SILUMAN GOA TENGKORAK (BAGIAN KE-7 SERIAL PEDANG KAYU HARUM)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
-pandeglang
+ show / hide ▼
PESTA pernikahan yang dirayakan orang di dusun biasanya jauh lebih meriah dari pada pesta pernikahan yang dirayakan orang di kota itu. Meriah di sini bukan berarti mewahnya perayaan itu, melainkan kemeriahan yang terasa benar di dalam hati mereka yang hadir, tercermin dari wajah mereka yang berseri-seri.
Pesta pernikahan di kota besar hanya merupakan pesta makan minum yang mewah dan berlebihan. Ada pun kegembiraan yang timbul lebih disebabkan oleh pengaruh arak yang terlalu banyak memenuhi perut, kemudian arak itu menguap memenuhi benak membuat orang menjadi lupa diri.
Pesta di kota hanyalah merupakan perlombaan memamerkan kekayaan saja. Akan tetapi di dusun lebih terasa keakraban dan kegotong royongan, sehingga para tamu seolah-olah merasa sebagai keluarga dan sebagai orang yang turut ambil bagian dalam perayaan itu, bahkan seperti keluarga yang merayakan, bukan sekedar tamu yang datang untuk makan minum.
Pesta pernikahan antara Thio Siang Ci dan The Si Kun di dusun Ban-ceng itu sungguh sangat meriah. Seluruh penghuni dusun Ban-ceng turut serta merayakannya. Hal ini tidak mengherankan karena keluarga Thio itu dikenal sebagai keluarga yang ramah dan baik, bahkan Thio Siang Ci dikenal sebagai kembangnya para gadis cantik di dusun itu.
Bahkan banyak pemuda luar dusun, sampai di kota Tai-goan, mengenal dan mendengar tentang kecantikan Siang Ci. Akan tetapi yang beruntung dan berhasil memetik kembang cantik ini adalah The Si Kun, yaitu putera seorang saudagar ikan yang cukup kaya di kota Tai-goan.
Seperti sudah menjadi kebiasaan para penduduk Ban-ceng yang berdasarkan ketahyulan dan perhitungan, pertemuan kedua pengantin juga dilakukan dengan dasar perhitungan dan menurut perhitungan para keluarga yang tua, pertemuan pada hari itu jatuh pada jam enam sore!
Sore itu, rumah keluarga Thio sudah penuh dengan tamu dan suasana menjadi semakin meriah dan gembira ketika sepasang mempelai dipertemukan di mana diadakan upacara sembahyang di depan meja para leluhur.
Biar pun wajah pengantin perempuan tidak bisa terlihat jelas karena terhalang oleh rumbai-rumbai atau hiasan kepala yang berjuntaian ke depan muka, akan tetapi masih kelihatan jelas bentuk tubuhnya yang langsing dan padat, juga sebagian dari kulit leher dan kulit tangannya yang putih halus.
Pengantin laki-laki juga kelihatan ganteng, wajahnya yang muda dan tampan itu nampak berseri-seri, mulutnya mengulum senyum malu-malu sebab banyak teman-temannya yang mengeluarkan suara atau membuat gerakan-gerakan yang menggodanya.
Kedua mempelai itu memang merupakan pasangan yang cocok dan manis sekali. Thio Siang Ci adalah seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita, seperti bunga yang tengah mekar. Ada pun The Si Kun adalah seorang pemuda yang usianya dua puluh tahun, tampan dan sehat, juga pandai berdagang karena semenjak kecil telah membantu ayahnya.
Keluarganya merupakan pedagang ikan yang membeli ikan dari para nelayan di Sungai Fen-ho, lalu mengumpulkan ikan-ikan itu, sebagian dijualnya ke kota Tai-goan dan sebagian lagi dibuat menjadi ikan asin.
Mula-mula pasangan mempelai melakukan upacara sembahyang, dan setelah itu mereka mohon doa restu dari para anggota keluarga yang lebih tua. Kemudian, setelah keduanya lelah menjalankan semua upacara itu, barulah mereka diperbolehkan duduk bersanding di tempat yang telah dipersiapkan, dan ketika itu para tamu mulai dengan perjamuan makan.
Hari telah mulai gelap, karena itu para pelayan mulai menyalakan lilin serta lampu-lampu yang diatur indah dan nyeni untuk menambah meriahnya suasana pesta pernikahan itu. Api lilin yang bergerak-gerak tertiup angin semilir sungguh elok seperti penari-penari yang sedang bergembira menari-nari.
Suasana gembira ini menjadi agak bising karena kini para tamu saling bicara sendiri dan bermacam-macamlah yang mereka bicarakan, dari membicarakan cantik dan tampannya sepasang mempelai hingga ke urusan yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan pesta pernikahan itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan kaget dan salah seorang pelayan yang sedang memasang lilin di bagian luar, melepaskan tempat lilin sambil berteriak tadi. Semua orang menengok dan Thio Ki, ayah mempelai wanita cepat berlari keluar.
"Ada apa?" tanyanya pada pelayan itu dengan alis berkerut karena kecerobohan pelayan itu.
Akan tetapi tubuh pelayan itu nampak menggigil dan hanya menunjuk ke arah dinding di depannya. Tuan rumah lalu mengambil sebuah tempat lilin dan mengangkat benda itu ke atas sambil mendekati dinding, kemudian tiba-tiba mukanya pun berubah pucat ketika dia melihat sebuah gambar tengkorak merah dan agaknya, benda cair yang digunakan untuk menggambar tengkorak itu adalah darah yang masih basah, tanda bahwa gambaran itu baru saja dibuat orang!
Agaknya pelayan tadi menyalakan lilin di dekat dinding dan melihat lukisan itu, maka dia berseru kaget dan menjatuhkan tempat lilin. Thio Ki sendiri pun terkejut.
"Aihhh...!"
Para tamu berlari mendekat dan kini banyak orang mengerumuni tempat itu dan semua memandang kepada gambar tengkorak dari darah itu dengan muka pucat. Sudah ada tiga kali peristiwa seperti itu, ialah gambar-gambar tengkorak darah pada rumah-rumah orang, di pintu atau di dinding depan dan akibatnya, pada malam harinya ada tiga orang gadis terculik! Dan sekarang, justru pada saat gadis tuan rumah merayakan hari pernikahannya, terdapat gambar pada dinding rumah itu!
"Siluman Goa Tengkorak...!" Terdengar bisikan seorang tamu dan semua orang menggigil ketakutan. Nama ini, biar pun baru muncul beberapa kali, telah menjadi semacam momok yang menakutkan di daerah Tai-goan dan sekitarnya.
Pengantin pria, The Si Kun yang juga tertarik dan sudah mendekati dinding itu, mengepal tinjunya. Dia bukan seorang pemuda yang penakut dan lemah. Sejak semula dia sudah menduga bahwa yang membuat gambar-gambar tengkorak dan menculik gadis-gadis itu adalah gerombolan penjahat. Dan dia tidak takut karena para nelayan yang menjadi anak buahnya adalah orang-orang yang sudah biasa menghadapi kekerasan-kekerasan para penjahat dan para bajak sungai.
"Biarkan dia datang! Kami akan melawannya! Bukankah begitu, teman-teman?" teriaknya.
Belasan orang nelayan muda yang bertubuh tegap-tegap dan yang menjadi kawan-kawan pengantin pria, segera mengangkat kepalan tangan ke atas sambil berteriak, "Benar, kita akan lawan dia dan akan tangkap jahanam itu!"
Betapa pun juga, para tamu sudah merasa ketakutan sehingga perjamuan itu dilanjutkan dalam suasana tegang. Para tamu lalu berpamit dan seorang demi seorang bangkit dari tempat duduk, kemudian berbondong-bondong minta diri dan pulang meninggalkan rumah keluarga Thio.
Suasana menjadi sunyi setelah tempat itu tadinya bising dengan para tamu. Yang masih tinggal di situ hanya dua belas orang nelayan muda yang menjadi sahabat pengantin pria. Mereka ini masih tetap makan minum dengan gembira di tempat pesta yang telah kosong itu. Sementara itu, sepasang mempelai juga sudah meninggalkan ruangan dan mendapat kesempatan untuk mengaso dalam kamar mereka karena para tamu sudah tidak bernafsu lagi untuk menggoda sepasang mempelai di malam pertama itu.
Seluruh keluarga Thio yang telah memasuki kamar masing-masing tak bisa memejamkan mata karena hati mereka semua merasa tegang dan khawatir. Atas permintaan pihak tuan rumah, dua belas orang nelayan muda, kawan-kawan dari The Si Kun itu kini pindah ke ruangan yang berada di luar kamar pengantin. Mereka tetap dijamu di tempat itu, tempat yang berdekatan dengan kamar pengantin untuk menjaga kalau-kalau ada penjahat yang datang mengganggu.
Sesudah melihat dua belas orang laki-laki muda yang bertubuh kekar itu berada di depan kamar pengantin, barulah hati Thio Ki merasa lega dan dia pun pergi ke dalam kamamya untuk mengaso. Akan tetapi, di dalam kamar ini pun dia dan isterinya rebah dengan hati gelisah dan tidak dapat pulas sama sekali.
Malam semakin larut dan amat sunyi. Hanya terdengar suara anjing menggonggong dari kejauhan, suara gonggongan yang menyedihkan, yang kemudian berubah menjadi suara menyeramkan. Lolong anjing berkepanjangan ini biasanya dilakukan anjing-anjing sambil mengangkat muka tinggi-tinggi ke atas memandang bulan, dan orang menjadi ketakutan karena katanya saat seperti itu adalah saatnya para iblis bergentayangan di permukaan bumi!
Kedua belas orang nelayan muda itu sudah tidak lagi makan minum, melainkan duduk di ruangan depan kamar pengantin dengan sikap siap siaga. Pengantin pria juga tidak dapat menikmati malam pengantinnya, bahkan tadi sejenak dia terpaksa meninggalkan isterinya untuk turut berjaga bersama kawan-kawannya. Pengantin pria baru memasuki kamarnya lagi sesudah kawan-kawannya mendesaknya dengan sikap setengah menggoda agar dia tidak membiarkan isterinya kedinginan seorang diri dalam kamar.
"Aku mengandalkan penjagaan kalian di luar, sedangkan aku sendiri akan berjaga-jaga di dalam kamar," katanya, sebagian untuk menutupi rasa malunya kepada kawan-kawannya yang tentu sudah menggodanya pada malam pertama itu.
"Hayaaaa... kami mengerti, Si Kun!" kata seorang temannya.
"Sudahlah, engkau nikmati saja malam pengantinmu, biar kami yang berjaga di sini dan menangkap siluman itu kalau benar dia berani muncul."
"Hushh!" cela seorang kawan lain. "Jangan bicara sembarangan di malam seperti ini. Dan masuklah Si Kun, engkau pasti akan merasa aman di dalam pelukan istrimu, ha-ha-ha!" Dua belas orang itu tersenyum.
"Aihh, kalian ini bisa saja menggoda orang. Siapa yang dapat bersenang dalam keadaan seperti ini?" The Si Kun lantas membuka pintu kamar dan masuk ke dalam, menutupkan kembali kamarnya.
Isterinya juga tidak tidur, melainkan duduk di pinggir pembaringan sambil menundukkan muka karena malu. Muka yang cantik memang, dan kini setelah tidak tertutup kerudung, nampak betapa sepasang pipi itu halus kemerahan. Biar pun tadinya dia merasa tegang dan khawatir, kini melihat kecantikan istrinya, Si Kun tidak dapat menahan hatinya maka duduklah dia disamping isterinya, tangannya merangkul dan dengan lembut dia menarik muka itu untuk diciumnya.
Tiba-tiba saja lilin yang berada di atas meja kamar itu padam. Hal ini diketahui oleh para penjaga di luar kamar sehingga mereka pun tertawa-tawa karena padamnya lilin di dalam kamar itu membuat mereka mengira bahwa sepasang pengantin baru itu tentu merasa malu, memadamkan penerangan agar dapat mencurahkan perasaan hati mereka berdua dengan leluasa.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati dua belas orang itu ketika tiba-tiba terdengar teriakan The Si Kun disusul suara gedobrakan di dalam kamar dan tidak lama kemudian terdengarlah jeritan pengantin wanita, akan tetapi jeritan itu terdengar jauh dari situ!
Dua belas orang itu segera menghampiri pintu kamar lantas mendobraknya karena tidak ada jawaban dari dalam ketika mereka memanggil-manggil. Thio Ki dan isterinya beserta seluruh penghuni rumah yang tadinya memang sudah gelisah itu keluar semua dari kamar masing-masing dan berlarian menuju ke kamar pengantin. Pintu kamar didobrak jebol dan mereka berebut masuk. Dari penerangan lampu yang dibawa oleh mereka yang masuk, nampak pemandangan yang mengerikan.
The Si Kun, pengantin pria itu, dengan tubuh bagian atas telanjang, hanya mengenakan celana saja, rebah di lantai dengan leher hampir putus. Darah merah masih mengalir dari lehernya dan membasahi lantai. Pemuda ini sudah tewas, dan pengantin wanitanya tidak nampak bayangannya.
Langit-langit kamar itu terbuka dan berlubang. Maka tahulah semua orang bahwa penjahat itu telah masuk dari atas genteng dengan membobol langit-langit kamar. Tedengar suara para wanita menjerit-jerit dan riuh rendah suara orang menangis. Siluman Goa Tengkorak benar-benar telah datang, menculik pengantin wanita dan membunuh pengantin pria! Gegerlah dusun Ban-ceng!
Mengapa penjahat yang selama beberapa minggu ini mengacau di daerah Tai-goan dan sekitarnya dijuluki orang Siluman Goa Tengkorak? Pertama-tama adalah karena gambar itu. Setiap kali akan melakukan kejahatan, terutama sekali mencuri perhiasan-perhiasan yang serba mahal dan menculik gadis-gadis cantik, pada siang atau sore harinya penjahat itu selalu tentu memberi tanda gambar tengkorak darah pada pintu atau dinding rumah yang akan didatangi! Inilah yang mula-mula membuat dia dinamakan Siluman Tengkorak.
Kemudian, pernah dia dikejar-kejar dan penjahat itu dapat berlari cepat seperti iblis, dan larinya menuju daerah pegunungan yang gundul, dimana terdapat penuh batu-batu besar dan goa-goa. Tempat ini dikenal dengan sebutan Goa Tengkorak, karena memang di situ terdapat banyak sekali goa-goa yang besar dan di antaranya memang ada goa-goa yang bentuknya mirip seperti tengkorak. Karena ini, maka penjahat yang sudah menggegerkan daerah Tai-goan itu dinamakan Siluman Goa Tengkorak.
Pemerintah daerah dengan dibantu oleh para pendekar setempat sudah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu, namun hasilnya sia-sia. Goa-goa itu telah diperiksa, akan tetapi tak nampak sesuatu yang mencurigakan. Tempat itu memang berbahaya dan tandus, terdapat jurang-jurang dalam dan jalannya sangat licin sehingga tidak ada orang yang pernah datang ke tempat yang tidak ada gunanya itu. Pembunuhan The Si Kun yang menjadi pengantin itu dan penculikan isterinya, yaitu Thio Siang Ci, merupakan kejahatan yang keempat sejak penjahat itu muncul hampir dua bulan yang lalu.
Biar pun orang belum pernah dapat melihat wajahnya karena penjahat itu sangat pandai bergerak cepat seperti menghilang saja, akan tetapi orang-orang tahu bahwa penculikan-penculikan wanita dan pencurian itu dilakukan oleh orang yang sama, yang mereka juluki Siluman Goa Tengkorak karena cara-caranya yang sama, yaitu sebelum datang sudah memberi tanda gambar tengkorak darah, dan caranya bekerja juga sama, sangat cepat sehingga jarang dapat dilihat orang.
Seperti terjadinya penculikan atas diri Thio Siang Ci, sungguh sangat mengherankan dan menakutkan orang. Di luar kamar pengantin itu terdapat dua belas orang nelayan muda yang kuat-kuat dan yang masih berjaga, sama sekali tak ada yang tidur. Namun penjahat itu dapat memasuki kamar pengantin tanpa ada yang mengetahuinya, lantas membunuh pengantin pria yang mungkin melawan kemudian menculik pengantin wanita. Peristiwa itu terjadi sedemikian cepatnya sehingga yang terdengar hanya teriakan pengantin pria dan saat kamar didobrak, penjahat itu telah lenyap bersama pengantin wanita yang diculiknya.
Daerah Goa Tengkorak terletak di luar kota Tai-goan, yakni di sebelah selatan, di lereng Pegunungan Lu-liang-san di lembah Sungai Fen-ho. Goa-goa ini selain sukar dikunjungi dan tak pernah didatangi manusia, juga amat angker dan menurut penduduk yang masih percaya dengan cerita-cerita tahyul, kabarnya tempat itu merupakan sarang para iblis dan arwah-arwah yang penasaran.
Ada yang mengabarkan dengan sumpah betapa mereka mendengar suara-suara aneh dan menyaksikan penglihatan-penglihatan menyeramkan di daerah itu di waktu malam. Tentu saja cerita-cerita ini membuat tempat itu menjadi angker dan membuat orang semakin tidak berani mendekati.
Para pendekar dan juga para komandan penjaga keamanan tahu belaka bahwa tempat itu pun menjadi tempat pelarian para buronan. Bagi para penjahat yang menjadi buronan pemerintah, memang daerah itu amat baik untuk menyembunyikan diri.
Goa-goa itu memiliki banyak terowongan-terowongan di bawah gunung yang sambung-menyambung sehingga sekali sang buronan lari memasuki goa yang ada terowongannya, maka amat sukarlah untuk bisa ditemukan. Juga amat berbahaya bagi si pengejar karena tempat itu memang berbahaya sekali.
Daerah Goa Siluman ini hanya indah dilihat dari kejauhan, dari kaki bukit, dan dapat pula dilihat dari Sungai Fen-ho bila mana orang naik perahu lewat di kaki bukit itu. Dari jauh nampaklah dinding bukit yang berbatu-batu serta berlubang-lubang dengan lubang-lubang berbentuk tengkorak, sehingga dari jauh seakan-akan terlihat seperti tengkorak-tengkorak yang dipasang berderet-deret pada dinding batu karang itu.
Akan tetapi keindahan ini mengandung sesuatu yang sangat menyeramkan, seakan-akan ada sesuatu yang mengancam mereka yang terlalu lama memandang ke arah tempat itu. Para nelayan menganggap tempat ini sebagai tempat keramat, karena itu mereka selalu menundukkan muka apa bila melewati tempat ini dan tidak berani memandang langsung terlampau lama ke arah Goa-goa Tengkorak itu. Nama Siluman Goa Tengkorak sudah menggegerkan kota Tai-goan dan daerah sekitarnya selama kurang lebih dua bulan ini karena sepak terjangnya yang amat mengerikan itu.
Letak daerah Goa Tengkorak hanya tiga puluh li dari Tai-goan. Tentu saja para pendekar di kota Tai-goan merasa penasaran dan marah melihat betapa kota mereka dilanda mala petaka dengan munculnya seorang penjahat yang begitu beraninya. Perbuatan penjahat itu seolah-olah merupakan tamparan bagi mereka.
Mereka, bersama pasukan penjaga keamanan kota sudah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu. Namun, penjahat itu benar-benar seperti siluman, kalau nampak bayangannya, maka sukar disusul dan ketika dicari di daerah Goa Tengkorak, tidak dapat ditemukan jejaknya. Sudah ada dua orang gadis cantik di kota Tai-goan yang diculiknya, juga beberapa orang hartawan sudah dicuri barang-barang berharga berupa perhiasan-perhiasan mahal yang disimpan di dalam tempat-tempat rahasia.
Di antara para pendekar yang merasa penasaran terhadap Siluman Goa Tengkorak ini, terdapat seorang lelaki bernama Cia Kok Heng yang bekerja sebagai ahli bangunan pada bagian pertukangan kayu. Nama Cia Kok Heng ini sudah cukup terkenal di kota Tai-goan sebagai seorang ahli silat, bahkan seorang pendekar karena dia merupakan salah seorang murid lulusan perguruan Hong-kiam-pai (Perkumpulan Pedang Angin) di Tai-goan.
Hong-kiam-pai ini merupakan suatu perkumpulan silat pedang yang menjadi cabang dari perguruan besar Kun-lun-pai. Ilmu Pedang Hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin) adalah ilmu pedang dari Kun-lun-pai dan karena perguruan itu khusus mengajarkan ilmu pedang ini, maka tidak menggunakan nama Kun-lun-pai, melainkan Hong-kiam-pai. Yang menjadi anggota atau murid dari Hong-kiam-pai hanyalah orang-orang yang sudah memiliki dasar ilmu silat yang mahir dan boleh saja mempunyai dasar ilmu silat dari partai lain asalkan tingkatnya sudah cukup untuk mempelajari Ilmu Pedang Hong-kiam-sut.
Akan tetapi, Cia Kok Heng memang seorang murid Kun-lun-pai asli sehingga dia memiliki dasar-dasar ilmu silat Kunlun-pai. Dengan adanya perkumpulan Hong-kiam-pai ini maka para pendekar dari semua aliran dapat bersatu dengan menjadi murid atau anggota, dan karena dia sendiri adalah seorang anggota Hong-kiam-pai, maka tentu saja Cia Kok Heng mengenal banyak pendekar yang juga menjadi anggota perkumpulan itu.
Kok Heng hidup rukun bersama isterinya dan dua orang anaknya. Dia sendiri berusia tiga puluh tahun dan isterinya berusia dua puluh tujuh tahun. Isterinya adalah seorang wanita yang amat cantik jelita dan biar pun sekarang telah mempunyai dua orang anak, namun kecantikannya tak berkurang. Anak mereka, yang pertama lelaki berusia sembilan tahun dan yang kedua perempuan berusia tujuh tahun. Hidup mereka tidak bisa dikatakan kaya, namun penghasilan Kok Heng sebagai tukang kayu yang ahli sudah cukup untuk hidup pantas bagi keluarga itu.
Cia Kok Heng bukanlah seorang ahli silat biasa saja di kota Tai-goan. Dia adalah salah seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan! Dan biar pun di antara mereka bertujuh dia termasuk yang paling muda, akan tetapi bukan berarti bahwa kepandaiannya yang paling rendah.
Meski pun tujuh orang pendekar itu belum pernah bentrok sendiri dengan siluman yang mengacau kota mereka, namun mereka menaruh perhatian dan sudah sering mereka bertujuh itu berkumpul untuk membicarakan penjahat itu. Bahkan mereka saling berdebat, ada yang percaya akan desas-desus bahwa penjahat itu lihai seperti siluman dan pandai ilmu menghilang, ada pula yang tidak percaya.
Percaya dan tidak percaya memiliki dasar yang sama. Dasarnya adalah ketidak tahuan. Hanya orang yang tidak mengerti atau tidak tahu sendirilah yang bisa menjadi orang yang percaya atau yang tidak percaya. Oleh karena itu, orang yang percaya dan yang tidak percaya sesungguhnya tidak berhak membicarakan sesuatu yang mereka percaya atau tidak percaya itu, karena keduanya sama-sama tidak mengerti atau tidak tahu. Apa bila sudah tahu, maka tidak mungkin timbul percaya atau tidak percaya lagi.
Sebelum manusia bisa mendarat di bulan, gambaran tentang bulan tentu menimbulkan percaya atau tidak percaya, tergantung pada siapa yang menceritakan dan siapa yang mendengarkan. Akan tetapi sekarang hal itu tidak lagi membutuhkan percaya atau tidak percaya. Anehnya, bagaimana pun juga orang-orang yang percaya atau pun yang tidak percaya inilah, di dalam ketidak tahuan merupakan orang-orang yang paling suka untuk membicarakannya dan memperdebatkannya.
Pada pagi hari itu, dengan hati sedikit kesal Kok Heng berangkat ke tempat pekerjaannya di pusat kota di mana sedang dilakukan pembangunan oleh kepala daerah. Tadi malam pada saat berbelanja ke pasar, isterinya bertemu dengan Phang-kongcu, putera seorang pembesar yang kaya raya dan pemuda itu bersikap kurang ajar. Dengan lagak memikat, Phang-kongcu mengeluarkan kata-kata memuji kecantikannya lantas mengatakan sayang bahwa wanita secantik itu hidup miskin. Demikianlah kata isterinya.
Meski Kok Heng menganggap kekurang ajaran mulut pemuda bangsawan dan hartawan itu merupakan penyakit umum dan bukan sesuatu yang aneh, namun tetap saja hatinya diliputi oleh rasa cemburu dan penasaran. Namun, sebagai seorang pendekar dia mampu menenangkan batinnya dan berangkat kerja dengan wajah agak muram.
Siang hari itu dia pulang lebih pagi dari pada biasanya. Di depan rumah, dia melihat dua orang anaknya, Cia Liong dan Cia Ling, bermain-main dengan anak-anak tetangga. Akan tetapi timbul keheranannya pada saat melihat anak-anak itu berdiri berkerumun di depan dinding dekat pintu, dan terlihat keheranan memandang ke arah dinding sambil menunjuk-nunjuk.
Dia pun cepat melangkah, mendekat dan tiba-tiba saja wajah pendekar ini berubah merah lalu pucat, dan kembali merah lagi. Matanya terbelalak memandang ke arah dinding yang dirubung anak-anak itu. Pada permukaan dinding putih itu tampak jelas gambar tengkorak yang dilukis dengan darah yang masih mengkilat basah!
"Ayah, apakah itu?" tanya Cia Ling.
Kok Heng menggandeng tangan kedua orang anaknya, membawa mereka masuk rumah sesudah dia menyuruh anak-anak lain pulang ke rumahnya masing-masing. Jantungnya tergetar penuh ketegangan dan barulah hatinya terasa lega sesudah dia melihat isterinya menyongsong kedatangannya dari dalam dapur.
"Ehhh, ada apakah? Engkau kelihatan..." Isterinya bertanya khawatir ketika melihat wajah suaminya.
"Tidak apa, tenanglah. Mari kita bicarakan dalam kamar, ajak anak-anak," kata suaminya.
Walau pun sikap suaminya tenang, namun istri pendekar itu dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu. Mereka memasuki kamar dan Kok Heng lalu menceritakan gambar tengkorak yang dilihatnya di dinding rumah mereka.
"Siluman Goa Tengkorak...? Isterinya berbisik, bibirnya gemetar dan mukanya pucat.
"Jangan khawatir. Siapa pun adanya badut atau penjahat itu, sekarang dia akan ketemu batunya. Aku akan mempersiapkan saudara-saudaraku untuk menghadapinya. Telah tiba saatnya Tujuh Pendekar Tai-goan bergerak dan membasmi siluman itu," kata Kok Heng dengan penuh semangat.
Sikap dan ucapan suaminya ini membuat hati isterinya agak tenang, walau pun nyonya muda itu masih saja merasa khawatir. Kok Heng segera menulis sepucuk surat dan minta kepada seorang tetangganya untuk mengantarkan surat itu ke alamatnya.
Setelah itu keluarga Cia lalu makan siang dan sikap tenang pendekar itu mempengaruhi isterinya yang juga merasa tenang. Mereka melarang anak-anak mereka bermain-main di luar rumah dan karena kesal tidak boleh bermain di luar rumah, Cia Liong dan Cia Ling yang mentaati kedua orang tuanya itu lantas tidur di kamar mereka pada siang hari itu.
Kok Heng lalu bercakap-cakap dengan isterinya di ruangan dalam. Baru sekarang mereka mendapatkan kesempatan untuk membicarakan ancaman itu sesudah kedua orang anak mereka tertidur.
Kok Heng mengambil pedangnya, lantas mengeluarkan pedang itu dari sarungnya untuk memeriksanya. Dia sudah bersiap dan kini dia meggantungkan pedangnya di punggung, siap setiap saat menghadapi siluman yang mengancam keluarganya itu.
"Akan tetapi mengapa kita...?" isterinya bertanya dengan wajah yang agak pucat.
Kok Heng memegang lengan isterinya. "Tenanglah, wajahmu begini pucat. Percayalah, kami bertujuh akan dapat menghadapinya, bahkan mungkin menangkap atau membunuh siluman itu."
"Tapi... mengapa kita yang diancamnya? Kita bukan orang kaya..."
"Engkau tahu, isteriku. Siluman itu bukan hanya senang mencuri barang-barang berharga, bahkan suka pula menculik wanita..." Muka yang pucat itu kini berubah merah.
"Tapi... yang diculiknya selama ini adalah gadis-gadis cantik..."
Kok Heng menatap wajah isterinya lantas tersenyum bangga. "Dan engkau adalah wanita yang amat cantik, yang tercantik di antara mereka."
"Ah, jangan bergurau, suamiku. Aku adalah seorang wanita yang sudah mempunyai dua orang anak..."
"Aku tidak bergurau. Biar pun engkau sudah menjadi ibu dari dua orang anak, akan tetapi engkau masih kelihatan sangat muda dan cantik jelita. Ingat saja kekurang ajaran pemuda bangsawan itu..." Tiba-tiba saja pendekar itu mengerutkan alisnya dan memandang wajah isterinya dengan aneh. Wajah itu menjadi semakin merah.
"Si keparat itu... ahh, mengapa engkau memandangku seperti itu...?"
"Pemuda she Phang itu... kemarin dia sudah menggodamu dan pada hari ini siluman itu memberi tandanya! Hemm... ada hubungan apakah di antara kedua peristiwa ini...?"
"Hubungan bagaimana maksudmu?" tanya isterinya bingung. "Pemuda itu adalah putera seorang pembesar, sedangkan siluman itu... bukankah katamu dia itu seorang penjahat besar? Mana ada hubungannya...?"
"Aku pun merasa heran, kenapa begini kebetulan ? Ah, biarlah akan kubicarakan dengan saudara-saudaraku."
Jauh lewat tengah hari, menjelang sore, datanglah enam orang di rumah Cia Kok Heng, segera disambut oleh tuan rumah dengan hati gembira sekali dan juga penuh perasaan lega. Bahkan sekarang nyonya rumah sudah dapat tersenyum dan wajahnya tidak pucat lagi. Bagaimana pun juga, dengan berkumpulnya Tujuh Pendekar Tai-goan, apakah yang perlu ditakuti lagi? Tujuh orang yang terkenal dengan sebutan Tujuh Pendekar Tai-goan itu memang bukan orang-orang sembarangan.
Pertama adalah Cia Kok Heng sendiri yang menjadi orang termuda namun bukanlah yang paling rendah ilmunya. Orang ke dua ialah yang dikirimi surat oleh Kok Heng dan dimintai tolong untuk mengumpulkan semua saudara mereka dan datang ke tempat pendekar she Cia itu.
Orang ini bernama Kwee Siu, usianya sekitar empat puluh lima tahun. Dia adalah murid perguruan Siauw-lim-pai yang sangat lihai, dan kemudian belajar ilmu pedang pula dari Hong-kiam-pai sehingga dia pun masih terhitung saudara seperkumpulan dengan Cia Kok Heng. Walau pun dalam hal ilmu pedang dia masih kalah lihai dari Kok Heng karena Kok Heng memang murid Kun-lun-pai, akan tetapi Kwee Siu ini memiliki kelebihan lain, yaitu ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai.
Orang ke tiga adalah Louw Ciang Su, berusia empat puluh tahun, murid Bu-tong-pai yang sangat lihai dengan senjata rantai bajanya. Ada pun orang ke empat dan ke lima adalah kakak beradik she Ciok, yaitu Ciok Lun yang berusia lima puluh tahun dan Ciok Khim berusia empat puluh lima tahun, keduanya tokoh-tokoh dari Tiat-ciang-pai (Perkumpulan Tangan Besi) yang disegani dari kota raja.
Tentu saja keduanya memiliki tangan yang amat kuat dan terlatih sehingga mahir dalam ilmu tangan besi. Hanya bedanya, kalau Ciok Lun biasa menggunakan senjata toya, maka adiknya, Ciok Khim mempergunakan senjata golok.
Orang ke enam adalah Siok Bu Ham, berusia empat puluh tahun, tidak mempunyai partai dan murid seorang tosu perantau yang mahir mempergunakan senjata sepasang tombak pendek. Orang ke tujuh adalah Liu Ji, usianya empat puluh lima tahun, seorang tokoh Thian-kiam-pang, seorang ahli melempar piauw dan pedang. Pendeknya, untuk Tai-goan dan sekitarnya, nama tujuh pendekar ini sudah terkenal sebagai orang-orang gagah yang menentang kejahatan dan sering kali membantu pemerintah dalam menghadapi penjahat lihai.
Begitu enam orang saudaranya itu datang, Kok Heng lalu mengajak mereka ke depan dan mereka bertujuh memeriksa gambar tengkorak darah itu dengan teliti. Ciok Lun meraba lukisan itu sambil mengerahkan sinkang-nya. Tangannya yang mempunyai Ilmu Tiat-ciang (Tangan Besi) itu tergetar dan menjadi panas, lalu tercium bau amis.
"Hemm, darah tulen...!" gumamnya.
"Mungkin ini bukan darah manusia," kata Kok Heng. "Setiap kali mengancam, siluman itu menggunakan lukisan tengkorak darah, dan agaknya dia menggunakan darah binatang."
Louw Ciang Su, murid Bu-tong-pai, menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. "Belum tentu. Dahulu aku pernah mendengar mengenai seorang penjahat yang mempelajari ilmu hitam dan sering kali menggunakan darah dalam surat ancamannya dan ternyata darah itu darah manusia. Entah dari mana diambilnya karena memang orang-orang macam itu sudah sedemikian jahat dan kejamnya seperti iblis."
Para pendekar itu berdiam diri dan merasa ngeri juga. Yang akan mereka hadapi adalah seorang penjahat yang menurut kabar angin memiliki kepandaian seperti siluman, maka mereka pun harus bersikap hati-hati. Mereka lalu dijamu oleh nyonya rumah dan ketika Kok Heng menceritakan mengenai pemuda bangsawan Phang yang menggoda isterinya kemarin, enam orang pendekar itu mengerutkan alisnya. Lalu terdengar Liu Ji berkata,
"Tidak mungkin dia! Aku mengenal pemuda Phang itu"
"Memang, dia adalah seorang pemuda mata keranjang, terkenal di dunia pelacuran dan tak segan-segan untuk menggunakan kedudukan serta hartanya untuk bisa mendapatkan dan menguasai setiap wanita yang disukainya. Namun dia belum pernah mempergunakan kekerasan, terlebih lagi olehnya sendiri karena dia tidak becus apa-apa, bahkan tubuhnya lemah karena terlalu banyak mengobral nafsunya." Cia Kong Heng mengangguk-angguk.
"Aku pun tidak mencurigai dia karena kalau dia itu lihai tentu kita sudah mengetahuinya. Akan tetapi karena kemarin dia menggoda isteriku dan hari ini siluman itu muncul maka sungguh kebetulan sekali sehingga mau tidak mau, menimbulkan kecurigaan."
Tiba-tiba saja Kwee Siu, murid Siauw-lim-pai yang juga menjadi murid Hong-kiam-pai itu mengepal tinju lantas memukul meja.
"Brakkk!"
Semua orang memandang dan orang tinggi besar ini melotot dengan muka merah. "Siapa pun adanya iblis itu, harus kita hadapi dan malam ini kalau dia berani datang, kita akan menangkap atau membunuhnya!"
"Aku bersumpah, kalau dia berani menjamah sehelai rambut isteri Heng-te saja, aku akan mematahkan tangannya!" teriak Ciok Lun, orang tertua di antara mereka, lantas menarik napas panjang.
"Menghadapi seorang penjahat yang dikenal licin seperti siluman itu, yang pernah diserbu oleh pasukan dan para pendekar namun tetap dapat meloloskan diri, kita harus bersikap tenang. Betapa pun juga, seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, dia selalu memberi peringatan atau mengancam calon korban pada saat siang atau sore, kemudian baru dia turun tangan pada malam harinya. Maka, kita masih memiliki waktu untuk bersiap siaga. Kita harus mengatur penjagaan, membagi-bagi tugas namun harus diatur agar kita dapat saling membantu."
Setelah malam tiba, Tujuh Pendekar Tai-goan itu sudah mengatur siasat. Cia Kok Heng sendiri berjaga di dalam kamar, menjaga isteri serta dua orang anaknya dengan pedang tak pernah terpisah dari badannya. Kwee Siu yang tinggi besar dengan pedang di tangan menjaga di dalam ruangan di luar kamar, ditemani oleh Louw Ciang Su yang senjata rantai bajanya dililitkan di pinggang.
Siok Bu Ham dengan sepasang tombak pendeknya menjaga di belakang rumah. Liu Ji tokoh Thian-kiam-pang itu menjaga di luar, di depan rumah sambil meronda. Sedangkan kedua saudara Ciok Lun dan Ciok Khim telah berada di atas. Rumah dan kamar keluarga Cia itu telah dijaga ketat, dikepung oleh para pendekar dan agaknya iblis sendiri pun tidak akan sanggup memasuki kamar itu tanpa diketahui, dan akan mendapat rintangan yang amat ketat dan berat.
Malam semakin larut dan suasana semakin sunyi menegangkan. Seluruh penghuni rumah itu, kecuali dua orang anak kecil yang sudah tertidur pulas, tidak seorang pun yang dapat memejamkan mata barang sejenak. Semua merasa tegang. Yang ada di dalam rumah itu hanya Cia Kok Heng bersama isteri dan dua anaknya, serta enam orang rekannya. Dua orang pelayan telah disuruh mengungsi sore tadi.
Menjelang tengah malam, suasana sunyi itu menjadi makin lengang. Rumah keluarga Cia ini terletak agak di pinggir kota, semua perumahan di situ memiliki pekarangan dan kebun yang luas sehingga agak jauh dari tetangga.
Tidak ada bulan di langit, dan cahaya laksaan bintang yang lemah mendatangkan cuaca yang remang-remang menyeramkan. Kesunyian yang sangat mencekam itu kadang kala dipecahkan oleh suara burung malam yang mendatangkan suasana lebih menyeramkan, dan kadang-kadang terdengar bunyi lemah kelepak burung malam yang terbang berlalu. Gonggong anjing di kejauhan menambah dalamnya kesunyian yang mencekam di dalam hati, mengingatkan orang akan sesuatu yang tidak mereka lihat dan tidak mereka ketahui, menimbulkan dugaan-dugaan yang mendatangkan rasa gelisah dan takut.
Sudah beberapa kali ini para pendekar itu saling mengunjungi tempat penjagaan masing-masing dan juga memeriksa keluarga Cia yang masih berada dalam kamar. Hati mereka terasa lega dan diam-diam hati yang tegang itu mengharapkan agar siluman itu menjadi jeri dan tidak berani muncul melihat persiapan Tujuh Pendekar Tai-goan.
Akan tetapi ketika waktu telah menunjukkan tepat tengah malam, terdengar bunyi burung malam dan kelepak sayapnya, seolah-olah rumah keluarga Cia itu didatangi oleh burung-burung malam. Dan para pendekar itu mulai merasa seolah-olah mereka atau tempat itu sudah terkepung.
Terdengar suara batuk-batuk Siok Bu Ham yang berjaga di belakang rumah, batuk buatan yang biasa dilakukan orang untuk mengusir rasa seram dalam hati. Suara batuk-batuk ini segera dibalas oleh Ciok Khim yang menjaga di atas wuwungan bersama kakaknya, Ciok Lun. Mendengar suara dua orang rekannya batuk-batuk itu, hati para pendekar yang lain menjadi agak lega. Namun mereka tetap waspada karena naluri mereka yang membuat mereka peka terhadap ancaman lawan tergetar oleh sesuatu yang membuat mereka lebih waspada dan siap siaga. Tiba-tiba...
鈥淣geonggg...!" terdengar suara nyaring disusul geraman-geraman dan gedobrakan di atas genteng rumah tetangga.
Jantung mereka yang sedang tegang itu terasa seperti copot, akan tetapi mereka segera mengenal suara itu dan di dalam batin menyumpah-nyumpah karena itu adalah suara dua ekor kucing yang sedang berkelahi atau sedang bercanda! Karena kebisingan dua ekor kucing yang sedang bermain cinta ini sangat mengejutkan dan tiba-tiba, perhatian para pendekar itu sejenak tertumpah kepada suara itu.
Dan ketika perhatian dua saudara Ciok kembali kepada penjagaan mereka, dengan kaget mereka melihat sesosok bayangan orang tahu-tahu telah berdiri di atas wuwungan rumah keluarga Cia, hanya berjarak beberapa tombak saja dari mereka! Tentu saja kedua orang saudara Ciok itu terkejut sehingga sejenak mereka memandang bengong.
Kini mereka dapat melihat jelas. Orang itu memakai pakaian dan jubah serba putih dari sutera mengkilap dan di bagian dadanya terdapat gambar tengkorak darah, yaitu lukisan tengkorak dari darah merah yang menetes-netes.
"Iblis keparat!" Ciok Khim sudah membentak dan pendekar ini meloncat ke depan, lantas menyerang orang itu dengan goloknya.
Gerakannya amat cepat dan kuat, dan meski pun yang diinjaknya hanya wuwungan yang lebarnya tak lebih dari satu kaki saja, tetapi Ciok Khim dapat meloncat dengan sigap dan menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi, orang itu dengan tenang saja menggerakkan tangan menyambut ke depan.
"Tringgg...!"
Dan mata golok yang tajam itu sudah ditangkis begitu saja oleh jari-jari tangannya yang memakai cincin. Ciok Khim merasa betapa tangan kanannya yang menggenggam golok tergetar hebat, tanda alangkah kuatnya tangkisan itu. Orang itu pun sudah meloncat ke kanan, ke atas wuwungan melintang dengan cepat.
"Siluman jahat!" Ciok Lun sudah menerjang dengan toyanya.
Mula-mula toyanya menyambar ke arah kepala lawan. Ketika dengan gerakan ringan dan mudah toya itu dielakkan oleh lawan dan menyambar lewat, secepat kilat toya itu sudah dilanjutkannya dengan sebuah tusukan ke arah dada, tepat ke arah tengkorak merah itu. Akan tetapi, hebatnya, lawan itu sama sekali tidak menangkis, bahkan seperti memasang dadanya untuk ditusuk toya yang digerakkan dengan amat kuat.
"Dukkk!"
Toya itu tepat mengenai dada dan ternyata tusukan ini bahkan dipergunakan oleh lawan untuk meminjam tenaganya sehingga sekarang tubuh itu terjengkang jauh ke belakang, lantas membuat gerakan jungkir balik beberapa kali ketika melayang ke bawah. Sungguh gerakan yang indah, dan terutama sekali, menerima serangan tusukan toya dengan dada begitu saja menunjukkan bahwa orang itu benar-benar mempunyai kekebalan yang amat kuat.....!
"Keparat, mau lari ke mana kau?" Dua orang saudara Ciok ini mengejar dan melayang turun.
Setibanya di bawah, lawan mereka itu sekali lagi berkelebat sudah lenyap! Selagi mereka kebingungan dan mencari dengan pandangan matanya, mereka melihat lawan tadi sudah berada di belakang mereka, berdiri sambil bertolak pinggang! Diam-diam mereka terkejut.
Lawan ini sungguh dapat bergerak seperti setan saja cepatnya. Dan kini, di bawah sinar penerangan lampu, mereka baru dapat melihat wajah lawan. Ternyata orang itu memakai kedok siluman tengkorak! Mereka berdua segera berteriak keras dan menyerang.
Teriakan itu mereka lakukan untuk memberi tahu teman-teman mereka. Akan tetapi pada saat itu, teman-teman mereka pun sedang sibuk! Siok Bu Ham yang sedang berjaga di bagian belakang rumah, tadi pun terkejut sekali ketika mendengar suara kucing dan tentu saja perhatiannya langsung tertuju ke genteng tetangga dari mana suara hiruk-pikuk itu datang. Dan pada saat dia mengembalikan perhatiannya kepada tempat di sekelilingnya, tahu-tahu di belakangnya telah berdiri seorang yang memakai topeng tengkorak, dengan pakaian sutera putih yang pada dadanya terdapat gambar tengkorak darah!
"Siluman jahanam, berani engkau datang?" bentak Siok Bu Ham dan pendekar ini segera menerjang dengan sepasang siang-kek yang sejak tadi sudah dipersiapkan. Nampak dua cahaya menyambar ketika sepasang tombak pendek itu meluncur dan membuat gerakan menggunting, menyerang dari kanan kiri.
Akan tetapi, orang yang diserangnya dengan ringan meloncat ke belakang dan serangan berganda itu pun mengenai tempat kosong. Sebelum Siok Bu Ham menyerang lagi, orang itu sudah meloncat ke depan.
"Bangsat, jangan lari kau!" Siok Bu Ham membentak sambil mengejar menuju ke depan rumah.
Akan tetapi bayangan itu menghilang dan ketika dia tiba di depan rumah, dia melihat Liu Ji sedang bertanding dengan seseorang yang serupa dengan orang yang dikejarnya tadi. Orang bertopeng tengkorak, bertangan kosong akan tetapi lihai bukan main sehingga Liu Ji yang bersenjatakan pedang itu pun terdesak hebat.
Pada saat Siok Bu Ham datang, Liu Ji yang sedang terdesak itu terkena tamparan pada pundaknya sehingga pendekar itu jatuh, terus menggulingkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak.
Tahulah Siok Bu Ham bahwa rekannya itu tentu menggunakan senjata rahasianya, yaitu piauw yang memang menjadi keahliannya. Tiga cahaya menyambar ke arah perut, dada dan leher orang berkedok tengkorak itu. Akan tetapi orang itu tidak mengelak.
Terdengar suara nyaring ketika tiga batang piauw itu mengenai sasaran, akan tetapi tiga batang piauw itu runtuh tanpa melukai siluman tengkorak itu. Melihat hal ini, Siok Bu Ham maklum bahwa orang itu memang kebal. Ketika melihat orang itu hendak mendesak Liu Ji yang belum sempat meloncat bangun, dia pun membentak marah sambil menggerakkan sepasang tombaknya.
"Siluman keparat, rasakan tombakku!" Dan dia pun sudah menerjang dengan dahsyat.
Siluman itu mengeluarkan suara dari hidungnya dan langsung mengelak. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liu Ji untuk meloncat bangun dan menerjang lagi dengan pedangnya, membantu Siok Bu Ham mengeroyok siluman yang lihai ini. Pundak kanannya tergores kuku dan bajunya robek, terluka sedikit saja akan tetapi rasanya panas dan perih sekali.
Baru mengeroyok sebentar saja, dua orang pendekar ini maklum bahwa lawan mereka sungguh sangat lihai, maka mereka berdua pun bersuit-suit untuk memberi tanda kepada para teman mereka. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang muncul.
Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Ciok Khim dan Ciok Lun juga sedang mengeroyok seorang siluman, dan bagaimana dengan Kwee Siu dan Siu Louw Ciang Su yang berjaga di ruangan dalam, di depan kamar keluarga Cia? Sama saja!
Kedua orang ini tadi juga mendengar suara bising kucing di luar rumah itu, lantas tiba-tiba saja muncul seorang bertopeng tengkorak berjubah putih yang bagian dadanya digambari tengkorak darah. Karena orang ini berdiri di bawah lampu, mereka berdua dapat melihat jelas.
Tentu saja mereka berdua terkejut sekali karena munculnya siluman ini sungguh secara tiba-tiba, berbareng dengan suara ribut kucing tadi, seperti setan yang pandai menghilang saja. Tetapi karena mereka maklum bahwa inilah musuh yang ditunggu-tunggu, keduanya lalu menerjang ke depan dengan marah. Kwee Siu menggunakan pedangnya sedangkan Louw Ciang Su menggerakkan sabuk atau rantai baja yang dipakai sebagai ikat pinggang. Segera terjadi pertempuran seru ketika dua orang ini mengeroyok siluman itu.
"Cia-hiante, hati-hati...!" Kwee Siu berseru untuk memperingatkan Cia Kok Heng.
Akan tetapi Kok Heng sudah mendengar keributan di luar kamar. Dia pun tidak mungkin tinggal diam saja. Cepat dibukanya pintu kamar dan melihat betapa dua orang rekannya mengeroyok seorang bertopeng tengkorak yang gerakannya amat lihai, dia pun menyuruh isterinya menjaga kedua anak mereka dan dia sendiri langsung melompat keluar dengan pedang di tangan.
"Siluman keparat, engkau mengantar nyawa!" bentaknya dan dia pun membantu kedua orang rekannya mengeroyok.
Karena marah bukan main melihat musuh yang mengancam isterinya ini berani muncul di hadapannya, Cia Kok Heng segera menerjang dan menggunakan jurus paling ampuh dari Hong-kiam-hoat, yaitu jurus Hui-hong Bu-liu (Angin Meniup Pohon Cemara). Jurus ampuh ini dilakukan dengan tusukan pada pinggang lawan, akan tetapi itu hanyalah merupakan gertakan belaka karena jurus itu dilanjutkan dengan sambaran pedang secara berputar mengarah kaki dan naik terus sampai ke leher. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya.
Akan tetapi, alangkah kaget hati Kok Heng melihat lawan itu hanya mengeluarkan suara mendengus dan agaknya tidak mempedulikan tusukan gertakan itu, namun ketika pedang menyambar dengan gerakan memutar, orang itu sudah meloncat tinggi di udara sehingga jurus itu pun tidak ada gunanya sama sekali. Orang itu seolah-olah sudah mengenal baik jurus itu dan menggunakan kesempatan selagi meloncat, tidak hanya untuk memunahkan jurus Hui-hong-bu-liu, melainkan loncatan itu segera disambung dengan gerakan pok-sai (salto) jungkir balik dan tahu-tahu tubuh yang jangkung itu sudah meluncur dan melayang ke dalam kamar melalui pintunya yang terbuka.
Tentu saja hal ini sama sekali tak pernah disangka oleh ketiga orang pendekar itu yang sejenak memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi Cia Kok Heng sudah mengejar sambil membentak marah,
"Siluman curang, mari hadapi pedangku!"
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba di dalam kamar, dia melihat isterinya sudah dipanggul dalam keadaan lemas oleh siluman itu dan dua orang anaknya juga dicengkeram, kemudian sambil tertawa mengejek siluman itu meloncat keluar lewat jendela belakang!
"Lepaskan isteri dan anak-anakku!" Kok Heng membentak dan mengejar, dan dua orang rekannya, Kwee Siu dan Louw Ciang Su juga membentak dan mengejar.
Siluman itu sama sekali tidak menemukan perlawanan di belakang, karena Siok Bu Ham yang tadinya berjaga di belakang itu kini telah terlibat dalam perkelahian membantu Liu Ji di pekarangan depan rumah. Siluman itu masih memondong tubuh isteri Kok Heng sambil mengempit dua tubuh anak itu ketika dia melompat naik ke atas wuwungan rumah.
"Lepaskan mereka!" Kok Heng yang merasa gelisah dan marah itu mengejar secepatnya.
"Jahanam curang! Jangan lari!" Kwee Siu juga berteriak mengejar.
"Kalau jantan lawanlah kami!" Louw Ciang Su membentak sambil meloncat pula mengejar ke atas genteng.
"Kejar...!" Kok Heng berteriak lagi.
"Ha-ha-ha!" Suara ketawa dari balik topeng itu terdengar menyeramkan sekali.
Mendadak siluman itu menggerakkan tangan kirinya yang mencengkeram baju dua orang anak itu. Tubuh dua orang anak itu segera melayang ke arah Kwee Siu dan Louw Ciang Su! Tentu saja dua orang pendekar terkejut bukan main, juga Kok Heng lantas berteriak dengan gelisah.
"Sambut anak-anakku itu...!"
Untung bahwa dua orang pendekar itu benar-benar memiliki gerakan lincah. Melihat tubuh dua orang anak itu melayang ke bawah, mereka cepat melempar senjata mereka lantas membalik dan nyaris saja anak-anak itu terbanting remuk di atas tanah kalau tidak kedua orang pendekar itu berhasil menangkap tubuh mereka!
Terdengar suara ketawa dan kini siluman itu sudah mengelak dari sambaran pedang di tangan Kok Heng yang membabat ke arah kedua kakinya. Dia melompat ke atas, terus saja melompat jauh ke depan, turun dari atas wuwungan ke pekarangan belakang rumah tetangga.
Tentu saja Kok Heng cepat melakukan pengejaran sambil membentak nyaring, "Lepaskan isteriku!"
Kwee Siu agak terpincang karena ketika dia tadi menangkap tubuh Cia Liong, putera Kok Heng, terpaksa dia harus mendahului anak itu, menangkapnya dan membiarkan dirinya lebih dulu menimpa tanah. Karena ini, kakinya agaknya salah urat. Melihat ini Louw Ciang Su berkata,
"Kwee-twako, sebaiknya engkau menyelamatkan kedua orang anak ini dan biar aku yang akan membantu Cia-te mengejar siluman itu!" Louw Ciang Su sudah mengambil senjata rantai bajanya lagi yang tadi terpaksa dilepaskannya ketika dia menyelamatkan Cia Ling, anak perempuan itu.
"Baik!" kata Kwee Siu yang sudah merangkul dua orang anak kecil yang masih menggigil dan menahan isak tangis itu.
Louw Ciang Su melompat ke atas genteng dan melakukan pengejaran ke arah larinya siluman yang menculik nyonya Cia. Sambil menggandeng dua orang anak itu, Kwee Siu mengambil lagi pedangnya yang tadi dilepaskannya dan dia merasa sangat heran kenapa empat orang rekannya yang lain tidak muncul. Hatinya terasa amat tidak enak dan sambil menggandeng kedua orang anak itu, dia menuju ke samping rumah.
Hampir saja dia berteriak keras ketika dia melihat betapa dua orang rekannya, Siok Bu Ham dan Liu Ji sudah menggeletak di situ dengan badan mandi darah. Pada waktu dia menghampiri dan memeriksa, ternyata kedua orang rekannya ini sudah tewas! Sebatang tombak pendek, senjata dari Siok Bu Ham sendiri, nampak menembus dadanya, ada pun Liu Ji tewas dengan leher hampir putus oleh pedangnya sendiri yang terletak di dekatnya!
Dengan sepasang kaki menggigil dan menahan tangisnya, Kwee Siu membawa Cia Liong dan Cia Ling keluar. Kembali dia mengalami guncangan batin hebat sesudah melihat dua orang rekan lainnya lagi, yaitu kakak beradik Ciok Lun dan Ciok Khim ternyata juga telah menggeletak menjadi mayat di pekarangan depan. Dan seperti juga keadaan dua orang rekannya yang tewas di samping rumah, kedua orang saudara Ciok ini pun tewas oleh senjata mereka sendiri. Agaknya lawan mereka yang kuat dan bertangan kosong itu telah merobohkan mereka dengan merampas senjata mereka dan mempergunakan senjata itu untuk membunuh tuannya sendiri.
Melihat betapa empat orang rekan atau sahabat yang seakan sudah menjadi saudaranya sendiri itu tewas dalam keadaan yang begitu menyedihkan, hati Kwee Siu penuh dengan kedukaan dan kemarahan. Apa lagi dia mengingat bahwa masih ada dua orang rekannya lagi yang kini melakukan pengejaran terhadap siluman itu. Dia harus membantu mereka!
Maka, dia segera membawa dua orang anak itu kepada seorang tetangga yang langsung menjadi panik ketika mendengar bahwa di rumah keluarga Cia telah terjadi pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Siluman Goa Tengkorak. Tetangga ini memberi tahukan kepada semua penghuni rumah di sekitar tempat itu, dan sebentar saja gegerlah keadaan di perkampungan itu.
Akan tetapi, sesudah menitipkan dua orang anak she Cia itu, Kwee Siu sendiri langsung berloncatan dan cepat menyusul ke arah perginya siluman yang tadi dikejar oleh Cia Kok Heng dan Louw Ciang Su. Hatinya penuh dengan kekhawatiran dan juga dendam terhadap siluman yang telah membunuh empat orang saudaranya.
Akan tetapi Kwee Siu tidak perlu menyusul terlalu jauh. Di dekat tembok kota dia melihat bayangan yang berlari terhuyung-huyung, dan sesudah dia mendekati, ternyata bayangan itu adalah Cia Kok Heng yang berlari sambil terhuyung dan kedua tangannya mendekap leher karena dari situ bercucuran darah segar dari sebuah luka yang menganga!
"Cia-hiante...! Kau kenapa...?" Kwee Siu meloncat dan menubruk sahabatnya sekaligus juga saudara seperguruan di Hong-kiam-pai.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hatinya melihat luka di leher pendekar she Cia itu sungguh hebat sekali dan amat mengherankan jika Cia Kok Heng masih dapat berlari. Begitu melihat Kwee Siu, Cia Kok Heng langsung roboh terguling namun tubuhnya cepat disambar dan dipeluk oleh Kwee Siu.
"Anak-anakku...anak-anakku..." Cia Kok Heng berbisik dalam rangkulan sahabatnya itu.
"Mereka sudah kuselamatkan di tetangga..." kata Kwee Siu. "Mana Louw-te...?"
"Louw-twako... su... dah tewas... ahhh... Kwee-twako, bawa anak-anakku kepada suhu... cepat... ahhhh..." Cia Kok Heng berbisik-bisik akan tetapi dari lehernya hanya terdengar suara mengorok.
"Apa katamu, hiante? Kau bilang apa...?" Kwee Siu yang hatinya menjadi hancur itu cepat mendekatkan telinganya ke mulut yang masih tampak bergerak-gerak dan berbisik lemah sekali itu. Kwee Siu mendengarkan dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat sekali, sepucat muka Cia Kok Heng yang tiba-tiba terkulai dan tewas pula!
Kwee Siu tidak dapat menahan tangisnya lagi. Air matanya segera menetes-netes ketika dia memandang tubuh rekannya ini. Sambil menangis dia pun segera memondong tubuh yang kini sudah menjadi mayat itu, lalu berlari cepat kembali ke rumah keluarga Cia yang telah dipenuhi orang, yaitu para tetangga yang datang melayat.
Mereka semua yang sudah merasa ngeri menyaksikan empat mayat di dalam rumah itu, menjadi semakin ngeri dan ketakutan ketika melihat Kwee Siu datang membawa mayat Cia Kok Heng! Suasana menjadi semakin geger dan menyedihkan.
Sebelum malam terganti pagi, telah tersebarlah berita yang mengejutkan itu, bahwa enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan sudah tewas oleh Siluman Goa Tengkorak dan isteri pendekar Cia Kok Heng sudah diculik oleh siluman itu! Tentu saja berita ini bukan hanya menggegerkan seluruh Tai-goan, akan tetapi bahkan jauh sampai ke luar Tai-goan dan sebentar saja menjadi berita yang menggegerkan di dunia kang-ouw.
***************
Kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda itu dilarikan sangat cepat, menembus kabut pagi. Namun sesudah kereta itu memasuki hutan di sebelah barat daya, di sepanjang lembah Sungai Fen-ho, terpaksa larinya diperlambat karena jalannya buruk dan becek. Kwee Siu yang duduk di tempat kusir memegang cambuk, sementara mukanya masih sangat pucat dan diliputi kedukaan.
