ASMARA BERDARAH
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
-pandeglang
ASMARA BERDARAH JILID 001 (↕)
Kota Ceng-tao terletak di tepi laut, merupakan sebuah kota pelabuhan yang besar di Propinsi Shan-tung. Setiap hari perahu-perahu dagang yang besar berlabuh disitu, ada yang datang membawa barang-barang dagangan dari luar daerah, bahkan dari luar negeri ke kota itu, ada pula yang mengangkut barang-barang dari dalam keluar.
Bukan hanya perdagangan yang meramaikan kota Ceng-tao, akan tetapi juga hasil penangkapan ikan di laut daerah pelabuhan itu amat baik sehingga pantai itu penuh pula dengan perahu-perahu nelayan dan terbentuklah sebuah pasar ikan di tepi pantai.
Biasanya, sejak pagi sekali, pantai itu telah sibuk, terutama sibuk dengan para nelayan yang baru pulang dari tengah lautan dimana mereka bekerja, semalam suntuk menangkap ikan, membawa hasil penangkapan ikan mereka yang memenuhi perahu mereka. Bau amis ikan-ikan mati akan memenuhi tempat itu, dan bukan hanya lalat-lalat yang merubung, akan tetapi juga manusia-manusia yang berebutan melelang ikan-ikan itu untuk dijual kembali ke pasar dan memperoleh untung yang kadang-kadang lebih besar daripada para nelayan itu sendiri.
Kadang-kadang nampak pula pemandangan yang mengharukan, menyedihkan dan mendatangkan rasa penasaran dalam hati. Sebagian besar para nelayan itu hanya alat-alat belaka dari para juragan yang melepas uang untuk memberikan perahu-perahu, jala-jala dan alat-alat perlengkapan yang baik untuk menangkap ikan. Dan mereka inilah yang menentukan harga jika para nelayan kembali dari tengah laut.
Harga ditekan sedemikian rupa dan para nelayan tidak berani melawan karena mereka telah terbenam dalam hutang setinggi leher. Selain itu, para juragan itu membawa tukang-tukang pukul yang galak dan kejam. Tidak jarang terjadi pemukulan-pemukulan di tepi pantai itu oleh para tukang pukul terhadap nelayan yang berani membangkang.
Ada pula nelayan-nelayan yang menangis karena hasilnya terlampau sedikit untuk dapat menghidupkan keluarganya, apalagi kalau ada anggauta keluarga yang sedang sakit dan membutuhkan uang untuk biaya pengobatan.
Akan tetapi, pada pagi hari itu keadaan di tepi pantai agak sunyi. Hujan telah turun sejak malam tadi. Karena hujan badai membuat air laut meliar, para nelayan banyak yang terpaksa pulang malam tadi tanpa memperoleh hasil.
Setelah matahari mulai muncul, hujan mereda, tidak selebat semalam, akan tetapi masih juga turun rincik-rincik. Di kota Ceng-tao sendiri, biarpun pagi itu masih hujan gerimis, namun di jalanan penuh juga oleh orang berlalu-lalang memakai payung atau memakai caping lebar untuk melindungi diri dari timpaan air lembut yang dingin.
Nampak pula gerobak-gerobak yang membawa barang-barang dagangan seperti sayur-mayur, ikan dan sebagainya, berbondong-bondong menuju ke pasar yang berada di tengah kota. Ada pula tukang-tukang pikul yang memikul barang-barang berat menuju ke pasar. Mereka ini tidak berbaju dan tubuh yang bagian atasnya telanjang itu tertimpa air hujan.
Tubuh yang berkeringat itu menjadi semakin basah. Air hujan bercampur air keringat membuat tubuh itu mengkilap, nampak kuat dengan otot-otot menjendol. Namun mereka tidak terganggu oleh air hujan yang dingin. Bahkan terasa enak di badan, sejuk dan banyak mengurangi rasa lelah.
Bermacam orang berlalu-lalang di jalan raya menuju ke pasar. Dari keadaan pakaian mereka, dapat diketahui siapa diantara mereka yang pedagang beruang dan siapa yang hanya kuli miskin.
Pakaian mereka yang mendatangkan perbedaan itu, bukan hanya pakaian, akan tetapi juga pandang mata dan sikap mereka. Sebagian besar manusia mencerminkan keadaan kehidupan mereka pada sikap dan air muka. Yang kaya, pandai atau berkedudukan biasanya mengangkat muka tinggi-tinggi, merasa lebih daripada orang lain. Sebaliknya, orang-orang yang merasa dirinya miskin, bodoh dan tidak ada kekuasaan, banyak menunduk dan merendahkan diri.
Akan tetapi pada pagi hari itu, terdapat suatu suasana gembira yang dapat dirasakan oleh semua orang dari segala tingkatan. Semacam kegembiraan yang aneh, yang terasa oleh seluruh badan dan batin, kegembiraan yang tercipta oleh keadaan bumi dan udara.
Setelah hujan lebat semalam, jalan-jalan raya, genteng-genteng rumah, kesemuanya nampak bersih tercuci oleh air hujan. Biarpun hujan masih gerimis dan matahari masih tertutup kabut, namun suasana terasa bersih, sejuk dan jernih. Suara air selokan yang menampung air hujan dan segala kotoran yang disapu olehnya, seperti dendang pagi yang amat merdu. Bahkan pohon-pohon nampak berseri karena merekapun dicuci bersih dari debu-debu, juga daun-daun tua dirontokkan. Setiap daun kini nampak hijau bersih kemilau. Suasana ini mendatangkan suatu rasa gembira yang ajaib.
Di pintu gerbang kotapun nampak beberapa orang atau gerobak lewat. Mereka datang dari dusun-dusun di luar kota Ceng-tao. Matahari sudah naik agak tinggi namun hujan masih turun rintik-rintik, walaupun sudah mulai jarang. Dan pada saat itu, pintu gerbang telah sunyi, tidak nampak orang lewat lagi. Agaknya orang-orang dusun yang menuju ke kota Ceng-tao sudah habis.
Mereka datang mulai pagi sekali tadi, takut kalau kesiangan yang akan membuat dagangan mereka jatuh harga atau tidak laku. Para penjaga pintu gerbang duduk bersantai di dalam gardu. Mereka itu tentu saja merasa enggan untuk berjaga diluar dan tertimpa air hujan. Pula, dalam keadaan aman seperti hari itu, perlu apa berjaga dengan ketat? Yang memasuki pintu gerbang bukan lain hanyalah orang-orang dusun yang hendak berjualan ke pasar kota.
Suasana di sekitar pintu gerbang sunyi dan hening. Para penjaga yang berada di dalam gardu mengasyikkan diri bermain kartu sambil minum arak untuk menghangatkan tubuh.
Tiba-tiba, dari jauh terdengar suara nyanyian! Suaranya agak parau, dalam, dan terdengar lucu, nada-nadanya seenaknya saja. Mau tidak mau para penjaga mendengarnya juga karena suara itu terdengar lucu dan aneh, merekapun setengah memperhatikan. Suara nyanyian itu kini diseling suara ringkik kuda dan makin didengarkan, makin tertariklah hati para penjaga karena memang suara nyanyian itu lucu dan juga aneh kata-katanya. Apalagi diseling ringkik kuda, seolah-olah manusia dan kudanya bernyanyi bersama-sama. "Tok-tak-tok-tak hujan turun bertitik Top-tap-top-tap langkah kudaku cantik! Hiiii... yeeehhhh...! (ringkik kuda) Biar hujan biar panas, manusia tetap mengeluh biar panas biar hujan, kuda takkan mengaduh! Hiii... yeeehhhh...! (ringkik kuda) Manusia memang pintar, pandai berkeluh-kesah kudaku memang tolol, tak kenal hati susah! Hiii... yeeehhhh...! (ringkik kuda) Ha-ha-hi-ha-ha-ha-ha!" Para penjaga dalam gardu kini menghentikan permainan kartu mereka dan beberapa orang diantara mereka melongok dari jendela gardu untuk melihat siapa gerangan orangnya yang bernyanyi-nyanyi secara aneh dalam hujan rintik-rintik itu. Tak lama kemudian nampaklah orangnya! Seekor kuda yang bentuknya lucu, kecil kurus dan pendek sehingga mirip seekor anak kuda yang mukanya sudah tua, melangkah seenaknya dan agaknya kuda itu selalu berbunyi meringkik kalau lehernya ditepuk oleh penunggangnya. Tidak mengherankan kalau dia dapat ikut bernyanyi menyelingi suara nyanyian majikannya tadi. Kuda kecil mirip keledai itu melangkah sambil menunduk, kadang-kadang berdongak kalau meringkik dan matanya yang besar itu berkilat. Dia nampak gembira dan lega karena tersiram air yang menyegarkan setelah setiap hari melakukan perjalanan jauh di atas jalan berdebu dan di bawah sengatan terik matahari. Air hujan itu amat menyenangkan hatinya, agaknya perasaan itu sama dengan apa yang dirasakan oleh para tukang pikul tadi.
Penunggang kuda itu tidak kalah anehnya dibandingkan dengan kudanya sendiri. Ia seorang wanita muda, seorang gadis remaja yang pakaiannya aneh dan tidak karuan! Bajunya kembang-kembang dan tambal-tambal, dijahit seenaknya saja sehingga kebesaran dan kedodoran, lengan kiri terlalu pendek lengan kanan terlalu panjang, bahkan ada bagian pundak yang robek.
Mukanya kotor berdebu, muka yang amat lincah gembira penuh senyum dan matanya juga bersinar-sinar membayangkan kelucuan dan kenakalan. Rambutnya yang hitam dan subur itu dikepang dua dan yang sebelah membelit leher, sebelah lagi berjuntai di depan dada.
Lucunya, dara remaja yang aneh ini memegang sebuah payung butut yang sudah bocor di sana-sini. Naik kuda pakai payung butut dan bernyanyi-nyanyi! Belum pernah para penjaga itu melihat yang selucu ini dan merekapun tertawa. Mungkin perempuan gila, pikir mereka.
Akan tetapi, setelah dara dan kudanya datang semakin dekat, nampaklah oleh mereka bahwa di balik kelucuan dan kesederhanaan yang ugal-ugalan itu masih dapat dilihat bentuk wajah yang manis dan bentuk tubuh yang padat ramping dan mulai mekar, mulai menunjukkan lekuk lekung tubuh yang amat indah bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar dari kuncupnya. Seorang dara yang usianya kurang lebih lima belas tahun.
Enam orang penjaga di dalam gardu itu tertawa keras, membuat dara penunggang kuda menengok. Melihat orang-orang itu tertawa, gadis itupun tersenyum dan melihat mereka kini melambaikan tangan, iapun ikut melambaikan tangan. Hal ini membuat para penjaga menjadi semakin gembira. Keadaan yang sunyi, hawa yang dingin, dan pengaruh arak membuat mereka menjadi iseng. Dua orang diantara mereka, yaitu kepala penjaga dan pembantunya, bangkit dan keluar dari gardu sambil berseru,
"Heii, nona manis, tunggu dulu!" Empat orang teman mereka mencoba untuk mengingatkan mereka, akan tetapi karena mereka itu adalah kepala jaga dan pembantunya, yang lain tidak berani menentang. "Hemm, kalian tahu aku bukanlah jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Aku hanya ingin menggoda anak lucu itu, paling-paling hanya akan menciumnya. Kalau ia mau, boleh kita bawa kesini dan kita ajak main-main, kalau ia tidak maupun aku tidak akan memaksa." Dengan kata-kata demikian, para temannya hanya tertawa gembira. Bagaimana-pun juga, mereka adalah perajurit-perajurit yang sudah biasa suka bersikap ugal-ugalan dan suka main-main untuk memperlihatkan kekuasaan dirinya. Kepala jaga itu adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, tubuhnya pendek dengan perut gendut sebesar gentong, rambut kepala di bagian ubun-ubun botak dan matanya juga lebar bundar. Tubuh yang gendut pendek itu membayangkan kekuatan yang besar dan ketika dia menyeringai, giginya nampak hitam oleh candu rokok. Pembantunya juga berusia empat puluhan, tubuhnya tinggi kurus dan matanya sipit, kulit mukanya agak pucat seperti orang berpenyakitan. Kedua orang ini sudah keluar dari pintu gardu dan kini berdiri menghadang di tengah-tengah pintu gerbang, bertolak pinggang dengan kedua kaki mereka terpentang lebar. Mereka memandang ke depan, kearah dara berkuda itu dengan mulut menyeringai. Dara itu agaknya tidak mengerti akan maksud dua orang laki-laki yang hendak menggoda atau mengganggu itu. Karena dua orang itu menghadang di tengah pintu gerbang, maka terpaksa ia menahan kudanya agar tidak sampai menabrak mereka dan dengan senyum lebar iapun berkata, "Heii, dua orang sobat penjaga, berilah kudaku jalan dan biarkan aku lewat!" Setelah kini berhadapan dan melihat dari dekat, kepala jaga itu dengan hati girang sekali mendapatkan kenyataan bahwa gadis yang berpakaian aneh-aneh ini, biarpun kulit mukanya kotor penuh debu, namun sesungguhnya wajah itu amat manis dan sebagian kulit yang agaknya terkena usapan tangan dan bersih dari debu nampak mulus dan putih. Seorang dara remaja yang manis sekali! Apalagi, ketika gadis itu tersenyum, nampak lesung pipit menghias pipinya dan juga giginya nampak putih dan rata. "Ha-ha-ha, nona. Boleh saja engkau lewat, akan tetapi engkau harus membayar pajak lebih dulu!" kata kepala jaga yang gendut sambil tertawa sehingga perut gendutnya bergerak-gerak. Nona muda itu mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Eh, eh, mana ada aturan begitu? Sudah banyak aku keluar pintu gerbang, dan pintu gerbang yang inipun sudah banyak dilewati orang setiap hari, akan tetapi tidak pernah ada orang lewat diharuskan membayar pajak! Rasanya pemerintah belum pernah mengeluarkan keharusan membayar pajak lewat pintu gerbang!" "Ha-ha-ha, engkau ini nona manis tapi bodoh. Kalau yang berkuasa menghendaki, jangankan lewat pintu gerbang kota, bahkan orang kentutpun bisa saja diharuskan membayar pajak. Dan sekarang saat ini, yang berkuasa di pintu gerbang ini telah mengharuskan engkau membayar pajak. Jadi, engkau tidak boleh membangkang, nona, karena pembangkangan berarti pemberontakan dan engkau bisa ditangkap dan dijebloskan penjara!" "Hemm, dan siapa yang berkuasa di pintu gerbang ini sekarang?" "Siapa lagi kalau bukan tuan besarmu ini?" Si gendut menunjuk perutnya sendiri yang besar sambil tertawa
Bukan hanya perdagangan yang meramaikan kota Ceng-tao, akan tetapi juga hasil penangkapan ikan di laut daerah pelabuhan itu amat baik sehingga pantai itu penuh pula dengan perahu-perahu nelayan dan terbentuklah sebuah pasar ikan di tepi pantai.
Biasanya, sejak pagi sekali, pantai itu telah sibuk, terutama sibuk dengan para nelayan yang baru pulang dari tengah lautan dimana mereka bekerja, semalam suntuk menangkap ikan, membawa hasil penangkapan ikan mereka yang memenuhi perahu mereka. Bau amis ikan-ikan mati akan memenuhi tempat itu, dan bukan hanya lalat-lalat yang merubung, akan tetapi juga manusia-manusia yang berebutan melelang ikan-ikan itu untuk dijual kembali ke pasar dan memperoleh untung yang kadang-kadang lebih besar daripada para nelayan itu sendiri.
Kadang-kadang nampak pula pemandangan yang mengharukan, menyedihkan dan mendatangkan rasa penasaran dalam hati. Sebagian besar para nelayan itu hanya alat-alat belaka dari para juragan yang melepas uang untuk memberikan perahu-perahu, jala-jala dan alat-alat perlengkapan yang baik untuk menangkap ikan. Dan mereka inilah yang menentukan harga jika para nelayan kembali dari tengah laut.
Harga ditekan sedemikian rupa dan para nelayan tidak berani melawan karena mereka telah terbenam dalam hutang setinggi leher. Selain itu, para juragan itu membawa tukang-tukang pukul yang galak dan kejam. Tidak jarang terjadi pemukulan-pemukulan di tepi pantai itu oleh para tukang pukul terhadap nelayan yang berani membangkang.
Ada pula nelayan-nelayan yang menangis karena hasilnya terlampau sedikit untuk dapat menghidupkan keluarganya, apalagi kalau ada anggauta keluarga yang sedang sakit dan membutuhkan uang untuk biaya pengobatan.
Akan tetapi, pada pagi hari itu keadaan di tepi pantai agak sunyi. Hujan telah turun sejak malam tadi. Karena hujan badai membuat air laut meliar, para nelayan banyak yang terpaksa pulang malam tadi tanpa memperoleh hasil.
Setelah matahari mulai muncul, hujan mereda, tidak selebat semalam, akan tetapi masih juga turun rincik-rincik. Di kota Ceng-tao sendiri, biarpun pagi itu masih hujan gerimis, namun di jalanan penuh juga oleh orang berlalu-lalang memakai payung atau memakai caping lebar untuk melindungi diri dari timpaan air lembut yang dingin.
Nampak pula gerobak-gerobak yang membawa barang-barang dagangan seperti sayur-mayur, ikan dan sebagainya, berbondong-bondong menuju ke pasar yang berada di tengah kota. Ada pula tukang-tukang pikul yang memikul barang-barang berat menuju ke pasar. Mereka ini tidak berbaju dan tubuh yang bagian atasnya telanjang itu tertimpa air hujan.
Tubuh yang berkeringat itu menjadi semakin basah. Air hujan bercampur air keringat membuat tubuh itu mengkilap, nampak kuat dengan otot-otot menjendol. Namun mereka tidak terganggu oleh air hujan yang dingin. Bahkan terasa enak di badan, sejuk dan banyak mengurangi rasa lelah.
Bermacam orang berlalu-lalang di jalan raya menuju ke pasar. Dari keadaan pakaian mereka, dapat diketahui siapa diantara mereka yang pedagang beruang dan siapa yang hanya kuli miskin.
Pakaian mereka yang mendatangkan perbedaan itu, bukan hanya pakaian, akan tetapi juga pandang mata dan sikap mereka. Sebagian besar manusia mencerminkan keadaan kehidupan mereka pada sikap dan air muka. Yang kaya, pandai atau berkedudukan biasanya mengangkat muka tinggi-tinggi, merasa lebih daripada orang lain. Sebaliknya, orang-orang yang merasa dirinya miskin, bodoh dan tidak ada kekuasaan, banyak menunduk dan merendahkan diri.
Akan tetapi pada pagi hari itu, terdapat suatu suasana gembira yang dapat dirasakan oleh semua orang dari segala tingkatan. Semacam kegembiraan yang aneh, yang terasa oleh seluruh badan dan batin, kegembiraan yang tercipta oleh keadaan bumi dan udara.
Setelah hujan lebat semalam, jalan-jalan raya, genteng-genteng rumah, kesemuanya nampak bersih tercuci oleh air hujan. Biarpun hujan masih gerimis dan matahari masih tertutup kabut, namun suasana terasa bersih, sejuk dan jernih. Suara air selokan yang menampung air hujan dan segala kotoran yang disapu olehnya, seperti dendang pagi yang amat merdu. Bahkan pohon-pohon nampak berseri karena merekapun dicuci bersih dari debu-debu, juga daun-daun tua dirontokkan. Setiap daun kini nampak hijau bersih kemilau. Suasana ini mendatangkan suatu rasa gembira yang ajaib.
Di pintu gerbang kotapun nampak beberapa orang atau gerobak lewat. Mereka datang dari dusun-dusun di luar kota Ceng-tao. Matahari sudah naik agak tinggi namun hujan masih turun rintik-rintik, walaupun sudah mulai jarang. Dan pada saat itu, pintu gerbang telah sunyi, tidak nampak orang lewat lagi. Agaknya orang-orang dusun yang menuju ke kota Ceng-tao sudah habis.
Mereka datang mulai pagi sekali tadi, takut kalau kesiangan yang akan membuat dagangan mereka jatuh harga atau tidak laku. Para penjaga pintu gerbang duduk bersantai di dalam gardu. Mereka itu tentu saja merasa enggan untuk berjaga diluar dan tertimpa air hujan. Pula, dalam keadaan aman seperti hari itu, perlu apa berjaga dengan ketat? Yang memasuki pintu gerbang bukan lain hanyalah orang-orang dusun yang hendak berjualan ke pasar kota.
Suasana di sekitar pintu gerbang sunyi dan hening. Para penjaga yang berada di dalam gardu mengasyikkan diri bermain kartu sambil minum arak untuk menghangatkan tubuh.
Tiba-tiba, dari jauh terdengar suara nyanyian! Suaranya agak parau, dalam, dan terdengar lucu, nada-nadanya seenaknya saja. Mau tidak mau para penjaga mendengarnya juga karena suara itu terdengar lucu dan aneh, merekapun setengah memperhatikan. Suara nyanyian itu kini diseling suara ringkik kuda dan makin didengarkan, makin tertariklah hati para penjaga karena memang suara nyanyian itu lucu dan juga aneh kata-katanya. Apalagi diseling ringkik kuda, seolah-olah manusia dan kudanya bernyanyi bersama-sama. "Tok-tak-tok-tak hujan turun bertitik Top-tap-top-tap langkah kudaku cantik! Hiiii... yeeehhhh...! (ringkik kuda) Biar hujan biar panas, manusia tetap mengeluh biar panas biar hujan, kuda takkan mengaduh! Hiii... yeeehhhh...! (ringkik kuda) Manusia memang pintar, pandai berkeluh-kesah kudaku memang tolol, tak kenal hati susah! Hiii... yeeehhhh...! (ringkik kuda) Ha-ha-hi-ha-ha-ha-ha!" Para penjaga dalam gardu kini menghentikan permainan kartu mereka dan beberapa orang diantara mereka melongok dari jendela gardu untuk melihat siapa gerangan orangnya yang bernyanyi-nyanyi secara aneh dalam hujan rintik-rintik itu. Tak lama kemudian nampaklah orangnya! Seekor kuda yang bentuknya lucu, kecil kurus dan pendek sehingga mirip seekor anak kuda yang mukanya sudah tua, melangkah seenaknya dan agaknya kuda itu selalu berbunyi meringkik kalau lehernya ditepuk oleh penunggangnya. Tidak mengherankan kalau dia dapat ikut bernyanyi menyelingi suara nyanyian majikannya tadi. Kuda kecil mirip keledai itu melangkah sambil menunduk, kadang-kadang berdongak kalau meringkik dan matanya yang besar itu berkilat. Dia nampak gembira dan lega karena tersiram air yang menyegarkan setelah setiap hari melakukan perjalanan jauh di atas jalan berdebu dan di bawah sengatan terik matahari. Air hujan itu amat menyenangkan hatinya, agaknya perasaan itu sama dengan apa yang dirasakan oleh para tukang pikul tadi.
Penunggang kuda itu tidak kalah anehnya dibandingkan dengan kudanya sendiri. Ia seorang wanita muda, seorang gadis remaja yang pakaiannya aneh dan tidak karuan! Bajunya kembang-kembang dan tambal-tambal, dijahit seenaknya saja sehingga kebesaran dan kedodoran, lengan kiri terlalu pendek lengan kanan terlalu panjang, bahkan ada bagian pundak yang robek.
Mukanya kotor berdebu, muka yang amat lincah gembira penuh senyum dan matanya juga bersinar-sinar membayangkan kelucuan dan kenakalan. Rambutnya yang hitam dan subur itu dikepang dua dan yang sebelah membelit leher, sebelah lagi berjuntai di depan dada.
Lucunya, dara remaja yang aneh ini memegang sebuah payung butut yang sudah bocor di sana-sini. Naik kuda pakai payung butut dan bernyanyi-nyanyi! Belum pernah para penjaga itu melihat yang selucu ini dan merekapun tertawa. Mungkin perempuan gila, pikir mereka.
Akan tetapi, setelah dara dan kudanya datang semakin dekat, nampaklah oleh mereka bahwa di balik kelucuan dan kesederhanaan yang ugal-ugalan itu masih dapat dilihat bentuk wajah yang manis dan bentuk tubuh yang padat ramping dan mulai mekar, mulai menunjukkan lekuk lekung tubuh yang amat indah bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar dari kuncupnya. Seorang dara yang usianya kurang lebih lima belas tahun.
Enam orang penjaga di dalam gardu itu tertawa keras, membuat dara penunggang kuda menengok. Melihat orang-orang itu tertawa, gadis itupun tersenyum dan melihat mereka kini melambaikan tangan, iapun ikut melambaikan tangan. Hal ini membuat para penjaga menjadi semakin gembira. Keadaan yang sunyi, hawa yang dingin, dan pengaruh arak membuat mereka menjadi iseng. Dua orang diantara mereka, yaitu kepala penjaga dan pembantunya, bangkit dan keluar dari gardu sambil berseru,
"Heii, nona manis, tunggu dulu!" Empat orang teman mereka mencoba untuk mengingatkan mereka, akan tetapi karena mereka itu adalah kepala jaga dan pembantunya, yang lain tidak berani menentang. "Hemm, kalian tahu aku bukanlah jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Aku hanya ingin menggoda anak lucu itu, paling-paling hanya akan menciumnya. Kalau ia mau, boleh kita bawa kesini dan kita ajak main-main, kalau ia tidak maupun aku tidak akan memaksa." Dengan kata-kata demikian, para temannya hanya tertawa gembira. Bagaimana-pun juga, mereka adalah perajurit-perajurit yang sudah biasa suka bersikap ugal-ugalan dan suka main-main untuk memperlihatkan kekuasaan dirinya. Kepala jaga itu adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, tubuhnya pendek dengan perut gendut sebesar gentong, rambut kepala di bagian ubun-ubun botak dan matanya juga lebar bundar. Tubuh yang gendut pendek itu membayangkan kekuatan yang besar dan ketika dia menyeringai, giginya nampak hitam oleh candu rokok. Pembantunya juga berusia empat puluhan, tubuhnya tinggi kurus dan matanya sipit, kulit mukanya agak pucat seperti orang berpenyakitan. Kedua orang ini sudah keluar dari pintu gardu dan kini berdiri menghadang di tengah-tengah pintu gerbang, bertolak pinggang dengan kedua kaki mereka terpentang lebar. Mereka memandang ke depan, kearah dara berkuda itu dengan mulut menyeringai. Dara itu agaknya tidak mengerti akan maksud dua orang laki-laki yang hendak menggoda atau mengganggu itu. Karena dua orang itu menghadang di tengah pintu gerbang, maka terpaksa ia menahan kudanya agar tidak sampai menabrak mereka dan dengan senyum lebar iapun berkata, "Heii, dua orang sobat penjaga, berilah kudaku jalan dan biarkan aku lewat!" Setelah kini berhadapan dan melihat dari dekat, kepala jaga itu dengan hati girang sekali mendapatkan kenyataan bahwa gadis yang berpakaian aneh-aneh ini, biarpun kulit mukanya kotor penuh debu, namun sesungguhnya wajah itu amat manis dan sebagian kulit yang agaknya terkena usapan tangan dan bersih dari debu nampak mulus dan putih. Seorang dara remaja yang manis sekali! Apalagi, ketika gadis itu tersenyum, nampak lesung pipit menghias pipinya dan juga giginya nampak putih dan rata. "Ha-ha-ha, nona. Boleh saja engkau lewat, akan tetapi engkau harus membayar pajak lebih dulu!" kata kepala jaga yang gendut sambil tertawa sehingga perut gendutnya bergerak-gerak. Nona muda itu mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Eh, eh, mana ada aturan begitu? Sudah banyak aku keluar pintu gerbang, dan pintu gerbang yang inipun sudah banyak dilewati orang setiap hari, akan tetapi tidak pernah ada orang lewat diharuskan membayar pajak! Rasanya pemerintah belum pernah mengeluarkan keharusan membayar pajak lewat pintu gerbang!" "Ha-ha-ha, engkau ini nona manis tapi bodoh. Kalau yang berkuasa menghendaki, jangankan lewat pintu gerbang kota, bahkan orang kentutpun bisa saja diharuskan membayar pajak. Dan sekarang saat ini, yang berkuasa di pintu gerbang ini telah mengharuskan engkau membayar pajak. Jadi, engkau tidak boleh membangkang, nona, karena pembangkangan berarti pemberontakan dan engkau bisa ditangkap dan dijebloskan penjara!" "Hemm, dan siapa yang berkuasa di pintu gerbang ini sekarang?" "Siapa lagi kalau bukan tuan besarmu ini?" Si gendut menunjuk perutnya sendiri yang besar sambil tertawa
ASMARA BERDARAH JILID 002
(↕)
"Wah, ini namanya bukan pajak tapi pemerasan!"
Dara remaja itu berteriak dan sebetulnya sikapnya ini saja sudah harus menjadi peringatan bagi dua orang penghadang itu. Kalau nona itu seorang gadis biasa, tak mungkin sikapnya seberani dan secerdik itu dalam berbantah. Seorang gadis biasa apalagi dari dusun, baru bertemu dengan penjaga dan dihardik sedikit saja sudah akan bersikap ketakutan.
"Jangan banyak cerewet!" Si kurus sipit membentak. "Taati perintah kepala jaga kami kalau engkau tidak ingin celaka!"
"Hemm, jadi pajak ini bukan peraturan pemerintah melainkan peraturan kalian sendiri?"
"Benar, kami yang berkuasa di sini!" kata si gendut.
"Dan hasil pungutan pajak liar ini kalian nikmati sendiri, bukan untuk pemerintah?"
"Tentu saja!"
"Wah, kalau begitu kalian adalah perampok-perampok seragam yang menyamar sebagai pejabat pemerintah!"
"Hush, tutup mulutmu atau engkau kami tangkap dan kami jebloskan penjara!"
"Huh, pantasnya orang-orang macam kalian ini yang ditangkap dan dipenjarakan. Kalian merongrong kewibawaan pemerintah dengan tingkah laku kalian, kalian mencemarkan nama negara dengan menggunakan kekuasaan menggendutkan perut dan kantong sendiri, dan kalian inilah pengkhianat-pengkhianat dan musuh-musuh rakyat dan negara yang menekan dan memeras rakyat!"
"Hei, perempuan gila, tutup mulutmu!" Si tinggi kurus membentak, akan tetapi si gendut menyeringai.
"Gadis liar, makin menyenangkan kalau nanti dapat kutundukkan! Hayo, engkau harus mentaati peraturan dan membayar pajak, nona manis."
"Berapa pajaknya?" Gadis itu bertanya sambil bersungut-sungut.
"Ha-ha-ha, itulah anehnya. Pajak yang harus kau bayar adalah... dua kali ciuman pada kami!"
Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi mulut itu lalu tersenyum manis. Agaknya kalau tadi ia marah karena peraturan pajak yang dianggapnya pemerasan itu, kini kemarahannya lenyap dan ia merasa betapa permintaan pajak cium itu amat lucu. Agaknya timbul kembali kejenakaan dan kelincahan dara itu. Sikapnya tidak lagi serius seperti tadi ketika ia berbantah tentang pajak dan pemerasan.
"Bagus, kiranya kalian minta cium? Kebetulan sekali, aku memang ahli memberi ciuman! Heh, sobat gendut, engkau minta cium pipi kiri atau pipi kanan?"
Mendengar ucapan yang sama sekali tidak pernah disangkanya itu, karena tadinya si gendut mengira bahwa gadis itu akan marah, para penjaga itu tertawa gembira. Kiranya gadis itu menerima ajakan mereka dengan kedua tangan terbuka dan kini malah menantang ciuman!
"Ha-ha-ha, coba engkau cium pipi kananku dua kali, nona manis!"
"Engkau mana dapat bertahan dua kali? Satu kalipun cukup. Dan engkau, sobat kurus, engkau minta ciuman kanan atau kiri?"
Si tinggi kurus bermata sipit menjadi gugup juga. Tak pernah disangkanya gadis ini malah menawarkan ciuman kepadanya.
"Eh, aku... hemm, yang kiripun bolehlah!"
Kembali para penjaga tertawa riuh-rendah dan mereka semua sudah keluar dari dalam gardu karena mereka semua kini ingin minta ciuman dari gadis yang agaknya suka membagi-bagi ciuman itu.
Dara itu turun dari atas punggung kudanya dan memandang kepada mereka dengan senyum-simpul, matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. Mata si gendut berminyak ketika dia melihat bahwa setelah turun dari kudanya, tubuh gadis itu nampak jelas keindahannya. Tinggi semampai dan padat, juga lenggangnya seperti batang yang-liu tertiup angin ketika gadis itu meninggalkan kuda menghampirinya.
"Sobat gendut minta ciuman pipi kanan dan sobat kurus minta ciuman pipi kiri? Baiklah, akan kuberi ciuman seorang satu kali saja, kalau kurang nanti boleh tambah lagi!"
Mendengar ucapan ini, si gendut dengan lagak lucu menggosok-gosok pipi kanannya agar bersih, siap menerima ciuman sedangkan si kurus juga berseri-seri wajahnya. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh dara itu bergerak dengan amat cepatnya sehingga bayangannya saja yang nampak, kedua kakinya melayang ke atas.
"Plakk! Plakkk!"
Tubuh si gendut dan si kurus itu terpelanting dan terbanting jatuh bergulingan. Mereka mengaduh-aduh sambil memegangi pipi masing-masing, dan ketika mereka merangkak bangkit duduk, ternyata pipi kanan si gendut bengkok dan biru sedangkan bibirnya mengalir darah karena empat buah gigi di ujung kanan patah-patah, sebaliknya si kurus memegangi pipi kirinya yang juga bengkak dan bibirnya berdarah.
Kiranya gadis tadi, dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, telah menendang pipi kanan si gendut dengan kaki kiri sedangkan kaki kanannya menyambar pipi kiri si kurus. Tendangan itu selain cepat, juga mengandung tenaga besar sekali, membuat kedua orang itu merasa seolah-olah kepala mereka telah copot.
"Hei, kenapa engkau menendang orang?"
Empat orang penjaga yang melihat adegan itu menjadi terkejut dan marah, lalu berlari mendatangi dan mengurung gadis itu sambil mencabut golok.
"Bukankah mereka yang minta ciuman pipi kanan dan pipi kiri?" Gadis itu balas bertanya dengan sikap mengejek.
"Itu bukan ciuman!" bentak seorang diantara para penjaga.
"Aku tadi tidak mengatakan cium dengan apa! Apakah kalian kira aku akan sudi mencium pipi mereka dengan hidung atau bibirku? Aih, tak usah, ya? Aku sudah memberi ciuman dengan ujung sepatu, masing-masing satu kali, kalau kurang boleh ditambah lagi. Apakah kalian berempat juga ingin minta bagian ciuman?"
Pada saat itu, si gendut dan pembantunya sudah bangkit berdiri. Pipi mereka semakin besar bengkaknya dan dengan mata merah si gendut kini memandang kepada gadis itu. Hatinya lebih nyeri daripada pipinya. Rasa malu mengatasi rasa nyeri dan lebih mendatangkan dendam daripada kewaspadaan.
Sesungguhnya, gerakan gadis itu yang dalam sekali gerak saja sudah mampu merobohkan dia dan pembantunya, sudah cukup membuktikan bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang berilmu tinggi. Akan tetapi, perasaan dendam membuatnya mata gelap.
"Tangkap perempuan iblis ini! Bunuh...!"
Dia sendiri sudah mencabut golok besarnya dan bersama lima orang anak buahnya, dia lalu menerjang dan menyerang gadis itu dengan amat ganasnya. Gerakan golok mereka berenam itu jelas merupakan serangan untuk membunuh. Sinar golok mereka berkilauan tertimpa sinar matahari yang mulai menimpakan cahayanya setelah ditinggalkan awan dan setelah hujan mulai berhenti menitik.
Akan tetapi, pandang mata enam orang penjaga itu menjadi kabur ketika mereka melihat betapa nona di depan mereka itu lenyap dan hanya nampak bayangannya saja yang mengelak ke kanan kiri dengan kecepatan yang luar biasa.
Semua tusukan dan bacokan golok tidak ada yang mengenai sasaran bahkan pada saat golok terayun, bayangan itu telah lenyap untuk muncul di tempat lain. Ketika tiba-tiba si gendut melihat bayangan dara itu muncul di depannya sambil tersenyum mengejek, dia mengeluarkan bentakan nyaring dan goloknya menyambar ke arah leher nona itu dengan kecepatan kilat dan pengerahan tenaga seluruhnya.
Karena didorong oleh kemarahan dan nafsu membunuh yang berkobar, kepala jaga gendut ini lupa akan pantangan dalam gerakan silat. Pantangan ini adalah mempergunakan seluruh tenaga dalam serangan. Seharusnya, dalam setiap serangan, orang selalu mempergunakan tenaga terbatas agar masih ada sisa tenaga untuk memperkuat kedudukan kaki dan untuk persiapan penjagaan diri.
Namun, si gendut melakukan serangan dengan mengerahkan seluruh tenaga. Maka, ketika gadis itu dengan amat lincahnya mengelak, si gendut tak dapat mengendalikan dirinya lagi dan diapun terdorong oleh tenaganya sendiri tanpa kakinya dapat mengatur keseimbangan badan lagi, tubuhnya tersungkur ke depan. Pada saat itu, kaki gadis itu kembali menciumnya, sekali ini mencium dada sebelah kiri.
"Ngekk...!"
Si gendut terpelanting dan tahu-tahu goloknya telah terampas oleh nona itu. Sambil tersenyum, nona itu menggerakkan golok rampasan ke arah si gendut yang memandang terbelalak dan wajahnya pucat sekali karena dia tahu bahwa maut telah menerkamnya. Tiba-tiba golok itu dilepas oleh si nona dan meluncur ke bawah, gagangnya di depan dan menyambar ke arah si gendut.
"Krekkkk...!"
Si gendut mengeluh akan tetapi sukar mengeluarkan suara karena mulutnya dipenuhi gagang golok yang telah membuat seluruh gigi dalam mulutnya rontok! Ada beberapa buah gigi yang tertelan dan kini dia mendelik, menggunakan kedua tangan untuk mengeluarkan golok itu yang gagangnya tertanam dalam mulutnya.
Setelah merobohkan kepala jaga, nona itu lalu meloncat ke atas punggung kudanya. Lima orang penjaga mengejarnya dengan golok akan tetapi tiba-tiba nona itu mengeluarkan pekik melengking dan kedua tangannya bergerak ke kanan kiri. Sungguh hebat! Tanpa tersentuh, tubuh lima orang penjaga itu terpelanting semua dan terbanting roboh seperti terlanda angin yang amat kuat. Dan ketika mereka bangkit berdiri, kuda itu telah lari memasuki kota.
"Kejar...!" teriak si mata sipit dan mereka berlima meninggalkan si gendut yang masih mengeluh dan meratapi giginya itu, melakukan pengejaran.
Namun, nona dan kudanya telah lenyap. Bahkan ketika mereka melapor dan pasukan penjaga ikut mencari, mereka tidak dapat menemukan jejak nona dengan kudanya itu, seolah-olah kudanya telah lenyap ditelan bumi. Tentu saja peristiwa ini segera tersiar dan menjadi buah percakapan para penduduk Ceng-tao.
Berita akan munculnya seorang dara aneh dengan kuda aneh, menyanyikan lagu aneh pula dan setelah dengan mudahnya merobohkan enam orang penjaga lalu lenyap begitu saja, semua orang lalu menghubungkannya dengan kepercayaan mereka akan kesaktian Dewi Laut yang mereka percaya.
Mana mungkin seorang gadis muda selain merobohkan enam orang penjaga, memiliki kuda sakti juga pandai menghilang begitu saja seperti terbang ke langit atau amblas ke bumi kalau ia bukan Dewi Laut?
Di dalam kota itu terdapat sebuah kuil yaitu kuil Dewi Laut. Menurut dongeng turun-temurun di antara penduduk Ceng-tao yang di jaman dahulunya adalah nelayan, Dewi Laut dikenal sebagai dewi yang selain menguasai lautan, juga menjadi pelindung kaum nelayan. Oleh karena itu, maka patung dewi itu di dalam kuilnya dipuja-puja dan disembahyangi, bahkan dirayakan setiap tahun pada hari ulang tahunnya. Bahkan ada dongeng diantara para penduduk bahwa Dewi Laut itu sewaktu-waktu "turun" ke bumi dan melakukan bermacam hal yang menggemparkan.
Akan tetapi, semua hal yang dilakukannya itu pada umumnya menentang kejahatan dan menghukum pelakunya. Betapapun juga, ada kalanya Sang Dewi muncul melakukan hal-hal yang ganas. Hal ini kabarnya terjadi kalau penduduk lupa memberi sesajen atau korban sehingga sang dewi menjadi marah dan menghukum penduduk dengan perbuatan-perbuatan yang ganas.
Kalau sekali waktu terdengar berita bahwa amukan dewi itu adalah karena penduduk lupa memberi sesajen, maka dapat dipastikan bahwa berita itu bersumber dari kuil itu sendiri. Tentu saja para nikouw yang menjaga kuil itulah yang menjadi sumber berita. Hal ini amat penting bagi mereka karena berita itu dapat memperkuat kembali kepercayaan dan rasa takut penduduk terhadap Dewi Laut.
Kalau sudah begitu maka berbondonglah orang-orang datang bersembahyang dan memberi sedekah! Dan hal ini perlu bagi kehidupan para nikouw, bagi terpenuhinya semua kebutuhan dan biaya menjaga dan merawat kuil.
Mungkin sekali yang dimaksudkan dengan sebutan Dewi Laut adalah nama lain dari Kwan Im Posat. Begitu banyaknya dongeng tentang Dewi Kwan Im Posat sebagai Dewi Belas Kasih ini sehingga tidak mengherankan kalau penduduk Ceng-tao yang dahulunya adalah kaum nelayan dan laut merupakan daerah penting bagi mereka lalu menciptakan sebutan Dewi Laut bagi Kwan Im Posat. Setelah turun-temurun, maka hanya nama Dewi Laut itu saja yang dikenal sebagai dewi pujaan mereka.
ASMARA BERDARAH JILID 003
(↕)
Ketua nikouw yang bertugas di kuil itu adalah seorang nikouw berusia enam puluh tahun berjuluk Hat Cu Nikouw. Ia sengaja memakai julukan Hat Cu yang berarti Mustika Laut, agar sesuai dengan tempat itu dan sesuai pula dengan dewi yang dipuja.
Hat Cu Nikouw bukanlah nikouw biasa yang lemah. Tidak, ia adalah seorang ahli silat yang memiliki tingkat cukup tinggi sehingga namanya dikenal dan ditakuti orang terutama kaum penjahat yang tidak berani mengganggu kuil itu, bahkan tidak berani beroperasi di daerah yang berdekatan dengan kuil Dewi Laut.
Hat Cu Nikouw ini mempunyai seorang suheng, juga kini menjadi ketua kuil yang berada di luar kota. Suhengnya itu berjuluk Thian Kong Hwesio, berusia enam puluh tahun lebih dan memiliki ilmu silat yang lebih lihai daripada sumoinya.
Ketika penduduk ramai-ramai membicarakan tentang munculnya seorang gadis aneh yang melakukan kegemparan dan penduduk mulai menghubungkan gadis itu dengan Dewi Laut, Hat Cu Nikouw juga mendengarnya. Nikouw tua ini tersenyum saja. Di dalam hatinya ia maklum bahwa semua berita tentang Dewi Laut itu hanyalah bohong belaka, walaupun ia sendiri adalah pemuja Dewi Laut.
Dan kini ia menduga bahwa tentu gadis yang dihebohkan itu sama sekali bukan penjelmaan Dewi Laut, melainkan seorang gadis kang-ouw. Iapun tahu bagaimana tingkah para petugas jaga di pintu gerbang itu dan dapat menduga bahwa tentu gadis kang-ouw itu diganggu sehingga mengamuk dan menghajar mereka. Akan tetapi, ia hanya tersenyum dan tidak mau membantah kabar itu. Biarlah, pikirnya, biar penduduk makin yakin akan kesaktian Sian-li.
Pada keesokan harinya, berita tentang Dewi Laut itu menjadi semakin besar dan menggemparkan. Apalagi ketika diterima kabar oleh penduduk dari para nikouw penjaga kuil itu bahwa patung Dewi Laut semalam telah lenyap tanpa meninggalkan bekas! Para nikouw yang mengurus kuil itupun tidak tahu kapan dan kemana hilangnya patung itu, seolah-olah menghilang begitu saja dari tempat pemujaannya.
Apalagi penduduk, bahkan Hai Cu Nikouw sendiri terkejut dan merasa heran ketika menerima laporan para muridnya bahwa patung Dewi Laut telah lenyap! Siapa orangnya berani main-main dan berani mati mencuri patung keramat itu? Agaknya tidak mungkin ada pencuri berani melakukan hal itu. Akan tetapi... kenyataannya, patung itu lenyap begitu saja. Benarkah bahwa Dewi Laut telah menjelma menjadi gadis aneh? Ah, tak mungkin!
Nikouw tua itu segera menghubungi suhengnya dan merekapun berunding. Hilangnya patung Dewi Laut sungguh merupakan hal yang menimbulkan penasaran dan marah. Terang bahwa penjahat yang mencurinya tidak memandang mata kepada mereka, atau setidaknya kepada Hai Cu Nikouw dan pencurian patung itu dapat dianggap sebagai suatu tantangan.
"Tidak mungkin patung itu dicuri karena nilainya. Tidak ada emas permata yang menghias patung itu. Maka, jelaslah bahwa pencurinya melakukan hal itu untuk menghinaku, untuk menantangku!" demikian antara lain Hai Cu Nikouw menyatakan rasa penasaran hatinya di depan suhengnya.
Ia adalah seorang wanita yang biarpun usianya sudah enam puluh tahun, namun masih nampak segar dan sehat, juga wajahnya masih membayangkan raut yang cantik. Rambutnya habis dicukur licin, wajahnya belum banyak dimakan kerut, sepasang matanya masih tajam dan ada keangkuhan membayang pada dagunya yang meruncing, agaknya keangkuhan yang timbul karena yakin akan kemampuan dirinya. Tubuhnya kecil, agak tinggi dan gerak-geriknya masih cekatan. Sepasang pedang tergantung di punggungnya dan baru mulai hari itulah ia selalu membawa sepasang pedang itu, karena merasa bahwa ia ditantang orang.
Suhengnya menarik napas panjang.
"Tenanglah, sumoi. Kalau memang benar pencuri patung itu menantangmu, kenapa sampai sekarang dia tidak muncul? Apa maksudnya mencuri patung? Dan berita tentang gadis yang aneh itu. Jangan-jangan ia yang mencuri patung itu, hanya untuk memperlihatkan kepandaiannya. Banyak ulah gadis muda kang-ouw seperti itu, hanya untuk mencari kepopuleran nama belaka."
Hwesio itu berusia enam puluh tiga tahun. Kepalanya gundul licin dan malam itu dia memakai penutup kepala. Jubahnya kuning dan tubuhnya gendut tinggi. Seuntai tasbeh panjang tergantung di lehernya dan jubah kuningnya cukup bersih. Di meja dekat dia duduk tersandar tongkatnya, sebuah tongkat hwesio yang terbuat dari baja disepuh emas. Tongkat ini selain menjadi tanda kebesarannya sebagai ketua kuil, juga merupakan senjatanya yang ampuh.
Mereka bercakap-cakap di ruangan belakang kuil Dewi Laut ketika hwesio tua itu mengunjungi sumoinya, setelah mendengar apa yang telah terjadi di kuil itu dan dihubungi oleh sumoinya. Keadaan sunyi di kuil itu. Para nikouw sibuk berjaga karena patung itu lenyap malam kemarin, Hai Cu Nikouw nampak murung dan mudah marah, dan memarahi murid-muridnya yang dikatakan lengah dan banyak tidur. Maka merekapun malam ini tidak berani tidur dan berjaga secara bergiliran.
Tiba-tiba keheningan di ruangan itu terpecah oleh suara ketawa lirih dari atas datangnya, disusul suara orang mendengus dan mengejek. Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw terkejut sekali dan cepat kakak beradik seperguruan itu telah meloncat keluar dari jendela. Thian Kong Hwesio telah menyambar tongkatnya dan sumoinya sudah mencabut siang-kiamnya, kemudian keduanya melayang naik ke atas genteng dari luar ruangan.
Nampak bayangan yang amat gesit berkelebat menjauh atau agaknya sengaja memancing kedua orang itu. Di dalam kegelapan malam yang remang-remang, di bawah sinar bulan sepotong, nampak jelas bahwa sosok bayangan itu adalah seorang wanita, dengan tubuh ramping terbungkus pakaian ketat. "Iblis betina, engkau hendak lari kemana?" bentak Hai Cu Nikouw sambil meloncat ke depan dan mengejar, dibayangi suhengnya. Akan tetapi bayangan itu berlari terus, berlompatan ke sana-sini, dari genteng ke genteng rumah lain, sambil kadang-kadang terdengar suara ketawanya, ketawa seorang wanita. Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw menjadi penasaran sekali. Mereka mengejar dan mengerahkan semua tenaga untuk mengimbangi keringanan tubuh bayangan itu, namun harus mereka akui bahwa gin-kang dari bayangan di depan itu amat hebatnya. Kadang-kadang meloncat turun kalau dikejar ke bawah, tahu-tahu sekali melesat sudah berada di atas genteng rumah lain. Kejar-mengejar terjadi beberapa lamanya dan kedua orang pendeta itu terkejut dan merasa heran sekali setelah berlari-larian sekian lamanya, ternyata bayangan itu membawa mereka kembali ke genteng kuil Dewi Laut! Dan tiba-tiba bayangan itu meloncat tinggi sekali dan kakinya hinggap di atas ujung menara kuil yang kecil. Mereka memandang bengong, kagum dan tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyusul wanita aneh itu. "Hemm, hwesio dan nikouw tolol! Apakah kalian benar-benar hendak menentang dan melawan Dewi Laut?" Mendengar bentakan suara yang mengandung wibawa itu, Hai Cu Nikouw dan suhengnya terkejut dan menjadi bimbang. Benarkah bayangan ini adalah bayangan Dewi Laut? Mereka berdua adalah pemuja Dewi Laut, akan tetapi mereka bukan orang-orang yang percaya akan tahyul dan dongeng-dongeng tentang Dewi Laut menjelma sebagai manusia, maka mereka merasa ragu-ragu. "Hemm, kalian masih ragu-ragu? Apakan menanti sampai aku marah dan kubakar kuil ini? Kalian memujaku hanya pura-pura saja, ya?" Hai Cu Nikouw terkejut sekali dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. Dewi Laut yang sejati atau bukan, jelas bayangan itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan bagaimanapun juga, bayangan itu belum melakukan sesuatu yang merugikan. Melihat sumoinya berlutut, Thian Kong Hwesio juga berlutut sambil berseru, "Omitohud, harap maafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan Sian-li." Bayangan itu tertawa, suara ketawanya halus dan mengerikan. Sukar untuk mengenal wajahnya karena bulan sepotong selain kurang terang sinarnya, juga berada di belakang kepalanya sehingga wajah bayangan itu tertutup kegelapan. "Ha-ha-hi-hi-hi, sekarang baru kalian menyembahku. Dengarlah baik-baik. Para penghuni kota Ceng-tao mulai kurang kepercayaannya kepadaku, padahal akulah yang melindungi mereka. Katakan kepada mereka bahwa aku menghendaki sesajen yang harus disediakan malam besok di dalam menara ini. Aku menghendaki emas murni lima puluh tail, berikut hidangan yang paling lezat dan masih panas-panas untuk lima orang. Dan semua itu harus diantarkan oleh dua orang pria muda yang masih perjaka dan yang tampan, dan mereka harus membawa semua itu ke dalam ruangan kosong di atas menara. Awas, kalau permintaanku tidak ditaati, bukan hanya kuil ini kubakar, akan tetapi juga akan kudatangkan badai besar, agar ombak menggulung habis kota Ceng-tao!" Dua orang pendeta itu mendengarkan sambil menundukkan muka dan hati mereka memang merasa gentar juga, walaupun masih ada perasaan bimbang apakah benar ini suara dewi yang mereka puja-puja sebagai pelindung rakyat Ceng-tao itu. Ketika suara itu lenyap, mereka mengangkat muka memandang dan ternyata bayangan itu telah lenyap dari puncak menara! Mereka berdua memandang ke kanan kiri dan tidak melihat apa-apa lagi. Bayangan daun pohon tinggi yang tumbuh di belakang kuil bergoyang-goyang tertiup angin dan kedua orang pendeta yang lihai itu merasa juga betapa tengkuk mereka menjadi dingin. Betapa hebatnya wanita itu, pikir mereka. Dapat menghilang begitu saja dari puncak menara yang begitu tinggi tanpa mereka ketahui. Mereka berdua lalu meloncat turun dan ketika mereka berjalan menuju ke dalam, dua orang nikouw menyambut mereka dan seorang diantara mereka berkata, "Subo... patung... patung itu..." "Ada apa? Bicara yang benar!" bentak Hai Cu Nikouw. "Patung itu sudah kembali...!" Mendengar ini, Hai Cu Nikouw cepat berlari ke dalam, keruangan pemujaan dan ia berdiri terpukau memandang wajah patung Dewi Laut yang diterangi oleh lilin! Patung itu sudah kembali di tempatnya! Mereka berdua, suheng dan sumoi itu, lalu berunding di dalam ruangan. "Bagaimana pendapatmu, suheng? Benarkah... Sang Dewi menjelma dan yang kita jumpai tadi adalah penjelmaan beliau?" Suhengnya menghela napas panjang dan menggeleng kepala. "Omitohud... semoga Thian melindungi kita semua. Kita semua sudah tahu betapa mulia dan bijaksananya Sang Dewi pelindung rakyat dan kota Ceng-tao. Akan tetapi, permintaan tadi sungguh berlawanan sekali. Lima puluh tail emas? Masakan-masakan lezat dan diantar oleh dua orang pemuda tampan! Sungguh berlawanan sekali dengan kemuliaan dan kebijaksanaan. Pinceng merasa curiga, sumoi." "Akan tetapi... kesaktiannya itu... dan... dan patung itu..." Suhengnya mengangguk-angguk. "Engkau tentu tahu betapa banyaknya orang berilmu tinggi di dunia ini. Juga golongan sesat banyak mempunyai orang-orang yang sakti. Siapa tahu ada yang menyamar sebagai Sang Dewi. Pinceng tetap merasa curiga sekali dan tidak sepatutnya kalau kita mentaati perintah yang begitu keterlaluan dan yang berbau nafsu keserakahan." "Habis, bagaimana baiknya menurut pendapatmu, suheng?" "Kita harus bersiap siaga. Besok kita rundingkan hal ini dengan kepala daerah dan para komandan pasukan keamanan di kota ini, untuk bersama-sama menghadapi tantangan ini." Pada keesokan harinya, suheng dan sumoi itupun pergilah ke kantor kepala daerah dan melaporkan apa yang telah mereka alami semalam. Kepala daerah mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, dialah yang bertanggung jawab kalau kotanya diganggu penjahat. Maka diapun cepat memanggil para pemimpin pasukan penjaga keamanan dan mereka lalu mengadakan perundingan dan mengatur siasat untuk menghadapi penjahat yang menyamar sebagai Dewi Laut itu. Atas usul Thian Kong Hwesio, dua orang pemuda dipilih untuk menjadi pengantar barang-barang permintaan Dewi Laut. Tentu saja bukan pemuda biasa, melainkan dua orang murid Thian Kong Hwesio sendiri yang selain muda dan tampan, juga gagah dan memiliki kepandaian silat yang sudah cukup tinggi. Kamar di menara itu adalah sebuah kamar atau tempat Hai Cu Nikouw biasa berlatih samadhi, sebuah ruangan yang berukuran tiga meter kali tiga meter. Satu-satunya jalan menuju ke ruangan itu hanya melalui sebuah anak tangga yang sempit dan yang hanya dapat dilalui oleh seorang saja. Suheng dan sumoi itu bersama kepala daerah dan para perwira lalu memasang perangkap dan mengatur baris pendam. Pasukan pilihan bersembunyi di kanan kiri anak tangga, dan sekitar menara itu telah bersembunyi pula pasukan lain, sedangkan Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw sendiri bersembunyi di atas genteng menara, siap untuk menyerbu kalau penjahat itu memasuki kamar menara. Dua orang pemuda murid Thian Kong Hwesio yang membawa barang yang dipesan penjahat yang menyamar Dewi Laut, diam-diam juga memperlengkapi dirinya dengan senjata yang disembunyikan di bawah baju longgar
Nampak bayangan yang amat gesit berkelebat menjauh atau agaknya sengaja memancing kedua orang itu. Di dalam kegelapan malam yang remang-remang, di bawah sinar bulan sepotong, nampak jelas bahwa sosok bayangan itu adalah seorang wanita, dengan tubuh ramping terbungkus pakaian ketat. "Iblis betina, engkau hendak lari kemana?" bentak Hai Cu Nikouw sambil meloncat ke depan dan mengejar, dibayangi suhengnya. Akan tetapi bayangan itu berlari terus, berlompatan ke sana-sini, dari genteng ke genteng rumah lain, sambil kadang-kadang terdengar suara ketawanya, ketawa seorang wanita. Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw menjadi penasaran sekali. Mereka mengejar dan mengerahkan semua tenaga untuk mengimbangi keringanan tubuh bayangan itu, namun harus mereka akui bahwa gin-kang dari bayangan di depan itu amat hebatnya. Kadang-kadang meloncat turun kalau dikejar ke bawah, tahu-tahu sekali melesat sudah berada di atas genteng rumah lain. Kejar-mengejar terjadi beberapa lamanya dan kedua orang pendeta itu terkejut dan merasa heran sekali setelah berlari-larian sekian lamanya, ternyata bayangan itu membawa mereka kembali ke genteng kuil Dewi Laut! Dan tiba-tiba bayangan itu meloncat tinggi sekali dan kakinya hinggap di atas ujung menara kuil yang kecil. Mereka memandang bengong, kagum dan tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyusul wanita aneh itu. "Hemm, hwesio dan nikouw tolol! Apakah kalian benar-benar hendak menentang dan melawan Dewi Laut?" Mendengar bentakan suara yang mengandung wibawa itu, Hai Cu Nikouw dan suhengnya terkejut dan menjadi bimbang. Benarkah bayangan ini adalah bayangan Dewi Laut? Mereka berdua adalah pemuja Dewi Laut, akan tetapi mereka bukan orang-orang yang percaya akan tahyul dan dongeng-dongeng tentang Dewi Laut menjelma sebagai manusia, maka mereka merasa ragu-ragu. "Hemm, kalian masih ragu-ragu? Apakan menanti sampai aku marah dan kubakar kuil ini? Kalian memujaku hanya pura-pura saja, ya?" Hai Cu Nikouw terkejut sekali dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. Dewi Laut yang sejati atau bukan, jelas bayangan itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan bagaimanapun juga, bayangan itu belum melakukan sesuatu yang merugikan. Melihat sumoinya berlutut, Thian Kong Hwesio juga berlutut sambil berseru, "Omitohud, harap maafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan Sian-li." Bayangan itu tertawa, suara ketawanya halus dan mengerikan. Sukar untuk mengenal wajahnya karena bulan sepotong selain kurang terang sinarnya, juga berada di belakang kepalanya sehingga wajah bayangan itu tertutup kegelapan. "Ha-ha-hi-hi-hi, sekarang baru kalian menyembahku. Dengarlah baik-baik. Para penghuni kota Ceng-tao mulai kurang kepercayaannya kepadaku, padahal akulah yang melindungi mereka. Katakan kepada mereka bahwa aku menghendaki sesajen yang harus disediakan malam besok di dalam menara ini. Aku menghendaki emas murni lima puluh tail, berikut hidangan yang paling lezat dan masih panas-panas untuk lima orang. Dan semua itu harus diantarkan oleh dua orang pria muda yang masih perjaka dan yang tampan, dan mereka harus membawa semua itu ke dalam ruangan kosong di atas menara. Awas, kalau permintaanku tidak ditaati, bukan hanya kuil ini kubakar, akan tetapi juga akan kudatangkan badai besar, agar ombak menggulung habis kota Ceng-tao!" Dua orang pendeta itu mendengarkan sambil menundukkan muka dan hati mereka memang merasa gentar juga, walaupun masih ada perasaan bimbang apakah benar ini suara dewi yang mereka puja-puja sebagai pelindung rakyat Ceng-tao itu. Ketika suara itu lenyap, mereka mengangkat muka memandang dan ternyata bayangan itu telah lenyap dari puncak menara! Mereka berdua memandang ke kanan kiri dan tidak melihat apa-apa lagi. Bayangan daun pohon tinggi yang tumbuh di belakang kuil bergoyang-goyang tertiup angin dan kedua orang pendeta yang lihai itu merasa juga betapa tengkuk mereka menjadi dingin. Betapa hebatnya wanita itu, pikir mereka. Dapat menghilang begitu saja dari puncak menara yang begitu tinggi tanpa mereka ketahui. Mereka berdua lalu meloncat turun dan ketika mereka berjalan menuju ke dalam, dua orang nikouw menyambut mereka dan seorang diantara mereka berkata, "Subo... patung... patung itu..." "Ada apa? Bicara yang benar!" bentak Hai Cu Nikouw. "Patung itu sudah kembali...!" Mendengar ini, Hai Cu Nikouw cepat berlari ke dalam, keruangan pemujaan dan ia berdiri terpukau memandang wajah patung Dewi Laut yang diterangi oleh lilin! Patung itu sudah kembali di tempatnya! Mereka berdua, suheng dan sumoi itu, lalu berunding di dalam ruangan. "Bagaimana pendapatmu, suheng? Benarkah... Sang Dewi menjelma dan yang kita jumpai tadi adalah penjelmaan beliau?" Suhengnya menghela napas panjang dan menggeleng kepala. "Omitohud... semoga Thian melindungi kita semua. Kita semua sudah tahu betapa mulia dan bijaksananya Sang Dewi pelindung rakyat dan kota Ceng-tao. Akan tetapi, permintaan tadi sungguh berlawanan sekali. Lima puluh tail emas? Masakan-masakan lezat dan diantar oleh dua orang pemuda tampan! Sungguh berlawanan sekali dengan kemuliaan dan kebijaksanaan. Pinceng merasa curiga, sumoi." "Akan tetapi... kesaktiannya itu... dan... dan patung itu..." Suhengnya mengangguk-angguk. "Engkau tentu tahu betapa banyaknya orang berilmu tinggi di dunia ini. Juga golongan sesat banyak mempunyai orang-orang yang sakti. Siapa tahu ada yang menyamar sebagai Sang Dewi. Pinceng tetap merasa curiga sekali dan tidak sepatutnya kalau kita mentaati perintah yang begitu keterlaluan dan yang berbau nafsu keserakahan." "Habis, bagaimana baiknya menurut pendapatmu, suheng?" "Kita harus bersiap siaga. Besok kita rundingkan hal ini dengan kepala daerah dan para komandan pasukan keamanan di kota ini, untuk bersama-sama menghadapi tantangan ini." Pada keesokan harinya, suheng dan sumoi itupun pergilah ke kantor kepala daerah dan melaporkan apa yang telah mereka alami semalam. Kepala daerah mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, dialah yang bertanggung jawab kalau kotanya diganggu penjahat. Maka diapun cepat memanggil para pemimpin pasukan penjaga keamanan dan mereka lalu mengadakan perundingan dan mengatur siasat untuk menghadapi penjahat yang menyamar sebagai Dewi Laut itu. Atas usul Thian Kong Hwesio, dua orang pemuda dipilih untuk menjadi pengantar barang-barang permintaan Dewi Laut. Tentu saja bukan pemuda biasa, melainkan dua orang murid Thian Kong Hwesio sendiri yang selain muda dan tampan, juga gagah dan memiliki kepandaian silat yang sudah cukup tinggi. Kamar di menara itu adalah sebuah kamar atau tempat Hai Cu Nikouw biasa berlatih samadhi, sebuah ruangan yang berukuran tiga meter kali tiga meter. Satu-satunya jalan menuju ke ruangan itu hanya melalui sebuah anak tangga yang sempit dan yang hanya dapat dilalui oleh seorang saja. Suheng dan sumoi itu bersama kepala daerah dan para perwira lalu memasang perangkap dan mengatur baris pendam. Pasukan pilihan bersembunyi di kanan kiri anak tangga, dan sekitar menara itu telah bersembunyi pula pasukan lain, sedangkan Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw sendiri bersembunyi di atas genteng menara, siap untuk menyerbu kalau penjahat itu memasuki kamar menara. Dua orang pemuda murid Thian Kong Hwesio yang membawa barang yang dipesan penjahat yang menyamar Dewi Laut, diam-diam juga memperlengkapi dirinya dengan senjata yang disembunyikan di bawah baju longgar
ASMARA BERDARAH JILID 004
(↕)
Malam itu, bulan lebih terang daripada malam kemarin. Langit cerah, akan tetapi tidak demikian cerah rasa hati dua orang suheng dan sumoi yang bersembunyi di atas genteng. Jantung mereka berdebar tegang. Biarpun mereka tahu bahwa tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang dipimpin oleh para perwira yang pandai, bahkan di dalam menara telah terdapat pasukan pilihan yang bersembunyi, namun mereka tahu bahwa mereka menghadapi seorang yang amat lihai.
