PENDEKAR MATA KERANJANG (BAGIAN KE-9 SERIAL PEDANG KAYU HARUM)





PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 1 :
HUJAN turun sejak sore tadi dan malam ini hujan masih turun rintik-rintik. Walau pun sudah tak sederas sore tadi, tapi hujan itu masih membuat orang enggan keluar rumah. Apa lagi malam itu dingin sekali. Dari pada di luar rumah, akan terasa lebih enak berada di dalam rumah sambil menghangatkan diri di dekat perapian atau di atas pembaringan menyusup ke bawah selimut. Kota Nan-king yang biasanya sangat ramai dengan kehidupan malamnya itu kini nampak sunyi sepi seperti kota mati. Hanya satu dua orang saja nampak melangkah di atas jalan raya yang basah dan sunyi lagi gelap itu, orang-orang yang mempunyai urusan penting sekali. Mereka itu melindungi tubuh dengan jubah dan mantel, juga memegang payung. Di sebuah rumah besar dan kuno yang terletak di pinggir jembatan di ujung timur kota itu, suasananya juga sangat sunyi. Rumah itu milik keluarga Siangkoan Leng yang terkenal sebagai keluarga jagoan, memiliki ilmu silat yang tinggi dan juga dihormati orang karena mereka itu berdagang obat-obatan dan terkenal amat pandai pula mengobati orang sakit. Karena kepandaiannya mengobati orang, maka oleh penduduk kota Nan-king Siangkoan Leng sendiri disebut Siangkoan Sinshe yang pandai mengobati orang dengan tusuk jarum. Perdagangan obatnya laris sehingga keluarga itu memiliki penghasilan cukup besar. Akan tetapi keluarga ini pun, yang terdiri dari ayah ibu dan seorang anak, dengan dibantu oleh empat orang pelayan, semenjak sore sudah berada di kamar masing-masing, segan keluar kamar pada malam yang sunyi dan dingin itu. Siangkoan Leng dan isterinya adalah sepasang suami isteri yang mempunyai ilmu silat tinggi. Tidak ada orang di Nan-king yang pernah mengira, apa lagi mengetahui, bahwa sebelum tinggal di Nan-king tujuh tahun yang lalu, suami isteri itu pernah dikenal sebagai penjahat-penjahat besar di sepanjang pantai selatan! Selama belasan tahun mereka merajalela di daerah selatan, merampok, membajak, membunuh dan tidak ada kejahatan yang mereka pantang. Akan tetapi ketika isteri Siangkoan Leng yang bernama Ma Kim Li itu mengandung dalam usia hampir empat puluh tahun, peristiwa ini bagai menyadarkan mereka sehingga mereka berdua mengambil keputusan untuk memulai hidup baru bersama dengan anak yang akan dilahirkan. Mereka kemudian merantau ke utara sehingga akhirnya menetap di Nan-king meninggalkan pekerjaan jahat dan mencari uang secara halal. Mereka telah tinggal di situ selama tujuh tahun dan anak yang terlahir laki-laki itu mereka beri nama Siangkoan Hay dan kini sudah berusia tujuh tahun. Sejak anak ini masih kecil, kedua suami isteri itu sudah menggembleng tubuh anak mereka dengan berbagai ramuan obat-obatan dan mendidiknya dengan ilmu silat. Sebagai suami isteri yang pernah malang melintang sebagai tokoh sesat di dunia selatan, tentu saja Siangkoan Leng dan Ma Kim Li sudah menanam bibit-bibit permusuhan dengan banyak golongan atau perorangan. Pada saat mereka masih malang-melintang di selatan, mereka selalu hidup dalam keadaan siap siaga karena setiap waktu bisa saja ada musuh datang menyerang karena setiap saat ada saja yang mengintai untuk mencelakai mereka sebagai pembalasan dendam. Oleh karena cara hidup yang tak aman inilah maka suami isteri itu mengambil keputusan untuk melarikan diri dan meninggalkan dunia hitam. Mereka tak ingin anak mereka terlahir di tengah keluarga yang keselamatannya selalu terancam. Dan sejak tinggal di Nan-king, mereka hidup dengan tenang dan tenteram, tak pernah lagi merasa khawatir karena tidak ada yang mengenal mereka dan mereka merasa tidak punya musuh. Biar pun demikian, karena semenjak muda suami isteri itu adalah orang-orang yang selalu berkecimpung di dunia persilatan, apa lagi kini mereka bermaksud menggembleng putera tunggal mereka menjadi seorang yang akan mewarisi ilmu-ilmu mereka, maka keduanya tidak pernah lalai berlatih, bahkan berusaha untuk memperdalam ilmu mereka. Malam itu pun mereka tidak tidur seperti diperkirakan orang melainkan duduk bersemedhi di dalam kamar mereka, bersila di atas tempat tidur sambil melatih ilmu baru yang sedang mereka ciptakan bersama untuk diturunkan kepada putera mereka. Dan bagaimana dengan Siangkoan Hay? Dasar putera tunggal dari suami isteri jagoan, anak ini pun senang sekali dengan ilmu silat dan malam itu pun dia duduk bersila untuk melatih diri menghimpun hawa murni dalam tubuhnya, sendirian di dalam kamarnya. Akan tetapi empat orang pelayan, dua lelaki dan dua wanita, yang tidur di kamar-kamar belakang sejak tadi sudah tidur keenakan dalam udara dingin yang menerobos masuk ke dalam kamar mereka. Tidak seorang pun dari tujuh penghuni rumah besar itu yang tahu bahwa ada dua sosok tubuh manusia yang berjalan sambil berlindung di bawah sebatang payung, berhimpitan dan keduanya mengenakan mantel yang lebar, kini berhenti di depan rumah, menoleh ke kanan kiri. Sepi di sekitar tempat itu dan kedua orang itu lalu memasuki pekarangan rumah keluarga Siangkoan. Di bawah cahaya lampu yang tergantung di luar pada pojok rumah, nampak sekelebatan wajah dua orang laki-laki dan perempuan, yang laki-laki bertubuh jangkung kurus dan yang perempuan bertubuh sedang. Wajah mereka hanya nampak sekelebatan saja karena keduanya segera menyelinap ke dalam bayangan gelap sehingga hanya dua pasang mata mereka yang mencorong dalam kegelapan malam. Dengan tenang mereka lantas menutup payung, membuka mantel, membungkus payung dalam mantel dan mengikat mantel-mantel itu di atas punggung. Kini mereka berpakaian ringkas, pakaian berwarna hitam yang membuat bayangan mereka sukar dapat dilihat. Sesudah saling berbisik, dengan gerakan yang sangat cekatan keduanya lantas meloncat ke atas tembok pagar dan terus berloncatan ke atas genteng rumah besar itu. Gerakan mereka demikian ringan dan cepat, seperti dua ekor kucing ketika kaki mereka menginjak genteng tanpa menimbulkan suara sama sekali, dan bagaikan dua ekor burung pada saat mereka meloncat. Dua orang itu berloncatan turun di ruangan belakang rumah itu. Dengan tenang mereka lalu menghampiri dua buah kamar di mana empat orang pelayan itu tidur. Masing-masing menghampiri sebuah kamar, yang laki-laki menghampiri pintu kamar pertama sedangkan yang perempuan menghampiri pintu kamar ke dua. Mereka berdua lantas menggunakan tangan kanan mendorong daun pintu. "Krekkk...!" Daun pintu yang terkunci dari dalam itu jebol dan terbuka. Di dalam kamar pertama tidur dua orang pelayan pria dan laki-laki jangkung itu lalu menggerakkan tangan kirinya. Sinar hitam menyambar ke arah pembaringan lantas dua tubuh pelayan lelaki yang sedang tidur pulas itu berkelojotan dan tewas tidak lama kemudian tanpa sempat membuka mata atau mengeluarkan suara. Akan tetapi dua orang pelayan wanita yang berada di dalam kamar ke dua ternyata belum pulas benar. Suara jebolnya daun pintu sangat mengejutkan mereka. Keduanya bangkit duduk lantas terbelalak memandang ke arah daun pintu yang sudah jebol. Mereka terkejut dan ketakutan sesudah melihat munculnya seorang wanita yang bermuka pucat dingin di tengah ambang pintu. Akan tetapi wanita itu pun sudah menggerakkan tangan kirinya dan sinar hitam langsung menyambar ke arah dua orang pelayan wanita. Salah seorang di antara mereka sempat menjerit kecil sebelum ia kembali roboh di atas pembaringan seperti temannya, kemudian tubuh mereka berkelojotan dan akhirnya terdiam, mati. Cahaya lampu di ruangan luar kamar itu kini menyinari dua muka pembunuh itu. Wajah seorang laki-laki yang kurus akan tetapi cukup tampan, kumisnya kecil panjang berjuntai ke bawah lalu bersatu dengan jenggotnya yang pendek dan telah berwarna dua. Usianya sekitar lima puluh tahun. Wajah wanita itu pucat akan tetapi cantik, dengan hidung dan mulut yang membayangkan keangkuhan. Kini mereka saling pandang dan tersenyum, akan tetapi senyum mereka itu bagi orang lain tentu sangat mengerikan karena laksana senyum iblis yang mengandung kekejaman. Kini nampak dua ekor anjing yang berlari dari belakang, datang sambil menggonggong dan hendak menyerang dua orang itu. Akan tetapi, dua orang itu menggerakkan tangan seperti orang menampar ke arah dua ekor anjing itu lantas suara anjing itu pun terhenti seketika dan mereka pun terpelanting kemudian tewas dengan mulut, hidung dan telinga mengeluarkan darah. Dua orang itu lalu berkelebatan ke belakang rumah. Beberapa kali terdengar suara ayam berkeok diikuti jeritan pendek babi-babi yang berada di kandang belakang. Kalau saja air hujan rintik-rintik tidak membuat suara gaduh di atas genteng, agaknya dua orang suami isteri yang sedang bersemedhi itu akan dapat mengetahui datangnya dua orang penyebar maut itu. Betapa pun tingginya ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang dimiliki tamu-tamu gelap itu, agaknya pendengaran suami isteri yang tengah bersemedhi itu akan bisa menangkapnya, karena pendengaran mereka sangat tajam dan sudah terlatih dengan baik. Suara gaduh yang ditimbulkan oleh air hujan yang merintik di atas genteng menutupi semua suara lain. Akan tetapi jerit pelayan wanita tadi masih dapat menembus celah-celah dan memasuki kamar. "Suara apa itu?" Ma Kim Li bertanya, sadar dari semedhinya. Suaminya juga sudah membuka mata dan memandangnya, menggelengkan kepala. Akan tetapi karena tidak terdengar suara apa-apa lagi yang mencurigakan, mereka pun merasa lega. "Mungkin mereka mengigau dalam tidur," kata Siangkoan Leng, sama sekali tak menduga buruk karena selama bertahun-tahun ini tak pernah terjadi sesuatu menimpa keluarganya. Akan tetapi kelegaan hati mereka itu hanya berlangsung sejenak. Kecurigaan hati mereka kembali diusik ketika terdengar gonggong kedua ekor anjing peliharaan mereka, apa lagi ketika suara menggonggong kedua ekor anjing itu tiba-tiba saja terhenti. Hal ini tidak wajar, pikir mereka. Dari pandang mata saja pasangan suami isteri itu sudah saling sepakat untuk melakukan penyelidikan. Hampir berbareng mereka melompat turun dari pembaringan, mengenakan sepatu kemudian keluar dari dalam kamar. Pertama-tama, mereka membuka daun pintu kamar putera mereka dan melihat betapa putera mereka masih duduk bersila, akan tetapi agaknya juga terganggu oleh suara gonggongan anjing-anjing itu. "Mengapa dengan anjing-anjing itu, Ibu?" tanya Siangkoan Hay yang sangat menyayang anjing peliharaan mereka. "Kau tetaplah di sini, kami akan melihat ke belakang." kata ibunya. Mereka lalu keluar dari kamar itu, menutup kembali daun pintunya dan dengan langkah ringan akan tetapi cepat, suami isteri itu lalu berlari ke belakang. Dan apa yang dilihatnya pertama-tama langsung membuat mereka terbelalak dan wajah mereka berubah. Dua ekor anjing peliharaan mereka yang setia itu telah menggeletak mati dengan mulut, hidung dan telinga mengeluarkan darah! Siangkoan Leng cepat-cepat menghampiri dan sebagai seorang ahli pengobatan, begitu meraba, tahulah dia bahwa dua ekor anjing itu tewas karena pukulan yang amat ampuh, pukulan yang tidak membekas pada kulit anjing akan tetapi yang merusak bagian dalam sehingga dua ekor binatang itu tewas dengan mulut, hidung serta telinga mengeluarkan darah. Jeritan tertahan isterinya membuat Siangkoan Leng cepat meloncat dan menghampiri dua kamar itu. Dia menahan napas melihat betapa empat orang pelayan itu pun sudah tewas dan ketika mereka berdua melakukan pemeriksaan, mereka semakin terkejut akan tetapi juga marah bukan kepalang karena empat orang itu tewas dengan leher menghitam dan membengkak, tanda bahwa mereka telah dibunuh dengan menggunakan senjata rahasia jarum yang mengandung racun jahat! Mereka saling pandang dengan mata terbelalak. "Perbuatan siapa ini...?" bisik isterinya. Suaminya menggelengkan kepala, akan tetapi kelihatan marah. "Mari kita mencarinya!" Mereka berloncatan ke belakang dan ketika melakukan pemeriksaan mereka menemukan semua binatang peliharaan mereka, babi, ayam, bahkan seekor kucing, telah mati semua! Tidak ada seekor pun binatang peliharaan mereka yang masih hidup! "Cepat, anak kita...!" Ma Kim Li setengah menjerit ketika teringat anaknya. Seperti berlomba saja kedua orang suami isteri itu lalu berlari kembali ke dalam ruangan besar dan segera menuju ke kamar anak mereka. Daun pintu masih tertutup dan dengan hati penuh ketegangan Ma Kim Li yang datang lebih dahulu dari pada suaminya itu cepat mendorong daun pintu. Legalah hatinya sesudah melihat betapa puteranya masih duduk bersila seperti tadi! "Ehh, ada apakah Ibu?" tanya Siangkoan Hay, terkejut melihat cara masuknya ibu dan ayahnya itu dan melihat wajah mereka pucat, dibayangi ketegangan dan kegelisahan. Ma Kim Li merangkul puteranya. "Tidak ada apa-apa, hanya ada orang jahat memasuki rumah kita," bisiknya. "Wah, kalau begitu mari kita tangkap dan hajar dia, Ibu!" Siangkoan Hay berkata penuh semangat. Dia sudah meloncat turun dan tentu akan berlari keluar kalau tidak dipegang ibunya. "Ssttttt...," kata ibunya. Pada saat itu terdengar suara ketawa bergelak dari luar. "Ha-ha-ha, jelas nampak betapa orang tuanya sangat pengecut akan tetapi anaknya berwatak gagah berani! Hari ini kami membunuhi semua pelayan dan binatang peliharaan, satu minggu kemudian kami datang mengambil kembali anak kami dan sebulan kemudian kami akan datang untuk mengambil nyawa suami isteri Siangkoan!" "Keparat!" Siangkoan Leng meloncat keluar melalui jendela sedangkan isterinya juga telah meloncat keluar melalui pintu setelah memesan agar puteranya tinggal saja dalam kamar. Suami isteri itu muncul di pekarangan depan rumah mereka dari dua jurusan pada waktu yang sama dan di tengah pekarangan itu, di bawah cahaya lampu yang temaram karena walau pun hujan tinggal sedikit sekali namun cuaca masih sangat gelap, berdiri dua orang yang berpakaian serba hitam dan menggendong buntalan hitam. Yang seorang bertubuh jangkung kurus, seorang lagi bertubuh kecil ramping. Dengan hati-hati sekali Siangkoan Leng dan Ma Kim Li mendekati dua orang itu kemudian memandang penuh perhatian. Setelah berhasil mengenal wajah dua orang itu, suami isteri ini menjadi marah bukan main. Kiranya kalian... suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan?" Laki-laki jangkung kurus berusia kurang lebih lima puluh tahun itu tertawa bergelak, ada pun isterinya yang cantik dan hanya beberapa tahun lebih muda, tersenyum, akan tetapi baik suara ketawa mau pun senyum itu mengerikan, mengandung ejekan dan kekejaman luar biasa. Sekilas terbayanglah pengalaman kurang lebih sepuluh tahun yang lalu ketika suami isteri Siangkoan masih merajalela di selatan. Di antara banyak sekali musuh dan saingannya di dalam rimba raya persilatan dan dunia hitam, suami isteri dari Goa Iblis Pantai Selatan ini merupakan musuh terbesar mereka. Tentu saja sebabnya hanya karena memperebutkan kekuasaan dan wilayah kekuasaan. Beberapa kali dua pasang suami isteri ini saling bentrok. Akan tetapi dalam perkelahian-perkelahian yang berlangsung seimbang dan seru, Siangkoan Leng dan Ma Kim Li selalu menang dan suami isteri Goa Iblis itu selalu melarikan diri dengan luka-luka. Setelah melihat bahwa musuh yang datang hanya suami isteri yang beberapa kali pernah kalah oleh mereka, tentu saja Siangkoan Leng dan Ma Kim Li memandang rendah dan mereka menjadi marah sekali. "Kalian datang mengantar nyawa!" bentak Siangkoan Leng. "Ha-ha-ha-ha, yang jelas kami datang mencabut nyawa para pelayan dan semua binatang peliharaanmu. Seminggu kemudian kami akan datang mengambil kembali anak kami, dan sebulan kemudian baru kami akan mengambil nyawa kalian." "Jahanam busuk!" Ma Kim Li memaki wanita yang menjadi musuhnya itu. "Lancang sekali kau mengatakan bahwa putera kami adalah anak kalian!" "Tentu saja anak kami!" jawab wanita berpakaian hitam itu. "Kalian sudah merampasnya dari tangan kami, mendahului kami yang memang merencanakan untuk mengambil anak itu. Dia anak kami, maka seminggu lagi kami akan mengambilnya." "Mulut besar, sekarang juga kami akan membunuh kalian untuk perbuatan kalian malam ini!" bentak Siangkoan Leng dan tanpa banyak cakap lagi dia pun mengeluarkan suara melengking nyaring yang disusul oleh isterinya. Dan kedua suami isteri ini lalu menubruk ke depan. Kedua lengan mereka dikembangkan, jari-jari tangan dibuka membentuk cakar dan bukan main dahsyatnya serangan itu karena mereka yang marah sekali sudah mengeluarkan ilmu baru yang sedang mereka ciptakan agar cepat-cepat dapat membunuh dua orang musuh besar itu. Dua orang tokoh Goa Iblis Pantai Selatan itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tiba-tiba mereka bertiarap ke atas tanah, kemudian mencelat ke atas memapaki serangan lawan. Sungguh aneh sekali gerakan mereka berdua, akan tetapi ternyata mereka mampu menyambut serangan lawan dengan dorongan telapak tangan terbuka yang amat kuat. "Desss...! Dessss...!" Empat tangan itu saling bertemu di udara dan terjadi benturan tenaga sinkang yang amat dahsyat sehingga keadaan sekeliling tempat itu seperti tergetar. Siangkoan Leng dan Ma Kim Li sama-sama terdorong dan terhuyung ke belakang, muka mereka menjadi pucat. Sedangkan dua orang berpakaian hitam itu berdiri tegak sambil tertawa-tawa. "Siangkoan Leng, kami tak ingin membunuh kalian sekarang. Seminggu lagi kami datang untuk mengambil anak itu, dan sebulan kemudian barulah kami akan membunuh kalian. Ha-ha-ha, selamat tinggal!" Dua orang itu tertawa-tawa lantas sekali berkelebat keduanya lenyap dari depan suami isteri yang masih tertegun itu. Ma Kim Li teringat akan puteranya dan cepat dia berlari memasuki rumah lagi, diikuti oleh suaminya yang juga merasa khawatir sekali. Ketika mereka membuka daun pintu, dapat dibayangkan alangkah kaget dan gelisah rasa hati mereka sesudah melihat bahwa kamar putera mereka itu telah kosong dan tidak nampak bayangan Siangkoan Hay! "Hay Hay !" Ma Kim Li menjerit dan segera keluar lagi, berlari ke sana-sini mencari-cari puteranya. Juga Siangkoan Leng mencari-cari dan memanggil-manggil nama anaknya. Akan tetapi mereka tak dapat menemukan Siangkoan Hay yang seolah-olah telah lenyap ditelan bumi, tidak meninggalkan bekas! Mereka mencari-cari sampai jauh ke luar rumah, bahkan mengejar ke sana-sini di seluruh kota, tetapi sampai pagi tetap saja mereka tidak dapat menemukan putera mereka. Dapat dibayangkan betapa gelisah rasa hati orang tua itu sesudah mencari-cari semalam suntuk tanpa hasil dan pada pagi harinya berjalan pulang dengan tubuh lemas. Meski pun tidak sampai mengeluarkan air mata karena wanita seperti Ma Kim Li itu sudah tak dapat menangis lagi, akan tetapi wajahnya menjadi sangat pucat. Juga wajah Siangkoan Leng berubah pucat sekali. Sesudah sampai di rumah, keduanya kembali mencari anak mereka tanpa hasil. Mereka melakukan penyelidikan di kamar Siangkoan Hay namun tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan atau sesuatu yang dapat memberi petunjuk ke mana perginya anak itu. "Jangan-jangan mereka telah membawanya!" kata Ma Kim Li. "Kalau memang mereka yang menculik Hay Hay, berarti mereka tentu memiliki pembantu. Mereka sendiri tidak mungkin karena mereka bentrok dengan kita dan ketika mereka pergi kita juga langsung pergi ke kamar Hay Hay. Kurasa bukan mereka berdua penculiknya. Bukankah mereka sudah mengatakan akan mengambil Hay Hay seminggu lagi?" "Iblis-iblis macam mereka itu mana bisa dipercaya?" "Jangan kau memandang rendah mereka! Kukira mereka itu tak boleh disamakan dengan keadaan mereka sepuluh tahun yang lalu. Sepuluh tahun yang silam, kepandaian mereka hanya berada sedikit di bawah tingkat kita, akan tetapi engkau tentu merasakan ketika kita beradu tenaga dengan mereka tadi. Kita menggunakan ilmu kita yang baru, dengan pengerahan seluruh tenaga, akan tetapi tangkisan mereka membuat kita hampir jatuh! Itu saja membuktikan bahwa mereka kini sudah mempunyai tingkat kepandaian yang berada di atas tingkat kita!" "Aku tidak takut!" "Aku juga tidak takut, akan tetapi aku hanya mengatakan keadaan sebenarnya. Dengan kepandaian yang setinggi itu, mereka tentu tidak hanya menggertak saja. Mereka bahkan sengaja menentukan waktu-waktunya untuk bertindak agar kita dapat membuat persiapan lebih dahulu. Kesombongan seperti itu tentu hanya mereka lakukan karena mereka yakin benar dengan kepandaian mereka. Mereka seolah-olah memberi kesempatan kepada kita untuk melarikan diri, atau minta bantuan orang lain, dan agaknya mereka sudah siap akan semua kemungkinan itu." "Kalau bukan mereka, lalu siapa yang mengambil anak kita?" "Aku tidak tahu... ahhh, begitu banyak musuh kita di selatan, mana kita dapat menduga siapa yang menculiknya?" "Sudah tujuh tahun tidak ada seorang pun di antara mereka yang datang mengganggu..." "Buktinya malam tadi sepasang suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan datang, siapa tahu ada pula yang lain-lain datang untuk mengganggu kita." "Kalau begitu, bagaimana baiknya ?" Ma Kim Li nampak bingung dan putus asa. Wajahnya yang biasanya cerah dan masih kelihatan cantik itu sekarang menjadi muram dan sepasang matanya yang biasanya bersinar-sinar penuh keramahan yang berseri-seri, kini nampak layu dan membayangkan ketajaman yang penuh kekejaman dan kemarahan. Kedua tangannya sebentar terbuka dan sebentar tertutup seperti hendak mencengkeram sesuatu, ada pun sepuluh batang jari-jari tangannya itu dimasuki tenaga dahsyat sehingga kadang-kadang mengeluarkan bunyi berkerotokan. Sungguh mengerikan sekali! "Sudahlah, lebih baik sekarang kita mengurus mayat empat orang pelayan kita itu namun jangan sampai ada orang lain yang tahu. Kita kubur mereka diam-diam di kebun kita dan semenjak hari ini kita tutup toko kita. Sesudah itu baru kita akan mencari akal bagaimana untuk menghadapi mereka dan juga ke mana kita harus mencari anak kita." "Akan tetapi Hay Hay... bagaimana kalau anak kita itu dibunuh...?" "Bodoh! Jika mereka memang ingin membunuhnya, kenapa harus susah-susah menculik dia? Kalau sudah mampu menculiknya, apa susahnya membunuhnya di sini juga? Jangan bodoh, penculik itu tak akan membunuhnya, hanya ingin menculiknya untuk membikin kita merasa tersiksa." "Seperti juga dua iblis itu yang sengaja memberi waktu kepada kita agar kita gelisah dan tersiksa sebelum mereka turun tangan." "Benar, dan mari kita bekerja membereskan mayat-mayat itu." Suami isteri itu menutup pintu rapat-rapat dan diam-diam lantas bekerja keras, membuat lubang yang cukup besar di dalam kebun belakang mereka untuk mengubur empat mayat pelayan mereka menjadi satu. Juga bangkai-bangkai babi, anjing serta ayam itu mereka kuburkan ke dalam satu lubang yang lain! Sebetulnya, Siangkoan Leng dan Ma Kim Li bukanlah orang biasa. Ketika mereka berdua masih merajalela di selatan, mereka merupakan sepasang manusia iblis yang tak pantang melakukan perbuatan jahat apa pun. Di samping kekejaman mereka, suami isteri ini pun amat lihai. Jarang ada orang yang mampu menandingi mereka. Nama besar Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) sebagai julukan yang sudah diberikan oleh dunia kang-ouw kepada mereka sangat terkenal dan ditakuti orang. Entah sudah berapa banyak orang yang terbunuh atau kalah oleh mereka berdua sehingga tidak mengherankan apa bila banyak orang menaruh dendam kepada mereka. Sejak mereka pindah ke Nan-king, mereka 'mencuci tangan' dan tidak pernah melakukan kejahatan lagi, memelihara dan mendidik anak tunggal mereka dan bekerja dengan halal. Mereka tidak tahu bahwa semua perbuatan mereka yang lampau itu tak habis begitu saja, namun mengandung akibat-akibat yang agaknya baru sekarang timbul dan mengganggu kehidupan mereka yang tadinya tenteram. Sambil bekerja mengubur mayat-mayat dan bangkai-bangkai, pekerjaan yang bagi mereka biasa saja karena menghadapi kematian sudah tidak aneh lagi bagi mereka, kedua orang suami isteri itu bercakap-cakap dan menduga-duga siapa kiranya musuh-musuh lain yang berani mengganggu mereka dan menculik Siangkoan Hay. "Sungguh aneh sekali, apa maksudnya tikus-tikus dari Goa Iblis itu mengaku Siangkoan Hay sebagai anak mereka?" antara lain Ma Kim Li bertanya. "Semenjak tadi aku juga telah memikirkan hal itu," jawab suaminya. "Dan aku mengambil kesimpulan bahwa agaknya mereka sudah tahu akan rahasia kita dan agaknya pula pada waktu itu mereka pun bermaksud untuk menculik anak itu. Hanya bedanya, mereka ingin menculik sedangkan kita menukarnya dengan anak yang mati. Tapi anehnya, bagaimana mereka bisa tahu? Bukankah dua orang saksi telah kita bunuh semua?" Sesudah pekerjaan mengubur itu selesai, Siangkoan Leng dan isterinya masuk ke dalam rumah lalu keduanya termenung. Mereka membayangkan peristiwa tujuh tahun yang lalu. Ketika Ma Kim Li mulai mengandung, dia dan suaminya mendengar akan adanya suami isteri pendekar yang baru tiba di selatan dari pelariannya keluar dari Tibet. Suami isteri itu terkenal sebagai pendekar-pendekar budiman. Ketika mereka merantau ke Tibet dan si isteri mengandung, muncul petunjuk kepada para pendeta Lama bahwa anak yang dikandung oleh isteri pendekar itu merupakan penitisan (reinkarnasi) dari Dalai Lama dan bahwa anak itu kelak akan menjadi Dalai Lama atau seorang yang suci. Oleh karena itu, suami isteri pendekar itu menjadi ketakutan. Petunjuk itu berarti bahwa mereka harus melepaskan anak mereka bila mana sudah terlahir, untuk dirawat dalam biara oleh para pendeta Lama. Dengan kepandaian mereka, suami isteri itu akhirnya dapat meloloskan diri dari kepungan para pendeta Lama kemudian melarikan diri sampai ke pantai selatan. Akan tetapi berita itu ramai dibicarakan orang sehingga terdengar pula oleh Lam-hai Siang-mo. Ramai orang membicarakan bahwa anak yang akan terlahir dari isteri pendekar itu tentu seorang anak yang disebut Sin-tong (Anak Ajaib). Kebetulan sekali, kandungan dalam perut Ma Kim Li sama tua dengan kandungan isteri pendekar itu. Ketika Ma Kim Li melahirkan, ternyata bayi laki-laki itu memiliki tubuh yang lemah sekali. Suami isteri itu berusaha mengobatinya, akan tetapi sia-sia belaka bahkan setelah dua bulan pertumbuhan anak itu tidak berjalan normal dan amat terbelakang. Tentu saja Siangkoan Leng dan Ma Kim Li menjadi kecewa bukan kepalang. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak pernah mau mengalah terhadap nasib dan dengan cara apa pun juga mereka ingin mengubah nasib diri mereka. Mereka mendengar bahwa suami isteri pendekar itu, yang untuk sementara ini mondok di dalam sebuah kuil para nikouw (pendeta wanita) yang terpencil di luar kota, juga sudah dikaruniai seorang anak laki-laki yang kelahirannya hanya berselisih satu dua hari dengan kelahiran anak mereka yang diberi nama Siangkoan Hay itu. Pada suatu malam, pergilah suami isteri ini membawa anak mereka yang baru berusia dua bulan, memasuki kuil dari kebun belakang. Siangkoan Leng menyuruh isterinya bersembunyi di balik rumpun bunga dan mendekap mulut anak mereka agar tidak mengeluarkan suara, ada pun dia sendiri cepat menyelinap hendak menyelidiki keadaan di dalam kuil itu. Dia merasa sangat terheran-heran melihat betapa kuil itu sunyi senyap dan terdengar suara orang-orang tidur mendengkur di dalam kamar-kamar kuil itu, tanda bahwa para penghuninya sudah tidur lelap. Cepat dia memberi isyarat kepada isterinya dan mereka lantas mengadakan pemeriksaan dan mengintai ke dalam setiap kamar. Akhirnya mereka pun melihat seorang wanita yang berpakaian seperti pengasuh anak-anak, bersama seorang nikouw, yaitu seorang pendeta wanita yang berkepala gundul, berada di dalam sebuah kamar dan anehnya, mereka pun agaknya tidur nyenyak. Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih dua bulan juga tertidur di atas pembaringan. "Cepat...!" Bisik Siangkoan Leng kepada isterinya. Tanpa mengeluarkan suara mereka berloncatan ke dalam kamar itu. Ma Kim Li kemudian menaruh anaknya sendiri di atas pembaringan dan cepat menyambar anak laki-laki yang sedang tidur nyenyak itu, seorang anak laki-laki yang bertubuh montok dan berkulit putih bersih. Akan tetapi anaknya sendiri menangis, maka tanpa banyak cakap lagi Siangkoan Leng segera menggerakkan tangan menampar sehingga anak itu pun terdiam dan tewas dengan muka yang tak dapat dikenal lagi karena sudah remuk! Sementara itu, Ma Kim Li juga mempergunakan tangannya yang bergerak menyambitkan jarum-jarum hitam. Jarum-jarum itu berubah menjadi sinar hitam dan menyambar ke arah leher dua orang wanita itu yang tak sempat berteriak lagi karena langsung tewas dengan jarum-jarum itu terbenam dalam-dalam pada leher mereka! Setelah itu, kedua suami isteri itu berloncatan ke luar. Pekerjaan terkutuk itu mereka lakukan dengan sikap tenang saja. Membunuh anak sendiri serta dua orang wanita tidur itu bagi mereka bukanlah apa-apa, karena membunuh anak sendiri dan merusak mukanya agar tidak bisa dikenali itu memang sudah termasuk dalam rencana mereka. Setelah menukarkan anak mereka yang lemah dan tidak normal itu dengan putera suami isteri pendekar, anak yang dihebohkan sebagai seorang Sin-tong, anak yang sejak dalam kandungan sudah ditentukan oleh para pendeta Lama di Tibet sebagai calon orang besar, Siangkoan Leng dan Ma Kim Li merasa gembira sekali. Akan tetapi mereka pun maklum bahwa orang-orang tidak akan tinggal diam saja, maka mereka pun seperti memperoleh dorongan lebih kuat lagi untuk segera meninggalkan daerah selatan. Semenjak Ma Kim Li mengandung memang mereka sudah ingin meninggalkan pekerjaan sebagai penjahat demi anak mereka. Sekarang setengah terpaksa mereka meninggalkan daerah selatan pada malam hari itu juga dan sesudah merantau berbulan-bulan lamanya, berusaha menghilangkan jejak mereka agar tidak bisa disusul oleh mereka yang mungkin melakukan pengejaran, akhirnya mereka tinggal di kota Nan-king sebagai pedagang dan ahli obat. Suami isteri itu mengenangkan semua kejadian itu dan sekarang menduga-duga siapakah yang membocorkan rahasia mereka sehingga dapat diketahui oleh suami isteri Goa Iblis itu? Kenapa yang mencari mereka, yang ingin merampas anak itu adalah dua orang dari Goa Iblis itu, dan bukan orang tua anak itu, yaitu sepasang pendekar yang menjadi orang tua asli dari anak yang kini bernama Siangkoan Hay dan menjadi anak mereka selama tujuh tahun? Dan siapa pula yang sebenarnya telah menculik anak mereka? "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" berkali-kali Ma Kim Li bertanya, baik kepada suaminya mau pun kepada diri sendiri karena dia merasa bingung sekali. cerita silat online karya kho ping hoo Walau pun Siangkoan Hay bukan anak yang dikandungnya dan dilahirkannya, akan tetapi karena dia telah memelihara dan mendidik anak itu semenjak berusia dua bulan, dia telah merasa amat mencinta anak itu dan dianggapnya seperti anak kandungnya sendiri saja. "Kita menghadapi dua hal yang sangat gawat," kata suaminya sesudah lama berpikir-pikir mencari akal. "Pertama, dua orang itu tentu tak mau melepaskan kita begitu saja. Mereka memberi waktu, dan selama itu pula mereka tentu akan selalu mengamati gerak-gerik kita sehingga andai kata kita melarikan diri pun mereka akan tahu dan membayangi kita. Ilmu kepandaian mereka amat tinggi sehingga kita harus mencari daya upaya untuk melawan mereka dan menang. Ke dua, kita pun harus cepat-cepat mencari anak kita yang diculik orang. Sungguh tidak leluasa sekali apa bila mencari anak kita dalam keadaan kita selalu dibayangi, sedangkan menghadapi mereka secara begitu saja, juga amat berbahaya. Ilmu kita yang paling baru saja tidak mampu merobohkan mereka!" "Habis, bagaimana?" tanya isterinya yang diam-diam merasa jeri juga walau pun dia tidak menyatakan dengan mulut. Dia pun merasa ketika menyerang wanita yang menjadi lawannya malam itu, dia sudah mengeluarkan ilmunya yang terbaru dan mengerahkan tenaga penuh. Akan tetapi dengan gerakan bertiarap lalu meloncat bangun, lawan itu sanggup menahan pukulannya, bahkan membuat dia terdorong ke belakang dan terhuyung hampir roboh! Padahal dulu, wanita itu yang bernama Tong Ci Ki berjuluk Si Jarum Sakti, sudah pernah dikalahkannya dalam perkelahian sampai beberapa kali. Suami wanita itu, yang bernama Kwee Siong berjuluk Si Tangan Maut, juga beberapa kali kalah oleh suaminya. Ternyata mereka telah memperoleh kemajuan yang amat hebat selama sepuluh tahun ini. "Kita harus menggunakan akal sehingga untuk sementara kita dapat lolos dari ancaman mereka dan di lain pihak kita pun dapat bebas melakukan pengintaian terhadap mereka apakah mereka itu menculik anak kita atau tidak." "Bagaimana akalnya?" isterinya bertanya khawatir . "Yang paling penting kita harus dapat meloloskan diri dari pengamatan mereka agar kita dapat leluasa bergerak lantas dapat berbalik membayangi mereka, dan satu-satunya akal kita adalah begini..." Suami itu mendekati isterinya kemudian berbisik-bisik di dekat telinganya karena khawatir kalau-kalau pihak musuh tengah mengadakan pengintaian dan akan dapat mendengarkan siasatnya. Isterinya mengangguk-angguk setuju. Ya... ya... yaaa! *************** Berita kematian Siangkoan Sinshe dan isterinya amat menggemparkan seluruh penduduk kota Nan-king. Banyak sekali orang yang berdatangan untuk melayat. Menurut penuturan empat orang pelayan laki-laki yang baru beberapa hari bekerja di sana, karena kabarnya pelayan-pelayan lama keluar dan pulang kampung, mereka mendapatkan majikan mereka itu kedua-duanya telah mati di dalam kamar tidur mereka. Memang agak aneh. Apa lagi sesudah para tetangga itu mendapatkan bahwa dua mayat Siangkoan Leng serta isterinya itu telah dimasukkan ke dalam dua buah peti yang sudah tertutup. Akan tetapi tidak ada yang meributkan soal ini. Tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali melayat dan ikut berkabung karena bagaimana pun juga, suami isteri itu dikenal sebagai pedagang obat yang pandai mengobati orang sakit dan sudah banyak orang sakit yang sembuh oleh pengobatan mereka. Kepala daerah yang sudah mengenal baik Siangkoan Leng dan isterinya, datang melayat pula begitu mendengar berita itu, tetapi dia merasa curiga, maka dia pun memaksa empat orang pelayan itu, dibantu oleh orang-orangnya kepala daerah itu sendiri, untuk membuka sedikit peti-peti mati itu supaya dia dapat melihat wajah suami isteri yang dikabarkan mati mendadak itu. Dua buah peti mati itu lalu dibuka sedikit dan digeser penutupnya. Nampaklah wajah dua orang suami isteri itu, wajah yang pucat tak mengandung darah lagi, wajah jenazah yang sudah tak bernyawa lagi! Si Kepala Daerah baru percaya dan peti itu pun ditutup kembali lalu dipaku. Dan para tetangga juga kini percaya bahwa suami isteri itu benar-benar telah mati. Hanya, tidak ada yang tahu bagaimana dua orang yang tadinya sehat-sehat saja itu tiba-tiba bisa meninggal dunia. Selama dua hari banyak tamu berdatangan dan bersembahyang di depan dua buah peti mati itu. Asap hio mengepul dan bau dupa wangi yang dibakar memenuhi ruangan. Pada hari ke tiga, anak tunggal suami isteri yang baru mati itu, yang selama beberapa hari ini menjadi pertanyaan para tetangga dan kenalan Siangkoan Leng sekeluarga, tiba-tiba saja muncul, dan berlari-lari sambil menangis dan memanggil ayah ibunya! Keadaan segera menjadi gempar dan mengharukan ketika Siangkoan Hay, yang menjadi buah bibir dan pertanyaan para tetangga karena tak terlihat di situ, apa lagi karena empat orang pelayan baru itu mengatakan bahwa mereka belum pernah melihat putera majikan mereka itu karena sejak mereka dipekerjakan, tuan muda itu sudah tak berada di rumah, menangis tersedu-sedu di depan dua peti mati itu. "Ayah..., Ibu... kenapa kalian mati? Kenapa... ? Apa yang telah terjadi...?" Dia menangis dan bertanya, akan tetapi tak seorang pun mampu menjawabnya. Dari luar terdengar suara ketawa. Tentu saja semua tamu menjadi terkejut dan menengok dengan pandang mata mereka membayangkan kemarahan. Sungguh tak sopan sekali di dalam ruangan berkabung itu ada orang tertawa! Akan tetapi pandang mata mereka yang tadinya mengandung kemarahan segera berubah menjadi ketakutan dan kengerian ketika mereka melihat siapa yang tertawa tadi. Mereka adalah seorang lelaki dan seorang wanita. Yang lelaki bertubuh jangkung kurus, wajahnya tampan akan tetapi mengerikan, dingin dan kaku bagaikan kedok saja, hanya sepasang matanya yang hidup dan mencorong menakutkan. Yang wanita bertubuh kecil ramping. Wajahnya berbentuk bagus dan cantik, akan tetapi muka itu pucat sekali laksana muka mayat dan bibir yang pucat membiru itu tersenyum, akan tetapi senyum yang mengandung kekejaman, sedangkan sepasang matanya juga mencorong seperti mata laki-laki jangkung di sampingnya. Ternyata yang mengeluarkan suara ketawa tadi adalah wanita itu, dan sekarang mereka berdua melangkah memasuki ruangan di mana terdapat dua buah peti mati yang berjajar. Sejenak dua orang itu memandang ke sekeliling, ke arah para tamu yang nampak terkejut dan bengong memandang kedua orang yang baru datang itu. Tidak ada seorang pun di antara para tamu itu yang mengenal suami isteri ini. Akan tetapi di selatan, di sepanjang pantai selatan, semua orang di dunia kang-ouw, terutama di dunia hitam, mengenal sepasang suami isteri Goa Iblis Pantai selatan. Laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih itu bernama Kwee Siong akan tetapi lebih terkenal dengan julukan Si Tangan Maut. Sedangkan wanita yang sedikit lebih muda dari pada dia itu adalah isterinya bernama Tong Ci Ki yang terkenal dengan julukannya Si Jarum sakti. Mereka adalah pasangan suami isteri yang terkenal ganas, kejam dan lihai seperti sepasang iblis, penghuni Goa Iblis di pantai selatan, ditakuti oleh semua orang. Kini suami isteri yang sikapnya amat dingin dan mengerikan itu memandang ke arah anak laki-laki yang sedang menangis di antara dua buah peti mati. Si Jarum Sakti Tong Ci Ki menghampiri anak ini, kemudian bibirnya yang pucat kebiruan itu bergerak-gerak. "Apakah engkau anak dari Siangkoan Leng dan Ma Kim Li?" Anak itu memang Siangkoan Hay dan sambil mengusap air matanya, dia kini memandang kepada dua orang itu. Dia tidak mengenal mereka, akan tetapi ketika mereka menyebut nama ayah ibunya, dia mengangguk. "Benar, aku adalah anak mereka, namaku Siangkoan Hay." "Sin-tong...!" kata Tong Ci Ki lantas dia pun melangkah maju mendekati Siangkoan Hay sambil mengulurkan tangannya. "Apa... ?" Hay Hay bertanya heran, akan tetapi pada saat itu tubuhnya seperti ditarik oleh tenaga yang luar biasa dan tahu-tahu pergelangan tangannya telah ditangkap oleh tangan wanita itu yang berkulit halus namun dingin. Tubuh Hay Hay menggigil kedinginan. Ia hendak menarik kembali tangannya, akan tetapi tiba-tiba saja tangan yang lain dari wanita itu mengelus kepalanya dan dia pun tak mampu menggerakkan tangannya itu, bahkan ketika hendak mengeluarkan suara, tidak ada suara keluar dari tenggorokannya. Hay Hay terkejut sekali sehingga hanya berdiri bengong, tak mampu bersuara atau bergerak, dan masih bergantungan pada tangan wanita itu yang memegang pergelangan tangannya. Sementara itu, dengan senyum yang lebih pantas dinamakan senyum iblis karena hanya menyeringai dengan mulut saja tapi bagian lain dari mukanya sama sekali tidak bergerak, Si Tangan Maut Kwee Siong menghampiri dua buah peti mati itu. "Heii! Siapa kalian dan mau apa?" seorang di antara para tamu, yang merasa tak senang melihat sikap suami isteri itu, menegur. Si Tangan Maut menoleh kepada orang itu, kemudian menyeringai. "Kami adalah sahabat-sahabat baik dari Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, sungguh tidak disangka bahwa hari ini kami melihat mereka telah berada di dalam peti mati." Mendengar ini, semua orang tertegun. Betapa anehnya dua orang yang berpakaian serba hitam itu, pikir mereka. Sementara itu, Si Tangan Maut Kwee Siong sudah menghampiri kedua peti mati itu lantas kedua tangannya menekan dan menepuk-nepuk kedua peti itu seperti orang menepuk-nepuk bahu sahabat baiknya "Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, semoga kalian bisa senang di alam baka." Dan setelah menepuk beberapa kali, dia pun mundur dan menoleh kepada isterinya. "Apakah engkau tidak ingin membekali sesuatu kepada mereka melalui lubang-lubang kecil di samping peti itu?" Wanita itu pun tersenyum. Andai kata mukanya tidak seperti mayat, tentu wajahnya yang belum tampak keriputan itu akan terlihat cantik. Ia masih menggandeng tangan Siangkoan Hay dan sekarang dia menggerakkan sebelah tangannya ke arah peti. Sinar hitam lembut menyambar ke arah kedua peti itu dan tepat sekali sinar-sinar kecil itu memasuki lubang-lubang di samping peti. Memang aneh peti mati itu karena ada lubang-lubang kecil di kanan kiri peti, seolah-olah dua peti mati itu diberi lubang hawa! Hal ini tidak nampak oleh para tamu lainnya karena tertutup bunga-bunga, akan tetapi ternyata kelihatan oleh suami isteri luar biasa itu. Semua orang tidak mengerti akan sikap mereka dan tidak tahu apa yang mereka lakukan tadi. Akan tetapi tiba-tiba semua orang yang berada di dekat kedua peti itu mengeluarkan seruan kaget. Dengan mata terbelalak mereka menuding ke arah bawah peti karena kini dari dua peti itu keluar darah menetes-netes dan tergenang di bawah peti! Melihat ini, Si Tangan Maut Kwee Siong dan isterinya, Si Jarum Sakti Tong Ci Ki, tertawa bergelak dan mereka lantas pergi dari ruangan itu sambil membawa Siangkoan Hay yang masih digandeng oleh Tong Ci Ki. "Hai, apa yang telah kalian lakukan?" "Tunggu dulu...!" Beberapa orang tamu sudah menghadang mereka. Mereka adalah orang-orang yang ahli ilmu silat, yang mulai curiga dan menduga bahwa tentu telah terjadi peristiwa mengerikan sekali, ada pun dua orang laki-laki dan wanita pakaian hitam ini tentu bukan sahabat baik keluarga Siangkoan, apa lagi melihat mereka hendak pergi membawa Siangkoan Hay. Akan tetapi suami isteri iblis itu dengan tenang melanjutkan langkahnya dan ketika tiba di dekat mereka yang berani menghadang, dua orang suami isteri itu hanya berseru, "Minggir kalian!" Keduanya menggerakkan tangan seperti orang mengusir lalat saja akan tetapi akibatnya, empat orang itu terpelanting ke kanan kiri seperti diamuk gajah! Padahal, empat orang itu termasuk orang-orang yang mempunyai ilmu silat cukup tangguh dan merupakan jagoan-jagoan di Nan-king! Melihat betapa empat orang lihai itu sedemikian mudah dirobohkan oleh suami isteri yang berpakaian hitam ini, semua orang segera menjadi jeri sehingga tak ada lagi yang berani menghalangi mereka. Apa lagi ketika semua orang melihat betapa pria jangkung bermuka laksana topeng itu tiba-tiba saja menarik tangan Siangkoan Hay sehingga tubuh anak itu terpental ke atas lalu dipondongnya dan bersama wanita muka mayat itu kini mereka lari dengan kecepatan yang membuat mereka terbelalak. Tak seorang pun berani melakukan pengejaran. Dalam sekejap mata saja kedua orang itu telah lenyap dan barulah semua orang menjadi panik dan bising. Mereka berlari mendekati dua peti mati dan dapat dibayangkan betapa terkejut dan ngeri hati mereka sesudah melihat bahwa selain dari dua buah peti itu masih menetes-netes darah melalui lubang-Iubang kecil yang tersembunyi itu, juga empat orang pelayan laki-Iaki yang tadi duduk di belakang peti-peti itu sekarang sudah terkapar dan tak bernyawa lagi, dengan muka berubah kehitaman! Padahal mereka sama sekali tak melihat dua orang tamu aneh tadi turun tangan terhadap empat orang pelayan itu dan tidak salah lagi, mereka berempat itu tewas pada saat terjadi ribut-ribut penghadangan terhadap dua orang tamu yang melarikan Siangkoan Hay. Tidak ada seorang pun melihat bagaimana empat orang pelayan itu bisa tewas dan siapa yang membunuhnya. Gegerlah tempat itu! Terlebih lagi kepala daerah Nan-king yang pernah diobati oleh suami isteri Siangkoan, yang tadinya memang telah menaruh curiga sehingga pernah menyuruh membuka tutup peti mati di hari pertama, menjadi marah sekali mendengar berita itu. Dia bersama orang-orangnya segera datang ke sana dan memerintahkan para pengawalnya untuk membuka tutup peti dengan paksa. Kembali dua buah peti itu dibuka tutupnya dan semua orang terbelalak, bahkan ada yang mengeluarkan pekik keheranan dan kengerian. Kiranya yang berada di dalam peti mati itu bukan Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, bukan suami isteri pedagang obat itu, melainkan dua orang laki-laki dan perempuan lain lagi, yang usianya sekitar empat puluh tahun dan melihat pakaian mereka, mudah diduga bahwa mereka adalah petani-petani sederhana! Kemana perginya Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, atau lebih tepat lagi, kemana hilangnya jenazah-jenazah mereka yang tadinya telah berada di dalam peti mati? Kenapa tubuh dua orang petani itu tahu-tahu sudah berada di dalam peti dan agaknya mereka belum mati ketika berada dalam peti? Jelas bahwa mereka mati karena serangan gelap dari kedua orang tamu aneh itu karena di sebelah dalam peti nampak bekas jari-jari tangan dan juga di lambung mereka nampak luka-luka menghitam yang kecil-kecil dan sesudah dibedah, ternyata di dalamnya terdapat jarum-jarum hitam kecil. Dan siapa pula yang membunuh empat orang pelayan itu? Semuanya itu terjadi karena ulah suami isteri Siangkoan sediri! Seperti kita ketahui, suami isteri itu mengatur siasat untuk meloloskan diri dari pengamatan dua orang musuh mereka yang amat lihai agar mereka dapat leluasa bergerak dan berbalik melakukan pengintaian dan pengamatan. Diam-diam mereka lalu minta bantuan empat orang yang pernah belajar silat kepada Siangkoan Leng untuk menjadi pengganti pelayan, dan memberi tahu kepada mereka bahwa para pelayan di rumah itu sudah pulang ke kampung karena takut dengan ancaman musuh. Kemudian, dibantu oleh empat orang pelayan yang juga murid mereka itu, suami isteri ini lalu menggali lubang terowongan yang menembus ke luar pagar tembok sehingga suami isteri itu dapat keluar dengan leluasa pada waktu malam. Hal ini mereka lakukan supaya tidak sampai ketahuan pihak musuh yang tentu selalu melakukan pengintaian. Sesudah melakukan perundingan dengan keempat orang pelayan itu bahwa mereka akan melakukan siasat untuk mengelabui musuh, Siangkoan Leng dan Ma Kim Li berpura-pura mati bunuh diri dengan minum racun. Pada saat kepala daerah melakukan pemeriksaan, tubuh mereka memang berada di dalam peti mati itu. Dengan ilmu kepandaian mereka yang sangat tinggi, suami isteri itu dapat menghentikan pernapasan mereka, bahkan jalan darah mereka menjadi sedemikian lemahnya sehingga tidak dapat dilihat orang begitu saja, dan wajah mereka menjadi pucat seperti mayat, juga mereka sanggup menahan napas sampai beberapa lamanya. Dengan kepandaian itu, mereka berhasil mengelabui kepala daerah dan orang-orangnya. Untuk keperluan pernapasan pada saat peti itu tertutup, mereka sengaja membuat lubang-lubang kecil di kanan kiri peti yang agak tersembunyi di antara bunga hiasan peti. Malam hari sebelum terjadi kunjungan dua orang suami isteri iblis itu, secara diam-diam Siangkoan Leng bersama Ma Kim Li keluar dari peti mati dan melalui jalan terowongan di bawah tanah, mereka kemudian pergi ke dusun di luar kota. Tak sukar bagi mereka untuk menemukan sebuah rumah terpencil di pinggir dusun. Sesudah melakukan pengintaian, mereka merasa girang sekali karena menemukan suami isteri yang mereka cari-cari, yakni sepasang suami isteri yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun. Dan yang lebih cocok lagi dengan siasat mereka adalah bahwa mereka itu hanya tinggal berdua saja di rumah kecil miskin yang sunyi terpencil itu. Suami isteri petani itu belum tidur, dan tentu saja mereka merasa sangat terkejut melihat munculnya Siangkoan Leng beserta isterinya yang begitu saja mendorong daun pintu dari luar sampai jebol. "Ehh...apa... siapa...?" teriak petani itu. Akan tetapi Siangkoan Leng sudah menotoknya sehingga dia tak mampu lagi bergerak atau pun berteriak, ada pun Ma Kim Li melakukan hal yang sama terhadap isteri petani. "Itu ada pakaian anak-anak," bisik Ma Kim Li kepada suaminya. Mereka mencari dan menggeledah rumah kecil itu, akan tetapi tidak menemukan orang lain. Walau pun mereka adalah orang-orang yang biasa melakukan perbuatan jahat, akan tetapi sekali ini mereka bekerja secara rahasia dan bersembunyi dari pengintaian musuh, maka keduanya tidak berani mencari lebih jauh dan cepat memanggul tubuh suami isteri petani yang sudah lemas itu, kembaIi ke kota Nan-king. MelaIui jalan terowongan itu mereka menyeret dua tubuh petani memasuki rumah mereka kemudian cepat memasukkan tubuh suami isteri petani itu ke dalam peti-peti mati untuk menggantikan tubuh mereka sendiri. Sebelum itu, mereka menggunakan obat bius untuk membuat suami isteri petani itu pingsan selama sehari semalam. Setelah melakukan perbuatan yang hanya disaksikan oleh empat orang pembantu mereka itu, Siangkoan Leng dan Ma Kim Li lantas keluar dari pekarangan rumah mereka melalui jalan rahasia dan mulailah mereka melakukan pengintaian dari tempat tersembunyi di luar pekarangan. Kini mereka melakukan pengintaian terhadap rumah mereka sendiri! Mereka dapat melihat kesibukan yang terjadi di pekarangan dan juga di ruangan pendapa di mana dua buah peti mati diletakkan, juga melihat orang-orang yang datang melayat dan bersembahyang untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah mereka. Tentu saja mereka terkejut setengah mati melihat seorang anak laki-laki berpakaian kotor dan berambut kusut memasuki pekarangan itu, anak yang bukan lain adalah Siangkoan Hay yang mereka cari-cari. Hampir saja Ma Kim Li berteriak saat melihat puteranya, akan tetapi suaminya sudah memegang lengannya dan cepat memberi isyarat supaya jangan mengeluarkan suara atau pun bergerak. Sekali mereka keluar dan kelihatan orang, berarti terbukalah semua rahasia mereka! Boleh jadi Siangkoan Leng dan Ma Kim Li merupakan dua orang yang sudah kehilangan peri kemanusiaan. Perasaan mereka telah membeku terhadap kehalusan. Keadaan hidup mereka yang lampau sebagai dua orang sesat yang berkecimpung di dalam dunia hitam dan bergelimang dengan kejahatan membuat hati mereka mengeras dan tidak mengenal keharuan. Akan tetapi ketika melihat Siangkoan Hay menangis di antara dua buah peti itu, menangis sambil memanggil-manggil ayah ibunya, dua orang ini nampak bengong dan termenung. Bahkan Ma Kim Li sampai mengusap kedua matanya dan Siangkoan Leng beberapa kali menelan ludah. Bagaimana pun juga, mereka berdua telah menganggap Hay Hay sebagai anak kandung sendiri. Walau pun anak itu bukanlah anak kandung, akan tetapi mereka memeliharanya, membesarkan serta mendidiknya, sejak bayi berusia dua bulan sampai anak itu sekarang berusia tujuh tahun. Dan anak itu sangat cerdas, tabah dan lincah, selalu bergembira dan merupakan cahaya terang dalam kehidupan mereka. Karena watak yang baik dari Siangkoan Hay itulah yang banyak mendorong suami isteri ini untuk memaksa diri melalui jalan benar, tidak pernah lagi mengulangi perbuatan jahat mereka. Demi untuk kehidupan anak mereka itu di kemudian hari maka mereka memaksa diri untuk menjadi 'orang baik-baik'. Karena paksaan dan bukan sewajarnya, maka semua kebaikan yang mereka pertahankan itu pun mudah luntur sehingga begitu ada ancaman bahaya kepada mereka, maka timbul kembali watak jahat mereka! Hidup baik atau pun kebaikan tidak mungkin bisa dilatih! Kebaikan bukanlah suatu hasil usaha atau hasil latihan, tidak mungkin juga dilakukan karena ketaatan atau karena ingin memperoleh balas jasa. Bukanlah suatu kebaikan kalau dilakukan dengan kesengajaan untuk menjadi baik, bukan pula kebaikan kalau dilakukan dengan pamrih apa pun juga, bahkan bukan suatu kebaikan namanya bila pelakunya menyadari bahwa yang dilakukan itu adalah suatu kebaikan! Kesadaran melakukan kebaikan ini pun jelas menyembunyikan pamrih, betapa pun halus pamrih itu, tapi sedikitnya tentu merupakan kesadaran akan kebaikan dirinya yang akan membentuk suatu gambaran mengenai diri sendiri yang penuh dengan kebaikan! Menjadi suatu kesombongan yang terselubung, dan pamrihnya ingin mengulang rasa nikmat yang timbul dalam hati karena telah 'berbuat baik'! Kebaikan adalah suatu keadaan seseorang yang batinnya dipenuhi dengan cahaya cinta kasih. Perbuatan yang didasari cinta kasih pasti benar dan baik, dan bukan kebaikan lagi namanya, tetapi suatu perbuatan wajar penuh peri kemanusiaan yang berlandaskan cinta kasih. Ada pun kebaikan yang dilakukan orang tanpa dasar cinta kasih, namun kebaikan yang dilakukan karena kesadaran bahwa dia 'harus' berbuat baik, maka perbuatan seperti itu, bagaimana pun baik nampaknya, tiada lain hanyalah kemunafikan, atau kepalsuan yang menyembunyikan pamrih untuk diri sendiri, betapa halus pun pamrih itu. Kebaikan seperti ini akan mudah luntur. Sekali pamrihnya tidak didapat, maka perbuatan baiknya pun akan berhenti. Kebaikan yang dilakukan dengan kesadaran seperti itu hanya merupakan suatu jalan atau cara untuk memperoleh suatu tujuan tertentu, dan kebaikan seperti itu tidak ada artinya, baik untuk diri sendiri mau pun untuk orang lain. Tidak anehlah kalau orang-orang seperti Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, setelah selama tujuh tahun menjadi 'orang-orang baik' lantas tiba-tiba saja dapat kembali menjadi kejam. Kekejaman dalam batin mereka belum lenyap, hanya ditekan-tekan saja selama itu, 'demi sesuatu' yang mereka harapkan dalam hal ini, mungkin demi anak mereka! Kebaikan itu seperti harum bunga. Bunganya adalah cinta kasih dan keharumannya itulah kebaikan. Cinta kasih selalu akan menyebarkan kebaikan, tanpa disengaja, karena cinta kasih itu kebaikan, keduanya tak terpisahkan, seperti matahari dengan cahayanya. Keharuan yang menyentuh hati Siangkoan Leng dan Ma Kim Li segera buyar pada saat mereka melihat munculnya Si Tangan Maut Kwee Siong dan Si Jarum Sakti Tong Ci Ki, dua musuh yang ditunggu-tunggu itu! Kembali Ma Kim Li hendak bergerak ketika melihat betapa anaknya ditotok dan ditangkap oleh Tong Ci Ki. Akan tetapi suaminya memegang tangannya. "Jangan bergerak...," bisik Siangkoan Leng kepada isterinya. "Tapi... bagaimana kalau mereka mencelakakan Hay Hay...?" "Tidak. Mereka hendak merampas Hay Hay, bukan hendak membunuhnya! Apa bila kita muncul dan rahasia kita terbuka, tentu lebih repot lagi bagi kita. Biarkan saja mereka, kita dapat membayangi dan setiap waktu dapat berusaha menyelamatkan anak itu." Mereka berdua terus mengintai dan ngeri juga rasa hati mereka pada saat melihat betapa dengan kekuatan sinkang-nya yang sangat dahsyat, iblis dari Goa Iblis Pantai Selatan itu menyerang ke dalam peti, sedangkan isterinya menyerang pula dengan jarumnya melalui lubang-lubang angin. Andai kata tubuh mereka yang berada di dalam peti, agaknya sukar bagi mereka untuk dapat menyelamatkan diri. Ketika keadaan menjadi kacau karena suami isteri iblis itu membawa Hay Hay keluar dan merobohkan orang-orang yang berani menghadang mereka, Siangkoan Leng dan Ma Kim Li cepat menggerakkan tangan dan menyerang empat orang pembantu yang juga pernah menjadi murid mereka dari jarak jauh. Tentu saja keempat orang itu tidak mampu menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum maut Ma Kim Li yang dalam hal penggunaan senjata rahasia beracun ini tidak kalah oleh Si Jarum Sakti Tong Ci Ki. Empat orang itu lalu roboh dan tewas seketika, dan peristiwa pembunuhan ini tidak nampak oleh orang lain karena suasana sedang kacau dan bising. Tentu saja para tamu yang melayat di rumah keluarga Siangkoan itu menjadi geger ketika memperoleh kenyataan bahwa mayat-mayat yang berada di dalam dua buah peti mati itu bukanlah Siangkoan Leng dan isterinya dan betapa empat orang pelayan itu tiba-tiba saja mati seperti tanpa sebab. Bahkan ada yang bisik-bisik dengan muka pucat bahwa semua ini tentulah perbuatan setan. Siangkoan Leng dan Ma Kim Li tidak mau peduli lagi akan keributan yang terjadi di rumah mereka. Mereka sudah cepat membayangi dua orang musuh mereka yang kini membawa pergi Hay Hay dengan melakukan perjalanan cepat sekali keluar dari kota Nan-king. Akan tetapi suami isteri iblis ini sama sekali tidak pernah mengira bahwa jauh di belakang mereka ada sepasang suami isteri yang tidak kalah kejamnya melakukan pengejaran dan selalu membayangi mereka sejak mereka melarikan diri dari Nan-king sambil membawa anak laki-laki itu. Mereka ini adalah Siangkoan Leng dan Ma Kim Li. Sesudah tiba di atas bukit kecil itu, Kwee Siong dan Tong Ci Ki menghentikan lari mereka dan membawa Hay Hay menuju ke bawah sebatang pohon besar yang berada di puncak bukit. Di bawah pohon itu nampak bersih dan agaknya mereka sudah pernah ke tempat itu, dan tempat itu memang menjadi tempat mengaso bagi mereka yang berani melewati daerah rawan ini. Tempat itu yang paling tinggi, bersih terlindung oleh pohon besar, dan rumput yang tebal itu masih bertilamkan daun-daun kering yang lunak, enak untuk duduk mau pun untuk tidur. Kwee Siong menurunkan tubuh Hay Hay yang semenjak tadi dipondongnya, dan cara dia menurunkan tubuh itu, dengan hati-hati dan lembut sekali, menunjukkan bahwa dia tidak bersikap keras terhadap anak itu. Hal ini pun dirasakan oleh Hay Hay, apa lagi ketika pria jangkung kurus itu tiba-tiba saja mengusap tengkuknya sehingga seketika dia pun dapat bergerak mau pun mengeluarkan suara kembali, maka Hay Hay menjadi berani dan dia pun segera bangkit berdiri dari keadaan rebah miring.....


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 2 :
SEMENJAK dia diculik dari dekat peti-peti jenazah itu, dia merasa terkejut dan juga secara diam-diam marah sekali. Apa lagi ketika dia melihat betapa dua buah peti mati itu setelah diraba oleh Si Jangkung lantas mengeluarkan darah. Dia merasa ngeri dan tak mengerti. Jika ayah ibunya memang sudah mati, kenapa dari kedua petinya keluar darah menetes-netes? Ketika dia dilarikan dalam keadaan tidak mampu bergerak mau pun bersuara. Hay Hay membayangkan semua peristiwa yang dialaminya, sejak malam yang sangat mengerikan itu. Ketika ayah ibunya menjenguknya malam-malam itu, dia merasa curiga dan menduga bahwa melihat wajah ayah bundanya yang tegang, tentu sudah terjadi sesuatu yang luar biasa. Dia seorang anak pemberani. Maka, sesudah ayah ibunya keluar lagi, diam-diam dia pun lalu cepat meninggalkan kamarnya dan berindap-indap menuju ke belakang rumah. Dan dia pun melihat apa yang sudah ditemukan ayah ibunya, bangkai-bangkai binatang serta mayat-mayat bergelimpangan di dalam rumah keluarganya! Dia lalu berlari pula mencari-cari sehingga akhirnya dia melihat ayah ibunya berhadapan dengan laki-laki dan perempuan yang keadaannya mengerikan, laksana dua sosok mayat hidup. Akan tetapi yang sangat menarik perhatiannya adalah percakapan yang terjadi di antara ayah ibunya dan dua orang aneh itu. Dua orang itu agaknya memperebutkan dia! Walau pun dia tidak dapat mengerti sepenuhnya akan maksud perbantahan empat orang itu, akan tetapi dia mendengar betapa laki-laki dan perempuan berpakaian serba hitam itu mengaku dia sebagai anak mereka! Seminggu lagi mereka akan datang untuk mengambil dirinya dan sebulan kemudian akan membunuh ayah ibunya! Melihat bangkai-bangkai dan mayat-mayat tadi sudah mengguncang perasaan Hay Hay, kini mendengar perbantahan itu, dia menjadi semakin bingung. Benarkah dia bukan anak kandung ayah ibunya, melainkan anak kandung sepasang manusia seperti mayat hidup ini? Dia merasa semakin ngeri dan bingung. Mereka datang untuk mengambilnya! Ingatan ini saja yang mengejarnya dan anak ini pun lari meninggalkan rumahnya. Sebagai seorang anak laki-laki yang lincah dan senang berkeliaran. Hay Hay mengenal tempat-tempat yang sangat tersembunyi dan ketika ayah ibunya mencari-carinya, dia pun bersembunyi di bawah jembatan kecil. Dia sering kali datang ke sini untuk memancing ikan dan mencari belut. Tempatnya amat tersembunyi dan kalau tidak merangkak ke tepi sungai kecil itu, maka orang takkan dapat memasukinya, bahkan tidak nampak sama sekali dari luar karena tertutup dengan semak-semak. Maka tidak mengherankan apa bila orang-orang lihai seperti Siangkoan Leng dan Ma Kim Li tidak berhasil menemukan putera mereka itu. Siapa yang menyangka bahwa anak itu akan bersembunyi di bawah jembatan itu, yang pantasnya hanya ditempati oleh katak dan belut-belut? Lagi pula Siangkoan Leng dan isterinya menduga bahwa anak mereka diculik orang, bukan melarikan diri. Hay Hay tinggal di bawah jembatan sampai tiga hari. Hanya kalau perutnya merasa amat lapar saja dia keluar pada waktu malam gelap lantas mendatangi kawan-kawannya untuk meminta makanan. Dan teman-teman itu pun, seperti biasanya anak-anak kecil yang suka akan petualangan, merahasiakan tempat sembunyinya dan setia kawan padanya. Pada hari ke empat, pada saat dia masih tidur nyenyak, salah seorang kawannya datang menjenguknya dan mengguncang-guncang tubuhnya, membangunkannya dengan berita, bahwa ayah ibunya sudah meninggal dunia dan kini telah dilayat orang! Mendengar berita hebat itu, Hay Hay lupa akan segala kengerian dan dia pun berlari pulang. Dapat dibayangkan betapa sedih dan bingungnya ketika dia melihat dua buah peti mati di ruangan depan. Apa lagi ketika ada seorang tetangga yang mengenalnya ketika dia baru memasuki pekarangan. Tetangga itu segera merangkulnya dan mengeluh. "Kasihan kau, Hay Hay. Masih begini kecil ditinggal mati ayah ibu secara mendadak..." Hay Hay tidak ragu-ragu lagi. Ayah ibunya telah mati dan telah dimasukkan peti mati! Dia lantas menghampiri, berlutut di depan kedua peti dan menangislah dia dengan hati sedih dan bingung. Diam-diam dia merasa menyesal bukan main kenapa dia telah melarikan diri sehingga dia tidak tahu mengapa ayah ibunya mati dan apa yang menyebabkan kematian mereka. Kemudian muncul dua orang yang membuatnya merasa seram itu dan dia pun dibuat tak dapat bergerak mau pun bersuara sehingga ketika dia dipondong dan dibawa pergi, dia tidak mampu melawan sama sekali. Sehari semalam dia dibawa pergi dan mereka hanya berhenti untuk makan minum. Akan tetapi Hay Hay tidak pernah mau makan dan minum. Tiap kali dibebaskan dari totokan, dia segera bertanya apa yang telah terjadi dengan ayah ibunya kepada orang-orang itu. Akan tetapi mereka tak pernah mau bicara dan memaksa kalau dia tidak mau makan. Dia hanya ditotok lagi dan dibawa pergi lagi. Betapa pun juga, suami isteri yang seperti mayat hidup atau iblis itu tak pernah bertindak kasar terhadap dirinya. Sebaliknya malah, mereka selalu mencoba membujuknya dengan kata-kata manis agar dia mau makan atau minum. Namun selalu ditolaknya. Ketika pagi hari itu mereka berhenti di puncak bukit dan dia diturunkan lantas dibebaskan dari totokan, Hay Hay langsung bangkit berdiri kemudian memandang kepada suami isteri itu dengan mata terbelalak penuh penasaran, kemarahan dan keberanian. "Sebetulnya, apakah yang telah kalian lakukan? Di mana ayah ibuku, dan apa yang telah terjadi dengan mereka?" Dua orang itu saling memandang dan agaknya dalam bertukar pandang itu mereka juga bertukar pikiran karena Kwee Siong segera mengangguk dan membiarkan isterinya yang bicara dengan anak itu. "Sin-tong..." "Namaku bukan Sin-tong, namaku Siangkoan Hay dan biasa disebut Hay Hay!" kata Hay Hay dengan sikap angkuh karena hatinya penuh kemengkalan terhadap mereka. Wanita itu tersenyum. Memang wajahnya manis sekali bila sedang tersenyum walau pun usianya telah mendekati setengah abad. Akan tetapi karena muka itu pucat seperti mayat dan hanya kedua matanya saja yang nampak hidup dan indah, maka kemanisan wajah itu mengandung keseraman. "Anak baik, namamu sekarang ini adalah palsu. Engkau disebut Sin-tong (Anak Ajaib) dan belum diberi nama, sebab itu kusebut Sin-tong padamu. Ketahuilah bahwa yang bernama Siangkoan Leng itu bukan ayahmu, dan Ma Kim Li itu bukan ibumu!" Hal ini sudah didengarnya malam itu, pada waktu dua orang ini berbantahan dengan ayah ibunya. Tentu saja dia tidak mau percaya begitu mudah. Dia adalah seorang anak cerdik yang biasanya berwatak lincah jenaka, dan walau pun ketika itu dia merasa berduka dan bingung, akan tetapi dia tak kehilangan kecerdikan dan keberaniannya yang memang luar biasa. "Bukan anak kandung mereka akan tetapi anak kalian, begitukah? Hemmm, jangan harap aku dapat mempercayai keterangan itu. Kalau aku bukan anak mereka, bagaimana sejak bayi aku berada bersama mereka?" "Karena pada saat engkau berusia dua bulan engkau sudah diculik oleh mereka, mereka datang membawa bayi mereka yang berpenyakitan, lalu menukarkan bayi mereka dengan engkau, membunuh dua orang, tiga dengan bayi mereka sendiri dan melarikan engkau ke utara, ke kota Nan-king." Hay Hay mengerutkan alisnya. "Membunuh bayi mereka sendiri kemudian menukar bayi itu dengan aku? Tidak mungkin Ayah dan Ibu melakukan perbuatan seperti itu!" "Anak baik, tentu engkau belum mengenal benar siapa adanya orang-orang yang selama ini kau anggap sebagai ayah dan ibu kandungmu itu." "Tentu saja aku mengenal mereka! Ayahku bernama Siangkoan Leng dan ibuku bernama Ma Kim Li. Mereka adalah ahli-ahli pengobatan dan berdagang obat-obatan, dan mereka adalah orang-orang baik yang suka menolong orang, mengobati banyak orang, bila perlu mengobati orang-orang miskin tanpa bayar." "Ha-ha-ha-ha!" Si Tangan Maut Kwee Siong tertawa. Hay Hay memandang pada wajah orang itu dengan dua mata terbelalak dan hati merasa ngeri. Orang itu benar-benar memiliki muka seperti kedok. Ketika tertawa hanya mulutnya saja ternganga dan mengeluarkan suara bergelak itu, akan tetapi bagian lain dari muka itu sama sekali tidak ikut tertawa. "Sin-tong, ketahuilah bahwa ayah dan ibumu itu bukanlah orang tua kandungmu. Mereka adalah tokoh-tokoh yang terkenal dengan julukan Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan)! Pada tujuh tahun yang lampau mereka menukarkan anak kandung mereka yang berpenyakitan denganmu, membunuh dua orang yang mengasuhmu dan juga membunuh anak mereka sendiri untuk menghilangkan jejak. Mereka lantas membawamu lari ke kota Nan-king dan mereka pura-pura berdagang obat untuk menyembunyikan diri. Akan tetapi akhirnya kami bisa menemukan mereka dan telah menghukum mereka. Sekarang mereka telah tewas, ha-ha-ha...!" Diam-diam anak itu sangat terkejut dan masih ragu-ragu, sukar untuk dapat mempercayai keterangan dua orang yang nampak seperti mayat hidup itu, tetapi juga mulai meragukan keaslian ayah bundanya. "Kalau benar aku ini anak kalian, kenapa kalian membiarkan aku diculik orang?" "Ketika mereka datang lalu membawamu, kami sedang pergi dan engkau hanya bersama dengan seorang pengasuh yang ditemani seorang nikouw dan..." Tiba-tiba saja Kwee Siong berhenti bicara dan telah meloncat berdiri diikuti isterinya. Juga Hay Hay kaget bukan main ketika secara tiba-tiba saja datang angin besar yang membuat daun-daun kering yang berserakan di bawah pohon itu beterbangan! Dan tiba-tiba saja, ketika daun-daun yang tadinya beterbangan dan menutupi pandangan mata itu turun kembali ke atas tanah bersama debu yang tadi mengepul tinggi, terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ, hanya beberapa meter saja dari mereka, telah berdiri seorang kakek berkepala botak! Kakek itu tubuhnya bundar seperti bola karet, kepalanya bundar, perutnya bundar bahkan kaki dan tangannya itu pun seperti bundar-bundar saking gemuknya. Matanya, hidungnya, mulutnya, telinganya, semuanya berbentuk bundar. Karena gemuk dan berkulit kuning, dia nampak seperti seekor babi raksasa yang sedang berdiri di atas kedua kaki belakangnya dan memakai pakaian! Pakaiannya kedodoran, celananya lebar dengan jubah yang terbuka di bagian depannya hingga nampak dada dan perut yang penuh daging, kulit yang kuning mulus tanpa rambut seperti tubuh seorang bayi. Sukar menaksir berapa usia kakek ini, dan melihat mukanya yang selalu menyeringai serta matanya yang lebar itu selalu bercahaya, mukanya selalu berseri, orang akan menduga bahwa kakek ini seorang yang peramah dan baik hati. "Heh-heh-heh-heh, ada orang-orang yang tidak tahu diri, berani sekali mengotori tempat ini." Kakek itu memandang kepada Kwee Siong, Tong Ci Ki dan Hay Hay bergantian, lalu melanjutkan. "Hayo kalian bersihkan tempat ini, sapu bersih daun-daun ini dan setelah itu cepat pergi tinggalkan tempat ini!" Semua ini diucapkan dengan wajah masih berseri dan ramah sehingga amat berlawanan. Wajahnya saja kelihatan tersenyum menyeringai dan ramah, akan tetapi isi kata-katanya memerintah dan bahkan mengandung nada mengancam. Pasangan suami isteri penghuni Goa Iblis Pantai Selatan ini adalah dua orang tokoh hitam yang amat terkenal di daerah pantai laut selatan. Mereka adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan dan sudah biasa pula dihormati dan ditakuti orang. Hal ini mendatangkan suatu watak sombong dan memandang rendah orang lain. Oleh karena itu, biar pun kemunculan kakek bulat tadi sempat mengejutkan hati mereka, sesudah melihat bahwa kakek itu nampaknya tidak mengesankan dan tidak menakutkan, apa lagi mendengar ucapannya yang mereka anggap sebagai penghinaan, suami isteri itu menjadi marah sekali. "Tua bangka bermulut tancang! Engkau telah bosan hidup rupanya!" Si Jarum Sakti Tong Ci Ki membentak marah lantas sekali tangan kirinya bergerak, sinar hitam menyambar ke arah dada dan perut yang tidak terlindung itu. Kakek gendut itu agaknya tidak tahu akan serangan itu, atau memang tidak sempat untuk mengelak atau menangkis. Selain sambitan jarum itu amat cepat dan jarak mereka tidak terlampau jauh, juga kakek gendut itu tentu saja sangat lamban gerakannya, mengingat tubuhnya yang amat gendut itu. Jelas nampak betapa belasan batang jarum halus berwarna hitam itu menyambar deras lantas mengenai leher, dada dan perut yang tak terlindung baju itu. Nampak jelas betapa jarum-jarum hitam itu menancap pada kulit leher, dada dan perut, akan tetapi kakek botak gendut yang sedang tersenyum itu seperti tidak pernah merasakan dan senyumnya tidak pernah putus, bahkan berkedip pun tidak! Tentu saja Tong Ci Ki terbelalak dan mulutnya ternganga, tidak percaya akan penglihatan matanya sendiri. Jarum-jarum hitam itu adalah senjata rahasia yang ampuh, mengandung racun yang seketika dapat mencabut nyawa lawan yang terkena jarum itu. Akan tetapi, kini jarum-jarumnya menancap di tubuh itu seperti menancap batang pohon saja! Kwee Siong yang juga sangat marah, menyusul serangan isterinya itu dengan terjangan dahsyat. Dia tadi juga terkejut melihat betapa jarum-jarum yang dilepas isterinya itu tepat mengenai tubuh lawan akan tetapi kakek gendut itu tidak roboh, maka dia pun langsung mempercepat serangannya dan tangannya yang kanan menyambar ke arah kepala kakek botak itu. Kembali kakek itu tidak mengelak atau pun menangkis, hanya memandang dengan mulut tersenyum menyeringai saja, bahkan matanya berkedip-kedip lucu. Akan tetapi pada saat tangan yang menampar itu, tangan yang mengandung tenaga sinkang amat kuatnya telah menyambar dekat, tinggal beberapa senti lagi dari kepala botak itu, tiba-tiba saja tangan itu menyeleweng bagai terpeleset oleh sesuatu yang amat licin sehingga sama sekali tak mengenai kepala itu, hanya menyerong ke samping lantas lewat beberapa senti jauhnya dari kepala itu. Selain terkejut dan heran, suami isteri penghuni Goa Iblis Pantai Selatan itu juga merasa penasaran dan marah sekali. Orang-orang seperti mereka selalu memandang diri sendiri terlalu tinggi dan tidak menghargai orang lain, maka setiap kali mereka gagal, tentu hal ini dianggap sebagai sesuatu yang menimbulkan rasa penasaran dan kemarahan. Tiba-tiba saja mereka cepat menjatuhkan diri bertiarap di atas tanah, lalu bergulingan dari dua jurusan menuju ke arah kakek gendut dan sesudah dekat, keduanya menggerakkan tubuh, serentak menyerang dari bawah dengan pukulan yang dahsyat luar biasa. Pukulan mereka itu datang dari kanan kiri dan menghantam ke arah tubuh gendut kakek itu yang masih saja tersenyum-senyum seperti seorang dewasa menghadapi kenakalan dua orang anak kecil. Suami isteri yang tadinya bergulingan dan bertiarap itu, pada saat memukul tubuh kakek itu, mereka tiba-tiba meloncat ke atas sehingga tenaga pukulan yang bertolak dari tanah itu amatlah kuatnya. "Desss...! Desss...!" Dua pukulan itu laksana berlomba mengenai tubuh kakek gendut dari kanan kiri. Seperti juga tadi, kakek itu sama sekali tak mengelak, hanya berdiri tegak dengan kedua kakinya terpentang lebar dan agaknya membiarkan saja dua pukulan dari kanan kiri itu mengenai tubuhnya. Hanya ketika pukulan itu tiba, dia mengembangkan dua lengannya, kemudian setelah pukulan mengenai tubuhnya, dia mengibaskan kedua tangannya yang jari-jarinya juga bulat-bulat itu ke bawah, seperti orang mengusir dua ekor lalat yang mengganggu saja layaknya. Dan akibatnya, tubuh yang menerima pukulan itu tidak bergoyang sedikit pun, sebaliknya, dua tubuh yang sedang meloncat sambil memukul dari bawah tadi, kini terpelanting lantas berguling-guling di atas tanah. Suami isteri itu merasa tubuh mereka amat panas seperti baru saja disambar petir. Ketika mereka mampu menguasai tubuh dan hendak meloncat bangun, kakek gendut itu menggerakkan tangannya lantas angin yang kuat menyambar, membuat dua orang suami isteri itu roboh kembali setiap kali mereka mau bangkit! Tentu saja dua orang itu terkejut setengah mati. Setelah mengerahkan seluruh tenaga dan mencoba untuk bangkit dengan segala cara dan akal namun selalu dirobohkan kembali oleh pukulan jarak jauh dari kakek itu, akhirnya keduanya baru yakin benar bahwa sesungguhnya mereka berdua itu berhadapan dengan seorang yang mempunyai kesaktian luar biasa, yang tingkat kepandaiannya beberapa kali lebih tinggi dari pada tingkat mereka. Maklumlah mereka bahwa bagaimana pun juga, mereka tidak akan sanggup menandingi kakek itu dan jika kakek itu menghendaki, agaknya dengan mudah kakek itu akan dapat membunuh mereka. Oleh karena ini, Si Tangan Maut Kwee Siong langsung berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu, diturut oleh isterinya walau pun dengan hati segan. "Kami berdua seperti buta, tidak mengenal Locianpwe yang sangat sakti sehingga berbuat kurang ajar, harap Locianpwe sudi memaafkan kami," kata Kwee Siong tanpa malu-malu lagi karena selain di situ tak ada orang yang menyaksikan kekalahan mereka kecuali Hay Hay yang hanya berdiri dan menonton dengan mata terbelalak kagum, juga mereka harus mengubah sikap untuk mencari keselamatan diri. Kakek itu hanya tertawa dan pada saat itu, kembali pasangan suami isteri dari Goa Iblis Pantai Selatan itu terkejut karena tiba-tiba saja ada angin yang menyambar kuat. Nampak bayangan orang berkelebat lalu bayangan itu membuat gerakan berputar, lantas timbullah angin berpusing, angin puyuh yang menerbangkan daun-daun pepohonan. Semakin lama angin itu berpusing, maka semakin cepat dan makin banyak pula daun-daun beterbangan ikut dalam pusingan yang kuat itu. Setelah angin puyuh itu mereda dan daun-daun juga sudah turun kembali, di situ nampak seorang kakek tinggi besar yang berkulit hitam. Kakek itu sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan kokoh kekar, nampak makin kuat karena kulit muka, leher dan tangannya yang hitam kasar. Wajah kakek hitam ini penuh dengan alis tebal, kumis dan jenggot lebat hitam dan muka itu membayangkan kegalakan serta kekejaman yang amat keras. Pakaiannya sederhana namun kuat dan ringkas, sepatunya dari kulit tebal dan di bagian bawahnya berlapis besi. Sungguh keadaan kakek ini menjadi kebalikan dari keadaan kakek gendut yang nampak halus dan ramah itu. Tiba-tiba kakek hitam itu melangkah lebar ke arah semak-semak belukar yang agak jauh dari situ. Tentu saja Siangkoan Leng dan Ma Kim Li suami isteri yang yang semenjak tadi melakukan pengintaian sambil menanti kesempatan baik untuk merampas kembali anak mereka, menjadi terkejut sekali ketika melihat kakek tinggi besar itu melangkah lebar dan tahu-tahu berada di depan mereka yang sedang bersembunyi. Celaka, pikir mereka. Sepasang suami isteri Goa Iblis itu saja tadi seperti anak-anak kecil yang tidak berdaya terhadap kakek gendut, dan kini muncul lagi kakek tinggi besar yang aneh ini. Agaknya, dengan adanya mereka, merampas kembali anak mereka merupakan hal yang kecil sekali kemungkinannya. Paling perlu menyelamatkan diri lebih dahulu, pikir mereka. Karena itu, tanpa banyak cakap lagi Siangkoan Leng memegang tangan isterinya untuk diajak meloncat pergi dari tempat berbahaya itu. Akan tetapi, begitu mereka meloncat, keduanya segera terpelanting dan roboh terbanting, seolah-olah ada tenaga tidak nampak yang menarik mereka dari samping. Padahal, ketika terjatuh Siangkoan Leng masih dapat melihat bahwa kakek tinggi besar itu hanya sedikit menggerakkan tangan kirinya saja, dari mana tenaga yang membuat mereka terpelanting tadi. Karena panik, Siangkoan Leng pun menjadi nekat. Dia membuat gerakan meloncat sambil melengking, langsung diikuti oleh isterinya. Itulah ilmu yang mereka andalkan dan karena mereka melakukan serangan berbareng, maka daya serang mereka berdua menjadi hebat bukan main. Dari atas, kanan kiri, mereka menerkam ke arah kakek hitam dengan kedua tangan terbuka dan membentuk cakar, dari mana keluar tenaga yang amat kuat. Kakek tinggi besar hitam berdiri tegak tanpa mengeluarkan suara apa-apa, lantas tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangan menyambut. Dua tangan yang besar itu hanya mengibas saja ke arah kedua orang lawannya dan tubuh dua orang suami isteri itu pun terjengkang lalu terbanting keras ke atas tanah! Sebelum Siangkoan Leng dan Ma Kim Li sempat bergerak, tahu-tahu kakek tinggi besar itu sudah tiba di dekat mereka. Dua tangan yang besar itu menyambar tengkuk, kemudian bagaikan dua ekor kelinci saja, dua orang itu sudah diangkat oleh Si Kakek Hitam yang melangkah lebar mendekati kakek gendut lalu melemparkan Siangkoan Leng dan Ma Kim Li ke atas tanah! "Pak-kwi-ong, engkau dimata-matai orang sampai tidak tahu. Sungguh ceroboh!" Si Tinggi Besar muka hitam mengomel. Sejak tadi Kakek gendut yang disebut Pak-kwi-ong (Raja Setan Utara) itu tersenyum menyeringai saja dan kini dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, Setan Hitam, kedatanganmu pun aku sudah tahu sebelumnya, apa lagi dua ekor tikus itu!" Sementara itu, Ma Kim Li yang merasa sudah terlanjur memasuki tempat berbahaya itu, segera menghampiri Hay Hay dan berkata. "Hay Hay, Anakku...! Mari ikut Ibu, Nak." Akan tetapi, Hay Hay yang sedang mengalami pukulan-pukulan batin dan kebingungan itu mendadak saja merasa asing terhadap ibunya sendiri dan ketika ibunya memanggilnya, dia malah melangkah mundur sambil memandang dengan wajah agak pucat. Melihat ini, Ma Kim Li lalu menghampirinya. Akan tetapi Tong Ci Ki yang tadinya berlutut di depan kakek gendut, tiba-tiba saja bangkit berdiri dan menerjang ke arah Ma Kim Li sambil membentak, "Jangan ambil lagi anak itu!" Ma Kim Li marah dan menyambut dengan serangan. Pukulannya meluncur ke arah dada Tong Ci Ki. Wanita baju hitam ini mengelak lantas membalas dengan tendangan kakinya yang berhasil dielakkan pula oleh lawan. Melihat isteri mereka berkelahi, Siangkoan Leng dan Kwee Siong tidak tinggal diam. Mereka segera menyerbu dan keduanya juga sudah berkelahi dengan sengit. Melihat empat orang itu berkelahi, dua orang kakek itu saling pandang. Si Kakek Hitam hanya mengerutkan alisnya, akan tetapi Si Kakek Gendut tertawa-tawa. "Wah, bocah-bocah kurang ajar ini memang terlalu sekali! Di hadapan kakek-kakek buyut mereka masih berani berkelahi tanpa minta ijin lebih dulu." Dia mengomel, kemudian dia mengeluarkan suara memerintah, "Hayo kalian berempat berlutut semua!" Kemudian dua tangannya bergerak-gerak seperti orang menggapai namun akibatnya luar biasa. Empat orang yang sedang berkelahi itu tiba-tiba saja roboh terguling. Mereka terkejut bukan kepalang. Mereka itu, baik suami isteri penghuni Goa Iblis Pantai Selatan, mau pun Lam-hai Siang-mo, keempatnya sudah memperoleh julukan 'iblis' yang menunjukkan bahwa mereka sudah berada pada tingkat puncak dari dunia hitam, menjadi datuk-datuk golongan sesat yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi kenapa sekarang mereka seperti anak-anak kecil yang tidak bisa apa-apa dan amat lemah saja? Dan yang lebih mengejutkan lagi, kakek gendut itu tak pernah menyentuh mereka, hanya dengan hawa pukulan saja mampu merobohkan mereka! Karena maklum bahwa mereka semua sama sekali tidak akan mampu menandingi kedua orang kakek itu, maka mereka segera menjatuhkan dirinya berlutut. Mereka memiliki jalan pikiran yang sama. Kini mereka berhadapan dengan dua orang yang tingkatnya jauh lebih tinggi, maka sebaiknya tidak melawan dan bahkan minta pertimbangan mereka! "Harap Locianpwe maafkan kami..." Demikian terdengar suara lirih dari mulut mereka. Melihat betapa dua orang yang tadinya dianggap ayah bundanya, juga musuh mereka, yaitu suami isteri yang menculiknya, sekarang nampak tak berdaya sama sekali, seperti orang-orang yang lemah saja, kehilangan kegalakan mereka terhadap dua orang kakek aneh ini, tiba-tiba saja Hay Hay mendapat pikiran untuk mengorek rahasia tentang dirinya dari mereka berempat. Kalau saja dua orang kakek itu mau membantunya! Maka dia pun cepat berlari menghampiri dua orang kakek itu yang sekarang sudah duduk berdampingan sambil bersila di atas batu-batu di puncak itu, lantas dia berkata dengan suara lantang. "Ji-wi Locianpwe yang baik. Karena aku masih kecil dan tidak mampu bertindak sendiri, maka aku mengharap Ji-wi suka membantuku untuk mencari rahasia tentang diriku. Akan tetapi kalau Ji-wi menolak, berarti aku salah menilai orang." Kedua orang kakek itu kembali saling pandang dan kakek hitam memancarkan sinar mata berkilat tanda marah kepada anak kecil itu, ada pun kakek gendut masih tersenyum lebar, akan tetapi alisnya berkerut juga ketika dia mendengar ucapan anak itu. "Salah menilai bagaimana ?" tanya kakek gendut. "Aku menilai bahwa Ji-wi tentu merupakan datuk-datuk persilatan yang sudah mempunyai kedudukan tinggi sekali, penuh wibawa dan adil, maka tentu Ji-wi akan mau membantuku. Jika tidak berarti penilaianku salah dan ternyata Ji-wi juga hanya dua orang kakek usil dan suka mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa itu untuk mengganggu orang yang lebih lemah saja." Hay Hay memang pandai bicara, lincah dan cerdik. Akan tetapi sikap serta ucapannya sekarang ini malah membuat suami isteri yang selama ini mengaku orang tuanya menjadi khawatir bukan main. "Kepandaian yang tidak seberapa katamu?!" bentak kakek hitam tinggi besar. Selama hidupnya belum pernah ada orang yang berani memandang rendah kepadanya, tetapi kini seorang anak kecil berusia tujuh tahun berani mengatakan dia dan Pak-kwi-ong sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian yang tidak seberapa. "Ya, tidak seberapa. Coba Ji-wi lihat. Sebatang pohon yang tidak mampu bergerak dapat menghasilkan daun hijau, bunga indah dan buah. Apakah Ji-wi mampu membuat semua itu? Kalau tidak dapat berarti Ji-wi kalah oleh sebatang pohon saja. Dan lihat kupu-kupu itu. Apa Ji-wi dapat terbang seperti mereka? Berarti Ji-wi kalah oleh kupu-kupu kecil saja. Apakah semua ini bukan membuktikan bahwa kepandaian Ji-wi tidak seberapa? Apabila dipakai menolongku masih ada gunanya, tapi sebaliknya jika hanya untuk main sombong-sombongan, apa gunanya?" Dua orang kakek itu bangkit berdiri dan memandang kepada anak kecil itu dengan mata terbelalak. Mereka seolah-olah mendengar suara seorang yang lebih tinggi kedudukannya dan kepandaiannya dari pada mereka! "Kau siapa?!" bentak kakek hitam. Hay Hay menggeleng kepalanya. "Aku sendiri pun amat bingung, Locianpwe. Menurut dua orang yang memeliharaku semenjak kecil ini, yang mengaku sebagai ayah ibuku, namaku adalah Siangkoan Hay, anak mereka. Tapi menurut mereka berdua itu, yang menculikku, katanya aku bukan anak mereka dan namaku itu palsu, bahwa aku adalah Sin-tong..." "Sin-tong...? Ha-ha, sungguh menarik!" Kakek gendut terkekeh dan memandang dengan penuh perhatian kepada Hay Hay. Akan tetapi kakek hitam yang berjuluk Tung-hek-kwi (Setan Hitam Timur) itu tidak banyak bicara lagi. Dengan matanya yang mencorong aneh itu, tiba-tiba dia memandang suami isteri penghuni Goa Iblis Pantai Selatan. "Coba ceritakan tentang anak ini. Kalau membohong tebusannya nyawa kalian!" Biar pun merasa terhina dan rendah sekali diperlakukan seperti itu, namun suami isteri ini mengenal orang yang jauh melebihi mereka, maka sikap yang menghina itu pun mereka telan saja. Bahkan mereka mengharapkan untuk mendapat bantuan dan dukungan kakek sakti itu untuk dapat mempertahankan Hay Hay yang sudah mereka rampas dari tangan Siangkoan Leng dan isterinya. "Heh-heh, kalian juga harus menceritakan yang sebenarnya tentang anak ini!" kata pula Pak-kwi-ong kepada Lam-hai Siang-mo. "Anak itu memang anak tunggal kami, Locianpwe, dan namanya Siangkoan Hay...," kata Siangkoan Leng. "Bohong! Dia berbohong, Locianpwe!" bantah Kwee Siong. "Kalian tidak perlu cekcok, kau ceritakan lebih dahulu yang sebenarnya." kini kakek hitam Tung-hek-kwi berkata kereng. "Yang lain diam saja!" Si Tangan Maut Kwee Siong lalu bercerita dan merasa dirinya remeh sekali terhadap dua orang kakek sakti itu. "Tujuh tahun yang lalu, suami isteri pendekar Pek melarikan diri dari Tibet ketika isteri pendekar itu mengandung tua. Mereka terpaksa melarikan diri karena di antara para pimpinan Lama ada ramalan yang menyatakan bahwa anak yang dikandung itu adalah calon Dalai Lama, calon seorang suci, maka setelah terlahir tentu akan diambil dan dibawa ke dalam kuil untuk dididik..." "Nanti dulu!" bentak Tung-hek-kwi. "Kau maksudkan pendekar Pek yang mana? Apakah pendiri dari Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) di barat?" "Kalau tidak keliru, muridnya atau puteranya, Locianpwe. Tapi mungkin puteranya karena dia terkenal dengan nama marga Pek." Teruskan!" "Berita itu segera tersiar luas dan terkenallah bahwa ada Sin-tong yang akan terlahir. Hal ini tentu saja amat menarik perhatian. Dan pada suatu malam, saat suami isteri pendekar itu menyembunyikan diri dalam kuil setelah anak mereka terlahir, baru berusia dua bulan, datanglah Lam-hai Siang-mo ini dan mereka pun mempunyai seorang anak yang sebaya. Anak mereka itu berpenyakitan dan agaknya, mendengar berita tentang Sin-tong, mereka lalu membunuh seorang nikouw dan pengasuh anak itu, kemudian menculik Sin-tong dan meninggalkan anak mereka sendiri sebagai gantinya setelah mereka membunuh anak itu dan merusak mukanya supaya tidak dikenal orang dan disangka Sin-tong yang terbunuh. Kami tiba di tempat kejadian itu dan setelah memeriksa luka dan jarum-jarum yang ada di tubuh para korban, kami segera dapat menduga bahwa pembunuhnya tentulah Lam-hai Siang-mo. Kami lantas melakukan pencarian dan setelah tujuh tahun, baru kami berhasil menemukan mereka. Kami lalu merampas kembali Sin-tong dan kami bawa lari sampai di sini dengan maksud untuk mengembalikannya kepada orang tuanya yang sebenarnya..." "Benarkah cerita itu?!" bentak Tung-hek-kwi bengis kepada Lam-hai Siang-mo. Suami isteri ini tidak berani menyangkal lagi karena memang cerita itu benar. "Memang benar, akan tetapi mereka itu berbohong jika mengatakan bahwa mereka akan membawa Hay Hay kepada pendekar Pek. Mereka jelas berbohong! Yang benar, mereka tentu akan membawa Hay Hay kepada para pendeta Lama untuk memperoleh ganjaran!" Ma Kim Li berhenti sebentar kemudian memandang kepada Tong Ci Ki dan suaminya penuh geram. "Mereka berdua adalah penghuni-penghuni Goa Iblis Pantai Selatan, mana mungkin mau membantu pendekar Pek?" cerita silat online karya kho ping hoo Mendengar percakapan mereka itu, sejak tadi Hay Hay memandang kepada orang tuanya dengan mata terbelalak dan tanpa disadarinya lagi, kedua matanya itu basah. Akan tetapi dia tak menangis. Tidak, dia malah mengepal kedua tinjunya dan menekan perasaannya yang terguncang. Ternyata benar bahwa dia bukan anak Siangkoan Leng dan Ma Kim Li! Dia bukan she (nama keturunan) Siangkoan, melainkan she Pek! Putera pendekar Pek! Dengan tabah dia lalu melangkah maju menghadapi suami isteri yang tadinya dianggap ayah bundanya. Mereka tidak pernah memperlihatkan sikap sayang mereka kepadanya, akan tetapi harus diakuinya pula bahwa mereka pun tak pernah bersikap kasar. Mereka itu menyayangnya dengan cara mereka sendiri! "Benarkah bahwa aku bukan anak kandung kalian dan bukan she Siangkoan, melainkan she Pek?" Dia bertanya kepada suami isteri itu tanpa menyebut ayah atau ibu. Ma Kim Li mengangguk. "Benar, Hay Hay, akan tetapi kami menyayangimu seperti anak kandung kami sendiri. Hal ini tentu kau tahu." Hay Hay adalah seorang anak yang selain cerdik, juga amat keras hati sehingga dia pun bukan anak cengeng dan tidak mudah dikuasai perasaannya. Sekarang dia memandang kepada wanita yang biasa dipanggil ibu itu dengan sinar mata dingin. "Anak kandung sendiri kalian bunuh dan mukanya dirusak untuk ditukarkan dengan aku, anak orang lain. Apa sebabnya kalian sampai hati melakukan hal itu?" Lam-hai Siang-mo tidak menjawab. "Apa sebabnya?" Anak itu mendesak. Kedua orang itu tetap tidak mengeluarkan suara jawaban. Dengan tiga langkah lebar saja Tung-hek-kwi sudah menghampiri mereka dan kedua tangannya menyambar. Suami isteri yang berjuluk Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) itu berusaha mengelak atau menangkis, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu mereka kehilangan tenaga dan tengkuk mereka sudah dicengkeram, tubuh mereka diangkat dan kakek tinggi besar hitam itu membanting. "Bresss...!" Tubuh suami isteri itu terbanting keras sampai mereka terguling-guling. "Masih juga tidak mau menjawab pertanyaan Sin-tong?!" bentak kakek itu. Siangkoan Leng dan isterinya terkejut sekali dan kesakitan, mereka mengangguk-angguk dan cepat Ma Kim Li berkata kepada anak yang biasanya dianggap sebagai anak sendiri yang disayangnya. "Anak kandung kami... berpenyakitan, jadi kami ingin menukarkan dia dengan anak yang sehat, kami bunuh dua orang itu supaya tidak membuka rahasia kami dan kami rusak muka anak kandung kami agar tidak dikenal lagi." "Bohong!" Tiba-tiba terdengar Tong Ci Ki berseru "Apa bila hanya ingin memperoleh anak sehat, kenapa yang dipilihnya justru Sin-tong, putera keluarga pendekar Pek yang banyak dibicarakan orang itu? Mereka tentu mempunyai keinginan yang sama dengan kami, yaitu ingin mendapatkan pahala dengan menyerahkan anak itu kepada para pendeta Lama di Tibet." Mendengar kata-kata ini, Hay Hay kembali mendesak wanita yang pernah menjadi ibunya. "Betulkah begitu?" Sambil melirik ke arah kakek tinggi besar yang galak dan sakti itu, Ma Kim Li menjawab. "Benar, Hay Hay. Pada mulanya memang kami hendak menukarkan engkau kepada para pimpinan pendeta Lama di Tibet yang mempunyai banyak benda-benda indah yang tidak ternilai harganya, akan tetapi kami lalu merasa suka kepadamu dan menganggap engkau sebagai anak kandung kami sendiri." Sekarang Hay Hay memandang kepada empat orang itu bergantian. Di dalam hatinya dia merasa sangat heran dan juga ngeri membayangkan betapa empat orang ini merupakan orang-orang yang jahat luar biasa. Tak disangkanya ada orang-orang demikian jahatnya, terutama sekali dua orang di antara mereka adalah orang-orang yang selama ini dianggap sebagai ayah ibunya! Diam-diam dia merasa lega dan bersyukur bahwa dua orang yang demikian jahatnya itu bukan ayah dan ibu kandungnya. "Kalian adalah orang-orang yang amat jahat!" Akhirnya dia berkata. "Kalian yang menjadi penghuni Goa Iblis Pantai Selatan sudah membunuh semua binatang peliharaan dan juga empat orang pelayan keluarga Siangkoan, kemudian kalian membunuh pula dua orang di dalam peti mati yang menggantikan mereka ini!" Berkata demikian, dia menuding ke arah Kwee Siong dan Tong Ci Ki penuh teguran. Suami isteri itu hanya menundukkan muka saja tidak berani menjawab, takut kalau harus berurusan dengan kakek hitam tinggi besar atau kakek gendut yang luar biasa lihainya itu. Kini Hay Hay memandang kepada suami isteri yang pernah menjadi orang tuanya. "Dan kalian pun tak kalah jahatnya, pantas sekali berjuluk Lam-hai Siang-mo. Kalian telah membunuh dua orang wanita yang tak berdosa, bahkan sudah membunuh anak kandung sendiri! Betapa kejinya itu. Dan tentu kalian pula yang memasukkan tubuh dua orang tidak berdosa ke dalam peti mati itu menggantikan tubuh kalian, sehingga mereka yang tewas menggantikan kalian." Semenjak tadi Siangkoan Leng sudah kehilangan rasa sayangnya kepada Hay Hay yang bersikap memusuhinya itu. Dia tersenyum sinis dan menjawab, "Memang benar, bahkan kami juga membunuh empat orang murid kami yang bertugas menjaga peti. Semuanya itu kami lakukan agar mereka tidak dapat membuka rahasia kami. Hay Hay, itu bukan kejam atau jahat, melainkan cerdik sekali!" "Kalian berempat ini orang-orang jahat dan kalau sekiranya aku memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu kalian sudah kubasmi habis!" kembali Hay Hay berkata dengan nada suara gemas. "Heh-heh-heh-heh, Sin-tong. Apakah engkau ingin agar empat orang ini dibunuh? Dengan mudah saja aku akan melakukannya untukmu! Memang empat ekor tikus ini sudah patut sekali dibunuh!" kata kakek gendut yang berjuluk Pak-kwi-ong itu sambil tertawa-tawa. Empat orang itu bukanlah orang-orang lemah. Mereka adalah datuk-datuk kaum sesat di daerah pantai selatan. Mereka belum pernah berjumpa dengan orang-orang seperti dua orang kakek ajaib itu, namun mereka sudah maklum akan kehebatan dua orang kakek itu yang tidak akan dapat mereka tandingi. Akan tetapi dibunuh begitu saja? Mereka tentu akan melawan sekuat tenaga dan akan melindungi nyawa sendiri selama mereka masih hidup! Dan agaknya mereka berempat memang memiliki kecerdikan atau kelicikan yang sama, karena kini begitu mereka mendengar ucapan kakek gendut, mereka lalu bangkit berdiri dan seperti dikomando saja, empat orang itu langsung menyerbu ke arah Hay Hay untuk menangkap anak itu! Ditubruk oleh empat orang yang sangat lihai itu dari semua jurusan, tentu saja Hay Hay tidak mampu menghindarkan diri. Bahkan dua orang kakek sakti itu pun sama sekali tidak menyangka bahwa empat orang itu akan melakukan hal itu, maka anak itu sudah berhasil ditangkap oleh Kwee Siong dan Siangkoan Leng. Dan anehnya, dalam sekejap mata saja, empat orang yang tadi yang bermusuhan karena memperebutkan Hay Hay itu, kini dalam keadaan terancam oleh pihak yang lebih kuat, mereka mendadak dapat bersatu! "Heh-heh-heh, tikus-tikus pecomberan! Berani kalian melakukan itu? Hayo cepat lepaskan atau harus kuhancurkan dahulu kepala kalian yang tidak berharga itu?!" bentak si gendut Pak-kwi-ong, masih sambil tersenyum namun sinar matanya mencorong penuh ancaman maut. "Ji-wi Locianpwe, jangan bergerak! Sekali bergerak atau melakukan hal-hal yang membuat kami curiga, maka lebih dahulu kami akan membunuh anak ini sebelum membela diri dan melawan mati-matian sebelum kami semuanya mati!" bentak Siangkoan Leng yang sudah menaruh telapak tangannya menempel di ubun-ubun kepala Hay Hay. Hay Hay sama sekali tidak merasa takut, hanya marah dan juga semakin heran melihat betapa orang yang selama ini dianggap ayahnya itu kini mengancam hendak membunuh dirinya! Timbul rasa penasaran di dalam hatinya dan dia pun berteriak, tidak peduli bahwa dia telah dicengkeram dan diancam oleh empat orang lihai itu. "Ji-wi Locianpwe, jangan dengarkan gertak sambal mereka! Biar mereka membunuhku, aku tidak takut. Akan tetapi Ji-wi hajarlah mereka sampai mereka itu lenyap dari muka bumi. Mereka ini orang-orang jahat yang perlu dibasmi!" Akan tetapi dua orang kakek itu kini nampak ragu-ragu dan saling pandang. Tung-hek-kwi yang memandang kakek gendut itu bertanya. "Kau... tidak turun tangan?" Si Kakek Gendut masih menyeringai, akan tetapi dia menggelengkan kepala. "Mana bisa? Dia... dia itu Sin-tong, sayang kalau terbunuh." Lalu dia memandang kepada empat orang yang masih siap siaga sambil mengancam Hay Hay itu. "Ehh, sebenarnya apa kehendak kalian?" "Kami ingin pergi membawa anak ini. Sedikit saja Ji-wi membuat gerakan mencurigakan, kami akan bunuh anak ini lebih dahulu." kata Kwee Siong dan mereka berempat itu tanpa menanti jawaban sudah mulai menggiring dan menyeret Hay Hay meninggalkan puncak bukit itu. Dua orang kakek itu, yang memiliki kesaktian jauh lebih tinggi dibandingkan empat orang itu, hanya saling pandang tetapi tidak mampu berbuat sesuatu. Tentu saja dengan sekali gerakan tangan mereka itu akan mampu membunuh empat orang itu, akan tetapi mereka juga maklum bahwa tidak mungkin mereka dapat mencegah empat orang itu lebih dahulu membunuh Hay Hay, dan karena inilah keduanya menjadi ragu-ragu, bahkan tak berdaya melakukan sesuatu ketika empat orang itu hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, baru saja empat orang itu pergi beberapa langkah jauhnya, tiba-tiba terdengar suara melengking yang mengandung getaran amat kuat sehingga seolah-olah menusuk telinga dan menggetarkan jantung. Hay Hay yang mula-mula roboh tidak sadarkan diri, sedangkan wajah empat orang yang mengepungnya itu pun tiba-tiba menjadi pucat dan mereka berempat itu maklum bahwa suara itu merupakan serangan melalui tenaga khikang yang amat dahsyat. Mereka cepat menahan napas dan mengerahkan sinkang mereka untuk melindungi diri mereka. Karena adanya serangan tiba-tiba melalui suara itu, sejenak keempat orang ini lupa akan pengamatan mereka terhadap Hay Hay. Dan pada beberapa detik itu, mendadak nampak sesosok bayangan seperti seekor burung raksasa menyambar ke arah mereka. Tadi keempat orang itu hanya melakukan pengamatan terhadap gerak-gerik Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi saja, dan mereka pun sedang mengalami kekagetan karena datangnya serangan suara yang bukan datang dari dua orang kakek sakti itu. Oleh karena itu, begitu ada bayangan yang seperti burung raksasa menyambar ke arah mereka ini, empat orang itu terkejut bukan main. Mereka sedang melawan pengaruh suara melengking, namun kini disambar oleh burung raksasa yang mendatangkan angin sambaran sangat dahsyat, Tentu saja mereka terkejut bukan kepalang dan berusaha untuk membela diri. Akan tetapi sambaran angin dari sayap 'burung raksasa' itu sedemikian kuatnya sehingga mereka itu terdorong ke belakang dan pada saat itu pula makhluk itu telah menyambar turun dan tahu-tahu tubuh Hay Hay telah dipondongnya dan dibawa melompat agak jauh dari situ. Ketika empat orang yang hendak melarikan Hay Hay itu kini terbebas dari pengaruh suara melengking yang tiba-tiba sudah terhenti dan mereka memandang, ternyata di sana telah muncul dua orang aneh lainnya. Salah seorang di antara mereka ialah kakek berpakaian pengemis dengan baju kembang-kembang dan bertambal-tambal akan tetapi bersih. Tubuhnya kurus dan tingginya sedang saja, kakinya memakai sepatu butut, rambutnya kusut dan awut-awutan, demikian pula kumis dan jenggotnya, akan tetapi sepasang matanya tajam bukan main. Di punggungnya nampak sebuah ciu-ouw (guci arak) yang berpinggang, dan di tangannya tampak sebatang suling yang panjangnya ada tiga kaki, terbuat dari kayu hitam. Kakek ini muncul seperti dari dalam bumi saja, dan begitu muncul dia tersenyum menyeringai, dan wajahnya selalu berseri-seri gembira seperti orang yang selalu merasa geli akan keadaan sekelilingnya. Dan tidak jauh dari sana, sudah muncul pula seorang kakek tinggi besar yang berkepala gundul. Kakek inilah yang tadi disangka burung raksasa oleh Siangkoan Leng dan Kwee Siong serta isteri mereka. Kakek yang memakai jubah seorang pendeta Lama, jubahnya lebar berkotak-kotak merah dan kuning dan tadi saat kakek itu meloncat seperti terbang, jubahnya ini berkembang seperti sepasang sayap. Kakek pendeta Lama ini berwajah alim. Alisnya tebal namun pandangan matanya lembut, mukanya bulat dan sepasang telinganya amat panjang. Kini tangan kirinya menggandeng tangan Hay Hay sedangkan tangan kanannya memegang seuntai tasbeh, mulutnya terus berkemak-kemik seperti orang membaca doa. Tentu saja Siangkoan Leng, Ma Kim Li, Kwee Siong dan Tong Ci Ki terkejut dan merasa gentar bukan main. Baru saja mereka bertemu dengan dua orang kakek yang luar biasa lihainya, yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dan sekarang muncul lagi dua orang kakek yang juga mempunyai ilmu kepandaian amat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian mereka sendiri. Dengan suara sulingnya kakek berpakaian pengemis itu telah membuat mereka kerepotan dan mereka segera maklum betapa saktinya kakek yang dapat mengeluarkan suara yang memiliki daya serang demikian kuatnya. Juga pendeta raksasa itu jelas mempunyai ilmu kepandaian luar biasa, karena sekali gebrakan saja sudah dapat merampas Hay Hay dari tangan mereka. Kini anak itu yang sudah terbebas pula dari pengaruh suara suling, sudah berdiri digandeng kakek pendeta Lama itu, memandang kagum kepada penolongnya. Karena maklum bahwa berdiam di tempat itu lebih lama merupakan bahaya besar bagi mereka, sepasang suami isteri Goa Iblis dan sepasang suami isteri Laut Selatan segera menggerakkan tubuh mereka berlompatan dan melarikan diri turun dari atas puncak itu. Empat orang kakek aneh yang berkumpul di puncak bukit itu kini agaknya sudah tidak mempedulikan lagi kepada mereka yang melarikan diri. Walau pun Siangkoan Leng dan Kwee Siong beserta isteri mereka itu merupakan tokoh-tokoh besar di antara kaum sesat, namun agaknya bagi empat kakek sakti itu mereka tidak lebih hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tak ada artinya dan karena itu, begitu mereka melarikan diri, mereka pun tidak mempedulikan sama sekali, bahkan telah melupakan mereka karena mereka lebih tertarik akan pertemuan antara mereka berempat itu. Sungguh aneh bukan main. Siangkoan Leng bersama isterinya dan Kwee Siong bersama isterinya, empat orang yang tadinya saling bermusuhan itu, kini bersama-sama melarikan diri turun dari bukit secepatnya bagaikan orang-orang yang dikejar setan saja. Dan ketika mereka sudah berada jauh dari bukit itu, mereka berhenti di sebuah hutan dan lenyaplah semua permusuhan yang tadinya berada di dalam batin mereka. Agaknya peristiwa di puncak bukit tadi, bertemu dengan orang-orang yang jauh lebih lihai, membuka mata mereka bahwa mereka itu sebenarnya bukan apa-apa. Apa lagi karena Hay Hay yang menjadi perebutan di antara mereka itu kini terjatuh ke tangan orang yang jauh lebih lihai, maka mereka kini agaknya telah melupakan semua permusuhan di antara mereka! "Bukan main... sungguh gila mereka itu! Belum pernah aku bertemu dengan orang-orang selihai mereka!" Kwee Siong berkata sambil mengusap keringat dari leher dan mukanya, menggunakan sehelai sapu tangan hitam. Wajah isterinya yang biasanya memang sudah amat pucat seperti mayat itu, kini nampak kehijauan. "Tentu mereka itu bukan manusia lagi...," kata pula isterinya yang masih merasa tegang dan gentar. Siangkoan Leng menarik napas panjang. "Ahh, setelah bertemu dengan mereka, baru aku tahu bahwa apa yang kita miliki ini tidak ada artinya sama sekali. Kita masih harus belajar banyak! Dan kita saling gempur sendiri...hemm, betapa bodohnya..." "Engkau benar, Siangkoan Leng. Sekarang tidak ada artinya lagi bagi kita apa bila saling bermusuhan. Bahkan dengan bersatu pun kita masih tak mampu menandingi mereka, apa lagi kalau kita saling bermusuhan sendiri. Lalu apa yang mampu kita lakukan supaya bisa merampas kembali Sin-tong?" Siangkoan Leng menggerakkan kedua pundaknya. "Apa lagi yang bisa kita lakukan? Kita tidak mengenal mereka, kecuali dua orang kakek pertama yang berjuluk Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Entah siapakah jembel tua yang amat lihai dengan suara sulingnya itu. Dan aku pun tidak mengenal siapa adanya pendeta yang merampas Hay Hay itu." "Pendeta itu terang seorang pendeta Lama dari Tibet. Entah dia mewakili para pimpinan Dalai Lama atau tidak, kita tidak tahu. Dan pengemis Jembel itu... hemmm, jangan-jangan dia itulah yang dikenal seperti tokoh dongeng dari Pulau Hiu!" kata Kwee Siong. "Apa?! Majikan Pulau Hiu yang berjuluk Ciu-sian Sin-kai (Pengemis Sakti Dewa Arak)? Benarkah tokoh dongeng itu masih hidup?" kata Ma Kim Li dengan mata terbelalak. "Wah, jika benar dia, berarti tokoh-tokoh dongeng yang kabarnya mempunyai kepandaian seperti dewa itu, kini bermunculan di dunia ramai!" kata Tong Ci Ki. "Bukankah Pengemis Sakti itu termasuk kelompok tokoh yang dinamakan Pat Sian (Delapan Dewa)?" "Kabarnya begitu." jawab suaminya. "Akan tetapi karena mereka disebut sebagai tokoh dongeng karena tidak pernah keluar sejak puluhan tahun, tidak ada yang memperhatikan lagi. Dan sekarang agaknya salah seorang di antara mereka muncul, dan mungkin yang tiga orang itu pun termasuk kelompok Delapan Dewa. Kalau benar demikian, benar-benar kita berempat ini mengalami kesialan luar biasa. Ahh, semua gagal. Apa yang dapat kita lakukan sekarang?" "Satu-satunya jalan bagi kita agar bisa membalas semua penghinaan ini adalah mengadu domba di antara mereka. Sebaiknya kita kabarkan kepada para pimpinan Dalai Lama di Tibet tentang Hay Hay... maksudku Sin-tong. Mereka tentu tidak akan tinggal diam kalau menemukan jejak Sin-tong. Juga kita kabarkan kepada keluarga pendekar Pek. Mereka pun tentu tidak akan tinggal diam. Harus kita ketahui bahwa keluarga Pek yang menjadi pendiri dan pimpinan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) tak boleh dibuat main-main. Kita adu dombakan mereka." kata Siangkoan Leng. "Baik sekali itu. Mari kita membagi-bagi tugas," kata Kwee Siong. Dan mereka pun segera berunding seperti empat orang sahabat baik. Sungguh lucu dan aneh sekali. Baru beberapa waktu yang lalu, dengan segala senang hati mereka hendak saling serang dan saling membunuh, dengan kebencian luar biasa. Akan tetapi sekarang mereka berunding seperti empat orang sahabat baik. Memang demikianlah watak kita manusia pada umumnya. Dalam keadaan biasa, masing-masing hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, masing-masing mengejar kesenangan bagi diri sendiri, sehingga dalam pengejaran kesenangan itu, siapa pun yang dianggap sebagai penghalang akan diterjang dan disingkirkan dan dalam pengejaran kesenangan ini, selalu tentu akan terdapat halangan-halangan yang menimbulkan permusuhan. Dan sebaliknya, dalam keadaan sengsara, dalam keadaan terancam, maka orang akan condong untuk menghindarkan diri, untuk mencari kawan, berharap bantuan dari orang lain. Kecondongan inilah yang mendorong kita untuk berbaik dengan orang lain, terutama dengan orang yang senasib sependeritaan seperti yang terjadi pada empat orang yang biasanya dianggap jahat dan kejam seperti iblis itu. *************** Matahari memandikan permukaan puncak bukit itu dengan cahayanya yang keemasan. Masih jelas terlihat sisa-sisa embun pada ujung-ujung daun, pada kelopak-kelopak bunga, pada puncak-puncak rumput, dan masih terasa kesejukan pagi yang amat menyegarkan. Bau rumput bermandikan embun bercampur dengan aroma daun-daun kering membusuk, mendatangkan bau yang khas. Suara desir angin pagi di antara daun-daun pohon, diseling kicau burung. Matahari sudah naik agak tinggi, akan tetapi kesegaran pagi masih belum terbakar siang, sinar matahari masih lembut hangat dan ramah. Di bawah puncak nampak segala pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan sudah bangun dari tidur malam tadi, bergoyang-goyang dan melambai-lambai tertiup angin pagi. Di angkasa nampak awan yang tenang dalam segala macam bentuk yang aneh-aneh, dengan latar belakang langit biru yang makin lama warnanya menjadi makin muda menuju keputihan. Keindahan terdapat di mana-mana, akan tetapi hanya bisa dinikmati, hanya dapat dilihat oleh batin yang tidak disibukkan atau dipenuhi kebisingan pikiran yang resah. Di dalam batin yang terbebas dari kesibukan pikiran, pintu-pintu hati akan terbuka sehingga dapat menampung cahaya cinta kasih, seperti kamar yang dibuka daun pintu dan jendelanya, dapat menampung cahaya matahari sehingga menjadi terang. Hanya batin yang bebas saja yang disinari cahaya cinta kasih sehingga dapat menikmati keindahan yang nampak di mana pun juga! Keindahan nampak jelas, terdapat di setiap ujung daun dan bunga. Keindahan terletak pada kewajaran, di mana hati tidak dicampuri oleh segala kecondongan dan seleranya. Keindahan terdapat pada sehelai daun kering yang melayang turun dari pohonnya, yang menari-nari lepas dengan lenggang-lenggok bebas, terdapat dalam kicau burung yang mengeluarkan bunyi yang tak terikat oleh nada dan irama tertentu, bunyi yang bebas dan wajar, tidak dibuat-buat. Sayang sekali bahwa keindahan jarang nampak oleh kita. Kepekaan batin kita sudah menjadi tumpul karena setiap saat dibebani masalah-masalah kehidupan yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri. Sumber keindahan terdapat pada keadaan batin kita. Batin yang bebas dan penuh cinta kasih akan melihat keindahan, keindahan itu yang berada di mana pun juga. Sebaliknya batin yang penuh ikatan, batin yang penuh dengan segala masalah, penuh dengan emosi, kebencian, kekecewaan, batin semacam itu membuat mata, telinga, hidung dan semua panca indra, buta dan tumpul akan segala keindahan, bahkan yang nampak hanya yang kita anggap tidak menyenangkan saja. Segala sesuatu akan kelihatan buruk dan tidak menyenangkan bagi batin seperti ini. Tidak ada cara-cara yang tertentu untuk membebaskan batin. Latihan-latihan hanya akan menciptakan ikatan-ikatan baru saja dan menjadi beban baru bagi batin. Akan tetapi kita dapat mengurangi beban batin dengan menghabiskan segala sesuatu yang menimpa diri kita pada saat itu juga! Menyelesaikan persoalan yang timbul pada saat itu juga, tanpa menampungnya ke dalam batin. Hal ini mengurangi beban batin, walau pun tidak dapat dikatakan bahwa dengan demikian batin ini telah menjadi bebas. Menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada kita sebagai mana adanya, sebagai suatu kewajaran saja, tanpa keluhan, dengan penuh perhatian dan penuh pengamatan, kemudian menghabiskannya pada waktu itu juga, tanpa menyimpan. Mungkinkah kita melakukan ini setiap saat, selama hidup kita? Orang yang berada di atas puncak bukit itu, andai kata dia sendirian dan tidak sedang menghadapi persoalan, sedikit banyak tentu akan terbawa oleh suasana yang hening dan penuh damai. Akan tetapi sayang, mereka yang kini berada di puncak itu, tidak mampu menikmati segala keindahan itu karena mereka saling berhadapan, bahkan dengan sinar mata saling menentang. "He-he-heh-heh, Tung-hek-kwi, apakah engkau yang mengundang jembel tua ini datang ke sini untuk menjadi saksi, ataukah malah untuk membantumu?" terdengar Pak-kwi-ong berkata dengan nada suara mengejek kepada Si Raksasa Hitam ketika Siangkoan Leng dan isterinya, serta Kwee Siong dan isterinya, sudah melarikan diri meninggalkan puncak bukit itu. "Huh, siapa mengundang jembel tua yang usilan ini? Aku tidak butuh bantuannya untuk menandingimu, Pak-kwi-ong! Sebaliknya, engkau malah mengajak pendeta Lama gundul ini ke sini untuk membantumu!" jawab Tung-hek-kwi. "Siapa sudi mengekor kepada seorang pendeta palsu?" Pak-kwi-ong mengejek. "Ha-ha-ha-ha, See-thian Lama, lihatlah dua orang ini. Ternyata mereka ini yang berjuluk Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang di antara Setan Empat Penjuru Dunia! Dan memang mereka ini kurang ajar, berani mati, dan sombong seperti nama mereka. Kiranya masih ada sisa mereka, tadinya kukira bahwa Empat Setan itu sudah kembali ke neraka semua, ha-ha-ha!" Pendeta Lama yang tinggi besar itu, yang lebih tinggi besar dibandingkan Tung-hek-kwi, menarik napas panjang dan jari-jari tangan kanannya memutar-mutar biji tasbeh, ada pun tangan kiri mengelus kepala Hay Hay. "Omitohud...! Tak pernah pinceng mengira bahwa mereka ini masih ada, seperti juga tidak pernah pinceng bermimpi akan bertemu denganmu di sini, Ciu-sian Sin-kai!" Kini dua orang datuk sesat itulah yang terkejut bukan main. Akan tetapi mereka itu sama sekali tidak kelihatan kaget. biar pun jantung mereka mengalami guncangan. Pak-kwi-ong malah terkekeh gembira. "He-he-heh-heh! Mimpikah aku?" Dia mencubit lengannya sendiri. "Hayaaa, bukan mimpi akan tetapi bahkan lebih aneh dari pada mimpi! Tung-hek-kwi, kita berdua berjanji akan mengadakan pertemuan di sini, dan siapa tahu di sini kita bertemu dengan Sin-tong, dan juga bertemu dengan dua orang dari Delapan Dewa! Heh-heh-heh, aku tidak tahu apakah ini merupakan suatu keberuntungan ataukah kesialan." "Omitohud... semoga diberkahi seluruh umat di dunia ini!" See-thian Lama berkata dengan kaget dan gembira. "Ji-wi tadi bicara tentang Sin-tong? Siancai... apakah anak ini adalah Sin-tong, putera pendekar Pek?" "Wah? Sin-tong yang dahulu pernah diributkan dan pernah menggegerkan para Lama di Tibet itu? Beberapa tahun yang lalu aku juga pernah mendengar tentang itu!" kata pula Ciu-sian Sin-kai. Pak-kwi-ong terkekeh. "Begitulah menurut keterangan empat ekor tikus tadi. Akan tetapi benar tidaknya, mana aku tahu? Kalian adalah dua di antara Delapan Dewa, dan kabarnya menurut dongeng, para dewa itu tahu segala, kenapa tanya aku?" Tentu saja maksud kakek gendut ini bukan untuk berkelakar saja seperti memang sudah menjadi wataknya yang suka berkelakar, akan tetapi juga untuk mengejek, menunjukkan sikap tidak takut dan tidak tunduk biar pun dia pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian Delapan Dewa amatlah hebatnya. "Omitohud, tidak ada yang lebih tahu dari pada anak ini sendiri. Anak baik鈥?," katanya sambil mengelus kepala Hay Hay, "benarkah engkau ini anak pendekar Pek yang pernah melarikan diri dari Tibet ketika engkau masih dalam kandungan ibumu?" Hay Hay mengerutkan alisnya. Baru saja dia terlepas dari tangan empat orang jahat yang memperebutkannya, dan sekarang agaknya dia kembali jatuh ke tangan orang-orang yang lebih sakti lagi, akan tetapi yang juga agaknya tertarik oleh keturunannya dan kini hendak menyelidiki asal-usulnya. Hal ini membuatnya merasa sebal. "Tak tahulah, Lo-suhu. Aku ini entah anak pendekar Pek ataukah anak setan. Yang jelas, aku mengenal namaku sebagai Hay Hay dan semenjak kecil aku ikut Siangkoan Leng dan isterinya yang ternyata adalah Lam-hai Siang-mo. Menurut keterangan empat orang yang memperebutkan diriku tadi, memang katanya aku ini anak pendekar Pek, akan tetapi aku sendiri mana tahu?" Kembali pendeta Lama itu mengelus-elus kepala Hay Hay, dan sekarang Hay Hay tahu bahwa kakek itu bukan mengelus sembarangan saja, melainkan meraba-raba kepalanya seperti ingin mengukur atau melihat bentuk kepala itu. "Pinceng dapat menentukan apakah engkau memang Sin-tong atau bukan." Tiba-tiba saja Hay Hay merasa betapa seluruh pakaiannya terlepas dari tubuhnya. Dia tak melihat bagaimana pendeta itu melakukannya, akan tetapi tiba-tiba saja, dengan sangat cepat sehingga tidak ada waktu baginya untuk menolak atau menegur, semua pakaiannya itu terlepas dari tubuhnya. Kini dia berdiri dengan tubuh telanjang bulat di tengah-tengah, ada pun empat orang kakek itu berdiri di sekelilingnya. Mereka mengamati seluruh tubuhnya, menaksir-naksir seperti empat orang pedagang sapi di pasar sedang menaksir seekor sapi sebelum menentukan harganya. "Omitohud, pinceng tidak melihat tanda merah di punggungnya yang telah ditentukan oleh ramalan di Tibet bahwa Sin-tong itu ada tanda merah pada bagian punggungnya. Anak ini bukan Sin-tong!" Akhirnya See-thian Lama berkata. Tiga orang sakti itu mengangguk-angguk percaya. Nama See-thian Lama sebagai seorang di antara Delapan Dewa tentu saja menjadi jaminan akan kebenaran keterangannya itu. "Biar pun demikian, aku melihat bakat yang baik bersinar dari matanya! See-thian Lama, berikan saja dia kepadaku untuk menjadi muridku. Sudah lama aku mencari seorang anak yang cocok untuk kuberikan peninggalan semua ilmuku, he-he-he!" kata Ciu-sian Sin-kai dengan girang. "Omitohud, penglihatanmu masih awas sekali, Sin-kai!" See-thian Lama memuji. "Akan tetapi sebelum engkau melihatnya, sejak tadi pinceng telah mengetahui bakat terpendam anak ini dari bentuk kepalanya sehingga sejak tadi pinceng sudah mengambil keputusan bahwa apa bila anak ini bukan Sin-tong yang harus diserahkan kepada para Dalai Lama, maka pinceng akan mengambilnya sebagai murid pinceng."' "Wah-wah-wah, engkau telah menjadi pendeta harus mau mengalah kepadaku, See-thian Lama. Apakah engkau tidak merasa kasihan kepadaku kalau aku membawa mati ilmuku tanpa kusalurkan kepada murid yang berbakat?" "Heiii, nanti dulu!" Mendadak Tunghek-kwi membentak marah. "Kalian ini enak saja bicara tentang anak itu seakan-akan kami tidak mempunyai hak. Sebelum kalian datang, kami yang berhak atas diri anak ini dan bicara tentang murid, kami juga belum punya murid dan merasa bahwa kami yang mempunyai hak pertama untuk menjadi gurunya." Sebenarnya Tung-hek-kwi atau pun Pak-kwi-ong tidak ingin mengambil murid Hay Hay, hanya karena merasa dikesampingkan, maka Tung-hek-kwi menegur dan merasa penasaran. "Benar! Sejak dahulu kami sudah mendengar nama Delapan Dewa sebagai orang-orang yang tinggi hati dan tidak memandang sebelah mata kepada golongan lain," Pak-kwi-ong menyambung. "Aku pun ingin mengambil anak ini sebagai murid!" "Wah-wah-wah, berabe sekarang!" Ciu-sian Sin-kai berkata sambil tertawa gembira. Bagi dia keadaan yang berabe itu malah menggelikan dan menggembirakan. "See-thian Lama, bagaimana sekarang? Dua orang dari Empat Setan ini pun ternyata menghendaki anak itu. Bagaimana pikiranmu? Apakah engkau rela menyerahkan anak ini agar kelak menjadi calon datuk sesat yang hanya akan mengeruhkan dunia? Dosamu besar sekali kalau kau berikan dia kepada mereka, ha-ha-ha!" "Omitohud, segala bentuk kekerasan tiada gunanya dan hanya merusak. Memaksa anak ini menjadi muridku pun akan merusaknya. Karena anak ini yang akan menjadi murid dan begini banyaknya orang yang ingin mengambilnya sebagai murid, maka biarlah pinceng serahkan kepada anak itu sendiri, siapa yang akan diangkat menjadi gurunya. Anak baik, kau tentukanlah pilihanmu." Semenjak tadi Hay Hay telah mendengarkan semua perkataan mereka itu dan diam-diam dia pun merasa gembira bukan main. Agaknya empat orang ini, yang dia tahu merupakan orang-orang yang luar biasa, memiliki niat yang berbeda kalau dibandingkan dengan dua pasang suami isteri tadi. Mereka ini agaknya memperebutkan dia untuk diambil murid!..... Terima kasih telah membaca Serial ini.