Di dalam kereta itu terdapat Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak keluarga Cia yang sudah hancur oleh perbuatan Siluman Goa Tengkorak itu. Dua orang anak ini tidak diberi kesempatan untuk berkabung, bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengantar jenazah ayah mereka yang penguburannya akan dilakukan oleh para tetangga. Setelah terjadinya peristiwa mengerikan semalam, pada keesokan harinya pagi-pagi buta Kwee Siu segera membawa mereka pergi dengan kereta ini.
"Paman Kwee, kita hendak pergi ke mana?" tanya Cia Liong yang matanya masih merah sambil merangkul adiknya ketika mereka dibangunkan dari tidur di pagi buta dan diajak pergi oleh Kwee Siu.
Dua orang anak ini sudah tahu bahwa ayah mereka tewas dan ibu mereka dilarikan oleh penjahat. Tentu saja mereka berdua menangis dan selain merasa berduka juga merasa ketakutan.
Akan tetapi, kedukaan hati seorang anak tidak sama dengan kedukaan hati seorang tua. Anak-anak tidak menyimpan dendam yang berlarut-larut, tidak menyimpan duka sampai menembus batin. Batin kanak-kanak masih bersih dan wajar, masih kuat seperti puncak cemara sehingga biar pun digerakkan angin ribut ke arah mana pun juga, sesudah angin lewat akan tegak kembali, tidak mudah patah.
Bagi anak-anak tangis adalah obat penenang yang mengusir kedukaan dari dalam batin. Sebaliknya orang tua malah menggunakan tangis untuk memperhebat luka di dalam hati dengan rasa iba diri yang berlebihan.
"Kita pergi ke tempat kakek gurumu, ke Kuil Thian-hong-bio. Ayahmu berpesan agar aku mengantarkan kalian ke sana, jadi untuk sementara kalian tinggal di situ bersama sukong kalian..."
"Aku tidak mau..." Tiba-tiba saja Cia Ling berkata merengek. "Aku mau tinggal di rumah bersama ibu!"
Kwee Siu merangkul anak perempuan berusia tujuh tahun itu, menghiburnya. "Tentu saja, bila mana ibumu sudah pulang, engkau akan tinggal di rumah bersama ibumu. Sementara kami mencari ibumu, engkau tinggal bersama kakek gurumu dahulu. Ayahmu berpesan demikian, kalian harus menurut pesan ayah kalian."
Akhirnya dua orang itu dapat dibujuk, lalu dengan membawa pakaian dan semua barang berharga yang terdapat dalam rumah itu, Kwe Siu segera mengantar dua orang anak itu pagi-pagi buta berangkat meninggalkan Tai-goan menuju kuil yang letaknya di luar kota, kira-kira tiga puluh li dari kota Tai-goan.
Setelah meninggalkan kota sejauh kurang lebih sepuluh li, kereta mulai memasuki hutan. Terpaksa Kwee Siu harus memperlambat laju kereta karena jalanan menjadi buruk, tidak rata dan becek.
Pagi itu sunyi sekali, dalam arti kata tidak ada seorang pun manusia nampak di sekeliling tempat itu. Akan tetapi suara burung-burung hutan menyambut pagi mengusir kesunyian dan mendatangkan suasana yang cerah gembira, walau pun kegembiraan itu sama sekali tidak dapat menyentuh hati Kwee Siu yang sedang dirundung kedukaan dan juga dendam membara.
Dia pun seorang murid Hong-kiam-pai, oleh karena itu, mala petaka yang menimpa diri Cia Kok Heng itu sungguh terasa olehnya sebagai dendam pribadi. Terlebih lagi, seluruh saudaranya, enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas dalam keadaan mengenaskan.
Jenazah Louw Ciang Su pun telah ditemukan dan dibawa dari tepi jalan itu ke rumahnya. Jenazah enam orang pendekar itu sekarang telah berada di dalam peti, di rumah masing-masing dan ditangisi keluarga masing-masing, kecuali jenazah Cia Kok Heng karena isteri dan anak-anaknya tidak berada di dekat peti mati.
"Aku harus membalas dendam ini!" Kwee Siu memegang cambuknya erat-erat dan sinar matanya berkilat.
Dia akan mohon bantuan gurunya, ketua Hong-kiam-pai. Kalau para tokoh Hong-kiam-pai mendengar tentang hal ini, tentu mereka tidak akan tinggal diam saja. Tiba-tiba Kwee Siu mengerutkan alisnya. Teringat dia akan bisikan-bisikan yang didengarnya sebagai pesan terakhir Cia Kok Heng kemudian hatinya menjadi bimbang dan bingung.
Jalan itu makin buruk dan masuk ke bagian hutan yang makin lebat, makin gelap karena sinar matahari pagi tidak dapat menembus sepenuhnya. Tiba-tiba saja dua ekor kuda itu meringkik-ringkik dan kelihatan panik. Kwee Siu cepat memegang kendali kuda erat-erat untuk menguasainya.
Kuda, seperti juga binatang-binatang lain memiliki naluri yang sangat kuat. Kepekaan ini terdapat di dalam diri semua makhluk hidup, sebagai pelengkap bawaan. Namun sayang, oleh nafsu-nafsu dalam mengejar kesenangan, oleh kesenangan-kesenangan itu sendiri yang tak pernah memuaskan hati dan selalu terasa kurang, untuk memiliki kepekaan ini manusia telah merusak kepekaan diri sendiri lahir batin.
Kesenangan untuk memenuhi nafsu keinginan, sebagian besar telah merusak kepekaan diri lahir batin dan hal ini tidak dipedulikan manusia. Makanan-makanan yang tidak baik bagi kesehatan badan pun dimakan saja karena terasa enak. Kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya merusak diri dilakukan saja karena enak dan menyenangkan. Hukum-hukum kesehatan lahir batin sering dilanggar demi memperoleh kepuasan nafsu keinginan. Tak mengherankan kalau manusia kehilangan kepekaan nalurinya. Badan dan batin menjadi bebal dan dungu, hanya menjadi alat pemuas nafsu belaka.
Kwee Siu masih belum curiga, hanya mengira bahwa hutan itu mungkin menakutkan dua ekor kudanya dan mungkin saja kudanya mencium bau binatang buas. Tentu saja dia tidak merasa takut, lalu dengan hati-hati dia mengendarai kereta itu dan menahan kendali untuk menguasai dua ekor kudanya.
Mendadak kedua ekor kuda itu meringkik lagi, bahkan mereka mencoba mengangkat kaki depan. Kwee Siu menarik kendali kuda dan tiba-tiba salah seekor di antara dua kuda itu mengeluarkan suara memekik kemudian roboh. Di lehernya menancap sebatang tombak sampai menembus dan kedua kuda itu tewas seketika, berkelojotan sebentar saja.
Barulah Kwee Siu terkejut dan dengan cekatan dia pun meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Matanya menatap ke depan dan bulu tengkuknya meremang pada waktu dia melihat sesosok tubuh melangkah perlahan-lahan menghampirinya dari depan.
Seorang laki-laki jangkung yang berpakaian jubah putih dengan gambar tengkorak darah pada dadanya, juga mukanya tertutup topeng tengkorak! Siluman Goa Tengkorak! Rasa takutnya lenyap sesudah dia membayangkan kematian enam orang saudaranya. Dengan suara penuh dendam Kwee Siu melangkah maju menyambut siluman itu sambil memutar pedangnya.
"Siluman keparat, sekarang aku akan mengadu nyawa denganmu!" Dan Kwee Siu segera menerjang ke depan, menyerang dengan pedangnya.
Siluman itu mengeluarkan suara ketawa panjang dan langsung menyambut serangan itu dengan gerakan-gerakannya yang lincah dan aneh. Tetapi Kwe Siu yang sedang dikuasai dendam dan kemarahan juga terus menerjang dengan dahsyat dan mati-matian.
Sementara itu, Cia Liong dan Cia Ling yang berada di dalam kereta, terkejut ketika kereta berhenti dan kuda meringkik-ringkik. Mereka membuka tirai dan melihat ke depan. Melihat Kwee Siu berkelahi dengan seorang berjubah putih yang mukanya menakutkan, Cia Ling menangis. Akan tetapi Cia Liong merangkulnya dan mendekap mulut adiknya.
"Diam... jangan menangis, kita harus pergi dari sini...," bisik anak laki-laki itu dan mereka berdua lalu diam-diam keluar dari dalam kereta itu, berindap-indap mereka menyelinap ke belakang sambil memandang ke arah Kwee Siu yang masih berkelahi dan didesak hebat oleh orang bertopeng tengkorak.
Kwee Siu melawan mati-matian, akan tetapi siluman itu sungguh sangat lihai, terlalu lihai baginya. Terlebih lagi karena semua serangannya agaknya telah dikenal baik oleh lawan sehingga lawan ini dapat menghindarkan semua serangannya itu dengan amat mudahnya dan balasan serangan lawan itu membuat Kwee Siu terdesak dan kewalahan. Bagaimana pun juga, pendekar yang merasa dendam, marah serta penasaran ini terus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk melawan dengan tekad bulat melawan sampai mati.
Sementara itu, di lain bagian dari hutan itu, hanya dua tiga li dari tempat itu, terdapat dua orang yang sedang berburu kelinci dengan naik kuda. Mereka berdua itu nampak gembira sekali, berburu kelinci sambil bersenda gurau dengan sikap amat mesra. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan melihat sikap mereka, senyum mereka, pandang mata dan kata-kata mereka, dapat diketahui bahwa mereka adalah sepasang orang muda yang saling mencinta. Dan mereka adalah pasangan yang amat setimpal.
Yang pria masih muda, antara dua puluh satu atau dua puluh dua tahun, berwajah amat tampan, ganteng dan gagah, pakaiannya rapi, indah mewah. Biar pun dia bukan seorang pesolek, akan tetapi mukanya terawat baik-baik tanpa ia merias muka, sisiran rambutnya rapi, gelung rambutnya dihias oleh hiasan rambut terbuat dari batu kemala, pakaiannya terbuat dari pada sutera halus, sepatunya masih baru.
Pendek kata, dia seorang pemuda yang sangat ganteng dan gagah, pantasnya seorang pemuda terpelajar yang kaya, dan melihat cara dia menunggang kuda mengejar kelinci, dapat pula diketahui bahwa dia adalah seorang ahli menunggang kuda. Seorang pemuda yang akan membuat setiap orang gadis yang bersua dengannya pasti menengok sampai beberapa kali dengan pandang mata kagum!
Ada pun temannya yang gadis juga merupakan seorang wanita pilihan. Usianya sebaya dengan pemuda itu, wajahnya sungguh amat cantik jelita dan gagah perkasa dengan raut muka sempurna, dengan kulit halus kemerahan tanda sehat, dengan sepasang mata yang indah berkilauan seperti mata burung hong keramat, senyumnya yang semanis madu dan suaranya yang bening merdu.
Gadis ini juga memakai pakaian sutera halus yang indah. Gerakannya ketika mengejar kelinci juga sangat cekatan dan gagah. Seorang gadis yang cantik jelita dan gagah pula! Sungguh merupakan pasangan yang amat setimpal dan seimbang.
Kalau saja orang mengenal siapa kedua orang muda ini, dia tentu tak akan heran melihat kegagahan mereka dan mungkin orang itu akan memandang kagum atau juga mungkin lari menyembunyikan diri. Pemuda yang bertubuh tegap sedang dan berwajah tampan ini bukan lain adalah seorang pendekar yang dahulu namanya pernah menggemparkan kota raja, bahkan pernah menggegerkan seluruh dunia persilatan. Dia adalah Pendekar Sadis!
Dia adalah seorang pemuda yang berdarah bangsawan, karena ayah kandungnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis ini bernama Ceng Thian Sin, putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Ayahnya adalah putera kandung dari mendiang Kaisar Ceng Tung dan ibunya adalah Puteri Khamila isteri Raja Sabutai. Ayahnya itu, selain pangeran, juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang dulu pernah menggegerkan dunia persilatan dengan usahanya untuk menjadi Jagoan Nomor Satu Di Dunia.
Yang sudah mengenal Pendekar Sadis tentu telah mengetahui bahwa dalam hal ilmu silat Ceng Thian Sin si Pendekar Sadis ini tidak kalah lihai dibandingkan mendiang ayahnya. Semenjak kecil dia telah digembleng oleh ayah kandungnya sendiri, bahkan kemudian dia digembleng oleh ketua Cin-ling-pai, mewarisi ilmu silat yang hebat dari Cin-ling-pai.
Bukan hanya itu, dia malah mewarisi pula ilmu-ilmu mukjijat dari pendekar-pendekar sakti yang masih keluarga dari Cin-ling-pai, yaitu dari pendekar sakti Yap Kun Liong bersama isterinya, yaitu Cia Giok Keng. Kakek dan nenek ini menurunkan ilmu mereka kepadanya. Juga Pendekar Lembah Naga berkenan menurunkan ilmu-ilmu mukjijat kepadanya.
Di samping semua itu, dia masih mewarisi ilmu-ilmu peninggalan ayahnya, ilmu-ilmu aneh peninggalan Bu Beng Hud-couw. Pendek kata, Ceng Thian Sin adalah seorang pemuda gemblengan yang sukar dicari tandingannya untuk masa itu.
Temannya itu, dara yang cantik jelita dan gagah itu, bukan seorang wanita sembarangan pula. Jauh dari pada itu! Dara ini bahkan memiliki tingkat yang tidak jauh bedanya dengan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin.
Wanita ini bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena dia adalah puteri kandung dari mendiang Pangeran Toan Su Ong, seorang pangeran pemberontak yang memiliki ilmu silat yang tinggi, dan ibunya adalah seorang wanita yang telah mewarisi ilmu peninggalan Menteri Sakti The Hoo, yang bernama Ouwyang Ci.
Dengan ilmu kepandaian yang tinggi warisan dari ayah bundanya, Toan Kim Hong pernah menjagoi dunia selatan, bahkan dengan menyamar sebagai seorang nenek tua, gadis ini menaklukkan semua tokoh kang-ouw dan liok-lim, kemudian sebagai seorang nenek tua dia diangkat dan diakui oleh semua tokoh dunia persilatan sebagai seorang datuk selatan yang disebut Lam-sin (Malaikat Selatan).
Ilmu silatnya amat hebat dan ketika dia untuk pertama kalinya bertemu dengan Pendekar Sadis, mereka mengadu ilmu dan terjadi pertandingan yang luar biasa hebatnya. Hanya dengan amat susah payah sajalah Pendekar Sadis mampu mengalahkan nenek itu yang kemudian menanggalkan penyamarannya dan berubah menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena sumpahnya bahwa dia akan menyerahkan dirinya kepada pria yang mampu mengalahkannya, juga karena merasa saling tertarik, Kim Hong lalu menyerahkan diri kepada Thian Sin.
Semenjak itu keduanya lalu hidup bersama, merantau ke mana-mana, dan hidup sebagai suami istri tanpa pernikahan yang sah. Keduanya memang tak mau saling mengikat, akan tetapi di dalam hati mereka terdapat ikatan cinta kasih yang amat mendalam. Dua orang ini pernah ditentang oleh para pendekar, bahkan oleh keluarga Cin-ling-pai karena sepak terjang Thian Sin yang dulu terkenal sebagai Pendekar Sadis. Sepak terjangnya dianggap terlalu kejam sehingga para pendekar menentangnya.
Karena kemudian berhadapan dengan keluarga Cin-ling-pai, terutama sekali dengan ayah angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, maka Thian Sin mengalah dan tak berani melawan. Akhirnya dia beserta kekasihnya diampuni dan dia pun berjanji akan membuang jauh-jauh sifatnya yang kejam terhadap para penjahat itu.
Mereka berdua lalu pergi ke tempat yang terasing, yaitu di Pulau Teratai Merah. Tempat ini adalah tempat di mana dahulu mendiang Pangeran Toan Su Ong, ayah kandung Kim Hong, hidup bersama anak isterinya ketika dia masih menjadi buronan pemerintah karena sikapnya yang suka memberontak dan menentang kaisar.
Demikianlah perkenalan kita secara singkat dengan sepasang muda-mudi yang hebat ini. Di waktu-waktu tertentu kedua orang ini sering kali pergi meninggalkan pulau mereka dan melakukan perjalanan di daratan besar, merantau dan melakukan petualangan bersama, menikmati hidup dan bersama-sama menghadapi segala peristiwa dengan sikap sebagai sepasang pendekar yang selalu menentang kejahatan.
Pada hari itu, kebetulan sekali mereka yang hendak melakukan pejalanan pesiar ke kota Tai-goan, pada waktu melewati hutan itu timbul kegembiraan mereka untuk menangkap kelinci ketika mereka melihat beberapa ekor kelinci yang gemuk dan sehat.
"Lihat kelinci di sana itu!" Mula-mula Kim Hong berseru sambil menunjuk ke depan dan mereka melihat seekor kelinci putih yang muda dan gemuk muncul dari semak-semak.
"Gemuknya! Ihh, basah mulutku membayangkan dagingnya dipanggang. Tentu lezat dan sedaaappp...!" Thian Sin tertawa.
Mendengar suara tawa yang tak wajar itu, Kim Hong yang sudah menghentikan kudanya segera menengok lalu memandang wajah kekasihnya dengan sinar mata menyelidik dan menuntut. "Kenapa kau ketawa seperti itu? Mentertawakan aku?"
Thian Sin tertawa semakin geli. "Kim Hong, membayangkan dagingnya yang putih mulus dipanggang, menimbulkan selera seperti jika membayangkan tubuhmu... aihh, seperti ada persamaannya membayangkan antara kalian berdua..."
"Tarrrrr...!"
Pecut kuda di tangan Kim Hong meledak di dekat kepala kuda yang ditunggangi Thian Sin, membuat kuda itu meringkik kaget lantas mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi. Kalau bukan Pendekar Sadis yang berada pada punggungnya, tentu gerakan tiba-tiba ini akan membuat penunggangnya terlempar dari atas punggung kuda!
"Porno kau! Cabul kau!" Kim Hong memaki akan tetapi Tian Sin hanya tertawa. Mereka lalu berlomba untuk berburu kelinci.
"Yang dapat lebih dulu bagian makan, yang lain bagian membersihkan dan memanggang dagingnya!" kata Kim Hong. Akan tetapi sambil berkata demikian, kudanya telah meloncat ke depan dan dia pun segera mengejar seekor kelinci putih yang berlari-larian ketakutan setengah mati akibat dikejar kuda besar.
Thian Sin tertawa dan tidak mau kalah. Lalu dia pun membedal kudanya mengejar kelinci. Mereka berdua adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian silat tinggi, malah dapat dinamakan orang-orang sakti, akan tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka kadang kala bersikap seperti kanak-kanak.
Namun mereka bersikap jujur sekali. Kalau mereka menghendaki, dengan sekali gerakan tangan saja, tentu mereka akan merobohkan seekor kelinci. Akan tetapi pikiran ini sama sekali jauh meninggalkan benak mereka yang sedang bergembira dan begurau itu sebab mereka kini sungguh-sungguh mempergunakan kelincahan kuda mereka untuk berburu kelinci dan berlomba secara wajar dan jujur, sama sekali tak berniat untuk menggunakan ilmu kepandaian mereka.
Justru di sinilah letak kegembiraannya. Menggunakan kelincahan kuda saja untuk berburu kelinci tanpa mengandalkan senjata atau pun kepandaian, sungguh bukan merupakan hal yang mudah. Kelinci-kelinci itu terlampau gesit untuk kuda yang bertubuh besar, lagi pula beberapa kali kelinci-kelinci itu menyelinap kemudian lenyap di dalam semak-semak atau lenyap di dalam lubang.
Mereka tertawa-tawa, berebut hendak menangkap kelinci sampai mereka tidak tahu ke mana kuda mereka menuju. Mendadak mereka mendengar suara anak menahan tangis. Keduanya terkejut, menghentikan kuda mereka dan melihat ke depan.
Di situ, seorang anak laki-laki sedang merangkul seorang anak perempuan dan berusaha mendekap mulut anak perempuan itu agar jangan menjerit atau terisak. Akan tetapi, dua pasang mata mereka itu menatap kepada dua orang penunggang kuda dengan terbelalak dan penuh rasa takut. Mereka itu adalah Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak yang melarikan diri dari dalam kereta yang dihadang oleh siluman itu.
Pada saat mereka tiba di situ dan mendengar suara dua orang penunggang kuda yang tertawa-tawa sambil mengejar-ngejar kelinci, kemudian melihat mereka muncul, dua orang anak itu menjadi ketakutan, mengira bahwa yang muncul itu tentulah orang-orang jahat pula. Cia Ling sudah hampir menjerit dan menangis, akan tetapi mulutnya didekap oleh kakaknya dan kini mereka berdiri terbelalak memandang kepada dua orang penunggang kuda itu dengan ketakutan.
Melihat dua orang anak kecil yang ketakutan di dalam hutan ini, dengan sekali melompat Kim Hong sudah berada di depan mereka. Loncatannya itu memang amat luar biasa dan akan membuat seorang ahli silat atau seorang ahli ginkang melongo dan kagum disertai ketakjuban. Tidak mudah meloncat dari atas punggung kuda seperti itu, tanpa membuat kuda itu terkejut, lantas di udara membuat pok-sai (salto) sampai dua kali dan tahu-tahu meluncur turun di dekat dua orang anak itu. Seperti seekor burung terbang saja.
Dan memang ini adalah salah satu di antara keistimewaan gadis itu, yakni ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sangat hebat. Kim Hong sudah berjongkok di depan dua orang anak itu, tersenyum dan memandang manis agar mereka tidak menjadi ketakutan.
"Ehhh, siapakah kalian adik-adik kecil ini? Dan mengapa berdua saja di dalam hutan dan kelihatan ketakutan? Jangan takut kepadaku, aku akan menolong kalian!"
Dalam keadaan seperti itu, batin anak-anak kecil lebih peka dari pada orang tua. Cia Ling memandang wajah yang cantik itu, kemudian tiba-tiba merangkul dan menangis di atas pundak Kim Hong yang lalu memondongnya.
"Ceritakan, apa yang sudah terjadi? Kami akan menolongmu," kata Thian Sin yang juga sudah turun dari atas kudanya dan menghampiri dua orang anak itu.
Agaknya Cia Liong juga sudah bisa mempercayai kedua orang ini yang sama sekali tidak kelihatan seperti orang-orang jahat, "Ayah kami dibunuh siluman..."
"Apa...?!" Thian Sin terkejut sekali dan berseru keras, membuat Cia Liong terkejut.
Kim Hong mengerutkan alisnya dan merengut. "Kasarmu ini!" celanya dan dia pun segera mendekati anak laki-laki itu, "Mengapa ayahmu dibunuh siluman dan di mana? Ceritakan, jangan takut. Kami akan melawan siluman itu!" katanya.
"Ayah kami dibunuh malam tadi... dan ibu kami diculik siluman..."
"Ahhh...!" Kim Hong juga terkejut. "Dan bagaimana kalian bisa berada di sini?"
"Kami dibawa lari oleh paman Kwee Siu dengan naik kereta. Akan tetapi di tengah jalan... siluman... siluman itu menghadang dan sekarang sedang berkelahi dengan paman Kwee Siu... dan kami melarikan diri..."
"Di mana pamanmu itu sekarang?" Thian Sin bertanya.
"Di sana..." Cia Liong menuding ke belakang.
"Kim Hong, bawa mereka, aku akan ke sana!" Belum habis kata-katanya, orangnya sudah lenyap ketika Thian Sin melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap.
Kim Hong menuntun dua ekor kuda kemudian mendudukkan dua orang anak itu di atas punggung kuda, lalu dia pun menyusul ke arah larinya Thian Sin. Ketika Kim Hong tiba di tempat perkelahian itu, dia melihat Thian Sin sedang berjongkok di dekat sesosok tubuh yang nampaknya sudah menjadi mayat. Thian Sin sedang berusaha membuat orang yang belum tewas benar itu agar memperoleh kekuatan dengan jalan menotok sana-sini. Ia pun menurunkan dua orang anak itu dan cepat menghampiri.
"Paman Kwee..." Dan dua orang anak itu menangis.
Maka mengertilah Thian Sin dan Kim Hong bahwa korban ini adalah paman yang sudah melarikan dua orang anak itu, agaknya hendak menyelamatkan mereka dan melarikan diri dari bahaya, namun tetap saja bahaya maut itu datang menjemput.
Akhirnya usaha Thian Sin berhasil. Orang yang dadanya terluka oleh tusukan pedangnya sendiri dan pelipisnya retak karena pukulan itu mulai menggerakkan mata serta bibirnya, kemudian dia mengeluh panjang, lalu terdengar suaranya berbisik lemah,
"Si... siluman... goa... tengkorak... ahhhh... tewas semua... su... susiok..." Kwee Siu tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena lehernya terkulai dan nyawanya melayang.
"Paman...!" Dua orang anak itu yang dapat menduga apa yang telah terjadi, menangis.
Akan tetapi Kim Hong berhasil membujuk dan menghibur mereka, membawa mereka ke dalam kereta. Kemudian wanita perkasa ini membantu Thian Sin untuk mengubur jenazah Kwee Siu di dalam hutan itu.
Mereka berdua maklum bahwa di belakang semua ini tentu terdapat rahasia, dan mereka dapat merasakan bahaya maut mengancam dua orang anak itu. Oleh karena itulah maka mereka tidak mau ribut-ribut, melainkan dengan diam-diam mengubur jenazah Kwee Siu dan mengambil keputusan untuk menyelidiki urusan ini, dan selain menghukum penjahat-penjahatnya, juga berusaha menolong ibu anak-anak itu yang katanya diculik siluman. Apa lagi mereka mendengar pesan terakhir paman dua orang anak itu tentang Siluman Goa Tengkorak!
Mereka belum pernah mendengar nama ini, namun mudah diduga bahwa tentu penjahat-penjahat itulah yang memakai nama Siluman Goa Tengkorak. Sesudah selesai mengubur jenazah itu secara sederhana, mereka lantas menghampiri Cia Liong dan Cia Ling yang masih terisak-isak dan nampak bingung.
"Anak-anak, janganlah kalian khawatir. Kami akan mencari ibu kalian dan kami juga akan melindungi kalian. Sebaiknya sekarang ceritakan semuanya agar kami tahu ke mana kami harus mencari ibumu itu," kata Kim Hong dengan suara membujuk.
"Sebaiknya katakan dahulu, siapakah nama kalian dan siapa ayah kalian?" Thian Sin ikut bertanya sambil mengelus-elus rambut kepala Cia Ling. Cia Liong mengusap air matanya dengan punggung tangannya.
"Nama saya Cia Liong dan adik saya ini Cia Ling, ayah kami bernama Cia Kok Heng..."
"She Cia...?" Thian Sin membelalak dan di dalam hatinya timbul perasaan mesra terhadap mereka.
Hal ini tidak mengherankan. Nama keturunan Cia merupakan nama keturunan yang amat dekat dalam hatinya. Orang-orang she Cia dari keluarga Cia, yaitu keluarga Cia Sin Liong Pendekar Lembah Naga merupakan orang-orang yang paling dicintainya di dalam dunia semenjak dia masih kecil.
Oleh karena itu, begitu mendengar bahwa dua orang anak ini pun she Cia, maka timbul perasaan mesra terhadap mereka, walau pun dia tahu bahwa belum tentu persamaan she itu menunjukkan bahwa mereka berdua masih keluarga dekat dengan Pendekar Lembah Naga. Apa yang dirasakan oleh Pendekar Sadis Ceng Thian Sin ini juga dirasakan oleh kebanyakan dari kita.
Hal ini timbul karena pengembangan dari si aku. Pementingan diri atau perhatian yang dipusatkan terhadap si aku inilah yang menimbulkan rasa suka tidak suka. Si aku tidak hanya terbatas pada pribadi belaka, melainkan dapat berkembang dan meluas menjadi keluargaku, milikku, sahabatku, golonganku, bangsaku, agamaku dan sebagainya. Jadi, sesungguhnya si akulah yang dipentingkan atau apa pun juga yang menguntungkan atau merugikan aku.
Kedua orang anak kecil itu pun sudah mempunyai arti yang lain bagi Thian Sin begitu dia mengetahui bahwa mereka itu bermarga Cia! Tentu sikap dan perlakuannya akan jauh berbeda andai kata mereka itu tidak bermarga Cia.
Di sini telah timbul penilaian yang membedakan, timbul pilih kasih, timbul ketidak adilan. Dan segala seuatu yang bersumber kepada pementingan si aku, baik aku sebagai diri pribadi mau pun aku yang telah berkembang, sudah pasti menimbulkan konflik dengan akunya orang lain pula.
Biar pun dia sendiri tidak mengetahui dengan jelas duduk persoalannya, namun Cia Liong bisa menceritakan dengan cukup jelas. Bahwa ayahnya menerima ancaman gambar dari Siluman Goa Tengkorak di dinding luar rumah mereka, kemudian ayahnya dan lima orang sahabat ayahnya tewas akibat penyerbuan siluman itu. Betapa kemudian mereka dibawa lari oleh Kwee Siu akan tetapi di dalam hutan itu dihadang oleh siluman.
"Jadi tadi malam ibumu diculik penjahat?" tanya Kim Hong sambil mengerutkan alisnya.
Sayang, anak ini tidak tahu mengapa penjahat yang disebut Siluman Goa Tengkorak itu melakukan perbuatan yang demikian kejamnya. Kim Hong tidak tahu apakah dia sedang menghadapi peristiwa kejahatan biasa ataukah ada sebab-sebab permusuhan di antara si penjahat dan orang tua anak-anak ini.
"Ibu dan kami dibawa terbang oleh siluman ke atas genteng, dan kami berdua kemudian dilempar ke bawah, untunglah ada paman-paman yang menyelamatkan kami. Akan tetapi ibu dilarikan entah ke mana," kata Cia Liong. Anak ini pun menceritakan bahwa ayahnya dan enam orang paman itu adalah Tujuh Pendekar Tai-goan.
"Kim Hong, sekarang kita harus membagi tugas. Kau bawalah mereka ini pergi dari sini, sebaiknya kau titipkan kepada keluarga yang boleh dipercaya di luar kota Tai-goan saja. Aku sendiri akan mencoba untuk mencari jejak penjahat itu, siapa tahu dia belum pergi jauh."
Kim Hong mengangguk. "Baik, aku akan memakai kereta ini. Lalu di manakah kita akan bertemu dan kapan?"
"Lewat tengah hari di tempat ini. Kita saling menanti sampai sore."
Kim Hong mengangguk. Dua orang yang tadinya bersenda gurau seperti kanak-kanak itu kini sama sekali sudah merubah sikap. Mereka bicara singkat, bersungguh-sungguh dan agaknya hanya dengan gerak-gerik serta pandang mata saja, mereka telah mampu untuk saling mengerti.
Memang, dua orang yang saling mencinta ini selain perasaan cinta kasih yang mendalam satu sama lain, juga mempunyai pengertian yang mendalam pula, yang membuat mereka dapat bekerja sama dengan baik dan kadang-kadang bahkan mereka merasa seolah-olah mereka terdiri dari dua badan namun satu perasaan.
Kim Hong segera mengikat kudanya di belakang kereta, kemudian membawa dua orang anak itu pergi meninggalkan hutan dan menuju ke kota Tai-goan dengan maksud hendak mencari dusun di luar kota untuk memilih keluarga yang hendak dititipi dua orang anak itu untuk sementara.
Sedangkan Thian Sin juga segera meloncat ke atas punggung kudanya dan mencari-cari jejak di sekeliling tempat itu. Kadang-kadang dia meloncat dari atas kudanya, memeriksa tanah dan rumput sehingga akhirnya dia menemukan jejak kaki, yaitu ujung sepatu yang menginjak tanah dan meninggalkan bekas atau jejak yang ringan sekali.
Dia tahu bahwa pemakai sepatu itu adalah seorang yang mempunyai ginkang yang amat tinggi, walau pun tidak sehebat ginkang yang dikuasai oleh Kim Hong, namun cukup jelas menyatakan bahwa orang ini merupakan lawan yang tangguh. Maka dia pun berhati-hati dan mulai mengikuti jejak itu.
Sementara itu, Kim Hong sudah berhasil menemukan keluarga yang dianggapnya cukup dapat dipercaya untuk dititipi dua orang anak itu. Keluarga petani itu sendiri mempunyai seorang anak kecil berusia lima tahun dan di dusun itu dia dianggap sebagai orang yang dihormati karena dia cukup pandai menulis dan terkenal sebagai orang yang jujur. Kim Hong memberinya uang, bahkan menyerahkan kereta berikut kudanya kepada petani itu dan menitipkan dua orang anak she Cia untuk selama beberapa pekan lamanya.
"Jaga mereka baik-baik dan jangan biarkan mereka bermain-main terlalu jauh, sebaiknya bermain di dalam rumah saja. Sesudah urusanku ini selesai, aku akan datang menjemput mereka," katanya dan kepada dua orang anak itu, Kim Hong berpesan agar mereka itu menutup mulut dan jangan menceritakan kepada siapa juga tentang urusan mereka. "Aku akan mencari ibu kalian sampai dapat." demikian dia menjanjikan. Tentu saja dua orang anak itu merasa girang dan terhibur.
PESTA pernikahan yang dirayakan orang di dusun biasanya jauh lebih meriah dari pada pesta pernikahan yang dirayakan orang di kota itu. Meriah di sini bukan berarti mewahnya perayaan itu, melainkan kemeriahan yang terasa benar di dalam hati mereka yang hadir, tercermin dari wajah mereka yang berseri-seri.
Pesta pernikahan di kota besar hanya merupakan pesta makan minum yang mewah dan berlebihan. Ada pun kegembiraan yang timbul lebih disebabkan oleh pengaruh arak yang terlalu banyak memenuhi perut, kemudian arak itu menguap memenuhi benak membuat orang menjadi lupa diri.
Pesta di kota hanyalah merupakan perlombaan memamerkan kekayaan saja. Akan tetapi di dusun lebih terasa keakraban dan kegotong royongan, sehingga para tamu seolah-olah merasa sebagai keluarga dan sebagai orang yang turut ambil bagian dalam perayaan itu, bahkan seperti keluarga yang merayakan, bukan sekedar tamu yang datang untuk makan minum.
Pesta pernikahan antara Thio Siang Ci dan The Si Kun di dusun Ban-ceng itu sungguh sangat meriah. Seluruh penghuni dusun Ban-ceng turut serta merayakannya. Hal ini tidak mengherankan karena keluarga Thio itu dikenal sebagai keluarga yang ramah dan baik, bahkan Thio Siang Ci dikenal sebagai kembangnya para gadis cantik di dusun itu.
Bahkan banyak pemuda luar dusun, sampai di kota Tai-goan, mengenal dan mendengar tentang kecantikan Siang Ci. Akan tetapi yang beruntung dan berhasil memetik kembang cantik ini adalah The Si Kun, yaitu putera seorang saudagar ikan yang cukup kaya di kota Tai-goan.
Seperti sudah menjadi kebiasaan para penduduk Ban-ceng yang berdasarkan ketahyulan dan perhitungan, pertemuan kedua pengantin juga dilakukan dengan dasar perhitungan dan menurut perhitungan para keluarga yang tua, pertemuan pada hari itu jatuh pada jam enam sore!
Sore itu, rumah keluarga Thio sudah penuh dengan tamu dan suasana menjadi semakin meriah dan gembira ketika sepasang mempelai dipertemukan di mana diadakan upacara sembahyang di depan meja para leluhur.
Biar pun wajah pengantin perempuan tidak bisa terlihat jelas karena terhalang oleh rumbai-rumbai atau hiasan kepala yang berjuntaian ke depan muka, akan tetapi masih kelihatan jelas bentuk tubuhnya yang langsing dan padat, juga sebagian dari kulit leher dan kulit tangannya yang putih halus.
Pengantin laki-laki juga kelihatan ganteng, wajahnya yang muda dan tampan itu nampak berseri-seri, mulutnya mengulum senyum malu-malu sebab banyak teman-temannya yang mengeluarkan suara atau membuat gerakan-gerakan yang menggodanya.
Kedua mempelai itu memang merupakan pasangan yang cocok dan manis sekali. Thio Siang Ci adalah seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita, seperti bunga yang tengah mekar. Ada pun The Si Kun adalah seorang pemuda yang usianya dua puluh tahun, tampan dan sehat, juga pandai berdagang karena semenjak kecil telah membantu ayahnya.
Keluarganya merupakan pedagang ikan yang membeli ikan dari para nelayan di Sungai Fen-ho, lalu mengumpulkan ikan-ikan itu, sebagian dijualnya ke kota Tai-goan dan sebagian lagi dibuat menjadi ikan asin.
Mula-mula pasangan mempelai melakukan upacara sembahyang, dan setelah itu mereka mohon doa restu dari para anggota keluarga yang lebih tua. Kemudian, setelah keduanya lelah menjalankan semua upacara itu, barulah mereka diperbolehkan duduk bersanding di tempat yang telah dipersiapkan, dan ketika itu para tamu mulai dengan perjamuan makan.
Hari telah mulai gelap, karena itu para pelayan mulai menyalakan lilin serta lampu-lampu yang diatur indah dan nyeni untuk menambah meriahnya suasana pesta pernikahan itu. Api lilin yang bergerak-gerak tertiup angin semilir sungguh elok seperti penari-penari yang sedang bergembira menari-nari.
Suasana gembira ini menjadi agak bising karena kini para tamu saling bicara sendiri dan bermacam-macamlah yang mereka bicarakan, dari membicarakan cantik dan tampannya sepasang mempelai hingga ke urusan yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan pesta pernikahan itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan kaget dan salah seorang pelayan yang sedang memasang lilin di bagian luar, melepaskan tempat lilin sambil berteriak tadi. Semua orang menengok dan Thio Ki, ayah mempelai wanita cepat berlari keluar.
"Ada apa?" tanyanya pada pelayan itu dengan alis berkerut karena kecerobohan pelayan itu.
Akan tetapi tubuh pelayan itu nampak menggigil dan hanya menunjuk ke arah dinding di depannya. Tuan rumah lalu mengambil sebuah tempat lilin dan mengangkat benda itu ke atas sambil mendekati dinding, kemudian tiba-tiba mukanya pun berubah pucat ketika dia melihat sebuah gambar tengkorak merah dan agaknya, benda cair yang digunakan untuk menggambar tengkorak itu adalah darah yang masih basah, tanda bahwa gambaran itu baru saja dibuat orang!
Agaknya pelayan tadi menyalakan lilin di dekat dinding dan melihat lukisan itu, maka dia berseru kaget dan menjatuhkan tempat lilin. Thio Ki sendiri pun terkejut.
"Aihhh...!"
Para tamu berlari mendekat dan kini banyak orang mengerumuni tempat itu dan semua memandang kepada gambar tengkorak dari darah itu dengan muka pucat. Sudah ada tiga kali peristiwa seperti itu, ialah gambar-gambar tengkorak darah pada rumah-rumah orang, di pintu atau di dinding depan dan akibatnya, pada malam harinya ada tiga orang gadis terculik! Dan sekarang, justru pada saat gadis tuan rumah merayakan hari pernikahannya, terdapat gambar pada dinding rumah itu!
"Siluman Goa Tengkorak...!" Terdengar bisikan seorang tamu dan semua orang menggigil ketakutan. Nama ini, biar pun baru muncul beberapa kali, telah menjadi semacam momok yang menakutkan di daerah Tai-goan dan sekitarnya.
Pengantin pria, The Si Kun yang juga tertarik dan sudah mendekati dinding itu, mengepal tinjunya. Dia bukan seorang pemuda yang penakut dan lemah. Sejak semula dia sudah menduga bahwa yang membuat gambar-gambar tengkorak dan menculik gadis-gadis itu adalah gerombolan penjahat. Dan dia tidak takut karena para nelayan yang menjadi anak buahnya adalah orang-orang yang sudah biasa menghadapi kekerasan-kekerasan para penjahat dan para bajak sungai.
"Biarkan dia datang! Kami akan melawannya! Bukankah begitu, teman-teman?" teriaknya.
Belasan orang nelayan muda yang bertubuh tegap-tegap dan yang menjadi kawan-kawan pengantin pria, segera mengangkat kepalan tangan ke atas sambil berteriak, "Benar, kita akan lawan dia dan akan tangkap jahanam itu!"
Betapa pun juga, para tamu sudah merasa ketakutan sehingga perjamuan itu dilanjutkan dalam suasana tegang. Para tamu lalu berpamit dan seorang demi seorang bangkit dari tempat duduk, kemudian berbondong-bondong minta diri dan pulang meninggalkan rumah keluarga Thio.
Suasana menjadi sunyi setelah tempat itu tadinya bising dengan para tamu. Yang masih tinggal di situ hanya dua belas orang nelayan muda yang menjadi sahabat pengantin pria. Mereka ini masih tetap makan minum dengan gembira di tempat pesta yang telah kosong itu. Sementara itu, sepasang mempelai juga sudah meninggalkan ruangan dan mendapat kesempatan untuk mengaso dalam kamar mereka karena para tamu sudah tidak bernafsu lagi untuk menggoda sepasang mempelai di malam pertama itu.
Seluruh keluarga Thio yang telah memasuki kamar masing-masing tak bisa memejamkan mata karena hati mereka semua merasa tegang dan khawatir. Atas permintaan pihak tuan rumah, dua belas orang nelayan muda, kawan-kawan dari The Si Kun itu kini pindah ke ruangan yang berada di luar kamar pengantin. Mereka tetap dijamu di tempat itu, tempat yang berdekatan dengan kamar pengantin untuk menjaga kalau-kalau ada penjahat yang datang mengganggu.
Sesudah melihat dua belas orang laki-laki muda yang bertubuh kekar itu berada di depan kamar pengantin, barulah hati Thio Ki merasa lega dan dia pun pergi ke dalam kamamya untuk mengaso. Akan tetapi, di dalam kamar ini pun dia dan isterinya rebah dengan hati gelisah dan tidak dapat pulas sama sekali.
Malam semakin larut dan amat sunyi. Hanya terdengar suara anjing menggonggong dari kejauhan, suara gonggongan yang menyedihkan, yang kemudian berubah menjadi suara menyeramkan. Lolong anjing berkepanjangan ini biasanya dilakukan anjing-anjing sambil mengangkat muka tinggi-tinggi ke atas memandang bulan, dan orang menjadi ketakutan karena katanya saat seperti itu adalah saatnya para iblis bergentayangan di permukaan bumi!
Kedua belas orang nelayan muda itu sudah tidak lagi makan minum, melainkan duduk di ruangan depan kamar pengantin dengan sikap siap siaga. Pengantin pria juga tidak dapat menikmati malam pengantinnya, bahkan tadi sejenak dia terpaksa meninggalkan isterinya untuk turut berjaga bersama kawan-kawannya. Pengantin pria baru memasuki kamarnya lagi sesudah kawan-kawannya mendesaknya dengan sikap setengah menggoda agar dia tidak membiarkan isterinya kedinginan seorang diri dalam kamar.
"Aku mengandalkan penjagaan kalian di luar, sedangkan aku sendiri akan berjaga-jaga di dalam kamar," katanya, sebagian untuk menutupi rasa malunya kepada kawan-kawannya yang tentu sudah menggodanya pada malam pertama itu.
"Hayaaaa... kami mengerti, Si Kun!" kata seorang temannya.
"Sudahlah, engkau nikmati saja malam pengantinmu, biar kami yang berjaga di sini dan menangkap siluman itu kalau benar dia berani muncul."
"Hushh!" cela seorang kawan lain. "Jangan bicara sembarangan di malam seperti ini. Dan masuklah Si Kun, engkau pasti akan merasa aman di dalam pelukan istrimu, ha-ha-ha!" Dua belas orang itu tersenyum.
"Aihh, kalian ini bisa saja menggoda orang. Siapa yang dapat bersenang dalam keadaan seperti ini?" The Si Kun lantas membuka pintu kamar dan masuk ke dalam, menutupkan kembali kamarnya.
Isterinya juga tidak tidur, melainkan duduk di pinggir pembaringan sambil menundukkan muka karena malu. Muka yang cantik memang, dan kini setelah tidak tertutup kerudung, nampak betapa sepasang pipi itu halus kemerahan. Biar pun tadinya dia merasa tegang dan khawatir, kini melihat kecantikan istrinya, Si Kun tidak dapat menahan hatinya maka duduklah dia disamping isterinya, tangannya merangkul dan dengan lembut dia menarik muka itu untuk diciumnya.
Tiba-tiba saja lilin yang berada di atas meja kamar itu padam. Hal ini diketahui oleh para penjaga di luar kamar sehingga mereka pun tertawa-tawa karena padamnya lilin di dalam kamar itu membuat mereka mengira bahwa sepasang pengantin baru itu tentu merasa malu, memadamkan penerangan agar dapat mencurahkan perasaan hati mereka berdua dengan leluasa.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati dua belas orang itu ketika tiba-tiba terdengar teriakan The Si Kun disusul suara gedobrakan di dalam kamar dan tidak lama kemudian terdengarlah jeritan pengantin wanita, akan tetapi jeritan itu terdengar jauh dari situ!
Dua belas orang itu segera menghampiri pintu kamar lantas mendobraknya karena tidak ada jawaban dari dalam ketika mereka memanggil-manggil. Thio Ki dan isterinya beserta seluruh penghuni rumah yang tadinya memang sudah gelisah itu keluar semua dari kamar masing-masing dan berlarian menuju ke kamar pengantin. Pintu kamar didobrak jebol dan mereka berebut masuk. Dari penerangan lampu yang dibawa oleh mereka yang masuk, nampak pemandangan yang mengerikan.
The Si Kun, pengantin pria itu, dengan tubuh bagian atas telanjang, hanya mengenakan celana saja, rebah di lantai dengan leher hampir putus. Darah merah masih mengalir dari lehernya dan membasahi lantai. Pemuda ini sudah tewas, dan pengantin wanitanya tidak nampak bayangannya.
Langit-langit kamar itu terbuka dan berlubang. Maka tahulah semua orang bahwa penjahat itu telah masuk dari atas genteng dengan membobol langit-langit kamar. Tedengar suara para wanita menjerit-jerit dan riuh rendah suara orang menangis. Siluman Goa Tengkorak benar-benar telah datang, menculik pengantin wanita dan membunuh pengantin pria! Gegerlah dusun Ban-ceng!
Mengapa penjahat yang selama beberapa minggu ini mengacau di daerah Tai-goan dan sekitarnya dijuluki orang Siluman Goa Tengkorak? Pertama-tama adalah karena gambar itu. Setiap kali akan melakukan kejahatan, terutama sekali mencuri perhiasan-perhiasan yang serba mahal dan menculik gadis-gadis cantik, pada siang atau sore harinya penjahat itu selalu tentu memberi tanda gambar tengkorak darah pada pintu atau dinding rumah yang akan didatangi! Inilah yang mula-mula membuat dia dinamakan Siluman Tengkorak.
Kemudian, pernah dia dikejar-kejar dan penjahat itu dapat berlari cepat seperti iblis, dan larinya menuju daerah pegunungan yang gundul, dimana terdapat penuh batu-batu besar dan goa-goa. Tempat ini dikenal dengan sebutan Goa Tengkorak, karena memang di situ terdapat banyak sekali goa-goa yang besar dan di antaranya memang ada goa-goa yang bentuknya mirip seperti tengkorak. Karena ini, maka penjahat yang sudah menggegerkan daerah Tai-goan itu dinamakan Siluman Goa Tengkorak.
Pemerintah daerah dengan dibantu oleh para pendekar setempat sudah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu, namun hasilnya sia-sia. Goa-goa itu telah diperiksa, akan tetapi tak nampak sesuatu yang mencurigakan. Tempat itu memang berbahaya dan tandus, terdapat jurang-jurang dalam dan jalannya sangat licin sehingga tidak ada orang yang pernah datang ke tempat yang tidak ada gunanya itu. Pembunuhan The Si Kun yang menjadi pengantin itu dan penculikan isterinya, yaitu Thio Siang Ci, merupakan kejahatan yang keempat sejak penjahat itu muncul hampir dua bulan yang lalu.
Biar pun orang belum pernah dapat melihat wajahnya karena penjahat itu sangat pandai bergerak cepat seperti menghilang saja, akan tetapi orang-orang tahu bahwa penculikan-penculikan wanita dan pencurian itu dilakukan oleh orang yang sama, yang mereka juluki Siluman Goa Tengkorak karena cara-caranya yang sama, yaitu sebelum datang sudah memberi tanda gambar tengkorak darah, dan caranya bekerja juga sama, sangat cepat sehingga jarang dapat dilihat orang.
Seperti terjadinya penculikan atas diri Thio Siang Ci, sungguh sangat mengherankan dan menakutkan orang. Di luar kamar pengantin itu terdapat dua belas orang nelayan muda yang kuat-kuat dan yang masih berjaga, sama sekali tak ada yang tidur. Namun penjahat itu dapat memasuki kamar pengantin tanpa ada yang mengetahuinya, lantas membunuh pengantin pria yang mungkin melawan kemudian menculik pengantin wanita. Peristiwa itu terjadi sedemikian cepatnya sehingga yang terdengar hanya teriakan pengantin pria dan saat kamar didobrak, penjahat itu telah lenyap bersama pengantin wanita yang diculiknya.
Daerah Goa Tengkorak terletak di luar kota Tai-goan, yakni di sebelah selatan, di lereng Pegunungan Lu-liang-san di lembah Sungai Fen-ho. Goa-goa ini selain sukar dikunjungi dan tak pernah didatangi manusia, juga amat angker dan menurut penduduk yang masih percaya dengan cerita-cerita tahyul, kabarnya tempat itu merupakan sarang para iblis dan arwah-arwah yang penasaran.
Ada yang mengabarkan dengan sumpah betapa mereka mendengar suara-suara aneh dan menyaksikan penglihatan-penglihatan menyeramkan di daerah itu di waktu malam. Tentu saja cerita-cerita ini membuat tempat itu menjadi angker dan membuat orang semakin tidak berani mendekati.
Para pendekar dan juga para komandan penjaga keamanan tahu belaka bahwa tempat itu pun menjadi tempat pelarian para buronan. Bagi para penjahat yang menjadi buronan pemerintah, memang daerah itu amat baik untuk menyembunyikan diri.
Goa-goa itu memiliki banyak terowongan-terowongan di bawah gunung yang sambung-menyambung sehingga sekali sang buronan lari memasuki goa yang ada terowongannya, maka amat sukarlah untuk bisa ditemukan. Juga amat berbahaya bagi si pengejar karena tempat itu memang berbahaya sekali.
Daerah Goa Siluman ini hanya indah dilihat dari kejauhan, dari kaki bukit, dan dapat pula dilihat dari Sungai Fen-ho bila mana orang naik perahu lewat di kaki bukit itu. Dari jauh nampaklah dinding bukit yang berbatu-batu serta berlubang-lubang dengan lubang-lubang berbentuk tengkorak, sehingga dari jauh seakan-akan terlihat seperti tengkorak-tengkorak yang dipasang berderet-deret pada dinding batu karang itu.
Akan tetapi keindahan ini mengandung sesuatu yang sangat menyeramkan, seakan-akan ada sesuatu yang mengancam mereka yang terlalu lama memandang ke arah tempat itu. Para nelayan menganggap tempat ini sebagai tempat keramat, karena itu mereka selalu menundukkan muka apa bila melewati tempat ini dan tidak berani memandang langsung terlampau lama ke arah Goa-goa Tengkorak itu. Nama Siluman Goa Tengkorak sudah menggegerkan kota Tai-goan dan daerah sekitarnya selama kurang lebih dua bulan ini karena sepak terjangnya yang amat mengerikan itu.
Letak daerah Goa Tengkorak hanya tiga puluh li dari Tai-goan. Tentu saja para pendekar di kota Tai-goan merasa penasaran dan marah melihat betapa kota mereka dilanda mala petaka dengan munculnya seorang penjahat yang begitu beraninya. Perbuatan penjahat itu seolah-olah merupakan tamparan bagi mereka.
Mereka, bersama pasukan penjaga keamanan kota sudah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu. Namun, penjahat itu benar-benar seperti siluman, kalau nampak bayangannya, maka sukar disusul dan ketika dicari di daerah Goa Tengkorak, tidak dapat ditemukan jejaknya. Sudah ada dua orang gadis cantik di kota Tai-goan yang diculiknya, juga beberapa orang hartawan sudah dicuri barang-barang berharga berupa perhiasan-perhiasan mahal yang disimpan di dalam tempat-tempat rahasia.
Di antara para pendekar yang merasa penasaran terhadap Siluman Goa Tengkorak ini, terdapat seorang lelaki bernama Cia Kok Heng yang bekerja sebagai ahli bangunan pada bagian pertukangan kayu. Nama Cia Kok Heng ini sudah cukup terkenal di kota Tai-goan sebagai seorang ahli silat, bahkan seorang pendekar karena dia merupakan salah seorang murid lulusan perguruan Hong-kiam-pai (Perkumpulan Pedang Angin) di Tai-goan.
Hong-kiam-pai ini merupakan suatu perkumpulan silat pedang yang menjadi cabang dari perguruan besar Kun-lun-pai. Ilmu Pedang Hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin) adalah ilmu pedang dari Kun-lun-pai dan karena perguruan itu khusus mengajarkan ilmu pedang ini, maka tidak menggunakan nama Kun-lun-pai, melainkan Hong-kiam-pai. Yang menjadi anggota atau murid dari Hong-kiam-pai hanyalah orang-orang yang sudah memiliki dasar ilmu silat yang mahir dan boleh saja mempunyai dasar ilmu silat dari partai lain asalkan tingkatnya sudah cukup untuk mempelajari Ilmu Pedang Hong-kiam-sut.
Akan tetapi, Cia Kok Heng memang seorang murid Kun-lun-pai asli sehingga dia memiliki dasar-dasar ilmu silat Kunlun-pai. Dengan adanya perkumpulan Hong-kiam-pai ini maka para pendekar dari semua aliran dapat bersatu dengan menjadi murid atau anggota, dan karena dia sendiri adalah seorang anggota Hong-kiam-pai, maka tentu saja Cia Kok Heng mengenal banyak pendekar yang juga menjadi anggota perkumpulan itu.
Kok Heng hidup rukun bersama isterinya dan dua orang anaknya. Dia sendiri berusia tiga puluh tahun dan isterinya berusia dua puluh tujuh tahun. Isterinya adalah seorang wanita yang amat cantik jelita dan biar pun sekarang telah mempunyai dua orang anak, namun kecantikannya tak berkurang. Anak mereka, yang pertama lelaki berusia sembilan tahun dan yang kedua perempuan berusia tujuh tahun. Hidup mereka tidak bisa dikatakan kaya, namun penghasilan Kok Heng sebagai tukang kayu yang ahli sudah cukup untuk hidup pantas bagi keluarga itu.
Cia Kok Heng bukanlah seorang ahli silat biasa saja di kota Tai-goan. Dia adalah salah seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan! Dan biar pun di antara mereka bertujuh dia termasuk yang paling muda, akan tetapi bukan berarti bahwa kepandaiannya yang paling rendah.
Meski pun tujuh orang pendekar itu belum pernah bentrok sendiri dengan siluman yang mengacau kota mereka, namun mereka menaruh perhatian dan sudah sering mereka bertujuh itu berkumpul untuk membicarakan penjahat itu. Bahkan mereka saling berdebat, ada yang percaya akan desas-desus bahwa penjahat itu lihai seperti siluman dan pandai ilmu menghilang, ada pula yang tidak percaya.
Percaya dan tidak percaya memiliki dasar yang sama. Dasarnya adalah ketidak tahuan. Hanya orang yang tidak mengerti atau tidak tahu sendirilah yang bisa menjadi orang yang percaya atau yang tidak percaya. Oleh karena itu, orang yang percaya dan yang tidak percaya sesungguhnya tidak berhak membicarakan sesuatu yang mereka percaya atau tidak percaya itu, karena keduanya sama-sama tidak mengerti atau tidak tahu. Apa bila sudah tahu, maka tidak mungkin timbul percaya atau tidak percaya lagi.
Sebelum manusia bisa mendarat di bulan, gambaran tentang bulan tentu menimbulkan percaya atau tidak percaya, tergantung pada siapa yang menceritakan dan siapa yang mendengarkan. Akan tetapi sekarang hal itu tidak lagi membutuhkan percaya atau tidak percaya. Anehnya, bagaimana pun juga orang-orang yang percaya atau pun yang tidak percaya inilah, di dalam ketidak tahuan merupakan orang-orang yang paling suka untuk membicarakannya dan memperdebatkannya.
Pada pagi hari itu, dengan hati sedikit kesal Kok Heng berangkat ke tempat pekerjaannya di pusat kota di mana sedang dilakukan pembangunan oleh kepala daerah. Tadi malam pada saat berbelanja ke pasar, isterinya bertemu dengan Phang-kongcu, putera seorang pembesar yang kaya raya dan pemuda itu bersikap kurang ajar. Dengan lagak memikat, Phang-kongcu mengeluarkan kata-kata memuji kecantikannya lantas mengatakan sayang bahwa wanita secantik itu hidup miskin. Demikianlah kata isterinya.
Meski Kok Heng menganggap kekurang ajaran mulut pemuda bangsawan dan hartawan itu merupakan penyakit umum dan bukan sesuatu yang aneh, namun tetap saja hatinya diliputi oleh rasa cemburu dan penasaran. Namun, sebagai seorang pendekar dia mampu menenangkan batinnya dan berangkat kerja dengan wajah agak muram.
Siang hari itu dia pulang lebih pagi dari pada biasanya. Di depan rumah, dia melihat dua orang anaknya, Cia Liong dan Cia Ling, bermain-main dengan anak-anak tetangga. Akan tetapi timbul keheranannya pada saat melihat anak-anak itu berdiri berkerumun di depan dinding dekat pintu, dan terlihat keheranan memandang ke arah dinding sambil menunjuk-nunjuk.
Dia pun cepat melangkah, mendekat dan tiba-tiba saja wajah pendekar ini berubah merah lalu pucat, dan kembali merah lagi. Matanya terbelalak memandang ke arah dinding yang dirubung anak-anak itu. Pada permukaan dinding putih itu tampak jelas gambar tengkorak yang dilukis dengan darah yang masih mengkilat basah!
"Ayah, apakah itu?" tanya Cia Ling.
Kok Heng menggandeng tangan kedua orang anaknya, membawa mereka masuk rumah sesudah dia menyuruh anak-anak lain pulang ke rumahnya masing-masing. Jantungnya tergetar penuh ketegangan dan barulah hatinya terasa lega sesudah dia melihat isterinya menyongsong kedatangannya dari dalam dapur.
"Ehhh, ada apakah? Engkau kelihatan..." Isterinya bertanya khawatir ketika melihat wajah suaminya.
"Tidak apa, tenanglah. Mari kita bicarakan dalam kamar, ajak anak-anak," kata suaminya.