Disamping itu, timbul kekhawatiran di hati Hai Cu Nikouw, yaitu kalau-kalau yang akan muncul adalah benar-benar penjelmaan Dewi Laut. Ngeri ia memikirkan kemungkinan ini, biarpun suhengnya sudah menyatakan keyakinannya bahwa tentu wanita itu seorang penjahat yang mengaku-aku sebagai Dewi Laut.
Setelah malam agak larut dan bulan naik tinggi, suasana amat sunyi dan semakin menyeramkan. Suara burung malam yang terbang di atas kepala mereka sempat mengejutkan hati dua orang pendeta yang berilmu tinggi itu. Dalam keadaan tegang, memang orang menjadi mudah kaget.
Dua orang pemuda murid Thian Kong Hwesio nampak naik ke menara melalui anak tangga. Mereka adalah dua orang pemuda berusia dua puluh tahun, berwajah tampan dan bersikap gagah, berpakaian indah. Dengan langkah tegap mereka menaiki anak tangga. Seorang di antara mereka membawa baki penuh dengan hidengan yang masih mengepulkan uap panas. Yang seorang lagi membawa baki tertutup kain merah dan di baki itu terdapat gumpalan-gumpalan emas seberat lima puluh tail emas.
Mereka telah mempersiapkan diri dengan senjata rahasia dan pedang pendek yang mereka sembunyikan di bawah jubah. Mereka tahu pula bahwa guru dan bibi guru mereka berjaga di atas genteng menara, dan bahwa disitu banyak terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi untuk melindungi mereka. Namun tetap saja mereka merasa tegang dan agak gentar karena guru mereka sudah berpesan bahwa yang mereka hadapi adalah wanita iblis yang amat lihai.
Jantung mereka berdebar tegang ketika keduanya tiba di depan kamar menara. Dengan hati-hati mereka menggunakan kaki mendorong daun pintu yang terbuka dengan mudah karena memang tidak terkunci.
Ruangan itu kosong. Sebuah ruangan bersih berbau harum dupa dan bunga, dan lantainya ditilami permadani dan kasur tipis. Mereka berdua saling pandang dengan hati lega karena ternyata iblis itu tidak berada di situ. Dengan hati-hati mereka membuka sepatu dan memasuki ruangan itu, meletakkan baki masakan dan emas itu di atas lantai. Karena lilin yang bernyala di sudut ruangan itu hampir padam, seorang diantara mereka lalu menyalakan sebuah lilin besar di sudut dan kamar itu menjadi terang.
Agaknya sinar terang kamar itu menjadi tanda bagi sesosok bayangan untuk bergerak datang. Demikian cepatnya bayangan itu bergerak sehingga Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw yang berjaga di atas genteng, hanya melihat berkelebatnya bayangan yang kemudian lenyap. Mereka mengira bahwa itu hanya bayangan burung yang lewat, maka mereka tetap mendekam di tempat persembunyian mereka sambil menanti dengan waspada.
Akan tetapi, ternyata bayangan yang berkelebat cepat tadi bukan burung, melainkan bayangan sesosok tubuh manusia yang ramping pinggangnya. Bayangan itu melesat dengan cepatnya dan bersembunyi di balik wuwungan menara.
Sinar lilin besar yang menyorot keluar dari genteng menara menimpa mukanya. Muka yang mengerikan karena memakai topeng hitam yang mempunyai lubang-lubang kecil memperlihatkan sepasang mata yang bersinar tajam, hidung yang kecil dan mulut yang bibirnya lebar dan amat merah. Sukar menaksir bagaimana bentuk wajahnya ataupun berapa usianya.
Agaknya ia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa disekitar tempat itu bersembunyi banyak penjaga yang kini mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata yang tegang. Dengan seenaknya bayangan itu lalu meloncat turun dan menghampiri anak tangga.
Akan tetapi baru saja ia menaruh kakinya pada anak tangga pertama, tiba-tiba enam orang penjaga yang bersembunyi di sekitar anak tangga bermunculan dan menyerbunya dengan senjata mereka. Melihat senjata berkilatan dari segenap penjuru, wanita berkedok itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, kelihatan tidak terkejut sama sekali dan bibir yang merah lebar di balik kedok itu menyeringai, memperlihatkan gigi yang putih dan besar-besar.
Tiba-tiba kedua tangannya bergerak, benda-benda kecil berkeredepan menyambar ke arah enam orang penyerangnya dan terdengarlah suara mereka menjerit dan seorang demi seorang roboh terpelanting dan tidak dapat bangkit kembali melainkan berkelojotan dan sekarat! Leher mereka, tepat di tenggorokan, tertancap oleh sebatang jarum yang amblas masuk, membawa racun bersamanya.
Jeritan-jeritan ini tentu saja menarik perhatian dan nampaklah bayangan banyak orang berlari-larian, dan dari atas menyambar tubuh Hai Cu Nikouw. Melihat betapa seorang wanita berkedok berdiri di bawah anak tangga dan enam orang penjaga yang bertugas menjaga disitu semua telah roboh berkelojotan, Hai Cu Nikouw dan suhengnya terkejut bukan main. Bagaimana wanita ini dapat masuk kesitu tanpa mereka ketahui?
"Iblis jahat, terimalah hukumanmu!" bentak Hai Cu Nikouw sambil menerjang ke depan, menggunakan sepasang pedangnya yang jarang sekali keluar dari sarungnya itu.
Dua sinar putih berkelebat menyilang dan titik pertemuan silang adalah leher wanita berkedok itu. Hebat bukan main serangan nenek pendeta ini.
"Cringgg...!"
Sepasang pedang itu saling serempet sendiri akan tetapi leher yang menjadi sasaran sudah tidak ada di tempat. Kiranya wanita berkedok itu dengan gerakan yang lebih cepat lagi sudah dapat mengelak dan meloncat ke belakang sambil tersenyum di balik kedoknya.
"Hemm, kalian mengkhianatiku! Berarti kalian mencari mampus dan kuil ini akan kubakar habis!"
Thian Kong Hwesio sudah menerjang pula, menggunakan tongkat bajanya. Wanita berkedok itupun dapat mengelak dari sambaran tongkat yang mengarah kepala, dan tiba-tiba ia menggerakkan kedua tangannya seperti yang tadi dilakukan untuk merobohkan enam orang penjaga.
"Wuuuttt...!"
Tiga batang jarum beracun menyambar ke arah tubuh Thian Kong Hwesio dan tiga lagi ke arah Hai Cu Nikouw. Akan tetapi, dua orang pendeta ini tidaklah selemah para penjaga tadi. Mereka berdua sudah dapat menduga akan kelihaian dan kecurangan lawan, maka begitu wanita itu menggerakkan kedua tangan dan melihat berkelebatnya benda kecil, mereka cepat meloncat ke samping dan terhindar dari maut. Dengan marah mereka berdua lalu menyerang wanita iblis itu dari kanan kiri.
"Singgg...!"
Wanita itu menggerakkan tangan kanan ke bawah jubahnya dan nampaklah sebatang pedang berkilauan di tangannya. Begitu ia menggerakkan pedang menangkis, serangan kedua orang pendeta itu dapat ditangkisnya dan mereka berdua melangkah mundur dengan kaget ketika tangkisan itu menimbulkan suara nyaring dan mereka merasa betapa lengan mereka kesemutan. Cepat mereka memeriksa senjata masing-masing dan merasa lega bahwa senjata mereka yang juga merupakan senjata pilihan tidak sampai rusak oleh tangkisan pedang wanita iblis itu.
Kembali mereka menerjang dan sekali ini wanita berkedok bukan hanya mengelak dan menangkis, melainkan juga membalas dengan serangan yang gerakannya amat ganas, cepat dan kuat. Dalam belasan jurus saja suheng dan sumoi itu terdesak hebat oleh pedang si wanita iblis yang gaya permainannya aneh dan ganas itu. Akan tetapi, kakak beradik seperguruan itu segera merasa lega ketika bermunculan perwira-perwira dengan pasukannya yang mengurung dan mengeroyok si wanita iblis.
Wanita berkedok itu kini terdesak dan iapun memaki-maki dengan kata-kata kotor. Hal ini makin meyakinkan hati Thian Kong Hwesio dan sumoinya bahwa tidak mungkin kalau wanita berkedok ini penjelmaan Dewi Laut yang berbudi mulia itu. Merekapun menyerang dan mendesak dengan sengit.
Karena kini dikeroyok banyak orang, wanita berkedok yang mulai terdesak itu meninggalkan bawah anak tangga dan menuju ke ruangan tak jauh dari situ, sebuah ruangan yang luas dimana ia dapat memainkan pedangnya dengan leluasa. Wanita itu memang lihai sekali, terutama memiliki kecepatan yang luar biasa.
Kalau bukan dikeroyok sampai delapan orang, rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan karena mereka yang membantu dua orang pendeta itu adalah para perwira, belum tentu dua orang itu mampu mendesaknya. Ia sudah berusaha untuk menyebar jarum-jarumnya akan tetapi enam orang perwira itu terlalu tangguh untuk dapat dirobohkan dengan senjata rahasia. Dan baiknya para perajurit penjaga yang mengepung tempat itu sudah gentar menghadapinya setelah empat orang yang ikut-ikutan maju roboh dan tewas oleh pedangnya. Mereka hanya mengepung tempat itu dengan senjata di tangan, akan tetapi tidak berani sembarangan maju, bahkan dilarang oleh para perwira.
Kini wanita berkedok itu mulai merasa repot dan mencari-cari jalan keluar yang sudah tertutup dan terkepung oleh pasukan. Selagi ia kerepotan, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang parau, disusul suara ejekan yang kasar.
"Ha-ha-ha, sekarang nenek cabul seperti tikus tersudut!"
Terjadi kekacauan di dekat pintu dan enam orang anggauta pasukan roboh mandi darah disusul munculnya seorang kakek yang usianya sudah ada hampir enam puluh tahun. Kakek ini bertubuh tinggi besar, pakaiannya juga terbuat dari kain kasar dan sederhana, sepatunya butut dan mukanya membayangkan kekasaran. Matanya lebar bundar, hidungnya besar, mulutnya hampir tidak kelihatan tertutup kumis dan jenggot.
Kakek ini membawa sebatang pecut panjang, akan tetapi ketika dia membobolkan kepungan pasukan dari belakang, dia merobohkan enam orang perajurit itu dengan cengkeraman-cengkeraman tangan kirinya yang seperti tangan baja itu. Sekali cengkeram, pecahlah kepala orang-orang itu dan merekapun roboh berlumuran darah dalam keadaan yang amat mengerikan!
Biarpun kakek itu datang sambil memaki si wanita iblis, namun melihat betapa dia membunuh enam orang perajurit, para perwira menjadi marah dan maklum bahwa kakek inipun bukan orang baik-baik dan bukan kawan. Maka merekapun menyambutnya dengan serangan senjata mereka.
Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika kakek itu menggerakkan cambuknya dan robohlah seorang diantara enam orang perwira itu. Dahinya, antara kedua mata, berlubang mengeluarkan darah dan diapun tewas seketika. Kiranya di ujung cambuk kakek itu dipasangi sebuah benda dari baja seperti paku dan benda inilah yang tadi menyambar dan melubangi dahi itu.
Tentu saja keadaan menjadi geger dan kini perkelahian terjadi semakin sengit dimana nenek berkedok dan kakek bercambuk itu mengamuk dan membabati musuh seenaknya. Karena ditinggalkan oleh enam orang perwira yang kini tinggal lima orang yang mengeroyok kakek itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw kini terpaksa menghadapi nenek iblis itu berdua saja dan mereka segera terdesak hebat.
"Kakek hina-dina, aku tidak butuh bantuanmu!" berkali-kali nenek iblis itu berteriak memaki-maki kakek itu.
“Nenek cabul tak tahu budi, tutup saja mulutmu dan mari kita bereskan mereka ini!" kakek itu menjawab, dengan suara kasar pula.
Karena saling memaki ini, agaknya timbul kemarahan di dalam hati mereka dan keduanya mengamuk semakin hebat. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, akhirnya lima orang perwira itupun roboh dan tewas di tangan kakek itu, sedangkan Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouwpun terdesak, bahkan telah menderita luka-luka yang cukup parah oleh sambaran pedang wanita iblis!
Pasukan yang mengepung melihat atasan mereka roboh semua, berusaha untuk mengeroyok, akan tetapi mereka yang berani maju lebih dulu seperti mengantarkan nyawa saja. Yang lain-lain menjadi gentar dan ketika Thian Kong Hwesio dan sumoinya terpaksa meloncat ke atas genteng dan menyelamatkan diri, sisa pasukan itupun lari cerai-berai!
Kini tinggal nenek iblis itu dan si kakek lihai yang berdiri saling berhadapan dan dengan senjata di tangan, wajah mereka masih beringas. Belasan mayat bergelimpangan di sekitar mereka dan bau amis darah memenuhi udara tempat itu.
"Koai-pian Hek-mo, siapa suruh engkau membantu? Kita adalah saingan dan musuh, aku tidak membutuhkan bantuanmu!" Nenek iblis itu membentak.
Kakek yang berjuluk Koai-pian Hek-mo itu mengusap mukanya yang kasar dan hitam dengan tangan kiri, mengusap peluhnya.
"Hwa-hwa Kui-bo, dalam keadaan kita ditentang oleh golongan putih, engkau masih congkak begini terhadap orang segolongan? Apakah otakmu sudah mulai miring?"
"Tua bangka hina, mampuslah!"
Nenek berkedok itupun cepat menyerang dengan pedangnya, mengirim tusukan yang amat cepat ke arah dada lawan.
"Cring, tranggg...!"
Cambuk itu bergerak dan gagangnya menangkis pedang. Pedang dan cambuk bertemu dengan amat kerasnya dan keduanya melangkah mundur tiga kali.
ASMARA BERDARAH JILID 005
(↕)
"Kui-bo, musuh-musuh yang kuat sudah mulai berkumpul. Kita harus bersatu untuk menghadapi mereka. Biarlah saat ini kita berdamai dulu, kalau perlu lain kali kita lanjutkan. Mari kita bekerja sama. Bukankah ada dua orang pemuda di menara itu? Kita bagi saja seorang satu. Engkau sendiri tidak boleh terlalu menghamburkan tenaga, dan dua orang pemuda sekaligus akan menghabiskan tenagamu, padahal kita memerlukannya dalam hari-hari mendatang ini. Bagaimana? Apa kau ingin kita terus berkelahi dan membiarkan musuh-musuh kita mentertawakan kita?"
Nenek itu nampak bimbang dan akhirnya ia mendangus.
"Huh, enak saja, aku yang susah payah engkau hanya ingin menggerogoti hasilnya!"
Akan tetapi sambil berkata demikian, ia menyimpan pedangnya, membalikkan tubuh dan berjalan menuju ke tangga menara. Kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, akupun sudah ikut bersusah payah tadi, sudah sepatutnya kalau aku mendapatkan bagiannya pula." Dan diapun melangkah lebar menyusul nenek iblis itu menaiki anak tangga.
Dapat dibayangkan betapa gentar dan tegang rasa hati dua orang muda yang berada di dalam kamar menara itu. Dari atas mereka menyaksikan perkelahian yang amat hebat itu dan melihat betapa lihainya nenek dan kakek iblis. Bahkan mereka melihat pula betapa guru mereka, Thian Kong Hwesio, terluka dan melarikan diri. Kalau guru mereka sendiri, dibantu oleh bibi guru mereka, tidak mampu mengalahkan nenek iblis itu, apa-lagi mereka!
Dan kini nenek itu malah disertai oleh kakek yang demikian lihainya. Biarpun demikian, sebagai pemuda-pemuda yang sejak kecil digembleng kegagahan oleh guru mereka, dua orang muda itu menanti datangnya kakek dan nenek iblis dengan pedang di tangan kanan dan senjata rahasia piauw (pisau terbang) di tangan kiri.
Begitu Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo muncul dan baru saja mereka melangkahkan kaki melewati ambang pintu, dua orang muda itu menyerang dengan sambitan piauw mereka!
Akan tetapi, sedikitpun kedua orang iblis itu tidak memperlihatkan rasa kaget. Hanya dengan gerakan tangan kiri sedikit saja keduanya telah mampu menyampok runtuh dua batang piauw itu yang meluncur ke bawah dan menancap ke atas lantai kamar menara yang terbuat dari papan tebal. Kini dua orang muda itu menyerang dengan pedang mereka secara nekat.
"Ha-ha-ha, kekasih-kekasih kita menyambut dengan hangat!"
Koai-pian Hek-mo tertawa dan diapun menyambut pedang lawan dengan tangan kosong! Dalam beberapa gebrakan saja, pedang itu dapat dirampas dan sekali tangan kakek itu menotok, pemuda yang menyerangnya roboh lemas dan segera disambar dalam rangkulannya.
Pemuda kedua menyerang Hwa-hwa Kui-bo juga mengalami nasib yang sama. Pedangnya terpukul jatuh dan diapun ditotok lalu dirangkul dan dipondong. Sambil tertawa-tawa, Koai-pian Hek-mo sudah memondong pemuda tawanannya menuju ke dalam kamar menara, membawanya ke sebuah sudut kamar. Hwa-hwa Kui-bo juga membawa korbannya ke sudut yang lain, kemudian dari tempat itu ia meniup ke arah lilin besar yang seketika menjadi padam.
"Ha-ha-ha, Kui-bo, engkau masih jengah dan malu-malu lagi? Ha-ha-ha!" kakek iblis itu mentertawakan temannya yang tidak menjawab. Kamar itu menjadi gelap dan dari luar tidak terdengar apa-apa lagi.
Sementara itu, kepala daerah yang mendengar laporan tentang gagalnya pasukan keamanan menghadapi penjahat yang mengacau di kuil Dewi Laut, menjadi terkejut sekali dan marah. Dia memerintahkan semua perwira yang ada untuk mengirim pasukan baru dan membantu kawan-kawan mereka.
Thian Kong Hwesio dan Hat Cu Nikouw, setelah mengobati luka-luka mereka, juga membantu para perwira melakukan pengepungan terhadap kuil dan terutama menara itu. Mereka semua melihat betapa menara itu gelap, lilin di dalamnya telah dipadamkan orang dan tidak terdengar suara apapun dari luar.
Ketika para perwira membuat gerakan untuk memerintahkan anak buahnya menyerbu menara, Thian Kong Hwesio cepat mengangkat tangan dan menggeleng kepala.
"Jangan sembarangan bergerak! Mereka berada di tempat gelap dalam kamar dan mereka itu lihai sekali. Menyerbu mereka yang berada dalam gelap sama dengan mengantar nyawa saja. Biar kita kepung saja dan menanti sampai mereka keluar, baru kita serbu dan keroyok."
Karena sudah melihat bekas tangan dua orang iblis yang amat lihai itu, para perwira mentaati nasihat Thian Kong Hwesio dan merekapun kini hanya mengepung menara dengan penjagaan yang ketat sekali.
Pasukan anak panah dipasang di sayap kiri, sayap kanan adalah pasukan tombak, dari depan berjaga pasukan sepasang golok, dan dari belakang dijaga oleh pasukan pedang. Semua telah diatur rapi dan agaknya kalau dua orang penjahat itu hendak keluar, mereka akan menghadapi pengepungan rapat yang akan amat sukar mereka lalui.
Thian Kong Hwesio sendiri berulang kali menarik napas panjang. Dia mengkhawatirkan keselamatan dua orang muridnya, akan tetapi dia sendiri tidak berdaya menolong mereka. Pihak musuh terlalu lihai dan diam-diam diapun mengerutkan alisnya, mengingat-ingat siapa gerangan dua orang iblis yang mengacau Ceng-tao dan kini dengan berani menguasai menara kuil Dewi Laut, agaknya enak-enakan saja di dalam tanpa memperdulikan kepungan pasukan penjaga keamanan.
Di dunia kang-ouw, nama Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) telah amat terkenal. Tiga belas orang manusia golongan hitam atau kaum sesat ini merajalela di seluruh penjuru, merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia hitam.
Akan tetapi karena mereka ini biasanya tidak turun tangan sendiri dan hanya mengandalkan murid-murid atau anak buah mereka untuk mencari nafkah secara haram, hanya nama mereka saja yang dikenal. Akan tetapi jarang ada orang pernah berjumpa dengan mereka. Maka, tidak mengherankan kalau Thian Kong Hwesio yang sudah luas pengetahuan dan pengalamannya di dunia kang-ouw itupun tidak mengenal dua orang iblis ini.
Koai-pian Hek-mo (Iblis Hitam Cambuk Aneh) dan Hwa-hwa Kui-bo (Biang Iblis Boneka) adalah dua orang diantara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan). Kakek itu disebut Hek-mo karena memang mukanya kasar dan hitam sedangkan nenek itu dijuluki Hwa-hwa yang dapat diartikan boneka atau juga dapat diartikan Wanita Cabul karena memang ia merupakan seorang wanita yang suka mempermainkan pemuda-pemuda tampan yang terutama masih perjaka secara paksa! Koai-pian Hek-mo mempunyai watak yang aneh pula, suatu kelainan batin yang membuat diapun suka memperkosa pemuda-pemuda dan dia tidak suka mendekati wanita!
Karena sama-sama suka mempermainkan pemuda tampan inilah maka terjadi semacam persaingan antara Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo. Pernah beberapa kali mereka memperebutkan seorang pemuda tampan dan mereka sempat pula berkelahi mati-matian, akan tetapi tingkat kepandaian mereka seimbang sehingga belum pernah diantara mereka ada yang kalah atau menang. Dan karena mereka merupakan tokoh hitam dari daerah yang sama, yaitu daerah Muara Sungai Kuning, maka mereka saling berjumpa dan bersaingan. Hanya karena mereka itu merasa masih "bersaudara" dalam kesatuan Cap-sha-kui sajalah maka sampai sedemikian jauhnya mereka belum saling bunuh.
Dengan gelisah, marah dan tegang, Thian Kong Hwesio, Hai Cu Nikouw dan para perwira menjaga terus mengepung menara. Mereka merasa penasaran karena sampai lewat tengah malam, dua iblis itu belum juga keluar dari dalam menara.
Menjelang pagi, Thian Kong Hwesio dan sumoinya dengan kaget melihat berkelebatnya sesosok bayangan ke arah menara. Mereka cepat memberi isyarat dan semua anggauta pasukan siap. Dua orang pendeta itu terheran-heran. Mereka melakukan penjagaan dan mengharapkan dua orang jahat itu keluar dari menara, mengapa kini ada bayangan berkelebat dan agaknya malah menuju ke menara! Dan bagaimanakah bayangan ini dapat melalui semua penjagaan yang demikian ketatnya? Mereka berdua saling pandang dan bingung, juga merasa ngeri karena melihat munculnya demikian banyak orang yang memiliki kepandaian hebat.
Tiba-tiba para penjaga itu mendengar suara hiruk-pikuk dan bentakan-bentakan yang keluar dari dalam menara, bahkan kini ada sinar lilin bernyala di dalam kamar. Dari luar, nampak di balik tirai jendela bayangan orang-orang berkelahi dengan gerakan yang amat cepatnya!
Apakah yang sesungguhnya telah terjadi dalam kamar itu? Apakah kedua orang anggauta Cap-sha-kui itu kambuh kembali penyakit mereka dan saling berhantam sendiri? Sama sekali tidak demikian. Keadaan di dalam kamar tadi masih gelap dan sunyi, seolah-olah orang-orang yang berada di dalamnya sudah tidur nyenyak. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara perlahan dan daun pintu terbuka dari luar, sesosok bayangan menyelinap masuk lalu terdengar suara seorang wanita menegur dengan suara mengejek.
"Huhh, tua bangka-tua bangka yang tidak tahu malu! Perbuatan hina kalian sungguh terkutuk dan akan menyeret kalian ke neraka jahanam!"
Yang pertama-tama bergerak adalah cambuk panjang Koai-pian Hek-mo. Terdengar suara meledak ketika cambuk panjang itu melecut dan menyambar ke arah datangnya suara wanita yang menegur mereka tadi. Akan tetapi, sebelum mengenai sasarannya, ujung cambuk itu membalik kepadanya dan tentu saja Koai-pian Hek-mo menjadi kaget sekali.
"Siapa kau...?" bentaknya. Jawabannya hanya suara ketawa merdu seorang wanita.
Di dalam kegelapan, Hwa-hwa Kui-bo agaknya dapat menangkap gerakan serangan cambuk tadi dan dapat menduga bahwa serangan kawannya itu gagal. Maka iapun menggerakkan kedua tangannya. Jarum-jarum beracun kini menyambar ke arah suara ketawa wanita itu.
Akan tetapi, terdengar suara berkerintingan dan jarum-jarum itu runtuh semua ke atas lantai, tanda bahwa yang diserangnya telah dapat menangkis semua jarum itu di dalam gelap!
Melihat kenyataan ini, Hwa-hwa Kui-bo cepat menyalakan api dan tak lama kemudian lilin besar di sudut itupun sudah bernyala dan sinar terang memenuhi kamar itu, mengusir kegelapan. Dua orang tokoh iblis itu sudah meloncat berdiri dan memandang dengan heran ketika mereka melihat bahwa yang berani mengganggu dan mengejek mereka hanyalah seorang gadis remaja yang pakaiannya aneh dengan potongan tidak karuan!
Seorang gadis remaja yang usianya antara lima belas atau enam belas tahun dengan rambut dikuncir menjadi dua, sepasang matanya lincah bersinar, mulutnya mengulum senyum mengejek. Tentu saja mereka berdua tidak memandang sebelah mata kepada anak perempuan ini. Mereka berdua hanya suka kepada pemuda-pemuda remaja tampan, dan tidak suka, bahkan membenci wanita-wanita muda yang cantik. Maka kini merekapun memandang dengan sinar mata penuh kemarahan kepada gadis itu.
Melihat bahwa yang datang hanya seorang dara remaja yang sempat membuat mereka terkejut, kedua orang tokoh besar itu merasa malu dan terhina. Perasaan ini tumbuh menjadi kemarahan dan kebencian, maka tanpa banyak cakap lagi Hwa-hwa Kui-bo sudah menggerakkan pedangnya menusuk ke arah perut dara itu sedangkan tangan kirinya membentuk cakar dan langsung mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala lawan!
Sungguh merupakan serangan gabungan yang amat hebat bagi seorang dara remaja seperti itu. Biarpun hanya tangan kosong, harus diakui bahwa cengkeraman itu bahkan lebih mengerikan dan lebih berbahaya daripada tusukan pedang.
Akan tetapi, nenek yang sudah merasa yakin bahwa satu diantara kedua tangannya yang melakukan serangan itu pasti akan memperoleh hasil, berteriak kaget ketika melihat betapa dara itu dengan lincah dan ringannya telah memiringkan tubuh mengelak dari tusukan pedang, sedangkan tangan kiri yang mencengkeram itu disambutnya dengan tamparan tangan terbuka.
"Plakkk!!"
Dan tubuh nenek berkedok itu terhuyung ke belakang, tubuhnya terasa panas dan kaku seperti kemasukan hawa yang amat kuat dan aneh!
"Ihhh...!"
Nenek itu berseru dan bergidik karena baru sekarang ia merasakan akibat yang demikian anehnya ketika tangannya bertemu dengan tangan lawan, apalagi lawannya hanya seorang bocah!
Maklum bahwa bagaimanapun juga, dara remaja itu ternyata memiliki kepandaian hebat, Koai-pian Hek-mo menggerakkan cambuknya yang meledak dan menyambar secara bertubi-tubi, sekali bergerak telah mematuk ke arah tiga jalan darah di bagian depan tubuh dara itu yang kesemuanya merupakan patukan mematikan.
"Ting-ting-cringggg...!"
Tiga kali ujung cambuk yang ada pakunya itu terpental dan yang ketiga kalinya bahkan terpental keras dan menyambar ke arah muka pemegang cambuk itu sendiri! Tentu saja Koai-pian Hek-mo terkejut dan cepat menarik kembali cambuknya agar paku di ujung cambuk tidak mematuk hidungnya sendiri.
Kini, dua orang tokoh besar dunia hitam itu terbuka matanya. Dengan hati-hati merekapun menyerang dari kanan kiri. Namun, dara itu melayani mereka dengan tangan kosong saja! Begitu ringan gerakan tubuhnya, bagaikan sehelai bulu saja yang sukar sekali diserang, seolah-olah diterbangkan oleh gerakan senjata-senjata mereka sehingga sebelum senjata mengenai sasaran, tubuh itu sudah mendahului pergi.
ASMARA BERDARAH JILID 006
(↕)
Dua orang tokoh jahat itu memancing-mancing untuk mengenal gerakan si dara. Akan tetapi, gerakan dara itu aneh bukan main. Mirip-mirip dasar gerakan ilmu silat dari Siauw-lim-pai, ada pula unsur gerakan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan bahkan semua ilmu silat dari perguruan-perguruan besar dicampur aduk menjadi satu! Yang amat hebat, selain kecepatan gerak, juga tenaga yang terkandung dalam kedua tangan yang kecil halus itu.
Dara itu jelas jauh lebih lihai daripada dua orang lawannya, akan tetapi agaknya ia memang berwatak bengal, jenaka dan suka main-main. Ia sengaja mempermainkan dua orang yang ia tahu menyelidiki gerakan-gerakannya itu, ia sengaja membuat gerakan kacau-balau, bahkan kalau balas menyerang ia menggunakan cara memukul anak-anak yang tidak pernah belajar silat sehingga kelihatan lemah, namun diam-diam ia mengerahkan sin-kangnya sehingga serangan balasannya itu luar biasa anehnya.
Dikatakan kuat, cara memukulnya sembarangan saja, akan tetapi dinamakan lemah, pukulan itu mengandung tenaga yang amat ampuh. Jadi berat-berat ringan, juga ringan-ringan berat, cukup membingungkan kedua orang lawannya. Bukan hanya bingung dalam hal menerka ilmu silat lawan itu, akan tetapi juga bingung bagaimana harus menghindarkan diri dari serangan-serangan balasan itu.
Bagaimanapun juga, dara remaja itu hanya bertangan kosong dan yang mengeroyoknya adalah dua orang tokoh yang amat lihai, dua orang diantara Cap-sha-kui yang mempergunakan senjata ampuh andalan mereka masing-masing, maka akhirnya dara itupun merasa bahwa permainannya sekali ini amat berbahaya.
Tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara pekik melengking aneh dan pendek dan tahu-tahu dengan jari telunjuknya ia menyentil ujung cambuk yang menyambar ke arah lehernya. Ujung cambuk itu terpental ke arah muka Hwa-hwa Kui-bo, sedangkan serangan pedang nenek itu dihindarkannya dengan mengelak ke belakang. Tentu saja nenek yang disambar ujung cambuk mukanya menjadi terkejut.
"Gila kau...!" bentaknya kepada kawannya karena ia mengira bahwa kawannya itu salah sasaran.
Sebaliknya, kakek itupun kaget dan cepat menarik cambuknya. Kesempatan ini dipergunakan oleh dara itu untuk balas menyerang. Tangannya meluncur ke arah ubun-ubun kepala Hwa-hwa Kui-bo, sedangkan kakinya menendang atau menyepak ke arah perut Koai-pian Hek-mo yang berada di belakangnya.
Serangan itu amat cepat gerakannya dan ketika kedua orang iblis itu meloncat untuk menghindar, tiba-tiba tubuh dara itu berjungkir balik, kepala di bawah kaki di atas. Tangan kirinya menunjang badan dan kini tiba-tiba saja ia melanjutkan serangannya dengan membalik, yaitu kakinya menyerang ubun-ubun kepala Koai-pian Hek-mo sedangkan tangan kanannya menghantam ke arah perut Hwa-hwa Kui-bo!
Dan hebatnya, di dalam serangan-serangannya itu terkandung hawa pukulan yang jauh lebih kuat daripada tadi, sehingga biarpun dua orang iblis itu berusaha menangkis dan mengelak, tetap saja mereka terdorong ke belakang, terhuyung-huyung dan hampir roboh!
Melihat kehebatan ini, mereka menjadi pucat dan tanpa diberi komando, keduanya lalu meloncat keluar dari menara itu, menggunakan gin-kang mereka yang hebat, sekali melayang mereka sudah lenyap ditelan kegelapan malam larut itu.
Dara itu tidak mengejar, melainkan menengok dan memandang ke arah dua orang pemuda yang berada di sudut kanan dan kiri. sekilas pandang saja ia lalu membuang muka dengan kulit muka berobah merah dan juga alis berkerut. Dua orang pemuda itu ternyata telah tewas dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya, keduanya mungkin menolak atau melawan sehingga setelah dipaksa mereka lalu dibunuh secara kejam oleh dua orang manusia iblis tadi. Karena dua orang lawannya telah melarikan diri, dara itupun lalu meloncat keluar dari pintu kamar menara.
"Iblis betina hendak lari kemana engkau?"
Terdengar bentakan-bentakan dan serombongan anak panah menyambutnya dari samping!
"Eh, gila...!"
Dara itu berseru, akan tetapi karena puluhan batang anak panah yang menyambar ke arahnya itu tidak mungkin dapat diusirnya hanya dengan seruan, terpaksa ia melempar diri ke belakang dan bergulingan. Ia lupa bahwa ia bukan sedang berada di atas tanah, melainkan di wuwungan rumah dekat menara, maka tentu saja lantai genteng tidak rata itu membuat ia terguling-guling kacau dan genteng-genteng banyak yang patah dan pecah. Setelah ia moloncat bangun, ia sudah dikepung dan dikeroyok oleh barisan tombak!
"Eh, eh, bagaimana ini?" teriaknya akan tetapi iapun harus cepat mengelak ke sana-sini karena para perajurit itu tidak mau banyak cakap lagi.
Semua orang mengira bahwa tentu gadis ini iblis betina yang telah menyamar sebagai Dewi Laut. Apalagi ketika beberapa orang diantara mereka mengenal gadis ini seperti yang digambarkan sebagai gadis aneh menunggang kuda yang mengacau di pintu gerbang kemarin dulu, mereka merasa yakin bahwa gadis inilah iblis betina itu.
Repot jugalah gadis itu dikeroyok orang sedemikian banyaknya. Apalagi karena ia tidak ingin melukai mereka, apalagi membunuhnya. Dengan gerakan lincah sekali ia mengelak ke sana-sini, membagi-bagi tendangan hanya untuk merobohkan beberapa orang tanpa mendatangkan luka berat.
Kalau kemarin dulu ia mematahkan semua gigi di mulut kepala jaga yang gendut, hal itu adalah karena si gendut bersikap kurang ajar kepadanya. Kini ia tidak tega untuk mencelakai orang-orang yang mengeroyoknya, maklum bahwa mereka itu salah duga dan mengira ialah penjahatnya yang mengacau di kuil itu.
Ketika para penjaga yang bersembunyi di bagian lain bermunculan, gadis itu tiba-tiba masuk kembali ke dalam kamar menara. Semua orang tidak berani mengejarnya masuk, hanya mengurung menara itu dengan senjata siap di tangan.
Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka dari dalam dan muncullah seorang pemuda tampan! Pasukan yang memegang busur dan siap dengan anak panah mereka, tidak jadi melepaskan anak panah. Dan dari belakang terdengar seruan Thian Kong Hwesio,
"Tahan, jangan serang, dia murid pinceng!"
Akan tetapi, pemuda yang dikenalnya sebagai muridnya karena mengenakan pakaian satu diantara dua pemuda itu, kini berlari ke depan, menggunakan kesempatan selagi orang lengah, meloncat dan melayang di atas kepala mereka ke arah wuwungan kuil di depan kemudian berloncatan dan lenyap ditelan malam yang sudah hampir terganti pagi namun masih amat gelap itu.
Barulah Thian Kong Hwe-sio sadar bahwa yang disangka muridnya tadi bukanlah muridnya, melainkan gadis itu yang mengenakan pakaian muridnya itu! Para perwira memerintahkan anak buahnya untuk mengejar. Pengejaran dilakukan akan tetapi para pengejar itu meraba-raba di tempat gelap, tidak tahu ke arah mana gadis itu menghilang.
Sementara itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw memasuki kamar menara dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka melihat dua orang murid yang telah menjadi mayat itu. Hidangan yang dibawa oleh dua orang muda itu telah habis dimakan, akan tetapi buntalan emas masih berada di situ, tidak sempat dibawa pergi penjahat.
Sementara itu, di dalam sebuah hutan di luar kota Ceng-tao, Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo saling berbantahan dan saling menyalahkan.
"Dasar engkau yang mata keranjang dan ceroboh!" Si muka hitam itu mengomel. "Kalau memang ketagihan pemuda, kenapa tidak menangkap saja beberapa orang dan membawanya ketempat sepi seperti hutan ini? Kenapa harus dinikmati di kuil yang keramat? Engkau mencari penyakit saja!"
Wanita itu kini telah menanggalkan kedoknya dan kalau orang melihat mukanya pada saat itu baru mereka akan tahu mengapa wanita ini suka memakai kedok. Kiranya pipi kanannya terdapat codet atau luka bekas goretan yang dalam dan panjang, membuat muka itu nampak menyeramkan dan menjijikkan. Sambil meludah Hwa-hwa Kui-bo menudingkan telunjuknya ke arah hidung kakek itu.
"Cih, tak tahu malu! Engkau sendiripun ikut menikmatinya, sekarang hendak menyalahkan aku? Keparat, apakah engkau hendak mencoba-coba kepandaianku?"
Kakek itu menarik napas panjang dan melambaikan tangannya dengan hati kesal.
"Sudahlah, jangan bicara tentang kepandaian. Kau kira kita ini memiliki kepandaian macam apa? Mengeroyok seorang bocah bertangan kosong saja tidak becus mengalahkannya!"
Ucapan ini membuat nenek itu teringat dan berdiam diri, tidak jadi menghunus pedangnya dan nampak termangu-mangu.
"Aku masih heran, siapakah gerangan bocah setan yang memiliki kepandaian sehebat itu? Aku masih heran dan sungguh aku sama sekali tidak dapat mengenal ilmu silatnya yang aneh-aneh itu..."
"Aku sendiripun heran. Ada beberapa gerakannya yang mengingatkan aku akan ilmu-ilmu mujijat dari Pendekar Sadis..."
"Ehhh...!"
Wanita itu hampir menjerit ketika mengeluarkan seruan itu. Bagaimanapun juga, sebutan Pendekar Sadis membuat jantungnya seperti akan copot rasanya.
"Mungkin juga bukan, karena di dalam gerakan-gerakannya terdapat unsur ilmu-ilmu silat tinggi yang lain seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain. Sungguh bocah itu seperti setan saja. Tidak salah lagi! Ia tentu puteri atau murid seorang sakti. Karena itulah, kita harus berhati-hati, kita harus bersatu karena bukankah sekarang ini orang-orang golongan putih yang menentang kita sedang mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu?"
Wanita itu mengangguk-angguk.
"Memang kedatanganku ke sini juga hendak menyelidiki kebenaran berita itu. Kita tidak boleh tinggal diam saja kalau mereka mengadakan pertemuan. Apakah saudara-saudara kita yang lain juga akan datang?"
"Kurasa demikian. Bahkan datuk-datuk kitapun kabarnya akan muncul, untuk melakukan penyelidikan sendiri."
"Benarkah? Aih, bakalan ramai kalau begitu! Memang mereka, golongan putih itu, semakin congkak dan tekebur saja. Kalau kita tidak melawan mereka, tentu golongan kita dianggap golongan tahu dan tidak mempunyai jagoan-jagoan lagi."
Hwa-hwa Kui-bo mengepalkan tinjunya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi penuh kebencian.
"Kalau mereka datang, tentu muncul di Ceng-tao. Akan tetapi karena kita menjadi buruan di Ceng-tao, sebaiknya kita mendekati Puncak Bukit Perahu itu sambil menanti kedatangan para sahabat kita. Bagaimanapun juga, mereka tentu akhirnya akan berdatangan ke bukit itu pula."
Wanita itu mengangguk dan mereka lalu melanjutkan perjalanan, meninggalkan hutan menuju ke utara.
ASMARA BERDARAH JILID 007
(↕)
Pada keesokan paginya di pasar kota Ceng-tao. Pagi itu pasar ini tetap ramai seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu malam tadi. Akan tetapi, diantara percakapan sehari-hari dan urusan perdagangan, ramai pula orang bicara tentang peristiwa di kuil Dewi Laut dimana terjadi pertempuran yang menewaskan belasan orang perajurit keamanan.
Bermacam-macamlah pendapat orang mengenai peristiwa itu. Yang kepercayaannya terhadap kesaktian Dewi Laut sudah berlebihan, kukuh berpendapat bahwa semua itu adalah akibat kemarahan Dewi Laut yang hendak menghukum pendeta kuil dan para perajurit.
"Kalau bukan Sang Dewi, mana mungkin ada wanita dapat menghindarkan diri dari kepungan para perajurit?"
"Dan kabarnya, dihujani anak panah wanita itu hanya tertawa saja!" Yang lain menambahkan, memperkuat kepercayaan orang-orang terhadap Dewi Laut.
Biarpun urusan itu ramai dibicarakan orang, pada akhirnya mereka yang berada di pasar ini sibuk dengan urusan mereka sendiri, urusan mencari untung sebanyaknya atau mencari kesenangan melalui belanjaan. Ada yang secara royal membeli pakaian-pakaian mahal, sedangkan di sudut sana, di pasar itu pula, terdapat banyak orang berpakaian tambal-tambalan, pakaian yang sudah berbulan-bulan tak pernah diganti, karena bajunya memang hanya yang melekat di badan itulah.
Ada pula orang-orang yang sedang menikmati masakan-masakan lezat dan mahal di restoran-restoran, makan dengan lahapnya, tidak perduli akan pandang mata yang disertai air liur ditelan dari para pengemis tua muda yang berkeliaran di situ dengan perut kelaparan.
Sekelompok anak-anak jembel memperebutkan sisa makanan yang dibuang oleh pelayan restoran ke tempat sampah. Sang pelayan berdiri sambil menonton anak-anak jembel memperebutkan sisa makanan seperti sekelompok anjing kelaparan berebut tulang. Tentu saja sisa makanan itu bercampur dengan kotoran dan tanah setelah dibuang ke tempat sampah. Agaknya, memberikan saja makanan itu kepada anak-anak pengemis secara demikian saja tidak memuaskan hati si pelayan ini.
Ada jembel tua yang duduk bersandar tembok di sudut, tenang-tenang saja memandangi semua pengemis yang bekerja pula bermodalkan suara mengharukan minta dikasihani, dan kadang-kadang ada pengemis datang menghampirinya dan memberikan sesuatu, makanan atau uang kecil kepada pengemis tua ini.
Dia adalah seorang raja kecil pengemis di pasar itu yang "melindungi" para pengemis. Tentu saja dia sendiri tidak perlu mengemis karena para anak buahnya selalu membagi hasil kepadanya. Ada pula yang bermalas-malasan karena sudah memperoleh hasil mengemis dan sudah kenyang perutnya. Pekerjaan yang amat mudah itu sungguh membuat mereka merasa malas.
Ada pula seorang ibu mengemis memondong anak bayinya yang kurus, merengek-rengek menarik perhatian dan belas kasihan orang pasar, menceritakan bahwa bapak anak itu sudah mati dan ia hidup menjanda. Padahal, seorang laki-laki pengemis lain yang menjadi bapak anak itu pada saat itu sedang bermain judi kecil-kecilan di belakang pasar bersama kawan-kawan pengemis lain.
Akan tetapi, sebagian besar daripada mereka yang berada di pasar, baik para penjual maupun para pembeli, sudah terbiasa dengan penglihatan ini dan tidak memperdulikan. Mereka melihat adanya banyak pengemis di pasar ini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pasar, dan andaikata pada suatu hari tidak ada seorangpun pengemis disitu, tentu mereka akan terkejut dan terheran-heran, bahkan mungkin akan merasa kehilangan.
Diantara orang yang berjubelan itu, di depan sebuah restoran, nampak seorang pemuda jembel penuh bercak-bercak lumpur dan arang, sedang duduk nongkrong memandang ke arah dua orang anak jembel kakak beradik yang menangis sambil berangkulan. Si adik menangis dan si kakak menghiburnya.
"Mereka... mereka memukulku...!" rengek adiknya.
"Sudahlah, merekapun lapar seperti kita. Nanti kalau ada sisa makanan lagi, biar aku yang akan memperebutkannya untukmu. Diamlah..." kakaknya menghibur.
Jembel muda yang duduk nongkrong itu tak terasa lagi mengusap air matanya yang menetes turun dari kedua matanya ke atas pipi, menggunakan punggung tangan kirinya yang kotor sehingga pipinya menjadi semakin kotor lagi. Di lain saat, pemuda jembel ini sudah bangkit dan mengeluarkan sebuah mata uang kecil dari saku bajunya yang butut, dan dengan kedua mata masih basah dia berkedip-kedip dan tersenyum seorang diri, kemudian dengan lenggang dibuat-buat pergilah dia menghampiri kedai bakpao di mana tukang bakpao yang berperut gendut sekali sedang memanaskan bakpaonya.
Bau sedap keluar ketika uap dari tempat pemanasan bakpao itu mengepul dan si pemuda jembel menyedot-nyedot hidungnya sambil berdiri di depan kedai itu dan memandang ke arah bakpao-bakpao yang bulat dan putih dan panas beruap itu.
Melihat seorang pemuda jembel berpakaian kotor berdiri di depan kedainya, si perut gendut menghardik,
"Heh, mau apa kau berdiri disini? Pergi!"
"Toapek, aku mau membeli bakpao, bukan mau mengemis." Sambil berkata demikian, dia menyodorkan uang logam kecil yang berada di telapak tangan kanannya. "Aku mau beli lima butir bakpao terisi daging dengan uang ini."
Si gendut memandang dan begitu melihat uang logam di tangan pengemis itu, dia mencak-mencak dan mukanya yang gendut pula itu menjadi merah, matanya yang sipit coba dibelalakkan.
"Setan cilik! Uang itu untuk membeli sebutir saja masih kurang, dan kau minta lima butir? Itu bukan mengemis, juga bukan membeli, akan tetapi mau merampok!"
Sepasang mata itu melotot dan tangannya dikepal dan diamangkan tinjunya ke arah pemuda jembel itu.
Pemuda jembel itu berjebi, menyeringai dan mentertawakan dengan sikap mengejek sekali.
"Phuh, empek gendut! Perutmu begitu gendut tentu kebanyakan untung dan kebanyakan makan bakpao! Huhh!"
Tentu saja penjual bakpao itu marah sekali.
"Apa kau bilang? Kesini kau! Biar kuputar batang lehermu sampai putus!"
"Coba kau lakukan itu kalau kau mampu menangkapku! Huh, siapa tidak tahu bahwa engkau mencuri kucing dan anjing tetangga, lalu kau sembelih dan dagingnya kau pakai isi bakpao maka keuntunganmu berlimpah-limpah? Kau pencuri, penipu rendah!"
Tentu saja si tukang bakpao menjadi semakin marah. Dia menyambar pisau besar pencacah daging bakpao dan diapun keluar dari kedainya melakukan pengejaran. Pengemis muda itu berlari, tidak terlalu jauh sambil mengejek memanaskan hati. Dia lari menyelinap diantara para pengunjung pasar dan setelah si gendut itu agak jauh, tiba-tiba dia menghilang.
Selagi si gendut sambil memaki-maki mencari jembel muda itu, si jembel muda dengan jalan memutar, cepat kembali ke kedai dan diambilnya bakpao sekeranjang penuh, lalu dibagi-bagikannya bakpao-bakpao itu kepada anak-anak jembel yang berada di dalam pasar.
Ketika si gendut kembali ke kedainya dan mencak-mencak melihat bakpao-bakpaonya hilang, jembel muda itu tertawa terpingkal-pingkal melihat anak-anak jembel makan bakpao sedemikian lahapnya sampai tercekik leher mereka.
Ketika tertawa, nampak deretan gigi putih dan bagi mereka yang pernah melihat mulut dan gigi ini tentu akan teringat bahwa mulut itu semalam pernah muncul di menara kuil Dewi Laut, dan dua hari yang lalu pernah muncul pula sebagai gadis aneh di pintu gerbang!
Melihat bakpao yang dibagi-bagikan itu cepat habis dan anak-anak itu kelihatan masih belum kenyang, si jembel muda lalu menyelinap diantara orang banyak dan diapun kini mendekati kedai bakpao itu. Berindap-indap dia mendekati kedai itu dari belakang, kemudian mencuri beberapa butir bakpao yang ditumpuk di sebelah kiri si gendut itu.
Dia tidak tahu bahwa gerak-geriknya sejak tadi diikuti oleh pandang mata tiga orang laki-laki setengah tua. Ketika dia memegang lagi sebuah bakpao yang masih terlalu panas, dia terkejut dan mengeluarkan seruan kaget, bukan hanya karena kepanasan, akan tetapi juga karena pundaknya dicengkeram orang dari belakang!
Si gendut tukang bakpao menoleh dan melihat betapa pemuda jembel yang tadi berada disitu membawa beberapa buah bakpao dan kini dipegangi kedua lengannya oleh dua orang seperti menangkapnya, menjadi marah.
"Nah, ini dia maling bakpaoku!" Dan diapun mengangkat tangan untuk menampar muka pemuda jembel itu.
"Duk!"
Seorang diantara tiga orang itu menangkis tamparan si gendut, membuat si gendut menyeringai kesakitan.
"Jangan sembarangan memukul!" hardik orang ketiga itu. "Kami adalah perwira-perwira keamanan yang sedang melakukan operasi pembersihan!"
Mendengar bahwa tiga orang ini adalah perwira-perwira yang menyamar, si gendut tidak berani banyak cakap dan melanjutkan pekerjaannya dengan hati berdebar tegang. Memang bukan hanya dia. Siapapun juga di kota Ceng-tao, sekali berhadapan dengan petugas keamanan, menjadi kuncup hatinya dan tidak banyak tingkah.
Petugas keamanan amat ditakuti rakyat dan dianggap sebagai golongan yang hanya mendatangkan kerugian saja, dianggap sebagai golongan orang yang tidak dapat dipercaya dan yang lebih baik dijauhi atau dihindari. Perasaan seperti ini akan selalu menyelinap dalam hati rakyat di negara manapun juga selama para petugas keamanan lebih menonjolkan kekuasaannya daripada kewajibannya, membuat mereka menjadi penindas dan pemeras yang bermodal kekuasaan dan kedudukan mereka.
Pemuda jembel itupun yang tadinya mengerutkan alisnya dan bersikap melawan, menjadi lunak, apalagi ketika melihat beberapa orang lain berpakaian preman mendatangi tempat itu dan dari sikap mereka mudah diduga bahwa mereka adalah petugas-petugas keamanan yang menyamar.
Dan diapun melihat betapa selain dia, ada pula beberapa orang jembel dan gelandangan yang ditangkapi. Maka diapun menyerah saja dibawa oleh para petugas itu, bersama tangkapan-tangkapan lainnya, menuju ke sebuah gedung, yaitu gedung seorang pembesar yang menjadi komandan pasukan keamanan.
Tentu saja pembesar pasukan keamanan tidak tinggal diam begitu saja dengan adanya peristiwa di kuil Dewi Laut. Belasan orang anak buahnya tewas dan penjahat-penjahat itu tidak dapat tertangkap. Hal ini merupakan pukulan hebat dan mendatangkan rasa malu. Maka diapun memerintahkan seluruh anak buahnya untuk disebar di semua tempat, menangkapi orang-orang yang dicurigai untuk ditanya tentang penjahat-penjahat semalam itu, terutama tentang gadis yang pakaiannya seperti orang gelandangan.
Yang ditangkap adalah pengemis-pengemis yang usianya sebaya dengan gadis itu, juga orang-orang yang dicurigai, akan tetapi sebagian besar adalah orang-orang jembel dan gelandangan-gelandangan yang berada di pasar.
Bersama dengan pemuda jembel yang mencuri bakpao tadi, jumlah tangkapan ada dua puluh orang lebih. Mereka digiring seperti ternak dibawa ke pejagalan. Di sepanjang jalan, mereka menjadi tontonan orang dan sebentar saja tersiarlah berita bahwa petugas-petugas keamanan menangkapi banyak pengemis muda.
Di dalam gedung yang terletak di daerah markas pasukan keamanan itu, terjadilah pemeriksaan terhadap para tawanan. Komandan keamanan sendiri yang melakukan pemeriksaan dengan keras. Dia seorang komandan yang berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap galak. Dendam karena kematian banyak anak buah membuat komandan ini pusing dan murung, membuatnya menjadi semakin galak seperti harimau haus darah.
Pemeriksaan dilakukan satu demi satu, dengan kekerasan dan banyak diantara para tawanan harus menderita gebukan dan cambukan yang dilakukan bukan hanya untuk memaksa tawanan mengaku, akan tetapi juga terutama karena dorongan hati dendam yang ingin ditumpahkan.
Tukang-tukang siksa yang sudah siap berada di kamar pemeriksaan, agaknya sudah gatal-gatal tangan dan menurut kata hati mereka, semua tawanan harus disiksa sampai mengaku atau mampus!
Maka di dalam ruangan pemeriksaan itu, setiap kali ada tawanan dibawa masuk, lalu disusul oleh bentakan-bentakan, pukulan-pukulan dan diiringi raung-raung dan tangis kesakitan. Hal ini membuat hati para tawanan lain yang belum diperiksa menjadi panik dan ketakutan dan belum juga diperiksa, sebagian sudah menangis ketakutan.
ASMARA BERDARAH JILID 008
(↕)
Pemuda jembel yang mencuri bakpao tadi dengan cerdiknya diam-diam menyelinap dan tahu-tahu dia sudah berada di paling ujung sehingga dia menjadi orang terakhir yang diperiksa. Ketika dia dibentak dan diseret tangannya oleh seorang petugas, dibawa masuk ke dalam kamar pemeriksaan, pada saat itu berkelebat bayangan orang di atas genteng dan ketika pemuda jembel itu mulai dihadapkan kepada komandan tinggi besar bermuka bengis, bayangan itu kini telah bergantung dengan kedua kakinya pada atap di luar jendela, dan kepalanya yang tergantung ke bawah ini menjenguk dan mengintai dari luar jendela yang tinggi karena jendela ini adalah lubang angin.
Pemuda itu gagah perkasa, pakaiannya rapi, matanya lebar tajam, hidungnya agak pesek, mulutnya membayangkan kekerasan dan keteguhan hati. Biarpun raut mukanya tidak dapat dinamakan tampan, akan tetapi diapun tidak buruk sekali dan wajah itu membayangkan kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggung.
Pada saat itu, pemuda jembel telah dihujani bermacam pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya.
"Siapakah penjahat yang mengacau kuil Dewi Laut? Dimana tinggalnya dan siapa namanya? Siapa pula teman-temannya dan mengapa penjahat itu mengacau kuil dan membunuh para petugas keamanan? Hayo ceritakan semua kalau engkau tidak mau dirangket sampai pecah-pecah kulit punggungmu!"
Komandan itu menghardik dan matanya yang besar itu seperti hendak meloncat keluar. Dia sudah terlalu lelah dan pemuda jembel ini merupakan orang terakhir yang diperiksanya. Dia sudah melihat bahwa semua hasil pemeriksaan yang tadi tidak ada artinya, tidak dapat mengungkapkan rahasia penjahat yang dicarinya. Hatinya kesal sekali dan dia ingin menumpahkan kemarahannya kepada pemuda jembel bertubuh kecil yang wajahnya berseri-seri dan cengar-cengir ini.
"Tidak tahu... saya tidak tahu..." berulang-ulang pemuda itu menjawab sambil menggeleng kepalanya.
Seorang diantara tiga orang perwira yang tadi menangkapnya, berkata kepada sang komandan,
"Ketika kami menangkapnya, dia sedang mencuri bakpao."
Komandan itu mengerutkan alisnya dan hampir dia membentak marah kepada bawahannya mengapa pencuri bakpao saja ditangkap. Akan tetapi karena dia hendak menumpahkan kemarahannya kepada tawanan terakhir ini, dia menghardik,
"Bagus! Engkau pencuri, tentu engkau berkawan dengan maling itu! Siapa namamu?"
Pemuda jembel itu nampak gugup, akan tetapi menjawab juga dengan suara lirih,
"Nama saya Cin..."
"Hanya Cin saja?"
"Hanya Cin saja."
"Apa she-nya (nama marganya)?"
"Sudah lupa."
"Brakkk!" Komandan itu menggebrak meja. "Jangan main-main kau! Mana mungkin orang lupa she-nya sendiri?"
"Tapi saya hanya mengingat bahwa nama saya Cin begitu saja, tuan besar."
"Hemm, baiklah. Sejak kapan engkau menjadi jembel?"
"Jembel? Apakah itu, tuan besar?"
"Jembel! Pengemis, tukang minta-minta tak tahu malu."
"Sejak lahir."
Sepasang mata yang sudah mulai lelah dan mengantuk itu kini terbelalak. Sebanyak itu orang yang diperiksanya, baru sekali ini menarik perhatiannya dengan jawaban yang aneh-aneh di luar dugaan.
"Sejak lahir jadi jembel? Pantas! Tak tahu malu! Nah, dimana rumahmu? Hayo mengaku terus terang sebelum kusuruh potong tanganmu yang suka mencuri itu!"
"Rumahku? Seluruh tempat di dunia ini adalah rumahku, tuan besar!"
Jawaban ini kembali membuat semua orang tertegun dan komandan itu sendiri bangkit dari kursinya dan mengepal tinju.
"Engkau minta dipukul? Jawab yang benar!"
Wajah pemuda jembel itu kini berseri-seri seperti ketika dia mencuri bakpao di pasar tadi. Agaknya sudah pulih kembali kegembiraan hatinya dan dia tidak lagi dicekam rasa takut.
"Saya tidak berbohong. Gedung inipun rumahku, bukankah buktinya aku sekarang tinggal disini? Dan toko-toko di tepi jalan itu, tiap malam boleh saja aku tinggal di empernya, atau di bawah-bawah jembatan, semua tempat adalah tempat tinggalku..."
"Setan! Kau mau main-main?"
"Tidak, tuan besar. Dunia ini adalah rumahku, langit adalah atapku, bumi adalah lantaiku, pohon-pohon dan bunga-bunga adalah hiasan-hiasan rumahku, dan..."
"Cukup!"
Komandan itu menghardik sambil menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi dan mengusap peluh dari dahinya. Dia melirik ke arah para pembantunya dan mereka ini dengan penuh arti menyilangkan telunjuk ke depan dahi untuk menyatakan persangkaan mereka bahwa tentu jembel muda ini menderita penyakit miring otak.
"Jadi engkau seorang gelandangan, ya? Seorang tuna wisma yang merantau ke mana-mana. Jadi, engkau tentu mengenal penjahat yang semalam mengacau di kuil Dewi Laut? Hayo mengaku!"
Komandan itu memberi isyarat dan dua orang tukang siksa sudah melangkah maju menghampiri.
"Aku tahu... aku tahu..."
Pemuda itu berseru ketika melihat dua orang tukang siksa yang membawa cambuk yang sudah berlepotan darah itu menghampirinya.
"Bagus sekali!" Wajah komandan itu berseri. Akhirnya berhasil juga pemeriksaan ini, pikirnya, "Hayo katakan yang jelas siapa mereka itu, dan engkau bukan saja akan kubebaskan, malah akan kuberi hadiah pakaian dan uang."
"Aku tahu... seperti yang kudengar bahwa Sang Dewi Laut mengamuk di kuil, dan membunuh-bunuhi orang-orang yang terlalu banyak dosanya. Jadi yang mengacau adalah para hwesio dan nikouw sendiri dibantu oleh pasukan keamanan, merekalah yang dihajar oleh Sang Dewi karena mungkin terlalu banyak dosa..."
"Brakkk!" Kembali komandan itu menggebrak meja dan mukanya menjadi pucat saking marahnya. "Hajar bocah ini! Beri dia dua puluh lima kali cambukan yang keras!"
Dua orang algojo itu menyeringai. Dua puluh lima kali cambukan pada tubuh yang kecil ini berarti mencambukinya sampai mati! Mereka menangkap tangan pemuda itu dan seorang diantara mereka menghardik,
"Buka bajunya!"
"Jangan... ah, jangan... dibuka. Aku seorang wanita...!" Pemuda jembel itu berseru dan kini suara aselinya keluar, suara seorang gadis!
Dua orang algojo itu tertegun dan melepaskan tangannya saking kaget dan heran. Juga komandan itu sendiri memandang dengan mata terbelalak.
"Perempuan...? Kau perempuan yang menyamar...? Ah, sungguh mencurigakan...! Kalau begitu... aughhh...!"