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 3 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 4 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 5 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 6 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 7 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 8 :
SPOILER
km


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 9 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 10 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 11 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 12 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 13 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 14 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 15 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 16 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 17 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 18 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 19 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 20 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 21 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 22 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 23 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 24 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 25 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 26 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 27 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 28 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 29 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 30 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 31 :
SPOILER


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 32 :
Nenek itu tersenyum menyeringai dan kini melihat mulut tanpa gigi itu dari dekat, mendatangkan kesan aneh, seolah-olah melihat seorang bayi yang sudah besar sekali. "Heh-heh, tidak aneh sama sekali, Nona manis, karena aku selalu mengajak semua benda, baik yang hidup seperti burung atau ular, maupun yang mati seperti batu, jamur dan pohon…" "Jamur dan pohon itu hidup, Nek, bahkan batupun mungkin hidup, siapa tahu?" Hay Hay berkelakar. Setelah terbebas dari ancaman maut di pohon itu, pemuda ini sudah memperoleh kembali kejenakaanya. "Hemm, maksudku yang tidak bergerak, orang muda. Aku selalu mengajak mereka semua itu bicara, setiap hari sehingga aku tidak lupa akan bahasa kita ini. Nah, sekarang aku menagih janji. Kalian sudah kuselamatkan di tempat ini, bahkan hanya aku yang akan mampu mengantar kalian keluar dari sini. Sekarang aku minta kepada kalian untuk membantuku menghadapi laki-laki jahanam yang telah menyiksaku lahir batin seperti ini." "Aku siap, Nek! Katakan dimana laki-laki jahanam itu dan aku akan menghajarnya!" kata Kui Hong lantang. "Akan tetapi yang penting bagiku adalah janji pemuda ini. Suamiku itu lihai bukan main dan karena aku tadi sudah menyaksikan kemampuan pemuda ini, kiranya hanya dialah yang akan mampu menghadapi dan mengatasinya." "Hay Hay, engkau tentu juga sanggup membantu Nenek ini, bukan?" Kui Hong segera bertanya kepada Hay Hay. Pemuda itu tersenyum, sejenak memandang kepada gadis itu, kemudian menoleh kepada nenek yang bermata tajam dan agaknya biarpun lumpuh, amat cerdik dan juga lihai ini. Karena dia sendiri maklum bahwa sekali berjanji, maka janji itu harus ditepatinya, maka Hay Hay mengambil cara lain. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya sambil menatap nenek itu diantara kedua matanya, lalu berkata sambil tersenyum namun suaranya berbeda dari biasanya, mengandung getaran yang amat berwibawa. "Lociapwe percaya penuh kepadaku. Bawalah kami keluar dari sini, dan ke tempat tinggal laki-laki itu sekarang juga." Nenek itu mengangguk-angguk, mulutnya berkata lirih, "Baik... aku percaya padamu dan kalian akan kuantar keluar, menemui laki-laki itu…!” Kemudian ia menundukkan muka dan nampaknya bingung. Melihat ini, Kui Hong mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah Hay Hay. "Hay Hay, permainan apa yang kau lakukan ini?" Ia merasa tidak senang karena ia dapat menduga bahwa pemuda itu agaknya telah mempengaruhi nenek yang malang itu dengan sihirnya! Hay Hay tersenyum. "Kui Hong, aku tidak main-main." Lalu dia menoleh kepada nenek itu dan berkata. "Engkau tahu aku tidak main-main Locianpwe dan marilah kita berangkat sekarang juga keluar dari sini." Nenek itu mengangkat mukanya perlahan dan menjawab. "Aku tahu engkau tidak main-main dan mari kita berangkat sekarang juga keluar dari sini.” Ia seperti seekor burung kakatua yang pandai bicara dan menirukan semua kata-kata yang diucapkan Hay Hay. Kui Hong tidak mengerti, permainan apa yang sedang dilakukan Hay Hay dengan menyihir nenek yang telah menolong mereka itu. Namun, iapun girang mendengar bahwa mereka akan keluar dari tempat itu. "Marilah kita berangkat!" katanya gembira dan menggandeng tangan nenek itu. "Aku... kakiku... tidak dapat berjalan…." kata nenek itu. Agaknya baru Hay Hay dan Kui Hong sadar akan keadaan nenek itu. Mereka merasa diri bodoh sekali. Kalau nenek itu mampu berjalan seperti orang biasa, pasti ia tidak akan sampai dua puluh lima tahun tinggal di dalam guha itu! Kui Hong tersenyum. "Aih, betapa bodohku, sampai lupa akan keadaanmu, Nek!" katanya. Hay Hay juga tersenyum dan Kui Hong melanjutkan kata-katanya, "Hay Hay, sebaiknya kalau engkau menggendongnya. Nenek yang baik, biarlah dia menggendongmu!" Karena sihirnya itu datangnya dari Hay Hay, maka tentu saja nenek itu hanya mentaati kata-kata Hay Hay, dan mendengar ucapan Kui Hong, ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan ketus. "Ihh! Kau kira aku ini wanita macam apa yang mau begitu saja digendong seorang pria? Tidak, sampai matipun aku tidak sudi! Engkaulah yang harus menggendongku keluar dari tempat ini, Nona." Kui Hong merasa geli mendengar ini. Sudah nenek-nenek tua renta masih banyak lagak, malu-malu seperti wanita muda saja. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya. Nenek itu demikian kotor, dan kedua kakinya nampaknya lemas seperti tak bertulang saja. Ia merasa jijik. Lalu timbul gagasan yang dianggapnya amat baik. "Hay Hay, pergunakan pengaruhmu untuk memaksa ia agar suka kau gendong!" Akan tetapi Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepala. "Tidak bisa, Kui Hong. Yang bicara itu adalah naluri kewanitaannya dan itu amat kuat. Ia tidak mungkin dapat dipaksa. Gendonglah agar kita cepat dapat keluar dari sini." Biar ia tahu rasa sedikit, pikir Hay Hay. Betapapun juga, ia mendongkol mendengar Kui Hong hendak memaksanya untuk menggendong wanita itu. Pula, di lubuk hatinya, dia masih belum percaya kepada wanita ini. Kalau dia yang menggendong, lalu wanita itu menyerangnya, akan berbahaya sekali bagi mereka berdua. Sebaliknya, kalau Kui Hong yang menggendong, dia dapat melindungi gadis itu dari marabahaya. Seorang nenek yang demikian kejamnya, yang tadi berusaha membunuh dia dan Kui Hong tanpa sebab, tidak boleh dipercaya begitu saja. Kui Hong bersungut-sungut dan matanya yang jeli indah dan tajam itu menyambar seperti hendak menyerang pemuda itu. Akan tetapi ia mengalah dan terpaksa lalu berjongkok di depan nenek itu, membelakanginya. "Baiklah, baiklah, memang aku yang sedang sial hari ini!" Hay Hay ingin tertawa besar namun hanya ditahannya karena dia tidak mau membuat gadis itu menjadi semakin marah. Nenek itu meletakkan kedua tangannya merangkul pundak Kui Hong dan mengangkat tubuh bawah yang tidak berdaya itu ke atas punggung dan pinggul Kui Hong. Gadis ini merasa geli sekali ketika merasa betapa dua batang kaki yang lumpuh itu bergantungan di kedua sisinya. Terpaksa ia menahan pantat nenek itu dengan tangan kirinya dan membentak Hay Hay. “Mari kita berangkat!" Akan tetapi Hay Hay menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenal jalan itu, bagaimana mungkin dapat menjadi penunjuk jalan? Engkaulah yang berjalan di depan, Kui Hong dan Locianpwe ini yang menjadi penunjuk jalan, aku mengikuti dari belakang. Bukankah begitu, Locianpwe yang baik?" Nenek itu mengangguk. "Benar, engkaulah yang berjalan di depan, Nona, aku menjadi penunjuk jalan dan pemuda ini mengikuti dari belakang kita." Kui Hong merasa semakin mendongkol. Sambil mengerling ke arah Hay Hay, sambil bersungut-sungut ia berkata, “Seenak perutya sendiri saja!” Dan kembali Hay Hay menahan ketawanya dan mengikuti di belakang Kui Hong. Nenek itu memberi petunjuk ketika mereka berjalan melalui lorong yang berbelak-belok, akan tetapi lorong terakhir berhenti pada jalan buntu. Di depan mereka terhalang oleh dinding karang. Lorong itu mati sampai disitu. "Wah, jalan ini buntu, Nek!" Kui Hong berteriak penasaran. "Apakah engkau hendak mempermainkan kami?" Nenek itu tertawa dan kembali Kui Hong mengkirik. Karena mulut nenek itu berada di dekat telinganya, maka suara ketawa itu terdengar mengerikan. "Inilah rahasia jalan tembusan itu, hanya aku dan dialah yang mengetahuinya. Bawa aku ke ujung kiri sana itu!" Kui Hong melangkah ke sudut kiri dan nenek itu menggerayangi dinding batu karang itu dengan kedua tangannya. Tiba-tiba terdengar suara berdetak, lalu diikuti suara bergerit yang nyaring dan terbukalah sebuah lubang di dinding itu, satu meter lebarnya dan dua meter tingginya, tepat untuk masuk satu orang. *************** Kui Hong merasa berdebar saking girangnya. Nenek ini tidak berbohong. Memang ada jalan keluar dan sebentar lagi ia akan bebas disana! Kegembiraan ini membuat ia melangkah lebar dan cepat memasuki lorong samping itu. "Hati-hati, Nona. Jalan ini selain sempit, gelap, juga menanjak dan licin bukan main. Dibagian yang paling berbahaya dimana engkau harus merangkak atau meloncati lubang, akan kuberitahukan. Karena itu, jangan melangkah terlampau cepat, satu-satu saja." Berkata demikian, nenek itu mengulur tangan ke kanan, meraba dinding, agaknya inilah caranya mengenal jalan itu. Hay Hay sudah melepaskan pengaruh sihirnya karena dia berada di belakang nenek itu dan setiap saat dia dapat melindugi Kui Hong, dan kini dia dapat berkata dengan nada biasa. "Locianpwe tadi sudah memperkenalkan nama suami Locianpwe yang bernama Hek-hiat-kwi Lauw Kin, akan tetapi belum memperkenalkan diri kepada kami." Nenek itu mendengus dan menoleh ke belakang, sikapnya tidak lagi lunak dan menyerah seperti tadi, juga suaranya terdengar ketus. "Hemm, orang muda. Sepatutnya kalian yang lebih dahulu memperkenalkan nama kalian walaupun aku sudah tahu dari cara kalian saling panggil nama." Hay Hay tertawa. "Kalau sudah tahu untuk apa bertanya lagi, Locianpwe? Namaku Hay Hay dan ia bernama Kui Hong." "Namaku... Ma Kim Siu." kata nenek itu singkat dan Hay Hay juga tidak mendesak dengan pertanyaan lain karena nama itu asing baginya. Tidak mengherankan, pikirnya. Nenek ini sudah berada di dalam jurang yang berguha itu selama dua puluh lima tahun, sebelum dia terlahir di dunia! Jalan mulai menanjak dan sudah lima kali nenek memberi peringatan agar Kui Hong merangkak. Gadis itu menurut karena ia tahu bahwa kalau tidak mentaati perintah nenek itu, akan berbahaya sekali. Ketika ia merangkak, terasa betapa licinnya lantai yang menanjak. Tiga kali ia harus meloncati lubang yang lebarnya sekitar dua meter. Ia sudah merasa lelah dan hal ini menambah kedongkolan hatinya terhadap Hay Hay. Akhirnya, setelah melakukan pendakian yang sulit selama kurang lebih setengah jam, di tempat yang gelap pekat lagi, tiba-tiba Kui Hong melihat betapa di depan sudah nampak terang. Jantungnya berdebar tegang dan gembira. "Di depan terang!" teriaknya, dan ia melangkah lebar . "Tenanglah, Kui Hong." kata nenek itu. "Dan jangan lari. Ada lubang yang cukup lebar di depan, sebelum kita tiba di bagian yang terang itu!" Benar saja. Kui Hong kini berhadapan dengan lubang menganga yang lebarnya ada empat meter. Namun, ia yang memiliki gin-kang yang cukup tinggi tingkatnya, dengan mudah sambil menggendong tubuh yang ringan itu, dapat melompatinya dengan mudah, disusul oleh Hay Hay. "Nah, kita sudah hampir sampai di permukaan bumi!" kata nenek itu, suaranya agak gemetar, tanda bahwa iapun merasa terharu dan gembira karena akhirnya, setelah dua puluh lima tahun hidup seperti dalam neraka di bawah tanah, ia berhasil pula tertolong dan keluar dari tempat itu! Kini jalan menanjak seperti orang memanjat anak tangga saja, dan sinar matahari masuk menimpa mereka. Nenek itu memejamkan matanya dan berseru. "Aih, terlalu menyilaukan!" Selama berada di dalam guha, ia hanya melihat matahari setelah senja mendatang karena guha itu menghadap ke barat sehingga tak pernah ia tertimpa sinar matahari siang. Ternyata jalan lorong itu menembus ke sebuah lubang seperti sumur, dan mereka berada di lereng sebuah bukit yang lain daripada bukit dimana Hay Hay dan Kui Hong jatuh ke dalam jurang! Setelah mereka tiba di atas tanah di udara terbuka, hampir Kui Hong menangis saking gembiranya. Ia cepat mengusap kedua matanya dan mulutnya tersenyum, dengan penuh perasaan terima kasih ia memandang ke sekeliling. Demikian indahnya permukaan bumi ini, pikirnya dengan sinar mata berseri. Akan tetapi ia merasa lelah sekali, melakukan perjalanan seperti itu sambil menggendong tubuh Si Nenek Lumpuh yang bernama Ma Kim Siu itu. "Kau turunlah dulu, Nek, aku ingin beristirahat." katanya kepada nenek itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja nenek itu mengubah sikapnya yang lunak dan dengan hati kaget Kui Hong merasa betapa nenek itu mencengkeram tengkuknya, di bagian yang amat berbahaya. Sekali saja nenek itu mengerahkan tenaganya, ia akan roboh dan tewas! "Tidak! Awas, jangan membuat ulah macam-macam atau sekali cengkeram engkau akan mampus!" bentak nenek itu. "Hayo, Hay Hay, sekarang engkau berjalan di depan, kita menuju ke tempat pertapaan Hek-hiat-kwi Lauw Kin!" Hay Hay tersenyum dan diam-diam dia mengerahkan kekuatan ilmu sihirnya sambil menatap wajah nenek itu. "Locianpwe Ma Kim Siu, tenanglah dan engkau sendiripun merasa lelah. Kita perlu beristirahat dan turunlah dari punggung Kui Hong." Dia mengerahkan kekuatan sihir untuk menalukkan sikap melawan nenek itu. Akan tetapi, sekali ini dia dikejutkan oleh sikap nenek itu menghadapi permintaannya yang diucapkan dengan suara menggetar penuh wibawa tadi. Nenek itu terkekeh-kekeh! "Simpanlah permainanmu itu untuk menakut-nakuti anak-anak, Hay Hay! Hihi-hik, jangan harap engkau akan dapat mempengaruhi aku dengan sihirmu. Nah, cepat engkau berjalan di depan, atau akan kucengkeram tengkuk gadis yang kau cinta ini!" Hay Hay terkejut, bukan hanya oleh kenyataan bahwa nenek itu tidak terpengaruh oleh sihirnya, akan tetapi terutama sekali nenek itu demikian lancang dan lantang mengatakan bahwa Kui Hong adalah gadis yang dia cinta! "Kalau begitu... tadi, di dalam lorong... engkau hanya pura-pura saja terpengaruh?" tanyanya, melongo. "Tentu saja, setelah kalian berjanji akan membantuku. Akan tetapi mana mungkin aku mempercayai omongan cucu Pendekar Sadis dan sute dari keluarga Cin-ling-pai? Huh, Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong! Ketahuilah kalian, namaku memang Ma Kim Siu, dan julukanku adalah Kiu-bwe Tok-li, nama ini tentu dikenal baik oleh Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai, heh-heh-heh!" "Kiu-bwe Tok-li (Wanita Beracun Berekor Sembilan)?" Kui Hong berseru heran. "Pernah aku mendengar julukan Kiu-bwe Coa-li (Wanita Ular Berekor Sembilan…..") "Nah, mendiang Kiu-bwe Coa-li adalah Enciku.” "Ia... seorang diantara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)!" kembali Kui Hong berseru, karena ia pernah mendengar penuturan ibunya tentang tokoh-tokoh sesat itu. "Memang dan aku ini adiknya." "Tapi, bagaimana engkau bisa tahu…?” "Kui Hong, tentu ketika kita bicara di pohon itu, ia sudah lama mengintai dan mendengarkan. Pantas saja begitu muncul ia menyerang kita dengan kerikil-kerikilnya. Kemudian, karena kita mampu menghindarkan diri, ia menganggap kita cukup lihai untuk dipaksa membantunya menghadapi suaminya!" kata Hay Hay. "Hi-hi-hik! Engkau memang cerdik sekali, orang muda. Cerdik dan lihai! Karena itulah, sejak dari dalam guha aku memilih digendong oleh Nona ini, padahal tentu saja aku akan merasa lebih hangat dan senang digendong seorang pemuda tampan dan muda macam engkau. Sekarang, kalau engkau memperlihatkan perlawanan sedikit saja, sekali menggerakkan tangan gadis kekasihmu ini akan mampus!" "Nenek lancang mulut! Aku bukan kekasihnya!" Kui Hong menjerit marah dan biarpun ia merasa betapa jari-jari tangan di tengkuknya itu mempererat cengkeramannya, ia tidak takut sedikitpun juga. "Hi-hi-hik, kalian tidak dapat mengelabuhi mataku. Aku ahli dalam soal cinta, heh-heh! Pemuda itu mencintamu dan engkau pun mencintanya, Kui Hong. Dan kalau engkau banyak tingkah, engkau benar-benar akan kubunuh!" "Sudahlah, Kui Hong. Biarkan saja ia mengoceh dan jangan membunuh diri hanya urusan sekecil ocehannya. Nenek, julukanmu memang tepat. Engkau benar-benar Tok-li (Wanita Beracun), akan tetapi yang beracun adalah hatimu. Nah, katakan, dimana tempat bertapa laki-laki yang kau cari itu?" "Heh-heh, begitu lebih baik, Hay Hay. Maju saja, menuju ke lereng yang sana. Tidak terlalu jauh dari sini. Mudah-mudahan jahanam itu masih berada disana dan belum mampus!” Hay Hay melangkah ke depan, menurut petunjuk nenek itu. Diam-diam diapun mengharapkan seperti yang diharapkan nenek itu, agar pria itu masih berada disana dan masih hidup. Karena kalau tidak, tentu nyawa Kui Hong benar-benar terancam bahaya maut. Dia masih heran bagaimana nenek itu tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya, padahal biasanya amat ampuh. Dia tidak tahu bahwa seorang yang sudah memiliki sin-kang sedemikian kuatnya seperti nenek itu, apalagi setelah selama puluhan tahun digemblengnya dan dilatihnya di dalam guha, tentu tidak akan mudah terpengaruh kekuatan sihir, dapat dilawannya dengan sin-kangnya. Memang untuk pertama kalinya, nenek itu terpengaruh karena ia belum tahu akan kepandaian Hay Hay. Akan tetapi, segera ia dapat merasakan dan menolak dengan tenaga sakti di dalam tubuhnya. Bahkan ia dapat berpura-pura terpengaruh untuk melaksanakan sandiwaranya sehingga kini ia dapat menguasai mereka berdua dengan menjadikan gadis itu sebagai sandera. Memang tidak jauh tempat yang dimaksudkan oleh Kiu-bwe Tok-li itu. Untung bagi Kui Hong yang sudah merasa semakin lelah. Mereka tiba di depan sebuah guha dan nenek itu memberi isarat agar Hay Hay berhenti, akan tetapi ia tetap menyuruh Kui Hong berada di belakang pemuda itu. Kemudian dengan suara melengking nyaring, Kiu-bwe Tok-li berteriak ke arah guha yang jaraknya hanya tinggal lima belas meter. "Hek-hiat-kwi, laki-laki berhati binatang, kejam dan tak berperikemanusiaan, keluarlah! Aku datang untuk membalas dendam!" Suara melengking itu bergema sampai jauh dan setelah gaungnya tak terdengar lagi, muncullah seorang kakek dari dalam guha. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, bertubuh sedang dan masih tegak, wajahnya pun bersih dan menunjukkan bekas ketampanan, kini dia membiarkan jenggot dan kumisnya yang sudah berwarna kelabu itu tumbuh subur. Pakaiannya kuning dan longgar seperti pakaian pertapa, dan sinar matanya lembut akan tetapi kini mata itu terbelalak memandang ke arah nenek di atas punggung seorang gadis cantik, seolah-olah dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. "Kim Siu…! Benar engkaukah ini? Masih… masih hidup…?” "Lauw Kin, buka matamu baik-baik. Ini benar aku, Kiu-bwe Tok-li Ma Kim Siu, biarpun kedua kakiku sudah lumpuh, namun kini aku datang untuk membalas dendam atas segala perbuatanmu yang membuat aku sengsara sampai dua puluh lima tahun!" Sepasang mata itu bersinar dan wajah itu berseri. "Ah, sungguh Tuhan masih melindungimu, Kim Siu! Akan tetapi, mengapa engkau pulang dengan dendam kebencian di hatimu? Mengapa engkau mengatakan bahwa perbuatanku yang membuat engkau sengsara sampai dua puluh lima tahun?" Nenek itu gemetar seluruh tubuhnya, terasa benar oleh Kui Hong, dan ia tahu bahwa nenek itu marah sekali. Akan tetapi, cengkeraman di tengkuknya, tidak pernah sedikitpun mengendur sehingga ia tidak melihat kesempatan sama sekali untuk membebaskan diri dari penguasaan nenek yang lihai itu. "Huh, engkau masih belum juga merasa betapa kejam perbuatanmu kepadaku, kepada kami! Engkau melukainya dengan hebat, dan dia tersiksa sampai berbulan-bulan, hampir setahun sebelum akhirnya dia meninggal dunia! Gara-gara engkau! Hay Hay, cepat kau maju dan serang dia, bunuh dia... ah, tidak, lukai dan robohkan saja agar aku sendiri yang akan membunuhnya!" Nenek itu melotot kepada Hay Hay, pelototan matanya yang mengandung arti bahwa kalau pemuda itu menolak, tentu nenek itu akan membunuh Kui Hong! Akan tetapi Hay Hay bersikap tenang saja, sambil tersenyum. Dia adalah seorang pemuda yang amat cerdik, tidak mudah digertak sembarangan saja. Dia mengerti bahwa nenek itu hendak memaksa dia dan Kui Hong untuk membantunya menghadapi kakek yang tenang ini. Nenek itu membutuhkan bantuan, tidak mungkin berani membunuh Kui Hong, karena kalau dibunuhnya gadis itu, berarti nenek itu akan menghadapi pengeroyokan kakek itu dan dia! "Nanti dulu, Kiu-bwe Tok-li!" Kini dia tidak mau lagi menyebut locianpwe. "Aku bukanlah seorang pembunuh bayaran begitu saja, yang menyerang orang tanpa tahu sebabnya. Oleh karena itu, ceritakanlah dahulu apa yang telah terjadi antara engkau dan kakek ini, baru aku mau bergerak." *************** “Tapi kau sudah berjanji!" "Berjanji membantumu, memang. Akan tetapi setelah aku mendengar apa yang sesungguhnya telah terjadi sehingga engkau mendendam kepada kakek ini. Melihat sikapnya, dia sama sekali tidak memusuhimu!" "Tak peduli! Kalau Engkau mau tahu, tanya saja kepadanya!" Hay Hay kini menghadapi kakek itu, lalu berkata. "Locianpwe, sebenarnya apakah yang telah terjadi maka Kiu-bwe Tok-li mendendam kepadamu dan hari ini datang untuk membalas dendamnya? Locianpwe tahu bahwa kami berdua terpaksa membantunya, akan tetapi aku hanya mau turun tangan setelah mendengar permasalahannya." Pria tua itu adalah Hek-hiat-kwi Lauw Kin, suami dari Kiu-bwe Tok-Ii Ma Kim Siu. Dia mengerutkan alisnya memandang kepada Hay Hay, kemudian kepada nenek yang pernah menjadi isterinya itu. "Kim Siu, haruskah urusan pribadi kita diketahui orang lain?" . "Ceritakanlah! Ceritakanlah selagi engkau masih mampu dan belum mampus di tanganku!" sambut nenek itu dengan ketus sekali. Kakek itu menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu. Orang mudat siapapun adanya engkau, dengarlah baik-baik apa yang telah terjadi diantara kami suami isteri yang malang ini. Dua puluh lima tahun yang lalu, kami masih menjadi suami isteri yang hidup rukun. Karena aku menyadari betapa tidak menguntungkan lahir batin hidup dalam dunia hitam, aku mengajak isteriku bertapa disini, menjauhi jalan sesat untuk menebus dosa." Dia berhenti sebentar untuk menghela napas panjang. "Akan tetapi keputusan yang kuambil itu agaknya membuat ia tidak senang sehingga sejak aku mengajaknya meninggalkan dunia hitam, ia mulai selalu merajuk dan bersikap marah kepadaku." "Huh, Lauw Kin, bukan hanya marah, melainkan benci!" Tiba-tiba nenek itu membentak, telunjuknya menuding ke arah suaminya itu seperti orang yang menyalahkan. "Engkau telah berubah menjadi orang yang lemah, pengecut dan memalukan! Dahulu aku bangga menjadi isterimu. Engkau murid Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, keturunan Hek-hiat Mo-li yang terkenal sebagai datuk-datuk sesat, dan aku adalah adik Kiu-bwe Coa-li, seorang diantara Tiga Belas Setan. Kita cocok menjadi suami isteri dan ditakuti semua orang. Huh, kemudian engkau pura-pura alim dan mengajak aku menjadi pertapa!” Nenek itu mengumpat dan kelihatan menyesal bukan main. Kakek itu tersenyum sedih. Kui Hong yang mendengarkan umpatan nenek dipunggungnya itu, melihat betapa sedetik pun nenek itu tidak pernah melepaskan ancamannya pada tengkuknya sehingga tidak ada kemungkinan baginya untuk membebaskan diri. Namun ia terkejut mendengar bahwa kakek di depannya itu adalah murid Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Ia pernah mendengar cerita dari ibunya tentang suami isteri Iblis Berdarah Hitam itu. Menurut cerita ibunya, suami isteri iblis itu menaruh dendam kepada keluarga Lembah Naga karena Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong yang dahulu membunuh Hek-hiat Mo-li yang menurunkan mereka. Suami isteri itu menyerbu ke Lembah Naga dan berhasil membunuh banyak murid Pek-liong-pai perkumpulan yang didirikan di Lembah Naga dan diketahui oleh Cia Han Tiong, ayah kandung Cia Sun. Bukan hanya murid-murid yang terbunuh, bahkan ibu kandung Cia Sun juga terbunuh oleh mereka! Dan kakek di depannya ini adalah murid suami isteri itu! Agaknya nenek itu merasa betapa gadis yang menggendongnya terkejut, maka ia membentak, "Ada apa kau? Kenapa terkejut?" Dan cengkeramannya pada tengkuk gadis itu makin kuat. Kui Hong terkejut dan ia tidak membohong ketika berkata. "Aku terkejut mendengar nama suami isteri Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Bukankah mereka itu yang pernah menyerang Lembah Naga, membunuh banyak orang Pek-liong-pai, bahkan membunuh pula ibu dari Cia Sun?" Nenek itu terkekeh. "Heh-heh, aku lupa! Sebagai puteri Ketua Cin-ling-pai tentu saja engkau tahu akan hal itu, heh-heh!" "Ya Tuhan….!" Kakek itu berseru kaget. "Nona ini puteri Ketua Cin-ling-pai? Kim Siu, apakah engkau sudah menjadi gila? Bebaskan Nona itu!" "Huh, sebelum pemuda itu membunuhmu, aku takkan membebaskannya. Hay Hay, hayo cepat serang dia!" Akan tetapi Hay Hay berkata kepada Hek-hiat-kwi Lauw Kin. "Locianpwe, harap lanjutkan keteranganmu tadi. Aku harus tahu sebab-sebabnya Locianpwe bermusuhan dengan Kiu-bwe Tok-li." Kakek itu nampak bingung dan khawatir memandang Kui Hong, lalu menarik napas panjang. "Baiklah, akan kuceritakan semuanya. Justeru peristiwa yang terjadi di Lembah Naga itulah yang membuat aku mengambil keputusan untuk meninggalkan jalan sesat. Kedua orang guruku itu menyerang keluarga Lembah Naga dan berhasil menewaskan banyak murid, juga menewaskan isteri ketua Pek-liong-pang. Akan tetapi mereka berdua kalah oleh Ketua Pek-liong-pang, pendekar Cia Han Tiong. Mereka berdua sudah tidak berdaya dan pendekar itu hanya tinggal mengangkat tangan saja untuk membunuh mereka. Akan tetapi, pendekar itu tidak melakukannya! Tidak membunuh Suhu dan Subo bahkan mengampuni mereka, dan menasihati mereka tentang buruknya dendam! Ah, Suhu dan Subo menceritakan hal itu sambil menangis kepadaku, dan akupun merasa terharu sekali dan seketika terbuka kesadaranku betapa selama itu kami semua hidup bergelimang kejahatan. Betapa mulianya pendekar Cia dari Lembah Naga itu. Nah, karena Suhu dan Subo juga merasa menyesal dan bertaubat, lalu kembali ke Sailan untuk menjadi hwesio dan nikouw, akupun lalu mengajak isteriku untuk menebus dosa dan bertapa di tempat ini." "Huh, menjemukan! Bilang saja nyali kalian guru dan murid menjadi sempit karena takut menghadapi pendekar Cia dari Lembah Naga itu!" teriak Si Nenek penasaran. "Keputusanku itu agaknya membuat isteriku merasa kesal dan mulailah terjadi kerenggangan antara kami, isteriku bersikap dingin dan marah-marah dan sering kali meninggalkan aku seorang diri." "Siapa sudi membusuk di dalam guha kotor itu?" nenek yang dahulu menjadi isterinya yang cantik dan tercinta itu mencela. "Pada suatu hari, ia datang bersama seorang laki-laki." kakek itu melanjutkan tanpa mempedulikan celaan isterinya. "Isteriku dan laki-laki tampan itu terang-terangan menyatakan kepadaku bahwa mereka saling mencinta. Aku mencinta isteriku dengan hati yang tulus dan setelah aku menjadi pertapa dan banyak merenungkan kehidupan, akupun mengenal arti cinta yang sebenarnya. Oleh karena itu, aku merelakan isteriku kalau memang ia hendak meninggalkan aku dan hidup bersama laki-laki itu. Akan tetapi mereka berdua tidak mau pergi begitu saja dan berkeras hendak membunuhku lebih dahulu karena tidak percaya bahwa aku merelakan isteriku dan mereka takut kalau aku kelak akan mengejar dan menyusahkan mereka. Mereka lalu menyerangku dan berusaha membunuhku." "Ihhh…..!" Kui Hong berseru dan menurutkan kata hatinya yang menjadi marah sekali, ingin ia melemparkan tubuh nenek itu dari atas punggungnya. Akan tetapi, cengkeraman nenek itu kuat sekali dan begitu ia bergerak, tengkuknya terasa nyeri sekali sehingga terpaksa ia menghentikan penyaluran tenaganya. "Heh-heh, dia tolol, bukan? Dan engkaupun akan mati konyol kalau engkau berani melakukan kebodohan!" Kiu-bwe Tok-li berkata di dekat telinga Kui Hong. "Locianpwe, sungguh apa yang Locianpwe lakukan itu membutuhkan kesabaran dan kebesaran hati yang luar biasa." kata pula Hay Hay dengan kagum. “Aih, orang muda. Aku hanya belajar dari pendekar Cia di Lembah Naga itu dengan perbuatannya terhadap kedua orang Guruku. Dibandingkan dia, sikapku ini bukan apa-apa. Aku dikeroyok oleh mereka dan terpaksa aku membela diri. Akhirnya, karena aku terancam maut oleh pukulan berbahaya dari laki-laki itu yang amat lihai, terpaksa akupun mengeluarkan jurus simpanan untuk menandinginya. Dalam adu tenaga itulah, dia kalah dan terluka parah. Akan tetapi, aku tidak mau melukai isteriku sehingga aku terkena beberapa pukulannya yang beracun. Melihat kekasihnya pingsan dan terluka, ia lalu memondongnya pergi dengan cepat. Aku mengobati luka-lukaku dan setelah sembuh, aku mengkhawatirkan keadaan isteriku. Kucari kemana-mana tanpa hasil, maka akhirnya aku kembali bertapa disini dengan tekun. Dan ini hari ia muncul dalam keadaan lumpuh dan penuh dendam hendak membunuhku." Mendengar cerita itu, Hay Hay mengerutkan alisnya dan menghadapi Kiu-bwe Tok-li. "Tok-li, benarkah apa yang diceritakan suamimu tadi?" "Benar atau tidak benar, engkau harus menyerangnya. Engkau sudah berjanji dan kalau engkau melanggar janji, gadis ini tentu akan kubunuh lebih dahulu!" "Akan tetapi, kalau yang dlceritakannya itu benar, bagaimana engkau kini menjadi lumpuh? Padahal, dalam perkelahian itu engkau tidak terluka oleh suamimu!" kata Hay Hay. "Kiu-bwe Tok-li, sebelum aku memenuhi permintaanmu, ceritakanlah dahulu bagaimana engkau menjadi lumpuh dan tinggal puluhan tahun dalam guha itu, dan mana pula adanya laki-laki kekasihmu itu?" “Pertanyaan itu tepat, Kim Siu, apakah yang telah terjadi? Engkau tahu benar bahwa bukan aku yang membuat engkau menjadi lumpuh begini…" “Sama saja! Engkaulah penyebabnya!" bentak nenek itu. "Engkau telah melukainya secara hebat. Aku membawanya pergi dan dia mengenal tempat rahasia itu, sumur yang mempunyai lorong dan tembus sampai ke dalam guha di tengah tebing itu. Dia menyuruh aku membawanya kesana. Setelah tiba di dalam guha itu, aku berusaha merawat lukanya. Akan tetapi lukanya terlampau parah. Dia tahu bahwa dia tidak akan dapat sembuh. Dia tidak ingin aku meninggalkannya lagi, ingin agar aku selamanya menemaninya di dalam guha itu, maka tiba-tiba dia lalu menyerangku dengan pukulan dahsyat yang membuat kedua kakiku lumpuh sehingga aku tidak akan dapat keluar dari dalam guha itu tanpa bantuan orang lain." "Ih, betapa kejamnya orang itu!" Kui Hong berseru, jijik. "Bocah tolol! Dia melakukan itu karena cintanya kepadaku! Dia mengerahkan tenaga terakhir untuk membuat aku lumpuh agar aku tidak meninggalkannya lagi. Dia melumpuhkan kedua kakiku karena terlalu cinta padaku." Nenek itu lalu menangis! Hay Hay, Kui Hong dan Lauw Kin suami nenek itu tertegun dan tenggelam dalam perasaan masing-masing. "Lalu, dimana dia? Ketika kami memasuki guha, kami tidak melihatnya." kata Hay Hay. "Pengerahan tenaga dahsyat yang dipergunakannya untuk melumpuhkan kedua kakiku itu membuat lukanya semakin parah. Akhirnya, dalam waktu beberapa bulan saja dia meninggal dunia dalam pelukanku, dan aku hidup sendirian disana, penuh dendam kepada keparat ini. Aku menghabiskan waktu puluhan tahun untuk memperdalam ilmu, dalam keadaan lumpuh tak mampu keluar, dan dendamku kepada keparat ini semakin berkobar." "Semoga Tuhan mengampuni dosa kita semua…" Kakek itu mengeluh, “Sudahlah, Kim Siu, turunlah engkau dari punggung Nona itu. Bagaimanapun juga, engkau adalah isteriku dan aku tetap cinta kepadamu. Turunlah dan mari kuusahakan untuk mengobati kakimu sampai sembuh…" Kui Hong dan Hay Hay saling pandang dan mereka semakin kagum kepada kakek itu. Tak dapat disangsikan lagi. Cinta kasih kakek itu sungguh murni! Akan tetapi, Kiu-bwe Tok-li Ma Kim Siu membentak. "Tidak! Engkau harus mampus di tanganku. Engkaulah yang menyebabkan aku kehilangan dia, dan menyebabkan aku selama puluhan tahun menderita sengsara! Hay Hay, cepat maju dan serang dia, tidak perlu banyak cakap lagi. Kalau engkau membantah, gadis ini akan mampus!” Dan tangannya yang mencengkeram tengkuk Kui Hong diperkuat, membuat gadis itu menyeringai karena nyeri. Hay Hay tidak melihat jalan lain. "Baiklah! Locianpwe, terpaksa aku akan menyerangmu!" Hay Hay lalu maju, menyerang kakek itu yang cepat mengelak ketika melihat betapa cepat dan kuatnya gerakan pemuda yang menyerangnya. Tahulah dia bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, akan tetapi diapun maklum bahwa pemuda ini terpaksa mentaati perintah Ma Kim Siu karena gadis puteri Ketua Cin-ling-pai itu telah ditawan dan dijadikan sandera. Perih rasa hatinya. Dia maklum karena dapat menduga bahwa tentu pemuda dan gadis itu telah menolong Ma Kim Siu keluar dari dalam guha, akan tetapi sebagai balas jasa, nenek itu malah menyandera dan memaksa mereka membantunya. *************** Bagaimanapun juga, puteri Ketua Cin-ling-pai itu harus diselamatkan, demikian pikir Hek-hiat-kwi Lauw Kin. Inilah kesempatan baginya untuk menebus dosa suhu dan subonya terhadap keluarga Cia! Suhu dan subo telah membunuh isteri Cia, Han Tiong, dan kalau sekarang dia mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan seorang gadis keturunan keluarga Cia, biarpun sedikit berarti dia telah mengurangi dosa suhu dan subonya. Dia harus berkorban, itulah satu-satunya jalan. Kalau dia kalah dan roboh terbunuh oleh pemuda ini, tentu gadis puteri Ketua Cin-ling-pai itu akan dibebaskan. Akan tetapi, dia tahu akan kecerdikan isterinya. Kalau isterinya mengetahui bahwa dia mengalah dan berkorban, belum tentu gadis itu dibebaskan. Untung baginya, pemuda itu lihai sekali, melihat dari gerakannya dan tenaganya, sehingga tidak akan terlalu sukar baginya untuk berpura-pura kalah sehingga menerima pukulan maut yang akan dapat menewaskannya tanpa menimbulkan kecurigaan. Maka, diapun kini menangkis dan membalas serangan sehingga seolah-olah terjadi perkelahian sungguh-sungguh dan mati-matian antara Hek-hiat-kwi Lauw Kin dan Hay Hay! Bagaimanapun juga, Hek-hiat-kwi adalah seorang yang sejak mudanya berkecimpung dalam dunia persilatan, maka seperti para tokoh persilatan pada umumnya, diapun memiliki satu kelemahan, yaitu ingin sekali melihat atau menguji ilmu silat apabila bertemu lawan yang pandai! cerita silat online karya kho ping hoo Kini, berhadapan dengan Hay Hay dan melihat gerakan yang amat hebat dari pemuda ini, timbullah kegembiraan dalam hatinya dan biarpun dia sudah mengambil keputusan untuk mengorbankan diri dan menyerahkan nyawanya demi keselamatan puteri Ketua Cin-ling-pai, dia akan memuaskan hatinya lebih dulu dengan menguji kepandaian pemuda ini! Sebaliknya, penyakit yang serupa juga melanda watak Hay Hay. Ketika pemuda ini melihat gerakan kakek itu, merasakan kekuatan yang terkandung dalam kedua lengannya, diapun merasa gembira dan ingin menguji sampai dimana kelihaian kakek itu. Inilah sebabnya maka kedua orang ini mengeluarkan kepandaian dan mengerahkan tenaga secara sungguh-sungguh dan nampak keduanya seperti terlibat dalam perkelahian yang mati-matian! Demikian hebat gerakan kedua orang ini sehingga Kui Hong sendiri, juga nenek iblis itu, dapat dikelabuhi! Setelah bertanding dan merasa puas melihat betapa pemuda itu benar-benar hebat dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian pemuda itu tidak kalah olehnya, Hek-hiat-kwi baru merasa puas dan diapun kini ingin mengakhiri perkelahian dengan mengorbankan nyawanya. Hay Hay sedang melancarkan serangan dahsyat, dengan tangan kiri mencengkeram lambung dan tangan kanan menampar ke arah ubun-ubun kepala. Serangan ini dahsyat sekali, angin pukulannya menyambar ganas. Hek-hiat-kwi sengaja memperlambat gerakannya mengelak dan menangkis dan dia merasa yakin bahwa serangan itu tentu akan mengenai dirinya terutama bagian ubun-ubunnya agar dia dapat tewas dengan cepat. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa heran rasa hatinya ketika pada saat yang tepat, sama sekali tidak kentara, pemuda itu menyelewengkan serangannya sehingga meleset dan tidak mengenai sasaran, seolah-olah terelak atau tertangkis! Dan pada saat dia membalas dengan tendangan yang ringan saja, tendangannya itu mengenai pangkal paha pemuda itu yang membuat Hay Hay terhuyung ke belakang! Hampir saja Hek-hiat-kwi berseru heran. Ini tidak mungkin, pikirnya! Tadi dia mengeluarkan ilmu tendangan simpanannya yang amat dahsyat, dan semua tendangan dapat dihindarkan pemuda itu. Mana mungkin tendangan ringan saja dapat mengenai paha dan membuat pemuda itu terhuyung? Dan serangan pemuda tadipun sengaja diselewengkan! Ini hanya berarti bahwa pemuda itu sengaja mengalah! Akan tetapi apa maksudnya? Ketika dia mengangkat muka memandang dengan tajam, dia melihat betapa pemuda itu berkedip kepadanya. Kiu-bwe Tok-li tidak melihat kedipan ini karena ia berada di punggung nona yang berdiri di belakang pemuda itu. Dan diapun bukan orang bodoh. Pemuda ini sengaja mengalah tentu mempunyai maksud dan merupakan suatu siasat! Maka, biarpun dia belum dapat menduga dengan tepat apa maksudnya, dia mengambil keputusan untuk ikut bersandiwara! "Engkau masih belum menyerah kalah?" bentaknya ketika melihat pemuda itu maju lagi menyerang. Kini dia bahkan mengeluarkan lagi ilmu-ilmunya yang paling dahsyat. Tadi, semua ilmu simpanannya dapat digagalkan oleh pemuda itu, akan tetapi sekarang, begitu dia membalas dan mendesak, pemuda itu segera kelihatan terdesak sekali dan beberapa kali terhuyung, dan main mundur saja! Kakek itu semakin yakin bahwa lawannya benar-benar bersandiwara, memainkan suatu siasat. Melihat betapa Hay Hay terdesak hebat, Kui Hong berseru. “Nek, lihat! Hay Hay terdesak terus. Turunlah, biar aku yang membantunya menghadapi kakek itu!" Mendengar teriakan gadis itu, mengertilah Hek-hiat-kwi apa maksud permaian sandiwara lawannya. Tentu untuk mengelabuhi Kiu-bwe Tok-li agar mau membebaskan gadis itu agar dapat membantu mengeroyoknya! Maka diapun mendesak semakin hebat dan sebuah tamparan tangan kirinya diterima dengan sengaja namun tidak kentara oleh Hay Hay, membuat tubuh Hay Hay terpelanting, akan tetapi pemuda itu tidak sampai roboh. Dia menyusulkan tendangannya yang dapat dielakkan oleh Hay Hay. "Tok-li, lihat, dia makin payah!" kata Kui Hong yang benar-benar merasa khawatir. "Hemm, jangan ribut dan jangan bergerak! Dia belum kalah!" kata nenek itu, sepasang matanya dengan tajam dan cerdik mengamati gerakan kedua orang itu. "Tapi, Nek. Kalau sampai dia benar-benar kalah dan tewas, tentu engkau dan aku akan tewas pula di tangan kakek itu!" Kui Hong membantah. "Desss….!" pada saat itu, Hay Hay terkena pukulan pada pundaknya dan sekali ini tubuhnya terguling-guling dan terbanting keras sampai debu mengepul dan pemuda itu memuntahkan darah segar! Sejak tadi Hay Hay menaruh perhatian akan percakapan antara Kui Hong dan nenek itu. Melihat betapa nenek itu masih belum terpancing, dia sengaja menerima hantaman tadi dengan pundaknya dan dengan tingkat kepandaiannya yang tinggi, dia mampu berlagak seolah-olah dia terluka parah dan muntahkan darah segar. Sekali ini Kiu-bwe Tok-Li terjebak. Melihat keadaan pemuda itu memang parah, ia lalu berkata, "Kui Hong, majulah akan tetapi biar aku yang membantu Hay Hay!" Dengan girang Kui Hong meloncat ke depan dan melihat gerakan yang amat ringan dari gadis itu, diam-diam Hek-hiat-kwi terkejut. Kiranya puteri Ketua Cin-ling-pai itupun memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat sekali! Dia merasa kagum. Akan tetapi karena gadis itu telah berada di depannya dan isterinya telah menyerangnya dengan cambuk ekor sembilan yang amat berbahaya, diapun meloncat ke belakang. Hay Hay bangkit dan mengerling ke arah nenek itu. Ternyata nenek itu tetap hanya mempergunakan tangan kanan untuk memainkan cambuknya, sedangkan tangan kiri masih mencengkeram tengkuk Kui Hong! Maka diapun maju lagi dan membantu nenek itu mengcroyok Hek-hiat-kwi. Hek-hiat-kwi segera terdesak hebat. Dengan kagum dia melihat betapa isterinya, walaupun kedua kakinya lumpuh, telah memperoleh kemajuan pesat dengan gerakan cambuknya, dan juga tenaga sin-kang yang terkandung dalam gerakan cambuk itu kuat bukan main. Biarpun lumpuh, karena digendong seorang gadis yang memiliki gin-kang sedemikian hebat, gerakannya tentu saja menjadi semakin lincah. Cambuk itu meledak-ledak dari sembilan penjuru karena cambuk sembilan ekor bergerak dengan aneh, masing-masing ekor seperti hidup tersendiri. Ada yang menotok, ada yang melecut, ada pula yang membabat, dan setiap ekor cambuk menyambar bagian tubuh yang berbahaya! Hay Hay yang beraksi telah menderita luka itu, membantu dengan kacau sehingga seringkali dia malah menghalangi sambaran cambuk! Beberapa kali nenek itu memaki dan membentaknya agar minggir. Hek-hiat-kwi kini melihat kesempatan bagaimana untuk menolong nona itu, tanpa mengorbankan nyawanya walaupun bukan tidak berbahaya. Dia harus dapat membuat nenek itu melepaskan cengkeramannya pada tengkuk gadis itu, dan satu-satunya jalan adalah membuat cambuk itu tak berdaya agar nenek itu terpaksa menggunakan tangan kirinya. "Tar-tar-tarrr…!" Kembali cambuk sembilan ekor itu meledak-ledak dan menari-nari. Hek-hiat-kwi sudah mengenal ilmu cambuk isterinya ini, maka begitu ujung-ujung cambuk menyambar, dia tidak mengelak, bahkan langsung menerjang ke depan. Hay Hay menyerang dari samping dengan kedua tangannya gencar memukul, akan tetapi pukulan-pukulan ini tidak mengenai tubuh lawan bahkan hawa pukulannya menangkis sedikitnya enam batang ujung cambuk yang seperti ditiup ke samping! Dan Hek-hiat-kwi sudah dapat menangkap yang tiga ujung lainnya, kemudian dengan sebelah tangan berhasil pula menangkap enam ujung yang menyeleweng oleh hawa pukulan Hay Hay tadi. Nenek itu terkejut. Tak disangkanya bahwa bekas suaminya kini sedemikian lihainya sehingga cambuknya yang sembilan ekor itu telah dapat ditangkap oleh kedua tangan sehingga cambuk itu tidak berdaya lagi. Ia melihat betapa kepala bekas suaminya itu demikian dekat, tak terlindung karena kedua tangan suaminya mencengkeram sembilan ujung cambuk. Melihat ini, sejenak ia lupa diri, lupa bahwa ia harus selalu mengancam Kui Hong dengan cengkeraman tangan kiri pada tengkuk. Tangan kirinya melepaskan tengkuk Kui Hong dan menyambar ke arah kepala bekas suaminya! Sejak tengkuknya dicengkeram nenek itu, tak pernah sedetikpun Kui Hong lengah. Ia selalu menanti datangnya kesempatan untuk membebaskan dirinya. Oleh karena itu, begitu merasa bahwa cengkeraman tangan nenek itu meninggalkan tengkuknya, ia mengeluarkan lengkingan panjang dan sambil mengerahkan tenaganya, tubuhnya diguncang dan iapun meloncat ke samping. Tentu saja tubuh nenek yang hanya nongkrong di atas punggungnya tanpa daya, tanpa adanya kekuatan untuk melekat, dengan mudah terlepas. Pada saat yang sama, Hay Hay sudah membuat gerakan membalik dan melihat tangan kiri nenek itu menghantam ke arah kepala Hek-hiat-kwi, diapun cepat menangkis dan tangan yang lain menotok. Maka robohlah tubuh nenek itu dengan mengeluarkan jeritan marah. Tubuh itu kini terpelanting dan tak mampu bergerak lagi, di atas tanah. Hanya sepasang matanya yang tajam itu saja yang masih melotot dengan penuh kebencian. "Hay Hay, mari kita hajar suaminya yang tadi hampir mencelakaimu!" kata Kui Hong, siap untuk menyerang Hek-hiat-kwi Lauw Kin. "Tahan dulu, Kui Hong!" kata Hay Hay. "Dia tidak pernah mau mencelakaiku. Tadi kami hanya bermain sandiwara untuk mengelabuhi nenek ini. Aku pura-pura terdesak agar Kiu-bwe Tok-li maju, dan siasat kami berhasil baik.” "Ohhh…?" Kui Hong terkejut dan merasa malu sendiri. "Kalau begitu, biar kubunuh saja nenek iblis ini!" “Nona… jangan….!” Hek-hiat-kwi Lauw Kin berseru sambil meloncat ke depan, melindungi tubuh isterinya. "Kalau ia sudah melakukan kesalahan terhadap Nona, biarlah aku sebagai suaminya yang mintakan ampun." Berkata demikian, kakek itu tanpa segan-segan lalu menjura berkali-kali kepada Kui Hong sebagai penghormatan sehingga gadis itu menjadi kikuk dan menyingkir. "Kui Hong tidak sepatutnya kita membunuhnya. Biarpun ia telah berbuat jahat terhadap kita, menyanderamu dan memaksa kita membantunya, akan tetapi bagaimanapun juga, ia telah menyelamatkan kita dari pohon itu." Hay Hay lalu menceritakan apa yang mereka alami sampai dapat bertemu dengan nenek Kiu-bwe Tok-li di guha tebing yang amat curam itu. Mendengar kisah yang diceritakan Hay Hay, kakek itu merasa kagum bukan main. "Ji-wi (kalian berdua) masih muda, akan tetapi telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Ingin aku bicara lebih banyak, mengenai riwayat Ji-wi dan bicara tentang para pendekar, akan tetapi lebih dulu aku harus mencoba untuk mengobati kedua kaki isteriku ini dan juga berusaha mengobati batinnya yang rusak oleh dendam dan derita. Akan tetapi sedikitnya ingin aku mengetahui siapa guru Ji-wi. Nona ini puteri Ketua Cin-ling-pai, kiranya mudah diduga bahwa ilmu silatnya tentulah dari Cin-ling-pai yang sudah terkenal. Akan tetapi kalau boleh aku bertanya., siapakah guru Taihiap (Pendekar Besar) yang perkasa?” *************** Sebetulnya jarang sekali Hay Hay menyebut nama guru-gurunya, maka menghadapi pertanyaan ini, dia menjadi ragu-ragu. Melihat keraguan pemuda itu, Hek-hiat-kwi cepat berkata, "Biarlah kita bicara kelak saja, akan tetapi aku mohon sukalah Ji-wi menjadi tamuku dan makan bersamaku, agar aku mendapat kesempatan mengenal Ji-wi lebih baik dan untuk menunjukkan hormat dan terima kasihku." "Terima kasih? Untuk apa Locianpwe harus berterima kasih kepada kami?" tanya Kui Hong yang telah mendapatkan kembali kelincahannya. Semenjak ia dan Hay Hay terjatuh ke dalam jurang, gadis ini mengalami peristiwa yang menegangkan, selalu terancam maut dan baru sekarang ia merasa memperoleh kernbali kebebasannya. "Benar, Locianpwe tidak berhutang budi apapun kepada kami, sebaliknya Lociapwe telah membantu sehingga Kui Hong dapat terlepas dari cengkeraman Kiu-bwe Tok-li. Kami yang sepatutnya berterima kasih." sambung Hay Hay. Akan tetapi kakek itu menggeleng kepala dengan pasti. "Kalian orang-orang muda yang gagah perkasa telah menolong isteriku keluar dari tempat terasing dan telah berhasil mempertemukan kami suami isteri, dan tanpa bantuan Ji-wi kiranya tidak mudah bagiku untuk menundukkannya. Mari, sobat-sobat muda yang baik, silakan masuk ke dalam guha dan aku mempunyai semua bahan masakan untuk dapat kita masak dan makan bersama." Kakek itu lalu memondong tubuh isterinya yang masih lemas oleh totokan Hay Hay, dan setelah saling pandang, dua orang muda itu mengikutinya dari belakang. Tanpa mengeluarkan kata, dalam batin Hay Hay dan Kui Hong terdapat keinginan yang sama, tertarik oleh penawaran kakek itu, ialah ingin mengisi perut mereka yang kini terasa lapar bukan main! Guha itu lebar dan dalam, juga bersih. Seperti ruangan dalam rumah saja, ada kamarnya. "Sobat-sobat muda, disudut sana terdapat sayur-sayur, daging kering, beras, buah-buahan boleh kalian pilih untuk dimasak. Aku harus lebih dulu memberi pengobatan pertama kepada isteriku. Nah, silakan dan harap jangan sungkan. Nanti setelah aku mengobati isteriku, kita makan sambil bicara dengan leluasa." Hek-hiat-kwi membawa isterinya ke dalam kamarnya di bagian paling dalam dari guha itu. Setelah kakek itu membawa isterinya ke dalam kamar guha, Kui Hong dan Hay Hay saling pandang dan Hay Hay tersenyum nakal sambil menuding ke arah sudut dan menepuk perutnya. Melihat sikap ini, Kui Hong menjadi geli dan tersenyum pula, .bahkan menutup mulut agar suara tawanya jangan sampai terlepas. Keduanya lalu berindap ke sudut tadi dan dapat dibayangkan betapa girang hati mereka menemukan barang-barang yang amat dibutuhkan mereka saat itu. Daging dendeng kering asin dan manis, terbuat dari daging yang segar. Sayur-sayuran yang juga masih segar, bermacam-macam, ada pula lobak dan sawi kegemaran Kui Hong, juga terdapat buah-buahan yang manis segar itu. Disitu terdapat pula gandum, beras dan bumbu-bumbu masak yang serba lengkap! "Heh-heh, makan besar kita sekali ini!” Hay Hay berbisik. "Kita masak di luar guha saja, kita harus masak yang cukup banyak untuk kakek itu dan isterinya." bisik pula Kui Hong. Hay Hay merasa setuju dan mereka lalu mengangkut bahan-bahan masakan ke luar guha dimana terdapat batu-batu yang telah dlsusun sedemikian rupa untuk menjadi tempat perapian. Agaknya Hek-hiat-kwi juga kadang-kadang masak di luar guha. Hay Hay lalu mencari kayu bakar, Kui Hong memotong daging dan sayur, menanak nasi dan mulutnya tiada hentinya mengunyah buah segar. Banyak buah apel disitu, juga jeruk yang manis. Tak lama kemudian, setelah kedua orang muda itu sibuk memasak beberapa macam masakan dan siap untuk mempersilakan tuan dan nyonya rumah untuk makan, tiba-tiba mereka mendengar jerit melengking dari dalam guha. Dua orang muda itu terkejut bukan main dan bagaikan terbang saja keduanya lari ke dalam guha dan langsung menghampiri kamar guha yang daun pintunya tertutup. Tanpa ragu lagi Hay Hay mendorong daun pintu itu sehingga terbuka dan penglihatan di dalam kamar membuat mereka berdua terbelalak. Kakek Hek-hiat-kwi duduk bersila, seperti tidak percaya menunduk dan memandang ke arah dadanya yang terluka parah. Bajunya robek dan darah merah membasahi seluruh dada, bahkan bercucuran keluar. Adapun nenek itu, dalam keadaan telanjang bulat dan rebah miring, mukanya menyeringai seperti iblis dan kini nenek itu tertawa, seperti suara tawa yang muncul dari balik kubur. “Hi-hi-hi-heh-heh! Jahanam Lauw Kin, mampuslah engkau sekarang, mampuslah di tanganku… ha-ha, kita berjumpa lagi dengan dia di neraka…. aughhhhh…!" Dan tubuh itu terkulai tewas! “Kim Siu…..!” Kakek itu mengeluh, seperti orang meratap. "Locianpwe, apa yang telah terjadi?" Hay Hay berseru dan menghampiri, diikuti Kui Hong. Mereka bersiap siaga. "Kim Siu….. ah, tak kusangka... ketika aku sedang mengobatinya dengan pengerahan sin-kang mencoba mengusir hawa dari pukulan beracun yang melumpuhkan kakinya, ia siuman dan tiba-tiba saja ia menyerangku dengan pukulan tangannya. Tangannya seperti sebatang golok menusuk dadaku... akan tetapi... sin-kang dari kedua tanganku tanpa terkendali lagi juga menyusup liar ke tubuhnya dan ia... ia terluka parah dan tewas dan... dan…" "Tenanglah, Locianpwe, biar kuperiksa lukamu." kata Hay Hay yang cepat menghampiri kakek itu dan merobek bajunya. Kui Hong memandang ngeri. Dada itu seperti dibacok golok, robek dan parah. "Lihat..." kakek itu terengah, "Lihat, darahku merah! Tidak hitam lagi... tanda bahwa aku... aku telah bersih..." kakek itu tertawa bergelak, kemudian terkulai dan ketika Hay Hay memeriksanya, dia pun sudah tewas seperti isterinya! Hay Hay menarik napas panjang. Memang luka di dada oleh pukulan Kiu-bwe Tok-li itu hebat, lebih parah daripada kalau nenek itu mempergunakan sebatang golok besar. "Gila… sungguh gila…” Hay Hay memandang gadis itu, akan tetapi dia diam saja walaupun dia merasa heran mengapa Kui Hong berkata demikian. "Mari kita keluar dari sini." ajaknya. Kui Hong dan Hay Hay keluar dari dalam kamar maut itu, dan Hay Hay mengangkat daun pintu yang tadi roboh oleh dorongannya, memasangnya kembali. "Aku akan mengganjalnya dengah batu besar agar tidak mudah dibuka orang." "Hemm, mengapa kau lakukan itu?” tanya Kui Hong. "Kita biarkan saja mereka di dalam kamar guha, karena tempat itu merupakan kuburan yang cukup baik. Mereka takkan diganggu binatang buas." Kui Hong membantu Hay Hay mendorong masuk guha itu sebuah batu besar dan batu itu mereka dorong sampai menutupi pintu kamar dengan rapat. Tak seekorpun binatang buas akan dapat memasuki kamar itu dan mengganggu dua sosok mayat di dalamnya. Kemudian mereka keluar. "Mari kita makan dulu sebelum pergi." kata pula Hay Hay. Peristiwa yang terjadi dalam kamar guha itu amat mengerikan dan mengesankan sehingga dua orang muda yang biasanya berwatak gembira itu kini seperti kehilangan kegembiraan mereka. Bahkan Kui Hong kehilangan nafsu makannya. Tadinya ia tidak mau makan karena biarpun perutnya amat lapar namun lenyap sama sekali nafsu makannya, akan tetapi Hay Hay membujuknya dan akhirnya mau juga dara itu makan sedikit nasi dengan sayur. Ia lebih banyak makan buah untuk mengisi perut yang kosong. Setelah makan Hay Hay dan Kui Hong mengembalikan semua alat masak ke dalam guha dan membersihkan tempat itu, kemudian sebelum pergi, Hay Hay mengajak gadis itu berdiri di depan pintu kamar guha yang sudah tertutup batu besar. "Locianpwe Lauw Kin, kami berterima kasih atas semua kebaikanmu. Kami hendak pergi dari sini dan semoga Locianpwe memperoleh kedamaian dan ketenteraman bersama isteri Locianpwe." Kui Hong diam saja, hanya mendengarkan ucapan Hay Hay yang seperti berdoa itu. Mereka lalu keluar dari dalam guha, menuruni bukit itu tanpa banyak bicara, namun terasa kelegaan menyusup ke dalam hati setelah mereka meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Setelah mereka tiba di kaki bukit, tiba-tiba Kui Hong menghentikan langkahnya dan menjatuhkan diri di atas rumput dan…. menangis! Tentu saja Hay Hay terkejut bukan main. Sejenak dia hanya dapat memandang dengan mata dilebarkan. Dia kaget dan heran. Semenjak bertemu dengan Kui Hong, berebutan bangkai kijang, sampai sama-sama menghadapi cengkeraman maut, dia mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang tinggi ilmunya, gagah berani, tabah, dan galak di samping riang jenaka dan terbuka. Maka, melihat betapa gadis itu kini tiba-tiba saja menangis sambil menutupi mukanya, tentu saja dia merasa heran sekali. "Kui Hong mengapa engkau menangis?" Akhirnya Hay Hay bertanya lembut setelah diapun duduk di depan gadis itu. Tempat itu sunyi dan angin senja semilir dari barat. Dia baru berani bertanya setelah tangis Kui Hong mereda. Dia tidak tahu bahwa tangis gadis itu merupakan pelampiasan dari semua ketegangan yang menumpuk di dalam batin Kui Hong semenjak mereka terjatuh ke dalam jurang. Gadis ini seorang pendekar wanita yang tabah, namun selama hidupnya belum pernah mengalami hal-hal hebat secara beruntun seperti yang dialaminya bersama Hay Hay itu. Kengerian, ketakutan yang ditekan, kemarahan dan kebencian yang ditahan ketika ia merasa amat terhina oleh nenek iblis dan ketidak-berdayaan ketika disandera, semua itu kini terurai dan mengalir melalui air matanya. Mendengar pertanyaan Hay Hay, Kui Hong mengusap sisa air matanya. Kemudian ia menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka memandang kepada Hay Hay dan pemuda itu hampir terlonjak kaget. Sepasang mata itu, walau masih kemerahan dan agak membengkak oleh tangis, memandang dengan sinar yang bening mengandung kegembiraan, bibirnya tersenyum dan wajah itu berseri! Saking herannya, pemuda ini hanya memandang dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, tak pernah berkedip menatap wajah gadis yang tersenyum manis itu. "Ihh, Hay Hay! Kenapa engkau menjadi bengong seperti arca seorang yang tolol!" Dan Kui Hong tertawa, ketawanya lepas bebas dan tidak malu-malu seperti para gadis pada umumnya. "Lho! Bagaimana pula ini?" kata Hay Hay yang sudah dapat menguasai diri yang tadi dicekam keheranan. "Sekarang engkau tertawa gembira dengan mata yang masih merah oleh bekas tangis. Engkau tadi menangis tanpa sebab lalu kini tertawa geli. Siapa orangnya yang tidak menjadi bengong keheranan melihat ulahmu, Kui Hong?" Gadis itu tersenyum geli, lalu menggeleng kepala. "Entah, Hay Hay, aku sendiripun tidak mengerti. Ketika tadi aku teringat akan semua peristiwa yang terjadi semenjak kita terjatuh ke dalam jurang itu, mendadak saja aku ingin menangis sepuas hatiku. Kemudian setelah tangisku berhenti, aku merasa demikian lega dan ringan hatiku sehingga aku ingin tertawa, bernyanyi dan bersorak!" Kini mengertilah Hay Hay dan diapun mengangguk-angguk. "Ah, engkau seorang yang beruntung, Kui Hong." “Beruntung? Apa maksudmu?" “Orang yang dapat melepaskan semua perasaan dalam batinnya melalui tawa dan tangis secara langsung seperti engkau, adalah orang yang beruntung. Tidak seperti mereka yang menyimpan semua perasaan dalam batin, tidak mampu melampiaskannya keluar sehingga tumpukan perasaan itu akan mendatangkan bermacam penyakit dan melemahkan badan. Semua pengalaman yang bertumpuk di dalam hatimu sejak kita terjatuh ke dalam jurang, tadi dapat mengalir keluar melalui tangismu karena engkau sudah terbebas dari semua itu, kemudian setelah semua himpitan perasaan itu mengalir keluar, tentu saja perasaanmu menjadi lega dan gembira sehingga engkau memperoleh kembali watakmu yang asli, yaitu gembira dan lincah jenaka, juga galak…” Sepasang mata itu melotot dan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah melengkung itu berkerut. "Aku? Kau berani mengatakan aku galak?" Hay Hay tertawa. "Nah… nah… baru dikatakan galak saja sudah marah. Apalagi sikap itu kalau bukan galak? Sudahlah, aku hanya main-main, kau maafkan aku, Nona manis." *************** Akan tetapi Kui Hong sudah melupakan lagi hal itu dan kemarahannya sudah lenyap. Ia nampak termenung karena ia teringat akan peristiwa mengerikan yang terjadi di dalam kamar guha itu dan seperti orang mimpi saja mulutnya berka lirih, “Gila, sungguh gila….!” Hay Hay teringat dan dia menatap wajah gadis itu. "Ah, sudah dua kali engkau mengatakan itu, Kui Hong!" "Dua kali?" Gadis inipun bertanya heran. “Iya, ketika kita hendak meninggalkan guha, di depan kamar guha itu engkaupun mengatakan demikian, dan sekarang engkau mengulanginya. Apa dan siapa yang kau katakan gila itu?” "Mereka, kakek dan nenek itu. Mereka menjadi gila karena cinta." Kata Kui Hong, termenung dan memandang ke angkasa yang merah oleh sinar matahari senja. Hay Hay tersenyum memandang wajah yang manis itu. Manis sekali puteri Ketua Cin-ling-pai ini, pikirnya, mengamati dan memperhatikan bagian muka itu satu demi satu. Mulut itu manis sekali biarpun ada tarikan keras pada kedua ujungnya. Dan hidung itu. Lucu sekali. Kecil mancung dan ujungnya seperti dapat bergerak-gerak, kelucuan yang menghapus kekerasan pada ujung kedua bibirnya. "Gila karena cinta? Wah, agaknya engkau ahli dalam soal cinta sehingga tahu bahwa mereka menjadi gila karena cinta." pancing Hay Hay. Mata itu, biar agak kemerahan oleh bekas tangis dan agak membengkak, harus diakui amat indah, bening kalau mengerling tajam seperti gunting. Juga dengan bulu mata yang melengkung dan lentik panjang, dengan hiasan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah pula. Seraut wajah yang amat manis, dengan dagu meruncing dan muka yang bulat telur. Daun telinganya pun menarik, sedang dan di depannya terhias rambut halus melingkar, juga di dahinya terhias sinom atau anak rambut yang halus dan kacau namun menarik sekali. "Biarpun bukan ahli dalam soal cinta, mudah diketahui bahwa mereka itu menjadi gila karena cinta. Kakek itu menjadi gila karena cintanya kepada nenek iblis itu. Sudah tahu bahwa nenek itu demikian jahatnya, namun karena cinta, dia masih bersusah payah mau mengobati nenek itu, sehingga akibatnya dia terbunuh oleh nenek yang jahat itu. Bukankah itu suatu kegilaan namanya? Kegilaan yang membuat dia kehilangan kewaspadaan, padahal kakek itu berilmu tinggi, tidak semestinya dia demikian mudah diperdaya oleh Kiu-bwe Tok-li." Hay Hay mendengarkan tanpa menanggalkan senyum dari bibirnya, matanya mengamati wajah itu dengan penuh perhatian dan kekaguman. "Menurut pendapatku, cinta kasih kakek itu terhadap isterinya amat murni dan suci. Biarpun isterinya telah melakukan penyelewengan dengan laki-laki lain, bahkan isterinya itu bersama kekasihnya berusaha membunuhnya kemudian meninggalkannya sampai puluhan tahun, kemudian isterinya muncul lagi dan hendak membunuhnya, tetap saja dia tidak membenci isterinya. Bahkan dia berusaha mengobati isterinya dan mencegah ketika engkau hendak membunuh nenek itu. Nah, itulah cinta kasih yang suci murni dan kiranya di dunia ini sukar dicari seorang pria yang dapat mencinta seperti itu terhadap seorang wanita." "Itu sebabnya kukatakan gila. Dia menjadi gila oleh cintanya! Cinta semacam itu tidak umum, tidak lumrah, tidak wajar. Cinta seperti itu hanya patut dimiliki seorang ibu atau ayah terhadap anak mereka, bukan seorang suami terhadap isterinya! Dan nenek itupun sudah gila karena cintanya kepada kekasihnya. Kekasihnya itu telah dibelanya, bahkan diajak membunuh suaminya, akan tetapi kekasihnya kalah oleh Hek-hiat-kwi dan terluka. Nenek itu membelanya dan membawanya pergi ke guha, merawatnya. Akan tetapi kekasihnya itu memukul dan melumpuhkan kedua kakinya karena tidak ingin ditinggalkan. Dan nenek itu masih tetap saja mencintanya, bahkan ingin membalaskan kematiannya kepada Hek-hiat-kwi. Apalagi namanya itu kalau tidak gila?" "Wah, kalau menurut aku, cinta nenek itu terhadap kekasihnya adalah cinta berahi, cinta nafsu belaka! Mungkin pria yang menjadi kekasihnya itu amat tampan, amat menyenangkan hatinya sehingga ketika ia kehilangan kekasihya itu, ia merasa kecewa dan berduka, dan dendam kepada suaminya yang membuat kekasihnya itu tewas." "Itulah, bukankah gila keduanya itu? Cinta antara suami isteri, antara pria dan wanita, tidak semestinya begitu!" kata pula Kui Hong penuh semangat dan dengan mata berapi-api karena ia teringat akan hubungan antara ayah dan ibunya sendiri. Senyum di mulut Hay Hay melebar. Bukan main, pikirnya. Kalau yang bicara tentang cinta itu seorang wanita seperti Ji Sun Bi misalnya, hamba nafsu berahi yang sudah penuh dengan pengalaman, atau setidaknya Kok Hui Lian, yang sudah dua kali menikah dan gagal, tidak akan aneh terdengarnya. Akan tetapi keluar dari mulut gadis ini, yang agaknya baru saja melewati masa remaja, paling banyak delapan belas tahun usianya, sungguh terdengar lucu dan ganjil. "Kui Hong, engkau hebat! Kalau menurut pendapatmu, semestinya bagaimanakah cinta antara pria dan wanita itu?" Hay Hay menyembunyikan senyumnya karena dia khawatir kalau gadis itu menjadi marah. Pandang mata Kui Hong menyambar dan sejenak gadis itu mengamatinya penuh selidik. Kemudian, dengan lagak seorang guru besar memberi kuliah kepada para mahasiswanya, ia berkata, "Cinta kasih antara pria dan wanita adalah cinta kasih yang khas, tentu saja mengandung berahi karena mereka menjadi dekat oleh nafsu yang amat diperlukan untuk perkembangbiakan manusia. Bayangkan saja kalau cinta antara suami isteri itu seperti cinta antara sahabat atau saudara atau orang tua kepada anaknya, tanpa berahi! Tentu takkan terbentuk keluarga dan keturunan! Setelah mengandung nafsu berahi, juga mengandung rasa persahabatan, saling menerima dan memberi, saling terikat dan saling memiliki maka terdapat pula cemburu, terdapat pula pengorbanan. Akan tetapi semua itu dalam batas tertentu sehingga ada keseimbangan antara semua perasaan itu. Jadi bukan sekedar berahi semata, atau persahabatan semata, atau pengorbanan semata, melainkan persatuan yang seimbang dari kesemuanya itu. Nah, barulah kehidupan suami isteri dapat berjalan dengan lancar dan kesetiaanpun dapat mereka pertahankan." Hay Hay terbelalak. Bagaimana mungkin gadis yang kelihatan masih “hijau” ini dapat bicara demikian panjang lepar dan pasti tentang cinta antara suami isteri? Dia bertepuk tangan memuji. "Hebat, engkau hebat, Nona! Engkau ternyata seorang guru besar soal cinta mencinta. Tentu sudah banyak pengalaman dalam bidang itu!" Tiba-tiba Kui Hong meloncat berdiri dan bertolak pinggang. "Keparat, hayo bangkit dan kita selesaikan penghinaan ini dengan perkelahian!" Tentu saja Hay Hay terkejut dan tidak mau bangkit berdiri. "Aduh tobat! Ada apa lagi, Nona manis? Apa kesalahan hamba sekali ini?" "Masih bertanya lagi dan pura-pura tidak tahu ya? Jelas engkau menghinaku, mengatakan bahwa aku sudah banyak pengalaman dalam bidang cinta! Apa kau kira aku ini petualang cinta ?" "Aduh, ampunkan hamba ini, yang mulia!" Hay Hay masih berkelakar, akan tetapi benar-benar dia bersoja (menghormat dengan kedua tangan dikepal depan dada) sambil membungkuk berkali-kali. "Aku tidak bermaksud menghina, hanya saja, bagaimana engkau tidak banyak pengalaman kalau pandai menguraikan soal cinta demikian jelas dan terperinci? Dari mana engkau memperoleh pengetahuan yang demikian luas tentang cinta?” "Huh, orang bisa saja memperoleh pengetahuain dengan belajar!" "Akan tetapi, bagaimana mungkin mengetahui tentang cinta hanya dengan belajar, tanpa mengalaminya sendiri?" "Hay Hay, engkau ini memang tolol ataukah pura-pura tolol untuk mempermainkan aku?" bentak Kui Hong. "Tentu saja orang dapat memperoleh pengetahuan apa saja dengan belajar, tanpa harus mengalaminya sendiri. Kalau engkau mempelajari kehidupan seekor monyet, anjing atau babi, apakah engkau juga harus lebih dulu mengalami menjadi monyet, anjing atau babi?" Hay Hay tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Kui Hong. Kalau engkau ingin memaki aku, makilah secara langsung saja, mengapa pula harus pakai berputar-putar segala?" "Memang aku ingin memakimu. Engkau memualkan perutku!" "Sudah dua kali engkau mengatakan kalimat itu. Mengapa, Kui Hong. Mengapa perutmu menjadi mual karena aku?" "Habis engkau ini suka main-main, berpura-pura tolol. Pura-pura tidak tahu tentang cinta, padahal engkau ini seorang laki-laki perayu besar, dan aku yakin engkau tentu laki-laki hidung belang, mata keranjang dan kurang ajar! Dan Ibuku selalu memperingatkan aku agar berhati-hati terhadap laki-laki perayu!" "Wah-wah, banyaknya tuduhan itu! Kau bilang aku hidung belang." dia mengelus hidungnya yang mancung dan sama sekali tidak belang, "akan tetapi aku yakin hidungku tidak pernah belang, dan mata keranjang? Matakupun tidak sekeranjang, juga tidak selalu ditujukan ke ranjang saja. Tentang kurang ajar, mungkin aku kurang ajar karena sejak kecil tidak mengenal Ayah Ibu. Dan perayu? Wah, kapan aku pernah merayumu, Kui Hong?" Kui Hong membanting kaki kanannya, lalu duduk lagi di atas rumput dan mengomel karena merasa kewalahan berdebat. "Huh, dasar pokrol bambu! Engkau berkali-kali memujiku, yang cantiklah, yang manislah, yang apalah... apakah itu bukan merayu namanya?" "Tidak, aku tidak pernah merayu! Aku hanya jujur dan apa salahnya orang bicara jujur dan apa adanya? Apakah aku harus menipu dan berbohong mengatakan bahwa wajahmu yang amat manis itu menjadi amat buruk? Coba lihat saja sendiri. Matamu itu! Begitu indah bentuknya, jeli dan tajam, dengan bulu mata lentik dan alis melengkung indah, kerling matamu demikian tajam menyayat!" Wajah Kui Hong perlahan-lahan berubah kemerahan karena canggung dan malu, akan tetapi ia diam saja, hanya menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu. "Dan hidungmu itu! Sungguh mati, belum pernah hidupku aku melihat hidung seindah itu. Kecil mancung dan ujungnya dapat bergerak-gerak lucu dan menarik sekali. Daun telingamu seperti gading terukir ahli yang amat pandai, kulit mukamu begitu halus sampai ke leher, putih mulus tanpa cacat " Kui Hong memejamkan matanya dan merasa betapa hatinya seperti dielus-elus, terasa nikmat dan bahagia sekali. "Orang tuamu sungguh pandai memilih nama dengan memasukkan Hong karena matamu seperti mata burung Hong. Dan mulutmu! Ah, tidak mudah melukiskan keindahan mulutmu, Kui Hong. Heran aku, bagaimana ada sepasang bibir seperti bibirmu, dalam keadaan bagaimanapun tetap indah menarik. Kalau diam begitu anggun dan manis, kalau tersenyum seperti bunga mawar mekar merekah, kalau tertawa seperti sinar matahari siang yang panas, kalau cemberut juga bertambah manis, seperti bulan redup. Dan rambutmu kacau tak tersisir akan tetapi di dalam kekacauan itu terdapat sesuatu yang amat indah dan sempurna, seolah-olah kalau dibereskan malah berkurang keindahannya. Anak rambut di dahimu itu, di pelipismu, di lehermu, aduhai…!" Kui Hong menggigit bibirnya. Belum pernah selama hidupnya ia merasakan kenikmatan dan kebahagiaan batin seperti itu. Pujian-pujian seperti itu berbeda sama sekali dengan pujian kurang ajar dari beberapa orang pria yang pernah dihajarnya hanya karena mereka memujinya dengan maksud kurang ajar.....

PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 33 :
AkAN tetapi pujian Hay Hay demikian jujur, demikian indah didengar, demikian mengelus hatinya, membuat dia seperti merasa mengantuk dan nyaman sekali. Dia menggigit bibir dan dengan mengeraskan hati dia berseru. "Cukup...!" Bentakannya itu membuyarkan ayunan yang nikmat tadi dan dia menatap wajah Hay Hay dengan sepasang mata bersinar dan penuh selidik. Tetapi dia tidak menemukan kekurang ajaran di dalam pandang mata pemuda itu. "Nah, Kui Hong. Demikianlah kira-kira keadaan wajahmu, yang tadi kugambarkan secara canggung sekali karena bagaimana mungkin bisa menggambarkan keindahan seperti itu. Aku bukanlah seorang seniman yang pandai. Kalau saja aku pandai melukis! Apakah itu namanya rayuan? Aku hanya menggambarkan dengan jujur, bukan sembarang memuji, juga bukan merayu dengan pamrih. Kalau engkau cantik, mana mungkin aku mengatakan buruk? Lelaki yang menyembunyikan kecantikan wanita, tidak jujur dan menyimpan saja di dalam hati agar dianggap sopan, maka dia adalah seorang munafik!" Sejenak keduanya diam dan Kui Hong merasa senang sekali walau pun dia merasa malu dan canggung, Akhirnya dia mengangkat muka sehingga kedua orang itu beradu pandang. "Hay Hay, benar-benarkah engkau menganggap aku cantik?" "Tentu saja. Kalau engkau buruk lalu kukatakan cantik, itu baru merayu namanya. Engkau seorang dara yang gagah perkasa, lihai, cantik dan lincah gembira, Kui Hong." Kali ini Kui Hong tidak cemberut, bahkan tersenyum manis, yakin akan kejujuran pemuda yang dianggapnya istimewa ini. Dia sudah banyak bertemu pria, akan tetapi belum pernah ada yang seperti Hay Hay, begitu pintar memuji dan menyenangkan hati dengan kata-kata yang indah seperti merayu, akan tetapi tidak memiliki pandang mata kurang ajar atau tak sopan seperti pandang mata pria lain. Hatinya senang sekali. "Dan engkau pun seorang pemuda yang tampan, sederhana namun memiliki kepandaian yang amat tinggi, Hay Hay." Hay Hay tertawa girang. Dia pun bangkit berdiri dan menjura dengan tubuh membungkuk sampai dalam. "Terima kasih, Nona manis, terima kasih atas pujianmu. Ternyata engkau mudah sekali belajar menjadi manusia yang jujur!" Dia lalu memandang ke sekelilingnya. "Akan tetapi senja sudah larut dan malam hampir tiba. Apakah tidak sebaiknya kalau kita melanjutkan perjalanan mencari dusun supaya kita memperoleh rumah untuk melewatkan malam?" Kui Hong menggelengkan kepalanya. "Tidak, malam ini bulan muncul dan tempat ini pun cukup menyenangkan. Aku masih lelah dan biar kita melewatkan malam di sini saja. Akan tetapi, kalau engkau ingin mencari rumah penginapan di dusun, silakan pergi dan biarlah aku tinggal sendiri di sini!" Kalimat terakhir mengandung kekerasan. "Ha-ha-ha, engkau sungguh seperti sebutir batu mulia, Kui Hong!" "Hemm? Apa artinya engkau menyamakan aku dengan batu?" "Batu tapi bukan sembarang batu, Nona, melainkan batu mulia seperti intan dan kemala, indah, bernilai tinggi, akan tetapi keras laksana baja. Baiklah, kalau engkau menghendaki bermalam di sini, aku pun suka sekali. Kita dapat bercakap-cakap agar perkenalan antara kita lebih akrab. Yang kuketahui darimu hanyalah bahwa engkau bernama Cia Kui Hong, puteri Ketua Cin-ling-pai. Tentu saja aku ingin mengetahui lebih banyak." "Engkau harus bercerita lebih dulu," kata Kui Hong sambil menjulurkan kedua kakinya dan duduk bersandar di batang pohon yang tumbuh di situ. Tempat itu memang enak sekali, rumputnya tebal dan bersih, ada pohon yang melindungi mereka dan tidak jauh dari situ agaknya terdapat anak sungai karena terdengar suara gemericik air. "Baiklah, akan tetapi karena memang tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku, kau boleh bertanya apa saja dan aku akan menjawab." "Hay Hay, tadi pada saat engkau bertanding melawan Hek-hiat-kwi, engkau terdesak tapi kemudian ternyata engkau hanya bersiasat dan mengalah untuk menjebak nenek iblis itu. Andai kata engkau tak mengalah, apakah engkau akan bisa mengalahkan Hek-hiat-kwi?" "Locianpwe itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, ilmu silatnya juga aneh dan matang, dan tenaga saktinya sangat kuat. Akan tetapi aku yakin akan mampu mengatasinya kalau kami bertanding dengan sungguh-sungguh," jawab Hay Hay sejujurnya. Gadis itu mengangguk-angguk tanpa melepaskan tatapan matanya pada wajah pemuda itu dengan sinar mata kagum. "Aku pun menduga demikian Hay Hay, engkau begini lihai, ilmu silatmu jauh lebih tinggi dibandingkan kepandaianku, bahkan engkau pun pandai ilmu sihir, dan engkau mengaku masih sute dari Toako (Kakak Besar) Cia Sun..." "Ehh? Engkau menyebut Toako kepada Suheng Cia Sun? Apa hubunganmu..." "Nanti dulu. Ingat, kini giliran cerita tentang dirimu! Nah, siapakah gurumu yang membuat engkau demikian lihai?" "Wah, Kui Hong, terus terang saja, selama ini aku tak pernah menceritakan kepada siapa pun tentang guru-guruku. Akan tetapi karena aku sudah berjanji untuk menjawab, biarlah aku memberi pengecualian kepadamu. Engkau seorang gadis yang hebat, sangat pantas mendapat keistimewaan itu. Nah, guru-guruku banyak. Yang mengajar ilmu silat ialah dua orang dari Delapan Dewa, yaitu Ciu-sian Sin-kai, majikan Pulau Hiu di Laut Pohai, serta See-thian Lama atau Go-bi Sian-jin, yaitu gurunya suheng Cia Sun. Yang mematangkan seluruh ilmuku adalah suhu Song Lojin (Kakek Song) dan Guruku dalam ilmu sihir adalah mendiang Pek Mau san-jin." Kui Hong memandang penuh kagum. "Pantas saja engkau hebat. Ternyata yang menjadi guru-gurumu dalam hal ilmu silat adalah dua orang di antara Delapan Dewa. Aku pernah mendengar dari Kongkong (Kakek) tentang kehebatan Delapan Dewa. Sekarang aku ingin tahu tentang keluargamu. Engkau tentu sudah beristeri..." "Ahhh, jangan mengejekku, Kui Hong! Siapa sudi dengan orang macam aku? Aku belum menikah, bertunangan pun belum, pacar pun tidak punya!" "Hemm, benarkah? Engkau sudah begitu berpengalaman dan pandai menyenangkan hati wanita, dan usiamu juga tidak muda lagi." "Aku baru berusia dua puluh satu, masih terlalu muda untuk memikirkan soal jodoh." "Begitu pendapatmu? Dan siapa nama Ayah Ibumu? Di mana mereka tinggal?" Kali ini lenyaplah seri pada wajah Hay Hay. Untung bahwa malam mulai tiba, sinar senja mulai terganti keremangan menjelang malam sehingga gadis itu tidak melihat perubahan mukanya yang kini diliputi mendung. "Ayahku she Tang, aku tidak tahu siapa namanya. Aku juga tidak tahu siapa nama ibuku. Aku pun tidak pernah melihat ayah ibuku. Ibu meninggal dunia ketika aku masih kecil dan ayahku, aku tidak tahu dia berada di mana." "Ohhhh...!" Seruan Kui Hong mengandung kekagetan dan juga iba. "Kasihan engkau, Hay Hay..." Keriangan watak Hay Hay pulih kembali. "Tidak usah kasihan, Kui Hong, aku sendiri pun tidak kasihan pada diriku sendiri. Kenapa mesti kasihan kalau keadaan hidupku memang sudah semestinya begitu?" "Tapi... tapi, bagaimana sampai engkau tidak tahu dan tidak mengenal ayah ibumu? Apa yang telah terjadi dengan mereka?" Hay Hay merasa canggung sekali. Akan tetapi karena sudah berjanji, maka terpaksa dia pun menuturkan sebagian dari riwayat hidupnya tanpa harus menceritakan keadaan ayah kandungnya seperti yang didengarnya dari keluarga Pek. "Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Pada waktu aku masih kecil sekali, agaknya ibu mengajak aku bepergian dengan perahu. Tetapi perahu itu terguling sehingga ibu dan aku hanyut. Ibu tewas dan aku tertolong orang. Kemudian aku bertemu dengan kedua orang guruku dan menjadi murid mereka. Hanya begitulah. Nah, tidak ada yang menarik tentang diriku, bukan? Sekarang giliranmu, Kui Hong." "Nanti dulu," bantah Kui Hong. "Engkau memiliki ilmu sihir, bahkan aku sendiri pun pernah kau permainkan dengan sihirmu ketika kita memperebutkan kijang itu. Akan tetapi kenapa nenek itu tidak dapat kau pengaruhi dengan ilmu sihirmu?" "Ahh, hal itu hanya menunjukkan bahwa nenek itu pernah mempelajari sihir atau memiliki kekuatan batin yang amat kuat untuk melindungi dirinya. Sekarang aku ingin tahu tentang dirimu, Kui Hong. Biar pun aku sudah tahu bahwa ayahmu adalah Ketua Cin-ling-pai yang terkenal, akan tetapi aku belum tahu siapa nama kedua orang tuamu." "Ayah bernama Cia Hui Song, keturunan dari para Ketua Cin-ling-pai, sedangkan ibuku bernama Ceng Sui Cin, puteri Pendekar Sadis..." "Ahh! Pendekar sadis yang amat terkenal itu adalah Kongkong-mu?" kata Hay Hay penuh kagum. "Dan semua ilmu silatmu tentu kau dapat dari orang tuamu." "Benar, akan tetapi selama tiga tahun terakhir ini aku tinggal di Pulau Teratai Merah dan menerima petunjuk dari kakek dan nenekku." "Pantas saja! Ilmu silatmu lihai bukan main, Kui Hong. Apa lagi dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh), sungguh aku kagum dan takluk." "Sudahlah, jangan terlalu banyak memuji. Buktinya aku tidaklah selihai engkau," kata Kui Hong yang tidak ingin berbicara lebih banyak tentang orang tuanya karena tidak mungkin baginya untuk menceritakan mengenai keretakan rumah tangga orang tuanya. "Sekarang engkau sedang hendak pergi ke manakah?" Hay Hay lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo yang bijaksana di rumah Jaksa Kwan, dan tentang permintaan tolong Menteri Yang Ting Hoo kepadanya agar suka melakukan penyelidikan terhadap persekutuan di Lembah Yangce. "Menurut keterangan dua orang pejabat tinggi yang bijaksana dan setia itu, gerakan para pemberontak itu dipimpin oleh para datuk sesat, kabarnya diketuai oleh Lam-hai Giam-lo, bahkan Pek-lian-kauw juga sudah bergabung dengan persekutuan itu. Nah, sekarang aku sedang menuju ke sana. Ketika perutku terasa amat lapar, aku lalu berburu kijang itu dan bertemu denganmu." Hay Hay tersenyum ketika teringat akan peristiwa itu. "Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah?" "Aku? Aku hanya ingin merantau, meluaskan pengalaman, juga hendak mencari seorang pengkhianat keji, seorang murid murtad yang sudah sepantasnya dihancurkan karena dia dapat menjadi orang yang amat berbahaya." Kui Hong mengepal tinju dan nampak marah sekali. Hay Hay terkejut sekali dan mengerutkan alisya. Tak nyaman rasa hatinya melihat gadis itu dicengkeram dendam yang demikian penuh kebencian terhadap seseorang. "Hemmm, siapakah orang itu? Seorang murid Cin-ling-pai?" "Kalau hanya seorang murid Cin-ling-pai, kiranya tidaklah demikian membahayakan, tidak perlu aku bersusah payah mencarinya sendiri. Akan tetapi dia jauh lebih lihai dari sekedar seorang murid Cin-ling-pai, karena dia adalah murid gemblengan dari Kakek dan Nenek di Pulau Teratai Merah." "Ahhh...! Maksudmu, dia itu murid dari kakekmu Pendekar Sadis?" "Benar. Namanya Ciang Ki Liong. Seperti juga engkau, dia seorang korban kecelakaan di laut yang ketika kecil ditolong oleh kakek dan nenekku lalu diambil murid dan digembleng. Ketika tiga tahun yang lalu berkunjung ke pulau itu, aku sendiri sama sekali tidak mampu menandinginya. Tiga tahun yang silam dia minggat dari pulau sambil membawa banyak pusaka Pulau Teratai Merah, dan karena itulah kakek dan nenek kemudian mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku agar aku dapat menandinginya." "Tapi... tapi sebagai murid Pendekar Sadis, tentu dia memiliki akhlak yang baik. Mengapa dia sampai pergi meninggalkan pulau itu dan membawa banyak pusaka milik kakekmu?" "Menurut kakek dan nenek, sejak kecil dia memang kelihatan berwatak baik sekali, akan tetapi ketika aku berkunjung ke pulau itu, malam itu dia... dia mempunyai niat kotor dan kurang ajar terhadap diriku. Aku menolak dan menyerangnya, kami lantas berkelahi dan begitulah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia minggat membawa barang-barang pusaka, termasuk pedang kakek yang bernama Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak)." "Aihh, kiranya begitu?" Hay Hay mengangguk-angguk. "Terbuktilah sekarang bahwa aku tidak membohong ketika aku memuji-muii kecantikanmu, Kui Hong. Pantas saja Ciang Ki Liong itu tergila-gila kepadamu sebab engkau memang cantik menggairahkan, hanya saja dia tidak sanggup melawan nafsu birahinya sendiri sehingga melakukan hal yang buruk. Kecantikan, seperti juga semua keindahan, menjadi sangat berbahaya kalau ingin dimiliki dan dinikmati sebagai kesenangan." "Hemmm, engkau sendiri seorang laki-laki mata keranjang yang suka dengan kecantikan wanita. Tentu engkau pun sering kali tertarik oleh kecantikan wanita, bukan?" "Tidak kusangkal, Kui Hong. Aku suka sekali dan sering tertarik akan kecantikan wanita seperti aku suka dan tertarik dengan kecantikan bunga-bunga yang beraneka bentuk dan warna. Semuanya indah mengagumkan. Akan tetapi aku tidak membiarkan diriku dikuasai nafsu untuk memetik bunga-bunga itu, karena hal itu berarti merusak dan merusak adalah perbuatan jahat. Aku hanya menikmati kecantikan wanita melalui pandang mataku, tanpa dipengaruhi birahi yang akan mendorongku ke arah perbuatan yang melanggar susila." Hening sejenak dan malam pun tiba. Tanpa bicara keduanya lantas mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin. Api bernyala dengan indahnya karena kayu yang dimakannya sudah kering betul dan malam itu tidak ada angin. Kehangatan dan penerangan diciptakan api yang bernyala itu. Mereka duduk berhadapan, terhalang oleh api unggun. Hay Hay mengagumi wajah yang tertimpa cahaya api itu, mewarnai wajah cantik itu dengan warna kemerahan. Ketika gadis itu mengangkat muka dan menatapnya, dia tidak melepaskan pandang matanya sehingga sejenak sinar mata mereka bertemu dan bertaut. "Hay Hay, pernahkah engkau jatuh cinta?" Hay Hay terkejut. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan tak tersangka, seperti sebuah jurus serangan yang aneh dan berbahaya. Dia melihat betapa sepasang mata jeli dan tajam itu memandang kepadanya penuh selidik. Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Aku bersyukur bahwa aku belum pernah jatuh cinta, Kui Hong." "Bersyukur? Kenapa mesti bersukur?" "Karena, seperti katamu tadi, cinta merupakan ikatan, seperti burung di dalam sangkar. Aku tidak ingin kakiku terikat atau terkurung di dalam sangkar, lebih suka terbang bebas di angkasa seperti seekor burung garuda! Bagaimana dengan engkau sendiri, Kui Hong? Seorang gadis selihai dan secantik engkau tentu banyak pengagumnya dan tentu engkau pernah jatuh cinta." "Huh, engkau yang sudah berusia dua puluh satu tahun saja belum pernah jatuh cinta, apa lagi aku yang baru berusia delapan belas tahun. Sudahlah, tidak perlu kita berbicara tentang cinta. Aku tertarik mendengar ceritamu tadi tentang para datuk yang bersekutu untuk memberontak itu. Siapa pula nama pemimpin mereka tadi, dan di mana mereka bersarang?" "Menurut keterangan Menteri Yang, pemimpin mereka adalah Lam-hai Giam-lo, seorang datuk sesat yang amat sakti. Dan masih banyak tokoh sesat lihai yang bergabung dalam persekutuan itu, juga Pek-lian-kauw yang mempunyai banyak tokoh lihai. Mereka sedang menyusun kekuatan di sepanjang Lembah Yangce, di Pegunungan Yunan." "Hemm, aku tertarik sekali. Sebagai puteri Ketua Cin-ling-pai, sudah selayaknya kalau aku turun tangan menentang mereka. Dan siapa tahu di sana aku akan dapat bertemu dengan murid murtad itu. Aku pun akan pergi ke sana, Hay Hay." "Bagus! Kalau begitu kita melakukan perjalanan bersama, Kui Hong. Betapa senangnya melakukan perjalanan bersamamu!" "Mengapa senang?" Kui Hong bertanya sambil mengerling, disertai senyum. Bagaimana pun juga hati gadis ini senang sekali mendengar pujian-pujian pemuda itu sehingga ingin lebih banyak mendengarnya. "Kenapa? Tentu saja amat menyenangkan melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang cantik manis, lincah jenaka dan lihai pula ilmu silatnya. Biar bertemu setan dan iblis di jalan, aku tidak akan takut kalau melakukan perjalanan bersamamu, Kui Hong." "Hushhh, di malam gelap dan sunyi seperti ini, jangan bicara tentang setan dan iblis, Hay Hay!" "Ah, sebentar lagi bulan akan muncul. Lihat di timur itu, sudah ada cahaya merah di langit timur, berarti bulan akan segera muncul." "Apa lagi waktu terang bulan, katanya setan dan iblis suka berkeliaran. Hihhh! Sungguh mengerikan!" Dan Kui Hong benar-benar agak menggigil ketika mengenang tentang setan dan iblis. "Ha-ha-ha, seorang gadis selihai engkau ini merasa ngeri dan takut soal setan dan iblis? Sesungguhnya merekalah yang harus merasa ngeri dan takut berhadapan denganmu, Kui Hong, bukan engkau yang takut!" Hay Hay berkelakar. "Kalau setan dan iblis yang hanya dipakai penjahat untuk julukan mereka, tentu saja aku tidak takut sama sekali. Tetapi kalau setan dan iblis sungguh-sungguh, makhluk-makhluk halus, hiiihhh, siapa yang tidak merasa ngeri?" Kui Hong memandang ke kanan kiri, lalu menoleh ke belakang. Selama melakukan perjalanan seorang diri, gadis ini tidak takut menghadapi siapa pun, dan karena tidak pernah berbicara atau berpikir tentang setan, maka dia pun tidak pernah takut. Tapi kini, sekali Hay Hay menyebut tentang setan dan iblis yang suka mengganggu manusia, teringatlah dia akan dongeng-dongeng mengerikan tentang setan dan iblis yang suka mengganggu manusia. "Kui Hong, apakah engkau pernah melihat sendiri setan itu?" Kui Hong menggeleng kepala menyangkal. "Kalau belum pernah melihat sendiri, bagaimana engkau bisa percaya adanya setan?" "Hay Hay, banyak hal-hal yang gaib di dunia ini, yang tak dapat dilihat namun toh ada dan keberadaannya harus dipercaya. Siapa dapat melihat adanya angin? Siapa dapat melihat adanya nyawa? Siapa yang dapat melihat adanya Tuhan? Akan tetapi kita toh percaya. Aku percaya akan adanya setan dan iblis seperti yang didongengkan orang." Hay Hay mengangguk. "Memang, di dalam ilmu sihir juga ada ilmu yang dinamakan ilmu hitam, yang kekuatannya berpangkal kepada kepercayaan dan pemujaan setan dan iblis. Seperti juga kepercayaan terhadap Tuhan, walau pun tak dapat dilihat, namun kekuasaan Tuhan dapat kita lihat di mana-mana, bahkan di dalam detak jantung kita sendiri, di dalam pertumbuhan kuku dan rambut dan dalam seluruh kehidupan diri kita. Kalau Tuhan adalah sumber segala kebenaran dan kebaikan, maka sebaliknya setan itu adalah sumber segala kejahatan. Aku sendiri ingin sekali melihat setan dengan mata kepala, namun tak pernah berhasil..." "Ihh... sudahlah, Hay Hay, jangan bicara tentang setan dan iblis di waktu seperti ini. Lihat, bulan mulai muncul dan bayangan-bayangan pohon itu sungguh menyeramkan!" Kembali Kui Hong nampak ketakutan dan diam-diam gadis ini merasa beruntung sekali malam itu ada Hay Hay yang menemaninya. Dia menambahkan kayu pada api unggun sehingga api membesar. "Sekarang aku mau tidur, tubuhku masih terasa lelah bukan main," katanya dan dia pun merebahkan diri miring di bawah pohon itu berbantal tangan. "Engkau tidurlah, biar aku yang berjaga. Tidurlah dengan tenang dan nyenyak dan jangan takut akan diganggu setan..." Tiba-tiba saja Kui Hong menahan jeritnya, lantas meloncat duduk dengan mata terbelalak memandang ke sebelah kirinya. "Kui Hong! Ada apakah?" tanya Hay Hay dan dia pun menoleh. Dia pun terbelalak karena melihat asap hitam mengepul dan di tengah asap itu muncullah bentuk yang sangat menyeramkan, seorang manusia mirip raksasa, bertubuh tinggi besar, mukanya hitam arang, matanya lebar melotot hidungnya besar dan mulutnya bertaring! Pendeknya, yang muncul dari dalam asap hitam itu bukan bentuk manusia umum, namun wujud yang biasanya dimiliki setan di dalam dongeng! Kui Hong yang tadinya terkejut sekali, kini tiba-tiba meloncat ke arah bayangan raksasa itu dan dia menyerang dengan pukulan dahsyat. Akan tetapi gadis itu menahan pekiknya ketika tangannya ternyata tembus saja seolah-olah dia memukul bayangan! Dan 'raksasa' itu tertawa bergelak, nampak giginya yang besar-besar dan lidahnya terjulur panjang! Kui Hong menjadi pucat dan kini ia tidak meragukan lagi bahwa yang diserangnya itu sudah pasti setan! Bukan manusia biasa. "Kui Hong, mundurlah dan biarkan aku yang menghadapinya," terdengar suara Hay Hay di belakangnya. Kui Hong cepat melompat ke arah Hay Hay dan dengan tubuh gemetar dia ikut duduk di atas rumput dekat Hay Hay karena pemuda itu pun masih duduk seperti tadi. Saking ngeri dan takutnya, tanpa disadarinya Kui Hong duduk merapat dan merangkul leher pemuda itu, seolah-olah meminta perlindungan. "Aku... aku takut...," bisiknya dan suaranya juga gemetar. Api unggun kini mulai padam karena tidak ditambah kayu, akan tetapi bulan telah muncul sehingga cuaca cukup terang, akan tetapi penerangan redup yang menambah keseraman suasana. Kini suara ketawa terdengar semakin ramai dan dengan muka pucat serta mata terbelalak Kui Hong melihat bahwa sekarang, bersama dengan mengepulnya asap hitam, muncul pula empat sosok bayangan lain yang kesemuanya merupakan makhluk-makhluk mengerikan yang mengepung mereka dari depan dengan barisan setengah lingkaran. Kui Hong merasa semakin takut hingga di luar kesadarannya kedua lengannya merangkul pundak dan leher Hay Hay, seperti seorang anak kecil yang sangat ketakutan dan minta perlindungan dalam dekapan ibunya. "Tenanglah, Kui Hong, itu hanya permainan kanak-kanak!" bisik Hay Hay. Padahal di dalam hatinya pemuda ini juga sangat terkejut karena maklum bahwa dia kini sedang berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kekuatan sihir yang sangat kuat. Bayangan-bayangan menyeramkan itu adalah jadi-jadian atau wujud yang muncul karena kekuatan sihir ilmu hitam! Hay Hay mengerahkan kekuatan batinnya, tangannya mengambil tanah di bawah rumput, kemudian menujukan pandang matanya ke arah lima sosok bayangan setan yang sangat menyeramkan itu. Bayangan-bayangan itu masih mengeluarkan suara ketawa yang tidak seperti suara manusia. "Kalian datang dari tiada, kembalilah kepada tiada!" serunya dan tangannya melontarkan tanah ke arah bayangan-bayangan itu. Tanah itu melayang berpencar lebar kemudian mengenai lima sosok bayangan. Terdengar pekik-pekik mengerikan dan lima sosok bayangan setan itu menghilang, berubah menjadi asap hitam dan sekarang lima gumpal asap itu menjadi satu, hitam dan tebal bergerak perlahan, membentuk sosok bayangan yang amat panjang dan ternyata berubah menjadi seekor naga hitam yang amat mengerikan! "Ihhh...!" Kui Hong menggigil ketakutan. Dara ini adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, berilmu tinggi dan memiliki keberanian menghadapi lawan yang bagaimana pun juga. Akan tetapi karena sebelumnya tadi dia sudah merasa ngeri ketika berbicara mengenai setan dengan Hay Hay, maka kini dia kehilangan ketabahannya dan merasa takut bukan kepalang begitu muncul apa yang disangkanya setan benar-benar. Dia menganggap bahwa semua ilmu silatnya tak ada artinya sama sekali untuk melawan setan, dan kemunculan bentuk-bentuk yang menyeramkan itu menambah rasa takutnya. Apa lagi tadi dia sudah sempat mencoba, ketika memukul tangannya tembus saja tanpa ada pengaruh sedikit pun kepada bayangan-bayangan itu. Sekarang rasa takut membuat wajahnya pucat, kepalanya pening dan tubuhnya lemas seakan-akan seluruh tenaganya lenyap meninggalkan tubuhnya. Melihat betapa Kui Hong ketakutan, Hay Hay merasa mendongkol juga kepada lima orang yang tengah mengganggu mereka dengan ilmu hitam. Maka dia pun mengerahkan semua tenaganya, sebab lima orang itu dengan mempersatukan kekuatan sihir mereka sekarang telah membentuk bayangan seekor naga hitam. Seperti yang pernah dia pelajari dari Pek-mau San-jin, kembali tangannya mencengkeram segenggam tanah, mulutnya membaca mantra yang artinya 'Ngo-heng (Lima Unsur Inti) adalah senjataku, Im-yang (Positip Negatip) menjadi perisaiku, kekuasaan Tuhan menjadi peganganku, dan hancurlah semua anasir jahat!' Dia melontarkan tanah itu ke arah bayangan naga yang amat menyeramkan itu, yang kini agaknya hendak menerkam kedua orang muda itu, dengan mata yang bernyala, dengan mulut terbuka sehingga tampak gigi dan lidahnya yang mengeluarkan asap dan terdengar suara geraman dahsyat. "Darrrrr...!" Terdengar bunyi ledakan, lantas bayangan naga hitam itu pun lenyap berubah menjadi asap hitam, dan kini nampaklah lima orang laki-laki berpakaian pendeta dengan gambar bunga teratai pada jubah bagian dada mereka. Lima orang itu kelihatan marah sekali dan dengan cepat mereka menerjang ke arah Hay Hay dengan gaya masing-masing. Ada yang menubruk seperti seekor harimau menubruk kambing, ada yang menghantamkan kedua tangannya ke arah kepala Hay Hay, ada pula yang melakukan tendangan kilat, dan ada pula yang mempergunakan tenaga dalam untuk menghantamkan kedua telapak tangan ke arah pemuda itu. Gerakan mereka itu dilakukan secara berbareng, dan agaknya memang disengaja supaya pemuda itu tidak lagi mampu menghindarkan diri dari pengeroyokan itu. Akan tetapi mereka terlalu memandang rendah pada pemuda sederhana ini. Pengalaman mereka tadi saja, pada saat mereka menggabungkan kekuatan sihir tetapi dengan mudah bisa dibikin hancur oleh Hay Hay, mestinya telah memperingatkan mereka bahwa mereka menghadapi seorang pemuda yang sangat lihai. Namun agaknya mereka memang bandel dan belum mengaku kalah. Kui Hong masih ketakutan, tubuhnya lemas sehingga dia hanya bersandar kepada Hay Hay. Dia masih bingung dan masih menganggap bahwa lima orang itu adalah setan-setan atau para siluman yang menyeramkan, yang tidak dapat dilawan dengan ilmu silat. Sebab itu, melihat betapa mereka kini menerjang Hay Hay, dia pun hanya menonton saja dengan tubuh masih gemetar. Begitu melihat serangan mereka, Hay Hay yang waspada sudah dapat mengukur tenaga mereka, maka dia pun masih tetap duduk saja. Untuk menghadapi serangan mereka itu, dia menyambutnya dengan dorongan dua tangannya, dengan telapak tangan menghadap ke depan. "Haiiittttt...!" Pemuda itu membentak dan suaranya mengandung khikang yang amat kuat, sedangkan dari kedua telapak tangannya menyambar hawa pukulan dahsyat menyambut serangan lima orang itu. Terdengar teriakan-teriakan keras dan tubuh lima orang itu terjengkang lantas terbanting roboh! Mereka terkejut bukan main, baru menyadari bahwa mereka berhadapan dengan orang yang mempunyai tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada mereka, maka tanpa dikomando lagi lima orang itu pun segera berloncatan dan lari menghilang di dalam kegelapan bayangan-bayangan pohon. Setelah lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu pergi, baru Hay Hay dapat memperhatikan keadaan Kui Hong. Gadis itu masih merangkulnya dan dengan tubuh lemas bersandar di tubuhnya, seperti orang yang kehabisan tenaga, dengan tubuh masih agak dingin gemetar seperti seekor kelinci ketakutan yang baru saja terhindar dari terkaman harimau. "Tenanglah, Kui Hong, kini mereka sudah pergi," kata Hay Hay dengan hati iba. Dia tahu bahwa Kui Hong bukan seorang pengecut atau penakut, akan tetapi pada waktu itu gadis ini sedang dilanda rasa takut dan kengerian terhadap setan yang dia merasa tidak akan mampu melawannya. Mendengar ucapan Hay Hay itu, Kui Hong menarik napas tanda lega hatinya, akan tetapi ketegangan hatinya masih belum lenyap sehingga dia masih menyandarkan kepalanya di pundak Hay Hay dan untuk melepaskan ketegangan hatinya, dia lalu memejamkan kedua matanya. "Aku... aku tadi takut sekali...," desahnya. Hay Hay tersenyum dan menunduk. Dilihatnya wajah yang manis itu masih pucat, bahkan nampak lebih pucat karena sinar bulan memang sudah membuat suasana nampak makin pucat. Rambut itu terurai dan nampak leher yang panjang, kulit leher yang demikian halus seperti lilin, putih mulus dan menantang. Hay Hay terbayang akan semua pengalamannya. Pertama dengan Ji Sun Bi, kemudian dengan Kok Hui Lian, lantas tergeraklah hatinya, bernyalalah api gairah di dalam dirinya dan bagaikan orang yang tidak sadar, dia pun mendekatkan bibirnya dan pada lain saat dengan lembut mulutnya sudah mencium leher Kui Hong. Leher itu menegang sesaat, akan tetapi lalu lemas kembali. Kui Hong tetap memejamkan kedua matanya dan napasnya terengah-engah, akan tetapi Hay Hay merasa betapa leher itu menjadi hangat dan lembut. Dia menjadi semakin lupa diri, tenggelam dalam perasaan mesra yang mendalam. Bibirnya mengecup kulit leher itu, ujung lidahnya menjilat-jilat dan Kui Hong mengeluarkan keluhan lirih memanjang dan tubuhnya menggelinjang. Bibir Hay Hay menciumi leher itu dengan lembut, kemudian ke atas, ke bawah dagu dan ke bawah daun teiinga. Kui Hong mendesah tanpa membuka mata, bahkan ketika mulut Hay Hay bergerak lembut ke atas pipinya dan sampai ke ujung mulutnya, dia menengok, menyambut dan dua mulut itu saling bertemu dalam sebuah ciuman yang mesra. Rintihan halus terdengar dari leher Kui Hong. Ketika Hay Hay merasa betapa mulut yang panas dan basah itu menyambutnya seperti bunga merekah, dia amat terkejut kemudian cepat melepaskan ciuman dan rangkulannya. Napasnya terengah-engah, berpacu dengan napas Kui Hong yang juga memburu. Pada saat Hay Hay melepaskan dekapannya, Kui Hong seperti baru sadar dan keduanya bagai tersentak kaget kemudian saling menjauhi. Kui Hong terbelalak, mukanya sebentar pucat sebentar merah, sedangkan Hay Hay merasa menyesal bukan main bahwa dia tadi telah lupa diri. "Setan kau! Iblis kau! Berani menggodaku!" bentak Hay Hay sambil memukul tanah tiga kali. "Hay Hay... apa... kenapa...?" Kui Hong berkata gagap karena hatinya masih terguncang hebat oleh peristiwa tadi, sejak munculnya setan-setan itu sampai pengalaman yang amat mengguncang hatinya, ketika kemesraan menenggelamkannya, pengalaman yang selama hidupnya baru sekali ini pernah dirasakannya dan yang membuatnya bingung. cerita silat online karya kho ping hoo Hay Hay cepat menghadapi gadis itu. "Ahhh, Kui Hong, kau... kau maafkanlah aku, kau ampunkanlah aku... aku tadi telah tergoda setan! Benar-benar setan dan iblis sendiri yang telah menggodaku, menggoda kita sehingga kita... kita lupa diri..." Kui Hong memandang dengan muka merah karena merasa malu dan canggung, dengan sinar mata bingung tidak mengerti. "Akan tetapi... apa salahnya... kalau kita... kita saling mencinta... apa salahnya...?" Hay Hay merasa terharu dan juga terkejut. Terharu karena gadis ini benar-benar polos dan jujur, masih bersih dan suci, dan dia yang telah menodai kebersihan batin gadis itu! Juga dia terkejut mendengar ucapan Kui Hong yang jelas menyatakan gadis itu mencintanya! Pernyataan bahwa mereka saling mencinta itu saja sudah cukup jelas membuktikan kalau gadis itu cinta padanya dan mengira bahwa dia pun cinta pada Kui Hong! Akan tetapi dia tidak boleh berbohong, tidak boleh menipu gadis yang hebat seperti Kui Hong ini. Memang, alangkah mudahnya menyatakan cinta kepada seorang gadis sehebat Kui Hong, akan tetapi pernyataan itu hanya merupakan suatu kebohongan belaka. Dalam lubuk hatinya dia tidak merasakan adanya cinta seperti yang dimaksudkan Kui Hong, cinta yang akan mendorong pria dan wanita untuk menjadi suami isteri dan hidup bersama untuk selamanya. Tidak, dia tidak menghendaki itu, dia tak ingin menjadi suami Kui Hong atau suami wanita mana pun juga. Dia suka kepada Kui Hong, kagum dan mungkin mencintanya, akan tetapi bukan cinta untuk kemudian diikat menjadi suami! Bukan pula cinta nafsu karena betapa pun juga, walau pun dia kagum bukan main akan kecantikan gadis ini, dia masih mampu mengatasi kekuasaan nafsu birahinya. Tanpa berani memandang kepada Kui Hong, Hay Hay yang masih duduk di atas rumput itu menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. "Tidak, Kui Hong, aku menyesal sekali... akan tetapi aku... terus terang saja aku... aku tidak mencintamu seperti yang kau maksudkan. Aku kagum padamu, aku suka padamu, bahkan aku pun cinta padamu, akan tetapi bukan cinta untuk kelak menjadi jodohmu, Kui Hong! Aku tak ingin mencinta seperti itu, tidak ingin menjadi suami wanita mana pun, aku... aku..." Kui Hong telah meloncat berdiri. Mukanya pucat bukan kepalang, matanya terbelalak dan kini beberapa butir air mata mengalir keluar membasahi pipinya. "Kau...! Kau tidak cinta padaku akan tetapi tadi engkau berani menciumku! Aku cinta padamu tapi engkau hanya mempermainkan aku...! Ahh... hu-huh-huhhh... aku benci padamu! Aku benci padamu..." Kui Hong menyambar buntalan pakaiannya, lalu melompat jauh dari tempat itu, membawa pergi isak tangisnya. "Kui Hong..." Hay Hay memanggil lirih sambil berdiri, akan tetapi gadis itu tidak nampak lagi, hanya lapat-lapat terdengar isaknya dari jauh. Hay Hay tidak mengejarnya, bahkan dia menjatuhkan diri ke atas rumput, lalu menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Kau goblok! Kau tolol sudah membiarkan setan menggodamu!" Dia memaki-maki dirinya sendiri, maklum bahwa dia telah menyinggung perasaan hati Kui Hong, bahkan juga telah menghancurkan cintanya dan sebaliknya menumbuhkan kebencian dalam hati gadis yang dikaguminya itu. Akhirnya dia tidak peduli lagi dan tak lama kemudian Hay Hay sudah tidur pulas di tempat itu, tanpa api unggun, di bawah sinar bulan dan di dalam hawa yang semakin dingin. *************** Jauh dari situ Kui Hong menjatuhkan diri di bawah pohon, lantas dia pun menangis sejadi-jadinya. Hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk, dan kesedihan menyelimuti seluruh dirinya. Ingin dia membunuh Hay Hay, akan tetapi dua hal tidak memungkinkan hal itu terjadi. Pertama, dia kalah jauh sehingga tidak akan mungkin dapat memenangkan pertandingan melawan pemuda lihai itu. Ke dua, dia tidak akan tega membunuhnya, karena selain dia telah berhutang budi dan nyawa, juga dia sadar betul bahwa dia telah jatuh cinta kepada Hay Hay. Ia mencinta pemuda itu sepenuh hatinya. Semua gerak-gerik pemuda itu menyenangkan hatinya dan mendatangkan perasaan kagumnya. Betapa pemuda itu dapat menundukkan musuh-musuh yang lihai, bahkan setan yang mengganggu pada malam itu, secara jantan dan hebat. Betapa dia akan berbahagia berada di samping pemuda itu selama hidupnya. Akan tetapi kenyataan pahit yang tak dapat ditolak lagi, dengan mulutnya sendiri pemuda itu menyatakan bahwa dia tidak cinta kepadanya! Padahal kalau dia membayangkan apa yang baru saja terjadi, betapa mesranya pemuda itu membelainya dan menciumnya, dia hampir tak mau percaya bahwa Hay Hay tidak cinta padanya. Akan tetapi kenyataannya, dengan mulutnya sendiri pemuda itu mengatakan bahwa dia tidak cinta kepadanya atau wanita lain. Cintanya bukan untuk berjodoh! Kui Hong menangis dan ingin dia mengamuk, bukan kepada Hay Hay akan tetapi kepada siapa saja. Kalau saja pada saat itu ada musuh di hadapannya, tak peduli manusia atau setan, tentu akan diamuknya. Biar setan-setan itu muncul kembali, sekarang dia tak akan merasa takut. Akan diamuknya sampai membunuh mereka semua atau dia yang dibunuh mereka! Lebih baik lagi karena dia tidak akan menderita sakit hati seperti sekarang ini. Akhirnya Kui Hong juga dapat tidur di bawah pohon itu, tidak peduli dengan keselamatan dirinya lagi. Akan tetapi, seperti juga Hay Hay, tidurnya gelisah bukan main, kadang kala tersenyum penuh kebahagiaan apa bila dia bermimpi tentang kemesraannya bersama Hay Hay, lalu terganti isak tangis. Pada keesokan harinya, ketika kicau burung dan kokok ayam hutan membangunkannya, Kui Hong segera meninggalkan tempat itu. Ia hendak pergi ke Pegunungan Yunan, bukan untuk membantu Hay Hay yang hendak menyelidiki ke sana, akan tetapi hendak mencari Ciang Ki Liong, murid murtad dari Pulau Teratai Merah itu. Dan inilah satu-satunya tujuan hidupnya saat ini. Menyeret Ciang Ki Liong, dalam keadaan hidup atau mati, kembali ke Pulau Teratai Merah agar menerima hukuman dari kakek dan neneknya! *************** Bukan watak Hay Hay mau membiarkan diri tenggelam dalam duka. Dia memang merasa menyesal bukan main bahwa dia sempat lupa diri dan membiarkan dirinya hanyut dalam kemesraan, bahkan menyeret Kui Hong hingga gadis itu mengira bahwa dia mencintanya. Kemudian, karena dia tidak membohong atau menipu, biar pun pahit, dia berterus terang dan tentu saja gadis itu tersinggung dan menjadi benci kepadanya. Hanya sehari dua hari saja dia kelihatan muram dan menyesal, akan tetapi beberapa hari kemudian dia sudah melupakan pengalaman yang tidak enak itu. Dia sudah pulih kembali, menjadi orang yang riang jenaka dan memandang dunia dari segi yang terang benderang. Senyumnya kembali lagi, tidak pernah meninggalkan sudut bibirnya dan matanya kembali bersinar-sinar, wajahnya kembali berseri-seri. Biarlah yang lewat berlalu sudah, tidak perlu dikenang lagi. Inilah pendiriannya sehingga Hay Hay tidak pernah mau menyimpan semua pengalaman yang lampau, maklum bahwa mengingat kembali hal-hal silam hanya akan mendatangkan sesal dan duka, kecewa dan dendam. Dengan gembira dia melanjutkan perjalanan, menuju selatan, ke Pegunungan Yunan. Hay Hay tahu bahwa yang mengganggu dia dan Kui Hong tadi malam adalah lima orang pendeta Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yang selain memiliki ilmu silat yang cukup lihai juga pandai ilmu sihir sehingga telah membikin takut kepada Kui Hong. Dia berhasil mengusir mereka tanpa perkelahian, hanya dengan mengalahkan ilmu sihir mereka dan hanya satu kali menangkis serangan mereka dengan tenaga saktinya yang jauh lebih kuat dari pada tenaga mereka. Dia mengira bahwa lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi takut lantas melarikan diri. Dia tidak tahu bahwa peristiwa malam itu sudah membuat orang-orang Pek-lian-kauw menjadi curiga dan waspada kepadanya sehingga kini perjalanannya selalu dibayangi dari jauh. Mereka melihat seorang lawan yang amat berbahaya pada diri pemuda ini, apa lagi ketika melihat bahwa pemuda itu melakukan perjalanan ke selatan! Kecurigaan mereka semakin besar sesudah mereka tahu bahwa di dalam perjalanannya, ketika melewati sebuah kota pemuda itu mencari keterangan kepada orang-orang di jalan tentang Pegunungan Yunan. Jelaslah bahwa pemuda itu hendak pergi ke Pegunungan Yunan. Walau pun pemuda itu tidak pernah mengatakan kepada siapa pun juga apa urusannya di Pegunungan Yunan, akan tetapi pihak Pek-lian-kauw sudah bisa menduga bahwa pemuda ini tentu hendak mencari sarang persekutuan mereka! Karena itulah, maka jauh sebelum Hay Hay tiba di perbatasan Pegunungan Yunan, para pimpinan persekutuan kaum sesat itu telah lebih dulu tahu akan keadaan dirinya. Berdasarkan keterangan yang didapatnya dalam perjalanan, Hay Hay mendengar bahwa yang disebut Dataran Tinggi Yunan adalah daerah di bagian utara Propinsi Yunan yang berbatasan dengan Propinsi Secuan dan Kwi-couw. Di perbatasan itulah terdapat Sungai Cin-sa yang menjadi anak sungai besar Yang-ce-kiang. Menurut keterangan Menteri Yang Ting Hoo, sarang Lam-hai Giam-lo berada di lembah sungai itu, di antara kedua gunung besar atau Pegunungan Heng-tuan-san di barat dan Pegunungan Tatiang-san di timur, dan pegunungan atau dataran tinggi Yunan itu terapit oleh dua pegunungan ini. Hay Hay mengambil jalan melewati Propinsi Kwi-couw, dan pada suatu hari tibalah dia di kota Wei-ning. Kota ini terletak di dekat sebuah telaga besar yang disebut Cao-hai (Laut Cao) atau juga Cao-hu (Telaga Cao). Sebuah telaga yang sangat indah, terletak di bagian bawah lereng Pegunungan Wu-meng-san, dekat tapal batas sebelah barat dari Propinsi Kwi-couw, tak berapa jauh lagi dari daerah Yunan sebelah timur. Karena melihat telaga yang demikian indahnya di dekat kota Wei-ning itu, Hay Hay tidak dapat menahan hatinya untuk tidak berhenti di kota itu dan menikmati keindahan telaga itu selama beberapa hari. Sudah terlalu lama dia melakukan perjalanan melewati gunung-gunung yang tinggi, bukit-bukit yang luas, melalui dusun dan kota, akan tetapi baru sekali ini dia melihat sebuah telaga besar yang airnya kebiruan dan demikian luasnya. Pantaslah bila Telaga Cao itu kadang-kadang disebut Lautan Cao, karena memang airnya berwarna biru saking dalamnya, mirip air laut. Apa lagi dilihat dari ketinggian sebelum Hay Hay memasuki kota Wei-ning, telaga itu nampak amat indahnya. Banyak pohon tumbuh di sekelilingnya, dan di bagian selatan nampak kelompok pohon cemara yang indah, tumbuh di lereng di tepi telaga. Rumah-rumah para penduduk kampung berada di sebelah barat dan utara, sedangkan di bagian timur telaga itu adalah kota Wei-ning. Penghuni perkampungan di sekitar telaga itu pada umumnya adalah para petani dan nelayan karena telaga itu selain dapat mengairi sawah sehingga para petani dapat menanam bermacam tanaman sepanjang tahun, juga telaga itu sendiri mengandung ikan yang seakan-akan tiada habisnya biar pun setiap hari dikail dan dijala oleh para nelayan. Nampak burung camar beterbangan di permukaan air telaga, kadang-kadang menyambar turun dan pada saat melayang naik kembali, paruh mereka telah menangkap seekor ikan. Riuh rendah suara mereka, seperti sedang bekerja mencari nafkah dengan gembira dan bersendau-gurau di antara teman. Tampak pula perahu-perahu nelayan dan perahu-perahu indah di mana orang-orang kota, baik dari Wei-ning mau pun dari kota lain yang sengaja datang berkunjung dan bersenang-senang di telaga itu. Perahu para nelayan memilih bagian yang sepi, jauh di barat dan di tepi-tepi yang sunyi, sebab usaha mereka mencari ikan akan sia-sia saja jika berdekatan dengan perahu-perahu pelesiran yang selalu gaduh itu. Memang sebagian besar perahu-perahu pelesiran itu disediakan bagi para pria yang ingin bersenang-senang. Ada yang bermain kartu sambil minum arak, ada yang hanya minum arak saja sampai mabok. Ada pula yang memanggil gadis-gadis penyanyi dan penari, dan banyak pula yang memanggil gadis panggilan atau para pelacur untuk menemani mereka minum arak atau menemani mereka tidur di bilik-bilik perahu besar itu. Namun ada pula pria-pria tua muda yang lebih suka menyendiri, menyewa perahu-perahu kecil dan mereka itu ada yang mencoba peruntungan mereka mengail ikan, ada pula yang hanya duduk membaca buku, ada yang bermain musik sendirian, bermain yang-kim atau meniup suling, ada yang melukis atau menulis sanjak sambil minum arak. Tak lama kemudian perahu yang ditumpangi Hay Hay telah menyelinap di antara ratusan buah perahu yang lain. Dia menyewa sebuah perahu kecil yang dicat merah, membawa bekal makanan dan minuman yang telah dibelinya di pantai tempat menyewa perahu, lalu mendayung perahu itu meluncur ke tengah telaga dan bercampur dengan ratusan buah perahu lain. Hay Hay mulai merasa lapar, maka dia memilih tempat yang agak sunyi, jauh di tengah, lalu membuka bungkusan daging ayam panggang saus tomat, semacam sayur hijau yang menjadi masakan, beberapa butir buah pir dan apel, juga seguci kecil arak serta seguci kecil air teh. Mulailah dia makan minum seorang diri dengan hati lapang. Sungguh nikmat makan di atas perahu, di tengah telaga dengan hawa yang sejuk nyaman dan bersih. Ahh, kalau saja ada Kui Hong di dalam perahunya, pikirnya dan ingin Hay Hay menampar kepalanya sendiri. Kenapa mendadak saja dia merasa kesepian dan teringat kepada Kui Hong? Gadis itu tentu akan marah-marah dan mungkin akan langsung menyerangnya di atas perahu! Mengingat akan hal ini, Hay Hay tersenyum lucu. Tentu mereka keduanya akan tercebur ke dalam air telaga lantas akan mengalami hal-hal aneh dan berbahaya lagi bersama-sama! Tidak, tak boleh dia mengharapkan kehadiran Kui Hong. Bagaimana kalau Bi Lian? Setelah pikirannya menolak kehadiran Kui Hong, Hay Hay lalu teringat pada Bi Lian. Cu Bi Lian yang berjuluk Tiat-sim Sian-li itu. Murid dari dua di antara Empat Setan, yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Bukan main gadis itu! Tak kalah oleh Kui Hong dalam segala hal. Cantiknya, lincahnya, galaknya! Bahkan lebih galak dibanding Kui Hong, walau pun belum tentu menang lihai. Akan tetapi Bi Lian juga lihai bukan main, dengan ilmu yang aneh-aneh. Tahi lalat di dagunya itu, bukan main manisnya! Akan tetapi, kemunculan Bi Lian tentu juga hanya akan mendatangkan keributan, karena bukankah gadis itu pernah mengancamnya bahwa apa bila mereka bertemu lagi, gadis itu tentu akan menyerangnya dan tak akan memberi ampun? Dia tersenyum gembira teringat kepada Bi Lian. Seorang gadis yang hebat dan dia kagum dan suka sekali kepada gadis itu. Akan tetapi tidak, terlampau berbahaya kalau di tempat ini berjumpa dengan Bi Lian. Kalau sampai Bi Lian menggulingkan perahu! Memang benar, selama tinggal bersama suhu-nya yang ke dua, yaitu Ciu Sian Lokai yang menjadi majikan di Pulau Hiu, dia sering kali mandi di laut sehingga sudah pandai dan menguasai ilmu renang, akan tetapi ilmunya ini tidak cukup tinggi untuk dapat melindungi diri di dalam air kalau sampai dia diserang musuh. Tidak, lebih baik jauh dari Bi Lian kalau dia ingin bersantai di telaga itu. Begitu dia mengusir bayangan wajah Bi Lian dengan tahi lalat di dagunya yang manis itu, tiba-tiba saja muncul bayangan Pek Eng! Hay Hay mengeluh. Ada apakah dengan dirinya hari ini? Mengapa perempuan melulu yang memenuhi benaknya? Bayangan gadis-gadis cantik saja yang teringat olehnya? Biar pun dia mencela diri sendiri namun tetap saja kini nampak wajah Pek Eng yang lucu dan manis menarik itu. Hitam manis, mata sipit yang indah, hidung yang ujungnya agak menjungkat naik, bibir yang selalu merah membasah, dan lesung pipit di pipi kiri itu. Aihh, sungguh gadis remaja yang segar, dengan tubuh tinggi semampai yang menggairahkan. Lincah jenaka dan manja! Hay Hay tersenyum ketika teringat betapa Pek Eng pernah mencium pipinya, menyangka bahwa dia adalah kakaknya yang bernama Pek Han Siong! Gadis yang menyenangkan sekali, kalau saja berada di dalam perahunya, tentu akan diajaknya bersendau-gurau! Dan Pek Eng tidak akan membahayakan dirinya. Pek Eng sudah memaafkannya karena kesalah pahaman itu, ketika gadis itu marah-marah karena menciumnya, mencium orang yang salah. Kembali Hay Hay tersenyum dan tanpa disadarinya, tangan kirinya mengusap pipi kiri yang pernah disentuh hidung dan bibir lembut Pek Eng. Tetapi aku tidak mencinta Pek Eng, juga tidak mencinta Bi Lian atau Kui Hong walau pun terhadap mereka ada rasa suka yang mendalam pada lubuk hatinya. Dia tidak mencinta mereka, maka sebaiknya kalau dia tidak dekat dengan mereka. Selalu timbul keributan kalau dia dekat dengan seorang gadis. Bagaimana jika Hui Lian? Jantungnya berdebar kencang karena dia membayangkan apa yang pernah terjadi di antara dia dengan Hui Lian, janda muda itu. Aroma tubuhnya yang harum! Bagaimana dia bisa melupakan wanita itu? Selamanya dia takkan pernah mampu melupakan Hui Lian! Dengan Hui Lian hampir saja dia tidak mampu menguasai dirinya lagi, hampir saja terjadi pelanggaran antara mereka. Dan dia tidak pernah menyalahkan dirinya. Pria mana yang akan sanngup bertahan kalau sudah bergaul demikian dekatnya dengan seorang wanita seperti Hui Lian? Baru keharuman tubuhnya saja sudah membuat pria menjadi mabok. Ahhh, kalau ada Hui Lian di sana, di dalam perahu bersamanya, tentu dia akan merasa semakin gembira. Tidak akan ada bahaya diserang Hui Lian, yang ada hanyalah diserang gairah nafsunya sendiri. Dan ini bahkan jauh lebih berbahaya dari pada kalau dia diserang orang! Bagaimana dengan keadaan Hui Lian sekarang? Di mana dia berada dan apa saja yang dilakukannya? Tiba-tiba dia merasa rindu sekali kepada Hui Lian, apa lagi karena dia pun yakin bahwa Hui Lian cinta kepadanya. Dia tahu bahwa andai kata dia menanggapi cinta itu, sudah pasti mereka berdua tak akan pernah saling berpisah lagi. Ahhh, betapa akan senangnya kalau kini mereka berdua berperahu di telaga itu, makan bersama sambil bersenda gurau bersama. Dia tidak membayangkan hal-hal yang mesra, hanya ingin dekat dan bercakap-cakap dengan wanita yang luar biasa itu! "Hay Hay...!" Hay Hay terlonjak kaget. Suara Hui Lian! Gila benar! Apakah lamunannya tentang wanita itu tadi membuat dia menjadi gila sehingga dia mendengar suaranya? Meski pun dia tidak percaya bahwa itu adalah suara Hui Lian yang sesungguhnya, namun dia menengok juga ke kanan dan... tak salah lagi! Yang memanggilnya tadi bukan lain adalah Kok Hui Lian! Wanita itu nampak semakin cantik, wajahnya segar berseri tidak seperti dulu yang agak diliputi mendung kedukaan. Wanita itu duduk di dalam sebuah perahu berukuran sedang dan sekarang nampak melambai kepadanya. Bisa dibayangkan betapa girangnya rasa hati Hay Hay. Baru saja dirindukan, dilamunkan dan kini wanita itu benar-benar berada di situ, di atas perahu yang jaraknya hanya sekitar lima meter dari perahunya, Hui Lian yang cantik jelita, Hui Lian yang manis, Hui Lian yang harum! Saking gembiranya Hay Hay langsung bangkit berdiri, lantas sekali loncat tubuhya sudah melayang ke arah perahu Hui Lian. Untunglah bahwa mereka berada di bagian yang sepi sehingga perbuatan Hay Hay itu tidak kelihatan orang lain yang tentu akan menimbulkan kekaguman dan perhatian. "Enci Hui Lian...!" teriaknya. "Ahh, Enci Hui Lian, betapa rindu aku padamu...!" "Hay Hay, tidak kusangka akan berjumpa denganmu di sini!" kata Hui Lian, juga dengan suara yang gembira sekali. Begitu kedua kakinya hinggap di atas perahu Hui Lian, Hay Hay segera menghampiri dan memegang kedua tangan wanita itu sambil mengamati Hui Lian dari ujung rambut kepala sampai ke kaki. "Aihh, engkau nampak segar dan semakin cantik saja, Enci Hui Lian!" "Hushhhh...! Engkau masih belum berubah juga, pemuda mata keranjang!" kata Hui Lian sambil tertawa geli, akan tetapi kedua tangannya juga membalas remasan tangan Hay Hay, tanda bahwa dia girang dan gembira sekali bertemu dengan pemuda itu. Pada saat itu terdengar suara batuk-batuk lantas seorang laki-laki muncul dari dalam bilik perahu itu. Hay Hay merasa terkejut dan heran, akan tetapi Hui Lian bersikap tenang dan biasa saja, bahkan dia belum melepaskan kedua tangan pemuda itu dari genggamannya, hanya menoleh dan memandang kepada laki-laki yang baru muncul itu sambil tersenyum girang. "Suheng, inilah pemuda luar biasa yang pernah kuceritakan kepadamu itu, yang bernama Hay Hay!" katanya gembira. Hay Hay memandang pada pria yang disebut suheng (kakak seperguruan) oleh Hui Lian dan diam-diam dia pun kagum. Seorang pria yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, lengan kirinya buntung sebatas siku, memiliki tubuh tinggi besar dan pada wajahnya terbayang kejujuran, keterbukaan serta wibawa yang besar sehingga dia kelihatan gagah perkasa meski pun lengan kirinya buntung. Mengingat akan kehebatan dan tingginya ilmu kepandaian Hui Lian, dapat dia bayangkan bahwa tingkat suheng wanita itu sudah tentu lebih hebat lagi. "Hay Hay, perkenalkanlah. Dia itu adalah Suheng Ciang Su Kiat. Dia adalah suheng-ku, juga guruku, juga suamiku." "Ahhh...!" Begitu mendengar kata 'suamiku' itu, cepat-cepat Hay Hay melepaskan kedua tangannya yang semenjak tadi saling berpegangan dengan kedua tangan Hui Lian, dan mukanya berubah kemerahan, sikapnya menjadi kikuk sekali. Ciang Su Kiat memandang dengan sikap kereng, sepasang alisnya yang tebal berkerut dan matanya mengamati wajah Hay Hay dengan tajam. "Hemmm, kiranya inikah pemuda itu? Pantas! Dia tampan menarik dan pandai merayu, seorang pemuda lihai yang mata keranjang. Sumoi, kau menyebut dia pendekar mata keranjang? Hai, orang muda, kenapa engkau segera melepaskan kedua tanganmu setelah mengetahui bahwa Hui Lian adalah isteriku? Itu adalah suatu sikap pengecut yang sama sekali tak dapat kuhargai. Bukankah katamu tadi dia nampak segar dan makin cantik? Ataukah itu pun hanya sekedar rayuan belaka?" "Suheng...!" Hui Lian terbelalak memandang suaminya, terkejut karena suaminya belum pernah memperlihatkan sikap kurang senang seperti itu dan tahulah dia bahwa suaminya secara tiba-tiba dilanda cemburu! "Sumoi, aku meragukan ceritamu bahwa pemuda ini mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Sikapnya menunjukkan bahwa dia hanyalah seorang perayu yang mata keranjang dan tak mampu menguasai perasaan hatinya sendiri. Orang muda, mari kita bicara di pantai agar tidak nampak orang lain." "Tapi... baiklah!" kata Hay Hay yang tadinya meragu akan tetapi ketika melihat sinar mata yang demikian jujur dan gagah dari Si Lengan Buntung, juga melihat sikap Hui Lian yang meragu dan agaknya gelisah, dia lalu mengambil keputusan untuk menghadapi persoalan ini sampai tuntas. Dia harus berani bertanggung jawab, untuk membela diri yang memang tidak memiliki niat buruk, juga sekalian untuk mencuci nama baik Hui Lian dari kecurigaan suaminya. Apa pun yang akan terjadi, akan dihadapinya secara jantan! Maka sekali melompat dia pun sudah melayang ke atas perahunya sendiri. Dia menunggu sambil memegang dayung, dan untuk sesaat lamanya dua orang pria itu saling pandang dari atas perahu masing-masing. Hay Hay mengangguk kepada Su Kiat, memberi tanda bahwa dia akan mengikutinya dan Su Kiat lantas mendayung perahunya menuju ke pantai yang sepi. Hay Hay cepat mengikutinya dari belakang, diam-diam mengagumi suami isteri itu karena selama mendayung perahu ke tepi, keduanya diam saja dan sama sekali tidak kelihatan mereka bertengkar. Sungguh sikap dua orang yang sudah matang sehingga tidak hanya menurutkan perasaan hati saja. Biar pun hatinya merasa tegang, namun diam-diam Hui Lian ingin sekali melihat apa yang akan terjadi antara suaminya dan Hay Hay. Secara diam-diam dia pun mendongkol sekali terhadap suaminya. Tidak tahukah suaminya bahwa cintanya hanya untuk suaminya, ada pun terhadap Hay Hay dia hanya merasa suka dan kagum, seperti seorang enci terhadap adiknya saja? Memang tidak disangkal bahwa dia pernah tergila-gila kepada pemuda ini, terdorong oleh gairah nafsu birahinya, akan tetapi itu terjadi dulu sebelum dia menjadi isteri suheng-nya. Kini tentu saja tidak ada lagi gairah nafsu terhadap pria lain karena dia telah mendapatkan segala-galanya dari suaminya yang amat dicintanya. Biarlah dia cemburu dan hendak kulihat apa yang akan dilakukannya terhadap Hay Hay, pikirnya. Dia tidak merasa khawatir karena dia mengenal benar Hay Hay yang sudah pasti tidak akan mencelakakan suaminya, dan dia pun tahu bahwa suaminya tidak akan dapat mencelakakan Hay Hay yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi itu. Lagi pula suaminya adalah seorang pendekar perkasa, tidak mungkin mau berbuat jahat terhadap orang lain hanya karena cemburu buta yang tidak beralasan sama sekali! Ketika suami isteri itu meloncat ke darat, Hay Hay juga sudah tiba di darat dan dia pun meloncat dengan sigapnya, menghadapi mereka dengan sikap tenang sekali. "Toako, aku masih belum tahu apa maksudmu mengundangku ke tepi. Apabila engkau menganggap aku bersalah karena kegembiraanku berjumpa dengan Enci Hui Lian yang tadinya belum kuketahui bahwa dia sekarang telah menjadi isterimu, maka harap engkau suka memaafkan aku. Sungguh aku tidak mempunyai maksud buruk, aku hanya demikian gembira dan hanya luapan kegembiraan inilah yang membuat aku tadi memegang kedua tangan isterimu." "Hemmm, orang muda. Aku sudah mendengar tentang dirimu dari isteriku dan aku dapat menghargai kejujuranmu. Melihat kemunculanmu dan engkau berpegang tangan dengan Sumoi Hui Lian, aku tidak apa-apa karena aku maklum bahwa tentu engkau bergembira berjumpa dengannya, seperti juga isteriku bergembira bertemu denganmu. Tetapi engkau segera melepaskan pegangan tanganmu begitu mendengar bahwa aku suaminya. Hal ini kuanggap bahwa engkau tidak jujur, bahwa engkau tak lain hanyalah seorang lelaki mata keranjang yang pandai merayu wanita. Kini timbul dugaanku bahwa kalau dahulu engkau tidak sampai melanjutkan pelanggaran susila terhadap Sumoi hanya karena engkau tidak berani menghadapi kelihaian Sumoi. Jika sekarang engkau dapat memperlihatkan bahwa tingkat ilmu yang kau miliki memang lebih tinggi dari tingkat Sumoi atau tingkatku, baru aku percaya bahwa engkau memang tidak mau melakukan pelanggaran susila, dan baru akuakan percaya kejujuranmu. Nah, orang muda, bersiaplah untuk menandingiku dan jika engkau tidak mampu mengalahkan aku, maka aku akan menghajarmu karena engkau tak lain hanyalah seorang laki-laki mata keranjang perayu wanita yang hina!" "Suheng...!" Hui Lian berseru. "Jangan menuduh sedemikian keji terhadap Hay Hay! Dia bukanlah orang yang seperti kau duga itu, dan engkau tidak akan menang melawan dia, Suheng! Engkau dibikin buta oleh cemburu!" Ciang Su Kiat mengangguk-angguk akan tetapi tersenyum kepada isterinya, sama sekali dia tak memperlihatkan sikap marah kepada isterinya yang amat dicintanya itu. "Memang benar aku merasa cemburu, Sumoi. Belum pernah aku merasa cemburu seperti sekarang ini! Tapi alasanku untuk merasa cemburu kuat sekali, bukan cemburu karena menyangka engkau tak setia padaku. Sama sekali bukan. Dijauhkan Tuhan aku dari perasaan seperti itu kepadamu, Sumoi. Akan tetapi aku merasa cemburu oleh sikap pemuda ini. Karena itu, sebelum dia bisa menunjukkan bahwa persangkaanku terhadap dirinya tidak benar, yaitu dengan mengalahkan aku, maka hatiku akan selalu digoda cemburu dan prasangka buruk terhadap dirinya." "Tapi telah kuceritakan kepadamu betapa dia seorang yang kuat lahir batin. Memang dulu aku pernah tergila-gila kepadanya dan andai kata bukan dia yang kuat batinnya sehingga mengingatkan aku, tentu saat itu akan terjadi pelanggaran susila. Dialah yang mencegah terjadinya pelanggaran itu, Suheng. Semua itu telah kuceritakan kepadamu." "Aku percaya padamu, Sumoi. Akan tetapi aku tidak percaya padanya. Dia bukan dewa, dan tidak mungkin dia kuat menolak dirimu! Kalau dia melakukan hal itu, tentu karena dia takut akan akibatnya, takut akan kelihaianmu dan takut menghadapi kemarahanmu pada kemudian hari. Nah, orang muda, majulah dan kita akan melihat bukti kejujuranmu." "Suheng, engkau tak akan menang," kata pula Hui Lian. "Kalau begitu barulah puas hatiku dan aku akan minta maaf kepadanya, juga kepadamu, Sumoi. Marilah, orang muda." "Hay Hay, layani dia. Si Keras Hati ini memang harus diperlihatkan buktinya, kalau tidak, dia akan gelisah terus, tak enak makan tak enak tidur!" akhirnya Hui Lian berkata. Hay Hay menghela napas panjang, lantas melangkah maju menghadapi Su Kiat sambil berkata, "Ciang-toako, aku tidak menyangkal bahwa aku suka akan keindahan, suka akan kecantikan wanita seperti aku suka akan tamasya alam indah, akan bunga-bunga. Aku suka dengan keindahan dan kecantikan wanita merupakan suatu keindahan yang sangat mengagumkan. Enci Hui Lian adalah seorang wanita yang cantik jelita luar biasa. Harus kuakui bahwa aku pernah tergila-gila kepadanya, namun bukan berarti aku mencintanya. Demikian pula Enci Hui Lian, dia tidak cinta kepadaku. Kami saling tertarik karena saling mengagumi, karena dorongan gairah birahi yang wajar. Katakanlah aku mata keranjang, akan tetapi jangan mengira bahwa nafsu birahi akan mudah begitu saja mengalahkan aku sehingga aku menjadi mata gelap lantas melakukan pelanggaran susila. Aku sama sekali bukan takut menghadapi ilmu kepandaian Enci Hui Lian, melainkan takut kalau sampai aku menodainya lalu membuat hidupnya sengsara karena merasa kehormatannya sudah ternoda. Sekarang engkau tak percaya kepadaku dan hendak mengujiku. Silakan, Ciang-toako!" Ciang Su Kiat mengangguk-angguk. "Bagus, nah, kau terimalah seranganku ini!" Dan begitu orang yang buntung lengan kirinya ini menyerang, Hay Hay merasa terkejut dan kagum. Dia sudah menyangka bahwa Si Lengan Kiri Buntung ini tentulah ahli ginkang yang hebat, mengingat betapa Hui Lian juga hebat bukan main dalam hal ginkang. Dan dugaannya memang tepat. Meski pun tadinya Ciang Su Kiat tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri biasa saja, akan tetapi begitu kata-katanya habis, tubuhnya telah menerjang dengan kecepatan yang akan mengaburkan pandang mata lawan saking cepatnya. Lengan kanannya bergerak menyambar dengan sebuah pukulan ke arah dada Hay Hay, nampaknya perlahan saja, akan tetapi datangnya cepat sekali dan dari telapak tangannya menyambar hawa pukulan yang dahsyat. Pukulan ini menjadi semakin berbahaya karena dibayangi sambaran ujung lengan baju kosong yang menotok ke arah pelipis kanan Hay Hay! Memang, Su Kiat yang ingin menguji kepandaian pemuda itu tak mau membuang banyak waktu dan begitu bergerak dia telah mainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun, ilmu silat sakti peninggalan kitab dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara Delapan Dewa. Tentu saja serangannya itu hebat bukan main. Akan tetapi yang diserangnya adalah seorang pemuda yang juga menjadi murid dua orang di antara Delapan Dewa, bahkan pemuda ini digembleng oleh dua orang sakti itu sendiri, tidak seperti Ciang Su Kiat yang hanya mempelajari dari peninggalan kitab. Oleh karena itu, kalau dibuat perbandingan, tentu saja dalam hal ilmu silat Su Kiat masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Hay Hay. Akan tetapi, untuk mengurangi jarak kekalahannya dalam pendidikan ilmu silat, si lengan kiri buntung ini telah memiliki tenaga yang luar biasa berkat makan jamur selama sepuluh tahun, jamur aneh yang hanya terdapat di dalam sebuah goa di tebing yang terjal, maka kekalahannya itu bisa ditebus dengan kekuatan mukjijat itu. Makan jamur selama sepuluh tahun ini membuat Su Kiat dan Hui Lian mempunyai tenaga sinkang dan ginkang yang istimewa, dan pada Hui Lian bahkan akibatnya membuat wanita ini memiliki keringat yang harum baunya! Melihat datangnya serangan, Hay Hay cepat melangkah ke belakang sambil mengibaskan kedua tangannya menangkis. Akan tetapi dengan kecepatan yang luar biasa Su Kiat telah menarik lengan kanannya, kemudian segera melangkah maju mendesak dan menyerang lagi dengan lebih ganas. Kini ujung lengan baju kiri itu tiba-tiba menegang dan menusuk seperti sebatang pedang ke arah muka Hay Hay, tepat di antara kedua matanya, sedangkan tangan kanan sudah melakukan cengkeraman ke arah perut. Dua serangan ini datang secara bertubi dan yang berbahaya adalah karena kecepatannya. Ujung lengan baju tangan kiri itu juga tidak boleh dipandang ringan karena sesudah dialiri tenaga sinkang, menjadi kaku seperti sebatang pedang dan kalau mengenai sasaran antara kedua mata Hay Hay, tentu amat berbahaya. Akan tetapi dengan tenang dan mudah saja Hay Hay kembali mampu menghindarkan diri, dengan memutar tubuh sambil mengibaskan kedua tangan menangkis. Dia masih belum mau membalas karena belum merasa perlu dan belum terdesak. Melihat betapa pemuda itu dengan mudahnya dapat menghindarkan diri, Ciang Su Kiat tak mau memberi hati dan kini dia menyusulkan serangan bertubi-tubi, dengan ujung lengan baju kiri, dengan tangan kanan, bahkan dengan kedua kakinya yang dapat mengirim tendangan istimewa. Kini Hay Hay didesak terus dengan serangan yang datang laksana gelombang samudera, susul-menyusul dan tiada hentinya. Dibandingkan dengan Kok Hui Lian, tentu saja tingkat Ciang Su Kiat lebih tinggi, karena sebelum keduanya menemukan kitab-kitab peninggalan dua orang di antara Delapan Dewa, yaitu mendiang Sian-eng-cu The Kok dan mendiang In Liong Nio-nio, Su Kiat sudah memiliki ilmu silat yang cukup kuat sebagai murid pilihan Cin-ling-pai sedangkan Hui Lian masih merupakan seorang gadis cilik yang belum pernah belajar ilmu silat.....



PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 34 :
KINI Hay Hay terkejut dan dia harus mengakui bahwa lawannya amat tangguh, dan kalau dia hanya main elak dan tangkis saja, maka akhirnya dia akan terancam bahaya besar. Karena itu, sesudah membiarkan lawannya mendesaknya sampai belasan jurus, barulah Hay Hay mulai membalas dan karena dia maklum bahwa dia tidak boleh main-main dalam menghadapi seorang lawan tangguh seperti itu, begitu membalas dia telah mengeluarkan ilmu simpanan Ciu-sian Cap-pek-ciang! Ilmu ini adalah ciptaan Ciu-sian Lo-kai, sudah sangat hebat walau pun hanya terdiri dari delapan belas jurus. Akan tetapi setelah Hay Hay digembleng oleh kakek aneh setengah gila Song Lo-jin, semua ilmunya, termasuk Ciu-sian Cap-pek-ciang, menjadi hebat bukan main! Begitu Hay Hay mengelak dan menangkis lalu membalas dengan jurus ke tiga belas yang disertai pengerahan sinkang, Ciang Su Kiat yang mencoba untuk menangkis langsung merasa seperti dilanda badai dan betapa pun dia bertahan, tetap saja tubuhnya terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin. Dia terhuyung sehingga akhirnya terpaksa merobohkan dirinya dan bergulingan agar jangan sampai terbanting. Melihat betapa suaminya terlempar dan terhuyung kemudian bergulingan, Hui Lian cepat meloncat ke depan dan menyerang Hay Hay dengan tamparannya. "Engkau melukai suamiku...!" bentaknya marah. Hay Hay terkejut sekali, akan tetapi dia tak mengelak dan menerima tamparan itu dengan pundaknya. "Plakkk!" Dan tubuh Hay Hay terpelanting! "Sumoi, jangan...!" Ciang Su Kiat membentak. "Aihh, Suheng, engkau tidak apa-apa?" Hui Lian membalik dan girang melihat suaminya sudah berada di belakangnya dan tidak kelihatan terluka parah. "Aku tidak apa-apa. Kenapa engkau menyerang dia, Sumoi?" "Kukira... kukira dia telah melukaimu, Suheng...," kata Hui Lian menyesal. Su Kiat menghampiri Hay Hay yang sudah bangkit berdiri. Ada sedikit darah di ujung bibir Hay Hay. Tamparan tadi memang hebat, akan tetapi dia sengaja menerimanya. Dia tidak terluka, namun guncangan karena tamparan itu membuat dia muntahkan sedikit darah. "Saudara Hay Hay, engkau tidak apa-apa?" tanya Su Kiat, suaranya ramah dan pandang matanya penuh kagum. "Maafkan isteriku..." Hay Hay tersenyum. "Tidak mengapa, Toako. Aku tahu bahwa Enci Hui Lian memang galak dan tamparannya hebat sekali. Akan tetapi kini bertambah pengetahuanku bahwa ia amat mencintamu, Toako, dan tadi ia seperti seekor singa betina marah melihat jantannya diganggu!" "Ah, Hay Hay, kau maafkan aku!" kata Hui Lian yang menghampiri dan dengan menyesal dia lalu meletakkan tangannya di atas pundak Hay Hay, untuk memeriksa pundak yang ditamparnya tadi. Su Kiat tersenyum melihat isterinya merangkul pundak pemuda itu, kemudian dia pun ikut merangkul Hay Hay. "Engkau seorang pemuda yang betul-betul hebat, Hay Hay! Engkau memang pantas mendapatkan perhatian serta kasih sayang setiap orang wanita. Engkau demikian lihai, akan tetapi tidak mau mempergunakan ketampanan dan kelihaianmu untuk menghina wanita, bahkan engkau mengalah terhadap aku yang mencurigaimu. Maafkan aku." Hay Hay tertawa gembira kemudian dia pun merangkul kedua orang itu seperti dua orang sahabat baiknya. Dia menoleh ke kiri, ke arah Hui Lian. "Enci, pilihanmu yang terakhir ini sungguh tepat sekali. Engkau telah memperoleh seorang suami yang hebat, mempunyai kepandaian tinggi, berwatak jujur dan terbuka, gagah perkasa. Sungguh, dan engkau juga, Ciang-toako, engkau telah memperoleh seorang isteri yang tiada duanya di dunia ini. Aku harus mengucapkan kionghi (selamat) kepada kalian!" Dia pun melepaskan rangkulannya dan memberi hormat kepada mereka yang dibalas oleh suami isteri itu yang tersipu-sipu, akan tetapi juga gembira sekali. "Nah, Hay Hay, sekarang mari kita lanjutkan percakapan kita dalam pertemuan yang tadi terganggu," kata Hui Lian sambil melirik ke arah suaminya yang juga tersenyum. "Engkau datang dari mana dan hendak ke mana?" Hay Hay mengangkat tangan lantas mengamangkan telunjuknya kepada Hui Lian seperti orang menegur. "Ihhh, Enci Hui Lian, sudahlah jangan menyindir suamimu sendiri. Aku dalam perjalanan menuju ke Pegunungan Yunan..." "Ahh...! Apa sekiranya ada hubungannya dengan persekutuan orang-orang dunia hitam?" Hui Lian memotong. "Benarkah engkau hendak menyelidiki persekutuan yang kabarnya dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo itu?" Ciang Su Kiat juga bertanya. Kini Hay Hay memandang mereka dengan mata terbelalak. "Wah, kalian ini bukan saja suami isteri yang lihai ilmu silatnya, akan tetapi agaknya juga pandai sekali meramal dan membaca isi hati orang. Bagaimana kalian bisa menduga bahwa aku hendak menyelidiki persekutuan itu dan kalian tahu pula bahwa persekutuan itu dipimpin Lam-hai Giam-lo?" "Tentu saja kami dapat menduga karena kami sendiri pun sedang menuju ke sana. Kami sudah mendengar mengenai persekutuan itu, akan tetapi kami tidak ada urusan dengan itu, yang penting aku harus mencari Lam-hai Giam-lo, musuh besar kami!" kata Ciang Su Kiat. "Musuh besar kalian?" "Dialah yang dulu membuat kami berdua terjatuh ke dalam jurang sehingga kami berdua terpaksa hidup selama sepuluh tahun di dalam jurang itu sebelum kami berhasil naik ke dunia ramai. Sudah lama kami mencarinya dan beberapa kali kami hampir saja berhasil membunuhnya, akan tetapi dia selalu mampu menghindarkan diri hingga akhirnya selama bertahun-tahun ini kami kehilangan jejak. Entah di mana dia bersembunyi," kata Hui Lian. "Baru beberapa bulan yang lalu kami mendengar bahwa dia sekarang memimpin sebuah persekutuan antara tokoh-tokoh sesat yang hendak menyusun kekuatan di pegunungan atau dataran tinggi Yunan, kabarnya mereka hendak mengadakan pemberontakan. Kami tidak peduli akan hal itu, tetapi yang penting kami harus mencari Lam-hai Giam-lo untuk membalas kejahatannya yang dilakukan kepada kami belasan tahun yang lalu," sambung Su Kiat. "Dan engkau sendiri, apakah yang mendorongmu untuk melakukan penyelidikan tentang persekutuan tokoh-tokoh sesat itu, Hay Hay?" tanya Hui Lian. Hay Hay kemudian menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo di rumah Jaksa Kwan. "Enci Hui Lian, engkau tentu masih ingat mengenai mustika batu kemala milik Jaksa Kwan? Nah, aku pergi ke rumah Jaksa Kwan untuk mengembalikan batu mustika itu, akan tetapi Jaksa Kwan memberikan batu itu kepadaku dan di sana aku bertemu dengan Menteri Yang Ting Hoo. Mereka berdua menceritakan tentang Lam-hai Giam-lo yang memimpin persekutuan para tokoh sesat yang lihai, dan di antara mereka terdapat banyak tokoh sesat yang berilmu tinggi seperti Lam-hai Siang-mo, suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan Min-san Mo-ko, Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, bahkan para pendeta Pek-lian-kauw juga telah bergabung dengan mereka. Menteri Yang minta bantuanku agar membantu para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat, sedangkan pasukan kaum pemberontak akan dihancurkan oleh pasukan pemerintah kalau saatnya tiba. Aku pun lalu berangkat dan sampai di sini, tertarik oleh keindahan telaga ini, aku lalu berhenti dengan maksud hendak menikmati keindahan telaga selama beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan." "Hemm, kalau begitu, kami pun akan membantu para pendekar untuk menentang gerakan persekutuan itu!" kata Su Kiat penuh semangat. "Kebetulan sekali engkau tertarik oleh telaga ini. Begitu pula dengan kami, Hay Hay. Kami melihat telaga ini dari atas saat akan memasuki kota Wei-ning dan kami juga tertarik lalu singgah di sini. Sungguh kebetulan sekali sehingga kita dapat saling jumpa. Kalau begitu, sebaiknya kalau kita pergi bersama ke dataran tinggi Yunan, bersama-sama melakukan penyelidikan terhadap persekutuan itu!" kata Hui Lian gembira. Akan tetapi Hay Hay menggeleng kepalanya dan tersenyum. Dia maklum bahwa biar pun Su Kiat kelihatan tersenyum dan sinar matanya tidak lagi membayangkan keraguan dan kemarahan, namun pendekar itu tetap saja merupakan seorang laki-laki biasa dan tentu akan timbul kembali cemburunya apa bila dia melakukan perjalanan bersama mereka dan kemudian nampak hubungan yang amat akrab antara dia dan Hui Lian. Tidak, dia takkan mengganggu ketenteraman dan kedamaian hubungan suami isteri yang saling mencinta itu. "Kurasa sebaiknya kalau kita melakukan tugas kita secara terpisah. Bukankah akan lebih mudah melakukan penyelidikan bila kita berpencar? Kita tentu akan saling jumpa di sana dan dapat saling membantu," katanya. Su Kiat mengangguk-angguk. "Apa yang dikatakan Hay Hay itu memang benar. Lam-hai Giam-lo sudah lihai, kalau dia dibantu oleh banyak tokoh sesat yang lihai, maka keadaan di tempat itu tentu sangat berbahaya. Kita harus berhati-hati dan melakukan penyelidikan beramai-ramai tentu akan lebih mudah diketahui pihak musuh." Hui Lian kelihatan kecewa, akan tetapi dia tidak mendesak karena naluri kewanitaannya yang halus juga memperingatkannya bahwa kebersamaannya dengan Hay Hay memang cukup berbahaya dan dapat menimbulkan salah sangka dan cemburu di pihak suaminya. "Sudah tiga hari ini kami berada di sini, hari ini kami harus melanjutkan perjalanan. Kami akan berangkat lebih dahulu," kata pula Su Kiat. Mereka lalu berpamit dari Hay Hay yang masih ingin pesiar di telaga itu. Hay Hay cepat-cepat menghapus ingatannya dari suami isteri itu dan kembali mendayung perahunya setelah suami isteri itu mengembalikan perahu yang mereka sewa. Akan tetapi sungguh mengherankan hati Hay Hay. Walau pun dia sudah berhasil mengusir bayangan suami isteri itu, terutama sekali bayangan Hui Lian, tetapi tetap saja dia sudah kehilangan kegembiraan dan kehilangan gairah. Dia merasa seolah-olah kesepian. Akhirnya dia pun mendayung perahunya ke tepi dan mengembalikan perahu sewaan itu, lantas menggendong buntalan pakaiannya dan berjalan-jalan di tepi telaga. Matahari telah naik tinggi dan sinarnya menyengat kulit. Hay Hay menjauhkan diri dari tempat ramai dan berjalan-jalan di bagian tepi telaga yang penuh dengan pohon-pohon rindang. Di situ amat sunyi dan dia terlindung dari sinar matahari yang terik. Tidak ada seorang pun di situ, juga perahu-perahu itu berada jauh dari bagian itu, hanya merupakan perahu-perahu yang terlihat kecil dan memenuhi permukaan telaga di sebelah sana dan di tengah telaga. Akan tetapi tidak sebanyak pagi tadi. Perahu-perahu yang tidak mempunyai bilik, yaitu perahu-perahu kecil yang terbuka, mulai berkurang. Tentu mereka yang menggunakan perahu-perahu terbuka itu telah kepanasan sehingga mulai meninggalkan telaga. Hanya perahu-perahu yang ada biliknya saja yang masih berseliweran, agaknya para penumpangnya merasa asyik sendiri terutama mereka yang membawa gadis-gadis penghibur. Hay Hay sama sekali tidak tahu bahwa semenjak pertemuannya dengan pendeta-pendeta Pek-lian-kauw di malam itu, para pendeta itu tak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengintaian. Bahkan banyak mata menonton dari jarak aman ketika dia bertanding melawan Ciang Su Kiat. Semakin teganglah hati para pendeta Pek-lian-kauw melihat betapa pemuda yang mereka takuti itu masih dapat menang menghadapi lawan Si Lengan Buntung yang demikian lihai pun! Sebagian dari mereka telah lama memberi laporan kepada Lam-hai Giam-lo tentang munculnya pemuda lihai itu. Lam-hai Giam-lo tentu saja menjadi curiga dan penasaran, lalu dia mengutus dua orang pembantunya yang paling dipercaya, yaitu Min-san Mo-ko dan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, untuk menyelidiki siapa pemuda itu dan kalau perlu membantu lima tokoh Pek-lian-kauw untuk menundukkan pemuda itu. "Kalau benar dia selihai seperti yang dilaporkan, kalau mungkin bujuklah supaya dia dapat bekerja sama dengan kita, membantu gerakan kita," pesan Lam-hai Giam-lo kepada dua orang pembantunya itu, "Kukira Tok-sim Mo-li cukup tahu bagaimana untuk menundukkan hati seorang pemuda. Tapi kalau kiranya tidak mungkin, bunuh saja dia dari pada menjadi ancaman bagi kita." Dengan penuh semangat, guru dan murid yang menjadi kekasih itu berangkat bersama pendeta Pek-lian-kauw yang melapor itu. Akan tetapi, ketika Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi melihat siapa adanya pemuda itu, tentu saja mereka terkejut bukan main. "Hay Hay...!" desis Ji Sun Bi dari tempat dia mengintai. "Pemuda setan itu!" kata pula Min-san Mo-ko dengan hati gentar. Mereka sudah pernah merasakan kelihaian pemuda itu, bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi bahkan mempunyai ilmu sihir yang pernah membuat guru dan murid ini tidak berdaya dan dipermainkan. Pantas saja lima orang pendeta Pek-lian-kauw yang ahli sihir itu tidak mampu menandinginya! Sekarang guru dan murid itu sendiri bahkan saling pandang dengan sikap ragu-ragu dan was-was karena mereka sangsi apakah dengan bantuan mereka yang bergabung dengan lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu mereka akan mampu mengalahkan Hay Hay. "Kita harus minta bala bantuan," kata Min-san Mo-ko kepada muridnya, tanpa malu-malu lagi. Ji Sun Bi mengangguk. "Benar, kurasa hanya ada dua orang saja di dalam perserikatan kita yang akan mampu menandinginya. Pertama tentu saja Lam-hai Giam-lo sendiri, akan tetapi Bengcu kita itu tak mungkin turun tangan sendiri. Dan yang ke dua adalah Ki Liong. Baiknya aku segera mengundangnya ke sini untuk memperkuat kita." Min-san Mo-ko yang maklum akan kelihaian Ki Liong yang sekarang dikenal sebagai Sim Ki Liong, pembantu utama dari Lam-hai Giam-lo, mengangguk menyetujui. Berangkatlah Ji Sun Bi secepatnya, kembali ke dataran tinggi Yunan yang tak berapa jauh lagi dari situ, sedangkan Min-san Mo-ko dan lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu hanya membayangi Hay Hay dari kejauhan, tidak berani turun tangan. Karena Hay Hay mengambil keputusan hendak tinggal selama tiga hari di kota Wei-ning sambil berpesiar di Telaga Cao, maka Ki Liong dapat tiba di situ bersama Ji Sun Bi sebelum Hay Hay meninggalkan tempat itu. Pada hari terakhir itu pagi-pagi sekali Hay Hay sudah duduk di tepi telaga, di tempat yang paling sepi, sambil memegang setangkai pancing. Kemarin ketika berperahu dia melihat bahwa di bagian ini justru banyak sekali ikannya. Dia ingin sekali mengail ikan di situ dan apa bila mendapatkan ikan akan dipanggangnya di situ pula. Untuk keperluan ini dia telah membawa bumbu dan garam dari rumah penginapan. Akan tetapi sial baginya. Sudah satu jam lebih dia duduk di situ tetapi tak seekor pun ikan mencium umpannya! Dia menganggap dirinya sial, padahal hari masih terlalu pagi maka agaknya ikan-ikan masih belum waktunya keluar dari sarang mencari makanan. "Huh, apakah kalian masih tidur semuanya? Ataukah belum waktunya sarapan pagi? Atau pergi melancong sekeluarga kalian?" Hay Hay mengomel panjang pendek akan tetapi dia lalu tertawa geli, mentertawakan diri sendiri. Mana mungkin ada ikan tidur? Dan dia termenung. Bagaimana kalau ikan beristirahat dan tidur? Apakah juga ada waktu makan seperti manusia, makan pagi, siang dan malam sebanyak tiga kali? Ataukah asal lapar lalu makan tanpa kenal waktu? Dan pernahkan keluarga ikan itu bersenang-senang, pelesir bersama anak isterinya? Gambaran ini demikian menggelitik hatinya sehingga dia pun tertawa dengan bebas karena di tempat itu tidak terdapat orang lain. "Ha-ha-ha-ha, engkau pasti sudah gila, Hay Hay!" demikian dia berkata, lalu mengangkat pancingnya, mengganti dengan umpan yang baru dan mulai memancing lagi. Memancing adalah sebuah pekerjaan yang mengasyikkan. Apa bila dia tidak membiarkan pikirannya melamun, mengingat-ingat hal yang lalu atau membayangkan hal mendatang, maka pikiran menjadi tenang dan hening, dan jika semua perhatiannya ditujukan kepada tali pancing di permukaan air telaga, maka keadaannya hampir sama dengan kalau dia bersemedhi. Tenang dan damai, demikianlah keadaan seorang yang sedang mengail kalau pikirannya tidak melayang-layang, melainkan tenggelam dalam keheningan. Dia menjadi lupa waktu, lupa keadaan, tidak menyadari bahwa satu jam telah berlalu pula dan kini sinar matahari pagi mulai menciptakan sinar keemasan pada permukaan air telaga. Dan agaknya sinar matahari pagi itu yang menggugah ikan-ikan karena mulailah dia merasa betapa ujung tali pancingnya bergerak-gerak, tanda bahwa umpannya mulai ada yang menciumnya! Tentu saja seluruh perhatian Hay Hay dicurahkan ke ujung pancingnya sehingga dia tidak tahu akan datangnya sebuah perahu kecil yang di dayung oleh seorang gadis menuju ke tempat dia mengail. Hay Hay baru sadar ketika ikan-ikan yang mulai mencium umpannya itu tiba-tiba saja melepaskan umpan dan permukaan air berombak, lalu terdengar suara dayung memukul air. "Haiii...!" Hay Hay mengangkat mukanya dan berteriak marah. "Apakah engkau tidak tahu bahwa di sini ada orang sedang memancing ikan? Engkau datang mengganggu sehingga ikan-ikan yang tadi mulai mendekati umpan pancingku sekarang semuanya lari cerai-berai ketakutan karena datangnya perahumu!" Perahu itu sudah datang mendekat dan penumpangnya yang tadi mendayung perahu itu kini bangkit berdiri. Karena muka orang itu tadinya tertutup oleh sebuah caping lebar yang melindungi muka itu dari panas matahari, maka sesudah orang itu berdiri dan mendorong capingnya ke belakang, barulah nampak oleh Hay Hay bahwa penumpang perahu yang ditegurnya itu ternyata adalah seorang gadis remaja yang tersenyum manis sekali! Gadis ini usianya paling banyak delapan belas tahun, pakaiannya sederhana akan tetapi tubuh yang mulai mekar ranum itu menarik sekali, sedangkan wajahnya yang sederhana tanpa bedak gincu itu memiliki daya tarik yang sangat kuat, mungkin karena kelembutan dan kepolosan yang terpancar pada wajah yang berseri itu. "Maaf, aku tidak tahu bahwa aku sudah mengganggumu," kata gadis itu, dan suaranya juga lunak halus. "Maaf, maaf! Setelah ikan-ikan itu pergi jauh? Aih, engkau tidak tahu bahwa engkau telah merampas sedikitnya satu ekor ikan besar untuk sarapanku, padahal perutku sudah lapar dan sejak tadi aku sudah siap untuk memanggang ikan hasil pancinganku!" kata Hay Hay, mulai berkurang kemarahannya melihat betapa gadis itu bersikap dan berbicara demikian lunak dan halus. Gadis itu masih tersenyum ramah dan sinar matanya mengandung penyesalan. "Ahh, kalau begitu aku berhutang satu ekor ikan padamu, bung! Nah, biar kubayar hutang itu!" Dara itu masih berdiri di atas perahunya, ada pun dayung itu dipegangnya dengan tangan kanan. Kini matanya mengamati permukaan air telaga yang mulai tenang kembali setelah perahunya berhenti meluncur. Tiba-tiba saja dayungnya menyambar ke bawah, terdengar suara air terpukul, lantas gadis itu berjongkok dan tangan kirinya mengambil seekor ikan sebesar betis yang sudah mengambang karena mati terpukul dayungnya. "Nah, inilah hutangku kepadamu, bung!" katanya sambil melemparkan ikan itu ke darat, di belakang Hay Hay. Melihat ini Hay Hay terbelalak dan dia pun semakin tertarik. Dara remaja yang sikap serta tutur katanya lembut dan halus itu ternyata seorang gadis yang memiliki ilmu kepandalan hebat sehingga dengan mudahnya mampu menangkap seekor ikan yang dipukul dengan dayungnya. Hay Hay tersenyum lebar, merasa penasaran karena agaknya gadis itu ingin memamerkan kepandaiannya. "Hemmm, aku ingin memancing, bukan menangkap ikan begitu saja. Engkau tidak tahu seninya orang mengail, Nona. Kalau aku mau, tentu akan dapat pula menangkap ikan semudah seperti yang kau lakukan itu!" Hay Hay bangkit berdiri dan memandang permukaan air. Air yang jernih itu membuat dia dapat melihat beberapa ekor ikan berenang tak jauh dari situ. Dia menggerakkan tangkai pancingnya yang terbuat dari bambu itu. Tangkai itu meluncur ke dalam air dan ketika dia mencabutnya kembali, ujungnya sudah menusuk seekor ikan yang menggelepar-gelepar. Dia melepaskan ikan itu di atas darat, kemudian dengan cepat tangkai pancingnya masih dua kali lagi meluncur dan dalam waktu yang cepat dia sudah menangkap tiga ekor ikan yang cukup gemuk! "Ahh, kiranya engkau seorang yang amat lihai, yang menyamar sebagai seorang pengail. Maafkan kalau aku bersikap kurang hormat, dan maafkan sekali lagi bahwa tadi aku telah mengganggu tanpa sengaja." Gadis itu memberi hormat dari perahunya, kemudian duduk kembali dan dengan perlahan mendayung perahunya ke tengah. "Heiiiii, Nona! Nanti dulu!" Hay Hay berteriak. "Engkau sudah bersalah kepadaku dan aku tidak mau memaafkan sebelum menghukummu!" Gadis itu menahan perahunya, alisnya berkerut karena dia menyangka bahwa pemuda di pantai itu akan bersikap kurang ajar. Akan tetapi dengan suara tetap lembut dan penuh kegembiraan dia bertanya. "Aku memang bersalah, akan tetapi tidak kusengaja dan aku sudah minta maaf. Hukuman apa yang akan kau jatuhkan kepadaku?" "Lihat!" Hay Hay menunjuk ke arah empat bangkai ikan tadi. "Karena ulahmu di sini empat ekor ikan yang tidak berdosa telah mati. Kalau dagingnya tidak dimakan, itu adalah suatu pemborosan dan sia-sia namanya. Oleh karena itu aku akan menghukummu agar engkau membantuku menghabiskan daging empat ekor ikan ini. Aku sudah siap dengan bumbu-bumbunya dan kalau dipanggang, daging ikan ini pasti lezat sekali!" Lenyaplah kerut-merut pada alis gadis itu dan dia pun tertawa, lalu mendayung perahu ke tepi. "Baiklah, aku terima hukuman itu!" katanya sambil tersenyum. "Aku pun lapar sekali!" Dia meloncat ke darat dan menarik tali perahu itu ke darat. Demikian mudahnya gadis itu menarik perahu ke darat, padahal pantai itu agak terjal, hal ini menunjukkan bahwa dia memang bukan gadis sembarangan dan memiliki tenaga yang kuat. Mereka kini berdiri berhadapan, saling pandang dan Hay Hay semakin tertarik. Gadis ini tidak cantik sekali, akan tetapi pembawaannya demikian polos dan wajar, juga tubuhnya indah sehingga memiliki daya tarik besar. Memang banyak dia temui wanita cantik yang kurang begitu kuat daya tariknya, seolah-olah setangkai bunga yang tidak begitu harum. Akan tetapi gadis ini bagaikan setangkai bunga sederhana yang sangat harum semerbak, yang memiliki daya tarik besar hingga membuat orang suka sekali berdekatan dan bicara dengannya. Sepasang matanya demikian lembut, keibuan dan penuh kesabaran, mulutnya juga selalu tersenyum ramah. Wajahnya yang tanpa bedak itu kemerahan dan segar bagai setangkai bunga mawar merah bermandi embun. Pakaiannya juga sangat sederhana, namun malah menonjolkan keindahan tubuhnya yang sedang mekar. Dua muda-mudi itu sama-sama tersenyum, agaknya masing-masing merasa puas dengan apa yang mereka pandang dan nilai. Kemudian gadis itu berkata, "Mari kubantu engkau memanggang ikan." Keduanya tidak banyak cakap lagi, melainkan sibuk membersihkan sisik ikan-ikan itu dan membuang isi perutnya, mencuci dengan air telaga lalu melumurinya dengan bumbu yang sudah dipersiapkan oleh Hay Hay. Tidak lama kemudian masing-masing memegangi dua tusuk bambu, memanggang dua ekor ikan di atas api membara dan terciumlah bau yang sedap. "Aduh, alangkah sedapnya...! Kini perutku menjadi semakin lapar saja!" kata gadis itu dan cuping hidungnya kembang kempis, lucu sekali. "Ha-ha-ha-ha, air liurku tidak dapat kutahan lagi!" Hay Hay juga berkata dan dia tertawa, merasa gembira bukan main. Kehadiran gadis ini sungguh merupakan berkah baginya, membuat hari nampak demikian cerah dan suasana demikian gembira dan indah. Bukan main! Tak lama kemudian keduanya sudah mengganyang ikan-ikan itu yang terasa gurih, manis dan lezat bukan main. Gadis itu tidak kelihatan malu-malu. Dia mempunyai watak yang terbuka dan polos, namun lembut dan tidak liar seperti watak Kui Hong atau Bi Lian. Sama sekali tidak kelihatan galak meski pun kadang-kadang sinar matanya mencorong penuh wibawa. Sebentar saja daging ikan-ikan itu sudah habis, tinggal kepala, ekor dan tulang-tulangnya saja. "Sayang tidak ada minuman..." "Jangan khawatir, Nona, aku membawa sebotol anggur." Hay Hay segera mengeluarkan botol anggur dari buntalannya. "Aku kurang begitu suka minum arak." "Ini bukan arak keras, melainkan anggur yang halus. Rasanya manis dan enak, tak akan memabokkan asal tidak terlampau banyak, dan menghangatkan perut. Cobalah!" Hay Hay menyodorkan botol yang terisi anggur hampir penuh itu sambil membuka tutupnya. Gadis itu mendekatkan mulut botol ke bawah hidungnya. "Hemm, baunya memang amat harum. Akan tetapi mana cawannya? Akan kucoba sedikit untuk menghilangkan amis ikan tadi dari mulut." "Aku tidak membawa cawan, Nona. Minumlah saja dari botol, mengapa?" "Ihh, mulut botol akan berbau amis oleh mulutku yang habis makan ikan panggang." "Apa salahnya? Mulutku juga," kata Hay Hay. Gadis itu tersenyum, kemudian menuangkan isi botol itu dan diterima oleh mulutnya yang terbuka sehingga dia bisa minum anggur itu tanpa menyentuh bibir botol dengan bibirnya. Melihat mulut gadis itu terbuka, melihat rongga mulut yang merah sehat, deretan gigi yang putih berkilau dan lidah yang merah jambu, bibir yang basah kemerahan pula, Hay Hay menelan ludah. Seorang gadis yang sehat dan bersih, dan memiliki daya tarik yang amat kuat justru karena kesederhanaannya! "Hemm, engkau terlampau sopan, Nona," katanya setelah gadis itu mengembalikan botol anggur. Gadis itu tidak menanggapi, melainkan memuji. "Anggurmu sungguh enak." "Ini untuk mencuci dan menyegarkan mulut!" kata Hay Hay setelah mengeluarkan empat buah pir dan memberikan dua buah kepada gadis itu. Wajah itu nampak berseri. "Heiiii! Engkau seperti tahu saja dengan buah kesukaanku!" teriaknya. Ia pun segera makan buah pir yang mengandung banyak air itu, terasa segar dan manis, dan memang merupakan pencuci mulut yang amat segar untuk menghilangkan bau amis dari daging ikan tadi. Mereka kini makan buah sambil duduk berhadapan di atas rumput. Mendadak Hay Hay tertawa, "Sungguh lucu sekali!" "Apanya yang lucu?" Gadis itu bertanya heran lalu memandangi tubuhnya, membereskan rambutnya yang agak awut-awutan karena dia mengira dirinya yang nampak lucu. "Kita sudah menangkap ikan bersama, makan ikan dan minum anggur, kini makan buah bersama, seperti dua orang sahabat karib yang saling mengenal selama bertahun-tahun. Padahal kita baru saja saling jumpa secara kebetulan, bahkan kita belum mengenal nama masing-masing. Apakah kau kira tak sepatutnya bila kita saling memperkenalkan nama? Namaku adalah Hay Hay." "Dan namaku Ling Ling." "Heii! Nama kita juga mirip, hanya satu suku kata yang diulang. Ling Ling, sungguh nama yang indah dan manis sekali, sesuai dengan orangnya!" Ling Ling adalah Cia Ling, puteri tunggal dari Cia Sun. Seperti sudah kita ketahui, Cia Ling pergi meninggalkan tempat tinggal ayahnya di dusun Ciangsi-bun di sebelah selatan kota raja untuk berkunjung ke Cin-ling-pai. Kemudian gadis ini meninggalkan Cin-ling-pai untuk melanjutkan perjalanannya merantau dan mencari pengalaman sebelum pulang ke rumah orang tuanya. Di dalam perjalanannya inilah dia mendengar tentang persekutuan para tokoh dunia hitam yang kabarnya bersarang di dataran tinggi Yunan. Dia merasa tertarik. Persekutuan orang jahat ini pasti akan ditentang oleh para pendekar, pikirnya, mengingat akan cerita ayahnya tentang pengalaman ayahnya dahulu ketika masih muda, di mana para pendekar selalu siap untuk menentang gerakan para penjahat di dunia kang-ouw. Inilah kesempatan baik untuk meluaskan pengetahuan, pikirnya. Demikianlah, tanpa ragu lagi gadis gagah perkasa ini lalu melakukan perjalanan menuju ke selatan, ke Yunan. Dan ketika tiba di Telaga Cou, dara perkasa ini tertarik sekali lalu menyewa sebuah perahu kecil sampai perjumpaannya yang tak disangka-sangka dengan seorang pemuda yang aneh dan menarik hatinya. Pada sepanjang perjalanannya, gadis ini mengalami cukup banyak godaan dan halangan, namun berkat ilmu silatnya yang tinggi, dia mampu mengatasi semua halangan, bahkan banyak menghajar orang-orang jahat yang berani mengganggunya, baik untuk merampok perbekalannya atau pun untuk mengganggu dirinya sebagai seorang gadis muda yang cukup menarik dan sedang melakukan perjalanan sendirian saja. Kini, mendengar kata-kata Hay Hay yang mengatakan bahwa namanya indah dan manis sekali sesuai dengan orangnya, gadis ini memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan sepasang alisnya berkerut sedikit. Namun suaranya masih terdengar lembut dan sabar ketika dia bertanya. "Apa maksudmu?" Dia mulai merasa curiga, mengira bahwa Hay Hay tiada bedanya dengan para lelaki yang pernah dijumpainya di dalam perjalanan, yaitu pada akhirnya lelaki-lelaki itu hanya ingin merayunya dan menjatuhkannya! Akan tetapi Hay Hay tersenyum lebar dan memandang dengan polos. "Apa maksudku? Sudah jelas. Namamu itu, Ling Ling, terdengar merdu seperti nyayian dan indah manis, seperti pemiliknya. Apakah engkau belum tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang amat menarik, sederhana tapi manis dan mengandung daya tarik bagaikan besi sembrani, Adik Ling Ling?" Kalau tadinya Ling Ling sudah bersiap untuk menegur atau bahkan menghajar pemuda itu andai kata berani kurang ajar, kini gadis itu bimbang. Pemuda ini memang memujinya, bahkan kata-katanya mirip rayuan, akan tetapi pandangan matanya dan suaranya sama sekali bukan seperti para pria lain yang hendak berkurang ajar kepadanya. Mata itu demikian polos, dan suaranya juga datar saja seolah-olah membicarakan tentang kecantikannya merupakan hal yang lumrah dan sewajarnya saja, seperti seorang memuji keindahan setangkai bunga! Karena itu dia pun tidak dapat marah, melainkan mengamati wajah pemuda itu dengan penuh selidik. "Hemm, baru sekarang ada orang mengatakan bahwa aku manis menarik. Hay-ko (Kakak Hay), coba katakan, apanya sih yang manis menarik?" Senang hati Hay Hay disebut Hay-ko sesudah tadi dia menyebut Ling-moi (Adik Ling), terdengar demikian akrab dan mesra, seperti kakak beradik, atau seperti... pacar saja! "Ha-ha-ha, apamu yang menarik, Ling-moi? Entahlah, sukar untuk menentukan. Mungkin matamu yang lembut itu, atau mulutmu yang selalu tersenyum, atau juga hidungmu yang cupingnya dapat kembang kempis lucu, atau rambutmu yang hitam panjang awut-awutan itu. Atau semuanya itu ditambah kesederhanaanmu, kelembutanmu dan pakaianmu yang sederhana tapi justru menonjolkan keindahan bentuk tubuhmu, waah, pendeknya engkau manis menarik!" Sekarang Ling Ling tertawa. Bukan, bukan perayu kurang ajar yang memiliki niat buruk, pikirnya. Pemuda ini sama sekali berbeda dari pada para pria lainnya. Pria lainnya yang dijumpainya selalu memandang kepadanya dengan sinar mata yang jelas membayangkan kebangkitan nafsu birahi, senyum-senyum buatan untuk memikat, kata-kata rayuan yang juga isinya penuh dengan daya pikat, mata dan mulut yang jelas mengandung kekurang ajaran. Akan tetapi pemuda ini berbeda sama sekali. Biar pun rayuannya maut, lebih manis dan menyenangkan dibandingkan semua rayuan yang pernah didengarnya, namun sinar mata pemuda ini polos dan bersih dari nafsu, dan tidak ada nampak bayangan keinginan untuk memikat, apa lagi kurang ajar. Maka dia pun tertawa. "Hik-hik, Hay-ko, engkau sungguh seorang perayu besar! Rayuanmu yang maut itu dapat membuat kepala seorang gadis menjadi tujuh keliling dan membuat dia bertekuk lutut dan takluk kepadamu! Apakah engkau adalah seorang laki-laki mata keranjang yang senang merayu wanita?" Hay Hay menarik napas panjang. "Sudah mejadi nasibku barangkali, sudah suratan takdir bahwa selama hidupku aku akan dicap sebagai seorang laki-laki mata keranjang! Hampir semua wanita menganggap aku mata keranjang dan perayu besar!" "Tetapi engkau memang perayu besar, Hay-ko. Selama hidupku belum pernah aku dipuji laki-laki seperti yang kau lakukan tadi!" Ling Ling berkata, akan tetapi sambil tersenyum. Kembali Hay Hay menarik napas panjang. "Itulah nasibku! Aku sama sekali tidak pernah merayumu, Ling-moi. Aku hanya bicara secara jujur dan terus terang saja, mengatakan apa adanya. Memang engkau manis menarik, habis aku harus berkata bagaimana?" "Apakah engkau selalu memuji setiap orang wanita yang kau jumpai?" "Iya, sebagian besar. Karena bagiku, setiap orang wanita itu seperti juga bunga. Bunga itu bermacam-macam, baik bentuknya mau pun warnanya, akan tetapi adakah bunga yang buruk? Semua indah dan semua cantik, dalam coraknya sendiri, memiliki keistimewaan sendiri. Dan aku memandang wanita seperti memandang bunga, aku selalu kagum akan keindahan seorang wanita seperti kagum kepada keindahan bunga. Salahkah kalau aku memuji keindahan itu?" "Memuji keindahan bunga lalu ingin memetiknya?" "Ahh, tidak! Aku bukan perayu, Ling-moi! Aku suka akan keindahan, bagaimana mungkin aku ingin merusak keindahan itu? Tidak, aku hanya cukup puas dengan memandangnya, mengamati dan mengagumi kecantikannya." Ling Ling memandang kagum. "Engkau seorang laki-laki yang aneh, terlalu jujur dan tentu telah banyak mengalami hal-hal yang menyusahkan karena kejujuranmu itu, Hayko." Tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang parau dan kasar, "Heh-heh, kiranya engkau sudah berada di sini, Nona manis!" Hay Hay masih duduk dan hanya memutar tubuhnya untuk memandang saja, akan tetapi Ling Ling langsung meloncat dan bangkit berdiri. Hay Hay memperhatikan tiga orang yang muncul itu. Mereka itu adalah tiga orang laki-laki yang usianya antara empat puluh dan lima puluh tahun. Ketiganya mengenakan pakaian serba putih! Yang dua orang bertubuh tinggi besar dan terlihat kokoh kuat, dengan lengan berotot dan sepasang mata yang memandang liar. Muka mereka kehitaman, seorang berjenggot panjang dan seorang lagi tanpa jenggot. Orang ke tiga juga berpakaian warna putih seperti dua orang terdahulu, usianya beberapa tahun lebih tua, akan tetapi orang ke tiga ini bertubuh pendek gendut seperti bola. Yang membuat Hay Hay merasa terkejut adalah muka orang ini, karena muka ini agak pucat. Hal ini bukan berarti bahwa orang gendut itu berpenyakitan. Kepucatan mukanya berbeda dengan pucatnya orang yang tidak sehat. Hanya dengan melihat mukanya Hay Hay dapat mengenal orang itu sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia pernah mendengar dari para gurunya bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat ilmu sesat, di antaranya latihan hawa sakti yang akan membuat wajah orang itu menjadi pucat, akan tetapi semakin pucat wajahnya, semakin kuat pula sinkang sesat yang dilatihnya. Dugaan Hay Hay ini memang sungguh tepat. Tiga orang itu adalah anggota perkumpulan Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis), sebuah perkumpulan yang terdapat di Lembah Iblis yang berada di lereng Gunung Hong-san. Perkumpulan Kui-kok-pang ini dipimpin oleh ketuanya yang bernama Kim San, seorang yang berilmu tinggi dan mukanya amat pucat seperti mayat. Seperti juga ketuanya, seluruh anggota Kui-kok-pang mengenakan pakaian serba putih, dan ketinggian tingkat mereka dapat dilihat dari keadaan muka mereka. Yang iebih pucat berarti lebih tinggi kedudukannya dan ilmu kepandaiannya. Dua orang tinggi besar yang mukanya kehitaman, dengan kepucatan yang hampir tidak terlihat karena kulit muka yang hitam, menunjukkan bahwa mereka berdua hanyalah anggota-anggota biasa saja yang tingkatnya masih rendah, dan mereka lebih mengandalkan tenaga otot dari pada tenaga sakti. Akan tetapi muka orang ke tiga yang bertubuh pendek gendut seperti bola nampak pucat dan ini menunjukkan bahwa tingkatnya lebih tinggi dari pada kedua orang temannya yang bermuka hitam. Ketika mendengar teguran parau dan kasar tadi, Ling Ling cepat-cepat menengok. Begitu melihat dua orang lelaki tinggi besar yang mukanya kehitaman, seketika wajah Ling Ling berubah merah dan dia pun meloncat bangun, berdiri sambil bertolak pinggang, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi ketika memandang kepada mereka. "Hemmm, kiranya kalian anjing-anjing hitam yang kurang ajar ini berani muncul kembali! Apakah kalian masih belum jera dan minta dihajar lagi?" kata Ling Ling. Dua orang laki-laki muka hitam itu saling pandang, kemudian mereka menoleh kepada laki-laki perut gendut sambil berkata. "Nah, engkau dengar sendiri, Suheng! Dia memang seorang gadis yang sombong dan memandang rendah kepada kita!" kata Si Hitam yang berjenggot kambing. Si Pendek perut gendut melangkah maju menghadapi Ling Ling. Sejenak dia tidak bicara apa pun, hanya mengamati wajah gadis itu dengan sinar mata mencorong, kemudian dia berkata, suaranya kecil seperti suara tikus terpencet, sehingga terdengar lucu dan sangat berlawanan dengan tubuhnya yang gendut. "Nona, agaknya engkau tidak mengetahui bahwa kami adalah orang-orang Kui-kok-pang! Mungkin Nona baru saja memasuki dunia kang-ouw, bagaikan burung yang baru belajar terbang sehingga tidak mengenal kami. Oleh karena itu, kalau Nona mau bersikap manis dan meminta maaf, maka kami pun akan menyudahi urusan ini dan menganggap bahwa Nona masih kanak-kanak yang tidak tahu akan kebesaran Kui-kok-pang." Mendengar disebutnya nama Kui-kok-pang, diam-diam Hay Hay terkejut karena dia sudah mendengar akan nama besar perkumpulan itu. Akan tetapi sebelum berpihak dia harus tahu lebih dulu tentang duduk perkaranya, maka sebelum Ling Ling yang bersikap tenang namun marah itu menjawab, dia sudah mendahului. "Adik Ling Ling, apakah yang telah terjadi antara engkau dengan dua orang saudara dari Kui-kok-pang ini?" Ling Ling sudah siap menjawab kata-kata Si Gendut pendek itu dengan kata-kata keras. Namun ketika mendengar pertanyaan Hay Hay, dia lalu menoleh kepada pemuda itu. "Hay-ko, aku tidak tahu apakah dua orang jahanam ini merupakan anggota Perkumpulan Lembah Iblis atau perkumpulan apa, akan tetapi kemarin sore ketika aku memasuki kota, di tengah perjalanan di luar kota mereka sudah menghadangku dan bersikap kurang ajar, hendak mengganggu aku. Tentu saja aku menghajar mereka hingga mereka lari tunggang langgang seperti dua ekor anjing dipukul. Dan sekarang mereka muncul kembali bersama seekor anjing gemuk lainnya yang agaknya hendak menggonggong lebih keras dari pada mereka." cerita silat online karya kho ping hoo Hay Hay menahan senyum karena geli hatinya. Kini dia tahu bahwa dua orang anggota Kui-kok-pang yang bertubuh tinggi besar itu, seperti kebanyakan laki-laki yang kasar dan kurang ajar, kemarin mencoba mengganggu Ling Ling yang dianggapnya seorang gadis cantik yang lemah. Namun mereka tertumbuk batu karang lantas dihajar, dan kini mereka datang dengan seorang kawan yang tadi mereka sebut suheng, tentu hendak membalas dendam kepada gadis itu. Hay Hay maklum bahwa jika dibiarkan saja, tentu Ling Ling akan berkelahi melawan tiga orang Kui-kok-pang itu. Maka dia cepat menghadapi laki-laki pendek gendut, menjura dan berkata dengan ramah. "Sobat, bila adikku ini telah kesalahan tangan terhadap dua orang saudaramu itu, biarlah aku yang memintakan maaf, harap urusan ini dihabiskan sampai di sini saja." Si Pendek Gendut itu memandang sejenak kepada Hay Hay, lalu dengan alis berkerut dia pun berkata, nada suaranya penuh ketinggian hati. "Orang muda, aku tidak tahu siapa engkau dan kenapa pula engkau mencampuri urusan kami. Nona ini yang telah menghina orang-orang kami, maka dia sendiri yang harus minta maaf dan membuktikan penyesalannya dengan menghibur kami selama sehari semalam, baru kami mau sudah. Kalau tidak begitu, biar ada seribu orang yang memintakan maaf, kami tidak akan mau menerimanya." Sikap Si Pendek Gendut itu demikian sombong sehingga Ling Ling telah menjadi semakin marah saja. "Hay-ko, engkau jangan mencampuri urusan ini. Biar kuhajar manusia busuk ini!" bentak Ling Ling dan sekali loncat dia telah berhadapan dengan Si Pendek Gendut itu. "Hei, babi gendut, jangan engkau membuka mulut sembarangan saja kalau tidak ingin kuhancurkan mulutmu yang busuk!" Muka yang pucat itu mendadak menjadi merah sekali, akan tetapi segera menjadi pucat kembali, dan sepasang mata yang sipit dari Si Pendek Gendut itu seperti mengeluarkan sinar berapi. Mendengar makian gadis itu, dia marah sekali. Tadinya dia mengira bahwa setelah mendengar nama besar Kui-kok-pang, gadis itu akan menjadi ketakutan dan menyerah. Tidak tahunya gadis itu malah memakinya babi gendut! Padahal dia merupakan seorang tokoh Kui-kok-pang tingkat tiga yang amat ditakuti orang karena ilmu kepandaiannya sudah tinggi. Di bawah kedudukan Ketua Kui-kok-pang hanya terdapat tiga orang yang bertingkat dua sebagai pembantu-pembantu utama ketua, dan hanya ada lima orang, termasuk dia, yang menduduki tingkat ketiga sebagai orang-orang yang dipercaya ketua dan sering bertindak sebagai utusan atau wakil ketua. Dan kini, gadis manis ini berani menghinanya sesudah dia tertarik dan ingin memiliki gadis ini untuk menghibur hatinya. "Bocah sombong, berani engkau menghina tuanmu? Agaknya engkau telah bosan hidup!" Nafsu birahinya yang tadi timbul setelah dua orang anak buahnya membawanya menemui gadis yang pernah menghajar mereka itu, kini lenyap sama sekali oleh penghinaan yang dilontarkan Ling Ling, berubah menjadi kemarahan dan kebencian yang berbau darah dan maut. Begitu kata-katanya berhenti, tubuhnya sudah menerjang dengan dahsyatnya ke depan. Kedua tangannya membentuk cakar dan menyerang dengan cakaran dan cengkeraman seperti seekor beruang marah, dari kerongkongannya juga keluar suara seperti gerengan binatang buas. Kemudian dari kedua tangan yang membentuk cakar itu menyambar hawa yang amat kuat, didahului uap putih dan bau yang amis seperti darah! Terkejutlah Hay Hay melihat serangan ini, karena dia mengenal serangan ilmu pukulan yang mengandung racun dan amat jahat, ciri khas pukulan yang biasa dipergunakan para tokoh golongan hitam. Hampir dia berteriak memperingatkan Ling Ling, malah semua urat syaraf di tubuhnya sudah menegang karena dia pun siap untuk melindungi gadis itu dari serangan dahsyat lawannya, jika saja dia tidak melihat gerakan Ling Ling yang membuat dia terbelalak. Dengan amat mudahnya, ringan dan bagaikan bulu tertiup angin, gadis itu menggerakkan kakinya dan terkaman yang dahsyat itu dapat dihindarkan dengan amat mudahnya! Yang membuat Hay Hay terbelalak heran bukan karena melihat kelihaian Ling Ling. Dia sudah banyak bertemu gadis yang berilmu tinggi, maka dia tidak akan heran melihat munculnya gadis-gadis lihai lainnya lagi. Akan tetapi dia terbelalak heran karena dia mengenal gerak langkah kaki yang digunakan Ling Ling untuk menghindarkan diri dari serangan dahsyat Si Pendek Gendut tadi. Itulah Ilmu Langkah Ajaib Jiauw-pouw-poan-soan! Tidak mungkin salah lagi, sungguh pun belum sempurna benar, namun langkah-langkah rahasia itu mudah dikenal! Padahal ilmu langkah ajaib itu adalah ciptaan gurunya See-thian Lama yang juga disebut Go-bi San-jin! Bagaimana gadis itu mampu memainkan langkah ajaib itu? Kini lenyaplah kekhawatiran dari hati Hay Hay. Bukan saja gadis itu pandai ilmu Jiauw-pouw-poan-soan yang akan membuat gadis itu pandai menyelamatkan diri dari serangan yang betapa hebat pun, juga gadis itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang demikian hebat. Dan Hay Hay menahan seruan kagum ketika gadis itu mulai membalas dengan tamparan-tamparan dua tangannya yang mengeluarkan angin keras mencicit tanda bahwa telapak tangan itu mengandung tenaga sakti yang sangat kuat. Tadi, pada saat gadis itu menangkap ikan dengan dayungnya, dia sudah menduga bahwa Ling Ling adalah seorang gadis yang mempunyai kepandaian silat. Akan tetapi perbuatan menangkap ikan itu mudah saja sehingga dia tidak menyangka bahwa gadis itu ternyata memiliki ilmu silat yang tinggi, bahkan mampu memainkan ilmu langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan! Kini dia tidak khawatir lagi, bahkan mengkhawatirkan nasib Si Pendek Gendut karena dia pun tahu bahwa Ling Ling jauh lebih lihai dibandingkan lawannya. Si Pendek Gendut juga terkejut sekali saat melihat tamparan gadis itu mengandung angin pukulan bercuitan mengejutkan. Dia mencoba untuk mengelak, bahkan menangkis untuk kemudian dilanjutkan cengkeraman pada lengan Ling Ling. Akan tetapi, begitu lengannya tersentuh lengan Ling Ling yang mengandung tenaga Thian-te Sinkang, tubuh Si Gendut itu terjengkang ke belakang dan di lain saat tubuh itu telah menggelundung bagai sebuah bola ditendang! Akan tetapi dengan muka merah dia cepat meloncat bangun lagi dan dia sudah mencabut senjatanya, yaitu sebuah pedang pendek yang berwarna hitam, tanda bahwa pedang itu agaknya sudah sering kali dilumuri racun! Ketika melihat betapa suheng mereka dalam beberapa jurus saja telah terjengkang, dua orang anggota Kui-kok-pang yang tinggi besar dan berkulit hitam segera mencabut golok masing-masing dan mereka pun serentak maju mengepung! Gadis itu dikepung tiga orang lawan yang kesemuanya bersenjata tajam! Tetapi Ling Ling berdiri tegak sambil bertolak pinggang dengan kedua tangannya, tenang-tenang saja sambil tersenyum, seperti seorang guru melihat tingkah tiga orang anak kecil yang bandel dan nakal! Hay Hay juga memandang dengan tersenyum. Dia masih percaya penuh bahwa gadis itu akan mampu melindungi dirinya. Dengan Jiauw-pouw-poan-soan saja, dia percaya gadis itu akan mampu menghindarkan diri dari kepungan tiga batang senjata tajam itu. Apa lagi agaknya gadis itu masih memiliki lain-lain ilmu yang juga amat hebat. Dugaan Hay Hay memang tidak meleset. Tingkat kepandaian Si Pendek Gendut bersama dua orang pembantunya itu masih berselisih jauh di bawah tingkat Ling Ling yang sejak kecil menerima gemblengan ayah bundanya. Ketika Si Pendek Gendut menyerang dengan pedangnya, juga dua orang pembantunya menerjang dengan golok mereka, tiba-tiba saja mereka bertiga itu terkejut karena melihat dara itu menyelinap secepat kilat sehingga hanya nampak bayangan berkelebat tahu-tahu orangnya sudah lenyap. Ketika Si Gendut membalik, ternyata gadis itu sudah berada di belakangnya, berdiri dengan santai dan tersenyum manis! Si Gendut kembali menyerang dengan pedangnya, dibarengi dua temannya yang membacok dengan golok mereka. Melihat pengeroyokan dengan senjata ini, kembali Ling Ling menyelamatkan diri dengan langkah-langkah anehnya. Tubuhnya bergeser ke kanan kiri, memutar, dan dara itu sudah keluar dari kepungan tiga senjata tajam. Melihat betapa di antara ketiga orang lawannya yang paling kuat adalah Si Pendek Gendut, maka dia lalu menyerang dengan totokan jari telunjuk. Cepat sekali jari telunjuknya mencuat dan menotok ke arah pundak Si Gendut Pendek. Totokan ltu cepat bukan main dan tidak mungkin dapat dihindarkan oleh lawan. Itulah Ilmu Thiam-hiat-hoat (menotok jalan darah) yang amat ampuh, yaitu It-sin-ci (Satu Jari Sakti). Begitu pundaknya tersentuh jari telunjuk kiri gadis itu, seketika itu pula Si Pendek Gendut merasa betapa tubuhnya lemas kehilangan tenaga. Pedangnya terlepas lantas tubuhnya terkulai jatuh. Akan tetapi, begitu tubuhnya rebah dia bergulingan dan tak lama kemudian dapat meloncat bangkit kembali sambil menyambar pedangnya yang tadi terlepas. Hal ini mengejutkan hati Ling Ling, juga mengherankan hati Hay Hay. Jelaslah bahwa Si Pendek Gendut itu tadi terkena totokan yang lihai dan melihat dia terkulai, hal itu berarti bahwa totokan itu mengenai sasarannya dengan tepat. Akan tetapi bagaimana mungkin begitu terkulai jatuh, Si Pendek Gendut itu dapat langsung meloncat bangun kembali setelah bergulingan? Baik Hay Hay mau pun Ling Ling belum mengetahui bahwa Kui-kok-pang adalah sebuah perkumpulan golongan sesat yang dulu pernah dipimpin oleh orang-orang berilmu tinggi. Beberapa macam ilmu aneh diturunkan oleh para pimpinan itu, dan Si Pendek Gendut itu ternyata telah pula mewarisi salah satu di antara ilmu-ilmu aneh, yaitu yang disebut Ilmu Kekebalan Trenggiling Besi. Ilmu ini adalah semacam ilmu kekebalan terhadap totokan lawan. Biar pun tadinya tubuh telah terpengaruh totokan lihai, asal tubuh itu bisa rebah di atas tanah, maka akan timbul kekuatan sehigga dia dapat bergulingan dan pengaruh totokan itu pun akan membuyar dengan sendirinya! Kui-kok-pang didirikan oleh sepasang suami isteri yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Si Suami berjuluk Kui-kok Lo-mo dan isterinya Kui-kok Lo-bo, yaitu kakek dan nenek dari Lembah Kui-kok. Mereka selalu berpakaian putih dan muka kedua orang suami isteri ini pun putih seperti muka mayat, dengan mata mencorong. Ilmu kepandaian suami isteri ini hebat bukan main sehingga nama Kui-kok-pang, perkumpulan yang mereka dirikan, amat terkenal di dunia persilatan. Akan tetapi, di dalam kebesarannya suami isteri ini bernasib sial karena bentrok dengan Raja dan Ratu Iblis, dua orang tokoh yang menjadi datuk terbesar di dunia hitam sehingga Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo tewas di tangan Ratu Iblis yang sakti. Kini yang menjadi Ketua Kui-kok-pang adalah Kim San, seorang murid suami isteri itu yang paling banyak mewarisi ilmu kepandaian mereka. Kui-kok-pang lalu bangkit kembali dan kini menyusun kekuatan dengan bekerja sama di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo. Seperti para pembantu lain yang bersekutu di dalam gerombolan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo, para tokoh Kui-kok-pang tak ketinggalan ikut bekerja keras untuk menggembleng anak buah mereka, dan seperti para pembantu lain, juga berkeliaran mencari teman baru untuk ditarik menjadi anggota kelompok mereka untuk memperkuat pasukan yang sedang mereka susun. Si Gendut Pendek bersama beberapa orang anak buahnya juga sedang bertugas mencari teman. Pada saat mereka berkeliaran sampai ke daerah Telaga Cao, dua orang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar, bertemu dengan Ling Ling di tengah jalan yang sepi. Melihat ada seorang dara muda yang cantik melakukan perjalanan seorang diri, tentu saja membangkitkan nafsu kedua orang anggota Kui-kok-pang yang sudah biasa melakukan segala jenis kejahatan itu. Mereka bermaksud menggoda, akan tetapi mereka kecelik dan akibat dari godaan itu, mereka berdua dihajar oleh Ling Ling sehingga mereka terpaksa melarikan diri dalam keadaan babak-belur. Mereka kemudian mengadu kepada pimpinan mereka, yaitu Si Pendek Gendut. Orang ini adalah seorang laki-laki yang lemah terhadap wanita cantik. Mendengar bahwa dua orang anak buahnya baru saja dihajar oleh seorang gadis cantik, hatinya merasa penasaran dan bersama kedua orang anak buahnya itu, dia pun segera mencari gadis itu dan akhirnya dapat menemukan Ling Ling yang sedang bercengkerama dengan Hay Hay. Demikianlah sedikit mengenai Kui-kok-pang. Tidak mengherankan jika Si Pendek Gendut itu mampu membebaskan pengaruh totokan It-sin-ci dari Ling Ling karena kebetulan dia sudah mewarisi satu di antara ilmu-ilmu yang aneh, yang ditinggalkan Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, yaitu Ilmu Kekebalan Trenggiling Besi. Sekarang Si Gendut sudah meloncat bangun dan menyerang lagi, diikuti oleh dua orang pembantunya yang menjadi besar hati ketika melihat betapa suheng mereka tadi biar pun sempat roboh tapi dapat bangkit kembali dengan cepat, dan agaknya hal ini mengejutkan gadis itu yang memandang dengan mata terbelalak. Memang kebangkitan Si Gendut yang tidak tersangka-sangka itu sudah mengejutkan hati Ling Ling, akan tetapi tidak membuatnya menjadi gugup. Begitu melihat ketiga orang itu telah maju menerjangnya lagi, dia cepat menyelinap di antara bayangan tiga buah senjata tajam itu dengan menggunakan langkah-langkah ajaibnya. Setelah membiarkan tiga orang lawannya menyerang sampai empat lima jurus dan melihat kesempatan terbuka, tiba-tiba saja sambil membuat gerakan memutar dalam langkah-langkahnya dia menyerang secara bertubi-tubi ke arah tiga orang lawan itu dengan jurus-jurus cepat dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), salah satu di antara ilmu silat Cin-ling-pai yang halus dan hebat. Terdengar suara teriakan-teriakan ketika tubuh tiga orang itu berturut-turut roboh dan dua batang golok terlepas dari pegangan pemiliknya. Tubuh Si Pendek Gendut itu roboh untuk kedua kalinya. Kembali dia mempergunakan ilmunya Trenggiling Besi, bergulingan lantas melompat bangun. Akan tetapi melihat betapa dua orang pembantunya begitu dapat bangun terus melarikan diri dengan terpincang-pincang, Si Gendut itu pun agaknya sudah kehabisan nyali dan dia pun tanpa banyak cakap lagi langsung memutar tubuh lantas melarikan diri menyusul dua orang anak buahnya! Hay Hay tertawa sambil bertepuk tangan memuji. Dia merasa kagum sekali, bukan hanya karena kelihaian Ling Ling, akan tetapi terutama sekali dia merasa gembira dan kagum karena jelas nampak olehnya betapa di dalam perkelahian tadi Ling Ling sudah mengalah dan sama sekali tidak pernah menggunakan tangan besi. Kalau saja gadis itu menghendaki, dengan mudah dia akan mampu merobohkan mereka bertiga sehingga tidak dapat bangun kembali, tewas atau setidaknya terluka parah. Akan tetapi tidak, gadis itu jelas hanya ingin menundukkan mereka tanpa ingin melukai. Ini saja telah membuktikan bahwa Ling Ling adalah seorang gadis yang mempunyai watak halus, penyabar dan sama sekali tidak kejam. Berbeda dengan banyak pendekar wanita yang ringan tangan dan kadang-kadang terlampau ganas terhadap penjahat. Gadis ini seorang pemaaf besar! "Hebat sekali, Ling-moi! Engkau membuat aku kagum!" kata Hay Hay memuji. Ling Ling tersenyum. "Apanya sih yang patut dipuji? Meski pun aku belum pernah melihat kepandaianmu, tetapi aku berani memastikan bahwa engkau jauh lebih pandai dari pada aku, Hay-ko." "Hemm, dari mana engkau dapat memastikan seperti itu, Adikku yang manis?" "Dari sikapmu, Hay-ko, juga ketika engkau menangkap ikan dengan alat pancingmu tadi. Engkau bersikap sederhana hanya untuk menutupi kelihaianmu, Hay-ko." Hay Hay memandang kagum. "Ling-moi, engkau memang seorang gadis yang luar biasa sekali. Aku masih terheran-heran, dari mana engkau mahir memainkan ilmu langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan itu...?" Kini Ling Ling memandang penuh selidik. "Nah, tak keliru dugaanku. Baru melihat engkau sudah dapat mengenal gerakanku. Betapa tajamnya pandang matamu, Hay-ko. Menurut ayahku, karena ilmu itu merupakan ilmu simpanan maka jarang atau mungkin tidak ada orang yang mengenalnya, namun begitu melihat gerakanku engkau segera mengenalnya. Aku mempelajarinya dari ayahku, Hay-ko. Dan bagaimana engkau dapat mengenal ilmu kami itu?" Akan tetapi Hay Hay tidak menjawab, melainkan memandang dengan mata terbelalak, lalu bertanya lagi, "Apakah nama keluargamu Cia?" Ling Ling mengangguk dengan rasa heran. Bagaimana pula pemuda ini tahu atau dapat menduga tentang nama keluarganya? "Dan ayahmu bernama Cia Sun?" Dara itu bengong, lalu tersenyum. "Wah, ini namanya sudah keterlaluan, Hay-ko. Engkau membuat aku semakin bingung, heran dan penasaran sekali. Engkau dapat mengetahui segalanya mengenai diriku. Apakah engkau menguasai ilmu meramal? Jangan membikin aku bingung keheranan, Hay-ko. Bagaimana engkau dapat menduga demikian tepat?" "Karena ilmu langkah tadilah, Ling-moi. Ketahuilah bahwa ayahmu yang bernama Cia Sun itu adalah suheng-ku." "Ahhh...? Bagaimana mungkin? Ayah tidak pernah bercerita bahwa dia memiliki seorang sute seperti engkau!" "Memang, dia sendiri pun tidak tahu bahwa aku adalah sute-nya." "Tapi... tapi, guru ayahku ada dua. Yang seorang adalah kakekku sendiri..." "Aku tahu, tentu kakekmu, pendekar sakti yang tinggal di Lembah Naga itu, bukan? Akan tetapi yang kumaksudkan tadi adalah gurunya yang berjuluk See-thian Lama atau Go-bi San-jin..." "Jadi..., kalau begitu engkau adalah murid dari Locianpwe itu? Dari Sukong (kakek Guru) Go-bi San-jin?" "Benar, Ling-moi. Karena itu aku segera mengenal ilmu langkahmu tadi. Ayahmu adalah murid Suhu Go-bi San-jin juga, oleh karena itu dia adalah suheng-ku." "Dan engkau adalah paman guruku! Ahh, Susiok (Paman Guru) harap maafkan aku yang tadi bersikap kurang hormat karena belum mengenal Susiok," kata Ling Ling sambil cepat menjura dengan hormat kepada pemuda itu. "Eiiittt, jangan begitu, Ling-moi!" kata Hay Hay. Hay Hay cepat membalas penghormatan gadis itu. "Aku lebih senang jika menjadi kakak dan adik denganmu, seperti sekarang ini. Sebut saja aku Hay-ko seperti tadi, Ling-moi." "Aku tidak berani, Susiok," kata Ling Ling, sikapnya hormat. "Aihh, aku mendadak merasa menjadi tua sekali kalau engkau menyebutku paman guru, Ling-moi. Padahal, usiaku baru dua puluh satu tahun lebih!" Gadis itu menatap wajahnya kemudian berkata, sikapnya sungguh-sungguh namun tetap ramah dan halus. "Susiok, satu di antara pelajaran yang kuterima dari ayahku adalah agar aku menghormati orang tua, dan agar aku selalu mengingat akan tata susila dan sopan santun. Biar pun engkau masih muda dan pantas menjadi kakakku, tetapi kenyataannya engkau adalah adik seperguruan dari ayah. Oleh karena itu maka sudah semestinya dan sepatutnya kalau aku menyebut Susiok kepadamu. Dan harap Susiok jangan menyebut adik kepadaku, karena hal itu tentu akan menjadi bahan tertawaan orang lain." Hay Hay mengerutkan alis. "Aihhh, masa bodoh dengan pandangan dan pendapat orang lain. Ling-moi, engkau terlalu teguh memegang peraturan!" Gadis itu tersenyum, sikapnya tenang dan halus, sedangkan pandangan matanya seperti menggurui. "Susiok, apa akan jadinya dengan manusia kalau tidak memegang peraturan? Hidup tak mungkin dapat bebas dari peraturan, Susiok. Tanpa peraturan, kehidupan akan menjadi bebas dan liar, tanpa batas-batas lagi sehingga tidak akan ada bedanya dengan kehidupan binatang. Maaf, Susiok, sejak kecil ayah mengajarkan kepadaku agar mentaati peraturan, karena itulah aku tidak berani melanggar." Wajah Hay Hay berubah agak merah dan mendadak dia pun tertawa. "Baiklah, Ling Ling. Biarlah aku menyebut namamu begitu saja kalau engkau bertekad menyebut aku Susiok. Memang pendapatmu tadi ada benarnya. Tanpa peraturan maka hidup akan menjadi liar dan kacau. Akan tetapi hidup pun akan menjadi kaku kalau terlalu memegang peraturan. Di dalam segala hal memang dibutuhkan kebijaksanaan, karena hanya kebijaksanaanlah yang akan bisa membuat kita mempertimbangkan mana yang benar, mana yang baik dan mana yang buruk. Baiklah keponakanku yang manis, sekarang ceritakan kepada Paman Gurumu ini, bagaimana engkau, seorang dara remaja, dapat tiba di tempat ini melakukan perjalanan seorang diri. Dan ceritakan pula keadaan Suheng Cia Sun sekeluarganya yang belum pernah kutemui itu." Dengan singkat Ling Ling menceritakan keadaan orang tuanya, betapa ayah dan ibunya tinggal di dusun Ciang-si-bun di sebelah selatan kota raja, hidup sederhana dan bertani. "Aku meninggalkan rumah dengan perkenan ayah dan ibu, Susiok. Aku ingin meluaskan pengalaman dan juga ingin berkunjung ke Cin-ling-pai, karena ibuku adalah murid ketua yang lama dari Cin-ling-pai, ada pun ayahku juga masih keluarga dekat dengan keluarga Cin-ling-pai." Karena urusan di Cin-ling-pai merupakan urusan keluarga, maka Ling Ling tidak bercerita tentang keributan di Cin-ling-pai karena kemunculan Kui Hong, kemudian Hui Lian. Kalau dia menyebut nama kedua orang gadis ini tentu Hay Hay akan terkejut dan girang karena dia sudah mengenal baik kedua orang gadis itu. "Sesudah bertemu keluarga Cin-ling-pai, aku lalu melanjutkan perjalananku dan di tengah perjalanan inilah aku mendengar tentang gerakan persekutuan para tokoh kang-ouw yang dipimpin oleh datuk-datuk sesat dan kabarnya yang telah diangkat menjadi bengcu adalah seorang datuk sesat berjuluk Lam-hai Giam-lo. Kabarnya, persekutuan golongan hitam ini bermaksud hendak mengadakan pemberontakan. Mendengar berita ini, aku merasa yakin bahwa para pendekar tentu akan menentangnya, Susiok. Karena itulah aku bermaksud hendak melakukan penyelidikan di sarang mereka, yaitu di Pegunungan Yunan." Hay Hay mengangguk-angguk gembira. "Wah, sungguh kebetulan sekali. Aku pun sedang menuju ke sana, Ling Ling. Aku pun mendengar akan gerakan itu, bahkan aku mendengar sendiri langsung dari Menteri Yang Ting Hoo." Gadis itu terbelalak. "Kau maksudkan Yang Taijin yang terkenal sebagai seorang menteri yang tiong-sin (setia) itu? Aku pernah mendengar dari ayah bahwa di kota raja terdapat dua orang menteri setia yang bijaksana, yaitu Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Cing. Jadi Susiok ini... utusan pribadi Menteri Yang Ting Hoo? Ah, betapa bangga aku mendengarnya!" Gadis itu memandang dengan wajah berseri, bangga bahwa utusan pribadi seorang yang demikian terkenal bijaksana seperti Menteri Yang ternyata adalah susiok-nya sendiri! Hay Hay tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Memang aku telah bertemu dengan Yang Mulia Menteri Yang Ting Hoo, dan beliau menceritakan semuanya tentang gerakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo itu, juga beliau minta bantuanku agar aku suka melakukan penyelidikan ke Pegunungan Yunan. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku menjadi utusan pribadi beliau, Ling Ling. Aku bukan seorang pejabat pemerintah." "Ah, Susiok terlalu merendahkan diri. Bagaimana pun juga Susiok pernah bercakap-cakap dengan Yang Mulia Menteri Yang Ting Hoo, bahkan telah dimintai tolong untuk membantu pemerintah menentang gerakan itu. Hal ini saja sudah luar biasa sekali sehingga aku ikut merasa gembira. Susiok, kebetulan sekali kita saling berjumpa di sini dan kita memiliki tujuan yang sama. Oleh karena itu dengan gembira aku akan membantu penyelidikanmu, Susiok. Tadinya aku memang meragu dan bingung, apa yang akan kulakukan. Aku belum mengenal tokoh-tokoh pendekar yang mungkin banyak terdapat di daerah Yunan, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan." "Bagus, kita akan bekerja sama, Ling Ling. Kulihat kepandaianmu telah cukup untuk bisa kau pergunakan membela diri, akan tetapi hendaknya engkau berhati-hati sebab menurut keterangan yang sudah kuperoleh, persekutuan itu mempunyai banyak sekali tokoh sesat yang amat lihai sebagai anggota, maka dapat dipastikan bahwa kita akan bertemu dengan lawan-lawan tangguh." "Aku tidak takut, apa lagi ada Susiok di sampingku!" kata gadis itu gembira. Hay Hay tersenyum. Baru sekali ini dia bertemu seorang gadis yang begitu bertemu telah merasa yakin dengan kepandaiannya sehingga sukarlah baginya untuk berpura-pura lagi. Gadis ini memiliki watak yang amat lembut, sabar pemaaf dan sama sekali tidak tinggi hati. "Ling Ling, bagaimana engkau dapat begitu yakin akan kemampuanku?" "Mudah saja, Susiok. Dari caramu menangkap ikan, sikapmu yang ramah serta terbuka. Kemudian, pada saat aku bertanding melawan tiga orang Kui-kok-pang, Susiok diam saja tidak membantu, berarti Susiok sudah tahu bahwa aku akan keluar sebagai pemenang. Semua itu masih diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa Susiok adalah sute dari ayah. Bagaimana aku tidak akan merasa yakin bahwa Susiok mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sekali?" Hay Hay tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh aku beruntung sekali. Tanpa bermimpi lebih dulu, tahu-tahu aku menemukan seorang keponakan yang sudah demikian besar, merupakan seorang gadis yang cantik manis, lembut dan lihai ilmu silatnya, di samping cerdik bukan main." "Wah, Susiok memang amat pandai memuji orang," kata Ling Ling dan mukanya berubah kemerahan, akan tetapi mulutnya tersenyum. Jelas bahwa dia merasa senang sekali dan tanpa disadarinya, semenjak pertemuan pertama tadi gadis ini memang telah tertarik dan jatuh. "Aku memang suka memuji kepada apa yang memang patut dipuji, Ling Ling. Marlah kita melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan saja orang-orang Kui-kok-pang tadi sudah jera dan tidak akan datang mengganggumu lagi. Sebaiknya kita masuk ke kota Wei-ning lebih dulu, untuk makan siang dan membeli makanan kering untuk bekal di perjalanan." Ling Ling setuju dan mereka pun meninggalkan tepi telaga itu, memasuki kota Wei-ning. Sama sekali Hay Hay tidak menyangka bahwa yang mengintai dan mengancam mereka bukanlah orang-orang Kui-kok-pang saja, namun segerombolan orang yang bahkan lebih lihai lagi. Mereka adalah para anak buah Lam-hai Giam-lo yang sudah bergabung dengan orang-orang Kui-kok-pang yang juga merupakan rekan mereka, dan di antara mereka itu terdapat orang-orang Pek-lian-kauw, juga Min-san Mo-ko, Ji Sun Bi, dan Sim Ki Liong! Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi merasa jeri sesudah mereka melihat bahwa pemuda yang mengalahkan orang-orang Pek-lian-kauw itu ternyata adalah Hay Hay yang mereka tahu sangat lihai itu. Maka mereka cepat mengundang Sim Ki Liong untuk membantu mereka. Dan kini, pemuda murid Pendekar Sadis itu sudah muncul dan bersama teman-temannya sudah melakukan pengintaian ketika Hay Hay berjalan memasuki kota Wei-ning bersama seorang gadis yang telah menghajar para anggota Kui-kok-pang itu. Sim Ki Liong adalah seorang pemuda yang cerdik bukan kepalang. Dari hasil penyelidikan mata-mata yang disebar oleh Lam-hai Giam-lo, dia tahu bahwa kini di daerah Wei-ning telah banyak berdatangan orang-orang gagah, pendekar-pendekar yang sikapnya sangat mencurigakan. Dia sudah menduga bahwa tentang kemunculan para pendekar ini sedikit banyak ada hubungannya dengan gerakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo, sungguh pun belum ada pendekar yag secara berterang memusuhi mereka. Terutama sekali di kota Wei-ning, dia melihat banyak sekali berkeliaran orang-orang yang dari sikap serta pakaian mereka yang aneh-aneh mudah diduga bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Karena itu dia tidak setuju ketika teman-temannya bermaksud menyerbu pemuda yang oleh Min-san Mo-ko dikatakan bernama Hay Hay dan kabarnya amat lihai itu. Apa lagi sesudah melihat betapa pemuda itu kini bergabung dengan gadis yang menurut laporan para anggota Kui-kok-pang juga amat lihai. "Kita tidak boleh turun tangan secara gegabah," katanya kepada Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko. "Bukan aku takut menghadapi mereka berdua. Dengan kekuatan kita sekarang, kiranya kita akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi harus diingat bahwa di kota Wei-ning kini terdapat banyak orang aneh yang mungkin saja tidak akan membiarkan kita bergerak. Jangan sampai kita membangunkan macan-macan tidur hanya karena urusan kedua bocah itu. Dan bukankah bengcu kita sudah berpesan bahwa sebaiknya membujuk orang-orang pandai untuk bergabung lebih dulu sebelum turun tangan?" "Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, Sim-kongcu?" Sim Ki Liong memang disebut kongcu (tuan muda) atau juga taihiap (pendekar besar) oleh para pembantu Lam-hai Giam-lo karena pembawaannya yang halus dan berpakaian rapi laksana seorang pelajar, juga karena semua orang tahu betapa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. "Harap kalian bersembunyi saja sambil bersiap menanti tanda dariku. Aku akan mencoba untuk menghubungi mereka secara baik-baik. Siapa tahu aku akan berhasil membujuk mereka, atau setidaknya memancing mereka agar keluar kota. Kalau sudah berada di luar kota, di tempat sepi, barulah kita boleh turun tangan terhadap mereka, kalau mereka tidak mau kubujuk untuk bekerja sama." "Akan tetapi hati-hatilah, Kongcu. Pemuda yang bernama Hay Hay itu memiliki ilmu silat yang amat lihai," Ji Sun Bi memesan. "Juga hati-hati terhadap ilmu sihirnya. Selain ilmu silat yang lihai, juga kekuatan sihirnya berbahaya sekali," sambung Min-san Mo-ko dan para pendeta Pek-lian-kauw yang sudah merasakan kekuatan sihir pemuda itu, mengangguk membenarkan. "Jangan khawatir, aku dapat menjaga diri," kata Ki Liong dengan bangga terhadap dirinya sendiri. Mereka lalu berpencar dan Ki Liong memasuki kota Wei-ning seorang diri, dengan gaya seorang pelajar tinggi yang sedang melancong. Memang, kalau dilihat dari pakaian, wajah dan sikapnya, maka takkan ada seorang pun yang menyangka bahwa pemuda ini adalah tangan kanan dari pimpinan persekutuan kaum sesat. Dia lebih pantas menjadi seorang tuan muda bangsawan kaya raya dan terpelajar, atau seorang pendekar muda yang halus dan sopan gerak-geriknya. Namun di balik kehalusan ini, dari sepasang matanya berkilat sinar yang membayangkan kecerdikannya ketika Ki Liong dari jarak yang cukup aman dan jauh membayangi pemuda dan gadis yang berjalan seenaknya memasuki kota Wei-ning itu. Hay Hay dan Ling Ling sama sekali tidak mengira bahwa mereka sedang dibayangi orang dari jauh, malah dari jarak yang lebih jauh lagi, lebih banyak lagi orang yang membayangi mereka dalam keadaan berpencaran, yaitu Min-san Mo-ko Ji Sun Bi, dan masih banyak lagi orang-orang lihai yang menjadi kaki tangan persekutuan di Pegunungan Yunan itu. Hay Hay mengajak Ling Ling memasuki rumah makan merangkap penginapan Ban Lok di mana dia pernah makan dan masakan di restoran itu sangat lezat. Mereka masuk dan ternyata rumah makan itu penuh sekali. Untung masih ada sebuah meja kosong di sudut belakang. Pelayan lalu mempersilakan mereka duduk menghadapi meja kosong itu dan Hay Hay memesan beberapa macam masakan dan nasi putih, juga anggur dan air teh. Ki Liong yang cerdik melihat kesempatan baik sekali. Sekelebatan saja dia sudah melihat bahwa restoran itu penuh. Memang ada beberapa buah meja di mana hanya duduk dua atau tiga orang, akan tetapi dengan sengaja, walau pun nampaknya tidak, dia berjalan di antara meja-meja itu sambil matanya mencari-cari tempat kosong. Seorang pelayan menyambutnya dan dengan sikap menyesal pelayan itu berkata, "Maaf, Kongcu. Tempatnya penuh, kalau Kongcu suka menanti sebentar di depan..."




PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 35 :
Pada saat itu Ki Liong sudah berdiri di dekat meja Hay Hay yang tentu saja melihat dan mendengar ucapan pelayan itu. Seperti tak disengaja, Ki Liong menoleh dan memandang ke arah meja Hay Hay. Di situ masih terdapat dua buah bangku kosong, karena meja kecil itu biasanya diperuntukkan empat orang, berbeda dengan meja besar yang biasa dipakai delapan sampai sepuluh orang. "Ahhh, perutku sudah lapar sekali. Sejak kemarin siang aku belum makan, dan sekarang tempat sudah penuh!" Dia lalu memandang kepada Hay Hay dan Ling Ling, dengan sikap sopan sekali dia lalu melangkah maju dan bersoja sambil membungkuk kepada Hay Hay dan Ling Ling. "Harap Ji-wi (Kalian) sudi memaafkan jika saya mengganggu. Kalau sekiranya Ji-wi tidak keberatan, bolehkah saya menumpang di meja ini untuk makan? Kalau Ji-wi keberatan, tidak mengapalah..." Melihat pemuda tampan berpakaian rapi yang bersikap demikian ramah dan sopan, tentu saja Hay Hay dan Ling Ling merasa suka sehingga mereka pun cepat bangkit membalas penghormatan pemuda itu. Ling Ling lantas memandang kepada Hay Hay seolah hendak menyerahkan keputusannya kepada susiok-nya itu. Hay Hay tersenyum ramah. "Ahh, kita sama-sama merupakan tamu di restoran ini. Kalau Saudara suka, tentu saja boleh duduk bersama kami di meja ini. Silakan!" "Terima kasih, terima kasih... ahh, Ji-wi sungguh baik sekali, tepat seperti apa yang saya duga. Ehh, Bung, tolong hidangkan semangkok nasi putih dan buatkan dua tiga macam masakan sayuran. Ingat, tidak memakai daging, ya? Saya sedang Ciak-jai (makan sayur, pantang daging). Dan air teh saja untuk minumku," sambungnya kepada pelayan itu yang segera mengangguk dan meninggalkan meja mereka. Mendengar pemuda yang tampan itu tidak makan daging, Hay Hay dan Ling Ling memandang heran. Mereka saling pandang sambil tersenyum. Begitu pandang mata Ki Liong bertemu dengan Ling Ling, gadis ini segera menundukkan mukanya dan sepasang pipinya menjadi agak kemerahan. Dia menemukan sesuatu pada pandang mata itu, sesuatu yang membuatnya merasa sungkan dan malu. Dia melihat betapa pandang mata pemuda itu dengan lembut menuju ke arah dadanya, dan ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu seolah-olah meraba-raba tubuhnya! "Ah, agaknya Saudara tidak suka makan barang berjiwa?" Hay Hay bertanya, iseng saja karena tidak tahu apa yang harus dikatakan terhadap orang yang menumpang di mejanya itu. Ki Liong tersenyum. "Tidak demikian, Saudara yang baik. Biasanya saya makan apa saja, juga daging, akan tetapi hari ini tidak karena hari ini merupakan hari dan tanggal kematian ayahku, sembilan belas tahun yang lalu." "Ahhh..." diam-diam Hay Hay merasa kagum sekali. Ayah orang ini sudah sembilan belas tahun meninggal dunia, akan tetapi agaknya setiap tahun masih selalu diperingati oleh pemuda ini sebagai hari berkabung sehingga dia tidak makan barang berjiwa untuk mengenang dan berkabung atas kematian ayahnya. Sungguh seorang pemuda yang berbakti! Dan memang kesan inilah yang dikehendaki oleh Ki Liong ketika dia berbohong dan berpura-pura ciak-jai untuk mengenang kematian ayahnya. "Maaf, bukan maksudku untuk mengetahui keadaan hidupmu, Saudara. Akan tetapi hatiku tertarik sekali. Kalau begitu, agaknya engkau masih kecil sekali ketika ayahmu meninggal dunia," kata Hay Hay. Ki Liong mengangguk sambil tersenyum. "Tidak apa-apa, Saudara. Keramahan Ji-wi yang sudah menerimaku duduk di sini membuktikan bahwa Ji-wi berhati baik dan berarti bahwa kita sudah saling bersahabat, bukan? Memang saya masih kecil sekali ketika ayah saya meninggal, saya baru berusia satu tahun. Maaf, setelah Ji-wi begitu baik menerima saya di meja ini, maukah Ji-wi menerima saya sebagai kenalan? Saya bernama Sim Ki Liong, dan bolehkah saya mengenal nama Ji-wi yang terhormat?" Inilah kesalahan Ki Liong. Dia memperkenalkan namanya tanpa ragu karena dia merasa yakin bahwa kedua orang muda di depannya itu belum pernah mendengar namanya dan tidak mengenalnya. Ki Liong sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa Hay Hay pernah mendengar nama ini dari Kui Hong! Mendengar nama 'Ki Liong', diam-diam Hay Hay merasa terkejut walau pun kemudian dia meragu karena dahulu Kui Hong memberi tahu kepadanya bahwa murid Pendekar Sadis dan isterinya mempunyai nama keturunan Ciang, bukan Sim! Apakah kebetulan namanya saja sama, pikirnya. "Ahh, engkau sungguh baik sekali, Saudara Sim. Ketahuilah bahwa saya Hay Hay dan dia ini bernama Ling Ling," Hay Hay memperkenalkan diri dan gadis itu. Dengan sikap sopan Ki Liong tersenyum sambil memandang kepada mereka bergantian. "Maaf, walau pun nama Ji-wi itu indah sekali, tetapi agaknya Saudara lupa menyebutkan nama keluarga Ji-wi yang mulia." Karena tadi pemuda itu juga sudah menyebutkan nama keluarganya, nama keluarga yang membuat dirinya menduga-duga apakah pemuda ini adalah murid Pendekar Sadis seperti yang dimaksudkan Kui Hong atau bukan, terpaksa Hay Hay memperkenalkan pula nama keluarganya. "Nama keluarga saya adalah Tang, dan dia ini... ehh, Ling Ling, aku lupa lagi, siapa nama keluargamu?" Hay Hay berpura-pura, bermaksud hendak menyerahkan kepada Ling Ling sendiri apakah mau mengakui nama keluarganya atau tidak karena bagaimana pun juga, nama keluarga Cia sudah terkenal di kalangan kang-ouw dan dapat segera menimbulkan dugaan orang bahwa ada hubungan antara gadis ini dengan keluarga Cia di Cin-ling-pai. Ling Ling adalah seorang gadis yang lembut dan jujur, tanpa prasangka, maka meski pun sinar mata pemuda yang baru dikenalnya itu tak menyamankan hatinya, dia memandang Hay Hay dengan heran ketika mendengar pertanyaan pemuda ini. "Susiok, sungguh heran sekali. Apakah Susiok sudah lupa lagi dengan nama keluargaku? Aku she (bernama keluarga) Cia!" "Aihh, ternyata Ji-wi adalah seorang susiok dan murid keponakannya? Kalau begitu, Ji-wi adalah dua orang pendekar!" Ki Liong berseru. Hay Hay tersenyum. "Kami hanyalah orang-orang biasa, dan maaf, saya tadi lupa nama keluarganya karena meski pun kami masih paman dan keponakan, namun baru pagi tadi kami saling berjumpa." Kini Hay Hay tertawa, tidak khawatir lagi karena Ling Ling sudah berterus terang. "Akan tetapi jangan menyangka bahwa kami adalah pendekar!" Kemudian disambungnya, seperti sambil lalu saja, "Saudara Sim menyangka kami adalah pendekar, apakah Saudara sendiri juga seorang ahli silat yang lihai?" Ki Liong tertawa dan nampak wajahnya semakin tampan menarik ketika dia tertawa, dan sepasang matanya yang jernih dan tajam itu menyambar ke arah Ling Ling. Kembali gadis ini merasa betapa sinar mata itu memandang kepadanya tidak sewajarnya, maka dia pun cepat menundukkan pandang matanya. "Ha-ha-ha, saya ingin berterus terang saja. Memang saya pernah mempelajari ilmu silat, akan tetapi hanya iseng-iseng saja dan sama sekali tidak dapat dikata bahwa saya lihai." Pada saat itu pula dua orang pelayan datang membawa pesanan makanan dan minuman mereka. Agaknya karena ketiga orang itu duduk semeja, maka pesanan Hay Hay dan Ki Liong dikeluarkan berbareng. Ki Liong menghadapi nasi dan tiga mangkok masakan sayur tanpa daging, sedangkan Hay Hay dan Ling Ling menghadapi nasi dengan lima macam masakan. Hay Hay menawarkan anggurnya, akan tetapi Ki Liong menolak dengan halus. "Hari ini hanya sayuran dan air teh saja untuk saya," katanya, kemudian dia melanjutkan, "Sebelum kita mulai makan, saya ingin menghaturkan rasa terima kasih dan hormat saya kepada Ji-wi dengan air teh di poci saya. Harap Ji-wi suka menerimanya!" Tanpa memberi kesempatan kepada dua orang itu untuk menjawab, Ki Liong sudah mengambil cawan di depan Hay Hay kemudian menuangkan poci di tangan kanannya ke dalam cawan yang dipegang di tangan kirinya. Sambil tersenyum Hay Hay memandang, akan tetapi senyumnya segera lenyap sesudah dia melihat betapa cawannya yang dipegang oleh tangan kiri Ki Liong sudah penuh akan tetapi teh dari poci itu masih di tuang terus! Kini cawan itu terlalu penuh, akan tetapi air teh itu tak sampai meluber, seolah-olah tertahan oleh sesuatu dan air teh itu berada lebih tinggi dari pada bibir cawan, membulat seperti telur yang bergoyang-goyang! "Silakan, Saudara Tang!" kata Ki Liong sambil menyodorkan cawan itu kepada Hay Hay. Hay Hay tersenyum lagi dan sekarang makin keras dugaannya bahwa pemuda inilah yang dimaksudkan Kui Hong, yaitu murid dari Pendekar Sadis. Pemuda ini telah menunjukkan kepandaiannya, mempergunakan sinkang-nya (hawa sakti) untuk menahan air teh di atas cawan itu sehingga tidak sampai meluber dan tumpah. Kalau penerimanya tidak memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat, ketika menerima cawan itu tentu air tehnya yang terlalu penuh melebihi ukuran itu akan tumpah. "Saudara Sim, engkau sungguh terlalu sungkan!" katanya sambil menerima cawan yang penuh air teh itu sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya. "Aihh, air tehmu masih panas!" katanya tersenyum. Saat Ki Liong memandang, dia merasa kagum sekali. Bukan saja air teh itu tidak meluber dan tumpah, bahkan kini air teh itu mengepulkan uap karena panas! Padahal, biar pun air teh itu masih hangat, namun ketika dia menuangkan ke dalam cawan tidak mengeluarkan uap panas! Maka tahulah dia bahwa benar seperti laporan Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko, pemuda ini benar-benar lihai sekali, dan dia harus berhati-hati menghadapinya. Dia tersenyum kagum melihat Hay Hay minum air teh dalam cawan itu sampai habis. "Sekarang harap Nona sudi menerima penghormatan saya dengan secawan air teh," kata Ki Liong sambil menuangkan poci air teh itu ke dalam cawan yang diambilnya dari depan gadis itu. Seperti tadi, sekali ini dia juga menyodorkan cawan yang terlalu penuh terisi air teh. "Terima kasih!" kata Ling Ling dan dengan sikap tenang, Ia pun menerima cawan itu sambil mengerahkan tenaganya. Dan ternyata air teh itu sama sekali tidak meluber atau tumpah, bahkan pada saat gadis itu mengangkat cawannya dan menuangkan isinya ke mulut, air teh itu tidak dapat turun atau tumpah, tetap melekat pada cawan seolah-olah sudah berubah membeku dan melekat pada cawannya!" "Aih, air tehmu membeku dan biarlah dikembalikan ke poci agar mencair lebih dulu!" kata Ling Ling dan dengan tenang dia membuka tutup poci air teh Ki Liong lalu menuangkan isi cawannya ke dalam poci. Demikianlah, sambil mendemonstrasikan kepandaiannya, gadis itu secara halus menolak pemberian air teh oleh pemuda itu! Melihat ini Ki Liong yang cerdik segera bangkit berdiri dan bersoja dengan hormat. "Aihh, sungguh saya bermata akan tetapi seperti buta, tidak melihat bahwa saya berhadapan dengan dua orang yang memiliki kesaktian!" "Saudara Sim, kiranya ini bukan tempat yang tepat bagi kita untuk bersungkan-sungkan!" kata Hay Hay. Pemuda ini berbicara dengan lirih sehingga tidak terdengar oleh para tamu lainnya. Ki Liong mengangguk. "Saudara Tang benar, sekarang mari kita makan hidangan kita dan nanti saja kita bicara di tempat yang lebih layak." Mereka bertiga lalu mulai makan minum dan tidak banyak cakap lagi. Diam-diam Hay Hay merasa hampir yakin bahwa tentu pemuda ini adalah murid Pendekar Sadis itu dan dia menduga-duga apa hubunganya pemuda ini dengan gerakan para tokoh sesat. Dan apa pula maksud pemuda ini menghubungi dia dan Ling Ling, karena dia tidak percaya bahwa pertemuan ini hanya suatu kebetulan saja. Lebih tepat kalau semua ini telah direncanakan orang! Akan tetapi apa maksudnya? Bagaimana pun juga dia harus bersikap hati-hati karena maklum bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Bukan hanya ilmu silatnya yang tinggi, namun mungkin sekali juga amat cerdik dan sikapnya ini merupakan satu di antara siasat yang cerdik. Dia tidak perlu mengisyaratkan Ling Ling untuk berhati-hati, karena penolakan suguhan air teh tadi saja sudah menunjukkan bahwa Ling Ling telah bersikap hati-hati sekali dan tidak mau minum air teh yang disuguhkan berarti bahwa gadis itu tidak begitu percaya kepada pemuda itu. Tiga orang muda itu sama sekali tidak tahu bahwa ada sepasang mata secara diam-diam mengamati mereka dari sudut lain ruangan rumah makan itu. Sepasang mata ini adalah milik seorang laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, seorang laki-laki yang gagah perkasa, dengan tubuh yang sedang namun padat dan tegak, nampak kuat. Pakaiannya sederhana namun rapi dan wajahnya mengandung wibawa. Wajah itu tampak gagah, dengan kumis dan jenggot yang terpelihara secara baik. Wajahnya berkulit segar kemerahan, sepasang matanya bersinar tajam dan lincah membayangkan kecerdikan dan keberanian. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum penuh kejantanan dan daya pikat. Dagunya yang persegi menambah kegagahannya. Sejak tadi secara diam-diam pria ini mengamati tiga orang muda itu dan ketika Ki Liong menawarkan minuman dari poci, matanya yang tajam itu mengeluarkan sinar dan bibirnya yang dibayangi senyum itu bergerak memperlebar senyumnya, bahkan dia mengangguk-angguk seorang diri sambil minum araknya. Sekarang Hay Hay, Ling Ling, dan Ki Liong sudah selesai makan. "Saya mempunyai urusan penting untuk dibicarakan dengan Ji-wi, akan tetapi tentu saja tidak di tempat ini. Maukah Ji-wi menemui saya di luar pintu gerbang kota sebelah barat? Atau sekarang juga ikut dengan saya ke sana agar kita lebih leluasa bicara?" Sim Ki Liong menjadi pembicara pertama setelah mereka selesai makan. "Kalau memang ada keperluan penting, baiklah Saudara Sim, kami akan menemuimu di sana. Berangkatlah dulu, kami masih ada urusan lain dan sebentar lagi kami menyusul," kata Hay Hay sebelum Ling Ling yang sudah mengerutkan alisnya itu sempat menolak. "Terima kasih, Saudara Tang dan Nona Cia," kata Ki Liong, lantas pemuda ini cepat-cepat pergi meninggalkan mereka, agaknya merasa khawatir kalau-kalau Hay Hay akan menarik kembali kesanggupannya. Setelah Ki Liong pergi, Ling Ling yang berjalan keluar setelah Hay Hay membayar harga makanan mereka, segera menegur Hay Hay. "Susiok, kenapa kita harus melayani orang itu? Kita baru saja berkenalan dengan dia, kita tidak tahu dia itu orang macam apa. Terus terang saja, ada sesuatu pada pandang matanya yang membuat aku merasa curiga dan tidak suka." "Justru itulah, Ling Ling. Aku pun curiga melihat bahwa dia seorang yang berilmu tinggi. Tapi kalau dugaanku benar, kalau dia itu merupakan seorang di antara tokoh sesat yang mengadakan gerakan, justru kebetulan sekali! Ketika makan tadi aku telah mendapatkan sebuah siasat yang baik sekali." Mendengar ucapan ini, hilanglah rasa penasaran yang tadi membayang pada wajah gadis itu. "Bagaimana siasat itu, Susiok?" "Agaknya dia ingin menghubungi kita dan kalau benar dia tokoh pergerakan, agaknya dia hendak membujuk kita untuk bersekutu. Nah, kesempatan ini akan kugunakan sebaiknya. Aku akan pura-pura setuju sehingga dengan demikian aku akan dapat memasuki sarang mereka dengan mudah. Jika aku diterima sebagai kawan, tentu dengan mudah aku akan dapat menyelidiki keadaan mereka dari dalam." Gadis itu membelalakkan matanya, memandang penuh khawatir. Melihat sepasang mata itu terbelalak indah bagaikan bintang kembar bercahaya, Hay Hay menjadi kagum. "Ahh, matamu indah sekali, Ling Ling!" katanya. Ling Ling mengerutkan sepasang alisnya dan kedua pipinya berubah merah, akan tetapi dia tidak marah, bahkan tersenyum malu. "Ihh, Susiok. Orang bicara dengan serius malah ditanggapi dengan senda-gurau!" "Aku tidak bergurau, Ling Ling. Memang matamu tadi nampak indah bukan main. Jangan engkau khawatir, jika aku dapat melakukan penyelidikan dari dalam berarti tugasku akan lebih berhasil." "Tapi... tapi... masuk ke dalam sarang mereka? Sungguh berbahaya sekali, Susiok!" "Aku dapat membela diri, Ling Ling. Akan tetapi engkau tidak perlu ikut masuk ke sarang mereka. Engkau menyelidiki dari luar saja. Coba engkau mengadakan hubungan dengan para pendekar yang aku yakin banyak terdapat di sekitar daerah ini." "Tapi... tapi, bagaimana nanti kita akan dapat saling bertemu lagi, Susiok? Kalau engkau hendak masuk ke sarang mereka, biar aku ikut. Aku pun tidak takut!" "Ah, jangan, Ling Ling. Biar aku saja. Begini sajalah, dalam waktu tiga hari, aku pasti akan mencarimu di tepi telaga itu. Tempat itu menjadi tempat pertemuan kita... ssttt," Hay Hay memberi isyarat dan cepat menghentikan kata-katanya ketika seorang laki-laki lewat di dekat mereka. Lelaki setengah tua yang ganteng dan gagah, yang tadi memperhatikan mereka di dalam rumah makan. Akan tetapi orang itu lewat begitu saja, sambil menunduk dan sama sekali tidak melirik ke arah mereka sehingga baik Hay Hay mau pun Ling Ling sama sekali tidak menaruh curiga karena di depan restoran itu memang merupakan jalan raya di mana terdapat lalu lintas yang cukup ramai. "Nah, kiranya cukup pesanku, Ling Ling. Lagi pula semua itu hanya kalau dugaanku benar bahwa dia mempunyai hubungan dengan persekutuan itu. Jika tidak, tentu saja akan lain lagi jadinya. Kita lihat saja nanti. Hayo, kita menuju ke pintu gerbang sebelah barat." Kemudian dua orang muda itu berangkat, tidak tahu betapa sepasang mata yang tajam mengikuti mereka. Laki-laki setengah tua tadi tersenyum sambil mengelus jenggotnya, lalu dia membayangi dari jauh, menuju ke pintu gerbang sebelah barat. Hay Hay dan Ling Ling melangkah dengan seenaknya menuju ke pintu gerbang sebelah barat. Tiba-tiba Hay Hay menyentuh tangan Ling Ling dan berbisik sampai menoleh, "Ling Ling, engkau jangan menengok dan tetap berjalan biasa saja. Di belakang kita terdapat tujuh orang yang mencurigakan, agaknya mereka membayangi kita." Ling Ling mengangguk dan jantungnya berdebar. Sebagai seorang gadis yang baru saja meninggalkan tempat tinggal orang tuanya untuk merantau, memang sudah beberapa kali dia menghadapi gangguan dan selalu dapat mengatasinya. Akan tetapi baru sekarang dia menyadari bahwa dia berada di daerah yang berbahaya, di mana terdapat banyak orang pandai yang belum dikenalnya dan tidak diketahuinya apakah mereka itu kawan ataukah lawan. Keadaan pemuda bernama Sim Ki Liong itu saja sudah menimbulkan banyak kecurigaan dan rahasia, dan sekarang sebelum rahasia itu terpecahkan telah muncul lagi tujuh orang membayangi mereka! Dia ingin sekali melihat siapakah mereka, orang-orang macam apa, akan tetapi dia tidak boleh menengok ke belakang. Mendadak sapu tangan yang tadi dipegang oleh tangan kiri gadis itu terlepas, lalu dengan gerakan seperti tanpa disengaja dia pun membungkuk dan berjongkok mengambil sapu tangannya. Kesempatan ini dipergunakannya untuk melirik ke belakang dan sekejap saja cukuplah baginya. Nampak enam orang yang berpakaian ringkas dipimpin oleh seorang yang berpakaian tosu (Pendeta To!) Hay Hay tersenyum geli. Tentu saja dia maklum kenapa sapu tangan Ling Ling terjatuh. Cerdik juga gadis ini, pikirnya. Memang sangat tidak enak kalau mengerti bahwa dirinya dibayangi orang akan tetapi tidak boleh melihat siapa orang itu. Tadi pun dia tidak sengaja menoleh dan melihat mereka. Ketika mereka keluar dari pintu gerbang, dari tempat itu sudah kelihatan seorang pemuda berdiri di tempat agak jauh, tempat yang sunyi karena keluar dari pintu gerbang barat itu yang nampak hanya hutan-hutan pegunungan. Hanya sedikit orang yang lewat, dan kalau pun ada, mereka itu adalah orang-orang suku bangsa Hui dan Miao. Dua suku bangsa ini mudah saja dikenalnya dari pakaian mereka. Orang suku bangsa Hui selalu memakai sorban dari kain putih yang dibelit-belitkan di kepalanya, pikirnya. Mereka adalah orang-orang beragama Islam. Orang-orang suku bangsa Hui ini terkenal sebagai peternak-peternak, terutama kambing, penjagal dan juga pandai masak sehingga banyak di antara mereka membuka rumah makan di kota-kota. Sebenarnya orang-orang Hui merupakan orang-orang Han juga. Perbedaannya di antara mereka adalah bahwa orang Hui beragama Islam sedangkan orang Han memiliki banyak macam agama, terutama sekali mereka menjadi penganut Agama Buddha, Khong-hucu, dan Tao, biar pun ada pula sejumlah kecil orang Han yang menjadi pengikut Agama Islam atau Kristen. Sedangkan suku bangsa Miao mudah dikenal dari pakaian mereka yang serba hitam dan orang-orangnya yang pendiam dan kasar. Kaum wanitanya memakai anting-anting yang khas, berbentuk gelang yang besar sehingga daun telinga mereka tertarik ke bawah dan memanjang. Suku bangsa Miao yang terdesak oleh orang-orang Han itu kini banyak hidup di daerah pegunungan bagian selatan, bercocok tanam dan juga berternak, dan mereka pun terkenal sebagai pemburu yang pandai. Dengan langkah seenaknya tanpa tergesa-gesa, Hay Hay dan Ling Ling terus melangkah keluar dari pintu gerbang menuju ke arah pemuda yang telah berdiri menanti mereka itu. Diam-diam Hay Hay mengerling ke arah belakang sambil menengok ke kiri seakan-akan bicara dengan Ling Ling dan dia melihat betapa tujuh orang itu telah tiba di pintu gerbang pula, kemudian mereka menyelinap ke kiri dan lenyap di dalam hutan kecil. Ki Liong segera menyambut mereka dengan senyum ramah. "Terima kasih, ternyata Ji-wi memenuhi janji dengan cepatnya. Marilah, Ji-wi, kita memasuki hutan ini agar percakapan kita tidak terganggu, karena di jalan ini ada saja orang yang lewat." Tanpa menanti jawaban, Ki Liong melangkah memasuki hutan, diikuti oleh Hay Hay dan Ling Ling yang masih mengerutkan alisnya karena bagaimana pun juga gadis ini sama sekali tidak percaya akan itikad baik pemuda kenalan baru itu. Akhirnya Ki Liong berhenti di bawah sebatang pohon besar. Memang tempat itu tampak enak untuk bercakap-cakap. Tempatnya teduh, terlindung dari terik matahari siang, dan di atas tanah terhampar permadani hijau dari rumput tebal yang segar. Akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah menjadi bangku-bangku yang enak diduduki. Mereka bertiga duduk di atas akar pohon, saling berhadapan. "Maafkan kalau saya bersikap seperti ini, karena Ji-wi jluga maklum bahwa untuk dapat membicarakan urusan penting, kita harus mencari tempat yang sunyi agar tidak terdengar orang lain." "Saudara Sim, kini kami telah datang memenuhi undanganmu. Nah, katakanlah apa yang ingin kau bicarakan dengan kami?" kata Hay Hay sambil memandang tajam penuh selidik ke arah wajah yang tampan dan penuh senyum manis dan kelembutan itu. Sim Ki Liong memandang Hay Hay dan Ling Ling. Dia kelihatan agak gelisah, tampaknya sukar baginya untuk menyatakan kehendak hatinya. Kemudian dia baru berkata dengan suara yang lembut, "Begitu bertemu dengan Ji-wi, hati saya sudah amat tertarik. Apa lagi setelah mendapat keyakinan bahwa Ji-wi memiliki ilmu kepandaian tinggi, saya merasa kagum bukan main. Sebab itu timbullah rasa sayang dan alangkah penasaran rasa hati ini melihat Ji-wi tetap menjadi orang biasa saja, padahal orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian seperti Ji-wi ini sepatutnya menduduki pangkat yang tinggi dan kemuliaan." "Kami tidak mengerti apa maksudmu, Saudara Sim," kata Hay Hay, berpura-pura karena hatinya berdebar tegang melihat betapa tepatnya apa yang diduganya semula. "Maksudku, Ji-wi pantas sekali untuk menjabat pangkat tinggi di kerajaan, sesuai dengan kepandaian Ji-wi." Hay Hay dan Ling Ling bertukar pandang, kemudian Hay Hay tertawa. "Ha-ha-ha, harap engkau tidak main-main, Saudara Sim! Mana mungkin orang seperti kami dapat menjabat pangkat tinggi?" "Kenapa tidak mungkin? Memang, pemerintah sekarang hanya memilih orang-orang yang menjadi antek mereka! Kedudukan tinggi diberikan kepada orang-orang yang tidak becus dan jahat! Karena itu saya mengajak Ji-wi untuk bekerja sama dengan kami yang sedang mempersiapkan perjuangan." Tiba-tiba Sim Ki Liong berhenti bicara dan menoleh ke kiri. Hay Hay dan Ling Ling juga sudah mendengar suara jejak kaki dari arah kiri. Tiba-tiba saja, dengan berloncatan muncullah tujuh orang laki-laki setengah tua, dipimpin oleh seorang di antara mereka, yaitu seorang tosu yang berjubah kuning dan memegang sebatang tongkat yang setinggi tubuhnya. Tosu ini berusia lima puluh tahunan, wajahnya angker dan berwibawa, sedangkan enam orang lainnya adalah orang-orang berusia antara empat puluh tahun dan di punggung mereka terdapat sebatang pedang bersarung. Sikap mereka juga kereng dan berwibawa. Tiba-tiba tosu itu menudingkan tongkat panjangnya ke arah Hay Hay sambil membentak. "Ang-hong-cu! Menyerahlah engkau sebelum pinto terpaksa menggunakan kekerasan!" Hay Hay sangat terkejut mendengar seruan itu. Juga Sim Ki Liong memandang dengan heran dan jelas terlihat betapa dia terkejut dan kini memandang kepada Hay Hay dengan mata penuh selidik. Tak diduganya bahwa pemuda lihai ini ternyata adalah Ang-hong-cu! Tentu saja Ki Liong sudah mendengar nama Ang-hong-cu ini, nama seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita) yang amat tersohor akan tetapi yang belum pernah diketahui bagaimana wajahnya itu! Gerak-gerik jai-hwa-cat itu penuh rahasia sehingga kabarnya selama ini banyak pendekar yang gagal pada saat berusaha menangkapnya. Kabarnya lihai seperti setan dan kiranya pemuda ini orangnya! Juga Ling Ling memandang kepada Hay Hay dengan alis berkerut. Susiok-nya ini adalah Ang-hong-cu? Dia pun sudah mendengar berita tentang penjahat pemerkosa wanita yang amat keji itu, akan tetapi sungguh sukar dapat dipercaya bahwa susiok-nya ini orangnya! Hay Hay sendiri bersikap tenang. "Totiang, harap totiang jangan sembarangan saja menuduh orang. Siapakah Totiang dan apa sebabnya Totiang begitu datang lalu menyebut aku Ang-hong-cu dan minta agar aku menyerah? Apa artinya semua ini?" "Hemm, engkau masih mencoba untuk berpura-pura alim? Ang-hong-cu, ketahuilah bahwa pinto adalah Tiong Gi Cinjin, wakil Ketua Bu-tong-pai sedangkan mereka adalah Bu-tong Liok-eng, murid-murid keponakan pinto. Nah, setelah kami memperkenalkan diri, tidakkah sepatutnya kalau engkau segera berlutut menyerahkan diri, Ang-hong-cu?" Tosu itu lantas berkata lagi, agaknya ingin menyelesaikan urusan itu dengan jalan damai, "Kami hendak menghadapkan engkau kepada ketua kami agar beliau sendiri bisa mengambil keputusan mengenai hukuman atas dosamu terhadap Bu-tong-pai." Hay Hay lantas teringat akan pengalamannya kurang lebih satu tahun yang lampau. Dulu pernah dia diserang oleh tiga orang pendekar Bu-tong-pai. Mereka menuduhnya sebagai Ang-hong-cu dan tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk membantahnya, mereka langsung menyerangnya kalang kabut sehingga terpaksa dia menggunakan ilmu sihirnya untuk menghilang dari penglihatan mereka. Maka tahulah dia sekarang bahwa wakil ketua Bu-tong-pai ini sudah keluar sendiri untuk menangkap dirinya. Wah, kalau begitu keadaannya sangat gawat. Akan tetapi karena dia masih tetap penasaran, dia pun segera bertanya. "Maaf, Totiang. Sesungguhnya aku merasa tidak pernah melakukan kesalahan terhadap Bu-tong-pai. Kenapa sekarang Totiang, sebagai wakil ketua, dan enam orang saudara ini ingin menangkapku? Jelaskan dulu apa kesalahanku!" Sepasang mata pendeta itu mencorong penuh kemarahan. Sikap yang tidak bertanggung jawab dianggapnya sebagai sikap seorang pengecut sehingga membuat dia marah sekali. "Ang-hong-cu, apakah engkau sudah lupa akan peristiwa kurang lebih setahun yang lalu ketika engkau diserang oleh tiga orang murid pinto?" Menjemukan sekali, pikir Hay Hay. Dia bukan Ang-hong-cu (Si Tawon Merah) dan julukan Ang-hong-cu ini selalu membuat dadanya panas dan kepalanya merasa pening karena itu adalah julukan dari seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat besar yang bukan lain adalah... ayah kandungnya! Dia sudah dapat menduga apa yang sudah terjadi antara penjahat itu dengan Bu-tong-pai, akan tetapi dia ingin jelas dan yakin. "Aku belum lupa, Totiang, akan tetapi sampai sekarang pun aku masih bingung dan tidak mengerti mengapa tiga orang murid Bu-tong-pai itu menyerangku mati-matian." Tiong Gi Cinjin menoleh pada enam orang tokoh Bu-tong-pai yang sejak tadi memandang dan mendengarkan saja. Dia lantas menyuruh seorang di antara mereka untuk memberi penjelasan. Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis tipis lalu melangkah maju menghadapi Hay Hay. "Orang muda, kami bukanlah orang-orang yang suka menuduh membabi-buta saja tanpa bukti. Sepak terjang Ang-hong-cu sudah lama kami kenal, dan pada suatu hari, seorang sumoi kami menjadi korban! Sebelum tewas sumoi sempat mengaku bahwa dia menjadi korban Ang-hong-cu. Tentu saja hal ini merupakan penghinaan bagi kami sehingga kami segera menyebar murid-murid untuk mencari sampai dapat penjahat yang telah merusak nama dan kehormatan kami. Kurang lebih setahun yang lalu, tiga orang sute kami telah berhasil menemukanmu dan menyerangmu. Engkaulah jai-hwa-cat Ang-hong-cu jahanam itu!" "Hemm, apa buktinya?" Hay Hay membantah. "Buktinya? Saat itu tiga orang sute kami melihat betapa engkau memegang sebuah tanda perhiasan berbentuk tawon merah, sangat persis dengan benda yang diterima oleh sumoi kami! Engkaulah Ang-hong-cu, maka harap engkau cukup jantan untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" "Tapi... tapi... aku bukan Ang-hong-cu..." bantah Hay Hay. "Dan perhiasan tawon merah yang ada padamu itu?" bentak Tiong Gi Cinjin penasaran. "Aku... aku hanya kebetulan menemukan barang itu," kata Hay Hay agak gagap karena tentu saja dia tidak mau mengaku dari mana dia memperoleh perhiasan itu dan mengaku bahwa Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya! "Susiok, benarkah engkau bukan Ang-hong-cu?" Ling Ling yang sejak tadi memandang sambil mendengarkan dengan alis berkerut dan wajah agak pucat, kini tiba-tiba bertanya. Mendengar ini, Hay Hay memandang gadis itu dan menggelengkan kepalanya. "Bukan, Ling Ling, percayalah!" Kini Ling Ling menghadapi Tiong Gi Cinjin dan berkata. "Totiang, rasanya ada kekeliruan dalam hal ini. Kalau tidak salah, nama Ang-hong-cu sudah tersohor sejak belasan tahun silam! Bagaimana mungkin Susiok-ku ini yang menjadi Ang-hong-cu, padahal usia Susiok ini baru dua puluh lebih?" Tujuh orang Bu-tong-pai ini saling pandang, akan tetapi Tiong Gi Cinjin segera berkata, "Kalau dia ini bukan Ang-hong-cu, tentulah keturunannya atau muridnya! Ang-hong-cu tak pernah memperlihatkan dirinya, hanya selalu meninggalkan perhiasan tawon merah. Akan tetapi pemuda ini memiliki perhiasan itu, dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa dialah Ang-hong-cu. Gerak-geriknya sudah lama dibayangi oleh para murid Bu-tong-pai dan dia seorang pemuda mata keranjang yang suka menggoda wanita!" "Ahhhh...!" Ling Ling melangkah mundur dan memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata penuh keraguan. "Ling Ling! Engkau... tidak percaya padaku?" "Aku.. aku tidak tahu..." gadis itu menjawab sambil melangkah mundur lagi sampai lima langkah. "Sudahlah, orang muda. Menyerahlah saja dan nanti di depan ketua kami, boleh engkau membela diri sesukamu!" kata Tiong Gi Cinjin sambil melangkah maju. "Tidak, Totiang, aku tidak mau menyerah karena aku tak merasa bersalah terhadap pihak Bu-tong-pai!" kata Hay Hay yang menjadi tidak sabar lagi, terutama sekali melihat betapa Ling Ling agaknya juga mulai bercuriga kepadanya, telah mengira bahwa dia benar-benar Ang-hong-cu! cerita silat online karya kho ping hoo "Kalau begitu terpaksa pinto mempergunakan kekerasan!" kata tosu itu dan enam orang murid keponakannya juga sudah mencabut pedang dari punggung masing-masing. Cara mereka mencabut pedang saja sudah menunjukkan bahwa mereka telah menguasai Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-sut yang terkenal indah dan ampuh. Tiba-tiba Sim Ki Liong tertawa kemudian dia pun melangkah maju. "Nanti dulu, Totiang. Saudara ini adalah tamuku, dan akulah yang mengajak mereka berdua datang ke tempat ini. Oleh karena itu, jika Totiang dan para murid Bu-tong-pai hendak menyerang Saudara Tang ini, berarti menyerang tamuku. Sebagai seorang tuan rumah, tentu saja saya tidak dapat membiarkan tamu saya diganggu!" Tiong Gi Cinjin memandang wajah Ki Liong dengan alis berkerut. Dia bertindak atas nama Bu-tong-pai dan dia tidak mau kalau sampai perkumpulannya terlibat dalam permusuhan dengan golongan lain. "Orang muda, siapakah engkau? Di antara kita tidak ada persoalan sesuatu, karena itu harap engkau orang muda jangan mencampuri urusan kami dengan Ang-hong-cu." "Namaku Sim Ki Liong, Totiang. Memang benar bahwa di antara kita tidak pernah terjadi bentrokan atau ada persoalan, tetapi kalau hari ini pihak Bu-tong-pai hendak mengganggu tamu-tamuku dan tidak dapat kuminta supaya tidak melanjutkan kehendaknya itu, berarti bahwa Bu-tong-pai sengaja hendak mencari gara-gara dan urusan dengan aku," jawaban ini tenang akan tetapi juga mengandung peringatan dan ancaman. "Orang she Sim!" bentak seorang di antara Bu-tong Liok-eng (Enam Pendekar Bu-tong) yang kurus tadi. "Ini adalah hutan raya, sebuah tempat umum. Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa Ang-hong-cu ini adalah tamumu? Jika engkau hendak melindunginya berarti bahwa engkau pun bukan manusia baik-baik! Yang melindungi penjahat, berarti dia penjahat pula! Harap Susiok jangan melayani bocah ini dan biarlah kami yang akan menghabisinya!" Berkata demikian Si Kurus ini lantas memberi isyarat kepada lima orang temannya dan mereka berenam langsung mengepung Ki Liong dengan pedang di tangan! Akan tetapi Ki Liong hanya tersenyum dan berdiri tenang. "Sudah kukatakan bahwa aku tak ingin bermusuhan, akan tetapi kalau kalian orang-orang Bu-tong-pai mengganggu tamuku dan aku, apa boleh buat, jangan dikira kalau aku takut terhadap kalian!" Tangan kanannya bergerak dan nampak sinar berkelebat. Tahu-tahu di tangan kanannya sudah terdapat sebatang pedang putih karena pedang itu terbuat dari perak! Melihat ini jantung Hay Hay berdebar tegang. Kini dia sudah yakin benar. Sim Ki Liong ini adalah sama dengan Ciang Ki Liong yang pernah didengarnya dari Kui Hong, yaitu murid Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah, murid murtad yang pergi meninggalkan pulau itu tanpa pamit dengan membawa pusaka-pusaka pulau itu, termasuk sebatang pedang yang dia masih ingat saat Kui Hong bercerita, yaitu pedang yang namanya Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak). Melihat pemuda itu mengeluarkan sebatang pedang, enam orang pengepungnya segera menerjang dari berbagai penjuru. Tampak sinar perak yang menyilaukan mata lalu disusul suara nyaring berdencingan ketika Ki Liong memutar pedangnya menangkis. Enam orang itu berloncatan ke belakang dengan hati kaget. Pertemuan antara pedang itu telah membuat mereka terkejut karena tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa orang muda itu sungguh lihai! Mereka kembali mengepung dengan hati-hati dan maklum bahwa mereka tidak boleh mengadu senjata secara langsung dengan lawan itu. Sementara itu Tiong Gi Cinjin telah melintangkan tongkatnya dan membentak kepada Hay Hay, "Orang muda, engkau tidak mau menyerah dan memaksakan perkelahian. Baiklah, keluarkan senjatamu dan lawanlah tongkat pinto!" Hay Hay yang memperhatikan gerakan pedang perak di tangan Ki Liong, kini tersenyum sambil menggelengkan kepala kepada tosu itu. "Totiang, aku tak pernah mempersiapkan senjata untuk berkelahi. Apa bila Totiang masih penasaran dan hendak memaksaku untuk menyerah, atau hendak menyerang dengan tongkat itu, silakan!" Ucapan dan sikap tenang Hay Hay itu dianggap suatu tantangan oleh Tiong Gi Cinjin dan mukanya menjadi merah. Dia seorang wakil Ketua Bu-tong-pai, kini menghadapi seorang pemuda dengan tongkatnya yang terkenal di tangan, dan pemuda itu sama sekali tak mau melawannya dengan senjata, melainkan dengan tangan kosong saja! Maka dia pun cepat menancapkan tongkatnya ke atas tanah sambil mengerahkan tenaganya. "Cappp!" Tongkat panjang itu masuk ke dalam tanah sampai sepertiganya, dan dia pun menghadapi Hay Hay dengan tangan kosong! "Ang-hong-cu, selain jahat engkau juga sombong bukan main! Nah, pinto juga bertangan kosong. Bersiaplah untuk menerima serangan. Haiiiitttt...!" Tosu itu langsung menerjang setelah mengeluarkan teriakan itu. Hay Hay cepat mengelak dari sambaran tangan kakek itu. Dia merasa betapa ada angin pukulan yang amat kuat dan diam-diam dia pun maklum bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihir. Tentu para murid Bu-tong-pai yang pernah dipermainkannya dengan ilmu sihir itu telah melapor, dan kalau kakek ini berani datang melawannya tentulah kakek ini sudah yakin bahwa dia akan mampu menghadapi kekuatan sihir, kalau pemuda lawannya itu mempergunakannya. Betapa pun juga Hay Hay maklum bahwa para tokoh Bu-tong-pai ini hanya salah sangka. Mereka datang untuk membalas dendam karena kematian murid wanita Bu-tong-pai yang menjadi korban Ang-hong-cu, dan karena mereka menyangka bahwa dialah Ang-hong-cu, dengan bukti perhiasan tawon merah yang dimilikinya, maka sekarang mereka berusaha mati-matian menangkapnya. Jadi dalam hal ini orang-orang Bu-tong-pai tidak melakukan kejahatan terhadap dirinya dan jika dipikir secara mendalam, maka yang bersalah adalah Ang-hong-cu, sedangkan dia adalah putera kandung Ang-hong-cu! Karena ini maka dia pun selalu mengalah dan biar pun tosu itu menyerang secara bertubi, dengan dahsyat sekali, tapi Hay Hay hanya selalu mengelak dan menangkis tanpa pernah membalas. Ia hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghindarkan diri dari terjangan tosu yang lihai itu. Akan tetapi, karena tosu yang menjadi wakil perkumpulan Bu-tong-pai itu memang memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi, Hay Hay nampak sibuk sekali dan terdesak. Keadaan Sim Ki Liong masih lebih baik dari pada Hay Hay yang terdesak terus. Pemuda yang memegang Gin-hwa-kiam itu mengerahkan ilmu kepandaiannya dan tidak mengalah seperti yang dilakukan Hay Hay. Pedangnya membentuk gulungan sinar putih yang amat dahsyat dan menyilaukan sehingga enam orang pengeroyoknya bahkan kewalahan untuk menjaga diri dari sinar pedang yang menyambar-nyambar itu. Kalau mereka itu bukan murid-murid utama dari Bu-tong-pai, tentu semenjak tadi mereka telah roboh terluka. Bu-tong-pai memang terkenal dengan ilmu pedangnya sehingga enam orang itu dapat memainkan pedang mereka dengan gaya yang amat indah dan meski pun mereka kalah tingkat dalam menghadapi Ki Liong, tapi permainan pedang mereka dapat dipusatkan untuk pertahanan yang amat ketat. Selagi ramai-ramainya kedua pihak itu berkelahi di tempat sunyi itu, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki setegah tua yang menggiring puluhan ekor kambing. Dia seorang suku bangsa Hui, mengenakan sorban putih di kepalanya, dan tangannya memegang sebatang tongkat penggembala. Entah bagaimana, agaknya kambing-kambing yang jumlahnya mendekati seratus ekor itu berlari-lari kacau menuju ke tempat perkelahian. Penggembala setengah tua itu mengejar di belakang mereka sambil memaki-maki dalam bahasa Hui, mengayun-ayun tongkatnya sehingga kambing-kambing itu menjadi makin ketakutan. Karena berada dalam keadaan panik, gerombolan binatang itu lari kacau-balau menyerbu tempat perkelahian sehingga mereka yang berkelahi menjadi kacau pula. Melihat ada segerombolan kambing menyerbu, orang-orang Bu-tong-pai menjadi marah sehingga para pengeroyok Ki Liong mempergunakan kaki mereka menendangi beberapa ekor kambing yang segera terlempar dan terbanting. Makin riuh suara kambing-kambing itu mengembik dan suasana menjadi semakin kacau. Penggembala itu menjadi marah. Dengan mata melotot dia lalu menghampiri orang-orang Bu-tong-pai itu dan memaki-maki. "Kalian orang-orang kurang ajar, kenapa menendangi kambing-kambingku?" Sambil terus memaki-maki dalam bahasa Hui, penggembala itu kini mengobat-abitkan tongkat gembalanya, mengamuk dan menyerang kalang-kabut kepada enam orang Bu-tong-pai itu! Orang-orang Bu-tong-pai itu bukanlah orang-orang kejam. Tentu saja mereka tidak ingin memusuhi seorang penggembala bangsa Hui, maka melihat kemarahan penggembala itu yang menyerang mereka dengan tongkat panjang, mereka itu hanya menangkis dengan pedang mereka. Terdengar bunyi nyaring enam kali dan enam orang Bu-tong-pai itu terkejut bukan main. Tongkat Si Penggembala itu bergerak cepat dan walau pun sudah ditangkis, tetapi secara bertubi-tubi dapat menyambar ke arah mereka. Dan bukan itu saja, juga mereka berenam merasa betapa tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tongkat itu digerakkan oleh tenaga yang dahsyat! Kakek penggembala berusia sekitar lima puluh tahun itu masih terus menyerang kalang-kabut, nampaknya dengan gerakan kacau, namun ternyata ujung tongkatnya menyambar-nyambar dengan tepat ke arah enam orang Bu-tong-pai. Melihat serangan ini, enam tosu itu segera berloncatan mundur. Kakek bangsa Hui itu kini memutar tongkatnya dan menyerang dengan hantaman ke arah kepala Tiong Gi Cinjin yang masih bertanding dengan seru, atau lebih tepat, mendesak hebat kepada Hay Hay! Dan wakil Ketua Bu-tong-pai ini pun amat terkejut karena tongkat itu menyambar dengan amat kuatnya, didahului oleh angin pukulan yang ganas! Tiong Gi Cinjin cepat mengelak. lantas menggerakkan lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga, dengan maksud mematahkan tongkat penggembala itu. "Dukkk!" Tongkat itu ternyata tidak patah, bahkan melalui tangannya yang tergetar Tiong Gi Cinjin dapat merasakan betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam tongkat itu! Maklumlah dia bahwa penggembala Hui ini pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi! Padahal tadi pun dia sudah merasa bingung saat melihat kenyataan betapa pemuda yang disangkanya Ang-hong-cu itu sama sekali tak pemah membalas serangannya dan hanya mempertahankan diri, tetapi sebegitu jauh dia belum juga dapat merobohkannya! Bahkan satu kali pun belum ada serangannya yang berhasil mengenai sasaran! Juga dia melihat betapa enam orang anak buahnya sama sekali tak dapat menandingi kehebatan pemuda yang menggunakan sebatang pedang yang sinarnya seperti perak itu. "Hayo, siapa pun yang berani mengganggu kambingku akan kupukul dengan tongkat ini!" Penggembala Hui itu berteriak-teriak sambil mengobat-abitkan tongkatnya yang panjang. Sambil mencabut tongkatnya Tiong Gi Cinjin segera berkata, suaranya terdengar lembut, "Sobat, tidak ada yang mengganggu kambingmu. Karena kambing-kambingmu memasuki tempat perkelahian ini, maka ada yang kena tendangan. Hitung saja berapa yang tewas dan kami akan menggantinya." Penggembala itu menghitung kambingnya, akan tetapi tidak ada yang tewas karena tadi para murid Bu-tong-pai memang menendang kambing hanya untuk mengusir mereka saja tanpa niat membunuh. Sesudah melihat betapa kambingnya masih utuh, penggembala itu lalu bersungut-sungut dan meneriaki kambing-kambing yang agak menjauh, tanpa peduli lagi dengan mereka yang kini menghentikan perkelahian. "Ang-hong-cu, biarlah sekali ini pinto melepaskanmu, tapi lain kali pinto akan mencarimu dengan kekuatan yang lebih besar. Bagaimana pun juga engkau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu terhadap murid wanita kami!" Setelah berkata demikian, Tiong Gi Cinjin memberi isyarat kepada anak buahnya untuk pergi dari tempat itu. Dengan sikap acuh penggembala itu juga menggiring pergi semua kambingnya, teriakan-teriakannya terdengar sampai jauh, bahkan teriakannya masih terus terdengar ketika dia dan kambing-kambingnya sudah tidak kelihatan lagi. Diam-diam Hay Hay merasa heran. Dia tahu bahwa penggembala kambing bangsa Hui itu bukan orang sembarangan sehingga tosu Bu-tong-pai dan anak buahnya segera mundur begitu penggembala itu datang mengacau dengan kambing-kambingnya. Sim Ki Liong juga merasa heran dan kagum. Timbullah suatu niat di dalam hatinya untuk membujuk orang Hui itu agar suka bekerja sama dengan persekutuan di mana dia menjadi pembantu pimpinan. "Saudara Tang Hay, nanti dulu, aku ingin mengejar dan bicara dengan penggembala Hui itu!" Sesudah berkata demikian, Ki Liong segera meloncat dan berlari cepat mengejar ke arah menghilahgnya Si Penggembala bersama kambing-kambingnya. Kini Hay Hay berdiri memandang kepada Ling Ling yang semenjak tadi berdiri mematung. Dara ini terlampau bingung untuk mencampuri perkelahian tadi. Hatinya menjadi bimbang sekali sesudah mendengar tuduhan tosu Bu-tong-pai dan para muridnya tadi bahwa Hay Hay adalah Ang-hong-cu. Dia merasa tertarik kepada Hay Hay yang dianggap susiok-nya itu, bahkan gadis ini mulai merasa yakin bahwa hatinya bukan hanya sekedar tertarik, melainkan ada perasaan cinta terhadap pemuda itu. Akan tetapi wakil Ketua Bu-tong-pai menuduh pemuda itu sebagai Ang-hong-cu, penjahat pemerkosa wanita yang terkenal kejam dan sangat jahat! Dan dia merasa ragu-ragu. Hay Hay adalah seorang pemuda yang sangat pandai merayu wanita, suka memuji-muji dan mudah menundukkan hati wanita, jadi tuduhan itu bukan tidak masuk akal. Apa lagi para tokoh Bu-tong-pai terkenal sebagai perdekar-pendekar gagah, pasti tidak menuduh sembarangan saja, dan bukankah ada buktinya, yaitu Hay Hay mempunyai sebuah benda perhiasan tawon merah yang menjadi tanda khas dari penjahat Ang-hong-cu? "Ling Ling, jangan engkau memandangku seperti itu!" Hay Hay berkata. "Percayalah, aku bukanlah Ang-hong-cu penjahat itu!" Ling Ling menggelengkan kepala, matanya masih terbelalak dan mukanya agak pucat. "Aku... tidak tahu... aku tidak... tahu...," katanya ragu-ragu dan bingung, kemudian dia membalikkan tubuhnya. "Lebih baik aku pergi saja..." "Ling Ling, ingat akan pesanku. Tiga hari kemudian aku akan mencarimu di tepi telaga...!" Hay Hay mengingatkan gadis itu. Dia telah mengambil keputusan akan melakukan siasat mendekati Ki Liong dan pura-pura mau bekerja sama supaya dia dapat langsung masuk ke dalam sarang persekutuan itu. Dengan demikian akan mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mengetahui siapa saja anggota pimpinan persekutuan itu. Tidak perlu terlalu lama, tiga hari pun cukuplah. Kemudian dia akan melarikan diri keluar untuk menemui Ling Ling. Dia harus meyakinkan hati gadis itu bahwa dia bukan Ang-hong-cu, sungguh pun dia belum tahu bagaimana dia akan dapat meyakinkannya tanpa membuka rahasianya bahwa Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya. Ling Ling tidak menjawab, melainkan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Tempat yang tadinya menjadi medan perkelahian itu kini menjadi sunyi. Hay Hay lalu duduk, menunggu kembalinya Ki Liong. Tidak lama kemudian pemuda itu pun datang dengan berlari cepat, dan begitu tiba di situ Ki Liong memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya karena dia tidak melihat Ling Ling di situ. "Ehh, di mana Nona Cia...?" tanyanya. Hay Hay menghela napas panjang. Dia tidak perlu berpura-pura, karena itu dia tidak perlu berbohong pula. "Dia telah pergi, marah karena mengira bahwa aku adalah Ang-hong-cu, tentu dia merasa malu mempunyai seorang susiok yang menjadi jai-hwa-cat tersohor itu." Ki Liong tersenyum. "Saudara Tang, benarkah engkau bukan Ang-hong-cu? Tokoh-tokoh Bu-tong-pai itu kelihatan begitu yakin... " "Hemmm, Saudara Sim Ki Liong, seperti yang dikatakan oleh Ling Ling tadi, Ang-hong-cu terkenal sebagai seorang jai-hwa-cat sejak puluhan tahun yang lalu. Bagaimana mungkin aku yang baru berusia dua puluh satu tahun tahu-tahu dituduh sebagai Ang-hong-cu yang usianya tentu sudah jauh lebih tua?" Lalu, dengan muka memperlihatkan penasaran dan kemarahan, Hay Hay bertanya. "Saudara Sim, apakah engkau juga ikut-ikut menuduh aku Ang-hog-cu?" Sim Ki Liong tertawa. "Sama sekali tidak, Saudara Tang. Dan andai kata betul sekali pun, aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu. Memang para pendekar itu kadang-kadang terlalu memandang rendah orang lain seakan-akan diri mereka saja yang baik, bersih dan gagah. Engkau pun telah mereka musuhi dan mereka tuduh semena-mena. Nah, mereka sama sekali tidak menghargaimu. Tetapi aku, maksudku kami, akan dapat menghargaimu yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan kalau engkau suka bergabung dengan kami, membantu perjuangan kami sehingga berhasil, kelak engkau pun akan menjadi seorang berpangkat tinggi dan manusia-manusia macam mereka itu tak akan berani memandang rendah dan meremehkanmu lagi, apa lagi menghina seperti yang mereka lakukan tadi." "Hemm, tadi engkau bicara tentang perjuangan. Apa yang sebenarnya kau maksudkan?" Hay Hay memancing. "Kami sedang menghimpun kekuatan dalam sebuah persekutuan, memperjuangkan nasib kita dari tekanan pemerintah yang lalim. Kaisar beserta para menteri sekarang ini kurang bijaksana, banyak pembesar melakukan korup, banyak terjadi kelaliman, oleh karena itu kami berusaha untuk melakukan suatu perjuangan." "Maksudmu pemberontakan terhadap pemerintah?" "Ki Liong tersenyum. "Bagi kami bukan pemberontakan, melainkan perjuangan, Saudara Tang! Memberontak terhadap kelaliman adalah suatu perjuangan yang mulia. Karena itu marilah engkau bergabung dengan kami agar kepandaianmu tidak akan sia-sia." Hay Hay pura-pura mengerutkan alisnya dan berpikir. "Akan tetapi aku belum tahu siapa pemimpin kalian dan orang macam apa dia, dan siapa pula yang menjadi anggotanya." "Jangan khawatir, Saudara Tang, pemimpin kami adalah seorang yang memiliki ilmu tinggi sekali. Bengcu kami adalah orang yang bijaksana dan aku sendiri telah diangkat menjadi pembantu utamanya. Banyak orang-orang kang-ouw yang telah menggabungkan diri dan jangan engkau heran apa bila di antara mereka terdapat tokoh-tokoh dari golongan hitam. Dalam suatu perjuangan urusan pribadi harus ditinggalkan, dan kami menghimpun tenaga dari mana pun juga asal dapat membantu gerakan kami. Marilah engkau kuperkenalkan dengan Bengcu dan para anggota pimpinan." "Di mana pusat persekutuan kalian itu? "Di Pegunungan Yunan. Marilah engkau ikut bersamaku, Saudara Tang. Sungguh sayang sekali bahwa Nona Cia tidak dapat ikut ke sana." "Dia sedang marah, jadi tidak perlu dihubungi lagi, dan baiklah, aku akan ikut denganmu, Saudara Sim. Akan tetapi, bagaimana dengan penggembala Hui tadi? Siapakah dia dan sudahkah engkau tadi bertemu dengan dia, Saudara Sim?" "Wah, orang itu memang aneh dan mencurigakan, juga agaknya dia lihai sekali. Melihat kelihaiannya tadi aku ingin menghubunginya, maka aku cepat melakukan pengejaran. Tapi ketika aku tiba di luar hutan ini, yang kutemukan hanyalah segerombolan kambing yang digembala oleh seorang anak kecil suku bangsa Hui. Kutanyakan dia mengenai laki-laki setengah tua tadi, tapi dia hanya bilang bahwa lelaki itu meminjam kambing-kambingnya itu dan baru saja dikembalikan. Anak itu telah diberi beberapa potong uang perak, namun dia tak mengenal siapa adanya laki-laki itu yang langsung pergi dengan cepatnya setelah mengembalikan kambing-kambingnya dan memberinya beberapa potong uang perak." "Aneh sekali...," kata Hay Hay heran. "Memang aneh. Jelas bahwa laki-laki itu sengaja menyamar sebagai penggembala untuk membubarkan perkelahian, atau jika tak keliru dugaanku, dia sengaja hendak membantu kami dalam menghadapi orang-orang Bu-tong-pai. Akan tetapi sudahlah, dia sudah pergi. Mari engkau ikut bersamaku menemui Bengcu kami, Saudara Tang." Hay Hay mengangguk-angguk, lantas mengikuti pemuda tampan itu meninggalkan tempat itu menuju ke barat. Diam-diam dia masih membayangkan keanehan lelaki penggembala bangsa Hui itu. Siapakah dia dan apa pula maksudnya dengan berpura-pura menggembala kambing dan menyerbu ke tempat perkelahian? Melihat betapa penggembala palsu itu dapat membuat gentar orang-orang Bu-tong-pai, telah membuktikan bahwa orang itu memang lihai sekali, padahal baru melakukan penyerangan beberapa kali saja dengan tongkat gembalanya! Akan tetapi karena dia pun bisa menduga bahwa di tempat itu banyak berkeliaran orang pandai, Hay Hay menduga bahwa laki-laki setengah tua tadi tentu seorang di antara para pendekar yang menurut Menteri Yang Ting Hoo, banyak berdatangan ke tempat itu untuk melakukan penyelidikan terhadap persekutuan orang sesat yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo itu. Dan kini dia dibawa oleh Ki Liong menghadap Lam-hai Giam-lo! *************** "Hay-ko...! Engkaukah ini...?" Pek Eng berseru dengan girang sekali ketika dia mengenal Hay Hay. Pemuda itu masuk bersama Kim Liong untuk menghadap Lam-hai Giam-lo, dan karena para pengawal mengatakan bahwa bengcu sedang berlatih silat dengan murid atau puteri angkatnya di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat), maka Ki Liong yang memiliki kebebasan di tempat itu sebagai pembantu utama dan terpercaya dari bengcu, segera saja mengajak Hay Hay untuk memasuki ruangan itu. Begitu mereka masuk Hay Hay segera melihat dan mengenal seorang gadis yang sedang berlatih silat dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Gadis itu bukan lain adalah Pek Eng! Keraguannya lenyap seketika setelah gadis itu menoleh dan matanya terbelalak, lalu memanggilnya dengan gembira. "Adik Eng...! Benar engkaukah ini? Bagaimana bisa di sini ?" Dia pun bertanya terheran-heran. Apakah keluarga Pek, pimpinan Pek-sim-pang yang termasuk aliran putih itu juga sudah bersekutu dengan gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo? Rasanya tidak mungkin begitu. "Ahh, kalian sudah saling mengenal? Bagus!" kata Ki Liong. Tentu saja dia hanya berpura-pura, sebab ketika Pek Eng baru tiba di tempat itu, gadis ini telah bercerita bahwa dia mencari dua orang, yaitu kakak kandungnya yang bernama Pek Han Siong, dan orang ke dua adalah Hay Hay. Dia sendiri sempat mendengar ketika Pek Eng menceritakan hal itu kepada Bi Lian, murid dari mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi itu. Sementara itu Lam-hai Giam-lo telah mendengar beritanya lebih dahulu tentang pemuda bernama Hay Hay itu, yang kabarnya amat lihai, sedemikian lihainya sehingga dua orang di antara para pembantunya yang dipercaya, yaitu Min-san Mo-ko beserta Ji Sun Bi, juga merasa jeri dan harus mengundang Ki Liong untuk membantu mereka. Sekarang Ki Liong telah kembali bersama pemuda itu dan agaknya berhasil membujuknya, maka diam-diam hati Lam-hai Giam-lo menjadi gembira sekali. Makin banyak orang pandai membantunya maka akan semakin baik pula. Pek Eng dan Hay Hay saling pandang dan tiba-tiba saja sepasang pipi gadis itu berubah merah karena dia teringat betapa dia pernah mencium dan dicium pipinya oleh pemuda ini yang tadinya dia sangka kakak kandungnya! Seorang pernuda yang pandai merayu, akan tetapi... menyenangkan sekali dan kelihaiannya membuat dia kagum bukan main. Setelah dia teringat tentang peristiwa penciuman itu, tiba-tiba saja Pek Eng menjadi pemalu dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Sementara itu Lam-hai Giam-lo juga merasa girang sekali melihat betapa muridnya, juga anak angkatnya yang amat disayangnya itu sudah saling mengenal dengan pemuda yang baru datang ini. Kalau Eng Eng telah mengenalnya maka akan mudah mengetahui siapa sebenarnya pemuda itu, dan tentu lebih dapat dipercaya. "Saudara Tang Hay, inilah Bengcu yang memimpin gerakan perjuangan kami. Bengcu, dia adalah Saudara Tang Hay, seorang pemuda petualang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia sudah mendengar dariku mengenai semua cita-cita perjuangan kita dan menyatakan setuju untuk membantu agar kelak dia bisa memperoleh bagian jabatan yang tinggi," kata Sim Ki Liong. Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk. "Mari, silakan ikut dengan kami ke ruangan duduk, orang muda, supaya kita dapat bicara dengan lebih leluasa." Mereka kemudian memasuki ruangan duduk, dan diam-diam Hay Hay mengagumi semua perabot rumah yang serba mewah itu. Juga ruangan duduknya sangat luas dan nyaman, dihias oleh lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah. Mereka berempat lalu duduk di dalam ruangan itu. Dua orang pelayan wanita muda yang cantik-cantik segera keluar membawa arak dan air teh harum, lalu pergi lagi dengan langkah kaki yang genit "Eng Eng, engkau sudah kenal dengan pemuda ini? Di mana engkau mengenalnya dan siapakah dia ini sebenarnya?" Lam-hai Giam-lo bertanya kepada Pek Eng dengan suara menyayang. Hay Hay melihat sikap ini dan dia merasa semakin heran. Agaknya kakek bemuka kuda yang julukannya Lam-hai Giam-lo ini, pemimpin dari gerombolan orang sesat yang hendak memberontak terhadap pemerintah, amat akrab dengan Pek Eng. Tadi dia sudah melihat betapa Pek Eng berlatih silat di bawah bimbingan kakek ini! Suara kakek ini pun luar biasa sekali, parau pecah seperti ringkik kuda. Keadaan wajah dan tubuhnya juga aneh. Mukanya mirip kuda, dengan mulut atas menjorok keluar, dua matanya sipit dan sepasang telinganya lebar. Tubuhnya yang tinggi kurus itu mempunyai sepasang kaki yang panjang. Seorang kakek yang sangat aneh dan usianya belum begitu tua, sekitar lima puluh tahun lebih. "Bengcu, aku mengenalnya sebagai Hay Hay, ketika masih bayi dia pernah menjadi anak angkat dari orang tuaku." "Ho-ho-ha-ha...!" Lam-hai Giam-lo tertawa hingga suaranya bergema di ruangan itu, "kalau begitu dia ini masih kakak angkatmu sendiri?" Pek Eng adalah seorang gadis yang sangat cerdik dan tangkas. Dia sudah merasa kaget dan heran bukan main ketika Hay Hay muncul tadi, dan sungguh pun dia tidak tahu apa maksud kedatangan Hay Hay di tempat itu, namun dia tahu bahwa kalau kedatangan Hay Hay ini hendak menentang persekutuan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo, maka akan terancamlah keselamatan Hay Hay. Agaknya pemuda itu belum tahu bahwa di tempat ini berkumpul banyak sekali orang yang sangat lihai. Maka dia pun cepat-cepat mengangguk membenarkan ketika mendengar ucapan Lam-hai Giam-lo. "Begitulah, Bengcu. Boleh dibilang dia adalah kakakku sendiri, kakak angkat karena dia pernah diangkat anak oleh ayah bundaku" Hay Hay mengangguk-angguk pula, menahan hatinya yang penuh diliputi perasaan heran dan penasaran bagaimana Pek Eng dapat berada di tempat itu dan nampaknya hubungan dara ini begitu dekat dengan Lam-hai Giam-lo, pemimpin kaum pemberontak itu! Padahal setahunya keluarga Pek merupakan keluarga pendekar yang tentu saja sama sekali tidak akan sudi berhubungan dengan para pemberontak, apa lagi kalau pemberontak itu terdiri dari orang-orang golongan hitam. Akan tetapi dengan cerdik dia pun menahan dirinya. Dia akan bertanya mengenai keanehan itu dari Pek Eng sendiri, kalau mereka sempat bicara empat mata saja. "Sobat Tang Hay, kalau engkau pernah diangkat anak oleh orang tua Eng Eng, mengapa engkau tidak memakai nama keluarga Pek akan tetapi sekarang memakai nama keluarga Tang?" Pertanyaan yang tiba-tiba dari Lam-hai Giam-lo ini sebetulnya mengejutkan hati Hay Hay, tetapi sama sekali tidak terlihat pada wajahnya yang tetap tenang. Dia bahkan tersenyum lalu memberi hormat kepada pemimpin itu. "Maaf, Bengcu. Sebelum kita berbicara tentang diriku, lebih dahulu aku ingin sekali tahu, apakah Bengcu dapat menerima aku untuk membantu gerakan perjuangan yang Bengcu pimpin? Tentu saja dengan janji bahwa kalau kelak gerakan berhasil, aku akan mendapat bagian, yaitu sebuah kedudukan yang tinggi dan terhormat sesuai dengan jasa-jasaku?" Wajah Lam-hai Giam-lo berseri-seri. Kalau ada orang membantunya dengan pamrih agar kelak bisa memperoleh jabatan, maka orang itu dapat dipercaya! Dia tertawa lalu berkata, "Tentu saja, orang muda yang gagah. Dan karena yang mengajak engkau datang adalah Sim-kongcu yang sudah kupercaya sepenuhnya, maka kami pun percaya kepadamu. Kita lihat saja nanti bagaimana kesetiaanmu terhadap gerakan kita dan apa saja jasa-jasamu selama dalam perjuangan. Nah, sekarang jawablah pertanyaanku tadi." Hay Hay merasa kagum sekali. Kakek bermuka kuda ini sungguh kuat ingatannya, masih ingat dengan pertanyaannya yang belum terjawab tadi. Dengan sewajarnya dia menjawab, "Meski pun aku pernah diangkat anak oleh keluarga Pek, akan tetapi hanya sebentar, jadi aku merasa tidak berhak menggunakan nama keluarga Pek yang terhormat. Karena itulah maka aku memakai nama keluarga ayah kandungku sendiri yang sudah tiada. Bukankah begitu, Eng-moi?" Ditanya demikian, Pek Eng hanya mengangguk. Tentu saja gadis ini tidak mau membuka rahasia pemuda yang dikaguminya itu bahwa pemuda itu adalah putera dari jai-hwa-cat Ang-hong-cu yang tersohor itu. Sebelum Lam-hai Giam-lo sempat berbicara lebih lanjut, terdengar suara ribut-rlbut di luar lian-bu-thia (ruangan latihan silat) itu. Terdengar suara orang yang lantang dan nadanya mengejek. "Eh-ehh, kalian mau apa? Sudah kukatakan bahwa aku datang untuk mencari Lam-hai Giam-lo. Bukankah kabarnya dia menampung orang-orang gagah untuk bekerja sama? Sekarang aku sudah datang, tapi kenapa disambut seperti musuh saja? Beginikah yang dinamakan menghargai orang gagah?" "Orang asing! Engkau datang tanpa mau menyebutkan nama serta apa kepentinganmu hendak bertemu dengan Bengcu. Sikapmu mencurigakan, tentu saja kami menghadapimu sebagai musuh. Tak seorang pun boleh nyelonong begitu saja memasuki tempat kami ini, apa lagi hendak bertemu langsung dengan Bengcu," terdengar salah seorang anak buah Kui-kok-pang membantah. "Habis kalau aku terus masuk dan terus mencari Bengcu kalian, lalu kalian mau apa? Mau menghalangiku? Ha-ha-ha, boleh kalau kalian mampu!" terdengar pula suara lantang itu. Mendengar percakapan ini disusul suara ribut-ribut orang berkelahi, dengan alis berkerut Lam-hai Giam-lo melangkah keluar, diikuti oleh Pek Eng, Ki Liong dan Hay Hay. Sesudah mereka tiba di luar, mereka melihat seorang lelaki gagah berusia lima puluh tahun sedang dikeroyok oleh belasan orang anak buah Kui-kok-pang!.....


