hutan lebat!

Betapa hati pemuda gendut ini tak akan berduka? Dia telah setengah tahun meninggalkan rumah dan tidak berani pulang karena belum juga berhasil menemukan kembali Lan Lan dan Lin Lin. Dia amat suka kepada dua orang gadis kembar itu, mencinta mereka seperti adik-adik kandung sendiri, maka biar pun dia tidak dipesan oleh Kui Hok Boan sekali pun, agaknya dia tidak mau pulang sebelum dapat bertemu dengan mereka.

Kalau dia membayangkan nasib kedua orang dara kembar itu, dia merasa kasihan sekali. Secara diam-diam dia menyesalkan sikap dan tindakan pamannya yang begitu tega untuk menyerahkan dua orang puterinya kepada pangeran tanpa persetujuan kedua orang dara itu!

Memang menurut pendapat umum, diambil selir oleh seorang pangeran merupakan suatu kehormatan yang besar bagi seorang gadis, dan Beng Sin tentu saja terseret pula oleh anggapan umum ini. Akan tetapi pemuda gendut ini tetap berpendirian bahwa betapa baik pun nasib dua orang dara itu karena telah dipilih oleh pangeran, namun karena urusan itu mengenai nasib kehidupan kedua orang dara itu, maka tentu harus mendapat persetujuan dari mereka sendiri.

Saking kesalnya dan juga saking lelahnya, Beng Sin tidur pulas di bawah pohon dengan nyenyaknya sampai dia mendengkur! Tiba-tiba dia tersentak kaget dan sebagai seorang pemuda yang semenjak kecil belajar silat, begitu terbangun dia segera meloncat dengan golok di tangan dan waspada, celingukan ke kanan kiri. Sungguh menyeramkan melihat pemuda yang gendut dan nampak tubuhnya kokoh kuat itu berdiri tegak dengan sebatang golok yang besarnya bukan main itu di tangan kanan, golok besar sekali yang berkilauan tertimpa cahaya matahari.

Beng Sin memandang ke kanan kiri dengan alis berkerut. Biar pun dia tadi tidur pulas, tak salah lagi, telinganya menangkap jeritan nyaring yang membuatnya tersentak kaget. Akan tetapi kenapa keadaan di situ sunyi saja dan dia tidak melihat atau mendengar apa-apa? Apakah dia mimpi? Tak mungkin.

"Tolongggg... ohh, tolonggg...!"

Beng Sin terperanjat, lalu meloncat dan lari ke arah suara itu, yaitu ke dalam hutan. Dia harus membabat semak-semak belukar dengan goloknya, juga menyusup-nyusup hingga mukanya terasa gatal-gatal karena melanggar ranting-ranting semak-semak. Akan tetapi dia berlari terus dan akhirnya tibalah dia di tengah hutan.

Nampak sebuah kereta tua yang ditarik oleh dua ekor kuda kurus di tengah hutan itu, di atas jalan hutan yang kasar. Lima orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar sambil tertawa-tawa sedang menarik-narik seorang gadis cantik ada pun seorang wanita setengah tua menangis dan berusaha mencegah lima orang laki-laki itu.

"Keparat!" Beng Sin membentak dan cepat dia meloncat ke dekat kereta itu.

Lima orang lelaki kasar itu terkejut mendengar bentakan Beng Sin. Mereka menoleh dan melihat munculnya seorang pemuda gendut yang memegang golok yang bukan kepalang besarnya, mereka langsung melepaskan gadis itu dan mencabut senjata masing-masing dengan sikap mengancam.

"Jangan takut, nona, aku akan membasmi mereka!" kata Beng Sin dengan sikap gagah dan dia mendekati gadis dengan ibunya itu yang dengan tubuh gemetar lalu berlindung di belakangnya.

Lima orang perampok kasar itu dipimpin oleh seorang pria setengah tua yang rambutnya riap-riapan dan mukanya bercambang bauk, matanya lebar serta sikapnya menakutkan sekali, membayangkan keganasan dan keliaran. Bajunya terbuat dari kulit harimau yang memperlihatkan sebelah pundak dan sebagian dari dada kanannya yang tegap. Tangan kanannya memegang sebuah penggada yang sangat besar, besar dan berat, seimbang dengan besar dan beratnya golok di tangan Beng Sin. Empat orang anak buahnya berdiri di belakangnya, masing-masing memegang senjata mereka, ada yang memegang golok, ada pula yang memegang pedang atau tombak pendek.

Dengan marah Beng Sin bertolak pinggang dan melintangkan golok besarnya di depan tubuhnya. "Hemmm, kalian para perampok laknat berani mengganggu wanita baik-baik di siang hari, ya? Sekarang setelah bertemu dengan tuan mudamu, kalian tentu tak dapat diberi ampun lagi!"

Kepala perampok itu adalah seorang yang bertubuh tinggi besar dan kuat. Pada saat dia melihat tubuh Beng Sin yang gendut dan besar, bahkan lebih besar dari pada tubuhnya sendiri, dan melihat pemuda itu memegang sebatang golok yang amat besar dan agaknya tak kalah berat dibandingkan dengan penggadanya, dia terbelalak dan kelihatannya agak jeri.

"Kawan...," katanya sambil mengedip-ngedipkan mata bagaikan memberi isyarat rahasia. "Kita... kita bagi rata saja, dah! Berikan barang-barangnya kepada kami dan kau boleh mendapatkan orangnya."

Sejenak Beng Sin melongo, tidak mengerti. Akan tetapi segera dia mencak-mencak dan membanting-banting kaki kanannya. Celaka, pikirnya. Tentu kepala perampok itu mengira bahwa dia adalah sebangsa pencoleng! Ingin dia menghadapi cermin agar dapat melihat wajahnya sendiri. Benarkah wajahnya seperti wajah pencoleng?

"Bangsat keparat jahanam laknat bermulut busuk!" Dia memaki-maki saking jengkelnya. Tangan kiri yang tadinya bertolak pinggang itu kini menuding ke hidungnya sendiri. "Buka lebar-lebar mata bangsatmu! Kau kira aku ini orang apa? Aku adalah seorang pendekar muda, tahu? Bagi-bagi nenek moyangmu itu! Hayo kalian pergi, kalau tidak, golokku yang sudah haus darah penjahat ini yang akan bicara!"

"Wah, pendekarnya kok gendut amat...!" Terdengar seorang anak buah perampok berkata lirih.

"Agaknya kurang latihan, sikat saja, twako!" kata orang ke dua.

Didorong oleh anak buahnya, kepala perampok itu segera mengeluarkan suara gerengan dan penggada itu diputar-putar di atas kepala sampai mengeluarkan suara berdesir-desir.

"Taihiap, hati-hati...!" bisik gadis itu.

Beng Sin yang tadinya merasa gentar juga melihat penggada yang besar itu, tiba-tiba saja membusungkan dadanya yang memang sudah besar dan lebar itu. Dia disebut Taihiap. Dia pendekar besar! Ha! Untuk sebutan itu ingin rasanya dia menari-nari dan bermain silat mendemonstrasikan kemahirannya memainkan golok besarnya! Maka timbul keberanian dan kegagahannya, dan dia lalu menggerakkan golok sehingga nampak sinar berkelebat.

"Kalian mau melawan? Bosan, hidup, ya? Nah, sambut ini!" Dia lalu membacokkan golok besarnya itu ke depan.

Kepala rampok yang lebih biasa menaklukkan korban dengan gertakan dari pada tindakan ini, cepat menangkis. Biasanya, orang sudah bertekuk lutut minta ampun kalau dia sudah memutar penggadanya, akan tetapi pemuda gendut ini tidak takut!

"Tranggg...!"

Penggada itu terpental kemudian terlepas dari pegangan si kepala perampok! Beng Sin tersenyum-senyum, biar pun senyumnya menjadi agak kecut karena dia harus menahan rasa nyeri pada lengannya yang menjadi kesemutan karena getaran pertemuan senjata tadi.

"Nah, ambil senjatamu, jahanam!" katanya dengan lagak gagah, sambil bertolak pinggang lagi.

Tentu saja peristiwa ini mengagetkan semua perampok itu. Kepala perampok itu memiliki tenaga besar sekali. Penggada itu sekali gempur dapat menghancurkan batu karang dan dapat menumbangkan sebatang pohon sekali hantam. Akan tetapi ketika bertemu dengan golok pemuda gendut itu, ruyung atau penggadanya itu terlepas dan lengannya terasa lumpuh! Tentu saja nyalinya terbang seketika dan dia menggeleng-geleng kepalanya, lalu membalikkan tubuhnya dan lari, diikuti oleh empat orang anak buahnya.

Memang mereka itu hanyalah perampok-perampok kasar yang biasanya mengandalkan gertakan saja, sama sekali tidak mempunyai kepandaian berarti. Betapa pun juga, kalau mereka itu bukan pengecut dan mengeroyok Beng Sin, tentu pemuda ini akan repot juga!

Bukan main lega hati Beng Sin. Dia pun tertawa sambil mengamang-amangkan goloknya ke atas. "Tikus-tikus busuk! Kalau lain kali bertemu denganku, jangan harap golokku akan mengampuni kalian!"

Gadis itu bersama ibunya lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Beng Sin.

"Taihiap, terima kasih atas pertolonganmu...," gadis yang manis itu berkata, juga ibunya menghaturkan terima kasih.

Beng Sin menjadi sibuk juga. Dengan tangan kirinya dia lalu menyentuh pundak gadis itu untuk membangunkannya, akan tetapi begitu jari tangannya menyentuh kulit daging yang hangat lunak, dia menggigil dan menariknya kembali.

"Maaf... ehh, nona dan bibi... harap bangkit dan mari kuantar kalian..."

Ibu dan anak gadisnya itu lalu bangkit dan celingukan.

"Apa yang kalian cari?" tanya Beng Sin ketika melihat mereka celingukan seperti itu.

"Kusir kami... tadi ketika perampok-perampok muncul, dia lari entah ke mana..."

Beng Sin kemudian berteriak nyaring, "Heiii! Kusir kereta! Keluarlah, perampok telah pergi semua!"

Tak lama kemudian terdengar suara menjawab dan si kusir yang bertubuh kurus tinggi itu muncul dengan tubuh gemetar, muka pucat. Beng Sin merasa geli sekali, apa lagi melihat betapa celana kusir itu basah. Entah basah terkena air ketika bersembunyi, entah basah ngompol saking takutnya.

"Hayo lekas naik dan antar nona dan bibi ini pulang. Aku akan mengawal mereka!" kata Beng Sin dengan gagah.

Gadis dan ibunya itu lalu masuk ke dalam kereta dan Beng Sin juga masuk ke dalamnya, duduk berhadapan dengan gadis dan ibunya itu. Kusir kereta segera menjalankan kuda dan kereta itu pun membalap keluar dari dalam hutan secepatnya.

Di sepanjang perjalanan ini, ibu si gadis yang kini menjadi malu-malu dan bahkan jarang berani menatap wajah pemuda gendut yang dengan gagah perkasa sudah menolongnya itu, menceritakan siapa adanya mereka.

Kiranya suami wanita itu adalah seorang piauwsu, yaitu pengawal barang-barang kiriman atau orang-orang yang melakukan perjalanan jauh. Ciok-piauwsu ini bekerja pada sebuah piauwkiok (perusahaan pengawalan) yang bernama Hek-eng Piauwkiok di kota Su-couw di Ho-nan.

"Kami ibu dan anak baru saja pulang dari menengok keluarga ke dusun, taihiap. Biasanya perjalanan ke dusun lewat hutan ini aman saja, namun tak nyana hari ini kami mengalami gangguan penjahat. Untung tadi ada taihiap yang menolong kami. Karena biasanya aman, maka suami saya tidak mengantar."

"Kalau ayah ikut mengawal, penjahat-penjahat itu tentu sudah dibunuhnya!" kata gadis itu yang oleh ibunya diperkenalkan dengan nama Ciok Sui Lan.

"Eh... nona Ciok adalah puteri seorang piauwsu yang pandai, kenapa tadi tidak melawan penjahat-pejahat itu?" tanya Beng Sin.

Nona itu menunduk, tersenyum dan mengerling wajah pemuda gendut itu, membuat hati Beng Sin berdebar tidak karuan!

"Ayah melarangku belajar silat, katanya tidak pantas bagi seorang wanita...," jawab gadis itu malu-malu.

"Dan memang betul, aku sendiri pun melarangnya, taihiap. Lebih baik bila seorang wanita mempelajari ilmu-ilmu yang halus, menulis, membuat sajak, menjahit, menari, bernyanyi dan memasak. Lebih berguna kalau kelak menjadi isteri orang."

"Ihhh, ibu...!" Siu Lan berkata sambil menunduk, mukanya menjadi merah sekali.

"Tentu... tentu ilmu silat paman Ciok lihai sekali," Beng Sin berkata dan dia pun merasa sungkan dan tidak enak pada waktu ibu itu menyebut-nyebut tentang wanita menjadi isteri orang!

Wanita itu menarik napas panjang. "Semenjak muda, suamiku paling senang dengan ilmu silat. Dia seorang kasar, taihiap, akan tetapi dalam hal ilmu silat, dia cukup terkenal dan di Hek-eng Piauwkiok dia menjadi piauwsu yang diandalkan oleh majikan piauwkiok."

Ketika mereka sampai di rumah keluarga Ciok yang cukup besar, mereka disambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang kelihatan gagah dan bermata tajam. Dia ini bukan lain adalah Ciok-piauwsu sendiri. Betapa kaget hati piauwsu ini ketika mendengar penuturan isteri dan puterinya bahwa kereta mereka dihadang oleh perampok dan bahwa puterinya hampir saja celaka kalau tidak ditolong oleh pemuda gendut yang terus mengawal mereka sampai tiba di rumah.

"Ahhh, sicu muncul seperti dituntun tangan Thian! Betapa besar rasa terima kasih kami kepadamu, sicu!" Piauwsu itu cepat memberi hormat kepada pemuda itu.

Beng Sin cepat-cepat membalas dengan menjura. "Aih, lo-enghiong, aku telah mendengar bahwa engkau juga seorang ahli silat yang pandai. Antara kita sesama orang yang suka menentang kejahatan, bantu-membantu adalah wajar. Mana bisa bicara tentang budi?"

Piauwsu itu merasa amat kagum dan tahulah dia bahwa pemuda ini adalah seorang yang berwatak gagah dan jujur. Beng Sin lalu dipersilakan masuk dan mereka pun berkenalan. Ketika Beng Sin minta diri dan berpamit, piauwsu itu dan isterinya menahan-nahannya.

"Tee-sicu sudah menyelamatkan keluargaku, berarti sudah menjadi seperti keluarga atau sahabat baik kami sendiri, mengapa begitu tergesa-gesa? Sicu akan mengecewakan hati kami sekeluarga apa bila tidak mau tinggal di sini untuk beberapa hari lamanya, sekedar memberi kesempatan kepada kami untuk menyatakan terima kasih kami," Ciok-piauwsu berkata.

Oleh karena dibujuk-bujuk, akhirnya Beng Sin merasa tidak enak juga hingga akhirnya dia menyetujui. Pada sore harinya, ketika Beng Sin dan tuan rumah bercakap-cakap di kebun belakang, Ciok-piauwsu bertanya dari mana pemuda itu mempelajari ilmu silat dan dari golongan apa.

"Saya belajar dari paman saya sendiri, lo-enghiong. Saya sudah yatim piatu, ayah saya telah tiada dan ibu saya sudah masuk menjadi nikouw dan tidak berurusan lagi dengan dunia, dan sejak kecil saya dirawat dan dididik oleh paman saya yang bernama Kui Hok Boan. Karena paman saya pernah menjadi murid Go-bi-pai, maka saya kira ilmu silat yang diajarkan kepada saya tentu dari aliran Go-bi-pai."

Wajah Ciok-piauwsu berseri. "Ahhh, kalau begitu kita adalah orang sendiri!" Dia berseru girang. "Ketahuilah, sicu. Aku sendiri pun adalah seorang murid Go-bi-pai!"

"Kalau begitu, lo-enghiong mengenal paman saya?"

Piauwsu itu menggeleng kepala. "Murid Go-bi-pai ribuan orang banyaknya dan berpencar di mana-mana. Menurut penuturanmu, pamanmu datang dari utara ada pun aku tinggal di selatan, biar pun antara kami memiliki sumber ilmu silat yang sama, tetapi tentu diajarkan oleh guru-guru yang berbeda. Sicu, kalau boleh, aku ingin melihat ilmu silatmu. Harap kau perlihatkan ilmu golokmu, barang kali saja kita dapat saling memberi petunjuk karena ilmu kita satu aliran."

Dengan girang Beng Sin lalu bersilat. Goloknya yang besar dan berat itu diputar sampai mengeluarkan suara berdesing sehingga nampak gulungan sinar yang besar menyambar-nyambar. Setelah selesai, piauwsu itu mengangguk-angguk.

"Ilmu golokmu sudah cukup baik, akan tetapi sayang..."

"Bagaimana, lo-enghiong?"

"Masih banyak kekurangannya karena agaknya tercampur dengan ilmu dari sumber lain sehingga agak lemah, terutama sekali di bagian penyerangan. Ilmu golok Go-bi-pai yang asli banyak menggunakan penyerangan dari bawah yang amat lihai dan berbahaya bagi lawan. Coba kau lihat, akan tetapi golokmu terlampau berat untukku, sicu, maka biarlah aku memakai golok biasa dan kau lihatlah baik-baik."

Ciok-piauwsu lalu bersilat dengan sebatang golok biasa dan gerakannya memang dikenal oleh Beng Sin sebagai ilmu golok Go-bi-pai, akan tetapi terdapat perbedaan-perbedaan dan terutama sekali sesudah kakek setengah tua itu bersilat semakin cepat, gerakannya berbeda dan sekarang dia melihat berkali-kali piauwsu itu bergulingan kemudian goloknya menyambar-nyambar dari bawah dengan amat cepatnya.

Melihat ini, Beng Sin kagum sekali. Ternyata benar ucapan Siu Lan dan ibunya bahwa piauwsu ini memang benar mempunyai ilmu silat yang tinggi sehingga kalau piauwsu ini mengawal anak isterinya, tentu lima orang perampok itu akan ketemu batunya!

"Lo-enghiong, saya mohon petunjuk!" Beng Sin berkata setelah piauwsu itu menghentikan permainan silatnya.

Ciok-piauwsu berdiri sambil tertawa dan mengangguk-angguk, "Boleh, boleh... akan tetapi untuk itu sicu harus tinggal di sini selama beberapa hari."

Tentu saja Beng Sin setuju dan menghaturkan terima kasih. Mulai hari itu pemuda gendut ini menerima petunjuk-petunjuk dalam ilmu golok Go-bi-pai dari Ciok-piauwsu. Bila dibuat perbandingan, belum tentu Kui Hok Boan kalah oleh Ciok-piauwsu, akan tetapi dalam ilmu golok Go-bi-pai, memang ilmu yang dimiliki Kui Hok Boan kalah murni.

Kui Hok Boan adalah murid Go-bi-pai, murid mendiang Kauw Kong Hwesio, akan tetapi dia pun telah memperdalam ilmu silatnya dengan ilmu-ilmu dari sumber lain sehingga ilmu golok yang diajarkannya kepada Beng Sin sudah tidak asli lagi. Sebaliknya, Ciok-piauwsu adalah murid Go-bi-pai yang tidak mencampurkan ilmu golok itu dengan ilmu lainnya, dan selain itu, memang dia paling suka dengan senjata ini sehingga dalam hal memainkan golok dia lebih mahir.

Selama kurang lebih sepuluh hari Beng Sin tinggal di situ, dan setiap hari dengan tekun menerima petunjuk-petunjuk sehingga kepandaiannya dalam hal memainkan golok dalam ilmu golok Go-bi-pai menjadi lebih matang, bahkan dia kini mampu melakukan jurus-jurus bergulingan yang sangat lihai itu. Akan tetapi di samping itu, juga hubungannya dengan keluarga itu menjadi semakin akrab.

Pada hari ke sebelas, pada saat Beng Sin bermohon diri dari tuan rumah, Ciok-piauwsu mengajaknya duduk bercakap-cakap di ruang belakang. Piauwsu yang selama beberapa hari ini sangat memperhatikan Beng Sin dan merasa suka kepada pemuda gendut yang ramah dan jujur ini, berkata, "Tee-sicu, ada sesuatu hal yang ingin saya tanyakan kepada sicu, harap sicu tidak menjadi kecil hati."

"Ahhh, lo-enghiong sudah begitu baik kepada saya, seperti seorang guru saya, mengapa masih begitu sungkan? Kalau ada sesuatu, tanyakanlah saja tanpa ragu-ragu."

"Begini, sicu. Hal ini sudah saya bicarakan dengan isteri dan puteri kami, dan kami ingin sekali tahu apakah sicu sudah berkeluarga? Maksud saya, apakah sudah menikah?"

Pertanyaan ini membuat Beng Sin yang jujur terbelalak heran, akan tetapi cepat-cepat dia menggelengkan kepala.

"Dan sudah bertunangan ataukah belum?"

"Belum, lo-enghiong... akan tetapi kenapa...?"

"Bagus! Ketahuilah, sicu, setelah berkenalan dengan sicu, apa lagi mengingat betapa sicu telah menyelamatkan puteri kami dari bahaya, maka kami mengambil keputusan hendak menyerahkan puteri kami kepada sicu, yaitu kami ingin mengikatkan perjodohan di antara puteri kami dengan sicu... harapan kami agar sicu tidak menolak maksud baik kami ini."

Tentu saja Beng Sin menjadi kaget dan bingung bukan main, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Mukanya yang gemuk menjadi kemerahan sebab memang sesungguhnya dia sama sekali belum berpikir tentang perjodohan, sungguh pun diam-diam dia merasa telah jatuh cinta?  kepada Lin Lin, adik misannya itu.

"Ini... ini... saya belum pernah berpikir tentang perjodohan, lo-enghiong, dan pula... tentu saya harus bertanya dahulu kepada paman saya sebelum memberi keputusan...," katanya gagap.

Piauwsu itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Sikap pemuda ini jelas menunjukkan bahwa pemuda ini masih hijau dan polos, masih seorang perjaka tulen sehingga hatinya menjadi semakin suka.

"Tentu saja, sicu. Sewaktu-waktu aku akan pergi mendatangi pamanmu itu untuk minta persetujuannya. Dalam waktu dekat aku akan mengunjungi dusun Pek-jun untuk bicara dengan pamanmu kalau saja engkau sendiri sudah setuju. Kecuali kalau sicu menolak karena anak kami memang buruk rupa dan bodoh..."

"Ahh, tidak, tidak demikian, lo-enghiong. Puterimu adalah seorang gadis yang cantik dan baik... akan tetapi harap lo-enghiong tidak tergesa-gesa sebab terus terang saja, keluarga kami sedang mengalami persoalan yang menyedihkan. Paman saya sedang dalam duka karena kehilangan kedua orang puterinya, bahkan saya sekarang ini pun sedang dalam tugas untuk mencari jejak kedua orang adik misan saya itu. Sudah setengah tahun saya meninggalkan rumah dan belum juga berhasil. Saya sudah menemukan jejak mereka ke daerah ini, akan tetapi belum juga berhasil menemukan kedua orang adik misan saya itu."

"Ahh!" Ciok-piauwsu nampak terkejut, "Kalau saya boleh tahu, apakah yang terjadi, sicu? Siapa tahu saya dapat membantumu."

Dengan singkat Beng Sin menceritakan peristiwa yang menimpa diri dua piauw-moinya (adik perempuan misan) itu. Dia sudah percaya kepada piauwsu ini yang telah dianggap sebagai guru sendiri. Tentu saja dia tidak bercerita terlalu banyak, hanya menceritakan bahwa dua orang gadis kembar itu melarikan diri akibat tidak mau dijadikan selir pangeran dan sekarang dia harus mencari mereka sampai dapat.

Mendengar cerita ini, Ciok-piauwsu menjadi terheran-heran. "Diangkat selir oleh pangeran adik kaisar? Itu merupakan kehormatan yang amat tinggi! Kenapa mereka melarikan diri... ehh, tadi kau bilang mereka itu adalah saudara kembar? Ahh, betapa kebetulan sekali!" Tiba-tiba piauwsu itu berkata dengan wajah berseri-seri. "Aku... aku tahu di mana adanya mereka! Ahh, kenapa tidak sejak dulu engkau menceritakan padaku, sicu? Mari, mari kau ikut aku!"

Bukan main kagetnya Beng Sin mendengar ini. Tidak disangkanya sama sekali bahwa piauwsu ini justru tahu tentang Lan Lan dan Lin Lin!

"Benarkan engkau tahu, lo-enghiong? Di mana mereka?"

"Agaknya tidak salah lagi! Majikanku, yaitu ketua atau pemilik Hek-eng Piauwkiok sudah memungut sepasang gadis yatim piatu sebagai anak-anak angkatnya! Agaknya mereka itulah adik-adikmu itu! Tidak salah lagi. Mereka pun pandai ilmu silat. Majikanku melihat mereka ketika mereka dibajak di Sungai Huang-ho dan majikanku menolong mereka, lalu membawa mereka pulang dan mereka diambil anak angkat!"

Bergegas mereka lalu pergi ke rumah ketua Hek-eng Piauwkiok yang bernama Ciang Lok, yaitu seorang piauwsu kawakan yang tidak memiliki keturunan dan yang pada beberapa bulan yang lalu telah mengangkat dua orang gadis kembar menjadi anak-anak angkatnya. Setelah tiba di situ, mereka disambut oleh Ciang Lok sendiri....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 36



BEGITU bertemu, Ciok-piauwsu cepat memberi hormat dan berkata, "Ciang-twako, di mana adanya dua orang anak angkatmu itu? Bila tidak salah, mereka itu adalah adik-adik piauw dari Tee-sicu ini yang mencari-carinya!"

Mendengar ucapan itu, Ciang Lok mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, lalu memandang kepada pemuda gendut itu sejenak, kemudian tanpa menjawab pertanyaan pembantunya itu dia lalu bertanya kepada Beng Sin, "Apakah engkau mengenal seorang pemuda bernama Kwan Siong Bu?"

"Tentu saja!" Beng Sin menjawab. "Dia adalah kakak misanku pula, dan juga masih kakak misan dari kedua orang adik Lan dan Lin, sepasang gadis kembar yang saya cari itu!"

Piauwsu berusia lima puluh tahun lebih itu mengangguk-angguk, lantas kembali menarik napas panjang. "Harap kalian suka duduk dan mendengarkan ceritaku. Namun agaknya kedatanganmu terlambat, orang muda."

Tentu saja Beng Sin kaget sekali. Dia lalu cepat duduk bersama Ciok-piauwsu kemudian dengan hati tegang dia bertanya, "Terlambat bagaimana, lo-enghiong?"

"Baru tiga hari yang lalu datang seorang pemuda yang bernama Kwan Siong Bu itu, dan ternyata kedua orang anak angkatku itu mengenalnya sebagai kakak misan. Kemudian mereka berpamit karena dua orang anak angkatku itu terpaksa harus pulang ke dusun Pek-jun di utara bersama piauw-ko (kakak misan) mereka. Walau pun dengan hati sangat berat, tentu saja aku tidak berhak untuk melarang mereka."

Wajah Beng Sin berseri-seri. "Ahh, saya girang mendengar hal ini, lo-enghiong. Syukurlah kalau kedua piauw-moi telah pulang bersama Kwan-twako. Dan sebagai kakak misannya saya mengucapkan beribu terima kasih kepada lo-enghiong yang telah menolong mereka, bahkan bersikap baik kepada mereka, menampung dan memelihara mereka selama ini!" Beng Sin lalu bangkit berdiri dan memberi hormat. Tuan rumah itu balas menghormat.

"Hemmm, engkau sungguh baik sekali sicu, jauh lebih baik dari pada kakak misanmu itu yang kelihatan angkuh. Sebaiknya kalau sicu cepat menyusul mereka, karena hatiku akan merasa lebih tenang kalau sicu sendiri yang mengantar mereka pulang."

Beng Sin bergegas pamit dan kembali bersama Ciok-piauwsu. Dia langsung mengemasi pakaiannya kemudian berangkat hari itu juga setelah berjanji kepada Ciok-piauwsu untuk membicarakan hal usul perjodohan itu kepada pamannya. Juga di dalam kesempatan ini Beng Sin berpamit kepada nyonya Ciok dan kepada Siu Lan yang nampak berduka, akan tetapi dia melihat betapa dara ini makin cantik saja.

Dengan menunggang kuda pemberian Ciok-piauwsu, Beng Sin lalu melakukan perjalanan cepat menuju pulang ke utara. Di sepanjang jalan dia mencari keterangan dan mendapat petunjuk bahwa memang benar dua orang gadis kembar itu ditemani oleh Kwan Siong Bu melakukan perjalanan, akan tetapi ternyata mereka melakukan perjalanan cepat berkuda pula sehingga dia yang sudah tertinggal selama tiga hari itu sukar untuk dapat menyusul mereka.

Sesudah melakukan perjalanan cepat, akhirnya Beng Sin tiba juga di pekarangan rumah pamannya di dusun Pek-jung. Dia melompat turun dari kudanya yang bermandi keringat, membiarkan seorang pelayan merawat kuda itu, dan dia sendiri segera berlari memasuki rumah pamannya.

Rumah itu sunyi saja! Hanya ada pelayan-pelayan yang memandang kepadanya dengan kaget karena tuan muda yang baru datang ini kelihatan tergesa-gesa dan begitu tegang.

"Di mana tuan besar? Di mana kedua orang siocia?" Berkali-kali dia bertanya dan para pelayan hanya menggelengkan kepala.

Beng Sin tidak sabar lagi dan berlari mencari ke seluruh kamar di rumah itu. Akhirnya dia pun melihat Siong Bu seorang diri di dalam lian-bu-thia (ruangan belajar silat) yang luas, agaknya habis berlatih silat karena pedang telanjang masih di tangannya dan mukanya berkeringat. Dia sedang mengusap peluhnya, dan segera tersenyum lebar ketika melihat masuknya Beng Sin.

"Ha, kau baru datang Sin-te (adik Sin)? Ha-ha-ha, aku lebih berhasil menemukan Lan-moi dan Lin-moi dan membawa mereka pulang tiga hari yang lalu. Kau tahu di mana mereka itu? Ha, betapa bodohnya kita, mencari ke timur dan ke barat, padahal mereka itu pergi..."

"Aku sudah tahu, Bu-ko. Aku baru saja datang dari Su-couw, bahkan aku lebih dulu tiba di Su-couw dari pada engkau, hanya tidak kebetulan... ah, sudahlah. Engkau telah berhasil menemukan mereka dan membawanya kembali ke sini, itu yang penting. Tetapi di mana mereka sekarang? Dan di mana paman?"

Kembali Siong Bu tertawa dan pemuda ini nampak girang bukan main. "Duduklah, Sin-te, duduklah di sini. Kita bernasib baik sekarang! Ahhh, kita akan bisa menjadi orang-orang penting di istana! Pendeknya, kita dapat menjadi pembesar tanpa melalui ujian apa pun, dan Pangeran Ceng Han Houw tentu akan menolong kita. Paman juga gembira bukan main, dan kemarin paman sendiri pergi ke kota raja untuk menemui pangeran!"

Berubah wajah Beng Sin, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar tegang. "Apa...? Apa maksudmu, Bu-ko? Di mana Lan-moi dan Lin-moi?"

Melihat ini, Siong Bu memandang dengan heran. "Tentu saja mereka berada di istana Pangeran Ceng Han Houw! Masa engkau masih harus bertanya lagi, Sin-te? Kita disuruh mencari untuk membawa mereka pulang dan untuk diserahkan kepada pangeran, karena kalau tidak, sudah tentu kita sekeluarga akan celaka. Dan begitu berhasil, aku kebetulan bertemu pangeran sebelum tiba di rumah, maka tentu saja menjadi lebih mudah bagiku untuk menyerahkan mereka kepada pangeran dan beliau girang sekali, bahkan langsung membawa mereka berdua ke istana dan menjanjikan kepadaku bahwa keluarga kita akan memperoleh kedudukan tinggi! Bukan hanya kemuliaan di istana atau di kota raja, Sin-te, bahkan lebih lagi! Diam-diam pangeran telah menjanjikan sesuatu yang lebih hebat lagi!" Pemuda berwajah tampan itu tersenyum-senyum dan wajahnya berseri tanda bahwa dia merasa gembira sekali.

Diam-diam Beng Sin merasa terkejut, marah akan tetapi juga heran bukan main. Dia tahu bahwa kakak misannya ini mencinta Kui Lan, akan tetapi kenapa sekarang begitu girang menyerahkan dara yang dicintanya itu kepada pangeran? Dia masih berusaha menahan kemarahannya, dan dengan suara dingin dia bertanya, "Hemmm, sesuatu apakah yang dijanjikannya itu?"

Dalam kegembiraannya, Siong Bu tidak mendengar betapa suara adik misannya itu dingin sekali dan sinar mata yang biasanya jenaka itu berapi-api. Maka sambil tersenyum dia menjawab, "Ahh, hal ini hanya kuberi tahukan kepadamu, Sin-te, tentu paman tidak kuberi tahu karena ini merupakan rahasia kita berdua. Apa yang dijanjikan oleh pangeran itu? Beliau berkata bahwa kelak, kalau dia tidak membutuhkan lagi dia akan menghadiahkan Lan-moi dan Lin-moi kepadaku! Ha-ha-ha, tentu saja Lin-moi akan kuserahkan kepadamu, Sin-te!"

"Plakkk!"

"Hei, gilakah engkau?!" Siong Bu meloncat kebelakang, segera melintangkan pedangnya dan menggosok-gosok pipinya yang tadi ditampar oleh Beng Sin dengan keras sekali itu. Ujung bibirnya berdarah. Dia dapat ditampar karena sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa adik misan yang sejak kecil takut dan taat kepadanya itu tiba-tiba menyerangnya seperti itu.

"Bu-ko, sungguh hatimu busuk dan kotor sekali!" Beng Sin membentak marah.

Memang semenjak kecil dia mengenal Siong Bu sebagai orang yang nakal, disangkanya bahwa Siong Bu yang sangat mencinta Kui Lan itu akan melindungi dara itu. Siapa kira, dengan keji sekali Siong Bu bahkan menyerahkan kedua orang dara kembar itu kepada pangeran dan merasa gembira akan memperoleh hadiah kedudukan, bahkan begitu tidak tahu malu untuk bergirang hati oleh janji pangeran bahwa kelak apa bila pangeran sudah bosan, dara kembar itu akan dihadiahkan kepadanya!

Memang sejak kecil dia takut dan menurut kepada Siong Bu karena memang dia merasa kalah. Akan tetapi sekarang, setelah mereka sama-sama dewasa, apa lagi demi membela Kui Lan dan terutama sekali Kui Lin yang dicintanya, dia tidak akan takut melawan Siong Bu. Apa lagi Siong Bu, siapa pun akan dilawannya demi untuk membela dara kembar itu.

"Sin-te, apakah engkau sudah gila? Engkau berani menamparku?" Siong Bu memandang marah.

"Bu-ko, hatimu busuk! Kusangka engkau menyayang Lan-moi dan Lin-moi, kukira engkau mencari mereka untuk melindungi, akan tetapi siapa sangka, engkau malah menyerahkan mereka kepada pangeran, seperti mendorong masuk dua ekor domba ke kandang srigala! Engkau layak ditampar, bahkan patut dibunuh karena engkau jahat!"

"Keparat! Jadi engkau bukan hanya berani menentangku, bahkan engkau hendak menjadi pemberotak menentang pangeran? Jahanam busuk, aku harus membunuhmu!" Siong Bu membentak sambil memegang sarung pedang dengan tangan kiri dan pedang di tangan kanannya digerakkan di depan mukanya.

"Hemm, boleh kau coba! Akulah yang akan menamatkan riwayatmu karena engkau busuk dan hina, dan aku harus membalaskan penghinaan yang kau timpakan atas diri Lan-moi dan Lin-moi!"

"Beng Sin, tutup mulutmu yang kotor! Kubunuh engkau!" bentak Siong Bu makin marah.

Beng Sin melintangkan golok di depan dada, tangan kirinya memegang punggung golok besar itu dan dengan tenang berseru, "Majulah, manusia busuk!"

Pada saat itu, terdengar teriakan dari pintu. "Tahan! Jangan berkelahi!"

Suara itu adalah suara Kui Hok Boan yang muncul di pintu dan terkejut melihat dua orang pemuda itu saling berhadapan dengan senjata di tangan, dan kelihatannya bukan seperti sedang berlatih silat seperti biasa karena wajah mereka tegang dan kelihatan marah.

Akan tetapi, begitu melihat munculnya pamannya yang dianggapnya tentu cocok dengan dia mengenai urusan Lan Lan dan Lin Lin, Siong Bu sudah menubruk maju dan berkata, "Paman, bocah ini hendak memberontak!" Lantas pedangnya sudah menyambar-nyambar ganas.

Beng Sin cepat mengelak sambil menangkis dengan penuh kewaspadaan karena dia pun maklum betapa kakak misan atau juga suheng-nya ini pandai sekali bermain pedang.

"Jangan berkelahi!" bentak pula Kui Hok Boan.

Akan tetapi dua orang muda itu sudah begitu marah, dan terutama sekali Beng Sin sudah membenci sekali karena tahu betapa dua orang dara itu seakan-akan disuguhkan begitu saja oleh Siong Bu kepada pangeran itu dan dia dapat membayangkan betapa sengsara dan sedihnya hati dua orang dara kembar itu dan bahwa keadaan mereka sukar ditolong lagi karena kini sudah berada dalam cengkeraman pangeran itu. Maka segala kedukaan, penyesalan serta kemarahannya dia timpakan kepada Siong Bu yang dianggap sebagai biang keladinya.

Siong Bu yang merasa bahwa pamannya tentu membenarkannya juga menyerang dengan ganas sekali dan meski pun pamannya sudah berteriak agar mereka jangan berkelahi, dia masih terus menyerang dan tidak mau mengalah, apa lagi karena di fihak Beng Sin juga sudah terus menyerangnya dengan nekat.

Kui Hok Boan sendiri sejenak termangu-mangu, tak tahu harus berbuat apa. Dia baru saja kembali dari kota raja dan berjumpa dengan Pangeran Ceng Han How, diterima sebagai tamu terhormat dan diberi janji-janji muluk oleh sang pangeran. Akan tetapi, dia tak dapat bertemu dengan dua orang anaknya. Meski pun dia sudah memohon kepada pangeran itu untuk bertemu dengan kedua orang anaknya, akan tetapi Pangeran Ceng Han Houw tidak mengijinkannya dan hanya berkata bahwa dua orang puterinya itu telah berada di bagian keputren dan tidak bisa sembarangan begitu saja keluar dari istana.

"Harap engkau tidak khawatir, mereka akan baik-baik saja, hidup di dalam kemuliaan dan kemewahan," Ceng Han Houw berkata sambil tersenyum, lalu Kui Hok Boan dipersilakan untuk bermalam di dalam istana.

Walau pun dia memperoleh kamar yang sangat mewah dan indah, namun Kui Hok Boan merasa gelisah. Sebagai seorang ayah, betapa pun juga dia mengkhawatirkan keadaan dua orang puteri yang dicintanya.

Sejak Lan Lan dan Lin Lin minggat, selama berbulan-bulan lamanya dia berduka sekali dan sesudah kini kedua orang puterinya itu ditemukan oleh Siong Bu, dia belum sempat bertemu karena mereka telah diserahkan kepada Pangeran Ceng Han Houw oleh Siong Bu. Dia merasa rindu sekali dan ingin melihat wajah dua orang puterinya, akan tetapi tidak ada kesempatan baginya.

Diam-diam dia mulai menyesal. Walau pun dia akan mendapatkan hadiah dan mendapat kedudukan, apa artinya kalau dia tidak dapat lagi bertemu dengan mereka dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa mereka itu benar-benar hidup berbahagia?

Karena itu, biar pun dia mendapat pelayanan sebagai tamu agung, Kui Hok Boan merasa tidak betah tinggal di istana dan pada keesokan harinya dia sudah berpamit dan pulang ke rumahnya di dusun Pek-jun. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dua orang keponakan itu sedang saling berhadapan kemudian berkelahi mati-matian. Hatinya terlalu pedih, terlalu risau untuk dapat bertindak cepat sehingga dia hanya bisa berteriak-teriak melarang mereka berkelahi, seolah-olah tidak tahu harus berbuat apa lagi, bahkan sama sekali tidak turun tangan melerai mereka.

Tiba-tiba Kui Hok Boan terbelalak kaget melihat Beng Sin menjatuhkan diri bergulingan di lantai. Itulah jurus-jurus Trenggiling asli dari Go-bi-pai yang tak sempat dia pelajari! Heran bukan main hatinya. Dari mana Beng Sin dapat mainkan jurus-jurus yang berbahaya dan lihai ini?

Juga Siong Bu terkejut bukan main. Beberapa kali pedangnya masih mampu melindungi tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba tangannya yang memegang pedang kena tendangan dari bawah sehingga pedangnya terlepas dan pada saat itu pula golok Beng Sin menyambar.

"Cappp!"

"Ughhh!" Siong Bu menjerit dan darah bercucuran dari perutnya yang robek.

"Heiiiii...!" Kui Hok Boan juga berseru dan meloncat ke depan, menendang tangan Beng Sin yang memegang golok.

Beng Sin yang berdiri terbelalak memandang kepada kakak misannya yang roboh sambil mendekap perut yang terobek itu, tidak mengelak dan goloknya terlepas ketika tangannya ditendang oleh pamannya.

"Siong Bu...!" Kui Hok Boan menubruk pemuda yang berkelojotan itu.

Siong Bu merintih-rintih, kedua tangan mendekap perut menahan isi perutnya yang mau keluar. "Paman... aduhhh... mati aku, paman..." Dia merintih dan menangis.

"Siong Bu... ahh, Siong Bu, anakku...! Ah, Beng Sin, apa yang kau lakukan ini? Apa yang telah kalian lakukan ini?"

Hok Boan menjerit-jerit dan memukul-mukul tanah dengan tangan kanan, ada pun tangan kirinya merangkul leher Siong Bu. "Kalian adalah saudara-saudara seayah, kalian adalah anak-anakku sendiri berlainan ibu, tetapi sekarang kalian saling serang, saling bunuh! Ya Tuhan...!"

Beng Sin terbelalak dan wajahnya menjadi pucat sekali. Dia pun berlutut dan memandang ayahnya dengan bingung.

"Paman... ayahku... bagaimana ini...?" dia tergagap.

"Siong Bu, ibumu adalah mendiang Kwan Siang Li, dia seorang janda... dan akulah ayah kandungmu... dan kau Beng Sin, ibumu yang kini menjadi nikouw bernama Tee Cui Hwa, dan akulah ayah kandungmu pula... namun sekarang kau... membunuh saudara tirimu, seayah...!" Kui Hok Boan tak dapat menahan diri lagi, menangis terisak-isak karena Siong Bu mulai lemas dan kepala pemuda itu terkulai.

Beng Sin memegang tangan yang makin lemas itu. "Bu-ko, maafkan aku... aku tidak tahu, bahwa... kita... kita masih seayah...," katanya seperti berbisik.

Perlahan-lahan Siong Bu membuka matanya, bibirnya tersenyum. Agaknya sekarang rasa nyeri telah meninggalkannya. "Aku... aku... yang salah...!" Dia memejamkan matanya dan napasnya putus!

Kui Hok Boan menangis dan menjambak-jambak rambutnya. Sekarang Beng Sin bangkit berdiri, memandang kepada ayahnya itu dengan sepasang mata berapi-api. Sesudah kini dia mendengar bahwa paman atau juga gurunya ini ternyata adalah ayah kandungnya sendiri, hatinya merasa makin sedih dan menyesal.

Ayah macam apa yang dimilikinya ini? Anak-anak sendiri, dia dan Siong Bu tak diakuinya sebagai anak, dirahasiakan! Kemudian, Lan Lan dan Lin Lin, dara kembar yang menjadi puteri kandungnya sendiri, juga secara keji telah diserahkan kepada Pangeran Ceng Han Houw. Dan dia teringat pula betapa penakut dan pengecut sikap ayahnya ini saat muncul musuh-musuh yang tangguh, yaitu Kim Hong Liu-nio dan Pangeran Ceng Han Houw.

Kini, mengingat akan nasib Lan Lan dan Lin Lin, melihat pula akibatnya yang membuat dia sampai membunuh Siong Bu yang ternyata malah saudaranya sendiri, yaitu saudara seayah, Beng Sin merasa menyesal hingga semua penyesalan itu ditimpakannya kepada ayahnya yang kini terisak-isak di tempat itu seperti seorang anak kecil yang tidak diberi permen!

"Kau... kau manusia busuk, manusia tak berperasaan, engkau telah menjual puteri sendiri kepada pangeran! Engkau adalah manusia terkutuk!" Setelah berkata demikian, Beng Sin memungut goloknya kemudian berlari meninggalkan tempat itu, tak mempedulikan suara ayahnya yang berteriak-teriak memanggilnya.

"Beng Sin...! Beng Sin anakku, kembalilah...!"

Hok Boan bangkit berdiri, hendak lari mengejar, akan tetapi teringat kepada Siong Bu, lalu kembali dan menjatuhkan diri berlutut lagi, lalu menangis, meratapi nasibnya yang buruk. Dua orang puterinya diambil pangeran, Siong Bu tewas, dan Beng Sin melarikan diri! Dia ditinggal seorang diri saja di dunia ini!

Para pelayan yang mendengar ribut-ribut kemudian datang ke lian-bu-thia itu terkejut dan segera mundur kembali dengan ngeri melihat majikan mereka meratapi mayat tuan muda yang mandi darah!

Betapa sebagian besar dari kita ini sering kali bersikap seperti Kui Hok Boan! Kita selalu menyesali nasib dan menyalahkan segala peristiwa yang kita anggap buruk kepada sang nasib. Mengapa kita begitu buta, tidak pernah mau membuka mata untuk memandang dan melihat kenyataan bahwa semua sebab dari segala nasib berada di dalam diri kita sendiri? Kitalah sumber segala penyakit itu, kitalah sumber segala duka, sumber segala kesengsaraan! Dan hal ini baru dapat nampak kalau kita memandang diri sendiri setiap waktu tanpa membenarkan atau menyalahkan, tanpa pendapat atau kesimpulan, tanpa pamrih!

Segala peristiwa yang terjadi merupakan rangkaian yang sambung-menyambung seperti lingkaran setan, dan semua pendapat serta penilaian adalah hasil pekerjaan dari pikiran kita sendiri. Pikiran menciptakan sang aku yang selalu ingin senang, ingin benar, ingin baik, ingin enak!

Kita membenci seseorang. Mengapa? Demikian pikiran bekerja. Karena orang itu jahat, karena orang itu merugikan aku, baik merugikan secara lahir mau pun batin. Pendeknya, orang itu merugikan aku, tidak menyenangkan aku, maka aku membencinya.

Kebencian ini adalah buatan pikiran yang menilai atas dasar untung rugi bagi sang aku, dan kebencian ini menerbitkan serangkaian perbuatan kekerasan, seperti memaki orang itu atau memukulnya dan sebagainya, pendeknya agar dapat melampiaskan dendam dan kebencian kita terhadap orang itu.

Apakah perbuatan ini dapat menghilangkan kebencian tadi? Tidak sama sekali tentunya, bahkan perbuatan ini akan menimbulkan serangkaian akibat-akibat lainnya yang berupa kekerasan-kekerasan. Ada kalanya kita merasa menyesal karena kita ingat, baik melalui orang lain atau pun diri sendiri bahwa kebencian merupakan hal yang tidak baik. Kini kita membalik pandangan kita terhadap diri sendiri. Tadinya, kita menujukan pandangan kita kepada orang lain, pandangan dengan penuh penilaian pikiran, pertimbangan untung rugi sehingga menimbulkan kebencian. Kini, setelah kita memandang kepada diri sendiri, kita memandang pula dengan penilaian pikiran.

Ada kalanya pikiran menganggap bahwa kebencian ini tidak baik dan harus disingkirkan, dilenyapkan. Di lain saat pikiran membela diri sendiri, perbuatannya sendiri, menganggap bahwa kebencian kita itu sudah tepat dan betul karena memang orang itu jahat dan layak dibenci, dan sebagainya. Jelaslah, bahwa yang menimbang, yang menilai ini, juga masih si pikiran atau sang aku itu tadi. Yang menilai ini tidak ada bedanya dengan yang menilai orang yang dianggap jahat tadi, yang menilai kebencian baik atau buruk ini pun adalah sang kebencian itu sendiri, tiada bedanya dengan si pikiran itulah.

Dengan demikian, pikiran kadang-kadang berubah menjadi ini dan menjadi itu, akan tetapi kesemuanya itu merupakan lingkaran setan yang masih terjadi dalam lingkungan pikiran. Dengan demikian, kebencian itu akan selalu tetap ada, bahkan makin diperkuat, makin diperbesar karena dipupuk oleh pikiran sendiri yang menilai-nilai.

Dapatkah kita memandang tanpa penilaian? Baik memandang kepada orang yang kita lalu nilai sebagai jahat itu, mau pun memandang kepada kebencian kita yang kita nilai pula sebagai benar atau salah itu? Kalau kita dapat memandang tanpa ada sesuatu yang memandang, tanpa ada sesuatu yang menilai, melainkan memandang dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, tanpa ada yang waspada atau sadar, karena apa bila ada berarti akan timbul pula penilaian-penilaian, maka dengan sendirinya kebencian itu akan kehilangan tenaganya, akan lenyap dengan sendirinya karena tidak ada lagi pemupukan.

Kita sadar bahwa ada kebencian di dalam hati kita, akan tetapi kita tidak menilai, tidak membenarkan atau menyalahkan, kita memandang saja! Kita dalam hal ini, adalah sang pikiran itu, dan kebencian merupakan sang pikiran itu pula. Biarkan pikiran memandang pikiran sendiri, tanpa ada kesatuan lain yang menilai atau menimbang, tanpa ada sesuatu yang membenarkan atau menyalahkan.

Kui Hok Boan terguncang batinnya akibat semua peristiwa itu, terhimpit oleh penyesalan, kedukaan, ketakutan dan akhirnya semua pelayan melihat orang yang dianggap pandai, baik dalam kesusasteraan mau pun dalam ilmu silat, juga kaya raya ini, menangis sambil tertawa, menjambak-jambak rambutnya sendiri dan bersikap seperti orang yang otaknya miring atau gila!

                 ***************

Dengan muka merah karena marah, Beng Sin terus berlari meninggalkan dusun itu dan di sepanjang perjalanan banyak hal memenuhi pikirannya. Kui Lin ternyata adalah adiknya sendiri, adik tiri seayah! Dia merasa sangat heran mengapa Kui Hok Boan, paman yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu terus merahasiakan bahwa dia dan Siong Bu adalah anak-anak kandungnya sendiri.

Tentu ada rahasia di balik semuanya ini! Dan dia harus dapat mengetahui rahasia itu. Dia harus dapat bertemu dengan ibu kandungnya. Bukankah ibu kandungnya sudah menjadi nikouw? Pernah Kui Hok Boan yang ketika itu sebagai pamannya, menjawab pertanyaan tentang ibunya, yaitu bahwa ibunya kini telah menjadi nikouw di Kelenteng Kwan-im-bio di tepi Sungai Fen-ho di kaki Pegunungan Lu-liang-san, di luar sebuah dusun yang bernama Kwan-si-men. Dia akan mencari ibunya, untuk bertanya tentang riwayat ibunya agar tahu siapa sebetulnya Kui Hok Boan yang mengaku sebagai ayah kandungnya itu! Dan setelah itu, barang kali, dia akan pergi ke selatan, mencari keluarga Ciok yang telah berlaku baik kepadanya dan yang mengusulkan perjodohan antara dia dan Ciok Siu Lan.

Pemuda gendut yang pergi tanpa membawa pakaian, hanya membawa goloknya dan sisa bekal uang yang masih ada padanya, kini melanjutkan perjalanan menuju ke Pegunungan Lu-liang-san yang terletak di barat daya. Perjalanan yang sangat sukar, melalui daerah-daerah yang liar, pegunungan dan hutan-hutan lebat, namun pemuda yang sudah merasa bahwa sekarang dia hidup seorang diri itu dengan tabah menempuh segala kesukaran itu, mengandalkan golok besarnya, melanjutkan perjalanannya tanpa mengenal lelah.

Sesudah melakukan perjalanan selama berpekan-pekan, akhirnya dia tiba juga di daerah kaki Pegunungan Lu-liang-san. Pegunungan itu nampak dengan puncak-puncaknya yang menjulang tinggi menembus awan, nampak seperti raksasa tidur yang sangat angker dan menyeramkan.

Senja itu indah sekali. Matahari sudah menyembunyikan diri di balik puncak Lu-liang-san, akan tetapi cahayanya masih membakar langit di barat, menciptakan warna-warna yang sukar dilukiskan dengan kata-kata karena indahnya. Ada warna merah yang aneh, merah bercampur kuning dan biru, dan di bagian agak ke utara nampak awan bergumpal-gumpal dengan bentuk-bentuk yang beraneka macam, bentuk-bentuk yang bukan main anehnya dan yang tak mungkin ada yang sama. Awan-awan itu bergerak perlahan dan setiap saat berubah bentuk, akan tetapi di sisi agak ke selatan nampak lautan hitam dari awan yang kokoh dan tak pernah bergerak nampaknya, seolah-olah selamanya tak akan berubah.

Puncak gunung mulai kelihatan kehitaman, sementara pohon-pohon juga kelihatan mulai tenang seolah siap untuk mengundurkan diri ke dalam kegelapan malam di mana mereka akan beristirahat dalam kegelapan dan kesunyian. Melihat keadaan di sekeillingnya pada saat itu, yang menciptakan ketenangan dan keheningan, sejenak Beng Sin lupa akan diri sendiri, lupa bahwa dia ada, dan merasa betapa dia sudah dilebur menjadi satu dengan segala yang nampak itu.

Akan tetapi, begitu pikirannya masuk memecahkan keheningan itu, lenyaplah keheningan dan datanglah iba diri karena dia merasa betapa dia hidup seorang diri dan betapa dia terpencil dan sunyi seperti sebatang pohon pek di kejauhan yang tumbuh terpencil di tepi sebuah jurang. Maka datanglah kedukaan.

Tak lama kemudian, ketika kegelapan mulai menyelubungi bumi, pemuda itu sudah duduk bersandar pada sebatang pohon. Di dekatnya bernyala api unggun dan ia pun termenung memandang api yang bergerak-gerak, satu-satunya yang nampak hidup pada waktu itu, dengan lidah-lidah api merah kekuningan yang seperti menari-nari dengan gembira. Akan tetapi, api yang indah bercahaya itu pun akhirnya akan padam dan lenyap, yang tinggal hanyalah abu dan asap yang kemudian pun akan menghilang tanpa bekas.

Pada keesokan harinya, Beng Sin mulai mencari keterangan. Akan tetapi para petani dan penghuni gunung yang ditemuinya, tidak seorang pun di antara mereka yang mengenal nama dusun Kwan-si-men atau Kuil Kwan-im-bio. Mereka hanya tahu di mana letaknya Sungai Fen-ho dan akhirnya Beng Sin mencari sungai ini. Setelah bertemu dengan sungai ini, dia mulai menyusuri sungai itu karena dia yakin bahwa dengan cara ini akhirnya dia akan bertemu dengan dusun yang dimaksudkan karena bukankah dusun itu terletak di tepi Sungai Fen-ho, di kaki Pegunungan Lu-liang-san?

Perhitungannya itu ternyata tepat karena beberapa hari kemudian, dari seorang nelayan, dia mendengar bahwa dusun Kwan-si-men terletak di depan, hanya tinggal belasan li lagi jauhnya dan bahwa memang di luar dusun itu terdapat sebuah kuil, yaitu kuil di mana Dewi Kwan Im dipuja sehingga dinamakan Kwan-im-bio. Mendengar ini, berdebar rasa jantung dalam dada Beng Sin dan dia mempercepat langkahnya menuju ke dusun itu.

Kuil itu kecil saja, merupakan beberapa buah bangunan kecil dengan bangunan pusat di depan yang digunakan sebagai tempat sembahyang. Halamannya cukup luas dan melihat halaman yang bersih itu menunjukkan bahwa kuil itu terurus dengan baik dan setiap hari halaman itu tentu disapu. Dari jauh sudah terdengar suara ketukan kayu yang mengiringi suara wanita berdoa. Sesudah dekat orang akan melihat asap hio mengepul, dan makin dekat lagi orang akan mencium bau harum dupa.

Walau pun para pengurus Kwan-im-bio adalah wanita-wanita yang sudah menjadi nikouw, namun pengunjungnya tidak terbatas golongan wanita saja. Oleh karena itu, munculnya Beng Sin di kuil itu tidak membuat heran para nikouw yang melayani para pengunjung yang hendak bersembahyang. Hanya keadaan pakaian serta sikap pemuda itulah yang mendatangkan rasa heran.

Biasanya, para pengunjung kuil itu hanyalah terdiri dari orang-orang dusun, petani-petani yang minta berkah supaya hasil sawah ladang mereka baik, dan para nelayan yang juga minta berkah supaya hasil penangkapan ikan mereka baik. Ada juga orang kota yang kadang-kadang datang, yaitu mereka yang mendengar berita dari bibir ke bibir bahwa kuil itu terkenal murah hati dan suka memenuhi atau mengabulkan doa-doa dan permintaan mereka yang datang bersembayang.

Akan tetapi pemuda ini selain jelas bukan petani atau pemuda nelayan, melainkan orang kota yang agaknya datang dari jauh bila melihat pakaiannya yang agak kotor, dan dapat diduga bahwa pemuda ini adalah seorang ahli silat kalau melihat golok besar mengerikan yang tergantung di punggungnya.

Para nikouw itu merupakan orang-orang yang hidup dengan bersih, yang menjauhi segala macam kekerasan, apa lagi yang mereka puja adalah Dewi Kwan Im yang juga terkenal sebagai Dewi Welas Asih, maka tentu saja mereka merasa ngeri melihat seorang pemuda gendut yang membawa-bawa golok besar yang berkilauan saking tajamnya itu!

Seorang nikouw tua cepat maju menghampiri dan mengangkat kedua tangan depan dada dengan jari-jari terbuka dan dimiringkan. "Omitohud..., agaknya sicu memiliki kepentingan sehingga jauh-jauh datang mengunjungi kuil kami. Apakah sicu hendak bersembahyang kepada Hud-couw?"

Beng Sin cepat memberi hormat dan berkata sejujurnya, "Maaf kalau saya mengganggu, akan tetapi kedatangan saya ini bukan untuk bersembahyang, melainkan hendak mencari seorang nikouw..."

Wajah halus nikouw itu kelihatan meragu dan pandang matanya penuh selidik, kemudian dia menarik napas panjang dan berkata, "Harap sicu maafkan. Para nikouw di sini adalah orang-orang yang sudah mengundurkan diri dari dunia ramai, berarti sudah tidak memiliki keluarga dan handai-taulan lagi, seluruh hidupnya telah diserahkan untuk mengabdi pada Kwan Im Hud-couw dan kepada peri kemanusiaan, tidak terikat lagi oleh ikatan keluarga atau sahabat."

"Saya tahu, akan tetapi yang saya cari adalah... ibu kandung saya sendiri yang menjadi nikouw di sini..."

Kembali nikouw tua itu menarik napas panjang. "Yang dimaksud keluarga juga termasuk anak, sicu, sebab itu semua nikouw yang berada di sini sudah tak ada ikatan lagi dengan dunia, tidak ada ikatan dengan keluarga, termasuk anak. Karena itu, apa bila sicu bukan bermaksud untuk bersembahyang, pinni mohon agar sicu suka meninggalkan kuil ini dan harap jangan mengganggu ketenteraman kehidupan para nikouw."

Beng Sin mengerutkan alisnya. Dia sudah melakukan perjalanan jauh dan susah payah akan tetapi setelah tiba di tempat yang dicarinya, dia disuruh pergi begitu saja tanpa diberi kesempatan untuk bertemu dengan ibunya, bahkan untuk sekedar mendapat keterangan apakah ibunya masih hidup ataukah sudah mati!

"Hemm, beginikah yang dinamakan peri kemanusiaan dan mengabdi peri kemanusiaan?" Dia berkata penasaran. "Agaknya para pendeta hanya mementingkan diri para pendeta sendiri, akan tetapi sama sekali tak mau mempedulikan perasaan hati orang-orang biasa! Apakah suthai tidak merasakan betapa rindu hati seorang anak kepada ibu kandungnya? Apakah suthai hendak membiarkan seorang anak menjadi kecewa dan berduka karena dia tidak diperbolehkan berjumpa dengan ibu kandungnya yang selamanya belum pernah dikenalnya karena sejak kecil telah dipisahkan? Bukankah itu merupakan perbuatan yang amat kejam, bertentang dengan sifat welas asih dari Kwan Im Hud-couw sendiri?"

Nikouw tua itu menarik napas panjang. "Ahhh, sicu tidak tahu tentang belas kasih! Belas kasih adalah cinta kasih, dan cinta kasih tidak lagi membeda-bedakan antara anak atau orang lain, tidak lagi mementingkan diri pribagi, tidak ada lagi iba diri. Kami para nikouw memandang semua orang seperti anak sendiri, seperti diri sendiri, dan pemisah-misahan antara anak dan orang lain itu hanya mendatangkan ikatan belaka dan mengembalikan kami kepada asal semula, yaitu dunia yang penuh dengan ikatan-ikatan. Harap sicu dapat memaklumi keadaan kami dan sudilah sicu pergi meninggalkan kami, dan tak pernah lagi menganggap bahwa ada ibu kandung di tempat ini. Tempat ini tak ada bedanya dengan tanah kuburan dan yang tinggal hanya namanya saja. Cukuplah, sicu, semoga Hud-couw memberkahimu." Setelah berkata demikian, nikouw itu menjura lantas pergi meninggalkan Beng Sin yang masih berdiri termangu-mangu di tempat itu.

Akhirnya dia tahu bahwa berdebat pun tidak akan ada gunanya, dan untuk memaksa pun selain dia tidak berani dan tidak mau, juga apa hasilnya? Dia tak akan dapat mengetahui yang mana ibu kandungnya. Dia tidak mungkin dapat berjumpa dengan ibu kandungnya kecuali kalau ibu itu sendiri yang memperkenalkan diri.

Dengan kedua kaki lemas Beng Sin keluar dari kuil itu dan akhirnya dia menjatuhkan diri di bawah pohon tak jauh dari kuil. Baru sekarang terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya lemas dan lelah sekali.

Tadinya dia masih penuh semangat dan bayangan kegembiraan berjumpa dengan ibu kandungnya membuat dia lupa akan segala kesengsaraan perjalanan jauh itu. Akan tetapi setelah sekarang dia kehilangan harapan dan semangat, maka lemaslah dia dan terasalah semua kelelahannya. Mengingat akan semua itu, kalau saja dia tidak memiliki kekerasan hati ingin rasanya dia menangis!

Selagi dia duduk dengan muka pucat dan berulang kali menarik napas panjang, hatinya penuh kekecewaan dan kedukaan, tiba-tiba saja terdengar suara halus menegurnya,

"Sicu, bukankah engkau she Tee bernama Beng Sin?"

Beng Sin terkejut dan melompat berdiri, lantas membalikkan tubuhnya. Dilihatnya seorang nikouw yang agak gemuk berdiri di depannya, seorang nikouw yang usianya kurang lebih tiga puluh lima lebih, masih kelihatan muda karena wajahnya terang dan bibirnya selalu mengandung senyuman biar pun sepasang matanya lembut sekali.

Sejenak mereka berdua berdiri berhadapan dan saling pandang dengan penuh perhatian. Jantung Beng Sin berdebar penuh ketegangan, akan tetapi dia ragu-ragu dan dengan lirih dia bertanya sambil menjura.

"Benar sekali, bagaimana suthai mengetahuinya?"

"Tentu saja aku tahu, karena wajahmu dan tubuhmu persis sekali, seperti kembar saja kalau dibandingkan dengan pamanmu yang tiada," jawab nikouw itu.

Beng Sin menatap wajah nikouw itu, melihat betapa bibir serta pelupuk mata nikouw itu gemetar, biar pun pandang matanya tetap lunak dan lembut.

"Suthai... siapakah...?"

"Pinni Thian Sin Nikouw, seorang anggota kuil ini..."

"Suthai... suthai mengenal Tee Cu Hwa yang saya cari-cari...?" Beng Sin bertanya dan sepasang matanya menatap tajam.

Nikouw itu mengangguk dan matanya berkejap dua kali, alisnya agak berkerut "Tee Cui Hwa telah mati, tidak ada lagi di dunia ini... apa yang kau kehendaki?"

Beng Sin tidak terkejut mendengar ini, akan tetapi dia menatap wajah itu semakin tajam, wajah yang mendatangkan rasa aneh di dalam hatinya, seolah-olah dia selama hidupnya pernah mengenal wajah ini.

"Saya... saya hanya ingin mengetahui apakah benar saya adalah anak kandung dari Kui Hok Boan, dan agaknya hanya ibu kandung saya yang dapat menceritakannya kepada saya. Maka saya harap ibu... saya harap suthai sudi membebaskan saya dari keraguan dan kegelisahan, sudi menceritakan kepada saya tentang riwayat ibu kandung saya dan juga ayah kandung saya!"

Sepasang mata itu terpejam rapat-rapat seolah-olah hendak mencegah mengalirnya air mata dan menekan perasaan haru yang menghimpit, akan tetapi ketika kedua mata itu dibuka, biar pun tidak ada air mata mengalir tetap saja kedua mata itu basah.

"Betul, Kui Hok Boan adalah ayah kandungmu. Akan tetapi apakah sicu perlu mengetahui riwayat yang tidak baik itu? Perlukah segala kekotoran dibongkar kembali? Sungguh tidak ada manfaatnya bagimu, sicu."

"Tidak, saya harus mengetahuinya! Lebih tidak baik lagi kalau kekotoran itu dirahasiakan dan ditutup-tutupi karena saya sudah mencium baunya yang busuk! Demi Tuhan, demi segala dewa, demi Kwan Im Pouwsat, harap suthai suka menaruh kasihan kepada saya, seorang yang ayah bundanya masih hidup dan segar-bugar, akan tetapi merasa seakan telah menjadi yatim piatu, karena baik ayahnya mau pun ibunya sudah lama sekali tidak mempedulikan lagi kepada saya!"

"Sicu! Jangan kau mengeluarkan kata-kata seperti itu," Nikouw itu menunduk, dan dengan halus dia menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus dua titik air mata yang turun dari sepasang matanya. "Sicu tidak tahu betapa mendiang Tee Cui Hwa menderita dengan hebat, menderita lahir batin, jauh lebih hebat dari pada perasaan yang sicu derita sekarang ini."

"Tetapi sebagai anak kandung ibu dan ayah, saya berhak sepenuhnya untuk mengetahui riwayat mereka, suthai!" Beng Sin mendesak.

"Baiklah, baiklah, mari kita masuk ke ruangan tamu di kuil, nanti pinni ceritakan semua kepadamu, sicu." Setelah berkata demikian, nikouw itu kemudian berjalan menuju ke kuil dengan kepala tunduk, diikuti oleh Beng Sin dari belakang.

Nikouw yang mengaku bernama Thian Sin Nikouw itu memasuki ruangan tamu kuil dari pintu samping, kemudian ia duduk sambil mempersilakan pemuda itu duduk di depannya. Sejenak mereka yang duduk saling berhadapan itu saling pandang dan akhirnya nikouw itu menarik napas panjang.

"Omitohud... sama sekali bukan maksud pinni untuk membongkar kebusukan orang, akan tetapi memang benar seperti ucapan sicu tadi, sebagai putera mereka, sicu berhak untuk mendengar dan mengetahui kesemuanya itu." Dia berhenti sejenak, memejamkan mata seolah-olah sedang berdoa mohon pengampunan kepada Dewi Kwan Im Pouwsat yang dipujanya atas kelancangannya membongkar kebusukan orang. Kemudian dia membuka matanya yang menjadi jernih dan tenang, lalu mulailah dia bercerita dengan suara datar dan halus tanpa disertai ketegangan atau keharuan hati, seolah-olah hanya mulutnya saja yang bergerak akan tetapi hatinya tidak ikut bicara.

Belasan tahun yang lalu, hampir dua puluh tahun yang lampau, gadis Tee Cui Hwa yang ketika itu berusia tujuh belas tahun hidup berdua saja dengan Tee Kang, yaitu kakaknya yang berusia dua puluh lima tahun. Kakak beradik ini sudah yatim piatu. Mereka hanya hidup berdua saja dari hasil pekerjaan Tee Kang sebagai seorang penjaga keamanan di sebuah rumah judi yang besar.

Tee Kang adalah seorang pemuda yang bertubuh kuat dan mempunyai kepandaian silat lumayan, maka dia dapat bekerja sebagai penjaga keamanan rumah perjudian itu. Biar pun hidup sederhana, namun kakak beradik ini tidak kekurangan dan mereka hidup saling menyayangi karena mereka hanya berdua saja di dunia ini.

Pada suatu hari, Tee Kang pulang membawa seorang tamu. Tamu ini adalah sahabatnya yang bernama Kui Hok Boan, seorang pemuda yang tampan dan menarik sekali, pandai dalam ilmu sastera dan ilmu silat, akan tetapi pemuda ini juga menjadi langganan setia dari rumah perjudian itu sehingga kenal dengan Tee Kang.

Tee Kang yang diam-diam hendak mencarikan jodoh untuk adik perempuannya, tertarik melihat teman ini dan dia membayangkan betapa akan bahagianya adiknya dan dia kalau Kui Hok Boan yang disebut Kui-siucai ini dapat berjodoh dengan Cui Hwa!

Setelah Kui Hok Boan bertemu dengan Cui Hwa, pemuda tampan ini langsung tertarik, bukan oleh kecantikan Cui Hwa karena sebenarnya gadis itu bukan tergolong gadis yang terlalu cantik sungguh pun wajahnya bersih dan tubuhnya montok. Akan tetapi memang Kui-siucai adalah seorang pemuda mata keranjang dan hidung belang, hanya saja semua watak ini tertutup oleh sikapnya yang halus sebagai sasterawan sehingga Tee Kang bisa terkelabui dan mengira bahwa pemuda itu adalah seorang yang baik budi!

Melihat seorang gadis bagi Kui Hok Boan tiada bedanya dengan melihat seonggok daging segar bagi seekor srigala yang kelaparan, maka tentu saja dia diam-diam sudah mengilar! Hubungannya dengan Tee Kang menjadi semakin erat sehingga akhirnya kadang-kadang Kui Hok Boan sampai bermalam di rumah kakak beradik itu.

Pada suatu sore, ketika Tee Kang pulang dari tempat kerjanya, dia terkejut sekali melihat adiknya menangis di dalam kamarnya. Pada saat ditanya, Tee Cui Hwa mengaku bahwa siang tadi, ketika Tee Kang sedang bekerja, Kui Hok Boan datang lantas memaksanya menuruti kehendaknya. Dia menolak, karena mereka belum menikah, akan tetapi Kui Hok Boan memaksa dan dengan kejam telah memperkosanya!

Mendengar ini, Tee Kang menjadi marah bukan main. Memang betul dia ingin sekali agar adiknya ini menjadi isteri Kui Hok Boan, namun tidak dengan cara dipaksa dan diperkosa! Karena itu dia cepat pergi lagi mencari Kui Hok Boan dan sesudah bertemu, dia minta pertanggungan jawab Kui Hok Boan untuk segera mengawini adiknya.

Namun Kui Hok Boan menolak, bahkan menantangnya. Tee Kang menjadi marah sekali dan mereka lalu berkelahi. Akan tetapi akhirnya Tee Kang roboh dan tewas di tangan Kui Hok Boan yang lebih lihai.

Nikouw itu menghentikan ceritanya dan memejamkan kedua matanya. "Demikianlah, sicu, pamanmu itu tewas di tangan pria yang jahat itu..."

"Dan ibuku? Apa jadinya dengan ibuku?" Beng Sin mendesak, mukanya menjadi merah karena diam-diam dia marah sekali kepada Kui Hok Boan.

"Dia telah kehilangan satu-satunya orang yang bisa dijadikan pelindungnya, satu-satunya keluarganya di dunia ini. Orang she Kui itu lalu datang lagi dan memaksanya ikut pergi, memperkosanya dan mempermainkan sesuka hati sampai dia mengandung, lalu ditinggal pergi..."

"Keparat jahanam Kui Hok Boan!" Beng Sin berseru sambil mengepal tinjunya.

"Omitohud... semoga Pouwsat menerangi batinmu, sicu. Engkau tidak boleh memaki dan mengutuk orang yang menjadi ayah kandungmu sendiri."

"Lalu bagaimana dengan ibuku, suthai?"

"Ia melahirkan engkau, sicu... kemudian setelah menitipkan atau memberikanmu kepada sebuah keluarga dusun yang baik hati, dia lalu masuk menjadi nikouw..."

"Dan orang bernama Kui Hok Boan itu kemudian mengambilku dan mengakuinya sebagai keponakannya!"

Nikouw itu mengangguk. "Pinni mendengar bahwa sicu telah diambilnya dan tadinya hati pinni ikut merasa gembira karena agaknya ayah kandung itu masih ingat kepada anaknya sendiri..."

"Tetapi dia tetap jahat! Dan ibu... ibuku adalah engkau, suthai...! Ibu...!" Beng Sin lantas menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki nikouw itu.

Nikouw itu bangkit berdiri, memejamkan mata sambil merangkap kedua tangan di depan dada. "Tidak...! Ibumu, Tee Cui Hwa telah mati bagimu dan bagi dunia, sicu. Pinni adalah Thian Sin Nikouw..."

"Ibu... tidak kasihankah engkau kepadaku, anakmu?" Beng Sin meratap, masih berlutut.

"Pinni kasihan kepadamu seperti kepada semua orang yang menderita, sicu. Pouwsat tak pernah memilih-milih orang dalam belas kasihan beliau! Ibumu telah mati dan pinni adalah seorang nikouw..."

Nikouw itu menyentuh kedua pundak Beng Sin, sejenak kedua tangannya menyentuh mesra dan jari-jari tangan itu gemetar, akan tetapi tak lama kemudian seperti ada tenaga baru yang menghilangkan getaran itu, lalu dia membangkitkan Beng Sin.

"Bangkitlah dan jangan menuruti hati yang lemah, sicu."

Beng Sin bangkit berdiri, memandang kepada nikouw itu dengan mata basah. "Baiklah, suthai, akan tetapi tentu suthai sudi untuk menggantikan kedudukan ibuku dan memberi kepastian dan pendapat suthai tentang perjodohanku."

"Perjodohan? Sicu hendak menikah? Ahh, baik sekali itu, tentu saja pinni merasa sangat bersyukur dan akan pinni doakan selalu kepada Pouwsat supaya hidupmu penuh dengan kebahagiaan, sicu, tidak seperti kehidupan ibumu dahulu!"

Beng Sin lalu menceritakan mengenai usul yang diajukan keluarga Ciok kepadanya, dan menceritakan pula semua peristiwa yang terjadi di dalam keluarga Kui Hok Bean, betapa dia hendak membela dua orang gadis kembar yang ternyata masih merupakan adik-adik tirinya sendiri seayah itu, dan juga betapa dalam perkelahian dia telah membunuh kakak tirinya.

Nikouw itu mendengarkan dengan alis berkerut. Kemudian dia berkata setelah pemuda itu menghabiskan ceritanya, "Sicu, biar pinni mewakili ibumu dan menasehatimu. Sebaiknya engkau jangan kembali lagi kepada ayah kandungmu yang ternyata hingga kini pun masih belum juga insaf dari kesesatannya itu. Sebaiknya, mulai saat ini sicu tidak mendekatinya supaya tidak timbul segala urusan yang tidak baik dan pergilah engkau kepada keluarga Ciok itu, terimalah usul mereka untuk menjodohkan sicu dengan gadis she Ciok itu. Pinni akan selalu berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaanmu, sicu. Nah, sekarang terpaksa pinni mempersilakan sicu pergi."

Beng Sin merasa girang sekali mendengar betapa nikouw ini, yang dia yakin adalah ibu kandungnya, telah menyetujui perjodohannya, dia merasa girang dan terharu sekali, maka dia lalu kembali menjatuhkan diri berlutut,

"Ibu... suthai... terima kasih atas segala nasehatmu... kelak pada suatu hari... aku akan mengajak isteriku untuk datang menghadap ibu...!"

Sejenak nikouw itu berdiri seperti patung, kedua matanya menjadi basah dan cepat-cepat dia mengusapnya dengan ujung lengan bajunya, lalu dia tersenyum.

"Bangkitlah, Beng Sin! Pouwsat akan selalu melindungimu, nak. Dan selamat jalan, doa restuku selalu menyertaimu!" Dan dia lalu membalikkan tubuh, mengucapkan doa sambil pergi dari ruangan tamu itu.

Beng Sin juga bangkit berdiri lalu melangkah keluar dari kuil, hatinya kini terasa lapang. Dia dapat memaklumi akan sikap ibu kandungnya. Dia pun dapat membayangkan betapa sengsara ibu kandungnya pada saat diperkosa oleh Kui Hok Boan, dipermainkan bahkan dipisahkan dari kakak kandungnya yang terbunuh, kemudian, sesudah mengandung lalu ditinggalkan oleh pria yang jahat itu. Dan pria itu adalah ayah kandungnya sendiri!

Apakah sesungguhnya yang terjadi pada diri Kui Lan dan Kui Lin, dua orang dara kembar puteri dari Kui Hok Boan itu? Seperti telah kita ketahui, dua orang dara kembar diam-diam melarikan diri karena tidak sudi dijadikan selir pangeran seperti yang sudah dijanjikan oleh ayah mereka kepada Pangeran Ceng Han Houw. Mereka pergi menuju selatan, tidak tahu pasti harus pergi ke mana, pokoknya meninggalkan ayah mereka yang membuat mereka merasa penasaran itu.

Hampir mereka tak percaya betapa ayah mereka itu seolah-olah hendak menjual mereka kepada pangeran yang sombong itu! Sulit bagi mereka dapat menerima kenyataan betapa ayah mereka itu mempuhyai watak yang demikian pengecut dan palsu! Begitu kejam dan jahatnya pula sudah membius Sin Liong dan Bi Cu untuk menyerahkan mereka kepada pangeran yang mengejar-ngejar Sin Liong! Padahal, Sin Liong adalah saudara mereka, anak ibu kandung mereka pula!

Dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan dua orang gadis remaja yang selama hidupnya belum pernah melakukan perjalanan sejauh itu, tanpa tujuan pasti pula. Untung sejak kecil mereka telah mempelajari ilmu silat sehingga mereka memiliki tubuh yang kuat dan tahan menderita, di samping ini mereka membawa semua perhiasan mereka sehingga mereka tidak khawatir kehabisan bekal untuk keperluan makan dan lain-lain di sepanjang perjalanan.

Kurang lebih empat bulan kemudian, pada suatu senja Lan Lan dan Lin Lin sampai di tepi Sungai Hoang-ho. Saat melihat sebuah perahu besar, mereka segera berseru memanggil tukang perahu untuk ikut menyeberang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa perahu itu adalah milik bajak sungai! Maka ketika mereka ikut di dalam perahu itu dan perahu sudah bergerak ke tengah, mereka berdua langsung dikurung bajak!

Terjadilah perkelahian seru dan andai kata pada saat itu tidak sedang lewat perahu yang ditumpangi oleh Ciang Lok atau Ciang-piauwsu, ketua dari Hek-eng Piauwkiok, maka sulit dibayangkan bagaimana nasib sepasang dara kembar itu. Ciang-piauwsu menyelamatkan mereka dan karena para bajak itu takut dan segan terhadap piauwsu ini, maka mereka pun melepaskan Lan Lan dan Lin Lin.

Ciang-piauwsu yang merasa kagum kepada kedua orang dara kembar itu, juga karena dia sendiri tidak mempunyai anak, ketika mendengar bahwa dua orang dara itu terlunta-lunta tanpa keluarga, segera mengajak mereka ke Su-couw dan mereka berdua itu kemudian dianggapnya anak sendiri. Isterinya pun suka sekali kepada Lan Lan dan Lin Lin.

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Seperti telah diceritakan, dua bulan sesudah mereka itu tinggal di rumah Ciang-piauwsu, pada suatu hari muncullah Kwan Siong Bu yang dapat menemukan jejak mereka setelah pemuda ini juga dihadang bajak sungai, menundukkan bajak dan mendengar keterangan dari bajak bahwa dua orang dara kembar itu pergi ikut Ciang-piauwsu di kota Su-couw.

Kedatangan Siong Bu disambut oleh Lan Lan dan Lin Lin dengan gembira. Apa lagi ketika dua orang gadis itu mendengar dari cerita Siong Bu bahwa ayah mereka sudah berubah pendirian, menyuruh Siong Bu mencari dan mengajak mereka pulang. Siong Bu bercerita bahwa ayah mereka merasa menyesal dan kini hendak mengajak dua orang puterinya itu untuk pindah secara diam-diam agar jauh dari jangkauan Pangeran Ceng Han Houw.

Lan Lan dan Lin Lin girang sekali, dan mereka berhasil terbujuk lantas ikut pergi bersama Siong Bu. Tentu saja pemuda yang cerdik ini telah membohong. Dia tahu bahwa kalau dia berterus terang, dua orang dara itu tidak akan mau ikut pulang, dan dia pun tidak mungkin dapat memaksa mereka.

Setelah berhasil membujuk dua orang dara kembar itu, mereka bertiga lalu diberi tiga ekor kuda yang baik oleh Ciang-piauwsu, kemudian berangkatlah mereka meninggalkan kota Su-couw menuju ke kota raja, diantar dengan pandang mata duka oleh Ciang Lok dan isterinya yang merasa seperti kehilangan anak sendiri.

Sesudah tiba di kota sebelah selatan kota raja, mereka bertiga bermalam dalam sebuah rumah penginapan. Lan Lan bersama Lin Lin menggunakan sebuah kamar dan Siong Bu berada di kamar lain. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siong Bu untuk pergi keluar dan kebetulan sekali dia mendengar bahwa Pangeran Ceng Han Houw baru tiba dari selatan dan sedang berada di kota itu. Maka cepat-cepat dia menemui pangeran ini dan memberi tahu mengenai kedua orang dara kembar yang baru saja dapat digiringnya kembali untuk diserahkan kepada sang pangeran!

Pada waktu itu, memang Han Houw baru saja kembali dari selatan. Tadinya dia merasa heran dan tak mengenal pemuda yang mohon menghadap padanya di gedung pembesar setempat, akan tetapi ketika Siong Bu memperkenalkan diri sebagai keponakan Kui Hok Boan, dia segera teringat. Alis tebal pangeran ini berkerut karena dia ternyata sudah lupa lagi bahwa dia mempunyai urusan dengan keluarga Kui itu.

"Hemm, Kwan Siong Bu, sekarang aku ingat, engkau adalah keponakan orang she Kui itu. Dan ada perlu apakah engkau mengganggu waktuku?"

Melihat sikap angkuh disertai ucapan yang mengandung nada tidak senang ini, Siong Bu menjadi ketakutan. Dia segera memberi hormat sambil berkata, "Harap paduka maafkan kalau hamba mengganggu, kedatangan hamba ini adalah untuk menyerahkan dua orang adik misan hamba yaitu Lan-moi dan Lin-moi, dua orang dara kembar itu."

"Dua orang gadis kembar? Ahh...! Benar! Mereka yang manis-manis itu!" Wajah pangeran itu berseri sehingga hati Siong Bu seketika itu merasa lega. "Di mana mereka? Apakah sudah kau bawa ke sini?"

"Itulah sebabnya hamba memberanikan diri menghadap paduka, pangeran. Apa bila tidak paduka sendiri yang turun tangan, akan sukarlah bagi hamba untuk dapat menghaturkan mereka kepada paduka."

Kemudian dengan singkat tapi jelas Siong Bu lalu menceritakan kepada Han Houw akan semua yang telah terjadi, yaitu bahwa dua orang adik misannya itu sudah melarikan diri dan betapa dengan susah payah akhirnya dia dapat menemukan mereka dan membujuk mereka sampai tiba di kota ini.

"Hamba sudah berhasil membujuk mereka sampai ke sini, dan kalau paduka tidak segera menguasai mereka, kalau sampai mereka lari lagi, maka akan sukarlah untuk menangkap mereka kembali. Mereka adalah dua orang dara yang berhati keras, pangeran. Hamba kini menyerahkan mereka kepada paduka dengan penuh kerelaan hati."

Wajah yang berseri itu nampak semakin gembira, akan tetapi suaranya yang terdengar secara tiba-tiba itu mengejutkan Siong Bu. "Kwan Siong Bu, apa maksudmu begini baik engkau hendak menyerahkan dua orang adik misanmu kepadaku?"

Akan tetapi Siong Bu cepat dapat menguasai kekagetan hatinya. "Tidak ada maksud hati lainnya kecuali hendak berbakti kepada paduka, pangeran. Hamba hanya mengharapkan kemurahan hati paduka untuk keluarga kami."

Han Houw mengangguk-angguk, maklum bahwa dia berhadapan dengan pemuda yang gila kedudukan dan pahala! Akan tetapi, pemuda semacam ini memang sangat berguna bagi orang-orang besar seperti dia, karena pemuda atau orang yang gila akan kedudukan akan dapat mudah menjadi hamba-hamba yang setia.

"Bagus, mari antar aku kepada mereka!"

Dengan girang Siong Bu lalu mengantar Han Houw ke rumah penginapan di mana dua orang adik misannya sedang tidur. Ketika kereta yang membawa pangeran dan Siong Bu tiba di depan rumah penginapan, kemudian melihat pangeran itu turun, semua orang yang berada di depan langsung berlutut menghaturkan hormat karena mereka mengenal siapa adanya pemuda tampan yang berpakaian indah itu.

Siong Bu langsung membawa sang pangeran sampai ke depan pintu kamar dua orang dara kembar itu, kemudian dia mengetuk pintu. "Lan-moi! Lin-moi!"

Sesudah beberapa kali mengetuk, terdengar jawaban Lin Lin dari dalam. Dua orang dara itu telah melakukan perjalanan jauh sehingga mereka lelah sekali, maka tadi telah tertidur nyenyak. Mereka kini terkejut mendengar ketukan pada pintu kamar mereka.

"Siapa di luar?" tanya Lin Lin.

"Aku, Lin-moi. Bukalah pintu kamarnya, aku mau bicara, penting sekali!" kata Siong Bu mendesak dan Han Houw sudah tersenyum gembira ketika mendengar suara gadis yang merdu dari dalam kamar itu.

"Tunggu sebentar, Bu-ko!" terdengar Lin Lin berkata.

Dua orang dara ini terkejut dan menduga tentu ada bahaya, maka mereka cepat turun dari tempat tidur kemudian tergesa-gesa mengenakan pakaian mereka, pakaian ringkas dan memakai sepatu, siap untuk segera pergi kalau keadaan memaksa. Setelah selesai, barulah Lin Lin dan Lan Lan menghampiri pintu kamar dan membukanya.

"Lan-moi dan Lin-moi, ini pangeran sudah datang menyambut kalian berdua!" kata Siong Bu sambil moloncat ke belakang, membiarkan Han Houw memasuki pintu kamar itu.

Dua orang dara itu terkejut bukan main hingga mereka mundur kembali ke dalam kamar dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali, menatap wajah pangeran yang tampan dan tersenyum-senyum itu. Han Houw melangkah masuk dengan gayanya.

"Selamat malam dan selamat berjumpa kembali, dua orang nona kembar yang manis. Ah, kini kalian nampak semakin manis saja. Keretaku sudah menunggu di luar, marilah kalian kuantar pulang..."

"Pu... pulang...?" Kui Lan bertanya, penuh harap. Benarkah pangeran hendak mengantar mereka pulang ke dusun Pek-jun?

"Ha-ha-ha, tentu saja. Pulang ke istanaku, sayang. Kita akan bersenang-senang, pesta menyambut kedatangan kalian berdua, nona-nona manis."

"Tidak sudi!" Mendadak Kui Lin membentak dan dia sudah mencabut pedangnya, diikuti pula oleh Lan Lan.

Seperti dua ekor singa betina, dua orang dara kembar ini dengan pedang di tangan sudah menghadapi sang pangeran, sedikit pun tak merasa gentar bahkan mereka memandang penuh kebencian.

Melihat sikap mereka ini, Han Houw menjadi semakin gembira dan kagum! Belum pernah ada wanita berani atau mau menolak cintanya, akan tetapi kedua orang dara kembar ini menentangnya dengan penuh kegagahan. Baginya, hal ini merupakan permainkan baru!

"Ha-ha-ha, kalian masih sama gagahnya seperti dulu. Bahkan lebih gagah! Akan tetapi, enam bulan yang lalu kalian bukan lawanku, apalagi sekarang setelah aku menjadi jagoan nomor satu di dunia! Ha-ha-ha, kalian boleh menyerangku sesuka hati kalian, nona-nona manis!"

"Hemm, kedudukanmu saja tinggi, engkau seorang pangeran, akan tetapi watakmu amat rendah, engkau hendak memaksa gadis-gadis yang tidak sudi menjadi permainanmu!"

"Lebih baik mati!" Lin Lin membentak.

Dia sudah menerjang maju dan menyerang dengan pedangnya, diikuti oleh Lan Lan. Dua orang dara itu menggerakkan pedang mereka dengan ganas dan kini gerakan mereka memang lebih hebat dari pada enam bulan yang lampau. Hal ini adalah karena mereka selama dua bulan sudah menerima pelajaran ilmu pedang dari Ciang Lok, ketua Hek-eng Piauwkiok. Akan tetapi tentu saja berhadapan dengan Han Houw, mereka itu tidak ada artinya.

Han Houw hanya tersenyum-senyum saja menghadapi serangan mereka, namun begitu kedua tangannya bergerak cepat, tahu-tahu dua orang dara itu melongo dan memandang pedang mereka yang telah pindah ke dalam kedua tangan Han Houw! Kiranya pangeran yang amat lihai itu tadi telah memapaki serangan mereka dengan dorongan kedua tangan yang mendatangkan hawa pukulan amat kuat, membuat tangan mereka yang memegang pedang tertahan, kemudian dalam satu detik itu juga, tangan kanan dan kiri dari pangeran itu telah berhasil merebut pedang!

Akan tetapi hanya sejenak saja dua orang dara kembar itu tertegun, karena di lain saat mereka telah menyerbu lagi dengan nekat, menggunakan kepalan tangan mereka!

Terdengar suara bak-bik-buk ketika empat buah kepalan kecil itu menghujankan pukulan ke tubuh Han Houw, akan tetapi pangeran itu hanya tersenyum saja, bahkan lalu berkata, "Lain kali kalau memijiti tubuhku bukan begini caranya, sayang!"

Tentu saja dua orang dara itu terkejut dan makin marah. Kini mereka menyerang ke arah kedua mata pangeran itu! Han Houw melangkah mundur dan dua kali tangannya bergerak sehingga dua orang dara itu terkulai lemas karena sudah kena ditotoknya.

"Kwan Siong Bu! Bawa mereka ini ke dalam kereta!" perintah Han Houw.

Siong Bu cepat masuk dan dia melihat betapa kedua orang piauw-moinya itu sudah rebah di atas lantai dengan lemah lunglai. Dia lalu memanggul tubuh dua orang adik misannya itu dan membawa mereka ke dalam kereta. Pangeran Ceng Han Houw mengikutinya dari belakang dan setelah mereka masuk ke dalam, kereta lalu dijalankan menuju ke istana di mana Han Houw tinggal kalau dia berada di kota raja.

Semua orang yang melihat peristiwa ini hanya tertawa dan menganggapnya lucu sekali bahwa pangeran ini mengambil dua orang dara yang bersikap demikian aneh dan berani menentang, juga berita tentang kebolehan pangeran itu menundukkan dua orang gadis itu segera tersiar di mana-mana dan orang-orang memuji kelihaian pangeran itu.

Setibanya di istana, Han Houw kemudian menjanjikan kedudukan kepada Siong Bu, dan pemuda yang sejak tadi dalam kereta tak berani menatap wajah dua orang piauw-moinya yang memandangnya penuh kebencian itu, menjadi girang bukan kepalang. Apa lagi saat pangeran itu mengatakan bahwa kelak apa bila dia sudah bosan, dia akan menyerahkan kembali dua orang gadis itu kepada Siong Bu!

Dan seperti telah diceritakan pada bagian depan, Siong Bu lalu bertemu dengan Beng Sin, kemudian terjadi perkelahian yang mengakibatkan tewasnya Siong Bu sehingga pemuda ini tidak sempat menikmati semua yang telah dijanjikan oleh pangeran kepadanya.

Sementara itu, walau pun sudah tertawan, kedua orang dara kembar itu tetap menolak dengan keras segala bujuk rayu Pangeran Ceng Han Houw! Mereka sudah bertekad lebih baik mati dari pada harus menuruti kehendak pangeran itu, yaitu menyerahkan diri secara suka rela kepadanya.

"Hemm, kalian benar-benar dua orang dara yang keras hati dan keras kepala!" Han Houw berkata sambil memandang dua orang dara yang masih lemas tertotok dan rebah di atas pembaringan kamamya itu. "Kalian telah memperoleh derajat tinggi menjadi pilihanku, dan kalian berani menolak? Hemmm, apa bila sekarang juga aku memperkosa kalian, apakah kalian dapat mengelak?"

Walau pun masih dalam keadaan tertotok sehingga tidak mampu bergerak, Kui Lan yang memandang dengan penuh kebencian itu berkata, "Manusia rendah! Apa kau kira kelak kami berdua tidak akan mampu bunuh diri? Kami telah tertawan, mau bunuh, mau apakan terserah, akan tetapi untuk menyerah dengan suka rela, jangan harap!"

Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang angkuh dan terlalu percaya terhadap diri sendiri. Dia anggap dirinya terlalu tinggi. Sebagai seorang putera tunggal Raja Sabutai, kemudian sebagai putera Kaisar Kerajaan Beng-tiauw, bahkan kemudian diakui sebagai adik Kaisar Ceng Hwa yang amat menyayanginya, Han Houw menganggap dirinya seperti seorang pria yang tidak akan mungkin ditolak oleh wanita!

Semenjak masih di utara dahulu, wanita mana pun akan berlutut dan menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela serta penuh kepasrahan, bahkan penuh gairah. Dia sangat membanggakan dirinya sendiri, kedudukannya, ketampanannya, kepandaiannya dan pada akhir-akhir ini kepandaian silatnya. Setiap orang wanita, tidak peduli siapa pun, tentu akan berlutut dan siap melayaninya dengan gembira sekali begitu dia mengejapkan mata untuk memberi isyarat, demikianlah anggapannya selalu.

Karena itu dapat dibayangkan betapa marah dan penasaran, juga terhina dan tersinggung keangkuhannya ketika dia menghadapi dua orang dara kembar yang berani menolaknya ini! Padahal dua orang dara kembar itu hanyalah puteri seorang manusia rendah macam Kui Hok Boan! Terlebih lagi kedua orang dara kembar itu bukanlah wanita-wanita secantik bidadari, sungguh pun mereka itu amat manis. Dan mereka berani menampik dia! Hal ini benar-benar amat menyakitkan hati Ceng Han Houw.

Entah sudah berapa banyak perempuan, baik perawan, janda mau pun isteri orang, yang dengan suka rela jatuh ke dalam pelukannya kemudian melayaninya dengan senang hati. Ketika dia baru berada di istana Kerajaan Beng, pernah ada seorang wanita, yaitu puteri seorang pembesar di kota raja yang menggerakkan birahinya, bersikap agak  jual mahal ?  pula terhadap dirinya. Dia merayunya dan sesudah dia berhasil menundukkan wanita itu, yang kemudian berbalik malah sangat mencintanya, untuk memperlihatkan kekuasaannya terhadap wanita, dia menyuruh wanita cantik ini untuk menjilati sepatunya dan mengemis cintanya! Demikian sombong watak Han Houw yang terdorong oleh kebanggaannya akan diri sendiri.

Dan sekarang dua orang dara kembar itu menampiknya, bahkan berani pula memaki dan mengutuknya. Kebanggaannya, yang sudah dibangunnya semacam benteng awan itu kini hancur oleh penolakan dua orang dara ini!

Dia tak sudi untuk melakukan perkosaan kepada wanita, karena perkosaan membuktikan bahwa wanita itu tidak mau kepadanya! Dan ini jelas merupakan pengakuannya bahwa dia kalah oleh wanita itu, bahwa wanita itu tidak mau tunduk kepadanya. Maka, dia tidak sudi memperkosa, dia masih belum putus asa. Dengan uring-uringan pangeran ini lantas keluar dari kamar itu, memerintahkan dua orang wanita pembujuk agar memasuki kamar itu untuk membujuk agar dua orang dara kembar itu suka melayaninya dengan suka rela.

Akan tetapi, begitu kedua orang dara kembar itu terbebas dari totokan sesudah dengan sendirinya jalan darahnya mengalir lancar, mereka mengamuk sehingga dua orang wanita tukang bujuk yang sedang membujuk-bujuk mereka, menggambarkan alangkah enak dan senangnya menjadi selir-selir pangeran itu, lari sambil mengaduh-aduh, keluar dari kamar itu dengan mulut berdarah dan beberapa buah gigi mereka copot!

Kini marahlah Han Houw. Dia sendiri memasuki kamar itu dan ketika Lan Lan dan Lin Lin menyambutnya dengan serangan nekat, kembali dengan mudah dia merobohkan mereka dengan totokan. Han Houw lalu memanggil pengawal yang segera datang berlari-lari. Dua orang pengawal itu bersikap hormat dan menanti perintah.

"Belenggu kaki tangan mereka, akan tetapi perlakukan mereka dengan halus, kemudian masukkan mereka ke dalam kamar tahanan di belakang!" perintahnya.

Dua orang pengawal itu cepat mengambil tali sutera dan membelenggu kaki tangan dua orang gadis yang lumpuh tertotok itu, kemudian dengan hati-hati mereka memanggul dua orang gadis itu keluar kamar. Mereka adalah pengawal-pengawal yang taat karena takut terhadap pangeran itu dan karena maklum bahwa dua orang gadis cantik ini adalah calon selir-selir pangeran, tentu saja mereka tak berani bersikap kasar dan kurang ajar. Kepala pengawal yang dipanggil segera menghadap.

"Jaga mereka baik-baik jangan sampai lolos. Akan tetapi jangan ada yang bersikap kasar, biarkan mereka berdua sendiri saja di kamar tahanan dan jangan beri makan atau minum sampai mereka minta. Kalau mereka minta makan atau minum, jangan beri akan tetapi beri tahu padaku!"

Kepala pengawal memberi hormat dan menyatakan baik, kemudian pergi meninggalkan Han Houw yang masih panas hatinya. Sungguh dua orang dara kembar itu membuat dia sangat kecewa dan marah sekali, juga amat tersinggung hatinya. Dua orang bocah dusun itu berani menampiknya!

Setiap malam, dengan sengaja Han Houw selalu makan minum di dalam kamar tahanan itu untuk menyiksa dua orang dara yang tentu saja kelaparan itu! Dia sengaja melakukan ini tanpa berbicara apa-apa, hanya makan dan minum dengan lahapnya. Maksudnya agar kedua orang gadis itu tidak kuat bertahan lagi kemudian bertobat, tunduk dan menyerah kepadanya karena kehausan dan kelaparan memaksa mereka.

Namun, sejak malam pertama, Lan Lan dan Lin Lin selalu memandang kepada pemuda yang makan minum itu sama sekali bukan dengan mata penuh keinginan untuk makan dan minum itu, melainkan sebaliknya pandang mata mereka itu penuh dengan kebencian! Mereka berdua sudah saling bermufakat untuk mempertahankan diri sampai mati, selagi masih hidup tidak akan menyerahkan diri kepada pangeran yang hanya tampan wajahnya namun buruk sekali wataknya itu.

Dan andai kata mereka akhirnya diperkosa di luar kehendak mereka, mereka juga sudah bermufakat untuk membunuh diri begitu terbuka kesempatan! Pendek kata, jangan harap pangeran itu akan dapat membuat mereka menyerahkan diri secara suka rela!

Penyerahan diri seorang wanita memang terdorong atau didasari bermacam pamrih! Akan tetapi selama didasari pamrih, penyerahan diri itu adalah kotor dan rendah. Ada wanita menyerahkan diri kepada seorang pria karena menginginkan harta kekayaan, atau karena menginginkan kedudukan tinggi, ada pula yang menyerahkan diri kepada seorang lelaki karena dorongan nafsu birahi semata. Hubungan badan dengan dasar seperti ini adalah kotor. Hanya kalau ada cinta kasih, maka segala perbuatan, termasuk hubungan badan antara wanita dan pria, adalah indah, wajar dan benar.

Han Houw adalah seorang pemuda yang mempunyai segala-galanya dalam keduniawian. Berkedudukan tinggi, kaya raya, tampan, masih muda, serta memiliki kepandaian tinggi, baik dalam hal bun (sastera) dan bu (silat). Akan tetapi semua itu tak ada artinya, bahkan hanya mendatangkan kerusakan dan kekacauan belaka, baik kepada diri sendiri mau pun kepada orang lain, selama dia tidak memiliki batin yang bersih.

Batinnya kotor oleh nafsu-nafsu keinginan yang berupa nafsu ingin menang sendiri! Ingin tinggi sendiri, nafsu birahi dan sebagainya. Dia begitu sombong hingga dia menganggap semua wanita pasti akan bertekuk lutut di hadapannya, bahwa semua wanita pasti akan dengan senang dan suka rela menyerahkan diri kepadanya kalau dia menghendakinya!

Sungguh suatu pandangan yang sesat karena keangkuhan! Sekali ini dia kecelik, karena sampai tiga hari tiga malam, biar pun setiap malam dia menggoda dengan makan minum di hadapan dua orang dara kembar itu, Lan Lan dan Lin Lin tetap saja tidak mau tunduk, tidak pernah minta-minta air atau makan, biar pun tubuh mereka sudah mulai lemas dan setengah pingsan setelah lewat tiga hari tiga malam!

                ***************

Sin Liong merasa bingung sekali. Perasaan hatinya terpecah menjadi dua, sebagian dia ingin mencari-cari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio, tetapi sebagian lagi dia ingin mencari Bi Cu.

Setelah dia mencegah terbunuhnya Kim Hong Liu-nio di tangan ayah kandungnya, yaitu Cia Bun Houw yang mendesak wanita iblis itu bersama isterinya, Sin Liong lalu pergi dan diam-diam mengikuti jejak Kim Hong Liu-nio. Hatinya merasa lega sekali bahwa dia telah mencegah Kim Hong Liu-nio tewas di tangan ayah kandungnya dan ibu tirinya! Pertama, berarti dia sudah membalas budi Kim Hong Liu-nio ketika iblis betina itu menyelamatkan dia, Bi Cu, dan Tiong Pek pada waktu keluarga Na Ceng Han diserbu musuh. Ke dua, dia tidak ingin wanita iblis itu terbunuh oleh orang lain kecuali dengan tangannya sendiri untuk membalas kematian ibu kandungnya. Dan yang ke tiga, dia telah berhasil memperlihatkan kepada ayah kandungnya serta isteri ayah kandungnya itu bahwa dia bukanlah seorang bocah yang lemah!

Akan tetapi, ketika dilihatnya jejak Kim Hong Liu-nio akhirnya menuju ke utara, dia dapat menduga bahwa iblis betina itu tentu hendak kembali keluar tembok besar, maka dia tidak melanjutkan pengejarannya. Dia harus menemukan dulu Bi Cu karena dia amat khawatir dengan keselamatan dara itu. Bi Cu adalah seorang dara sebatang kara. Hidup sendirian tidak ada yang melindunginya. Maka dia tidak mungkin membiarkan Bi Cu hidup terlantar seperti itu.

Kalau dia ingat akan semua yang telah dialaminya bersama Bi Cu, hatinya tidak tega dan tidak dapat membiarkan dara itu hanyut dibawa nasibnya sendiri. Tidak, dia harus dapat menemukan Bi Cu, dia harus melindungi dara itu. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk melindungi dara itu. Maka, ketika melihat Kim Hong Liu-nio ke utara, dia lalu kembali ke kota raja. Dia tidak akan ke utara lebih dulu kalau tidak bersama Bi Cu, karena bukankah dara itu hendak menyelidiki kematian ayahnya? Akan tetapi dia tidak tahu ke mana harus mencari Bi Cu.

Setibanya di kota raja, Sin Liong segera menghubungi para pengemis di pasar kemudian bertanya-tanya mengenai Bi Cu yang di antara mereka terkenal dengan sebutan Kim-gan Yan-cu. Namun, para pengemis muda itu hanya menggeleng kepala dengan sikap duka. Mereka semua sangat mencinta Kim-gan Yan-cu dan sesudah pemimpin wanita ini tidak ada, maka kehidupan mereka pun kocar-kacir dan cerai-berai, tak ada lagi pengatur siasat yang pandai.

Karena tidak berhasil mendapatkan keterangan tentang dara itu di kota raja, akhirnya Sin Liong lalu mengambil keputusan untuk pergi saja ke dusun Pek-jun. Dia hendak bertanya kalau-kalau Lan Lan atau Lin Lin atau siapa saja dari keluarga Kui itu mengetahui tentang Bi Cu. Selain itu, dia kini juga hendak secara langsung menegur Kui Hok Boan, dan kalau perlu memberi hajaran kepada orang yang hatinya kejam ini.

Sin Liong tiba di dusun itu pada waktu senja. Dia sengaja menunggu sampai malam tiba, barulah dengan hati-hati dia menghampiri rumah yang nampak sunyi itu. Sungguh sangat mengherankan hatinya, rumah itu sunyi bukan main dan biar pun malam sudah tiba, akan tetapi tak nampak ada lampu penerangan di rumah itu. Apakah keluarga Kui telah pindah, pikirnya.

Dia terus memasuki pekarangan hingga akhirnya tiba di halaman rumah itu. Ahh, ternyata rumah itu kosong. Tidak ada sepotong pun perabot rumah di halaman depan. Dia terus masuk karena pintu depan terbuka, akan tetapi di dalam yang gelap itu pun kosong saja, tidak ada sepotong pun perabot rumah. Tentu sudah pindah. Dia terlambat datang.

Akan tetapi pada waktu Sin Liong hendak keluar, dia mendengar suara orang menangis di sebelah dalam rumah yang gelap kosong itu. Hampir saja Sin Liong lari, bulu tengkuk itu bangkit berdiri karena seramnya. Rumah kosong gelap tetapi ada suara orang menangis! Tentu setan, pikirnya.

Akan tetapi, penggemblengan dirinya semenjak kecil membuat Sin Liong menjadi seorang pemberani. Walau pun permainan pikiran yang membayangkan hal yang ngeri-ngeri dan bukan-bukan itu mendatangkan rasa takut, namun dia nekat memasuki rumah kosong itu.

Sungguh pun hatinya kebat-kebit, akan tetapi seluruh panca inderanya waspada dan siap menghadapi apa pun juga. Berindap-indap dia menghampiri suara tangis itu dan ternyata suara itu datang dari sebuah kamar. Dari luar kamar itu sudah terlihat cahaya penerangan kecil keluar dari kamar itu.

Bukan setan, pikirnya. Jika setan apakah perlu membuat api penerangan? Bukan, bukan setan, melainkan manusia yang sedang dirundung susah hati. Dengan hati-hati Sin Liong mendekati pintu kamar itu.

"Huuu-hu-huuu... anak-anakku... anak-anakku... kalian di mana saja...? Hu-huuu, kenapa aku kalian tinggal sendirian?" Orang itu menangis terguguk dengan amat menyedihkan.

Tergerak hati Sin Liong oleh rasa iba dan tangannya sudah menyentuh daun pintu hendak membukanya, akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena suara menangis itu kini berubah sama sekali, menjadi tertawa terbahak-bahak!

"Ha-ha-ha-ha! Kalian hendak menghalangi aku? Ha-ha-ha, aku suka dia, dia manis cantik, hemmm... Tee Kang, kau hendak menghalangi aku? Ha-ha-ha, kau sudah bosan hidup! Aku suka pada Cui Hwa, dia manis, ha-ha-ha...! Aku memang suka wanita cantik, siapa peduli? Siang Li, kau janda manis dan pandai merayu... ha-ha, dan kau pun hebat sekali, Liong Si Kwi! Sayang tanganmu buntung, namun kau memang pandai bercinta, ha-ha-ha! Ehh, Bhe Coan, kau hendak menghalangi aku bermain cinta dengan isterimu? Ahhh, kau memang bosan hidup, harus kubunuh kau agar binimu dapat menemaniku setiap malam, ha-ha-ha...!"

Wajah Sin Liong berubah pucat mendengar ini semua. Hampir dia tidak percaya kepada telinganya sendiri. Itulah suara Kui Hok Boan! Jelas, apa lagi dia telah menyebut-nyebut nama ibunya segala. Dan nama Bhe Coan, ayah dari Bi Cu! Karena tidak percaya kepada telinganya sendiri, Sin Liong segera membuka pintu untuk melihat dengan mata sendiri. Dan apa yang dilihatnya membuat dia terbelalak seperti melihat setan!

Di situ, di dalam kamar kosong itu, yang sama sekali tidak ada perabotnya, Kui Hok Boan duduk di atas lantai, di atas sehelai tikar butut dan pakaian orang ini pun butut laksana pakaian pengemis. Wajahnya kotor tidak terpelihara, matanya liar dan merah, mata orang gila! D! sudut kamar itu terdapat sebatang lilin bernyala.

"Paman Kui...!" Sin Liong berseru memanggil.

Kui Hok Boan yang sudah gila itu menengok, memandang kepadanya lalu tertawa lagi, tertawa bergelak, lalu berkata, "Ha-ha, kau mau mengambil Lan Lan dan Lin Lin? Ha-ha, kini mereka telah menjadi kekasih-kekasih pangeran, dan aku menjadi mertua pangeran! Ha-ha-ha, aku adalah mertua pangeran, dan kau harus berlutut menyembahku!" Kui Hok Boan tertawa-tawa lagi.

Sin Liong memandang dengan muka pucat bukan main. Pamannya ini, suami mendiang ibu kandungnya, telah menjadi orang gila! Betapa pun penasaran dan marahnya terhadap orang ini atas semua kecurangan dan kejahatannya, kini melihat dia menjadi orang gila dengan pakaian seperti jembel itu, terharu dan kasihan juga rasa hati Sin Liong.

"Paman Kui, ini aku, Sin Liong...!"

Orang yang sedang tertawa-tawa itu tiba-tiba saja memandang. Sin Liong melihat betapa sepasang mata yang liar itu kemerahan di bawah sinar api lilin, dan mulut yang sedang menyeringai itu berbusa. Sungguh mengerikan keadaan orang ini, pikirnya.

"Sin Liong? Kau... kau setan cilik, engkau layak mampus!"

Tiba-tiba saja Kui Hok Boan menubruk seperti seekor harimau kelaparan dan gerakannya kacau-balau, caranya menyerang seperti binatang buas dan agaknya dia sudah lupa akan ilmu silatnya! Tentu saja Sin Liong tidak mau melayaninya, dan dengan mudah mengelak sehingga tubrukan orang gila itu mengenai dinding, membuatnya terguling lantas kembali Kui Hok Boan menangis sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri.

"Siong Bu... anakku... kenapa kau mati meninggalkan aku? Siong Bu, anakku... hu-huu! Beng Sin, engkau anakku, kenapa kau membunuh saudaramu sendiri...? Hu-hu-hu... kau minggat ke mana, anakku? Lan Lan dan Lin Lin... bila mana engkau sudah resmi menjadi permaisuri kelak, jangan lupa beri sebuah mahkota untukku, ha-ha-ha!"

Mendengar semua ucapan ini, diam-diam Sin Liong terkejut bukan main. Siong Bu mati? Dan Beng Sin yang membunuhnya? Tetapi... kenapa pamannya ini menyebut mereka itu anak-anaknya? Dan Lan Lan berdua Lin Lin ke mana?

"Paman Kui!" bentaknya keras. "Di mana Lan-moi dan Lin-moi?"

Dibentak dengan keras begitu, Kui Hok Boan menjawab dengan cepat pula, "Di mana lagi kalau tidak di kamar Ceng Han Houw? Ha-ha-ha-ha, mereka itu, anak-anakku yang cantik manis, pantas menjadi selir-selir pangeran..."

Sin Liong sudah tidak mendengarkan lagi karena dia telah berkelebat cepat meninggalkan rumah itu, kemudian dia langsung pergi menuju ke kota raja. Lan Lan dan Lin Lin tentu telah ditangkap oleh Ceng Han Houw, pikirnya. Entah bagaimana caranya karena dia tak pernah mendengar tentang hal itu semenjak dia melarikan diri bersama Bi Cu. Bagaimana pun juga, dia harus mencari Ceng Han Houw, dia harus menyelamatkan kedua orang adik tirinya itu dari mala petaka!

Dengan cepat karena dia menggunakan ginkang-nya, Sin Liong menuju ke kota raja dan malam itu juga dia mengunjungi istana Pangeran Ceng Han Houw! Para prajurit pengawal tentu saja mengenal Sin Liong yang mereka tahu adalah adik angkat dari sang pangeran, saling pandang dengan bingung dan ragu melihat kunjungan yang dilakukan pada waktu tengah malam ini! Akan tetapi dengan sikap hormat mereka lalu mempersilakan Sin Liong untuk menanti di ruangan tamu, dan mereka kemudian mengabarkan tentang kedatangan pemuda ini kepada pengawal yang bertugas di dalam.

Akan tetapi karena sang pangeran telah berada di dalam kamar dan mungkin sudah tidur, tak ada seorang pun di antara para pengawal dan pelayan yang berani mengganggunya. Maka pengawal itu langsung kembali keluar menemui Sin Liong dan mengatakan bahwa sang pangeran telah berada di dalam kamarnya dan tidak ada yang berani mengganggu untuk membangunkannya dan memberi laporan.

"Antarkan aku ke kamarnya, biar aku sendiri yang memberitahukan kedatanganku!" kata Sin Liong yang tidak ingin menunda lagi pertemuannya dengan kakak angkat itu.

"Akan tetapi... kongcu..."

"Sudahlah!" Sin Liong berseru tidak sabar. "Aku mempunyai urusan yang sangat penting untuk kusampaikan kepadanya! Biarlah nanti aku yang membangunkannya dan kalau dia marah, akulah yang bertanggung jawab, bukan kalian!"

Melihat sikap ini, para pengawal merasa sangat khawatir. Akan tetapi karena Sin Liong sudah berkata demikian dan mereka memang tahu bahwa pemuda ini adalah adik angkat sang pangeran, akhirnya mereka mengantarkan Sin Liong sampai ke depan kamar Ceng Han Houw.

Tanpa ragu-ragu, terdorong oleh panasnya hati dan kekhawatirannya akan nasib Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong segera mengetuk pintu kamar yang terbuat dari kayu terukir indah itu, lalu disusul suaranya yang lantang karena dia mengerahkan khikang supaya suaranya menembus ke dalam kamar di balik daun pintu itu.

"Houw-ko...! Ini aku Sin Liong datang menghadap dan ingin bicara dengan Houw-ko...!"

Semua pengawal secara diam-diam gemetar ketakutan karena mereka menduga bahwa tentu sang pangeran akan menjadi marah sekali akibat tidurnya diganggu seperti itu.

Akan tetapi tak lama kemudian terdengar seruan dari dalam, seruan girang!

"Liong-te...!"

Daun pintu segera terbuka kemudian muncullah sang pangeran dengan rambut kusut dan pakaian dalam setengah terbuka. Pada saat melihat para pengawal, pangeran itu segera menggerakkan tangan dan mengusir mereka pergi.

"Liong-te, kau baru datang? Masuklah, masuklah saja!"

Sin Liong mengangguk dan memasuki pintu kamar itu. Dia melihat ada dua orang wanita cantik dengan pakaian dalam tidak karuan bangkit dan bergerak di balik kelambu tempat tidur. Sedetik jantungnya berdebar, akan tetapi sesudah dia melihat bahwa mereka itu bukan Lan Lan dan Lin Lin, maka legalah rasa hatinya dan dia cepat membuang muka agar jangan melihat kulit putih membayang keluar dari pakaian dalam mereka itu.

"Kalian keluarlah...!" kata Han Houw dengan suara lembut dan mulut tersenyum.

Dua orang wanita muda itu cepat-cepat mengenakan pakaian dan keluar dari kamar itu meninggalkan bau harum semerbak yang keluar dari minyak wangi yang mereka pakai.

Sesudah dua orang selir itu keluar dan daun pintu kamar itu tertutup kembali, Han Houw tertawa gembira dan dia mengamati Sin Liong mulai dari kepala sampai ke kaki, seperti menaksir-naksir dengan pandang matanya.

"Ha-ha-ha, girang sekali bertemu dengan adikku yang gagah perkasa! Engkau memang hebat, adikku, dan setengah tahun yang lalu, memang engkau pantas disebut Pendekar Lembah Naga! Akan tetapi sekarang... ha-ha, sekarang ada aku di sini, Liong-te! Dan aku pun sudah menerima petunjuk-petunjuk langsung dari suhu kita, yaitu Bu Beng Hud-couw sendiri! Aku telah mewarisi ilmu-ilmu yang malah lebih tinggi dari pada ilmu silat yang pernah kau pelajari."

Diam-diam Sin Liong terkejut dan heran. Dia sendiri, biar pun menguasai ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, tapi dia mempelajari kitab-kitab itu hanya di bawah petunjuk Ouwyang Bu Sek, dan selamanya dia belum pernah bertemu dengan manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, bahkan dalam mimpi pun belum pernah. Akan tetapi pangeran ini mengatakan menerima bimbingan langsung! Membualkah dia?

"Jika begitu, aku mengucapkan selamat untukmu, Houw-ko!" katanya dengan wajar sebab betapa pun juga, dia merasa girang bahwa kakak angkatnya ini dapat mencapai apa yang telah diinginkannya.

Han Houw tertawa. "Akan tetapi aku belum merasa puas apa bila belum membuktikan apakah ilmu-ilmuku dapat mengatasi ilmu-ilmumu, Liong-te. Betapa pun juga, biar engkau adalah adik angkatku, akan tetapi engkau lebih dahulu mewarisi ilmu dari suhu Bu Beng Hud-couw sehingga menurut tingkat, engkau adalah suheng-ku! Hanya kalau kita sudah saling mengukur kepandaian, barulah dapat ditentukan siapa yang lebih unggul dan patut menjadi suheng. Maka, aku ingin sekali mengadu ilmu melawanmu, Liong-te!"

Sin Liong terkejut dan cepat dia menggelengkan kepalanya. Dia tahu alangkah hausnya pangeran ini akan kemenangan. "Tidak, biarlah tanpa diuji pun aku menyerahkan gelar suheng itu kepadamu, Houw-ko. Kedatanganku ini hanya untuk bertemu denganmu dan bertanya tentang Lan-moi dan Lin-moi." Dia menatap tajam wajah pangeran yang masih tersenyum itu. "Houw-ko, di manakah Lan-moi dan Lin-moi sekarang? Aku tahu bahwa mereka telah kau tawan. Dengan mengingat akan hubungan antara kita, kuharap engkau suka membebaskan mereka. Biarkan aku membawa mereka pergi Houw-ko."

Han Houw mengerutkan alisnya, kelihatan tidak senang, akan tetapi dia segera menutupi ketidak senangan itu dengan senyuman lebar. Memang hatinya tidak senang sekali begitu Sin Liong menyebut nama dua orang dara itu. Dia diingatkan kembali akan kekalahannya menghadapi dua orang dara kembar itu! Sampai sekarang, kedua orang dara kembar itu masih belum sudi menyerahkan kehormatan mereka, tidak sudi menerima cintanya.

Untuk menghilangkan rasa kesal, kecewa dan marahnya, dia menenggelamkan diri dalam pelukan selir-selir lainnya, namun tetap saja dia masih tidak puas dan merasa penasaran. Kini, Sin Liong muncul dan minta agar dua orang dara itu dibebaskan! Hal ini menambah kekesalan dan kemarahan hatinya, namun pangeran yang pandai menguasai perasaan ini tersenyum lebar dengan ramahnya.

"Mengapa engkau bertekad benar untuk minta aku membebaskan mereka, Liong-te?"

"Houw-ko! Tentu engkau pun tahu bahwa Lan-moi dan Lin-moi adalah saudara-saudaraku sekandung, seibu! Oleh karena aku adalah adik angkatmu, maka tentu saja mereka itu pun bukan merupakan orang-orang lain bagimu. Mengapa engkau memilih mereka kalau di dunia ini masih banyak gadis lain yang akan suka menjadi selir-selirmu? Harap engkau suka bebaskan mereka, Houw-ko, demi hubungan persaudaraan kita!"

"Hemmm... bebaskan sih mudah, Liong-te. Akan tetapi hal itu harus kupikirkan baik-baik. Karena itu, kau pergilah dan tiga hari kemudian, pagi-pagi sekali, tunggulah aku di tengah hutan di sebelah selatan kota raja. Aku akan menemuimu di sana untuk membicarakan pembebasan Lan Lan dan Lin Lin."

"Tapi, Houw-ko..."

Melihat sepasang mata adik angkatnya itu mencorong, Han Houw terkejut. Bukan main pemuda ini, pikirnya, pastilah merupakan lawan berbahaya. "Liong-te, apakah engkau tak percaya lagi kepadaku? Kalau aku bilang tiga hari kita bicara, maka hal itu akan terjadi, dan jangan khawatir, aku yang menjamin keselamatan dua orang adik kembarmu itu."

Lega hati Sin Liong. Dia tahu benar bahwa betapa pun kejamnya kadang-kadang kakak angkatnya ini, namun satu hal adalah pasti, yaitu bahwa pangeran ini tidak akan pernah menjilat ludahnya sendiri, tidak akan pernah mengingkari janji. Maka dia lalu mengangguk dan berkata, "Tiga hari lagi, pagi-pagi aku menantimu di hutan itu, Houw-ko."

Dengan cepat dia lalu melangkah keluar kamar itu dan langsung keluar dari istana. Para pengawal cepat memberi hormat dengan tubuh tegak kepada pemuda yang menjadi adik angkat pangeran itu.

Sin Liong sama sekali tidak sadar bahwa Han Houw memberi waktu tiga hari itu adalah untuk membuat persiapan untuk mengadu kepandaian dengan Sin Liong. Pada keesokan harinya, Han Houw sudah mengutus orang-orangnya untuk menyebar berita di kalangan tokoh-tokoh kang-ouw di kota raja dan sekitarnya bahwa pada tiga hari mendatang, pada pagi hari, di hutan sebelah selatan kota raja akan diadakan pertandingan adu ilmu antara tokoh-tokoh kang-ouw terbesar untuk menentukan siapa yang patut digelari jagoan nomor satu di kota raja!

Sekarang Han Houw tak mau bertindak tergesa-gesa memperebutkan gelar jagoan nomor satu di dunia, melainkan hendak bertindak dari pusat, dari kota raja terlebih dahulu baru kemudian nama dan gelarnya diperluas sampai ke seluruh dunia kang-ouw. Boleh jadi Sin Liong belum mempunyai nama besar di dunia kang-ouw, akan tetapi dia tahu betul bahwa pemuda itu adalah lawan tangguh dan tidak sembarang orang kang-ouw akan sanggup mengalahkannya! Karena itulah dia ingin semua orang kang-ouw melihat dia mengajak Sin Liong mengadu ilmu.

Itulah sebabnya ketika pada tiga hari berikutnya pagi-pagi sekali Sin Liong pergi ke dalam hutan yang dimaksudkan oleh Han Houw, dia tidak hanya melihat pangeran itu berdiri dengan angkuhnya pada suatu tempat terbuka dalam hutan itu, akan tetapi juga terdapat banyak sekali orang-orang yang semuanya merupakan tokoh-tokoh kang-ouw di kota raja dan sekitarnya.

Pangeran Ceng Houw berdiri dengan sikap angkuh sekali, pakaiannya indah dan bajunya ditutup dengan jubah kulit, sepatunya mengkilap baru, kepalanya memakai topi bulu yang baru pula, dengan bulu burung berwarna biru di atas. Tangan kirinya bertolak pinggang dan tangannya memegang sebatang cambuk kuda. Kuda itu sendiri, seekor kuda pilihan yang amat besar dan baik, berdiri tidak jauh di belakangnya.

Pada saat Sin Liong datang, pangeran itu sedang bercakap-cakap dan didengarkan oleh banyak tokoh kang-ouw. Pangeran itu agaknya menceritakan mengenai Sin Liong, karena pemuda ini masih dapat menangkap beberapa kata-kata dalam kalimat terakhir.

"...dia putera dari pendekar besar Cia Bun Houw..." akan tetapi pangeran itu langsung menghentikan kata-katanya ketika melihat Sin Liong datang.

Sin Liong mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang mendengar pangeran itu membuka rahasianya di hadapan orang banyak! Akan tetapi hal itu sudah dilakukannya, maka dia pun tidak banyak bicara lagi, melainkan segera menghampiri Han Houw dan memandang dengan sinar mata tajam mencorong.

"Aha, Liong-te, engkau sungguh gagah dan memenuhi janji! Nah, mari kita lekas memulai saja, Liong-te!"

"Mulai apa, Houw-ko?" kata Sin Liong.

Para orang kang-ouw yang mendengarkan percakapan itu diam-diam merasa heran sekali akan cara bicara kedua orang itu. Pemuda sederhana itu bicara terhadap sang pangeran dengan sikap begitu seenaknya tanpa hormat seperti bicara terhadap kakaknya sendiri saja!....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 37



DIAM-DIAM, disamping kekaguman mereka, juga terdapat perasaan iri hati yang sangat besar. Pemuda sederhana ini sungguh beruntung, sudah menjadi cucu ketua Cin-ling-pai yang ternama kemudian menjadi keluarga yang dianggap pemberontak, masih diaku adik oleh Pangeran Ceng Han Houw yang memiliki kedudukan demikian tingginya!

"Eh, mulai apa lagi, Liong-te? Kita datang ke sini untuk menguji ilmu kepandaian masing-masing, bukan? Hayo mulailah agar semua saudara kang-ouw ini tahu siapa di antara kita yang patut dijuluki Pendekar Lembah Naga!"

Sin Liong terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa Han Houw akan berbuat seperti itu, sengaja mengumpulkan orang kang-ouw dan mendesaknya agar saling mengadu ilmu kepandaian. Tentu saja dalam hatinya dia merasa penasaran dan menolak keras.

"Houw-ko! Engkau tahu benar bahwa aku datang ke sini atas undanganmu untuk bicara tentang dua orang adikku, sama sekali bukan untuk mengadu ilmu kepandaian!"

"Akan tetapi aku ingin sekali mengadu kepandaian denganmu, Liong-te. Urusan dua orang adikmu itu boleh nanti kita bicarakan. Sekarang, kau tandingilah aku, biar semua orang tahu siapa di antara kita yang lebih unggul!"

"Tidak, Hauw-ko, aku tidak akan mau mengadu ilmu silat, apa lagi terhadap engkau yang menjadi kakak angkatku sendiri. Harap engkau tidak memaksaku, Houw-ko!"

"Liong-te! Apakah engkau hendak membikin malu padaku? Masa adik angkatku seorang pengecut dan mau menjadi buah tertawaan orang-orang lain? Hayo mulailah, cepat kau serang aku dengan ilmu silatmu yang tinggi!"

"Tidak, Houw-ko. Aku datang untuk minta engkau membebaskan Lan-moi dan Lin-moi."

"Aku akan membebaskan mereka, bukankah aku sudah memberi janjiku? Akan tetapi kita bertanding dulu."

"Maaf, aku tidak dapat, Houw-ko."

"Kalau aku memaksamu?"

"Apa maksudmu?"

"Kalau aku menyerangmu?"

"Aku tak percaya bahwa seorang gagah seperti engkau akan menyerang orang lain yang tak mau melawan!" kata Sin Liong dengan tenang karena dia merasa yakin bahwa kakak angkatnya ini tidak mau bersikap curang seperti itu.

"Kalau engkau tetap tidak mau, berarti engkau menghinaku dan aku akan menghajarmu dengan cambuk ini!" Han Houw mengangkat cambuknya ke atas, lalu memutarnya di atas kepala dan menggerakkan pergelangan tangannya yang mengandung tenaga sangat kuat itu.

"Tar-tar-tarrr…!"

Tiga kali cambuk itu meledak di udara. Suaranya sedemikian nyaring hingga mengejutkan semua orang, juga nampak asap mengepul dari ujung cambuk itu! Akan tetapi Sin Liong tetap tenang saja.

"Kalau Houw-ko menganggap aku bersalah dan hendak menghukum, silakan. Akan tetapi aku sama sekali bukan bermaksud menghinamu," Sin Liong berkata.

Dia adalah seorang pemuda yang tenang dan juga cerdik. Dia tahu bahwa kalau dia kena dipancing kemudian menjadi marah sehingga terjadi adu tenaga yang sebenarnya tiada bedanya dengan perkelahian, maka makin jauhlah harapan untuk menolong Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang adiknya itu berada di tangan Han Houw, maka sebelum mereka itu bebas, dia terpaksa harus mengalah dalam segala hal.

"Liong-te, kau sungguh-sungguh terlalu hingga membuatku marah! Hendak kulihat apakah benar engkau tidak akan mau menyerangku kalau kupaksa!" katanya.

Kembali dia menggerakkan cambuknya keatas, kemudian cambuk itu meluncur kebawah mengeluarkan bunyi amat nyaring.

"Tar-tar-tarrr…!" Tiga kali cambuk itu menyambar, pertama ke arah mata kiri Sin Liong, kemudian ke arah leher dan ke tiga ke arah pundak.

Sin Liong tetkejut. Kiranya pangeran itu bukan hanya menggertak saja dan benar-benar menyerangnya. Akan tetapi Sin Liong tetap tidak melawan, dia hanya mengangkat tangan menangkis sambaran ke arah mata dan leher, kemudian membiarkan cambuk mengenai pundaknya. Baju pundaknya robek oleh lecutan ujung cambuk yang menggigit bagaikan patuk ular itu, akan tetapi karena Sin Liong mengerahkan sinkang, kulitnya tidak terluka, bahkan lecet pun tidak.

Cambuk itu terus meledak-ledak dan menyambar-nyambar, mengikuti gerak tangan Han Houw yang hendak memancing kemarahan Sin Liong agar supaya pemuda itu membalas serangannya. Namun Sin Liong sama sekali tak pernah membalas, juga tidak mengelak, hanya melindungi bagian-bagian tubuh lemah. Bajunya robek-robek, di pundak, di lengan, di paha, namun dia tidak pernah menderita nyeri dan tubuhnya tidak ada yang lecet.

Diam-diam Han Houw merasa terkejut dan kagum, juga penasaran sekali akan keteguhan batin adik angkatnya itu yang terus mandah saja dicambuki sehingga akhirnya dia merasa jengah dan malu sendiri! Pada lain fihak, Sin Liong diam saja dan di dalam hatinya dia sengaja tidak mau melawan, pertama sekali untuk melindungi keselamatan Lan Lan dan Lin Lin, dan kedua kalinya karena dia pernah berhutang budi kepada kakak angkatnya ini, maka biarlah dia menerima cambukan yang hanya merusak pakaian itu.

"Sin Liong, apakah engkau demikian pengecut sehingga menerima cambukan-cambukan tanpa berani membalas sama sekali? Apakah engkau takut padaku? Hayo katakan bahwa engkau takut kepadaku!" Han Houw membentak marah dan penasaran bukan main sebab semua mata orang kang-ouw memandang peristiwa itu dengan penuh perhatian dan dari pandang mata mereka itu dia tahu bahwa para tokoh kang-ouw itu tidak dapat menyetujui perbuatannya yang menyerang dan mencambuki orang yang tidak mau melawan.

Sin Liong memeluk dada dengan kedua lengannya. Wajahnya tetap tenang dan sepasang matanya mencorong. Ia pun menggelengkan kepalanya. "Tidak, Houw-ko, aku tidak takut kepadamu, akan tetapi aku tidak mau melawan karena memang aku tak ingin bertanding dengan kakak angkatku. Aku hanya ingin menuntut supaya engkau suka membebaskan Lan-moi dan Lin-moi, lain tidak."

"Jadi engkau tidak mau menandingi ilmu silatku?"

"Tidak, Houw-ko."

"Jadi dengan demikian engkau juga tidak mengakui bahwa aku adalah Pendekar Lembah Naga, dan jagoan nomor satu di kota raja?"

"Hemm, engkau boleh saja memakai julukan Pendekar Lembah Naga dan jagoan nomor satu di kota raja atau di dunia. Aku tidak peduli, Houw-ko. Aku hanya minta agar engkau suka membebaskan Lan-moi dan Lin-moi, lain tidak."

Pangeran itu tersenyum. Girang juga hatinya sebab pengakuan ini sudah cukup dan telah didengar oleh semua orang kang-ouw. Betapa pun juga, dia harus dapat memperlihatkan kekuasaannya terhadap pemuda yang dia tahu amat lihai ini.