Walau pun sikap suaminya tenang, namun istri pendekar itu dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu. Mereka memasuki kamar dan Kok Heng lalu menceritakan gambar tengkorak yang dilihatnya di dinding rumah mereka.
"Siluman Goa Tengkorak...? Isterinya berbisik, bibirnya gemetar dan mukanya pucat.
"Jangan khawatir. Siapa pun adanya badut atau penjahat itu, sekarang dia akan ketemu batunya. Aku akan mempersiapkan saudara-saudaraku untuk menghadapinya. Telah tiba saatnya Tujuh Pendekar Tai-goan bergerak dan membasmi siluman itu," kata Kok Heng dengan penuh semangat.
Sikap dan ucapan suaminya ini membuat hati isterinya agak tenang, walau pun nyonya muda itu masih saja merasa khawatir. Kok Heng segera menulis sepucuk surat dan minta kepada seorang tetangganya untuk mengantarkan surat itu ke alamatnya.
Setelah itu keluarga Cia lalu makan siang dan sikap tenang pendekar itu mempengaruhi isterinya yang juga merasa tenang. Mereka melarang anak-anak mereka bermain-main di luar rumah dan karena kesal tidak boleh bermain di luar rumah, Cia Liong dan Cia Ling yang mentaati kedua orang tuanya itu lantas tidur di kamar mereka pada siang hari itu.
Kok Heng lalu bercakap-cakap dengan isterinya di ruangan dalam. Baru sekarang mereka mendapatkan kesempatan untuk membicarakan ancaman itu sesudah kedua orang anak mereka tertidur.
Kok Heng mengambil pedangnya, lantas mengeluarkan pedang itu dari sarungnya untuk memeriksanya. Dia sudah bersiap dan kini dia meggantungkan pedangnya di punggung, siap setiap saat menghadapi siluman yang mengancam keluarganya itu.
"Akan tetapi mengapa kita...?" isterinya bertanya dengan wajah yang agak pucat.
Kok Heng memegang lengan isterinya. "Tenanglah, wajahmu begini pucat. Percayalah, kami bertujuh akan dapat menghadapinya, bahkan mungkin menangkap atau membunuh siluman itu."
"Tapi... mengapa kita yang diancamnya? Kita bukan orang kaya..."
"Engkau tahu, isteriku. Siluman itu bukan hanya senang mencuri barang-barang berharga, bahkan suka pula menculik wanita..." Muka yang pucat itu kini berubah merah.
"Tapi... yang diculiknya selama ini adalah gadis-gadis cantik..."
Kok Heng menatap wajah isterinya lantas tersenyum bangga. "Dan engkau adalah wanita yang amat cantik, yang tercantik di antara mereka."
"Ah, jangan bergurau, suamiku. Aku adalah seorang wanita yang sudah mempunyai dua orang anak..."
"Aku tidak bergurau. Biar pun engkau sudah menjadi ibu dari dua orang anak, akan tetapi engkau masih kelihatan sangat muda dan cantik jelita. Ingat saja kekurang ajaran pemuda bangsawan itu..." Tiba-tiba saja pendekar itu mengerutkan alisnya dan memandang wajah isterinya dengan aneh. Wajah itu menjadi semakin merah.
"Si keparat itu... ahh, mengapa engkau memandangku seperti itu...?"
"Pemuda she Phang itu... kemarin dia sudah menggodamu dan pada hari ini siluman itu memberi tandanya! Hemm... ada hubungan apakah di antara kedua peristiwa ini...?"
"Hubungan bagaimana maksudmu?" tanya isterinya bingung. "Pemuda itu adalah putera seorang pembesar, sedangkan siluman itu... bukankah katamu dia itu seorang penjahat besar? Mana ada hubungannya...?"
"Aku pun merasa heran, kenapa begini kebetulan ? Ah, biarlah akan kubicarakan dengan saudara-saudaraku."
Jauh lewat tengah hari, menjelang sore, datanglah enam orang di rumah Cia Kok Heng, segera disambut oleh tuan rumah dengan hati gembira sekali dan juga penuh perasaan lega. Bahkan sekarang nyonya rumah sudah dapat tersenyum dan wajahnya tidak pucat lagi. Bagaimana pun juga, dengan berkumpulnya Tujuh Pendekar Tai-goan, apakah yang perlu ditakuti lagi? Tujuh orang yang terkenal dengan sebutan Tujuh Pendekar Tai-goan itu memang bukan orang-orang sembarangan.
Pertama adalah Cia Kok Heng sendiri yang menjadi orang termuda namun bukanlah yang paling rendah ilmunya. Orang ke dua ialah yang dikirimi surat oleh Kok Heng dan dimintai tolong untuk mengumpulkan semua saudara mereka dan datang ke tempat pendekar she Cia itu.
Orang ini bernama Kwee Siu, usianya sekitar empat puluh lima tahun. Dia adalah murid perguruan Siauw-lim-pai yang sangat lihai, dan kemudian belajar ilmu pedang pula dari Hong-kiam-pai sehingga dia pun masih terhitung saudara seperkumpulan dengan Cia Kok Heng. Walau pun dalam hal ilmu pedang dia masih kalah lihai dari Kok Heng karena Kok Heng memang murid Kun-lun-pai, akan tetapi Kwee Siu ini memiliki kelebihan lain, yaitu ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai.
Orang ke tiga adalah Louw Ciang Su, berusia empat puluh tahun, murid Bu-tong-pai yang sangat lihai dengan senjata rantai bajanya. Ada pun orang ke empat dan ke lima adalah kakak beradik she Ciok, yaitu Ciok Lun yang berusia lima puluh tahun dan Ciok Khim berusia empat puluh lima tahun, keduanya tokoh-tokoh dari Tiat-ciang-pai (Perkumpulan Tangan Besi) yang disegani dari kota raja.
Tentu saja keduanya memiliki tangan yang amat kuat dan terlatih sehingga mahir dalam ilmu tangan besi. Hanya bedanya, kalau Ciok Lun biasa menggunakan senjata toya, maka adiknya, Ciok Khim mempergunakan senjata golok.
Orang ke enam adalah Siok Bu Ham, berusia empat puluh tahun, tidak mempunyai partai dan murid seorang tosu perantau yang mahir mempergunakan senjata sepasang tombak pendek. Orang ke tujuh adalah Liu Ji, usianya empat puluh lima tahun, seorang tokoh Thian-kiam-pang, seorang ahli melempar piauw dan pedang. Pendeknya, untuk Tai-goan dan sekitarnya, nama tujuh pendekar ini sudah terkenal sebagai orang-orang gagah yang menentang kejahatan dan sering kali membantu pemerintah dalam menghadapi penjahat lihai.
Begitu enam orang saudaranya itu datang, Kok Heng lalu mengajak mereka ke depan dan mereka bertujuh memeriksa gambar tengkorak darah itu dengan teliti. Ciok Lun meraba lukisan itu sambil mengerahkan sinkang-nya. Tangannya yang mempunyai Ilmu Tiat-ciang (Tangan Besi) itu tergetar dan menjadi panas, lalu tercium bau amis.
"Hemm, darah tulen...!" gumamnya.
"Mungkin ini bukan darah manusia," kata Kok Heng. "Setiap kali mengancam, siluman itu menggunakan lukisan tengkorak darah, dan agaknya dia menggunakan darah binatang."
Louw Ciang Su, murid Bu-tong-pai, menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. "Belum tentu. Dahulu aku pernah mendengar mengenai seorang penjahat yang mempelajari ilmu hitam dan sering kali menggunakan darah dalam surat ancamannya dan ternyata darah itu darah manusia. Entah dari mana diambilnya karena memang orang-orang macam itu sudah sedemikian jahat dan kejamnya seperti iblis."
Para pendekar itu berdiam diri dan merasa ngeri juga. Yang akan mereka hadapi adalah seorang penjahat yang menurut kabar angin memiliki kepandaian seperti siluman, maka mereka pun harus bersikap hati-hati. Mereka lalu dijamu oleh nyonya rumah dan ketika Kok Heng menceritakan mengenai pemuda bangsawan Phang yang menggoda isterinya kemarin, enam orang pendekar itu mengerutkan alisnya. Lalu terdengar Liu Ji berkata,
"Tidak mungkin dia! Aku mengenal pemuda Phang itu"
"Memang, dia adalah seorang pemuda mata keranjang, terkenal di dunia pelacuran dan tak segan-segan untuk menggunakan kedudukan serta hartanya untuk bisa mendapatkan dan menguasai setiap wanita yang disukainya. Namun dia belum pernah mempergunakan kekerasan, terlebih lagi olehnya sendiri karena dia tidak becus apa-apa, bahkan tubuhnya lemah karena terlalu banyak mengobral nafsunya." Cia Kong Heng mengangguk-angguk.
"Aku pun tidak mencurigai dia karena kalau dia itu lihai tentu kita sudah mengetahuinya. Akan tetapi karena kemarin dia menggoda isteriku dan hari ini siluman itu muncul maka sungguh kebetulan sekali sehingga mau tidak mau, menimbulkan kecurigaan."
Tiba-tiba saja Kwee Siu, murid Siauw-lim-pai yang juga menjadi murid Hong-kiam-pai itu mengepal tinju lantas memukul meja.
"Brakkk!"
Semua orang memandang dan orang tinggi besar ini melotot dengan muka merah. "Siapa pun adanya iblis itu, harus kita hadapi dan malam ini kalau dia berani datang, kita akan menangkap atau membunuhnya!"
"Aku bersumpah, kalau dia berani menjamah sehelai rambut isteri Heng-te saja, aku akan mematahkan tangannya!" teriak Ciok Lun, orang tertua di antara mereka, lantas menarik napas panjang.
"Menghadapi seorang penjahat yang dikenal licin seperti siluman itu, yang pernah diserbu oleh pasukan dan para pendekar namun tetap dapat meloloskan diri, kita harus bersikap tenang. Betapa pun juga, seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, dia selalu memberi peringatan atau mengancam calon korban pada saat siang atau sore, kemudian baru dia turun tangan pada malam harinya. Maka, kita masih memiliki waktu untuk bersiap siaga. Kita harus mengatur penjagaan, membagi-bagi tugas namun harus diatur agar kita dapat saling membantu."
Setelah malam tiba, Tujuh Pendekar Tai-goan itu sudah mengatur siasat. Cia Kok Heng sendiri berjaga di dalam kamar, menjaga isteri serta dua orang anaknya dengan pedang tak pernah terpisah dari badannya. Kwee Siu yang tinggi besar dengan pedang di tangan menjaga di dalam ruangan di luar kamar, ditemani oleh Louw Ciang Su yang senjata rantai bajanya dililitkan di pinggang.
Siok Bu Ham dengan sepasang tombak pendeknya menjaga di belakang rumah. Liu Ji tokoh Thian-kiam-pang itu menjaga di luar, di depan rumah sambil meronda. Sedangkan kedua saudara Ciok Lun dan Ciok Khim telah berada di atas. Rumah dan kamar keluarga Cia itu telah dijaga ketat, dikepung oleh para pendekar dan agaknya iblis sendiri pun tidak akan sanggup memasuki kamar itu tanpa diketahui, dan akan mendapat rintangan yang amat ketat dan berat.
Malam semakin larut dan suasana semakin sunyi menegangkan. Seluruh penghuni rumah itu, kecuali dua orang anak kecil yang sudah tertidur pulas, tidak seorang pun yang dapat memejamkan mata barang sejenak. Semua merasa tegang. Yang ada di dalam rumah itu hanya Cia Kok Heng bersama isteri dan dua anaknya, serta enam orang rekannya. Dua orang pelayan telah disuruh mengungsi sore tadi.
Menjelang tengah malam, suasana sunyi itu menjadi makin lengang. Rumah keluarga Cia ini terletak agak di pinggir kota, semua perumahan di situ memiliki pekarangan dan kebun yang luas sehingga agak jauh dari tetangga.
Tidak ada bulan di langit, dan cahaya laksaan bintang yang lemah mendatangkan cuaca yang remang-remang menyeramkan. Kesunyian yang sangat mencekam itu kadang kala dipecahkan oleh suara burung malam yang mendatangkan suasana lebih menyeramkan, dan kadang-kadang terdengar bunyi lemah kelepak burung malam yang terbang berlalu. Gonggong anjing di kejauhan menambah dalamnya kesunyian yang mencekam di dalam hati, mengingatkan orang akan sesuatu yang tidak mereka lihat dan tidak mereka ketahui, menimbulkan dugaan-dugaan yang mendatangkan rasa gelisah dan takut.
Sudah beberapa kali ini para pendekar itu saling mengunjungi tempat penjagaan masing-masing dan juga memeriksa keluarga Cia yang masih berada dalam kamar. Hati mereka terasa lega dan diam-diam hati yang tegang itu mengharapkan agar siluman itu menjadi jeri dan tidak berani muncul melihat persiapan Tujuh Pendekar Tai-goan.
Akan tetapi ketika waktu telah menunjukkan tepat tengah malam, terdengar bunyi burung malam dan kelepak sayapnya, seolah-olah rumah keluarga Cia itu didatangi oleh burung-burung malam. Dan para pendekar itu mulai merasa seolah-olah mereka atau tempat itu sudah terkepung.
Terdengar suara batuk-batuk Siok Bu Ham yang berjaga di belakang rumah, batuk buatan yang biasa dilakukan orang untuk mengusir rasa seram dalam hati. Suara batuk-batuk ini segera dibalas oleh Ciok Khim yang menjaga di atas wuwungan bersama kakaknya, Ciok Lun. Mendengar suara dua orang rekannya batuk-batuk itu, hati para pendekar yang lain menjadi agak lega. Namun mereka tetap waspada karena naluri mereka yang membuat mereka peka terhadap ancaman lawan tergetar oleh sesuatu yang membuat mereka lebih waspada dan siap siaga. Tiba-tiba...
鈥淣geonggg...!" terdengar suara nyaring disusul geraman-geraman dan gedobrakan di atas genteng rumah tetangga.
Jantung mereka yang sedang tegang itu terasa seperti copot, akan tetapi mereka segera mengenal suara itu dan di dalam batin menyumpah-nyumpah karena itu adalah suara dua ekor kucing yang sedang berkelahi atau sedang bercanda! Karena kebisingan dua ekor kucing yang sedang bermain cinta ini sangat mengejutkan dan tiba-tiba, perhatian para pendekar itu sejenak tertumpah kepada suara itu.
Dan ketika perhatian dua saudara Ciok kembali kepada penjagaan mereka, dengan kaget mereka melihat sesosok bayangan orang tahu-tahu telah berdiri di atas wuwungan rumah keluarga Cia, hanya berjarak beberapa tombak saja dari mereka! Tentu saja kedua orang saudara Ciok itu terkejut sehingga sejenak mereka memandang bengong.
Kini mereka dapat melihat jelas. Orang itu memakai pakaian dan jubah serba putih dari sutera mengkilap dan di bagian dadanya terdapat gambar tengkorak darah, yaitu lukisan tengkorak dari darah merah yang menetes-netes.
"Iblis keparat!" Ciok Khim sudah membentak dan pendekar ini meloncat ke depan, lantas menyerang orang itu dengan goloknya.
Gerakannya amat cepat dan kuat, dan meski pun yang diinjaknya hanya wuwungan yang lebarnya tak lebih dari satu kaki saja, tetapi Ciok Khim dapat meloncat dengan sigap dan menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi, orang itu dengan tenang saja menggerakkan tangan menyambut ke depan.
"Tringgg...!"
Dan mata golok yang tajam itu sudah ditangkis begitu saja oleh jari-jari tangannya yang memakai cincin. Ciok Khim merasa betapa tangan kanannya yang menggenggam golok tergetar hebat, tanda alangkah kuatnya tangkisan itu. Orang itu pun sudah meloncat ke kanan, ke atas wuwungan melintang dengan cepat.
"Siluman jahat!" Ciok Lun sudah menerjang dengan toyanya.
Mula-mula toyanya menyambar ke arah kepala lawan. Ketika dengan gerakan ringan dan mudah toya itu dielakkan oleh lawan dan menyambar lewat, secepat kilat toya itu sudah dilanjutkannya dengan sebuah tusukan ke arah dada, tepat ke arah tengkorak merah itu. Akan tetapi, hebatnya, lawan itu sama sekali tidak menangkis, bahkan seperti memasang dadanya untuk ditusuk toya yang digerakkan dengan amat kuat.
"Dukkk!"
Toya itu tepat mengenai dada dan ternyata tusukan ini bahkan dipergunakan oleh lawan untuk meminjam tenaganya sehingga sekarang tubuh itu terjengkang jauh ke belakang, lantas membuat gerakan jungkir balik beberapa kali ketika melayang ke bawah. Sungguh gerakan yang indah, dan terutama sekali, menerima serangan tusukan toya dengan dada begitu saja menunjukkan bahwa orang itu benar-benar mempunyai kekebalan yang amat kuat.....!
"Keparat, mau lari ke mana kau?" Dua orang saudara Ciok ini mengejar dan melayang turun.
Setibanya di bawah, lawan mereka itu sekali lagi berkelebat sudah lenyap! Selagi mereka kebingungan dan mencari dengan pandangan matanya, mereka melihat lawan tadi sudah berada di belakang mereka, berdiri sambil bertolak pinggang! Diam-diam mereka terkejut.
Lawan ini sungguh dapat bergerak seperti setan saja cepatnya. Dan kini, di bawah sinar penerangan lampu, mereka baru dapat melihat wajah lawan. Ternyata orang itu memakai kedok siluman tengkorak! Mereka berdua segera berteriak keras dan menyerang.
Teriakan itu mereka lakukan untuk memberi tahu teman-teman mereka. Akan tetapi pada saat itu, teman-teman mereka pun sedang sibuk! Siok Bu Ham yang sedang berjaga di bagian belakang rumah, tadi pun terkejut sekali ketika mendengar suara kucing dan tentu saja perhatiannya langsung tertuju ke genteng tetangga dari mana suara hiruk-pikuk itu datang. Dan pada saat dia mengembalikan perhatiannya kepada tempat di sekelilingnya, tahu-tahu di belakangnya telah berdiri seorang yang memakai topeng tengkorak, dengan pakaian sutera putih yang pada dadanya terdapat gambar tengkorak darah!
"Siluman jahanam, berani engkau datang?" bentak Siok Bu Ham dan pendekar ini segera menerjang dengan sepasang siang-kek yang sejak tadi sudah dipersiapkan. Nampak dua cahaya menyambar ketika sepasang tombak pendek itu meluncur dan membuat gerakan menggunting, menyerang dari kanan kiri.
Akan tetapi, orang yang diserangnya dengan ringan meloncat ke belakang dan serangan berganda itu pun mengenai tempat kosong. Sebelum Siok Bu Ham menyerang lagi, orang itu sudah meloncat ke depan.
"Bangsat, jangan lari kau!" Siok Bu Ham membentak sambil mengejar menuju ke depan rumah.
Akan tetapi bayangan itu menghilang dan ketika dia tiba di depan rumah, dia melihat Liu Ji sedang bertanding dengan seseorang yang serupa dengan orang yang dikejarnya tadi. Orang bertopeng tengkorak, bertangan kosong akan tetapi lihai bukan main sehingga Liu Ji yang bersenjatakan pedang itu pun terdesak hebat.
Pada saat Siok Bu Ham datang, Liu Ji yang sedang terdesak itu terkena tamparan pada pundaknya sehingga pendekar itu jatuh, terus menggulingkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak.
Tahulah Siok Bu Ham bahwa rekannya itu tentu menggunakan senjata rahasianya, yaitu piauw yang memang menjadi keahliannya. Tiga cahaya menyambar ke arah perut, dada dan leher orang berkedok tengkorak itu. Akan tetapi orang itu tidak mengelak.
Terdengar suara nyaring ketika tiga batang piauw itu mengenai sasaran, akan tetapi tiga batang piauw itu runtuh tanpa melukai siluman tengkorak itu. Melihat hal ini, Siok Bu Ham maklum bahwa orang itu memang kebal. Ketika melihat orang itu hendak mendesak Liu Ji yang belum sempat meloncat bangun, dia pun membentak marah sambil menggerakkan sepasang tombaknya.
"Siluman keparat, rasakan tombakku!" Dan dia pun sudah menerjang dengan dahsyat.
Siluman itu mengeluarkan suara dari hidungnya dan langsung mengelak. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liu Ji untuk meloncat bangun dan menerjang lagi dengan pedangnya, membantu Siok Bu Ham mengeroyok siluman yang lihai ini. Pundak kanannya tergores kuku dan bajunya robek, terluka sedikit saja akan tetapi rasanya panas dan perih sekali.
Baru mengeroyok sebentar saja, dua orang pendekar ini maklum bahwa lawan mereka sungguh sangat lihai, maka mereka berdua pun bersuit-suit untuk memberi tanda kepada para teman mereka. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang muncul.
Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Ciok Khim dan Ciok Lun juga sedang mengeroyok seorang siluman, dan bagaimana dengan Kwee Siu dan Siu Louw Ciang Su yang berjaga di ruangan dalam, di depan kamar keluarga Cia? Sama saja!
Kedua orang ini tadi juga mendengar suara bising kucing di luar rumah itu, lantas tiba-tiba saja muncul seorang bertopeng tengkorak berjubah putih yang bagian dadanya digambari tengkorak darah. Karena orang ini berdiri di bawah lampu, mereka berdua dapat melihat jelas.
Tentu saja mereka berdua terkejut sekali karena munculnya siluman ini sungguh secara tiba-tiba, berbareng dengan suara ribut kucing tadi, seperti setan yang pandai menghilang saja. Tetapi karena mereka maklum bahwa inilah musuh yang ditunggu-tunggu, keduanya lalu menerjang ke depan dengan marah. Kwee Siu menggunakan pedangnya sedangkan Louw Ciang Su menggerakkan sabuk atau rantai baja yang dipakai sebagai ikat pinggang. Segera terjadi pertempuran seru ketika dua orang ini mengeroyok siluman itu.
"Cia-hiante, hati-hati...!" Kwee Siu berseru untuk memperingatkan Cia Kok Heng.
Akan tetapi Kok Heng sudah mendengar keributan di luar kamar. Dia pun tidak mungkin tinggal diam saja. Cepat dibukanya pintu kamar dan melihat betapa dua orang rekannya mengeroyok seorang bertopeng tengkorak yang gerakannya amat lihai, dia pun menyuruh isterinya menjaga kedua anak mereka dan dia sendiri langsung melompat keluar dengan pedang di tangan.
"Siluman keparat, engkau mengantar nyawa!" bentaknya dan dia pun membantu kedua orang rekannya mengeroyok.
Karena marah bukan main melihat musuh yang mengancam isterinya ini berani muncul di hadapannya, Cia Kok Heng segera menerjang dan menggunakan jurus paling ampuh dari Hong-kiam-hoat, yaitu jurus Hui-hong Bu-liu (Angin Meniup Pohon Cemara). Jurus ampuh ini dilakukan dengan tusukan pada pinggang lawan, akan tetapi itu hanyalah merupakan gertakan belaka karena jurus itu dilanjutkan dengan sambaran pedang secara berputar mengarah kaki dan naik terus sampai ke leher. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya.
Akan tetapi, alangkah kaget hati Kok Heng melihat lawan itu hanya mengeluarkan suara mendengus dan agaknya tidak mempedulikan tusukan gertakan itu, namun ketika pedang menyambar dengan gerakan memutar, orang itu sudah meloncat tinggi di udara sehingga jurus itu pun tidak ada gunanya sama sekali. Orang itu seolah-olah sudah mengenal baik jurus itu dan menggunakan kesempatan selagi meloncat, tidak hanya untuk memunahkan jurus Hui-hong-bu-liu, melainkan loncatan itu segera disambung dengan gerakan pok-sai (salto) jungkir balik dan tahu-tahu tubuh yang jangkung itu sudah meluncur dan melayang ke dalam kamar melalui pintunya yang terbuka.
Tentu saja hal ini sama sekali tak pernah disangka oleh ketiga orang pendekar itu yang sejenak memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi Cia Kok Heng sudah mengejar sambil membentak marah,
"Siluman curang, mari hadapi pedangku!"
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba di dalam kamar, dia melihat isterinya sudah dipanggul dalam keadaan lemas oleh siluman itu dan dua orang anaknya juga dicengkeram, kemudian sambil tertawa mengejek siluman itu meloncat keluar lewat jendela belakang!
"Lepaskan isteri dan anak-anakku!" Kok Heng membentak dan mengejar, dan dua orang rekannya, Kwee Siu dan Louw Ciang Su juga membentak dan mengejar.
Siluman itu sama sekali tidak menemukan perlawanan di belakang, karena Siok Bu Ham yang tadinya berjaga di belakang itu kini telah terlibat dalam perkelahian membantu Liu Ji di pekarangan depan rumah. Siluman itu masih memondong tubuh isteri Kok Heng sambil mengempit dua tubuh anak itu ketika dia melompat naik ke atas wuwungan rumah.
"Lepaskan mereka!" Kok Heng yang merasa gelisah dan marah itu mengejar secepatnya.
"Jahanam curang! Jangan lari!" Kwee Siu juga berteriak mengejar.
"Kalau jantan lawanlah kami!" Louw Ciang Su membentak sambil meloncat pula mengejar ke atas genteng.
"Kejar...!" Kok Heng berteriak lagi.
"Ha-ha-ha!" Suara ketawa dari balik topeng itu terdengar menyeramkan sekali.
Mendadak siluman itu menggerakkan tangan kirinya yang mencengkeram baju dua orang anak itu. Tubuh dua orang anak itu segera melayang ke arah Kwee Siu dan Louw Ciang Su! Tentu saja dua orang pendekar terkejut bukan main, juga Kok Heng lantas berteriak dengan gelisah.
"Sambut anak-anakku itu...!"
Untung bahwa dua orang pendekar itu benar-benar memiliki gerakan lincah. Melihat tubuh dua orang anak itu melayang ke bawah, mereka cepat melempar senjata mereka lantas membalik dan nyaris saja anak-anak itu terbanting remuk di atas tanah kalau tidak kedua orang pendekar itu berhasil menangkap tubuh mereka!
Terdengar suara ketawa dan kini siluman itu sudah mengelak dari sambaran pedang di tangan Kok Heng yang membabat ke arah kedua kakinya. Dia melompat ke atas, terus saja melompat jauh ke depan, turun dari atas wuwungan ke pekarangan belakang rumah tetangga.
Tentu saja Kok Heng cepat melakukan pengejaran sambil membentak nyaring, "Lepaskan isteriku!"
Kwee Siu agak terpincang karena ketika dia tadi menangkap tubuh Cia Liong, putera Kok Heng, terpaksa dia harus mendahului anak itu, menangkapnya dan membiarkan dirinya lebih dulu menimpa tanah. Karena ini, kakinya agaknya salah urat. Melihat ini Louw Ciang Su berkata,
"Kwee-twako, sebaiknya engkau menyelamatkan kedua orang anak ini dan biar aku yang akan membantu Cia-te mengejar siluman itu!" Louw Ciang Su sudah mengambil senjata rantai bajanya lagi yang tadi terpaksa dilepaskannya ketika dia menyelamatkan Cia Ling, anak perempuan itu.
"Baik!" kata Kwee Siu yang sudah merangkul dua orang anak kecil yang masih menggigil dan menahan isak tangis itu.
Louw Ciang Su melompat ke atas genteng dan melakukan pengejaran ke arah larinya siluman yang menculik nyonya Cia. Sambil menggandeng dua orang anak itu, Kwee Siu mengambil lagi pedangnya yang tadi dilepaskannya dan dia merasa sangat heran kenapa empat orang rekannya yang lain tidak muncul. Hatinya terasa amat tidak enak dan sambil menggandeng kedua orang anak itu, dia menuju ke samping rumah.
Hampir saja dia berteriak keras ketika dia melihat betapa dua orang rekannya, Siok Bu Ham dan Liu Ji sudah menggeletak di situ dengan badan mandi darah. Pada waktu dia menghampiri dan memeriksa, ternyata kedua orang rekannya ini sudah tewas! Sebatang tombak pendek, senjata dari Siok Bu Ham sendiri, nampak menembus dadanya, ada pun Liu Ji tewas dengan leher hampir putus oleh pedangnya sendiri yang terletak di dekatnya!
Dengan sepasang kaki menggigil dan menahan tangisnya, Kwee Siu membawa Cia Liong dan Cia Ling keluar. Kembali dia mengalami guncangan batin hebat sesudah melihat dua orang rekan lainnya lagi, yaitu kakak beradik Ciok Lun dan Ciok Khim ternyata juga telah menggeletak menjadi mayat di pekarangan depan. Dan seperti juga keadaan dua orang rekannya yang tewas di samping rumah, kedua orang saudara Ciok ini pun tewas oleh senjata mereka sendiri. Agaknya lawan mereka yang kuat dan bertangan kosong itu telah merobohkan mereka dengan merampas senjata mereka dan mempergunakan senjata itu untuk membunuh tuannya sendiri.
Melihat betapa empat orang rekan atau sahabat yang seakan sudah menjadi saudaranya sendiri itu tewas dalam keadaan yang begitu menyedihkan, hati Kwee Siu penuh dengan kedukaan dan kemarahan. Apa lagi dia mengingat bahwa masih ada dua orang rekannya lagi yang kini melakukan pengejaran terhadap siluman itu. Dia harus membantu mereka!
Maka, dia segera membawa dua orang anak itu kepada seorang tetangga yang langsung menjadi panik ketika mendengar bahwa di rumah keluarga Cia telah terjadi pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Siluman Goa Tengkorak. Tetangga ini memberi tahukan kepada semua penghuni rumah di sekitar tempat itu, dan sebentar saja gegerlah keadaan di perkampungan itu.
Akan tetapi, sesudah menitipkan dua orang anak she Cia itu, Kwee Siu sendiri langsung berloncatan dan cepat menyusul ke arah perginya siluman yang tadi dikejar oleh Cia Kok Heng dan Louw Ciang Su. Hatinya penuh dengan kekhawatiran dan juga dendam terhadap siluman yang telah membunuh empat orang saudaranya.
Akan tetapi Kwee Siu tidak perlu menyusul terlalu jauh. Di dekat tembok kota dia melihat bayangan yang berlari terhuyung-huyung, dan sesudah dia mendekati, ternyata bayangan itu adalah Cia Kok Heng yang berlari sambil terhuyung dan kedua tangannya mendekap leher karena dari situ bercucuran darah segar dari sebuah luka yang menganga!
"Cia-hiante...! Kau kenapa...?" Kwee Siu meloncat dan menubruk sahabatnya sekaligus juga saudara seperguruan di Hong-kiam-pai.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hatinya melihat luka di leher pendekar she Cia itu sungguh hebat sekali dan amat mengherankan jika Cia Kok Heng masih dapat berlari. Begitu melihat Kwee Siu, Cia Kok Heng langsung roboh terguling namun tubuhnya cepat disambar dan dipeluk oleh Kwee Siu.
"Anak-anakku...anak-anakku..." Cia Kok Heng berbisik dalam rangkulan sahabatnya itu.
"Mereka sudah kuselamatkan di tetangga..." kata Kwee Siu. "Mana Louw-te...?"
"Louw-twako... su... dah tewas... ahhh... Kwee-twako, bawa anak-anakku kepada suhu... cepat... ahhhh..." Cia Kok Heng berbisik-bisik akan tetapi dari lehernya hanya terdengar suara mengorok.
"Apa katamu, hiante? Kau bilang apa...?" Kwee Siu yang hatinya menjadi hancur itu cepat mendekatkan telinganya ke mulut yang masih tampak bergerak-gerak dan berbisik lemah sekali itu. Kwee Siu mendengarkan dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat sekali, sepucat muka Cia Kok Heng yang tiba-tiba terkulai dan tewas pula!
Kwee Siu tidak dapat menahan tangisnya lagi. Air matanya segera menetes-netes ketika dia memandang tubuh rekannya ini. Sambil menangis dia pun segera memondong tubuh yang kini sudah menjadi mayat itu, lalu berlari cepat kembali ke rumah keluarga Cia yang telah dipenuhi orang, yaitu para tetangga yang datang melayat.
Mereka semua yang sudah merasa ngeri menyaksikan empat mayat di dalam rumah itu, menjadi semakin ngeri dan ketakutan ketika melihat Kwee Siu datang membawa mayat Cia Kok Heng! Suasana menjadi semakin geger dan menyedihkan.
Sebelum malam terganti pagi, telah tersebarlah berita yang mengejutkan itu, bahwa enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan sudah tewas oleh Siluman Goa Tengkorak dan isteri pendekar Cia Kok Heng sudah diculik oleh siluman itu! Tentu saja berita ini bukan hanya menggegerkan seluruh Tai-goan, akan tetapi bahkan jauh sampai ke luar Tai-goan dan sebentar saja menjadi berita yang menggegerkan di dunia kang-ouw.
***************
Kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda itu dilarikan sangat cepat, menembus kabut pagi. Namun sesudah kereta itu memasuki hutan di sebelah barat daya, di sepanjang lembah Sungai Fen-ho, terpaksa larinya diperlambat karena jalannya buruk dan becek. Kwee Siu yang duduk di tempat kusir memegang cambuk, sementara mukanya masih sangat pucat dan diliputi kedukaan.
Di dalam kereta itu terdapat Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak keluarga Cia yang sudah hancur oleh perbuatan Siluman Goa Tengkorak itu. Dua orang anak ini tidak diberi kesempatan untuk berkabung, bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengantar jenazah ayah mereka yang penguburannya akan dilakukan oleh para tetangga. Setelah terjadinya peristiwa mengerikan semalam, pada keesokan harinya pagi-pagi buta Kwee Siu segera membawa mereka pergi dengan kereta ini.
"Paman Kwee, kita hendak pergi ke mana?" tanya Cia Liong yang matanya masih merah sambil merangkul adiknya ketika mereka dibangunkan dari tidur di pagi buta dan diajak pergi oleh Kwee Siu.
Dua orang anak ini sudah tahu bahwa ayah mereka tewas dan ibu mereka dilarikan oleh penjahat. Tentu saja mereka berdua menangis dan selain merasa berduka juga merasa ketakutan.
Akan tetapi, kedukaan hati seorang anak tidak sama dengan kedukaan hati seorang tua. Anak-anak tidak menyimpan dendam yang berlarut-larut, tidak menyimpan duka sampai menembus batin. Batin kanak-kanak masih bersih dan wajar, masih kuat seperti puncak cemara sehingga biar pun digerakkan angin ribut ke arah mana pun juga, sesudah angin lewat akan tegak kembali, tidak mudah patah.
Bagi anak-anak tangis adalah obat penenang yang mengusir kedukaan dari dalam batin. Sebaliknya orang tua malah menggunakan tangis untuk memperhebat luka di dalam hati dengan rasa iba diri yang berlebihan.
"Kita pergi ke tempat kakek gurumu, ke Kuil Thian-hong-bio. Ayahmu berpesan agar aku mengantarkan kalian ke sana, jadi untuk sementara kalian tinggal di situ bersama sukong kalian..."
"Aku tidak mau..." Tiba-tiba saja Cia Ling berkata merengek. "Aku mau tinggal di rumah bersama ibu!"
Kwee Siu merangkul anak perempuan berusia tujuh tahun itu, menghiburnya. "Tentu saja, bila mana ibumu sudah pulang, engkau akan tinggal di rumah bersama ibumu. Sementara kami mencari ibumu, engkau tinggal bersama kakek gurumu dahulu. Ayahmu berpesan demikian, kalian harus menurut pesan ayah kalian."
Akhirnya dua orang itu dapat dibujuk, lalu dengan membawa pakaian dan semua barang berharga yang terdapat dalam rumah itu, Kwe Siu segera mengantar dua orang anak itu pagi-pagi buta berangkat meninggalkan Tai-goan menuju kuil yang letaknya di luar kota, kira-kira tiga puluh li dari kota Tai-goan.
Setelah meninggalkan kota sejauh kurang lebih sepuluh li, kereta mulai memasuki hutan. Terpaksa Kwee Siu harus memperlambat laju kereta karena jalanan menjadi buruk, tidak rata dan becek.
Pagi itu sunyi sekali, dalam arti kata tidak ada seorang pun manusia nampak di sekeliling tempat itu. Akan tetapi suara burung-burung hutan menyambut pagi mengusir kesunyian dan mendatangkan suasana yang cerah gembira, walau pun kegembiraan itu sama sekali tidak dapat menyentuh hati Kwee Siu yang sedang dirundung kedukaan dan juga dendam membara.
Dia pun seorang murid Hong-kiam-pai, oleh karena itu, mala petaka yang menimpa diri Cia Kok Heng itu sungguh terasa olehnya sebagai dendam pribadi. Terlebih lagi, seluruh saudaranya, enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas dalam keadaan mengenaskan.
Jenazah Louw Ciang Su pun telah ditemukan dan dibawa dari tepi jalan itu ke rumahnya. Jenazah enam orang pendekar itu sekarang telah berada di dalam peti, di rumah masing-masing dan ditangisi keluarga masing-masing, kecuali jenazah Cia Kok Heng karena isteri dan anak-anaknya tidak berada di dekat peti mati.
"Aku harus membalas dendam ini!" Kwee Siu memegang cambuknya erat-erat dan sinar matanya berkilat.
Dia akan mohon bantuan gurunya, ketua Hong-kiam-pai. Kalau para tokoh Hong-kiam-pai mendengar tentang hal ini, tentu mereka tidak akan tinggal diam saja. Tiba-tiba Kwee Siu mengerutkan alisnya. Teringat dia akan bisikan-bisikan yang didengarnya sebagai pesan terakhir Cia Kok Heng kemudian hatinya menjadi bimbang dan bingung.
Jalan itu makin buruk dan masuk ke bagian hutan yang makin lebat, makin gelap karena sinar matahari pagi tidak dapat menembus sepenuhnya. Tiba-tiba saja dua ekor kuda itu meringkik-ringkik dan kelihatan panik. Kwee Siu cepat memegang kendali kuda erat-erat untuk menguasainya.
Kuda, seperti juga binatang-binatang lain memiliki naluri yang sangat kuat. Kepekaan ini terdapat di dalam diri semua makhluk hidup, sebagai pelengkap bawaan. Namun sayang, oleh nafsu-nafsu dalam mengejar kesenangan, oleh kesenangan-kesenangan itu sendiri yang tak pernah memuaskan hati dan selalu terasa kurang, untuk memiliki kepekaan ini manusia telah merusak kepekaan diri sendiri lahir batin.
Kesenangan untuk memenuhi nafsu keinginan, sebagian besar telah merusak kepekaan diri lahir batin dan hal ini tidak dipedulikan manusia. Makanan-makanan yang tidak baik bagi kesehatan badan pun dimakan saja karena terasa enak. Kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya merusak diri dilakukan saja karena enak dan menyenangkan. Hukum-hukum kesehatan lahir batin sering dilanggar demi memperoleh kepuasan nafsu keinginan. Tak mengherankan kalau manusia kehilangan kepekaan nalurinya. Badan dan batin menjadi bebal dan dungu, hanya menjadi alat pemuas nafsu belaka.
Kwee Siu masih belum curiga, hanya mengira bahwa hutan itu mungkin menakutkan dua ekor kudanya dan mungkin saja kudanya mencium bau binatang buas. Tentu saja dia tidak merasa takut, lalu dengan hati-hati dia mengendarai kereta itu dan menahan kendali untuk menguasai dua ekor kudanya.
Mendadak kedua ekor kuda itu meringkik lagi, bahkan mereka mencoba mengangkat kaki depan. Kwee Siu menarik kendali kuda dan tiba-tiba salah seekor di antara dua kuda itu mengeluarkan suara memekik kemudian roboh. Di lehernya menancap sebatang tombak sampai menembus dan kedua kuda itu tewas seketika, berkelojotan sebentar saja.
Barulah Kwee Siu terkejut dan dengan cekatan dia pun meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Matanya menatap ke depan dan bulu tengkuknya meremang pada waktu dia melihat sesosok tubuh melangkah perlahan-lahan menghampirinya dari depan.
Seorang laki-laki jangkung yang berpakaian jubah putih dengan gambar tengkorak darah pada dadanya, juga mukanya tertutup topeng tengkorak! Siluman Goa Tengkorak! Rasa takutnya lenyap sesudah dia membayangkan kematian enam orang saudaranya. Dengan suara penuh dendam Kwee Siu melangkah maju menyambut siluman itu sambil memutar pedangnya.
"Siluman keparat, sekarang aku akan mengadu nyawa denganmu!" Dan Kwee Siu segera menerjang ke depan, menyerang dengan pedangnya.
Siluman itu mengeluarkan suara ketawa panjang dan langsung menyambut serangan itu dengan gerakan-gerakannya yang lincah dan aneh. Tetapi Kwe Siu yang sedang dikuasai dendam dan kemarahan juga terus menerjang dengan dahsyat dan mati-matian.
Sementara itu, Cia Liong dan Cia Ling yang berada di dalam kereta, terkejut ketika kereta berhenti dan kuda meringkik-ringkik. Mereka membuka tirai dan melihat ke depan. Melihat Kwee Siu berkelahi dengan seorang berjubah putih yang mukanya menakutkan, Cia Ling menangis. Akan tetapi Cia Liong merangkulnya dan mendekap mulut adiknya.
"Diam... jangan menangis, kita harus pergi dari sini...," bisik anak laki-laki itu dan mereka berdua lalu diam-diam keluar dari dalam kereta itu, berindap-indap mereka menyelinap ke belakang sambil memandang ke arah Kwee Siu yang masih berkelahi dan didesak hebat oleh orang bertopeng tengkorak.
Kwee Siu melawan mati-matian, akan tetapi siluman itu sungguh sangat lihai, terlalu lihai baginya. Terlebih lagi karena semua serangannya agaknya telah dikenal baik oleh lawan sehingga lawan ini dapat menghindarkan semua serangannya itu dengan amat mudahnya dan balasan serangan lawan itu membuat Kwee Siu terdesak dan kewalahan. Bagaimana pun juga, pendekar yang merasa dendam, marah serta penasaran ini terus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk melawan dengan tekad bulat melawan sampai mati.
Sementara itu, di lain bagian dari hutan itu, hanya dua tiga li dari tempat itu, terdapat dua orang yang sedang berburu kelinci dengan naik kuda. Mereka berdua itu nampak gembira sekali, berburu kelinci sambil bersenda gurau dengan sikap amat mesra. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan melihat sikap mereka, senyum mereka, pandang mata dan kata-kata mereka, dapat diketahui bahwa mereka adalah sepasang orang muda yang saling mencinta. Dan mereka adalah pasangan yang amat setimpal.
Yang pria masih muda, antara dua puluh satu atau dua puluh dua tahun, berwajah amat tampan, ganteng dan gagah, pakaiannya rapi, indah mewah. Biar pun dia bukan seorang pesolek, akan tetapi mukanya terawat baik-baik tanpa ia merias muka, sisiran rambutnya rapi, gelung rambutnya dihias oleh hiasan rambut terbuat dari batu kemala, pakaiannya terbuat dari pada sutera halus, sepatunya masih baru.
Pendek kata, dia seorang pemuda yang sangat ganteng dan gagah, pantasnya seorang pemuda terpelajar yang kaya, dan melihat cara dia menunggang kuda mengejar kelinci, dapat pula diketahui bahwa dia adalah seorang ahli menunggang kuda. Seorang pemuda yang akan membuat setiap orang gadis yang bersua dengannya pasti menengok sampai beberapa kali dengan pandang mata kagum!
Ada pun temannya yang gadis juga merupakan seorang wanita pilihan. Usianya sebaya dengan pemuda itu, wajahnya sungguh amat cantik jelita dan gagah perkasa dengan raut muka sempurna, dengan kulit halus kemerahan tanda sehat, dengan sepasang mata yang indah berkilauan seperti mata burung hong keramat, senyumnya yang semanis madu dan suaranya yang bening merdu.
Gadis ini juga memakai pakaian sutera halus yang indah. Gerakannya ketika mengejar kelinci juga sangat cekatan dan gagah. Seorang gadis yang cantik jelita dan gagah pula! Sungguh merupakan pasangan yang amat setimpal dan seimbang.
Kalau saja orang mengenal siapa kedua orang muda ini, dia tentu tak akan heran melihat kegagahan mereka dan mungkin orang itu akan memandang kagum atau juga mungkin lari menyembunyikan diri. Pemuda yang bertubuh tegap sedang dan berwajah tampan ini bukan lain adalah seorang pendekar yang dahulu namanya pernah menggemparkan kota raja, bahkan pernah menggegerkan seluruh dunia persilatan. Dia adalah Pendekar Sadis!
Dia adalah seorang pemuda yang berdarah bangsawan, karena ayah kandungnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis ini bernama Ceng Thian Sin, putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Ayahnya adalah putera kandung dari mendiang Kaisar Ceng Tung dan ibunya adalah Puteri Khamila isteri Raja Sabutai. Ayahnya itu, selain pangeran, juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang dulu pernah menggegerkan dunia persilatan dengan usahanya untuk menjadi Jagoan Nomor Satu Di Dunia.
Yang sudah mengenal Pendekar Sadis tentu telah mengetahui bahwa dalam hal ilmu silat Ceng Thian Sin si Pendekar Sadis ini tidak kalah lihai dibandingkan mendiang ayahnya. Semenjak kecil dia telah digembleng oleh ayah kandungnya sendiri, bahkan kemudian dia digembleng oleh ketua Cin-ling-pai, mewarisi ilmu silat yang hebat dari Cin-ling-pai.
Bukan hanya itu, dia malah mewarisi pula ilmu-ilmu mukjijat dari pendekar-pendekar sakti yang masih keluarga dari Cin-ling-pai, yaitu dari pendekar sakti Yap Kun Liong bersama isterinya, yaitu Cia Giok Keng. Kakek dan nenek ini menurunkan ilmu mereka kepadanya. Juga Pendekar Lembah Naga berkenan menurunkan ilmu-ilmu mukjijat kepadanya.
Di samping semua itu, dia masih mewarisi ilmu-ilmu peninggalan ayahnya, ilmu-ilmu aneh peninggalan Bu Beng Hud-couw. Pendek kata, Ceng Thian Sin adalah seorang pemuda gemblengan yang sukar dicari tandingannya untuk masa itu.
Temannya itu, dara yang cantik jelita dan gagah itu, bukan seorang wanita sembarangan pula. Jauh dari pada itu! Dara ini bahkan memiliki tingkat yang tidak jauh bedanya dengan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin.
Wanita ini bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena dia adalah puteri kandung dari mendiang Pangeran Toan Su Ong, seorang pangeran pemberontak yang memiliki ilmu silat yang tinggi, dan ibunya adalah seorang wanita yang telah mewarisi ilmu peninggalan Menteri Sakti The Hoo, yang bernama Ouwyang Ci.
Dengan ilmu kepandaian yang tinggi warisan dari ayah bundanya, Toan Kim Hong pernah menjagoi dunia selatan, bahkan dengan menyamar sebagai seorang nenek tua, gadis ini menaklukkan semua tokoh kang-ouw dan liok-lim, kemudian sebagai seorang nenek tua dia diangkat dan diakui oleh semua tokoh dunia persilatan sebagai seorang datuk selatan yang disebut Lam-sin (Malaikat Selatan).
Ilmu silatnya amat hebat dan ketika dia untuk pertama kalinya bertemu dengan Pendekar Sadis, mereka mengadu ilmu dan terjadi pertandingan yang luar biasa hebatnya. Hanya dengan amat susah payah sajalah Pendekar Sadis mampu mengalahkan nenek itu yang kemudian menanggalkan penyamarannya dan berubah menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena sumpahnya bahwa dia akan menyerahkan dirinya kepada pria yang mampu mengalahkannya, juga karena merasa saling tertarik, Kim Hong lalu menyerahkan diri kepada Thian Sin.
Semenjak itu keduanya lalu hidup bersama, merantau ke mana-mana, dan hidup sebagai suami istri tanpa pernikahan yang sah. Keduanya memang tak mau saling mengikat, akan tetapi di dalam hati mereka terdapat ikatan cinta kasih yang amat mendalam. Dua orang ini pernah ditentang oleh para pendekar, bahkan oleh keluarga Cin-ling-pai karena sepak terjang Thian Sin yang dulu terkenal sebagai Pendekar Sadis. Sepak terjangnya dianggap terlalu kejam sehingga para pendekar menentangnya.
Karena kemudian berhadapan dengan keluarga Cin-ling-pai, terutama sekali dengan ayah angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, maka Thian Sin mengalah dan tak berani melawan. Akhirnya dia beserta kekasihnya diampuni dan dia pun berjanji akan membuang jauh-jauh sifatnya yang kejam terhadap para penjahat itu.
Mereka berdua lalu pergi ke tempat yang terasing, yaitu di Pulau Teratai Merah. Tempat ini adalah tempat di mana dahulu mendiang Pangeran Toan Su Ong, ayah kandung Kim Hong, hidup bersama anak isterinya ketika dia masih menjadi buronan pemerintah karena sikapnya yang suka memberontak dan menentang kaisar.
Demikianlah perkenalan kita secara singkat dengan sepasang muda-mudi yang hebat ini. Di waktu-waktu tertentu kedua orang ini sering kali pergi meninggalkan pulau mereka dan melakukan perjalanan di daratan besar, merantau dan melakukan petualangan bersama, menikmati hidup dan bersama-sama menghadapi segala peristiwa dengan sikap sebagai sepasang pendekar yang selalu menentang kejahatan.
Pada hari itu, kebetulan sekali mereka yang hendak melakukan pejalanan pesiar ke kota Tai-goan, pada waktu melewati hutan itu timbul kegembiraan mereka untuk menangkap kelinci ketika mereka melihat beberapa ekor kelinci yang gemuk dan sehat.
"Lihat kelinci di sana itu!" Mula-mula Kim Hong berseru sambil menunjuk ke depan dan mereka melihat seekor kelinci putih yang muda dan gemuk muncul dari semak-semak.
"Gemuknya! Ihh, basah mulutku membayangkan dagingnya dipanggang. Tentu lezat dan sedaaappp...!" Thian Sin tertawa.
Mendengar suara tawa yang tak wajar itu, Kim Hong yang sudah menghentikan kudanya segera menengok lalu memandang wajah kekasihnya dengan sinar mata menyelidik dan menuntut. "Kenapa kau ketawa seperti itu? Mentertawakan aku?"
Thian Sin tertawa semakin geli. "Kim Hong, membayangkan dagingnya yang putih mulus dipanggang, menimbulkan selera seperti jika membayangkan tubuhmu... aihh, seperti ada persamaannya membayangkan antara kalian berdua..."
"Tarrrrr...!"
Pecut kuda di tangan Kim Hong meledak di dekat kepala kuda yang ditunggangi Thian Sin, membuat kuda itu meringkik kaget lantas mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi. Kalau bukan Pendekar Sadis yang berada pada punggungnya, tentu gerakan tiba-tiba ini akan membuat penunggangnya terlempar dari atas punggung kuda!
"Porno kau! Cabul kau!" Kim Hong memaki akan tetapi Tian Sin hanya tertawa. Mereka lalu berlomba untuk berburu kelinci.
"Yang dapat lebih dulu bagian makan, yang lain bagian membersihkan dan memanggang dagingnya!" kata Kim Hong. Akan tetapi sambil berkata demikian, kudanya telah meloncat ke depan dan dia pun segera mengejar seekor kelinci putih yang berlari-larian ketakutan setengah mati akibat dikejar kuda besar.
Thian Sin tertawa dan tidak mau kalah. Lalu dia pun membedal kudanya mengejar kelinci. Mereka berdua adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian silat tinggi, malah dapat dinamakan orang-orang sakti, akan tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka kadang kala bersikap seperti kanak-kanak.
Namun mereka bersikap jujur sekali. Kalau mereka menghendaki, dengan sekali gerakan tangan saja, tentu mereka akan merobohkan seekor kelinci. Akan tetapi pikiran ini sama sekali jauh meninggalkan benak mereka yang sedang bergembira dan begurau itu sebab mereka kini sungguh-sungguh mempergunakan kelincahan kuda mereka untuk berburu kelinci dan berlomba secara wajar dan jujur, sama sekali tak berniat untuk menggunakan ilmu kepandaian mereka.
Justru di sinilah letak kegembiraannya. Menggunakan kelincahan kuda saja untuk berburu kelinci tanpa mengandalkan senjata atau pun kepandaian, sungguh bukan merupakan hal yang mudah. Kelinci-kelinci itu terlampau gesit untuk kuda yang bertubuh besar, lagi pula beberapa kali kelinci-kelinci itu menyelinap kemudian lenyap di dalam semak-semak atau lenyap di dalam lubang.
Mereka tertawa-tawa, berebut hendak menangkap kelinci sampai mereka tidak tahu ke mana kuda mereka menuju. Mendadak mereka mendengar suara anak menahan tangis. Keduanya terkejut, menghentikan kuda mereka dan melihat ke depan.
Di situ, seorang anak laki-laki sedang merangkul seorang anak perempuan dan berusaha mendekap mulut anak perempuan itu agar jangan menjerit atau terisak. Akan tetapi, dua pasang mata mereka itu menatap kepada dua orang penunggang kuda dengan terbelalak dan penuh rasa takut. Mereka itu adalah Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak yang melarikan diri dari dalam kereta yang dihadang oleh siluman itu.
Pada saat mereka tiba di situ dan mendengar suara dua orang penunggang kuda yang tertawa-tawa sambil mengejar-ngejar kelinci, kemudian melihat mereka muncul, dua orang anak itu menjadi ketakutan, mengira bahwa yang muncul itu tentulah orang-orang jahat pula. Cia Ling sudah hampir menjerit dan menangis, akan tetapi mulutnya didekap oleh kakaknya dan kini mereka berdiri terbelalak memandang kepada dua orang penunggang kuda itu dengan ketakutan.
Melihat dua orang anak kecil yang ketakutan di dalam hutan ini, dengan sekali melompat Kim Hong sudah berada di depan mereka. Loncatannya itu memang amat luar biasa dan akan membuat seorang ahli silat atau seorang ahli ginkang melongo dan kagum disertai ketakjuban. Tidak mudah meloncat dari atas punggung kuda seperti itu, tanpa membuat kuda itu terkejut, lantas di udara membuat pok-sai (salto) sampai dua kali dan tahu-tahu meluncur turun di dekat dua orang anak itu. Seperti seekor burung terbang saja.
Dan memang ini adalah salah satu di antara keistimewaan gadis itu, yakni ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sangat hebat. Kim Hong sudah berjongkok di depan dua orang anak itu, tersenyum dan memandang manis agar mereka tidak menjadi ketakutan.
"Ehhh, siapakah kalian adik-adik kecil ini? Dan mengapa berdua saja di dalam hutan dan kelihatan ketakutan? Jangan takut kepadaku, aku akan menolong kalian!"
Dalam keadaan seperti itu, batin anak-anak kecil lebih peka dari pada orang tua. Cia Ling memandang wajah yang cantik itu, kemudian tiba-tiba merangkul dan menangis di atas pundak Kim Hong yang lalu memondongnya.
"Ceritakan, apa yang sudah terjadi? Kami akan menolongmu," kata Thian Sin yang juga sudah turun dari atas kudanya dan menghampiri dua orang anak itu.
Agaknya Cia Liong juga sudah bisa mempercayai kedua orang ini yang sama sekali tidak kelihatan seperti orang-orang jahat, "Ayah kami dibunuh siluman..."
"Apa...?!" Thian Sin terkejut sekali dan berseru keras, membuat Cia Liong terkejut.
Kim Hong mengerutkan alisnya dan merengut. "Kasarmu ini!" celanya dan dia pun segera mendekati anak laki-laki itu, "Mengapa ayahmu dibunuh siluman dan di mana? Ceritakan, jangan takut. Kami akan melawan siluman itu!" katanya.
"Ayah kami dibunuh malam tadi... dan ibu kami diculik siluman..."
"Ahhh...!" Kim Hong juga terkejut. "Dan bagaimana kalian bisa berada di sini?"
"Kami dibawa lari oleh paman Kwee Siu dengan naik kereta. Akan tetapi di tengah jalan... siluman... siluman itu menghadang dan sekarang sedang berkelahi dengan paman Kwee Siu... dan kami melarikan diri..."
"Di mana pamanmu itu sekarang?" Thian Sin bertanya.
"Di sana..." Cia Liong menuding ke belakang.
"Kim Hong, bawa mereka, aku akan ke sana!" Belum habis kata-katanya, orangnya sudah lenyap ketika Thian Sin melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap.
Kim Hong menuntun dua ekor kuda kemudian mendudukkan dua orang anak itu di atas punggung kuda, lalu dia pun menyusul ke arah larinya Thian Sin. Ketika Kim Hong tiba di tempat perkelahian itu, dia melihat Thian Sin sedang berjongkok di dekat sesosok tubuh yang nampaknya sudah menjadi mayat. Thian Sin sedang berusaha membuat orang yang belum tewas benar itu agar memperoleh kekuatan dengan jalan menotok sana-sini. Ia pun menurunkan dua orang anak itu dan cepat menghampiri.
"Paman Kwee..." Dan dua orang anak itu menangis.
Maka mengertilah Thian Sin dan Kim Hong bahwa korban ini adalah paman yang sudah melarikan dua orang anak itu, agaknya hendak menyelamatkan mereka dan melarikan diri dari bahaya, namun tetap saja bahaya maut itu datang menjemput.
Akhirnya usaha Thian Sin berhasil. Orang yang dadanya terluka oleh tusukan pedangnya sendiri dan pelipisnya retak karena pukulan itu mulai menggerakkan mata serta bibirnya, kemudian dia mengeluh panjang, lalu terdengar suaranya berbisik lemah,
"Si... siluman... goa... tengkorak... ahhhh... tewas semua... su... susiok..." Kwee Siu tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena lehernya terkulai dan nyawanya melayang.
"Paman...!" Dua orang anak itu yang dapat menduga apa yang telah terjadi, menangis.
Akan tetapi Kim Hong berhasil membujuk dan menghibur mereka, membawa mereka ke dalam kereta. Kemudian wanita perkasa ini membantu Thian Sin untuk mengubur jenazah Kwee Siu di dalam hutan itu.
Mereka berdua maklum bahwa di belakang semua ini tentu terdapat rahasia, dan mereka dapat merasakan bahaya maut mengancam dua orang anak itu. Oleh karena itulah maka mereka tidak mau ribut-ribut, melainkan dengan diam-diam mengubur jenazah Kwee Siu dan mengambil keputusan untuk menyelidiki urusan ini, dan selain menghukum penjahat-penjahatnya, juga berusaha menolong ibu anak-anak itu yang katanya diculik siluman. Apa lagi mereka mendengar pesan terakhir paman dua orang anak itu tentang Siluman Goa Tengkorak!
Mereka belum pernah mendengar nama ini, namun mudah diduga bahwa tentu penjahat-penjahat itulah yang memakai nama Siluman Goa Tengkorak. Sesudah selesai mengubur jenazah itu secara sederhana, mereka lantas menghampiri Cia Liong dan Cia Ling yang masih terisak-isak dan nampak bingung.