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 36 :
MELIHAT wajah pria setengah tua yang tampan dengan kumis dan jenggot yang teratur rapi bahkan rompinya terbuat dari sutera halus, Ki Liong dan Hay Hay langsung terkejut ketika mengenal orang itu yang bukan lain adalah penggembala kambing suku bangsa Hui yang pernah mengacau perkelahian mereka dengan orang-orang Bu-tong-pai. Ki Liong segera mendekati Lam-hai Giam-lo dan berbisik kepada Bengcu ini, menuturkan dengan singkat mengenai pengalamannya dengan orang setengah tua itu, "Dia lihai sekali dan mencurigakan, Bengcu, tetapi akan dapat menjadi seorang pembantu yang amat baik." Ki Liong mengakhiri bisikannya. Lam-hai Giam-lo memang sudah melihat kelihaian orang setengah tua itu. Belasan orang anak buahnya laksana sekumpulan semut yang mengeroyok seekor jangkerik saja. Siapa mendekat tentu langsung terpental oleh tamparan atau tendangan orang setengah tua itu, padahal di antara anak buahnya ada yang mempergunakan senjata sedangkan orang itu hanya bertangan kosong saja. "Tahan...!" teriak Lam-hai Giam-lo dengan suaranya yang seperti bunyi ringkik kuda. Mendengar ini, semua anak buah Kui-kok-pang berloncatan ke belakang. Orang setengah tua itu pun menghentikan gerakannya, lantas sambil tersenyum simpul dia memutar tubuh menghadapi Lam-hai Giam-lo, dan kedua matanya terbelalak, senyumnya melebar ketika dia melihat Hay Hay dan Ki Liong. "Ahhh, senang sekali dapat bertemu dengan kalian dua orang pemuda yang tampan dan gagah!" Dan dia lalu memandang kepada Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng, lalu menjura dan berkata. "Jika aku tidak salah duga, agaknya saudara yang gagah tentulah yang berjuluk Lam-hai Giam-lo, Bengcu dan pemimpin para pejuang. Dan Nona ini benar-benar gagah perkasa dan cantik jelita!" Pujiannya itu tidak mengandung sikap kurang ajar dan melihat betapa Pek Eng tersipu malu, diam-diam Hay Hay tersenyum dalam hatinya. Pria setengah tua ini agaknya juga seorang yang pandai mengagumi keindahan dan kecantikan wanita! Lam-hai Giam-lo menatap tajam dengan sepasang matanya yang sipit. "Sobat, tak keliru dugaanmu bahwa kami adalah Bengcu yang berjuluk Lam-hai Giam-lo. Tetapi siapakah engkau dan apa maksudmu membikin ribut di tempat kami?" Laki-laki setengah tua itu tertawa dan nampak giginya yang masih berderet rapi dan putih, wajahnya nampak jauh lebih muda ketika dia tertawa. "Bengcu, maafkan kalau aku sudah membikin ribut. Memang aku sengaja datang ke sini untuk menghadap Bengcu sebab aku mendengar bahwa Bengcu mengumpulkan orang-orang gagah untuk diajak bekerja sama. Nah, kalau memang kerja sama itu dapat menguntungkan aku, tentu saja aku bersedia pula membantu Bengcu." "Nanti dulu," kata Lam-hai Giam-lo sambil memandang tajam penuh selidik. Dia seorang tokoh sesat yang mengenal banyak orang berilmu tinggi di dunia persilatan, akan tetapi dia merasa belum pernah bertemu dengan orang ini, tidak tahu siapa namanya, dan dari golongan mana pula datangnya. "Sebelumnya kami ingin mengetahui siapa sebenarnya engkau ini, Sobat." Kembali lelaki itu tertawa, "Ha-ha-ha, aku sendiri sudah lupa dan tidak ingat akan namaku sendiri, juga aku pun tidak peduli. Bengcu, biasanya aku hanya menggunakan nama Han Lojin, tempat tinggalku tidak menentu, di mana saja asal menyenangkan hatiku, di situlah tempat tinggalku." "Hemm, terus terang saja, telah banyak aku mengenal tokoh dunia kang-ouw, akan tetapi belum pernah aku mendengar nama Han Lojin, juga belum pernah bertemu denganmu." "Tentu saja, Bengcu. Selama ini aku memang selalu bersembunyi saja di tempat sunyi, menjauhkan diri dari segala urusan dunia ramai. Namun akhirnya aku merasa bosan dan begitu turun gunung, aku mendengar akan kesempatan yang diberikan oleh Bengcu untuk bekerja sama dengan orang-orang gagah. Aku siap membantu asal saja ada imbalannya yang cukup memuaskan," sambil berkata demikian ia memandang dan tersenyum kepada Pek Eng. Gadis itu mengerutkan alisnya dan segera membuang muka. Pria itu sungguh genit, pikirnya. Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk lalu tersenyum. Memang dia ingin mengumpulkan sebanyak mungkin orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi agar gerakannya akan menjadi kuat. "Hemm, Han Lojin, ilmu silat baru dapat dilihat bila mana sudah diuji. Tadi engkau sudah menunjukkan kepandaian ketika menghadapi pengeroyokan anak buah kami. Akan tetapi karena tingkat kepandaian mereka masih amat rendah, maka hal itu belum bisa dijadikan ukuran. Saudara Tang Hay, engkau wakililah aku untuk menguji sampai di mana tingkat kepandaian Han Lojin itu. Nah, marilah kita masuk ke lian-bu-thia." Han Lojin tersenyum, lantas dengan langkah gagah dia pun ikut bersama mereka semua memasuki ruangan berlatih silat itu. Hay Hay mengerutkan alisnya, akan tetapi segera dia tersenyum. Dia harus memperoleh kepercayaan mereka agar dapat menyelidiki keadaan persekutuan itu, dan dia pun tahu bahwa sekali ini yang diuji bukan hanya kepandaian lelaki bernama Han Lojin (Kakek Han) itu saja, akan tetapi juga ujian untuk kesetiaan dan kesungguhan hatinya untuk bekerja sama dengan persekutuannya. Maka, sesudah tiba di dalam ruangan belajar silat itu dia langsung menghadapi Han Lojin, ada pun Lam-hai Giam-lo, Pek Eng dan Ki Liong sudah mengambil tempat duduk masing-masing untuk menonton pertandingan silat. Kini kedua orang itu sudah berdiri saling berhadapan, seperti dua ekor jago yang hendak bertarung, lebih dahulu mengamati lawan dengan sinar mata tajam penuh penilaian. Hay Hay melihat betapa Han Lojin seperti menahan senyum dan sikapnya amat memandang rendah, akan tetapi anehnya wajah itu berseri seolah-olah hati orang itu merasa gembira! Timbullah rasa suka di dalam hatinya. Orang ini berwatak periang, dan dia pun merasa kasihan. Akan dijaganya agar dia tidak sampai melukai atau merobohkan orang ini dengan mudah, agar martabat orang ini dapat terangkat di dalam pandangan mata Lam-hai Giam-lo. Pada saat itu bermunculanlah tokoh-tokoh yang menjadi sekutu Lam-hai Giam-lo. Mereka itu adalah Ji Sun Bi, Min-san Mo-ko, Kim San Ketua Kui-kok-pang, Hek-hiat Mo-ko, serta beberapa orang pendeta perkumpulan Pek-lian-kauw. Mereka mendengar bahwa Ki Liong telah berhasil membujuk pemuda yang namanya Hay Hay dan terkenal sangat lihai itu untuk menghadap Lam-hai Giam-lo dan menjadi sekutu, juga mendengar bahwa pemuda itu kini disuruh oleh Bengcu untuk menguji kepandaian seorang tamu yang menyatakan diri hendak bergabung. Mereka tertarik dan berbondong-bondong memasuki lian-bu-thia. Karena mereka bukan anggota biasa, namun serombongan orang yang dianggap sebagai sekutu dan rekan, maka mereka pun diperbolehkan lewat dan masuk oleh para anggota Kui-kok-pang yang tengah berjaga. Lam-hai Giam-lo juga diam saja dan hanya membalas penghormatan mereka dengan anggukan kepala ketika melihat mereka masuk kemudian mengambil tempat duduk di pinggir dekat dinding. Hay Hay juga melihat ketika mereka itu memasuki lian-bu-thia, dan merasa heran mengapa dia belum melihat dua pasang suami isteri yang pernah memperebutkannya pada waktu dia kecil. "Han Lojin, silakan mulai membuka serangan!" tantangnya. Dia ingin segera menyelesaikan tugas yang tidak enak ini. Dia harus menguji kepandaian orang yang mendatangkan rasa suka di dalam hatinya. Namun tanpa disangkanya Han Lojin malah tertawa. "Ha-ha-ha-ha, baru sekarang ini aku memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan Ang-hong-cu yang tersohor itu, ha-ha-ha!" Semua orang terkejut, kecuali Ki Liong yang sudah tahu tentang hal itu. Hay Hay bahkan lebih terkejut dari pada orang lain. "Han Lojin, apa maksudmu...?!" Dia berseru penasaran. "Aku bukan Ang-hong-cu!" Han Lojin masih tertawa, lantas menudingkan telunjuknya ke arah muka Hay Hay sambil berkata. "Orang muda, masih perlukah menyangkal lagi? Jika engkau bukan Ang-hong-cu, kenapa para tosu dan murid Bu-tong-pai itu menyerangmu mati-matian? Sudahlah, orang muda, namamu Tang Hay? Bagus, akui saja karena dari golongan mana pun juga, semua yang berada di sini adalah rekan sendiri, bukan? Jadi, tidak perlu malu-malu." "Dia bukan Ang-hong-cu...!" Tiba-tiba terdengar suara Pek Eng lantang. Gadis ini sudah bangkit berdiri dan matanya memandang marah. Ia tentu saja tahu bahwa Hay Hay bukan Ang-hong-cu, melainkan putera kandung dari penjahat pemetik bunga yang tersohor itu. Hay Hay terkejut sekali, cepat-cepat membalikkan tubuhnya menghadapi Pek Eng lantas mengerahkan kekuatan sihirnya. "Eng-moi, jangan ikut mencampuri dan duduklah saja, biar kuhadapi sendiri tuduhan ini!" Kekuatan sihir itu menguasai Pek Eng yang tiba-tiba duduk kembali dengan muka agak berubah pucat. Ki Liong dan Lam-hai Giam-lo tak merasa heran dengan seruan Pek Eng tadi. Bukankah Pek Eng sudah mengenal Hay Hay? Tentu gadis itu membelanya karena mungkin dia tidak tahu bahwa pemuda kenalannya itu adalah Ang-hong-cu. Akan tetapi Ki Liong juga meragukan kebenaran tuduhan itu. "Han Lojin, Saudara Tang Hay terlampau muda untuk menjadi Ang-hong-cu, harap jangan bicarakan urusan itu. Hadapi saja dia dengan ilmu silatmu agar bisa membuktikan kepada Bengcu bahwa engkau cukup berharga untuk menjadi rekan kami," kata Ki Liong dengan suara lantang. Han Lojin tersenyum lebar. "Baiklah, orang muda she Tang. Engkaulah yang harus mulai menyerang lebih dulu karena engkau adalah pengujiku, bukan? Heh-heh-heh!" Kini berkuranglah rasa suka di dalam hati Hay Hay terhadap orang itu. Bagaimana pun juga, di hadapan orang banyak orang ini telah menuduhnya sebagai Ang-hong-cu dan ini berbahaya sekali karena memang dia adalah putera jai-hwa-cat itu. Bagaimana pun juga kenyataan ini sudah menghancurkan hatinya dan dia tidak mau kenyataan yang pahit itu diketahui orang lain. Pek Eng mengetahuinya, akan tetapi dia berhasil membungkam mulut gadis itu dengan kekuatan sihirnya. Ada pun Han Lojin tampaknya demikian memandang rendah padanya. Hemm, dia akan tunjukkan kepada orang tua ini bahwa dia tidak boleh dibuat permainan! "Baik, aku akan menyerang. Sambutlah!" bentak Hay Hay. Dia pun sudah menerjang dengan memainkan Ilmu Silat Ciu-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Dewa Arak). Dengan mempergunakan jurus Dewa Pemabok Menepuk Lalat, tangannya menyambar ke arah pundak lawan, kelihatannya hanya perlahan saja namun di dalam tamparan itu terkandung tenaga dahsyat. "Hehhh!" Han Lojin agaknya kaget juga ketika merasakan sambaran angin pukulan yang amat kuat. Dia maklum bahwa pemuda ini lihai, hal itu dapat dilihatnya ketika pemuda itu menghadapi tosu Bu-tong-pai yang lihai. Akan tetapi tak disangkanya bahwa pemuda itu menggunakan tamparan yang demikian dahsyatnya. Dia pun cepat mengelak, akan tetapi tangan pemuda itu seperti meluncur terus, tamparan ke arah pundaknya itu kini bahkan meluncur ke arah lehernya, lebih berbahaya dari pada sebelum dielakkannya tadi. Tiba-tiba saja kaki Han Lojin mencuat dan mengirim tendangan ke arah pusar Hay Hay. Serangan balasan ini juga merupakan pembelaan diri karena kakinya lebih panjang dari pada lengan Hay Hay. Terpaksa pemuda ini menarik kembali tamparannya karena kaki lawan sudah menyambar cepat. Dia pun cepat mengerahkan tenaga pada tangan kirinya, lantas membacokkan tangan kiri itu seperti sebatang golok ke arah kaki yang menendangnya! Kembali Han Lojin mampu menyelamatkan kakinya dengan memutar kaki itu hingga tubuhnya ikut terputar dan luput dari bacokan tangan Hay Hay. Han Lojin mengerluarkan seruan nyaring, kemudian tiba-tiba saja tubuhnya berkelebatan dengan sangat cepatnya sehingga sukar dlikuti oleh pandangan mata biasa. Dan dengan gerakan secepat itu, dia segera menghujankan serangan berupa totokan bertubi-tubi ke arah tubuh Hay Hay! Pemuda ini kembali terkejut dan dia pun cepat menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) Yan-cu Coan-in (Walet Menembus Awan) yang membuat tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet terbang saja. Sekarang giliran Han Lojin yang mengeluarkan seruan kagum. Wuiiihhhh.! Para penonton juga memandang kagum dan beberapa kali mereka mengeluarkan seruan kagum karena pertandingan itu memang menarik sekali. Dari gerakan-gerakan Han Lojin, mereka yang berilmu tinggi dan hadir di situ seperti Lam-hai Giam-lo, Ki Liong dan para tokoh lain, dapat mengenal bahwa orang ini menguasai berbagai macam ilmu silat. Ada gaya silat Siauw-lim-pai di dalam gerakannya, ada pula gaya silat Kun-lun-pai dan partai persilatan lain. Pendeknya, setiap gerakan Han Lojin penuh dengan gaya berbagai aliran dari utara sampai selatan. Hal ini menunjukkan bahwa dia telah mempunyai pengalaman yang luas sekali, mempelajari banyak macam ilmu silat yang membuatnya amat lihai. Melihat kelihaian Han Lojin, diam-diam semua orang merasa kagum dan Lam-hai Giam-lo girang sekali karena dia telah membayangkan mendapat dua orang pembantu yang hebat di samping Ki Liong, yaitu Hay Hay dan Han Lojin. Dengan adanya tiga orang pembantu yang tingkat kepandaiannya sudah hampir menyamainya itu, maka dia merasa kuat, apa lagi masih ada Kulana di sana. Jangankan mereka yang nonton, bahkan mereka yang sedang bertanding itu pun merasa terkejut dan kagum sekali. Han Lojin berkali-kali mengeluarkan seruan kagum dan memuji sebab serangan apa pun yang dia keluarkan, dari pilihan jurus-jurus paling ampuh, semua mampu dihindarkan oleh pemuda itu, baik melalui tangkisan mau pun elakan. Dan dalam adu tenaga harus diakuinya bahwa tenaga sinkang pemuda itu kuat bukan main, mungkin lebih kuat dari pada tenaganya sendiri! Di lain pihak Hay Hay juga tertegun saat melihat kelihaian lawan. Ilmu-ilmu silatnya yang paling hebat telah dikeluarkan, namun sulit baginya untuk merobohkan atau mengalahkan lawan. Apa lagi mengalahkan tanpa merobohkan! Lawannya ini sungguh hebat dan seimbang dengan tingkatnya. Dalam hal tenaga sinkang mungkin dia masih menang sedikit, akan tetapi dia tidak tega untuk mengerahkan seluruh tenaganya, khawatir kalau sampai melukai atau membunuh orang itu. Setelah melihat kelihaian ilmunya, timbul pula rasa sayang di dalam hati Hay Hay. Orang ini belum dikenalnya bagaimana keadaannya, entah dari golongan sesat atau dia seorang pendekar aneh. Memang di dunia ini terdapat banyak pendekar-pendekar atau orang-orang sakti yang aneh. Di antaranya guru-gurunya, seperti Pek Mau Sanjin dan Song Lojin, juga termasuk orang-orang aneh. Bahkan dua orang gurunya terdaulu, See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, juga merupakan orang-orang aneh sehingga kalau dibuat perbandingan, lawannya yang mengaku bernama Han Lojin ini belum berapa hebat keanehannya. Dia tidak berniat untuk mencelakakan lawan ini. Di dalam hati kedua orang ini timbul suatu pertanyaan. Dalam uji ilmu silat mereka sudah merasa sukar untuk mendapatkan kemenangan, ada pun pertarungan berjalan seimbang dan seru sekali. Lalu andai kata mereka itu benar-benar berkelahi, betapa akan seru dan mati-matian! "Heiiiittt...!" Tiba-tiba Hay Hay sudah menerjang lagi, kali ini dengan cengkeraman tangan ke arah ubun-ubun kepala lawan dan tonjokan susulan dengan tangan kiri ke arah dada! "Ihhhh...!" Han Lojin mengeluarkan seruan keras, menarik tubuh atas ke belakang sambil miringkan tubuh hingga cengkeraman ke arah ubun-ubunnya itu luput, sedangkan tangan kanannya diputar dari samping untuk menangkis tonjokan ke arah dadanya, dan disusul tangan kirinya membalas dengan menggunakan telunjuk dan jari tengah untuk menusuk ke arah mata lawan! Hay Hay kagum bukan main. Sungguh indah dan berbahaya gerakan lawan yang dengan kontan membalas serangannya. Maka dia pun menangkis dengan putaran lengannya. "Dukkk! Desss...!!" Dua kali empat tangan itu bertemu kemudian keduanya terdorong ke belakang. "Hyaaaattt...!" Tubuh Han Lojin sudah melayang ke atas dengan tendangan kaki terbang! Hay Hay juga menyambut dengan gerakan yang sama, yaitu meloncat ke atas kemudian menyambut serangan lawan dengan kedua kakinya pula. "Desss...!" Bentrok hebat terjadi di udara tanpa dapat dicegah lagi, lantas tubuh keduanya terpelanting. Jika Hay Hay tidak cepat-cepat berjungkir balik mematahkan luncuran, maka badannya akan terbanting. Kini keduanya telah saling pandang lagi, berhadapan dalam jarak empat meter. Keduanya telah mengeluarkan keringat, akan tetapi tampak bahwa Hay Hay masih segar sedangkan lawannya sudah mulai terengah-engah! "Hebat... engkau sungguh hebat, sangat pantas menjadi Ang-hong-cu...," kata Han Lojin sambil memandang dengan mulut menyeringai. "Aku bukan Ang-hong-cu, setan!" Hay Hay berseru marah dan dia sudah siap menyerang lagi. Saat itu digunakan oleh Ki Liong untuk melompat ke depan, di antara mereka dan melerai. "Sudahlah, Saudara Tang Hay! Han Lojin! Ji-wi (Kalian Berdua) sudah memperlihatkan kepandaian dan kiranya sudah cukup, bukankah begitu, Bengcu?" Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk. Saking tertariknya dia tadi sampai lupa. Jika tidak Ki Liong yang cepat maju melerai, lantas pertandingan itu dilanjutkan sampai seorang di antara kedua jagoan itu terluka atau tewas, sungguh amat sayang sekali dan berarti suatu kerugian besar baginya. Maka dia pun bangkit dan mengangkat kedua tangannya. "Sudah cukup, sudah lebih dari cukup. Ji-wi sudah memperlihatkan kepandaian dan kami kagum sekali. Mulai saat ini juga Ji-wi menjadi pembantu-pembantuku yang dapat kami andalkan. Nah, marilah duduk, akan kami perkenalkan kepada rekan-rekan lain." Dengan gembira Lam-hai Giam-lo kemudian memerintahkan orang-orangnya supaya menyiapkan hidangan besar dengan cepat untuk menghormati kedua orang pembantu baru itu. Terjadi keanehan di dalam perkenalan itu. Kalau Han Lojin benar-benar merupakan wajah baru, dan hanya Ki Liong seorang yang pernah bertemu dengannya ketika dia menyamar sebagai seorang penggembala kambing suku Hui, sebaliknya ketika Hay Hay dikenalkan, banyak wajah yang sudah dikenalnya berada di situ. Tentu saja dia telah mengenal Ji Sun Bi, wanita pertama yang menanamkan gairah birahi dalam dirinya, juga Min-san Mo-ko bukan orang asing baginya karena telah beberapa kali dia bertanding dengan Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi. Ketika mereka semua tengah berpesta, muncullah dua pasang suami isteri, yaitu Lam-hai Siang-mo beserta suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan. Mereka masuk ke dalam ruangan makan, disambut gembira oleh Lam-hai Giam-lo. "Aihh, kebetulan kalian berempat datang. Mari, mari sekalian ikut berpesta dengan kami, menyambut pembantu-pembantu baru yang luar biasa ini!" Dia menunjuk kepada Hay Hay dan Han Lojin yang duduk di kanan kirinya. Melihat Hay Hay, dua pasang suami isteri itu memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar, penuh amarah dan juga kegentaran. "Wah, agaknya kalian berempat sudah mengenal pemuda ini pula! Saudara muda Tang, ternyata di sini sudah banyak orang yang mengenalmu dengan baik, ha-ha-ha!" Demikian Han Lojin berseru sambil tertawa. Lam-hai Giam-lo memandang tajam pada pemuda itu. "Saudara Tang, benarkah engkau sudah mengenal kepada mereka berempat?" tanyanya heran. Hay Hay mengangguk sambil tersenyum. "Tentu saja, bahkan Lam-hai Siang-mo pernah menjadi ayah dan ibuku, maksudku dulu mereka telah mengambilku sebagai anak pungut semenjak aku masih bayi sampai berusia tujuh tahun. Dan mereka suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan ini juga sudah kukenal baik sekali karena mereka pernah mencoba untuk merampasku dari tangan Lam-hai Siang-mo. Aku diperebutkan oleh kedua suami isteri ini karena aku dianggap Sin-tong!" Hay Hay tertawa. "Sin-tong...? Bukankah Sin-tong itu kakak kandungmu, Eng Eng?" tanya Lam-hai Giam-lo kepada Eng Eng. Eng Eng tersenyum pula. Tidak perlu dirahasiakan tentang itu karena memang dia pernah bercerita kepada bengcu itu tentang kakak kandungnya. "Benar, Bengcu. Semenjak kecil kakak kandungku Pek Han Siong dianggap sebagai Sin-tong dan dijadikan perebutan, lalu oleh keluarga kami kakakku itu disembunyikan dan diganti dengan seorang bayi lain, yaitu Hay-ko ini. Kemudian Hay-ko lenyap dicuri orang, ditukar dengan bayi mati, kiranya yang menukar itu adalah Lam-hai Siang-mo." Lam-hai Giam-lo juga tertawa, lalu memberi isyarat dengan tangannya kepada dua pasang suami isteri itu. "Ehh, kenapa kalian berempat menjadi bengong setelah melihat Saudara Tang Hay? Mari duduklah dan jangan khawatir, sekarang dia ini adalah rekan kita sendiri. Lupakanlah semua hal yang terjadi pada masa lampau, karena mulai sekarang kita harus mencurahkan perhatian untuk perjuangan kita. Berita apa yang kalian bawa dari Saudara Kulana?" "Kami sudah menghadap Saudara Kulana dan telah menjelaskan bahwa kini kita sudah siap dan sudah mengumpulkan banyak tenaga yang jumlahnya tidak kurang dari seribu orang. Dia menyatakan kegirangan hatinya dan dia mengirimkan bantuan emas kepada Bengcu disertai suratnya." Siangkoan Leng yang menjadi juru bicara mereka berempat lalu menyerahkan sebuah bungkusan yang kelihatan berat berikut segulung surat kepada Lam-hai Giam-lo. Bengcu ini menerima buntalan itu lalu meletakkan di atas meja. Meja berderak menahan berat buntalan itu dan begitu buntalan dibuka, semua orang langsung terbelalak melihat bongkahan-bongkahan emas murni yang berkilauan. Mereka menaksir bahwa emas murni itu beratnya tentu tidak kurang dari lima ratus tai! Lam-hai Giam-lo membuka surat itu dan membaca. Wajahnya berubah girang dan setelah menyimpan surat itu ke dalam saku bajunya, dia pun memandang semua pembantunya yang kini lengkap hadir di situ. "Cu-wi (Saudara sekalian), ada kabar yang sangat baik. Selain Kulana telah mengirimkan bukti bantuannya berupa emas murni untuk membiayai pasukan yang kita himpun, juga menurut siasat yang telah diaturnya, gerakan dapat dilakukan pada akhir bulan ini, kurang lebih dua minggu lagi. Dia telah menentukan ke arah mana pasukan akan bergerak, dibagi menjadi berapa kelompok, dan kota mana yang akan diduduki sebagai landasan pertama untuk dijadikan benteng bagi gerakan selanjutnya. Maka sekarang juga kita harus mulai mempersiapkan pasukan kita dan menarik mereka semua ke sini, melatih mereka sambil menunggu siasat yang akan disampaikan sendiri oleh Saudara Kulana pada malam bulan purnama dua minggu lagi." Semua orang menyambut kabar ini dengan gembira, sementara itu secara diam-diam Hay Hay mencatat semua yang didengarnya dan dilihatnya. Mereka melanjutkan pesta malam itu dan kemudian terjadi kesibukan. Tentu saja yang bertugas mengumpulkan pasukan para pemberontak adalah pembantu-pembantu yang telah memperoleh kepercayaan dari Lam-hai Giam-lo. Hay Hay dan Han Lojin yang merupakan orang baru, belum menerima tugas melainkan disuruh memperkuat penjagaan di sarang mereka. Juga Ki Liong tidak bertugas keluar. Pemuda ini merupakan orang kepercayaan dan juga tangan kanan Lam-hai Giam-lo yang diam-diam menyuruh Ki Liong untuk memasang mata mengamati kedua orang pembantu baru itu. *************** Malam itu sangat dingin dan sunyi. Pek Eng sudah berada di dalam kamarnya, rebah di atas pembaringannya. Dia gelisah. Pertemuannya dengan Hay Hay masih mendatangkan ketegangan di dalam hatinya, apa lagi mengingat betapa tadi siang Hay Hay telah dituduh sebagai Ang-hong-cu. Dia dapat merasakan betapa sakit rasa hati pemuda itu sehingga dia merasa kasihan. Ingin dia bertemu untuk bercakap-cakap dengan pemuda itu, namun hatinya merasa tidak enak apa bila dia harus mencari kamar pemuda itu. Bagaimana pun juga dia tahu bahwa orang-orang seperti Ki Liong dan Ji Sun Bi tampaknya belum percaya penuh kepadanya, walau pun tidak berani secara berterang menentangnya karena Lam-hai Giam-lo sangat menyayanginya sebagai murid dan bahkan anak angkat! Akan tetapi dia ingin sekali bertemu dengan Hay Hay, berbicara dengan dia dan bertanya akan maksud kunjungan pemuda itu ke tempat ini. Dia tak percaya bahwa Hay Hay ingin membantu Lam-hai Glam-lo karena menginginkan imbalan jasa! Dia merasa yakin bahwa Hay Hay bukanlah seorang pemuda seperti itu. Karena gelisah, Pek Eng lalu keluar dari dalam kamarnya dan memasuki taman yang luas itu. Semenjak dia berada di situ, taman ini telah menjadi semakin terawat karena dia suka akan bunga-bunga. Bahkan Lam-hai Giam-lo menuruti permintaannya untuk membangun sebuah pondok kecil yang dicat indah di dalam taman itu untuk tempat beristirahat di kala hawa sedang panasnya, di dekat kolam ikan emas. Hati Pek Eng yang gelisah menjadi sedikit lega sesudah dia keluar dari kamar dan hawa malam meniup wajahnya, bermain-main dengan rambutnya. Ketika dia berjalan menuju ke sebuah bangku, dia terkejut dan jantungnya berdebar lebih kencang saat melihat sesosok tubuh seorang lelaki duduk di atas bangku itu, wajahnya tidak jelas karena lampu taman berada di belakangnya, tergantung pada batang pohon. Tentu Hay Hay, pikirnya dengan girang dan dia pun lalu menghampiri. "Aihhh, malam-malam begini melamun seorang diri..." Pek Eng menghentikan tegurannya karena setelah pemuda itu menoleh, ternyata bukan Hay Hay yang ditemukan melainkan Ki Liong. Dia merasa kecelik dan malu, maka cepat disambungnya, "Liong-ko, mengapa melamun seorang diri di sini?" Gadis yang cerdik ini menyambung tegurannya sehingga tidak kentara bahwa tadi dia mengira bahwa pemuda itu adalah Hay Hay. Sim Ki Liong segera bangkit sambil tersenyum manis. "Tidak tahukah engkau, Eng-moi, bahwa sudah lama sekali setiap malam aku duduk seorang diri di sini sambil melamun dan merindukan seseorang?" Pek Eng tersenyum, kemudian tanpa malu-malu dia pun duduk di sudut bangku itu sambil menatap wajah Ki Liong yang sekarang tertimpa sinar lampu gantung yang tergantung di batang pohon dekat bangku. "Aihh, agaknya engkau telah mempunyai seorang kekasih yang kau rindukan, Liong-ko?" Pek Eng menggoda. Gadis ini memang berwatak lincah jenaka dan dia sudah agak akrab dengan Ki Liong yang memang pandai mengambil hati dan membawa diri. "Sudah lama, Eng-moi, akan tetapi gadis pujaan hatiku itu hanya kusimpan saja di dalam hati, dan setiap malam kurindukan di bangku ini." "Siapakah gadis itu, Liong-ko? Boeh aku mengenalnya?" "Engkau sudah mengenalnya dengan baik, Eng-moi. Gadis itu kini berada di sini." "Di taman ini? Ahh, di mana? Siapa?'" "Tidak jauh, di hadapanku, di sudut bangku ini. Engkaulah orangnya, Eng-moi, engkaulah gadis yang kucinta, yang selalu kurindukan dan membuat aku tergila-gila. Tidak tahukah engkau?" Seketika wajah Pek Eng berubah merah sekali. Dia merasa malu, kaget, dan juga marah. Sungguh tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini akan membuat pengakuan cinta kepadanya! "Ahh... Liong-ko...!" Dia bangkit berdiri. Dengan cepat Ki Liong melangkah maju dan dengan lembut dia sudah memegang tangan Pek Eng sambil menjatuhkan diri berlutut di hadapan gadis itu. "Eng-moi, kasihanilah aku yang akan hidup merana tanpa engkau di sisiku! Eng-moi, aku cinta padamu, Eng-moi...!" Dan dia dia menciumi tangan gadis itu. Pek Eng berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat, tubuhnya menggigil karena dia bingung sekali. Dia merasa kaget, juga terharu bercampur marah sehingga dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya dalam menghadapi pemuda yang mengaku cinta itu. Kedua kakinya gemetar. Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang, "Wah, indah sekali bunga-bunga di taman ini! Aih, di mana adanya Sim-kongcu? Katanya berada di taman ini..." Dan muncullah Han Lojin, sementara itu Ki Liong sudah cepat-cepat bangkit berdiri dan melepaskan tangan Pek Eng. "Ahhh, ternyata betul engkau berada di sini, Sim-kongcu!" kata Han Lojin dengan wajah berseri gembira, "Ha, kiranya Nona Pek Eng yang cantik jelita itu berada di sini juga?" "Han Lojin, ada urusan apakah engkau mencari aku?" Ki Liong bertanya, alisnya berkerut dan suaranya kaku, hatinya tak senang karena dia merasa terganggu sekali. Padahal tadi Pek Eng tidak menunjukkan perlawanan dan agaknya dia sudah hampir berhasil sebelum orang celaka ini muncul dan membikin kacau! "Maaf, sebelum kita bicara sebaiknya kalau Nona Pek ini kembali ke kamarnya lebih dulu. Nona, malam sudah begini larut, kalau Nona masih berada di taman tentu akan membuat hati Bengcu merasa tidak tenteram. Sebaiknya kalau Nona kembali ke kamarmu agar aku dapat bercakap-cakap dengan Sim-kongcu." Pek Eng baru sadar akan apa yang sudah terjadi, maka diam-diam dia merasa bersyukur dengan kemunculan orang itu. Tadi dia merasa seperti kehilangan semangat, dan kini dia melihat dengan perasaan ngeri betapa hampir saja dia terjerumus ke dalam jurang yang amat berbahaya. Ia mengangguk dan melangkah pergi dari situ tanpa banyak cakap lagi. Tentu saja hati Ki Liong menjadi semakin kecewa dan marah terhadap orang tua ini. Akan tetapi tentu saja dia tak berani menyatakan ketidak senangannya, bukan karena dia takut terhadap Han Lojin, melainkan dia khawatir kalau sampai Lam-hai Giam-lo tahu akan apa yang hendak dilakukannya terhadap Pek Eng tadi. Kalau Bengcu tidak setuju dan marah kepadanya, tentu dia akan menghadapi kesulitan besar. Sesudah Pek Eng keluar dari taman itu, Ki Liong memandang tajam kepada Han Lojin, berusaha menelan kemarahannya dan hanya nampak kemarahan itu pada suaranya yang ketus dan kaku, tidak seperti biasanya di mana dia selalu lembut dan ramah. "Nah, sekarang keluarkan isi hatimu, Han Lojin. Apakah urusan itu yang membuat engkau malam-malam begini mencari aku?" Han Lojin bersikap tenang saja menghadapi kekakuan Ki Liong ini. "Aku tadi sudah minta penjelasan kepada Bengcu tentang keadaan kita, karena aku ingin mengetahui lebih jelas bagaimana kedudukan kita, bagaimana kekuatan kita dan apa pula rencana kita. Sebagai orang baru, aku tidak tahu apa-apa, sedangkan sebagai pembantu, tentu saja aku harus mengetahui semua itu. Akan tetapi Bengcu tadi menyuruh aku mencari dan menemuimu, Sim-kongcu, dan katanya engkau dapat menjelaskan semua itu kepadaku." "Hemm, kiranya urusan begitu saja..." Ki Liong menoleh ke arah lenyapnya Pek Eng dan merasa menyesal bukan main. Untuk urusan begitu saja dia terpaksa melepaskan calon korban yang sudah berada di depan mulut tadi, tinggal tubruk saja! "Malam ini aku sedang malas, biarlah besok pagi saja aku memberi penjelasan itu kepadamu, Han Lojjn." Han Lojin tersenyum lalu mengangguk. "Begitu juga baik, Sim-kongcu. Selamat malam!" Dia melangkah pergi, akan tetapi baru beberapa langkah saja, dia berhenti dan menoleh. "Ada satu hal lagi, Kongcu. Sebetulnya engkau harus berterima kasih kepadaku sehingga tidak terjadi sesuatu antara engkau dan Nona Pek Eng, karena kalau Bengcu mengetahui, tentu akan terjadi mala petaka atas dirimu." Setelah berkata demikian Han Lojin berjalan keluar taman dan menghilang di dalam kegelapan malam. Ki Liong tertegun, berdiri mematung dan mengepal kedua tinjunya. Kemudian pemuda ini mendengus. "Bedebah!" Dia pun pergi meninggalkan taman, kembali ke dalam kamarnya. Tentu saja dia menjadi berhati-hati dan tak berani mencoba lagi untuk mengganggu dan merayu Pek Eng setelah Han Lojin mengetahuinya. Siapa tahu orang baru itu melaporkan hal ini kepada bengcu untuk mengambil hati! Dia harus berhati-hati sekali. *************** Sementara itu Hay Hay sedang duduk di dalam kamarnya. Dia sudah cukup mendengar dan melihat banyak untuk bahan laporan kepada pemerintah. Dia harus bertindak cepat, pikirnya. Tidak ada waktu lagi untuk melapor ke kota raja, kepada Menteri Yang Ting Hoo. Dia akan melapor kepada benteng pasukan pemerintah yang terdekat mengenai rencana pemberontakan yang akan dimulai ketika terang bulan dua minggu mendatang. Rencana pemberontakan itu harus dihancurkan! Dia perlu menghubungi para pendekar, akan tetapi dia tidak tahu mereka berada di mana. Teringatlah dia kepada Han Lojin! Orang itu mencurigakan sekali. Dia tidak yakin bahwa orang itu termasuk tokoh sesat yang hendak mencari keuntungan dengan membantu para pemberontak. Siapa tahu dia adalah seorang tokoh pendekar pula yang menyamar! Sebelum pasukan pemerintah menghancurkan pasukan pemberontak, lebih dahulu para tokoh sesat harus dibinasakan. Akan tetapi pasukan pemerintah baru bisa bergerak kalau pasukan pemberontak yang jumlahnya kurang lebih seribu orang itu sudah berkumpul di dataran Yunan. "Tok-tok-tok!" daun pintu kamarnya diketuk orang dari luar, perlahan saja. Dia terkejut bukan oleh ketukan itu, akan tetapi karena sama sekali dia tidak mendengar langkah orang di luar pintu. Jika langkah orang biasa sudah pasti akan didengarnya. Jelas bahwa yang datang mengetuk daun pintu itu tentu orang yang berkepandaian tinggi. "Siapa di luar?" tanyanya tanpa bangkit dari tempat duduk. "Aku, saudara muda Tang Hay, bukalah pintu, aku Han Lojin ingin bicara denganmu!" kata suara itu dari luar pintu. Berdebar rasa jantung dalam dada Hay Hay. Baru saja dia memikirkan tentang orang ini! Benarkah dia seorang pendekar yang bertugas sama dengan dia? Kalau memang benar, betapa beraninya mendatangi kamarnya begitu saja, tentu akan menimbulkan kecurigaan. Hay Hay tahu bahwa diam-diam Lam-hai Giam-lo belum percaya kepada mereka berdua dan tentu selalu memasang mata-mata untuk mengamati mereka. Mungkin Sim Ki Liong mata-mata itu, atau para anggota Kui-kok-pang atau Pek-lian-kauw. Dan teringat dia akan kelihaian orang ini. Tidak mudah baginya untuk mengalahkannya. Bagaimana kalau dengan ilmu sihir? Belum dicobanya. Kekuatan sihirnya tidak selalu dapat diandalkan. Apa bila bertemu lawan yang tangguh dan memiliki daya tahan terhadap sihir, seperti mendiang Kiu-bwe Tok-li nenek buruk itu, maka kekuatan sihirnya tidak akan ada artinya. Akan tetapi boleh dia coba, pikirnya sambil bangkit dari kursinya dan membuka daun pintu. Dia telah mempersiapkan diri, mengerahkan kekuatan sihirnya pada saat membuka pintu. Begitu daun pintu terbuka dan Hay Hay berhadapan dengan Han Lojin, dia menatap tajam di antara kedua alis orang itu dan berkata dengan suara yang menggetar penuh wibawa, "Aku bukan Hay Hay aku Sim Ki Liong!" Jelas kelihatan betapa wajah Han Lojin tertegun kaget, matanya terbelalak dan mulutnya tergagap, "Sim... Sim... Kongcu..., ahhh!" Dia menggunakan tiga jari tangan kirinya untuk menekan dahi di antara kedua alisnya, lalu memandang lagi dan kini wajahnya tersenyum lebar. "Wah, Saudara Tang, jangan main-main! Hampir saja kukira benar, akan tetapi baru saja aku bertemu Sim-kongcu di taman. Agaknya engkau memang suka bermain sulap, ya?" Dan tahulah Hay Hay bahwa orang ini memang tangguh. Begitu terpengaruh sihirnya, Han Lojin tadi sudah berhasil memunahkan kekuatan sihirnya dengan menekan antara kedua alis matanya dengan tiga jari tangan kiri. Dia melihat betapa orang itu membawa sebuah guci arak, maka semakin heranlah dia untuk apa orang ini datang kepadanya membawa guci arak. "Han Lojin, ada keperluan apakah maka malam-malam begini engkau datang berkunjung kepadaku?" Diam-diam dia merasa heran. Orang ini bersama dia baru saja diterima di situ sebagai sekutu, dan malam pertama ini Han Lojin sudah berkeliaran di tempat orang! "Ha-ha-ha, karena aku suka padamu, karena aku kagum padamu. Engkau masih begini muda, akan tetapi sudah amat lihai. Aku berkunjung untuk bicara dan untuk menyatakan rasa kagumku, mengajakmu minum-minum untuk mempererat perkenalan antara kita." "Hemm, di dalam lian-bu-thia tadi engkau sama sekali tidak menghargaiku, malah secara seenaknya telah menuduh aku Ang-hong-cu!" kata Hay Hay mendongkol. "Heh-heh, karena engkau memang pantas menjadi Ang-hong-cu yang tersohor itu..." "Tidak sudi! Tersohor jahat, apa gunanya?" "Ha-ha-ha, Saudaraku yang baik. Bukankah di sini sedang berkumpul banyak orang yang bergelimang kejahatan? Ataukah engkau adalah seorang yang menentang kejahatan, dan kalau benar demikian, mengapa berada di sini?" Berkata demikian, Han Lojin melangkah masuk. "Bolehkah aku masuk ke dalam? Aku hanya ingin menyuguhkan arak istimewa ini untuk memberi selamat dan menyatakan rasa kagumku." Ucapan Han Lojin tadi mengejutkan hati Hay Hay. Orang ini sungguh berbahaya, agaknya dia menaruh curiga kepadaku dan mengira bahwa aku adalah seorang dari golongan lain yang menentang para tokoh sesat, pikir Hay Hay. Kalau benar demikian, celakalah, akan tetapi dia akan berpura-pura tidak mengerti dan ingin melihat perkembangannya. "Masuk dan duduklah, Han Lojin," katanya mempersilakan. Keduanya duduk dipisahkan meja kecil, di atas dua buah kursi yang berada di kamar itu. "Nah, katakan, Han Lojin, apa keperluanmu?" "Heh-heh, telah kukatakan tadi, aku ingin mempererat perkenalan dan ingin menyuguhkan arak ini. Ketahuilah, kawan. Arak ini adalah arak simpanan, sudah berumur ratusan tahun, keras dan harum bukan main. Nah, aku ingin supaya engkau menemaniku menghabiskan arak yang hanya tinggal beberapa cawan ini. Apakah di sini ada cawan?" Kebetulan di setiap kamar tamu memang disediakan poci teh dan beberapa buah cawan. Hay Hay mengambil dua buah cawan lantas dia bersikap waspada. Akan tetapi Han Lojin menuangkan arak dari dalam guci ke dalam dua buah cawan kecil itu. Arak itu berwarna kekuningan seperti emas, dan mengeluarkan aroma yang sangat harum semerbak seperti bunga. "Saudara Tang Hay, mari kita minum sebagai tanda kagumku kepadamu," kata Han Lojin sambil mengangkat cawan araknya. Hay Hay mengikutinya dan melihat betapa Han Lojin minum araknya, dia pun tidak curiga lagi sehingga dia pun minum arak itu. Manis dan enak rasanya, tidak begitu keras, namun hangat memasuki perutnya. cerita silat online karya kho ping hoo Dua cawan lagi mereka minum sehingga guci itu menjadi kosong dan Han Lojin kelihatan gembira bukan main. "Bagus, engkau memang seorang pemuda yang sangat hebat, Hay Hay! Aku suka sekali padamu. Sekarang aku pamit, aku ingin tidur di kamarku." Orang itu bangkit dan agak terhuyung. Hay Hay ingin mentertawakan karena baru minum tiga cawan saja orang ini sudah terlihat mabuk. Akan tetapi ketika bangkit berdiri dia pun terkejut karena kepalanya terasa agak berat, akan tetapi begitu nyaman rasanya! Apakah dia pun mabuk hanya karena minum tiga cawan saja? Kalau begitu, arak itu bekerja secara halus namun keras bukan main. "Tapi, urusan apakah yang sebetulnya hendak kau bicarakan, Han Lojin?" "Aku? Heh-heh-heh, tidak ada apa-apa. Aku melihat Sim-kongcu di taman, heh-heh-heh, dia sedang merayu Nona Pek Eng. Hampir saja Nona Pek Eng jatuh ke dalam rayuannya, akan tetapi... heh-heh, aku muncul menggagalkannya. Orang muda, engkau kakak angkat Nona Pek Eng, bukan? Sebaiknya sekarang juga engkau memperingatkan dia sebelum terlambat..." Setelah berkata demikian, Han Lojin meloncat keluar dan menghilang dalam kegelapan malam. Hay Hay merasa terkejut sekali, juga marah. Jahanam Ki Liong itu! Dia menduga keras bahwa Ki Liong adalah Ciang Ki Liong, murid Pulau Teratai Merah seperti yang diceritakan Kui Hong kepadanya itu. Dia harus memperingatkan Pek Eng, benar juga anjuran Han Lojin itu. Hay Hay lalu keluar dari kamarnya, menutupkan daun pintu dan merasa betapa tubuhnya ringan dan perasaannya nyaman sekali. Arak itu sungguh ampuh, pikirnya, kagum. Arak yang sudah tua sekali dan memang sangat hebat! Dia tahu di mana kamar Pek Eng. Hal ini sudah diperhatikannya tadi karena memang dia ingin mempelajari semua letak kamar para penghuni sarang pemberontak itu. Dia harus memperingatkan Pek Eng, akan tetapi juga tidak boleh dilihat orang lain. Tidak baik kalau dia memasuki kamar seorang gadis, sungguh pun tidak ada maksud buruk. Sebaiknya dia memanggil Pek Eng keluar. "Eng-moi...!" Bisiknya dari luar jendela kamar gadis itu. Dilihatnya lampu masih bernyala dalam kamar itu, tanda bahwa Pek Eng belum tidur. "Ini aku, Hay Hay...!" "Hay-ko...!" terdengar suara gadis itu. "Ssstttt..., keluarlah, kutunggu di dalam taman, aku mau membicarakan hal penting," kata pula Hay Hay. "Baik, Hay-ko..." Mereka bertemu di dekat pondok, tempat yang cukup sunyi dan juga gelap karena sinar lampu di depan pondok itu terhalang oleh pohon. "Ada apakah, Hay-ko?" tanya Pek Eng sambil menghampiri pemuda itu, lalu berdiri dekat sekali dengan Hay Hay karena Pek Eng masih merasa ngeri bila mana teringat mengenai pengalamannya dengan Ki Liong tadi. "Eng-moi..." Hay Hay tergagap dan sejenak pemuda ini memejamkan matanya. Ia merasa aneh sekali, jantungnya berdebar kencang, hidungnya menangkap keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian Pek Eng. "Engkau... engkau harus berhati-hati terhadap rayuan Ki Liong..." "Hay-ko...! Kau... kau sudah tahu? Tidak, aku tidak akan jatuh oleh rayuannya, aku tidak cinta kepadanya, Hay-ko..." Dan gadis itu makin mendekat karena heran melihat betapa tubuh Hay Hay agak gemetar seperti kedinginan. "Hay-ko, engkau kenapakah...?" tanya Pek Eng sambil memegang lengan Hay Hay. Akan tetapi sentuhan ini membuat Hay Hay tiba-tiba seperti menjadi gila. Dan merangkul, mendekap dan menciumi pipi dan bibir Pek Eng! Tentu saja Pek Eng terkejut bukan main, sampai dia menjadi gelagapan. "Hay-ko... Hay-ko... Hay..." Gadis itu tidak dapat melanjutkan lagi karena Hay Hay sudah memondong tubuhnya, terus menciuminya. Karena semenjak pertemuan pertama dahulu di sudut hati gadis ini memang sudah jatuh cinta kepada Hay Hay, maka akhirnya runtuhlah pertahanan batin Pek Eng dan dia pun bukan hanya mandah saja, bahkan balas merangkulkan lengannya pada leher Hay Hay. "Hay-kooo..." keluhnya dan dia memejamkan mata ketika dipondong dan dibawa oleh Hay Hay memasuki pondok itu. Dengan kakinya Hay Hay mendorong pintu pondok hingga terbuka, lalu masuk ke dalam pondok yang gelap akibat lampunya memang tidak dinyalakan itu, dan menghampiri dipan kayu yang terdapat di dalam pondok. "Eng-moi..." "Hay-ko... " Akan tetapi, ketika mereka sudah rebah di atas dipan sambil berpelukan dan berciuman, ketika Pek Eng sudah terengah-engah dan pasrah bagaikan mabuk, tiba-tiba kesadaran Hay Hay menembus kabut yang tadi menyelimuti batinnya. Keadaan mabuk yang sangat aneh dan mendatangkan rangsangan birahi yang amat hebat itu kini dapat nampak oleh kesadarannya, Maka dia pun mengeluh, tiba-tiba melepaskan rangkulannya dan meloncat turun dari pembaringan. "Hay-ko...!" "Eng-moi, apa yang kita lakukan ini? Ahh..." Dan Hay Hay teringat semuanya, lalu dengan geram tertahan dia pun melompat keluar dari pondok itu. Pek Eng masih berada di atas dipan dan gadis ini terisak. Baru saja bayangan Hay Hay berkelebat keluar dan lenyap di dalam kegelapan, nampak pula bayangan sesosok tubuh manusia memasuki pintu pondok dan dia menutupkan pintu dari dalam. "Hay-koooo...!" Pek Eng mengeluh dan merintih panjang. Selanjutnya pondok itu sunyi senyap. Kesunyian yang menghanyutkan, kesenyapan yang penuh dengan pengaruh setan dan iblis, yang membuat manusia lupa tentang segalanya, lupa akan kesadarannya, dan lupa untuk membayangkan akibat-akibat dari perbuatannya di malam yang menghanyutkan itu. Dalam kegelapan malam itu, remang-remang terlihat sesosok bayangan keluar dari dalam pondok kemudian meloncat ke balik batang pohon, lenyap seperti setan. Tak berapa lama kemudian nampak bayangan lain keluar dari dalam pondok, menahan isak dan bayangan yang kedua ini adalah Pek Eng yang terhuyung-huyung meninggalkan taman, kembali ke kamarnya sambil menangis lirih. *************** Semalam suntuk Pek Eng tidak dapat tidur. Kadang kala dia terisak, akan tetapi kadang-kadang dia nampak tersenyum bahagia lalu termenung. Ia telah menyerahkan diri kepada Hay Hay, seperti orang yang mabuk keduanya sudah mereguk anggur manis itu bersama, dengan suka rela, dengan sepenuh kasih sayang dan kemesraan. Tadi, ketika Hay Hay tiba-tiba meninggalkannya, dia bingung dan menyesal. Akan tetapi, ketika pemuda itu masuk kembali ke kamarnya dia terkejut sekali. Baru setelah Hay Hay kembali merangkul, mendekap dan menciuminya, dia pasrah sepenuh hatinya. Dia mencinta Hay Hay, dan dia tidak merasa menyesal bahwa dia telah menyerahkan diri kepada pemuda itu, karena dia merasa yakin bahwa Hay Hay akan bertanggung jawab, akan mengawininya! Dan dia merasa bahagia kalau teringat akan hal ini, membayangkan menjadi isteri Hay Hay walau pun kadang-kadang hatinya terganggu oleh perasaan sesal karena dia telah menyerah begitu saja, dengan amat lemah. Akan tetapi pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika Pek Eng mencari Hay Hay, dengan menahan perasaan canggung dan malu, dia tidak dapat menemukan pemuda itu! Ternyata pada malam hari itu juga Hay Hay telah pergi meninggalkan perkampungan itu tanpa pamit kepada siapa pun. Tentu saja Pek Eng menjadi terkejut dan khawatir, dan dia pun segera pergi untuk mencari Hay Hay. Bagi Ki Liong, yang menghilang bukan hanya Hay Hay, akan tetapi juga Han Lojin yang tidak berada di dalam kamarnya. Tidak seorang pun di antara para penjaga melihat kedua orang itu meninggalkan perkampungan, namun hal ini tidak mengherankan hati Ki Liong karena kedua orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia merasa menyesal sekali. Kalau tidak karena kegagalannya merayu Pek Eng, tentu dia akan lebih waspada mengamati kedua orang itu. Kini mereka sudah pergi, entah ke mana dan entah apa yang akan mereka lakukan. Ketika dia melapor kepada Lam-hai Giam-lo, Bengcu ini tentu saja menjadi marah dan menegur para penjaga yang dimakinya kurang hati-hati. "Sebar orang-orang dan cari mereka!" bentak Lam-hai Giam-lo. "Kalau tempatnya sudah diketahui, aku sendiri yang akan menghadapi mereka kalau mereka memang berkhianat!" Ki Liong sendiri yang juga merasa penasaran segera memimpin pasukan kecil untuk turut melakukan pencarian. Keadaan menjadi sangat kacau, apa lagi sesudah Lam-hai Giam-lo mendengar dari para pelayan bahwa pagi sekali tadi Pek Eng juga meninggalkan tempat itu. Para penjaga melihat Pek Eng keluar dari perkampungan, namun karena semua penjaga mengenal bahwa Pek Eng adalah murid dan juga anak angkat bengcu, tak seorang pun di antara mereka berani bertanya apa lagi menghalangi kepergian dara itu. Lam-hai Giam-lo merasa khawatir sekali, dan dia pun menyuruh orang-orang untuk mencari pula muridnya itu. *************** Saat mendengar tuduhan para tokoh Bu-tong-pai bahwa Hay Hay, susiok-nya yang amat dikaguminya itu adalah Ang-hong-cu, seorang penjahat pemerkosa wanita yang tersohor, tanpa Hay Hay mampu membuktikan bahwa dia bukanlah Ang-hong-cu, timbul perasaan kaget, penasaran dan kemarahan di dalam hati Cia Ling atau Ling Ling. Ling Ling adalah seorang gadis yang berhati lembut, mempunyai watak jujur, terbuka dan peka sekali. Begitu bertemu dengan Hay Hay hatinya sudah tertarik sekali karena selama hidupnya dia merasa belum pernah bertemu dengan seorang pria yang demikian menarik hatinya dan amat dikaguminya. Karena itu, tuduhan bahwa Hay Hay seorang jai-hwa-cat yang tersohor, membuat hatinya bimbang dan berduka. Apa lagi ketika dia teringat betapa Hay Hay memang memiliki sikap yang perayu dan seperti pemuda mata keranjang, begitu bertemu dengannya langsung saja memuji-muji kecantikannya. Apakah Hay Hay benar-benar seorang penjahat pemetik bunga, atau penjahat yang suka memperkosa dan mempermainkan wanita? Tidaklah sulit bagi Hay Hay untuk melakukan kejahatan seperti itu, pikirnya. Hay Hay cukup tampan dan ganteng untuk menggetarkan hati wanita, cukup gagah dan sangat lihai untuk menarik hati wanita, dan pandai merayu pula dengan kata-kata manis dan indah. Apa bila rayuannya tidak mempan, tentu saja dia dapat mempergunakan kepandaiannya untuk menundukkan wanita dan memperkosanya. Ling Ling bergidik, merasa ngeri. Benarkah pemuda yang gagah itu, yang masih terhitung paman gurunya sendiri, adalah seorang penjahat keji? Tadinya dia sudah tidak mempedulikan lagi, ingin meninggalkan Hay Hay dan menyelidiki sendiri persekutuan pemberontak itu. Namun betapa pun juga hatinya merasa tidak tega kepada Hay Hay. Pemuda itu telah berjanji bahwa tiga hari kemudian akan menjumpainya di tepi telaga, pada bagian yang sunyi di mana untuk pertama kali dia berjumpa dengan susiok-nya itu, ketika Hay Hay tengah memancing ikan kemudian terganggu oleh luncuran perahunya. Maka, pada hari ketiga Ling Ling membawa perbekalan makanan kemudian pergilah dia ke tempat itu. Dia menunggu dengan sabar, bahkan sampai menjelang malam ketika hari telah menjadi gelap dia masih duduk di tepi telaga, menanti munculnya Hay Hay di situ. Gadis ini merasa yakin bahwa susiok-nya pasti akan datang, entah malam ini atau paling lambat besok pagi-pagi. Dia akan menanti dan akan bicara dari hati ke hati, bukan hanya untuk mendengar tentang hasil penyelidikan susiok-nya, akan tetapi juga tentang tuduhan orang-orang Bu-tong-pai itu. Dia harus dapat yakin mengenai hal itu! Ketika malam tiba dan hawa mulai dingin, dengan bulan yang masih muda muncul hingga mendatangkan cuaca yang muram, Ling Ling membuat api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk, juga untuk memberi sedikit cahaya penerangan sebelum dia tidur. Dia tetap menanti, akan tetapi sampai jauh malam, setelah semua kayu untuk dibakar sudah habis, Hay Hay belum juga datang. Ling Ling membiarkan api unggun padam, kemudian merebahkan diri di atas tanah di tepi telaga, berselimut kain yang dibawanya. Dia tidak mempunyai nafsu untuk makan malam dan membiarkan saja bekal makanan tanpa disentuh. Bagaimana pun juga dia merasa agak kecewa karena malam itu agaknya Hay Hay tidak datang. Gadis itu mulai hanyut dalam kantuknya dan hampir saja pulas sehingga dia tidak melihat berkelebatnya bayangan orang menghampirinya. Dia baru merasa kaget saat ada tangan menotoknya. Dia tidak keburu mengelak atau bergerak, dan ketika dia sadar dan hendak meloncat, ternyata tubuhnya sudah lemas tak berdaya. Dia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya yang menjadi seperti lumpuh! Ada sosok tubuh orang berdiri di dekatnya, dan biar pun cuaca remang-remang sehingga tak memungkinkan dia untuk mengenal wajah orang itu, namun dari bentuk tubuhnya, dia merasa yakin bahwa orang itu adalah Hay Hay! Ingin dia memanggil susiok-nya, namun mulutnya juga tidak mampu bersuara. Totokan itu lihai bukan main, membuat dia tidak mampu menggerakkan kaki tangan mau pun lidahnya, namun tetap membiarkan dia sadar. Kenapa susiok-nya melakukan hal ini? Menotoknya? Apakah hendak main-main atau ada alasan lain yang memaksanya? Alangkah kagetnya ketika dia melihat apa yang dilakukan susiok-nya terhadap dirinya! Ia terbelalak, tak dapat meronta dan hampir pingsan! Susiok-nya telah melucuti pakaiannya kemudian memperkosanya! Hatinya memberontak! Bukan karena hubungan itu sendiri, melainkan karena perkosaan itu! Tak tahulah susiok-nya itu bahwa semenjak pertama kali bertemu dia telah jatuh hati? Dia akan merasa berbahagia sekali menjadi isteri susiok-nya itu, dengan rela dan suka hati dia akan menyerahkan dirinya, dengan pasrah dan penuh kasih sayang! Akan tetapi mengapa susiok-nya itu memperkosanya? Alangkah kejamnya, betapa kejinya! Benar-benar dia seorang jai-hwa-cat! Dan Ling Ling pun jatuh pingsan, tidak merasakan lagi semua yang sedang terjadi pada dirinya. Hatinya menjerit-jerit, langit bagaikan runtuh bagi gadis yang baru berusia tujuh belas tahun lebih ini. Ketika akhirnya Ling Ling siuman kemudian membuka matanya, dia mengeluh tanpa bisa mengeluarkan suara. Hanya rintihan panjang yang keluar dari dalam dadanya dan dia pun menggigil. Dingin sekali rasanya. Ketika dia membuka mata, ternyata malam sudah lewat dan biar pun matahari belum muncul, akan tetapi sinarnya telah mendahuluinya mengusir sisa-sisa malam pekat dan dingin. Ling Ling mendapatkan dirinya masih rebah terlentang dalam keadaan telanjang bulat, di atas pakaiannya sendiri! Dia masih belum mampu bergerak! Dan Hay Hay telah tidak ada, tidak nampak bayangannya. Keparat! Alangkah kejinya! Meninggalkannya dalam keadaan seperti itu. Telanjang bulat dan dalam keadaan masih tertotok. Atau ditotok lagi, pikir Ling Ling penuh kebencian dan kedukaan. Totokan pertama itu sudah habis daya gunanya dan agaknya, sebelum meninggalkannya, jai-hwa-cat itu telah menotoknya lagi! "Ling Ling...!" Mendadak terdengar suara Hay Hay lantas muncullah pemuda ini. Matanya terbelalak memandang gadis yang terlentang telanjang bulat dan tak mampu bergerak itu. Cepat Hay Hay menanggalkan baju luarnya dan menutupi tubuh Ling Ling. "Ling Ling, kau kenapa?!" teriaknya. Dan melihat betapa gadis itu hanya memandangnya dengan mata mengalirkan air mata, tanpa suara dan kaki tangannya lemas, Hay Hay lalu cepat memulihkan totokan itu. Begitu Ling Ling mampu bergerak, pertama kali yang dilakukannya adalah membalikkan tubuhnya membelakangi Hay Hay, kemudian mengenakan kembali pakaiannya satu demi satu dengan cepat, dengan kedua tangan gemetar dan kedua kaki menggigil, air matanya bercucuran. Hay Hay memandang saja, membiarkan hingga Ling Ling selesai berpakaian, barulah dia bertanya lagi. "Ling Ling, apakah yang sudah terjadi? Apa... siapa..." dia tidak mampu lagi melanjutkan kata-katanya karena gadis itu sudah membalik dan memandang kepadanya dengan sinar mata berapi namun juga mencucurkan air mata yang menuruni sepanjang kedua pipinya yang pucat. "Manusia keji! Engkau masih berpura-pura dan bertanya apa yang sudah terjadi? Aihhh, Susiok, mengapa hati manusia dapat sekejam hatimu?" Gadis itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia sudah menangis tersedu-sedu sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan. Hay Hay terbelalak dan mengerutkan alisnya, memandang penuh selidik dan juga penuh kekhawatiran. "Ling Ling, apa... apa maksudmu...?" Ling Ling menahan tangisnya, menurunkan kedua tangan lantas dengan mata membendul merah karena terlampau banyak menangis dia menatap wajah pemuda itu dan berkata, suaranya penuh nada penyesalan. "Engkau... jai-hwa-cat terkutuk berjiwa pengecut! Tadi malam... engkau datang ketika aku sedang tidur, dan engkau menotokku... kemudian kau... kau... memperkosa aku! Dan kini sekarang engkau pura-pura bertanya dan bersikap tidak berdosa?" Kalau saat itu ada guntur menggelegar dan kilat menyambar kepalanya, belum tentu Hay Hay akan sekaget ketika mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh dara itu. Dia meloncat dengan muka pucat, kemudian mukanya berubah merah sekali. "Ling Ling...! Apakah engkau benar-benar melihat bahwa orang itu adalah aku? Dapatkah engkau melihat dan mengenalku?" Dengan mata mencorong karena marah melihat pemuda itu tetap hendak berpura-pura, Ling Ling berkata, "Biar pun keadaan gelap dan tidak dapat melihat mukamu, akan tetapi aku mengenalmu. Bayangan tubuhmu, juga mukamu halus, dan siapa lagi yang tahu akan tempat ini selain kita berdua? Bukankah engkau sudah berjanji kepadaku akan datang ke sini setelah tiga hari, jadi tepat malam tadi? Susiok, engkau mempergunakan kesempatan dan kepandaianmu untuk melakukan kekejian. Engkau sudah menghancurkan hatiku dan menodai kehormatanku..." Dara itu menangis lagi. "Akan tetapi semua ini telah terlanjur..., mungkin engkau dikuasai nafsu... dan aku bersedia memaafkan semua itu asal engkau menyatakan penyesalanmu lantas bertobat, tidak menjadi Ang-hong-cu lagi, dan engkau memperisteri aku dengan sah..." "Tidak...! Tidak, bukan aku, Ling Ling! Sungguh mati, bukan aku yang melakukan kekejian itu terhadap dirimu!" Dengan hati marah Ling Ling meloncat dan berdiri tegak, tangisnya terhenti dan wajahnya membayangkan kemarahan. "Tang Hay! Hanya begini sajakah keadaan batinmu? Engkau melakukan kekejian, memperkosa aku, dan kini masih tega untuk berpura-pura tidak tahu dan menyangkal? Kalau begitu engkau bukan manusia, engkau kejam melebihi binatang, engkau iblis, maka engkau atau aku yang akan mati di sini!" Gadis yang biasanya berwatak lembut itu kini berubah beringas laksana seekor harimau marah dan dia telah menyerang Hay Hay dengan dahsyat sekali karena dia mengerahkan seluruh tenaganya dalam serangan itu. Batin Hay Hay masih terguncang akibat tuduhan tadi, karena itu seperti orang bingung dia menghadapi serangan ini dan hanya menolaknya untuk melindungi dirinya, atau sebagai gerakan pertahanan otomatis. Tapi dia tidak mengerahkan tenaga yang terlampau besar, sebab di samping kebingungan dan kekagetannya, juga dia merasa amat kasihan kepada gadis yang baru saja ditimpa mala petaka yang bagi seorang gadis lebih hebat dari pada maut itu. "Dukkk...!" Tubuh Hay Hay terlempar lantas terbanting jatuh bergulingan, dan dengan gerakan yang cepat bukan main Ling Ling sudah melompat, mengejar dan mengirim tendangan ke arah kepala Hay Hay. Serangan maut yang dimaksudkan untuk membunuh pemuda itu, karena di dalam tendangan ini terkandung pula tenaga yang amat besar. Hay Hay belum sempat bangun dan melihat tendangan menyambar ke arah kepalanya, kembali gerakan otomatis membuat dia menggerakkan tangan melindungi kepala. "Dessss...!" Tendangan yang diterima oleh tangan Hay Hay itu kuat sekali, dan untuk kedua kalinya tubuh Hay Hay terlempar dan bergulingan seperti sebutir bola ditendang. Bagaikan seekor harimau mencium darah, Ling Ling bertambah beringas dan dia pun sudah mengejar lagi. Akan tetapi Hay Hay sudah meloncat bangun. "Ling Ling, tahan dulu! Sungguh mati, aku tidak melakukan perbuatan itu!" Hay Hay berseru sambil mengangkat tangan ke atas. Akan tetapi penyangkalan ini membuat hati Ling Ling menjadi makin marah. Kemarahan yang timbul karena kekhawatiran hebat. Bagaimana jika ternyata benar-benar bukan Hay Hay yang memperkosanya? Hal ini akan mendatangkan kehancuran hati lebih besar lagi. Apa bila Hay Hay yang melakukannya, bagaimana pun juga dia mencintai susiok-nya itu. Akan tetapi kalau orang lain? Akan lenyaplah harapannya untuk dapat memaksa Hay Hay mempertanggung jawabkan perbuatannya. Maka ia tak sudi mendengarkan kemungkinan ini dan dia sudah menerjang lagi sambil berkata, "Engkau akui perbuatanmu atau harus mengadu nyawa dengan aku!" Dan ini memang telah menjadi tekadnya. Kalau Hay Hay mengaku dan mau bertanggung jawab maka dia akan suka memaafkan dan menjadi isteri pemuda itu, sebaliknya jika Hay Hay tetap menyangkal, maka pemuda itu harus mati atau dia sendiri yang akan mati di dalam tangan pemuda itu. Dia menyerang kembali dengan satu loncatan tinggi dan ketika tubuhnya meluncur turun, dua tangannya membentuk cakar sambil mencengkeram ke arah ubun-ubun, kepala dan leher pemuda itu. Serangan ini bukan main hebatnya sebab Ling Ling telah menggunakan satu jurus dari Ilmu Silat Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis)! Serangan ini memang dahsyat bukan kepalang, tapi dengan tingkat kepandaiannya yang lebih tinggi, kiranya tidak akan begitu sukar bagi Hay Hay untuk menyelamatkan diri, juga membalas. Akan tetapi sekuku hitam pun tak ada niat di hatinya untuk membalas kepada gadis yang amat dikasihaninya itu. Dia mencoba untuk mengelak, akan tetapi kedua tangan gadis itu terus mengejar kepala dan lehernya. Terpaksa dia menangkis dengan lengannya, menyampok ke dalam. "Dukkk!" Kini tubuh Ling Ling terpelanting, akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting ke atas tanah, Hay Hay sudah merangkap lengannya sehingga gadis itu tidak terbanting. Hay Hay masih memegang lengan Ling Ling dengan lembut, berdiri dekat dan membujuk. "Dengarkan dulu, Ling Ling, dan jangan terburu napsu. Sesungguhnyalah kalau kukatakan bahwa aku tidak..." "Bukkk!" Kini hantaman Ling Ling tepat mengenai dada Hay Hay sehingga pemuda itu terpelanting. Pukulan dari jarak dekat itu cukup keras karena mengandung tenaga sinkang yang kuat, tetapi tidak melukai Hay Hay walau pun dalam dadanya terguncang dan ada sedikit darah nampak pada ujung bibirnya ketika dia meloncat bangun kembali. Pada saat itu Ling Ling sudah menyerang lagi, dan Hay Hay hanya mengelak sambil mundur. "Ling Ling, demi Tuhan... Ling Ling..." Hay Hay masih mencoba untuk menyabarkan gadis itu di antara serangan bertubi-tubi yang dielakkan atau ditangkisnya dengan lembut,. "Pengecut keji!" Ling Ling bahkan menjadi semakin marah dan menyerang lagi, sekarang menggunakan Ilmu Totokan It-sin-ci yang amat cepat dan berbahaya sekali. Karena sama sekali tak membalas, Hay Hay menjadi repot juga ketika dihujani serangan totokan ini. Percuma saja dia menghindarkan diri dengan Jiauw-pouw-poan-soan karena gadis itu telah mengenal ilmu ini dan tentu akan bisa melihat rahasia gerakan kakinya dan bahkan membahayakan dirinya. Maka Hay Hay menggunakan kedua tangannya untuk selalu menangkis atau menyambut totokan satu jari itu dengan telapak tangannya yang diisi dengan sinkang lunak. Pemuda ini mundur terus dan menjadi semakin bingung karena Ling Ling menyerang makin hebat. "Tahan serangan! Nona, kenapa Nona menyerang pendekar itu mati-matian?" Mendadak terdengar seruan dari arah samping. Hay Hay melirik dan dapat mengenal pemuda perkasa Can Sun Hok yang dahulu pernah dibujuknya agar ikut menentang persekutuan pemberontak. Dia menjadi semakin bingung karena jika pemuda ini menanyakan urusan maka tidak mungkin dia dapat menceritakan tentang aib yang menimpa diri Ling Ling. Maka, menggunakan kesempatan saat Ling Ling menoleh dan memandang kepada orang yang baru datang itu, Hay Hay cepat melompat dan menggunakan kepandaiannya untuk menghilang di antara pohon-pohon dalam hutan di tepi telaga. "Jahanam, jangan lari kau!" bentak Ling Ling yang segera melakukan pengejaran. Pemuda itu, Can Sun Hok, yang merasa heran sekali juga ikut pula mengejar. Akan tetapi bayangan Hay Hay telah menghilang sehingga Ling Ling kehilangan jejaknya. Ketika gadis ini berhenti di tengah hutan dalam keadaan bingung, Can Sun Hok muncul dan bersikap hormat. "Maaf, Nona. Bukan maksudku ingin mencampuri urusan Nona, akan tetapi aku sungguh merasa heran melihat betapa Nona mati-matian menyerang dia, seorang pendekar yang berilmu tinggi dan seorang utusan pemerintah untuk menumpas persekutuan pemberontak itu." Tadinya Ling Ling hendak marah melihat ada orang mencampuri urusannya, akan tetapi kemarahannya segera berkurang melihat Sun Hok yang demikian sopan dan mendengar Sun Hok memuji-muji Hay Hay. Ia pun maklum bahwa dia sama sekali tak mungkin dapat menceritakan peristiwa antara dia dan Hay Hay yang merupakan rahasia pribadinya itu, merupakan aib yang tak mungkin diceritakannya kepada orang lain, kecuali orang tuanya sendiri. "Pendekar? Huh, dia adalah Ang-hong-cu, jai-hwa-cat yang amat keji, karena itu aku tadi berusaha mati-matian untuk membunuhnya. Kini Sun Hok yang terbelalak heran, "Apa...?! Dia...? Ang-hong-cu Si Jai-hwa-cat...? Ahh, benarkah itu, Nona? Aku pernah bertemu dengannya. Ilmu silatnya sangat tinggi dan dia membujukku untuk membantu pemerintah menghadapi para datuk sesat yang bersekutu dan hendak memberontak. Bahkan aku sudah mendengar sendiri dari Menteri Cang Ku Ceng bahwa Saudara Hay Hay itu adalah orang kepercayaan Menteri Yang Ting Hoo dan Jaksa Kwan di kota Siang-tan, dan mereka itu telah memesan kepadaku agar aku suka membantunya. Akan tetapi, ahh... mengapa aku begini lancang mulut, padahal aku tidak mengenalmu, Nona. Siapakah engkau, dan bagaimana dapat menuduh Saudara Hay Hay yang gagah perkasa itu seorang Jai-hwa-cat?" "Hemmm, aku sendiri belum mengenal siapa engkau..." Ling Ling berkata sambil menatap tajam. "Namaku Can Sun Hok, Nona, juga tinggal di kota Siang-tan. Aku sudah berjanji kepada Saudara Hay Hay untuk membantu pemerintah dalam menentang kaum sesat yang akan memberontak." Ling Ling percaya kepada pemuda yang sopan dan halus ini, "Namaku Cia Ling, dan aku pun sedang melakukan penyelidikan setelah mendengar bahwa di daerah Yunan terdapat persekutuan kaum sesat yang dipimpin Lam-hai Giam-lo dan mereka hendak melakukan pemberontakan. Kebetulan saja aku bertemu dengan Hay Hay itu dan ada serombongan murid Bu-tong-pai yang mengejar-ngejar dan menyerangnya karena menurut para murid Bu-tong-pai itu, dia adalah Ang-hong-cu, jai-hwa-cat yang sudah mengganggu kemudian membunuh seorang murid Bu-tong-pai." "Ahh, kalau benar demikian, sungguh berbahaya! Dia lihai bukan main dan jika benar dia jai-hwa-cat, berarti dia seorang tokoh sesat, maka tentu saja dia menjadi sekutu Lam-hai Giam-lo! Padahal Menteri Yang Ting Hoo dan Jaksa Kwan sangat percaya kepadanya, bahkan menurut Menteri Cang Ku Ceng, dia telah menerima tanda kepercayaan Menteri Yang. Kalau begitu, sebaiknya kita melapor kepada Menteri Cang supaya jangan sampai terlambat. Siapa tahu dia itu mata-mata pihak musuh." Tapi... Menteri Cang Ku Ceng tentu berada di kota raja!" kata Ling Ling ragu. Pemuda itu tersenyum. "Menteri Cang telah berada di sini, tak jauh dari telaga ini, di balik bukit di utara itu. Dia sudah mempersiapkan ribuan orang pasukan dalam benteng darurat di sana. Juga banyak pendekar sedang berkumpul dl sana, siap menanti saat baik untuk menggempur para pemberontak. Marilah, Nona. Kita harus melaporkan tentang Hay Hay itu kepada Menteri Cang agar beliau dapat mengambil keputusan." Tak ada jalan lain bagi Ling Ling kecuali menyetujui. Ia ingin sekali mengejar dan mencari Hay Hay sampai dapat, akan tetapi maklum bahwa tidak mudah menyusul pemuda yang amat lihai itu. Dengan perasaan hancur dan tubuh lemas dia lalu mengikuti pemuda yang sopan itu menuju ke utara. Untung dia adalah seorang gadis gemblengan dan tubuhnya telah memiliki kekuatan yang jauh melebihi gadis biasa. Kalau tidak demikian, sesudah apa yang dialaminya semalam, tentu dia tidak akan dapat melakukan perjalanan jauh tanpa merasa amat menderita lahir batin. Dia membayangkan betapa ayah ibunya akan terkejut sekali bila mendengar mala petaka yang menimpa dirinya. Ibunya tentu akan marah bukan main dan akan mencari Hay Hay untuk membalas dendam. Jika mengingat ini, ingin rasanya dia menangis tersedu-sedan, namun perasaan ini ditekannya karena dia tidak mau memperlihatkan kelemahan hatinya di depan Can Sun Hok yang baru saja dikenalnya. Ia harus dapat bertemu lagi dengan Hay Hay, kemudian akan dicobanya sekali lagi untuk minta pertanggungan jawab pemuda itu. Kalau Hay Hay tetap menyangkal maka dia akan menyerang mati-matian dan tidak akan berhenti menyerang sebelum Hay Hay atau dia sendiri yang roboh dan tewas. ***************


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 37 :
HATI Hay Hay gelisah bukan kepalang. Gelisah, bingung dan penasaran! Dia telah dituduh memperkosa Ling Ling! Tidak mungkin gadis itu berbohong, dan bukankah ketika sampai di tepi telaga dia sudah melihat sendiri betapa Ling Ling berada dalam keadaan telanjang bulat dan tertotok? Tak dapat disangsikan lagi kebenaran cerita gadis itu bahwa semalam ada seorang lelaki datang, lalu menotoknya dan memperkosanya. Akan tetapi jelas bukan dia! Lantas siapa? Potongan tubuhnya seperti dia, dan wajahnya halus seperti dia pula! Tentu ada seorang pemuda lain yang mempergunakan kesempatan itu. Can Sun Hok? Pemuda itu baru saja muncul. Hemmm, mungkinkah Can Sun Hok yang melakukan perbuatan keji itu? Mungkin saja! Bentuk tubuh dan muka Can Sun Hok mirip dia, bentuknya sedang dan mukanya halus tanpa kumis mau pun jenggot. Hanya itu yang dikenal Ling Ling karena malam itu gelap. Tetapi, kalau benar Can Sun Hok, kiranya tidak mungkin dia begitu tolol untuk muncul kembali. Seolah-olah seekor ular yang mendatangi penggebuk! Lalu siapa? Hay Hay berlari keluar masuk hutan. Pikirannya begitu ruwet sehingga dia yang biasanya waspada tidak melihat bahwa dari arah depan datang seorang gadis, yang juga berlarian sehingga hampir saja mereka bertabrakan. "Hay-ko...! Ahh, betapa aku telah mencari-carimu, Hay-ko...!" Dan gadis itu langsung saja merangkul dan menangis di dadanya. Hay Hay terkejut dan merangkul gadis itu. "Eng-moi, tenanglah, diamlah. Ada apa, Eng-moi?" tanyanya, wajahnya berubah merah karena dia teringat akan peristiwa dua hari yang lalu, pada waktu malam di dalam taman itu. Hampir saja dia melakukan pelanggaran yang akan mendatangkan penyesalan hebat di kemudian hari ketika dia dan gadis ini seperti dimabok nafsu birahi. Pek Eng menangis dengan hati lega karena dia telah dapat menemukan kekasihnya, dan jika melihat sikap Hay Hay, tentu pemuda ini mau bertanggung jawab atas pebuatannya. Sikapnya jelas menunjukkan bahwa Hay Hay mencintanya. Setelah keharuannya mereda, dia lalu mengusap air matanya dan berkata dengan lirih. "Hay-ko, mengapa engkau begltu kejam? Engkau meninggalkan aku begitu saja sesudah malam kemarin dulu itu. Keesokan harinya, pagi-pagi aku bangun lantas mencarimu, akan tetapi hanya mendengar bahwa malam itu juga engkau telah pergi tanpa pamit! Hay-ko, mengapa engkau pergi meninggalkan aku? Setengah mati aku mencarimu, keluar masuk hutan..." Gadis itu lalu menangis lagi. Hay Hay menarik napas panjang, teringat akan peristiwa malam itu dan dia merasa malu sekali. Dengan lembut dia melepaskan rangkulannya, kemudian melangkah mundur dua langkah dan memaksakan hatinya untuk menatap wajah Pek Eng dengan tajam. "Maafkan aku, Eng-moi. Malam itu... ahh, entah iblis apa yang telah menyusup ke dalam diriku. Aku seperti mabuk dan hampir saja..., ahh, aku merasa begitu menyesal sehingga malam itu juga aku pergi meninggalkan perkampungan. Maafkan aku, Eng-moi." Sungguh aneh! Gadis itu memandang padanya dengan sinar mata penuh kemesraan dan mulutnya tersenyum manis! Kemudian ucapannya membuat Hay Hay menjadi lebih heran lagi. "Hay-ko, tidak ada yang harus dimaafkan dan tidak ada yang perlu disesalkan! Kenapa minta maaf dan kenapa menyesal kalau memang hal itu sudah kita kehendaki bersama? Terus terang saja, aku... aku bahkan merasa berbahagia sekali, Hay-ko, dan terasa benar olehku betapa besar artinya engkau bagi hidupku. Marilah, Hay-ko, mari kita menghadap Bengcu untuk minta persetujuannya karena bagaimana pun juga dia adalah guruku, lalu kita pergi dari sini, pulang ke Kong-goan untuk memberi tahu kepada ayah ibuku tentang perjodohan kita." Hay Hay terbelalak memandang wajah gadis itu. "Eng-moi, apa maksudmu sebenarnya ? Aku tidak mengerti! Aku... aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikat tali perjodohan..., ahhh, jangan salah mengerti, Eng-moi. Peristiwa malam kemarin dulu itu... sungguh aku seperti mabuk dan kau maafkanlah aku, tapi bukan maksudku untuk... untuk mengikat perjodohan..." Hay Hay menghentikan kata-katanya karena dia terkejut dan heran melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat sekali, kedua matanya terbelalak dan bibirnya menggigil, pandang matanya seperti orang yang tidak percaya, atau bagaikan orang melihat setan di tengah hari. Suaranya lebih aneh lagi, menggigil seperti orang terserang demam. "Hay-ko... apa... apa maksudmu? Maksudku sudah jelas... sesudah apa yang kau... kita lakukan malam itu... tidaklah sewajarnya kalau... kalau kita... menikah?" "Eng-moi! Sudah kuakui bahwa aku khilaf, aku seperti mabuk, dan aku menyesal sekali. Aku sudah minta maaf, akan tetapi tidak mungkin peristiwa itu harus dilanjutkan dengan pernikahan. Anggap saja kita berdua telah lupa diri, akan tetapi belum terlambat, Eng-moi. Untung bahwa aku berhasil sadar dan segera melarikan diri " "Apa? Belum terlambat? Apakah urusan itu cukup untuk dimaafkan begitu saja kemudian dilupakan? Hay-ko, sungguh aku tidak mengerti dengan sikapmu ini. Bukankah aku sudah menjadi isterimu? Malam itu... bukankah engkau telah memiliki diriku dan sebaliknya aku telah menyerahkan badanku, kehormatanku, segalanya kepadamu? Dan engkau tak ingin diresmikan dalam sebuah pernikahan? Aku tak percaya bahwa engkau hanya main-main saja! Aku tidak percaya bahwa sesudah aku menyerahkan jiwa ragaku kepadamu malam itu, engkau lalu tidak mau menikahiku..." Wajah itu semakin pucat. Kini wajah Hay Hay yang berubah seperti orang melihat iblis. "Eng-moi! Apa maksudmu? Memang kita seperti mabuk, kita saling peluk dan saling berciuman, lalu masuk ke dalam pondok. Akan tetapi hanya sampai di situ saja, aku lalu sadar dan aku lari keluar pondok sebelum terjadi sesuatu antara kita..." "Benar sekali! Tapi tak lama kemudian engkau masuk lagi, dan engkau menuntut, dan aku menyerah, dan tubuhku, kehormatanku, menjadi milikmu..." "Tidak! Aku tidak pernah kembali ke pondok!" "Hay-ko...!" Pek Eng menjerit, menutupi mulutnya dengan tangan kanan yang menggigil, mulutnya terbuka dan gemetar, akan tetapi sampai beberapa lamanya tak mengeluarkan suara, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali. Sementara itu wajah Hay Hay juga pucat. Dia tidak ragu akan kebenaran pengakuan Pek Eng, dan sekilas teringatlah dia akan nasib Ling Ling. "Eng-moi, katakanlah, siapakah yang memasuki pondok itu? Yang pasti, aku tidak pernah kembali dan..." "Orang itu adalah engkau!" Pek Eng menjerit. "Apa engkau tidak keliru? Engkau melihat benar bahwa orang itu adalah aku? Bukankah pondok itu amat gelap?" "Aku tidak akan keliru, bentuk tubuhmu, mukanya... engkaulah orang itu!" Mendadak Hay Hay menjadi marah sekali. Sim Ki Liong! Siapa lagi yang akan sanggup menaklukkan gadis-gadis seperti Ling Ling dan Pek Eng kalau bukan Ki Liong? Orang itu sebaya dengannya, bentuk tubuh mereka pun sama, dan wajah Ki Liong juga halus, tidak berkumis atau berjenggot. Tentu Ki Liong, si jahanam itu yang melakukan perkosaan atas diri Ling Ling dan Pek Eng. Mungkin karena pemuda itu memang jahat dan cabul. Atau lebih masuk akal lagi apa bila perbuatan itu sengaja dilakukan untuk menjatuhkan fitnah kepadanya, atau sebagai akal untuk mengikatnya dengan persekutuan itu. "Ki Liong jahanam kau...!" Hay Hay berseru dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. "Hay-ko... ouhhhh... Hay-ko...!" Pek Eng mengeluh, tubuhnya menjadi lemas dan dia pun terkulai pingsan di tengah hutan itu. Keraguan yang timbul di dalam hatinya, keraguan bahwa Hay Hay akan mengingkari atau ternyata bukan pemuda itu yang telah merenggut kehormatannya, terasa amat menusuk perasaannya dan gadis ini pun tidak kuat menahan kenyerian batinnya. Dua kemungkinan itu sama beratnya bagi Pek Eng, sama menyakitkan dan melenyapkan harapan bahwa ia akan hidup di samping pemuda yang dicintanya itu untuk selamanya, sebagai isterinya. Nampaknya menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal pula bahwa kehidupan kita sebagai manusia ini penuh dengan duka! Bila kita susun dalam ingatan dan melihat kenyataan, hidup ini hanyalah menjadi panggung sandiwara di mana kita masing-masing sebagai pemegang peran kadang-kadang tertawa dan kadang-kadang menangis, Namun, betapa sedikitnya tawa dan betapa banyaknya tangis! Betapa hidup ini penuh dengan kekecewaan, kepusingan, kesusahan, ketakutan, konflik-konflik batin dan konflik lahir, dan hanya diseling dengan sedikit saja kegembiraan bagai selingan kilat di antara awan gelap. Apakah ini menjadi kenyataan dari tanda yang dibawa seorang bayi ketika sedang dilahirkan? Bayi, calon manusia itu, terlahir dalam keadaan menangis, seolah-olah dia merasa menyesal karena dilahirkan, karena harus memasuki suatu alam yang penuh derita! Dan betapa tenang wajah seorang yang putus nyawanya! Bahkan kebanyakan si mati itu tersenyum di dalam kematiannya, seakan-akan wajah itu membayangkan suatu kelegaan bahwa dia telah terbebas dari alam yang penuh derita itu! Dari manakah timbulnya derita ini? Mengapa kita dihantui oleh rasa kecewa, khawatir, sesal, pusing dan susah? Kalau kita mau mengamati diri sendiri, akan nampaklah bahwa semua perasaan ini datang dari pikiran kita sendiri. Dari si AKU yang bersemayam dalam pikiran, yang memiliki seribu satu macam keinginan untuk mencapai kesenangan seperti yang diharapkan dan dikejar. Apa bila keinginan itu tidak terpenuhi maka timbullah kecewa. Apa bila kepentingan diri terancam maka timbullah rasa takut dan khawatir. Kalau semua ini menumpuk, timbul iba diri yang membuat hati merasa merana, trenyuh, sakit dan duka. Lalu biasanya kita lari dari derita ini. Kita ingin pula menghindari derita kedukaan, lalu kita mengelak dan menjauhkan diri, dan kadang kita lari bersembunyi di balik hiburan-hiburan yang menyenangkan untuk sekedar melupakan kesusahan. Akan tetapi pelarian dari kenyataan ini hanya membentuk sebuah lingkaran setan. Sesudah mendapat hiburan, untuk sejenak kita lupa akan kedukaan itu, namun sesudah hiburan memudar, maka kedukaan itu pun akan nampak kembali, menghantui perasaan. Tak mungkin kita lari dari duka karena duka itu adalah kita sendiri! Pikiran sendiri! Yang paling tepat adalah menghadapi duka itu, menghadapi kenyataan itu. Mengamati, mempelajari, tanpa menentang atau lari, mengamati dengan pasrah dan tanpa berbuat apa pun, pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kita amati duka itu, bukan sebagai suatu keadaan yang terpisah dari diri sendiri, akan tetapi sebagai keadaan diri sendiri dengan segala lika-liku pikiran. Dan landasan dari pengamatan ini adalah kepasrahan yang tulus ikhlas, mengembalikan semua itu kepada kekuasaan Tuhan karena hanya Tuhan-lah yang memiliki kuasa untuk membebaskan kita dari segala derita. Kekuasaan Tuhan adalah Cahaya Illahi yang juga kita namakan Cinta kasih, keadaan batin di mana tidak ada lagi segala macam nafsu keinginan menyenangkan diri pribadi, tidak ada lagi ulah pikiran yang menimbulkan rasa kecewa, takut, benci dan sebagainya. *************** Rasanya aneh sekali melihat seorang laki-laki yang usianya sudah hampir separuh baya, lebih dari empat puluh tahun itu, menangis dengan air mata bercucuran sambil berlutut. Apa lagi kalau orang mengenal siapa dia. Dia seorang laki-laki gagah perkasa, bukan saja seorang pendekar sakti yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, bahkan lebih dari itu, dia seorang ketua perkumpulan orang gagah yang sangat terkenal! Dia adalah Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai, seorang pendekar besar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi pada waktu itu dia seperti seorang anak kecil, menangis mengguguk bercucuran air mata di depan kakek dan nenek itu. Manusia memang lemah, karena itu sikap orang gagah ini sama sekali tidak aneh. Ilmu kepandaian tinggi tak akan membebaskan manusia dari kelemahannya itu, perasaan iba diri yang sangat besar, keakuan yang menebal. Hanya kesadaran serta pengertian saja menjadi langkah pertama ke arah kebebasan. Ada orang yang berusaha menyembunyikan kelemahan ini melalui kekejaman, melalui kekerasan, namun tetap saja hal itu membuktikan akan kelemahannya. Duka menjadi makanan setiap manusia bila mana dia belum mampu membebaskan diri dari belenggu keakuannya. Kakek dan nenek itu menghela napas panjang ketika melihat menantu mereka berlutut di hadapan mereka sambil menangis dan minta ampun itu. Mereka hanya mengamati dan mendengarkan dengan sikap tenang. Kakek itu adalah Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis, majikan Pulau Teratai Merah. Kakek yang kini berusia enam puluh lima tahun ini masih nampak gagah perkasa dan sikapnya tenang dan matang. Ada pun nenek itu bernama Toan Kim Hong, usianya sama dengan suaminya, dan dulu ketika masih gadis pernah menjadi seorang datuk sesat yang berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Juga nenek ini masih nampak muda dan jelas masih terlihat bekas kecantikannya, sikapnya tenang seperti suaminya. "Harap Ayah dan Ibu mertua sudi memaafkan saya yang sudah berani lancang datang menghadap. Sebenarnya sudah sangat lama saya menahan hati yang ingin sekali datang berkunjung, akan tetapi terus terang saja saya tidak berani datang karena saya merasa sudah melakukan kesalahan terhadap puteri Ayah dan Ibu. Setelah anak Kui Hong datang berkunjung ke Cin-ling-pai, baru saya memaksakan diri untuk menghadap dan mengakui semua kesalahan yang telah saya lakukan terhadap isteri saya, Ceng Sui Cin." Suami isteri yang usianya sudah enam puluh tahun lebih itu tidak menjawab, melainkan bertukar pandang, lalu mereka menoleh kepada puteri mereka. Sui Cin, wanita yang kini berusia hampir empat puluh tahun itu duduk sambil menundukkan mukanya yang menjadi merah dan ketika dia mengangkat mukanya memandang ke arah suaminya yang berlutut, kedua matanya menjadi basah, akan tetapi dia diam saja dan masih nampak kemarahan membayang pada sinar matanya. "Hui Song, kami orang tua tak ingin mencampuri urusan kalian suami isteri, sungguh pun kami merasa ikut berduka dan prihatin sekali ketika anak kami pulang. Sekarang engkau telah datang setelah isterimu pulang selama tiga tahun lebih. Nah, sebaiknya kalau kalian berdua membicarakan sendiri urusan itu dan kami sebagai orang tua hanya ingin melihat kalian dapat akur kembali sebagai suami isteri. Sui Cin, ini suamimu telah datang, sudah sepatutnya jika engkau menyambutnya dan segala urusan dapat kalian bicarakan dengan sebaiknya. Ajaklah suamimu masuk dan kalian bicaralah di dalam sana," kata Ceng Thian Sin dengan suara halus. "Ayahmu benar, Sui Cin," kata nenek itu. "Tidak ada persoalan yang tidak dapat diatasi dengan cara musyawarah, dan tidak ada kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Ajaklah suamimu ini berunding, kemudian atur sebaiknya bagaimana untuk menyelesaikan urusan di antara kalian itu." "Ayah dan Ibu, aku ingin bicara dengan dia di sini saja, agar dapat disaksikan oleh Ayah dan Ibu!" kata Sui Cin dan nada suaranya keras, membayangkan keadaan hati yang sakit. Kemudian dia menghadapi Hui Song, memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik dan terdengar dia berkata. "Selama tiga tahun aku sudah menjauhkan diri, dan sekarang tiba-tiba engkau datang menyusulku ke sini dengan maksud apakah?" Perih rasa hati Hui Song melihat dan mendengar sikap serta ucapan isterinya itu. Namun dia tidak menjadi marah. Tidak, dia tidak dapat marah terhadap isterinya yang dicintanya itu, melainkan merasa kasihan. Dia merasa bahwa dia sudah berdosa kepada isterinya, walau pun perbuatannya itu dilakukannya dengan terpaksa sekali. Dan kini, setelah dia melihat sendiri penyesalan ayahnya karena keputusan ayahnya yang mengakibatkan terpisahnya dia dan isterinya, sejak kedatangan Kui Hong ke Cin-ling-pai, ia sengaja datang untuk meminta maaf dan ingin mengajak isterinya kembali. Akan tetapi sikap isterinya membuat dia merasa gelisah dan ragu. Jangan-jangan isterinya tak dapat memaafkannya sehingga ajakannya untuk rujuk kembali bahkan akan membuat isterinya menjadi semakin marah. Betapa pun juga, dia harus mencobanya! Setelah menghela napas panjang seperti hendak mengumpulkan kekuatan, Hui Song lalu berkata, "Cin-moi, seperti telah kukatakan kepada Ayah dan Ibu mertua tadi, aku merasa bersalah kepadamu, dan karena perasaan bersalah itulah maka selama ini aku tak berani datang berkunjung ke sini. Baru setelah anak kita datang ke Cin-ling-pai dan menegur aku beserta ayahku, aku memberanikan diri untuk datang ke sini. Maksudku tiada lain hanya hendak meminta maaf kepadamu, dan mohon kepadamu supaya engkau suka kembali ke Cin-ling-san..." "Dan hidup serumah dengan isterimu yang baru, yang jauh lebih muda dan cantik dariku, lantas setiap hari makan hati melihat engkau bermesraan dengan isteri barumu itu? Tidak! Tidak sudi aku!" "Cin-moi, tentu engkau pun dapat merasakan bahwa aku selamanya cinta kepadamu, dan kalau aku sampai menikah lagi, hal itu kulakukan karena terpaksa untuk berbakti kepada ayahku yang menginginkan seorang cucu laki-laki untuk penyambung keturunan keluarga Cia. Aku menikah lagi bukan untuk mengumbar nafsuku, Cin-moi, engkau tentu tahu akan hal ini, namun bagaimana pun juga aku telah merasa bersalah kepadamu, telah menyakiti hatimu, harap engkau suka bersikap bijaksana dan suka memaafkan aku." Kerut di antara sepasang alis Sui Cin tidak lenyap, bahkan kini pandang matanya kepada suaminya menjadi makin tajam penuh selidik. "Hemm, engkau hanya mau enaknya saja. Apakah kalau sudah minta maaf begini lalu keadaannya menjadi baik kembali? Sekarang, apa kehendakmu selanjutnya?" Hui Song maklum akan kemarahan di hati isterinya dan dia tidak menyalahkan isterinya. Tidak, isterinya sama sekali tidak bersalah. Sudah wajarlah kalau isterinya merasa panas hatinya dan marah, sakit hati karena dia menikah lagi, memperisteri seorang wanita muda sehingga tentu saja isterinya merasa dibanding-bandingkan, merasa diremehkan dan tak dibutuhkan lagi! Dia dapat memaklumi betapa nyerinya perasaan ini bagi seorang wanita. Oleh karena itu dia pun tidak merasa tersinggung walau pun isterinya bersikap keras dan menggunakan kata-kata ketus. "Selanjutnya terserah padamu, Cin-moi. Sudah kukatakan bahwa aku telah berbuat salah kepadamu, bagaikan seorang pesakitan aku sudah mengakui kesalahanku, dan aku siap menerima hukumannya. Aku hanya mohon supaya engkau suka mengampuniku dan suka kembali ke rumah kita di Cin-ling-san." "Aku tak sudi selama wanita itu masih berada di sana! Dengarlah, aku mau kembali hidup di sampingmu, sebagai ibu anak kita dan sebagai isterimu yang setia, hanya dengan satu syarat!" "Apakah syarat itu, Cin-moi?" "Syaratnya, wanita itu harus kau bunuh!" Seketika wajah Hui Song menjadi pucat dan matanya terbelalak, maka melihat ini hati Sui Cin menjadi semakin panas. "Huhh! Engkau terlampau cinta kepadanya, tentu tidak akan mau kehilangan wanita itu! Kalau begitu engkau lebih berat kepadanya, engkau lebih cinta kepadanya dari pada kepadaku!" Dan kini sepasang mata Sui Cin menjadi basah, namun dengan sikap gagah dia menahan tangisnya. "Bukan begitu, Cin-moi. Engkau tentu tahu bahwa engkaulah yang kucinta, sejak dahulu, sekarang dan sampai hayat meninggalkan badan. Akan tetapi... untuk membunuh Siok Bi Nio..., bagaimana hal itu mungkin? Bagaimana pun juga dia adalah Ibu kandung puteraku, Cia Kui Bu" "Terserah! Tinggal kau pilih saja," kata Sui Cin, suaranya serak oleh tangis yang ditahan-tahannya, "Dia atau aku! Kalau engkau memilih dia, jangan engkau harap aku akan sudi hidup bersamamu sebagai isterimu dan jangan engkau berani mencariku lagi karena bila hal itu kau lakukan maka aku akan menganggap itu sebagai penghinaan! Sebaiknya, jika engkau memilih aku, engkau harus membunuhnya, membunuh wanita pelacur itu!" "Sui Cin, jangan engkau memaki orang tanpa alasan!" Tiba-tiba saja Toan Kim Hong atau Nyonya Ceng Thian Sin menegur puterinya. Semenjak tadi dia bersama suaminya hanya mendengarkan saja, tidak mencampuri urusan puteri mereka, hanya menjadi saksi saja. Akan tetapi dia merasa tidak setuju dan langsung menegur puterinya setelah mendengar puterinya memaki isteri muda Hui Song sebagai pelacur. "Tentu saja ada alasannya, Ibu!" bantah Sui Cin. "Semua wanita yang merebut suamiku adalah pelacur!" Lalu dia menoleh kepada suaminya lagi. "Nah, sekarang engkau boleh pilih dan mengambil keputusan sekarang juga!" Secara diam-diam Pendekar Sadis Ceng Thian Sin juga ikut menyesalkan sikap puterinya yang dianggapnya terlampau keras itu, akan tetapi dia diam saja dan hanya memandang kepada Hui Song. Ketua Cin-ling-pai ini merasa terpukul sekali. Tak diduganya sama sekali bahwa isterinya akan bersikap sekaku dan sekeras itu. Dia menarik napas panjang. Bagaimana pun juga dia sudah mengenal baik watak isterinya ini. Memang sikap Sui Cin keras, sesuai dengan wataknya yang keras, akan tetapi di balik kekerasan itu isterinya memillki hati yang amat baik dan bijaksana. Bila sekarang terlihat kejam adalah karena hatinya sedang dikeruhkan oleh perasaan cemburu dan panas. Dia tak percaya bahwa isterinya akan memaksanya membunuh Bi Nio, karena hal ini sungguh berlawanan dengan watak pendekar dari isterinya. "Cin-moi, terus terang saja, aku tidak tega membunuh ibu dari puteraku sendiri. Apa bila engkau yang akan melakukannya, terserah. Namun betapa pun juga aku jelas lebih berat kepadamu karena engkau adalah isteri yang kupilih sendiri, sedangkan Bi Nio menjadi isteriku karena keadaan. Marilah ikut pulang bersamaku dan di sana terserah kepadamu kalau engkau hendak menyingkirkan dan membunuh Siok Bi Nio." Pendekar Sadis diam-diam memuji mantunya itu. Dia dapat mengerti akan sikap Hui song dan dia sendiri pun tak percaya kalau puterinya akan demikian kejamnya membunuh isteri muda Hui Song yang sama sekali tidak berdosa itu. "Memang sebaiknya kalau engkau ikut pulang bersama suamimu, Sui Cin, dan urusan itu dapat kalian selesaikan di Cin-ling-san," katanya. Isteri pendekar sakti itu langsung mengangguk, karena dia pun dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Dia tahu bahwa puterinya mencinta Hui Song dan pada saat ini hati puterinya sedang terbakar oleh cemburu dan dia merasa yakin bahwa kalau cemburu itu sudah hilang, maka puterinya tidak akan bersikap seperti itu. "Ayahmu benar, Sui Cin. Memang sebaiknya kalau kalian pulang ke Cin-ling-san, dan di sana urusan keluarga ini dapat dibicarakan dengan semua yang bersangkutan." Tidak dapat disangkal oleh Sui Cin sendiri bahwa jauh di dasar hatinya dia amat mencinta Hui Song. Hampir dia tidak kuat bertahan akibat selama tiga tahun ini harus berpisah dari orang yang dicintanya. Hanya keangkuhan dan kekerasan hatinya sajalah yang membuat dia mampu bertahan dan menekan rasa rindunya yang amat sangat. Namun kekerasan hatinya juga yang membuat dia enggan mengalah, sehingga bersikap keras dan menuntut agar suaminya membunuh isteri mudanya yang dianggapnya sebagai saingannya itu, sebagai orang yang menjadi penyebab kehancuran kebahagiaannya. Dia tak mau mempedulikan alasan lain. Dianggapnya bahwa isteri muda suaminya itulah yang bersalah! "Baik," katanya sesudah mendengar ucapan ayah dan ibunya. "Aku akan ikut bersamamu ke Cin-ling-pai, akan tetapi jika sampai di sana engkau tidak mau membunuh perempuan pelacur itu, akulah yang akan turun tangan membunuhnya sendiri!" Hui Song mengangguk. "Baiklah, aku dapat menerima syaratmu itu, Cin-moi." Ceng Thian Sin lalu mengeluarkan suara ketawa. "Aha, akhirnya dapat juga dicapai kata sepakat. Gembira sekali hati kami suami isteri mendengar ini, Anakku, dan kami sungguh mengharap agar kalian dapat menemukan jalan keluar dari persoalan keluarga ini. Akan tetapi cukuplah bicara bersitegang dan kini ajaklah suamimu untuk makan minum dahulu, Sui Cin " Hui Song tinggal di Pulau Teratai Merah selama tiga hari, barulah Pendekar Sadis beserta isterinya memperkenankan dia dan Sui Cin meninggalkan pulau. Walau pun Sui Cin tidak lagi memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap suaminya, akan tetapi dia masih selalu menjauhkan diri. Hui Song diperlakukan sebagai seorang tamu saja! Bahkan ketika mereka meninggalkan pulau itu menuju ke Cin-ling-pai, ketika di sepanjang perjalanan mereka harus bermalam di sebuah rumah penginapan, Sui Cin menghendaki agar mereka menyewa dua buah kamar karena dia belum mau tinggal atau tidur sekamar dengan suaminya itu sebelum urusan di antara mereka dapat diselesaikan. Pada waktu mereka tiba di Cin-ling-san, para anggota Cin-ling-pai merasa gembira sekali melihat munculnya isteri ketua mereka. Mereka memberi hormat yang diterima dengan dingin saja oleh Sui Cin. Ketika mereka tiba di beranda, Sui Cin menolak untuk masuk terus. "Biarlah aku menunggu di sini saja sampai kulihat engkau membunuhnya atau aku sendiri yang akan membunuhnya. Setelah itu baru aku mau masuk ke dalam rumah ini." Hui Song tidak menjawab dan sampai beberapa lamanya dia memandang pada isterinya, hatinya sedih bukan main. Tak ada anggota Cin-ling-pai yang berani mengganggu mereka sehingga di beranda rumah itu sunyi sekali. Ayahnya tentu sedang bersemedhi di dalam kamarnya sendiri, pikirnya. Dan isterinya, Bi Nio, bersama puteranya tentu berada di dalam kamar atau di bagian belakang. Mereka semua belum tahu akan kedatangannya, dan tentu sama sekali tidak menyangka bahwa pulangnya bersama Sui Cin, isteri pertamanya. "Baiklah, aku akan menemui Bi Nio," katanya lantas dia meninggalkan Sui Cin masuk ke dalam rumah untuk mencari isteri mudanya. Dia menemukan mereka berada di ruangan belakang. Bi Nio terkejut dan girang melihat suaminya pulang. "Ah, engkau pulang begini tiba-tiba sehingga kami tidak bisa melakukan penyambutan..." katanya sambil tersenyum manis, akan tetapi senyumnya langsung menghilang ketika dia melihat wajah suaminya yang nampak keruh dan berkerut penuh kegelisahan. "Apakah yang telah terjadi...?" tanya isteri itu khawatir. Hui Song belum menjawab, melainkan meraih puteranya, Cia Kui Bu yang baru berusia sekitar dua tahun, kemudian memangku serta mencium kepalanya. Anak yang mengenal ayahnya itu tertawa-tawa dan kembali Bi Nio mendesak. "Apakah yang telah terjadi maka engkau kelihatan begini susah...?" tanyanya lagi sambil menyentuh lengan suaminya. Meski pun wanita ini menjadi isteri Hui Song atas kehendak orang tuanya, namun selama ini dia menemukan seorang suami yang amat baik dan bijaksana, dan Bi Nio sudah jatuh cinta kepada suaminya sendiri yang jauh lebih tua darinya itu, setua ayahnya. "Bi Nio..." Hui Song berkata, akan tetapi tidak mampu melanjutkan. Walau pun tadinya dia merasa yakin bahwa Sui Cin tidak mungkin akan melaksanakan tuntutan atau ancamannya, tetapi setelah berhadapan dengan Bi Nio dan membayangkan betapa nasib amat buruk menanti wanita ini, hatinya penuh rasa iba. Bi Nio tidak bersalah apa pun, dan Cia Kui Bu juga tak bersalah apa-apa. Mana mungkin dia harus membunuh Bi Nio dan memisahkan Kui Bu dari ibunya? Dosanya akan menjadi semakin besar kalau dia melakukan hal itu! "Bi Nio, ketahuilah bahwa isteriku yang pertama kini ikut pulang bersamaku..." "Ah, sungguh berita yang menggembirakan sekali. Saya harus segera keluar menyambut! Di mana dia...?" Bi Nio menggendong puteranya dan nampak gembira. Melihat ini, Hui Song menghela napas panjang. "Nanti dulu, Bi Nio. Justru karena inilah maka aku menjadi bingung. Ceng Sui Cin, isteri yang pertama itu, dia... dia menuntut agar aku memilih salah satu. Memilih engkau atau memilih dia! Dia tidak mau dimadu, tidak mau kalau aku memiliki dua orang isteri." Sepasang mata itu terbelalak dan wajahnya menjadi sepucat kertas ketika dia menatap muka suaminya. Beberapa saat lamanya dia bagaikan kehilangan akal saking kagetnya mendengar ucapan suaminya itu. Kemudian dengan suara lirih dia bertanya, "Kalau... kalau memilih aku...?" "Kalau aku memilih engkau maka dia tidak sudi kembali ke sini, tidak mau lagi hidup di sampingku sebagai isteriku." "Ahh, tidak mungkin kau lakukan hal itu!" Bi Nio berseru kaget. "Tentu saja tidak mungkin. Engkau tahu bahwa dia adalah isteriku, dan pernah kukatakan kepadamu bahwa dia adalah isteriku yang kucinta, dan kami sudah mempunyai seorang anak perempuan yang sangat kucinta pula. Engkau sudah melihat Kui Hong ketika dahulu dia datang berkunjung..." "Seorang gadis yang amat hebat. Dan kalau engkau memilih isterimu yang pertama?" Bi Nio mendesak. Hui Song hanya menarik napas panjang, tidak mampu menjawab, tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa Sui Cin menghendaki agar dia membunuh Bi Nio! Melihat keraguan suaminya, Bi Nio mendekap anaknya dan berkata sambil menangis, "Aku tahu! Akulah yang harus pergi dari sini! Ahh, memang sudah sepatutnya begitu. Aku hanya isteri ke dua, sudah tentu engkau lebih berat kepada isterimu pertama. Baiklah, aku akan pergi, akan kubawa Kui Bu pergi..." "Tidak mungkin!" Mendadak Hui Song berseru keras sehingga mengejutkan Bi Nio yang selama menjadi isteri Ketua Cin-ling-pai itu belum pernah mendengar suaminya berkata keras apa lagi membentak kepadanya, "Engkau tidak boleh membawa pergi Kui Bu! Dia adalah putera tunggalku, satu-satunya penyambung keturunan keluarga Cia. Engkau tak boleh membawanya!" Sepasang mata Bi Nio kini terbelalak lebar penuh kegelisahan. Dia mendekap puteranya di dadanya, dekapannya kuat sekali sehingga anak yang baru berusia dua tahun lebih itu menangis. Agaknya dia dapat merasakan kegelisahan hati ibunya. "Kau... kau hendak memisahkah aku dari anakku? Ahh tidak... jangan...! Biar kubawa dia pergi, aku tidak minta apa-apa darimu dan tidak menuntut apa pun. Aku akan pergi tanpa membawa apa pun... tapi... jangan minta aku pergi meninggalkannya di sini ! Ah, jangan... lebih baik kau bunuh saja aku..." Wanita itu kemudian menangis sesenggukan sambil mendekap dan menciumi puteranya yang juga ikut menangis. Melihat keadaan ibu dan anak itu, Hui Song cepat berlari keluar. Inilah saatnya yang tepat untuk mempertemukan Sui Cin dengan mereka, pikirnya. Dia melihat Sui Cin masih duduk di serambi depan. "Cin-moi, marilah. Siok Bi Nio dan anaknya sudah menunggumu di dalam. Mari kita temui mereka!" Sui Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi dia menurut dan mengikuti suaminya memasuki rumah itu, rumah di mana kurang lebih enam belas tahun menjadi tempat tinggalnya, di mana selama enam belas tahun dia hidup berbahagia bersama suaminya. cerita silat online karya kho ping hoo Mereka mendapatkan Bi Nio masih menciumi puteranya sambil menangis di ruang dalam. Sui Cin memandang penuh perhatian. Hemmm, seorang perempuan yang masih sangat muda, paling banyak berusia dua puluh satu atau dua tahun, sepantasnya menjadi kakak Kui Hong. Pantas menjadi anaknya, atau keponakannya! Dan anak laki-laki yang juga ikut menangis bersama ibunya itu, demikian mirip dengan Hui Song! Berkerut alis Sui Cin. "Cin-moi, inilah Siok Bi Nio dan anak kami, Cia Kui Bu. Aku sudah memberi tahu padanya akan keputusanmu bahwa aku harus memilih antara engkau dan dia. Dan telah kukatakan kepadanya bahwa tentu saja aku berat kepadamu yang semenjak muda menjadi isteriku. Sekarang terserah kepadamu, ini dia dan anaknya, boleh kau putuskan sendiri," kata Hui Song, wajahnya agak pucat dan hatinya terasa tegang sekali. Sementara itu, pada waktu mendengar kedatangan dua orang itu, Bi Nio mencoba untuk menghentikan tangisnya kemudian mengangkat muka memandang kepada wanita cantik yang berdiri di depannya. Seorang wanita yang cantik dan berwibawa, nampak galak dan membuat dia merasa kecil sekali, kecil dan lemah. "Engkau yang bernama Siok Bi Nio?" Sui Cin bertanya, suaranya ketus. "Benar, aku bernama Siok Bi Nio," jawab yang ditanya, suaranya lirih dan dia mendekap puteranya yang masih menangis, menggoyang-goyang anaknya untuk membujuknya agar diam. "Engkau sudah mendengar akan keputusanku. Suamiku minta agar aku suka kembali dan tinggal di sini. Aku baru mau kembali dengan syarat bahwa dia harus membunuhmu. Dan mengenai anakmu ini, karena dia anak suamiku, biarlah aku yang akan memeliharanya," sambil berkata demikian Sui Cin menatap wajah Bi Nio dengan pandangan tajam penuh selidik, agaknya hendak melihat reaksi wanita itu setelah mendengar ucapannya. Bi Nio terbelalak, kembali mendekap anaknya erat-erat, lantas dia memandang suaminya. "Ahh, jadi begitukah? Suamiku, jika memang kalian berkeras untuk memisahkan aku dari anakku, lebih baik cepat kau turun tangan dan bunuh aku. Lebih baik aku mati dari pada harus berpisah dengan anakku, dan bunuh pula anakku ini. Aku hendak membawa dia ke mana saja, hidup atau mati harus bersama dia! Bunuhlah kami supaya kalian dapat hidup berbahagia!" Bi Nio berkata sambil menangis dan tidak pernah melepaskan rangkulannya dari anaknya. "Cin-moi, tak mungkin aku dapat membunuhnya. Tak mungkin aku akan sekejam itu. Bila engkau masih menghendaki untuk membunuhnya, nah, terserah padamu. Lakukanlah jika engkau memang ingin demikian!" Hui Song berada dalam keadaan tegang sekali. Dia tahu bahwa kalau sampai isterinya itu benar-benar turun tangan hendak membunuh Bi Nio, maka dia tentu akan menentang dan mencegahnya, dan mungkin sekali dia akan memutuskan hubungan batinnya dengan Sui Cin, betapa besar pun cintanya terhadap Sui Cin. Dia akan menganggap perbuatan Sui Cin yang hendak membunuhi Bi Nio sebagai perbuatan terkutuk dan kejam sekali. Hui Song sama sekali tidak tahu atau menduga bahwa ketika Sui Cin mengatakan bahwa dia harus membunuh Bi Nio, hal itu hanya merupakan sebuah ujian saja. Sui Cin hendak melihat apakah suaminya kini telah menjadi sedemikian palsunya, mudah mengorbankan seorang wanita demi tercapainya keinginannya. Dahulu suaminya mengorbankan dirinya, membiarkan dia pergi bersama Kui Hong karena suaminya hendak menikah lagi. Dan sekarang karena suaminya menghendaki ia kembali, dia ingin melihat apakah suaminya mau mengorbankan Bi Nio, bahkan mau membunuh wanita itu! Betapa pun rasa cemburu dan panas hati menyesak dadanya saat berhadapan dengan madunya, sebagai seorang pendekar tentu saja dia tidak akan sudi menyerang, melukai apa lagi membunuh seorang wanita lemah seperti Bi Nio. "Bi Nio, karena suamiku memilih aku untuk kembali ke sini, maka aku minta agar engkau suka pergi dengan baik-baik dari rumah ini. Puteramu harus ditinggal di sini dan dia akan kupelihara, juga kami akan memberimu uang secukupnya agar engkau dapat berdagang, membuka toko atau menikah lagi dengan seorang laki-laki yang masih muda dan sebaya denganmu," kata Sui Cin, suaranya tidak ketus lagi, bahkan agak lembut. Ucapan Sui Cin itu membuat Bi Nio terbelalak, wajahnya berubah pucat lalu merah sekali, tubuhnya menggigil dan dia pun mendekap anaknya, kemudian bangkit berdiri. "Tidak...! Tidaaaakk...! Siapa pun tak boleh mengambil anakku! Biarkan aku pergi bersama anakku. Aku tidak butuh uang, tidak butuh harta, dan tidak butuh suami muda..., aku ingin hidup bersama anakku, biar miskin sekali pun. Biarkan aku pergi...!" Wanita itu lalu keluar dengan tubuh terhuyung-huyung, sambil memondong puteranya dan menangis tersedu-sedu. Namun baru saja dia tiba di pintu, nampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berdiri di depannya, menghadangnya dan sekali kakek itu menggerakkan tangan, Kui Bu, anak berusia dua tahun itu sudah terampas dari pondongan ibunya dan berada dalam pondongan lengan kanan kakek itu. "Cia Kui Bu adalah satu-satunya keturunan keluarga Cia, maka dia harus berada di sini, mewarisi seluruh peninggalan keluarga Cia dan menjadi calon ketua Cin-ling-pai, tak ada seorang pun yang boleh membawanya pergi dari sini," katanya, suaranya kereng sekali. Melihat ayah mertuanya, Bi Nio menjerit dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan ayah mertuanya. "Ayaaaahhh...!" Dia merangkul kaki ayah mertuanya dan menangis sesenggukan. Kakek itu adalah Cia Kong Liang yang terbangun dari semedhinya, dan ketika mendengar keributan di ruangan belakang dia cepat-cepat menghampiri lalu turun tangan merampas cucunya yang hendak dibawa pergi oleh mantunya itu. Kini, dengan cucunya yang masih menangis dalam pondongannya, dia berkata kepada mantunya yang pertama, suaranya halus namun tegas. "Sui Cin, aku mengerti bahwa pernikahan Hui Song dengan Bi Nio telah menghancurkan hatimu dan kini engkau datang hendak menuntut hakmu. Akan tetapi aku harap engkau dapat bertindak adil, dapat melihat siapa yang bersalah dan siapa tidak! Di dalam hal ini Bi Nio tidak dapat disalahkan, karena dia hanya seorang wanita yang menurut kemauan orang tuanya yang menyerahkannya kepada kami untuk menjadi isteri kedua Hui Song. Jadi kesalahannya kini terletak di atas pundak Hui Song. Namun engkau pun tentu sudah mengetahui bahwa pernikahan ke dua ini sama sekali bukan keinginan hati Hui Song. Dia hanya ingin memenuhi perintahku, atau tidak berani menolak perintahku sebagai seorang putera berbakti. Dengan demikian, kesalahan dari pundaknya kini berada pada pundakku! Nah, akulah yang bersalah, akulah yang berdosa, karena itu tidak sepatutnya kalau untuk kesalahan yang kulakukan, Bi Nio yang harus menanggung hukumannya! Aku sudah tua dan aku siap menerima hukumannya, Sui Cin. Apa bila engkau merasa sakit hati, nah, balaslah kepadaku, aku tak akan melawan untuk menebus kesalahanku kepadamu, akan tetapi jangan ganggu Bi Nio. Dia seorang isteri yang baik, dia sudah memberi seorang keturunan laki-laki kepada keluarga Cia, dan dia juga mencinta suaminya..." "Ayah...!" Sambil terisak dan merangkul kaki ayah mertuanya, Bi Nio berkata, "Ayah tidak bersalah, Ayah tidak berdosa! Kalau Ayah menginginkan putera Ayah menikah lagi, hal itu Ayah lakukan bukan karena Ayah membenci menantu pertama, melainkan karena Ayah ingin sekali mempunyai seorang cucu laki-laki! Bagaimana pun juga sayalah yang menjadi biang keladi semua pertentangan dan keributan ini. Ayahnya Kui Bu ingin kembali dengan isterinya yang pertama, dan isterinya yang pertama mau kembali kepadanya akan tetapi tak mau dimadu, dan Ayah tidak ingin melihat Kui Bu keluar dari sini, tidak ada orang lain yang dapat memberi penerangan di dalam kegelapan ini kecuali saya. Satu-satunya jalan, saya harus pergi dari sini, tanpa... tanpa anakku..., biarlah saya menderita, merana, demi kebahagiaan suami saya, isterinya, dan Ayah, juga Kui Bu sendiri..." Sekarang wanita itu bangkit dan lari keluar, terhuyung dan menangis sedih. Sejenak tiga orang itu tidak ada yang bergerak, akan tetapi tiba-tiba Sui Cin meloncat dan tubuhnya meluncur cepat melewati Bi Nio. Ketika turun, dia telah menghadang di depan Bi Nio. "Tidak... engkau... tidak boleh pergi..." kata Sui Cin, suaranya terdengar agak gemetar, "Bi Nio..., apakah kau... kau mencinta Hui Song?" Bi Nio yang berdiri agak membungkuk sambil menangis itu, mendadak saja mengeluarkan suara seperti orang tertawa, agaknya pertanyaan itu terasa amat lucu olehnya. "Aku...? Mencinta dia...? Aku... aku bersedia mati untuk kebahagiaannya... Mungkin aku tidak mampu melarikan diri dari kalian, akan tetapi aku dapat pergi dengan cara lain..." Tiba-tiba saja dia terkulai dan Sui Cin melihat darah membasahi baju pada bagian dada wanita itu. "Bi Nio...!" Sui Cin berteriak dan bergerak ke depan, merampas sebuah pisau sepanjang dua jari, pisau berlumuran darah yang tadi digunakan oleh Bi Nio untuk menusuk dadanya sendiri! "Bi Nio...!" Hui Song berteriak dan sekali meloncat dia telah menubruk Bi Nio yang terkulai roboh. Dipangkunya tubuh isterinya itu dan diperiksanya. "Bi Nio...!" Cia Kong Liang juga berteriak dan lompat mendekat, lalu berjongkok dan ikut memeriksa. Sementara itu, Kui Bu menangis keras, seakan-akan anak kecil yang belum tahu apa-apa ini merasakan adanya suatu malapetaka yang menimpa diri ibunya. "Bi Nio..., ahh, Bi Nio...!" Hui Song menangis dan ayahnya hanya menggelengkan kepala sesudah keduanya mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin lagi menyelamatkan Bi Nio karena pisau yang ditusukkan ke dadanya itu langsung mengenai jantungnya! Kini Bi Nio membuka matanya dan berbisik-bisik, "Anakku..., anakku..., mana..." Cia Kong Liang menangkap cucunya, kemudian didekatkan kepada Bi Nio yang langsung mendekap anaknya. Tentu saja muka dan pakaian anak itu berlumuran darah segar. "Aku... aku akan pergi... tolonglah... tolong semua saja, rawat baik-baik anakku Kui Bu... kalian... kalian maafkan aku yang berdosa ini..." Bi Nio melepaskan anaknya dan terkulai lemas. Dia mati dengan bibir tersenyum seolah-olah dia telah rela meninggalkan dunia ini, meninggalkan anaknya karena merasa yakin bahwa anaknya akan dirawat orang dengan baik. "Bi Nio...! Ahh, Bi Nio, aku sudah membunuhmu...!" Hui Song merintih dan terisak. "Aku sudah membunuhmu, Bi Nio...," kata Sui Cin lirih, menunduk dan merasa menyesal. Dia memondong Kui Bu, mendekap anak yang wajah dan pakaiannya berlepotan darah itu. "aku... aku akan merawat dan mendidik anakmu ini, Bi Nio, jangan kau khawatir..." "Aku yang telah membunuh Bi Nio...," Kakek Cia Kong Liang juga berkata dengan wajah sedih. Hui Song bangkit berdiri sambil memondong tubuh Bi Nio yang masih berlumuran darah. "Aku seorang suami yang tidak baik, suami yang celaka dan tak mampu membahagiakan isteriku, baik terhadap Sui Cin mau pun bagi Bi Nio. Aku... aku yang telah menyebabkan kematiannya, aku akan menguburnya di puncak bukit itu dan menemaninya di sana, untuk selamanya..." Hui Song lalu membawa lari mayat Bi Nio, diikuti pandang mata Cia Kong Liang yang tak mampu membendung aliran air matanya, dan Sui Cin yang masih mendekap Kui Bu. Lahir dan mati merupakan awal dan akhir dari kehidupan seperti yang kita kenal ini. Kita hanya tahu akan kehidupan ini, tanpa mengetahui keadaan sebelum terlahir dan sesudah mati. Yang jelas, seorang bayi, bangsa apa pun juga, kaya atau miskin, mulia mau pun papa, dari keluarga yang bagaimana pun juga, seorang bayi begitu terlahir di dalam dunia ini, dia langsung menangis! Tangis merupakan luapan rasa duka, dalam bahasa dari bangsa mana pun juga. Begitu memasuki alam dunia, manusia menangis. Awal kehidupan disambut tangis, seolah-olah bayi calon manusia itu merasa menyesal, merasa berduka bahwa dia telah dilahirkan di dalam suatu kehidupan yang penuh duka! Dan di dalam kenyataannya hidup ini memang lebih banyak mengandung duka dari pada suka. Kemudian, sesudah manusia mati, hampir dapat dipastikan bahwa di wajah si mati terdapat suatu kedamaian, wajah itu membayangkan kelegaan, kebebasan, bahkan juga kebahagiaan, seolah-olah si mati merasa lega karena telah terlepas dari pada kehidupan yang banyak duka ini! Manusia menyambut kelahiran bayi yang menangis sedih dengan gembira. Apakah ini menjadi tanda bahwa manusia merasa gembira melihat datangnya seorang rekan baru dalam kehidupan penuh derita ini, seperti sekumpulan orang dalam penjara menyambut datangnya seorang narapidana yang baru? Dan manusia mengantar kematian seseorang dengan tangisan sedih walau pun wajah si mati nampak demikian penuh ketenangan dan kedamaian. Apakah ini pun menjadi tanda bahwa manusia merasa berduka melihat seseorang terbebas sedangkan mereka sendiri masih berada di dalam kehidupan yang penuh derita, seperti sekumpulan orang di dalam penjara yang melihat ada seorang rekannya dibebaskan sedangkan mereka masih harus mendekam di dalam penjara. Hidup ini penuh dengan duka yang timbul dari segala perasaan ketakutan, kekerasan, iri hati, kecewa, dengki, dan iba diri. Kesenangan muncul bagaikan kilat di antara mendung gelap, hanya sekali-kali saja. Setiap jengkal kesenangan akan selalu diikuti oleh sedepa kesusahan. Akan tetapi, tanpa ada pikiran yang menimbang-nimbang, membayang-bayangkan, serta mengingat-ingat, tanpa ada sang aku yang menilai, membandingkan, merasakan, apakah duka atau suka itu? Dalam keadaan tidur atau pingsan, selagi pikiran tidak bekerja, kita memasuki suatu alam yang tak mengenal suka duka! Mimpi mengandung suka itu ada? Dalam keadaaan tidur atau pingsan, pada saat pikiran tak bekerja, kita memasuki suatu alam ke dalam alam tanpa suka tanpa duka. Ini membuktikan bahwa suka duka hanya permainan pikiran belaka, permainan si aku yang selalu mengada-ada! *************** Usia pria itu sekitar lima puluh tahun, sikapnya halus dan penuh wibawa, dan sepasang matanya menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang amat cerdik dan bijaksana. Walau pun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang pembesar sipil, bukan militer, tetapi dia kelihatan semakin berwibawa ketika duduk di atas kursi di dalam ruangan yang lebar itu, di mana belasan orang perwira nampak amat menghormatinya. Tidak mengherankan kalau semua perwira demikian menghormatinya karena dia adalah Menteri Cang Ku Ceng, salah seorang di antara menteri-menteri yang paling setia kepada kaisar, dan satu di antara para pejabat yang berjasa besar dalam menegakkan keadilan dalam pemerintahan Beng-tiauw di bawah pimpinan Kaisar Cia Ceng itu. Sesungguhnya dalam pemeritahan itu hanya ada dua orang menteri yang paling terkenal dan tercatat dalam sejarah sebagai dua orang yang berjasa besar. Mereka adalah Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng inilah. Sekarang Menteri Cang Ku Ceng turun tangan sendiri, langsung terjun ke lapangan untuk membasmi gerakan pemberontakan di selatan yang menurut para penyelidik dipimpin oleh datuk sesat yang bersekongkol dengan seorang bangsawan dari Birma! Dan hal ini amat besar pengaruhnya, terutama sekali dalam menarik perhatian dan bantuan para pendekar. Sebagian besar para pendekar merasa kagum kepada dua menteri itu, maka mendengar bahwa Menteri Cang sendiri ikut terjun ke lapangan, mereka pun tertarik dan banyak yang berdatangan ke Yunan untuk membantu gerakan pemerintah membasmi pemberontakan. Andai kata gerakan pembasmian itu hanya dipimpin oleh para perwira saja, kiranya para pendekar tidak akan demikian bersemangat membantu. Kini mereka sedang mengadakan perundingan di dalam ruangan itu, sebuah ruangan luas di dalam pondok darurat yang dibuat di lereng gunung yang penuh hutan itu. Para perwira itu sudah mempersiapkan pasukan yang cukup besar, akan tetapi pasukan mereka masih disembunyikan secara berpencar dan belum berkumpul di bukit itu karena mereka merasa khawatir kalau-kalau para mata-mata pemberontak akan melihatnya sehingga akan dapat menggagalkan penyergapan mereka. Ada pun kehadiran Menteri Cang Ku Ceng bersama para pendekar, juga belasan orang perwira di sana, tidak akan mudah diketahui orang karena hutan itu sudah dikepung dan dijaga ketat, baik oleh pasukan pilihan yang mengenakan pakaian preman mau pun oleh para pendekar dan anak buah mereka. Takkan ada orang asing dapat memasuki hutan di lereng bukit itu tanpa ijin. Selain Menteri Cang Ku Ceng serta belasan orang perwira, di situ sudah berkumpul pula para pendekar yang siap menyumbangkan tenaga untuk membasmi pemberontakan, dan pada pagi hari itu mereka diterima menghadap oleh Menteri Cang Ku Ceng. Di antara para pendekar itu terdapat pula beberapa orang yang terkenal sekali, bukan hanya tokoh-tokoh dari partai persilatan besar seperti wakil dari Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai dan Siauw-lim-pai, melainkan nampak hadir pula tokoh-tokoh persilatan perorangan yang tidak mewakili perguruan atau perkumpulan silat. Juga nampak Pek Kong, Ketua Pek-sim-pang yang datang bersama Song Un Tek, Ketua Kang-jiu-pang dari Cin-an. Seperti kita ketahui, sudah terjadi ikatan perjodohan di antara anak kedua orang tua yang memang bersahabat karib ini. Puteri Pek Kong, yaitu Pek Eng, sudah dilamar oleh Ketua Kang-jiu-pang untuk dijodohkan dengan puteranya yang bernama Song Bu Hok. Pinangan itu diterima dengan senang hati, akan tetapi ternyata ikatan jodoh itu malah membuat Pek Eng marah dan berduka. Gadis ini lantas minggat dari rumahnya dengan alasan hendak mencari kakak kandungnya, Pek Han Siong. Dan seperti telah kita ketahui, dalam perantauannya ini Pek Eng tertawan oleh anak buah Lam-hai Giam-lo. Akan tetapi, berkat kecerdikannya gadis ini lantas diambil murid bahkan diangkat sebagai anak oleh bengcu itu. Dengan menggunakan kesempatan baik ini, Pek Eng berhasil membujuk gurunya itu untuk mengirim orang dan membatalkan ikatan jodoh antara dia dengan Song Bu Hok! Lam-hai Giam-lo memenuhi permintaan Pek Eng dan Lam-hai Siang-mo, suami isteri iblis itulah yang kemudian diutus ke kota Cin-an dan dengan kekerasan mereka menuntut agar ikatan jodoh itu dibatalkan. Tentu saja para pimpinan Kang-jiu-pang membuat perlawanan, namun mereka semua dikalahkan oleh suami isteri itu sehingga terpaksa mereka berjanji akan membatalkan ikatan jodoh! Setelah suami isteri Lam-hai Siang-mo pergi, dengan hati penuh rasa penasaran Song Un Tek, Ketua Kang-jiu-pang, langsung pergi berkunjung ke Pek-sim-pang dan mengadukan semua peristiwa ini kepada Pek Kong, ayah Pek Eng Ketua Pek-sim-pang! Tentu saja keluarga Pek amat terkejut saat mendengar tentang peristiwa itu. Lebih kaget lagi ketika mendengar bahwa Pek Eng memutuskan ikatan jodoh dengan menggunakan tokoh-tokoh sesat macam Lam-hai Siang-mo! Bagaimana Pek Eng dapat bergaul dengan orang-orang macam itu? Apa lagi menurut Song Un Tek, sepasang iblis itu membatalkan ikatan jodoh atas nama Lam-hai Giam-lo! Mereka merasa khawatir sekali dan demikianlah, akhirnya Pek Kong beserta Song Un Tek meninggalkan rumah mereka, pergi berdua ke selatan untuk melakukan penyelidikan dan mencari Pek Eng. Ketika tiba di selatan, mereka baru mendengar akan gerakan pemberontak yang dipimpin oleh orang-orang sesat, dan pemimpin utamanya adalah Lam-hai Giam-lo! Mereka lantas pergi ke daerah Yunan untuk menyelidiki, dan di perjalanan mereka bertemu dengan para pendekar lain yang sudah diundang oleh Menteri Cang Ku Ceng. Maka mereka pun turut bergabung untuk membantu pemerintah membasmi para pemberontak. Selain dua orang ketua ini, di sana juga nampak Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian! Kita sudah mengetahui bahwa suami isteri ini pun sedang dalam perjalanan mencari musuh besar mereka, yaitu Lam-hai Giam-lo dan mereka bahkan telah bertemu dengan Hay Hay di Telaga Cao-hu. Mereka kemudian melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa Lam-hai Giam-lo telah menghimpun banyak sekali datuk sesat yang lihai di samping pasukan yang cukup besar. Keduanya segera maklum bahwa amatlah sukar, bahkan berbahaya bagi mereka apa bila mencari Lam-hai Giam-lo di sarangnya. Mereka tldak takut menghadapi musuh besar itu, akan tetapi kini Lam-hai Giam-lo bukan sendirian. Mereka berdua tentu akan mati konyol kalau mereka harus menghadapi musuh besar itu yang dibantu oleh banyak tokoh sesat yang sangat lihai di samping anak buah yang berjumlah ratusan orang! Selagi mereka berkeliaran di sekitar Yunan, mereka bertemu dengan beberapa pendekar yang kemudian mengajak mereka untuk membantu pasukan pemerintah yang sudah siap dan dipimpin langsung oleh Menteri Cang Ku Ceng. Pasangan suami isteri ini lalu datang menghadap dan pagi hari itu mereka ikut pula menghadiri rapat. Masih ada belasan orang pendekar yang duduk dalam ruangan itu, dan di antara mereka terdapat pula Cia Kui Hong! Seperti kita ketahui, gadis yang gagah perkasa ini mengalami guncangan batin yang sangat hebat ketika dia bersama Hay Hay tenggelam dalam lautan nafsu hingga Hay Hay tersadar dan meninggalkan dirinya. Hal ini menghancurkan hati Kui Hong. Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada Hay Hay maka dia mandah saja ketika pemuda itu memeluk dan menciumnya, bahkan dia pun membalas kemesraan itu dengan sepenuh hatinya. Akan tetapi, ketika Hay Hay menyatakan bahwa pemuda itu tak mencintanya dan merasa menyesal akan apa yang sudah terjadi, dia merasa hatinya seperti ditusuk-tusuk pedang lalu dia lari meninggalkan Hay Hay dengan hati hancur dan mengalami guncangan hebat. Dia pun lantas melanjutkan perjalanannya seorang diri dengan hati merana untuk mencari musuh besarnya, yaitu Ki Liong. Dalam usahanya mencari Ki Liong inilah dia mendengar bahwa Ki Liong telah bergabung dengan para pemberontak. Kemudian dia pun bertemu dengan orang-orang kepercayaan Menteri Cang Ku Ceng sehingga dia turut pula memenuhi undangan menteri itu dan hari itu dia berada di antara mereka yang sedang mengadakan perundingan. "Cu-wi Enghiong (Para Pendekar Sekalian)...!" terdengar Menteri Cang berkata dengan suaranya yang halus namun mengandung wibawa, "atas nama pemerintah kami ucapkan terima kasih, juga kami merasa gembira sekali bahwa Cu-wi (Anda Sekalian) sudah mau bergabung di sini dan membantu usaha kami dalam membasmi gerakan pemberontakan. Memang harus diakui bahwa pekerjaan membasmi pemberontakan sebetulnya merupakan tugas kami. Namun pemberontakan yang timbul di Yunan ini lain dengan pemberontakan biasa. Kali ini pemberontakan dipimpin oleh orang-orang dari dunia hitam, golongan sesat yang mempunyai ilmu silat yang tinggi, bahkan kabarnya orang-orang Pek-lian-kauw turut bergabung dan mereka terkenal pandai ilmu silat dan ilmu sihir. Menghadapi orang-orang seperti ini tentu saja kami tak dapat hanya mengandalkan kekuatan pasukan saja. Tanpa bantuan dari orang-orang pandai seperti Cu-wi Enghiong, mungkin usaha pembasmian ini akan mengalami kegagalan, atau setidaknya tentulah akan jatuh banyak korban di antara pasukan kami. Maka kami bersyukur bukan main bahwa Cu-wi sudi membantu kami dan mudah-mudahan dalam beberapa hari ini, akan datang bantuan yang lebih banyak lagi." Dengan ramahnya menteri ini kemudian minta kepada para pendekar agar masing-masing memperkenalkan diri dan kalau datang sebagai wakil, menyebutkan partai atau perguruan mana yang diwakilinya. Ketika itu Kui Hong duduk dekat Hui Lian dan Su Kiat. Semenjak terjadinya peristiwa di Cin-ling-pai di mana mereka bertemu, bahkan saling serang, kemudian semua peristiwa itu berakhir damai, Kui Hong menganggap Hui Lian sebagai seorang wanita yang hebat, memiliki ilmu kepandaian yang melebihi tingkatnya! Sebaliknya Hui Lian juga memandang Kui Hong sebagai seorang gadis yang gagah perkasa dan mengagumkan, apa lagi kalau diingat bahwa gadis ini adalah cucu dari Pendekar Sadis yang terkenal sakti. Para orang gagah itu memperkenalkan diri satu demi satu. Ketika tiba giliran Su Kiat dan Hui Lian, mereka hanya mengaku bahwa mereka memiliki urusan pribadi dengan Lam-hai Giam-lo, maka sesudah mendengar bahwa Lam-hai Giam-lo bahkan menjadi pemimpin gerombolan pemberontak, mereka lalu ingin bergabung dan membantu pemerintah. "Kami berdua tidak mewakili golongan mana pun, karena kami tidak terikat oleh sesuatu perkumpulan atau perguruan, biar pun kami pernah membuka perguruan silat yang tidak ada artinya, bukan merupakan perkumpulan melainkan sekedar mencari nafkah. Namun kami siap membantu pemerintah membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh musuh besar kami, yaitu Lam-hai Giam-lo," kata Su Kiat penuh semangat. Ketika tiba giliran Kui Hong untuk memperkenalkan diri, dia teringat bahwa keluarganya, baik dari ayahnya mau pun dari ibunya tak ada yang hadir di situ, maka dia ingin mewakili mereka untuk dapat mengangkat nama keluarganya. Setelah memperkenalkan namanya, dia melanjutkan. "Saya mewakili Cin-ling-pai karena ayah saya adalah Ketua Cin-ling-pai, juga saya mewakili Pulau Teratai Merah karena Pendekar Sadis adalah kakekku." Mendengar ini, mereka yang belum tahu tertegun dan memandang kagum, juga Menteri Cang tersenyum lebar dan wajahnya berseri. "Aihh, sungguh tidak kami sangka bahwa di sini telah hadir pula wakil dari mereka yang namanya sudah lama kami dengar. Selamat datang, Nona Cia dan terima kasih. Semakin besarlah hati kami karena dengan hadirnya seorang wanita perkasa seperti Nona, usaha kami membasmi gerombolan pemberontak pasti akan berhasil baik." Mereka lalu mengadakan perundingan. Menteri Cang menerangkan bahwa menurut hasil penyelidikan mata-mata yang disebar, belum nampak gerak-gerik dari para pemberontak, kecuali bahwa para tokoh sesat telah berkumpul di sarang mereka. "Kami khawatir kalau mereka menyembunyikan pasukan di suatu tempat. Kalau kita lebih dahulu bergerak, berarti kedudukan kita akan mereka ketahui, dan sebaliknya kita belum mengetahui kedudukan mereka. Karena itu sebaiknya kalau kita menanti sampai mereka mengeluarkan pasukan mereka dan bergerak lebih dulu. Dengan demikian, selain dapat mengetahui kekuatan pasukan mereka, juga kita dapat mengatur siasat untuk menyergap mereka." Selagi mereka berunding, tiba-tiba ada komandan jaga datang menghadap, melaporkan bahwa ada seorang pemuda dan seorang gadis minta agar dihadapkan kepada Menteri Cang Ku Ceng. "Pemuda itu adalah Can-taihiap, tapi Nona itu baru datang menghadap Taijin," komandan jaga itu menutup laporannya. Mendengar disebutnya nama Can-taihiap, wajah Cang Ku Ceng menteri yang bijaksana itu tersenyum. "Ahh, persilakan mereka masuk!" Maka muncullah Can Sun Hok dan Cia Ling. Begitu masuk, Kui Hong yang mengenalnya, segera berseru girang. "Ling Ling...!" Cia Ling, gadis yang masih merasakan remuk rendam hatinya karena peristiwa perkosaan yang menimpa dirinya, terkejut dan mengangkat muka. Ketika dia mengenal Kui Hong, dia pun berseru. "Bibi Kui Hong...!" Dan dia pun lari menghampiri, lalu kedua gadis itu berangkulan. Kui Hong terkejut bukan main ketika melihat Ling Ling merangkulnya sambil menangis sesenggukan! "Heiii Ling Ling, ada apakah? Apakah yang telah terjadi?" tanyanya penuh keheranan dan kekhawatiran. Barulah Ling Ling sadar bahwa dia sudah terseret oleh perasaan dukanya, padahal di situ terdapat banyak orang asing! Dia segera mengerahkan tenaga batinnya untuk menekan perasaannya, mengusap air mata dan memandang kepada Kui Hong sambil tersenyum. "Maafkan aku, Bibi Hong, aku... begitu girang bertemu denganmu di sini sehingga lupa diri terharu dan menangis. Maafkan aku...!" Walau pun lain orang di situ tidak merasa curiga akan adegan kecil ini, namun diam-diam Kui Hong merasa heran. Seperti yang diketahuinya setelah untuk pertama kalinya mereka bertemu di Cin-ling-pai, keponakannya adalah seorang gadis yang tenang dan halus, juga amat gagah dan tabah. Mengapa gadis ini tiba-tiba berubah menjadi seorang gadis yang cengeng dan lemah? Menteri Cang segera memperkenalkan pemuda yang baru tiba itu kepada mereka yang hadir. Tentu saja Kui Hong telah mengenalnya dan pemuda ini pun agak terkejut sehingga wajahnya agak merah ketika dia mengenal Kui Hong. Dia lantas teringat akan pertemuannya dengan Kui Hong dan ibunya, Ceng Sui Cin yang kemudian berakhir dengan tewasnya Nenek Wa Wa Lobo, pelayannya yang setia setelah Wa Wa Lobo tidak berhasil mengalahkan pendekar wanita Ceng Sui Cin untuk membalas kematian ibu kandungnya, yaitu Gui Siang Hwa. Pada saat itu mereka memang berpisah dengan baik-baik, dan dia sudah menyadari akan kelirunya perbuatan Wa Wa Lobo yang hendak membalas dendam, tapi betapa pun juga dia merasa kikuk bertemu dengan Kui Hong, hal yang sama sekali tidak disangkanya. "Cu-wi Enghiong, dia ini adalah Can-taihiap, namanya Can Sun Hok. Ketahuilah bahwa dia masih berdarah bangsawan, putera dari mendiang Pangeran Can Koan Ti. Akan tetapi kini dia telah menjadi seorang pendekar yang berkepandaian tinggi dan sekarang datang untuk membantu pemerintah dalam penumpasan terhadap gerombolan pemberontak. Dan Nona ini, siapakah dia, Can-taihiap?" Sun Hok memandang kepada Ling Ling. "Nona itu adalah Nona Cia Ling. Dia membawa berita yang teramat penting, oleh karena itu, tanpa membuang waktu lagi saya mengajak dia untuk datang menghadap Taijin." "Berita apakah yang teramat penting itu?" tanya Menteri Cang sambil memandang tajam penuh selidik. Sun Hok memandang sekeliling, seolah merasa ragu untuk berbicara karena di situ hadir demikian banyak orang. Melihat ini, Menteri Cang berkata lagi, "Katakanlah saja, Taihiap. Yang hadir ini adalah rekan-rekan dan para sahabat sendiri." "Taijin, ketika saya datang melakukan penyelidikan dan mendekati sarang para pimpinan pemberontak, saya melihat Nona Cia Ling ini sedang berkelahi melawan Saudara Tang Hay yang dulu pernah kita bicarakan, bahkan Taijin menyatakan bahwa dia adalah orang kepercayaan Yang-taijin dan Jaksa Kwan. Saya lantas melerai, namun begitu perkelahian terhenti, Saudara Tang segera melarikan diri. Dan saya mendengar hal yang sangat luar biasa dari Nona Cia ini, yaitu bahwa Saudara Tang Hay adalah seorang jai-hwa-cat!" "Ihhhh...!" Seruan ini keluar dari mulut Kui Hong yang merasa terkejut bukan main ketika mendengar itu. Juga Menteri Cang merasa terkejut dan heran, sementara itu Sun Hok telah melanjutkan. "Apa bila berita ini benar, sungguh berbahaya sekali, Taijin. Kalau benar bahwa Saudara Tang Hay itu seorang penjahat cabul, berarti dia adalah seorang di antara tokoh sesat itu dan siapa tahu, dia memang sengaja menyelundup untuk mengambil hati Yang-taijin dan Jaksa Kwan supaya dipercaya, akan tetapi sesungguhnya dia adalah mata-mata dari para pemberontak. Itulah sebabnya maka saya segera mengajak Nona Cia Ling datang ke sini untuk menghadap Paduka." "Nona Cia Ling, benarkah apa yang dikatakan oleh Can-taihiap tadi? Harap Nona suka menceritakan dengan jelas," kata Menteri Cang setelah mempersilakan keduanya duduk.....