"Kau ingin Lan Lan dan Lin Lin bebas? Baik, akan kubebaskan mereka, namun engkau harus berlutut dan memberi hormat tiga kali kepadaku!"

Sin Liong terkejut. Ini penghinaan namanya! Apa lagi hal itu harus dilakukan di hadapan banyak orang kang-ouw, sungguh merupakan hinaan yang cukup berat. Hampir saja dia marah dan memang inilah yang dikehendaki oleh Han Houw.

Akan tetapi Sin Liong langsung teringat akan hal ini, dan dia tahu bahwa pangeran itu memang memancing-mancing kemarahannya dan dia harus ingat pula akan keselamatan Lan Lan dan Lin Lin yang sudah dijanjikan kebebasan mereka oleh pangeran ini. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun segera menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu, lalu memberi hormat tiga kali!

Melihat ini, diam-diam Han Houw makin kagum dan juga khawatir. Pemuda ini sungguh-sungguh memiliki kekerasan hati yang luar biasa dan ketenangan yang amat kuat hingga mampu menahan segala penghinaan dan amat sulit dipancing. Menghadapi lawan seperti ini betul-betul amat berbahaya! Karena itu dia lalu sengaja tertawa bergelak, memegangi cambuknya dan berdiri dengan angkuhnya.

"Ha-ha-ha-ha, cu-wi sekalian sudah melihat dan mendengarnya. Bocah ini telah mengakui saya sebagai jagoan nomor satu di kota raja! Dan karena kami sudah tahu betul bahwa kepandaiannya amat tinggi, maka pengakuannya itu mengokohkan kedudukanku sebagai Pendekar Lembah Naga dan jagoan nomor satu di kota raja yang kelak akan menjadi jagoan nomor satu di dunia sesudah kami mempunyai kesempatan untuk mencoba dan merobohkan semua pendekar-pendekar besar seperti Yap Kun Liong, Cia Bun Houw dan lain-lain."

Tiba-tiba saja terdengar suara beberapa orang tertawa. Seorang gendut pendek dengan kepala bulat tanpa leher karena kepalanya seperti menempel di atas pundak tanpa leher, yang berdiri dengan kedua tangan di belakang tubuh, terkekeh lalu berkata,

"Heh-heh-heh, pemuda ini paduka katakan amat lihai? Kalau menurut pendapat kami, dia ini tidak lain hanya seorang bocah yang penakut dan pengecut, mana dapat dimasukkan di dalam kelompok orang-orang besar di dunia kang-ouw? Kalau paduka memang sudah kami ketahui kelihaiannya, akan tetapi bocah ini...?"

"Ha-ha-ha, seperti jembel!"

"Lihat wajahnya sudah pucat begitu, mana ada tenaga dia?"

Tujuh orang jagoan yang berada di belakang Sin Liong itu tertawa-tawa dan mengejek, sedangkan tokoh-tokoh lain hanya turut tertawa saja. Mereka mentertawakan Sin Liong, namun hal ini juga merupakan protes halus bahwa pangeran itu mengangkat diri sendiri setelah menundukkan seorang bocah seperti itu yang mereka anggap pengecut dan tidak punya harga diri sebagai sebrang gagah di dunia kang-ouw.

Semenjak tadi Sin Liong telah menahan diri. Api kemarahan terhadap semua penghinaan Han Houw telah berkobar di dadanya dan hanya karena ingin menyelamatkan dua orang adiknya itu saja, maka dia selalu bertahan diri dan menerima semua itu dengan tenang. Namun kini terdengar kata-kata menghina dan suara ketawa menghina dari orang-orang di belakangnya, tentu saja dia tidak mau menerima penghinaan ini dari orang-orang lain.

Dengan tenang namun sepasang matanya makin tajam mencorong dia lalu membalikkan tubuh dalam keadaan masih berlutut. Dipandangnya tujuh orang yang masih tertawa-tawa sambil menuding-nuding kepadanya, lalu tiba-tiba saja Sin Liong mengeluarkan bentakan nyaring, tubuhnya bergerak ke depan dengan kedua tangan digerak-gerakkan.

Tujuh orang itu terkejut dan mereka sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan memiliki kepandaian tinggi tentu saja tahu bahwa mereka diserang dengan pukulan yang mengandung sinkang kuat maka mereka cepat bergerak untuk menangkis atau mengelak. Akan tetapi sungguh aneh sekali, tetap saja hawa pukulan yang amat kuat itu menembus semua tangkisan dan terus mengejar meski pun ada yang telah mengelak dan akibatnya, berturut-turut tujuh orang itu terjengkang dan terpental, terbanting keras dan tak bergerak lagi karena mereka semua telah roboh pingsan!

Seketika keadaan menjadi lengang, semua mata terbelalak memandang pada tujuh orang itu dengan terkejut, kemudian memandang Sin Liong dengan muka pucat, penuh kagum, heran dan jeri.

Perlahan-lahan Sin Liong bangkit menghadapi mereka semua. Perlahan-lahan kepalanya bergerak memandangi mereka semua dengan sepasang mata bagai mata naga sehingga mereka yang bernyali kecil bergidik saat melihat sinar mata ini dan otomatis kaki mereka melangkah mundur. Kemudian terdengar suara pemuda itu, tenang namun terdengar oleh semua telinga, suara yang keluar satu-satu.

"Aku tidak mau melawan pangeran adalah urusanku sendiri! Akan tetapi kalau di antara kalian ada yang mau mengujiku… silakan maju!"

Suasana menjadi sunyi sekali setelah Sin Liong mengeluarkan kata-kata ini, semua orang kelihatan jeri. Melihat ini Han Houw mengerutkan alisnya. Sekumpulan manusia apakah yang diundang oleh para utusannya ini? Tokoh-tokoh kang-ouw kota raja dan sekitarnya ataukah hanya sekumpulan gentong kosong tempat nasi belaka?

"Sin Liong sudah mengajukan tantangan terhadap cu-wi sekalian. Apakah benar-benar di antara cu-wi tidak ada satu orang pun yang berani menandinginya? Cu-wi yang terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw tidak berani menghadapi pemuda remaja ini? Betapa amat menggelikan dan memalukan!" Han Houw benar-benar merasa penasaran sekali, karena biar pun Sin Liong tidak mau melayaninya, namun dia ingin melihat gerakan-gerakan Sin Liong kalau menghadapi lawan tangguh sehingga dia sendiri dapat menilainya.

"Maaf, pangeran. Sesungguhnya bukan kami takut, akan tetapi kami merasa sungkan dan segan karena bukankah sicu yang muda ini adalah adik angkat paduka sendiri?" tanya seorang di antara mereka, yang bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar dan berpakaian sebagai seorang ahli silat, pakaian yang ringkas, dan sepatunya memakai lapis baja.

"Hemmmm, apakah kalau begitu kalian juga mengakui keunggulanku karena aku seorang pangeran? Itu penghinaan namanya!" bentak Han Houw.

"Tentu tidak, pangeran," kata Si Muka Hitam. "Hamba Twa-to Hek-houw (Macan Hitam Bergolok Besar) sudah mengenal semua tokoh kang-ouw, dan hamba tahu benar siapa adanya paduka dan sampai di mana kelihaian paduka. Hamba tahu bahwa paduka adalah masih sute dari Kim Hong Liu-nio penyelamat kaisar, dan bahwa paduka sudah memiliki nama besar di utara. Akan tetapi sicu muda ini... betapa pun juga dia adalah adik angkat paduka, maka kami..."

"Tidak perlu sungkan! Dunia kang-ouw tak mengenal kedudukan dan pangkat, melainkan mengenal kekerasan kepalan dan kelihaian kaki tangan. Apa bila ada yang berani, hayo maju dan lawanlah dia, aku tidak akan menganggap dia sebagai adik atau apa pun juga. Kalah menang dan mati hidup dalam sebuah pibu tidak ada dosanya!"

"Kalau begitu, maafkan, biarkan hamba yang mencoba kelihaiannya!" Twa-to Hek-houw berseru.

Dia sudah meloncat ke depan, tangan kanannya bergerak dan dari punggungnya dia telah mencabut sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Golok itu sangat besar dan berat, namun dia dapat menggerakkannya seperti sebuah benda yang ringan saja.

Sambil tertawa lebar, Si Muka Hitam itu berkata, "Orang muda, marilah kita main-main sebentar dan kau boleh keluarkan senjatamu!"

Macan Hitam ini memang licik. Dia tadi sudah melihat betapa dengan tangan kosong Sin Liong mengalahkan tujuh orang dengan satu kali gebrakan saja. Maka dia dapat menduga bahwa pemuda itu adalah seorang ahli silat tangan kosong yang amat lihai, dan memiliki tenaga sinkang yang kuat. Maka dia tidak mau sembrono, menghadapinya dengan tangan kosong, melainkan mengandalkan goloknya yang telah mengangkat namanya itu.

Sin Liong merasa sebal sekali. Semua rasa mendongkol dan amarahnya terhadap Han Houw sekarang semuanya ditujukan kepada orang-orang yang memandang rendah dan meremehkan serta menghinanya. Dia melangkah maju dan berkata,

"Untuk melawanmu tak perlu aku bersenjata. Majulah!" tantangnya.

Memang Si Muka Hitam itu sudah merasa jeri, maka kini giranglah hatinya mendengar jawaban Sin Liong yang tentu juga didengar oleh semua orang. Dia tidak akan tercela kalau menyerang pemuda ini dengan goloknya karena bukankah pemuda itu sendiri yang menantangnya? Maka sambil mengeluarkan seruan nyaring dia telah menyerang dengan senjata tajam itu. Terdengar suara mengaung ketika golok itu menyambar.

Sin Liong kelihatan tak bergerak, hanya sedikit miringkan badan sambil menggeser kaki, dan ketika golok itu menyambar lewat dekat sekali dengan telinganya, tangannya segera menyambar seperti kilat dari samping, dengan tangan terbuka dan miring dia menghantam ke arah punggung golok.

"Krekkk!"

Golok itu patah menjadi dua, sedangkan orang itu kena ditampar hingga tubuhnya roboh terpelanting dengan tulang pundak patah! Si Macam Hitam itu mengaduh-aduh dan cepat ditarik mundur oleh teman-temannya!

Melihat betapa Twa-to Hek-houw yang sebenarnya bukan tokoh sembarangan melainkan seorang jago silat yang amat disegani di kota raja itu roboh hanya dalam segebrakan saja menghadapi pemuda itu, barulah semua tokoh yang berada di situ terkejut dan tahu benar sekarang bahwa pemuda yang menjadi adik angkat pangeran itu benar-benar mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi dan hebat.

"Hayo, siapa lagi yang hendak maju? Siapa yang tidak mau maju boleh pergi karena kami bukanlah tontonan!" Sin Liong berkata, suaranya kereng dan sepasang matanya menyapu dengan sinar mata yang mencorong.

Di antara para tokoh kang-ouw itu tentu saja banyak terdapat orang pandai, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yang segan untuk mencampuri urusan pangeran dan adik angkatnya itu. Tanpa ada alasannya, tentu saja bagi orang-orang kang-ouw itu tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pangeran karena hal ini amatlah berbahaya.

Karena itu, mendengar ucapan Sin Liong, mereka yang benar-benar tokoh kang-ouw dan bukan penjilat-penjilat pangeran, langsung meninggalkan tempat itu. Perbuatan ini diturut oleh yang lainnya sehingga akhirnya tempat itu menjadi sunyi, hanya Pangeran Ceng Han Houw dan Sin Liong saja masih berada di situ.

"Nah, kini kuharap engkau suka memenuhi janjimu, Houw-ko. Di mana adanya Lan-moi dan Lin-moi? Aku minta agar mereka segera kau bebaskan."

Diam-diam Han Houw merasa mendongkol dan kurang puas. Meski pun di depan banyak orang kang-ouw dia sudah memperlihatkan kekuasaannya, dan adik angkatnya ini sama sekali tidak membalas penghinaannya, namun ternyata Sin Liong dapat memperlihatkan sikap gagah yang tentu menimbulkan kesan dalam hati para orang kang-ouw itu.

Akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk, lalu menuding dengan cambuknya ke arah utara, "Sebentar lagi mereka datang."

Benar saja, terdengar suara kaki kuda dan roda kereta, dan tak lama kemudian muncullah sebuah kereta indah yang ditarik oleh dua ekor kuda. Kereta yang dikendarai oleh prajurit pengawal itu berhenti di situ, lantas seorang pengawal lain yang tadi berdiri di belakang kereta cepat melompat turun dan membukakan pintu kereta. Dua orang gadis turun dari kereta itu dan girang bukan main rasa hati Sin Liong mengenal dua orang dara kembar itu dengan pakaian indah turun dari kereta. Mereka itu bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin!

Dua orang dara ini turun dari kereta dengan wajah berseri dan begitu melihat Han Houw berada di situ, mereka lalu cepat berlutut di depan pangeran itu! Tentu saja melihat hal ini, Sin Liong mengerutkan alisnya!

"Kami menghaturkan terima kasih bahwa paduka telah memegang janji," kata Kui Lan.

"Terima kasih bahwa kami benar-benar sudah ditemukan dengan Liong-koko," sambung pula Kui Lin.

Pangeran Ceng Han Houw hanya mengangguk-angguk saja sambil tersenyum. Tetapi Sin Liong yang mengenal senyum itu, senyum yang mempunyai daya pikat dan daya tarik yang banyak menjatuhkan hati wanita, dan dia tahu pula orang macam apa adanya kakak angkatnya yang amat tampan ini, pemikat dan pemuda mata keranjang yang tentu akan merusak hati wanita-wanita yang jatuh hati kepadanya, sudah cepat melangkah maju dan memegang tangan dua orang adiknya.

"Lan-moi dan Lin-moi, hayo kita pergi sekarang dari sini!" Dan dia lalu menarik mereka bangkit.

"Akan tetapi, Liong-ko... pangeran telah memberi kereta itu kepada kami...," Kui Lan coba membantah karena merasa tidak enak kalau harus meninggalkan kereta pemberian itu begitu saja!

"Sudahlah, marilah kita pergi... ayahmu menanti-nanti kalian," kata pula Sin Liong lalu dia menarik dua orang adik tirinya itu cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi kepada Han Houw yang hanya memandang sambil tersenyum lebar.

Setelah ketiga orang itu lenyap di balik pohon-pohon, sang pangeran lalu masuk ke dalam kereta dan memerintahkan orang-orangnya agar membawanya pulang kembali ke istana. Seorang pengawal menunggangi kuda pangeran itu dan mengawal di belakang kereta yang dijalankan dengan cepat menuju ke utara.

                ***************

 Sementara itu, sambil berjalan menuju ke dusun tempat tinggal keluarga Kui, Sin Liong bertanya apa yang telah terjadi dengan kedua orang dara kembar itu. Mereka itu secara bergilir lalu bercerita tentang pengalaman mereka. Betapa mereka berdua melarikan diri ketika ayahnya menerima pinangan pangeran dan hendak dijadikan selir pangeran itu.

"Kami melarikan diri ke selatan, tadinya hendak mencarimu, Liong-koko, akan tetapi tidak berhasil. Kami terlunta-lunta dan hampir saja celaka, tapi ditolong oleh Ciang-piauwsu di Su-couw."

Dan selanjutnya Kui Lin menceritakan mengenai keadaan mereka selama berbulan-bulan tinggal di Su-couw, sampai kemudian muncullah Kwan Siong Bu secara tidak disangka di Su-couw dan mengajak mereka pulang ke dusun Pek-jun.

"Tidak disangka, Kwan Siong Bu itu seorang manusia yang berhati keji," Kui Lin berkata dan diam-diam dia merasa menyesal sekali mengingat betapa dahulu dia merasa tertarik kepada kakak misan ini yang disangka mencintainya.

"Ternyata dia telah menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw dan dia menyerahkan kita kepada pangeran itu!" Sekarang Kui Lan yang bercerita tentang pengalaman mereka sehingga mereka terjatuh ke tangan Pangeran Ceng Han Houw dan mengalami siksaan tidak diberi makan minum dan betapa mereka dibujuk-bujuk oleh sang pangeran supaya suka menjadi selir-selirnya.

Sin Liong mengepal tinjunya. "Hemm, memang sejak dahulu Siong Bu mempunyai watak yang kurang baik! Akan tetapi pangeran itu... sesudah apa yang dia lakukan terhadap kalian, mengapa tadi kulihat kalian bersikap demikian hormat dan bahkan berterima kasih kepadanya?" Ucapan terakhir ini terdengar penuh rasa penasaran.

Pangeran itu telah bersikap buruk, tidak saja terhadap dirinya, bahkan telah menyiksa dua orang adiknya ini, menawan mereka, membuat mereka kelaparan bahkan digoda secara hebat agar mereka itu menderita dan mau menyerahkan diri, akan tetapi dua orang dara ini malah menghormatinya dan berterima kasih!

"Ah, engkau tidak tahu, Liong-ko! Pangeran itu ternyata baik sekali dan semua perlakuan yang dia perbuat di istana terhadap kami itu hanyalah ujian belaka!" Kui Lin berseru.

"Hemm... ujian bagaimana maksudmu?"

"Begini, Liong-ko," Kui Lan berkata. "Baru kemarin pangeran itu membebaskan kami dari belenggu, bahkan dia membawa obat untuk mengobati luka-luka kecil di kaki dan tangan kami akibat belenggu itu, juga membawakan makanan dan minuman, lalu dia minta maaf kepada kami, menyatakan bahwa semua itu hanya merupakan ujian belaka darinya untuk mengetahui watak dan sifat kami. Katanya, sebagai adik-adikmu kami berdua seharusnya merupakan dua orang wanita yang gagah dan tidak mudah menyerah terhadap bujukan mau pun siksaan, maka dia sengaja menguji kami dan kami lulus! Dia menyatakan rasa kekagumannya dan memberi kami pakaian, lalu mengantar kami dengan kereta..."

"Sudahlah, kalian tidak tahu betapa jahat sesungguhnya dia itu! Yang penting, kalian telah terbebas, maka kita harus cepat pulang, ayah kalian amat membutuhkan kalian berdua..."

"Ayah? Ahh, dia hendak menjerumuskan kami!" kata Kui Lan.

"Apa yang terjadi dengan ayah?" tanya Kui Lin.

"Terjadi banyak sekali hal dalam keluarga kalian semenjak kalian berdua ditangkap oleh pangeran. Banyak sekali hal! Pertama-tama, harap kalian tidak kaget, menurut apa yang kudengar dari ayahmu, Siong Bu dan Beng Sin adalah saudara-saudara tiri kalian, seayah berlainan ibu."

"Ahhh!"

"Ihh...?"

"Dan sekarang Siong Bu telah tewas, terbunuh oleh Beng Sin sendiri."

Dua orang dara itu melongo, mata mereka terbelalak memandang Sin Liong.

"Dan... dan... ayah kalian sakit berat... aku tak dapat menceritakan, lebih baik kalian lihat sendiri."

Betapa pun juga, tentu saja dua orang dara kembar itu menjadi terkejut bukan kepalang ketika mendengar bahwa ayah mereka sakit berat. Memang perbuatan ayah mereka amat menyakitkan hati mereka, akan tetapi betapa pun juga rasa kasihan dan sayang di dalam hati mereka terhadap ayah kandung masih ada, maka kini mereka segera mempercepat jalan mereka, setengah berlari-lari menuju ke dusun Pek-jun.

Jika di waktu malamnya rumah kosong itu nampak menyeramkan sekali, kini pada waktu siang tempat itu nampak amat menyedihkan. Melihat keadaan rumah mereka, begitu tiba di halaman Lan Lan dan Lin Lin tertegun, lalu mereka berlari-lari memasuki rumah kosong itu. Mereka semakin terkejut dan merasa khawatir sekali ketika melihat bahwa keadaan di dalam rumah itu pun sama saja, kosong tanpa ada secuwil pun perabot rumah yang dulu amat mewah dan lengkap!

"Apa yang telah terjadi?" teriak Kui Lan.

"Di mana ayah?" Kui Lin berseru.

Tiba-tiba mereka terkejut mendengar suara tangis orang. Cepat mereka berlari ke kamar ayah mereka, mendorong pintu dan seketika keduanya berdiri dengan muka pucat sekali, memandang kepada ayah mereka yang berpakaian seperti jembel dan sedang menangis tersedu-sedu di atas lantai kamar yang kosong itu.

"Ayaaahhh...!" Jerit ini keluar berbareng dari dua mulut dara kembar itu dan mereka lalu menubruk ayah mereka.

Kui Hok Boan mengangkat muka dan sesudah melihat kedua orang anaknya, tangisnya makin menghebat. Dia merangkul dua orang anaknya itu sambil menangis. "Ya Tuhan... Lan Lan dan Lin Lin... kalian… hidup kembali...? Ahh... ampun... ampunkan ayahmu ini... ampunkan ayahmu ini...!" Dan orang tua itu kemudian terkulai lemas dan roboh pingsan, pertama karena selama beberapa lama ini tubuhnya memang tak terawat, dan keduanya karena batinnya terguncang melihat dua orang puterinya.

Sin Liong lalu membantu Hok Boan dengan pengerahan sinkang sehingga orang tua itu siuman kembali. Agaknya pertemuan dengan kedua orang puterinya membuat dia waras kembali, maka menangislah orang tua ini.

Lan Lan dan Lin Lin kemudian mencari keterangan dari para tetangga, maka berceritalah para tetangga bahwa sesudah menguburkan jenazah Siong Bu, Kui Hok Boan menjadi berubah ingatannya. Dia membagi-bagikan seluruh barangnya kepada para tetangga dan siapa saja yang mau sampai rumah itu kosong sama sekali. Kini, para tetangga yang baik hati mengembalikan barang-barang yang pernah diterimanya dari Kui Hok Boan.

Akan tetapi, atas usul Sin Liong, kedua orang dara itu hanya menerima kembali barang-barang berharga dan uang, dan meninggalkan atau memberikan semua perabot-perabot rumah kepada para tetangga, kemudian pemuda itu mengajak mereka berunding.

"Sebaiknya, kalian jangan tetap tinggal di tempat ini," katanya. "Karena aku masih belum yakin benar bahwa Ceng Han Houw akan memegang janji dan tidak akan mengganggu kalian. Sebaiknya kalian membawa ayah kalian pergi mengungsi dari tempat ini."

"Ke mana kami harus pergi...?" Kui Lan bertanya khawatir.

"Menurut penuturan kalian tadi, Ciang-piauwsu di Su-couw itu adalah orang yang sangat baik," kata Sin Liong. "Bagaimana kalau kalian membawa ayah ke sana? Dengan uang dan benda-benda berharga yang kalian bawa, ayah kalian mempunyai modal yang cukup besar untuk memulai dengan kehidupan baru di sana."

Setelah dibujuk oleh Sin Liong, akhirnya dua orang adik kembar itu setuju dan mereka lalu membawa ayah mereka yang kini keadaannya seperti seorang manusia tanpa semangat itu untuk melarikan diri ke selatan. Sin Liong merasa tidak tega terhadap dua orang adik tirinya itu, maka dia pun lalu mengawal sampai mereka tiba di Su-couw.

Dan tepat seperti dugaan Sin Liong, Ciang-piauwsu menerima dua orang dara kembar itu dengan riang gembira. Dia beserta isterinya memang sudah menganggap Lan Lan dan Lin Lin sebagai anak mereka sendiri, maka tentu saja mereka menerima dua orang dara kembar itu dengan gembira, bahkan keluarga Ciang-piauwsu ini juga menerima Kui Hok Boan sebagai saudara angkat.

Sesudah melihat betapa dua orang adik tirinya memperoleh tempat yang aman, Sin Liong lalu berpamit dan mulailah dia pergi mencari Bi Cu. Ke manakah Sin Liong harus mencari Bi Cu? Apa yang terjadi dengan dara itu semenjak dia berpisah dari Sin Liong?

Seperti yang sudah kita ketahui, Bi Cu tadinya tertawan oleh Pangeran Ceng Han Houw dan hanya sesudah Sin Liong memberikan janjinya untuk membawa pangeran itu kepada suheng-nya sehingga pangeran itu akhirnya diterima menjadi murid Bu Beng Hud-couw, maka Bi Cu dibebaskan oleh sang pangeran. Tentu saja secara diam-diam pangeran ini meninggalkan pesan kepada orang-orangnya agar terus mengamat-amati dara itu karena betapa pun juga, Bi Cu adalah murid mendiang Hwa-i Kaipang, dan karenanya dianggap sebagai musuh pemerintah pula.

Semenjak berpisah dari Sin Liong, Bi Cu merasa betapa hidupnya menjadi berbeda sama sekali. Bila tadinya sebagai Kim-gan Yan-cu, pemimpin para pengemis muda, biasa hidup lincah dan gembira, kini dia merasa betapa hidupnya sunyi dan tidak ada kegembiraan lagi.

Dia tidak berani kembali ke kota raja setelah dia dianggap sebagai pemberontak pula. Kini dia terlunta-lunta, mencoba untuk mencari-cari Sin Liong, berkelana dengan hati duka ke barat dan ke selatan. Semenjak berpisah dari Sin Liong, terasa lagi kesengsaran yang menindih hatinya semenjak dia masih kecil, bahkan kini semakin parah kedukaan melukai hatinya.

Semenjak kecil, Bi Cu amat merindukan kasih sayang orang tuanya. Sejak kecil dia telah kematian ibu kandungnya, kemudian oleh ayah kandungnya dia diberikan kepada orang lain! Setelah dia agak besar mulai mengerti, hal ini lalu mencabik-cabik perasaan hatinya, kedukaan yang pertama kali terasa olehnya. Dia merasa dikesampingkan, bahkan merasa dibuang, merasa sangat diremehkan oleh orang yang menjadi ayah kandungnya sendiri, satu-satunya orang tuanya setelah ibu kandungnya meninggal!

Ayah kandungnya, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi darah dagingnya, sudah menyingkirkannya karena hendak menikah dengan wanita lain setelah ibunya meninggal! Hatinya terasa amat perih, bukan karena ayahnya menikah dengan wanita lain, melainkan karena dia merasa telah dibuang oleh ayahnya!

Kadang-kadang, dia merasa penasaran, dia merasa kesepian dan marah, sehingga ada kalanya timbul perasaan benci terhadap ayah kandungnya. Di dalam keadaan seperti itu, kadang-kadang dia merasa betapa dunia ini merupakan tempat yang gelap pekat, sempit dan tidak menyenangkan.

Kehidupannya mulai terhibur karena kebaikan Na-piauwsu, akan tetapi kemudian piauwsu ini tewas oleh musuh-musuhnya di depan matanya. Dia merasa seolah-olah dunia kiamat. Satu-satunya pengganti orang tuanya, Na-piauwsu yang demikian baik kepadanya, sudah tewas dalam keadaan menyedihkan, ada pun putera piauwsu itu, Na Tiong Pek, agaknya hendak memaksa hasrat hatinya, hendak memperisterinya di luar kehendak hatinya.

Dalam keadaan seperti itu dia terlunta-lunta hingga akhirnya dia memperoleh penerangan jiwa lagi ketika dia menjadi murid Hwa-i Sin-kai, ketua Hwa-i Kaipang yang juga amat baik kepadanya dan kemudian dia masih dapat hidup gembira ketika gurunya ini meninggal dunia dan dia memimpin para pengemis muda. Akan tetapi, sedikit cahaya terang ini pun padam dan dia menjadi buronan pemerintah!

Namun, hidupnya mengalami perubahan besar, kegembiraan mulai memenuhi batinnya setelah dia bertemu dengan Sin Liong, dan ternyata kebahagiaan bersama Sin Liong ini pun direnggut orang dari tangannya! Dia kini terpisah dari pemuda itu, dan kembali dia hidup terlunta-lunta, seorang diri saja di dunia ini, kesepian, dan kekeringan! Mau rasanya dia mati saja dari pada hidup dalam penderitaan batin tiada hentinya itu.

Dia haus akan cinta kasih, dan sikap Sin Liong membayangkan cinta kasih yang dapat memenuhi hatinya, sebagai pengganti cinta kasih ayah bundanya. Namun, kini dia tidak tahu apakah Sin Liong masih hidup dan dapat menyelamatkan diri dari tangan pangeran yang amat dibencinya itu.

Bi Cu menjatuhkan dirinya duduk di bawah pohon besar dan tanpa tertahankan lagi dia menangis. Air matanya bercucuran tak dapat ditahannya, namun dia pun tidak berusaha menahannya. Dia merasa amat lelah, lelah lahir batin.

Kakinya lelah karena sehari penuh dia berjalan kaki, seluruh tubuh lelah karena sehari itu tidak pernah ada makanan memasuki perutnya dan dia pun tidak ada nafsu makan sama sekali. Batinnya juga lelah, karena digerogoti kesepian dan kerinduan akan kasih sayang. Pada saat itu dia merasa betapa sia-sia hidupnya, betapa kosong tak ada artinya sama sekali.

Bi Cu menangis mengguguk. Air matanya bercucuran, ujung hidungnya menjadi merah dan dia tersedu-sedu. Iba diri semakin menggerogoti hatinya, iba diri yang datang dari pikiran membayangkan kesengsaraan yang dideritanya, menciptakan tangan maut yang mencengkeram hatinya dan meremas-remas hatinya sehingga berdarah!

Bukan hanya Bi Cu yang mendambakan cinta kasih, merindukan supaya kasih sayang dilimpahkan kepadanya. Kita semua rindu akan kasih sayang. Kita semua menghendaki agar semua orang di dunia ini suka dan cinta kepada kita! Kita haus akan cinta kasih!

Dari manakah datangnya kehausan ini? Mengapa kita dahaga akan cinta kasih orang lain terhadap diri kita.

Kita tidak pernah mau sadar melihat kenyataan bahwa yang terpenting dari pada segala keinginan dicinta orang itu adalah pertanyaan: apakah KITA suka atau mencinta kepada SEMUA orang? Sesungguhnya di sinilah letak sumber dari pada segalanya.

Tanpa adanya cinta kasih di dalam batin kita sendiri terhadap semua orang dan segala sesuatu, kita akan selalu haus akan cinta kasih lain orang! Akan tetapi apa bila hati ini penuh cinta kasih, maka kita tidak akan kehausan lagi. Karena batin tidak ada cinta kasih inilah maka kita selalu dahaga akan cinta kasih terhadap diri kita, laksana sumur kering merindukan air. Apa bila sumur itu penuh air, dia tidak akan lagi rindu akan air, bahkan airnya yang berlimpah-limpah itu menghilangkan dahaga SIAPA SAJA!

Sungguh sayang, kita tidak pernah mengamati apakah ada cinta kasih di dalam diri kita terhadap sesama manusia atau sesama hidup. Sebaliknya malah, kita selalu mengamati apakah ada cinta kasih dari orang lain untuk kita! Kalau ada maka kita merasa senang dan kalau tidak, kita merasa sebaliknya.

Kita baru dapat bicara tentang cinta kasih kalau batin ini sudah kosong dan bersih dari pada kebencian, iri hati dan pementingan diri sendiri. Selama semua ini ada di dalam batin, jangan harap akan ada sinar cinta kasih dalam diri kita. Dan bila semua itu sudah bersih, lalu ada cinta kasih di dalam hati, jelaslah bahwa kita tidak MENGHARAPKAN lagi cinta kasih orang lain terhadap kita, bahkan kita TAK MENGHARAPKAN APA-APA LAGI!

Hati yang penuh cinta kasih tidak mengharapkan apa-apa lagi, bagai cawan yang penuh anggur tidak menghendaki apa-apa lagi. Tidak ada lagi rasa khawatir, tidak ada lagi rasa takut tidak akan dicinta orang, tidak ada lagi rasa takut akan dibenci orang. Yang takut tidak dicinta, yang takut dibenci, adalah si aku, yaitu pikiran yang mengaung-ngaungkan si aku, yang memupuk iba diri. Akan tetapi, kalau hati penuh dengan cinta kasih, tidak ada lagi si aku yang ingin ini dan itu.

Bi Cu masih menangis sesenggukan. Tangisnya mulai mereda, hanya tinggal isak-isak pelepas ganjalan hati. Suka mau pun duka selalu ada batasnya. Permainan pikiran selalu terbatas. Penghamburan tenaga sakti berupa senang dan susah mendatangkan kelelahan dan biasanya orang akan merasa lelah dan lemah sesudah penumpahan rasa duka mau pun suka ini.

Demikian pula dengan Bi Cu. Sesudah air matanya dikuras, seolah-olah hendak mencuci bersih hal-hal yang mengganjal hatinya, dia merasa lelah dan dia rebah di atas rumput, berbantal sepasang lengannya, merenung dan melamun menatap langit. Dengan pesona yang aneh matanya mengamati dan mengikuti gerakan awan-awan putih berarak di langit biru, seperti sekumpulan domba-domba yang bulunya tebal dan lunak.

Pada waktu ada segumpal awan memanjang dan khayalnya membentuk gumpalan awan itu sebagai seorang anak laki-laki penggembala domba-domba itu, teringatlah dia kembali kepada Sin Liong dan dia mengeluh lirih. Dia tidak tahu betapa dalam waktu beberapa menit tadi dia mengamati awan berarak, pikirannya kosong sama sekali, maka semua duka lenyap tanpa bekas dan pada waktu itulah dia berada dalam keadaan kosong dan bersih! Namun, begitu pikirannya teringat kembali, bekerja kembali, dia pun dilontarkan kembali ke dunia penuh pertentangan antara suka dan duka ini.

Bentuk itu mengingatkan dia kepada Sin Liong dan dia termenung. Semenjak dia bertemu kembali dengan Sin Liong, dia merasakan sesuatu yang hanya dapat dirasakan olehnya sendiri saja. Dia tidak tahu apakah adanya perasaan itu. Cinta kasihkah? Atau apa? Yang jelas, dia selalu terbayang-bayang kepada Sin Liong, wajahnya, gerak-geriknya, bahkan pakaiannya, dan suaranya seperti selalu bergema di dalam telinganya. Dan semua ini menimbulkan kerinduan yang amat sangat, kerinduan terhadap Sin Liong.

Dia tahu bahwa Sin Liong telah mengorbankan diri untuknya, dia tahu bahwa pemuda itu telah menolongnya bebas dari tangan pangeran yang dibencinya itu. Akan tetapi dia tidak tahu apakah adanya urusan antara Sin Liong dan pangeran itu.

Teringat akan pengorbanan pemuda itu, dia menjadi semakin rindu padanya. Terbayang betapa gembiranya pada waktu dia melakukan perjalanan di samping Sin Liong, bahkan teringat betapa mesranya ketika mereka bersama-sama menghadapi maut, ketika mereka hanyut dalam arus air dan menghadapi maut di ujung anak-anak panah yang dilepas oleh para prajurit.

Bayangan Sin Liong ini mendatangkan keharuan, kerinduan, tetapi juga membangkitkan semangatnya kembali. Aku harus mencarinya, aku harus bisa menemukannya, demikian pikiran yang mendatangkan semangat itu. Aku tidak boleh mati sebelum bertemu kembali dengan Sin Liong!

Dara itu pun bangkit berdiri dan memandang ke depan. Di atas lereng bukit yang berdiri di depan nampak genteng-genteng rumah dusun. Dia harus mencapai dusun itu sebelum gelap menyelubungi bumi. Perutnya sangat lapar dan di mana ada genteng rumah, tentu ada manusia dan di mana ada orang tentu ada makanan. Dia pun lalu berlari ke depan, menuju ke dusun di lereng bukit itu.

Sampai berbulan lamanya Bi Cu berkelana ke barat, berputar-putar kemudian ke selatan. Di setiap tempat yang dilaluinya, dia selalu mencari keterangan tentang Sin Liong, akan tetapi agaknya orang di dunia ini tidak ada yang mengenal nama Sin Liong dan dia tidak pernah menemukan jejaknya.

Bi Cu sama sekali tidak tahu betapa ketika dia memasuki dusun itu dan langsung menuju ke sebuah kedai makanan, ada beberapa pasang mata memandangnya dengan penuh perhatian. Beberapa pasang mata ini makin lama makin bertambah banyak dan belasan orang itu terus mengintainya dari jauh. Bahkan mereka selalu membayanginya ketika dia sehabis makan mondok di rumah sekeluarga petani yang ramah.

Malam itu Bi Cu tidur dengan nyenyaknya. Setelah perutnya diisi, dia merasa tenaganya pulih kembali dan dia mengambil keputusan untuk besok pagi-pagi mulai kembali dengan pencariannya. Dia akan mencari Sin Liong sampai jumpa, biar ke ujung dunia sekali pun!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bi Cu sudah sarapan di warung makanan dan karena dia hendak pergi melintasi bukit-bukit di depan, maka dia memesan roti kering untuk bekal di jalan, kalau-kalau hari itu dia tidak akan bertemu dengan dusun. Kemudian Bi Cu berangkat meninggalkan dusun itu, sama sekali tidak tahu betapa tak lama setelah dia pergi, ada lima belas orang prajurit menunggang kuda membalapkan kuda keluar dari dusun itu dan melakukan pengejaran kepadanya.

Bi Cu masih belum sadar akan datangnya bahaya ketika dia mendengar derap kaki kuda dari sebelah belakangnya. Dia hanya menduga ada serombongan orang berkuda hendak lewat, maka dia cepat minggir ke tepi jalan lalu menundukkan mukanya supaya jangan terlihat oleh rombongan itu.

Dia sudah sering kali mengalami hal-hal yang tidak enak jika memperlihatkan muka dan berjumpa dengan kaum lelaki di tempat sunyi. Hanya karena mengandalkan kepandaian silatnya maka selama ini dia dapat menghindarkan segala bencana yang mungkin datang dari pria-pria hidung belang atau mata keranjang.

Akan tetapi ketika rombongan berkuda itu lewat, dia amat terkejut melihat bahwa mereka itu berpakaian seragam, dan baru dia tahu akan bahaya pada saat mereka berturut-turut berloncatan turun dari atas kuda dan telah mengepungnya dengan wajah bengis! Tahulah dia bahwa para prajurit ini telah mengenalnya dan tentu hendak menangkapnya!

Seorang di antara mereka yang mengenakan pakaian komandan, sambil tersenyum lebar melangkah maju. Pria ini usianya lebih dari tiga puluh tahun, kumisnya tebal dan matanya lebar. Sambil tersenyum mengejek komandan itu berkata. "Kim-gan Yan-cu, susah payah kami mencari-carimu, kiranya engkau berada di sini. Ha-ha, engkau hendak lari ke mana sekarang?"

Disebut nama julukannya, timbullah semangat dalam diri Bi Cu. Ketika dia masih menjadi pemimpin para pengemis, hidupnya penuh petualangan dan dia tak pernah merasa takut terhadap apa pun juga. Berkelahi merupakan ‘pekerjaan’ sehari-hari, maka kini begitu dia disebut Kim-gan Yan-cu, semangatnya segera terbangun dan biar pun dia dikepung oleh lima belas orang prajurit, dia bersikap tenang saja dan memanggul buntalan terisi pakaian dan bekal roti kering.

"Hemm, kalian adalah prajurit-prajurit kerajaan, apakah tidak malu mengganggu seorang wanita di tengah jalan sunyi dalam hutan? Kalian mau apakah?"

"Ha-ha-ha-ha, tidak perlu kau berpura-pura lagi, Kim-gan Yan-cu. Engkau adalah seorang pemberontak, dan kami adalah prajurit-prajurit kerajaan maka kalau kami bertemu dengan seorang pemberontak, lantas mau apa? Tentu saja hendak menangkap dan meringkusmu untuk kami bawa ke kota raja dan dijebloskan ke dalam penjara!" kata komandan itu.

"Biarkan aku menangkapnya!"

"Aku saja!"

"Aku saja!"

Di antara empat belas orang prajurit itu beramai-ramai hendak berebut. Mereka tentu saja tak berani bertindak lebih sebelum memperoleh ijin dari komandan mereka. Pula mereka tahu bahwa dara ini pernah berurusan langsung dengan Pangeran Ceng Han Houw, maka tentu saja mereka tidak berani mencoba untuk melakukan hal yang berlebihan. Tapi, jika diperbolehkan menangkap, setidaknya mereka mendapatkan kesempatan untuk sekedar merangkul, meraba dan mencolek tubuh dara remaja yang sedang mekarnya ini!

Melihat kegairahan anak buahnya, komandan itu tersenyum lebar. "Kalian semua boleh maju dan coba tangkap dia, akan tetapi jangan sampai dia terluka. Ingat, dia itu seorang buronan yang amat penting dan beliau sudah memesan khusus kepadaku agar berusaha menangkapnya tanpa mengganggunya!"

Empat belas orang prajurit itu bersorak dan tiba-tiba mereka itu saling bergerak berlomba untuk lebih dulu meraba tubuh Bi Cu yang memang mulai dewasa seperti buah meranum atau bunga sedang terbuka kuncupnya. Seorang prajurit bertubuh tinggi kurus menubruk dari depan. Akan tetapi Bi Cu sudah menggerakkan kakinya.

"Dukkk!”

“Waaahhh…!" Orang itu terjengkang karena perutnya kena ditendang ujung sepatu Bi Cu. Orang ke dua dari kiri juga disambar tendangan, tepat mengenai lututnya sehingga orang itu jatuh berlutut.

"Wah, A-piauw, begitu hebatkah engkau tergila-gila padanya sampai berlutut?" komandan itu mengejek anak buahnya ini.

Maka terjadilah perkelahian yang ribut bukan main dan Bi Cu mengamuk dengan pukulan-pukulan, tamparan dan tendangan-tendangan. Akan tetapi para pengeroyoknya terdiri dari orang-orang yang bertubuh kuat dan karena jumlahnya banyak, dia kewalahan juga.

Tiba-tiba, saat dia menghadapi lawan yang mendesak dari depan, seorang prajurit berhasil menubruk dan menyikapnya dari belakang dan kedua tangan dengan jari-jari yang panjang itu mencengkeram ke arah dadanya! Bi Cu menjerit lirih.

"Heh-heh, lihat, aku berhasil menangkapnya!" seru prajurit itu sambil tertawa-tawa.

"Ngekkk!" Tiba-tiba dia meringis, kemudian kedua tangannya yang nakal itu terlepas dari pegangannya karena hidungnya pecah dan berdarah ketika dihantam oleh siku kanan Bi Cu.

"Desss...!”

“Auuuughh...!" Sekarang dia terhuyung lalu roboh terjengkang, kedua tangan memegangi bawah pusarnya karena tadi dengan kemarahan meluap-luap Bi Cu sudah menyepakkan kakinya ke belakang, seperti seekor kuda betina yang diganggu dari belakang.

Tumit sepatu dengan tepat mengenai anggota tubuh di bawah pusar sehingga laki-laki itu langsung mengaduh-aduh bagaikan seekor babi disembelih. Hanya mereka yang pernah merasakannya sajalah yang mampu menggambarkan betapa nyeri, kiut-miut rasanya jika bagian itu kena tendang!

Bi Cu sudah marah sekali. Sekarang dia bukan sekedar membela diri, melainkan balas menyerang untuk membunuh! Dia seperti seekor harimau betina yang sudah tersudut dan menjadi buas dan liar! Kedua tangannya menampar dengan pengerahan seluruh tenaga, dan ketika ada seorang prajurit menjerit kesakitan dan sebuah biji matanya copot kena ditusuk jari tangan Bi Cu, kaget dan marahlah komandan pasukan kecil itu.

"Robohkan dia!" bentaknya.

Kini para prajurit yang juga marah setelah melihat betapa seorang teman mereka cedera demikian parah, lalu mendesak maju dan mulai menyerang dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan, tak seperti tadi yang hanya sekedar ingin menangkap dan meraba saja!

Dan mulailah Bi Cu merasa kewalahan! Beberapa pukulan dan tendangan telah mengenai tubuhnya, membuat dia terhuyung-huyung. Namun dia sama sekali tidak mau menyerah, bahkan mengamuk seperti seekor harimau memukul, mencakar, kalau perlu menggigit!

"Hantam perempuan liar ini! Baru kita ringkus!" bentak lagi komandan yang juga pernah kebagian tendangan kaki Bi Cu yang mengenai betisnya hingga menimbulkan kenyerian yang cukup membuat dia menjadi semakin marah.

Para prajurit itu yang seperti sekumpulan srigala mengeroyok seekor harimau betina, kini menubruk dari empat jurusan, menampar, menjambak sehingga akhirnya robohlah Bi Cu karena kakinya kena ditangkap dan ditarik. Begitu dia roboh, para prajurit itu bersorak dan mereka berlomba untuk menubruk dan meringkus Bi Cu.

"Siancai...! Anjing-anjing pemerintah lalim kembali menghina rakyat…!" Suara ini tiba-tiba saja terdengar, disusul teriakan dua orang prajurit yang terpelanting ke kanan kiri dengan kepala pecah karena ada tongkat butut yang menyambar dan menghantam kepala dua orang itu secara cepat sekali.

Tongkat itu berada di tangan seorang kakek renta yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, berpakaian jubah pendeta berwarna putih kumal dan rambutnya yang sudah putih semua itu digelung ke atas, seperti seorang tosu yang baru saja keluar dari tempat pertapaannya.

Melihat robohnya dua orang teman mereka yang tewas dengan kepala pecah itu, semua prajurit terkejut bukan main dan mereka segera mengurung pertapa itu, meninggalkan Bi Cu yang masih rebah. Bi Cu bangkit duduk, mengelus-elus kaki kirinya yang terasa nyeri sekali terkena tendangan keras dari si komandan, lantas dengan heran dia memandang kepada kakek yang tak dikenalnya itu.

"Pertapa jahat!" komandan itu membentak dan menundingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu. "Berani engkau membunuh dua orang prajurit kerajaan?"

"Huh, siapa yang tidak berani? Kalau bisa aku akan membunuh seluruh prajurit kerajaan yang lalim dan menindas rakyat!" jawab pendeta itu.

"Kakek pemberontak!" Komandan itu berteriak lalu dia memberi aba-aba. "Tangkap atau bunuh dia!"

Komandan itu sendiri kini mencabut pedangnya, dan semua anak buahnya juga mencabut golok masing-masing. Ketika mereka mengeroyok Bi Cu tadi, tidak seorang pun di antara mereka yang menggunakan senjata, karena memang mereka hendak menangkap Bi Cu hidup-hidup, pula mereka agak memandang ringan terhadap dara muda remaja itu. Akan tetapi sekarang, melihat betapa kakek itu sudah membunuh dua orang kawan mereka, tentu saja mereka menjadi marah dan sinar kejam dalam mata semua prajurit itu.

"Ha-ha-ha, marilah kuantar nyawa kalian ke neraka!" Kakek itu tertawa dan si komandan sudah menerjang dengan pedangnya, diikuti oleh anak buahnya.

Tiba-tiba terdengar suara angin bercuitan dan tongkat itu lenyap berubah menjadi cahaya bergulung-gulung yang menyambar semua prajurit yang sudah menyerang. Terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan dan disusul robohnya para prajurit itu seorang demi seorang! Golok-golok beterbangan dan akhirnya, dalam waktu yang sangat singkat, seluruh prajurit termasuk komandannya telah roboh dan tewas sebab semua roboh dengan kepala pecah!

Melihat ini, diam-diam Bi Cu terkejut dan juga merasa ngeri sekali. Dia hanya duduk dan terbelalak memandang kepada kakek yang kini sedang berdiri tegak dengan tongkat butut di tangan kanan, tangan kiri bertolak pinggang dan kakek itu tertawa menyeramkan.

Betapa pun, karena mengingat bahwa kakek yang amat kejam dan menyeramkan ini telah menyelamatkanya, Bi Cu lalu bangkit dan dengan terpincang-pincang menghampiri kakek itu sambil berkata, "Terima kasih atas pertolongan locianpwe."

Kakek itu sudah berhenti tertawa, lalu membersihkan ujung tongkatnya yang berlumuran darah itu pada baju yang menutupi tubuh salah seorang di antara para korbannya yang terdekat. Kemudian dia menunduk dan memandang kepada dara remaja itu, berkata lirih,

"Anak yang baik, kau angkatlah mukamu dan pandang aku."

Biar pun merasa seram, Bi Cu mengangkat muka memandang. Kakek itu sudah tua, akan tetapi mulutnya yang selalu tersenyum itu membayangkan ketampanan, terutama sekali sepasang matanya mencorong menakutkan.

Bi Cu terkejut dan ingin mengalihkan pandang matanya, akan tetapi dia tidak sanggup! Sinar matanya seperti melekat atau tertangkap oleh sinar mata kakek itu, membuat dia tidak mampu menggerakkan mata untuk mengalihkan pandangan!

Kakek itu mengangguk-angguk, kelihatan puas. "Bagus, engkau seorang perawan remaja yang cantik manis, berdarah bersih serta bertulang baik. Engkau patut menjadi muridku. Siapakah namamu?"

Dengan suara gemetar yang seakan-akan keluar di luar kehendaknya, Bi Cu menjawab, "Nama saya adalah Bhe Bi Cu..."

"Bagus! Nah Bi Cu, mulai sekarang engkau kuambil sebagai muridku."

Di dalam batinnya Bi Cu menolak, akan tetapi anehnya, dia tak kuasa untuk menolaknya! Dia sudah ditolong, diselamatkan nyawanya, bagaimana mungkin dia menolak kehendak kakek sakti ini yang hendak mengangkatnya sebagai murid? Selain dia tidak mempunyai kekuatan untuk menolak, juga dia tidak akan berani! Dan yang lebih aneh lagi, bagaikan digerakkan oleh tenaga yang tidak nampak, dia lalu memberi hormat dan berkata,

"Suhu...!" Bi Cu merasa heran sendiri mengapa dia melakukan hal ini.

"Ha-ha-ha-ha, bagus sekali, Bi Cu. Engkau akan hidup senang menjadi murid Kim Hwa Cinjin! Hayo, kau ikutlah bersamaku."

Kakek itu tertawa girang dan Bi Cu lalu bangkit berdiri dengan taat. Dia sudah terlanjur mengangkat kakek ini sebagai guru, kakek yang namanya Kim Hwa Cinjin! Tentu saja dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa kakek ini adalah seorang tokoh besar, ketua dari perkumpulan Pek-lian-kauw di selatan!

Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang menentang pemerintah, oleh karena itu tidaklah mengherankan bila Kim Hwa Cinjin membunuh semua prajurit kerajaan itu, semata-mata bukan untuk menyelamatkan Bi Cu. Dan Bi Cu juga sama sekali tidak tahu bahwa Kim Hwa Cinjin dahulu di waktu mudanya adalah seorang penjahat cabul yang sangat ditakuti semua wanita.

Lebih lagi dia tidak pernah mimpi bahwa biar pun pada lahirnya dia diambil murid, namun istilah mengambil murid dari ketua Pek-lian-kauw ini mengandung maksud lain yang lebih buruk lagi, bahkan maksud yang sangat keji terhadap diri Bi Cu. Tanpa disadarinya, dara remaja ini sudah terjatuh ke dalam tangan ketua Pek-lian-kauw yang telah menggunakan kekuatan sihirnya, membuat dara itu tunduk dan kehilangan kekuatan dan kemauan untuk menolak ketika diambil sebagai murid.

SEPERTI telah kita kenal di bagian depan cerita ini, juga dalam cerita Dewi Maut, dahulunya Kim Hwa Cinjin adalah seorang jai-hwa-cat. Dan kini, setelah usianya menjadi amat lanjut, kecabulannya berubah dan kini dia mencari kenikmatan dengan cara menonton kecabulan berlangsung, bukan melakukannya sendiri.

Tokoh ini sudah biasa menghadiahkan wanita-wanita cantik kepada para muridnya yang dianggap berjasa, lalu diam-diam dia mengintai bagaimana para muridnya itu menikmati hadiah yang diberikannya kepada mereka itu. Kini setelah melihat Bi Cu sebagai seorang dara remaja yang cantik manis dan bertulang baik, dia tertarik sekali.

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Kalau dara seperti ini menjadi muridnya dan dihadiahkan kepada para murid terbaik, kelak kalau sampai dara ini melahirkan keturunan, maka keturunan itu tentu dapat diharapkan menjadi anggota Pek-lian-kauw yang sangat hebat! Inilah yang terutama mendorongnya untuk menolong Bi Cu dan mengambilnya sebagai murid.

Baik itu dinamakan kecabulan, kemaksiatan, yang menjurus pada perbuatan kejahatan, mau pun yang dinamakan pengejaran cita-cita, ambisi yang menjurus kepada persaingan dan perebutan kedudukan sampai kepada perang, atau kepada pengejaran terhadap apa yang dianggap murni dan agung, seperti daya upaya untuk menjadi orang baik, orang suci, atau tempat yang damai di alam baka, semua itu mempunyai dasar dan sifat yang sama, yaitu pamrih untuk menyenangkan diri sendiri!

Mengejar dan memperebutkan uang, kedudukan, wanita, nama besar, kehormatan dan sebagainya itu memang dapat mendatangkan kesenangan! Begitu pula, orang mengejar kedamaian baik di alam fana mau pun baka karena mengganggap bahwa kedamaian itu menyenangkan. Boleh saja dipakai kata lain untuk kesenangan, misalnya kebahagiaan.

Karena menganggap bahwa semua yang dikejar itu akan mendatangkan kebahagiaan, maka terjadilah pengejaran-pengejaran itu. Jadi, semua tindakan itu selalu didasari oleh keinginan memperoleh sesuatu! Yaitu pamrih! Kita seakan lupa bahwa segala sesuatu yang didorong oleh pamrih sudah pasti akan mendatangkan konflik dan pertentangan.

Pamrih adalah pementingan diri pribadi, dan pementingan diri pribadi ini yang sering kali menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri atau konflik dengan orang lain. Orang yang mengejar-ngejar uang akan menyamakan dirinya dengan uang itu dan uang dianggap lebih penting dari pada apa saja. Demikian halnya dengan pengejaran terhadap kedudukan, dan sebagainya. Jadi yang terpenting bukan si kedudukan, si kehormatan, si bangsa, si keluarga, si uang, melainkan si aku!

Maka terjadilah demikian: Yang dibela mati-matian adalah kedudukanku, kehormatanku, bangsaku, keluargaku, agamaku dan seterusnya yang berpusat pada si aku. Uang orang lain, kehormatan orang lain, bangsa orang lain, agama orang lain, sama sekali tak masuk hitungan! Tentu saja sikap ini memancing datangnya pertentangan. Ini sudah amat jelas, bukan?

Apakah kita dapat hidup tanpa pamrih ini, tanpa adanya si aku yang mendorong segala perbuatan kita menjadi tindakan pementingan si aku? Hanya kalau sudah begini, maka uang, kedudukan, kehormatan, keluarga, bangsa, agama dan lain-lain memiliki arti dan nilai yang sama sekali berbeda!

Orang semacam Kim Hwa Cinjin semenjak kecil telah menjadi budak dari nafsu-nafsunya sendiri, yaitu selalu mengejar kesenangan! Kesenangan itu dapat berbentuk seribu satu macam, tercipta dari keadaan lingkungan, tradisi, pendidikan, kebiasaan dan sebagainya.

Sampai berusia setua itu, Kim Hwa Cinjin masih saja diperhamba oleh akunya yang selalu mendambakan kesenangan. Sifat kesenangannya sama saja, hanya bentuknya berubah menurut perubahan usianya. Dari pengejaran-pengejaran kesenangan ini maka timbullah segala macam maksiat, kejahatan dan kekacauan di dunia ini!

Bi Cu yang berada di bawah pengaruh sihir itu seperti seekor domba dituntun ke tempat jagal. Dia menurut saja ketika diajak ke sarang Pek-lian-kauw yang pada waktu itu berada di puncak pegunungan di depan. Ada juga naluri sehat yang membuat dara ini meragu, dan ketika mereka mendaki sebuah bukit, dara itu berkata,

"Suhu...!"

"Eh, ada apakah, Bi Cu yang manis?" Kim Hwa Cinjin berhenti dan menoleh kepada dara itu yang berdiri dengan muka pucat dan pandang mata meragu.

"Teecu... teecu tidak ingin naik ke sana... teecu ingin... pergi mencari Sin Liong..."

"Sin Liong? Siapa itu?"

"Dia... dia seorang sahabatku yang amat baik..."

"Hemm, engkau adalah muridku, Bi Cu, maka engkau harus ikut denganku dan menurut semua perintahku."

"Tapi, suhu..."

"Agaknya engkau belum yakin akan kemampuan gurumu, ya? Nah, kau lihatlah ini!" Kim Hwa Cinjin menghampiri sebongkah batu yang besarnya seperti kerbau bunting. Dengan kakinya dia mengungkit batu itu dan melontarkannya ke atas, lalu dengan tongkatnya dia menerima batu itu, diputar-putar di atas ujung tongkat. Melihat permainan sulap ini, Bi Cu menjadi bengong dan kagum.

"Hiaaaattt...!"

Kim Hwa Cinjin melontarkan batu dengan ujung tongkat. Batu melambung tinggi dan turun menimpa kepala kakek itu. Bi Cu hampir menjerit, akan tetapi ketika batu itu tiba di atas kepala, Kim Hwa Cinjin menggerakkan tangan kirinya menampar.

"Blaaarrr...!" Batu besar itu pecah berkeping-keping.

"Dan kau lihat pukulan api dari tanganku ini!" katanya pula menghampiri sebatang pohon.

Dengan tangan kirinya dia menampar ke arah batang pohon. Terdengarlah suara keras seperti ledakan dan... pohon itu terbakar dan api menyala tinggi! Tentu saja Bi Cu makin terbelalak kagum. Dia tidak tahu bahwa yang dipertunjukkan itu bukanlah ilmu pukulan yang sesungguhnya, melainkan ilmu sihir! Demikian kagum rasa hati dara itu sehingga dia menjatuhkan diri berlutut dengan hati penuh takluk dan kagum.

"Nah, apakah engkau ingin mempelajari semua kesaktian itu, Bi Cu?"

"Tentu saja, suhu, teecu ingin sekali."

"Kalau begitu, mulai saat ini engkau harus mentaati segala perintahku."

"Baik suhu, teecu akan taat."

Girang bukan main hati Kim Hwa Cinjin dan dia langsung mengajak dara itu melanjutkan perjalanan menulu sarang Pek-lian-kauw. Sebulan lagi Pek-lian-kauw akan mengadakan pesta ulang tahunnya, dan di dalam pesta itulah dia akan menghadiahkan Bi Cu kepada beberapa orang muridnya yang berjasa.

Sambil terus melangkah, diikuti oleh muridnya yang baru, kakek ini tersenyum-senyum, mengelus jenggotnya dan memilih-milih, siapa di antara muridnya akan dihadiahi dara ini! Bi Cu tidak sadar akan bahaya yang mengancam dirinya, seperti seekor domba dituntun oleh harimau ke dalam sarangnya!

                  ***************

 Sin Liong mendaki bukit yang nampak sunyi itu dengan hati-hati. Dia sudah menemukan jejak Bi Cu! Di dusun terakhir di kaki pegunungan ini, dia mendengar dari seorang petani bahwa hampir sebulan yang lalu ada seorang dara remaja yang wajahnya mirip dengan yang dia gambarkan datang ke dusun itu, bahkan bermalam di dalam rumah keluarga petani itu. Dari penuturan mereka, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu dara itu Bi Cu.

Yang meyakinkan dia adalah karena Bi Cu juga bertanya-tanya tentang dia, mencari-cari dia! Hatinya berdebar girang dan penuh harapan ketika dia mendaki bukit itu. Biar pun dia sudah ketinggalan hampir satu bulan, akan tetapi kini dia telah menemukan jejaknya dan tentu akan bisa memperoleh keterangan lebih lanjut di sana, atau di balik pegunungan itu.

Akan tetapi, timbul kekhawatiran di dalam hatinya pada waktu dia mendengar keterangan dari seorang pemburu yang dijumpainya di dalam hutan di lereng gunung, bahwa daerah pegunungan itu termasuk pula wilayah yang secara diam-diam dikuasai oleh perkumpulan Pek-lian-kauw yang membuka sarang di puncak pegunungan.

Mendengar disebutnya nama Pek-lian-kauw dia merasa amat khawatir. Bi Cu telah tiba di wilayah ini, daerah kekuasaan Pek-lian-kauw dan dia tahu betapa berbahayanya bagi dara itu apa bila melewati daerah ini. Maka timbullah kecurigaannya dan dia harus lebih dahulu menyelidiki sarang Pek-lian-kauw. Kalau di sana tidak terdapat Bi Cu, baru dia akan pergi meninggalkan tempat itu sebab ia sendiri tak ingin berurusan dengan fihak Pek-lian-kauw. Mudah-mudahan saja Bi Cu tidak bertemu dengan fihak mereka, pikirnya.

Setelah tiba di lereng gunung itu, nampaklah olehnya bangunan-bangunan Pek-lian-kauw yang merupakan perkampungan tersendiri, terletak di dekat puncak. Dan mulai terdengar olehnya suara musik yang membuatnya merasa heran bukan main. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan agama, mengapa kini terdengar suara musik seakan-akan di sana diadakan pesta, di mana orang bergembira ria? Melihat betapa tempat pendakian itu sunyi saja, Sin Liong lalu mempercepat pendakiannya menuju ke perkampungan di dekat puncak itu.

Setelah melewati daerah yang berbatu-batu lalu dia sampai di padang rumput yang penuh dengan rumput tebal dan subur. Rumput itu sampai setinggi lututnya dan Sin Liong berlari terus karena dusun Pek-lian-kauw itu berada di ujung padang rumput itu.

Tiba-tiba kakinya tersangkut semacam tali halus yang tidak nampak karena tersembunyi di dalam rumput. Begitu kakinya tersangkut, terdengar suara berdesir dan bercuitan dari bawah. Sin Liong terkejut bukan main, maklum bahwa ada penyerangan gelap dari bawah maka seketika dia sudah meloncat ke atas lalu berjungkir balik di udara sampai tiga kali.

Benar saja, dari bawah menyambar empat batang tombak dari depan, belakang, kiri dan kanan. Agaknya ketika tali halus tadi tersangkut di kakinya, secara otomatis alat rahasia sudah menggerakkan empat batang tombak itu! Sin Liong lalu melompat turun kembali ke depan, kurang lebih empat meter dari tempat di mana kakinya tersangkut tali penggerak alat yang melucurkan tombak-tombak itu.

"Blussss...!"

Begitu kedua kakinya menginjak tanah di bawah rerumputan, tiba-tiba dia berseru keras karena ternyata kedua kakinya menginjak tempat kosong! Ternyata di bawah itu adalah lubang yang ditutupi rumput, sebuah lubang jebakan yang amat berbahaya! Karena tidak mengira sama sekali, tentu saja Sin Liong tidak dapat mencegah tubuhnya terjeblos. Dia cepat melihat ke bawah dan ternyata lubang sumur itu dipasangi tombak-tombak runcing yang siap menerima tubuhnya yang terjeblos ke bawah!

Kalau orang hanya memiliki kepandaian ginkang biasa saja, agaknya tidak akan mungkin dapat lolos dari ancaman maut ini. Tubuh Sin Liong sudah meluncur turun dan di bawah nampak ujung tombak-tombak runcing seperti deretan gigi mulut raksasa yang sudah siap mencaplok dan menggigitnya.

Sin Liong memiliki ketenangan yang luar biasa. Dia tidak mudah putus asa, maka dengan waspada dia memandang ke bawah, mengerahkan ginkang-nya dan ketika dekat dengan ujung-ujung runcing itu, dia malah hinggap di atas dua ujung tombak sambil mengerahkan sinkang pada telapak kakinya sehingga ujung tombak yang menembus sepatunya itu tak mampu melukai kaki dan dia lalu mengenjot tubuhnya, meloncat ke atas, keluar lagi dari sumur itu!

Dia tiba di luar sumur, berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, waspada memandang ke sekeliling, akan tetapi tidak nampak gerakan seorang pun manusia, tanda bahwa dia tadi hanya menjadi korban jebakan-jebakan saja yang diatur sedemikian baiknya hingga amat membahayakan orang yang terjeblos ke dalamnya. Dia melangkah terus, sekarang dengan hati-hati supaya tidak sampai terjeblos ke dalam perangkap lagi. Kalau kakinya menginjak sesuatu yang tidak wajar, dia cepat meloncat jauh ke depan, melewati daerah yang dipasangi jebakan itu.

Akhirnya dia keluar dari padang rumput itu dengan selamat dan sampailah dia di sebuah taman penuh dengan pohon-pohon besar yang merupakan pekarangan depan yang luas dari perkampungan Pek-lian-kauw. Suara musik makin jelas terdengar, berasal dari pusat perkampungan itu. Perkampungan Pek-lian-kauw terkurung dinding tembok putih, dan tak nampak seorang pun di luar tembok.

"Syet-syet-syetttt...!"

Tiba-tiba nampak sinar-sinar berkelebatan dan tahu-tahu ada belasan batang anak panah menyambar dari atas, menancap di atas tanah di hadapan Sin Liong, merupakan pagar anak panah yang menghadang perjalanannya. Melihat ini, Sin Liong mengerling ke atas dan melihat bayangan orang-orang di atas pohon besar.

"Hemmm, beginikah cara Pek-lian-kauw menyambut kedatangan seorang tamu? Dengan perangkap-perangkap dan anak panah?" tanyanya dengan suara yang melengking nyaring sehingga suara itu berdengung sampai jauh.

Hening sejenak sesudah terdengar suara nyaring dari Sin Liong ini. Kemudian terdengar suitan-suitan tanda rahasia, dan tidak lama lagi banyak bayangan orang melayang turun dari atas pohon, dan ternyata orang ini adalah seorang yang berjubah pendeta, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Setelah dia melayang turun berturut-turut tampak bayangan orang berloncatan turun dari atas pohon-pohon sekitar tempat itu dan dalam waktu singkat saja ada tujuh orang tosu Pek-lian-kauw yang berdiri menghadapi Sin Liong, memandang pemuda itu penuh perhatian dan kecurigaan.

"Sicu datang dari daerah terlarang, bukan sebagai tamu undangan, maka maafkan kami yang melepas anak panah peringatan tadi. Siapakah sicu dan ada urusan apa sicu datang ke tempat kami?" tanya seorang di antara mereka, pendeta yang pertama melayang turun tadi.

Sin Liong mengangkat tangan menjura kepada mereka, lantas menjawab dengan tenang, "Saya adalah seorang pelancong yang sedang melakukan perjalanan lewat di daerah ini. Mendengar suara musik dari perkampungan Pek-lian-kauw, hati saya amat tertarik untuk mengunjungi dan berkenalan dengan para pemimpin Pek-lian-kauw, sedikit pun saya tidak mempunyai niat untuk melakukan hal yang tidak bersahabat," jawabnya karena memang dia tidak berniat bermusuhan dengan fihak Pek-lian-kauw, tentu saja kalau Pek-lian-kauw juga tidak melakukan sesuatu terhadap Bi Cu, misalnya. Dan dia tidak mau menyebutkan namanya kepada mereka, kecuali kepada para pimpinan Pek-lian-kauw sendiri.

Tiba-tiba melayang turun seorang pendeta lain yang menghampiri pendeta penanya tadi, dan orang baru ini kemudian berbisik. Dialah pendeta yang melapor ke dalam, dan ketua Pek-lian-kauw memberi perintah bahwa kalau orang muda yang datang itu bukan musuh dan bermaksud baik, boleh saja diterima sebagai tamu, sebab pada hari itu Pek-lian-kauw memang sedang merayakan hari ulang tahunnya.

Pendeta pembicara itu kemudian tersenyum. "Baiklah, sicu. Ketua kami menyuruh kami menerima sicu sebagai tamu, dan mari kami persilakan sicu untuk masuk ke dalam dan berkenalan dengan para pimpinan kami."

Perkumpulan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang selalu menentang pemerintah, oleh karena itu kalau merayakan ulang tahun tidak pernah mengundang umum karena mereka selalu menyembunyikan tempat atau sarangnya, dan hanya mengundang golongan atau kawan-kawan sendiri yang sudah dipercaya penuh saja. Dan undangan itu pun baru akan dilaksanakan beberapa hari sesudah mereka merayakannya sendiri sampai beberapa hari lamanya. Pada saat itu, hari undangan bagi para kawan mereka belum tiba dan pada hari itu mereka sedang merayakan hari ulang tahun perkumpulan mereka tanpa ada seorang pun tamu dari luar.

Akan tetapi seluruh anggota, juga termasuk yang berada dan bertugas jauh dari tempat itu, pada hari itu sudah hadir sehingga suasana menjadi amat meriah dan penjagaan pun tidak begitu ketat seperti biasanya hingga Sin Liong sampai dapat memasuki pekarangan itu dan baru setelah tiba di situ dia dihadang oleh para anggota Pek-lian-kauw. Kini pintu gerbang dibuka dan Sin Liong diantar masuk ke dalam perkampungan yang cukup luas.

Semua rumah di perkampungan itu dihias dengan kertas-kertas merah hingga suasana di sana cukup meriah. Di bangunan induk berkumpul para pimpinan, di mana para anggota bagian musik sedang memeriahkan suasana dengan permainan musik dan nyanyian serta tarian.

Munculnya pemuda ini tentu saja menimbulkan sedikit keheranan dan kecurigaan, akan tetapi karena Kim Hwa Cinjin sendiri yang memerintahkan pemuda itu disambut sebagai tamu, maka kini Sin Liong diiringkan memasuki bangunan induk, terus masuk ke dalam ruangan luas di mana terdapat Kim Hwa Cinjin sendiri bersama para tokoh Pek-lian-kauw dan para murid terkasih. Semua orang lalu memandang kepada pemuda yang melangkah masuk dengan tenang itu.

Kim Hwa Cinjin sendiri masih tetap duduk sambil menatap wajah pemuda yang masuk itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dari kedudukan serta sikap kakek yang memiliki sepasang mata tajam dan aneh menyeramkan seperti mata iblis dalam dongeng itu, Sin Liong dapat menduga tentulah kakek tua yang menyambutnya dengan duduk saja itulah ketua Pek-lian-kauw, maka dia lalu berhenti di hadapan Kim Hwa Cinjin, menjura dengan hormat sambil berkata,

"Harap kauwcu (ketua agama) suka memaafkan kalau saya datang mengganggu."

Pada waktu masuk tadi, Sin Liong sudah mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia tidak melihat adanya Bi Cu di sana, maka dia merasa agak lega dan dia pun bersikap sopan agar tidak menyinggung orang-orang Pek-lian-kauw.

Kim Hwa Cinjin mengangguk-angguk. "Hemm, dari pelaporan anak buah kami mendengar bahwa engkau mempunyai kepandaian yang tinggi, sicu. Sungguh membuat kami merasa kagum bahwa seorang pemuda seperti sicu sudah dapat memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu sicu murid seorang sakti dan siapakah nama sicu?"

"Nama saya Sin Liong," jawab pemuda ini tanpa menyebutkan she (nama keturunan), dan ternyata ketua Pek-lian-kauw itu pun tidak bertanya tentang hal itu tanda bahwa ketua ini bersikap ramah dan menanyakan nama hanyalah untuk membalas sikapnya yang sopan saja padahal sebenarnya ketua ini tidak memandang dia sebagai orang penting!

"Saya kebetulan lewat dekat sini dan mendengar suara musik, saya merasa tertarik dan memasuki daerah ini tanpa memiliki niat yang buruk."

Kim Hwa Cinjin hanya mengangguk. Mendadak terdengar suara merdu di sebelah kanan kakek itu, "Suhu, dalam suasana gembira ini kita kedatangan tamu terhormat, bagaimana kalau teecu (murid) mempersiapkan hidangan untuk tamu agung?"

Sin Liong cepat memandang dan ternyata yang bicara ini adalah salah seorang di antara sekelompok wanita-wanita muda yang duduk di dekat kakek itu. Wanita-wanita itu berusia antara dua puluh sampai hampir empat puluh tahun, rata-rata berwajah cantik dan dari sikapnya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.

Memang mereka itu adalah murid-murid dari Kim Hwa Cinjin, murid-murid wanita yang berbakat. Yang bicara tadi adalah seorang wanita cantik berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, pakaiannya indah dan rambutnya digelung rapi, dihiasi burung hong terbuat dari emas dan permata yang berkilauan. Di antara para murid wanita itu, wanita inilah yang paling cantik, kerling matanya tajam dan senyumnya amat manis.

Ketika Sin Liong memandang kepadanya, wanita itu pun menatapnya dengan sinar mata yang demikian menantang dan penuh gairah sehingga Sin Liong langsung menundukkan mukanya kembali.

"Ha-ha-ha-ha, Ciauw Ki, kita sedang berulang tahun maka biarlah kuturuti permintaanmu sebagai hadiahku tahun ini. Memang benar sekali, kita harus menjamu tamu agung, nah, kau layanilah sicu ini!"

Sin Liong menjadi kikuk sekali, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk ke situ dan memang dia berniat menyelidiki apakah Bi Cu berada di situ, maka ketika wanita cantik itu bangkit dan menghampirinya, lalu dengan sikap manis mempersilakan dia duduk di atas sebuah kursi menghadapi meja yang masih kosong, tidak jauh dari situ, dia pun tidak membantah, mengangguk dan menjura menyatakan terima kasihnya. Ciauw Ki, murid wanita Kim Hwa Cinjin itu, lalu mengeluarkan hidangan dan arak, diatur di atas meja di depan Sin Liong.

Pada waktu wanita itu melakukan semua ini dengan senyum manis dan kerling mata yang menyambar-nyambar penuh tantangan, Sin Liong mencium keharuman keluar dari sapu tangan dan pakaian wanita itu. Dia merasa semakin kikuk, akan tetapi juga tidak berani menolak ketika Kim Hwa Cinjin sendiri dari tempat duduknya mempersilakan dia makan minum. Betapa heran rasa hatinya ketika dia melihat Ciauw Ki duduk di hadapannya dan melayaninya, mengisi cawannya dengan arak bila sudah kosong, menawarkan masakan ini dan itu, dengan sikap amat mesranya.

Padahal di situ terdapat banyak orang, terdapat banyak murid pria, mengapa justru murid wanita cantik ini yang harus melayaninya? Sin Liong yang tidak pernah dilayani wanita seperti itu, tentu saja menjadi gugup dan kikuk sekali, dan sikapnya ini agaknya semakin menarik hati Ciauw Ki.

Oleh karena Ciauw Ki terus mengisi cawan araknya dan mempersilakan minum, akhirnya pengaruh arak membuat Sin Liong agak nanar juga. Ketika tari-tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita cantik, nyanyian yang diiringi musik merdu dipertunjukkan, Sin Liong tidak lagi merasa heran, bahkan menonton dengan gembira sambil mendengarkan pula obrolan Ciauw Ki yang bercerita dengan suara merdu.

"Ini adalah perayaan ulang tahun kami yang ke delapan, sicu, sudah delapan tahun kami menggunakan tempat ini sebagai pusat dan tak pernah mengalami gangguan. Dan pesta ulang tahun sekarang ini bagiku paling indah berkesan karena kehadiranmu..."

Sin Liong hanya tersenyum. Telinganya penuh dengan suara-suara merdu merayu yang mempesona dan membuat dirinya lengah. Pada waktu itu para wanita yang menari sudah mengundurkan diri, lantas suara tambur dipukul gencar, musik mengalunkan lagu perang yang dahsyat. Lalu muncullah dua orang wanita dan Sin Liong terbelalak.

Dua orang wanita muda itu mengenakan pakaian tipis yang membayangkan bentuk tubuh mereka, dan kedua tangan mereka memegang dua batang obor yang belum dinyalakan. Sesudah mereka menjatuhkan diri berlutut di hadapan sang ketua, lalu Kim Hwa Cinjin meraih dan obor-obor itu menyala! Seperti main sulap saja!

Kini kedua orang wanita muda itu mulai menari dengan obor-obor di kedua tangan. Sinar obor yang merah itu menyoroti tubuh mereka dan mereka itu seperti telanjang bulat saja karena cahaya itu menembus pakaian yang tipis, memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh mereka yang masih muda dan padat berisi. Para murid Pek-lian-kauw bersorak dan bertepuk-tepuk tangan mengikuti irama musik hingga suasana penuh dengan pesona dan gairah!

Mendadak Sin Liong merasa betapa ada tangan halus yang membelai jari-jari tangannya yang terletak di atas meja. Dia terkejut saat melihat betapa yang mengelus tangannya itu adalah tangan Ciauw Ki! Sin Liong cepat mengibaskan tangannya dan menarik tangan itu dari atas meja. Ciauw Ki menahan jeritnya karena tangannya terasa agak nyeri. Matanya terbelalak menatap wajah Sin Liong, akan tetapi sinar matanya segera melembut kembali dan senyumnya makin manis memikat.

Dari tempat duduknya, Kim Hwa Cinjin melihat adegan ini. Tiba-tiba saja dia mengangkat kedua tangannya ke atas, menghadap ke arah Sin Liong lalu mulutnya berkemak-kemik. Ketika itu Sin Liong masih menentang pandang mata Ciauw Ki. Tiba-tiba saja dia merasa seperti ada dorongan yang mengharuskan dia menoleh, memandang kepada dua orang penari wanita yang menggerak-gerakkan obor mereka. Sinar obor itu menyilaukan kedua matanya dan Sin Liong mengeluh.

Tiba-tiba dia melihat dua buah mata, sepasang mata yang tajam liar dan menyeramkan, seperti mata iblis sendiri, memandangnya sedemikian rupa sehingga dia terbelalak. Sang mata iblis ini seperti menari-nari di antara obor yang bergerak-gerak itu dan mendadak dia merasa tubuhnya lemas serta matanya mengantuk. Rasa kantuk itu tak tertahankan lagi olehnya. Kepalanya terasa berat, dan obor-obor yang bernyala itu kini terputar-putar. Sin Liong lalu memejamkan mata dan merebahkan kepalanya di atas lengannya yang dipakai sebagai bantal di atas meja. Tiba-tiba dia merasa tengkuknya diraba orang dan tubuhnya semakin lemas lalu dia tidak ingat apa-apa lagi!

Pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak pertama kali memasuki rumah induk di mana Kim Hwa Cinjin dan para murid dan pembantunya merayakan pesta ulang tahun mereka, dia telah memasuki perangkap yang amat berbahaya. Mula-mula Kim Hwa Cinjin memperlihatkan sikap ramah sehingga lenyaplah kecurigaan di hati Sin Liong. Pada saat Ciauw Ki, seorang di antara murid-murid wanita yang terkasih, memperlihatkan keinginan untuk memiliki pemuda tampan itu, Kim Hwa Cinjin menyetujuinya.

Sin Liong mulai dijamu dan diperlakukan dengan manis penuh pikatan oleh Ciauw Ki. Biar pun ketika itu Sin Liong sudah terpengaruh arak, namun melihat gadis itu berusaha untuk memikatnya dengan sentuhan tangan, pemuda ini terkejut dan cepat menolak. Kim Hwa Cinjin melihat ini dan dia tidak mau mengecewakan muridnya, maka diam-diam dia lalu mempergunakan ilmu sihirnya.

Sin Liong yang sedang lengah itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan ilmu sihir, maka dengan bantuan suara musik serta penglihatan indah dari tari obor oleh dua orang murid wanita itu, cahaya obor yang menyilaukan, akhirnya dia berhasil menyihir Sin Liong sehingga pemuda itu tertidur sebelum dia dapat menyadari keadaannya. Ciauw Ki juga cepat mempergunakan jari-jari tangannya menotok dan membuat pemuda itu tidak sadar.

Sin Liong membuka matanya dan pertama kali yang dirasakannya adalah kepalanya yang berdenyut-denyut pening. Dia mengeluh lirih dan mencium bau arak yang memuakkan. Teringatlah dia bahwa dia terlalu banyak minum arak. Ingin dia memijat-mijat kepalanya, akan tetapi ketika dia hendak menggerakkan tangan, dia terkejut dan heran.

Cepat dia membuka mata dan terbelalak memandang pada kedua lengannya yang sudah terbelenggu. Dua lengannya itu terikat di bagian pergelangan tangan. Suara tertawa kecil membuat dia semakin sadar dan sekarang dia memandang wanita yang duduk di pinggir pembaringan itu dengan sinar mata penuh keheranan.

Kini dia sudah rebah di atas pembaringan yang empuk, bersih dan harum, dalam sebuah kamar yang diterangi oleh tiga batang lilin. Wanita itu bukan lain adalah Ciauw Ki yang duduk sambil memegangi sebuah cawan arak dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri wanita itu mengelus-elus pahanya!

Sin Liong lalu menggerakkan kaki untuk mundur dan ternyata bahwa pergelangan kedua kakinya juga terikat! Agaknya Ciauw Ki mendengar dari para saudara seperguruannya akan kelihaian Sin Liong maka biar pun pemuda itu telah ditotoknya, tetap saja dia masih merasa khawatir dan mengikat pergelangan kaki dan tangan pemuda itu.

"Apa... apa artinya ini...?" Sin Liong bertanya sambil mengangkat kepalanya dari bantal.

"Hik-hik...!" Ciauw Ki tertawa genit dengan kepala agak bergoyang-goyang. Wanita cantik ini agaknya sudah setengah mabok.

Diam-diam Sin Liong memperhatikan keadaan sekeliling. Tentu malam telah tiba, pikirnya heran. Betapa lamanya dia pingsan atau tertidur di tempat ini. Dia mengingat-ingat dan ketika dia teringat akan sepasang mata yang membuatnya mengantuk, diam-diam dia lalu mengutuk. Dia sudah disihir! Tidak ragu-ragu lagi dia. Pek-lian-kauw terkenal dengan ilmu sihirnya. Dalam keadaan lengah dan tidak waspada dia telah kena disihir.

"Artinya, orang ganteng... bahwa engkau sedang berada di kamarku dan kita... kita akan bersenang-senang malam ini sepuas hati kita... hik-hik...!"

Diam-diam Sin Liong merasakan betapa masih ada sisa pengaruh totokan di tubuhnya, maka dia segera mengerahkan sinkang melancarkan kembali jalan darahnya. Dia masih belum mau mengambil tindakan keras, otaknya berpikir dan timbul kembali kecurigaannya bahwa jangan-jangan Bi Cu juga menjadi korban seperti dia. Maka dia pura-pura tidak berdaya, dan berkata, "Mengapa aku dibelenggu kaki tanganku?"

"Aku khawatir engkau akan menolak, sayang. Aku membelenggumu, akan tetapi lihatlah, belenggu itu dari ikat pinggang suteraku, baunya amat harum, kau ciumlah, hik-hik. Kalau engkau bersikap manis, tentu belenggumu itu akan kulepaskan. Sekarang, kau minumlah secawan arak ini. Arak ini pemberian suhu, arak istimewa, kau minumlah, sayang, setelah itu baru kubebaskan engkau dan kita bersenang-senang..."

Cawan arak itu didekatkan pada mulut Sin Liong dan dia mencium bau arak bercampur bau yang aneh. Mengertilah Sin Liong bahwa arak ini pun tidak wajar, bukan sembarang arak, karena itu tentu saja dia tidak mau minum.

"Nanti dulu... aku masih pening karena terlalu banyak minum... sebenarnya... aku sedang mencari seseorang... saudaraku..." Sin Liong membohong. Yang dicarinya adalah seorang gadis, jika dia bilang sahabat tentu akan menimbulkan kecurigaan, maka dia mengatakan saudaranya.

"Hemm, saudaramu? Siapakah saudaramu dan mengapa kau mencarinya di sini?" tanya wanita yang mukanya sudah merah karena setengah mabuk itu dan tangan kirinya masih mengelus paha Sin Liong yang membuat pemuda itu merasa geli.

"Saudaraku seorang gadis bernama Bi Cu..." Sin Liong berhenti berbicara karena melihat perubahan pada wajah gadis itu, sepasang mata yang tadinya nampak penuh gairah dan setengah terpejam itu mendadak agak terbelalak. Jantungnya berdebar dan yakinlah dia bahwa wanita ini tahu tentang diri Bi Cu.

Tentu saja Ciauw Ki mengetahui tentang Bi Cu, murid baru gurunya itu. Dia merasa iri hati kepada Bi Cu yang muda dan cantik, dan yang oleh suhu-nya dipilih sebagai kembang untuk diperebutkan pada perayaan ulang tahun itu! Apa bila tidak ada Bi Cu, tentu dialah yang akan diperebutkan, bukan Bi Cu. Dan karena iri hati itulah maka dia sengaja minta ganti kepada suhu-nya ketika dia melihat Sin Liong!

"Aihhh... kiranya engkau saudaranya! Jangan khawatir, orang tampan, saudaramu itu kini sedang dilimpahi kesenangan oleh tiga orang murid Pek-lian-kauw yang paling gagah dan tampan! Akan tetapi engkau pun tidak kalah mujurnya karena engkau mendapatkan aku... heiii... ahhh, aupppp...!"

Tiba-tiba saja Sin Liong menggunakan sinkang-nya hingga semua ikatan tangan kakinya putus. Ketika melihat dia mematahkan belenggu dan tahu-tahu sudah bangkit duduk itu, Ciauw Ki terkejut bukan main dan sebelum dia sempat menjerit, jari tangan kiri Sin Liong telah mendekap mulut yang tadinya tersenyum manis penuh pikatan itu dan meremasnya perlahan sehingga mulut yang manis itu kini nampak peot dan buruk, mata yang tadinya setengah terpejam penuh gairah dan nafsu birahi itu kini terbelalak ketakutan.

"Hemm, kuhancurkan mulutmu jika engkau tidak mengaku terus terang!" desis Sin Liong yang sudah merasa marah dan khawatir sekali. Tidak salah dugaannya, Bi Cu terjatuh ke tangan mereka dan kini agaknya terancam bahaya besar.

"Aa... aku... ahhhhh..." Sukar sekali Ciauw Ki bicara karena mulutnya masih didekap oleh jari tangan Sin Liong.

Tiba-tiba Ciauw Ki menggunakan tangan yang memegang cawan arak untuk menghantam ke arah muka Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong menepuk pundaknya, dia pun terkulai lemas dan tidak mampu bergerak lagi. Ketika Sin Liong melepaskan dekapannya pada mulut itu, tubuh Ciauw Ki terkulai di atas pembaringan.

"Hayo katakan, di mana Bi Cu?"

Dengan suara lemah, Ciauw Ki berkata, "Bunuhlah, murid Pek-lian-kauw tidak takut mati! Bi Cu kini tentu sudah habis-habisan diperkosa oleh tiga orang suheng-ku...!"

"Plakkk!"

Tangan Sin Liong menampar dan wanita itu pingsan. Mulutnya berdarah dan beberapa buah gigi di mulutnya patah-patah. Tentu kecantikannya akan banyak berkurang karena tamparan itu, kalau tidak membuat wajahnya kelak bahkan menjadi buruk.

Cepat Sin Liong meloncat keluar dari kamar itu. Dengan beberapa loncatan saja dia telah berada di atas genteng. Pesta kaum Pek-lian-kauw itu masih dilanjutkan dengan meriah, maka sangat mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mencari-cari di mana Bi Cu disembunyikan.

Dia tidak perlu terus memaksa Ciauw Ki agar supaya mengaku sebab wanita itu agaknya merupakan tokoh Pek-lian-kauw yang tak akan mau membuka rahasia perkumpulan, biar diancam atau disiksa sekali pun. Dan Sin Liong takkan tega untuk menyiksa orang, maka dia lalu mengambil keputusan untuk mencari sendiri setelah menampar wanita itu sampai pingsan dalam keadaan tertotok agar tidak membuat gaduh selagi dia mencari tempat Bi Cu disembunyikan.

Dia mengintai dari genteng, sambil melihat ke dalam kamar-kamar yang banyak terdapat di perumahan itu. Banyak dia melihat kecabulan-kecabulan yang menjijikkan hatinya dan membuat dia tidak mengerti mengapa perkumpulan agama seperti Pek-lian-kauw ternyata memiliki pimpinan dan anggota-anggota yang menjadi hamba-hamba nafsu birahi seperti itu. Hampir di setiap kamar dia melihat para anggota Pek-lian-kauw bermain cinta dengan pasangan masing-masing dalam keadaan mabuk.

Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat di bawah. Gerakan bayangan itu bukan main ringannya, maka dia langsung mengintai. Dengan heran dia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalan bayangan Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw sendiri. Dan kakek tua itu kini berindap-indap menghampiri jendela sebuah kamar dan sinar lampu yang menimpa wajah tua itu memperlihatkan senyum iblis yang membuat Sin Liong bergidik.

Melihat kakek itu kini mengintai dari jendela, dia tertarik dan cepat dia melayang ke atas genteng lalu dengan hati-hati membuka genteng untuk melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar yang diintai sendiri oleh ketua Pek-lian-kauw itu. Dan hampir saja Sin Liong terjengkang di atas genteng, hampir saja dia berseru keras sesudah melihat apa yang ada di dalam kamar itu!

Kamar itu besar, tidak seperti kamar Ciauw Ki tadi. Di sudut kamar, mengelilingi sebuah meja yang penuh masakan dan arak sehingga bau arak sampai tercium olehnya dari atas genteng, duduk tiga orang lelaki yang hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja! Mereka itu minum arak sambil tertawa-tawa gembira.

Salah satu di antara ketiga orang itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, kumisnya tebal pendek dan jenggotnya terpelihara rapi, yang dua orang berusia sekitar tiga puluh tahun dengan muka halus. Ketiganya bertubuh tegap dan rata-rata wajah mereka dapat dikatakan tampan dan gagah, rambut mereka digelung ke atas seperti rambut para tosu Pek-lian-kauw.

Akan tetapi bukan ketiga orang itu yang mengejutkan hati Sin Liong, melainkan apa yang nampak di atas sebuah pembaringan yang ada di tengah kamar itu. Di atas pembaringan itu rebah seorang wanita, rebah terlentang dan lekuk lengkung tubuhnya nampak nyata di bawah pakaian dalam yang tipis sekali. Sedangkan pakaian luar wanita itu berserakan di bawah tempat tidur dan wanita itu kelihatan seperti orang yang tidur nyenyak.

Dapat dibayangkan alangkah terkejut rasa hati Sin Liong ketika melihat wanita ini karena dia mengenalnya sebagai Bi Cu! Dan dara itu tentu dibius, pikirnya dengan kedua tangan dikepal dan mulai berubah merah, sepasang matanya mencorong seperti mata naga yang marah!

"Sayang dia terpaksa dibius," kata si kumis tebal. "Kalau tidak dia tentu akan menolak dan melawan mati-matian!"

"Aku lebih senang apa bila dia melawan dan meronta, tidak seperti sekarang ini, mirip mayat!" cela orang ke dua sambil menenggak araknya.

"Dan aku lebih senang kalau dia itu mau menyerahkan diri dengan manis dan suka rela. Mengapa suhu tidak mempergunakan obat perangsang saja?"

"Seorang dara yang berhati baja seperti dia itu sukar dapat dipengaruhi obat perangsang, ah, betapa pun juga, dia mulus dan masih remaja. Hemm, biarlah kalian menonton dulu, aku akan menjadi orang pertama..."

"Ah, jangan begitu, suheng! Engkau harus mengalah kepadaku! Biarlah aku dulu yang..."

"Tidak, aku dulu! Aku yang termuda dan aku lebih pantas baginya!"

Si kumis tebal tertawa. "Ha-ha-ha, kita berebutan seperti anak kecil, seolah-olah kita tidak pernah mendapatkan seorang perawan remaja. Sudahlah, lebih baik kita undi saja!"

"Atau kita berpetak tangan, siapa menang dia mendapatkan dulu!"

Mendengar percakapan itu lega bukan main rasa hati Sin Liong. Jelaslah bahwa mereka itu belum sempat mengganggu Bi Cu. Bi Cu belum ternoda dan kedatangannya belum terlambat! Dia tidak mau membuang waktu lagi.

Saat tiga orang tosu itu sedang main petak tangan untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan tubuh dara itu lebih dulu, tiba-tiba terdengar suara keras di atas kamar dan juga di luar rumah. Suara keras di atas kamar itu terjadi karena Sin Liong menerjang genteng sampai bobol lantas tubuhnya melayang ke dalam kamar laksana seekor naga melayang dari angkasa menerobos awan gelap. Sedangkan suara ke dua lebih keras lagi, yaitu suara sorak-sorai yang gegap-gempita dari banyak orang berkelahi dan beradunya senjata-senjata tajam!

Semua orang yang berada di kamar itu terkejut. Demikian pula dengan Kim Hwa Cinjin yang sedang mengintai dengan hati berdebar penuh ketegangan nafsu birahi itu menjadi terkejut bukan main. Dia melihat betapa pemuda yang menjadi tamunya, dan yang telah ditundukkannya dengan ilmu sihir lalu diserahkan kepada Ciauw Ki untuk dimiliki wanita muridnya itu untuk malam ini dan dia sendiri akan mengintai di kamar Ciauw Ki, tiba-tiba melayang turun ke dalam kamar. Akan tetapi lebih kaget lagi ketika dia mendengar suara hiruk-pikuk di luar.

Perhatiannya terbagi, akan tetapi dia menganggap keadaan di luar situ lebih berbahaya, maka tanpa mempedulikan keadaan di dalam kamar itu, karena dia memandang rendah kepada Sin Liong dan percaya bahwa tiga orang muridnya akan dapat menghadapinya, Kim Hwa Cinjin cepat melompat keluar.

Dia terkejut sekali melihat bahwa yang menimbulkan suara gaduh itu adalah penyerbuan dari pasukan pemerintah terhadap sarang Pek-lian-kauw. Anggota-anggota Pek-lian-kauw yang tadinya masih berpesta-pora, kini menghadapi serbuan pasukan pemerintah dengan gugup. Bahkan ada beberapa orang muridnya yang masih telanjang bulat terpaksa harus melawan musuh, karena mereka itu tadi sedang bersenang-senang dengan pasangannya di dalam kamar, dikejutkan oleh suara itu sehingga keluar dan lupa memakai pakaiannya!

Sementara itu, dengan ringan sekali Sin Liong telah melayang turun ke dalam kamar. Dia pun mendengar suara ribut-ribut di luar dan dia merasa khawatir. Dia harus dapat cepat melarikan Bi Cu dari kamar ini dan keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw, karena apa bila sampai dia dikepung oleh semua tokoh beserta anggota Pek-lian-kauw, akan sulitlah baginya untuk dapat menolong Bi Cu. Apa lagi Bi Cu berada dalam keadaan pingsan terbius seperti itu, tidak mampu bergerak sendiri.

Ketiga orang tosu Pek-lian-kauw yang memenangkan hadiah murid wanita baru itu juga terkejut bukan main. Mereka segera mengenal pemuda yang menjadi tamu ketua mereka dan yang siang tadi sudah ditawan kemudian diberikan kepada sumoi mereka. Marahlah mereka dan serentak mereka maju menerjang Sin Liong, biar pun mereka dalam keadaan hampir telanjang seperti itu.

Melihat gerakan mereka, tahulah Sin Liong bahwa mereka itu ternyata adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-kauw, dan tentu merupakan murid-murid utama dari ketua Pek-lian-kauw. Maka dia pun cepat mengelak dan menangkis, kemudian dengan beberapa jurus San-in Kun-hoat, dengan mengisi kedua tangannya dengan Thian-te Sin-ciang, Sin Liong balas menyerang.

Tiga orang tosu itu cepat menangkis tetapi seorang demi seorang berteriak kaget sekali, dan tubuh mereka terlempar lalu menabrak dinding kamar karena mereka itu tidak tahan beradu lengan yang terisi Thian-te Sin-ciang itu. Sejenak mereka nanar dan pusing akibat terbanting keras pada dinding kamar dan kesempatan ini digunakan oleh Sin Liong untuk menyambar tubuh Bi Cu.

Tanpa mempedulikan keadaan tubuh dara itu yang hanya tertutup pakaian dalam tipis, dia lalu memondongnya dan melarikan diri meloncat keluar melalui lubang di atas genteng, kemudian dengan cepat dia pun meloncat ke tempat yang agak sunyi di belakang rumah karena di banyak tempat kini nampak obor-obor dan orang-orang berkelahi dengan hebat dan mati-matian! Dia tidak tahu apa yang telah terjadi, siapa yang sedang bertempur itu, dan dia pun tidak peduli. Yang paling penting adalah menyelamatkan Bi Cu dan selama dia masih berada di dalam perkampungan itu, keselamatan Bi Cu terancam bahaya.

Maka larilah dia, menyusup-nyusup di antara tempat-tempat yang gelap. Beberapa kali dia berpapasan dengan anggota Pek-lian-kauw atau anggota pasukan penyerbu sehingga terpaksa dia merobohkan mereka ini dengan tendangan-tendangan kakinya.

Tiba-tiba terdengar suara yang sangat nyaring melengking, seolah-olah datang dari atas langit. "Liong-te... di mana engkau...?!"

Sin Liong terkejut bukan main seolah-olah mendengar kilat menggelegar pada siang hari yang panas. Tentu saja dia mengenal suara itu! Suara Ceng Han Houw! Celaka, pikirnya, kiranya para penyerbu Pek-lian-kauw itu adalah pasukan pemerintah yang agaknya telah dipimpin sendiri oleh Ceng Han Houw. Pangeran ini malah jauh lebih lihai dan berbahaya dari pada semua orang Pek-lian-kauw.

Maka Sin Liong mempercepat larinya, berloncatan dan akhirnya dia berhasil keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw yang geger itu. Setelah memasuki sebuah hutan yang amat gelap, cukup jauh dari perkampungan itu, hatinya lega. Akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat melanjutkan larinya karena hutan itu gelap sekali.

Maka dia mencari tempat yang bersih lantas dia merebahkan tubuh Bi Cu ke atas tanah berumput tebal di bawah pohon-pohon besar. Dia berusaha menyadarkan Bi Cu, akan tetapi dara yang sudah terbius ini sama sekali tidak mungkin dapat siuman sebelum obat biusnya habis pengaruhnya. Dia seperti orang pingsan, atau orang yang tertidur nyenyak sekali.

Sin Liong yang maklum bahwa bahaya masih belum lewat dan tentu kaum Pek-lian-kauw, bahkan yang lebih berbahaya lagi, pasukan yang dipimpin Han Houw tentu akan mengejar dan mencarinya, tak berani membuat api unggun sehingga untuk melindungi tubuh Bi Cu yang setengah telanjang itu dari serangan nyamuk dan hawa dingin, dia lalu melepaskan bajunya dan menyelimuti Bi Cu dengan baju itu. Kemudian dia memegang kedua tangan Bi Cu, menyalurkan sinkang sehingga hawa hangat memasuki tubuh dara itu, melindungi tubuhnya dari hawa dingin yang menusuk tulang.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Liong sudah mendengar suara orang-orang memasuki hutan itu. Terpaksa dia memondong lagi tubuh Bi Cu yang masih juga belum siuman. Dia merasa marah sekali. Orang-orang Pek-lian-kauw itu sungguh keji, membius Bi Cu sampai semalam suntuk belum juga siuman, tentu dengan maksud yang amat kotor dan keji! Dengan bantuan sinar matahari pagi yang remang-remang, dia terus melangkah memasuki hutan sambil memondong tubuh Bi Cu.

Tiba-tiba saja dari balik pohon-pohon besar berloncatan tiga orang tosu, seorang di antara mereka yang berkumis tebal membentak, "Pemuda iblis, mau lari ke mana engkau?!"

Sin Liong kaget sekali dan dia segera mengenal bahwa tiga orang tosu ini adalah mereka yang tadi malam hendak memperkosa Bi Cu di dalam kamar itu. Akan tetapi karena dia menduga bahwa selain mereka tentu masih terdapat banyak orang Pek-lian-kauw yang agaknya sudah tersebar di dalam hutan, dan mengingat lagi bahwa mungkin akan muncul Ceng Han Houw sehingga akan menyukarkan dia melindungi Bi Cu, dia lalu membalikkan tubuh dan berlari tanpa berkata apa-apa.

Tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu mengejar dengan marah. Sesudah beberapa lamanya berlari, Sin Liong menoleh dan mengerling ke belakang. Ternyata pengejarnya tetap hanya tiga orang tosu itu. Giranglah hatinya dan dia pun cepat menurunkan tubuh Bi Cu ke atas rumput, kemudian dengan tenang dia menanti kedatangan mereka.

Tiga orang tosu itu adalah murid-murid pilihan dari Kim Hwa Cinjin. Kalau pada waktu Sin Liong masuk ke dalam kamar untuk menolong Bi Cu mereka itu tidak sempat melakukan perlawanan yang gigih adalah disebabkan mereka bertiga berada dalam keadaan hampir telanjang. Kini mereka sudah siap siaga dengan pakaian lengkap.

Melihat pemuda itu sudah menurunkan tubuh dara yang telah menjadi sumoi mereka dan menjadi kekasih mereka bertiga sebab oleh suhu mereka telah diberikan kepada mereka, tiga orang tosu ini segera menerjang ke depan. Semalam, setelah mengenakan pakaian, mereka lalu melakukan pengejaran, tanpa mempedulikan kegegeran yang terjadi di dalam perkampungan Pek-lian-kauw dan melihat pemuda itu lenyap di dalam hutan, mereka lalu mencari-cari sampai jauh ke dalam hutan. Karena keadaan sangat gelap, maka mereka menunggu dan pada pagi hari itu, benar saja mereka melihat pemuda yang dikejarnya berjalan memondong tubuh calon korban mereka....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 38



Setelah merasa yakin bahwa pengejarnya hanya tiga orang murid Pek-lian-kauw itu saja, timbullah kemarahan di hati Sin Liong. Tiga orang itu jahat sekali dan tadi malam hampir saja menodai kehormatan Bi Cu yang sedang pingsan, sebab itu, orang-orang seperti ini patut dihajar, bahkan patut dibunuh!

Melihat mereka bertiga menyerangnya dengan tangan kosong, dengan pukulan berbentuk tamparan yang dia tahu tentulah merupakan pukulan yang beracun, dia sama sekali tidak mau mengelak dan menerima pukulan itu dengan tubuhnya, hanya menggerakkan kepala agar mukanya jangan sampai terkena pukulan.

"Plak! Plak! Plak!"

Pukulan atau tamparan tiga orang tosu itu semuanya mengenai dada, pundak, dan leher. Akan tetapi, betapa kagetnya tiga orang tosu itu ketika tangan mereka seperti mengenai besi baja saja dan lebih kaget lagi hati mereka ketika tangan mereka itu melekat tanpa dapat ditarik kembali lantas sinkang mereka membanjir keluar melalui tangan mereka ke dalam tubuh pemuda itu.

Mereka meronta, akan tetapi makin kuat mereka meronta, maka makin hebat lagi tenaga rontaan itu membanjir keluar dari tangan mereka. Si kumis tebal terbelalak memandang wajah Sin Liong yang tersenyum dingin, dan dia lalu berseru tergagap-gagap,

"Thi... khi... i... beng...!"

Mereka pernah mendengar dari guru mereka mengenai ilmu yang mukjijat ini, akan tetapi belum pernah melihat sendiri ilmu yang mereka anggap hanya terdapat dalam dongeng itu. Akan tetapi kini, merasakan betapa tenaga sinkang mereka memberobot keluar tanpa dapat dicegah, mereka teringat akan ilmu itu dan mereka ketakutan setengah mati. Makin lemaslah mereka, muka mereka telah menjadi pucat karena kehabisan tenaga.

Tiba-tiba timbul perasaan kasihan dalam hati Sin Liong. Mengapa dia harus membunuh orang, pikirnya. Memang tiga orang ini amat jahat akan tetapi kejahatan mereka itu belum merupakan alasan yang kuat bagi dia untuk berubah menjadi Giam-lo-ong alias malaikat pencabut nyawa! Tangan kirinya bergerak enam kali dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu berteriak dan roboh terjengkang, kedua pundak mereka patah-patah tulangnya.

Untuk menghukum mereka, Sin Liong sengaja menghabiskan sinkang mereka dengan jalan mempergunakan ilmu Thi-khi I-beng kemudian menampar remuk tulang-tulang kedua pundak mereka. Dengan demikian, meski pun kesehatan ketiga orang itu akan dapat pulih lagi, namun mereka sulit diharapkan akan dapat menjadi ahli-ahli silat yang pandai. Boleh dikata mereka dibuat menjadi tapa daksa dan lenyap kekuatan mereka.

"Sin Liong..."

Pemuda itu cepat membalik dan giranglah dia melihat Bi Cu sudah bergerak, maka cepat dia menghampiri dan berlutut di dekatnya. "Bi Cu, kau sudah siuman...?" teriaknya. "Hayo cepat kita melarikan diri, banyak musuh jahat yang sedang mengejar kita!" Sin Liong lalu merangkul dan hendak memondongnya kembali.

"Ihhh...!" Bi Cu menjerit dan tangan kanannya menampar.

"Plakkk!"

Pipi kiri Sin Liong kena ditampar dengan keras karena memang pemuda itu selain sama sekali tidak menyangka-nyangka, juga tidak mau menangkis. Dia terbelalak memandang dengan heran dan menyangka bahwa obat bius semalam masih mempengaruhi otak dara ini sehingga melakukan tamparan dalam keadaan masih belum sadar benar!

"Manusia cabul kau! Mata keranjang kau! Ceriwis kau!"

Mendengar caci-maki Bi Cu dan melihat betapa Bi Cu dengan susah payah menggunakan dua telapak tangan untuk menutupi bagian-bagian depan tubuhnya kemudian cepat-cepat membalikkan tubuh membelakanginya, tidak sadar bahwa dengan berbuat demikian dara itu memperlihatkan dua buah bukit pinggul yang indah bentuknya, yang dapat kelihatan melalui pakaian dalam yang tipis itu, mengertilah Sin Liong dan mukanya berubah merah sekali.

"Bi Cu, jangan salah mengerti," katanya lirih sambil menunduk, tidak berani terlalu lama memandang dua bukit menonjol beserta garis punggung itu, "ketahuilah bahwa ketika aku melarikanmu dari Pek-lian-kauw, engkau sudah berada dalam keadaan seperti sekarang ini sementara aku tak mempunyai banyak waktu untuk mencari pakaian untukmu karena keadaan amat berbahaya dan semalam di dalam hutan ini... tak mungkin mencari pakaian untukmu dan sekarang..."

"Ihh, cerewet amat sih! Yang mereka pakai itu apa lagi kalau bukan pakaian!" bentak Bi Cu.

Sin Liong menoleh ke arah telunjuk yang menuding itu dan hampir dia menampar kepala sendiri. Mengapa dia sebodoh itu? Sin Liong tertawa lalu menghampiri seorang di antara tiga tosu tadi yang paling kecil tubuhnya, kemudian dengan paksa dia lalu menanggalkan pakaian luar tosu ini yang sudah tak mampu bergerak lagi dan hanya dapat menyeringai menahan nyeri ketika baju dan celana luarnya dilucuti karena kedua pundak yang hancur itu membuat dia tidak mampu menggerakkan tangan.

"Nah, pakailah ini, Bi Cu."

Bi Cu tidak banyak cakap lagi, segera menyambar pakaian itu kemudian lari ke belakang batang pohon besar untuk memakai jubah serta celana yang masih kebesaran untuknya itu. Diam-diam Sin Liong menahan ketawa. Tinggal merangkapkan jubah dan celana itu di luar pakaian dalamnya saja, kenapa harus bersembunyi di balik pohon segala?

Tak lama kemudian Sin Liong melihat Bi Cu muncul dari balik pepohonan dan kembali dia harus menahan ketawanya karena memang Bi Cu nampak lucu sekali dalam pakaian tosu yang kebesaran itu. Biar pun dia sudah menahan-nahan ketawanya, tetap saja mulutnya bergerak-gerak meruncing dan hal ini nampak oleh dara itu.

"Ehh, ehh, kenapa kau mecuca-mecucu seperti itu? Kau mentertawakan aku, ya?"

"Ti... tidak, hanya... kau lucu sekali dalam pakaian itu, Bi Cu."

"Buatmu lucu, buatku sama sekali tidak lucu! Ehh, Sin Liong, apa sih yang terjadi dengan diriku? Yang teringat olehku hanya bahwa aku ikut bersama Kim Hwa Cinjin dan diambil murid olehnya."

"Engkau telah terjebak ke dalam perangkap yang berbahaya, Bi Cu. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pemberontak, jahat dan cabul. Aku mendapatkan dirimu pingsan akibat obat bius, dan hampir saja engkau dinodai oleh tiga orang keji itu!" Sin Liong menuding ke arah tiga orang tosu yang masih rebah di atas tanah, salah seorang di antara mereka hanya memakai cawat saja karena pakaiannya telah dilucuti.

Muka Bi Cu menjadi merah sekali dan matanya terbelalak, membayangkan kemarahan. "Apa?! Bukankah mereka itu murid-murid Kim Hwa Cinjin...?"

"Benar, dan agaknya engkau diambil murid dengan maksud yang amat kotor dan keji."

"Keparat! Kalau begitu mereka ini patut dibunuh!" Bi Cu melangkah maju, akan tetapi Sin Liong cepat memegang tangannya.

"Sudahlah, Bi Cu. Mereka sudah terhukum dan mereka selanjutnya tak akan mampu lagi mengganggu wanita. Mari kita cepat pergi karena masih banyak musuh yang mengejar, bahkan ada pasukan pemerintah..."

Mendengar ini, wajah Bi Cu sudah berubah pucat dan dia cepat memegang tangan Sin Liong. "Pasukan? Wah, ke mana kita harus lari?"

"Mari kau ikut denganku!" Sin Liong menggandeng tangannya kemudian mengajaknya lari menyusup ke dalam hutan yang lebih gelap.

Mereka berlari terus, akan tetapi tiba-tiba dari depan terdengar suara hiruk-pikuk banyak orang sehingga terpaksa dia mengambil jurusan lain dan terus melarikan diri, makin lama semakin jauh ke dalam hutan lebat yang sama sekali tidak dikenalnya.

Pada senja hari itu, terpaksa mereka berhenti di bawah pohon yang lebat di tengah hutan karena semenjak tadi Bi Cu sudah mengomel dan mengeluh saja karena lapar dan lelah. Sehari itu mereka berlari-larian terus tanpa berkesempatan makan, bahkan tidak sempat bercakap-cakap karena lelah.

Sekarang tanpa berkata apa-apa lagi Bi Cu sudah menjatuhkan diri ke bawah pohon itu, bersandar pada batang pohon melepaskan lelah dengan mata terpejam. Kasihan sekali rasa hati Sin Liong melihat dara ini, maka dia pun lalu duduk di atas tanah di depannya.

Dara itu diam saja, hanya bersandar dengan wajah pucat dan mata terpejam, kelihatan amat lelah dan menderita. Kerutan alisnya membuat Sin Liong ragu-ragu untuk bertanya, karena kerutan itu membayangkan bahwa Bi Cu kembali sedang ngambek.

Agaknya Bi Cu merasakan pula keheningan ini. Dia membuka kedua matanya, bertemu pandang dengan Sin Liong, menarik napas panjang, bibirnya bergerak-gerak namun tidak mengeluarkan suara sampai akhirnya sepasang mata yang jeli itu terpejam kembali.

Sin Liong menelan ludah, memberanikan hatinya. Suasana itu sangat mencekam hatinya, karena biasanya, ketika berdua dengan Bi Cu amatlah gembira karena kelincahan serta kejenakaan dara itu, dan sekarang dara itu demikian pendiam dan dingin.

"Bi Cu... sudah lama aku mencarimu..."

Bi Cu merapatkan pelupuk matanya. Ada sedu sedan naik dari dadanya. Ingin sekali dia memaki, ingin dia menjerit, mencela mengapa baru sekarang Sin Liong muncul, padahal dia sudah mencarinya sejak mereka berpisah, betapa dia amat merindukan kehadiran Sin Liong, betapa dia amat membutuhkan Sin Liong untuk menemaninya, untuk membantu dirinya kalau menghadapi bahaya. Dan sekarang, baru sekarang pemuda itu muncul, dan dalam keadaan hatinya penasaran itu tiba-tiba pemuda itu menyatakan bahwa telah lama mencarinya. Akan tetapi dia menahan kegemasannya, dan dengan suara datar dingin dia bertanya tanpa membuka matanya,

"Mau apa kau mencariku?"

Sin Liong mengangkat muka memandang wajah yang menunduk dan mata yang terpejam itu, dia merasa heran bukan main. Bukankah selama dia mencari Bi Cu, di mana-mana dia menemukan keterangan bahwa dara itu pun sedang mencari-carinya? Mengapa dara itu kini kelihatan marah dan berduka?

"Bi Cu, tentu saja aku mencarimu. Sejak kita berpisah, aku tak pernah melupakanmu, Bi Cu. Aku sangat mengkhawatirkan keadaanmu, mengingat betapa engkau hidup sebatang kara di dunia ini, aku menjelajah sampai jauh dan akhirnya baru aku dapat keterangan tentang engkau beberapa hari yang lalu dan..."

Tiba-tiba Sin Liong menghentikan kata-katanya. Dia bengong memandang dara itu yang ternyata kini telah menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka di balik kedua tangan dan dari celah-celah jari tangannya menetes air matanya. Sekarang Bi Cu telah menangis terisak-isak dan sesenggukan seperti anak kecil!

"Ehh, kau kenapa Bi Cu...?"

Bi Cu mencoba mengangkat mukanya. Matanya masih terpejam dan basah oleh air mata yang bercucuran, lalu dengan susah payah dia berkata di antara isaknya,

"Mengapa kau... kau tidak membiarkan aku mati saja...? Kenapa engkau menolongku...? Hu-hu-huk, aku memang anak... celaka... kenapa kau pedulikan aku? Kau orang kejam...! Kau telah memaksaku pergi... kau kira aku takut bahaya dan takut mati? Kau menyuruh aku pergi... hu-huukk... aku lalu terlunta-lunta, mati-matian mencarimu... hu-huuuhh... dan sekarang kau masih... pura-pura mencariku...?"

Sin Liong merasa kasihan sekali dan dia mendekat, menyentuh pundak dara itu. "Bi Cu, ketahuilah bahwa dulu itu aku menyuruhmu pergi karena engkau terancam bahaya hebat. Kau masih belum tahu alangkah jahatnya pangeran itu. Aku melakukan semua itu hanya demi keselamatanmu, Bi Cu."

"Kenapa...? Kenapa engkau pedulikan keselamatanku...?"

"Entahlah. Mungkin karena engkau sebatang kara, seperti juga aku. Dan aku... senang sekali berada di dekatmu, melakukan perjalanan bersamamu, Bi Cu."

Bi Cu makin mengguguk dan kini dia merangkul, menangis di pundak Sin Liong. Pemuda itu menjadi terharu, tak dapat menahan kedua matanya menjadi basah dan dia mengusap rambut kepala dara itu. "Sudahlah, Bi Cu, jangan menangis. Bukankah kita sudah saling jumpa dengan selamat?"

"Sin Liong, jangan... jangan tinggalkan aku lagi..."

"Tidak! Aku bersumpah tidak akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu."

Isak tangis itu mereda dan mereka masih saling rangkul. Pada saat itu tidak ada sedikit pun perasaan cinta asmara di dalam batin mereka, yang ada hanyalah perasaan saling membutuhkan dan saling menyukai bagaikan kakak dan adik, atau bagaikan dua orang sahabat yang senasib sependeritaan saja.

"Kau akan mengantarku ke utara untuk mencari musuhku...?"

Sin Liong terkejut dan teringatlah dia akan ocehan yang keluar dari mulut Kui Hok Boan ketika orang itu menjadi miring otaknya. Mendengar ucapan yang keluar dari orang yang terserang tekanan batin sehingga hampir gila itu, mudah diduga bahwa pembunuh ayah kandung Bi Cu tentulah Kui Hok Boan! Akan tetapi bagaimana dia dapat berterus terang kepada Bi Cu tentang hal ini?

Kalau Bi Cu tahu tentang hal itu, tentu dara ini akan berusaha membalaskan kematian ayahnya, dan kalau itu terjadi, dia sendiri yang akan menjadi bingung. Mungkinkah dia membiarkan orang lain atau Bi Cu sekali pun membunuh Kui Hok Boan lantas dengan demikian akan menyusahkan hati kedua orang adik tirinya, Kui Lan dan Kui Lin yang disayangnya? Sin Liong menjadi bingung akan tetapi dengan suara lirih dia menjawab,

"Ya, tentu saja..."

Kembali hening dan Bi Cu masih bersandar pada pundak Sin Liong. Tangisnya terhenti dan tiba-tiba saja terdengar suara lirih, suara berkeruyuk yang hanya dapat didengar oleh mereka berdua saja.

Suara lirih ini seperti suara gaib yang sama sekali melenyapkan kedukaan dan keharuan hati mereka, yang dalam seketika memulihkan watak Bi Cu yang sebenarnya. Tiba-tiba saja dara yang tadi menangis sesenggukan sedemikian sedihnya, kini tertawa begitu geli dan gembira, bebas lepas dan dia telah melangkah mundur sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah wajah Sin Liong.

Pemuda ini pun tersenyum, memandang wajah Bi Cu penuh pesona. Siapa tak akan ikut tersenyum gembira melihat dara seperti ini? Tadi di waktu menangis, wajah dara itu tentu akan meluluhkan hati siapa pun juga, akan tetapi setelah sekarang tertawa, dengan mata yang masih agak kemerahan dan pipi agak basah itu bersinar dan berseri-seri, bibir yang merah itu terbuka sedikit dengan sopan, nampak sedikit ujung deretan giginya pada saat tertawa, membentuk lesung pipit pada sebelah kiri mulutnya saja, ahh, betapa manisnya, betapa cerahnya, seolah-olah matahari yang baru muncul dari balik awan hitam yang tadi menghalanginya!

"Ihhh, tak tahu malu!" Bi Cu berseru sambil tertawa geli.

"Apa yang tak tahu malu?" Sin Liong bertanya, hanyut dalam kegembiraan dara itu.

"Hi-hik-hik, masih tanya lagi. Perutmu yang tak tahu malu, siapa lagi! Aku mendengar ada ayam jantan berkeruyuk di dalamnya tadi!"

Sin Liong tertawa. "Dan aku pun mendengar ada ayam betinanya yang berkotek, entah dalam perut siapa! Tak mungkin dalam perutku ada ayam jantan dan ayam betinanya!"

Bi Cu tertawa dan menutup mulutnya. "Dalam perutku! Memang perut kita keduanya tak tahu malu!"

Melihat dara itu kini telah pulih kembali kegembiraannya, Sin Liong lalu duduk di atas akar pohon. "Bi Cu, selama ini engkau ke mana sajakah? Bagaimana engkau sampai dapat terjatuh ke tangan orang-orang Pek-lian-kauw?"

Wajah Bi Cu masih berseri gembira, akan tetapi dia menarik napas panjang. "Ahh, semua ini gara-gara engkau menyuruhku pergi ketika itu, kemudian banyak hal menimpa diriku." Dia lalu menceritakan semua pengalamannya, sampai akhirnya dia hampir saja ditangkap oleh pasukan pemerintah dan kemudian ditolong oleh Kim Hwa Cinjin dan diajak pergi ke Pek-lian-kauw untuk menjadi muridnya.

"Hemm, Ceng Han Houw memang berhati palsu! Dia telah berjanji tak akan mengganggu engkau, akan tetapi tetap saja pasukannya hendak menangkapmu. Akan tetapi mengapa engkau mau diambil murid oleh tosu itu, Bi Cu? Apakah kau tidak tahu bahwa dia adalah ketua Pek-lian-kauw yang jahat?"

"Aku tidak tahu, andai kata aku tahu pun agaknya hal itu tidak mempengaruhi, karena aku tidak mengenal Pek-lian-kauw. Dan dia telah menolongku, Sin Liong, dia yang membunuh belasan orang prajurit itu, dan dia begitu lihai sehingga aku kagum sekali. Entah kenapa, biar pun di lubuk hatiku aku tidak suka menjadi muridnya, akan tetapi ternyata aku telah menerimanya dan turut dengan dia ke pusat perkumpulan itu. Aku diperlakukan dengan amat baik dan manis oleh semua muridnya, dan dalam pesta itu, aku minum arak pesta ulang tahun kemudian tidak ingat apa-apa lagi sampai aku siuman di dalam hutan ini. Dan mereka itu... ahh, mereka harus dibunuh!" Dara itu meloncat bangun ketika teringat akan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu.

Akan tetapi Sin Liong sudah memegang lengannya. "Tenanglah, mereka sudah terhukum dan mungkin sekarang Pek-lian-kauw sudah hancur oleh pasukan pemerintah."

"Ehh, apa maksudmu?"

"Engkau diberi obat bius hingga tak ingat apa-apa, untung kedatanganku belum terlambat dan engkau sudah selamat. Inilah yang terpenting. Ketika aku membawamu keluar dari sarang Pek-lian-kauw, di malam itu pula Pek-lian-kauw diserbu oleh pasukan pemerintah. Mungkin hal itu ada hubungannya dengan belasan orang prajurit yang telah dibunuh oleh Kim Hwa Cinjin. Kalau yang memimpin penyerbuan pasukan itu Ceng Han Houw sendiri, dan aku yakin akan hal ini karena aku mendengar suaranya, maka tentu tidak akan ada orang Pek-lian-kauw yang dapat lolos."

"Sin Liong, bagaimana engkau dapat menolongku? Ke mana saja engkau pergi selama kita berpisah?"

"Sesudah kita saling berpisah pada tempo hari, aku terpaksa mengantar Pangeran Ceng Han Houw menemui seseorang di selatan. Setelah beres, aku lalu kembali ke utara dan mulai mencarimu."

"Sin Liong, engkau adalah adik angkat seorang pangeran. Kalau engkau adik angkatnya, mengapa pangeran itu memusuhimu?"

"Tidak memusuhi, Bi Cu. Hanya dia itu... ahhh, kelak engkau pun akan mengerti sendiri. Sekarang tak perlu kita membicarakan dia, engkau tahu... mungkin sekarang dia bersama pasukannya sedang mencari-cari di dalam hutan ini!"

"Aku tidak takut!" Tiba-tiba Bi Cu berseru. "Dan sekali ini, jangan engkau mengorbankan diri untukku lagi. Aku tidak sudi pergi dengan selamat tetapi harus meninggalkanmu. Aku tak tahan hidup sendiri lagi tanpa engkau yang menemaniku, selalu gelisah dan bingung. Sin Liong, berjanjilah lagi, bahwa engkau takkan meninggalkan aku, apa pun yang terjadi. Kita akan menghadapi bahaya bersama, dan kalau perlu, aku tidak takut mati, asal selalu bersamamu!"

Kembali keharuan menyelinap di dalam hati Sin Liong. Entah mengapa, dia pun memiliki perasaan persis seperti yang secara jujur diucapkan oleh dara itu. Kalau dia terpaksa mau berpisah dari Bi Cu seperti yang sudah terjadi, adalah karena dia ingin melihat dara itu terbebas dari bencana. Maka kini dia mengangguk dan berkata lirih,

"Percayalah, aku tidak akan akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu."

"Sin Liong, sudah berkali-kali engkau berhasil menolongku. Bagaimana mungkin dengan kepandaianmu yang tidak seberapa tinggi... ah, aku tahu sekarang! Engkau tentu memiliki kepandaian hebat yang kau sembunyikan. Betul, tidak? Jika tidak, mana mungkin engkau bisa mengalahkan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu? Juga tak mungkin engkau mampu melarikan aku yang dalam keadaan pingsan itu lolos dari Pek-lian-kauw! Sudah lama hal ini menjadi pikiranku. Engkau tentu memiliki kepandaian tinggi, Sin Liong."

"Ahh, engkau tahu bahwa aku tidak memiliki kepandaian apa-apa, Bi Cu."

"Ilmu silatmu tentu tinggi..."

"Tidak lebih tinggi dari pada ilmu silatmu."

"Benarkah?"

Dara itu menarik napas panjang, memandang dengan penuh keraguan kepada Sin Liong. Bagaimana pun juga, dia belum pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang kepandaian pemuda ini. Maka dia pun belum yakin benar. Mendadak telinganya kembali menangkap suara berkeruyuk dan kebetulan sekali kembali perut mereka berdua yang mengeluarkan bunyi itu secara berbareng! Bi Cu tertawa lagi.

"Ihh, lekas kau mencari makanan untuk mendiamkan perut-perut tak tahu malu ini, Sin Liong."

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia merasa sangsi untuk meninggalkan Bi Cu seorang diri di tempat itu, akan tetapi untuk menolak permintaan itu pun dia tidak tega karena maklum bahwa memang dara itu lapar sekali, seperti juga dia sendiri.

"Aku harus melihat dulu di mana terdapat makanan di sini." Dia lalu memanjat sebatang pohon besar.

Tentu saja kalau dia menghendaki, sekali loncat saja dia sudah akan dapat melayang naik ke puncak pohon, akan tetapi dia tidak mau menunjukkan kepandaiannya secara terang-terangan kepada Bi Cu, khawatir kalau-kalau sikap Bi Cu akan berubah bila mana melihat bahwa dia mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada dara itu. Maka dia lalu memanjat sampai ke puncak dan dari situ dia memandang ke sekeliling.

"Heiiii, di sebelah barat sana ada sebuah dusun!" teriaknya dari atas. Lalu dia bergegas turun, disambut oleh Bi Cu dengan wajah berseri.

"Kalau begitu, kau cepatlah ke sana mencari makanan, Sin Liong. Perutku sudah sangat lapar."

"Bi Cu, apakah tidak sebaiknya kalau kita berdua yang pergi ke sana? Dengan demikian akan lebih aman bagimu, bukan? Dusun itu tidak jauh, paling lama berjalan satu jam akan sampai..."

"Tidak, Sin Liong. Aku lelah sekali. Lagi pula tempat ini amat sunyi, siapa yang akan dapat menggangguku? Aku masih mampu menjaga diri. Jangan khawatir, lekaslah kau mencari makanan, biar kutunggu di sini."

Sin Liong mulai mengenal kekerasan hati Bi Cu, maka dia menghela napas panjang dan berkata, "Baiklah, harap engkau jangan pergi ke mana-mana, Bi Cu. Kau tunggulah aku di sini saja, aku pergi tak akan lama." Sin Liong akhirnya menyetujui untuk meninggalkan Bi Cu, karena dia pun berpikir bahwa kalau Bi Cu tidak ikut, dia akan dapat pergi ke dusun itu dan kembali dalam waktu yang jauh lebih cepat. Lagi pula hari telah menjelang gelap, apa bila masih ada pengejaran dan pencarian dari fihak pasukan pemerintah sekali pun, tentu mereka itu akan menundanya dan akan melanjutkan besok pagi.

Sin Liong sudah melangkah ke depan ketika Bi Cu memanggil, "Sin Liong..."

Pemuda itu berhenti membalikkan tubuh. "Ada apa, Bi Cu?"

"Jangan lupa... ehh, kau carikan pakaian untukku!"

"Pakaian? Akan tetapi engkau sudah..."

"Hushhh, siapa sudi memakai pakaian ini terus-terusan? Aku ingin pakaian wanita yang sopan dan pantas, berikut sepatunya. Maukah kau...?"

"Tentu saja! Akan kucarikan untukmu, jangan khawatir."

Bi Cu tersenyum sambil memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri penuh perasaan syukur dan terima kasih. Sin Liong menelan ludah. Bukan main manisnya Bi Cu kalau sudah begitu! Bukan hanya manis, akan tetapi juga ada sesuatu yang menyentuh perasaannya, yang membuat dia merasa terharu, membuat dia merasa ingin untuk merangkul dara itu, mendekapnya, menghiburnya, menyenangkan hatinya.

Akan tetapi Sin Liong melawan perasaan ini dengan membalikkan tubuhnya lagi kemudian mulai melangkah meninggalkan Bi Cu, menuju ke arah barat. Tanpa disadarinya sendiri, bibirnya meruncing lantas dia mendengar mulutnya sendiri bersiul-siul! Perasaan senang yang bukan karena sesuatu, melainkan perasaan nyaman di hati, yang membuat segala sesuatu nampak indah!

Memang demikianlah, senang atau susah bukan datang dari luar, melainkan tergantung dari keadaan batin kita sendiri, sungguh pun keadaan itu pun dipengaruhi oleh keadaan luar. Senang mau pun susah masih berada dalam daerah terbatas, daerah terkurung dari kesibukan si aku. Kalau si aku merasa diuntungkan, maka senanglah batin, kalau si aku merasa dirugikan, maka susahlah batin. Batin seperti ini berada dalam cengkeraman si aku yang bukan lain adalah pikiran itu sendiri.

Pikiran mencatat segala pengalaman, baik yang senang mau pun yang susah, lalu pikiran menciptakan si aku, yaitu gambaran tentang diri sendiri, sebagai penikmat kesenangan mau pun penderita kesusahan. Timbullah keinginan untuk mengulang atau melanjutkan kesenangan dan menjauhkan kesusahan. Keinginan ini yang lalu menciptakan lingkaran setan, yang menyeret kita di antara gelombang-gelombang kesenangan dan kesusahan sehingga keadaan kehidupan kita menjadi seperti sekarang ini.

Setiap manusia berlomba-lomba untuk mendapatkan kesenangan, dan demi kesenangan yang dikejar inilah maka terjadi perebutan persaingan, permusuhan, kebencian, cemburu, iri hati dan lain sebagainya. Pengejaran kesenangan memisah-misahkan antara manusia, memupuk dan memperkuat si aku.

Keadaan bahagia sama sekali tidak dapat disamakan dengan kesenangan, biar pun kita biasanya menganggap bahwa kesenangan adalah kebahagiaan! Kebahagiaan berada di atas senang dan susah, sama sekali tidak tersentuh oleh keduanya itu. Keadaan bahagia adalah lenyapnya si aku, lenyapnya keinginan mengejar kesenangan serta menghindari kesusahan yang hanya merupakan kesibukan pikiran belaka yang terpengaruh oleh masa lalu, kenangan lalu, pengalaman lalu, ingin mengulang yang menyenangkan dan menjauhi kesusahan. Keadaan bahagia tidak dapat diulang-ulang, merupakan sesuatu yang selalu baru. Keadaan bahagia baru mungkin ada kalau terdapat cinta kasih! Cinta kasih baru nampak sinarnya apa bila batin dalam keadaan hening dalam arti kata tidak dipengaruhi oleh kesibukan pikiran atau si aku yang selalu ingin senang!

Setelah merasa yakin bahwa Bi Cu tak bisa melihatnya lagi, Sin Liong lalu mengerahkan kepandaiannya, mempergunakan ginkang dan ilmu berlari cepat, berlompatan dan berlari bagai seekor kijang muda saja menyusup-nyusup antara pohon-pohon dan semak-semak menuju ke barat, ke arah dusun yang tadi dilihatnya dari atas puncak pohon.

Biar pun dusun itu kecil saja dan tidak ada restorannya, namun tidak sukar bagi Sin Liong untuk mendapatkan sekedar roti gandum dan sebotol arak, bahkan dia juga membeli satu stel pakaian yang masih baru milik seorang gadis petani yang tentu saja mau menjual pakaiannya dengan harga yang jauh lebih tinggi dari pada harga sebenarnya. Akan tetapi untuk sepatunya, Sin Liong terpaksa hanya dapat memperoleh sepasang sepatu bekas saja, bersama kaus kakinya yang masih baik. Dengan girang pemuda ini lalu berlari cepat kembali ke dalam hutan.

Cuaca sudah mulai gelap ketika dia sampai di dalam hutan itu. Hatinya berdebar penuh kegembiraan membayangkan betapa akan senangnya hati Bi Cu bila melihat dia kembali membawa makanan dan arak, bahkan membawa pula pakaian dan sepatu yang cukup baik untuk dara itu. Dibayangkannya betapa wajah manis itu akan menjadi semakin manis karena senyum yang cerah dan sepasang mata yang bersinar-sinar, dan terutama sekali betapa sepasang mata itu memandang kepadanya dengan penuh kegembiraan.

Tiba-tiba saja bayangan ini dihancurkan oleh berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu ada seorang laki-laki berdiri di hadapannya, bertolak pinggang sambil memandang kepadanya dengan senyum dikulum dan sinar mata penuh ejekan. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sin Liong ketika mengenal orang ini yang bukan lain adalah Pangeran Ceng Han Houw!

"Pangeran...!"

"Liong-te, apakah engkau sudah lupa menyebutku Houw-ko? Apakah engkau sudah lupa bahwa kita adalah saudara angkat? Bukan main, di mana pun ada keributan, di situ pasti ada engkau! Sama sekali tidak kusangka bahwa engkau tahu-tahu bisa berada di sarang Pek-lian-kauw, dan ketika aku melihat bayanganmu berkelebat, aku segera mengenalmu. Sayang aku terlalu sibuk dengan tosu-tosu pemberontak itu sehingga baru sekarang aku dapat menyusulmu."

"Houw-ko, di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi. Kini engkau mengejarku dengan maksud apakah?" tanyanya, harap-harap cemas karena dia tidak tahu apakah Bi Cu sudah tertawan lagi oleh pangeran yang berwatak palsu ini.

"Ha-ha-ha, adik angkatku yang selalu menjauhi wanita, yang tidak pernah mau menerima cinta kasih wanita, yang alim dan suci, ternyata selalu menjadi pelindung wanita! Ha-ha, aku yakin bahwa sekali engkau jatuh cinta, engkau akan menyerahkan segala-galanya kepada wanita. Beberapa kali engkau mengorbankan diri untuk wanita-wanita, untuk dara bernama Bi Cu itu, untuk Kui Lan dan Kui Lin, ha-ha-ha, padahal engkau selalu menolak kalau kusuruh wanita-wanita cantik melayanimu. Sungguh engkau mengherankan hatiku, Liong-te."