"Anak-anak, janganlah kalian khawatir. Kami akan mencari ibu kalian dan kami juga akan melindungi kalian. Sebaiknya sekarang ceritakan semuanya agar kami tahu ke mana kami harus mencari ibumu itu," kata Kim Hong dengan suara membujuk.
"Sebaiknya katakan dahulu, siapakah nama kalian dan siapa ayah kalian?" Thian Sin ikut bertanya sambil mengelus-elus rambut kepala Cia Ling. Cia Liong mengusap air matanya dengan punggung tangannya.
"Nama saya Cia Liong dan adik saya ini Cia Ling, ayah kami bernama Cia Kok Heng..."
"She Cia...?" Thian Sin membelalak dan di dalam hatinya timbul perasaan mesra terhadap mereka.
Hal ini tidak mengherankan. Nama keturunan Cia merupakan nama keturunan yang amat dekat dalam hatinya. Orang-orang she Cia dari keluarga Cia, yaitu keluarga Cia Sin Liong Pendekar Lembah Naga merupakan orang-orang yang paling dicintainya di dalam dunia semenjak dia masih kecil.
Oleh karena itu, begitu mendengar bahwa dua orang anak ini pun she Cia, maka timbul perasaan mesra terhadap mereka, walau pun dia tahu bahwa belum tentu persamaan she itu menunjukkan bahwa mereka berdua masih keluarga dekat dengan Pendekar Lembah Naga. Apa yang dirasakan oleh Pendekar Sadis Ceng Thian Sin ini juga dirasakan oleh kebanyakan dari kita.
Hal ini timbul karena pengembangan dari si aku. Pementingan diri atau perhatian yang dipusatkan terhadap si aku inilah yang menimbulkan rasa suka tidak suka. Si aku tidak hanya terbatas pada pribadi belaka, melainkan dapat berkembang dan meluas menjadi keluargaku, milikku, sahabatku, golonganku, bangsaku, agamaku dan sebagainya. Jadi, sesungguhnya si akulah yang dipentingkan atau apa pun juga yang menguntungkan atau merugikan aku.
Kedua orang anak kecil itu pun sudah mempunyai arti yang lain bagi Thian Sin begitu dia mengetahui bahwa mereka itu bermarga Cia! Tentu sikap dan perlakuannya akan jauh berbeda andai kata mereka itu tidak bermarga Cia.
Di sini telah timbul penilaian yang membedakan, timbul pilih kasih, timbul ketidak adilan. Dan segala seuatu yang bersumber kepada pementingan si aku, baik aku sebagai diri pribadi mau pun aku yang telah berkembang, sudah pasti menimbulkan konflik dengan akunya orang lain pula.
Biar pun dia sendiri tidak mengetahui dengan jelas duduk persoalannya, namun Cia Liong bisa menceritakan dengan cukup jelas. Bahwa ayahnya menerima ancaman gambar dari Siluman Goa Tengkorak di dinding luar rumah mereka, kemudian ayahnya dan lima orang sahabat ayahnya tewas akibat penyerbuan siluman itu. Betapa kemudian mereka dibawa lari oleh Kwee Siu akan tetapi di dalam hutan itu dihadang oleh siluman.
"Jadi tadi malam ibumu diculik penjahat?" tanya Kim Hong sambil mengerutkan alisnya.
Sayang, anak ini tidak tahu mengapa penjahat yang disebut Siluman Goa Tengkorak itu melakukan perbuatan yang demikian kejamnya. Kim Hong tidak tahu apakah dia sedang menghadapi peristiwa kejahatan biasa ataukah ada sebab-sebab permusuhan di antara si penjahat dan orang tua anak-anak ini.
"Ibu dan kami dibawa terbang oleh siluman ke atas genteng, dan kami berdua kemudian dilempar ke bawah, untunglah ada paman-paman yang menyelamatkan kami. Akan tetapi ibu dilarikan entah ke mana," kata Cia Liong. Anak ini pun menceritakan bahwa ayahnya dan enam orang paman itu adalah Tujuh Pendekar Tai-goan.
"Kim Hong, sekarang kita harus membagi tugas. Kau bawalah mereka ini pergi dari sini, sebaiknya kau titipkan kepada keluarga yang boleh dipercaya di luar kota Tai-goan saja. Aku sendiri akan mencoba untuk mencari jejak penjahat itu, siapa tahu dia belum pergi jauh."
Kim Hong mengangguk. "Baik, aku akan memakai kereta ini. Lalu di manakah kita akan bertemu dan kapan?"
"Lewat tengah hari di tempat ini. Kita saling menanti sampai sore."
Kim Hong mengangguk. Dua orang yang tadinya bersenda gurau seperti kanak-kanak itu kini sama sekali sudah merubah sikap. Mereka bicara singkat, bersungguh-sungguh dan agaknya hanya dengan gerak-gerik serta pandang mata saja, mereka telah mampu untuk saling mengerti.
Memang, dua orang yang saling mencinta ini selain perasaan cinta kasih yang mendalam satu sama lain, juga mempunyai pengertian yang mendalam pula, yang membuat mereka dapat bekerja sama dengan baik dan kadang-kadang bahkan mereka merasa seolah-olah mereka terdiri dari dua badan namun satu perasaan.
Kim Hong segera mengikat kudanya di belakang kereta, kemudian membawa dua orang anak itu pergi meninggalkan hutan dan menuju ke kota Tai-goan dengan maksud hendak mencari dusun di luar kota untuk memilih keluarga yang hendak dititipi dua orang anak itu untuk sementara.
Sedangkan Thian Sin juga segera meloncat ke atas punggung kudanya dan mencari-cari jejak di sekeliling tempat itu. Kadang-kadang dia meloncat dari atas kudanya, memeriksa tanah dan rumput sehingga akhirnya dia menemukan jejak kaki, yaitu ujung sepatu yang menginjak tanah dan meninggalkan bekas atau jejak yang ringan sekali.
Dia tahu bahwa pemakai sepatu itu adalah seorang yang mempunyai ginkang yang amat tinggi, walau pun tidak sehebat ginkang yang dikuasai oleh Kim Hong, namun cukup jelas menyatakan bahwa orang ini merupakan lawan yang tangguh. Maka dia pun berhati-hati dan mulai mengikuti jejak itu.
Sementara itu, Kim Hong sudah berhasil menemukan keluarga yang dianggapnya cukup dapat dipercaya untuk dititipi dua orang anak itu. Keluarga petani itu sendiri mempunyai seorang anak kecil berusia lima tahun dan di dusun itu dia dianggap sebagai orang yang dihormati karena dia cukup pandai menulis dan terkenal sebagai orang yang jujur. Kim Hong memberinya uang, bahkan menyerahkan kereta berikut kudanya kepada petani itu dan menitipkan dua orang anak she Cia untuk selama beberapa pekan lamanya.
"Jaga mereka baik-baik dan jangan biarkan mereka bermain-main terlalu jauh, sebaiknya bermain di dalam rumah saja. Sesudah urusanku ini selesai, aku akan datang menjemput mereka," katanya dan kepada dua orang anak itu, Kim Hong berpesan agar mereka itu menutup mulut dan jangan menceritakan kepada siapa juga tentang urusan mereka. "Aku akan mencari ibu kalian sampai dapat." demikian dia menjanjikan. Tentu saja dua orang anak itu merasa girang dan terhibur.
"
"
MENANTI merupakan pekerjaan yang paling mengesalkan hati dan juga melelahkan. Waktu rasanya berhenti berjalan atau berjalan juga dengan merayap perlahan seperti gerak maju seekor siput. Apa lagi kalau di balik penantian itu terdapat urusan yang menggelisahkan hati seperti halnya Kim Hong ketika dia menanti kedatangan Thian Sin di dalam hutan, di tempat yang telah dijanjikan tadi.
Kim Hong membiarkan kudanya makan rumput dan dia sendiri duduk di atas batu besar di pinggir jalan. Kadang-kadang pandang matanya ditujukan ke arah gundukan tanah yang menjadi kuburan Kwee Siu, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan. Berada seorang diri di dekat kuburan baru itu menimbulkan rasa kesepian yang mencekam, menimbulkan bayangan pikiran yang bukan-bukan.
Orang yang dikubur itu adalah seorang pendekar, yang agaknya tewas dalam tugasnya sebagai seorang pendekar, dalam usahanya hendak menyelamatkan dua orang anak itu. Begitukah saat-saat terakhir seorang pendekar? Tewas di tempat sunyi, tanpa ada yang mengetahui, malah mungkin juga orang she Kwee ini meninggalkan keluarga yang masih belum tahu akan kematiannya. Betapa menyedihkan! Akan seperti itu jugakah nasibnya? Nasib Thian Sin? Betapa menyedihkan.
Mendadak gadis itu menepuk mati seekor semut yang merayap dan menggigit punggung tangannya. Ahh, mengapa tiba-tiba dia menjadi selemah itu? Kalau perlu, boleh saja mati seperti yang dialami oleh orang she Kwee itu!
Kematian tak akan mungkin dapat dihindarkan oleh siapa pun juga, soal kapan waktunya merupakan rahasia yang tidak terpecahkan dari manusia. Dan mati seperti yang dialami oleh orang she Kwee ini cukup terhormat! Mati sebagai seorang pendekar yang sedang melaksanakan tugasnya sebagai pendekar, yaitu menolong orang lain, melindungi yang lemah tertindas dan menentang yang kuat menindas. Kalah atau menang dengan akibat mati atau hidup hanyalah akibat dari pada perjuangan dan bukankah hidup ini perjuangan juga? Bukankah kematian mengelilingi kita setiap saat?
Bukan kematian yang penting untuk direnungkan, melainkan cara dari kematian itu. Mati dalam kebenaran, mati sebagai seorang pendekar perkasa penentang kejahatan seperti yang dialami orang she Kwee itu adalah kematian yang patut dibanggakan dan dikagumi orang. Kematian itu sendiri bukanlah soal, melainkan suatu kewajaran. Akan tetapi dalam keadaan bagaimana seseorang mati, itulah yang paling penting.
Andai kata yang menanti datangnya Thian Sin di tempat seperti itu bukan seorang wanita seperti Kim Hong, tentu hati wanita itu sudah menjadi kesal bukan main dan tentu akan marah-marah pada orang yang dinanti-nantinya. Akan tetapi Kim Hong bukanlah seorang wanita cengeng. Sama sekali bukan, bahkan sebaliknya dari pada itu dia adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa yang biasa menggunakan akal budinya dan sama sekali tidak menuruti perasaannya dalam menghadapi urusan penting dan gawat.
Maka, biar pun dia telah menanti sampai matahari condong ke barat dan Thian Sin belum juga muncul, dia sama sekali tak pernah mempunyai perasaan menyalahkan pemuda itu. Kepercayaannya terhadap Thian Sin sudah penuh dan tidak dapat diragukan lagi seperti juga kepercayaan pemuda itu terhadap dirinya. Dia merasa yakin bahwa kalau Thian Sin belum muncul, hal itu hanya berarti bahwa pemuda itu memang belum sempat datang, dan ini berarti bahwa kekasihnya itu telah menemukan sesuatu dalam penyelidikannya!
Dan, meski pun kecil sekali kemungkinannya karena dia tahu dan mengenal benar orang macam apa adanya Thian Sin, mungkin saja terjadi bahwa kekasihnya itu mendapatkan halangan! Hal inilah yang dipikirkannya dan setelah hari mulai gelap, kekhawatiran mulai menyelubungi hatinya. Satu-satunya jalan baginya hanya menyelidiki dan menyusul! Akan tetapi, menyelidiki jejak kaki kuda yang ditunggangi Thian Sin tidak mungkin dilakukan di malam hari, maka tidak ada jalan baginya kecuali menanti sampai terlewatnya malam itu.
Malam yang tidak menyedapkan hati! Malam sunyi sepi, di dekat kuburan baru, menanti kedatangan orang yang tidak kunjung muncul. Untunglah masih ada kudanya, setidaknya merupakan makhluk yang membuktikan adanya kehidupan yang dapat bergerak.
Kim Hong membuat api unggun, mencoba untuk tidur akan tetapi bayangan tentang Thian Sin tertimpa bencana menggoda pikirannya sehingga harapan satu-satunya hanyalah agar malam itu cepat berlalu dan dia dapat segera mulai menyusul kekasihnya. Malam seperti itu tentu menjadi malam yang sangat menyeramkan dan menakutkan bagi orang lain, apa lagi bagi seorang wanita yang berada di tempat sunyi seorang diri saja.
Orang mudah dihinggapi rasa takut di tempat sunyi, apa lagi di malam hari yang sangat gelap seperti itu, lebih-lebih pula kalau di sana terdapat sebuah kuburan yang baru siang tadi diisi jenazah yang mandi darah, pula kalau diketahui bahwa ada musuh yang sangat tangguh dan berbahaya yang mungkin saja mengancam diri. Namun, seorang pendekar seperti Toan Kim Hong sudah dapat mengatasi rasa takut ini.
Seperti para pendekar lainnya, dara ini sudah maklum apa yang menimbulkan rasa takut, maka dia pun dapat meniadakan sebab timbulnya rasa takut ini. Setiap orang, biar yang tidak memiliki ilmu silat seperti Kim Hong, tidak mempunyai andalan untuk melindungi diri sebaiknya, bisa saja menjadi orang yang memiliki ketabahan dan ketenangan hati seperti Kim Hong! Yang perlu diselidiki adalah rasa takut itu sendiri.
Apakah rasa takut itu? Dan dari mana timbulnya? Rasa takut tidak terpisah dari pada batin, karena rasa takut adalah keadaan batin itu sendiri pada saat itu. Rasa takut timbul karena ingatan membayangkan sesuatu yang akan amat tidak menyenangkan diri. Rasa takut tak pernah terpisahkan dari bayangan yang diciptakan oleh pikiran yang sering kali mengingat-ingat hal-hal yang lalu dan membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi pada masa depan.
Rasa takut sudah pasti merupakan pengintaian atau penjengukan ke masa depan yang dibayangkan itu, atau rasa takut itu tentu takut akan sesuatu yang tidak ada atau belum ada! Yang takut akan setan belum pernah melihat setan itu sendiri, rasa takutnya timbul akibat pikiran membayangkan kemungkinan munculnya setan.
Demikian pula yang takut dengan bencana tentu belum tertimpa bencana itu, yang takut akan kematian tentu karena hal yang ditakutkan itu belum ada maka timbul bayangan-bayangan yang mengerikan. Orang yang tidak membayangkan setan tidak mungkin takut akan setan, yang tak pernah membayangkan kematian tak mungkin takut kematian dan sebagainya. Hal ini merupakan kenyatan yang dapat kita selidiki sendiri.
Maka jelaslah bahwa rasa takut merupakan bayangan pikiran kita yang dipengaruhi oleh pengalaman di masa lalu, baik itu pengalaman sendiri mau pun pengalaman orang lain, kemudian pikiran menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang tak menguntungkan diri. Lantas timbullah rasa takut. Dan rasa takut ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagi hidup. Malah rasa takut ini membuat kita kehilangan kewaspadaan, segala tindakan kita terpengaruh olehnya.
Biasanya kita menghadapi rasa takut sebagai sesuatu yang terpisah dari batin kita. Kita ingin menghindari rasa takut, maka muncullah hiburan-hiburan untuk melupakan hal-hal yang mendatangkan rasa takut itu. Akan tetapi hal ini hanyalah merupakan pelarian yang sia-sia belaka.
Rasa takut akan setan umpamanya, tidak mungkin bisa lenyap hanya dengan melarikan diri dari rasa takut, dengan jalan menghiburnya, mencari kawan, pergi ke tempat-tempat ramai dan sebagainya. Lain waktu rasa takut itu akan muncul lagi setiap kali pikiran kita membayangkan tentang kengerian-kengerian bertemu setan.
Mengapa tidak kita hadapi saja rasa takut itu? Kita amati saja kalau sewaktu-waktu rasa takut itu muncul dan ini merupakan sesuatu yang teramat menarik dan teramat berharga untuk diselami dan dihayati sendiri. Kalau rasa takut muncul, baik rasa takut akan setan, rasa takut akan bencana, mala petaka, mau pun rasa takut akan kematian, kenapa kita tidak menghadapi rasa takut itu saja tanpa ingin melarikan diri darinya?
Hadapi saja, amati saja penuh perhatian sehingga kita bisa melihat dengan sepenuhnya, dapat mengerti sepenuhnya, apa sesungguhnya rasa takut itu sehingga bukan kita yang menghindarkan diri dari rasa takut melainkan rasa takut itu sendiri yang lenyap dari lubuk hati kita? Kenapa kita tidak membebaskan diri dari rasa takut yang dapat menimbulkan berbagai macam akibat dalam sikap dan tindakan dalam hidup kita?
Semalam suntuk Kim Hong hanya duduk bersila di dekat api unggun, tak pernah bergerak seperti patung. Hanya kadang-kadang saja kalau harus menambah kayu bakar, maka dia bergerak sebentar kemudian duduk lagi.
Suara api membakar kayu menimbulkan bunyi yang menarik perhatiannya sehingga tidak mendengar suara lain dan tidak tahu bahwa ada sosok tubuh orang menyelinap di antara pohon-pohon di sekelilingnya dan sejak tadi ada sepasang mata mengintainya. Ketika itu malam sudah hampir habis dan fajar mulai menyingsing di ufuk timur.
Akan tetapi karena nyamuk masih belum meninggalkan tempat yang masih gelap itu, Kim Hong masih terus menyalakan api unggun sambil duduk dengan tenangnya. Hatinya mulai gembira melihat bahwa di sebelah timur telah mulai nampak sinar kemerahan.
Ringkik kudanya yang mula-mula membuat gadis ini waspada. Dia segera mencurahkan perhatiannya ke sekeliling sehingga pandangan matanya yang tajam itu bisa menangkap berkelebatnya bayangan di balik pohon di sebelah kirinya. Kudanya mendengus-dengus dan Kim Hong mengambil sikap tenang, pura-pura tidak tahu bahwa waktu itu ada orang yang mengintainya. Mengapa orang itu mengintai saja dan tidak turun tangan sejak tadi, pikirnya.
Apakah kemunculan orang ini ada hubungannya dengan penjahat yang menculik ibu dua orang anak itu? Ataukah ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin? Apa bila orang itu adalah si penjahat yang suka menculik wanita, mungkin sekali dia mengintaiku untuk kemudian turun tangan menangkap dan menculikku. Akan tetapi kalau ternyata ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin, kalau ternyata orang itu sudah tahu akan kelihaian Thian Sin, mungkin sekali dia pun berhati-hati terhadapnya. Sungguh tidak enak hanya menunggu sambil menduga-duga seperti ini. Lebih baik memberi kesempatan dan memancing supaya orang itu bergerak turun tangan.
Kini api unggun mulai padam, sengaja dibiarkan saja oleh Kim Hong dan dalam duduknya, dara itu nampak melenggut. Kemudian dia membiarkan dirinya diserang hawa dingin pagi, menggigil sedikit lalu menguap, menutupkan punggung tangan di depan mulut, kemudian merebahkan dirinya bersandar pada batang pohon dan tidur.
Sikap serta gerakannya demikian wajar sehingga siapa pun juga tentu akan menyangka bahwa gadis ini merasa kedinginan dan mengantuk lantas dengan mudahnya jatuh pulas ketika merebahkan diri dan bersandar pada batang pohon itu. Dan agaknya, orang yang mengintainya dari balik batang pohon itu pun menduga demikian.
Dia membiarkan sampai gadis itu tertidur selama setengah jam, barulah dengan gerakan kaki yang sangat ringan dia keluar dari balik pohon dan menghampiri. Sejenak dia berdiri memandang wajah dan tubuh yang terlentang di hadapannya itu dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar kagum.
Memang, melihat Kim Hong rebah terlentang setengah duduk bersandar batang pohon di pagi hari itu merupakan pemandangan yang indah menarik. Hati siapa tak akan tergerak melihat tubuh yang padat serta matang itu setengah terlentang, dan melihat wajah yang luar biasa cantiknya itu, sedikit tertutup uraian rambut, dengan mata terpejam dilindungi bulu mata yang lentik, bibirnya kemerahan mengulum senyum, lehernya yang panjang itu nampak terbuka sehingga kulit leher putih mulus itu menantang pandang mata?
Ada pun Kim Hong sejak tadi sudah melihat orang itu dan jantungnya berdebar tegang. Orang itu adalah seorang laki-laki yang memakai sutera putih dan pada dadanya terdapat lukisan tengkorak dari tinta merah atau pun darah, dan muka orang itu memakai topeng tengkorak pula! Sungguh mengerikan dan tentu akan menakutkan orang melihat siluman ini muncul di pagi hari buta dan di tempat sunyi seperti itu.
Akan tetapi di dalam hatinya Kim Hong merasa geli, namun juga marah. Inikah orangnya yang telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan, dan sudah menculik ibu dua orang anak itu? Apakah dia ini berhasil menghindarkan diri dari pencarian Thian Sin, kemudian malah datang ke sini untuk menculiknya?
Orang bertopeng itu agaknya sudah puas memandang Kim Hong. Dia pun mengangguk-angguk, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dari dalam saku bajunya. Dia melangkah dekat, lalu kertas dari dalam itu dibukanya dan begitu dia mengebutkan kertas itu, bubukan berwarna merah berhamburan ke arah muka Kim Hong! Akan tetapi, pada saat itu Kim Hong sudah bergerak dengan sangat cepatnya, meloncat dan menggunakan kakinya untuk menendang.
"Wuuuttt...! Dukkk!" Tubuh orang bertopeng itu terpelanting dan terlempar ke belakang.
Tentu saja siluman itu terkejut setengah mati. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa dara yang cantik jelita itu, yang nampak tidur pulas, tahu-tahu dapat mengirim tendangan yang demikian cepat dan hebatnya. Dia tadi masih dapat menangkis, akan tetapi karena kurang cepat dan kurang mengerahkan tenaga, maka tendangan yang luar biasa kuatnya itu membuat tubuhnya terpelanting bahkan terlempar ke belakang.
Akan tetapi, begitu tubuhnya terbanting, cepat orang itu sudah mampu meloncat bangun kembali! Dan dia menjadi semakin heran melihat betapa gadis itu tidak terpengaruh oleh bubuk obat biusnya! Padahal bubuk obat bius merah itu amat kuat dan sukar dilawan oleh orang yang pandai sekali pun. Dia tadi tidak melihat betapa dengan sehelai sapu tangan, Kim Hong mengebut bubuk merah itu dengan pengerahan sinkang sehingga bubuk merah itu tertiup pergi dan tidak ada yang mengenai mukanya.
Karena kecelik, siluman itu agaknya merasa penasaran sekali. Dia segera mengeluarkan gerengan marah dan tiba-tiba saja tubuhnya telah meluncur ke depan dan dia pun sudah menyerang Kim Hong dengan dahsyat. Tangan kanannya meraih ke arah leher bagaikan hendak mencengkeram, ada pun jari tangan kirinya meluncur dan menotok ke arah jalan darah di pundak. Totokan ke arah pundak inilah yang bahaya karena selain tertutup? oleh cengkeraman tangan kanan, juga yang diarah itu jalan darah yang penting dan yang akan membuat orang yang kena ditotoknya menjadi lemas tak akan mampu bergerak lagi!
Akan tetapi, tentu saja serangan semacam itu bukan apa-apa bagi Kim Hong. Gadis ini sudah dapat mengukur dalam tendangannya tadi bahwa biar pun siluman ini mempunyai kepandaian lumayan yang lebih dari pada penjahat-penjahat biasa dan mempunyai tubuh yang kuat, namun bukan merupakan lawan yang terlalu tangguh baginya.
Oleh karena itu Kim Hong menjadi marah. Dia ingin mempermainkan lawan, hendak lebih dulu menghajarnya, baru kemudian dia akan melucuti kedoknya dan akan memaksanya mengaku tentang peran Siluman Goa Tengkorak dan ibu anak-anak yang telah diculiknya itu.
Maka, begitu serangan itu datang, dia cepat menyambutnya dengan mudah sekali. Tanpa mengerahkan banyak tenaga dan kecepatan, dia telah dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu. Ia sengaja tidak mau membalas dan membiarkan siluman itu menyerangnya secara bertubi-tubi untuk mengukur sampai di mana tingkat kepandaian lawan.
Setelah dia membiarkan lawannya menyerangnya sampai belasan jurus, dia pun mengerti bahwa lawan ini memiliki dasar ilmu silat campuran dan tidak dapat digolongkan sebagai seorang ahli yang sudah matang. Karena itu dia pun ingin menghentikan perkelahian itu dan pada waktu orang itu kembali menyerangnya dengan tangan kanan mencengkeram ke arah dada, serangan yang sungguh tidak tahu malu dari seorang lawan pria terhadap seorang wanita, Kim Hong sudah menyelinap ke samping dan begitu kakinya melayang, dia telah menendang perut orang itu dengan keras.
"Desss...!"
Tubuh orang itu melayang untuk kedua kalinya, sekali ini melayang jauh lantas terbanting jatuh dekat dengan kuda tunggangan Kim Hong yang menjadi kaget dan meringkik.
Tendangan tadi amat keras dan biar pun Kim Hong tidak bermaksud membunuhnya, atau belum lagi, akan tetapi tendangan itu cukup kuat untuk membuat orang itu memuntahkan darah segar dari mulutnya. Akan tetapi orang itu memang memiliki tubuh yang kuat dan tahan uji, karena begitu terbanting jatuh, dengan mulut mengeluarkan darah, dia langsung meloncat dan tahu-tahu dia sudah berada di atas punggung kuda tunggangan Kim Hong. Kuda itu pun dibedalkannya dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu.
"Hei, badut keparat! Hendak lari ke mana engkau?" Kim Hong terkejut dan marah sekali, lalu menggerakkan kedua kakinya mengejar.
Dara ini adalah seorang ahli ginkang, maka gerakannya luar biasa cepatnya, larinya tidak kalah oleh larinya kuda. Akan tetapi karena siluman itu tampaknya jeri sekali dan tak mau tersusul, maka kuda itu dibalapkannya dan dipukulinya dengan tangan terbuka sehingga kuda itu berlari sangat cepat. Kim Hong terus mengejar, bukan saja hendak menangkap si penjahat melainkan juga untuk mendapatkan kembali kudanya.
Sekarang kuda itu meninggalkan jalan dan memasuki hutan. Kim Hong tetap mengejarnya sampai si penunggang kuda itu tiba di tepi jurang, jurang yang menganga lebar dan amat dalam, selebar kurang lebih empat tombak. Dan Kim Hong melihat siluman itu terus saja membedalkan kudanya, bahkan hendak membawa kudanya meloncati jurang!
"Heiii, jangan...!" Kim Hong berteriak karena dari jauh saja dia sudah dapat melihat bahwa perbuatan itu merupakan tindakan nekat dan mempertaruhkan nyawa dengan sia-sia.
Jurang itu terlalu lebar untuk dapat diloncati oleh kudanya. Kuda itu kini terbang di atas jurang dan dengan mata terbelalak Kim Hong berhenti dan memandang, melihat betapa kaki depan kuda itu memang telah mencapai tepi jurang di seberang, akan tetapi karena sebagian besar badannya yang belakang belum sampai, maka kuda itu terjengkang dan bersama dengan penunggangnya meluncur jatuh ke dalam jurang yang amat dalam itu!
Kim Hong mengepal tinju sambil lari ke tepi jurang, menjenguk ke bawah dan dia melihat betapa kuda serta penunggangnya terbanting-banting ke lereng bukit yang berbatu-batu, kemudian berhenti dan tidak bergerak-gerak lagi.
"Keparat!" Kim Hong mendesis.
Dia merasa kecewa dan menyesal sekali mengapa tidak sejak tadi dia merobohkan saja orang itu agar dapat dikorek keterangan darinya. Sekarang, bukan saja penjahat itu telah mati dan tidak ada gunanya lagi, juga kudanya ikut mati. Terpaksa dia kembali ke tempat tadi dan mulailah dia mencari jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin kemarin siang.
Tentu saja tidaklah mudah untuk mencari jejak kuda yang sudah lewat sehari semalam. Rumput yang diinjak kuda sudah berdiri lagi dan menutupi jejak pada tanah. Tapi untung baginya, tanah di hutan itu lembab sehingga hal ini membuat jejak kaki kuda itu menjadi agak tahan lama.
Dengan hati-hati dia mencari, menemukan jejak kaki kuda itu lantas mengikutinya dengan jalan kaki. Dia harus menemukan Thian Sin. Dia tak percaya bahwa riwayat Siluman Goa Tongkorak akan habis begitu saja bersama jatuhnya orang tadi dengan kudanya ke dalam jurang. Kalau siluman atau penjahat itu hanya seorang yang kepandaiannya semacam itu, maka tak mungkin orang-orang yang telah dijuluki Tujuh Pendekar Tai-goan begitu mudah dibunuhnya.
Apa lagi, tak mungkin bila Thian Sin sampai tak mampu menemukannya setelah pemuda itu mencari selama sehari semalam. Tentu ada apa-apa di balik semua ini, ada kekuatan yang jauh lebih hebat dari pada sekedar penjahat bertopeng tengkorak tadi.
Tanpa setahu Kim Hong, jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin itu membawanya kepada daerah Goa Tongkorak! Dia tidak menyadari hal ini karena memang dia belum mengenal daerah itu. Belum ada kesempatan baginya dan juga bagi Thian Sin untuk menyelidiki keadaan Siluman Goa Tengkorak yang baru pertama kali mereka dengar dari mulut Kwee Siu ketika pendekar itu dalam keadaan sekarat, lalu peristiwa demi peristiwa terjadi susul menyusul demikian cepatnya.
Mula-mula pertemuan mereka dengan dua orang anak-anak yang menuturkan bahwa ayah dan paman-paman mereka terbunuh siluman dan bahwa ibu mereka terculik. Kemudian pertemuan mereka dengan Kwee Siu yang menghadapi maut. Lalu menghilangnya Thian Sin yang mengikuti jejak siluman dan tak kunjung kembali ke dalam hutan seperti yang sudah mereka janjikan. Kemudian muncul siluman yang mencoba untuk membiusnya, yang berakhir dengan kematian mengerikan bagi siluman itu sebelum Kim Hong sempat membuka rahasianya. Semua itu terjadi hanya dalam waktu semalam saja dan kini dia telah mengikuti jejak kekasihnya.
Melihat keadaan yang sangat liar dan sunyi dari tempat ke mana jejak itu membawanya, Kim Hong mulai merasa khawatir. Agaknya dia dibawa ke tempat yang berbahaya, karena makin lama tempat itu semakin sunyi. Tak nampak ada seorang pun manusia dan ketika jejak itu tiba di tepi Sungai Fen-ho yang berbatu-batu karang, jejak itu pun lenyap.
Tentu Thian Sin melanjutkannya dengan jalan kaki, pikirnya. Jalan itu mendaki tebing dan sangat sukar dilewati manusia, apa lagi kuda. Kim Hong tidak melanjutkan perjalanannya. Dia meragu, sebab tidak tahu ke mana dia harus melanjutkan perjalanan. Yang berada di depannya itu merupakan jalan pendakian ke sebuah tebing yang curam dan dia tidak tahu ada apa di balik tebing atau di sebelah atas itu. Dia juga tidak tahu ke mana Thian Sin melanjutkan perjalanannya dan tidak dapat menduga pula apa yang telah terjadi sesudah kekasihnya itu tiba di tempat ini.
Tiba-tiba, ketika dia memeriksa keadaan sekeliling dan melihat-lihat, di atas bukit kecil pada sebelah kiri terlihat sebuah bangunan kuil kecil kuno yang berdiri terpencil. Agaknya sebuah kuil yang tidak dipergunakan lagi, dan mungkin saja untuk tempat tinggal seorang pertapa, namun bukan tidak mungkin tempat terpencil itu menjadi tempat persembunyian penjahat!
Timbul semangatnya karena dia berpendapat bahwa jika Thian Sin sudah tiba di sini dan melihat kuil itu, tentu kekasihnya itu juga akan mengunjungi serta memeriksa tempat itu sebagai langkah pertama dalam penyelidikan mengenai Siluman Goa Tengkorak itu. Kim Hong lalu mulai mendaki tebing yang amat sukar itu. Akan tetapi karena dia mempunyai ginkang yang amat hebat, dia pun dapat mendaki tempat itu dengan cepat dan tidak lama kemudian, tanpa banyak kesukaran dia sudah tiba di pekarangan kuil kuno.
Namun pekarangan itu nampak bersih dan ada bekas sapuan di situ. Hal ini menandakan bahwa tempat itu berpenghuni! Siapa tahu penghuninya adalah penjahat yang kini sedang dicari-carinya. Pikiran ini membuat Kim Hong bersikap hati-hati, maka dia pun menyelinap dan menghampiri kuil kuno itu dari belakang. Ketika dia melihat seekor kuda ditambatkan di bagian belakang dari kuil itu, jantungnya segera berdebar tegang dan girang.
Dia mengenal kuda itu, kuda tunggangan Thian Sin! Dihampirinya kuda itu dan ditepuk-tepuknya punggung kuda itu. Kuda itu pun mengenal Kim Hong, lantas membelai tangan dara itu dengan mukanya. Ah, kalau saja kuda ini mampu bicara, tentu banyak yang bisa diceritakannya dan dia tidak perlu bingung-bingung mencari tahu apa yang sudah terjadi dengan Thian Sin sehingga pemuda itu tidak kembali ke hutan.
"Hei, siapa yang berani mencoba mencuri kuda?"
Kim Hong terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Kiranya yang menegurnya itu adalah seorang lelaki berusia enam puluhan tahun, mengenakan pakaian seperti seorang tosu, tubuhnya kurus serta kedua pipinya cekung sehingga tanpa kedok tengkorak sekali pun muka itu sudah hampir mendekati bentuk tengkorak.
Namun kakek itu jelas seorang tosu, bukan seorang penjahat yang memakai jubah putih bergambar tengkorak, tidak pula memakai kedok. Akan tetapi Kim Hong bermaksud ingin mengejutkan hati pendeta itu dengan pertanyaan yang tiba-tiba datangnya.
"Totiang, ke mana perginya pemilik kuda ini?"
Tosu itu berjalan menghampiri dan sejenak menatap Kim Hong penuh perhatian. "Pemilik kuda ini? Ahhh, apakah nona yang menjadi sahabatnya dan yang malam tadi menunggu dia di dalam hutan?"
Kim Hong mengangguk lantas memandang tajam. "Totiang, ke mana perginya sahabatku itu? Mengapa dia tidak kembali ke hutan?"
"Ahh, pinto telah menanti-nantimu, nona. Pinto merasa khawatir sekali akan nasib kongcu itu..."
"Ada apakah, totiang? Harap suka cepat ceritakan!" Kim Hong tertarik sekali namun juga merasa khawatir.
"Kemarin siang kongcu yang menjadi temanmu itu datang ke sini dan menitipkan kudanya ini. Kemarin dia menanyakan jalan menuju ke Goa Tengkorak." Dia berhenti sebentar dan memandang jauh ke depan dengan sinar mata kosong namun mengandung rasa takut.
"Lanjutkanlah, totiang," Kim Hong mendesak tak sabar.
"Pinto sudah memperingatkan bahwa tempat itu bukan merupakan tempat pesiar namun tempat berbahaya sekali yang tidak pernah dikunjungi orang. Akan tetapi dia membujuk pinto sehingga akhirnya pinto mengantarnya ke daerah itu. Ketika kami tiba di sana, pinto sudah mengajaknya untuk segera pulang saja, akan tetapi kongcu itu memaksa hendak memasuki sebuah goa besar di sana. Pinto segera memperingatkan dan mencegahnya, akan tetapi kongcu itu nekat memaksa, bahkan meninggalkan pesan kepada pinto bahwa dia mempunyai seorang teman wanita yang sedang menanti di dalam hutan, dan apa bila pinto berjumpa dengan nona supaya pinto memberi tahukan semuanya. Nah, pinto tidak berhasil membujuknya dan dia pun memasuki goa. Pinto menunggu di luar goa sampai malam dan dia belum juga keluar. Terpaksa pinto pulang sendirian..."
Kim Hong mengerutkan alisnya. "Apakah totiang tidak menyusul dan memanggilnya?"
Tosu itu nampak terkejut. "Ahh, nona belum tahu rupanya. Tempat itu amat keramat dan juga berbahaya. Apa bila pinto tahu bahwa kongcu itu hendak memasuki goa, tentu pinto tidak berani dan tidak mau mengantarnya. Goa-goa itu merupakan goa-goa keramat yang tak pernah didatangi manusia dan kabarnya siapa yang berani masuk goa tak akan dapat keluar kembali. Maka pinto tidak berani memasukinya untuk menyusul kongcu."
"Hemmm, apakah totiang pernah mendengar tentang Siluman Goa Tengkorak? Di situkah sarangnya?"
Tosu itu menggelengkan kepala. "Pinto hanya tahu bahwa tempat seperti itu sudah pasti menjadi sarang para siluman dan iblis. Ah, pinto khawatir sekali kalau-kalau kongcu telah mengalami hal-hal yang tidak baik dan tertimpa mala petaka di dalam goa itu..."
"Totiang, kalau begitu tolong antar saya ke tempat itu!" Kim Hong yang merasa khawatir sekali itu mendesaknya.
"Apa...?! Nona... nona hendak menyusul ke sana?"
"Benar, akan saya susul dia ke dalam goa! Habis, kalau tidak ada yang berani memasuki goa menyusulnya, bagaimana dapat menemukannya?"
"Tapi itu berbahaya sekali, nona! Pinto tidak berani!"
"Totiang tidak usah masuk, biarlah aku sendiri yang masuk!" kata Kim Hong agak jengkel karena melihat pendeta itu ketakutan, padahal dari gerak-gerik pendeta ini dapat diduga bahwa pendeta ini bukanlah orang sembarangan, bukan orang yang lemah.
"Tapi itu pun berbahaya sekali, nona. Lihat, kongcu masuk ke dalam goa dan tidak keluar lagi. Kalau sekarang nona juga masuk ke sana dan terjadi apa-apa, bukankah pinto yang menerima dosanya? Sebaiknya kalau nona minta bantuan susiok..."
"Susiok? Siapa dia?"
"Pinto mempunyai seorang susiok (paman guru) yang pandai melihat hal-hal jauh, pandai melihat hal-hal yang telah lampau. Susiok tentu akan dapat membantu kita memberi tahu bagaimana keadaan kongcu sekarang dan di mana dia berada."
Kim Hong tidak mau percaya segala macam ketahyulan dan segala macam ilmu ramalan ini. Yang terpenting dia harus turun tangan mencari dan kalau perlu menolong Thian Sin. Tentu telah terjadi sesuatu dengan pemuda itu.
"Tidak, totiang, aku ingin mencarinya sendiri. Mari totiang tunjukkan di mana tempatnya. Totiang tidak usah mencampuri, aku akan mencarinya sendiri."
Kakek itu menarik napas panjang dan setelah menggeleng-gelengkan kepalanya dia pun berkata, "Siancai... orang-orang muda sekarang sungguh mempunyai hati yang keras dan berani. Selama ini pinto hidup tenteram di sini, akan tetapi kini pinto melihat orang-orang muda seperti kongcu dan nona berani menempuh bahaya. Sungguh membuat hati pinto berduka dan penasaran. Marilah, nona, pinto antarkan ke daerah Goa Tengkorak."
Berangkatlah mereka dan ternyata jalan yang mereka lalui sekarang jauh lebih sukar dari pada jalan menuju ke kuil kuno yang dilalui Kim Hong seorang diri tadi. Dan di sini dara perkasa itu mendapatkan kenyataan bahwa dugaannya memang benar, tosu itu bukanlah seorang lemah karena dapat berjalan melalui jalan yang sukar, terjal dan licin, dan untuk dapat melalui jalan seperti ini membutuhkan ginkang yang lumayan. Karena itu, di tengah perjalanan mendaki tebing dia pun tidak dapat menahan keinginan tahunya.
"Kulihat totiang bukan seorang lemah dan juga memiliki ilmu kepandaian, kenapa totiang begitu ketakutan terhadap Goa Tengkorak? Ada apanya sih di sana?"
Pendeta itu berhenti kemudian berpegangan pada batu karang yang menonjol. "Aih, apa sih artinya kepandaian manusia kalau harus berhadapan dengan para siluman?"
Lalu dia berjalan lagi dan kali ini dia bergerak lebih cepat, agaknya hendak meninggalkan Kim Hong atau menurut persangkaan dara itu, si tosu ini sengaja hendak memperlihatkan kepandaian atau sengaja hendak mencoba dan mengujinya.....
Tentu saja Kim Hong menganggap perjalanan itu mudah saja dan kalau dia mau, dia bisa bergerak cepat, jauh lebih cepat dari pada si tosu. Akan tetapi dia tak mau memamerkan kepandaian maka dia hanya bergerak mengikuti tosu itu saja. Akhirnya, tibalah mereka di daerah berbatu-batu, di hadapan mereka terbentang dinding batu karang yang tinggi dan penuh dengan goa-goa yang bentuknya menyeramkan, karena banyak di antara goa goa itu yang bentuknya mirip seperti tengkorak manusia.
"Inikah Goa Tengkorak...?" Kim Hong bertanya, seperti kepada diri sendiri ketika melihat kakek itu berhenti bergerak kemudian memandang ke arah dinding karang yang tinggi dan panjang itu.
Memang tempat itu sangat sunyi dan kering kerontang, tempat yang terpencil dan sukar sekali didatangi. Tempat yang sangat patut menjadi tempat sembunyi sebangsa siluman atau setidaknya para penjahat besar yang hendak menghindarkan diri dari pengejaran.
"Lalu di goa yang manakah temanku itu masuk?"
"Di goa yang sana itu, nona. Tapi... tapi nona jangan masuk... ahhh, sungguh berbahaya sekali, nona."
"Bagaimana totiang tahu bahwa masuk ke sana berbahaya?" Kim Hong bertanya secara tiba-tiba sambil menatap tajam wajah kakek itu.
"Bukankah kongcu masuk ke sana dan tidak keluar lagi? Bagaimana kalau nona juga tak keluar lagi?"
"Sudahlah, lebih baik totiang kembali saja dan biarkan aku sendiri mencari temanku. Jadi, di goa itu masuknya?"
"Benar, nona. Dan pinto akan menanti di sini..."
Kim Hong sudah berloncatan menuju ke goa yang ditunjukkan oleh kakek itu. Sebuah goa yang bentuknya seperti tengkorak dan kelihatan hitam gelap karena cahaya matahari tak dapat memasukinya. Ia bersikap waspada, mengerahkan sinkang-nya dan memasuki goa itu dengan seluruh urat syaraf tubuhnya siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Di tempat seperti ini mungkin saja dipasangi alat-alat rahasia dan jebakan-jebakan, pikirnya.
Akan tetapi kkhawatirannya itu tak terbukti. Di dalam goa itu tidak ditemukan sesuatu pun juga. Goa yang lebar dan dalam akan tetapi kosong, dan penyelidikannya terbentur pada dinding-dinding batu goa itu. Tidak terdapat terowongan atau pintu rahasia, tidak terdapat jebakan-jebakan dan di situ dia tidak menemukan jejak Thian Sin.
Dengan kecewa dia pun keluar lagi dan ternyata tosu itu masih menunggu di tempat yang tadi. Melihat dia muncul kembali, tosu itu cepat menghampiri.
"Siancai... siancai... sungguh gembira sekali hati pinto melihat nona sudah keluar dalam keadaan selamat!"
"Totiang, benarkah temanku itu masuk ke dalam goa ini?"
"Benar, nona."
"Namun tidak kutemukan apa-apa di dalamnya. Goa biasa dan tidak ada jalan tembusan. Bagaimana mungkin temanku itu lenyap begitu saja di dalamnya?"
"Aih, nona, di tempat seperti ini, apakah yang tak mungkin? Siapa tahu akan rahasianya. Pinto rasa, yang dapat membantu dan menerangkan kepada nona hanyalah susiok pinto itu seorang. Kalau nona mau, mari pinto antarkan nona ke sana menjumpainya."
Hati Kim Hong mulai tertarik. Apa bila dia harus mencari sendiri tanpa adanya jejak sama sekali, mana mungkin? Tempat ini penuh dengan goa-goa dan daerah ini berbatu-batu, sedikit pun tidak kelihatan jejak Thian Sin. Pemuda itu lenyap secara aneh di dalam goa yang biasa saja. Ataukah kakek ini yang berbohong padanya? Dan kakek ini menjanjikan bantuan lewat seorang susiok-nya yang pandai ilmu sihir. Hemm, sungguh mencurigakan, dan menarik sekali.
Ada dua kemungkinan yang menguntungkan baginya. Pertama, siapa tahu kalau-kalau paman guru dari pendeta ini benar-benar sakti dan dapat memberi tahu di mana adanya Thian Sin. Ke dua, andai kata pendeta ini berbohong, tentu ada sebabnya dan tentu ada hubungannya dengan lenyapnya Thin Sin.
Agaknya inilah satu-satunya jejak yang harus ditelusurinya dan dihadapinya, sungguh pun bukan tidak mungkin kalau dia akan menghadapi bahaya. Untuk menolong Thian Sin, dia sanggup menghadapi bahaya yang bagaimana pun juga besarnya.
"Baiklah, totiang. Tentu saja aku mau memperoleh segala macam bentuk bantuan untuk dapat menemukan sahabatku itu. Akan tetapi aku belum mengenal totiang dan susiok dari totiang itu..."
"Nama pinto Siok Cin Cu dan sudah bertahun-tahun pinto bertapa di kuil itu, hidup aman tenteram sampai munculnya kongcu dan nona. Ada pun susiok pinto itu adalah seorang pertapa tua yang tidak lagi mau dikenal namanya, namun tentu saja nona boleh mencoba untuk bertanya kepada beliau kalau berhadapan sendiri. Beliau tidak lagi mau berurusan dengan orang luar, akan tetapi kalau pinto yang membawa nona menghadap, tentu beliau akan mau menolong nona. Hanya susiok sajalah yang akan dapat mengetahui di mana adanya teman nona itu. Marilah, nona."
Kim Hong mengikutinya dan secara diam-diam dia berpikir. Mengapa tosu ini tidak pernah menanyakan namanya atau nama Thian Sin? Sikap ini memperlihatkan sikap tidak peduli, akan tetapi pada lain pihak, kakek ini mau bersusah payah mengantar mereka ke goa dan sekarang sedang berusaha untuk menolong dengan membawanya kepada susiok-nya. Ini menunjukkan sikap yang sangat peduli.
Dan bila mana ada sikap yang amat bertentangan ini, tentu ada apa-apanya! Atau tosu ini memang orang aneh sekali atau memang bermain sandiwara. Maka sebaiknya kalau dia pun ikut saja bermain sandiwara agar dapat melihat apa yang sedang terjadi di balik layar.
***************
Gubuk kecil itu berada di atas bukit di balik dinding batu karang. Letaknya mengingatkan Kim Hong kepada kuil tempat tinggal Siok Cin Cu, yaitu di puncak bukit dari mana dapat nampak pemandangan di bawah, sampai ke permukaan Sungai Fen-ho dengan jelasnya. Sebuah tempat penjagaan yang amat baik, seperti juga di kuil itu, pikir Kim Hong. Mereka tiba di depan gubuk kecil panjang itu menjelang sore.
"Harap nona menunggu sebentar di luar, pinto hendak menghadap dan membujuk susiok agar suka menerima nona."
Kim Hong mengangguk. Akan tetapi pada waktu tosu itu memasuki pintu depan pondok, dia segera mempergunakan ginkang-nya untuk menyelinap mendekati pondok kemudian memasukinya dari belakang.
Pondok itu kecil namun panjang. Ketika dia mendengar suara orang bercakap-cakap dari ruangan dalam, dia cepat mengintai dari balik jendela. Ia melihat sebuah ruangan panjang yang gelap, dan Siok Cin Cu telah berada di situ, berlutut di atas lantai di depan seorang pendeta lain yang duduk di tempat yang gelap, hanya nampak bentuk tubuhnya saja yang jangkung dan sepasang matanya yang seperti mencorong di dalam gelap.
Pendeta itu, yang dapat dikenal dari pakaiannya yang bentuknya seperti jubah kebesaran, duduk bersila di atas bantalan bundar, tidak bergerak seperti patung yang menyeramkan karena matanya seperti mata harimau, atau seperti mata setan.
"Susiok, harap susiok memaafkan teecu yang lancang datang menghadap. Teecu sedang mengantarkan seorang nona yang menghadapi kegelisahan besar karena dia kehilangan seorang sahabatnya. Teecu mohon kerelaan hati susiok untuk bisa memberikan petunjuk kepadanya."
"Siancai... siancai...! Orang-orang muda yang ceroboh, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri untuk mencampuri urusan orang lain. Sungguh berani sekali mereka itu menentang siluman-siluman Goa Tengkorak... siancai...! Akan tetapi karena engkau sudah mengajak nona itu ke sini, Siok Cin Cu, biarlah akan kucoba menolongnya. Suruh dia masuk."
Setelah melibat dan mendengar ini, cepat Kim Hong meloncat keluar lagi dan jantungnya berdebar heran. Bagaimana kakek itu langsung dapat mengetahui bahwa dia dan Thian Sin menentang siluman-siluman Goa Tengkorak? Melihat sikap Siok Cin Cu pada waktu menghadap tadi, maka keraguannya bahwa pendeta itu menipunya mulai berkurang dan dia pun mulai percaya bahwa susiok dari pendeta itu boleh jadi memang mempunyai ilmu kepandaian yang luar biasa.
Ketika tosu itu muncul, Kim Hong berlagak seperti sedang melihat-lihat keadaan di bawah bukit. Dia mendapat kenyataan bahwa dari bukit itu, seperti juga dari kuil si tosu, bagian bawah dari daerah Goa Siluman dapat nampak sehingga setiap ada orang yang mendaki menuju ke tempat itu, tentu dapat terlihat dari kedua tempat ini.
"Nona, sungguh beruntung sekali. Susiok mau menerimamu. Mari, nona, silakan masuk."
Kim Hong mengangguk lantas mengikuti tosu itu masuk ke dalam pintu depan dan begitu masuk, dia melihat betapa di sebelah dalam rumah itu gelap sekali karena semua jendela tertutup. Hanya ada sedikit cahaya yang menerobos masuk melewati celah-celah dinding, membuat cuaca di dalam ruangan dalam rumah itu remang-remang.
"Silakan, nona," bisik Siok Cin Cu yang memberi isyarat kepada dara itu untuk maju ketika mereka tiba di ruangan yang tadi diintai oleh Kim Hong. Kim Hong masih tetap bersikap waspada.
Memang sudah semestinya seorang pendekar tidak pernah meninggalkan kecurigaan dan kewaspadaannya, begitulah pelajaran yang sejak dahulu ditekankan di dalam hatinya oleh orang tuanya. Maka, biar pun dia mulai percaya kepada Siok Cin Cu yang dianggapnya tidak mempunyai iktikad buruk, tetap saja dara perkasa ini bersikap waspada dan selalu siap menghadapi bahaya dari mana pun juga datangnya. Dia memandang kepada sosok tubuh yang duduk bersila di sudut ruangan, lalu menjura kepada sosok tubuh itu.
"Ahhh, selamat datang, nona. Silakan duduk dan maafkan, di sini pinto tidak memiliki kursi dan meja, maka terpaksa kita duduk di atas lantai saja. Silakan." Sosok tubuh itu berkata tanpa bergerak.
"Terima kasih, locianpwe," jawab Kim Hong yang segera duduk bersimpuh di atas lantai.
Dia lalu menggunakan tangannya menekan lantai sambil mengerahkan sinkang-nya untuk melihat apakah lantai itu asli ataukah ada rahasianya dan merupakan perangkap. Namun hatinya terasa lega ketika mendapatkan kenyataan bahwa lantai itu merupakan lantai batu yang tidak mongandung sesuatu yang mencurigakan.
"Sekarang katakan, apakah yang dapat pinto lakukan untuk membantumu, nona?"
Diam-diam Kim Hong memuji kakek itu. Biar pun dia tidak dapat melihat dengan jelas, dia dapat menduga bahwa orang itu tentulah seorang pria yang sudah tua, apa lagi bukankah pria ini merupakan paman guru dari tosu Siok Cin Cu? Betapa pun juga, kakek ini tidak sombong, biar pun sudah jelas tahu apa yang menjadi kesulitannya, akan tetapi kakek itu masih bertanya dan tidak mendahuluinya menyombongkan pengetahuannya.
"Locianpwe, saya mencari seorang sahabat saya yang hilang setelah dia memasuki salah sebuah goa dan saya tak dapat menemukan jejaknya lagi. Mohon pertolongan locianpwe untuk memberi petunjuk di mana adanya sahabat saya itu."
Hening sejenak dan Kim Hong mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan jawaban dari sosok tubuh yang masih bersila tanpa tergerak itu. Akhirnya, setelah menunggu agak lama, kakek itu menjawab.
"Hemm, bukankah temanmu itu seorang pemuda perkasa dan berdarah bangsawan tinggi, she-nya Ceng?"
Diam-diam Kim Hong terkejut. Ternyata orang ini benar-benar hebat!
"Dan engkau sendiri juga berdarah bangsawan tinggi she Toan, bukan?"
Kim Hong makin terkejut dan makin tertarik. "Benar, locianpwe," jawabnya dan kini dia mulai percaya bahwa dia memang berhadapan dengan seorang tua yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bahkan dia mulai memelihara harapan bahwa kakek ini benar-benar akan dapat menolongnya dan dapat memberi tahu di mana adanya Thian Sin.
"Kalau begitu, engkau pandanglah ke sini, nona. Lihatlah baik-baik dan apakah yang bisa nampak olehmu?"
Kim Hong mengangkat mukanya memandang. Matanya terbelalak melihat sebuah wajah yang remang-remang, akan tetapi di atas kepala itu nampak sebuah sinar laksana lampu yang amat terang dan menyilaukan mata.
"Engkau merasa silau, nona? Jika silau, pejamkanlah matamu sejenak. Nah... begitulah, pejamkan matamu dan terasa amat nikmat bukan? Nikmat untuk tidur. Kini engkau mulai mengantuk, karena itu tidurlah, nona. Di sini aman, dan aku akan melindungimu, tidurlah, nona, tidurlah dengan nyenyak."
Kim Hong tadinya tidak tahu bahwa dia sudah terseret oleh kekuatan yang luar biasa dan begitu dia menuruti permintaan suara itu tadi untuk memandang dan menjadi silau melihat sinar menyilaukan, dia seakan-akan telah membiarkan semangatnya dikuasai orang yang memiliki ilmu sihir!
Ketika suara itu dengan lembutnya menyuruhnya memejamkan mata, maka otomatis dia pun memejamkan matanya, dan ketika mendengar suara menyuruhnya tidur, dia seperti tidak sanggup lagi menahan rasa kantuknya yang membuat matanya berat dan tak dapat dibukanya lagi. Ia ingin tidur, sungguh ingin sekali untuk tidur dan betapa nikmatnya kalau dapat tidur pulas pada saat itu!
Akan tetapi, Kim Hong bukanlah seorang dara biasa. Selain memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan tenaga sinkang amat kuat, juga dia sudah hidup berdua bersama Ceng Thian Sin selama beberapa tahun ini sehingga dalam percakapan mereka kadang-kadang Ceng Thian Sin membuka rahasia tentang kekuatan sihir. Walau pun dia tidak mempelajari ilmu itu, akan tetapi dia sudah mulai mengerti akan seluk-beluknya.
Karena itu, ketika kekuatan sihir dari kakek itu mulai mempengaruhi serta membelenggu dirinya, dia terkejut dan teringat lalu mengerahkan sinkang-nya untuk memberontak! Kim Hong berhasil meronta, bahkan lalu meloncat berdiri. Akan tetapi, saat dia masih sedang bersitegang melepaskan diri dari keadaan tidak sadar itu, tiba-tiba ada sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua pundak Kim Hong telah ditotok orang.
Dara perkasa ini baru dalam keadaan setengah sadar, masih terpengaruh oleh kekuatan sihir, maka biar pun nalurinya yang amat kuat itu membuat dia berusaha mengelak, tetapi tetap saja totokan pada pundak kirinya mengenai sasaran dan tubuhnya yang sebelah kiri seketika menjadi kehilangan tenaga seperti lumpuh.
Pada saat itu pula dia langsung diringkus lantas kaki tangannya dibelenggu, kemudian jari tangan yang kuat menekan pundak kanannya dan habislah kekuatannya. Dia tertotok dan tidak mampu bergerak lagi!
"Bagus!" katanya sambil menekan kemarahannya. "Ternyata engkau adalah Siluman Goa Tengkorak!"
Akan tetapi yang menjawabnya hanya suara ketawa saja. Tanpa dapat melawannya, Kim Hong melihat dirinya dimasukkan ke dalam sebuah karung hitam kemudian dia dipondong orang dan dibawa pergi dari situ. Ia tahu bahwa yang memondongnya bukan Siok Cin Cu, karena orang ini memiliki ginkang yang jauh lebih lihai dari pada tosu itu.
Kim Hong tidak tahu ke mana dirinya dibawa. Dari dalam karung hitam itu dia tidak dapat melihat sesuatu dan dia hanya merasa dibawa naik turun dengan cepat. Sesudah lewat waktu cukup lama, akhirnya dia dikeluarkan dari dalam karung dan dilemparkan ke dalam sebuah kamar, di atas dipan, dalam keadaan tertotok dan terbelenggu kaki tangannya!
Ternyata kamar itu hanya sebuah kamar yang tidak begitu besar, dari tembok tebal dan pintunya dari besi, ada lubang-lubang angin di bawah dan di atas. Sebuah kamar tahanan yang sangat kuat. Pintu itu sudah dikunci, akan tetapi dari jeruji yang terdapat di bagian atas pintu besi, dia dapat melihat ada orang di luar pintu. Seorang laki-laki yang berjubah sutera putih, dengan gambar tengkorak darah di dadanya dan mukanya tertutup topeng tengkorak!
Tentu saja Kim Hong merasa ngeri. Bukankah siluman itu sudah tewas bersama kudanya di dasar jurang? Akan tetapi dia segera dapat menenangkan dirinya dan mengertilah dia bahwa Siluman Goa Tengkorak bukan hanya terdiri dari seorang penjahat saja.
Hari sudah menjadi malam dan kamar itu hanya menerima cahaya lampu yang berada di luar kamar, melewati lubang-lubang angin dan jeruji pintu besi. Kim Hong mengumpulkan kekuatannya dan menjelang tengah hari dia pun berhasil membebaskan diri dari pengaruh totokan.
Setelah pengaruh totokan itu punah, dengan pengerahan sinkang dia dapat mematahkan belenggu di kaki tangannya. Akan tetapi, baru saja dia bangkit dan hendak mencari jalan keluar, terdengar suara mendesis-desis dan dia melihat asap putih menyembur-nyembur masuk dari lubang-lubang angin.