Tiba-tiba komandan itu yang tadinya bangkit berdiri, menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Tiba-tiba saja dia merasa kepalanya seperti akan meledak dan pening sekali. Dia memejamkan mata dan menggerakkan tangan kepada para pembantu.
"Bawa dia pergi... tahan dia dalam sel... dia orang penting, besok kulanjutkan pemeriksaan, kepalaku pusing..."
Para perajurit pembantu lalu menyeret gadis yang menyamar sebagai pemuda jembel itu dan menjebloskannya ke dalam sel yang gelap. Pemuda jembel itu memang sebenarnya dara remaja yang pernah muncul naik kuda di pintu gerbang, juga ialah dara remaja yang semalam muncul di kuil Dewi Laut dan menandingi Hwa-hwa Kui-bo dan Kow-pian Hek-mo secara lihai itu.
Kini dengan wataknya yang bengal dan ugal-ugalan, ia sengaja membiarkan dirinya ditawan dan diperiksa, walaupun kalau ia menghendaki, setiap waktu ia dapat saja meloloskan dirinya. Kini ia malah membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel yang amat kuat, mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri. Semua ini sengaja dilakukan oleh dara yang bengal ini karena tadi ia melihat bayangan pemuda gagah yang bergantung di luar jendela, dan ia melihat pula ketika pemuda itu meniupkan sebutir benda kecil yang mengenai jalan darah di dekat pelipis kepala sang komandan, membuat komandan itu kontan terserang rasa pening yang hebat.
Ia merasa amat tertarik melihat sepak terjang pemuda itu dan ia ingin sekali mengetahui, apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu selanjutnya, maka ia sengaja membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel tahanan yang gelap! Iapun menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda berpakaian putih bersih yang kelihatannya lihai itu dan apa maunya.
Para pembaca sendiri tentu sudah bertanya-tanya dan menduga-duga siapa gerangan dara remaja yang aneh ini, yang kadang-kadang berpakaian seperti seorang gadis ugal-ugalan atau memang ia ugal-ugalan, dan kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Siapakah ia dan betapa mengagumkan dan mengherankan bahwa seorang dara semuda ia, baru antara lima belas dan enam belas tahun usianya, sudah demikian lihainya sehingga mampu menandingi pengeroyokan dua orang tokoh iblis seperti Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo, dua diantara Cap-sha-kui yang ditakuti dunia kang-ouw itu?
Sebetulnya, kelihaian dara remaja ini tidaklah mengherankan apabila kita ketahui siapa sebenarnya ia. Ia adalah puteri tunggal dari Pendekar Sadis! Bagi para pembaca yang belum pernah membaca kisah Pendekar Sadis sebaiknya mengenalnya sekarang juga.
Pendekar Sadis bernama Ceng Thian Sin, masih berdarah kaisar karena mendiang ayahnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, amat banyak dan semua ilmunya adalah ilmu yang tinggi dan luar biasa. Dia bahkan telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, ilmu yang paling tinggi seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, bahkan Thi-khi-i-beng yang mujijat itu sudah dikuasainya. Dia mewarisi pula ilmu dari pendekar sakti Yap Kun Liong, yaitu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang. Juga dari neneknya, pendekar wanita Cia Giok Keng, dia mewarisi pedang Gin-hwa-kiam dan ilmu memainkan sabuk sebagai senjata.
Untuk memperlengkap ilmu-ilmunya, dia telah pula mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari kitab tulisan Bu Beng Hud-couw, yaitu Ilmu Hek-liong Sin-ciang yang delapan jurus, Ilmu Hok-te Sin-kun dan siulian menghimpun tenaga sakti berjungkir balik.
Sebagai puteri tunggal dari Pendekar Sadis yang demikian lihainya, sudah barang tentu dara itu lihai bukan main, mewarisi sebagian besar ilmu dari ayahnya. Akan tetapi, dara remaja yang berbakat ini menjadi semakin lihai karena ibunyapun seorang yang amat lihai, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dan hanya berselisih sedikit dibandingkan ayahnya.
Ibunya bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena ayahnya adalah seorang pangeran pula. Toan Kim Hong ini pernah menyamar sebagai nenek dan bahkan telah berhasil menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan dengan julukan Lam-sin (Malaikat Selatan). Ilmu-ilmunya juga hebat dan terutama sepasang Hok-mo Siang-kiam yang hitam itu amatlah ampuhnya.
Gin-kangnya amat tinggi bahkan dalam hal kecepatan gerak, ia masih mengalahkan suaminya. Ilmu silatnya Hok-mo Sin-kun juga amat hebat dan sukar dicari tandingannya. Selain ilmu silat tinggi ini, juga dengan sin-kangnya yang kuat, ia pandai bermain silat Bian-kun dan tangannya dapat berobah seperti kapas lunaknya, namun mengandung tenaga mujijat yang akan mengalahkan tenaga-tenaga yang kelihatan kuat.
Senjata rahasianya jarum merah juga berbahaya, dan lebih berbahaya lagi adalah rambutnya. Ia dapat mempergunakan rambutnya sebagai senjata ampuh yang dapat merampas senjata lawan!
Demikianlah sedikit perkenalan dengan Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis dan isterinya, Toan Kim Hong atau dahulu dikenal sebagai nenek Lam-sin. Mereka berdua hanya mempunyai seorang anak, yaitu dara remaja yang kini berusia lima belas tahun dan bernama Ceng Sui Cin itu. Kini Pendekat Sadis sudah berusia empat puluh lima tahun dan isterinya yang lebih tua dua tahun itu masih kelihatan amat cantik seperti wanita berusia tiga puluhan saja.
ASMARA BERDARAH JILID 009
(↕)
Sebagai puteri suami isteri pendekar yang demikian tinggi ilmunya, tidaklah mengherankan kalau dalam usia semuda itu, Sui Cin sudah amat pandai. Ayah bundanya adalah manusia-manusia bebas, maka iapun menjadi manusia bebas dan wajar. Bahkan ia diperbolehkan merantau sesuka hatinya karena ayah bundanya merasa yakin bahwa kesadaran akan hidup yang sudah ditanamkan sejak kecil kepada puterinya itu, dapat membuka mata puteri mereka dan dapat membuat Sui Cin selalu waspada akan segala hal yang terjadi, baik di dalam maupun di luar dirinya.
Akan tetapi, karena di waktu muda mereka, Ceng Thian Sin maupun Toan Kim Hong adalah petualang-petualang besar, maka agaknya darah petualang mengalir dalam tubuh Sui Cin. Ia suka bertualang dan menempuh bahaya-bahaya, bersikap ugal-ugalan dan tidak perduli akan tanggapan orang lain. Namun di balik semua ini, ia tetap seorang yang berwatak pendekar, yang selalu menentang kejahatan, menentang penindasan dan selalu siap untuk membela kaum yang lemah tertindas.
Di dalam perantuannya yang sudah memakan waktu tiga bulan itu, ia tiba di Ceng-tao dan ia sengaja menuju ke sini karena ia mendengar kabar angin di dunia kang-ouw bahwa di Bukit Perahu akan diadakan pertemuan antara para tokoh pendekar yang suka menyebut dirinya golongan putih atau golongan bersih.
Ayah bundanya sendiri tidak pernah mengaku bahwa mereka adalah orang-orang golongan bersih. Akan tetapi ia sudah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh sakti dunia kang-ouw yang belum pernah dijumpainya. Bahkan para tokoh sakti yang masih dekat hubungannya dengan ayah bundanya, tak pernah ia jumpai. Hal ini adalah karena nama ayahnya sebagai Pendekar Sadis agaknya membuat para tokoh "bersih" itu segan mendekatinya.
Sui Cin sudah cukup dewasa untuk dapat menduga bahwa ayah bundanya dapat digolongkan sebagai tokoh putih, akan tetapi juga dapat dinamakan tokoh hitam karena ayah bundanya tidak pernah menentang golongan hitam secara berterang. Dan diam-diam iapun merasa sebal terhadap para pendekar yang suka menyebut diri mereka golongan bersih, golongan putih, atau kaum pembela keadilan dan kebenaran! Ia menganggap mereka itu terlalu congkak dan tinggi hati, merasa benar sendiri, baik sendiri dan mau menang sendiri.
Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di sebuah pulau kosong yang kini berobah menjadi pulau yang indah, hidup sebagai orang yang berkecukupan. Di pulau itu mereka bangun sebuah gedung yang mungil, dikelilingi rumah-rumah tempat tinggal mereka yang menjadi pelayan atau anak buah.
Sejak kecil, Sui Cin hidup sebagai anak kaya, akan tetapi sungguh aneh, anak ini merasa jemu dan di dalam perantauannya, ia selalu menyamar sebagai seorang miskin. Ia merasa lebih bebas dalam pakaian butut, lebih dapat menikmati kehidupan sebagai orang miskin daripada kalau ia menjadi puteri kaya yang melakukan perjalanan dalam kereta indah diiringi pasukan pengawal.
Kesukaan dara itu melihat tempat-tempat lain tidaklah mengherankan. Setiap orang selalu ingin menyaksikan tempat-tempat lain dan tempat sendiri, betapapun indahnya, selalu menimbulkan kebosanan kalau tidak sekali-kali ditinggalkan untuk menyaksikan tempat lain.
Pulau kosong yang ditinggali keluarga Pendekar Sadis itu sebenarnya amat indah, bernama Pulau Teratai Merah. Suami isteri itu telah memperkembang biak bunga-bunga teratai merah di situ sehingga kini pulau itu penuh dengan bunga-bunga teratai merah yang tumbuh subur di empang-empang air yang mereka buat di seluruh permukaan pulau.
Ceng Sui Cin yang berusia lima belas tahun lebih itu seperti setangkai teratai merah yang baru mekar. Wajahnya cantik jelita dan manis sekali seperti wajah ibunya, sepasang matanya bersinar tajam seperti mata ayahnya. Sepak terjangnya di pintu gerbang Ceng-tao dan di kuil Dewi Laut membuktikan bahwa ia seorang dara yang gagah, ringan tangan tapi adil dan hatinya tidak kejam, tidak mudah membunuh orang.
Hal ini, yaitu jangan mudah membunuh, ditanamkan oleh ayah bundanya sejak ia kecil. Ayah bundanya di waktu muda amat bengis, bahkan ayahnya dijuluki Pendekar Sadis karena terlalu suka membunuh. Agaknya mereka menyesali perbuatan itu dan menanamkan ke dalam batin anak tunggal mereka agar jangan terlalu mudah membunuh orang.
Demikianlah sekelumit keterangan tentang siapa adanya gadis yang bernama Ceng Sui Cin itu. Kini ia, sebagai akibat dari kebengalan dan keinginan tahunya, telah dijebloskan ke dalam sel besi yang sempit dan gelap, tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya.
Setelah para petugas itu pergi, diam-diam Sui Cin lalu mencoba kekuatan pintu sel itu. Ternyata pintu baja itu amat kuat dan tidak mungkin dengan tenaga kasar saja membongkarnya. Akan tetapi, karena ia tidak dibelenggu, iapun merasa tenang dan leluasa. Dicobanya pula kekuatan jeruji besi sebesar-besar lengannya itu. Tergetar sedikit, akan tetapi tidak melengkung. Ia menghentikan percobaannya dan menghimpun udara untuk memulihkan pernapasannya yang agak memburu. Sementara itu, di luar mulai gelap dan di dalam sel yang tidak diberi penerangan itupun menjadi semakin gelap.
"Sialan, lilinpun tidak diberi!"
Sui Cin mengomel akan tetapi ia diam saja, bahkan lalu duduk bersila di tengah sesempit itu untuk menghimpun tenaga. Ia menanti karena merasa yakin bahwa tentu pemuda yang nampak bergantung di luar jendela sore tadi tidak akan berhenti sampai di situ saja, dan ia ingin melihat apa yang akan dilakukan olehnya. Kalau sampai semalam ini dia tidak muncul, terpaksa ia besok pagi akan mencari daya upaya untuk dapat meloloskan diri.
Akan tetapi ternyata ia tidak perlu menanti terlalu lama. Menjelang tengah malam, tiba-tiba pendengarannya yang amat tajam dapat menangkap suara angin dari tubuh orang yang berkelebat dan tak lama kemudian wajah pemuda sore tadi muncul di depan jeruji pintu sel.
Penerangan yang berada di luarpun hanya remang-remang sehingga wajah pemuda itu tidak nampak jelas. Akan tetapi Sui Cin yakin bahwa tentu inilah pemuda yang sore tadi bergantung di luar jendela dan telah menyemburkan benda kecil yang mengenai pelipis komandan yang memeriksanya.
"Sssttt...!"
Pemuda itu memberi isyarat dengan telunjuk ke depan mulut ketika Sui Cin bangkit menghampiri daun pintu.
"Aku datang untuk membebaskanmu dari tempat ini..."
Melihat sikap pemuda itu dan mendengarnya berbisik-bisik serius, Sui Cin yang biasanya menghadapi segala sesuatu dengan gembira dan lincah, diam-diam tersenyum dan merasa geli.
"Bagaimana aku dapat keluar dari sini?" bisiknya juga, ingin tahu bagaimana akal pemuda itu untuk membebaskannya.
Kalau ia menjadi pemuda itu, untuk membebaskan tawanan ia akan merobohkan penjaga, merampas kuncinya dan membuka pintu tahanan itu dengan kunci.
"Begini..." kata pemuda itu sambil memegang dua buah jeruji baja dengan kedua tangannya, lalu dia mengerahkan tenaga menariknya ke kanan kiri.
Melihat ini, Sui Cin memandang penuh perhatian dan kagumlah dara remaja ini melihat betapa jeruji besi sebesar lengannya itu kini melengkung ke kanan kiri! Ia sendiri tadi sudah mencobanya dan mendapat kenyataan betapa kuatnya baja itu. Akan tetapi pemuda ini dapat menariknya sampai melengkung. Hal ini membuktikan bahwa pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat.
"Cepat, keluarlah, kita pergi dari sini," kata pemuda itu setelah dua batang jeruji ditariknya bengkok dan membuat lubang yang cukup besar untuk dapat dilalui Sui Cin.
Dara itu merangkak melalui lubang itu dan berhasil keluar dari kamar tahanan sempit. Ia ingin sekali melihat sampai dimana kelihaian pemuda yang menolongnya ini, maka iapun lalu berkata dengan suara lantang sekali,
"Anjing-anjing disini sungguh menjemukan sekali! Orang-orang tak bersalah ditangkapi dan disiksa..."
"Ssttt...! Harap jangan keras-keras kau bicara!" Pemuda itu berkata lirih.
"Kenapa tidak boleh keras-keras? Biar mereka semua mendengarnya. Memang anjing-anjing itu kurang ajar sekali, terutama srigala gendut yang melakukan pemeriksaan!"
"Hushhhh...!"
Pemuda itu mencegah dan memegang lengan Sui Cin, namun terlambat. Teriakan-teriakan gadis itu terdengar sudah oleh para penjaga dan dari segala penjuru berdatangan mengepung tempat itu.
"Tawanan lolos...!"
"Kepung! Tangkap...!"
Para penjaga berteriak-teriak dan mengepung pemuda itu bersama Sui Cin yang diam-diam tersenyum gembira. Sekali ini ia akan dapat menyaksikan kelihaian pemuda itu menghadapi pengeroyokan para penjaga yang telah mengepung ketat.
Pemuda itu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala dengan gemas. Kini para penjaga menyalakan obor yang menerangi tempat itu dan Sui Cin dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas. Wajah yang sederhana saja, seperti wajah pemuda-pemuda biasa, akan tetapi sepasang mata itu bersinar tajam dan sikapnya penuh kegagahan.
"Mari kita pergi...!" kata pemuda itu tiba-tiba sambil menarik lengan Sui Cin.
"Kemana harus pergi?"
Sui Cin pura-pura bertanya, karena sesungguhnya ia belum ingin pergi sebelum menyaksikan bagaimana pemuda itu akan menghadapi para pengeroyok.
Pemuda itu nampak semakin tidak sabar.
"Kau ikut saja denganku!"
Dan pada saat itu, empat orang petugas sudah menubruk maju dengan senjata pedang mereka. Pemuda itu mengayun kakinya dan empat orang itu terpental dan roboh! Diam-diam Sui Cin terkejut. Hebat juga pemuda ini, pikirnya. Tenaga kakinya amat hebat dan cara melakukan tendangan yang membabat dari samping itu benar-benar gerakan kaki seorang ahli.
Akan tetapi pada saat itu, si pemuda sudah merangkul pinggangnya dan mengempitnya lalu meloncat ke atas genteng! Beberapa batang anak panah melayang ke arahnya, akan tetapi dengan gerakan kaki, pemuda itu dapat meruntuhkan semua anak panah dan tak lama kemudian, dia sudah membawa Sui Cin berloncatan dari atas wuwungan rumah ke wuwungan yang lain.
"Haiii...! Lepaskan aku...! Lepaskan...!"
Sui Cin berteriak-teriak, sengaja meninggikan suaranya agar para pengejar tahu kemana pemuda itu pergi. Ia masih belum merasa puas dan ingin melihat pemuda itu dalam suatu perkelahian yang seru melawan pengeroyokan para penjaga keamanan. Akan tetapi, iapun dapat merasa betapa cepatnya pemuda itu berlari dan berloncatan di atas genteng dan bahwa takkan mungkin para petugas itu dapat menyusulnya. Maka Sui Cin lalu meronta-ronta dan berteriak-teriak.
"Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!"
Pemuda itu mengomel,
"Aku ingin menolongmu, mengapa engkau bertingkah begini? Kalau aku melepaskanmu, bukankah engkau akan terjatuh dari atas wuwungan ini?"
Akhirnya, setelah bebas dari pengejaran dan membawa gadis itu keluar kota, pemuda itu melepaskan kempitannya. Sui Cin membanting-banting kaki kirinya dengan penasaran, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri memandang kepadanya dengan tenang saja.
"Nona, aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang menyamar pria. Aku tahu bahwa engkau seorang yang baik hati dan pemberani, akan tetapi sunggguh aku tidak pernah menyangka bahwa engkau juga seorang yang tak mengenal budi."
"Tidak mengenal budi? Apa maksudmu berkata demikian?" Sui Cin bertanya galak.
"Engkau tahu bahwa aku hanya ingin menyelamatkanmu dari tangan mereka yang ganas dan kejam, ingin membebaskanmu dari tahanan. Aku tidak minta dibalas, tidak minta terima kasih, akan tetapi setidaknya engkau dapat bersikap baik, tidak meronta-ronta dan berteriak-teriak seolah-olah aku sedang menculikmu, bukan sedang menolongmu."
Biarpun pemuda itu nampak marah, namun kata-katanya tetap halus dan sopan, tidak kasar.
Akan tetapi Sui Cin adalah seorang anak yang manja dan bengal. Ia bertolak pinggang dan memandang dengan mata terbelalak melotot.
"Siapa yang minta kau tolong? Apakah aku pernah minta engkau datang menolongku? Dan mengapa pula yang kau tolong hanya aku seorang? Kenapa yang lain-lain kau diamkan saja?"
Pertanyaan-pertanyaannya itu diajukan seperti berondongan senapan menyerang si pemuda.
Pemuda itu kelihatan kewalahan, akan tetapi dia menjawab juga,
"Karena aku melihat bahwa engkau seorang wanita yang menyamar, aku khawatir kalau-kalau engkau akan celaka di tangan mereka."
ASMARA BERDARAH JILID 010
(↕)
"Huh, begitu melihat aku perempuan, engkau lalu menolongku. Kalau aku laki-laki biasa, tentu engkau tidak akan perduli. Engkau hanya menjadi penolong perempuan saja? Hemm, disitu sudah terdapat pamrih yang kotor!"
Pemuda itu menjadi marah, mengepal tinju akan tetapi dia tetap dapat menguasai dirinya dan diapun membalikkan tubuhnya dan berkata,
"Sesukamulah. Aku sudah menyelamatkanmu dan aku tidak membutuhkan terima kasihmu. Selamat tinggal!"
Pemuda itu meloncat dan lenyap di dalam kegelapan malam. Gadis itupun tertawa, dengan suara ketawa tinggi yang terus membayangi telinga pemuda itu. Muka pemuda itu menjadl marah dan di dalam hatinya dia merasa penasaran dan marah sekali, akan tetapi dia tidak mungkin dapat memperlithatkan kemarahannya dengan bersikap kasar terhadap seorang wanita, apalagi seorang gadis muda yang hidupnya demikian sengsara, sampai-sampai menyamar sebagai seorang pemuda untuk menghindarkan kesuiltan-kesulitan.
Seorang gadis yang tidak mempunyai tempat tinggal, yatim piatu dan miskin. Dia percaya akan semua keterangan gadis itu ketika diperiksa oleh komandan gendut. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa tertarik dan kagum. Biarpun hanya seorang dara remaja yang miskin dan tidak berdaya, namun ada sesuatu pada diri dara remaja itu yang mengagumkan hatinya. Dara itu sedemikian beraninya! Sifat yang biasanya hanya dapat ditemukan pada diri seorang pendekar. Wanita muda itu sama sekali tidak cengeng, dan sama sekali tidak kelihatan ketakutan walaupun terancam malapetaka hebat, walaupun bahkan sudah dijebloskan ke dalam sel tahanan! Bukan main!
Pemuda itu lalu kembali ke kota Ceng-tao, kembali ke kamar rumah penginapan dimana dia tinggal. Sudah tiga hari dia tinggal disitu karena dia sedang menanti datangnya saat pertemuan antara para tokoh kang-ouw yang akan diadakan tiga hari lagi di Puncak Bukit Perahu. Dia datang sebagai wakil ayahnya, juga mewakili partai ayahnya yang berada jauh di utara, di luar Tembok Besar.
Akan tetapi, biarpun dia mewakili ayahnya, dia hanya datang sebagai peninjau saja. Ayahnya melarangnya untuk melibatkan diri atau melibatkan nama ayahnya atau perkumpulan mereka ke dalam urusan pertikaian dan permusuhan.
Pemuda ini bernama Cia Sun, putera tunggal dari pendekar sakti Cia Han Tiong dan isterinya, Ciu Lian Hong. Di dalam kisah Pendekar Sadis, telah diceritakan bahwa Cia Han Tiong putera dari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, telah menikah dengan Ciu Lian Hong dan tinggal di Lembah Naga yang berada di utara, diluar Tembok Besar.
Mereka hidup rukun dan saling mencinta, dan dikaruniai seorang putera yang mereka beri nama Cia Sun. Tentu saja, sebagai seorang pendekar sakti, Cia Han Tiong mewariskan ilmu-ilmunya kepada puteranya itu sehingga setelah dia berusia dua puluh dua tahun sekarang ini, Cia Sun telah menguasai semua ilmu silat ayahnya seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, ketiganya dari Cin-ling-pai, kemudian mahir pula ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang.
Cia Sun berwatak pendiam dan serius, seperti ayahnya. Namun perasaannya halus seperti ibunya dan biarpun dia tidak dapat disebut tampan, namun harus diakui bahwa pemuda ini gagah dan mempunyai wibawa yang besar karena pendiam dan seriusnya.
Seperti diketahui dalam kisah Pendekar Sadis, antara Cia Han Tiong dan Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis, terdapat hubungan yang amat erat. Mereka adalah saudara angkat, namun mereka mempunyai pertalian batin yang melebihi saudara kandung saja. Biarpun kini, karena terpisah jauh, yang seorang di Lembah Naga dan yang seorang lagi di Pulau Teratai Merah di selatan, diantara keduanya tidak pernah sempat bertemu lagi, namun di dalam hati masing-masing masih ada perasaan kasih sayang antara saudara itu.
Tentu saja Cia Sun sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dara remaja yang dianggapnya yatim piatu dan miskin, yang menyamar sebagai pemuda pengemis itu, adalah puteri tunggal dari pamannya, Ceng Thian Sin. Dia belum pernah bertemu dengan pamannya itu dan keluarganya, akan tetapi dia sudah banyak mendengar tentang pamannya dari ayahnya.
Menurut keterangan ayahnya, pamannya itu yang berjuluk Pendekar Sadis sesungguhnya adalah seorang pendekar sakti yang gagah perkasa dan budiman, dan memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bahkan melebihi ayahnya! Maka, biarpun belum pernah jumpa, di dalam hatinya, Cia Sun sudah merasa kagum dan hormat kepada pamannya itu.
Ketika isterinya melahirkan seorang anak laki-laki, Cia Han Tiong berunding dengan isterinya. Mereka hidup di tempat yang amat sepi, jauh di utara dan tetangga mereka hanyalah penduduk liar di dusun-dusun yang amat jauh. Ketika mereka hidup berdua, hal ini sama sekali tidak dianggap sebagai suatu kekurangan. Akan tetapi setelah Cia Sun terlahir, mereka membayangkan betapa akan sepinya kehidupan putera mereka kalau di tempat itu tidak ada manusia lain kecuali mereka bertiga saja.
Maka Cia Han Tiong lalu mengumpulkan murid atau anak buah, dan membentuk sebuah partai persilatan yang diberi nama Pek-liong-pang (Partai Naga Putih). Dia mengumpulkan pemuda-pemuda dari berbagai tempat, dipilihnya pemuda-pemuda yang memiliki tulang yang baik dan berbakat, dan mereka itu diambilnya sebagai murid.
Kini, setelah Cia Sun berusia dua puluh dua tahun, Pek-liong-pang juga sudah tumbuh menjadi sebuah perkumpulan dewasa yang memiliki murid-murid atau anggauta sebanyak lima puluh orang lebih. Belasan orang murid yang sudah dianggap lulus oleh ketuanya kini telah meninggalkan Lembah Naga dan hidup di selatan sebagai pendekar-pendekar budiman yang ikut menyemarakkan nama Pek-liong-pang, sehingga nama perkumpulan ini mulai dikenal sebagai perkumpulan silat yang besar dan menjadi tempat penggemblengan calon-calon pendekar di utara.
Demikianlah keadaan pemuda itu dan riwayat singkat orang tuanya. Biasanya, Cia Sun yang mentaati pesan ayahnya, tidak mudah melibatkan diri dengan urusan orang lain. Akan tetapi, melihat para pengemis di pasar ditangkapi pasukan dan dibawa ke markas, dia merasa penasaran dan tertarik sekali. Diam-diam dia membayangi mereka dan dengan mempergunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar baginya untuk meloncati pagar tembok tinggi itu dan menyelinap ke dalam benteng lalu mengintai ke ruangan pemeriksaan.
Ketika dia melihat Sui Cin diperiksa, mendapat kenyataan bahwa pengemis muda itu adalah seorang dara remaja yang bersikap demikian tabahnya, dia merasa tidak tega. Tadinya dia memang mendiamkan saja pemeriksaan itu karena dianggapnya sudah selayaknya kalau komandan itu melakukan penyelidikan karena diapun sudah mendengar betapa banyak perajurit keamanan tewas dalam keributan yang terjadi di kuil Dewi Laut.
Akan tetapi, ketika melihat bahwa jembel muda itu adalah seorang dara, hatinya merasa tidak tega. Dia lalu turun tangan, meniupkan cuwilan genteng dari mulutnya yang tepat mengenai jalan darah di dekat pelipis komandan gendut itu sehingga mendatangkan rasa pening yang cukup hebat dan gadis itu lalu disuruh tahan dalam sel.
Malamnya, dia mencari kesempatan untuk membebaskan Sui Cin. Sungguh diluar dugaannya bahwa selain tabah, gadis itu memang amat aneh. Ditolong tidak bersyukur, eh, malah marah-marah!
Akan tetapi, sikap yang aneh ini bahkan semakin menarik hatinya, membuat malam itu Cia Sun merebahkan diri dengan gelisah. Ada sesuatu yang aneh dan amat menarik hatinya pada diri dara miskin itu. Sesuatu yang tidak pernah dilihatnya pada diri orang lain, apalagi pada seorang wanita muda. Sesuatu yang membuatnya tertarik dan kagum. Wajah itu, wajah yang kelihatan marah dan mencemoohkannya, terbayang saja di depan matanya.
"Ihh, mengapa aku ini?" pikirnya dan teringatlah dia akan bujukan-bujukan ibunya bahwa dia sudah cukup dewasa untuk menikah.
Dia selalu menolak karena memang hatinya belum ingin mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan. Dia dapat memaklumi perasaan ibunya yang hanya berputera seorang dan ingin segera mempunyai cucu!
Teringat akan hal itu, wajahnya menjadi merah. Mengapa tiba-tiba dia teringat akan urusan pernikahan yang selama ini tidak pernah memasuki otaknya, dan apa hubungannya gadis jembel itu dengan pernikahan? Wajahnya makin terasa panas dan jantungnya berdebar. Apa artinya ini? Inikah yang dinamakan jatuh cinta seperti yang seringkali dibacanya dari buku-buku akan tetapi yang belum pernah dirasakannya itu?
Ketika dia termenung sampai sekian jauhnya, Cia Sun tersenyum seorang diri. Betapa akan janggal dan lucunya! Dia, putera ketua Pek-liong-pang, jatuh cinta kepada seorang gadis jembel! Baginya sendiri seorang pendekar muda yang sejak kecil digembleng dan dijejali rasa keadilan dan kegagahan tidak membeda-bedakan antara kaya miskin. Akan tetapi dia dapat melihat betapa nama besar Pek-liong-pang yang dijunjung tinggi oleh para pendekar murid Pek-liong-pang dan juga oleh orang-orang kang-ouw, dengan sendirinya telah mengangkat martabat mereka tinggi-tinggi membuat keluarga Cia terikat oleh belenggu "kehormatan" dan kemuliaan sehingga mereka tidak bebas lagi, tidak leluasa karena selalu ada bayangan rasa khawatir kalau-kalau perbuatan atau gerak-gerik mereka akan menurunkan martabat atau mencemarkan keharuman nama Pek-liong-pang itu!
Satu diantara kelemahan kita adalah pengejaran terhadap apa yang kita namakan kehormatan. Di dalamnya terkandung bangga diri dan bangga diri adalah sesuatu yang menyenangkan. Karena itu, pengejaran terhadap kehormatan bukan lain hanyalah pengejaran terhadap kesenangan walaupun sifatnya lebih dalam daripada kesenangan badan.
Pengejaran terhadap kesenangan sama saja, baik pengejaran terhadap kesenangan badan maupun batin. Kita mengejarnya, kalau sudah dapat kita hendak mempertahankannya. Di dalam gerak pengejaran dan penguasaan atau ingin mempertahankan ini jelas terdapat kekerasan.
Di waktu mengejar dan ingin memperoleh, kita siap untuk mengenyahkan segala perintang dan saingan. Di waktu mempertahankan, kita menentang segala pihak yang ingin menghilangkannya dari tangan kita. Betapapun menyenangkan adanya sesuatu itu, baik bagi badan maupun batin, selalu berakhir dengan kebosanan dan kekecewaan.
Bukan barang mustahil bahwa apa yang hari ini menyenangkan, hari esok malah menyusahkan! Dan kita membiarkan diri terombang-ambing diantara senang dan susah, seperti sebuah biduk yang dihempaskan oleh badai, dipermainkan gulungan ombak ke kanan kiri dan selalu terancam kehancuran setiap detik.
Alangkah bahagianya batin yang tidak lagi dapat diombang-ambingkan senang dan susah, seperti sebongkah batu karang yang kokoh kuat tidak pernah berobah walaupun ada badai dan ombak menggunung. Atau lebih elok lagi, seperti ikan yang berenang dan meluncur diantara ombak-ombak itu tanpa terancam kehancuran, bahkan dapat menikmati hempasan gelombang yang bagaimanapun juga.
ASMARA BERDARAH JILID 011
(↕)
Pada waktu itu, yang menjadi kaisar dari Kerajaan Beng-tiauw adalah Kaisar Ceng Tek (tahun 1505-1520). Ketika menggantikan kedudukan sebagai kaisar, Kaisar Ceng Tek ini baru berusia lima belas tahun. Maka berulanglah sejarah para kaisar lama di Tiongkok, yaitu bahwa tidak lama kemudian setelah dia menduduki singgasana sebagai kaisar, istana jatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan para thaikam (pembeser kebiri).
Kaisar Ceng Tek bukan hanya masih terlalu muda untuk dapat melihat kepalsuan-kepalsuan para thaikam ini, akan tetapi juga kaisar ini mempunyai jiwa petualang. Dia suka meninggalkan istana secara diam-diam dan melakukan perjalanan seorang diri, menyamar sebagai rakyat biasa dan barsenang-senang. Dia mengabaikan urusan kerajaan sehingga tentu saja kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh para thaikam yang pada waktu itu dikepalai oleh Liu Kim.
Liu-thaikam ini berasal dari utara, dari keluarga petani miskin. Akan tetapi karena dia memiliki wajah tampan dan sikap yang halus, dia berhasil bekerja di istana semenjak remaja. Liu Kim pandai membawa diri sehingga disuka oleh dua kaisar terdahulu, yaitu Kaisar Ceng Hwa dan Kaisar Hung Chih. Bahkan dia memperlihatkan bakti dan kesetiaannya dengan rela menjadi thaikam, rela dikebiri untuk mempertahankan kedudukannya.
Dia memperoleh kepercayaan para kaisar itu sehingga ketika Kaisar Ceng Tek diangkat menjadi kaisar, Liu-thaikam yang sudah berhasil menduduki jabatan pembesar istana bagian dalam, lalu diangkat menjadi kepala thaikam. Jabatan ini tentu saja tinggi sekali karena para thaikam merupakan orang-orang kepercayaan kaisar.
Pria yang dikebiri itu tidak lagi dapat berhubungan dengan wanita, akan tetapi karena nafsunya masih ada, maka sebagian besar lalu mengalihkan nafsu-nafsu yang tak dapat tersalurkan itu kepada kepuasan-kepuasan lain, terutama sekali kepuasan karena kedudukan tinggi sehingga memiliki kekuasaan, dan kepuasan karena memiliki banyak harta benda. Inilah rupanya yang menjadi pendorong utama mengapa kaum thaikam di istana ini sejak dahulu selalu amat licin dan panpandaihdai menguasai kaisar sehingga mereka memperoleh kedudukan tinggi, berkuasa dan mempunyai banyak sekali kesempatan untuk berkorupsi dan memperkaya diri sendiri.
Pada waktu itu, Kaisar Ceng Tek telah empat tahun menjadi kaisar dan sungguh luar biasa sekali hasil yang diperoleh Liu-thaikam selama empat tahun menjadi kepala thaikam. Kekuasaan mutlak mengenai urusan dalam istana berada di tangannya. Kaisar muda usia yang lebih suka berkelana dan bersenang-senang itu percaya penuh kepada Liu-thaikam yang biarpun sudah tua masih nampak tampan, halus dan pandai mengambil hati. Kalau ada para pembesar yang memperingatkannya tentang kecurangan Liu Kim, sang kaisar yang muda malah berbalik mendampratnya dan mengatakannya iri tanpa mau melakukan penyelidikan terhadap diri pejabat yang dilaporkan itu.
Pemerintahan kaisar muda ini memang bukan merupakan pemerintahan yang baik dalam sejarah Kerajaan Beng. Kaisar muda amat lemah dan kurang memperhatikan kepentingan negara, walaupun dia bukanlah seorang kaisar lalim. Karena sikapnya yang kurang semangat, maka hal ini menular kepada para pejabat sehingga pada keseluruhannya, pemerintah kelihatan kurang perduli dan lemah.
Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh golongan hitam yang bangkit dan keluar dari tempat sembunyi mereka dan merajalela karena alat-alat negara tidak bersungguh-sungguh dalam menghadapi atau menentang mereka. Mulailah berjangkit gangguan-gangguan keamanan di mana-mana. Yang amat menggegerkan dunia kang-ouw adalah berita tentang bangkitnya Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis)!
Cap-sha-kui merupakan kesatuan baru dari para tokoh hitam yang bergabung untuk memperkuat diri. Dengan bergabungnya mereka, maka mereka merasa kuat untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu para pendekar. Terhadap pemerintah yang lemah, wereka tidak takut sama sekali. Dan Cap-sha-kui ini bukan hanya merupakan tiga belas orang tokoh jahat, melainkan berikut anak buah mereka yang hampir meliputi seluruh dunia kejahatan di timur dan utara, sampai wilayah kota raja.
Keadaan inilah yang mendorong para pendekar untuk mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu yang terletak di lembah Sungai Huang-ho. Dan Cia Sun datang ke Ceng-tao juga untuk menghadiri pertemuan itu, sebagai wakil ayahnya yang menjadi ketua Pek-liong-pang.
Memang sudah lama ayahnya, yaitu Cia Han Tiong atau Cia-pangcu (ketua Cia) tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw. Akan tetapi setelah mendengar akan adanya pertemuan penting itu dan mengingat bahwa anak murid Pek-liong-pang tersebar sebagai pendekar-pendekar disekitar kota raja, maka Cia-pangcu lalu mengutus puteranya sebagai wakil Pek-liong-pang, untuk melihat suasana dan mendengarkan hasil keputusan pertemuan para pendekar itu.
"Kita tidak mengerti persoalannya secara mendalam," demikian Cia-pangcu memesan kepada puteranya. "Yang kita dengar hanya bahwa golongan hitam bangkit dan membuat kekacauan-kekacauan dan para pendekar berkumpul untuk merundingkan suasana keruh itu. Ada pula berita bahwa semua itu ada hubungannya dengan Pemerintahan Kaisar Ceng Tek. Oleh karena itu, Sun-ji (anak Sun), engkau jangan sembrono bertindak mencampuri. Dengarkan dan lihat saja bagaimana keadaan dan suasananya sebelum melibatkan diri."
Demikianlah, ketika singgah di Ceng-tao, tanpa disengaja Cia Sun bertemu dengan Ceng Sui Cin tanpa dia mengetahui bahwa gadis jembel itu adalah puteri tunggal pamannya yang sudah lama dikaguminya, yaitu Pendekar Sadis. Setelah melewatkan malam di rumah penginapan dengan agak gelisah, tak dapat tidur nyenyak karena selalu membayangkan wajah si gadis jembel, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cia Sun sudah berangkat menuju ke Puncak Bukit Perahu yang berada jauh di sebelah barat.
Setelah keluar dari kota Ceng-tao dan berada di tempat sunyi, Cia Sun lalu mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang saja.
Pemuda ini memang hebat. Bentuk tubuhnya biasa saja, sedang dan tegap seperti tubuh pemuda yang sejak kecil berolah raga, wajahnya juga sederhana seperti pakaiannya. Rambutnya digelung ke atas dan diikat sutera kuning. Pakaiannya yang sederhana itu terbuat dari kain putih dengan jubah kuning. Sepatunya hitam, demikian pula sabuknya yang terbuat dari sutera.
Ketika wajahnya ditimpa sinar matahari pagi, kulit mukanya berkilat dan biarpun dia tidak memiliki wajah yang tampan, namun penuh kejantanan. Larinya cepat bukan main. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis jembel yang semalam membuatnya tak dapat tidur nyenyak, kini menunggang seekor kuda kecil cebol dan melarikan kudanya itu tak lama setelah dia, dengan jurusan yang sama pula. Gadis itu adalah Cui Sin dan iapun tidak tahu bahwa baru saja pemuda yang semalam menolongnya itu juga melalui jalan ini dengan berlari cepat menuju ke barat.
Karena hari yang ditentukan untuk pertemuan para pendekar itu masih kurang dua hari lagi, maka jalan masih sunyi dan selama itu Cia Sun belum berjumpa dengan pendekar lain yang dikenalnya atau orang-orang yang patut diduga pendekar. Orang-orang yang ditemuinya di jalan sehari itu hanyalah orang-orang yang berlalu-lalang dari dan ke Ceng-tao.
Ketika dia melihat sebuah hutan di depan, Cia Sun mempercepat langkahnya. Dia harus dapat menembus hutan itu sebelum gelap dan kini matahari telah condong ke barat. Dari jauh tadi, hutan yang berada di kaki bukit ini tidak begitu besar, akan tetapi setelah dimasukinya ternyata hutan itu penuh dengan pohon-pohon tua yang besar sehingga nampak menyeramkan dan liar. Bahkan jalan raya yang biasa dilalui orang mengambil jalan memutari hutan itu.
Agaknya para pejalan itu lebih suka mengambil jalan memutar daripada harus memasuki hutan yang nampak liar itu. Akan tetapi, Cia Sun tentu saja memilih lorong kecil yang menerobos hutan karena dia tidak takut memasuki hutan yang baginya kecil saja itu. Di tempat tinggalnya, di Lembah Naga, terdapat hutan-hutan yang lebih luas dan lebih liar lagi. Karena dia tahu bahwa jalan lorong yang melalui hutan ini lebih dekat, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memasuki hutan dan melakukan perjalanan cepat.
Akan tetapi, ketika dia tiba di tengah hutan dimana terdapat pohon-pohon raksasa, tiba-tiba dia mendengar gerakan dari atas pohon dan ada angin menyambar ke bawah. Sebagai seorang pendekar yang lihai, dengan kewaspadaan yang selalu membuat tubuhnya berada dalam keadaan siap siaga, Cia Cun melempar tubuhnya ke belakang dan berjungkir balik.
Betapa kagetnya melihat bahwa yang menyambar dari atas tadi adalah kepala seekor ular besar. Badan ular itu melilit cabang pohon dan kepalanya terayun ke bawah. Ular itu panjangnya ada empat tombak dan perutnya sebesar paha! Ular besar ini tentu akan dapat menelan binatang-binatang seperti kijang, bahkan orangpun akan dapat dimasukkan ke dalam perutnya.
Ular besar itu mengayun kepalanya dan mencoba untuk meraih Cia Sun. Akan tetapi sekali ini Cia Sun mengelak sambil menggerakkan tangan memukul ke arah tengkuk ular yang menyambar itu dengan tangan dimiringkan. Tangan pendekar muda ini kalau dipukulkan seperti itu hebatnya melebihi palu godam baja.
"Krekkk!"
Ular itu terkulai dan perlahan-lahan, libatan badannya pada cabang pohon terlepas dan akhirnya terjatuhlah badan itu ke atas tanah, menggeliat-geliat akan tetapi kepalanya tidak dapat digerakkan karena tengkuknya patah-patah. Dan pada saat itu terdengar desis yang banyak sekali.
Cia Sun memandang ke kanan kiri depan dan belakang dengan mata terbelalak karena dia melihat betapa dirinya telah dikurung oleh ratusan ekor ular yang berdatangan dari empat penjuru! Ular-ular besar kecil dari berbagai jenis dan warna, ular-ular beracun yang amat jahat dan tempat itu segera dipenuhi bau amis yang memuakkan.
"Heh-heh-heh! Tar-tar-tarrr... hi-hik!"
Cia Sun cepat menengok dan alisnya berkerut, sepasang matanya mencorong penuh kewaspadaan. Seorang nenek tua renta keriputan yang punggungnya bongkok tahu-tahu sudah berada disitu, memegang sebatang cambuk yang ekornya sembilan.
Nenek itu membunyikan cambuknya berkali-kali, sehingga terdengar suara meledak-ledak dan nampak semacam asap mengepul dari ujung cambuknya, diseling suara ketawa terkekeh menyeramkan. Dan Cia Sun melihat kenyataan bahwa ular-ular itu agaknya terkendali oleh suara ledakan cambuk. Hal ini hanya berarti bahwa nenek itulah yang menjadi pawang ular dan telah mengerahkan peliharaannya yang merupakan ternak mengerikan ini untuk mengepungnya.
Cia Sun mengingat-ingat. Para suhengnya, murid-murid Pek-liong-pang yang sudah menjadi pendekar dan mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw, pernah menceritakan kepadanya tentang dunia kang-ouw, tentang tokoh-tokoh penting dari golongan putih maupun golongan hitam.
Dia pernah mendengar akan Cap-sha-kui dan diantara tiga belas orang tokoh sesat itu kabarnya terdapat seorang nenek yang berjuluk Kiu-bwee Coa-li (Ular Betina Berekor Sembilan). Dia sudah mendengar betapa lihainya nenek ini, kalau benar Kiu-bwee Coa-li.
Menurut yang didengarnya, diantara Tiga Belas Iblis, yang paling tinggi ilmunya adalah empat orang dan diantaranya adalah nenek ini, maka dia bersikap tenang dan waspada. Ular-ular itu tidak dikhawatirkannya, akan tetapi dia harus berhati-hati terhadap nenek yang menjadi pawang atau penggembala ular itu.
"Hemm, apakah engkau Kiu-bwee Coa-li?" tanyanya, suaranya tetap tenang.
"Heh-heh-heh, engkau masih muda sudah mengenalku, dan sekali pukul dapat membunuh ular kembang. Engkau tentu seorang pendekar, ya? Seorang tokoh muda golongan putih? Hi-hik, aku paling suka darah pendekar dan ular-ularku ini paling suka daging pendekar, heh-heh! Tar-tar-tar-tarrr...!"
Cambuk berekor sembilan itu bergerak dan meledak-ledak. Cia Sun mengelak dari sambaran empat ekor ujung cambuk itu, akan tetapi dia melihat bahwa nenek itu bukan hanya menyerangnya, melainkan juga memberi aba-aba kepada ular-ularnya karena kini, sambil mengeluarkan suara berdesis-desis, binatang-binatang mengerikan itu mulai menyerangnya dari segala penjuru!
Cia Sun menggerakkan kaki tangannya. Kakinya terayun, menendangi ular-ular yang berani mendekatinya, sedangkan kedua tangannya bergerak mengirim pukulan jarak jauh dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang. Angin yang kuat menyambar ke arah ular-ular itu dan belasan ekor ular berhamburan seperti daun kering dilanda angin.
Mellhat kehebatan pemuda ini, nenek itu meringkik, setengah terkekeh setengah menangis dan pecutnya meledak-ledak semakin gencar, bukan hanya menghujani tubuh Cia Sun dengan serangan cambuknya yang berujung sembilan, akan tetapi juga untuk memberi komando kepada ular-ularnya yang menjadi semakin nekat menyerbu ke arah Cia Sun.
Bahkan diantara ular-ular itu terdapat ular-ular cobra yang berdiri dengan leher berkembang, ada pula ular yang seperti dapat terbang karena ular-ular ini kecil-kecil dan ada yang kemerahan, meloncat dan menerkam seperti terbang ke arah leher dan tubuh Cia Sun!
"Hemmm!"
Pemuda itu mendengus dan ketika tangannya dikibaskan, ular-ular yang berani terbang menyerangnya itu terbanting hancur. Terpaksa Cia Sun berloncatan menjauh. Berbahaya juga kalau dia harus menjaga semua serangan itu. Dari atas sembilan ujung cambuk si nenek iblis, dan dari bawah ular-ular yang mengurungnya.
ASMARA BERDARAH JILID 012
(↕)
Pada saat dia merobohkan ular-ular terbang, kembali terdengar ledakan dan sebuah di antara ujung-ujung cambuk itu menyambar ke arah pelipisnya dengan tenaga totokan yang amat berbahaya! Tidak ada waktu lagi untuk mengelak, dan karena ujung cambuk itu dapat menjadi alat menotok jalan darah yang ampuh, maka menangkis dengan lenganpun membuka kesempatan bagi lawan untuk menotok ke arah jalan darah di bagian lengan dan hal itupun cukup berbabaya. Maka, satu-satunya jalan bagi Cia Sun hanyalah menggerakkan tangannya dan jari telunjuknya mencuat dan menyambut ujung cambuk lawan itu.
"Tukk...!"
Bagaikan seekor ular hidup saja, begitu bertemu dengan telunjuk kiri Cia Sun, ujung cambuk itu membalik dan melingkar, dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget karena melalui cambuknya ia dapat merasakan getaran yang amat kuat muncul dari sambutan tusukan jari itu.
Ia tidak tahu bahwa itulah satu di antara ilmu-ilmu yang hebat dari pemuda itu, yang disebut It-sin-ci (Satu Jari Sakti), semacam ilmu menotok jalar darah yang lihai sekali karena ilmu ini khusus diciptakan untuk menghadapi ilmu-ilmu kebal, juga untuk menghadapi ilmu sakti Thi-khi-i-beng, yaitu tenaga sakti yang dapat menyedot hawa murni lawan.
Nenek itu mundur dan merasa agak gentar, maklum betapa lihainya pemuda ini dan iapun bersikap hati-hati. Cambuknya meledak-ledak dan ular-ularnya menjadi semakin ganas menyerbu ke arah Cia Sun.
Cia Sun merasa kewalahan kalau harus menghadapi demikian banyaknya ular, apalagi banyak diantara ular-ular itu berbisa dan semburan-semburan yang mengandung racun membuat dia merasa muak dan pening.
Sementara itu, nenek pawang ular tadi mulai terkekeh melihat pemuda itu kewalahan dan ia tetap membunyikan cambuknya yang menjadi komando bagi ular-ular itu sambil mendekati sebuah gubuk reyot yang terdapat di dekat tempat itu.
"Heh-heh-heh, anak-anakku, serang dia, robohkan dia dan gerogoti dagingnya. Ha-ha, daging pendekar memang liat akan tetapi sedap!"
Tiba-tiba muncul seorang gadis yang menunggang seekor kuda cebol. Gadis itu menahan kudanya dan memandang ke depan, tersenyum melihat Cia Sun sibuk dikepung dan dikeroyok ular-ular itu. Akan tetapi ketika ia melihat Kiu-bwee Coa-li yang terkekeh sambil membunyikan cambuknya untuk memberi semangat dan komando kepada ular-ularnya, gadis itu menjadi marah.
Gadis itu adalah Ceng Sui Cin yang telah dapat menyusul Cia Sun. Tadinya ia melihat Cia Sun di dalam hutan itu dikeroyok ular, ia merasa geli, akan tetapi begitu melihat si nenek yang menyeramkan, ia segera mengenalnya. Ayah ibunya sudah menceritakan kepadanya tentang nenek ini yang selain lihai juga amat kejam dan jahat.
Sui Cin menggerakkan pinggulnya dan tubuhnya melayang ke atas, tangannya meraih ke arah ranting-ranting pohon, terdengar suara ranting patah dan ketika ia meloncat turun, tangannya sudah memegang sebatang ranting yang masih penuh dengan daun hijau.
"Hei, Kiu-bwee Coa-li nenek iblis! Engkau lebih menjijikkan daripada ular-ularmu!"
Sui Cin berseru dan iapun sudah menerjang ke depan, menggerakkan senjatanya yang aneh, yaitu ranting penuh daun itu. Sebagai puteri suami isteri pendekar sakti yang sejak kecil sudah digembleng mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi, Sui Cin tidak pernah membawa senjata.
Memang, bagi orang yang sudah memiliki tingkat ilmu silat seperti gadis ini, senjata tidak begitu dibutuhkan lagi. Kedua kaki dan tangannya sudah merupakan senjata yang amat ampuh dan juga dimana saja, benda apa saja dapat dipergunakannya sebagai senjata kalau perlu. Kalau kini ia mempergunakan ranting itu sebagai senjata adalah karena ia melihat betapa nenek itu memegang cambuk ekor sembilan, senjata yang lemas dan panjang, maka amatlah berbahaya dilawan dengan tangan kosong dan senjata yang paling tepat untuk menghadapinya adalah sebatang ranting.
"Syuuttuuttt... wirrr...!"
Ranting yang mempunyai banyak anak ranting penuh daun itu menyambar dengan dahsyat. Kiu-bwee Coa-li tentu akan memandang rendah kepada gadis ini kalau saja ia tidak mendengar betapa gadis itu begitu saja mengejeknya dan menyebut namanya. Seorang gadis yang dapat mengenalnya begitu berjumpa, tentu bukan gadis biasa dan karena saat ini memang saatnya bagi para pendekar untuk berkumpul di tempat itu, maka dapat diduga bahwa seperti si pemuda lihai, gadis inipun tentu memiliki kepandaian tinggi. Maka, ketika ranting penuh daun itu menyambar iapun menggerakkan cambuknya sambil mengerahkan tenaganya.
"Tarrr... pyuuurrr...!"
Nenek itu terkejut sekali. Bukan hanya dapat ia merasakan adanya tenaga kuat tidak lumrah bagi seorang gadis remaja di dalam ranting itu, juga tangkisannya membuat banyak daun di ranting itu rontok, aka tetapi hebatnya, rontoknya daun itu beterbangan seperti senjata rahasia piauw yang meluncur ke arah muka dan tubuhnya! Tentu saja ia menjadi repot mengelak ke sana-sini sambil menyumpah-nyumpah karena mendengar gadis itu mentertawakannya.
"Hi-hik, julukanmu dirobah saja menjadi Kiu-bwee Hek-wan (Lutung Hitam Ekor Sembilan), nenek iblis. Kalau engkau menari-nari seperti itu, persis lutung deh!"
Sui Cin yang maklum bahwa nenek itu lihai sekali, biarpun mentertawakan dan mengejek, namun ia sama sekali tidak berani main-main dan sambil tertawa iapun sudah menerjang lagi dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan kedua tangannya karena ia sudah menyimpan rantingnya di bawah lengan. Dengan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang dipelajarinya dari ibunya, dara ini melakukan penekanan.
Kembali Kiu-bwee Coa-li terkejut mengenal ilmu silat yang amat aneh, indah dan juga ganas ini, mirip ilmu kaum sesat! Tentu saja ia tidak tahu bahwa ibu kandung gadis ini pernah menjadi datuk selatan kaum sesat yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan) maka tentu saja ilmu silatnya ganas!
Terjadilah perkelahian yang seru antara Siu Cin dan Kiu-bwee Coa-li dan setelah kini nenek itu mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, perlahan-lahan Sui Cin mulai terdesak juga. Akan tetapi, gadis ini menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dan membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan ampuh.
Sementara itu, ketika Cia Sun sedang menghadapi pengeroyokan banyak ular, pemuda ini melihat munculnya Sui Cin. Dia terkejut dan merasa khawatir sekali ketika mengenal gadis yang pernah menyamar sebagai pemuda dan pernah ditolongnya lari dari tahanan itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget, khawatir dan juga heran rasa hatinya ketika dia melihat gadis itu menyerang Kiu-bwee Coa-li dengan beraninya, juga semakin heran bagaimana gadis aneh itu mengenal pula si nenek iblis. Akan tetapi keheranannya memuncak ketika dia melihat betapa gadis itu ternyata lihai bukan main dan dapat mengimbangi kepandaian Kiu-bwee Coa-li! Kalau dia tidak melihat sendiri, hanya mendengar cerita orang saja, tentu dia tidak akan mau percaya.
Gadis itu ketika ditangkap sebagai seorang gadis jembel yang menyamar pemuda, adalah seorang gadis yang lemah biarpun memiliki keberanian amat besar. Buktinya, ditangkap tidak dapat melawan dan ketika ditahanpun tidak mau membebaskan dirinya. Kalau bukan dia datang menolong, tentu gadis itu akan celaka.
Akan tetapi bagaimana kini ia muncul dalam pakaian yang tidak karuan pula, penub tambalan dan potongannya lucu, membayangkan kemiskinan, akan tetapi memiliki kepandaian yang tinggi sehingga mampu menandingi seorang datuk sesat lihai seperti Kiu-bwee Coa-li?
Dan tiba-tiba saja wajahnya berobah merah. Dialah yang tolol! Tentu gadis itu berpura-pura ketika menyamar sebagai pria. Pura-pura tolol, pura-pura bodoh tidak pandai silat. Akan tetapi benarkah demikian? Bagaimana kalau yang muncul ini seorang gadis lain yang memiliki wajah mirip dengan gadis yang pernah ditolongnya itu? Akan tetapi, suaranya sama benar dan bengalnya juga sama ketika gadis itu mengejek Kiu-bwee Coa-li.
Bagaimanapun juga, kemunculan Sui Cin menggembirakan hatinyat apalagi melihat gadis itu kini berkelahi menggunakan ranting. Baru dia seperti diberi ingat bahwa untuk menghadapi pengeroyokan ular-ular itu, senjata ranting seperti gadis itulah yang paling tepat.
Diapun berloncatan, dikejar oleh ular-ular itu dan setelah tiba di bawah pohon, dia meloncat dan mematahkan sebatang ranting panjang. Kemudian mengamuklah Cia Sun! Dengan rantingnya, dia menghajar ular-ular itu dan setiap kali rantingnya menyambar tubuh ular, ular yang kena disabet tentu melingkar-lingkar kesakitan karena sambungan tulangnya patah-patah dan hal ini membuat binatang itu tidak mampu merayap lagi.
Amukan Cia Sun membuat ular-ular itu menjadi gentar, apalagi karena kini tidak ada komando dari suara cambuk Kiu-bwee Coa-li yang sedang mengerahkan seluruh tenaga dan mencurahkan seluruh perhatian untuk menghadapi gadis yang lihai itu. Maka ular-ular itu menjadi panik dan akhirnya ketakutan, lari meninggalkan bangkai teman-teman mereka dan teman-teman yang melingkar-lingkar terluka tak mampu melarikan diri lagi itu.
Setelah ular-ular itu pergi menjauh, Cia Sun membalikkan tubuhnya dan menonton perkelahian antara gadis jembel dan nenek iblis. Dan dia tertegun, terbelalak malah ketika melihat ilmu silat yang dimainkan oleh gadis itu.
Tentu saja dia mengenal Thai-kek Sin-kun! Itulah ilmu dasar yang diberikan ayahnya kepadanya dan ilmu ini memang tepat sekali dipergunakan untuk mempertahankan diri terhadap tekanan lawan yang lebih lihai! Dan gadis itu memainkannya sedemikian indahnya. Begitu asli dan itulah Thai-kek Sin-kun yang tulen. Siapakah gadis yang pandai memainkan Thai-kek Sin-kun seindah itu?
Akan tetapi Cia Sun tidak mau memusingkan hal ini pada saat itu. Bagaimanapun juga, dia merasa yakin bahwa tentu ada hubungan dekat antara gadis itu dengan keluarganya, atau setidaknya dengan Cin-ling-pai, maka tanpa banyak bicara lagi diapun sudah langsung menyerbu dengan senjata rantingnya.
Kini dua batang ranting yang digerakkan dengan cepat dan kuat mengeroyok Kiu-bwee Coa-li yang segera terdesak hebat. Baru menghadapi dara remaja itu saja dia sudah merasa penasaran dan pusing karena sedemikian lamanya belum mampu merobohkannya, hanya mampu mendesak saja. Apalagi kalau pemuda yang lihai ini maju pula. Bisa berbahaya bagi dirinya.
Bagi seorang tokoh sesat, tidak ada rasa malu bagi Kiu-bwee Coa-li. Yang penting dalam perkelahian, ia harus menang dan kalau berbahaya, ia tentu akan lari. Maka iapun mengeluarkan teriakan-teriakan panjang dan dari ujung cambuk itu meluncurlah jarum-jarum halus beracun. Sembilan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun dan Sui Cin.
"Awas senjata rahasia beracun!" seru Cia Sun memperingatkan gadis itu.
Akan tetapi, tidak perlu Sui Cin diperingatkan. Seorang gadis yang sudah memiliki tingkat kepandaian seperti Sui Cin akan selalu waspada dan serangan tiba-tiba itu tentu saja dapat dihindarkannya dengan baik. Rantingnya membentuk gulungan sinar hijau dan jarum-jarum yang menyambar ke arahnya tertangkis, bukan runtuh begitu saja melainkan langsung membalik dan meluncur, mengejar pemiliknya, yaitu Kiu-bwee Coa-li yang melarikan diri.
Nenek itu dapat menghindar dengan lompatan dan terus melarikan diri. Sedangkan Cia Sun sudah meloncat ke samping menghindarkan diri dari jarum-jarum yang menyambar ke arahnya. Ketika mereka memandang ke depan, nenek itu telah lenyap, telah lari jauh sekali maka mereka berduapun tidak mengejar.
Kini mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Sui Cin tersenyum dan berkata,
"Kita sudah lunas, ya? Engkau pernah menolongku satu kali dan kini akupun sudah membantumu satu kali. Jadi satu-satu, lunas, bukan?"
Cia Sun semakin tertarik. Jantungnya seperti disedot rasanya dan dia memandang wajah yang lucu itu dengan senyum kagum. Biasanya Cia Sun berwatak pendiam, serius, tidak suka berkelakar, dan sedikit bicara. Akan tetapi, berhadapan dengan gadis ini, dia merasa gembira sekali dan diapun menanggapi.
"Nona, ketika aku menolongmu, ternyata engkau hanya pura-pura saja bodoh sehingga hal itu bukan merupakan pertolongan. Akan tetapi sekarang, kalau engkau tidak muncul dan membantuku menghadapi nenek iblis itu, tentu akan terancam bahaya besar diriku. Maka, sudah sepatutnya kalau aku menghaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu tadi."
"Hemm... siapa bicara tentang budi pertolongan? Engkau kebetulan melihat aku dalam kesukaran dan menolong tanpa sengaja, sekarang akupun tanpa disengaja melihat engkau dikeroyok ular lalu turun tangan membantu. Tidak ada budi. Aku tidak pernah hutang budi atau melepas budi."
Ucapan seorang pendekar sejati, pikir Cia Sun yang menjadi semakin kagum. Begitu kagum hatinya sampai dia tidak lagi mampu bicara, hanya memandang kepada wajah dara itu seperti orang terpesona. Melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan bengong seperti orang bingung, Sui Cin tersenyum geli.
"He, apa yang kau pandang?" tanyanya tiba-tiba sehingga mengejutkan Cia Sun.
"Eh, tidak apa-apa... aku... hanya heran..."
"Mengapa heran? Apa rupaku tidak lumrah manusia?"
ASMARA BERDARAH JILID 013
(↕)
"Bukan begitu, tapi aku melihat nona mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Bagaimana nona dapat mempelajari ilmu itu?"
"Hemm, dan engkau, bagaimana engkau dapat mengenal Ilmu Thai-kek Sin-kun yang kumainkan?" Suara itu lebih heran dan lebih curiga.
"Karena aku heran sekali... ilmu itu adalah milik keturunan Cin-ling-pai..."
"Kalau begitu..."
"Siapakah nona yang pandai ilmu silat keluarga kami?"
"Dan siapa pula engkau ini yang mengaku-aku keluarga kami?"
"Ehh... jadi nona memang ada hubungan dengan Cin-ling-pai...? Siapakah namamu, nona?"
"Namamu dulu."
"Baiklah, namaku Sun, aku she Cia..."
"Haiii...! Engkau Cia Sun dari Lembah Naga? Wah, wah...! Aku... aku she Ceng..."
"Astaga... kau... kau ini Sui Cin anak yang bengal dulu itu?"
Sui Cin cemberut dan menghardik,
"Siapa yang bengal?"
Cia Sun tersenyum lebar dan menjura.
"Maaf, maaf... membayangkan engkau ketika masih kecil, sukarlah dipercaya engkau sekarang sudah menjadi begini... besar dan lihai!"
"Memangnya aku disuruh menjadi anak kecil selamanya? Dan jangan katakan aku bengal!"
"Ha-ha, siauw-moi, lupakah engkau kepada dahiku yang dahulu membenjol sebesar telur ayam karena kau sambit dengan batu?"