"Sudahlah, aku tidak ingin berbicara tentang wanita. Sebetulnya, ada keperluan apa lagi maka engkau menghadangku, Houw-ko? Masih belum puaskah hatimu telah menghinaku di hadapan banyak orang kang-ouw? Aku telah mengaku kalah, aku juga telah menerima penghinaanmu tanpa banyak melawan. Harap saja engkau tahu bahwa kini di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi dan aku tidak ingin berurusan lagi denganmu."

Pangeran itu menggeleng-geleng kepalanya sehingga hiasan di atas topinya yang terbuat dari pada bulu itu bergerak-gerak melambai-lambai. "Tidak, Liong-te, aku belum merasa puas. Engkau tentu mengerti, tempo hari aku menghinamu dengan sengaja hanya untuk memancing kemarahanmu supaya engkau suka melawanku. Akan tetapi engkau memang manusia aneh, luar biasa sekali, tahan hinaan, tahan ujian. Engkau hebat dan inilah yang membuat aku penasaran, Liong-te. Sekarang, mau tak mau, engkau harus melayani aku untuk bertanding mengadu ilmu. Ingin sekali aku melihat apakah engkau betul-betul kalah olehku, bukan hanya pengakuan kosong belaka!"

Sin Liong merasa sebal dan muak. Dia menggelengkan kepalanya dan diam-diam hatinya merasa lega. Agaknya pangeran ini belum sempat melihat Bi Cu. Inilah satu-satunya hal yang terpenting baginya. Dia lalu berkata, "Pangeran Ceng Han Houw, di depan banyak orang aku sudah menyatakan tidak akan melawanmu, sekarang pun, aku mengulang lagi pernyataanku bahwa aku tidak mau mengadu ilmu denganmu. Ilmu yang kupelajari bukan untuk diperlombakan, bukan untuk disombongkan. Kalau engkau mau memborong gelar Pendekar Lembah Naga, atau Pendekar Nomor Satu di Dunia, silakan saja, engkau boleh memilikinya semua. Aku tidak butuh akan segala gelar itu. Nah, sekarang minggirlah dan biarkan aku lewat."

"Liong-te! Begini keras kepalakah engkau? Dengar, sekali ini, tanpa seorang pun saksi, aku memaksa engkau untuk kita saling menguji kepandaian. Mau tak mau engkau harus melayaniku, kalau tidak engkau tetap akan kuserang sampai mati! Nah, kau sambutlah ini!"

Pangeran itu sudah menerjang dengan hebatnya! Ada angin dahsyat menyambar ketika dia menyerang, padahal pukulannya itu masih jauh, dalam jarak hampir satu meter namun hawa pukulannya telah menyambar sedemikian hebatnya.

Sin Liong terkejut sekali. Maklumlah dia bahwa setelah mempelajari ilmu dari ouwyang Bu Sek atau lebih tepat lagi, dari Bu Beng Hud-couw, pangeran ini telah menguasai ilmu yang luar biasa. Pukulannya ini saja ampuhnya menggila!

Maka dia pun cepat-cepat meloncat ke belakang, kemudian dengan hati-hati dia menaruh bungkusan roti kering, botol arak dan pakaian berikut sepatu di bawah pohon. Pada saat itu, Ceng Han Houw telah menerjangnya lagi, merasa penasaran karena pukulan pertama dihindarkan oleh Sin Liong dengan loncatan jauh ke belakang.

Dia mengira bahwa pemuda itu gentar menghadapinya. Gentar atau tidak, mau atau tidak sekali ini Sin Liong harus melayaninya bertanding, kalau tidak, dia akan membunuhnya! Dia maklum bahwa kalau belum dapat mengalahkan Sin Liong maka dia akan masih terus merasa penasaran. Dia telah melihat kehebatan ilmu dari pemuda yang dianggap sebagai adiknya ini, ketika Sin Liong mengamuk dan merobohkan orang-orang kang-ouw dengan amat mudahnya.

Sin Liong kini sudah siap. Dia tahu bahwa tidak ada jalan lain untuk menolak serangan pangeran itu yang hendak memaksanya mengadu ilmu. Tentu saja dia tidak mau mati konyol dan juga sekarang tidak ada alasan untuk mengalah lagi. Sudah berkali-kali dia mengalah demi menyelamatkan nyawa orang lain, akan tetapi sekarang mereka berdua bertemu di hutan itu tanpa saksi, tanpa ada hal-hal yang memaksanya untuk mengalah, maka tentu saja dia tidak ingin membiarkan dirinya dipukul sampai mati.

Begitu pukulan Han Houw datang, pukulan yang dahsyat bukan main sebab kedua tangan pemuda bangsawan itu maju dengan kecepatan kilat, yang kiri memukul dengan tangan miring ke arah lehernya, yang kanan menusuk dengan jari tangan ke arah ulu hatinya, dia pun cepat menggerakkan dua tangannya yang melakukan gerak dan diisi dengan tenaga Thian-te Sin-ciang.

"Plakk! Plakkk!"

Keduanya terpelanting!

"Bagus!" Han Houw gembira bukan main.

Memang dugaannya tidak kosong. Adik angkatnya ini kuat sekali sehingga tangkisannya tadi mengandung tenaga besar yang membuat dia terpelanting, sungguh pun tenaganya sendiri pun membuat Sin Liong terpelanting pula. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam tenaga sinkang, mereka memiliki kekuatan seimbang.

Namun Han Houw masih belum merasa puas. Tenaga yang dikeluarkannya tadi belum sepenuhnya, baru tiga per empat bagian saja. Maka kini dia menggereng dan kembali dia menubruk dengan serangan pukulan dahsyat, menggunakan seluruh tenaganya, dengan kedua tangan dia mendorong ke arah dada Sin Liong untuk membikin pecah dada lawan itu.

Sin Liong mengerti bahwa kakak angkatnya ini merasa penasaran dan hendak mengadu tenaga. Baiklah, pikirnya. Dia sudah mewarisi Thian-te Sin-ciang dari mendiang Kok Beng Lama, maka kini dia pun menahan napas dan mempergunakan seluruh tenaganya dari pusat di bawah perut, menyalurkannya kepada kedua lengannya dan dia pun mendorong untuk menyambut hantaman lawan.

"Desssss...!"

Hebat bukan main akibat adu tenaga keras lawan keras itu. Keduanya terjengkang dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, dan sesudah keduanya meloncat bangun, wajah Sin Liong pucat sekali akan tetapi pada ujung bibir kiri Ceng Han Houw nampak setetes darah segar!

"Bukan main! Tenagamu amat luar biasa!" kata Han Houw agak terengah.

"Houw-ko, perlukah pertandingan gila ini dilanjutkan?"

"Haiiitttttt...!"

Pukulan yang datang disertai loncatan kilat ini benar-benar dahsyat bukan main. Saat itu Sin Liong sedang bicara, maka dia kurang cepat sehingga biar pun dia dapat menangkis pukulan itu, tetap saja hawa pukulan yang amat berat menghimpit pundaknya, membuat dia terpelanting kemudian bergulingan sampai beberapa meter jauhnya.

Han Houw girang sekali. Akalnya berhasil, yaitu mempergunakan kesempatan selagi Sin Liong bicara tadi melakukan serangan kilat. Melihat tubuh lawan bergulingan itu dia sudah meloncat dan mengejar, mengirim pukulan lagi ke arah kepala Sin Liong ketika pemuda ini sedang bangun.

Sin Liong yang sudah waspada itu cepat-cepat miringkan kepala dan menerima pukulan itu dengan bahunya.

"Dukkk...!"

Tangan kanan Han Houw tepat mengenai bahu kiri Sin Liong, akan tetapi tubuh Sin Liong tidak bergoyang, sebaliknya pangeran itu yang terbelalak.

"Aihhhh...!" Dia terkejut bukan main karena begitu tangannya yang memukul itu mengenai bahu lawan, dia merasakan sesuatu yang lunak dan tiba-tiba tenaga sinkang-nya sudah membanjir keluar memasuki tubuh Sin Liong melalui kontak antara tangannya dan bahu adik angkat itu.

"Thi-khi I-beng...!" serunya.

Mendadak tangannya itu menjadi lemas dan tentu saja tangan yang tidak lagi dipenuhi hawa sinkang ini tidak dapat disedot oleh Thi-khi I-beng maka dengan mudah Han Houw sudah dapat menarik kembali tangannya tanpa mengerahkan tenaga. Ternyata dia sudah mempunyai persiapan menghadapi ilmu mukjijat itu dan memperoleh ajaran dari Hek-hiat Mo-li. Begitu tangannya terlepas, dia langsung mengirim tusukan dengan dua jari tangan kiri mengarah kedua mata Sin Liong.

"Syuuuttt...!"

Untunglah Sin Liong cepat melompat ke belakang. Kalau sampai kedua matanya terkena tusukan itu, tentu akan menjadi buta, tanpa dia dapat melindungi matanya.

Ceng Han Houw merasa semakin penasaran. Tadi dia telah mengalami kekagetan ketika Sin Liong menggunakan Thi-khi I-beng dan meski pun sinkang-nya tidak sampai tersedot banyak, namun dia menganggap hal itu sebagai kekalahan di fihaknya, kalah segebrakan. Maka untuk menebus kekalahan ini, dia telah meloncat ke depan, kembali menerjang dan memukul dengan tenaga pukulan Hok-liong Sin-ciang. Inilah salah satu di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw dan dia memperoleh petunjuk sendiri dari bayangan kakek dewa itu, maka hebatnya pukulan itu bukan main.

Melihat pukulan yang mengeluarkan suara sampai bercuitan itu, dengan gelombang hawa berputaran menyambar ke arahnya, Sin Liong maklum bahwa pangeran itu benar-benar menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan agaknya siap untuk membunuhnya, karena itu dia pun tidak mau mengalah lagi. Dia pun langsung mengeluarkan jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang, menyambut pukulan lawan itu sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya.

"Dessss...!"

Kembali mereka bertemu di udara karena keduanya meloncat, dan kedua tangan mereka saling bertemu didahului hawa pukulan yang dahsyat bukan main dan akibatnya, kembali keduanya terjengkang, terbanting keras dan bergulingan ke belakang.

Sepasang mata Han Houw menjadi merah. Tadinya dia mengangkat dan memandang diri sendiri terlalu tinggi. Tak pernah dibayangkannya bahwa dia sampai bisa dibuat terbanting seperti itu, bahkan telah dua kali padahal baru bertanding dalam beberapa gebrakan saja, sungguh pun lawannya juga sama-sama terbanting. Hal ini dianggapnya tak masuk akal, bahkan menghinanya!

Maka sambil mengeluarkan seruan nyaring melengking dia lalu meloncat dan menyerang lagi, mengirim pukulan bertubi-tubi mengandalkan kecepatannya bergerak. Memang hebat sekali pangeran ini. Gerakannya cepat bagaikan seekor burung walet yang menyambar-nyambar, kedua kaki serta tangannya bertubi-tubi mengirim serangan ke arah tubuh Sin Liong, mengarah bagian-bagian tubuh yang paling berbahaya karena lemah.

Namun Sin Liong menyambut dengan sama cepatnya dan mereka saling serang dengan amat hebatnya. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan andai kata ada orang yang menonton pertandingan itu, dia tentu akan menjadi bingung karena sukarlah mengikuti gerakan mereka berdua itu dengan pandang mata, yang nampak hanya dua bayangan yang menjadi satu, berkelebatan dengan kecepatan yang luar biasa.

Agaknya Han Houw memang sengaja hendak menguras dan mencoba semua ilmu yang dimiliki oleh adik angkatnya ini, maka dia tidak segera mempergunakan ilmu yang paling diandalkannya, yaitu Hok-te Sin-kun. Ilmu ini merupakan andalan yang terakhir, maka dia hendak menguji kepandaian Sin Liong dengan ilmu-ilmu yang lain lebih dulu.

Dan sebaliknya, walau pun di dalam hatinya dia mulai merasa penasaran kepada kakak angkat yang wataknya aneh ini, namun Sin Liong masih tetap teringat budi yang pernah diterimanya dari Han Houw, maka dia pun tidak mau mengeluarkan jurus terampuh dari Hok-mo Cap-sha-ciang, tetapi melayani pangeran itu dengan ilmu-ilmu silat yang dahulu pernah dipelajarinya dari kakeknya, yaitu San-in Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun, kadang-kadang menggantinya dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang. Tiga macam ilmu silat ini adalah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi, maka cukuplah untuk dapat membendung semua serangan Han Houw, bahkan dapat pula mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

Sesudah mereka bertanding selama seratus jurus dan belum juga ada yang kalah atau menang, kedua lengan mereka sudah menjadi matang biru karena sering beradu dengan kekuatan seimbang, dan daun-daun pohon banyak yang rontok karena sambaran hawa pukulan mereka, Han Houw mulai merasa penasaran sekali. Kini tahulah dia bahwa adik angkatnya ini benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh dan berat, dan kalau tidak dilenyapkan dari permukaan bumi, tentu akan menjadi penghalang terbesar baginya untuk dapat menjadi jagoan nomor satu di dunia. Sebab itu dia mulai mempertimbangkan untuk mempergunakan ilmu andalannya yang terakhir, yaitu Hok-te Sin-kun.

Akan tetapi sebelum dia mulai, mendadak muncul sesosok bayangan yang tidak nampak jelas dalam cuaca yang sudah mulai remang-remang itu. Han Houw hanya melihat betapa bayangan ini adalah seorang lelaki yang bertubuh kecil ramping, agaknya masih seorang pemuda remaja. Akan tetapi pemuda remaja itu mengangkat sebongkah batu besar dan kini pemuda itu melontarkan batu besar yang diangkatnya ke arahnya ketika dia meloncat ke belakang menjauhi Sin Liong untuk memulai ilmunya yang hebat, yaitu Hok-te Sin-kun!

Sin Liong juga melihat pemuda remaja itu yang dia kenal sebagai Bi Cu! Karena memakai pakaian pria, pakaian tosu Pek-lian-kauw, maka Han Houw tidak mengenalnya, apa lagi cuaca saat itu mulai gelap, dan menyangka bahwa Bi Cu adalah seorang pemuda remaja.

Sin Liong melihat serangan yang dilakukan oleh Bi Cu untuk membantunya. Batu besar itu lewat di dekatnya dan dia kemudian menggerakkan kedua tangan mendorongnya dan membantu luncuran batu itu dengan tenaga sinkang-nya hingga batu itu melesat dengan kekuatan yang amat hebat!

Sementara itu, saat melihat pemuda remaja itu melemparkan batu besar ke arahnya, Han Houw tersenyum. Tentu mudah baginya untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi dia sudah akan memulai dengan Ilmu Hok-te Sin-kun, maka dia ingin mendemonstrasikan kehebatan ilmu ini untuk membikin gentar hati Sin Liong.

Dia cepat berjungkir balik dan tindakannya ini membuat dia tidak dapat melihat betapa Sin Liong telah membantu lontaran batu oleh Bi Cu itu dengan dorongan tenaga sinkang-nya. Kini batu meluncur cepat ke arah Han Houw yang sudah berjungkir balik. Pangeran itu tiba-tiba menggerakkan kedua kakinya menyambut, dengan tendangan yang amat keras.

"Darrrrr...!" Batu besar itu hancur berantakan dan nampaklah debu mengepul tebal. Debu ini menghindari pandangan mata Sin Liong, sehingga dia tidak tahu betapa ketika kedua kaki Han Houw itu menyambut batu dan menendangnya hancur, tubuh pangeran itu pun terdorong sampai kedua kakinya hampir rebah menyentuh tanah!

PANGERAN itu terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa ‘pemuda remaja’ yang membantu Sin Liong itu memiliki tenaga lontaran yang demikian kuatnya! Maka gentarlah hatinya. Melawan Sin Liong saja masih belum tentu dia menang, apa lagi kalau Sin Liong dibantu oleh seorang kawan yang demikian tangguh pula. Kalau dia maju dikeroyok dua, agaknya sukar baginya untuk menang dan kalau kalah sungguh amat memalukan. Maka dia lalu melompat pergi, mengandalkan keremangan cuaca dan tebalnya debu. Dari jauh dia ‘mengirim’ suara melalui khikang,

"Sin Liong, lain kali kita lanjutkan pertandingan ini!"

Sin Liong tentu saja tidak menjawab dan juga tidak mengejar, hatinya merasa lega bukan main dan dia mengusap keringat dari leher serta dahinya, mempergunakan ujung lengan bajunya. Bi Cu menghampirinya dan memegang lengannya. Sejenak mereka hanya saling berpandangan di antara keremangan senja yang mulai terganti oleh malam.

"Aihhh... Sin Liong, tidak kusangka... engkau ternyata memiliki ilmu kepandaian silat yang hebat!" akhirnya Bi Cu berkata dan suaranya terdengar gemetar, mukanya agak pucat dan napasnya memburu.

Sin Liong tersenyum dan menyentuh pundaknya. "Kau kenapakah?"

"Aku tadi menonton dari balik pohon, wah, bukan main gelisah hatiku. Ingin membantu namun tak mungkin, kalian bertanding sedemikian cepatnya sehingga untuk melihat mana engkau dan mana lawanmu pun tidak mungkin bagiku. Aku... aku sudah siap dengan batu itu, kemudian kulihat dia meloncat mundur. Nah, baru aku berani menyambitkan batu itu sekuat tenagaku."

"Dan kau berhasil mengusirnya, Bi Cu. Sekarang ini, engkaulah yang menolongku!" Sin Liong berkata.

"Hemm, jangan kau berpura-pura lagi. Aku sudah menyaksikan betapa engkau melawan musuh dan engkau hebat, aku malah tak mampu mengikuti gerakanmu. Dan lontaranku tadi, entah bagaimana, batu itu sangat berat dan aku merasa khawatir tidak akan dapat mencapainya. Dan dia begitu hebat, Sin Liong... hiiih, ngeri aku melihat betapa dia yang berjungkir balik mampu menghancurkan batu sebesar itu. Aku tahu bahwa kepandaianku tidak ada seperseratusnya orang itu, jadi tak mungkin dia lari karena aku. Sin Liong, siapa sih dia?"

"Apa kau tidak mengenalnya? Dia itu Pangeran Ceng Han Houw..."

"Ah...! Begitu lihaikah dia? Cuaca remang-remang dan dia bergerak sedemikian cepatnya sehingga aku tidak dapat mengenalnya. Berbeda dengan engkau. Hanya melihat sebuah tanganmu atau sebuah kakimu yang kadang-kadang nampak di antara bayangan kalian yang menjadi satu saja sudah cukup bagiku untuk mengetahui bahwa di antara dua orang yang bertanding itu adalah engkau. Engkau hebat sekali, Sin Liong..."

"Sudahlah, buktinya kalau tidak ada engkau, belum tentu aku sanggup mengalahkan dan mengusir dia. Mari kita cepat pergi dari sini. Dengan adanya orang seperti dia di sini, kita tidak akan pernah aman kalau belum pergi sejauhnya dari dia." Sin Liong lalu mengambil bungkusan roti dan sebotol arak, juga pakaian untuk Bi Cu yang tadi ditaruhnya di bawah pohon. "Ini makanan kita, kita makan sambil berjalan saja, dan ini pakaian serta sepatu untukmu, Bi Cu."

"Kau... baik sekali, Sin Liong, terima kasih..."

Akan tetapi Sin Liong yang masih tetap mengkhawatirkan kalau-kalau Han Houw muncul dan mengganggunya lagi, langsung mengajak Bi Cu melanjutkan perjalanan, menyusup makin dalam di hutan itu dan karena tadi Han Houw lari ke timur, maka dia pun mengajak Bi Cu lari ke barat. Dia baru saja datang dari dusun di sebelah barat, maka dia sudah agak mengenal jalan dan biar pun cuaca menjadi semakin gelap, dapat juga mereka maju sampai akhirnya mereka tiba di tepi hutan dan mereka terpaksa berhenti karena malam yang gelap telah tiba.

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Mereka makan roti dan minum arak. Bi Cu menukar pakaiannya yang terlampau besar dengan pakaian yang diperoleh Sin Liong dari dalam dusun. Setelah berganti pakaian, dia mendekati Sin Liong yang membuat api unggun, duduk dan memandang pemuda itu.

"Sin Liong, bagaimana engkau bisa memilih pakaian yang begini pas ukurannya dengan tubuhku?" tanyanya sambil mengamati pakaian yang dipakainya itu di bawah cahaya api unggun, pakaian gadis petani yang sederhana, namun masih baru.

"Mudah saja, aku membelinya dari seorang gadis yang mempunyai bentuk tubuh seperti tubuhmu."

"Engkau memang pintar. Tapi sepatu ini. Bagaimana bisa pas sekali?"

"Aku... pernah memperhatikan kakimu, dan bayangan ukuran kakimu masih teringat jelas olehku sehingga mudah bagiku untuk mencarikan yang cocok."

"Eh, mengapa engkau memperhatikan kakiku?" tanya Bi Cu dengan polos, tanpa maksud apa-apa, hanya memang karena heran mendengar ada orang memperhatikan kakinya. "Kau maksudkan ketika kedua kakiku tidak bersepatu?"

"Kenapa, ya? Mungkin karena melihat kaki tidak bersepatu merupakan hal yang aneh dan kakimu... kakimu begitu mungil..."

"Ihh! Jangan ceriwis kau...!" Bi Cu kini menundukkan mukanya karena dia tidak sanggup menentang pandang mata Sin Liong dan ada perasaan aneh menyelinap di hatinya yang berdebar-debar.

"Kau bertanya, aku menjawab sejujurnya dan kau marah..."

"Sudahlah, aku mau tidur. Nanti tengah malam kau gugah aku, biar aku yang bergantian menjaga dan engkau tidur."

Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak pernah menggugahnya dan ketika pada keesokan harinya Bi Cu terbangun dari tidurnya, dia marah-marah.

"Mengapa engkau tidak mau menggugahku semalam? Kau membiarkan aku tidur pulas sampai pagi! Kau... kau sungguh kejam!"

"Aku...? Kejam...? Hee, apa maksudmu?" Sin Liong bertanya, merasa bingung karena tak mengerti apa yang menyebabkan Bi Cu mengatakannya kejam.

"Kau membiarkan aku tidur semalaman dan kau berjaga semalam suntuk, membikin aku sungguh merasa tidak enak hati, bukankah itu kejam?"

Sin Liong tercengang, lalu dia tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, aku kejam dan kau maafkan aku, Bi Cu."

Bi Cu menatap wajah pemuda itu, kemudian dia menghampirinya dan memegang kedua tangan Sin Liong. "Sin Liong, betapa jahatnya aku, ya? Betapa kurang penerimanya aku ini! Engkau sudah berjaga semalam suntuk, aku tidak berterima kasih malah memakimu kejam!"

Tentu saja Sin Liong menjadi semakin bingung, tetapi dia hanya senyum-senyum gugup saja.

"Ti... tidak, Bi Cu, kau tidak jahat."

"Kau heran mengapa aku marah dan menyebutmu kejam? Aku marah karena demi aku engkau menderita. Aku marah terhadap diriku sendiri yang tidur seperti mayat saja, tidak bisa bangun untuk menggantikanmu. Aku memang kejam karena memang engkau kejam, bukan kejam terhadap diriku melainkan kejam kepada dirimu sendiri. Ahh, kau maafkan aku, Sin Liong."

Senyum Sin Liong melebar, hatinya senang sekali. Bi Cu memang seorang dara istimewa! "Sudahlah, Bi Cu, tidak perlu dipersoalkan lagi urusan kecil ini. Sudah sepatutnya kalau aku yang berjaga, karena aku seorang laki-laki."

"Dan kepandaianmu hebat sekali. Aku mengerti sekarang, apa bila aku yang berjaga dan tiba-tiba muncul pangeran siluman itu, maka akan celakalah kita..."

"Hayo kita melanjutkan perjalanan, Bi Cu. Hatiku merasa tak enak sekali, karena aku tahu bahwa pangeran itu tentu tidak akan mau sudah begitu saja."

Mereka bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara suitan-suitan di segala penjuru, disusul ramainya suara derap kaki manusia dan kuda yang banyak sekali! Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia sudah memegang tangan Sin Liong.

Pemuda ini merasa betapa tangan dara itu gemetar, maka dia segera menggenggamnya dan berbisik, "Jangan takut, ada aku di sini."

"Tapi... mereka itu... tentu pasukan pemerintah, pasukan yang besar jumlahnya!" Suara Bi Cu juga gemetar.

"Bi Cu, bukankah kita ada berdua? Mati hidup kita hadapi bersama, bukan?"

Ucapan ini seperti meniupkan api ke dalam semangat Bi Cu, membuat matanya langsung bersinar-sinar dan matanya kemerahan. Dia pun menggenggam keras tangan pemuda itu lantas dia pun berkata, "Engkau benar! Mari kita hadapi mereka! Aku akan mati dengan senyum kalau bersamamu Sin Liong!"

Ucapan dalam saat yang berbahaya itu amat menusuk perasaan Sin Liong, membuat dia terdorong untuk merangkul kemudian mendekap kepala dara itu ke dadanya! Bi Cu juga mandah saja sehingga keduanya seolah-olah tenggelam ke dalam keadaan lain, ke dalam dunia lain dan tidak merasa sama sekali akan datangnya bahaya.

"Kejar, cari dan tangkap mereka!" Tiba-tiba terdengar suara yang sangat dikenal oleh Sin Liong. Suara itu adalah suara Ceng Han Houw, masih amat jauh namun sudah terdengar olehnya karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang yang amat kuat sehingga bergema di seluruh hutan. Mereka berdua sudah berada di sebelah barat hutan.

Suara teriakan itu menyadarkan mereka berdua. Sin Liong cepat menggandeng tangan Bi Cu sambil menunjuk ke depan, ke arah utara. "Lihat, ke sanalah kita harus pergi!"

Wajah Bi Cu berubah pucat. "Tapi... itu adalah daerah pegunungan yang amat sulit, amat terjal dan penuh tempat liar. Lihat, dari sini pun nampak jurang-jurang dalam!"

"Justru itulah merupakan tempat yang amat baik untuk melarikan diri dan bersembunyi. Kalau ke barat, apa lagi melalui dusun-dusun dan tanah datar, sangat sukar untuk dapat menyembunyikan diri, lagi pula mereka mengejar dengan berkuda."

Bi Cu tidak membantah lagi dan dia lalu ikut berlari digandeng oleh Sin Liong menuju ke bukit di sebelah utara. Benar saja, daerah ini amat sukar untuk dilalui, baru naik sedikit ke lerengnya, mereka sudah harus berloncatan dari batu ke batu dan mendaki tebing-tebing yang sangat sukar karena selain terjal, juga tebing-tebing ini hanya terdiri dari batu-batu gunung yang kasar dan licin. Tidak ada jalan umum, bahkan tak ada jalan setapak di situ karena daerah liar ini tidak pernah dilalui manusia.

Melihat Bi Cu kesukaran untuk melalui tebing yang amat terjal itu, Sin Liong berkata, "Bi Cu, sebaiknya engkau kugendong saja. Marilah!"

Akan tetapi Bi Cu memandang ragu. "Tempat ini amat berbahaya, kenapa engkau justru mengambil jalan ini, Sin Liong?"

"Sengaja kuambil jalan ini agar para prajurit yang mengejar tidak dapat melaluinya. Paling banyak hanya pangeran sendiri saja yang dapat melanjutkan pengejaran, dan jika hanya ada seorang lawan saja, aku masih dapat menanggulanginya. Marilah, Bi Cu, jangan kau khawatir, mari kugendong agar lebih cepat kita dapat pergi."

Bi Cu menggeleng kepala dan memandang ke bawah, bergidik ngeri karena dia melihat betapa di sebelah bawah nampak jurang yang amat dalam!

"Tempat ini begitu berbahaya, berjalan sendirian saja sudah sangat sukar, apa lagi harus menggendongku! Tidak, aku tidak mau membikin kau terancam bahaya jatuh...!"

Sin Liong tersenyum lebar. Kembali dara itu menolak demi keselamatannya, bukan demi keselamatan dara itu sendiri! Dan hal ini amat menyenangkan hatinya.

Tiba-tiba saja terdengar suara berdesing dan nampak cahaya hitam berkelebat. Sin Liong terkejut, akan tetapi dia telah berhasil memukul benda hitam yang menyambar itu dengan tangannya dan benda itu ternyata adalah sepotong batu sebesar kepalan tangan yang meluncur dari bawah.

"Sin Liong, engkau hendak lari ke mana?!" Terdengar bentakan.

Pada saat Sin Liong menoleh, jauh di bawah sana dia melihat bayangan beberapa orang, sedangkan yang berteriak itu bukan lain adalah Ceng Han Houw! Ketika Sin Liong dapat mengenal empat orang lain yang datang bersama Han Houw, dia makin terkejut. Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio, Hai-liong-ong Phang Tek, Kim-liong-ong Phang Sun, beserta seorang yang berpakaian panglima! Ternyata ada lima orang pandai yang mengejarnya dan lemparan batu dari tempat sedemikian jauhnya namun masih dapat menyambarnya dengan sangat tepat dan cepat saja sudah membuktikan bahwa lima orang itu sungguh merupakan lawan yang amat berat.

"Celaka, mereka telah menemukan jejak kita!" Sin Liong berkata dan tanpa banyak cakap dia menyambar pinggang Bi Cu, diangkat serta dipanggulnya tubuh dara itu lalu dia pun berloncatan naik dengan cepatnya, seperti seekor monyet memanjat saja.

"Maaf, Bi Cu, tidak ada lain jalan!" katanya.

Bi Cu terbelalak, kemudian dia memejamkan mata saking ngerinya dibawa berloncatan secepat itu. Diam-diam dia merasa ngeri dan takut, akan tetapi juga kagum bukan main menyaksikan betapa cekatan dan hebat ilmu ginkang dari pemuda yang tadinya dia kira adalah Sin Liong yang dahulu, yang ilmu silatnya jauh di bawah tingkatannya karena dia sendiri sudah menjadi murid mendiang Hwa-i Sin-kai! Apa bila dia ingat betapa dia selalu hendak melindungi Sin Liong selama ini!

Kedua pipinya berubah merah dan dia pun lalu berbisik. "Sin Liong, biarkan aku berada di belakangmu saja, sehingga aku dapat merangkul kedua pundakmu dan kau tidak perlu memondongku dengan sebelah lengan."

Sin Liong merasa girang. Memang sebaiknya begitu sehingga dengan Bi Cu di belakang, dia dapat berlari lebih cepat, dan dapat mengandalkan kedua tangannya untuk membela diri kalau perlu. Maka dia berhenti, menurunkan Bi Cu kemudian dia menggendong Bi Cu di punggungnya.

Dara itu merangkul lehernya dari belakang sambil mempergunakan kedua kakinya untuk merangkul pinggangnya. Berdebar juga jantung Sin Liong merasakan betapa tubuh dara itu dengan hangat melekat di tubuh belakangnya, akan tetapi cepat dusirnya bayangan ini dan dia berlari terus. Akan tetapi lima orang pengejarnya mengerahkan ginkang mereka dengan secepatnya.

Tentu saja Sin Liong sama sekali belum mengenal daerah ini, dan dia terus memanjat puncak bukit itu dengan harapan akan dapat melarikan diri dari atas puncak itu ke daerah lain dan terbebas dari para pengejarnya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika akhirnya dia tiba di puncak bukit itu, puncak itu merupakan batu datar yang luasnya hanya beberapa tombak saja!

Puncak itu dikelilingi oleh jurang-jurang yang dalamnya tak dapat diukur lagi karena dari situ memandang ke bawah tidak kelihatan dasarnya, hanya nampak tonjolan batu-batu di sepanjang tebing itu seolah-olah sekeliling puncak itu yang ada hanya mulut maut yang terbuka lebar!

Jalan naik satu-satunya hanya melewati jalan yang digunakannya tadi, dengan memanjat melalui dinding batu-batu bertumpuk-tumpuk. Dari puncak itu tak mungkin bisa melarikan diri ke lain tempat, kecuali kembali lagi melalui jalan tadi! Padahal, ketika dia menengok ke bawah, dia melihat Han Houw dan empat orang temannya sudah mulai medaki puncak itu!

"Wah, tidak ada jalan lari lagi!" katanya kepada Bi Cu yang menjadi pucat dan merasa khawatir sekali. "Satu-satunya jalan hanyalah melawan mereka. Bi Cu, jangan khawatir, aku akan melawan mereka mati-matian. Belum tentu aku akan kalah oleh mereka. Kurasa di antara mereka, yang terlihai adalah Pangeran Ceng Han Houw. Kau jangan ikut-ikut, kau tunggulah saja di sudut sana, berlindung di balik batu itu."

"Tapi... tapi... aku harus membantumu!"

"Bi Cu, terus terang saja, tingkat kepandaianmu masih jauh sekali selisihnya dengan ilmu kepandaian mereka. Sekali maju, berarti engkau menyerahkan nyawa untuk mati sia-sia. Apa artinya lagi aku melawan bila sampai engkau menyerahkan nyawa dan mati konyol? Tidak, Bi Cu. Kau sembunyi di balik batu itu dan aku akan melawan mereka mati-matian."

"Kalau kau kalah...?"

Sin Liong menggerakkan pundak. "Yah, yang ada hanya menang atau kalah. Kalau aku kalah dan tewas..."

"Aku akan mati bersamamu, Sin Liong!" seru Bi Cu.

"Aku tak akan kalah, akan tetapi kau penuhilah permintaanku, jangan kau keluar dari balik batu itu. Maukah kau berjanji?" Sin Liong memegang kedua pundak dara itu.

Karena dia maklum bahwa menghadapi lima orang itu benar-benar merupakan penentuan mati hidupnya dan dia meragu untuk dapat menangkan mereka berlima, saat memegang kedua pundak dara itu dia merasa bahwa seolah-olah dia tengah berpamit untuk berpisah, perpisahan terakhir dan selamanya!

Hal ini menimbulkan keharuan hatinya, maka dia lalu menunduk dan mencium dahi yang halus dan basah karena peluh itu. Bi Cu memejamkan matanya, merangkul dan terisak, kemudian dia melepaskan diri dan berlari ke sudut tanah atau batu datar itu, bersembunyi di balik sebuah batu besar yang berada di sudut.

Legalah hati Sin Liong. Kalau dia menang itulah yang dlharapkannya. Akan tetapi andai kata dia kalah dan tewas, dia masih mempunyai harapan mudah-mudahan mereka tidak melihat Bi Cu dan dara itu akan ditinggalkan dan akan dapat lolos dari tempat itu dengan selamat. Dia lalu menanti dan berdiri tegak, sikapnya tenang sekali.

Tidak terlalu lama dia menanti. Ceng Han Houw muncul dengan lompatan terakhir ke atas puncak batu datar itu, muka dan lehernya penuh keringat sebab pengejaran tadi dilakukan dengan sekuat tenaga dan memang pendakian puncak itu amat melelahkan. Akan tetapi wajahnya berseri dan sepasang matanya bersinar-sinar pada saat dia melihat Sin Liong berada di situ. Tadinya dia sudah khawatir pemuda itu dapat meloloskan diri.

Dekat di belakangnya muncul pula Kim Hong Liu-nio, wanita yang masih tetap nampak muda den cantik sekali itu. Kayu papan berbentuk salib masih ada juga di punggungnya. Sesudah kematian Lee Siang, pria pertama yang dicintanya, dia memakai lagi papan itu untuk membasmi keluarga Cia, Yap dan Tio, terutama keluarga Cin-ling-pai, bukan hanya untuk membalas musuh-musuh gurunya sekarang, namun juga untuk membalas kematian kekasihnya itu.

Kemudian muncul pula tiga orang pembantu Han Houw itu, yaitu Lam-hai Sam-lo yang kini hanya tinggal dua orang lagi, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek den Kim-liong-ong Phang Sun, karena orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, yaitu Hek-liong-ong Cu Bi Kun, dulu telah dibunuh oleh Han Houw sendiri ketika pangeran ini hendak ‘melindungi’ Sin Liong.

Mereka berlima berdiri berhadapan dengan Sin Liong, bagaikan lima ekor harimau yang menghadapi seekor kelinci yang sudah tidak dapat melarikan diri lagi. Han Houw tertawa.

"Ha-ha-ha-ha! Liong-te, tidak kau sangka, ya? Engkau terjebak di tempat ini, sama sekali tidak ada jalan keluar!" Pangeran itu memandang ke sekelilingnya, kemudian kepada Sin Liong lagi dengan wajah berseri membayangkan kemenangan.

"Pangeran, engkau dahulu yang minta kepadaku untuk menjadi saudara angkat, bahkan hingga sekarang pun engkau masih menyebutku adik Liong. Akan tetapi sekarang engkau mengejar-ngejarku, selalu menggangguku, bahkan menghendaki nyawaku. Apa artinya semua ini?" Pertanyaan ini diajukan oleh Sin Liong karena memang dia penasaran, bukan dengan maksud untuk minta dikasihani.

Mendengar pertanyaan ini, pangeran itu tertawa lagi. Agaknya dia tidak ingin cepat-cepat menyerang Sin Liong, tidak ingin cepat-cepat menghabisi korbannya itu, bagaikan seekor kucing ingin lebih dulu mempermainkan sang tikus sebelum diterkam, untuk memuaskan hatinya.

Dia sudah begitu pasti bahwa sekali ini pemuda yang merupakan lawan amat tangguhnya itu tidak akan dapat lolos lagi. Dia sendiri, walau pun belum tentu kalah oleh Sin Liong, namun mungkin mengalami kesukaran merobohkan adik angkatnya itu, apa lagi kalau Sin Liong dibantu oleh orang pandai. Akan tetapi kini di situ terdapat suci-nya, dua orang dari Lam-hai Sam-lo yang pandai, dan seorang panglimanya yang cukup tangguh.

Sin Liong tak dapat lari ke mana-mana lagi, karena puncak itu ternyata merupakan jalan buntu! Dan pembantu Sin Liong yang pandai semalam itu agaknya kini sudah tidak ada lagi.

"Sin Liong, dua pertanyaanmu itu sudah demikian jelas, perlukah kujelaskan lagi? Akan tetapi biarlah, supaya jangan sampai engkau mati penasaran sehingga arwahmu menjadi setan, dengarkan baik-baik. Aku mengangkatmu menjadi adik adalah karena aku tertarik melihat keberanianmu, tertarik terutama sekali melihat ilmu silatmu hingga aku juga ingin sekali mempelajarinya. Di dalam hal ini aku berhasil, bahkan aku mewarisi ilmu-ilmu dari suhu yang lebih ampuh dibandingkan ilmu-ilmu yang kau kuasai. Kemudian, kenapa aku mengejar-ngejarmu dan ingin membunuhmu? Jelas pula! Engkau adalah putera dari Cia Bun Houw, cucu dari ketua Cin-ling-pai. Ini saja sudah cukup bagiku untuk menangkap atau membunuhmu karena engkau adalah keturunan pemberontak yang dikejar-kejar oleh pemerintah. Kemudian, engkau menjadi penghalang bagiku untuk mencapai gelar jagoan nomor satu di dunia dan gelar Pendekar Lembah Naga. Oleh karena itulah maka engkau harus mati, Sin Liong. Dan dalam persoalan ke dua ini pun aku berhasil, karena sekarang ini engkau sudah tersudut dan tidak akan mampu lari lagi! Ha-ha-ha!"

"Manusia she Cia, telah kupersiapkan hio untuk menyembahyangi arwahmu!" terdengar Kim Hong Liu-nio berkata halus, akan tetapi di dalam suaranya itu terkandung kekejaman yang amat mengerikan dan mendirikan bulu roma.

"Bocah setan, engkau harus membayar nyawa saudara kami Hek-liong-ong!" terdengar Phang Tek orang pertama dari Lam-hai Sam-lo berkata, sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun yang tetap bertelanjang tubuh bagian atas itu menyeringai saja.

Mendengar ini, Sin Liong mengerutkan alisnya lalu memandang kepada Han Houw, akan tetapi pangeran itu hanya tersenyum-senyum saja. Tahulah dia bahwa pangeran itu telah bertindak curang, mengabarkan kepada dua orang dari Lam-hai Sam-lo itu bahwa dialah yang membunuh Hek-liong-ong, padahal jelas bahwa pembunuhnya adalah pangeran itu sendiri.

Akan tetapi, dia tahu bahwa membantah pun tidak akan ada gunanya. Dua orang kakek itu tentu lebih percaya kepada sang pangeran dari pada kepadanya, maka dia pun diam saja dan hanya sepasang matanya makin mencorong penuh kegeraman.

"Cia Sin Liong, aku harus menangkapmu sebagai pemberontak yang buron!" panglima yang bertubuh tinggi besar itu membentak pula.

Pada saat itu pula terdengar sedikit suara di balik batu besar dan semua mata ditujukan ke sana. Ternyata Bi Cu yang tadinya bersembunyi tanpa bergerak, mendengar semua ucapan itu menjadi sedemikian kagetnya sehingga tak tertahankan lagi dia bergerak untuk mengintai.

Hati siapa yang tidak akan menjadi terkejut mendengar bahwa Sin Liong, pemuda yang di waktu kecilnya terlunta-lunta itu adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai yang namanya sudah menggetarkan langit dan bumi? Mendengar kenyataan yang amat mengejutkan sekaligus mengherankan ini membuat dia merasa bangga akan tetapi juga sangat khawatir akan keselamatan Sin Liong, maka dia bergerak dan hendak mengintai. Tak disangkanya, lima orang yang datang mengancam Sin Liong kesemuanya adalah orang-orang yang sudah mempunyai ilmu sedemikian tingginya sehingga sedikit gerakannya itu saja sudah dapat ditangkap oleh pendengaran mereka!

"Chan-ciangkun, kau tangkap orang di belakang batu itu!" Han Houw berseru keras.

"Baik, pangeran!"

Panglima she Chan itu bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan sepasang matanya lebar. Dalam pakaian perang itu dia nampak gagah perkasa seperti tokoh cerita Sam-kok yang bernama Thio Hwi. Agaknya dia gembira menerima perintah ini, seolah-olah memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian dan membuat jasa.

Sementara itu, ketika mendengar perintah ini, tahulah Bi Cu bahwa dia sudah ketahuan dan percuma saja bersembunyi terus. Dia tidak takut karena memang tadinya dia tidak ingin bersembunyi, melainkan hendak menghadapi bencana di samping Sin Liong! Apa lagi sekarang dia telah mengetahui bahwa Sin Liong adalah keturunan Cin-ling-pai, maka hatinya menjadi semakin besar dan tidak takut mati!

Muncullah dara itu dari balik batu besar dan melihat dara ini, Chan-ciangkun terbelalak dan merasa heran, bingung, juga kecewa. Mana mungkin dia, seorang panglima besar, seorang laki-laki gagah perkasa, harus menghadapi seorang dara remaja seperti itu?

Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw juga terkejut, kemudian tertawa bergelak sesudah mengenal gadis itu. "Ha-ha-ha, Cia Sin Liong yang terkenal sebagai pria alim itu ternyata secara diam-diam di mana-mana disertai wanita cantik! Tangkap dia, Chan-ciangkun!"

Karena perintah itu diulangi, terpaksa Chan-ciangkun cepat menubruk ke depan hendak menangkap Bi Cu. Karena gerakannya memang cepat sekali, maka sekali sambar saja dia sudah berhasil menangkap pergelangan tangan kiri Bi Cu.

"Kerbau bau, lepaskan aku!" bentak Bi Cu dan tangannya bergerak menampar.

"Plakk!" Pipi yang lebar dari panglima itu sudah kena ditampar oleh tangan kanan Bi Cu.

Tentu saja Chan-ciangkun menjadi marah bukan kepalang. Dia dimaki kerbau busuk dan bahkan pipinya ditampar oleh bocah ini!

"Perempuan liar kau!" Tangannya bergerak dan muka Bi Cu sudah ditamparnya sehingga Bi Cu terpelanting dan untung tubuhnya menabrak batu besar, kalau tidak tentu dia akan terguling ke dalam jurang yang berada di dekat batu besar itu!

"Keparat!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Sin Liong sudah tiba di depan si panglima yang sudah hendak mengejar kembali, entah untuk memukul lagi atau menangkap.

Melihat pemuda itu sudah berada di depannya, Chan-ciangkun yang marah dan merasa malu itu menimpakan kemarahannya kepada Sin Liong dan memang dia ingin membuat jasa, maka dia pun langsung menghantamkan kedua tangan secara bertubi-tubi ke arah kepala dan perut Sin Liong. Serangannya ini cepat dan amat kuatnya karena memang dia seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang telah melatih kedua lengannya hingga menjadi matang biru dan luar biasa kerasnya.

Akan tetapi, Sin Liong yang sudah marah sekali melihat betapa Bi Cu ditampar oleh pria ini, sudah menggerakkan kedua lengan menyambar sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang.

"Krekk! Krekk!"

Panglima Chan mengeluarkan rintihan yang bercampur teriakan kaget. Dua pergelangan lengannya patah ketika bertemu dengan lengan pemuda itu dan selagi dia terbelalak itu Sin Liong sudah menggerakkan tangan menampar dengan punggung tangan kiri.

"Desss…!"

Tubuh perwira tinggi itu terpelanting lantas terbanting keras. Dia tidak dapat bangun lagi karena sudah pingsan setelah terkena tamparan keras yang membuat tulang rahangnya retak-retak itu!

Akan tetapi, pada saat itu, Han Houw dan tiga orang temannya sudah berlompatan dekat dan pada waktu Sin Liong merobohkan Chan-ciangkun, atas isyarat Han Houw, mereka berempat secara berbareng telah melakukan serangan yang amat dahsyatnya kepada Sin Liong!

Han Houw yang sudah maklum akan kelihaian adik angkat itu, sudah berjungkir balik dan menggunakan ilmu Hok-te Sin-kun, kepalanya menjadi kaki dan kedua kakinya mengirim tendangan-tendangan aneh dibantu oleh kedua tangan yang melakukan pukulan-pukulan jarak jauh dari bawah. Sementara itu, Kim Hong Liu-nio sudah menyerang pula dengan sabuk merahnya, melakukan totokan ke arah sembilan jalan darah terpenting dari tubuh lawan bagian depan secara bertubi-tubi.

Hai-liong-ong Phang Tek yang bermuka hitam sudah menerjang dengan pedangnya yang ganas, dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw Kiam-sut, ada pun si kecil pendek Kim-liong-ong Phang Sun telah mengandalkan ginkang-nya, meloncat tinggi lantas menyerang dari atas mempergunakan pukulan dengan tangan kirinya yang bergelang emas tebal! Dalam satu gebrakan ini Sin Liong menghadapi empat lawan yang menyerangnya sekaligus, masing-masing menggunakan serangan yang amat berbahaya dan dahsyat!

Tentu saja Sin Liong terkejut sekali. Dia sudah mengisi kedua lengannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat kedua lengan itu kebal terhadap senjata tajam. Sinar merah sabuk Kim Hong Liu-nio ditamparnya dengan jari tangan sehingga ujung sabuk itu membalik, lantas pedang Hai-liong-ong Phang Tek dan pukulan Kim-liong-ong Phang Sun ditangkisnya pula dengan kedua tangannya sehingga membuat pedang itu menyeleweng dan Phang Sun yang tertangkis pukulannya itu mencelat ke belakang.

Akan tetapi, pada saat itu kedua kaki Han Houw sudah melakukan tendangan-tendangan aneh dalam keadaan jungkir balik! Sin Liong cepat menggunakan kedua tangannya untuk menangkis dan mengelak, dan dia merasa betapa dari kedua kaki itu menyambar hawa yang aneh dan kuat bukan main. Tahulah dia bahwa ilmu ini aneh sekali.

Selagi dia hendak menggunakan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang, tiga orang yang lain telah menerjangnya lagi. Maka sibuklah Sin Liong mengelak dan menangkis. Pada saat itu Han Houw mengeluarkan suara nyaring melengking lantas tubuhnya yang berjungkir balik itu kembali menerjang maju. Kakinya bergerak aneh ke arah Sin Liong yang sedang sibuk menghadapi serbuan tiga orang lihai itu.

Sekali ini Sin Liong menjadi sibuk juga, jalan satu-satunya hanya meloncat ke belakang, akan tetapi di belakangnya, hanya sejauh satu tombak, adalah jurang yang amat dalam. Maka terpaksa sekali dia menangkis lagi, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, lalu dia membentak dengan suara keras, kedua tangannya didorongkan ke depan, sekaligus menangkis serangan empat orang itu. Hawa yang sangat dahsyat menyambar dari kedua telapak tangannya, menangkis semua serangan itu.

Terjadilah pertemuan tenaga yang amat dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Han Houw yang berjungkir balik itu terlempar seperti layang-layang putus talinya, juga Kim Hong Liu-nio terhuyung ke belakang, dan kedua orang Lam-hai Sam-lo itu terjengkang dan bergulingan, mereka seperti dilanda angin taufan yang amat kuat. Akan tetapi, menghadapi gempuran tenaga empat orang yang disatukan itu, Sin Liong sendiri terlempar ke belakang dan tak dapat dihindarkan lagi tubuhnya melayang ke dalam jurang!

"Sin Liong, aku ikut...!" Bi Cu menjerit, meloncat ke tepi jurang lalu tanpa ragu-ragu lagi dia meloncat turun! Karena dia meloncat dengan mempergunakan tenaga, maka tenaga loncatan itu menambah cepatnya tenaga luncuran tubuhnya sehingga dia dapat menyusul tubuh Sin Liong.

"Bi Cu...!" Sin Liong yang jatuh dalam keadaan telentang itu berteriak kaget melihat tubuh Bi Cu juga jatuh menyusulnya.

Empat orang itu merangkak bangun dan berlari ke tepi jurang. Melihat tubuh kedua orang itu meluncur turun dengan amat cepatnya, kematian tak dapat disangsikan lagi pasti akan menyambut mereka berdua di bawah sana. Pangeran Ceng Han Houw tertawa bergelak sambil memandang langit.

"Ha-ha-ha! Selamat jalan, Cia Sin Liong! Ha-ha-ha, sekarang akulah Pendekar Lembah Naga! Inilah Pendekar Lembah Naga!" Han Houw menepuk-nepuk dadanya sendiri sambil tertawa-tawa.

Baru sekarang terasa benar bahwa betapa sesungguhnya dia amat membenci Sin Liong, semenjak permulaan. Benci yang timbul karena iri hati. Meski pun dia seorang pangeran, namun dia iri melihat betapa pemuda itu demikian gagah berani, demikian jujur, demikian setia, dan keturunan dari para pendekar besar dari Cin-ling-pai pula. Dia merasa iri, apa lagi setelah dia tahu bahwa Sin Liong mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi!

Kini satu-satunya saingan baginya telah lenyap! Dia selalu merasa rendah diri kalau dekat dengan Sin Liong! Pemuda itu begitu alim, tidak dapat digoda nafsu birahi, begitu tenang dan dapat menguasai perasaan dan keadaan. Kini telah tiada, telah hancur lebur di dasar jurang yang tak nampak itu.

                 ***************

 "Sudahlah, jangan kau menangis saja. Hatiku menjadi makin bingung dan kacau kalau engkau menangis."

Mereka duduk di dalam sebuah kuil tua. Sun Eng menangis sambil menyandarkan kepala di dada Lie Seng yang merangkulnya dan mengelus rambutnya yang hitam dan halus itu.

Akan tetapi Sun Eng menangis makin sedih. "Betapa tidak akan hancur dan terharu rasa hatiku, koko..." Dia masih terisak-isak. "Melihat ada seorang pria di dunia yang kotor ini, pria seperti engkau yang begini mencintaku... dan aku... aku seorang hina yang ternyata sekarang malah membuat hidupmu menderita, menjauhkan engkau dari keluargamu, dari ibu kandungmu... aku merasa berdosa kepadamu, koko..."

"Sudahlah, Eng-moi, berapa kali engkau mengemukakan hal itu? Aku sudah bilang, aku tidak peduli semua itu! Yang terpenting dalam hidupku hanya engkau seorang, Eng-moi! Biar keluargaku sendiri, biar ibu kandungku sendiri, kalau pendapatnya tidak tepat, ingin menghina dan memburukkanmu, biarlah aku menjauhkan diri dari mereka."

Sun Eng merangkul dan mereka berangkulan. Lie Seng menciumi wajah kekasihnya itu, matanya yang basah air mata, bibirnya yang menyambutnya dengan penuh kemesraan dan terbuka sehingga sejenak mereka tenggelam ke dalam perasaan cinta asmara yang menggelora. Tak pernah kedua orang ini merasa bosan untuk bermesraan, di mana saja dan kapan saja. Cinta mereka makin berakar mendalam.

"Hanya maut yang akan dapat memisahkan kita, Eng-moi!"

Sun Eng memegang tangan Lie Seng, lalu menciumi jari-jari tangan itu dengan hati penuh perasaan terharu dan bersyukur. "Lie-koko, engkau dari keluarga besar, engkau cucu dari pendekar sakti, ketua Cin-ling-pai, dan seluruh keluargamu terdiri dari pendekar-pendekar kenamaan, dan engkau... engkau sudah mengangkat aku dari jurang kehinaan ke tempat yang amat tinggi, terlampau tinggi untukku..."

"Sudahlah, Eng-moi, jangan merendahkan diri sendiri."

"Tidak, koko, akan tetapi aku selalu merasa rendah diri bila aku tidak melakukan sesuatu untukmu, untuk keluargamu, bukan untuk mengangkat diriku, melainkan setidaknya untuk mengimbangi selisih yang begini jauh antara engkau dan aku..."

Lie Seng mengecup bibir itu lantas bertanya dengan suara main-main, "Habis, apa yang akan kau lakukan, sayang?"

"Entahlah, koko, entahlah. Akan tetapi aku harus melakukan sesuatu demi engkau, demi keluargamu. Harus!" Wanita yang masih basah kedua matanya itu mengepal tinju, akan tetapi dia segera tenggelam lagi ke dalam pelukan dan cumbu rayu Lie Seng.

Lama setelah gelora asmara yang bergelombang menenggelamkan mereka agak mereda, mereka sudah duduk kembali, Lie Seng menyandarkan tubuhnya pada dinding kuil tua itu, sedangkan Sun Eng bersandar kepadanya dengan kedua mata dipejamkan.

"Lie-koko, setelah aku mengakibatkan engkau terpisah dari keluargamu, lalu ke mana kita sekarang hendak pergi?" terdengar Sun Eng bertanya halus.

"Kita akan ke Yen-tai!"

"Yen-tai di timur itu, di pantai?"

"Benar, Eng-moi, kita ke sana."

"Mau apa ke sana, koko? Ke rumah siapa?"

"Aku mempunyai seorang suci (kakak seperguruan) di sana, Eng-moi. Dia sudah menikah dan kini tinggal bersama suaminya di sana. Suaminya seorang pengusaha besar, maka biarlah kita ke sana, aku akan minta bantuan suci supaya bisa mendapatkan pekerjaan di sana."

Sun Eng girang sekali dan dia banyak bertanya tentang suci dari kekasihnya itu. Lie Seng lalu menceritakan siapa suci-nya itu. "Dia adalah puteri dari paman Yap Kun Liong, dia lihal sekali, dan suaminya juga seorang pendekar muda, peranakan Portugis akan tetapi baik hati dan gagah perkasa karena ibunya dahulu adalah seorang pendekar wanita yang kenamaan."

Sesudah banyak bercerita mengenai Souw Kwi Beng dan Yap Mei Lan, Lie Seng lalu mengajak kekasihnya melanjutkan perjalanan menuju ke Yen-tai. Semakin kagum sajalah hati Sun Eng mendengar penuturan itu. Kiranya, semua keluarga kekasihnya terdiri dari orang-orang hebat belaka, pendekar-pendekar kenamaan.

Mengingat akan semua ini, makin menyesal hatinya, mengapa dia sebagai murid suami isteri pendekar Cia Bun Houw dan Yap In Hong sampai menyeleweng! Andai kata tidak tentu dia pun akan termasuk ‘keluarga besar’ dari para pendekar itu, sebagai cucu murid ketua atau pendiri Cin-ling-pai! Dia semakin merasa bahwa dengan masuknya ke dalam lingkungan keluarga perkasa itu sebagai kekasih Lie Seng, dia merupakan satu-satunya kambing hitam buruk di antara domba-domba berbulu tebal putih yang bersih dan indah! Namun sikap yang amat mencinta dari Lie Seng, terutama sekali perasaan hatinya sendiri terhadap pemuda ini, membuat dia berani melanjutkan perjalanan bersama kekasihnya, biar pun hatinya merasa tidak enak dan merasa rendah diri.

Tentu saja Yap Mei Lan menyambut kedatangan sute-nya itu dengan hati girang sekali. Demikian pula Souw Kwi Beng menyambut Lie Seng dengan gembira. Lie Seng dan Sun Eng dipersilakan masuk kemudian suami isteri muda yang kaya raya itu menjamu mereka dengan hidangan lezat dalam suasana meriah, karena Yap Mei Lan gembira sekali akan kedatangan sute-nya. Bagaimana pun juga, Lie Seng bukan hanya sute-nya, akan tetapi lebih dari itu malah adik, yaitu termasuk adik tirinya. Bukankah ibu kandung sute-nya itu, kini menjadi isteri dari ayah kandungnya sendiri?

"Bagaimana kabarnya dengan ayahku, sute? Dan juga bagaimana dengan ibumu? Juga bibi In Hong dan paman Bun Houw?" pada saat mereka makan minum sambil bercakap-cakap, Mei Lan tak dapat menahan diri lagi lalu menanyakan keadaan empat orang yang menjadi buruan pemerintah itu, dengan alis berkerut dan wajah khawatir.

Berdebar rasa jantung Lie Seng dan Sun Eng. Memang sejak tadi Lie Seng sudah hendak menceritakan mengenai keadaannya dan mengenai perselisihannya dengan keluarganya tentang diri Sun Eng. Tadi hanya secara sepintas lalu ketika dia dan Sun Eng datang, dia memperkenalkan kekasihnya itu sebagai seorang sahabat sehingga suami isteri muda itu hanya tahu bahwa gadis ini bernama Sun Eng dan hanya menduga, melihat sikap serta gerak-gerik dua orang muda itu, bahwa agaknya ada apa-apa di dalam persahabatan itu. Kini Mei Lan menanyakan tentang ibunya!

"Mereka... mereka semua baik-baik saja, suci. Kini mereka tinggal dalam keadaan aman di Yen-ping..."

"Ehhh...?" Yap Mei Lan kelihatan heran kemudian saling pandang dengan suaminya yang tampan dan yang semenjak tadi hanya mendengarkan saja. Souw Kwi Beng mengerutkan alisnya memandang Lie Seng dengan penuh selidik, lalu dia pun ikut bicara.

"Seng-te, sejak kapankah engkau berjumpa dengan ayah mertuaku?"

"Kurang lebih tiga bulan kami berdua baru meninggalkan Yen-ping dan mereka berempat masih berada di sana dengan aman... ehhh, ada apakah?" Lie Seng bertanya, hatinya terasa tidak enak.

"Ah, kalau begitu engkau belum tahu, sute," kata Mei Lan. "Mereka sekarang telah pindah lagi, sesudah mereka diserbu musuh di Yen-ping. Baru saja kami menerima berita dari ayah tentang hal itu." Mei Lan lalu menceritakan berita yang didengarnya dari Yap Kun Liong.

Ternyata keluarga pendekar yang telah meninggalkan Yen-ping lalu diam-diam melarikan diri dan bersembunyi di kota Bun-cou di Propinsi Ce-kiang itu diam-diam mengirim berita kepada Yap Mei Lan dan suaminya.

"Mereka diserbu musuh? Ahh, lalu... mereka kini berada di mana?"

"Di Bun-cou, di Propinsi Ce-kiang."

Mei Lan lalu menceritakan lagi dengan jelas dan Lie Seng mendengarkan dengan tangan dikepal.

"Kalau aku tahu, tentu aku tidak akan pergi dan akan membantu mereka menghadapi musuh!" katanya.

Diam-diam Sun Eng merasa gelisah sekali sekaligus juga menyesal, karena kekasihnya itu terpaksa meninggalkan keluarganya demi dia!

"Sudahlah, sute. Mereka kini sudah selamat dan karena berada di tempat yang semakin jauh dari kota raja, agaknya di selatan itu mereka dapat hidup aman. Aku sudah mengirim perbekalan dan uang kepada mereka, melalui orang kepercayaan suamiku yang sedang mengadakan pelayaran ke selatan. Lalu, engkau sendiri bersama adik Sun Eng ini, ada keperluan apakah kalian datang ke sini? Ataukah hanya untuk menengok suci-mu ini?"

Lie Seng menarik napas panjang. Sekarang saat yang digelisahkan sudah tiba, dia harus menceritakan semuanya kalau dia menghendaki tinggal bersama kekasihnya di Yen-tai ini.

"Sebetulnya amat sulit bagiku menceritakan semua ini, suci. Akan tetapi karena agaknya aku telah terpencil dan hanya engkaulah satu-satunya orang yang dapat kuharapkan akan mau mengerti keadaanku, maka aku sengaja datang mengunjungimu, suci, harap engkau berdua suamimu suka berbelas kasihan kepadaku."

Tentu saja Mei Lan terkejut bukan main mendengar kata-kata sute-nya yang dikeluarkan dengan nada berduka itu. "Sute, apakah yang sudah terjadi? Tentu saja aku akan suka membantu sedapat mungkin!"

Tentu saja agak berat bagi Lie Seng untuk menceritakan urusannya dengan Sun Eng dan melihat keraguannya itu, Souw Kwi Beng yang tahu diri lalu berkata, "Lie-te, kalau engkau merasa sungkan dan ragu untuk bercerita di hadapanku, biarlah aku mengundurkan diri dulu..."

"Ah, tidak... tidak sama sekali, suci-hu (kakak ipar)," Kemudian dia menoleh kepada Sun Eng lalu berkata, "Eng-moi, sebaiknya engkaulah yang bercerita kepada suci Yap Mei Lan, dan aku yang bercerita kepada suci-hu Souw Kwi Beng."

Sun Eng balas memandang kemudian dia mengangguk. Melihat ini, Mei Lan lalu bangkit dari duduknya, memegang tangan Sun Eng sambil berkata, "Marilah, adik Sun Eng, kita bicara di dalam."

Dua orang wanita itu lalu meninggalkan ruangan itu dan masuk ke dalam kamar Mei Lan. Sesudah mereka pergi, Lie Seng merasa lebih leluasa dan berceritalah dia kepada Souw Kwi Beng tentang hubungannya dengan Sun Eng, bahwa ibu kandungnya dan pamannya telah menyatakan tidak setuju dengan perjodohan mereka.

"Mereka itu tidak setuju karena Eng-moi tadinya adalah murid dari paman Cia Bun Houw dan menurut paman, Eng-moi pernah menyeleweng, pernah tergoda oleh kaum pria. Ibu tak setuju aku menikah dengan seorang gadis yang bukan perawan lagi. Itulah persoalan kami, cihu, sehingga terpaksa aku bersama Eng-moi pergi meninggalkan mereka. Karena tidak tahu harus pergi ke mana lagi, maka aku mengajaknya ke sini dengan harapan cihu suka menolongku dan memberi pekerjaan agar aku bersama Eng-moi dapat hidup di kota ini dan kalau mungkin, kuharap suci dan cihu dapat meresmikan pernikahan kami."

Souw Kwi Beng mengangguk-angguk dan kedua alisnya yang tebal berkerut. Dia sendiri merasa kecewa mendengar bahwa kekasih Lie Seng adalah seorang wanita yang pernah tergoda oleh kaum pria! Dia masih belum dapat membayangkan sampai berapa jauhnya kata ‘menggoda’ itu, akan tetapi kalau sampai gadis itu tidak perawan lagi, tentu godaan dan penyelewengan itu sudah terlalu mendalam. Namun, cinta kasih memang aneh dan dia sendiri tidak berani mencampuri.

"Tentu saja aku sanggup menolongmu dengan pekerjaan yang kau perlukan, dan supaya engkau dapat tinggal di kota ini pun bukan hal yang sukar dan dapat kuatur sebaiknya. Hanya mengenai peresmian pernikahanmu, hemm... agaknya hal itu amat sukar. Kurasa suci-mu juga akan sependapat denganku bahwa kami tentu saja takkan berani bertindak selancang itu, melampaui ibu kandungmu serta ayah kandung isteriku untuk meresmikan pernikahanmu, seakan-akan mereka orang-orang tua itu kini sudah tidak ada saja. Tidak, Seng-te, kurasa hal ini tidak mungkin."

Lie Seng menarik napas panjang. "Andai kata tak mungkin pun tak mengapa. Kami telah mengambil keputusan untuk hidup bersama, dinikahkan secara resmi atau pun tidak, bagi kami sama saja!" Ucapan ini mengandung kepedihan hati akan tetapi juga mengandung keputusan nekat.

Sementara itu, di dalam sebuah kamar, Sun Eng juga bercerita kepada Mei Lan. Akan tetapi berbeda dengan cerita Lie Seng, wanita ini menceritakan segalanya tanpa ditutup-tutupi lagi....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 39



DIA menceritakan penyelewengannya pada saat dia masih menjadi murid Cia Bun Houw, betapa melihat kedua orang gurunya itu dalam keadaan pengasingan diri tidak melakukan hubungan suami isteri, membuat dia merasa kasihan terhadap Bun Houw dan dia sudah mencoba untuk merayu gurunya sendiri. Kemudian betapa dia terpikat oleh godaan kaum pria sehingga dalam kepatahan hatinya akibat dibenci oleh kedua gurunya, dia melakukan penyelewengan-penyelewengan dan akhirnya tidak diakui lagi sebagai murid suami isteri pendekar itu.

Kemudian, diceritakan pula tentang penyesalannya, mengenai usahanya menolong kedua gurunya itu sehingga dia pun bertemu dengan Lie Seng. Betapa dia sudah menceritakan semua pengalamannya itu kepada Lie Seng, kemudian mereka masing-masing berpisah selama satu tahun untuk menjajagi hati masing-masing dan akhirnya bertemu lagi tetapi cinta mereka bahkan semakin mendalam.

"Demikianlah, enci. Aku tahu akan keadaan diriku. Aku mengenal sepenuhnya siapa diriku, seorang murid murtad, seorang gadis tak tahu malu yang hina dan rendah. Aku pun tahu benar bahwa aku tidak pantas menjadi isteri Lie-koko, dan aku sudah menyatakan hal ini terus terang kepadanya. Akan tetapi, dia begitu mencintaku, enci, dan aku... kalau engkau masih percaya kepada hati yang sudah rusak ini, saat aku melihat betapa murni cintanya kepadaku, aku rela mati untuknya, enci. Ketika dia bentrok dengan keluarganya, dengan ibu kandungnya sendiri, mau rasanya aku membunuh diri. Akan tetapi aku tahu, cara itu bahkan akan membuat Lie-koko menjadi makin berduka saja, maka aku menuruti segala kehendaknya dan begitulah, kami berdua tiba di sini. Agaknya, sekarang nasib Lie-koko terletak dalam tangan enci..." Dan menangislah Sun Eng.

Sejenak Yap Mei Lan termenung, membiarkan gadis itu menangis. Dalam hatinya terjadi perang. Tentu saja dia tidak dapat menyalahkan ibu tirinya, atau ibu kandung Lie Seng yang kini menjadi isteri ayah kandungnya, juga tidak menyalahkan suami Isteri Cia Bun Houw. Siapa orangnya yang merasa senang melihat puteranya berjodoh dengan seorang gadis yang begitu rusak batinnya, yang telah menjadi permainan kaum pria, bahkan yang begitu tak tahu malu untuk menggoda dan mengajak main gila kepada suhu-nya sendiri?

Akan tetapi, mereka sudah saling mencinta di antara mereka berdua, dan terutama sekali dia tidak meragukan cinta wanita ini kepada sute-nya. Baginya, cinta kasih asmara adalah urusan dalam dari dua orang yang bersangkutan dan orang lain sama sekali tidak boleh menilainya, tidak boleh mencampurinya.

Tentu saja apa bila menurut suara hatinya sendiri, dia pun akan merasa kecewa melihat sute-nya berjodoh dengan seorang gadis yang sudah pernah menyeleweng seperti Sun Eng ini. Akan tetapi dia maklum bahwa campur tangan perasaannya ini tidaklah benar, setidaknya, tidak akan membahagiakan hati sute-nya. Maka dia menarik napas panjang.

"Sudahlah, adik Eng. Yang terpenting bagi kalian adalah isi hati kalian masing-masing. Tentu saja kami akan suka menolong kalian, terutama kekasihmu adalah sute-ku yang tersayang. Mari kita temui mereka dan kita bicarakan lebih lanjut." Mereka lalu keluar dan kembali ke ruangan tadi. Melihat kekasihnya masuk bersama suci-nya dengan kedua mata agak membengkak dan merah oleh tangis, maka mengertilah Lie Seng bahwa Sun Eng tentu telah menceritakan segala-galanya, termasuk penyelewengannya. Oleh karena itu dia cepat menyambut dan menggandeng tangan kekasihnya, meremas jari-jari tangan Sun Eng dan dari sentuhan ini seakan-akan dia sudah menghibur dan membesarkan hati kekasihnya itu. Kemudian mereka duduk mengelilingi meja seperti tadi.

Memang tepatlah pendapat Souw Kwi Beng yang dikatakan kepada Lie Seng tadi. Yap Mei Lan dengan rela dan senang hati mau menolong sute-nya dan dia setuju sepenuhnya apa bila suaminya memberi pekerjaan yang layak kepada sute-nya. Akan tetapi dia tidak berani kalau harus meresmikan pernikahan kedua orang muda itu.

"Hal itu tak mungkin bisa kami lakukan, sute. Harap sute memakluminya, ibu kandungmu masih ada, pamanmu masih ada, mana mungkin aku bersama suamiku berani bertindak demikian lancangnya untuk menjadi walimu dan meresmikan pernikahanmu? Hal itu tentu saja menjadi lain bila andai kata ibu kandungmu itu memberi kekuasaan dan persetujuan kepada kami. Harus engkau ingat bahwa ibu kandungmu berarti juga ibu tiriku, maka aku sama sekali tidak berani. Ayah tentu akan marah sekali kepadaku apa bila aku sampai berani selancang itu. Maka, kau maafkanlah kami berdua, sute."

Lie Seng dapat menerima alasan-alasan mereka itu dan demikianlah, mulai hari itu juga, Lie Seng diberi pekerjaan oleh Souw Kwi Beng. Karena perdagangan Kwi Beng meliputi perdagangan barang-barang hasil bumi yang diangkut dengan perahu-perahu, dan setiap hari banyak sekali perahu-perahu hilir mudik di pelabuhan Yen-tai, maka Lie Seng diberi tugas untuk mengawasi kelancaran pemuatan hasil bumi ke perahu-perahu itu, menjaga jangan sampai ada kecurangan. Selain pekerjaan, suami isteri yang kaya ini menyediakan pula sebuah rumah lengkap dengan segala perabotnya untuk Lie Seng dan Sun Eng.

Penyambutan yang amat baik ini makin mengharukan hati Sun Eng. Dia merasa semakin terpukul melihat kebaikan Mei Lan, suci dari kekasihnya. Semakin dia kagum kepada Lie Seng dan keluarganya, semakin dia merasa dirinya kecil dan tidak berharga, rendah dan tidak patut menjadi teman hidup seorang pendekar seperti Lie Seng! Oleh karena itu, biar pun pada lahirnya dia kelihatan berbahagia dan hidup sebagai suami isteri yang belum sah bersama Lie Seng, penuh dengan kemesraan dan cinta kasih, akan tetapi di dalam batinnya wanita muda ini selalu penuh dengan penyesalan terhadap diri sendiri!

Sudah menjadi kebiasaan kita pada umumnya, untuk selalu menilai perbuatan-perbuatan kita yang telah lalu, menimbulkan penyesalan, rasa takut, dan sebagainya. Bahkan telah kita terima sebagai sesuatu yang benar dan mutlak penting bahwa penyesalan terhadap perbuatan yang lampau dapat menyadarkan kita dan membuat kita tidak lagi melakukan perbuatan yang kita anggap keliru dan yang mendatangkan penyesalan itu. Akan tetapi, benarkah hal ini? Benarkah bahwa penyesalan dapat membersihkan kita dari perbuatan sesat di masa mendatang?

Penyesalan selalu datang kalau perbuatan itu SUDAH dilakukan. Dan biasanya, seperti yang dapat kita lihat setiap hari di sekeliling kita, di dalam kehidupan masyarakat, dalam kehidupan kita sendiri, penyesalan pun makin lama akan semakin menipis dan kemudian hilang. Sementara itu, perbuatan kita masih saja penuh dengan kesesatan! Lalu, setelah menilai dan mengingat, timbul penyesalan kembali.

Perbuatan sesat dan penyesalan hanya susul-menyusul belaka, seperti dalam lingkaran setan yang tak ada putus-putusnya, seperti kalau kita makan makanan yang pedas, yang terasa enak segar di mulut akan tetapi sebenarnya tidak baik bagi perut. Ketika makan sangatlah enaknya sehingga kita yang terlalu mementingkan keenakan itu tidak lagi ingat kepada perut kita sendiri. Baru sesudah perut kita sakit melilit-lilit, kita merasa menyesal dan sadar bahwa terlalu banyak makanan pedas itu tidak baik untuk perut. Akan tetapi, penyesalan ini dalam sedikit waktu sudah terlupa lagi apa bila kita menghadapi makanan pedas yang segar enak bagi mulut itu! Kenyataannya demikianlah!

Pengejaran kesenangan membuat kita buta dan baru sesudah kesenangan itu terdapat lalu timbullah hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti segala macam kesenangan yang memiliki muka ganda sehingga senang dan susah tidak terpisahkan, akhirnya timbul penyesalan! Jadi penyesalan itu pada hakekatnya timbul karena akibat dari kesenangan itu mendatangkan kesusahan kepada kita! Jadi bukanlah si perbuatan sesat itu sendiri yang kita sesalkan, melainkan si akibat yang buruk dari perbuatan yang mendatangkan kesenangan itu!

Semua ini akan nampak jelas sekali jika kita waspada terhadap segala gerak-gerik lahir batin kita sendiri, bila kita waspada terhadap segala sesuatu yang bergerak dalam pikiran kita. Kewaspadaan adalah kesadaran dan kesadaran adalah pengertian, dan pengertian ini akan melahirkan perbuatan yang spontan, perbuatan yang tidak lagi dikendalikan oleh pertimbangan dan penilaian pikiran.

Karena perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran, oleh si aku, sudah pasti perbuatan itu berdasarkan untung rugi bagi si aku, dan perbuatan seperti ini sudah pasti menimbulkan konflik yang kemudian berakhir dengan kedukaan, termasuk penyesalan yang tidak ada gunanya itu. Kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendirilah yang akan melenyapkan perbuatan-perbuatan sesat yang hanya terjadi dan hanya dilakukan dalam keadaan TAK SADAR. Bukan penyesalan yang melenyapkan kesesatan-kesesatan itu!

Yang amat penting untuk kita sadari adalah bahwa kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendiri lahir batin ini haruslah tidak dikendalikan oleh si aku! Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, kewaspadaan saja, kesadaran akan diri sendiri tanpa ada aku yang mengamati, tanpa ada aku yang waspada dan sadar! Karena apa bila ada si aku yang mengatur serta mengendalikan semua kewaspadaan di dalam pengamatan itu, maka itu hanya permainan pikiran atau si aku yang tentu mengandung pamrih dalam pengamatan itu, pamrih untuk sesuatu, untuk mencapai sesuatu, entah yang sesuatu itu dinamakan kesenangan, kedamaian, kesucian dan sebagainya. Semua tindakan dari pikiran atau si aku yang selalu mengejar kesenangan pastilah menimbulkan konflik dan kesengsaraan.

Yap Mei Lan berdua suaminya, Souw Kwi Beng, sedang duduk di ruangan depan rumah mereka. Setelah Lie Seng bekerja di tempat pemuatan barang-barang hasil bumi, yaitu di pelabuhan, semakin banyaklah waktu bagi Kwi Beng untuk menemani isterinya di rumah. Sudah dua bulan lebih Lie Seng bekerja di situ dan suami isteri ini merasa senang dapat menolong Lie Seng yang tampak hidup cukup bahagia dengan Sun Eng, ada pun bantuan Lie Seng itu ternyata juga membuat pekerjaan Kwi Beng menjadi ringan.

Semenjak tadi suami isteri ini memandang kepada pemuda yang berdiri di atas jalan raya di depan rumah gedung mereka itu. Pemuda itu tampan dan gagah, bertubuh tinggi tegap, memakai jubah kulit macan dan sebuah topi yang indah dari bulu rubah dan dihiasi bulu burung yang berwarna biru keemasan.

"Waspadalah, sikap orang itu amat mencurigakan," bisik Yap Mei Lan kepada suaminya, namun pendekar wanita ini nampak tenang saja, pura-pura tidak melihat kepada pemuda itu akan tetapi biar pun tidak melihat langsung dari sudut matanya, dia selalu mengawasi gerak-geriknya.

Pemuda itu agaknya merasa bimbang, akan tetapi kemudian dia melangkah memasuki pekarangan yang luas dan ditumbuhi banyak pohon sehingga kelihatan teduh itu, dengan langkah tenang dan lebar menghampiri ruangan depan di mana suami isteri itu sedang duduk.

Melihat betapa pemuda yang dicurigai isterinya itu memasuki pekarangan rumah mereka, Souw Kwi Beng lalu bangkit dari tempat duduknya, melangkah keluar untuk menyambut. Pemuda ini mungkin seorang tamu, pikirnya.

Souw Kwi Beng adalah seorang saudagar yang mempunyai hubungan amat luas, bahkan dengan luar negeri, maka tidak mengherankan andai kata pemuda asing yang pakaiannya aneh dan menyolok itu mengunjunginya. Dia tidak curiga seperti isterinya dan menyambut kedatangan tamu itu dengan senyum lebar di wajahnya yang tampan.

"Selamat datang di tempat kami, saudara. Tidak tahu siapakah saudara ini, datang dari mana dan hendak mencari siapa?" tegur Souw Kwi Beng dengan sikap ramah.

Pemuda jangkung tegap itu sejenak memandang kepada Kwi Beng dengan sinar mata tertarik dan kagum akan ketampanan pria peranakan Portugis ini, kemudian dia menoleh ke arah Mei Lan yang juga sudah bangkit dari kursinya dan menuruni undak-undakan di depan rumahnya.

Ada sesuatu di dalam sinar mata pemuda ganteng itu yang membuat kedua pipi pendekar wanita ini menjadi kemerahan. Kedua mata yang mencorong itu mengandung kegairahan yang kurang ajar, pikirnya. Kalau hanya mata pria yang memandangnya dengan kagum saja, hal ini sudah biasa bagi Mei Lan, namun pandang mata ini aneh sekali, seolah-olah sinar mata itu memiliki kekuasaan untuk menelanjanginya, seolah-olah sinar mata itu bisa menggerayangi tubuhnya dan memandang tembus pakaian yang menutupi tubuhnya!

Pemuda tampan itu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan secara sopan dan hormat oleh Souw Kwi Beng, melainkan kini dia memutar tubuh menghadapi Mei Lan, kemudian terdengar dia bertanya dengan suara langsung dan lantang, sedikit pun tak menunjukkan sikap sopan seperti patutnya seorang pria terhadap seorang wanita yang belum pernah dikenalnya.

"Apakah engkau yang bernama Yap Mei Lan?"

Tentu saja suami isteri itu terkejut dan juga merasa tidak senang, terutama sekali Mei Lan yang mukanya menjadi semakin merah, kini bukan merah karena jengah atau malu, akan tetapi merah karena marah.

"Aku adalah nyonya Souw Kwi Beng!"

Akan tetapi nampak pemuda itu telah menggerakkan tangannya dengan kesal. "Aku tidak ada urusan dengan Souw Kwi Beng, melainkan dengan Yap Mei Lan! Engkau orangnya, bukan?"

Mei Lan semakin marah dan dia sudah hendak menerjang dan menghajar pria kurang ajar ini, akan tetapi Kwi Beng sudah berdiri di dekatnya dan menyentuh lengannya, mencegah isterinya terburu nafsu, kemudian dia menghadapi pemuda itu.

"Kami tidak mengerti kenapa saudara yang tidak kami kenal bersikap seperti ini. Memang betul bahwa isteriku bernama Yap Mei Lan. Lalu saudara mau apa dan siapakah engkau?" Karena sikap orang itu, maka Kwi Beng juga menanggalkan penghormatannya.

Pemuda itu tertawa dan wajahnya memang tampan. "Bagus! Yap Mei Lan, engkau puteri dari Yap Kun Liong, bukan? Nah, aku datang untuk menangkapmu! Ayahmu dan bibimu adalah pemberontak-pemberontak buronan, maka engkau harus menjadi tawananku."

Makin kaget kedua orang suami isteri itu. "Siapakah engkau manusia sombong?" Yap Mei Lan bertanya dengan sinar mata tajam penuh selidik.

"Ha-ha, ingin mengenalku? Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw dan sebaiknya engkau menyerah saja baik-baik. Engkau akan kutawan terlebih dahulu sebagai sandera dan baru sesudah seluruh keluarga Cin-ling-pai, para pemberontak buronan itu menyerah, engkau akan kubebaskan lagi."

Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng. Akan tetapi kekagetan Mei Lan ini disertai rasa marah yang makin hebat. Dia telah mendengar tentang pangeran ini, yang kabarnya adalah adik seperguruan dari Kim Hong Liu-nio yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai.

"Siapa sudi menyerah? Pertama, aku tidak bersalah apa pun terhadap pemerintah. Ke dua, aku tidak tahu apakah engkau ini benar seorang pangeran ataukah hanya pengacau saja karena engkau tidak membawa surat perintah atau kuasa atau pasukan. Dan ke tiga, andai kata benar engkau pangeran, aku pun tidak akan sudi menyerah karena aku tahu benar bahwa ayahku dan semua keluarga Cin-ling-pai bukanlah pemberontak!"

"Ha-ha-ha, apakah engkau menghendaki aku menggunakan kekerasan? Aku sebenarnya tidak suka mempergunakan kekerasan terhadap seorang wanita, apa lagi terhadap wanita secantik engkau..."

"Keparat sombong, tutup mulutmu yang kotor!" Yap Mei Lan sudah membentak dan dia pun telah menerjang dengan pukulan tangan kiri dari kepalan tangannya yang kecil tetapi yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu.

"Bagus! Aku girang sekali melawan orang-orang pandai dari Cin-ling-pai! Hayo keluarkan semua kepandaianmu!" kata Han Houw.

Dia memang gembira melihat betapa pukulan wanita ini sangat hebat, hal yang memang sudah disangkanya mengingat bahwa wanita cantik ini bukan orang sembarangan, namun puteri kandung dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Cepat dia mengelak, tetapi sebelum dia sempat membalas Mei Lan sudah menyerangnya bertubi-tubi, tubuhnya yang langsing itu bergerak demikian cepatnya, kadang-kadang berputar laksana gasing, tahu-tahu telah menyerang dari arah-arah lain sehingga wanita itu seakan-akan sudah mengubah dirinya menjadi banyak dan menyerang lawan dari semua jurusan!

"Bagus sekali...!" Han Houw menggerakkan kaki tangan, mengelak dan menangkis.

Memang hebat dan indah serangan-serangan yang dilakukan oleh Yap Mei Lan. Dia telah menggunakan Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) yang dahulu diwarisinya dari mendiang Bun Hwat Tosu, dan dia mengisi kedua lengannya itu dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang yang diwarisinya dari mendiang Kok Beng Lama!

Tentu saja serangan-serangannya itu amat hebatnya, juga dibandingkan dengan Lie Seng, Mei Lan memiliki kelebihan. Lie Seng hanya mewarisi ilmu-ilmu dari Kok Beng Lama saja, sebaliknya Mei Lan mempunyai dua sumber dari ilmu-ilmunya, yaitu Kok Beng Lama dan Bun Hwat Tosu. Di samping itu, melihat bakatnya yang hebat, dia pun mewarisi khikang yang amat hebat dari Kok Beng Lama yang sengaja menurunkan ilmu ini kepada Mei Lan.

Di lain fihak, Yap Mei Lan amat terkejut ketika melihat betapa semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh pangeran itu! Lebih terkejut lagi dia ketika mereka beradu lengan, dia merasa tubuhnya tergetar hebat, tanda bahwa pangeran ini memiliki tenaga yang amat kuat!

Han Houw juga mengerti bahwa boleh dibilang semua anggota keluarga Cin-ling-pai, atau golongan mereka, mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi, maka biar pun sekarang yang dihadapinya hanya seorang wanita cantik yang kelihatan lemah lembut, dia sama sekali tak berani memandang ringan. Maka dia pun bersilat dengan cepat sambil mengerahkan tenaganya.

Dalam keadaan seperti itu, setiap bertemu dengan lawan pandai, kumatlah penyakit Han Houw. Dia ingin sekali menguras dan mengenal ilmu-ilmu lawan. Maka dalam menghadapi Mei Lan dia pun lebih banyak bertahan dari pada menyerang, karena lebih dulu dia ingin melihat lawannya mengeluarkan seluruh kepandaiannya, baru dia akan merobohkannya dan menawan wanita ini sebagai sandera.

Melihat betapa isterinya agaknya belum juga dapat mengalahkan pangeran itu, Souw Kwi Beng menjadi tidak sabar. Dia mengerti bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkat isterinya atau pun pangeran itu, akan tetapi sebagai seorang suami, tidak mungkin dia mendiamkannya saja melihat isterinya berkelahi dengan orang lain.

Karena itu dia lalu mengeluarkan suara bentakan nyaring kemudian turunlah dia ke dalam gelanggang perkelahian itu. Begitu menerjang maju, dia mainkan ilmu silat yang diperoleh dari ibunya, yaitu Jit-goat Sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga Im-yang Sinkang. Dia menyerang dengan pukulan-pukulan keras, akan tetapi kadang kala diselingi pula dengan totokan-totokan yang disebut It-ci-san, yaitu totokan satu jari yang amat ampuh dan yang merupakan ilmu andalan dari ibunya.

"Hemm, bagus!" Pangeran Ceng Han Houw menjadi semakin gembira.

Dia melihat bahwa pria tampan ini tidak begitu hebat gerakan mau pun tenaganya, namun mempunyai ilmu silat yang aneh dan juga indah kuat. Mulailah dia dikeroyok dua dan Han Houw memang sudah memperoleh tingkat yang amat tinggi sehingga pengeroyokan dua orang suami isteri itu sama sekali tidak membuat dia terdesak. Bahkan kini mulailah dia mengeluarkan jurus-jurus serangan balasan yang membuat Mei Lan dan terutama sekali Kwi Beng, terdesak dan sering kali terpaksa meloncat jauh ke belakang karena memang hantaman pangeran itu berbahaya dan kuat bukan main.

Beberapa kali Mei Lan menyuruh suaminya mundur, akan tetapi Kwi Beng sama sekali tidak mau. Hal ini amat mengkhawatirkan hati Mei Lan. Dia pun tahu bahwa pangeran ini memang lihai bukan main dan dia mengerti sampai di mana tingkat kepandaian suaminya maka tentu saja melawan pangeran itu amat berbahaya bagi suaminya.

Tiba-tiba dia lalu mengerahkan khikang-nya dan mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang menggetarkan keadaan di sekelilingnya. Kwi Beng sendiri sampai terhuyung dan meloncat ke belakang akibat tergetar oleh suara isterinya itu. Han Houw terkejut dan sejenak dia termangu, dan saat itu digunakan oleh Mei Lan untuk menerjangnya dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang.

"Plak-plak-plakkk!"

Han Houw terhuyung dan walau pun dia berhasil menangkis, namun serangan itu sangat hebatnya sehingga membuat dia lengah dan terdesak, terutama lengah karena lengking yang hebat tadi. Akan tetapi pangeran ini segera membuat gerakan aneh dan tahu-tahu tubuhnya sudah berjungkir balik dan tiba-tiba Mei Lan menjerit lantas cepat meloncat jauh ke belakang karena tanpa diduga-duganya, ada kaki yang menyerang ke arah ubun-ubun kepalanya dengan hebatnya karena pangeran itu tahu-tahu sudah berjungkir balik dengan aneh.

"Ha-ha-ha!" Han Houw tertawa dan dia pun meloncat dan berdiri seperti biasa lagi.

Untuk menghadapi suami isteri itu, dia tidak perlu menggunakan ilmu simpanannya. Kalau tadi dia terpaksa mempergunakan jurus Hok-te Sin-kun adalah karena dia terkejut hingga terdesak oleh pukulan-pukulan sakti wanita cantik itu.

"Lebih baik engkau menyerah saja, Yap Mei Lan, dan mengingat akan kecantikanmu, aku tentu akan bersikap manis kepadamu."

Wajah yang cantik itu menjadi semakin merah. "Manusia busuk!" bentaknya dan dia pun telah menerjang lagi, dibantu oleh suaminya yang juga marah karena pemuda itu bersikap dan berbicara kurang ajar kepada isterinya.

Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring, "Manusia dari mana berani mengacau di sini?" Bentakan itu disusul menyambarnya sesosok bayangan dan tahu-tahu Lie Seng sudah berada di situ dan pemuda ini menerjang dengan pukulan yang amat kuat ke arah dada Han Houw.

"Ehhh...!" Han Houw menarik tubuh ke belakang untuk mengelak karena dia mengenal pukulan ampuh.

Melihat Lie Seng sudah datang membantu, Souw Kwi Beng meloncat lantas menyerang dengan tendangan dari atas ke arah pundak kiri Han How. Akan tetapi pangeran ini sudah siap sedia, lengan kirinya menyampok dan begitu kaki Kwi Beng tertangkis, tubuhnya lalu terlempar dan terpelanting. Tentu dia akan terbanting keras kalau lengannya tidak segera disambar oleh Mei Lan.

Lie Seng terkejut bukan main melihat betapa mudahnya orang itu mengelak dari pukulan-pukulannya yang hebat tadi, dan alangkah mudahnya pula dia membuat tendangan Kwi Beng selain gagal juga membuat Kwi Beng terlempar. Tahulah dia bahwa lawan ini bukan orang sembarangan, apa lagi dia melihat sendiri betapi suci-nya dan suami suci-nya tidak mampu mengalahkannya.

"Pengacau, siapakah engkau?!" bentaknya.

"Sute, dia adalah Pangeran Ceng Han Houw, katanya datang untuk menangkap aku!" kata Mei Lan yang sudah siap untuk menggempur lagi.

Hatinya menjadi besar dengan kemunculan sute-nya karena dia maklum bahwa agaknya kepandaiannya sendiri tidak akan mampu menandingi lawan. Namun kalau sute-nya turut membantunya, dia yakin akan dapat mengalahkan pangeran yang benar-benar amat lihai ini.

Lie Seng terkejut dan alisnya yang tebal berkerut. Sejenak dia memandang pangeran itu penuh perhatian. Adiknya, Lie Ciauw Si dahulu pernah menyebut-nyebut nama pangeran ini, malah menurut adiknya, pangeran ini amat baik, memberi adiknya sebuah cincin yang sudah terbukti pula kekuasaannya karena cincin itu dulu mampu mengundurkan pasukan pemerintah!

"Benarkah engkau Pangeran Ceng Han Houw?" tanyanya meragu.

"Benar, dan siapakah engkau, kepandaianmu boleh juga."

Akan tetapi Lie Seng tidak ingin memperkenalkan diri atau berkenalan, malah sebaliknya dia menegur pangeran itu, "Kalau begitu, kenapa engkau hendak menangkap suci-ku ini? Apa salahnya?"

"Ha-ha-ha-ha, agaknya orang-orang Cin-ling-pai dan golongannya masih juga belum mau menginsyafi dosa-dosanya. Yap Mei Lan ini adalah puteri dari Yap Kun Liong, seorang pemberontak buruan. Aku hendak menangkapnya untuk sandera, agar para pemberontak itu suka menyerah."

"Hemm, mana ada aturan demikian? Bila memang hendak menangkap, mana surat kuasa atau surat perintah untuk menangkapnya? Keluarga Cin-ling-pai baru dituduh saja sebagai pemberontak, yang hanya merupakan fitnah belaka. Andai kata benar mereka melakukan hal-hal yang dianggap memberontak, apa hubungannya hal itu dengan suci? Jika hendak menangkap, harus ada surat kuasa atau surat perintah dan alasan-alasannya yang kuat mengapa dia hendak ditangkap?"

Melihat sikap yang tenang dan tegas dari pria muda yang gagah ini, Pangeran Ceng Han Houw merasa kagum sehingga dia meragu. "Siapakah engkau yang berani bicara seperti ini terhadap Pangeran Ceng Han Houw?"

"Aku orang biasa, yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Aku Lie Seng, dan menurut penuturan adikku Ciauw Si, yang namanya Pangeran Ceng Han Houw adalah orang yang baik dan gagah, akan tetapi apa bila benar engkau pangeran itu dan kini engkau bersikap seperti ini, hendak menangkap orang secara membabi-buta, sungguh aku kecewa atas penuturan adikku itu!"

Han Houw terkejut. Ah, kiranya pria yang gagah ini adalah kakak kandung dari Ciauw Si? Sejenak dia termangu dan meragu. Dia merasa tidak enak kalau harus memperlihatkan kekerasan di depan kakak kandung Ciauw Si, dara yang tidak pernah dapat dilupakannya itu. Dia menarik napas panjang lalu berkata,

"Semua perbuatanku ini adalah tugasku sebagai pangeran, demi baktiku kepada negara. Akan tetapi kalau memang kalian menghendaki surat kuasa, tunggulah. Aku akan datang lagi membawa surat kuasa dan setelah demikian, kuharap kalian tak akan membangkang lagi karena aku pun tidak ingin menggunakan kekerasan!" Sesudah berkata demikian, dia menjura dan membalikkan tubuhnya lalu melangkah pergi meninggalkan halaman rumah itu.

Para tetangga yang berkerumun di depan melihat perkelahian itu pun lalu bubar karena mereka tak berani mencampuri. "Mari kita bicara di dalam!" kata Souw Kwi Beng kepada isterinya dan Lie Seng, suaranya mengandung kesungguhan dan diliputi kegelisahan.

Sesudah tiba di ruangan dalam, mereka bertiga lalu berunding dengan wajah serius dan suara penuh kesungguhan. "Pangeran itu benar-benar mempunyai kepandaian yang amat lihai, sute. Aku sendiri, terus terang saja, akan sukar untuk dapat mengalahkannya!"

Ucapan yang sejujurnya dari sang suci ini membuat Lie Seng terkejut sekali. Suci-nya itu mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri, akan tetapi sekarang suci-nya mengatakan bahwa dia tak mampu mengalahkan pangeran ini!

"Betapa pun juga kita akan melawannya, suci! Biarlah aku akan membantu suci, kurasa dengan majunya kita berdua, tidak mungkin dia akan mampu banyak berlagak!" kata Lie Seng, masih merasa terkejut.

Akan tetapi Souw Kwi Beng menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Hendaknya kalian berdua ingat bahwa yang kalian hadapi bukan seorang tokoh kang-ouw yang dapat dihadapi dengan tenaga dan ilmu silat. Akan tetapi kalau benar dia itu seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar, dan mengingat pula akan keadaan keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak buronan oleh pemerintah, kita harus berhati-hati. Kita tentu saja dapat melawan musuh-musuh dari dunia kang-ouw dengan tenaga dan kekerasan, akan tetapi tidak mungkin kita dapat melawan pemerintah.

Melihat wajah suaminya yang penuh kegelisahan itu, Mei Lan menjadi ikut khawatir. Jadi, bagaimana sekarang baiknya?" tanyanya sambil memandang kepada suaminya, maklum bahwa suaminya yang amat mencintanya itu sebenarnya mengkhawatirkan keselamatan dirinya, bukan keselamatan diri sendiri.

Selagi tiga orang itu saling pandang dengan wajah khawatir, tiba-tiba saja masuk seorang wanita setengah berlari-lari, mukanya pucat dan napasnya terengah. Wanita itu ternyata adalah Sun Eng, dan ketika melihat Lie Seng berada di situ bersama suci-nya dan suami suci-nya, Sun Eng mengeluh panjang dengan penuh kelapangan dada.

Ahhh... syukurlah kalian tidak apa-apa...," katanya terengah. Aku... aku tadi mendengar laporan bahwa kalian berkelahi... maka aku segera lari ke sini..."

Lie Seng sudah merangkul kekasihnya kemudian membawanya duduk menghadapi meja. Tenanglah, Eng-moi. Kami tidak apa-apa, dan memang ada urusan yang amat penting dan mengkhawatirkan. Kau dengarlah."

Lalu dengan singkat dia menceritakan mengenai kemunculan Pangeran Ceng Han Houw yang hendak menangkap Yap Mei Lan sebagai puteri pemberontak.

Tentu saja Sun Eng menjadi ikut gelisah sekali, dan dia yang pemberani dan berhati keras itu segera berkata, kenapa kita tidak cari saja pangeran busuk itu dan membunuhnya?"

"Ah, tak mungkin kita lakukan itu, Eng-moi. Engkau pun tahu betapa keluarga Cin-ling-pai telah difitnah, dituduh pemberontak. Jika kita sampai membunuh seorang pangeran tentu dosa itu akan semakin dibesar-besarkan. Selain itu, pangeran itu amat lihai, bahkan suci dan aku sendiri tidak dapat menandinginya."

"Ohhh...?! Sun Eng memandang pucat dan hampir tidak percaya bahwa ada pangeran yang memiliki kepandaian setinggi itu. Habis, bagaimana baiknya?"

"Itulah yang sedang kami bertiga rundingkan ketika engkau tiba tadi," jawab Lie Seng.

Kembali suasana menjadi hening, sunyi yang mencekam perasaan sebab mereka merasa tegang dan khawatir.

Kalau tidak boleh melawan, jadi... apakah kita harus melarikan diri?" akhirnya Yap Mei Lan berkata, hatinya penuh dengan rasa penasaran.

"Agaknya itulah satu-satunya jalan, kalau kita sudah dimusuhi pula oleh pemerintah, tidak ada jalan lain...," kata suaminya.

"Tapi, engkau sudah begitu royal dengan hadiah-hadiahmu kepada boleh di bilang semua pejabat dari yang terendah sampai yang tertinggi di Yen-tai ini! Hadiah yang kau berikan kepada mereka bahkan lebih besar dari pada gaji yang mereka terima!" isterinya mencela.

Souw Kwi Beng menarik napas panjang. Isteriku, memang hubungan kita dengan para pejabat di Yen-tai ini sudah sangat baik, dari mereka itu kita percaya akan memperoleh perlakukan baik. Akan tetapi, pangeran itu dari kota raja! Tentu kekuasaannya jauh lebih besar sehingga para pejabat di sini tentu tidak mampu menentangnya. Betapa pun juga, aku akan menghubungi mereka dan..."

Souw Kwi Beng menghentikan kata-katanya karena pada saat itu pula muncullah seorang pelayannya yang memberitahukan bahwa ada seorang tamu utusan Ciong-taijin mohon bertemu dengan tuan rumah. Empat orang itu saling pandang dan Kwi Beng lalu minta kepada pelayannya agar tamu itu langsung diantar masuk ke dalam ruangan itu.

Tidak lama kemudian, seorang laki-laki tua yang berpakaian biasa memasuki ruangan itu kemudian cepat dia memberi hormat kepada Souw Kwi Beng dan yang lain-lain. Kwi Beng mengenal orang ini sebagai orang kepercayaan Ciong-taijin, yaitu kepala daerah Yen-tai.

"Saya tidak dapat bicara banyak dan lama," kata orang itu sesudah dipersilakan duduk. Saya diutus oleh taijin supaya menyampaikan kepada Souw-wangwe (hartawan Souw) bahwa ada bahaya besar mengancam keluarga wangwe. Taijin hanya mengatakan bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang merupakan seorang pemegang kekuasaan dari kaisar sendiri, telah memerintahkan kepada penjaga keamanan kota agar mengerahkan pasukan untuk mengawalnya menangkap keluarga wangwe! Taijin tidak dapat menolong, dan tidak berani berbuat apa-apa selain mengutus saya untuk memberi tahu. Taijin menganjurkan agar wangwe sekeluarga cepat-cepat pergi dari kota ini, dan kalau mungkin menyeberang lautan!"

Souw Kwi Beng yang sudah menduga akan hal itu mengucapkan terima kasih dan orang itu pun cepat-cepat pergi melalui pintu belakang.

Hah, tidak urung begini jadinya," kata Souw Kwi Beng, Itulah jalan satu-satunya. Isteriku, cepatlah berkemas. Kita akan membawa barang-barang berharga saja dan terpaksa yang lain-lain kita tinggalkan pada orang-orang kita. Sebelum keadaan menjadi dingin, biarlah kita lari menyeberang ke selatan."

Yap Mei Lan nampak gelisah. Hhh, lalu... bagaimana dengan engkau, sute?"

"Suci, cihu benar. Kalian harus melarikan diri. Tidak mungkin melawan pemerintah. Kalian memiliki perahu-perahu besar dan membawa bekal kekayaan, pula, cihu memiliki banyak teman di luar negeri. Takut apa? Tentang aku..."

"Mari kalian ikut saja bersama kami!" kata Souw Kwi Beng.

Lie Seng menggelengkan kepala. erima kasih, cihu. Kalian sudah melimpahkan banyak kebaikan terhadap kami. Dan memang agaknya kami belum boleh hidup tenang. Kalian berangkatlah, sedangkan kami berdua akan mengambil jalan sendiri. Mari kubantu kalian berkemas, dan kau, Eng-moi... kau pulanglah dan berkemaslah sehingga kalau aku sudah selesai membantu suci sampai mereka berangkat, engkau sudah siap dan kita pun akan segera pergi hari ini juga."

Sun Eng memandang kepada Mei Lan yang juga memandangnya. Kedua orang wanita ini saling pandang dan biar pun keduanya adalah wanita-wanita perkasa yang tidak berwatak cengeng atau lemah, akan tetapi menghadapi perubahan hidup yang tiba-tiba itu mereka menjadi terharu dan akhirnya Sun Eng menubruk Mei Lan lalu keduanya berpelukan dan menangis.

"Enci, hati-hatilah di jalan...," Sun Eng berkata.

"Engkau pun berhati-hatilah, adik Eng... mari kau ikut ke kamar, engkau harus membawa bekal..."

Mei Lan menarik tangan Sun Eng memasuki kamarnya dan memberi banyak perhiasan-perhiasan berharga kepada Sun Eng yang menerimanya dengan hati terharu.

Akhirnya, dengan hati berat Sun Eng meninggalkan gedung itu untuk berkemas pula. Ada pun Lie Seng sibuk membantu suci-nya dan cihu-nya berkemas lalu mengangkuti barang-barang ke sebuah perahu besar milik Souw Kwi Beng yang sudah dipersiapkan. Kwi Beng mengumpulkan orang-orangnya kemudian menunjuk beberapa orang untuk menjadi wakil dalam mengatur perusahaannya.

Persiapan itu dilakukan secepatnya dan ketika lewat tengah hari berangkatlah perahu itu meninggalkan pelabuhan, melakukan pelayaran ke selatan. Lie Seng berdiri di pantai dan melambaikan tangan yang dibalas oleh suci-nya dan cihu-nya. Dia berdiri memandang sampai perahu itu hanya merupakan titik hitam.

Teringatlah dia kepada Sun Eng maka cepat dia berjalan pulang. Dia dan Sun Eng juga harus pergi secepatnya, karena kalau nanti pangeran itu mencari dan tidak menemukan Mei Lan dan Kwi Beng, tentu pangeran itu menjadi marah dan akan mencarinya.

Akan tetapi, ketika tiba di rumah dia melihat rumahnya sunyi dan kosong. Sun Eng tidak dapat ditemukan di dalam rumah itu. Memang dia melihat buntalan-buntalan, dan nampak bekas-bekas Sun Eng berkemas. Anehnya, perhiasan-perhiasan pemberian Yap Mei Lan pun ditinggalkan oleh Sun Eng dalam buntalan pakaiannya yang diletakkan di atas meja.

Jantung Lie Seng mulai berdebar penuh kekhawatiran ketika dia menemukan sesampul surat di atas buntalan pakaiannya. Dengan jari-jari gemetar dibukanya sampul surat itu dan wajahnya makin pucat ketika dia membaca surat tulisan tangan Sun Eng!

Kanda Lie Seng tercinta.

Terbuka kesempatan untuk melakukan sesuatu demi keselamatanmu serta keluargamu. Pangeran itulah yang menjadi sumber mala petaka bagi keluargamu. Maka tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Perkenankan aku menunjukkan harga diriku, koko. Aku harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Kalau aku gagal dengan menempuh jalan halus, akan kucoba membunuh pangeran itu. Selamat tinggal, koko, aku selamanya cinta padamu dan kenekatanku sekali ini pun karena cintaku kepadamu.

Yang mencinta selamanya, Sun Eng

"Eng-Moi...!" Lie Seng mengeluh.

Ingin dia menjerit, dan ingin dia mengejar, memaksa Sun Eng kembali kepadanya. Akan tetapi ke mana dia harus mencarinya? Apakah yang akan dilakukan oleh gadis itu?

Sejenak dia termangu, terduduk di atas kursi dengan muka pucat dan mata tak bersinar. Dia mengingat-ingat apa yang menyebabkan Sun Eng mengambil keputusan nekat seperti itu. Nekat dan berbahaya! Kemudian dia mengerti.

Selama ini Sun Eng merasa rendah diri, merasa tidak patut menjadi jodohnya, apa lagi melihat kebaikan yang dilimpahkan oleh Mei Lan dan suaminya kepada mereka berdua. Sekarang tiba-tiba saja muncul pangeran itu yang bukan hanya merupakan musuh besar keluarga Cin-ling-pai, juga pangeran ini yang menyebabkan keluarga Mei Lan terpaksa harus melarikan diri, bahkan menghancurkan pula kebahagiaan Sun Eng yang telah hidup aman tenteram bersama Lie Seng di Yen-tai. Inilah agaknya yang menjadi pendorong besar, dan memang seperti yang ditulis oleh Sun Eng, dia melihat kesempatan baik.

Akan tetapi, apa yang akan dilakukan? Membunuh pangeran itu? Ahhh, lamunan kosong belaka dan sama dengan membunuh diri! Lalu apa? Apa yang dilakukan oleh kekasihnya itu?

"Sun Eng...! Eng-moi...!" Lie Seng mengeluh.

Tanpa mempedulikan buntalan-buntalan itu, dia meloncat keluar dan dengan nekat dia lalu mencari keterangan di mana adanya Pangeran Ceng Han Houw! Dia harus mencari kekasihnya, harus mencegah kekasihnya berlaku nekat. Kalau perlu, dia akan melindungi Sun Eng dengan taruhan nyawanya!

Akan tetapi, dalam penyelidikannya dia mendengar bahwa pangeran itu sedang menjadi tamu agung di gedung Ciong-taijin, kepala daerah kota Yen-tai! Kemudian menurut hasil penyelidikannya pula, dia mendengar Sun Eng tidak berada di tempat itu. Hatinya merasa lega, akan tetapi segera dia merasa bingung kembali karena dia tidak tahu ke mana dia harus menyusul dan mencari Sun Eng.

Akhirnya dia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja, karena menurut suratnya, Sun Eng hendak berusaha menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Ini berarti bahwa tentu kekasihnya itu akan pengi ke kota raja untuk berusaha menghapus fitnah terhadap nama keluarga Cin-ling-pai itu. Bahkan di dalam surat itu, Sun Eng mengatakan bahwa kalau usahanya gagal, maka dia akan mencoba untuk membunuh Pangeran Ceng Han Houw. Ke mana lagi perginya kekasihnya itu kalau tidak ke kota raja?

Akan tetapi, Lie Seng yang kini melakukan perjalanan cepat ke kota raja itu tidak tahu bahwa sesungguhnya Sun Eng masih berada di Yen-tai! Wanita ini setelah mengadakan pembicaraan dengan kekasihnya, Mei Lan dan Kwi Beng, ketika pulang ke rumahnya dan berkemas, tidak pernah dapat membendung mengalirnya air matanya.

Mei Lan dan Kwi Beng demikian baik kepadanya, dan sekarang mereka itu menghadapi mala petaka! Dan sekarang dia harus bertindak! Tak mungkin dia diam saja. Sekarang dia harus menunjukkan baktinya terhadap keluarga Lie Seng. Dia harus melakukan sesuatu untuk mengangkat namanya sendiri, harus melakukan perbuatan yang akan menariknya keluar pecomberan yang pernah diciptakannya akibat penyelewengan-penyelewengannya sehingga ibu kekasihnya tak sudi menerimanya sebagai mantu. Dia akan memperlihatkan kepada mereka bahwa biar pun dia pernah menyeleweng, namun dia masih mempunyai kegagahan, masih memiliki harga diri yang ditimbulkan oleh perbuatannya yang membela Cin-ling-pai dan kalau perlu dia akan berkorban nyawa!

Tentu saja hatinya seperti disayat-sayat rasanya kalau dia teringat kepada Lie Seng, pria yang dicintanya dan sangat mencintanya. Dia akan jauh dari pria itu, dia akan menderita rindu, dia akan merasa kehilangan cumbu rayu dan selangit kemesraan yang dinikmatinya bersama Lie Seng. Akan tetapi, dia mengeraskan hatinya, dia harus melakukan ini selagi terdapat kesempatan, karena kalau tidak, segala kemesraan dengan Lie Seng itu selalu akan tidak lengkap, selalu akan ternoda oleh rasa rendah diri!

Demikianlah, dia lalu mempersiapkan segala sesuatu untuk pria yang dicintanya, bahkan pemberian perhiasan dari Mei Lan ditinggalkan untuk kekasihnya. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kepergiannya demikian menghancurkan hati Lie Seng hingga pria ini pun sampai tidak mempedulikan lagi semua benda-benda itu, bahkan pergi tanpa membawa apa pun!

Sun Eng yang merupakan penduduk baru di Yen-tai, dengan mudahnya dapat melakukan penyelidikan dan terus membayangi Pangeran Ceng Han Houw, tanpa dicurigai orang lain karena dia memang belum mempunyai banyak kenalan. Dia melihat betapa pangeran itu membawa pasukan setempat menyerbu ke rumah Souw Kwi Beng, akan tetapi tentu saja kedua suami isteri itu telah lama meninggalkan rumah, bahkan telah lama meninggalkan pelabuhan. Para pegawai mereka yang diperiksa menyatakan dengan terus terang bahwa majikan mereka bersama nyonya majikan berlayar ke selatan.

Pangeran Ceng Han Houw menjadi sangat kecewa dan marah, akan tetapi karena dia tak membutuhkan para pengawal itu, dia hanya memesan kepada Ciong-taijin supaya terus mengawasi dan kalau sewaktu-waktu suami isteri itu pulang, harus segera ditangkap dan dibawa ke kota raja! Kemudian, atas petunjuk dari para pegawai, dia membawa pasukan menyerbu rumah Lie Seng di mana dia pun mendapatkan rumah kosong belaka karena Lie Seng dan kekasihnya juga sudah kabur entah ke mana.

Sun Eng menyaksikan semua ini dari tempat persembunyiannya dan dia terus mengikuti perjalanan pangeran itu. Han Houw tidak lama tinggal di Yen-tai. Pada keesokan harinya, dia menunggang kereta yang disediakan oleh Ciong-taijin, menuju ke arah utara karena dia hendak kembali ke kota raja.

Akan tetapi dua hari kemudian, pada saat kereta itu melewati sebuah hutan, dia melihat sesosok tubuh wanita menggeletak di tengah jalan liar itu. Tentu saja kusir kereta cepat menghentikan keretanya dan ketika Han Houw membuka tirai memandang, dia melihat tubuh wanita itu dan dia merasa tertarik sekali, apa lagi melihat betapa pakaian wanita itu robek-robek hingga nampaklah kulit paha yang putih mulus! Hal seperti ini tentu saja amat menarik mata pangeran itu.

Dia segera meloncat turun, kemudian dengan beberapa lompatan saja dia sudah tiba di dekat wanita itu menelungkup dalam keadaan lemas, masih hidup namun keadaannya amat memelas sekali, selain pakaiannya robek-robek, juga lengan dan kakinya lecet-lecet dan sepatunya juga bolong-bolong, rambutnya awut-awutan.

Han Houw lalu membalikkan tubuh itu dengan memegang pundaknya. Sesudah tubuh itu membalik, dia pun terbelalak. Wanita ini masih amat muda dan cantik manis bukan main! Wajah itu pucat, akan tetapi kulitnya halus bukan main dan agaknya tadinya terpelihara baik-baik, dengan alis yang seperti dilukis saja, mata terpejam dengan bulu mata panjang, hidung kecil mancung dan mulut yang menggairahkan, dengan bibir penuh lembut serta lehernya panjang, putih mulus berbentuk indah.

Usia wanita ini tak akan lebih dari dua puluh tahun, dan di balik pakaian yang robek-robek itu, bahkan di bagian dada juga robek, membayanglah buah dada yang padat dan lekuk lengkung tubuh yang penuh berisi, tubuh seorang wanita muda yang mulai masak!

Han Houw cepat-cepat meraba nadi pergelangan tangan wanita itu. Lemah sekali! Dari pengetahuannya yang cukup tentang keadaan tubuh manusia, dia mengerti bahwa wanita ini tidak terluka, hanya sangat lelah dan mungkin sekali kelaparan! Wanita itu pun tidak pingsan, melainkan setengah sadar karena dia menggerakkan mata dan mulut. Mata itu terbuka perlahan dan untuk kedua kalinya Han Houw terpesona. Mata itu pun demikian indahnya, bening dan penuh perasaan, hanya terselimut duka yang mendalam.

Bibir yang kemerahan dan lunak itu berbisik-bisik, "Biarkan aku mati... ahhh, biarkan aku mati..."

"Hemm, engkau masih muda dan cantik, kenapa ingin mati, nona?"

Wanita muda itu menangis sesenggukkan. "...lebih baik mati dari pada hidup merana... aku akan tersiksa..."

"Hemmm, jangan takut! Setelah aku berada di sampingmu, biar raja setan neraka sekali pun takkan berani mengganggumu. Aku akan melindungimu. Mari engkau ikut denganku, nona."

Wanita itu lalu bangkit duduk dengan lemah, matanya yang seperti hendak terpejam saja, seperti mata orang mengantuk karena lemahnya itu, memandang wajah pria yang tampan itu. "Kau... kau... siapakah...?"

Wajah tampan itu tersenyum penuh gaya. "Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw...!"

"Aduh...! Ampunkan hamba...!" Wanita itu cepat-cepat berlutut dan memberi hormat, akan tetapi karena badannya lemah dia terguling dan tentu sudah roboh lagi kalau tidak cepat dirangkul Han Houw.

"Siapa namamu?"

"Hamba... hamba she Sun bernama Eng..."

Han Houw yang merangkul wanita itu mendekatkan mukanya dan mencium bau sedap, membuat hatinya makin berdebar penuh gairah.

"Maukah engkau ikut bersamaku, menikmati hidup dan terlepas dari penderitaanmu?" Dia berbisik dekat telinga wanita itu, hidungnya menyentuh pipi dengan lembut.

"Hamba... hamba mau... akan tetapi suami hamba..."

Sepasang alis pangeran itu berkerut, akan tetapi hatinya sudah terlampau tertarik dengan kecantikan dan kelembutan yang sudah terasa oleh kedua tangannya yang merangkul dan sudah tercium oleh hidungnya. "Suamimu...?"

"Hamba... melarikan diri dari suami hamba... kalau dia tahu hamba... hamba tentu akan dibunuhnya..."

Lega rasa hati Han Houw dan dia tersenyum. "Engkau lari darinya? Mengapa engkau lari dari suamimu?"

"Hamba... hamba dipaksa menikah dengan suami yang tua bangka itu... biar pun dia kaya raya, hamba tidak suka... dan setelah tiga bulan menjadi isterinya, hamba tidak sanggup menahan lagi maka hamba lalu melarikan diri. Sampai tiga hari tiga malam hamba lari... hamba tidak makan dan..."

Semakin giranglah hati Han Houw. Diciumnya mata kanan yang bening itu dengan ujung hidungnya. Sun Eng memejamkan matanya kemudian membuat suara dengan napasnya seperti tersentak kaget, sikap seorang wanita yang tidak biasa bermain gila dengan pria lain!

"Pangeran...! Jangan..."

Tentu saja sikap ini sangat menyenangkan bagi Han Houw, maka dia tersenyum. "Kalau begitu jangan khawatir, mari kau ikut bersamaku dan hidup senang di kota raja. Tentang suamimu tua bangka itu, kalau dia berani muncul, akan kujebloskan ke dalam penjara!" Tanpa menanti jawaban lagi, dia lalu memondong tubuh Sun Eng kemudian dibawanya ke dalam kereta.

Tirai kereta ditutup lantas dengan suara lantang gembira Han Houw memerintahkan kusir untuk membalapkan kereta itu menuju ke kota raja!

Dapatlah dibayangkan alangkah senangnya hati Han Houw menemukan seorang wanita secantik manis Sun Eng. Selama dalam perjalanan itu dia membelai dan membujuk rayu sehingga wanita itu tidak berani banyak berkutik atau bersuara karena merasa malu sekali terhadap kusir yang duduk di depan. Dia terpaksa diam saja ketika dipeluk, diciumi dan digerayangi oleh pangeran itu.

Sun Eng hanya memejamkan matanya, bahkan dicobanya untuk membayangkan bahwa yang diciuminya itu adalah Lie Seng, pria yang amat dicintanya! Hatinya perih bukan main bahwa dia terpaksa harus melakukan hal ini, terpaksa harus menyerahkan dirinya kepada seorang pria lain, betapa pun tampan, gagah dan tingginya kedudukan pria yang sedang memangkunya ini. Dia melakukan akal ini dengan perasaan hancur.

Hanya ini satu-satunya jalan, pikirnya. Satu-satunya jalan untuk mengorbankan diri demi kebaikan keluarga Lie Seng. Pertama, dia akan dapat berusaha menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai dengan cara menundukkan pangeran yang berkuasa ini. Ke dua, dia pun bisa memutuskan hubungannya dengan Lie Seng karena dia insyaf bahwa sesungguhnya dia tidak patut menerima cinta yang demikian besarnya dari Lie Seng.

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Diam-diam Sun Eng merasa heran, betapa cintanya terhadap Lie Seng sudah merubah dirinya sama sekali, merubah perasaan hatinya. Dia tahu pasti bahwa dulu, sebelum dia berjumpa dengan Lie Seng, tentu dia akan merasa bangga, merasa gembira bukan main bila bertemu dengan seorang seperti pangeran ini. Masih muda, tampan, pandai merayu, pandai bermain cinta, berkepandaian tinggi sekali, serta berkedudukan tinggi pula! Akan tetapi mengapa kini dia menerima belaian dan peluk cium pangeran ini dengan hati yang demikian perihnya?

"Ehh, mengapa engkau menangis?" bisik pangeran itu di dekat telinganya sesudah puas menciuminya dan melihat ada beberapa butir air mata menuruni kedua pipi yang halus dan kemerahan itu.

"Hamba... hamba takut...," bisik Sun Eng.

"Takut? Ha-ha-ha, aku suka padamu, Eng-moi, jangan takut, aku akan melindungimu dan mulai saat ini, semua orang akan menghormatimu. Hai, kusir, kita berhenti di kota ini dan pergi ke rumah kepala daerah!" Pangeran Ceng Han Houw berkata ketika melihat bahwa keretanya memasuki pintu gerbang sebuah kota.

Sun Eng digandeng turun sesudah kereta berhenti di depan gedung kepala daerah, dan pangeran itu bersama Sun Eng lalu disambut dengan penuh kehormatan. Memang benar seperti yang dijanjikan oleh pangeran itu, karena dia datang sambil digandeng oleh sang pangeran, maka Sun Eng disambut dengan penuh penghormatan!

Han Houw diberi kamar yang terindah di gedung itu, dan atas perintah Han Houw, kepala daerah itu bergegas mencarikan pakaian-pakaian yang paling indah untuk Sun Eng! Dan mereka berdua pun lalu dijamu dengan hidangan-hidangan istimewa yang serba lezat dan mahal! Sun Eng merasa seakan-akan dia hidup di dalam mimpi. Kepala daerah kota itu mengadakan pesta untuk menghormati dan menyenangkan dia!

Akan tetapi kembali dia menangis dan hatinya terasa hancur ketika pada malam itu dia terpaksa harus melayani sang pangeran bermain cinta. Dia hanya bisa menyerah, bahkan demi tercapainya rencana yang sedang dijalankannya, dia tidak hanya melayani dengan pasrah dan diam saja, bahkan sebaliknya dari pada itu, dia mempergunakan kepandaian dan pengalamannya untuk menyenangkan pangeran itu.

Pangeran Ceng Han Houw makin tergila-gila kepada Sun Eng dan pangeran yang cerdik ini merangkul dan bertanya, "Eng-moi, dari mana engkau mempelajari semua kelihaianmu yang penuh gairah ini?"

Sun Eng tersenyum dan bersikap malu-malu, lalu mencubit lengan pangeran itu.

"Ah, pangeran... saya yang setiap hari harus menderita... merasa tersiksa dalam pelukan seorang tua bangka yang napasnya sudah empas-empis, yang untuk mengangkat tubuh sendiri saja sudah tidak kuat... betapa setiap saat saya selalu merindukan seorang pria yang muda, kuat dan tampan seperti paduka... karena itu, tentu saja saya merasa sangat berterima kasih dan girang..."

Han Houw tertawa dan malam itu mereka bermain cinta tanpa mengenal lelah atau puas. Pada keesokan harinya, Han Houw melanjutkan perjalanan ke kota raja. Mulai saat itu, Sun Eng menjadi selir yang terkasih dari Han How. Selir baru ini, seperti biasa, diterima dengan penuh kerelaan dan sikap manis oleh selir-selir yang lain.

Pada jaman itu, selir-selir dari seorang bangsawan atau hartawan tidak ada yang berani menentang apa bila suami mereka yang lebih tepat disebut majikan mengambil selir baru. Apa lagi selir-selir Pangeran Ceng Han Houw yang kesemuanya tunduk dan takut sekali terhadap sang pangeran, di samping rasa kagum mereka dan keinginan mereka untuk menjadi orang yang paling dikasihi.

Sun Eng memang mengalami kehidupan yang mewah dan enak. Setiap hari dilayani para pelayan, hidup serba mewah, dan satu-satunya pekerjaan hanyalah bersama para selir lain melayani sang pangeran, berusaha menyenangkan hati pangeran sebaik mungkin. Dia terkenal sebagai selir baru yang pendiam terhadap lain selir, akan tetapi amat manis budi dan menarik terhadap sang pangeran sehingga sampai beberapa bulan lamanya dia menjadi selir terkasih dan paling dipercaya oleh Han Houw.

Menggunakan saat-saat sang pangeran terbuai oleh pelayanannya di dalam kamar, pada waktu pangeran muda itu dalam keadaan setengah mabuk oleh rayuannya, sedikit demi sedikit Sun Eng dapat memperkuat kepercayaan pangeran itu kepadanya hingga sedikit demi sedikit pula dia dapat mengorek rahasia pribadi sang pangeran!

"Aku adalah putera tiri dari Raja Sabutai yang besar!" demikian Han Houw berbisik dalam mabuknya sambil membelai Sun Eng penuh gairah birahi. "Dan aku akan menjadi orang terbesar di seluruh dunia! Aku mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi dan aku harus menjadi Jago Nomor Satu di dunia ini!"

Perlahan-lahan, dengan beberapa pertanyaan yang seolah-olah mengagumi dan memuji, dengan sikap manja yang amat menarik, disertai ciuman-ciuman hangat dan penyerahan diri penuh gairah, Sun Eng berhasil menuntun Han Houw sehingga pangeran muda ini akhirnya menceritakan semua cita-citanya.

Dia ingin menjadi jago nomor satu di dunia bukan sekedar memuaskan hatinya melainkan mengandung niat yang lebih besar. Yaitu, sesudah menjadi jagoan nomor satu, dia akan dapat menghimpun seluruh kekuatan kang-ouw untuk berdiri di belakangnya! Dan dia pun perlahan-lahan hendak menguasai para pimpinan bala tentara Kerajaan Beng-tiauw agar mereka pun berdiri di belakangnya. Kemudian, dengan bantuan ayah tirinya, Raja Sabutai yang akan melakukan penyerbuan lagi ke selatan, dia yang sudah siap di sebelah dalam ini akan menjatuhkan kekuasaan Kaisar Ceng Hwa, yaitu saudara tirinya, dan merebut tahta kerajaan.

"Ha-ha-ha, kekasihku, akulah yang patut menjadi kaisar, bukan?"

Sun Eng merangkul manja. "Tentu saja, pangeran. Di dunia ini tidak ada seorang pria lain mana pun yang lebih pantas menjadi kaisar selain paduka."

Han Houw tertawa dan mencium bibir yang setengah terbuka dan menantang itu. "Dan engkau mungkin menjadi permaisuriku!"

"Ahhh... pangeran, mana hamba ada harga untuk itu..."

"Kau cukup berharga, atau setidaknya engkau akan menjadi permaisuri ke dua, ke tiga atau selir terkasih."

"Ahhh, terima kasih, pangeran junjungan hamba..."

Demikianlah, dengan segala kepandaian yang ada padanya, Sun Eng membikin pangeran itu tergila-gila kepadanya dan mabuk rayuannya sehingga dia percaya benar dalam waktu kurang dari dua bulan saja.

Pada suatu senja, Pangeran Ceng Han Houw sedang mengaso di ruangan dekat taman. Dia duduk di atas sebuah kursi panjang yang dibuat amat indahnya, sebuah kursi rotan yang kepalanya berupa kepala seekor ular raksasa. Dengan santai pangeran itu duduk dengan kedua kaki lurus di atas kursi panjang itu, tersenyum nikmat dikelilingi oleh para selirnya terkasih.

Sun Eng duduk paling dekat dengannya, bahkan Sun Eng inilah yang bertugas memijati tubuh pangeran itu. Sun Eng memijati atau lebih tepat disebut membelai paha pangeran itu. Ada pula selir yang mengipasi leher pangeran karena hawa senja hari itu agak panas. Seorang selir lainnya membawa buah-buahan segar, dan ada seorang selir yang sedang melakukan tari sutera yang indah dengan diiringi suara musik merdu yang dimainkan oleh beberapa orang selir lain dengan yang-kim dan suling. Para selir itu semua cantik-cantik dan muda-muda, akan tetapi agaknya memang Sun Eng yang menjadi selir terkasih saat itu.

Sun Eng kelihatan diam termenung. Memang hatinya sedang gelisah sekali sesudah apa yang didengarnya dan dapat dikoreknya dari Pangeran Ceng Han Houw semalam, ketika dia melayani pangeran itu. Untung bahwa saat itu pangeran sedang kelelahan dan malas memperhatikan sesuatu sehingga tak nampak oleh sang pangeran betapa kekasihnya itu termenung. Pangeran itu terlampau lelah karena sesudah semalam dia hampir tidak tidur dan berenang dalam lautan permainan asmara bersama Sun Eng, pada siang hari tadi dia masih mengumbar nafsu birahinya dengan para selir lain.

Di dalam hati Sun Eng terjadi keraguan akan hasil dari pada semua pengorbanannya. Dia mendengar dari pangeran ini bahwa yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai bukanlah kaisar atau pemerintah. Kaisar hanya terkena hasutan dari Kim Hong Liu-nio yang mendendam kepada keluarga Cin-ling-pai karena dua hal.

Pertama, karena keluarga itu adalah musuh besar subo-nya. Ke dua karena Kim Hong Liu-nio merasa sakit hati atas kematian Panglima Lee Siang, dan justru pembunuh dari panglima kekasih Kim Hong Liu-nio itu adalah Lie Seng! Jadi bukan pangeran inilah yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai!

Apa bila demikian, percuma saja dia menghambakan diri kepada pangeran ini! Hampir dia putus asa, akan tetapi setidaknya dia hendak mempergunakan pengaruhnya sebagai selir terkasih, menggunakan pengaruh tangannya pula! Dia harus membongkar semua rahasia Pangeran Ceng Han Houw ini kepada kaisar! Akan tetapi bagaimana caranya dan mana buktinya? Tanpa bukti, tentu saja tidak mungkin hal itu dilakukan. Kaisar tentu akan jauh lebih mempercayai seorang adik tiri dari pada seorang selir pangeran!

Pada waktu itu, selagi Pangeran Ceng Han Houw hampir tertidur karena keenakan dibuai oleh suara musik dan dipijati Sun Eng, dengan silirnya kebutan kipas, mendadak seorang pengawal melaporkan bahwa ada tamu dari utara yang hendak datang menghadap. Saat mendengar kedatangan tamu dari utara, Pangeran Ceng Han Houw seketika bangkit dan wajahnya membayangkan kesungguhan serta penuh semangat, kemudian dengan berseri dia berkata,

"Suruh dia menanti di ruangan baca di dalam."

Pengawal itu memberi hormat kemudian cepat keluar. Ruangan baca merupakan ruangan di sebelah dalam yang menjadi kamar rahasia dari pangeran itu. Biasanya siapa pun tidak boleh memasukinya. Kalau sekarang seorang tamu dipersilakan masuk ke dalam ruangan itu, maka mudah diduga bahwa tamu itu tentu seorang yang amat penting.

"Pangeran, bolehkah hamba ikut?" tiba-tiba Sun Eng berbisik.

Pangeran menoleh dan sudah bersiap untuk menolak dan menyuruhnya pergi, akan tetapi pada saat dia memandang sinar mata lembut penuh cinta kasih itu, mata dan mulut yang membayangkan permohonan mendalam agar diperkenankan selalu di dekatnya, maka dia tersenyum, merangkul dan mencium bibir Sun Eng sampai lama, dipandang dengan rasa iri tersembunyi oleh para selir lainnya.

"Hanya engkau saja yang boleh, aku percaya kepadamu," bisik pangeran itu yang segera menggandeng tangannya dan diajaklah selir terkasih ini ke dalam menuju ke kamar baca itu.

Tiga orang yang duduk di dalam kamar yang luas dengan diterangi lampu-lampu besar itu langsung bangkit berdiri dan mereka cepat menjatuhkan diri berlutut di hadapan Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran itu lantas menggerakkan tangannya menyuruh mereka berdiri, lalu dia sendiri duduk di atas kursi kepala, menarik tangan Sun Eng dan menyuruh selir ini duduk di samping kirinya.

"Duduklah dan ceritakan hasil dari tugas-tugas kalian," katanya tenang.

Tiga orang itu kelihatan ragu-ragu dan dengan alis berkerut mereka memandang kepada Sun Eng, agaknya merasa heran, bingung dan khawatir. Sang pangeran tersenyum ketika melihat sikap mereka itu. Sambil merangkul pundak selimya dia berkata,

"Jangan kalian meragu. Dia ini adalah selirku yang tercinta, orang yang paling kupercaya di sini. Kalian boleh bicara tanpa ragu-ragu."

Sun Eng menundukkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya sebab saat itu dia merasa tegang bukan main. Dia tidak mengenal ketiga orang ini dan tadi dia memandang penuh perhatian.

Salah seorang di antara mereka adalah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, mukanya hitam brewok menyeramkan. Dia tidak tahu bahwa orang ini adalah seorang tokoh selatan yang sangat terkenal, karena dia adalah Hai-liong-ong Phang Tek, orang pertama dari Lam-hai Sam-lo yang amat ditakuti orang.

Ada pun orang ke dua dan ke tiga adalah orang asing, kemungkinan orang Mongol, dan pandang mata mereka itu tajam sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang cerdik. Salah seorang di antara keduanya, yang usianya kurang dari lima puluh tahun, sesudah membungkuk-bungkuk dengan hormat kemudian bicara singkat dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sun Eng kepada pangeran.

Dan sambil tersenyum-senyum sang pangeran menjawab dalam bahasa itu pula, agaknya menghibur dan menenangkan hati orang Mongol itu. Orang ke dua yang usianya kurang lebih enam puluh tahun membuat Sun Eng merasa tidak enak karena sinar mata orang ke dua ini seolah-olah mampu menelanjanginya. Mata pria yang cabul.

"Nah, sam-wi, silakan sekarang membuat laporan. Selirku yang satu ini sama saja dengan isteriku, maka boleh dipercaya sepenuhnya."

Kembali orang Mongol yang lebih tua itu bicara dalam bahasa Mongol, lalu menyerahkan sebuah kotak hitam. Sun Eng ingin sekali mengetahui, akan tetapi karena tidak mengerti bahasa mereka, dia hanya termangu-mangu. Girang hatinya ketika dia melihat pangeran membuka peti itu lantas mengeluarkan gulungan kertas yang merupakan surat dari Raja Sabutai kepada puteranya! Sang pangeran membaca surat itu lalu tertawa.

"Ha-ha-ha, ayahanda Raja Sabutai masih suka menggunakan peraturan kuno, mengirim surat secara resmi! Syukurlah bahwa kini di utara telah diadakan persiapan. Nah, Phang-lo-enghiong, ketahuilah bahwa sekutu kita di utara sudah siap. Karena itu kita juga harus cepat-cepat mempersiapkan diri. Apakah engkau telah menghubungi fihak Pek-lian-kauw yang sudah kutundukkan?"