Begitu mencium asap ini maka tahulah dia bahwa asap itu adalah asap yang mengandung racun bius! Maka dia pun cepat-cepat bertiarap di atas lantai, akan tetapi tindakannya ini hanya memperpanjang sedikit waktu saja karena akhirnya dia terpaksa menyedot asap itu dan jatuh pingsan.
Malam telah larut ketika Kim Hong siuman kembali. Kamar telah bersih dari asap, tapi dia merasakan kepalanya agak pening. Kaki tangannya telah terbelenggu kembali, malah kini tubuhnya sudah diletakkan orang di atas dipan. Terdengar suara di pintu dan ketika dia menengok, dia melihat ada orang bertopeng tengkorak di luar pintu.
"Nona, jika sekali lagi engkau melepaskan belenggu dan mencoba lari, hukumannya tentu lebih berat. Asap bius itu tidak mungkin nona lawan. Sebaiknya nona menyerah saja dan kami akan memperlakukan nona dengan baik-baik." Sesudah berkata demikian, orang itu meninggalkan pintu.
Kim Hong maklum bahwa dia terjatuh ke dalam tangan gerombolan yang lihai sekali dan dia pun tahu bahwa pada saat itu dia tidak berdaya sehingga tak mungkin meloloskan diri dengan kekerasan. Asap pembius yang sewaktu-waktu bisa masuk melalui lubang-lubang angin itu memang tak mungkin dapat dilawan dan dihindarkan, dan biar pun tidak nampak adanya penjaga, dia tahu bahwa ada penjaga-penjaga bersembunyi dan selalu mengamati gerak-geriknya.
Celaka, pikirnya. Tentu Thian Sin juga sudah tertawan oleh mereka. Tenang, dia mencela diri sendiri. Tenang! Hanya ketenangan batin sajalah satu-satunya hal yang mungkin akan dapat menolongnya dan juga menolong Thian Sin. Maka dia pun lalu memejamkan mata untuk tidur agar kekuatannya dapat pulih kembali.
***************
Ke manakah perginya Ceng Thian Sin? Apa yang dikhawatirkan oleh Kim Hong memang benar. Pemuda itu pasti akan kembali ke dalam hutan seperti yang sudah dijanjikannya kepada Kim Hong kalau tidak ada hal yang membuatnya tidak mungkin melakukan hal itu.
Seperti yang telah kita ketahui, setelah bertemu dengan Cia Liong dan Cia Ling kemudian mendengar pesan terakhir dari Kwee Siu, setelah mengubur jenazah pendekar itu, Thian Sin lantas membagi tugas dengan kekasihnya. Dia menyuruh Kim Hong menyelamatkan dua orang anak itu dan menitipkannya kepada orang di tempat yang aman, kemudian dia sendiri lalu mencari jejak siluman yang telah membunuh Kwee Siu.
Jejak itu membawanya ke daerah Goa Tengkorak. Akan tetapi setelah tiba di kaki bukit di mana terdapat tebing Goa Tengkorak, seperti juga Kim Hong, dia melihat kuil kuno itu dan hatinya tentu saja tertarik sekali. Dia sendiri belum tahu di mana adanya Goa Tengkorak, tidak tahu bahwa daerah goa itu terdapat di atas tebing, maka dia pun lalu turun dari atas punggung kudanya dan menuntun kuda itu mendaki bukit menuju ke kuil yang berdiri di puncak bukit.
Ketika tiba di depan kuil, dia melihat seorang tosu sedang menyapu pelataran depan kuil itu. Tosu itu berhenti menyapu dan menyambut kedatangan pemuda itu dengan pandang mata heran.
"Maaf totiang apa bila saya mengganggu ketenteraman tempat ini," kata Thian Sin sambil menjura dengan hormat.
Tosu itu cepat membalas dengan anggukan dan kedua tangan dirangkap di depan dada. "Siancai... siancai...! Sungguh merupakan hal yang sangat mengherankan melihat tempat ini kedatangan tamu seperti kongcu!" jawab tosu itu yang bukan lain adalah tosu yang kemudian mengaku bernama Siok Cin Cu pada Kim Hong. "Bagaimanakah kongcu dapat tiba di tempat yang terasing ini dan apakah gerangan keperluan kongcu bersusah payah mendaki tempat ini?"
"Maaf, totiang. Saya hendak mohon petunjuk totiang tentang tempat yang dinamakan Goa Tengkorak. Saya sedang mencari tempat itu."
Tosu itu tidak menunjukkan perubahan pada wajahnya, tetapi pandang matanya bersinar dan tentu saja sedikit hal ini tidak terlewat dari ketajaman pandang mata Thian Sin.
"Goa Tengkorak...?"
"Benar, apakah totiang mengetahui tempat itu?"
Kakek itu mengangguk kemudian memandang pada wajah pemuda itu dengan ragu-ragu. "Tapi... ada keperluan apakah kongcu datang ke tempat seperti itu?"
"Tempat seperti itu? Apakah yang totiang maksudkan? Ada apakah dengan tempat itu?" Thian Sin balas bertanya.
Tosu itu nampak bingung oleh serangan kata-kata Thian Sin ini, lalu menggeleng kepala. "Tidak apa-apa, hanya... selama bertahun-tahun ini belum pernah pinto melihat ada orang mencari tempat itu, maka pinto merasa terkejut dan heran ketika tiba-tiba kongcu muncul dan mencari tempat itu."
Jawaban yang teratur sekali, pikir Thian Sin. Menghadapi tosu yang sangat pintar ini tidak ada gunanya berputar lidah, maka dia pun segera berkata, "Sesungguhnya saya hendak menyelidiki Goa Tengkorak dan hendak mencari Siluman Goa Tengkorak, totiang."
Sekarang tosu itu nampak terkejut dan agaknya dia tidak menyembunyikan rasa kagetnya mendengar disebutnya Siluman Goa Tengkorak. Akan tetapi tosu itu menentang pandang mata Thian Sin yang tajam penuh selidik itu, lalu menarik napas panjang.
"Siancai... jangan-jangan kongcu mengira bahwa pintolah orangnya yang terkenal dengan sebutan Siluman Goa Tengkorak!"
Diam-diam Thian Sin kagum dengan kecerdikan orang ini dan dia semakin waspada. Dia tersenyum ramah lantas berkata, "Baru saja aku mendengar nama itu, totiang, tentu saja aku tak berani menuduh dan menduga sembarangan. Dan karena totiang juga mengenal nama itu, maka aku ingin mohon petunjuk totiang di mana kiranya aku bisa menemukan siluman itu. Di mana dia tinggal? Apakah di Goa Tengkorak dan di mana letak goa itu?"
Kakek itu kembali menghela napas. "Siapakah yang tidak mendengar namanya, kongcu? Akan tetapi siapa pula yang tahu di mana tempat tinggalnya? Baru kurang lebih sebulan lamanya, pasukan keamanan bersama banyak pendekar telah datang ke sini dan mereka mencari di daerah tebing Goa Tengkorak akan tetapi tak berhasil menemukan apa-apa."
Thian Sin mengangguk-angguk. "Ahh, jadi nama itu sudah terkenal sekali dan dicari oleh pasukan keamanan dan para pendekar, totiang?"
Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin begitu. Pinto sendiri yang selamanya bertapa di sini tidak tahu menahu akan hal itu. Baru sesudah pasukan itu mencari di daerah ini pinto tahu bahwa semenjak dua tiga bulan ini nama itu dikenal orang. Akan tetapi apakah benar dia berada di sini, tak seorang pun yang tahu. Maka, pinto rasa akan percuma saja kalau kongcu mencarinya, dan pula, amat berbahaya, kongcu."
Thian Sin memandang tajam. "Kenapa berbahaya, totiang?"
"Pinto sudah mendengar berita dari anggota pasukan itu bahwa orang ini amat lihai, ilmu kepandaiannya bagaikan dewa... dan goa-goa itu merupakan tempat berbahaya, kabarnya keramat dan siapa berani memasukinya takkan dapat keluar lagi."
"Aku tidak takut, totiang. Harap totiang suka menunjukkan di mana tempatnya dan kalau memang benar Siluman Goa Tengkorak berada di situ, totiang tidak usah turut campur, biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya."
Kakek itu memandang kepada Thian Sin mulai dari kepala sampai ke kaki, kemudian dia mengangguk-angguk. "Ahhh, kiranya kongcu adalah seorang pendekar muda yang gagah berani. Baiklah kalau begitu, mari pinto antar sampai ke tempatnya. Tetapi tidak mungkin membawa kuda mendaki tempat itu dan setelah tiba di sana, pinto akan segera kembali."
"Terima kasih, totiang," Thian Sin berkata girang dan tosu itu menyuruh dia menambatkan kuda di belakang kuil.
Maka berangkatlah mereka mendaki tebing yang curam itu dan akhirnya Thian Sin berdiri memandang dinding batu karang yang penuh dengan goa yang menyeramkan, goa-goa yang sebagian besar berbentuk tengkorak manusia. Tempat yang sangat sunyi dan tidak ada tanda-tanda bahwa di tempat itu ada manusianya.
"Goa-goa itu telah diperiksa oleh pasukan akan tetapi tidak ada hasilnya," tosu itu berkata dengan suara datar dan terdengar dingin.
"Lalu kenapa mereka mengejar dan mencari ke tempat ini, totiang?"
"Itulah, mungkin karena desas-desus bahwa orang yang sedang mereka cari itu kelihatan memasuki goa itu," kakek itu menudingkan telunjuknya ke arah sebuah goa, nomor tiga dari kiri yang bentuknya juga mirip tengkorak.
"Nomor tiga dari kiri itu?"
"Betul. Nah, sudahlah, kini pinto terpaksa harus meninggalkan kongcu seorang diri di sini. Ataukah kongcu sudah berbalik pikir dan hendak ikut turun kembali bersama pinto?"
Thian Sin memaksa tersenyum. "Kalau totiang mengira bahwa aku menjadi jeri atau takut sesudah mendengar cerita totiang atau sesudah melihat tempat ini, totiang sudah salah duga. Tidak, aku akan mencari Siluman Goa Tengkorak dan aku yakin pasti akan dapat menemukan dia di sini kalau memang benar di sini tempat tinggalnya." Pemuda perkasa itu melihat betapa pandangan tosu itu bersinar seperti orang tersinggung, akan tetapi tosu itu segera menundukkan mukanya.
"Siancai...! semoga kongcu tidak menemui halangan apa pun." Dan tosu itu pun kemudian membalikkan tubuhnya dan turun kembali dari atas tebing.
Setelah tosu itu lenyap di tikungan tebing yang curam itu, Thian Sin lalu berloncatan cepat sekali menghampiri goa-goa di sebelah kiri. Dia memeriksa goa-goa itu, dari goa pertama sampai lima buah goa banyaknya hingga mendapatkan kenyataan bahwa goa ke tiga itu memang yang terbesar dan dalam.
Dia lalu memasuki goa ke tiga ini, sebuah goa yang dalamnya tidak kurang dari dua puluh meter dan lebarnya ada empat meter. Goa ini merupakan ruangan yang cukup luas akan tetapi tentu saja tidak enak apa bila dijadikan tempat tinggal karena lantainya terbuat dari batu-batu yang tidak rata dan bahkan makin ke dalam makin menurun, merupakan lereng dan juga tajam-tajam seperti batu karang di lautan.
Dengan amat waspada dan hati-hati sekali, Thian Sin lalu memeriksa goa ini. Dipandang sepintas lalu saja, tidak mungkin ada yang bersembunyi di sini, karena walau pun goa itu merupakan tempat yang terasing akan tetapi sungguh sangat tidak enak untuk dijadikan tempat tinggal.
Akan tetapi Thian Sin terus memeriksa ruang yang gelap itu dan tiba-tiba dia menemukan sebuah terowongan di sudut kanan, tempat yang paling gelap. Kalau tidak mendekat dan meraba, sulit untuk menemukan terowongan ini. Dia tidak segera masuk, melainkan lebih dahulu memeriksa dengan seksama. Kalau memang tempat ini pernah diperiksa pasukan, tidak mungkin kalau pasukan tidak menemukan terowongan ini.
Ketika dia memeriksa dengan meraba-raba bagian ambang pintu terowongan, jantungnya berdebar meraba papan besi di balik batu yang agaknya tadinya menutup terowongan itu. Jelaslah bahwa terowongan ini merupakan pintu rahasia yang belum lama dibuka orang.
Jika pintu itu dikembalikan ke tempatnya, maka pintu itu akan lenyap dan dinding di sudut itu akan lenyap pula, ada pun dinding di balik batu itu ada terowongannya. Dan tentu saja, sedikit pun tidak akan ada orang yang menduga karena pintu itu nampaknya menjadi satu dengan dinding goa. Penemuan yang kebetulan saja? Ataukah umpan jebakan?
Apa pun juga, inikah jalan satu-satunya, pikir Thian Sin dan aku akan mencari siluman itu sampai dapat! Sesudah mengambil keputusan ini, dengan tabah Thian Sin lalu memasuki terowongan yang gelap itu.
Terowongan itu ternyata cukup besar biar pun dia harus memasukinya dengan tubuh agak membungkuk. Akan tetapi ternyata lantainya lebih rata dari pada lantai di ruangan depan goa itu. Hal ini mendatangkan dugaan bahwa tempat ini memang sengaja dibuat orang.
Ketika dia melangkah maju dengan hati-hati di tempat yang remang-remang dan semakin gelap itu, kurang lebih dua puluh langkah, tiba-tiba terdengar suara keras di belakangnya! Thian Sin cepat membalikkan tubuhnya dan siap siaga menghadapi serangan, akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada dirinya. Suara keras itu diikuti kegelapan yang menelan dirinya, maka tahulah Thian Sin bahwa ada alat rahasia yang sudah menggerakkan batu yang kini menutup lubang terowongan!
Dia menahan senyum dan tidak mau memperlihatkan kepanikan dengan kembali ke mulut terowongan lalu mencoba membuka pintu itu. Tidak, biar pun dia telah terjebak, dia harus terus ke dalam dan menghadapi bahaya apa pun juga! Maka dengan sikap tenang sekali Thian Sin melanjutkan perjalanannya, melalui jalan terowongan yang gelap itu dan melaju terus. Dia mencurahkan seluruh panca inderanya, bersiap untuk menghadapi kalau-kalau ada bahaya serangan dari sekelilingnya.
Lantai terowongan itu tetap rata, bahkan kalau turun ada anak tangganya yang terpasang rapi. Terowongan itu berbelak-belok dan menurut perhitungan Thian Sin, jarak yang telah ditempuhnya semenjak dia memasuki terowongan tidak kurang dari satu li! Akan tetapi dia pun maklum bahwa tempat itu masih berada di dalam daerah Goa Tengkorak, karena biar pun jauh, terowongan itu berlika-liku.
Dengan merentangkan kedua lengannya, dia bisa mengukur lebar sempitnya terowongan itu, juga tinggi rendahnya langit-langit karena dia harus selalu menjaga supaya kepalanya jangan sampai terbentur batu karang yang bergantungan di langit-langit. Ketika dia tiba di sebuah ruangan persegi empat, dia berhenti, lalu meraba-raba dengan kedua tangannya karena dia merasa bahwa dia berada di tempat yang lebih lebar dan luas. Dan tiba-tiba terdengar suara seperti besi bertemu dengan batu.
Karena keadaan masih gelap, Thian Sin tidak berani sembarangan bergerak, melainkan berdiri dan siap siaga untuk melindungi tubuhnya. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada dirinya, tidak ada serangan yang datang sungguh pun dia tadi merasakan ada sambaran angin dari benda-benda yang bergerak sangat cepat dan kuat. Dan suara hiruk-pikuk tadi pun sudah berhenti lagi.
Thian Sin menduga bahwa tentu telah terjadi pergerakan yang merupakan jebakan seperti pada waktu pintu batu terowongan tadi menutup. Dengan hati-hati kakinya meraba-raba ke depan, demikian pula jari tangan kirinya sedangkan tangan kanannya siap siaga untuk menangkis atau menyerang. Kaki serta tangan kirinya itu segera menemukan kenyataan bahwa kini dirinya telah terkurung! Kanan dan kirinya adalah dinding batu yang dingin dan keras, sedangkan di sebelah depannya adalah dinding besi atau baja yang setebal lengan manusia. Dia telah terkurung!
Mendadak tempat itu menjadi terang sekali dan ternyata ada bagian dinding di luar jeruji besi itu yang terbuka. Sebuah pintu besi tiba-tiba saja muncul dan terbuka dan dari situlah datangnya cahaya yang terang itu. Agaknya sinar matahari dapat memasuki tempat yang diduganya tentu berada di bawah tanah ini.
Agak silau juga mata Thian Sin sehingga ia terpaksa memejamkan kedua matanya tanpa mengurangi kewaspadaannya dan kini dia menjaga diri dengan mengandalkan ketajaman pendengaran telinganya. Walau pun dia sedang memejamkan kedua matanya, namun dia mengetahui dari pendengarannya bahwa di luar jeruji besi itu terdapat sedikitnya sepuluh orang yang semuanya mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi, terbukti dari gerakan kaki mereka yang gesit dan ringan ketika mereka itu datang mendekat.
Ketika dia membuka kedua matanya, dia melihat bahwa di luar jeruji itu berdiri dua belas orang. Semua orang itu memakai jubah sutera putih dengan gambar tengkorak merah di dada mereka dan muka mereka semuanya memakai topeng tengkorak! Dengan sekilas pandang saja tahulah pemuda perkasa itu bahwa keadaannya sungguh terjepit dan tidak ada harapan baginya untuk dapat meloloskan diri mempergunakan kekerasan.
Dia benar-benar berada di dalam bahaya, terjebak di dalam terowongan bawah tanah dan harus menghadapi banyak musuh yang agaknya tangguh juga. Akan tetapi, bukan watak Pendekar Sadis Ceng Thian Sin untuk berkecil hati dalam keadaan bagaimana pun juga.
Dia berdiri di tengah ruangan itu, menghadapi dua belas orang siluman sambil tersenyum lebar. "Ha-ha-ha, ternyata Siluman Goa Tongkorak yang disohorkan orang itu tiada lain hanyalah kumpulan tikus-tikus gunung yang kehebatannya cuma mengandalkan lubang-lubang tikus jebakan dan pengeroyokan belaka!"
Belasan pasang mata di balik topeng-topeng tengkorak itu mengeluarkan cahaya berkilat tanda bahwa mereka marah sekali mendengar ucapan ini yang sangat merendahkan dan menghina mereka. Seorang dari mereka yang berdiri di pinggir berkata, suaranya halus namun penuh mengandung ancaman.
"Orang muda, engkau sudah tertawan dan nyawamu berada di telapak tangan kami, akan tetapi masih berani bersikap berani dan menghina. Engkau sungguh seorang muda yang gagah perkasa akan tetapi juga bodoh dan bosan hidup. Siapa pun orangnya yang berani lancang memasuki daerah kami tanpa ijin, tentu mati. Akan tetapi karena Sian-su (Guru Dewa) ingin bertemu dan berbicara denganmu, maka engkau selamat. Kini menyerahlah untuk kami bawa menghadap Sian-su, siapa tahu engkau akan diampuni. Akan tetapi bila engkau melawan, tentu nanti akan dibunuh."
Orang itu memberi isyarat dengan tangannya dan sepuluh orang temannya tiba-tiba saja mengeluarkan busur dan anak panah, menodongkan anak panah ke arah Thian Sin. Lain orang di antara mereka melangkah maju, dan jeruji besi itu tiba-tiba saja tertarik ke atas, tentu digerakkan oleh alat rahasia yang tersembunyi. Orang yang bicara itu sendiri sudah mengeluarkan sebatang pedang, agaknya mereka bersiap-siap menyerang apa bila Thian Sin menggunakan kekerasan.
Thian Sin tidak berpikir panjang untuk mengambil keputusan. Apa bila dia menghendaki, kiranya dia akan mampu merobohkan dua belas orang ini dan lolos dari dalam kurungan pada saat kurungan itu dibuka. Akan tetapi dia tahu bahwa perbuatan ini tidak bijaksana.
Mereka ini hanyalah anak buah saja dan dia perlu bertemu dan berhadapan muka dengan pemimpinnya, yang disebut Sian-su oleh orang yang bicara tadi. Dia pun dapat menduga bahwa yang berbicara tadi adalah tosu yang mengantarnya ke tempat itu. Hal ini dapat dikenalnya dari kedudukan kepala orang itu yang agak miring ke kiri. Kepala yang agak miring ke kiri itu sudah dicatatnya sebagai tanda atau ciri dari tosu yang mengantarnya dan orang bertopeng ini pun kepalanya agak miring ke kiri!
Dan andai kata dia bisa lolos dari sini, belum tentu dia akan dapat lolos dari terowongan ini. Mungkin banyak dipasang alat-alat jebakan yang berbahaya, dan dia sendiri belum tahu berapa banyaknya anak buah mereka dan sampai di mana kelihaian Sian-su mereka itu. Pula, dia ingin mengetahui sampai sedalamnya dan ingin menolong pula ibu dari dua orang anak. Kalau sekarang dia mengamuk, mungkin saja dia akan menggagalkan semua usahanya.
"Kepala kalian ingin bicara denganku? Baiklah, aku pun ingin bicara dengan dia!" katanya, kemudian dia membiarkan saja orang bertopeng yang masuk ke dalam ruangan tahanan itu membelenggu kedua pergelangan tangannya ke belakang.
Belenggu itu berupa rantai baja yang cukup kuat. Orang yang bertugas membelenggunya itu agaknya tahu akan tugasnya. Sesudah membelenggu kedua pergelangan tangannya, dia segera menggerakkan tangannya, menggunakan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya untuk monotok jalan darah tiong-cu-hiat di tengkuk Thian Sin. Pendekar Sadis melihat dan tahu akan hal ini, akan tetapi dia tak bergerak dan pura-pura tidak tahu saja.
"Tukkk!"
Dua jari tangan itu dengan tepatnya menotok bagian di mana terdapat jalan darah tiong-cu-hiat dan biasanya, totokan di tempat ini akan membuat orang yang ditotoknya roboh pingsan. Akan tetapi orang bertopeng itu mengeluarkan seruan kaget sesudah kedua jari tangannya bertemu dengan kulit yang membungkus daging lunak, seolah-olah tanpa urat darah di situ, lunak sekali membuat totokannya itu meleset bagaikan menotok agar-agar saja! Dan orang yang ditotoknya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda hendak pingsan, apa lagi pingsan, bahkan mengedipkan mata pun tidak, seakan-akan totokannya tadi seperti seekor lalat yang hinggap saja!
Tentu saja orang bertopeng itu bukan hanya terkejut, melainkan juga malu dan penasaran sekali. Apa bila dia tidak memakai topeng, tentu akan nampak betapa wajahnya berubah merah bukan main.
Karena merasa betapa kulit daging tawanan itu tadi melunak lembek sekali, dia menduga bahwa orang ini mungkin tidak mempunyai kepandaian apa-apa, atau justru memiliki ilmu melembekkan daging sehingga jalan darah yang ditotok itu bisa meleset ke sana-sini jika ditotok. Cepat dia menggerakkan kembali tangan kanannya dan kini kedua jari tangannya itu menotok dengan pengerahan tenaga keras pula untuk melawan tenaga lembek lawan. Sekali ini, dia memilih jalan darah di belakang pundak, yaitu jalan darah hong-hu-hiat.
"Tukkk...!"
Sekali ini orang bertopeng itu tidak dapat menahan teriakannya, teriakan kesakitan karena tulang dua buah jari tangannya itu rasanya seperti akan patah-patah. Totokannya dengan pengerahan tenaga tadi bertemu dengan kulit yang demikian keras, seperti kulit baja tulen saja sehingga dua jari tangannya terasa nyeri bukan kepalang.
Kini orang kedua yang bertubuh tinggi besar itu menghampiri Thian Sin. Tiba-tiba saja dia mengeluarkan teriakan nyaring lantas tangan kirinya telah bergerak ke depan dan jari-jari tangannya sudah menotok ke arah dada Thian Sin. Gerakannya mantap dan kuat.
Melihat gerakan itu, tahulah Thian Sin bahwa orang tinggi besar ini mempergunakan Ilmu Totok Tiam-hwe-louw, yaitu ilmu totok dari perguruan Siauw-lim-pai! Seperti juga tadi, dia pura-pura tidak tahu akan tetapi dengan diam-diam mengerahkan sinkang ke arah dada yang ditotok.
"Dukk!"
Dan orang tinggi besar itu pun meloncat ke belakang sambil menahan teriakannya karena jari tangannya bertemu dengan benda keras yang panas sekali!
Beberapa orang lain maju dan menotok tubuh Thian Sin, menggunakan bermacam cara, namun semuanya gagal. Dan Thian Sin sendiri menjadi terkejut. Orang-orang ini ternyata terdiri dari berbagai aliran perguruan silat, dan beberapa orang di antaranya adalah murid dari partai-partai bersih seperti Siauw-lim-pai dan Thian-san-pai. Tentu saja kenyataan ini membuat dia merasa heran bukan main.
"Hemm, orang muda, agaknya engkau mempunyai Ilmu I-kiong Hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah). Akan tetapi di depan kami tidak ada gunanya engkau berlagak," kata orang pertama atau orang yang diduga oleh Thian Sin tentulah tosu itu. Kini orang ini tiba-tiba menggerakkan tangan menotok dengan cara aneh, yaitu tanpa memilih jalan darah.
Thian Sin tahu bahwa ini adalah Ilmu Totok Coat-meh-hoat dari Bu-tong-pai! Tetapi sekali ini Thian Sin ingin memperlihatkan kelihaiannya, juga hendak memberi pelajaran kepada orang yang memandang rendah kapadanya ini, maka begitu totokan itu tiba, dia sengaja melontarkan tenaga sinkang dari tempat yang ditotok.
"Dukkk!"
Orang yang menotok itu mengaduh dan melangkah mundur, memegangi tangannya yang tadi menotok karena buku-buku tulang jari tangannya terasa remuk dan salah urat!
Semua orang bertopeng yang berada di situ siap dengan anak panah mereka. Thian Sin melihat hal ini dan dia pun berkata, "Aku sudah membiarkan diriku dibelenggu, mengapa kalian masih menghinaku? Kalau aku tidak ingin bertemu dengan pimpinan kalian, apakah semudah ini kalian dapat membelengguku? Nah, sekarang tidak perlu main-main dengan totokan lagi, mari bawa aku kepada pimpinan kalian!"
Seluruh mata di balik topeng itu memandang ragu dan agaknya kini mereka semua baru tahu bahwa tawanan muda itu sebenarnya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bahwa sejak tadi sudah mempermainkan mereka dengan membiarkan mereka menotoknya berganti-ganti!
Pemimpin kelompok itu cepat memberi isyarat dan tanpa banyak cakap lagi Thian Sin lalu diiringkan keluar dari tempat itu. Salah seorang anggota sebagai petunjuk jalan berjalan di depan, diikuti oleh Thian Sin yang sepasang tangannya dibelenggu. Di belakang Thian Sin berjalan si pemimpin yang terus menodongkan pedangnya pada tengkuk tawanan itu dan di belakangnya berbaris sepuluh orang anak buah yang menodongkan anak panah.
Sementara itu, melihat dari lampu-lampu yang dipasang di sepanjang lorong terowongan, maka maklumlah Thian Sin bahwa hari telah berganti malam. Jalan terowongan itu makin menaik dan dia melihat banyak sekali kamar-kamar di kanan kiri, ada yang kosong akan tetapi ada pula yang terisi karena dia mendengar suara orang-orang, laki-laki dan wanita, dari dalam kamar-kamar itu.
Akhirnya dia sampai di sebuah ruangan yang luas sekali dan melihat dindingnya yang dari batu dan langit-langitnya yang juga dari batu, dia menduga bahwa tentu dia masih berada di bawah tanah, walau pun tanah pegunungan karena sekarang dia tentu sudah mendaki cukup tinggi. Ruangan itu diterangi cahaya banyak lampu, dan di sana sudah berkumpul banyak orang.
Dengan pandangan matanya Thian Sin menyapu ruangan itu dan diam-diam dia merasa heran. Di situ berkumpul sedikitnya dua puluh lima orang, akan tetapi orang-orang biasa dan rata-rata mereka berpakaian sebagai orang-orang hartawan, malah ada yang bersikap seperti orang berpangkat, dan ada beberapa orang pula yang sikapnya seperti seorang ahli silat atau pendekar! Mereka semua memandang kepadanya dengan sinar mata orang memandang seorang penjahat atau seorang pengacau!
Ada pula belasan orang lainnya yang berpakaian seperti siluman tengkorak, berdiri sambil berjaga di sekitar tempat itu. Di belakang ruangan itu terdapat anak tangga yang menuju ke atas, lebar dan lantainya ditutup permadani merah. Akan tetapi yang sekarang menjadi perhatian Thian Sin adalah seorang pria yang memakai jubah sutera putih dengan gambar tengkorak darah di dadanya.
Jubah yang sama dengan yang dipakai oleh para anggotanya, akan tetapi ada perbedaan potongannya, karena yang dipakai orang ini sedikit longgar seperti jubah pendeta dengan lengan baju yang panjang dan lebar, dan jika para anggota itu mengenakan ikat pinggang putih, orang ini memiliki ikat pinggang yang keemasan.
Topeng yang menutupi mukanya juga topeng tengkorak, akan tetapi kalau para anggota itu topengnya nampak jelas, orang ini seakan-akan tidak bertopeng, melainkan mukanya memang muka tengkorak, hanya kulit pembungkus tulang belaka! Dan sepasang matanya mencorong menakutkan.
Thian Sin dapat menduga bahwa orang ini menggunakan topeng dari kulit yang tipis, akan tetapi dia harus mengaku dalam hati bahwa orang ini merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan karena dari pandangan matanya itu berpancar kekuatan yang dia tahu kekuatan ilmu hitam atau sihir!
Mereka yang mengiringi Thian Sin kini berhenti dan Thian Sin dibiarkan berdiri di tengah ruangan. Pemuda ini berdiri tegak dengan dua tangan dibelenggu ke belakang. Suasana di dalam ruangan itu seperti sedang pesta atau menjamu tamu-tamu, dan perjamuan itu agaknya baru akan dimulai.
Thian Sin merasa betapa dia sudah mengganggu sebuah perjamuan, karena dia melihat kemarahan serta kejengkelan pada wajah orang-orang yang hadir di situ. Tiba-tiba orang yang memakai jubah dan topeng siluman itu bangkit dari tempat duduknya dan ternyata tubuhnya cukup jangkung.
"Ahh, ternyata kita sudah kedatangan seorang tamu kehormatan! Harap cu-wi yang hadir melihat baik-baik, bukankah benar bahwa tamu kita ini adalah Pendekar Sadis atau Sang Pangeran Ceng Thian Sin?"
Thian Sin terkejut bukan main. Dia mengerling ke arah para hadirin dan melihat beberapa orang di antara mereka mengangguk-angguk membenarkan. Ternyata dia sudah dikenal orang! Tentu mereka itu adalah orang-orang penting dan sesudah kini dia memperhatikan mereka, dia melihat bahwa di antara mereka itu terdapat pula pembesar-pembesar yang pernah dilihatnya di kota raja! Dia pun menanti dengan hati tegang, tidak dapat menduga dengan siapa dia sebenarnya berhadapan dan dengan perkumpulan macam apa pula.
Siluman itu kini berkata langsung kepadanya, "Orang muda yang gagah, tidak kelirukah dugaan kami bahwa engkau adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?"
Thian Sin merasa tidak perlu untuk menyembunyikan diri lagi maka dia pun mengangguk. Kini terdengar para hadirin saling berbisik dan suasana menjadi sangat tegang. Agaknya kenyataan yang telah diakui oleh beberapa orang bahwa tempat itu kedatangan Pendekar Sadis, merupakan hal yang mengejutkan mereka. Akan tetapi, siluman itu lalu melangkah maju dan menjura.
"Ahhh, selamat datang, Ceng-taihiap. Selamat datang! Hayo cepat lepaskan belenggunya dan kalian minta maaf!" katanya kepada dua belas orang yang tadi mengawal Thian Sin.
"Tak perlu repot-repot!" Thian Sin berkata dan sekali dia menggerakkan kedua lengannya yang terbelenggu di belakang tubuhnya, maka terdengarlah suara.
"Krekk! Krekkk!" dan belenggu rantai besi pada kedua tangan itu patah-patah dan runtuh ke atas lantai.
Karena semua orang memandang dengan hati tegang dan suasana amat sunyinya, maka ketika belenggu itu jatuh ke atas lantai batu, terdengar suara nyaring berdenting. Siluman Tengkorak itu tertawa, suaranya terdengar lebih nyaring dari pada denting rantai belenggu yang beradu dengan lantai.
"Hebat, Ceng-taihiap memang hebat. Silakan duduk!"
"Terima kasih!" kata Thian Sin dan dia menerima bangku yang disodorkan oleh seorang di antara para anggota Siluman Tengkorak, lalu duduk menghadapi ketua siluman yang telah duduk pula itu. "Ingin sekali saya mendengar apa artinya semua ini. Mengapa sambutan terhadap saya seperti ini?" Thian Sin mulai membuka kartu, tentu saja dengan maksud hendak memancing pembukaan kartu lawan dan untuk melihat apa yang tersembunyi di dalam hati pihak lawan.
Siluman itu tersenyum tetapi wajahnya nampak menyeramkan. Kini Thin Sin merasa yakin bahwa orang itu mengenakan topeng terbuat dari pada kain atau karet tipis, tidak sehalus topeng yang pernah dipakai oleh Kim Hong ketika dia menyamar sebagai nenek Lam-sin, akan tetapi juga tidak sekasar yang dipakai para anak buah Siluman Tengkorak itu.
"Sebetulnya pertanyaan itu harus dikembalikan kepadamu taihiap. Seingat kami, kami tak pernah bersimpang jalan dengan Pendekar Sadis, akan tetapi taihiap sudah mendatangi bahkan melakukan penyelidikan terhadap tempat kami. Sebenarnya, kami baru menduga saja bahwa taihiap adalah Pendekar Sadis, namun karena taihiap telah memasuki daerah terlarang kami, terpaksa teman-teman kami harus menangkapmu. Sesudah berada di sini dan kami yakin siapa adanya diri taihiap, tentu saja kami pun tak berani mengambil sikap sebagai musuh. Nah, harap taihiap suka menjelaskan, mengapa taihiap memasuki daerah kami? Mengapa taihiap mencampuri urusan kami?"
Thian Sin mengangguk-angguk. "Sebelum memberikan penjelasan dan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan itu, lebih dulu saya ingin mengetahui, sebetulnya dengan siapakah saya bicara?"
"Perlukah hal itu taihiap tanyakan lagi? Apa bila taihiap sudah datang menyelidiki tempat kami kiranya taihiap sudah dapat menduga siapa adanya saya."
"Memang saya mendengar tentang nama Siluman Goa Tengkorak, akan tetapi saya juga mendengar anak buah Siluman Tengkorak menyebut Sian-su."
"Siancai... siancai...! Apa yang taihiap dengar itu sudah lebih dari cukup, maka terserah kepada taihiap."
"Baiklah, saya pun akan menyebut Sian-su padamu. Terus terang saja, selama ini belum pernah saya mendengar mengenai Siluman Goa Tengkorak dan hanya secara kebetulan saya melihat seorang bernama Kwee Siu tewas oleh seorang yang memakai pakaian dan topeng sebagai anggota Siluman Goa Tengkorak. Saya belum pernah bertindak tanpa sebab. Saya mendengar dari mendiang Kwee Siu bahwa Siluman Goa Tengkorak sudah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan. Karena itulah saya datang ke sini hendak bertemu dengan Siluman Goa Tengkorak dan bertanya mengapa tujuh orang pendekar itu dibunuh tanpa dosa?"
"Ha-ha-ha, sungguh pertanyaan ini terdengar lucu jika keluar dari mulut Pendekar Sadis! Taihiap sendiri dinamakan Pendekar Sadis akibat tindakan taihiap terhadap musuh-musuh taihiap jadi semua tindakan tentu ada sebabnya, bukan? Nah, demikian pula dengan tujuh orang itu. Mereka sudah berani menentang kami, maka anehkah kalau mereka itu roboh dan tewas di tangan kami? Kami hanya membela diri, dan di dalam perkelahian, wajarlah kalau terjadi kematian bagi yang kalah."
"Memang, sebab melahirkan akibat dan akibat menjadi sebab lagi. Kalau Tujuh Pendekar Taigoan menentang dan melawan Sian-su bersama para anggotanya, hal itu tentu ada sebabnya pula."
"Dan sebabnya itu apa, taihiap?"
"Ada seorang ibu muda keluarga Cia yang diculik orang dan suaminya, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, dibunuh. Apakah peristiwa itu bukan merupakan suatu sebab yang cukup berat?"
"Siancai... siancai! Cu-wi yang hadir tentu sudah mendengar fitnah-fitnah itu. Ceng-taihiap rupanya juga terkena pengaruh fitnah keji yang dilontarkan kepada kami. Taihiap, lihatlah orang-orang terhormat yang hadir di sini! Kalau memang kami demikian jahatnya, apakah mereka itu akan sudi hadir di sini dan juga menjadi pengikut dan saudara sekepercayaan kami? Ketahuilah bahwa kami mengajak semua orang untuk menikmati hidup dan menjadi anggota agama baru kami. Dan tentang ibu muda keluarga Cia itu... ah, sebaiknya taihiap menyaksikan sendiri. Kebetulan sekali kami kini sedang mengadakan pesta dan upacara pengangkatan seorang anggota wanita baru. Lebih baik taihiap menyaksikan sendiri dari pada mendengar fitnah dari mulut lain orang."
Thian Sin tak bisa membantah lagi. Siluman itu lalu mempersilakan dengan suara lantang supaya semua orang suka mengikutinya ke apa yang dinamakannya sebagai panggung Puncak Bahagia dan semua orang pun berdiri dengan wajah gembira.
"Saatnya sudah hampir tiba, mari kita bersiap-siap menyambut turunnya Dewi Cinta dan mempersiapkan upacaranya." Demikian dia berkata sambil menghampiri Thian Sin yang masih duduk. "Ceng-taihiap, engkau menjadi tamu kehormatan, silakan mengikuti kami ke tempat upacara."
Thian Sin hanya mengangguk, lalu bangkit berdiri dan berjalan mengikuti siluman itu yang diiringkan pula oleh semua yang hadir. Para anggota siluman menjaga di kanan kiri dan ada pula yang berada di depan dan belakang. Mereka itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan gerakan kaki mereka hampir tidak menimbulkan suara.....
JILID 003
SEMUA orang kini mendaki anak tangga menuju ke atas yang bertilam permadani merah dan diam-diam Thian Sin memperhatikan kanan kiri. Dindingnya masih terbuat dari pada batu, akan tetapi kini dihiasi dengan kain-kain sutera, bahkan ada lukisan-lukisan kuno yang indah. Anak tangga itu memutar beberapa kali, seperti anak tangga yang menuju ke menara sebuah istana kuno. Akan tetapi setelah tiba di bagian teratas, Thian Sin segera terbelalak penuh kagum.
Kalau tadi di kanan kiri anak tangga itu dihiasi dan diterangi dengan lampu-lampu yang beraneka warna, kini langit-langit terbuka dan yang menghias langit-langit adalah bintang-bintang yang sinarnya suram karena kalah oleh sinar bulan yang sudah naik tinggi! Bulan sepotong, akan tetapi karena langit bersih, maka cuaca cukup terang.
Kiranya tempat upacara itu berada di atas puncak bukit yang dikelilingi puncak-puncak lain sehingga tidak akan nampak dari jauh, dan puncak itu merupakan tempat datar yang cukup luas, yang dikurung oleh jurang-jurang amat dalamnya sehingga orang tidak akan mungkin menuruni atau naik ke puncak lewat jurang-jurang itu, kecuali lewat jalan rahasia terowongan!
Luas puncak bukit datar itu tidak kurang dari dua puluh lima kaki tombak persegi, kurang lebih seribu lima ratus meter persegi dan karena terbuka, maka sinar bulan bintang atau matahari dari angkasa dapat menerangi seluruh tempat itu tanpa terhalang apa pun juga. Tempat itu dihiasi pohon, akan tetapi di sekeliling tepinya terdapat tanaman bunga-bunga indah, kemudian rumput-rumput hijau seperti permadani, dan di bagian tengahnya diberi rantai tembok yang halus mengkilap.
Kursi-kursi berjajar pada sebelah kiri, dan ke tempat inilah Siluman Tengkorak membawa para tamu. Semua orang lalu dipersilakan duduk dan Thian Sin sendiri mendapat tempat duduk kehormatan di sebelah kiri sang ketua namun mungkin juga sang pendeta karena sebutannya Sian-su.
Thian Sin memperhatikan sekeliling. Sungguh merupakan tempat yang tersembunyi dan indah sekali. Tidak kelihatan dari dunia luar, terlindung dan tersembunyi. Di dekat tempat duduk sang pemimpin terdapat sebuah meja sembahyang. Di samping kiri terdapat satu kelompok pemain musik yang pada saat itu memainkan alat musik mereka dengan lembut sehingga membuat suasana menjadi romantis dan syahdu. Di hadapan mereka terdapat lantai tembok yang amat halus itu dan di sana-sini, bahkan sampai ke lapangan-lapangan rumput, terdapat kasur-kasur kecil yang beraneka warna dengan selubung bersulam.
Di tempat-tempat yang dibuat secara nyeni terdapat lampu-lampu dengan penutup warna warni dan di sana-sini mengepul asap dupa wangi yang mendatangkan rasa nyaman dan menyenangkan. Di sebelah kanan, di tepi tempat itu, terdapat bangunan-bangunan kecil yang agaknya belum selesai dibangun.
Thian Sin bisa menduga bahwa bangunan-bangunan kecil itu adalah bangunan-bangunan yang dibangun untuk para ‘dewa’ seperti yang biasa dipergunakan untuk tempat arca atau patung yang dipuja orang di dalam kuil-kuil. Akan tetapi yang hebat bukan main adalah kenyataan bahwa pondok-pondok kecil seperti pondok boneka itu terbuat dari pada emas dan terukir indah. Sulit dibayangkan betapa mahalnya membuat pondok-pondok pemujaan dewa-dewa seperti itu.
Tiba-tiba suara musik yang tadinya lembut itu mulai berubah. Sang pemimpin mengangkat tangan kiri ke atas, kemudian suara musik itu berubah menjadi semakin keras dan penuh semangat. Dan bersama dengan perubahan suara musik ini, dari sebuah anak tangga kiri, agaknya menembus ke tempat yang lain lagi dari pada ruangan di mana tadi Thian Sin diterima oleh siluman itu, nampak belasan orang wanita berlari-larian naik.
Mereka itu semuanya terdiri dari wanita-wanita yang muda dan cantik-cantik, dan mereka memakai gaun panjang tipis yang membuat tubuh mereka nampak terbayang. Gaun dari kain sutera putih yang tembus pandang itu tertimpa sinar bulan dan lampu-lampu hingga menciptakan lekuk lengkung tubuh ditimpa bayangan-bayangan yang menggairahkan.
Karena mereka adalah wanita-wanita muda, tentu saja tubuh mereka itu padat dan indah. Kaki mereka yang tak bersepatu itu berlari-larian dan membuat gerakan berjungkit dalam langkah-langkah tarian. Rambut mereka yang hitam dan panjang terurai lepas ke belakang punggung dan kedua pundak, dihias bunga-bunga putih. Dua tangan mereka menyangga baki-baki yang agaknya terbuat dari pada emas pula!
Dengan gerakan yang lemah gemulai dan menggairahkan, lima belas orang penari wanita ini menari dan membuat gerakan berlarian kecil berputaran secara teratur menurut irama music, dan sambil menari mereka menggerak-gerakkan tubuh mereka dengan cara-cara yang menimbulkan pesona dan gairah, gerakan pinggul yang memikat dan penuh nafsu, makin lama makin liar ketika musik itu makin nyaring dibunyikan oleh para penabuhnya.
Sejenak Thian Sin sendiri tertarik dan terpesona. Memang indah bukan main. Suasananya amat romantis, sinar bulan dan cahaya lampu-lampu beraneka warna itu, di udara terbuka yang demikian sejuk, dengan keharuman kembang-kembang bercampur wanginya dupa. Dan gadis-gadis itu menjadi semakin cantik menarik karena tertimpa cahaya warna-warni yang redup, dengan lekuk lengkung tubuh gempal di balik pakaian yang tembus pandang, dan diiringi suara musik yang merangsang pula!
Akan tetapi pemuda ini segera dapat menguasai perasaannya dan secara diam-diam dia pun mengerling ke arah para tamu. Dia tidak merasa heran melihat betapa para tamu pria itu semakin terangsang, pandang mata mereka itu berseri-seri penuh nafsu birahi, wajah mereka kemerahan, hidung kembang-kempis dan mulut tersenyum-senyum penuh gairah.
Dari samping nampak betapa sering kalamenjing mereka naik turun saat mereka menelan ludah. Bahkan ada pula yang memandang dengan mata melotot, seakan-akan tubuh yang menggairahkan itu hendak ditelan bulat-bulat dengan pandangan matanya. Ada pula yang berpakaian sebagai ahli silat, tampak tenang saja akan tetapi tangannya mengepal keras, tanda bahwa dia pun terpesona dan berusaha untuk menekan perasaannya.
Semua ini nampak oleh Thian Sin dan dia menemukan sebab yang merupakan daya tarik bagi mereka itu, yaitu pemuasan birahi dan rangsangan yang agaknya sengaja disajikan oleh wanita-wanita cantik itu kepada mereka. Dan ketika dia mengerling ke arah siluman yang dipanggil Sian-su itu, dia melihat bahwa orang bertopeng ini pun seperti dia, sedikit juga tidak memperhatikan lagi kepada para penari, melainkan memandang ke kanan kiri, memperhatikan satu demi satu wajah para tamu dengan senyum puas yang membayang pada topeng tengkoraknya.
Setelah menari-nari beberapa kali putaran dan setiap berputar di dekat tempat duduk para tamu tercium bau harum winyak wangi dari tubuh mereka, kembali Sian-su mengangkat tangan kirinya dan ini pun merupakan isyarat karena suara musik tiba-tiba menurun. Para wanita yang menari itu pun memperhalus tarian mereka dan akhirnya mereka berkumpul menjadi suatu kelompok lalu bersama-sama menjatuhkan diri berlutut di hadapan Sian-su!
Siluman ini mengangguk-angguk dan tangannya bergerak seperti menebarkan sesuatu di udara dan... kelopak-kelopak bunga beterbangan lalu melayang turun ke atas kepala lima belas orang penari yang ditundukkan dalam penghormatan mereka itu. Kelopak-kelopak bunga itu hinggap di atas rambut-rambut hitam itu, indah seperti kupu-kupu yang hinggap di atas bunga-bunga mekar.
Thian Sin mengerutkan alisnya. Secara diam-diam dia tahu bahwa orang itu sangat lihai, bukan saja ahli ilmu silat tinggi seperti yang sudah disangkanya, akan tetapi juga pandai mempergunakan kekuatan sihir untuk bermain sulap! Dia pun cepat membuat tanggapan dengan sinar mata penuh kagum dan heran seperti yang diperlihatkan oleh wajah semua orang yang hadir.
Kebetulan sekali siluman itu memandang kepadanya dan Thian Sin melihat dengan jelas betapa muka tengkorak itu tersenyum simpul, jelas kelihatan gembira serta bangga sekali dengan ilmu kepandaiannya, terutama sekali karena ilmu sihirnya dikagumi oleh seorang pendekar seperti Pendekar Sadis!
Sekarang lima belas orang penari itu bangkit berdiri. Dengan gerakan lemah gemulai dan memikat mereka pun berjalan menghampiri para tamu dengan baki pada kedua tangan. Sambil tersenyum Si Muka Tengkorak itu berkata kepada Thian Sin,
"Maaf, taihiap, bukan kami mata duitan, akan tetapi karena kebutuhan untuk membangun perkumpulan agama kami membutuhkan banyak biaya, dan para anggota serta pengikut kami bermurah hati, maka acara sekarang ini adalah acara pemberian sumbangan suka rela yang dipungut oleh para gadis penari. Akan tetapi sebagai tamu kehormatan, tentu saja taihiap tidak diharapkan untuk menyumbang..."
"Ahh, jangan sungkan, Sian-su. Aku pun bersedia menyumbang, jangan khawatir!" Thian Sin langsung merogoh saku dalam bajunya dan mengeluarkan sebongkah kecil emas dan ketika ada seorang penari lewat di depannya, dia segera menaruh bongkahan emas yang besarnya sekepal itu di atas baki.
Tentu saja penari itu terkejut bukan kepalang, terbelalak melihat emas yang berat itu lalu melempar senyum manis dan kerling mata yang penuh daya memikat. Semua tamu juga memandang heran dan mereka maklum betapa besarnya harga sumbangan yang sudah diberikan oleh Pendekar Sadis. Akan tetapi tentu saja mereka tidak tahu bahwa Pendekar Sadis adalah seorang yang kaya raya sehingga sebongkah emas itu tak ada artinya sama sekali baginya!
Melihat ini, siluman itu lalu tertawa. "Siancai... taihiap sungguh dermawan. Terima kasih, taihiap. Abwee, kau simpan kerlingmu itu dan jangan khawatir, malam nanti engkau boleh melayani Ceng-kongcu!"
Gadis penari yang disebut A-bwee itu menahan senyum lalu berlari-lari ke arah tamu lain. Thian Sin memperhatikan ke sekelilingnya dan dia melihat betapa royalnya para tamu itu saat menyerahkan sumbangan kepada para gadis penari, meletakkan sumbangan mereka di atas baki-baki yang disodorkan oleh para gadis itu. Di antara mereka bahkan ada yang mengajak para gadis itu bersenda-gurau dan berbisik-bisik lirih.
Sesudah selesai upacara sumbangan itu, para gadis itu lalu mengundurkan diri sambil berlari-larian menuju anak tangga yang letaknya di belakang, yaitu tempat dari mana tadi mereka naik. Musik masih dimainkan dengan lembut, dan tidak lama kemudian, nampak para gadis manis itu sudah kembali lagi namun kini baki-baki itu sudah berganti isi, yaitu cawan-cawan dan guci arak dan ada pula yang membawa piring-piring berisi makanan.
Sambil tersenyum-senyum para gadis itu menghidangkan arak dan makanan di atas meja para tamu, kemudian dengan sikap lemah gemulai dan tersenyum-senyum ramah mereka lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawan para tamu. Begitu arak dituangkan ke dalam cawan, segera tercium bau sedap arak yang baik dan tua. Kini bukan hanya lima belas orang gadis penari tadi yang menjadi pelayan, namun ditambah lagi oleh beberapa orang lain yang sama muda dan cantiknya sehingga jumlah mereka ada dua puluh lima orang.
Setelah melihat betapa semua tamu menerima suguhan arak dan cawan mereka sudah dipenuhi arak harum, Siluman Tengkorak yang juga sudah menerima suguhan secawan arak lantas mengangkat cawan araknya ke atas dan berkata dengan suara ramah, "Cu-wi, silakan minum untuk persahabatan kita yang kekal!"
Semua orang mengangkat cawan araknya masing-masing dan Thian Sin juga mengangkat cawan araknya, tetapi tidak memperlihatkan sikap curiga walau pun dia menduga bahwa tentu ada apa-apanya di dalam suguhan arak ini. Akan tetapi dia mengandalkan kekuatan sinkang-nya untuk melindungi tubuhnya apa bila arak itu dicampuri racun. Lagi pula, dia melihat sendiri bahwa arak untuknya itu dari satu guci dengan arak untuk para tamu lain, maka dia ikut minum tanpa curiga sama sekali.
Begitu arak itu melewati mulut dan kerongkongannya, Thian Sin merasa bahwa arak itu memang lezat sekali dan mengandung sesuatu yang merupakan obat keras namun halus. Dia merasa yakin bahwa itu bukanlah racun, meski pun dia juga tahu bahwa tentu arak itu telah dicampuri semacam obat yang cukup keras. Beberapa lama kemudian setelah arak memasuki perutnya, Thian Sin baru tahu bahwa arak itu mengandung obat perangsang yang membuat tubuhnya hangat dan pikirannya gembira.
Sesudah merasa yakin bahwa arak itu tidak mengandung racun, Thian Sin berani minum dengan hati tenang. Sekarang dia melihat betapa para tamu itu sudah mulai terpengaruh arak, mereka tertawa-tawa gembira. Hidangan pun dikeluarkan dan musik kini mengiringi gadis-gadis yang datang dan menari-nari.
Pakaian mereka merupakan gaun-gaun tipis warna-warni sehingga selain indah, juga amat menggairahkan karena pakaian mereka tembus pandang. Gerakan-gerakan mereka yang erotis membuat suasana menjadi semakin panas, ditambah pula pengaruh arak sehingga di antara para tamu itu sudah ada yang mulai nakal dengan kata-kata dan tangan mereka, menggoda dan menowel para pelayan wanita yang muda dan cantik.
Thian Sin melihat bahwa pelayan-pelayan itu agaknya juga sudah mulai terpengaruh oleh sesuatu yang membuat mereka itu bersikap genit-genit dan berani, padahal melihat sikap mereka, gadis-gadis itu tentu dari golongan baik-baik.
Makin larut malam, suasana menjadi semakin panas. Thian Sin melihat betapa sudah ada beberapa orang di antara para tamu itu yang berani menarik lengan seorang pelayan dan mendudukkannya di atas pangkuan lalu menciuminya begitu saja di depan orang banyak!
Agaknya siluman yang jadi ketua perkumpulan itu dapat melihat pula hal ini, maka ia pun memberi isyarat dengan tangan diacungkan ke atas dan seorang di antara para anggota siluman itu lalu membunyikan canang bertalu-talu. Mendengar ini, gadis-gadis pelayan itu melepaskan diri dan mundur, bahkan lalu menghilang bersama-sama para gadis penari. Siluman Tengkorak itu bangkit berdiri dan suaranya terdengar lantang namun lembut dan ramah.
"Cu-wi yang terhormat, seperti diketahui malam hari yang suci ini akan dilakukan upacara pengangkatan seorang anggota baru. Oleh karena itu, sebelum kita memulai acara tarian bebas gembira untuk memuja dewa, terlebih dulu akan dilakukan upacara pengangkatan murid atau anggota baru itu. Harap cu-wi suka menjadi saksi."
Semua tamu yang sudah makan kenyang itu kini duduk tenang dan Thian Sin sendiri pun mengikuti perkembangan berikutnya dengan penuh perhatian. Dia belum lagi tahu di mana adanya ibu dari dua orang anak itu, akan tetapi dia sabar menanti sampai semua upacara selesai, baru dia akan mendesak siluman itu.
Dia harus berhati-hati karena tempat ini sungguh sangat berbahaya. Jumlah anak buah siluman ini kiranya tidak kurang dari dua puluh lima orang, belum dihitung gadis-gadis itu dan siapa tahu bahwa di antara para tamu itu terdapat orang-orang pandai yang agaknya tentu akan membantu siluman itu pula.
Semua ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa dia kini berada di dalam sarang musuh yang sangat berbahaya dan yang agaknya penuh dengan perangkap-perangkap rahasia sehingga andai kata dia akan dapat menghadapi pengeroyokan begitu banyaknya orang, belum tentu dia mampu mengatasi semua alat-alat jebakan di tempat itu. Biarlah bersabar sambil mencari kesempatan baik untuk turun tangan sambil mengukur sampai di mana kekuatan pihak lawan.
Siluman Tengkorak itu kemudian mengangkat tangannya memberi isyarat dan musik pun dimainkan lagi dengan lagu yang lembut akan tetapi sekaligus mengandung kekerasan di dalamnya, seperti dalam lagu puja-puji. Asap dupa pun mengepul makin tinggi, semerbak wanginya, sedangkan seluruh lampu diganti dengan lampu yang warnanya hijau sehingga cuaca menjadi redup.
Kini nampaklah tujuh orang gadis naik ke tempat itu, bertelanjang kaki dan mengenakan pakaian yang begitu tipisnya sehingga pakaian itu seperti kabut saja yang menutupi tubuh mereka, membuat tubuh di balik pakaian itu nampak jelas membayang. Mereka berjalan perlahan-lahan, penuh khidmat sambil membawa bermacam-macam benda.
Ada yang membawa seekor kelinci putih yang gemuk, ada yang membawa sebuah bokor emas, ada yang membawa guci arak dan ada pula yang membawa sebatang pedang kecil. Hebatnya, bokor, guci dan bahkan pedang kecil itu semua terbuat dari pada emas tulen!
Tujuh orang gadis ini melangkah perlahan, dengan kepala tunduk, ke arah tempat duduk Siluman Tengkorak, lalu mereka berlutut dengan sikap menanti. Siluman itu lantas bangkit berdiri, melangkah maju dan gadis-gadis itu berlutut di sekitarnya. Siluman itu kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas kepala dengan lengan dikembangkan, lantas muka tengkorak itu menengadah dan terdengarlah suaranya lantang dan mengandung getaran yang amat kuat sehingga diam-diam Thian Sin terkejut bukan main. Itulah tenaga khikang yang kuat bercampur dengan kekuatan mukjijat ilmu sihir!
"Yang Mulia Dewa Kematian, silakan menjelma agar hamba sekalian dapat mengesahkan pengangkatan seorang pemuja baru bagi paduka...!" Suara itu bergema membuat semua hadirin memandang dengan sikap hormat dan juga dengan hati tegang.
Biar pun mereka yang hadir itu sudah beberapa kali menyaksikan peristiwa ini, namun selalu mereka merasakan ketegangan luar biasa karena pada saat itu mereka merasakan getaran aneh yang seolah-olah mengguncang jantung. Bahkan para pendekar yang hadir secara diam-diam harus mengakui bahwa sinkang yang mereka kerahkan untuk menekan getaran itu jauh kalah kuat, membuat mereka merasa semakin kagum terhadap Sian-su!
Thian Sin bersikap tenang, tetapi dengan mengerahkan tenaga dalam dan juga kekuatan sihirnya, dia dapat memandang lebih terang sehingga tahulah dia bahwa dengan kekuatan sihir yang kuat, orang itu telah mempengaruhi semua orang dengan halus tanpa mereka sadar bahwa mereka telah disihir melalui suara itu.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan nampak asap putih kebiruan mengepul tebal di tempat Siluman Tengkorak itu berdiri. Tubuh siluman itu lenyap terbungkus asap tebal sedangkan musik masih dimainkan dengan lagu yang amat aneh tadi. Selagi asap masih mengepul tebal, nampaklah dua puluh orang lebih penari yang tadi, tapi kini telah berganti pakaian gaun tipis berwarna-warni.