Sui Cin tertawa dan menutupi mulutnya walaupun suara ketawanya lepas bebas. Lalu disambungnya dengan kata-kata,
"Wah, tentu saja aku ingat. Ayah ibuku memarahiku dan hampir aku kena digebuk ayah! Gara-gara engkau. Kenapa dahimu membenjol, baru kena batu begitu saja. Dan sekarang, Sun-ko, jangan kau melapor lagi kepada ayah ibu kalau bertemu dengan mereka, ya?"
"Melapor bahwa engkau menyamar sebagai jembel, bahkan sebagai pemuda jembel yang mencuri bakpao dan membiarkan dirimu ditangkap dan ditahan? Ah, tidak, Cin-moi. Kita bukan anak-anak lagi sekarang. Engkau sungguh telah menjadi seorang gadis yang..."
"... bengal...?"
"Tidak! Tidak...! Engkau sudah besar dan sungguh hebat kepandaianmu, bahkan Kiu-bwee Coa-li kewalahan menandingimu. Thai-kek Sin-kun tadi kau mainkan amat indah dan hebat."
"Sudah, jangan terlalu memuji. Bisa membengkak dan pecah kepala ini nanti. Kalau tidak kau bantu, apa kau kira aku dapat menang menghadapi nenek ular itu? Sungguh mengherankan sekali, apakah benar-benar Cap-sha-kui telah keluar dari sarangnya dan mengapa mereka bahkan datang ke tempat ini dimana para pendekar akan mengadakan pertemuan?"
"Bukankah baru seorang saja Kiu-bwee Coa-li tadi yang muncul?"
"Sudah tiga bersama nenek itu! Sebelumnya aku sudah bertemu dengan dua orang lain diantara mereka, di kuil Dewi Laut, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo."
Cia Sun mengangguk-angguk.
"Ah, kalau begitu agaknya benar mereka itu telah keluar dari sarang. Bahkan baik untuk memperingatkan para sahabat dalam pertemuan nanti."
"Kalau begitu engkau hendak pergi menghadiri pertemuan para pendekar itu, Sun-ko?"
Sikap dan suara Sui Cin demikian akrab, seolah-olah selama ini Cia Sun selalu bergaul dengannya. Padahal, selama hidupnya, baru satu kali ia berjumpa dengan Cia Sun, yaitu ketika ia diajak ayah bundanya mengunjungi Lembah Naga, kira-kira sembilan tahun yang lalu. Ketika itu ia baru berusia enam tahun dan Cia Sun berusia tiga belas tahun. Ia bersama orang tuanya tinggal setengah bulan di Lembah Naga dan setelah mereka pulang, ia tidak pernah lagi berjumpa dengan Cia Sun.
Akan tetapi, karena memang gadis ini memiliki pembawaan riang dan ramah jenaka, maka ia mudah akrab dengan siapa saja. Cia Sun sendiri yang biasanya pendiam dan serius, juga agak malu kalau berdekatan dengan wanita, sekali ini kehilangan rasa canggungnya berkat sikap Sui Cin yang ramah itu.
"Benar, dan engkau sendiri, Cin-moi?"
“Akupun hendak berkunjung kesana."
"Mewakili orang tuamu?"
"Tidak. Sudah setengah tahun aku meninggalkan Pulau Teratai Merah. Hanya kebetulan dalam perjalanan aku mendengar tentang rencana pertemuan itu maka aku sengaja hendak menonton. Dan engkau?"
"Aku mewakili Pek-liong-pang, mewakili ayah."
"Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan. Tidak enak kalau kemalaman dalam hutan. Apalagi bau bangkai ular-ular itu amat busuk."
"Baiklah, Cin-moi. Kau naiki saja kudamu, biar aku jalan kaki. Kita dapat bercakap-cakap di perjalanan."
Mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap. Sui Cin menunggang kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelahnya. Malam telah tiba dan cuaca mulai gelap ketika mereka keluar dari dalam hutan. Karena tidak nampak dusun di dekat situ, keduanya terpaksa melewatkan malam di tepi hutan. Mereka membuat api unggun dan Sui Cin mengeluarkan bekal roti dan daging keringnya, sedangkan Cia Sun mengeluarkan bekal araknya yang masih seguci penuh.
Setelah makan sekedarnya untuk menghilangkan rasa lapar dan haus, keduanya duduk menghadapi api unggun dan melanjutkan percakapan mereka.
"Sun-ko, sudah banyak sekali aku mendengar tentang orang tuamu, terutama sekali tentang ayahmu. Ayahku tiada bosannya mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar terbesar di dunia ini dan ayahmulah satu-satunya orang yang amat dihormati ayahku."
Cia Sun menghela napas.
"Diantara ayah kita berdua memang terjalin pertalian persaudaraan yang amat kuat, melebihi saudara sekandung. Ayahku juga tiada bosannya membicarakan ayahmu dan seringkali dia mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar yang paling lihai dan satu-satunya orang yang amat disayang oleh ayahku."
"Kalau begitu, orang tua kita memiliki pertalian persaudaraan yang amat erat, dengan sendirinya kitapun dapat dibilang masih keluarga sendiri, bukan?"
"Begitulah, siauw-moi."
"Ih, jangan sebut aku siauw-moi (adik kecil), aku tidak kecil lagi, Sun-ko. Usiaku sudah lima belas tahun!"
"Lima belas tahun masih kecil namanya."
"Siapa bilang? Bagi seorang wanita, usia itu sudah berarti dewasa."
"Baiklah, maafkan aku. Aku akan menyebutmu Cin-moi saja."
"Maaf-maafan segala, engkau terlalu sungkan, Sun-ko. Kalau aku tidak salah ingat, engkau lebih tua lima tahun dari-pada aku."
"Tujuh tahun. Usiaku sekarang sudah dua puluh dua tahun."
"Engkau tentu sudah menikah..."
Perkataan ini membuat Cia Sun terkejut dan tertegung sejenak tak dapat menjawab karena bagi seorang pendiam dan sopan serta serius seperti dia, tak pernah terbayangkan akan menerima pertanyaan seperti itu dari seorang gadis yang pernah membuat dia tidak mampu tidur nyenyak semalam suntuk.
Akan tetapi ketika dia memandang dan mereka bertemu pandang, dia tidak melihat sesuatu dalam sinar mata gadis itu melainkan kejujuran dan pertanyaan yang terbuka tanpa perasaan lain yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Maka diapun menggeleng.
"Kenapa engkau menyangka demikian?"
"Karena usiamu sudah dua puluh dua tahun."
"Siapa yang mau menjadi isteri orang seperti aku ini, Cin-moi?"
Sui Cin terbelalak memandang wajah pemuda itu, melihat betapa wajah itu tiba-tiba dibayangi kemurungan. Wajah yang gagah, walaupun tidak terlalu tampan, akan tetapi wajah yang berwibawa, gagah dan membayangkan kejujuran. Wajah seorang pendekar yang perkasa.
Akan tetapi pada saat itu, kegagahannya tertutup awan mendung sehingga menggelikan hatinya dan tiba-tiba Sui Cin tertawa, sekali ini lupa menutupi mulutnya sehingga nampaklah deretan gigi putih dan rongga mulut yang merah sekali seperti dibakar warna api unggun, dan ujung lidahnya nampak sebentar. Mulut itu tertutup kembali dan Sui Cin memandang kepada api unggun.
Cia Sun kebingungan, merasa ditertawakan, mencari-cari kesalahan apa yang terkandung dalam ucapannya, kelucuan apa sehingga dara itu tertawa. Karena tidak dapat menemukan, diapun bertanya,
"Cin-moi, kenapa engkau tertawa?"
Sui Cin masih nampak termenung sambil menatap api unggun, kemudian bicara, seperti bicara kepada api unggun, suaranya lirih, satu-satu dan jelas,
"Dia seorang pendekar perkasa berkepandaian tinggi, putera ketua Pek-liong-pang penghuni Lembah Naga yang amat terkenal, disegani kawan ditakuti lawan dan dia bertanya siapa yang mau menjadi isteri seorang seperti dia! Padahal, gadis-gadis dari semua penjuru akan berbondong-bondong datang berlomba untuk dapat menjadi jodohnya."
Wajah pendekar itu berobah merah.
"Ah, Cin-moi, harap jangan memperolok..."
"Siapa berolok-olok? Sun-ko, engkau seorang pendekar yang gagah perkasa, hanya ada yang tidak menyenangkan hatiku... yaitu... hemmm... engkau terlalu canggung, engkau terlalu sopan, terlalu halus dan lemah, hemm... sudahlah, aku mau tidur."
Berkata demikian, dara itu lalu merebahkan diri di tempat yang sudah dipersiapkan sebelumnya, yaitu di bawah pohon bertilamkan rumput kering. Dia rebah miring dan tidak bergerak lagi dan tak lama kemudian pernapasannya menunjukkan bahwa ia memang sudah pulas.
ASMARA BERDARAH JILID 014
(↕)
Malam itu kembali Cia Sun tidak dapat tidur. Kata-kata dan sikap Sui Cin yang membuat dia duduk bengong menghadapi api unggun dengan alis berkerut, juga dia harus berjaga. Siapa tahu nenek pawang ular itu muncul lagi dan setelah dia melakukan perjalanan bersama Sui Cin, dia merasa bertanggung jawab menjaga keselamatan dara ini.
Dia sungguh bingung menghadapi sikap Sui Cin. Mengapa hatinya tidak senang karena dia... hemm, dianggap canggung, sopan, halus dan lemah? Apa maksudnya? Dia tidak marah disebut demikian, hanya dia ingin tahu sekali mengapa hati gadis itu menjadi tidak senang. Akan tetapi dia tidak berani bertanya, takut kalau-kalau pertanyaannya atau desakannya akan membuat Sui Cin menjadi makin marah. Padahal dia sama sekali tidak menghendaki gadis itu marah-marah. Sama sekali tidak, bahkan dia ingin sekali membuat gadis itu bergembira. Akan tetapi bagaimana? Ada sesuatu pada diri gadis ini yang membuatnya tertarik, untuk menyelidikinya, untuk mengenalnya lebih baik. Dan setelah ternyata bahwa gadis yang tadinya disangka gadis jembel aneh itu adalah puteri Pendekar Sadis, pamannya sendiri, kesan dalam batinnya menjadi semakin mendalam!
Ketika pada keesokan paginya mereka melanjutkan perjalanan, di sepanjang perjalanan Cia Sun dengan hati-hati menjaga diri agar jangan sampai membuat adik sepupu itu menjadi tidak senang hatinya. Hubungan antara dia dan Sui Cin memang dekat sekali. Dilihat dari sumber perguruan silat, mereka masih terhitung saudara seperguruan. Diingat akan hubungan antara ayah mereka yang mengangkat saudara, mereka masih terhitung saudara sepupu angkat.
Akan tetapi Cia Sun menemui kesulitan untuk depat menyesuaikan diri dengan gadis itu, atau mengikuti gerak-geriknya. Bagaikan seekor burung, Sui Cin adalah seekor burung walet yang amat gesit dan tidak pernah mau diam. Bagaikan bunga, ia mirip bunga hutan yang liar dan kuat, tidak takut akan badai dan panas, Wataknya lincah gembira, kadang-kadang seperti kanak-kanak, kadang-kadang sudah matang dewasa, ada kalanya bengal suka menggoda orang, pendeknya, amat berlawanan dengan watak Cia Sun yang pendiam, serius, dan tidak banyak cakap.
Namun, suatu keanehan terjadi dalam batin pemuda itu. Walaupun watak mereka bertolak belakang, dia merasa amat tertarik, dan kalau biasanya dia tidak suka melihat seseorang dengan sikap seperti Sui Cin, namun pada diri gadis itu, baginya nampak demikian memikat dan menyenangkan!
Asmara memang merupakan suatu kekuasaan yang amat jahil dan suka menggoda hati manusia! Demikian kuatnya asmara sehingga tidak ada seorangpun manusia yang kebal atau dapat melawan kekuasaannya. Tanpa pandang bulu, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, dari segala lapisan, setelah melampaui masa remaja, asmara mulai mengintai dan mencari korban diantara manusia. Dan sekali orang terkena panah asmara, dia akan menjadi seperti linglung dan terjadilah perobahan besar-besaran dalam dirinya.
Hebatnya, asmara dapat mendatangkan sorga pada seseorang sehingga batinnya merasa bergembira, segalanya nampak indah, hidup penuh arti yang menyenangkan. Di lain saat, asmara dapat meruntuhkan kesemuanya itu dan menyulap sorga berobah menjadi neraka, penuh derita batin, penuh kekecewaan, penuh sengsara. Lebih mengherankan lagi, manusia amat jinak dan suka sekali menjadi korban asmara yang jahil!
Dan Cia Sun, untuk yang pertama kali selama hidupnya, terkena panah asmara tanpa dia sendiri menyadarinya! Dia jatuh hati kepada Sui Cin. Namun, karena pemuda ini semenjak kecil digembleng oleh orang tuanya menjadi seorang pendekar yang budiman, sopan dan memegang teguh peraturan, sesuai dengan sifat seorang kuncu (budiman) seperti yang disebutkan oleh para guru besar dan para cerdik pandai, maka diapun diam saja dan hanya menyimpan peraman itu di lubuk hatinya.
Pada suatu siang tibalah mereka di kaki bukit itu. Puncak Bukit Perahu telah nampak dari situ. Bukit itu memang berbentuk sebuah perahu yang terbalik, tertelungkup. Karena bentuknya itulah maka dinamakan Puncak Bukit Perahu. Puncaknya tidak runcing, melainkan seperti dasar perahu yang terbalik. Dari jauh nampak hutan-hutan yang amat subur karena bukit itu terletak di daerah lembah Sungai Huang-ho yang terkenal subur.
Selagi keduanya melanjutkan perjalanan, Sui Cin di atas punggung kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelah kirinya, tiba-tiba gadis itu menunjuk ke depan.
"Eh, siapa itu tidur di tepi jalan?"
Mereka berdua mempercepat jalan ke depan dan Sui Cin yang melihat bahwa yang menggeletak di tepi jalan itu adalah seorang wanita, cepat meloncat turun dan sebentar Saja ia sudah berlutut di dekat mayat itu.
Mayat seorang gadis yang usianya sebaya dengannya, mayat yang setengah telanjang, mayat yang diperkosa dan dibunuh secara kejam. Kejam karena tubuh itu tidak terluka, akan tetapi setelah diperiksa, di pelipisnya ada tanda jari hitam.
Tahulah Sui Cin bahwa gadis ini dibunuh oleh orang yang memiliki ilmu pukulan ganas dan kejam sekali, yang memiliki jari tangan yang mampu membunuh orang hanya dengan satu kali tusukan atau bahkan pijatan saja seperti yang dialami oleh gadis yang sudah mati itu.
Dengan muka merah karena marah sekali Sui Cin menoleh ke arah Cia Sun dan melihat betapa pemuda itu sudah berdiri dekat akan tetapi pemuda itu membuang muka. Tentu saja karena melihat mayat setengah telanjang itu. Sui Cin lalu menutupi bagian-bagian yang biasanya tertutup dengan sisa pakaian yang masih ada sambil menarik napas panjang untuk menekan perasaannya yang dibakar api kemarahan.
"Kenapa ia?" tanya Cia Sun mendengar helaan napas gadis itu.
"Diperkosa lalu dibunuh. Lihatlah sendiri betapa kejamnya pembunuh itu. Tak perlu sungkan, tubuhnya sudah kututupi."
Sebenarnya, andaikata di situ tidak ada Sui Cin, tentu Cia Sun tidak begitu sungkan untuk memeriksa karena bagaimanapun juga, yang terbujur di atas tanah itu adalah tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Akan tetapi, dengan hadirnya gadis itu dia merasa tidak sampai hati untuk memandang ketika dilihatnya tubuh gadis itu terbuka telanjang.
Mendengar ucapan Sui Cin, Cia Sun berlutut dan atas petunjuk Sui Cin, dengan mudah dia menemukan sebab kematian. Totokan jari tangan yang amat ganas pada pelipis gadis itu merusak otak dan menghentikan aliran darah, mendatangkan kematian yang amat menyiksa karena gadis itu matinya perlahan-lahan setelah mengalami rasa nyeri yang hebat tanpa dapat berkutik!
"Bedebah! Seorang jai-hwa-cat yang amat jahat!" kata Cia Sun.
"Dan gadis inipun bukan seorang gadis biasa, melainkan seorang yang memiliki kepandaian silat. Lihat, di pinggangnya masih terdapat kantung piauw yang belum habis dipergunakan, dan lengan kirinya ada cacat goresan pedang yang sudah lama."
“Ah, ini berarti bahwa jai-hwa-cat itu adalah satu diantara golongan hitam yang sengaja hendak mengacau pertemuan para pendekar, seperti tiga orang iblis dari Cap-sha-kui yang kau telah jumpai itu, Cin-moi."
"Kurasa begitu. Kasihan gadis yang masih begini muda harus tewas dalam keadaan begini menyedihkan. Mengapa ia melakukan perjalanan seorang diri ke tempat berbahaya ini?"
"Ingat, Cin-moi, bukankah engkaupun seorang gadis muda yang melakukan perjalanan sendirian saja sebelum bertemu denganku? Kurasa iapun mengandalkan kepandaiannya maka berani melakukan perjalanan sendiri, sungguh kasihan sekali."
"Atau ia terpisah dari rombongannya, siapa tahu..."
"Mungkin juga. Mari kita cepat mengubur mayatnya."
Dua orang pendekar muda itu lalu menggali lubang dan mengubur jenazah itu secara sederhana sekali, memberi tanda di atas kuburan itu dengan sebongkah batu yang berbentuk tinggi lurus.
Setelah selesai mereka maju lagi dan mulai mendaki bukit. Ketika memasuki hutan pertama yang kecil, mereka dikejutkan oleh penemuan kedua. Sekali ini mereka melihat tiga orang laki-laki muda yang sudah menjadi mayat dan tubuh mereka berserakan di tepi jalan.
Seperti mayat gadis pertama tadi, jenazah merekapun tidak terdapat cacat, tidak ada luka, hanya ada tanda satu jari hitam saja di bagian-bagian yang mematikan. Seorang di tengkuk, seorang lagi di ulu hati dan seorang lagi di kepala. Jelaslah bahwa mereka itu hanya terbunuh oleh satu kali serangan sebuah jari tangan saja yang meninggalkan bekas hitam!
"Jahanam, aku harus membasmi Si Jari Hitam yang kejam ini!"
Cia Sun mengepal tjnju dan di dekat tiga mayat itu dia menemukan tiga batang pedang. Agaknya tentu senjata mereka yang terlepas dari tangan.
"Tentu ada hubungan dengan kematian gadis yang diperkosa," kata Sui Cin. "Engkau tadi menduga benar, Sun-ko. Gadis itu tadi tentu serombongan dengan mereka ini."
Kembali mereka menggali lubang, kini cukup besar untuk mengubur tiga buah mayat itu sekaligus. Mereka berkeringat juga setelah selesai meletakkan batu besar di atas makam baru ini dan matahari telah condong ke barat ketika mereka melanjutkan perjalanan dengan hati terasa semakin panas terhadap pelaku pembunuhan-pembunuban kejam itu.
Menjelang senja mereka tiba di lereng bukit itu dan tiba-tiba mereka melihat dua orang laki-laki sedang berkelahi dengan serunya. Cepat keduanya menghampiri dan Sul Cin segera meloncat turun dari atas kudanya. Bersama Cia Sun ia memperhatikan dua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu.
Orang pertama yang melakukan serangan membabi-buta adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar bercambang bauk dan jelas memiliki potongan penjahat yang serba kasar dan sudah biasa mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Orang ini mempergunakan sebatang golok besar yang tebal dan berat untuk menyerang lawannya. Goloknya membentuk gulungan sinar yang berkilauan tertimpa cahaya matahari senja yang kemerahan.
Orang kedua yang menjadi lawannya amat menarik perhatian Sui Cin dan Cia Sun. Orang itu masih muda, kurang lebih dua puluh lima tahun usianya. Wajahnya tampan dan lincah gembira karena menghadapi serangan bertubi-tubi dari lawannya itu dia masih dapat tersenyum-senyum!
Pakaiannya rapi dan bahkan agak mewah dan indah, pantas sekali dengan tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang tampan. Potongan seorang pendekar tulen, pendekar yang halus dan agaknya terpelajar, menilik dari pakaian dan gerak-geriknya. Pemuda ini bertangan kosong dan pada tubuhnya tidak nampak adanya senjata. Hanya di punggungnya terdapat sebuah buntalan pakaian dan rambutnya yang hitam lebat itu digelung ke atas, kemudian kepalanya dilindungi oleh sebuah caping bulat yang lebar sekali.
Begitu seenaknya dia menghadapi lawan sehingga topi lebar itupun tidak dilepasnya dan caping itu mengangguk-angguk dan melambai-lambai mengikuti gerakan-gerakannya.
Sui Cin dan Cia Sun memperhatikan gerakan pemuda itu. Gerakannya indah dan cepat sekali. Biarpun sambaran golok itu cukup dahsyat, namun tubuh pemuda itu seperti kapas saja yang sukar disentuh golok, seolah-olah sambaran golok itu cukup membuat tubuhnya terdorong menghindar sehingga sebelum goloknya tiba, tubuhnya sudah lebih dulu menyingkir.
Tentu saja Sui Cin dan Cia Sun kagum dan mengerti bahwa pemuda bercaping lebar itu adalah seorang ahli ginkang yang hebat. Sui Cin sendiri telah mewarisi gin-kang yang hebat dari ibu kandungnya, akan tetapi melihat gerakan pemuda bercaping itu, iapun merasa kagum dan diam-diam ia ingin sekali mencoba gin-kangnya melawan pemuda itu!
Karena mereka tidak tahu urusannya, maka tentu saja mereka hanya menonton dan tidak berani sembarangan turun tangan.
Sementara itu, pemuda bercaping agaknya tidak pernah melihat kedatangan Sui Cin dan Cia Sui, karena dia didesak dan diserang secara bertubi-tubi oleh lawannya. Namun semua serangan dapat dihindarkannya dengan baik dan tiba-tiba dia membuat gerakan cepat sekali dengan kakinya.
"Hyaaat! Robohlah!"
Dan seperti mentaati perintah pemuda bercaping itu, tiba-tiba saja lawannya itu roboh terpelanting dan tidak mampu bangun lagi karena tendangan si pemuda telah membuat sambungan lutut kanannya terlepas.
Tendangan yang hebat tadi dapat dilihat jelas oleh Cia Sun dan Sui Cin dan mereka kembali merasa kagum. Itu adalah semacam ilmu tendang yang amat berbahaya, pikir mereka.
Kini pemuda itu melangkah maju menghampiri. Tiba-tiba Sui Cin hampir menjerit melihat betapa laki-laki tinggi besar yang sudah roboh itu secara mendadak menggerakkan goloknya membabat ke arah kaki dan serangan ini dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut.
ASMARA BERDARAH JILID 015
(↕)
Sungguh merupakan serangan amat berbahaya dan dilakukan dengan mendadak selagi pemuda itu menghampirinya dan sama sekali tidak menduganya. Namun, Sui Cin dan Cia Sun kembali terkejut kagum melihat betapa mudahnya pemuda itu menghadapi serangan yang cukup berbahaya itu. Ketika golok membabat kaki, tubuhnya meloncat ke atas dan ketika golok itu menyambar ke arah perutnya, enak saja tubuhnya miring dan dari samping, tangannya bergerak ke arah pundak kanan lawan yang berada dalam keadaan terbuka.
"Krekkk!"
Golok terlepas jatuh ke dekat tubuh orang tinggi besar itu dan lengan kanannya terkulai karena tulang pundaknya patah. Si tinggi besar memandang beringas akan tetapi agaknya diapun maklum bahwa dia menghadapi lawan yang lebih kuat maka hanya menundukkan mukanya.
"Hemm, penjahat busuk dan hina! Engkau masih tidak mau mengaku bahwa engkau telah memperkosa dan membunuh wanita itu?"
"Aku... aku mengaku, tapi..."
"Hemm, tidak ada tapi lagi. Setelah engkau mengaku menjadi pemerkosa dan pembunuh, sekarang boleh kau pilih, hendak menamatkan riwayat hidupmu sendiri ataukan engkau ingin aku membantumu dan membiarkan engkau mati perlahan-lahan dengan menderita? Nah, itu golokmu masih di situ dan engkau harus berterima kasih kepadaku yang membiarkan engkau masih dapat memilih."
Pemuda itu tersenyum di bawah capingnya. Dari jauh, yang nampak oleh Cia Sun hanya senyum itu dan dia merasa tidak suka dengan senyum ini. Senyum ini membayangkan kekejaman biarpun hanya sekilat saja.
Si tinggi besar menarik napas panjang.
"Aku sudah kalah, siapa takut mati?"
Dan tangan kirinya mengambil goloknya sendiri lalu dengan gerakan yang kuat, golok itu digerakkan menyambar leher sendiri. Cia Sun dan Sui Cin terkejut, hendak mencegah namun terlambat. Darah muncrat-muncrat dan orang tinggi besar yang tadinya duduk itu kini terjengkang dengan leher terkuak lebar hampir putus.
Pemuda bercaping lebar itu masih berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar, mengangguk-angguk melihat bekas lawannya tewas. Kemudian dengan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Sui Cin dan Cia Sun. Wajahnya yang putih halus itu berseri dan mulutnva tersenyum manis dan ramah sekali. Bahkan dia lalu menjura dengan sikap hormat kepada Sui Cin dan Cia Sun yang tentu saja segera membalasnya.
"AH, kiranya ada dua orang gagah perkasa yang ikut menyaksikan tewasnya jai-hwa-cat yang kejam. Saya dapat menduga bahwa ji-wi (anda berdua) tentu hendak menghadiri pertemuan para pendekar seperti saya juga, bukan?"
Ucapan ini makin meyakinkan hati Sui Cin bahwa pemuda tampan dan perkasa ini adalah seorang pendekar, maka iapun cepat balas menjura dan memuji,
"Caramu memaksa dia membunuh diri tadi sungguh cerdik sekali!"
"Begitukah, nona? Sesungguhnya orang macam dia layak mampus, akan tetapi aku selalu merasa tidak tega untuk membunuh orang, betapapun jahatnya. Kecuali kalau sangat terpaksa. Kalau bisa, aku lebih senang membiarkan dia membunuh diri sendiri."
"Maaf, saudara tadi mengatakan bahwa dia adalah seorang jai-hwa-cat. Apakah ada buktinya dia memperkosa wanita dan membunuh orang?" tiba-tiba Cia Sun bertanya dan matanya memandang penuh selidik.
Pemuda bercaping itu memandang kepadanya dan sejenak dua orang muda itu saling pandang dengan tajam. Akan tetapi, pemuda bercaping itu lalu tertawa, suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, mendatangkan rasa suka di hati Sui Cin. Pemuda ini selain gagah juga jujur dan gembira, tentu lebih menyenangkan sebagai sahabat dan kawan seperjalanan daripada Cia Sun yang pendiam sekali itu.
"Ha-ha-ha, saudara berpakaian putih sederhana, pantas dijuluki Pek-i Taihiap (Pendekar Besar Baju Putih), dan pertanyaanmu tadi menunjukkan betapa engkau adalah seorang yang teliti dan bijaksana. Memang, sebelum kita bersahabat, seyogianyalah kalau kalian berdua mengenal dulu orang macam apa aku yang hendak dijadikan kenalan, bukan?"
Orang itu tersenyum dan melirik ke arah Sui Cin yang juga tersenyum karena ia menganggap bahwa orang ini pandai bicara Pandai pula membawa diri.
"Namaku Thian Bu, she Sim. Sim Thian Bu, ya, itulah nama yang mudah diingat, bukan? Aku tidak datang dari satu golongan atau partai persilatan tertentu, hidupku sendirian dan suka merantau di dunia yang luas. Karena sejak kecil aku sudah mempelajari bermacam-macam ilmu silat, maka ketika mendengar akan diadakannya pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu, aku segera bermaksud menghadirinya untuk berkenalan dengan para pendekar dan meluaskan pengalaman. Ketika melewati hutan di bawah, aku melihat mayat seorang wanita diperkosa. Aku mengejar ke atas dan melihat tiga orang pendekar mengeroyok penjahat ini. Sayang aku terlambat sehingga tiga orang pendekar itu telah roboh. Aku lalu mengejar lagi dan akhirnya berhasil menyusulnya di tempat ini."
Mendengar cerita itu, Sui Cin tersenyum dan memuji,
"Sungguh engkau dapat bergerak cepat hingga berhasil merobohkan penjahat keji itu, saudara Sim. Kamipun sedang mencari-carinya dan agaknya akan sukarlah mengetahui siapa pelaku kejahatan itu kalau dia dapat meloloskan diri."
"Nona terlalu memuji." Sim Thian Bu tersenyum dan menjura. "Setelah aku menceritakan semua tentang diriku, bolehkah aku mengenal nama ji-wi yang mulia?"
Sui Cin melihat betapa Cia Sun diam saja hanya memandang tajam kepada pemuda tampan itu, maka ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.
"Namaku Ceng Sui Cin dan ini adalah kakak misanku bernama Cia Sun."
Mendengar nama kedua orang muda itu, Sim Thian Bu nampak tercengang, akan tetapi hanya sebentar saja dan hanya Cia Sun yang melihatnya karena memang sejak tadi dia memperhatikan orang itu.
"Di dalam dunia persilatan terdapat dua orang locianpwe yang memiliki she Ceng dan Cia yang paling terkenal, yaitu Ceng-locianpwe yang berjuluk Pendekar Sadis dan Cia-locianpwe sebagai ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga..."
"Mereka adalah ayah-ayah kami." Baru sekarang Cia Sun berkata, memotong ucapan pemuda she Sim itu.
"Ah, kiranya ji-wi adalah putera dan puteri dua orang locianpwe yang amat terkenal. Maafkan kalau aku bersikap kurang hormat. Maaf, aku tidak berani mengganggu lebih lama lagi. Sampai jumpa di tempat pertemuan!"
Sim Thian Bu menjura dengan sikap hormat, kemudian dia menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, lenyap dari tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon. Gerakannya memang cepat sekali dan agaknya dia memang sengaja memamerkan ilmu gin-kangnya sehingga mau tidak mau, dua orang pendekar muda itupun merasa kagum.
"Dia lihai, sayang kita tidak dapat berkenalan lebih baik dan tahu siapa dia sebetulnya," kata Sui Cin.
Akan tetapi Cia Sun tidak memberi komentar dan pemuda ini segera menghampiri mayat penjahat tinggi besar tadi, memandang sejenak lalu mulal menggali tanah.
"Apa yang kau lakukan, Sun-ko?"
"Mengubur jenazah ini," jawabnya singkat.
"Wah, kita mengubur lagi?"
"Mayat-mayat yang tadipun kita kubur."
"Mereka adalah pendekar-pendekar, sedangkan yang ini adalah penjahat. Kalau kita harus mengubur setiap mayat termasuk mayat penjahat, kita bisa menjadi tukang pengubur jenazah!"
"Cin-moi, apa bedanya? Baik buruk, pandai bodoh, kaya miskin, mulia hina, kalau sudah menjadi jenazah begini, apa bedanya?"
Cia Sun bekerja terus. Sui Cin mengangkat pundak lalu membantu pekerjaan itu tanpa banyak cakap lagi. Mereka bekerja keras dan sebentar saja mereka sudah mengubur jenazah itu.
Sambil membersihkan kedua tangannya, Sui Cin mengomel kepada gundukan tanah kuburan itu,
"Hemm, jai-hwa-cat, entah kebaikan apa yang pernah kau lakukan sewaktu hidupmu sehingga ketika mati engkau mendapat kehormatan dikubur oleh kami?"
"Cin-moi, aku masih belum percaya bahwa orang inilah yang membunuh dan memperkosa gadis yang kita kubur itu. Juga belum tentu dia yang membunuh tiga orang itu."
"Hemm, kenapa kau berkata demikian, Sun-ko? Bukankah sudah jelas..."
"Sama sekali belum jelas! Cin-moi, ingatlah engkau bagaimana matinya empat orang pendekar muda itu? Mereka semua mati karena pukulan atau totokan jari tangan yang amat dahsyat. Akan tetapi, orang yang kita kubur ini, dia berkelahi mempergunakan golok. Kenapa dia tidak mempergunakan jarinya yang lihai, seperti ketika dia membunuh empat orang itu?"
Sui Cin mengerutkan alisnya, terkejut karena baru sekarang ia teringat akan hal itu dan segera otaknya yang cerdik itu bekerja.
"Memang aneh..." katanya, "akan tetapi, kita harus mengakui bahwa permainan goloknya hebat sehigga bukan tidak mungkin kalau dia menguasai pula ilmu totok yang jahat itu. Mungkin saja, karena pemuda she Sim itu memang lihai dan lebih pandai dari padanya, maka dia tidak lagi mengandalkan ilmu totoknya dan menggunakan golok."
Pemuda itu menggeleng kepala.
"Meragukan sekali. Biarpun permainan goloknya tadi memang cukup lihai, akan tetapi kurasa tingkatnya belum mencapai tingkat Si Jari Hitam. Penjahat itu, kalau benar penjahat, adalah penjahat yang kasar dan belum tinggi tingkatnya."
"Akan tetapi, Sun-ko, bukankah dia sendiri sudah mengaku bahwa dia yang melakukan perkosaan dan pembunuhan? Kita mendengar sendiri pengakuannya tadi sebelum dia membunuh diri."
"Itulah yang amat membingungkan hatiku, Cin-moi. Akan tetapi, biarpun dia mengaku memperkosa dan membunuh, dia tidak pernah mengatakan siapa yang diperkosanya dan dibunuhnya itu. Apakah gadis yang kita temui dan tiga orang pendekar muda itu? Ataukah orang lain yang dia maksudkan? Sayang orang she Sim itu tergesa mendesaknya membunuh diri sehingga aku tidak sempat mencegah untuk menanyainya secara teliti."
"Sekarang akupun menjadi ragu, Sun-ko. Andaikata bukan dia yang melakukan perkosaan dan pembunuhan atas diri gadis dan tiga orang pemuda itu berarti..."
"Berarti bahwa seorang pemerkosa dan pembunuh yang amat lihai masih berkeliaran dan mengancam keselamatan banyak orang, terutama kaum pendekar."
Mereka melanjutkan perjalanan mendaki lereng bukit dan Sui Cin mengomel,
"Sun-ko, kenapa engkau memperkenalkan aku sebagai puteri Pendekar Sadis?"
"Eh, apa salahnya karena memang kenyataannya begitu?"
"Aku tidak suka! Aku ingin hidup bebas, tidak mau membonceng nama besar ayahku. Kau lihat, aku suka menyamar, berarti aku hendak menyembunyikan keadaan diriku sebagai puteri Pendekar Sadis."
"Mengapa, Cin-moi? Seharusnya engkau bangga mempunyai ayah seperti paman Ceng Thian Sin."
"Hemm, ayahku Pendekar Sadis. Ibuku Lam-sin, keduanya adalah tokoh-tokoh besar yang namanya menjulang tinggi. Apakah hal itu harus kupergunakan untuk mengangkat diriku sendiri? Tidak, aku tidak suka. Kalau orang mengenalku, maka dia boleh mengenal pribadiku sendiri, bukan suka berkenalan denganku karena aku puteri ayah bundaku yang terkenal itu."
Gadis itu cemberut dan kembali Cia Sun terheran-heran dan merasa bingung, semakin tidak dapat menyelami watak gadis ini.
Mereka terpaksa berhenti pada sebuah lereng di tengah malam itu untuk beristirahat dan pada keesokan harinya, tiba-tiba Sui Cin berkata,
"Sun-ko, disini terpaksa kita harus berpisah."
Ucapan ini sungguh tak pernah disangka oleh Cia Sun yang menjadi terkejut sekali. Dan di dalam terkejutnya itu dia merasa heran mengapa hatinya menjadi begini. Apa artinya perpisahan? Setiap pertemuan harus diakhiri dengan perpisahan dan biasanya, dia bertemu dan berpisah dari orang-orang tanpa kesan. Kenapa sekarang mendengar gadis itu mengusulkan perpisahan hatinya merasa seperti disayat?
"Akan tetapi kenapa, Cin-moi? Bukankah kita berdua sama-sama hendak pergi mengunjungi pertemuan para pendekar? Tujuan perjalanan kita sama dan puncak itu sudah nampak dari sini, juga hari inilah hari pertemuan itu."
"Sun-ko, engkau adalah wakil dari Lembah Naga, wakil Pek-liong-pang, sedangkan aku hanya seorang penonton saja. Biarlah kita bertemu saja disana nanti. Selamat berpisah!"
Tanpa menanti bantahan lagi, Sui Cin sudah membedal kudanya yang segera berlari congklang ke depan, kemudian membalap mendaki lereng terakhir. Cia Sun hanya dapat memandang dan menarik napas panjang. Semangatnya seperti terbawa pergi oleh gadis itu, dan kaki kuda yang bercongklang itu seperti menginjak-injak dan menyepak-nyepak hatinya.
ASMARA BERDARAH JILID 016
(↕)
Beberapa belas li jauhnya dari Puncak Bukit Perahu terdapat sebuah daerah liar yang jarang didatangi orang karena tempat itu sukar dicapai dengan cara biasa. Tempat itu merupakan sebuah lereng yang penuh dengan jurang yang amat curam, juga merupakan daerah berbatu-batu, penuh dengan guha-guha gelap dan kabarnya tempat ini menjadi sarang binatang-binatang buas dan binatang-binatang beracun, juga penjahat-penjahat yang menjadi buruan banyak yang lenyap setelah memasuki daerah ini.
Akan tetapi, sehari sebelum pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu dimulai, di sebuah tanah datar yang dikelilingi batu-batu dan guha-guha nampak didatangi banyak orang. Melihat keadaan pakaian dan sikap orang-orang ini, juga wajah mereka yang rata-rata menyeramkan, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan hitam. Para pendekar menamakan golongan ini sebagai kaum sesat.
Memang amat menyedihkan melihat betapa manusia telah dipecah-pecah dan dipisah-pisahkan oleh segala macam golongan. Karena berpisah dan menjadi anggauta dari masing-masing golongan tentu saja kepentingan masing-masing membuat mereka itu kadang-kadang saling bentrok dan setiap golongan membenarkan golongannya sendiri.
Tidak ada manusia dilahirkan jahat! Setiap keadaan sudah pasti mengundang sebab dan kalau ada orang yang menjadi sesat dan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain dan yang lajimnya disebut jahat, maka keadaannya itu bukanlah terbawa dari kelahiran, melainkan diakibatkan oleh sebab-sebab tertentu. Bahkan orang yang dilahirkan dalam keadaan cacat sekalipun, sudah pasti ada sebab-sebab yang terjadi sebelum dia dilahirkan, sehingga keadaannya ketika dilahirkan itupun menjadi akibat dari suatu sebab.
Banyaklah sebab yang menjadikan manusia seperti yang banyak kita lihat sekarang ini. Pada umumnya dinamakan jahat karena merugikan orang lain, berwatak buruk dan kejam dan sebagainya. Kebencian, keserakahan, pengejaran kesenangan, dendam, iri hati, rasa takut, semua ini dapat membentuk watak yang kejam dan ganas.
Dan setiap orang manusia tentu pernah atau akan merasakan itu. Hubungannya erat sekali dengan kesenangan dan sekali orang melakukannya, tanpa adanya kesadaran, maka akan menjadi berlarut-larut dan menjadi semacam kebiasaan yang mendarah daging atau yang membuat orang mencandu dan condong untuk mengulang-ulang lagi.
Orang yang baru tersesat disebut penjahat dan dibenci, dimaki, dihindari. Ini yang akhirnya membuat mereka ini merasa terancam dan merekapun lalu memilih teman, berkelompok dan terjadilah penggolongan. Mereka dinamakan kaum sesat, golongan hitam atau kotor. Tentu saja golongan ini membalas kebencian yang dilontarkan oleh para pendekar kepada mereka. Mereka menganggap para pendekar sebagai golongan lawan yang mengancam keselamatan mereka dan sebagai balasan, merekapun menamakan golongan para pendekar itu sebagai golongan sombong, golongan besar kepala, bahkan ada yang menamakannya kaum munafik!
Demikianlah, ketika mendengar bahwa para pendekar hendak mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, mereka yang dinamakan kaum sesat itupun segera bergerak dan mendahului pertemuan itu dengan mengadakan pertemuan rahasia di tempat liar itu, hanya belasan li jauhnya dari tempat yang akan dijadikan balai pertemuan para pendekar!
Dan pertemuan rahasia ini tidak tanggung-tanggung karena pengundangnya adalah Cap-sha-kui. Berbondonglah mereka yang merasa dirinya sudah "tokoh" untuk menghadiri pertemuan rahasia itu. Dan memang sesungguhnyalah, kalau tidak memiliki kepandaian tinggi, jangan harap akan bisa mendatangi tempat pertemuan rahasia yang ditentukan itu dan agaknya dalam hal ini memang Cap-sha-kui hendak menguji dan menyaring para tokoh sesat. Mereka yang tidak tinggi tingkat kepandaiannya tidak akan berani atau dapat datang.
Para tokoh besar kaum sesat banyak yang memiliki kebiasaan dan watak yang aneh dan tidak lumrah manusia pada umumnya. Karena kepandaian mereka yang tinggi dan watak mereka yang ganas, mereka kadang-kadang bukan seperti manusia lagi. Biasanya, mereka tidak pernah memperdulikan orang lain, yang terpenting adalah diri sendiri.
Akan tetapi agaknya sekali ini, karena tuntutan keadaan dan karena kekhawatiran terhadap keamanan diri sendiri, mereka berusaha untuk mengadakan pertemuan dan untuk bersatu. Demikian anehnya mereka sehingga pertemuan rahasia itupun diadakan di waktu tengah malam! Demikian bunyi undangannya dan pada malam yang ditentukan, ternyata tepat malam bulan purnama.
Malam itu bulan yang bulat amat terangnya. Tidak ada awan hitam yang gelap, yang ada hanyalah awan-awan putih tipis yang terbang lalu dengan lembutnya. Suasana di tanah lapang dekat dinding guha-guha itu sunyi sekali, tidak nampak ada benda hidup yang bergerak, tidak terdengar pula suara apapun, sepi dan lengang.
Akan tetapi, menjelang tengah malam, terdengarlah suara. Suara yang menyeramkan, suara yang mengerikan karena terdengar di tempat sesunyi itu, di tengah malam bulan purnama pula. Suara yang mendirikan bulu roma. Tangis anak-anak! Tangis yang makin keras, menyayat hati seperti anak yang dalam kesakitan. Setelah tangis yang makin meninggi itu sampai di titik puncak, tiba-tiba saja tangis itu berhenti, suaranya lenyap sama sekali seolah-olah anak yang menangis dicekik lehernya. Kembali sunyi melengang, menegangkan dan menakutkan, sampai beberapa lamanya.
Kemudian, seperti juga tadi ketika muncul dan ketika lenyap, tangis anak-anak terdengar lagi, kini merengek-rengek minta dikasihani seperti tangis anak manja! Seperti juga tadi, rengek tangis ini makin menjadi dan tiba-tiba saja tangis itupun terhenti tiba-tiba, seperti terputus, seperti tercekik dan mendadak terdengar jerit yang amat mengerikan, jerit anak kecil ketakutan atau kesakitan, lalu terhenti dan kembali lengang. Menegangkan dan mengerikan!
Dan di dalam suasana yang menegangkan itu, tiba-tiba saja nampak dua sosok tubuh manusia. Muncul begitu saja seolah-olah pandai menghilang. Sebenarnya bukan karena dua sosok tubuh manusia ini pandai ilmu menghilang seperti setan, hanya karena gerakan mereka amat ringan dan cepat sehingga tahu-tahu saja mereka berada di situ.
Pula, pakaian mereka yang serba putih itu membuat tubuh mereka tidak begitu nampak di bawah sinar bulan purnama. Kalau didekati, memang mereka itu amat menyeramkan. Bukan hanya pakaian mereka yang serba putih seperti pakaian orang berkabung, akan tetapi juga wajah mereka putih pucat seperti wajah mayat atau wajah orang yang menderita sakit berat kehabisan darah!
Kalau dua orang ini rebah terlentang dan tidak bergerak, tentu disangka mayat-mayat. Akan tetapi sepasang mata mereka sama sekali tidak mati! Sepasang mata mereka bahkan amat hidup, bergerak-gerak ke kanan kiri dan karena manik mata mereka hitam sekali, maka mata itu seperti mencorong keluar apinya. Siapa yang berjumpa dengan mereka dimalam itu, tentu akan ketakutan setengah mati dan menyangka bahwa mereka itu adalah iblis-iblis, bukan manusia.
Sesungguhnya mereka adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua. Kakek itu bertubuh jangkung, kurus, semua rambutnya juga sudah berwarna putih dan mukanya penuh keriput, demikian kurus muka itu sehingga hanya kulit membungkus tengkorak saja, dari jauh mukanya kelihatan seperti tengkorak yang matanya hidup, bernyala!
Orang kedua, nenek itu, masih memiliki raut wajah yang cantik. Jelas bahwa di waktu mudanya nenek ini seorang wanita cantik. Akan tetapi wajahnya pucat sekali, bahkan bibirnya agak kebiruan, dengan sepasang mata yang mencorong itu ia mirip siluman. Pantaslah kiranya kalau dua orang kakek dan nenek ini merupakan tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat. Dan mereka itupun sesungguhnya demikian.
Mereka adalah kakek dan nenek penghuni Kui-san-kok (Lembah Iblis) sebuah tempat di Pegunungan Hong-san yang amat berbahaya dan jarang ada orang, betapapun pandainya berani lancang memasuki daerah itu dimana kakek dan nenek ini menjadi penghuninya.
Mereka tidak pernah memakai julukan, akan tetapi orang-orang kang-ouw menjuluki mereka Kui-kok Lo-mo (Setan Tua Lembah Iblis) dan Kui-kok Lo-bo (Biang Lembah Iblis). Mereka adalah sepasang suami isteri dan biasanya mereka tidak pernah keluar dari lembah itu, hidup sebagai raja dan ratu, mengepalai perkumpulan atau gerombolan mereka yang juga merupakan murid-murid mereka. Perkumpulan itupun dinamakan Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) dan semua anggauta atau muridnya berpakaian putih berkabung.
"Hemm, belum nampak seorangpun datang," kata Kui-kok Lo-mo dengan suara mengomel.
"Mereka itu memang bermalas-malasan kalau ada tugas pekerjaan, coba diberitahukan bahwa ada rejeki yang dibagi-bagi, tentu mereka berebut duluan datang," omel isterinya yang di dunia kaum sesat amat ditakuti karena selain galak juga kejam dan ganas sekali.
Suami-isteri ini adalah dua diantara tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang paling lihai dan pada malam hari ini, mereka merupakan sebagian dari tokoh Cap-sha-kui yang mengusahakan pertemuan rahasia itu.
Tiba-tiba terdengar kembali jerit seorang anak laki-laki disusul suara ketawa yang dalam. Terdengar dari jauh sekali dan suami isteri yang tua ini saling pandang dan wajah mereka yang seperti mayat itu tidak memperlihatkan perobahan apapun, akan tetapi mata mereka bersinar-sinar.
"Si raksasa rakus sudah datang," kata Lo-bo.
"Huh, memuakkan. Kesini membawa korbannya, menjijikkan!" sambung Lo-mo.
Tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu seperti bergoyang dan terdengar suara duk-duk langkah kaki yang amat berat. Muncullah dari balik guha seorang laki-laki yang tubuhnya amat tinggi besar, satu setengah kali tinggi besar manusia lumrah sehingga dia nampak seperti seorang raksasa dari dalam dongeng.
Raksasa ini rambutnya panjang awut-awutan, pakaiannya juga tidak karuan dan robek di sana-sini. Melihat badan yang tak terpelihara dan pakaian seperti jembel, sepatutnya kalau dia hidup sebagai gelandangan miskin. Akan tetapi sungguh amat mengherankan melihat gelang-gelang emas yang menghias kedua pergelangan tangannya.
Gelang-gelang dari emas murni yang besar dan tebal, yang jumlahnya kalau diuangkan cukup untuk dipakai modal berdagang! Kepalanya besar, matanya lebar terbelalak, hidungnya, mulutnya, segala-galanya besar dan tubuhnya nampak kokoh kuat seperti batu karang.
Akan tetapi yang paling menyeramkan adalah melihat sepotong kaki anak-anak yang dipegang tangan kirinya dan dia berjalan sambil menggerogoti daging paha yang masih berlumuran darah itu. Dia makan daging anak-anak mentah-mentah! Sungguh keadaan raksasa ini amat berbeda dengan keadaan Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo.
Kalau kakek dan nenek tadi datang seperti bayang-bayang setan, dengan gerakan yang ringan, maka kakek raksasa ini sebaliknya menunjukkan berat badan dan besarnya tenaga yang amat hebat. Langkah kakinya saja membuat tanah bergetar, maka dapat dibayangkan betapa besar tenaganya.
Diam-diam kakek dan nenek itupun kagum dan harus mereka akui bahwa sahabat mereka atau lebih tepat lagi rekan mereka itu telah memperoleh kemajuan pesat sehingga mampu memperlihatkan tenaga gwa-kang (tenaga luar) yang demikian hebatnya.
Siapakah raksasa yang pakaiannya compang-camping berwarna serba hijau ini? Dia juga bukan orang sembarangan. Dia seorang datuk sesat yang hampir tidak pernah muncul di dunia ramai, akan tetapi di barat dia terkenal sebagai datuk yang ditakuti. Dia memakai julukan Tho-tee-kong (Malaikat Bumi), akan tetapi karena dia amat kejam dan amat ditakuti, maka di belakangnya, orang memberi julukan Tho-tee-kwi (Setan Bumi) kepadanya.
Dan seperti juga kakek dan nenek itu, Tho-tee-kwi inipun merupakan tokoh-tokoh utama dari Cap-sha-kui yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia peranakan Nepal dan di waktu mudanya pernah menjadi pendeta Lama. Karena murtad dia diusir dari lingkungan pendeta Lama dan akhirnya dia merantau ke Himalaya, mempelajari ilmu-ilmu sesat dan ilmu hitam dan akhirnya muncul sebagai datuk sesat yang amat lihai, bergabung dalam kelompok Cap-sha-kui.
Agaknya Tho-tee-kwi sudah kenyang. Sambil mengunyah daging terakhir yang dicabiknya dari kaki yang dipegang tadi dia membuang sisa kaki itu ke balik jurang, kemudian dia memandang kepada kakek dan nenek sambil menyeringai dan sepasang matanya yang lebar itu menjadi liar.
"Heh-heh, Lo-bo, apanya yang memuakkan dan menjijikkan?" tanyanya, suaranya besar parau.
"Apanya lagi kalau bukan engkau yang memuakkan?" Kui-kok Lo-bo mengejek. "Dan engkau pemakan mayat yang menjijikkan!" tambahnya.
"Ha-ha, Lo-mo, apakah engkau tidak bisa mengendalikan mulut binimu? Lo-bo, engkau pemakan bangkai, aku pemakan mayat, apa bedanya?"
Raksasa itu tertawa dan perutnya yang besar bergerak-gerak seperti ada benda hidup berada di dalamnya.
"Apa? Aku pemakan bangkai? Jaga mulutmu!" bentak Lo-bo marah.
"Segala macam daging yang kau makan itu apakah bukan bangkai? Bangkai binatang yang kau makan, dan aku makan bangkai orang, heh-heh, aku lebih unggul!"
"Setan bangkotan, apakah engkau menantangku?" Lo-bo berteriak.
"Menantang sih tidak, akan tetapi jangan dikira aku takut padamu. Kita sama-sama setan dan masih harus membuktikan sampai dimana kemajuanmu selama bertahun-tahun kita tidak saling bertemu ini, walaupun kecantikanmu tidak pernah berkurang, Lo-bo."
ASMARA BERDARAH JILID 017
(↕)
Kui-kok Lo-bo menoleh kepada suaminya. Bagaimanapun juga galaknya, nenek ini masih menaruh rasa taat dan segan kepada suaminya. Lo-mo mengangguk dan berkata.
"Karena yang lain belum datang, boleh saja engkau main-main melawan dia sebentar untuk melihat apakah dia masih patut menjadi sekutu kita."
Kalau tidak melihat wajahnya yang seperti mayat hidup amat mengerikan itu, kalau hanya mendengar suaranya, tentu orang mengira bahwa Kui-kok Lo-mo adalah seorang kakek yang halus budi bahasanya.
Setelah mendapat persetujuan suaminya, dengan gerakan yang amat lincah nenek itu meloncat dan tahu-tahu ia sudah berada di depan raksasa itu.
"Setan bangkotan, jangan besar omongan saja, buktikan kemampuanmu!" katanya dan secepat kilat nenek itu sudah menggerakkan tangannya ke depan.
Terdengar suara mencicit seperti suara kelelawar ketika jari-jari tangan yang membentuk cakar itu menyambar ke depan.
"Hehh!"
Tho-tee-kwi berseru kaget ketika merasa betapa hawa pukulan yang dahsyat sekali dan terasa panas menyambar ke arah perutnya. Itulah semacam ilmu pukulan aneh dan baru, pikirnya. Maka diapun tidak berani bersikap memandang rendah, dan biarpun tubuhnya amat besar dan berat, ternyata diapun dapat bergerak sigap. Dia meloncat ke belakang dan lengannya yang panjang dan besar itu menyapu ke depan untuk menangkis pukulan dahsyat tadi, kemudian tanpa membuang waktu, dia membarengi dengan uluran lengan kiri menghantam dari samping ke arah kepala si nenek.
Seperti sebuah kipas besar, tangan yang terbuka itu menyambar, didahului angin besar yang membuat rambut nenek itu berkibar-kibar. Namun, gesit sekali gerakan Lo-bo yang sudah dapat menghindar pula.
Sebetulnya pertandingan itu hanyalah semacam ujian saja karena lama mereka tidak saling jumpa dan mereka ingin sekali mengukur kepandaian atau kemajuan masing-masing.
Akan tetapi dasar watak mereka yang aneh dan ganas, biarpun hanya merupakan pertandingan dan bukan perkelahian karena dendam, keduanya tidak menahan gerakan mereka dalam menyerang, setiap serangan mereka adalah pukulan-pukulan maut dan begitu bergebrak mereka sudah mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing. Hal ini adalah karena mereka tahu bahwa kalau mereka mengeluarkan ilmu-ilmu lama tentu akan percuma saja karena pihak lawan sudah mengenalnya dan akan dengan mudah mampu memecahkannya.
Menghadapi serangkaian pukulan nenek itu yang mengeluarkan suara mencicit dan mengandung hawa panas, juga hawa pukulan itu mampu merobek ujung bajunya, Tho-tee-kwi terkejut bukan main.
"Eh, eh, ilmu setan apakah itu?" bentaknya.
Nenek itu mendengus.
"Ilmu untuk mengalahkanmu. Hayo lekas berlutut mengaku kalah kalau engkau tidak ingin perutmu yang penuh mayat itu terobek dan ususmu terburai keluar!"
Raksasa baju hijau itu tertawa besar.
"Ha-ha-ha, enaknya buka mulut membual! Lihat ini!"
Dan tiba-tiba kedua kakinya dihentakkan ke atas tanah sedemikian kerasnya sehingga tanah itu terguncang seperti ada gempa bumi. Tubuh nenek itu ikut pula tergetar dan dalam keadaan demikian, raksasa itu menyerang dan kini pukulannya sama antepnya dengan hentakan kakinya tadi, begitu penuh mengandung tenaga raksasa!
Hebat memang ilmu ini dan agaknya ketika pertama muncul tadi, si raksasa juga sudah memamerkan ilmu barunya itu. Lo-bo cepat menggunakan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari rangkaian serangan pertama. Akan tetapi, si raksasa berkali-kali menghentakkan kakinya dan menyusuli serangan-serangan yang amat dahsyat hingga tempat itu dilanda angin-angin pukulannya membuat daun-daun pohon yang agak jauh tergoyang-goyang dan nenek itupun mulai terdesak!
Ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk membalas serangan lawan. Akan tetapi, dengan mengandalkan gin-kang yang jauh lebih lihai, ia masih mampu menyelamatkan diri dari semua serangan ganas itu.
Melihat betapa isterinya terdesak dan kalau dilanjutkan agaknya isterinya akan kalah, Lo-mo lalu melompat ke depan. Dia sudah memperhatikan gerakan lawan tadi dan maklum bahwa tanpa mempelajari dulu ilmu baru itu dan menangkap intinya, akan sukarlah untuk mengatasinya.
"Mundurlah, biar aku yang mencoba ilmu baru Tho-tee-kong!" katanya.
Nenek itupun tahu diri, akan tetapi ia tidak mengakui keunggulan lawannya, maka sambil meloncat mundur ia berseru mengejek.
"Mulut dan badanmu bau mayat, aku tidak tahan melayanimu lebih lama lagi!"
"Ha-ha-ha-ha!" kakek raksasa tertawa. Akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika Lo-mo sudah menggeser kakinya ke depan.
"Tho-tee-kong, mari kita main-main sebentar!"
Lagak kakek bermuka mayat ini memang berbeda dengan lagak isterinya atau raksasa itu, bahkan berbeda dengan lagak dan sifat para datuk sesat pada umumnya. Kalau para datuk sesat itu biasanya berlagak aneh, kasar dan tidak memperdulikan sopan santun, kakek ini sebaliknya bersikap halus dan berwibawa, lebih mendekati sikap seorang tokoh pendekar daripada seorang tokoh sesat.
Hal ini adalah karena dia berasal dari keluarga terpelajar dan terhormat dan di waktu kecilnya, dia terdidik baik-baik. Maka, biarpun kini menjadi tokoh utama dari kaum sesat, dia tidak dapat melupakan sikap halus yang sudah ditanamkan pada dirinya sejak kecil.
"Ha-ha, Lo-mo, binimu maju pesat, engkau tentu lebih hebat lagi!" raksasa itu mengejek.
"Sambutlah!" kata Lo-mo dan diapun mulai menyerang.
Serangannya nampak ringan saja, akan tetapi karena gerakannya amat cepat maka tahu-tahu telapak tangannya sudah menyambar ke arah leher Tho-tee-kwi. Raksasa ini melempar tubuh ke belakang dan terkejut sekali. Dari telapak tangan kakek mayat itu menyambar hawa panas yang disertai uap putih berbau amis! Kemudian kakek itu menyerang untuk kedua dan ketiga kalinya, dan maklumlah raksasa itu bahwa Lo-mo menggunakan ilmu yang sama dengan Lo-bo tadi, hanya tingkat Lo-mo sudah lebih tinggi sehingga telapak tangan itu bukan hanya mengeluarkan bunyi dan hawa panas, akan tetapi juga mengeluarkan uap putih yang berbau amis.
Diapun cepat menggereng dan mengeluarkan ilmunya yang tadi. Kakinya dihentak-hentakkan sehingga bumi seperti terguncang-guncang dan kedua lengannya secara aneh menyambar ke depan, memukul, menampar, atau mencengkeram, akan tetapi di balik semua pukulannya itu terkandung tenaga yang benar-benar mengerikan sehingga baru angin pukulannya saja demikian kuat, seperti angin badai dan mengeluarkan suara bersuitan.
Pertandingan antara Kui-kok Lo-mo berjalan seru, lebih ramai daripada ketika kakek raksasa itu tadi melawan Kui-kok Lo-bo. Akan tetapi setelah lewat seratus jurus, dia mulai terdesak. Bagaimanapun juga, gerakan yang cepat dari Lo-mo tidak dapat diimbangi oleh Tho-tee-kwi, bahkan ilmu pukulannya yang ampuh itupun hanya membuat kakek mayat itu terguncang sedikit saja apabila terlanda anginnya.
Akan tetapi, seperti juga Lo-bo, raksasa itu keras kepala dan tidak sudi menyerah kalah. Apalagi karena Tho-tee-kwi dan juga Lo-mo mengerti bahwa pada saat itu bermunculanlah rekan-rekan mereka dari dunia hitam. Memang di tengah malam itu bermunculan beberapa orang aneh yang menyeramkan seperti setan-setan bermunculan dari neraka dan mereka menonton pertandingan itu tanpa ada yang mau mencampuri. Bahkan mereka menikmati pertandingan itu, apalagi melihat betapa kedua orang itu agaknya bukan hanya main-main, melainkan berkelahi mati-matian.
Kiu-bwee Coa-li, nenek bongkok pawang ular itu juga sudah muncul dan nenek ini terkekeh girang menyaksikan pertandingan itu, diam-diam dia sebagai seorang tokoh besar yang berilmu tinggi, menikmati perkelahian ini karena ia dapat mencurahkan perhatian mengikuti setiap gerakan untuk mempelajari ilmu dua orang rekannya yang lebih tinggi tingkatnya dan masing-masing mengeluarkan ilmu simpanan baru itu.
Dua orang kakek dan nenek yang sudah kita kenal, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwe Kui-bo, dua orang tokoh rendahan dari Cap-sha-kui, juga sudah hadir. Keduanya juga menonton dengan mata terbelalak penuh kagum akan kehebatan ilmu baru dari dua orang rekan mereka yang lebih tinggi tingkat kepandaiannya itu.
Tiba-tiba terdengar suara mengomel,
"Hemm, tak tahu diri... tak tahu diri... dalam keadaan terancam musuh masih saja saling hantam sendiri... tua bangka-tua bangka yang bertindak seperti kanak-kanak, betapa toloInya!"
Suara itu lirih akan tetapi terdengar oleh semua orang, juga oleh dua orang tokoh yang sedang saling hantam itu. Mendengar suara ini, keduanya mengerahkan tenaga terakhir untuk merobohkan lawan sebelum pemilik suara itu muncul.
Suara itu memang datang dari jauh, dikirim oleh seorang yang menguasai ilmu mengirim suara dari jauh. Akan tetapi, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam dan seorang kakek sudah muncul disitu, tongkatnya berkelebatan cepat sekali sampai tidak nampak oleh mata. Yang kelihatan hanya sinar mencuat dua kali ke arah Lo-mo dan Tho-tee-kwi dibarengi seruan marah,
"Kalian masih nekat dan tidak mau berhenti?"