Dengan sikap sangat menghormat, kakek tua yang tinggi besar itu mengangguk. "Sudah, pangeran, Kim Hwa Cinjin sudah menyatakan bahwa seluruh anggota Pek-lian-kauw telah siap untuk membantu paduka."

"Bagus! Kalau demikian tinggal menghimpun orang-orang kang-ouw, dan untuk itu perlu lebih dulu diadakan pertemuan besar untuk memperebutkan gelar jago nomor satu. Kalau aku dapat merebut gelar itu, tentu mudah untuk mempengaruhi mereka. Kau boleh atur pertemuan besar itu..."

"Baik, pangeran."

Melihat selirnya yang tercinta itu kelihatan kesal karena agaknya tidak tertarik, Pangeran Ceng Han Houw lalu memegang lengannya dan berkata, "Eng-moi, kau lebih baik pergi mengaso dulu. Ehh, baiknya kotak ini kau bawa dan kau simpan dulu baik-baik di dalam kamarmu. Aku masih hendak mengadakan perundingan penting dengan para tamu ini dan engkau tidak perlu mendengarkan karena engkau tentu tidak tertarik."

Sun Eng menyembunyikan debar jantungnya karena girang. Dia memberi hormat dengan sikap manis dan berkata, "Baik, pangeran. Hamba akan menanti paduka dan menyiapkan segalanya untuk menyenangkan paduka..." Dalam ucapan ini terkandung janji-janji yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Wajah pangeran itu berseri-seri akan tetapi dia lalu mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara lirih.

"Ah, agaknya malam ini kami akan berunding sampai jauh malam, mungkin sampai pagi. Kau mengasolah saja, Eng-moi, engkau perlu beristirahat setelah..." dia tidak melanjutkan kata-katanya, hanya tersenyum dan Sun Eng berhasil memperlihatkan sikap tersipu-sipu.

Memang selama hampir dua bulan itu, hampir setiap malam sang pangeran tentu berada di dalam kamarnya dan mereka itu seperti sepasang pengantin baru berbulan madu saja. Kembali dia memberi hormat, lalu mengundurkan diri membawa kotak hitam terukir indah itu.

Setelah tiba di dalam kamamya, Sun Eng cepat-cepat mengeluarkan alat tulis dan kertas kosong, lalu dengan cepat dia mengerahkan seluruh ingatannya untuk menyusun sebuah surat pelaporan kepada kaisar! Ditulisnya semua rahasia dari Pangeran Ceng Han Houw, betapa pangeran ini sudah mengadakan persekutuan dengan Raja Sabutai dan dengan orang-orang kang-ouw, bahkan dengan Pek-lian-kauw yang telah siap membantu apa bila Raja Sabutai mengadakan serbuan!

Betapa keluarga Cin-ling-pai difitnah oleh Kim Hong Liu-nio, diceritakannya selengkapnya dalam pelaporan itu tentang asal mula keluarga Cin-ling-pai kena fitnah. Semua ini telah didengarnya sendiri dari penuturan Pangeran Ceng Han Houw!

Sesudah selesai membuat surat itu, Sun Eng berganti pakaian ringkas yang disimpannya secara sembunyi, kemudian dia meninggalkan gedung besar itu melalui jendela dan terus berloncatan di atas genteng. Selir yang biasanya sangat manja dan lemah lembut penuh daya tarik kewanitaan itu, kini berubah menjadi bayangan yang amat gesit dan ringan.

Selama menjadi selir terkasih Pangeran Ceng Han Houw, merayu pangeran itu di dalam belaiannya, Sun Eng telah pula mengenal nama-nama para pejabat tinggi yang dianggap musuh oleh sang pangeran, sebab pejabat itu merupakan pembesar-pembesar yang amat setia kepada kaisar.

Oleh karena itu bayangan hitam yang berkelebatan pada malam hari berlompatan di atas genteng-genteng itu kini menuju sebuah gedung besar, yaitu tempat tinggal dari Menteri Liang, seorang menteri tua yang terkenal sangat setia terhadap pemerintah. Akan tetapi karena kedudukannya hanyalah sebagai menteri bagian kebudayaan, maka kejujuran dan keadilannya tak dapat berbuat banyak terhadap para menteri durna yang lain. Maklumlah, kedudukannya tidak mengijinkan dia mencampuri urusan-urusan lain yang lebih penting dan lebih dekat dengan kaisar.

Para pengawal cepat mengepung Sun Eng ketika wanita ini tiba di pintu gerbang besar menteri itu, "Saya bernama Sun Eng, dan saya mohon menghadap Liang-taijin karena ada urusan yang amat penting sekali. Urusan yang menyangkut keamanan negara."

Mendengar ini, para pengawal segera melaporkan kepada Liang-taijin. Pembesar ini tidak pernah takut menghadapi apa pun juga, maka mendengar betapa malam-malam begitu ada seorang wanita cantik yang diduga adalah seorang wanita kang-ouw ingin menghadap membawa berita penting, tentang keamanan negara, dia segera menyuruh para pengawal mengantar wanita itu ke ruang tamu. Tentu saja demi keamanan dirinya sendiri, dia juga memerintahkan para pengawal untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan.

Dengan jantung berdebar Sun Eng lalu memasuki kamar tamu, diiringkan oleh belasan orang pengawal yang memegang tombak. Sesudah dia berjumpa dengan pembesar tua yang berwibawa itu, dia segera menjatuhkan diri berlutut. "Hamba adalah seorang selir baru dari Pangeran Ceng Han Houw..."

"Ahhh...!" Menteri tua itu bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan penuh selidik.

"Hamba sengaja menjadi selirnya hanya untuk menyelidiki keadaan Pangeran Ceng Han Houw dan inilah hasil penyelidikan hamba, harap paduka sudi melaporkannya kepada sri baginda kaisar untuk menyelamatkan kerajaan." Dengan singkat tetapi jelas Sun Eng lalu menceritakan kedatangan tamu dari utara yang membawa surat dari Raja Sabutai itu, dan menambahkan, "Semua fitnah yang dijatuhkan kepada keluarga Cin-ling-pai telah hamba tulis dalam laporan ini. Sekarang hamba mohon diri sebelum hamba ditangkap oleh sang pangeran di tempat ini. Hamba harus cepat melarikan diri."

Melihat wanita cantik itu memberikan sebuah bungkusan kain berwarna kuning, menteri itu tidak berani lancang menerima dan menyuruh seorang kepala pengawal menerimanya dan melihat wanita itu sudah bangkit dan hendak pergi, dia cepat bertanya. "Nanti dulu, nona. Kami ingin mengetahui siapakah nona dan mengapa nona melakukan semua ini?"

"Hamba adalah seorang yang berhutang budi kepada keluarga Cin-ling-pai, maka hamba sengaja melakukan ini demi untuk menolong keluarga Cin-ling-pai. Selamat tinggal, taijin."

Dengan mempergunakan ginkang-nya, Sun Eng sudah melompat dan lenyap dari tempat itu. Gerakannya sedemikian cepat dan gesitnya sehingga membuat menteri itu terkejut. Ketika para pengawalnya bergerak hendak mengejar, dia memberi tanda dengan tangan mencegah mereka kemudian dia menyuruh pengawal membuka buntalan itu.

Di lain saat Liang-taijin sudah memeriksa gulungan surat dalam kotak hitam dengan mata terbelalak seolah-olah dia tidak percaya akan apa yang dilihat dan dibacanya. Jelaslah isi surat dalam bahasa Mongol itu bahwa Raja Sabutai mengatur rencana pemberontakan lagi dan kini dibantu oleh putera angkatnya yang sebetulnya putera dari mendiang Kaisar Ceng Tung, atau saudara tiri Kaisar Ceng Hwa yang sekarang!

Dengan jari-jari tangan gemetar Liang-taijin lalu membaca semua pelaporan yang ditulis secara tergesa-gesa namun lengkap dan jelas oleh Sun Eng. Maka dia lalu menyimpan baik-baik semua benda itu kemudian memerintahkan para pengawal supaya melakukan penjagaan yang seketatnya dan secara diam-diam dia menyuruh panggil para pembesar lain yang sehaluan, yaitu para pembesar yang setia kepada kaisar dan yang diam-diam menentang semua sepak terjang Pangeran Ceng Han Houw dan Kim Hong Liu-nio yang selama ini bersikap sewenang-wenang, bahkan telah menyebabkan keluarga Cin-ling-pai yang sejak dahulu terkenal sebagai keluarga gagah yang dianggap pemberontak.

Malam itu juga para pembesar ini mengadakan perundingan dan memeriksa surat-surat itu. Akhirnya diambil keputusan untuk menyerahkan surat-surat itu kepada Pangeran Hung Chih, yaitu seorang pangeran kakak tiri dari kaisar sendiri yang terkenal sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan seolah-olah dialah yang menjadi penasehat dari kaisar.

Malam itu juga Pangeran Hung Chih menerima berita itu berikut semua bukti-buktinya, maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali pangeran ini telah menghadap kaisar dan melaporkan segala yang didengarnya itu berikut bukti-buktinya, yaitu surat Raja Sabutai kepada Pangeran Ceng Han Houw, dan juga laporan yang ditulis oleh Sun Eng.

Kaisar terkejut bukin main, wajahnya berubah merah karena marah. Akan tetapi dengan bijaksana dia lalu memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk menanggulangi persoalan itu dengan pesan agar pangeran itu berhati-hati dalam menghadapi Ceng Han Houw, mempergunakan kebijaksanaan agar tidak sampai terjadi perang saudara. Apa lagi bila diingat bahwa di samping Ceng Han Houw merupakan seorang pangeran yang diakui oleh mendiang ayah mereka sendiri, juga Kim Hong Liu-nio, suci dari pangeran ini pernah berjasa terhadap mendiang Kaisar Ceng Tung.

"Akan tetapi, bagaimana pun juga, kepentingan kerajaan harus didahulukan dan mereka yang hendak memberontak, siapa pun juga harus ditumpas secara halus mau pun, kalau perlu, kasar!"

Demikianlah, Pangeran Hung Chih yang telah mendapat kekuasaan penuh secara tertulis dari kaisar sendiri, lalu membuat persiapan-persiapan dan mengatur rencana dan siasat untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw secara halus.

                ***************

 Sun Eng merasa lega sekali sesudah dia menyerahkan semua benda itu kepada Menteri Liang. Dia merasa yakin bahwa usahanya tentu akan berhasil dengan baik. Menteri Liang tentu akan terkejut sekali dan pasti akan menyampaikan berita yang sangat penting bagi keamanan kerajaan itu kepada kaisar. Tugasnya telah selesai dan dia sudah melakukan sesuatu demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai. Bukan itu saja, bahkan dia telah berjasa untuk kerajaan!

Akan tetapi di samping perasaan bangga bahwa dia telah mampu mengangkat namanya, memberi isi kepada namanya sehingga dia tak akan terlampau rendah dalam pandangan keluarga Cin-ling-pai, ada perasaan duka yang mendalam kalau dia teringat betapa untuk semua hasil itu, dia telah menyerahkan diri dan menjadi permainan Pangeran Ceng Han Houw! Setelah semua yang dia lakukan itu, apakah dia ada harga lagi untuk melanjutkan hubungannya dengan Lie Seng? Ah, rasanya untuk bertemu muka saja pun dia sudah tak sanggup lagi!

Mengingat hal ini Sun Eng tak dapat menahan air matanya yang bercucuran. Dia merasa betapa dirinya kotor sekali, lebih kotor dan tidak berharga dari pada sebelum dia membuat jasa terhadap keluarga Cin-ling-pai! Memang dia telah melakukan sesuatu untuk keluarga Cin-ling-pai atau lebih tepat untuk Lie Seng karena memang inilah tujuannya, akan tetapi cara yang digunakannya untuk mencapai tujuan itu membuat dia merasa semakin kotor!

Padahal tujuannya adalah untuk membersihkan dirinya. Kini tujuan itu telah tercapai, akan tetapi dia tak merasa bangga, tak merasa bahagia, malah sebaliknya, tercapainya tujuan itu membuat dia merasa dirinya semakin kotor lagi dari pada sebelumnya.

Tidaklah mengherankan keadaan Sun Eng ini. Apa yang dia lakukan semua itu menurut jalan pikirannya adalah pengorbanan untuk Lie Seng, untuk keluarga Cin-ling-pai. Padahal, pada hakekatnya, sama sekali tidaklah demikian.

Pada dasarnya, semua yang dilakukannya itu timbul dari rasa sayang diri, timbul dari rasa iba diri, dan semua itu untuk menyenangkan hatinya sendiri. Sebaliknya, dia melakukan itu dengan dasar agar dia dihargai, agar dia dikagumi, agar dia tak dipandang rendah lagi karena penyelewengan yang pernah dilakukannya. Semua ini dilakukannya demi dirinya sendiri, yang oleh pikirannya sendiri lantas disulap menjadi perbuatan baik demi orang lain. Bahkan jalan pikiran yang palsu membuat dia tadinya condong beranggapan bahwa pengorbanan yang dilakukannya adalah suci.

Oleh karena pikirannya mendorong dia selalu memandang kepada tujuan saja, sedangkan semua tujuan ini sudah pasti menuju kepada kesenangan diri pribadi, sungguh pun boleh saja mengenakan pakaian lain sehingga kelihatannya seolah-olah demi kesenangan atau kebahagiaan orang lain, maka mata menjadi buta tidak dapat melihat lagi yang terpenting dari pada segala gerakan hidup, yaitu tindakannya itu sendiri atau cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.

Tujuan membutakan mata terhadap cara. Tujuan bahkan kadang-kadang menghalalkan segala cara! Tujuan adalah nafsu keinginan memperoleh sesuatu. Dan kalau cara yang digunakan tidak benar, mana mungkin akhirnya benar? Tidak mungkin menanam rumput keluar padi! Tidak mungkin cara yang tidak benar menghasilkan sesuatu yang benar.

Hanya kalau batin tak lagi dibutakan oleh tujuan yang pada hakekatnya hanyalah nafsu keinginan memperoleh kesenangan, maka batin menjadi waspada akan segala tindakan, akan segala cara hidup yang ditempuhnya setiap saat. Dan kewaspadaan ini tentu akan melahirkan tindakan yang benar. Tindakan benar adalah tindakan wajar tanpa didorong oleh nafsu keinginan memperoleh hasil atau kesenangan atau keuntungan dari tindakan itu.

Akan tetapi Sun Eng terjebak oleh pikirannya sendiri. Tadinya dia menganggap bahwa dia telah mengorbankan diri demi orang lain, demi orang yang dicintanya, dan dia buta untuk melihat bahwa pengorbanan yang dilakukannya itu, cara yang ditempuhnya itu merupakan cara yang kotor bagi seorang wanita. Dia hendak mencuci kekotoran yang dianggapnya menempel pada dirinya dengan melumuri badan dengan kotoran lain! Tentu saja hal ini tidak mungkin.

Dan akibatnya kini dia menyesal, kini dia meragu, kini dia merasa takut untuk berjumpa dengan Lie Seng, sungguh pun dia telah berjasa terhadap Cin-ling-pai, bahkan terhadap kerajaan.

Dengan isak tertahan dan air mata masih bercucuran Sun Eng mendekati pintu gerbang untuk melarikan diri malam itu juga keluar kota raja. Tetapi dia terlalu memandang rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika di dekat pintu gerbang mendadak muncul beberapa orang dari tempat gelap dan di antara mereka terdapat Pangeran Ceng Han Houw sendiri!

Seketika pucatlah wajah Sun Eng, apa lagi karena dia mengenakan pakaian hitam, wajah yang putih halus itu kelihatan sepucat kapur, matanya terbelalak dan mulutnya setengah ternganga tanpa mampu mengeluarkan kata-kata hanya memandang wajah tampan yang kini tersenyum dingin itu.

"Bukankah engkau ini Eng-moi? Ahhh, hampir aku tidak mengenalmu lagi, Eng-moi! Sejak kapan engkau berganti pakaian seperti ini, berkeliaran di tengah malam dan gerakanmu demikian gesit?"

Tentu saja Sun Eng yang menjadi bingung dan gugup itu sejenak tidak mampu menjawab dan ketika akhirnya dia dapat menjawab, suaranya gemetar serta tergagap. "Pangeran... hamba... hamba merasa sunyi dan... dan ingin berjalan-jalan mencari angin..."

Jawaban itu tentu saja sedapatnya karena pikirannya sudah mulai mencari jalan keluar, maklum bahwa dia telah tersudut. Dia melihat bahwa pangeran itu muncul bersama kakek tinggi besar dan belasan orang pengawal yang sudah mengepung tempat itu.

"Jalan-jalan makan angin...? Hemm, Eng-moi, marilah kita pulang dan bicara baik-baik di rumah...!" Pangeran itu dengan senyum dingin menghampiri.

"Tidak... hamba... hamba ingin jalan-jalan dahulu...!" Karena takutnya Sun Eng bingung untuk menjawab, bahkan dia sudah melangkah mundur, kemudian meloncat ke kiri untuk melarikan diri.

Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek tinggi besar itu sudah berada di hadapannya. Sun Eng maklum bahwa tidak ada jalan lain baginya. Jalan halus sudah tidak mungkin dilakukannya, sebab itu satu-satunya jalan hanyalah mencoba untuk meloloskan diri dengan kekerasan.

"Minggir!" bentaknya dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan dahsyat ke arah dada lawan.

Sebagai murid dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, tentu saja wanita ini sudah memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan pukulannya yang dilakukan dalam keadaan terjepit itu amat dahsyatnya.

Terkejut juga Pangeran Ceng Han Houw saat melihat pukulan itu, tak disangkanya bahwa selirnya yang terkasih ini memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya. Ngeri dia memikirkan betapa dia bermain cinta dengan seorang wanita selihai itu dan kalau wanita itu menghendaki, di waktu dia tertidur nyenyak dalam pelukan wanita itu, tentu dapat dan mudah saja bagi wanita itu untuk membunuhnya!

Hai-liong-ong Phang Tek adalah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo, ilmu kepandaiannya sangat tinggi, masih jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat Sun Eng, maka dia tidak gentar menghadapi pukulan dahsyat itu. Oleh karena kakek ini tadinya mengenal sang pangeran, maka biar pun kini timbul dugaan bahwa wanita ini menjadi pengkhianat, namun dia pun masih belum berani untuk berlancang tangan melukai wanita yang menjadi selir terkasih junjungannya. Oleh karena itu, menghadapi serangan Sun Eng, dia hanya menangkis saja sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukkk!"

Sun Eng terhuyung ke belakang sehingga dia terkejut sekali. Ternyata kakek ini memiliki tenaga yang amat kuat! Dia terhuyung dan sebelum dia dapat menguasai keseimbangan badannya, tiba-tiba lengannya sudah ditangkap oleh Han Houw.

Sun Eng meronta, akan tetapi tidak mampu melepaskan lengan kanannya maka dia cepat membalik lantas secara nekat dia menghantamkan tangan kirinya ke arah leher pangeran itu dengan maksud jelas membunuhnya kalau mungkin dengan sekali pukul. Oleh karena itu, pukulan itu pun hebat bukan main dan ditujukan ke arah jalan darah pada leher sambil dia mengerahkan seluruh tenaganya.

"Plakkk!"

Kembali pergelangan tangan kirinya kena ditangkap dengan mudah oleh pangeran itu.

"Hemm, engkau hendak membunuhku, ya?!" bentak Han Houw dengan marah sambil dia mengerahkan tenaga.

Pegangan pada kedua pergelangan lengan wanita itu menjadi kuat sekali hingga Sun Eng merasa nyeri bukan main, sampai seperti menusuk jantung rasanya dan dia menyeringai. Agaknya, melihat wajah yang biasanya sangat manis memikat dan yang biasanya diciumi dan dibelai itu menyeringai kesakitan, Han Houw merasa kasihan juga sehingga dia cepat mengendurkan pegangannya, kemudian dengan sekali totok dia membuat Sun Eng lemas dan lumpuh. Digerayanginya seluruh tubuh Sun Eng untuk mencari kotak hitam, namun ternyata Sun Eng tidak menyembunyikan apa-apa.

"Di mana kotak itu? Di mana surat itu?" desisnya marah.

"Hamba... hamba tidak tahu... hamba tinggalkan di dalam kamar...," Sun Eng menjawab sedapatnya saja.

Han Houw telah menggerakkan tangan, akan tetapi ditahannya dan dia hanya mendorong tubuh wanita itu. Sun Eng yang sudah tertotok lumpuh itu terguling roboh.

"Bawa dia!" bentak Han Houw dengan suara bernada kesal.

Han Houw lalu pergi diiringkan oleh Hai-liong-ong Phang Tek beserta para pengawal yang menggotong Sun Eng yang tidak dapat jalan sendiri itu.

Pada waktu itu, Sun Eng sudah tenang kembali. Apa bila tadi dia menjadi gugup adalah karena dia sama sekali tidak mengira akan tertangkap secepat itu. Rasa kaget membuat dia gugup sekali. Akan tetapi sekarang, sesudah dia tahu benar bahwa tidak ada harapan baginya, dia malah menjadi tenang.

Sebaiknya begini, pikirnya. Sebaiknya aku mati saja, akan tetapi dia akan mati penasaran kalau usahanya itu tak berhasil, kalau Menteri Liang tidak melanjutkan laporannya kepada kaisar dan bila kaisar tidak mengambil tindakan terhadap pangeran ini dan membebaskan keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan.

Setelah sampai di istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng dilempar ke atas dipan di dalam kamarnya. Han Houw lantas menyuruh semua orang keluar dan dia duduk di atas bangku di dekat dipan. Sampai lama dia memandang kepada wajah Sun Eng, kadang-kadang menarik napas panjang, kadang-kadang dia mengepal tinju dengan marah.

"Sun Eng, selama ini engkau tentu tahu betapa aku telah jatuh hati kepadamu, betapa aku menyayangmu. Tidak tahunya, semua sikapmu adalah palsu!" Han Houw mengepal tinju. "Sepatutnya kita tak perlu banyak bicara lagi dan aku harus membunuhmu! Ketika engkau rebah di jalan dahulu itu, ternyata semua itu hanyalah siasatmu untuk dapat menyelundup ke sini dan memperoleh kepercayaanku belaka! Sungguh aneh, engkau mengorbankan dirimu yang kau serahkan seluruhnya kepadaku, hanya untuk mengetahui rahasiaku dan mengkhianatiku! Wanita palsu, siapakah engkau sesungguhnya?" Han Houw membentak dan memandang tajam.

Sun Eng diam saja, terlentang dan menatap langit-langit kamar yang amat dikenalnya itu. Selama puluhan hari, kamar ini merupakan tempat dia bercumbu rayu dengan pangeran ini. Betapa seringnya dia membayangkan wajah Lie Seng di langit-langit itu pada saat dia sedang melayani sang pangeran dalam permainan cintanya. Kini pun dia membayangkan wajah Lie Seng pada langit-langit putih itu.

"Baiklah, agaknya engkau bertekad untuk menutup mulut," kata Ceng Han Houw. "Akan tetapi semua itu pun tidak ada gunanya dan aku tidak peduli. Yang terpenting, hayo kau katakan di mana engkau menyembunyikan kotak surat itu. Apa bila engkau menyerahkan benda itu kembali kepadaku, aku berjanji akan membebaskanmu, demi mengingat semua hubungan kita yang lalu dan mengingat pula betapa engkau sudah banyak mendatangkan kesenangan padaku."

Akan tetapi Sun Eng tetap membisu, bahkan menengok pun tidak kepada pangeran itu. Han Houw mengerutkan alisnya. Dia mengalami pukulan-pukulan batin yang cukup parah. Pengkhianatan Sun Eng ini, kenyataan bahwa wanita ini ternyata tidak mencintanya, akan tetapi hanya mempermainkan dirinya, benar-benar merupakan pukulan bagi harga dirinya.

Dia tadinya mengira bahwa semua wanita tentu akan tergila-gila kepadanya dan dengan senang hati akan bertekuk lutut menyerahkan diri kepadanya. Akan tetapi, kalau dulu dia pernah merasa terpukul oleh penolakan gadis kembar Kui Lan dan Kui Lin, kini dia lebih terpukul lagi karena wanita ini bahkan hanya mempermainkannya untuk mengkhianatinya. Dia dianggap sebagai seorang pria hidung belang biasa saja yang lemah terhadap wanita!

Tiba-tiba saja pangeran itu merubah sikapnya. Dia lalu menghampiri Sun Eng yang masih terlentang kemudian dia duduk di tepi pembaringan, lalu membungkuk sehingga wajahnya menyentuh wajah Sun Eng.

"Eng-moi... mungkinkah tidak ada sedikit pun perasaan cinta di dalam hatimu terhadap aku? Mungkinkah engkau melupakan segala kemesraan yang terjadi di antara kita selama ini? Aku tahu benar, andai kata di lubuk hatimu tidak ada cinta kasih untukku, setidaknya engkau juga menikmati hubungan kita... engkau tak mungkin bisa menipuku dalam hal itu. Eng-moi... aku hanya menghendaki surat dalam kotak hitam itu kembali. Itu adalah surat ayahku, untukku..."

Suara pangeran itu merayu lantas bibirnya menyentuh bibir Sun Eng, dan diciuminya bibir wanita itu dengan penuh kemesraan seperti biasa dia mencium Sun Eng, dan biasanya selalu wanita itu akan membalas dengan penuh perasaan dan gairah. Akan tetapi, sekali ini, mulut yang setengah terbuka itu diam saja, bibir itu tidak menjawab, bahkan mulut itu terasa dingin, sama sekali tidak ada gairah.

Akhirnya terdengar bibir itu berbisik, "Bunuhlah aku... bunuhlah..."

"Engkau minta mati?" Suara sang pangeran masih lembut. "Akan kuturuti, engkau minta apa pun minta mati, minta bebas atau minta tetap berada di sampingku, akan kuturuti asal engkau mau menyerahkan kembali surat itu. Di manakah engkau menyimpannya?"

Akan tetapi Sun Eng menggelengkan kepala keras-keras. "Tidak akan kuberikan, biar aku dibunuh sekali pun!"

Wajah yang tampan itu kini berubah merah, sepasang matanya mencorong menyinarkan kemarahan. "Perempuan rendah berhati palsu! Agaknya setan neraka yang menyuruhmu memusuhi aku! Kalau begitu, biar kau rasakan siksa neraka lebih dahulu, hendak kulihat apakah engkau tidak akan mengembalikan surat itu kepadaku!"

Sesudah berkata demikian, Ceng Han Houw mengambil tali dan mengikat kedua lengan Sun Eng ke belakang tubuh. Karena marahnya, merasa dipermainkan dan dikhianati, juga karena cemasnya mengingat betapa surat rahasia yang amat berbahaya itu terjatuh ke tangan wanita ini yang tidak mau mengembalikannya, kini dia tidak halus lagi, melainkan dengan kasar dia mengikat kedua pergelangan tangan wanita itu ke belakang punggung dengan kuat. Kemudian dengan kasarnya pula direnggutnya kedua sepatu dari kaki Sun Eng sehingga kedua kaki yang kecil halus dan putih kemerahan itu menjadi telanjang.

Sun Eng tetap tenang saja, malah saat pangeran itu membalikkan tubuhnya menelungkup kemudian membebaskan totokan pada tubuhnya sehingga dia dapat menggerakkan tubuh lagi, dia masih tetap tenang dan tidak mau bergerak. Dia mendengar suara pangeran itu di belakangnya, tidak tahu apa yang tengah dilakukan. Akan tetapi nampak cahaya terang dan pangeran itu mendekatkan sebuah obor kecil yang sudah dinyalakan ke dekat muka Sun Eng.

"Sun Eng, kau lihat baik-baik apa yang kupegang ini? Aku tak ingin, bahkan merasa benci untuk menyiksamu, akan tetapi jika kau tetap membandel dan tidak mau mengembalikan suratku itu, terpaksa aku akan menyiksamu dan engkau tidak akan kuat bertahan kalau telapak kakimu kubakar dengan obor ini!"

Namun, Sun Eng yang sudah mengerti bahwa dia tidak mungkin dapat lolos lagi itu sudah nekat. "Bakarlah, siksalah, bunuhlah sesuka hatimu, jangan harap surat itu akan bisa kau dapatkan kembali!".....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 40



SUARANYA penuh tantangan bahkan mengandung ejekan, karena hanya dengan mengejek dan menertawakan pangeran yang menjadi musuh besar Lie Seng dan keluarganya inilah yang dapat merupakan hiburan satu-satunya pada saat-saat terakhir dari hidupnya.

"Keparat!" Ceng Han Houw membentak dan dia mulai menempelkan obor bernyala itu ke telapak kaki kanan Sun Eng.

Tubuh Sun Eng tersentak kaget, matanya terbelalak serta mulutnya terbuka, akan tetapi dia menahan jeritnya. Asap yang mengeluarkan bau kulit terbakar mengepul, lantas tanpa dapat dihindari lagi Sun Eng menggerak-gerakkan kaki kanannya yang menderita nyeri luar biasa itu.

"Kau masih belum mau mengaku juga?" Pangeran itu menarik obornya.

Akan tetapi rasa nyeri masih tidak berkurang, kiut-miut rasanya, menyusup ke bawah kulit dan menjalar sampai ke ubun-ubun kepala. Keringat yang besar-besar keluar dari muka dan leher Sun Eng. Dia menggigit bibir dan menggeleng kepala, memukul-mukulkan kaki kanan ke atas pembaringan.

"Sun Eng, jika kaki kirimu juga kubakar, maka engkau tak akan dapat menahan nyerinya. Bakaran ke dua lebih nyeri lagi, maka sebaiknya engkau mengaku dan mengembalikan surat itu. Tidak akan ada faedahnya bila engkau berkeras kepala, pula surat itu tidak ada gunanya bagimu."

Dalam menderita kesakitan hebat, Sun Eng masih mencari hiburan, biar pun hanya dapat memukul musuh Lie Seng yang menyiksanya ini dengan kata-kata, "Memang bagiku tak ada gunanya, akan tetapi bagi sri baginda kaisar tentu berguna sekali!"

"Apa?!" Wajah Han Houw menjadi pucat sekali. "Kau... kau tentu tidak akan memberikan surat itu kepada kaisar! Engkau akan mampus lebih dulu sebelum sempat menyerahkan surat itu kepada... ehh, kepada siapa surat itu kau serahkan tadi? Hayo kau mengaku! Di mana surat itu?" Suara pangeran itu gemetar.

Diam-diam Sun Eng tersenyum. Pangeran itu sangat ketakutan! Akan tetapi dia terpaksa menggigit bibirnya lagi karena kini pangeran itu menyentuh telapak kaki kirinya dengan api obor.

"Ahhh...!" Sun Eng kembali tersentak, kepalanya terangkat ke atas dan mulutnya terbuka karena dia tidak mampu menahan rasa nyeri yang luar biasa itu. Matanya terbelalak dan biar pun dia masih mampu menahan sehingga tidak sampai menjerit-jerit, akan tetapi dari kerongkongannya keluar suara aneh, terengah-engah dan mukanya penuh dengan peluh yang memercik ke sana-sini karena kepalanya dan tubuhnya bergoyang-goyang. Bau kulit terbakar makin keras.

"Mengakulah! Siapa menerima surat itu?" Han Houw menghardik dan orang yang merasa gelisah ketakutan ini menjadi semakin bengis.

Akan tetapi Sun Eng hanya menggeleng-geleng kepalanya keras-keras. Rasa nyeri amat menusuk, dan sesudah secara bergantian Han Houw menyentuh telapak kaki kanan dan kiri dengan api, Sun Eng tidak kuat bertahan kemudian terkulai pingsan.

Han Houw menghentikan penyiksaannya dan memadamkan obor, menghentak-hentakkan kedua kakinya dan berjalan hilir-mudik di dalam kamar itu, kedua alisnya berkerut dan dia kelihatan bingung sekali. Lalu dia bertepuk tangan, memerintahkan pelayan yang muncul untuk memanggil para pembantunya.

Muncullah Hai-liong-ong Phang Tek beserta dua orang Mongol yang masih berada di situ. Tiga orang itu memandang kepada tubuh Sun Eng yang kini rebah menelungkup dalam keadaan pingsan dan kedua telapak kakinya yang tadinya putih kemerahan itu kini hitam melepuh, lalu mereka kembali memandang kepada sang pangeran.

"Celaka...!" Ceng Han Houw mengeluh. "Perempuan rendah itu tidak mau mengaku, akan tetapi dia memberi gambaran bahwa surat itu hendak disampaikan kepada kaisar!"

"Ahhh...!" Wajah tiga orang ini pun menjadi pucat dan saling pandang dengan bingung.

"Saat ini tentu belum sampai ke tangan kaisar, tidak mungkin malam hari ada yang dapat menyampaikan surat itu kepada kaisar. Akan tetapi kalau sampai besok... ahh, kita harus tahu di mana disembunyikan surat itu, atau kepada siapa surat itu diserahkan. Dia keras kepala, tidak mau mengaku...!" Han Houw menuding ke arah kedua kaki wanita itu. "Maka kalian kupanggil untuk merundingkan urusan ini. Bagaimana baiknya?"

"Satu-satunya jalan, dia harus dipaksa untuk mengaku agar kita dapat bergerak malam ini juga dan mencegah surat itu terjatuh ke tangan kaisar!" kata orang Mongol yang lebih muda, yang berusia empat puluh tahun dan bermata tajam namun mengandung kelicikan dan juga wajahnya menyeramkan karena penuh dengan brewok yang hitam dan sangat lebat, kasar seperti kawat-kawat baja.

Ada sesuatu pada sinar matanya yang membuat Hai-liong-ong sendiri bergidik. Orang ini kejam bukan main, pikir orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu, sungguh pun dia sendiri bukanlah orang yang baik atau tidak kejam.

"Dia keras kepala, dan sampai pingsan dia sama sekali tidak mau mengaku," kata Han Houw dengan sikap kehabisan akal.

"Paduka serahkan kepada hamba, dan hamba akan memaksa dia membuka mulut!" kata orang Mongol itu.

"Baiklah. Memang itu jalan yang terutama sekali. Apa bila engkau bisa menundukkannya dan memaksanya mengaku, itu baik sekali. Kalau tidak, siksa dia sampai mampus!" kata sang pangeran penuh geram.

"Lebih baik jangan sampai dia mati dahulu, mungkin dia masih dapat berguna untuk kita, pangeran. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kalau paduka menahan kemarahan dan bersikap teliti," Hai-liong-ong memperhatikan.

"Pendapat itu benar sekali, pangeran," sambung orang Mongol yang lebih tua. "Wanita itu adalah satu-satunya orang yang dapat memungkinkan kita memperoleh kembali surat itu, maka tidak semestinya kalau cepat-cepat dibunuh. Boleh disiksa dan dipaksa mengaku, akan tetapi jangan sampai mati."

Ceng Han Houw mengangguk-angguk. "Memang aku terburu nafsu mengingat betapa dia telah mempermainkan aku, menipuku, malah mengkhianatiku dan membuat aku terancam bahaya begini hebat. Kau bawalah dia dan usahakan sekuatmu agar dia mau mengaku!" katanya kepada orang Mongol brewok itu.

"Harap paduka tidak perlu khawatir, hamba tahu bagaimana harus memperlakukan wanita yang bandel!" Orang Mongol itu tersenyum lebar, kemudian menghampiri pembaringan dan memondong tubuh yang pingsan itu. Sinar matanya berkilat ketika dia mencium bau sedap dari leher Sun Eng dan melihat tonjolan dada yang padat di balik baju dan yang tampak membusung akibat kedua lengan wanita itu ditelikung ke belakang punggung. Dia lalu melangkah dari dalam kamar itu sambil tersenyum dingin penuh kekejaman.

Sekarang Han Houw berunding dengan orang Mongol tua dan Hai-liong-ong Phang Tek. "Apa bila Gaulanu tidak berhasil memaksa wanita itu mengaku, sebaiknya malam ini juga, atau selambat-lambatnya besok pagi-pagi benar, sebelum surat itu jatuh ke tangan kaisar, paduka meninggalkan kota raja dan mengungsi ke utara sambil melihat perkembangannya kelak. Terlalu berbahaya kalau paduka berada di sini. Hamba akan mengawal paduka."

Hai-liong-ong Phang Tek menggelengkan kepalanya. "Hamba tidak setuju dengan usul itu, Pangeran. Andai kata benar surat itu jatuh ke tangan kaisar, paduka tak perlu gentar atau pun tergesa-gesa pergi, karena kepergian yang tergesa-gesa tanpa pamit itu bahkan akan menambah kecurigaan, seolah-olah paduka telah mengaku salah. Hamba kira, sri baginda kaisar tidak akan begitu mudah percaya laporan seorang wanita rendahan atau orang yang diberinya surat itu. Tentu sri baginda kaisar akan lebih mempercayai paduka dan andai kata pula kaisar menaruh curiga, tentu beliau akan bertanya dulu kepada paduka dan tidak akan melakukan tindakan ceroboh, mengingat bahwa paduka adalah saudara tiri!"

Han Houw mengangguk-angguk, dapat merasakan kebenaran pendapat ini. "Akan tetapi, bagaimana jika beliau memanggilku kemudian memeriksaku, bertanya tentang surat dari ayahanda Sabutai itu?" Akhirnya dia bimbang lagi dan di dalam suaranya membayangkan kegelisahan.

"Harap paduka tak perlu khawatir. Banyak sekali alasan yang dapat paduka pergunakan. Misalnya, menyangkal bahwa surat itu merupakan surat asli dari ayahanda paduka Raja Sabutai. Siapa yang dapat memastikan bahwa surat itu asli? Paduka dapat mengatakan bahwa paduka memiliki banyak musuh di dunia kang-ouw dan mungkin surat itu adalah surat palsu yang sengaja dibuat oleh musuh paduka untuk mengadu domba."

"Ahh, itu bagus sekali! Akal itu dapat dipakai, dan memang baik sekali! Engkau sungguh bijaksana, Phang-enghiong!" Sebutan itu menjadi bersifat menghormat dan wajah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu berseri.

"Bukan hanya itu saja, pangeran. Andai kata kaisar menaruh curiga, masih banyak waktu bagi paduka untuk bertindak waspada dan karena banyak teman-teman kang-ouw yang membantu paduka, maka apa sulitnya bagi paduka untuk menyembunyikan diri di sekitar sini tanpa harus melarikan diri ke utara? Dengan demikian baik atau buruknya akibat dari perbuatan selir paduka yang telah berkhianat itu, tetap saja gerakan paduka akan dapat dilanjutkan dengan baik!"

"Bagus! Wah, engkau akan kuangkat menjadi penasehat negara bila gerakanku berhasil!" teriak sang pangeran dengan girang.

Mereka lalu berunding terus dengan asyik sambil makan minum karena setelah menerima petunjuk-petunjuk dan nasehat-nasehat dari Hai-liong-ong Si Raja Naga Laut itu, kini sang pangeran tidak lagi segelisah tadi.

Sementara itu, di dalam kamar lain, juga di dalam istana pangeran itu akan tetapi jauh di belakang, terjadi peristiwa lain yang mengerikan. Dengan berbagai cara, dengan bujukan dan berpura-pura mengajak Sun Eng bersekutu, sampai kepada ancaman-ancaman yang paling menakutkan, orang Mongol yang bernama Gaulanu itu berusaha untuk membuat agar Sun Eng mau mengaku di mana surat itu disembunyikan atau kepada siapa surat itu diserahkannya. Namun semua bujukan itu tidak dijawab oleh Sun Eng yang sudah sadar.

"Nona, engkau adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik," demikian Gaulanu mencoba kembali dengan lemah lembut, dengan suaranya yang agak kaku dan berlogat asing, "dan percayalah, aku, Gaulanu bukan orang yang tidak dapat mengagumi wanita muda dan cantik. Aku kasihan kepadamu, nona. Aku diperintahkan oleh pangeran untuk menyiksa, bahkan membunuhmu bila mana engkau tidak mau mengaku. Kenapa engkau berkeras kepala, nona? Mengakulah dan aku bersumpah untuk menyelamatkanmu."

"Aku tidak tahu...!" Sun Eng berkata singkat.

"Nona, kau tahu, kalau engkau menurut, aku bahkan akan mohon kepada pangeran agar engkau suka menjadi selirku. Kubawa engkau ke utara dan engkau akan hidup bahagia... hemmm, aku suka sekali kepadamu, nona."

"Tutup mulutmu dan kalau mau bunuh, lakukanlah!" Sun Eng menantang marah.

Habislah kesabaran Gaulanu, dan dia pun menyeringai, wajahnya yang penuh brewok itu nampak menyeramkan sekali. "Perempuan tidak tahu diri! Tahukah engkau, siksaan apa yang paling hebat bagi seorang wanita? Engkau pernah diperkosa? Ya? Pernah? Nah, aku akan memperkosamu, mempermainkanmu sesuka hatiku apa bila engkau tidak mau mengaku!"

Sun Eng memejamkan mata. Dia tahu apa artinya itu. Semenjak tadi dia memang sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Tidak, dia akan menahan segala siksaan, termasuk perkosaan. Bukankah dia sudah membiarkan dirinya diperkosa berkali-kali oleh pangeran itu? Dia sudah kepalang berkorban, maka biarlah dia akan diapakan juga, akhirnya toh akan mati! Mati demi Lie Seng!

"Aku tak peduli!" bentaknya.

Wajah brewokan itu menyeringai. "Ha, kau kira hanya diperkosa satu kali saja? Hemmm, kau tidak tahu laki-laki apa Gaulanu ini. Aku akan memperkosamu sampai engkau tidak kuat bertahan lagi! Dan bila aku kewalahan, akan kupanggilkan pengawal-pengawal yang paling kuat untuk meggantikan aku, bergilir sampai engkau mati, ya, tidak akan berhenti sampai engkau tidak kuat!"

Akan tetapi Sun Eng sudah nekat, sudah menganggap dirinya mati dan dia memejamkan matanya tanpa mau menjawab lagi.

"Brettttt...!"

Sun Eng hanya memejamkan mata lebih keras lagi pada waktu merasa betapa bajunya dirobek-robek, kemudian celananya juga. Tubuhnya hanya menggeliat sedikit ketika dia merasa betapa tangan dan muka brewok itu menjelajahi tubuhnya dengan belaian yang amat kasar.

Selanjutnya, dengan seluruh kekuatan yang ada, Sun Eng mematikan perasaannya dan dia rebah terlentang dengan mata terpejam dan lemas seperti sudah menjadi mayat! Dia tidak merasa apa-apa lagi.

Entah berapa lamanya orang Mongol kasar itu mempermainkan tubuhnya. Dia tidak tahu, dia tidak peduli lagi, yang dipermainkan seakan-akan bukan tubuhnya lagi, perasaannya sudah mati dan dia matikan pada saat itu. Dia bahkan seperti dalam keadaan terlupa apa yang sedang terjadi atas dirinya, sampai mendadak pipinya ditampar keras, membuatnya sadar dan pipinya terasa panas.

"Plakkk!" Tamparan ini disambung sumpah serapah dari mulut Gaulanu.

"Phuihh, perempuan hina, perempuan rendah, mayat hidup! Lebih baik bercinta dengan mayat dari pada dengan perempuan macammu!" Dia melompat turun dari pembaringan, mengenakan pakaian lalu meninggalkan kamar itu sambil berkata, "Lihat saja sampai di mana engkau dapat bertahan! Walau pun engkau seperti mayat, akan tetapi mayat yang cantik sehingga tentu banyak di antara mereka yang suka, ha-ha-ha!"

Gaulanu keluar dari dalam kamar, akan tetapi tidak lama terdengar langkah orang. Sun Eng tidak mau menengok melainkan memejamkan mata dan mematikan rasa. Memang dia sudah tahu apa yang akan terjadi dan benar saja.

Ada tangan-tangan dan muka seperti srigala kelaparan menggerayanginya dan melakukan hal-hal yang sama sekali tak dirasakannya lagi. Bahkan dia tidak melihat siapa orangnya. Hal ini berulang-ulang terus. Tubuhnya sakit-sakit, lelah bukan main, lemas dan akhirnya dia tidak ingat apa-apa lagi!

Ketika air yang disiramkan ke kepalanya membuat Sun Eng siuman, dia mendengar suara Gaulanu memaki-maki, "Bedebah! Iblis betina! Benar-benar tidak mau mengaku. Biarkan dia begitu dan ikat pula kakinya, hanya lepaskan ikatan kakinya jika masih ada pengawal yang mau... ha-ha-ha, perempuan seperti dia tidak akan mati kalau hanya ditiduri! Tetapi jaga, jangan sampai dia terlepas, dan... awas pula, jangan sampai dia mati. Pangeran menghendaki dia tetap hidup!"

Gaulanu meninggalkan kamar itu, kemudian Sun Eng menjadi permainan tangan-tangan jahil dan cabul, akan tetapi kembali dia sudah terlelap ke dalam keadaan tidak sadar.

Malam makin larut dan suasana menjadi sunyi sekali. Kesunyian yang mengerikan kalau orang melihat keadaan di dalam kamar di mana Sun Eng bagaikan seekor domba yang direjang oleh banyak srigala buas! Bahkan lebih buas dari pada srigala, karena binatang buas apa pun juga di dunia ini membunuh mangsanya untuk dimakan, karena kebutuhan perut dan kebutuhan hidup, juga membunuh tanpa ada rasa benci. Sebaliknya, manusia dapat melakukan perbuatan yang lebih kejam dari pada pembunuhan.

Tengah malam telah lewat. Di dalam kamar tahanan itu Sun Eng masih terlentang di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya kini sudah tidak ada lagi pengawal yang bergairah untuk memperkosa dirinya. Mungkin karena belasan orang pengawal yang sedang bertugas jaga itu sudah mendapatkan giliran semua.

Kini mereka makan minum sambil menggunakan perut dan dada Sun Eng sebagai tempat menaruh mangkok dan cawan arak! Kadang kala mereka memaksa mulut Sun Eng untuk dijejali daging atau dituangi arak, sampai Sun Eng terbatuk-batuk.

Muka wanita yang cantik itu kini sudah matang biru bekas tamparan, bekas gigitan dan belaian-belaian kasar. Para pengawal masih saja makan minum sambil tertawa-tawa dan bersenda-gurau. Tentu saja Sun Eng yang menjadi sumber dan bahan gurauan mereka yang kotor.

Sun Eng tidak mendengar semua itu, dia dalam keadaan hampir tidak sadar. Yang terasa olehnya hanyalah rasa nyeri yang luar biasa, yang datang bertalu-talu bersama detaknya jantung, bersama denyutnya darah. Setiap denyut darah mendatangkan rasa nyeri yang terasa menusuk-nusuk. Akan tetapi dia tidak mau mengeluh, bahkan makin mencurahkan perhatiannya kepada denyut darah yang bertalu-talu dan membawa perasaan nyeri yang sukar dilukiskan itu.

Rasa nyeri itu pun secara aneh tidak terasa lagi olehnya. Yang ada hanya rasa nyaman! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini apa bila tidak merasakannya sendiri. Inikah perasaan tubuh yang telah mati? Nyaman dan tidak ada rasa apa-apa, seperti nikmatnya keheningan?

Pangeran Ceng Han Houw sudah menerima laporan dari Gaulanu bahwa Sun Eng tetap tidak mau mengaku walau pun telah diperkosa secara bergantian, penderitaan yang tiada taranya bagi seorang wanita.

"Dia itu iblis, bukan manusia, pangeran! Kalau manusia, tentu dia sudah menyerah dan mengaku! Kalau tidak ingat akan pesan paduka agar jangan dia sampai mati, tentu akan hamba bunuh dia. Dia itu iblis, sungguh!"

Han Houw merasa heran mengapa ada perasaan marah dan tidak sedap di dalam hatinya ketika mendengar betapa Sun Eng diperkosa bergantian dan kini dalam keadaan terhina dan setengah mati. Akan tetapi juga ada perasaan kagum terhadap wanita itu.

Seorang wanita yang selain cantik manis, amat pandai dalam seni bermain cinta, seorang wanita yang penuh keberanian, cerdik bukan main, serta masih ditambah lagi berhati baja dan amat setia, entah kepada siapa kesetiaannya itu ditujukan. Sayang, sungguh sayang sekali, kesetiaan dan cintanya itu bukan ditujukan kepada dia. Mendapatkan cinta kasih seorang wanita seperti itu sungguh beruntung sekali!

Dengan hati kesal dia lantas menggerakkan tangan. "Sudahlah, engkau harus mengepalai penjagaan malam ini supaya jangan sampai dia lolos. Dan ini, kau minumkan kepadanya! Paksakan agar dia menghabiskan sebotol ini."

Gaulanu menerima botol kecil berisi cairan biru itu, lalu tersenyum menyeringai. "Dia akan mati seketika, pangeran? Mengapa tidak mempergunakan ini saja?" Dia mengacungkan tinjunya.

Sepasang mata pangeran itu menyambar dan Gaulanu cepat membungkuk.

"Mohon maaf, mohon ampun... bukan maksud hamba main-main..."

"Aku tahu," kata pangeran itu kesal. "Engkau tentu heran mengapa aku bersusah payah mempergunakan racun untuk membunuhnya. Akan tetapi racun ini baru membunuhnya dalam waktu tiga hari, dan pukulanmu akan mematikan seketika. Mengerti sekarang?"

Gaulanu mengangguk-angguk kemudian mengundurkan diri. Dengan kesal Han Houw lalu menyuruh kedua orang pembantunya yang lain meninggalkannya, lalu memanggil semua selir yang lain sehingga dia pun dapat melupakan kekecewaan hatinya terhadap Sun Eng dengan membenamkan diri dalam peluk rayu para selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik.

                 ***************

Tiga bayangan yang gerakannya gesit dan cepat bagai bayangan setan saja berkelebatan di sekitar istana Pangeran Ceng Han How. Istana itu terjaga ketat oleh para pengawal, namun gerakan tiga sosok tubuh itu benar-benar hebat luar biasa, amat sukar diikuti oleh pandangan mata sehingga tiga sosok bayangan itu berhasil memasuki taman bunga, di samping istana tanpa diketahui seorang pun pengawal.

Hal ini tidaklah mengherankan karena tiga sosok bayangan itu adalah bayangan dari tiga orang pendekar sakti, terutama sekali dua orang di antara mereka, pasangan pria dan wanita yang tampan dan cantik, adalah sepasang suami isteri pendekar yang untuk jaman itu sukar ditemui tandingannya. Mereka itu adalah Lie Seng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong!

Seperti kita ketahui, Lie Seng menjadi gelisah sekali pada saat kekasihnya, atau isterinya yang belum dikawininya secara sah, Sun Eng, pergi meninggalkannya tanpa pamit, hanya meninggalkan surat yang membuat hatinya menjadi sangat gelisah karena kekasihnya itu hendak mendekati Pangeran Ceng Han Houw dan kalau perlu membunuhnya!

Lie Seng tahu betapa lihainya pangeran itu dan tahu pula bahwa kekasihnya itu sengaja hendak berkorban diri untuk menolong keluarga Cin-ling-pai dan hatinya menjadi semakin gelisah ketika dia mencari-cari kekasihnya itu tanpa hasil. Dia mencari sampai ke kota raja, akan tetapi tidak mendengar di mana adanya Sun Eng.

Tentu saja dia tidak tahu bahwa Sun Eng pergi bersama pangeran itu, ada pun dia sendiri telah lebih dahulu ke kota raja sehingga pada saat dia melakukan penyelidikan ke istana Pangeran Ceng Han Houw, pangeran itu tidak ada, demikian pula tidak ada didengarnya keterangan tentang kekasihnya.

Dalam keadaan bingung ini Lie Seng segera kembali ke selatan lalu dia mencari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, dua orang guru dari Sun Eng untuk membantunya. Juga untuk minta pertanggungan jawab mereka karena dia anggap bahwa mereka itulah yang menjadi sebab sehingga terjadinya semua ini! Kalau mereka tidak mempengaruhi ibunya sehingga tidak menyetujui dia berjodoh dengan Sun Eng, tentu sekarang Sun Eng sudah menjadi isterinya dengan sah dan tidak akan terjadi Sun Eng melakukan perbuatan nekat seperti itu!

Akhirnya dia dapat menemukan suami isteri pendekar sakti ini, juga ibu kandungnya dan Yap Kun Liong, di kota Bun-cou. Dia sudah menduga bahwa empat orang yang menjadi buronan itu tentu bersembunyi di Bun-cou, tempat di mana dulu Cia Bun Houw dan Yap In Hong bersembunyi, di mana mereka mengambil Sun Eng sebagai murid pula.

Ketika Lie Seng memperlihatkan surat peninggalan Sun Eng, semua pendekar itu merasa terkejut dan juga terharu. Demikian besar cinta kasih Sun Eng kepada Lie Seng sehingga untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng kini hendak melakukan perbuatan nekat yang sangat berbahaya dan mempertaruhkan nyawanya untuk menolong keluarga Cin-ling-pai.

"Saya tahu bahwa dia melakukan hal ini karena merasa rendah diri, karena menjadi isteri saya tanpa persetujuan keluarga, juga tidak secara sah! Kini dia hendak mengorbankan dirinya demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai! Paman Bun Houw, bagaimanakah kalau sudah begini? Apakah saya harus turun tangan sendiri di kota raja tanpa ada bantuan sedikit pun dari paman berdua bibi yang menjadi guru-guru dari Sun Eng, bahkan yang sedikit banyak ikut bertanggung jawab atas kejadian ini?"

Cia Bun Houw saling pandang dengan isterinya. Memang mereka pun menyadari bahwa mereka berdua telah mencegah keponakan ini menikah dengan Sun Eng. Akan tetapi hal itu mereka lakukan dengan penuh kesadaran bahwa Sun Eng memang tidak pantas untuk menjadi isteri keponakan mereka itu. Kini di dalam hati mereka tidak lagi membenci Sun Eng, bahkan merasa kasihan. Maka, mendengar penuturan Lie Seng, mereka merasa tak enak sekali.

"Lie Seng, biarlah aku menemanimu untuk pergi mencari Sun Eng di kota raja, dan kalau memang benar dia di sana dan terancam bahaya, kita berdua akan menyelamatkannya," kata Bun Houw dengan tenang.

"Aku pun akan ikut pergi," kata In Hong, juga dengan tenang.

Nyonya yang usianya sudah tiga puluh lima tahun ini merasa tidak enak sekali. Watak pendekarnya bangkit maka dia pun merasa betapa dia ikut mendesak bekas muridnya itu terdorong oleh rasa bencinya, dan kini, mendengar betapa bekas muridnya itu melakukan tindakan nekat demi menolong dia sekeluarga dengan taruhan nyawa, dia harus turut pula bertindak dan tak mungkin dia mendiamkannya saja. Karena itulah maka dia serta merta, tanpa keraguan lagi, menyatakan keinginannya hendak ikut pergi.

Mendengar penuturan puteranya tentang gadis yang ditolaknya untuk menjadi mantunya itu, sejak tadi Cia Giok Keng, ibu Lie Seng, termenung dan tidak dapat berkata apa pun. Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Dia memang merasa terharu mendengar gadis itu dengan nekat melakukan usaha untuk menyelamatkan mereka berempat, seolah-olah memasuki gua harimau, dan dia merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi, di lain sudut hatinya, tetap terdapat perasaan tidak rela bila puteranya itu berjodoh dengan wanita yang pernah melakukan penyelewengan seperti yang sudah didengarnya dari adiknya dan adik iparnya. Dia terlalu mencintai puteranya untuk membiarkan puteranya ini menikah dengan seorang wanita yang rendah budi dan hina!

Seperti itulah macamnya cinta yang berada dalam batin kita! Kita menganggap bahwa perasaan seperti itu adalah cinta kasih yang murni, cinta terhadap anak yang diwujudkan dengan keinginan melihat anak itu berbahagia sesuai dengan keinginan kita! Kita selalu ingin mengatur kehidupan anak kita menurut selera kita, menurut pendapat kita, menurut pandangan kita. Kita merasa yakin bahwa anak kita akan berbahagia bila mana dia itu menurut kehendak kita melakukan ini, tidak melakukan itu.

Kita ingin mengatur anak kita sejak masih kecil, membentuknya seperti kita membentuk boneka dari lilin atau lempung. Tanpa kita sadari sendiri, kita telah menyiksa anak-anak kita sendiri dengan bentukan-bentukan itu. Kita ingin melihat anak kita yang masih kecil itu bersikap sopan santun, baik, cerdik, pintar, tahu aturan, pendiam dan sebagainya lagi, pendek kata, kita ingin melihat anak kita supaya menjadi anak teladan seperti yang kita cita-citakan dan gambarkan.

Oleh karena itu, sejak dia masih kecil, kita tekan dan didik dia supaya cocok dengan bentuk gambaran kita. Kita lupa, tidak sadar bahwa semua ini sama sekali bukanlah tindakan cinta kasih, sama sekali bukan terdorong oleh cinta kita kepada anak kita itu, melainkan terdorong oleh cinta kepada diri sendiri! Kita ingin mempergunakan anak kita sendiri sebagai jembatan untuk menikmati kesenangan berupa kebanggaan! Kitalah yang akan berbangga melihat anak kita begini dan begitu sesuai dengan kehendak kita! Kita akan senang sekali! Sama sekali kita tidak peduli apakah anak itu pun senang bersikap yang kita gariskan itu.

Sudah tentu saja dia tidak senang! Setiap orang anak ingin bebas, ingin bergembira-ria, ingin berloncatan, berteriak-teriak, bermain-main sesuka hatinya, bersama kawan-kawan sebaya. Tidak ada seorang pun anak kecil yang normal akan merasa suka menjadi anak teladan seperti yang digariskan oleh orang tua, duduk diam seperti patung di hadapan orang-orang tua yang sedang mengobrol, duduk dengan sopan, berbicara lemah lembut, tertawa pun diatur, bernyanyi apa bila disuruh nyanyi seperti yang sudah diajarkan oleh orang tua di rumah sehingga orang-orang tua lain akan merasa kagum! Tidak mungkin seorang anak suka bersikap seperti itu. Dia ingin bebas gembira. Tetapi apa daya, orang tua yang amat mencintanya itu mengajarkan lain, menghendaki lain.

Bukan hanya kepada anak kita yang masih kecil kita ingin mengatur, ingin membentuk, ingin agar anak itu hidup sesuai dengan kehendak kita, menurutkan garis yang kita buat untuk anak itu. Bahkan setelah anak itu dewasa sekali pun, selama kita masih mampu menguasai anak kita, maka kita akan selalu menjadikan anak kita sebagai jembatan untuk memperoleh kebanggaan dan kesenangan.

Semua ini mungkin tidak kita rasakan lagi, tidak kita insyafi lagi karena kita tidak sadar akan kenyataan hidup ini. Kita akan menganggap, bahwa semua itu kita lakukan demi cinta kita kepada anak kita itu! Inilah alasan yang paling kuat, merupakan alasan kuno dan tradisional yang dipakai oleh kita orang-orang tua yang selalu merasa benar dalam hal apa pun juga!

Bahkan jika anak kita sudah dewasa, dalam menentukan jodoh pun kita selalu mau ikut campur, berdiri paling depan untuk melakukan pemilihan, untuk menerima atau menolak pilihan anak kita berdasarkan penilaian kita, pendapat kita, selera kita sendiri. Pendapat dan selera anak kita, semenjak dia kecil, tidak kita perhatikan! Kita selalu menganggap bahwa selera dan keinginan anak kita itu salah belaka.

Semua sikap hidup ini mesti kita amati, mesti kita pandang sejujurnya, mesti kita sadari. Kita sudah tidak merasa keliru lagi karena kita sendiri pun diperlakukan demikian oleh orang tua kita semenjak kita masih kecil. Setiap orang tua akan senang sekali kalau anaknya menjadi seorang anak penurut dan setiap orang tua akan membenci anak yang tidak penurut, maka kita pun melanjutkan saja tradisi ini, sikap yang sudah mendarah daging selama ribuan tahun ini.

Maka, perlu kita mengenal diri sendiri, meneliti diri sendiri. SESUNGGUHNYAKAH KITA MENCINTA ANAK KITA? Ataukah yang kita namakan cinta itu sebenarnya bukan lain adalah cinta terhadap diri sendiri, atau keinginan kita untuk memperoleh kesenangan, kepuasan, kebanggaan melalui anak-anak kita itu? Sehingga kalau anak kita menurut dan menyenangkan hati kita, kita bilang cinta dan memuji-mujinya, sebaliknya kalau dia tidak menurut kita dan menyusahkan hati kita maka kita lalu membencinya, kita mengutuk dan memakinya sebagai anak tidak berbakti, anak durhaka, dan sebagainya lagi? Mungkinkah ada cinta bila mana kita masih mementingkan diri sendiri, mencari kesenangan untuk diri sendiri?

Nah, marilah para orang tua, kita mawas diri, kita membuka lebar mata kita, melihat yang palsu sebagai yang palsu tanpa mempedulikan apa kata tradisi dan apa kata pendapat umum! Karena urusan ini merupakan urusan kita sendiri, kita dengan anak kita, tak ada hubungannya sama sekali dengan pandangan si A, si B, atau si Umum sekali pun!

Dan kalau kita benar-benar mencinta anak kita, kita akan berhenti memperlakukan dia sebagai jembatan untuk mencari kepuasan bagi diri kita. Dan cinta kasih yang demikian ini akan menciptakan tindakan-tindakannya sendiri, dan cinta kasih sudah merupakan pendidikan yang terutama.

                 ***************

Semenjak dahulu, ketika Lie Seng datang bersama Sun Eng lalu timbul keributan, secara diam-diam Yap Kun Liong sudah merasa kasihan terhadap Sun Eng dan diam-diam dia melihat kesalahan yang tidak disadari dari isterinya, dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, sikap mereka yang tidak semestinya terhadap Lie Seng dan Sun Eng.

Oleh karena itu, melihat kesediaan suami isteri pendekar itu untuk pergi ke kota raja dan menolong Sun Eng dari ancaman bahaya maut, dia segera berkata, "Memang tepat sekali apa bila kalian berdua menemani Seng-ji (anak Seng) pergi ke kota raja menolong murid kalian itu, sebab kota raja adalah tempat yang amat berbahaya dan untuk dapat menolong murid kalian dari tangan Pangeran Ceng Han How, agaknya hanya kalian berdua yang akan sanggup. Biarlah kami berdua menjaga serta melindungi anak kalian Kong Liang di sini."

Demikianlah, Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu pergi bersama Lie Seng, melakukan perjalanan secepatnya ke kota raja. Akan tetapi ternyata mereka datang terlambat karena tepat pada malam hari mereka menyusup ke istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng telah mengalami penyiksaan yang luar biasa hebatnya.

Baru lewat tengah malam tiga orang pendekar ini mendapat kesempatan untuk memasuki istana itu. In Hong yang memiliki gerakan bagaikan seekor burung rajawali itu menerkam seorang peronda di dekat taman, menotoknya hingga peronda itu sama sekaii tak mampu bergerak mau pun bersuara.

"Cepat kau katakan di mana adanya wanita bernama Sun Eng!" Lie Seng berbisik sambil mengancam penjaga itu dengan cengkeraman pada tengkuknya.

Jari-jari tangan Lie Seng dibuat keras seperti baja sehingga penjaga itu ketakutan bukan main. Ketika totokan pada lehernya dibuka dan dia dapat bersuara, dia menjawab dengan tubuh menggigil dan suara gemetar.

"Di... di... kamar tahanan... di belakang..."

"Hayo antar kami!" Lie Seng berbisik lagi, jantungnya berdebar tegang.

Dia tadi bertanya secara sembarangan saja karena tidak tahu harus mencari Sun Eng di mana. Dia telah mencari keterangan sebelum mereka menyusup ke dalam istana itu, dan dari keterangan yang diperolehnya dia pun mendengar bahwa Pangeran Ceng Han Houw mempunyai seorang selir baru, akan tetapi sumber keterangan itu tidak menyebut nama.

Karena itu, sesudah mengajukan pertanyaan secara untung-untungan itu dan mendengar bahwa Sun Eng telah berada di kamar tahanan, dia terkejut dan juga girang. Akhirnya dia memperoleh berita tentang Sun Eng, meski pun berita itu amat menggelisahkan hatinya.

Ketika akhirnya mereka bertiga tiba di tempat tahanan, lalu mengintai dari balik jendela, hampir saja Lie Seng menjerit. Dilihatnya tubuh Sun Eng telanjang bulat terlentang seperti telah mati, dan seorang Mongol brewok bersama para pengawal yang jumlahnya sebelas orang sedang duduk makan minum di situ sambil bersenda-gurau. Senda-gurau mereka itu kotor sekali dan semua ditujukan pada tubuh Sun Eng yang dijadikan semacam meja tempat menaruh mangkok dan cawan.

"Ngekkk!"

Sekali saja menggerakkan tangannya, tawanan itu telah dibunuh Lie Seng! Penjaga yang menjadi tawanan itu tewas tanpa sempat mengeluarkan suara dan kini, bagaikan seekor singa kelaparan, Lie Seng telah menerjang masuk melalui pintu dengan kemarahan yang sudah tak dapat ditahannya lagi.

Cia Bun Houw dan Yap In Hong amat terkejut melihat kecerobohan Lie Seng, akan tetapi mereka berdua dapat mengerti alangkah hancur hati Lie Seng menyaksikan kekasihnya diperlakukan seperti itu. Mereka sendiri pun merasa kasihan sekali melihat bekas murid itu, dan mereka pun ikut menyerbu, bahkan Bun Houw sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar keemasan sebab itu adalah Hong-cu-kiam, pedangnya yang tipis dan biasanya digulung seperti sabuk pinggang.

Lie Seng mengamuk dahsyat. Begitu masuk, sekali bergerak dia sudah membikin pecah kepala dua orang pengawal yang hanya sempat terbelalak saja kemudian roboh dengan kepala pecah terkena hantaman kedua tangan Lie Seng. Yap In Hong menendang roboh dua orang pengawal dan cepat sekali Bun Houw menerjang orang Mongol yang kelihatan tangguh itu.

Orang Mongol itu, Gaulanu, sudah meloncat berdiri dan menghunus goloknya, memutar golok dengan garang. Akan tetapi tiba-tiba saja ada cahaya emas menyambar. Dia cepat menangkis dengan goloknya sambil menggunakan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut penyerangnya.

Bun Houw cepat mengerahkan tenaganya ketika melihat golok itu menangkis pedangnya. Terdengar bunyi nyaring lantas golok itu patah. Pada saat tangan yang mencengkeram perutnya itu tiba, sinar emas menyambar dan lengan itu buntung sebatas siku!

Gaulanu mengeluarkan teriakan panjang. Akan tetapi Lie Seng sudah menubruknya dan menghantam dada orang ini dengan penuh kebencian, oleh karena orang inilah yang tadi mengeluarkan kata-kata menghina sekali kepada Sun Eng. Dia tahu atau dapat menduga bahwa agaknya orang ini yang memimpin para pengawal menghina Sun Eng, karena itu pukulannya dilakukan dengan sekuat tenaga, mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya.

"Desss...!"

Tubuh Gaulanu terjengkang, dari mulutnya menyembur darah segar kemudian dia pun terbanting dan tewas dengan tulang-tulang iga patah-patah.

"Eng-moi...!" Lie Seng sudah menubruk kekasihnya, melihat wajah yang matang biru itu, tubuh yang lunglai dan kain tilam yang berceceran darah. Dia lalu cepat menggulung tilam itu menutupi tubuh telanjang dari leher ke kaki, menggoyang-goyang pundak kekasihnya, memanggil-manggil namanya. Akan tetapi Sun Eng baru saja dicekoki cairan biru beracun dan dia masih pingsan.

Sementara itu, beberapa orang pengawal telah berteriak-teriak, akan tetapi segera mereka dirobohkan oleh Yap In Hong dan Cia Bun Houw. Dalam waktu singkat, semua pengawal yang berada di situ, mereka yang tadi mempermainkan tubuh Sun Eng dan memperkosa wanita ini secara bergantian dan kasar tanpa mengenal belas kasihan sedikit pun juga, kini telah roboh malang melintang menjadi mayat!

"Lie Seng, cepat kita pergi dari sini! Dukung dia dan bawa lari, kami melindungi!" kata Cia Bun Houw kepada keponakannya itu. Lie Seng segera memondong tubuh Sun Eng yang terbungkus kain tilam, lalu meloncatlah pemuda itu keluar kamar.

Benar saja, teriakan-terlakan dari para pengawal sebelum tewas tadi telah mendatangkan pengawal-pengawal lain, akan tetapi sekali ada cahaya emas berkelebat, maka tiga orang terdepan roboh ada pun yang lain menjadi terkejut sekali. Apa lagi karena mereka hanya melihat bayangan tiga orang yang tak dapat mereka lihat dengan jelas, karena selain tiga orang itu memadamkan semua lampu yang ada dengan pukulan-pukulan jarak jauh, juga gerakan mereka seperti terbang cepatnya, sukar diikuti pandangan mata. Hanya dengan beberapa lompatan saja, tiga orang yang melarikan tawanan itu sudah menghilang ke dalam kegelapan malam.

"Kejar...!"

"Pukul tanda bahaya!"

Sebagian dari pada mereka melakukan pengejaran, dan ada pula yang memukul tanda bahaya, dan keadaan di dalam istana itu menjadi kacau dan hiruk-pikuk. Pangeran Ceng Han Houw yang sedang tidur pulas kelelahan sesudah menghibur diri dan hatinya yang kecewa itu dengan para selirnya, terbangun dan cepat dia berpakaian lalu berlari keluar. Dia bertemu dengan Hai-liong-ong dan orang Mongol tua.

"Celaka, ada orang yang sudah melarikan tawanan dan semua penjaganya dibunuh!" kata Hai-liong-ong yang kemudian turut melakukan pengejaran, menyusul para pengawal yang telah lebih dulu mengejar. Akan tetapi dia hanya dapat menyusul para pengawal, ada pun bayangan tiga orang itu sudah lenyap dan tidak lagi diketahui ke arah mana mereka itu lari.

Tentu saja Pangeran Ceng Han Houw menjadi amat marah dan dia cepat memerintahkan para pengawalnya supaya terus mencari ke seluruh kota raja. Dia merasa benar-benar dipermainkan. Dia, yang menganggap diri sendiri paling pandai, paling lihai, kini didatangi tiga orang yang sudah membunuhi para pengawalnya dan melarikan tawanan tanpa dia dapat mencegahnya, bahkan mengetahui siapa mereka pun tidak karena tak ada seorang pun di antara para pengawalnya yang berhasil melihat ketiga orang yang mereka katakan bergerak seperti setan itu!

Tentu saja lenyapnya Sun Eng itu membuat dia khawatir sekali karena surat dari Raja Sabutai itu belum dapat diketahui berada di mana. Akan tetapi hatinya agak terhibur kalau dia teringat bahwa wanita itu telah dicekoki racun dan dalam waktu tiga hari akan mati.

Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu kepandaian mereka, tidak berapa sulit bagi ketiga orang pendekar sakti itu untuk lolos dari kota raja membawa Sun Eng yang masih belum sadar juga. Akhirnya, menjelang pagi, mereka berhenti di dalam sebuah kuil tua di luar kota, di tepi sebuah hutan di sebelah selatan kota raja.

Setelah memeriksa keadaan Sun Eng, secara diam-diam Yap In Hong mengutuk di dalam hatinya. Sebagai seorang wanita, dia lebih dapat mengetahui apa yang telah dialami oleh Sun Eng, dia dapat menduga dan membayangkannya, dan dia bergidik membayangkan kekejaman yang melampaui batas itu.

Lie Seng terlampau berduka untuk dapat mengerti benar apa yang telah terjadi pada diri kekasihnya, biar pun dia dapat menduga bahwa Sun Eng tentu telah mengalami siksaan luar biasa dan bukan tidak mungkin mengalami perkosaan.

Yap In Hong membersihkan tubuh Sun Eng, lalu pergi mencari pakaian pada penduduk dusun di sebelah selatan hutan itu, kemudian mereka bertiga lalu mempergunakan tenaga sakti mereka untuk mengobati luka-luka dalam tubuh Sun Eng hingga akhirnya wanita itu mengeluh siuman.

Begitu siuman, Sun Eng langsung mengeluarkan rintihan seperti orang menangis. Semua orang menjadi terharu melihat dan mendengar ini, bahkan Lie Seng cepat merangkulnya dan ikut menangis.

"Eng-moi... ahhh, Eng-moi... mengapa kau lakukan semua ini...?" Dia meratap di dekat telinga kekasihnya.

Mendengar suara ini, sepasang mata itu bergerak perlahan, lalu terbuka. Sejenak mata itu kosong sebab kesadarannya masih belum sepenuhnya, akan tetapi perlahan-lahan melirik ke sana-sini hingga akhirnya pandang mata itu berhenti pada wajah Lie Seng yang berada di atasnya.

Kemudian, seperti digerakkan oleh sesuatu, sepasang mata yang agak membengkak dan kebiruan bekas pukulan itu terbelalak, bibir itu bergerak-gerak, akan tetapi agaknya sukar mengeluarkan suara, kemudian sepasang mata itu menjadi basah dan butiran-butiran air mata berjatuhan keluar! Sun Eng telah mengenali Lie Seng.

"Eng-moi...! Kau sudah selamat...!" Lie Seng berbisik penuh keharuan dan kasih sayang mendalam.

"Lie Seng koko... kau... kau..."

"Aku berada di sini, Eng-moi, dan kau dan aku tidak akan berpisah lagi!" kata pula Lie Seng dengan suara gemetar.

"Koko...!" Sekarang Sun Eng yang mulai teringat akan segala yang telah dialaminya, dan melihat bahwa dia belum mati bahkan bertemu dengan Lie Seng dalam keadaan seperti sekarang ini, langsung menjerit dengan jantung rasanya bagaikan disayat-sayat! Lie Seng merangkulnya, mendekapnya, menghiburnya, akan tetapi Sun Eng menangis terisak-isak.

"Sun Eng, sudahlah, kuatkan hatimu. Betapa pun juga, semuanya itu sudah berlalu dan sekarang engkau sudah aman bersama kami..." Yap In Hong yang keras hati itu pun tak dapat menahan runtuhnya air matanya dan dia memegang tangan bekas muridnya itu. Teringat dia betapa semenjak kecil Sun Eng ikut dengan dia dan betapa sudah sering dia tertawa gembira oleh kelincahan anak itu.

Sun Eng menahan isaknya, lalu dengan muka basah dia pun menoleh ke arah subo-nya, kemudian memandang wajah suhu-nya. "Subo... suhu... mengapa subo dan suhu... mau pula... menyelamatkan aku...?"

Bun Houw menelan ludah sebelum menjawab karena dia melihat isterinya tidak mampu menjawab pertanyaan itu. "Mengapa, Sun Eng?" Dia mencoba tersenyum. "Ingat, engkau adalah murid kami, bukan? Dan engkau adalah isteri Lie Seng keponakanku. Tentu saja kami datang menolongmu dari tangan orang-orang jahat itu."

"Suhu... subo... tidak benci kepadaku... dan menyetujui perjodohan antara aku dan koko Lie Seng...?"

"Sudahlah, Sun Eng, lupakan hal-hal yang telah lalu. Sekarang kami tahu betapa engkau seorang anak baik dan saling mencinta dengan Lie Seng. Tentu saja kami menyetujui...," kata Yap In Hong.

"Dan kami tidak membencimu, Sun Eng."

Sun Eng terisak, lalu menggunakan kedua tangannya menutupi mukanya.

"Akan tetapi... tiada gunanya... tiada gunanya..."

"Apa maksudmu, Eng-moi? Percayalah, ibu sendiri tidak akan menghalangi kita menikah! Aku tanggung..."

Akan tetapi Sun Eng menangis semakin mengguguk, maka Yap In Hong memberi isyarat kepada Lie Seng untuk membiarkan dahulu wanita itu, biar menangis untuk menuangkan semua perasaannya dan tidak boleh diajak bicara tentang perjodohan yang ternyata amat menyinggung perasaannya itu.

Memang benar sekali pendapat In Hong ini. Setelah dia dibiarkan menangis mengguguk beberapa lamanya, akhirnya tangisnya pun mereda dan dia mulai merintih karena seluruh tubuhnya terasa nyeri-nyeri, terutama sekali dua kakinya yang luka-luka bekas kebakar. Yap In Hong sudah mulai memberi obat luka kebakar, dicampur minyak lantas ditutupkan pada luka-luka itu dan dibalut. Obat itu amat manjur, karena rasa nyeri itu segera tertutup oleh rasa dingin yang melegakan hati.

"Subo, terima kasih...," kata Sun Eng lirih sambil memandang subo-nya yang sejak dulu dianggapnya seperti ibu sendiri.

In Hong tersenyum, teringat betapa dahulu di waktu masih kecilnya sering sekali Sun Eng mengucapkan kata-kata itu. Ahh, betapa buta manusia apa bila sedang dipengaruhi oleh kemarahan dan kebencian. Segala kebaikan orang yang sudah ribuan kali dilakukan akan lenyap begitu saja oleh satu perbuatan yang menyusahkan. Kini, sesudah tiada lagi benci dalam hati In Hong, baru nampak olehnya betapa selama menjadi muridnya, sebenarnya Sun Eng amat baik kepadanya!

Memang demikian! Mengapa kita begitu terbiasa sejak kecil untuk menyimpan segala hal yang terjadi di masa lalu? Mengapa kita selalu mengingat-ingat perbuatan orang lain yang merugikan kita sehingga menimbulkan kebencian? Mengapa kita tidak mau menghapus semua itu, semua ingatan tentang hal-hal yang terjadi pada masa lalu, menguburnya dan tidak pernah membongkarnya lagi, akan tetapi menujukan seluruh pandangan mata kita, seluruh hati dan pikiran kita, seluruh keadaan diri kita lahir batin kepada apa yang terjadi SAAT INI saja?

Mengapa kehidupan kita saat demi saat begitu tergantung kepada apa yang telah terjadi di masa lalu, yang mempengaruhi setiap gerak-gerik kita, setiap sikap kita terhadap orang lain? Kenapa kita harus menilai setiap orang lain dari perbuatan-perbuatannya yang lalu? Apakah keadaan manusia itu dapat ditentukan dari satu kali perbuatannya di masa lalu?

Mengapa ada benci di dalam hati kita? Mengapa kita mengotori diri sendiri dengan segala macam kebencian, permusuhan, rasa iri hati dan sebagainya itu? Mengapa kita tidak mau mendobrak dan memberontak terhadap semua ikatan masa lalu itu dan hidup BARU saat demi saat? Semua pertanyaan ini kiranya teramat penting untuk kita renungkan dan kita ajukan kepada diri sendiri!

Melihat betapa keadaan kekasihnya telah agak normal kembali, Lie Seng lalu menyiapkan bubur yang tadi sudah dimasak oleh In Hong, sesuap demi sesuap ke mulut kekasihnya. Sun Eng menerimanya seperti anak kecil, dengan pandangan mata tak lepas dari wajah kekasihnya, dengan mata yang masih berlinang air mata, akan tetapi dia tidak terisak lagi.

Sesudah Sun Eng selesai makan, dan Lie Seng bersama paman dan bibinya juga sudah makan pagi, barulah Lie Seng berkata, "Eng-moi, maukah engkau sekarang menceritakan segalanya kepadaku?"

Sun Eng mengangguk, lalu dengan suara tenang, karena memang hal ini sudah dipikirkan sejak tadi, dia bercerita secara singkat, "Koko, sebelumnya kau maafkanlah aku sebesar-besarnya bahwa aku sudah membuatmu banyak pusing dan berduka. Aku merasa sakit hati terhadap pangeran terkutuk itu setelah apa yang terjadi pada keluarga enci Mei Lan. Maka aku lalu menggunakan akal sehingga akhirnya aku berhasil menyelundup ke dalam istana Pangeran Ceng Han Houw sebagai... sebagai selirnya." Dia berhenti dan menatap wajah Lie Seng, akan tetapi wajah itu biasa saja karena memang sedikit banyak Lie Seng sudah menduga tentang hal itu.

"Akhirnya aku berhasil mendapatkan rahasianya. Ternyata pangeran itu bercita-cita untuk menggulingkan kedudukan sri baginda kaisar dan merampas tahta kerajaan."

"Ahh...?" Tiga orang itu berseru kaget dengan berbareng, tidak menyangka bahwa ke situ jalannya cerita yang akan mereka dengar.

Sun Eng lalu menceritakan tentang kedatangan Hai-liong-ong Phang Tek dan dua orang Mongol utusan dari Raja Sabutai yang membawa surat berisi rencana persekutuan antara Pangeran Ceng Han Houw dan Raja Sabutai, rencana penyerbuan mereka untuk merebut tahta kerajaan.

"Aku melihat kesempatan baik sekali, maka aku lalu melarikan surat itu berikut laporanku tentang fitnah yang dijatuhkan atas diri suhu dan subo, atas diri Yap Kun Liong locianpwe dan ibumu, koko. Semua itu lantas kularikan dan kuserahkan kepada Menteri Liang yang sebelumnya telah kuselidiki dan kutahu sebagai seorang menteri yang amat setia kepada kaisar. Aku menyerahkan itu dan mohon kepadanya agar secepatnya dilaporkan kepada kaisar. Sesudah itu aku bermaksud melarikan diri dari kota raja... akan tetapi... pangeran terkutuk itu menangkapku dan... dan aku disiksanya... disuruh mengaku di mana adanya surat-surat itu, akan tetapi sampai mati pun aku tidak sudi mengaku... biar mereka siksa aku, biar mereka bunuh aku..."

"Ah, muridku, engkau telah berjasa untuk kerajaan! Engkau sungguh mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi murid kami!" Cia Bun Houw berseru kagum dan girang, sekaligus juga bangga bahwa wanita ini adalah muridnya.

"Suhu terlalu memuji. Aku hanya seorang durhaka..."

"Eng-moi, jangan bicarakan hal itu lagi. Engkau sudah dimaafkan, dan engkau pun harus memaafkan kami. Sekarang tidak ada apa-apa lagi, engkau akan menjadi isteriku yang sah..."

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Sepasang mata yang agak biru karena pukulan itu terbelalak, seolah-olah dia tak percaya akan apa yang baru didengarnya, kemudian dia menggelengkan kepalanya keras-keras. "Tidak mungkin, koko... tidak mungkin... aku... aku terlalu hina dan rendah untukmu..."

"Eng-moi, apakah engkau masih tetap tidak dapat melupakan sikap keluargaku yang lalu? Apakah engkau tetap bersakit hati dan tidak mau memaafkan?" Lie Seng memohon, "Aku mintakan maaf kepadamu untuk sikap ibuku yang lalu, Eng-moi,"

"Dan kami pun mengharapkan maafmu, muridku!" kata Yap In Hong.

"Ahhh, tidak... jangan salah sangka! Suhu dan subo, sikap suhu serta subo terhadapku memang sudah sepantasnya, aku bukan sakit hati kalau aku berkata bahwa aku... terlalu rendah dan hina bagimu, koko... lebih-lebih sekarang..."

"Bagiku, sekarang engkau makin agung, moi-moi, aku makin mencintamu..."

"Tidak! Jangan lupa, koko, aku sudah menyerahkan diriku kepada pangeran terkutuk itu, membiarkan dia mempermainkan diriku sebagai selirnya, bahkan aku sudah melayaninya sebagai selir terkasih selama hampir dua bulan..."

"Cukup! Aku tidak peduli dengan itu semua! Sekali waktu aku akan berhadapan dengan keparat itu. Aku tidak menyalahkan engkau, Eng-moi. Engkau melakukan hal itu karena engkau ingin mengorek rahasianya, dan engkau melakukan semua itu dengan perasaan tersiksa, demi menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Aku tahu benar akan hal itu!"

Wajah itu memandang dengan pucat lantas sepasang matanya meredup. "Koko, hal itu bukan apa-apa bagimu? Ahhh... tapi aku... aku telah mereka siksa... tahukah engkau apa yang dilakukan pangeran itu? Dia menyerahkan aku kepada Mongol brewok dan belasan anak buah pengawal, dan... dan mereka itu... mereka itu memperkosaku secara biadab, berganti-ganti sampai aku pingsan..."

"Jahanam mereka! Mereka semua telah kubunuh!" Lie Seng mengepal tinju dan matanya berubah merah.

"Nah, engkau tahu sekarang betapa diriku semakin kotor, koko. Aku tidak berharga sedikit pun juga lagi bagimu, aku... aku..."

"Jangan bicarakan lagi hal itu, Eng-moi. Aku tetap mencintamu. Dengar... jangan sampai engkau tidak percaya padaku, jangan memandangku seperti itu... aku mencintamu, bukan mencinta tubuhmu saja, aku akan tetap mencintamu biar pun engkau menjadi bagaimana pun juga!"

"Koko...!" Sun Eng menjerit, Lie Seng merangkul dan mereka berdua bertangisan. Yap In Hong dan Cia Bun Houw saling pandang lantas mata mereka juga basah. Belum pernah mereka menyaksikan cinta kasih antara pria dan wanita seperti kedua orang ini!

Perasaan hati Sun Eng seperti diremas-remas rasanya. Tadinya dia telah bertekat untuk mengorbankan diri bagi keluarga Lie Seng dan dia pun akan mati dengan hati tenteram, karena dia sudah melakukan sesuatu, berkorban bagi pria yang sangat dicinta dan yang amat mencintanya. Dia tidak akan menyesal mati, atau bahkan kalau sampai ditinggalkan oleh Lie Seng sekali pun. Akan tetapi, ternyata cinta kasih Lie Seng tetap kepadanya, biar pun dia sudah menyerahkan tubuhnya kepada Pangeran Ceng Han Houw, walau pun dia telah diperkosa begitu banyak orang secara amat menghina!

Dia menjadi serba salah sekarang! Mana mungkin dia hidup di samping Lie Seng kalau ada kenangan seperti itu? Dia bisa menjadi gila. Mengapa dia melakukan kegilaan semua itu? Memang berhasil, akan tetapi Lie Seng... tetap mencintanya dan akan merana.

"Koko...!" Dia hanya dapat mengeluh.

Dengan hati-hati mereka membawa pergi Sun Eng yang belum mampu berjalan sendiri karena sepasang telapak kakinya terluka berat. Mereka hanya melakukan perjalanan bila malam saja, sedangkan di waktu siang mereka bersembunyi. Mereka takut kalau-kalau akan tersusul oleh orang-orang yang mengejar mereka, yaitu anak buah Pangeran Ceng Han Houw. Bukan takut melawan, melainkan karena mereka harus melindungi Sun Eng yang masih luka dan lemah, maka tidak baik kalau menghadapi lawan-lawan tangguh.

Tiga hari kemudian, mereka bersembunyi di lereng gunung kecil, dalam sebuah goa yang cukup lebar. Keadaan Sun Eng sungguh mengkhawatirkan dan suami isteri pendekar itu merasa heran sekali. Mereka merasa yakin bahwa wanita bekas murid mereka itu tidak menderita luka di dalam tubuh lagi, akan tetapi kenapa kini menjadi semakin parah? Dan pada mukanya terbayang sinar kebiruan seperti orang keracunan!

Lie Seng sangat gelisah, berlutut di samping Sun Eng yang direbahkan di atas lantai goa bertilamkan daun-daun kering yang mereka kumpulkan, "Eng-moi, engkau kenapakah?"

"Koko...," dan Sun Eng tersenyum, "Hari ini adalah yang terakhir... aku... melihatmu..."

"Eng-moi...!"

"Sun Eng, apa artinya ucapanmu ini?!" Yap In Hong juga berseru kaget.

Mereka bertiga kemudian merubung Sun Eng yang kelihatan semakin payah, napasnya terengah-engah dan kadang-kadang menyeringai seperti sedang menahan rasa nyeri di ulu hatinya yang ditekannya dengan tangan.

"Hari... hari ini... aku akan mati... aku girang sekali..."

"Eng-moi...!"

"Aku girang karena berarti engkau akan bebas, koko. Aku tidak lagi membebanimu. Aku tidak patut kau cinta... aku kotor dan hina..."

"Eng-moi, ahhh, Eng-moi, jangan kau menyiksaku dengan kata-katamu itu..."

"Sun Eng, apa maksudmu bahwa hari ini engkau akan mati?" Cia Bun Houw juga turut bertanya sambil memandang tajam. "Apakah engkau keracunan?"

Sun Eng mengangguk. "Mereka telah mencekoki aku dengan racun cairan biru dan... dan Mongol brewok itu bilang... aku akan mati tiga hari kemudian..."

"Eng-moi...!" Lie Seng berteriak dan menangislah laki-laki gagah perkasa ini.

"Sun Eng, mengapa engkau tidak mengatakan kepada kami kemarin dulu?" Yap In Hong menegur dan wanita sakti ini meletakkan tangannya pada ulu hati muridnya, akan tetapi diam-diam dia terkejut sekali karena perasaan tangannya langsung bertemu dengan hawa yang amat dingin!

"Memang kusengaja... aku tidak layak hidup lagi... hanya menyusahkan dan menyeret Lie Seng koko ke pecomberan saja... aku harus mati akan tetapi aku... aku puas mati dalam pelukanmu, koko..."

"Eng-moi...!" Lie Seng cepat merangkulnya sambil menangis. "Paman, bibi... tolonglah..., tolonglah...!"

Bun Houw dan In Hong memeriksa nadi serta pernapasan Sun Eng, akan tetapi mereka hanya menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Racun ini hebat sekali, hawanya dingin tanda bahwa racun ini dari macam yang paling jahat. Apa lagi sekarang, andai kata kemarin dulu pun sulit untuk menyembuhkan bila tidak mendapatkan obat pemunahnya..."

"Koko, jangan berduka. Aku memang lebih senang mati... jika hidup di sampingmu, aku... aku akan selalu menyesal... aku bisa gila mengingat pengalamanku... koko, kau jangan berduka, kudoakan kau hidup bahagia... aku... aku..." Sun Eng terkulai dan pingsan.

Tiga orang pendekar itu berdaya upaya, akan tetapi Sun Eng tetap tidak sadar sampai menjelang tengah hari dia menghembuskan napas terakhir dalam pangkuan dan pelukan Lie Seng. Pemuda ini sudah kehabisan tangis, hanya termenung saja sambil memangku jenazah Sun Eng. Baru setelah dibujuk-bujuk oleh Cia Bun Houw dan Yap In Hong, dia mau melepaskan jenazah itu untuk dikubur di lereng bukit itu.

Setelah pemakaman selesai dan jenazah dalam peti sederhana yang mereka peroleh dari dusun di luar hutan itu mereka timbuni tanah, Lie Seng duduk bersila di depan makam, tidak bergerak seperti patung. Wajahnya pucat sekali dan pandang matanya kosong.

"Seng-ji, sudahlah, mari kita tinggalkan tempat ini," Cia Bun Houw berkata dengan suara membujuk.

"Benar pamanmu, Lie Seng. Mari kita pergi," Yap In Hong menyambung.

"Tiada gunanya dipikirkan lagi. Sun Eng sudah tidak ada, sudah mendahului kita."

"Pergilah kalian, paman beserta bibi. Tidak tahukah kalian bahwa seluruh kebahagiaanku, hidupku, segala-galanya, berada bersama Sun Eng? Biarkan aku sendiri disini dengannya dan jangan ganggu aku lagi... jangan ganggu aku lagi...!" Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara setengah berteriak.

Cia Bun Houw dan isterinya saling pandang, kemudian menarik napas panjang. Sejenak mereka memandang kepada pemuda yang duduk bersila di atas tanah itu, kemudian Cia Bun Houw memberi isyarat kepada isterinya dan mereka pergi meninggalkan Lie Seng. Setelah jauh dari tempat yang menjadi makam Sun Eng itu, Cia Bun Houw baru berkata kepada isterinya.

"Biarkan dia sendiri. Dalam keadaan seperti itu, sukarlah untuk menghiburnya. Aku hanya khawatir bahwa kedukaan akibat kehilangan kekasihnya itu akan membuat dia membenci keluarganya, karena jalan pikirannya tentu mengingat bahwa perjodohannya dengan Sun Eng sudah ditolak keluarganya, bahkan Sun Eng pun mengalami kematian karena hendak membela keluarganya."

Apakah yang kau maksudkan keluarganya adalah kita berdua, Kun Liong koko dan enci Giok Keng?" Yap In Hong menegaskan. Suaminya mengangguk sambil menarik napas panjang.

"Dia sudah dewasa, biarkan dia mempertimbangkan semua itu. Dia harus sadar bahwa kita semua melakukan segalanya itu demi kebaikannya, dan andai kata hal itu salah, apa boleh buat karena kita menolak karena mengingat akan kepentingan Lie Seng."

Cia Bun Houw menarik napas panjang, kemudian berkata, "Isteriku, sekarang kita harus menyelidiki ke kota raja. Tidak mungkin apa yang sudah dilakukan oleh murid kita itu kita diamkan saja. Mendiang Sun Eng sudah memberi contoh kepada kita. Memang, dalam keadaan terfitnah seperti ini, kita tidak boleh lalu diam saja dan hanya bisa melarikan diri menjadi buronan. Kita tak boleh membiarkan saja dunia mengecap kita sebagai keluarga pemberontak, sehingga kelak anak kita pun dicap anak pemberontak! Kita harus berjuang membela diri, menerangkan duduknya perkara kepada fihak kerajaan. Dan sekarang hal itu telah dipelopori oleh Sun Eng. Kita harus menyelidiki kepada Menteri Liang itu, apakah surat-surat dari Sun Eng itu sudah disampaikan kepada kaisar dan bagaimana kemudian keputusan kaisar terhadap keluarga kita dan terhadap pangeran yang hendak berkhianat terhadap kerajaan itu."

Yap In Hong mengangguk. "Dan andai kata usaha Sun Eng gagal sehingga segala jerih payahnya yang sudah dikorbankan sampai kepada nyawanya itu hanya sia-sia, maka kita akan pergi menyerbu istana pangeran jahanam itu dan membunuhnya!"

"Aku pun berpikir demikian, sungguh pun hal itu bukan merupakan pekerjaan mudah. Mari kita pergi!"

Sepasang suami isteri pendekar sakti itu lalu kembali ke kota raja, mempergunakan ilmu mereka yang tinggi sehingga mereka dapat melakukan perjalanan cepat sekali dan pada senja hari mereka sudah tiba di kota raja. Dengan mudah mereka menyelinap memasuki kota raja tanpa diketahui oleh para penjaga.

Malam sudah tiba ketika suami isteri pendekar ini diterima oleh para pengawal di depan istana Menteri Liang. Karena maklum bahwa nama mereka sudah banyak dikenal orang akibat fitnah pemberontakan itu, maka Cia Bun Houw tidak mau memperkenalkan nama mereka, hanya berkata,

"Harap sampaikan kepada Liang-taijin bahwa kami adalah sahabat-sahabat wanita yang pada beberapa malam yang lalu datang menghadap, dan kami mohon menghadap Liang-taijin karena urusan penting sekali."

Mendengar ini, komandan jaga lalu bergegas melaporkan ke dalam, karena dia maklum bahwa wanita berbaju hitam yang datang menghadap menteri beberapa malam yang lalu adalah seorang yang amat penting serta membawa berita yang amat besar dan rahasia pula. Dan memang benar dugaannya, begitu Menteri Liang mendengar pelaporan itu, dia segera berkata, "Cepat persilakan mereka masuk ke ruangan tamu. Jaga supaya jangan sampai ada orang luar yang tahu akan kedatangan mereka!"

Cia Bun Houw dan Yap In Hong dipersilakan masuk dan diantar ke ruangan tamu. Di situ mereka baru ditinggalkan dan dipersilakan menanti sebentar, sedangkan para pengawal menjaga di luar. Cia Bun Houw dan isterinya yang ditinggal berdua saja di dalam kamar tunggu yang luas itu saling pandang, bersikap tenang karena mereka tidak khawatir akan sesuatu.

Tak lama kemudian, pintu dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar, berwajah lembut namun berwibawa, dan gerak-geriknya halus pada waktu dia memasuki kamar itu. Bun Houw dan In Hong cepat bangkit berdiri dan memandang, kemudian mereka cepat menjura dengan sikap hormat.

"Apakah kami berdua berhadapan dengan Menteri Liang yang terhormat?" Cia Bun Houw bertanya.

Pria tua itu memandang dengan penuh kagum, sebab dia dapat melihat bahwa dua orang tamunya itu bukanlah orang-orang sembarangan, walau pun pakaian mereka sederhana saja. "Benar, dan benarkah ji-wi masih sahabat dari lihiap yang memberikan surat-surat kepada kami...?"

"Betul, taijin. Bahkan terus terang saja, kami berdua adalah guru-guru mendiang Sun Eng itu."

"Mendiang...? Ahh, aku mendengar bahwa dia telah dapat lolos dilarikan teman-temannya dari istana Pangeran Ceng Han Houw..."

"Benar, kamilah yang melarikannya namun kami terlambat dan dia keracunan, siang tadi dia meninggal dunia," kata Yap In Hong.

"Ahhh...!"

"Justru karena kematiannya maka kami datang menghadap paduka, taijin. Murid kami itu telah berkorban untuk keselamatan keluarga Cin-ling-pai dan untuk keselamatan kerajaan yang terancam pemberontakan. Maka, kami ingin mendengar keterangan paduka tentang perkembangan usaha mendiang murid kami itu. Semoga usahanya yang gagah dan yang telah dilakukan dengan korban nyawanya itu tidak akan sia-sia belaka."

"Duduklah, taihiap, lihiap. Duduklah dan marilah kita bicara baik-baik. Sudah tentu begitu menerima laporan dari nona Sun Eng itu, aku cepat-cepat pergi, menghubungi Pangeran Hung Chih dan bersama beliau, pagi-pagi tadi kami sudah pergi menghadap kaisar. Terus terang saja, sri baginda kaisar sendiri dan kami para pejabat yang telah lama mengabdi kepada kerajaan ini, tahu belaka bahwa keluarga Cin-ling-pai, sejak mendiang Cia Keng Hong taihiap, adalah orang-orang gagah yang setia kepada negara, maka sri baginda dan kami semua sudah dapat menduga bahwa berita tentang pemberontakan mereka hanya fitnah belaka. Maka pelaporan nona Sun Eng itu kami percaya sepenuhnya, dan barulah sri baginda kaisar maklum alangkah jahatnya mereka yang menjatuhkan fitnah itu, yang ternyata hanya ditujukan untuk melemahkan kerajaan di samping urusan pribadi mereka sendiri yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai. Oleh karena itu, sri baginda kaisar sudah memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk... ehh, nanti dulu, sebelum saya melanjutkan penuturan rahasia istana ini, harus kami ketahui siapa sebenarnya lihiap dan taihiap? Biar pun ji-wi sudah mengaku sebagai guru-guru nona Sun Eng, akan tetapi hal itu belum menjelaskan siapa ji-wi."

"Liang-taijin, nama kami tentu telah taijin kenal baik. Saya bernama Cia Bun Houw dan dia ini isteri saya, Yap In Hong."

"Ahhh...!" Sepasang mata tua itu terbelalak dan wajah yang lembut itu berseri-seri.

"Kami adalah dua orang di antara mereka yang dinamakan pemberontak dan buronan itu, taijin," sambung Yap In Hong.

Pembesar itu tertawa kemudian bangkit berdiri, memandang dengan kagum, lalu menjura. Tentu saja suami isteri pendekar itu cepat membalas.

"Ahh, mengapa aku begitu bodoh? Tentu saja! Aku sudah banyak mendengar nama ji-wi enghiong yang dulu pernah berjasa terhadap negara ketika menghadapi pemberontakan Sabutai! Juga nama besar pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng bukanlah nama asing bagi kami. Dan ji-wi berdua bersama mereka dituduh pemberontak! Betapa jahatnya! Duduklah, taihiap dan lihiap dan dengarkan penuturanku."

Menteri Liang lalu menceritakan keadaan di istana pada waktu itu, betapa kaisar tadinya menaruh kepercayaan kepada Pangeran Ceng Han Houw dari utara yang oleh mendiang ayahanda kaisar sekarang juga diakui sebagai puteranya dan juga kepercayaan kaisar terhadap Kim Hong Liu-nio karena selain wanita itu menjadi suci dari Pangeran Ceng Han Houw, juga wanita itu pernah menyelamatkan kaisar tua dari penyerangan Pangeran Ceng Su Liat yang memberontak.

"Sungguh tidak kami sangka bahwa mereka itu mempergunakan kekuasaan kaisar untuk menyerang Cin-ling-pai yang menjadi musuh utama dari Kim Hong Liu-nio yang hendak membalaskan sakit hati gurunya, yaitu Hek-hiat Mo-li. Ahhh, mereka itu sudah mengatur segala-galanya, dan secara diam-diam bersekutu dengan Raja Sabutai, bahkan dengan Pek-lian-kauw untuk memberontak."

"Lalu apa yang telah dilakukan oleh istana untuk menanggulangi bahaya ini, taijin?" tanya Cia Bun Houw.

"Sri baginda sudah membaca semua laporan mendiang nona Sun Eng dan beliau sudah memberi kekuasaan penuh kepada Pangeran Hung Chih untuk bertindak terhadap kaum pemberontak. Pertama-tama kaisar memerintahkan supaya tuduhan terhadap diri keluarga Cin-ling-pai dicabut. Maka mulai saat itu, keluarga Cin-ling-pai sudah bukan pemberontak atau buronan lagi dan hal ini oleh Pangeran Hung Chih akan diumumkan kepada seluruh kepala daerah."

Cia Bun Houw dan Yap In Hong saling pandang dengan girang sekali dan mereka segera bangkit berdiri, kemudian menjura dengan hormat. "Sungguh kami merasa gembira sekali dan banyak terima kasih atas bantuan paduka, juga bantuan Pangeran Hung Chih dan kemurahan sri baginda kaisar."

"Seyogianya kalau ji-wi berterima kasih kepada Sun Eng..." Menteri Liang menghentikan kata-katanya karena melihat wajah suami isteri itu tiba-tiba nampak berduka sekali, maka disambungnya segera, "Marilah ji-wi kami antar untuk menemui Pangeran Hung Chih agar dapat bicara lebih jelas lagi, dan mungkin sekali beliau hendak mohon bantuan ji-wi untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang selain sangat lihai, juga mempunyai banyak teman-teman yang memiliki ilmu tinggi. Apa lagi karena sri baginda menghendaki supaya Pangeran Hung Chih menggunakan jalan yang halus agar jangan sampai terjadi perang saudara yang akan menggelisahkan rakyat."

Malam itu juga Cia Bun Houw dan isterinya diajak oleh Menteri Liang pergi menghadap Pangeran Hung Chih di istananya. Seperti juga Menteri Liang, pangeran ini menyambut suami isteri pendekar ini dengan girang sekali.

Suami isteri ini lalu mendengar dari pangeran yang pada saat itu merupakan orang yang amat berpengaruh di dalam istana, bahwa memang betul Pangeran Hung Chih ini hendak menggunakan jalan halus untuk menanggulangi Pangeran Ceng Han Houw.

"Semua gerak-geriknya telah diawasi dan walau pun tidak ada teguran langsung dari sri baginda kaisar, akan tetapi Ceng Han Houw yang telah kehilangan surat penting itu tentu akan bersikap hati-hati dan agaknya dia hendak melanjutkan cita-citanya untuk menjadi jago silat nomor satu di dunia. Melalui kang-ouw ini dia akan menghimpun kekuatan. Oleh karena itu, kami harap bantuan keluarga Cin-ling-pai untuk menentangnya di lapangan itu. Jangan sampai golongan sesat di bawah pimpinannya akan menguasai dunia persilatan, dalam urusan ini tentu saja ji-wi lebih mengerti bagaimana menanggulanginya dari pada kami. Kami tidak ingin mempergunakan kekuatan pasukan kalau tidak perlu sekali, agar jangan sampai menggelisahkan rakyat."

"Harap paduka jangan khawatir. Setelah hamba sekeluarga dibebaskan dari tuduhan dan dapat bergerak dengan leluasa, tidak menjadi buronan pemerintah lagi, kami tentu akan dapat serentak bangkit kemudian menentang Kim Hong Liu-nio dan Pangeran Ceng Han Houw," jawab Cia Bun Houw.

"Asal saja hal itu jangan dilakukan di kota raja," kata Pangeran Hung Chih. "Karena kalau para orang gagah menentangnya di kota raja, mau tak mau istana harus turun tangan dan dengan demikian berarti istana secara langsung menanganinya. Karena itu sebaiknya ji-wi mengajak semua orang gagah untuk waspada dan turun tangan menentangnya kalau dia beraksi di luar kota raja."

Sesudah saling bertukar pikiran dan menerima jamuan penghormatan yang diadakan oleh Pangeran Hung Chih, malam itu juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu meninggalkan kota raja. Mereka ingin cepat-cepat pergi ke Bun-cou untuk menyampaikan berita yang ada dua macam itu kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Dua macam berita duka dan berita gembira. Berita duka tentang tewasnya Sun Eng dan keadaan Lie Seng yang tenggelam dalam kedukaan besar, dan berita gembira mengenai dibebaskannya keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan memberontak.

                 ***************

Sampai dua hari dua malam Lie Seng duduk bersila di depan makam Sun Eng itu, tidak pernah dia meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang timbul di dalam hatinya untuk duduk terus di tempat itu sampai mati! Makin dikenang segala kebaikan Sun Eng, juga segala pengorbanannya, makin tertusuk rasa hatinya dan berkali-kali dia menangis seperti anak kecil di tempat yang sunyi itu.

Wajahnya sudah pucat sekali dan tubuhnya kurus dan lemah, pandang matanya kosong dan sayu, pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan. Keadaan pemuda ini sungguh amat menyedihkan. Dia telah putus asa, tidak melihat lagi sinar dalam kehidupannya yang dianggapnya gelap pekat tanpa harapan. Semangat serta gairah hidupnya sudah lenyap terbawa pergi oleh Sun Eng.

Pada hari ke tiga, sejak semalam Lie Seng duduk bersila dengan mata dipejamkan dan berada dalam keadaan semedhi yang gelap. Dia tidak tahu betapa sejak tadi ada seorang hwesio tua menghampirinya, kemudian memandang kepada makam baru itu dan berdiri di depannya, kadang-kadang mengangguk-anggukkan kepala, kadang-kadang menggeleng-geleng, menarik napas panjang. Sampai lama hwesio tua itu berdiri di sana, memandang dengan sinar matanya yang lembut, wajahnya yang sangat tenang dan mengandung seri kebahagiaan.

Hwesio itu berjubah kuning. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, kepalanya yang tak berambut itu terlindung topi hwesio, tangan kirinya memegang tasbih dan pakaiannya amat sederhana dan kasar. Akan tetapi semua itu tidak mengurangi wibawa dan sikapnya yang agung.

"Omitohud... mengapa ada orang merusak diri sendiri seperti ini? Membunuh diri secara perlahan-lahan dengan membiarkan gelombang duka menyeretnya berlarut-larut...! Orang muda, apakah dengan membiarkan gelombang duka menghanyutkanmu ini kemudian kau mengharapkan yang mati akan dapat bangkit kembali?"

Suara itu amat halus dan karena dikeluarkan dengan penuh perasaan maka mengandung getaran kuat dan mampu menembus dinding semedhi, menyentuh kesadaran Lie Seng. Pemuda ini membuka mata dan mengangkat muka memandang hwesio tua itu, kemudian alisnya berkerut.

"Hwesio, pergilah, tak perlu kau berkhotbah di sini!" katanya dengan marah.

Tidak biasanya Lie Seng bersikap seperti ini, akan tetapi dia tidak peduli apa pun juga lagi. Dia sudah lupa diri, yang teringat hanyalah kedukaannya dan ini membuat dia kasar dan tidak bersahabat kepada siapa pun juga.

Hwesio tua itu tersenyum akan tetapi pandangan matanya penuh rasa iba. "Orang muda, pinceng tidak berkhotbah, pinceng justru merasa kasihan padamu, maka pinceng hendak mengingatkan bahwa tindakanmu yang terbuai oleh duka ini sungguh tidak tepat. Berduka atas kematian seseorang merupakan suatu kebodohan, dan tindakan menyeleweng dari pada kebenaran."

Pandang mata Lie Seng berapi karena marahnya ketika dia menatap wajah yang ramah itu. Dengan suara berat bernada kesal dia menjawab, "Bicara memang enak saja! Engkau tidak merasakan, karena itu engkau mudah saja mencela! Aku sudah kehilangan cahaya hidupku, kehilangan semua kebahagiaan dan harapan, maka perlu apa aku mempedulikan diri sendiri? Kalau aku harus mati, akan kuterima dengan rela! Pergilah, hwesio!"

Akan tetapi hwesio tua itu malah duduk bersila di hadapan Lie Seng, sikapnya tetap halus dan ramah. "Omitohud... kegelapan kini menguasai batinmu, orang muda. Engkau bilang bahwa pinceng tidak merasakan maka mudah mencela? Wahai orang muda, siapakah di dunia ini yang tak pernah mengalami kematian seseorang yang dikasihinya? Orang muda, barang kali engkau belum pernah mendengar dongeng tentang Sang Buddha pada waktu menghadapi kematian, dan kalau engkau sudah pernah mendengarnya, biarlah dongeng ini menjadi penyadar bagimu. Seorang wanita kematian anak tunggalnya. Siapa pun tahu bahwa cinta kasih seorang ibu terhadap anak tunggalnya adalah cinta kasih yang paling murni di antara segala macam cinta kasih di dunia ini. Maka berdukalah wanita itu dan dia pun pergi menghadap Sang Buddha, lalu memohon kepada Buddha untuk menghidupkan kembali anak tunggalnya. Dengan tenang Sang Buddha lalu menyuruh wanita itu supaya meminta segenggam gandum dari sebuah keluarga yang belum pernah kematian, karena hanya itulah obat yang dapat menghidupkan anaknya yang sudah mati. Ibu itu berkelana, akan tetapi biar pun dia akan pergi mengelilingi dunia, di mana ada keluarga yang belum pernah kematian anggota keluarganya? Akhirnya dia kembali kepada Sang Buddha dan insaf. Kematian adalah suatu hal yang wajar dalam kehidupan. Ada hidup tentu ada mati. Mengapa kematian harus didukakan benar? Bukankah kita semua akhirnya akan mati pula? Engkau dan pinceng pun tidak akan terluput dari kematian. Mengapa kini ada yang mati lantas engkau menyiksa diri dengan kedukaan? Apakah kedukaanmu itu akan dapat menghidupkannya kembali, orang muda?"

Perlahan-lahan ada sisa-sisa air mata menetes dari kedua mata Lie Seng. Tentu saja, dia pernah mendengar tentang cerita itu. Anehnya, kini keluar dari mulut hwesio itu, dengan suaranya yang halus lembut, cerita itu memiliki pengaruh yang lain, menembus sampai ke dasar hatinya dan membuat dia melihat kenyataan itu.

"Losuhu... losuhu tidak tahu orang yang mati ini adalah kekasih saya, isteri saya... saya bukan seorang cengeng, losuhu sudah biasa menghadapi kematian, akan tetapi dia ini... ahh, semasa hidupnya menderita demikian banyak kepahitan, dan selagi saya berusaha untuk membuatnya bahagia... dia sudah mengambil jalan pendek, dia mengorbankan diri demi keluarga saya, demi kerajaan... ahh, betapa tidak akan hancur hatiku, losuhu...?"

Hwesio tua itu mendengarkan dengan tenang dan sabar sampai Lie Seng berhenti bicara dan menunduk, memejamkan mata. Kemudian terdengar lagi suara hwesio itu, suaranya lantang namun lembut sekali. "Orang muda, pandanglah baik-baik dan sadarilah. Lihatlah dengan waspada, siapakah yang sedang kau tangisi itu? Siapakah yang kau kasihani itu? Di balik semua keteranganmu tadi, bukankah sebetulnya engkau hanya menangisi dirimu sendiri, engkau mengasihani dirimu sendiri?"

Lie Seng mengerutkan kedua alisnya, termenung sejenak lantas terkejut bukan kepalang. Dia mengangkat muka memandang kepada hwesio tua itu dengan mata terbelalak marah. "Berani kau menuduhku seperti itu...?"

"Tenang dan pandang sajalah, pandang dengan waspada dan jujur...," hwesio itu berkata sambil menggerakkan tangan. Sikapnya yang lembut halus itu seolah-olah membuyarkan kemarahan Lie Seng.

Orang muda ini duduk termenung, memandang kepada diri sendiri kemudian jantungnya berdebar tak karuan. Dia melihat, mula-mula secara samar-samar saja, akan tetapi makin lama menjadi semakin jelas dan timbullah keraguan besar. Benarkah dia berduka karena kasihan kepada Sun Eng? Ataukah tidak lebih condong karena kasihan pada diri sendiri? Dia tidak dapat menjawab. Dia bingung sekali dan kembali dia memandang kakek itu.

"Losuhu, mohon petunjuk...," akhirnya dia berkata.

"Orang muda, bukan maksud pinceng untuk mencelamu, namun untuk menyadarkanmu. Engkau sendiri tadi menceritakan betapa di dalam hidupnya kekasihmu menderita banyak kepahitan. Sekarang dia sudah meninggal, bukankah berarti dia setidaknya terbebas dari pada semua kepahitan-kepahitan itu? Maka, dengan alasan apa lagi engkau merasa iba kepadanya? Yang jelas, engkau menangis serta berduka karena merasa iba diri, karena engkau merasa kehilangan, karena engkau ditinggalkan dan merasa kesunyian. Tidakkah demikian?"

Lie Seng mengangguk-angguk, tak dapat membantah kebenaran kata-kata itu. Sekarang nampak nyata olehnya. Sun Eng hidup dalam keadaan sengsara karena menderita batin yang hebat. Sun Eng selalu menyesalkan penyelewengannya, yang membuatnya merasa rendah diri dan tak berharga menjadi isterinya. Apa lagi keluarga Cin-ling-pai menolaknya!

Kemudian, untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng sudah berkorban dan sungguh pun usahanya berhasil baik, namun dirinya sudah mengalami penghinaan yang membuat dia merasa dirinya menjadi semakin kotor! Apa bila Sun Eng tidak mati, sudah pasti Sun Eng akan semakin menderita karena merasa semakin tidak berharga baginya.

Bukankah kematian itu bahkan merupakan jalan keluar yang paling baik bagi Sun Eng? Mengapa dia harus menangisinya? Apakah dia ingin melihat Sun Eng tetap hidup dalam keadaan menderita batin yang hebat itu?

"Duka tidak dapat dihilangkan melalui hiburan, juga tak dapat dihilangkan melalui pelarian, orang muda. Yang penting kita membuka mata melihat kenyataan, jangan membiarkan duka sampai membutakan mata batin. Penglihatan yang terang dengan pengamatan yang waspada akan mendatangkan pengertian, dan hanya pengertian mendalam yang disertai kesadaran yang akan meniadakan duka yang tiada guna dan melemahkan lahir batin itu."

Untuk kurang lebih setengah jam lamanya Lie Seng mendengarkan suara kakek itu, suara yang lembut dan tenang, yang mendatangkan ketenangan dalam hatinya, yang membuat hatinya menjadi ringan dan lapang, yang membuat dia mulai berani memandang makam Sun Eng tanpa kepedihan hati. Akhirnya dia pun menjadi sadar benar-benar akan semua tindakannya yang hanya menurutkan kata hati dan perasaan yang terdorong oleh iba diri belaka. Dan tiba-tiba saja dia melihat masa depan yang cerah tanpa Sun Eng, yaitu masa depan menjadi seperti kakek ini, yang hidup bebas dalam arti yang seluas-luasnya. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

"Losuhu, perkenankanlah teecu turut bersamamu mempelajari hidup dan masuk menjadi hwesio di kuil yang losuhu pimpin."

Hwesio tua itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Orang muda, pinceng melihat bahwa engkau bukanlah orang muda sembarangan, namun seorang muda yang tentu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, bukan? Pinceng sendiri bukan ahli silat, namun pinceng dapat mengenali orang pandai. Siapakah namamu dan dari keluarga manakah engkau, orang muda?"

"Teecu bernama Lie Seng, ibu teecu adalah puteri dari mendiang kongkong Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai."

"Omitohud... sudah pinceng duga. Ternyata engkau adalah cucu pendekar sakti itu, dan sekarang engkau ingin menjadi hwesio? Ah, bukankah itu hanya merupakan pelarian saja bagimu, untuk menghibur hatimu yang sedang berduka dan putus asa? Masuk menjadi hwesio bukan hal yang main-main dan hanya untuk pelarian belaka, sicu."

"Teecu melihat masa depan yang gelap, suhu. Teecu penuh dendam dan sakit hati, kalau teecu melanjutkan hidup ini seperti biasa, tidak dapat dihindarkan lagi teecu tentu akan mengakibatkan kekerasaan dan banjir darah karena teecu tentu akan mengamuk untuk membalas kematian kekasih teecu."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Pinceng sudah melihat hal itu, oleh karena itulah maka pinceng berusaha menyadarkanmu. Kalau memang masuk menjadi hwesio itu timbul dari tekadmu sendiri, karena kesadaranmu, maka terserah kepadamu. Pinceng memimpin Kuil Hok-seng-tong di kaki bukit sana. Marilah, sicu."

Lie Seng bangkit dan setelah sekali lagi meraba-raba makam Sun Eng dan mengucapkan selamat tinggal kepada kekasihnya itu, kini dengan hati ringan dan lapang, maka dia pun bangkit dan mengikuti hwesio tua itu turun gunung. Beberapa bulan kemudian, Lie Seng telah mencukur rambutnya dan berpakaian jubah lebar, menjadi hwesio yang secara tekun menekuni hidup dan kebatinan di dalam Kuil Hok-seng-tong di bukit sunyi sebelah selatan kota raja itu!

Alangkah banyaknya di antara kita yang seperti Lie Seng itu! Melarikan diri sendiri dari kenyataan hidup! Melarikan diri dari kepahitan hidup! Lantas mengejar-ngejar kemanisan hidup! Padahal, pelarian dari yang pahit dan pengejaran yang manis itu tak ada bedanya sama sekali.

Melarikan diri dari yang pahit lalu berlindung kepada sesuatu itu berarti juga mengejar kemanisan yang diharapkan akan bisa didapatkan dari tempat berlindung itu. Dan selama pengejaran akan sesuatu yang dianggap manis dan menyenangkan ini terjadi, maka kita akan terus menerus terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada habisnya.

Pelarian tidak akan melenyapkan duka, pelarian tak akan melenyapkan kegelisahan dan rasa takut. Mungkin saja dapat mendatangkan hiburan sesaat, tetapi duka itu, rasa takut itu, tidak akan lenyap, hanya untuk sementara waktu terselubung saja oleh hiburan yang didatangkan oleh pelarian. Setiap saat akan muncul kembali!

Kita semua mengenal apa penyesalan itu, apa kekecewaan itu, dan apa rasa takut serta kedukaan itu. Mengapa kita selalu harus mencari hiburan di mana kita dapat berlindung untuk melarikan diri dari hal-hal yang tidak enak itu? Mengapa kita tidak pernah berani menghadapi semua itu, menghadapi mereka di waktu mereka itu timbul, menghadapinya dengan langsung, memandangnya kemudian menanggulanginya di saat mereka muncul sehingga mereka itu akan lenyap di saat itu juga dan tak akan pernah muncul kembali?

Penanggulangan ini bukanlah berarti mengusahakan supaya mereka lenyap, sama sekali bukan. Melainkan menghadapi duka pada saat duka itu menyerang kita, memandang dan menyelaminya secara langsung, mengenal luar dalam apa sesungguhnya duka itu! Tetapi sayang, kita selalu ingin senang, maka begitu timbul sesuatu yang tidak menyenangkan menurut anggapan kita, kita lalu melarikan diri.

                 ***************

"Bi Cu...!"

Teriakan Sin Liong ini nyaring sekali karena memang dia kaget bukan main saat melihat betapa tubuh Bi Cu juga melayang dan meluncur turun. Sama sekali tidak disangkanya bahwa dara itu akan melakukan perbuatan senekat itu, menyusul dia terjatuh ke dalam jurang dengan meloncat. Apa bila dia sendiri yang terjatuh, tentu dia akan mencari akal untuk dapat terhindar dari ancaman maut, akan tetapi kini Bi Cu juga turut jatuh, maka seketika dia menjadi nanar dicekik rasa khawatir yang hebat.

Dia tadi terjatuh dalam keadaan terjengkang, maka tubuhnya terlentang. sedangkan Bi Cu yang meloncat itu menelungkup. Cepat Sin Liong menyambar tangan kiri Bi Cu dan dia berhasil menangkap pergelangan lengan kiri dara itu. Lalu dia merangkul pinggang Bi Cu dengan erat. Bi Cu juga merangkul sambil memejamkan mata karena ngeri.

"Sin Liong...!" isaknya.

Biar pun maklum bahwa mereka melayang ke dalam jurang yang seolah-olah tanpa dasar saking dalamnya, dan bahwa tubuh mereka tentu akan hancur lebur kalau menimpa dasar jurang, namun Sin Liong tak mau kehilangan semangat dan kesadarannya. Selagi masih hidup dia harus berdaya upaya menyelamatkan diri!

Dengan amat cepat kedua tangannya merenggut kancing baju di depan tubuhnya. Untung pinggang Bi Cu demikian ramping sehingga walau pun lengan kanannya sudah melingkari pinggang itu, tangan kanannya masih mampu mencapai depan bajunya. Sekali renggut, maka terlepaslah semua kancing bajunya dan kini dia memegangi kedua ujung baju yang terbuka itu dengan kedua tangannya, dibentangkan seperti sayap. Usahanya berhasil! Dia merasakan ada tekanan dari bawah seakan-akan luncuran mereka berdua agak tertahan sedikit, tidak lagi selaju tadi, sementara bajunya yang dibentangkan itu mengembang dan menangkap angin.

"Bi Cu, cepat buka bajumu... kembangkan bajumu seperti ini... seperti layar...!" teriaknya.

Bi Cu menghentikan isaknya. Mula-mula dia tidak mengerti kenapa dia disuruh membuka bajunya. Akan tetapi ketika dia memberanikan hati membuka mata dan melihat apa yang dilakukan Sin Liong, dia cepat menggerakkan kedua tangannya, dengan jari-jari gemetar dia merenggut bajunya. Segera dia merobek bajunya itu dan pada lain saat dia pun telah memegangi ujung kanan kiri bajunya yang dibentangkan.

Kembali ada tenaga menahan dari bawah sesudah baju itu dapat menangkap angin dan mengembang. Luncuran mereka tertahan dan tidak secepat tadi, akan tetapi tentu saja kedua layar itu tidak cukup kuat untuk menahan dan tubuh mereka masih terus meluncur ke bawah.

Sambil merangkul pinggang Bi Cu, Sin Liong miringkan tubuhnya lantas memandang ke bawah. Hampir pingsan dia karena pening ketika melihat bawah yang demikian dalamnya, akan tetapi dia menggoyang kepala mengusir kepeningan dan rasa ngeri. Dia melihat ada sebatang pohon yang tumbuh di dinding tebing itu. Pohon yang cukup besar. Itulah yang akan menolong kita, pikirnya. Kalau gagal mereka tentu akan tewas!

Dia segera mengerahkan tenaganya, menggerakkan kakinya sehingga tubuhnya bersama tubuh Bi Cu melayang agak mendekat dengan tebing. Pohon itu bagai melayang ke atas, makin lama semakin besar mendekati mereka. Memang berbahaya sekali. Kalau terlalu dekat dengan tebing tubuh mereka meluncur, membentur batu tebing sedikit saja, tentu mereka akan tewas sebelum tiba di dasar jurang.....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 41



KINI pohon itu makin besar, seolah-olah terbang naik ke arah mereka, bukan mereka yang meluncur ke arah pohon. Sin Liong siap dengan tangan kirinya sedangkan lengan kanan tetap merangkul pinggang Bi Cu. Meski maut sekali pun tidak akan mampu memaksa dia melepaskan pinggang dari rangkulan lengan kanannya itu.

"Bresssss...!"

Mereka telah tiba di tengah-tengah pohon itu dan tubuh mereka berhenti meluncur. Sin Liong telah berhasil! Tangan kirinya dapat menangkap sebatang cabang pohon itu hingga mereka bergantung di sana. Pakaian mereka robek-robek dan tubuh mereka lecet-lecet, bahkan Bi Cu yang masih dirangkul pinggangnya oleh lengan kanan Sin Liong itu terkulai lemas. Pingsan!

Sin Liong cepat menarik dirinya duduk di atas cabang, lalu menarik Bi Cu, dipangkunya di tempat aman itu, di dahan yang bercabang. Lengan kirinya terasa nyeri bukan main. Baru terasa setelah dia dapat duduk dengan aman di atas dahan. Ketika digerakkannya lengan itu, hampir dia menjerit dan tahulah dia bahwa lengan itu terkilir pada sambungan paling atas dekat pundak.

"Bi Cu... Bi Cu... sadarlah...!"

Berkali-kali dia memanggil dara yang dipangkunya dan dirangkulnya itu. Dalam keadaan lengan kirinya terkilir, sukarlah baginya untuk melanjutkan mencari jalan selamat. Mereka masih tergantung di dalam pohon besar itu yang tumbuh agak miring pada dinding yang terjal. Di bawah curam sekali maka mereka belumlah terbebas sama sekali dari bahaya, sungguh pun sementara ini tidak lagi terancam maut seperti tadi.

Akhirnya Bi Cu bergerak lemah dan bibirnya pun bergerak, berbisik lirih, "Sin Liong... ah, Sin Liong... jangan tinggalkan aku...!"

Hampir Sin Liong tertawa. Gadis ini seperti orang tidur mengigau saja! Akan tetapi hatinya amat terharu sebab igauannya itu membayangkan rasa takutnya, bukan takut mati karena seorang gadis seperti Bi Cu agaknya tidak takut akan kematian, tetapi takut ditinggalkan sendirian di atas sana, bersama Pangeran Ceng Han Houw dan para musuh itu!

Mengingat pangeran itu, Sin Liong menggeram di dalam batinnya. Sungguh kejam sekali pangeran itu! Mengapa dulu dia selalu menganggap pangeran itu orang yang baik budi? Sekarang dia mulai sadar bahwa apa pun yang dilakukan oleh pangeran itu adalah demi kepentingan pangeran itu sendiri.

Andai kata ada perbuatannya yang tampak baik, seperti ketika menyelamatkannya dahulu itu, maka perbuatan itu bukanlah terdorong oleh hati yang baik, melainkan dipergunakan sebagai siasat demi kepentingan dan keuntungan dirinya sendiri belaka. Baru kini terbuka matanya dan dia mengenal betul orang macam apa adanya Ceng Han Houw yang selama ini dianggapnya sebagai kakak angkat!

Kini Bi Cu sudah membuka matanya. Terbelalak dia ketika melihat betapa dia berada di atas dahan, dikelilingi daun-daun yang begitu banyaknya dan tubuhnya terasa sakit-sakit. Teringatlah dia dan dia terbelalak bertanya, "Eh, Sin Liong, kita... kita ini di alam baka? Ini sorga atau neraka?"

Kini Sin Liong tak dapat menahan ketawanya. Akan tetapi dia menyeringai karena lengan kirinya terasa nyeri sekali.

"Heiii, kita di mana ini? Di dalam pohon? Jadi kita belum mati? Wah, alangkah ngerinya... begini tingginya!" Bi Cu kini merangkul dahan yang berada di atasnya sambil memandang ke bawah dengan mata terbelalak.

"Kita masih hidup, Bi Cu. Pohon ini menolong kita, akan tetapi lengan kiriku... ahh, sakit bukan main, agaknya sudah terkilir. Harus dikembalikan ke tempatnya sebelum aku dapat mencarikan jalan keluar dari sini."

"Ahh, mengapa sampai terkilir, Sin Liong? Hemm, aku mengerti sekarang. Tentu ketika melayang jatuh tadi engkau menggunakan tangan kirimu menyambut dahan pohon! Betul tidak?" Sepasang mata itu bersinar-sinar penuh kegembiraan seperti anak-anak yang bisa menebak teka-teki dengan tepat.

"Aihhhh... kau ini!" Sin Liong tersenyum lebar, tak dapat ditahannya itu karena sikap Bi Cu yang begitu lincah gembira, padahal mereka berada di mulut maut! Akan tetapi karena pundak kirinya terasa nyeri bukan main, senyumnya menjadi senyum menyeringai.

"Sakit sekalikah, Sin Liong?" Bi Cu bertanya sambil memegang lengan kiri itu, akan tetapi tubuhnya bergoyang dan cepat dia menyambar dahan di atasnya lagi dan memandang ke bawah dengan hati ngeri. Hampir dia lupa agaknya bahwa dia duduk di atas dahan pohon berada di tempat demikian curamnya.

Gerakannya ini menarik lengan Sin Liong maka tentu saja pemuda itu berteriak saking nyerinya.

"Ahh, maaf, Sin Liong. Dapatkah aku membantu?"

"Bi Cu, engkau harus menarik lengan kiriku ini sampai tulangnya kembali ke tempat yang benar. Tariklah kuat-kuat dengan tangan kanan, ada pun tangan kirimu tetap memegang dahan dan jangan lupa, kedua kakimu kau kaitkan pada dahan di bawah itu. Hati-hatilah, tempat ini berbahaya sekali. Jangan terlalu banyak bergerak."

Bi Cu mengangguk-angguk, kemudian mencari tempat berpegang yang kuat, mengkaitkan kedua kakinya pada dahan di bawah, lalu mengulurkan tangan kanan. "Mana lenganmu, kesinikan!"

Sin Liong sudah merangkulkan lengan kanannya kepada sebatang dahan, memegangnya erat-erat kemudian dia mengulurkan lengan kirinya kepada gadis itu. Bi Cu menangkap pergelangan tangan Sin Liong, lalu mulai menarik.

Sin Liong menyeringai, memejamkan mata karena rasa nyeri yang amat luar biasa terasa olehnya, kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk dari pundak sampai ke seluruh tubuh.

"Terus... terus... tarik terus sedikit lagi...!" Dia berkata terengah-engah.

Bi Cu merasa tidak tega ketika melihat wajah pemuda itu menjadi basah oleh peluh yang besar-besar, namun dia menguatkan hatinya dan membetot terus sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

"Klokkk!" Terdengar suara pada sambungan lengan dan pundak.

"Sudah...! Cukup...!" seru Sin Liong. Bi Cu melepaskan pegangannya dan melihat betapa Sin Liong menyandarkan kepalanya pada dahan di depan dan lengan kirinya yang sudah tersambung kembali itu tergantung lemas.

"Sin Liong... sakit sekalikah...?" Suara itu amat lembutnya dan mengandung isak gemetar sehingga Sin Liong melupakan rasa nyerinya seketika, membuka mata dan memandang gadis itu sambil tersenyum.

"Terima kasih, Bi Cu. Sekarang kedudukan tulangnya sudah baik kembali, hanya tinggal memulihkan saja. Sayang kita harus tetap tinggal di sini sampai aku dapat menggerakkan tanganku kembali... Lalu dia bertanya heran, "Eh, engkau menangis? Engkau tentu... takut sekali, bukan?"

Bi Cu menggunakan punggung tangan menghapus beberapa butir air mata di pipi dan yang tergantung di bulu mata. Dia menggelengkan kepala. "Tidak takut, bukankah engkau juga di sini. Aku hanya... kasihan sekali padamu tadi. Mukamu menjadi mengerikan ketika engkau menahan nyeri tadi..."

Sin Liong tersenyum. "Sekarang telah sembuh..."

"Tapi kita tidak bisa ke mana-mana. Bagaimana kita dapat keluar dari tempat ini?"

Sin Liong memandang ke arah dinding tebing. Memang tidak mudah. Akan tetapi kalau lengannya telah sembuh, dia pasti akan menemukan jalan. Akan tetapi sekarang ini tidak mungkin. Hanya menggunakan sebelah lengan saja, mana bisa mencari jalan keluar. Dan dia pun tidak tega membiarkan Bi Cu yang mencari jalan keluar. Pekerjaan itu berbahaya sekali. Dan untuk sementara waktu mereka aman di pohon itu. Pohon yang cukup besar dan kuat.

"Kita terpaksa tinggal di sini, Bi Cu."

"Sampai berapa lama?"

"Sampai aku dapat menggerakkan kembali lengan kiriku."

Demikianlah, dua orang muda itu lalu tinggal di pohon itu laksana dua ekor kera! Dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan mereka, apa lagi karena lengan kiri Sin Liong belum juga sembuh. Mereka terpaksa melewatkan malam gelap di dalam pohon itu!

"Hati-hati, jangan sampai engkau tertidur kemudian peganganmu terlepas sehingga jatuh ke bawah, Bi Cu." Sin Liong memperingatkan ketika cuaca sudah menjadi gelap. Hatinya khawatir sekali.

Untung bahwa Bi Cu adalah seorang gadis yang berhati baja, dan juga mempunyai watak riang gembira sehingga dalam keadaan seperti itu pun masih suka bergurau! Sikap lincah jenaka ini membuat mereka tak begitu merasakan penderitaan yang menekan lahir batin.

"Kalau terlepas kenapa? Malah tidak lagi menderita hidup seperti kera kelaparan begini!" jawab Bi Cu berolok-olok.

"Engkau lapar, Bi Cu?"