Mereka berlari-lari ringan dan menari-nari, membuat lingkaran mengelilingi Sian-su yang masih terbungkus asap di tengah-tengah lingkaran tujuh orang gadis yang masih berlutut. Perlahan-lahan asap itu membuyar kemudian tubuh orang itu mulai nampak lagi, dan kini semua orang memandang dengan hormat, bahkan ada di antara para hadirin yang cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat.
Thian Sin memandang tajam dan dia pun terkejut melihat betapa wajah tengkorak itu kini mengeluarkan cahaya cemerlang! Orangnya masih yang tadi, tidak ada perubahan, yang berubah hanya wajah tengkorak itu yang mengeluarkan sinar, sedangkan sepasang mata itu pun kini bersinar-sinar mencorong lebih terang dari pada tadi.
Thian Sin maklum bahwa ledakan dan asap tadi hanya merupakan hasil dari pada bahan peledak saja, dan bahwa orang itu telah mempengaruhi pikiran dan semangat para hadirin dengan getaran suaranya. Akan tetapi, dia sendiri tidak tahu apa yang membuat wajah tengkorak atau topeng tipis itu menjadi cemerlang seperti itu.
Dia tahu pula bahwa tentu semua yang hadir percaya bahwa kini Dewa Kematian telah menjelma dan memasuki tubuh Sian-su! Tentu saja kepercayaan semacam ini membuat mereka itu semua tunduk dan kagum. Seorang anggota siluman mendekati Thian Sin dan dari kepalanya yang miring ke kiri itu Thian Sin dapat menduga bahwa orang ini tentulah tosu yang pertama kali memancingnya masuk ke tempat ini.
"Taihiap, saya bertugas untuk memberi keterangan kepadamu seandainya taihiap ingin mengetahui sesuatu."
Thian Sin tersenyum dan merasa bahwa pertunjukan ini, selain untuk mempengaruhi para hadirin dan menarik kepercayaan mereka, juga sengaja dipamerkan kepadanya! Maka dia pun mengikuti permainan ini dan bertanya dengan suara dibuat bernada penuh dengan keheranan, "Aku ingin tahu mengapa wajah Sian-su menjadi bercahaya seperti itu?"
Dengan suara yang serius dan penuh hormat, siluman itu berbisik, "Taihiap, yang berdiri di situ hanyalah tubuh Sian-su, akan tetapi sesungguhnya adalah Dewa Kematian yang memasuki dirinya."
"Ahhh...!" Thian Sin pura-pura heran dan mengangguk-angguk.
Kini dia melihat ada dua orang anggota siluman naik dan menghampiri Sian-su. Siluman Tengkorak ini menggerakkan tangan kirinya ke udara dan tahu-tahu dia telah memegang secawan arak! Lalu dipercikkan arak dari cawan itu kepada dua orang anggota yang telah belutut, mengenai kepala dan sebagian lehernya.
Percikan arak ini seakan-akan menjadi isyarat bagi mereka berdua, maka mereka segera mencabut sebatang pedang pendek dari pinggang, kemudian mulai menggurat leher serta pipinya dengan pedang itu. Darah pun muncrat dari luka-luka itu, akan tetapi kedua orang ini seperti tak merasakan sesuatu, lalu menari-nari dengan aneh diiringi suara musik dan ditanggapi oleh para penari yang mengelilingi tempat itu dengan gerakan-gerakan pinggul yang memutar-mutar erotis. Dua orang itu lalu sibuk menuliskan huruf-huruf dengan darah mereka di atas potongan-potongan kain putih.
Anggota siluman yang duduk di dekat Thian Sin menerangkan tanpa diminta, "Itu adalah hui-hu yang ditulis dengan darah mereka dan dapat menjadi jimat penolak iblis yang nanti akan dibagi-bagikan kepada para tamu. Sekarang akan diadakan upacara injak bara api dan mandi minyak mendidih."
Ternyata persiapan untuk itu sudah dikerjakan dengan amat cepatnya oleh para anggota siluman dan sebentar saja telah terhampar bara api dari arang yang membara sepanjang tiga meter, dan tidak jauh dari sana terdapat kuali besar penuh minyak yang dipanaskan sampai mendidih. Semua tamu yang duduknya cukup jauh dari tempat itu masih dapat merasakan panasnya bara api itu.
Setelah persiapannya selesai dan semua kain putih telah ditulisi dengan darah, dua orang anggota perkumpulan siluman itu bangkit, menari-nari, masih menggores-goreskan pisau atau pedang kecil itu pada dada mereka yang telanjang, kemudian mereka menghampiri bara api dan berjalan dengan kaki telanjang di atas arang membara!
Dua kali mereka berjalan melintasi arang membara itu, kemudian keduanya menghampiri kuali yang penuh dengan minyak mendidih dan mengoles-oleskan minyak mendidih itu di tubuh mereka. Sungguh luar biasa sekali. Asap mengepul dari tubuh mereka, akan tetapi kulit mereka sama sekali tidak melepuh atau pun terbakar, malah luka-luka goresan yang tadinya berdarah itu menjadi sembuh dan pulih kembali, bahkan bekas goresan luka saja tidak ada lagi!
Tontonan seperti ini bukanlah tontonan baru bagi orang-orang yang hadir, juga bagi Thian Sin, namun selalu masih amat menarik perhatian dan mendatangkan kengerian, membuat kepercayaan orang akan hal-hal yang aneh dan tidak mereka mengerti menjadi semakin tebal menyelinap di dalam hati dan membuat mereka lebih condong menerima ketahyulan dan membiarkan diri terpengaruh.
Thian Sin pernah beberapa kali menonton pertunjukan dari para tangsin seperti itu, yang dilakukan di kuil-kuil pada waktu ada upacara atau pesta. Maka dia tidak merasa heran sungguh pun dia tahu bahwa peristiwa itu sama sekali bukan hasil main sulap, melainkan akibat dari penyihiran diri sendiri melalui kepercayaan yang mutlak.
Sudah menjadi kelemahan kita manusia pada umumnya untuk merasa tertarik terhadap hal-hal yang aneh-aneh, peristiwa-peristiwa yang tidak masuk akal serta penuh rahasia, keajaiban-keajaiban dan kemukjijatan-kemukjijatan. Manusia selalu merasa haus dengan hal-hal yang baru, yang aneh, yang tidak kita mengerti.
Kita begitu mendambakan hal-hal baru sehingga kita telah melupakan hal-hal lain yang terjadi di sekitar kita, yang kita anggap telah lapuk dan lama, tidak menarik lagi. Padahal segala macam keajaiban serta kemukjijatan terjadi di sekitar kita, bahkan di dalam diri kita sendiri.
Tumbuhnya setiap helai rambut di kepala dan bulu di kulit kita merupakan keajaiban dan kemukjijatan yang besar, detak jantung kita yang mengatur peredaran darah di seluruh tubuh kita, kembang-kempisnya paru-paru kita yang menghidupkan, bekerjanya seluruh anggota tubuh kita, panca indera kita, bekerjanya otak kita yang membuat kita dapat bicara, mendengar, melihat dan berpikir. Bukankah semua itu merupakan sesuatu yang amat indah, sesuatu yang amat ajaib dan mukjijat, di mana sepenuhnya terdapat suatu kekuatan gaib yang sungguh maha kuasa?
Kemudian, segala benda yang tampak di luar diri kita. Gunung-gunung raksasa, tumbuh-tumbuhan dengan aneka warna, bunga, dan aneka rasa buahnya, segala makhluk hidup yang bergerak dengan segala macam bentuk, corak dan sifatnya, lalu awan berarak di angkasa, menciptakan hujan, hawa udara yang menghidupkan, sinar matahari, air, bumi, langit dan segala isi alam ini.
Bukankah semua itu merupakan keajaiban yang sangat hebat? Namun kita sudah tidak menghargai semua itu lagi, kita sudah buta akan keajaiban itu, kita menggapnya biasa saja hingga melihat orang menginjak bara api saja kita kagum setengah mati! Padahal, apa sih anehnya menginjak bara api itu apa bila dibandingkan dengan tumbuhnya sehelai rambut kepala atau kuku jari kita?
Keajaiban atau sesuatu yang kita anggap aneh adalah disebabkan kita belum mengerti. Karena masih belum mengerti, tidak tahu bagaimana proses terjadinya, maka kita lalu menganggapnya aneh, ajaib dan menimbulkan khayal yang bukan-bukan. Akan tetapi, sekali orang sudah mengerti, hal yang tadinya dianggap ajaib itu pun menjadi biasa dan terlupakan, tidak menarik lagi, seperti tidak menariknya melihat segala keajaiban yang terjadi sehari-hari di sekeliling kita. Kita memandang selalu jauh ke depan, mencari-cari yang baru.
Kita ini mahkluk pembosan. Tertarik akan hal-hal baru memang merupakan suatu sifat yang baik, seperti anak-anak yang selalu ingin tahu. Akan tetapi sifat ini harus menjadi dorongan untuk menyelidiki sesuatu bukan menerima segala sesuatu begitu saja hingga menciptakan watak tahyul.
Ketahyulan adalah suatu kebodohan, menerima sesuatu dengan keyakinan padahal kita tidak mengerti, dan hal ini terjadi karena kita senang akan sensasi. Menerima sesuatu dengan kata ‘percaya’ mau pun dengan kata ‘tidak percaya’ adalah perbuatan bodoh dan tidak bijaksana, karena menerima sesuatu dengan kata seperti itu berarti bahwa kita belum atau tidak mengerti.
Sebaiknya kalau kita menghadapi sesuatu yang tidak kita mengerti itu dengan waspada, membuka mata serta telinga, dan menyelami sendiri, menyelidiki sendiri sehingga kita mengerti. Karena apa bila kita sudah mengerti, maka tidak ada lagi istilah percaya atau tidak percaya.....
"Taihiap, sekarang upacara pengangkatan murid wanita yang baru akan segera dimulai," kata pula anggota siluman itu kepada Thian Sin ketika pertunjukan itu selesai dan tempat itu sudah dibersihkan kembali.
Tiba-tiba musik berbunyi semakin nyaring, kemudian nampaklah seorang wanita berjalan perlahan-lahan menaiki panggung atau puncak datar itu. Thian Sin memandang seksama. Dia melihat bahwa wanita itu sangat cantik dan biar pun mukanya agak pucat, akan tetapi muka itu sungguh mempunyai daya tarik yang kuat.
Wajah dan tubuhnya menunjukkan bahwa wanita ini sudah masak, usianya tentu ada dua puluh tujuh tahun. Rambutnya yang hitam terurai lepas itu sangat tebal dan panjangnya sampai ke pinggul. Kedua kakinya yang kecil telanjang dan dia memakai gaun yang sama tipisnya dengan gadis-gadis penari, gaun panjang menutupi kaki sehingga terseret di atas lantai, warnanya putih bersih. Apa bila dipandang sepintas lalu wanita ini seperti seorang mempelai yang akan dipertemukan dengan pengantin pria.
Wanita itu berjalan perlahan, kemudian berhenti di hadapan Sian-su yang masih berdiri tegak dengan wajah bercahaya. Sejenak wanita itu memandang wajah itu, lalu mengeluh lirih dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sian-su!
"Itukah anggota baru?" Thian Sin bertanya.
"Benar, taihiap. Dia itulah wanita yang taihiap sebut-sebut ketika menghadap Sian-su."
Thian Sin benar-benar terkejut sekali. "Apa? Kau maksudkan dia ini adalah ibu muda dari kedua orang anak itu? Ibu dari keluarga Cia yang terculik?" Thian Sin bangkit berdiri. "Jadi benarkah bahwa kalian telah menculiknya dan membawanya ke sini?"
"Sabar dan tenanglah, taihiap," kata orang itu.
Dengan sudut matanya, Thian Sin dapat melihat betapa beberapa anggota perkumpulan itu agaknya selalu memperhatikannya dan mereka telah siap untuk turun tangan apa bila nampak gejala bahwa dia akan memberontak.
"Jangan menuduh yang bukan-bukan. Nanti setelah diadakan upacara sembahyang, para tamu selalu diberi kesempatan untuk mengajukan sendiri pertanyaan-pertanyaan kepada calon anggota atau murid baru."
"Hemm, jadi aku pun boleh mengajukan pertanyaan langsung kepada wanita itu?"
"Tentu saja boleh, akan tetapi nanti setelah upacara sembahyang."
Thian Sin menahan dorongan hatinya yang membuatnya penasaran. Jadi benar, wanita itu, ibu dari dua orang bocah she Cia itu, sudah berada di sini! Dan memakai gaun yang demikian tidak sopan sama sekali, gaun tipis tembus pandang tanpa ada sehelai kain penutup tubuh di balik itu! Padahal, suami wanita ini terbunuh, demikian pula enam orang pendekar lain. Ada apakah di balik semua ini?
Tentu wanita itu berada dalam pengaruh sihir, pikirnya. Akan tetapi, apa bila ada peristiwa yang amat keji dan jahat seperti itu, kalau dugaannya memang benar, kenapa para tamu yang terdiri dari orang-orang berpangkat beserta para pendekar itu suka menjadi pengikut atau peminat? Apakah mereka itu pun sudah tersihir oleh Sian-su itu?
Dia harus menyelidikinya dan kalau memang benar seperti apa yang diduganya itu, maka dia harus menentang dan membasminya! Akan tetapi, dia pun bukan tidak tahu bahwa pihak lawan ini amat berbahaya dan kuat, maka dia harus bersikap hati-hati sekali.
Kini Sian-su mengulurkan tangannya ke arah wanita itu yang segera menyambut uluran tangan ini dan wanita itu pun bangkit berdiri, kemudian tangannya digandeng oleh Sian-su, berjalan menuju ke tepi dataran itu di mana terdapat pondok kecil untuk pemujaan dewa. Sian-su atau siluman itu lalu menerima sebongkok hio yang sudah dinyalakan dari salah seorang anggota perkumpulan yang bertugas di sana. Dia segera mengacungkan hio ke empat penjuru, dan membagi-bagi hio itu menjadi tujuh.
Sekarang wanita itu bersembahyang di depan tujuh pondok kecil, dan setiap kali selesai sembahyang, sambil berlutut lalu menaruh hio di depan pondok, di tempat abu hio yang telah tersedia. Sesudah selesai, dia dituntun oleh Sian-su dan setelah dilepaskan, wanita itu kembali menjatuhkan diri berlutut di depan Sian-su yang berdiri di depannya.
Tujuh orang gadis yang tadi membawa kelinci dan bermacam barang itu selalu mengikuti mereka dari belakang dan kini mereka bertujuh juga berlutut mengelilingi Sian-su. Orang itu lantas mengangkat kedua tangan ke atas kepala dan mengeluarkan suara aneh, suara melengking dalam seperti bukan suara manusia dan ketika tangan kanannya melambai, tahu-tahu tangan itu sudah memegang sebatang bunga yang diberikannya kepada wanita itu.
Wanita itu menerima bunga, mencium bunga dengan khidmat, lalu menancapkan bunga itu pada rambutnya yang tebal. Kemudian, kembali Sian-su mengangkat kedua tangan ke atas dan mengembangkan kedua lengannya.
Terdengar suara ledakan kemudian disusul asap seperti tadi. Seperti juga tadi, asap itu menyelubungi dirinya dan juga wanita itu sehingga tidak nampak, kemudian setelah asap membuyar, Sian-su masih nampak berdiri seperti tadi, hanya kini cahaya pada wajahnya sudah lenyap.
"Sang Dewa Kematian telah kembali ke tempat asalnya," demikianlah si muka tengkorak yang menemani Thian Sin menerangkan hal yang memang telah dapat diduga oleh Thian Sin.
Siluman Tengkorak atau Sian-su itu kini menghadapi para tamunya dan berkata dengan suara biasa saja, "Cu-wi yang mulia, seperti biasa, apa bila ada yang ingin tahu, silakan mengajukan pertanyaan kepada murid baru ini."
Mendapatkan kesempatan ini, Thian Sin tidak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri Sian-su yang menyambutnya dengan sikap ramah.
"Ahh, Ceng taihiap suka memberi kehormatan kepada murid baru kami untuk mengajukan pertanyaan? Silakan, silakan, taihiap!"
Thian Sin mengangguk dan semua tamu memandang dengan hati tertarik. Mereka semua adalah pengikut-pengikut yang setia dan penuh kepercayaan, dan kini mendengar bahwa Pendekar Sadis hendak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tentu saja maksudnya untuk menguji, maka mereka merasa tertarik sekali. Mereka sendiri pun tadinya ragu-ragu terhadap perkumpulan agama pemuja Dewa Kematian ini. Tetapi setelah mereka menguji dan melihat hasil-hasil baiknya, mereka kemudian menaruh kepercayaan sepenuhnya.
Siapa yang tidak suka menjadi pengikut? Selagi hidup dapat menikmati kesenangan yang sangat luar biasa di tempat ini, dan selain itu, mereka semua telah menjadi pemuja Dewa Kematian sehingga telah menjadi ‘sahabat’ baik dewa itu. Dengan demikian, mereka akan terjamin kelak kalau terpaksa harus menghadapi kematian karena dewanya telah menjadi sahabat baik mereka. Dan menurut wejangan Sian-su, karena telah menjadi sahabat baik, maka Dewa Kematian akan berlaku murah pada mereka dan akan dapat ‘memperpanjang’ kehidupan mereka dan tidak cepat-cepat mencabut nyawa mereka.
Janji-janji muluk yang selalu dipamerkan memang merupakan umpan yang amat menarik bagi manusia pada umumnya yang selalu mengejar kesenangan dan keenakan, di mana pun dan kapan pun juga. Bahkan untuk mendapatkan janji-janji muluk ini, manusia tidak segan-segan untuk melakukan apa saja, bahkan kalau perlu menyiksa diri.
Alangkah banyaknya orang menyiksa diri dengan berpuasa dan bertapa di tempat sunyi, penyiksaan diri karena di sana terdapat harapan atau janji bahwa mereka akan mendapat ganjaran batin yang tentu saja menyenangkan! Bahkan untuk keadaan mereka sesudah mati sekali pun, selagi masih hidup manusia sudah hendak mengaturnya, semua itu demi mendapat kepastian bahwa keadaannya ‘di sana’ nanti akan enak, keenakan yang diukur dengan keadaan di waktu masih hidup.
Wanita itu masih berlutut dan Thian Sin terpaksa juga berjongkok ketika menghampirinya dan hendak mengajukan pertanyaan.
"Nyonya, bolehkah saya mengetahui namamu?"
Wanita itu mengangkat muka memandang kepada Thian Sin dan diam-diam Thian Sin harus mengakui bahwa isteri Cia Kok Heng ini adalah seorang wanita yang cantik menarik dan manis sekali. Ketika dia memandang matanya, dia mendapatkan kenyataan bahwa memang benar wanita itu berada dalam keadaan tersihir atau setidaknya dalam keadaan tidak begitu sadar! Tentu saja dia menjadi marah.
"Namaku Lu Sui Hwa...," jawab wanita itu dengan sikap yang ramah dan senyum manis menghias bibirnya.
Thian Sin segera mengerahkan tenaga saktinya dan menggunakan kekuatan sihir untuk menyadarkan wanita itu sambil berkata, "Lu Sui Hwa, sadarlah engkau dan mulai saat ini pergunakan pikiranmu sendiri!" Dengan gerakan tangan, Thian Sin membuat gerakan jari tangan kiri di depan wajah wanita itu.
Wanita itu segera terbelalak dan mengeluarkan seruan tertahan. "Ihhh...!"
"Sui Hwa, tenanglah dan jawab semua pertanyaan Pendekar Sadis. Ingat, engkau berada dalam keadaan aman!" Tiba-tiba terdengar suara Sian-su yang lemah lembut.
Ucapan itu membuat sepasang mata yang terbelalak itu menjadi suram lantas wanita itu memandang kepada Thian Sin dengan penuh kecurigaan! Akan tetapi, Thian Sin melihat bahwa usahanya berhasil dan wanita itu kini benar-benar telah sadar.
"Nyonya, kenalkah engkau pada orang yang bernama Cia Kok Heng?" tanyanya dengan lantang.
Akan tetapi, betapa heran hatinya ketika wanita itu menjawab dengan wajar, "Dia adalah suamiku."
"Dan dua orang anak kecil, seorang anak laki-laki dan seorang wanita bernama Cia Liong dan Cia Ling?"
Wajah itu menjadi pucat sekali, akan tetapi suaranya masih terdengar tenang dan lantang ketika menjawab, "Mereka adalah anak-anakku!"
Thian Sin lalu bangkit berdiri dan suaranya lantang dan penuh wibawa ketika dia berkata lagi, "Nyonya Cia, engkau yang memiliki suami dan dua orang anak, kenapa bisa berada di sini?"
Suasana menjadi tegang. Semua tamu maklum bahwa Pendekar Sadis ini mencari-cari permusuhan, dan semua telinga ditujukan kepada wanita itu, menanti jawabannya. Thian Sin sudah bersiap siaga karena dia merasa yakin bahwa wanita ini tentu akan membuka rahasia Siluman Goa Tengkorak, bahwa dia telah diculik oleh mereka.
"Aku memang meninggalkan mereka untuk menjadi pengikut Sian-su!"
Jawaban ini tentu saja tidak disangka sama sekali oleh Thian Sin dan mukanya menjadi merah ketika dia mendengar suara ketawa tertahan di sana-sini. Dia cepat menggunakan kekuatan sihirnya untuk ‘mencuci’ wanita yang masih berlutut itu dari hawa atau pengaruh sihir yang mempengaruhi, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa wanita itu sudah tidak dalam pengaruh sihir lagi, melainkan menjawab dalam keadaan sadar!
"Engkau sebagai seorang nyonya terhormat rela merendahkan diri, mengenakan pakaian seperti ini dan meninggalkan suami serta anak-anakmu?" Suara Thian Sin mengandung penasaran dan dia tahu bahwa pertanyaannya itu tentu akan menikam perasaan seorang ibu dan isteri yang terhormat.
"Taihiap, pertanyaanmu itu sudah menyimpang dan merupakan penghinaan!" Terdengar Sian-su berkata halus.
Thian Sin menoleh. Dia melihat betapa pandangan mata para tamu ditujukan kepadanya dengan penuh penasaran, dan wanita itu pun menunduk dan menangis!
"Sui Hwa, jawablah, apakah ada yang memaksamu menjadi pengikut kami dan menjadi pemuja Dewa Kematian?" tanya Sian-su dengan suara lantang.
"Tidak ada, aku masuk atas kehendakku sendiri," jawab nyonya itu.
"Dan engkau rela mengikuti semua upacara dan peraturan seperti yang sudah berlaku di sini?"
"Aku rela."
Sian-su berpaling kepada Thian Sin. "Ceng-taihiap sudah mendengar cukup, maka harap silakan duduk dan menyaksikan upacara selanjutnya. Boleh saja orang luar merasa tidak setuju dengan cara-cara kami, tetapi jelas bahwa orang luar tidak berhak mencampuri."
"Aku tidak ingin mencampuri, hanya ingin tahu keadaan yang sebenarnya," bantah Thian Sin.
Akan tetapi, para anggota perkumpulan itu sudah datang mengurung dan para tamu juga memandang marah. Melihat ini, Thian Sin menggerakkan pundaknya lantas kembali ke tempat duduknya, mulai meragukan kebenaran tindakannya memasuki sarang berbahaya ini.
Bagaimana kalau memang wanita itu adalah wanita tak bermalu yang rela meninggalkan suami serta anak-anak untuk menjadi pengikut perkumpulan yang cabul ini? Mungkin saja suaminya tidak rela melepaskan lantas bersama kawan-kawannya yang merupakan Tujuh Pendekar Tai-goan mereka memusuhi perkumpulan ini akan tetapi mereka lalu dikalahkan sehingga semua jatuh tewas.
Kalau memang benar demikian keadaannya, maka persoalannya tentu saja menjadi lain sama sekali! Dengan wajah termangu-mangu Thian Sin menyaksikan upacara yang mulai dilakukan oleh Sian-su.
Siluman atau pendeta siluman ini mengambil kelinci putih dari tangan seorang di antara tujuh orang gadis, lalu mengambil pedang emas. Dia mengangkat kelinci itu di depannya, tepat di atas kepala Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng, kemudian pisau atau pedang kecil dari emas itu dihujamkan ke leher kelinci putih!
Darah mengucur keluar dari luka leher itu pada waktu pisau dicabut, nampak jelas sekali menodai bulu putih bersih, lalu darah itu mengucur jatuh ke atas kepala nyonya muda itu! Dari atas kepala, darah kelinci itu kemudian mengalir dan membasahi mukanya. Wanita itu menengadah dan nampak tersenyum bahagia sambil memejamkan matanya.
Dari kejauhan Thian Sin dapat melihat bahwa wanita itu sudah kembali berada di dalam cengkeraman sihir. Akan tetapi karena tadi malam dalam keadaan sadar wanita itu sudah mengaku bahwa dia melakukan semua itu atas kehendak hatinya sendiri dan secara suka rela, apa yang dapat dilakukannya? Dia hanya dapat memandang.
Kini pendeta siluman itu membiarkan darah kelinci memasuki bokor emas yang dipegang oleh salah seorang gadis, sampai darah itu tak menetes lagi dari leher kelinci. Tentu saja kelinci itu mati kehabisan darah. Akan tetapi, ketika pendeta siluman itu dengan bentakan keras melemparkan kelinci ke bawah, kelinci yang bermandikan darah itu menggerakkan tubuhnya dan lari cepat ke tebing dan menghilang di balik jurang!
Thian Sin mengangguk-angguk. Memang pendeta ini adalah seorang lawan yang tangguh, juga dalam ilmu sihir! Sang pendeta kemudian menuangkan arak atau anggur dari dalam guci-guci emas ke dalam bokor, mencampurkan arak itu dengan darah kelinci. Kemudian musik pun dipukul dengan gencar penuh semangat, dan makin lama semakin panas saat pendeta itu, diwakili oleh tujuh orang penari, membagi-bagikan isi bokor ke dalam cawan arak para tamu!
Thian Sin yang hendak diberi, menolak keras dengan menggeleng kepala dan mukanya menyatakan jijik. Kini semua penari, berikut tujuh orang gadis yang jumlahnya tak kurang dari tiga puluh orang, menari semua, menurutkan irama musik yang makin lama semakin panas merangsang.
Dan perlahan-lahan Lu Sui Hwa juga menggerak-gerakkan tubuhnya lantas bangkit berdiri sambil menari. Agaknya dia tak pernah belajar menari, akan tetapi dia hanya menggerak-gerakkan sepasang lengan serta pinggulnya, dan karena dia seorang wanita cantik yang memiliki bentuk tubuh yang indah, biar pun begitu tetap saja dia nampak amat menarik!
Seorang pemuda yang tadinya duduk di bagian tamu, nampaknya telah mulai mabok atau terseret oleh keadaan itu. Sambil tersenyum lebar dia maju menghampiri Sian-su yang memegang tangannya dan menariknya mendekati Sui Hwa. Mereka agaknya berkenalan dan Sui Hwa menyambutnya dengan senyuman manis, kemudian pemuda yang kelihatan sudah mabok itu lantas merangkul dan menjilati darah yang menodai wajah Sui Hwa, dan keduanya lalu menari-nari sambil berpelukan!
Para tamu mulai gembira, bersorak dan bertepuk tangan mengikuti irama musik. Agaknya mereka semua menjadi mabok birahi sesudah minum anggur yang bercampur darah tadi! Serentak mereka berdiri lantas menari-nari, masing-masing memilih pasangannya sendiri-sendiri di antara para penari kemudian terjadilah pemandangan yang hampir tidak dapat dipercaya oleh Thian Sin kalau dia tidak menyaksikannya sendiri!
Orang-orang itu mungkin telah menjadi gila semua, pikirnya. Mereka menari berpasang-pasangan, saling rangkul, saling belai dan saling cium, sedikit pun tidak merasa malu dan musik pun semakin riuh rendah, keranjingan dan mereka semua seperti sudah kerasukan iblis!
Pendeta siluman itu sendiri langsung meraih pinggang seorang wanita yang masih sangat muda, yang cantik manis dan yang agaknya memang menjadi kekasihnya. Thian Sin tidak tahu bahwa wanita muda ini adalah Thio Siang Ci, mempelai wanita dari dusun Ban-ceng yang sudah diculik pada malam pengantin! Dia diculik karena pendeta siluman itu sendiri yang tertarik dan tergila-gila kepada kembang dusun Ban-ceng ini.
Juga Pendekar Sadis tidak tahu bahwa orang muda yang kini sedang bergumul sambil menari-nari itu adalah seorang pemuda bangsawan she Phang dari Taigoan yang sudah lama tergila-gila kepada isteri Cia Kok Heng yang kini telah berada dalam pelukannya dan melayani hasrat hatinya dengan nafsu birahi bernyala-nyala itu.
Sesungguhnya, perkumpulan yang menamakan dirinya perkumpulan agama Jit-sian-kauw ini secara diam-diam sudah lama bersarang di tempat itu. Perkumpulan ini dipimpin oleh seorang yang hanya dikenal dengan sebutan Sian-su dan secara diam-diam sudah diakui pula oleh banyak anggota yang terdiri dari orang-orang penting di sekitar Tai-goan, malah ada pula yang dari kota raja.
Secara resmi agama ini mengadakan pelajaran-pelajaran agama yang diambil dari Agama Buddha Hinayana dan Agama To, juga dicampur dengan unsur dari agama kuno seperti Im-yang-kauw dan lain-lainnya yang menjurus kepada pelajaran kebatinan yang mengejar hal-hal gaib. Di antara tujuh dewa yang dipuja oleh Jit-sian-kauw (Agama Tujuh Dewa) itu yang terutama sekali dan menjadi pusat dari pemujaan mereka adalah Dewa Kematian.
Di bawah pimpinan Sian-su, para anggota dituntun untuk memuja dewa ini yang dianggap dapat memberi usia panjang dan dapat mengatur nasib mereka kelak sesudah mereka mati. Pemimpin yang disebut Sian-su itu adalah seorang yang selalu bersembunyi di balik topeng tengkorak sehingga belum pernah ada yang melihat atau mengenal wajah aslinya.
Akan tetapi semua anggota dan pengikut amat hormat dan taat kepadanya karena orang ini memang mempunyai ilmu kepandaian yang sangat tinggi, bukan hanya dalam hal ilmu silat akan tetapi juga ilmu gaib. Sian-su ini dikabarkan memiliki kepandaian seperti dewa, dapat menghilang, dapat mendatangkan tujuh dewa yang dipuja-puja itu.
Bukan itu saja, bahkan dalam upacara-upacara diadakan pesta yang oleh Sian-su disebut pesta pembebasan nafsu badaniah! Di dalam pesta seperti ini, mereka membiarkan diri hanyut ke dalam seretan gelombang nafsu birahi yang melanda mereka di mana mereka boleh melampiaskan nafsu birahi mereka sepuasnya dengan siapa pun juga asal tidak ada unsur pemaksaan.
Menurut ajaran Sian-su itu, nafsu itu akan meliar dan kalau diberi penyaluran sewajarnya tanpa ada perbuatan paksa, akhirnya nafsu itu akan habis sendiri kekuatannya dan tidak lagi mencengkeram jasmani kita sehingga jasmani kita menjadi cukup memenuhi syarat untuk menjadi jasmani yang bersih dan dihuni oleh jiwa yang bersih pula dan yang kelak akan diterima menjadi kesayangan Dewa Kematian. Tentu saja pelajaran yang diberikan ini merupakan pelajaran palsu yang amat berbahaya dan sama sekali tak bisa dibuktikan kebenarannya.
Yang jelas dapat dinyatakan adalah bahwa nafsu keinginan dalam bentuk apa pun juga timbul dari pada si aku yang ingin senang, dan nafsu ini bersifat seperti api yang apa bila diberi hati, apa bila dituruti akan seperti api yang diberi bahan bakar. Semakin banyak diberi bahan bakar, makin bernyala dan makin menjadi, makin membesar dan tidak akan padam lagi.
Mengendalikan nafsu pun tidak akan ada gunanya. Mematikan nafsu dengan kekerasan kemauan pun percuma karena yang mematikan dengan kekerasan itu adalah kemauan si aku pula yang ingin senang, yang menganggap bahwa kalau dapat mematikan nafsu itu akan lebih senang dari pada kalau dikuasai nafsu.
Sering kali terjadi konflik di dalam batin sendiri. Pada satu pihak keinginan atau nafsu itu timbul, pada lain pihak keinginan untuk mematikan pun timbul. Konflik ini merupakan api dalam sekam yang nampaknya saja padam, namun sesungguhnya masih membara dan sewaktu-waktu akan dapat berkobar lagi kalau penutupnya kurang kuat atau terbuka.
Nafsu itu sendiri merupakan energi yang amat hebat. Nafsu itu sendiri amat penting bagi kehidupan. Hanya cara penggunaannya yang menentukan apakah dia merusak ataukah mendatangkan manfaat. Dan cara yang baik dan benar ini timbul dengan sendiri melalui kewaspadaan dan kesadaran dari pengamatan diri pribadi.
Pengamatan diri pribadi akan menimbulkan kebijaksanaan dan dengan sendirinya timbul ketertiban yang tidak diatur lagi oleh si aku yang ingin senang. Pengamatan diri pibadi ini dapat terjadi setiap saat, yang berarti ada perhatian dan waspada sepenuhnya terhadap gerak-gerik kita, baik gerak-gerik hati, pikiran, kata-kata mau pun perbuatan.
Bukan mengamati sambil menilai karena penilaian itu juga merupakan hasil pekerjaan si aku! Jadi, kita harus benar-benar waspada dengan segala kepalsuan yang terjadi setiap saat, bukan hanya kepalsuan yang terjadi di luar diri, namun terutama sekali kepalsuan-kepalsuan yang terjadi di dalam batin kita sendiri.
Dengan umpan kesenangan di dalam pemuasan nafsu birahi ini, Sian-su berhasil menarik minat banyak orang untuk menjadi pengikut dari perkumpulan agamanya. Tentu saja dia pun memilih-milih orang, terutama sekali dipilihnya orang-orang yang berkedudukan, yaitu para bangsawan, hartawan, dan juga orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi atau yang menamakan diri mereka pendekar-pendekar.
Dan kerena sifat dari pesta-pesta agama ini, para pengikut itu sendiri merahasiakannya dari orang luar karena bagaimana pun juga, setiap orang manusia itu mempunyai naluri akan penyelewengan dirinya sendiri dan merasa malu kalau penyelewengannya diketahui orang. Demi kesenangan yang telah mencandu, mereka itu dengan sendirinya memerangi perasaan salah ini dengan berbagai alasan pelajaran keagamaan seperti yang diajarkan oleh Sian-su.
Hanya pada hari-hari tertentu saja mereka berdatangan ke tempat itu, dan hanya para anggota inilah yang tahu jalannya, melalui jalan rahasia yang hanya terbuka bagi mereka, yaitu tempat pemujaan di tengah-tengah pegunungan yang tidak kelihatan dari luar dan hanya dapat dicapai melalui jalan terowongan rahasia itu.
Sudah lebih dari dua tahun perkumpulan agama itu bersarang di sana, akan tetapi tidak ada yang mengetahuinya kecuali para anggota atau pengikutnya. Para pengikut ini sudah banyak menyerahkan uang sumbangan kepada perkumpulan ini, akan tetapi mereka tahu pula bahwa uang itu digunakan untuk memajukan perkumpulan dan terutama sekali untuk menyenangkan mereka.
Pesta-pesta dengan hidangan-hidangan yang lezat itu tentu memerlukan uang. Juga untuk memelihara para anggota atau murid-murid wanita yang cantik-cantik, muda dan pandai menari itu pun membutuhkan uang. Terlebih lagi untuk membangun ‘istana’ mereka yang berada di puncak bukit tersembunyi itu serta membuat pondok-pondok untuk tujuh dewa, semua membutuhkan uang yang amat banyak. Karena itu mereka tidak merasa sayang untuk menyumbangkan harta benda.
Tentu saja mereka yang sudah percaya penuh kepada kebijaksanaan Sian-su itu sama sekali tidak mau percaya dengan desas-desus bahwa akhir-akhir ini perkumpulan mereka itu melakukan kejahatan-kejahatan. Mereka menganggapnya sebagai kabar bohong serta fitnah belaka.
Mereka tidak tahu bahwa nafsu ketamakan orang yang mereka sebut Sian-su itu semakin lama semakin menjadi dan untuk membuat pondok-pondok serta benda-benda dari emas tulen itu memerlukan banyak sekali uang. Dan untuk memenuhinya, orang-orang itu telah mempergunakan kepandaiannya sendiri dan kepandaian anak buahnya untuk melakukan pencurian-pencurian. Juga untuk memperlengkapi persediaan mereka akan wanita-wanita cantik, maka perkumpulan ini mulai pula melakukan penculikan-penculikan terhadap para wanita muda dan cantik.
Tindakan Sian-su telah sedemikian beraninya untuk memenuhi ‘pesanan’ dari pemujanya, bahkan pada malam hari itu dia telah memenuhi pesanan dari pemuda bangsawan Phang yang tergila-gila kepada nyonya Cia Kok Heng! Akan tetapi yang mengetahui akan hal ini hanya pemuda Phang itu dengan Sian-su sendiri, dan untuk jasa ini tentu saja pemuda Phang yang kaya raya itu tidak merasa sayang untuk memberi hadiah sumbangan yang sangat besar!
Perkumpulan agama ini mempunyai anak buah yang tidak terlalu banyak, hanya kurang lebih empat puluh orang yang terdiri dari berbagai golongan, akan tetapi rata-rata mereka memiliki ilmu silat yang lumayan. Mereka adalah anak buah sekaligus juga murid-murid Sian-su yang memiliki dasar ilmu silat berbagai aliran.
Tidak semua dari mereka berasal dari golongan penjahat, bahkan banyak pula yang terdiri dari orang baik-baik yang tertarik dengan agama itu dan kemudian menjadi pengikut lalu diangkat menjadi murid dan anak buah. Seperti juga Sian-su, sesudah menjadi anak buah perkumpulan agama itu mereka semua menggunakan pakaian seragam dan juga topeng tengkorak dalam melaksanakan tugas.
Kenapa mereka selalu menggunakan pakaian dan topeng tengkorak? Hal ini adalah untuk menyatakan pemujaan mereka terhadap Dewa Kematian. Tengkorak merupakan lambang kematian, dan kebetulan sekali mereka juga memperoleh sarang di Goa Tengkorak yang sungguh merupakan tempat yang amat cocok untuk perkumpulan agama mereka.
Anak buah perkumpulan itu sudah disumpah setia terhadap Sian-su. Di samping sumpah ini yang diperkuat oleh kepercayaan mereka terhadap Dewa Kematian, juga mereka takut sekali terhadap Sian-su yang mereka tahu mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi. Maka, mereka sadar bahwa berkhianat atau melanggar pantangan berarti kematian yang mengerikan bagi mereka, baik di tangan Sian-su atau pun juga di tangan Dewa Kematian yang tentu akan menyiksa mereka di alam baka!
Sian-su yang berilmu tinggi itu dapat mencengkeram serta menguasai semua anak buah atau muridnya, juga menguasai semua wanita pelayan dan penari, menguasai pengikut-pengikutnya dengan mempergunakan ilmu sihirnya serta ramu-ramuan obat pembius dan perangsang yang dicampurkan dalam minuman. Perlahan-lahan tetapi pasti, pengaruhnya meluas dan anggotanya bertambah, para pengikutnya juga bertambah.
Melihat betapa pesta itu berubah menjadi tempat pemuasan nafsu tanpa mengenal batas kesopanan lagi, bahkan di antara pasangan-pasangan yang menari-nari dan berpelukan sambil berciuman itu ada yang sambil tertawa-tawa sudah bergandengan tangan menuju ke sudut-sudut di mana terdapat kasur-kasur kecil dengan pakaian si wanita sudah tidak karuan lagi, Thian Sin menjadi muak.
Dia sendiri adalah seorang pemuda yang romantis. Akan tetapi dia memandang hubungan antara pria dan wanita sebagai sesuatu yang indah, sesuatu yang merupakan pencurahan dari pada kasih sayang, bukan hanya merupakan pemuasan nafsu birahi belaka. Apa lagi kalau dilakukan secara demikian kasar, di hadapan orang banyak, tanpa mempedulikan kesusilaan dan sopan santun sedikit pun, tentu saja perasaannya menjadi tersingung dan dia menjadi tidak senang.
"Taihiap, marilah... apakah taihiap tidak ingin bersenang-senang? Mari kulayani, taihiap... aku sengaja mengelak dari siapa pun juga untuk melayanimu..."
Tiba-tiba ada lengan kecil berkulit halus merangkulnya, lantas hidungnya mencium aroma semerbak harum. Thian Sin menengok dan melihat bahwa yang merangkul dirinya adalah gadis yang tadi menerima sumbangannya. Pada saat itu hati Thian Sin sedang kesal dan murung, marah yang ditahan-tahan. Maka, sikap gadis ini membuatnya marah, lebih lagi ketika gadis itu tanpa malu-malu lagi lalu menciumnya dan menarik-narik lengannya.
"Pergilah!" bentaknya dan sekali dorong, gadis itu terpelanting dan jatuh sampai beberapa meter jauhnya.
Dia pun melihat betapa para anggota perkumpulan itu, yang sejak tadi tidak turut pesta melainkan hanya berdiri dan berjaga, memandang kepadanya penuh perhatian dan begitu dia mendorong jatuh gadis itu, lima orang di antara mereka segera berloncatan dan sudah mengurungnya. Thian Sin berdiri tegak dan bersikap tenang, maklum bahwa bagaimana pun juga akhirnya dia tidak akan dapat lolos dari pertempuran.
"Ceng-taihiap, sebagai tamu taihiap telah melangqar peraturan dan melakukan penghinaan terhadap murid-murid kami yang terkasih," terdengar suara Sian-su yang ternyata sudah berada pula di sana. Tangannya menunjuk ke arah gadis yang tadi jatuh, yang kini sudah berdiri dan memegangi siku tangan kirinya yang berdarah, kemudian gadis itu melangkah pergi dengan kepala menunduk.
"Sian-su, aku memang muak melihat semua ini dan aku sudah menolaknya, habis kalian mau apa?" tanyanya sambil memandang kepada lima orang yang mengurung dirinya dan mengambil sikap menyerangnya itu. Dia melihat bahwa di antara kelima orang ini terdapat tosu penghuni kuil itu yang dikenalnya dari kebiasaannya memiringkan kepala.
"Siancai... agaknya taihiap hendak mengandalkan kepandaian menentang kami. Ataukah taihiap hendak meramaikan pesta ini dengan pertunjukan ilmu silat?"
"Terserah apa yang hendak diartikan, akan tetapi yang jelas, aku akan pergi dari tempat kotor ini!" kata Thian Sin.
Dia telah membalikkan tubuhnya hendak pergi melalui anak tangga dari mana dia datang tadi. Akan tetapi lima orang itu dengan sekali loncatan telah menghadang di depannya.
"Ah, nanti dulu, taihiap. Tak semudah itu untuk pergi meninggalkan tempat ini tanpa seijin kami. Apa bila taihiap hendak memperlihatkan ilmu silat, baiklah. Biar aku melihat sendiri sampai mana kehebatan ilmu Pendekar Sadis yang terkenal itu." Lalu dia memberi isyarat kepada lima orang itu dan berkata, "Tangkap dia!"
Lima orang itu adalah lima orang pembantu utama dari Sian-su, merupakan murid-murid kepala yang paling lihai di antara semua anggota atau murid dan di antara lima orang ini memang terdapat tosu penghuni kuil yang tentu saja bukan bertapa di kuil itu melainkan bertugas sebagai penjaga dan pengintai.
Walau pun ketua mereka memberi perintah lisan untuk menangkap Pendekar Sadis, akan tetapi dari isyarat dengan tangan itu mereka maklum bahwa mereka disuruh membunuh musuh yang berbahaya ini. Maka, begitu tangan mereka bergerak, lima orang bertopeng siluman tengkorak itu sudah mencabut pedang mereka dari balik jubah di mana senjata mereka itu disembunyikan. Melihat ini, Thian Sin tersenyum.
"Majulah jika kalian memang menghendaki demikian!" Dia masih berdiri tegak, tidak mau mengeluarkan pedang Gin-hwa-kiam yang tersembunyi di balik bajunya.
Lima orang bertopeng tengkorak itu tiba-tiba menggerakkan pedang mereka dan mulailah mereka menyerang bergantian secara bertubi-tubi dan teratur. Pedang mereka berkelebat menyilaukan mata tertimpa sinar lampu-lampu di sekeliling tempat itu dan setiap gerakan mereka itu selain cepat juga amat kuat. Hal ini tentu saja diketahui Thian Sin dan pemuda ini pun langsung bersikap waspada, menggunakan kecepatan tubuhnya untuk mengelak dan kadang-kadang dia menggunakan tangannya untuk menangkis.
"Plakk! Plakk!"
Ketika tangan kirinya dengan gerakan cepat menangkis dua batang pedang, si pemegang pedang terhuyung mundur dan mereka terkejut sekali. Dengan tangan telanjang pemuda itu sanggup menangkis pedang dengan kekuatan sedemikian dahsyat, maka hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya Pendekar Sadis.
Sedangkan Sian-su sejak tadi menonton di pinggiran sambil merangkul pinggang ramping gadis yang tadi melayaninya. Beberapa kali dia mengangguk-angguk, sementara pandang matanya menjadi semakin kagum. Dari beberapa jurus saja tahulah dia bahwa Pendekar Sadis ini benar-benar sangat lihai sekali. Alangkah baiknya dan betapa menguntungkan apa bila dia bisa menariknya sebagai pembantu utamanya!
Kini yang menjadi pembantu utamanya adalah lima orang murid kepala ini. Akan tetapi agaknya mereka ini tak akan dapat menang melawan Pendekar Sadis, walau pun mereka semua memegang pedang dan Pendekar Sadis hanya bertangan kosong saja.
Pertandingan itu menarik perhatian mereka yang sedang berpesta. Akan tetapi, mereka yang tidak mengenal ilmu silat, para bangsawan dan hartawan yang sedang mabok birahi, tidak mempedulikan pertandingan itu dan melanjutkan kesenangan mereka, berpasang-pasangan dan tetap melanjutkan permainan mereka di sudut-sudut ruangan yang luas itu menyendiri berduaan saja. Mereka yang mengenal ilmu silat, terutama para pengikut yang berasal dari golongan pendekar, menjadi tertarik dan meski pun mereka masih merangkul pinggang pasangan masing-masing, tapi mereka mendekat dan menonton dengan penuh perhatian.
Para anak buah perkumpulan itu sudah mengurung tempat itu dan bersiap-siaga, bahkan ada sepuluh orang yang berderet dengan busur dan anak panah siap diluncurkan. Semua ini tidak terlepas dari pandang mata Thian Sin. Dia maklum bahwa dia akan menghadapi pengeroyokan dan karena dia belum tahu sampai di mana kelihaian Sian-su, juga para pendekar yang mabok birahi itu, maka keadaannya cukup berbahaya. Apa lagi dia berada di pusat tempat rahasia itu yang banyak mengandung perangkap-perangkap. Karena itu dia pun tidak mau menjatuhkan tangan maut.
Tepat seperti yang diduga oleh Sian-su, kini Thian Sin memperlihatkan kepandaiannya. Walau pun semuanya bersenjata, lima orang itu segera terdesak hebat. Setiap tangkisan itu membuat mereka terhuyung sehingga semua serangan mereka tak ada gunanya sama sekali, jika tidak terpental oleh tangan pemuda itu, tentu hanya mengenai tempat kosong saja. Namun sebaliknya, setiap tamparan tangan pemuda itu, baru angin pukulannya saja sudah membuat mereka kewalahan.
Tiba-tiba Thian Sin berteriak, "Pergilah kalian!"
Dan kaki tangannya bergerak cepat sekali. Terdengar suara berkerontangan dan nampak lima batang pedang terlempar ke sana-sini sedangkan lima orang itu pun terjengkang dan terpelanting ke kanan kiri!
Mereka tidak terluka parah, tetapi senjata mereka terlepas dari tangan dan tubuh mereka terpelanting, ini telah merupakan bukti cukup bahwa mereka telah kalah! Sian-su, pendeta siluman itu, kini melepaskan rangkulan dari pinggang ramping kekasihnya, lantas dengan sekali melompat dia sudah berhadapan dengan Thian Sin.
"Siancai, siancai...! Pendekar Sadis memang benar tangguh, cukup pantas untuk menjadi lawanku! Mari kita main-main sebentar, taihiap!"
Thian Sin melihat perubahan sikap para pengikut agama yang datang mendekat. Melihat betapa Sian-su sendiri yang maju, agaknya mereka pun merasa penasaran dan di antara mereka bahkan ada yang sudah melepaskan rangkulan mereka terhadap gadis pasangan mereka masing-masing dan mereka bersikap mengancam.
Akan tetapi pada saat itu, pendeta siluman itu sudah menerjangnya dengan pukulan yang cukup dahsyat. Sebelum tangannya tiba, sudah ada angin pukulan yang sangat dahsyat menyambar dan ini saja menunjukkan bahwa pendeta siluman itu memiliki tenaga sinkang yang kuat sekali.
Thian Sin juga tidak mau main-main lagi dan dia langsung mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk menangkis. Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit dan Bumi) ini adalah penghimpunan sinkang yang luar biasa kuatnya, yang membuat kedua tangan pemuda itu mampu menangkis senjata tajam tanpa terluka, merupakan satu di antara sekian banyak ilmu luar biasa yang dikuasainya. Sekarang, menghadapi lawan yang diketahuinya amat tangguh, Thian Sin tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan ilmunya ini untuk menandingi tenaga dalam lawannya.
"Dukkk!"
Pertemuan dua tenaga sakti yang amat hebat itu terasa oleh semua orang yang menjadi penonton. Ada getaran hebat menyambar ke sekitar tempat itu. Thian Sin sendiri merasa betapa tubuhnya terguncang sehingga memaksa dia melangkah mundur dua tindak, akan tetapi Siansu itu sendiri juga terhuyung ke belakang.
"Hebat...!" Sian-su memuji, bukan pujian kosong karena dia benar-benar merasa kagum dan makin besar keinginannya untuk bisa menarik pemuda sehebat ini sebagai sekutunya atau pembantunya. Tentu kedudukannya akan menjadi makin kuat jika dia dapat menarik pemuda ini menjadi sekutunya.
Kini dia menyerang lagi dan dia mengerahkan ginkang-nya. Diam-diam Thian Sin terkejut bukan main. Kiranya siluman ini adalah seorang ahli ginkang yang hebat! Kim Hong tentu tertarik sekali melihat ini, karena Kim Hong sendiri adalah orang ahli ginkang yang sukar dicari bandingnya. Dan agaknya ilmu meringankan tubuh pendeta siluman ini betul-betul hebat sekali sehingga tubuhnya berkelebatan seperti terbang saja.
Thian Sin harus mengakui bahwa biar pun belum tentu siluman ini dapat menandingi Kim Hong dalam hal ilmu meringankan tubuh, namun dia sendiri masih kalah setingkat oleh pendeta siluman ini! Maka dia pun lalu mainkan Ilmu Thai-kek Sin-kun, ilmu yang memiliki dasar sangat kuat sehingga meski pun diserang dari jurusan mana pun dengan kecepatan yang bagaimana pun, dengan ilmu ini dia dapat menjaga diri dan bahkan balas menyerang dengan tidak kalah hebatnya. Dengan ilmu silat ini, maka keunggulan pendeta siluman itu dalam hal kecepatan boleh dibilang dapat dipunahkan.
Setelah lewat dari lima puluh jurus, agaknya pendeta siluman itu sudah puas dan kagum sekali. Dalam lima puluh jurus dia tidak sanggup mengalahkan pemuda ini bahkan kalau dilanjutkan, belum tentu dia akan menang. Maka mendadak dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tangannya menampar ke arah kepala Thian Sin. Pemuda itu menangkisnya.
"Plakk! Brettt...!"
Ujung lengan baju Thian Sin terobek karena begitu tertangkis, pendeta siluman itu cepat merubah tangannya menjadi cengkeraman yang bergerak ke bawah dan mencengkeram pergelangan tangan kanan Thian Sin. Akan tetapi berkat tenaga Sin-ciang, cengkeraman itu meleset dan hanya merobek ujung lengan baju.
"Ha-ha-ha, lengan bajumu robek, taihiap!" Sian-su berkata sambil mengangkat robekan itu ke atas dan memandang penuh rasa puas karena robekan lengan baju itu dapat dijadikan bukti bahwa dia telah menang setingkat.
Akan tetapi, pandang mata Thian Sin ke arah jubahnya membuat dia segera menunduk lantas melihat ke arah dadanya dan terkejutlah dia melihat betapa kain jubah pada bagian dadanya berlubang dan kini robekan kain putih itu berada di tangan Thian Sin! Kalau saja tidak ada topeng tengkorak yang menutupi, tentu akan nampak wajah itu merah sekali.
Saking merasa malu, pendeta siluman itu menjadi marah dan dia pun sudah menyerang lagi dengan ganasnya. Thian Sin menyambutnya dengan tenang dan untuk kedua kalinya, ketika lengan mereka beradu, tubuh pendeta siluman itu langsung terhuyung ke belakang sedangkan Thian Sin hanya terdorong mundur dua langkah saja.
Hal ini membuat pendeta siluman itu mengambil keputusan hendak mempergunakan ilmu sihirnya. Dia berdiri tegak dan menggerakkan kedua tangannya ke atas kepala, bertepuk tangan di atas kepalanya. Pada waktu kedua telapak tangan itu bertemu, terdengar suara seperti ledakan nyaring dan nampak asap mengepul dari kedua tangan itu.
"Ceng Thian Sin, berani engkau melawanku? Lihatlah, siapakah sesungguhnya aku? Aku adalah Thian-liong-ong (Raja Naga Langit) yang menjelma!"
Memang hebat kekuatan sihir pendeta siluman itu. Walau pun sihirnya ditujukan kepada Thian Sin, akan tetapi semua orang yang berada di sana melihat betapa bentuk Sian-su kini sudah berubah. Tubuhnya menjadi tinggi besar dan pakaiannya seperti pakaian raja. Yang hebat adalah kepalanya, karena kepala yang biasanya memakai topeng tengkorak itu kini sudah berubah menjadi kepala naga! Benar-benar mirip gambar atau patung. Raja Naga Langit!
Di antara mereka yang melihat ini segera menjatuhkan diri berlutut saking takutnya. Akan tetapi, Thian Sin yang tadi merasakan adanya kekuatan mukjijat yang menyerang panca inderanya, cepat menguatkan batin lantas mempergunakan tenaga batin untuk melawan. Sesudah dia mengerahkan tenaga batinnya, sebagai orang yang pernah mempelajari ilmu sihir di Himalaya tentu saja dia tak terpengaruh lagi dan bagi pandang matanya, pendeta siluman itu tetap sama saja dengan tadi!
Ingin dia mentertawakan lawan dan menghinanya, mengatakan bahwa ilmu main sulap itu hanya dapat mengelabui kanak-kanak saja. Akan tetapi Thian Sin adalah seorang yang cerdik sekali. Dia tahu bahwa banyak orang yang tak berdosa d tempat ini, yang menurut semua kehendak pendeta siluman ini karena kekuatan sihir atau mungkin juga obat dalam minuman.
Mereka ini tak berdosa dan sepatutnya kalau dibebaskan dari pengaruh pendeta siluman ini. Akan tetapi, kalau dia mempergunakan kekerasan, mungkin dia akan gagal. Dia telah mengukur ilmu silat lawan itu yang benar-benar tangguh. Dia yakin tidak akan kalah dari Sian-su, akan tetapi jika para pembantunya maju mengeroyok, juga kalau para pendekar yang menjadi pengikut agama itu ikut pula turun tangan, mungkin sekali dia akan celaka. Apa lagi kalau diingat bahwa dia belum berhasil membebaskan orang-orang yang tidak berdosa, juga bahwa dia masih berada di pusat sarang musuh yang berbahaya, maka kekerasan bukanlah jalan untuk mencapai kemenangan.
Thian Sin lalu menunduk dan menjura seolah-olah memberi hormat kepada ‘dewa’ itu, lalu berkata dengan ucapan membela diri, "Terpaksa saya harus melawan menghadapi siapa pun juga kalau keselamatan dan nyawa saya terancam."
"Ceng Thian Sin, siapa bilang bahwa nyawamu terancam? Sian-su berniat baik padamu, berniat hendak mengajakmu untuk bekerja sama!" berkata ‘Raja Naga Langit’ itu dan bagi pendengaran semua orang kecuali Thian Sin, suaranya itu pun berbeda dengan suara asli Sian-su.
Kembali Thian Sin menjura dengan hormat. "Kalau memang benar demikian, tentu saja saya bersedia untuk berdamai dan bicara."
"Bagus! Bagus sekali!" Manusia berkepala naga itu lalu bertepuk tangan hingga terdengar ledakan keras disusul asap mengepul dan ketika asap itu menghilang, di situ telah berdiri Sian-su dengan sikapnya yang tenang.
”Ceng-taihiap, kami sudah mendengar ucapanmu tadi dan kami merasa gembira sekali. Mari, silakan duduk dan kita bicara dengan baik-baik." Dia mempersilakan dan mengajak Thian Sin duduk kembali.
Pesta dilanjutkan dan melihat betapa pemuda itu tidak suka menyaksikan adegan-adegan cabul di situ, Sian-su lalu mengajaknya menuruni anak tangga untuk berbicara di sebuah ruangan lain. Belasan orang anak buah Sian-su turut pula mengawal, tentu saja dengan maksud untuk mengeroyok apa bila pemuda itu memberontak.
Setelah mereka duduk, Sian-su lalu memberi ‘kuliah’ kepada Thian Sin tentang pelajaran di dalam agamanya yang baru, yang bendak membebaskan manusia dari pada rasa takut akan kematian, dan menjanjikannya kesenangan sesudah mati nanti, juga menceritakan bahwa semua kecabulan yang dilihat pemuda itu adalah suatu cara untuk menundukkan nafsu dengan jalan membiarkan nafsu-nafsu itu menggelora dan kemudian mati sendiri. Thian Sin mendengarkan dengan setengah hati saja, akan tetapi dia berpura-pura merasa tertarik sekali dan menanggapinya sambil mengangguk-angguk.
"Kami ingin memberikan kesenangan dunia akhirat kepada para pengikut kami," demikian pemimpin agama itu mengakhiri kuliah dan penjelasannya tentang agamanya.
"Dan imbalan apakah yang harus diberikan oleh para pengikut?" tanya Thian Sin dengan sikap seolah-olah dia tertarik sekali untuk menjadi pengikut pula.