Dua orang yang sedang bertanding itu mengeluarkan seruan kaget dan keduanya meloncat ke belakang, lalu meraba pundak masing-masing. Ternyata, dalam segebrakan tadi ujung tongkat yang dipegang kakek yang baru datang, telah mencium pundak mereka dan tentu saja mereka terkejut karena kalau dilanjutkan, tentu ujung tongkat itu tadi telah menotok dan melukai mereka. Memang, mereka tadi sedang terlibat dalam perkelahian yang seru dan andaikata tidak demikian, kiranya tidak mungkin tongkat itu dapat mengenai mereka dalam segebrakan saja. Biarpun demikian, dapat menghentikan perkelahian secara demikian membuktikan bahwa tingkat kepandaian kakek yang baru tiba ini ternyata lebih tinggi daripada tingkat dua orang tokoh utama Cap-sha-kui itu! Dan semua orang yang hadir disitu, para tokoh dan datuk kaum sesat, kini memandang kepada kakek pemegang tongkat itu dengan gentar. Setelah kini berdiri di bawah sinar bulan, kakek yang baru datang ini sebenarnya tidak sangat mengesankan dan tidak akan menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang memandangnya. Tubuhnya jangkung kurus seperti tubuh Kui-kok Lo-mo, usianya juga sudah tujuh puluh tahun, pakaiannya serba hitam dan bentuknya seperti pakaian seorang petani biasa saja. Karena pakaiannya serba hitam, maka rambutnya yang putih itu nampak jelas sekali, juga matanya! Sepasang matanya kelihatan putih tanpa manik dan mata itu jarang sekali bergerak! Kiranya kakek ini adalah seorang buta! Dia tidak dapat melihat sama sekali, akan tetapi mengapa semua orang yang hadir di situ, yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum sesat yang berilmu tinggi dan tak mengenal takut, kini kelihatan gentar menghadapinya? Karena dia adalah Siangkoan-lojin (Kakek Siangkoan)! Dia tidak mempunyai julukan, dan tidak ada orang yang berani memberinya julukan walaupun kedua matanya buta karena takut akan hukumannya. Kakek ini bahkan tidak sudi ditarik masuk menjadi anggauta Cap-sha-kui, karena dia merasa lebih tinggi. Seorang kakek yang kelihatannya seperti petani biasa saja, namun yang memiliki pengaruh luar biasa besarnya dan seluruh tokoh kaum hitam itu takut belaka kepadanya! Karena kepandaiannya yang amat tinggi dan karena kekejaman dan keganasannya. Sekali orang dianggap bersalah kepadanya, kemanapun orang itu lari bersembunyi, akhirnya tentu akan terjatuh ke tangannya dan akan tewas dalam keadaan mengerikan. Nama Siangkoan-lojin saja sudah cukup membuat seorang penjahat yang paling sadis menjadi pucat mukanya. Siangkoan-lojin adalah seorang aneh yang menyembunyikan dirinya di Pegunungan Kun-lun-san. Dia sendiri tidak pernah turun dari gunung. Kehidupannya mewah karena para tokoh sesat selalu memberinya semacam upeti yang amat berharga, hanya untuk menerima berkah dan petunjuknya sedikit saja. Baru setengah tahun lamanya dia turun gunung, tinggal di kota Pao-chi di Propinsi Shen-si sebagai seorang tuan tanah yang kaya raya walaupun pakaiannya sebagai seorang petani sederhana. Di dalam sebuah rumah yang mirip istana, dia tinggal bersama seorang putera tunggalnya dan belasan orang wanita muda cantik yang bertugas sebagai pelayan dan juga sebagai selir-selirnya. Isterinya sudah lama meninggal ketika putera tunggalnya masih kecil. Kakek ini mempunyai beberapa orang murid yang lihai, akan tetapi murid-muridnya itu hanya diberinya sebagian saja dari ilmu-ilmunya yang tinggi, yang semuanya hendak diwariskan kepada putera tunggalnya yang pada waktu itu berusia delapan belas tahun. Demikianlah sedikit keadaan Siang-koan-lojin. Cap-sha-kui sendiri selalu memandang kakek buta ini sebagai seorang datuk yang mereka hormati. Dan sesungguhnya, pertemuan rahasia yang diadakan pada malam hari itu adalah atas kehendak Siangkoan-lojin akan tetapi dilaksanakan oleh Cap-sha-kui.
Dua orang yang sedang bertanding itu mengeluarkan seruan kaget dan keduanya meloncat ke belakang, lalu meraba pundak masing-masing. Ternyata, dalam segebrakan tadi ujung tongkat yang dipegang kakek yang baru datang, telah mencium pundak mereka dan tentu saja mereka terkejut karena kalau dilanjutkan, tentu ujung tongkat itu tadi telah menotok dan melukai mereka. Memang, mereka tadi sedang terlibat dalam perkelahian yang seru dan andaikata tidak demikian, kiranya tidak mungkin tongkat itu dapat mengenai mereka dalam segebrakan saja. Biarpun demikian, dapat menghentikan perkelahian secara demikian membuktikan bahwa tingkat kepandaian kakek yang baru tiba ini ternyata lebih tinggi daripada tingkat dua orang tokoh utama Cap-sha-kui itu! Dan semua orang yang hadir disitu, para tokoh dan datuk kaum sesat, kini memandang kepada kakek pemegang tongkat itu dengan gentar. Setelah kini berdiri di bawah sinar bulan, kakek yang baru datang ini sebenarnya tidak sangat mengesankan dan tidak akan menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang memandangnya. Tubuhnya jangkung kurus seperti tubuh Kui-kok Lo-mo, usianya juga sudah tujuh puluh tahun, pakaiannya serba hitam dan bentuknya seperti pakaian seorang petani biasa saja. Karena pakaiannya serba hitam, maka rambutnya yang putih itu nampak jelas sekali, juga matanya! Sepasang matanya kelihatan putih tanpa manik dan mata itu jarang sekali bergerak! Kiranya kakek ini adalah seorang buta! Dia tidak dapat melihat sama sekali, akan tetapi mengapa semua orang yang hadir di situ, yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum sesat yang berilmu tinggi dan tak mengenal takut, kini kelihatan gentar menghadapinya? Karena dia adalah Siangkoan-lojin (Kakek Siangkoan)! Dia tidak mempunyai julukan, dan tidak ada orang yang berani memberinya julukan walaupun kedua matanya buta karena takut akan hukumannya. Kakek ini bahkan tidak sudi ditarik masuk menjadi anggauta Cap-sha-kui, karena dia merasa lebih tinggi. Seorang kakek yang kelihatannya seperti petani biasa saja, namun yang memiliki pengaruh luar biasa besarnya dan seluruh tokoh kaum hitam itu takut belaka kepadanya! Karena kepandaiannya yang amat tinggi dan karena kekejaman dan keganasannya. Sekali orang dianggap bersalah kepadanya, kemanapun orang itu lari bersembunyi, akhirnya tentu akan terjatuh ke tangannya dan akan tewas dalam keadaan mengerikan. Nama Siangkoan-lojin saja sudah cukup membuat seorang penjahat yang paling sadis menjadi pucat mukanya. Siangkoan-lojin adalah seorang aneh yang menyembunyikan dirinya di Pegunungan Kun-lun-san. Dia sendiri tidak pernah turun dari gunung. Kehidupannya mewah karena para tokoh sesat selalu memberinya semacam upeti yang amat berharga, hanya untuk menerima berkah dan petunjuknya sedikit saja. Baru setengah tahun lamanya dia turun gunung, tinggal di kota Pao-chi di Propinsi Shen-si sebagai seorang tuan tanah yang kaya raya walaupun pakaiannya sebagai seorang petani sederhana. Di dalam sebuah rumah yang mirip istana, dia tinggal bersama seorang putera tunggalnya dan belasan orang wanita muda cantik yang bertugas sebagai pelayan dan juga sebagai selir-selirnya. Isterinya sudah lama meninggal ketika putera tunggalnya masih kecil. Kakek ini mempunyai beberapa orang murid yang lihai, akan tetapi murid-muridnya itu hanya diberinya sebagian saja dari ilmu-ilmunya yang tinggi, yang semuanya hendak diwariskan kepada putera tunggalnya yang pada waktu itu berusia delapan belas tahun. Demikianlah sedikit keadaan Siang-koan-lojin. Cap-sha-kui sendiri selalu memandang kakek buta ini sebagai seorang datuk yang mereka hormati. Dan sesungguhnya, pertemuan rahasia yang diadakan pada malam hari itu adalah atas kehendak Siangkoan-lojin akan tetapi dilaksanakan oleh Cap-sha-kui.
ASMARA BERDARAH JILID 018
(↕)
Siangkoan-lojin sendiri, setelah pindah dan bertempat tinggal di Pao-chi, hidup dalam dua dunia. Yang satu di dunia kaum sesat dimana dia didewa-dewakan dan ditakuti. Yang kedua di dunia biasa, dimana dia hidup sebagai seorang tuan tanah tua yang kaya raya dan royal menyogok para pejabat, juga terkenal dermawan, royal sekali mengeluarkan uang menolong mereka yang membutuhkan bantuan.
Pendeknya, dalam pergaulan umum, dia adalah seorang tua renta yang buta akan tetapi kaya dan dermawan, dan tidak ada seorangpun yang pernah mengira bahwa dia adalah raja datuk kaum sesat! Bahkan para pendekar sudah mendengar berita angin tentang adanya datuk iblis yang bermata buta sehingga diantara para pendekar muncul sebutan Iblis Buta. Akan tetapi tidak ada seorangpun diantara para pendekar pernah melihatnya.
"Maafkan kami, lojin, kami hanya berlatih," kata Kui-kok Lo-mo dengan sikap hormat dan suara merendah.
"Benar, lojin, kami hanya main-main, aku hanya minta petunjuk dari Lo-mo," sambung Tho-tee-kwi sambil tersenyum menyeringai.
"Diam!" bentak kakek buta itu dan suaranya yang lirih itu ternyata mempunyai daya getaran yang menusuk jantung, membuat wajah kakek raksasa yang menyeringai tadi tiba-tiba saja berobah pucat. "Kalian sedang berusaha mati-matian untuk saling bunuh, betapa tololnya. Kalau memang bosan hidup, beritahu saja padaku dan aku akan mengantar kalian ke neraka!"
Sungguh pedas ucapan ini dan dua orang kakek itu mendengarkan dengan muka merah dan alis berkerut, namun mereka tidak berani berkutik.
"Keadaan kita sedang diancam musuh dan kalian tidak bersatu malah bentrok sendiri, betapa menjemukan. Hayo semua berkumpul!"
Seperti lagak seorang guru memanggil berkumpul semua anak-anak muridnya, Siangkoan-lojin melangkah maju ke tengah tanah datar itu, lalu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, tak bergerak seperti patung batu. Kakek ini sekarang kelihatan mengerikan. Kayu cendana hitam yang dijadikan tongkat itu berkilap tertimpa sinar bulan purnama dan kedua matanya yang melek terus itu kelihatan putih menyeramkan. Rambutnya yang putih seperti benang-benang perak berkibar tertiup angin malam yang membuat hawa menjadi dingin sekali.
Kini bermunculanlah banyak orang dari tempat dimana tadi mereka setengah sembunyi begitu muncul kakek buta. Diantara mereka, banyak yang belum pernah bertemu dengan Siangkoan-lojin, baru mendengar namanya saja dan sepak terjangpya, maka kini mereka muncul dengan muka diliputi ketakutan setelah melihat betapa kakek buta itu dengan bengis memarahi dua orang datuk utama dari Cap-sha-kui itu.
Ada dua puluh satu orang termasuk Siangkoan-lojin yang hadir. Mereka ini masing-masing mempunyai anak buah yang cukup banyak, akan tetapi anak buah mereka tidak diperbolehkan naik ke lereng itu, hanya menanti di bawah, di dalam hutan-hutan. Selain tidak berani membawa anak buah, juga anak buah mereka masih kurang pandai untuk dapat mencapai tempat yang amat sukar didatangi itu.
Tempat itu dikelilingi jurang yang curam dan di sebelah utara terdapat sebatang sungai yang liar airnya dan banyak batu-batu karang sehingga amat berbahaya kalau naik perahu melewatinya. Pula, dari sungai yang agak ke bawah itu, tidak mudah pula untuk mendaki ke atas tebing walaupun sungai itu dan dataran ini tidak jauh lagi dan suara gemercik air bermain-main dengan batu-batu karang itu dapat terdengar dari tempat pertemuan rahasia itu. Diahat dari atas, sungai yang ditimpa sinar bulan purnama nampak seperti jalan perak yang berkilauan.
"Hanya ada dua puluh dua orang semuanya?"
Tiba-tiba Siangkoan-lojin bertanya dan pertanyaan ini membuat semua orang mulai menghitung-hitung dan merekapun tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa jumlah mereka semua memang dua puluh dua orang. Bagaimana seorang buta dapat menghitung orang begitu banyak dengan tepat? Padahal, mereka yang dapat melihat saja tidak dapat menghitung dengan cepat dan mudah!
Tentu saja, tokoh-tokoh seperti Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, apalagi tiga orang tokoh utama Cap-sha-kui seperti Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, juga Tho-tee-kwi, tidak merasa heran. Mereka sudah tahu bahwa kakek yang buta ini memiliki perasaan yang amat peka, pendengaran dan penciuman yang melebihi seekor kijang atau anjing.
Dengan mengandalkan telinga dan hidungnya saja dia sudah dapat menghitung jumlah orang yang hadir, dengan mengikuti gerak-gerik mereka dengan telinganya, dan mencium bau yang berlainan dengan hidungnya. Bahkan dalam perkelahian, kakek yang tidak dapat melihat lagi itu dapat mengandalkan ketajaman pendengarannya sehingga setiap gerakan lawan dapat diketahuinya dengan seksama, bahkan lebih cepat daripada daya tangkap penglihatan mata yang kadang-kadang kabur.
"Benar, lojin. Yang hadir ada dua puluh dua orang." kata Kiu-bwee Coa-li.
"Hemm, dan berapa orang dari Cap-sha-kui?"
"Ada tujuh orang, lojin."
Kui-kok Lo-bo yang kini ikut bicara karena iapun hendak memberitahukan raja datuk itu bahwa iapun hadir.
"Tujuh orang? Siapa dia?" Siangkoan-lojin bertanya, alisnya yang putih berkerut.
"Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Tho-tee-kwi, Kui-kok Lo-mo, aku sendiri dan lojin..."
Terdengar kakek itu mengeluarkan suara bentakan melengking dan semua orang terkejut. Kui-kok Lo-mo hendak memperingatkan isterinya, namun terlambat karena tahu-tahu kakek buta itu telah mencelat ke depan, tongkatnya menyambar dan Kui-kok Lo-bo menjerit lalu roboh terlentang, ujung tongkat menempel di lehernya.
Kiranya kakek buta itu belum membunuhnya, baru merobohkan dan menempelkan ujung tongkat di leher nenek itu!
"Mulut lancang! Kau samakan aku dengan cacing-cacing Cap-sha-kui?"
Kui-kok Lo-bo terkejut dan baru teringat akan kebodohannya, wajahnya yang sudah pucat sekali itu berobah menjadi kehijauan.
"Lojin, ampunkan aku..." ia meratap.
"Lojin, harap maafkan ia," kata pula Kui-kok Lo-mo dengan kaget ketika melihat nyawa isterinya terancam maut tanpa dia dapat menolongnya itu.
Iblis buta itu mendengus dengan nada mengejek.
"Kalau aku tidak mengampuninya, apakah sekarang ia masih tinggal hidup? Perempuan lancang, engkau menyesal telah bersalah kepadaku?"
"Aku menyesal," kata Lo-bo sambil bertunduk.
"Nyatakan penyesalanmu dengan mencium ujung sepatuku!" kata pula Iblis Buta.
Semua orang terkejut dan memandang dengan hati tegang dan wajah pucat. Itulah penghinaan yang amat hebat! Akan tetapi, hampir mereka tidak percaya akan pandang mata mereka sendiri ketika melihat nenek berwajah mayat yang biasanya amat galak dan kejam itu kini berlutut dan mencium ujung kaki sepatu Si Iblis Buta!
"Sekali lagi!" bentak iblis itu dan Lo-bo dengan taat mencium satu kali lagi, membuat semua orang menahan napas saking herannya.
"Sudah, mundurlah dan mari kita lanjutkan pertemuan ini," kata kakek buta itu dengan sikap dan suara seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. "Kita berkumpul disini untuk mengadakan pertemuan dan membicarakan keadaan yang menyangkut keamanan pekerjaan kita semua. Kalian tahu bahwa besok hari para pendekar mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu dengan acara pokok menentang dan berusaha menumpas kita semua."
Hening sejenak setelah Iblis Buta berhenti bicara, kemudian, bagaikan bendungan air yang bobol, mereka itu serentak berteriak-teriak,
"Hancurkan manusia-manusia sombong itu!"
"Bunuh semua pendekar!"
"Serang mereka pada pertemuan itu!"
Si kakek buta mengangkat tongkatnya ke atas dan suara gaduh itu berhenti.
"Mengadakan perlawanan memang harus, akan tetapi menghadapi para pendekar kita harus berhati-hati karena diantara mereka terdapat orang-orang yang sakti. Tidak mungkin menggunakan kekerasan dan harus diatur sebaik-baiknya. Sekarang, sebelum kita mengatur siasat lebih lanjut, aku ingin mendengarkan pelaporan kalian masing-masing tentang keadaan di daerah kalian masing-masing dan tentang gerakan para pendekar."
Dengan suara yang dialeknya berbeda-beda, mereka yang hadir mulai bercerita satu demi satu, didengarkan penuh perhatian oleh Siangkoan-lojin. Seorang yang datang dari daerah kota raja melapor,
"Lojin, anak buah kami membayangi kaisar yang sedang lolos dari istana melakukan perjalanan seorang diri menyamar sebagai orang biasa. Diam-diam dia dibayangi dan dilindungi oleh dua orang perwira istana yang juga menyamar sebagai orang biasa. Kami ragu-ragu untuk turun tangan. Harap lojin memberi petunjuk."
"Jangan ganggu kaisar! Jangan mengganggu seujung rambutnya. Aku sendiri akan membunuh siapa yang berani mengganggunya!"
Tiba-tiba kakek buta itu berseru. Para tokoh Cap-sha-kui yang sudah mengerti, tidak merasa heran, akan tetapi tidak demikian dengan para tokoh lain. Seorang yang bertubuh cebol dan berkepala botak, yang matanya merah dan sikapnya menjilat-jilat lalu maju bertanya.
"Maaf, lojin yang mulia. Akan tetapi kami sungguh belum mengerti. Apakah kita semua sekarang harus menjadi kaki tangan dan pembantu kaisar? Bukankah pekerjaan kita semua selalu bertentangan dengap pemerintah?"
"Bodoh! Dengarkan kalian semua. Selama istana dikuasai oleh Liu-thaikam seperti sekarang ini, kita dapat hidup aman. Kita dapat bekerja sama dengan para pejabat di manapun juga asal kita mau membagi hasil kita dengan mereka. Dan selama Kaisar Ceng Tek yang muda ini menduduki tahta, Liu-thaikam dapat menguasainya. Kalau kaisar kita ganggu, berarti kita mengganggu Liu-thaikam, dan kalau sampai Liu-thaikam kehilangan kekuasaannya, kita tidak mempunyai sahabat lagi di pemerintahan, berarti kita menjadi orang yang selalu diburu-buru oleh para petugas pemerintah. Jadi, kita harus melindungi kaisar agar Liu-thaikam tetap dapat berkuasa dan kitapun tidak akan dimusuhi pemerintah, mengerti?"
Semua orang mengangguk.
"Aihh, kalau begitu, kita harus menyelamatkan kaisar. Pada saat ini ada pihak lain yang mempunyai niatan buruk, menculik kaisar dalam penyamarannya."
Iblis Buta mengerutkan alianya.
"Bukankah kau katakan bahwa ada dua pengawal rahasia yang melindungi kaisar?"
"Akan tetapi, lojin. Sekali ini yang mengancam keselamatan kaisar adalah orang-orang Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja)!" kata pula si cebol berkepala botak.
Iblis Buta mendengus.
"Perkumpulan keras kepala yang tidak mau bergabung dengan kita! Heh, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, sanggupkah kalian mengerahkan teman-teman di muara Huang-ho untuk melindungi kaisar dan mengenyahkan Kang-jiu-pang yang hendak merusak itu?"
Koai-pian Hek-mo den Hwa-hwa Kui-bo sudah tahu siapa adanya Perkumpulan Kepalan Baja itu, dan mereka merasa bangga mendapatkan kepercayaan Iblis Buta di depan para tokoh, maka mereka berdua serentak menyatakan sanggup.
"Bagus, setelah selesai urusan kita disini, kalian harus dengan cepat pergi melakukan tugas dan keselamatan kaisar kuserahkan kepada kalian," kata pula kakek buta.
Memang bagi kakek ini, keselamatan Kaisar Ceng Tek amatlah penting. Dia mengenal Liu Kim atau Liu-thaikam dengan baik, bahkan terjadi semacam kerja sama antara mereka. Beberapa kali thaikam itu minta bantuan Siangkoan-lojin untuk mengenyahkan musuh-musuh rahasianya, yaitu para pembesar yang menentangnya dan yang menghendaki kaisar terbebas dari kekuasaannya.
Tugas itu dilaksanakan oleh Siangkoan-lojin, yang menyuruh anak buahnya, dengan mudah dan baik. Beberapa orang musuh itu lenyap secara aneh dan tak ditemukan mayat-mayat mereka. Tentu saja Iblis Buta memperoleh kepercayaan dan sebaliknya, iblis ini melalui kaki tangannya juga memperoleh restu berupa surat-surat ijin dari thaikam itu untuk membuka bermacam usaha seperti usaha rumah pelacuran, perjudian dan sebagainya lagi.
"Ada dua tugas yang agak berat namun penting sekali," sambungnya lagi. "Demi keamanan kita semua, ada dua orang pembesar yang harus dilenyapkan. Yang seorang adalah Menteri Liang, yaitu Menteri Kebudayaan yang istananya berada di kota raja. Kuserahkan tugas ini kepada Kiu-bwee Coa-li, tentu saja kalau nenek itu berani!"
Mendengar demikian, Kiu-bwee Coa-li membunyikan cambuknya.
"Tar-tar-tarr..! Lojin anggap saja bahwa nyawa orang she Liang itu sudah berada di tanganku. Kapan aku harus membunuhnya, lojin? Sekarang juga aku berangkat!"
ASMARA BERDARAH JILID 019
(↕)
"Hemm, nenek sombong, jangan tergesa-gesa dan jangan terlalu membual. Kalau engkau gagal, aku akan menghukummu! Jangan sembrono, di samping menteri yang lemah itu terdapat seorang selirnya dan seorang anak perempuannya yang cukup lihai karena mereka itu murid-murid Shan-tung Sam-lo-eng."
“Heh-heh-heh, lojin. Jangankan baru murid-muridnya, biar mereka bertiga sendiri hadir, aku tidak akan takut," Kiu-bwee Coa-li yang memang berwatak sombong itu tertawa.
"Baik, akan tetapi tunggu sampai urusan kita selesai, baru kau boleh berangkat melaksanakan tugasmu. Sekarang pembesar kedua yang harus dienyahkan, dia adalah Ciang-goanswe (Jenderal Ciang), panglima nomor dua di kota raja. Siapa berani memegang tugas ini?"
Semua orang melongo, Ciang-goanswe adalah seorang jenderal besar. Sebagai panglima nomor dua, dia memimpin laksaan orang pasukan!
"Akan tetapi... mana mungkin membunuh seorang panglima yang menguasai ratusan ribu orang pasukan? Siapa sanggup dan mungkin dapat berhasil melakukan tugas ini tanpa bantuan pasukan besar pula, lojin? Dan mengerahkan pasukan besar berarti pemberontakan dan perang..."
Pertanyaan ini keluar dari mulut seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang nampak gagah perkasa akan tetapi juga menyeramkan karena mukanya penuh dengan cambang bauk yang lebat dan hitam. Sepasang matanya besar dan gerek-geriknya kasar akan tetapi pada mulutnya terbayang sifat yang kejam dan suka mempergunakan kekerasan.
Agaknya pertanyaan yang diajukan ini berkenan di hati semua orang, karena terdengar bisik-bisik dan suasana menjadi gaduh sampai Iblis Buta mengangkat tongkatnya ke atas. Suasana kembali tenang dan sunyi.
"Kalian semua bodoh kalau berpendirian demikian. Memang, Ciang-goanswe adalah seorang panglima yang memimpin ratusan ribu orang tentara. Akan tetapi, diapun seorang manusia biasa dan tidaklah mungkin kalau selamanya dia berada diantara ratusan ribu pasukannya! Sekali waktu tentu dia akan menyendiri, dengan keluarganya saja, dan penjagaan atas gedungnya tidak akan sekuat penjagaan di istana. Kalau orang berpikiran cerdik, tidak seperti kalian yang tolol, tentu akan dapat menemukan dia dalam keadaan jauh dari para pasukannya. Nah, karena pentingnya tugas ini, kuserahkan saja kepada sepasang Kui-kok Lo-mo dan Lo-bo. Sanggupkah kalian?"
Suami isteri tua itu saling pandang.
"Kami sanggup." Akhirnya Kui-kok Lo-mo berkata.
"Bagus! Itulah tugas yang perlu kalian kerjakan. Setelah urusan kita di sini beres, kalian lakukan tugas-tugas itu dan kemudian hasilnya laporkan kepadaku. Sekarang, setelah selesai urusan yang menyangkut kaisar, siapa lagi yang ada laporan?"
Dia berhenti sebentar, menengok ke kanan kiri, bukan untuk memandang melainkan untuk mendengarkan dan menyambung,
"Bukankah kalian sebelum berkumpul disini sudah menyelidiki tentang pertemuan para pendekar? Siapa saja yang akan hadir dan apakah kalian sudah bertemu dengan beberapa orang diantara mereka?"
Tiba-tiba kakek itu mengayunkan tongkatnya ke kiri.
"Blarrrrr...!"
Ujung batu karang yang menonjol disitu, yang tadi pernah diraba-rabanya, pecah berantakan dan melayang ke arah api unggun yang baru saja dibikin oleh seorang diantara mereka. Api unggun itu padam dan kayunya terlempar ke mana-mana, dan ada beberapa orang yang terkena kayu terbakar dan pecahan batu karang.
Akan tetapi karena mereka semua adalah golongan orang yang pandai, tidak ada yang sampai terluka parah. Semua orang terkejut dan semakin kagum karena si buta itu ternyata hebat luar biasa, dapat mengetahui adanya api unggun dan dapat memadamkannya secara demikian luar biasa.
"Bodoh! Apa artinya pertemuan rahasia kalau kau menyalakan api unggun yang akan menciptakan sinar yang nampak dari jauh dan mengeluarkan bau yang dapat tercium dari tempat jauh?" bentaknya.
"Ampun, lojin, maksudkan hanya untuk mengusir nyamuk..."
"Kalau aku tidak tahu begitu, tentu batu itu menghancurkan benakmu dan bukan memadamkan api saja," kata pula Iblis Buta. "Nah, siapa membuat laporan?"
"Aku bertemu dengan seorang gadis remaja dan seorang pemuda yang amat lihai. Bahkan aku banyak kehilangan ular-ularku ketika melawan mereka. Sungguh, belum pernah seumur hidupku bertemu dengan gadis dan pemuda yang semuda itu namun selihai itu. Masing-masing dari mereka saja mampu menandingiku dan mungkin aku dapat mengalahkan mereka satu demi satu, akan tetapi menghadapi pengeroyokan mereka, terpaksa aku harus melarikan diri. Hebat, dan aku tidak sempat mengenal ilmu mereka, tidak pula tahu siapa mereka. Pasti mereka hendak menghadiri rapat pertemuan para pendekar."
Berita ini amat tidak menggembirakan Si Iblis Buta, juga para tokoh sesat disitu merasa gelisah. Kalau dua orang muda dapat menandingi Kiu-bwee Coa-li itu berarti bahwa di pihak para pendekar terdapat orang-orang lihai sekali, padahal mereka masih begitu muda!
"Aku sempat bertemu dengan suami isteri setengah tua yang menjadi murid Bu-tong-pai, dan aku berhasil membunuh mereka yang juga hendak menghadiri pertemuan para pendekar," kata pula seorang tokoh lain yang suaranya mirip bunyi tikus, mencicit.
Ada pula yang melapor telah berhasil melukai seorang peserta pertemuan para pendekar, ada lagi yang melaporkan telah membunuh beberapa orang calon peserta dengan cara meracuni mereka. Pendeknya, laporan-laporan itu amat menyenangkan si Iblis Buta dan dia mengangguk-angguk sambil berkali-kali menyatakan senang hatinya.
"Bagus, bagus... biarkan mereka tahu bahwa kita tidak tinggal diam dan kita bukanlah golongan lemah!"
Tiba-tiba si cebol botak yang tadi pernah bicara, maju ke depan sambil menyeret sebuah buntalan.
"Lojin, semua yang dihasilkan kawan-kawan itu masih tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan yang kuhasilkan!" katanya menyombong dan dengan sikap menjilat.
Iblis Buta mengerutkan alisnya dan telinganya yang lebih lebar daripada telinga biasa itu nampak memperhatikan sekali. Kalau orang mau memperhatikan daun telinganya, di waktu dia mencurahkan pendengarannya itu, akan melihat betapa daun telinganya sedikit bergerak-gerak.
"Jangan banyak cakap, buat laporan singkat yang betul!" katanya.
"Lojin, dalam perjalanan ke sini, aku menghadang keluarga pelancong. Kubunuh ayah ibunya, kuperkosa anak gadisnya dan harta rampasan yang kuperoleh juga lumayan. Lalu muncul seorang pendekar dari selatan yang mengaku anak murid Kong-thong-pai. Jumlah mereka ada tiga orang. Aku berhasil melukai seorang, membunuh seorang dan menawan yang seorang lagi."
"Kenapa ditawan?"
"Ha-ha, ia seorang gadis cantik dan maksudku untuk mempersembahkannya kepadamu, lojin. Sayang, yang terluka dapat melarikan diri."
"Mana tawanan itu?"
Si cebol botak lalu melepaskan buntalan dan di dalamnya ternyata terdapat seorang gadis yang cukup cantik dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Gadis itu berpakaian pendekar dan ia segera menggulingkan tubuhnya dan biarpun kaki tangannya terbelenggu, ia berusaha untuk memberontak.
"Hemm, kiranya para iblis kaum sesat berkumpul disini! Tunggu saja, kalian akan dihancurkan oleh para pendekar..."
Tiba-tiba suaranya terhenti dan tubuhnya mengejang dan tewaslah wanita perkasa itu ketika Iblis Buta menggerakkan tongkatnya menuding ke arahnya. Tidak ada yang melihat bagaimana hanya dengan menudingkan tongkat ke arah wanita itu orangnya lalu mengejang dan mati.
Akan tetapi para tokoh Cap-sha-kui dapat melihat sinar halus menyambar ke arah leher si gadis dan ternyata dari ujung tongkat itu menyambar senjata rahasia berupa jarum halus sekali yang menyambar tanpa bunyi, hanya mendatangkan cahaya berkilat halus dan hampir tak nampak.
Si cebol botak terkejut bukan main melihat betapa Iblis Buta membunuh korban yang dipersembahkannya itu.
"Tapi... tapi... kenapa...?" teriaknya gagap.
"Manusia tolol! Engkau malah membuka rahasia kita dan membiarkan pihak musuh mengetahui segalanya? Gadis pendekar itu tadi mendengarkan semua percakapan kita! Dan siapa tahu ada temannya yang membayangimu sampai kesini. Bukankah yang seorang kau biarkan lolos?"
"Tapi dia terluka..."
"Apa kau kira tidak ada orang lain yang dapat mendengarkan pelaporannya? Tolol, engkau malah mengkhianati kami!"
Tiba-tiba kakek itu menudingkan tongkatnya lagi. Si cebol botak itu cukup lihai. Melihat demikian, dia dapat menduga bahwa Iblis Buta hendak membunuhnya seperti yang telah dilakukannya terhadap gadis tadi, maka cepat meloncat ke belakang, bersembunyi di belakang tubuh Kiu-bwee Coa-li untuk kemudian melarikan diri.
Dan memang benar Iblis Buta tidak menyerangnya dengan jarum halus. Akan tetapi si cebol botak itu salah duga kalau dia akan dapat melarikan diri dengan mudah. Sebelum dia tahu apa yang akan terjadi, terdengar suara meledak dan cambuk di tangan Kui-bwee Coa-li bergerak melilit kakinya dan sekali menggerakkan cambuknya, tubuh si cebol botak itu terlempar ke depan kaki Iblis Buta.
"Brukkkk!"
Si cebol terbanting dan dia terbelalak ketakutan. Akan tetapi sambil mendengus Iblis Buta menggerakkan tongkatnya. Hanya terdengar suara "tuk!" perlahan ketika ujung tongkat menyentuh tengkuk si cebol botak, akan tetapi akibatnya hebat sekali. Tubuh si cebol botak itu bergulingan, dari mulutnya terdengar suara merintih-rintih, kaki tangannya berkelojotan, dan dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah segar!
Akan tetapi yang lebih mengerikan lagi, semua orang yang berada disitu tertawa-tawa geli dan gembira, seolah-olah mereka sedang menonton pertunjukan lawak yang menyegarkan! Demikianlah watak mereka ini. Padahal yang sedang sekarat dan tersiksa oleh rasa nyeri hebat itu adalah seorang rekan mereka sendiri!
Kita dapat dengan mudah melihat betapa kejamnya hati mereka itu. Akan tetapi kalau kita mau bersikap waspada dan mengamati diri sendiri, sekali waktu kita akan terkejut dan mungkin juga merasa ngeri betapa di dalam batin kitapun bisa terdapat kekejaman seperti itu.
Betapa mudahnya bagi kita untuk mentertawakan dengan hati geli melihat orang yang sedang disiksa oleh kenyerian, bahkan sekali waktu kita seperti merasa terhibur dan diperingan penderitaan batin kita kalau melihat orang lain juga menderita!
Namun, karena kita tidak pernah mau mengamati diri sendiri, kita tidak tahu akan sifat yang mengerikan dalam diri kita ini, yang tiada bedanya dengan apa yang diperlihatkan oleh para tokoh hitam itu! Dan, tanpa melakukan pengamatan kepada diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat melihat kekotoran diri sendiri. Dan, tanpa melihat kekotoran diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat merobahnya, tidak akan mungkin diri menjadi bebas daripada kekotoran itu.
Bahkan ketika si cebol botak masih berkelojotan dalam sekarat, percakapan mereka lanjutkan, seperti orang yang bercakap-cakap sambil melihat tontonan tari-tarian dan mendengarkan nyanyian.
"Sekarang kita harus melakukan persiapan. Kita mendekati Puncak Bukit Perahu dari selatan, dan kalau kita melihat bahwa kekuatan mereka itu tidak berapa besar, kita kurung dan serbu mereka! Kita hajar mereka habis-habisan biar mereka tahu diri! Coba sebutkan berapa jumlah pengikut kalian masing-masing yang sudah siap untuk dapat dipergunakan besok pagi?" kata pula si Iblis Buta.
Mereka semua menyebutkan jumlah pengikut yang sudah siap dan ternyata jumlahnya tidak kurang dari dua ratus orang! Mendengar ini, wajah Iblis Buta berseri.
"Cukup, lebih dari cukup. Tugas anak buah hanya untuk menyerbu dan mengacaukan saja, dan kita yang akan berpestapora membunuhi mereka. Besok pagi-pagi kita harus sudah siap bersembunyi di dalam hutan selatan puncak, membiarkan mereka berkumpul semua seperti tikus-tikus dalam sebuah lubang, tinggal membasmi saja!"
ASMARA BERDARAH JILID 020
(↕)
Tiba-tiba Iblis Buta itu mengangkat tongkatnya dan mengisyaratkan agar semua orang diam. Dia sendiri lalu melangkah ke kanan, mendekati tebing dari mana dapat kelihatan sungai yang liar itu Dia miringkan kepala, memasang telinga ke arah anak sungai itu.
Semua orang ikut memandang dan tidak melihat sesuatu, juga yang mereka dangar hanya gemerciknya air sungai. Akan tetapi agaknya Iblis Buta itu mendengar sesuatu yang tidak terdengar oleh orang lain. Dan semua orang saling pandang dengan gelisah dan jantung berdebar karena memang benar, lapat-lapat kini merekapun mulai dapat mendengar suara yang-kim.
Yang-kim adalah semacam siter yang memakai senar-senar kawat berbunyi nyaring melengking dan kini di antara gemercik suara air itu terdengar suara yang-kim dimainkan orang! Dan tak lama kemudian nampaklah pemain yang-kim itu! Di bawah sinar bulan purnama yang seperti perak, nampak sebuah perahu meluncur perlahan di atas air yang liar itu. Sungguh mengejutkan sekali bagaimana orang dapat naik perahu enak-enakan main yang-kim di atas air yang demikian liar dan banyak dihalangi batu-batu menonjol.
Dan pemain yang-kim itu adalah seorang kakek. Tidak nampak jelas bentuk mukanya, akan tetapi dari atas dapat dilihat bahwa jenggot kakek itu panjang sampai ke dada dan suara yang-kimnya demikian nyaring, tidak seperti yang-kim biasa sehingga suaranya dapat menusuk-nusuk anak telinga para tokoh hitam yang melihat dan mendengarkan dari atas tebing.
Mula-mula yang-kim itu memainkan lagu perlahan dan lambat, nada suaranya satu-satu memasuki telinga demikian nyaringnya sehinga lama-lama menjadi tajam menusuk. Makin lama nada-nada suara itu makin cepat berlomba dan akhirnya menyerbu ke dalam telinga seperti badai mengamuk.
Beberapa orang tokoh sesat yang kurang kuat sin-kangnya sudah menjadi lemas dan mengeluh sambil menutupi telinga, akan tetapi suara itu seolah-olah dapat menembus tangan yang dipakai menutupi telinga. Bahkan tokoh-tokoh Cap-sha-kui seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo sudah duduk bersila melakukan siulian (samadhi) untuk memperkuat sin-kangnya menahan daya serangan suara yang-kim itu.
Tokoh-tokoh seperti sepasang suami isteri dari Kui-san-kok dan juga si raksasa baju hijau yang sudah memiliki tingkat kepandaian dan tenaga sin-kang amat tinggi, tidak terpengaruh oleh suara itu. Apalagi si Iblis Buta sendiri, dia tidak terpengaruh dan tentu saja dia marah melihat betapa suara yang-kim itu telah membuat anak buahnya menderita.
Akan tetapi, diapun tahu bahwa pemain yang-kim itu berada jauh di bawah tebing sehingga diapun tidak dapat mendekatinya. Akan tetapi, kakek buta ini memang hebat bukan main. Dari suara yang-kim itu dia dapat menentukan dimana letak perahu yang ditumpangi pemain yang-kim itu. Tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya bergerak ke kiri.
"Krakkk...!"
Ujung sebongkah batu besar pecah dan patah, kemudian sekali dia menyontekkan ujung tongkatnya, pecahan batu yang besarnya satu meter persegi itu telah meluncur ke bawah tebing, dan tepat sekali mengarah perahu dimana kakek berjenggot panjang masih bermain yang-kim!
Memang hebat sekali Siangkoan-lojin ini. Pendengarannya sedemikian tajamnya, tidak kalah oleh ketajaman pandang mata sehingga dalam keadaan buta itu dia tidak kalah "awas" dibandingkan orang yang tidak buta.
Para tokoh Cap-sha-kui menjenguk ke bawah dan dengan mata terbelalak dan wajah berseri memandang ke arah bongkahan batu besar yang meluncur dengan cepatnya menuju ke arah perahu kecil itu. Mereka menduga bahwa tentu perahu itu bersama penghuninya akan hancur lebur tertimpa batu yang demikian besar dan beratnya dari tempat yang demikian tingginya.
Akan tetapi, kakek berjenggot itu agaknya sama sekali tidak menjadi gugup melihat datangnya bongkahan batu besar yang berupa tangan maut menjangkaunya itu. Dengan tenang saja dia menggerakkan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya masih tetap memainkan yang-kim!
"Blarrrr...!"
Nampak debu mengepul dan bongkahan batu karang itu pecah berantakan dan terpental jauh, menimpa air mengeluarkan suara gaduh. Perahu kecil meluncur terus dan suara yang-kim terus terdengar makin menjauh, seolah-olah tidak pernah terganggu.
Iblis Buta yang memperhatikan semua peristiwa itu dengan telinganya, menarik napas panjang.
"Hemm, gara-gara si tolol ini!" katanya sambil menggerakkan kaki menyepak dan tubuh penjahat cebol botak yang sudah tak bergerak lagi itupun kena ditendangnya dan melayang menuruni tebing yang curam!
"Dia yang memancing datangnya orang pandai memata-matai tempat ini. Kita harus cepat bergerak menuju ke Puncak Bukit Perahu. Tunggu komandoku, jangan sembarangan bergerak. Kalau aku sudah turun tangan, barulah kalian boleh menyerbu. Sebelum aku turun tangan, jangan ada yang mendahuluiku. Mengerti?"
Bagaimanapun juga, peristiwa dengan penabuh yang-kim itu mengecutkan hati para tokoh hitam karena mereka maklum bahwa kakek berjenggot panjang itu benar-benar lihai. Kalau banyak yang seperti itu diantara para tokoh pendekar, berarti mereka akan menghadapi lawan yang tangguh.
Bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang lihai yang biasanya mengandalkan kekuatan sendiri. Apalagi mereka mempunyai anak buah yang banyak dan di tengah mereka terdapat pula Iblis Buta yang mereka percaya. Maka, biarpun peristiwa tadi mengecutkan hati mereka, bukan berarti bahwa mereka menjadi takut.
Pada keesokan harinya, Puncak Bukit Perahu telah dikurung oleh kurang lebih dua ratus orang gerombolan kaum sesat yang dipimpin oleh orang-orang pandai yang semalam telah mengadakan pertemuan rahasia itu. Mereka semua telah mengurung dan bersembunyi, siap menyerbu dengan senjata masing-masing, dan mereka tinggal menanti komando atau munculnya Iblis Buta yang hendak turun tangan paling dulu.
Akan tetapi, Iblis Buta yang mereka tunggu-tunggu itu tidak muncul sampai matahari naik tinggi dan keadaan puncak itupun sunyi-sunyi saja. Akhirnya, mereka melihat bayangan kakek bertongkat itu di puncak dan mendengar suara kakek itu menyumpah-nyumpah!
Karena melihat kakek itu sudah tiba, para gerombolan segera menyerbu ke atas dipimpin oleh kepala masing-masing, sambil berteriak-teriak buas. Akan tetapi, setelah mereka tiba di atas puncak, mereka termangu-mangu melihat kakek buta itu marah-marah dan mengamuk dengan tongkatnya, menumbangkan pohon-pohon dan meremukkan batu-batu.
Ternyata puncak itu kosong dan tidak nampak seorangpun pendekar di situ! Tahulah Iblis Buta Siang-koan-lojin bahwa rahasia penyerbuan itu telah bocor, bahwa para pendekar telah tahu akan rencana penyerbuan sehingga mereka itu menghindarkan bentrokan dan tidak jadi berkumpul di puncak itu! Dan teringatlah dia akan kakek berjenggot panjang pemain yang-kim semalam. Teringat pula dia akan si cebol botak yang menjadi biang keladi kegagalan ini.
Kini para tokoh menghadap Siangkoan-lojin.
"Sekarang, setelah kita gagal disini karena rahasia telah dibocorkan orang, kita tidak boleh gagal dalam tugas lain yang semalam telah kuberikan kepada kalian. Kita turun dari sini dan berangkat melakukan tugas masing-masing. Semua yang tidak kuberi tugas khusus agar waspada di tempat masing-masing dan kalau ada gangguan dari para pendekar, agar dapat bersatu-padu menghadapi mereka. Jangan cekcok dan bentrok sendiri seperti yang sudah-sudah. Kalau terjadi peristiwa penting, laporkan kepadaku. Sementara itu, boleh kita berpencar dan kalau bertemu dengan para pendekar, hajar dan hadang mereka!"
Setelah menerima perintah ini, merekapun bubaran meninggalkan Puncak Bukit Perahu. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo pergi bersama untuk melaksanakan tugas mereka ke Cin-an menghadapi perkumpulan Kang-jiu-pang yang kabarnya mempunyai niat buruk terhadap kaisar yang sedang melakukan perjalanan sendiri.
Kiu-bwee Coa-li juga pergi sendirian untuk melaksanakan tugasnya yang berbahaya, yaitu pergi dalam usahanya membunuh Menteri Kebudayaan Liang di kota raja. Kemudian sepasang suami isteri kakek nenek dari Kui-sen-kok itupun pergi berdua untuk pergi membunuh Jenderal Ciang yang merupakan tugas paling berat.
Tokoh-tokoh yang lain juga bubaran dan sebentar saja puncak itu menjadi sunyi kembali. Memang tidak mengherankan kalau para tokoh itu menjadi bingung dan Iblis Buta menjadi marah-marah. Mereka sudah mendapatkan keterangan jelas bahwa pada hari itu para pendekar mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi kenapa para pendekar itu tidak muncul dan tempat itu sunyi, tidak ada seorangpun pendekar datang ke tempat itu? Padahal, menurut penyelidikan beberapa orang anggauta gerombolan, sejak dua hari yang lalu sudah ada beberapa orang pendekar naik ke puncak.
Memang dugaan Iblis Buta itu tepat sekali. Para pendekar yang tadinya hendak menghadiri pertemuan para pendekar di puncak itu, malam tadi telah mendengar bahwa pertemuan itu dibatalkan dan semua orang diberi tahu bahwa golongan hitam, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri bersama munculnya Iblis Buta, nama yang amat menggemparkan kalangan pendekar ketika disebut, telah mulai bergerak, bahkan bermaksud untuk mengepung dan menyerbu.
"Kita tidak menghendaki bentrokan secara terbuka," demikian pemberitahuan itu melalui anak buah perkumpulan Pek-ho-pai (Perkumpulan Bangau Putih) yang para anggautanya terdiri dari murid-mu-rid Siauw-lim-pai. "Apalagi jumlah mereka amat banyak dan kita sendiri tidak mengadakan persiapan untuk melakukan pertempuran massal. Maka terpaksa pertemuan dibatalkan dan hendaknya para sahabat, dengan kelompok masing-masing mengadakan usaha perorangan untuk menentang para penjahat dan membendung menjalarnya pengaruh mereka."
Pek-ho-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah para murid Siauw-lim-pai yang mempelopori pertemuan para pendekar itu. Nama Pek-ho-pai dikenal dan dihormati para pendekar maka undangan perkumpulan ini mendapatkan banyak sambutan. Pek-ho-pai dipimpin oleh Hwa Siong Hwesio, seorang tokoh tingkat tinggi dari Siauw-lim-pai dan karena dia seorang tokoh Siauw-lim-pai ahli Ilmu Si-lat Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih), maka diapun mendirikan perkumpulan Pek-ho-pai itu melihat berkembangnya para muridnya dan untuk mengikat para murid itu ke dalam sebuah perkumpulan agar mudah diawasi dan dapat dikendalikan.
Perkumpulan ini berada di kota Pao-ting dan karena Hwa Siong Hwesio sendiri sudah terlalu tua, sudah mendekati sembilan puluh tahun usianya, maka perkumpulan itu diserahkan kepengurusannya kepada murid-murid kepala. Akan tetapi ketika Hwa Siong Hwesio mendengar akan kekacauan yang terjadi di mana-mana, apalagi mendengar bahwa Cap-sha-kui gentayangan seperti iblis-iblis keluar dari neraka, dia merasa prihatin dan segera mengusulkan diadakannya pertemuan para pendekar untuk membicarakan urusan yang menyangkut keamanan rakyat jelata itu.
Akan tetapi, pada malam hari itu, perkumpulan Pek-ho-pai kedatangan seorang tamu, seorang kakek berjenggot panjang yang membawa yang-kim di punggungnya. Kakek inilah yang menyampaikan berita rencana para tokoh sesat yang mengadakan pertemuan rahasia, rencana untuk mengurung dan menyerbu Puncak Bukit Perahu pada saat para pendekar sedang berkumpul. Dan kakek berjenggot ini yang memberitahukan betapa kuatnya kedudukan para penjahat itu karena selain Cap-sha-kui yang diduga telah datang dengan lengkap, disertai anak buah mereka, juga muncul Iblis Buta yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu.
Mendengar berita mengejutkan ini, para murid kepala Pek-ho-pai lalu menyebar murid-murid mereka untuk menghadang dan memberi tahu para pendekar yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu bahwa pertemuan dibatalkan dan membagi-bagikan selebaran mengenai pembatalan itu. Karena usaha ini, maka ketika para kaum sesat itu datang menyerbu, mereka mendapatkan tempat kosong!
Siapakah kakek berjenggot panjang membawa yang-kim itu? Kakek inilah yang nampak dari atas tebing oleh para datuk sesat, yang memainkan yang-kim di atas perahunya dan yang diserang oleh Iblis Buta dari atas tebing.
Dia adalah seorang pendekar tua yang suka berkelana seorang diri, diantara para pendekar dia disebut Shantung Lo-kiam (Pendekar Pedang Tua Dari Shantung). Dia orang termuda dari Shantung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua Shantung), dua orang suhengnya telah meninggal dunia dan dia sendiri sudah berusia delapan puluh tahun.
Setelah tinggal seorang diri, dia suka berkelana dan sudah bertahun-tahun tidak banyak lagi mencampuri urusan duniawi, bahkan menanggalkan pedangnya dan menggantikannya dengan yang-kim karena sejak dahulu, Shantung Sam-lo-eng selain terkenal ilmu pedang mereka, juga terkenal sebagai sasterawan-sasterawan.
Akan tetapi, ketika melihat betapa dunia kaum sesat bergolak dan penjahat-penjahat itu bangkit, mengancam keamanan dan keselamatan rakyat, Shantung Lo-kiam terpaksa keluar juga, dan biarpun masih membawa yang-kimnya, namun diam-diam pedangnya digantungnya lagi di balik jubahnya dan dialah yang mengikuti gerak-gerik para penjahat sehingga secara kebetulan dia dapat mengetahui tentang pertemuan rahasia para penjahat itu.
Diapun mendengar akan undangan pertemuan para pendekar, maka setelah dia mengetahui rahasia para tokoh sesat, cepat-cepat dia mengunjungi Pek-ho-pai karena ketua Pek-ho-pai, yaitu Hwa Siong Hwesio, adalah seorang sahabat baiknya.
Demikianlah, pertemuan para pendekar dibatalkan demi keamanan, akan tetapi, para pendekar semakin waspada karena tahu bahwa Cap-sha-kui sudah bergerak, bahkan Iblis Buta yang tadinya hanya dikenal namanya saja, kini kabarnya turun tangan sendiri memimpin para gerombolan kaum sesat!
ASMARA BERDARAH JILID 021
(↕)
Seperti juga para pendekar lainnya yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu untuk menghadiri pertemuan para pendekar, Sui Cin yang sudah memisahkan diri dari Cia Sun, ketika berada di lereng bawah puncak, bertemu pula malam itu dengan seorang murid Pek-ho-pai. Ketika itu, Sui Cin sedang duduk seorang diri menanti datangnya pagi sambil membuat api unggun di bawah pohon, untuk mengusir nyamuk yang mengganggunya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan pendekar wanita ini tetap tenang saja. Ia tahu bahwa ada orang datang, akan tetapi karena ia tidak tahu siapa orang itu dan entah kawan atau lawan, maka ia bersikap tenang saja dan diam-diam mencurahkan seluruh kewaspadaannya berjaga diri.
"Nona, apakah nona seorang calon pengunjung pertemuan di Puncak Bukit Perahu?" tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah orang yang tadi bayangannya berkelebat itu dari balik batang pohon.
Kiranya dia seorang laki-laki setengah tua, berusia empat puluhan tahun dan bersikap gagah, pakaiannya serba putih. Pertanyaannya diajukan dengan suara sopan akan tetapi sikapnya ragu-ragu karena dia masih belum yakin benar apakah gadis remaja ini juga hendak mengunjungi pertemuan para pendekar.
Di lain fihak, Sui Cin tidak mengaku begitu saja kepada orang yang belum dikenalnya. Ia harus berlaku hati-hati, karena siapa tahu kalau-kalau orang ini termasuk fihak lawan.
"Apakah hubungannya keadaan diriku dengan engkau?" ia balas bertanya, pandang matanya penuh selidik dan penuh tantangan.
Laki-laki itu menjura.
"Kalau nona termasuk seorang calon pengunjung, kami datang membawa berita penting. Saya adalah anggauta Pek-ho-pai dan menerima perintah suhu untuk menyampaikan berita kepada para calon pengunjung."
"Berita apakah itu?" Sui Cin tertarik.
"Maaf, harap nona sudi memperkenalkan diri lebih dulu agar jangan sampai saya keliru melaksanakan tugas."
Sui Cin tersenyum. Dia dapat memaklumi keadaan orang yang menjadi utusan ini. Ia sudah mendengar bahwa Pek-ho-pai merupakan perkumpulan yang mempelopori pertemuan itu dan ia sudah mendengar pula bahwa Pek-ho-pai adalah perkumpulan yang merupakan cabang dari Siauw-lim-pai.
"Akupun boleh meragukan dirimu!" katanya dan tiba-tiba saja gadis ini sudah meloncat dari belakang api unggun dan langsung mengirim serangan-serangan kilat kepada orang itu!
Orang berpakaian putih itu terkejut setengah mati melihat betapa hebatnya serangan Sui Cin. Maka diapun cepat melindungi dirinya, menggunakan ilmu silatnya untuk mengelak dan menangkis, juga balas menyerang karena tanpa balas menyerang dia dapat celaka menghadapi lawan yang gerakannya amat cepatnya ini.
Akan tetapi, tentu saja Sui Cin tidak menyerang sungguh-sungguh, hanya memancing saja. Kalau ia sungguh-sungguh menyerang, tentu dengan mudah ia akan dapat merobohkan lawannya. Setelah ia melihat gerakan laki-laki itu yang membentuk kedua tangannya seperti paruh atau kepala burung bangau, menggunakan kelima ujung jari untuk mematuk atau menotok, baru ia percaya dan iapun melompat ke belakang.
"Engkau benar murid Siauw-lim-pai. Nah, ketahuilah bahwa aku hanya kebetulan lewat dan mendengar tentang pertemuan para pendekar itu, maka aku ingin nonton. Namaku Ceng Sui Cin dan aku sama sekali bukan pendekar, hanya gadis biasa saja."
Tentu saja omongan ini tidak diperdulikan oleh murid Pek-ho-pai itu karena dari beberapa jurus serangan tadi saja tahulah dia bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang hebat dan memiliki kecepatan gerak yang luar biasa. Diapun tidak mengenal nama itu, akan tetapi sebagai peninjau, gadis inipun perlu diberi tahu.
"Maaf, nona. Saya diberi tugas memberitahukan kepada semua pengunjung bahwa pertemuan para Pendekar dibatalkan dan semua tamu diharap suka meninggalkan tempat ini sekarang juga karena Cap-sha-kui dan gerombolannya yang berjumlah besar sekali, didampingi pula oleh si Iblis Buta, besok akan mengurung dan menyerbu tempat ini."
Tentu saja Sui Cin terkejut mendengar berita itu, apalagi mendengar disebutnya nama Si Iblis Buta.
"Ah, kenapa tidak kita lawan saja?" teriaknya penasaran.
Yang datang berkumpul adalah para pendekar! Masa begitu mendengar bahwa tempat itu akan diserbu oleh golongan hitam, lalu para pendekar disuruh kabur begitu saja?
"Saya tidak dapat menerangkan banyak, nona. Akan tetapi demikianlah perintah suhu. Katanya tidak dikehendaki bentrokan terbuka, dan pihak musuh yang sudah lebih dahulu mempersiapkan diri, tentu jauh lebih banyak dan lebih kuat. Nah, selamat tinggal, nona. Saya harus memberi tahu para calon pengunjung yang lain." Orang itu melompat dan menghilang dalam gelap.
Untuk beberapa lamanya Sui Cin duduk kembali dan termenung. Ia tidak tahu persoalannya dan ia datang kesitu hanya untuk nonton saja. Ayah bundanya juga sudah memesan dengan keras agar tidak mencampuri urusan orang lain, dan jangan melibatkan diri ke dalam keributan.
Kini, mendengar bahwa tempat ini hendak diserbu oleh para penjahat, tentu saja iapun tidak boleh mencampuri. Apalagi ia sendiri belum tahu tindakan yang akan diambil oleh para pendekar. Sayang bahwa ia telah berpisah dari Cia Sun sehingga tidak ada yang dapat diajak berunding.
Selagi ia termenung, tiba-tiba berkelebat bayangan orang lagi. Karena tadinya membayangkan betapa tempat itu akan diserbu musuh, maka sekali ini berkelebatnya bayangan orang membuat Sui Cin terkejut dan iapun otomatis meloncat berdiri dan siap melawan siapa saja yang akan menyerangnya.
Akan tetapi orang itu tertawa ramah.
"Ha-ha, nona Ceng, apakah aku membuatmu terkejut? Maafkanlah kalau begitu, aku tidak sengaja mengejutkan hatimu."
Ceng Sui Cin memandang dengan hati lega. Wajah yang tampan itu berseri dan senyum itu ramah sekali. Iapun tersenyum dan seluruh urat syarat yang tadi sudah menegang kini kembali mengendur dan hatinya lega.
"Aih, kiranya engkau, saudara Sim Thian Bu." Lalu ia teringat akan berita dari murid Pek-ho-pai tadi. "Apakah engkau juga sudah mendengar akan berita yang dibawa murid Pek-ho-pai tadi?"
Pemuda yang baru datang itu adalah Sim Thian Bu. Wajahnya yang tadinya tersenyum berseri itu nampak terheran mendengar ucapan Sui Cin.
"Murid Pek-ho-pai? Berita tentang apa? Aku belum mendengarnya, nona."
"Baru saja dia datang kesini. Aku sudah mengujinya dan ternyata dia benar murid Pek-ho-pai karena dia mahir Ilmu Silat Bangau Putih. Dia membawa berita bahwa pertemuan para pendekar besok hari itu dibatalkan."
"Dibatalkan?" Sim Thian Bu nampak terkejut dan kecewa. "Aih, jauh-jauh aku datang untuk menghadiri pertemuan dan belajar kenal dengan para pendekar... wah, nona, kenapa dibatalkan?"
"Karena besok tempat ini akan dikurung dan diserbu oleh para penjahat..."
"Hemmm..."
"Kaum sesat itu berjumlah banyak sekali, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri."
"Benarkah...?"
"Bukan itu saja. Malah kabarnya Iblis Buta akan datang pula."
"Hebat! Kenalkah nona kepada datuk-datuk itu?"
"Tidak, hanya namanya saja yang kukenal."
"Kalau begitu, nona juga akan pergi dari sini, tidak jadi menghadiri pertemuan para pendekar?"
"Ya, pertemuan itu tidak jadi, untuk apa dihadiri dan ditunggu?"
"Memang sebaiknya kalau kita pergi saja sekarang juga meninggalkan tempat ini, nona."
"Kita...?"
"Ya, kita. Apa salahnya kalau kita pergi bersama? Bukankah kita sudah saling berkenalan dan berarti kita adalah sahabat?"
Sui Cin tersenyum.
"Hemm, tidak selalu kenalan berarti sahabat."
Sim Thian Bu juga tersenyum.
"Akan tetapi aku ingin bersahabat denganmu, nona."
"Kenapa?"
"Karena engkau lihai..."
"Hemm, bagaimana engkau tahu aku lihai?"
"Mana mungkin engkau tidak lihai kalau engkau puteri Pendekar Sadis?"
Sui Cin diam sejenak, memandang wajah orang itu. Wajah yang tampan menarik, tubuh yang tegap dengan pakaian yang bersih dan rapi, seperti pakaian seorang sasterawan muda yang kaya. Untuk bercakap-cakap, pemuda ini lebih menarik daripada Cia Sun walaupun tentu saja terhadap Cia Sun ia sudah menaruh kepercayaan penuh yang agaknya terpengaruh oleh kenyataan bahwa Cia Sun adalah putera tunggal Cia Han Tiong, kakak angkat atau juga kakak seperguruan ayahnya.
Sebaliknya, pemuda yang bernama Sim Thian Bu ini baru dikenalnya, belum diketahuinya benar keadaannya walaupun kelihatannya pantas menjadi seorang pendekar pula.
"Hati-hati berhadapan dengan manusia, anakku," demikian antara lain ibu kandungnya sering memberi nasihat. "Di dunia ini penuh dengan manusia yang palsu, yang pada lahirnya nampak baik dan dapat dipercaya, akan tetapi sesungguhnya adalah manusia jahat yang berbahaya, seperti harimau bertopeng domba."
Ia tidak akan kehilangan kewaspadaan, pikirnya dan biarpun ia merasa suka bergaul dengan pemuda tampan yang berwajah gembira dan pandai bicara ini, namun ia belum menyerahkan seluruh kepercayaannya dan diam-diam bersikap waspada.
"Kalau kita pergi dari sini, kemana tujuanmu?"
Ia bertanya sambil mengemasi selimut yang tadi dipakainya untuk melewatkan malam di tempat itu dan membuntal semua pakaiannya.
"KeMana? Ha-ha, nona, sudah kuberitahukan bahwa aku adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tujuan tertentu kemana akan pergi. Kemana saja, asal dapat meluaskan pengalaman memperlebar pengetahuan. Kabarnya, di sebelah selatan, hanya perjalanan satu hari, terdapat sebuah telaga yang amat indah. Bagaimana kalau kita melancong kesana? Tentu saja kalau nona suka."
Pemuda itu memang pandai mengatur kata-katanya sehingga menyenangkan hati Sui Cin. Di dalam ucapannya itu terkandung bujukan, akan tetapi jelas bukan paksaan dan menyerahkan keputusannya kepada Sui Cin dan mementingkan perasaan gadis itu.
"Baik, kita pergi kesana," kata Sui Cin.
Ia mengambil keputusan untuk bersenang-senang dahulu sebelum pulang ke Pulau Teratai Merah yang telah ditinggalkan selama berbulan-bulan itu.
ASMARA BERDARAH JILID 022
(↕)
Cin-an adalah sebuah kota besar yang terletak di Lembah Huang-ho di Propinsi Shantung. Daerah ini memiliki tempat-tempat peristirahatan atau tempat rekreasi yang indah-indah karena tanahnya memang subur.
Diluar kota Cin-an, di pantai Sungai Huang-ho yang airnya berlimpah-limpah, terdapat sebuah kebun yang luas. Disini selain terdapat pohon-pohon kembang yang beraneka ragam dan warna, juga terdapat gunung-gunungan dan sebuah telaga buatan yang kecil di tengah-tengah kebun dimana orang dapat berperahu, memancing ikan, berenang-renang dan sebagainya.
Setiap hari ada saja orang mengunjungi kebun ini dan terutama sekali para pembesar dan orang kaya menggunakan tempat ini untuk pelesir dan menghibur hati di atas perahu mereka, minum-minum sambil mendengarkan musik, nyanyian dan menonton terian para penyanyi dan penari yang sengaja mereka bawa untuk bersenang-senang.
Akan tetapi pada hari itu, di kebun itu agak sepi. Hanya nampak beberapa orang berjalan-jalan di sana-sini, ada pula yang sedang duduk di perahunya memancing ikan, ada pula yang berjalan-jalan di sekeliling telaga. Beberapa buah perahu kecil yang didayung oleh dua orang hilir-mudik di atas permukaan air sambil bercakap-cakap dan minum arak.