"Kau kira perutku terbuat dari pada batu? Tentu saja aku lapar. Kau tidak?"

"Mungkin."

"Eh, mungkin bagaimana? Engkau jangan berteka-teki! Tinggal menjawab lapar atau tidak, mengapa mungkin? Habis rasanya bagaimana, lapar atau tidak?"

"Aku bilang mungkin, karena menurut patut tentu lapar, akan tetapi tidak terasa karena kalah oleh rasa nyeri di pundakku dan rasa khawatir di hatiku."

"Apa sih yang kau khawatirkan?"

"Kau masih bertanya lagi? Tentu saja keadaan kita ini. Apakah engkau tidak khawatir?"

"Tidak! Sekarang kita masih hidup, bukan? Dan aman..."

"Hanya lapar..."

"Ya, hanya lapar. Sayang aku tidak bisa memburu kelinci. Ahhh, enaknya daging kelinci bakar dimakan panas-panas, apa lagi bagian paha dan pinggul, hemmm... sedap...!"

Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan anehnya, membayangkan gambaran itu, dia pun tiba-tiba saja merasa lapar! Akan tetapi hatinya masih sangat khawatir, bagaimana kalau gadis yang lincah itu menjadi lengah malam nanti, mengantuk dan terlepas lalu jatuh ke bawah sana. Dia menggigil kalau membayangkan kemungkinan ini.

Maka di dalam keremangan senja itu, secara diam-diam dia mulai menanggalkan bajunya dan dengan hati-hati dirobek-robeknya baju itu menjadi robekan panjang selebar tangan. Dia merobeknya dengan tangan kanan dan giginya, kemudian dia menggulung robekan-robekan itu menjadi tali yang cukup kuat kemudian menyambung-nyambungnya. Setelah selesai, dia lalu menyodorkan satu ujungnya kepada Bi Cu.

"Bi Cu, kau terima ujung tali ini," katanya.

Bi Cu menerima ujung tali itu, meraba-rabanya lalu berkata, "Hemm, sejak tadi engkau diam saja ternyata engkau membuat tali ini? Dari apa kau buat?"

"Dari bajuku."

"Lalu untuk apa?"

"Ikatkan ujungnya pada pinggangmu, yang kuat. Kalau engkau mengantuk dan terlepas, maka engkau tidak akan jatuh melainkan tergantung pada tali. Sesudah kubelit-belitkan di cabang-cabang yang kuat, ujung yang satu lagi akan kuikatkan pada pinggangku."

Bi Cu tak berkata apa-apa, akan tetapi dari tali yang bergerak-gerak Sin Liong tahu bahwa dara itu melaksanakan petunjuknya. Hatinya lega. Kini cuaca sudah gelap sekaii sehingga dia tak dapat melihat Bi Cu. Bayangannya pun tidak, karena tidak ada bayangan apa-apa sama sekali. Gelap pekat malam itu, melihat tangannya sendiri pun dia tidak mampu.

Lama mereka diam saja. Sin Liong selalu mengingat keadaan Bi Cu. Tadi dia sempat melihat betapa dara itu telah mendapatkan tempat yang enak, di antara dahan besar yang bercabang tiga, sehingga dara itu dapat duduk terjepit cabang dan tak akan mudah jatuh dan dapat duduk dengan enak. Tentu saja seenak-enaknya orang melewatkan malam di atas pohon!

Dia telah melibat-libatkan tali itu pada dahan yang kuat, barulah ujungnya diikatkan pada pinggangnya. Dengan demikian, andai kata salah seorang di antara mereka terlepas dan jatuh, tentu akan tertahan oleh dahan itu dan tergantung, sedangkan orang yang satunya akan dapat menarik dan menyelamatkan yang jatuh.

Sin Liong merasa betapa ada gerakan-gerakan dari arah tempat Bi Cu duduk. Tali yang mengikat pinggangnya itu seolah-olah menghubungkan dia dengan Bi Cu, setiap dara itu bergerak tentu akan terasa olehnya. Hal ini menimbulkan perasaan lega pula. Akan tetapi sampai lama Bi Cu tidak bicara, dan dia tidak dapat bertahan lagi.

"Bi Cu, engkau tidak apa-apa, kan?"

"Tentu saja apa-apa, berada dalam keadaan seperti ini mana bisa dikatakan tak apa-apa! Aku sedang memikirkan betapa lucunya keadaan kita ini. Tidakkah engkau merasa lucu, Sin Liong?"

"Lucu?" Sin Liong mengingat-ingat akan tetapi tidak menemukan apa yang lucu. "Bagiku tidak lucu melainkan menyedihkan dan sengsara, terutama lengan kiriku."

"Belum sembuhkah lengan kirimu, Sin Liong?"

"Sudah agak mendingan," kata Sin Liong berbohong. Pundaknya membengkak, nyerinya bukan main, akan tetapi letak tulangnya sudah benar. "Ehh, Bi Cu, mengapa kau bilang lucu?"

"Bayangkan saja! Kita saling berpisah, lalu saling jumpa. Dan lihat, apa yang kita alami bersama. Kita terjatuh ke dalam jurang maut, akan tetapi tidak mati dan tersangkut pada pohon ini dan kita terpaksa menjadi dua ekor monyet di sini! Lucu tidak?"

"Kenapa engkau ikut meloncat ke dalam jurang? Benar-benar bodoh sekali perbuatanmu itu, mempermainkan nyawa sendiri," Sin Liong menegur karena dia memang marah kalau teringat betapa dara itu hampir membuang nyawa dengan sia-sia dan mati konyol.

"Apa?" Terdengar dara itu berkata marah. "Dan kau menghendaki aku berada di sana, di atas sana bersama jahanam-jahanam itu sedangkan engkau sendiri enak-enakan berada di bawah sini?"

"Enak-enakan?"

"Ya, enak-enakan! Seribu kali lebih enak berada di tempat ini dari pada berada di atas sana bersama iblis-iblis itu!" Bi Cu membentak.

"Bi Cu..."

"Sudahlah, aku mau tidur!"

"Tidur...? Hati-hatilah, Bi Cu, jangan sampai terlepas dan jatuh..., meski pun sudah terikat akan tetapi ngeri aku memikirkan kau jatuh..."

"Peduli apa? Biar jatuh dan mampus!"

Jawaban ini demikian penuh kemarahan sehingga mengejutkan Sin Liong. Maka dia tidak berani bicara lagi, hanya mengingat-ingat mengapa dara itu menjadi marah tidak karuan. Mungkin karena lapar, mungkin karena takut, dan dia pun tidak boleh terlalu cerewet.

Sin Liong duduk dan mengumpulkan napas, mengerahkan hawa murni untuk mengobati lengan kirinya. Dengan pengerahan hawa dari pusar, dia mengirim hawa yang panas itu menjalar naik hingga memenuhi lengannya. Ia melakukan hal ini sesuai dengan pelajaran dari kitab yang diwarisinya dari Bu Beng Hud-couw. Dan ternyata hasilnya hebat sekali.

Rasa nyeri pada pundaknya perlahan-lahan lenyap, terbungkus hawa panas itu sehingga pundak yang tadinya berdenyut-denyut nyeri, kini menjadi nyaman dan denyut itu makin melemah dan akhirnya tidak terasa nyeri lagi. Dia melanjutkan usahanya itu, melupakan keadaan sekelilingnya. Dia harus dapat sembuh semalam ini agar besok dia dapat mulai mencari jalan keluar untuk menyelamatkan dirinya bersama Bi Cu.

"Sin Liong..."

Entah sudah berapa lamanya mereka berdiam sampai Bi Cu memanggilnya itu. Mungkin kini telah lewat tengah malam. Siapa tahu? Dia tadi dalam keadaan setengah bersemedhi dan lupa segala sehingga lupa pula akan waktu. Panggilan suara Bi Cu itu mengejutkan dan seperti menarik dia kembali kepada kenyataan bahwa dia dan Bi Cu berada di dalam pohon di atas jurang yang curam, di tengah malam yang gelap pekat.

Akan tetapi baru sekarang ini Sin Liong melihat adanya perubahan, bahwa cuaca tidaklah segelap tadi, bahkan dia dapat melihat bayangan tangannya sendiri walau pun dia tidak dapat melihat Bi Cu. Di langit terdapat bintang-bintang berkelap-kelip. Aneh sekali melihat bintang-bintang ini, membuat dia hampir tidak percaya bahwa dia berada di dalam pohon tergantung di antara langit dan jurang, bukan di atas bumi seperti biasa.

"Ada apakah, Bi Cu?"

"Apakah engkau tidak lapar?"

Tadinya Sin Liong sudah lupa segala, juga lupa akan perutnya yang kosong, maka begitu Bi Cu berkata lapar, otomatis perutnya langsung terasa perih dan lapar sekali. Akan tetapi bersamaan dengan itu, juga dia merasa lengan kirinya sudah sehat kembali, tidak nyeri sama sekali!

"Tentu saja aku lapar. Dan engkau?"

"Aku tidak lapar, aku sudah kenyang!"

Hemm, mengajak bergurau lagi, pikir Sin Liong.

"Engkau kenyang? Makan apa?" Dia melayani.

"Makan paha kelinci panggang di dalam khayalan!" Bi Cu tertawa. "Tapi aku benar-benar kenyang, aku makan daun."

"Daun?"

"Ya, kau pilihlah daun-daun muda di ujung ranting. Cobalah, enak, tidak pahit dan banyak airnya, lumayan, Sin Liong."

Sin Liong menjadi tertarik. Tangan kanannya meraih dan dengan meraba-raba dia dapat merasakan perbedaan antara daun tua dan daun muda yang lebih kecil dan lebih halus. Dipetiknya ujung ranting itu lantas dengan hati-hati dimakannya sehelai daun muda. Tentu saja bau daun, akan tetapi tidak bau busuk dan tidak pahit, bahkan ada manis-manisnya sedikit. Maka dimakannya daun itu sampai beberapa helai.

"Bagaimana rasanya?"

"Kau benar. Daun ini cukup enak dimakan!"

"Hi-hik, engkau harus berterima kasih kepadaku, Sin Liong. Temuanku ini memungkinkan kita bisa hidup di atas pohon ini seperti dua ekor kera, bukan hanya untuk beberapa hari, bahkan mungkin untuk selamanya!"

"Apa? Selamanya? Mana mungkin?"

"Mungkin saja! Setiap hari kita makan daun muda, dan daun-daun muda itu tentu akan tumbuh kembali, demikianlah setiap hari. Kita tidak akan kehabisan daun muda. Daun itu mengandung air, jadi kita tidak akan kehausan pula, dan andai kata kehausan, bila mana hujan turun, kita tinggal berdongak dan membuka mulut saja! Hi-hik!"

"Tapi mana mungkin kita dapat hidup dan makan daun-daun saja?"

"Siapa bilang tidak mungkin? Ehh, Sin Liong, kenapa engkau begitu bodoh? Jangan lupa, binatang-binatang yang terbesar dan terkuat di dunia ini, seperti kerbau, sapi, kuda, dan bahkan gajah itu makan apa saja? Mereka tidak makan daging, tidak makan capcai atau mi bakso, melainkan makan daun dan rumput saja. Akan tetapi mereka itu bukan hanya hidup, bahkan hidup lebih sehat dan lebih kuat dari pada manusia!"

"Tapi kita ini manusia, bukan kerbau..."

"Memang, tapi otakmu lebih bodoh dari pada kerbau!" Kembali Bi Cu berkata dengan nada suara marah.

"Bi Cu... aku..."

"Sudahlah! Memang aku yang cerewet dan bodoh!" Kini suara itu bukan hanya marah, bahkan mengandung isak!

Sin Liong melongo. Untung waktu itu cuaca masih terlampau gelap untuk mereka dapat saling melihat, kalau tidak tentu dia akan kelihatan lucu sekali. Dia benar-benar bingung menghadapi Bi Cu. Mengapa Bi Cu begitu mudah tertawa gembira, bergurau, akan tetapi di lain saat sudah marah-marah dan cengeng?

Hening lagi sampai lama. Sin Liong merasa menyesal sekali bahwa dia begitu bodoh tidak bisa menyelami watak Bi Cu sehingga dia selalu membuat dara itu marah-marah. Padahal Bi Cu sudah begitu baik kepadanya.

"Bi Cu, kau maafkanlah aku kalau aku bersalah kepadamu sehingga membuatmu marah. Percayalah, sungguh mati aku tak sengaja membikin engkau marah. Aku menyesal akan kebodohanku."

"Siapa bilang engkau bodoh? Engkau terlampau pintar, engkau lihai bukan main, engkau seorang pendekar sakti yang bersikap sederhana dan bodoh, dan saking pintarnya maka engkau tidak memperhatikan seorang gadis tolol macam aku yang cerewet sehingga aku dibikin kesal...!"

"Maafkan, aku Bi Cu..., aku tidak mengerti mengapa aku selalu membuatmu marah... tadi pun engkau sudah marah-marah..."

"Tentu saja aku merasa marah, habis engkau selalu menghendaki aku tidak berada di sini bersamamu, engkau lebih senang jika aku berada bersama iblis-iblis itu. Engkau sungguh mati tidak menghargai orang, aku suka bersamamu, hidup mati, dan engkau cerewet saja mengkhawatirkan diriku. Mengapa engkau tidak mengkhawatirkan dirimu sendiri?"

"Ahhh...!"

"Apa lagi ah-ah!"

Sekarang Sin Liong mulai mengerti dan dia pun sadar bahwa dia terlalu mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, tidak ingat bahwa Bi Cu memang tadinya sengaja menyusulnya untuk mati bersama!

"Tidak apa-apa, hanya saja aku sudah merasa salah. Engkau tentu mau memaafkan aku, bukan? Ataukah tiada maaf bagiku?"

"Sudahlah, perutku sudah kenyang, aku mau mengaso."

Sin Liong lalu memetik lagi daun-daun muda dan mengisi perutnya yang kosong dengan daun-daun muda itu. Seperti sayur mentah, akan tetapi bukan tidak enak, malah lumayan untuk menahan perihnya perut.

Akan tetapi semalam dia tidak tidur, mana mungkin dia tidur? Dia harus menjaga Bi Cu, siap menolong kalau-kalau dara itu terjatuh dan tergantung pada tali. Segera timbul rasa khawatirnya, jangan-jangan dara itu kurang kuat mengikat pinggangnya.

Hampir saja mulutnya bertanya, akan tetapi ditahannya karena dia teringat bahwa hal itu bahkan akan membikin marah dara yang berwatak aneh itu. Maka dia pun melanjutkan menghimpun hawa murni untuk mengobati lengan kirinya yang biar pun kini sudah tidak terasa nyeri namun dia masih belum berani untuk menggunakannya dengan pengerahan tenaga. Luka-luka pada tempat sambungan tulang tentu belum pulih benar, pikirnya, maka berbahaya kalau dipakai untuk bekerja berat.

Dan ternyata selanjutnya Bi Cu tidak lagi mengeluarkan suara, meski pun kadang-kadang dia masih melakukan gerakan perlahan. Dan tidak terdengar napasnya yang menyatakan bahwa dara itu tertidur. Maka tahulah Sin Liong bahwa Bi Cu memang sengaja diam saja sungguh pun dara itu juga tidak dapat tidur dalam keadaan seperti itu.

Pada keesokan harinya, begitu sinar matahari pagi mengusir kegelapan sehingga mereka dapat saling melihat, Bi Cu segera berkata. "Bagaimana dengan lengan kirimu?"

Sin Liong menggerak-gerakkan lengan kirinya. "Sudah tidak nyeri lagi, akan tetapi luka di sekitar sambungan masih belum pulih benar, kiraku belum mungkin dapat dipakai bekerja berat. Kalau sampai luka-luka itu pecah lagi, akan sukarlah pulihnya jika tanpa obat."

"Kalau begitu biar kita tinggal di sini sampai kau sembuh betul!" kata Bi Cu.

Akan tetapi Sin Liong masih bisa menangkap nada suara yang amat kecewa, yang ditutup dengan kemauan keras, dan dara itu lalu mengatupkan bibirnya kuat-kuat setelah berkata demikian. Tentu dara itu sudah menderita hebat sekali akibat duduk semalam suntuk di atas dahan itu, pikir Sin Liong.

"Walau pun aku belum dapat bekerja berat dengan lengan kiriku, akan tetapi kiranya aku akan dapat mencarikan tempat yang lebih enak untuk kita, bukan di atas pohon ini, Bi Cu. Kau tinggallah di sini dulu, aku yang mencari tempat yang baik di tebing itu."

"Aku tidak mau sendirian di sini. Aku harus ikut engkau!" kata Bi Cu dan Sin Liong tidak mau membantah. Dia melepaskan ikatan di pinggangnya.

"Baiklah, lepaskan ikatan di pinggangmu itu. Tali ini akan ada gunanya kelak."

Bi Cu lalu melepaskan tali yang diikatkan di pinggangnya. Baru tahulah Sin Liong bahwa ikatan itu kuat sekali sehingga kini sukar bagi Bi Cu untuk membuka simpulnya. Ternyata kekhawatirannya semalam tidak ada gunanya.

"Eh, kenapa kau masih memakai bajumu? Bukankah bajumu telah kau robek-robek untuk dijadikan tali ini?"

"Itu baju dalamku yang terbuat dari sutera, lebih lemas dan lebih kuat."

"Baju dalam sutera? Wah, tentu indah dan mahal sekali...!"

"Memang, itu baju adik angkat pangeran! Pemberian Pangeran Ceng Han Houw."

"Ihhh...!" Bi Cu melepaskan ujung tali itu seperti orang merasa jijik. Sin Liong menggulung dan menyimpan di saku bajunya.

"Mari kau ikuti aku, tapi hati-hatilah, Bi Cu."

Mulailah keduanya merangkak di antara dahan-dahan dan daun-daun pohon. Sin Liong di depan, diikuti oleh Bi Cu, mendekati tebing ketika mereka merangkak turun dari pohon yang tumbuh agak miring di tebing itu. Pohon itu besar dan cukup tinggi, dan batangnya ternyata besar dan kokoh kuat, tertanam di dalam tebing di antara batu-batu.

Sin Liong turun dari batang itu, matanya mencari-cari jalan lantas dia pun turun ke atas celah-celah batu yang besar. Dia menunggu sebentar untuk memberi kesempatan Bi Cu juga turun. Ketika Bi Cu sudah meletakkan dua kakinya pada celah-celah batu besar dan memandang ke bawah, dia menjerit sehingga Sin Liong langsung merangkulnya. Tubuh Bi Cu menggigil, maka mengertilah Sin Liong apa yang menyebabkan dara itu ketakutan seperti itu.

"Jangan melihat ke bawah! Lagi pula, di sini tidak berbahaya, di atas pohon itu bahkan lebih berbahaya lagi!" katanya menghibur dan akhirnya Bi Cu dapat tenang kembali akan tetapi dia tidak mau memandang ke bawah.

Memang mengerikan sekali kalau memandang ke arah bawah yang demikian curamnya. Baru membayangkan tubuh melayang ke bawah saja sudah membuat jantung berdetak dan kaki menggigil.

Sin Liong mencari jalan dengan hati-hati karena lengan kirinya belum dapat dipakai untuk bergantung, terlalu berbahaya untuk mencoba itu. Akhirnya mereka sampai di tepian yang lebarnya ada dua meter dan panjangnya empat meter, tempat datar sempit ini ditumbuhi rumput dan merupakan jalan buntu karena dikelilingi oleh batu-batu yang bersusun rata sehingga tentu amat licin dan tak mungkin didaki. Jalan satu-satunya dari dataran sempit ini hanyalah jalan yang mereka lalui tadi, yang menuju ke pangkal batang pohon besar.

Betapa pun juga, menemukan tempat ini membuat mereka merasa lega. Bi Cu gembira sekali dan dia pun segera menjatuhkan diri rebah terlentang dengan tarikan napas lega. Tubuhnya yang terasa lelah semua itu kini dapat berbaring sesukanya di atas rumput dan sebentar saja dara itu sudah tidur pulas, miring menghadap dinding batu!

Sin Liong merasa terharu dan kasihan sekali. Sampai lama dia memandangi wajah dara yang tidur pulas itu, tidur sambil tersenyum seolah-olah tiada apa pun yang mengancam mereka. Dara itu agaknya merasa beruntung sekali dan lapang hatinya setelah mereka menemukan tempat datar ini sehingga tidurnya demikian nyenyak dan enak.

Sin Liong lalu bangkit berdiri, mengambil keputusan untuk mencari jalar keluar dari tempat itu. Akan tetapi baru saja beberapa langkah dia meninggalkan Bi Cu, dia segera teringat dan cepat dia membalikkan tubuhnya, menghampiri batu sebesar sepelukan tangan dan mengangkat. Akan tetapi baru sedikit dia mengerahkan tenaga pada lengan kirinya, dia hampir berteriak kesakitan, maka cepat dia melepaskan kembali batu itu.

Untung tadi dia tidak memaksa mengangkat. Jelaslah bahwa lengan kirinya belum boleh dipergunakan untuk bekerja berat dan harus beristirahat beberapa hari sampai pulih betul. Sekarang dia hanya menggunakan tangan kanannya, disusupkannya jari-jari tangannya ke bawah batu dan diangkatnya dengan ringan saja lalu batu itu dibawa dan diletakkan di tepi jurang.

Dia memindahkan empat buah batu yang cukup berat sehingga cukup menjadi penjaga dan penahan tubuh Bi Cu kalau-kalau di dalam tidurnya dara itu bergerak dan bergulingan sampai ke tepi jurang! Setelah yakin bahwa Bi Cu tidak akan terancam bahaya terguling ke dalam jurang, barulah dia meninggalkan Bi Cu dan mencurahkan perhatiannya untuk mencari jalan keluar.

Ditelitinya semua bagian dari dataran sempit itu, melihat ke kanan kiri, ke atas bawah dan depan belakang, mencari-cari jalan yang dapat mereka lalui untuk mendaki ke atas. Tapi dataran itu benar-benar merupakan jalan buntu, dan satu-satunya jalan yang dapat dilalui hanyalah yang menuju ke pohon besar itu! Jalan naik ke atas tidak mungkin didaki karena batu-batu itu tersusun demikian rata sehingga merupakan dinding rata yang amat tinggi. Tidak mungkin mendaki tempat seperti itu.

Dengan menggunakan sinkang sekuatnya, mungkin juga dia mampu naik untuk beberapa belas tombak tingginya, akan tetapi tidak mungkin kuat bertahan sampai naik setinggi itu, puluhan, bahkan ratusan tombak tingginya. Dan itu pun terkandung bahaya, yaitu sekali kakinya terpeleset, tubuhnya akan jatuh dan biar pun dengan ilmu apa juga dia tidak akan dapat menyelamatkan dirinya lagi! Apa lagi kalau harus menggendong Bi Cu. Dia tidak mau mengambil resiko berbahaya seperti itu!

Sesudah memeriksa, meneliti dan mencari-cari sampai beberapa jam lamanya, akhirnya Sin Liong terduduk dengan pandang mata muram dan dia pun termenung. Tidak ada jalan keluar! Itulah kesimpulan sebagai hasil dari pemeriksaannya tadi. Mereka sama dengan terkubur hidup-hidup di tempat itu! Tali dari baju dalamnya yang panjangnya hanya lebih kurang empat lima meter itu tidak ada artinya sama sekali untuk membantu mereka keluar dari tempat ini.

Matahari telah naik agak tinggi dan hawa udara cukup panas ketika Bi Cu terbangun dari tidurnya. "Haus...!" Demikian kataanya begitu dia membuka matanya.

Tak heran jika dia kehausan karena tubuhnya sama sekali tidak terlindung dari panasnya sinar matahari. Peluhnya membasahi leher dan mukanya. Akan tetapi dia kini telah sadar betul dan bangkit duduk, mengusap keringatnya dan memandang kepada Sin Liong yang menghampirinya.

"Wah, agaknya aku telah tertidur."

"Nyenyak dan enak tidurmu," kata Sin Liong tersenyum.

"Ya, segar rasanya tubuh sekarang, hilang sudah segala kelelahan semalam. Tapi, aku... aku haus bukan main...!" Dia menjilat-jilat bibirnya yang kering dan mengelus lehernya.

"Haus...?" Sin Liong baru merasa betapa dia pun haus bukan main, apa lagi karena dia tadi sudah bekerja mencari tempat yang dapat dijadikan jalan keluar dan baru sekarang dia merasa bahwa kerongkongannya juga kering sekali. "Ahh, ke mana kita harus mencari minum? Di sekitar sini tidak ada air, juga tidak ada jalan keluar..."

"Tidak ada jalan keluar...?" Bi Cu bangkit berdiri, lalu memandang ke sana-sini. "Engkau sudah pasti benar?"

"Entahlah, akan tetapi tadi sudah kuperiksa dan sungguh tidak terdapat jalan keluar dari tempat ini, kecuali ke pohon besar itu. Ahhh... pohon itu! Biar kupetik daun-daun muda untukmu..."

"Untukmu juga...!"

"Ya, untukku juga," Sin Liong lalu merangkak dengan hati-hati melalui jalan yang tidak mudah itu, jalan yang mereka lalui pagi tadi, kembali ke batang pohon dan dia memanjat pohon besar itu, memetik daun-daun muda. Setelah cukup, dia pun turun dan membawa daun-daun muda itu kepada Bi Cu.

Dengan lahap Bi Cu makan daun-daun muda, mengunyahnya lama-lama untuk mencari airnya. Dia tidak lapar, hanya haus. Dan celakanya meski pun daun itu mengandung air, tetapi rasa air daun itu tidak dapat dan tidak cukup banyak untuk menghilangkan hausnya.

Sin Liong juga makan daun itu, sebab itu tahulah dia bahwa daun-daun itu tidak berhasil mengusir haus. Maka dia pun lantas duduk di atas batu sambil termenung. Akan berapa lamakah mereka mampu bertahan dalam keadaan begini? Kasihan Bi Cu, pikirnya, akan tetapi mulutnya tidak menyatakan sesuatu karena dia maklum bahwa hal itu hanya akan membikin dara itu menjadi marah.

"Ahh, daun-daun keparat ini hanya mampu menahan lapar, tidak mampu menghilangkan haus! Tunggu, aku akan mencari tumbuh-tumbuhan lain!" Dia pun kemudian sibuk sekali meneliti setiap tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat itu. Setiap macam rumput dicabut dan dimakannya, diisap-isap, dan kalau dia menemukan sesuatu larilah dia kepada Sin Liong sambil membawa beberapa batang rumput yang baru saja dicobanya.

"Coba ini, Sin Liong, agaknya manis rasanya!" teriaknya girang, dan Sin Liong lalu makan rumput itu dan mengisap-isap.

Memang agak manis, akan tetapi airnya sedikit sekali, jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan daun pohon besar itu. Dan Bi Cu juga tahu hal ini, maka dia pun mencari lagi dengan kecewa. Semua tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat itu sudah dicobanya semua! Akhirnya dia kembali ke dekat Sin Liong dan duduk di atas rumput, kedua alisnya yang hitam kecil berbentuk indah itu berkerut.

Sin Liong merasa kasihan sekali. "Bi Cu... tak ada jalan lain, kita harus makan daun-daun muda ini. Biar pun tidak cukup, akan tetapi lumayan untuk membasahi kerongkongan."

"Iya...," jawab Bi Cu sunyi dan lirih lalu dengan enggan dia makan juga daun-daun muda itu satu demi satu dan rasanya makin lama makin tak enak saja baginya. Makin perlahan saja dia mengunyah, matanya termenung memandang jauh, kemudian mulutnya berhenti bergerak dan air matanya pun berderai, akan tetapi dia belum terisak, hanya berkata lirih, "Sin Liong... haruskan kita berdua mati di sini, mati kehausan...?"

Sin Liong mendekatinya kemudian menyentuh pundaknya. "Tenanglah, Bi Cu. Daun-daun ini akan menyelamatkan kita untuk sementara waktu..."

"Dan kalau kita sudah tidak kuat bertahan lagi? Bahkan sekarang pun aku sudah hampir tidak kuat, Sin Liong, aku... haus bukan main..."

"Ke sanalah, mari... kita berlindung dari cahaya matahari yang panas..."

Dengan lembut Sin Liong lalu menarik tangan dara itu untuk diajak berdiri dan berteduh di dekat dinding batu sehingga mereka sedikit terlindung dari panas matahari. Bi Cu hanya menurut saja sambil mengusap air matanya. Dia berusaha menahan kesedihannya agar tidak membuat Sin Liong makin bingung. Mereka duduk berdekatan di bawah dinding batu itu.

"Bagaimana lenganmu?" Bi Cu menyentuh lengan kiri Sin Liong. Sentuhan itu lembut dan penuh perhatian.

"Tidak nyeri... akan tetapi belum dapat digunakan. Tadi kucoba untuk mengangkat batu, belum sanggup..."

"Kaukah yang menjajarkan batu-batu di sana itu?" jari Bi Cu menuding. "Sudah kuduga demikian. Engkau terlalu baik kepadaku, Sin Liong, selalu menjagaku!"

Ada rasa girang menghujani perasaan Sin Liong, akan tetapi sekaligus juga membuatnya malu-malu, maka dia lalu berkata, "Kita di sini hanya berdua saja, kalau kita tidak saling menjaga, habis bagaimana?"

Setiap hari Sin Liong melakukan siulian untuk mengumpulkan hawa murni dan mengobati lengan kirinya dengan penuh kesungguhan hati. Akan tetapi, mereka berdua benar-benar tersiksa oleh kehausan. Mereka selalu makan daun muda dari pohon itu dan sungguh pun tidak dapat terlalu memuaskan perut, setidaknya mereka terhindar dari kelaparan.

Akan tetapi mereka dicekik kehausan, semakin lama semakin menghebat sehingga tubuh mereka menjadi lemah bukan main, pandang mata berkunang dan kepala mereka pening. Kadang-kadang, pada waktu siang hari, bila mana matahari sedang panas-panasnya, Bi Cu terengah-engah kehausan, tidak mampu menangis lagi karena air matanya pun sudah kering, mukanya pucat dan cekung.

"Ahhh... kuda dan sapi pun tidak bisa... hanya makan rumput dan daun-daun saja... harus minum, aku harus minum... ah Sin Liong, aku tidak kuat, aku haus..." Hari itu adalah hari ke tiga dan siang hari, sedang panas-panasnya.

"Bi Cu, kuatkanlah hatimu...!" kata Sin Liong, padahal dia sendiri juga tersiksa hebat oleh kehausan. Dia sudah membuka semua kancing bajunya, akan tetapi masih merasa panas dan tubuhnya terasa lemas sekali.

"Sin Liong... aku sudah tidak tahan lagi... tapi aku tidak menyesal... aku rela mati di sini bersamamu, Sin Liong..."

"Bi Cu...!" Sin Liong merasa kasihan sekali dan dia merangkul dara itu, mendekap kepala dara itu ke dadanya.

Sejenak mereka tak bergerak dalam keadaan seperti itu. Bi Cu merasa betapa nikmatnya bersandar pada dada Sin Liong, seperti lenyap rasa panas yang menyelinap ke seluruh tubuh dan kepalanya, terasa sejuk terlindung oleh tubuh Sin Liong dari sinar matahari. Dia merasa betapa tubuh Sin Liong tergetar, dan betapa dada pemuda itu menahan tangis sehingga kadang-kadang terisak.

Bi Cu mengangkat mukanya memandang. Dia melihat Sin Liong memejamkan matanya kuat-kuat, akan tetapi terlihat ada dua titik air mata di bawah pelupuk mata pemuda itu. Diusapnya dua butir air mata itu dengan telunjuknya. Melihat dua tetes air di telunjuknya, tiba-tiba Bi Cu membawa telunjuknya ke mulutnya dan mengisap dua tetes air mata itu. Hanya lenyap di lidah, tidak sampai ke tenggorokannya yang kering.

"Sin Liong, jangan menangis...," lalu dia hendak menghibur pemuda itu dan mengalihkan pikirannya. "Eh, bagaimana dengan lengan kirimu...?" Biar pun dia bersikap gembira yang dibuat-buat, namun suaranya lirih dan serak, sedangkan tubuhnya lemah sekali.

"Lengan...? Ah, sudah sembuh sama sekali... kau tunggu, aku akan mencari jalan...!" Sin Liong bergerak hendak bangkit. Akan tetapi Bi Cu merangkulnya, dan menahannya.

"Tidak perlu sekarang... ini sedang panas-panasnya, tunggu kalau sudah tidak panas lagi, Sin Liong. Aku... aku mengantuk sekali... biarkan aku tidur..." Rangkulannya terlepas dan tubuhnya yang lunglai itu melorot ke bawah lalu dia rebah terlentang, berbantal paha Sin Liong.

Melihat keadaan Bi Cu, Sin Liong diam tidak bergerak, membiarkan dara itu tidur di atas pangkuannya dan dia pun lantas memejamkan mata sambil bersandar pada dinding batu. Keduanya diam saja, tak bergerak seperti tidur, seperti pingsan, seperti telah mati!

Sin Liong masih dalam keadan setengah sadar, akan tetapi dia merasakan kenikmatan yang luar biasa ketika dia bersandar dan memejamkan mata, dengan sadar sepenuhnya bahwa Bi Cu tidur di atas pangkuannya, rasa nikmat dan nyaman yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, seluruh urat syaraf di tubuhnya mengendur dan lemas. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa keadaan ini amatlah berbahaya. Kelemasan seperti ini dapat membuat orang tertidur untuk tidak bangun kembali!

Maka dia cepat-cepat menggunakan seluruh kekuatan batinnya untuk membuka mata dan terkejutlah dia. Mengapa pandang matanya menjadi gelap? Butakah dia, atau terserang penyakit buta, atau kehausan yang sangat itu membuat pandang matanya menjadi gelap?

Dia mengangkat mukanya lantas memandang ke atas. Langit pun gelap! Tidak ada lagi sinar matahari, padahal tadi amat panasnya. Apa yang terjadi? Dia mencari-cari dengan matanya dan melihat awan mendung bergumpal-gumpal datang dari arah timur terbawa oleh angin keras. Bagaimana mungkin siang yang tadinya terang benderang itu tiba-tiba tertutup mendung bergumpal-gumpal seperti itu?

"Bi Cu...! Bi Cu, bangun...!"

Hati Sin Liong penuh kekhawatiran. Badan Bi Cu yang lunglai hanya bergoyang-goyang, akan tetapi matanya tetap terpejam! Pingsankah dia? Atau... atau matikah...?

"Bi Cu! Ohh, Bi Cu, bangunlah...! Bangunlah Bi Cu, demi Tuhan... bangunlah...!" Sin Liong berteriak-teriak hampir menangis karena mulai takut kalau-kalau Bi Cu sudah mati.

Akhirnya bibir yang kering itu bergerak. "Hah...? Ada apa...? Kau... mengganggu... orang tidur..."

Bukan main leganya rasa hati Sin Liong. Mau rasanya dia bersorak, maka dia pun berseru seperti orang bersorak, akan tetapi tetap sambil menguncang pundak Bi Cu yang masih memejamkan matanya.

"Bi Cu, lihat...! Mendung tebal...! Lihat dan bangunlah!"

"Hehhh...?" Bi Cu membuka matanya akan tetapi dia sedemikian lemahnya sehingga baru dapat bangkit duduk setelah dirangkul dan ditarik oleh Sin Liong. "Mana...? Ada apa...?"

"Lihat di atas itu...!"

Pada saat itu pula terdengar suara menggelegar disertai kilat. Bi Cu terkejut, memandang ke atas dan dia pun melihat mendung bergumpal-gumpal serta kilat menyambar-nyambar disertai guntur meledak-ledak.

"Ada apa di sana itu?" Bi Cu masih bingung dan merasa ngeri juga karena cuaca menjadi gelap.

"Ada apa? Artinya akan hujan. Air!" Sin Liong berteriak.

"Air? Mana...?" Pertanyaan Bi Cu ini segera dijawab dari udara karena tepat pada saat itu pula turunlah air hujan yang deras sekali.

"Air...!" Bi Cu berteriak dan melepaskan dirinya dari Sin Liong, bangkit berdiri akan tetapi dia terhuyung dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat dipeluk oleh Sin Liong.

"Air! Hujan turun!" Sin Liong juga bersorak.

Mereka berdua berangkulan, menangis, menengadah sambil membuka mulut lebar-lebar, membiarkan air memasuki mulut mereka, mata mereka, hidung mereka sampai mereka tersedak-sedak. Sin Liong dan Bi Cu tertawa-tawa dengan air mata bercucuran, sambil mengeluarkan teriakan-teriakan girang yang tidak ada artinya.

"Bi Cu...!"

"Sin Liong...!"

Mereka seperti mendapat tenaga baru setelah tubuh mereka basah kuyup, setelah perut mereka terisi air hujan, mereka berangkulan dan tanpa disengaja, tahu-tahu mereka telah berciuman! Sampai lama mereka berdekapan dan berciuman, ciuman yang sebenarnya tidak disengaja, terjadi karena kegembiraan mereka yang luar biasa, mulut mereka saling bertemu dalam keadaan tertawa gembira, lalu saling kecup, seperti tidak dapat dilepaskan lagi.

Mereka baru saling melepaskan ciuman sesudah napas mereka berdua terengah-engah, kemudian keduanya mundur selangkah, saling pandang dengan mata terbelalak di antara cucuran air hujan dan kilatan guntur di dalam cuaca yang remang-remang, dan keduanya seperti orang terkejut dan memang terkejut karena baru saja sadar betapa mereka saling cium seperti itu, dan tiba-tiba mereka merasa betapa muka mereka menjadi panas karena malu.

"Bi Cu..."

"Sin Liong..."

Mereka lalu saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis, entah mengapa mereka menangis mereka sendiri tidak mengerti. Ada rasa girang, ini sudah jelas karena jatuhnya air hujan itu seakan-akan mengembalikan nyawa mereka yang sudah hampir melayang, ada rasa bahagia yang lain yang tidak mampu mereka gambarkan, ada rasa haru, akan tetapi juga ada rasa sedih karena mereka menyadari bahwa mereka masih berada dalam ancaman maut, terkubur hidup-hidup dalam tempat yang tidak ada jalan keluarnya ini.

Tiba-tiba terdengar suara keras dari atas. Sin Liong menoleh dan cepat dia menarik tubuh Bi Cu, meloncat ke dekat jalan kecil menuju ke pohon besar. Untung dia bertindak cepat karena terlambat beberapa detik saja mereka berdua tentu akan tertimpa batu-batu dan lumpur yang terbawa air dari atas, dan tentu akan diseret masuk ke dalam jurang.

Sin Liong memegangi lengan Bi Cu, diajaknya dara itu merangkak hati-hati meninggalkan dataran sempit itu, kembali ke pohon, berpegang pada batang pohon itu, bersandar di situ sambil memandang ke tempat mereka selama tiga hari berlindung itu, tempat yang kini menjadi sasaran batu-batu berikut lumpur yang menimpanya dengan suara gedebukan, diseret air yang tercurah dari atas dan menyapu segala yang berada di atas tempat itu. Batu-batu, lumpur dan segala apa disapu dan diseretnya turun ke dalam jurang.

Bi Cu bergidik dan mengeluh, kemudian dirangkul oleh Sin Liong dan selanjutnya Bi Cu menyembunyikan muka dalam dekapan dada Sin Liong.

Akhirnya hujan berhenti. Akan tetapi air yang masih mengucur menimpa dataran sempit itu, walau pun kini tidak ada lagi batu yang jatuh menimpa. Matahari yang sudah mulai condong ke barat itu nampak lagi sinarnya, dan tepat menimpa dinding batu tebing di atas dataran yang sempit itu.

"Bi Cu, lihat...!" Sin Liong mengangkat muka Bi Cu dan menuding ke arah dinding batu tebing itu.

Bi Cu mengangkat muka dan memandang. Ada perubahan besar pada dinding batu itu. Banyak batu-batu yang tanggal, hanyut oleh air. Batu-batu yang tanggal ini membentuk bekas-bekas lubang sehingga terdapat celah-celahnya, tidak lagi rata seperti sebelumnya. Bahkan nampak akar-akar tumbuh-tumbuhan menonjol keluar karena tanah yang tadinya menutupinya terbawa oleh air.

"Hujan membuat tebing itu longsor," bisik Bi Cu.

"Itulah! Dan nampaknya kini tidak sukar untuk mendaki ke atas!" kata Sin Liong.

Sesudah air dari atas tebing itu berhenti mengalir, Sin Liong lalu menggandeng tangan Bi Cu dan dengan hati-hati mereka kembali ke dataran sempit itu. Tempat itu menjadi bersih, bahkan rumput-rumput dan batu-batunya lenyap, semua tinggal dataran batu seperti baru dicuci bersih.

Sin Liong memeriksa dinding tebing. Dinding itu tidak licin lagi, tetapi kasar karena semua permukaannya disapu air dan memang benar, kelihatan celah-celah dan tonjolan-tonjolan yang memungkinkan mereka mendaki ke atas. Memang sangat tinggi hingga bagian atas sekali tidak kelihatan jelas, akan tetapi yang sudah pasti terdapat perubahan besar pada dinding tebing itu.

"Biar kita tunggu semalam ini, biar tebing itu kering, baru besok kita mencoba untuk naik. Jangan putus harapan, Bi Cu. Selama nyawa masih ada di dalam tubuh kita, kita harus berusaha dan tidak boleh putus asa."

Bi Cu mengangguk-angguk. "Memang kita harus dapat keluar dari sini...," katanya seolah termenung, "entah kapan lagi ada hujan turun..."

Malam itu mereka kedinginan! Akan tetapi Sin Liong yang sudah sehat benar dan lengan kirinya sudah pulih kembali, lalu mendekap tubuh Bi Cu sambil mengerahkan sinkang-nya sehingga ada hawa panas dari tubuhnya menjalar ke tubuh Bi Cu. Dara itu pun dapat tidur dalam dekapan Sin Liong.

Dan mereka berdua tidak ingat lagi akan sopan santun, karena mereka melakukan hal itu, yaitu tidur berdekapan, sama sekali bebas dari pada nafsu birahi. Yang ada hanya saling kasihan, saling menaruh kasih sayang dan iba, ingin saling melindungi dan ingin melihat masing-masing dalam keadaan selamat, tak ada keinginan lain untuk kesenangan pribadi! Yang ada hanya cinta kasih!

Walau pun tidak diucapkan dengan kata-kata, walau pun dalam batin mereka sendiri tidak pernah ada pertanyaan tentang hal itu, tidak ada dugaan tentang itu, tidak ada sedikit pun bayangan nafsu mengotorinya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali begitu matahari menyinari langit yang bersih, hari dimulai dengan pagi yang cerah dan bersih, seolah-olah hujan kemarin telah mencuci semua yang berada di atas bumi dan langit. Segalanya nampak bersih, baru dan bahkan batu-batu tebing yang baru terbongkar itu mengeluarkan bau tanah yang sedap.

"Bi Cu, kita mulai mendaki, mencari jalan keluar, mencari jalan hidup. Oleh karena itu kau ikatkan ujung tali ini pada pinggangmu. Kita tetap bersatu, terikat oleh tali ini. Satu hidup semua hidup, satu gagal semua gagal..."

"Satu mati semua mati!" sambung Bi Cu yang segera megikatkan ujung tali itu erat-erat pada pinggangnya yang ramping. Sin Liong juga segera mengikatkan ujung yang lain di pinggangnya.

"Nah, kita mulai," katanya kemudian, mendekati bagian celah terendah dari tebing itu.

"Nanti dulu, Sin Liong," kata Bi Cu.

Dan dara ini lalu menghampirinya dan merangkul kedua pundaknya. Wajah mereka saling berdekatan dan mereka saling pandang, terlihat betapa wajah masing-masing amat kurus, cekung dan rambut mereka amat kusut. Wajah-wajah yang tidak dapat dibilang tampan atau cantik dalam keadaan seperti itu.

"Ada apakah, Bi Cu?"

"Sin Liong, malam tadi..."

"Ya...?"

"Kita... telah... berciuman..."

Sin Liong merasa betapa wajahnya panas, "Aku... aku tidak sengaja... maafkan..."

Bi Cu tersenyum. "Aku pun tidak sengaja... dan sekarang, sebelum kita menempuh jalan maut untuk hidup terus atau mati, aku... aku ingin... seperti malam tadi, akan tetapi kali ini kita sengaja..." Dia memandang dengan mata berkedap-kedip malu.

Sin Liong lalu mendekapnya, dan mereka berdua sama-sama mendekatkan muka, lantas mereka pun berciuman. Ciuman yang sangat canggung karena keduanya belum pernah melakukan hal ini selamanya, akan tetapi dorongan hati membuat mereka tahu apa yang harus dilakukan maka dua mulut yang saling mencinta itu berciuman dengan mesra dan lembut. Ciuman yang sama sekali bersih dari nafsu birahi, akan tetapi penuh getaran cinta kasih yang mendalam.

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Kembali mereka baru melepaskan ciuman karena perlu bernapas. Kini pandangan mata mereka mengandung kemesraan aneh dan mendadak mereka berdua merasa berani dan kuat menempuh apa saja asalkan berdua.

"Mari kita berangkat!" kata Bi Cu, suaranya mengandung kesegaran serta kegembiraan, seakan-akan mereka itu hendak berangkat pesiar ke tempat indah, bukan sedang hendak melakukan perjalanan yang amat berbahaya dengan taruhan nyawa!

"Mari! Engkau tunggu sampai aku naik setingkat, baru engkau mengikuti setiap jejakku. Mengertikah, Bi Cu?"

"Aku mengerti. Kalau engkau bergerak naik, aku diam menjaga. Sebaliknya pada saat aku bergerak naik, engkau diam menjaga. Begitukah?"

"Benar sekali. Bedanya, engkau menjaga di bawah sedangkan aku dari atas. Sebaiknya pada saat aku naik, engkau melibatkan sisa tali pada akar atau batu untuk membantumu kalau-kalau aku terjatuh, demikian pula akan kulakukan kalau engkau yang naik."

"Baik, aku mengerti. Marilah!"

Sin Liong mulai mendaki naik, akan tetapi baru menaruh kaki kanannya ke dalam celah di sebelah atas, dia menoleh ke bawah dan berbisik, "Bi Cu, aku cinta padamu!"

Bi Cu yang berdongak itu pun berbisik mesra, "Sin Liong, aku pun cinta padamu!"

Kata-kata yang diucapkan sebagai salam terakhir ini menambah tenaga yang bukan main, baik bagi Sin Liong mau pun bagi Bi Cu. Sin Liong naik sampai dua meter di atas Bi Cu, lalu berhenti dan menanti sampai Bi Cu mengikuti jejaknya. Setelah itu, baru dia naik lagi. Bi Cu bergerak setelah Sin Liong berhenti.

Demikianlah, mereka melakukan pendakian yang luar biasa sukarnya. Kadang-kadang Bi Cu yang sudah melibatkan sisa tali pada akar atau batu menonjol, harus memejamkan mata melihat betapa Sin Liong melakukan pendakian yang amat sukar, bergantung pada batu dengan kedua kaki tergantung sedemikian rupa. Ketika tiba gilirannya melalui tempat sukar itu, Sin Liong selalu membantunya dengan menarik tali yang mengikat pinggangnya sehingga baginya tidaklah sesukar Sin Liong yang naik lebih dulu.

Beberapa kali Sin Liong memesan agar Bi Cu jangan sekali-kali menengok ke belakang. Hal ini karena dia melihat betapa mengerikan kalau melihat ke belakang atau ke bawah. Dia sendiri terpaksa harus melihat ke bawah karena dia berada di atas Bi Cu. Akan tetapi dia tidak merasa takut melihat bawah, betapa pun mengerikan, karena dia sudah bertekad untuk membawa Bi Cu keluar dari tempat ini!

Memang aneh bukan main! Hujan kemarin itu benar-benar seperti membuka jalan bagi mereka! Biar pun masih sukar, akan tetapi toh bukan tidak mungkin mendaki terus ke atas seperti sudah dibuktikan oleh dua orang muda yang keras hati itu. Beberapa kali mereka seperti menghadapi jalan buntu.

Di sebelah atas Sin Liong hanya ada batu rata menonjol sehingga tidak ada tempat untuk berpegang tangan sama sekali. Untuk mendaki batu bundar ini jelas tidak mungkin. Maka sampai lama Sin Liong berhenti dan berpikir-pikir. Keringatnya sudah membasahi seluruh tubuh.

Bi Cu yang berdiri di bawah kakinya, berpegang kepada akar pohon yang tumbuh miring itu, lalu bertanya khawatir, "Ada apakah, Sin Liong? Mengapa berhenti?" Sebenarnya dia sudah dapat menduga. Tentu Sin Liong menghadapi jalan buntu!

"Naik terus tidak mungkin," akhirnya Sin Liong menjawab. "Satu-satunya jalan hanya ke kanan itu kemudian kita harus melanjutkan pendakian dari situ!" Dia menunjuk ke kanan di mana terdapat sebuah batu besar menonjol.

Memang agaknya air kemarin mengambil jalan dari situ, karena ada bekasnya dan jalan mendaki dari atas batu menonjol itu tidak begitu sukar. Akan tetapi untuk mencapai batu menonjol itulah yang sukar, apa lagi batu itu menjulur ke depan sehingga seolah setengah tergantung di udara! Jarak antara Sin Liong dan batu menonjol di kanan itu ada tiga meter dan yang memisahkan mereka adalah celah seperti goa yang tidak mungkin dapat dilalui. Meloncat? Mungkin saja dengan mudah mampu dilakukan oleh Sin Liong di tempat biasa, bukan di tempat seperti ini!

"Sin Liong, engkau jangan meloncat ke sana!" Bi Cu berseru ketika dia membayangkan kemungkinan yang mengerikan ini.

Sin Liong menggelengkan kepala. "Tidak, terlalu berbahaya untuk meloncat. Bi Cu, kau lepaskan ikat pinggang itu, maksudku, tali yang mengikat pinggangmu."

"Tidak, aku tidak mau berpisah darimu lagi!" jawab Bi Cu cepat-cepat.

"Jangan salah mengerti, Bi Cu. Aku hanya ingin mempergunakan tali itu untuk mencapai batu di sebelah kanan itu, sesudah aku tiba di situ, baru aku dapat menarikmu ke sana. Hanya itulah jalan satu-satunya agar kita dapat melanjutkan pendakian kita ke atas."

Bi Cu mengerutkan sepasang alisnya dan mulutnya cemberut, tanda bahwa hatinya tidak senang, akan tetapi dia tidak membantah lagi dan melepaskan ikatan ujung tali itu dari pinggangnya. Sin Liong lalu menarik tali itu ke atas, kemudian menggulung ujung yang tadi mengikat pinggang Bi Cu menjadi laso dan dia mengayunkan ujung tali itu ke arah batu yang menonjol.

Ayunannya tepat sekali, ujung tali itu dengan tepat menjerat batu dan ketika ditariknya, jeratnya mengencang dan ujung batu menonjol itu terikat sudah. Kemudian dia mencoba kekuatan tali itu dengan tarikan keras dan kuat, tidak kurang dari tiga ratus kati kuatnya dan ternyata tali mau pun batu dapat bertahan.

Sin Liong memandang ke bawah dan Bi Cu juga semenjak tadi mengikuti gerak-geriknya. Gadis itu tahu apa yang dilakukan Sin Liong, maka tanpa dapat ditahannya lagi, biar pun hatinya sedang tidak senang, dia berseru,

"Sin Liong, hati-hatilah...!"

Sin Liong tersenyum. "Jangan khawatir, batu dan tali ini kuat sekali. Kau lihat bagaimana caranya agar nanti engkau mudah mengikuti jejakku." Setelah berkata demikian, dengan hati-hati dan perlahan-lahan dia mengayun dirinya ke kanan, perlahan saja agar supaya tidak memberatkan tali itu. Tubuhnya terayun dan bergantungan kepada tali yang bukan hanya mengikat pinggangnya, akan tetapi juga dipegangnya dengan kedua tangan itu.

Dari bawah batu menonjol itu, mudah saja bagi Sin Liong untuk memanjat naik melalui tali dan menangkap tonjolan batu, terus mengangkat tubuhnya naik ke atas batu. Ia berhasil! Dan dengan mudah!

Cepat-cepat Sin Liong melepaskan tali yang mengikat pinggangnya, juga ujung lain yang mengikat di batu, lalu ujung ini diikatkan kepada lengan kanannya. Dengan demikian dia merasa lebih yakin. Kemudian dilemparkan ujung tali itu kepada Bi Cu sambil berkata,

"Tangkaplah!"

Bi Cu menangkap ujung tali dan mengikatnya pada pinggangnya. Melihat dara itu nampak ragu dan takut-takut, Sin Liong berkata,

"Bi Cu, jangan takut. Mudah saja, dan kau lihatlah, ujung ini sudah mengikat lenganku, berarti kalau engkau jatuh ke bawah, aku akan ikut jatuh pula. Kita sudah bersama-sama lagi bukan?"

Ucapan itu menolong banyak, karena Bi Cu langsung mendaki naik ke tempat Sin Liong berayun tadi, kemudian dengan perlahan dia lalu mengayun diri ke kanan, memejamkan matanya karena dia sesungguhnya merasa ngeri bukan main. Dengan memegangi tali di atasnya dengan kedua tangan, Bi Cu merasa betapa tubuhnya terayun-ayun di udara!

"Nah, memanjatlah naik, perlahan-lahan saja, Bi Cu," terdengar suara Sin Liong tepat di atasnya.

Tanpa membuka mata, Bi Cu memanjat hati-hati melalui tali itu dan akhirnya dia ditarik naik oleh Sin Liong yang sudah dapat menangkap pergelangan tangannya. Setelah tiba di atas batu itu, Bi Cu merangkul Sin Liong dengan tubuh menggigil!

Sin Liong membiarkan Bi Cu dalam dekapannya sampai beberapa lamanya, sampai Bi Cu menjadi tenang kembali, tiada hentinya berbisik untuk membesarkan hati, "Kita berhasil! Engkau berhasil dengan baik sekali. Dan kita pasti akan sampai di atas!"

Sesudah Bi Cu tenang kembali, mereka melanjutkan perjalanan mereka mendaki seperti tadi, dengan kedua ujung tali mengikat pinggang masing-masing. Pendakian yang sama sekali tidak mudah dan setelah siang, akhirnya, dengan kedua telapak tangan lecet-lecet berdarah, napas terengah-engah, keduanya dapat tiba di atas, di dataran yang aman, di dunia yang lama. Keduanya langsung menggulingkan diri di atas tanah di pinggir jurang, terengah-engah dengan mulut terbuka tertawa, akan tetapi dengan mata basah air mata.

"Kita selamat!" Sin Liong berkata.

"Terima kasih kepada hujan!" Bi Cu berseru kemudian dara itu berlutut dan menyembah-nyembah, ditujukan ke atas, ke udara karena dari sanalah datangnya hujan kemarin!

"Kepada hujan? Kepada Thian (Tuhan) maksudmu...?"

"Tidak, kepada hujan!" Bi Cu membantah. "Bukankah hujan yang menyelamatkan kita? Kalau tidak ada hujan kemarin, kita sudah mati kehausan, dan kalau tidak ada hujan yang membuka jalan, mana mungkin kita naik ke sini?

"Tapi Tuhan yang membuat hujan! Tuhan yang mengatur itu semua sehingga sekarang kita tertolong."

"Aku tidak tahu, akan tetapi yang jelas, air hujan itu menolong kita. Aku tidak tahu siapa yang mengaturnya, akan tetapi aku tahu benar, air hujan itu memungkinkan kita masih dapat hidup sekarang ini, maka aku berterima kasih kepada hujan kemarin!"

Sin Liong tidak mau membantah. Apa artinya berbantah tentang hal siapa yang mengatur air hujan? Ada dongeng yang mengatakan bahwa hujan diatur oleh Dewa Naga Pengatur Hujan, ada dongeng lain yang mengatakan bahwa dewa ini, malaikat itu yang mengatur hujan, dan Tuhan hanya memerintahkan para dewa atau para malaikat untuk menunaikan segala macam tugas di alam ini. Jadi siapa yang berjasa menyelamatkan mereka?

Tidak ada artinya untuk bercekcok tentang teori itu karena bagaimana pun juga, tidak ada seorang pun manusia yang mengetahui dengan sebenarnya tentang siapa yang mengatur hujan itu. Yang jelas seperti Bi Cu, air hujan kemarin itulah yang menyelamatkan mereka. Dan hal itu tidak dapat dibantah lagi, karena merupakan kenyataan sesungguhnya. Apa yang terjadi di balik kenyataan itu merupakan hal rahasia, dan memperbantahkan sesuatu yang rahasia, yang tidak diketahui, hanya merupakan perbuatan bodoh dan menimbulkan pertentangan saja. Dan dia jelas tidak ingin bertentangan dengan Bi Cu.

Akan tetapi, tiba-tiba saja Bi Cu mengeluh lalu terguling roboh! Sin Liong terkejut sekali, menubruk dan merangkulnya. Ternyata tubuh dara itu panas sekali, akan tetapi ketika Sin Liong merangkulnya, dia menggigil seperti orang kedinginan. Tahulah Sin Liong bahwa Bi Cu terserang demam! Inilah akibat perut kosong, tekanan batin yang sangat hebat penuh ketegangan dan ketakutan, kemudian kehujanan serta kedinginan tadi malam dilanjutkan dengan keletihan dan ketegangan yang sangat luar biasa ketika mereka mendaki selama setengah hari tadi.

"Bi Cu...! Bi Cu...!" Sin Liong memanggil ketika melihat dara itu pingsan, memondongnya dan membawanya ke dalam hutan tidak jauh dari tepi jurang itu. Dia harus mencari air, harus mencari makanan, harus mencari obat untuk Bi Cu. Sin Liong tak lagi merasakan betapa tubuhnya sendiri amat lelah dan lapar, yang diperhatikan hanyalah keadaan Bi Cu seorang.

                ***************

Dengan dada lapang kita tinggalkan dulu Sin Liong dan Bi Cu yang sudah berhasil lolos dari bahaya maut itu dan mari kita mengikuti kembali keadaan Pangeran Ceng Han Houw di istananya di kota raja. Walau pun pangeran ini melihat kegiatan-kegiatan dilakukan oleh istana, malah dia mendengar pula bahwa istana telah mengumumkan pengampunan dan kebebasan kepada keluarga Cin-ling-pai, namun tidak ada tindakan atau perintah sesuatu dari istana yang ditujukan kepada dirinya. Oleh karena itu dia merasa agak lega, sungguh pun sejak peristiwa kehilangan surat Raja Sabutai itu dia tidak lagi berani mengadakan hubungan dengan utara mau pun dengan sekutu-sekutunya yang lain. Dia harus bersikap hati-hati.

Ada dua kemungkinan, pikirnya. Pertama, kaisar belum pernah menerima surat rahasia itu. Atau, kaisar sudah menerima akan tetapi tidak percaya sepenuhnya atau juga tidak mau menimbulkan keributan antara keluarga istana sendiri, maka kaisar memerintahkan tindakan-tindakan yang berhati-hati. Dia sudah tahu siapa yang ditunjuk oleh kaisar untuk menanggulanginya. Tentu Pangeran Hung Chih!

Malam itu sangat sunyi di istana Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran yang cerdik ini telah lama menyuruh orang Mongol pergi dari istananya, bahkan dia pun sudah menyuruh Hai-liong-ong Phang Tek kembali ke selatan. Dia tak ingin menimbulkan kecurigaan fihak istana dan hidup tenang di istananya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Akan tetapi para pengawalnya yang menjadi orang-orang kepercayaannya, telah dipesan agar berjaga dengan hati-hati sekali dan jangan sampai kebobolan seperti ketika Sun Eng lenyap dilarikan orang malam itu. Dia mengganti para pengawalnya dengan orang-orang pilihan yang mempunyai kepandaian cukup boleh diandalkan.

Dan pada malam yang sunyi itu para pengawal dikejutkan oleh munculnya seorang wanita muda yang cantik jelita dan gagah, yang muncul secara terang-terangan di pintu gerbang dan minta kepada para pengawal agar disampaikan kepada Pangeran Ceng Han Houw bahwa dia hendak bertemu dengan sang pangeran pada waktu itu juga.

Ketika menyatakan ini, wanita cantik itu mengeluarkan sebuah cincin yang dikenal oleh para pengawal sebagai cincin sang pangeran, cincin tanda bahwa wanita ini adalah orang kepercayaan sang pangeran! Tentu saja para pengawal langsung bersikap hormat, lalu mempersilakan wanita itu menunggu di dalam ruangan tamu sedangkan kepala pengawal tergopoh-gopoh melaporkan ke dalam istana.

Pada waktu Ceng Han Houw menerima laporan ini, ada dua macam perasaan mengaduk hatinya. Pertama tentu saja perasaan gembira karena dia sudah dapat menduga siapa adanya wanita itu. Di dunia ini hanya ada seorang wanita yang pernah diberinya cincin kekuasaan dan wanita itu adalah Lie Ciauw Si! Dan kedua dia merasa curiga dan juga tegang.

Dara perkasa itu adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai dan sungguh pun saling mencinta dengan dia, akan tetapi kalau dara itu maklum bahwa dia dimusuhi pula oleh keluarga Cin-ling-pai, apakah dara itu akan tetap mencintanya dan apakah tidak akan ikut memusuhinya pula? Diam-diam dia segera mengatur sikap dan secara kilat dia mencari siasat bagaimana untuk menghadapi dara cantik yang sudah menarik hatinya dan yang membuatnya benar-benar jatuh cinta itu. Setelah merapikan pakaiannya, Pangeran Ceng Han Houw lalu keluar menuju ke ruangan tamu untuk menyambut.

Ketika dia membuka pintu, tamunya itu bangkit berdiri. Kini mereka berdiri berhadapan dan saling berpandangan. Tak salah dugaannya, dara itu memang Lie Ciauw Si. Nampak semakin cantik dan semakin gagah saja. Sebaliknya, Ciauw Si juga memandang kepada pangeran itu. Alangkah tampannya pangeran itu, dalam pakaian yang sangat gemerlapan dan indah!

"Nona Lie Ciauw Si...! Moi-moi, ternyata engkau datang mengunjungiku...!"

Akhirnya Han Houw berseru girang dan menghampiri, lalu memegang kedua tangan dara itu. Ciauw Si membiarkan tangannya dipegang karena dia sendiri juga merasa amat rindu kepada pria yang menjatuhkan hatinya ini dan merasa girang dengan pertemuan ini.

"Pangeran, engkau baik-baik selama ini, bukan?"

"Tentu saja! Ah, Si-moi, betapa rinduku kepadamu...!" Dan pangeran itu merangkul, terus menciumnya. Akan tetapi hanya sebentar saja Ciauw Si membiarkan dirinya dicium, lalu dia mendorong dada pangeran itu perlahan.

"Cukup pangeran...," katanya sambil melangkah mundur.

"Tapi, Si-moi..."

"Pangeran, aku pun rindu kepadamu. Akan tetapi ingat, kita masih belum menjadi suami isteri, oleh karena itu kita harus dapat membatasi diri..."

Pangeran itu maklum bahwa terhadap seorang dara seperti Ciauw Si ini, dia tidak boleh bertindak ceroboh. Lagi pula, dia memang benar-benar mencinta dara ini dan tidak ingin memperlakukan seperti wanita lain yang disenanginya hanya akibat dorongan nafsu birahi semata. Terhadap Ciauw Si dia memiliki perasaan lain. Bukan semata-mata nafsu birahi, melainkan dia memang kagum dan suka sekali kepada wanita ini, dan kalau sekali waktu dia ingin mempunyai isteri, bukan selir, agaknya inilah pilihannya.

"Si-moi, marilah masuk. Ahhh, engkau datang malam-malam begini? Tentu belum makan malam." Pangeran itu lalu memanggil pelayan dan memerintahkan agar cepat disediakan hidangan malam. Kemudian dengan sikap mesra dan ramah dia mempersilakan Ciauw Si untuk masuk ke bagian dalam istananya.

"Saya tidak akan lama, pangeran, hanya akan membicarakan sesuatu yang penting, yaitu hendak mohon bantuanmu..."

"Aih, Si-moi! Kita baru saja berjumpa setelah berbulan-bulan kita saling berpisah. Masa engkau begitu datang lalu hendak pergi lagi? Itu namanya menyiksa perasaanku! Tidak, engkau harus menjadi tamu agungku, setidaknya untuk semalam dua malam, kita bicara nanti sambil makan malam. Nah, mari kuantar engkau ke kamar tamu, setelah mengaso dan mungkin hendak mandi dulu, kita makan dan bicara. Sungguh engkau tidak boleh menolak permintaanku ini, Si-moi."

Ciauw Si memang tidak dapat menolak, juga tidak ingin menolak. Pangeran itu demikian ramah dan dia pun sesungguhnya rindu kepada pria yang dikasihinya ini. Lagi pula, apa salahnya tidur di istana yang mewah itu asal saja dia mendapatkan kamar sendiri? Tidur di rumah penginapan pun sama saja, tidur bersanding kamar dengan orang lain, bahkan orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya malah.

Bagi seorang gadis kang-ouw, tidur di mana pun tidak ada halangannya. Apa lagi tidur di dalam sebuah kamar tersendiri di dalam istana pangeran ini! Dia mengagumi keindahan istana itu yang dilengkapi dengan perabot-perabot indah dan mewah, lukisan-lukisan yang amat indah.

"Silakan, inilah kamarmu, Si-moi. Engkau perlu pelayan?"

"Tidak, tidak... aku tak biasa dilayani, pangeran. Cukup asal disediakan air hangat saja... dan..."

Seorang pelayan wanita yang muda dan cantik lalu menghampiri, "Perintahkan segalanya kepada saya, nona, dan saya akan mempersiapkan segala keperluan nona."

Pangeran Ceng Han Houw tersenyum. "Nah, dia itulah pelayanmu. Sampai nanti, Si-moi." Pangeran itu lalu membungkuk dan mengundurkan diri.

Diam-diam Ciauw Si girang sekali. Kekasihnya itu selain tampan dan memiliki kepandaian tinggi, juga amat sopan dan lemah lembut, pikirnya penuh kebanggaan.

Ciauw Si mandi air hangat dan berganti pakaian yang dibawanya di dalam buntalan. Tak lama kemudian, Pangeran Ceng Han Houw sendiri menjemput dirinya untuk diajak makan malam di kamar makan. Pangeran itu juga sudah berganti pakaian serba baru yang indah, sehingga diam-diam Ciauw Si merasa malu juga dengan pakaiannya sendiri yang biasa saja, pakaian seorang wanita perantau yang ringkas. Tetapi pangeran itu memandangnya penuh kagum.

"Engkau nampak semakin cantik dan gagah saja dalam pakaian itu, Si-moi!" Memang dia seorang pria yang pandai merayu, maka tentu saja diam-diam Ciauw Si merasa girang sekali. Wanita mana yang tidak akan merasa girang kalau dipuji? Apa lagi yang memuji adalah pria yang dicintanya. Pedang Pek-kong-kiam yang memang tidak pernah berpisah dari tubuhnya, terselip di punggungnya.

Pada waktu mereka tiba di ruangan makan yang indah dan segar karena di mana-mana terdapat pot-pot bunga, di situ telah menanti enam orang wanita muda yang berpakaian mewah dan cantik-cantik sekali dengan sikap yang agak genit menyambut pangeran dan Ciauw Si. Hidangan sudah diatur di atas meja, masih mengepulkan uap karena masakan itu masih panas.

Para wanita itu menyambut dengan ramah dan mempersilakan pangeran dan Ciauw Si duduk. Sementara itu, dari luar ruangan itu terdengar suara nyanyian diiringi musik yang dilakukan oleh beberapa orang wanita muda yang cantik pula. Seluruh ruangan itu penuh dengan bau semerbak harum yang keluar dari pakaian para wanita itu.

Ciauw Si tidak segera duduk, memandang ke sekelilingnya dengan dua alis berkerut, lalu dia pun bertanya kepada Han Houw, "Pangeran, siapakah mereka ini? Pelayan-pelayan?" tanyanya meragu karena tak mungkin pelayan berpakaian begini indah, terlebih lagi sikap mereka terhadap sang pangeran bukanlah seperti pelayan yang menghormat, melainkan sikap yang merayu!

Pangeran Ceng Han Houw tersenyum bangga. "Mereka ini? Ahh, mereka ini adalah selir-selirku, Si-moi. Dia itu adalah Hong Kiauw, yang itu Bwee Sian, dan itu..."

"Pangeran, suruh mereka pergi!" Tiba-tiba saja Ciauw Si berkata dengan suara dingin dan sepasang matanya memandang marah. Para selirnya itu terkejut dan cemberut, juga Han Houw terkejut dan bingung.

"Ehhh... ini..." Dia tergagap.

"Cukup, suruh mereka pergi atau aku yang akan pergi dari sini!"

Melihat sikap yang tegas dan keras ini, Ceng Han Houw cepat-cepat melambaikan tangan menyuruh para selir itu untuk meninggalkan ruangan makan. Para selir itu cemberut dan mengerling marah, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah.

"Yang main musik dan bernyanyi itu juga! Dan aku tidak mau dilayani, aku ingin bicara denganmu, pangeran!" kata Ciauw Si tegas.

"Baiklah... baiklah...!" Pangeran Ceng Han Houw kemudian memberi isyarat kepada para pemain musik, para pelayan dan pengawal untuk pergi meninggalkan ruang itu. Sebentar saja mereka sudah pergi semua sehingga mereka kini hanya berdua saja, Ciauw Si masih berdiri, belum mau duduk.

"Nah, mereka telah pergi semua, silakan duduk dan mari kita makan dulu sebelum bicara, Si-moi."

Ciauw Si pun duduk, akan tetapi belum mau menyentuh makanan. Wajahnya muram dan pandang matanya masih marah. Tiba-tiba dia menatap wajah pangeran itu dengan tajam dan pertanyaannya mengejutkan pangeran itu, "Pangeran, aku minta ketegasan. Apakah engkau sungguh-sungguh cinta kepadaku?"

Pangeran Ceng Han Houw mengerti bahwa wanita ini bersungguh-sungguh, bahkan cara bicaranya juga kasar terhadapnya, tanda bahwa perasaan wanita itu terganggu sekali. Dia tidak boleh main-main dan harus bersikap tegas pula.

"Tentu saja, Si-moi. Aku cinta padamu dengan sepenuh hatiku."

"Pangeran, aku tidak menyalahkan engkau yang mempunyai banyak selir. Aku juga tahu bahwa memang itu sudah menjadi kebiasaan para bangsawan yang memelihara banyak selir, baik sebelum mau pun sesudah menikah. Akan tetapi aku adalah seorang wanita yang membela kebenaran dan keadilan, oleh karena itu, terus terang saja, aku tidak mau menjadi kekasih seorang pria yang mempunyai banyak selir! Aku hanya mau satu sama satu atau... tidak sama sekali! Nah, sebelum hubungan kita bertambah akrab, aku harap engkau suka memilih, pangeran. Pilihlah, aku ataukah selir-selirmu!"

"Tapi... tapi... apa artinya semua ini...?" Pangeran berkata tergagap sebab kata-kata yang dikeluarkan Ciauw Si itu sungguh-sungguh tak pernah diduganya.

"Artinya sudah jelas, pangeran. Kalau engkau sungguh mencintaku, itu berarti bahwa aku akan menjadi isterimu, dan apa bila aku menjadi isterimu, aku tidak ingin melihat engkau memiliki selir seorang pun. Inilah syaratku, tinggal terserah padamu sekarang, pangeran."

Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw sudah berhasil menenangkan dirinya kembali. Dia menarik napas panjang lalu berkata, "Baiklah, Si-moi. Tentu saja permintaanmu itu amat pantas dan aku setuju sekali. Sekarang juga aku akan perintahkan agar mereka itu dipulangkan ke rumah orang tua masing-masing!"

Ciauw Si sendiri terkejut mendengar keputusan mendadak itu, akan tetapi sebelum dia sempat berkata-kata, pangeran itu sudah memberi tanda tepukan tangan dan muncullah seorang pengawal dari pintu belakang. Walau pun seorang pengawal tadi sudah disuruh pergi meninggalkan ruangan itu, namun mereka itu siap siaga di luar ruangan, menjaga kalau-kalau sang pangeran memanggil mereka.

"Laporkan kepada kepala pengawal bahwa malam ini juga semua selirku harus disuruh pergi dari istana, dan boleh antarkan mereka pulang ke rumah orang tua masing-masing. Hadiah dan kerugian untuk mereka semua akan kukirim kemudian. Laksanakan perintah ini sekarang juga. Mengerti?"

Pengawal itu membelalakkan mata seolah-olah tak mendengar dengan baik atau merasa ragu akan perintah yang dianggapnya aneh itu. Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi kekeliruan salah dengar yang kelak mengakibatkan dirinya celaka, maka dia berdiri tegak dan mengulang,

"Paduka memerintahkan agar semua selir paduka malam ini juga dipulangkan ke rumah orang tua masing-masing, dan bahwa hadiah untuk mereka masing-masing akan paduka kirimkan kemudian?"

"Benar. Lekas laksanakan sekarang juga!"

"Baik, pangeran!" Pengawal itu segera pergi meninggalkan ruangan itu sesudah memberi hormat.

Ceng Han Houw menoleh dengan senyum kepada kekasihnya, lantas memegang tangan kekasihnya dan digandengnya ke meja makan lalu dengan halus nona itu dipersilakannya duduk.

"Sudah puaskah engkau sekarang?"

Ciauw Si tersenyum manis dan wajahnya berseri. "Sungguh tak kuduga bahwa pangeran akan memenuhi permintaanku seketika. Aku girang dan berterima kasih sekali, pangeran. Kini aku tidak ragu-ragu lagi akan cinta kasihmu kepadaku."

Mereka lalu makan minum sambil kadang-kadang saling berpandangan mesra. Ceng Han Houw berani mengambil keputusan demikian cepat mengenai selir-selirnya bukan karena dia tidak sayang terhadap selir-selirnya itu, sama sekali tidak. Dia adalah seorang yang amat cerdik.

Dia tahu bahwa keadaannya pada waktu itu sedang terancam, rahasianya mungkin sudah diketahui oleh kaisar. Dalam keadaan terjepit ini dia membutuhkan bantuan orang-orang pandai, kalau sewaktu-waktu dia akan turun tangan atau harus membela diri. Dan Ciauw Si dalam hal ini jauh lebih berharga dari pada para selirnya itu.

Apa lagi kalau diingat bahwa di belakang Ciauw Si ini berdiri keluarga Cin-ling-pai yang memiliki banyak orang sakti. Jika dia dapat memperisteri Ciauw Si dan menarik keluarga Cin-ling-pai menjadi para pembantunya, atau paling tidak menjadi sahabat-sahabat atau keluarga, tentu kedudukannya akan menjadi lebih kuat.

Dibandingkan dengan kemungkinan yang amat baik ini, apa artinya beberapa orang selir itu? Tentu saja lebih baik dia merelakan selir-selirnya untuk kemungkinan yang jauh lebih menguntungkan itu.

Sesudah mereka selesai makan dan sang pangeran memanggil pelayan membersihkan meja, dia lalu mengajak Ciauw Si duduk di dalam taman yang penuh bunga dan diterangi lampu merah, di dekat kolam ikan. Di situ hawanya sejuk sekali, dan sunyi.

"Nah, sekarang katakanlah, keperluan apakah yang hendak kau sampaikan kepadaku, Si-moi?"

"Pangeran, kedatanganku ini di samping hendak mengunjungimu seperti yang pernah kita janjikan pada saat kita saling jumpa dulu, juga untuk minta pertolonganmu. Engkau tentu telah mengetahui, pangeran, bahwa ibu kandungku, ayah tiriku, paman Cia Bun Houw dan juga bibi Yap In Hong, pendeknya semua keluarga Cin-ling-pai, oleh pemerintah dianggap sebagai pemberontak dan buruan."

Pangeran Ceng Han Houw memang sudah menduga akan hal ini, maka dia tidak terkejut dan mengangguk sambil tersenyum, matanya penuh kekaguman memandang bibir yang sedang bicara tadi.

"Maka, aku mohon bantuanmu agar fitnah yang dijatuhkan atas diri keluarga kami itu bisa dicabut, agar keluarga kami yang sejak dahulu tidak pernah memberontak itu dibebaskan dari tuduhan. Harap engkau suka membujuk kepada sri baginda kaisar agar bersikap dan bertindak bijaksana..." Ciauw Si menghentikan kata-katanya karena dia melihat pangeran itu menarik napas sambil menggeleng-gelengkan kepala. Jantungnya berdebar dan timbul kekhawatiran di dalam hatinya. "Bagaimana, pangeran?" Dia mendesak.

"Ciauw Si moi-moi, agaknya engkau masih belum tahu akan kedudukanku. Dengarlah, aku hanyalah adik tiri dari kaisar, dan sejak kecil aku ikut ibu kandungku yang menjadi permaisuri Raja Sabutai. Walau pun aku diterima oleh mendiang ayah kandungku dan sampai sekarang aku dianggap pangeran di sini, namun diam-diam kaisar membenciku. Oleh karena itu, kalau aku menghadap kaisar dan mengusulkan agar keluarga Cin-ling-pai dibebaskan, bukan saja hal itu akan sia-sia, bahkan tentu kaisar akan memperoleh alasan untuk menangkap aku yang akan dituduhnya bersekongkol dengan para pemberontak dan buruan. Kalau engkau menghadap, tentu engkau akan ditangkap pula. Tidak mungkinlah untuk mengharapkan aku dapat membujuk kaisar sampai berhasil."

Mendengar penuturan ini, tentu saja Ciauw Si menjadi kaget dan kecewa sekali. Seketika lenyap harapannya untuk bisa menyelamatkan keluarganya dengan perantaraan pangeran ini.

"Ahh, lalu bagaimana baiknya...?" Dia berkata lirih.

Ceng Han Houw memegang kedua tangan gadis itu dan menggenggamnya.

"Si-moi, jangan khawatir. Aku masih mempunyai pengaruh besar di antara para pembesar di seluruh daerah. Akan dapat kuusahakan agar para pembesar daerah tak lagi mengejar-ngejar keluargamu sebagai keluarga pemberontak. Akan tetapi, kita tidak mungkin dapat mengharapkan pengampunan dari kaisar lalim!"

"Pangeran...!" Ciauw Si terkejut mendengar kekasihnya itu menyebut kaisar lalim.

"Apa lagi dia kalau bukan kaisar lalim? Ingat, selamanya keluarga Cin-ling-pai merupakan keluarga gagah perkasa yang tak pernah memberontak, bukan? Akan tetapi, kaisar lalim ini sudah menuduh mereka sebagai pemberontak! Oleh karena itu, kita harus menentang dia, Si-moi! Jalan satu-satunya untuk menolong keluargamu, juga untuk menolong rakyat dari kelalimannya, hanyalah dengan jalan menentangnya!"

"Tetapi... tetapi, pangeran... maaf, bukankah yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai justru adalah suci-mu yang bernama Kim Hong Liu-nio beserta gurumu yang bernama Hek-hiat Mo-li?"

Pangeran Ceng Han Houw menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. "Engkau salah mengerti, Si-moi. Aku telah menjadi murid orang sakti lain sekarang. Memang tentu saja bekas guruku itu, Hek-hiat Mo-li, merupakan musuh dari keluarga Cin-ling-pai akan tetapi ini merupakan urusan pribadi antara Hek-hiat Mo-li dan keluarga Cin-ling-pai. Dan kurasa suci Kim Hong Liu-nio hanya menjalankan tugas sebagai murid saja. Akan tetapi, kaisar lalim menggunakan kesempatan itu untuk membonceng dan dengan pengerahan pasukan menyuruh suci dan subo itu untuk menyerang keluargamu! Tentu saja suci tidak berani membantah kehendak kaisar yang merupakan perintah. Jadi, yang menjadi biang keladi adalah kaisar lalim. Oleh karena itu dia harus kita tumpas!"

Dengan pandainya Ceng Han Houw memutar balikkan kenyataan sehingga pada akhirnya Ciauw Si yang merupakan seorang gadis kang-ouw yang jujur itu terpikat juga. Hatinya mulai menjadi panas kepada kaisar yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai, yang menurut pangeran kekasihnya, merupakan golongan yang berbahaya bagi kerajaan!

"Bagi kaisar lalim, golongan-golongan yang ilmunya tinggi menjadi ancaman bahaya bagi keselamatan kerajaan, oleh karena itu dilakukan pembasmian besar-besaran. Dan semua ini adalah siasat yang diatur oleh Pangeran Hung Chih yang menjilat-jilat terhadap kaisar. Bahkan aku sudah mendengar kabar bahwa Pangeran Hung Chih sedang mengumpulkan orang-orang pandai yang dapat dibelinya untuk menghadapi aku."

"Ahhh...?"

"Akan tetapi jangan khawatir, Si-moi. Kini aku bukanlah Ceng Han Houw seperti yang kau jumpai beberapa bulan yang lalu. Aku telah mewarisi ilmu yang amat tinggi dan aku tidak akan mudah dikalahkan oleh siapa pun juga di dunia ini. Maka, aku hendak mengadakan pertemuan besar dengan seluruh jagoa di dunia kang-ouw, untuk memilih jago nomor satu di dunia ini. Kalau aku bisa memenangkan kedudukan itu, tentu semua tokoh kang-ouw di dunia ini akan berpihak kepadaku dan kekuatanku menjadi makin besar. Setelah itu, barulah kita akan menghadapi kaisar lalim itu. Tentunya engkau akan berpihak kepadaku, bukan?"

"Tentu saja, pangeran." Lalu gadis itu mendesak. "Dan mengenai keluargaku, bagaimana caramu untuk dapat menolong mereka?"

"Jangan kau khawatir, untuk sementara ini tak akan ada pembesar yang berani mengusik mereka. Akan kutulis surat perintah kepada seluruh pembesar supaya jangan sampai ada yang mengganggu keluargamu. Surat itu boleh kau berikan kepada ibu kandungmu, dan menunjukkan kepada setiap pembesar yang hendak mengganggu. Akan kubuat beberapa buah agar dapat kau bagi-bagi kepada mereka, dan percayalah, suratku itu akan menjadi jimat penyelamat yang ampuh. Ingat bahwa saat ini aku pun masih memegang kekuasaan tinggi sebagai orang kepercayaan kaisar!"

Bukan main lega dan girangnya rasa hati Ciauw Si mendengar ini. Juga ada rasa bangga di hatinya bahwa pangeran itu, pria yang dikasihinya itu, ternyata mampu untuk menolong keluarganya, "Ahh, terima kasih, pangeran. Engkau sungguh baik hati sekali..."

Ceng Han Houw bangkit berdiri dan pindah duduk ke dekat gadis itu, lalu merangkulnya mesra, "Si-moi, tentu saja aku baik kepadamu karena aku cinta kepadamu, Si-moi. Aku sudah membuktikan cinta kasihku kepadamu, akan tetapi apakah buktinya bahwa engkau cinta padaku?"

"Pangeran, bukti apa lagi yang kau kehendaki? Aku sekarang berada dalam pelukanmu, maukah aku kalau aku tidak cinta padamu?"

Ceng Han Houw menciumnya. Untuk beberapa lama mereka berpelukan dan berciuman dengan curahan hati penuh kasih sayang.

"Si-moi..," Han Houw berbisik dengan napas agak memburu di dekat telinga kiri gadis itu. "Kalau engkau benar mencintaku... marilah engkau bermalam di dalam kamarku malam ini, sayang..."

Tiba-tiba tubuh yang tadinya lemas menyerah itu menegang dan Ciauw Si melepaskan pelukan pangeran itu, lalu menatap tajam di bawah sinar lampu merah. Sejenak mereka saling berpandangan dan terdengar pangeran itu berbisik, "Maaf Si-moi, bukan maksudku untuk merendahkanmu, akan tetapi sungguh... aku cinta padamu, aku membutuhkanmu, dan dalam keadaan aku dimusuhi oleh kaisar seperti sekarang ini, apa bila engkau pergi besok... entah kapan kita bertemu kembali, Si-moi... maka sebelum berpisah, aku ingin memiliki dirimu dulu... aku ingin engkau menjadi isteriku..."

"Pangeran, engkau tahu bahwa hal itu tidak boleh kita lakukan sebelum kita menikah. Aku harus memberitahukan ibuku, dan engkau harus mengajukan pinangan dulu. Baru kalau kita sudah menikah, aku akan menyerahkan jiwa ragaku kepadamu, pangeran. Engkau tahu bahwa aku mencintamu dan akan berbahagia sekali menjadi isterimu..."

"Akan tetapi, moi-moi, mana mungkin kita dapat melaksanakan pernikahan dalam waktu dekat-dekat ini, sesudah engkau mengetahui keadaanku? Pernikahan antara kita berdua tentu akan membuat kaisar menjadi makin curiga dan merasa tak senang, karena engkau adalah puteri dari keluarga yang memusuhinya. Dalam menghadapi perjuangan ini, belum tentu kalau aku akan keluar dengan selamat. Maka... tidak kasihankah engkau padaku? Tegakah engkau membiarkan aku setiap hari merindukanmu, Si moi?" Ceng Han Houw merayu dan kembali dia sudah memeluk gadis itu.

Belaian, pelukan serta ciuman-ciuman pangeran itu memang sudah membuat Ciauw Si seperti mabuk, maka kini rayuan-rayuan pangeran itu membuat dia semakin bimbang. Dia hampir tidak dapat berkata-kata lagi dan tidak dapat menolak ketika pangeran itu kembali menciuminya, karena dia sendiri merasa seperti sedang dibuai oleh keadaan yang sangat membahagiakan perasaannya. Akan tetapi pada saat pangeran itu semakin berani dalam belaiannya, dia tersentak dan berbisik,

"Kita harus menikah dulu... harus menikah dulu...," dan Ciauw Si pun menangis!

Pangeran Ceng Han Houw tidak berani memaksa. Dia mendekap kepala yang menangis di atas dadanya itu, mengelus rambut yang halus itu dan berbisik, "Moi-moi, engkau tahu betapa besar cintaku kepadamu. Aku menghormati pendirianmu. Akan tetapi karena aku tidak ingin menderita sengsara dalam kerinduan, maka kuharap engkau akan setuju kalau kita lebih dulu melakukan upacara pernikahan sekarang juga..."

Ciauw Si mengangkat muka dan memandang heran melalui matanya yang basah dengan air mata. "Apa...? Bagaimana...?"

"Dengar, sayang. Kita dapat menikah sekarang juga di dalam kuil. Kalau kita sudah saling bersumpah di hadapan Tuhan, dengan disaksikan Langit dan Bumi, upacaranya dilakukan oleh hwesio dalam kuil, bukankah pernikahan itu sudah sah pula namanya? Hanya belum dirayakan dan disaksikan oleh keluarga dan manusia lain? Akan tetapi setelah disaksikan Tuhan, bukankah itu sudah lebih dari sah?"

Ciauw Si yang sudah bimbang itu dan telah siap melakukan apa saja dengan kekasihnya, dan hanya melihat pernikahan sebagai hal satu-satunya yang merupakan penghalang, kini melihat jalan keluar ini, menjadi gembira sekali. "Tapi... tapi... dapatkah hal itu dilakukan, pangeran?"

"Tentu saja. Ketua Kuil Hok-te Seng-kun di kota raja adalah seorang sahabatku. Malam ini juga kita dapat melakukan upacara pernikahan dan sembahyang itu di dalam kuilnya, dan dengan demikian kita akan sah menjadi suami isteri."

"Ohhh..."

"Dan engkau akan menjadi isteriku, calon permaisuriku..."

Pangeran itu mencium dan Ciauw Si lalu pasrah. Pergilah mereka keluar dari taman dan tak lama kemudian, mereka sudah mengendarai sebuah kereta berangkat ke Kuil Hok-te Seng-kun di sebelah barat dalam kota raja itu....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 42



PARA hwesio itu tentu saja sibuk menyambut kedatangan pangeran dengan hormat sekali. Liang Sim Hwesio, ketua kuil itu menerima kedua orang tamu agungnya di dalam kamar tamu dan ketika sang pangeran menjelaskan maksud kedatangannya dengan gadis cantik itu, sejenak sang hwesio tertegun. Sungguh permintaan yang sangat aneh dari pangeran itu untuk menikah di saat itu juga, tanpa perayaan dan tanpa saksi, hanya cukup dengan sembahyang saja.

"Dapatkah losuhu melakukan hal itu untuk menolong kami yang hendak menikah secara resmi di kuil ini?" tanya sang pangeran, suara dan matanya menuntut dan mendesak.

"Tentu, tentu saja pinceng dapat melakukan itu, pangeran. Dengan senang hati, bahkan pinceng merasa mendapatkan kehormatan yang besar sekali!" serunya sambil tersenyum lebar dan wajahnya berseri. Siapakah tidak akan merasa girang kalau diberi kehormatan untuk melakukan upacara pernikahan seorang pangeran yang terhormat dan mulia?

Tiba-tiba saja Ciauw Si yang semenjak tadi hanya mendengarkan saja dengan kedua pipi kemerahan dan jantung berdebar, merasa malu-malu dan tegang, kini bertanya, suaranya lirih dan agak gemetar, seolah-olah lenyaplah sifat-sifat gagahnya pada saat menghadapi peristiwa yang amat mendebarkan dan menegangkan bagi seorang gadis ini,

"Losuhu... apakah... pernikahan seperti ini sudah sah...?"

Hwesio tua itu seperti terkejut mendengar pertanyaan ini, sepasang matanya memandang wajah Ciauw Si dan kemudian wajah sang pangeran. Begitu bertemu dengan sinar mata sang pangeran, dia pun cepat merangkap kedua tangannya depan dada.

"Omitohud...! Tidak ada yang lebih sah dari pada peneguhan dan pemberkatan di dalam kuil, disaksikan oleh para dewa dan malaikat dengan sumpah di depan meja sembahyang kepada Thian sendiri, siocia!"

Maka lapanglah rasa hati Ciauw Si mendengar keterangan yang diucapkan dengan suara mantap itu. Dia merangkap kedua tangannya dan berkata, "Terima kasih, losuhu."

Mereka tidak usah menunggu lama-lama. Segera meja sembahyang untuk keperluan itu dipersiapkan dan tidak lama kemudian dua orang muda itu sudah berlutut di depan meja sembahyang dengan penuh khidmat.

Ketika mereka sedang bersembahyang itu, Ciauw Si teringat akan keluarganya dan tanpa dapat ditahannya lagi menangislah pengantin wanita ini! Bagaimana pun juga, dia merasa sedih sekali karena menikah tanpa dikelilingi sanak keluarganya, bahkan tidak memakai pakaian pengantin dan tidak disaksikan oleh seorang pun kerabat.

Dia memang sudah mengambil keputusan nekat. Biar pun bangkitnya gairah nafsu karena rayuan dan belaian kekasihnya itu merupakan pendorong utama, akan tetapi di samping itu juga ada kenyataan-kenyataan lainnya yang mendorong Ciauw Si menyerah kepada kekasihnya dengan sekedar upacara pernikahan yang sunyi di kuil itu. Dia teringat akan peristiwa yang menimpa diri kakaknya, Lie Seng. Kakaknya itu saling mencinta dengan Sun Eng, akan tetapi ibu kandungnya beserta keluarga Cin-ling-pai menentang sehingga terjadi peristiwa yang amat menyedihkan.

Sejak semula dia membela kakaknya dan secara diam-diam dia tidak setuju dengan sikap orang-orang tua itu yang mau mencampuri urusan cinta kasih antara dua orang muda! Oleh karena kenyataan inilah maka Ciauw Si menganggap bahwa kehadiran keluarganya di dalam pernikahannya sekarang ini pun hanyalah merupakan soal ke dua belaka, yang penting adalah dia dan pangeran!

Dan dia tidak menyerahkan diri begitu saja, mereka berdua tidak akan berjinah, melainkan bersatu melalui pernikahan yang sah, di depan hwesio, di dalam kuil, di depan para dewa, di depan Thian! Maka, halangan bahwa dia belum memberi tahukan kepada ibunya serta para keluarganya merupakan halangan yang tipis sekali, ditipiskan oleh peristiwa kakak kandungnya itu!

Apa lagi karena dia pun merasa sangsi apakah keluarganya akan menyetujui perjodohan antara dia dan Pangeran Ceng Han Houw yang dikenal oleh keluarganya sebagai murid Hek-hiat Mo-li, dan dianggap musuh itu! Biarlah, pikirnya yang mendorong kenekatannya. Andai kata keluarganya tak setuju, seperti juga ketika tidak menyetujui perjodohan kakak kandungnya, dia toh sudah menikah dengan sah di dalam kuil itu!

Oleh karena semua halangan dan hambatan batin ini lenyap oleh pikiran-pikiran itu, maka sesudah mereka selesai melakukan upacara sembahyang sebagai sepasang suami isteri, Clauw Si dan Pangeran Ceng Han Houw secepatnya pulang ke istana. Setibanya mereka di istana, kini tanpa ragu-ragu lagi Ciauw Si dengan rela membiarkan dirinya dipondong oleh suaminya ke dalam kamar dan dia menyerahkan dirinya dengan penuh kemesraan, penuh kasih sayang, dan penuh kerelaan yang pasrah.

Sepasang pengantin ini dibuai gelombang asmara yang menenggelamkan mereka serta membuat mereka lupa akan segala. Dan niat untuk bermalam satu malam saja itu lantas menjadi berlarut-larut sehingga sampai tiga hari tiga malam mereka tidak pernah keluar meninggalkan kamar!

Baru pada hari ke empat, mengingat akan pentingnya tugas menyelamatkan keluarganya, dengan hati berat Ciauw Si berpamit dan berpisah dari suaminya. Perpisahan yang berat dan mesra. Seakan-akan pangeran itu tidak mau melepaskan isterinya dari dekapannya dan Ciauw Si pun segan meninggalkan dada suaminya. Akan tetapi akhirnya Ciauw Si berangkat juga, dengan pakaian serba indah, dengan seekor kuda pilihan dan bekal yang cukup dari suaminya. Dia tidak mau dikawal dan pada pagi hari itu, dengan diantar oleh pandangan mata yang mencinta dari Pangeran Ceng Han Houw, Ciauw Si membalapkan kudanya meninggalkan istana dan keluar dari kota raja.

Sedikit pun Ciauw Si tidak pernah mengira bahwa baru beberapa hari yang lalu, di istana pangeran itu, di mana dia menikmati bulan madu selama tiga hari tiga malam itu, terjadi peristiwa yang sangat mengerikan atas diri Sun Eng! Dia sama sekali tidak tahu bahwa kakak kandungnya bersama paman dan bibinya, Cia Bun Houw dan Yap In Hong, sudah mendatangi istana pangeran itu dan melarikan Sun Eng dari belakang istana.

Dan setelah Ciauw Si pergi, Pangeran Ceng Han Houw berdiri termenung, hatinya terasa bimbang. Dia merasa girang bahwa dia sudah berhasil menjalankan siasatnya, menarik hati Ciauw Si dan memperalat gadis itu untuk menarik keluarga Cin-ling-pai untuk menjadi pembantu-pembantu atau sekutunya.

Akan tetapi, di samping kegirangan ini juga dia merasa betapa sekali ini dia benar-benar jatuh cinta! Bahwa sekali ini baru dia bertekuk lutut kepada seorang wanita dan bahwa dia sungguh-sungguh mencinta Lie Ciaw Si dan menganggap wanita ini sebagai isteri, bukan sekedar sebagai selir atau alat penghibur belaka.

Maka timbullah kekhawatiran dalam lubuk hatinya. Dia maklum bahwa dia sudah bermain dengan api yang amat berbahaya! Dia telah menciptakan perang dalam hatinya sendiri. Di satu fihak dia sungguh-sungguh mencinta gadis itu, di lain fihak dia hendak memperalat gadis itu demi keuntungan diri sendiri.

                ***************

"Bi Cu...! Bi Cu, apamukah yang sakit...?" Berkali-kali Sin Liong bertanya ketika dara itu siuman dan mengeluh lirih. Dia meraba dahi yang panas sekali itu. Bi Cu berbisik-bisik, mengigau tidak karuan, gelisah dan kaki tangannya bergerak-gerak seperti orang hendak meronta.

"Bi Cu... tenanglah, Bi Cu, tenanglah...!" Sin Liong membasahi kepala dara itu dengan air.

Bukan main gelisahnya hati Sin Liong melihat keadaan Bi Cu yang terus mengigau dan tubuhnya panas sekali itu. Bi Cu diserang demam yang naik turun hingga sehari semalam lamanya. Sin Liong merasa amat khawatir.

Hutan itu kecil akan tetapi liar, tidak ada goa atau tempat berlindung yang baik untuk Bi Cu. Terpaksa dia merawat dara itu di bawah pohon-pohon, di dekat sebuah anak sungai yang airnya jernih. Dengan sambitan batu, Sin Liong lalu membunuh beberapa ekor ayam hutan dan kelinci, kemudian dia memanggang dagingnya dan diberikan kepada Bi Cu.

Akan tetapi selama sehari semalam itu, jangankan makan, bahkan diajak bicara pun Bi Cu tidak dapat menjawab, keadaannya setengah sadar. Dia sendiri pun sama sekali tidak dapat makan, bahkan tidak pernah tidur sekejap mata pun, terus-menerus menjaga Bi Cu, kalau malam membuat api unggun dan selalu membasahi kepala yang panas itu dengan air.

Pada keesokan harinya, barulah Bi Cu sadar dan tidak begitu gelisah lagi, sungguh pun tubuhnya masih panas sekali.

"Sin Liong...!" rintihnya.

Sin Liong girang bukan main. Diusapnya pipi yang basah oleh air mata itu, disingkapnya rambut yang terurai lepas dan dia menatap wajah yang pucat itu.

"Bi Cu, engkau terserang demam. Jangan khawatir, aku menjagamu, engkau pasti akan sembuh kembali."

Bi Cu agak terengah, bibirnya yang pucat mengering itu lalu berkata lemah, "Aku... aku haus..."

Sin Liong cepat mengambil air yang sudah disediakannya lantas memberi minum dara itu dengan air yang ditempatkan pada sehelai daun lebar yang dibentuknya seperti cawan. Sesudah minum air beberapa teguk, Bi Cu kelihatan lega dan tenang, lalu rebah kembali setelah tadi dibantu oleh Sin Liong bangkit duduk.

"Berapa lama aku sakit...?" bisiknya.

"Engkau dalam keadaan tidak sadar dan demam panas sehari semalam. Tetapi engkau akan sembuh. Biar kubuatkan makanan untuk mengisi perutmu. Akan tetapi karena kita berada di hutan dan tidak ada dusun di dekat sini, terpaksa engkau hanya akan makan panggang daging kelinci, Bi Cu."

Bi Cu mengangguk. Sekarang pikirannya sudah terang dan diam-diam dia merasa terharu melihat Sin Liong menjaga dan merawatnya seperti itu. Jelas nampak betapa pemuda itu lelah sekali.

Biar pun sekarang Bi Cu telah sadar, namun tubuhnya masih lemah dan panasnya masih kadang-kadang datang menyerang membuatnya gelisah sehingga selama beberapa hari dia masih belum dapat bangun karena kalau dia bangkit, kepalanya terasa pening sekali dan pandang matanya berkunang. Oleh karena itu, selama empat hari empat malam lagi dia terus rebah dijaga Sin Liong siang malam tanpa pernah beristirahat!

Jadi sampai lima hari lima malam Sin Liong tidak pernah tidur, dan makan sedikit, sama sedikitnya dengan Bi Cu karena dia hanya dapat makan kalau Bi Cu juga makan. Hatinya diliputi kekhawatiran melihat Bi Cu sakit agak payah di tempat sunyi itu. Dan pada malam hari ke lima itu, lewat tengah malam menjelang pagi, kembali turun hujan lebat di hutan itu! Sibuk sekali Sin Liong berusaha melindungi badan Bi Cu dari siraman hujan.

Dengan hati penuh kekhawatiran Sin Liong melihat betapa dara itu sangat kedinginan. Bi Cu bangkit duduk ketika hujan turun, kemudian dia membiarkan dirinya dipeluk oleh Sin Liong. Kilat menyambar-nyambar dan hujan turun seperti dituangkan dari atas. Derasnya bukan main sehingga sebentar saja pakaian mereka sudah basah kuyup!

Tidak ada tempat berlindung kecuali bawah pohon-pohon itu! Api unggun yang dibuat Sin Liong sudah sejak tadi padam dan tadi Sin Liong sibuk mengumpulkan kayu kering yang sedapat mungkin ditutupinya dengan daun-daun.

Tubuh Bi Cu menggigil di dalam pelukan Sin Liong. Sin Liong mengerahkan sinkang-nya sehingga dari tubuhnya keluar hawa panas. Hal ini banyak menolong walau pun pakaian mereka basah semua. Melihat sepasang sepatu Bi Cu yang telah pecah-pecah dan rusak akibat dipakai mendaki tebing tempo hari, kini basah kuyup dan bahkan menampung air yang membuat telapak kaki terasa luar biasa dinginnya, Sin Liong berkata,

"Sebaiknya sepatumu dan kaus kaki yang basah semua itu ditanggalkan saja."

Bi Cu yang menyembunyikan mukanya di dada Sin Liong hanya mengangguk, maka Sin Liong cepat melepaskan kedua sepatu dan kaus kaki dari kedua kaki Bi Cu. Dia merasa betapa tubuh yang dirangkulnya itu gemetaran dan terasa kecil lemah. Makin eratlah dia mendekap, dengan hati penuh kasih sayang.

Ternyata hujan turun sampai pagi. Setelah hujan berhenti, Sin Liong segera membuat api menggunakan kayu-kayu kering yang tadi telah ditutupinya dengan daun-daunan. Untung masih terdapat kayu-kayu yang kering di tumpukan bawah, maka dapat juga dia berhasil menyalakan api unggun yang mula-mula mengepulkan asap. Akan tetapi makin lama, api unggun itu semakin terang dan menyala-nyala dan dia sudah duduk di dekat api unggun sambil memeluk tubuh Bi Cu.

"Engkau tentu dingin sekali, Bi Cu...," katanya penuh iba sambil merangkul dara itu.

Bi Cu menyandarkan kepalanya pada pundak Sin Liong, tangan kirinya menjamah-jamah pundak dan lengan pemuda itu, kemudian berkata lemah dengan suara gemetar karena kedinginan, "Engkau pun basah kuyup dan kedinginan..."

"Tidak, aku sehat, engkaulah yang tengah sakit, mudah-mudahan engkau tidak jatuh sakit lagi. Ahh, baru saja engkau hampir sembuh tapi kembali disiram hujan lebat...," Sin Liong berkata khawatir.

Melihat kekhawatiran pemuda itu terhadap dirinya, Bi Cu merasa semakin terharu, apa lagi semalam dia mimpi, dan dalam mimpi itu dia membayangkan kembali peristiwa yang terjadi di bawah tebing pada waktu mereka menyambut hujan dengan bahagia sekali dan mereka telah berpelukan serta berciuman dalam keadaan hampir tidak sadar!

"Sin Liong, engkau... baik sekali kepadaku... kalau tidak ada engkau, aku tentu sudah mati dalam keadaan terlantar..." Suaranya mengandung isak.

Sin Liong menunduk dan memandang wajah yang dekat itu. Melihat betapa di antara air hujan yang membasahi rambut dara itu dan masih menetes-netes pada wajah yang pucat itu kini terdapat pula butiran-butiran air mata, dia memeluk lebih erat.

"Tentu saja, Bi Cu. Aku hanya mempunyai engkau di dunia ini..."

"Dan aku... aku pun hanya mempunyai engkau... jangan engkau meninggalkan aku lagi selamanya, Sin Liong..."

Sin Liong memeramkan kedua matanya menahan dua butir air mata yang membasahi kedua matanya itu. Dia menarik napas panjang untuk menekan perasaan harunya, lantas berbisik dekat telinga yang berada dekat dengan mulutnya itu. "Tahukah engkau, Bi Cu, kata-kata yang sama seperti yang tadi kau katakan itulah yang kuucapkan berulang-ulang selama beberapa hari engkau sakit ini. Aku terus menerus membisikkan kata-kata itu, agar engkau jangan meninggalkan aku, Bi Cu..."

Mereka tidak berkata-kata lagi. Memang tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Dengan berdiam diri itu terasalah oleh mereka, terasa secara mendalam, akan kehadiran masing-masing bukan hanya di dekat tubuh, namun juga di dalam batin masing-masing. Mereka merasa betapa mereka saling memiliki, saling membutuhkan, merasa seolah-olah mereka berdua telah bersatu dalam batin, seperti orang yang memiliki dan membutuhkan anggota tubuhnya sendiri. Takkan terpisahkan lagi, senasib sependeritaan. Hal ini terasa sekali oleh mereka ketika berdekatan dan berdekapan dalam keadaan kedinginan itu.

Akhirnya terdengar bisikan Bi Cu yang masih menyandarkan kepala di atas dada dekat leher Sin Liong, "Sin Liong, kau khawatir kalau-kalau aku mati...?"

"Ya, ketika melihat engkau mengigau, tidak sadar... ahh, aku khawatir sekali."

"Aku tidak akan mati. Tidak, aku tidak mau mati sendiri tanpa engkau, Sin Liong. Seperti juga aku tidak mau hidup sendiri tanpa engkau di dekatku. Aku cinta padamu Sin Liong."

Tanpa diucapkan sekali pun, hal itu sudah terasa amat jelasnya oleh Sin Liong. Dia lalu mencium mata kiri dara itu. "Aku pun cinta padamu, Bi Cu."

Mereka tidak bicara lagi sampai lama, seolah-olah pengakuan cinta itu adalah kata-kata terakhir di dunia ini dan sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi yang lebih patut dibicarakan!

Cinta memang maha indah! Bahkan sudah melampaui kebagusan dan keburukan, sudah melampaui segala yang dapat diperbandingkan, melampaui penilaian dan perbandingan itu sendiri!

Cinta-mencinta membawa kita ke dalam suatu keadaan di mana tak ada lagi baik buruk, susah senang, dalam keadaan yang mungkin oleh pandangan umum dianggap sengsara, bisa saja nampak indah oleh adanya cinta. Cinta membawa suasana nampak indah, di sekeliling kita, di dalam hati kita. Tidak ada lagi pertentangan, tidak ada lagi kekerasaan, tidak ada lagi susah atau senang. Yang ada hanya perasaan suka cita, yang berbeda dengan kesenangan.

Kesenangan memiliki sebab, mempunyai sesuatu yang menimbulkan kesenangan. Akan tetapi suka cita adalah perasaan hati yang nyaman dan sejuk tanpa ada sebab tertentu. Keadaan ini membuat kita dipenuhi dengan cahaya cinta kasih, penuh dengan kebajikan, dengan belas kasihan, dengan apa yang dinamakan peri kemanusiaan.

Cinta adalah kebahagiaan. Manusia dalam cinta adalah manusia yang sebenar-benarnya manusia, dan sinar kemanusiaannya cemerlang di waktu itu.

Sayang, biar pun kiranya hampir semua orang pernah memasuki keadaan ajaib seperti itu, namun nafsu-nafsu kita terlalu besar sehingga menjauhkan cinta kasih dari batin kita. Hanya sebersit saja sinar cinta kasih menerangi batin, lalu batin sudah penuh lagi dengan segala kotoran nafsu.

Bahkan celakanya, nafsu-nafsu menggantikan tempat dan memalsukan cinta, membuat cinta kasih yang suci murni menjadi cinta kasih yang palsu, cinta kasih yang sebetulnya hanyalah cinta kepada diri sendiri belaka, keinginan menyenangkan diri sendiri belaka, seperti yang dapat kita lihat dengan jelas dalam kehidupan kita sekarang ini.

Cinta yang kita hambur-hamburkan sekarang ini melalui mulut hanya sejenis pemalsuan untuk menutupi keinginan kita yang sebenarnya, keinginan untuk memperoleh kepuasan melalui harta, melalui sex, melalui apa saja yang dapat menyenangkan diri kita sendiri. Dan orang yang kita cinta seperti keadaannya sekarang ini hanyalah kita pakai sebagai alat untuk menyenangkan diri saja.

Cinta semacam ini tentu saja menimbulkan cemburu, menimbulkan benci yang dianggap sebagai kebalikannya. Padahal cinta kasih tidak mempunyai kebalikan! Cinta kasih bebas dari penilaian baik buruk, untung rugi, atau susah senang.

Hari itu cerah sekali, secerah hati Sin Liong dan Bi Cu. Dan anehnya, setelah kehujanan seperti itu, keadaan Bi Cu bukannya menjadi semakin buruk, bahkan dia menjadi sembuh sama sekali! Hanya tubuhnya masih agak lemah, namun dia sudah sembuh. Tidak panas lagi, tidak pusing lagi.

Hujankah yang menyembuhkannya? Ataukah pertemuan dua hati yang disahkan dengan kata-kata dari mulut mereka, dalam pengakuan cinta mereka? Entahlah. Akan tetapi yang jelas, Sin Liong merasa girang bukan main.

"Bi Cu, engkau baru saja sembuh. Pakaianmu basah kuyup..."

"Hari ini agaknya cuaca akan panas, Sin Liong. Aku dapat saja melepaskan pakaian dan menjemurnya. Akan tetapi..." Dia mengerling dan matanya bersinar-sinar, "engkau harus menjauh, tidak boleh mendekat!"

Sin Liong tertawa. Sekarang Bi Cu benar-benar telah sembuh. Dia sudah mulai bertingkah bengal lagi! Kedua mata yang indah itu sudah bersinar-sinar kembali, kini penuh dengan kelincahan dan kejenakaan.

"Ha-ha, kau kira aku ini tukang intip? Aku pun akan pergi memeriksa keadaan sekeliling hutan ini, kalau-kalau terdapat sebuah dusun."

"Kalau ada dusun kau mau apa?"

"Mencarikan pakaian untukmu, dan sepasang sepatu."

"Kau ada uang?"

Sin Liong menggelengkan kepalanya.

"Habis bagaimana kau bisa mendapatkan pakaian dan sepatu?"

Muka Sin Liong menjadi merah. Baru saja sembuh dara ini sudah pandai mendesaknya dengan omongan dan membuatnya tersudut!

"Aku... aku akan minta!"

"Uhhh, seperti aku tidak tahu saja. Hendak minta kepada orang dusun yang miskin dan yang pakaiannya mungkin hanya yang menempel pada tubuh mereka?"

"Barang kali di dusun ada yang kaya, ada tuan tanahnya..."

"Dan kau benar-benar akan mengemis, minta begitu saja, dan apakah mereka akan mau memberimu? Sudahlah, Sin Liong, katakan saja bahwa engkau hendak mencuri pakaian dan sepatu untukku!"

Sin Liong tersenyum dan terpaksa mengangguk. "Atau kita pakai saja istilah pinjam dari orang kaya di dusun?"

"Tidak, lebih baik kau beli saja, atau tukar dengan ini!" Bi Cu melepaskan seuntai kalung dari lehernya, dan memberikan benda itu kepada Sin Liong.

Sin Liong memandang kalung emas dengan hiasan kepala burung walet bermata emas itu. "Ah, bukankah ini lambang dari julukanmu dahulu? Dahulu julukanmu adalah Kim-gan Yan-cu (Burung Walet Bermata Emas), seperti kalung ini!"

Bi Cu tersenyum. "Justru karena kalung itulah maka para pengemis di kota raja menjuluki aku demikian. Kalung itu pemberian mendiang suhu Hwa-i Sin-kai."

"Ahh, kukira julukan itu karena, matamu..."

"Mataku bagaimana?"

"Matamu indah sekali, Bi Cu, pantas dinamakan mata emas..." Sin Liong mendekat dan merangkul, mencium mata itu.

"Ihhh, engkau perayu!" Bi Cu mendorong perlahan dada Sin Liong dan pemuda itu lalu pergi sambil tertawa, menggenggam kalung itu erat-erat di dalam kepalan tangannya.

Bi Cu berdiri memandang sambil tersenyum, hatinya senang bukan main. Kemudian dara ini pun pergi ke anak sungai yang jernih airnya itu untuk membersihkan diri, dan mencuci pakaian kemudian menjemur pakaiannya.

Ternyata dusun yang dicari-cari Sin Liong itu memang ada, akan tetapi jauh sekali dari hutan itu. Dan dia berhasil memperoleh pakaian wanita dan sepasang sepatu untuk Bi Cu, akan tetapi semuanya itu hanya ditukarnya dengan rantai kalung saja, ada pun mainan kalung berupa burung walet bermata emas itu disimpannya. Rantai kalung dari emas itu saja sudah lebih dari cukup untuk menukar barang-barang itu dan sudah menggirangkan pemilik pakaian dan sepatu yang tidak baru itu.

Matahari telah naik tinggi ketika Sin Liong tiba kembali dalam hutan. Ternyata Bi Cu telah memakai pakaiannya yang telah dicuci dan sudah kering, dan dara itu ternyata sedang sibuk memanggang daging ayam hutan.

"Ahh, engkau masih lemah, Bi Cu. Mengapa sibuk menyiapkan makanan untuk kita? Biar aku yang..."

"Hemmm, walau pun agak sukar dan sampai berkali-kali luput, akhirnya aku berhasil juga mendapatkan seekor ayam gemuk. Wah, pakaian dan sepatu itu bagus, Sin Liong!"

Bi Cu girang sekali, kemudian mematut-matut diri dengan pakaian itu sesudah kaus kaki dan sepatunya dia pakai dan ternyata pas ukurannya.

"Semua itu kutukar dengan rantai kalung, dan mainannya masih kusimpan. Aku merasa sayang sekali untuk menukarkan itu, biar ditukar dengan seribu pakaian pun aku merasa tidak rela!"

Sin Liong mengeluarkan mainan itu dari saku bajunya dan hendak menyerahkan kembali kepada pemiliknya. Bi Cu menggerakkan tangan menolak.

"Kau simpan sajalah, Sin Liong."

Wajah pemuda itu langsung berseri. "Terima kasih, Bi Cu. Memang tadinya aku hendak mengajukan permintaan kepadamu!" Melihat dara itu sudah sehat benar bukan main lega rasa hati Sin Liong.

"Aku akan mencoba pakaian ini!" kata Bi Cu sambil berlari kecil dan menghilang ke balik semak-semak.

Sin Liong tersenyum duduk di atas batu dan memandang mainan burung itu sejenak, lalu mencium benda di telapak tangannya itu, menggenggamnya dan kemudian memasukkan mainan kalung itu ke dalam saku baju sebelah dalam. Pakaiannya sendiri sudah kering ketika dibawanya berlari cepat tadi.

"Wah, engkau memang hebat! Pas sekali ukuran pakaian ini, seperti juga sepatunya!" Bi Cu berseru girang dan Sin Liong cepat menengok.

Muka itu masih agak pucat, rambut yang agak basah itu masih kusut karena di situ tidak ada sisir, akan tetapi matanya bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum. Manis sekali dan kelihatan segar, seperti setangkai bunga bermandikan embun di pagi hari.

"Kau... kau cantik sekali dengan pakaian itu, Bi Cu!" kata Sin Liong sambil bangkit berdiri.

Bi Cu meruncingkan mulutnya. "Ihhh..., engkau sekarang menjadi perayu benar! Jangan-jangan engkau akan ketularan penyakit kakak angkatmu itu, Sin Liong!"

Sin Liong menyambar lengannya dan di lain saat mereka sudah saling berangkulan.

"Bi Cu, engkaulah satu-satunya wanita di dunia ini yang akan selalu kurayu dan kupuji."

Sejenak Bi Cu menyandarkan kepalanya pada dada kekasihnya seperti tadi malam ketika mereka kehujanan. "Sin Liong, jangan kau tinggalkan aku lagi. Jangan sampai kita saling berpisah, apa pun yang akan terjadi. Mau kau berjanji?"

"Tentu saja, Bi Cu."

"Biar pun engkau akan dipaksa oleh siapa pun juga?"

Sin Liong mengangguk.

"Kita akan selalu berdampingan, baik dalam keadaan hidup atau pun mati?"

Sin Liong memegang kedua pundak dara itu, membalikkan tubuhnya sehingga mereka kini saling tatap dengan sinar mata tajam penuh selidik, seolah-olah hendak menjenguk isi hati masing-masing. Namun, pancaran sinar mata dua orang insan ini penuh kemesraan dan cinta kasih, sungguh terasa oleh keduanya. Sin Liong perlahan-lahan mencium dahi dara itu, gerakan yang lembut dan halus, seperti mencium benda keramat.

"Perlukah aku bersumpah, Bi Cu?"

Bi Cu merangkul leher Sin Liong. Sejenak dia merangkul ketat, terasa oleh Sin Liong betapa dadanya bertemu dengan dada Bi Cu dalam kemesraan yang mendalam, terasa oleh mereka detak jantung masing-masing saling berlomba. Kemudian Bi Cu melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dan aneh, wajahnya berubah merah.

Sin Liong memandang dan terpesona. Wajah yang tadinya pucat itu kini mulai menjadi kemerahan dan karenanya menjadi semakin manis dan menarik. Sinar mata itu semakin berseri penuh cahaya indah. Mata emas!

"Sin Liong, aku tidak butuh kata-kata sumpah. Kata-kata hanyalah kosong, dan aku lebih percaya kepada sinar matamu. Aku percaya kepadamu." Lalu dia tersenyum dan suasana penuh hikmat itu pun membuyarlah. "Heii, sudah sejak tadi daging itu matang. Mari kita makan!"

Hati Sin Liong makin gembira. Bi Cu benar-benar nampak sudah sembuh. Maka, sehabis makan, mulai terasalah olehnya betapa tubuhnya amat letih, betapa matanya mengantuk sekali. Setelah semua kegelisahan batinnya hilang, barulah tubuhnya menuntut dan baru dia sadar akan keadaan jasmaninya. Maka dia lalu duduk melenggut bersandarkan batang pohon.

Sejak tadi Bi Cu maklum akan keadaan Sin Liong itu. Maka diam-diam dia memilih tempat yang sejuk di bawah pohon besar, kemudian mengumpulkan rumput kering dan mengatur sebuah tempat tidur di tempat itu, menggulung pakaian lamanya sebagai bantal, baru dia mendekati Sin Liong dan menyentuh lengannya. Sin Liong membuka matanya yang amat mengantuk.

"Sin Liong, kau tidurlah dulu. Kau perlu beristirahat. Aku tidak perlu dijaga lagi. Nah, kau tidurlah!" Bi Cu menarik tangannya sehingga terpaksa pemuda itu bangkit berdiri lantas membiarkan dirinya digandeng ke bawah pohon yang sejuk dan teduh itu.

Melihat tempat tidur yang terbuat dari rumput kering dengan bantal gulungan pakaian itu, Sin Liong tersenyum dan semakin beratlah rasa kantuknya. Dia lalu merebahkan diri dan sebentar saja sudah pulas, membawa wajah Bi Cu yang tersenyum memandangnya itu ke dalam tidurnya.

Sungguh enak Sin Liong tidur, nyenyak tanpa mimpi. Sejenak matahari condong jauh ke barat, baru dia terbangun. Dia menggeliat dengan enak, mengejap-ngejapkan matanya, lalu menoleh ke kanan kiri. Tidak nampak Bi Cu di situ.

Dia lalu bangkit duduk dan kembali mencari-cari dengan pandang matanya. Dia melihat cuaca yang menunjukkan bahwa waktu itu telah hampir senja. Tentu Bi Cu sedang pergi mandi ke anak sungai, pikirnya. Dia menanti, bangkit berdiri dan berjalan-jalan hilir mudik melemaskan kedua kakinya. Akan tetapi sunyi saja di sekitar situ dan telalu lama baginya menanti munculnya kekasihnya itu.

"Bi Cu...!" Dia memanggil ke arah anak sungai. Karena dia mengerahkan tenaga khikang, maka dia percaya bahwa panggilannya itu tentu akan terdengar oleh Bi Cu kalau dara itu sedang mandi di sana. Akan tetapi tidak ada jawaban!

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dara itu suka bergurau dan menggoda orang. Maka dia segera berindap-indap menuju ke anak sungai. Apa bila dia melihat Bi Cu sedang mandi telanjang tentu dia akan pergi lagi. Kalau Bi Cu berpakaian maka dia akan menggodanya kembali. Akan tetapi, ketika dia tiba di tepi sungai, di situ pun tidak nampak Bi Cu, maka dia mulai bimbang.

"Bi Cu...!" Kembali dia memanggil, kini lebih nyaring. Tetap saja tidak terdengar jawaban.

Dia mencari-cari, sekarang dengan gerakan cepat, berlarian dan berloncatan ke sana-sini. Kemudian dia kembali ke bawah pohon-pohon di mana biasanya mereka berada, di dekat api unggun. Dan nampaklah surat itu olehnya.

Sebuah sampul surat di dekat perapian yang sudah menjadi abu. Dia yakin benar bahwa sampul itu adalah benda asing dan tidak mungkin berada di tempat itu kemarin. Tentu ada yang menaruhnya, dan agaknya Bi Cu juga tidak mungkin bisa memiliki sepotong sampul surat itu! Tentu orang lain yang menaruhnya! Dan Bi Cu tidak ada!

Jantungnya berdebar dan wajahnya menjadi sedikit pucat, secara cepat dia menyambar sampul itu. Sampul kuning yang halus dan berbau harum! Dibukanya sampul itu lantas dikeluarkannya sepotong surat yang bertuliskan coretan huruf-huruf halus, tulisan wanita!

Cia Sin Liong!

Kalau kau menghendaki dara itu kembali dalam keadaan sehat, kami persilakan engkau menyusul ke Lembah Naga dan menghadap Pangeran Oguthai!

Surat itu tidak ditanda tangani. Akan tetapi isinya cukup jelas bagi Sin Liong. Pangeran Oguthai? Siapa lagi kalau bukan Ceng Han Houw? Jelaslah kini, Bi Cu telah diculik orang ketika dia sedang tidur!

Dia mengepal kedua tinjunya, matanya mengeluarkan sinar berapi. Pangeran Ceng Han Houw yang melakukan ini! Bukan pangeran itu sendiri yang datang, melainkan utusannya. Dan dia dapat menduga siapa orangnya. Agaknya Kim Hong Liu-nio, melihat bahwa surat itu ditulis tangan wanita dan bau harum pada surat itu.

Akan tetapi bagaimana utusan Han Houw dapat mengetahui dia dan Bi Cu berada di situ? Padahal selama berhari-hari ini, ketika Bi Cu sedang menderita sakit, tidak ada seorang pun berada di sekeliling tempat sunyi itu? Ah, tentu ketika dia pergi ke dusun mencarikan pakaian dan sepatu pagi tadi! Begitu pikiran ini memasuki benaknya, tubuhnya langsung mencelat dan berkelebat, kemudian dia berlari secepat angin menuju ke dusun yang tadi didatanginya.

Bagaikan orang terbang saja Sin Liong mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk berlari cepat ke dusun itu dan memang hebat sekali dia. Sebelum malam tiba, dia sudah sampai di dusun itu, memakan waktu kurang dari setengahnya ketika mula-mula dia datang untuk mencarikan pakaian dan sepatu Bi Cu!

Dan mulailah dia bertanya-tanya di seluruh dusun itu apakah ada yang melihat seorang wanita cantik yang pakaian dan gelungannya bagaikan puteri istana datang ke dusun itu. Akhirnya, ada seorang petani tua yang menceritakan bahwa memang kemarin dia melihat dua orang wanita di luar dusun, seorang wanita cantik seperti yang digambarkan oleh Sin Liong, dan yang ke dua adalah seorang nenek bermuka hitam yang menyeramkan.

"Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li!" Sin Liong berkata penuh geram.

Cepat dia berlari meninggalkan dusun itu. Dia mengepal kedua tangannya, lalu berhenti berlari ketika tiba di hutan, mengacung-acungkan kepalan tangannya ke atas dan berkata penuh kemarahan, "Ceng Han Houw! Kim Hong Liu-nio! Hek-hiat Mo-li! Aku bersumpah akan menghancurkan kepala kalian bertiga kalau kalian mengganggu Bi Cu-ku!"

Kemudian dia lari lagi ke utara. Dia harus cepat-cepat menyusul Bi Cu ke Lembah Naga, jauh di utara, di luar Tembok Besar.

                ***************

Pangeran Ceng Han Houw merasa gelisah juga ketika melihat perkembangan yang terjadi di kota raja semenjak peristiwa lenyapnya surat rahasia dari Raja Sabutai kepadanya itu. Yang paling merisaukan hatinya adalah berita mengenai gerakan pasukan-pasukan yang kabarnya diatur sendiri oleh Pangeran Hung Chih.

Pasukan-pasukan yang kuat kabarnya dikerahkan ke perbatasan utara untuk berjaga-jaga di sepanjang Tembok Besar. Walau pun tidak dijelaskan untuk menghadapi siapa, kecuali penjagaan yang memang selalu diadakan meski pun tidak seketat sekarang, akan tetapi tentu saja Ceng Han Houw sudah dapat menduga bahwa pasukan itu memang khusus dipersiapkan untuk menghadapi pasukan Raja Sabutai, ayahnya di utara!

Selain itu, juga di selatan Pangeran Hung Chih mengerahkan pasukan untuk mengadakan pembersihan terhadap perkumpulan-perkumpulan yang bersikap anti pemerintah, terutama sekali perkumpulan Pek-lian-kauw dibasmi oleh pasukan itu. Padahal, akhir-akhir ini, Pek-lian-kauw mulai menyatakan diri akan membantu gerakan Ceng Han Houw apa bila sewaktu-waktu pangeran ini hendak menumbangkan kekuasaan kaisar! Bukan itu saja, bahkan ada belasan orang pembesar di kota raja sendiri yang diam-diam anti kaisar dan memang merupakan sahabat-sahabat baik Ceng Han Houw ditangkapi dan dimasukkan tahanan!

Tentu saja Han Houw merasa benar bahwa semua itu merupakan langkah-langkah yang diambil kaisar untuk menentangnya. Dan ini tidak lain tentu hasil dari pengkhianatan Sun Eng yang sudah mencuri surat rahasia itu! Suasana menjadi terasa panas sekali bagi kaki pangeran peranakan Mongol ini. Dia maklum bahwa lambat-laun kaisar tentu tidak akan merasa sungkan lagi untuk menyuruh orang menangkapnya!

Mengertilah Ceng Han Houw bahwa dia harus bertindak cepat. Dia pun segera mengutus anak buahnya yang setia untuk mempercepat dilaksanakannya pertemuan besar di dunia kang-ouw untuk memilih apa yang dinamakan bengcu (pemimpin rakyat) dan memilih pula Jago Nomor Satu yang pantas menjadi bengcu.

Dia mengundang semua tokoh kang-ouw serta partai-partai persilatan besar untuk datang mengunjungi pemilihan bengcu seluruh Tiongkok itu, dan tempat pemilihan itu ditentukan di daerah bebas. Agar jangan dilarang pemerintah, demikian penjelasannya. Dan tempat itu adalah Lembah Naga di utara, di luar Tembok Besar.

Ketika dia mendengar bahwa suci-nya, Kim Hong Liu-nio, dan subo-nya, Hek-hiat Mo-li, juga sudah kembali dari selatan karena mereka tidak perlu lagi mengejar-ngejar keluarga Cin-ling-pai yang sudah memperoleh kebebasan dari kaisar itu, juga mendengar betapa suci-nya menawan Bi Cu dan mempergunakan dara itu sebagai umpan untuk memancing Sin Liong ke utara, hatinya menjadi besar dan girang sekali.

"Bawa dia ke utara, ke Lembah Naga, suci," katanya kepada wanita itu. "Perlakukan dia baik-baik sebagai tamu. Aku mengharapkan untuk dapat menggunakan tenaga Sin Liong yang amat kita butuhkan itu. Kita harus dapat menyenangkan hatinya."

Kim Hong Liu-nio bersama Hek-hiat Mo-li lalu kembali ke utara membawa Bi Cu sebagai tawanan yang diperlakukan dengan sangat hormat dan baik. Bi Cu tidak menderita badan, bahkan dia dibawa ke utara dalam sebuah kereta. Para pasukan penjaga tentu saja tidak ada yang berani mengganggu Kim Hong Liu-nio yang dulu pernah dikenal sebagai wanita gagah penyelamat kaisar itu.

Akan tetapi sudah tentu saja Bi Cu menderita batin yang hebat, sering kali menangis dan mengamuk ingin kembali kepada Sin Liong. Kim Hong Liu-nio terpaksa menghiburnya dan mengatakan bahwa sudah pasti Sin Liong akan menyusul ke Lembah Naga, karena Sin Liong merupakan adik angkat Pangeran Ceng Han Houw yang sekarang membutuhkan bantuan adik angkatnya itu.

Dan selagi Ceng Han Houw sendiri bersiap-siap untuk meninggalkan kota raja, muncullah Ciauw Si! Tentu saja sang pangeran merasa girang bukan main. Suami isteri yang telah disahkan oleh kuil ini saling berpelukan dengan penuh rindu. Akan tetapi Ciaw Si segera mendengar akan keadaan pangeran yang dianggap sebagai suaminya itu, maka dia pun merasa prihatin sekali.

"Kaisar sudah dihasut oleh Pangeran Hung Chih!" demikian Pangeran Ceng Han Houw berkata. "Aku semakin dibenci saja oleh kaisar. Dan bagaimana dengan perjalananmu ke selatan, Si-moi?"

Mereka bercakap-cakap sambil berpelukan di atas pembaringan, melepaskan kerinduan hati mereka sebagai pengantin baru.

"Aku tak berhasil menemukan ibuku dan keluarga ibuku, pangeran. Akan tetapi ada berita baik yang kudengar di sepanjang jalan bahwa mereka telah dibebaskan oleh kaisar!"

"Ahh, masa engkau tidak mengerti. Si-moi? Bukan kaisar yang membebaskan, melainkan akulah yang mengirim berita itu ke seluruh pembesar, dengan memakai nama kaisar! Apa bila hal ini sampai diketahui oleh kaisar, tentu aku akan ditangkap sebab dituduh sebagai pembantu pemberontak..."

"Ahhhh...!" Ciauw Si terkejut sekali dan memeluk suaminya.

"Jangan kau khawatir, Si-moi, isteriku, kekasihku. Aku tidak akan mudah ditangkap begitu saja. Sungguh senang sekali aku melihat engkau datang, Si-moi, sebab memang aku pun sudah bersiap-siap untuk meninggalkan kota raja."

"Engkau... engkau mau pergi ke manakah, pangeran?"

"Pulang ke utara, ke kerajaan orang tuaku, Dan aku akan melanjutkan rencanaku semula, aku akan mengadakan pertemuan kaum kang-ouw yang terbesar yang pernah ada dalam sejarah. Semua tokoh kang-ouw berikut partai-partai persilatan terbesar kuundang untuk mengadakan pertemuan, untuk memilih bengcu dan memilih jagoan nomor satu di dunia. Dan aku akan menghimpun mereka itu agar membantuku untuk menghadapi kaisar."

"Tapi... tapi itu pemberontakan, pangeran!" Ciauw Si berkata kaget.

Ceng Han Houw merangkul dan cepat menutup mulut yang hendak memprotes itu dengan ciuman-ciuman mesra sehingga sejenak Ciauw Si tenggelam ke dalam kemesraan yang memabukkan. Beberapa lamanya mereka tidak bicara, hanya tenggelam dalam dekapan mereka. Akhirnya, setelah dengan terengah-engah mereka melepaskan ciuman, pangeran itu berbisik dekat telinga Ciauw Si,

"Engkau adalah isteriku, bukan?"

Ciauw Si mengangguk sambil memejamkan matanya.

"Dan engkau tentu akan membelaku sampai bagaimana pun juga, bukan?"

"Dengan taruhan nyawaku..."

"Isteriku sayang, kalau melawan kekejaman kaisar lalim bukan pemberontakan namanya! Melainkan perjuangan! Ingatlah betapa keluargamu sendiri pernah menjadi korban kaisar lalim, keluarga gagah perkasa yang berjiwa pahlawan dituduh pemberontak dan menjadi orang-orang buruan yang direndahkan sekali! Apakah melawan kaisar lalim semacam itu disebut pemberontakan? Apakah usaha untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman kelaliman itu bukan merupakan tugas orang-orang yang menjunjung kegagahan seperti kita pula?" Pandai sekali Ceng Han Houw membujuk sambil merayu dan sambil bermain cinta, menumpahkan segala kemesraan dalam bermain cinta kepada Ciauw Si sehingga akhirnya wanita ini kehilangan kesadaran sama sekali, dan tunduk kepada suaminya yang dicintanya.

Pada keesokan harinya, Pangeran Ceng Han Houw yang hendak meneliti keadaan itu dengan berani pergi menghadap kaisar kemudian mohon ijin untuk pergi mengunjungi ibu kandungnya di utara. Kaisar menerimanya dengan singkat, kemudian dengan dingin pula memberi persetujuannya kepada pangeran itu untuk pergi ke utara.

Memang sebaiknya kalau pangeran berdarah Mongol yang berbahaya ini pergi saja dan tidak usah kembali untuk selamanya, demikian pikir kaisar. Sesuai dengan siasat kaisar agar pemberontakan atau rencana pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw itu dapat dipadamkan tanpa terjadinya perang saudara, maka pangeran ini pun dengan mudah saja dapat melalui penjagaan di utara, dengan berkendaraan kereta bersama Ciauw Si beserta sepasukan pengawalnya yang setia.