"Siancai...! Untuk pekerjaan suci, kami tidak memiliki pamrih bagi kepentingan diri sendiri. Kami tidak menuntut imbalan, kecuali kesetiaan. Jika para pengikut hendak menyumbang demi kemajuan agama kita, dan untuk membuat pembangunan-pembangunan, maka hal itu adalah suka rela. Akan tetapi biar pun kami tahu bahwa Ceng-taihiap adalah seorang yang kaya raya, buktinya melihat sumbanganmu tadi, namun kami bukan mengharapkan bantuan harta darimu."
"Habis, bantuan apa?"
"Bantuan kerja sama yang berupa tenaga dan kepandaian silat taihiap. Hendaknya taihiap ketahui bahwa usaha kami ini banyak mendapat tentangan dari agama-agama lain, malah sudah sering kali kami mereka cari dan mereka bermaksud membasmi kami. Oleh karena itu, taihiap bukan kami anggap sebagai pengikut biasa, akan tetapi sekutu kami, sebagai seorang di antara kami dan kalau taihiap dapat memenuhi harapan kami ini, percayalah bahwa dengan segala kemampuanku, taihiap akan menjadi orang pertama sesudah aku untuk berkenalan secara langsung dengan Dewa Kematian."
"Ahhh...!" Thian Sin pura-pura merasa girang sekali. "Aku akan girang sekali!"
"Akan tetapi, untuk itu lebih dulu kami harus benar-benar dapat percaya kepadamu, dan ini ada syaratnya."
"Syaratnya?"
"Menurut laporan anak buah kita, ada lima orang pendekar dari agama lain yang sedang menyelidiki tempat kita ini. Mereka merupakan bahaya bagi kita, maka aku minta padamu untuk menghadapi mereka dan membasmi mereka. Sanggupkah engkau, Ceng-taihiap?"
Thian Sin mengangkat muka dan menatap tajam, bertemu dengan pandang mata lawan yang penuh selidik. Dia berhadapan dengan orang yang cerdik pula. "Sian-su, aku masih dalam taraf percobaan, bagaimana engkau sudah demikian percaya kepadaku? Apakah engkau tidak khawatir kalau aku berkhianat setelah aku tiba di luar tempat ini?"
Wajah di belakang topeng tengkorak itu tertawa. "Apa boleh buat, kami harus menghadapi resiko itu! Kalau taihiap sungguh-sungguh mau bekerja sama dengan kami, kami merasa beruntung sekali. Sebaliknya, andai kata taihiap berbalik pikir, kami pun tidak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi belum tentu taihiap akan dapat menemukan kembali tempat rahasia kami, apa lagi di sini juga terdapat banyak perangkap-perangkap rahasia yang akan dapat membendung serbuan ratusan orang. Di samping itu, andai kata mereka dapat menyerbu masuk, maka kami pun dapat saja setiap waktu meloloskan diri, pindah mencari tempat lain, membawa semua barang suci dan berharga, dan terpaksa kami harus meninggalkan para wanita itu dalam keadaan sempurna."
Karena ada penekanan kata-kata aneh dalam kalimat terakhir, Thian Sin menjadi curiga. "Dalam keadaan sempurna bagaimana maksudmu?"
Pendeta siluman itu menggerakkan pundak. "Yaahh, menyerahkan mereka kepada Dewa Kematian sebagai korban, apa lagi? Kami terpaksa, sebab tidak mungkin kami membawa mereka yang lemah untuk melarikan diri, tapi juga amat berbahaya bagi kami membiarkan mereka hidup-hidup tertawan musuh."
"Engkau akan membunuh puluhan orang gadis itu?" Hampir Thian Sin berteriak.
"Ahhhh, nanti dulu, taihiap. Bukan membunuh, melainkan mengorbankan mereka kepada Dewa Kematian. Mereka akan memperoleh kesenangan di sana, dan Dewa Kematian juga akan berterima kasih sekali kepada kami..."
Thian Sin tidak bertanya lagi. Dia maklum apa artinya itu. Wanita-wanita itu merupakan sandera! Dengan lain kata-kata, pendeta siluman ini hendak menyatakan padanya bahwa apa bila dia berbalik pikir dan kelak mengakibatkan perkumpulan agama itu diserbu, maka wanita-wanita itu akan dibunuhnya. Tentu saja ini merupakan ancaman kepadanya agar dia tidak mengkhianati Sian-su, dan dia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya ancaman kosong belaka!
"Baiklah, Sian-su, aku akan membuktikan bahwa aku memang ingin bekerja sama karena aku mulai tertarik oleh agama baru ini."
Thian Sin menjadi tamu kehormatan di sarang perkumpulan agama Jit-sian-kauw itu, dan mendapat sebuah kamar yang indah dan mewah. Dia menolak ketika ditawari gadis untuk menemaninya, dan malam itu dia tidur nyenyak untuk melepas lelah dan mengumpulkan tenaga. Dia tahu bahwa semua gerak-geriknya selalu diamati dan diintai, oleh karena itu dia pun tidak mau melakukan sesuatu yang mencurigakan.
Pada keesokan harinya dia pun sama kali tidak tahu bahwa Kim Hong telah menyusulnya dan mencarinya, bahkan dara itu kemudian terjebak dan tertawan di dalam sarang rahasia Jit-sian-kauw itu. Pada sore harinya dia diberi tahu oleh Sian-su bahwa lima orang yang memusuhi Jit-sian-kauw itu telah tiba di dekat puncak bukit.
Mereka itu tidak menyelidiki dari bagian depan tebing Goa Tengkorak, namun dari bagian belakang dan karena sarang Jit-sian-kauw itu terkurung jurang yang dalam, maka kelima orang pendekar itu tidak tahu bahwa tempat yang mereka cari-cari itu sebenarnya sudah amat dekat, hanya terhalang oleh jurang, yaitu di puncak yang dikelilingi jurang itu. Tidak mungkin menyeberangi jurang itu, dan tidak mungkin pula menuruni jurang yang demikian dalam dan curamnya. Mereka lalu berkeliaran di daerah itu, memeriksa dan mencari-cari.
Thian Sin melakukan pengintaian. Dia sendirian saja, namun dia kini sudah mengenakan pakaian dan topeng sebagai anggota Jit-sian-kauw! Walau pun dia sendirian saja, namun dia mengerti bahwa Sian-su dan kaki tangannya tentu membayanginya dan mungkin kini sedang mengintai pula dari tempat-tempat tersembunyi untuk mengikuti sepak terjangnya yang bertugas mengusir lima orang musuh perkumpulan ini.
Akan tetapi jantung di dalam dada Thian Sin segera berdebar tegang ketika dia mengenal siapa adanya tosu tua yang memimpin rombongan itu. Tosu berusia kurang lebih enam puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan berpakaian jubah kuning, dengan pedang di punggung, wajahnya putih itu, bukan lain adalah Liang Hi Tojin, seorang tokoh tingkat dua dari partai persilatan Bu-tong-pai!
Liang Hi Tojin ini adalah orang ke dua di Bu-tong-pai, terkenal sebagai seorang pendekar yang sejak mudanya menjadi pembela keadilan dan kebenaran, seorang ahli pedang yang amat lihai. Dan agaknya, empat orang lainnya itu, yang nampak gagah perkasa, tentulah murid-murid keponakannya.
Kedatangan rombongan dari Bu-tong-pai untuk menyelidiki Jit-sian-kauw ini tentu bukan semata-mata karena perbedaan paham keagamaan, melainkan tentu karena orang-orang Bu-tong-pai itu mendengar tentang kejahatan yang dilakukan Siluman Goa Tengkorak dan kini didorong oleh jiwa kependekaran mereka datang untuk menentang Jit-sian-kauw.
Tentu saja Thian Sin merasa serba salah. Bagaimana mungkin dia memusuhi Liang Hi Tojin, seorang pendekar tua Bu-tong-pai yang telah dikenalnya dengan baik? Akan tetapi, jika dia mengkhianati Sian-su, lalu bagaimana nasib kurang lebih tiga puluh orang wanita yang berada di dalam cengkeraman siluman-siluman itu di luar kehendak mereka, karena mereka telah dikuasai oleh sihir dan obat bius?
Apa bila dia memperkenalkan diri kemudian mengajak lima orang pendekar Bu-tong-pai ini membalik dan memberontak, apakah dia akan mampu? Untuk memasuki terowongan itu saja sudah merupakan bahaya yang besar dan sebelum mereka berhasil, siluman-siluman itu dapat melarikan diri dari jalan rahasia tersendiri dan meninggalkan puluhan wanita itu dalam keadaan tewas. Tidak, dia harus bersandiwara, menuruti kehendak Sian-su sambil menanti saatnya yang baik dan tepat untuk memberi pukulan besar-besaran.
Tosu tua tinggi kurus itu memang Liang Hi Tojin dari Bu-tong-pai, dan empat orang pria yang berusia antara tiga puluh hingga empat puluh tahun, yang tampak gagah perkasa itu adalah murid-murid keponakannya, yaitu murid Bu-tong-pai yang termasuk sebagai murid kepala. Biar pun tingkat kepandaian mereka masih dua tingkat di bawah tingkat Liang Hi Tojin, tapi pada masa itu mereka itu sudah bisa digolongkan sebagai pendekar-pendekar yang lihai.
Mereka itu turun gunung untuk mengunjungi Louw Ciang Su di kota Tai-goan, akan tetapi mereka hanya sempat melihat peti matinya saja! Tentu saja para tokoh Bu-tong-pai ini menjadi terkejut dan marah ketika mendengar bahwa Louw Ciang Su, sebagai seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas oleh Siluman Goa Tengkorak.
Itulah sebabnya mereka langsung melakukan penyelidikan ke daerah Goa Tengkorak dan karena mereka sudah mendengar bahwa pasukan keamanan dari Tai-goan bersama para pendekar telah gagal ketika mencari siluman itu dari depan tebing Goa Tengkorak, maka mereka lalu melakukan penyelidikan dan pencarian dari belakang tebing.
"Bagaimana mungkin ada manusia dapat bersembunyi di tempat seperti ini?" terdengar Liang Hi Tojin berkata kepada empat orang murid keponakannya setelah mereka melihat keadaan di belakang tebing Goa Tengkorak itu.
"Bukit di depan itu merupakan puncak yang dikelilingi jurang yang tidak mungkin didatangi manusia."
"Akan tetapi, susiok, teecu kira justru karena sulitnya dicapai orang inilah maka tempat ini merupakan tempat yang amat baik bagi para penjahat untuk menyembunyikan diri," kata seorang murid keponakannya.
"Tentu ada suatu rahasia yang dapat membawa orang menyeberang ke puncak bukit itu," kata murid kedua.
"Siancai, siancai, siancai...! Kalau memang ada, tentu tidak akan mudah mencarinya di tempat yang seluas ini."
Thian Sin memuji ketelitian mereka. Memang tidak akan mudah. Dia sendiri dapat tiba di belakang tebing ini melalui jalan rahasia yang rumit, yang merupakan ‘lubang tikus’ dan menembus di lereng jurang, tertutup pohon-pohon dan semak-semak, di dekat tepi jurang. Dia tadi merayap di lereng jurang itu melalui akar-akar pohon dan kini mengintai di balik pohon besar.
Karena merasa sudah waktunya untuk turun tangan dan agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan pada Sian-su yang dia tahu tentu sedang mengamatinya, dia lalu keluar dari tempat sembunyinya dan berlompatan ke depan lima orang itu!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya lima orang gagah dari Bu-tong-pai itu ketika mereka melihat munculnya seorang berjubah putih dengan gambar tengkorak merah darah di dada dan memakai topeng tengkorak yang menyeramkan.
"Siancai! Siancai! Inikah Siluman Goa Tengkorak yang telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan itu?" Liang Hi Tojin bertanya sementara empat orang murid Bu-tong-pai itu telah mencabut pedang masing-masing dari punggung mereka dengan gerakan yang cepat dan indah.
Thian Sin tidak mengeluarkan suara. Apa yang dapat diucapkannya? Tugasnya hanyalah mengusir mereka, maka dia pun segera menerjang ke depan dan menyerang tosu tua itu dengan pukulan dari samping mengarah pelipisnya. Melihat pukulan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu, tahulah tokoh Bu-tong-pai ini bahwa siluman itu memang lihai sekali.
"Siancai…, sungguh siluman yang jahat sekali!" Dan ia pun cepat meloncat mundur untuk mengelak sambil mencabut pedangnya.
Empat orang muridnya telah menerjang dengan pedangnya masing-masing dan Thian Sin segera dikurung dan dikeroyok. Permainan pedang Bu-tong Kiam-sut memang hebat dan berbahaya sekali. Sinar pedang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar dari pelbagai jurusan menggulung dirinya, dan kalau Thian Sin tidak memiliki ginkang yang hebat serta langkah-langkah ajaib dari Thai-kek Sin-kun, tentu dia akan terancam bahaya dikeroyok oleh mereka. Terutama sekali pedang di tangan Liang Hi Tojin yang amat lihainya. Pedang itu mengeluarkan suara berdesing-desing dan sinarnya berkilauan menyambar-nyambar.
Thian Sin tak berani mencabut Gin-hwa-kiam-nya sebab pedang itu mungkin akan dikenal oleh Liang Hi Tojin. Maka terpaksa ia pun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk kadang kala menangkis jika elakan-elakannya kurang cukup untuk dapat menyelamatkan diri dari sambaran lima batang pedang itu.
Liang Hi Tojin dan empat orang muridnya terkejut bukan main melihat betapa siluman itu menangkis pedang mereka dengan tangan kosong saja! Padahal, pedang mereka adalah pedang pilihan, terbuat dari baja yang amat keras dan baik. Maka tahulah mereka bahwa siluman ini benar-benar sangat lihai sekali dan mereka pun sekarang tidak merasa heran bahwa Tujuh Pendekar Tai-goan tewas di tangan siluman ini.
Liang Hi Tojin menyerang makin hebat karena marah dan karena dia beranggapan bahwa siluman selihai dan sejahat ini harus dilenyapkan dari permukaan bumi agar rakyat dapat terbebas dari pada ancaman mala petaka yang ganas dan jahat.
Thian Sin merasa kewalahan juga. Bila dia mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya seperti Thi-khi I-beng misalnya, sinkang yang dapat menyedot tenaga lawan, atau pun Thian-te Sin-ciang dan Thai-kek Sin-kun, tentu kakek Bu-tong-pai itu akan mengenal ilmu-ilmu dari Lembah Naga dan Cin-ling-pai itu.
Apa bila dia menggunakan ilmu peninggalan mendiang ayah kandungnya, yaitu ilmu-ilmu pukulan yang dahsyat Hok-liang Sin-ciang atau Hok-te Sin-kun, akibatnya bisa berbahaya sekali dan belum tentu lima orang itu akan mampu menahannya. Padahal, tentu saja dia tidak ingin membunuh lima orang tokoh Bu-tong-pai ini.
Maka dia hanya mempergunakan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, ilmu yang dipelajarinya dari kakek sakti Yap Kun Liong dan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk menangkisi pedang-pedang itu. Dia menunggu saat yang baik dan tepat untuk melakukan serangan terakhir seperti yang sudah direncanakannya ketika dia mengintai mereka tadi.
Perlahan-lahan dia mundur ke belakang menuju ke bawah sebatang pohon yang daunnya lebar, selebar tangan dengan ujung runcing dan daun itu kaku pula, cukup baik dijadikan senjata. Tiba-tiba dia meloncat, mencabut beberapa helai daun dari ranting yang terendah dan begitu tubuhnya turun, dia menyambitkan daun-daun itu ke depan sambil membentak dengan suara nyaring,
"Pergilah!"
Berturut-turut tangannya lalu bergerak. Dengan pengerahan sinkang yang amat kuat lima helai daun itu seperti anak panah saja meluncur secepat kilat menuju ke arah lima orang lawannya.
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat orang murid Bu-tong-pai itu melepaskan pedang mereka ketika sebatang daun menyambar dan menancap di pergelangan tangan kanan mereka bagai anak panah atau senjata piauw (pisau terbang) dengan kecepatan yang tak dapat dielakkan lagi.
Ada pun Liang Hi Tojin masih dapat menggunakan lengan kirinya menangkap daun yang menyambar pergelangan tangan kanannya itu. Berbeda dengan empat daun yang lainnya, daun yang menyambar ke arah pergelangan tangan Liang Hi Tojin itu tak begitu kuat dan cepat sehingga dengan mudah dapat ditangkap oleh tosu ini. Liang Hi Tojin memandang sekilas kepada daun di tangannya kemudian dia berkata,
"Ambil pedang, mari kita pergi!"
Empat orang murid itu segera mengambil pedang mereka masing-masing dengan tangan kiri, kemudian bersama tosu itu mereka berloncatan meninggalkan tempat itu. Thian Sin tertawa dan memandang sampai mereka lenyap di balik semak-semak.
"Bagus, taihiap. Sungguh senang hatiku melihat engkau menghajar mereka, sayang tidak membunuh saja mereka itu agar kelak tidak mendatangkan penyakit."
Thian Sin menoleh dan melihat pendeta siluman ketua Jit-sian-kauw telah berada di situ. Tentu saja dia tadi mendengar gerakannya ketika orang ini muncul dengan ringan sekali, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu untuk membiarkan orang itu merasa bangga bahwa ginkang-nya demikian hebatnya sehingga terlalu hebat bagi Pendekar Sadis untuk dapat mengetahui kedatangannya. Kemudian dia menarik napas panjang dan berkata,
"Sian-su, kalau mereka itu memusuhi kita, sudah cukup kalau kita hajar dan mereka akan jera untuk mengganggu kita lagi. Membunuh mereka, berarti hanya akan memperdalam permusuhan belaka, dan membuat kita semakin repot menghadapi usaha mereka untuk membalas dendam kelak."
"Ha-ha-ha, engkau benar, taihiap. Ahh, sungguh beruntung mempunyai seorang sahabat seperti engkau untuk bekerja sama," kata pula Sian-su dengan girang. Mereka kemudian kembali ke sarang Jit-sian-kauw.
Thian Sin merasa girang sekali bahwa dia dapat mengelabui pendeta siluman itu. Dia tadi sudah melakukan siasatnya dengan baik sekali. Dia tahu bahwa biar pun di sana terdapat sekutunya yang paling baik, yaitu Kim Hong, akan tetapi belum tahu apakah dara itu bisa mencari tempat rahasia ini. Sebab itu dia membutuhkan bantuan dan melihat lima orang Bu-tong-pai itu, dia melihat bantuan yang amat baik dan cukup kuat.
Maka ketika dia mengintai tadi, diam-diam dia menggunakan sehelai daun untuk digurat-guratnya dengan duri, membuat beberapa buah huruf di atas daun. Daun itu disimpannya di dalam saku jubahnya dan ketika dia menyerang lima orang itu, daun yang ada huruf-hurufnya itu dia sambitkan ke arah Liang Hi Tojin dengan pengerahan tenaga yang sedikit saja.
Untung bahwa tokoh Bu-tong-pai itu cukup cerdik untuk dapat melihat kejanggalan ini dan menerima daun itu lantas mengajak empat orang murid keponakannya yang telah terluka pergelangan tangannya. Tulisan di atas daun itu berbunyi demikian:
SIAP MENYERBU BERSAMA, TUNGGU BERITA. ANG LIAN TO (PULAU TERATAI MERAH).
Dia sengaja memakai nama Ang-lian-to yang tentu akan dikenal oleh Liang Hi Tojin yang sudah mengenalnya dan tahu bahwa dia dan Kim Hong tinggal di sebuah pulau kosong yang bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah). Dan agaknya tosu itu memang sudah mengenalnya, buktinya tosu itu mengajak empat orang muridnya untuk mundur. Padahal, sesuai dengan watak pendekarnya, sebelum dia sendiri roboh, maka tidak mungkin tosu itu akan melarikan diri dari pertempuran....."
JILID 004 + Tampilkan / Sembunyikan
,
"Thian Sin merasa lega dan gembira, merasa bahwa dia telah berhasil mengelabui ketua Jit-sian-kauw. Tetapi pendekar ini sama sekali tidak tahu bahwa di balik topeng tengkorak itu, Sian-su tersenyum-senyum dan mentertawakannya. Dia tidak tahu bahwa ada kejutan yang amat tidak menyenangkan baginya.
Biar pun dia melihat sendiri betapa Pendekar Sadis telah mengusir lima orang musuh itu dan melukai empat orang murid Bu-tong-pai dengan cara yang amat mengagumkan dan menggiriskan hatinya, yaitu hanya dengan menggunakan daun, tetapi ketua Jit-sian-kauw itu belum yakin begitu saja. Dia masih belum mau percaya begitu saja. Dia masih belum yakin benar akan kesetiaan Thian Sin. Oleh karena itu, dia masih mempersiapkan suatu ujian yang amat berat bagi pemuda itu.
Malam hari itu, ketika Thian Sin sudah merebahkan diri dan mencari akal untuk mendapat kesempatan, tiba-tiba dia terbangun dengan kaget. Ada suara di telinganya, dekat sekali di telinganya, yang berbisik dengan suara mengandung kekuatan mukjijat.
"Ceng Thian Sin, engkau telah berada dalam kekuasaan Sian-su. Engkau harus mentaati semua kehendaknya agar hatimu dapat merasa tenang dan tenteram! Nah kau rebahlah, kau tidurlah, tidur yang nyenyak...!"
Thian Sin yang sudah bangkit duduk itu perlahan-lahan merebahkan dirinya kembali. Dia memejamkan matanya, lalu dia mengatur pernapasannya seperti orang tertidur. Tak lama kemudian, suara itu terdengar lagi.
"Ceng Thian Sin, bangkitlah dan turunlah dari tempat tidurmu."
Bagaikan patung hidup, Thian Sin lalu turun dari pembaringan.
"Pergilah ke pintu kamar, bukakan daun pintu dan biarkan seorang sahabat masuk!"
Thian Sin berjalan ke pintu lantas membuka daun pintu. Di depan pintu itu sudah berdiri seseorang yang bertopeng tengkorak dan berjubah putih, pakaian seragam para anggota Jit-sian-kauw, yang membawa sebuah baki terisi cawan arak. Thian Sin tidak tahu apakah orang ini sang ketua sendiri ataukah orang lain, akan tetapi dia percaya bahwa ketua itu tidak begitu ceroboh untuk membiarkan dirinya dekat dengan dia tanpa terlindung. Tentu ini hanya seorang anggota biasa saja.
"Taihiap, harap suka minum arak di dalam cawan ini," kata orang itu sambil menyerahkan cawan arak.
Thian Sin hendak menolaknya, akan tetapi dia segera teringat bahwa dia sedang berada dalam keadaan ‘tersihir’, karena itu dia pun diam saja, hanya memandang dengan mata kosong dan berdiri seperti patung. Suara itu lalu terdengar lagi, kini nadanya mengandung kelegaan hati.
"Ceng Thian Sin, ambil cawan itu dan minum araknya sampai habis!"
Kini Thian Sin mengambil cawan itu dan menempelkannya ke bibirnya. Dari baunya saja dia maklum bahwa arak itu dicampuri obat bius, akan tetapi tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menuangkan araknya ke dalam mulut sampai habis.
Akan tetapi lebih dulu dia menggunakan kekuatan sihir dalam pandang matanya kepada dua bola mata di balik topeng itu dan melihat mata itu sejenak tercengang lalu melembut, tanda bahwa dia telah berhasil menguasai orang itu yang kiranya hanya seorang anggota biasa saja. Dengan kekuatan sihirnya dia lalu membisikkan bahwa orang itu telah melihat dia minum arak itu sampai habis ditelannya. Padahal arak itu hanya disimpan di mulutnya saja.
"Sekarang kembalilah ke tempat tidur dan rebahkan dirimu," bisik suara dekat telinganya yang dia tahu adalah suara Sian-su yang mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh menggunakan tenaga khikang yang amat kuat.
Anggota itu pun lantas membawa pergi cawan kosong dan menutupkan pintu kamar. Ada pun Thian Sin merebahkan dirinya ke atas pembaringan, diam-diam membuang arak di mulutnya yang dimuntahkan ke dalam tangannya lalu dibuang di atas lantai di belakang pembaringan. Hal ini dilakukannya dengan cepat, dan dia merasa yakin bahwa tidak ada mata orang lain yang mengikuti gerak-geriknya.
"Ceng Thian Sin, mulai saat ini engkau akan selalu percaya sepenuhnya, taat, hormat dan tunduk padaku, kepada Sian-su, yaitu ketua dari Jit-sian-kauw yang akan mendatangkan kesenangan dunia dan akhirat untukmu! Camkan ini, harus selalu setia dan taat kepada Sian-su!"
Kalimat terakhir itu diulangi terus sampai belasan kali dengan kekuatan yang amat hebat sehingga Thian Sin harus mengerahkan tenaga sinkang pula untuk melawannya supaya jangan sampai terpengaruh. Tentu saja peristiwa itu membuat Thian Sin tidak dapat tidur pulas. Dia harus bertindak cepat karena kalau terlampau lama, keadaannya bisa semakin berbahaya.
Dia tidak tahu bahwa pada malam itu, Sian-su sudah mempersiapkan percobaan terakhir kepadanya, sebuah percobaan yang teramat berat dan di sini Sian-su hendak mengambil kepastian apakah pendekar itu akan dianggap kawan ataukah lawan.
Setelah merasa yakin bahwa dia tidak diamati, Thian Sin lalu turun dari pembaringannya dan dengan langkah bagaikan langkah kucing, sama sekali tidak menimbulkan suara, dia mendekati jendela lalu pintu kamarnya untuk mengintai keluar. Ada dua orang penjaga di luar, seorang di luar jendela dan seorang lagi di luar pintu. Dengan hati-hati dia membuka daun pintu. Anggota Jit-sian-kauw itu memandang dan Thian Sin menggapai, berkata lirih,
"Twako, ke sinilah, aku mau bicara penting..."
Karena ketika memandang dan menggapai, juga ketika mengeluarkan kata-kata Thian Sin sudah mempergunakan kekuatan sihir melalui mata, gerakan tangan dan suaranya, maka biar pun ragu-ragu, penjaga itu tidak mampu menahan kakinya melangkah dan memasuki kamar. Secepat kilat tangan kanan Thian Sin bergerak dan tanpa mampu mengeluarkan suara atau melawan, penjaga itu terkulai lemas karena dia telah pingsan tertotok.
Dengan amat hati-hati Thian Sin merebahkan orang itu di atas lantai kamarnya, kemudian dengan berindap-indap dia keluar dari pintu kamar, memutar dan meyergap penjaga yang duduk di luar jendela.
"Apa...? Uhhh...!" Penjaga itu tadinya terkejut dan hendak melawan, tetapi dalam keadaan seperti itu Thian Sin telah menggunakan kepandaiannya, maka mana mungkin penjaga itu mampu melawannya. Dia pun roboh pingsan sebelum sempat berteriak.
Thian Sin cepat memondong tubuh orang itu dan membawanya masuk ke dalam kamar, melepaskannya di atas lantai bersama penjaga pertama. Kemudian, dengan cepat Thian Sin menelikung kedua orang itu lantas diikatnya dengan tali ikat pinggang mereka sendiri, dijadikan satu dan mulut mereka pun disumbat dengan kain baju mereka sendiri.
Karena dia tahu bahwa kedua orang itu mempunyai kepandaian yang lumayan, maka dia mengikat kaki tangan mereka kuat-kuat, juga menyumbat mulut mereka dan menalikan kain sumbatan itu melilit kepala, juga menambahkan totokan pada beberapa bagian tubuh mereka. Dia merasa sangat yakin bahwa sebelum pagi hari, mereka tidak akan siuman dan andai kata sudah siuman sekali pun, mereka takkan mampu bergerak dan tidak dapat mengeluarkan suara.
Sesudah melakukan ini, dia lalu mendorong tubuh yang sudah menjadi satu itu ke bawah pembaringannya sehingga tidak nampak dari luar. Dia lalu bersiap-siap untuk melakukan penyelidikan sendiri, kemudian dengan gesit dia menyelinap keluar dari dalam kamarnya, menutupkan daun pintu kamar dan keluar.
Dia sudah tahu di mana adanya kamar-kamar para wanita penari. Dia bermaksud hendak mencari isteri mendiang Cia Kok Heng dan ingin menyelidiki keadaan wanita itu sebab dia merasa yakin bahwa ada sesuatu yang memaksa wanita itu berbohong kepadanya ketika ditanyainya. Dan dia akan menggunakan kekuatan sihirnya untuk membuyarkan kekuatan sihir yang mencengkeram para wanita penari itu lalu mengorek rahasia kejahatan Siluman Goa Tengkorak dari mereka.
Akan tetapi, baru saja dia keluar dari kamarnya, terdengar suara canang bertalu-talu dan disusul suara hiruk-pikuk kaki orang-orang berlarian. Than Sin terkejut sekali dan segera dia kembali ke dalam kamarnya, menyangka bahwa tentu perbuatannya ketahuan dan dia harus bersiap siaga menghadapi pengeroyokan kalau perlu.
Dia mengintai dari balik jendela dan melihat para anggota perkumpulan itu berlari-lari dari segala jurusan menuju ke bangunan besar yang menjadi tempat tinggal Sian-su. Tak lama kemudian, suara canang itu pun berhenti dan nampaklah Sian-su bersama serombongan anggotanya melangkah lebar menuju ke kamarnya!
Thian Sin menanti dengan jantung berdebar. Jelas bahwa perbuatannya sudah ketahuan! Akan tetapi dia pura-pura tidur miring di atas pembaringannya, dengan seluruh urat ayaraf menegang, siap menerjang keluar, menghadap ke pintu dan menutupi mukanya dengan lengan tangan, mengintai dari bawah lengan.
Dapat dibayangkan betapa tegangnya hati pendekar itu saat pintu kamarnya pelan-pelan terbuka dari luar! Dia sampai merasa seolah-olah jantungnya hendak meloncat keluar dan suara detak jantungnya seperti suara tambur. Akan tetapi, suara Sian-su tidak terdengar marah, bahkan ramah sekali ketika berkata,
"Ceng-taihiap, bangunlah!"
Thian Sin sudah merasakan perubahan dalam suara itu, suara yang sifatnya memerintah. Akan tetapi dia pura-pura tidak merasakan hal ini, dan dia pun menurunkan lengannya, dan membuka mata. Dilihatnya bahwa mata itu tidak memancarkan kekuatan sihir, maka dia pun mengerti bahwa sekali ini Sian-su hendak menghadapi dia dalam keadaan sadar. Bukankah semalam suara Sian-su telah menanamkan pesan kepadanya bahwa dia harus setia dan taat? Baiklah, dia akan bersikap taat.
"Ahh, Sian-su, malam-malam begini ada apakah? Tadi aku mendengar suara canang dan mendengar suara kaki berlari-lari, setelah suara canang berhenti aku pun tidur lagi."
"Canang itu dipukul untuk mengumpulkan para anggota karena ada laporan dari pengamat di luar bahwa ada serombongan orang yang menyerbu tempat kita."
Reaksi Thian Sin cepat dan wajar, kewajaran sikap seorang yang amat setia! Dia sudah meloncat turun dari pembaringan dan mengepal tinju. "Kita harus basmi mereka!"
Dilihatnya betapa sepasang mata di balik topeng itu memancarkan sinar puas dan girang ketika melihat sikapnya ini, lalu Sian-su berkata, "Tidak perlu tergesa-gesa. Mereka itu tak akan mampu menemukan tempat kita, taihiap."
"Siapakah mereka?"
"Ha-ha-ha-ha, mereka itu adalah orang-orang dari Hong-kiam-pai yang dipimpin oleh Im Yang Tosu."
Diam-diam Thian Sin terkejut. Dia mengenal Im Yang Tosu, tokoh dari Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi.
"Apakah taihiap belum mengenal Hong-kiam-pang?" Thian Sin menggeleng kepalanya.
"Hong-kiam-pang atau Hong-kiam-pai adalah perkumpulan silat yang mengutamakan ilmu pedang mereka, berpusat di kuil Thian-hong-bio di lembah Fen-ho di luar kota Tai-goan. Mereka dipimpin oleh Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin. Ha-ha, mereka berani memusuhi kita, akan tetapi biarlah, tidak mungkin mereka dapat menemukan tempat kita ini. Cukup dengan beberapa orang pengamat saja untuk mengamati seluruh gerak-gerik mereka di luar tebing Goa Tengkorak, ada pun kita akan melanjutkan pesta pengangkatan seorang anggota atau murid baru."
Thian Sin merasa tidak senang, akan tetapi tidak diperlihatkannya di wajahnya yang tetap tenang. Cahaya matanya ketika memandang kepada Sian-su penuh dengan kekaguman, kehormatan dan kesetiaan, sesuai seperti apa yang dikehendaki oleh pendeta siluman itu.
"Murid baru wanita?"
Pendeta siluman itu tertawa. "Benar, seorang murid baru yang istimewa, taihiap, dan terus terang saja, belum pernah kita mempunyai anggota wanita seperti ini."
Thian Sin merasa agak heran dan juga timbul kecurigaannya. Ada perasaan tidak enak menyelinap dalam hatinya. Dia mencoba untuk menduga-duga, akan tetapi tidak berhasil memecahkan teka-teki ini. Siapakah wanita yang dimaksudkan oleh pendeta siluman ini?
Hampir dia menduga bahwa jangan-jangan yang dimaksudkan adalah Kim Hong. Tetapi dia membantah sendiri dugaannya ini. Kim Hong terlampau cerdik untuk dapat terjebak. Memang besar kemungkinan kalau Kim Hong menyelidiki dan memasuki sarang ini untuk mencari serta menolongnya, akan tetapi Kim Hong tentu maklum akan besarnya bahaya apa bila membiarkan dirinya terjebak. Tidak, Kim Hong tidak mungkin membiarkan dirinya dijebak seperti dirinya.
"Marilah, taihiap, mari kita menemani mereka yang sudah sejak tadi mulai dengan pesta malam ini. Ada seorang pengikut baru, yaitu seorang pembesar yang memiliki kedudukan penting di kota raja. Dari dialah kita dapat mengharapkan sumbangan yang besar untuk menyelesaikan bangunan pondok suci bagi ketujuh dewa yang mulia. Untuk menghormati kehadirannya dan untuk meresmikan pengangkatan anggota baru yang juga akan menjadi pilihanku sebagai murid terbaik dan tersayang, taihiap."
Thian Sin mengikuti pendeta siluman itu naik ke dataran di puncak bukit di mana sudah berkumpul para pengikut yang kemarin malam sudah pernah dilihat oleh Thian Sin. Dan di antara mereka sekarang terdapat seorang pria berpakaian mewah yang bermuka merah, usianya sudah enam puluh tahun akan tetapi sikapnya masih genit.
Ada tiga orang pelayan wanita yang bergaun tipis melayani orang ini dan Thian Sin dapat menduga bahwa orang inilah yang disebut oleh Sian-su tadi sebagai pengikut baru yang terhormat, seorang bangsawan tinggi dari kota raja.
Seperti juga kemarin malam, para penari wanita melakukan upacara dan Lu Sui Hwa atau isteri Cia Kok Heng kini ikut pula di antara para penari, nampak cantik dan agung, paling menarik di antara mereka walau pun mukanya agak pucat dan matanya sayu.
Thian Sin masih menghadapi semua ini dengan tenang. Akan tetapi ketika sampai giliran anggota atau murid baru itu mendaki anak tangga menuju ke dataran itu, tiba-tiba Thian Sin mengepal tinjunya dan wajahnya berubah pucat. Dia mengenal Kim Hong yang kini menghampiri Sian-su, Kim Hong yang mengenakan pakaian gaun tipis warna putih.....!
Dengan mata terbelalak Thian Sin melihat betapa Kim Hong melangkah laksana boneka berjalan menghampiri Sian-su. Dia masih meragu, apakah Kim Hong tidak bersandiwara? Akan tetapi kemudian dia teringat bahwa walau pun Kim Hong memiliki kepandaian ilmu silat yang tak mungkin kalah dibandingkan dengan pendeta siluman itu, akan tetapi kalau pendeta siluman itu menggunakan ilmu sihir, tentu Kim Hong akan celaka. Dan agaknya kini gadis itu sudah berada di bawah pengaruh sihir.
Untuk upacara ini, agaknya ketua Jit-sian-kauw itu menggunakan cara lain. Mungkin saja karena dia tadi telah mengatakan hendak mengangkat anggota baru itu menjadi pilihannya sebagai murid tersayang, maka kini upacaranya pun berbeda dengan yang sudah-sudah.
Sesudah Kim Hong menjatuhkan diri berlutut di hadapan ketua agama itu, Sian-su lantas memberkahi gadis itu dengan dua tangannya di atas kepala Kim Hong, kemudian dengan gerakan halus membangunkan dara itu, memegang tangannya dan menuntunnya ke dekat pondok-pondok emas kecil. Akan tetapi di situ sekarang telah dihamparkan sebuah kasur dan kini Sian-su membimbingnya dan menyuruhnya terlentang di atas kasur.
Kim Hong melakukannya tanpa ragu sedikit pun dan tubuh yang menggairahkan itu, yang hanya terbungkus gaun tipis sekali, kini sudah terlentang di atas kasur dengan kedua kaki lurus dan kedua lengan disilangkan di depan perut. Tujuh orang wanita yang membawa kelinci, pisau dan lain-lain sudah maju berlutut dan Sian-su kini dengan gerakan perlahan seakan-akan hendak memperlihatkan pertunjukan yang sangat menarik, mulai membukai kancing depan gaun itu!
Dan memang pertunjukan itu amat menarik karena para tamu yang hadir segera behenti minum kemudian memandang dengan mata melotot dan pandang mata penuh nafsu! Jika pada murid biasa, darah kelinci hanya dikucurkan di atas kepala, maka pada murid pilihan ini, darah kelinci akan dikucurkan di atas badan yang telanjang!
Ketika kancing bagian atas membuka gaun dan memperlihatkan dada kekasihnya, Thian Sin sudah tidak sanggup menahan dirinya lagi. Dengan teriakan melengking panjang dia meloncat ke tempat itu, lalu mengeluarkan bentakan yang penuh dengan kekuatan sihir untuk membuyarkan pengaruh sihir atas diri Kim Hong,
"Kim Hong sadarlah! Engkau berada di tangan musuh-musuh kita!"
Teriakan ini memang hebat bukan main dan seketika itu Kim Hong terbelalak dan sadar. Akan tetapi dia masih bingung dan kepalanya terasa pening sehingga ketika pada saat itu pula Sian-su menggerakkan tangan menotoknya dari jarak yang dekat, dia tidak mampu mengelak. Kim Hong yang telah bangkit duduk itu roboh kembali dalam keadaan tertotok.
Sementara itu, para anak buah Jit-sian-kauw telah menerjang Thian Sin. Memang semua perlakuan terhadap Kim Hong tadi disengaja oleh Sian-su dalam usahanya unuk menguji kesetiaan Thian Sin. Ujian terakkir yang tentu saja amat berat bagi Thain Sin dan pendeta siluman yang amat cerdik itu tahu bahwa andai kata Pendekar Sadis berpura-pura, maka kepura-puraannya itu tentu akan terbongkar kalau menghadapi kekasihnya terancam.
Bagaimana pun juga, ketua Jit-sian-kauw ini masih sangsi dan merasa ragu-ragu apakah benar Pendekar Sadis dapat ditundukkannya dengan kekuatan sihir karena dia pun sudah mendengar bahwa selain memiliki kepandaian silat yang amat tangguh, juga pendekar itu kabarnya memiliki kepandaian ilmu sihir pula.
Apa bila pendekar itu tetap taat dan setia kepadanya ketika melihat keadaan Kim Hong, maka dia bisa merasa yakin bahwa dia telah benar-benar dapat menguasai Thian Sin dan dapat menarik pendekar itu menjadi pembantunya yang amat menguntungkan. Tapi kalau pendekar itu hanya pura-pura, maka tentu rahasianya akan tebongkar, dan untuk itu dia telah mempersiapkan anak buahnya yang semenjak tadi telah berjaga di situ, mengamati gerak-gerik Pendekar Sadis.
Dan itulah sebabnya, begitu Thian Sin mengeluarkan suara melengking dan membentak, belasan anak buah Jit-sian-kauw sudah menghadang dan mengoroyoknya, didahului oleh sambaran beberapa batang anak panah dari arah samping. Lima batang anak panah yang dilepas oleh pasukan anak panah dari samping itu disusul pula oleh lima batang yang lain.
Tetapi lima batang anak panah pertama itu runtuh semua ketika Thian Sin menggerakkan tangan kirinya sambil mengerahkan sinkang sehingga ada hawa pukulan menyambar dan meruntuhkan lima batang anak panah itu sebelum senjata itu dapat menyentuh tubuhnya. Kemudian, sambil meloncat ke depan dia memapaki lima batang yang lainnya dan kedua tangannya menangkapi lima batang anak panah ini dan langsung melontarkannya ke arah lima orang anggota pasukan panah itu.
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan ketika tiga orang di antara mereka itu roboh dengan dada tertusuk anak panah mereka sendiri, sedangkan dua orang yang lain masih mampu menghindarkan diri dengan elakan. Akan tetapi, belum lagi Thian Sin sempat menerjang ke arah Sian-su, dia sudah dikepung dan segera dikeroyok oleh belasan orang anak buah Jit-sian-kauw yang bertopeng tengkorak.
Mereka semua telah mengeluarkan berbagai macam senjata dan menyerang dari semua jurusan dengan niat membunuh karena Sian-su sudah memberi isyarat untuk membunuh lawan yang sangat tangguh ini, yang ternyata sama sekali tidak pernah terpengaruh oleh sihirnya dan yang ternyata hanya pura-pura saja menyerah itu.
Kini Thian Sin benar-benar mengamuk! Melihat kekasihnya terancam penghinaan seperti itu, kemarahannya memuncak dan Pendekar Sadis segera memperlihatkan kelihaiannya. Dia tidak mau mengeluarkan pedangnya, melainkan menyambut hujan senjata itu dengan kedua tangan kosong saja. Akan tetapi tangan kosong yang hebat bukan kepalang!
Kedua tangan Thian Sin itu bagai sepasang naga mengamuk saja ketika dia menghadapi pengeroyokan anak buah Jit-sian-kauw. Dia mengeluarkan semua ilmu yang dikuasainya untuk menghajar para anggota Jit-sian-kauw itu. Meski mereka itu terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun di tangan Pendekar Sadis mereka itu tak ada bedanya seperti segerombolan anak-anak kecil saja.
Seorang anggota yang agaknya mempunyai dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, menggunakan sebatang toya. Ilmu toya Siauw-lim-pai terkenal kuat bukan main, didasari oleh gerakan yang mengandung tenaga lweekang sehingga ujung toya itu tergetar dan terlihat menjadi banyak.
Dengan gerakan mantap serta penuh tenaga, pemegang toya ini menusukkan toyanya ke arah dada Thian Sin sambil membentak keras. Akan tetapi karena ujung toya itu tergetar, maka sukarlah untuk diduga apakah benar dada yang diserang itu, ataukah tenggorokan atau pusar, atau juga lambung kanan kiri. Ada semua kemungkinan itu dan inilah lihainya permainan toya itu.
Namun Thian Sin menghadapinya dengan tenang saja, bahkan dia menanti sampai toya itu mencium tubuhnya dan ternyata ujung toya itu mendarat pada lambungnya yang kiri. Begitu ujung toya mencium bajunya di lambung, Thian Sin menggerakkan tangan kirinya yang dimiringkan dan mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang sepenuhnya itu, membacok ke bawah ke arah toya.
"Krakkk!"
Dan toya itu patah-patah menjadi tiga potong, kemudian sebelum pemegang toya yang merasa betapa telapak tangannya berdarah dan terkupas kulitnya itu sempat menguasai keadaannya, kaki Thian Sin telah menendang sehingga orang itu langsung terlempar dan terbanting roboh, tidak mampu bangkit kembali.
Thian Sin masih ingat bahwa besar sekali kemungkinannya para anggota Jit-sian-kauw ini bergerak di bawah pengaruh sihir atau setidaknya juga kepercayaan yang membabi buta terhadap Sian-su sehingga mereka itu tidak sadar bahwa mereka telah membantu orang yang amat jahat. Mungkin sekali para anggota ini sebetulnya adalah orang baik-baik yang telah terseret karena pandainya Sian-su mengambil hati dan menundukkan mereka.
Karena itu, maka Pendekar Sadis ini masih merasa kasihan untuk membunuh mereka dan tendangannya tadi pun terarah dan terkendalikan sehingga biar pun orang itu tidak mampu bangkit lagi, namun tidak menderita luka yang dapat merenggut nyawanya, hanya patah tulang dan salah urat saja.
Anggota yang memegang toya itu terkenal di antara kawan-kawannya sebagai salah satu di antara lima murid utama dari Sian-su, maka melihat dia dalam segebrakan saja roboh, para pengeroyok itu menjadi gentar. Akan tetapi mereka pun kembali menyerbu dengan berbareng, tidak lagi berani maju satu-satu.
Thian Sin mengerling dengan ujung matanya. Ia melihat betapa Sian-su masih berdiri dan hanya menonton pertempuran itu, sedangkan Kim Hong sudah rebah miring tak bergerak dalam keadaan tertotok. Hatinya menjadi gelisah sekali. Ingin dia cepat-cepat menyerang Sian-su dan menyelamatkan Kim Hong, apa pun juga yang akan terjadi. Hal ini membuat dia menjadi semakin marah kepada para anggota yang mengepungnya.
Pada saat dia melihat tosu penghuni kuil yang dikenalnya dari kebiasaannya memiringkan muka, kemarahannya makin memuncak. Dia tidak memperhatikan serangan yang datang bagaikan hujan itu, melainkan memutar tubuhnya lantas melesat ke arah tosu itu sambil membentak,
"Tosu palsu keparat!"
Tubuhnya disambut oleh banyak senjata, akan tetapi gerakan tangannya yang mendorong dengan ilmu mukjijat Hok-liong Sin-ciang itu demikian hebatnya sehingga lima orang yang senjatanya langsung bertemu dengannya itu terjengkang seperti dilanda angin ribut.
Tosu yang memakai topeng setan itu sudah menusukkan pedangnya ke arah dada Thian Sin. Akan tetapi sebelum ujung pedangnya sempat mengenai dada lawan, angin pukulan dari Hok-liong Sin-ciang sudah lebih dulu menyambutnya dan tosu ini mengeluarkan pekik mengerikan ketika tubuhnya terjengkang lantas terbanting sedemikian kerasnya sehingga dia pun tidak berkutik, pingsan dan hampir mati kalau saja tadi Thian Sin tidak menahan tenaganya!
Gegerlah keadaan di ruangan atas itu. Beberapa orang tamu yang memiliki kepandaian silat langsung melangkah maju hendak membantu pihak tuan rumah, akan tetapi Sian-su cepat memberi isyarat sehingga mereka itu hanya berkumpul di belakang Sian-su, dengan senjata di tangan.
Sikap mereka sudah jelas hendak melindungi dan membantu Sian-su jika Pendekar Sadis berusaha menyerang ketua agama ini! Mereka itu rata-rata telah bersumpah setia kepada Sian-su, tentu saja dengan keyakinan penuh bahwa mereka akan menikmati kesenangan dunia akhirat!
Pengeroyokan semakin ketat, akan tetapi Thian Sin kini sudah menjadi marah betul. Dia ingin segera menyerang Sian-su dan membebaskan Kim Hong, namun ulah para anggota Jit-sian-kauw yang menghalanginya ini amat mengganggunya.
Maka tiba-tiba dia mengeluarkan pekik nyaring dan membiarkan dirinya menjadi sasaran banyak senjata. Akan tetapi, bukan dia yang terluka atau berteriak kesakitan, sebaliknya malah belasan orang itu kini terbelalak dan berteriak-teriak minta dilepaskan.
"Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!"
"Lepaskan... aaahhh...!"
Belasan orang itu membetot-betot senjata mereka yang menempel pada tubuh Pendekar Sadis, akan tetapi makin kuat mereka membetot, semakin kuat pula senjata itu melekat! Thian Sin telah menggunakan ilmu mukjijat Thi-khi I-beng, yaitu ilmu sinkang yang sudah sampai di puncak kekuatannya sehingga dapat menyedot tenaga sinkang lawan melalui senjata atau tangan yang menempel pada tubuhnya. Tenaga dalam mereka itu membanjir keluar melalui gagang senjata masing-masing dan terasa disedot oleh kekuatan yang luar biasa besarnya!
Melihat keanehan ini, Sian-su dan para pengikutnya memandang dengan mata terbelalak dan pendeta siluman itu merasa tengkuknya meremang. Belum pernah selama hidupnya dia berhadapan dengan seorang yang seperti itu lihainya. Dia pernah mendengar tentang ilmu menyedot tenaga lawan ini, akan tetapi menganggap bahwa ilmu itu hanya dibesar-besarkan saja dan semacam dongeng.
Akan tetapi sekarang, biar pun tidak mengalaminya sendiri, dia telah menyaksikan betapa anak buahnya menjadi korban ilmu mukjijat itu. Dia sendiri mengerti bagaimana sebaiknya menghadapi ilmu menyedot yang berbahaya itu, akan tetapi dia sudah melihat keadaan yang lebih mudah dari pada harus mati-matian mencoba untuk menundukkan Pendekar Sadis dengan kekerasan.
"Hyaaaattt...!" tiba-tiba Pendekar Sadis memekik.
Belasan orang yang tenaganya tersedot olehnya, yang mukanya mulai pucat dan gerakan mereka untuk meronta makin lemah, segera terlempar ke kanan kiri dan jatuh terbanting di atas lantai, mengeluh dan tidak kuat untuk berdiri lagi. Mereka ini harus mengumpulkan tenaga dan hawa murni lebih dulu untuk memulihkan kekuatan.
Dengan mata mencorong seperti mata seekor naga sakti, Thian Sin kini melangkah maju perlahan-lahan. Para anggota Jit-sian-kauw yang belum roboh masih mengepungnya dan ikut bergerak melangkah, akan tetapi tidak berani terlalu dekat. Muka mereka pucat dan jelas terbayang di wajah mereka betapa hati mereka jeri menghadapi pendekar yang luar biasa ini.
"Berhenti, Ceng Thian Sin!" Tiba-tiba Sian-su membentak.
Thian Sin tersenyum mengejek. "Tak perlu menggertakku dengan ilmu sihirmu yang tidak manjur itu, siluman!"
"Berhenti atau pedangku akan menembus jantungnya!" Tiba-tiba Sian-su menggerakkan sebatang pedang dengan ujung pedang itu sudah menempel pada kulit putih di dada Kim Hong yang terbuka, tepat di antara kedua bukit dadanya.
Melihat hal ini, seketika Thian Sin menghentikan langkahnya dan matanya mengeluarkan cahaya kilat. Topeng tengkorak itu tersenyum lebar, penuh ejekan.
"Hemm, kau lihat, aku masih menguasaimu, Pendekar Sadis. Memang engkau hebat dan gagah perkasa, akan tetapi belum tentu aku kalah olehmu."
"Pendeta jahanam! Kalau memang engkau seorang lelaki sejati dan jantan tulen, jangan mengancam orang yang sudah tidak berdaya karena kecuranganmu! Hayo lawanlah aku sebagai laki-laki, atau kau bebaskan Kim Hong lalu melawannya tanpa kecurangan!"
"Ha-ha-ha, menggunakan tenaga sesedikit mungkin untuk mencapai kemenangan adalah sikap cerdik dan bijaksana. Kalau engkau berkeras, aku akan bunuh wanita ini lebih dulu, berarti aku sudah menang separuh. Kecuali kalau engkau menyerah..."
"Hemmm, engkau hendak memaksaku dengan mengancam nyawa Kim Hong. Baik, kalau aku menyerah lalu apa yang hendak kau lakukan? Tidak urung engkau akan membunuh kami berdua juga!" Thian Sin mengepal tinjunya. "Dari pada aku melakukan kebodohan itu, menyerahkan diri untuk akhirnya kau bunuh juga bersama Kim Hong, lebih baik aku membiarkan kau membunuh Kim Hong lalu engkau... hemm.. Pendekar Sadis akan hidup kembali, akan menjadi paling sadis di antara semua kesadisan yang pernah dilakukannya untuk menyiksamu!"
Tanpa disadarinya, pendeta siluman itu merasa betapa tengkuknya langsung meremang dan jantungnya berdebar-debar. Sungguh mengerikan mendengar kata-kata dari pemuda tampan itu dan dia dapat merasakan bahwa ucapan itu bukanlah ancaman belaka. Orang ini harus dienyahkan, harus dibasmi. Kalau tidak, selama hidupnya dia akan terancam.
"Aku bukan orang bodoh, Pendekar Sadis. Aku berjanji, kalau engkau menyerahkan diri tanpa melawan, aku tidak akan membunuh kalian."
"Lekas katakan, apa yang hendak kau lakukan terhadap kami kalau aku tidak melawanmu dengan kekerasan!"
"Apa yang hendak kami lakukan adalah urusan kami. Akan tetapi kalau engkau menyerah tanpa kekerasan, atas nama Jit-sian-kauw, atas nama Dewa Kematian, aku bersumpah untuk tidak membunuh Toan Kim Hong dan Ceng Thian Sin!"
Diam-diam Thian Sin mengerti bahwa apa bila dia menyerah, berarti dia mempertaruhkan nyawanya dan nyawa Kim Hong. Akan tetapi, dia percaya bahwa pendeta siluman itu tak mungkin akan berani melanggar sumpahnya setelah bersumpah demi nama Jit-sian-kauw dan Dewa Kematian, apa lagi disaksikan oleh semua pengikutnya.
"Sumpahmu disaksikan oleh para tamu yang hadir saat ini!" kata Thian Sin menekan.
"Benar, disaksikan oleh para tamu terhormat. Kami bukan golongan pengecut yang suka melanggar janji!" kata Sian-su dengan suara dibikin gagah.
"Baiklah, aku menyerah." Thian Sin berpendapat bahwa yang paling penting untuk saat itu adalah keselamatan dan keamanan mereka berdua. Soal nanti selanjutnya, biarlah, tentu akan ada jalan lain. "Akan tetapi, engkau harus menyingkirkan Kim Hong dari sini dahulu. Biarkan dia mengaso dan jangan mengganggunya selama sehari semalam! Kalau engkau tidak mau berjanji seperti itu, sampai mati aku tidak akan mau menyerah dan kita lihat saja, siapa yang akan binasa dalam pertempuran di antara kita!"
Ketua Jit-sian-kauw itu mengerti bahwa kalau pemuda itu mau menyerah, semata-mata adalah karena pemuda itu tidak ingin melihat Kim Hong mati. Dan dia sendiri pun tidak berniat untuk membunuh Kim Hong. Sama sekali tidak. Dia mempunyai rencana sendiri terhadap diri Kim Hong.
Dia sudah mendengar bahwa dara itu memiliki ilmu silat yang tidak kalah lihainya kalau dibandingkan dengan Pendekar Sadis. Oleh karena itu, biarlah dia kehilangan Pendekar Sadis sebagai pembantu, asalkan berhasil membuat gadis lihai itu menjadi pembantunya, juga kekasihnya yang baru. Kecantikan Kim Hong telah menarik hatinya dan dia pun bisa menguasai gadis itu dengan ilmu sihir, tidak seperti Pendekar Sadis yang kebal ilmu sihir.
"Baiklah, Pendekar Sadis. Aku berjanji bahwa selain aku tidak akan membunuh kalian berdua, juga nona Toan Kim Hong akan dirawat baik-baik, dibiarkan beristirahat dan tidak akan mengganggunya selama sehari semalam. Nah, aku berjanji, disaksikan semua tamu terhormat!"
Thian Sin melihat betapa tubuh Kim Hong yang masih lemas tertotok itu diangkut pergi oleh empat orang penari wanita setelah pendeta siluman itu memberikan perintahnya. Dia pun lalu melemaskan tubuhnya.
"Aku menyerah."
"Kami masih sangsi akan ketulusanmu, maka dengan terpaksa kami akan membelenggu kaki tanganmu," kata Sian-su.
Thian Sin mengangguk. Dia pun tidak memberontak dan mandah saja ketika dua orang anggota Jit-sian-kauw mendekatinya lantas membelenggu kedua tangannya ke belakang, juga kedua kakinya. Tiba-tiba saja sehelai sapu tangan ditutupkan ke mukanya. Thian Sin mencium bau keras dan dia pun tak sadarkan diri oleh obat bius yang amat kuat.
***************
Orang-orang Hong-kiam-pang merasa marah dan sakit hati sekali pada waktu mendengar bahwa dua orang murid mereka yang terkenal, yaitu Cia Kok Heng dan Kwee Siu, tewas di dalam tangan Siluman Goa Tengkorak. Mereka langsung mengadakan rapat darurat, memanggil semua tokoh murid mereka. Rapat itu dipimpin oleh dua orang pemimpinnya yaitu Im Yang Tosu yang menjadi ketuanya dan Bu Beng Tojin yang menjadi pembantu utama atau wakil ketuanya.
Im Yang Tosu adalah seorang tosu berusia hampir tujuh puluh tahun, tubuhnya kurus dan pendek, akan tetapi wajahnya masih nampak segar dan gerakannya juga masih lincah. Tosu ini adalah tokoh Kun-lun-pai, maka tentu saja dia paling berhak untuk menjadi ketua Hong-kiam-pang yang menjadi cabang dari Kun-lun-pai. Ilmu kepandaiannya tinggi dan wataknya keras walau pun telah berpuluh tahun dia menjadi pendeta Agama To.
Wakilnya yang berjuluk Bu Beng Tojin adalah seorang pendeta pula, yang bertubuh tinggi kurus dan bermata tajam. Dia bersikap lemah lembut dan berwatak pendiam. Akan tetapi dia merupakan seorang pembantu yang amat baik, bahkan hampir semua urusan luar dari Hong-kiam-pang berada di dalam pengawasannya.
Seperti juga Im Yang Tosu, tentu saja Bu Beng Tojin ini sangat mahir dalam memainkan Ilmu Pedang Hong-kiam-sut. Akan tetapi berbeda dengan Im Yang Tosu yang memang merupakan murid yang pandai dari Kun-lun-pai, sebaliknya Bu Beng Tojin ini bukan murid Kun-lun-pai, melainkan ahli dalam pelbagai cabang ilmu silat berbagai aliran.
Akan tetapi, sesudah diuji oleh Im Yang Tosu sendiri, ternyata kepandaian Bu Beng Tojin ini amat lihai, bahkan hanya sedikit di bawah tingkat Im Yang Tosu. Oleh karena itu maka dia dipercaya dan diangkat sebagai pembantu utama atau boleh dibilang juga wakil ketua.
Dalam banyak urusan, usul-usulnya selalu baik dan dapat diterima. Di dalam menghadapi Siluman Goa Tengkorak sekali pun, Im Yang Tosu sudah menyerahkan kepada wakilnya untuk mengatur bagaimana baiknya untuk membalas kematian dua orang murid mereka.