Seorang pelukis tua di atas gunung-gunungan asyik melukis telaga dengan perahu-perahunya dan seorang penyair sedang corat-coret dengan alis berkerut, menyatakan kesan dan perasaan hatinya berbentuk huruf-huruf tersusun indah. Agaknya sang penyair ini belum juga dapat menemukan rangkaian huruf yang memuaskan hatinya. Berkali-kali dia merobek lagi kertas yang ditulisnya dan akhirnya diapun bangkit berdiri, mulutnya berkemak-kemik menggulung sajak yang dikarangnya dan kakinya melangkah menaiki gunung-gunungan dimana sang pelukis tengah melukis dengan asyiknya.
Tak lama kemudian, penyair itu telah berdiri di belakang sang pelukis, tanpa mengeluarkan suara gaduh agar tidak mengganggu pekerjaan orang, dia memandang lukisan yang mulai berbentuk itu. Tiba-tiba wajahnya berseri dan seperti tanpa disadarinya dia berkata lirih sambil memandang ke arah lukisan itu.
"... gerakan air dan awan
berobah setiap saat
tanpa bekas, tanpa tujuan..."
Penyair itu bertepuk tangan dengan girang.
"Ah, benar sekali. Di dalam lukisan terkandung sajak, di dalam syair terkandung lukisan, keduanya tak dapat di-pisahkan!" Akan tetapi setelah mengeluarkan ucapan yang nadanya gembira ini, dia berbisik, "Dua orang bercaping lebar yang sedang memancing ikan, itulah mereka."
Si pelukis memandang kearah pemukaan telaga dimana terdapat dua orang setengah tua sedang sibuk memancing. Caping mereka yang lebar menyembunyikan muka mereka, dan dari bawah caping itu, mata mereka kadang-kadang ditujukan ke arah seorang pemuda yang sedang mendayung perahu seorang diri sambil minum arak! Dua orang bercaping lebar itu memiliki bentuk tubuh yang tegap, dan pandang mata mereka tajam, juga di balik jubah mereka terdapat sebatang pedang.
Kini pelukis itu membenahi barang-barangnya, menggulung lukisannya dan bersama si penyair lalu menuruni gunung-gunungan menuju ke tepi telaga. Mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap dan keduanya nampak akrab sekali, mungkin karena keduanya seniman.
Usia mereka sebaya, kurang lebih lima puluh tahun dan mereka mengenakan pakaian sasterawan yang sederhana. Orang-orang takkan mencurigai dua orang laki-laki ini karena tempat itu memang biasa dikunjungi para seniman. Akan tetapi kalau orang memandang kepada dua orang kakek sederhana itu dengan penuh perhatian dan melihat ke arah tangan mereka, orang itu akan terkejut karena ada sesuatu yang tidak wajar pada tangan mereka.
Tangan seniman biasanya halus dan lembut, akan tetapi tangan kedua orang seniman tua ini, dari pergelangan sampai ke ujung jari-jari tangan, nampak kebiruan! Bagi ahli silat, hal ini menjadi tanda bahwa kakek kakek seniman ini pernah mempelajari ilmu pukulan yang ampuh!
Memang demikianlah. Dua orang kakek ini bukan orang-orang sembarangan melainkan tokoh-tokoh dari Kang-jiu-pang! Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja) didirikan oleh seorang kakek gagah perkasa bernama Song Pak Lun dan perkumpulan itu berpusat di Cin-an.
Song Pak Lun adalah bekas perwira tinggi yang ikut didepak keluar karena menentang kebijaksanaan Liu-thaikam. Dia tidak mendendam karena dikeluarkan, melainkan sebagai seorang patriot yang mencinta negaranya, dia merasa prihatin melihat betapa pemerintah dikendalikan oleh pembesar lalim seperti Liu-thaikam yang dapat menguasai kaisar muda yang belum berpengalaman. Maka diapun selalu bersikap menentang.
Dalam usianya yang enam puluh tahun itu, Song Pak Lun masih penuh semangat dan dia memiliki banyak murid yang menjadi anggauta Kang-jiu-pang. Ketika dia mendengar bahwa kaisar dalam penyamaran sedang berpelesir meninggalkan istana dan diam-diam hanya dikawal oleh dua orang perwira pengawal, dia lalu mengerahkan para pembantu utamanya untuk bertindak.
Kaisar harus ditawan, diculik, demikian keputusannya. Sebagai seorang bekas perwira, tentu saja Song Pak Lun hanya dapat mempergunakan cara militer untuk berusaha menolong pemerintah. Dia hendak menawan kaisar muda itu dan memaksa kaisar, kalau perlu dengan ancaman nyawa, agar kaisar suka menghukum atau memecat Liu-thaikam! Dan kini muncul kesempatan yang amat baik baginya untuk melaksanakan maksud itu. Kebetulan kaisar muda itu melakukan perjalanan ke daerah Cin-an, menyamar sebagai seorang pemuda biasa!
Dua orang pria bercaping lebar itu memang dua orang perwira pengawal pribadi kaisar. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan memperoleh kepercayaan Liu-thaikam yang diam-diam mengutus dua orang pengawal untuk melindungi keselamatan kaisar. Tentu saja Liu-thaikam amat setia kepada kaisar!
Memang, merupakan kenyataan pahit yang terpaksa harus kita telan sebagai kenyataan hidup betapa yang disebut kesetiaan sesungguhnya menyembunyikan sesuatu yang pada hakekatnya hanyalah usaha untuk mempertahankan kesenangan diri sendiri! Siapakah yang setia dan kepada siapa? Tentu yang setia itu adalah orang atau golongan yang menerima keuntungan atau kebaikan, pendeknya menerima sesuatu yang menyenangkan dan kesetiaan itu ditujukan kepada orang atau golongan yang mendatangkan kesenangan itu!
Karena sebab yang gamblang inilah maka di dunia ini seringkali terjadi kesetiaan yang kemudian berobah menjadi pengkhianatan. Kalau kesenangan itu tidak diterimanya lagi, maka kesetiaanpun akan mengalami perobahan.
Liu-thaikam setia kepada kaisar, sebetulnya dia mempertahankan kesenangan yang diperolehnya dari kaisar. Karena kalau kaisar celaka, berarti dia sendiripun celaka! Dan bentuk kesenangan yang diperoleh seseorang bukan hanya terbatas pada kesenangan lahiriah berupa harta benda, pangkat tinggi dan kedudukan, melainkan dapat saja berupa kesenangan batiniah berupa nama terhormat dan sebagainya.
Kita kembali kepada pemuda yang sedang duduk seorang diri dalam perahunya sambil minum arak, menikmati pemandangan indah dan hawa yang sejuk bersih menyegarkan di pagi hari itu. Pemuda itu berpakaian seperti seorang sastrawan, berwajah tampan akan tetapi ada bayangan sifat manja dan malas di balik ketampanannya. Pemuda berusia sembilan belas tahun ini adalah Kaisar Ceng Tek!
Semenjak diangkat menjadi kaisar dalam usia lima belas tahun, empat tahun yang lalu, kaisar muda ini tidak pernah memperlihatkan minat yang besar terhadap pemerintahan. Dia lebih senang menghibur diri dengan permainan silat, atau membaca kitab kuno, bergaul dengan para seniman, dan setelah usianya makin dewasa mulailah dia suka bergaul dengan wanita.
Liu-thaikam yang tahu akan kesukaan ini, dalam usahanya untuk menguasai hati kaisar, tentu saja menyediakan segala sesuatu yang diinginkan kaisar itu. Gadis-gadis cantik, seniman-seniman pandai, sehingga kaisar muda itu makin tenggelam ke dalam kesenangan tanpa memperdulikan urusan pemerintah. Dan satu diantara kesenangannya adalah merantau dan bertualang seperti seorang pemuda biasa, menanggalkan pakaian kebesaran dan mahkota yang berat itu, meninggalkan upacara-upacara kerajaan yang membosankan, meninggalkan urusan-urusan pemerintahan yang ruwet-ruwet, meninggalkan semua itu agar diurus oleh Liu-thaikam. Sedangkan dia sendiri bebas lepas di udara seperti burung, terbang melayang sekehendak hatinya!
Keadaan kaisar muda ini dapat terjadi demikian karena memang dia tidak mencintai pekerjaannya. Dan betapa banyaknya manusia di dunia ini yang bekerja atau mengerjakan sesuatu bukan karena mencintai pekerjaannya, melainkan karena terpaksa!
Terpaksa oleh keadaan, terpaksa oleh cita-cita, terpaksa oleh dorongan orang tua, keluarga, masyarakat dan sebagainya. Banyak orang tua mengirim anaknya ke suatu pendidikan tertentu karena terdorong cita-cita muluk dan setelah kelak si anak berhasil lulus, dia terpaksa melakukan pekerjaan sesuai dengan pendidikannya, tanpa rasa cinta kepada pekerjaan itu sehingga dia merasa tersiksa batinnya selama hidup!
Banyak pula yang melakukan suatu pekerjaan hanya karena ingin mencari uang. Uang didapat, akan tetapi di samping itu, juga siksaan didapat di waktu dia bekerja. Mengerjakan sesuatu yang tidak disukai mendatangkan rasa jemu dan kalau dilakukan setiap hari sepanjang masa, akan mendatangkan siksa. Kita hanya tinggal membuka mata untuk dapat melihat kenyataan ini, betapa manusia bekerja seperti robot tanpa gairah tanpa kegembiman karena memang pada hakekatnya dia tidak mencintai pekerjaannya, bahkan di bawah sadarnya dia membenci pekerjaannya yang membelenggu kaki tangannya selama hidup itu!
Kaisar Ceng Tek, sebagai seorang yang paling berkuasa tentu dapat melepaskan diri atau mencoba untuk melepaskan diri sewaktu-waktu dari belenggu itu. Akan tetapi apa yang dilakukannya bukanlah membebaskan diri dari belenggu melainkan hanya suatu pelarian sementara saja karena pada hakekatnya dia masih mempergunakan haknya sebagai kaisar, berarti masih ingin menikmati hasil dari kekuasaannya. Dan akibat dari pelarian ini adalah kekacauan! Roda pemerintahan dikendalikan oleh orang lain yang melakukannya demi ambisi pribadi, demi penumpukan harta benda.
Pada pagi hari itu, Kaisar Ceng Tek duduk dalam perahu kecil sambil tersenyum-senyum gembira, mengira bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui keadaan dirinya. Dia tidak tahu bahwa tidak jauh dari perahunya, dua orang tukang pancing setengah tua itu tak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengawalan. Juga dia tidak tahu bahwa ada beberapa pasang mata orang lain yang selalu memperhatikan gerak-geriknya dan bahwa pada saat itu dia menjadi pusat perhatian banyak orang dan berada dalam keadaan terancam.
Ketika itu, si penyair dan si pelukis yang sebetulnya adalah dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang lihai, yang merupakan pembantu-pembantu utama dari ketua Kang-jiu-pang dan yang bertugas memimpin usaha penculikan kaisar, telah naik sebuah perahu kecil, mendayungnya sambil minum arak dan si penyair bernyanyi-nyanyi kecil membacakan sajaknya.
Perahu mereka mendekati dua orang kakek yang sedang memancing ikan itu dan tiba-tiba perahu mereka itu menabrak perahu dua orang tukang pancing yang bercaping dan yang tidak menyangka-nyangka itu.
"Heiii...!"
Seorang diantara mereka berteriak, akan tetapi tiba-tiba saja sikap dua orang kakek seniman itu berobah. Mereka sudah meloncat dan menggunakan dayung mereka menghantami ke arah dua orang kakek bercaping.
"Heiiiittt!"
"Hyaaattt...!"
Dua orang bercaping itupun meloncat, mengelak dan mencabut pedang yang tersembunyi di balik jubahnya. Si pelukis menggunakan jangkar perahu untuk mengait perahu lawan dan kini dua perahu itu bergandeng dan mereka berempat mulai berkelahi dengan seru.
Dua orang seniman itu menggunakan dayung, dibantu tangan yang melancarkan pukulan-pukulan ampuh dengan tangan baja mereka, sedangkan dua orang tukang pancing itu menggunakan pedang. Dua buah perahu yang digandeng dengan jangkar dan talinya itu bergoyang-goyang keras dan setiap saat perahu-perahu itu dapat saja terguling.
Kaisar Ceng Tek yang perahunya berada tak jauh dari situ, terkejut mendengar suara gaduh dan makin kagetlah dia melihat empat orang laki-laki sedang saling serang dengan hebatnya. Dia adalah seorang pemuda yang suka bertualang. Karena tidak tahu persoalannya, mengira bahwa perkelahian itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya, sang kaisar bangkit berdiri di perahunya dan menonton dengan gembira!
Satu diantara kesukannnya adalah menyaksikan pertandingan silat dan kini dia disuguhi pertandingan yang seru dan menarik di atas dua buah perahu yang digandeng menjadi satu, antara empat orang kakek yang agaknya memiliki ilmu silat yang hebat.
"Ceppp...!"
Perahu kecil itu terguncang dan sang kaisar hampir saja terpelanting. Dia cepat duduk dan berpegang kepada tepi perahu sambil menggerakkan dayungnya mencegah agar perahunya tidak terguling. Kiranya setelah dia duduk, dia melihat betapa sebatang anak panah yang besar telah menancap di badan perahunya dan gagang anak panah itu diikat sehelai tali dan kini perahunya bergerak, ditarik oleh sebuah perahu lain di depan yang ditumpangi oleh dua orang laki-laki bertubuh tegap!
"Heiii, apa-apaan ini? Lepaskan perahuku!" Sang kaisar berteriak marah.
ASMARA BERDARAH JILID 023
(↕)
"Tenanglah saja, sri baginda!"
Terdengar suara di belakangnya. Kaisar Ceng Tek cepat menengok dan ternyata di sebelah belakang perahunya terdapat tiga buah perahu lain yang masing-masing didayung oleh dua orang laki-laki tegap dan nampak gagah. Ternyata yang berusaha menculiknya ada empat perahu dengan delapan orang, tidak termasuk dua orang kakek yang sedang bertanding melawan dua orang bercaping itu.
Kaisar Ceng Tek bukanlah seorang anak kecil. Dia tahu bahwa dirinya sudah berada dalam kekuasaan para penculiknya. Tidak ada jalan meloloskan diri karena mereka itu sudah mengenal siapa dia. Untuk berteriak-teriak, selain belum tentu akan ada yang berani menolong, juga betapa mudahnya bagi para penculiknya itu untuk membunuhnya kalau mereka kehendaki.
Jalan satu-satunya hanyalah menyerah saja sambil melihat bagaimana perkembangannya. Dia juga tahu bahwa mereka tentu tidak berniat membunuhnya, karena kalau demikian halnya, perlu apa mereka itu bersusah-susah hendak menawannya? Tidak nampak ada petugas jaga di tempat itu, maka tidak ada yang diharapkannya untuk dapat menolongnya dari orang-orang ini.
Kini perahu sang kaisar telah ditarik ke pinggir telaga dan dua orang meloncat ke dalam perahu kecil itu.
"Harap paduka menyerah saja dan menurut kehendak kami daripada paduka harus dipaksa dengan kekerasan," kata seorang diantara mereka yang tertua, berusia lima puluh tahun lebih dan memegang pedang. "Mari kita mendarat."
Kaisar Ceng Tek mengangkat bahu, bersikap tenang biarpun jantungnya berdebar penuh ketegangan, bahkan ada sedikit kegembiraan karena petualangannya ini sungguh amat menarik, lalu diapun melangkah keluar dari perahu dan mendarat. Akan tetapi, pada saat delapan orang itu mendarat semua, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring.
"Tikus-tikus bosan hidup!" tiba-tiba saja, seperti setan, muncul seorang wanita yang mukanya berkedok hitam tipis, menyembunyikan bentuk mukanya dan yang tampak hanya sepasang mata yang liar, hidung kecil dan mulut lebar yang giginya besar-besar putih.
Begitu muncul, tangan kirinya bergerak dan sinar-sinar halus menyambar ke arah orang-orang Kang-jiu-pang itu.
"Awas senjata rahasia!" teriak orang tertua.
Para anggauta Kang-jiu-pang yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi itu cepat berloncatan mengelak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa mengejek.
"Ha-ha-ha, orang-orang Kang-jiu-pang hendak berlagak!"
Dan muncul pula seorang kakek tinggi besar bermuka hitam kasar dan penuh brewok. Kakek ini memegang sebatang pecut baja yang panjang dan pada ujungnya terdapat paku besar. Mata kakek ini bulat, hidungnya besar dan mulutnya lebar. Pakaiannya jorok dan kotor.
Melihat munculnya dua orang ini, delapan orang Kang-jiu-pang terkejut bukan main. Mereka segera mengenal kakek Koai-pian Hek-mo dan nenek Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk kaum sesat di muara Huang-ho dan mereka juga merasa heran karena tidak biasa dua orang datuk sesat ini turun tangan mengacaukan dunia.
"Ji-wi locianpwe, harap jangan mencampuri urusan dalam Kang-jiu-pang. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan ji-wi atau dengan golongan ji-wi!" kata orang tertua dari Kang-jiu-pang dengan sikap hormat untuk menghindarkan bentrokan dengan dua orang datuk kaum sesat ini.
Dan memang, mereka sedang melaksanakan tugas yang tidak ada hubungannya dengan golongan manapun, sehingga tidak perlu menimbulkan perkelahian yang hanya akan menghalangi pekerjaan mereka.
"Ha-ha-ha!" Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, sehingga nampak giginya yang kuning kotor. "Kalian hendak menculik kaisar dan masih bilang urusan dalam? Ha-ha, kami memang tidak ada sangkut-pautnya, akan tetapi Liu-thaikam tentu tidak akan membiarkan begitu saja!"
Mendengar ucapan ini, terkejutlah orang-orang Kang-jiu-pang itu. Kiranya Liu-thaikam sudah bertindak sedemikian jauhnya sehingga berani mempergunakan datuk-datuk kaum sesat untuk menjadi antek-antek dan kaki tangannya! Maka, sambil mengeluarkan seruan marah, para murid Kang-jiu-pang lalu menerjang maju, menyerang kakek dan nenek iblis itu!
Dua orang kakek dan nenek iblis itu tertawa mengejek. Karena orang-orang Kang-jiu-pang itu, sesuai dengan nama perguruannya, sudah melatih kedua tangan mereka yang berwarna gelap, maka mereka biasanya berkelahi mengandalkan kedua tangan itu.
Melihat ini, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo yang mempertahankan gengsi mereka sebagai datuk kaum sesat, tidak mempergunakan senjata mereka. Nenek itu tidak mencabut pedangnya, dan Koai-pian Hek-mo malah menyimpan cambuk bajanya dan mereka menyambut serangan tujuh orang murid Kang-jiu-pang dengan tangan kosong pula.
Para murid Kang-jiu-pang memiliki sepasang tangan yang terlatih, kuat dan antep pukulan mereka. Akan tetapi sekali ini mereka menghadapi dua orang lawan yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi, maka biarpun tujuh orang mengeroyok dua orang, tetap saja para murid Kang-jiu-pang itu kewalahan dan beberapa orang diantara mereka sudah beberapa kali jatuh bangun terkena serempetan tangan atau kaki dua orang iblis itu.
Adapun murid tertua yang tadi menjadi wakil pembicara, tidak ikut mengeroyok, melainkan dengan pedang di tangan menjaga sang kaisar yang menonton dengan heran dan kagum. Dia merasa heran mengapa orang-orang yang kelihatannya seperti pendekar-pendekar gagah menculiknya, dan kini dua orang yang seperti iblis jahat malah melindunginya, dan dia kagum melihat kelihaian dua orang iblis itu.
Murid Kang-jiu-pang yang menjaga kaisar melihat kenyataan betapa para sutenya tidak akan menang menghadapi dua orang datuk kaum sesat itu. Dia adalah seorang yang cerdik. Begitu mendengar bahwa mereka berdua itu adalah kaki tangan Liu-thaikam, diapun maklum bahwa tentu saja mereka berusaha mati-matian melindungi kaisar. Kalau terjadi apa-apa dengan kaisar hal itu berarti akan amat merugikan thaikam itu, bahkan mungkin akan meruntuhkan kekuasaannya yang hanya sementara itu.
"Berhenti, atau kubunuh kaisar...!"
Tiba-tiba dia membentak dan menodongkan pedangnya yang ditempel pada leher kaisar muda itu. Sang kaisar hanya terbelalak dan pucat karena kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan kiri murid Kang-jiu-pang itu sedangkan lehernya ditempeli pedang yang tajam. Tak mungkin melepaskan diri dari cengkeraman tangan kiri yang amat kuat itu.
Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo terkejut dan mereka terpaksa meloncat mundur dan dengan mata terbelalak kehabisan akal mereka melihat betapa kaisar telah ditodong oleh seorang murid Kang-jiu-pang. Nekat menyerbu akan membahayakan nyawa kaisar dan kalau sampai terjadi sesuatu menimpa kaisar, mereka takut akan kemarahan Iblis Buta.
Akan tetapi pada saat itu murid Kang-jiu-pang yang menodong kaisar tiba-tiba mengeluh dan terguling pingsan, pedangnya terlepas dari pegangan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang tadi melemparkan sebuah batu kerikil kecil yang tepat mengenai tengkuk murid Kang-jiu-pang dan membuatnya roboh pingsan itu dan pemuda ini sekarang berdiri di dekat kaisar dengan sikap hormat dan berkata lembut,
"Harap paduka jangan khawatir, sri baginda."
Melihat betapa kaisar telah terlepas dari ancaman bahaya, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi girang sekali, dan mereka juga marah kepada para murid Kang-jiu-pang yang tadi sudah membuat mereka terkejut dan bingung. Keduanya lalu mencabut senjata masing-masing lalu mengamuk.
Kasihan para murid Kang-jiu-pang itu. Melawan dua orang iblis ini dalam keadaan tangan kosong saja mereka sudah kewalahan, apalagi harus melawan mereka yang menggunakan senjata keistimewaan mereka. Koai-pian Hek-mo menggerakkan cambuk bajanya yang berujung paku itu dan dalam waktu belasan jurus saja empat orang pengeroyok roboh dan tewas dengan kepala berlubang tertusuk paku.
Juga Hwa-hwa Kui-bo mengamuk dan tiga orang pengeroyok lainnya tewas oleh bacokan dan tusukan pedangnya. Nenek ini merasa tidak puas karena dalam perkelahian ini, korbannya kalah banyak oleh Koai-pian Hek-mo, maka tangan kirinya bergerak dan belasan batang jarum beracun meluncur dan menancap ke leher dan dada murid Kang-jiu-pang yang masih pingsan, yaitu yang tadi menodong kaisar dan dirobohkan oleh pemuda yang baru datang. Dengan demikian, mereka berdua telah membunuh delapan orang murid Kang-jiu-pang itu, seorang empat!
Kini dua orang kakek dan nenek iblis itu memandang kepada pemuda yang telah menyelamatkan kaisar dan keduanya tertegun kagum. Seorang pemuda yang tampan dan ganteng! Karena dua orang ini memang memiliki watak cabul dan keduanya suka kepada pemuda ganteng, maka wajah mereka berseri dan nenek berkedok itu tersenyum-senyum, mulutnya yang lebar terbuka dan nampaklah deretan gigi putih yang besar-besar.
Pemuda itu memang ganteng. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, dengan dada bidang dan pinggang kecil, tubuh yang membayangkan kekuatan dahsyat, wajahnya yang tampan itu berseri dan cerah, agaknya gembira selalu. Bibirnya yang berbentuk bagus dan gagah itu selalu tersenyum dan sepasang mata yang jernih dan tajam itupun selalu berseri gembira.
Akan tetapi pakaian pemuda ini sembarangan saja, kedodoran dan agaknya dia jauh daripada pesolek. Biarpun pakaiannya sederhana kedodoran, namun pakaian itu tidak dapat menyembunyikan tubuhnya yang padat berisi dan kuat. Pemuda berusia dua puluh satu tahun ini memang amat menarik, merupakan seorang pemuda tampan gagah yang agaknya selalu bergembira.
Ketika tadi dia menyelamatkan kaisar dan melihat betapa sepasang iblis itu membunuhi delapan orang musuh, dia hanya mengerutkan alisnya yang hitam tebal tanpa menghilangkan senyumnya. Dia hanya berkewajiban menyelamatkan kaisar, dan urusan antara delapan orang itu dengan dua iblis ini bukanlah urusannya dan dia tidak ingin mencampuri.
Pada saat itu, dua orang pengawal rahasia kaisar, yaitu dua orang perwira yang tadi menyamar sebagai dua orang tukang pancing kemudian diserang oleh dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang menyamar sebagai dua orang seniman, datang berlarian dengan pakaian basah kuyup. Mereka kelihatan gembira sekali melihat kaisar dalam keadaan selamat dan mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar.
"Hamba berdua menghaturkan selamat kepada paduka yang telah terbebas dari ancaman bahaya berkat pertolongan orang-orang gagah ini," kata seorang diantara mereka.
Kaisar Ceng Tek merasa jengkel melihat penyamarannya dikenal orang. Rahasianya telah terbuka dan tidak ada gunanya lagi berpura-pura, maka diapun mengerutkan alisnya bertanya,
"Kalian siapa?"
"Hamba berdua adalah perwira pengawal yang diutus oleh Liu-taijin untuk melindungi paduka. Ampunkan, hamba yang hampir gagal melindungi paduka."
"Sudahlah, ceritakan apa yang telah terjadi!" kata kaisar tak sabar.
"Hamba berdua menyamar sebagai tukang-tukang pancing melindungi paduka. Tiba-tiba ada dua orang, agaknya tokoh-tokoh yang menyamar pula, menabrakkan perahunya kepada perahu hamba dan terjadilah perkelahian. Ternyata mereka berdua itu hanya menghalangi hamba berdua agar tidak dapat mencegah ketika kawan-kawan mereka menculik paduka dan menarik perahu paduka. Hamba berdua melawan mati-matian sampai perahu kami semua terguling. Mereka lalu melarikan diri sambil berenang ketika melihat betapa usaha kawan-kawan mereka gagal. Dan hamba berdua sempat menyaksikan betapa paduka diselamatkan oleh tiga orang gagah ini."
Kaisar ini menghadapi kakek dan nenek itu dan diam-diam hatinya bergidik. Dua orang ini seperti iblis saja.
"Siapakah kalian?" tanyanya singkat.
Biarpun dua orang itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang biasanya bersikap tidak acuh dan tidak memperdulikan sopan santun, kini setelah mereka tahu bahwa mereka berhadapan dengan kaisar, keduanya merasa canggung dan juga gentar.
Mereka saling pandang, merasa tidak enak kalau harus memperkenalkan julukan mereka yang menyeramkan. Apaiagi nenek itu, merasa tidak sanggup untuk menjawab dan dengan pandang matanya di balik kedok, ia menyerahkan saja jawabannya kepada rekannya! Hampir saja Koai-pian Hek-mo memaki melihat kelicikan nenek itu, akan tetapi dia tidak berani sembrono lalu menjura.
"Kami berdua ingin membantu usaha Liu-thaikam yang hendak melindungi paduka dan mereka ini adalah orang-orang Kang-jiu-pang yang memberontak. Kami berdua sekarang juga akan menyerbu ke sarang Kang-jiu-pang dan akan kami basmi sampai habis semua anggautanya!"
ASMARA BERDARAH JILID 024
(↕)
Kaisar mengerutkan alisnya. Dia tidak senang dengan bunuh-bunuhan ini, dan tadipun melihat delapan orang itu terbunuh, dia sudah merasa muak, biarpun delapan orang itu tadi berusaha untuk menculiknya. Maka tanpa mengeluarkan komentar diapun lalu menoleh kepada pemuda tampan yang pakaiannya nyentrik itu.
"Dan engkau siapa?"
Pemuda itu menjura dengan sikap hormat.
"Hamba adalah pelancong yang kebetulan lewat dan melihat paduka, yang tadinya tidak hamba sangka adalah sri baginda dan baru hamba ketahui setelah mendengarkan percekcokan mereka, terancam bahaya, hamba merasa berkewajiban untuk menyelamatkan paduka dari ancaman bahaya."
Kaisar semakin jengkel. Orang-orang ini adalah orang-orang kang-ouw yang dia tahu berwatak aneh-aneh. Orang-orang Kang-jiu-pang yang seperti pendekar-pendekar itu, ternyata malah menculiknya. Dua kakek dan nenek iblis yang kelihatan kejam ini malah menyelamatkannya, dan pemuda yang pakaiannya tidak karuan inipun agaknya enggan memperkenalkan nama. Ah, diapun tidak ingin berkenalan dengan segala macam petualang itu. Maka diapun berpaling kepada dua orang perwira pengawal,
"Mari, antar aku pulang, aku lelah sekali!"
Tanpa banyak cakap dan tanpa menoleh lagi kepada kakek dan nenek iblis, juga kepada pemuda tampan itu, kaisar lalu meninggalkan tempat itu, diiringkan oleh dua orang pengawalnya.
Setelah kaisar pergi, nenek itu terkekeh.
"Huh-huh, begitu sajakah kaisar? Tak mengenal budi! Eh, orang muda, engkau tadi sudah membantu kami, sungguh engkau merupakan sahabat yang baik!"
"Kaisar tidak minta dilindungi, kenapa engkau mengomel?" Koai-pian Hek-mo mencela nenek itu, kemudian dilanjutkan kepada si pemuda, "Orang muda yang gagah, siapakah engkau dan dari perguruan mana? Aku suka sekali bersahabat denganmu!"
"Jangan percaya omongannya! Paling-paling engkau akan dijadikan teman tidurnya!" Hwa-hwa Kui-bo mengejek.
"Wah, masih jauh lebih baik daripada menjadi pacar nenek seperti tua bangka ini!" Koai-pian Hek-mo membalas dan keduanya berdiri berhadapan dengan sikap beringas.
Pemuda itu tersenyum.
"Ha-ha, sungguh lucu sekali kalian ini. Kalau aku tidak salah, engkau tentulah Koai-pian Hek-mo dan engkau ini Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk muara Huang-ho yang terkenal itu, bukan?"
"Bagus engkau sudah mengenal namaku, orang muda. Engkau ikutlah aku dan menjadi muridku yang terkasih!" kata Koai-pian Hek-mo sambil menatap wajah yang tampan itu.
"Engkau menjadi muridku saja, dan apapun yang kau minta tentu terlaksana."
"Wah, bingung aku. Kalian berdua sama-sama hebat, sama-sama lihai, berat hatiku memilih yang mana. Tentu aku akan senang sekali menjadi murid kalian. Bagaimana kalau kalian berebut saja? Bertanding untuk menentukan siapa yang berhak menjadi guruku? Yang menang itulah guruku!" kata si pemuda sambil tertawa.
"Bagus!"
Hwa-hwa Kui-bo berseru dan nenek yang agaknya sudah ingin sekali segera dapat memiliki pemuda yang menggairahkan hatinya itu tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang Koai-pian Hek-mo dengan pedangnya!
Kakek itupun menjadi marah dan cepat dia menangkis dengan pecut bajanya dan balas menyerang. Dua orang kakek dan nenek ini sudah saling serang dengan hebat dan mati-matian untuk memperebutkan pemuda tampan yang menarik hati itu tanpa menyelidiki lebih dulu siapa adanya pemuda yang baru saja mereka jumpai itu.
Ada dua puluh jurus lewat mereka saling serang dan baru mereka melihat bahwa pemuda yang menjadi sebab perkelahian mereka itu ternyata sudah tidak ada lagi disitu, telah pergi dengan diam-diam tanpa mereka ketahui karena mereka hanya mencurahkan perhatian untuk mencari kemenangan!
"Celaka, kita tertipu!" bentak Koai-pian Hek-mo sambil meloncat mundur.
"Engkau tua bangka, kenapa tidak mau mengalah sampai dia pergi tanpa kuketahui siapa namanya dan dimana tempat tinggalnya?"
"Bagaimanapun juga, dia tadi telah membantu kita. Tentu dia seorang di antara sahabat dan kelak kita tentu akan bertemu lagi. Mari kita lanjutkan tugas penting kita!"
"Tapi aku belum kalah!" tantang si nenek.
"Akupun belum!"
"Mari kita lanjutkan!"
"Hushhh! Ingin kulaporkan kepada lojin bahwa engkau tidak mentaati perintah?"
"Sialan! Mulut runcing!" si nenek mengomel, akan tetapi hatinya gentar juga.
Paling ngeri kalau orang sudah menyebut lojin dan iapun tidak berani lagi banyak cakap. Mereka lalu mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke Cin-an untuk mengunjungi sarang Kang-jiu-pang.
Menjelang senja, kakek dan nenek iblis itu tiba di luar pintu gerbang sarang Kang-jiu-pang. Sebagai rumah perkumpulan persilatan, tempat itu dikelilingi tembok tebal seperti benteng dan di luar pintu gerbang yang besar itu terjaga oleh beberapa orang pemuda anggauta Kang-jiu-pang.
Ketika dua orang datuk kaum sesat itu tiba disitu, mereka tidak berani sembarangan bergerak. Keduanya sudah lama mengenal perkumpulan ini dan maklum bahwa perkumpulan itu dipimpin oleh Song Pak Lun yang lihai sekali, terutama sekali kedua "tangan baja" yang telah dilatihnya secara sempurna itu.
Juga mereka tahu bahwa perkumpulan ini memiliki murid atau anggauta yang puluhan orang jumlahnya. Maka, keduanya lalu menghampiri pintu gerbang, hendak mengambil tindakan secara terbuka karena bagaimanapun juga, mereka merasa berada di pihak pemerintah yang menghadapi pemberontak, jadi tentu saja mereka berdua merasa mendapat angin.
Ternyata bahwa kedatangan mereka itu sudah dinanti oleh tuan rumah. Buktinya, ketika mereka tiba di depan pintu gerbang, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki tua, berusia kurang lebih enam puluh tahun, gagah perkasa dan bertubuh kokoh kuat dan sikapnya tenang dan angker.
Inilah Song Pak Lun sendiri, ketua Kang-jiu-pang yang agaknya tidak ingin menerima tamu yang sudah membunuh delapan orang anak buahnya itu di dalam rumah, melainkan hendak menerimanya di luar tembok pintu gerbang!
Di sampingnya berjalan dua orang kakek yang tadi menyamar sebagai pelukis dan penyair, yang berhasil menyelamatkan diri untuk membawa berita yang amat pahit itu, ialah bahwa bukan saja tugas anak buah Kang-jiu-pang untuk menculik kaisar itu gagal, bahkan delapan orang anak buah perkumpulan mereka tewas secara mengerikan dalam tangan dua orang datuk sesat.
Sejenak kedua pihak hanya saling pandang saja. Song Pak Lun tidak memperlihatkan kedukaan atau kemarahan berhubung dengan kematian murid-muridnya dan kegagalan usahanya.
"Sejak kapan Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi antek pembesar lalim Liu-thaikam?" demikian sambutan Song Pek Lun ketika kedua orang iblis itu nampaknya tidak sabar lagi.
Kakek dan nenek itu melirik ke depan dan kanan kiri, melihat betapa ketua Kang-jiu-pang itu diikuti oleh murid-murid kepala dan juga semua murid yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang. Semua murid atau anggauta Kangjiu-pang itu kelihatan marah dan mendendam kepada mereka berdua.
Dengan sikap tenang mengejek Koai-pian Hek-mo melolos pecut bajanya dan memutar-mutar senjata itu dengan sikap menantang sekali, lalu dia berkata,
"Dan sejak kapan Kang-jiu-pang menjadi gerombolan pemberontak?"
"Hemm, sejak kapan datuk-datuk kaum sesat bersikap sebagai patriot sejati?" Kembali Song Pak Lun bertanya.
"Orang she Song, tidak usah banyak membuka mulutmu yang busuk!" Tiba-tiba Hwa-hwa Kui-bo yang memang wataknya galak itu memaki, "Engkau memusuhi kaisar atau tidak, itu bukan urusan kami. Akan tetapi ketahuilah, kami menerima tugas dari Siangkoan-lojin untuk melindungi kaisar dan untuk membasmi Kang-jiu-pang. Nah, sekarang terserah kepadamu, hendak menyerahkan nyawa dengan baik-baik ataukah kami harus menggunakan kekerasan!" Sambil berkata demikian, nenek itu mencabut pedangnya.
Wajah Song Pak Lun menjadi pucat sebentar, lalu berobah merah sekali, sepasang matanya lebar terbelalak dan seperti mengeluarkan api. Tadi dia terkejut mendengar disebutnya narna Siang-koan-lojin. Kiranya Iblis Buta itu benar-benar telah keluar dari sarangnya untuk mengacau dunia? Dan dia marah mendengar kesombongan nenek itu.
"Kami adalah orang-orang gagah dan sampai matipun kami menjunjung kegagahan. Kalau kami mengandalkan banyak orang mengeroyok kalian, kami akan merasa malu walaupun memperoleh kernenangan. Hek-mo dan Kui-bo, majulah hadapi aku satu lawan satu, kalau aku kalah, aku akan menyerahkan nyawa dan akan membubarkan Kang-jiu-pang, akan tetapi kalau kalian kalah, kami akan menggunakan kepala kalian untuk menyembahyangi arwah delapan orang murid kami."
Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, akan tetapi Hwa-hwa Kui-bo yang lebih cerdik dan sudah tahu akan kelihaian ketua perkumpulan ini, berseru,
"Kami datang berdua sebagai utusan, mati hidup harus kami lakukan berdua. Karena itu, kami berdua akan maju bersama, dan engkau boleh memilih seorang jagoan lagi dari perkumpulan pemberontak ini untuk membantumu melawan kami berdua!"
Diam-diam Koai-pian Hek-mo meraaa girang karena kecerdikan temannya ini menempatkan mereka di atas. Diapun tahu bahwa orang paling lihai dari Kang-jiu-pang adalah ketua itu sendiri. Melawan ketua itulah yang berat. Kalau mereka berdua maju bersama, tentu terpaksa ketua itu memilih seorang muridnya untuk membantu. Dan kepandaian seorang murid tidak ada artinya bagi mereka berdua. Kalau pembantu itu sudah roboh maka berarti mereka berdua akan mengeroyok sang ketua dan tentu mereka akan dapat menang!
Song Pak Lun juga merasa tersudut dengan alasan Hwa-hwa Kui-bo yang bukan tidak masuk akal ini. Seorang di antara dua seniman tua tadi melangkah maju dan berkata,
"Pangcu, biarlah saya yang membantu pangcu menandingi mereka."
Akan tetapi Song Pak Lun menggeleng kepala. Dua orang seniman itu adalah murid-murid pertama yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi diantara murid-muridnya. Akan tetapi tingkat mereka belum ada tiga perempatnya dan diapun tahu bahwa kalau dia membiarkan seorang diantara mereka maju, hal itu hanya berarti membiarkan mereka maju mengantar nyawa saja.
Tidak, usahanya telah gagal dan dia harus menghadapi kegagalannya secara jantan. Kalau perlu dia akan mengorbankan nyawa. Tidak boleh dia membiarkan seorang murid lain terbunuh lagi sesudah ada delapan orang yang tewas.
"Aku akan maju sendiri menghadapi Hek-mo dan Kui-bo!" katanya dengan tegas.
"Tidak adil seorang melawan dua orang! Akulah yang akan membantu ketua Kang-jiu-pang!"
Tiba-tiba terdengar suara orang disusul berkelebatnya bayangan orang dan dua orang iblis itu terkejut ketika mengenal yang datang ini adalah pemuda tampan yang pernah mereka perebutkan!
Pemuda itu dengan pakaiannya yang sederhana kedodoran sehingga nampak aneh, dengan senyumnya yang ramah dan sepasang matanya yang bersinar tajam telah berdiri disitu sambil memandang kepada dua orang datuk sesat.
"Kau... ah, jangan lancang, orang muda, bukankah engkau ingin menjadi muridku?" Hwa-hwa Kui-bo yang agaknya sudah tergila-gila kepada pemuda itu membujuk dengan suara merayu. "Tunggulah, aku membasmi Kang-jiu-pang ini lebih dulu, baru engkau ikut denganku bersenang-senang!"
Pemuda itu tertawa.
"Sayang seribu sayang, Kui-bo, tapi kedokmu amat mengerikan hatiku. Bukalah dulu kedokmu agar aku dapat melihat bagaimana macamnya mukamu."
Pemuda itu agaknya sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk menggoda dan mengejek, karena tidak ada yang lebih memanaskan hati Hwa-hwa Kui-bo daripada kalau orang bicara tentang mukanya dan kedoknya.
"Bocah keparat, kucabut lidahmu!" bentak nenek itu dengan marah.
ASMARA BERDARAH JILID 025
(↕)
Sementara itu, Song Pak Lun memandang tajam kepada pemuda yang baru datang, dan ketika murid kepala di belakangnya membisikkan bahwa pemuda inilah yang pernah membantu dua orang iblis itu menyelamatkan kaisar dan merobohkan seorang murid Kang-jiu-pang, tentu saja hatinya penuh curiga dan kemarahan.
Tidak mungkin pemuda yang sudah membantu dua orang iblis itu kini bendak membantu Kang-jiu-pang menghadapi mereka. Ini tentu pura-pura, atau siasat pihak lawan. Kaum sesat terkenal curang dan tidak segan mempergunakan akal-akal licik.
"Kang-jiu-pang tidak pernah mengharapkan bantuan orang luar, dan engkau orang muda malah masih ada perhitungan yang belum beres dengan kami!" bentaknya.
Pemuda itu menoleh kepadanya dan menarik napas lalu menjura.
"Maaf, pangcu. Aku pernah merobohkan muridmu karena melihat murid-muridmu hendak mengganggu kaisar. Akan tetapi setelah kuselidiki tadi, baru aku tahu apa dasarnya. Walaupun aku sendiri tidak menyetujui caramu, akan tetapi baru kuketahui bahwa Kang-jiu-pang bukan golongan jahat. Maka, untuk menebus kesalahanku, aku hendak membantu Kang-jiu-pang."
"Hemm!" Ketua yang keras hati itu mencela. "Kalau tidak ada campur tanganmu, tentu usaha kami telah berhasil dan murid-murid kami tidak ada yang tewas. Kami tidak dapat menerima bantuan orang yang telah mencelakakan kami!"
Pemuda itu agaknya maklum bahwa dalam saat seperti itu, banyak bicara tidak ada gunanya. Ketua Kang-jiu-pang itu agaknya bukan hanya bertangan baja, akan tetapi juga berwatak baja yang keras. Diapun menggerakkan kedua pundaknya.
"Terserah, kalau tidak boleh membantu akupun tidak akan membantu kalian. Akan tetapi, aku sendiri masih mempunyai perhitungan dengan dua iblis ini yang harus kubereskan sekarang juga. Hei, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, kutantang kalian untuk maju melawan aku. Kalau kalian tidak berani, akan kusudahi perkara ini kalau kalian suka membuntungi lengan kanan masing-masing dan memberikannya kepadaku!"
Mendengar ucapan yang nadanya memandang rendah sekali ini, ketua Kang-jiu-pang dan semua anak buahnya terkejut. Bahkan kakek dan nenek iblis itu sendiri terbelalak, lebih kaget daripada marah. Ada seorang muda berani mengeluarkan ucapan seperti itu! Sungguh kurang ajar, terlalu menghina.
Pemuda itu memang sengaja mengeluarkan kata-kata yang nadanya memandang rendah untuk memaksa dua orang iblis itu menandinginya, atau setidaknya seorang di antara mereka agar lawan ketua Kang-jiu-pang menjadi ringan. Dan usahanya ini berhasil baik.
Dua orang datuk sesat itu marah sekali, merasa amat dipandang rendah. Terdengar suara menggereng keras seperti seekor harimau terluka dan terdengar suara meledak nyaring ketika pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo menyambar dahsyat ke arah kepala pemuda itu. Ujung pecut baja yang panjang itu dipasangi paku besar dan kini paku itu meluncur ke arah pelipis si pemuda yang dianggap sombong dan bermulut besar.
"Eh, luput...!" Pemuda itu mengejek sambil menggerakkan kepalanya mengelak.
"Wuuuuttt... singgg...!"
Paku di ujung pecut itu lewat beberapa senti saja di pinggir kepala pemuda yang kelihatannya begitu tenang dan menghadapi kakek iblis itu sambil tersenyum-senyum.
"Tar-tar-tar-tarrr...!"
Pecut itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar, akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja, menghindar ke kanan kiri dengan gerakan yang indah dan mantap. Demikian yakin dia akan dirinya sendiri sehingga gerakannya tidak nampak gugup, namun ujung pecut yang kelihatannya seperti akan mengenai dirinya itu selalu luput.
"Wah, tidak kena lagi, Hek-mo!" dia berulang-ulang mengejek.
Song Pak Lun bukanlah seorang yang bodoh. Biarpun dia keras hati dan memiliki harga diri yang tinggi, namun dia cukup cerdik. Dia tadi telah menolak bantuan pemuda itu, dan kalau kini pemuda itu berkelahi melawan Koai-pian Hek-mo, hal itu adalah urusan mereka berdua sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan Kang-jiu-pang.
Akan tetapi tentu saja hal ini amat menguntungkan dirinya karena dengan terlibatnya Hek-mo dalam perkelahian melawan pemuda itu yang dia lihat memiliki gerakan cukup hebat, maka kini dia hanya tinggal menghadapi Hwa-hwa Kui-bo seorang, jadi tidaklah begitu berat jika dibandingkan dengan melawan dua orang datuk sesat itu bersama.
"Hwa-hwa Kui-bo, lihat seranganku!" bentaknya dan diapun sudah menerjang maju dengan tamparan tangannya.
Kedua tangan ketua Kang-jiu-pang ini, dari siku ke bawah, telah berobah warnanya menjadi persis warna besi baja dan mengkilat pula. Ketika tangan kiri itu menampar, bunyinya berdesing dan amat panas ketika menyambar ke arah muka Hwa-hwa Kui-bo.
Nenek ini maklum akan ampuhnya tangan baja ketua Kang-jiu-pang itu, maka iapun cepat mengelak dan membalas dengan tusukan pedangnya ke arah lambung lawan.
"Tranggg...!"
Nenek berkedok itu terkejut bukan main. Ternyata ketua Kang-jiu-pang itu berani menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan ketika pedang itu bertemu dengan tangan kanan Song Pak Lun, terdengar bunyi nyaring seolah-olah pedangnya bertemu dengan logam dan mengeluarkan percikan bunga api, bahkan tangan kanan yang memegang pedang itu terasa tergetar hebat!
Barulah ia tahu sekarang bahwa nama Song Pak Lun sebagai ketua perkumpulan Tangan Baja sungguh bukan nama kosong belaka dan nenek inipun lalu memutar pedangnya dan mengeluarkan semua ilmunya untuk menghadapi lawan yang tangguh ini. Terjadi perkelahian yang amat seru dan mati-matian diantara mereka, ditonton oleh para anggauta Kang-jiu-pang dengan hati tegang.
Akan tetapi, ketegangan karena perkelahian antara ketua Kang-jiu-pang melawan Hwa-hwa Kui-bo mengendur banyak ketika mereka itu menyaksikan perkelahian antara Koai-pian Hek-mo dan pemuda tampan yang tersenyum-senyum itu. Bahkan, para anggauta Kang-jiu-pang kadang-kadang tak dapat menahan gelak tawa mereka melihat kelucuan pemuda itu menghadapi lawannya di samping mereka menjadi terheran-heran, bahkan demikian kagum sampai bengong.
Pemuda itu benar-benar memiliki gerakan yang amat lincah. Dia tidak mengandalkan kecepatan ketika menghadapi pecut baja lawan, melainkan mengandalkan gerak kaki yang demikian indah dan mantap, kedua kakinya bergerak ke depan belakang, kanan dan kiri demikian indah dan mantapnya sehingga tubuhnya dapat selalu menghindar dari sambaran ujung pecut baja. Kadang-kadang dia mentertawakan lawannya.
"Wah, luput lagi, Hek-mo. Pakumu sudah usang, ganti saja dengan yang baru."
"Sing...! Wirrr... singgg...!"
"Nah, tidak kena lagi! Gerakanmu terlalu lemah! Apa kau belum makan? Kalau lapar jangan bertanding silat, nanti masuk angin...!"
"Wuuuuttt... sing...!"
"Apa kubilang, luput lagi...!"
"Keparat!"
Kakek itu memaki dan memutar cambuk bajanya lebih cepat lagi. Cambuk itu sendiri lenyap bentuknya, berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu membentak, suaranya demikian keras mengejutkan.
"Perlahan dulu!"
Kakek itupun terkejut dan rasa kaget ini mengurangi kecepatan gerakannya dan tahu-tahu ujung cambuknya yang dipasangi paku itu telah tertahan dan terjepit oleh dua jari tangan kiri pemuda itu, yaitu ibu jari dan telunjuknya!
Semua orang memandang kagum. Sungguh amat berani perbuatan pemuda ini, menjepit ujung cambuk yang demikian ampuhnya dengan jari tangan! Akan tetapi Koai-pian Hek-mo sendiri kaget dan marah, juga diam-diam maklum bahwa biarpun masih muda, lawannya ini benar-benar tak boleh dipandang ringan!
Dia mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan ujung cambuknya dari jepitan tangan pemuda itu, namun ujung cambuk itu tertahan kuat-kuat di dalam jepitan! Sin-kang yang amat kuat, pikir Hek-mo. Pantas saja pemuda ini tadi berani mengeluarkan kata-kata sombong, kiranya bukan bual belaka dan memang pemuda ini "berisi". Dia mengerahkan tenaga lagi sambil menarik dan tiba-tiba
"Singggg...!" pemuda itu melepaskan jepitan jarinya!
Tentu saja paku di ujung cambuk itu meluncur amat cepatnya ke arah orang yang menariknya.
"Uhhh...!"
Hampir saja muka Hek-mo termakan oleh paku di ujung cambuknya sendiri kalau dia tidak cepat mengangkat tangannya ke atas dan mengelak. Mukanya yang hitam berobah agak pucat. Nyaris dia menjadi korban senjatanya sendiri.
"Nah, apa kubilang? Jangan main-main dengan segala pecut dan paku yang tiada gunanya, salah-salah hidungmu sendiri terpaku!" pemuda itu mengejek dan beberapa orang anggauta Kang-jiu-pang bersorak.
Kini wajah Hek-mo berubah merah. Baru belasan jurus saja dan dia hampir celaka. Hatinya menjadi penasaran sekali.
"Orang muda, beritahukan namamu agar aku tahu dengan siapa aku bertanding!"
Pemuda itu tersenyum.
"Eh, kenapa tanya-tanya nama segala? Apakah kau hendak menarik aku sebagai mantu? Wah, jelas kutolak kalau mukanya seperti mukamu, Hek-mo. Tapi, biarlah agar engkau tidak mati penasaran dan tahu siapa yang mengalahkanmu, aku she Cia bernama Hui Song!"
"Dari perguruan mana?"
"Cerewet! Memangnya kita ini kong-kauw (ngobrol) atau sedang bertanding? Hayo lanjutkan permainan cambuk bajamu yang jelek itu!" Pemuda yang bernama Cia Hui Song itu mengejek.
"Bocah sombong!" Koai-pian Hek-mo memaki dan memutar cambuknya. "Tar-tar-tarrr!" lalu cambuk meluncur ke bawah, mengarah ubun-ubun kepala Cia Hui Song.
Akan tetapi, sekali ini Hui Song tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kirinya ke atas kepala dan ketika paku di ujung cambuk itu meluncur turun, dia menggunakan jari tangannya untuk menjentik.
"Tringgg...!" Dan paku itu terpental ke arah penyerangnya!
Tentu saja Koai-pian Hek-mo terkejut sekali dan menghujankan serangan. Akan tetapi terdengar suara nyaring tang-ting-tang-ting ketika Hui Song menyambut paku itu dengan jentikan jari-jari tangan bahkan diapun lalu membalas dengan tamparan-tamparan yang sedemikian kuatnya sehingga angin pukulannya saja membuat rambut dan baju lawannya berkibar-kibar dan dalam beberapa gebrakan saja Hek-mo terhuyung dan terdesak.
Kini baru benar-benar Hek-mo terkejut dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka di tangan bocah yang menjadi lawannya itu. Tentu saja dia merasa amat penasaran dan malu. Dia memperebutkan bocah ini dengan Hwa-hwa Kui-bo untuk menjadi muridnya dan siapa kira, bocah ini malah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dia hanya ingin menjadi gurunyapun tidak mampu menandinginya!
Sementara itu, Hwa-hwa Kui-bo dengan pedangnya juga kewalahan dan kerepotan menghadapi sepak terjang ketua Kang-jiu-pang dengan sepasang tangan bajanya itu. Tangan kanannya yang memegang pedang juga terasa lelah sekali karena setiap kali bertemu dengan tangan baja lawan, pedangnya terpental dan tangannya tergetar. Maka, ketika Koai-pian Hek-mo berteriak,
"Kui-bo, mari kita pergi!" iapun tidak menanti sampai ajakan itu diulang dua kali. Iapun tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian ini, lambat laun ia akan kalah melawan ketua Kang-jiu-pang.
Cepat tangan kirinya mengebut dan jarum beracun menyambar ke arah lawan. Song Pek Lun maklum akan bahayanya jarum-jarum itu, maka diapun cepat mengelak mundur sambil menggunakan kedua tangannya yang kebal seperti besi baja itu untuk menyampoki jarum-jarum sehingga senjata-senjata rahasia itu runtuh semua ke atas tanah.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwa-hwa Kui-bo untuk meloncat dan melarikan diri, mengejar Koai-pian Hek-mo yang sudah lari terlebih dahulu tanpa dikejar oleh Cia Hui Song yang hanya berdiri bertolak pinggang sambil tertawa melihat lawannya mengambil langkah seribu.
ASMARA BERDARAH JILID 026
(↕)
Pemuda itu lalu menghadapi Song Pak Lun dan menjura.
"Song-pangcu, sekali lagi maafkan salah duga yang membuat aku pernah merobohkan muridmu karena aku hanya bermaksud menolong kaisar yang terancam dan ditodong oleh muridmu. Dan kuharap saja pangcu cepat-cepat bersama seluruh anggauta Kang-jiu-pang meninggalkan tempat ini. Perbuatan para anggauta Kang-jiu-pang dianggap sebagai pemberontak. Aku tidak akan merasa heran kalau sebentar lagi datang pasukan untuk menangkap atau membasmi Kang-jiu-pang."
Song Pak Lun menarik napas panjang.
"Kami mengerti dan bagaimanapun juga, terima kasih atas bantuanmu. Orang muda, engkau she Cia dan ilmu silatmu tinggi. Entah apa hubunganmu dengan Cia-taihiap, ketua Cin-ling-pai?"
Kui Song tersenyum dan mukanya menjadi merah.
"Aku tidak pernah memamerkan dan memperkenalkan orang tuaku, akan tetapi baiklah kepadamu aku berterus terang bahwa dia adalah ayahku."
"Ahh...!"
Para anggauta Kang-jiu-pang berseru kaget. Kiranya pemuda ini adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja demikian lihai!
"Aku mengerti bahwa kami tidak akan menyebut dan menyeret namamu ke dalam urusan kami, Cia-taihiap," kata ketua Kang-jiu-pang itu.
"Terima kasih, aku yakin akan kebijaksanaan pangcu. Aku sendiri tidak takut terseret, hanya ayah tentu akan marah sekali kalau sampai Cin-ling-pai terlibat. Nah, selamat berpisah, pangcu, harap saja engkau dan semua anggautamu dapat meloloskan diri dari kejaran pasukan pemerintah!"
Cia Hui Song lalu pergi dan Song Pak Lun dengan tergesa-gesa lalu berkemas. Tak lama kemudian, pada hari itu juga, seluruh anggauta Kang-jiu-pang pergi meninggalkan Cin-an berikut keluarga mereka. Ketika pasukan pemerintah datang menyerbu, mereka hanya menemukan sarang yang kosong karena semua burungnya telah terbang pergi entah kemana.
Cia Hui Song adalah putera ketua Cin-ling-pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Cin-ling-pai adalah seorang pendekar gagah perkasa bernama Cia Kong Liang yang telah berusia lima puluh tahun.
Para pembaca kisah Pendekar Sadis tentu telah mengenal nama Cia Kong Liang ini. Pendekar ini menikah dengan seorang gadis gagah perkasa putera seorang datuk sesat yang sudah mencuci tangan dan merobah jalan hidupnya di atas jalan bersih.
Ayah mertuanya adalah Tung-hai-sian Bin Mo To yang tinggal di Ceng-tao di Propinsi Shantung. Julukannya ketika masih menjadi datuk adalah Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan dia adalah seorang Bangsa Jepang yang nama aselinya Minamoto. Tung-hai-sian hanya mempunyai seorang anak perempuan yang berjiwa gagah dan tidak suka melihat ayahnya menjadi datuk kaum sesat.
Puterinya ini yang bernama Biauw dan memakai she Bin, akhirnya menikah dengan Cia Kong Liang yang pada waktu itu adalah putera ketua Cin-ling-pai. Cia Kong Liang hidup rukun dan saling mencinta dengan Bin Biauw dan mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Cia Hui Song ini sudah berusia dua puluh satu tahun.
Setelah ayahnya meninggal dunia, Cia Kong Liang membangun kembali Cin-ling-pai sebagai ketuanya dan semenjak itu di bawah pimpinannya dan dibantu oleh isterinya, Cin-ling-pai menjadi semakin kuat dan terkenal. Dalam mendidik dan melatih murid-murid Cin-ling-pai, Cia Kong Liang bersikap keras sehingga diantara murid-muridnya banyak yang jadi.
Tentu saja puteranya sendiri digemblengnya dengan tekun sehingga Cia Hui Siong telah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dari ayahnya, bahkan mewarisi juga ilmu-ilmu dari ibunya yang memiliki ciri khas.
Pemuda ini sejak kecil berada di Cin-ling-pai yang berpusat di Pegunungan Cin-ling-san, dan memiliki watak yang lincah gembira sekali, jauh berbeda dengan ayahnya yang sejak mudanya berwatak keras, pendiam dan serius, bahkan agak angkuh dan tinggi hati.
Agaknya Hui Song menuruni watak ibunya yang lincah gembira, dan memiliki jiwa petualang karena sejak kecil anak ini suka bermain-main sendiri di tempat-tempat sepi dan berbahaya sehingga seringkali mendapat teguran dan hukuman keras dari ayahnya.
Akan tetapi dia tidak pernah merasa jera, apalagi karena dilindungi ibunya sehingga akhirnya ayahnya merasa bosan sendiri dan membiarkan puteranya tumbuh menjadi seorang pemuda yang wataknya riang gembira, bengal dan juga aneh, mengenakan pakaian seenaknya saja tak pernah kelihatan rapi.
Kehadirannya di Puncak Bukit Perahu adalah untuk mewakili ayahnya dan Cin-ling-pai. Akan tetapi seperti juga para pendekar lain yang mendengar berita dari para murid Pek-ho-pai bahwa pertemuan itu dibatalkan, diapun meninggalkan tempat itu dan sebelum pulang ke Cin-ling-pai dia melancong dulu sampai ke Cin-an dimana secara kebetulan dia dapat menyelamatkan kaisar kemudian berbalik membantu Kang-jiu-pang menghadapi dua orang kakek dan nenek iblis.
Setelah memberi nasihat kepada Kang-jiu-pang agar cepat-cepat meninggalkan Cin-an, Hui Song sendiri segera pergi dari kota itu. Diapun merasa khawatir kalau-kalau pihak pemerintah tahu bahwa dia adalah putera ketua Cin-ling-pai. Bantuannya terhadap Kang-jiu-pang tadi sungguh berbahaya kalau diingat dua orang iblis itu ternyata adalah kaki tangan pemerintah pula!
Dia sendiri masih merasa bingung akan segala peristiwa yang dialaminya. Kaisar akan diculik oleh kumpulan pendekar Kang-jiu-pang, sedangkan orang-orang macam Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo malah melindungi kaisar. Apakah dunia ini sudah terbalik? Apakah kini para pendekar memusuhi kaisar dan para penjahat malah membelanya?
Memang pemuda ini tidak begitu memperdulikan urusan pemerintahan, maka diapun tidak tahu akan apa yang terjadi di istana, tidak tahu bahwa para datuk sesat itu sebetulnya bukan mengabdi kepada kaisar melainkan kepada pembesar lalim yang memperoleh kesempatan menguasai pemerintahan melalui kaisar muda yang lemah.
Pada keesokan harinya, Hui Song telah pergi jauh dari Cin-an menuju ke selatan. Dia harus pulang ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya tentang kegagalan atau pembatalan pertemuan para pendekar itu, juga tentang keanehan yang dialaminya di Cin-an.
Sebelum dia turun tangan membantu Kang-jiu-pang, dia telah melakukan penyelidikan kilat di Cin-an tentang perkumpulan itu dan mendapat kenyataan bahwa Kang-jiu-pang adalah perkumpulan pendekar yang dihormati dan dipuji oleh rakyat. Itulah mengapa dia tanpa ragu-ragu cepat pergi ke Kang-jiu-pang dan melihat perkumpulan itu didatangi oleh dua iblis, diapun segera membantu.
Siang hari itu matahari amat terik dan semalam Hui Song telah melakukan perjalanan tanpa berhenti, maka dia merasa lelah dan duduklah pemuda ini mengaso di luar sebuah hutan. Melibat adanya sebuah gubuk di tepi jalan, diapun lalu naik ke gubuk kecil itu untuk berteduh.
Di bawah naungan daun-daun pohon dan atap gubuk sederhana, yang menciptakan tempat teduh dan sejuk dengan adanya semilirnya angin, membuat mata mengantuk sekali. Hui Song segera tertidur setelah dia merebahkan diri terlentang di atas anyaman bambu di gubuk itu. Dia tertidur amat nyenyak dan nikmatnya.
Kita condong beranggapan bahwa segala kenikmatan yang dapat kita rasakan dalam kehidupan ini haruslah diadakan dan sarananya berada di luar diri kita. Kalau mau makan enak haruslah membeli masakan-masakan yang mahal harganya, kalau mau tidur nyenyak haruslah berada di dalam kamar yang lengkap dan dengan perabot serba halus dan mahal, dan sebagainya. Pendeknya syarat mutlak untuk menikmati hidup adalah adanya benda-benda berharga yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Akan tetapi, benarkah demikian adanya?
Kita melihat petani sederhana yang sehabis bekerja keras di ladang dapat menikmati makanannya yang sederhana, dengan kenikmatan yang tidak dibuat-buat. Mengapa demikian? Karena badannya sehat dan batinnya tenteram, karena dia sehat lahir batin. Kesehatannya bekerja dengan wajar, membuat perutnya lapar setelah dia kelelahan dan ini menciptakan selera dan nafsu makan yang membuat apa saja menjadi nikmat terasa olehnya. Kita melihat petani yang sama pada waktunya akan dapat tidur nyenyak, hanya bertilamkan tikar atau bahkan rumput saja, juga hal ini dapat terjadi karena dia sehat lahir batinnya.