Ciauw Si maklum bahwa dia bertindak ceroboh. Tanpa berunding dengan keluarganya, dengan ibu kandungnya, dia sekarang bergabung dengan Pangeran Ceng Han Houw ke utara. Dia maklum pula bahwa banyak terdapat bahaya di balik tindakannya ini, namun dia sudah mabuk akan limpahan kasih sayang pangeran yang membuatnya tergila-gila itu maka dia seakan-akan melakukan tindakan itu dengan mata sengaja dipejamkan! Demi cintanya dia rela menghadapi apa pun juga asalkan dia tidak akan terpisah dari samping pangeran yang telah menjadi suaminya itu.

Kesenangan, terutama sekali kesenangan yang diperoleh dari pemuasan gejolak birahi, memang dapat membutakan mata, melumpuhkan kewaspadaan batin dan menyuramkan kesadaran. Betapa banyaknya tercatat di dalam sejarah bagaimana orang-orang besar, orang-orang gagah perkasa yang kokoh kuat batinnya, yang tidak tergoyah oleh godaan penawaran harta dan kedudukan mulia, tetapi akhirnya runtuh dan jatuh, hancur seluruh pertahanannya yang kokoh kuat, karena dilanda oleh godaan berupa kesenangan dan pemuasan birahi ini! Raja-raja besar terguling dari singgasana mereka, pendeta-pendeta suci runtuh dari kesuciannya, wanita-wanita setia gugur dari kesetiaannya, semua hanya dikarenakan godaan kesenangan ini!

Akan tetapi, mereka yang terseret oleh segala macam kesenangan, juga kesenangan yang timbul dari kenikmatan pemuasan birahi, adalah orang-orang yang berada di dalam keadaan tidak sadar! Orang-orang yang setiap saat sadar serta waspada akan dirinya sendiri, akan selalu melihat kenyataan sedalam-dalamnya hingga tak mudah tergelincir.

Orang yang berada di dalam keadaan tidak sadar itu dimabuk oleh bayangan-bayangan kesenangan sehingga baginya yang kelihatan hanyalah bayangan atau gambaran akan kesenangan itu saja, maka dia mau terjun dengan nekat ke dalam kesenangan itu tanpa melihat bahwa di balik segala macam kesenangan itu telah menanti rangkaian yang tak terpisahkan dari kesenangan itu sendiri, yaitu ketakutan dan kedukaan.

Sebaliknya, orang yang selalu waspada tentu akan melihat kenyataan itu, akan melihat kedukaan dan kesengsaraan yang sembunyi di balik sinar menyilaukan dari kesenangan, sehingga dia akan bertindak bijaksana dan cerdas, tidak memasuki kesenangan dengan mata terpejam dan secara membuta saja!

Hal ini dapat dilihat jelas kalau kita menghadapi makanan lezat. Orang yang tidak pernah waspada terhadap dirinya sendiri, begitu melihat makanan, yang nampak olehnya hanya kelezatannya saja dan makanlah dia sepuas-puasnya, dan setelah perutnya sakit atau timbul akibat buruk dari makanan enak yang terlalu banyak itu, baru dia akan mengeluh panjang pendek dan menyalahkan si makanan lezat!

Sebaliknya, orang yang setiap saat waspada akan dirinya sendiri dan akan apa saja yang dihadapinya, melihat juga kelezatan itu akan tetapi di samping itu dia akan melihat pula akibat-akibat buruk yang menjadi rangkaian kelezatan itu sehingga tindakannya menjadi bijaksana, dia tidak terlalu gembul melainkan makan dengan hati-hati. Dan andai kata dia sampai terkena sakit perut sekali pun dia tidak akan menyalahkan siapa-siapa, melainkan melihat jelas bahwa kesalahan itu adalah kesalahannya sendiri! Jelas sekali bedanya, bukan?

Ini bukan berarti bahwa penulis menganjurkan supaya kita menolak kesenangan! Sama sekali tidak menganjurkan apa-apa, juga tidak mencela apa-apa. Hanya ingin mengajak para pembaca untuk mempelajari apa dan bagaimana kesenangan itu, dan selanjutnya terserah!

Ada macam-macam penangkapan dalam mempelajari sesuatu. Ada bermacam-macam pengertian. Mengerti arti kata-katanya saja, seperti biasa orang mengerti dan menikmati filsafat muluk-muluk lantas merasakan kesenangan dalam membicarakannya. Ini adalah pengertian yang tidak ada arti dan manfaatnya bagi kehidupan, karena pengertian makna kata-katanya saja hanya dipergunakan sebagai bahan perdebatan untuk memperebutkan kemenangan dan kebenaran kosong, seperti kosongnya kata-kata itu.

Ada pula pengertian teoritis dan pengertian intelek yang diakui oleh batin, namun hanya sampai di situ saja, tidak disertai penghayatannya dalam kehidupan sehari-hari. Ada pula pengertian mendalam, mengerti yang disertai kesadaran dan kewaspadaan, pengertian ini menciptakan tindakan sendiri yang timbul dari kecerdasan! Untuk memperoleh pengertian yang terakhir inilah kita belajar! Pengertian yang tidak terpisah dari pada tindakan. Bukan mengerti lalu bertindak untuk mencapai sesuatu. Melainkan mengerti kemudian bertindak melepaskan yang palsu, bukan untuk mencari keuntungan dari pelepasan itu, melainkan karena mengerti bahwa itu palsu.

"Si-moi, aku benar-benar merasa bahagia sekali bahwa engkau dapat ikut bersamaku ke utara. Alangkah akan sedih hatiku andai kata engkau belum kembali dan aku terpaksa harus melakukan perjalanan sendiri."

Ciauw Si menatap wajah tampan itu dan tersenyum, "Engkau adalah suamiku, pangeran. Ke mana pun engkau pergi, aku akan ikut. Akan tetapi, apa bila boleh aku bertanya, ke manakah kita sekarang ini hendak menuju?"

"Ke Istana Lembah Naga, isteriku. Untuk sementara ini, kita akan tinggal di istana itu. Dan di sana pula, di Lembah Naga, akan diadakan pertemuan antara seluruh orang gagah di dunia kang-ouw itu, di mana aku akan membuktikan bahwa aku tak akan mengecewakan kalau mereka mau mengangkatku menjadi bengcu dan Jago Nomor Satu di Dunia."

Ciauw Si mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, suamiku. Kurasa amat tidak bijaksana kalau hendak mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu di dunia. Di dunia ini terdapat banyak sekali orang pandai, akan tetapi tidak ada di antara mereka yang berani mengangkat diri menjadi yang paling pandai. Pangeran, yakin benarkah engkau bahwa ilmu kepandaianmu sudah setinggi itu sehingga tidak akan ada yang dapat menandingimu?"

Ceng Han Houw tersenyum bangga. "Si-moi, tentu saja engkau meragu. Namun jangan engkau mengira bahwa kepandaianku sama dengan tingkatku ketika kita saling bertemu untuk pertama kali itu. Aku sudah mewarisi kepandaian dari guruku, Bu Beng Hud-couw, dan kiranya tidak mungkin aku dapat dikalahkan!"

"Hemm, mudah-mudahan begitu," kata Ciauw Si, akan tetapi alisnya masih berkerut tanda bahwa dia merasa bimbang.

Han Houw maklum akan isi hati Ciauw Si. Dia lalu menyuruh kusir kereta menghentikan kereta itu. Kini mereka berada di lereng sebuah bukit. Pasukan pengawal berhenti dan menoleh heran, komandan pasukan lalu mendekatkan kudanya dengan kereta, memberi hormat dan bertanya,

"Ada perintah apakah, pangeran?"

"Berhenti dulu, beristirahat di sini sebentar!" kata Pangeran Ceng Han Houw dan dia lalu mengajak Ciauw Si untuk turun dari kereta, kemudian menggandeng tangan isterinya itu menjauhi kereta, ke tempat yang sunyi di padang rumput dekat puncak bukit itu.

"Si-moi, aku sengaja berhenti di sini untuk memperlihatkan kepadamu agar engkau tidak bimbang ragu lagi."

"Maksudmu, pangeran?"

"Engkau sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, karena engkau dibimbing sendiri oleh mendiang kakekmu, pendekar sakti Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai, bukan?"

"Ahh, aku hanya mempelajari sedikit sekali dibandingkan dengan kepandaian mendiang kongkong."

"Betapa pun juga, engkau adalah seorang pendekar wanita yang jarang tandingannya, dan termasuk orang yang memiliki kepandaian silat tingkat tinggi di waktu ini. Oleh karena itu, kepandaianmu cukup untuk menguji sampai di mana tingkat kepandaianku yang kau ragukan itu, isteriku. Nah, sekarang engkau boleh mencoba untuk menggunakan seluruh kepandaian silatmu untuk menyerangku. Mari kita lihat, sampai berapa lama aku berhasil mencabut tusuk kondemu itu."

Wajah Ciauw Si berseri-seri. Sebagai seorang wanita gagah, tentu saja dia paling senang bicara tentang ilmu silat, apa lagi mencobanya.

"Ehh, untuk mencabut tusuk kondeku bukan hal yang mudah saja, pangeran! Itu melebihi sulitnya merobohkan aku! Sebab untuk merobohkan aku banyak bagian tubuh yang dapat diserang dan sebaliknya, kalau saja aku mencurahkan perhatian dan pertahanan menjaga tusuk kondeku, mana mungkin engkau dapat mengambilnya?"

Suaminya tertawa. "Itulah sebabnya maka aku sengaja hendak menguji diri sendiri. Kalau aku tidak dapat mengambilnya, anggap saja kepandaianku masih kurang jauh sekali dan aku pun tidak akan berani mencalonkan diri menjadi jago nomor satu di dunia."

Ciauw Si mengerutkan alisnya yang bagus. Tentu saja dia tidak akan tega membiarkan suami yang tercinta ini gagal. Akan tetapi, bila dibiarkan berhasil dan kemudian suaminya menghadapi jagoan-jagoan lihai, tentu akan berbahaya juga. Karena itu dia menjadi serba salah.

"Ciauw Si, jangan kau ragu-ragu dan jangan memandang rendah terhadap suamimu ini. Ketahuilah bahwa tingkat kepandaianku sekarang ini tak akan kalah oleh bekas subo-ku, Hek-hiat Mo-li sendiri, bahkan aku berani berkata bahwa tingkatku tidak lebih rendah dari pada tingkat kepandaian mendiang kongkong-mu!"

"Baiklah," Ciauw Si berkata. "Akan tetapi, pangeran, jika sampai lima puluh jurus engkau tidak mampu mengambil tusuk kondeku dari kepalaku, apa lagi kalau sampai aku dapat menyentuh bagian tubuhmu yang berbahaya, berjanjilah bahwa engkau tidak akan turut memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia. Bagaimana?"

"Baik, Si-moi," jawab pangeran itu sambil tersenyum, penuh kepercayaan terhadap dirinya sendiri. "Nah, kau mulailah!"

"Bersiaplah, pangeran. Lihat serangan!"

Ciauw Si mulai melakukan penyerangan dan dia bergerak cepat, menyerang ke bagian tubuh yang berbahaya. Tentu saja penyerangan itu tanpa disertai tenaga sinkang, hanya dilakukan cepat saja karena tujuannya hanyalah untuk sekedar menyentuh bagian tubuh berbahaya untuk mendapatkan kemenangan.

Ceng Han Houw yang melihat gerakan cepat sekali ini segera mengelak dan menangkis, kemudian membalas dengan sambaran tangan ke arah kepala yang dapat dielakkan pula oleh Ciauw Si.

Mula-mula, wanita lihai ini sengaja mengeluarkan Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang sangat hebat, yang hanya terdiri dari delapan jurus pilihan. Jurus-jurus ini dipergunakannya untuk menyerang dan mendesak suaminya, dan selama dia bertualang, jarang ada lawan yang mampu mempertahankan diri kalau dia menyerangnya dengan ilmu silat yang ampuh ini. Akan tetapi pangeran itu ternyata hebat bukan main.

Gerakan-gerakannya aneh dan lincah lembut, dan setiap serangannya, sampai kedelapan jurus dari San-in Kun-hoat itu digunakannya semua, selalu dapat dielakkan dan ditangkis dengan mudah saja! Bahkan tidak hanya demikian, akan tetapi gerakan sepasang tangan suaminya itu sedemikian cepatnya sehingga beberapa kali hampir saja gelung rambutnya dapat disentuhnya!

Ciauw Si merasa terkejut dan juga kagum sekali. Pangeran yang menjadi suaminya itu ternyata tidak membual, dan memang sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat sehingga ilmunya San-in Kun-hoat yang merupakan ilmu keturunan dari Cin-ling-pai itu sama sekali tidak berdaya terhadapnya.

Karena itu kini Ciauw Si tidak lagi mencurahkan kepandaian untuk menyerang, melainkan untuk mempertahankan diri, mempertahankan agar jangan sampai tusuk kondenya dapat dirampas oleh suaminya. Maka dia merubah gerakannya dan kini dia bersilat dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang gerakannya tenang dan mantap, tidak terlampau cepat akan tetapi mengandung daya tahan yang sekuat tembok benteng!

"Bagus! Ini tentu Thai-kek Sin-kun yang amat terkenal itu!" kata Ceng Han Houw dan dia mempercepat gerakannya untuk merampas tusuk konde dari gelung rambut isterinya.

Akan tetapi ke mana pun dia bergerak, selalu dia menghadapi pertahanan yang kuat. Apa lagi memang Ciauw Si telah memusatkan pertahanannya kepada kepala sehingga semua sambaran tangan pangeran itu dapat ditangkisnya!

Tiga puluh jurus telah lewat dan tahulah Ceng Han Houw betapa kuatnya daya tahan dari ilmu silat isterinya itu dan kalau terus dilanjutkan, jangankan hanya lima puluh jurus, biar pun sampai seratus jurus kiranya akan sulitlah baginya untuk merampas tusuk konde itu. Dan dia mengerti bahwa isterinya akan mati-matian mempertahankan untuk memperoleh kemenangan, karena isterinya itu agaknya khawatir kalau-kalau dia memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia, mengkhawatirkan keselamatannya, tentu.

"Isteriku, kau hati-hatilah. Sebelum sepuluh jurus tentu tusuk konde itu sudah akan dapat kurampas!" katanya.

Ciauw Si hanya tersenyum dan menganggap suaminya itu berkelakar atau menyombong saja. Sudah tiga puluh jurus dan belum mampu merampasnya, mana mungkin sekarang dalam sepuluh jurus akan dapat mengambil tusuk konde itu?

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Tiba-tiba Ceng Han Houw mengeluarkan pekik nyaring lantas gerakannya berubah sama sekali. Sekarang setiap gerakannya mendatang angin berdesir, membuat pakaian Ciauw Si berkibar-kibar seperti dilanda angin besar. Wanita ini kagum dan terkejut, akan tetapi dia tetap mencurahkan semua daya tahan untuk melindungi kepalanya.

Tiba-tiba saja tubuh pangeran itu berjungkir balik dan dia sudah memainkan Ilmu Hok-te Sin-kun yang luar biasa, yang didapatnya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw itu. Ciauw Si terkejut dan bingung sekali ketika yang menyerang ke arah kepalanya bukan dua tangan, melainkan dua buah kaki bersepatu! Akan tetapi dia tetap menangkis gerakan kaki itu.

Tapi tiba-tiba dia merasa tubuhnya lemas. Kiranya jari tangan pangeran itu telah menotok punggungnya dari bawah! Dan sebelum Ciauw Si roboh, pangeran itu sudah berdiri lagi, dengan kecepatan kilat tangan kirinya menangkap kedua tangan Ciauw Si yang dalam beberapa detik menjadi seperti lumpuh itu, tangan kanannya menyambar ke arah tusuk konde dan pada detik berikutnya Ciauw Si sudah mampu bergerak kembali, akan tetapi tusuk kondenya telah terampas!

"Empat puluh jurus...!" Ceng Han Houw tersenyum sambil mengacungkan tusuk konde itu ke atas.

Ciauw Si tersenyum dan merangkul pinggang suaminya, memandang penuh kagum. "Ah, tidak kusangka engkau sehebat ini, pangeran! Akan tetapi... betapa pun lihai ilmu silatmu, lihai dan aneh dan hal itu harus kuakui, akan tetapi... bila mana engkau bertemu dengan lawan yang memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, apakah ilmu silatmu itu akan dapat menandinginya?"

Ceng Han Houw mencium isterinya lantas menusukkan kembali tusuk konde itu ke gelung rambut isterinya, mematutnya, kemudian dia tersenyum sambil berkata. "Kita tadi sudah saling menguji ilmu silat dan kelihaian gerakan. Kini, mari engkau menguji tenaga sinkang yang kuperoleh dari pelajaran-pelajaran rahasia itu, juga ilmu ginkang-ku. Sebagai cucu mendiang ketua Cin-ling-pai, tentu tenaga sinkang-mu sudah sangat kuat, bukan? Nah, coba kau serang aku dengan tenaga sinkang-mu, Si-moi, tidak seperti tadi, engkau hanya mengandalkan kecepatan gerak saja."

Ciauw Si menggelengkan kepala. "Main-main dengan tenaga sinkang untuk saling serang adalah amat berbahaya."

"Maksudku bukan saling serang, sayang, melainkan hanya mengukur kekuatan sinkang masing-masing."

"Baiklah kalau begitu, biar kita mengukur sinkang dengan mempermainkan sehelai daun," Ciauw Si berkata gembira dan wanita ini lalu mengambil sehelai daun kering. "Kita lihat berapa tinggi kita masing-masing dapat menahan daun ini!"

Dia melemparkan daun itu ke atas dan cepat menggerakkan tangan yang terbuka ke atas, seperti orang menyangga. Daun yang dilempar ke atas itu tentu saja melayang-layang ke bawah, akan tetapi begitu Ciauw Si menggerakkan tangan... daun itu langsung tertahan, bahkan naik lagi ke atas!

Wanita muda itu terus menggerak-gerakkan dua tangannya yang tergetar, penuh tenaga sinkang. Sehelai daun kering itu terus naik sampai setinggi tiga meter dan bergerak-gerak laksana seekor kupu-kupu, setiap mau melayang turun seperti tertahan oleh tiupan angin dari bawah!

Sesudah melihat bahwa daun itu tidak naik lebih tinggi lagi, Pangeran Ceng Han Houw berseru, "Bagus sekali, Si-moi. Sinkang-mu cukup hebat! Biar kunaikkan lagi daun itu!"

Dia pun lantas menggerakkan sebelah tangan, yaitu tangan kirinya ke arah daun itu dan seperti disambar angin yang amat kuat, tiba-tiba daun itu meluncur naik ke atas! Melihat ini, Ciauw Si terkejut dan kagum bukan main, maka dia lalu menurunkan kedua tangannya dan melangkah mundur, mengusap keringatnya yang membasahi dahi dan leher.

Dia melihat betapa hanya dengan tangan kiri saja pangeran itu mampu membuat daun itu naik dan naik terus. Hampir dia tidak dapat percaya ketika daun itu terus melayang naik setiap kali pangeran itu menggerakkan tangan kirinya hingga akhirnya daun itu melayang-layang setinggi belasan meter! Benar-benar merupakan demonstrasi tenaga sinkang yang selamanya belum pernah dilihatnya!

Kini dia mulai percaya bahwa pangeran yang sudah menjadi suaminya itu tidak membual pada saat mengatakan bahwa dia tidak kalah lihai dibandingkan dengan mendiang ketua Cin-ling-pai! Sukar diukur lagi betapa kuatnya sinkang pangeran itu yang dapat membuat daun melayang-layang sampai belasan meter tingginya itu.

Tiba-tiba pangeran itu menyusulkan tangan kanannya. Kini kedua tangan dengan telapak tangan di atas itu bergerak-gerak, dan tiba-tiba bergerak ke bawah. Daun yang ringan itu pun tiba-tiba saja meluncur ke bawah bagaikan sepotong batu yang berat. Setelah dekat, pangeran itu mengebutkan tangannya dan... daun itu lenyap lalu berhamburanlah tepung halus. Ternyata daun itu telah dipukul dengan pukulan jarak jauh hingga hancur menjadi seperti tepung!

Ceng Han Houw menoleh kepada Ciauw Si sambil tersenyum bangga. "Nah, bagaimana pendapatmu, Si-moi?"

Ciauw Si merangkul dengan penuh kebanggaan dan kasih sayang. "Engkau hebat sekali, pangeran, engkau sungguh hebat bukan main...," katanya.

"Nah, dalam hal ilmu silat dan sinkang agaknya engkau sudah mulai percaya kepadaku. Kini akan kuperlihatkan ginkang yang sudah kupelajari. Kau boleh menyerangku secepat mungkin dan aku tak akan menangkis, tapi menggunakan ginkang untuk menghindarkan semua seranganmu. Kau boleh mempergunakan pedangmu!"

Akan tetapi Ciauw Si tentu saja tidak mau mencabut pedangnya, melainkan mengambil sebatang ranting pohon.

"Biar aku menggunakan ini saja," katanya dan mulailah dia menyerang dengan gerakan secepat mungkin.

Maka terjadilah keanehan ini. Pangeran Ceng Han Houw mempergunakan ilmu langkah Pat-kwa-po akan tetapi karena dia telah mempunyai ginkang yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw, maka gerakan-gerakan yang sangat aneh itu membuat tubuhnya seakan-akan naik sepatu roda, bergeser ke sana ke mari dengan cepat bukan main dan ke mana pun ranting itu menyambar tubuhnya seperti telah lebih dulu terdorong oleh angin gerakan ranting itu, dan selalu dapat menghindarkan dengan lebih cepat lagi! Sampai puluhan jurus Ciauw Si menyerang, akan tetapi selalu mengenai tempat kosong. Akhirnya dia membuang ranting itu dan merangkul suaminya penuh kebanggaan.

Sambil bergandeng tangan mereka kembali ke tempat para pasukan pengawal menanti, lalu mereka memasuki kereta. Pangeran itu memerintahkan agar pasukan bergerak lagi, dan mereka pun melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga.

Di sepanjang perjalanan, sepasang pengantin baru itu tiada henti-hentinya bermain cinta, mencurahkan semua perasaan rindu mereka dengan penuh kemesraan. Ciauw Si makin tergila-gila kepada Pangeran Ceng Han Houw, sebaliknya sang pangeran itu pun semakin mendalam rasa cintanya terhadap wanita ini, sama sekali berbeda dengan perasaannya terhadap semua selir yang pernah menghiburnya.

Diam-diam dia sudah mengambil keputusan bahwa Ciauw Si adalah calon permaisurinya, dan kalau memang isterinya ini menghendaki, selamanya dia tidak akan mengambil selir pun tidak mengapa! Seorang Ciauw Si saja sudah cukup baginya, sudah mewakili seluruh wanita di dunia ini.

                  ***************

Beberapa pekan kemudian, di luar Tembok Besar, sesudah melalui padang tandus penuh pasir, Sin Liong mulai mendaki pegunungan yang menghadang panjang di depan. Mulailah dia bertemu dengan pohon-pohon di hutan setelah berhari-hari dia melalui dataran tandus mengering itu.

Tujuannya hanya satu. Mencari dan menemukan kembali Bi Cu. Rintangan apa pun akan diterjangnya dan dia ingin cepat-cepat sampai di Lembah Naga untuk menemui Pangeran Ceng Han Houw seperti tersebut dalam surat yang ditinggalkan oleh penculik Bi Cu yang diduganya tentulah Kim Hong Liu-nio orangnya. Oleh karena dia ingin cepat-cepat tiba di Lembah Naga, maka dia melakukan perjalanan cepat dan tidak mau tertunda di tengah jalan.

Dalam waktu beberapa pekan saja tubuh Sin Liong sudah menjadi kurus karena kurang makan dan kurang tidur. Sukar baginya untuk dapat tidur nyenyak mau pun makan enak karena dia selalu teringat kepada Bi Cu dan setiap kali teringat kepada kekasihnya itu, timbullah kegelisahan hebat dalam hatinya.

Dia ingin cepat-cepat sampai di Lembah Naga untuk segera melihat bagaimana keadaan kekasihnya itu. Tidak dapat dia bayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai ada orang berani mengganggu Bi Cu! Ngeri dia memikirkan kemungkinan ini.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa begitu dia muncul di luar Tembok Besar, jejaknya telah diketahui. Semenjak berada di Lembah Naga, diam-diam Pangeran Ceng Han Houw telah mempersiapkan segala sesuatu, bahkan sudah memasang mata-mata di setiap tempat dari luar tembok sampai ke Lembah Naga sehingga dia akan tahu lebih dulu siapa yang akan datang dari selatan ke Lembah Naga. Meski pun pertemuan besar dunia kang-ouw belum dimulai, akan tetapi dia telah memasang orang-orangnya untuk mengamati dengan teliti. Oleh karena itu, maka kedatangan Sin Liong telah lebih dulu diketahuinya.

Selama berada di Lembah Naga, untuk meyakinkan hatinya, Ceng Han Houw juga telah menguji kepandaiannya sendiri. Suci-nya, Kim Hong Liu-nio hanya dapat bertahan sampai tiga puluh jurus saja melawan dia! Sedangkan bekas subo-nya, yaitu Hek-hiat Mo-li, juga akhirnya menyerah setelah menghadapinya sampai seratus jurus! Maka yakinlah dia akan kekuatannya.

Sesudah Ceng Han Houw mendengar berita kedatangan Sin Liong, dia cepat menyuruh Hek-hiat Mo-li untuk menghadang. "Harap subo suka mencoba dan menguji kepandaian pemuda itu agar aku dapat mengukur sampai di mana kelihaian calon pembantu utamaku itu!" Ceng Han Houw berkata dengan girang, "Suci, harap kau perkuat penjagaan pada sekeliling istana untuk menjaga segala kemungkinan. Bocah yang menjadi adik angkatku itu memang orang aneh. Mungkin saja dia akan melakukan hal-hal yang sama sekali tidak pernah kita bayangkan sebelumnya."

Bi Cu sudah berada di dalam istana itu. Dia diperlakukan dengan baik, bagaikan seorang tamu agung, akan tetapi tetap saja dara ini merasa sengsara dan kalau saja di situ tidak ada Ciauw Si, tentu dia sudah mengamuk dan nekat mempertaruhkan nyawanya.

Ciauw Si terus menghiburnya dan berusaha menyadarkan bahwa pangeran tidaklah jahat, bahwa pangeran adalah kakak angkat Sin Liong dan pangeran berusaha agar Sin Liong suka membantunya mengumpulkan orang-orang kang-ouw.

"Percayalah kepadaku, Bi Cu. Engkau tahu bahwa aku adalah cucu ketua Cin-ling-pai yang sejak dahulu merupakan keluarga pendekar dan pahlawan, oleh kaisar lalim dituduh pemberontak lantas dikejar-kejar sebagai orang pelarian! Dan untung ada Pangeran Ceng Han Houw yang membebaskan mereka, dan kini pangeran yang sudah menjadi suamiku itu ingin mengajak orang-orang gagah dunia kang-ouw untuk bangkit melawan kelaliman kaisar." Demikian antara lain Ciauw Si membujuk.

Akhirnya, terutama melihat kehadiran wanita perkasa itu di sana, Bi Cu dapat menahan sabar dan menanti kedatangan Sin Liong yang katanya sudah diundang datang ke tempat itu. Betapa pun juga, dia merasa gelisah sekali, amat rindu kepada Sin Liong dan takut kalau-kalau pemuda kekasihnya itu mengalami kecelakaan.

Demikianlah, pada waktu Sin Liong memasuki hutan pertama setelah berhari-hari melalui padang tandus, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di hadapannya sudah berdiri seorang nenek bermuka hitam yang menyeramkan. Sin Liong terkejut bukan main, akan tetapi juga marah ketika mengenal nenek itu.

"Hek-hiat Mo-li nenek iblis terkutuk!" bentaknya marah, karena pada saat itu dia bukan hanya teringat akan Bi Cu yang dia pikir tentu diculik oleh nenek ini bersama Kim Hong Liu-nio, akan tetapi juga teringat betapa kematian kongkong-nya yang amat disayang dan dihormatinya, yaitu mendiang ketua Cin-ling-pai, Cia Keng Hong, disebabkan oleh nenek ini dan murid perempuannya itu.

Hek-hiat Mo-li mengedip-ngedipkan matanya yang tinggal sebelah kanan saja itu, bibirnya sebetulnya tersenyum akan tetapi karena sudah peyot dan tak bergigi maka nampaknya malah cemberut!

"Bocah lancang, ke sinilah kalau ingin mampus!"

Sin Liong sedang dalam keadaan gelisah dan duka, oleh karena itu kenekatannya sudah memuncak. Dan kini, bertemu dengan orang yang dianggap satu di antara musuh-musuh besarnya ini, dia tidak mau banyak cakap lagi. Dia lalu mengeluarkan pekik dahsyat dan terus menubruk sambil melakukan serangan yang hebat, cepat laksana kilat menyambar dan dahsyat seperti halilintar meledak di atas kepala lawan.

Hek-hiat Mo-li juga berteriak nyaring dan menangkis dengan lengan kirinya yang memakai gelang, sedangkan tangan kanannya yang dibuka membentuk cakar telah menyambar ke arah dada Sin Liong, bagaikan cakar elang yang hendak merobek dada mencengkeram keluar jantung lawan.

Sin Liong maklum akan kelihaian lawan, maka sambil cepat mengelak mundur, kemudian dia balas menyerang dengan sepenuh tenaganya. Akan tetapi nenek itu tidak menangkis, malainkan tiba-tiba menjatuhkan diri di depan kaki Sin Liong. Selagi pemuda ini merasa heran, dia sudah mencelat dari bawah dan mencengkeram ke arah bawah pusar!

Tentu saja Sin Liong terkejut bukan main. Tak disangkanya nenek itu memiliki akal curang seperti itu dan gerakannya cepat sekali, maka dia pun segera meloncat dan membalikkan tubuhnya untuk mengelak.

Namun nenek itu sudah melayang dan mengejarnya dengan tubrukan dari belakangnya. Mengerikan sekali gerakan nenek yang sakti ini dan meski pun Sin Liong sudah memutar tubuh menangkis, tetapi tetap saja tangan kanan nenek itu sudah menempel pada pundak kirinya. Bukan sembarang menempel, melainkan mencengkeram dengan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Otomatis tubuh Sin Liong mengerahkan sinkang dan Ilmu Thi-khi I-beng bergerak langsung dari dalam pusar ke pundak.

"Ihh! Thi-khi I-beng!" Nenek itu berseru.

Maka seketika tenaga sinkang-nya berhenti mengalir dan dengan gerakan cepat dia dapat melepaskan tangannya dari pundak pemuda itu yang mempunyai daya menyedot yang hebat sekali. Kembali nenek itu menyerang dengan dahsyat, menggunakan cengkeraman kedua tangannya yang seperti cakar garuda itu, dan yang diserangnya adalah bagian-bagian berbahaya yang kiranya tidak dapat dilindungi oleh Thi-khi I-beng.

Sekarang Sin Liong telah bersikap hati-hati sekali, maklum akan kelihaian lawan. Dengan gerakan Thai-kek Sin-kun dia dapat mempertahankan dirinya dengan baik, bukan hanya mengelak dan menangkis, melainkan juga membalas dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga amat kuat karena dia juga telah membalas dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang yang didapatnya dari mendiang Kok Beng Lama.

Tenaga sinkang dari Sin Liong memang kuat bukan kepalang, karena dia telah menerima pengoperan tenaga ini dari mendiang Kok Beng Lama. Tenaganya sendiri yang ditambah tenaga kakek sakti itu telah dimatangkannya pula ketika dia mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, karena itu pada saat ini tingkat kekuatan yang ada pada diri pemuda ini setidaknya tidak kalah kuat dibandingkan dengan tenaga Kok Beng Lama ketika masih hidup!

Oleh karena itu, tidak mengherankan apa bila Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main melihat kenyataan betapa dalam hal adu tenaga, dia tidak sanggup menandingi pemuda itu dan kedua tangannya selalu terpental kalau bertemu dengan lengan pemuda itu.

Akan tetapi, pada lain fihak, Sin Liong juga terkejut ketika tiap kali dia berhasil menampar atau memukul. Baik tamparan mau pun pukulannya yang mengenai sasaran dengan tepat itu membalik seperti mengenai tubuh dari karet yang amat kuat.

Ternyata nenek itu memiliki kekebalan yang sangat luar biasa! Setiap kali dipukul, bukan hanya tangannya sendiri yang terpental, bahkan nenek itu masih terkekeh mentertawakan dia!

Sin Liong menjadi semakin marah dan merasa penasaran. Dia harus mengalahkan dan merobohkan nenek itu lebih dulu sebelum dia dapat mengharapkan untuk menyelamatkan Bi Cu. Maka dia lalu mengeluarkan pekik yang dahsyat dan tiba-tiba gerakannya berubah sehingga nenek itu terkejut sekali.

Hek-hiat Mo-li melihat betapa begitu mengeluarkan pekik dahsyat, pemuda itu kelihatan penuh wibawa, kedua matanya mencorong laksana mata malaikat dan tubuhnya tergetar dan nampak seolah-olah bertambah besar, kemudian gerakan pemuda itu kelihatan aneh sekali. Tiba-tiba pemuda itu menyerangnya dengan gerakan yang aneh, kedua lengannya bergerak, yang kanan menghantam ke arah langit ada pun yang kiri menghantam ke arah bumi! Itulah salah satu jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang dipelajarinya dari Bu Beng Hud-cow!

Selagi Hek-hiat Mo-li terkejut dan heran, juga bingung menyaksikan serangan aneh yang sama sekali tidak ditujukan kepadanya itu, mendadak ada angin menyambar dari depan. Angin itu berpusing karena datang dari arah atas dan dari bawah, yang diakibatkan oleh gerakan membalik dari kedua tangan pemuda itu dan dia merasa seperti digulungkan oleh pusingan angin pukulan itu!

Hek-hiat Mo-li terkejut bukan kepalang, cepat dia berusaha untuk meloncat mundur dan menangkis, akan tetapi dia tidak mampu keluar dari pusingan angin itu dan biar pun dia berhasil menangkis kedua tangan lawan, tetap saja tubuhnya terpental jauh! Bukan main kagetnya Hek-hiat Mo-li.

Biar pun tubuhnya kebal dan dia tidak terluka, namun karena terbanting dan bergulingan, tubuhnya yang sudah tua itu terasa sakit-sakit dan pandang matanya yang tinggal sebuah itu pun berkunang, kepalanya agak pening! Tahulah dia bahwa pemuda ini benar-benar lihai luar biasa. Baru kurang lebih lima puluh jurus saja dia sudah dibikin terguling-guling seperti itu.

Dia tidak takut, akan tetapi dia enggan untuk dijatuh bangunkan seperti itu, hal yang amat memalukan bagi seorang tokoh yang tua dan berkedudukan tinggi seperti dia. Apa lagi, tugasnya memang hanya menguji, maka dia merasa sudah cukup lantas berloncatanlah nenek itu ke belakang lalu melarikan diri dengan secepatnya meninggalkan Sin Liong.

Sin Liong tidak mengejar. Memang nenek itu harus dibunuhnya untuk membalas kematian kongkong-nya, akan tetapi sekarang yang terpenting baginya adalah menemukan kembali dan menolong Bi Cu hingga selamat. Baru kemudian dia akan mencari musuh-musuhnya. Para musuhnya adalah Hek-hiat Mo-li yang harus dibunuhnya untuk membalas kematian kongkong-nya, dan juga Kim Hong Liu-nio pembunuh dari ibu kandungnya. Tapi sekarang, yang paling perlu adalah menolong Bi Cu.

Maka Sin Liong lalu melanjutkan perjalanannya dengan secepatnya menuju ke Lembah Naga. Apa bila tidak ada halangan, dua hari lagi dia akan tiba di Lembah Naga. Maka dia lalu melakukan perjalanan secepatnya dan walau pun dia tidak bernafsu, akan tetapi dia memaksa diri untuk makan buah-buahan dan daging ayam hutan yang ditangkap serta dipanggangnya karena dia maklum bahwa dia akan menghadapi lawan-lawan yang amat tangguh dan bahwa dia membutuhkan banyak tenaga untuk menolong Bi Cu. Oleh karena itu dia harus menjaga kesehatan tubuhnya, harus makan agar jangan sampai tubuhnya lemas ketika dia membutuhkan tenaganya nanti.

Dua hari kemudian tibalah dia di perbatasan Lembah Naga. Dia tiba di luar Rawa Bangkai yang kini telah berubah keadaannya. Melihat hutan-hutan dan bukit-bukit di sekitar tempat itu, diam-diam Sin Liong merasa terharu.

Inilah tempatnya! Di sinilah dia terlahir dan dibesarkan. Semua tempat itu, bahkan semua pohon besar di sana itu, kelihatan amat indah dan amat dikenalnya, seperti para sahahat lama yang sekarang sedang mengelu-elukan kedatangannya kembali dengan melambai-lambaikan ranting-ranting dan daun-daunnya yang tertiup angin.

Teringat dia akan gerombolan kera besar kecil yang dahulu menjadi sahabat-sahabatnya, bahkan keluarganya karena dia adalah anak pungut seekor kera besar. Teringat semua itu, naik sedu-sedan dari dadanya lalu berhenti di tenggorokan, membuat dia memandang termenung ke arah hutan, dan timbul hasratnya ingin memasuki hutan itu untuk mencari sahabat-sahabatnya itu. Dia merasa betapa amat kerasan dia berada di sekeliling tempat ini, seakan-akan seorang perantau yang sudah lama pergi dan kini kembali ke kampung halamannya, mengingatkan dia akan semua bayangan kehidupannya di waktu dahulu.

Namun bayangan Bi Cu tiba-tiba membuyarkan semua itu. Keharuan serta kegembiraan yang dirasakan tadi sudah lenyap, terganti pula oleh kekhawatiran akan keselamatan Bi Cu. Teringat akan ini, cepat dia berlari lagi ke depan memasuki hutan kecil di luar Lembah Naga.

Akan tetapi, kembali dia harus berhenti dan memandang ke depan. Akan tetapi sekali ini bukan berhenti untuk memandang penuh pesona kepada tempat yang sangat dikenalnya itu, melainkan untuk memandang dengan sinar mata mencorong dan berapi kepada orang pemuda tampan dan mewah pakaiannya yang berdiri menghadangnya sambil tersenyum manis itu. Ceng Han Houw!

Akan tetapi, Sin Liong tidak terpengaruh dengan senyum manis itu. Kemarahannya sudah menyesak di dada dan begitu bertemu, dia lantas berkata dengan suara kaku dan penuh kemarahan, "Houw-ko, bila sekali ini engkau tidak membebaskan Bi Cu, biarlah aku akan mati-matian mengadu nyawa denganmu!" Lalu dengan sikap mengancam dia mendekati pangeran itu.

Han Houw tersenyum, hatinya amat senang mendengar betapa pemuda perkasa itu masih menyebutnya Houw-ko! Dia tadi sudah mendengar pelaporan dari Hek-hiat Mo-li yang mengatakan bahwa pemuda itu memang lihai dan patut menjadi pembantu utama sang pangeran! Nenek itu tidak menceritakan betapa dia sudah dibikin roboh hingga terguling-guling oleh pemuda itu.

Bahkan pada waktu ditanya oleh sang pangeran bagaimana pendapatnya tentang tingkat kepandaiannya dan tingkat kepandaian Sin Liong, Hek-hiat Moli menjawab bahwa sang pangeran masih lebih unggul, sungguh pun tak banyak selisihnya! Berita ini membuat Han Houw girang sekali dan makin besarlah keinginan untuk dapat menarik Sin Liong sebagai sekutu dan pembantunya.

Maka cepat dia menyambut, dan semakin gembiralah hatinya mendengar betapa dalam kemarahannya, Sin Liong masih menyebutnya Houw-ko, tanda bahwa pemuda itu masih tidak melupakannya bahwa mereka berdua pernah mengangkat saudara.

Ceng Han Houw membelalakkan sepasang matanya dan memperlihatkan sikap terheran-heran, kemudian mendekati dan membuka kedua lengannya sambil berkata, "Aihh-aihh...! Mengapa engkau menduga-duga yang demikian buruknya terhadap diriku, Liong-te? Kita adalah kakak beradik angkat, sudah seperti kakak dan adik kandung saja dan kita sudah banyak saling bantu, mana mungkin aku ingin menyusahkanmu?"

Sin Liong teringat akan peristiwa ketika dia dan Bi Cu terjatuh ke dalam jurang, maka dia berkata dengan suara dingin, "Hemm, tidak perlu membujuk lagi, pangeran! Engkau tidak hanya menyusahkan aku berkali-kali, akan tetapi bahkan nyaris membunuhku baru-baru ini. Aku datang bukan untuk mendengarkan ucapan manis dan bujukan palsu, melainkan untuk menuntut agar engkau membebaskan Bi Cu." Kembali terdengar ancaman di dalam suara ini dan kini Sin Liong tidak lagi menyebut Houw-ko, melainkan pangeran, karena hatinya sudah panas dan marah sekali.

Pangeran Ceng Han Houw tersenyum, "Ahh, engkau salah mengerti, Sin Liong. Peristiwa yang lalu terjadi karena salah pengertian. Engkau begitu keras hati. Akan tetapi kalau kau menganggap aku bersalah, maka biarlah aku minta maaf. Tahukah engkau betapa aku menangisimu ketika engkau terjun ke dalam jurang itu? Dan aku sengaja menyuruh bekas suci dan subo-ku untuk mencarimu sampai dapat! Lalu, untuk menebus semua kesalah fahaman itu..."

"Engkau menyuruh menculik Bi Cu dan memancingku datang ke sini!" Sin Liong berseru dengan penuh kemarahan.

Ceng Han Houw mengangkat kedua tangannya ke atas. "Tenang dan sabarlah, Liong-te. Aku bersumpah. Bi Cu dalam keadaan selamat dan baik-baik saja, sekarang dia menjadi tamuku yang terhormat. Dengarlah baik-baik terlebih dahulu. Memang aku menyuruh suci untuk membawa nona Bi Cu ke sini, memang dengan maksud agar engkau menyusul ke sini. Akan tetapi bukannya dengan maksud buruk, sama sekali tidak, Liong-te. Melainkan karena aku membutuhkan bantuanmu dan tidak ada jalan lain untuk membujukmu..."

"Hemmm, engkau memang curang. Selalu mempergunakan sandera untuk memaksaku. Akan tetapi kali ini jangan harap engkau dapat memaksaku melakukan sesuatu, Houw-ko. Bukan engkau lagi yang mengajukan syarat, melainkan aku! Syaratku, bebaskanlah Bi Cu baik-baik kemudian biarkan kami pergi, jika tidak, aku pasti akan mengadu nyawa untuk menyelamatkannya, dengan taruhan selembar nyawaku!"

"Ahhh, engkau memang gagah perkasa sekali, Liong-te. Dan aku juga tahu, aku sudah mendengar dari nona Bhe Bi Cu betapa engkau dan dia telah saling jatuh cinta. Aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Akan tetapi aku sekarang bukanlah Pangeran Ceng Han Houw yang kemarin-kemarin, Liong-te. Aku telah mengambil keputusan untuk menentang kaisar yang lalim, dan aku telah menjadi kakak iparmu sendiri!"

"Apa...?! Apa maksudmu...?" Sin Liong tentu saja terkejut dan merasa heran bukan main mendengar ucapan itu. Dia menatap tajam penuh selidik karena hatinya bertanya-tanya, permainan apa lagi yang dilakukan oleh pangeran yang curang dan licik ini.

Ceng Han Houw tertawa. "Adikku, engkau bukan hanya adik angkatku, akan tetapi juga adik iparku. Ketahuilah bahwa sekarang aku sudah menjadi cucu mantu dari mendiang kongkong-mu, yaitu Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai."

"Ahhh...?" Tentu saja Sin Liong sama sekali tidak percaya dan menganggap pangeran ini hendak menipu dan membohonginya.

"Tentu engkau tidak percaya, namun sebentar lagi engkau akan bertemu sendiri dengan piauwci-mu itu. Dengar baik-baik, Sin Liong, aku sekarang sudah menjadi suami dari Lie Ciauw Si. Engkau tentu mengenal nama itu, bukan?"

Diam-diam Sin Liong terkejut bukan main, lantas teringatlah dia akan pertemuan antara pangeran itu dengan Lie Ciauw Si pada waktu dia sedang mengantar pangeran itu untuk mencari Ouwyang Bu Sek.

Pada waktu itu, Sin Liong dan pangeran itu melihat Lie Ciauw Si yang tengah membela ketua-ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang sedang dihajar oleh dua orang bengcu, yaitu dua orang dari Lam-hai Sam-lo. Ketika itu pun dia melihat hubungan antara kedua orang itu akrab sekali, akan tetapi sungguh tidak pernah disangkanya bahwa mereka akhirnya menjadi suami isteri!

Dia tahu siapa adanya Lie Ciauw Si. Pada saat dia ikut kongkong-nya di Cin-ling-san, dia juga sudah mendengar tentang keluarga Cin-ling-san itu, atau yang sesungguhnya adalah keluarganya. Kakeknya, mendiang Cia Keng Hong, memiliki dua orang anak, yaitu yang pertama adalah Cia Giok Keng yang sudah janda dan kini menjadi isteri pendekar sakti Yap Kun Liong. Dari suaminya yang pertama, she Lie, Cia Giok Keng memiliki dua orang anak, yaitu Lie Seng dan Lie Ciauw Si. Sedangkan putera ketua Cin-ling-pai yang ke dua adalah Cia Bun Houw atau ayah kandungnya sendiri!

Memang benarlah bahwa Lie Ciauw Si itu masih piauwci-nya sendiri, dan kalau memang piauwci-nya itu kini menikah dengan pangeran ini, maka hal itu berarti bahwa pangeran ini bukan hanya kakak angkatnya, melainkan juga kakak iparnya sendiri! Betapa pun juga, Sin Liong masih belum mau percaya. Bukankah pangeran ini selalu memusuhi keluarga Cin-ling-pai? Bagaimana mungkin menjadi suami piauwci-nya? Andai kata betul demikian, tentu pangeran ini menggunakan akal dan kelicikannya untuk menipu piauwci-nya itu!

Melihat Sin Liong yang mengerutkan alis seperti orang termenung kemudian memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, pangeran itu dapat pula menduga apa yang diragukan oleh adik angkatnya itu, maka dia lalu berkata,

"Liong-te, engkau tidak tahu apa yang sudah terjadi. Telah terjadi perubahan besar pada diriku dan kehidupanku. Pada waktu aku dan Si-moi saling berjumpa, seperti engkau juga mengetahui, yaitu di pusat Sin-ciang Tiat-thouw-pang, kami saling jatuh cinta. Semenjak itu, aku bersimpati dengan keluarga Cin-ling-pai. Engkau pun tahu bahwa yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai selama ini adalah bekas subo dan suci-ku, sedangkan aku sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Cin-ling-pai. Ketika aku jatuh cinta kepada Si-moi, maka aku segera mengusahakan kebebasan keluarga itu dari tuduhan pemberontak dan pelarian. Nah, karena perbuatanku itu, maka kaisar menaruh curiga dan benci kepadaku, apa lagi akibat ada hasutan Pangeran Hun Chih yang ingin mencari kedudukan. Sahabat-sahabatku ditangkapi oleh kaisar yang lalim. Oleh karena itu, aku lalu melarikan diri dari kota raja setelah aku menikah dengan Si-moi, dan kami telah mengambil keputusan untuk menentang kaisar lalim!"

"Hemm, memberontak?" Sin Liong bertanya, masih tertarik oleh cerita pangeran itu.

"Ahhh, engkau tentu dapat membedakan antara memberontak dan menentang kelaliman, Liong-te. Aku bukan memberontak untuk merebut kedudukan, namun hendak menentang kelaliman yang menyengsarakan rakyat. Dan aku berbesar hati karena isteriku, Lie Ciauw Si, berdiri di sampingku dan siap membantuku, dan demikian pula kelak seluruh keluarga Cin-ling-pai akan membantuku bila saatnya telah tiba. Ketahuilah, Liong-te, aku sekarang sedang berusaha untuk mengadakan pertemuan di Lembah Naga dengan seluruh tokoh kang-ouw dan ahli-ahli silat, berikut partai-partai persilatan di seluruh dunia. Aku hendak mengadakan pemilihan bengcu dan jago nomor satu di dunia. Sesudah itu, aku hendak menghimpun seluruh kekuatan kang-ouw kemudian kita akan mengadakan gerakan orang gagah sedunia untuk menentang kelaliman kaisar. Nah, karena itulah maka aku menyuruh mengajak nona Bhe Bi Cu ke sini, Liong-te, dengan harapan engkau juga akan suka ikut membantu pergerakan kami ini."

Sin Liong merasa terheran-heran dan terkejut sekali, akan tetapi dia belum sepenuhnya dapat mempercayai apa yang diucapkan oleh pangeran itu, yang terdengar terlalu aneh baginya.

"Aku tidak peduli mengenai itu semua, Houw-ko. Aku hanya menghendaki Bi Cu selamat dan kami dibiarkan pergi tanpa gangguan. Aku akan berterima kasih kepadamu, Houw-ko, kalau engkau dan siapa pun tidak mengganggu selembar rambut Bi Cu."

Diam-diam Han Houw girang bahwa selama ini dia memperlakukan Bi Cu dengan baik. Memang hal ini sudah diduganya. Orang seperti Sin Liong ini tidak boleh dihadapi dengan kekerasan, akan tetapi harus dengan kehalusan budi untuk menundukkannya.

"Liong-te, tentu engkau belum percaya apa bila belum melihatnya sendiri. Marilah, adikku, mari kita menemui piauwci-mu dan kekasihmu itu. Mereka sedang menanti kita di Istana Lembah Naga."

Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan penuh harapan, Sin Liong lalu mengikuti Han Houw. Akan tetapi baru beberapa langkah, pangeran itu lantas bertepuk tangan dan muncullah pasukan-pasukan terpendam dari semua penjuru!

Melihat ini, Sin Liong terkejut bukan main. Kiranya tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang prajurit yang bersenjata lengkap. Dia bersikap tenang dan waspada, akan tetapi pangeran itu hanya minta disediakan dua ekor kuda. Dua ekor kuda terbaik dikeluarkan dan berangkatlah dua orang muda ini naik kuda ke Istana Lembah Naga.

"Lihat, adikku, bukankah kita sekarang kembali seperti dulu lagi, ketika kita mengadakan perjalanan bersama?"

Sin Liong tidak menjawab. Memang kenangan itu manis dan membayangkan kebaikan-kebaikan pangeran terhadapnya, akan tetapi juga membuat dia merasa sebal mengingat akan tingkah pangeran ini setiap kali bertemu wanita muda dan cantik, dan diam-diam dia mengkhawatirkan keadaan Lie Ciauw Si, cucu kongkong-nya itu. Mengapa wanita cantik yang gagah perkasa itu mau menyerahkan diri kepada seorang pria macam pangeran ini, pikirnya heran.

Di sepanjang perjalanan menuju ke Lembah Naga yang sangat dikenalnya itu, Sin Liong mendapat kenyataan betapa tempat itu terjaga dengan sangat ketatnya, penuh dengan pasukan, baik yang nampak menjaga di kanan kiri jalan mau pun yang menjaga sambil bersembunyi-sembunyi di balik pohon, di dalam semak-semak.

Diam-diam Sin Liong terkejut sekali, dan maklumlah dia bahwa kalau dia tidak bersama pangeran itu, maka agaknya tak akan mudah baginya untuk dapat menyelundup ke dalam daerah itu. Dan kenyataan ini pun agak melegakan hatinya, karena seandainya pangeran itu mempunyai niat buruk terhadap dirinya, perlu apa dia akan disambut dan diajak masuk ke Istana Lembah Naga?

Akan tetapi ketika dia dan pangeran itu tiba di depan Istana Lembah Naga yang sangat dikenalnya walau pun kini keadaan jauh berbeda dengan dahulu pada waktu dia tinggal di situ, kini menjadi sebuah istana yang megah dan indah, dia melihat dua orang wanita berdiri di depan istana itu menyambut. Dan seorang di antara mereka adalah Bi Cu!

Seketika lenyaplah semua kekhawatirannya. Dia meloncat turun dari atas kudanya dan di lain saat dia sudah berlari ke depan. Demikian juga Bi Cu sudah berlari cepat ke depan menyambut.

"Sin Liong...!"

"Bi Cu...!"

Di lain detik mereka berdua sudah saling berangkulan dan berpelukan dengan ketat.

"Sin Liong... ahh, Sin Liong...!" Bi Cu terisak di dada pemuda itu yang merangkul dan mendekapnya dengan hati penuh asa girang dan bahagia.

Jika saja tidak ingat bahwa di situ berdiri Lie Ciauw Si yang memandang dengan terharu, dan berdiri pula Ceng Han Houw yang tersenyum lebar dan menghampiri isterinya, juga beberapa orang dayang, pengawal dan pelayan, tentu dia dan Bi Cu sudah berciuman. Akan tetapi hanya pandang mata mereka saja yang saling berciuman dan menyatakan kebahagiaan mereka serta kerinduan hati masing-masing.

Sin Liong tidak perlu bertanya lagi akan keadaan Bi Cu. Dara itu nampak amat sehat, dan pakaiannya rapi, rambutnya pun rapi, meski pun wajahnya agak pucat dan sinar matanya menunjukkan bahwa dara itu banyak berduka. Hal itu lumrah, karena tentu Bi Cu selalu memikirkan dia, seperti juga dia yang tidak pernah dapat melupakan Bi Cu dan selalu mengkhawatirkan keselamatannya.

"Mari kita ke dalam dan bicara di dalam, Liong-te dan nona Che Bi Cu. Marilah, Si-moi."

Mereka berempat lalu memasuki istana itu, Sin Liong bergandengan tangan dengan Bi Cu yang agaknya tidak mau lagi melepaskan tangannya. Setelah mereka masuk di ruangan dalam dan pangeran itu mempersilakan mereka duduk, Sin Liong cepat menjura kepada pangeran itu dan berkata dengan suara terharu,

"Ternyata ucapanmu terbukti benar, Houw-ko, sebab itu terimalah ucapan terima kasihku. Aku sungguh bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa Bi Cu berada dalam keadaan baik dan tidak terganggu."

"Siapakah hendak membohongimu. Liong-te? Apa lagi setelah aku menjadi kakak iparmu pula. Si-moi, Liong-te, kalian berdua adalah saudara-saudara misan, keduanya merupakan cucu ketua Cin-ling-pai, mengapa tidak saling tegur?"

Karena tidak mungkin lagi menyembunyikan dirinya, Sin Liong segera menjura dengan hormat kepada Ciauw Si dan berkata merendah, "Mana mungkin aku yang rendah berani mengaku adik misan Lie-lihiap?"

Ciauw Si memandang tajam. Ketika dia tadi mendengar dari suaminya bahwa Sin Liong sesungguhnya adalah anak kandung pamannya, Cia Bun Houw, dia tidak percaya dan merasa ragu-ragu. Kalau benar pamannya itu mempunyai seorang putera, mengapa tidak ada seorang pun di antara keluarga mereka yang tahu? Pula, anak ini katanya pernah ikut kongkong-nya di Cin-ling-pai, bahkan katanya berkenan menerima ilmu-ilmu lengkap dari kongkong-nya itu, termasuk Thi-khi I-beng! Akan tetapi kalau sudah begitu, kenapa masih juga belum ada yang tahu?

"Sin Liong, tidak perlu kiranya merendah atau merasa tinggi. Sebaiknya kalau berterus terang saja seperti kenyataannya. Aku sudah mendengar dari pangeran bahwa engkau adalah putera kandung paman Cia Bun Houw. Sungguh hal ini aku tidak mengerti sama sekali dan tidak ada seorang pun di antara keluarga Cin-ling-pai yang tahu pula. Bagai manakah sesungguhnya? Kalau engkau putera paman Cia Bun Houw, lalu siapakah ibu kandungmu dan bagaimana sampai tak seorang pun di antara keluarga Cin-ling-pai yang tahu?"

Sin Liong tahu bahwa semua ucapan itu dikeluarkan oleh wanita perkasa itu dengan hati jujur dan tanpa prasangka buruk, namun dia mendengarnya dengan hati merasa tertusuk. Dia menundukkan mukanya kemudian berkata lirih, "Sesungguhnya rahasia ini tidak akan kuceritakan kepada siapa pun juga, hanya tanpa kusengaja telah bocor hingga diketahui orang. Maafkan aku, lihiap, aku tidak bisa menceritakan duduknya perkara, karena hal ini merupakan rahasia pribadi dari pendekar Cia Bun Houw." Dia menyebut nama ini dengan keras, menandakan bahwa hatinya amat marah kepada pendekar itu. "Maka, jika sampai urusan ini dibicarakan sehingga rahasia ini dibongkar, biarlah yang membongkarnya dan membicarakannya yang bersangkutan sendiri!"

Lie Ciauw Si dapat memaklumi keadaan Sin Liong yang agaknya diliputi rahasia yang tak menyenangkan, "Akan tetapi, engkau sudah pernah dididik oleh mendiang kongkong. Apa bila engkau putera kandung paman Bun Houw, berarti kongkong Cia Keng Hong adalah kongkong-mu pula, bahkan engkau merupakan keturunan langsung! Engkau she Cia dan engkau laki-laki pula! Kenapa engkau pun tidak mau mengaku kepada kakekmu sendiri?"

Disebutnya nama kakek itu membuat Sin Liong merasa berduka. Dia pun menarik napas panjang dan berkata, "Beliau yang sudah berada di tempat baka tentu sudi mengampuni aku. Aku memang sengaja tak ingin menonjolkan diri sebagai keturunan Cin-ling-pai yang terkenal sebagai keluarga yang gagah perkasa! Sedangkan aku ini orang apakah? Hanya orang yang tidak diakui! Haruskah aku mendesak-desak untuk membonceng ketenaran nama besar Cin-ling-pai?".....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 43



DIAM-DIAM Ciauw Si terkejut dan dia mengerutkan alisnya. Bocah ini sungguh memiliki watak angkuh, pikirnya. Akan tetapi dia tidak mendesak, juga tidak menegur karena dia segera dapat menduga bahwa tentu ada rahasia yang mungkin menyakitkan hati anak itu sehingga dia berkukuh tidak mau mengaku sebagai keluarga Cin-ling-pai. Di samping itu, mana mungkin dia mau menerima pengakuan itu demikian saja bahwa anak itu adalah putera kandung pamannya kalau pamannya Cia Bun Houw itu sendiri tidak pernah mau mengakui hal itu?

Bi Cu yang merasa tidak enak mendengar percakapan itu dan melihat betapa kekasihnya seperti orang yang tidak senang kalau disinggung soal keturunannya, padahal selama ini Lie Ciauw Si demikian ramah dan baiknya, tiba-tiba segera berkata,

"Ahh, apa sih artinya keturunan? Bagiku, meski Sin Liong itu putera raja atau anak pengemis sekali pun sama saja. Menilai manusia bukan dari keturunannya, atau kedudukannya, atau keluarganya atau kekayaan melainkan kepandaiannya, bukan?"

Oleh karena ucapan ini dikeluarkan dengan suara yang terbuka dan jujur, disertai dengan wajah yang cerah dan berseri, maka mereka semua yang mendengarnya menjadi kagum dan tersenyum, juga seketika mengusir suasana yang tidak enak yang ditimbulkan oleh percakapan antara Ciauw Si dan Sin Liong tentang keturunan itu tadi.

"Ha-ha-ha-ha, memang tepat sekali ucapan nona Bhe. Ucapan itu sekaligus membuktikan bahwa cintanya terhadapmu sungguh tidak terbatas, Liong-te! Biarlah aku mengucapkan selamat kepada kalian berdua!"

Tentu saja Sin Liong dan Bi Cu menerima ucapan selamat dengan minum arak ini dengan hati girang dan balas menghormat. Sin Liong adalah seorang pemuda yang jujur dan tidak mempunyai prasangka-prasangka buruk. Oleh karena itu, dengan adanya Ciauw Si di situ, juga melihat betapa sikap Bi Cu terhadap Ciauw Si demikian akrab, melihat pula sikap pangeran yang demikian halus dan ramah, yang bicara seperti seorang pahlawan pejuang yang hendak memperjuangkan nasib rakyat dan hendak menentang kelaliman kaisar, maka dia pun kena dibujuk.

Dia sanggup untuk membantu Ceng Han Houw ikut mengatur dan menjaga terlaksananya pemilihan bengcu itu, dan diam-diam dia pun tidak memiliki maksud untuk ikut memasuki pemilihan itu. Dia hanya ingin melihat apa yang akan terjadi dan akan membiarkan kakak angkatnya itu menjadi bengcu dan berhasil merebut julukan jago nomor satu di dunia. Dia sendiri sama sekali tidak tertarik dan tidak ingin disebut apa-apa.

Mereka berempat kemudian makan minum dalam suasana yang cukup menggembirakan! Secara diam-diam Sin Liong merasa heran, mengapa pangeran itu tidak mengajak para pembantu lainnya untuk turut pula berpesta. Dan dia pun masih bingung apa yang akan dilakukannya apa bila dia melihat musuh-musuhnya, Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li berada di situ.

Melihat tiba-tiba wajah pemuda itu kelihatan murung dan alisnya berkerut, Pangeran Ceng Han Houw yang cerdik itu agaknya sudah dapat menduga karena melihat adik angkatnya mencari-cari dengan pandang mata, kemudian nampak termenung dan muram wajahnya.

"Liong-te setelah engkau mendengarkan semua keteranganku, maka engkau tentu sudah mengerti sekarang bahwa kita menghadapi sebuah perjuangan yang sangat penting, yang membutuhkan penghimpunan tenaga yang kuat serta kerja sama yang erat. Oleh karena itu, agaknya engkau tentu tahu pula bahwa dalam keadaan seperti ini, di mana kita amat membutuhkan kerja sama dari semua golongan rakyat untuk menentang kelaliman, maka semua urusan pribadi haruslah dikesampingkan lebih dulu."

Sin Liong memandang wajah pangeran itu dengan pandang matanya yang mencorong tajam. "Houw-ko, apa maksudmu dengan ucapan itu?"

"Liong-te, aku tahu bahwa engkau mempunyai musuh-musuh pribadi, dan terus terang saja, agaknya akan timbul perkelahian bila mana engkau bertemu dengan suci Kim Hong Liu-nio dan subo Hek-hiat Mo-li. Aku tidak akan mencampuri urusan itu karena aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan urusan pribadi itu. Bahkan isteriku sendiri, Lie Ciauw Si ini, tentu saja juga bermusuhan dengan mereka berdua. Namun, dalam keadaan seperti sekarang ini, kuharap engkau tak akan menimbulkan keributan di sini dengan menyerang mereka, karena hal ini akan memberi contoh yang buruk sekali kepada semua pembantu kita dan hanya akan melemahkan kedudukan kita yang sedang menyusun kekuatan dan kerja sama ini. Mengertikah engkau maksudku, Liong-te?"

Diam-diam Sin Liong terkejut. Pangeran ini sungguh sangat cerdik dan berpemandangan tajam sehingga bisa tepat sekali membicarakan apa yang sedang dipikirkannya. Dia lalu mengangguk dan berkata. "Aku berjanji tidak akan membikin ribut, Houw-ko. Akan tetapi dengan syarat bahwa mereka pun tak boleh mengganggu aku dan Bi Cu seujung rambut pun."

Pangeran itu tersenyum dan diam-diam dia pun kagum. Kini Sin Liong benar-benar telah menjadi seorang dewasa yang gagah dan bersikap keras, bukan seperti anak-anak lagi. Maka dia akan bertindak hati-hati menghadapi orang yang dia tahu merupakan saingan paling berat baginya ini.

"Baik, akan kuperingatkan mereka, Liong-te. Sekarang, karena Liong-te baru saja tiba dan tentu lelah, kami persilakan Liong-te dan nona Bhe Bi Cu mengaso. Kamar kalian sudah dipersiapkan, tak jauh dari kamar kami."

Mendadak wajah Sin Liong menjadi merah sekali dan cepat dia berkata, "Houw-ko, kami berdua memang saling mencinta, hal itu hanya Thian saja yang mengetahui. Akan tetapi kami belum menjadi suami isteri maka tidak mungkin kami tinggal sekamar!"

"Aku akan tinggal di dalam kamarku sendiri yang biasa saja!" Bi Cu juga cepat berkata, mukanya merah sekali dan dia menunduk.

"Akan tetapi harap Houw-ko berbaik hati untuk memberi sebuah kamar untukku yang tidak berjauhan dari kamar Bi Cu." Sin Liong tidak mengatakan bahwa dia ingin menjaga dan melindungi kekasihnya itu, akan tetapi hal ini sudah dimengerti oleh semua orang.

"Baik, baik, tentu saja akan kuatur itu. Maafkan, Liong-te, aku lupa betapa engkau adalah seorang laki-laki sejati dan bahwa kalian belum menikah," pangeran itu berkata sambil tertawa, teringat betapa dahulu Sin Liong sangat takut terhadap wanita, dan sampai kini pun, walau pun sudah sama-sama saling mencinta, tetap saja dia tidak mau melakukan "pelanggaran". Tentu saja bagi Ceng Han Houw, hal ini dianggapnya sebagai suatu sikap kekanak-kanakan dan hijau.

Pangeran itu memberi kesempatan kepada Sin Liong dan Bi Cu untuk bicara empat mata, maka dia lalu mengajak Ciauw Si masuk, Bi Cu lalu mengajak Sin Liong pergi ke sebuah taman di Istana Lembah Naga itu, sebuah taman yang indah dan terawat baik, berbeda dari dahulu ketika dia masih tinggal di situ.

Setelah mereka berada berdua saja di dalam taman itu, Sin Liong dan Bi Cu tidak dapat menahan lagi kerinduan hati masing-masing maka mereka pun saling rangkul dan saling berciuman sampai hampir kehabisan napas. Dan akhirnya, gelora hati yang rindu itu agak mereda dan mereka duduk berdampingan di atas sebuah bangku panjang, dekat kolam ikan di dalam taman itu.

"Sin Liong, aku merasa seperti hidup kembali melihat engkau datang. Untung aku belum mengambil keputusan nekat untuk bunuh diri."

"Ihh!" Sin Liong terkejut dan merasa ngeri. "Jangan sekali-kali engkau melakukan hal itu, Bi Cu. Selama hayat masih dikandung badan, kita tidak boleh putus asa, dalam keadaan apa pun juga. Lupakah akan cengkeraman maut terhadap diri kita di jurang itu? Buktinya kita berdua masih dapat menyelamatkan diri. Pula, bukankah engkau di sini diperlakukan dengan baik dan patut sebagai tamu?"

"Memang betul, akan tetapi aku diculik! Dan aku dipisahkan darimu, Sin Liong! Jangankan baru tinggal di istana macam ini, biar disuruh tinggal di sorga sekali pun, tanpa engkau di sampingku, lebih baik aku berada di dalam jurang seperti dulu itu asal bersamamu."

Sin Liong merasa terharu sekali lantas memegang tangan Bi Cu. Jari-jari tangan mereka saling genggam dengan getaran perasaan yang amat mesra. "Kita tak akan berpisah lagi untuk selamanya, Bi Cu. Percayalah bahwa aku pun tidak akan mau hidup tanpa engkau di dekatku."

Bi Cu menarik napas panjang penuh bahagia dan dia menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. Sampai lama mereka duduk diam seperti itu, sama sekali tanpa berkata-kata karena kata-kata sudah tak ada artinya lagi dalam keadaan seperti itu. Kata-kata bahkan dapat membuyarkan perasaan dan mengurangi kemesraan yang terasa sekali sampai di sanubari dalam keadaan hening tetapi sadar sepenuhnya akan kehadiran masing-masing itu.

Akhirnya Bi Cu berbisik, "Sin Liong, hatiku merasa tidak enak kalau kita berada di sini. Bagaimana pun baiknya pangeran ini, akan tetapi jelas bahwa dia hendak menggunakan engkau maka dia menyuruh orangnya menculikku."

"Akan tetapi, dia sekarang telah berubah sejak menikah dengan..."

"Enci Ciauw Si? Ahh, kau tahu, enci Ciauw Si sendiri agaknya pun merasa tidak enak dan tidak suka dengan gerakan dari suaminya itu. Memberontak! Phuh..."

"Bukan memberontak, Bi Cu, melainkan berjuang melawan kelaliman kaisar..."

"Itu kan alasannya! Betapa pun juga, aku merasa tidak enak dan tidak suka, Sin Liong. Perlu apa kita turut campur dengan segala macam gerakan itu? Lebih baik mari kita pergi saja meninggalkan tempat ini!"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Tidak mungkin, Bi Cu. Berbahaya sekali..."

"Tapi Sin Liong, dengan kepandaianmu yang demikian tinggi... ehhh, kau tahu, pangeran sendiri memujimu di hadapanku, mengatakan bahwa di dunia ini hanya engkaulah yang memiliki kepandaian yang hampir setingkat dengan kepandaiannya!"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Apa dayaku jika menghadapi penjagaan ribuan orang pasukan? Kau tahu, sekarang Lembah Naga sudah terkurung oleh ribuan orang pasukan. Memang mungkin bagiku sendiri untuk lolos melalui hutan-hutan lebat yang dulu menjadi tempatku bermain-main pada saat aku masih kecil. Akan tetapi membawamu bersamaku berarti akan menyeret engkau ke dalam bahaya besar. Tidak, aku tidak akan melakukan hal itu, Bi Cu. Lebih baik kita bersabar, tinggal di sini dahulu melihat perkembangan dan melihat gelagatnya. Kurasa enci Ciauw Si bukanlah seorang wanita lemah. Dia seorang pendekar wanita keturunan Cin-ling-pai, mungkin saja dia mencinta pangeran, akan tetapi kalau dia dibawa sesat, apa lagi memberontak terhadap kerajaan begitu saja dengan niat memperebutkan kedudukan, pasti dia tidak akan mau." Dia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, "Biar pun aku sudah berjanji kepada pangeran untuk membantu, akan tetapi hanya membantu melakukan penjagaan dan dalam menghimpun orang-orang kang-ouw serta melakukan pemilihan bengcu, bukan membantunya untuk memberontak. Aku tidak sudi kalau harus membantu dia melakukan kejahatan."

Kedua orang muda ini tentu saja tidak tahu akan segala kepalsuan yang terjadi di dalam dunia ini. Tiap pemberontakan, tiap pembaharuan, tiap gerakan untuk menumbangkan yang lama kemudian menggantikan dengan yang baru, sudah tentu saja didasari oleh kelemahan-kelemahan dan cacat-cacat dari yang lama, yang akan diberontak itu.

Dan yang memberontak, yang baru ini, tentu mengeluarkan janji-janji yang muluk-muluk. Karena, tidak mungkin pemberontakan dan pembaharuan dapat berjalan lancar dan bisa berhasil tanpa adanya bantuan rakyat. Rakyat harus diberi janji-janji muluk, menonjolkan kelemahan dan cacat-cacat yang hendak dirobohkan dan mengemukakan janji-janji dan kebaikan-kebaikan dari yang memberontak.

Semua ini hanya merupakan siasat belaka. Atau mungkin juga janji-janji itu dikeluarkan dengan hati murni oleh para pimpinan. Akan tetapi sayang, begitu maksudnya tercapai sudah, maka mereka yang duduk di kursi pimpinan menjadi mabuk kemenangan lantas sama sekali melupakan atau memang sengaja tidak mau ingat lagi akan janji-janji yang telah dikeluarkan ketika mereka mendorong rakyat untuk membantu gerakan mereka itu.

Dan hal seperti ini terus menerus berulang. Yang berhasil dan menang kemudian harus menghadapi lagi golongan baru yang hendak menumbangkannya, dengan janji-janji yang sama pula, dengan penonjolan-penonjolan kesalahan dari yang sedang berkuasa, persis seperti ketika pemberontakan atau pergolakan pertama atau terdahulu itu terjadi. Dan yang menyedihkan sekali, rakyat pun selalu menurut saja dan dapat saja dimakan oleh propaganda dan dibodohi oleh janji-janji muluk yang tak kunjung terpenuhi itu!

Kapankah di dunia ini muncul pemimpin-pemimpin yang memimpin rakyat berdasarkan cinta kasih, kasih sayang dan sama sekali tidak mendasarkannya untuk memenuhi atau mencapai ambisi pribadi, mengejar-ngejar kemuliaan, kekayaan dan kesenangan pribadi? Kapankah segala semboyan dan anjuran mengenai hal-hal yang baik itu bukan hanya menjadi semboyan kosong belaka melainkan dihayati dalam kehidupan sehari-hari oleh mereka yang mengeluarkan semboyan itu sendiri, oleh para pemimpin rakyat sehingga tanpa dianjurkan lagi rakyat sudah akan dapat melihatnya dan otomatis akan bersikap dan berwatak sama dengan para pemimpinnya?

Pemimpin sama dengan ayah dan rakyat sama dengan anak. Setiap perbuatan ayahnya merupakan pendidikan langsung bagi sang anak. Sebaliknya apa gunanya seorang ayah gembar-gembor melarang anaknya melakukan sesuatu kalau dia sendiri melakukannya? Atau apa gunanya para pemimpin menganjurkan rakyat melakukan ini atau pun itu kalau mereka sendiri tidak melakukannya? Yang penting dalam hidup ini adalah penghayatan, atau kelakuan sehari-hari yang dapat dilihat, bukan kata-kata kosong yang dapat saja dikeluarkan oleh lidah yang tak bertulang.

Demikianlah, diam-diam Sin Liong dan Bi Cu merasa tak senang tinggal di Lembah Naga sebagai tamu-tamu agung dari Pangeran Ceng Han Houw, dan mereka merasa khawatir, akan tetapi mereka tidak berdaya karena tempat itu dijaga oleh ribuan orang pasukan. Dan kecuali mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua, secara diam-diam Sin Liong juga amat berprihatin akan nasib Lie Ciauw Si yang telah menyerahkan diri menjadi isteri pangeran itu berdasarkan cinta kasih.

Bahkan dia telah mendengar dari Bi Cu yang juga mendengar dari Ciauw Si sendiri bahwa wanita gagah itu menikah dengan Ceng Han Houw tanpa persetujuan keluarga, bahkan tidak disaksikan orang lain karena mereka menikah diam-diam di kuil!

                ***************

Menerima kebaikan orang lain merupakan hal yang mendatangkan perasaan tidak enak kepada seseorang kalau dia tidak mampu untuk melakukan sesuatu sebagai imbalan atau balasan. Demikian pula dengan Sin Liong. Dia merasa tidak enak sekali karena di dalam Istana Lembah Naga itu dia diperlakukan dengan amat baiknya oleh Pangeran Ceng Han Houw. Bahkan semua komandan pengawal menghormatinya dan memandangnya sebagai adik angkat, keluarga dan juga orang terpercaya dari sang pangeran!

Dan memang demikianlah. Sin Liong boleh pergi ke mana pun juga di seluruh daerah itu, akan tetapi tentu saja kalau sendirian. Apa bila dia mengajak Bi Cu, maka mendadak saja penjagaan lalu diperketat dan tempat itu dikurung sehingga tahulah dia bahwa pangeran menghendaki agar Bi Cu tetap tinggal di istana sebagai sandera!

Betapa pun juga, Sin Liong sudah membawa Bi Cu berjalan-jalan, keluar masuk hutan dan menunjukkan tempat-tempat di mana dia ketika kecil bermain-main, bahkan dia juga pergi bersama Bi Cu ke dalam hutan di mana dulu dia dipelihara oleh monyet betina besar.

Dia sempat bertemu pula dengan rombongan monyet-monyet, akan tetapi tentu saja tidak ada seekor pun monyet yang mengenalnya. Padahal dulu, hampir semua monyet di hutan itu mengenalnya, bahkan mentaati perintahnya.

Akan tetapi dia pun cukup cerdik untuk mengetahui bahwa tak mungkinlah baginya untuk melarikan diri bersama Bi Cu dari tempat itu karena sudah terkepung oleh anak buah pangeran, kecuali kalau dia mau mengambil jalan liar melalui hutan-hutan lagi yang tentu akan menghadapi bahaya-bahaya lain lagi yang tidak mau dia menempuhnya karena dia tidak mau membawa kekasihnya ke dalam bahaya.

Karena tidak mau kalau hanya makan tidur saja, maka mulailah Sin Liong ikut melakukan penjagaan. Waktu pertemuan besar antara orang-orang kang-ouw masih sebulan lagi dan selama itu seluruh lembah dijaga. Sin Liong sering kali melakukan perondaan di sekeliling lembah yang sangat sunyi itu, kadang-kadang dia membayangkan apa yang akan terjadi di lembah itu.

Sudah beberapa kali dia mengajak Bi Cu mengunjungi kuburan ibu kandungnya, sebuah makam sederhana, kemudian di situ dia bersembahyang bersama Bi Cu. Kepada Bi Cu dia menceritakan terus terang semua riwayat mengenai ibunya yang sebelah tangannya buntung, tentang dirinya yang sesungguhnya adalah putera ibunya yang bernama Liong Si Kwi dan pendekar Cia Bun Houw.

"Aku tidak tahu apakah yang terjadi dengan ibu kandungku dan ayah kandungku itu. Akan tetapi jelaslah bahwa aku terlahir akibat hubungan antara ibu kandungku dengan Cia Bun Houw. Akan tetapi, melihat bahwa ibuku kemudian menjadi isteri paman Kui Hok Boan dan Cia Bun Houw menikah dengan wanita lain, pendekar wanita Yap In Hong itu, maka kuduga bahwa hubungan itu tentu hubungan gelap. Buktinya sampai sekarang menurut enci Ciauw Si, seluruh keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang mengetahuinya. Biar pun aku putera pendekar Cia Bun Houw, akan tetapi agaknya... aku hanyalah anak gelap..."

Bi Cu merangkul kemudian mencium muka yang muram itu. "Sin Liong, baik engkau anak terang, anak gelap atau setengah gelap, bagiku sama saja. Aku sudah bilang, aku tidak peduli engkau ini anak pendekar Cia Bun Houw, anak raja, anak jembel, anak malaikat atau anak setan! Maka, tidak perlu engkau bermuram seperti ini!" Tentu saja Sin Liong lalu tersenyum dan wajahnya menjadi cerah kembali.

Sudah beberapa kali semenjak dia dan Bi Cu berada di Lembah Naga, dia mengajak Bi Cu untuk mengunjungi makam ibunya dan pada senja hari itu dia pun baru saja kembali dari makam ibu kandungnya seorang diri. Dia pun ingin sekali tahu apa yang sebenarnya telah terjadi antara mendiang ibu kandungnya dan pendekar Cia Bun Houw.

Sayang ibunya tidak sempat bercerita kepadanya tentang hal itu. Dan agaknya pendekar Cia Bun Houw juga merahasiakannya, tidak pernah menceritakannya kepada siapa pun juga. Buktinya keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang tahu! Dan dia pun tidak sudi bertanya kepada pendekar itu atau mengaku bahwa dia puteranya. Dia tidak mau mengemis belas kasihan dan kasih sayang dari pendekar yang menjadi ayah kandungnya itu atau pun dari siapa juga. Kecuali dari Bi Cu agaknya!

Terhadap Bi Cu, apa pun akan dilakukannya, tanpa kecuali! Hemmm, kalau pendekar itu mau mengakuinya sebagai putera, baik. Jika tidak mau, dia pun tidak butuh menjadi anak pendekar! Dan dia tersenyum girang mengingat akan sikap Bi Cu terhadapnya. Dara itu mencintanya, mencinta dirinya tanpa kecuali, tidak mempedulikan dia itu keturunan siapa. Sedikit kekecewaan dan kedukaan tentang ayah kandungnya itu segera lenyap ketika dia teringat Bi Cu yang mencinta dirinya, bukan keturunannya.

Senja telah mendatang dan biar pun cuaca mulai menyuram, karena cahaya matahari yang mulai bersembunyi di balik puncak itu sudah amat lemah, namun pandang matanya yang tajam masih dapat melihat dan merasakan adanya sesuatu yang tidak beres ketika dia memasuki sebuah hutan kecil di luar Lembah Naga menuju pulang itu. Biasanya, di situ tentu ada belasan orang penjaga yang melakukan penjagaan sambil bersembunyi.

Tadi saat pergi menuju ke makam ibunya, dia masih tersenyum melihat gerakan-gerakan mereka. Para penjaga yang melakukan penjagaan bersembunyi itu hanya berguna untuk menjaga musuh-musuh biasa, akan tetapi kalau yang masuk itu orang pandai, tentu orang itu dapat melihat gerakan-gerakan mereka, pikirnya.

Akan tetapi sekarang, tidak ada gerakan sedikit pun juga. Suasana di tepi hutan itu sunyi bukan main, sunyi dan mati! Timbil kecurigaannya karena biasanya, setiap tempat selalu dijaga siang dan malam secara bergilir. Penjagaan yang merupakan sebuah hutan di tepi Lembah Naga merupakan jalan masuk ke lembah itu tidak terjaga? Ke manakah perginya semua penjaga di situ yang jumlahnya belasan orang itu?

Sebagai orang yang oleh pangeran dipercaya untuk melakukan perondaan dan menjaga keamanan lembah itu, Sin Liong merasa berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan dan kalau perlu menegur komandan penjaga di hutan itu yang dianggapnya lengah sekali.

Dengan gerakan ringan sekali Sin Liong lalu meloncat ke arah sebatang pohon tinggi dan dari puncak pohon itu dia lantas meneliti ke bawah, untuk melihat ke mana perginya para penjaga itu. Dan tiba-tiba saja dia menahan seruan heran ketika melihat tubuh beberapa orang penjaga malang-melintang di belakang semak-semak seperti orang tidur nyenyak, ataukah sudah tewas?

Cepat dia meloncat turun dan lari ke tempat itu. Ternyata nampak belasan orang penjaga yang biasanya menjaga di bagian itu rebah malang-melintang, sama sekali bukan tertidur nyenyak atau mati, melainkan tidak sadar dalam keadaan tertotok semua!

Ada musuh yang menyelundup masuk! Musuh yang lihai sekali, karena hanya musuh lihai saja yang berani merobohkan para penjaga hanya dengan totokan dan tidak membunuh mereka! Sin Liong tidak mau membuang waktu lagi dan cepat dia lalu berkelebat masuk ke dalam hutan kecil itu dan kembali tak lama kemudian dia sudah memeriksa keadaan sekeliling dengan meloncat dan memanjat ke puncak pohon yang tinggi.

Akhirnya dia melihat gerakan dua orang yang cepat sekali di tengah hutan. Agaknya dua orang itulah musuh yang menyelundup, dan agaknya kedua orang itu sedang menunggu malam gelap untuk melanjutkan gerakan mereka, tentu saja untuk menyelundup ke Istana Lembah Naga. Sin Liong lalu meloncat turun dan cepat sekali dia lalu menuju ke tempat itu, berindap-indap dengan hati-hati, akan tetapi cepat bukan main.

Mereka itu adalah seorang pria dan seorang wanita. Kini keduanya sedang duduk bersila di atas rumput, dan tampaknya berunding sambil berbisik-bisik. Sin Liong mendekati dan mengintai, ingin melihat siapa adanya mereka itu. Kedua orang itu dari belakang kelihatan belum tua benar.

Akan tetapi, tanpa menoleh tiba-tiba saja wanita itu telah menggerakkan tangan kirinya ke belakang dan nampak sinar hijau menyambar ke arah rumpun semak-semak di belakang mana Sin Liong mengintai! Itulah Siang-tok-swa (Pasir Beracun Harum), senjata rahasia yang amat berbahaya!

Sin Liong mengenal bahaya, maka dia pun meloncat berdiri dan mengelak ketika sinar hijau itu menyambar. Akan tetapi tiba-tiba wanita yang tadinya duduk bersila itu tahu-tahu sudah melayang ke arahnya dan menyerangnya sambil membentak,

"Robohlah!"

Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak demikian mudah dirobohkan walau pun dia merasa terkejut bukan main menyaksikan kelihaian wanita yang cantik ini. Dia lalu menggerakkan tangan menangkis sambil mengerahkan tenaga.

"Dukkk!"

"Iihhhh...!" Wanita itu agak terhuyung sambil mengeluarkan seruan tertahan, karena dia merasa terkejut dan heran betapa pemuda itu bukan hanya mampu menangkis, bahkan tangkisannya sedemikian kuatnya, membuat dia hampir terhuyung.

Mendadak Sin Liong merasa betapa ada angin yang dahsyat menyambar dari samping. Tahulah dia bahwa ada orang pandai yang menyerangnya. Tentu pria tadi, pikirnya, maka sambil memutar kakinya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang karena dia tahu bahwa pukulan ini hebat sekali.

"Dessss...!"

Dan akibatnya, keduanya terpental ke belakang dan keduanya sama-sama terkejut. Apa lagi ketika mereka saling mengenal. Sin Liong memandang terbelalak kepada pria gagah perkasa yang ternyata bukan lain adalah ayah kandungnya sendiri, Cia Bun Houw! Maka sekarang dia teringat bahwa wanita itu adalah Yap In Hong, yaitu ibu tirinya, isteri ayah kandungnya!

Pada fihak Cia Bun Houw, dia pun mengenal pemuda ini dan alisnya berkerut, mukanya berubah merah karena dia teringat betapa pemuda yang pernah dikasihi oleh mendiang ayahnya itu, bahkan yang sudah mewarisi semua ilmu dari ayahnya, ternyata merupakan pemuda yang tidak berbudi, yang telah menghalangi dia dan isterinya membunuh musuh besar mereka, Kim Hong Liu-nio. Dan sekarang, pemuda ini agaknya malah membantu Pangeran Ceng Han Houw!

"Engkau...?!" Cia Bun Houw membentak.

Mendengar ini, Yap In Hong juga menunda serangan lanjutannya. Dia memandang dan sekarang pun dia teringat kepada Sin Liong.

"Ehh, kiranya setan cilik ini berada di sini?" Dia pun membentak marah.

Sin Liong menghadapi mereka dan memandang tajam. Dia khawatir sekali melihat ayah kandungnya berkeliaran di situ. Akan tetapi dia pun merasa tak senang melihat ibu tirinya, apa lagi setelah mendengar dia disebut setan cilik!

"Harap ji-wi segera pergi dari sini!" katanya kemudian. "Di sini amat berbahaya."

Cia Bun Houw sudah merasa penasaran sekali. "Dan engkau sendiri?"

"Aku... adalah penjaga di sini, maka aku tahu betapa bahayanya tempat ini."

"Bocah lancang!" Cia Bun Houw membentak marah. "Apakah kau kira, kalau engkau yang berjaga, aku lalu merasa takut padamu?"

"Bocah setan ini memang perlu dihajar!" Yap In Hong berseru karena dia pun merasa betapa anak ini amat buruk wataknya, tidak mengenal budi yang sudah dilimpahkan oleh ketua Cin-ling-pai, yaitu mendiang ayah mertuanya. Sepatutnya Sin Liong ingat budi dan membantu Cin-ling-pai, bukan malah membantu pangeran pemberontak itu!

Sin Liong juga marah, merasa direndahkan, akan tetapi dia menahan sabar dan hanya menggerak-gerakkan kedua tangannya. "Pergilah... pergilah...!"

"Engkau yang pergi ke neraka, bocah murtad!" Cia Bun Houw membentak dan dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala Sin Liong.

Akan tetapi, dengan sigap dan cepatnya Sin Liong mengelak, lalu memutar tubuhnya dan tahu-tahu dia pun sudah menyerang, bukan kepada ayah kandungnya, melainkan kepada Yap In Hong, dengan pukulan tangan kiri yang cepat dan dahsyat.

Namun Yap In Hong adalah seorang wanita pendekar sakti yang berilmu tinggi, maka dengan cepat dia dapat menangkis pukulan itu. Lalu terjadilah perkelahian yang seru dan membuat suami isteri pendekar sakti itu terheran-heran tiada habisnya.

Pemuda itu ternyata mampu menghadapi pengeroyokan mereka! Bahkan sama sekali tak pernah terdesak, dan membalas setiap serangan dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat dan ampuhnya! Bahkan pemuda itu juga dapat mainkan Thai-kek Sin-kun dengan amat baiknya, dan menangkis tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang dengan tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang pula yang tidak kalah kuatnya!

Bahkan ketika kedua orang suami isteri yang amat lihal itu mendesaknya dengan gerakan cepat, Sin Liong sudah melindungi tubuhnya dengan kekebalan menurut ajaran mendiang Kok Beng Lama dan juga mengerahkan Thi-khi I-beng untuk menyedot tenaga dua orang pengeroyoknya! Dua orang suami isteri itu berkali-kali mengeluarkan seruan kaget sekali. Mereka teringat akan kehebatan Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong, karena kehebatan kedua orang kakek sakti itu seolah-olah telah pindah ke dalam diri anak ini!

Tentu saja Sin Liong harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada di dalam tubuhnya dan mengeluarkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya untuk menghadapi pengeroyokan dua orang yang demikian saktinya. Hanya dia belum mau mempergunakan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw karena bagaimana pun juga, dia hanya membela diri dan membalas serangan dengan ilmu-ilmu yang didapatnya dari Kok Beng Lama serta Cia Keng Hong sehingga boleh dibilang bahwa pemuda ini menghidapi dua orang lawannya dengan ilmu-ilmu yang sama!

Maka mereka itu seolah-olah hanya berlatih saja, sungguh pun sebenarnya, sama sekali bukan demikian karena suami isteri yang merasa penasaran itu mendesak dengan hebat. Apa lagi setelah lewat lima puluh jurus kedua orang suami isteri yang lihai itu sama sekali belum mampu merobohkan Sin Liong!

Mereka berdua adalah pendekar-pendekar besar sehingga biar pun kelihatannya mereka mengeroyok Sin Liong dengan dahsyat, namun mereka selalu mengendalikan serangan mereka sehingga kalau saja Sin Liong sampai terkena pukulan, tentu saja bukan pukulan mematikan.

Diam-diam Sin Liong juga merasa kagum bukan kepalang. Ayah kandungnya ini memang hebat, dan ibu tirinya pun hebat. Melawan mereka satu lawan satu saja kiranya amat sulit baginya untuk mendapat kemenangan, apa lagi harus melayani dua sekaligus. Entahlah kalau dia mempergunakan ilmunya Hok-mo Cap-sha-ciang.

Akan tetapi dia merasa tidak enak dan malu kalau harus menggunakan ilmu ini kepada mereka, sungguh pun di dalam gerakannya itu sudah dibantu oleh kemajuan yang didapat ketika dia mempelajari ilmu peninggalan Bu Beng Hud-couw itu.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan muncullah puluhan orang prajurit yang dipimpin oleh seorang kakek tinggi besar yang bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, yaitu orang pertama dari Lam-hai Sam-lo! Mereka adalah pasukan penjaga dari sekitar hutan itu yang tertarik oleh perkelahian itu dan segera memasuki hutan dipimpin oleh kakek itu.

Melihat hal ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut. Mereka datang untuk menyelidiki Lembah Naga, sesuai dengan perintah dari Pangeran Hung Chih. Akan tetapi kini mereka sudah ketahuan.

Menghadapi Sin Liong seorang saja sudah cukup berat, apa lagi kalau muncul puluhan orang penjaga. Mereka tidak takut, akan tetapi maklum pula bahwa tidak mungkin mereka berdua saja harus melawan ribuan pasukan yang berada di daerah itu.

Maka Cia Bun Houw mengeluarkan suara melengking nyaring yang menjadi isyarat bagi isterinya untuk melarikan diri. Suara lengkingan dahsyat itu amat luar biasa, mengandung tenaga khikang kuat sehingga beberapa orang pengawal terguling roboh.

Melihat kedua orang itu melarikan diri, Sin Liong tidak mengejar dan membiarkan pasukan pengawal mengejar mereka, yakin bahwa tak mungkin pasukan pengawal itu akan mampu menyusul suami isteri pendekar yang sakti itu. Sementara itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang juga tahu akan kelihaian suami isteri itu sehingga merasa jeri untuk pergi mengejar sendirian saja, lantas tersenyum kepada Sin Liong dan menjura sambil berkata, suaranya ramah.

"Senang sekali dapat bertemu dan bekerja sama dengan taihiap."

Sin Liong tidak menjadi bangga dan senang mendengar disebut taihiap itu, yang dia tahu dilakukan oleh kakek ini untuk menghormatinya karena kakek ini tentu sudah tahu bahwa dia dianggap adik angkat atau bahkan keluarga pangeran. Dia tidak tahu bahwa memang kakek ini merasa kagum bukan main melihat dia mampu menandingi pengeroyokan dua orang suami isteri yang terkenal sebagai pendekar-pendekar terbesar di masa itu. Tanpa menjawab, Sin Liong hanya mengangguk kemudian memutar tubuhnya dan pergi dari situ untuk kembali ke kamarnya di Istana Lembah Naga.

Bi Cu telah menyambutnya. Dara ini tidak mau makan malam sebelum Sin Liong pulang dan begitu kekasihnya datang, dia menyambut dengan teguran, "Sin Liong, ke mana saja engkau sampai malam begini? Hatiku merasa gelisah selalu."

Sin Liong lalu menceritakan pertemuannya dengan suami isteri pendekar itu, betapa dia bertempur melawan mereka sehingga kemudian pasukan datang dan kedua suami isteri itu melarikan diri.

"Ahh, ayah kandungmu dan ibu tirimu?" Bi Cu bertanya kaget sekali.

Sin Liong mengangguk dan alisnya berkerut, hatinya gelisah. Tidak disangkanya dia akan bertemu dengan keluarga Cin-ling-pai di tempat itu. Tanpa banyak cakap dia lalu makan malam bersama Bi Cu. Baru saja selesai makan malam, Pangeran Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si mengunjungi mereka.

"Liong-te, aku mendengar dari pasukan penjaga bahwa senja tadi ayah kandungmu dan ibu tirimu muncul..."

"Harap engkau tidak menyebut-nyebut mengenai ayah kandung dan ibu tiri, Houw-ko!" Sin Liong menegur, merasa tidak senang orang bicara seperti itu. Namun kalau Bi Cu yang menyebutnya, hal itu lain lagi!

"Ahh, baiklah. Dan memang sikapmu tadi membuktikan bahwa engkau tidak menganggap mereka ayah dan ibu tiri, Liong-te. Suami isteri perkasa, pasangan pendekar yang paling hebat pada masa ini sudah memberi kehormatan kepadaku dan muncul di sini. Mengapa engkau menerima dan menyambut mereka dengan kepalan, Liong-te? Bukankah engkau tahu bahwa kita membutuhkan tenaga mereka? Mengapa engkau tidak menerima mereka secara baik-baik dan mempersilakan mereka masuk sebagai tamu-tamu agung? Engkau tahu, mereka itu adalah paman dan bibi isteriku, berarti paman dan bibiku sendiri. Kenapa engkau malah menyambut mereka sebagai musuh?"

Sin Liong merasa bingung dengan sikap pangeran ini. Kata-katanya penuh teguran dan penyesalan, akan tetapi pandang mata pangeran itu membayangkan hati yang gembira! Dia sudah mengenal baik sinar mata pangeran itu, maka dia tahu bahwa kalau pangeran itu benar-benar sedang marah, tidak seperti itulah sinar matanya. Dan memang benarlah.

Han Houw merasa sangat kecewa mendengar keluarga Cin-ling-pai yang diharapkannya untuk dapat menjadi sekutunya itu datang sebagai musuh, akan tetapi di samping itu dia pun gembira melihat bukti kenyataan bahwa Sin Liong benar-benar hendak membelanya dan setia padanya sehingga pemuda ini tidak segan-segan untuk melawan ayah kandung sendiri untuk menjaga keamanan di situ! Tentu saja dia tidak tahu bahwa perkelahian itu bukan disebabkan oleh hal itu, tetapi karena Sin Liong didesak dan diserang oleh mereka.

Juga Lie Ciauw Si segera berkata, suaranya halus akan tetapi mengandung teguran dan penyesalan, "Liong-te, kenapa engkau tidak memberitahukan mereka bahwa aku berada di sini dan bahwa aku ingin sekali bertemu dan bicara dengan paman Bun Houw dan bibi In Hong? Ahhh, aku sudah mengutus orang untuk menyampaikan surat kepada keluarga kami, keluarga Cin-ling-pai, tapi begitu paman dan bibi muncul, engkau malah menyerang mereka."

Sin Liong tahu benar bahwa apa yang keluar dari mulut kakak misannya ini memang jujur dan sebenarnya, berbeda dengan ucapan pangeran yang tentunya mengandung hal-hal tersembunyi yang tidak dipercayanya. Karena itu diam-diam dia merasa lega bahwa ayah kandungnya itu telah pergi dari Lembah Naga dan berarti lolos dari ancaman bahaya yang dia tidak dapat membayangkan bagaimana.

"Maafkan, Houw-ko dan lihiap." Dia tetap tidak mau menyebut piauw-ci kepada Lie Ciauw Si, melainkan menyebut lihiap karena kalau dia menyebut piauw-ci, sama artinya bahwa dia menerima Cin-ling-pai sebagai keluarganya. Padahal, dia tidak akan mengemis akan hal itu. "Akan tetapi ketika aku melihat betapa mereka berdua merobohkan belasan orang penjaga dengan totokan, aku menjadi sangat curiga lantas menyerang mereka. Terjadilah perkelahian, kemudian muncul Hai-liong-ong Phang Tek bersama pasukan penjaga, dan mereka melarikan diri."

"Sudahlah," pangeran menarik napas panjang seperti orang menyesal, padahal hatinya terasa lega karena betapa pun juga, dia agak jeri terhadap suami isteri itu. "Semua itu terjadi karena salah sangka. Kelak kalau mereka muncul dalam pertemuan rapat besar orang-orang kang-ouw, tentu akan dapat kita terangkan duduknya perkara dan aku akan mohon maaf kepada paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong!" Pangeran itu menyebut kedua nama ini dengan paman dan bibi, suaranya demikian sungguh-sungguh dan mesra seolah-olah dia memang sudah menerima suami isteri itu menjadi keluarganya.

Hal ini menggirangkan hati Ciauw Si, akan tetapi malah menimbulkan curiga di dalam hati Sin Liong. Pemuda ini tahu bahwa sang pangeran menganggap suami isteri itu sebagai saingan besar untuk memperebutkan julukan jagoan nomor satu di dunia!

Aku harus waspada, pikir Sin Liong. Bukan waspada menjaga keamanan Lembah Naga, melainkan waspada mengamati gerak-gerik pangeran itu untuk menjaga keselamatan Bi Cu dan dirinya sendiri, dan kalau mungkin keselamatan Ciauw Si!

Bagaimanakah suami isteri pendekar itu tiba-tiba dapat muncul di Lembah Naga? Seperti telah kita ketahui, Cia Bun Houw dan isterinya, Yap In Hong, bersama dengan Lie Seng pergi ke kota raja dan mereka bertiga berhasil melarikan Sun Eng dari dalam tahanan di istana Pageran Ceng Han Houw.

Akan tetapi, Sun Eng tidak dapat ditolong dan akhirnya meninggal dunia, sedangkan Lie Seng yang merasa sangat berduka itu akhirnya lalu mengikuti seorang hwesio tua untuk mengasingkan diri dari dunia ramai dan masuk menjadi seorang hwesio yang tidak lagi mencampuri urusan duniawi!

Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu kembali ke kota raja dan berhasil menemui Pangeran Hung Chih, dan mereka pun menerima berita baik sekali, yaitu bahwa mereka sekeluarga Cin-ling-pai sudah dibebaskan dari pada tuduhan memberontak dan tidak menjadi buruan pemerintah lagi.

Dengan girang mereka lalu menyampaikan berita ini kepada kedua orang kakak mereka, yaitu suami isteri Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng yang masih bersembunyi di selatan. Mereka berdua kemudian menitipkan putera mereka dalam asuhan suami isteri yang lebih tua itu karena mereka telah berjanji pada Pangeran Hung Chih untuk membantu pangeran itu menghadapi usaha pemberontakan Ceng Han Houw.

Demikianlah, kedatangan mereka ke utara itu adalah dalam rangka tugas ini, yaitu untuk melakukan penyelidikan mengenai kegiatan pangeran peranakan Mongol itu. Tak mereka sangka, mereka telah dipergoki oleh Sin Liong!

Sesudah berhasil melarikan diri keluar dari Lembah Naga, suami isteri ini lalu mengirim laporan mengenai Lembah Naga yang kini terjaga oleh ribuan orang pasukan Mongol dan bangsa-bangsa utara lainnya itu secara panjang lebar, kemudian mengutus salah seorang di antara para penyelidik untuk membawa laporan itu ke sebelah dalam Tembok Besar.

Sementara itu, mereka berdua masih terus menanti di luar Lembah Naga untuk mengikuti perkembangan usaha Pangeran Ceng Han Houw mengadakan pertemuan besar dengan tokoh-tokoh kang-ouw. Sering kali mereka membicarakan tentang Sin Liong.

"Bocah setan itu benar-benar lihai sekali," kata Yap In Hong. "Sungguh luar biasa bocah seperti itu bisa memiliki semua ilmu-ilmu Cin-ling-pai sedemikian sempurnanya. Dia telah mewarisi semua kepandaian mendiang suhu Kok Beng Lama!"

"Dan juga kepandaian mendiang ayah!" kata Bun Houw sambil menarik napas panjang. "Sebagai putera tunggal ayah aku sendiri tidak mewarisi Thi-khi I-beng, demikian juga enci Giok Keng sebagai puteri tunggalnya pun tidak. Yang mewarisi hanya kakanda Yap Kun Liong seorang. Akan tetapi siapa kira, bocah setan itu sekarang mewarisinya, dan dapat mempergunakannya dengan mahir sekali!"

"Dia telah menggabungkan ilmu-ilmu dua orang guru besar secara hebat. Tentu dia akan merupakan lawan yang tangguh sekali!"

"Memang benar. Sungguh aku tidak mengerti mengapa suhu Kok Beng Lama dan ayahku menurunkan semua ilmu mereka kepada bocah tak berbudi itu sehingga kini semua ilmu kita digunakan untuk melawan kita sendiri dan membela pangeran pemberontak. Sungguh penasaran sekali. Kalau saja mendiang ayah dan mendiang suhu Kok Beng Lama dapat melihat hal ini, tentu mereka berdua akan merasa menyesal sekali."

"Sudahlah, kita tidak perlu gelisah dan khawatir. Bagaimana pun juga, dia masih sangat muda dan belum berpengalaman. Mungkin saja dia kena terbujuk oleh pangeran itu, siapa tahu? Kita belum melihat benar bagaimana isi hati anak yang aneh dan keras hati itu. Agaknya tidak mungkin kalau kedua orang tua yang bijaksana itu sampai salah mengenal orang. Kita lihat saja bagaimana perkembangan selanjutnya di Lembah Naga."

Cia Bun Houw menyetujui pendapat isterinya ini dan mereka menanti sambil memasang matadengan waspada, menanti perkembangan dan datangnya hari pertemuan para tokoh kang-ouw di Lembah Naga yang undangannya sudah disebar oleh kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw beberapa bulan sebelumnya.

Semua tokoh kang-ouw yang merasa berkepandaian diundang, tanpa menentukan siapa orangnya. Dalam undangan yang disebar itu dikemukakan bahwa di dalam pertemuan itu akan dipilih seorang bengcu yang akan memimpin seluruh dunia kang-ouw sebagai jago nomor satu di dunia ini!

Suami isteri ini maklum bahwa tentu semua tokoh kang-ouw akan tertarik oleh undangan istimewa ini dan Lembah Naga akan menjadi ramai bukan main. Akan tetapi mereka pun tahu bahwa akan terjadi keramaian lainnya yang sama sekali tak akan terduga-duga oleh Pangeran Ceng Han Houw si pemberontak itu. Kini mereka menanti saat penentuan itu dengan tenang dan waspada.

                 ***************

SUDAH terlampau lama kita meninggalkan keadaan Tee Beng Sin si pemuda gemuk yang gagah perkasa itu. Sesudah kita mengetahui bahwa yang memiliki she (nama keturunan) Tee adalah ibu kandungnya yang kini telah menjadi nikouw, sedangkan ayah kandungnya sesungguhnya adalah Kui Hok Boan, maka nama lengkapnya tentu saja bukan Tee Beng Sin melainkan Kui Beng Sin! Bagi Beng Sin hal ini merupakan kenyataan pahit karena sesungguhnya dia mulai merasa tidak suka terhadap orang yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu!

Sesudah dia bertemu dengan ibu kandungnya yang telah menjadi seorang nikouw dalam kuil dan tidak mau mengakui lagi sebagai Tee Cui Hwa dan mengatakan bahwa Tee Cui Hwa telah mati dan bahwa dia adalah Thian Sin Nikouw, dengan hati perih sekali ibunya menceritakan tentang riwayat ayah kandungnya yang busuk! Akan tetapi ada juga sedikit hiburan di dalam hatinya, yaitu bahwa ibunya itu melalui kata-kata Thian Sin Nikouw, telah menyetujui perjodohannya dengan puteri Ciok-piauwsu yang baik budi dan gagah itu.

Dia tidak lagi mengharapkan ayah kandungnya yang sudah ditinggalkannya. Dia tidak lagi dapat mengharapkan perjodohan dengan salah seorang di antara dua puteri kembar ayah kandungnya itu, karena Lan dan Lin ternyata adalah adik-adik tirinya sendiri, satu ayah berlainan ibu! Maka dengan besar hati dia pergi meninggalkan ibunya dan berangkatlah pemuda gemuk yang berwatak gembira ini menuju ke Su-couw di Ho-nan, di mana dia tahu keluarga Ciok, terutama sekali Ciok Siu Lan dara yang manis itu, sudah menantinya dengan penuh harapan.

Apa yang dibayangkannya itu memang benar. Ketika dia tiba di rumah calon mertuanya itu, dia disambut dengan gembira dan amat meriah. Siu Lan, dara itu, tidak mengeluarkan sepatah kata pun, akan tetapi wajah yang manis itu menjadi cerah bukan main, sepasang matanya yang bening itu berkaca-kaca, basah dan berkilauan, mulutnya yang mungil itu mengulum senyum dan setelah mengerling dan tersenyum malu-malu kepada Beng Sin, memberi hormat, dia lantas melarikan diri dengan langkah-langkah kecil ke dalam rumah, membanting dirinya di atas pembaringan dalam kamarnya dan... menangis karena girang!

Ciok-piauwsu dan isterinya, calon ayah dan ibu mertua Beng Sin, menyambut pemuda itu dengan girang, dan mereka lalu mendengarkan dengan wajah serius pada saat Beng Sin menceritakan segala yang sudah dialaminya. Pemuda ini merasa bahwa apa bila dia mau menjadi keluarga mereka ini, dia harus menceritakan segala keadaannya. Tentu saja dia tidak mau menceritakan keburukan ayah kandung sendiri.

Dan yang mula-mula sekali dikatakannya adalah, "Saya telah membunuh kakak tiri saya sendiri..."

Tentu saja pengakuan ini mengejutkan Ciok-piauwsu serta isterinya. Akan tetapi setelah Beng Sin menceritakan segalanya, tentang perbuatan Siong Bu yang mencelakakan Lan Lan dan Lin Lin, juga tentang pertempuran yang terjadi di antara mereka karena marah, kemudian tentang kematian Siong Bu dalam perkelahian itu, Ciok-piauwsu menarik napas panjang dan berkata,

"Engkau tak bersalah dalam hal itu. Tewas dalam perkelahian memperebutkan kebenaran adalah sudah jamak."

Besar hatinya mendengar pendapat calon ayah mertuanya ini, Beng Sin lalu menceritakan segala-galanya. Betapa ayah dan ibunya sudah berpisah, dan ibunya kini menjadi nikouw dan tak mau lagi mencampuri urusan duniawi. Betapa dia sendiri menjadi bentrok dengan ayahnya karena peristiwa kematian kakak tirinya itu, maka dia sendiri tidak ingin kembali kepada ayah kandungnya. Betapa ibunya, sebagai seorang nikouw, merestui perjodohan yang diusulkan oleh keluarga Ciok.

Semua itu didengarkan oleh suami isteri dengan penuh kesungguhan hati dan juga rasa kagum. Pemuda calon menantunya ini benar-benar seorang yang sangat jujur, tidak mau menutupi segala keburukan keluarganya sendiri. Masih jauh lebih baik memiliki seorang mantu yang jujur seperti ini dari pada kalau menyembunyikan dan merahasiakan segala kebusukan keluarganya. Dengan bersikap jujur seperti itu, Beng Sin sudah membuktikan bahwa dia tidaklah busuk seperti kakak tirinya atau ayah kandungnya sendiri!

"Saya sendiri sungguh mati tak pernah dapat mengerti kenapa ayah kandung dan kakak tiri saya begitu tega untuk mencelakakan Lan-moi dan Lin-moi, mau menyerahkan mereka kepada pangeran keparat itu!" Akhirnya Beng Sin berkata sambil mengepal tinjunya. "Apa bila saya berkepandaian, tentu akan saya tolong Lan-moi dan Lin-moi! Akan tetapi apa daya saya terhadap seorang seperti pangeran itu?"

"Tenangkan hatimu, Beng Sin," kata calon ayah mertuanya. "Kini kedua orang adikmu itu telah selamat."

"Ehhh? Bagaimana... ehh, gak-hu (ayah mertua) bisa tahu...?" Biar pun agak malu-malu, dia tak ragu-ragu lagi menyebut ayah mertua sehingga menggirangkan hati Ciok-piauwsu.

"Mereka telah diselamatkan oleh kakak tiri mereka yang bernama Liong begitu, demikian menurut pendengaranku, dan mereka kini bahkan telah kembali ke rumah Ciang-piauwsu ketua Hek-eng Piauwkiok yang menganggap mereka seperti anak sendiri, bahkan mereka datang bersama ayah mereka."

Muka yang gemuk itu memandang dengan mulut melongo, merasa terheran-heran akan tetapi juga girang sekali mendengar bahwa Lan Lan dan Lin Lin selamat.

"Ahh, tentu Sin Liong yang menyelamatkan mereka! Sin Liong hebat sekali! Dan mereka berada di kota ini? Bersama ayah?" Pertanyaan terakhir ini bernada tak senang.

"Benar, dan mereka kini sudah membeli rumah sendiri. Engkau harus cepat mengunjungi ayahmu beserta adik-adikmu itu, Beng Sin. Kami girang bahwa engkau dapat berkumpul dengan keluargamu yang kini telah pindah ke sini. Sungguh kebetulan sekali dan mudah untuk mengesahkan perjodohan antara engkau dan Siu Lan."

Akan tetapi wajah yang gemuk dan bulat itu menjadi muram dan dia menggeleng kepala. "Saya tidak akan mengunjungi ayah..."

Suami isteri itu saling pandang, kemudian Ciok-piauwsu pun berkata dengan nada suara bersungguh-sungguh, "Beng Sin, kami mengharap engkau tidak mengecewakan hati kami dengan melesetnya pandangan kami tentang dirimu. Kami sudah memandangmu sebagai seorang pemuda gagah perkasa yang baik budi serta bijaksana. Akan tetapi, semua itu akan menjadi tak ada gunanya bila sekarang engkau hendak bersikap murtad dan kejam terhadap ayah kandung sendiri."

"Akan tetapi, gak-hu..., hanya saya yang tahu betapa jahatnya dia... betapa kejamnya... ahh, sudah terlalu banyak hal keji dilakukan ayah... saya merasa malu sendiri... bahkan puteri-puterinya sendiri pun ingin diserahkan kepada pangeran itu, seperti domba-domba diserahkan kepada jagal untuk disembelih..."

"Cukup, Beng Sin!" Tiba-tiba Ciok-piauwsu berkata dengan suara keras dan tegas. "Kami tidak ingin mendengar keburukan-keburukan orang, apa lagi kalau orang itu adalah ayah kandungmu. Betapa pun banyaknya penyelewengan yang pernah dilakukannya, apakah engkau sebagai puteranya tidak menaruh hati kasihan dan tak mau memaafkannya? Dia sekarang... ahhh, sakit parah..."

"Ahhh...?" Beng Sin terkejut.

"Benar, Beng Sin," sambung ibu mertuanya. "Ayahmu itu sedang menderita penyakit yang payah, maka sebaiknya kalau engkau cepat menengoknya agar hati orang tua itu terhibur. Juga, kasihan dua orang adikmu itu yang merasa bingung melihat ayah mereka sakit."

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Mendengar betapa Kui Hok Boan sakit payah, dan kedua orang gadis kembar itu menjadi bingung, timbul rasa kasihan di dalam hati Beng Sin. Betapa pun juga, ayah kandungnya atau bukan, Kui Hok Boan adalah orang yang telah melimpahkan banyak budi kebaikan kepadanya. Dan dia sangat menyayang dua orang dara kembar itu, bahkan dia pernah jatuh hati kepada Lin Lin sebagai seorang pria yang mencinta wanita, sungguh pun kini cintanya itu berubah menjadi cinta seorang kakak terhadap seorang adiknya.

"Baik, saya akan pergi mengunjungi mereka."

Giranglah hati ayah dan ibu mertua ini dan mereka lalu menunjukkan jalan ke arah rumah tinggal Lan Lan, Lin Lin, dan ayah mereka. Dengan jantung berdebar Beng Sin menuju ke rumah yang cukup besar itu. Kiranya, dengan bantuan keluarga Ciang-piauwsu, Kui Hok Boan kini membeli sebuah rumah, tentu saja yang mengurusnya adalah Ciang-piauwsu bersama Kui Lan dan Kui Lin, dan tinggal di rumah ini.

Kui Lan dan Kui Lin menggunakan uang hasil penjualan perhiasan untuk membeli rumah dan perabot-perabot rumah, kemudian sisa harta mereka itu mereka serahkan kepada ayah angkat mereka, Ciang-piauwsu ketua Hek-eng Piauwkiok, untuk dijalankan hingga modal itu dapat menghasilkan keuntungan sehingga tak akan habis dimakan menganggur begitu saja.

Ketika Kui Lan dan Kui Lin melihat siapa orangnya yang datang berkunjung, keduanya menjadi girang dan juga terharu. Mereka menubruk dan memegangi kedua tangan Beng Sin sambil menangis.

"Sin-ko...!" Kui Lan terisak.

"Sin-ko, kenapa baru sekarang kau muncul?" Kui Lin juga menangis.

Beng Sin tidak dapat menahan runtuhnya beberapa butir air matanya melihat dua orang dara kembar yang amat disayangnya ini. "Lan-moi... Lin-moi... terima kasih kepada Thian bahwa kalian dalam selamat...," katanya berulang-ulang.

Dia terharu sekali memandang wajah Kui Lan yang ternyata sekarang adalah adik tirinya, sedarah dengan dia, seayah!

"Kami diselamatkan oleh Liong-koko," kata Kui Lan.

"Dan Liong-koko yang menyuruh kami membawa ayah pindah ke sini," sambung Kui Lin.

Sukar bagi mulut Beng Sin untuk bertanya mengenai ayahnya. Ahhh, sudah tahukah dua orang dara kembar ini bahwa dia adalah saudara sedarah dengan mereka? Dan sudah dengarkah mereka mengenai kematian Siong Bu? Yang paling buruk harus dibicarakan lebih dulu, pikirnya, maka dia lalu berkata,

"Lan-moi dan Lin-moi, aku... aku telah... membunuh Bu-ko..."

Dua orang dara itu mengangguk dan mengusap air mata, "Kami sudah mendengar semua itu dari Liong-koko, Sin-ko," kata Kui Lan.

"Bukan salahmu, Sin-ko, Bu-ko memang jahat dan dia tewas dalam perkelahian karena engkau membela kami... ahh, kami sudah tahu akan semua itu dari Liong-koko dan dari... dari ayah..."

"Kami berdua sudah tahu bahwa engkau adalah putera kandung ayah pula, seperti juga mendiang Bu-ko. Ah, kami sudah mendengar banyak, Sin-ko... tentang ayah... dia... dia..." Kui Lan tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis.

Dari kata-kata ayah mereka yang sering mengigau dan bicara sendiri itu, maka akhirnya keluarlah semua rahasia Kui Hok Boan dan tahulah kedua orang dara kembar itu betapa ayahnya dahulu adalah seorang yang amat kejam dan jahat, yang telah menganiaya dan merusak banyak sekali wanita. Ayah mereka adalah seorang lelaki mata keranjang yang suka merayu dan menyia-nyiakan wanita yang sudah menjadi korbannya. Bahkan mereka tahu pula bahwa pembunuh ayah Bhe Bi Cu, teman Sin Liong itu, juga ternyata adalah ayah mereka sendiri.

Beng Sin mengangguk-angguk. Agak ringan hatinya setelah mendengar bahwa dua orang adiknya ini pun sudah tahu segala hal mengenai ayah mereka. "Bagaimana... ayah...?" tanyanya dengan kaku karena dia masih belum dapat menerima kenyataan bahwa Kui Hok Boan adalah ayah kandungnya sendiri. "Aku mendengar dari keluarga Ciok bahwa dia sakit payah?"

Kui Lan hanya mengangguk, akan tetapi Kui Lin menerangkan, "tubuhnya tidak apa-apa, Sin-ko. Jasmaninya tidak sakit akan tetapi..."

"Tetapi bagaimana?" Beng Sin mendesak, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar, dia hampir merasa dapat mengerti.

"Pikirannya... batinnya terpukul hebat dan dia... dia..."

"Seperti anak kecil, atau seperti orang bingung, selalu dalam keadaan duka dan sesal. Sungguh kasihan sekali dia, Sin-ko," Kui Lan menyambung.

Beng Sin lalu diantar oleh dua orang adiknya, digandeng di kanan kiri, menuju ke dalam dan dengan hati-hati Kui Lan membuka kamar ayahnya.

Terharu bukan main hati pemuda gemuk yang memang berbudi ini ketika melihat orang tua itu. Kui Hok Boan yang dahulu terkenal sebagai seorang pria tampan dengan pakaian yang selalu rapi itu kini bagaikan seorang jembel tua saja. Pakaiannya kusut, rambutnya kusut, tubuhnya kurus kering, matanya sayu dan walau pun kamar itu lengkap dengan pembaringan dan kursi, namun orang tua itu rebah di atas lantai kamar! Dia menoleh dan ketika bertemu pandang dengan Beng Sin, dia bangkit duduk dan melebarkan matanya.

"Ayah, ini Sin-ko datang menjenguk," kata Kui Lan.

"Ayah, ini kakak Beng Sin. Lupakah ayah kepadanya?" Kui Lin mengingatkan.

"Beng Sin... Beng Sin... anakku...," kata orang tua itu lirih seperti berbisik.

Beng Sin tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan orang tua itu sambil menitikkan air mata. "Ayah...!" Dia tidak mampu bicara apa-apa lagi kecuali menyebut ayah kepada orang tua itu. Mau bicara apakah?

"Beng Sin, engkau anakku... ya, engkau telah membunuh Siong Bu! Kenapa engkau tidak membunuh aku sekalian? Bunuhlah aku, Beng Sin, seperti aku sudah membunuh ibumu, Tee Cui Hwa, seperti aku telah membunuh ibu Siong Bu, Kwan Siang Li, seperti aku telah membunuh Liong Si Kwi. Ya, ibu-ibu kalian sudah mati di tanganku semua... hu-huk, mati karena aku... bunuhlah aku... hu-huk-huhhhh..." dan orang tua itu pun menangis seperti anak kecil!

Beng Sin terkejut dan memandang dengan muka pucat. Kui Lin lalu menarik tangan Beng Sin, diajaknya bangun dan mereka lalu meninggalkan orang tua itu. Kui Lan menutupkan kembali daun pintu kamar itu perlahan-lahan. Suara isak tangis orang tua itu masih terus terdengar.

"Dia selalu begitu...," kata Kui Lin berbisik. "Jika ditanggapi malah semakin menjadi-jadi. Sebaiknya didiamkan dan dia akan tertidur."

Beng Sin menggeleng-geleng kepalanya. "Sungguh kasihan sekali ayah kita... dia harus menderita batin seperti itu..."

"Itukah hukum karma? Siapa menanam bibitnya dia akan memetik buahnya?" kata Kui Lin meragu.

"Betapa pun juga, itu merupakan pelajaran bagi kita semua. Ayah kita pernah melakukan kesesatan dalam kehidupannya, biarlah itu memperingatkan kita supaya kita tidak sampai melakukan penyelewengan dan menjadi sesat," kata Kui Lan.

Memang tiga orang anak dari Kui Hok Boan ini tadinya merasa tidak senang akan segala perbuatan jahat ayah kandung mereka dan ada perasaan benci dalam hati mereka. Akan tetapi sesudah menyaksikan keadaan ayah mereka yang sedemikian mengenaskan, lebih menyedihkan dari pada mati sendiri, hidup akan tetapi menderita dalam kedukaan dan penyesalan yang tiada habisnya, timbullah rasa iba.

Apakah artinya segala penyesalan setelah terlambat? Dan apakah gunanya penyesalan? Penyesalan dianggap benar oleh umum karena penyesalan akan membuat orang sadar kembali. Akan tetapi benarkah demikian? Ataukah penyesalan sekedar menjadi hiburan saja bagi si pelaku, hiburan untuk menutupi batinnya yang menderita karena perbuatan dirinya sendiri?

Betapa seringnya kita menyesal, tetapi betapa seringnya pula perbuatan yang sama kita lakukan dan kita ulang kembali! Orang yang berbatin lemah dan tumpul selalu berada di dalam keadaan tidak waspada dan tidak sadar, sehingga mudah saja dibuai bayangan kesenangan, dan kalau sudah menghadapi kesenangannya, maka tidak teringat apa-apa lagi, tidak teringat akan akibatnya.

Orang yang batinnya lemah dan tumpul seperti itu hanya mementingkan kesenangan. Sesudah kesenangan yang dinikmatinya itu kemudian mendatangkan akibat yang tidak menyenangkan, barulah dia merasa menyesal! Coba andai kata tidak ada akibat yang mendatangkan derita, apakah dia akan menyesali perbuatannya mengejar kesenangan itu? Tentu saja tidak!

Sama halnya dengan orang makan sambal. Setiap kali habis makan, lantas kepedasan dan menyesal, menyatakan tobat dan kapok. Akan tetapi di lain saat dia sudah makan sambal lagi!

Demikian pula orang yang melakukan penyelewengan, menyesal dan menangis, bertobat melalui mulut kepada Tuhan. Namun begitu berhadapan dengan bayangan kesenangan yang sama, maka perbuatan itu akan diulang untuk kemudian menyesal dan bertobat kembali. Bila kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, dapatkah kita menyangkal kenyataan yang benar ini?

Bukan penyesalan yang kita perlukan dalam hidup. Yang terpenting adalah kewaspadaan dan kesadaran yang timbul karena mengamati diri sendiri setiap saat. Pengamatan inilah yang kemudian menimbulkan kebijaksanaan serta kecerdasan, yang akan meniadakan penyelewengan dan kesesatan. Dan bila tidak ada penyelewengan dan kesesatan, tidak perlu lagi ada penyesalan dan bertobat.

Kalau pun kecerdasan dan kebijaksanaan yang timbul dari kewaspadaan melihat bahwa apa yang kita lakukan tidak benar, maka seketika itu juga kita menghentikan perbuatan tidak benar itu dan selesai sampai di sana saja. Tidak ada penyesalan, juga tidak ada kerinduan terhadap perbuatan yang lalu itu. Yang lampau sudah mati, sudah habis dan kewaspadaan adalah sekarang, saat ini, saat demi saat. Hidup adalah saat demi saat, bukan kemarin, bukan esok. Akan tetapi sekarang. Karena itu hidup waspada dan sadar adalah sekarang ini!

Yang teramat penting dalam hidup adalah sekarang ini. Sekarang benar! Apakah benar itu? Tidak dapat diterangkan, karena yang dapat diterangkan hanyalah benarnya sendiri, benarnya masing-masing, maka terjadilah perebutan kebenaran sendiri-sendiri, dan jelas hal ini adalah tidak benar lagi! Akan tetapi, apa pun yang kita lakukan, apa bila didasari dengan cinta kasih, maka benarlah itu! Dan cinta kasih tak akan ada selama di situ ada si aku yang ingin benar, ingin senang, ingin baik dan sebagainya.

Melihat keadaan ayahnya, Beng Sin minta kepada calon mertuanya supaya pernikahan diundurkan, menanti sampai ayahnya sembuh atau setidaknya agak normal keadaannya. Karena pada waktu itu, ketika mendengar laporan anak-anaknya tentang perjodohan itu, dia hanya mengangguk saja atau menangis!

               ***************

 Beberapa hari sebelum hari yang ditetapkan untuk pertemuan para tokoh kang-ouw itu tiba, daerah di Lembah Naga sudah dibanjiri oleh banyak orang kang-ouw. Juga banyak partai-partai persilatan yang mengutus rombongan anak murid untuk datang berkunjung, bukan untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jago nomor satu di dunia, namun untuk menyaksikan pemilihan itu dan untuk melihat siapa yang akan menjadi bengcu.

Tentu saja para utusan itu diberi wewenang untuk menentang kalau pemilihan itu kurang tepat, dan tentu saja mereka pun boleh turun tangan jika untuk membela nama partainya sendiri. Partai-partai persilatan yang termasuk golongan putih atau golongan bersih tentu sudah memesan kepada para utusannya agar tidak mencari permusuhan, dan membuka mata dan telinga dengan waspada menyaksikan perkembangan pemilihan bengcu itu.

Selain tokoh-tokoh kang-ouw perorangan, baik dari golongan hitam mau pun putih, maka nampak bendera-bendera yang dibawa oleh rombongan anak murid dari partai persilatan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai, dan bahkan Siauw-lim-pai juga tidak ketinggalan mengutus rombongannya. Di samping empat partai besar ini, masih terdapat pula banyak partai-partai kecil.

Di antara banyak orang itu, yang jumlahnya hampir ada dua ratus orang, terdapat empat orang pendekar atau dua pasangan suami isteri yang berpakaian sederhana, akan tetapi apa bila para tokoh kang-ouw itu mendengar nama mereka, tentu orang-orang itu akan menjadi gempar. Dua pasangan suami isteri ini adalah Yap Kun Liong bersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong.

Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut bukan kepalang ketika mereka bertemu dengan kakak-kakak mereka itu dan mendengar bahwa kakak-kakak mereka itu menerima surat dari Lie Ciauw Si bahwa kini dara itu sudah menikah dengan Pangeran Ceng Han Houw dengan upacara pernikahan di kuil tanpa disaksikan keluarga!

Karena pangeran berada dalam keadaan terancam bahaya dan terdesak, maka kami pun terpaksa mengambil keputusan menikah di kuil, demikian antara lain bunyi surat Ciauw Si. Selain mohon maaf kepada ibu kandungnya, juga dara itu menyatakan bahwa dia dengan sang pangeran sudah saling mencinta dan hanya kematian sajalah yang akan mampu memisahkan mereka satu dari yang lain.

"Aihh, mengapa anak-anakku begitu bodoh...," keluh Cia Giok Keng, keluhan yang sudah dikeluarkan berkali-kali. Hati ibu ini berduka sekali mengingat akan nasib Lie Seng dan Lie Ciauw Si, dua orang anaknya yang dianggap keliru memilih jodoh.

Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong merasa penasaran sekali mengapa Ciauw Si dapat terpikat oleh pangeran pemberontak murid dari Hek-hiat Mo-li itu. Hanya Yap Kun Liong seorang yang tidak mengeluarkan kata-kata, akan tetapi di dalam hatinya pendekar yang sudah matang oleh gemblengan pengalaman hidup ini mengerti apa artinya orang jatuh cinta dan dia sama sekali tidak dapat menyalahkan Lie Seng mau pun Lie Ciauw Si.

"Lalu apa yang harus kita lakukan, enci Keng?" Cia Bun Houw bertanya kepada enci-nya, "Kita datang ke Lembah Naga ini sebagai utusan kerajaan untuk menyelidiki dan kalau perlu menentang gerakan Ceng Han Houw, namun ternyata pangeran itu sudah menjadi mantumu dan Ciauw Si berada di fihaknya sebagai isterinya!"

Memang amat sukar untuk mengambil keputusan, menghadapi keadaan seperti itu. Akan tetapi dengan suara gemetar tanda bahwa hatinya terguncang hebat, Cia Giok Keng yang kini mulai nampak tua dalam usianya yang lima puluh tahun itu, berkata lantang,

"Biar anak sendiri sekali pun, kalau salah harus kita tentang, dan biar bukan orang sendiri, kalau benar juga haruslah kita bela!"

Yap Kun Liong merasa kasihan sekali kepada isterinya yang tercinta ini. Dia lalu berkata dengan suara yang halus, "Kita lihat saja bagaimana keadaannya nanti dan bagaimana perkembangannya. Sama sekali kita tidak boleh hanya menuruti dorongan perasaan hati. Seorang gagah harus adil dan bijaksana, oleh karena itu kita harus waspada dan dapat mengambil tindakan yang setepat-tepatnya. Menyalahkan atau membenarkan orang lain menurutkan perasaan hati sendiri sering kali menyesatkan."

Tiga orang pendekar lainnya mengangguk dan secara diam-diam membenarkan ucapan itu. Memang teringat oleh mereka betapa keluarga Cin-ling-pai semenjak dahulu dilanda kekecewaan-kekecewaan dan penyesalan-penyesalan, bahkan nyaris dilanda oleh bahaya perpecahan akibat pandangan-pandangan yang terlalu menurutkan perasaan hati sendiri.

Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng sudah mengalami pahit getirnya akibat dari pandangan seperti itu. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong sudah pula merasakan betapa sampai bertahun-tahun mereka harus pergi meninggalkan keluarga Cin-ling-pai akibat pandangan mendiang ayah Bun Houw yang menentang perjodohan itu.

Kemudian, terjadi pula pada diri Lie Seng yang memilih jodoh yang tidak disetujui oleh ibu kandungnya dan keluarganya. Kini terulang kembali oleh Ciauw Si! Dan justru apa yang dilakukan oleh Ciauw Si merupakan puncaknya, yang terhebat di antara semua keturunan Cin-ling-pai. Ciauw Si memilih orang yang justru merupakan musuh keluarga Cin-ling-pai sebagai jodohnya, dan bahkan kini menjadi musuh kerajaan, menjadi pemberontak besar! Benar-benar sukar bagi mereka membayangkan kemungkinan seperti ini.

Lembah Naga menjadi ramai dan kini tampaklah barisan penjaga yang berpakaian indah dan bersenjata lengkap memenuhi kedua tepi jalan semenjak dari luar daerah sampai ke daerah Lembah Naga, berdiri dengan hormatnya menyambut para tokoh kang-ouw yang berbondong-bondong memasuki daerah itu. Orang-orang kang-ouw itu diam-diam terkejut juga menyaksikan betapa tempat itu telah terjaga sedemikian kuatnya oleh pasukan yang ratusan orang jumlahnya, bahkan mungkin tidak kurang dari seribu orang!

Dan ketika mereka tiba di Istana Lembah Naga, ternyata tempat itu sudah dihias dengan meriah seperti hendak mengadakan pesta besar. Ruangan depan yang sangat luas dan dapat menampung seribu orang itu dihias dan nampak meja kursi dijajar rapi, sedangkan bagian tengahnya dibiarkan kosong.

Pangeran Ceng Han Houw memang amat cerdik. Dia segera tahu dari para penyelidiknya siapa-siapa yang datang menghadiri rapat itu, karena itu dia pun sengaja menyuruh para pembantunya yang tidak terkenal untuk menyambut di depan istana dan mempersilakan semua tamu itu duduk ke ruangan depan. Dengan demikian, maka di antara para tamu itu tidak ada yang merasa sungkan.

Apa lagi dia pun mendapat kabar bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai yang tadinya menjadi buronan pemerintah itu juga datang! Apa bila dia sendiri yang maju menyambut, tentu dia harus memberi hormat kepada ibu kandung Ciauw Si dan keluarganya, dan dia belum dapat membayangkan bagaimana sikap mereka setelah mendengar bahwa Ciauw Si menjadi isterinya.

Dan tindakannya ini melegakan hati banyak tamu, terutama sekali empat orang pendekar Cin-ling-pai itu yang juga belum dapat menentukan bagaimana sikap mereka seandainya pangeran itu sendiri yang menyambut. Mereka menyusup di antara banyak tamu lantas memilih tempat duduk agak di sebelah luar sehingga tidak terlalu menyolok.

Ketika empat orang pendekar Cin-ling-pai ini sudah mengambil tempat duduk dan mereka mencari-cari dengan pandang mata mereka, tidak atau belum nampak adanya Pangeran Ceng Han Houw atau Lie Ciauw Si. Bahkan juga Sin Liong tidak nampak.

Memang mereka masih berada di dalam istana, mereka berempat, yaitu Ceng Han Houw, Lie Ciauw Si, Sin Liong dan Bi Cu. Baru saja Pangeran Ceng Han Houw mengumpulkan pembantu-pembantunya yang lain, yaitu Kim Hong Liu-nio, Hek-hiat Mo-li, Hai-liong-ong Phang Tek dan yang lain-lain, memberi perintah-perintah kepada mereka. Barulah dia kini mengadakan perundingan dengan isterinya, yang dihadiri oleh Sin Liong dan Bi Cu.

Wajah Ciauw Si nampak agak pucat. Jelas bahwa dia merasa gelisah sekali mendengar bahwa ibu kandungnya hadir pula di situ bersama ayah tirinya, paman dan bibinya.