"Sesungguhnya memang serba susah," kata Bu Beng Tojin dalam rapat itu ketika ditanyai pendapatnya. "Perkumpulan kita selalu berusaha menjauhkan diri dari permusuhan. Akan tetapi dua orang murid kita tewas dan tentu saja kita tidak dapat membiarkan kematian itu lewat tanpa terbalas. Cuma ada satu hal yang harus diselidiki dengan teliti, apakah benar kedua orang murid kita itu tewas di tangan orang yang berjuluk Siliman Goa Tengkorak itu."
Suheng-nya, Im Yang Tosu, menarik napas panjang. "Siancai...! Sebenarnya pinto sendiri tidak menghendaki adanya permusuhan antara Hong-kiam-pang dengan pihak mana pun juga. Dan di dunia ini banyak terdapat orang jahat yang memenuhi pemukaan bumi, tidak mungkin kalau Hong-kiam-pang lantas harus memusuhi dan berusaha membasmi semua penjahat itu. Maka kita pun tidak pernah ikut mencampuri urusan Siluman Goa Tengkorak selama dia juga tidak mengganggu kita. Akan tetapi, Tujuh Pendekar Tai-goan adalah murid-murid kita, dan terutama sekali Cia Kok Heng dan Kwee Siu yang langsung adalah murid-murid pinto sendiri. Tidak dapat disangkal lagi bahwa tentu Siluman Goa Tengkorak yang membunuh mereka. Bukankah isteri Kok Heng juga telah diculiknya?"
Bu Beng Tojin segera menarik napas panjang. "Tidak ada akibat tanpa sebab, dan itulah hukum alam! Mungkin isteri Kok Heng terlalu cantik maka dia diculik, dan dua orang murid kita itu tewas karena mereka menggunakan kekerasan. Lalu sekarang apa yang suheng kehendaki dalam menghadapi urusan ini?"
"Bukan hanya demi nafsu mendendam, sute, akan tetapi juga untuk membersihkan nama kita sekalian membersihkan dunia dari gangguan siluman itu. Kita harus menyerbu Goa Tengkorak dan membasmi siluman itu. Untuk ini, pinto serahkan siasatnya kepadamu."
Bu Beng Tojin mengangguk-angguk. "Jangan khawatir, suheng. Aku akan membawa anak murid kita dan menyelidiki keadaan Goa Tengkorak. Suheng tenang-tenang sajalah di sini menanti berita dari kami."
Demikianlah, pada malam hari bulan purnama itu, Bu Beng Tojin membawa para anak murid Hong-kiam-pang yang terkumpul sebanyak dua puluh lima orang menuju ke daerah Goa Tengkorak lantas melakukan penyelidikan. Semua goa dimasuki dan diobrak-abrik. Akan tetapi mereka tak menemukan sesuatu apa pun kecuali goa-goa kosong yang sunyi dan menyeramkan.
"Kalian semua menjaga di depan goa, dan sebagian lagi melakukan penyelidikan sambil meronda. Pinto sendiri diam-diam akan menyelinap ke belakang bukit, siapa tahu siluman itu akan melarikan diri dari jalan rahasia di belakang bukit. Kalian tak boleh meninggalkan tempat ini sebelum pinto datang kembali." Demikian Bu Beng Tojin berpesan kepada para murid Hong-kiam-pang, agaknya hendak mempergunakan siasat menggeprak dari depan dan membiarkan musuh lari lewat pintu belakang tetapi dia sudah menanti di sana untuk menyergapnya!
Dengan pedang telanjang di tangan, para murid Hong-kiam-pang itu berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan. Mereka percaya akan kelihaian ji-suhu mereka, akan tetapi betapa pun juga mereka merasa ngeri pula di tempat yang sunyi menyeramkan ini. Apa lagi kalau mereka ingat betapa Tai-goan Jit-hiap, Tujuh Pendekar Tai-goan yang kesemuanya amat lihai itu tewas di tangan siluman ini! Dan ji-suhu mereka itu pergi begitu lamanya.
Sampai lewat tengah malam belum juga kakek itu kembali dan mereka tidak berani pergi meninggalkan tempat itu seperti yang sudah dipesan oleh ji-suhu mereka. Padahal, selagi berjaga tadi, mereka mendengar suara-suara aneh, seperti dengung suara musik suling, yang-kim dan canang dipukul, dari tempat jauh sekali, kadang-kadang seperti terdengar keluar dari jurang-jurang terbawa angin.
Padahal mereka tahu pasti bahwa di sekitar tempat itu tidak ada dusun, dan suara musik itu juga bukan musik dusun, melainkan musik halus yang biasanya hanya terdapat di kota besar. Tentu saja hal ini membuat mereka semakin ngeri sebab suara itu agaknya datang dari alam lain yang didatangkan oleh siluman-siluman!
Tentu saja para anak murid Hong-kiam-pang ini tak pernah menduga sama sekali bahwa suara musik itu memang keluar dari jurang karena jurang-jurang itu merupakan ‘jendela’ dari tempat rahasia yang berada di balik bukit goa-goa itu, di dalam bukit yang bertebing tinggi itu.
Mereka tidak pernah menyangka bahwa di balik goa-goa itu sedang dilangsungkan pesta gila-gilaan, pesta yang penuh kecabulan di mana nafsu birahi diumbar dan dilampiaskan begitu saja secara liar tanpa mengenal malu-malu lagi. Juga pada malam hari itulah Thian Sin terpaksa menyerahkan diri karena hendak menyelamatkan Kim Hong. Akan tetapi dia lengah dan tidak memperhitungkan kecerdikan ketua Jit-sian-kauw itu.
Ketika dia membiarkan dirinya dibelenggu, merasa yakin bahwa tidak ada belenggu yang akan dapat menahannya, dan selagi dia mencurahkan perhatiannya kepada orang-orang yang membelenggunya, tanpa disangka-sangka dia sudah diserang oleh Sian-su dengan mempergunakan sapu tangan yang mengandung obat bius yang amat kuat sehingga dia pingsan.
Malam itu semakin larut dan suasana menjadi makin sunyi. Di luar daerah Goa Tengkorak itu terasa makin sunyi melengang, sedangkan di dalam tempat rahasia milik perkumpulan Jit-sian-kauw itu pun sudah mulai sunyi karena semua tamunya sudah mulai membawa pasangan mereka, masing-masing ke tempat menyendiri supaya dapat berasyik-masyuk tanpa terganggu.
Lampu-lampu telah dipadamkan dan diganti dengan lampu-lampu yang dibungkus dengan kain berwarna-warni sehingga suasana menjadi amat romantis dan cocok sekali bagi para pasangan itu untuk melampiaskan nafsu birahi masing-masing sesuka hati mereka. Ganti-berganti pasangan pun terjadilah dan pesta gila itu akan berlangsung sampai matahari terbit pada esok harinya, setelah tubuh mereka tidak mengijinkan lagi untuk melanjutkan pesta-pora pelampiasan nafsu itu.
Teriakan yang sangat mengejutkan para murid Hong-kiam-pang itu terjadi lewat tengah malam. Mereka mengenal suara ji-suhu mereka dari balik bukit.
"Anak-anak... ke sinilah dan cepat bantu pinto!" Demikian ji-suhu mereka itu berteriak-teriak dan mereka mendengar suara desir angin pukulan, tanda bahwa ji-suhu mereka itu sedang berkelahi.
Dan kalau ji-suhu mereka itu sampai berteriak minta bantuan, hal itu tentu berarti bahwa lawannya sungguh seorang yang luar biasa lihainya. Berbondong-bondong dua puluh lima orang itu segera berlari ke arah tempat itu.
Dan di bawah sinar bulan purnama yang sudah mulai condong ke langit barat itu mereka melihat bahwa ji-suhu mereka benar-benar sedang bertanding melawan seorang laki-laki yang memakai topeng tengkorak serta berpakaian serba putih dengan lukisan tengkorak darah pada bagian dada. Siluman Goa Tengkorak! Mereka melihat betapa ji-suhu mereka kini sedang mengadu tenaga sinkang dengan siluman itu, dua pasang tangan mereka itu saling lekat dan saling dorong!
Para murid itu berhenti dan memandang dengan bingung. Mereka semua maklum bahwa bila ji-suhu mereka sedang mengadu sinkang seperti itu, mereka tak boleh mengganggu. Selain tenaga sinkang mereka masih belum mencapai tingkat setinggi tingkat suhu-nya, juga campur tangan mereka dapat membahayakan keselamatan ji-suhu mereka sendiri. Maka mereka hanya mendekat dan mengepung saja, siap-siap dengan pedang di tangan untuk membantu kalau keadaan mengijinkan.
Tiba-tiba terdengar Bu Beng Tojin mengeluarkan bentakan nyaring. Dia mendorong dan... lawannya itu roboh terpental dan terpelanting. Melihat hal ini, para murid Hong-kiam-pang segera menubruk ke depan dan hendak menggerakkan pedang mereka untuk menyerang tubuh orang bertopeng yang sudah roboh itu.
"Tahan! Biarkan pinto menangkapnya!" teriak Bu Beng Tojin mencegah para murid itu dan kakek ini lalu menubruk ke depan, monotok beberapa jalan darah lawannya yang seketika menjadi lemas dan lumpuh. "Keluarkan belenggu dan belenggu kaki tangannya. Jangan sakiti atau bunuh dia, biar kita membawanya menghadap suheng!"
Bukan main girangnya hati para murid Hong-kiam-pang melihat betapa orang bertopeng tengkorak itu sudah roboh pingsan. Mereka lalu membelenggu dan menelikungnya seperti seekor babi hendak disembelih, dan beramai-ramai mereka menggotong orang tawanan ini turun dari tebing. Bu Beng Tojin melarang mereka membuka topeng yang menutupi muka orang itu.
"Inikah orang yang dinamakan Siluman Goa Tengkorak, ji-suhu?" tanya mereka kepada Bu Beng Tojin ketika mereka beramai pulang dengan hati gmbira karena kemenangan itu.
"Siapa lagi kalau bukan dia ini? Dia lihai sekali, hampir pinto kewalahan menghadapinya. Untung pada saat terakhir kalian datang sehingga perhatiannya tertarik dan sedikit banyak dia merasa terkejut dan khawatir. Hal itu telah mengurangi tenaga sinkang-nya sehingga memungkinkan pinto untuk mengalahkannya. Pantas dia dapat merajalela dan mengacau karena memang ilmu kepandaiannya luar biasa lihainya."
"Susiok, kenapa kita tidak bunuh saja iblis ini agar arwah toa-suheng dan ji-suheng dapat menjadi tenang?" seorang pemuda berkata dengan sikap penasaran. Pemuda ini adalah murid Im Yang Tosu ketua Hong-kiam-pang.
Ketua ini mempunyai lima orang murid, dan murid pertama dan ke dua adalah mendiang Cia Kok Heng dan Kwee Siu. Pemuda itu adalah murid ke tiga, maka dia menyebut susiok kepada Bu Beng Tojin.
"Bersabarlah, kita tunggu saja keputusan dari gurumu," jawab Bu Beng Tojin.
Malam sudah hampir terganti pagi ketika mereka tiba di kuil mereka, disambut oleh para murid lain yang menjadi tegang dan gembira, juga ingin tahu sekali ketika mendengar bahwa Bu Beng Tojin telah berhasil menawan Siluman Goa Tengkorak!
Bu Beng Tojin melemparkan tubuh siluman itu ke atas lantai ruangan depan. Para murid Hong-kiam-pang mengepung tempat itu dan sebagian lagi melapor ke dalam. Karena Im Yang Tosu sedang semedhi, maka mereka tidak berani mengganggu dan menanti sampai tosu tua itu selesai dengan semedhinya, sementara itu mereka mendengarkan Bu Beng Tojin menceritakan pengalamannya.
"Memang malam tadi menggelisahkan sekali ketika menunggu, sendirian di balik bukit itu. Tetapi pinto yakin bahwa penjahat itu tentu akan keluar juga. Kita telah mempergunakan siasat mengancam di depan pintu dan membiarkan harimau lolos dari belakang. Apa bila pinto membawa semua murid ke belakang, tentu dia tak akan berani keluar. Pinto sendiri bersembunyi dan membiarkan dia menyangka bahwa semua orang menyerbu dari depan. Dan akhirnya dia pun berkelebat keluar dari balik semak-semak yang pinto kira tentulah merupakan jalan rahasianya. Nah, pinto lalu menyergapnya, tetapi pinto sama sekali tidak menyangka bahwa dia memang lihai bukan main sehingga pinto tidak segera memangil kalian. Akan tetapi masih untung bahwa akhirnya pinto berhasil..." Tiba-tiba Bu Beng Tojin menghentikan kata-katanya dan menoleh ke luar dengan sikap kaget sekali.
Semua orang cepat menoleh dan juga terkejut karena tiba-tiba saja bagaikan munculnya setan, di pekarangan depan itu sudah berdiri seorang yang berpakaian putih-putih dengan sulaman tengkorak darah di dadanya, dan mukanya juga mengenakan topeng tongkorak! Keadaan orang itu persis dengan siluman yang sudah ditelikung dan kini rebah miring di atas lantai, hanya orang yang baru datang ini tubuhnya agak lebih kecil.
Dengan kecepatan kilat yang sama sekali tidak tersangka-sangka, tiba-tiba siluman yang baru datang ini menyambitkan sesuatu ke arah siluman yang terbelenggu.
"Takk! Takk!"
Dua buah benda hitam menyambar lantas mengenai punggung serta leher siluman yang terbelenggu itu. Siluman ini nampak berkelojotan sedikit lalu diam dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Bu Beng Tojin beserta para murid Hong-kiam-pang ketika melihat bahwa siluman tawanan itu agaknya telah tewas karena mukanya mendadak pucat sekali dan napasnya pun terhenti! Bu Beng Tojin marah bukan main.
"Keparat jahanam engkau!" Dan tosu yang bertubuh tinggi kurus ini sekali bergerak sudah meloncat ke depan, dan langsung menyerang siluman yang bertubuh kecil itu.
Akan tetapi bisa dibayangkan betapa kagetnya ketika siluman itu berkelebat dan sejenak lenyap dari pandang matanya, lalu tiba-tiba saja siluman itu yang telah berada di sebelah kirinya mengirim tamparan ke arah lehernya.
"Plakkk!"
Bu Beng Tojin menangkis dan dia merasa lebih kaget lagi. Tubuhnya terdorong mundur oleh tangkisan itu dan kembali siluman itu telah menyerang dengan tendangan kilat yang memaksa tosu itu untuk meloncat mundur.
cerita silat online karya kho ping hoo
Sekarang para murid Hong-kiam-pang sudah berloncatan datang, lantas serentak mereka menggunakan pedang untuk menyerang. Tadinya mereka memang merasa bingung dan hanya termangu-mangu melihat kemunculan seorang siluman lain lagi itu, akan tetapi kini mereka sadar bahwa yang disebut Siluman Goa Tengkorak tentu merupakan gerombolan yang memiliki banyak anggota dan semuanya mengenakan pakaian dan topeng seperti itu. Maka mereka pun sudah menerjang dengan marah.
Akan tetapi siluman itu memang lincah bukan main dan memiliki ginkang yang luar biasa. Tubuhnya cepat berkelebat ke sana-sini seolah-olah dapat menyelinap di antara sambaran pedang-pedang itu. Dia sama sekali tidak gugup biar pun dikeroyok banyak orang, bahkan ketika Bu Beng Tojin sendiri juga sudah terjun dan menyerangnya.
"Siancai... kiranya siluman ini berani pula mengacau di tempat pinto!" Terdengar bentakan halus yang disusul dengan suara mencicit seperti tikus terjepit, lalu ada sinar menyambar amat dahsyatnya.
"Ehhh...!" Siluman itu mengeluarkan seruan kaget.
Akan tetapi biar pun pedang yang digerakkan oleh Im Yang Tosu itu amat hebat, ia masih sempat melempar tubuhnya ke belakang dan dengan cara membuat poksai (salto) hingga lima kali, dia berhasil menghindarkan diri dari serangan sinar pedang yang bertubi-tubi itu. Akan tetapi kakek tua itu sungguh lihai bukan main permainan pedangnya, karena sinar pedang itu bergulung-gulung dan dapat mengirimkan serangan secara terus-menerus dan sambung-menyambung.
Diam-diam ketua Hong-kiam-pang itu terkejut bukan main. Baru sekarang ini permainan pedangnya selalu gagal walau pun dia sudah mengeluarkan jurus-jurus pilihan. Siluman itu gesit bukan main dan gerakannya lebih cepat dari pada sambaran sinar pedangnya!
Sementara itu, Bu Beng Tojin sudah meloncat mendekati siluman yang terbelenggu dan dengan sekali renggut dia telah melepaskan topeng tengkorak yang dipakai oleh siluman itu. Nampaklah wajah yang tampan dari Ceng Thian Sin!
"Pendekar Sadis...!" teriak Bu Beng Tojin dengan suara terkejut dan heran. "Dia adalah Ceng Thian Sin, Pendekar Sadis...!" Sambil berkata demikian, dia meloncat ke belakang.
Semua orang menjadi terkejut. Para anak buah Hong-kiam-pang telah mendengar tentang Pendekar Sadis dan tentu saja mereka kaget bukan main mendengar bahwa orang yang menyamar sebagai Siluman Goa Tengkorak itu adalah Pendekar Sadis!
Bahkan Im Yang Tosu sendiri kaget bukan kepalang mendengar seruan pembantunya itu sehingga serangannya terhadap siluman kedua yang tadinya gencar menjadi berkurang. Kesempatan ini digunakan oleh siluman ke dua itu untuk meloncat ke samping, menjauh dan terdengar seruannya nyaring.
"Thian Sin, mari pergi!"
Para anak buah Hong-kiam-pang yang ingin sekali menyaksikan sendiri wajah siluman yang oleh Bu Beng Tojin dikatakan sebagai Pendekar Sadis itu, mendekati dan merubung Thian Sin yang sudah mulai menggerakkan kedua matanya.
Sambitan dua buah kerikil hitam yang mengenai jalan darahnya tadi sudah membebaskan dirinya dari totokan, akan tetapi karena pengaruh obat bius itu masih membuatnya nanar, maka baru sekarang dia mulai sadar benar-benar. Begitu mendengar suara yang sangat dikenalnya itu, yang mengajaknya pergi, dia merasa seakan-akan kepalanya baru disiram air dingin sehingga seketika dia menjadi sadar sepenuhnya.
Dalam satu detik saja tahulah dia bahwa dia dalam bahaya, bahwa kedua kaki tangannya terbelenggu. Cepat dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang ke dalam kedua kaki dan tangannya, lantas sekali dia mengerahkan tenaga itu dan menggerakkan kaki tangannya, maka terdengarlah suara keras dan semua belenggu itu pun patah-patah!
Para anak buah Hong-kiam-pang terkejut dan mereka pun jadi ragu-ragu apa yang harus mereka lakukan setelah melihat kenyataan bahwa yang menjadi Siluman Goa Tengkorak adalah Pendekar Sadis!
"Siancai...! Pendekar Sadis telah menjadi Siluman Goa Tengkorak dan membunuhi murid Hong-kiam-pang? Pinto harus membuat perhitungan!" Im Yang Tosu berseru marah.
Dan kakek ini sudah menerjang lagi ke arah siluman ke dua dengan dahsyat, dibantu oleh murid-muridnya, ada pun Bu Beng Tojin juga sudah mencabut pedangnya dan menyerang Thian Sin.
"Totiang, telah terjadi kesalah pahaman besar..." Thian Sin yang sudah meloncat bangun dan cepat mengelak ketika pedang di tangan Bu Beng Tojin menyambar, mencoba untuk membantah dan menjelaskan.
"Siluman busuk, tutup mulutmu!" bentak Bu Beng Tojin yang juga sudah marah sekali lalu dia mempercepat permainan pedangnya, dibantu pula oleh para murid Hong-kiam-pang.
"Thian Sin, tidak perlu berbantahan lagi. Lari...!" Siluman ke dua itu kembali berteriak dan dengan gerakan kilat dia sudah merobohkan seorang pengeroyok dengan tendangannya, kemudian dia meloncat dan pergi meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Thian Sin.
"Kejar! Tangkap...!" Bu Beng Tojin berteriak.
Semua orang Hong-kiam-pang yang merasa marah dan penasaran itu segera melakukan pengejaran, namun mereka tidak mampu menyusul Thian Sin dan temannya yang sudah mengerahkan ginkang mereka dan melarikan diri secepatnya. Setelah para pengejar tidak nampak lagi, barulah mereka berdua berhenti kemudian siluman tengkorak yang bertubuh ramping itu membuka topengya.
"Kim Hong...!"
"Thian Sin...!"
Segera mereka berdua saling rangkul dan saling cium dengan hati penuh kerinduan dan kegembiraan melihat bahwa keduanya akhirnya dapat bertemu dalam keadaan selamat. Setelah puas melampiaskan rasa rindu dan gembira di hati masing-masing, Thian Sin lalu menggandeng tangan Kim Hong dan mengajaknya duduk di atas batu besar.
"Nah, sekarang ceritakan bagaimana engkau tiba-tiba dapat muncul di sini dan menyamar sebagai Siluman Goa Tengkorak pula," kata Thian Sin sambil mengelus punggung tangan kekasihnya.
Kim Hong lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak dia pergi mencari jejak dan menyusul Thian Sin ke daerah Goa Tengkorak sampai dia terjebak dan tertawan karena terpengaruh oleh kekuatan sihir dari Sian-su atau ketua dari perkumpulan Jit-sian-kauw atau Siluman Goa Tengkorak.
Seperti kita ketahui, dara ini berada dalam keadaan tidak sadar sesudah dia tersihir dan hendak dijadikan anggota baru dalam upacara pengangkatan anggota baru, bahkan dia terpilih sebagai calon jodoh dari Sian-su sendiri! Ketika dia bertemu dengan Thian Sin di dalam sarang Siluman Goa Tengkorak, dia sama sekali tidak dapat mengenali Thian Sin karena dia berada di dalam keadaan tersihir, bahkan ketika Thian Sin mengamuk, dia pun tidak tahu dan hanya memandang dengan bingung saja.
Akan tetapi, ketika Kim Hong hendak dibawa pergi, diam-diam Thian Sin mengerahkan segala kekuatan batinnya, menggunakan kepandaian sihirnya untuk membebaskan dara itu dari pengaruh sihir dan meski pun secara perlahan-lahan, Kim Hong mulai sadar ketika dia dibawa pergi!
"Aku tidak tahu apa yang terjadi dan ketika aku sadar, aku telah berada di dalam sebuah kamar yang amat indah, dilayani oleh tiga orang gadis cantik sebagai dayang. Ketika aku teringat bahwa aku sudah terjebak dan tertawan, aku bangkit dan melihat bahwa di luar kamar itu terdapat beberapa orang pria yang memakai pakaian dan topeng Siluman Goa Tengkorak. Aku hendak mengamuk, akan tetapi pada saat itu pintu kamar terbuka dan di luar kamar nampak laki-laki tinggi yang agaknya menjadi kepala gerombolan itu..."
"Itulah ketua Jit-sian-kauw atau yang disebut dengan sebutan Sian-su!" kata Thian Sin.
"Iblis itu menunjuk kepadamu yang kulihat dalam keadaan pingsan, sambil menodongkan pedangnya ke lehermu. Dia mengancam bahwa kalau aku memberontak, maka lebih dulu dia akan membunuhmu, dan dia pun mengatakan bahwa dia sudah mengancammu kalau engkau memberontak, maka lebih dahulu dia akan membunuhku. Karena engkau sedang tidak berdaya dan dia berjanji bahwa dia tidak akan membunuh kita berdua, aku bersabar diri dan engkau pun dibawa pergi. Aku terus menjaga kesehatanku dengan makan setelah yakin bahwa makanan itu tidak dicampuri obat bius. Aku mulai percaya bahwa agaknya Sian-su itu tidak berniat buruk dan benar-benar hendak bersahabat dengan kita."
"Hemm, dia menipumu. Dia menghendaki engkau menjadi isteri dan pembantunya," kata Thian Sin gemas.
"Aku pun baru malam tadi mendengar tentang hal itu. Seorang wanita berlari-lari masuk ke kamarku sambil menangis, tetapi beberapa orang penjaga bertopeng tengkorak yang berada di luar kamar hendak menangkapnya. Aku segera melompat dan menghardiknya. Agaknya mereka itu takut padaku, lalu membiarkan wanita itu berlutut di depan kakiku."
Cerita Kim Hong ini semakin menarik hati Thian Sin yang tidak dapat menahan keinginan tahunya sehingga dia pun bertanya, "Apakah dia itu isteri mendiang Cia Kok Heng?"
Kim Hong mengangguk membenarkan, lalu gadis ini melanjutkan ceritanya. Wanita cantik yang usianya dua puluh tujuh tahun itu pada mulanya hanya menangis mengguguk sambil merangkul kedua kaki Kim Hong. Kim Hong mula-mula merasa heran dan mengira bahwa ini tentu akal bulus dari perkumpulan gerombolan iblis itu untuk menjebak atau menipu dirinya.
"Enci, siapakah engkau dan mengapa engkau menangis?" akhirnya Kim Hong bertanya, memegang kedua pundak wanita itu dan menariknya bangkit duduk.
Dia sengaja menekan pundak itu dan mendapat kenyataan bahwa wanita itu tidak pandai ilmu silat. Hal ini membuat hatinya lega karena setidaknya dia yakin bahwa wanita ini tak akan mampu menyerangnya secara menggelap.
Wanita itu menyusut air matanya sambil berusaha menahan isak tangisnya. "Lihiap... aku adalah seorang wanita yang paling sengsara di dunia ini..." Kembali dia menangis.
Kim Hong lalu mengerutkan alisnya. "Enci, bagaimana engkau tiba-tiba saja menyebutku lihiap? Bagaimana engkau tahu bahwa aku adalah seorang ahli silat, seorang pendekar wanita?"
Wanita itu memandang keluar, ke arah orang-orang bertopeng tengkorak itu kemudian dia berbisik. "Mereka itu bercerita tentang Pendekar Sadis yang tertawan, juga tentang dirimu yang katanya merupakan sahabat pendekar itu dan lihai sekali, maka aku sengaja nekat lari ke sini... aku ingin memberi tahukan hal yang penting sekali..."
"Nanti dulu, enci. Siapakah engkau dan bagaimana engkau bisa sampai ke tempat seperti ini?"
"Aku adalah salah satu di antara wanita-wanita yang berada di sini, seperti mereka ini." Ia menunjuk ke arah gadis-gadis cantik yang menjadi dayang dan yang memandang heran dan tidak mengerti. "Namaku Lu Sui Hwa dan seperti juga mereka ini, aku adalah wanita yang diculik. Ada yang datang ke sini karena bujukan, karena dibeli, karena diculik, dan aku telah diculik. Mereka semua ini terbius dan tersihir, tidak tahu lagi apa yang mereka lakukan. Akan tetapi aku tidak dibius lagi, tidak disihir lagi sesudah aku dibebaskan dari pengaruh sihir oleh Pendekar Sadis, tetapi... tetapi aku pun terpaksa mentaati kehendak mereka, melayani mereka... diperkosa, dipermainkah... ahhh..." Wanita itu lalu mendekap mukanya dan air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya.
"Tapi, kalau engkau sadar dan tidak terbius, mengapa engkau mau menurut saja, enci?" Kim Hong menegur dan mengerutkan alisnya.
"Apa dayaku? Suamiku telah mereka bunuh, dan mereka juga sudah menculik dua orang anak-anakku. Mereka mengancam bahwa selama aku menurut, anak-anakku tidak akan dibunuh... maka aku... demi kedua anakku, aku terpaksa menyerah... hu-hu-huhhh..."
"Apakah engkau nyonya Cia Kok Heng, ibu kandung Cia Liong dan Cia Ling?" Mendadak Kim Hong bertanya.
Wanita itu menurunkan kedua tangannya, memandang pada pendekar itu dengan muka pucat dan mata terbelalak. Mulutnya ternganga dan sejenak dia tidak mampu menjawab, hanya memandang dengan sinar mata penuh harapan. Akhirnya dia dapat juga membuka mulut dan bicara.
"Benar... benar... mana mereka? Bagaimana mereka...?"
"Tenangkan hatimu. Aku menyelamatkan mereka dari tangan iblis-iblis itu dan kini mereka berada di tangan yang aman."
Tiba-tiba wanita itu berlutut dan mencium kaki Kim Hong. "Terima kasih... ah, terima kasih kepada Thian... terima kasih, lihiap..."
Empat orang anggota Siluman Goa Tengkorak kini berloncatan masuk ke dalam kamar itu dan hendak menyeret pergi Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng.
"Pergi engkau dari sini, perempuan bandel!"
Akan tetapi, kini Kim Hong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Tubuhnya berkelebat dan kaki tangannya bergerak, kemudian terdengar suara orang mengaduh berturut-turut diikuti tubuh empat orang itu terlempar ke kanan kiri. Mereka roboh tanpa dapat bangkit kembali karena mereka sudah tewas oleh pukulan serta tendangan Kim Hong yang tadi dilakukan dengan kemarahan meluap.
"Enci, ceritakan apa yang hendak kau katakan tadi? Pemberi tahuan penting apa?" Kim Hong mendesak cepat.
"Pendekar Sadis... dia dibawa oleh mereka... menurut pembicaraan mereka yang dapat kudengar, Pendekar Sadis yang pingsan itu diberi pakaian dan topeng Siluman Tengkorak kemudian hendak diserahkan kepada pihak Hong-kiam-pang agar diadili dan dibunuh oleh perkumpulan yang mendendam terhadap Siluman Goa Tengkorak. Aku dapat mendengar segalanya karena waktu itu aku tidak dibius dan mereka percaya bahwa aku tidak akan berani membocorkan rahasia..."
"Perempuan keparat!" Terdengar bentakan-bentakan dan lima orang bertopeng masuk.
Akan tetapi Kim Hong segera menyambut mereka dan melayani serbuan lima orang yang menggunakan senjata tajam itu. Kini Kim Hong tidak ragu-ragu lagi karena tahu bahwa Thian Sin tidak berada di situ dan bahwa janji Siluman Goa Tengkorak sama sekali tidak dapat dipercaya.
Begitu kaki tangannya bergerak, gadis cantik yang dulu pernah menjadi datuk kaum sesat di selatan dengan julukan nenek Lam-sin ini, dalam belasan jurus saja sudah membunuh empat orang lawan dan dia sudah menotok seorang anggota gerombolan yang tubuhnya kecil, kemudian dia melompat keluar kamar sambil membawa tawanannya.
"Enci, aku akan pergi menolong Thian Sin..."
Akan tetapi pada saat itu pula dia mendengar suara keras disusul jeritan mengerikan. Dia cepat menengok dan terkejutlah dia. Kiranya Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng, ibu dari kedua orang anak itu, sudah roboh dengan kepala pecah di dekat tembok. Ternyata ibu muda yang putus asa karena selain suaminya terbunuh juga dirinya telah ternoda itu membunuh diri. Kim Hong memandang dan menggigit bibirnya.
"Enci, pergilah dengan tenang. Aku akan menghancurkan gerombolan iblis ini dan akan menyelamatkan anak-anakmu." Dia berbisik, kemudian menerjang keluar.
Belasan orang anak buah perkumpulan itu mencoba untuk menghadangnya, akan tetapi dengan tamparan tangan serta tendangan kakinya, Kim Hong berhasil membuat mereka semua tercerai-berai dan membawa tawanannya meloncat ke atas genteng.
"Hayo tunjukkan jalan keluar kalau engkau tidak ingin kucokel keluar matamu!" desis Kim Hong sambil meraba mata orang dengan telunjuknya.
"Jangan... lihiap... baiklah… akan kutunjukkan..." Tawanannya itu mengeluh dengan suara gemetar dan tubuh menggigil ketika merasa betapa biji matanya diraba-raba jari! "Harap turun ke dekat menara itu, di sana ada jalan rahasia..."
Kim Hong membawa tawanannya melompat turun ke dekat menara. Dua orang anggota gerombolan yang berjaga di sana menyerangnya dengan golok dan pedang, akan tetapi hanya dalam dua gebrakan saja Kim Hong telah membuat mereka terpelanting dan roboh pingsan. Atas petunjuk tawanan itu dia berhasil memasuki terowongan rahasia sehingga akhirnya dia bisa keluar dari jalan rahasia itu sampai di balik tebing. Jalan ini adalah jalan yang diambil oleh Thian Sin ketika sebagai ‘utusan’ Sian-su dia mengusir lima orang dari Bu-tong-pai.
"Tunjukkan di mana adanya tempat orang-orang Hong-kiam-pang itu!" kembali Kim Hong membentak dan orang itu kelihatan semakin ketakutan.
"Tidak...saya... tidak berani..."
"Engkau lebih berani membangkang terhadap perintahku?" Kim Hong membentak. Sekali jari tangannya menotok orang itu lalu bergulingan di atas tanah sambil mengaduh-aduh.
Dalam kegelisahannya akan nasib Thian Sin dan kemarahannya terhadap gerombolan itu, apa lagi setelah melihat Lu Sui Hwa membunuh diri, Kim Hong pada saat itu seperti telah berubah menjadi nenek Lam-sin lagi. Jalan darah yang ditotoknya tadi adalah jalan darah yang membuat orang menderita rasa nyeri yang amat hebat sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya bagian dalam dikeroyok ribuan semut api yang menggerogoti dagingnya!
"Ampun... ampunkan saya...!" Orang itu terengah-engah dan bergulingan.
"Kau mau menunjukkan tempat itu?" Dengan suara dingin Kim Hong bertanya.
Orang itu menangis saking nyerinya, kemudian mengangguk-angguk. Melihat ini, barulah Kim Hong membebaskannya dari totokan yang menyiksa itu kemudian berkata, "Hayo cepat tunjukkan!"
Dengan sangat terpaksa orang itu menunjukkan kuil yang menjadi markas perkumpulan Hong-kiam-pang. Kim Hong yang menyeret tubuh orang itu lalu berlari bagaikan terbang cepatnya karena dia tidak ingin terlambat.
Ketika dia sampai di luar pekarangan kuil, dia merasa lega melihat Thian Sin masih dalam keadaan selamat dan banyak anggota Hong-kiam-pang berkumpul di ruangan depan. Dia cepat-cepat melucuti pakaian luar dan topeng orang itu, kemudian tergesa-gesa memakai pakaian itu dan juga mengenakan topeng Siluman Tengkorak.
"Demikianlah, Thian Sin," Kim Hong mengakhiri ceritanya. "Aku berhasil membuat mereka terkejut kemudian membebaskan totokanmu dengan dua sambitan batu kerikil yang telah kupersiapkan sebelumnya. Sekarang ceritakan pengalamanmu."
"Terima kasih, Kim Hong. Kembali engkau telah menyelamatkan nyawaku," berkata Thian Sin sambil mencium kekasihnya. “Tentang pengalamanku, sebaiknya kuceritakan dalam perjalanan saja. Sekarang yang penting kita harus cepat-cepat menyerbu Goa Tengkorak untuk membasmi mereka sebelum mereka sempat melarikan diri atau membunuh wanita itu."
Kim Hong menyetujui dan sepasang pendekar sakti ini lalu mengerahkan ginkang mereka untuk berlari menuju ke Goa Tengkorak. Di sepanjang perjalanan, Thian Sin menceritakan pengalamannya dengan singkat.
"Kiranya Sian-su keparat itu memang benar-benar hendak memegang janjinya, yaitu tidak akan membunuh kita berdua, akan tetapi dia hendak meminjam tangan orang-orang dari Hong-kiam-pang untuk membunuhku, kemudian dengan ilmu sihir dan obat biusnya tentu dia akan berusaha untuk menguasai dirimu supaya engkau suka membantu pekerjaannya yang terkutuk itu!" kata Thian Sin mengakhiri penuturannya.
"Akan tetapi bagaimana engkau bisa berada di tangan orang-orang Hong-kiam-pang yang haus darah itu?"
"Hushh, jangan kau sebut haus darah. Mereka sudah kehilangan tujuh orang murid, tidak aneh kalau mereka mendendam kepada Siluman Goa Tengkorak. Apa lagi kalau mereka ketahui bahwa gerombolan Siluman Goa Tengkorak memang amat jahat dan keji, sebagai pendekar-pendekar tentu mereka itu akan menentang secara mati-matian. Dan aku yang berpakaian dan bertopeng seperti ini, tentu tak akan mereka ampuni."
"Akan tetapi bagaimana engkau sampai terjatuh ke tangan mereka?"
"Sudah kukatakan tadi, aku dalam keadaan pingsan akibat obat bius. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku dan tahu-tahu aku sudah berada di sana sampai kau datang. Tentu ini adalah siasat Sian-su yang menyerahkan aku kepada Hiong-kiam-pang sebagai seorang Siluman Goa Tengkorak, dengan maksud agar orang-orang Hong-kiam-pang itu membunuhku."
"Sian-su keparat itu sungguh licik, curang, keji dan amat jahat. Jika bertemu dengannya, aku pasti tidak akan memberi ampun kepadanya!" Kim Hong berkata dengan nada suara marah.
"Akan tetapi engkau harus berhati-hati, karena dia memiliki ilmu sihir yang cukup kuat. Jangan lengah dan pergunakan semua ilmu penolak sihir seperti yang pernah kuajarkan kepadamu kalau dia mempergunakannya," pesan Thian Sin dan Kim Hong mengangguk.
Dia memang pernah mempelajari cara-cara penolakan sihir dari kekasihnya itu dan kalau dia sampai pernah jatuh dalam pengaruh sihir dari ketua Siluman Goa Tengkorak, adalah karena dia tak menyangka sama sekali, tertipu oleh tosu kuil itu dan juga karena memang siluman itu memiliki kekuatan sihir yang amat kuat.
***************
Di dalam tempat rahasia ini perkumpulan Jit-sian-kauw itu, Sian-su mengumpulkan semua anak buah dan juga para tamunya. Sepasang mata di balik topeng itu nampak gelisah.
"Para anggota dan juga para saudara sekepercayaan yang mulia! Tempat pemujaan kita terancam bahaya besar! Pendekar Sadis serta pembantunya sudah berkhianat dan tentu mereka itu akan datang mengacau di sini. Oleh karena itu aku perintahkan kepada semua anggota supaya bersikap waspada, menjaga semua jalan masuk dan memasang semua jebakan. Dan kepada semua saudara sekepercayaan, saya harap sukalah mengeluarkan sedikit tenaga membantu mempertahankan tempat pemujaan kita yang keramat."
Dengan cekatan Sian-su lalu membagi-bagi tugas di antara anak buahnya yang jumlahnya tinggal tiga puluh orang lebih itu, memerintahkan para wanita itu bersembunyi di ruangan dalam dan tidak memperbolehkan mereka keluar. Dengan pakaian Siluman Tengkorak, Tosu Siok Cin Cu yang menjadi pembantu utamanya, mewakilinya untuk mengatur para anak buah dalam melakukan penjagaan.
Kemudian Sian-su membujuk para tamunya yang berkepandaian untuk turut melakukan penjagaan. Di antara para tamunya itu terdapat sepuluh orang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan mereka ini yang merasa betapa pusat kepercayaan mereka terancam oleh musuh, dengan senang hati mau membantu Sian-su.
Kepercayaan yang membuta sering kali menyesatkan orang dan membuat manusia lupa bahwa segala macam agama atau kepercayaan diciptakan untuk manusia. Agama atau kepercayaan lain diadakan untuk menuntun manusia ke jalan yang dianggap benar dan baik. Sebab itu jelaslah bahwa manusianya yang penting dan kepercayaan itu merupakan pelengkap dalam kehidupan, sebagai alat penerangan dan penuntun.
Namun, betapa banyaknya kepercayaan yang membuta membuat para pemeluknya lupa bahwa manusianya yang penting dan mereka itu bahkan lebih mementingkan agama atau kepercayaannya, ada pun manusianya sendiri lalu menjadi alat belaka yang mudah saja dikorbankan demi kepercayaan atau agama itu.
Dan yang memegang peran di dalam hal ini adalah para pemimpinnya, para pendetanya yang mempergunakan nama agama untuk memenuhi ambisi pribadinya. Para pemeluk itu mau saja diseret ke dalam kancah permusuhan dan kebencian, bunuh-membunuh, rela berkorban untuk membunuh atau pun terbunuh, semua dilakukan demi mempertahankan agama atau kepercayaan seperti yang digembar gemborkan oleh para pemimpinnya. Dan terjadilah keadaan yang sama sekali terbalik. Bukan lagi agama untuk manusia namun manusia untuk agama, bukan lagi agama sebagai alat manusia tetapi manusia menjadi alat agama.
Demikian pula dengan para tamu dari ketua Jit-sian-kauw ini. Mereka pun menyerahkan kepercayaan secara membuta dan di dalam penyerahan kepercayaan ini memang selalu terdapat hal-hal yang dianggap menguntungkan atau menyenangkan sebagai pendorong.
Mereka, para pemeluk agama Jit-sin-kauw ini, tidak hanya sudah menikmati kesenangan jasmani berupa pesta pora pemuasan nafsu-nafsu birahi, akan tetapi juga kesenangan batiniah yang berupa harapan bahwa kelak apa bila sudah mati mereka akan memperoleh kesenangan karena sudah disediakan sebuah tempat yang baik untuk mereka oleh Dewa Kematian yang telah mereka puja-puja dan beri korban. Kini, mereka rela untuk membela kepercayaan mereka, bahkan jika perlu mereka rela untuk mati, dengan keyakinan bahwa kematian itu akan berakhir dengan kesenangan bagi mereka.
Para tamu ini sama sekali tidak tahu bahwa pada waktu mereka ikut berjaga dengan sibuk untuk menjaga dan mempertahankan ‘tempat pemujaan keramat’ itu, pada sebelah dalam kamar rahasianya, Sian-su yang dibantu oleh orang kepercayaannya, yaitu Siok Cin Cu, tengah sibuk sendiri membenahi barang-barang berharga yang amat berharga, semuanya dimasukkan ke dalam dua buah peti sampai penuh!
"Siok Cin Cu, kita harus dapat menyelamatkan dua peti ini lebih dahulu. Pendekar Sadis dan wanita itu tak boleh dipandang ringan. Engkau tahu ke mana harus menyembunyikan peti-peti ini kalau keadaan memaksa."
"Baik, Sian-su, jangan khawatir. Akan tetapi sudah demikian berbahayakah keadaannya sehingga Sian-su perlu berkemas dan berkhawatir?" tanya tosu Siok Cin Cu itu di balik topengnya.
"Berbahaya sekali sih belum, akan tetapi kita perlu waspada. Para anak buah dan para tamu dengan bantuan jebakan-jebakan mungkin akan sanggup menahan Pendekar Sadis dan temannya. Akan tetapi aku khawatir bahwa Hong-kiam-pang tidak akan mau sudah, kemudian mereka akan berusaha untuk menemukan tempat kita. Im Yang Tosu agaknya berkeras hati benar untuk menggempur kita."
Siok Cin Cu menarik napas panjang. "Agaknya kita telah salah tangan membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan itu, Sian-su, sehingga masalah menjadi berlarut-larut dan memancing permusuhan dengan Hong-kiam-pang."
"Tidak salah tangan sama sekali. Pertama, mereka menentang kita. Ke dua, ada gejala-gejala bahwa di antara mereka itu sudah mengetahui rahasiaku. Mereka memang perlu dibinasakan untuk mencegah datangnya bahaya yang lebih besar."
Percakapan mereka terhenti pada saat terdengar suara hiruk pikuk di luar. Mereka saling pandang dan dua pasang mata di balik topeng itu nampak gelisah. Akan tetapi Sian-su menenangkan diri dan berkata, "Siok Cin Cu, engkau membawa peti ini sebuah dan aku sebuah. Engkau mengambil jalan kiri dan aku ke kanan. Engkau tahu di mana kita dapat bertemu di luar tempat ini."
"Sian-su... hendak meninggalkan tempat ini? Apakah tidak menahan musuh dulu?"
"Sstttt, diamlah. Yang penting adalah menyelamatkan dua peti ini, baru kita pikirkan untuk menghantam musuh yang berani masuk ke sini. Mari, cepat!" kata Sian-su menyerahkan sebuah di antara dua peti hitam itu kepada Siok Cin Cu.
Tosu ini menerima peti, mengangguk dan segera meloncat pergi dari kamar rahasia itu, bersimpang jalan dengan ketuanya. Memang di tempat itu telah terjadi pertempuran, mulai di terowongan.
Seperti kita ketahui, Thian Sin dan Kim Hong menuju ke belakang tebing untuk menyerbu sarang Jit-sian-kauw itu dari belakang, melalui jalan rahasia yang sudah mereka berdua ketahui. Akan tetapi sebelum menuju ke sana, Thian Sin mengajak Kim Hong untuk lebih dulu memasuki sebuah hutan kecil yang tak jauh dari situ.
"Ehh, kita ke mana?" tanya Kim Hong yang seperti juga kekasihnya telah menanggalkan pakaian dan topeng tengkorak.
"Sudah kuceritakan kepadamu bahwa aku pernah terpaksa mengusir lima orang tokoh Bu-tong-pai dan aku berhasil memberi tahu mereka tentang keadaanku lalu minta kepada mereka untuk menanti di hutan ini. Nah, itu mereka!" kata Thian Sin ketika melihat Liang Hi Tojin keluar dari sebuah gubuk kecil bersama empat orang murid Bu-tong-pai.
Cepat Thian Sin dan Kim Hong menghampiri mereka.
"Siancai, siancai... sungguh tidak sabar kami menanti-nanti berita darimu, Ceng-taihiap," kata Liang Hi Tojin sambil menjura ke arah dua pendekar itu. "Dan Toan-lihiap juga sudah datang, sungguh membesarkan hati!"
Thian Sin dan Kim Hong yang sudah mengenal tokoh ke dua dari Bu-tong-pai ini segera membalas penghormatan mereka berlima. "Saya menunggu saat dan kesempatan yang baik, totiang. Dan sekaranglah saat yang baik itu tiba."
"Kita menyerbu Goa Tengkorak? Tapi... kami tidak pernah menemui jalan masuk."
"Jangan khawatir, kami telah tahu jalannya," kata Kim Hong. "Mari ngo-wi (kalian berlima) ikuti kami."
Berbondong-bondong mereka kemudian berangkat dengan penuh semangat. Orang-orang Bu-tong-pai ini bukan hanya ingin membalas kematian Louw Ciang Su murid Bu-tong-pai, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, akan tetapi juga mereka merasa bertugas untuk membasmi gerombolan Siluman Goa Tengkorak yang telah melakukan pengacauan dan kejahatan-kejahatan kejam itu.
Sesudah menemukan jalan masuk rahasia melalui terowongan itu, Thian Sin masuk lebih dahulu, diikuti oleh Kim Hong. Di belakang dua orang pendekar ini, barulah Liang Hi Tojin beserta empat orang murid keponakannya berjalan masuk dengan pedang siap di tangan mereka.
Sebagai orang yang pernah diperdaya oleh Sian-su, Thian Sin pernah melalui terowongan ini dan rahasia jebakan terowongan ini tidak disembunyikan darinya, maka sedikit banyak dia tahu di mana adanya jebakan-jebakan itu. Sebaliknya, pada waktu melarikan diri dari tempat itu, Kim Hong membawa seorang tawanan yang sudah memberi tahu kepadanya adanya jebakan-jebakan sehingga dia bersikap hati-hati sekali, dan juga dalam keributan itu, terowongan tidak terjaga dan tidak ada anggota gerombolan yang menggerakkan alat rahasia jebakan.
Ketika tiba di sebuah tikungan terowongan, tiba-tiba saja Thian Sin berseru, "Awas anak panah!"
Dan hampir berbareng dengan ucapannya, dari depan dan belakang menyambar puluhan batang anak panah ke arah mereka! Akan tetapi, orang-orang Bu-tong-pai itu sudah siap dengan pedang mereka dan dengan memutar pedang, anak panah yang menyambar itu runtuh ke atas tanah.
Kim Hong dan Thian Sin menggunakan gerakan tangan mereka untuk menangkis hingga ada dua batang anak panah berhasil ditangkap oleh Thian Sin yang cepat menggerakkan tangan. Dua batang anak panah itu meluncur ke atas, lantas terdengarlah jeritan orang yang disusul jatuhnya sesosok tubuh yang tadinya bersembunyi pada bagian atas sambil menggerakkan alat-alat yang meluncurkan anak-anak panah itu. Orang itu tewas dengan leher dan dada tertembus dua batang anak panah yang dilemparkan oleh Thian Sin tadi.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati tanpa mempedulikan orang yang sudah tewas itu. Mereka melangkahi mayat itu dan dengan hati-hati Thian Sin terus melangkah maju, diikuti oleh yang lainnya. Terowongan itu tidak begitu gelap, sedikit remang-remang karena ada cahaya matahari yang masuk melalui beberapa celah-celah yang berada di langit-langit torowongan.
"Berhenti...!" Tiba-tiba Thian Sin berbisik sehingga semua orang berhenti.
Tidak nampak sesuatu yang mencurigakan di situ, akan tetapi mereka melihat Pendekar Sadis memberi isyarat agar mereka berhenti, sedangkan dia sendiri melangkah ke depan sambil melirik ke sana-sini dengan penuh kewaspadan. Tiba-tiba terdengar bunyi berderit lantas lantai yang diinjaknya itu terbuka, sedangkan di dalam sumur itu nampak batu-batu meruncing menanti di bawah!
Akan tetapi, Thian Sin sudah mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya mencelat ke kanan, ke arah batu karang besar dan sekali tangannya menyambar, dia telah menangkap seorang lelaki bertopeng tengkorak lantas tubuh orang itu pun dilemparkannya ke dalam sumur, sedangkan dia sendiri sudah meloncat kembali ke tempat semula di mana teman-temannya berdiri memandang dengan mata terbelalak ke dalam sumur.
Orang yang terlempar itu mengeluarkan suara pekik mengerikan, lalu tubuhnya disambut oleh batu-batu karang yang seperti golok itu dan tewas seketika. Lantai itu masih terbuka dan terpaksa mereka bertujuh harus melompati sumur itu dan melanjutkan perjalanan lagi ke depan.
Tidak ada lagi jebakan yang menghadang perjalanan mereka. Akan tetapi begitu keluar dari pintu rahasia, mereka segera diserbu oleh para anak buah Siluman Goa Tengkorak yang dibantu oleh sepuluh orang tamu pemeluk kepercayaan baru itu sehingga terjadilah perkelahian yang amat seru.
Liang Hi Tojin mengamuk, sementara empat orang murid keponakannya juga memainkan pedang mereka, dikeroyok oleh para anggota gerombolan Jit-sian-kauw yang dibantu oleh sepuluh orang tamu. Melihat betapa sepak terjang Liang Hi Tojin dan empat orang murid Bu-tong-pai itu cukup tangkas dan kuat, Thian Sin dan Kim Hong kemudian sama-sama meloncat ke arah dalam.
"Engkau dari kiri, aku dari kanan!" kata Thian Sin dan nona itu mengangguk, mengerti apa yang dikehendaki kekasihnya.
Mereka berdua sudah tahu di mana adanya kamar Sian-su, dan memang ada dua jalan yang menuju ke kamar itu, sebuah kamar yang mewah dan di mana hampir setiap malam terjadi kecabulan.
Pada saat itu tampak seorang yang berpakaian dan bertopeng Siluman Tengkorak tengah bergegas melarikan diri keluar dari lorong sambil membawa sebuah peti hitam. Orang ini bukan lain adalah Siok Cin Cu, yaitu tosu pembantu utama Sian-su yang bertugas untuk menyelamatkan sebuah peti berisi barang perhiasan itu.
Diam-diam tosu ini merasa heran sekali, kenapa Sian-su tidak lebih dulu menyambut dan menahan serbuan lawan akan tetapi lebih mementingkan untuk menyelamatkan barang-barang berharga itu. Akan tetapi, karena dia sendiri maklum betapa lihainya Pendekar Sadis, tugas ini tentu saja menggembirakan hatinya. Dia tidak perlu menghadapi lawan yang mengerikan itu dan lebih enak menyelamatkan diri sambil membawa peti perhiasan yang dia tahu amat berharga ini. Andai kata Sian-su gagal, dia sendiri masih mempunyai satu peti yang akan cukup untuk dimakan selama tujuh turunan dalam keadaan mewah!
Ketika dia berlari melewati lorong itu, tiba-tiba dia melihat seorang wanita cantik berdiri di depan. Dia menduga bahwa tentu seorang di antara para gadis dayang dan penari yang keluar dari tempat mereka dikurung. Melihat wanita cantik ini, Siok Cin Cu tersenyum di balik topengnya. Bagaimana kalau dia membawa wanita cantik itu bersamanya? Selain untuk teman di perjalanan juga untuk menghibur hatinya!
"Hei, berani engkau keluar dari ruangan itu? Hayo kau ke sini dan ikut bersamaku....!"
Akan tetapi tiba-tiba Siok Cin Cu menghentikan kata-katanya. Ternyata, sesudah datang mendekat, dia mengenal wanita ini yang bukan lain adalah Toan Kim Hong!
Kim Hong berdiri dengan senyum manis dikulum. Ucapan yang keluar dari balik topeng itu dikenalnya dengan baik dan senyumnya semakin melebar menghias bibirnya yang merah basah dan manis ini. Ia lalu bertolak pinggang menghadang di tengah lorong.
"Aihh, kiranya si pertapa Siok Cin Cu yang sangat suci itu pun memiliki jubah dan topeng tengkorak? Totiong, tentu engkau belum lupa kepadaku, bukan? Aku tidak pernah dapat melupakanmu sebab budi totiang saat membawaku ke susiok totiang itu sampai sekarang belum juga sempat kubalas!" Kim Hong berkata dengan nada manis dan ramah, namun sepasang matanya yang mencorong itu mengeluarkan cahaya dingin yang membuat Siok Cin Cu merasa bulu tengkuknya meremang.
Akan tetapi dia bukan seorang yang lemah. Dia adalah pembantu utama dari Sian-su dan dia sudah mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Karena maklum bahwa bicara banyak juga tiada gunanya, dan bahwa wanita ini adalah teman dari Pendekar Sadis, maka dia harus dapat merobohkan wanita ini sebelum pendekar itu sendiri muncul.
Maka dia lantas mengeluarkan bentakan nyaring dan dia langsung menggerakkan tangan kanannya untuk mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang dari pinggangnya, lalu dia menubruk ke depan dengan serangan kilatnya! Tangan kirinya masih memeluk peti hitam di dekat dadanya.
"Singgg...! Wuuuutt...!"
Tusukan pedang itu luput ketika Kim Hong mengelak dengan gerakan seenaknya, namun tusukan itu langsung dilanjutkan dengan sabetan sebagai serangan selanjutnya. Gerakan tosu ini memang cukup cepat. Namun, tentu saja dia hanya merupakan lawan yang lunak dari Kim Hong yang pernah menjadi datuk berjuluk nenek Lam-sin ini.
Sambil tersenyum mengejek, Kim Hong kembali mengelak. Dia tidak segera turun tangan terhadap tosu ini karena perhatiannya tertarik kepada peti hitam yang dipeluk si kakek. Tentu berisi benda penting maka hendak dilarikan oleh tosu ini, pikirnya. Oleh karena itu, timbul niat di hatinya untuk merampas peti ini dan memeriksa apa isinya, baru dia akan menghajar tosu palsu ini.
"Hyaaaatt...!"
Kembali Siok Cin Cu menyerang dengan gerakan pedangnya yang berkelebat seperti kilat menyambar itu. Kim Hong cepat mengelak ke kiri dan ketika pedang itu menusuk ke arah matanya, dia miringkan kepala dan menggunakan tangan kiri untuk menjepit ujung pedang itu dengan ibu jari, telunjuk dan jari tengah, sedangkan kaki kanannya menendang ke arah muka lawan dengan gerakan kilat.
"Brettttt…!"
Tosu itu berteriak kaget, bukan hanya karena pedangnya seperti terjepit baja dan topeng tengkoraknya robek terkena ujung sepatu gadis itu, akan tetapi terutama sekali karena pada saat itu tangan kanan gadis itu sudah bergerak dan merampas peti hitamnya!
Sesudah berhasil merobek topeng sehingga nampak wajah Siok Cin Cu yang agak pucat dan berhasil pula merampas peti hitam itu, Kim Hong tertawa dan dengan tubuh membuat jungkir balik tiga kali, dia meloncat ke belakang lantas duduk sembarangan di atas lantai, membuka peti hitam itu. Wajahnya berseri, matanya terbelalak dan mulutnya tersenyum girang ketika dia melihat isi peti yang berkilauan itu, terdiri dari perhiasan-perhiasan emas perak penuh batu permata yang mahal-mahal itu.
Dengan wajah pucat Siok Cin Cu memandang. Dia tahu bahwa nona itu lihai bukan main dan jika berkelahi secara berhadapan, belum tentu dia akan menang. Karena itu, melihat betapa gadis itu kini terpesona oleh perhiasan di dalam peti bagaikan seorang anak kecil tertarik oleh mainan yang bagus, diam-diam dia lalu mengambil jalan memutar, mengitari gadis dalam ruangan itu dengan pedang siap di tangan.
Setelah tiba di belakang Kim Hong, tiba-tiba dia meloncat, menubruk dan menggerakkan pedangnya untuk melakukan serangan maut yang kiranya tak akan mungkin dihindarkan oleh gadis yang sedang duduk di lantai dan tertarik oleh perhiasan-perhiasan itu. Akan tetapi, tanpa menoleh Kim Hong menggerakkan tangan yang sedang memegang tusuk konde kumala tadi ke belakang dan gerakan tosu itu tiba-tiba terhenti di tengah udara!
Tubuh yang sedang mengangkat pedang hendak membacok itu tiba-tiba terhenti, seperti tertahan oleh kekuatan dahsyat. Pedangnya terhenti di atas kepala lalu terlepas dan jatuh ke atas lantai. Kedua lututnya terkulai dan tertekuk lantas tubuhnya jatuh berlutut, kedua tangan mendekap dada di mana tusuk konde itu amblas dan memasuki dadanya tepat menusuk jantung. Dia pun roboh dan hanya berkelojotan sebentar. Tewaslah Siok Cin Cu tanpa bisa bersambat lagi, matanya terbuka memandang kosong ke arah peti hitam yang terbuka di depan Kim Hong.
Kim Hong meloncat bangun dan menutupkan kembali peti hitam, lalu membawa peti itu dan berloncatan menuju ke kamar pusat di mana dia mengharapkan akan dapat bertemu dengan orang yang sangat dibencinya, yaitu Sian-su atau Siluman Goa Tengkorak, ketua dari Jit-siankauw. Akan tetapi dia telah kalah dulu oleh Thian Sin.
Seperti juga halnya tosu Siok Cin Cu, Sian-su atau Siluman Goa Tengkorak itu melarikan diri membawa sebuah peti hitam yang dipeluknya. Akan tetapi baru saja dia meninggalkan kamarnya dan tiba di ruangan sembahyang, tiba-tiba dia berhenti berlari dan memandang ke depan dengan mata terbelalak.....
"
;
Komentar