Sebaliknya, kitapun dapat melihat orang yang kaya raya tanpa banyak kerja menjadi malas, makan tidak terasa enak biarpun menghadapi hidangan yang mahal-mahal dan banyak macamnya. Kita melihat orang kaya yang sama gelisah di atas tempat tidurnya yang empuk dan bertilamkan sutera di dalam sebuah kamar seperti istana, sukar dapat memejamkan mata dan tidak dapat lagi menikmati rasanya tidur nyenyak.
Jelaslah bahwa sumber kenikmatan hidup berada di dalam diri kita sendiri lahir batin. Kalau lahir batin kita sehat kita akan dapat menikmati hidup. Badan sehat berarti tidak ada gangguan penyakit. Batin sehat berarti tidak ada gangguan pikiran. Namun sungguh teramat sayang. Kita lebih senang MENGOBATI gangguan lahir batin itu daripada MENJAGANYA.
Kita hidup tidak sehat, makan minum tanpa ingat akan kesehatan, setiap hari ada gangguan kesehatan badan yang kita atasi dengan pengobatan-pengobatan. Lalu kita membiarkan hati dan pikiran terganggu setiap hari, yang ingin kita atasi pula dengan hiburan-hiburan!
Biarpun hanya di dalam gubuk reyot bertilamkan anyaman bambu yang kasar, di tepi sebuah hutan yang sunyi, namun Hui Song dapat tidur dengan nyenyak, benar-benar nyenyak, tidak perlu membutuhkan waktu tidur lama. Tidur dua tiga jam saja rasanya sudah kekenyangan dan puas sekali, sudah dapat melenyapkan segala letih dan kantuk.
Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh menimpa dahinya. "tuk!" hanya sebuah benda kecil menimpa dahi, akan tetapi cukuplah untuk menggugah Hui Song dari tidurnya. Sebagai seorang pendekar yang terlatih, begitu terbangun diapun sudah waspada dan siap menghadapi bahaya yang mengancam. Badannya sudah peka seperti badan binatang liar yang hidup di hutan, seperti burung yang selalu waspada biarpun dalam keadaan sedang tidur. Suara tidak wajar dari belakang gubuk itu cukup membuat Hui Song sadar sepenuhnya.
"Brakkkkk...!"
Gubuk itu jebol, ambrol dan runtuh dan seperti seekor burung saja, Hui Song berhasil melesat ke luar dari dalam gubuk sebelum dia ikut terbanting dan tertindih. Ketika dia turun ke atas tanah dan membalikkan tubuhnya, dia melihat disitu telah berdiri tiga orang tua yang tertawa-tawa.
Mereka ini bukan lain adalah Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo dan seorang kakek lagi yang tubuhnya amat menyeramkan. Seorang kakek yang tinggi besar seperti raksasa, dan melihat perawakan ini, biarpun baru satu kali bertemu dengan makhluk ini, Hui Song yang sudah banyak mendengar tentang para iblis di dunia sesat, segera dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang pentolan Cap-sha-kui yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan, yaitu Tho-tee-kui! Maka, diapun bersikap waspada walaupun mulutnya bergerak membuat senyum mengejek ke arah Hek-mo dan Kui-bo yang tertawa-tawa itu.
"Wah, kiranya Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo. Apakah kalian belum puas mendapat hajaran tempo hari dan sekarang datang mencariku untuk minta tambahan?"
Mendengar ejekan ini Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi marah sekali.
"Bocah sombong, kami datang menagih hutang berikut bunganya!" kata Hwa-hwa Kui-bo sambil menubruk maju dan menggerakkan tangan kiri mencengkeram ke arah kepala Hui Song.
"Plakk!" Hui Song menangkis sambil tertawa.
"Tak tahu malu! Engkau yang hutang belum bayar memutarbalikkan fakta!"
Tangkisan itu dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan akibat-nya nenek bertopeng itu terpelanting. Akan tetapi dari samping, kakek Koai-pian Hek-mo sudah menyerangnya. Kakek inipun tidak menggunakan pecut bajanya.
Agaknya mereka berdua memang sudah sepakat untuk maju mengeroyok Hui Song dan karena pemuda itu tidak bersenjata, merekapun merasa lebih leluasa untuk mengeroyok pemuda itu dengan tangan kosong agar mereka merasa lebih puas memberi hajaran kepada pemuda ini. Serangan Hek-mo dari samping cukup dahsyat, dengan pukulan keras ke arah lambung. Namun dengan mudah Hui Song dapat mengelak.
"Memang sudah lama aku tahu kalian ini tua bangka-tua bangka yang curang dan pengecut! Tapi jangan kira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian berdua. Nah, terimalah ini untuk penyegar!"
Berkata demikian, Hui Song menggerakkan kedua lengannya dengan cepat sekali. Kedua lengan itu membuat gerakan yang berlawanan, yang kiri mengandung tenaga keras dan yang kanan mengandung tenaga lemas, kedua tangannya berbareng menyambar ke arah Hek-mo dan Kui-bo dengan jurus sakti dari Im-yang Sin-kun!
"Plakk! Plakk...! Ihhh...!"
Kakek dan nenek itu terhuyung dan hampir terpelanting ketika menangkis pukulan sakti ini dan mereka terkejut bukan main. Akan tetapi karena mereka maju berbareng, hati mereka besar. Mereka merasa penasaran sekali kalau secara maju bersama tidak mampu mengalahkan pemuda ini, maka mereka mengerahkan semua tenaga dan kepandaian mereka.
ASMARA BERDARAH JILID 027
(↕)
Sui Cin juga tidak mengejar karena ia ingin mengenal pemuda itu lebih lanjut. Ia merasa tertarik sekali karena dalam perkelahian tadi iapun mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat pemuda itu yang mengingatkan ia kepada Cia Sun. Seingatnya, paman gurunya, Cia Han Tiong, hanya mempunyai seorang putera saja. Akan tetapi pemuda ini agaknya lihai sekali, tidak kalah oleh putera ketua Pek-liong-pai itu. Ah, tidak salah lagi, tentu pemuda ini murid utama Pek-liong-pai dan saudara seperguruan Cia Sun!
Di lain fihak, Hui Song juga memandang kepada Sui Cin dengan penuh kagum. Diapun tadi melihat gerakan-gerakan ilmu silat dara itu dan banyak mengenal jurus-jurusnya. Betapa mengagumkan bahwa seorang dara remaja semuda ini telah mampu menandingi dan bahkan mengungguli pengeroyokan dua orang datuk seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo! Diapun menduga-duga. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu silat dari Cin-ling-pai diwarisi banyak orang dan tersebar luas, terutama sekali diantara murid-murid Cin-ling-pai sendiri dan murid-murid Pek-liong-pai di Lembah Naga. Juga banyak para locianpwe bekas tokoh besar Cin-ling-pai telah hidup terpisah dari Cin-ling-pai dan mereka tentu telah menurunkan ilmu-ilmu itu kepada murid-murid dan cucu-cucu murid mereka. Tidak aneh kalau ada orang dapat memainkan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, akan tetapi melihat kehebatan gadis remaja ini, jelas bahwa ia bukanlah seorang murid sembarangan. Siapakah gadis ini?
Mereka berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang penuh selidik tanpa malu-malu atau sungkan-sungkan karena keduanya memiliki keterbukaan yang sama. Dua pasang mata yang sama tajamnya, sama kocak dan bersinar gembira, saling pandang seperti pedagang kuda menaksir kuda yang hendak dibelinya, dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki, kemudian dua pasang mata itu saling bertaut pandang.
Pandang mata pemuda itu penuh kagum dan agaknya dia merasa sayang untuk mengedipkan matanya, seolah-olah tidak mau lagi melepaskan pemandangan yang amat indah itu sebentarpun juga.
Sui Cin cemberut, menganggap pemuda itu tidak mau kalah dan ingin beradu kekuatan mata, maka iapun tidak mau berkedip dan sepasang matanya terbelalak tajam. Sebagai seorang ahli silat, sejak kecil ia sudah digembleng oleh ayah bundanya untuk mempertajam panca inderanya, terutama sekali mata. Dengan air garam yang dicampur ramuan lain setiap pagi ia memercikkan air ke matanya yang terbuka tanpa berkedip dan dengan latihan seperti itu, pandang matanya menjadi tajam. Ia mampu mengikuti gerakan senjata lawan, dan ia mampu bertahan tidak berkedip sampai berjam-jam!
Akan tetapi, pandang mata pemuda yang penuh kagum itu, yang mengandung kejenakaan, seperti menggelitiknya dan membuatnya tidak mungkin dapat bertahan lebih lama lagi, apa pula setelah ia merasa darahnya naik dan api kemarahannya berkobar. Jari tangannya menuding ke arah mata pemuda itu dan mulutnya membentak,
"Kau melihat apa? Matamu melotot seperti mata iblis!"
Dibentak demikian, Hui Song baru sadar bahwa sejak tadi dia memandang dengan bengong. Dia dapat merasakan keadaan yang lucu diantara mereka, maka diapun tersenyum lebar.
"Masih cengar-cengir lagi, seperti monyet!"
Sui Cin makin marah karena merasa ditertawakan. Orang yang sedang dikuasai nafsu amarah memang penuh prasangka buruk. Orang cemberut disangka menentang, orang bicara disangka menantang, orang diam disangka tidak mengacuhkan, orang tertawa dianggap mengejek. Serba susahlah kalau hati diracuni nafsu amarah.
Akan tetapi, karena Hui Song sudah tertarik sekali kepada dara remaja yang amat cantik manis dan tinggi ilmu silatnya ini, kemarahan Sui Cin itu baginya malah membuat dara itu nampak lebih manis dan lucu. Makian Sui Cin membuatnya tertawa bergelak!
"Ha-ha-ha, sungguh lucu engkau, nona. Siapa yang menyuruh engkau begini.... eh, hebat? Bukan salahku kalau aku memandang sampai melotot mengagumi kehebatanmu!"
Dia tidak mau mengucapkan sebutan cantik jelita yang sudah berada di ujung lidahnya, takut kalau-kalau dara itu lebih marah lagi kepadanya dan menganggapnya ceriwis.
"Apa hebat? Apa maksudmu dengan kata hebat itu?" tanya Sui Cin, akan tetapi suaranya masih marah.
Kini terpaksa Hui Song berterus terang.
"Engkau hebat... karena engkau begini cantik jelita dan ilmu-ilmumu tinggi sekali. Dan aku melolot seperti mata iblis karena engkau juga melotot memandangku, akan tetapi matamu melotot jernih seperti mata... bidadari."
"Engkau laki-laki... cabul...!"
Sui Cin membentak dan payungnya sudah bergerak cepat, menusuk ke arah perut pemuda itu!
"Wuuutt... singgg...! Heeiiittt...!"
Hui Song cepat melempar dirinya ke belakang, berjungkir balik tiga kali baru berdiri kembali dan matanya semakin terbelalak.
"Wah, tahan dulu, nona. Engkau ini bagaimana, sih? Tadi engkau membantuku menghadapi iblis-iblis Cap-sha-kui sehingga boleh dibilang engkau menyelamatkan nyawaku, akan tetapi kenapa sekarang engkau malah hendak membikin aku menjadi... sate, kau tusuk perutku dengan payung ajaibmu itu?"
"Manusia ceriwis, cabul, sialan!"
Sui Cin menyerang terus dan kini Hui Song mendapatkan kegembiraan lain, yaitu dia memperoleh kesempatan untuk menguji kepandaian orang yang dikagumi ini dan yang juga mengherankan hatinya melihat jurus-jurus yang amat dikenalnya sebagai jurus-jurus keluarga Cin-ling-pai.
Akan tetapi, karena dia tahu benar betapa hebat dan berbahayanya ilmu silat dara itu, dan bahwa watak keras dara itu membuat serangan-serangannya tidak main-main lagi, diapun tidak berani memandang rendah dan terpaksa dia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menandingi Sui Cin.
Dengan hati penuh kagum dan heran pemuda ini segera memperoleh kenyataan bahwa dara itu sedemikian lihainya sehingga tidak mungkin dia bertahan terus tanpa balas menyerang, karena hal itu amat berbahaya. Maka diapun cepat mainkan Thai-kek Sin-kun untuk bertahan diri dan kadang-kadang membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang.
Di lain plhak, Sui Cin terkejut melihat betapa pemuda ini benar-benar amat mahir dalam dua ilmu silat keluarganya itu, bahkan mungkin sekali lebih mahir daripada ia sendiri. Sampai lima puluh jurus mereka berkelahi dan belum juga ujung payungnya dapat menyentuh pemuda yang lincah itu.
"Tahan dulu...!"
Tiba-tiba Hui Song berseru sambil meloncat ke belakang. Sui Cin menghentikan gerakannya, akan tetapi payungnya masih melintang di dada, siap untuk menyerang lagi. Mukanya merah, dahi dan lehernya agak basah oleh peluhnya dan matanya bersinar-sinar.
"Belum ada yang kalah kenapa berhenti?" bentak Sui Cin penasaran.
Hui Song tersenyum dan wajahnya bersungguh-sungguh.
"Terus terang saja, selama hidupku baru tadi aku bertemu lawan tangguh ketika iblis-iblis Cap-sha-kui mengeroyokku, dan sekarang ternyata engkau merupakan lawan yang lebih tangguh lagi daripada mereka. Nona, kita sama-sama mengetahui bahwa kita berdua adalah saudara seperguruan, sama-sama menjadi murid Cin-ling-pai..."
"Aku bukan murid Cin-ling-pai!" bentak Sui Cin. "Apa kau kira hanya putera ketua Cin-ling-pai saja yang mampu bersilat?"
Sepasang mata pemuda itu berseri gembira dan senyumnya melebar, sinar kebengalan kembali membuat matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum. Sui Cin sendiri tersenyum di dalam hati dan mengaku bahwa tidak mungkin marah-marah terlalu lama kepada wajah yang begitu gembira.
"Wah, aku mengaku kalah satu nol. Engkau ternyata mengenalku sebagai putera ketua Cin-ling-pai sedangkan aku sama sekali tidak pernah dapat menduga siapa adanya dirimu. Bagaimanapun juga, aku merasa yakin bahwa orang tuamu mempunyai hubungan dengan Cin-ling-pai. Nona yang baik, aku memang putera tunggal ketua Cin-ling-pai, namaku Cia Hui Song, usiaku dua puluh satu tahun dan aku belum bertunangan, apalagi menikah!"
Geli juga hati Sui Cin mendengar kata-kata ini. Mulutnya yang tadinya cemberut itu kini membentuk senyum, walaupun senyum itu masih merupakan senyum mengejek.
"Siapa perduli apakah engkau masih perjaka ataukah sudah duda, sudah kakek berusia dua puluh satu atau lima puluh satu!" jawabnya, kemudian ia meninggalkan pemuda itu tanpa berkata apa-apa lagi.
Melihat dara yang dikaguminya itu pergi, Hui Song terkejut.
"Eh, nanti dulu nona, aku belum berkenalan..."
Akan tetapi Sui Cin mempercepat langkahnya dan kini ia mengerahkan gin-kangnya berlari cepat seperti terbang. Melihat ini, Hui Song penasaran dan diapun mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, mengejar sekuat tenaga.
Dua orang muda itu berkejaran seperti sedang berlomba lari. Kembali keduanya merasa kagum karena ternyata dalam hal ilmu berlari cepat merekapun memiliki tingkat yang seimbang!
Sui Cin mulai merasa lelah den iapun cepat mengambil jalan memutar menuju ke tempat dimana tadi ia meninggalkan kudanya. Melihat kudanya yang kecil itu masih enak-enak makan rumput di bawah pohon, ia lalu mencengklaknya dan membalapkan kudanya!
"Heiii, tunggu...!"
Hui Song penasaran sekali dan terus mengejar. Tadinya dia memandang rendah ketika melihat gadis yang dikejarnya itu menyambung larinya dengan naik kuda. Kuda sekecil itu, mana mampu lari cepat, pikirnya.
Akan tetapi dia menjadi kaget dan penasaran sekali ketika melihat betapa kuda katai itu ternyata dapat berlari cepat dan kuat sekali, bahkan tidak kalah ketimbang larinya kuda besar! Dan kuda itu napasnya kuat sekali sehingga ketika napasnya sendiri sudah senin-kemis, kuda itu masih terus membalap. Akhirnya Hui Song terpaksa mengalah, berhenti berlari kalau dia tidak mau napasnya putus. Dia berhenti dan mengamang-amangkan tinjunya dengan gemas ketika melihat Sui Cin menoleh dan mentertawakannya dengan suara ketawa nyaring memanaskan hati!
Cinta asmara memang sesuatu yang amat aneh. Pada dasarnya memang ada daya tarik yang amat kuat antar lawan jenis, antara pria dan wanita dan daya tarik ini adalah alamiah, sesuai dengan kekuatan Im dan Yang, dua kekuatan yang saling berlawanan, saling tarik, yang membuat bumi berputar, yang membuat segala sesuatu menjadi hidup berkembang.
Seorang pria, setelah memasuki masa remaja dan akil balikh, akan tertarik melihat seorang wanita, atau sebalik-nya. Hal ini sudah wajar. Kelenjar-kelenjar dalam tubuh bekerja, otak yang penuh ingatan bekerja, dan tentu saja, rasa tertarik itu diperkuat dengan adanya selera sehingga menimbulkan pilihan-pilihan menurut selera masing-masing. Dan ini tentu saja penting sekali karena kalau selera kaum pria serupa, tentu setiap orang wanita akan diperebutkan oleh banyak pria, atau juga sebaliknya.
Pertemuan pertama antara pria dan wanita, terutama yang cocok dengan selera masing-masing, menimbulkan kesan pertama. Akan tetapi, hal ini tidak atau jarang sekali berarti timbulnya rasa cinta asmara. Rasa cinta asmara biasanya timbul setelah masing-masing bergaul dan berdekatan, setelah masing-masing mengenal keadaan satu sama lain.
Betapapun juga, pertemuan pertama merupakan goresan awal yang bukan tidak mungkin berlanjut dengan perkenalan dan saling mencinta. Bunga-bunga api asmara suka berpijar di sudut kerling mata dan di ujung senyum bibir, dan apabila memperoleh bahan bakarnya, bunga api yang berpijar itu akan membakar hati. Dan kalau dua hati sudah saling mencinta, tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya. Dengan kekerasan, badan boleh dipisah, akan tetapi terikatnya dua hati yang saling mencinta akan dibawa sampai mati.
Setelah kuda kecil yang membawa pergi Sui Cin lenyap tak dapat diikuti pandang mata lagi, Hui Song menjatuhkan diri di bawah pohon, di atas rumput gemuk, melepaskan lelah. Peluhnya membasahi badan dan dengan hati mengkal dia menyusut peluh dari muka dan lehernya.
Hatinya mendongkol dan kecewa sekali. Tentu saja dia tidak dapat mengatakan apakah dia suka kepada dara itu, apalagi mencinta. Tidak, belum sejauh itu lamunannya. Dia hanya merasa amat tertarik dan ingin sekali mengenal dara itu, ingin tahu siapa adanya dara remaja yang usianya tentu paling banyak enam belas tahun itu, yang demikian lihainya, demikian manisnya, dan demikian bengalnya!
Dia merasa tertarik melihat kesederhanaan dara itu, dengan pakaiannya yang bersahaja namun bersih, pakaian yang agak nyentrik dengan payung bututnya yang dapat dijadikan senjata ampuh. Dia menduga-duga siapa gerangan dara itu, anak atau murid siapa? Dia pernah mendengar dari ayahnya bahwa banyaklah pendekar-pendekar sakti yang masih ada hubungan dengan Cin-ling-pai, di antaranya yang amat terkenal adalah ketua Pek-liong-pai di Lembah Naga jauh di utara sana, kemudian Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah. Hanya itu yang diketahuinya, dan dia tidak pernah mendengar tentang keadaan mereka, apalagi tokoh-tokoh lain yang tidak diceritakan oleh ayahnya, akan tetapi yang menurut ayahnya banyak terdapat di dunia ini.
ASMARA BERDARAH JILID 028
(↕)
Tidaklah mengherankan kalau ada ahli ilmu silat keluarga Cin-ling-pai, akan tetapi kalau yang menguasai ilmu itu seorang dara yang masih demikian muda akan tetapi sudah sedemikian mahirnya, tidak kalah oleh dia sendiri sebagai putera tunggal ketua Cin-ling-pai, maka hal itu tentu saja membuat dia penasaran dan harus dia ketahui siapa gerangan dara itu!
"Bocah bengal! Awas kalau aku bertemu lagi denganmu!"
Dia mengepal tinju dan cemberut, akan tetapi lalu dia tersenyum lebar. Kalau bertemu, apa yang akan dilakukannya? Dan mana mungkin dia marah-marah kepada dara selucu itu? Dan bagaimanapun juga, kalau tidak muncul dara itu yang membantu, bukan tidak mungkin dia celaka di tangan tiga orang iblis Cap-sha-kui tadi. Kalau bertemu lagi, apa yang akan dilakukannya terhadap dara itu?
"Aku akan mengucapkan terima kasihku!" Akhirnya dia menjawab pertanyaan dalam hatinya sendiri.
Hui Song bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya dan tiba-tiba saja, secara aneh sekali, dia merasakan suatu kelainan pada dirinya. Lain dari biasanya. Ada apa dengan hati ini, pikirnya. Dia merasa kesepian! Dunia nampak begini kosong dan sunyi sekali, tidak menggembirakan lagi. Mengapa begini? Dia mengepal tinju dan alisnya berkerut, suatu hal yang hampir tidak pernah terjadi pada dirinya yang selalu bergembira.
Hidup kita adalah urusan kita sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain, dengan siapapun juga. Hidup dan mati kita adalah urusan kita, kita sendiri yang akan menanggung, kita sendiri yang berhak menikmati, kita sendiri pula yang akan menderita, kita sendiri yang membuat kehidupan kita sendiri ini menjadi sorga atau neraka!
Kita hidup ini berarti kita sendirian, walaupun secara lahiriah kita saling bergantung dan saling bersandar dengan orang-orang lain. Akan tetapi kehidupan kita adalah urusan kita sendiri. Kita harus berani menghadapi kenyataan ini, ialah bahwa kita ini sendirian! Bukan berarti kita kesepian! Sekali kita bergantung kepada orang lain secara batiniah, akan muncullah rasa kesepian itu kalau kita berpisah dari orang kepada siapa kita bergantung atau bersandar! Dan perpisahan selalu menjadi akhir daripada pertemuan.
Ketergantungan kepada orang lain ini yang menimbulkan rasa takut dan rasa kesepian, rasa sengsara. Juga ketergantungan kepada benda, kepada ajaran-ajaran, gagasan, kelompok dan sebagainya. Ketergantungan berarti suatu ikatan. Secara lahiriah, sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat seperti sekarang ini, tentu saja kita mempunyai hak untuk mempunyai yang dilindungi oleh hukum.
Akan tetapi, lahiriah boleh saja kita mempunyai sesuatu, mempunyal isteri, anak, keluarga, sahabat, harta benda, kedudukan dan sebagainya. Namun, sekali kita memilikinya secara batiniah, kita akan terikat. Apa yang kita miliki secara batiniah itu akan mengakar di dalam hati sehingga kalau sewaktu-waktu dicabut, hati ini akan terluka dan menderita!
Bukan berarti bahwa acuh tak acuh terhadap segala yang kita punyai termasuk anak isteri dan keluarga. Cinta kasih akan mendatangkan perhatian, rasa sayang, iba hati, namun cinta bukan berarti ikatan batin. Sebaliknya, kalau batin terikat, yang mengikat itu adalah nafsu ingin senang, nafsu ini yang ingin memiliki secara batiniah, ingin menguasai, dan dari sini timbullah benih-benih penderitaan.
Betapa kita selalu ingin memiliki ini dan itu, bahkan ingin memiliki segala-galanya yang menyenangkan hati kita! Keinginan memiliki ini tidak ada batasnya, dan nafsu keinginan memiliki inilah yang mendorong kita ke arah perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang menjurus ke arah kejahatan. Padahal, apakah yang dapat kita miliki sesungguhnya? Apakah yang abadi di dunia ini? Bahkan tubuh kita sendiripun tidak dapat kita miliki selamanya! Semuanya akan musnah pada saatnya. Karena itu, keinginan memiliki sudah pasti menjadi sumber segala derita.
Hati Hui Song murung karena kecewa oleh ulah Sui Cin yang meninggalkannya begitu saja tanpa memberi kesempatan untuk saling berkenalan. Yang membuat hatinya semakin penasaran adalah bahwa dara itu sudah mengenalnya sebagai putera ketua Cin-ling-pai sedangkan dia sendiri, mendugapun belum dapat siapa adanya dara itu!
Dengan murung dia melanjutkan perjalanan, bermaksud untuk pulang ke Cin-ling-san dan menemui orang tuanya, bukan hanya untuk melaporkan tentang pertemuan yang gagal di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi terutama sekali dia hendak mencari keterangan dari ayahnya tentang tokoh-tokoh kang-ouw yang ada hubungannya dengan keluarga Cin-ling-pai, yang menguasai ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai agar dia dapat menduga siapa adanya gadis manis itu.
Pada keesokan harinya, tibalah dia di kota Cin-an yang besar dan ramai. Kota ini ramai sekali terutama karena letaknya di tepi sungai Huang-ho. Dari kota ini, melalui sungai, orang dapat mengunjungi kota-kota besar, bahkan sampai di kota raja. Para saudagar dan pelancong hilir mudik mengunjungi kota Cin-an sehingga kota ini menjadi makmur dan toko-toko serba lengkap dan besar.
Tidak ada orang menaruh terlalu banyak perhatian terhadap diri Hui Song, seorang pemuda biasa yang pakaiannya bersahaja, kebesaran dan ada tambalan di sana-sini walaupun cukup bersih. Tidak ada seorangpun dapat menyangka bahwa pemuda tinggi besar yang berwajah gembira ini adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi, putera tunggal ketua Cin-ling-pai, nama yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu.
Hui Song adalah seorang pemuda yang berjiwa sederhana dan gembira. Biarpun dia putera ketua Cin-ling-pai dan dalam melakukan perjalanan itu dia membawa bekal uang secukupnya, namun dia selalu makan di pasar, di warung-warung kecil dan tidurnyapun kebanyakan di kuil-kuil kosong atau di hutan, dan kalau terpaksa tidur di rumah penginapan, diapun memilih rumah penginapan yang kecil sederhana dan tidak banyak tamunya.
Hari telah siang ketika dia memasuki Cin-an. Pertama-tama yang dilakukannya adalah melakukan penyelidikan tentang Kang-jiu-pang. Dia mendengar bahwa pasukan pemerintah menyerbu pusat perkumpulan itu dengan tuduhan memberontak, akan tetapi tidak ada seorangpun anggauta Kam-jiu-pang yang tertangkap karena sarang itu sudah kosong tak tampak seorangpun anggauta Kang-jiu-pang.
Mendengar ini, Hui Song tersenyum gembira. Dia bersimpati kepada perkumpulan orang-orang gagah ini yang dengan cara mereka sendiri hendak membersihkan pemerintah dari tangan pembesar korup. Sayang usaha mereka itu terlalu kasar, hendak mengganggu kaisar sehingga usaha mereka gagal dan mereka bahkan kehilangan beberapa orang anggauta yang tewas oleh amukan iblis-iblis Cap-sha-kui.
Hatinya gembira mendengar betapa orang-orang Kang-jiu-pang mentaati nasihatnya dan semua telah melarikan diri sebelum pasukan pemerintah menyerbu. Dengan langkah ringan dan hati senang diapun memasuki pasar di kota itu untuk mencari pengisi perutnya yang sudah terasa lapar.
Begitu memasuki pasar, Hui Song tertarik oleh suara ribut-ribut di lapangan terbuka di luar pasar yang ramai pula dengan orang-orang berjualan dan orang-orang yang datang berbelanja. Di luar pasar ini dijual sayur-mayur yang diletakkan di dalam keranjang-keranjang atau diletakkan di atas tikar-tikar yang dibentangkan di atas tanah begitu saja.
Keramaian yang terjadi di luar pasar ini bukan keramaian biasa karena Hui Song melihat banyak orang berpakaian jembel berlari-larian dengan wajah gembira sekali. Hatinya tertarik dan diapun melangkah mendekat ke tempat di mana para jembel itu berkerumun merubung sesuatu.
Dan diapun terheran melihat seorang pemuda remaja yang juga berpakaian tambal-tambalan berdiri di tengah-tengah rubungan para jembel itu. Pemuda ini berwajah kotor penuh debu sehingga sukar dikenali wajahnya, penuh keringat pula, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar gembira. Di sebelahnya terdapat sebuah karung yang terisi logam penuh!
Dan pemuda remaja ini sedang membagi-bagikan uang kepingan itu kepada para jembel, begitu royalnya dia menyebar uang seperti orang membuang pasir saja! Tentu saja hal ini menggegerkan orang sepasar karena sungguh merupakan penglihatan luar biasa jika seorang pemuda remaja jembel membagi-bagikan uang yang sedemikian banyaknya kepada kaum jembel dengan sikap seorang hartawan besar yang sudah kebanyakan uang rupanya.
Kini bukan hanya para jembel yang antri untuk menerima bagian pemberian, bahkan mereka yang miskin dan kebetulan berada di pasar, baik untuk berjualan maupun untuk berbelanja, tidak malu-malu untuk ikut pula antri. Pemuda remaja itu kelihatan gembira sekali, membagi-bagikan uang sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi, tiba-tiba semua orang yang sedang antri itu nampak ketakutan dan mereka bubaran meninggalkan tempat itu. Juga para jembel cepat-cepat meninggalkan tempat itu walaupun mereka belum memperoleh bagian. Agaknya semua orang merasa ketakutan secara tiba-tiba seperti ada bahaya yang mengancam keselamatan mereka.
Sejak tadi, Hui Song berdiri dengan mata terbelalak penuh kekaguman. Juga di dalam hatinya timbul rasa heran dan juga terharu melihat seorang pemuda jembel membagi-bagikan uang secara begitu royalnya. Sungguh penglihatan itu amat tidak lumrah dan seperti dunia sudah terbalik.
Orang-orang kaya paling sayang uang dan amat pelit mengeluarkan uangnya, sebaliknya seorang jembel malah membagi-bagikan uang seperti orang membuang pasir saja. Tentu saja hal inipun menimbulkan kecurigaan hatinya. Benarkah pemuda itu seorang jembel? Kalau benar demikian, apakah benar uang yang dibagi-bagikan itu uangnya sendiri ataukah uang curian?
Biar bagaimanapun juga, hati Hui Song tertarik sekali dan sudah timbul semacam rasa suka di hatinya terhadap pemuda jembel itu. Diapun melihat betapa semua orang bubaran dan melarikan diri dengan wajah seperti dicekam rasa takut. Lapangan depan pasar itu menjadi berkurang ramainya. Hanya mereka yang berjualan dan berbelanja saja yang masih berada di situ, akan tetapi wajah merekapun membayangkan rasa takut.
Sebaliknya, pemuda jembel yang membagi-bagikan uang itu nampak kecewa. Uangnya di dalam karung masih ada cukup banyak, masih seperempat karung dan orang-orang yang antri dan belum kebagian sudah keburu pergi bubaran. Diapun mengangkat muka memandang dan mencari-cari dengan pandang matanya. Ketika mencari-cari ini, tiba-tiba saja, tanpa disengaja, sepasang mata jembel muda itu bertemu dengan pandang mata Hui Song.
Hui Song terkejut sekali. Dia merasa seperti pernah mengenal pemuda jembel itu, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan dimana. Akan tetapi, begitu bertemu pandang, dia merasa yakin bahwa dia pernah mengenal jembel muda itu! Dia mengingat-ingat, akan tetapi sementara itu, jembel muda itu membuang muka dan memandang ke arah jalan masuk ke lapangan depan pasar itu. Hui Song juga memandang ke sana dan tahulah dia sebab daripada bubarnya semua orang tadi.
Dua orang kakek itu usianya tentu sudah ada enam puluh tahun. Pakaian mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah dua orang pengemis karena pakaian itu penuh dengan tambal-tambalan, hanya lucunya, baju penuh tambalan itu masih baru, bahkan kain kembang yang dipakai untuk menambal juga masih baru!
Keduanya memegang tongkat dan biarpun mereka itu jelas berpakaian pengemis, akan tetapi sikap mereka ketika melangkah memasuki lapangan terbuka di depan pasar itu tiada ubahnya dua orang pembesar tinggi atau dua orang perwira tinggi yang sedang berjalan. Kepala diangkat tinggi lurus, dada membusung dan langkahnya jelas dibuat-buat agar supaya nampak gagah! Tongkat itu dipegang seperti pembesar memegang tongkat komando saja.
Sungguh aneh, akan tetapi amat lucu dalam pandangan Hui Song sehingga dia tersenyum lebar menahan tawa. Baginya, dua orang itu lebih mirip dua orang badut yang sedang berlagak di atas panggung. Akan tetapi, jelaslah bahwa semua orang yang bubaran tadi adalah karena munculnya dua orang kakek pengemis ini.
Sekarangpun, mereka berjalan seperti orang-orang yang berkuasa, dan pandang mata semua orang di situ yang ditujukan kepada mereka mengandung bayangan rasa takut, seperti orang-orang yang memandang dua ekor harimau ganas yang dilepas di tempat umum.
Siapakah adanya dua orang kakek pengemis yang begitu besar pengaruhnya sehingga semua orang menyingkir ketakutan begitu mereka muncul? Mereka itu adalah dua orang tokoh perkumpulan Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang).
Dahulu, ketika Hwa-i Kai-pang masih dipimpin oleh orang gagah perkasa yang budiman, perkumpulan ini terkenal sebagai perkumpulan yang bersih. Dahulu perkumpulan ini hanya bertujuan untuk mendidik para pengemis, mengajarkan kepandaian tertentu agar mereka itu dapat terjun ke dalam masyarakat dengan bekerja dan meninggalkan kebiasaan mereka mengemis. Juga mereka yang memiliki ilmu silat tentu bertujuan untuk membela kepentingan kaum lemah yang tertindas. Akan tetapi akhir-akhir ini, setelah dipimpin oleh seorang lihai yang berambisi dan dipengaruhi oleh kaki tangan Liu-thaikam, berubah pulalah keadaan perkumpulan itu.
Hwa-i Kai-pang kini dipimpin oleh seorang tokoh yang berjuluk Hwa-i Lo-eng (Pendekar Tua Baju Kembang). Julukannya saja pendekar, akan tetapi sepak terjangnya sama sekali tidak depat dinamakan bijaksana atau budiman. Apalagi setelah dia dapat dibujuk oleh orang-orangnya Liu-thaikam, maka keadaan perkumpulan itu berobah sama sekali.
Liu Kim atau Liu-thaikam adalah seorang yang amat cerdik. Dia tahu bahwa dia sendiri tidak memiliki kekuatan apapun. Kalau dia dapat memiliki kekuasaan dan pengaruh, hal itu adalah karena kaisar yang muda itu amat percaya kepadanya dan memang dia seorang yang pandai melaksanakan pekerjaan.
Segala perintah pekerjaan yang diserahkan kepadanya tentu terlaksana dengan beres dan baik. Akan tetapi, diapun seorang yang suka sekali menumpuk harta sehingga untuk memuaskan nafsu yang tak kunjung padam itu dia melakukan korupsi besar-besaran. Hal ini tentu saja menimbulkan tentangan dari panyak pembesar yang setia dan jujur.
ASMARA BERDARAH JILID 029
(↕)
Untuk melindungi dirinya, kekayaan dan kedudukannya, maka Liu-thaikam sengaja menyuruh kaki tangannya untuk menghubungi orang-orang pandai di luar istana. Dengan menggunakan kekayaannya yang amat besar, dia berhasil menarik orang-orang pandai dari golongan hitam untuk menjadi antek-anteknya. Bahkan akhir-akhir ini dia berhasil memperalat Cap-sha-kui.
Dan tentu saja dia secara mati-matian melindungi kaisar karena kaisar muda itulah yang menjadi pohon emasnya! Kalau sampai kaisar muda itu diganti, berarti dia akan kehilangan kedudukannya, dan mungkin kekayaannya akan dirampas, juga mungkin saja nyawanya pula! Itulah sebabnya mengapa dia mati-matian menjaga keselamatan kaisar dan hal ini bahkan menambah rasa sayang kaisar kepadanya karena perlindungan yang diberikannya itu hanya diartikan sebagai suatu kesetisan besar dari kepala thaikam itu kepada kaisar.
Bukan hanya Cap-sha-kui yang terkena bujukan dan dapat dibeli oleh Liu-thaikam, akan tetapi juga perkumpulan-perkumpulan kuat lainnya. Satu diantaranya adalah Hwa-i Kai-pang yang kini berpusat di Cin-an dan sebagian membuka cabang di kota raja.
Karena mendengar bahwa perkumpulan pengemis ini amat kuatnya, dan memiliki pengaruh yang luas di kalangan para pengemis, Liu-thaikam lalu menyuruh kaki tangannya untuk menghubungi ketuanya, yaitu Hwa-i Lo-eng dan dengan pengaruh harta dan juga kedudukan, ketua yang julukannya gagah ini terjatuh dan dia membawa seluruh anggauta perkumpulan untuk menjadi kaki tangan yang setia dari Liu-thaikam.
Kepercayaan dari orang penting berarti kekuasaan dan kekuasaan merupakan milik yang amat berbahaya. Sudah banyak terbukti dalam sejarah sejak jaman dahulu sampai kini, kebanyakan orang setelah memiliki kekuasaan menjadi mabok kekuasaan dan menyalahgunakan kekuasaannya.
Kekuasaan biasanya membuat orang menjadi tinggi hati, sombong dan ingin memamerkan kekuasaannya dan kalau hal ini teriadi, maka timbullah perbuatan sewenang-wenang dari orang yang mengumbar kekuasaannya. Dan orang-orang yang mabok kekuasaan ini menunjukkan bahwa dia adalah orang yang lemah batinnya, hilang perikemanusiaannya, bahkan bukan seperti manusia lagi melainkan hanya merupakan alat pelampiasan nafsu yang memperhambanya.
Demikian pula keadaan para anggauta Hwa-i Kai-pang. Semenjak mereka menjadi kaki tangan Liu-thaikam, kurang lebih setahun yang lalu, mereka semua merasa seolah-olah mereka telah menjadi pasukan khusus pembesar itu yang besar sekali kekuasaannya dan mereka hendak memaksakan segala macam keinginan hati mereka kepada rakyat tanpa ada rakyat berani melawan karena kepandaian mereka yang tinggi.
Juga tidak ada pembesar berani menentang mereka setelah mengetahui bahwa para pengemis baju kembang itu adalah antek-antek Liu-thaikam! Makin besar kepala sajalah mereka ini, terutama sekali di Cin-an, mereka seolah-olah lebih berkuasa dari para petugas keamanan kota sendiri. Menyiksa dan membunuh orang mudah saja mereka lakukan tanpa tuntutan, dengan dalih bahwa yang mereka siksa atau bunuh itu adalah orang-orang yang bermaksud memberontak terhadap pemerintah.
Demikianlah keadaan para anggauta Hwa-i Kai-pang yang mudah dikenal dari pakaian, tongkat dan gaya mereka. Maka, tidaklah mengherankan apabila orang-orang melarikan diri ketakutan ketika ada dua orang anggauta Hwa-i Kai-pang muncul di pasar itu. Biasanya, para tokoh kai-pang ini hanya menyuruh anak buah mereka saja yang masih muda-muda. Kalau kini ada dua orang tokoh tua maju sendiri, tentu akan terjadi hal-hal yang mengerikan, setidaknya tentu akan ada orang terbunuh.
Hui Song belum pernah mendengar tentang Hwa-i Kai-pang, maka diapun merasa heran dan tidak tahu mengapa dua orang kakek pengemis ini ditakuti orang dan apa yang akan dilakukan kakek itu.
Pada saat itu, ada seorang pengemis muda, paling banyak tiga belas tahun usianya, agaknya anak jembel ini tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk memperoleh pembagian uang. Dia berlari menghampiri pemuda jembel yang membagi-bagikan uang itu, lalu mengulurkan tangan memberi isyarat minta-minta. Pemuda remaja itu memandang heran, tersenyum gembira dan memberikan uang logam segenggam sambil berkata, suaranya lantang gembira.
"Bagus, nih kuberi banyak sebagai hadiah keberanianmu. Engkau tidak seperti mereka yang pengecut dan penakut."
Mata anak itu terbelalak ketika melihat segenggam uang logam di tangannya. Belum pernah dia mempunyai uang sebanyak itu! Dia bergembira dan lupa akan kemunculan dua orang kakek pengemis tadi, sambil tersenyum lebar dia menjura berkali-kali kepada pemuda remaja jembel itu sambil berkata,
"Terima kasih, kak, terima kasih, kak!" Lalu dia lari dengan wajah berseri.
Akan tetapi, tiba-tiba larinya terhenti karena ada tubuh orang menghadang di depannya. Anak itu mengangkat mukanya memandang dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat ketakutan ketika dia melihat bahwa yang menghadangnya adalah seorang diantara dua kakek pengemis baju kembang tadi.
"Aku... aku tidak mencuri... aku tidak melakukan kesalahan..." Anak itu membela diri ketika melihat pandang mata kakek yang bengis itu.
"Plakkk!"
Tangan kakek itu bergerak dan tubuh anak jembel itu terpelanting, uang yang digenggamnya terlempar ke mana-mana dan iapun menangis sambil memegangi kepalanya yang terasa nyeri seperti akan pecah rasanya. Pipi kirinya bengkak dan matang biru karena tamparan yang amat keras tadi.
"Masih kecil sudah menjadi tukang tadah, kelak hanya akan menjadi maling atau perampok saja. Lebih baik kupatahkan dulu kedua lenganmu!" kata si kakek pengemis.
Banyak orang menonton peristiwa itu dan kakek pengemis kedua berdiri dengan tongkat melintang dan pandang mata menantang seolah-olah ingin sekali melihat siapa yang akan berani menghalangi mereka berdua.
"Ampun... aku tidak berani lagi, ampun...!"
Anak itu meratap ketakutan ketika kakek pengemis yang memiliki tahi lalat besar pada dagunya itu melangkah maju menghampirinya dengan air muka bengis dan sadis.
"Ulurkan lenganmu! Cepat!" bentaknya.
"Tidak... tidak... ampunkan aku..."
Anak itu meratap. Dia sudah mendengar akan kekejaman pengemis-pengemis baju kembang ini dan mendengar bahwa kedua lengannya akan dipatahkan, tentu saja anak itu menjadi ketakutan.
"Apa? Engkau berani membantah? Apakah engkau ingin kupatahkan lehermu sebaiknya daripada kedua lenganmu?"
"Ohhh... ampunkan aku...!"
Karena diancam hendak dipatahkan lehernya, anak itu menjadi semakin ketakutan dan tiba-tiba melarikan diri.
"Berani engkau melarikan diri? Engkau layak dibunuh!"
Kakek itu membentak sehingga si anak jembel menjadi semakin panik. Larinya dipercepat dan tiba-tiba dia menabrak seseorang yang cepat memegang pundaknya.
"Aduh, ampun...!"
Anak itu menggigil dan mengangkat muka memandang. Akan tetapi ternyata yang ditabraknya itu bukanlah kakek pengemis, melainkan seorang pemuda tinggi besar yang memandang kepadanya sambil tersenyum.
"Jangan takut, pergilah dari sini!" kata pemuda itu yang bukan lain adalah Hui Song!
Anak jembel itu pulih kembali semangatnya dan diapun cepat melarikan diri meninggalkan tempat berbahaya itu, hampir tidak percaya bahwa kedua lengannya masih utuh. Dia dapat lolos demikian mudahnya.
Tentu saja dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang itu menjadi marah bukan main. Belum pernah ada orang berani mencampuri urusan mereka, apalagi menentang mereka. Pemuda berbaju kedodoran itu sungguh lancang sekali. Menyuruh bocah itu pergi sama saja dengan menantang mereka, maka mereka berdua berloncatan ke depan pemuda itu dengan tongkat me-lintang di depan dada dan pandang mata penuh ancaman.
"Siapakah engkau, begini berani mampus menentang kami?" bentak kakek pe-ngemis yang bertahi lalat di dagunya itu.
Hui Song tersenyum mengejek.
"Siapa adanya aku tidaklah penting, karena aku hanya orang biasa saja. Akan tetapi kalian inilah yang aneh luar biasa. Kalian ini jelas dua orang kakek, akan tetapi memakai pakaian kembang-kembang, begitu penuh aksi mengalahkan pemuda-pemuda remaja, dan kalian hendak mematahkan lengan anak kecil. Sungguh luar biasa sekali, tidak lumrah manusia. Siapakah kalian?"
Dua orang kakek itu saling pandang dengan muka merah. Belum pernah ada manusia sekurang ajar ini terhadap Hwa-i Kai-pang. Kakek kedua yang mukanya hitam melotot dan membentak,
"Bocah kurang ajar! Apakah matamu sudah buta? Engkau berhadapan dengan dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang!"
Agaknya kakek ini hendak menggertak dengan menggunakan nama perkumpulannya yang tersohor ditakuti orang.
Akan tetapi, pemuda tinggi besar yang berwajah cerah itu hanya tersenyum, sedikitpun tidak nampak kaget mendengar nama Hwa-i Kai-pang.
"Hemmmm, kalau namanya seperti perkumpulan pengemis, akan tetapi kalau melihat tindakannya, patutnya perkumpulan tukang pukul. Apakah kalian ini pengemis merangkap tukang pukul?"
"Lancang mulut! Kami adalah pembantu pemerintah, menjaga keamanan!" bentak si tahi lalat.
"Menjaga keamanan dengan mematah-matahkan lengan anak kecil?" Hui Song mengejek.
"Anak itu telah menjadi tukang tadah. Jembel muda itu telah mencuri uang sedemikian banyaknya maka dibagi-baginya dan siapa yang menerima pembagiannya berarti tukang tadah barang curian."
"Wah, wah, baru sekarang aku melihat pengemis berlagak menjadi jaksa dan sekaligus hakimnya!"
Tiba-tiba pengemis muda yang tadi membagi-bagi uang, berkata dengan suara nyaring sekali,
"Hayaaa... ceriwis dan cerewet amat sih seperti tiga nenek-nenek tua bertengkar saja. Kenapa tidak genjot saja dan habis perkara?"
Ucapan ini entah ditujukan kepada pihak pengemis ataukah kepada Hui Song, atau kepada ketiganya. Akan tetapi, ucapan itu agaknya mengenai sasaran karena dua orang pengemis itu sudah berteriak marah dan tongkat di tangan mereka bergerak menyerang Hui Song dengan gerakan cepat dan kuat.
"Hemm, kalian adalah orang-orang jahat, tak salah lagi!"
Hui Song berkata sambil mengelak dengan sigapnya, kemudian balas menyerang dengan tamparan-tamparan tangannya. Dua orang kakek itu menangkis dengan tongkat mereka dan Hui Song membiarkan lengannya tertangkis tongkat-tongkat itu.
"Plak! Plak!"
Dua orang kakek pengemis itu terhuyung dan mereka merasa terkejut sekali mendapat kenyataan betapa pemuda itu memiliki kekuatan sin-kang yang amat besar, jauh lebih kuat daripada mereka. Merekapun mendesak lagi dengan permainan tongkat mereka yang cukup hebat. Namun kini Hui Song melayani mereka sambil tersenyum-senyum mengejek.
"Kalian berdua tukang pukul jembel tentu sudah banyak memukul orang, maka biarlah sekarang aku membalaskan mereka yang pernah kau pukul!" Hui Song berkata dan tangan kirinya bergerak secepat kilat, disusul tangan kanannya.
"Takk! Takk!"
Kepala dua orang pengemis itu tak terhindarkan lagi terkena jitakan jari-jari tangannya. Dua orang kakek ini terhuyung dan mengelus kepala mereka yang menjadi benjol-benjol itu sambil meringis kesakitan.
Hui Song memang mempermainkan mereka. Kalau jitakan di kepala tadi dia lakukan dengan pengerahan sin-kang, tentu kepala dua orang itu sudah retak dan mereka akan tewas seketika. Akan tetapi dia hanya menggunakan tenaga biasa saja, cukup membuat kepala yang dilindungi itu menjadi benjol sebesar telur ayam.
ASMARA BERDARAH JILID 030
(↕)
"Bagus... bagus... hantam terus...!"
Terdengar suara orang bersorak dan ternyata yang bersorak itu adalah Sui Cin yang menyamar sebagai jembel muda yang membagi-bagi uang tadi. Siapa lagi jembel muda yang membagi-bagi uang itu kalau bukan Ceng Sui Cin? Biarpun ia selalu menyamar sebagai jembel muda atau gadis perantau yang tidak mewah, namun sesungguhnya dara ini kaya raya.
Orang tuanya, Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah, adalah orang yang memiliki harta benda amat besar, terutama setelah pendekar sakti ini menjadi ahli waris dari Harta Karun Jenghis-Khan. Maka, sesungguhnya tidaklah terlalu mengherankan kalau Sui Cin dapat menghambur-hamburkan uang receh itu seperti orang membuang pasir saja.
Ketika Hui Song muncul, seketika Sui Cin mengenal pemuda tinggi besar lihai yang menjadi putera ketua Cin-ling-pai ini dan hatinya merasa gembira. Terutama sekali karena ia sudah menyamar sebagai seorang jembel muda dan ia merasa yakin bahwa putera Cin-ling-pai itu tidak akan mengenalnya dalam penyamaran.
Kini, melihat betapa pemuda yang lincah jenaka itu menghadapi dua orang kakek pengemis galak dan mempermainkan mereka, hatinya menjadi gembira dan iapun bersorak. Orang-orang di depan pasar itu lari menjauhkan diri melihat perkelahian yang dilakukan oleh dua orang kakek Hwa-i Kai-pang, takut terlibat dan terseret.
Akan tetapi bagaimana mungkin jembel muda yang menjadi biang keladi kemarahan orang-orang Hwa-i Kai-pang itu malah bersorak-sorak melihat dua orang tokoh pengemis itu terkena pukulan lawan? Ini sama dengan mencari mati namanya!
Mendengar sorakan pemuda jembel itu, Hui Song tertawa. Kembali dia bertemu dengan seorang muda yang hebat, pikirnya. Seorang jembel yang bukan saja menghamburkan uang untuk memberi sedekah seperti menghamburkan pasir, akan tetapi juga yang memiliki nyali cukup besar untuk berani mentertawakan dan mengejek dua orang kakek pengemis yang galak dan yang agaknya ditakuti semua orang itu.
Memperoleh dukungan jembel muda itu, Hui Song makin hebat mempermainkan dua orang kakek pengemis itu. Jitakan pertama masih terasa oleh mereka berdua ketika tendangannya membuat mereka roboh dan karena yang ditendang itu pinggul mereka, maka akibatnya tidak membuat mereka lumpuh melainkan hanya nyeri yang memaksa mereka meringis kesakitan lagi.
Tentu saja mereka menjadi semakin marah karena merasa dipermainkan. Sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka mengenal orang pandai, dan mereka juga maklum bahwa mereka bukanlah lawan pemuda itu. Akan tetapi tentu saja mereka merasa malu untuk mundur atau mengaku kalah. Dengan kemarahan meluap merekapun menyerang lagi, kini serangan mereka yang didorong luapan amarah menjadi memba-bibuta. Dan tentu saja lebih mudah lagi bagi Hui Song untuk melayani dan mempermainkan mereka. Beberapa kali kaki atau tangannya membuat dua orang lawan itu jatuh bangun dengan muka matang biru dan tubuh babak bundas.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan dari luar masuklah banyak orang ke dalam lapangan depan pasar. Orang-orang yang tadinya masih berani nonton perkelahian itu dari jarak jauh, kini pergi untuk tidak kembali. Mereka ketakutan melihat munculnya belasan orang anggauta Hwa-i Kai-pang bersama sepasukan penjaga keamanan kota yang terdiri dari dua puluh orang lebih dan pasukan ini bersenjata lengkap, golok dan tombak! Tanpa banyak cakap lagi, tiga puluh orang lebih itu dengan kacau-balau mengurung, menyerbu dan menyerang Hui Song!
Tentu saja Hui Song harus mempergunakan semua kelincahannya untuk menghadapi pengeroyokan orang yang demikian banyaknya. Di dalam hatinya, dia merasa penasaran dan juga heran. Kawanan pengemis Hwa-i Kai-pang ini jelas bukanlah golongan baik-baik, terlalu kejam dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Orang-orang seperti ini biasanya digolongkan penjahat-penjahat, akan tetapi mengapa kini pasukan pemerintah malah membantu mereka? Dua kali sudah dia menemui hal-hal yang aneh.
Pertama kali, datuk-datuk sesat macam Cap-sha-kui melindungi kaisar, dan kedua kalinya, kini pasukan pemerintah membantu gerombolan seperti orang-orang Hwa-i Kai-pang dan menyerang rakyat baik-baik! Dia merasa penasaran sekali dan biarpun dia tidak ingin membunuh orang, kini dia menambah tenaga dalam tamparan-tamparannya sehingga dalam waktu singkat, enam orang sudah dia robohkan dengan tulang lengan, kaki atau pundak patah-patah, membuat mereka tidak mampu melakukan pengeroyokan lagi.
Bagaimanapun juga, jumlah pengeroyok itu teramat banyak dan para anggauta Hwa-i Kai-pang itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi maka Hui Song merasa repot juga. Kalau dia mau melarikan diri, tentu tidak begitu sukar baginya karena sekali mempergunakan gin-kang dan meloncat keluar lalu lari, kiranya mereka itu tidak akan mampu menyusulnya. Akan tetapi, yang membuat dia merasa malu untuk lari adalah sorakan dan teriakan pemuda jembel tadi.
"Hayo, gasak saja tikus-tikus itu! Ha-ha-ha, robohkan mereka semua satu demi satu, baru gagah namanya!"
Teriakan-teriakan ini membuat hati Hui Song mendongkol. Kurang ajar, pikirnya, enak saja pemuda jembel itu membikin dia menjadi tontonan tanpa bayar. Dan kata-katanya membuat dia merasa malu kalau harus melarikan diri, takut dianggap penakut dan tidak gagah!
Teriakan Sui Cin itu tidak hanya membuat Hui Song mendongkol, akan tetapi juga membuat para pengeroyok menjadi marah. Mereka yang tidak dapat ikut mengeroyok pemuda itu karena jumlah mereka yang terlalu banyak, kini membalik dan mengepung Sui Cin sambil mengacung-acungkan senjata, siap untuk mangeroyoknya. Melihat ini, Hui Song tertawa.
"Rasakan kamu sekarang!" teriaknya ke arah pemuda jembel itu, akan tetapi diam-diam dia mendekati dan siap untuk melindunginya kalau ternyata pemuda jembel itu hanya baik hati dan bengal saja akan tetapi tidak becus menjaga diri dari serangan banyak orang bersenjata.
Akan tetapi, pemuda ini terbelalak kaget ketika melihat si pemuda jembel, sambil tersenyum mengejek, menggerak-gerakkan kedua tangannya dan uang-uang logam yang digenggamnya beterbangan ke depan, meluncur seperti peluru-peluru ke arah orang-orang yang datang hendak mengeroyoknya.
Terdengar teriakan-teriakan mengaduh dan empat orang melemparkan senjata mereka, terpincang-pincang berusaha mencabut uang logam yang menancap hampir lenyap kedalam paha atau betis mereka.
"Aduh... aduhh... kakiku...!" Mereka berteriak-teriak dan berloncatan. Darah mengalir membasahi celana mereka.
Sui Cin tertawa-tawa dan bertepuk tangan gembira.
"Ha-ha-hi-hi-hi, kalian seperti sekumpulan monyet menari-nari... heh-heh!"
Para perajurit lainnya marah dan menyerbu. Akan tetapi mereka disambut oleh hujan uang logam yang kalau mengenai tubuh mereka amat tajam dan runcing seperti senjata rahasia piauw saja. Uang logam itu menembus pakaian dan kulit, menyusup ke dalam tulang. Tentu saja mereka yang terkena sambaran senjata rahasia yang istimewa itu.
Melihat kelihaian pemuda jembel itu, Hui Song menjadi girang bukan main. Tak disangkanya pemuda jembel bengal seperti itu ternyata lihai sekali. Sui Cin sendiri girang melihat hasil sambitan-sambitannya.
"Ha-ha-ha, uang ini benar-benar serba guna, dapat diberikan orang-orang baik untuk membeli makanan penahan kelaparan, dapat pula dipergunakan untuk menghajar orang-orang jahat."
Ketika tanpa disengaja sebuah diantara uang logam yang disambit-sambitkan itu tepat mengenai tulang kering seorang pengeroyok sehingga orang itu berjingkrak-jingkrak saking nyeri dan kiut-miut rasa tulang keringnya, Sui Cin menjadi gembira bukan main dan sambil masih tertawa-tawa dara inipun kini membidikkan sambit-sambitannya ke arah tulang kering kaki para pengeroyok itu.
Makin banyak yang terkena sambaran uang logam tulang kering kakinya, makin banyak pula yang berjingkrak seperti orang-orang menari dengan gaya yang lucu dan makin terbahaklah Sui Cin.
Akan tetapi kini pasukan pemerintah datang semakin banyak dan karena banyaknya pengeroyok, Sui Cin tidak dapat mengandalkan lagi uang-uang logam itu dan diserbu dari belakang, terpaksa iapun berloncatan dan melakukan perlawanan seperti Hui Song, dengan tangan kosong.
Setiap kali menyamar sebagai pemuda jembel, ia selalu meninggalkan payungnya. Payung dan kuda cebolnya itu hanya dipergunakan kalau ia berpakaian sebagai wanita saja. Dan sekarang kuda dan payungnya itu dititipkannya di tempat yang aman.
Hui Song menjadi semakin kagum melihat betapa selain pandai mempergunakan uang logam sebagai senjata rahasia yang ampuh, ternyata pemuda jembel itupun lihai sekali ilmu silatnya sehingga dengan tangan kosong berani menyerbu banyak pengeroyok yang mempergunakan senjata tajam.
Akan tetapi kekagumannya kini bercampur dengan keheranan karena dia segera mengenal gerakan-gerakan jurus ilmu silat yang dimainkan pemuda itu. Lagi-lagi seorang ahli silat keluarga Cin-ling-pai, pikirnya. Hatinya penasaran sekali dan tiba-tiba saja diapun teringat. Pantas dia merasa pernah bertemu dengan pemuda ini. Mata itu! Senyum itu! Kebengalan itu dan akhirnya ilmu silat itu. Sama benar dengan dara remajan nyentrik yang pernah dijumpainya! Akan tetapi jembel ini adalah seorang pemuda. Tentu saudaranya! Ataukah saudara seperguruan?
"Heii, sobat muda yang baik, tidak benar melanjutkan perlawanan terhadap pasukan pemerintah. Hayo kita pergi!" kata Hui Song ketika melihat betapa pasukan pemerintah semakin banyak berdatangan dan melakukan pengeroyokan.
Sui Cin juga merasa tidak enak kalau melanjutkan amukannya melihat betapa kini tempat itu penuh dengan perajurit pemerintah. Ayahnya tentu akan marah bukan main kalau mendengar bahwa ia bermusuhan dengan pasukan pemerintah karena hal ini hanya dapat diartikan bahwa ia telah menjadi pemberontak!
Maka, mendengar ucapan Hui Song, iapun tertawa dan meloncat sambil membawa dua genggam uang logam. Hui Song juga meloncat jauh dan ketika para pengeroyok melakukan pengejaran, Sui Cin melempar-lemparkan uang logam dua genggam itu sehingga para pengeroyok dan pengejar menjadi jerih. Dengan mudah mereka berdua lari meninggalkan kota Cin-an dan keluar dari pintu gerbang sebelah utara.
Hui Song mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi dengan kagum dan heran dia mendapat kenyataan betapa jembel muda itu dapat mengimbangi kecepatannya! Perkelahian dikeroyok banyak lawan itu membuat keduanya puas benar. Kedua orang itu memang suka sekali bersilat, apalagi menghadapi pengeroyokan banyak orang dimana mereka berdua dapat melampiaskan hati sepuasnya dengan menghajar para lawannya.
Dan mengingat akan kelucuan pemuda jembel itu merobohkan lawan dengan melempar-lemparkan uang logam, keduanya berlari sambil tertawa-tawa. Setelah mereka tiba di dekat hutan jauh di luar kota, dan tidak melihat adanya pengejar, berhentilah mereka terengah-engah akan tetapi masih tertawa gembira.
Begitu melihat wajah pemuda jembel itu yang tertawa-tawa, hati Hui Song sudah tertarik sekali dan dia merasa amat suka kepada pemuda itu. Mereka berdua merasa lelah, bukan hanya karena perkelahian tadi, akan tetapi juga karena berlari cepat dan ditambah lagi karena tertawa-tawa dan mereka berdua menjatuhkan diri di atas rumput tebal di bawah pohon. Sui Cin menurunkan buntalannya dari atas punggungnya dan berkata sambil tersenyum,
"Aah, perkelahian yang amat menyenangkan!"
"Dan engkau hebat sekali, sobat muda!" kata Hui Song dengan sungguh-sungguh. "Engkau masih begini muda, akan tetapi engkau telah memiliki kedermawanan besar dan memiliki kepandaian yang amat mengagumkan, terutama... eh, ilmu menyambit dengan uang logam tadi!"
"Hemm, kebisaanku apa artinya kalau dibandingkan dengan kelihaianmu?"
Sui Cin berkata sejujurnya karena iapun kagum akan kepandaian pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini. Ia sudah banyak mendengar tentang ketua Cin-ling-pai dari ayahnya. Menurut penuturan ayahnya, ketua Cin-ling-pai bernama Cia Kong Liang, pendekar yang telah mewarisi ilmu silat keluarga Cin-ling-pai, seorang yang menurut ayahnya berwatak keras dan agak tinggi hati.
Dari penuturan ayahnya, ia dapat menduga bahwa ayahnya tidak begitu suka kepada ketua Cin-ling-pai yang tinggi hati itu. Dan Cia Kong Liang ini menikah dengan puteri bekas datuk sesat. Mungkin karena pengaruh cerita ayahnya itulah hati Sui Cin masih belum percaya bahwa Hui Song dan sedang meraba-raba apakah pemuda ini juga tinggi hati seperti ayahnya.
"Sobat muda, aku tidak hanya memuji kosong saja. Jarang aku memuji orang, akan tetapi aku sungguh kagum kepadamu. Engkau mengingatkan aku akan..."
"Nanti saja kita lanjutkan percakapan kita. Sekarang perutku lapar, apakah engkau mau makan bersamaku?"
Hui Song tertegun karena pembicaraannya diputus seperti itu.