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 38 :
Cia Ling duduk di dekat Kui Hong dan dia pun mengangguk memberi hormat kepada Hui Lian yang duduk di dekat situ karena dia pun pernah bertemu dengan wanita sakti itu di Cin-ling-pai, bahkan pernah membantu Kui Hong menandingi Hui Lian. Tentu saja Hui Lian merasa terkejut sekali dan matanya terbelalak, kedua pipinya menjadi merah karena penasaran dan marah mendengar tuduhan bahwa Hay Hay adalah seorang jai-hwa-cat, hal yang sama sekali tidak dipercayanya. Dia telah mengenal Hay Hay, luar dalam! Akan tetapi berada di tempat itu, tentu saja dia tidak berani bersikap sembarangan dan hanya menanti untuk mendengar perkembangan selanjutnya. Tentu saja Ling Ling merasa sangat yakin bahwa Hay Hay adalah seorang jai-hwa-cat tulen. Bukankah kekejian pemuda itu telah dia rasakan sendiri? Bukankah Hay Hay sudah memperkosanya, dan hal itu membuktikan kebenaran tuduhan orang-orang Bu-tong-pai? Namun tentu saja dia tidak mau menceritakan mala petaka yang menimpa dirinya akibat kejahatan Hay Hay. "Seperti yang telah saya ceritakan kepada Saudara Can Sun Hok ini, saya melihat Tang Hay diserang oleh orang-orang Bu-tong-pai dan dituduh bahwa dia adalah Ang-hong-cu, seorang jai-hwa-cat yang sudah memperkosa dan membunuh seorang murid perempuan Bu-tong-pai. Melihat betapa dia tidak mempunyai alasan yang cukup untuk membantah, maka saya percaya bahwa dia seorang jai-hwa-cat." "Ah, kalau begitu sungguh celaka! Di mana dia sekarang, Nona Cia?" tanya Menteri Cang. "Dia menerima tawaran seorang tokoh pemberontak untuk bekerja sama, tetapi kepadaku dia berkata bahwa hal itu hanya merupakan siasat untuk dapat menyelidiki keadaan para pemberontak dari dalam," jawab Cia Ling yang menjadi semakin bingung. "Bagaimana kalau semua itu benar dan dia memang kaki tangan pemberontak, Taijin?" tanya Can Sun Hok. "Tidak benar!" Tiba-tiba Hui Lian berseru keras. "Saya mengenal pemuda bernama Tang Hay itu, Taijin, dan saya berani bersumpah bahwa dia bukanlah seorang penjahat, bukan jai-hwa-cat apa lagi anggota pemberontak!" "Semua keterangan itu benar!" Tiba-tiba terdengar suara lain. "Dia memang Ang-hong-cu, seorang jai-hwa-cat dan kami berani sumpah pula untuk menyatakan bahwa hal ini adalah benar!" Semua orang menengok dan yang bicara itu ternyata adalah Tiong Gi Tojin, tokoh Bu-tong-pai yang dahulu bersama anak buahnya pernah menyerang Hay Hay, disaksikan oleh Ling Ling. "Kamilah orang-orang Bu-tong-pai yang diceritakan oleh Nona itu. Ang-hong-cu itu pernah menculik seorang murid perempuan kami, lalu kami menemukan dia telah menjadi mayat sedangkan penjahat itu meninggalkan tanda perhiasan tawon merah, persis sama seperti perhiasan yang berada di tangan Tang Hay itu. Dia adalah Ang-hong-cu, penjahat cabul yang suka memperkosa dan membunuh wanita!" Hui Lian masih hendak membantah, akan tetapi tangan suaminya menyentuh lengannya, dan suaminya berbisik, "Tak perlu ribut, lihat saja perkembangannya." Karena cegahan suaminya, Hui Lian kini diam saja. Hatinya mendongkol bukan main. Dia tahu bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang umumnya dikatakan mata keranjang, senang dengan wanita cantik. Akan tetapi menjadi jai-hwa-cat? Tak mungkin dia sanggup membayangkan hal itu! Hay Hay bukan penjahat, dia adalah seorang laki-laki sejati yang gagah perkasa, yang tak mungkin dapat melakukan hal-hal jahat, apa lagi memperkosa wanita. Dia adalah pemuda yang memuja kecantikan wanita, untuk dikagumi, untuk dipuji-puji, bukan untuk dirusak. "Aihh, kalau begitu sungguh berbahaya keadaan kita. Tentu dia sudah membuka semua rahasia kita dan kaum pemberontak sudah mengetahui kedudukan kita sehingga mereka dapat bersiap-siap, bahkan akan membuat gerakan yang sangat merugikan kita," Menteri Cang Ku Ceng berkata. Pada saat itu pula terdengar suara ribut-ribut di luar ruangan itu, agaknya para penjaga sedang mengejar-ngejar orang. Kemudian daun pintu ruangan itu terbuka dan muncullah seorang laki-laki setengah tua, dikejar oleh belasan orang prajurit penjaga. "Sejak tadi telah kukatakan bahwa aku hanya ingin menghadap Cang-taijin! Kenapa kalian ribut-ribut dan hendak menangkap aku seolah-olah aku seorang pencuri saja?" laki-laki itu berseru ke arah para pengejarnya. Semua orang segera memandang pria itu. Akan tetapi hanya Cia Ling yang mengenalnya karena gadis ini pernah melihatnya sebagai penggembala kambing suku bangsa Hui itu, namun sekarang dia tidak memakai pakaian orang Hui, melainkan pakaian biasa dengan capingnya yang lebar. Melihat sikap dan mendengar suara orang itu, seorang komandan lalu bangkit berdiri dan memerintahkan para prajurit agar menghentikan pengejaran mereka, lalu dia menghadapi pendatang itu sambil bertanya dengan suara kereng, "Siapakah engkau yang berani membikin ribut di sini? Tak seorang pun boleh masuk ke sini tanpa ijin, tetapi agaknya engkau sudah berani masuk dengan paksa! Hayo mengaku terus terang sebelum kami terpaksa menggunakan kekerasan untuk menangkapmu dan menganggapmu sebagai mata-mata pemberontak!" Laki-laki itu mengeluarkan suara ketawa kecil lantas dia menurunkan topinya yang lebar. Kini nampaklah mukanya yang masih gagah dan tampan walau pun usianya sudah lebih dari lima puluh tahun. Kebetulan sekali dia memandang ke sekeliling, dia melihat Cia Ling dan dia pun mengenal gadis itu. "Aihh, kiranya Nona yang gagah dan cantik telah berada di sini pula? Selamat berjumpa!" Dia menjura dalam ke arah Cia ling yang tidak menjawab langsung, hanya memandang penuh selidik, kemudian baru dia dapat bertanya. "Bukankah engkau penggembala kambing dari suku bangsa Hui itu?" tanyanya Orang itu pun tertawa lagi. "Mata Nona memang tajam sekalii. Benar, akulah yang dulu menyamar sebagai penggembala kambing suku Hui. Akan tetapi, yang manakah di antara Cu-wi yang disebut Menteri Cang Ku Ceng yang mulia? Aku datang dengan membawa berita rahasia yang teramat penting untuk beliau." "Akulah Cang Ku Ceng!" kata menteri itu dengan suara halus. "Sobat, siapakah engkau dan berita rahasia apa yang kau bawa? Silakan duduk dan bicara." Laki-laki itu menghadapi Menteri Cang dan sejenak kedua orang yang sebaya itu bertemu pandang. Orang bercaping yang kini telah menurunkan capingnya itu kemudian menunduk dan memberi hormat dengan tubuh membungkuk, nampaknya dia kalah wibawa. "Harap Paduka suka mengampuni kelancangan saya yang datang dengan cara seperti ini, Taijin. Nama saya, seperti biasa orang menyebut saya, adalah Han Lojin. Saya seorang perantau dan biar pun saya tidak berani mengaku sebagai seorang pendekar atau orang baik-baik, akan tetapi saya masih mempunyai kesetiaan terhadap tanah air dan bangsa. Mendengar akan pemberontakan yang digerakkan oleh Lam-hai Giam-lo bersama kawan-kawannya, saya lantas melakukan penyelidikan dan berhasil masuk, bahkan berhasil pula mengetahui rencana mereka. Kini saya datang menghadap Paduka untuk menyampaikan berita rahasia yang amat penting." "Bagus sekali, Han Lojin. Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih kepadamu. Nah, sekarang katakan, berita apa yang kau bawa. Jangan khawatir, mereka semua yang hadir di sini adalah rekan-rekan kita yang bertekad untuk membasmi gerombolan pemberontak. Nah, bicaralah!" "Dari mulut Lam-hai Giam-lo sendiri saya mendengar bahwa rencana pemberontakan ini akan diatur oleh seorang tokoh bernama Kulana, dan akan dimulai pada malam terang bulan kurang lebih seminggu lagi yang akan datang. Dan kini gerombolan-gerombolan itu sudah mulai dikumpulkan dan sebelum malam terang butan, semua pasukan sudah akan dilatih dan diberi penjelasan tentang siasat yang akan mereka lakukan. Menurut rencana mereka, pasukan yang jumlahnya kurang lebih seribu orang itu dibagi menjadi beberapa kelompok, kemudian mereka akan berpencar menyerang dusun-dusun dan kota-kota dari selatan. Dengan siasat seperti itu, maka pasukan pemerintah akan menjadi bingung dan sibuk sekali, bahkan mungkin akan terpecah-pecah pula untuk menghadapi gerakan yang dilakukan serempak di banyak tempat itu. Oleh karena itu, Taijin, satu-satunya cara untuk membasmi mereka hanyalah dengan mendahului gerakan mereka. Sebelum terang bulan, satu atau dua hari sebelumnya, kalau Taijin mengerahkan pasukan kemudian mengepung perkampungan mereka dan mengadakan penyerbuan tiba-tiba di pagi hari selagi mereka lengah, saya yakin bahwa gerombolan itu akan dapat dibasmi semua. Di sini saya sudah membuat gambar tentang keadaan dan kekuatan perkampungan itu, dan bagaimana cara sebaiknya untuk mengepung dan menyerbu mereka dari delapan penjuru." Han Lojin mengeluarkan segulungan kertas yang sudah digambari dan ditulisi, merupakan sebuah gambaran peta dari perkampungan pemberontak, amat jelas dengan keterangan tentang bukit, jurang dan hutan-hutannya. Gambar itu dia bentangkan di atas meja dan Menteri Cang Ku Ceng bersama para hadirin langsung mengamatinya. Setelah mempelajari peta itu, Menteri Cang mengangguk-angguk dan memandang dengan gembira. "Sungguh bagus sekali, Han Lojin. Apa bila semua laporanmu itu benar, berarti engkau telah menyelamatkan kami dan telah memberikan jalan yang amat baik sehingga akan dapat membasmi gerombolan pemberontak itu." "Harap Taijin suka berhati-hati terhadap orang itu!" tiba-tiba saja Tiong Gi Cinjin berseru nyaring sehingga semua orang menengok kepadanya. Juga Menteri Cang memandang kepada orang tua itu, lalu bertanya kepada tosu Bu-tong-pai yang kelihatan bersungguh-sungguh itu. "Apakah maksud Totiang?" "Seperti tadi telah diceritakan, pinto bersama beberapa orang murid berusaha menangkap Ang-hong-cu, namun orang ini tiba-tiba saja muncul dan mengacaukan keadaan. Dengan menyamar sebagai seorang penggembala dia telah menggagalkan pengepungan kami dan ternyata dia mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Pinto khawatir kalau-kalau dia ini seorang kawan dari Ang-hong-cu, dan dia datang ini hanya untuk menjebak kita. Bagaimana kalau semua ini hanya suatu jebakan dan kalau kita menuruti keterangannya, kita semua akan masuk perangkap para gerombolan pemberontak?" Seorang perwira tinggi memberi hormat kepada Menteri Cang. "Apa yang dimaksudkan Tiong Gi Cinjin memang benar, Taijin. Bagaimana pun juga, kita harus berhati-hati karena kita belum mengenal benar siapa adanya orang yang mengaku bernama Han Lojin ini." Menteri Cang memandang pada Han Lojin, "Engkau sudah mendengar sendiri kecurigaan yang dijatuhkan terhadapmu, Han Lojin dan harus kami akui bahwa pendapat mereka itu memang benar sekali. Bagaimana pertanggungan jawabmu seandainya kemudian terbukti bahwa semua laporanmu ini hanya suatu jebakan belaka?" Han Lojin tertawa. "Ha-ha-ha-ha, Taijin Yang Mulia. Betapa pun bodohnya, saya belumlah gila untuk mempermainkan begini banyaknya orang-orang pandai yang berkumpul di sini. Kalau memang saya memasang umpan perangkap, apa yang dapat saya andalkan untuk menyelamatkan diri? Tentu saya akan mati sebelum mampu berlari sepuluh langkah, dan saya berani menebus kebenaran laporan saya dengan nyawa saya." "Bagus kalau begitu. Nah, mulai sekarang, engkau menjadi orang tahanan kami. Engkau akan ditahan di puncak bukit dan dijaga secara ketat. Kalau kemudian laporanmu ternyata benar, engkau telah berjasa besar sekali dan akan menerima hadiah besar dari kerajaan. Tapi sebaliknya, kalau semua laporan ini hanya perangkap, maka engkau akan menerima hukuman berat!" "Baik, Yang Mulia! Saya memang tidak suka perang, dan saya akan menanti dengan hati lapang karena saya percaya bahwa Paduka yang memiliki nama besar sebagai seorang menteri yang bijaksana, tentu akan memenuhi janji." Menteri Cang lalu memerintahkan dua orang perwira untuk membawa Han Lojin pergi dari situ, untuk ditahan di puncak bukit di mana memang sudah disediakan sebuah bangunan khusus untuk menahan para pimpinan musuh bila tertawan dan dijaga dengan ketat. Dengan sikap tenang Han Lojin bangkit, lantas digiring oleh dua orang perwira itu keluar. Sebelum dia keluar, Hui Lian masih sempat berteriak kepadanya. "Han Lojin, apakah engkau melihat Tang Hay diperkampungan pemberontak...? Bagaimana keadaannya?" Mendengar pertanyaan ini, Han Lojin berhenti melangkah kemudian menoleh memandang kepada Hui Lian dan berseru kagum. "Wah...! Ang-hong-cu muda itu memang hebat, di mana-mana dikagumi wanita! Dia memang di sana dan dalam keadaan sehat-sehat saja!" Mendengar betapa Han Lojin menyebut Ang-hong-cu kepada Hay Hay, jantung di dalam dada Hui Lian berdebar tegang. Benarkah bahwa Hay Hay adalah seorang jai-hwa-cat? "Benarkah bahwa dia merupakan kaki tangan pemberontak?" tanyanya pula sebelum Han Lojin keburu pergi. "Ang-hong-cu seorang kaki tangan pemberontak? Ha-ha-ha-ha, yang bilang demikian itu sungguh bodoh! Ang-hong-cu boleh jadi senang memetik kembang, tetapi dia tidak akan merusak taman. Bahkan dia siap membela tanah air dan bangsa dengan taruhan jiwanya, ha-ha-ha!" Dia kemudian melangkah pergi, digiring oleh dua orang perwira dan di luar disambut oleh pasukan yang berjumlah dua losin orang bersenjata lengkap. Dia terus dibawa ke puncak bukit di mana terdapat sebuah bangunan yang kokoh dan terjaga ketat. Sesudah Han Lojin pergi, Menteri Cang langsung mengadakan perundingan dengan para perwira dan para pendekar, kemudian mengambil keputusan hendak mendahului gerakan para pemberontak seperti yang diceritakan oleh Han Lojin tadi. Walau pun mereka masih belum percaya begitu saja kepada Han Lojin yang tidak mereka kenal, namun keterangan itu sangat penting dan kalau benar para pemberontak akan mulai bergerak setelah malam bulan purnama, maka satu-satunya jalan terbaik adalah mendahului mereka, menyerbu tempat yang menjadi sarang mereka itu sebelum mereka berpencaran dan mulai dengan gerakan mereka. Menteri Cang adalah seorang pembesar yang amat pandai dan bijaksana. Walau pun dia seorang menteri sipil tetapi dia pandai pula ilmu perang, dan kini bersama para komandan pasukan dia merundingkan siasat mereka untuk menyerbu ke sarang pemberontak, juga minta pendapat para pendekar yang hadir di situ. Sikap semacam ini dari seorang pemimpin mendatangkan banyak keuntungan. Pertama, para pembantunya atau bawahannya akan merasa terangkat dan merasa bahwa pendapat mereka dihargai sehingga mereka akan menjadi semakin suka kepada pemimpin mereka. Dan ke dua, dengan mengumpulkan banyak pendapat, maka dapat disaring dan diambil keputusan terbaik, karena bukan tidak mungkin seorang yang kedudukannya lebih rendah memiliki pendapat dan siasat yang lebih baik dari pada atasannya. Setelah mengadakan perundingan serius, mendengarkan bermacam pendapat dan saran, akhirnya Menteri Cang mengambil keputusan dan berkata dengan suara lembut tapi tegas kepada semua yang hadir. "Terima kasih atas segala saran yang kalian berikan kepadaku, dan terutama sekali saran dari para Enghiong (Pendekar) yang membantu pemerintah untuk menumpas gerombolan pemberontak. Setelah menampung dan menyaring semua saran, kami memutuskan untuk melakukan penyerbuan sekarang juga ke sarang gerombolan itu. Oleh karena daerah itu merupakan daerah yang berbahaya, maka kita harus melakukan pengepungan dari enam penjuru. Harap Cu-wi (Kalian) periksa baik-baik peta yang dibuat oleh Han Lojin dengan amat teliti ini." Pembesar tinggi itu membeberkan peta di atas meja dan semua yang hadir mendekat, lalu sama-sama mempelajari peta itu. "Nah, ada enam jurusan yang dapat kita gunakan untuk mengepung sarang pemberontak itu. Kalau sekarang kita melakukan gerakan, maka paling lambat dalam lima hari sarang itu akan dapat kita kepung seluruhnya, jadi kurang dua tiga hari sebelum bulan purnama muncul. Pasukan akan kita bagi menjadi tujuh. Enam kelompok melakukan gerakan dari enam jurusan untuk mengepung sarang musuh, dan kelompok ke tujuh yang merupakan kelompok induk, akan menyerbu langsung dari depan. Enam kelompok yang mengepung tidak akan bergerak lebih dahulu agar musuh mengira bahwa kita hanya datang dari satu jurusan. Kalau mereka telah mengerahkan kekuatan mereka untuk menghadapi kelompok induk, barulah enam kelompok yang lain menyerbu dari jurusan masing-masing dan tidak memberi kesempatan kepada para pemberontak untuk lolos melarikan diri. Khusus untuk para pendekar yang gagah perkasa, ketika terjadi pertempuran, kami mengharap dengan hormat dan sangat supaya Cu-wi Enghiong (Para Pendekar Sekalian) suka menghadapi para tokoh sesat yang membantu pasukan pemberontak. Ada pun pasukan pemberontak itu sendiri merupakan bagian pasukan kami untuk menghancurkannya, jadi harap Cu-wi menghadapi para tokoh sesat yang lihai itu saja. Apakah sudah jelas semua? Kalau ada pertanyaan harap diajukan sekarang. Malam ini juga kita akan bergerak, dan harap nanti Koan-ciangkun mengatur dan membagi-bagi pasukan menjadi tujuh bagian. Kelompok ke tujuh sejumlah empat persepuluh bagian, sedangkan enam kelompok yang lain berjumlah sepersepuluh bagian." Para pendekar mengangguk dan merasa bahwa keterangan itu sudah cukup jelas. Akan tetapi ada seorang perwira mengacungkan tangan untuk bertanya. Setelah Menteri Cang mengangguk, dia bertanya dengan suara lantang, "Mohon Paduka suka memberi petunjuk bagaimana kami harus bersikap terhadap para pemberontak itu. Apakah kami harus membunuh mereka semua tanpa ampun?" Menteri Cang mengangguk-angguk. "Ini pertanyaan yang bagus sekali. Memang tadi kami kurang teliti sehingga hal penting ini belum sempat kami beri tahukan. Harap Cu-wi ingat benar bahwa meski pun mereka itu memberontak, namun mereka adalah sebangsa dan mereka itu, terutama para anak buah, hanya mentaati perintah atasan saja. Oleh karena itu, jika ternyata kekuatan kita jauh lebih besar, kita tidak boleh membantai mereka secara kejam. Hindarkan pembunuhan dan sedapat mungkin tawan saja mereka. Tentu saja hal ini tidak berlaku bagi kaum sesat yang memang patut untuk dibasmi. Nah, apakah masih ada pertanyaan lainnya?" Sesudah tidak ada yang bertanya lagi, Komandan Koan yang ditunjuk sebagai pemimpin untuk mengatur pembagian kelompok, segera melaksanakan tugasnya. Dia bukan hanya membagi pasukan menjadi tujuh kelompok dengan masing-masing komandannya, namun juga membagi para pendekar dalam kelompok-kelompok itu untuk membantu kalau-kalau ada kelompok yang bertemu dengan tokoh sesat. Su Kiat, Hui Lian, dan Kui Hong, juga Sun Hok dan Ling Ling, ditugaskan untuk membantu serta memperkuat kelompok induk, bersama beberapa orang tokoh dari Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai. Pada malam itu juga berangkatlah ketujuh kelompok pasukan itu dengan mengambil jalan masing-masing. Yang enam kelompok melakukan perjalanan secara rahasia, menyusup-nyusup keluar masuk hutan, ada pun kelompok induk melewati jalan besar dan memang kelompok ini dimaksudkan untuk melakukan penyerbuan secara berterang agar disambut oleh musuh sehingga membuat lalai dan lengah kemudian enam kelompok yang lain akan dapat menyusup dan mengurung sarang gerombolan pemberontak tanpa diketahui. Tepat seperti yang sudah diperhitungkan Menteri Cang yang memimpin sendiri kelompok induk dengan menunggang kuda sambil diapit oleh pengawal pribadinya, tiga hari sebelum bulan purnama kelompok induk sudah berhadapan dengan sarang musuh yang berada di Lembah Yang-ce, di Pegunungan Yunan. Kelompok induk ini sengaja melakukan perjalanan secara perlahan-lahan karena hendak memberi waktu kepada enam kelompok lainnya agar mereka itu dapat lebih dulu datang ke tempat tujuan dan melakukan pengepungan. Dan malam itu juga Menteri Cang melihat luncuran panah api dari enam penjuru, sebagai tanda bahwa enam kelompok pasukan itu sudah tiba di tempatnya masing-masing dan siap siaga sambil melakukan pengepungan. Melihat ini, menjelang pagi Menteri Cang memberi isyarat agar pasukan induk itu segera melakukan penyerbuan. Munculnya pasukan ini tentu saja sudah diketahui oleh mata-mata pemberontak dan telah dilaporkan kepada Lam-hai Giam-lo dan Kulana yang sudah berada di situ menjadi tamu kehormatan, juga diangkat menjadi panglima tertinggi yang memimpin siasat dari gerakan pasukan pemberontak itu. "Hemmm, agaknya rencana kita sudah bocor dan bukan tidak mungkin pemuda bernama Tang Hay itu, atau juga Nona Pek Eng yang menjadi muridmu itu yang sudah berkhianat, Lam-hai Giam-lo," kata Kulana mengerutkan alisnya. Lam-hai Giam-lo menggelengkan kepalanya. "Kurasa bukan mereka, akan tetapi aku lebih mengkhawatirkan orang yang mengaku bernama Han Lojin itulah yang menjadi mata-mata musuh. Habis, bagaimana baiknya sekarang, Saudara Kulana?" Bangsawan Birma itu tersenyum. "Jangan khawatir, kebocoran ini malah menguntungkan kita! Bukankah menurut perhitungan orang kita, pasukan itu hanya berjumlah antara tujuh ratus sampai delapan ratus orang saja? Sedangkan pasukan kita yang sudah berkumpul di sini tidak kurang dari seribu dua ratus orang! Dan kita masih dibantu oleh orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Biarkan mereka datang menyerbu, kita pura-pura tidak tahu saja. Jalan terusan menuju lembah ini yang terapit oleh dinding bukit itu merupakan tempat jebakan yang sangat baik. Biarkan pasukan mereka memasuki jalan itu, sesudah semua masuk ke jalan itu, kita tutup dari depan dan belakang lalu kita serang mereka! Kita pasang barisan pendam di mulut jalan terusan. Dengan demikian kita akan dapat membasmi mereka semua. Bunuh mereka semua, jangan beri ampun kepada seorang pun di antara mereka. Kemenangan besar ini akan membakar semangat anak buah kita dan kita akan dapat merampas persenjataan mereka yang cukup banyak dan baik." Kulana lalu mengadakan perundingan dengan para pembantunya, mengatur siasat untuk menjebak pasukan pemerintah yang dikabarkan datang ke arah sarang mereka itu. *************** Sementara itu Koan-ciangkun yang memimpin pasukan induk segera menghadap Menteri Cang Ku Ceng, memberi tahu bahwa pihak lawan agaknya diam saja, seakan-akan tidak tahu akan usaha penyerbuan tentara kerajaan. "Hamba khawatir kalau-kalau mereka mengatur perangkap, karena mereka bersikap diam saja seolah-olah tidak tahu akan kedatangan pasukan kita. Bagaimana baiknya sekarang, harap Paduka suka memberi petunjuk." Di malam gelap itu Menteri Cang memeriksa peta buatan Han Lojin, mengerutkan alisnya, kemudian dia menunjuk ke arah peta dan berkata, "Lihat, untuk memasuki daerah sarang mereka, kita harus melalui sebuah jalan terusan yang sempit dan memanjang, diapit-apit dinding bukit di kanan kiri. Kalau memang mereka memasang perangkap, agaknya tidak ada tempat yang lebih baik dari pada jalan terusan ini. Mungkin mereka sudah memasang barisan pendam dan hendak membiarkan kita memasuki jalan terusan itu, kemudian baru diserbu dari depan dan belakang sehingga kita tidak akan mendapatkan jalan keluar lagi. Hmm, agaknya mereka telah begitu yakin akan menang dan akan membasmi kita semua seperti kucing mempermainkan tikus yang terjebak tanpa jalan keluar sama sekali. Hal ini hanya membuktikan keberhasilan siasat kita, Koan-ciangkun. Mereka pasti beranggapan bahwa pasukan kita hanya ini, hanya berjumlah kurang lebih tujuh ratus lima puluh orang, dan agaknya penyelidik mereka juga tidak melihat para pendekar yang menyamar sebagai prajurit-prajurit biasa, maka mereka mengatur jebakan ini dan merasa yakin sekali bahwa mereka akan berhasil menghancurkan kita. Biarkan mereka beranggapan begitu, dan kita tetap akan memasuki jalan terusan itu. Begitu mereka menyerbu, engkau cepat memberi isyarat kepada enam kelompok yang lainnya dengan panah api supaya mereka serentak menyerbu sarang dan menggencet pasukan musuh yang mengira sudah dapat menjebak dan mengepung kita." Koan-ciangkun serta para pendekar mengangguk-angguk dan diam-diam mereka memuji ketenangan dan kematangan siasat Menteri Cang. "Akan tetapi maafkan pinto, Taijin," kata Tiong Gi Cinjin, tokoh dari Bu-tong-pai yang turut pula di dalam kelompok itu. "Bagaimana kalau perhitungan Paduka itu keliru dan ternyata mereka mengatur jebakan yang lain lagi sifatnya?" Menteri Cang tidak marah dan hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Memang sebaiknya kita selalu harus meragukan pendapat diri sendiri dan selalu waspada terhadap musuh, Totiang. Akan tetapi, jebakan apa pun yang mereka atur, kita sudah mengetahui keadaan dan kekuatan mereka. Bukankah Han Lojin telah menceritakan bahwa kekuatan mereka hanyalah sekitar seribu dua ratus orang? Dengan kekuatan seperti itu, perangkap apa pun yang mereka pasang untuk kita, akan mampu kita hancurkan mengingat bahwa jumlah pasukan kita seluruhnya jauh lebih besar, ada dua ribu orang lebih. Begitu mereka bergerak menyerang, kita akan memberi isyarat kepada enam kelompok lainnya sehingga tetap saja pihak musuh yang akan kita kepung." "Maaf, akan tetapi jumlah itu hanya menurut laporan Han Lojin. Bagaimana kalau ternyata jumlah mereka jauh lebih banyak?" Tiong Gi Cinjin adalah seorang tosu Bu-tong-pai yang belum pernah mengalami perang, maka selalu bersikap hati-hati dan khawatir. "Bukan hanya menurut laporan Han Lojin, akan tetapi mata-mata kami juga telah memberi laporan," jawab Menteri itu. "Dan laporan Han Lojin itu tidak keliru!" Tiba-tiba terdengar suara orang sehingga semua orang terkejut karena tiba-tiba saja di situ muncul seorang laki-laki asing. Pria ini usianya sekitar empat puluh dua tahun, tubuhnya sedang saja, tetapi pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang asing. Pakaiannya amat mewah dari kain sutera warna-warni, seperti pakaian kaum bangsawan. Juga kepalanya mengenakan kain kepala yang berwarna indah laksana pelangi, dihiasi mainan berbentuk burung merak dari emas permata. Sikapnya amat anggun dan wajahnya yang tampan itu cukup berwibawa, seperti pembawaan seorang bangsawan tinggi. Akan tetapi, pada saat beberapa orang prajurit mata-mata yang pernah diselundupkan ke sarang para pemberontak melihat orang ini, mereka segera berloncatan dan menghunus senjata. "Dia ini Kulana! Dia orang Birma yang memimpin pemberontakan itu disamping Lam-hai Giam-lo...!" Teriak seorang di antara mereka, lantas bersama teman-temannya dia sudah siap untuk menyerang. Mendengar ini para pendekar juga langsung berlompatan, mengepung orang itu dan siap untuk menangkapnya, sebagian lagi melindungi Menteri Cang, kalau-kalau akan diserang musuh. Akan tetapi orang asing itu tersenyum dan sikapnya tetap tenang, bahkan dia lalu menjura dengan sikap hormat dan sopan kepada Menteri Cang. "Apakah Paduka Menteri Cang yang kabarnya amat bijaksana dan kini memimpin sendiri pasukan yang hendak membasmi pemberontak?" Menteri Cang adalah seorang yang waspada. Begitu orang ini muncul, dia sudah menatap dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia hanya dapat menduga bahwa orang ini telah menderita kedukaan yang sangat mendalam, sinar matanya demikian sayu dan biar pun pakaiannya indah, tetapi jelas bahwa dia tidak mempedulikan keadaan dirinya. Sepatunya yang dari kulit itu kotor penuh debu dan pakaiannya juga kusut. Meski tadi dia tersenyum namun senyumnya sangat menyedihkan, seperti hendak menutupi kedukaannya dengan sia-sia belaka. "Benar, kami adalah Menteri Cang seperti yang kau katakan, orang asing. Dan siapakah engkau dan apa maksudmu muncul secara tiba-tiba di tengah-tengah pasukan kami?" "Saya datang dengan niat baik, Taijin. Hanya satu yang menjadi dasar perbuatan saya, yaitu menentang kejahatan, tanpa peduli hal itu dilakukan oleh siapa pun juga..." "Dia bohong, Taijin...!" Prajurit mata-mata itu berseru. "Dia adalah Kulana, pemimpin para pemberontak! Hamba sudah pernah melihatnya dengan mata kepala hamba sendiri ketika dia datang berkunjung ke sarang pemberontak lantas diterima dengan penuh kehormatan. Hati-hati, Taijin, dan harap perintahkan hamba sekalian untuk menangkap atau membunuh dia!" Para pendekar kini juga telah mengepung ketat dan siap menangkap, akan tetapi Menteri Cang berpendapat lain. Dia mengangkat tangan mencegah orang-orangnya turun tangan, lalu bertanya kepada orang itu dengan lembut. "Benarkah apa yang dikatakan anggota pasukan kami itu?" Orang itu mengangguk dan kembali terlihat senyum sedihnya. "Memang tak keliru bahwa Kulana yang menjadi gara-gara sehingga terjadi pemberontakan. Dia menghasut dan juga bersekutu dengan para penjahat untuk memberontak. Saudaraku itu sudah menjadi gila karena dendam..." "Saudaramu? Jadi engkau ini saudara dari yang bernama Kulana itu?" "Benar, Paduka. Nama saya Mulana dan saya adalah saudara kembar dari Kulana yang dimaksudkan oleh prajurit itu. Akan tetapi, walau pun saudara kembar, kami berdua tidak bekerja sama, bahkan bertentangan dalam hal ini. Bahkan saya datang untuk membantu Paduka, kalau Paduka percaya kepada saya." Walau pun para pendekar masih sangsi, namun Menteri Cang mengangguk, dan kembali dia memberi isyarat kepada para pembantunya, kemudian mempersilakan Mulana untuk duduk. "Duduklah di sana, Saudara Mulana dan ceritakan apa sebenarnya yang menjadi maksud kunjunganmu ini." Sebelum menjawab, Mulana, laki-laki itu, lebih dahulu menoleh ke kiri kanan, mengamati seluruh orang yang hadir di tempat itu. Dia kelihatan heran karena di antara wajah-wajah yang disoroti penerangan obor itu tidak nampak wajah dua orang yang sangat dikenalnya, yaitu Han Siong dan Bi Lian, dua orang pendekar muda yang pernah menjadi tamunya, bahkan yang telah menyaksikan kematian isterinya tercinta, yaitu Yasmina. Seperti sudah kita ketahui, Yasmina membunuh diri dengan menghisap racun yang sudah disembunyikannya dalam mulut tengkorak tukang kebun bekas kekasihnya. Saking sedih dan menyesalnya, Mulana menjadi seperti gila sehingga akhirnya Han Siong dan Bi Lian meninggalkan lelaki yang diracuni cemburu itu. Mulana lalu mengusir semua pelayannya, kemudian dia membakar istananya berikut jenazah isterinya. Bagaikan orang gila dia lalu pergi berkeliaran, kehilangan isteri, bahkan kehilangan semua harta miliknya. Dan akhirnya dia pun teringat dengan saudara kembarnya, Kulana, maka dia pun segera mengunjungi saudara kembarnya untuk menumpahkan isi hatinya yang sedang tertekan dan amat menderita itu. Akan tetapi Kulana sedang berkunjung ke sarang pemberontak, maka Mulana segera menyusulnya. Akan tetapi kembali dia menerima pukulan batin yang lebih parah lagi saat tiba di sarang pemberontak itu karena dia dicurigai oleh saudara kembarnya sendiri sebagai orang yang berpihak pada pemerintah dan hendak mengkhianati gerakan saudara kembarnya sendiri. Maka terjadilah keributan dan nyaris Mulana tewas dikeroyok kalau dia tidak cepat dapat meloloskan diri. Semakin besar jurang pemisah antara dua orang saudara kembar ini dan Mulana merasa sakit hati. Hal inilah yang mendorongnya menemui Menteri Cang yang sedang memimpin pasukan induk untuk menyerbu sarang pemberontak. "Seperti telah saya katakan tadi, Taijin, saya sengaja menemui Paduka untuk membantu Paduka membasmi gerombolan jahat yang hendak memberontak itu." "Saudara Mulana, tadi engkau yang mengatakan sendiri bahwa laporan Han Lojin tentang jumlah pasukan pemberontak yang hanya seribu dua ratus orang itu tidak keliru. Dengan jumlah pasukan yang sekecil itu, kami akan dapat menghancurkan mereka. Oleh karena itu, bantuan apa lagi yang dapat kau berikan kepada kami?" Menteri Cang memancing. "Akan tetapi, pasukan Paduka akan terjebak." Menteri Cang tersenyum dan mengibaskan tangan kanannya. "Ahhh, soal itu sudah kami perhitungkan! Perangkap yang dipasang di jalan terusan yang diapit dua dinding bukit itu, bukan? Tentu mereka akan menutup dua jalan keluar lantas menyerang kami dari depan dan belakang bukan? Kami tidak takut, bahkan merekalah yang akan dapat kami basmi." Menteri itu belum begitu percaya kepada Mulana, maka dia pun tidak mengatakan siasat yang sudah direncanakan untuk menghadapi perangkap musuh. Akan tetapi Mulana memandang kepadanya dengan wajah serius. "Ahhh, harap Paduka jangan terlalu memandang rendah kepada saudara kembarku, Si Kulana itu! Ingat, dahulu dia adalah penasehat perang di Birma yang sudah banyak menggagalkan serangan dari pemerintah Paduka! Dia cerdik bukan kepalang, dan jangan disangka bahwa dia tak akan memperhitungkan apa yang sedang Paduka rencanakan sekarang ini. Bahkan saya pun sudah dapat menduganya." "Benarkah? Nah, Saudara Mulana, kalau benar demikian, coba katakan bagaimana siasat yang telah kami rencanakan!" kata Menteri itu dengan suara mengandung penasaran. Mulana mengerutkan alisnya sambil memandang Menteri itu. "Agaknya tidak sukar untuk diperhitungkan, Taijin. Melihat betapa seorang pejabat tinggi setingkat Taijin maju sendiri memimpin pasukan, hal ini memperlihatkan bahwa Taijin sudah tentu merasa yakin benar bahwa pasukan ini akan dapat membasmi musuh dengan sangat mudah. Dan keyakinan ini sudah tentu hanya didasarkan oleh suatu kenyataan, yaitu bahwa pasukan Taijin tentu jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan pasukan musuh. Kemudian, kemungkinan besar kedua adalah karena Taijin telah mengetahui keadaan musuh sehingga Taijin sudah bisa lebih dulu mengatur siasat untuk lebih meyakinkan kemenangan itu. Siasat apakah yang paling baik untuk menyerbu pihak lawan di suatu tempat tertentu dengan jumlah pasukan yang jauh lebih besar dari pada kita? Tak lain tentulah penyerbuan tiba-tiba dengan cara pengepungan sehingga musuh takkan dapat lari lagi karena telah dihadang dari berbagai jurusan. Nah, dengan siasat itu, maka Taijin yang sudah memperhitungkan kemungkinan perangkap musuh di jalan terusan yang sempit, merasa yakin akan kemenangan pasukan Taijin. Bukankah demikian?" Para perwira yang mendengar hal ini terbelalak, dan Menteri Cang sendiri memandang kagum. Orang Birma ini memang lihai bukan main, pikirnya. Mulailah dia percaya dan dia membayangkan kekhawatiran. Kalau saudara kembar orang ini, Kulana, juga secerdik itu, berarti Kulana sudah dapat menduga pula tentang siasatnya dan tentu akan menghadapi dengan yang lebih hebat dan amat berbahaya pula. "Saudara Mulana, perhitunganmu itu memang tepat sekali! Akan tetapi, kalau kami sudah mempergunakan siasat itu sehingga sarang pemberontak itu telah terkepung, lalu apakah yang akan dilakukan oleh mereka? Melawan pun tidak ada artinya bagi mereka!" Menteri Cang berkata dengan nada suara penuh kemenangan. Mulana memandang dengan serius. Di bawah cahaya api obor wajahnya nampak seperti kedok yang tampan tetapi penuh rahasia, kedua matanya bersinar-sinar dan mencorong. "Semua itu benar sekali, Taijin, kalau yang memimpin musuh di sana itu bukan saudara kembarku Kulana! Akan tetapi Kulana sangat cerdik, dia pandai sekali dan memiliki siasat yang penuh tipu muslihat. Jika dengan cara kekerasan agaknya tidak dapat diragukan lagi pasukan Taijin akan dapat menghancurkan pasukan pemberontak. Pasukan Paduka tentu merupakan pasukan pilihan dan lebih banyak dalam pengalaman bertempur dibandingkan pasukan mereka. Bantuan para tokoh sesat takkan ada artinya bila dibandingkan dengan bantuan para pendekar terhadap Paduka. Akan tetapi ada dua hal yang mungkin belum Paduka ketahui padahal dua hal ini dapat merupakan ancaman bahaya besar yang bukan tidak mungkin akan membasmi pasukan Paduka sendiri." "Hemm, sebelum kami mendengar penjelasanmu, lebih dulu engkau harus melenyapkan kesangsian dan kecurigaan kami, Mulana. Jika benar engkau ini saudara kembar Kulana, kenapa engkau hendak berkhianat kepadanya?" Sepasang mata Menteri Cang sekarang mencorong ditujukan ke arah wajah orang Birma itu, penuh selidik. Mula-mula Mulana menentang pandang mata itu, lalu menunduk, dan wajahnya berduka sekali. "Taijin, kehidupan hamba sudah rusak, kebahagiaan hamba sudah hancur, semua disebabkan oleh Kulana! Kalau dia tidak memberontak di Birma, tak mungkin kini hamba kehilangan segala-galanya. Sekarang dia menghasut pemberontakan pula. Oleh karena itu, untuk menebus dosa-dosanya, dalam kesempatan terakhir ini hamba harus melawan dia, menggagalkan usahanya itu. Terserah kepada Taijin apakah dapat mempercaya saya ataukah tidak." Menteri Cang mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. "Baiklah, kini jelaskan apa adanya dua hal yang kau anggap membahayakan itu." "Memang Kulana tak akan mampu melawan paduka dengan pasukan pemberontak yang tidak terlatih dan lebih kecil jumlahnya itu. Akan tetapi hendaknya Paduka ketahui bahwa dia adalah seorang ahli sihir yang sangat pandai. Dia dapat mempergunakan ilmu hitam untuk mencelakai pasukan Paduka. Saya tahu, para pendekar yang mempunyai sinkang yang kuat tidak akan mudah terpengaruh oleh ilmu hitamnya. Akan tetapi para anak buah pasukan Paduka dapat terpengaruh dan hal ini amat berbahaya. Pasukan takkan berdaya menghadapi ilmu hitam dan dapat melakukan hal semacam bunuh diri saja. Dan ke dua, dan ini lebih berbahaya lagi, Taijin, Kulana pandai menggunakan bahan peledak dan dia telah memiliki bahan peledak itu dalam jumlah besar. Saya bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya dalam keadaan seperti sekarang ini. Tentu dia telah memasang bahan peledak di dinding bukit di kanan kiri jalan terusan itu. Kalau dengan kekuatan pasukan dia tidak akan dapat menangkan pertempuran, maka dengan bahan peledak itu dia akan dapat meruntuhkan dinding di kanan kiri itu dan mengubur pasukan hidup-hidup!" Mendengar ini Menteri Cang mengerutkan alis dan diam-diam para perwira terkejut sekali, saling pandang dengan muka berubah. Kalau ucapan orang Birma ini menjadi kenyataan, maka akan terbasmilah pasukan mereka! "Ahh, kalau begitu Han Lojin adalah mata-mata musuh yang sengaja hendak memancing kita memasuki perangkap maut!" teriak seorang di antara mereka. Akan tetapi Mulana menggelengkan kepala. "Aku telah mendengar tentang Han Lojin itu," katanya kepada perwira tadi, "dan dia bukanlah mata-mata Kulana, bahkan dialah yang mengkhianati Kulana." Menteri Cang tertarik sekali. "Saudara Mulana, ceritakan siapa Han Lojin itu!" "Dia seorang yang penuh rahasia, mula-mula muncul di sana hendak membantu Kulana. Akan tetapi baru beberapa hari berada di sana, dia telah pergi lagi tanpa pamit, kemudian tahu-tahu kini dia berada di sini dan menceritakan semua keadaan pasukan pemberontak. Apakah dia memang orang kepercayaan Paduka yang melakukan penyelidikan ke sarang Kulana, Taijin?" Menteri Cang menggeleng kepala. "Tidak, dia datang lantas membuka rahasia kedudukan para pemberontak, juga rencana para pemberontak yang akan mulai bergerak tepat pada malam bulan purnama." "Hal itu memang benar, Taijin. Kalau begitu dia adalah seorang pendekar yang hendak menentang pemberontakan dan membantu pasukan kerajaan." "Saudara Mulana, kalau semua yang kau ceritakan dan kau perhitungkan itu benar, lalu menurut pendapatmu, apa yang harus kami lakukan?" "Apakah pertanyaan Paduka ini berarti bahwa saya sudah dipercaya dan diterima untuk membantu pasukan Paduka?" Mulana balas bertanya. Menteri Cang mengangguk. "Kami percaya padamu dan dengan senang hati menerima uluran bantuanmu." Pejabat tinggi ini lalu memandang sekeliling, kepada para perwira dan pendekar. "Harap Cu-wi ketahui bahwa sejak saat ini juga, Saudara Mulana kami terima sebagai seorang pembantu kita dan kami percaya." Semua yang hadir mengangguk. "Nah, Saudara Mulana, jangan sampai kehabisan waktu. Jelaskan apa rencanamu yang dapat kita lakukan untuk menghadapi kemungkinan ancaman perangkap musuh itu." "Begini, Taijin. Kalau benar perhitungan saya tentang siasat yang akan Taijin pergunakan, yaitu mengepung sarang pemberontak, siasat itu lanjutkan saja." "Betul perhitunganmu. Kami membagi pasukan kami yang jumlahnya dua ribu orang lebih menjadi tujuh kelompok. Enam kelompok datang mengepung dari enam jurusan, ada pun kelompok induk ini menyerang dari depan dan memasuki jalan terusan itu." cerita silat online karya kho ping hoo "Siasat yang amat baik. Sebaiknya siasat itu dilanjutkan saja dan kita hanya menghadapi dua kemungkinan yang akan membahayakan kita, seperti yang telah saya ceritakan tadi. Pertama menghadapi ilmu hitam yang mungkin akan dipergunakan oleh Kulana, yang ke dua adalah menghadapi bahan peledak yang mungkin akan dipergunakannya pula untuk meruntuhkan dua dinding bukit. Untuk itu saya sudah mempunyai cara yang terbaik untuk menanggulanginya." "Apakah engkau seorang ahli sihir pula yang hendak melawan ilmu hitam Kulana dengan sihir?" tanya Menteri Cang. Mulana menggelengkan kepala. "Walau pun saya pernah mempelajari ilmu hitam, namun saya kalah jauh kalau dibandingkan dengan Kulana. Akan tetapi saya sudah mempelajari cara-cara untuk menolak dan memunahkan kekuatan ilmu hitam, Taijin. Harap mengutus anak buah untuk mencari dan menyembelih tiga ekor anjing hitam, menampung darahnya karena darah itulah yang akan dapat digunakan untuk memunahkan kekuatan ilmu hitam yang dipergunakan Kulana. Akan tetapi anjing-anjing itu kita bawa saja dulu, nanti setelah menghadapi ilmu hitam barulah kita sembelih supaya darahnya masih hangat dan belum membeku." Seorang perwira lalu diutus untuk mengusahakan pencarian tiga ekor anjing hitam ini, di dusun-dusun yang tidak berjauhan dari tempat itu. "Dan bagaimana untuk mengatasi ancaman bahan peledak yang akan meruntuhkan dua dinding bukit?" tanya Menteri Cang karena hal inilah yang dianggap paling berbahaya. "Untuk dapat meruntuhkan dua dinding itu, maka satu-satunya jalan hanyalah memasang bahan peledak di atas. Bahan peledak itu tentu dipasang dengan sumbu yang panjang, lalu dinyalakan. Karena itu agar dibentuk regu-regu pemanah yang pandai, yang dengan diam-diam akan mendahului pasukan kemudian mendaki kedua bukit di kanan kiri jalan. Sebaiknya kalau mereka dipimpin oleh pendekar-pendekar yang pandai. Tugas mereka adalah mencegah petugas musuh yang hendak menyalakan sumbu api bahan peledak." Mendengar itu, Menteri Cang mengangguk-angguk dan para pendekar juga menyatakan kekaguman mereka. Saat itu juga segera dibentuk regu-regu pemanah yang dipimpin oleh para pendekar. Karena Menteri Cang menghendaki supaya regu ini benar-benar kuat dan akan dapat menggagalkan rencana jahat musuh yang mungkin akan meledakkan dinding bukit, maka dia menunjuk suami isteri Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian untuk memimpin regu yang mendaki bukit sebelah kanan, sedangkan regu yang mendaki bukit sebelah kiri, dipimpin oleh Cia Kui Hong, Cia Ling, dan Can Sun Hok. Kelompok pasukan induk itu kemudian melanjutkan perjalanan, dan Mulana sendiri akan memimpin regu yang bertugas menghadapi ilmu hitam dengan darah anjing. Akan tetapi secara diam-diam Menteri Cang sudah memerintahkan tokoh-tokoh pendekar dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan yang lain-lain agar mengamati dan menjaga Mulana, membayangi orang ini supaya dapat segera bertindak kalau-kalau Mulana melakukan pengkhianatan. Malam bertambah larut dan pasukan induk itu bergerak maju dengan cepat karena tadi gerakan maju mereka sempat terganggu oleh munculnya Mulana. Namun dalam hati para perwira kini semakin tenang dan penuh semangat karena mereka telah mengetahui siasat busuk dan tipu muslihat musuh, juga mereka percaya akan kecerdikan Menteri Cang dan kegagahan para pendekar yang membantu mereka. *************** Hay Hay berlari sambil mengepal kedua tangannya, membentuk tinju yang keras, sekeras hatinya pada saat itu. Bedebah Sim Ki Liong! Hanya nama ini yang terus teringat olehnya, nama yang dimaki dan dikutuknya karena dia hampir merasa yakin bahwa Ki Liong yang telah memperkosa Pek Eng. Bukankah Han Lojin telah memberi tahukan kepadanya betapa Ki Liong merayu Pek Eng di dalam taman? Dan bukankah pemuda itu pula yang agaknya bertukar nama keturunan, dari Ciang ke Sim, murid Pendekar Sadis yang telah murtad, melarikan diri meninggalkan Pulau Teratai Merah tanpa pamit, bahkan melarikan pula banyak pusaka dari pulau itu? Kalau bukan Ki Liong, siapa lagi yang sudah melakukan kekejian memperkosa, atau lebih tepat menggauli Pek Eng dengan menyamar sebagai dia? Siapa lagi kalau bukan Ki Liong karena dialah orang terdekat pada waktu itu? Bentuk tubuh Ki Liong sama dengannya dan di dalam kegelapan itu, tentu Pek Eng tidak dapat membedakan. Agaknya Ki Liong sudah menggunakan kesempatan jahanam itu, pada saat dia melarikan diri karena takut terhadap dirinya sendiri yang hampir saja tergelincir ke dalam perjinahan bersama Pek Eng, lalu Ki Liong menyelinap masuk dan melanjutkan apa yang baru saja dia tinggalkan! "Jahanam...!" Hay Hay marah sekali. Dua hal yang membuatnya marah sekali. Pertama karena pemuda itu telah menodai Pek Eng dan dengan demikian merusak kehormatan, harga diri serta kebahagiaan gadis itu. Dan ke dua, pemuda itu telah mencemarkan nama baiknya, karena dengan perbuatannya itu, Pek Eng kini mengira bahwa dialah yang melakukannya! "Keparat terkutuk!" Kembali dia memaki. Dia harus dapat menangkap Ki Liong dan memaksa pemuda itu untuk mengaku di depan Pek Eng bahwa dialah yang melakukan perbuatan keji itu. Kemudian, tiba-tiba saja wajah Pek Eng yang dibayangkan itu berubah menjadi wajah Ling Ling dan seketika dia merasa lemas. Dia berhenti lari dan melempar dirinya duduk di bawah pohon dalam hutan itu. "Celaka...!" serunya bingung ketika dia teringat akan tuduhan Ling Ling bahwa dia sudah memperkosa gadis itu! Tidak mungkin Ling Ling berbohong karena dia sudah melihat sendiri keadaan gadis itu. Bertelanjang bulat di tepi telaga itu dalam keadaan lemas tanpa mampu bergerak karena ditotok orang! Jelas bahwa tadi malam Ling Ling memang diperkosa orang, dan gadis itu mengira bahwa dialah yang melakukan perkosaan! "Keparat jahanam...!" Dia memaki lagi, akan tetapi kali ini makian tidak ditujukan kepada Ki Liong. Siapakah yang sudah melakukan perkosaan terhadap diri Ling Ling? Dan mengapa pula Ling Ling mengira bahwa dialah pelakunya? Kenapa dalam waktu yang bersamaan, dua orang gadis yang telah direnggut kehormatannya oleh orang lain, keduanya menuduh dia yang telah melakukannya? "Sialan...!" gerutunya gemas, akan tetapi juga trenyuh karena dia merasa kasihan sekali terhadap kedua orang gadis itu. Dua orang gadis yang gagah perkasa, cantik manis, muda belia, bagai dua tangkai bunga yang tengah mekar semerbak, tahu-tahu dipetik orang secara keji dan dialah yang dituduh sebagai pemetik dan perusaknya. Dan dia pun teringat akan orang-orang Bu-tong-pai! Mereka ini pun menuduh dirinya pernah memperkosa seorang murid wanita Bu-tong-pai, bahkan menyangka bahwa dialah jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu! Urusan dengan orang-orang Bu-tong-pai ini dapat dia mengerti. Mereka itu salah sangka. Mungkin saja seorang murid wanita Bu-tong-pai diperkosa oleh Ang-hong-cu, dan mereka menuduh dia sebagai Ang-hong-cu sebab mereka melihat dia memegang sebuah mainan tawon merah dari emas, yaitu benda yang menjadi tanda dari penjahat cabul Ang-hong-cu, ayahnya! Ayah kandungnya! Dan kini, tiba-tiba saja Pek Eng dan Ling Ling menuduh dia sebagai perusak keperawanan mereka! "Tenanglah Hay Hay, tenanglah...," dia menghibur diri sendiri. Dia harus berpikir masak-masak sebelum bertindak secara sembrono, hanya menurutkan emosi belaka, menurutkan kemarahan hatinya. Agaknya ada rahasia aneh tersembunyi di balik ini semua. Maka sebelum melanjutkan perjalanannya dan niat hatinya untuk mencari Ki Liong yang dituduhnya sebagai pemerkosa atau perusak kehormatan Pek Eng dengan menyamar sebagai dirinya, dia ingin memikirkan kembali segala yang terjadi baru-baru ini. Dia mengenang kembali peristiwa malam itu. Dia berada di dalam kamarnya ketika Han Lojin memanggilnya dari luar kamar. Lalu mereka bercakap-cakap dan Han Lojin memberi tahu bahwa baru saja dia menghindarkan Pek Eng dari rayuan maut Ki Liong. Kemudian, sebagai tanda persahabatan dan perasaan kagum Han Lojin kepadanya, Han Lojin lantas mengajaknya minum tiga cawan arak yang harum dan manis. Dia mulai merasa khawatir. Setelah Han Lojin pergi, dia lalu memanggil Pek Eng keluar dari kamarnya, diajaknya ke dalam taman karena dia hendak memperingatkan gadis itu dari bahaya rayuan Ki Liong. Akan tetapi apa yang terjadi kemudian? Hay Hay mengerutkan alisnya, mukanya terasa panas karena malu, lantas dia mengepal tinju, sekali ini ingin dia menampar mukanya sendiri. Mengapa dia secara mendadak saja merasa seperti orang mabuk, terangsang oleh kehadiran Pek Eng yang demikian dekat dengannya? Kenapa dia seperti dimasuki iblis, merangkul dan menciumi gadis itu? Dan Pek Eng tidak melawan, dara itu pasrah saja, malah membalas rangkulannya dengan mesra, dengan penuh penyerahan diri. Hampir saja terjadi pelanggaran di dalam pondok taman itu ketika dia dan Pek Eng berada di dalamnya, di atas dipan. Akan tetapi dia tersadar dan cepat dia pergi meninggalkan gadis itu, meninggalkan tempat yang amat berbahaya itu. Dia merasa menyesal sekali, dan malu kepada diri sendiri, malu untuk bertemu dengan Pek Eng. Hay Hay menggaruk-garuk kepalanya. Dia heran sekali, kenapa dia menjadi seperti orang mabuk dan terangsang ketika berhadapan dengan Pek Eng. Arak itu! Arak harum manis yang diminumnya bersama Han Lojin! Hay Hay meloncat bangun. Mungkinkah arak yang disuguhkan Han Lojin itu yang menjadi sebabnya? Arak itu mengandung obat perangsang? Akan tetapi... dia melihat betapa Han Lojin sendiri juga meminumnya, bahkan dia mentertawakan orang itu yang tampak mabuk setelah minum tiga cawan. Namun, andai kata memang benar demikian, lalu apa artinya? Apa maksudnya Han Lojin menyuguhkan arak yang mengandung obat perangsang kepadanya? Dan Han Lojin pula yang menceritakan kepadanya bahwa Pek Eng dirayu oleh Ki Liong. Seakan-akan ada hubungannya antara pemberi tahuan tentang Pek Eng dan penyuguhan arak perangsang itu. Benarkah ada hubungannya? Apakah Han Lojin menghendaki supaya dia mendekati Pek Eng dalam keadaan terangsang? Apakah orang aneh itu memang menghendaki supaya terjadi hubungan gelap antara dia dan Pek Eng? Lalu apa maksudnya kalau begitu? "Sungguh bisa membuat orang menjadi gila!" pikirnya. Dan lebih membingungkan lagi jika dia mengingat akan peristiwa yang menimpa diri Ling Ling. Dia memang telah menjanjikan kepada gadis yang masih puteri suheng-nya itu agar menunggu di tepi telaga selama tiga hari. Dia akan datang mencarinya dan mengabarkan tentang penyelidikannya ke sarang pemberontak. Akan tetapi dia malah menemukan dara perkasa itu telah diperkosa orang. Mengingat akan tingkat kepandaian Ling Ling, Hay Hay merasa yakin bahwa pemerkosa gadis itu bukan orang sembarangan. Tentu dia mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau tidak demikian, mana mungkin bisa membuat seorang gadis selihai Ling Ling tidak berdaya dengan totokan dan memperkosanya? Dia bersedih sekali mengingat akan nasib Ling Ling. "Hemm, aku pasti akan mencari sampai dapat dua orang yang sudah merusak Pek Eng dan Ling Ling itu! Bukan hanya untuk mencuci bersih namaku, akan tetapi terutama sekali untuk mencegah agar penjahat keji itu tak lagi melakukan kecabulan terhadap gadis lain!" Dia pun akan mencari ayah kandungnya sampai dapat! Ayahnya juga termasuk seorang penjahat cabul yang kejam, dan dia harus menegur ayah kandungnya, bahkan kalau perlu menentangnya! Juga dia akan menemui Ki Liong, memaksa pemuda itu untuk mengaku kalau memang benar Ki Liong yang sudah menggauli Pek Eng seperti yang dia sangka, dengan menyamar sebagai dia. Selain Ki Liong, dia juga harus menemui Han Lojin untuk menuntut orang itu agar mengaku tentang arak perangsang dan apa maksudnya Han Lojin menyuguhkan arak perangsang kepadanya! Sesudah memutuskan seperti itu, hati Hay Hay menjadi tenang kembali. Dia tidak boleh dimakan perasaan emosi dan kemarahan. Dia menghadapi orang-orang pandai seperti Ki Liong, Han Lojin, dan pemerkosa misterius itu, juga menghadapi ayah kandungnya sendiri yang belum pernah dikenalnya. Dia harus berhati-hati! Ketika dengan hati-hati dia menyusup-nyusup melewati hutan-hutan dan perbukitan untuk memasuki sarang para pemberontak, tiba-tiba saja ia melihat bayangan orang berkelebat. Dia cepat menyusup ke balik semak belukar untuk bersembunyi dan nampaklah olehnya bahwa bayangan itu adalah Han Lojin! Hay Hay segera mengintai dan melihat betapa orang itu memegang sehelai kertas yang mulai digambarinya, kadang-kadang mengangkat kepala dan melihat-lihat ke arah sarang pemberontak di bukit depan. Han Lojin sedang melukis, pikirnya heran. Dengan hati-hati dia menyusup semakin dekat. Ahh, ternyata Han Lojin sedang melukis peta, pikir Hay Hay, semakin heran lagi. Tiba-tiba Han Lojin bergerak dan berloncatan ke depan. Dengan hati yang penuh tanda tanya Hay Hay membayangi dari jauh. Tak salah dugaannya, Han Lojin sedang membuat peta dari keadaan sekeliling sarang pemberontak! Sungguh dia tidak dapat menduga apa maksudnya. Hanya setan saja yang tahu apa yang dilakukan orang aneh itu, pikirnya. Mendadak muncul belasan orang, berloncatan dari balik batang-batang pohon. Hay Hay mengenal mereka sebagai anggota-anggota Kui-kok-pang dengan pakaian mereka yang serba putih, dipimpin sendiri oleh Kim San, ketua Kui-kok-pang yang pakaiannya serba putih pula dan mukanya pucat seperti mayat. "Berhenti...!" Kim San membentak, menghadang di depan, dan dengan senjata di tangan tiga belas orang anak buahnya mengepung Han Lojin. Han Lojin telah menggulung kertas peta itu, menyimpan ke dalam kantung jubahnya yang lebar, tangan kanannya masih memegangi pensil bulu yang bergagang panjang, yang tadi digunakannya untuk membuat gambar peta. Dia tersenyum tenang, memandang kepada Kim San dan tertawa. "Aha, kiranya Kui-kok Pangcu yang datang! Ada keperluan apakah menemui aku di sini?" "Han Lojin, kami diperintah oleh Bengcu untuk mencarimu. Apakah yang kau pegang tadi dan apa yang kau lakukan di sini?" Han Lojin masih tersenyum lebar. "Aku sedang menyalurkan bakatku dalam hal melukis! Mengapa Bengcu menyuruhmu mencariku?" "Engkau harus kembali, karena engkau telah pergi tanpa pamit!" kata Ketua Kui-kok-pang itu dengan sikap dingin dan marah karena Han Lojin sama sekali tidak menunjukkan sikap hormat kepadanya. "Hemm, biar pun aku sudah menyatakan untuk bekerja sama dan membantu, akan tetapi aku bukanlah anak buah Lam-hai Giam-lo yang bisa disuruh begini begitu sesuka hatinya. Aku akan menghadap sendiri kalau aku suka, tidak perlu engkau menyuruhku. Pergilah, Pangcu, dan jangan mengganggu kesibukanku di sini." "Han Lojin, engkau telah dianggap melarikan diri dan mungkin menjadi pengkhianat. Oleh karena itu, mari turut saja dengan aku untuk menghadap Bengcu!" "Kalau aku tidak mau?" "Mati atau hidup, kami akan membawamu menghadap Bengcu!" Memang para tokoh sesat telah diperintah oleh Lam-hai Giam-lo untuk pergi berpencaran mencari tiga orang, yaitu Hay Hay, Han Lojin, dan juga Pek Eng. Gadis itu diharuskan pulang, jika perlu dengan paksaan akan tetapi sama sekali tidak boleh diganggu apa lagi dibunuh, sebaliknya Lam-hai Giam-lo sudah memberi perintah agar membunuh saja Hay Hay dan Han Lojin kalau mereka tidak mau kembali. "Wah, manusia sombong! Ingin kulihat bagaimana kalian akan membunuhku!" kata Han Lojjn, sikapnya menantang, tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan menudingkan mouw-pit (pensil bulu) ke arah muka Ketua Kuk-kok-pang. "Engkau memang sudah bosan hidup! Serang dan bunuh!" bentak Kim San kepada anak buahnya dan segera mereka semua menyerbu dengan ganasnya. Han Lojin tersenyum, lalu mouw-pit pada tangan kanannya bergerak cepat sekali. Ujung gagang pensil bulu itu menotok ke sana sini dan empat orang anak buah Kui-kok-pang langsung bergelimpangan karena tertotok! Kim San mengeluarkan bentakan nyaring kemudian tubuhnya telah menerjang ke depan, sepasang tangannya membentuk cakar setan dan dia menerkam seperti seekor beruang marah. Han Lojin maklum betapa sepasang tangan manusia yang seperti mayat hidup ini mengandung tenaga beracun yang dahsyat sekali, maka dia pun cepat mengelak dengan satu loncatan ke kiri. Dia disambut oleh anak buah Kui-kok-pang, namun kedua kakinya membagi tendangan. Cepat dan kuat sekali tendangan yang diluncurkan oleh Han Lojin itu sehingga anak buah Kui-kok-pang tidak mampu mengelak atau menangkis. Kembali ada dua orang terjungkal oleh tendangan itu sehingga yang lain menjadi jeri, hanya mengepung sambil mengacung-acungkan senjata. Kim San marah sekali. Dia kembali mengeluarkan teriakan parau dan kini dengan cepat dia menyerang secara bertubi-tubi. Akan tetapi Han Lojin menghadapinya dengan tenang, mengelak sambil menggerakkan gagang mouw-pit-nya yang menyambut dengan totokan-totokan sehingga kini sebaliknya Kim San yang merasa repot sebab harus mengelak atau menangkis. Totokan itu lihai sekali dan kalau sampai terkena, tentu dia akan roboh! Hay Hay mengintai dari tempat sembunyinya. Dia tak merasa heran melihat kelihaian Han Lojin. Dia sendiri sudah pernah merasakan kelihaian orang itu ketika dia disuruh menguji kepandaian Han Lojin oleh Lam-hai Giam-lo dan Sim Ki Liong. Dia maklum bahwa tingkat kepandaian Ketua Kui-kok-pang itu masih kalah jauh dibandingkan tingkat Han Lojin. Hanya diam-diam dia merasa heran mengapa Han Lojin yang tadinya dikiranya seorang petualang yang ingin mencari imbalan jasa besar dengan membantu Lam-hai Giam-lo, kini tiba-tiba saja agaknya telah membalik dan melawan orang-orangnya bengcu yang hendak memberontak itu. Tepat seperti dugaannya, Kim San dipermainkan oleh Han Lojin. Mouw-pit itu menyambar-nyambar dan kini terdapat coretan-coretan yang membuat wajah itu menjadi tidak karuan dan lucu sekali. Ada kumisnya di kanan kiri hidung, di kedua pipinya ada tulisan 'monyet' dan 'babi', semua ini dilakukan oleh Han Lojin dengan kecepatan luar biasa. Hay Hay sendiri kini bahkan terkejut. Kiranya pada saat mengadu kepandaian dengannya, Han Lojin agaknya belum mengeluarkan semua ilmunya! Baru ilmu memainkan mouw-pit ini saja sudah dapat menuliskan huruf-huruf di muka lawan yang juga bukan orang lemah, sungguh merupakan ilmu yang hebat! Akhirnya sebuah tendangan kaki kiri Han Lojin mencium lutut Kim San, membuat Ketua Kui-kok-pang itu terjatuh berlutut. Han Lojin lalu mengeluarkan suara ketawa panjang dan tubuhnya melayang jauh meninggalkan tempat itu. Hay Hay cepat membayangi dari jauh. Ketika pada hari itu Han Lojin menghadap Menteri Cang, diam-diam Hay Hay juga terus membayangi. Dengan kepandaiannya yang sangat tinggi, dia dapat menyusup ke dalam dan ketika dia melihat bahwa di situ hadir pula Hui Lian, Su Kiat, Kui Hong, Ling Ling, Can Sun Hok, dan masih banyak lagi para pendekar dari berbagai golongan, Hay Hay segera mengundurkan diri. Terlalu berbahaya bila dia memperlihatkan diri, apa lagi di situ terdapat pula orang-orang Bu-tong-pai yang tentu tak akan mau melepaskannya. Dia hanya dapat melakukan pengintaian dari jauh saja. Akhirnya Hay Hay meninggalkan tempat yang dijadikan markas sementara oleh pasukan pemerintah yang dipimpin langsung oleh Menteri Cang. Ketika dia melihat betapa pasukan pemerintah yang dibagi menjadi tujuh kelompok mulai meninggalkan tempat itu menuju ke sarang gerombolan pemberontak, tahulah dia bahwa penyerangan akan dimulai. Dia akan membantu pasukan pemerintah dengan diam-diam. Hay Hay mengambil keputusan untuk mendahului pasukan itu, memasuki perkampungan pemberontak. Terutama sekali dia harus dapat menemui Sim Ki Liong untuk dipaksanya mengaku tentang peristiwa di dalam taman pada malam hari itu, mengaku bahwa Sim Ki Liong sudah menyamar sebagai dia, menggauli Pek Eng yang mengira bahwa pemuda itu adalah dirinya. *************** Perhitungan Mulana tentang diri saudara kembarnya memang tepat sekali. Kulana adalah seorang yang amat cerdik, juga dia seorang ahli siasat perang yang lihai. Maka tentu saja dia dapat memperhitungkan siasat yang akan diambil oleh pimpinan pasukan pemerintah yang menjadi musuhnya. "Biarkan saja mereka datang mengepung kita," katanya tenang kepada Lam-hai Giam-lo dan para pembantunya ketika mereka mengadakan perundingan. "Kita akan menghadapi mereka, dan percayalah kita akan dapat menghancurkan mereka, membinasakan mereka sampai tidak ada seorang pun di antara mereka akan mampu lolos!" "Akan tetapi jumlah pasukan mereka lebih besar dari pada pasukan kita!" seru Sim Ki Liong sangsi. "Mereka dibantu pula oleh orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi! Tang Hay itu tentu berada di antara mereka, juga Han Lojin." Kulana tersenyum. "Jangan khawatir. Siasat kita hendak menggunakan jalan terusan itu tentu sudah mereka perhitungkan pula dan biarlah mereka mengerahkan semua kekuatan di jalan terusan itu. Aku akan menggunakan akal dan memancing supaya semua pasukan musuh berkumpul di jalan terusan itu, lantas di sanalah aku akan menghancurkan mereka semua!" Agaknya Kulana masih tetap merahasiakan siasatnya yang terakhir ini karena dia belum percaya sepenuhnya kepada para pembantu Lam-hai Giam-lo yang terdiri dari para tokoh sesat itu. Orang-orang seperti itu sukar untuk dipercaya, begitu pendapat Kulana. Rahasia penting tidak akan aman berada di tangan mereka yang tentu suka menjual rahasia apa pun demi keuntungan sendiri. Akan tetapi secara diam-diam dia sudah mempersiapkan dan mengatur siasatnya itu, dan untuk keperluan itu dia menggunakan orang-orangnya sendiri, pelayan-pelayan yang bisa dipercayanya. Ia hanya mengingatkan pada semua perwira pasukan pemberontak bahwa begitu dia memberi tanda dengan tiga kali tiupan terompet yang suaranya khas, semua pasukan harus segera ditarik meninggalkan jalan terusan, membiarkan musuh berkumpul di antara dua bukit itu. Hal ini diperingatkannya berulang kali, dan hanya kepada Lam-hai Giam-lo seoranglah dia menjelaskan siasatnya yang terakhir itu, yaitu akan meledakkan dinding bukit untuk menyerang musuh. *************** Dua hari sebelum malam bulan purnama tiba, malam itu cukup terang dengan bulan yang dua hari lagi akan penuh. Malam yang indah dan amat cerah, namun sunyi menyeramkan di Lembah Yang-ce di Pegunungan Yunan yang menjadi sarang para pemberontak itu. Tempat itu sunyi seakan-akan sudah ditinggalkan oleh para pemberontak. Padahal setiap orang pemberontak sudah menanti dengan jantung berdebar tegang karena mereka telah diberi tahu oleh Kulana bahwa malam itu mereka akan menyambut serbuan musuh di luar jalan terusan. Sebagian dari mereka telah membentuk barisan pendam di luar jalan terusan, dan barisan pendam ini dipimpin sendiri oleh Lam-hai Giam-lo, dibantu oleh Sim Ki Liong yang menjadi orang kepercayaan bengcu itu. Ada pun pasukan yang menyambut musuh dipimpin oleh para tokoh yang lain, di antaranya Ji Sun Bi, Min-san Mo-ko, Kim San, Hek-hiat Mo-ko, serta para tosu Pek-lian-kauw dan dipimpin sendiri oleh Kulana. Sunyi sekali suasana di sarang para pemberontak itu sampai ke jalan terusan. Menjelang tengah malam, di bawah sinar mata para pimpinan pasukan yang mengintai dari tempat persembunyian mereka, tampak Kulana sendiri muncul keluar ke atas sebuah batu besar. Dari atas batu itu dia dapat melihat ke arah jalan terusan di bawah sana. Kulana mengenakan pakaian longgar serba putih dengan potongan seperti jubah pendeta. Rambutnya dibiarkan riap-riapan sehingga dia terlihat seperti seorang pendeta yang aneh dan sikapnya menyeramkan. Sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat mencorong dan mukanya yang tertimpa sinar bulan itu nampak kehijauan. Di tangan kirinya terdapat seuntai tasbeh, ada pun tangan kanannya memegang sebatang pedang telanjang yang mengeluarkan sinar berkilauan. Dia lalu duduk bersila di atas batu itu, menghadap ke utara, ke arah datangnya serangan musuh yang sedang ditunggu. Malam berjalan terus dan bulan sudah condong ke barat. Cuaca mulai remang-remang, kemudian muncul sinar kemerahan di ufuk timur, sinar yang meski pun masih kemerahan tetapi telah nampak kekuatannya sehingga memudarkan sinar bulan. Itulah sinar matahari yang mulai menyapu kegelapan di kaki langit sebelah timur. Dalam kesunyian malam menjelang pagi itu tiba-tiba terdengar bunyi terompet melengking panjang. Itulah tanda yang dinanti-nantikan oleh pasukan pemberontak. Bunyi terompet itu merupakan tanda bahwa pasukan musuh telah datang dan tiba di perbatasan yang sudah mereka tentukan. Tubuh yang tadinya duduk bersila itu kini tiba-tiba bangkit berdiri perlahan-lahan. Kulana mengacungkan pedang telanjang itu ke atas, kemudian menuding ke arah utara, tasbeh di tangan kiri berputar-putar dan mulutnya berkemak-kemik, sementara sepasang matanya terpejam untuk beberapa lamanya. Sesudah kedua mata itu terbuka, orang akan merasa terkejut dan ngeri karena mata itu kini mengeluarkan sinar yang sangat liar menakutkan, kehijauan seperti mata seekor harimau yang marah. Saat bertemunya kedua pasukan yang bermusuhan itu pun ditunggu dengan hati tegang oleh pasukan kerajaan yang berbaris maju dengan penuh semangat. Sekarang pasukan itu tiba di perbatasan, dan jalan terusan yang diapit-apit dinding bukit itu sudah kelihatan dari tempat ketinggian itu, di bawah cahaya bulan yarig mulai pudar oleh sinar matahari merah. Didampingi Mulana, Menteri Cang sendiri berdiri di atas batu besar sambil meneliti tempat itu dari jauh. "Itukah jalan terusan yang dimaksudkan?" tanya Menteri Cang, dan diam-diam dia mulai percaya akan gambar peta yang diterimanya dari Han Lojin. Agaknya orang aneh itu tidak berbohong atau berkhianat, pikirnya. Mulana mengangguk, "Benar, Taijin. Dan lihat, betapa sunyinya. Jika menurut sepatutnya, para pemberontak tentu sudah tahu akan kedatangan pasukan kita, namun kenyataannya sunyi saja. Oleh karena itu, tidak salah lagi, mereka sedang mempergunakan siasat dan kini mereka pasti sedang menanti kita. Kita harus bersikap hati-hati dan biarkan pasukan terus maju, saya akan berada di depan dengan para pembantu saya, menghadapi segala kemungkinan." Menteri Cang mengangguk lalu memberi isyarat supaya pasukan yang untuk sementara dihentikan itu bergerak lagi, menuju ke arah jalan terusan yang dari situ agak menurun itu. Mulana dan belasan orang pembantunya berada paling depan, menuntun tiga ekor anjing hitam mendahului pasukan. Di belakangnya nampak para pendekar yang dipelopori oleh Can Sun Hok dan Cia Ling lalu para tokoh partai persilatan besar. Semua orang bersiap siaga dan waspada, maklum bahwa sewaktu-waktu pihak musuh tentu akan muncul dan menyambut mereka. Ketika ujung jalan terusan itu tinggal beberapa puluh meter lagi, Mulana memberi isyarat agar pasukan berhenti melangkah. Dia sendiri bersama belasan orang pembantunya yang membawa ember melangkah maju mendekati ujung jalan terusan......