"Aku... aku bingung sekali, tidak tahu bagaimana harus bertemu dengan ibuku," katanya "Bagaimana kalau beliau dipersilakan masuk saja sehingga aku dapat menghadapnya di sini?"

Ceng Han Houw menggelengkan kepala. "Kurasa hal itu kurang bijaksana, Si-moi. Ingat bahwa beliau pada saat ini menjadi tamu agung di antara orang-orang kang-ouw, maka kalau dipersilakan masuk, tentu beliau merasa tersinggung karena tentu akan menjadi bahan percakapan para tamu lain. Biarlah urusan pribadi dapat kita selesaikan kemudian, Si-moi. Yang paling penting sekarang kita harus menyelesaikan urusan perjuangan seperti yang sebelumnya telah kita rundingkan bersama. Kita berdua, dan ditemani oleh Liong-te, harus keluar menyambut tamu." Pangeran itu sejenak memandang isterinya yang sudah berpakaian indah. "Kulihat engkau sudah siap, Si-moi, dan engkau juga, Liong-te. Kalian menemaniku keluar, sebagai isteriku dan sebagai adik angkatku, juga sebagai pembantu-pembantuku yang paling dapat kuandalkan. Hanya kalian yang mendampingi aku keluar. Harap kau tinggal di dalam istana, nona Bhe, karena selain kurang baik memperkenalkan engkau sebagai tunangan Liong-te, juga kami menghadapi orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi dan berbahaya sekali, maka lebih aman kalau berada di sini saja."

Bi Cu tidak menjawab melainkan memandang kepada Sin Liong. Jelas bahwa dia sudah menyerahkan keputusannya kepada kekasihnya itu. Sin Liong memandang Bi Cu, lantas mengangguk.

"Memang sebaiknya engkau menunggu di dalam, Bi Cu. Di luar berbahaya kalau sampai terjadi keributan, tetapi kuharap saja tidak demikian," katanya sambil melirik kepada sang pangeran yang hanya tersenyum.

Mendengar ucapan ini, Bi Cu mengangguk. "Baiklah, sungguh pun aku akan merasa jauh lebih aman apa bila berada di dekatmu, Sin Liong. Akan tetapi aku pun tidak mau menjadi pengganggu kalian."

Sesudah berkata demikian, Bi Cu bangkit dari kursinya dan kembali ke dalam kamarnya. Jelas bahwa dia kecewa sekali, akan tetapi Sin Liong merasa bahwa memang lebih baik kalau Bi Cu tinggal di kamarnya, dari pada harus menghadapi peristiwa besar itu, di mana dia harus waspada dan siap untuk turun tangan apa bila perlu, sedangkan kalau Bi Cu berada di depan, dia kurang leluasa karena harus melindungi kekasihnya itu.

Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Sin Liong dan Ciauw Si lalu berjalan keluar mengapit sang pangeran yang tampak tenang-tenang saja, malah senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya. Ciauw Si berjalan di sebelah kanannya, ada pun Sin Liong berjalan di sebelah kirinya.

Semua tamu mengangkat kepala memandang ke dalam ketika terdengar pengumuman keras dari seorang komandan yang berpakaian gagah bahwa sang pangeran akan keluar menyambut para tamu yang terhormat. Pintu sebelah dalam ruangan itu terbuka lebar dan muncullah tiga orang muda itu yang membuat para tamu terbelalak penuh kagum.

Pangeran Ceng Han Houw kelihatan gagah dan tampan sekali dalam pakaiannya yang serba indah, pakaian seorang pangeran dari sutera biru dengan baju tertutup mantel bulu yang amat indah. Sebuah topi bulu yang sama dengan mantelnya itu menutupi kepalanya, dihias dengan sehelai bulu burung yang berwarna merah.

Dia berjalan tegak dan halus, pandang matanya bersinar-sinar, menyambar-nyambar ke ruangan yang luas itu, mulutnya tersenyum dan sedikit pun dia tidak kelihatan canggung atau gugup, Sikap seorang pangeran tulen, juga sikap seorang yang gagah perkasa.

Lie Ciauw Si nampak cantik sekali dalam pakaiannya yang juga mewah dan indah sekali. Wajahnya gemilang dan jelita sekali, dan dia pun melangkah dengan sikap tenang dan gagah di samping suaminya. Sungguh seorang puteri yang cantik jelita dan agung, dan kelihatan begitu serasi dengan pangeran di sampingnya.

Betapa pun juga, karena maklum bahwa di antara ratusan pasang mata yang menatapnya itu terdapat sepasang mata ibunya, jantung Ciauw Si terasa berdebar kencang.

Cia Giok Keng tak dapat menahan diri dan dia cepat-cepat mengusap air matanya dengan sapu tangan pada saat melihat puterinya demikian cantik dan agungnya di samping sang pangeran. Harus diakui bahwa pilihan puterinya itu memang tidaklah keliru. Pangeran itu amat tampan dan gagah. Akan tetapi, apa bila dia mengingat bahwa pangeran itu adalah seorang pemberontak, dan bahkan murid dari musuh besar Cin-ling-pai, hatinya seperti ditusuk.

Tiba-tiba dia merasa tangannya digenggam tangan lain dengan halus dan mesra. Tahulah dia bahwa tangan suaminya yang menggenggam tangannya itu, maka dia menarik napas panjang dan dapat menahan perasaannya, dapat memandang pula dan air matanya pun berhenti mengalir.

Empat orang pendekar ini mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong juga berjalan di samping kiri sang pangeran. Hati mereka diliputi perasaan marah, bahkan Yap Kun Liong yang biasanya tak mudah marah dan memiliki pandangan yang luas itu pun mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak dapat mengerti mengapa anak itu bisa diperalat oleh Pangeran Ceng Han Houw.

Bukankah anak itu pernah menjadi pilihan orang-orang sakti seperti mendiang Cia Keng Hong dan mendiang Kok Beng Lama? Mungkinkah dua orang sakti itu salah pilih dan di dalam tubuh anak yang berbakat ini terdapat batin yang rendah?

Dia bergidik melihat sepasang mata anak muda itu yang mencorong, bahkan lebih tajam dari pada sinar mata sang pangeran sendiri, ada pun wajah pemuda itu membayangkan keteguhan dan kekerasan hati. Bagaimana mungkin wajah seperti itu kini dimiliki seorang yang dapat diperalat sedemikian mudahnya oleh pemberontak ini?

Dari tempat duduk para tamu, semua orang dapat melihat pangeran bersama dua orang pendampingnya itu, karena memang tempat itu lebih tinggi. Sesudah pangeran bersama Ciauw Si dan Sin Liong mengangguk ke arah tamu, mereka lalu duduk di kursi-kursi yang sudah disediakan, yaitu di bagian dalam ruangan dan kurang lebih satu meter lebih tinggi dari pada tempat duduk para tamu.

Dari tempat duduknya pangeran menyapu seluruh tamu dengan sinar matanya dan dia dapat melihat keluarga Cin-ling-pai di sebelah luar, akan tetapi dia pura-pura tidak melihat mereka, sungguh pun hatinya merasa gembira sekali. Kalau saja dia mampu membujuk mereka itu membantunya, tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Selain itu, andai kata tidak berhasil sekali pun, dia akan dapat membuktikan bahwa dia lebih lihai dari pada mereka sehingga julukan jago nomor satu di dunia patut dia miliki!

Akan tetapi, Ciauw Si yang memang merasa ngeri untuk bertemu pandang dengan ibu kandungnya di tempat penuh orang itu, lebih banyak menunduk dan membatasi pandang matanya agar jangan sampai bentrok dengan pandang mata ibu kandungnya. Sebaliknya, dengan berani Sin Liong juga menyapukan pandang matanya ke arah semua tamu, dan dia melihat betapa empat pasang sinar mata keluarga Cin-ling-pai memandang padanya dengan marah.

Dia pun mengerti akan isi hati mereka, akan tetapi, dia tidak peduli. Kalian akan melihat bahwa aku bukan membantu pangeran ini, melainkan melindungi Bi Cu, pikirnya.

Kini semua tamu sudah berkumpul semua dan ternyata jumlah mereka tidak kurang dari tiga ratus orang! Namun ruangan yang luas itu sama sekali tidak kelihatan penuh, bahkan masih tampak kursi yang kosong di sebelah luar. Semua tamu merasa tegang dan juga gembira.

Ruangan itu selain luas dan sejuk karena memperoleh angin dari luar yang terbuka, juga dihias indah dan megah. Pilar-pilarnya yang besar itu dicat putih, dan dihias kertas-kertas kembang. Langit-langitnya juga penuh dengan kertas-kertas berwarna dan lampu-lampu teng bermacam-macam bentuk dan warna. Kain-kain sutera warna-warni menghias pula tempat yang luas itu. Kursi-kursinya terbuat dari kayu yang terukir halus, demikian pula meja-mejanya. Guci-guci kuno terdapat di sudut-sudut dengan ukiran arca-arca binatang yang seperti hidup.

Ketika para pelayan datang menyuguhkan arak yang amat baik dengan guci-guci perak, para tamu menjadi semakin gembira. Setiap orang tamu menerima sebuah cawan perak yang terukir indah, maka mulailah mereka minum arak sehingga ruangan itu penuh bau arak yang sedap.

Setelah melihat semua tamu sudah menerima hidangan arak, Pangeran Ceng Han Houw lalu bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi sedang itu kelihatan tegak lurus dan nampak wajahnya yang tampan berseri-seri. Tiba-tiba terdengar suara mengguntur dari komandan jaga yang juga bertugas sebagai pengatur tata tertib,

"Silakan cu-wi menaruh perhatian, sang pangeran hendak bicara!"

Sebetulnya tidak perlu komandan ini berteriak karena semua tamu sudah memandang ke arah pangeran itu, dan semua suara berisik telah berhenti. Suasana menjadi sunyi sekali, semua mata kini ditujukan kepada orang yang sudah berani mengundang seluruh kaum kang-ouw tanpa pilih bulu itu.

Biasanya pertemuan orang kang-ouw hanya dihadiri oleh golongan mereka sendiri. Andai kata partai Siauw-lim-pai yang mengadakan pertemuan hendak membicarakan keadaan masyarakat, atau juga membicarakan soal persilatan, tentu yang diundang oleh partai itu hanyalah partai-partai bersih lainnya atau tokoh-tokoh golongan bersih, sama sekali tidak akan mengundang tokoh-tokoh sesat. Sebaliknya, golongan sesat pun kalau mengadakan pertemuan tentu tidak akan mengundang golongan bersih yang mereka anggap sebagai orang-orang sombong dan selalu menentang mereka.

Akan tetapi sekali ini, Pangeran Ceng Han Houw mengundang semua golongan, pendek kata, dunia persilatan tanpa membedakan antara yang mana pun juga! Tentu saja hal ini amat menarik, apa lagi ketika di dalam undangan itu disebutkan pula bahwa pertemuan itu dimaksudkan untuk memilih jago silat nomor satu di dunia!

Mereka sudah mendengar pula akan sepak terjang pangeran itu yang telah menundukkan tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan, bahkan sudah berani menantang ketua Siauw-lim-pai dan mengalahkan tokoh-tokohnya! Mereka mendengar berita bahwa pangeran ini memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa!

"Cu-wi yang mulia," terdengar suara pangeran itu, suaranya halus dan diucapkan secara perlahan saja akan tetapi dapat terdengar sampai jauh di luar ruangan itu karena dia telah mengerahkan tenaga khikang-nya sehingga pidato itu sekaligus merupakan demonstrasi kekuatan khikang-nya yang mengagumkan semua orang,

"Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran cu-wi. Seperti yang telah kami sebutkan di dalam surat selebaran atau undangan, pertemuan ini dimaksudkan untuk mengadakan pemilihan bengcu. Mengapa kita harus memilih seorang bengcu yang akan memimpin pergerakan seluruh rakyat jelata? Tentu cu-wi sudah mendengar akan tindakan-tindakan pemerintah yang kurang bijaksana! Semua orang tahu belaka betapa kaisar telah berlaku lalim, dengan menjatuhkan tuduhan memberontak terhadap orang-orang gagah perkasa! Juga akhir-akhir ini banyak pejabat tinggi yang bijaksana sudah ditangkapi, dan banyak perkumpulan-perkumpulan orang gagah di selatan yang telah diobrak-abrik oleh pasukan pemerintah! Oleh karena itu, kita orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan harus bertindak, menghimpun kekuatan untuk menentang kelaliman ini. Dan hal ini baru dapat dilaksanakan dengan baik apa bila kita mempunyai seorang bengcu yang bijaksana dan tangguh! Maka dari itu, kita berkumpul semua ini untuk lebih dulu memilih seorang yang mempunyai ilmu kepandaian silat paling tinggi, merupakan seorang yang paling lihai dan paling tangguh sehingga boleh disebut sebagai jago silat nomor satu di dunia dan dialah yang patut kita angkat menjadi seorang bengcu!"

Tiba-tiba terdengar suara nyaring berseru, "Kami tidak setuju...!"

Dan seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap berwajah tampan gagah seperti tokoh Si Jin Kui, berpakaian sederhana telah bangkit dari kursinya sambil mengacungkan kepalan tangan kanan ke atas. Semua orang tentu saja amat terkejut lantas menoleh kepadanya. Kiranya pemuda itu berdiri di antara kelompok yang membawa bendera Siauw-lim-pai.

Pangeran Ceng Han Houw ikut memandang dan tersenyum tenang. "Setiap orang tamu berhak untuk berbicara. Harap enghiong (orang gagah) yang bicara memperkenalkan diri sebelum mengemukakan alasannya tidak setuju!"

Dengan sinar mata berapi-api, pemuda Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu memandang kepada pangeran yang masih berdiri tenang, sedikit pun tak nampak gentar oleh wibawa pangeran itu, dan terdengar dia menjawab lantang.

"Saya bernama Ciu Khai Sun sebagai murid dan utusan Siauw-lim-pai kami. Atas nama Siauw-lim-pai saya menyatakan tak setuju dengan apa yang dikemukakan oleh pangeran tadi. Memilih seorang bengcu tentu saja tidak dapat disamakan dengan memilih seorang kepala tukang pukul. Seorang bengcu adalah pemimpin rakyat, karena itu dia harus dipilih berdasarkan kebijaksanaannya dan cinta kasihnya terhadap rakyat, bukannya diukur dari kepandaiannya bersilat. Kalau memilih kepala tukang pukul tentu saja dipilih yang paling kuat."

Terdengar suara tawa di sana-sini yang disambut oleh tepuk tangan menyambut ucapan lantang dari pemuda Siauw-lim-pai ini. Pangeran Ceng Han Houw juga tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas minta agar suasana menjadi tenang kembali.

"Harap Ciu-enghiong suka melanjutkan," katanya tenang.

"Kami fihak Siauw-lim-pai juga tidak setuju kalau memilih bencu mengingat akan keadaan negara, apa lagi kalau dipergunakan untuk menentang pemerintah! Itu namanya berbau pemberontakan. Bengcu di kalangan persilatan adalah seorang bijaksana yang tentu akan mencegah bentrokan-bentrokan, mengambil kebijaksanaan dengan musyawarah apa bila terjadi kesalah pahaman, bukan sekali-kali menuntun kita semua dalam pemberontakan terhadap pemerintah." Sesudah berkata demikian, pemuda gagah itu berhenti sebentar, memandang ke kanan kiri kemudian berkata kembali. "Hanya itulah pernyataan kami yang tidak setuju." Suasana menjadi berisik kembali karena para tamu berbisik-bisik dan saling bicara sendiri.

"Cu-wi harap tenang!" tiba-tiba saja terdengar suara pangeran itu yang mengatasi semua suara berisik....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 44



SEMUA orang memandang dan suasana menjadi tenang kembali. Ceng Han Houw masih tersenyum ramah, kemudian dia segera menyambung kata-katanya, "Terima kasih atas sambutan Cui Khai Sun enghiong wakil dari Siauw-lim-pai. Memang setiap orang atau golongan boleh saja mempunyai pendapat masing-masing. Akan tetapi kita berkumpul di sini bukan untuk memperebutkan kebenaran pendapat masing-masing. Kita berkumpul untuk melakukan pemilihan bengcu! Dan apa yang akan diperbuat oleh bengcu yang kita pilih kemudian, itu adalah urusan bengcu itu, dan setuju atau tidak setuju di antara kita boleh diajukan kepada bengcu. Mengatur apa yang akan dan tidak akan dilakukan oleh seorang bengcu, sedangkan bengcu itu sendiri belum dipilih, merupakan hal yang sia-sia saja, bukan? Kita akan memilih bengcu berdasarkan suara. Namun karena kita adalah orang-orang yang semenjak kecil belajar silat, maka pertemuan ini tidak akan lengkap bila tidak diadakan pertunjukan ilmu silat. Oleh karena itu, tentulah akan meriah dan menarik sekali apa bila kita mengadakan pemilihan jagoan nomor satu di dunia. Siapa pun boleh mengajukan diri sebagai calon dan aku sendiri sebagai fihak tuan rumah juga mengajukan diri, bersama jago pilihan kami, yaitu adik angkatku sendiri yang bernama Cia Sin Liong!"

Sin Liong kaget bukan main. Pertama dia terkejut karena namanya disebut-sebut sebagai calon jago pilihan pangeran dan sebagai adik angkat, ke dua dia terkejut karena she-nya disebut sebagai she Cia. Rahasianya telah dibongkar oleh pangeran itu di tempat itu, di mana hadir pula keluarga Cin-ling-pai, bahkan hadir pula di situ ayah kandungnya!

"Houw-ko," bisiknya. "Aku tidak dapat menerima ini!"

Sin Liong segera bangkit berdiri dan di antara para tamu ada yang bertepuk dan bersorak menyambut jago muda pilihan pangeran ini, akan tetapi Sin Liong segera berseru nyaring, "Cu-wi, maafkan. Akan tetapi aku tidak berniat menjadi jago apa pun, tidak ingin ikut-ikut memperebutkan pilihan jago silat. Pangeran hanya berkelakar saja!" Dan dia pun duduk kembali.

Ceng Han Houw tertawa dan berkata lagi dengan lantang, "Cu-wi, lihat betapa sederhana dan pemalunya adik angkatku ini. Akan tetapi mengenai ilmu silat... kiranya aku sendiri masih harus banyak belajar dari dia! Apa bila dia tidak mau menjadi calon jagoan, tidak mengapalah, akan tetapi aku mengangkat dia menjadi penguji! Calon-calon yang hendak memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia harus sanggup melawan dan menandingi kepandaian adik angkatku ini lebih dulu!"

Kembali semua orang bertepuk tangan dan bersorak.

"Houw-ko, aku tidak mau!" Sin Liong berbisik.

Han Houw mundur dan mendekati Sin Liong, menghardik dalam bisikan pula.

"Liong-te, mengapa engkau hendak mengacau aku? Ingat, Bi Cu berada di tanganku, dia kusuruh jaga subo dan suci. Engkau harus membantuku kalau tidak..."

Lie Ciauw Si mendengar bisikan-bisikan ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. Sedangkan Sin Liong sudah menjadi terkejut setengah mati mendengar ucapan itu. Tak disangkanya bahwa dalam saat terakhir itu pangeran ini masih hendak bersikap curang dan ternyata bahwa dia sengaja dipisahkan dari Bi Cu agar pangeran itu dapat menguasai Bi Cu untuk memaksanya!

Akan tetapi ia melihat betapa amat berbahayanya paksaan yang dilakukan oleh pangeran itu. Dia tidak mungkin mau memenuhi permintaan gila itu, dan lebih baik dia dan Bi Cu mati dari pada dia harus membantu pangeran dengan rencana gilanya.

"Aku tidak sudi!" katanya dan dia pun sudah meloncat lantas pergi dari situ, menuju ke dalam untuk mencari Bi Cu.

Para tamu yang sedang berbisik itu hanya melihat Sin Liong melarikan diri ke dalam. Hal ini menambah kuat pernyataan sang pangeran tadi betapa pemuda perkasa itu wataknya sederhana dan amat pemalu. Agaknya saking malunya pemuda itu telah melarikan diri ke dalam maka mereka pun makin keras tertawa dan bersorak.

Sementara itu, Ciauw Si berbisik kepada suaminya, "Apa yang sudah kau lakukan ini, pangeran?"

"Sstt, Si-moi, tanpa siasat tidak mungkin kita akan berhasil." Pangeran itu berbisik kembali dan dia sudah mengangkat tangan memberi tanda agar para tamu tidak berisik.

"Cu-wi yang mulia! Adik angkatku itu memang pemalu sekali. Akan tetapi jangan cu-wi khawatir. Setiap orang boleh mengajukan diri sebagai calon dan selain adik angkatku itu, aku masih memiliki seorang penguji lain, yaitu isteriku sendiri! Jangan cu-wi memandang rendah kepada isteriku yang tercinta ini, karena kepandaian silatnya tidak berselisih jauh dari kepandaianku sendiri. Nah, siapa saja yang dapat menandingi isteri saya dalam lima puluh jurus, maka dia berhak menjadi calon jago nomor satu di dunia! Inilah isteri saya, Lie Ciauw Si!"

Di bawah tepuk tangan dan sorak-sorai, terpaksa Ciauw Si bangkit berdiri dan menjura ke arah penonton yang menjadi makin riuh bertepuk tangan memuji karena memang Ciauw Si nampak cantik jelita dan menarik sekali. Wajah Ciauw Si agak pucat, apa lagi ketika dia bertemu pandang dengan sepasang mata yang berapi-api, sepasang mata milik ibu kandungnya! Dia menjadi lemas dan cepat duduk kembali ke kursinya. Betapa pun juga, dia harus membela suaminya yang tercinta, pikirnya sambil mengepal tinju kirinya.

Sementara itu, keluarga Cin-ling-pai, yaitu empat orang pendekar itu, semenjak tadi telah berbisik-bisik saling bicara dengan serius dan juga penuh keheranan.

"Pangeran gila, kenapa dia menyebut she Sin Liong sebagai she Cia?" kata Bun Houw dengan marah. "Apa dia sengaja hendak menghina keluarga Cia kami?"

"Mungkin dia hendak memancing supaya kita turun tangan membantah," Cia Giok Keng berbisik. "Akan tetapi dia tidak menyinggung-nyinggung tentang Ciauw Si."

Mereka berempat merasa bingung dan tidak mengerti, apa lagi ketika melihat Sin Liong melarikan diri ke dalam. Apakah yang sedang terjadi? Permainan apakah yang dilakukan oleh Pangeran itu?

Ketika pangeran itu mengangkat Ciauw Si yang diperkenalkan sebagai isterinya sebagai penguji, Giok Keng dengan gemas memandang kepada puterinya yang menerima pujian para tamu itu, lantas dia berbisik dengan suara mendesis, "Biar aku maju sebagai calon menghadapinya!"

"Ahh, jangan begitu, enci Keng!" adiknya mencela.

"Ingat, kita menghadapi banyak orang, jangan menimbulkan keributan yang hanya akan mendatangkan aib bagi nama keluarga," kata Yap Kun Liong menyabarkan isterinya.

Para tamu menjadi semakin berisik ketika mereka melihat seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan bermuka merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya kasar, meloncat dengan gerakan yang cukup lincah ke depan lalu hinggap di tengah-tengah ruangan yang tinggi itu, tersenyum dan memberi hormat ke arah pangeran.

Orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tubuhnya yang tinggi besar itu membayangkan kekuatan dahsyat, sikap dan pakaiannya yang kasar itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang petualang di dunia kang-ouw. Wajahnya lebar dan matanya, hidungnya serta mulutnya juga serba besar.

"Pangeran, saya Loa Khi berjuluk Tiat-pi-ang-wan (Lutung Merah Berlengan Besi) sama sekali tidak berani mengajukan diri sebagai calon jago nomor satu di dunia, akan tetapi saya mempunyai semacam penyakit, yaitu di mana terdapat pertandingan pibu, tangan saya menjadi gatal-gatal. Biarlah saya memelopori para enghiong di sini agar pertemuan ini menjadi lebih gembira." Sambil berkata demikian, matanya yang lebar itu melirik ke arah Ciauw Si.

Mengertilah Pangeran Ceng Han Houw bahwa yang mendorong laki-laki kasar ini untuk maju adalah karena pengujinya adalah isterinya yang cantik jelita. Atau kasarnya, pria itu ingin bersilat menandingi Ciauw Si yang cantik! Akan tetapi Han Houw hanya tersenyum dan dia berkata kepada isterinya dengan suara halus.

"Isteriku, harap kau suka melayani Loa-enghiong."

Sebenarnya di dalam hatinya Ciauw Si merasa mendongkol sekali. Dia harus melayani segala macam orang kasar seperti itu! Akan tetapi karena dia maklum bahwa suaminya itu sedang berusaha untuk menentang kelaliman kaisar, dan karena betapa pun juga dia harus membela suaminya yang tercinta, maka dia tak berkata sesuatu melainkan bangkit berdiri dan menghampiri orang yang berjuluk Lutung Merah Berlengan Besi itu.

Jantung di dalam dada yang bidang itu terguncang dan berdebar-debar penuh kegirangan. Loa Khi adalah seorang kang-ouw golongan sesat dan merupakan seorang yang kasar, gila akan kecantikan wanita. Tadi dari jauh dia melihat betapa cantiknya isteri pangeran itu, dan kini sesudah berhadapan, dia terpesona. Belum pernah rasanya dia berhadapan dengan wanita secantik ini!

Sungguh kali ini tidak rugi, pikirnya. Dapat bersentuhan lengan dan tangan dengan wanita seperti ini benar-benar merupakan hal yang sangat menyenangkan, apa lagi kalau diingat bahwa wanita ini bukanlah sembarangan wanita, melainkan isteri seorang pangeran dan tentu saja merupakan seorang puteri bangsawan simpanan! Maka dia pun menyeringai dan mematut-matut diri agar kelihatan tampan dan gagah.

"Orang she Loa, kau mulailah!" Ciauw Si berkata, membuyarkan lamunannya itu.

"Ehh... ohh... mana saya berani mendahului?" kata Loa Khi yang meringis seperti seekor lutung asli.

Berbicara demikian, selain meringis Loa Khi juga memainkan matanya yang bundar besar sambil menggerak-gerakkan alisnya. Melihat lagak ini hati Ciauw Si menjadi sangat muak dan panas, dan kalau dia tidak mengingat bahwa suaminya sedang berusaha mengambil hati dunia kang-ouw, tentu dia sudah menjatuhkan tangan maut menyerang orang ini.

"Hemm, kalau begitu sambutlah seranganku!" kata Ciauw Si. Dia memberi kesempatan kepada orang itu untuk memasang kuda-kuda.

Memang Loa Khi dengan mulut masih menyeringai sudah memasang kuda-kuda dengan gaya yang gagah. Kedua kakinya dipentang lebar, kedua lutut ditekuk rendah dan kedua lengan disilangkan, tangannya dibuka membentuk cakar naga, tubuh atasnya tegak lurus dan matanya mengerling ke arah lawan yang berada di samping kanan.

Semua tamu menyambut pasangan kuda-kuda ini dengan berbagai macam sikap. Mereka yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi memandang dengan senyum mengejek, karena mereka segera tahu bahwa kuda-kuda seperti itu hanya indah dipandang saja akan tetapi sesungguhnya tidak memiliki inti yang kuat. Sebaliknya, mereka yang belum begitu tinggi tingkatnya, merasa amat kagum karena memang Loa Khi kelihatan gagah dan kokoh kuat dengan kuda-kudanya itu.

Ciauw Si yang sudah tidak sabar lagi melihat lagak orang, mengeluarkan seruan lembut lantas mulai menyerang dengan kedua tangannya, menyambar dari kanan kiri, yang kiri menampar ke arah pelipis lawan sedangkan yang kanan menotok ke arah lambung. Dua serangan ini sebenarnya hanya merupakan pancingan belaka karena pendekar wanita itu tak mau sembarangan mengeluarkan ilmunya yang tinggi hanya untuk menghadapi orang seperti laki-laki sombong ini.

Melihat serangan yang cukup cepat dan dahsyat ini, Loa Khi cepat menggerakkan kedua tangannya untuk menangkap pergelangan tangan lawan. Memang yang mendorong dia maju adalah supaya dia dapat menyentuh tubuh atau memegang lengan wanita cantik itu, maka melihat serangan lawan, dia berusaha secepatnya untuk menangkap pergelangan tangan lawan dan akan memegangnya dengan kuat dan mesra!

Namun Ciauw Si tentu saja maklum akan hal ini dan dia pun tidak sudi membiarkan kedua lengannya dipegang. Dengan cepat dia sudah menarik kembali kedua tangannya dan kini kaki kirinya yang bergerak menendang dengan cepat. Akan tetapi, sambil tersenyum lebar lawannya menggerakkan tangan ke bawah dengan maksud menangkis atau jika mungkin menangkap kaki yang mungil itu! Sedangkan tangan kiri Loa Khi sudah menyelonong ke depan, ke arah dada Ciauw Si!

"Hemmm...!" Ciauw Si mendengus marah.

Tiba-tiba saja tubuhnya bergerak cepat, kedua tangannya bergerak mendorong ke depan. Itulah pukulan sakti yang merupakan jurus ke tiga dari Ilmu San-in Kun-hoat, ilmu ampuh dari Cin-ling-pai! Angin pukulan dahsyat langsung menyambar ke depan. Loa Khi terkejut bukan kepalang dan cepat dia berusaha menangkis sambil mengerahkan tenaga kepada kedua kakinya dan tubuhnya untuk menjaga diri.

"Desss...!"

Betapa pun kuatnya dia menangkis, tetap saja kedua tangan Ciauw Si dapat menerobos di antara lengan lawan yang menangkis dan terus menghantam dada. Untung bagi Loa Khi bahwa Ciauw Si masih ingat bahwa dia hanya bertugas menguji kepandaian lawan, maka dia tidak menggunakan seluruh tenaga sinkang-nya. Akan tetapi biar pun demikian, tetap saja tubuh Loa Khi yang tinggi besar itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai. Dia terengah-engah, merasa dadanya sesak dan sukar bernapas!

Karena Loa Khi tidak datang bersama teman-teman sehingga tidak memiliki rombongan, maka tidak ada yang menolongnya dan Han Houw memberi isyarat kepada pengawal-pengawalnya. Dua orang pengawal cepat maju membantu Loa Khi berdiri dan membawa orang yang masih terengah-engah itu ke tempat duduknya yang agak di belakang. Loa Khi tidak berani banyak cakap lagi dan membiarkan dirinya dituntun kembali ke kursinya, mukanya pucat sekali. Dia telah dirobohkan kurang dari lima jurus!

Berisiklah para tamu melihat kehebatan Ciauw Si. Mereka yang tadinya berminat untuk memasuki pemilihan jagoan itu, menjadi kecil nyalinya dan langsung mengurungkan niat hati mereka. Tentu saja tidak demikian dengan mereka yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi.

Seorang tosu sudah mengeluarkan seruan lantas tubuhnya melayang ke tengah ruangan itu. Tosu ini tinggi kurus, mukanya pucat laksana orang berpenyakitan, jubahnya kuning dan matanya sipit seperti orang mengantuk. Sesudah dia menjura ke arah pangeran, dia melangkah maju tiga langkah dan terkejutlah pangeran itu melihat betapa di atas lantai itu nampak jejak kaki tosu itu sedalam dua senti! Tahulah dia bahwa tosu ini amat lihai dan telah mendemonstrasikan kelihaiannya dengan mengerahkan tenaga pada kedua kakinya yang melesak ke dalam lantai ketika dia melangkah perlahan-lahan.

Jika tadi Han Houw menyebutkan nama isterinya, dan juga memperkenalkannya sebagai pembantunya untuk menguji para calon jagoan, maksudnya hanya untuk memperlihatkan kepada para tokoh kang-ouw, khususnya kepada keluarga Cin-ling-pai bahwa di samping Lie Ciauw Si sudah menjadi isterinya, juga membantunya untuk menghimpun tenaga dan menentang kaisar lalim!

Tetapi tentu saja bukan maksud hati Han Houw untuk membiarkan isterinya menghadapi semua orang yang hendak mencoba kepandaian. Dia hanya mengajukan isterinya untuk menghadapi kalau-kalau ada di antara tokoh Cin-ling-pai yang maju, maka kini melihat kelihaian tosu itu, tentu saja Han Houw merasa khawatir dan tidak membiarkan isterinya menghadapi bahaya.

Setelah menjura dan memperlihatkan tenaganya melalui injakan kaki yang meninggalkan jejak dalam di atas batu, tosu itu lalu berkata kepada Ceng Han Houw, suaranya seperti suara ular mendesis namun dapat terdengar satu-satu sampai di bagian luar tempat itu,

"Pangeran, harap maafkan kelancangan pinto. Sebenarnya pinto datang bukan sekali-kali untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau pun jagoan nomor satu, melainkan karena telah lama pinto mendengar nama besar pangeran sebagai seorang ahli silat yang pandai maka pinto ingin sekali menguji kebodohan sendiri untuk membuktikan sampai di mana kelihaian pangeran."

Ini merupakan tantangan langsung! Semua orang kang-ouw memandang dengan penuh perhatian karena mereka semua maklum bahwa ucapan itu merupakan tantangan yang tentu didasari urusan pribadi antara tosu itu dan Pangeran Ceng Han Houw!

Han Houw sendiri mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum ramah ketika dia berkata halus dan lantang, "Dalam menghadapi urusan besar ini, kami terpaksa harus melupakan urusan pribadi. Akan tetapi jika totiang ingin saling menguji kepandaian dengan aku, dapat saja totiang memasuki pemilihan jago menurut yang telah ditentukan. Akan tetapi lebih dulu hendaknya totiang memperkenalkan diri."

"Pinto bernama Ciu Hek Lam dan banyak orang menyebut pinto dengan julukan yang amat buruk, yaitu Tok-ciang Sian-jin (Manusia Dewa Bertangan Racun). Tentu pangeran belum mengenal nama pinto, akan tetapi perlu kiranya diketahui bahwa mendiang Gak Song Kam ketua Jeng-hwa-pang adalah sute dari pinto."

Mendengar ini, sebagaian besar di antara para tokoh kang-ouw terkejut. Memang nama tosu ini tidak terkenal dan hanya beberapa orang saja di antara mereka yang banyak melakukan perjalanan ke utara melewati Tembok Besar mengenal namanya, akan tetapi nama Jeng-hwa-pang tentu saja sudah dikenal mereka. Kiranya tosu yang lihai ini adalah saudara tua dari mendiang ketua Jeng-hwa-pang, maka tentu saja ilmu kepandaiannya amat tinggi.

Diam-diam Ceng Han Houw mengerti sekarang, Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang itu tewas di tangan dia dan Sin Liong, maka agaknya tosu ini datang dengan maksud untuk membalas dendam atas kematian ketua Jeng-hwa-pang itu! Dia sama sekali tidak merasa takut menghadapi tosu ini, akan tetapi untuk menjaga kewibawaannya, dia tak mau begitu saja terjun ke dalam urusan pribadi di tempat itu, apa lagi karena dia sedang menghadapi urusan besar.

"Ahhh, ternyata totiang ingin menguji kepandaianku. Baiklah, akan tetapi kita tidak boleh melanggar peraturan. Cu-wi yang mulia, kami sekarang menunjuk bengcu dari selatan, yaitu locianpwe Hai-liong-ong Phang Tek beserta Kim-liong-ong Phang Sun untuk menjadi penguji. Siapa dapat mengalahkan mereka berdua berarti cukup berharga untuk menjadi calon jago nomor satu di dunia!"

Mendengar ini, Phang Tek dan Phang Sun segera melangkah maju. Sementara itu, Han Houw sendiri bangkit dari kursinya, menghampiri Ciauw Si yang masih berdiri memandang ke arah ibunya seperti orang terpesona, kemudian menggandeng tangan Ciauw Si untuk kembali ke tempat duduknya. Dengan sikap mesra Han Houw berbisik,

"Terima kasih atas bantuanmu, Si-moi."

Mendengar kedua orang ini, tahulah tosu itu bahwa dia berhadapan dengan orang-orang pandai. Dia pernah mendengar tentang Lam-hai Sam-lo yang kabarnya kini tinggal dua orang kakak beradik ini. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar, melainkan malah merasa mendongkol karena pangeran itu ternyata tidak mau langsung menghadapinya melainkan menyuruh kedua orang ini dengan alasan untuk mengujinya! Hal ini dianggapnya sebagai tanda bahwa pangeran itu jeri kepadanya, maka dia pun menghadapi dua orang kakek itu dan memandang dengan sinar mata tajam dari kedua matanya yang sipit.

"Pinto pernah mendengar mengenai nama besar Lam-hai Sam-lo," katanya dengan nada suara mengejek, "Pangeran sudah memerintahkan kalian untuk maju, apakah ji-wi (kalian berdua) hendak maju berbareng dan mengeroyok pinto?"

Ucapan ini biar pun hanya merupakan sebuah pertanyaan, namun bernada mengejek dan merendahkan, maka kedua orang datuk dari selatan itu tentu saja menjadi marah sekali. Mereka tadi maju hanya untuk memperkenalkan diri kepada para tamu sesudah nama mereka disebut-sebut oleh pangeran, bukan sekali-kali hendak mengeroyok tosu itu.

Kim-liong-ong Phang Sun, kakek berkepala gundul lonjong yang bertubuh kecil pendek seperti kanak-kanak, yang hanya memakai celana tanpa baju dan kakinya pun telanjang, sudah meloncat ke depan. Dengan lengan kiri yang dihias gelang emas tebal dia berkata, suaranya sungguh mengejutkan, karena lantang besar tidak seperti bentuk tubuhnya.

"Tosu bulukan! Takabur sekali ucapanmu! Menghadapi seorang tosu bulukan semacam engkau, cucuku pun akan berani. Sayang aku tidak pernah punya cucu! Maka biarlah aku mencoba, hendak kulihat apakah kepandaianmu seluas mulutmu! Twako, mundurlah, biar aku yang menghajar manusia sombong ini!"

Hai-liong-ong Phang Tek mengerutkan alisnya, lantas mundur sambil berkata, "Hati-hati, jangan pandang rendah dia." Hai-liong-ong yang tahu akan kemarahan adiknya merasa khawatir karena ketika menghadapi seorang lawan tangguh seperti tosu ini, kemarahan merupakan hal yang amat merugikan dan mengurangi kewaspadaan.

Sekarang dua orang itu sudah saling berhadapan. Keduanya sama kurusnya, hanya yang seorang tinggi dan yang lainnya pendek kecil. Semua orang kang-ouw yang hadir di situ memandang dengan penuh perhatian dan hati tegang karena mereka semua mengenal siapa adanya Kim-liong-ong, sedangkan tosu tua itu tidak begitu dikenal karena memang jarang muncul di dunia kang-ouw.

Oleh karena yang hadir di dalam pertemuan besar ini merupakan tokoh-tokoh campuran, banyak pula yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum sesat, maka di antara mereka ini sudah ramai mengadakan pertaruhan! Dan rata-rata menurut anggapan mereka, Kim-liong-ong menduduki tempat unggul, bahkan ada yang mempertaruhkan uang sebesar dua kali lipat menjagoi kakek pendek kecil itu.

Tok-ciang Sian-jin memandang dengan alis berkerut kepada calon lawannya, kemudian berkata, suaranya halus dan penuh penyesalan, "Kim-liong-ong, engkau adalah seorang tokoh jauh di selatan sana, sedangkan pinto selamanya berada di utara. Kiranya sampai kita dua orang tua mati oleh usia pun kita tak akan dapat saling berjumpa, apa lagi harus saling berkelahi seperti lawan. Oleh karena itu, pinto menyesal sekali harus berhadapan denganmu, sebab sebenarnya kedatangan pinto ini hanya ingin menghadapi pangeran..."

"Cukup, Tok-ciang Sian-jin. Apa bila engkau takut, masih belum terlambat bagimu untuk cepat-cepat mengundurkan diri!" Kim-liong-ong yang bersama Hai-liong-ong kakaknya itu memang sudah lama menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw, sudah memotong dengan suara lantang dan sikap merendahkan.

Marahlah tosu itu. Kini mukanya menjadi merah dan tidak pucat seperti biasanya, dan biar pun matanya masih sipit, akan tetapi tidak seperti orang mengantuk lagi.

"Engkau hendak menjadi perisai bagi pangeran? Bagus, majulah, orang sombong!" bentak tosu itu dan dia pun sudah menggerakkan jari-jari tangannya sehingga terdengar bunyi berkeretakan pada buku-buku jari tangannya dan kedua tangan itu kini nampak kehijauan.

Kiranya kakek ini memang memiliki ilmu yang amat mengerikan, dan kalau sudah begitu, sepasang tangannya merupakan benda-benda yang lebih berbahaya dari pada sepasang senjata tajam, karena kedua tangan itu dari jari-jari tangan sampai ke siku yang berwarna kehijauan, mengandung hawa beracun yang amat berbahaya bagi lawan. Itulah sebabnya mengapa dia berani menerima julukan Tok-ciang (Si Tangan Racun).

Akan tetapi, Kim-liong-ong Phang Sun menyeringai melihat ini. Dia sendiri adalah seorang ahli tentang racun, maka biar pun dia tahu betapa hebat dan berbahayanya kedua tangan lawan itu, namun dia tidak menjadi gentar.

"Kedua tanganmu itu hanya baik untuk menakut-nakuti anak kecil saja. Bagiku tidak ada harganya sama sekali, seperti dua batang gagang sapu butut!" dia mengejek.

Tok-ciang Sian-jin menjadi semakin marah. Memang cerdik Kim-liong-ong ini. Pada saat menerima peringatan dari kakaknya tadi, dia pun sadar akan kemarahan yang membakar hatinya, maka dia sengaja mengeluarkan ejekan-ejekan untuk membakar hati lawan. Dia berhasil, karena kini tosu itu menjadi semakin marah dan dengan gerengan dahsyat dia sudah maju menyerang lawan yang bertubuh pendek kecil itu. Kini keadaannya menjadi terbalik, bukan Kim-liong-ong yang dicekik kemarahan, melainkan lawannya.

Tok-ciang Sian-jin menyerang dengan kedua tangan terbuka, sepuluh jari-jari tangannya mencengkeram dari kanan kiri dan sebelum serangan itu sampai, hawa pukulannya yang mengandung hawa beracun itu sudah menyambar lebih dahulu dengan dahsyatnya. Akan tetapi, mendadak nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek kecil itu lenyap dari depannya, tubrukan dan cengkeramannya mengenai tempat kosong dan begitu merasa ada angin menyambar dari kanan, tosu itu cepat membalik dan menangkis.

Kiranya, Kim-liong-ong telah mempergunakan kecepatan gerakannya dan mengandalkan tubuhnya yang kecil dan gesit itu untuk menyelinap ketika tadi lawannya menyerang, dan cepat memberi pukulan balasan dari arah kanan.

"Dukkk!"

Lengan Tok-ciang Sian-jin bertemu dengan gelang emas tebal yang melingkar di lengan kiri Phang Sun dan akibatnya, tubuh Tok-ciang Sin-jin terdorong ke belakang dan agak terhuyung.

Terkejutlah tosu ini dan maklumlah dia bahwa kakek kecil pendek gundul telanjang ini mempunyai tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya! Karena itu dia pun cepat menerjang lagi dengan memperlipat gandakan kecepatan gerakannya. Maka terjadilah perkelahian yang seru dan sangat dahsyat.

Kim-liong-ong Phang Sun sudah mengeluarkan sebuah bungkusan sambil berloncatan ke sana-sini, lalu membalurkan bubuk putih ke atas lengannya. Itulah bubuk penolak racun. Sesudah ini, dia dapat menangkis dan mengadu lengan dengan lawannya, tidak seperti tadi yang menggunakan gelang emas untuk melindungi lengannya dari hawa racun yang keluar dari lengan lawan.

Memang tak percuma kalau Kim-liong-ong menjadi tokoh nomor dua dari Lam-hai Sam-lo yang ditakuti oleh semua tokoh di dunia selatan. Ilmu kepandaiannya memang sangat hebat, gerakannya aneh dan cepat, dan biar pun kaki tangannya kecil-kecil, tetapi setiap gerakan kaki dan tangan itu mengandung hawa pukulan yang kuat, sehingga bahkan tosu itu sendiri sampai beberapa kali terhuyung kalau mereka terpaksa mengadu tenaga.

Banyak di antara mereka yang bertaruh dan menjagoi Kim-liong-ong menjadi kecele. Ada yang bertaruh bahwa dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus tosu itu tentu akan kalah. Akan tetapi ternyata tosu itu hebat bukan main! Dia bisa mengimbangi semua kelincahan Kim-liong-ong dan sesudah bertanding selama lima puluh jurus, ternyata kakek itu sama sekali tidak kalah, bahkan terdesak pun tidak, sungguh pun dia sendiri juga tidak mampu mendesak kakek kecil itu.

Setelah perkelahian itu berlangsung kurang lebih enam puluh jurus, mendadak Tok-ciang Sian-jin meloncat mundur dan keluar dari lapangan pertandingan lalu membalikkan tubuh menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang sejak tadi terus menonton dengan penuh perhatian, menjura dan berkata, "Sekarang pinto mengharapkan agar pangeran sendiri..."

Baru sampai di situ dia berbicara, tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar dari belakang, memukul ke arah lambungnya! Bukan main kagetnya Tok-ciang Sian-jin. Cepat-cepat dia membalik untuk mengelak dan menangkis.

"Plakkk! Desss...!"

Tubuh tosu itu terpelanting dan roboh, dari mulutnya keluar darah segar karena biar pun dia berhasil menangkis pukulan Kim-liong-ong, akan tetapi tangkisannya kurang tepat dan pukulan kakek pendek kecil itu masih meleset sehingga mengenai punggungnya.

Tosu itu bangkit duduk lantas memejamkan mata untuk mengumpulkan hawa murni dan menahan dadanya yang terguncang hebat. Walau pun dia tidak sampai terluka separah kalau pukulan itu mengenai lambung, namun dia sampai muntah darah dan tentu saja dia tidak mungkin depat melanjutkan pertempuran.

"Sungguh curang!" Cui Kai Sun membentak dengan suara lantang. Pemuda gagah murid Siauw-lim-pai ini menegur marah sekali.

Kim-liong-ong hanya tersenyum mengejek ke arah pemuda itu. Melihat betapa di antara para orang kang-ouw yang hadir itu banyak yang memperlihatkan muka tak senang, Ceng Han Houw cepat bangkit berdiri dan berkata dengan suara yang halus namun berwibawa dan terdengar sampai jauh di luar.

"Cu-wi, hendaknya cu-wi bersikap adil! Tidak ada kecurangan terjadi di sini!"

"Siapa bilang tidak curang? Bukan aku hendak membela Tok-ciang Sian-jin, akan tetapi kami semua tadi melihat tosu itu sedang bicara dengan pangeran ketika Kim-liong-ong menyerangnya dari belakang secara curang sekali!" Ciu Kai Sun berteriak lagi dan banyak tokoh kang-ouw, terutama sekali yang berasal dari golongan bersih, mengangguk untuk menyatakan persetujuan mereka dengan ucapan pemuda gagah itu.

Akan tetapi Pangeran Ceng Han Houw tersenyum. "Itu adalah kesalahan tosu itu sendiri, pertandingan belum selesai dan..."

"Aku menghitung sendiri bahwa tosu itu telah dapat melayani Kim-liong-ong sampai lima puluh jurus!" Terdengar suara orang lain membenarkan.

Sekarang Ceng Han Houw tersenyum semakin lebar dan dia mengangkat kedua tangan ke atas untuk minta para tamu diam. Setelah mereka semua itu tidak berisik lagi, dia lalu berkata, suaranya jelas dan halus,

"Cu-wi sekalian yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw tentunya tahu bahwa syarat untuk menjadi orang kang-ouw bukan hanya tergantung kepada kepandaian silat saja, melainkan juga membutuhkan kecerdikan dan ketelitian! Memang betul bahwa kami tadi berjanji kepada siapa yang bisa menandingi isteri saya selama lima puluh jurus maka dia berhak untuk menjadi calon jagoan. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang berjanji tentang lima puluh jurus itu terhadap dua orang pembantu kami, yaitu Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong. Karena tidak ada perjanjian maka pibu melawan mereka pun tidak terbatas jumlah jurusnya. Tadi dalam keadaan belum ada yang kalah atau pun menang, Tok-ciang Sian-jin menghentikan pibu secara sepihak tanpa memberi tahu kepada Kim-liong-ong, maka kalau dia sampai terpukul, baik dari belakang mau pun dari depan, bawah atau dari atas, hal itu adalah kesalahannya sendiri karena dia telah ceroboh dan lengah. Bukankah demikian, cu-wi?"

Ucapan yang dilakukan dengan suara halus dan penuh wibawa itu diikuti oleh kesunyian yang lengang karena semua tamu saling pandang dan mereka semua mau tak mau harus membenarkan pembelaan pangeran itu. Memang tadi pangeran itu berjanji tentang ujian selama lima puluh jurus dalam menghadapi isteri pangeran itu, dan terhadap dua orang pembantunya itu dia tidak berjanji apa-apa. Oleh karena itu, kekalahan Tok-ciang Sian-jin merupakan kekalahan mutlak, walau pun kekalahan itu adalah akibat dari kelengahannya, bukan akibat dari kalah tinggi ilmunya dibanding dengan Kim-liong-ong Phang Sun.

"Pinto yang bodoh... pinto kena ditipu orang... pinto mengaku kalah." Tiba-tiba tosu itu bangkit berdiri, dengan muka pucat dan mata bersinar memandang kepada pangeran itu, menjura lalu dengan langkah lebar dia meninggalkan tempat itu sambil mengusap darah dari ujung bibirnya.

Semua tamu hanya mengikuti langkah tosu itu dengan pandang mata dan sekarang tidak ada lagi yang mau mencampuri karena orang yang bersangkutan sendiri sudah mengakui kebodohannya dan mengaku kalah!

Karena ada yang merasa penasaran, berturut-turut terdapat beberapa orang tokoh yang belum mengenal betul kepandaian Lam-hai Sam-lo, maju memasuki ujian calon jagoan nomor satu di dunia. Namun, satu demi satu mereka itu dikalahkan oleh Kim-liong-ong atau Hai-liong-ong yang maju bergantian. Bagi mereka yang sudah tahu akan kelihaian Lam-hai Sam-lo, siang-siang sudah kuncup nyalinya dan tidak berani maju.

Sesudah tujuh orang calon semua kalah, kini agaknya tidak ada lagi yang berani maju. Melihat ini, diam-diam Pangeran Ceng Han Houw merasa amat penasaran. Tak mungkin di antara tokoh kang-ouw tidak ada yang mampu mengalahkan Lam-hai Sam-lo, pikirnya. Apa lagi di situ terdapat tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang belum bertindak sesuatu.

"Siapa lagi yang akan maju mencoba kemampuannya?" Hai-liong-ong Phang Tek berkata dengan suaranya yang lantang. Akan tetapi para tamu hanya saling pandang dan agaknya tidak ada lagi yang berani maju.

Pangeran Ceng Han Houw bangkit berdiri. "Cu-wi, kenapa cu-wi merasa sungkan? Saya percaya bahwa di antara cu-wi masih banyak orang pandai! Ataukah hanya demikian saja kepandaian para tokoh kang-ouw? Sungguh di luar dugaan kami kalau di dunia kang-ouw ini tidak ada tokoh yang mampu menandingi Lam-hai Sam-lo!"

Ucapan itu halus, tetapi juga bernada mengejek dan membakar. Semenjak tadi wajah Cia Giok Keng sudah merah sekali dan dia sudah hendak bangkit berdiri. Akan tetapi adiknya, Cia Bun Houw, memegang lengannya dan berbisik, "Enci, Lam-hai Sam-lo itu terlalu lihai bagimu."

"Biar!" Cia Giok Keng, wanita berusia setengah abad yang nampak cantik dan gagah itu, menjawab dengan bisikan mendesis hingga membuat beberapa orang tamu yang duduk dekat menengok.

"Aku tidak takut. Kalau kalah pun, biar aku mati di depan mata anak durhaka itu!" Jelaslah bahwa sumber kemarahan wanita ini adalah melihat puterinya, selain telah menjadi isteri pangeran itu tanpa minta ijin dulu darinya, juga melihat puterinya itu membantu pangeran yang hendak memberontak itu.

"Enci, tindakan itu kurang bijaksana. Apakah engkau ingin semua orang kang-ouw tahu akan pertentangan antara engkau dengan puterimu sendiri? Biarkan aku saja yang maju, mereka itu bukan lawanmu, melainkan lawanku!"

Sebelum Cia Giok Keng dapat membantah, disetujui oleh isterinya, yaitu Yap In Hong dan juga Yap Kun Liong yang maklum bahwa dua orang kakek dari selatan Lam-hai Sam-lo itu memang lihai sekali, sekali bergerak Cia Bun Houw sudah meloncat ke depan.

Semua tamu terkejut bukan main ketika melihat ada bayangan manusia melayang di atas kepala mereka, dari tempat duduk paling belakang dan melayang menuju ke depan, ke tengah ruangan di mana masih menanti Kim-liong-ong Phang Sun dengan lagak sombong itu. Ketika bayangan manusia itu telah tiba di tengah ruangan dan berdiri, mereka melihat seorang laki-laki yang amat tampan dan gagah perkasa, dengan pakaian sederhana akan tetapi memiliki wibawa besar dan sepasang matanya menyapu ke arah pangeran.

Banyak di antara para tokoh kang-ouw mengenalnya dan di samping keheranan mereka, terdengar sorak-sorai menyambut pendekar ini. Siapakah yang tidak mengenal pendekar sakti Cia Bun Houw, putera Cin-ling-pai yang tersohor itu? Akan tetapi, banyak pula alis yang dikerutkan dengan heran dan menduga-duga.

Isteri pangeran itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai, dan kini tokoh Cin-ling-pai ini maju! Apa artinya ini? Akan tetapi mereka semua maklum bahwa kalau pendekar sakti ini maju untuk bertanding, maka di tempat itu akan terjadilah pertandingan yang amat hebat dan mereka semua merasa beruntung untuk dapat menyaksikannya.

Seketika wajah Lie Ciauw Si menjadi pucat ketika dia melihat pamannya sudah maju ke tengah ruangan. Hampir dia tidak berani menatap wajah yang tampan dan yang nampak gagah penuh wibawa itu.

Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw tersenyum gembira. Sekarang saat yang dia nanti-nantikannya sudah tiba. Memang untuk inilah dia mengadakan pertemuan besar itu. Selain untuk menghimpun orang-orang pandai, juga hendak menonjolkan dirinya sebagai yang terpandai di antara semua orang kang-ouw, dia juga hendak memancing datangnya keluarga Cin-ling-pai.

Apa bila dia dapat menarik mereka menjadi sekutunya, dengan umpan kenyataan bahwa Ciauw Si sudah menjadi isterinya dan pembantunya, maka hal itu akan baik sekali karena kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Sebaliknya, kalau dia gagal menarik mereka dan mempengaruhi mereka, maka dia akan dapat mengalahkan mereka satu demi satu sehingga dengan demikian dunia kang-ouw akan melihat bahwa dialah jago nomor satu di dunia, bahkan keluarga Cin-ling-pai yang sangat terkenal itu pun tidak ada yang mampu menandinginya!

Maka, melihat betapa pendekar sakti Cia Bun Houw sudah maju, dia memandang dengan sinar mata berseri. Akan tetapi dia hendak membiarkan dahulu dua orang pembantunya itu menguji sampai di mana kehebatan pendekar sakti ini, apakah memang sehebat apa yang dikabarkan orang.

Ketika pendekar sakti itu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan tergantung di kanan kiri dan memandang dengan sinar mata tajam penuh wibawa kepada pangeran itu, Ceng Han Houw dengan tenang dan dengan bibir masih tersenyum, balas memandang. Dua pasang mata yang sama-sama mempunyai sinar tajam mencorong dan penuh wibawa itu saling pandang, seolah-olah mereka berdua saling mengukur kekuatan masing-masing melalui sinar mata itu.

Suasana menjadi sunyi, sunyi yang menegangkan dan mencekam hati. Hanya Lie Ciauw Si yang nampak bergerak, kepalanya saja, kadang kala diangkat memandang pamannya, kadang-kadang menunduk kembali, sementara kedua tangannya meremas-remas ujung bajunya, jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kebingungan.

Akan tetapi suasana yang mencekam itu kemudian dipecahkan oleh suara Kim-liong-ong Phang Sun yang lantang, suaranya yang mengandung pura-pura karena sebenarnya dia sudah tahu siapa adanya pria gagah yang kini berada di dekatnya itu.

"Enghiong dari manakah yang kini maju? Apakah hendak mengajukan diri sebagai calon jagoan? Harap suka memperkenalkan diri."

Setelah mendengar teguran ini, Bun Houw baru membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kim-liong-ong yang ternyata sudah berdiri bersama dengan Hai-liong-ong. Sejenak Bun Houw menatap mereka berdua dengan sikap kereng, kemudian terdengarlah suara yang lantang dan jelas.

"Aku bernama Cia Bun Houw dan aku datang mewakili Cin-ling-pai!" Baru saja dia berkata sampai di sini, lalu terdengar suara berbisik di antara para tamu, yaitu mereka yang baru sekarang melihat pendekar ini sungguh pun semua telah mendengar nama besarnya, apa lagi nama besar Cin-ling-pai, yang akhir-akhir ini menjadi semakin terkenal sesudah ada berita bahwa keluarga Cin-ling-pai dituduh sebagai pemberontak, malah menjadi pelarian-pelarian pemerintah.

Setelah suara berbisik itu mereda, Bun Houw baru melanjutkan kata-katanya, "Kami dari Cin-ling-pai tidak pernah merasa menjadi orang yang paling pandai di dunia ini. Karena itu, kedatanganku di sini pun sama sekali bukan hendak memperebutkan julukan kosong sebagai jagoan nomor satu di dunia! Akan tetapi aku datang justru untuk menguji sampai di mana kehebatan orang yang berani menyebut dirinya sebagai jagoan nomor satu di dunia!"

Langsung terdengar tepuk tangan riuh rendah menyambut kata-kata ini dan kebanyakan yang bertepuk tangan adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan bersih karena ucapan itu merupakan suara hati mereka pula. Mereka menganggap Bun Houw sebagai wakil mereka, wakil dari golongan putih untuk menentang usaha-usaha kaum sesat yang selalu hendak menonjolkan diri dan melakukan perbuatan-perbuatan demi mencari harta benda, kedudukan, atau nama besar.

Mendengar ucapan yang penuh wibawa ini, juga melihat sikap pendekar itu yang kereng, dan melihat sambutan para orang kang-ouw, kedua orang dari Lam-hai Sam-lo itu lantas mengerutkan alis dan mereka pun menjadi bingung. Tetapi Kim-liong-ong yang berwatak angkuh dan selalu memandang rendah lawan itu lalu berkata lantang,

"Cia Bun Houw, ucapanmu tadi sungguh menyimpang dari pada maksud dari pertemuan besar yang diadakan oleh pangeran ini. Sekarang dengan siapa engkau akan bertanding, sedangkan jagoan nomor satu belum ditetapkan siapa?"

Cia Bun Houw yang tadi pun merasa penasaran menyaksikan kelicikan dan kecurangan kakek kecil pendek ini lalu menjawab, "Dengan siapa saja yang merasa dirinya jagoan tak terkalahkan. Lam-hai Sam-lo dikenal sebagai datuk-datuk selatan, akan tetapi hari ini aku melihat betapa salah seorang di antaranya hanyalah seorang tukang berkelahi yang licik dan tak tahu malu. Kalau Lam-hai Sam-lo merasa hebat, boleh saja aku menghadapinya, dan terhadapku, Lam-hai Sam-lo boleh berlaku licik dan curang sesuka hatinya!"

Ucapan ini terlalu hebat! Lebih-lebih lagi karena segera terdengar suara tawa menyambut ucapan yang terang-terangan mencela dan mengejek kelicikan Kim-liong-ong tadi. Akan tetapi, Kim-liong-ong dan Hai-liong-ong menjadi marah bukan main. Nama besar Lam-hai Sam-lo seperti diinjak-injak oleh pria muda ini!

Kini Hai-liong-ong Phang Tek sudah berkata dengan suara keras, "Orang muda she Cia yang sombong! Ucapanmu itu terlampau besar dan engkau menantang Lam-hai Sam-lo. Kami masih ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai, maka dengan demikian engkau tentu masih keluarga dengan isteri pangeran yang terhormat, dan..."

"Cukup!" Bun Houw membentak demikian nyaringnya hingga mengejutkan semua orang karena di dalam keadaan marah bentakan tadi mengandung tenaga auman harimau yang sangat hebat, terbawa khikang dari Ilmu Thian-te Sin-ciang sehingga gema bentakan itu mendatangkan getaran dahsyat. "Dalam urusan ini tiada hubungannya dengan keluarga! Aku datang bukan untuk membicarakan soal keluarga, dan kalau Lam-hai Sam-lo berani, majulah, tidak usah cerewet. Kalau tidak berani, menggelindinglah pergi dan biarkan aku menghadapi orang yang menggerakkan semuanya ini!" Sambil berkata demikian, kembali Bun Houw memandang ke arah Pangeran Ceng Han Houw.

"Paman...!" Lie Ciauw Si yang mukanya berubah merah itu membuka mulut, akan tetapi suaranya tadi hanya merupakan bisikan sebab lengannya keburu disentuh oleh suaminya yang masih tersenyum-senyum saja.

"Tenang, Si-moi dan mari kita lihat perkembangannya," bisiknya kembali.

Sementara itu, kemarahan Phang Tek dan Phang Sun membuat wajah mereka berubah merah sekali. "Cia Bun How, benarkah tadi engkau menantang kami berdua untuk maju bersama melawanmu? Orang muda, hati-hatilah engkau dengan jawabanmu!" kata Phang Tek yang marah bukan main, akan tetapi mengingat akan nama besar Lam-hai Sam-lo, dia merasa tidak enak hati dan malu apa bila harus menghadapi orang muda ini dengan pengeroyokan mereka berdua.

"Lam-hai Sam-lo, mengapa banyak cerewet? Jangankan kini tinggal kalian berdua, meski masih lengkap tiga orang pun aku tidak akan gentar melawan kalian. Majulah!" Cia Bun Houw yang memang sudah mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada mereka ini, kini sudah berdiri menghadapi mereka dengan kedua kaki terpentang lebar, tubuhnya tegak dan kedua lutut agak ditekuk, sepasang matanya mencorong laksana mata seekor naga, tanda bahwa ketika itu tenaga sinkang-nya telah naik dari pusar dan berputar-putar di seluruh tubuhnya, siap untuk dipergunakan dalam setiap gerakan.

Dua orang kakek itu masih meragu, selain merasa malu kepada para tokoh kang-ouw, juga mereka merasa sungkan terhadap pangeran karena bukankah orang muda ini masih terhitung paman dari isteri sang pangeran sendiri? Maka Phang Tek lalu menghadap ke arah pangeran dan berkata,

"Harap paduka maafkan kami berdua yang tidak tahu harus bersikap bagaimana dalam keadaan seperti ini."

Ceng Han Houw yang sejak tadi tersenyum dan wajahnya yang tampan itu tetap nampak berseri, lantas berkata tenang, "Seorang yang sakti dan gagah perkasa seperti Cia-taihiap sudah berkenan meramaikan pertemuan ini dan hendak memperlihatkan kepandaian, hal itu sungguh membuat kita harus berterima kasih sekali. Sekarang Cia-taihiap mengajak kalian berdua untuk bermain-main dan menguji kepandaian, kenapa kalian berdua masih ragu-ragu lagi?"

Diam-diam Cia Bun Houw terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pangeran yang masih begitu muda namun ternyata pandai sekali mengatur perasaan sehingga sampai demikian jauh tetap tenang dan ramah, sungguh merupakan sikap seorang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan!

Mulailah dia mengerti mengapa keponakannya itu, seorang gadis gagah perkasa, dapat tunduk terhadap pangeran itu. Kiranya pangeran itu, biar pun masih muda, selain memiliki wajah yang amat tampan menarik, juga memiliki kekuatan batin yang mengagumkan dan tentu memiliki kepandaian yang tinggi pula!

Dan wajah pucat dari Ciauw Si agak berseri ketika dia mendengar ucapan suaminya itu. Diam-diam dia melirik ke arah ibunya dan dapat melihat ibunya itu berbisik-bisik dengan ayah tirinya, yaitu Yap Kun Liong. Tentu saja dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh ibunya dan suami ibunya itu.

Sedangkan bibinya, Yap In Hong, hanya memandang ke arah suaminya dengan penuh perhatian karena tentu saja bibi itu tahu bahwa suaminya sedang menghadapi lawan yang amat tangguh kalau dua orang kakek itu benar-benar hendak maju bersama mengeroyok suaminya.

Sementara itu, dua orang kakek itu menjadi lega hati mereka. Jelaslah bahwa pangeran memperkenankan mereka maju bersama menghadapi tokoh Cin-ling-pai ini dan memang telah menjadi tugas mereka untuk mengukur kepandaian orang-orang tangguh yang akan menjadi calon lawan majikan mereka.

"Kalau begitu, kami tidak akan menolak tantanganmu, Cia-taihiap." Sesudah mendengar pangeran itu menyebut Cia-taihiap, maka Phang Tek juga tidak berani menyebut lainnya. "Kami akan maju bersama menghadapimu."

"Tak perlu banyak cakap, maju dan mulailah!" jawab Bun Houw tak sabar lagi.

Dua orang kakek itu cepat memasang kuda-kuda dan melangkah perlahan mengitari Bun Houw dengan lagak dua ekor jago yang memilih-milih tempat yang baik, sudut yang tepat untuk memulai serangan mereka. Bun Houw tetap berdiri tegak, sama sekali tak bergerak dan hanya pandang matanya saja yang mengikuti gerakan mereka.

Akhirnya kedua orang kakek itu mengambil sudut yang dianggap paling menguntungkan, yaitu di kanan kiri pendekar itu. Phang Tek di sebelah kanan dan Phang Sun di sebelah kiri. Tiba-tiba, setelah saling memberi tanda dengan sinar mata, keduanya mengeluarkan teriakan nyaring dan mulailah mereka menyerang dari kanan kiri!

"Wuuut... wuuuttt... plak-plak plak-plak!"

Dengan gerakan yang mantap Bun Houw menyambut serangan mereka dari kanan kiri itu, dengan menggerakkan tubuh dan kedua lengannya bergerak menangkis sehingga dia sudah berhasil menangkis masing-masing lawan dua kali dan membuat dua orang kakek itu agak terhuyung!

Kembali Bun Houw berdiri tegak ada pun kedua orang lawannya kini berada di depan dan belakangnya. Dua orang kakek itu memandang dengan mata terbelalak sebab pertemuan lengan mereka tadi dengan lengan Bun Houw membuat tubuh mereka terasa tergetar hebat.

Hal itu tidaklah mengherankan karena Bun Houw telah mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang sudah dilatih sampai pada puncaknya! Dan kini, meski pun Kim-liong-ong Phang Sun berada di belakangnya, Bun Houw tidak menjadi gentar, bahkan sama sekali tak menggerakkan kepalanya sebab ketajaman pendengarannya bisa menangkap segala gerak-gerik lawan di belakang itu seolah-olah dia dapat melihatnya dengan mata, melihat dengan jelas. Maka dia membagi kekuatannya pada mata dan telinga sehingga dia dapat memperhatikan dan mengikuti segala gerak-gerik dua orang lawannya.

Kembali dua orang kakek itu mengirim serangan dan kini mereka melakukan serangan bertubi-tubi dan sambung-menyambung. Pukulan-pukulan mereka demikian dahsyatnya, semua merupakan pukulan maut dan ternyata tubuh besar Hai-liong-ong Phang Tek itu tidak menghalanginya untuk bergerak cepat sekali, jauh lebih cepat dibandingkan gerakan adiknya yang bertubuh kecil pendek!

Bagaikan seekor singa Phang Tek menyerang dengan dua tangan dibentuk seperti cakar dan kedua lengannya itu bergerak-gerak seperti seekor naga. Dan memang sebenarnya orang pertama dari Lam-hai Sam-to ini adalah seorang ahli silat naga Liong-jiauw-kun dan Liong-jiauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Cakar Naga). Sebaliknya, meski pun gerakannya tidak seringan dan secepat kakaknya, namun si pendek Kim-liong-ong Phang Sun itu memiliki tenaga sinkang yang sangat kuat sehingga setiap pukulannya mendatangkan angin yang menyambar dahsyat dan mengeluarkan bunyi bercuitan!

Tingkat kepandaian Phang Tek dan Phang Sun memang seimbang, karena kalau Phang Tek lebih cepat gerakannya, Phang Sun lebih kuat pukulannya. Hal ini terasa benar oleh Bun Houw maka dia pun tidak berani memandang rendah sehingga untuk menghadapi serangan dua orang lawannya yang tangguh ini, dia telah mainkan Thai-kek Sin-kun, ilmu silat keramat dari ayahnya.

Ilmu silat ini memang merupakan ilmu silat halus yang amat tangguh untuk menjaga diri dan mempunyai daya tahan yang sangat kuat sehingga dengan ilmu ini dia seakan-akan dapat menahan serangan seribu orang lawan! Apa lagi pada waktu itu tingkat kepandaian Bun Houw sedang berada pada puncaknya, tubuhnya sedang kuat-kuatnya dan dia amat terlatih.

Maka, dengan langkah-langkah yang indah dari Thai-kek Sin-kun, dia mampu mengelak ke sana-sini atau menambahnya dengan tangkisan-tangkisan untuk kemudian melakukan serangan balasan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang yang amat ampuh itu.

Pertandingan itu sudah lewat lima puluh jurus, namun kedua orang pengeroyok itu sama sekali belum pernah mampu menyentuh tubuh Bun Houw. Semua tamu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelalak karena kagum. Yap Kun Liong memandang dengan sikap tenang, tidak seperti isterinya, Cia Giok Keng yang memandang dengan alis berkerut dan tangan terkepal. Tingkat Cia Giok Keng tidak sedemikian tingginya sehingga dia sukar dapat mengikuti perkembangan dari pertandingan tingkat tinggi itu sehingga dia khawatir kalau-kalau adik kandungnya akan kalah.

Sedangkan Yap In Hong sejak tadi mengikuti gerak-gerik ketiga orang yang bertanding itu dengan sikap sama tenangnya dengan kakak kandungnya. Dia tahu bahwa suaminya tak akan kalah, karena pada dasarnya suaminya lebih kuat dan andai kata suaminya mau menjatuhkan pukulan-pukulan maut yang ganas, sejak tadi tentu suaminya sudah dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya itu, atau setidaknya seorang di antara mereka.

Lie Ciauw Si yang biar pun amat lihai tapi juga tidak setinggi itu tingkatnya, memandang dengan bingung. Dia tidak tahu harus berfihak mana. Yang dikeroyok adalah pamannya yang bertindak atas nama Cin-ling-pai, sedangkan kedua orang pengeroyoknya itu adalah pembantu-pembantu suaminya yang menggantikan dia. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan apa bila dia yang masih menjadi penguji dan harus berhadapan dengan pamannya yang sakti itu!

Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw menonton dengan wajah berseri dan beberapa kali dia mengangguk-angguk menyatakan kagumnya terhadap gerak-gerik Cia Bun Houw yang memang merupakan seorang pendekar yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, diam-diam pangeran ini merasa khawatir juga. Dia tahu bahwa dua orang pembantunya itu tidak akan dapat menang.

Karena itu mulailah dia memandang ke sana-sini mencari-cari Sin Liong. Mengapa adik angkatnya itu tidak kembali ke situ? Kalau saja ada Sin Liong, sebelum dia sendiri harus berhadapan dengan Cia Bun Houw, yaitu kalau dia gagal membujuk paman isterinya itu, dia akan menyuruh Sin Liong mewakilinya untuk menguji pendekar dari Cin-ling-pai itu!

Meski pun dia tahu bahwa Sin Liong, menurut pengakuannya adalah putera kandung dari pendekar sakti ini, akan tetapi agaknya di antara mereka berdua belum ada hubungan dan pendekar sakti ini belum tahu akan rahasianya sendiri itu! Maka hal ini merupakan kunci baginya! Kehadiran Sin Liong sebagai putera pendekar ini dapat dipergunakannya untuk menarik keluarga Cia itu.

Seandainya di antara ayah dan anak itu tidak ada yang mau mengulurkan tangan, maka dia dapat pula mengharapkan bantuan Sin Liong yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang tak banyak selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, seorang pembantu yang boleh diharapkan. Oleh karena itu, maka melihat dua orang pembantunya itu agaknya terdesak oleh Cia Bun Houw, pangeran itu mulai teringat kepada Sin Liong dan mulai menoleh ke sana-sini untuk mencari adik angkatnya itu.

Ke manakah perginya Sin Liong? Apa yang terjadi dengan dia? Mari kita mengikuti Sin Liong yang tadi meninggalkan tempat pertemuan itu.

Sesudah Sin Liong mendengar bisikan pangeran yang hendak memaksa membantunya dan bahwa Bi Cu berada dalam pengawasan serta kekuasaan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, maka tahulah Sin Liong bahwa kakak angkatnya itu kembali berbuat curang. Tahulah dia bahwa Bi Cu sengaja ditawan untuk dijadikan sandera, untuk memaksa dia harus membantu pangeran itu menghadapi para tokoh kang-ouw, membantu Pangeran itu agar berhasil menjadi jagoan nomor satu di dunia dan menjadi bengcu untuk menghimpun tenaga

Hek-hiat Mo-li mengeluarkan gerengan laksana seekor binatang marah dan dia langsung menubruk dari samping, menghantamkan tongkat bututnya ke arah belakang kepala Sin Liong sambil tangan kirinya mencengkeram ke arah dada.

Sin Liong yang pada waktu itu sedang tertegun karena melihat betapa dia telah berhasil membunuh wanita yang menjadi musuh besarnya, yang telah membunuh ibu kandungnya itu, segera berbalik ketika merasa ada sambaran angin serangan dahsyat itu. Dari angin pukulan itu tahulah Sin Liong bahwa nenek ini sudah marah sekali dan telah mengerahkan seluruh tenaganya, agaknya hendak mengadu nyawa dengan dia karena marah melihat muridnya yang terkasih itu tewas.

"Hemm, engkau pun harus mampus untuk pergi menghadap arwah kongkong!" bentaknya dan dia pun cepat menangkis dan balas menyerang.

Karena sekali ini Sin Liong tidak mau memberi hati lagi, begitu balas menyerang dia pun telah memilih jurus-jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang merupakan ilmu simpanan dan yang belum dikenal oleh orang lain sehingga betapa pun nenek itu hendak mengelak dan menangkis, tetap saja pukulan aneh itu mengenai dadanya.

"Desss...!"

Tubuh nenek itu terlempar lagi ke belakang dan menghantam dinding, gudang itu seperti tergetar saking kerasnya tubuh nenek itu menumbuk dinding. Akan tetapi, sungguh pun pukulan tadi hebat sekali, namun Hek-hiat Mo-li tetap merangkak bangun maju lagi dan memekik-mekik seperti orang gila sambil menyerang dengan tongkatnya, agaknya sedikit pun tidak merasakan pukulan dahsyat itu!

Sin Liong merasa terkejut bukan kepalang. Pukulannya tadi hebat sekali, dan dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang pada tangannya. Namun ternyata nenek tua itu mempunyai kekebalan yang luar biasa sekali, agaknya kekebalan yang sudah melindungi seluruh tubuh bagian dalam sehingga pukulan yang demikian ampuhnya pun tidak dapat melukai luar mau pun dalam!

Ketika tadi Sin Liong merobohkan Kim Hong Liu-nio sesudah melakukan serangan hebat yang langsung membuat guru dan murid itu terdesak hebat, pendekar wanita Yap In Hong memandang dengan mata terbelalak! Dia merasa heran, terkejut, dan kagum bukan main.

Dia sudah mengenal betul siapa adanya Hek-hiat Mo-li dan betapa lihainya nenek iblis itu, dan dia pun tahu bahwa murid nenek itu pun lihai bukan main. Akan tetapi, dikeroyok dua oleh guru dan murid itu, Sin Liong sama sekali tidak kelihatan repot, bahkan dalam waktu singkat saja sudah berhasil menewaskan Kim Hong Liu-nio secara demikian luar biasa, menggunakan hio-hio (dupa biting) yang bernyala yang merupakan senjata rahasia dari lawan itu.

Kini tubuh Kim Hong Liu-nio terlentang tak bernyawa lagi, akan tetapi dua batang hio yang menancap pada dada dan dahi itu masih mengeluarkan asap harum! Dan melihat betapa dalam gebrakan selanjutnya Hek-hiat Mo-li sudah kena dihantam sedemikian kerasnya, benar-benar membuat Yap In Hong kagum bukan main!

Dia sendiri pernah melawan nenek ini dan biar pun akhirnya dia berhasil menang, namun harus melalui pertandingan yang amat lama, amat melelahkan dan amat berbahaya. Dan kini, dalam perkelahian yang belum lama, Sin Liong telah mampu membuat tubuh nenek itu terlempar dua kali!

Akan tetapi, melihat wajah pemuda itu terkejut, dia lantas mengerti sebabnya. Dia sudah mengenal kekebalan nenek itu yang dahulu pernah membuat dia repot dan bingung juga, maka dia pun lalu cepat berkata, "Sin Liong, kau hantam kedua telapak kakinya!"

Mendengar ini, mengertilah Sin Liong bahwa nenek itu memiliki kelemahan pada telapak kakinya. Dan memang benarlah demikian. Di dalam cerita Dewi Maut, pendekar wanita Yap In Hong pernah bertanding mati-matian dengan nenek ini dan seandainya dia tidak dapat menemukan rahasia kelemahan nenek ini, yaitu pada kedua kakinya, belum tentu dia dapat keluar sebagai pemenang. Kini dia membuka rahasia kelemahan itu kepada Sin Liong.

MENDENGAR ini, girang hati Sin Liong. Tadi dia sudah kaget sekali menyaksikan kehebatan ilmu kekebalan nenek ini dan walau pun hal itu tidak membuat dia merasa gentar, akan tetapi setidaknya membuat dia menjadi bingung karena tidak tahu bagaimana caranya dia akan bisa mengalahkan orang yang tubuhnya kebal seperti itu. Kini, mendengar petunjuk dari Yap In Hong, dia girang sekali dan cepat dia menghantamkan kedua tangannya ke arah kedua kaki nenek itu dengan pengerahan tenaga sinkang-nya.

Akan tetapi, betapa terkejutnya hati Yap In Hong dan juga Sin Liong sendiri ketika nenek itu hanya mengelakkan sebelah kaki saja, lantas sambil terkekeh-kekeh dia menyambut hantaman Sin Liong dengan kaki lainnya! Justru dengan telapak kakinya yang dianggap tempat lemah itu.

"Dukkk!"

Kembali tubuh nenek itu terlempar ke belakang, akan tetapi Sin Liong terkejut bukan main karena tangannya bertemu dengan benda yang amat keras, yang agaknya tersembunyi di dalam sepatu yang tebal itu. Ternyata nenek itu sudah melindungi bagian tubuhnya yang lemah itu, yaitu dua telapak kakinya, dengan logam, mungkin baja murni yang amat kuat dan tebal dan melindungi kedua telapak kaki itu dengan disembunyikan di dalam sepatu. Pantas saja sepatu nenek itu amat tebal!

"He-he-he, Yap In Hong, kau kira masih akan dapat mengalahkan aku dengan memukul telapak kakiku? Heh-heh!" Nenek itu tertawa girang sekali dan dia sudah menerjang lagi ke arah Sin Liong dengan lebih dahsyat!

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Sin Liong menjadi marah. Dia menyambut terjangan nenek itu dengan kedua tangannya, tangan kirinya menangkis tongkat dan terus menangkap tongkat itu, sedang tangan kanan menangkis pukulan tangan kiri lawan dan terus dia mengerahkan Thi-khi I-beng sehingga tongkat dan tangan nenek itu tersedot dan melekat.

"Heh-heh, siapa takut Thi-khi I-beng?" Nenek itu berseru sambil menggerakkan tubuhnya meliuk seperti ular, dan tiba-tiba saja tongkat serta tangannya dapat terlepas dari sedotan karena nenek itu segera menarik kembali sinkang-nya, kemudian secepat kilat nenek itu telah menggerakkan tongkatnya dari jarak yang sedemikian dekatnya untuk menotok jalan darah maut di leher Sin Liong, di bawah telinga kiri!

"Tukk! Prakkk!"

Nenek itu terkejut bukan main. Totokannya tadi tepat sekali mengenai sasaran. Biasanya, totokan seperti itu tidak mungkin dapat dilindungi oleh kekebalan, maka dia sudah girang sekali karena mengira bahwa totokannya tentu akan merobohkan pemuda itu.

Dia tidak tahu bahwa dengan latihannya menurut isi kitab-kitab Bu Beng Hud-couw yang aneh, pemuda itu telah dapat membalikkan jalan darahnya sehingga ketika ujung tongkat itu mengenai jalan darah, yang ditotoknya hanyalah urat yang pada saat itu berhenti tidak mengalirkan darah karena darahnya berpindah mengalir melalui tempat lain! Dan ketika itu pula, dengan tangannya Sin Liong menampar ke arah tongkat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tongkat itu patah-patah.

Kini Sin Liong menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya, memainkan San-in Kun-hoat dengan kedua tangannya, gerakannya lembut seperti awan gunung, akan tetapi ilmu silat yang dipelajarinya dari ketua Cin-ling-pai ini hebat sekali sehingga biar pun amat lembut, jari-jemari tangannya mengancam ke arah mata nenek itu, bagian yang tentu saja tidak mungkin dilindungi oleh kekebalannya yang amat kuat itu.

"Ihhh...!" Nenek itu mengelak dan menggunakan dua tangan untuk melindungi mukanya.

Memang inilah yang dikehendaki oleh Sin Liong. Begitu kedua lengan nenek itu bergerak melindungi matanya, gerakan sekilat ini sedikit banyak mengurangi kewaspadaan nenek itu karena matanya terhalang lengan dan nenek itu terlalu mengandalkan kekebalannya sehingga tidak melindungi tubuh lain.

Kesempatan ini digunakan oleh Sin Liong untuk melakukan gerakan cepat mencengkeram dengan kedua tangannya, menangkap leher serta baju pada bagian dada nenek itu, dan sebelum Hek-hiat Mo-li tahu apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, mendadak Sin Liong mengeluarkan bentakan nyaring dan dengan sekuat tenaga dia melemparkan tubuh nenek itu ke arah api yang sedang berkobar!

"Hiaaattt...!" Bentakan ini disusul lemparan kedua tangan dan tubuh nenek itu melayang cepat ke arah api!

"Brakkk!"

Pilar kayu di mana tadi Bi Cu dibelenggu dan yang kini sudah berkobar-kobar itu segera patah-patah tertimpa tubuh Hek-hiat Mo-li, disusul oleh pekik dahsyat nenek itu karena pakaiannya terjilat api dan mulailah dia terbakar oleh api yang mulai bernyala di pakaian dan rambutnya! Nenek itu meloncat ke sana-sini, akhirnya bergulingan dan menjerit-jerit. Namun api makin membesar hingga akhirnya dia berkelojotan dan Sin Liong membuang muka. Sesudah nenek itu tidak bersuara lagi, Sin Liong cepat menghampiri Bi Cu.

"Sin Liong...!" Kebetulan Bi Cu siuman dan mereka saling tubruk dan saling berangkulan, dipandang oleh Yap In Hong yang menahan senyumnya.

Sin Liong lalu menggandeng tangan kekasihnya, diajaknya berlutut di hadapan pendekar wanita itu. "Yap-lihiap sudah menyelamatkan nyawa Bi Cu, kami berdua berterima kasih sekali dan kami tidak akan melupakan budi kebaikan lihiap," kata Sin Liong dengan suara terharu.

Yap In Hong tersenyum dan memandang kagum kepada pemuda yang sedang berlutut di hadapannya itu. Baru kini dia tahu bahwa pemuda ini benar-benar memiliki kepandaian yang hebat sekali, dan mulailah dia mengerti mengapa pemuda ini dahulu mencegah dia dan suaminya ketika hendak membunuh Kim Hong Liu-nio. Ternyata pemuda ini hendak membunuh sendiri wanita jahat itu, dan tentu ada alasannya yang amat kuat.

"Sudahlah, Sin Liong, di dalam keadaan seperti ini, tidak perlu sungkan-sungkan. Engkau terus teranglah sekarang, apakah engkau benar-benar hendak membantu pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw?"

Sin Liong mengangkat muka memandang, dan wanita perkasa itu terkejut menyaksikan sinar mata yang mencorong seperti mata naga itu!

"Tidak, lihiap. Bahkan aku akan membantu untuk menghancurkan usahanya yang busuk itu!"

"Bagus, kalau begitu lekas kita keluar. Tempat ini mulai terbakar dan aku tidak tahu bagai mana jadinya dengan pertandingan di luar." Yap In Hong lalu cepat meloncat keluar.

Sin Liong yang menggandeng tangan Bi Cu bangkit bersama dara itu dan mereka saling pandang. Ketika Bi Cu melihat tubuh Kim Hong Liu-nio sudah menjadi mayat dan hio-hio itu masih mengepulkan asap harum, sedangkan tubuh nenek itu menjadi semakin hitam karena terbakar, dia pun mengeluh dan merangkul Sin Liong, menyembunyikan mukanya di dada kekasihnya. Teringatlah dia betapa kalau dia tidak tertolong, tentu dia akan mati secara mengerikan seperti nenek itu pula.

"Semuanya telah berlalu... tenanglah," Sin Liong berkata sambil mendekap dan mengelus rambut kekasihnya, lalu mengajaknya keluar dari tempat itu, menuju ke luar, ke tempat pertemuan dengan jalan memutar, tidak lewat dalam istana, melainkan lewat taman bunga di samping istana.

Mereka melihat betapa Yap In Hong sudah berjalan cepat menuju ke ruangan depan itu. Mereka lalu ikut melangkah perlahan-lahan menuju keluar di mana agaknya masih terjadi keributan-keributan.

Kiranya pertandingan antara Cia Bun Houw yang dikeroyok dua oleh Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun berjalan amat seru dan mati-matian. Pada saat Yap In Hong tadi meninggalkan suaminya untuk melakukan penyelidikan ke belakang istana, dia melihat bahwa suaminya sudah mendesak dua orang lawan itu, maka setelah berunding dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, dia meninggalkan tempat itu, menyelinap ke belakang tanpa diketahui orang lain dan di gudang itu dia sempat menyaksikan Sin Liong menewaskan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio. Bahkan dia sempat menyelamatkan Bi Cu yang terancam maut.

Karena ternyata di belakang istana itu tidak terdapat gerakan apa-apa, dan karena girang bahwa Sin Liong ternyata berpihak kepada Cin-ling-pai dan menentang pangeran, maka wanita perkasa itu lalu cepat kembali ke situ. Akan tetapi ternyata, sungguh pun dia tidak menggunakan waktu yang terlalu lama meninggalkan tempat itu, setelah kini dia kembali, pertandingan itu sudah berubah menjadi lebih menegangkan dan mati-matian karena dua orang yang mengeroyok suaminya itu sesudah terdesak hebat lalu mengeluarkan senjata masing-masing.

Phang Tek sudah mempergunakan senjata tongkatnya yang hanya sepanjang sebatang pedang, kemudian memainkan tongkat itu seperti sebatang pedang dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw-kiam yang ganas. Juga adiknya, Phang Sun, telah mempergunakan sebatang pisau belati yang berwarna hitam dan mengetuarkan bau amis. Memang belati di tangan Kim-liong-ong Phang Sun ini mengandung racun yang amat jahat, sekali gores pada kulit saja sudah cukup untuk mengirim lawan ke lubang kubur!

Akan tetapi ketika melihat dua orang lawannya yang telah terdesak itu kini menggunakan senjata, Bun Houw tidak berkata apa-apa. Dia maklum bahwa memang dua orang lawan itu bukan sekadar menguji kepandaiannya, melainkan jika mungkin akan membunuhnya, maka dia pun lalu mencabut sebatang pedang.

Semua orang menjadi silau melihat sekilat sinar emas yang kemudian bergulung-gulung. Kiranya itu adalah Hong-cu-kiam, sebatang pedang tipis yang bisa digulung atau dipakai sebagai sabuk, pedang yang pernah menggemparkan kolong langit di tangan pendekar ini.

Dengan pedang di tangan, pendekar ini tentu saja seperti seekor harimau tumbuh sayap. Dua orang kakek dari selatan itu kecele, karena begitu mereka bermain senjata, melawan pedang pemuda itu sungguh merupakan hal yang amat berbahaya.

Belum lagi lima puluh jurus mereka bertanding, Hai-liong-ong Phang Tek telah kehilangan tongkatnya yang patah menjadi dua dan kulit lengan kiri Kim-liong-ong Phang Sun terobek sehingga mengeluarkan darah. Keduanya terkurung hebat oleh gulungan cahaya pedang dan kalau Bun Houw hendak menurunkan tangan kejam, tentu mereka dalam saat-saat berikutnya akan roboh!

Pada saat itu, Pangeran Ceng Han Houw bangkit dan melangkah maju sambil berseru, "Tahan senjata...!"

Mendengar ini, sebagai seorang tamu yang tahu aturan, Bun Houw menahan pedangnya dan lenyaplah sinar gemilang dari pedang itu. Kini pendekar itu berdiri tegak menghadapi pangeran, pedangnya sudah masuk kembali ke sekeliling pinggangnya, dililitkan laksana sebatang sabuk! Hanya sedikit peluh di leher pendekar itu yang menunjukkan bahwa dia sudah mengeluarkan banyak tenaga menghadapi dua orang lawan tangguh tadi, ada pun dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo itu berdiri di pinggiran sambil terengah-engah dan seluruh muka, leher dan baju mereka basah oleh keringat!

Pangeran Ceng Han Houw sudah melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat dan ramah kepada Cia Bun Houw. "Paman Cia Bun Houw sungguh gagah perkasa dan amat mengagumkan..."

"Maaf, pangeran, selamanya saya tidak pernah merasa mempunyai seorang keponakan seperti Pangeran. Bicaralah yang benar!" Cia Bun Houw memotong dengan suara ketus penuh teguran. Tentu saja ucapan ini merupakan tamparan hebat, tetapi Ceng Han Houw masih tersenyum dengan ramahnya.

"Mungkin saja seorang enghiong gagah perkasa seperti Cia-tahiap tak mau menganggap saya sebagai keponakan, akan tetapi adalah merupakan kenyataan bahwa isteri saya, Lie Ciauw Si, ialah keponakanmu. Taihiap telah menundukkan dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo, dengan demikian berarti sudah memenuhi syarat secukupnya untuk menjadi jago nomor satu di dunia, kecuali bila ada yang akan menandingi taihiap. Dengan kepandaian taihiap yang tinggi, maka kami mengharapkan agar taihiap akan sudi membantu agar kita semua dapat bangkit dan menentang kelaliman kaisar..."

"Cukup, pangeran! Aku bukan seorang pemberontak!"

"Justru itulah, Cia-taihiap. Taihiap beserta semua anggota keluarga Cin-ling-pai bukanlah pemberontak dan tidak pernah memberontak, akan tetapi apa yang telah terjadi? Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka bahwa keluarga Cin-ling-pai yang gagah perkasa semuanya sudah dituduh pemberontak oleh kaisar yang tidak mengenal budi, bahkan telah menjadi orang-orang buruan pemerintah. Bukankah hal itu membikin orang menjadi penasaran?"

"Kami sekarang sudah dibebaskan, dan aku tidak mau bicara tentang itu!" Cia Bun Houw berkata dengan ketus.

Pada saat itu pula Lie Ciauw Si sudah bangkit kemudian berkata, "Paman Cia Bun Houw, hendaknya paman mengetahui bahwa yang sudah membebaskan keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan pemberontak adalah Pangeran Ceng Han Houw yang telah menjadi suamiku inilah! Dia bermaksud baik, dia hendak menghimpun kekuatan orang-orang gagah, kaum patriot untuk menentang penindasan..."

"Lie Ciauw Si!" Tiba-tiba terdengar suara Cia Giok Keng yang nyaring, membuat semua orang menengok ke belakang, "Aku malu sekali melihat kau menjadi kaki tangan gerakan pemberontak! Aku malu mendengar kata-katamu yang membelanya! Aku malu melihat engkau merendahkan diri menjadi isterinya!"

Seketika wajah Ciauw Si menjadi pucat dan dia memandang ke arah ibunya yang sudah bangkit berdiri dari kursinya itu dengan sinar mata sedih. "Ibu... dia... dia seorang suami yang baik..."

Cia Giok Keng yang marah sekali itu hendak bangkit meninggalkan tempat duduknya dan menghampiri ke tengah ruangan, akan tetapi lengan tangannya dipegang oleh Yap Kun Liong lantas suaminya ini membujuknya sehingga akhirnya dia duduk kembali, menutupi mukanya dan menangis!

Sementara itu, Cia Bun Houw berkata kepada Pangeran Ceng Han Houw, "Pangeran kita bicara seperti laki-laki ataukah engkau hendak menggunakan wanita untuk membelamu?"

Han Houw tersenyum, memegang tangan Ciauw Si dan membujuknya lalu menuntunnya sehingga akhirnya Ciauw Si kembali duduk di atas kursinya dan menundukkan mukanya, menyembunyikan air matanya yang menetes keluar. Kemudian pangeran itu kembali maju menghampiri Bun Houw sehingga mereka berdiri berhadapan dan saling memandang.

Pangeran itu tahu bahwa bujukannya yang dibantu isterinya tidak akan berhasil, maka kini dia ingin mengambil jalan lain yang akan menguntungkan dia, yaitu hendak merobohkan orang-orang Cin-ling-pai di depan semua orang kang-ouw agar mereka semua tahu bahwa dialah jagoan nomor satu di dunia ini! Kemenangannya atas semua pendekar-pendekar Cin-ling-pai tentu akan membuat para tokoh kang-ouw lainnya menjadi tunduk sehingga pengaruhnya tentu akan menjadi lebih besar sehingga mudah baginya untuk menguasai mereka.

Sesudah kedua orang ini saling pandang dengan sinar mata tajam, akhirnya Han Houw berkata, suaranya lantang karena dimaksudkan agar semua orang dapat mendengarnya, "Cia-taihiap, kami telah bermaksud baik dan mengingat akan pertalian kekeluargaan, akan tetapi taihiap menolaknya. Sekarang, pendekar sakti Cia Bun Houw dari Cin-ling-pai telah maju ke sini dan mengalahkan dua orang yang menjadi penguji. Taihiap adalah seorang calon jagoan nomor satu di dunia."

"Aku tidak ingin menjadi jagoan, hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian orang yang berani mengaku sebagai jagoan nomor satu di dunia, tidak peduli siapa adanya dia itu!"

Ceng Han Houw tersenyum, kemudian dia memandang ke sekeliling. "Cu-wi tentu sudah mendengarnya. Pendekar Cia Bun Houw adalah seorang pendekar yang amat lihai pada waktu ini, dan aku mendengar kabar bahwa ilmu kepandaiannya bahkan telah melampaui tingkat mendiang ayahnya, yaitu ketua sekaligus pendiri dari Cin-ling-pai! Oleh karena itu, kemunculannya ini dapat diartikan mewakili seluruh Cin-ling-pai dan dia sudah lulus ujian dan mengalahkan kedua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo. Oleh karena itu, kalau ada di antara para locianpwe dan enghiong yang merasa pantas untuk menjadi calon jago nomor satu di dunia, harap suka maju untuk menghadapi Cia-taihiap!"

Memang pangeran ini cerdik sekali. Dia ingin mengadukan semua orang gagah di sana, dan nanti pemenang terakhir barulah akan dihadapinya. Dengan cara ini di samping tidak terlampau melelahkan baginya, juga dia dapat sekali pukul merobohkan orang terpandai dan otomatis menjadi jagoan nomor satu di dunia!

Secara diam-diam Bun Houw juga mendongkol sekali mendengar ini, akan tetapi karena pangeran itu adalah tuan rumah, maka tentu saja dia berhak untuk bicara kepada semua tamunya bahkan berhak pula untuk mengeluarkan peraturan. Maka dia pun diam saja. Dia yakin bahwa di antara para orang gagah dari golongan bersih tidak akan ada seorang pun yang sudi untuk memperebutkan julukan yang sombong itu dan tidak akan ada yang mau menentangnya sebab mereka semua melihat bahwa dia maju untuk menentang pangeran pemberontak itu.

Maka, dia hanya ingin tahu tokoh golongan hitam yang mana yang akan maju. Dia akan menghadapi mereka semua, karena memang tugasnya bersama keluarga Cin-ling-pai ini hendak membantu Pangeran Hung Chih untuk menumpas persekutuan hitam yang akan memberontak terhadap pemerintah di bawah pimpinan pangeran muda ini.

Akan tetapi, ternyata dari golongan hitam pun tak ada yang berani maju! Setelah mereka semua tadi menyaksikan betapa Bun Houw mampu merobohkan dua orang dari Lam-hai Sam-lo, para tokoh hitam menjadi gentar sekali dan tidak ada seorang pun yang berani lancang maju menghadapi pendekar Cin-ling-pai yang selain kelihaiannya sudah terkenal sekali itu, bahkan sudah mereka saksikan sendiri betapa hebat sepak terjangnya ketika mengalahkan Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong tadi.

Maka mereka ingin sekali melihat sang pangeran itu sendiri yang menghadapi pendekar Cia Bun Houw. Mereka tahu bahwa pangeran muda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah mengalahkan banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan, bahkan sudah berani pula menantang tokoh-tokoh Siaw-lim-pai! Karena itu, menurut pendapat mereka, hanya pangeran itulah yang patut untuk menghadapi pendekar Cin-ling-pai itu.

"Pangeran saja yang maju!" tiba-tiba terdengar seruan seorang di antara mereka.

Seruan ini seperti menyinggung semua perasaan para tamu golongan hitam maka tempat itu lalu menjadi bising dan semua orang menyatakan agar pangeran yang mau menandingi pendekar Cin-ling-pal itu! Selain mereka menganggap bahwa pangeran muda ini lawannya, juga mereka semua ingin menyaksikan pertandingan yang tentu akan berlangsung amat hebatnya itu.

Diam-diam Pangeran Ceng Han Houw merasa kecewa. Mengapa tidak ada lagi jagoan yang berani maju? Apakah orang-orang yang akan dihimpunnya dan dijadikan pembantu-pembantunya itu hanya terdiri dari orang-orang yang begitu penakut?

Melihat ini, Hai-liong-ong Phang Tek lalu berkata, "Harap paduka pangeran sendiri yang maju menghadapi Cia-taihiap karena agaknya tidak ada lagi yang sanggup."

Memang kakek ini pun ingin melihat sang pangeran merobohkan pendekar yang sudah membikin dia dan adiknya kewalahan sehingga mendapatkan malu itu, dan dia yang telah tahu akan kelihaian pangeran ini, merasa yakin bahwa pangeran muda itu akan sanggup merobohkan lawan tangguh ini.

Ceng Han Houw tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas sehingga suara bising itu pun berhenti. Kemudian terdengar suaranya lantang dan halus, "Pendekar Cia Bun Houw adalah paman dari isteriku, maka bagaimana pun juga kami masih terhitung keluarga dekat dan tentu saja tidak sepatutnya kalau aku sebagai mantu keponakan maju melawannya. Tetapi, seperti kita semua ketahui, dalam ilmu silat tidak boleh memandang hubungan apa pun, dan untuk menentukan siapa yang lebih lihai tiada jalan lain kecuali mengadu kepandaian silat. Dan sudah jelas bahwa Cia-taihiap merupakan calon tunggal, maka biarlah saya akan melayaninya untuk melihat siapa di antara kita yang lebih unggul. Tentu saja saya mengharapkan kelonggaran hati Cia-taihiap dengan memandang muka isteriku!" Kalimat terakhir ini ditujukan kepada Cia Bun Houw.

Bun Houw memandang tajam, kemudian berkata, "Kalau engkau berhasrat untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, nah, majulah pangeran. Aku ingin mengukur sampai di mana kelihaian jagoan nomor satu di dunia!"

Dua orang itu telah saling berhadapan dan siap untuk saling serang. Semua mata tertuju ke arah mereka dan semua hati merasa tegang karena mereka semua maklum bahwa sekali ini tentu akan terjadi pertandingan yang amat seru dan hebat. Bahkan Yap In Hong yang baru saja datang dan duduk di kursinya kini memandang dengan jantung berdebar tegang, lalu berbisik-bisik dengan kakaknya, Yap Kun Liong untuk mengatur siasat yang memang telah dipersiapkan sebelumnya. Bagaimana pun juga, Yap In Hong tidak pernah menganggap pertandingan itu sebagai pibu, karena itu dia pun siap membantu suaminya andai kata suaminya terancam bahaya.

Juga Sin Liong yang sudah tiba di luar ruangan itu bersama Bi Cu, menyelinap di antara penonton, pada bagian paling belakang sehingga tidak nampak jelas dari dalam, sambil memegang tangan Bi Cu mereka berdua menonton dengan hati tegang pula. Tidak ada seorang pun memperhatikan pemuda dan dara yang baru datang ini, karena semua orang mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang pria yang saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago dalam medan laga.

Pangeran yang mengenakan pakaian indah, dengan mantel berikut topi bulu itu nampak gagah dan tampan sekali, bulu burung yang menghias topinya berwarna merah biru dan kuning emas. Senyumnya tidak pernah meninggalkan wajahnya dan dia sedikit pun tidak memperlihatkan wajah gentar, berseri-seri dan sikapnya menunjukkan bahwa dia percaya penuh akan keunggulannya.

Pendekar Cia Bun Houw yang berdiri di hadapannya merupakan seorang laki-laki gagah yang berpakaian dan bersikap sederhana dan kereng, sepasang matanya tajam penuh wibawa dan dia menanti serangan lawan dengan tenang.

"Pangeran...!"

Ketegangan itu melunak dan Pangeran Ceng Han Houw menoleh, memandang kepada isterinya yang tadi memanggilnya dengan suara halus dan menggetar. Dilihatnya wanita cantik itu memandang kepadanya dan sepasang mata yang indah itu agak kemerahan dan basah.

"Pangeran, ingatlah bahwa dia adalah pamanku..." kata Ciauw Si.

Hati wanita ini merasa bingung dan tegang bukan main. Dia tahu benar betapa lihainya suaminya. Dia sudah menguji sendiri kehebatan suaminya itu dan dia bahkan mempunyai keyakinan bahwa pamannya itu sekali pun tidak akan dapat mengalahkan Pangeran Ceng Han Houw, maka kekhawatirannya tertuju kepada pamannya sehingga dia merasa perlu untuk mengingatkan suaminya yang berarti minta suaminya supaya jangan menurunkan tangan keras terhadap adik ibunya itu.

Ceng Han Houw tersenyum bangga. Perkataan isterinya itu, walau pun hanya diucapkan perlahan, namun karena suasana sedang tegang dan sangat sunyi, ucapan itu terdengar oleh semua orang dan ucapan isterinya itu saja sudah mengangkatnya tinggi-tinggi di atas pendekar sakti yang akan menjadi lawannya. Isterinya minta agar dia mau berlaku murah kepada pendekar itu, berarti bahwa isterinya menyatakan kepada semua orang bahwa dia lebih unggul dari pada pendekar Cin-ling-pai itu!

"Jangan khawatir isteriku, ini hanya sebuah pibu, bukan perkelahian, tentu saja aku tidak akan berani kurang ajar apa lagi menyakiti paman sendiri!" jawab Ceng Han Houw sambil tersenyum lebar.

Bukan main panasnya rasa hati Bun Houw mendengar ucapan pangeran itu. Dia merasa direndahkan, dipandang ringan sekali di hadapan para tokoh kang-ouw. "Pangeran, luka atau mati sudah jamak terjadi dalam pibu. Nah, kau sambutlah ini!"

Karena tidak ingin membiarkan pangeran itu bisa berlagak lebih lanjut, Bun Houw sudah mengirim serangan dengan pukulan tangan kirinya yang ditamparkan ke arah leher lawan, tamparan yang terlihat sembarangan dan ringan saja akan tetapi sesungguhnya tamparan itu merupakan serangan Ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat ampuh.

"Harap Cia-taihiap jangan bersikap sungkan lagi," kata sang pangeran yang menghadapi serangan itu masih sempat bicara, sambil mengelak dengan amat mudahnya, seolah-olah dengan ucapannya itu dia menegur pendekar Cin-ling-pai itu bahwa serangannya terlalu lemah dan terlalu sungkan!

Tentu saja Cia Bun Houw dapat merasakan sindiran ini, sebab itu dia pun kemudian mulai menggerakkan tubuhnya dengan cepat, mengerahkan sinkang pada sepasang tangannya dan pendekar ini pun menyerang dengan dahsyatnya. Karena dia dapat menduga bahwa pangeran ini bukan sekadar omong kosong atau sombong belaka, melainkan benar-benar memiliki kepandaian yang tinggi, maka begitu bergerak, Bun Houw sudah menggunakan jurus-jurus Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang ampuh itu.

Kedua lengannya mengandung tenaga dari Ilmu Thian-te Sin-ciang yang sangat dahsyat dan kuat. Setiap gerakannya mendatangkan angin pukulan yang amat mantap sehingga setiap kali dielakkan lawan, jari-jari tangannya seolah-olah tergetar ketika pukulan ditahan, seperti ujung pedang saja!

Girang sekali rasa hati Han Houw. Inilah yang selalu dia nanti-nantikan, yaitu menandingi seorang pendekar yang telah mencapai puncak ketenarannya kemudian mengalahkannya! Kemenangan seperti ini akan jauh lebih menyenangkan dan nikmat dari pada melawan tokoh-tokoh biasa saja.

Dan kalau saja dia dapat mengalahkan pendekar dari Cin-ling-pai ini di depan penyaksian demikian banyaknya orang kang-ouw, sekali ini namanya tentu akan meningkat tinggi dan selain dia berhak menggunakan gelar Thian-te Te-it Tai-hiap (Pendekar Sakti Nomor Satu di Kolong Langit), juga dengan sendirinya dia akan menduduki kursi Bengcu (Pemimpin Rakyat) sehingga akan mudah menghimpun dan mengerahkan tenaga orang-orang dunia kang-ouw untuk niatnya menentang kaisar!

Dialah yang patut menjadi kaisar, bukan Kaisar Ceng Hwa yang sekarang ini, bukan pula Pangeran Hung Chih. Dialah yang paling tepat untuk menjadi kaisar! Dia merasa yakin akan dapat mengalahkan pendekar Cin-ling-pai ini, sungguh pun dia maklum bahwa untuk itu dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

Dua orang pria yang berilmu tinggi itu kini bertanding dengan serunya. Mata semua tamu ditujukan untuk mengikuti pertandingan itu, dengan pandang mata penuh ketegangan dan kekaguman dan hampir tak pernah ada yang berkedip, seolah-olah merasa sayang untuk melewatkan sedikit gerakan tanpa mereka ikuti dengan seksama.

Memang mereka berdua itu hebat sekali. Setiap pukulan mendatangkan angin keras dan merupakan pukulan yang ampuh, dapat menghancurkan batu karang. Akan tetapi, setiap serangan dapat dihindarkan masing-masing dengan cara indah pula, jika tidak mengelak dengan gerakan cepat dan tepat, tentu ditangkisnya dan setiap kali kedua lengan mereka saling bertemu, semua orang dapat merasakan pertemuan dua tenaga dahsyat.

"Dukk! Dukk! Dukk!"

Suara keras dari bertemunya dua lengan itu seolah-olah menggetarkan sekeliling tempat itu, dan seolah-olah terasa oleh mereka yang menonton sehingga makin lama suasana menjadi makin menegangkan, apa lagi karena nampaknya kedua fihak sama kuatnya dan setiap kali mereka beradu tenaga, keduanya tergetar tapi dapat saling mempertahankan sehingga tidak sampai terhuyung.

Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang dimainkan oleh kaki tangan Bun Houw adalah ilmu yang amat tinggi dan memiliki dasar yang amat kuat, apa lagi dimainkan oleh Bun Houw tanpa kesalahan sedikit pun dan didorong pula dengan tenaga sinkang dari Thian-te Sin-ciang, maka amatlah sukarnya menandingi gerakan Bun Houw seperti itu.

Walau pun masih muda, Ceng Han Houw maklum akan lihainya lawan, maka biar pun sikapnya seperti memandang ringan dan senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya, akan tetapi sebenarnya dia berhati-hati sekali. Dia menggerakkan tubuhnya dan bersilat dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Ilmu Silat Sakti Menaklukkan Naga), yaitu satu di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw.

Akan tetapi, untuk menghadapi langkah-langkah dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang amat indah dan ampuh itu, dia pun harus mempergunakan langkah-langkah Pat-kwa-po yang juga amat rapi sehingga dia mampu menghindarkan diri dari setiap kurungan yang diciptakan oleh desakan serangan bertubi-tubi dari lawannya. Bahkan pangeran ini mampu pula untuk membalas sehingga mereka berdua bertanding dengan amat rapi dan serunya, masing-masing tidak mau mengalah.

Walau pun mereka berdua tidak memperlihatkan kemarahan atau mengeluarkan seruan-seruan yang mengejutkan, namun, dari gerakan mereka berdua, para tokoh kang-ouw yang menjadi penonton itu maklum bahwa kedua orang itu tak lagi melakukan pibu biasa sekedar untuk mengukur kepandaian masing-masing, melainkan berkelahi dengan sangat hebatnya, setiap serangan merupakan tangan maut yang haus darah, dan setiap jurus yang dipergunakan sudah diperhitungkan masak-masak sehingga merupakan jurus yang ampuh.

Diam-diam Yap In Hong dan Yap Kun Liong, dua orang pendekar yang sudah tinggi sekali tingkat kepandaiannya, tak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian Cia Bun Houw, menjadi terkejut bukan main menyaksikan kelihaian pangeran itu. Beberapa kali pendekar sakti Yap Kun Liong memuji dalam hatinya melihat betapa pangeran itu dapat menghadapi desakan-desakan yang amat berbahaya dari adik iparnya itu.

Terlebih lagi ilmu langkah sakti Pat-kwa-po yang dimainkan oleh pangeran itu, sehingga langkah-langkah kakinya teratur rapi dan dapat dipergunakan untuk menyelamatkan diri terhadap setiap desakan, mengingatkan dia akan ilmunya sendiri, yaitu Pat-hong Sin-kun yang langkah-langkahnya juga berdasarkan rahasia Pat-kwa (Delapan Segi). Diam-diam dia harus mengakui bahwa menghadapi pangeran itu bukanlah hal yang ringan, dan dia sendiri pun tak berani memastikan bahwa dia akan menang kalau menghadapi pangeran muda yang telah menjadi suami dari anak tirinya itu.

Yap In Hong juga merasa khawatir, karena dia pun dapat merasakan bahwa menghadapi pangeran itu, dia sendiri tidak akan mampu menang, dan suaminya agaknya tentu harus menggunakan seluruh kepandaian dan waktu yang tidak singkat untuk dapat mengatasi pangeran yang biar pun masih muda namun sudah amat hebat itu. Teringatlah dia akan Sin Liong dan dia membandingkan pangeran ini dengan Sin Liong.

Diam-diam dia merasa heran dan kagum bagaimana orang-orang yang masih muda itu telah memiliki kepandaian sehebat itu. Mereka sudah saling serang selama seratus jurus dan belum ada seorang pun di antara mereka yang menang atau kalah, bahkan belum ada yang nampak terdesak. Diam-diam Yap In Hong mengerutkan alisnya.

Ilmu silat tangan kosong dari pangeran itu memang kuat bukan main. Kenapa suaminya tidak mengajaknya bertanding mempergunakan senjata saja? Mungkin kalau bersenjata, suaminya akan dapat lebih unggul, karena ilmu pedang suaminya amat hebat.

Dan memang demikian pula pendapat Bun Houw. Akan tetapi, lawannya hanya seorang pemuda, dan tuan rumah pula, dan dia seorang tokoh Cin-ling-pai, bagaimana mungkin dia sudi menggunakan senjata apa bila lawannya itu hanya bertangan kosong saja? Jika sebelum bertanding tangan kosong selesai lantas menantang mengadu senjata, maka hal itu sama artinya dengan merasa kewalahan dalam pertandingan tangan kosong itu!

Dia merasa serba salah dan diam-diam dia pun kagum bukan main karena mengertilah pendekar ini bahwa tingkat kepandaian pangeran muda itu sungguh-sungguh luar biasa, bahkan masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian mendiang Pek-hiat Mo-ko mau pun Hek-hiat Mo-li sendiri. Selama hidupnya, baru sekarang inilah Cia Bun Houw merasa bertemu tanding yang amat kuatnya.

"Hehhh!" Cia Bun Houw membentak dan dia mengirim tamparan dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang sambil mengerahkan seluruh tenaga. Kedua tangannya menyambar dari kanan dan kiri, mengirim tamparan-tamparan yang sampai mengeluarkan suara bercuitan saking cepat dan kuatnya.

Melihat ini, Ceng Han Houw melangkah mundur dua tindak. Ketika lawannya mengejar dengan langkah ke depan sambil melanjutkan tamparan-tamparan itu, ia telah menangkis dengan membuang lengan dari dalam keluar, ke kanan kiri.

"Dukk! Dukk!"

Untuk ke sekian kalinya, tubuh keduanya tergetar hebat karena sekali ini masing-masing mengerahkan seluruh tenaga mereka hingga getaran itu terasa sekali sampai ke jantung mereka. Keduanya terkejut karena keadaan mereka sungguh sangat berbahaya. Kurang kuat sedikit saja tentu jantung mereka akan terguncang sehingga setidaknya mereka akan mengalami luka dalam yang hebat. Baiknya bagi mereka bahwa tingkat kekuatan sinkang mereka berimbang sehingga keduanya mengalami getaran seperti itu.

Pangeran Ceng Han Houw juga terkejut bukan main. Sekarang dia baru percaya bahwa tokoh Cin-ling-pai ini memang hebat sekali. Pantas saja dahulu Pek-hiat Mo-ko, suami Hek-hiat Mo-li, sampai tewas di tangan pendekar ini. Mulailah dia merasa khawatir. Baru pendekar ini saja sudah begini lihainya, apa lagi kalau sampai keluarga Cin-ling-pai maju semuanya!

Padahal, menurut pendengarannya, isteri pendekar ini, yaitu Yap In Hong, memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dengan suaminya, dan bahwa Yap Kun Liong, ayah tiri dari Ciauw Si, juga memiliki ilmu yang malah lebih matang dan lebih banyak macam ragamnya dibandingkan dengan pendekar Cia Bun Houw ini.

Semua itu telah didengarnya dari penuturan isterinya. Dan dia harus dapat mengalahkan pendekar ini lebih dahulu sebelum menghadapi yang lain-lain, kalau memang mereka itu nanti akan maju pula.

Mendadak pangeran muda itu mengeluarkan teriakan lantang dan terkejutlah Bun Houw ketika melihat betapa lawannya itu mendadak berjungkir balik, dengan kepala di bawah menjadi kaki dan kedua kakinya di atas, lalu kaki serta tangan itu melakukan serangan-serangan dari atas dan bawah secara tangkas sekali dan yang lebih hebat dari pada itu, serangan-serangan dari kaki dan tangan itu mengandung tenaga yang lebih dahsyat dari pada tadi ketika pemuda bangsawan itu masih berdiri di atas kedua kakinya!

Memang itulah hebatnya ilmu simpanan dari Pangeran Ceng Han Houw. Ilmu inilah yang didapatnya dari kitab Bu Beng Hud-couw, yang bernama Hok-mo Sin-kun dan memang dia telah melatih diri dengan semedhi atau siulian yang juga dilakukan dengan berjungkir balik sehingga dia memperoleh sinkang yang lebih kuat dari pada kalau dia berdiri di atas kedua kakinya!

Bun Houw cepat menangkis dan mengelak, dan kembali dia terkejut bukan main karena selain tangkisan itu membuat lengannya terpental ketika bertemu dengan kaki lawan, juga dari bawah kedua tangan lawannya mengirim pukulan-pukulan dahsyat yang berbahaya sekali sehingga dia terpaksa melompat dan berjungkir balik ke belakang!

Kesempatan itu dipergunakan oleh Ceng Han Houw untuk membentak nyaring sekali dan tubuhnya sudah melesat ke depan, tahu-tahu dia sudah membalikkan tubuhnya lagi dan dia mendesak Bun Houw yang masih belum hilang kagetnya. Kini dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, pangeran itu menusuk ke arah kedua mata lawan, ada pun kaki kanannya diangkat, menggunakan lutut untuk menghantam perut. Ketika Bun Houw yang terdesak itu mengelak ke belakang, tangan kiri pangeran itu menghantam ke arah muka.

"Hiaaattt...!" Pangeran itu mendesak dan bermaksud merobohkan Cia Bun Houw.

"Ehhh...!" Bun Houw cepat melempar tubuh ke belakang dan kembali dia berjungkir balik sampai berturut-turut tiga kali.

Gerakannya ini hebat sekali dan dia berhasil menghindarkan diri dari bahaya maut. Para tokoh kang-ouw yang menonton pertandingan itu juga ikut merasa terkejut. Sungguh pun gerakan pendekar Cin-ling-pai itu sangat indah dan cepat, dan sudah membuat pendekar itu berhasil menghindarkan diri, tapi harus diakui bahwa tadi pendekar itu terdesak hebat dan nyaris celaka!

Ceng Han Houw merasa penasaran karena serangannya yang hampir berhasil tadi pada saat terakhir gagal. Sebelum dia dapat menggunakan ilmunya yang aneh lagi, tiba-tiba terdengar bentakan keras,

"Ceng Han Houw, akulah lawanmu!"

Nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan pangeran itu telah berdiri seorang pemuda remaja yang bukan lain adalah Sin Liong! Semua orang sangat terkejut, baik dari golongan hitam mau pun golongan bersih memandang heran.

Bukankah Sin Liong ini adalah pemuda yang tadi diperkenalkan oleh pangeran itu sebagai adik angkatnya, bahkan diakui sebagai pembantu utamanya? Kenapa sekarang pemuda itu malah muncul dan menantang pangeran itu?

Peristiwa ini memang amat mengejutkan dan mengherankan. Bun Houw sendiri sampai terkejut dan terheran, sehingga dia pun hanya berdiri di pinggir dan tidak dapat berkata apa pun. Dia masih terkejut oleh serangan-serangan aneh dan hebat dari pangeran itu tadi, dan kini melihat munculnya Sin Liong secara tiba-tiba yang menantang pangeran itu, sungguh membuat dia termangu dan tidak mengerti harus berbuat atau berkata apa.

Semua tamu yang menjadi bengong memandang dengan hati semakin tegang. Lie Ciaw Si sampai bangkit dari tempat duduknya dan memandang khawatir, akan tetapi matanya bertemu dengan sinar mata ibunya sehingga kembali dia duduk serba salah. Yap In Hong tersenyum dan Yap Kun Liong juga tersenyum. Pendekar ini sudah mendengar penuturan singkat dari adiknya tentang sepak-terjang Sin Liong di belakang istana, dan diam-diam dia merasa kagum sekali.

Tadi ketika dia menyaksikan serangan pangeran itu yang aneh, dengan cara membalik tubuh, dia tidak merasa heran. Memang dia tahu bahwa di antara kaum sesat banyak terdapat ilmu-ilmu yang aneh dan sifatnya sesat pula, akan tetapi sebagian besar dari ilmu-ilmu hitam itu hanya kelihatannya saja menggiriskan, akan tetapi sesungguhnya tidak mengandung dasar yang kuat. Maka terkejutlah dia ketika ilmu yang dipergunakan oleh pangeran itu tadi telah membuat Bun Houw terdesak hebat dan nyaris kena dipukul. Maka legalah hatinya melihat adik iparnya itu mampu membebaskan diri.

Dia tadi melihat betapa adik kandungnya sudah bangkit dari tempat duduknya, siap untuk menolong suaminya yang terdesak, bahkan dia sendiri pun telah siap untuk turun tangan. Kini, melihat munculnya Sin Liong, dia menjadi ingin sekali melihat apakah pemuda yang telah dipilih oleh ketua Cin-ling-pai sebagai pewaris Thi-khi I-beng ini benar-benar sehebat seperti yang tadi dia dengar dari adiknya. Diam-diam dia menyangsikan cerita adiknya.

Dia membandingkan keadaan Sin Liong dengan keadaannya sendiri. Mungkinkah bocah itu mampu mengumpulkan ilmu-ilmu sehebat itu, melebihi In Hong, dia sendiri, atau Bun Houw? Rasanya tidak mungkin!

Bukankah bocah itu hanya mewarisi ilmu-ilmu yang sesungguhnya merupakan ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai dan dari Kok Beng Lama? Jadi, sama sekali tak ada bedanya dengan kepandaian Bun Houw!

Dan tak mungkin pemuda ini dapat memainkan ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai atau pemberian mendiang Kok Beng Lama lebih baik dari pada permainan Bun Houw. Andai kata ada perbedaannya karena bocah itu kabarnya diwarisi Ilmu Thi-khi I-beng oleh mendiang Cia Keng Hong, maka kelebihan itu pun sebetulnya tidak banyak artinya.

Dia sendiri pun ahli Thi-khi I-beng, akan tetapi dia tidak berani menyatakan bahwa dia lebih lihai dari pada Bun Houw dan dia sendiri masih sangsi apakah dapat mengalahkan pangeran itu. Dan latihan dari Sin Liong tentu sekali belum matang.

Biar pun demikian, ada harapan di dalam hati pendekar Yap Kun Liong ini bahwa siapa tahu, mungkin saja Sin Liong menemukan sesuatu yang hebat, yang melebihi dia atau Bun Houw. Buktinya, bukankah menurut cerita In Hong, pemuda itu mampu merobohkan serta mengalahkan pengeroyokan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio? Dan bukankah pangeran itu pun seorang yang masih sangat muda namun telah menemukan ilmu yang aneh dan amat hebat.....?

Orang yang paling terkejut dan merasa penasaran adalah pangeran itu sendiri. Melihat munculnya Sin Liong yang datang-datang menantangnya, dia terkejut bukan main. Cepat matanya mencari-cari keluar dan dia dapat melihat Bi Cu berdiri di luar dalam keadaan sehat dan selamat. Seketika jantungnya berdebar tegang dan hatinya merasa tidak enak.

Apa yang telah terjadi dengan suci dan subo-nya? Mereka itu bertugas menjaga Bi Cu, akan tetapi kenapa kini Bi Cu telah keluar dan muncul pula Sin Liong? Jantungnya makin berdebar khawatir ketika dia menduga bahwa jangan-jangan suci-nya dan subo-nya telah dirobohkan oleh Sin Liong!

Melihat pangeran itu memandang ke arah Bi Cu, lalu seperti orang mencari-cari dengan matanya, Sin Liong berkata. "Tidak perlu kau cari lagi dua iblis betina itu, mereka sudah melayang ke neraka!"

Wajah Han Houw berubah menjadi pucat, akan tetapi kemudian menatap wajah Sin Liong dengan kebencian yang besar. Memang semenjak dahulu dia sangat membenci pemuda ini, membencinya karena timbul dari perasaan iri hati!

Sejak Sin Liong masih kecil, pada waktu menjadi tawanan kim Hong Liu-nio, dia melihat pemuda yang masih anak-anak itu demikian berani dan amat gagahnya, hal ini membuat dia kagum sekali, akan tetapi sekaligus juga mendatangkan rasa iri yang pertama kalinya. Kemudian, sesudah dia mendengar bahwa bocah yang berwatak gagah itu adalah putera seorang pendekar besar, cucu ketua Cin-ling-pai, irinya menjadi makin besar.

Di samping rasa iri ini memang ada rasa suka sehingga dia mengambil Sin Liong sebagai saudara angkat. Akan tetapi semua sifat-sifat baik dari Sin Liong bahkan menjadi siksaan baginya hingga membuat perasaan iri hati itu makin menjadi-jadi. Melihat Sin Liong begitu kuat terhadap wanita, tidak mudah tunduk kepada nafsu, membuat dia melihat betapa dia sendiri amat lemah terhadap wanita dan hal ini pun menimbulkan iri pula.

Kemudian, melihat kepandaian Sin Liong yang melebihi dia, iri hatinya makin memuncak sehingga beberapa kali dia sudah hendak membunuh pemuda itu. Kebenciannya sangat mendalam, dan sekarang, melihat Sin Liong berani membangkang terhadap dia, tak mau menjadi pembantunya, bahkan menentang dan membunuh suci-nya dan subo-nya, maka kebencian yang meracuni hati Ceng Han Houw membuat dia memandang dengan muka beringas.

Akan tetapi, dasar dia cerdik bukan main, maka dia dapat menekan perasaannya itu dan tiba-tiba saja pangeran itu tertawa. Semua orang terkejut melihat wajah beringas itu, dan terheran-heran mendengar betapa pangeran yang nampak amat marah itu tiba-tiba malah tertawa.

"Ha-ha-ha-ha-ha, Cia Sin Liong! Akhirnya engkau sendiri yang membuka rahasiamu! Jadi engkau hendak membela ayahmu yang sudah hampir kalah?"

Ucapan ini tentu saja mengejutkan hati semua keluarga Cin-ling-pai, terutama sekali Cia Bun Houw. Sedangkan Ciauw Si mengerutkan alisnya dan dia merasa heran menyaksikan perubahan sikap suaminya seperti itu.

"Pangeran Ceng Han Houw! Tak perlu kau banyak cakap lagi, marilah kita mulai. Akulah lawanmu, bukan untuk memperebutkan sebutan jagoan atau apa pun, melainkan untuk memperebutkan kebenaran, untuk membereskan semua perhitungan di antara kita yang sudah bertumpuk-tumpuk selama ini! Hayo kalau memang engkau seorang jantan, dan jangan selalu menggunakan kecurangan yang licik!"

"Hei, Liong-te, lupakah engkau bahwa engkau sudah mengangkat sumpah menjadi adik angkatku?"

"Cukup! Sumpah itu berkali-kali kau langgar sendiri, bahkan beberapa kali engkau hendak mencelakakan aku, dan berkali-kali mengganggu Bi Cu. Kita bukan saudara angkat lagi, melainkan musuh-musuh besar!"

"Hemmm, bukankah engkau masih saudara misan langsung dari isteriku? Isteriku adalah puteri pendekar wanita Cia Giok Keng keturunan langsung dari locianpwe Cia Keng Hong, sedangkan engkau juga keturunan langsung dari beliau karena engkau putera kandung dari pendekar Cia Bun Houw...?"

"Tutup mulutmu yang kotor!" tiba-tiba terdengar pendekar sakti Cia Bun Houw membentak dari pinggiran. Pendekar ini marah sekali mendengar ucapan terakhir yang mengatakan bahwa Sin Liong adalah anak kandungnya itu.

Pangeran itu tertawa. "Ha-ha-ha, memang dirahasiakan, hemm, seluruh dunia kang-ouw menyangka bahwa para pendekar Cin-ling-pai adalah orang-orang gagah sejati yang suci murni. Akan tetapi..."

"Pangeran...!" Tiba-tiba Lie Ciauw Si berseru dan pangeran itu menoleh kepada isterinya.

"Si-moi, sungguh aku tidak berdaya. Lihat, mereka semua memusuhi aku, maka terpaksa aku pun harus membela diri dan membalas. Aku dikeroyok oleh mereka semua, keluarga Cin-ling-pai yang gagah dan suci ini, apakah engkau tidak hendak membelaku dan juga hendak berfihak dengan mereka mengeroyokku sekalian?"

Melihat sinar mata penuh duka dan kemarahan dari suaminya, Ciauw Si menunduk, baru sekarang dia melihat betapa suaminya memang memiliki watak yang curang dan licik, apa lagi ketika dia melihat betapa Bi Cu ditawan untuk memaksa Sin Liong, dan kini betapa suaminya itu hendak membongkar rahasia pamannya.

Akan tetapi, betapa pun juga, dia mencinta suaminya itu! Baik atau buruk pria itu adalah suaminya, satu-satunya pria di dunia ini yang telah memilikinya lahir batin, memiliki tubuh dan cintanya. Mana mungkin dia akan menentang orang yang dicintainya?

Apa bila suaminya itu hendak memberontak, hendak melakukan hal-hal yang jahat, tentu saja dia tidak akan mau membantunya. Namun, apa pun yang dilakukan oleh suaminya itu, dia menilainya bukan sebagai kejahatan, melainkan hanya sebagai kelemahan batin suaminya yang ingin mencapai kedudukan tertinggi. Maka kini, melihat betapa suaminya menentang keluarganya sendiri, dia pun diam saja, hanya merasa betapa hatinya tertekan dan terasa sengsara sekali.

"Ceng Han How, manusia pengecut, hayo majulah untuk menentukan siapa di antara kita yang akan mati dan siapa yang boleh hidup terus!" Sin Liong sudah menantang lagi.

Han Houw tersenyum. "Sin Liong, aku telah cukup mengenalmu, baik lahir mau pun batin. Aku tahu bahwa engkau tidak akan menyerang seseorang yang tidak mau melawan, dan sebelum aku habis bicara, aku tidak akan melawanmu dan boleh saja engkau memukul mampus padaku!" Kemudian pangeran ini memandang sekeliling dan suaranya meninggi sehingga terdengar oleh semua orang, "Cu-wi telah menyaksikan sendiri bagaimana sifat dan watak orang-orang Cin-ling-pai. Sudah terang bahwa cucu wanita ketua Cin-ling-pai telah dengan suka rela menjadi isteriku yang tercinta, akan tetapi keluarga yang agung itu tidak mau menerima kenyataan ini, seakan-akan mereka merasa sebagai keluarga yang terlalu bersih, terlalu tinggi dan terlampau agung untuk menerima aku sebagai anggota keluarga mereka! Padahal, siapakah yang tidak tahu akan segala rahasia busuk mereka? Mengenai petualangan-petualangan cinta keturunan mereka? Dan yang terakhir, mereka malah merahasiakan adanya seorang keturunan gelap, seorang anak haram yang terlahir di antara mereka. Inilah anak itu, Cia Sin Liong, yang terlahir dari seorang ibu yang amat sengsara karena setelah mengandung dia, wanita itu tidak dinikah dan ditinggalkan begitu saja oleh seorang pria yang mengaku sebagai pendekar gagah perkasa dan suci, Cia Bun Houw!"

"Keparat jahanam!" Cia Bun Houw tidak mampu menahan kemarahannya lagi . "Buktikan tuduhanmu itu, kalau tidak... aku bersumpah untuk menghancurkan mulut busukmu!"

Sekarang Pangeran Ceng Han Houw sudah tidak tersenyum lagi, namun memandang ke arah Cia Bun Houw dengan sinar mata menantang. "Cia Bun Houw, engkau masih juga hendak berlagak sebagai seorang yang bersih dan gagah? Tidak perlu aku banyak bicara, kalau engkau hendak melihat bukti dari perbuatanmu yang rendah dan hina itu, tanyalah Cia Sin Liong ini sendiri! Tanyakan apakah dia bukan anak kandungmu!"

Karena dia masih merasa bersih dan melihat tidak mungkinnya dia mempunyai seorang anak seperti pemuda ini, maka Cia Bun Houw memandang kepada Sin Liong dan pemuda itu juga sedang memandang padanya, hendak melihat apa yang menjadi reaksi dari ayah kandungnya itu mendengar kata-kata serangan Han Houw.

Mereka saling berpandangan dengan sinar tajam dan penuh selidik, dan akhirnya, dengan suara penuh penasaran Bun Houw bertanya, suaranya seperti membentak nyaring, "Sin Liong, benarkah bahwa engkau adalah anak kandungku?"

Sin Liong menelan ludahnya. Sesungguhnya, tidak ada keinginan di dalam hatinya untuk mengakui pendekar ini sebagai ayahnya, dia tidak sudi untuk ikut membonceng ketenaran nama keluarga Cin-ling-pai. Akan tetapi, kekerasan hatinya itu sebagian besar terdorong oleh kenyataan bahwa ayah kandungnya itu telah meninggalkan ibunya dan telah menikah dengan seorang wanita lain....

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 45



KETIKA dia melihat Yap In Hong, mula-mula dia merasa benci dan iri. Akan tetapi, begitu Yap In Hong berhasil menyelamatkan nyawa Bi Cu, seketika pandangannya berubah dan baru dia tahu bahwa Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa dan bahwa dia dan Bi Cu berhutang budi kepadanya.

Kemudian, dia melihat pembongkaran rahasia itu oleh Pangeran Ceng Han Houw. Tidak mungkin lagi baginya untuk menyangkal. Menyangkal berarti membohong dan dia tidak mau membohong. Pula, memang sudah sepatutnya kalau pendekar itu, yang selamanya terkenal sebagai seorang pria yang gagah perkasa, ditegur secara hebat seperti ini untuk perbuatannya yang amat kejam terhadap seorang wanita bernama Liong Si Kwi, seorang wanita yang dilupakan dan ditinggalkan begitu saja di Lembah Naga!

Dan di sinilah tempat itu! Di sinilah dia terlahir, dan di sinilah pula ibunya meninggal dunia. Ibunya yang sudah menumpahkan darah ketika dia terlahir, yang sudah disia-siakan oleh pendekar ini. Sudah selayaknya dan sepatutnyalah jika kini pendekar itu menebus dosa, mengakui perbuatannya itu di tempat ini pula, di mana roh ibunya mungkin masih akan dapat mendengarnya. Pikiran ini mendatangkan ketegasan dan dia lalu memandang ayah kandungnya itu dengan sinar mata tajam penuh ketegasan dan dia lalu mengangguk.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Bun Houw ketika melihat Sin Liong mengangguk, yang berarti membenarkan tuduhan pangeran itu! Sekarang kemarahannya berpindah kepada Sin Liong dan dia membentak, "Engkau sudah bersekongkol dengan pangeran jahat itu untuk menjatuhkan fitnah ini kepadaku!" katanya sambil menerjang dan memukul Sin Liong dengan kemarahan meluap.

Akan tetapi dengan tenang dan cepat Sin Liong sudah mengelak dari serangan dahsyat itu. Pada saat itu pula ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Yap In Hong telah berada di situ dan pendekar wanita ini sudah menyentuh pundak suaminya.

"Bersikaplah tenang...," bisik isteri ini kepada suaminya, lalu menambahkan lebih lirih lagi, "...ingat Si Kwi..."

Bisikan isterinya itu membuat wajah Bun Houw seketika berubah pucat bukan main. Dia terhuyung ke belakang dan menatap wajah Sin Liong. Teringatlah dia sekarang. Mata dan mulut itu! Tak salah lagi!

"Kau... kau... siapakah engkau...siapa nama ibumu...?"

Melihat munculnya Yap In Hong dan mendengar bisikan tadi, biar pun amat lemah namun dia dapat pula menangkapnya, Sin Liong lalu menjawab, dan di dalam hatinya timbul ingin tahu sekali rahasia apa yang terjadi di balik hubungan ibu kandungnya dan pendekar ini, "Mendiang ibuku bernama Liong Si Kwi."

Mendengar ini, Cia Bun Houw sejenak memejamkan kedua matanya. Isterinya yang juga berdiri di sisinya hanya memandang dengan muka agak pucat, akan tetapi Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan tidak cengeng. Dia sudah tahu akan peristiwa yang terjadi antara suaminya dan Liong Si Kwi, maka dia pun tak merasa heran mendengar bahwa Si Kwi telah mempunyai seorang anak dari suaminya, sungguh pun tentu saja hal itu sama sekali tidak pernah disangkanya, juga tidak pernah disangka oleh suaminya sendiri.

"Ha-ha-ha!" suara ketawa Pangeran Ceng Han Houw memecah kesunyian dan terdengar suaranya lantang, memang disengaja supaya terdengar oleh semua orang. "Bagaimana, pendekar sakti Cia Bun Houw, apakah engkau masih hendak mengatakan aku menuduh yang bukan-bukan?"

Cia Bun Houw adalah seorang yang gagah perkasa. Dia kini merasa yakin bahwa anak ini memang anaknya yang lahir dari Liong Si Kwi. Kini mengertilah dia, mengapa mendiang ayahnya begitu sayang kepada anak ini sehingga dididik, bahkan diwarisi Thi-khi I-beng, dan kenapa pula mendiang Kok Beng Lama juga begitu sayang kepada anak ini! Mungkin dua orang kakek itu sudah tahu!

Padahal, dua orang kakek itu sebetulnya tidak pernah diberi tahu, hanya mereka memang suka kepada Sin Liong. Kini Cia Bun Houw yang sudah merasa kepalang, karena semua orang kang-ouw telah mendengar tentang hal itu, segera memandang ke arah para tamu dan berkata dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang.

"Cu-wi, aku Cia Bun Houw bukan seorang pengecut! Setelah mendengar bahwa anak ini ternyata adalah anak kandung seorang wanita yang bernama Liong Si Kwi, maka aku pun dapat menerima kenyataan bahwa besar sekali kemungkinan pemuda ini memang adalah anakku sendiri! Akan tetapi, bukan sekali-kali aku pernah menodai Liong Si Kwi kemudian kutinggalkan! Hendaknya cu-wi sekalian ketahui bahwa dua puluh tahun yang lalu, ketika aku tertawan oleh mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, yaitu guru dari pangeran curang ini, dua orang kakek nenek iblis itu sudah meracuni aku dengan obat perangsang sehingga aku lupa diri. Gadis bernama Liong Si Kwi itu menolongku dari penjara, maka terjadilah hubungan di luar kesadaranku yang sedang terbius obat perangsang. Sungguh tidak pernah kuduga bahwa hubungan di luar kesadaran itu akan menghasilkan anak ini. Baru sekarang aku mendengar dan mengetahuinya. Namun, dengan berani bertanggung jawab kuakui bahwa Cia Sin Liong ini adalah puteraku!"

Semua orang kang-ouw merasa kagum akan kegagahan Cia Bun Houw dan biar pun ada beberapa orang yang mentertawakan, yaitu dari golongan hitam yang tidak suka kepada para pendekar, namun pandangan para tamu terhadap Cia Bun Houw sama sekali tidak merendahkan lagi.

Sesudah mengeluarkan kata-kata yang merupakan pengakuan gagah itu, Bun Houw lalu memandang kepada Sin Liong dan berkata lirih, "Biarlah pada lain kesempatan kita bicara mengenai ini. Sekarang hadapilah manusia curang ini, dan kalau benar engkau puteraku, maka engkau harus dapat mengalahkan dia."

Di dalam sinar mata dan suara itu terkandung rasa suka dan kagum yang membuat dua titik air mata membasahi mata Sin Liong. Ia mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata, hanya memandang ayah kandungnya dan ibu tirinya itu meninggalkan gelanggang dan kembali ke tempat duduk mereka. Tiba-tiba Sin Liong merasa hatinya lapang bukan main, dan dihadapinya pangeran itu dengan senyum tenang.

"Nah, pangeran. Apakah engkau sudah siap sekarang, ataukah engkau takut melawan aku? Kalau takut, lebih baik katakan saja dan kau bubarkan semua ini, jangan lanjutkan usahamu untuk memberontak atau menjadi bengcu, apa lagi menjadi jagoan nomor satu di dunia. Lebih baik kau ganti julukan itu menjadi penjahat licik dan curang nomor satu di dunia."

Sin Liong sengaja mengeluarkan kata-kata ejekan tadi untuk membikin panas hati Han Houw dan memang dia berhasil. Sebelumnya memang Han Houw telah merasa kecewa, menyesal dan marah bukan main bahwa serangannya terhadap nama Cia Bun Houw dan keluarga Cin-ling-pai ternyata sama sekali tidak berhasil karena sikap Cia Bun Houw yang gagah perkasa mengakui semua itu, bahkan pengakuan pendekar itu malah melontarkan kejahatan ke alamat mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.

Dan baru saja, dari seorang pengawal yang berhasil merangkak dalam keadaan terluka parah ke tempat itu, dia mendengar bahwa memang benar seperti yang diduganya, Sin Liong berhasil menyelamatkan Bi Cu dan selain membunuhi semua pengawal yang tiga puluh orang banyaknya itu, juga sudah membunuh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio.

Hal ini tentu saja menambah kemarahannya, dan kemarahan itu semuanya ditumpahkan kepada Sin Liong yang dianggapnya telah menggagalkan semua rencananya, orang yang dianggapnya sepatutnya membantunya itu kini malah menentangnya dan hal ini dianggap suatu pengkhianatan!

"Ya, Sin Liong! Di seluruh dunia ini, agaknya hanya kita berdua saja yang mewarisi ilmu rahasia dari Bu Beng Hud-couw, akan tetapi jangan kau kira bahwa karena engkau yang lebih dahulu mempelajari ilmu-ilmu dari guru kita itu lalu kau anggap dirimu lebih pandai. Ingat, sekali ini aku tidak akan mau mengampuni lagi nyawamu, kecuali kalau sekarang engkau berlutut dan minta ampun, dan selanjutnya mau membantuku seperti yang sudah-sudah."

"Sin Liong, kalau engkau menyerah kepadanya, selamanya aku tidak mau mengenalmu lagi!"

Sin Liong menoleh dan memandang ke arah Bi Cu yang berseru itu, dia tersenyum lalu berkata, "Jangan khawatir, Bi Cu, aku tidak akan..."

Akan tetapi terpaksa Sin Liong menghentikan kata-katanya karena pada saat itu pula Han Houw dengan kemarahan meluap telah menubruk dan menyerangnya dengan dahsyat.

"Curang!" Bi Cu sampai berteriak kaget ketika melihat serangan yang dilakukan dengan mendadak selagi Sin Liong masih menoleh kepadanya itu.

Akan tetapi, biar pun kelihatannya Sin Liong menoleh dan lengah, sesungguhnya pemuda ini selalu waspada karena dia sudah cukup mengenal watak pangeran itu yang curang sekali. Oleh karena itulah ketika Han Houw menyerang secara mendadak, dengan cepat dia dapat menghadapinya, menangkis dengan keras dan balas menyerang. Dalam waktu singkat, dua orang pemuda yang sama lihainya ini sudah saling serang dengan hebatnya!

Perkelahian yang terjadi sekali ini sungguh sangat hebat. Baru belasan jurus saja semua orang tahu bahwa dua orang pemuda itu memang memiliki ilmu yang sama tingginya dan sama anehnya. Akan tetapi pandang mata Bun Houw, Yap Kun Liong dan In Hong yang tajam dapat melihat betapa dalam beberapa kali pertemuan lengan, agaknya Sin Liong masih menang kuat di dalam hal sinkang, terbukti dari tubuh pangeran itu yang selalu tergetar dan terguncang sedangkan tubuh Sin Liong sama sekali tidak terpengaruh oleh adu tenaga itu.

Sin Liong bertanding dengan penuh semangat. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua kegesitannya. Kini dia berkelahi bukan semata-mata untuk dirinya sendiri, melainkan terutama sekali untuk Bi Cu. Telah beberapa kali kekasihnya itu hampir tewas oleh pangeran ini, karena itu sekarang dia bertindak mewakili kekasihnya itu untuk mengenyahkan pangeran jahat ini dari permukaan bumi!

Selain itu, dia juga hendak membela ayah kandungnya yang tadi terdesak oleh pangeran ini dan dia tahu bahwa apa bila dilanjutkan, tentu pada akhirnya pendekar sakti Cia Bun Houw itu akan kalah. Betapa pun juga, dia tidak rela melihat orang yang menjadi ayah kandungnya itu dibikin malu dan dikalahkan di depan umum. Tadi dia sudah mendengar betapa Han Houw membongkar rahasia ayah kandungnya, dan pada saat dia mendengar jawaban Cia Bun Houw, tahulah dia sekarang!

Ayah kandungnya itu sama sekali tidak bersalah! Bahkan ayah kandungnya itu tidak tahu bahwa dia dilahirkan! Juga hubungan antara ayah kandungnya dengan ibunya merupakan hubungan yang dipaksakan oleh muslihat yang sangat curang dari guru Pangeran Ceng Han Houw!

Rasa gembira karena kenyataan bahwa Cia Bun Houw sama sekali tidak menyia-nyiakan ibunya kini bercampur dengan perasaan duka dan pahit bahwa sesungguhnya dia adalah seorang anak haram, seorang anak yang dilahirkan tanpa ayah, dilahirkan dari ibu yang tidak dinikah dan dilahirkan sebagai akibat hubungan yang tidak disadari oleh orang yang menjadi ayahnya! Betapa hal ini menusuk hatinya, maka kini dia hendak memperlihatkan dirinya di depan orang banyak bahwa biar pun dia orang rendah, anak haram, anak yang tak mengenal ayahnya, tapi dia adalah orang yang akan mampu menundukkan pangeran yang amat lihai itu!

Oleh karena inilah Cia Sin Liong menyerang dengan sepenuh tenaga dan kemampuannya. Pertama-tama dia menggunakan San-in Kun-hoat yang dipelajarinya dari kakeknya, yang dicampurnya dengan Thian-te Sin-ciang.

Melihat betapa pemuda itu dapat mengkombinasikan dua ilmu ini dengan amat baiknya, para anggota keluarga Cin-ling-pai memandang dengan girang dan bangga. Pemuda itu sungguh tahu diri dan agaknya memang ingin menjunjung tinggi nama Cin-ling-pai, maka dia menghadapi lawan yang tangguh ini dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai.

Hanya Lie Ciauw Si yang menonton dengan alis berkerut, muka pucat dan bibir gemetar. Dia merasa serba salah. Dia mengkhawatirkan keadaan suaminya, namun perkelahian itu terjadi dengan adil, satu lawan satu, maka dia pun tidak dapat berbuat apa pun. Pula, dia tahu bahwa suaminya berada di fihak salah dan bahwa suaminya sudah memperlakukan Sin Liong secara keterlaluan.

Masih teringat dia betapa Sin Liong yang mengajak pangeran itu ke selatan untuk mencari Ouwyang Bu Sek, sebab suaminya ingin mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan oleh kakek itu kepada Sin Liong, demikianlah yang didengarnya. Kini, setelah suaminya memperoleh ilmu yang tinggi, suaminya itu malah memperlakukan Sin Liong tidak semestinya, hendak memaksa pemuda itu membantunya dengan jalan menawan Bi Cu.

Tidak disangkanya bahwa pangeran yang dicintanya itu mempunyai watak yang demikian curang dan palsu. Baru sekarang semua watak buruk itu terungkapkan maka dia merasa berduka dan gelisah sekali.

"Hyaaaattt...!" Sin Liong menyerang bagai seekor naga menyambar dari angkasa. Tangan kanannya menampar dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, dan dia terus mendesak lawan, kini dia mempergunakan Ilmu Thai-kek Sin-kun yang ampuh!

Melihat serangan bertubi-tubi yang dahsyat ini, Ceng Han Houw bersikap tenang dan dia segera merendahkan diri dengan menekuk lutut kirinya sampai rendah sekali, kemudian sesudah dia mengelak beberapa kali dan menangkis, dia pun balas menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat dari bawah yang mengarah lambung dan pusar lawan.

Sin Liong maklum akan bahayanya serangan balasan lawan ini, maka dia cepat meloncat dan membalikkan tubuhnya, tubuhnya itu dari atas meluncur turun dan kedua tangannya membentuk cakar naga menyerang dengan cengkeraman maut ke arah kepala lawan.

Namun, dengan gerakan indah pangeran itu dapat menggulingkan tubuhnya ke atas lantai dan menghindarkan cengkeraman itu, karena untuk ditangkis terlampau besar bahayanya baginya. Setelah dia meloncat bangun, dia memapaki tubuh Sin Liong yang baru turun itu dengan pukulan bertubi-tubi sambil memutar tubuhnya. Itulah jurus yang ampuh dari ilmu Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga).

Sin Liong kini terdesak dan pemuda ini berlompatan dan memutar-mutar tubuhnya pula, gerakannya seperti seekor naga. Memang pantas sekali Sin Liong diumpamakan sebagai seekor naga sakti dari Lembah Naga, dan pangeran itu berusaha menaklukkannya. Akan tetapi naga ini hebat bukan main hingga ilmu penakluk naga itu sama sekali tidak mampu mendesak terus, apa lagi menaklukkan. Sin Liong membalas dengan tamparan-tamparan sakti Thian-te Sin-ciang sehingga desakan pangeran itu membuyar karena pangeran itu harus melindungi dirinya baik-baik bila dia tidak mau kepalanya pecah terkena sambaran tamparan Thian-te Sin-ciang yang ampuh.

Demikianlah, kedua orang pemuda itu saling serang, saling desak dan keadaan mereka benar-benar seimbang dan sama cepatnya, sama gesitnya, sama kuat dan sama-sama menguasai semua gerakan mereka dengan baik. Juga mereka bertanding dengan mantap, yang membuat setiap serangan dan tangkisan atau elakan nampak indah sekali.

Semua yang menonton pertandingan itu tiada hentinya memuji, bahkan kaum tua yang sudah berpengalaman dan menyaksikan pertandingan itu sampai menahan napas saking kagumnya. Tak pernah mereka sangka bahwa di dunia persilatan muncul dua orang muda yang memiliki kepandaian sedemikian hebatnya!

Mereka berdua benar-benar merupakan tandingan yang seimbang, baik usianya, gagah dan tampannya, dan pandainya. Tadi ketika pangeran itu melawan Cia Bun Houw, masih terdapat kepincangan karena Cia Bun Houw merupakan pendekar yang dianggap sudah mempunyai banyak sekali pengalaman. Jangankan sampai dapat mendesak atau bahkan hampir mengalahkan pendekar Cin-ling-pai itu, baru dapat mengimbangi saja sudah amat mengagumkan.

Dengan terdesaknya Cia Bun Houw tadi, semua tamu dari tingkat atas mulai meragukan keampuhan Cin-ling-pai sebagai partai persilatan yang sangat terkenal, karena Bun Houw dianggap mewakili Cin-ling-pai dan merupakan jagoan yang paling ahli dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai.

Tetapi, setelah kini Cia Sin Liong maju, pemuda yang kini dikenal sebagai putera Cia Bun Houw dan yang kini juga bersilat dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai, bahkan kini memainkan Thai-kek Sin-kun dengan mahirnya, pandangan mereka terhadap Cin-ling-pai sudah naik lagi. Ternyata Cin-ling-pai masih mempunyai keturunan terakhir yang amat lihai!

Sin Liong memang sengaja hanya memainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kakeknya dan Kok Beng Lama saja, karena di samping dia hendak memperlihatkan bahwa apa yang dipelajarinya dari dua orang kakek yang amat disayangnya itu tidak sia-sia dan dia dapat menjujung nama mereka dengan ilmu-ilmu yang sudah diberikannya kepadanya itu, juga dia tahu benar bahwa selama pangeran itu tidak mainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw, maka dia akan dapat menanggulanginya dengan ilmu-ilmu pemberian kakeknya dan Kok Beng Lama, bahkan akan mampu untuk mengalahkannya.

Setiap kali pangeran itu menghujankan pukulan, kadang dia bahkan menggunakan Thi-khi I-beng untuk memunahkan semua serangan, karena dengan Thi-khi I-beng, pangeran itu tak berani melanjutkan serangannya dan setiap kali tangannya melekat dan tersedot, dia menggunakan ilmu yang pernah diterimanya dari subo-nya, yaitu ilmu melemaskan diri mengosongkan tangan yang tertempel sehingga tak mengandung sinkang lagi dan mudah terlepas.

"Anak itu hebat sekali, berbakat baik!" Yap Kun Liong memuji. Cia Giok Keng dan Yap In Hong, yang juga menonton dengan hati tegang, mengangguk membenarkan.

Semenjak tadi pangeran Ceng Han Houw memang tidak mengeluarkan ilmu simpanannya, karena dia menghendaki supaya lawannya itu lebih dahulu mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Bu Beng Hud-couw di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek itu, namun alangkah kecewa dan marahnya ketika dia melihat bahwa Sin Liong hanya mengeluarkan ilmu-ilmu seperti yang dimainkan oleh Cia Bun Houw tadi.

Walau pun permainan Sin Liong dalam hal ilmu-ilmu itu tidaklah sehebat Bun Houw, akan tetapi karena Sin Liong memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya dan karena Han Houw tidak atau belum mengeluarkan ilmu-ilmunya yang dirahasiakan, pangeran itu kewalahan dan kalau dilanjutkan, akhirnya dia tentu akan kalah. Oleh karena itu, gagal memancing Sin Liong lebih dahulu mengeluarkan ilmu simpanan untuk dipelajarinya, Ceng Han Houw mendadak mengeluarkan bentakan aneh dan nyaring kemudian tiba-tiba tubuhnya sudah menubruk ke depan dan dia sudah mulai mainkan Ilmu Hok-liong Sin-ciang yang sangat ampuh dan yang tadi telah membuat Bun Houw sendiri terkejut dan kewalahan itu!

Sin Liong sudah berjaga-jaga karena dia sudah selalu waspada. Menyaksikan perubahan gerak tubuh lawan, dan melihat betapa dahsyatnya angin pukulan yang menyambar ke arahnya, maklumlah dia bahwa inilah ilmu simpanan yang dipelajari pangeran itu di dalam goa-goa dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw!

Maka dia pun lalu mencondongkan tubuh atas ke belakang, dan dari mulutnya keluar pula gerengan seperti seekor naga marah, lalu kedua tangannya membuat gerakan menyilang dan dari gerakan ini menyambarlah dua angin pukulan bersilang yang selain amat kuat dan mampu menangkis serangan Han Houw, juga sudah menggulung pukulan itu dan membalas dengan tamparan yang amat kuatnya pula!

"Uhhh!" Ceng Han Houw terkejut. Cepat dia membuang diri ke belakang dan sejenak dia berdiri memandang dengan mata terbelalak.

Para tokoh kang-ouw yang menonton dengan asyik tidak tahu bahwa ada dua jurus aneh yang berbeda dengan tadi telah dikeluarkan oleh masing-masing, akan tetapi para tokoh Cin-ling-pai yang tentu saja tadi mengenal gerakan Sin Liong ketika pemuda itu mainkan ilmu-ilmu Cin-ling-pai, kini tahu bahwa pemuda itu telah menggunakan jurus yang sangat aneh, yaitu ketika dia mencondongkan tubuh ke belakang dan kedua tangannya membuat gerakan menyilang tadi.

Dan kini berturut-turut dua orang pemuda itu mengeluarkan jurus-jurus yang aneh, yang mendatangkan angin dahsyat dan yang mengeluarkan bunyi bersiutan, bahkan kadang-kadang nampak asap atau uap tebal mengepul dari kedua tangan mereka! Dan memang pangeran Ceng Han Houw sudah mainkan Hok-liong Sin-ciang dengan penuh penasaran sedangkan Sin Liong telah menghadapinya dengan Hok-mo Cap-sha-ciang! Dan ternyata bahwa semua serangan pangeran itu dapat dibuyarkan, bahkan saat Sin Liong membalas, pangeran itu terhuyung-huyung ke belakang!

"Keparat!" pikir Ceng Han Houw.

Kembali dia memekik, sekali ini tubuhnya seperti berubah kaku dan meluncurlah tubuhnya itu ke depan. Dia menyerang bukan hanya dengan gerakan tangan atau kaki, melainkan dengan tubuh meloncat atau meluncur ke depan dalam keadaan kaku dan lurus, ada pun kedua tangan yang di depan itu terbuka jari-jarinya dan tidak diketahui apakah dia hendak memukul, menampar, menusuk atau mencengkeram! Ini merupakan salah satu di antara jurus-jurus Hok-liong Sin-ciang yang paling lihai.

Sin Liong agak terkejut menghadapi serangan aneh ini. Tubuh pangeran itu seakan-akan telah berubah menjadi sebatang tombak raksasa yang dilontarkan ke arah dadanya! Akan tetapi, kalau tombak, betapa pun besarnya, hanya merupakan benda mati saja dan tentu dapat dihindarkannya dengan mengelak atau pun menolak dari samping. Sedangkan yang meluncur ini adalah seorang manusia, dan bukan manusia sembarangan, melainkan Ceng Han Houw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tenaga sinkang yang sangat kuat, dan kecurangan yang membahayakan.

Maka Sin Liong tak mau mengelak, melainkan dia memasang kuda-kuda dengan kuatnya, kemudian dia bergerak melakukan sebuah jurus yang ampuh dari Hok-mo Cap-sha-ciang, menggerakkan kedua lengan dari bawah ke atas, seolah-olah dia menyedot tenaga bumi dan langit, kemudian dengan bentakan nyaring dia menyambut luncuran tubuh lawan itu dengan kedua tangan didorongkan ke depan, dengan jari-jari terbuka. Inilah yang disebut menyambut keras lawan keras dan untuk ini tentu saja harus mengandalkan pada tenaga sepenuhnya.

Melihat ini, pangeran itu terkejut. Tak disangkanya lawan akan menggunakan kekerasan. Dia tadinya mengharapkan Sin Liong untuk mengelak atau menangkis, dan kalau hal itu terjadi, tentu dia akan lebih mudah untuk merubah gerakan tangan dan dengan demikian dia mengharapkan untuk bisa mengelabui dan memukul lawan. Siapa sangka pemuda itu agaknya nekat menyambutnya dengan kekerasan juga, dengan dorongan dua tangannya yang disertai pengerahan tenaga sinkang!

Apa boleh buat, terpaksa pangeran itu pun mengerahkan tenaga pada kedua lengannya lantas membuka lengan untuk menyambut atau menahan dorongan lawan. Dua pasang telapak tangan yang sama kuatnya bertemu di udara dengan tenaga sepenuhnya.

"Desssss...!"

Bukan main hebatnya pertemuan dua pasang tangan itu. Semua tamu sampai merasa betapa ada hawa pukulan kuat mengguncang mereka dan bumi laksana tergetar.

Akibat dari pertemuan kedua telapak tangan itu ternyata merugikan sang pangeran. Sin Liong terdorong kuda-kuda kakinya sampai satu meter ke belakang, kakinya terseret dan membuat guratan dalam sampai hampir dua senti di lantai, sedangkan mukanya berubah pucat. Namun lawannya, Pangeran Ceng Han Houw, yang melakukan adu tenaga dengan tubuh masih meluncur, terpelanting dan terbanting ke atas tanah.

"Pangeran...!" Ciauw Si mengeluarkan seruan kaget.

Akan tetapi Ceng Han Houw yang terbanting itu sudah bergulingan lalu tahu-tahu dia pun telah meloncat bangun, mengeluarkan teriakan nyaring yang aneh, melengking tinggi dan setelah itu, dia lalu berjungkir balik. Kepalanya yang kini menggantikan kedudukan kedua kakinya itu berloncatan mengeluarkan suara duk-duk-duk, kaki tangannya bergerak-gerak dan dia telah mulai menyerang Sin Liong dengan ilmu silatnya yang aneh itu, yaitu Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Membalikkan Bumi).

Sin Liong yang mengenal ilmu aneh yang amat berbahaya, yang tadi hampir mengalahkan ayah kandungnya, langsung bersikap hati-hati sambil dia tetap mempergunakan Hok-mo Cap-sha-ciang untuk menandingi ilmu aneh ini.

Sementara itu, kiranya teriakan melengking yang dikeluarkan oleh pangeran itu bukanlah semata-mata teriakan marah, melainkan merupakan suatu tanda bagi para pembantunya untuk bergerak. Buktinya, begitu dia mengeluarkan suara melengking itu, beberapa orang dari golongan hitam yang tadinya duduk di antara para tamu sudah bangkit berdiri, para pengawal yang tadinya berjaga-jaga di luar kini datang dan mengurung tempat itu, dan dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo juga sudah meloncat untuk mengeroyok Sin Liong!

Akan tetapi, Yap Kun Liong dan Yap In Hong sudah siap siaga, maka begitu melihat dua orang kakek itu berloncatan ke medan pertandingan, maka dengan loncatan jauh mereka pun telah berada di situ. Yap Kun Liong sudah menghadapi Hai-liong-ong Phang Tek, ada pun adik kandungnya telah menghadapi Kim-liong-ong Phang Sun!

"Hemm, kiranya Lam-hai Sam-lo yang tinggal dua orang ini tak lain hanyalah orang-orang licik dan curang tukang keroyok seperti tukang-tukang pukul di pasar saja!" Yap Kun Liong berkata sambil menghadapi Phang Tek dengan senyum mengejek.

"Agaknya engkau sudah bosan hidup, bocah tua bangka!" Yap In Hong juga membentak Phang Sun yang disebutnya bocah tua sebab tubuh kakek ini memang seperti anak kecil.

"Saudara-saudara, para pendekar sombong ini kini sudah mulai mengacau, hayo bangkit serentak dan menghancurkan mereka sebelum kelak mereka yang akan membasmi kita!" tiba-tiba terdengar bentakan seorang kakek yang baru muncul dan ternyata dia itu adalah Kim Hwa Cinjin, Ketua Pek-lian-kauw dari wilayah selatan yang perkumpulannya sudah diobrak-abrik oleh Pangeran Hung Chih, tetapi yang sempat pula melarikan diri bersama banyak pimpinan Pek-lian-kauw yang pada saat itu berkumpul pula di situ. Kalau tadi dia tak nampak adalah karena dia disuruh bersembunyi dulu oleh Pangeran Ceng Han Houw yang sudah membuat bekas musuh-musuh ini menjadi sekutunya.

Mendengar seruan ini, banyak tokoh kang-ouw dari golongan hitam yang serentak bangkit dari tempat duduk masing-masing. Golongan ini adalah orang-orang yang selalu mengejar keuntungan, dan sekarang tentu saja mereka melihat kesempatan baik untuk memperoleh keuntungan kalau mereka membantu pangeran yang selain lihai juga besar pengaruhnya dan kaya raya itu.

Akan tetapi pada saat itu Cia Bun Houw sudah meloncat maju dan menghadapi ketua Pek-lian-kauw itu sambil membentak marah, "Pemberontak-pemberontak hina! Cu-wi yang gagah perkasa dari dunia kang-ouw tentu tidak akan membiarkan kaum sesat ini untuk menjebak kita dan untuk memberontak terhadap pemerintah. Siapa yang merasa dirinya gagah, silakan maju membantu pemerintah untuk menghadapi mereka!"

"Bagus! Mari kita basmi penjahat-penjahat pemberontak ini! Siauw-lim-pai takkan pernah sudi bersahabat dengan kaum pemberontak dan penjahat!" teriakan dengan suara sangat lantang ini dikeluarkan oleh Cui Khai Sun, pemuda Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu.

Seruannya ini membangkitkan semangat para orang gagah di situ dan banyak di antara mereka yang bangkit dan siap menghadapi kaum sesat. Akan tetapi masih banyak yang ragu-ragu dan tetap duduk saja dan tidak ingin mencampuri urusan itu.

Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw yang mengamuk dalam keadaan jungkir balik itu selalu dapat disambut oleh Sin Liong dengan baik. Melihat betapa banyak orang gagah yang bangkit dan hendak menentangnya, dia meloncat dalam keadaan jungkir balik dan menjauhi Sin Liong sambil berkata,

"Semua orang yang hendak melawan kami..., tahan! Pasukanku berjumlah ribuan orang sudah mengurung tempat ini! Kalian sudah terkurung, siapa menyerah dan membantuku akan diampuni, yang menentang akan dibunuh!"

"Pangeran pemberontak! Engkau beserta pasukanmulah yang terkurung! Dengar dan lihat baik-baik, sepuluh ribu pasukan sudah mengurung Lembah Naga!" teriak Bun Houw pula.

Dan pada saat itu juga Cia Giok Keng langsung melepaskan sebatang anak panah yang membumbung tinggi di angkasa kemudian anak panah api itu mengeluarkan asap tebal di angkasa. Tiba-tiba saja terdengar suara tambur dan hiruk-pikuk dari empat penjuru, tanda bahwa tempat itu sudah dikurung oleh pasukan besar yang kini mulai datang mengurung dan mendesak!

Bukan main kaget dan marahnya Pangeran Ceng Han Houw. Dia meloncat dan kembali menyerang Sin Liong yang sudah menyambutnya dengan tangkas. Maka perkelahian pun dimulailah!

Lam-hai Sam-lo yang tinggal dua orang kakek itu ditandingi Yap Kun Liong dan Yap In Hong, sedangkan ketua Pek-lian-kauw Kim Hwa Cinjin dihadapi Bun Houw. Orang-orang dari golongan hitam yang ingin membantu pangeran pemberontak itu berhadapan dengan orang-orang gagah yang menjadi tamu di situ.

Sesudah melepaskan anak panah api yang menjadi tugasnya dan mendengar sambutan bala tentara kerajaan, Cia Giok Keng juga langsung menyerbu dan ikut mengamuk dalam pertempuran itu, karena jumlah para tokoh sesat yang dibantu oleh pengawal-pengawal itu jauh lebih banyak dari pada jumlah orang gagah yang menentang pangeran.

Pertempuran hebat segera terjadi di tempat pesta atau tempat pertemuan itu. Sin Liong dan Pangeran Ceng Han Houw berkelahi di tengah-tengah, dan perkelahian mereka itu amat serunya. Tidak ada orang yang mendekat untuk membantu karena keduanya telah mengeluarkan ilmu silat mereka yang amat mukjijat, yang mereka dapatkan dari Bu Beng Hud-couw dan merupakan ilmu silat yang luar biasa sekali sehingga membantu mereka di samping bahkan akan mengganggu, juga mungkin pembantunya akan terancam bahaya oleh yang dibantunya itu sendiri.

Sementara itu, di luar Lembah Naga sudah terjadi perang antara pasukan Lembah Naga melawan pasukan pemerintah. Akan tetapi karena jumlah pasukan yang datang menyerbu itu jauh lebih besar, maka sebentar saja pasukan Lembah Naga itu terdesak dan terus mundur, dihimpit dari luar dari pasukan kerajaan.

Sementara itu, pertempuran yang berlangsung di ruangan yang luas itu pun terjadi dengan hebatnya. Akan tetapi karena tokoh tokoh besarnya seperti Pangeran Ceng Han Houw dan dua orang kakek Lam-hai Sam-lo, juga para tokoh Pek-lian-kauw, menemui tanding yang amat kuat dari pihak keluarga Cin-ling-pai, Siauw-lim-pai dan tokoh-tokoh kang-ouw lain yang tangguh, maka kaum sesat itu pun kehilangan semangat dan mereka itu banyak yang sudah roboh oleh para orang gagah.

Ketua Pek-lian-kauw Kim Hwa Cinjin yang sudah sangat tua itu bukanlah lawan dari Cia Bun Houw. Dalam pertandingan yang kurang dari lima puluh jurus saja, dengan tamparan Thian-te Sin-ciang yang dahsyat, pendekar ini sudah merobohkan kakek ini yang tewas seketika karena tidak sanggup menahan tamparan dahsyat yang mengenai dadanya. Cia Ciok Keng yang mengamuk dengan pedang Gin-hwa-kiam yang bersinar perak juga telah merobohkan beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw.

Perkelahian antara Yap In Hong yang melawan Kim-liong-ong Phang Sun berlangsung dengan luar biasa serunya. Pendekar wanita itu menemukan tanding karena kakek kecil pendek itu memang hebat dan merupakan tokoh yang terkenal dengan ilmu silatnya yang tinggi.

Namun, karena dasar ilmu silat yang dimiliki pendekar wanita itu lebih murni, dan juga karena hati kakek pendek kecil ini sudah gentar menyaksikan betapa keadaan kini tanpa diduga-duga sudah terbalik, dan keadaan pangeran yang dibelanya itu terancam bahaya, maka perlahan-lahan Kim-liong-ong Phang Sun mulai terdesak hebat.

Perlahan namun tentu, Yap In Hong mulai melancarkan lebih banyak serangan, terutama tamparan-tamparan Thain-te Sin-ciang dan Phang Sun hanya main mundur, mengelak dan menangkis tanpa sempat melakukan penyerangan balasan. Dia yang biasanya lihai ini sudah mulai mencari-cari jalan keluar untuk melarikan diri, akan tetapi lawannya terus mengurungnya dengan serangan-serangan dahsyat dan bertubi-tubi sehingga kakek kecil ini repot sekali.

Tapi tidak demikian dengan kakaknya, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek. Kalau Phang Sun masih dapat melakukan perlawanan, sebaliknya Hai-liong-ong Phang Tek begitu bergerak melawan Yap Kun Liong segera memperoleh kenyataan bahwa lawannya ini hebat bukan main, tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan Cia Bun Houw! Bahkan pendekar yang sudah setengah tua ini selain memiliki kematangan dalam gerakan juga ternyata memiliki banyak sekali ilmu silat yang aneh-aneh!

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Hanya gerakan ginkang yang amat tinggi dari Hai-liong-ong Phang Tek, maka dia masih dapat bertahan. Akan tetapi dia tahu bahwa tidak mungkin dia akan menang menghadapi pendekar yang amat lihai ini maka seperti juga Kim-liong-ong Phang Sun, mulailah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini untuk mencari kesempatan lari!

Ketika dia melihat kesempatan itu terbuka, yaitu ketika lawannya bergerak agak lambat, maka dia menggereng dan dari samping lengan kanannya yang panjang itu menyambar, tangannya mencengkeram ke arah muka Yap Kun Liong. Gerakan ini merupakan gerakan yang sangat cepat dan dahsyat, akan tetapi hanya untuk menggertak saja dan dia sudah siap melompat jauh dan melarikan diri kalau lawannya mengelak dan mundur.

Akan tetapi ternyata lawannya tidak mengelak melainkan mundur sedikit dan membiarkan pundaknya terbuka tidak terlindung. Melihat ini, tentu saja Hai-liong-ong Phang Tek tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menang. Tangannya yang masih terbuka seperti cakar harimau itu tiba-tiba mencengkeram ke arah pundak lawan yang tak terlindung itu.

"Cappp...!"

Seperti cakar baja kelima jari tangan kanan kakek itu mencengkeram ke arah pundak dan Yap Kun Liong sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis, melainkan membiarkan pundaknya dicengkeram.

"Auhhhhh...!" Terdengar Hai-liong-ong Phang Tek berseru kaget sekali.

Dia merasa betapa cengkeramannya mengenai benda lunak yang kemudian melekat dan terus mengeluarkan tenaga menyedot sehingga hawa sinkang dari tubuhnya menerobos keluar melalui tangannya itu! Dia berusaha menggunakan tenaga untuk menarik kembali tangannya, akan tetapi makin dia mengerahkan tenaga, semakin hebat pula sinkang-nya mengalir dan membanjir keluar!

Pucatlah wajah Hai-liong-ong Phang Tek dan tubuhnya menggigil. Dengan nekat tangan kirinya lantas menghantam, akan tetapi sekali ini tangan itu ditangkap oleh lawan. Begitu tertangkap, kembali sinkang-nya mengalir kuat dari pergelangan tangan yang tertangkap itu sehingga kini makin banyaklah sinkang yang membanjir keluar itu.

"Aduh... celaka...!" Kakek itu berseru. Barulah dia teringat akan Ilmu Thi-khi I-beng yang mukjijat sehingga dia menjadi takut bukan main.

"Hemm, agaknya kejahatanmu sudah melewati takaran. Pergilah!" Yap Kun Liong tiba-tiba menampar dengan tangan kirinya, tepat mengenai belakang telinga lawan. Hai-liong-ong Phang Tek mengeluh, tubuhnya terpelanting dan dia tewas pada saat itu juga.

Melihat kakaknya roboh, Kim-liong-ong Phang Sun menjadi makin jeri. Dia mengeluarkan teriakan panjang, lantas tiba-tiba saja dia meloncat pergi. Akan tetapi wanita perkasa itu membentak.

"Hendak lari ke mana kau?!"

Dan Yap In Hong mengejar dengan cepat, tangan kirinya lalu bergerak dan cahaya hijau menyambar. Itulah Siang-tok-swa, senjata rahasia istimewa merupakan pasir hijau yang berbau harum. Akan tetapi pasir halus ini mengandung racun yang amat berbahaya.

Kim-liong-ong Phang Sun cepat melempar tubuh ke samping lantas bergulingan sehingga sambaran pasir beracun itu hanya lewat saja di atas kepalanya, akan tetapi baru saja dia hendak meloncat bangun, lawannya sudah menerjangnya. Kakek kecil pendek ini hendak mengelak, namun dia kalah cepat dan begitu tangan Yap In Hong mengenai tengkuknya dengan tamparan Thian-te Sin-ciang yang ampuh, robohlah kakek itu dan nyawanya pun melayang sebelum tubuhnya terbanting ke atas lantai.

Cia Bun Houw, Yap Kun Liong, Yap In Hong dan Cia Giok Keng masih terus mengamuk, membantu para tokoh kang-ouw golongan bersih untuk menghadapi kaum sesat yang ikut membantu Pangeran Ceng Han Houw. Biar pun jumlah kaum sesat lebih banyak, namun dengan bantuan mereka berempat ini mereka menjadi kocar-kacir hingga banyak di antara mereka yang roboh dan tewas.

Sementara itu, Lie Ciauw Si masih tetap duduk bagaikan patung di kursinya yang tadi, sedikit pun tak bergerak, tidak membantu suaminya, juga tidak menentang suaminya. Dia seperti orang kehilangan semangat menyaksikan keruntuhan cita-cita pria yang dicintanya itu dan diam-diam dia merasa ikut bersedih untuk suaminya itu. Semenjak tadi dia tidak melihat yang lain kecuali menonton suaminya yang masih bertanding dengan hebat dan serunya melawan Sin Liong!

Sesudah merobohkan banyak orang dari golongan hitam dan ikut menonton pertandingan antara Sin Liong dan pangeran itu, kini para tokoh Cin-ling-pai itu mulai mendekat. Tetapi Sin Liong berkata sambil tetap mendesak lawannya,

"Harap cu-wi dari Cin-ling-pai membiarkan saya menghadapi musuh besar ini sendiri."

Mendengar ini, tiga orang itu segera berhenti dan hanya menonton dengan penuh kagum. Pertandingan itu sudah mencapai puncaknya, dan keduanya sudah mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaga mereka untuk saling mendesak dan kalau mungkin merobohkan lawan.

Ceng Han Houw masih mempergunakan ilmunya yang aneh, dengan berjungkir balik dia berusaha untuk mendesak lawan dengan kedua tangan dari bawah dan kedua kaki dari atas. Namun, dengan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang, Sin Liong selalu dapat membuyarkan semua serangannya, malah serangan balasan Sin Liong senantiasa membuat tubuh yang berjungkir balik itu tergetar dan bergoyang, malah kadang-kadang memaksa pangeran itu untuk berloncatan ke belakang sehingga kepala yang menyentuh lantai itu mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk.

Dengan sekilas pandang saja tahulah Pangeran Ceng Han Houw bahwa dia telah gagal total. Para tokoh kang-ouw golongan hitam yang membantunya sudah roboh satu demi satu, para pembantunya yang dipercaya, seperti subo dan suci-nya, juga telah tewas dan bahkan kedua orang Lam-hai Sam-lo telah roboh pula. Dari gemuruh suara pertempuran antara pasukannya dan pasukan pemerintah, dia maklum pula bahwa pasukannya terus terdesak mundur, karena suara gemuruh itu makin lama semakin dekat juga.

Hatinya menjadi sedih dan kecewa sekali, akan tetapi kemarahannya terhadap Sin Liong mengatasi semua itu. Bocah inilah yang menjadi gara-gara semua kegagalanku, demikian pikirnya. Kini dia telah dikurung oleh tokoh-tokoh Cin-ling-pai. Dia harus bisa merobohkan Sin Liong terlebih dahulu, harus dapat menewaskan bocah ini. Maka, nekatlah Ceng Han Houw.

Dengan mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking tinggi, tubuhnya yang berjungkir balik itu meluncur ke depan dan mendadak tubuh itu meloncat tinggi kemudian dari atas tubuhnya meluncur turun lantas dia menubruk ke arah Sin Liong seperti seekor harimau kelaparan menubruk seekor kijang! Tubrukannya ini hebat, cepat dan dilakukan dengan tenaga sepenuhnya, tenaga yang dipusatkan kepada dua tangan dan kepalanya karena dia hendak menyerang lawan dengan kedua tangan dan kepala!

Menghadapi serangan seperti ini, Sin Liong menjadi terkejut. Inilah serangan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah nekat, yang tidak mempedulikan keselamatan diri sendiri, yang kalau perlu hendak mengadu nyawa dengan musuhnya!

Sin Liong maklum bahwa apa bila dia menyambut serangan itu dengan kekerasaan pula, sungguh pun dia akan dapat merobohkan lawan, akan tetapi dia sendiri terancam bahaya maut. Tenaga yang dipergunakan Han Houw dalam serangan itu merupakan tenaga yang dipusatkan, ditambah tenaga luncurannya yang kuat, sehingga amatlah berbahaya kalau disambut dengan kekerasan.

Oleh karena itu, dia pun segera mainkan jurus terakhir dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang dahulu memang khusus diciptakan untuk menggunakan tenaga lemas melawan serangan dahsyat yang keras. Sin Liong berdiri tegak, mengerahkan tenaga dan mula-mula dia hendak mempergunakan Thi-khi I-beng, akan tetapi niat ini segera dibatalkan karena dia maklum bahwa ilmu ini akan membahayakan dirinya bila ada tenaga sinkang yang begitu kuat dan kerasnya membanjir masuk dengan kekuatan sepenuhnya, maka bisa merusak seluruh isi perutnya.

Karena itu dia lalu melakukan jurus terakhir itu. Lagi pula, ketika dua tangan lawan sudah hampir mengenai dadanya, dia menangkis dari bawah dan karena saat itu dia menyimpan tenaga, maka tidak terjadi benturan tenaga tetapi dia terjengkang atau sengaja melempar diri ke belakang sehingga dia terlentang dan karena lawannya meluncur dengan tenaga penuh, maka tubuh pangeran itu meluncur terus di atas tubuhnya tanpa bisa ditahan oleh pangeran itu sendiri.

Saat itulah Sin Liong menggerakkan tangan kanan dari bawah, menghantam ke atas dan ujung-ujung jari tangannya dengan cepat telah menampar perut lawan agak ke atas dekat ulu hati dengan tenaga Thian-te Sin-ciang.

"Plaakkk!"

Tubuh pangeran itu masih meluncur terus, akan tetapi kehilangan keseimbangan hingga akhirnya terbanting ke atas tanah, lalu bergulingan dan tidak bergerak lagi. Dari mulutnya mengalir darah segar dan sepasang matanya mendelik, napasnya empas-empis. Kiranya dia sudah menerima pukulan yang sangat hebat dan tepat sehingga sebelum tubuhnya itu terbanting, pangeran ini sudah pingsan dan dia telah menderita luka dalam yang sangat hebat.

"Pangeran...!" Terdengar suara jeritan dan Lie Ciauw Si langsung meloncat dan menubruk tubuh suaminya sambil menangis.

Sin Liong berdiri dengan muka pucat, memandang kepada pangeran itu. Hatinya dipenuhi oleh rasa penyesalan dan kedukaan. Betapa pun juga, dia teringat akan semua kebaikan pangeran itu dan kini, begitu melihat pangeran itu roboh pingsan dan dia tahu pangeran berada dalam keadaan gawat karena pukulannya tadi amat kuat dan tepat mengenai ulu hati, timbul rasa terharu dan kasihan di dalam hatinya.

Dia tahu bahwa sebetulnya banyak terdapat sifat-sifat baik pada diri pangeran ini, hanya sayang, karena kemanjaan dan karena ambisi yang luar biasa besarnya maka pangeran itu tidak segan-segan melakukan segala kecurangan serta kejahatan. Dia menunduk dan memandang kepada Lie Ciauw Si dengan penuh iba, lalu berkata lirih.

"Piauw-ci... dia... semua ini adalah salahnya sendiri..."

Lie Ciauw Si menoleh lantas memandang kepada Sin Liong. Pemuda ini sudah menduga bahwa tentu wanita yang amat mencinta pangeran itu akan membenci dan marah sekali padanya. Akan tetapi dia merasa heran melihat betapa wanita yang pucat dan basah air mata itu memandangnya tanpa membayangkan kemarahan atau kebencian sama sekali.

"Aku tahu... dan terima kasih atas sikapmu. Engkaulah satu-satunya orang yang agaknya tidak membencinya, Sin Liong. Biarlah aku membawanya..."

"Silakan, piauw-ci..."

Dengan terisak Ciauw Si lalu memondong tubuh itu, kemudian tanpa menoleh lagi kepada para tokoh Cin-ling-pai dia lalu meloncat dan membawa lari tubuh yang pingsan itu dari tempat itu.

"Ciauw Si...!" Cia Giok Keng berseru dan hendak mengejar, akan tetapi lengannya segera dipegang dengan halus oleh suaminya.

"Jangan ganggu dia... pangeran itu tentu akan tewas, sebaiknya biarkan dia seorang diri dalam kedukaannya..."

Cia Giok Keng lalu menjerit dan menangis di atas dada suaminya yang merangkulnya. Sementara itu, pertempuran di ruangan itu sudah berhenti sebab semua tokoh kang-ouw golongan hitam sudah berhasil dirobohkan. Di antara para tokoh kang-ouw yang gagah perkasa dan yang menentang pangeran tadi, terdapat beberapa orang yang terluka dan kini mereka sedang dirawat oleh teman-teman sendiri.

Dan benar seperti dugaan Pangeran Ceng Han Houw, bahwa perang kecil-kecilan itu pun tidak lama berlangsung karena fihak pasukan Lembah Naga jauh kalah kuat dan sisanya segera melarikan diri meninggalkan mayat teman-teman mereka. Orang-orang kang-ouw dari golongan sesat yang tadi sudah membuang senjata dan menakluk, setelah menerima peringatan dari komandan-komandan pasukan yang mewakili Pangeran Hung Chih, lalu dibebaskan.

Pangeran Hung Chih sendiri menghampiri tokoh-tokoh Cin-ling-pai, dan dengan senyum lebar lantas menghaturkan terima kasih, terutama sekali kepada Cia Sin Liong. Ketika dia mendengar bahwa pemuda itu adalah putera Cia Bun Houw, dia cepat-cepat menjura dan berkata kagum. "Ah, seekor naga sakti tentu mempunyai turunan seekor naga pula!"

Sesudah melakukan pembersihan di lembah itu, Pangeran Hung Chih menyuruh seorang komandan agar mengepalai pasukan kecil untuk melakukan penjagaan di Istana Lembah Naga, kemudian dia memimpin pasukannya kembali ke kota raja. Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Yap In Hong, dan Cia Bun Houw menitipkan puteranya yang masih kecil di dalam istana Pangeran Hung Chih. Tentu saja rombongan keluarga Cin-ling-pai ini juga mengajak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang telah diterima sebagai keluarga Cin-ling-pai, dan bersama-sama mereka juga pergi ke kota raja.

Di dalam perjalanan inilah, dalam keadaan gembira karena berhasil melaksanakan tugas membela negara, Sin Liong menceritakan semua pengalamannya semenjak dia kecil dan dipelihara oleh monyet-monyet besar di hutan-hutan sekitar Lembah Naga, didengarkan oleh semua orang dengan rasa penuh keharuan dan kekaguman. Terutama sekali hati Cia Bun Houw menjadi terharu dan juga bangga.

Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa peristiwa yang terjadi antara dia dan Liong Si Kwi yang mencintanya pada waktu dua puluh tahun yang lalu itu, akan menghasilkan seorang anak seperti Sin Liong ini! Tidak pernah diduga-duganya bahwa dia mempunyai seorang anak laki-laki seperti ini, ketemu sesudah dewasa.

Hanya Cia Giok Keng seorang yang mendengarkan dengan wajah lesu dan hati diliputi kedukaan. Betapa pun juga, hati nyonya ini terasa prihatin dan berduka sekali kalau dia mengingat puterinya. Baru saja hatinya merasa tertusuk dan berduka dengan peristiwa yang terjadi atas diri puteranya, Lie Seng. Kini, sebelum perasaan dukanya itu sembuh, dia tertimpa lagi oleh peristiwa ke dua yang menimpa diri puterinya. Secara diam-diam dia merasa berduka sekali mengapa kedua orang anaknya, putera dan puterinya, mengalami kesengsaraan dan kemalangan dalam kehidupan mereka, dalam perjodohan mereka?

Ketika pada malam hari itu rombongan terpaksa harus bermalam di tengah jalan, di luar daerah kota raja di sebelah dalam Tembok besar, Yap Kun Liong yang baru mendapat kesempatan untuk berdua saja dengan isterinya, membiarkan isterinya menangis ketika mereka membicarakan tentang dua orang anak isterinya itu. Sebagai seorang pendekar yang sudah mengalami gemblengan hidup yang amat mendalam, Yap Kun Liong maklum sepenuhnya akan kesengsaraan hati isterinya, oleh karena itu dia tidak mencela dan tidak menegur isterinya yang membiarkan dirinya terseret oleh duka.

Menjelang tengah malam, pada saat dia berhasil menghibur isterinya dan perasaan duka tidak terlalu menghimpit hati isterinya lagi sehingga mengaburkan kewaspadaan, baru dia mengajak isterinya bicara dengan hati terbuka.

"Isteriku, sungguh pun aku telah menganggap Seng-ji dan Ciauw Si sebagai anak-anakku sendiri, akan tetapi selama ini aku tidak berani mencampuri urusan antara mereka dengan engkau. Sekarang, semuanya itu telah terjadi, marilah kita bicara dari hati ke hati dengan hati terbuka, dengan kewaspadaan sepenuhnya untuk melihat peristiwa-peristiwa itu tanpa dicampuri oleh pendapat dari pikiran kita yang selalu ingin memenangkan diri sendiri dan membenarkan diri sendiri saja. Marilah kita memandang dengan mata terbuka kemudian mempelajarinya, menyelidikinya, di mana letak kesalahannya sehingga perjodohan kedua orang anak kita itu mengalami kegagalan seperti itu."

Giok Keng mengangguk kemudian berkata sambil menarik napas panjang. "Apa lagi yang perlu kita selidiki? Sudah jelas bahwa semua kegagalan dan kesengsaran itu diakibatkan oleh karena mereka itu terburu nafsu, terdorong oleh darah muda dan mereka salah pilih."

"Isteriku yang baik, bagaimana kau dapat mengatakan bahwa mereka salah pilih. Pikirlah dengan tenang dan dengan teliti, penuh kebijaksanaan, apa sebabnya engkau berkata bahwa mereka salah pilih?"

"Tentu saja, mereka memilih jodoh tanpa melihat bagaimana keadaan orang yang mereka pilih. Lie Seng memilih seorang wanita yang sama sekali tidak berharga menjadi isterinya sehingga mengakibatkan bencana yang demikian hebat dan mematahkan hatinya, ada pun Ciauw Si... ahhh... perlukah kukatakan lagi betapa kelirunya pilihannya itu?"

Tiba-tiba Kun Liong merangkul isterinya. Walau pun usianya sudah lima puluh lebih dan demikian pula isterinya, tetapi kedua orang suami isteri ini masih saling mencinta dan tak jarang menunjukkan cinta kasih mereka melalui pandang mata, suara, mau pun rangkulan mesra.

"Isteriku, katakanlah, apakah engkau cinta padaku?"

Sepasang mata Giok Keng terbelalak, lalu dia merangkul. "Ahhh, jangan kau main-main. Perlukah hal itu ditanyakan lagi? Tentu saja aku mencintamu."

"Aku pun percaya akan hal itu. Engkau cinta sepenuh hati kepadaku seperti juga aku cinta kepadamu, Giok Keng. Nah, seandainya ada orang-orang lain yang mengatakan bahwa pilihanmu terhadap diriku itu keliru, bagaimana pendapatmu?"

"Aku tidak akan peduli! Aku cinta kepadamu dan aku tidak peduli siapa pun yang akan mengatakan bagaimana pun tentang dirimu, tentang hubungan kita."

"Nah, itulah! Dan dua orang anakmu itu pun mempunyai watak seperti engkau, setia dan penuh cinta kasih murni, dan aku kagum dan menghormat mereka seperti aku kagum dan menghormatimu, isteriku!" Kun Liong lalu mencium isterinya.

"Eh, ehh, apa maksudmu?" Giok Keng bertanya heran, menatap wajah suaminya melalui sinar api unggun yang merah.

"Perjodohan adalah urusan dua orang saja, urusan pria dan wanita yang bersangkutan, urusan hati dan perasaan mereka, dan orang lain, siapa pun mereka itu, baik orang tua sendiri sekali pun, tidak semestinya mencampuri! Orang tua atau keluarga hanya boleh membantu pelaksanaannya belaka, akan tetapi sedikit pun tidak boleh mencampurinya, karena sekali mencampuri, maka hanya akan merusak suasana! Cobalah kita pikir secara mendalam dan jujur. Andai kata... andai kata keluarga Cin-ling-pai tidak ikut mencampuri urusan cinta kasih antara Lie Seng dengan Sun Eng, kurasa cinta kasih mereka tak akan berakhir sedemikian menyedihkan."

Cia Giok Keng diam saja, tak bergerak bagaikan pulas di dalam pelukan suaminya. Akan tetapi sesungguhnya dia merasa terpukul, tertusuk dan ucapan suaminya itu mengena benar di hatinya dan terbayanglah semua peristiwa yang terjadi dengan diri Lie Seng dan Sun Eng.

"Aku tidak mencela siapa-siapa, tidak mencela keluarga kita yang mencampuri, karena aku tahu bahwa maksud kalian semua itu baik saja. Akan tetapi baik untuk siapa? Untuk kalian sendiri tentu saja, bukan untuk Lie Seng dan Sun Eng. Itulah akibatnya kalau kita sebagai orang-orang tua mencampuri urusan cinta kasih antara dua orang anak muda."

Hening sejenak. Akhirnya terdengarlah suara pembelaan Cia Giok Keng, lirih dan lemah, "Akan tetapi mana mungkin seorang ibu seperti aku mendiamkannya saja kalau melihat puteranya keliru memilih calon jodoh? Aku ingin melihat puteraku bahagia..."

"Nah, di sanalah letak kesalahannya, bukan? Kita ingin melihat putera kita bahagia, oleh karena itu kita hendak memilihkan jodoh yang tepat untuk putera kita! Ahhh, seolah-olah jodoh itu seperti sehelai baju yang dapat kita patut-patut. Bahkan baju pun tergantung dari pada selera, isteriku, dan selera kita tentu belum tentu sama dengan selera putera kita! Apa yang kita anggap baik belum tentu baik pula bagi putera kita, oleh karena itu wajarlah kalau apa yang dianggap baik oleh putera kita pun belum tentu baik bagi pandangan kita. Kalau kita berkata bahwa kita ingin melihat putera kita bahagia, maka dia harus menurut pilihan kita, bukankah itu berarti bahwa sesungguhnya, di balik semua kata-kata kita itu, sesungguhnya kita ingin melihat hati kita sendiri senang karena putera kita memilih jodoh yang kita sukai? Kita harus jujur, isteriku. Dalam perjodohan, yang terutama adalah cinta-mencinta. Itu saja, hal yang lain tidak masuk hitungan! Dan cinta kasih, apakah cinta itu mengenal usia, mau pun kedudukan, mau pun baik buruk? Cinta adalah cinta karena itu bagaimana mungkin kita dapat menyalahkan seseorang, apa lagi putera kita sendiri kalau dia jatuh cinta kepada seseorang? Kalau engkau jatuh cinta kepadaku dan aku jatuh cinta kepadamu, siapakah yang berhak menyalahkan kita, isteriku?"

Giok Keng termenung. "Jadi... kau pikir... dahulu Lie Seng dan Sun Eng telah saling jatuh cinta, maka mereka berdua sudah berhak untuk saling berjodoh, dan kita, fihak keluarga dan orang-orang tua, sama sekali tidak boleh mencampurinya?"

"Tidakkah begitu menurut kesadaranmu?"

"Ahh, engkau mengatakan begitu karena sekarang akibatnya buruk bagi mereka."

"Bukan, isteriku. Aku tidak mengatakan bahwa andai kata dahulu keluarganya tidak turut mencampuri, maka Lie Seng dengan Sun Eng akan hidup berbahagia atau tidak sampai mendapatkan halangan. Soal halangan dan apakah hidup bisa beruntung atau tidak sama sekali tidak ada hubungannya dengan ini. Akan tetapi, sesudah kita mencampuri urusan jodoh mereka sehingga akhirnya persoalan menjadi berlarut-larut dan mengakibatkan hal yang amat menyedihkan, bukankah hal itu menyadarkan kita bahwa urusan jodoh adalah urusan dua orang dan di mana ada cinta-mencinta, maka perjodohan itu sudah benar, asalkan tak melanggar suatu hal lain yang merugikan orang lain? Lie Seng masih bebas, dan Sun Eng pun wanita bebas, mereka saling mencinta, maka sudah benarlah itu, dan sudah benar pula apa bila mereka itu saling berjodoh. Kita harus dapat melihat kesalahan kita yang telah mencampuri urusan mereka, lepas dari soal apakah hal itu mendatangkan kerusakan atau kebaikan."

Kembali hening sejenak, dan perlahan-lahan semua ucapan suaminya itu bisa menembus kekerasan hati Cia Giok Keng dan dapat membuka mata hatinya.

"Akan tetapi... bagaimana kalau apa yang terjadi dengan pilihan Ciauw Si itu?"

"Apa salahnya pilihan Ciauw Si? Dia pun memilih pangeran itu karena saling mencinta, dan kita harus menghormatinya bahwa dia memang benar-benar mencinta pilihan hatinya itu, sampai mati sekali pun! Memang demikianlah seharusnya orang memilih jodohnya, berdasarkan cinta, bukan berdasarkan sifat-sifat baik dari yang dipilihnya, karena memilih jodoh berdasarkan apakah yang dipilihnya itu tampan, cantik berpangkat, berbudi, pandai, kaya dan sebagainya sama sekali bukan berdasarkan cinta, melainkan berdasarkan ingin menyenangkan hati sendiri. Bukankah demikian?"

Akhirnya ibu yang merana ini kembali terisak dan merangkul suaminya. "Engkau benar... mengapa aku hendak mencampuri urusan cinta kasih anak-anakku? Aku tidak ingat akan pengalamanku sendiri, pengalaman kita..."

"Sudahlah, isteriku. Segala sesuatu telah terjadi, dan betapa pun juga, kita harus bangga mempunyai anak-anak yang demikian tulus cinta kasihnya seperti Lie Seng dan Ciauw Si."......

Terima kasih telah membaca Serial ini.

JILID 46



Memang demikianlah adanya. Betapa banyaknya orang tua yang tanpa mereka sadari sendiri telah melakukan tindakan-tindakan yang sama sekali menyimpang dari pada cinta kasih dan kebenaran. Kita selalu ingin menyatakan cinta kasih kita pada anak-anak kita dengan jalan mengatur sedemikian rupa untuk anak-anak kita, bukan hanya mengatur pendidikannya, pemeliharaannya, akan tetapi juga kita ingin mengatur masa depannya, mengatur kesukaannya, bahkan mengatur jodoh mereka!

Kita beranggapan bahwa bila anak-anak kita itu menurut kepada kita, mereka pasti akan hidup berbahagia, seolah-olah kehidupan merupakan garis tertentu yang telah mati, yang dapat diatur sedemikian rupa menuju kepada kebahagiaan! Seakan-akan apa yang kita anggap baik dan menyenangkan itu tentunya akan baik serta menyenangkan pula bagi anak-anak kita!

Kita lupa bahwa kehidupan itu selalu berubah, bahwa alam-pikiran dan selera manusia itu pun berkembang dan mengalami perubahan-perubahan. Apa yang kita sendiri senangi di saat kita masih kanak-kanak akan menjadi membosankan di kala kita sudah dewasa, dan apa yang menyenangkan kita saat kita dewasa mungkin akan menjadi memuakkan di waktu kita telah tua.

Oleh karena itu, benarkah itu bila mana kita memakai ukuran mata kita untuk mengatur kehidupan anak-anak kita yang lebih muda dan mempunyai selera lain sama sekali dari kita? Benarkah kita mencinta anak-anak kita kalau kita hanya ingin mereka itu menurut kepada kita, yang pada hakekatnya menunjukkan bahwa sebenarnya kita ingin senang sendiri, ingin melihat anak-anak kita menuruti kemauan hati kita?

Cinta adalah demi si anak, demi perasaan hati si anak, sekarang, bukan kelak! Bukan masa depan, melainkan saat demi saat! Maukah kita sebagai orang tua yang bijaksana memberikan kebebasan seluasnya kepada anak-anak kita, dengan memberi petunjuk-petunjuk, bukan mendikte, akan tetapi memberi petunjuk dan menjaga, membuka mata batin mereka kalau mereka itu tanpa mereka sadari menyeleweng, dengan penuh kasih sayang dan demi kebahagiaan mereka saat demi saat? Hal ini hanya mungkin dilakukan kalau sudah tidak ada keinginan dalam hati kita untuk menikmati kesenangan diri sendiri melalui anak kita!

Setelah tiba di kota raja, keluarga Cin-ling-pai mengajak Sin Liong dan Bi Cu untuk ikut ke Cin-ling-pai.

"Engkau adalah puteraku, dan Bi Cu adalah calon menantuku," demikian Cia Bun Houw berkata dengan terus terang kepada mereka, "maka sebaiknya kalau kalian berdua turut bersama kami ke Cin-ling-pai. Engkau adalah keluarga Cin-ling-pai dan berhak tinggal di sana, dan karena semenjak kecil kita saling berpisah, maka sebaiknya jika sekarang kita berkumpul."

"Benar, Sin Liong. Ayahmu dan aku hendak membangun kembali Cin-ling-pai. Marilah ikut bersama kami di sana, ke Cin-ling-san!" Cia Giok Keng juga membujuk.

"Akan tetapi... sri baginda kaisar sudah menganugerahkan Lembah Naga kepada kami...," Sin Liong menjawab agak ragu-ragu.

"Maksudku untuk sementara kalian tinggal di Cin-ling-san sampai kalian menikah. Kalau kalian sudah menikah, maka terserah kalau kalian ingin tinggal di Istana Lembah Naga," kata Bun Houw.

"Apakah tidak terlalu sunyi tinggal di tempat itu?" Cia Giok Keng bertanya.

"Ah, kalau tinggal berdua, mana bisa merasa sunyi?" Yap Kun Liong menyambung sambil tertawa dan semua orang tertawa, juga Bi Cu tersenyum malu-malu.

"Banyak terima kasih atas kebaikan ayah, ibu, paman serta bibi berempat. Kami berdua pasti akan pergi ke Cin-ling-san, akan tetapi sekarang ini kami ingin pergi ke selatan untuk menengok adik-adik saya Kui Lan dan Kui Lin. Sesudah menengok mereka, kami tentu akan menyusul ke Cin-ling-pai dan selanjutnya tentang pernikahan kami, terserah kepada semua orang tua di Cin-ling-pai."

Akhirnya mereka semua setuju dan berangkatlah Sin Liong dan Bi Cu ke kota Su-couw di Ho-nan. Sesungguhnya mereka pergi ke Su-couw bukanlah semata untuk menengok Lan Lan dan Lin Lin saja, namun untuk melihat keadaan Kui Hok Boan.

Di tengah perjalanan menuju ke kota raja, Sin Liong sudah menceritakan secara terus terang kepada Bi Cu bahwa dia menduga keras bahwa pembunuh ayah kandung Bi Cu yang bernama Bhe Coan itu adalah Kui Hok Boan, ayah tirinya sendiri.

"Aku mendengar ketika dia mengigau," demikian antara lain Sin Liong menuturkan. "Dan agaknya dialah yang membunuh ayahmu."

"Keparat, sungguh jahat jahanam itu! Aku harus membalas kematian ayah!" Bi Cu berkata dengan marah.

"Nanti dulu, Bi Cu, dengarlah dahulu baik-baik. Ketahuilah, bahwa ketika dia mengigau itu, dia berada dalam keadaan tidak sadar dan dia telah berubah ingatannya."

"Ahh? Maksudmu, dia..." Bi Cu membuat tanda dengan melintangkan jari telunjuk di atas dahinya.

"Benar, dia sudah mengalami tekanan batin sehingga menjadi gila."

Kemudian Sin Liong menceritakan tentang semua riwayat Kui Hok Boan, juga tentang dua orang pemuda yang sebenarnya adalah anak-anaknya sendiri akan tetapi yang diakuinya sebagai keponakannya dan betapa dua orang anaknya itu saling bermusuhan dan saling bunuh sendiri. Semua itu membuat Kui Hok Boan merasa menyesal lantas membikin dia menjadi gila.

"Karena itu, dalam keadaannya seperti sekarang ini, dalam keadaan hidup menderita dan merana sampai menjadi gila, apakah engkau masih mempunyai gairah untuk membalas dendam? Membalas kepada orang yang sudah terhukum sehebat itu karena perbuatan-perbuatannya sendiri?"

Bi Cu termangu-mangu, kemudian berkata, "Memang tidak enak memusuhi orang sakit, apalagi sakit gila. Akan tetapi aku masih penasaran sebelum melihat keadaannya dengan mata sendiri, Sin Liong. Mari kita mengunjunginya dan setelah melihat keadaannya, baru aku akan memutuskan apakah aku akan membalas kematian ayah ataukah tidak."

Demikianlah, sesudah mendapatkan persetujuan para tokoh Cin-ling-pai, Sin Liong dan Bi Cu lalu berangkat ke selatan. Mereka menunggang dua ekor kuda yang amat baik karena mereka mendapatkan hadiah dari Pangeran Hung Chih. Pakaian mereka pun serba indah dan bersih. Bukankah mereka adalah pahlawan-pahlawan yang berjasa menentang dan menggagalkan pemberontakan?

Mereka sudah menerima banyak hadiah berupa pakaian dan uang emas dari pangeran itu, bahkan kaisar sendiri berkenan menyerahkan Istana Lembah Naga kepada Sin Liong sesudah mendengar bahwa pendekar itu terlahir di dalam istana itu. Raja Sabutai telah dihubungi melalui utusan dan raja itu pun tidak membantah pada saat kaisar menentukan bahwa istana itu diserahkan dan menjadi hak milik yang dilindungi dari Cia Sin Liong!

Tentu saja perjalanan yang dilakukan oleh Sin Liong dan Bi Cu kali ini sangat berbeda dengan perjalanan-perjalanan yang lalu sebagai orang yang dikejar-kejar oleh kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw. Kini mereka berdua melakukan perjalanan dengan santai dan dengan hati penuh keriangan, karena dalam hati mereka penuh dengan cinta kasih yang terpancar dari sinar mata mereka yang saling memandang penuh kelembutan, kata-kata yang penuh kemesraan dan sentuhan-sentuhan yang menggetar.

Mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencinta, melakukan perjalanan bersama. Kadang-kadang mereka berlomba dengan kuda mereka dan ada kalanya mereka berjalan kaki sambil bergandengan tangan, menuntun dua ekor kuda itu di belakang mereka, dan kalau mereka beristirahat, Bi Cu menyandarkan dadanya di pundak atau dada Sin Liong.

Akan tetapi, betapa pun mesra hubungan di antara mereka, dan betapa pun besar cinta kasih mereka, keduanya selalu menjaga diri sehingga mereka tidak sampai melakukan pelanggaran di dalam hubungan mereka itu. Sebaliknya, seorang wanita yang sejak kecil hidup sendiri dan tak malu-malu seperti kebanyakan wanita muda, pernah dalam keadaan istirahat itu Bi Cu menyatakan terus terang kepada Sin Liong.

"Sin Liong, kita sudah bertunangan secara resmi, juga direstui oleh ayahmu dan keluarga Cin-ling-pai."

"Ya, kita beruntung sekali, Bi Cu," jawab Sin Liong sambil mengelus rambut yang hitam halus dan panjang itu.

"Dan kulihat engkau tidak pernah mencoba untuk membujukku, untuk mengajakku... ehh, menyerahkan diri kepadamu... sungguh pun... hemm, mungkin sekali... ah, tiada bedanya bagiku, aku merasa bahwa aku telah menjadi milikmu lahir batin. Mengapa, Sin Liong?"

"Ahh, kita belum menikah dengan resmi, Bi Cu."

"Hemmm, aku tahu, akan tetapi... andai kata engkau minta kepadaku dan aku menuruti permintaanmu, kita melakukan hubungan sebelum menikah, lalu mengapa?"

"Tidak, hal itu tidak mungkin Bi Cu."

"Mengapa, Sin Liong? Apakah karena engkau tidak menginginkannya?"

Sin Liong mendekap kepala itu penuh kasih sayang. "Tentu saja aku ingin sekali!"

"Kalau begitu, sama dengan aku. Lalu apa halangannya?"

Bukan main, kekasihnya ini sungguh seorang gadis yang jujur dan terbuka sekali, tidak pura-pura!

"Tidak, Bi Cu, karena aku cinta padamu!"

"Jika engkau cinta padaku kenapa engkau malah tidak menuntut penyerahan diri dariku?"

"Ahh, kekasihku, dewiku, betapa polos dan jujurnya engkau. Engkau percaya sepenuhnya kepadaku, dan justru karena kepercayaanmu itulah, justru karena cinta kita itulah, maka aku tidak akan melakukan hal itu, betapa pun besar dorongan gairah nafsuku! Aku cinta padamu, Bi Cu, dan karena aku cinta padamu, tentulah aku menghormatimu, tentu aku menjaga namamu, aku tentu akan menjaga dengan nyawaku agar tidak merendahkanmu, meremehkanmu. Bagaimana pun juga, kita hidup di dalam belenggu-belenggu peraturan, kesusilaan, dan budaya. Belenggu-belenggu itu telah menentukan bahwa tak semestinya hubungan itu dilakukan sebelum menikah, dan siapa melanggarnya, apa lagi wanita, tentu akan dikutuk dan dipandang rendah! Nah, karena cintaku kepadamu, betapa pun besar keinginan hatiku, maka harus kujaga agar engkau jangan sampai dikutuk dan dipandang rendah. Aku sayang kepadamu, aku ingin engkau senang dan hidup bahagia. Kalau aku membujukmu untuk melakukan hubungan suami isteri, hal itu berarti bahwa aku hanya ingin mencari senang dan enak sendiri, namun membiarkan engkau yang terancam aib. Mengertikah engkau, Bi Cu?"

Bi Cu bergerak perlahan dan membalik, mengangkat muka ke atas dan merangkul leher kekasihnya. Sin Liong kemudian menunduk dan mereka berciuman sampai napas mereka terengah-engah dan terpaksa mereka melepaskan ciuman karena sukar untuk bernapas!

"Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Kalau begini terus, bisa-bisa aku tidak kuat dan mata gelap!" Sin Liong mendorong dara itu dengan halus dan mereka pun bangkit berdiri. Bi Cu tersenyum dan memandang kekasihnya dengan sinar mata menggoda.

"Kalau begitu kenapa? Kalau aku rela, siapa peduli?"

"Ihh, engkau nekat!" Sin Liong tertawa. "Ingat, kebahagiaan itu adalah kita punya, maka perlu apa kita rusak sendiri? Mengapa kita tidak menahan bersama, agar kelak sesudah tiba saatnya kita berdua akan lebih dapat menikmatinya?"

Demikianlah, dengan dasar cinta kasih yang mendalam, kedua orang muda itu mampu mempertahankan kemurnian mereka dan mereka tidak sampai menjadi buta oleh nafsu birahi. Sesungguhnya kasih sayang itu membuat kita menjadi kuat menghadapi apa pun juga, bahkan kuat pula menghadapi godaan setan berupa nafsu birahi yang biasanya tak terkalahkan oleh manusia itu!

Pada suatu hari, setelah mereka sampai di perbatasan Propinsi Ho-nan. Mereka melewati sebuah hutan yang amat luas. Dari pagi sampai matahari hampir naik menjelang tengah hari, mereka masih tetap berada di dalam hutan. Tiba-tiba saja mereka mendengar suara orang-orang bertempur di depan dan mereka lalu membedalkan kuda mereka menuju ke arah suara hiruk-pikuk itu.

"Bi Cu, engkau jangan sembarang bergerak, ya?" Sin Liong memesan dan Bi Cu hanya mengangguk.

Dan sampailah mereka di tempat pertempuran itu. Kiranya ada banyak orang bertempur. Sedikitnya terdapat sebelas orang yang berpakaian sebagai piauwsu, yaitu para pengawal kiriman barang, melawan hampir dua puluh orang-orang yang berpakaian kasar dan tidak sulit diduga bahwa mereka itu tentu perampok-perampok yang buas.

Perhatian Bi Cu segera tertarik pada seorang pemuda yang memainkan sebatang pedang dengan gagah, melawan kepala perampok yang berambut panjang dan bermuka brewok. Biar pun pemuda yang kelihatannya seperti melakukan perlawanan mati-matian itu sudah berusaha mati-matian dan gagah perkasa, namun jelas bahwa dia mulai terdesak hebat oleh sepasang golok kepala perampok yang amat lihai itu.

Melihat wajah pemuda itu, Bi Cu amat tertarik dan cepat dia mengerling ke arah gerobak piauwkiok, dan begitu dia melihat bendera piauwkiok yang berdasar merah dengan lukisan garuda berwarna kuning, maka terkejutlah dia lantas dia yang sudah meloncat turun dari atas kudanya itu memegang lengan Sin Liong.

"Dia itu twako Na Tiong Pek...!"

Kini Sin Liong juga mengenal ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda tampan gagah itu. "Benar, dialah itu!"

"Lihat, itu bendera Ui-eng Piauwkiok! Aku harus membantunya, dia sudah terdesak!" kata Bi Cu dan dia lalu mengambil sebatang ranting kayu pohon, kemudian dengan cepat dia sudah meloncat ke depan dan menyerbu ke medan laga sambil berseru keras.

"Na-twako, jangan khawatir, minggirlah, biarkan aku menghajar babi hutan ini!"

Tongkat di tangannya berkelebat dan membentuk segulung sinar hijau yang mengejutkan kepala perampok itu sehingga dia meloncat ke belakang karena gulungan sinar hijau itu dapat menembus sinar goloknya dan hampir saja ujung ranting itu menusuk hidungnya!

Sementara itu, Na Tiong Pek yang sudah terdesak itu melompat mundur dengan napas terengah-engah dan dia terkejut serta heran melihat munculnya seorang dara cantik yang bergerak cepat bukan main seperti burung terbang saja dan tahu-tahu sudah mendesak kepala perampok itu dengan sebatang ranting di tangan! Ketika dia melihat wajah dara itu, hampir dia tidak percaya.

"Bi... Bi Cu...!" Dia tergagap, karena biar pun dara itu wajahnya persis Bi Cu, akan tetapi mana mungkin Bi Cu dapat memiliki ilmu kepandaian sehebat itu sehingga hanya dengan sebatang ranting saja mampu menahan sepasang golok di tangan kepala perampok yang lihai dan yang tadi membuat dia kewalahan?

"Betul, twako, lekas kau hajar anak-anak babi itu dan biarkan aku merobohkan babi hutan yang satu ini!" teriak Bi Cu dengan nada suara gembira sekali dapat berjumpa dengan pemuda ini.

Na Tiong Pek kembali memandang dengan penuh kagum dan dia menoleh, memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri memegangi dua ekor kuda. Agaknya, pemuda itu datang bersama Bi Cu, akan tetapi dia tidak tahu siapa pemuda itu.

Maka, melihat betapa anak buahnya masih dengan gigihnya melawan para perampok, dia segera berteriak nyaring kemudian mengamuk, menyerang para anak buah perampok itu, mengeluarkan kegesitan serta seluruh kepandaiannya karena dia ingin memamerkan ilmu kepandaiannya kepada Bi Cu, lupa bahwa dia tadi hampir kalah oleh kepala perampok yang kini ditandingi oleh Bi Cu itu.

Ternyata bahwa dibandingkan dengan teman-temannya, yaitu para piauwsu, kepandaian pemuda she Na ini memang lebih menonjol. Begitu dia terjun ke dalam pertempuran itu, maka beberapa orang perampok roboh hingga mereka menjadi kacau-balau dan terdesak oleh pemuda yang mengamuk seperti seekor harimau marah itu.

Sin Liong hanya menonton, akan tetapi tentu saja setiap waktu dia siap untuk melindungi kekasihnya. Dia melihat bahwa gerakan kepala perampok itu hanya dahsyat dipandang saja, akan tetapi hanya merupakan orang kasar yang mengandalkan tenaga otot, tidak mempunyai dasar kepandaian berarti sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Begitu bergebrak, dia tahu bahwa kekasihnya itu tidak akan kalah.

Dan memang benar, baru belasan jurus saja Bi Cu yang mempergunakan ilmu Ngo-lian Pang-hoat yang dipelajarinya dari mendiang Hwa-i Sin-kai, sudah berhasil melecut muka kepala perampok itu berkali-kali, bahkan paling akhir dia berhasil menusuk samping mata kiri kepala perampok itu sehingga terobek dan berdarah.

Kepala perampok itu merasa bahwa dia tidak akan menang, maka dia lalu mengeluarkan seruan keras kemudian meloncat jauh ke belakang terus melarikan diri, diikuti oleh para anak buahnya yang sudah mendengar aba-aba lari tadi, sambil menyeret dan membawa teman-teman mereka yang terluka, memasuki hutan lebat, diikuti oleh suara tertawa dan sorakan para piauwsu yang merasa gembira memperoleh kemenangan.

Na Tiong Pek cepat menghampiri Bi Cu dan sejenak mereka berdiri saling berhadapan dan saling pandang. Melihat betapa sinar mata pemuda tampan itu ditujukan kepadanya dengan penuh kagum, kekaguman seperti yang dulu sering dia lihat dari tatapan pandang mata Tiong Pek, tiba-tiba Bi Cu merasa jantungnya berdebar dan kedua pipinya merah. Apa lagi ketika Tiong Pek berkata,

"Bi Cu... betapa cantiknya engkau sekarang! Dan betapa hebat kepandaianmu, sungguh aku merasa kagum bukan main!"

Untuk mengalihkan rasa jengah dan malu, Bi Cu tersenyum. "Ahhh, engkau masih sama saja seperti dulu, Na-twako. Mari kau temui dia..."

"Siapa?" Tiong Pek menoleh dan memandang kepada pemuda yang menuntun dua ekor kuda itu.

"Hei, lupakah engkau kepadanya? Lihat baik-baik, siapa dia?" Bi Cu berkata lagi sambil menghampiri Sin Liong, diikuti oleh Tiong Pek.

Kini mereka berhadapan. Sin Liong tersenyum. "Saudara Na Tiong Pek, lupakah engkau kepada Sin Liong?"

"Sin Liong...? Ah, engkaukah ini?" Tiong Pek berseru kaget dan girang. Tak disangkanya bahwa pemuda itu adalah Sin Liong, anak yang dahulu ditolong oleh mendiang ayahnya! "Ahh, bagaimana kalian dapat datang bersama? Di manakah saja engkau tinggal selama ini, Bi Cu? Dan bagaimana bisa bersama-sama Sin Liong berjumpa denganku di sini?" Bertubi-tubi pertanyaan itu diajukan kepada Bi Cu.

"Kami... hanya kebetulan saja bertemu dan kami berdua sedang mengadakan perjalanan bersama menuju ke Ho-nan, ke kota Su-couw."

"Aih, tidak pernah aku bermimpi kalau akan dapat bertemu denganmu di sini, Bi Cu. Dan kepandaianmu demikian hebat! Dari mana engkau mempelajari ilmu tongkat yang begitu lihai? Sungguh lucu sekali, begitu bertemu, malah engkau yang menyelamatkan aku! Haii, teman-teman, lihatlah baik-baik, nona penolong kita ini tidak lain adalah sumoi-ku sendiri! Kalau tidak ada dia yang lihai, mungkin barang-barang kita terampas dan kita belum tentu selamat!" Semua piauwsu memandang dengan kagum.

"Ahh, sudahlah jangan banyak sungkan, twako."

"Kita bukan suheng dan sumoi lagi!"

"Terserah, akan tetapi karena aku sudah menjadi murid orang lain, maka biarlah kusebut engkau Na-twako saja. Bagaimana keadaanmu selama ini, twako? Apakah engkau sudah berumah tangga?"

Tiong Pek menggelengkan kepalanya dan dia pun tertawa, ketawanya polos dan Sin Liong dapat melihat bahwa biar pun pemuda ini masih mempunyai sifat sombong, akan tetapi kini sudah berubah dan lebih jujur.

"Sesudah ditolak olehmu, aku jera untuk mencari jodoh, takut ditolak lagi. Pula, di mana mencari orang yang melebihimu?"

"Aihh, jangan bergurau, twako!" Bi Cu berkata dan mukanya berubah merah lagi.

"Siapa bergurau? Coba tanya Sin Liong ini! Betul tidak ucapanku tadi, Sin Liong? Mana ada gadis melebihi dia ini? Ehhh, dan kau sendiri bagaimana, Sin Liong? Apakah engkau sudah memperoleh jodoh?"

Sin Liong memandang wajah Bi Cu dan melihat dara itu kelihatan malu sekali, Sin Liong menjawab lirih, "Belum."

"Ha-ha-ha, kita masih sama seperti dulu! Kalau kuingat betapa kita bertiga melawan para penyerbu itu. Ah... sungguh malang ayah dan ibuku... ehh, kau dibawa pergi wanita sakti itu, lalu apa yang terjadi, Sin Liong?"

"Aku hanya merantau ke segala tempat sampai... kebetulan bertemu dengan Bi Cu dan kami lewat di sini, kebetulan bertemu denganmu."

"Kita harus merayakan pertemuan kita! Akan tetapi di hutan begini bagaimana kita bisa merayakannya? Hayo kalian mampir dahulu di rumahku, aku masih tinggal di Kun-ting, di rumah yang dulu. Sumoi... ehh, Bi Cu, tidak maukah engkau singgah di rumahku lagi?"

"Tentu saja twako, akan tetapi, aku ada urusan penting sekali, harus pergi ke Su-couw, nanti kalau aku kembali dari selatan, tentu aku mau mampir..."

"Ke Su-couw? Kau sendiri, atau bersama Sin Liong?"

"Kami berdua ke Su-couw..."

"Kalau begitu, aku akan mengantarmu. Ada urusan apa, Bi Cu? Biar kubantu engkau!" Tiong Pek menawarkan jasanya.

Akan tetapi sebelum mereka melanjutkan percakapan itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda kemudian muncullah seorang tosu yang menunggang kuda. Pakaiannya bagai tosu, rambutnya pun seperti tosu, akan tetapi sikapnya seperti perampok ganas!

Pria itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, biar pun jenggot dan kumisnya terpelihara rapi, akan tetapi sepasang matanya melotot liar dan sikapnya kasar. Di belakang tosu ini nampak kepala perampok yang sebelah matanya masih terluka dan kini dibalut sehingga nampak lucu sekali.

Sekali lihat saja, mengertilah Bi Cu bahwa agaknya tosu ini merupakan teman si kepala perampok, maka dia sudah bangkit dan memandang kepada kepala perampok tadi sambil mengejek.

"Eh, babi hutan mata satu berani datang lagi? Apakah masih kurang merasakan gebukan dan minta lagi?"

Kini tosu itu sudah meloncat turun dari atas kudanya dan melihat caranya meloncat, Sin Liong maklum bahwa tosu ini mempunyai kepandaian yang lumayan. Tosu itu memegang sebatang tongkat panjang dan dengan berdiri tegak dia membentak,

"Siapa berani melukai muridku?!"

Na Tiong Pek mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, maka dengan pedang di tangan dia sudah meloncat ke depan sambil memaki, "Tosu busuk, kau membela perampok?!" Dan pedangnya sudah menyerang dengan gencar ke arah tubuh tosu itu.

Terdengar suara nyaring berkali-kali pada saat tongkat itu menangkis pedang, kemudian tiba-tiba tosu itu membentak nyaring dan tongkatnya kini balas menyerang dan Na Tiong Pek menjadi sibuk sekali, harus berloncatan ke sana-sini sambil menangkis, dan akhirnya kaki kanannya kena diserampang.

"Tukkk!"

Dia terguling roboh karena tulang keringnya kena dipukul dan pada saat itu pula tongkat panjang sudah menyambar lagi ke arah kepala Tiong Pek.

"Takkk!"

Tongkat panjang itu tertangkis oleh ranting di tangan Bi Cu. Kakek itu lantas memandang dengan penuh perhatian.

"Minggirlah, twako," kata Bi Cu, kemudian Tiong Pek menyeret pedang sambil terpincang-pincang mendekati Sin Liong.

"Tosu kerbau itu lihai juga...," dia mengomel.

Namun Sin Liong tak mempedulikannya karena dia sedang mengkhawatirkan kekasihnya yang harus menghadapi tosu yang dia tahu memiliki kepandaian lumayan itu. Akan tetapi dia pun maklum akan kekerasan hati Bi Cu, dan karena itu dia tidak mau membantu atau menggantikannya karena hal itu akan menyinggung hati Bi Cu. Dia hanya siap-siap untuk melindungi kekasihnya itu kalau perlu dan diam-diam mempergunakan jari-jari tangannya meraba dan memainkan beberapa buah batu kerikil.

Sesudah memandang wanita muda yang memegang ranting pohon itu, si tosu menjadi terkejut dan terheran-heran. "Inikah dia dara yang mengalahkan kamu?" tanyanya kepada kepala perampok brewok itu.

"Betul, suhu, akan tetapi dia curang, dia menusuk mata!"

"Heh-heh-heh, memang cantiknya bisa menusuk mata. Eh, nona, engkau telah kesalahan tangan melukai mata muridku, maka kalau engkau mau ikut dengan pinto, menjadi murid pinto selama satu bulan, pinto mau mengampunimu. Marilah pergi bersama pinto, sayang kalau sampai kulitmu yang halus itu luka oleh tongkatku."

"Heh, tosu busuk, tosu cabul, mulutmu kotor! Belum tentu engkau sanggup mengalahkan dia!" Na Tiong Pek sudah memaki-maki dengan marah mendengar ucapan tosu itu.

Akan tetapi Bi Cu tidak mau melayani tosu itu, langsung saja dia sudah menerjang dan menggunakan ranting pada tangannya untuk menyerang dengan totokan-totokan ke arah jalan darah yang berbahaya.

"Ehh, kau hebat juga!" Tosu itu berseru kaget dan cepat mengelak sambil menggerakkan tongkatnya menangkis.

Akan tetapi Bi Cu tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus saja dara ini mainkan ilmu tongkatnya yang sangat lincah. Semenjak dia menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong memang dia memperoleh kemajuan pesat, terutama sekali kekuatan sinkang dan kecepatan gerakan tubuhnya.

Akan tetapi, tepat seperti dugaan Sin Liong, tosu itu memang sangat tangguh. Sesudah bertanding selama tiga puluh jurus lebih, mendadak tosu itu menangkis dengan keras dan membuat Bi Cu terdorong ke belakang, lalu tosu itu membentak.

"Hei, bukankah engkau mainkan Ngo-lian Pang-hoat? Masih apamukah mendiang Hwa-i Sin-kai?"

"Beliau adalah guruku! Kau mau apa?"

"Ha-ha-ha-ha!" Tosu itu tertawa bergelak. "Kalau begitu, semestinya kalau aku bersikap lunak kepadamu. Bahkan andai kata dia masih hidup, tentu pinto akan mengalah. Akan tetapi dia sudah mati, dan engkau begini cantik, kau jadilah muridku selama sebulan..."

"Tosu busuk!" Bi Cu sudah menerjang lagi.

Akan tetapi sekali ini tosu itu memutar tongkatnya yang panjang, membentuk gulungan sinar yang lebar dan begitu Bi Cu bertemu dengan gulungan sinar ini, dia terhuyung ke belakang dan nyaris dia roboh kalau saja tidak cepat meloncat dan berjungkir balik. Akan tetapi pada saat itu, tangan yang berlengan panjang dari tosu itu menyambar lengannya dalam cengkeraman yang amat kuat.

Selagi Bi Cu terkejut, tiba-tiba tosu itu berteriak kesakitan dan melepaskan lengan Bi Cu. Tiba-tiba saja, ketika dia tadi memegang lengan dara itu, sikunya dihantam oleh benda kecil, entah apa dan tiba-tiba saja, lengannya menjadi kesemutan dan lumpuh!

Melihat bahwa tidak ada apa-apa, dia mengira bahwa hal itu kebetulan saja, maka dia sudah memutar lagi tongkat panjangnya dan hendak menyerang Bi Cu. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan yang amat nyaring,

"Tahan senjata! Di mana ada seorang pendeta suci menyerang seorang gadis remaja?"

Maka muncullah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan sedemikian gagahnya sehingga mengagumkan Na Tiong Pek yang memandangnya. Bi Cu mengenal pemuda itu, sungguh pun hanya sekelebatan saja ketika pemuda ini ikut pula mengamuk di Istana Lembah Naga. Juga Sin Liong mengenalnya, karena pemuda itu bukan lain adalah Ciu Khai Sun, pemuda tinggi tegap, gagah dan tampan dari Siauw-lim-pai itu! Akan tetapi Ciu Khai Sun tidak memperhatikan dara itu, dan juga tidak melihat Sin Liong karena semua perhatiannya ditujukan ke arah tosu itu.

Tosu itu menyangka bahwa tentu pemuda ini yang tadi berlaku usil sehingga membuat pegangannya terlepas, maka dia lalu membentak marah, "Manusia lancang! Berani kau mencampuri urusan pinto?" Kemudian tanpa banyak cakap lagi dia sudah menggerakkan tongkat panjangnya menyerang pemuda itu!

Akan tetapi sekali ini tosu itu kecelik karena dia bertemu dengan batu karang! Melihat gerakan tongkat panjang itu, jagoan Siauw-lim-pai ini menghadapinya dengan dua tangan kosong saja!

Perlu diketahui bahwa sebagian besar ahli-ahli silat dari Siauw-lim-pai pandai memainkan toya, maka melihat gerakan tongkat itu Ciu Khai Sun maklum bahwa meski pun tosu ini memiliki kepandaian lumayan, namun ilmu tongkat itu belum cukup hebat untuk membuat dia terpaksa mencabut senjata! Dan memang pemuda tinggi tegap ini memiliki tenaga sinkang yang kuat, maka dengan mengerahkan tenaga sinkang, dia berani menggunakan dua lengannya untuk menangkis tongkat lawan dan setiap tangkisannya bahkan membuat lawan itu merasa telapak tangannya panas dan nyeri!

Terkejutlah tosu itu. Tidak disangkanya bahwa di tempat ini dia bertemu dengan seorang tokoh Siauw-lim-pai yang begini tangguh! Bertempur belasan jurus saja sudah membuka matanya bahwa yang dilawannya ini adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai, maka gentarlah tosu itu. Dia menyerang secara membabi-buta, akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, tiba-tiba Ciu Khai Sun mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kirinya menangkis tongkat itu dengan keras dan tangan kanannya menghantam ke depan.

"Krakkk! Bukk...!"

Tubuh tosu itu terlempar sampai dua meter dan roboh terbanting ke atas tanah dengan napas megap-megap karena dadanya terasa sesak. Melihat itu, kepala perampok brewok itu cepat menyambar tubuh gurunya lantas melarikan diri dengan membalapkan kudanya. Cui Khai Sun tidak mengejar dan Na Tiong Pek sudah berlari menghampiri dan menjura dengan penuh hormat.

"Bukan main hebat kepandaian enghiong yang perkasa!" Dia memuji. "Saya akan merasa terhormat sekali berkenalan dengan enghiong. Saya Na Tiong Pek, kepala piauwsu dari Ui-eng Piauwkiok di Kun-ting."

Ciu Khai Sun membalas penghormatan itu dengan sederhana. "Aku Cui Khai Sun. Ehh, Na-piauwsu, apa yang terjadi di sini? Siapakah tosu tadi dan siapa pula orang brewok tadi?"

"Mereka itu perampok-perampok jahat! Mula-mula si brewok itu memimpin anak buahnya merampok kami, dan kemudian sesudah semua perampok itu dipukul mundur, muncullah guru si brewok, yaitu tosu tadi. Untung engkau muncul, Ciu-enghiong dan ternyata engkau adalah seorang pendekar yang jempol!"

Pada saat itu, Sin Liong dan Bi Cu datang mendekat. Ciu Khai Sun menoleh dan begitu melihat dua orang muda itu, dia terkejut sekali dan cepat-cepat dia menghadapi Sin Liong dan Bi Cu sambil menjura penuh hormat.

"Aihh, kiranya Cia-taihiap berada di sini? Dan yang bertanding dengan tosu tadi adalah Bhe-lihiap? Ahh, kalau begitu aku telah lancang sekali..."

"Engkau telah menyelamatkan aku, Ciu-enghiong..."

"Ehhh, jangan membuat aku merasa malu, nona. Jangan menyebut enghiong, sungguh membikin aku merasa malu di depan Cia-taihiap."

"Baiklah, di antara orang sendiri, biarlah kusebut engkau Ciu-twako saja!" kata Bi Cu yang merasa suka melihat sikap yang begitu jujur serta sederhana dari jagoan Siauw-lim-pai yang lihai ini.

Mereka semua tertawa dan Na Tiong Pek merasa amat heran sampai bengong. Apa lagi mendengar betapa pendekar yang gagah itu menyebut Sin Liong dengan Cia-taihiap...! Tentu saja dia menjadi bingung dan tidak mengerti sama sekali.

"Ciu-twako hendak pergi ke manakah?" Sin Liong bertanya ramah.

"Aku sedang menuju ke rumah pamanku di Su-couw."

"Su-couw? Ahh, sungguh kebetulan, kami berdua pun hendak pergi ke Su-couw," kata Sin Liong girang.

"Begitulah? Aku sudah merasa heran berjumpa dengan ji-wi di sini, tidakkah semestinya ji-wi pergi ke utara, ke Lembah Naga? Bukankah aku mendengar bahwa kaisar..."

"Tidak, kami masih memiliki banyak urusan dan kini hendak pergi ke Su-couw," kata Sin Liong memotong ucapan itu. Melihat sikap pendekar ini agaknya tak suka membicarakan urusan Lembah Naga, maka jagoan Siauw-lim-pai itu pun tidak mau menyebutnya lagi.

"Kalau begitu, kebetulan sekali, kita bisa melakukan perjalanan bersama-sama!" katanya dengan girang, "Kita dapat pergi bertiga..."

"Berempat, Ciu-enghiong. Aku pun akan pergi ke sana! Sekarang juga aku akan mengatur semua piauwsu untuk mengantar barang-barang ini sampai ke tempat tujuan yang sudah tidak jauh lagi dan aku akan ikut bersama kalian ke Su-couw. Ketahuilah, Ciu-enghiong, aku baru saja berjumpa kembali dengan dua orang... ehh, sute dan sumoi-ku ini setelah kami berpisah selama bertahun-tahun."

"Ahhhh...!" Ciu Khi Sun tentu saja sangat terkejut mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah suheng dari Cia Sin Liong yang sakti dan nona Bhe Bi Cu. "Tentu saja...," katanya dengan pandang mata terheran-heran.

Sin Liong dan Bi Cu tidak berkata apa-apa dan sesudah Tiong Pek membagi-bagi tugas kepada para piauwsu yang menjadi anak-anak buahnya untuk melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan, dia kemudian memberikan seekor kuda kepada Ciu Khai Sun dan mereka berempat lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan.

Sesudah keluar dari hutan, mereka berjalan seenaknya saja sambil menikmati keindahan pemandangan di sekitar pegunungan itu. Pemandangan alam di daerah perbatasan utara Propinsi Honan memang amatlah indahnya.

Pada tengah hari itu mereka berhenti di tepi sebuah danau kecil di lereng gunung untuk makan siang dari perbekalan masing-masing sambil mengobrol ke barat dan ke timur. Sesudah memberi waktu kepada kuda mereka untuk beristirahat sejenak, barulah mereka melanjutkan perjalanan.

Akan tetapi, menjelang senja, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dan nampak ada tiga penunggang kuda mengejar mereka. Tadinya mereka tidak menaruh perhatian, akan tetapi sesudah mereka mendengar teriakan-teriakan dari belakang, Na Tiong Pek mengenal bahwa seorang di antara mereka adalah si perampok brewok bersama dua orang yang membalapkan kuda mereka. Jelaslah bahwa tiga orang itu mengejar mereka berempat!

"Wah, si babi hutan mata satu itu lagi!" kata Na Tiong Pek gembira, menirukan julukan yang diberikan oleh Bi Cu kepada kepala perampok yang terluka sebelah matanya.

Hatinya sedikit pun tidak merasa khawatir karena di sana terdapat Ciu Khai Sun yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, juga tokoh Siauw-lim-pai pula seperti yang tadi didengarnya dari percakapan mereka. Selain ada Ciu Khai Sun, juga di situ ada Bi Cu yang sekarang ternyata sudah lebih lihai dari pada dia sendiri. Mengenai diri Sin Liong, dia meragukan apakah pemuda ini pun memperoleh kemajuan seperti Bi Cu!

Empat orang muda itu menahan kuda, lalu membalikkan kuda mereka menghadapi tiga orang yang datang dengan cepat itu. Ternyata mereka itu adalah si kepala perampok yang mata kirinya tertutup balutan kain bersama dua orang kakek, akan tetapi bukan tosu yang menjadi gurunya dan yang telah dikalahkan oleh Khai Sun tadi.

Mereka ini juga dua kakek tua, dan seorang di antara mereka berpakaian seperti tosu, mukanya putih dan matanya memandang bengis, pada punggungnya terdapat sebatang pedang panjang. Orang ke dua berpakaian mirip seperti seorang pengemis, membawa sebatang tongkat dan tubuhnya tinggi kurus, mukanya penuh senyum.

"Hemm, mereka itu adalah Kim Lok Cinjin dan Lam-thian Kai-ong," Sin Liong berkata lirih akan tetapi cukup dapat didengar oleh tiga orang temannya.

"Ahh! Mereka yang terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat di selatan itu?" Ciu Khai Sun berkata dengan nada suara kaget.

cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum

Walau pun dia sendiri belum pernah berjumpa dengan dua orang itu, namun nama besar mereka sudah pernah didengarnya. Kim Lok Cinjin, tosu muka putih itu adalah sute dari mendiang Kim Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw yang dulu tewas di tangan Cia Bun Houw ketika terjadi pertempuran di Lembah Naga. Ada pun Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan) adalah seorang pengemis yang memiliki ilmu tinggi dan yang menguasai seluruh kaipang (perkumpulan pengemis) di seluruh daerah selatan.

"Bi Cu, harap engkau diam saja dan jangan ikut maju," tiba-tiba Sin Liong berkata kepada kekasihnya.

"Tapi, Sin Liong...," Bi Cu hendak membantah.

"Mereka itu lihai bukan main, dan juga kejam," kata pula Sin Liong memotong kata-kata kekasihnya.

"Cia-taihiap, biarlah jembel tua itu kuhadapi dan Kim Lok Cinjin yang kabarnya luar biasa lihainya itu taihiap yang menandinginya."

"Ciu-twako, kuharap twako sekali ini menonton saja, biar aku yang menghadapi mereka berdua," jawab Sin Liong yang maklum akan bahayanya dua orang lawan itu dan biar pun dia tahu akan kelihaian pemuda Siauw-lim-pai ini namun dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan celaka.

Na Tiong Pek mendengarkan percakapan itu dengan heran hingga dia melongo. Sin Liong hendak menghadapi lawan yang dikabarkan sangat lihai itu seorang diri saja, menghadapi mereka berdua? Apa artinya ini? Dia merasa tak enak melihat semua orang mengajukan diri untuk menghadapi musuh, maka dia pun berkata, "Sute, aku akan membantumu!"

Sin Liong tersenyum. "Na-twako jangan main-main. Mereka adalah datuk-datuk golongan sesat yang lihai, biarlah kau nonton saja dan siap membantuku jika aku sampai terancam bahaya." Kalimat terakhir itu dimaksudkan untuk mengangkat orang ini.

Akan tetapi Tiong Pek yang belum tahu benar bahwa Sin Liong kini telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya, bahkan yang kini terkenal dengan sebutan Pendekar Lembah Naga, segera menjawab dengan sungguh-sungguh. "Baik!"

Kini tiga orang itu sudah tiba di situ dan mereka sudah berloncatan turun dengan sikap mengancam. Melihat ini, Sin Liong menyerahkan kendali kudanya kepada Tiong Pek yang berada di sebelah kirinya sambil berkata, "Twako, tolong kau pegangkan kendali kudaku sebentar." Setelah berkata demikian, dia pun lalu turun dari kudanya dan melangkah ke depan menyambut dua orang kakek itu dengan sikap tenang.

"Kim Lok Cinjin dan Lam-thian Kai-ong, apakah ji-wi baik-baik saja? Dan ada keperluan apakah ji-wi mengejar kami?" tanya Sin Liong dengan suara tenang.

Dua orang kakek itu yang tadinya memandang ke arah Ciu Khai Sun yang ditunjuk oleh si kepala rampok sebagai orang yang telah mengalahkan gurunya dan kepada Bi Cu sebagai gadis yang telah melukainya, kini terkejut hingga memandang kepada Sin Liong dengan heran. Tidak disangkanya begitu berjumpa, pemuda sederhana ini telah mengenal nama mereka.

Sekarang mereka mengamati pemuda itu dengan penuh perhatian. Kemudian mereka pun mengenal pemuda ini sehingga Kim Lok Cinjin berseru kaget, "Kau... kau adalah... adalah bocah bernama Sin Liong itu...?"

Tentu saja Kim Lok Cinjin terkejut karena dia pernah bertemu, bahkan pernah bergebrak dengan pemuda ini pada waktu diadakan pemilihan bengcu di selatan, bahkan Lam-thian Kai-ong juga hadir dan sudah menyaksikan kelihaian anak itu ketika menghadapi Lam-hai Sam-lo!

"Ahh, kalau begitu dia inilah yang menggagalkan gerakan di Istana Lembah Naga!" teriak pula Lam-thian Kai-ong.

Kiranya dua orang ini pun telah dihubungi oleh Kim Hwa Cinjin untuk membantu gerakan Pangeran Ceng Han Houw, akan tetapi mereka terlambat dan mereka mendengar bahwa gerakan itu sudah gagal sama sekali, banyak orang kang-ouw golongan hitam tewas dan pasukan Pangeran Ceng Han Houw ditumpas oleh pasukan pemerintah. Kaum kang-ouw golongan hitam atau sesat yang sudah dibebaskan itu mengabarkan bahwa kegagalan itu adalah gara-gara Cia Sin Liong!

"Kim Lok Cinjin, suheng-mu telah tewas, demikian pula Lam-hai Sam-lo dan banyak lagi kaum sesat yang membantu pemberontakan. Pemberontakan telah ditumpas, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau pergi dan membujuk para anggota Pek-lian-kauw agar jangan mencoba-coba untuk memberontak terhadap pemerintah. Dan engkau, Lam-thian Kai-ong, apakah engkau pun hendak membawa kaum pengemis untuk memberontak pula?"

"Mengapa tidak? Kaum pengemis di kota raja kini dikejar-kejar, dan Hwa-i Sin-kai juga dibunuh. Bukankah pemerintah menindas kaum pengemis yang sudah sukar hidupnya?" kata Lam-thian Kai-ong. "Bohong!" tiba-tiba Bi Cu berteriak, "Hwa-i Sin-kai adalah guruku dan aku tahu bahwa dia tewas akibat difitnah, karena semua itu diatur oleh Kim Hong Liu-nio yang sekarang telah tewas pula! Pemerintah tidak pernah memusuhi rakyatnya, apa lagi rakyat miskin."

"Sudahlah, sebaiknya kalian mundur saja sebelum terlambat. Masih banyak kesempatan bagi kalian untuk kembali ke jalan benar!"

"Cia Sin Liong! Pinto mendengar bahwa engkau adalah keturunan Cin-ling-pai dan bahwa ilmu kepandaianmu hebat bukan main. Dahulu di dalam pemilihan bengcu kita tak sempat mengadu ilmu secara memuaskan, sekarang pinto ingin mencoba-coba ilmumu sebelum mendengarkan bujukanmu itu!" kata Kim Lok Cinjin.

"Aku pun ingin mencoba kepandaian orang yang dijuluki Pendekar Lembah Naga!" kata pula si Raja Pengemis.

Sin Liong tersenyum. "Kalian ini orang-orang tua masih saja memiliki nafsu besar untuk berkelahi. Biarlah aku mengaku kalah tanpa berkelahi, asalkan kalian suka mundur dan kembali ke jalan benar," kata Sin Liong sambil menjura.

Melihat ini, Na Tiong Pek mengerutkan alisnya. Tadi dia merasa semakin heran sampai memandang dengan mata terbelalak mendengar percakapan itu. Tak disangkanya bahwa Sin Liong sudah mendapatkan kemajuan sedemikian hebatnya sehingga dikenal sebagai seorang pendekar yang sakti. Pantas saja Ciu Khai Sun menyebutnya Cia-taihiap!

Akan tetapi ketika mendengar dan melihat sikap Sin Liong yang mengalah itu, sungguh dia merasa penasaran sekali. Kalau memang benar Sin Liong memiliki kepandaian tinggi, kenapa dia tidak menyambut tantangan dua orang kakek sesat itu?

Kim Lok Cinjin masih merasa sakit hatinya mendengar akan kematian suheng-nya, yaitu Kim Hwa Cinjin, yang menurut berita tewas di tangan Cia Bun Houw, tokoh Cin-ling-pai atau ayah dari pemuda yang sekarang berdiri di depannya itu. Sebagai seorang tua yang banyak pengalaman, dia tentu tidak akan mau menimpakan dendamnya kepada pemuda ini, akan tetapi karena kegagalan gerakan pangeran itu dikabarkan karena pemuda ini, maka dia ingin melampiaskan rasa kecewanya dengan menghinanya.

"Cia Sin Liong, apa bila engkau mau berlutut sambil minta ampun sebanyak delapan kali padaku, baru pinto akan menghabiskan segala urusan dan akan pergi meninggalkanmu."

Sin Liong masih tetap tenang, akan tetapi kedua matanya mencorong tanda bahwa dia mulai marah. "Kim Lok Cinjin, bagi seorang gagah, kalau memang bersalah, tanpa diminta lagi tentu aku akan suka untuk berlutut minta ampun kepada seorang anak kecil sekali pun, akan tetapi kalau tidak bersalah, biar menghadapi siapa pun, biar setan atau iblis, aku tidak akan sudi berlutut dan mengalah!"

"Bagus! Itu artinya menantang kami!" kata Si Raja Pengemis yang sudah menggerakkan tongkatnya melakukan penyerangan yang sangat cepat dan ganas. Kim Lok Cinjin yang pernah menyaksikan kelihaian Sin Liong, tidak malu-malu lagi untuk membantu temannya itu dan dia juga mencabut pedang dan menubruk, melakukan serangan kilat ke arah Sin Liong.

Sin Liong cepat mengelak sambil berloncatan ke sana-sini. "Hem, kalian memang sudah tidak dapat diperbaiki lagi," katanya dan dia pun lalu balas menyerang dengan tamparan-tamparan tangannya.

Tongkat butut di tangan Raja Pengemis itu menyambar ganas, akan tetapi hanya dengan miringkan kepalanya, tongkat itu lewat dan luput.

"Darrr!" Batu besar di belakang Sin Liong yang terkena pukulan tongkat itu pecah!

"Singgg...!"

Sinar kilat pedang di tangan Kim Lok Cinjin menyambar, tetapi kembali serangan dahsyat ini dapat dielakkan oleh Sin Liong dengan mudah. Dua orang kakek itu menjadi semakin marah dan penasaran, mereka segera memutar senjata mereka dengan cepat sehingga lenyap bentuk pedang dan tongkat itu, berubah menjadi dua gulungan cahaya hitam dan cahaya keemasan yang amat cepat menyambar-nyambar. Tubuh kedua orang kakek itu sampai lenyap tertutup gulungan sinar senjata mereka, hanya nampak kaki mereka saja kadang-kadang menginjak tanah dan berloncatan ke sana-sini.

Akan tetapi dengan tenangnya Sin Liong menghadapi pengeroyokan itu. Dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun dia dapat menghindarkan setiap serangan, dan kedua lengan yang dipenuhi tenaga sinkang dari Thian-te Sin-ciang itu, seperti juga kedua lengan Kok Beng Lama dahulu, dapat digunakannya untuk menangkis tongkat dan bahkan menangkis pedang tanpa terluka!

Melihat betapa pemuda itu yang bergerak tenang dikeroyok oleh kedua orang kakek yang demikian lihainya, Na Tiong Pek menjadi gelisah sekali. "Ciu-enghiong, mengapa engkau tidak membantunya? Sumoi... lebih baik engkau cepat membantu Sin Liong... dua orang lawannya demikian ganas...!"

"Na-twako, jangan khawatir, Sin Liong tidak akan kalah."

"Saudara Na, apakah engkau tak dapat melihat betapa Cia-taihiap sudah mulai mendesak mereka?"

Mendengar kata-kata kedua orang itu, Tiong Pek membelalakkan mata dan memandang dengan penuh perhatian ke arah pertempuran, akan tetapi gerakan dua orang kakek itu terlalu cepat sehingga dia tidak mampu mengikuti dan sama sekali tidak dapat melihat bagaimana keadaan Sin Liong yang kini juga mulai bergerak dengan cepat bukan main. Maka, tentu saja ucapan dua orang tadi tidak dapat melenyapkan kekhawatirannya. Dia lalu mencabut pedangnya. Melihat ini, Bi Cu terkejut.

"Ehh, twako, kau mau apa?"

"Mau... ini... mau meminjamkan pedangku kepada Sin Liong. Dua orang lawannya juga menggunakan senjata, maka dia harus menggunakan pedang ini... agar tidak kalah..."

Akan tetapi pada saat itu pula terdengar teriakan keras dan nampak olehnya betapa tubuh Lam-thian Kai-ong terlempar dan terbanting ke atas tanah, tongkatnya patah menjadi dua, dan selagi Na Tiong Pek memandang dengan mata terbelalak, terdengar teriakan lain dan tubuh Kim Lok Cinjin juga terlempar dan terbanting roboh! Dua orang kakek itu mengeluh, lalu merangkak bangun dan dengan saling bantu mereka berdua lalu bangkit berdiri dan memandang kepada Sin Liong.

"Cia-taihiap, pinto mengaku kalah...," kata tosu itu.

"Taihiap sungguh hebat, pantas menjadi Pendekar Lembah Naga... uhh... saya mengaku kalah...," Si Raja Pengemis juga mengeluh. Keduanya lalu dibantu oleh kepala perampok brewok menaiki kuda masing-masing dan mereka bertiga kemudian pergi dari situ tanpa menoleh lagi.

Tiong Pek menyimpan kembali pedangnya, kemudian dia berlari menghampiri Sin Liong, memegang tangan pendekar itu dan berkata, "Ah, sungguh tak pernah kusangka! Engkau telah menjadi seorang pendekar yang demikian lihai... ahh, sute... hemm, tak pantas lagi aku menyebutmu sute... kau... Cia-taihiap..."

Sin Liong tertawa dan memegang pundak Tiong Pek. "Twako, kenapa engkau mendadak begini sungkan? Aku masih tetap Sin Liong yang biasa. Kepandaian apa pun tidak boleh merubah seorang manusia."

Na Tiong Pek makin gembira dan diam-diam dia merasa malu terhadap diri sendiri yang biasanya suka mengagulkan diri sendiri. "Ahh, Sin Liong... benar-benar aku tidak pernah membayangkan engkau menjadi sehebat ini!"

Ciu Khai Sun juga menghampiri dan menyerahkan kendali kuda Sin Liong dan Tiong Pek yang tadi dipegangnya ketika Tiong Pek menghampiri Sin Liong dengan girang sehingga melepaskan tali kendali dua ekor kuda itu.

"Mari kita lanjutkan perjalanan, sebentar lagi malam akan tiba dan sebaiknya kalau kita sudah tiba di dusun depan untuk bermalam," kata Ciu Khai Sun.

Mereka melanjutkan perjalanan dan membalapkan kuda masing-masing. Pada malam itu mereka bermalam di sebuah dusun di mana mereka mengobrol sambil makan malam di rumah seorang penghuni dusun yang mereka tumpangi dan mereka sewa kamarnya. Di dalam percakapan ini, tanpa disengaja Ciu Khai Sun bertanya kepada Sin Liong,

"Maaf, taihiap dan nona Bhe, kalau boleh aku mengetahui, setelah kita menjadi sahabat baik, ehhh... kapan kiranya aku menerima surat undangan untuk pernikahan ji-wi?"

Wajah Bi Cu menjadi merah dan dia menundukkan mukanya. Sin Liong tersenyum dan menjawab singkat. "Kalau sudah tiba saatnya kami tak akan melupakanmu, Ciu-twako."

Mendengar ini, Na Tiong Pek meloncat bangun dan wajahnya berseri-seri gembira. "Wah, kalian akan menikah? Ahaiii.... alangkah bodohnya aku! Seperti buta saja! Kiranya kalian sudah saling berjodoh dan bertunangan?"

Melihat sikap ini, sejenak Sin Liong dan Bi Cu saling pandang. Mula-mula mereka merasa khawatir, akan tetapi melihat betapa Tiong Pek benar-benar bergembira, keduanya lantas tersenyum lega.

"Na-twako, kami... kami berdua saling mencinta..." pengakuan Bi Cu ini untuk menyatakan bahwa pertunangannya dengan Sin Liong adalah berdasarkan cinta dan minta agar bekas suheng-nya itu suka memakluminya.

"Tentu saja! Aku memang setuju sekali bahwa setiap perjodohan harus berdasarkan cinta kedua fihak, barulah dapat diharapkan pernikahan itu akan berbahagia. Kionghi (selamat), Sin Liong dan Bi Cu. Kionghi dan jangan lupa kelak untuk mengirim undangan untuk aku ikut minum arak pengantin!"

Melihat betapa kegembiraan pemuda itu tulus, Sin Liong lalu memegang tangan bekas suheng itu. "Aku senang sekali melihat sikapmu, twako. Tidak percuma engkau menjadi putera tunggal mendiang paman Na Ceng Han yang budiman."

Tiong Pek teringat sikapnya ketika mereka bertiga masih bersama-sama dahulu dan dia menarik napas panjang. "Aku bukan anak-anak lagi dan sekarang telah menjadi dewasa, Liong-te dan sumoi! Aku benar-benar girang bahwa kalian dapat berjodoh, dan memang kalian sudah cocok sekali untuk menjadi suami isteri."

Demikianlah, perjalanan pada keesokan harinya dilakukan dengan lebih menyenangkan dan lebih leluasa bagi Sin Liong dan Bi Cu yang kini sudah tahu akan isi hati Tiong Pek. Sebelum percakapan malam tadi, baik Sin Liong mau pun Bi Cu merasa agak tidak enak terhadap Tiong Pek dengan adanya kenyataan bahwa pemuda itu pernah jatuh cinta pada Bi Cu dan mengingat pula akan segala peristiwa yang pernah terjadi di waktu dahulu.

Oleh karena itu pula maka di hadapan Tiong Pek, keduanya tidak pernah memperlihatkan kemesraan, bahkah mereka tidak pernah menyinggung soal pertunangan mereka. Akan tetapi sekarang mereka merasa lega dan karena itu mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan lebih gembira.

                 ***************

 Sesudah mereka tiba di Su-couw, sebelum pergi mengunjungi pamannya, Ciu Khai Sun pergi dan ikut bersama Sin Liong dan Bi Cu mengunjungi rumah Kui Hok Boan yang oleh Sin Liong diakui sebagai rumah pamannya. Dia tidak perlu memberitahukan orang lain bahwa Kui Hok Boan yang hendak dikunjungi itu adalah ayah tirinya, karena hal ini akan menimbulkan kenang-kenangan yang amat tidak enak.

Kedatangan mereka disambut oleh Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin dengan gembira bukan main.

"Liong-koko...!" Dua orang dara kembar yang cantik jelita itu berteriak sambil berlari-larian menyambut, kemudian mereka berdua memegangi kedua tangan Sin Liong dengan wajah gembira. Sin Liong juga merangkul pundak kedua orang adik tirinya yang disayangnya ini.

"Kalian baik-baik saja, bukan?" tegurnya.

Setelah pertemuan tiga orang yang amat gembira dan mengharukan ini, barulah Sin Liong menyalami Tee Beng Sin atau yang lebih tepat lagi kini bernama Kui Beng Sin, kemudian memperkenalkan adik-adik tirinya itu kepada Bi Cu yang sudah mereka ketahui, kemudian kepada Ciu Khai Sun dan Na Tiong Pek.

Dalam perkenalan ini, terjadi hal yang sangat menarik, yaitu pertukaran pandangan mata antara dua orang dara kembar itu dengan Ciu Khai Sun dan Na Tiong Pek! Seketika, dua orang pemuda itu tertarik sekali kepada dua dara kembar itu dan jantung mereka lantas berdebar tak karuan karena di dalam hati, mereka berdua harus mengakui bahwa selama ini belum pernah mereka bertemu dan berkenalan dengan dua orang dara yang demikian cantik manis dan lincah!

Mereka lalu dipersilakan masuk oleh Beng Sin beserta dua orang adik kembarnya. Sambil menggandeng tangan Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong, Bi Cu dan dua orang pemuda itu memasuki ruangan dan diajak duduk di kamar tamu. Ketujuh orang muda-mudi ini riang gembira sekali dan macam-macam yang mereka bicarakan.

Tiba-tiba saja Sin Liong berkata kepada Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin, "Di manakah ayah kalian? Aku... aku dan Bi Cu ingin sekali jumpa. Bolehkah kami masuk untuk menemui dia?"

Lin Lin dan Lan Lan saling pandang dengan alis berkerut, sedangkan Beng Sin segera bangkit berdiri sambil berkata, "Dia beristirahat di dalam. Marilah kuantarkan kalau kalian hendak bertemu. Lan-moi dan Lin-moi, kau temani dulu dua orang tamu kita ini."

Sin Liong dan Bi Cu bangkit berdiri dan mengikuti Beng Sin masuk. Setelah tiba di dalam Beng Sin lalu berkata, sambil memandang kepada dua orang muda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, "Sin Liong, dan nona... aku tahu bahwa... ayahku sudah melakukan banyak sekali kesalahan di masa lalu terhadap kalian, terutama terhadapmu, Sin Liong. Akan tetapi, melihat keadaannya sekarang, yang menderita dan tidak sadar, dan melihat muka kami, yaitu aku, Lan-moi dan Lin-moi, tidak maukah kalian memaafkannya?"

Ketika tadi bertemu dengan tiga orang muda yang menjadi putera dan puteri musuh besar pembunuh ayah kandungnya, rasa kebencian di dalam hati Bi Cu sudah banyak menurun, bahkan ada rasa tidak enak apa bila dia sampai harus turun tangan membunuh Kui Hok Boan, tidak enak terhadap tiga orang muda yang baik-baik dan yang kelihatannya amat menyayang Sin Liong itu. Betapa pun juga, dua orang dara kembar yang cantik manis itu adalah saudara seibu dari Sin Liong, maka kalau sampai dia menyusahkan hati mereka dengan membunuh ayahnya, sungguh merupakan hal yang amat tidak enak baginya.

Mulailah timbul keraguan apakah dia akan sampai hati membunuh ayah dua orang dara kembar itu yang tidak tahu apa-apa dan sama sekali tidak berdosa, bahkan yang dahulu berani menentang ayah sendiri demi menolong dia dan Sin Liong! Sekarang, mendengar ucapan Beng Sin, dia merasa semakin canggung dan tidak enak, maka dia tidak berkata apa-apa dan membiarkan Sin Liong yang menjawab.

"Beng Sin, antarkan sajalah kami melihatnya. Kami ingin melihat bagaimana keadaannya sekarang."

Beng Sin mengangguk kemudian menarik napas panjang. "Menyedihkan sekali... dan jika keadaannya seperti itu terus, mana mungkin aku dapat melangsungkan pernikahanku?"

Mereka sampai di depan sebuah kamar. Sunyi sekali di sana dan Beng Sin menuding ke kamar itu. "Dia selalu berdiam di kamarnya."

Kemudian dia membuka daun pintu lebar-lebar agar ada cahaya memasuki kamar yang gelap itu. Kui Hok Boan duduk di atas kursi, diam seperti patung.

"Ayah, Sin Liong dan nona Bhe datang untuk menengokmu, ayah," kata Beng Sin kepada pria tinggi kurus pucat yang duduk di atas kursi itu.

Sin Liong dan Bi Cu terkejut sekali melihat pria itu yang dulunya merupakan seorang pria setengah tua yang tampan dan gagah, kini telah menjadi tengkorak terbungkus kulit dan mukanya pucat, matanya cekung itu. Dan mendadak pria itu bangkit berdiri, memandang pada Sin Liong dan Bi Cu dengan sinar mata yang membuat Bi Cu merasa ngeri karena sinar mata itu liar dan penuh kedukaan. Dan tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengan suara penuh penyesalan,

"Ampunkan aku... ampunkan aku..."

Sin Liong dan Bi Cu terkejut sekali dan melangkah mundur. Akan tetapi pada saat itu, Kui Hok Boan sudah meloncat berdiri dan ternyata gerakannya masih gesit, dan dia berkata, suaranya masih penuh kedukaan, "Atau, kalau kalian tidak mau mengampuniku, mari kita bertanding sampai aku menggeletak mati!" Dan dia sudah memasang kuda-kuda.

"Ayah, Sin Liong dan nona Bhe datang hanya untuk menjenguk," Beng Sin berkata dan kakek itu sudah duduk kembali di atas kursinya seperti tadi, seperti patung hidup!

"Mari... mari kita pergi...," kata Bi Cu sambil menggandeng tangan Sin Liong.

Pemuda ini merasa lega bukan main. Kata-kata itu saja sudah menunjukkan bahwa Bi Cu sama sekali tidak berniat untuk membunuh musuhnya ini. Akan tetapi dia masih belum puas. Dia menarik tangan Bi Cu mendekati Kui Hok Boan dan dia lalu berkata dengan suara halus.

"Paman Kui Hok Boan, lihat baik-baik. Inilah Bhe Bi Cu, puteri mendiang Bhe Coan yang telah kau bunuh itu!"

Bibir Kui Hok Boan bergerak-gerak dan berbisik-bisik, "Bhe Coan... Bhe Coan... ahhh..." Kemudian dia kembali menjatuhkan diri dan berlutut. "Ampunkan aku... ampunkan aku...!" Sejenak kemudian dia sudah meloncat bangun dan seperti tadi dia memasang kuda-kuda dan berkata, "Atau, kalau tidak mau mengampuniku, marilah kita bertanding sampai aku menggeletak mati!"

"Mari kita pergi!" Bi Cu berkata lagi dan kini dia menarik tangan kekasihnya diajak ke luar dari kamar itu. Beng Sin menutupkan lagi daun pintu dan dia sudah menyusul mereka berdua. Dia menjura ke arah Bi Cu.

"Kiranya ayahku sudah berdosa pula terhadap nona, maka biarlah aku yang memintakan ampun sekaligus menghaturkan terima kasih kepada nona yang telah berbesar hati untuk memaafkannya," Berkata demikian, Beng Sin sudah menjatuhkan diri berlutut!

Cepat-cepat Sin Liong dan Bi Cu memegang pundaknya kemudian membangunkannya. Sin Liong merangkulnya.

"Beng Sin, engkau benar-benar seorang putera yang amat berbakti dan baik. Bi Cu tidak mendendam, bahkan kami merasa kasihan sekali melihat penderitaan ayahmu. Dia jauh lebih menderita dari pada kalau sampai terbunuh oleh orang yang membalas dendam."

Beng Sin menghela napas. "Yaah, memang dia sengsara sekali. Setiap kali dia hanya minta ampun dan menantang seperti itu. Agaknya ada dua hal yang menggores hatinya, yaitu penyesalan dan juga sifat angkuhnya yang tidak mau tunduk."

"Apakah setiap saat dia hanya duduk di dalam kamarnya itu?"

"Kadang-kadang dia juga keluar, akan tetapi hanya untuk berjalan-jalan di dalam taman di belakang rumah, tidak pernah pergi ke lain tempat kecuali dua tempat itu, kamarnya dan taman bunga."

"Sudahlah," kata Bi Cu. "Marilah kita kembali ke ruangan tamu dan kita bicara dengan gembira. Yang sudah biarlah berlalu, itu adalah urusan orang-orang tua."

Mereka lalu kembali ke ruangan tamu di mana dua orang dara kembar itu nampak bicara dengan asyik bersama Tiong Pek dan Khai Sun. Biar pun baru saja berkenalan, agaknya nampak ada semacam keakraban antara Khai Sun dan Kui Lan, juga antara Tiong Pek dengan Kui Lin!

Lan Lan dan Lin Lin menjadi girang sekali pada saat mereka melihat Sin Liong dan Bi Cu kembali tanpa terjadi apa-apa, bahkan Beng Sin pun nampak gembira sekali. Mereka lalu memanggil pelayan dan dua orang dara kembar itu pun sibuk untuk menjamu para tamu mereka. Tujuh orang muda-mudi itu kemudian makan minum sambil bercakap-cakap dan bersenda-gurau seperti lajimnya orang-orang muda yang merasa cocok satu sama lain bertemu dan bercengkerama.

Akan tetapi, selagi mereka bergembira, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari belakang rumah. Sin Liong yang tercepat di antara mereka sudah meloncat dan lari masuk, terus menuju ke belakang, diikuti oleh yang lain-lain.

Dan di tengah-tengah taman bunga di belakang rumah itu nampaklah pemandangan yang mengerikan. Kui Hok Boan menggeletak mandi darah, dan di dekatnya menggeletak pula seorang kakek yang tinggi besar dan brewok yang agaknya juga menderita luka hebat akibat pukulan yang mengenai tenggorokannya dan membuatnya muntah darah. Ketika Sin Liong dan orang-orang muda itu tiba di situ, keadaan dua orang itu tidak tertolong lagi.

Pedang kakek brewok itu menembus dada Kui Hok Boan dan agaknya pukulan maut Kui Hok Boan membuat kakek itu tidak mampu bangkit kembali.

Lan Lan dan Lin Lin berseru kaget ketika mereka mengenal kakek brewok itu. "Dia inilah yang dulu menculik kami!" teriak Kui Lin.

Sin Liong juga teringat akan pengalamannya sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu terdapat seorang kakek brewok yang melarikan Lan Lan dan Lin Lin dan kebetulan dia melihat hal itu, maka dia pun lalu menyerang kakek itu, menolong Kui Lan dan Kui Lin, dibantu oleh monyet-monyet besar yang menjadi teman-temannya. Malah monyet betina yang menjadi induknya, yang merawatnya ketika dia masih bayi, tewas oleh kakek brewok ini. Maka dia segera mendekati, menotok beberapa jalan darah untuk mengurangi penderitaannya, lalu bertanya,

"Mengapa kau membunuh paman Kui Hok Boan?" tanyanya.

Orang itu terengah-engah, napasnya tinggal satu-satu. "Aku... Ciam Lok... puas sudah dapat membalaskan kematian puteriku Ciam Sui Noi... yang dinodai dan ditinggalkannya...," dan kepalanya terkulai. Matilah orang she Ciam ini, nyawanya menyusul nyawa Kui Hok Boan yang telah mati lebih dulu.

Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin hanya dapat menangisi kematian ayah mereka dan mereka lalu mengurus jenazah Kui Hok Boan, dibantu oleh Sin Liong, Tiong Pek dan Khai Sun.

Sin Liong dan Bi Cu tinggal di Su-couw dan turut membantu keluarga Kui yang mengurus pemakaman jenazah Kui Hok Boan. Bahkan Na Tiong Pek dan Ciu Khai Sun yang kini sudah menjadi sahabat-sahabat baik keluarga itu, juga ikut membantu sampai selesainya pemakaman. Lalu Sin Liong dan Bi Cu berpamit, meninggalkan Su-couw untuk pergi ke Cin-ling-san.

Di tempat ini, mereka pun disambut keluarga Cin-ling-pai dengan gembira sekali. Sampai beberapa hari lamanya mereka bercakap-cakap untuk saling menceritakan pengalaman masing-masing, terutama sekali Sin Liong yang dihujani pertanyaan-pertanyaan dan anak ini harus menceritakan lagi semua riwayatnya dari kecil sampai dewasa.

Beberapa bulan kemudian, atas persetujuan seluruh keluarga Cin-ling-pai, dilangsungkan pernikahan antara Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu. Pernikahan itu dirayakan dengan amat meriah karena dihadiri oleh hampir seluruh tokoh kang-ouw dari empat penjuru, dan juga dihadiri oleh banyak tokoh-tokoh besar dari pemerintah di kota raja! Pangeran Hung Chih sendiri bahkan berkenan hadir!

Semua tamu memandang dengan gembira dan mereka harus mengakui bahwa pasangan pengantin itu memang tepat dan cocok sekali, apa lagi melihat betapa dari dua pasang mata pengantin itu memancarkan cahaya penuh cinta kasih bila mereka saling pandang.

Tidak semua cerita berakhir dengan kebahagiaan. Namun, Sin Liong dan Bi Cu, akhirnya menemui kebahagiaan dalam rumah tangga yang mereka bina bersama.

Setiap pasangan sudah pasti akan mengecap kebahagiaan hidup apa bila rumah tangga mereka didasari dengan cinta kasih. Segala apa pun di dunia ini, baik yang oleh umum dipandang sebagai hal yang paling buruk, akan dapat dihadapi dengan tabah dan mudah diatasi apa bila suami isteri hidup dalam sinar cinta kasih.

Yang oleh umum dianggap sebagai kesenangan akan terasa lebih nikmat, dan yang oleh umum dianggap sebagai kesengsaraan akan terasa ringan kalau dihadapi oleh sepasang suami isteri yang saling mencinta.

Beberapa bulan kemudian, pengantin muda yang masih baru ini menghadiri pernikahan yang diadakan di Su-couw, yaitu pernikahan antara tiga pasang pengantin yang dirayakan sekaligus, antara Kui Beng Sin dengan Ciok Siu Lan, Cui Khai Sun dengan Kui Lan, dan Na Tiong Pek dengan Kui Lin!

Suami isteri Cia Sin Liong dengan isterinya, Bhe Bi Cu, kemudian menjadi penghuni dari Istana Lembah Naga, hidup berbahagia di tempat sunyi itu.

                  T A M A T

Serial Selanjutnya : Pendekar Sadis

***** Sahabat Karib.com *****

Terima kasih telah membaca Serial ini.


Komentar