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 39 :
MENDADAK terdengar suara gerengan aneh dan dahsyat, lalu disusul datangnya angin dari arah jalan terusan. Mulana cepat memberi isyarat kepada para pembantunya yang segera mengerjakan tugas yang telah diatur sebelumnya, yaitu dengan golok-golok tajam mereka menyembelih tiga ekor anjing hitam itu. Anjing-anjing itu tak sempat mengeluarkan suara lagi. Darah mengucur dari leher mereka yang putus, dan segera darah itu ditampung ke dalam ember-ember yang telah disiapkan. Sekarang angin yang menyambar-nyambar menjadi makin dahsyat dan nampaklah asap hitam bergumpal-gumpal keluar dari dalam jalan terusan, mengerikan sekali. Akan tetapi Mulana yang sudah siap dengan pakaian pendeta berwarna kuning dan rambut terurai, kini melangkah maju dengan pedang di tangan kanan. Dia mencelup pedang itu ke dalam darah anjing sampai ke gagangnya, lalu mengangkat pedang itu tinggi-tinggi sambil melangkah maju dan mulutnya berkemak-kemik. Belasan orang itu mengikutinya dan dengan gayung kecil, mereka itu menciduk darah anjing lalu memercikkannya ke arah asap hitam yang bergumpal-gumpal. Sungguh aneh, asap hitam yang bergulung-gulung itu segera lenyap, angin pun berhenti bertiup dan cuaca menjadi bersih kembali, jalan terusan itu nampak kembali. Akan tetapi kini terdengar gerengan yang semakin keras dan dari dalam jalan terusan itu kembali muncul asap hitam bergumpal-gumpal, lalu dari dalam asap itu muncullah seekor naga hijau yang menyeramkan. Naga itu besar sekali, sepasang matanya mencorong dan moncongnya yang terbuka lebar mengeluarkan api menyala-nyala, dua lubang hidungnya mengeluarkan asap putih yang panas sedangkan kedua cakar depan dengan kuku-kuku yang mengerikan seperti hendak menubruk ke arah Mulana. Akan tetapi Mulana tidak menjadi gentar dan dia pun terus maju dengan pedangnya yang kini berubah merah oleh darah anjing, sedangkan para pembantunya sibuk memercikkan darah anjing ke arah asap hitam yang semakin menjalar. Anak buah pasukan yang berada di belakang melihat dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tentu saja mereka merasa nyeri dan takut. Akan tetapi para tokoh pendekar yang melihat ini, maklum bahwa mereka menghadapi ilmu hitam yang dahsyat, maka mereka segera mengerahkan sinkang untuk memperkuat batin dan menolak pengaruh ilmu hitam ini. Can Sun Hok dan Cia Ling yang sudah mempunyai tingkat kepandaian yang cukup tinggi, sesudah mengerahkan sinkang berhasil membuat mata mereka menjadi terang sehingga bayangan naga yang menyeramkan itu pun menipis walau pun belum lenyap. Mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu menghadapi ilmu hitam seperti ini, dan hanya percaya bahwa Mulana akan mampu memunahkannya. Mulana melangkah maju, lalu pedangnya menyambar menyerang ke arah naga hijau itu, sedangkan orang-orangnya terus memercikkan darah anjing. Terdengar bunyi melengking dahsyat kemudian naga hijau itu pun lenyap, asap hitam pun bergulung-gulung naik dan mundur hingga lenyap. Mulana memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk maju terus, sedangkan pasukan di belakangnya, dengan didahului oleh para pendekar, juga bergerak maju lagi dan mulai memasuki jalan terusan. Kini sunyi di jalan terusan itu. Dengan hati-hati sekali pasukan yang dipimpin sendiri oleh Menteri Cang itu memasuki terusan. Karena maklum bahwa mereka memasuki perangkap yang mengerikan, mau tidak mau jantung pejabat tinggi itu berdebar penuh ketegangan pula. Dia memandang ke atas, kanan kiri dan merasa seram. Dinding bukit itu menjulang tinggi dan kalau ada batu-batu runtuh ke bawah, pasukannya akan celaka, apa lagi kalau sampai dinding itu diledakkan! Dia hanya mengharapkan agar mereka yang bertugas merayap ke atas bukit di kanan kiri itu akan berhasil menyergap dan menggagalkan rencana peledakan dinding bukit. Akan tetapi kesunyian itu mendadak dipecahkan oleh beberapa suara jeritan di sana-sini, dilakukan oleh anak buah pasukan. Dan Mulana melihat betapa kembali ada asap hitam bergulung-gulung dan di atas dinding bukit di kanan kiri nampak segala macam serangga beracun merayap turun. Ular, kalajengking, kelabang dan banyak lagi macamnya, sangat mengerikan dan juga menjijikkan! Ia tahu bahwa semua itu bukanlah binatang-binatang asli, melainkan jadi-jadian hasil ilmu hitam. Maka dia segera memimpin orang-orangnya untuk memercikkan darah anjing, ada pun pedangnya yang berlumuran darah anjing hitam itu sudah mengamuk, membabat ke arah binatang-binatang kecil yang menjijikkan itu. Dan seperti juga tadi, penglihatan yang mengerikan itu pun lenyap bersama asap hitam. Kini semua pasukan pemerintah itu telah memasuki jalan terusan dan berbareng dengan bunyi tambur yang dipukul gencar, sekarang dari luar jalan terusan bermunculan pasukan pemberontak yang menerjang dari belakang. Pada saat itu juga terdengar sorak-sorai dan pasukan pemberontak yang bersembunyi di dalam, kini pun bermunculan dan menyerang dari depan. Dengan demikian pasukan induk pemerintah itu kini tergencet dari depan dan belakang, dan berada di dalam jalan terusan yang memanjang itu. Tepat seperti yang telah diperhitungkan oleh Mulana. Akan tetapi yang membikin pasukan pemerintah merasa bingung adalah mengepulnya asap hitam yang membuat penglihatan mereka menjadi gelap, akan tetapi agaknya tidak demikian bagi pasukan pemberontak. Jika tidak ada Mulana, tentu pasukan pemerintah akan celaka bertempur dalam keadaan seperti itu. Mulana dan para pembantunya sibuk memercikkan darah anjing ke kanan kiri dan akhirnya, asap hitam yang bergulung-gulung itu pun perlahan-lahan lenyap sehingga kini mereka dapat bertempur dalam keadaan cuaca terang karena matahari sudah mulai muncul! Melihat betapa pada pihak pemberontak terdapat orang-orang Kui-kok-pang yang mudah dikenal dengan pakaian mereka yang putih dan gerakan mereka yang ganas dan dahsyat, Can Sun Hok dan Cia Ling segera terjun dan menerjang mereka, merobohkan beberapa orang anggota Kui-kok-pang. Can Sun Hok segera melihat kepala gerombolan ini, yaitu Kim San yang mudah diketahui dari keadaan pakaiannya dan kelihaian gerakannya. Can Sun Hok segera menerjang Kim San yang bertangan kosong. Segera terjadi perkelahian yang amat seru. Biar pun bertangan kosong, namun kedua tangan Ketua Kui-kok-pang yang membentuk cakar itu sangat berbahaya dan mengandung hawa beracun yang jahat. Namun Can Sun Hok yang memegang suling itu tidak mau memberi kesempatan kepada lawan yang lihai ini. Dia lalu memutar sulingnya dan memainkan ilmu pedang simpanannya, yaitu Kwi-ong Kiam-sut (Ilmu Pedang Raja Iblis) yang amat dahsyat. Walau pun dia memainkannya dengan suling, namun keampuhannya tidak kalah dengan pedang, dan ilmu pedang ini dahulu adalah ciptaan Si Raja Iblis, datuk sakti kaum sesat itu. Maka, betapa pun lihainya Kim San, menghadapi ilmu pedang ini dia segera terdesak hebat dan hanya karena bantuan anak buahnya saja dia masih mampu mempertahankan diri. Ling Ling sendiri telah mengamuk pula dan gadis ini biasanya juga bertangan kosong. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari ayahnya, maka meski pun dia bertangan kosong, kedua tangan dan kedua kakinya merupakan senjata-senjata yang amat ampuh. Dengan gerakan amat lincah laksana seekor burung walet, gadis ini berloncatan dan menyambar-nyambar ke sana-sini, dan setiap kali tangan atau kakinya mencuat ke samping atau ke depan, tentu ada seorang anggota pasukan musuh yang terjungkal roboh. Sementara itu, di atas sebatang pohon yang tumbuh di tebing, ada dua orang sejak tadi menonton pertempuran. Mereka adalah Pek Han Siong dan Cu Bi Lian atau lebih tepat lagi, Siangkoan Bi Lian walau pun gadis itu sendiri belum tahu akan nama keturunannya yang sesungguhnya. Seperti telah kita ketahui, Han Siong bertemu dengan Bi Lian secara kebetulan sekali. Pada saat itu Bi Lian sedang dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang hendak menangkapnya. Hampir saja Bi Lian celaka dan dapat tertangkap akibat ilmu sihir yang dipergunakan Kulana, akan tetapi tiba-tiba muncul Han Siong yang menyelamatkan gadis itu dengan kekuatan sihirnya pula. Kemudian mereka berkenalan dan saling mengetahui bahwa mereka masih suheng dan sumoi, walau pun Han Siong belum menceritakan bahwa sumoi-nya itu sesungguhnya adalah puteri kedua orang gurunya, bahkan juga sudah menjadi calon jodohnya! Mereka berdua bertemu dengan Mulana dan menjadi tamu orang Birma aneh ini, bahkan menjadi saksi akan peristiwa mengharukan ketika Yasmina, isteri Mulana, membunuh diri. Setelah meninggalkan Mulana yang kemudian mereka lihat dari jauh membakar istananya sendiri, Han Siong dan Bi Lian kemudian melakukan penyelidikan ke sarang gerombolan pemberontak. Bi Lian ingin membalas kematian kedua orang gurunya, yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, yang mati sampyuh karena saling bertentangan sendiri ketika Bi Lian dilamar oleh Kulana. Bi Lian menganggap bahwa kematian kedua orang gurunya adalah akibat ulah Kulana dan Lam-hai Giam-lo, maka dara ini hendak membalas kepada kedua orang sakti itu. Ada pun Pek Han Siong, selain siap menentang gerombolan pemberontak itu, juga ingin mencari adik kandungnya, Pek Eng, yang menurut Bi Lian kini sedang berada di sarang gerombolan pemberontak, bahkan telah menjadi murid dan anak angkat Lam-hai Giam-lo, Bengcu dari gerombolan pemberontak. Namun sepasang orang muda perkasa ini mendapat kenyataan betapa kuatnya keadaan di sarang gerombolan. Bahkan sekarang seribu lebih orang anak buah gerombolan telah berkumpul, berlatih perang-perangan sehingga sangat berbahayalah kalau mereka berani memasuki sarang itu. Karena itu mereka hanya melakukan penyelidikan di luar saja dan menanti kesempatan baik untuk melaksanakan niat mereka. Pada pagi hari itu mereka melihat penyerbuan pasukan pemerintah, kemudian dari tempat pengintaian itu mereka melihat pula betapa Kulana segera melakukan sambutan dengan ilmu hitam yang sangat dahsyat, yang membuat Bi Lian merasa terkejut dan juga ngeri. Melihat hal ini Han Siong lalu berkata, "Orang yang bernama Kulana itu memang hebat. Yang dia lakukan itu bukan sekedar ilmu sihir saja, melainkan ilmu hitam yang menggunakan tenaga gaib dan kotor yang berasal dari iblis dan setan. Untung bahwa di sana agaknya ada orang yang dapat memunahkan kekuatan ilmu hitamnya, kalau tidak, tentu pasukan pemerintah akan celaka." "Akan tetapi engkau sendiri bukankah seorang yang mengerti akan ilmu sihir, Suheng?" "Benar, aku pernah mempelajari ilmu sihir. Akan tetapi ilmu sihir hanya dapat digunakan untuk mempengaruhi pikiran dan panca indera seorang atau beberapa orang lawan saja. Sebaliknya, ilmu hitam dapat mengeluarkan jadi-jadian yang datangnya dari alam rendah sehingga dapat mempengaruhi ribuan orang pasukan musuh. Sungguh berbahaya sekali orang itu." "Lihat, Suheng, pertempuran menjadi semakin hebat dan tampaknya pasukan pemerintah yang berada di tengah-tengah itu kini terdesak karena digencet dari depan dan belakang. Mereka terjebak ke dalam jalan terusan yang terapit dinding bukit itu! Mari, Suheng, mari kita bantu pasukan pemerintah! Aku akan turun dan menyerang Kulana si jahanam itu!" "Hati-hatilah, Sumoi. Biar aku menghadapi dia," pesan Han Siong yang merasa khawatir karena Kulana sungguh terlalu berbahaya bagi Bi Lian. Mereka lantas meninggalkan batang pohon itu dan merayap turun melalui tebing lain yang tidak begitu terjal seperti kedua tebing bukit pada kanan kiri jalan terusan itu. Berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, dengan cepat mereka bisa turun ke tempat pertempuran. Akan tetapi ketika mereka terjun ke dalam gelanggang pertempuran, mereka tidak melihat lagi Kulana yang tadi mereka lihat dari atas batu besar. Karena itu kedua orang muda ini lalu terjun dan segera mengamuk di antara para anggota gerombolan pemberontak yang menjadi kocar-kacir karena tidak ada yang mampu menahan kedua orang muda perkasa ini. Akan tetapi, dari pihak pemberontak segera bermunculan orang-orang lihai sekali. Suami isteri Lam-hai Siang-mo, yaitu Siangkoan Leng dan Ma Kim Li sudah cepat melihat sepak terjang yang hebat dari pemuda dan gadis yang baru muncul itu dan bersama sepasang suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan, yaitu Kwee Siong dan Tong Ci Ki, mereka segera menerjang ke dalam pertempuran. Lam-hai Siang-mo segera mengeroyok Han Siong, ada pun Si Tangan Maut dan isterinya, Si Jarum Sakti, atau sepasang suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan itu lalu mengeroyok Bi Lian yang mereka kenal sebagai murid mendiang Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi yang amat lihai. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian di antara mereka. Menteri Cang yang melihat betapa pasukan pemberontak sudah dikerahkan lalu memberi isyarat dan terdengarlah suara sorak-sorai disertai suara terompet dan tambur, dan enam kelompok pasukan yang tadinya mengepung sarang kini bermunculan dari enam jurusan, semua menuju ke jalan terusan dan dengan demikian maka kini berbalik pihak pasukan pemberontak yang terkepung dari dalam dan luar! Sekarang keadaan menjadi kacau balau dan pertempuran berlangsung semakin seru dan mati-matian. Kini para pendekar juga sudah bertemu langsung dengan para tokoh sesat sehingga mereka merupakan kelompok tersendiri yang saling gempur menggunakan ilmu silat tinggi, dan terjadilah pertempuran yang amat hebat di luar dan di dalam jalan terusan. Bagaimana Can Sun Hok dan Cia Ling dapat muncul di dalam pertempuran itu, padahal mereka bertugas bersama Cia Kui Hong untuk mencegah peledakan dinding tebing bukit sebelah kiri? Mari kita tengok apa yang terjadi di kedua puncak tebing itu. Dengan diikuti belasan orang anak buah pasukan, Cia Kui Hong, Can Sun Hok serta Cia Ling mendaki bukit sebelah kiri jalan terusan. Memang tepat seperti yang diperhitungkan oleh Mulana, mereka melihat gerombolan berjumlah dua belas orang dikepalai seorang kakek cebol gendut dengan kepala kecil, berkulit hitam, duduk bergerombol mengelilingi sebuah batu besar. Melihat ini, Cia Kui Hong menyuruh teman-temannya supaya bersembunyi dan dia sendiri mempergunakan kepandaiannya untuk menyelinap di antara batu-batu dan pohon-pohon, mendekati untuk melakukan pemeriksaan. Untung baginya bahwa matahari sudah mulai memancarkan sinarnya sehingga dia bisa meneliti dari jarak agak jauh dan melihat bahwa yang berada di atas batu besar itu adalah benda seperti tali putih yang dipasang dari atas batu itu terus menuruni tebing. Tidak salah lagi, pikirnya, tentu itulah sumbu bahan peledak, siap untuk dinyalakan oleh gerombolan orang itu setelah terdapat isyarat dari Kulana! Ia dan kawan-kawannya harus bisa menguasai sumbu itu, jika tidak, pasukan pemerintah di bawah tentu akan terancam bahaya maut! Ia segera menyelinap lagi dan kembali ke tempat teman-temannya bersembunyi. Setelah merundingkannya dengan Sun Hok dan Ling Ling, mereka bertiga mengambil keputusan untuk melakukan penyergapan secara tiba-tiba. "Kalian menyergap Si Cebol yang agaknya lihai itu, sedangkan pasukan menyerbu dan menyerang anak buahnya. Aku sendiri akan menguasai sumbu itu dan menjaganya agar pihak lawan tidak ada yang dapat mendekat!" bisik Kui Hong. Sesudah mengatur siasat, mereka lalu berindap-indap menghampiri batu yang dikurung oleh tiga belas orang itu. Penyergapan itu dilakukan serentak sehingga Si Cebol yang bukan lain adalah Hek-hiat Mo-ko dan anak buahnya menjadi terkejut sekali. Apa lagi ketika Hek-hiat Mo-ko melihat betapa dirinya diserang secara dahsyat oleh seorang pemuda dan seorang pemudi. Dia mengeluarkan suara mencicit seperti tikus, tubuhnya yang cebol itu melompat dan terus bergulingan membebaskan diri dari serangan kedua orang muda yang lihai itu. Sedangkan belasan orang anak buahnya juga telah sibuk menghadapi serangan belasan orang anak buah pasukan pemerintah. Kui Hong sendiri merobohkan dua orang dengan tamparannya lalu dia pun meloncat ke atas batu besar itu. Dengan gagahnya dia menjaga sumbu di atas batu, dan untuk penjagaan, dia mengeluarkan sepasang pedangnya. Ketika dia memandang, dengan lega dia mendapat kenyataan betapa Can Sun Hok dan Ling Ling sudah dapat mendesak kakek cebol itu, bahkan anak buah yang belasan orang banyaknya itu pun telah menyerbu dan mendesak anak buah gerombolan pemberontak. Hek-hiat Mo-ko adalah keturunan Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo dan dia juga sudah mewarisi ilmu sesat yang hebat dari neneknya, yaitu Hek-hiat Mo-li. Demikian mendalam dia menguasai ilmu Hek-hiat (Darah Hitam) itu sehingga darah di tubuhnya benar-benar agak kehitaman! Dan tentu saja kedua tangannya sudah dialiri hawa beracun yang menjadi pukulan maut. Dia lihai dan kejam bukan main, disamping wataknya yang cabul dan jahat. Entah berapa puluh atau bahkan berapa ratus orang wanita yang sudah menjadi korban kebiadabannya selama puluhan tahun ini. Betapa hebatnya ilmu kepandaian Hek-hiat Mo-ko, namun menghadapi Can Sun Hok dan Cia Ling, dia seperti mati kutu. Apa lagi harus dikeroyok dua. Baru menghadapi seorang di antara mereka saja dia belum tentu akan mampu menang, biar pun bagi Sun Hok atau Ling Ling juga tidak akan demikian mudahnya menundukkan Si Cebol ini kalau saja harus turun tangan sendiri tanpa bantuan. Akan tetapi kini mereka maju bersama. Perkelahian ini bukan urusan pribadi, melainkan urusan perang, maka dua orang muda perkasa ini pun tidak merasa sungkan untuk maju bersama mengeroyok Hek-hiat Mo-ko. Biar pun Hek-hiat Mo-ko telah mengerahkan seluruh tenaga racunnya dan mengeluarkan semua ilmu silatnya, namun tetap saja dia terdesak hebat dan akhirnya tidak mampu lagi membalas, melainkan hanya mengelak dan menangkis saja. Akhirnya sebuah tamparan dari tangan kiri Ling Ling menyerempet pelipisnya. Dia terjungkir namun cepat melompat bangun lagi, akan tetapi langsung disambut totokan suling di tangan Sun Hok yang tepat mengenai dada kirinya. Dari mulutnya keluar suara mencicit nyaring, disusul keluarnya darah hitam dan tubuh Hek-hiat Mo-ko kini tersungkur. Akan tetapi orang ini memang memiliki kekuatan yang luar biasa. Meski pun totokan tadi telah mengenai jalan darah yang membawa maut, tetap saja dia masih dapat bergulingan, hanya arahnya ngawur sehingga dia bergulingan ke tepi tebing dan tak dapat dihindarkan lagi, tubuhnya tergelincir dan meluncur turun ke bawah tebing yang amat curam itu dalam keadaan sudah hampir mati!. Kedua belas orang anak buah Hek-hiat Mo-ko juga telah roboh semua oleh Sun Hok dan Ling Ling. Setelah tidak nampak seorang pun lagi musuh di puncak tebing itu, mereka lalu memandang ke bawah dan melihat pertempuran masih berlangsung. Melihat betapa pasukan pemerintah dihimpit dari depan dan belakang, Sun Hok kemudian berkata, "Ah, di bawah sana telah terjadi pertempuran. Untuk apa kita menganggur saja di sini? Lebih baik membantu di bawah." "Akan tetapi tempat ini harus terus kita jaga agar jangan sampai ada musuh yang dapat meledakkan tebing," bantah Ling Ling. "Kalian berdua turunlah dan bantulah menggempur gerombolan pemberontak. Biarlah aku dan pasukan ini yang berjaga di sini!" kata Kui Hong yang juga melihat betapa tidak ada gunanya mereka bertiga menganggur di tempat itu. Demikianlah, mendengar kesanggupan Kui Hong untuk menjaga sumbu bahan peledak di situ, Ling Ling dan Sun Hok cepat menuruni tebing kemudian mereka ikut pula bertempur membantu pasukan pemerintah, menerjang Kui-kok-pangcu Kim San dan anak buahnya. Keadaan pada puncak tebing sebelah kanan juga tidak banyak bedanya dengan apa yang terjadi di puncak tebing sebelah kiri. Pasukan belasan orang yang mendaki puncak tebing sebelah kanan dipimpin oleh suami isteri Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian, yaitu pasangan suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi itu. Ada pun tokoh sesat yang diberi tugas untuk memimpin belasan orang meledakkan tebing kanan ini apa bila ada isyarat dari Kulana bukan lain adalah Min-san Mo-ko, bekas tokoh Pek-lian-kauw yang lihai ilmu pedang dan ilmu sihirnya itu. Karena usianya sudah enam puluh lebih, Min-san Mo-ko tidak begitu bernafsu untuk ikut bertempur dalam peperangan, maka dia memilih untuk menjaga sumbu bahan peledak yang dipasang di puncak tebing sebelah kanan. Dia sudah siap untuk meledakkannya, dengan menyulut sumbunya begitu menerima isyarat dari Kulana. Diam-diam dia merasa gembira sekali karena dia akan dapat menonton kalau nanti tebing itu runtuh menimpa pasukan pemerintah sehingga akan terkubur hidup-hidup! Akan tetapi dia harus menanti isyarat dari Kulana lebih dulu. Karena kalau tidak, mungkin yang akan terkubur hidup-hidup oleh ledakan tebing itu justru pasukan kawan sendiri. Tiba-tiba saja muncul belasan orang prajurit pemerintah yang mendaki puncak tebing itu. Melihat belasan orang prajurit musuh ini, Min-san Mo-ko langsung tertawa dan suaranya melengking tinggi ketika dia berkata, "Ha-ha-ha-ha, hayo bunuh bebeberapa ekor cacing busuk itu!" Dia terlalu memandang rendah kepada belasan orang prajurit musuh yang disangkanya secara kebetulan saja naik ke puncak ini. Akan tetapi pada saat itu muncullah Kok Hui Lian yang bergerak cepat, dengan gerakan indah sekali telah menampar roboh dua orang prajurit pemberontak. Melihat munculnya seorang wanita muda yang demikian cantiknya, juga gerakannya amat cepat sehingga dengan mudahnya dapat merobohkan dua orang anak buahnya, Min-san Mo-ko amat terkejut akan tetapi juga gembira sekali. Wanita itu cantik menarik. "Ha-ha-ha, kebetulan sekali. Aku sedang kesepian dan kini engkau datang menemaniku, manis!" kata Min-san Mo-ko yang biar pun sudah berusia enam puluh tahun lebih namun masih amat mata keranjang itu. Dia memandang ringan wanita cantik itu, maka sekali meloncat dia sudah meninggalkan benda yang dijaganya sejak tadi, yaitu ujung sumbu bahan peledak yang menghubungkan sumbu dengan bahan peledak yang ditanam di bawah puncak tebing. Ujung sumbu itu ditindih beberapa buah batu dan nampak mencuat putih. Dengan kedua tangannya yang panjang dan kurus Min-san Mo-ko menubruk dari belakang untuk menangkap Hui Lian. Namun sekali ini orang yang kurus pucat tetapi lihai ini kecelik bukan main. Tubuh wanita cantik yang ditubruknya dari belakang itu mendadak berputar di atas tumit kiri, kemudian kaki kanannya telah mengirim tendangan yang sangat cepatnya, demikian cepat sehingga orang selihai Min-san Mo-ko sampai tidak sempat mengelak atau menangkis lagi. Tentu saja hal ini dapat terjadi terutama sekali karena Min-san Mo-ko memandang lawan terlalu ringan. "Dukkk...!" "Ihhhhhh...!" Min-san Mo-ko mengeluarkan suara melengking nyaring, kemudian tubuhnya terhuyung ke belakang, matanya terbelalak dan dia mulai marah sekali. Tak disangkanya bahwa dia akan terkena tendangan pada dadanya, dan tendangan itu membuat dadanya terasa agak nyeri. "Perempuan setan, kiranya engkau mempunyai kepandaian juga? Kalau begitu bersiaplah untuk mampus!" Min-san Mo-ko mencabut pedangnya, dengan sekali melompat dia sudah berada di depan Hui Lian dan tiba-tiba dia menudingkan pedangnya pada wajah Hui Lian sambil mengeluarkan suara lengking panjang disusul kata-kata yang nyaring melengking dan berpengaruh. "Perempuan muda, berlutut dan menyerahlah engkau!" Dia mengerahkan sihirnya sambil menggerak-gerakkan pedangnya, kedua matanya mencorong aneh dan menyeramkan. Hui Lian tidak menyangka bahwa dia akan diserang dengan ilmu sihir, maka tiba-tiba saja dia menekuk lututnya. Hal ini terjadi di luar kehendaknya, maka dia pun kaget sekali dan sambil meloncat ke atas dia mengeluarkan bentakan nyaring sambil mengerahkan tenaga saktinya dan seketika buyarlah kekuatan sihir yang tadi hampir mempengaruhi. Hui Lian menjadi marah sekali dan sepasang matanya berkilat ketika memandang wajah Min-san Mo-ko. "Iblis busuk, ilmu iblismu itu tidak ada artinya bagiku!" dan kini wanita perkasa ini sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan. Entah kapan dia mengeluarkan pedang itu, tahu-tahu sudah berada di tangannya. Itulah pedang Kiok-hwa-kiam peninggalan orang sakti yang dia temukan di dalam goa di tebing curam. Min-san Mo-ko tidak berani main-main lagi, sama sekali tidak berani memandang rendah. Bahkan dia terkejut bukan main melihat betapa wanita cantik itu mampu membuyarkan kekuatan sihirnya. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tangguh, maka melihat lawan memegang pedang, tanpa banyak cakap lagi dia pun mencabut pedangnya dan mendahului lawan menyerang dengan pedangnya. Gerakannya cepat dan kuat sekali. Min-san Mo-ko memang terkenal sebagai seorang ahli pedang yang mempunyai banyak macam ilmu pedang yang bermutu tinggi. Sekarang begitu dia memutar pedang, senjata itu segera lenyap bentuknya dan berubah menjadi gulungan sinar putih yang panjang dan menyambar-nyambar. Melihat ini, Hui Lian pun tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli pedang yang sangat lihai, maka dia pun memutar Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni) dan segera mainkan Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan), yaitu satu di antara ilmu yang dipelajarinya bersama suaminya di dalam goa tebing. Ilmu pedang ini adalah peninggalan mendiang In Liong Nio-nio, seorang di antara tokoh sakti Delapan Dewa. Begitu dia memutar pedang, terdengar suara mengaung panjang dan terkejutlah Min-san Mo-ko karena gulungan sinar pedangnya segera tertekan dan terdesak oleh ilmu pedang yang aneh dan belum pernah dilihatnya itu. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan semua kepandaiannya untuk mengimbangi permainan pedang lawan, tetapi percuma saja karena gulungan sinar pedang di tangan wanita sakti itu ternyata jauh lebih kuat. Dia terdesak hebat sehingga harus mundur terus. Sementara itu belasan orang anggota pasukan yang dikepalai Min-san Mo-ko tentu saja bukan lawan Ciang Su Kiat, sebab itu sebentar saja pendekar lengan buntung ini dengan mudah merobohkan mereka semua, menendangi mereka hingga tubuh mereka terlempar ke bawah tebing. Setelah membasmi belasan orang itu, Su Kiat menoleh ke arah isterinya dan dia tidak merasa khawatir karena isterinya kelihatan mendesak Min-san Mo-ko. Akan tetapi pada saat itu pula, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja muncul seorang lelaki yang berusia empat puluh lebih bertubuh sedang dengan wajah anggun berwibawa, mengenakan jubah seperti pendeta, dengan rambut riap-riapan dan sebatang pedang di tangan, telah berdiri dekat sumbu yang tadi dijaga oleh Min-san Mo-ko dan anak buahnya. Ciang Su Kiat memandang kaget, bahkan lebih terkejut lagi sesudah melihat laki-laki itu mengeluarkan sebuah benda dari saku jubahnya dan tiba-tiba benda itu bernyala lalu dia membuat gerakan untuk membakar sumbu bahan peledak itu! "Tahan...!" Su Kiat membentak dan dengan ringan sekali, seperti seekor burung rajawali terbang menyambar, tubuhnya sudah meluncur ke arah orang itu lantas lengan kanannya yang utuh sudah menusuk dengan jari tangan terbuka ke arah dada. Serangannya ini cepat bukan main, juga mengandung hawa pukulan yang mengeluarkan suara mencicit sehingga pria itu terkejut sekali. Dia cepat-cepat menyimpan kembali alat pembakar yang sudah padam lagi itu, dan sambil meloncat ke samping untuk mengelak, pedangnya cepat menyambar untuk membacok leher lawan yang menyerangnya sambil meluncur seperti terbang. "Wuuuuuttt...! Takkk...!" Kulana, laki-laki itu, terkejut bukan main karena lawannya yang hanya berlengan sebelah itu sudah mampu menangkis pedangnya dengan ujung baju lengan kirinya yang buntung. Begitu bertemu pedang, ujung lengan baju itu menjadi keras bagaikan tongkat baja! Hal ini menunjukkan bahwa lawannya memiliki tenaga sinkang yang amat hebat! Benar-benar seorang lawan yang tangguh, pikirnya, apa lagi ketika tadi dia melihat betapa Min-san Mo-ko juga terdesak hebat oleh seorang wanita cantik. Akan tetapi, Kulana yang naik ke situ untuk meledakkan tebing tanpa mempedulikan bahwa pasukan pemberontak masih berada di atas jalan terusan dan akan menjadi korban pula kalau tebing runtuh, kini tidak merasa gentar dan masih mengandalkan ilmu hitamnya. Ciang Su Kiat yang maklum betapa berbahayanya apa bila sumbu itu sempat dinyalakan, sudah cepat-cepat meloncat ke dekat sumbu dan melindunginya, kedua matanya dengan tajam menatap ke arah laki-laki berambut riap-riapan yang berpakaian jubah pendeta itu, menduga-duga siapa adanya orang aneh itu. Dia sama sekali tak menduga bahwa orang ini adalah Kulana, pemimpin yang sesungguhnya dari pemberontakani. Kulana maklum bahwa Si Lengan Buntung itu lihai sekali, maka cepat dia mengelebatkan pedangnya lantas berkemak-kemik membaca mantera dan berkata dengan suara lantang yang berlogat asing. "Hemmm, orang berlengan satu, betapa pun lihainya engkau, mana mungkin dapat melawan aku? Lihat, engkau hanya seorang diri, sedangkan aku berlima!" Su Kiat membelalakkan kedua matanya ketika melihat bahwa kini orang itu benar-benar telah berubah menjadi lima orang! Lima orang kembar yang menyeringai dan memandang kepadanya dengan mata mencorong beringas. Dia menganggap hal ini mustahil dan tahu bahwa ini tentulah permainan sihir, maka dia pun mengerahkan sinkang-nya kemudian membentak nyaring untuk membuyarkan kekuatan sihir lawan. Namun kekuatan sihir yang dipergunakan Kulana jauh berbeda dibandingkan dengan ilmu sihir yang dikuasai Min-san Mo-ko. Dengan pengerahan tenaga batin maka kekuatan sihir Min-san Mo-ko dapat dibuyarkan oleh Hui Lian, akan tetapi sihir dari Kulana adalah ilmu hitam yang jahat dan mengandung kekuatan roh jahat atau setan yang menyeramkan. Sedangkan Ciang Su Kiat, betapa pun lihai ilmu silatnya, tidak pernah mempelajari ilmu sihir, maka pengerahan tenaga sinkang-nya tidak mampu membuyarkan ilmu sihir Kulana dan matanya masih tetap melihat betapa kelima orang lawan yang kembar itu kini mulai mengepungnya! "Iblis busuk, aku tak akan gentar menghadapimu meski engkau menjadi seratus!" Su Kiat membentak dan laki-laki tinggi besar ini berdiri dengan gagahnya di atas tempat di mana terdapat sumbu yang dijaganya itu. Bagaimana pun juga dia akan melindungi sumbu itu agar jangan sampai dibakar musuh. Ketika melihat lima orang kembar itu mulai menggerakkan pedang menyerangnya dengan kepungan, dia pun memutar lengan kirinya yang buntung sehingga ujung lengan baju itu membentuk gulungan sinar yang melindungi tubuhnya! Tangan kanannya juga melakukan tamparan dan pukulan ke kanan kiri, dibantu oleh kedua kakinya. Bagaimana pun juga, tentu saja dia menjadi repot dikeroyok lima orang kembar itu, yang semuanya amat lihai. Setelah mempertahankan diri selama dua puluh jurus lebih, tiba-tiba ujung lengan baju kirinya itu terbabat pedang sehingga putus! Hal ini dapat terjadi karena pada detik itu, untuk menghimpun hawa segar, dia melepaskan pengerahan sinkang-nya. Hanya sedetik dua detik saja, akan tetapi sudah cukup bagi Kulana yang pandai untuk mempergunakan kesempatan itu membabat putus ujung lengan baju yang ampuh itu. Setelah ujung lengan baju yang dipergunakan sebagai senjata dan perisai itu putus, tentu saja Su Kiat menjadi makin repot. Lawannya amat lihai, dengan ilmu pedang yang aneh, dengan tenaga sakti yang amat kuat, ditambah lawannya berubah menjadi lima orang. Tentu saja Su Kiat terdesak hebat dan dengan mati-matian dia bertahan untuk menjaga agar sumbu itu tidak sampai dinyalakan lawan. Pada saat itu nampak sebatang pedang yang merah karena berlepotan darah, meluncur dan menangkis pedang di tangan Kulana. "Tringgg...!" Bunga api berpijar dan mata Su Kiat terbelalak. Yang muncul adalah orang yang serupa benar dengan penyerangnya. Dan aneh sekali, lawan yang tadinya berubah menjadi lima orang itu kini telah kembali menjadi seorang saja. Dan sekarang dua orang itu telah saling berhadapan, dua orang yang serupa benar baik wajah mau pun bentuk badannya, yang berbeda hanya warna jubah mereka. Orang pertama berjubah putih, sedangkan orang ke dua berjubah kuning. Orang pertama memegang pedang putih, sedangkan orang ke dua memegang pedang yang berlepotan darah merah! Orang ke dua itu bukan lain adalah Mulana! Karena pedangnya berlepotan darah anjing, ditambah lagi dengan ilmunya memunahkan sihir, maka kekuatan sihir Kulana tadi sudah buyar dan dia pun nampak hanya satu orang saja, bukan lima seperti tadi. Dan marahlah Kulana ketika dia melihat saudara kembarnya. "Ahh, bangsat keparat! Kiranya engkau Mulana? Engkau berani mengkhianati saudaramu sendiri dan membantu musuh?" "Kulana, justru engkaulah yang telah menyeleweng! Engkau menganggap aku musuh dan engkau hendak menimbulkan pemberontakan, malah kini hendak meledakkan tebing, tak peduli siapa yang berada di bawah sana. Engkau jahat, Kulana, aihhh, engkau jahat dan terpaksa aku harus menantangmu!" "Huh, pantas! Pantas saja tadi semua ilmu sihirku buyar, dan di kedua puncak tebing ini datang musuh menyerang. Tentu karena ulahmu, Mulana!" "Memang benar, Kulana. Kini lebih baik engkau segera mengakhiri petualanganmu yang jahat ini dan marilah kita berdua pergi, kembali ke selatan. Marilah, Kulana, aku saudara kembarmu, aku mengingatkanmu sebelum semuanya terlambat..." "Engkaulah yang terlambat, Mulana, sebab sekarang sudah pasti aku akan membunuhmu dengan pedangku ini!" Setelah berkata demikian, Kulana menerjang dengan pedangnya, menusuk dengan gerakan kilat yang amat kuat dan cepat. Mulana melompat ke samping sambil menangkis dengan pedangnya yang berlepotan darah anjing. "Tringgg...! Tranggg...! Cringgg...!" Kembali nampak bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata dan kedua orang ini sudah saling terjang dengan hebatnya. Melihat ini Ciang Su Kiat tertegun. Munculnya Mulana tadi membuat dia bingung. Dia tak mengenal kedua orang itu akan tetapi dari percakapan mereka, biar pun dilakukan dalam bahasa Birma yang hanya dimengerti sedikit, dia dapat menduga bahwa mereka adalah dua orang saudara kembar yang kini saling bermusuhan. Melihat betapa orang pertama yang kini diketahuinya bernama Kulana itu membantu para pemberontak, maka tentulah orang kedua yang bernama Mulana itu membantu pasukan pemerintah. Akan tetapi dia masih merasa ragu untuk turun tangan membantu. Apa lagi melihat betapa mereka adalah dua orang saudara kembar yang demikian mirip sehingga sukar membedakan antara mereka kecuali warna jubah mereka, Su Kiat pun merasa tidak enak dan tidak tega untuk mencampuri urusan mereka. Maka dia pun hanya mendekati sumbu dan menjaga agar benda itu tidak diganggu orang. Sementara itu perkelahian antara Hui Lian dan Min-san Mo-ko sudah mendekati akhirnya. Min-san Mo-ko mempertahankan diri mati-matian, akan tetapi semakin lama dia semakin terdesak oleh wanita sakti itu sehingga dia hanya mampu menangkis dan mengelak saja, tanpa mampu membalas serangan Hui Lian yang semakin mendesak keras. "Haiiii! Rebah kamuuu...!" tiba-tiba Min-san Mo-ko berteriak lantang dan mengisi suara itu dengan seluruh kekuatan sihirnya. Hal ini merupakan serangan yang mendadak bagi Hui Lian. Dia terkejut dan tergetar, kedua kakinya lemas dan hampir dia terpelanting. Kesempatan ini segera dipergunakan oleh Min-san Mo-ko untuk menerjang dengan pedangnya. Dalam keadaan terhuyung itu Hui Lian menangkis, namun hal ini bahkan membuat dia terguling jatuh. Dengan girang Min-san Mo-ko langsung menubruk, akan tetapi pada saat itu pula sebuah batu sebesar telur ayam meluncur dan mengenai hidungnya. "Tukkk!" "Aduuhhhh...!" Min-san Mo-ko memegangi hidungnya dengan tangan kiri dan tangan itu berlepotan darah. Hidungnya pecah dan darah bercucuran deras. Saat itu Hui Lian yang tadinya terjatuh sudah meloncat dengan meminjam tanah sebagai penahan loncatan kaki, dan sebelum Min-san Mo-ko sempat mengelak atau menangkis karena dia masih sibuk memeriksa hidungnya, pedang Kiok-hwa-kiam telah menghilang ke dalam dadanya, dari bawah menembus jantung! Dia terbelalak heran, seolah-olah tak percaya bahwa dia telah menjadi korban penusukan itu. Hui Lian menarik kembali pedangnya sambil menendang supaya pakaiannya tidak sampai terkena percikan darah. Tubuh Min-san Mo-ko yang sudah tak berdaya itu terlempar dan kebetulan jatuh terguling ke bagian yang menurun sehingga tubuh itu terus menggelinding turun dan terjatuh dari tepi tebing yang curam! Hui Lian cepat meloncat ke dekat suaminya, menyentuh lengan suaminya sambil berkata, "Terima kasih..." bisiknya. Dia tahu bahwa tadi, dalam keadaan terdesak karena lawan menggunakan sihir, biar pun belum tentu dia akan celaka, suaminya sudah membantunya dengan lontaran batu yang membikin remuk hidung Min-san Mo-ko. "Sshhh..." Su Kiat berbisik dan menunjuk ke depan. Hui Lian memandang dan dia pun terheran-heran melihat kedua orang kembar itu saling serang dengan hebatnya. Dia segera tahu bahwa kedua orang yang sedang bertempur itu memiliki ilmu pedang aneh dan kepandaian yang tinggi. "Siapa... siapa mereka...?" bisiknya sambil memegang tangan suaminya. "Mereka saudara kembar, yang jubah putih membantu pemberontak, yang jubah kuning membantu pemerintah." kata Su Kiat. Tiba-tiba saja terdengar suara melengking tinggi dan benturan pedang yang hebat sekali, membuat Kulana dan Mulana masing-masing terdorong mundur. Kulana lalu mengangkat pedangnya, berkemak-kemik dan kembali memekik. Terlihat asap hitam bergulung-gulung di atas tebing itu. Segera segala sesuatu menjadi gelap. Suami isteri pendekar itu terkejut sekali. Mereka cepat mengerahkan sinkang, namun tetap saja tempat itu menjadi gelap. "Kita jaga sumbu ini, kau di kanan aku di kiri...," bisik Su Kiat. "Siapkan pedangmu dan setiap kali mendengar gerakan mendekatimu, serang!" Suami isteri itu lalu berdiri dengan sikap waspada di kanan kiri sumbu yang harus mereka jaga. "Heii, kedua orang gagah di sana...!" tiba-tiba terdengar suara Mulana dari asap hitam, "Hati-hati berjaga di situ, jangan perkenankan iblis itu mendekati sumbu itu. Aku... aku... tak berdaya, darah di pedangku telah bersih..." Kiranya dalam perkelahian tadi pedang di tangan Mulana berkali-kali telah beradu dengan pedang Kulana sehingga darah anjing yang berlepotan di situ sudah memercik lepas dan kini pedang itu telah bersih. Tanpa adanya darah anjing, kini Mulana tidak berdaya untuk menolak dan membuyarkan pengaruh ilmu hitam yang dipergunakan Kulana. Menyusul suara Mulana ini, terdengarlah suara ketawa yang menyeramkan, suara ketawa Kulana dan suara itu menunjukkan bahwa orang yang tertawa mempunyai gejala kelainan jiwa alias gila! Tiba-tiba terdengar gerakan pedang dan Hui Lian cepat menangkis dengan pedangnya ke arah suara itu. "Cringgg...!" Bunga api berpijar ketika pedangnya berhasil menangkis pedang yang tadi dipergunakan Kulana untuk menyerangnya dalam kegelapan yang tidak wajar itu. Beberapa kali Kulana mencoba untuk menyerang lagi, namun selalu dapat ditangkis oleh Hui Lian, bahkan ada sambaran tangan yang amat ampuh dari Su Kiat menyerangnya. Biar pun suami isteri itu tidak dapat melihat lawan di dalam kegelapan itu, namun pendengaran mereka amat peka sehingga suami isteri yang mempunyai ilmu kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya itu seolah-olah dapat melihatnya. Kulana menjadi amat sibuk dan tak berdaya menghadapi suami isteri yang kini bergabung menjaga sumbu itu. Dia tahu bahwa meski pun dalam kegelapan, sukar untuk menghalau suami isteri itu meninggalkan sumbu bahan peledak, apa lagi mengalahkan mereka! Dia menjadi marah dan penasaran sekali. "Jahanam Mulana, pengkhianat saudara sendiri! Engkau biang keladinya hingga usahaku gagal!" bentaknya yang disambut oleh Mulana dengan suara ketawa cerah. "Ha-ha-ha, Kulana! Ingatlah bahwa semua usaha jahat selalu akan menimpa diri sendiri, seperti mengalirnya air ke tempat rendah." "Jahanam, mampuslah kau lebih dulu sebelum aku meledakkan tebing ini!" Kulana sudah menyerang dengan gemas sekali. "Trang-trang-trang...!" cerita silat online karya kho ping hoo Sampai tiga kali Mulana berhasil menangkis serangan pedang saudara kembarnya yang bersembunyi di dalam kegelapan itu. Mulana juga memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka seperti kedua orang suami isteri itu, dia pun memiliki panca indera yang amat peka. Biar pun dia tak dapat melihat dengan jelas gerakan Kulana yang masih bersembunyi di dalam kegelapan asap hitam, tetapi Mulana dapat menangkis serangan bertubi yang dilancarkan oleh saudara kandungnya. Betapa pun juga, karena kekuatan sihir yang dipergunakan Kulana semakin kuat, maka pengaruhnya bukan hanya menimbulkan kegelapan namun juga mendatangkan perasaan ngeri dan seram, apa lagi ketika terdengar suara yang aneh-aneh, bukan suara manusia melainkan suara yang lebih mirip suara setan dan iblis dari neraka. Mulana mulai menjadi sibuk dan permainan pedangnya yang digunakan untuk melindungi tubuhnya menjadi kacau. Dia terdesak hebat dan di antara suara tawa dari mulut Kulana yang terdengar menyeramkan, Mulana kini terhimpit sehingga hanya mampu menangkis dan mengelak dengan susah payah. "Dessss...!" Sebuah tendangan yang mengikuti bacokan pedang mengenai lutut Mulana, membuat dia terpelanting. "Ha-ha-ha, Mulana, bersiaplah untuk mampus...!" Kulana tertawa bergelak dan siap untuk menubruk saudara kembarnya yang sudah jatuh terlentang sehingga tidak akan sanggup menyelamatkan diri lagi itu. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya terhenti karena mendadak saja semua asap hitam lenyap dan cuaca menjadi terang lagi, cuaca dari matahari pagi yang mulai muncul di ufuk timur. Kulana marah dan menyangka bahwa Mulana yang sudah memunahkan kekuatan sihirnya, maka dia menubruk ke depan dan menusukkan pedangnya ke arah dada Mulana yang masih rebah terlentang. "Trangggg...!" Pedang itu tertangkis. Kulana cepat meloncat ke belakang dengan muka berubah pucat karena tangkisan pada pedangnya tadi membuat dia merasa kulit telapak tangannya seperti akan pecah-pecah. Panas dan perih sekali! Dia lalu mengangkat muka dan memandang. Dan ternyata yang berdiri di depannya hanyalah seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun, wajahnya cerah, matanya mencorong dan pemuda tampan yang berpakaian biru muda dengan garis pinggir kuning ini tersenyum-senyum dengan tenang. Dia tidak mengenal Hay Hay, karena ketika pemuda ini diterima oleh Lam-hai Giam-lo, dia tidak berada di sana dan sebelum Kulana datang ke sarang pemberontak untuk mengatur gerakan pasukan pemberontak, Hay Hay sudah pergi meninggalkan sarang itu karena dia penasaran dituduh menggauli Pek Eng. Seperti kita ketahui, tadinya Hay Hay membayangi Han Lojin yang sedang membuat peta di daerah sarang pemberontak. Setelah melihat Han Lojin menghadap Menteri Cang yang memimpin pasukan pemerintah, maka Hay Hay tidak lagi mencurigai Han Lojin dan dapat menduga bahwa tentu Han Lojin kini menjadi mata-mata pemerintah yang sengaja datang ke sarang pemberontak untuk melakukan penyelidikan. Hay Hay menganggap bahwa sungguh merupakan perbuatan berbahaya dan nekat kalau memaksa masuk ke sarang pemberontak untuk mencari Ki Liong. Oleh karena itu dia lalu membayangi pasukan pemerintah itu dan hendak membantunya di samping niatnya untuk menemui Ki Liong dan menyelidiki siapakah para perusak Pek Eng dan Ling Ling itu. Ketika melihat jalannya pertempuran, Hay Hay tidak merasa khawatir karena yakin bahwa pasukan pemerintah pasti akan menang. Maka dia lalu membantu sana-sini dan akhirnya dia naik ke tebing karena melihat ada perkelahian di sana. Dia melihat betapa dua orang laki-laki yang berpakaian pendeta saling serang, akan tetapi yang seorang mempergunakan ilmu hitam menciptakan asap hitam bergulung-gulung. Dia melihat pula Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian berdiri dengan tegang saling membelakangi, agaknya juga terpengaruh oleh ilmu hitam itu. Maka Hay Hay segera mengerahkan ilmu sihirnya dan dalam sekejap mata saja dia sudah berhasil mengusir semua asap hitam dan memunahkan kekuatan sihir Kulana. Ketika melihat betapa orang yang melakukan ilmu hitam itu hampir membunuh pendeta lain yang mempunyai wajah dan tubuh yang mirip sekali, Hay Hay langsung meloncat ke depan kemudian menggunakan sulingnya untuk menangkis, sambil mengerahkan tenaga saktinya. "Keparat! Siapa engkau?!" Kulana membentak. Dari sinar mata mencorong pemuda itu dia dapat menduga bahwa kiranya pemuda inilah yang tadi sudah memunahkan kekuatan sihirnya. "Namaku Hay Hay, dan siapakah engkau? Mengapa main-main dengan sulap dan seperti sedang menghibur anak-anak saja?" "Jahanam muda! Engkau belum mengenal Kulana, ya? Kini rasakan pembalasanku!" "Amboi...! Inikah yang bernama Kulana, yang dijagokan oleh Lam-hai Giam-lo? Hemmm, ingin aku melihat pembalasan apa yang kau maksudkan, karena aku tidak berhutang apa pun padamu!" Hay Hay mengejek. Kulana sudah berkemak-kemik membaca mantera sambil pedangnya diacungkan ke atas. Tiba-tiba nampak api berkobar keluar dari pedang itu, lantas bagaikan hidup saja kobaran api itu melepaskan diri dari ujung pedang dan melayang ke arah Hay Hay, seakan-akan mengancam dan hendak membakar pemuda itu. "Hay Hay, awasss...!" Hui Lian berseru khawatir, bahkan hendak meloncat ke depan akan tetapi lengannya dipegang suaminya. "Sssttt, tenanglah, kurasa dia pasti mampu mengatasi ilmu hitam itu!" kata suaminya yang sudah menduga bahwa tentu pemuda aneh itu yang tadi sudah membuyarkan ilmu hitam yang mendatangkan asap hitam. Mendengar ucapan suaminya, Hui Lian lalu teringat akan kehebatan Hay Hay, maka dia pun diam saja, apa lagi mengingat bahwa dia dan suaminya harus menjaga sumbu bahan peledak itu secara mati-matian sehingga dia tidak boleh meninggalkan tempat itu. Dengan jantung berdebar tegang dia memandang ke arah Hay Hay yang menghadapi gumpalan api berkobar. Juga Mulana memandang dengan mata terbelalak. Dia telah bangkit berdiri dan kini menjadi penonton pertandingan aneh ini, bersama suami isteri pendekar itu. Hay Hay bersikap tenang menghadapi serangan api yang berkobar itu. Dia sadar bahwa lawannya sangat lihai, memiliki kekuatan sihir yang tidak boleh dipandang ringan, apa lagi disertai ilmu hitam yang menjadi ilmu setan. Tapi dia adalah murid Pek Mau San-jin yang merupakan ahli sihir yang jarang ditemui tandingannya, bahkan kemudian dia digembleng oleh Song Lojin sehingga ilmu silat dan ilmu sihirnya menjadi semakin kuat. Dari Pek Mau San-jin dia telah banyak mempelajari tentang ilmu hitam, bukan belajar cara penggunaannya, tetapi cara penanggulangannya, cara melumpuhkan dan mengatasinya. Kini, melihat datangnya api berkobar, bukan sekedar khayal seperti juga nampak oleh tiga orang berilmu tinggi yang menjadi saksi, dia segera mengacungkan sulingnya. "Kulana, api akan kehilangan kekuatannya jika bertemu dengan air, bukan? Nah, mari kita lihat apimu padam oleh airku!" Sungguh luar biasa, dari ujung suling itu kini memancur air seolah-olah suling itu menjadi pipa yang dialiri air. Pancaran air itu lalu jatuh menimpa kobaran api. "Cesss...!" terdengar suara disusul padamnya api yang tersiram air. Begitu api padam, air yang memancar keluar dari suling pun terhenti. Wajah Kulana menjadi merah padam. "Keparat, engkau suka air, ya? Nah, terimalah air ini secukupnya!" Dan ketika dia mengacungkan pedangnya ke atas, dari atas kini turun air yang banyak sekali, seperti dituangkan dari atas, seolah-olah di atas terdapat sungai yang kini membanjir ke bawah! Hay Hay kembali mengacungkan sulingnya ke atas, wajahnya agak pucat dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong. "Betapa pun banyaknya, air bisa dibendung dan diarahkan alirannya. Kulana!" Terdengar suara Hay Hay tenang, lantas tiba-tiba saja dari ujung sulingnya itu tercipta sebuah bendungan yang menerima air yang tumpah dari atas, dan karena bendungan itu miring ke depan, maka air yang ditampungnya mengalir turun dan menimpa ke arah Kulana sendiri! Terpaksa Kulana cepat menarik kembali ilmu sihirnya dan begitu air itu lenyap, bendungan itu pun lenyap. Kini Kulana menjadi marah bukan main, sepasang matanya menjadi jalang dan merah, mulutnya mengeluarkan buih, cuping hidungnya kembang kempis dan lubang hidungnya mengeluarkan uap putih. Kegilaan nampak pada wajahnya yang tertarik-tarik aneh itu. "Hay Hay, hari ini aku Kulana akan mengadu nyawa denganmu! Bersiaplah untuk mampus di ujung pedangku!" Sambil berkata demikian Kulana melontarkan pedangnya ke atas dan seperti bernyawa, pedang itu mendadak meluncur turun ke arah Hay Hay, mengeluarkan suara mencicit mengerikan seolah-olah dibawa oleh tangan iblis yang tidak nampak untuk menyerang pemuda itu. Hay Hay mengenal ilmu ini yang termasuk ilmu sihir pula, akan tetapi dia juga tahu bahwa pedang itu bergerak menurut kehendak hati pemiliknya, seakan-akan Kulana sendiri yang memainkannya dengan ilmu pedangnya. Dia pun segera mengerahkan tenaga batinnya dan melontarkan sulingnya ke atas. "Sulingku akan menyambut pedangmu seperti aku yang akan menyambut semua ilmumu, Kulana!" katanya dengan tenang namun penuh wibawa. Suling itu meluncur ke atas, lalu membalik, bagaikan seekor naga memandang ke arah lawan, kemudian meluncur ke depan menyambut pedang itu. Dan terjadilah 'perkelahian' yang amat menarik, aneh, hebat dan seru antara pedang dan suling. Pedang masih terus mengeluarkan suara mencicit, suling mengeluarkan suara mengaung-ngaung, dan setiap kali pedang dan suling bertemu, terdengar suara nyaring dibarengi muncratnya bunga api! Hui Lian dan Su Kiat yang menjadi penonton tentu saja memandang dengan takjub dan kagum, sedangkan Mulana juga memandang dengan kagum. Alisnya berkerut karena dia tahu bahwa kini saudara kembarnya bertemu dengan seorang lawan yang amat tangguh, baik dalam ilmu silat mau pun ilmu sihir. Hay Hay juga tidak berani main-main. Di dalam hatinya pemuda ini harus mengaku bahwa selama dia berkelana, belum pernah dia bertemu tanding yang begini tangguh, baik ilmu silat mau pun ilmu sihirnya. Selama ini baru dua kali dia bertemu tanding yang agaknya setingkat dengannya, yaitu Sim Ki Liong dan Han Lojin. Walau pun dia sendiri belum pernah bentrok secara sungguh-sungguh dengan Ki Liong, namun dia pernah melihat Sim Ki Liong melawan jagoan-jagoan Bu-tong-pai itu dan dia tahu bahwa pemuda itu sungguh lihai dan merupakan lawan berat. Demikian pula dengan Han Lojin. Walau pun dia hanya baru melakukan pibu (adu ilmu silat) dengan Han Lojin dan bukan berkelahi sungguh-sungguh, tapi dia tahu bahwa orang tua itu pun merupakan lawan yang tangguh sekali. Sekarang dia bertemu Kulana yang bukan hanya hebat ilmu silatnya, namun juga berbahaya sekali ilmu sihirnya. Pertandingan antara pedang dan suling itu berlangsung semakin seru dan kini nampaklah betapa wajah Kulana penuh dengan keringat, juga dari kepalanya yang tidak tertutup dan rambutnya terurai itu keluar uap putih yang tebal. Kulana berdiri dengan kedua tangan diangkat ke atas, kedua lengannya itu kini gemetar, kedua kakinya menggigil. Sebaliknya Hay Hay berdiri dengan tenang, kedua tangannya juga diangkat ke atas dan mulutnya tersenyum, tetapi sepasang matanya bersinar mencorong memandang ke arah pertempuran antara pedang dan sulingnya itu. Ternyata Hay Hay lebih unggul dalam adu ilmu senjata ini. Pemuda ini pernah digembleng dengan tekun oleh tiga orang sakti, tiga orang di antara Delapan Dewa, maka tentu saja dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, yang kemudian telah dimatangkan pula oleh gemblengan Song Lojin. Kulana yang keras kepala itu merasa sangat penasaran, tidak mau percaya bahwa dia akan dikalahkan oleh seorang pemuda yang tidak ternama! Dia tidak menerima keadaan, tak menyadari akan kelemahannya dan dengan nekat dia melawan terus, bahkan segera mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi kini jelas nampak oleh tiga orang penonton itu betapa gerakan pedang makin melemah, sedangkan suling itu makin mengganas. Suara suling terdengar makin nyaring mengaung-ngaung, sedangkan suara pedang yang tadi mencicit garang sekarang berubah mengecil, seperti bunyi cicit tikus yang ketakutan. Suling mendesak terus dan akhirnya, dengan hantaman yang amat kuat, pedang itu dibuat terpental oleh suling lalu pedang itu meluncur turun ke arah Kulana! "Kulana, awas...!" Mulana memperingatkan sambil meloncat ke depan. Namun terlambat! Kulana yang masih juga keras kepala itu masih berusaha untuk mengerahkan seluruh semangat dan tenaganya untuk mengirim kembali pedangnya yang seperti melarikan diri itu. Tetapi betapa pun juga dia tidak kuat dan pedangnya tetap meluncur turun, lalu tanpa dapat dielakkannya lagi, pedangnya itu menancap di dadanya sendiri! Kulana terkejut sekali, mengeluh seperti orang tidak percaya. Dengan kedua tangannya dia mencabut pedang yang lebih setengahnya menancap ke dalam dadanya. Kemudian dia menunduk, dua matanya terbelalak memandang darahnya yang mengucur dari dada hingga membasahi jubahnya yang putih, membuat jubah itu menjadi merah pada bagian dada, kemudian dia pun roboh terjengkang. "Kulana...!" Mulana menubruk saudara kembarnya, berlutut dan berusaha merangkulnya. Bagaimana pun juga mereka adalah saudara kembar, maka terdapat hubungan dan ikatan batin yang amat dekat antara mereka. Melihat Kulana kini terkapar dengan mandi darah, Mulana merasa seolah-olah dadanya sendiri yang terluka. "Mulana... kau... kau... biang keladinya...!" Dengan sisa-sisa tenaganya yang masih ada, tiba-tiba Kulana menusukkan pedangnya itu ke dada saudara kembar yang merangkulnya. Pedang menancap di dada Mulana sampai setengahnya. Mulana terbelalak, namun dia tidak melepaskan rangkulannya, bahkan dia tersenyum dan mengangguk-angguk. "Baiklah, kutemani engkau... pulang... pulang..., Kulana..." Dia pun lantas tergelimpang, jatuh di samping saudaranya, kedua lengannya masih merangkul Kulana yang juga sudah menghembuskan napas pada saat itu pula. Hay Hay berdiri dengan muka pucat. Dia menghapus peluhnya dan memandang dengan mata sayu. Hatinya merasa sedih dan terharu. Mengapa manusia harus saling bunuh? Jika di dunia ini ada kebaikan, mengapa manusia malah memilih kejahatan untuk mengisi hidupnya? Kalau ada kasih sayang, mengapa manusia saling membenci? "Hay Hay...!" Panggilan Hui Lian ini menyadarkannya. Wanita yang dulu pernah hampir menaklukkan hatinya itu sudah berdiri di hadapannya dan memegang kedua pundaknya, mengguncangnya karena Hui Lian tadi melihat Hay Hay berdiri diam dengan muka pucat seperti patung. "Enci... Enci Hui Lian..." Dia berkata dan cepat-cepat melangkah mundur, dengan lembut melepaskan diri dari rangkulan Hui Lian ketika dia melihat pendekar lengan kiri buntung, suami wanita itu berdiri di situ. "Lihat, di bawah masih terjadi pertempuran, sebaiknya kita membantu ke sana," kata Su Kiat yang dapat merasakan kecanggungan yang diperlihatkan Hay Hay. Diam-diam Su Kiat merasa kagum sekali terhadap Hay Hay. Pemuda itu memang hebat, dan seorang pemuda seperti itu memang patut mendapatkan kasih sayang dari Hui Lian. Seorang pemuda yang tampan, mempunyai ilmu kepandaian yang sangat tinggi, sikapnya sederhana dan gembira, namun harus diakuinya bahwa Hay Hay memang memiliki watak yang agak mata keranjang terhadap wanita. "Akan tetapi kita harus menjaga sumbu itu...," kata Hui Lian yang sudah bisa memulihkan ketenangannya setelah tadi diliputi keharuan dan kebanggaan terhadap Hay Hay. "Kita dapat menarik sumbu ini sampai putus di bawah sana sehingga takkan dapat disulut orang lagi," kata Su Kiat dan dia lalu memegang ujung sumbu itu dan menariknya. Sumbu itu sangat panjang menuju ke bawah, ke tempat bahan peledak ditanam. Sambil mengerahkan tenaga, sekali tarik sumbu itu pun putus di sekitar timbunan bahan peledak. "Nah, sekarang kita boleh meninggalkan tempat ini dengan aman," kata Su Kiat dan dia pun berlari menuruni bukit itu, diikuti oleh Hui Lian dan Hay Hay. Pertempuran di bawah memang masih terjadi dengan serunya, dan Hay Hay ingin segera mencari Ki Liong untuk diminta pertanggungan jawabnya tentang diri Pek Eng. Sementara itu di bagian lain, di bawah dekat jalan terusan di mana terjadi pertempuran pula, kita kembali melihat perkelahian yang amat seru antara Pek Han Siong dan Bi Lian yang menghadapi dua pasang suami isteri iblis yang lihai. Han Siong dikeroyok oleh Lam-hai Siang-mo, yaitu suami isteri Siang-koan Leng dan Ma Kim Li yang keduanya merupakan tokoh sesat yang amat lihai dan kejam. Namun sekali ini mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai. Han Siong menghadapi dua orang lawan yang berpedang itu dengan tangan kosong saja karena tadi dia sudah menyerahkan pedang Kwan-im-kiam kepada Bi Lian. Meski pun hanya bertangan kosong, dia sama sekali tidak terdesak, bahkan tamparan-tamparannya yang mengandung tenaga sinkang hebat sekali itu membuat Lam-hai Siang-mo sangat kewalahan dan beberapa kali nampak mereka itu terhuyung seperti dilanda angin badai yang kuat. Keadaan suami isteri dari Goa Iblis Pantai Selatan, yaitu Kwee Siong dan Tiong Ci Ki, ternyata juga sama saja. Mereka berdua menggunakan pedang menghadapi Bi Lian yang sudah menerima pedang dari Han Siong. Ketika mereka terjun ke dalam pertempuran dan dihadapi dua pasang suami isteri, Han Siong merasa khawatir akan keselamatan Bi Lian, maka dia segera mengambil pedang Kwan-im-kiam yang diterima dari kedua orang gurunya, melemparkannya kepada Bi Lian sambil berkata. "Sumoi, kau pergunakan pedang ini!" Bi Lian menyambut pedang itu dan ketika mencabutnya, dia merasa girang sekali melihat bahwa senjata itu merupakan sebuah pedang pusaka yang sangat indah, ringan dan juga ampuh, mengeluarkan sinar berkilauan. Dengan pedang Kwan-im-kiam di tangan, dengan tenang dan tanpa harus mengeluarkan terlalu banyak tenaga, Bi Lian lantas menghadapi pengeroyokan suami isteri itu. Akan tetapi gadis ini mengalami suatu keanehan saat dia memainkan pedang itu. Pedang di tangannya itu merupakan senjata yang amat baik untuk melindungi diri, bahkan pedang itu seperti mengeluarkan hawa yang sangat kuat setiap kali dipergunakan untuk bertahan. Akan tetapi setiap kali dipakai untuk menyerang, pedang itu terasa berat dan gerakannya lamban, seolah-olah pedang itu tidak suka dipakai untuk menyerang manusia! Bi Lian merupakan murid terkasih dari dua orang datuk sesat, maka tentu saja dia sudah digembleng dengan berbagai ilmu yang jahat dan kejam oleh Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Akan tetapi karena di dalam darahnya mengalir darah pendekar maka dia tidak suka, bahkan selalu menentang perbuatan jahat dan kejam. Ketika melihat betapa dua orang suami lsteri itu tidak berdaya menghadapi gulungan sinar pedang yang diputarnya, Bi Lian lalu mulai melakukan serangan dengan tangan kirinya. "Tranggg...!" Bi Lian mengerahkan sinkang-nya ketika menangkis pedang Tong Ci Ki yang menusuk dadanya. Tangkisan itu demikian kuatnya hingga Tong Ci Ki mengeluarkan suara jeritan halus. Pedangnya hampir terlepas dari pegangannya dan tubuhnya terhuyung. Pada saat terhuyung ini, tangan kirinya bergerak dan sinar halus hitam menyambar ke arah Bi Lian! Gadis ini maklum bahwa lawan telah menggunakan senjata rahasia. Jarum-jarum beracun memang menjadi keistimewaan Tong Ci Ki hingga wanita ini mendapat julukan Si Jarum sakti. Akan tetapi, sebagai murid dua orang datuk sesat, tentu saja Bi Lian mengenal baik segala macam serangan gelap dan curang. Tubuhnya telah melayang ke atas, kemudian dengan kemarahan meluap tangan kirinya menyambar ke arah kepala Tong Ci Ki. Wanita ini terkejut, cepat mengelak mundur, akan tetapi tangan kiri Bi Lian itu dapat mulur dan mengejar terus. Hal ini tentu saja sama sekali tidak pernah disangka oleh Tong Ci Ki sehingga dia terkejut sekali dan tanpa dapat dihindarkannya lagi, tangan kiri Bi Lian yang kini mengeluarkan uap putih itu telah mengenai pelipisnya. "Plakkk!" Tubuh Tong Ci Ki terpelanting dan wanita itu mengeluarkan jerit kecil, lalu terkulai lemas dan tewas seketika! Melihat isterinya roboh, Kwee Siong marah bukan main. Sambil mengeluarkan gerengan laksana seekor harimau terluka, dia menyerang dengan pedangnya, membarengi dengan hantaman tangan kirinya. Serangan ini ganas sekali karena tangan kiri Kwee Siong tidak kalah ampuh dibandingkan pedang pada tangan kanannya. Dia berjuluk Si Tangan Maut karena kehebatan tangan kirinya itu. Tetapi sambil membalik tubuhnya Bi Lian menghadapi serangan dahsyat itu dengan pekik melengking yang amat hebat. Itulah ilmu Ho-kang, gerengan atau pekik melengking yang mengandung tenaga khikang hebat, yang dipelajari dari Tung Hek Kwi. Mendengar pekik yang amat hebat ini seketika Kwee Siong menjadi seperti lumpuh, kaki tangannya seperti kaku sehingga tak dapat digerakkan. Sebelum dia sempat memulihkan keadaannya, karena jantungnya tergetar hebat oleh pekikan itu, tangan kiri Bi Lian sudah menampar. "Takkk...!" Jari-jari tangan mungil dari tangan Bi Lian menyambar ke arah tengkuk, lantas robohlah Kwee Siong, tak dapat bangkit kembali karena nyawanya telah menyusul nyawa isterinya. "Sumoi, mengapa engkau tidak mempergunakan pedang itu? Pedang itu kuterima dari Subo..." Bi Lian membalik menghadapi suheng-nya, dan dia melihat bahwa Han Siong juga sudah merobohkan Lam-hai Siang-mo. Tidak terlalu sulit bagi Han Siong untuk merobohkan dua orang pengeroyoknya itu karena tingkat kepandaian mereka jauh di bawah tingkatnya. Dia merobohkan Siangkoan Leng dengan cara menyentil pedang di tangan Siangkoan Leng sehingga membalik dan menusuk tenggorokan pemegangnya sendiri, sedangkan Ma Kim Li dirobohkannya dengan totokan maut yang mengenai pangkal leher kiri. Tadi Han Siong sempat menyaksikan ketika Bi Lian merobohkan dua orang suami isteri itu, maka dia merasa heran dan bertanya mengapa gadis itu tidak menggunakan pedang untuk merobohkan mereka. Bi Lian tersenyum, "Sayang kalau pedang ini dikotori dengan darah mereka, Suheng. Nih, kukembalikan pedangmu dan terima kasih." Han Siong lalu menerima kembali pedang itu, pedang yang menjadi tanda ikatan jodoh antara dia dengan gadis itu. "Heiii, lihat siapa di sana itu...!" Tiba-tiba Bi Lian menunjuk ke depan. Han Siong cepat menengok dan dia melihat seorang gadis mengamuk di antara pasukan pemberontak. Seorang gadis yang masih muda sekali, antara tujuh belas sampai delapan belas tahun, tinggi ramping dengan wajah manis. Gerakan gadis itu lincah dan Han Siong melihat bahwa tingkat kepandaian silat gadis itu biasa saja, namun sudah cukup tangguh untuk merobohkan anggota-anggota pasukan pemberontak. Dara yang tadinya bertangan kosong itu dapat merampas sebuah golok dan kini ia mengamuk dengan golok rampasan itu. "Siapakah dia?" Han Siong bertanya, tidak begitu tertarik, bertanya hanya karena Bi Lian menunjukkan gadis itu kepadanya. "Dia adalah gadis yang kau cari-cari, Pek Eng adikmu, Suheng." "Ahh ...!" Mendengar ini Han Siong langsung melompat, kemudian dengan tendangan-tendangannya dia merobohkan beberapa orang anggota pemberontak yang mengeroyok Pek Eng, diikuti oleh Bi Lian yang tersenyum melihat ulah suheng-nya itu. "Enci Bi Lian...!" Pek Eng berseru girang ketika melihat Bi Lian dan dia menoleh kepada Han Siong, lalu mengangguk. "Terima kasih atas bantuan kalian." "Eng-moi, tahukah engkau siapa adanya dia ini? Dia adalah kakakmu yang bernama Pek Han Siong!" Wajah Pek Eng berubah, dua matanya terbelalak dan dia memandang kepada Han Siong yang sebaliknya juga memandang adiknya dengan mata mengandung keharuan. "Adik Eng...!" "Kakak Han Siong..., kakakku...!" Pek Eng lari maju dan menubruk kakaknya yang cepat merangkulnya dan tiba-tiba Pek Eng menangis tersedu-sedu di atas dada kakaknya yang sudah banyak didengarnya namun yang selamanya belum pernah ditemuinya itu. Bahkan ketika dia terlahir, kakaknya sudah tidak berada di rumah orang tuanya. Melihat pertemuan yang sangat mengharukan itu, Bi Lian sengaja menjauhkan diri lantas melanjutkan amukannya di antara pasukan pemberontak karena pertempuran masih terus berlangsung dengan amat serunya. Sementara itu diam-diam Han Siong terkejut dan agak kecewa. Kenapa adik kandungnya ini ternyata seorang gadis yang cengeng? Memang pertemuan di antara mereka itu amat menyentuh perasaan dan mengharukan, akan tetapi bukankah mereka berada di tengah pertempuran dan tadi adiknya ini terlihat demikian gagah menghadapi pengeroyokan para pemberontak? Kenapa tiba-tiba menjadi begini cengeng setelah bertemu dengan dia? Akan tetapi dia pun merasa khawatir saat memperhatikan adik kandungnya itu. Bukankah menurut keterangan ayah ibunya, Pek Eng merupakan seorang gadis yang cerdik, berani dan tabah ? Dan kini tangisnya begitu menyedihkan, seolah-olah ada sesuatu yang amat mengganggu perasaan gadis ini, maka dia merangkulnya lebih erat untuk menghiburnya. "Tenangkan hatimu, adikku. Kenapa engkau menangis begini sedih? Bukankah pertemuan antara kita ini sangat menggembirakan? Tahukah engkau betapa aku sudah mencarimu sampai beberapa lamanya? Aku mendengar tentang engkau dari Sumoi Bi Lian. Kenapa engkau seperti orang berduka, adikku?" Mendengar kata-kata itu, tangis Pek Eng makin menjadi-jadi! Dia kini sesenggukan dan Han Siong merasa betapa dadanya basah akibat air mata adiknya itu menembus bajunya. Ahh, tentu ada sesuatu yang menghancurkan hati adiknya, pikir Han Siong khawatir. "Katakanlah saja kepada kakakmu ini, adikku. Apakah yang telah terjadi? Siapakah yang telah membuatmu begini berduka?" Mendengar pertanyaan itu, Pek Eng langsung mengangkat mukanya memandang kepada wajah kakaknya penuh harap. "Koko, apakah engkau sayang kepadaku? Apakah engkau kasihan kepadaku?" Hampir saja Han Siong tertawa mendengar ini. Mendadak dia menggerakkan kaki kirinya dan seorang prajurit pemberontak segera terlempar jauh. Tadi prajurit itu agaknya hendak mempergunakan kesempatan untuk menyerang dengan goloknya selagi kakak beradik itu lengah. "Tentu saja aku sayang dan kasihan kepadamu, adikku." "Dan engkau mau memaafkan kalau aku membuat kesalahan?" "Tentu, tentu saja..." "Koko, aku... aku telah dicemarkan orang..." Han Siong terkejut sekali, bagaikan disambar halilintar. Dia memegang pundak adiknya dengan dua tangannya dan mendorongnya untuk dapat melihat wajah adiknya lebih jelas. "Kau... telah diperkosa orang?" Pek Eng menggelengkan kepala. " Aku... aku menyerahkan diri dengan suka rela, Koko, aku... aku terlampau lemah dan aku... aku cinta padanya. Akan tetapi dia... dia... ahhh..." Gadis itu menangis lagi. "Dia mengapa? Dia siapa? Katakanlah, adikku!" kata Han Siong dengan hati tidak enak. "Dia... mengingkarinya, Koko. Dia tak mau bertanggung jawab, bahkan dia menyangkal!" Kini Pek Eng tak menangis lagi, akan tetapi mengepal tinju dengan marah. "Bantulah aku, Koko, untuk menyadarkannya, atau kalau dia tetap menyangkal, untuk membunuhya!" Han Siong mengerutkan alisnya. "Sungguh aku tak mengerti, adikku. Bagaimana mungkin dia mengingkarinya, menyangkal kalau memang benar dia telah melakukannya?" Dengan singkat Pek Eng lalu menceritakan peristiwa malam itu di dalam pondok taman yang sunyi, betapa pemuda itu sudah menggaulinya, akan tetapi kemudian melarikan diri dan menyangkal perbuatan itu. "Siapa dia?" Han Siong bertanya marah. "Dia Hay-ko..." "Hay...? Maksudmu, Hay Hay yang menjadi penggantiku di keluarga orang tua kita itu?" "Benar, Koko, dialah orangnya. Temuilah dia, Koko. Hanya ada dua pilihan baginya, mau memperisteriku dengan baik-baik atau dia harus mati di tanganku." "Di mana dia?" "Aku tidak tahu, Koko, aku pun sedang mencarinya. Mungkin sekarang dia berada pula di dalam medan pertempuran ini." "Hayo kita cari dia!" kata Han Siong dan mereka pun segera pergi, mencari Hay Hay. *************** Bi Lian meninggalkan Han Siong, mulai mencari sendiri musuh-musuhnya, yaitu Lam-hai Giam-lo dan Kulana. Dara ini masih merasa sakit hati terhadap kedua orang itu karena kematian kedua orang gurunya. Dan tak lama kemudian, dia melihat Lam-hai Giam-lo! Kakek ini sedang mengamuk dan pada punggungnya terdapat sebuah gendongan kain. Mudah saja diduga bahwa kakek ini agaknya telah siap untuk melarikan diri, dan di dalam gendongannya itu terdapat batangan emas yang diterimanya dari Kulana. Para prajurit kerajaan yang melihat kakek ini segera mengepung, akan tetapi mereka ini bagaikan sekawanan nyamuk yang menyambar api saja. Lam-hai Giam-lo terlampau lihai sehingga setiap orang prajurit yang berani mendekat langsung roboh oleh tamparan atau tendangannya. Bahkan beberapa orang pendekar anggota Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan Kong-thong-pai roboh pula menjadi korban kelihaian pemimpin pemberontak itu. Melihat Lam-hai Giam-lo, Bi Lian yang tadinya telah khawatir kalau-kalau musuh besarnya ini sudah melarikan diri, segera menghampiri dengan cepat sambil membentak, "Lam-hai Giam-lo, iblis busuk! Bersiaplah untuk menebus nyawa kedua orang guruku!" Setelah mengeluarkan bentakan, Bi Lian sudah menerjang maju dan menyerang dengan ganasnya karena gadis ini maklum akan kelihaian lawan, maka begitu menyerangnya dia sudah mengerahkan tenaga sekuatnya. Lam-hai Giam-lo juga mengenal Bi Lian. Dia pun maklum bahwa sebagai murid paman gurunya, Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, tentu gadis itu berbahaya sekali, maka dia pun menyambut serangan itu dengan sepenuh tenaganya, menangkis dengan tangan kiri ke arah lengan kanan Bi Lian yang mencengkeram ke arah lambungnya, sedangkan tangan kanannya sudah menampar dari atas mengarah ubun-ubun kepala Bi Lian. "Ciuuuttt...!" Bi Lian sudah melompat ke samping sehingga hantaman maut itu hanya lewat di samping kepalanya. Bi Lian segera membalas dengan tusukan jari-jari tangan kanannya ke arah dada lawan. Lam-hai Giam-lo tidak berani memandang ringan jari-jari tangan mungil ini karena tangan mungil itu sudah diisi dengan tenaga sinkang yang membuat tangan itu dapat tajam seperti golok sehingga jika mengenai sasaran, dapat menembus kekebalan, merobek kulit daging dan mematahkan tulang. "Dukkk!" Lam-hai Giam-lo menangkis dari samping dan ketika kedua lengan bertemu, tubuh Bi Lian langsung terdorong mundur sedangkan tubuh Lam-hai Giam-lo hanya tergetar saja. Hal ini membuktikan bahwa dalam hal kekuatan tenaga sinkang, pemimpin pemberontak itu masih lebih kuat dibandingkan adik misan seperguruannya. Terjadilah serang menyerang yang sengit antara kedua orang ini. Para pendekar lain yang merasa bahwa tingkat kepandaian mereka masih belum mampu menandingi Lam-hai Glam-lo dan maklum bahwa kalau mereka maju berarti hanya akan mengantar nyawa, segera menonton dari jarak jauh. Perkelahian antara dua orang itu makin lama semakin seru dan akhirnya Bi Lian mulai terdesak juga. Bi Lian maklum akan ketangguhan lawan, maka dia mulai melirik ke sana-sini menunggu kemunculan Pek Han Siong untuk mengharapkan bantuan pemuda itu. Akan tetapi yang muncul bukan Han Siong, melainkan dua orang yang amat ditakuti oleh Lam-hai Giam-lo. Mereka adalah suami isteri Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian! "Lam-hai Giam-lo, bersiaplah untuk mampus!" terdengar Hui Lian membentak nyaring dan begitu dia menyerang, nampak sinar terang menyambar ke arah leher Lam-hai Giam-lo. "Singggg...!" Pedang itu berhasil dielakkan oleh Lam-hai Giam-lo yang membuang diri ke belakang. "Wuuuttt...!" Angin dingin menyambar dari arah lain dan Lam-hai Giam-lo kembali harus melempar diri ke samping untuk menghindarkan diri dari sambaran ujung lengan baju kiri milik Su Kiat yang tidak kalah berbahayanya dibandingkan pedang Kiok-hwa-kiam di tangan isterinya itu....



PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 40 :
KETIKA Lam-hai Giam-lo mengangkat muka memandang dan mengenal suami isteri yang amat ditakuti itu, wajahnya berubah pucat. Sudah beberapa kali dia harus menyelamatkan diri dari suami lsteri ini, bahkan dia sampai melarikan diri dan menyamar sebagai seorang hwesio di kuil Siauw-lim-pai saking takutnya dikejar-kejar suami isteri ini. Tak diduganya bahwa perbuatan yang iseng dan jahat di waktu yang lalu mengakibatkan munculnya dua orang musuh yang luar biasa tangguhnya ini. Kini dua orang musuh besar ini muncul kembali sebagai pembantu pasukan pemerintah, pada waktu anak buahnya sudah mulai tersudut dan terhimpit. Dia mulai mencari jalan keluar untuk melarikan diri, akan tetapi ketika membalik, di sana telah ada Bi Lian yang siap menerjangnya! Celaka, pikirnya, menghadapi Bi Lian seorang saja dia masih belum mampu mengalahkannya, apa lagi dengan munculnya suami isteri yang ditakutinya itu. Pasukannya menghadapi kehancuran, ada pun pembantu-pembantunya tidak tampak ada yang muncul, bahkan dia tidak melihat adanya Kulana dan Sim Ki Liong yang diandalkan, yang entah berada di mana. Karena tidak metihat jalan keluar, Lam-hai Giam-lo menjadi nekat. "Baik, aku akan mengadu nyawa dengan kalian!" bentaknya dengan suaranya yang parau seperti ringkik kuda. Tubuhnya lalu berputar-putar dan dia mulai memainkan ilmu silat yang dia andalkan, yaitu ilmu silat dengan tubuh berputaran. Di dalam putaran tubuhnya ini terkandung kekuatan seperti angin puyuh yang berpusing, bahkan nampak daun kering dan debu ikut berpusing di sekeliling tubuhnya disertai angin menyambar-nyambar di sekitarnya! Hebat bukan main ilmu dari Lam-hai Giam-lo ini sehingga beberapa orang pendekar dan banyak anak buah pasukan pemerintah tidak ada yang berani mendekat, membiarkan tiga orang perkasa itu menghadapi pemimpin pemberontak yang amat sakti itu. Su Kiat dan Hui Lian tidak mengenal Bi Lian, akan tetapi mereka berdua merasa kagum sekali. Dara yang cantik jelita itu, yang usianya belum menginjak dua puluh tahun, berani menghadapi Lam-hai Giam-lo seorang diri saja tanpa senjata, bahkan mampu menandingi iblis itu sehingga terjadi perkelahian yang seru. Padahal Lam-hai Giam-lo adalah seorang datuk sesat yang amat berbahaya! Sementara itu Bi Lian juga memperhatikan dengan heran saat melihat munculnya seorang laki-laki berlengan kiri buntung bersama seorang wanita yang cantik dan mereka berdua itu langsung menyerang Lam-hai Giam-lo dengan dahsyatnya, bahkan membuat Lam-hai Giam-lo kelihatan seperti orang ketakutan. Akan tetapi gadis ini maklum bahwa mereka berdua itu adalah kawan-kawan, setidaknya juga membantu pasukan pemerintah, maka tanpa banyak cakap lagi dia pun siap bekerja sama dengan mereka untuk membasmi manusia jahat macam Lam-hai Giam-lo. Tanpa mengucapkan sepatah pun kata, ketiga orang ini sudah membentuk Sha-kak-tin (Barisan Segitiga) mengepung Lam-hai Giam-lo yang berputaran seperti gasing itu! Bi Lian sudah mengerahkan tenaga sinkang, disalurkan melalui kedua lengannya dan dia memainkan ilmu silat gabungan dari Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, ilmu silat yang aneh gerak-geriknya. Kedua telapak tangannya mengeluarkan uap putih, lengannya bisa mulur dan memendek seperti karet, tubuhnya dengan ringan dan cekatan dapat berlompatan ke sana-sini dan kadang-kadang tangannya mencuat ke depan seakan hendak menembus tubuh yang berpusing itu. Dengan lengan kiri buntung yang kini digantikan oleh ujung lengan baju yang dapat dibuat lemas dan kadang kala keras seperti besi, Ciang Su Kiat memainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun yang cepatnya bukan main. Ilmu silat tangan kosong Sian-eng Sin-kun (Pukulan Sakti Bayangan Dewa) ini merupakan peninggalan dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara delapan orang sakti yang dikenal dengan julukan Delapan Dewa. Dengan ilmu silat ini tubuhnya seperti dapat terbang saja, atau bahkan saking cepatnya gerakannya, bagi pandang mata biasa yang nampak hanyalah bayangan saja dan setiap kali menyerang, baik dengan ujung lengan bajunya yang kiri atau pun tangan kanannya, maka serangan itu merupakan serangan maut yang amat berbahaya bagi lawan. Kok Hui Lian juga mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya untuk menghadapi Lam-hai Giam-lo yang lihai. Dia langsung memainkan In-liong Kiam-sut dengan pedang Kiok-hwa-kiam. In-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan) adalah ciptaan mendiang In Liong Nio-nio, juga salah seorang di antara Delapan Dewa. Gerakannya sangat tangkas dan gagah, tepat seperti nama ilmu itu sendiri, seakan-akan seekor naga sedang melayang-layang di angkasa. Gulungan sinar pedang itu membentuk lingkaran lebar dan dari dalamnya menyambar-nyambar sinar pedang yang dahsyat. Menghadapi tiga orang yang memiliki ilmu silat tinggi itu, Lam-hai Giam-lo menjadi repot bukan main. Lawan lain tentu akan menjadi gentar menghadapi ilmunya itu, akan tetapi tiga orang ini mempunyai tingkat yang mampu menandinginya, maka tentu saja dia tidak mendapatkan banyak kesempatan untuk menyerang mereka. Dalam keadaan berpusing itu dia hanya mampu mempertahankan diri untuk menangkis atau bersembunyi di dalam pusingan tubuhnya yang sukar dijadikan sasaran serangan itu. "Singgg...! Singgg...!" Gulungan sinar pedang Kiok-hwa-kiam mengeluarkan cahaya mencuat dua kali, pertama menyarnbar ke arah leher, kemudian seperti meluncur turun dan menyambar ke arah kaki dari tubuh Lam-hai Giam-lo yang berpusing. Lam-hai Giam-lo mampu menghindarkan diri dengan dua kali elakan, akan tetapi pada saat itu pula tangan Bi Lian yang mulur sudah mencengkeram ke arah lehernya. "Dukkk!" Dia menangkis dan benturan kedua lengan membuat tubuhnya tergetar walau pun Bi Lian juga terhuyung. Getaran tubuh ini menghentikan pusingan tubuh Lam-hai Giam-lo. Pada saat itu pula ujung lengan baju yang menjadi lemas seperti cambuk telah melecut ke arah matanya, dan ketika Lam-hai Giam-lo menarik tubuhnya ke belakang, ujung lengan baju itu sudah berubah kaku dan kini menotok ke arah pinggang. Totokan maut ini nyaris saja mengenai pinggangnya. Lam-hai Giam-lo cepat membuang dirinya ke samping kemudian bergulingan. Sinar pedang menyambar-nyambar mengejar tubuh yang bergulingan itu. Dalam keadaan terhimpit itu Lam-hai Giam-lo mencengkeram tanah, kemudian sekali menggerakkan dua tangannya, ada pasir dan tanah menyambar ke arah mata ketiga orang pengeroyoknya! Kakek ini memang hebat! Akan tetapi yang dihadapinya juga merupakan tiga orang lawan yang amat tangguh, yang tidak mudah digertak dengan senjata rahasia seperti itu. Hanya dengan memiringkan kepala, tiga orang itu dapat menghindarkan diri dari sambaran pasir dan tanah itu tanpa harus menghentikan pengejaran mereka terhadap tubuh yang masih bergulingan itu. "Singggg...!" Sinar pedang Kiok-hwa-kiam menyambar ke arah leher Lam-hai Giam-lo yang sudah tidak memiliki kesempatan untuk mengelak lagi. Terpaksa dia menangkis dengan lengan kirinya ke arah sinar pedang berkilauan itu. "Crokkk!" Pedang tertahan dan tidak mengenai leher, akan tetapi lengan Lam-hai Giam-lo terbabat buntung sebatas siku. Lam-hai Giam-lo sama sekali tidak mengeluarkan teriakan walau pun lengan kirinya telah buntung. Dengan tangan kanan dia cepat menotok jalan darah pada pangkal lengannya untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar, kemudian tubuhnya membalik ke arah Hui Lian dan dengan marah disertai kenekatan, Lam-hai Giam-lo lalu menubruk dengan serangan tangan kanan yang ampuh. Orang ini memang memiliki daya tahan yang kuat sekali sehingga dalam keadaan terluka parah itu serangannya bahkan lebih dahsyat dari pada tadi. Hui Lian terkejut, cepat mengelebatkan pedangnya namun pedang itu dapat ditampar dari samping oleh tangan kanan Lam-hai Giam-lo sehingga hampir terlepas, dan seperti cakar setan tangan itu sudah menyambar ke arah dada Hui Lian! Keadaan wanita itu sungguh kritis dan berbahaya sekali. Akan tetapi suaminya, Ciang Su Kiat, sudah siap siaga dan melihat bahaya mengancam isterinya, dia pun menubruk ke depan lalu menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala Lam-hai Giam-lo. "Plakkk!" Tubuh Lam-hai Giam-lo terpelanting keras dan roboh tak mampu bergerak lagi. Tewaslah Lam-hai Giam-lo, datuk sesat yang mempunyai ambisi besar itu. Setelah Lam-hai Giam-lo tewas, Hui Lian, Su Kiat dan Bi Lian saling berpencaran lagi, masing-masing melanjutkan amukan mereka untuk membantu pasukan pemerintah yang kini mulai berhasil mendesak pasukan pemberontak yang sudah kehilangan banyak pemimpin itu. Sementara itu, Can Sun Hok yang berkelahi melawan Kim San Ketua Kui-kok-pang juga sudah berhasil merobohkan lawan itu dengan sulingnya yang lihai, kemudian membantu Ling Ling yang masih mengamuk dikeroyok oleh belasan orang anak buah Kui-kok-pang. Mereka berdua mengamuk dan biar pun anak buah Kui-kok-pang berdatangan membantu teman-teman mereka, tetapi satu demi satu mereka roboh dan tewas di tangan sepasang orang muda perkasa ini. Kui Hong yang bersama belasan anak buahnya menjaga di atas tebing sebelah kiri telah melihat betapa tebing di seberang sudah dikuasai pula oleh pihak pasukan pemerintah, bahkan kini ditinggalkan sesudah tadi dia melihat betapa pendekar lengan buntung Ciang Su Kiat menarik putus sumbu panjang itu. Melihat ini, Kui Hong juga meniru perbuatan Su Kiat. Dia kemudian menarik sumbu panjang yang menjulur ke bawah dari puncak tebing itu dan mempergunakan tenaga menyentak sehingga sumbu itu putus pula dekat tempat pemasangan bahan peledak. "Kalian berjaga di sini saja, aku mau turun membantu pertempuran di bawah," pesannya kepada para prajurit, dan dia pun berlari turun dengan cepatnya. Selagi dia berloncatan menuruni tebing itu, dia melihat seorang wanita cantik berpakaian merah bergegas hendak melarikan diri, tersaruk-saruk di tebing. Kui Hong belum pernah melihat wanita ini, akan tetapi dia pernah mendengar dari Hay Hay mengenai datuk-datuk sesat yang membantu pemberontakan, di antaranya terdapat orang-orang lihai seperti Ji Sun Bi, Min-san Mo-ko dan orang-orang Pek-lian-kauw. Sesudah melihat keadaan wanita itu, dia segera menduga bahwa agaknya wanita itulah yang berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun) dan bernama Ji Sun Bi itu. Maka cepat dia menghadang. Setelah wanita itu tiba di depannya, dia lalu menudingkan telunjuk kanannya dan membentak. "Heii! Bukankah engkau ini Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi?!" Pertanyaan ini dikeluarkan secara tiba-tiba dengan bentakan sehingga wanita itu terkejut dan marah, tak sempat berpikir panjang lagi lalu balas membentak. "Kalau benar, kenapa engkau tidak lekas berlutut agar aku tidak membunuhmu?!" Wanita itu memang Ji Sun Bi. Melihat betapa Min-san Mo-ko yang menjadi gurunya dan juga kekasihnya itu tewas, demikian pula banyak kawan yang membantu Lam-hai Giam-lo roboh dan tewas, Ji Sun Bi pun merasa kecil hati dan ketakutan. Seperti juga para datuk sesat, orang seperti dia memang tak memiliki kesetiaan. Segala sepak terjangnya dalam hidup hanya mempunyai satu dasar, yaitu ingin menyenangkan dan menguntungkan diri sendiri belaka. Seperti yang lain, apa bila dia membantu Lam-hai Giam-lo adalah karena mereka itu melihat kemungkinan untuk memperoleh kemuliaan kalau gerakan itu menang. Kini, melihat betapa gerakan pemberontakan itu terancam kehancuran di kandang sendiri sebelum sempat bergerak keluar, Ji Sun Bi cepat mengumpulkan barang-barang berharga lantas diam-diam dia meninggalkan medan pertempuran. Tidak ada jalan lari melalui jalan terusan, juga tidak mungkin ke belakang lembah karena di sana pun sudah penuh dengan pasukan pemerintah. Maka jalan satu-satunya hanyalah mencoba untuk menyelamatkan diri lewat tebing di kanan kiri jalan terusan. Dia memilih tebing kiri, tidak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan seorang gadis cantik yang mengenalinya dan bertanya tanpa sopan santun sama sekali. Maka dia pun menjadi marah, apa lagi gadis itu hanya seorang diri dan tentu saja Ji Sun Bi memandang rendah gadis itu. Hal ini tidaklah aneh mengingat bahwa Ji Sun Bi adalah seorang datuk sesat wanita yang berilmu tinggi dan jarang menemukan tanding. Kui Hong adalah seorang gadis yang galak dan berandalan, gagah dan tidak kenal takut, bahkan masih dapat tersenyum manis dalam keadaan mendongkol melihat keangkuhan Ji Sun Bi. Pada dasarnya, Kui Hong memiliki watak jenaka, hanya kadang-kadang watak itu tertutup oleh kegalakan dan keberandalannya. "Wah, kalau engkau berjuluk Iblis Betina Berhati Racun, maka sebentar lagi engkau harus mengubah julukanmu itu menjadi Mayat Iblis Tak Berjantung karena engkau akan mati di tanganku. Aku adalah Cia Kui Hong dan julukanku adalah Hok-mo Sian-li (Dewi Penakluk Iblis)!" Tentu saja julukan ini hanya buatan Kui Hong saja untuk menggoda orang. Wanita itu berjuluk Iblis maka dia sengaja memakai julukan Penakluk Iblis! "Srattttt...!" Nampak dua sinar berkelebat saat Ji Sun Bi mencabut keluar senjatanya, yaitu sepasang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Dengan pedang kiri diangkat di atas kepala dan pedang kanan menodong ke arah Kui Hong, Ji Sun Bi mengeluarkan bentakan nyaring. "Bocah lancang, akan kupotong lidahmu!" Akan tetapi terdengar suara berdesing dan kini tahu-tahu di kedua tangan Kui Hong telah terlihat masing-masing sebatang pedang. Kiranya dara itu telah mencabut keluar Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang berwarna hitam, pedang pemberian neneknya, yaitu Toan Kim Hong di Pulau Teratai Merah. Melihat sepasang pedang berwarna hitam yang mengeluarkan sinar menyeramkan itu, Ji Sun Bi terkejut sekali. Akan tetapi dia tidak mengenal pedang itu dan masih memandang ringan. "Keparat, makanlah pedangku!" bentak Ji Sun Bi saat melihat Kui Hong sambil tersenyum mengejek melintangkan pedangnya di depan muka. Dia membacok dengan pedang kanan sedangkan pedang kirinya meluncur ke arah perut Kui Hong. "Heiiittt... ihhhh...!" Kui Hong berseru lantas dua batang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar hitam. "Cringgg...! Tranggg...!" Kini terkejutlah Ji Sun Bi sebab dia merasa betapa kedua tangannya tergetar keras ketika sepasang pedangnya ditangkis dengan cepat oleh lawannya. Ji Sun Bi boleh jadi memiliki watak yang angkuh dan sombong, akan tetapi dia cukup cerdik dan benturan dua pasang senjata itu memberi tahu kepadanya bahwa biar pun masih muda, ternyata lawannya ini mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan tenaga kuat sehingga tak boleh dipandang ringan sama sekali. Maka tanpa banyak cakap lagi dia telah menyerang dengan ganas, mengeluarkan semua ilmunya yang paling diandalkan. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar laksana dua ekor naga mencari mangsa. Namun yang dihadapinya adalah Cia Kui Hong yang ilmu pedangnya amat hebat, apa lagi sesudah dia menerima gemblengan dari kakek dan neneknya, yaitu Pendekar Sadis dan isterinya di Pulau Teratai Merah. Dengan lincahnya Kui Hong memainkan Ilmu Pedang Hok-mo Siang-kiam yang telah disempurnakan oleh gemblengan neneknya. Di samping menerima gemblengan ilmu-ilmu silat yang telah dikuasainya dari latihan yang diberikan oleh ayah ibunya, juga ilmu ginkang Kui Hong sudah diperdalam oleh kakek dan neneknya sehingga kini dia dapat bergerak sangat lincah dan ringannya. Bagaikan seekor burung walet saja tubuhnya berkelebatan di seputar lawannya, membuat Ji Sun Bi makin kaget dan khawatir. Tingkat kepandaian Kui Hong agaknya akan seimbang dengan tingkat kepandaian Ji Sun Bi sebelum dia digembleng oleh kakek dan neneknya. Akan tetapi kini dia menang jauh, terutama sekali dalam hal sinkang dan ginkang. Tenaga saktinya lebih kuat dan dia pun memiliki gerakan yang lebih ringan, lincah dan cepat sehingga lewat tiga puluh jurus saja, Ji Sun Bi mulai terdesak dan kewalahan. "Hyaaaattttt...!" Tiba-tiba Ji Sun Bi mengeluarkan lengking panjang dan kedua pedangnya diputar sedemikian rupa hingga tubuhnya tergulung oleh sinar pedangnya sendiri, lalu dari gulungan sinar pedang itu mencuat dua sinar yang menyambar ke arah leher serta dada Kui Hong. Namun dara itu dengan tenang saja meloncat ke belakang dan ketika lawannya mengejar, tiba-tiba dia mengelebatkan kedua pedangnya. Dua sinar hitam menyambar dari atas dan bawah. Ji Sun Bi tidak sempat mengelak karena dia sedang meloncat ke depan, terpaksa dia menangkis dengan kedua pedangnya. "Singgg...! Singgg...!" Mendadak Kui Hong menarik kembali sepasang pedangnya sehingga tangkisan itu hanya meluncur ke tempat kosong dan pada saat itu sepasang pedang hitam sudah menyerang lagi dari kanan kiri. Ji Sun Bi semakin kaget, terpaksa memutar pergelangan tangannya dan menggunakan pedang untuk menangkis. "Tranggg...! Tranggg...!" Terdengar dua kali suara nyaring, lantas pedang kiri Ji Sun Bi terlepas dan terlempar, sedangkan tangan kanannya hampir saja melepaskan pedang karena telapak tangannya terasa panas dan perih. Tanpa banyak cakap lagi dia langsung meloncat ke belakang dan melarikan diri! Ji Sun Bi maklum bahwa kalau dia melanjutkan perkelahian itu, tentu dia akan kalah dan akhirnya tewas di tangan lawannya yang amat tangguh itu. "Heiii, iblis betina pengecut, hendak lari ke mana engkau?!" Kui Hong memaki dan cepat mengejar. Karena dia memang mempunyai ginkang yang amat hebat, maka sebentar saja dia hampir dapat menyusul Ji Sun Bi yang menjadi semakin gelisah. Ketika melihat bahwa dia telah mengambil jalan yang salah, yaitu yang menuju ke jurang yang curam, Ji Sun Bi menjadi semakin bingung. Ada pun Kui Hong justru tertawa girang melihat lawannya terjebak dan berada di jalan buntu. "Heh-heh, Tok-sim Mo-li, engkau hendak lari ke mana lagi sekarang?" Kui Hong mengejek dan dengan gerakan cepat sekali dia mengejar lawan yang sudah ketakutan itu. Ji Sun Bi menoleh dan melihat Kui Hong mengejarnya. Dia maklum bahwa sekali ini dia tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi. Dalam ketakutannya ini dia lalu menjadi nekat dan meloncat ke depan! Tubuhnya meluncur ke bawah. "Ehhh...!" Kui Hong berseru dan cepat meloncat ke tepi jurang, lalu menjenguk ke bawah. Dia masih sempat melihat tubuh wanita itu terbanting dan terpental, lantas menggelinding terus ke bawah sampai tidak nampak lagi. Kui Hong menghela napas panjang, kemudian menyarungkan sepasang pedangnya. Wanita iblis itu tidak mungkin dapat meloloskan diri lagi. Terjatuh dari tempat setinggi itu pasti akan mati. Dia pun tidak dapat mengejar sebab tak mungkin menuruni jurang itu. Maka Kui Hong lalu melanjutkan larinya menuruni tebing untuk membantu pertempuran pasukan pemerintah melawan pasukan pemberontak. Sementara itu Hay Hay terus mencari Ki Liong sambil merobohkan prajurit pemberontak yang menghadang di jalan. Akhirnya dia melihat pemuda itu sedang mengamuk dengan hebat di luar jalan terusan. Memang benar apa yang dikatakan Kui Hong kepadanya. Pemuda yang menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya itu sungguh lihai bukan main. Sudah belasan orang menjadi korban pedang pusaka Gin-hwa-kiam, pedang pusaka Pulau Teratai Merah yang menurut cerita Kui Hong telah dicuri Ki Liong berikut beberapa benda pusaka dari pulau itu. Gerakan pedang pemuda itu demikian matang dan mantap sehingga para prajurit kerajaan merasa gentar juga menghadapi pemuda ini sesudah ada beberapa orang perwira roboh dan tewas. Mereka mengepung dari jarak jauh dengan mempergunakan tombak panjang. Melihat keadaan ini, Hay Hay lalu meloncat dekat dan Ki Liong segera melihatnya. "Saudara Tang Hay...!" kata Ki Liong. "Bantulah aku keluar dari tempat ini dan nanti akan kubagikan pusaka-pusaka indah kepadamu!" Akan tetapi Hay Hay melangkah maju sambil berseru kepada para prajurit. "Harap kalian mundur dan biarkan aku menghadapinya!" Para prajurit cepat-cepat mundur dan mengepung tempat itu dari jarak jauh. Kini Hay Hay berhadapan dengan Ki Liong yang mengamatinya dengan sinar mata tajam penuh selidik karena dia masih belum yakin benar di pihak mana Hay Hay berdiri. "Sim Ki Liong, apa yang sudah kau lakukan terhadap Pek Eng?" Hay Hay bertanya lirih karena tak ingin hal itu didengar lain orang, akan tetapi di dalam pertanyaan yang lirih itu terkandung ancaman serta kemarahan besar. Ki Liong melebarkan matanya memandang Hay Hay dengan heran. "Apa yang sudah kulakukan? Tidak apa-apa, Saudara Tang Hay. Gadis itu pergi dan tak seorang pun tahu ke mana. Aku tidak pernah mengganggunya..." "Bohong! Malam itu, di dalam pondok taman! Apa yang sudah kau lakukan? Jangan kau menyangkal, hayo ikut bersamaku dan membuat pengakuan di depan Pek Eng, atau aku akan memaksamu!" "Tang Hay manusia sombong! Aku tidak punya urusan dengan Pek Eng atau denganmu! Kalau engkau tidak suka membantu aku keluar dari tempat ini, sudahlah, aku tidak punya waktu untuk melayani obrolanmu yang tidak karuan ujung pangkalnya!" "Ki Liong! Kalau engkau menyangkal, terpaksa aku harus memaksamu untuk menyerah!" bentak Hay Hay sambil melompat menghadang pada saat melihat Ki Liong hendak pergi meninggalkannya. Marahlah Ki Liong, "Keparat! Engkau seorang jai-hwa-cat hina berani mengancam aku?" Dia mengacungkan pedang Gin-hwa-kiam. Hay Hay juga marah sekali. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihirnya untuk melawan Ki Liong karena dia hendak mencoba sampai di mana kelihaian murid dari Pulau Teratai Merah ini. "Mulutmu busuk seperti hatimu!" Hay Hay balas memaki sesudah mendengar dia dimaki sebagai jai-hwa-cat. Akan tetapi pada saat itu Ki Liong sudah menggerakkan Gin-hwa-kiam menyerangnya. Serangannya hebat bukan main, dahsyat sekali, cepat dan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Ilmu pedang yang dimainkannya adalah Hok-mo Kiam-sut, ada pun jurus yang dipergunakan untuk penyerangan pertama itu adalah jurus Sin-liong Hok-mo (Naga Sakti Menaklukkan Iblis). Pedang itu meluncur ke arah dada lawan untuk dilanjutkan dengan putaran pergelangan tangan sehingga pedang dapat dilanjutkan dengan bacokan memutar yang mengancam semua bagian tubuh depan lawan! Jurus ini hebat bukan kepalang dan karena dia sudah menerima gemblengan dari suami isteri pendekar yang sakti, maka gerakannya itu sangat mantap sekaligus juga ganas. Menghadapi sebatang pedang pusaka, Hay Hay tidak berani bertangan kosong saja. Dia mengenal pusaka ampuh, maka dia pun cepat mencabut sulingnya dari ikat pinggang dan sambil meloncat ke belakang untuk mengelak, dia langsung memutar sulingnya sehingga terdengarlah suara melengking tinggi rendah. Pedang itu telah dilanjutkan dengan putaran yang menyerang leher, dan Hay Hay kini menangkis dari samping dengan sulingnya. "Tranggg...!" Suling dan pedang bertemu lalu keduanya melangkah mundur dua tindak, masing-masing mengakui akan kehebatan tenaga sinkang lawan. Namun Ki Liong sudah menerjang lagi ke depan. Dia ingin cepat-cepat pergi dari tempat berbahaya itu dan untuk itu dia harus cepat pula menyelesaikan perkelahian ini. Pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan cahaya perak yang menyelimuti tubuhnya. Bagaikan roda perak yang berputar cepat, gulungan sinar itu bergerak maju ke arah Hay Hay, dengan suara mendesing-desing memekakkan telinga dan angin sambaran pedang terasa sampai beberapa meter jauhnya. Hay Hay bersikap hati-hati. Maklum dengan kelihaian lawan yang memiliki ilmu silat tinggi dan pilihan itu, dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menggunakan Ilmu Langkah Ajaib Jiauw-paow-poan-soan. Tubuhnya berputar-putar dan dengan langkah ajaib itu dia mampu menghindarkan diri dari tekanan dan sambaran sinar pedang lawan, bahkan membalas pula dengan totokan ke arah jalan darah dengan ujung sulingnya. Terjadilah perkelahian yang sangat hebat sehingga membuat daun-daun kering dan pasir berhamburan serta debu mengepul di sekitar tempat itu. Suara mengaung dan berdesing memekakkan telinga disertai sambaran angin berputar-putar membuat para penonton baik dari pihak pasukan pemerintah mau pun pemberontak terpaksa mundur beberapa langkah lagi. Setelah lewat dua puluh jurus lebih, tiba-tiba saja Hay Hay melakukan serangan dengan sulingnya, menotok ke arah muka lawan antara kedua matanya. Serangan ini hanya untuk memancing perhatian lawan, karena tangan kirinya telah siap untuk melakukan serangan inti, pada saat lawan terpaksa mencurahkan perhatian kepada serangan pertama. Akan tetapi Ki Liong cukup lihai untuk menduga siasat lawan ini. Pedang Gin-hwa-kiam dikelebatkan dari samping menangkis suling, sambil sekaligus dia mengerahkan tenaga sinkang yang mempunyai daya tempel yang kuat. Pemuda ini memang belum diberi pelajaran Thi-ki-i-beng, yaitu ilmu sinkang yang dapat membetot dan menghisap tenaga sakti lawan, merupakan ilmu mukjijat dan simpanan dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, akan tetapi dia sudah mempelajari sinkang yang dilatih dengan jungkir balik dan dapat menggunakan tenaga sakti ini untuk mendorong, menarik, membetot, bahkan menempel. Begitu pedangnya bertemu suling yang ditangkisnya, maka pedang itu melekat dan hal ini terasa oleh Hay Hay yang menjadi terkejut juga karena sulingnya melekat pada pedang itu bagaikan besi melekat pada besi semberani! Dan kekagetannya itu membuat dia agak lambat menggunakan tangan kiri yang sudah dipersiapkan. Serangan suling yang tadinya dilakukan untuk mengejutkan lawan itu kini bahkan membuat dia sendiri menjadi terkejut ketika sulingnya melekat pada pedang lawan. Dan pada saat itu pula tangan kiri Ki Liong sudah menghantam ke arah dadanya dengan tangan terbuka! Kiranya Ki Liong mempunyai siasat yang sama, yaitu menggunakan daya lekat sinkang-nya untuk mengejutkan lawan sehingga lawan dalam keadaan lengah ketika tangan kirinya menghantam dengan pukulan maut. Pukulan itu adalah pukulan Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat. Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Bumi Langit) merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang hebat dari Pendekar Sadis! Dalam keadaan kritis itu Hay Hay tak kehilangan akal. Tangan kirinya memang sejak tadi sudah dia persiapkan untuk menyerang akan tetapi dia kedahuluan lawan, maka kini dia pun mendorong dengan tangan kirinya itu, dengan jari tangan terbuka. Itulah sebuah jurus ampuh dari Ciu-sian Cak-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Dewa Arak) yang pernah dipelajarinya dari Ciu-sian Lokai, seorang di antara Delapan Dewa. "Plakkk!" Dua buah tangan itu saling bertemu dan saling menempel! Kini kedua orang muda itu tak dapat melepaskan diri lagi. Pedang dan suling saling melekat dan kedua tangan kiri saling menempel sehingga satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan hanyalah mengerahkan sinkang, mengadu tenaga sakti untuk merobohkan lawan. Dan di dalam pertandingan ini keduanya harus mengerahkan seluruh tenaga karena siapa kalah dalam adu sinkang ini tentu akan putus nyawanya! Perlahan-lahan Ki Liong merasa betapa tenaga lawannya menjadi semakin kuat saja dan mulailah dia gemetar. Keringat membasahi muka serta lehernya, dan uap putih mengepul dari kepalanya. "Mati aku sekali ini..." pikir Ki Liong. Tapi bagaimana pun juga dia harus mempertahankan diri. Dia tidak dapat melepaskan diri dari himpitan ini, karena itu tak ada jalan lain kecuali mempertahankan sampai saat terakhir! Di saat yang amat berbahaya bagi Ki Liong karena dia memang kalah tenaga itu, tiba-tiba saja nampak bayangan orang berkelebat dan dua buah tangan mendorong dari samping. Dua buah tangan ini mengandung tenaga sinkang yang kuat pula, dan karena dorongan itu, Ki Liong dan Hay Hay menjadi miring sehingga benturan atau adu tenaga dari mereka berdua menyeleweng lantas terlepaslah telapak tangan mereka. Hay Hay meloncat ke belakang sementara Ki Liong terguling! Dia terus bergulingan, lalu meloncat bangun dengan muka pucat. Dia nyaris tewas di dalam adu tenaga tadi dan kini dia melihat bahwa orang yang melerai tadi adalah seorang pemuda yang usianya sebaya dengan dia mau pun Hay Hay, bermuka putih bulat dan bersikap tenang. Akan tetapi pemuda yang tidak dikenalnya itu tidak memperhatikannya, bahkan sekarang menghadapi Hay Hay yang juga menatap dengan penuh perhatian. Melihat kesempatan yang amat baik ini, diam-diam Ki Liong lalu melarikan diri dan melompat jauh. "Heiii! Mau lari ke mana kau?!" Hay Hay membentak dan hendak mengejar, akan tetapi pemuda muka putih yang bukan lain adalah Pek Han Siong itu menghadang di depannya. "Tahan dulu...!" Hay Hay yang tak ingin melihat Ki Liong melarikan diri hendak mengejar terus, dan karena Han Siong menghadang di jalan, Hay Hay mengibaskan lengannya untuk mendorongnya minggir. "Dukkk!" Kedua lengan mereka bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur. Maka terkejutlah Hay Hay. Orang ini ternyata lihai sekali! Karena Ki Liong sudah lenyap di antara para prajurit yang masih bertempur, dan karena pemuda di depannya itu agaknya bersungguh-sungguh hendak menghadangnya, maka terpaksa dia membiarkan Ki Liong pergi dan sekarang menghadapi Han Siong dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia belum pernah bertemu dengan orang ini dan tidak tahu apakah orang ini memihak kepada pemberontak ataukah pemerintah. "Saudara yang gagah, siapakah engkau dan kenapa engkau menghadangku?" tanya Hay Hay, diam-diam terkejut melihat betapa sinar mata pemuda ini mencorong dan wajahnya penuh wibawa, menunjukkan bahwa pemuda ini mempunyai kekuatan tersembunyi yang sangat dahsyat. "Betulkah engkau yang bernama Tang Hay?" Han Siong berbalik mengajukan pertanyaan sambil memandang tajam. Hay Hay mengerutkan alisnya, lantas mengangguk, "Benar, namaku Tang Hay. Siapakah engkau dan ada urusan apakah..." Han Siong memotong. "Namaku Pek Han Siong dan..." "Ahh! Kiranya engkau yang dijuluki Sin-tong...!" "Benar sekali, akan tetapi aku datang bukan untuk meributkan persoalan itu. Aku datang untuk meminta pertanggungan jawabmu, Tang Hay. Bersikaplah sebagai seorang jantan yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya!" "Apa maksudmu?" tanya Hay Hay, akan tetapi dia segera mengerti sebelum pemuda itu menjawab karena pada saat itu dia melihat munculnya Pek Eng! "Jangan engkau menyangkal tentang perbuatanmu terhadap adik kandungku, Eng-moi!" Hay Hay cepat menggelengkan kepala dan matanya tetap memandang ke arah Pek Eng seakan-akan jawaban itu dia ajukan kepada Pek Eng. "Tidak... tidak...! Aku tidak pernah melakukan kekejian itu! Aku sama sekali tidak melakukannya!" Han Siong memandang dengan muka merah. Benar kata adiknya. Pemuda ini sungguh pengecut walau pun berilmu tinggi, berani berbuat tetapi tidak berani bertanggung jawab. Teringat dia bahwa menurut keterangan orang tuanya, pemuda ini adalah putera seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat cabul pemerkosa wanita dan amarahnya makin memuncak. Adik kandungnya telah menjadi korban kecabulan laki-laki ini dan sekarang dia tidak mau bertanggung jawab, bahkan menyangkal! Padahal buktinya sudah jelas, adiknya menjadi saksi utama. Tidak mungkin adik kandungnya melakukan fitnah, menuduh orang yang tak berdosa sebagai pelakunya. "Tang Hay, apakah engkau hendak mengikuti jejak ayah kandungmu? Jika engkau secara pengecut menyangkal perbuatanmu sendiri, maka terpaksa aku akan menghajarmu!" Wajah Hay Hay berubah merah. Dia tahu bahwa orang ini marah karena percaya bahwa dia telah merenggut kegadisan Pek Eng dan meminta dia bertanggung jawab. Akan tetapi karena dia benar-benar merasa tidak melakukan hal itu, dan kini dia diingatkan tentang ayahnya yang jahat, hal yang amat menyakitkan hatinya, maka dia pun menjadi marah. "Sampai mati pun tak mungkin aku dapat mengakui perbuatan yang tidak kulakukan. Nah, terserah apa yang hendak kau lakukan kepadaku, aku tidak takut!" jawabnya. Bagi Han Siong, jawaban ini dianggap sebagai ucapan seorang yang keras hati dan yang nekat hendak menyangkal perbuatannya, maka dia pun semakin penasaran. Akan tetapi niatnya bertemu dengan Hay Hay bukan hendak menyerangnya, apa lagi membunuhnya. Dia hanya hendak membujuk pemuda itu bertanggung jawab, apa lagi karena menurut pengakuan Pek Eng, adiknya itu mencinta Hay Hay. Kalau tidak dapat dibujuk, dia hendak menggunakan akal agar Hay Hay suka menyerah dan sadar lalu mau menerima Pek Eng sebagai jodohnya. Oleh karena itu Han Siong hendak menakut-nakuti Hay Hay dengan ilmu sihirnya, hendak menaklukkan pemuda itu tanpa harus menggunakan kekerasan. Maka diam-diam dia pun mengerahkan kekuatan batinnya, kemudian sekali mencabut pedangnya, tampaklah sinar berkilauan dari pedang Kwan-im-kiam yang ditodongkan ke arah muka Hay Hay, sambil terdengar suaranya yang menggeledek. "Tang Hay, lihat baik-baik! Aku adalah seorang yang jauh lebih sakti darimu, aku seorang raksasa setinggi pohon, dan engkau hanya seorang manusia kecil, tidak akan ada artinya melawan aku!" Pada waktu dia menggerakkan pedangnya, nampak kilatan pedangnya dan tiba-tiba saja semua orang yang mengelilingi tempat itu menjadi terbelalak dan terkejut bukan kepalang ketika melihat betapa tiba-tiba saja keadaan tubuh Pek Han Siong berubah. Kini pemuda itu menjadi tinggi besar, setinggi pohon besar, seorang raksasa yang sangat mengerikan dan menakutkan karena Hay Hay kini hanya setinggi lututnya saja! Akan tetapi Hay Hay tetap bersikap tenang walau pun dia juga terkejut, tidak menyangka bahwa pemuda yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan julukan Sin-tong dan yang menjadi rebutan itu memiliki ilmu sihir yang cukup kuat! Timbul kegembiraannya dan dia pun tidak mau kalah. Dia lalu mengerahkan kesaktiannya dan suaranya terdengar penuh wibawa yang menggetarkan jantung para penonton pertandingan itu. "Bagus sekali, Pek Han Siong! Sekarang engkau menjadi raksasa, akan tetapi aku juga sanggup mengembarimu! Lihatlah baik-baik!" Hay Hay mengibaskan tangan yang memegang suling, terdengar suara melengking tinggi dan tubuhnya pun tumbuh menjadi besar, sebesar Han Siong! Mereka berdiri berhadapan dalam keadaan yang menyeramkan semua orang. Kini Han Siong yang terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa kepandaian Hay Hay akan sehebat ini! Karena sudah terlanjur mengeluarkan ilmu sihirnya, ketika melihat lawan telah mengembarinya menjadi besar pula, Han Siong lalu menggerakkan pedangnya dan mulai menyerang. Hay Hay menggerakkan sulingnya menangkis, kemudian balas menyerang. Dan terjadilah pertempuran yang hebat dan dahsyat bukan main, mengguncangkan tanah di sekitarnya. Pohon-pohon bergoyang seperti tertiup angin taufan, bahkan banyak dahan pohon yang patah, batu-batu beterbangan tertendang kaki mereka dan debu mengebul tinggi. Kembali keduanya terkejut dan kagum. Walau pun Kwan-im Kiam-sut yang dimainkan Han Siong merupakan ilmu pedang yang jarang tandingannya, namun Hay Hay mampu menandinginya dengan sulingnya. Bahkan setelah lewat belasan jurus Han Siong sudah dapat menilai bahwa akan sulitlah baginya mengalahkan pemuda itu dengan pedangnya, apa lagi setelah keduanya menjadi sebesar raksasa itu. Dan bila perkelahian itu dilanjutkan maka dapat membahayakan orang-orang yang menonton di sekeliling tempat itu. "Tang Hay, tidak perlu menakut-nakuti orang lain. Aku akan menjadi kecil sampai engkau tidak akan dapat melihatku lagi!" Kembali 'raksasa' Han Siong menggerakkan pedangnya dan mendadak tubuhnya lenyap sebab dari keadaan tinggi besar seperti raksasa tiba-tiba saja tubuh itu menyusut menjadi kecil, hanya sebesar jari tangan manusia biasa! Kehilangan lawannya, sejenak Hay Hay merasa bingung namun dia pun segera tahu apa yang telah dilakukan lawannya. "Pek Han Siong, sudah kukatakan, aku akan mengembari ilmumu. Lihat, aku pun menjadi kecil sebesar kamu!" Dan tubuh Hay Hay kini lenyap dari pandangan orang-orang yang berada di situ, menjadi kecil seperti tubuh Han Siong, lalu keduanya melanjutkan perkelahian dengan suling dan pedang dalam keadaan tubuh sebesar jari tangan manusia biasa. Mereka yang menonton perkelahian aneh itu akhirnya dapat melihat mereka berdua dan terdengar seruan-seruan kaget, heran dan kagum! Kalau tadi mereka menyaksikan perkelahian dua orang raksasa yang tingginya empat kali ukuran manusia biasa hingga mengguncangkan tanah di sekeliling tempat itu, kini mereka melihat perkelahian dua orang yang sangat kecil, hanya sebesar jari tangan mereka. Tadi mereka merasa seram dan takut, kini merasa ngeri dan juga lucu bercampur tegang. Han Siong dan Hay Hay kembali saling serang. Meski pun keduanya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan kepandaian simpanan mereka, namun masing-masing selalu menjaga agar jangan sampai saling membunuh. Han Siong sama sekali tidak ingin membunuh Hay Hay yang dicinta oleh Pek Eng, akan tetapi ingin menaklukkannya. Dan sebaliknya, tentu saja Hay Hay tidak ingin membunuh Han Siong yang membela adiknya, hanya ingin memperlihatkan kepandaian agar jangan sampai dipandang rendah sebagai putera seorang jai-hwa-cat. Apa bila dibuat ukuran, sebetulnya Hay Hay telah menerima gemblengan yang lebih kuat dari pada Han Siong. Dalam hal ilmu silat mereka berdua menerima pelajaran peninggalan dari orang-orang yang menjadi anggota Delapan Dewa, akan tetapi Hay Hay memperoleh gemblengan secara langsung. Juga dalam hal ilmu sihir, Hay Hay telah digembleng oleh dua orang, apa lagi gemblengan terakhir dari Song Lojin sudah membuat kedua macam ilmu kepandaiannya itu menjadi matang betul. Akan tetapi karena dia selalu mengalah dan tidak ada niat di hatinya untuk mengalahkan Han Siong, apa lagi sampai melukai atau membunuh, maka pertandingan antara mereka itu menjadi seimbang dan seru bukan main. Sementara itu, kini pertempuran antara kedua pasukan sudah mulai terhenti di sana-sini. Setelah sebagian pemimpin mereka tewas atau melarikan diri, makin gentarlah hati para pasukan pemberontak. Mereka kalah banyak dan terhimpit dari depan belakang. Apa lagi di pihak pemerintah terdapat para pendekar yang amat lihai. Orang-orang yang mereka andalkan kini sudah habis. Lam-hai Giam-lo sudah tewas, juga Kulana yang sangat mereka harapkan itu. Para pembantu Lam-hai Giam-lo juga sudah roboh satu demi satu. Suami isteri Siangkoan Leng dan Ma Kim Li yang terkenal dengan julukan Sepasang Iblis Laut Selatan itu telah tewas di tangan Pek Han Siong. Suami isteri Kwee Siong dan Tong Ci Ki yang terkenal dengan julukan suami isteri Goa Iblls Pantai Selatan tewas di tangan Bi Lian. Lam-hai Giam-lo sendiri tewas di tangan suami isteri Cang Su Kiat dan Kok Hui Lian, musuh besarnya. Ji Sun Bi yang juga merupakan seorang tangan kanan Lam-hai Giam-lo, terjatuh ke dalam jurang yang curam pada saat berkelahi melawan Cia Kui Hong. Gurunya, Min-san Mo-ko, tewas di tangan Kok Hui Lian pula. Ketua Kui-kok-pang, yaitu Kim San, tewas di tangan Can Sun Hok dan anak buahnya hampir habis terbasmi oleh Sun Hok dan Ling Ling. Begitu pula dengan Hek-hiat Mo-ko yang ditewaskan oleh Sun Hok dan Ling Ling. Kulana sendiri tewas sampyuh bersama Mulana. Masih banyak lagi tokoh-tokoh sesat yang turut membantu pemberontakan itu dan menjadi korban dalam pertempuran itu, termasuk para pendeta Pek-lian-kauw. Meski pun pada pihak pemerintah banyak pula pendekar, perwira dan prajurit yang tewas, namun jelas bahwa pihak pemberontak mengalami kekalahan dan kini sisanya yang tidak mampu lagi melarikan diri cepat-cepat berlutut dan menyerah! Pertempuran lalu berhenti, akan tetapi masih ada pertempuran yang amat hebat terjadi antara Hay Hay dan Pek Han Siong sehingga menarik perhatian para pendekar dan para perwira untuk datang dan ikut menonton. Banyak orang menjadi saksi betapa tadi baik Hay Hay mau pun Han Siong sudah berjasa karena turut mengamuk untuk membantu pemerintah, maka kini semua orang yang tidak tahu urusannya merasa heran melihat mereka saling gempur sendiri, tetapi tak ada yang berani melerai. Apa lagi melihat betapa kedua orang itu mempergunakan ilmu-ilmu yang aneh. Para pendekar yang keluar sebagai pemenang dalam pertempuran itu, kini satu demi satu menghampiri tempat perkelahian yang amat seru itu untuk ikut menonton. Mereka semua takjub menyaksikan perkelahian yang luar biasa itu. Su Kiat dan Hui Lian melihat dengan penuh kagum, juga Kui Hong, Ling Ling dan Sun Hok, demikian pula Pek Eng yang tidak melihat bahwa di antara para pendekar yang mengelilingi tempat pertempuran itu terdapat pula ayahnya, Pek Kong dan juga Song Un Tek bekas calon ayah mertuanya. Pek Kong yang amat tertarik melihat puteranya, Pek Han Siong, bertanding melawan Hay Hay, suatu hal yang amat mengherankan hatinya, juga belum melihat kehadiran Pek Eng di seberang. Pek Kong sangat terkejut dan heran melihat perkelahian itu, akan tetapi dia tak mau lancang melerai dan membiarkan saja perkelahian itu sambil bersiap-siap untuk membantu puteranya kalau perlu. Pertempuran itu memang berjalan dengan sangat serunya. Sesudah mendapat kenyataan bahwa dengan merubah diri menjadi kecil yang diturut pula oleh Hay Hay namun dia tidak mampu mendesak pemuda yang menjadi lawannya, Han Siong merubah dirinya menjadi seekor harimau besar yang mengaum-ngaum sambil mencakar-cakar. Dan hebatnya, Hay Hay juga mengubah diri menjadi seekor harimau yang sama besarnya. Kedua binatang itu lantas bertarung dengan hebatnya, menggetarkan jantung para penonton yang memenuhi tempat itu. Berulang kali Han Siong mengubah diri menjadi naga, menjadi rajawali, bahkan menjadi beruang, namun selalu Hay Hay dapat mengembari dan menyainginya, dan akhirnya Han Siong terpaksa mengubah dirinya menjadi normal kembali. Hal ini segera diikuti oleh Hay Hay, kemudian kedua orang muda yang sama gagah dan sama perkasanya itu bertempur kembali! Suling dan pedang sudah ratusan kali beradu sambil memercikkan bara api yang menyilaukan mata. "Aih, kalau dilanjutkan tentu salah seorang di antara mereka akan celaka...," bisik Hui Lian di dekat telinga suaminya, Su Kiat. "Kurasa tidak," bisik Su Kiat kembali. "Lihat, mereka itu seperti orang yang berlatih saja. Tampaknya keduanya sangat berhati-hati agar jangan sampai mencelakai lawan. Hemm, benar-benar membuat hatiku kagum bukan main. Mereka adalah dua orang pemuda yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan." Kui Hong yang berdiri seorang diri menonton dengan jantung berdebar. Melihat Hay Hay, teringatlah dara ini tentang pengalamannya yang mesra dengan pemuda itu. Kini, melihat Hay Hay berkelahi menemukan lawan yang demikian tangguhnya, diam-diam dia merasa khawatir. Memang ada kalanya dia merasa benci sekali terhadap Hay Hay yang dianggap sudah mempermainkan dirinya, telah menolak cintanya. Akan tetapi harus diakuinya pula bahwa dia masih mencinta pemuda itu! Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Engkau harus mati...!" Nampak Ling Ling meloncat ke medan pertempuran itu, menggunakan sebatang pedang menerjang dengan nekat, lalu menyerang Hay Hay! Tentu saja Hay Hay merasa terkejut sekali dan cepat dia mengelak. Pek Han Siong juga terkejut. Dia tidak menghendaki ada orang lain mencampuri perkelahiannya dengan Hay Hay, akan tetapi dia pun tidak dapat mencegah gadis ini. "Engkau harus mati...!" Kembali Ling Ling berseru sambil menyerang dengan dahsyatnya. Hay Hay merasa betapa perasaan hatinya sangat tertusuk. Dia tahu mengapa Ling Ling menyerangnya. Gadis itu masih menganggap bahwa dialah yang telah memperkosa gadis itu! Perasaan tertusuk ini membuat dia menjadi lengah, apa lagi karena sulingnya masih terus dipergunakan melindungi dirinya dari desakan Han Siong. Karena itu serangan Ling Ling agak terlambat dielakkan dan bahu kirinya tergurat pedang sehingga bajunya robek berikut kulitnya dan darah membasahi bajunya. Pek Han Siong sudah mengenal Ling Ling dan tidak tahu mengapa gadis itu menyerang Hay Hay. Akan tetapi karena dia sendiri merasa cukup kewalahan menghadapi Hay Hay, maka dia segera mendesak dengan tusukan pedangnya ketika melihat pemuda lawannya yang amat tangguh itu terluka. "Tranggg...!" Hay Hay menangkis, lantas melompat menjauhi Ling Ling yang marah itu. Kembali terjadi pertarungan sengit antara Hay Hay melawan Han Siong. Ling Ling juga sudah siap untuk menyerang lagi dan mengeroyok Hay Hay. "Ling Ling, jangan...!" Tiba-tiba Kui Hong melompat ke depan, lalu dia memegang lengan kiri Ling Ling dan menariknya mundur dari medan pertempuran. Ling Ling membalikkan tubuhnya dan dia pun langsung menangis sesudah melihat bahwa yang menariknya adalah Kui Hong. Kui Hong terkejut dan merangkul Ling Ling. "Ehhh, Ling Ling, engkau kenapakah...?" bisiknya, semakin heran melihat keadaan gadis itu. "Bibi Kui Hong...!" Ling Ling mengeluh dan tangisnya semakin sesenggukan. Semenjak mala petaka yang menimpa dirinya itu, Ling Ling telah menderita tekanan batin yang hebat namun dia selalu menahan dan menyembunyikannya, tak mau menceritakan kepada siapa pun juga. Sekarang, ketika bertemu Kui Hong yang masih terhitung bibinya sendiri dan dengan siapa dia telah menjalin persahabatan yang akrab ketika dia berada di Cin-ling-pai, kesedihannya mengalir bersama air mata seperti lepas dari bendungannya. "Ling Ling, kenapa engkau ingin membunuh dia?" bisik Kui Hong. Ling Ling dapat menguasai dirinya setelah mengalirkan banyak air mata, dan ketika masih di dalam rangkulan Kui Hong, dia pun berbisik dengan hati hancur, "Bibi Hong, dia... dia adalah jai-hwa-cat yang jahat... dia harus mati di tanganku... dia... telah memperkosa aku, menotok aku selagi tidur kemudian memperkosaku..." Kui Hong mendorong tubuh Ling Ling saking kagetnya, wajahnya pucat dan dua matanya terbelalak. Kemudian dia menoleh ke arah perkelahian yang masih berlangsung seru itu, mukanya perlahan-lahan berubah merah sekali dan sepasang matanya yang amat jeli itu mengeluarkan sinar berapi. Kemudian, tiba-tiba saja dia berkata kepada Ling Ling. "Kalau begitu akulah yang akan membunuhnya!" Kui Hong segera mencabut Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang yang berwarna hitam itu, lalu menerjang ke medan perkelahian, menyerang Hay Hay dengan dahsyat sekali. Hay Hay terkejut sekali dan cepat meloncat ke belakang. "Kui Hong, kau... kau...!" Akan tetapi gadis itu sudah menyerang lagi sehingga Hay Hay kembali mengelak dengan loncatan ke samping. "Engkau manusia busuk dan jahat, engkau harus mati di tanganku!" bentak Kui Hong. Terpaksa Hay Hay cepat memutar sulingnya untuk melindungi diri sebab Han Siong yang tadinya merasa bingung dan ragu ketika melihat munculnya seorang gadis lain yang lebih lihai menyerang Hay Hay, kini sudah maju lagi menggerakkan pedang pusakanya. Melihat Kui Hong menyerang Hay Hay, Ling Ling lalu meloncat maju dan dia pun cepat menyerang. Sekarang Hay Hay dikeroyok oleh tiga orang dan karena dia sama sekali tak ingin merobohkan atau melukai seorang pun di antara mereka bertiga, maka dia hanya mencurahkan semua tenaga serta kepandaiannya untuk menjaga dan melindungi dirinya. Hal ini membuat dia makin terdesak hebat sehingga kembali dia terluka oleh serempetan pedang hitam di tangan kiri Kui Hong yang mengenai paha kanannya sehingga celananya robek berdarah. "Heiii! Jangan main keroyokan...!" Hui Lian berteriak dan meloncat ke depan, hatinya tidak tega melihat betapa Hay Hay dikeroyok oleh ketiga orang itu, dan dia pun merasa sangat heran mengapa gadis-gadis she Cia itu kini ikut pula menyerang Hay Hay. Akan tetapi suaminya segera memegang lengannya dan berbisik, "Sebaiknya kalau kita tidak mencampuri karena kita tidak tahu perkaranya." Hui Lian menghentikan gerakannya, akan tetapi matanya masih memandang ke arah perkelahian itu dengan cemas. "Bunuh jai-hwa-cat itu!" Terdengar teriakan-teriakan dan nampaklah Tiong Gi Cinjin diikuti oleh Bu-tong Liok-eng berlompatan maju, lantas mengepung perkelahian dan mengeroyok Hay Hay. Tentu saja hal ini membuat Hay Hay menjadi semakin repot. Betapa pun lihainya, yang mengeroyoknya adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, maka kembali dia menerima tusukan dan bacokan yang biar pun telah dilawan dengan kekebalan, tetap saja melukai kulitnya dan membuat luka-luka kecil yang mengeluarkan darah. Sementara itu pertempuran antara pasukan pemerintah dan pasukan pemberontak sudah selesai. Sisa para pemberontak menyerah dan menjadi tawanan. Ada pun para pendekar dan perwira kini telah menjadi penonton perkelahian antara Hay Hay yang dikeroyok oleh puluhan orang lihai itu. Untung bagi Hay Hay bahwa kini Han Siong tidak mendesaknya lagi. Pemuda itu merasa rikuh harus mengeroyok seperti itu, akan tetapi dia semakin penasaran karena dari sikap para pengeroyok, jelaslah bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda jai-hwa-cat yang amat jahat. Selagi Hay Hay terdesak hebat sekali, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari seorang perwira, "Atas nama Cang-taijin, harap perkelahian segera dihentikan!" Memang tugas perwira ini adalah menjadi juru bicara sehingga telah biasa mengeluarkan bentakan nyaring. Sesudah para pengeroyok melihat bahwa yang muncul adalah Menteri Cang, dengan sikapnya yang halus ramah namun penuh wibawa, mereka merasa tidak enak hati dan segera berlompatan mundur walau pun masih dalam keadaan mengepung Hay Hay. Hay Hay sendiri kini berdiri lemas dengan tubuh penuh luka-luka yang walau pun tidak berbahaya namun membuat pakaiannya berlepotan darah. Dia menundukkan wajahnya dan diam-diam bersyukur bahwa Menteri Cang datang melerai, karena kalau tidak, entah sampai kapan dia mampu bertahan sebelum akhirnya pasti akan roboh binasa di bawah senjata para pengeroyoknya. Sesudah memandang kepada mereka yang berkelahi itu satu demi satu, dan diam-diam terkejut melihat bahwa yang terlibat di dalam perkelahian itu adalah pendekar-pendekar pilihan, Menteri Cang lalu berkata. "Cu-wi Enghiong (Para Orang Gagah Sekalian), sesudah kita semua berhasil menumpas para pemberontak, mengapa di antara Cu-wi malah terjadi perkelahian sendiri? Bukankah kemenangan kita seharusnya mendatangkan kegembiraan dan bukan perkelahian antara teman sendiri? Apakah yang telah terjadi?" Hay Hay adalah seorang pemuda yang berpandangan luas lagi pula bijaksana. Otaknya bekerja dengan cepatnya. Dia tahu bahwa perkelahian itu menyangkut soal kehormatan dua orang gadis yang tentu saja tidak mungkin diumumkan. Bila dia menceritakan sebab perkelahian itu, berarti akan melempar aib kepada Ling Ling dan Pek Eng, mencemarkan nama baik dua orang gadis yang tertimpa mala petaka itu. Tidak, dia harus mencegah hal itu terjadi. Karena itu, ketika mendengar pertanyaan Menteri Cang dan sebelum ada orang lain yang mendahuluinya, dia sudah cepat maju memberi hormat kepada menteri itu. Menteri Cang memandang kepadanya penuh selidik. Dari para penyelidiknya, pembesar ini mendengar bahwa Hay Hay merupakan salah seorang di antara para pendekar yang tadi mengamuk mati-matian membantu pasukan pemerintah, bahkan pemuda ini yang sudah menempur Sim Ki Liong, tangan kanan Lam-hai Giam-lo yang amat lihai itu. "Harap Taijin sudi memaafkan kami. Sebenarnya perkelahian ini hanyalah urusan pribadi. Mereka semuanya menuduh bahwa hamba adalah seorang penjahat, seorang jai-hwa-cat yang jahat dan keji. Karena hal itu tidak benar, maka hamba menyangkal dan mereka lalu menyerang hamba sehingga terjadilah perkelahian itu." Lega rasa hati Ling Ling dan Pek Eng yang tadinya sudah pucat dan cemas kalau-kalau aib yang menimpa diri mereka akan dibicarakan di tempat umum seperti itu. "Bohong, Taijin! Dia memang benar jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu! Kami melihat buktinya, dan anak murid kami yang sudah menjadi korbannya!" terdengar Tiong Gi Cinjin dari Bu-tong-pai berseru marah. "Sebab itu pinto harus membunuhnya!" Saking marahnya kakek ini sudah menggerakkan tongkatnya dan menghantam dengan sepenuh tenaga ke arah kepala Hay Hay. Pemuda itu mengangkat kedua lengannya. "Dukkk!" Tongkat itu tertangkis, kemudian sekali memutar kedua tangannya Hay Hay telah berhasil merenggut tongkat itu hingga terlepas dari kedua tangan lawan. Demikian cepat dan kuat gerakannya sehingga Tiong Gi Cinjin tak mampu mempertahankan tongkatnya lagi. Akan tetapi Hay Hay menyodorkan kembali tongkatnya itu dan berkata dengan tenang. "Harap Totiang suka bersikap jantan dan tenang, dan tidak membuat ribut di depan Cang Taijin." Tosu itu menerima kembali tongkatnya dan mukanya berubah merah karena merasa rikuh terhadap Menteri Cang. "Sudahlah," kata pembesar itu, "Urusan Cu-wi merupakan urusan pribadi, sebab itu harus diselesaikan secara pribadi pula. Cu-wi adalah pendekar-pendekar yang sudah berjasa kepada negara, akan tetapi kalau di sini membuat ribut, berarti melanggar peraturan dan larangan perintah. Kalau Cu-wi masih berkeras membuat ribut di sini, maka terpaksa kami akan menggunakan kekuatan kami untuk menangkap Cu-wi dan untuk diajukan didepan pengadilan untuk menemukan siapa yang salah. Kami tidak menghendaki hal itu terjadi, maka biarlah kami menjadi saksi dan Cu-wi selesaikan urusan ini dengan jalan damai di depan kami." "Taijin, mohon Paduka suka mempertimbangkan dengan adil," kata pula Tiong Gi Cinjin. "Seorang anak murid Bu-tong-pai, yakni gadis yang masih muda, sudah menjadi korban kejahatan Ang-hong-cu, penjahat jai-hwa-cat yang terkenal di dunia kang-ouw. Anak murid Bu-tong-pai kami sebar untuk mencari penjahat itu dan pada suatu hari, murid-murid kami menemukan pemuda ini sedang bermain-main dengan perhiasan berbentuk tawon merah, persis seperti yang ditinggalkan pada mayat murid perempuan kami yang telah dihina dan dibunuhnya. Jelas bahwa dia ini Ang-hong-cu pemerkosa dan pembunuh murid perempuan kami, oleh karena itu, bukankah sudah adil dan sepatutnya jika kami hendak membunuh dia? Bukan sekedar membalas kematian murid kami, juga sekalian melenyapkan seorang penjahat besar yang mengancam keamanan dunia, terutama kaum wanitanya!" Menteri Cang mengangguk-angguk kemudian menoleh kepada Hay Hay, di dalam hatinya kurang percaya bahwa pemuda gagah ini adalah seorang jai-hwa-cat yang memperkosa dan membunuh wanita dengan kejam. "Bagaimana pembelaanmu terhadap tuduhan ini, orang muda?" tanyanya. "Taijin, dengan tegas hamba menyatakan bahwa hamba bukan jai-hwa-cat Ang-hong-cu. Tetapi kalau satu pihak menuduh dan lain pihak menyangkal maka takkan ada habisnya. Hamba berjanji kepada Bu-tong-pai bahwa hamba akan mencari jai-hwa-cat Ang-hong-cu yang sesungguhnya dan kalau perlu menyeretnya ke Bu-tong-pai untuk mengakui semua kejahatannya itu. Jika hamba tidak berhasil boleh saja Bu-tong-pai minta pertanggungan jawab hamba. Ang-hong-cu adalah seorang jai-hwa-cat yang sudah mengganas di dunia kang-ouw semenjak hamba belum lahir, jadi tak mungkin hamba yang menjadi jai-hwa-cat Ang-hong-cu." "Enak saja kau berjanji!" kata seorang di antara Bu-tong Liok-eng. "Apakah engkau sudah mengenal Ang-hong-cu yang sebenarnya?" "Aku tahu siapa adanya dia walau pun aku belum sempat berjumpa dengan Ang-hong-cu yang memang sedang kucari," jawab Hay Hay. "Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya!" tiba-tiba terdengar Pek Eng berseru. Semua orang amat terkejut dan terheran-heran mendengar ini, bahkan Hui Lian langsung menutup mulutnya menahan teriakan kaget. Kui Hong dan Ling Ling memandang dengan mata terbelalak pula. Kini semua orang memandang kepada Hay Hay. Wajah Hay Hay nampak pucat sekali ketika sejenak dia mengangkat muka memandang kepada Pek Eng, lalu cepat menundukkan mukanya yang ternyata berubah merah sekali. Rahasianya telah dibuka gadis yang merasa penasaran itu. Biarlah, biarlah semua orang tahu bahwa dia adalah anak jai-hwa-cat. Biarlah dunia tahu bahwa dia adalah anak haram dari Ang-hong-cu, penjahat cabul yang amat jahat itu. Kenyataan ini tak perlu ditutupi lagi, tak perlu dirahasiakan lagi karena hal itu bukanlah kesalahannya. Dengan perlahan kini Hay Hay mengangkat mukanya yang telah normal kembali, bahkan mulutnya tersenyum duka, dan dia pun memandang orang sekelilingnya, lalu memandang kepada Menteri Cang dan mengangguk. "Ucapan tadi memang benar. Aku adalah anak dari seorang wanita yang menjadi korban kejahatan Ang-hong-cu. Karena itu harap para Enghiong dan Locianpwe dari Bu-tong-pai menyadari. Dia adalah ayah kandungku, maka aku akan mencarinya sampai dapat untuk memaksa dia mempertanggung jawabkan perbuatannya, baik terhadap murid Bu-tong-pai, terhadap mendiang ibuku, atau terhadap semua wanita yang pernah menjadi korbannya!" "Siancai...!" Tiong Gi Cinjin berseru. "Sekarang pinto mengerti dan maafkanlah kekhilafan kami. Kalau saja semenjak dulu engkau mengatakan hal ini. Ahh, kalau begitu, perhiasan tawon merah yang berada di tanganmu itu..." "Itu adalah perhiasan yang ditinggalkan oleh ibuku untukku, sebagai tanda bahwa beliau menjadi korban Si Tawon Merah." "Sekarang kami merasa puas dan baiklah, kami menerima kesanggupanmu, orang muda yang gagah. Bu-tong-pai tak akan bertindak apa-apa lagi, hanya akan menunggu sampai engkau berhasil menangkap Ang-hong-cu." Lalu Tiong Gi Cinjin menoleh kepada Menteri Cang. "Taijin, kami dari Bu-tong-pai sudah tidak ada urusan lagi dengan orang muda ini, harap Taijin sudi memaafkan keributan yang kami lakukan tadi." Menteri Cang tersenyum girang, diam-diam dia merasa terharu atas pengakuan Hay Hay tadi. Seorang pemuda yang gagah perkasa, mengaku sebagai putera kandung yang tidak sah dari seorang jai-hwa-cat yang dicari-cari para pendekar untuk dibunuh! "Bagus, segala urusan bisa diselesaikan dengan musyawarah, asal dilakukan dengan hati jernih dan kepala dingin. Bagaimana, apakah masih ada orang lain yang memiliki urusan pribadi dengan Saudara Tang Hay?" tanyanya sambil memandang pada Han Siong, Ling Ling dan Kui Hong yang tadi mengeroyok Hay Hay. "Taijin, perkenankanlah hamba bicara empat mata dengan Saudara Tang Hay," kata Han Siong yang mulai merasa sangsi dengan keterangan adiknya. Harus diakuinya bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang amat luar biasa, memiliki ilmu sihir dan silat yang amat tinggi sehingga dia sendiri kewalahan menghadapinya. Biar pun keturunan jai-hwa-cat, namun sikap Hay Hay tidak menunjukkan bahwa dia seorang pengecut yang jahat, maka dia hendak membicarakan urusan itu dengan Hay Hay, tentu saja tanpa didengar orang lain kecuali dia dan Pek Eng. "Baik sekali, silakan. Pek-enghiong." kata pembesar itu. Han Siong lalu mengajak Hay Hay untuk menyingkir dari situ dan memilih tempat sunyi di antara pohon-pohon, cukup jauh dari situ. Dia pun memberi isyarat kepada adiknya untuk ikut dan kini mereka bertiga berdiri saling berhadapan di bawah pohon, dapat terlihat oleh Menteri Cang akan tetapi semua yang mereka bicarakan tidak dapat terdengar. "Saudara Tang Hay, sekarang aku minta pengakuanmu tentang..." "Aku sudah tahu, Saudara Pek Han Siong," Hay Hay memotong. "Adik Eng sendiri sudah pernah menyerangku mati-matian." "Apakah engkau tetap akan bersikap demikian pengecut untuk menyangkal perbuatanmu terhadap adikku?" Hay Hay tersenyum pahit dan menarik napas panjang. "Entah mengapa, agaknya Tuhan telah menakdirkan bahwa semenjak lahir hingga sekarang hidupku selalu menjadi korban keadaan. Aku dilahirkan oleh seorang ibu yang menjadi korban perkosaan kemudian mati membunuh diri, lalu dijadikan penggantimu, seorang Sin-tong sehingga aku diperebutkan seperti sebuah benda pusaka! Kemudian setelah dewasa, aku dijadikan korban fitnah dari sana-sini. Sungguh mati, Saudara Pek Han Siong, bukan aku yang sudah menodai Adik Eng..." "Hay-ko, begitu kejamkah hatimu untuk tetap menyangkal? Jangan kira bahwa aku begitu kejam dan tak tahu malu untuk menjatuhkan fitnah kepadamu, Hay-ko. Karena engkaulah orangnya yang melakukan, maka tentu saja aku minta pertanggungan jawabmu, sebagai seorang jantan, sebagai seorang pendekar gagah! Hay-ko, begitu kejamkah hatimu untuk menghancurkan perasaan dan kehormatanku?" Pek Eng menangis. Hay Hay menarik napas panjang dan memandang kepada Han Siong. "Saudara Pek Han Siong, bolehkah aku menggunakan kekuatan batin untuk memaksa adikmu mengucapkan pengakuan yang sebenarnya akan apa yang sudah menimpa dirinya? Agar dia menjawab semua pertanyaanku dengan sepenuh hati dan sejujurnya? Ataukah engkau yang hendak mempergunakan kekuatan batin itu atas dirinya?" Han Siong mengerti apa yang dimaksudkan Hay Hay dan dia pun mengangguk. Dia mulai meragukan apakah benar Hay Hay telah melakukan perbuatan itu lalu menyangkal secara pengecut. Melihat sikapnya, agaknya Hay Hay bukan seorang pengecut. "Baik, lakukanlah," katanya lirih. Han Siong segera memasang perhatian sepenuhnya untuk mengamati supaya Hay Hay tidak menyalah gunakan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi jawaban Pek Eng. Sementara itu Hay Hay lalu berkata, suaranya berpengaruh dan menggetar. "Eng-moi, kau pandanglah mataku kemudian jawablah sejujurnya apa yang kutanyakan kepadamu!" Pek Eng mengangkat muka memandang. Dia terkejut bertemu pandang dengan sepasang mata yang mengeluarkan sinar mencorong itu akan tetapi sia-sia belaka untuk membuang pandang mata atau mengelak karena dia tak mampu lagi melepaskan pandang matanya yang sudah bertaut dan melekat dengan pandang mata Hay Hay. "Eng-moi, katakanlah sejujurnya, siapakah yang malam itu memasuki pondok taman dan menggaulimu?" Sambil memandang wajah Hay Hay dengan mata yang tidak pernah berkedip, Pek Eng lalu menjawab, suaranya datar, "Dia adalah Hay-ko." Jawaban ini sudah diduga oleh Hay Hay, maka dia tidak merasa terpukul. Dia tahu bahwa Pek Eng tidak melakukan fitnah, melainkan benar-benar merasa yakin bahwa orang yang menggaulinya itu adalah dia. Dia harus dapat mengorek rahasia ini, tanda-tanda pada pria itu yang akan dapat memberikan jejak kepadanya. "Eng-moi, pada waktu laki-laki itu memasuki pondok, bagaimana cuaca di dalam pondok itu? Gelap ataukah terang?" "Gelap..." "Apakah engkau dapat melihat wajah laki-laki itu?" "Tidak..." "Lalu bagaimana engkau dapat yakin bahwa dia adalah Hay-ko?" tanya Hay Hay. "Sudah pasti dia. Hay-ko tadinya meninggalkan aku, lalu dia kembali dan aku mengenal bentuk tubuhnya, juga wajahnya ketika tanganku merabanya." "Apakah dia mengeluarkan suara?" "Tidak..." Hay Hay menjadi bingung, lalu berpikir keras. "Apakah tidak ada sesuatu yang khas pada orang itu, suaranya, tanda sesuatu pada tubuhnya, atau... mungkin bau badannya?" Sampai beberapa detik lamanya Pek Eng tidak menjawab, tetapi kemudian dia berseru, "Bau badannya... ahh, aku teringat bau badannya, bau harum cendana..." Hay Hay menyudahi pengaruh sihirnya dan Pek Eng merasa seperti orang baru sadar dari tidur. Hay Hay memandang kepada Pek Han Siong, lantas berkata. "Memang keterangan Eng-moi tak begitu jelas akan tetapi engkau pasti tahu bahwa aku tidak berbau cendana, Saudara Pek Han Siong." Han Siong mengerutkan alisnya. "Lalu, siapa kiranya orang itu kalau bukan engkau?" Hay Hay menggeleng kepala. "Aku belum tahu, aku belum dapat menduga, akan tetapi... rasanya bau cendana itu tak asing bagiku. Harap engkau dan Eng-moi menanti sebentar, biar aku mengambil keputusan apa yang dapat kujanjikan kepadamu, Saudara Pek. Tapi kalau engkau dan Eng-moi kukuh berkeyakinan bahwa akulah yang berdosa, nah, silakan kalau hendak membunuhku. Aku tidak akan melawan, namun kuperingatkan kalian bahwa kalian akan menanggung dosa yang amat besar karena aku sungguh tidak bersalah!" Pek Han Siong adalah seorang pemuda yang cukup bijaksana, dahulu pernah menerima gemblengan dari para hwesio yang hidup bersih di kuil Siauw-lim-si. Oleh karena itu dia dapat menangkap kebenaran kata-kata Hay Hay tadi. Maka dia pun menggandeng tangan adiknya, diajak pergi, kembali ke tempat di mana Menteri Cang dan para pendekar lainnya masih menunggu, setelah berkata kepada Hay Hay, "Baik, kami percaya kepadamu dan kami akan menunggu!" "Tapi, Koko...," Pek Eng membantah. "Sudahlah, kau percaya saja kepadaku, adikku." kata Han Siong.....


PENDEKAR MATA KERANJANG JILID 41 :
Hay Hay menarik napas lega. Andai kata kakak beradik itu tadi tidak percaya kepadanya dan menyerangnya, maka dia akan memejamkan mata saja dan menerima kematiannya! Kini tinggal Ling Ling! Maka dia meloncat ke tempat pertempuran tadi dan berkata kepada Ling Ling yang masih digandeng Kui Hong. "Ling-moi, mari kita bereskan urusan antara kita di sana," ajaknya. Sejak tadi Ling Ling sudah dibujuk Kui Hong supaya menyerahkan urusan itu kepadanya, maka kini dia menoleh dan memandang kepada Kui Hong. "Baik, dia akan pergi bersamaku untuk bicara denganmu!" kata Kui Hong dengan suara ketus. Gadis ini juga maklum bahwa tidak mungkin mereka membicarakan urusan Ling Ling di hadapan banyak orang. Dua orang wanita itu lalu mengikuti Hay Hay yang juga mengajak mereka menjauhi semua orang untuk dapat bicara tanpa terdengar orang lain. Sesudah mereka bertiga berhadapan, Kui Hong yang sudah menjadi sangat marah dan membenci Hay Hay, segera berkata, "Laki-laki busuk! Apa lagi yang hendak kau katakan kepada kami? Engkau telah memperkosa Ling Ling secara kejam dan biadab, dan engkau bahkan begitu pengecut untuk menyangkal perbuatanmu yang amat busuk itu! Sekarang apa lagi yang akan kau lakukan?" Ling Ling mengusap air matanya karena hatinya hancur teringat akan mala petaka yang menimpa dirinya. Hay Hay menghela napas panjang. Tadi dia berani menggunakan ilmu sihir untuk memaksa Pek Eng mengucapkan pengakuan yang sejujurnya, karena di sana ada Han Siong yang menjadi saksinya. Kini dia tidak berani melakukan hal serupa kepada Ling Ling karena hal itu tentu akan menambah kecurigaan dua orang gadis itu. "Kui Hong, harap bersabar dulu. Engkau hanya baru mendengar keterangan sepihak, dari pihak Ling Ling yang memang sedang menyangka bahwa akulah pelaku pemerkosa yang biadab itu. Akan tetapi, apa bila engkau mau mendengarkan keterangan dariku, aku sama sekali tidak merasa pernah melakukan perbuatan biadab itu, baik terhadap Ling Ling atau kepada wanita mana pun juga! Dan Ling Ling, engkau adalah murid keponakanku sendiri, puteri dari Suheng-ku, bagaimana mungkin aku melakukan perbuatan sekeji itu terhadap dirimu? Apakah engkau tidak keliru sangka?" Ling Ling menghentikan tangisnya lantas mengangkat muka memandang wajah Hay Hay, kini pandang matanya tajam penuh selidik dan dia menggeleng kepala penuh keyakinan. "Aku tidak mungkin keliru," katanya pasti. "Bukankah engkau sedang tidur pulas ketika ditotok orang?" "Benar, akan tetapi aku lalu tersadar walau pun tidak mampu bergerak." "Dan waktu itu malam gelap sekali, bukan?" "Remang-remang, biar pun aku tidak dapat melihat wajahmu dengan jelas, namun bentuk mukamu, bentuk wajahmu, aku tak akan keliru sangka. Pula, tidak ada orang lain kecuali engkau yang tahu bahwa aku menunggu di tempat sunyi itu. Dan kalau orang biasa saja, apakah akan mampu menotokku sampai tidak mampu bergerak? Akan tetapi, engkau adalah sute dari Ayahku, engkau mengenal ilmu silatku..." "Dan orang itu sama sekali tidak mengeluarkan suara?" Ling Ling mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Tidak." "Ling Ling, aku tahu pasti dan yakin bahwa engkau seorang gadis yang budiman, gagah perkasa dan tak akan mungkin mau melakukan fitnah, juga aku yakin engkau jujur. Coba ingat-ingat, apakah tak ada sesuatu yang khas pada orang itu? Sesuatu yang merupakan tanda, mungkin cacat pada tubuhnya, atau suaranya, atau sinar matanya, atau mungkin juga... bau badannya?" Ling Ling termenung dan sepasang alisnya berkerut, kemudian tiba-tiba ia berkata. "Ahh, aku ingat. Dia... dia... mengeluarkan bau harum... seperti bunga... Seperti madu... wangi bunga... ya, wangi bunga..." "Bunga cendana...?" "Benar! Bau bunga cendana!" Seketika wajah Hay Hay menjadi pucat sekali, matanya terbelalak lebar bagaikan melihat setan, lantas dia pun meloncat tinggi dan ketika turun, dia mengepal tinju dan terdengar suaranya melengking nyaring seperti jeritan seekor binatang buas yang marah. "Han Lojiiiiin...!" Dan Hay Hay sudah melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Lengkingan panjang yang sangat nyaring ini terdengar sampai di tempat di mana Menteri Cang dan yang lain-lain masih menanti. Semua pendekar terkejut, apa lagi ketika melihat Hay Hay berlari cepat seperti itu lewat di dekat mereka. Han Siong dan beberapa orang sudah berlompatan maju menghadang karena menyangka bahwa Hay Hay yang menjadi tertuduh itu melarikan diri. Akan tetapi Hay Hay melompat ke samping, menghindar dan kembali dia berteriak, sekali ini lebih nyaring dari pada tadi. "Han Lojiiiiiinnnn...!" Sambil berteriak-teriak memanggil nama ini seperti orang kesetanan, Hay Hay berlari cepat menuju ke bukit di mana Han Lojin dijadikan tawanan oleh Menteri Cang. Para pendekar cepat melakukan pengejaran, juga Kui Hong dan Ling Ling yang tadi amat terkejut kini ikut pula mengejar. Menteri Cang yang juga ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi cepat menunggang kuda dikawal oleh para perwira, setelah memberi perintah kepada komandan pasukan untuk membereskan para tawanan pemberontak. Dengan mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya berlari cepat, maka Hay Hay tak terkejar oleh para pendekar dan dia dapat tiba lebih dahulu di bukit kecil itu. Pasukan yang berjaga di situ sudah mendengar laporan bahwa pasukan pemerintah telah berhasil baik dan bahwa Han Lojin yang ditawan di situ bukanlah pembohong, maka mereka pun tidak terlampau ketat menjaga Han Lojin, memberinya kebebasan di puncak bukit. Akan tetapi ketika mereka melihat Hay Hay, pemuda yang tidak mereka kenal, komandan jaga cepat membawa anak buahnya menghadang. "Heiii, berhenti! Siapa pun juga dilarang naik ke puncak bukit ini!" Hay Hay menjadi tertegun dan mukanya penuh keringat. Dia lantas teringat akan Tek-pai, tanda kuasa yang diterimanya dari Menteri Yang Ting Hoo, maka tanpa banyak cakap dia mengeluarkan tanda kuasa itu, memperlihatkannya kepada komandan jaga. Melihat tanda kuasa ini, komandan segera memberi hormat, diturut oleh para anak buahnya. "Di mana Han Lojin?" Hay Hay bertanya. "Aku harus berjumpa padanya, penting sekali!" "Dia berada di dalam kamarnya di pondok itu, sejak pagi tadi dia tidak pernah keluar dari dalam pondok." "Kalau begitu, biarkan aku menemuinya di dalam pondok." "Silakan, Taihiap!" kata komandan itu, menyebut Taihiap (Pendekar Besar) setelah melihat pemuda itu membawa tanda kuasa dari Menteri Yang. Hay-Hay melompat dan berlari cepat ke puncak bukit. Tubuhnya berkelebat dan melihat pemuda itu bergerak ke atas seperti terbang saja, komandan jaga bersama anak buahnya memandang dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. "Han Lojin, keluarlah!" Hay Hay berseru. Tiada jawaban. Dengan perasaan tidak sabar Hay Hay mendorong daun pintu. Pintu terbuka dan ternyata pondok itu kosong dan semua jendelanya terbuka sehingga cahaya matahari memenuhi pondok. Tiada seorang pun di situ, akan tetapi Hay Hay segera tertarik oleh coret-coret di dinding sebelah dalam pondok. Tulisan yang cukup indah dan jelas dalam bentuk sajak. Dibacanya tulisan itu. Beterbangan dari bunga ke bunga menyusup kelopak bunga harum semerbak sepuas hati menghisap madunya meninggalkan bunga layu tergeletak! Kamu Tawon Muda tiada guna hanya puas dimabok harum bunga biarkan seratus bunga melayu masih ada ribuan kuncup mekar penuh madu! Hay Hay mengerutkan alisnya dan dia segera melihat dua buah benda berkilauan di atas meja dekat dinding itu. Ketika dia menghampiri, ternyata dua buah benda itu adalah dua perhiasan tawon merah, persis seperti yang tersimpan dalam kantung bajunya! Nampak pula sehelai kertas tertulis di bawah dua benda perhiasan itu. Cepat disambarnya kertas itu dan dibaca tulisannya. 'Dua buah tanda mata ini untuk Nona Pek Eng dan Nona Cia Ling, masing-masing satu buah.' Dan di dalam tulisan itu terdapat lukisan seekor tawon merah! Wajah Hay Hay berubah pucat, dua tangan yang memegang surat itu gemetar, dan tiba-tiba dia meremas hancur surat itu, lalu menyimpan dua buah perhiasan yang sangat dibencinya itu ke dalam saku bajunya. Kemudian matanya mengeluarkan sinar berapi dan memandang ke arah tulisan sajak di atas dinding. Tubuhnya gemetar, kedua tangannya digenggam kuat-kuat dan dia pun mengeluarkan bentakan nyaring. "Jahanaaaammmm...!" Dihantamnya meja di depannya. "Braaakkkk...!" Meja itu hancur berkeping-keping, sementara tubuh Hay Hay langsung terkulai dan jatuh di atas lantai, pingsan! Dia telah mengalami guncangan batin yang sangat hebat. Ketika untuk kedua kalinya, pertama dari Pek Eng, kemudian kedua kalinya dari Ling Ling, dia mendengar bahwa yang menggauli Pek Eng dan memperkosa Ling Ling itu seorang pria yang mengeluarkan bau harum bunga, madu dan cendana, dia pun segera teringat. Hanya Han Lojin yang mengeluarkan bau seperti itu! Hal ini diingatnya benar karena ketika pada malam itu dia disuguhi arak oleh Han Lojin, dia pun mencium bau yang khas itu, yang sempat membuatnya terheran-heran. Maka dia pun merasa yakin bahwa pelaksana kejahatan yang amat keji itu tentulah Han Lojin yang lihai! Ini merupakan guncangan pertama. Kemudian, di dalam pondok ini, setelah membaca sajak itu, apa lagi membaca surat dan peninggalan dua buah perhiasan tawon merah, hatinya terguncang untuk ke dua kalinya, bahkan lebih hebat lagi karena dia memperoleh kenyataan bahwa Han Lojin penjahat keji yang telah memperkosa Pek Eng dan Ling Ling bukan lain adalah Ang-hong-cu atau ayah kandungnya sendiri! Kebencian menyesak dalam dadanya. Ayah kandungnya terkenal sebagai Ang-hong-cu, jai-hwa-cat yang amat kejam dan jahat, pemerkosa ibunya, kemudian juga memperkosa dua orang gadis dusun yang sederhana itu, dan kini memperkosa Pek Eng dan Ling Ling! Lebih hebat lagi, semua orang menyangka bahwa dia yang melakukan perbuatan itu, dan agaknya Han Lojin atau Ang-hong-cu orang she Tang itu memang sengaja melakukan hal itu untuk merusak namanya. Bahkan dari sindiran pada sajak itu agaknya Ang-hong-cu atau Han Lojin juga telah tahu bahwa dia adalah puteranya yang dikatakan 'Tawon Muda tiada guna...!' Pantas dia pernah disuguhi arak perangsang, tentu dengan maksud supaya dia memperkosa atau menggauli Pek Eng, tindakan yang tentu akan menyenangkan hati ayah kandung itu sebab dianggap cocok dengan wataknya, dianggap mewarisi bakat dan keahlian ayah kandungnya! Ketika Menteri Cang beserta para pendekar memasuki pondok itu, Hay Hay telah siuman dari pingsannya, dan dia demikian terpukul sehingga dia masih berlutut di atas lantai dan termenung seperti orang kehilangan semangat. Semenjak tadi Kok Hui Lian merasa amat khawatir akan keadaan Hay Hay. Wanita yang secara diam-diam amat mencinta Hay Hay ini tadi telah mengerahkan seluruh tenaganya, mempergunakan ilmu berlari cepat yang membuat tubuhnya meluncur bagaikan terbang. Kini dia sudah tiba paling depan, lalu dia pun menyentuh pundak Hay Hay dengan lembut dan penuh kekhawatiran. "Hay Hay, apakah yang telah terjadi?" tanyanya. "Di mana Han Lojin?" terdengar pertanyaan-pertanyaan dari para pendekar yang tadinya sudah tahu bahwa Han Lojin ditahan di pondok itu. Ketika Menteri Cang muncul pula ke dalam pondok, semua orang memberi jalan dan dia pun bertanya, "Di mana adanya Han Lojin? Tang-enghiong (Orang Gagah Tang), di mana Han Lojin?" tanyanya kepada Hay Hay. Semenjak tadi Hay Hay diam saja seakan-akan tidak mendengar pertanyaan orang-orang itu, bahkan seolah-olah tidak sadar bahwa pondok itu telah penuh orang. Kini, mendengar suara Menteri Cang, dia pun tersadar dan mengangkat kepala memandang pembesar itu. Akan tetapi dia pun tidak menjawab, melainkan menudingkan telunjuknya ke arah tulisan di dinding. Semua orang termasuk Menteri Cang membaca sajak di dinding itu, dan mulailah mereka itu berseru kaget hingga suasana menjadi bising. "Ang-hong-cu...! Ada gambar tawon merah...!" "Kalau begitu, dia Ang-hong-cu...!" "Han Lojin adalah Ang-hong-cu...!" Kini Hay Hay sudah sadar betul. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, menyapukan pandang matanya kepada mereka semua, kemudian dia berkata, suaranya lantang. "Benar sekali! Han Lojin adalah Ang-hong-cu (Si Tawon Merah), penjahat cabul, jai-hwa-cat yang sangat kejam! Dia adalah ayah kandungku! Dia yang telah melakukan semua kejahatan terhadap wanita dan yang akhirnya dituduhkan kepadaku. Aku berjanji kepada semua orang untuk mencarinya, untuk meminta pertanggungan jawabnya! Akan tetapi, kalau masih ada yang merasa penasaran dan hendak menghukum aku sebagai anaknya, sebagai penggantinya yang menerima hukuman, silakan! Aku tak akan melawan, silakan sebelum aku pergi dari sini untuk memulai dengan tugas yang sudah kujanjikan yaitu mencarinya sampai dapat dan menuntut pertanggungan jawab darinya!" "Bapaknya jahat, anaknya pun tentu jahat! Biar aku yang menghukumnya!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan-bentakan dari Bu-tong Liok-eng. Enam orang tokoh murid utama dari Bu-tong-pai itu berlompatan maju lalu mengepung Hay Hay yang sudah keluar dari dalam pondok dan berada di pelataran pondok itu. Akan tetapi tiba-tiba Hui Lian sudah melompat ke dalam kepungan, mukanya merah dan matanya bersinar-sinar. "Hay Hay tak bersalah, jika ada yang hendak mengganggunya akan berhadapan dengan aku!" Suaminya, Ciang Su Kiat yang juga berpendapat bahwa Hay Hay tidak dapat disalahkan, sudah maju pula di samping isterinya sehingga Hui Lian merasa girang sekali. "Saudara Tang Hay tidak bersalah, biarkan dia pergi mencari ayah kandungnya seperti yang sudah dijanjikannya tadi." Kini Han Siong juga telah melangkah maju ke dalam kepungan, siap untuk membela Hay Hay karena dia merasa tidak rela kalau sampai pemuda perkasa itu dibunuh tanpa dosa. "Siancai... kalian mundurlah," kata Tiong Gi Cinjin. "Bukankah tadi telah ada kesepakatan antara kita dengan putera Ang-hong-cu itu?" Mendengar teguran paman guru mereka, juga melihat betapa orang-orang sakti itu sudah maju membela Hay Hay, Bu-tong Liok-eng lalu melangkah mundur. Hay Hay memandang ke sekeliling, terutama sekali dia memandang wajah Ling Ling dan Pek Eng dengan penuh rasa iba, kemudian mengangkat kedua tangan ke dada memberi hormat. "Terima kasih atas kepercayaan Cu-wi. Bagaimana pun juga, yang melakukan kejahatan-kejahatan itu adalah ayah kandungku sendiri, oleh karena itu sudah sepantasnya kalau di sini aku mohon maaf sebesarnya kepada Cu-wi. Percayalah, aku akan pergi mencarinya sampai dapat, dan akan kupaksa dia untuk mempertanggung jawabkan semua dosanya. Kalau perlu dia mati di tanganku atau aku yang mati di tangannya. Nah, selamat tinggal dan maafkan aku" Hay Hay memberi hormat lantas meloncat jauh dan berlari secepatnya meninggalkan tempat itu. Menteri Cang kemudian menghaturkan terima kasih kepada para pendekar atas bantuan mereka sehingga pemberontakan dapat ditumpas dan menawarkan bantuan bagi mereka yang kehilangan anggota atau teman dalam pertempuran itu. Para pendekar lalu bubaran. Pek Eng yang bertemu dengan ayahnya segera lari menghampiri ayahnya dan disambut dengan pelukan. Gadis itu langsung menangis pada dada ayahnya. Pek Kong, atau Ketua Pek-sim-pang, mengajak kedua orang anaknya, yaitu Pek Han Siong dan Pek Eng untuk berbicara di tempat terpisah. Bahkan dia minta permisi kepada sahabatnya, Song Un Tek untuk dapat bicara bertiga saja dengan kedua orang anaknya. "Nah, sekarang ceritakan apa artinya semua itu," kata Pek Kong dengan nada suara yang penasaran. "Pertama aku minta penjelasan darimu, Eng-ji. Apa yang telah terjadi hingga Lam-hai Siang-mo suami isteri iblis itu mendatangi Kang-jiu-pang kemudian memutuskan tali perjodohan antara engkau dengan Song Bu Hok, malah suami isteri iblis itu juga telah membikin kacau dan menyerang orang-orang Kang-jiu-pang!" Dengan wajah menunjukkan penyesalan dan ketakutan, terpaksa Pek Eng menceritakan betapa dia ditangkap oleh anak buah Lam-hai Giam-lo, lalu untuk menyelamatkan diri dia terpaksa mau menjadi anak angkat dan murid Lam-hai Giam-lo. Karena tak setuju dengan ikatan jodoh itu, dia lalu minta kepada Lam-hai Giam-lo untuk membatalkannya dan ketua pemberontak itu mengutus Lam-hai Siang-mo untuk mendatangi Kang-jiu-pang kemudian memutuskan tali perjodohan. Merah wajah Pek Kong mendengar pengakuan puterinya itu. "Hemmm, sungguh engkau sudah membikin malu keluarga kita!" omelnya. "Lalu apa artinya keributan dengan Tang Hay tadi? Han Siong, mengapa pula engkau bersusah payah berusaha untuk membunuh Tang Hay?" Han Siong tidak berani menjawab dan hanya memandang kepada adiknya. Pek Eng telah menangis dan tiba-tiba saja dia menubruk kaki ayahnya lalu menangis sesenggukan. Pek Kong amat mencinta Pek Eng, maka betapa pun marahnya, melihat puterinya merangkul kedua kakinya sambil menangis sesenggukan, dia terkejut dan cepat mengangkat bangun gadis itu. "Engkau kenapakah?" "Ayah, ampunkan aku, Ayah... atau... bunuh saja aku...!" "Ehh, sudah gilakah engkau? Apa yang telah terjadi?" "Koko... tolonglah aku, ceritakan kepada Ayah..." pinta Pek Eng kepada kakaknya dengan sendu. Bagaimana pun juga, bagaimana dia dapat menceritakan aib yang telah menimpa dirinya itu kepada ayahnya? Han Siong mengangguk, maklum akan perasaan adiknya. Ia pun ingin menolong adiknya dan meringankan kesalahan adiknya, oleh karena itu dia berani sedikit berbohong kepada ayahnya. "Ayah, sesungguhnya Eng-moi telah menderita mala petaka yang sangat hebat. Dia telah... telah diperkosa orang..." "Apa...?" Pek Kong berseru keras dan mukanya menjadi pucat. "Bagaimana...? Siapa...?" Dia tergagap saking kaget dan marahnya mendengar bahwa puterinya sudah diperkosa. Berita ini agaknya lebih hebat dari pada berita kematian. Han Siong maklum akan keadaan ayahnya, maka dengan tenang dia lalu berkata, "Harap Ayah suka menenangkan hati Ayah. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih jika telah dikehendaki oleh Thian. Eng-moi diperkosa orang yang memiliki ilmu tinggi, dia tidak berdaya dan tertotok. Tadinya Eng-moi menyangka bahwa pelakunya adalah Tang Hay, oleh karena itu dia memusuhi Tang Hay dan minta kepadaku untuk menghajarnya. Itu pula sebabnya mengapa aku berkelahi mati-matian melawan Tang Hay. Akan tetapi, kemudian kita sama melihat bahwa Tang Hay tidak berdosa, bahwa yang melakukan hal itu bukan lain adalah Ang-hong-cu, Ayah kandung Tang Hay yang menyamar sebagai Han Lojin." Kini wajah Pek Kong menjadi merah dan dia mengepal tinju, marah sekali. "Keparat! Kita harus mencarinya untuk membuat perhitungan!" Melihat kemarahan ayahnya, Han Siong cepat mendekati dan menghibur. "Ayah, memang peristiwa ini benar-benar menyakitkan hati, menyinggung kehormatan keluarga kita, serta menghancurkan kehidupan Eng-moi. Akan tetapi Tang Hay sudah berjanji untuk mencari dan menangkap ayah kandungnya sendiri. Dan kita harus ingat, Ayah. Memang semenjak dahulu ada hubungan dekat sekali antara Ang-hong-cu dengan kita. Bukankah Tang Hay itu adalah anak kandungnya, dan Tang Hay sudah dipergunakan oleh keluarga kita untuk menggantikan aku, untuk menyelamatkan aku? Agaknya itulah kesalahan keluarga kita, Ayah, sehingga kini timbul peristiwa dan aib yang menimpa keluarga kita. Yang penting sekarang adalah mengurus bagaimana baiknya dengan nasib adikku ini." Pek Kong menarik napas panjang dan memandang kepada puterinya itu. Walau pun tidak menangis sesenggukan, tetap saja dia mengeluarkan air mata yang menetes-netes pada sepanjang kedua pipinya. "Baiklah, memang seyogyanya begitu. Aku akan membicarakan hal ini dengan keluarga Song. Eng-ji, bagaimana sekarang, apakah engkau masih tetap tidak setuju kalau menjadi isteri Song Bu Hok?" Pek Eng mengangkat mukanya yang basah, memandang ayahnya dengan sikap sangat memelas, lalu dia mengangguk lemah. "Aku menurut saja apa yang Ayah tentukan, akan tetapi, Ayah, aku... aku sudah..." Dia tidak dapat melanjutkan. "Jangan khawatir. Aku tahu bahwa Song Bu Hok benar-benar mencintaimu, dan mudah-mudahan dia cukup gagah untuk dapat melihat bahwa peristiwa ini terjadi bukan karena kesalahanmu." "Tapi, Ayah, bukankah sebaiknya bila aib ini dirahasiakan dari orang lain? Mungkin harus berterus terang kepada Song Bu Hok, akan tetapi kurasa tak perlu diketahui keluarganya. Hal itu akan sangat merugikan Eng-moi karena dia akan dipandang rendah." Mendengar pendapat puteranya, Pek Kong mengangguk-angguk setuju. "Engkau benar, aku yang akan bicara empat mata dengan Song Bu Hok setelah kita pulang nanti," kata Ketua Pek-sim-pang itu. "Dan aku akan pergi mengunjungi guru-guruku di kuil Siauw-lim-si, Ayah, bersama Sumoi Bi Lian. Ada urusan yang amat penting antara aku, Sumoi, dan kedua orang guru kami. Kelak akan kuceritakan kepada Ayah mengenai semua itu." Demikianlah, ayah dan dua orang anaknya ini lalu berpisah. Han Siong menemui Bi Lian yang sudah dijanjikan akan dibawa menghadap kedua orang gurunya di kuil Siauw-lim-si, sedangkan Pek Kong mengajak puterinya yang prihatin itu untuk pulang. Bagaimana dengan Ling Ling? Dengan sedih gadis ini bersama Kui Hong meninggalkan tempat itu. Kesedihan yang dirasakan Ling Ling hampir mirip dengan kesedihan Pek Eng. Kedua orang gadis ini bukan hanya menyedihi nasib mereka yang kini sudah dinodai aib, kehilangan keperawanan dan kehormatan, namun lebih dari pada itu, yaitu ketika mereka melihat kenyataan bahwa yang memperkosa mereka itu bukan Hay Hay melainkan ayah kandung pemuda itu, seorang jai-hwa-cat yang amat jahat! Hal inilah yang menyedihkan hati mereka, bahkan membuat harapan mereka lenyap sama sekali. Kalau Hay Hay yang menjadi pelakunya, sedikitnya mereka masih mengharapkan pemuda itu mau mengakui dan bertanggung jawab mengawini mereka! Kui Hong tak pernah melepaskan tangan Ling Ling, terus menggandengnya ketika mereka meninggalkan sarang pemberontak yang kini telah dikuasai pasukan pemerintah. Setelah tinggal berdua saja, Ling Ling menangis sambil bersandar kepada Kui Hong, dihibur oleh Kui Hong di sepanjang jalan. Ling Ling membayangkan nasibnya. Ia mencinta Hay Hay, hal ini tak dapat disangkalnya pula. Biar pun tadinya dia mengira bahwa Hay Hay telah memperkosanya, namun dia siap untuk memaafkannya bahkan bersedia menjadi isteri pemuda yang dicintanya itu. Akan tetapi... kenyataannya demikian pahit. Pemerkosanya adalah Ang-hong-cu, penjahat besar, ayah kandung Hay Hay. Bagaimana dia mampu hidup terus dengan menahan siksa batin karena aib ini? Bagaimana pula dia akan menghadap ayah dan ibunya? Ahhh, ayah dan ibunya tentu akan merasa terpukul, akan ikut menderita sengsara. Membayangkan betapa ayahnya akan berduka sekali, ibunya akan menangis, mendadak Ling Ling melepaskan diri dari gandengan tangan Kui Hong, menjerit dan berlari bagaikan orang gila! Kui Hong terkejut dan segera mengejar, khawatir sekali karena agaknya Ling Ling tidak mempedulikan lagi ke mana dia lari, seperti orang yang berlari sambil menutup matanya. "Ling Ling...! Berhentilah, Ling Ling...!" Kui Hong mengejar sekuat tenaga. Dia terbelalak melihat betapa Ling Ling lari mendaki bukit, terus lari ke arah tebing yang curam. "Ling Ling...!" Wajah Kui Hong sudah menjadi pucat sekali karena dia merasa tidak akan mampu mencegah gadis itu yang agaknya akan lari terus dari atas tebing! Ling Ling yang berlari terus agaknya tak melihat bahwa dia berlari menuju ke tebing yang amat curam. Tepi tebing itu tinggal dua tiga meter lagi dan tiba-tiba dari samping nampak berkelebat sesosok bayangan, lalu tahu-tahu tubuh Ling Ling telah disambar dan dirangkul pinggangnya oleh Can Sun Hok. "Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!" Ling Ling meronta-ronta dan berusaha melepaskan diri, namun Sun Hok mempergunakan seluruh tenaganya untuk memeluk dan tidak mau melepaskan gadis itu. Melihat betapa pemuda ini nekat merangkulnya, Ling Ling menjadi heran, keheranan yang sejenak membuat dia bingung, yang mengatasi kedukaan dan keputus asaannya hingga membuatnya ingin membunuh diri itu. Dia mengangkat muka memandang wajah pemuda itu, lantas kembali dia membentak. "Lepaskan aku!" "Tidak, Ling-moi, tidak mungkin aku membiarkan engkau terlepas dan melanjutkan niatmu yang sesat itu!" kata Sun Hok, tetap merangkul pinggangnya. Ling Ling menjadi semakin bingung. Perkenalannya dengan Sun Hok belum lama, namun sudah timbul keakraban di antara mereka ketika mereka berdua menghadapi gerombolan pemberontak itu. Sun Hok menyebutnya adik dan ia pun menyebut kakak kepada pemuda perkasa itu. "Hok-ko, lepaskan aku dan jangan engkau mencampuri urusanku!" kembali dia meronta dengan sia-sia. "Ling-moi, aku tahu bahwa engkau hendak membunuh diri ke jurang itu! Ingin membunuh diri! Perbuatan itu sungguh sesat, pengecut dan sama sekali keliru, Ling-moi. Karena itu, sebelum engkau mengubah pendirianmu itu, aku tidak akan melepaskanmu!" Ling Ling menjadi marah. Tangan kanannya sudah menempel pada tengkuk pemuda itu. "Lepaskan! Kalau tidak, kubunuh engkau lebih dahulu!" Sun Hok tidak terkejut, malah tersenyum. "Bagus, jika engkau masih bisa marah, hal itu berarti engkau masih suka hidup. Ling-moi, silakan saja bila engkau hendak membunuhku sebelum bunuh diri. Biarlah aku akan mengantarkanmu ke alam baka. Nah, silakan..." Melihat kepasrahan pemuda ini, Ling Ling menjadi lemas lahir batin. Tenaganya bagaikan habis dan ia pun menangis, mengguguk di atas pundak pemuda itu yang kini melepaskan rangkulan di pinggangnya. Sun Hok masih merangkul pundak gadis itu, mengelus rambut kepalanya dan membiarkan gadis itu menangis sepuas hatinya. Kui Hong berlari menghampiri dan gadis ini menghela napas lega. Wajahnya masih pucat dan jantungnya tadi berdebar penuh ketegangan. Melihat betapa Ling Ling menangis di dalam rangkulan pemuda itu, dia tidak berani mengeluarkan kata-kata, takut kalau-kalau Ling Ling 'kumat' lagi kenekatannya. Dia hanya saling pandang dengan Sun Hok, pemuda yang sudah dikenalnya itu. Beberapa tahun yang lalu dia dan ibunya pernah bertemu dengan pemuda ini yang tadinya mendendam kepada ibunya karena kematian ibu pemuda ini, yakni seorang tokoh sesat bernama Gui Siang Hwa, disebabkan karena bertanding melawan Ibunya. Akan tetapi ibunya dapat menyadarkan Can Sun Hok. Dan agaknya pemuda ini memang telah menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa. Buktinya dia pun ikut muncul dalam pertempuran melawan kaum sesat yang memberontak, bersamaan dengan Ling Ling yang agaknya telah dikenal dengan baik. Tentu ada apa-apa di antara mereka, pikir Kui Hong. Maka tanpa banyak cakap, sebelum Ling Ling sempat melihatnya, diam-diam Kui Hong meninggalkan kedua orang itu. Setelah tangisnya mereda, Ling Ling teringat bahwa dia menangis pada dada pemuda itu sehingga baju bagian dada Sun Hok menjadi basah. Dia lalu melepaskan diri dan dengan lembut Sun Hok melepaskan pelukannya. Gadis itu mundur dua langkah, mengangkat muka dan memandang dengan kedua mata yang kemerahan dan basah. Sun Hok memandang dengan senyum yang membesarkan hati, sementara sepasang matanya jelas membayangkan perasaan iba dan sayang. "Hok-ko, kenapa... kenapa engkau... menghalangi aku? Kenapa engkau tak membiarkan aku mati saja sehingga aku akan terbebas dari penderitaan ini?" kata Ling Ling, suaranya setengah menyesal dan setengah menegur. Sun Hok masih tersenyum ketika menggeleng kepalanya. "Ling Ling, bagaimana mungkin aku membiarkan engkau mati? Hal itu sama saja dengan membunuh kebahagiaan serta harapan hidupku sendiri. Tidak, Ling-moi, aku tidak akan membiarkan engkau mati seperti juga dunia tidak akan membiarkan hilangnya matahari." Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak mengamati wajah pemuda yang berdiri di depannya itu. Seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah, bertubuh tegap dan matanya mencorong, sikapnya ramah dan sederhana. "Hok-ko... apa... apa maksudmu? Apa... artinya kata-katamu tadi, Hok-ko...?" tanyanya bingung dan jantungnya berdebar karena samar-samar dia mampu menangkap apa yang dimaksudkan pemuda itu, namun dia masih belum dapat menerima atau percaya begitu saja. "Engkau tentu mengerti, Ling-moi, bahwa semenjak kita saling berjumpa, aku... aku telah mengagumimu, menyukaimu, mengasihanimu dan aku... cinta padamu." Sepasang mata Ling Ling semakin terbelalak dan wajahnya yang tadinya pucat sekarang berubah merah sekali. Kemudian wajah yang membayangkan kekagetan dan keheranan itu berubah, berkerut-kerut, bibir itu gemetar, matanya menjadi sayu dan tak tertahankan lagi Ling Ling lantas menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangannya, terisak-isak, lebih sedih dari pada tadi! Can Sun Hok mengerutkan alis dan menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara lembut sekali. "Ling-moi, sungguh aku tak tahu diri dan lancang sekali. Aku bahkan telah menambah kedukaanmu dengan menyinggung hatimu. Jika kejujuranku ini menyinggung perasaanmu, harap kau maafkan aku, Ling-moi." Sampai lama Ling Ling tak mampu menjawab, hanya terisak-isak, pundaknya terguncang-guncang dan air mata menetes melalui celah-celah jari tangannya. Dan akhirnya, setelah tangisnya mereda, dia menurunkan kedua tangannya, memandang kepada Sun Hok yang masih menanti dengan sabar. "Bukan begitu maksudku, Hok-ko... aku... aku menjadi semakin sedih karena... karena... engkau begitu baik, engkau... engkau menyatakan cinta kepadaku, padahal aku... aku..." Sun Hok tersenyum lembut dan memandang dengan sikap memberi semangat. "Engkau kenapa Ling-moi? Bagiku, engkau gadis yang paling hebat di dunia ini." "Aihh... Hok-ko, aku... aku tidak berharga untuk menjadi sisihanmu... aku... aku..." "Engkau kenapa? Katakanlah, Ling-moi, aku siap mendengar yang bagaimana pun juga." Ling Ling menatap tajam wajah pemuda itu, mengumpulkan ketabahannya lantas dia pun berkata, "Aku... aku telah ternoda... aku bukan perawan lagi, Hok-ko..." Dan dia pun segera menundukkan mukanya yang menjadi pucat, air matanya mengalir di sepanjang kedua pipinya, kedua kakinya menggigil dan tentu tubuhnya akan roboh kalau saja Sun Hok tak cepat-cepat menghampiri dan memegang kedua pundaknya, kemudian mengguncangnya sedikit untuk memberi semangat dan kekuatan. "Aku telah mengetahui, Ling-moi, aku telah dapat menduga semuanya." Ling Ling makin terkejut dan heran. Dia mengangkat muka dan memandang pemuda itu, sinar matanya tajam menyelidik melalui genangan air matanya. "Engkau... engkau sudah tahu...? Bagaimana... engkau bisa tahu?" "Sejak berjumpa denganmu, lalu melihat engkau berkelahi mati-matian melawan pemuda perkasa bernama Tang Hay itu, mendengar engkau menyebutnya jai-hwa-cat dan melihat kebencianmu kepadanya, aku sudah menyangka bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang amat hebat antara engkau dan dia. Kemudian, tidak percuma aku bertemu dan jatuh hati kepadamu, Ling-moi, aku memperhatikan semua gerak-gerikmu, juga aku melihat semua yang terjadi ketika engkau menyerang Tang Hay, dan setelah melihat perkembangannya aku dapat menduga bahwa engkau tentu seorang di antara korban-korban dari jai-hwa-cat yang kemudian ternyata ialah Ang-hong-cu, ayah kandung Tang Hay! Betulkah demikian, Ling-moi?" Ling Ling menggerakkan tangan mengusap air matanya dan dia pun mengangguk. "Benar dugaanmu, Hok-ko. Aku adalah seorang korban dari jai-hwa-cat itu, yang tadinya kukira Hay-ko orangnya. Dan engkau... engkau sudah tahu bahwa aku bukan perawan lagi, telah ternoda, tercemar badan, nama dan kehormatanku, akan tetapi engkau... engkau masih menyatakan cinta...?" Sun Hok melepaskan kedua pundak gadis itu lantas mundur dua langkah. Mereka saling pandang dan Sun Hok mengangguk. "Benar, Ling-moi. Aku cinta kepadamu, dan dengar baik-baik, engkaulah yang kucinta, engkau, jiwa ragamu, engkau seutuhnya! Aku bukan mencinta nama dan kehormatanmu. Dan aku merasa bangga dan gembira sekali bahwa engkau telah berani mengaku di depanku, hal ini menandakan bahwa cintaku tidak keliru. Engkau seorang gadis yang hebat sekali. Akan tetapi... Ling-moi, aku masih merasa ragu apakah seorang gadis sehebat engkau ini akan mungkin membalas cinta kasihku? Maka jawablah, Ling-moi, sudikah engkau menerima pinanganku dan maukah engkau menjadi calon isteriku?" Kembali mereka saling pandang dan sebelum Ling Ling sempat menjawab, Sun Hok telah mendahuluinya. "Nanti dulu, Ling-moi! Jangan jawab dahulu sebelum engkau mendengar siapa adanya diriku ini!" "Engkau seorang pendekar gagah perkasa dan patriotik!" Sun Hok menggelengkan kepala. "Jauh dari pada itu, Ling-moi. Mendiang ibuku adalah seorang tokoh sesat yang terkenal amat lihai! Hanya saja, aku sadar akan kesesatannya dan tidak mengikuti jejaknya. Dan yang lebih dari pada itu, aku... aku sudah mempunyai seorang selir, Ling-moi. Jadi, kalau engkau sudi menjadi isteriku, di sana telah menunggu seorang selir, berarti seorang madu bagimu..." Kini Ling Ling mengangkat muka memandang dengan mata dilebarkan. "Seorang selir...? Tapi, mengapa dia tidak menjadi isterimu? Siapa dia dan bagaimana hanya menjadi selir? Ceritakanlah tentang wanita itu..." Sun Hok mengangguk-angguk. "Bukan isteri, hanya selir, itu pun baru seorang calon selir. Dia tidak mau menjadi isteriku, hanya mau menjadi selir itu pun kalau aku telah beristeri, kalau belum, dia tidak mau." Ling Ling semakin heran. "Hok-ko, ceritakan tentang dia!" kata Ling Ling semakin tertarik. Sun Hok lalu bercerita dengan sejujurnya tentang Bhe Siauw Cin, gadis penyanyi bekas dayang seorang pangeran di kota raja yang dipergunakan oleh Jaksa Kwan untuk merayu dan membujuknya itu. Siauw Cin memang sudah mengaku kepadanya tentang keadaan dirinya yang sebenarnya dan Sun Hok sudah memaafkannya. Dia menceritakan kepada Ling Ling betapa Siauw Cin yang mencinta dirinya, tidak mau mendatangkan aib kepada namanya dan hanya mau melayani sebagai seorang selir kalau dia sudah menikah. "Demikianlah, sekarang dia berada di rumahku menjadi seorang pengurus rumah dan juru masak. Dialah yang akan menjadi selirku kalau engkau sudi menjadi isteriku, Ling-moi." Ling Ling mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa kagum sekali kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang jujur, yang tidak malu mengakui kelemahannya dan cacatnya, kalau pun mempunyai seorang calon selir dapat dikatakan cacat. Agaknya pemuda itu sengaja menceritakan hal ini untuk membangkitkan harga diri Ling Ling sehingga setidaknya Ling Ling akan menganggap bahwa Sun Hok pun mempunyai cacat dan seperti juga dirinya, menjadi jodohnya tidak dalam keadaan 'utuh'. Dan biar pun harus diakuinya bahwa hatinya pernah jatuh kepada Hay Hay, namun semenjak bertemu dengan Sun Hok, dia pun merasa tertarik dan kagum kepada pemuda ini. "Ling-moi, bagaimana? Sudikah engkau menerima cintaku, sudikah engkau menjadi calon isteriku?" Akhirnya Ling Ling memandang kepadanya dan menarik napas panjang. "Hok-ko, engkau sudah menghindarkan aku dari kematian bunuh diri yang sesat, engkau seakan memberi harapan dan kehidupan baru bagiku. Tentu saja aku merasa sangat berterima kasih dan menerima uluran tanganmu dengan rasa syukur dan gembira. Akan tetapi bagaimana pun juga, yang akan mengambil keputusan adalah ayah dan ibuku. Aku akan pulang ke dusun Ciang-si-bun, menceritakan semuanya kepada orang tuaku." cerita silat online karya kho ping hoo Berkata demikian, nampak oleh Sun Hok betapa gadis itu gemetar, agaknya merasa ngeri untuk menceritakan mala petaka yang menimpa dirinya kepada ayah ibunya. Dengan hati penuh iba Sun Hok maju dan merangkulnya. "Jangan khawatir Ling-moi, aku akan menyertaimu, dan aku akan membantumu bercerita kepada mereka, juga sekalian mengajukan pinangan karena aku sudah tidak mempunyai orang tua yang dapat mengajukan pinangan." Ling Ling merasa demikian lega dan girang sehingga sejenak dia menyandarkan kepala di dada calon suaminya itu. Kedamaian yang menenteramkan hatinya, yang mendatangkan harapan baru baginya, yang menyelubungi hatinya. Gadis ini nampak tersenyum manis walau pun pada kedua pipinya masih ada sisa-sisa air mata yang tadi. Kita manusia hidup bagaikan mendayung perahu di tengah samudera kehidupan yang luas, penuh dengan ombak mengalun yang menghantam biduk kita dari kanan kiri! Biduk yang kita dayung di tengah samudera kehidupan itu silih berganti dipermainkan ombak senang dan susah. Mulut ini sampai lelah rasanya oleh permainan tawa dan tangis yang saling menyeling tiada henti, walau pun sepanjang hidup kita tangis datang lebih banyak dari pada tawa. Kita selalu mendambakan kesenangan yang membuat kita tertawa, dan selalu menjauhi kesusahan yang mendatangkan tangis. Akan tetapi mungkinkah itu? Mungkinkah ombak mengalun dari satu sisi saja? Senang dan susah hanya suatu timbal-balik seperti terang dan gelap, seperti siang dan malam. Tidak mungkin sepanjang hidup hanya mendapatkan senang saja tanpa pernah menemukan susah, karena senang dan susah adalah saudara kembar yang tidak dapat terpisahkan, seperti dua permukaan dari satu mata uang yang sama! Kalau sudah mengetahui ini, maka bijaksanalah orang yang tidak menjadi lupa daratan di kala senang, dan tidak menjadi putus semangat di kala susah. Dari susah ke senang, dan sebaliknya, hanya satu langkah saja! Lebih bijaksana lagi kalau kita mau mengamati dan mempelajari apa sebenarnya susah dan senang itu, bagaimana munculnya. Sebenarnya susah dan senang hanyalah permainan pikiran belaka, pikiran yang menilai berdasarkan keuntungan dan kepentingan pribadi. Segala peristiwa yang menguntungkan pribadi akan mendatangkan senang, sebaliknya yang merugikan pribadi mendatangkan susah. Kalau pikiran tidak menimbang-nimbang, menilai, maka segala peristiwa adalah wajar dan tidak akan menimbulkan susah senang. Berbahagialah manusia yang berada di luar jangkauan susah senang ciptaan pikiran ini. Pengamatan mendalam secara pasip (tanpa mengubah) bila mana susah atau senang menguasai batin merupakan langkah pertama ke arah kebebasan. "Heiii, di mana Bibi Kui Hong...?" Tiba-tiba saja Ling Ling teringat dan cepat melepaskan diri dari rangkulan Sun Hok. "Dia tadi menuju ke sana..." Sun Hok menunjuk ke arah sebuah hutan kecil tak jauh dari situ. "Mari kita cari Bibi Kui Hong!" Ling Ling lalu berlari ke arah itu, diikuti oleh Sun Hok. "Bibi Kui Hong...! Bibi Kui Hong...!" Beberapa kali Ling Ling memanggil setelah memasuki hutan itu. "Lihat itu di sana! Seperti ada kertas yang menempel di batang pohon," tiba-tiba Sun Hok berkata sambil menunjuk pada sebatang pohon. Ling Ling menengok dan menghampiri sebatang pohon besar yang tadi ditunjuk Sun Hok. Benar saja, ada kertas berlipat menempel di batang pohon itu, ujungnya tertusuk sebuah ranting kecil. Ling Ling cepat mengambil kertas itu, lalu dibukanya dan ternyata kertas itu adalah sehelai surat dari Kui Hong kepadanya! Segera dibacanya surat singkat itu. Ling Ling, Can Sun Hok adalah cucu seorang pangeran, dia seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Semoga engkau dapat hidup berbahagia dengan dia. Bibimu, Cia Kui Hong. Ling Ling tersenyum dan semakin gembira. Kiranya pemuda yang mencintanya ini bukan orang sembarangan, melainkan cucu dari seorang pangeran, akan tetapi mengaku putera seorang wanita tokoh sesat! Sambil tersenyum Ling Ling menyerahkan surat itu kepada Sun Hok yang membacanya pula. Pemuda itu pun tersenyum. "Ahhh, kiranya wanita perkasa cucu Pendekar Sadis itu adalah bibimu? Ternyata engkau keturunan keluarga para pendekar yang hebat. Ling-moi!" Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Ciang-si-bun di sebelah selatan kota raja, ke tempat tinggal orang tua Cia Ling. Ketika mereka tiba di rumah Cia Sun, kembali Cia Ling merasa tegang dan ada rasa takut menyelinap dalam hatinya. Jika saja dia tidak pulang bersama Sun Hok, kiranya dia tidak akan berani langsung menceritakan keadaan dirinya kepada ayah ibunya. Kehadiran Sun Hok membesarkan hatinya, apa lagi karena selama dalam perjalanan itu Sun Hok sudah membuktikan dirinya sebagai seorang lelaki yang menghargainya dan sopan. Cia Sun dan Tan Siang Wi menyambut pulangnya puteri mereka dengan gembira. Akan tetapi Tan Siang Wi merasa agak khawatir melihat wajah puterinya yang agak pucat dan sinar matanya yang redup seperti orang tengah menderita tekanan batin. Sedangkan Cia Sun merasa heran pada saat melihat puterinya pulang bersama seorang pemuda tampan yang sikapnya sederhana. Atas bantuan dan semangat yang diberikan oleh Sun Hok, dengan suara tersendat-sendat bercampur tangis akhirnya dari bibir Ling Ling keluar juga kisah sedih tentang mala petaka yang menimpa dirinya, yaitu diperkosa oleh seorang jai-hwa-cat berjuluk Ang-hong-cu. Baru cerita itu tiba di bagian ini, Tan Siang Wi yang berwatak angkuh dan galak itu sudah melompat berdiri dari kursinya, mukanya menjadi pucat lalu berubah merah sekali, kedua tangan dikepal dan matanya mendelik. "Aku harus mencari Ang-hong-cu! Aku akan mengadu nyawa dengan jahanam keparat busuk itu!" Akan tetapi Cia Sun yang berwatak sabar dan halus itu menyentuh lengan isterinya, lalu berkata, "Tenang dan bersabarlah. Segalanya sudah terjadi dan mari kita mendengarkan cerita Ling-ji lebih lanjut." Akhirnya wanita yang sangat marah itu dapat dibikin tenang dan dengan kedua mata basah dia mendengarkan kelanjutan cerita anaknya Ling Ling melanjutkan ceritanya bahwa bukan hanya dia yang menjadi korban, akan tetapi banyak dan di antaranya seorang murid Bu-tong-pai. Kini Ang-hong-cu menjadi buronan dan dikejar-kejar oleh puteranya sendiri yang bernama Tang Hay karena pemuda ini ingin mencuci namanya yang tadinya menjadi pusat persangkaan dan dia akan memaksa agar ayah kandungnya mempertanggung jawabkan semua perbuatannya yang jahat. Juga Ling Ling menuturkan tentang pemberantasan gerombolan sesat yang memberontak hingga gerombolan itu dapat dihancurkan. Begitu pula pertemuan-pertemuannya dengan Kui Hong dan para pendekar lainnya. "Dan siapakah orang muda ini?" Cia Sun bertanya kepada puterinya sesudah ceritanya selesai. "Ayah, dia adalah salah seorang di antara para pendekar yang ikut membantu membasmi gerombolan pemberontak. Namanya Can Sun Hok, tinggal di kota Siang-tan. Dia... dia... ikut bersamaku ke sini untuk... untuk..." Ling Ling tak melanjutkan ucapannya, melainkan menoleh ke arah Sun Hok seperti hendak minta bantuan. Sekarang suami isteri pendekar perkasa itu memandang kepada Sun Hok. Di dalam hati mereka terdapat rasa penasaran sebab tadi puteri mereka menceritakan tentang aib yang menimpa dirinya di depan pemuda asing ini pula. Sun Hok cepat memberi hormat kepada suami isteri pendekar itu. Dia tadi amat terkesan melihat sikap orang tua Ling Ling. Ibunya begitu galak penuh semangat dan keberanian, ayahnya demikian pendiam dan tenang, penuh wibawa. Hatinya gentar juga menghadapi dua orang yang perkasa ini. "Harap Paman dan Bibi sudi memaafkan saya. Sebenarnya amat tidak pantas kalau saya datang menghadap sendiri untuk keperluan ini, akan tetapi mengingat bahwa saya sudah tidak mempunyai keluarga lagi, tiada ayah bunda, maka terpaksa saya memberanikan diri menghadap Paman dan Bibi untuk mengajukan pinangan atas diri Ling-moi, untuk menjadi calon isteri saya kalau Paman dan Bibi sudi menerima saya yang bodoh dan yatim piatu sebagai calon mantu." Suami isteri itu saling pandang dan tampak ibu Ling Ling membelalakkan kedua matanya, lalu menoleh kepada puterinya. "Dia... dia sudah tahu... tentang dirimu...?" tanyanya kepada Ling Ling. Ling Ling mengangguk. "Sudah, Ibu. Bahkan dia telah menduganya sebelum aku berterus terang kepadanya. Aku tentu telah mati membunuh diri dengan terjun ke jurang kalau saja tidak ada Hok-ko ini yang mencegahku. Dia tidak peduli dengan aib yang menimpa diriku, bahkan dia merasa iba kepadaku." Mendengar ini ibu Ling Ling merasa terharu dan suami isteri itu tentu saja tidak menolak, malah berterima kasih sekali kepada pemuda itu yang telah menyelamatkan nyawa puteri tunggal mereka, bahkan bersedia pula mencuci aib itu dengan menikahinya. Akan tetapi, sebagai seorang wanita yang terkenal angkuh, belum puas rasa hati Tan Siang Wi kalau belum mendapat keterangan tentang asal-usul pemuda yang akan menjadi menantunya. Maka secara langsung saja dia lalu bertanya mengenai orang tua pemuda itu, walau pun ayah ibu pemuda itu telah meninggal dunia. "Ibu, Hok-ko adalah cucu seorang pangeran," kata Ling Ling untuk mengangkat pemuda itu dalam pandangan ibunya. Akan tetapi Sun Hok segera berkata. "Ah, keturunan bangsawan itu sudah tidak termasuk hitungan lagi. Memang kakek saya adalah Pangeran Can Seng Ong yang pernah menjadi gubernur di Ning-po. Kemudian kakek saya pindah ke Siang-tan. Ayah saya bernama Can Koan Ti, ada pun ibu saya... bernama Gui Siang Hwa dan mereka sudah meninggal dunia semua..." Tiba-tiba Tan Siang Wi meloncat dari kursinya. Matanya terbelalak karena dia ingat benar dengan nama itu. "Gui Siang Hwa? Benarkah nama ibumu adalah Gui Siang Hwa, murid Raja dan Ratu Iblis?" Sambil menundukkan mukanya Sun Hok berkata, "Benar, Bibi, mendiang ibu saya adalah seorang tokoh sesat." Cia Sun juga tertegun, lebih lagi Tan Siang Wi. Ia pernah bentrok dengan Gui Siang Hwa dan teringatlah dia akan masa lalu. Ketika dia masih seorang gadis, pernah dia bertanding melawan Gui Siang Hwa yang amat lihai dan dia kalah bahkan tertawan oleh wanita iblis itu. Wanita ini menjadi bingung. Ia bermantukan putera Gui Siang Hwa yang terkenal dengan julukan Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi) itu? Tidak mungkin! Akan tetapi dia pun lalu teringat akan keadaan puterinya yang sudah ternoda, dan ingat betapa putera Gui Siang Hwa ini adalah seorang pendekar, bahkan seorang patriot! Maka dia terduduk kembali dan termangu-mangu memandang suaminya. Cia Sun menghela napas panjang. "Di dalam hidup manusia ada tiga hal yang sudah ada garisnya, sudah ditentukan dan diatur oleh kekuasaan Thian, yaitu kelahiran, perjodohan dan kematian. Sebagai manusia kita hanya dapat menerima saja. Dan dalam perjodohan yang terpenting adalah cinta kasih antara dua orang yang berjodoh. Can Sun Hok, apakah engkau benar-benar mencinta puteri kami Cia Ling?" Sambil bertanya sinar mata Cia Sun dengan tajam mengamati wajah pemuda itu. Sun Hok balas memandang dan menjawab dengan suara yang tenang dan tegas, tanpa ragu-ragu. "Saya mencinta Ling-moi dengan sepenuh hati, Paman." "Dan engkau, Ling Ling, apakah engkau mencinta Can Sun Hok?" Sekarang pendekar itu memandang kepada Ling Ling. Wajah gadis ini berubah merah dan sambil mengerling ke arah Sun Hok, dia pun menjawab dengan lantang dan tegas. "Ayah, aku... aku cinta padanya." Cia Sun kelihatan puas lantas mengangguk-angguk. "Bagus, kalau begitu kami orang tua hanya tinggal melaksanakan saja pernikahan antara kalian berdua. Kita akan memilih hari dan bulan baik, kemudian merayakan pernikahan kalian secara sederhana saja." Dengan hati gembira keluarga itu lalu merayakan kepulangan Ling Ling, juga merayakan perjodohan antara kedua orang muda itu. Cia Sun serta isterinya akhirnya merasa puas dan gembira juga mendengar riwayat hidup Can Sun Hok yang tanpa merahasiakan lagi menuturkan pertemuannya dengan Ceng Sui Cin yang tadinya dianggap musuh besarnya, betapa kemudian dia sadar sesudah mendengar wejangan wanita perkasa itu. Walau pun mendiang ibunya adalah seorang tokoh sesat yang terkenal jahat, akan tetapi pemuda ini agaknya tidak mewarisi kejahatan ibunya. Demikianlah, seperti bergantinya hujan dan mendung dengan sinar matahari yang cerah, setelah mengalami penderitaan batin karena diperkosa orang yang hampir saja membuat Ling Ling membunuh diri, sekarang gadis itu menemukan kebahagiaan di samping Can Sun Hok yang mencintanya. Sesudah menjadi isteri pemuda itu dan dibawa pulang ke Siang-tan, ke rumah megah di mana dia dipertemukan dengan Bhe Siauw Cin, hati Ling Ling menjadi semakin gembira. Bhe Siauw Cin ternyata seorang wanita muda yang selain cantik jelita, juga ramah dan halus budi bahasanya, pandai membawa diri dan meski pun dia seorang bekas penyanyi dan penghibur panggilan kelas tinggi, tetapi dia cerdas dan memiliki banyak pengetahuan sehingga Ling Ling yang kini menjadi 'Nyonya besar' banyak belajar dari wanita ini, juga dalam melayani suaminya. Pada masa itu merupakan hal yang lajim bagi seorang pria, apa lagi kalau dia seorang bangsawan atau hartawan, untuk memiliki isteri lebih dari seorang walau pun isteri yang lain dinamakan selir. Ling Ling hidup berbahagia di samping suaminya dan madunya. *************** Nasib Pek Eng tidaklah sebaik nasib Ling Ling yang mendapatkan seorang suami yang di samping mencintanya juga sangat dicintanya. Akan tetapi, bila mengingat peristiwa yang mendatangkan aib bagi diri Pek Eng, nasibnya masih dapat dinamakan baik juga. Ayahnya, Pek Kong yang menjadi Ketua Pek-sim-pang, secara diam-diam menemui Song Bu Hok dan mengajaknya berbicara empat mata. Sesudah memesan kepada pemuda itu bahwa semua yang akan dibicarakan merupakan rahasia besar keluarga Pek, dan hanya kepada Song Bu Hok seorang Ketua Pek-sim-pang itu memberi tahukan, juga meminta kepada pemuda itu agar menyimpannya sebagai rahasia sampai mati, barulah Pek Kong menceritakan tentang peristiwa yang menimpa diri puterinya. Song Bu Hok adalah seorang pemuda keturunan orang-orang gagah pekasa. Walau pun wataknya agak tinggi hati namun mempunyai jiwa yang gagah perkasa, seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan dan membela keadilan. Mendengar betapa gadis yang dicintanya, yang kini menjadi calon isterinya karena pinangan ayahnya telah diterima oleh keluarga Pek, diperkosa oleh jai-hwa-cat Ang-hong-cu, dia menjadi marah sekali. "Saya akan mencari jahanam itu dan akan saya bunuh dia!" katanya penuh geram. "Bukan itu maksudku mengapa aku membuka rahasia ini kepadamu, Anakku," kata Pek Kong. "Akan tetapi kami sekeluarga menunggu keputusanmu mengenai ikatan perjodohan antara engkau dan Eng-ji." Bu Hok menatap calon ayah mertuanya dengan tajam dan heran. "Keputusan apakah? Bukankah ikatan perjodohan itu telah diputuskan dan kedua pihak telah menyetujuinya?" "Akan tetapi, setelah mala petaka yang menimpa keluarga kami, setelah tunanganmu itu tercemar, mendapatkan aib... bagaimana pendirianmu?" Bu Hok mengerutkan alisnya. "Gak-hu (Ayah Mertua), aib yang menimpa tunangan sama dengan aib yang menimpa diri sendiri. Tentu saja saya tidak menyalahkan Eng-moi, saya tetap menghormati dan mencintanya." Wajah Pek Kong yang tadinya muram sekarang terlihat cerah ketika dia mengamati wajah Song Bu Hok dengan tajam dan penuh selidik. "Engkau tidak akan merasa kecewa atau menyesal, juga tidak akan memandang rendah, menghina atau membenci Eng-ji karena peristiwa itu?" "Mengapa saya harus begitu? Eng-moi tidak bersalah. Keparat busuk itulah yang bersalah dan kelak saya akan mencarinya untuk menuntut balas! Mengenai perasaan saya kepada Eng-moi... saya kira tidak akan berubah, Gak-hu, bahkan bertambah dengan satu macam perasaan lagi, yaitu iba. Kasihan Eng-moi yang tertimpa kemalangan seperti itu. Saya tetap menghormati dan mencintanya, Gak-hu." "Bagus, sungguh sikapmu ini jantan dan mulia, Bu Hok, dan engkau sudah membuat hati kami menjadi tenang. Terima kasih! Dan tentunya engkau akan menyimpan aib dari calon isterimu sendiri, bukan?" "Tentu saja! Sampai mati peristiwa yang saya dengar dari Gak-hu ini tak akan keluar dari mulut saja, bahkan mulai saat ini pun sudah saya lupakan." Demikianlah, akhirnya Pek Eng juga terangkat dan namanya tercuci bersih karena dia menikah dengan Song Bu Hok, putera tunggal Song Un Tek Ketua Kang-jiu-pang, yang menurut pendapat orang banyak, merupakan kedudukan terhormat dan menyenangkan. Song Bu Hok terkenal sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa berwatak baik, juga dari keluarga terhormat, disegani oleh dunia kang-ouw. Memang Pek Eng tidak memiliki perasaan cinta kepada Song Bu Hok, akan tetapi dia merasa berhutang budi karena Song Bu Hok tetap menghormati dan mencintanya, bahkan bersedia menikah dengannya. Hal ini saja sudah membuat dia bersyukur dan berhutang budi sehingga setelah menikah, Pek Eng berusaha keras untuk dapat menumbuhkan perasaan cinta terhadap suaminya. *************** Hay Hay seperti sudah gila. Dia meninggalkan bukit di mana Ang-hong-cu yang mengaku bernama Han Lojin itu ditahan kemudian melarikan diri, meninggalkan sajak yang bahkan membuat Hay Hay menderita pukulan batin yang paling hebat. Dia berlari meninggalkan tempat itu sambil mengerahkan seluruh tenaganya berlari cepat. Bagaikan terbang saja tubuhnya meluncur ke depan tanpa ada tujuan tertentu, lari dan lari terus, seolah-olah dia hendak lari dari kenyataan yang amat pahit getir dan merobek-robek perasaan batinnya itu. Sambil berteriak seperti kuda gila, pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan yang semakin menusuk hatinya. Bahwa ayahnya adalah seorang jai-hwa-cat kelas berat, hal itu hanya merupakan luka yang sudah lama. Namun luka itu kini ditambah lagi dengan kenyataan betapa ayahnya sudah mencemarkan Pek Eng dan bahkan memperkosa Cia Ling secara keji. Lebih dari itu malah, ayah kandungnya itu agaknya memang sengaja melakukan hal itu untuk merusak namanya, agar semua orang menuduh dia sebagai pelakunya. "Ang-hong-cu...! Keparat jahanam, di mana engkau...?!" Akhirnya dia pun berteriak-teriak, mengerahkan khikang hingga suaranya melengking dan bergema sampai jauh. Dia berlari terus, naik-turun gunung, melompati jurang-jurang. Kadang kala dia berteriak-teriak menyebut nama Ang-hong-cu, kadang-kadang nampak pula air mata bercucuran di sepanjang kedua pipinya. Dia berlari terus, tanpa pernah mengurangi tenaganya. Betapa pun terlatih dan kuatnya, tenaga manusia tetap terbatas dan akhirnya, menjelang senja Hay Hay roboh terpelanting di atas rumput, di sebuah lereng bukit yang sunyi. Dia roboh dan pingsan karena kelelahan dan kehabisan tenaga. Seperti sudah mati tubuhnya rebah miring setengah menelungkup di antara rumput tebal hijau segar. Dan kini, setelah roboh pingsan, wajahnya yang tadinya penuh dengan linangan air mata dan nampak lesu, muram dan berkerut-kerut, kini berubah menjadi tenang bahkan ada setengah senyuman membayang pada mulutnya. Segala macam duka, benci, takut dan sebagainya adalah perasaan yang muncul sebagai kembangnya pikiran. Pikiranlah yang menjadi biang keladi dari segala macam emosi dan sentimen dalam batin kita. Pikiran mengenang masa lalu, membayangkan masa depan, pikiran yang menimbang-nimbang dan menilai untung rugi terhadap diri kita, menciptakan segala macam perasaan itu. Bahkan duka dan pikiran bukan dua hal yang berlainan! Duka adalah pikiran itulah. Yang merasa punya diri, yang merasa ada aku, juga pikiran itu dan iba diri timbul pula dari permainan pikiran. Iblis tidak berada jauh dari diri kita, bersarang di dalam pikiran, setiap saat membisikkan bermacam kata-kata berbisa, mulai dari yang manis merayu sampai yang mencaci maki dan menusuk perasaan. Betapa pun duka atau benci atau takutnya seseorang apa bila pikirannya tidak bekerja lagi, dalam tidur, dalam pingsan seperti Hay Hay, maka semua bentuk perasaan duka, benci, takut dan sebagainya itu akan lenyap pula! Oleh karena itu tidak ada artinya untuk mengalahkan duka, benci atau pun takut, selama pikiran masih menjadi bisikan iblis. Kalau yang berusaha mengalahkan duka itu pikiran, maka yang muncul hanyalah pelarian, hiburan, dan semua ini kosong dan sia-sia belaka, karena duka adalah pikiran itu sendiri! Bagaimana mungkin pikiran melarikan diri dari dirinya sendiri? Yang penting adalah melepaskan belenggu ikatan pikiran, ikatan si aku, membebaskan diri dari semua permainan pikiran yang menyenangkan masa silam dan membayangkan masa depan. Bukan aku yang membebaskan, karena yang mengaku sebagai 'aku yang berusaha membebaskan' bukan lain adalah pikiran pula, dalam bentuk lain. Pikiran memang lihai dan lincah, seperti Sun Go Kong (Si Raja Monyet} dalam dongeng See-yuki. Lalu timbul pertanyaan, yaitu bagaimana caranya untuk membebaskan diri dari pikiran ini? Pertanyaan ini pun masih sekali tiga uang, sama saja, karena yang bertanya itu juga si aku atau pikiran yang mempunyai pamrih untuk bebas dari pikiran agar tidak ada duka lagi! Setiap gerakan dari pikiran sudah pasti berpamrih, karena pusatnya adalah si aku yang ingin senang! Jadi. Tidak ada pamrih membebaskan diri, namun sadar akan bekerjanya pikiran kita sendiri yang menjadi sumber dari segala perasaan. Dan tidak pernah terdapat cara untuk membebaskan pikiran, karena pikiran adalah aku atau kita sendiri! Akan tetapi dengan sepenuh kewaspadaan mengamati diri, mengamati apa yang terjadi di dalam dan di luar diri, di dalam pikiran, mengamati diri ketika timbul duka, benci, takut. Pengamatan inilah yang amat penting. Pengamatan tanpa pamrih, pengamatan tanpa ada si aku yang mengamati sebab kalau begini, tentu si aku akan menilai dan mengubah, mencela dan memuji. Yang ada hanya PENGAMATAN saja, dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian dan dengan menyeluruh, namun sedikit pun tidak ada pamrih mengubah atau boleh disebut secara pasip saja. Angin semilir menggoyangkan rumput-rumput hijau, juga membuat rambut di kepala Hay Hay berkibar. Angin dingin meniup kepalanya sementara hawa dingin menyusup ke dalam kepala, menggugah Hay Hay yang pingsan seperti orang tertidur itu. Dia membuka mata, menggerakkan tubuhnya lantas bangkit duduk. Teringat dia akan semua yang terjadi dan dia pun menampar kepala sendiri, lirih, lalu tersenyum. "Hay Hay, apakah engkau sudah gila? Membiarkan diri terseret oleh kedukaan dan malu? Tenanglah, tidak ada suatu apa pun tidak dapat diatasi di dunia ini." Dia pun bangkit berdiri, merentangkan kedua lengannya ke atas, menghirup udara segar hingga sepenuh paru-paru dan perutnya, lalu menghembuskannya perlahan dan perasaan lega dan sejuk menyusup sampai ke dalam dirinya yang paling dalam. Dia pun tersenyum lagi dan kembalilah dia seperti keadaan Hay Hay semula, sebelum diracuni duka. Juga perasaan benci terhadap Ang-hong-cu tidak terasa lagi. Dia mengangguk-angguk, merasa bersyukur melihat keadaan dirinya. Kemudian perlahan dia menghampiri sebuah batu besar di bawah pohon tidak jauh dari situ, lalu dia duduk di atas batu. Tempat itu sunyi dan sejuk sekali. Langit senja begitu indahnya, menciptakan awan beraneka warna dan di sudut barat langit terbakar warna merah muda. Di antara kelompok awan yang bentuknya laksana biri-biri putih salju nampak sinar biru dan ungu, juga ada awan besar yang menghitam yaitu awan mendung yang bagaikan raksasa malas, bergerak perlahan-lahan tak secepat awan-awan putih di sekitarnya. Langit bagaikan pantulan lautan yang amat luas, dengan awan-awan itu mengambang di atasnya secara terbalik, hanyut bersama arus angin. Di bawah tidak kalah indahnya. Rumput di padang itu hijau kekuningan, segar dan tampak hidup setelah seharian penuh dibakar matahari, kini agaknya dengan penuh harapan siap menyambut selimut malam yang hitam dan sejuk. Pohon-pohon besar bagaikan raksasa-raksasa berjajar, siap untuk memasuki alam gelap malam yang penuh rahasia. Burung-burung sudah sibuk memilih tempat tidur mereka di antara daun-daun dan ranting-ranting, suara mereka bagaikan celoteh yang cerewet menceritakan pengalaman masing-masing sehari yang lalu. Hay Hay duduk bersila di atas batu. Sebelum membiarkan diri tenggelam dalam siu-lian (semedhi), dia lebih dulu mengenangkan segala yang terjadi. Tentang Pek Eng, tentang Cia Ling, tentang Hui Lian, Kui Hong, dan mereka yang ditemuinya, tentang pertempuran hebat itu. Dan dia melihat betapa dia dituduh karena sikapnya yang manis terhadap setiap wanita yang dijumpainya. Dia dianggap mata keranjang! Mata keranjang! Dia mencari arti dari kata-kata sebutan ini. Mata keranjang! Seorang pria yang suka sekali kepada wanita cantik? Seorang pria yang selalu tertarik kepada wanita cantik? Yang suka memuji-muji kecantikan wanita yang dijumpainya? Itukah yang disebut mata keranjang? Pasti bukan seperti Ang-hong-cu! Dia bukan sekedar mata keranjang, melainkan perusak, penjahat yang berhati kejam dan keji. Tidak, dia tidak seperti Ang-hong-cu, sungguh pun harus diakuinya bahwa dia senang sekali melihat wanita cantik, tertarik akan kecantikan wanita dan suka memuji-muji kecantikan itu. Apa salahnya dengan ini? Apa salahnya kalau pria itu mata keranjang? Bukankah setiap orang pria, apa bila dia itu normal, memang mata keranjang? Bukankah daya tarik atau kecantikan wanita terhadap pria itu sudah alami! Setiap orang pria normal sudah pasti suka melihat kecantikan wanita, sudah pasti tertarik hatinya, sudah pasti memujinya meski hanya dalam hati. Hanya bedanya, dia tidak mau menyimpan perasaan suka ini menjadi rahasia, tapi dia selalu berterus terang, dia memuji kecantikan wanita seperti memuji keindahan bunga dan dia memperoleh kenikmatan batin kalau dia menyampaikan pujiannya itu kepada si empunya kecantikan. Apa salahnya dengan itu? Dia tak suka untuk berpura-pura, menikmati kecantikan wanita sambil sembunyi-sembunyi, melirik dari sudut, memuji di dalam hati, bahkan berpura-pura alim dan berpura-pura tidak suka! Ini munafik namanya! Dia lantas teringat akan ayah kandungnya. Tidak, dia tidak membenci ayah kandungnya. Perasaan benci adalah racun, ini dia tahu benar. Akan tetapi dia pun tahu betapa jahatnya Ang-hong-cu, dan betapa berbahayanya membiarkan orang seperti itu berkeliaran dengan bebas. Tentu akan berjatuhan lagi korban-korban baru. Gadis-gadis cantik yang tidak berdosa, seperti bunga-bunga indah yang dipetik secara kasar, dipermainkan lalu dicampakkan begitu saja, mati melayu di selokan, di tepi jalan, terinjak-injak kaki! Bagaimana pun juga dia harus mencari Ang-hong-cu sampai dapat, dia harus minta pertanggungan jawab laki-laki itu. Setidaknya dia akan membuktikan bahwa dia memegang janji, kepada Bu-tong-pai, kepada Pek Han Siong dan Pek Eng, kepada Kui Hong dan Ling Ling. Hatinya terasa tenteram dan Hay Hay lalu tenggelam ke dalam semedhi... T A M A T Serial selanjutnya : Si kumbang Merah Pengisap Kembang

Selanjutnya: SI KUMBANG MERAH PENGHISAP KEMBANG

Komentar