"Lapar? Makan? Ah... tentu saja, akupun lapar," katanya gembira karena melihat kelucuan ini.
ASMARA BERDARAH JILID 031
(↕)
Sui Cin membuka buntalan pakaiannya, akan tetapi tidak dibukanya semua, hanya sedikit saja untuk mengambil bungkusan kertas tebal dari dalamnya, lalu menutup kembali buntalan pakaiannya, seolah-olah ia tidak ingin Hui Song melihat isi buntalannya. Dan memang tentu saja ia tidak menginginkan pemuda itu melihat bekal pakaian wanita yang disimpan di dalam buntalannya itu. Untuk mengalihkan perhatian pemuda itu yang mengamati gerak-geriknya, Sui Cin bertanya,
"Sobat, makanan apakah yang paling kausukai?"
"Aku...?" Hul Song tersenyum sehingga wajahnya yang gagah itu berseri. "Aku suka makan... kodok!"
"Hah? Katak? Katak buduk?"
Sui Cin menggoda, berlagak kaget dan membelalakkan matanya. Sejenak Hui Song terpesona. Mata itu demikian lebar dan indahnya, mengingatkan dia kepada dara yang galak tempo hari.
"Ha-ha-ha, tentu saja bukan katak buduk yang beracun. Melainkan katak swike yang terdapat di sawah, atau katak hijau, atau kalau ada sih katak batu yang besar-besar dan lembut dagingnya itu!"
Sui Cin tersenyum mengejek.
"Di hutan begini, mana ada yang menjual swike? Bahkan restoranpun harus yang besar kalau mau mencari makanan itu. Nih, adanya hanya nasi cap-jai, kalau engkau lapar boleh makan bersama aku. Boleh saja makan sambil membayangkan kodok batu, atau kalau tidak ada kodoknya, batunya juga boleh kan?"
"Ha-ha-ha-ha! Engkau sungguh lucu sekali!"
Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin membuka bungkusan kertas dan ternyata di dalamnya terdapat bungkusan dengan daun lebar yang ketika dibuka terisi cap-jai dan nasi.
"Nah, silakan makan," kata Sui Cin.
"Tapi... tidak ada mangkok tidak ada sumpit, bagaimana harus makan?" Hui Song bertanya.
"Alaaaa, aksi dan genit amat sih! Tidak ada mangkok, kan ada daun ini? Tidak ada sumpit katamu? Sumpit hanya dua batang, sedangkan kita mempunyai lima batang sumpit alam, untuk apa kalau tidak dipergunakan?"
Berkata demikian, langsung saja Sui Cin menggunakan lima sumpit alam alias lima jari tangan kanannya untuk menjumput nasi dan sayur lalu dimakannya dengan lahap.
Melihat ini, Hui Song terbelalak, memandang tangannya. Ingin dia mengatakan bahwa tangannya harus dicuci dulu, akan tetapi karena malu dikatakan aksi dan genit, diapun nekat dan menggunakan tangannya itu, tanpa dicuci atau dibersihkan, untuk menjumput makanan dengan kaku dan makan.
Mereka berdua makan dengan tangan begitu saja dengan makanannyapun berada di atas daun, seperti dua orang dusun yang amat bersahaja. Diam-diam Hui Song semakin kagum kepada pemuda remaja jembel ini yang agaknya sudah terbiasa hidup serba kekurangan dan dapat menyesuaikan diri dengan kesederhanaan yang begitu polos dan tidak dibuat-buat.
Dan mengingat bahwa pemuda ini tadi menghamburkan uang sedemikian banyaknya seperti pasir! Padahal, kalau dia mau mempergunakan uang sekarung itu untuk diri sendiri, tentu dia akan dapat makan enak di restoran, dengan mangkok perak dan sumpit gading sekalipun! Makin kagumlah dia. Dia sendiripun suka hidup ugal-ugalan atau tidak berbasa-basi, biasa berkelana dan suka akan kebebasan hidup sederhana, akan tetapi belum pernah dia makan menggunakan lima sumpit alamnya, maka makannyapun tidak kelihatan selahap dan seenak pemuda jembel itu. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan makanan itu berhenti di tenggorokannya.
"Ada apa?" Sui Cin bertanya sambil memandang wajah Hui Song yang tiba-tiba berobah itu. "Apakah ada tulang melintang di kerongkonganmu?"
Pertanyaan itu lucu dan mengundang kembali kegembiraan hati Hui Song akan tetapi tidak dapat mengusir dugaan yang menyelinap di dalam pikirannya. Bahkan pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat mulutnya mengucapkan isi hatinya.
"Apakah... apakah makanan ini sisa makanan yang kau dapatkan dari rumah makan?"
Dugaan itu timbul ketika dia teringat bahwa pemuda remaja itu seorang pengemis dan bukankah sudah menjadi kebiasaan para pengemis untuk mengemis sisa makanan dari restoran-restoran? Teringat bahwa yang ditelannya adalah sisa makanan yang dikumpulkan dari restoran itulah yang membuat lehernya seperti tercekik tadi.
Mendengar pertanyaan itu, seketika wajah Sui Cin menjadi merah. Dengan gerakan marah ia lalu membuang bungkusan makanan yang sedang mereka makan itu sehingga isinya tumpah berserakan di atas tanah. Hampir Sui Cin menangis, akan tetapi ditahannya karena ia teringat bahwa ia sedang menyamar sebagai seorang pemuda sehingga akan janggallah kalau menangis. Hui Song terkejut bukan main.
"Ada apakah? Mengapa... ah, maafkan aku, bukan maksudku untuk menghina." katanya gagap setelah dia sadar bahwa dia telah salah bicara tadi.
Sungguh watak yang aneh sekali, pikirnya. Seorang jembel muda membagi-bagi uang dan kini marah-marah ketika ditanyakan apakah makanannya didapat dari mengemis sisa makanan. Dimana bisa didapatkan seorang jembel seperti ini? Dan pakaiannya memang jembel, mukanya penuh debu.
"Aku bukan pengemis!" Sui Cin berkata dengan suara agak ketus.
Hui Song mengangguk-angguk.
"Aku lupa bahwa engkau pernah membagi-bagi banyak uang. Tentu engkau seorang Sin-touw (Maling Sakti)..."
"Aku bukan maling!"
Bentakan Sui Cin lebih keras lagi, mengejutkan hati Hui Song. Keduanya diam dan termenung sambil memandang makanan yang berserakan di atas tanah. Tentu saja makanan itu kotor dan tidak dapat dimakan lagi, padahal perut mereka masih lapar. Jelas nampak kekecewaan membayang di wajah kedua orang muda itu.
Tiba-tiba, agaknya melihat masakan itu tidak dapat diraih padahal demikian dekatnya, terdengar bunyi perut berkeruyuk saling sahut. Keduanya mengangkat muka saling pandang dan seketika kebekuan diantara mereka mencair.
"Perutmu berkeruyuk!" Hui Song berkata menahan senyum geli.
"Perutmu juga!" jawab Sui Cin dan keduanya tertawa geli. "Salahmu!" Sui Cin mengomel akan tetapi wajahnya kini berseri kembali. "Dugaanmu yang keji membuat aku marah dan membuang makanan kita. Sekarang kita lapar dan aku hanya tinggal mempunyai roti tawar kering saja."
"Roti tawar amat enak dimakan ketika perut lapar."
"Memang."
"Dan dapat mengenyangkan perut," kata pula Hui Song.
"Memang."
Biarpun membenarkan ucapan pemuda itu, namun Sui Cin belum juga mengeluarkan roti tawar yang tersimpan dalam buntalannya dan ia nampak termenung.
Hui Song memandang heran.
"Kalau kita lapar sekali... dan roti tawar itu cukup enak..."
Tiba-tiba Sui Cin mengangkat mukanya dan memotong.
"Engkau suka swike...?"
Tentu saja Hui Song terkejut mendapat pertanyaan mendadak seperti serangan pedang runcing ditusukkan ke jantungnya itu.
"Apa...?"
"Engkau suka swike, terutama kodok batu...?"
Kembali Sui Cin bertanya dan ia menoleh ke kiri, memandang ke puncak bukit dimana nampak beberapa ekor burung pipit beterbangan. Hui Song memandang dengan mata terbelalak kepada wajah yang kotor berdebu itu, alisnya berkerut, takut kalau-kalu pemuda jembel ini mempunyai keistimewaan lain lagi yang tidak menguntungkan, yaitu otaknya miring!
Orang yang tidak beres ingatannya harus disetujui saja kata-katanya, tidak boleh dibantah, demikian pikirnya. Maka diapun mengangguk pasti.
"Ya, ya... aku suka sekali."
"Kalau begitu tunggu disini sebentar, jangan pergi ke mana-mana!"
Dan sebelum Hui Song sempat menjawab, Sui Cin telah meloncat dan berkelebat lenyap dari situ, seperti terbang cepatnya ia berlari ke arah puncak bukit yang sejak tadi dipandanginya itu. Hui Song bengong saja mengikuti bayangan itu sampai lenyap ditelan rimbunnya pohon-pohon dan semak-semak.
Tak lama kemudian, sambil tertawa-tawa pemuda jembel itu datang lagi. Kedua tangannya memegang kaki belakang empat ekor katak yang besar-besar dan gemuk-gemuk! Keempat katak itu bergantung tak bergerak, dan dari kaki belakang sampai kepala, panjangnya tidak kurang hampir dua kaki! Seperti katak raksasa saja! Kulitnya hitam-hitam kehijauan, lorek-lorek indah.
Sui Cin melemparkan empat ekor katak yang sudah mati itu ke atas tanah di depan Hui Song sambil tertawa gembira. Hui Song juga tertawa.
"Wah, engkau pintar sekali menangkap katak-katak raksasa ini," katanya sejujurnya.
"Engkau tidak tahu katak apa ini? Bukan katak raksasa. Inilah katak batu yang tulen! Terpaksa kupecahkan kepalanya dengan batu karena kodok batu ini liar dan ganas sekali!"
"Tapi yang biasa kubeli di restoran dagingnya lunak."
"Memang dagingnya lunak, akan tetapi kodok-kodok ini liar dan ganas. Hayo bantu aku membersihkannya. Potong kepalanya, ujung keempat kakinya. Akan tetapi jangan buang kulitnya. Kodok batu kulitnya tipis dan tidak ulet, enak dimakan bersama dagingnya. Bahkan kalau kulitnya dilepas, dagingnya yang terlalu lunak itu akan hancur kalau dimasak. Nah, begitu. Mari kita cuci di sumber air sana. Aku melihatnya tadi ketika kembali ke sini."
Sui Cin membawa buntalannya dan dibantu oleh Hui Song, mereka berdua menuju ke sumber air untuk mencuci empat ekor katak besar itu. Mereka melakukan kerjaan ini sambil bercakap-cakap gembira, seolah-olah mereka telah menjadi sahabat baik sejak lama, padahal mereka bahkan belum saling berkenalan!
"Kenapa kodok batu yang dagingnya lunak kau namakan kodok liar dan ganas?" Hui Song bertanya.
"Kodok batu termasuk kodok yang cerdik dan ganas. Engkau tahu apa yang dimakannya?"
"Tentu nyamuk, serangga lain atau lumut dan ujung daun..."
"Salah sama sekali! Engkau melihat burung-burung yang beterbangan di atas itu? Nah, itulah makanannya!"
"Tak mungkin! Mana bisa kodok yang berada di darat makan burung yang terbang di atas?"
"Kodok batu adalah pengail yang amat pandai dan sabar. Dia memancing burung itu untuk turun dan menyambar umpannya."
"Apa umpannya dan bagaimana cara memancing burung?"
"Umpannya dirinya sendiri. Seekor kodok batu yang kelaparan dan ingin makan burung, sengaja rebah terlentang di atas batu, kalau perlu sampai berjam-jam, tanpa bergerak sehingga siapapun akan menyangka dia sudah mati. Bangkai kodok itu menarik perhatian burung yang terbang turun untuk menyantapnya, akan tetapi begitu burung itu mematuk perutnya, seperti ikan menyambar umpan di mata kail, kodok batu itu akan menyergap dan menangkapnya dengan empat kaki dan menggigitnya. Nah, bukankah kodok batu itu liar dan ganas?"
Hui Song mendengarkan dengan penuh kagum. Ternyata pemuda jembel ini banyak sekali pengetahuannya. Ketika membersihkan tubuh katak itu, dia mendapat kenyataan bahwa kulit yang lorek-lorek itu memang tipis dan halus.
"Heran, kodok yang liar dan ganas pemakan burung tapi kulitnya demikian tipis," katanya.
"Ya, dan kulitnya enak untuk dimakan, maka kodok batu selalu dimasak berikut kulitnya. Kulit katak hijau, biarpun lebih kecil dan pemakan nyamuk dan serangga, lebih ulet dan karena itu, kulit katak hijau tidak ikut dimasak. Mudah saja mengupas kulit katak. Kalau kepalanya sudah dipotong, sekali pencet saja tubuhnya akan keluar dari kulitnya. Tapi bodoh kalau membuang kulit katak hijau, karena kalau digoreng, rasanya enak sekali, tidak kalah oleh goreng kulit atau usus ayam!"
ASMARA BERDARAH JILID 032
(↕)
"Ha-ha-ha, sobat muda, agaknya engkau juga ahli tentang masakan!"
"Ahli makan sudah jelas, kalau ahli masak... hemm, harus dibuktikan lebih dulu. Sayang kita tidak mempunyai alat untuk masak, tidak mempunyai bumbu kecuali garam yang selalu kubawa dalam buntalan pakaian. Daging kodok batu ini kalau dimasak dengan tao-co, wah, gurih sekali. Kalau dimasak dengan jahe, hemm, sedap! Dan kalau dimasak dengan tape beras atau sedikit arak merah, lezat sekali."
Hui Song makin kagum dan mulutnya menjadi basah karena bangkit seleranya oleh keterangan tentang masakan-masakan sedap itu.
"Dan bagaimana kalau digoreng?"
"Kurang tepat. Daging kodok batu terlalu lunak kalau digoreng bisa hancur. Untuk gorengan, lebih enak daging kodok hijau biasa. Dan daging katak ini terpaksa kita panggang saja, dengan diberi sedikit garam. Habis tidak mempunyai alat masak dan bumbunya sih."
"Panggang daging kodok batu dimakan dengan roti tawar... hemm, enak sekali!" kata Hui Song.
"Memang! Akan tetapi daging ini takkan matang kalau kita hanya omong-omong saja. Hayo cepat kumpulkan kayu bakar dan bikin api untuk panggang daging kodok ini!"
Tak lama kemudian, tercium bau panggang yang gurih dan segera mereka makan lagi, roti tawar dengan panggang kodok. Ternyata memang lezat dan mereka makan lebih lahap dan gembira daripada tadi.
"Hemm, belum pernah aku makan selezat ini!"
Hui Song mengaku sejujurnya sambil mengelus perutnya setelah mereka selesai makan dan minum air tawar yang segar.
"Bukan main sedapnya! Sobat, engkau sungguh luar biasa sekali. Pandai engkau membuat masakan, seperti seorang wanita saja engkau!"
Sui Cin sedang mencuci kedua tangannya maka kepalanya menunduk sehingga Hui Song tidak melihat betapa muka yang kotor berdebu itu berobah merah sekali.
"Biarpun lezat, daging kodok batu ini cukup amis. Kalau diberi air jeruk di waktu makan amisnya akan berkurang. Maka tangan harus dicuci bersih betul, baru hilang bau amisnya. Aku memang mempelajari ilmu memasak."
"Ah, pantas kalau begitu? Siapa gurumu memasak?"
"Guruku...? Ia... enciku sendiri."
Tiba-tiba Hui Song meloncat bangkit dan memandang pemuda jembel itu dengan sepasang mata tajam penuh selidik akan tetapi mulutnya tersenyum.
"Ha! Aku tahu siapa encimu!"
"Eh?" Pemuda jembel itu memandang heran. "Benarkah? Kalau tahu, siapa nama enciku dan dari mana ia datang?"
"Wah, itu aku belum tahu. Akan tetapi, maksudku, aku sudah mengenalnya, sudah pernah bertemu dengannya. Malah ia telah menyelamatkan aku, membantuku ketika aku dikeroyok oleh tiga orang dari Cap-sha-kui. Dan tadi di pasar engkaupun membantuku, jadi kalian adik dan enci selalu membantuku. Sungguh aku patut untuk berterima kasih kepada kalian. Adik yang baik, ketika aku bertemu dengan encimu, ia tidak sempat memperkenalkan diri. Maukah engkau memberi tahu, siapa nama encimu dan siapa pula orang tua atau gurunya? Aku melihat betapa ilmu silatmu dan ilmu silat encimu sesumber dengan ilmu silatku."
Sui Cin diam-diam merasa geli dan wataknya yang bengal membuat ia ingin mempermainkan pemuda ini.
"Mana aku tahu bahwa engkau benar-benar pernah bertemu dengan enciku? Kalau benar pernah bertemu, hayo ceritakan bagaimana wajahnya dan apa keistimewaannya?"
"Ah, mudah sekali itu. Mana bisa aku melupakannya?" kata Hui Song sambil menatap tajam wajah pemuda jembel itu. "Rambutnya hitam sekali, gemuk dan panjang, dengan anak rambut halus menutupi bagian atas dahinya yang halus. Wajahnya bulat telur dengan dagu agak meruncing, potongan wajahnya manis, sepasang matanya lebar dan jeli, kedua ujungnya agak naik dan seperti ditambah guratan hitam, bulu matanya lentik panjang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya merah basah, bentuknya manis sekali, kalau tertawa ada lesung pipit di pipi kirinya, kulit mukanya putih halus seperti salju..."
"Eh, kau ini menggambarkan wajah enciku akan tetapi kenapa matamu terbelalak memandang aku?" pemuda jembel itu menegur, merasa sungkan dan tidak enak sekali melihat sepasang mata itu tanpa berkedip terus-menerus memandanginya.
"Habis, wajah encimu itu seperti pinang dibelah dua dengan wajahmu!" kata Hui Song sambil tersenyum lebar.
"Teruskan, teruskan...!"
"Pendeknya, encimu itu seorang dara remaja yang belum pernah kulihat keduanya di dunia ini. Tubuhnya ramping padat, pakaiannya aneh-aneh dan nyentrik, selalu membawa payung butut yang dapat menjadi senjata yang ampuh, naik seekor keledai... eh, kuda yang mirip keledai karena kecil dan pendeknya..."
"Cukup, engkau memang sudah mengenalnya." kata pemuda jembel itu, menyembunyikan perasaan girang dan juga malu di hatinya.
Bagaimana ia tidak akan merasa girang akan tetapi juga jengah mendengar orang memuji-muji kecantikannya di depannya secara begitu terbuka sehingga kecantikannya diperinci?
"Memang aku sudah mengenalnya, bahkan kami sudah berkelahi bahu-membahu melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui! Sayang aku belum mengenal namanya. Maka, sobat muda yang baik, kau beritahukanlah aku siapa nama encimu dan bagaimana pula keadaan keluargamu."
"Nanti dulu, sobat. Engkau sendiri belum memperkenalkan diri. Terus terang saja, aku dan enciku tidak biasa memperkenalkan diri kepada orang lain. Maka, sebaiknya engkau bercerita tentang dirimu sebelum aku memperkenalkan enciku."
Hui Song adalah seorang pemuda yang lincah jenaka, bahkan suka sekali menggoda orang, wataknya agak berandalan. Akan tetapi diapun cerdik dan dia tahu bahwa dia berhadapan dengan putera atau murid orang pandai yang masih ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, maka diapun tidak segan-segan untuk bersikap hormat dan mengalah, walaupun dia merasa jauh lebih tua daripada jembel muda ini.
"Baiklah, sobat muda. Aku bernama Cia Hui Song. Ayahku adalah ketua Cin-ling-pai dan aku adalah putera tunggal. Tadinya aku mewakili Cin-ling-pai untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang diadakan di Puncak Bukit Perahu. Pertemuan itu gagal dan tidak jadi, maka aku hendak kembali ke Cin-ling-pai. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan tokoh-tokoh Cap-sha-kui dan aku dikeroyok, nyaris celaka kalau tidak muncul encimu yang lihai dan yang membantuku sehingga kami berhasil mengusir tiga orang iblis itu. Nah, itulah keadaanku."
Sui Cin mengangguk-angguk.
"Aih, kiranya putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja demikian lihainya. Siapa tidak mengenal pendekar sakti Cia Kong Liang yang berilmu tinggi, kedudukannya setinggi langit menjadi ketua perkumpulan besar yang amat terkenal di seluruh dunia, yaitu Cin-ling-pai? Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagiku untuk dapat mengenalmu, Cia-taihiap!"
Sui Cin yang mendengar dari ayahnya tentang ketinggian hati ketua Cin-ling-pai, lalu berdiri dan memberi hormat, sengaja menyebut taihiap kepada pemuda itu untuk menguji apakah pemuda itupun memiliki kecongkakan seperti ayahnya.
"Aihh, adik yang baik, minta ampun jangan menyebutku taihiap!"
"Kenapa? Bukankah engkau seorang pendekar besar, putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang dihormati dan disegani orang-orang gagah di seluruh dunia?"
"Wah, tidak kuat aku menerima sebutan itu. Selama hidup belum pernah aku disebut orang taihiap, dan aku tidak pernah merasa menjadi taihiap. Apalagi pendekar besar, menjadi pendekar yang paling kecilpun aku bukan! Karena engkau jauh lebih muda dari aku, sebut saja aku kakak atau paman juga boleh!"
Sui Cin tertawa. Hatinya senang sekali. Pemuda ini sama sekali tidak congkak. Apakah berita tentang ketinggian hati ketua Cin-ling-pai itu tidak benar? Kalau benar bapaknya berhati congkak, mengapa putera tunggalnya demikian ramah, polos, jenaka dan rendah hati malah?
"Baiklah, aku akan menyebutmu kakak. Bagaimanapun, engkau hanya lebih tua beberapa tahun saja daripada aku."
"Beberapa tahun? Engkau paling banyak berusia empat belas tahun!"
"Aku sudah enam belas tahun... eh, hampir! Song-twako, engkau paling banyak berusia dua puluh empat tahun."
"Aku baru dua puluh satu tahun, karena tinggi besar, mungkin nampak lebih tua," kata Hut Song. "Dan sekarang ceritakanlah keadaan kalian..."
"Nanti dulu, Song-twako. Aku belum tahu benar akan keadaanmu. Apakah... apakah engkau sudah menikah?"
Hui Song tertawa.
"Ha-ha-ha, apakah aku kelihatan seperti orang yang sudah menikah? Belum, adik yang baik. Aku belum menikah dan mungkin takkan menikah!"
"Eh, kenapa? Semua orang menikah kalau sudah berusia dua puluh tahun lebih."
"Apakah itu suatu keharusan? Aku tidak mau kalau dipaksa menikah, kecuali kalau memang hatiku ingin."
"Sebagai putera tunggal ketua Cin-ling-pai, tentu sejak kecil engkau sudah ditunangkan dengan puteri seorang yang berkedudukan tinggi dan terkenal pula."
Hui Song tersenyum lebar dan menggeleng kepala.
"Tidak, aku belum bertunangan dan tidak akan ditunangkan di luar keinginanku. Nah, sekarang ceritakanlah, siapa nama encimu?"
"Hei, Song-twako. Engkau berhadapan dan berkenalan dengan aku, kenapa yang kau tanyakan hanya enciku melulu?"
Hui Song tertawa menutupi rasa malunya.
"Baiklah, aku tanyakan namamu dahulu. Siapa namamu, adik yang baik?"
"Namaku Ceng Sui Cin..."
Hui Song bangkit berdiri dan matanya terbelalak, wajahnya berseri.
"She Ceng? Ah, sudah kuduga dalam hatiku. Engkau putera Pendekar Sadis Ceng Thian Sin yang amat terkenal itu!"
"Hemmm... engkau sudah tahu banyak tentang ayahku?"
Sui Cin bertanya, matanya memandang penuh selidik. Kalau benar pemuda ini sudah banyak mengetahui tentang keadaan ayahnya, tiada gunanya lagi permainannya menyamar sebagai adik Sui Cin yang bernama Sui Cin itu!
Akan tetapi hatinya lega ketika melihat pemuda itu menggeleng kepala.
"Tentu saja aku tahu tentang ayahmu dari penuturan ayahku. Akan tetapi yang kuketahui hanya bahwa ayahmu Ceng Thian Sin berjuluk Pendekar Sadis dan memiliki kepandaian amat hebat. Selanjutnya aku tidak tahu apa-apa tentang beliau karena ayah tidak menceritakan lebih banyak lagi, agaknya ayah memang tidak tahu banyak tentang ayahmu."
Memang tinggi hati ketua Cin-ling-pai itu, pikir Sui Cin. Bagaimanapun juga, ayahnya mempunyai hubungan dekat sekali dengan Cin-ling-pai, akan tetapi ketua Cin-ling-pai itu tidak banyak bercerita tentang ayahnya kepada puteranya.
Hal ini saja sudah membuktikan bahwa ketua Cin-ling-pai itu adalah seorang yang congkak, tinggi hati. Akan tetapi, begaimanapun juga, keadaan ini melegakan hatinya. Ia lebih senang keadaan keluarganya tidak diketahui oleh Hui Song karena dengan demikian ia boleh mempermainkan pemuda itu sesuka hatinya.
"Sekarang ceritakan, siapa nama encimu itu, Cin-te (adik Cin)?"
Sui Cin tersenyum.
"Song-twako, terus terang saja, aku tidak berani melanggar pantangan enci. Kalau aku menceritakan tentu aku akan ditamparnya. Ia galak sekali lho. Sebaiknya kelak saja kalau engkau berjumpa lagi dengannya, tanyakan sendiri, Song-twako."
Hui Song mengerutkan alisnya, akan tetapi dia sendiri sudah pernah berjumpa dengan dara itu dan tahu akan watak yang aneh dan keras, maka diapun tidak terlalu menyalahkan Sui Cin kalau takut dengan encinya yang galak itu. Karena memang wataknya terbuka dan ramah, Hui Song dapat membuang kekecewaannya.
Bagaimanapun juga dia telah berkenalan dan bersahabat dengan adik dara itu, inipun sudah merupakan suatu hal yang amat menguntungkan. Dan kalau dia sudah berkenalan dan bersahabat dengan adiknya, maka jalan menuju ke arah perkenalan dengan encinya tentu saja jauh lebih dekat dan mudah. Dan bagaimanapun juga, dia merasa bangga hati dapat berkenalan dengan seorang putera dari Pendekar Sadis yang amat terkenal dan sudah lama dikaguminya itu.
"Cin-te, apakah sekarang engkau hendak pulang ke rumah orang tuamu? Di manakah mereka tinggal?" tanyanya.
"Kami tinggal jauh di selatan, di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi aku belum mau pulang, aku hendak pergi ke kota raja untuk... eh, untuk mencari enciku disana."
"Ah, bagus sekali! Aku hendak pergi ke kota raja. Kita dapat jalan bersama kalau begitu." Hui Song berseru gembira.
Sui Cin tersenyum menggoda.
"Eh, katanya tadi bilang hendak ke Cin-ling-pai? Mengapa sekarang tiba-tiba hendak pergi ke kota raja?"
Mendengar nada suara yang mentertawakan ini, Hui Song tertawa.
"Wah, terus terang saja, memang aku ingin sekali dapat segera bertemu dan berkenalan dengan encimu. Akan tetapi, sesungguhnya, selain keinginanku berkenalan dengan encimu, juga ada hal-hal penting yang mendorong aku pergi ke kota raja melakukan penyelidikan."
Sui Cin merasa tertarik.
"Hal-hal penting apakah, twako?"
"Aku mengalami dua hal yang amat aneh di Cin-an. Pertama kali ketika aku melihat kaisar dalam penyamaran dilindungi oleh datuk-datuk Cap-sha-kui, dan kedua kalinya melihat gerombolan ganas seperti Hwa-i Kai-pang itu bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Bukankah hal itu penting dan aneh sekali? Aku ingin menyelidiki keanehan itu di kota raja. Pasti terjadi apa-apa yang luar biasa di kota raja, kalau tidak demikian, tidak mungkin para penjahat keji bersekutu dengan pemerintah."
Sui Cin mengangguk-angguk.
"Engkau benar. Tidak terpikirkan olehku tentang keanehan kerja sama antara penjahat dan petugas keamanan itu. Kalau begitu, mari kita berangkat dan kita selidiki bersama, twako."
"Baiklah, dan akupun akan membantumu mencari encimu di kota raja," kata Hui Song dan Sui Cin hanya tertawa saja.
ASMARA BERDARAH JILID 033
(↕)
Istana tua di Lembah Naga itu dahulu merupakan tempat yang amat sunyi, akan tetapi semenjak pendekar sakti Cia Han Tiong mendirikan perkumpulan Pek-liong-pai (Partai Naga Putih), tempat terpencil itu tidaklah begitu sunyi lagi.
Di kanan kiri gedung istana tua itu kini didirikan bangunan-bangunan pondok dimana murid-murid Pek-liong-pai tinggal dan tempat itu kini terawat baik dan bersih. Para murid atau anggauta Pek-liong-pai selain belajar ilmu silat di tempat itu, juga mereka bekerja dengan rajin, menjaga baik-baik tempat itu dan ada pula yang bertani, memelihara ternak dan sebagainya.
Banyak sudah murid yang tamat belajar lalu meninggalkan Lembah Naga, terjun ke dunia ramai sebagai pendekar-pendekar budiman sehingga mereka inilah yang memperkenalkan dan mengharumkan nama Pek-liong-pai di dunia kang-ouw. Karena sepak terjang para murid lulusan Pek-liong-pai yang gagah perkasa, apalagi mendengar bahwa Pek-liong-pai didirikan oleh putera Pendekar Lembah Naga yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan, maka nama perkumpulan itupun mendatangkan rasa hormat dan segan di hati para pendekar, dan ditakuti oleh para penjahat.
Dalam mengajarkan ilmu-ilmunya, Cia Han Tiong ketua Pek-liong-pai bersikap sangat keras dan berdisiplin. Setiap orang murid yang mengajukan permohonan belajar disitu akan mengalami ujian dulu, diteliti watak dan bakatnya.
Setelah belajar, sebelum dinyatakan tamat, murid ini sama sekali tidak boleh meninggalkan lembah. Pendekar ini maklum bahwa pelajar silat masih mentah sajalah yang tidak mampu menguasai dirinya dan suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya dan hal ini selain amat berbahaya, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, juga akan menyeret nama Pek-liong-pai ke dalam lumpur.
Ketika dia mendirikan Pek-liong-pai, belasan tahun yang lalu, ayah ibunya masih hidup. Ayahnya, mendiang Cia Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw dan berjuluk Pendekar Lembah Naga, juga mendiang ibunya adalah seorang pendekar wanita yang lihai.
Menjelang hari akhirnya, Cia Sin Liong dan isterinya hidup tenang di lembah itu, lebih banyak bersamadhi dan menyendiri. Akan tetapi pendekar sakti ini merestui niat puteranya untuk mendirikan perkumpulan agar ilmu keluarga mereka tidak musnah, bahkan pendekar sakti Cia Sin Liong membantu puteranya untuk memberi gemblengan ahlak kepada para murid Pek-liong-pai, dengan mempelajari budi pekerti dan ilmu kesusasteraan.
Setelah kemudian suami isteri Pendekar Lembah Naga meninggal dunia dalam usia tua, Han Tiong melanjutkan pendidikan budi pekerti itu dengan tekun dan berdisiplin. Semua anak murid Pek-liong-pai diharuskan bersumpah untuk tidak membunuh orang lain.
"Tiada gading yang tidak retak, tidak ada manusia tanpa cacad di dunia ini," demikian antara lain dia menasihatkan murid-murid Pek-liong-pai. "Dan kita sendiripun adalah manusia, maka kitapun tidak terlepas daripada cacad-cacad itu. Setiap orang manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, memiliki kebaikannya dan keburukannya masing-masing. Orang yang sedang tersesat atau melakukan perbuatan yang kita sebut jahat, hanyalah merupakan manusia yang sedang dihinggapi penyakit.
Bukan jasmaninya yang sakit, melainkan batinnya. Akan tetapi, seperti juga penyakit badan, maka penyakit batin inipun dapat sembuh. Orang yang hari ini sakit, besok atau lusa bisa sembuh, orang yang ini hari melakukan perbuatan sesat, besok atau lusa bisa bertobat.
Sebaliknya orang yang sedang sehat, jangan sekali-kali tekebur karena sewaktu-waktu bisa saja dia dihinggapi penyakit batin itu. Jadi, sebagai seorang pendekar yang mengetahui ini semua, yakin bahwa diri sendiripun sewaktu-waktu bisa saja sakit, kita tidak boleh meremehkan dan memandang rendah kepada orang-orang yang sedang sakit batinnya. Yang kita berantas adalah penyakit batinnya itu, bukan orangnya.
Sebaliknya kita menyadarkan mereka, dan itu berarti mengusahakan pengobatan. Kalau perlu memang kita dapat menggunakan ilmu silat kita untuk menundukkannya, menghajarnya, agar dia jera. Akan tetapi ingat, seorang yang bagaimana jahatnyapun adalah seorang manusia, sama dengan kita, maka tidak berhaklah kita untuk membunuhnya."
"Akan tetapi, suhu," ada seorang murid yang memberanikan diri untuk membantah, "bagaimana kalau ada orang jahat yang sesudah dihajar berkali-kali, belum juga mau bertobat dan masih saja melanjutkan kejahatannya?"
Cia Han Tiong tersenyum lebar.
"Ada juga penyakit badan yang sukar diobati. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kita lalu boleh membunuh saja orang sakit yang tidak mudah diobati itu! Cepat atau lambatnya dia bertobat tergantung dari keadaan badannya, tergantung dari berat ringan penyakitnya. Tidak ada istilah bosan dalam usaha pengobatan, baik pengobatan terhadap penyakit badan maupun penyakit batin."
"Maaf, suhu," seorang murid lain membantah. "bagaimana kalau kita bertemu dengan orang jahat, atau yang suhu sebut sebagai orang yang sedang sakit batinnya, dan orang itu menyerang dan hendak membunuh kita? Apakah kita harus membiarkan diri sendiri terbunuh olehnya karena kita tidak boleh membunuhnya?"
"Jangan kalian salah paham," Han Tiong menjawab. "yang dinamakan membunuh hanyalah perbuatan yang kita sengaja lakukan karena kebencian di hati. Menjaga dan melindungi diri sendiri dari kehancuran dan kematian merupakan suatu keharusan dalam hidup. Kalau untuk membela diri, untuk melindungi diri, baik terhadap ancaman maut di tangan binatang atau manusia, terpaksa kita merobohkan penyerang itu sampai dia tewas, bukan pembunuhan yang kita lakukan dengan sengaja, maka hal itu tidaklah buruk. Aku tidak melarang perbuatan tidak disengaja seperti itu. Akan tetapi, sedapat mungkin, cegahlah serangan yang dapat mematikan lawan."
Demikianlah antara lain gemblengan batin yang diberikan oleh Cia Han Tiong terhadap murid-muridnya. Oleh karena itu, para murid yang dinyatakan lulus kemudian terjun ke dalam dunia ramai sebagai seorang pendekar Pek-liong-pai, dengan pakaian putih mereka, selalu mendatangkan kagum di dunia kang-ouw.
Para pendekar menghormati nama Pek-liong-pai yang menentang kejahatan tanpa rasa benci perorangan kepada pelaku-pelaku kejahatan itu sendiri. Jarang sekali terjadi seorang penjahat tewas di tangan murid Pek-liong-pai, walaupun dengan ilmu silatnya yang tinggi murid Pek-liong-pai itu menekan si penjahat untuk menghentikan kejahatannya.
Cia Han Tiong dan isterinya hanya mempunyai seorang putera, yaitu Cia Sun. Seperti juga para murid lain dari Pek-liong-pai, Cia Sun juga digembleng oleh ayahnya, bahkan penggemblengan terhadap dirinya lebih hebat tentu saja sehingga dalam usia dua puluh tahun saja Cia Sun telah mewarisi semua ilmu kepandaian ayahnya. Juga dia mewarisi watak ayahnya yang pendiam, halus penuh perasaan, berwibawa, jujur dan setia, seorang kuncu atau budiman lahir batin seperti yang dimaksudkan dalam pelajaran Nabi Khong Cu.
Pada pagi hari yang cerah itu, Cia Han Tiong dan isterinya bercakap-cakap sambil duduk di serambi depan istana kuno yang menjadi tempat tinggal mereka. Pagi itu cerah sekali dan hawanya segar, membuat orang merasa tubuhnya sehat dan batinnya tenteram.
Cia Han Tiong sudah berusia empat puluh tujuh tahun kurang sedikit, akan tetapi dia masih kelihatan gagah perkasa dan wajahnya membayangkan watak yang budiman, halus peramah. Tubuhnya yang tegap membayangkan tenaga yang kuat dan patutlah kalau dia menjadi ketua Pek-liong-pai yang gagah perkasa.
Isterinya, Ciu Lian Hong, sudah berusia empat puluh dua tahun, masih nampak muda dan cantik. Mereka bercakap-cakap dan membicarakan putera mereka yang pergi mewakili Pek-liong-pai menghadiri pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu.
"Mudah-mudahan tidak terjadi keributan di selatan sana," kata Cia Han Tiong kepada isterinya. "Aku tidak ingin melihat Cia Sun terlibat dalam permusuhan yang tiada hentinya antara golongan hitam dan golongan putih. Kalau dia terlibat, berarti seluruh Pek-liong-pai akan terlibat pula."
Isterinya menarik napas panjang.
"Aku selalu menghargai pendirianmu, suamiku, dan memang aku dapat melihat bahwa kekerasan tidak mungkin dapat melenyapkan kekerasan. Akan tetapi, golongan hitam dan golongan putih merupakan dua golongan yang berdiri saling berhadapan dan saling bertentangan. Mana mungkin mencegah kedua golongan yang saling bertentangan itu untuk tidak bentrok dan bermusuhan?"
"Aaah, itulah yang kadang-kadang menyedihkan hati sekali. Golongan hitam dianggap melakukan kejahatan dengan menggunakan kekerasan. Kemudian golongan putih menentang mereka dengan kekerasan pula. Kalau keduanya sudah menggunakan kekerasan, maka sukarlah untuk dinilai siapa yang lebih baik dan siapa yang lebih buruk. Seyogianya mereka yang menamakan dirinya golongan putih itu melenyapkan dulu perasaan dendam dan benci dari hati mereka sehingga tindakan mereka bukan dilandasi kebencian melainkan dilandasi cinta kasih..."
"Cinta kasih? Cinta kasih terhadap kaum sesat yang jahat seperti iblis...?"
Isterinya bertanya, kaget sendiri akan kenyataan sikap suaminya yang dianggap tak masuk akal ini.
Suaminya menggeleng kepala.
"Bukan terhadap golongan tertentu. Melainkan cinta kasih antara manusia. Dan manusia itu siapa saja, tidak memilih golongan. Dengan dasar ini, maka mereka yang merasa bersih itu bertindak dengan dasar menyadarkan, membersihkan, membimbing ke arah yang benar."
Ciu Lian Hong bangkit berdiri. Pusing ia kalau sudah bicara tentang kehidupan dengan suaminya. Pandangan suaminya berbeda dengan umum, karena itu kadang-kadang membingungkannya.
"Ah, kalau saja Cia Sun pulang..." katanya dan iapun berdiri di depan serambi, memandang ke depan, jauh ke arah hutan yang membentang luas di depan istana Lembah Naga.
Suaminya juga bangkit lalu menghampiri isterinya, berdiri di samping isterinya.
"Hong-moi, aku tahu bahwa engkau ingin sekali melihat Sun-ji menikah dan engkau ingin sekali menimang cucu. Biarlah kalau dia pulang aku akan bicara mengenai hal itu dan secepatnya aku akan mencari adik Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah..."
Ciu Lian Hong menoleh kepada suaminya,
"Jangan dulu, suamiku. Biarkanlah anak kita itu meluaskan pengalamannya. Siapa tahu dia akan bertemu sendiri dengan calon jodohnya. Dalam perjodohan, kita tidak boleh memaksa dan memperkosa hatinya. Biarkan dia memilih jodohnya sendiri. Setujukah engkau, suamiku?"
Berkata demikian, isteri yang mencinta suaminya itu menaruh tangannya di pundak suaminya, menggelendot dan bersandar pada pundak suaminya yang kuat dengan sikap manja dan mesra.
Han Tiong menahan senyumnya dan menarik napas panjang sambil merangkul isterinya yang tercinta. Selalu isterinya mengatakan demikian kalau dia bicara tentang niat hatinya menjodohkan Cia Sun dengan puteri Ceng Thian Sin. Siapa lagi nama anak perempuan Ceng Thian Sin, anak perempuan yang ketika kecilnya sudah nampak bengal dan berwatak keras itu? Ceng Sui Cin, ya, begitulah namanya.
Pernah anak itu ikut ayahnya ketika berkunjung kira-kira sepuluh tahun yang lalu! Dan dia tahu betul mengapa isterinya kelihatan tidak setuju dan tidak rela menjodohkan Cia Sun dengan Ceng Sui Sin. Bukan karena anak perempuan itu sendiri karena mereka berdua belum tahu bagaimana keadaan anak perempuan itu sekarang setelah dewasa.
Akan tetapi, isterinya itu terutama sekali merasa enggan untuk berbesan dengan Pendekar Sadis! Hal ini tidaklah aneh karena di waktu masih gadis dulu, hubungan antara Lian Hong dan Thian Sin erat sekali. Bahkan dia tahu benar betapa Thian Sin pernah mencinta Lian Hong setengah mati, dan seolah-olah terjadi perebutan di dalam hatinya antara dia dan Thian Sin terhadap Lian Hong.
Dia bersedia mengalah, akan tetapi akhirnya ternyata bahwa Lian Hong memilih dia dan menjadi isterinya, sedangkan Ceng Thian Sin menikah, atau lebih tepat, hidup bersama sebagai suami isteri dengan Toan Kim Hong. Satu diantara sebab yang membuat Lian Hong memilihnya adalah karena Thian Sin berwatak kejam, bahkan menjadi Pendekar Sadis yang ditakuti orang.
Hubungan itulah, dan watak Thian Sin yang kejam sebagai pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis itulah yang membuat Lian Hong kini berkeberatan untuk menjodohkan puteranya dengan puteri Pendekar Sadis. Jadi, bukan gadis itu yang memberatkan hatinya, melainkan ia tidak mau berbesan dengan Thian Sin!
Pada pagi hari itu, dari luar hutan yang menjadi batas terakhir dari Lembah Naga, nampak seorang kakek dan seorang nenek berjalan memasuki hutan. Kakek dan nenek itu tentu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan melihat keadaannya, mereka itu seperti seorang kakek dan seorang nenek petani biasa saja.
Keduanya berjalan dibantu oleh tongkat mereka. Kakek itu bertongkat hitam dan si nenek bertongkat putih. Baju mereka longgar dan kepala mereka dilindungi caping lebar dari kulit bambu. Ketika mereka tiba di tengah hutan itu dan melihat ada gundukan besar dari tiga batu bertumpuk, mereka berhenti, termenung sejenak.
"Benar di sinilah tempat itu, kanda?" tanya si nenek dengan suara halus dan penuh kemesraan sambil memandang gundukan tiga bongkah batu bertumpuk itu.
Kalau menggunakan tenaga orang biasa, agaknya akan dibutuhkan puluhan orang untuk mengangkat dan menumpuk tiga buah batu besar yang amat berat itu.
ASMARA BERDARAH JILID 034
(↕)
"Benar, adinda. Di sinilah. Lihat di permukaan batu paling bawah, bukankah disitu masih ada tulisannya?" jawab si kakek. Mereka berdua memandang tulisan huruf asing di atas permukaan batu paling bawah.
TEMPAT GUGURNYA BIBI GURU
HEK-HIAT MO-LI
"Tidak salah lagi, suhu kita yang menumpuk tiga bongkah batu ini untuk memperingati kematian nenek guru Hek-hiat Mo-li. Ahh, tenaga suhu sudah begini hebat akan tetapi tidak mampu mengalahkan musuh," kata lagi si nenek.
"Jangan keliru. Pada waktu itu, suhu hanya memiliki tenaga yang kuat saja akan tetapi belum menyempurnakan Ilmu Im-kan Sin-hoat (Ilmu Sakti Akhirat), dan sekarang setelah berhasil menyempurnakan ilmu itu, suhu kehabisan tenaga dan meninggal dunia sebelum dapat mencari ke sini."
"Engkau benar, kanda. Untunglah bahwa dia telah mewariskan ilmu itu kepada kita dan setelah kita melatih diri dengan sempurna, kini tiba saatnya bagi kita untuk membalas dendam kepada Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong!"
"Mau keturunannya, atau muridnya, akan kita gempur dan basmi sampai habis seakar-akarnya!"
Mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tumpukan tiga bongkah batu itu memberi hormat, kemudian sejenak mereka bersamadhi di tempat itu seperti orang mohon berkah. Ketika akhirnya mereka bangkit berdiri, wajah mereka penuh semangat dan dengan langkah tegap mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Istana Lembah Naga.
Ketika mereka keluar dari hutan dan melihat bangunan kuno menjulang tinggi di depan, mereka berhenti lagi. Bagaimanapun juga, wajah mereka nampak tegang dan agaknya mereka gentar juga melihat istana tua yang kokoh itu, seolah-olah melambangkan kekokohan dan kekuatan para penghuninya.
Kemunculan mereka itu bukan dari depan istana, melainkan dari samping kanan, maka mereka tidak melihat bahwa pada saat itu ketua Pek-liong-pai dan isterinya sedang berdiri di serambi depan. Sebaliknya, empat anggauta Pek-liong-pang yang bertugas di sebelah kanan istana itu, melihat kemunculan kakek dan nenek yang berpakaian sederhana berwarna kuning itu.
Tentu saja mereka merasa heran dan cepat mereka menunda pekerjaan mereka. Dua orang diantara mereka menghampiri dan melihat bahwa yang datang adalah dua orang tua, dua murid Pek-liong-pai cepat memberi hormat. Itulah satu diantara ajaran yang mereka dapatkan di perguruan Pek-liong-pai, yaitu menghormat orang yang lebih tua.
"Maaf, lopek berdua hendak mencari siapakah?" tanya seorang diantara dua murid Pek-liong-pai itu.
Kakek dan nenek itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian si kakek bertanya, suaranya terdengar asing dan kaku, tanda bahwa dia adalah seorang asing,
"Kami mencari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong!"
Dua orang murid tingkat tiga dari Pek-liong-pai itu saling pandang dengan kaget dan heran. Kakek dan nenek ini mencari kakek guru mereka yang telah meninggal dunia!
"Tapi... beliau telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu..."
Kini kakek dan nenek itu saling pandang dengan wajah membayangkan kekecewaan. Kakek itu lalu menoleh ke arah istana tua dan bertanya,
"Lalu, siapa yang tinggal di dalam istana itu?"
"Yang tinggal disitu adalah suhu dan subo..."
"Siapakah mereka?" tanya si nenek dengan cepat.
"Suhu adalah ketua Pek-liong-pai, perkumpulan kami..."
"Apa hubungannya dengan Pendekar Lembah Naga?"
Diberondong pertanyaan-pertanyaan itu, dua orang murid Pek-liong-pai mengerutkan alisnya. Kakek dan nenek ini jelas orang asing, akan tetapi sungguh tidak sopan mengajukan pertanyaan bertubi-tubi seperti hakim memeriksa pesakitan saja. Akan tetapi demi kesopanan terhadap orang yang jauh lebih tua, mereka menjawab juga.
"Suhu adalah putera beliau."
Dua pasang mata tua itu memancarkan sinar yang mengejutkan hati dua orang murid Pek-liong-pai itu.
"Jadi kalian adalah cucu murid Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong si jahanam?" teriak si nenek marah.
Dua orang laki-laki yang usianya mendekati tiga puluh tahun itu terkejut akan tetapi mengangguk. Tiba-tiba nampak sinar berkelebat ketika kakek dan nenek itu menggerakkan tongkat mereka ke depan. Dua orang murid Pek-liong-pai terkejut sekali dan berusaha menghindarkan diri dari serangan kilat itu. Namun, gerakan mereka jauh kalah cepat.
"Kekkk! Kekk!"
Dua orang murid Pek-liong-pai itu terjengkang roboh dan tewas seketika dengan lubang tepat di tenggorokan mereka yang mengucurkan darah hitam! Mereka roboh dan tewas tanpa berkelojotan lagi. Sungguh mengerikan dan hebat bukan main serangan kakek dan nenek itu.
Dua orang murid lain yang melihat betapa dua orang saudara seperguruan mereka roboh dan tidak bangkit kembali, menjadi kaget dan merekapun cepat lari menghampiri ke tempat itu. Ketika mereka melihat kenyataan yang mengejutkan bahwa dua orang saudara mereka itu telah tewas dengan mata mendelik dan leher berlubang, tentu saja keduanya marah bukan main.
"Kenapa kalian membunuh dua orang sute kami?" bentak seorang diantara mereka.
"Mampuslah!"
Kakek itu membentak dan kembali dua batang tongkat kakek dan nenek itu menyambar ke depan. Akan tetapi, dua orang murid Pek-liong-pai itu selain lebih tangkas daripada dua orang sute mereka yang tewas, juga mereka telah siap sedia karena sudah tahu bahwa kakek dan nenek itu adalah orang orang yang memusuhi mereka, maka sambaran tongkat itu dapat mereka elakkan dengan cara melempar tubuh ke belakang.
Akan tetapi kakek dan nenek itu menyerang terus dengan gerakan yang amat dahsyat. Mereka hanya mampu mengelak beberapa kali dan ketika terpaksa mereka menangkis, terdengar suara nyaring dan tulang lengan mereka patah bertemu tongkat. Seorang diantara mereka sempat mengeluarkan pekik melengking untuk memperingatkan semua murid Pek-liong-pai sebelum mereka berdua roboh, sekali ini bukan oleh tusukan ujung tongkat, melainkan karena tamparan tangan kiri kakek dan nenek itu.
Tamparan itu hebat bukan main karena sama sekali tidak dapat dielakkan lagi dan robohlah mereka dengan tubuh utuh. Kepala mereka yang kena ditampar dan tanpa kelihatan terluka, mereka roboh dan tewas seketika. Hanya nampak tanda menghitam di pelipis mereka bekas tangan kakek dan nenek itu. Ternyata isi kepala mereka telah terguncang dan rusak oleh tenaga tamparan yang amat ampuh itu!
Akan tetapi pekik melengking yang dikeluarkan oleh seorang diantara dua murid Pek-liong-pai sebelum mereka tewas tadi, mengejutkan semua murid Pek-liong-pai. Pada waktu itu, di Lembah Naga terdapat tidak kurang dari empat puluh orang murid, terdiri dari tingkat pertama, kedua dan ketiga.
Akan tetapi pada saat itu, sebagian dari mereka bekerja di sawah ladang, ada pula yang berburu binatang sehingga pada pagi hari itu, yang berada di sekitar istana hanya ada dua puluh lima orang termasuk empat yang tewas itu. Dan diantara dua puluh lima orang ini, yang tingkat satu dan hanya menanti dinyatakan lulus hanya ada tiga orang, selebihnya adalah murid-murid tingkat dua dan tiga.
Kakek dan nenek itu menyeringai penuh ejekan ketika mereka melihat dua puluh orang murid Pek-liong-pai yang rata-rata mengenakan pakaian putih itu berdatangan dari segenap penjuru ada yang masih membawa cangkul, sapu dan lain-lain.
Biarpun sudah melihat bahwa empat orang saudara mereka tewas dan pembunuhnya tentu kakek dan nenek itu, namun mentaati ajaran dan perintah guru mereka, dua puluh orang lebih murid-murid Pek-liong-pai itu tidak sembrono turun tangan mengeroyok, melainkan mengepung saja agar kakek dan nenek pemhunuh itu tidak dapat melarikan diri.
Tiga orang murid tingkat pertama yang berada di situ bertindak sebagai pemimpin. Mereka berdiri menghadapi kakek dan nenek itu, dan seorang diantara mereka yang usianya sudah hampir empat puluh tahun, melangkah maju dan memberi hormat.
"Siapakah locianpwe berdua dan apa kesalahan adik-adik seperguruan kami maka ji-wi locianpwe (dua orang gagah) turun tangan membunuh mereka dan kami terpaksa menuntut agar ji-wi suka menyerah dan menghadap ketua kami?"
Kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka kelihatan bergembira! Kakek itu tertawa bergelak sambil mengelus jenggotnya yang jarang akan tetapi cukup panjang, tangan kanan memegang tongkat yang didirikan di depan kakinya, sedangkan nenek itupun tersenyum dan tangan kirinya bertolak pinggang.
"Ha-ha-ha, adinda yang baik, lihat, mereka ini semua sudah mengenakan pakaian berkabung, seolah-olah mereka sudah tahu bahwa hari ini mereka akan mati semua! Hayo kita berlomba, siapa yang dapat membunuh musuh paling banyak!"
Setelah berkata demikian, nampak dua sinar berkelebat dan dua batang tongkat itu telah menyambar secepat kilat ke arah dua orang murid pertama Pek-liong-pai! Hebat bukan main serangan itu, akan tetapi kini yang diserang adalah murid-murid Pek-liong-pai yang sudah hampir tamat. Tentu saja dua orang itu sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, dan biarpun mereka kaget sekali, mereka berhasil menghindarkan diri dengan loncatan ke belakang.
Maklum bahwa kakek dan nenek itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, maka tiga orang murid pertama itu mencabut pedang mereka dan seorang diantara mereka memberi komando,
"Kurung dan tangkap mereka untuk dihadapkan kepada suhu!"
Suheng ini masih memperingatkan para sutenya agar jangan sembarangan turun tangan, membunuh kakek dan nenek itu!
Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Kakek dan nenek itu mengamuk dengan tongkat dan tangan kiri mereka. Entah mana yang lebih ampuh. Tongkat itu tidak dapat ditangkis. Senjata penangkis tentu patah dan kalau ujungnya mengenai tubuh, tentu tembus dan yang terkena tewas seketika.
Akan tetapi tangan kiri mereka juga hebat bukan main, membawa getaran aneh yang tidak dapat ditangkis, hanya dapat dielakkan saja, itupun oleh para murid Pek-liong-pai yang cukup gesit.
Para murid itu mempergunakan senjata seadanya. Yang memegang cangkul mempergunakan alat ini untuk senjata, ada yang menggunakan pedang mereka, ada pula yang terpaksa mengeroyok dengan tangan kosong. Dan akibatnya sungguh mengerikan. Kakek dan nenek itu menyebar maut sehingga dalam waktu singkat saja, diantara dua puluh lima orang murid, dikurangi empat orang yang tewas terlebih dahulu, kini tinggal sepuluh orang lagi saja! Lima belas orang murid sudah menggeletak tanpa nyawa, berserakan di tempat itu, termasuk seorang murid pertama!
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Tahan senjata...!"
Bentakan ini demikian penuh wibawa dan memiliki getaran khi-kang yang amat kuat sehingga kakek dan nenek itu terkejut dan mereka meloncat ke belakang, melintangkan tongkat di depan dada lalu menatap ke depan.
Cia Han Tiong dan isterinya, Ciu Lian Hong, telah berdiri disitu dengan muka pucat dan mata terbelalak. Ketua Pek-liong-pai itu merasa ngeri melihat belasan orang muridnya telah tewas dan mayat mereka malang-melintang memenuhi tempat itu, sedangkan yang sepuluh orang lagi kelihatan pucat dan gentar. Diapun memandang ke arah kakek dan nenek itu yang juga memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Mereka menduga-duga siapa adanya laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang gagah perkasa dan mempunyai wibawa yang amat kuat ini.
"Apakah engkau ketua Pek-liong-pai?" Kakek itu bertanya, matanya mengeluarkan sinar berapi.
Sinar mata yang penuh kebencian, pikir Han Tiong. Dia mengangguk.
"Benar, dan siapakah ji-wi locianpwe? Andaikata ada murid kami yang bersalah, mengapa ji-wi begitu tega untuk membunuh begini banyak orang? Permusuhan apakah yang ada antara ji-wi dengan Pek-liong-pai?"
Pertanyaannya tidak mengandung kemarahan, akan tetapi tegas dan penuh nada teguran.
"Ha-ha-ha, masih begini muda sudah menjadi ketua. Siapakah namamu dan benarkah engkau putera mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong?" kakek itu bertanya lagi.
ASMARA BERDARAH JILID 035
(↕)
Han Tiong mengerutkan alisnya.
"Benar, locianpwe. Nama saya adalah Cia Han Tiong dan Pendekar Lembah Naga adalah mendiang ayah saya."
"Bagus! Cia Han Tiong, jangan salahkan murid-muridmu dan kami tidak mempunyai permusuhan apapun dengan Pek-liong-pai. Salahkan saja nenek moyangmu dan terutama ayahmu yang dahulu membunuh nenek guru kami, yaitu bibi dari guru kami. Nama nenek guru kami itu adalah Hek-hiat Mo-li, pendatang dari Sailan. Kami sebagai keturunan perguruannya melanjutkan usaha guru kami untuk mencari Pendekar Lembah Naga dan membalas dandam."
"Akan tetapi, ayah telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu! Kenapa ji-wi lalu membunuhi murid-murid kami yang tidak berdosa...?"
"Hemm, puluhan tahun kami melatih diri, hidup sengsara agar dapat berbakti, kemudian melakukan perjalanan yang amat jauh dari selatan, apakah semua itu harus sia-sia saja karena kematian ayahmu? Ayahmu boleh mati, akan tetapi masih ada puteranya dan cucu-cucu muridnya!"
Cia Han Tiong mengerutkan alisnya. Hatinya diliputi penyesalan besar. Mendiang ayahnya tidak pernah bercerita tentang musuh-musuhnya di waktu dahulu, akan tetapi dia merasa yakin bahwa memang benar ayahnya tentu dahulu pernah menewaskan nenek guru dari dua orang ini. Dan diapun yakin pula bahwa nenek guru mereka yang memakai julukan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Darah Hitam) tentulah bukan orang baik-baik dan tidak mengherankan kalau ayahnya membunuhnya dalam perkelahian. Makin terasa olehnya betapa buruknya hidup dalam kekerasan. Sampai turun-temurun, dandam masih mengikatnya! Dia menarik napas panjang. Harus diakhiri ikatan karma ini.
Manusia selalu dikejar ikatan karma karena ulah sendiri. Kini, saatnya untuk menentukan apakah karma itu akan terus mengejarnya dan anak cucunya, sepenuhnya berada di telapak tangannya. Akan tetapi, apakah dia harus menyerahkan saja nyawanya? Kakek dan nenek ini memiliki sinar mata penuh kebencian, tentu mereka tidak akan puas kalau hanya dia yang menyerahkan diri. Mereka tentu akan membunuh pula isterinya, semua muridnya, bahkan putera tunggalnya tentu akan mereka cari untuk dibunuh! Tidak, dia harus mempertahankan keluarganya. Dia harus membela diri dan melindungi keluarga dan para muridnya.
"Orang yang dibebani dandam terkutuk! Siapakah namamu?" Akhirnya Han Tiong bertanya, suaranya penuh wibawa.
Kakek itu tertawa.
"Nama kami tidak ada gunanya kau ketahui. Akan tetepi agar engkau ingat bahwa kami datang untuk membalas dandam nenek kami Hek-hiat Mo-li, biarlah engkau dan dunia kang-ouw mengenal kami sebagai Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo! Ha-ha-ha, akan tetapi apa gunanya? Sebentar lagi kalian semua akan menyusul mereka yang sudah mampus lebih dahulu!"
Cia Han Tiong melangkah maju.
"Hek-hiat Lo-mo, marilah kita bereskan perhitungan lama secara jantan. Marilah engkau dan aku menentukan dengan nyawa kita dan urusan dandam ini kita habiskan disini, tidak perlu menyangkut orang lain."
"Enak saja engkau hendak menyelamatkan keluarga dan murid-muridmu. Tidak, kalian semua harus mampus di tangan kami, barulah kami merasa puas dan terlepas dari beban batin selama puluhan tahun!" Nenek yang diberi nama Hek-hiat Lo-bo itu berkata dengan suara melengking-lengking.
Ciu Lian Hong yang sejak tadi diam saja, kini melangkah maju mendekati suaminya dan berkata,
"Marilah kita hadapi mereka!" dengan sikap gagah nyonya inipun mempersiapkan diri.
Akan tetapi suaminya menggeleng kepala dan menyuruhnya mundur dengan sikap halus.
"Jangan engkau mencampuri, biarkan aku saja yang membereskan persoalan i-ni," katanya.
"Ha-ha-ha, ketua Pek-liong-pang. Tidak perlu sungkan dan malu. Kami datang berdua dan kami sudah mempersiapkan segalanya, termasuk pengeroyokan murid-muridmu. Nah, kerahkanlah semua tenagamu disini, kami tidak akan takut, tidak akan mencelamu kalau kau melakukan pengeroyokan!" kata Hek-hiat Lo-mo.
Akan tetapi Cia Han Tiong adalah seorang pendekar lengkap, seorang yang menjunjung tinggi kehormatan.
"Kami bukan pengecut yang suka main keroyokan mengandalkan banyak orang. Kalian hanya datang berdua, kalau setuju, biarlah kulayani kalian satu demi satu."
"Kami datang berdua dan kami maju bersama. Kau boleh mengerahkan semua keluarga dan muridmu!"
Hek-hiat Lo-bo membentak dan nenek ini sudah menerjang dahsyat menggunakan tongkatnya yang meluncur ke arah dada ketua Pek-liong-pang itu. Suaminya, Hek-hiat Lo-mo, juga menyerang dengan tongkatnya.
Menghadapi serangan beruntun yang dilakukan dua orang itu secara dahsyat dan susul menyusul, Han Tiong mengebutkan kedua lengan bajunya menangkis ujung tongkat sambil meloncat ke belakang.
"Plak-plak... brettt!"
Ujung lengan bajunya dapat menyampok terpental kedua senjata lawan, akan tetapi ujung lengan baju kiri yang menangkis senjata di tangan Hek-hiat Lo-mo itu terobek.
Kedua pihak terkejut. Kakek dan nenek itu dapat merasakan betapa kuat tangkisan ujung lengan baju tadi. Mereka bergerak dengan hati-hati dan kini mengambil posisi di kanan kiri lawan dan tongkat mereka membuat gerakan-gerakan aneh dan mengeluarkan suara berdesing seperti senjata tajam saja.
Melihat gerakan mereka yang teratur, Han Tiong dapat menduga bahwa kedua orang ini memang telah mempelajari cara bersilat berdua merupakan semacam ilmu silat berpasangan. Ilmu ini amat kuat karena keduanya dapat bekerja sama secara teratur dan rapi, dapat saling bantu dan saling melindungi secara otomatis. Mengertilah dia mengapa mereka tidak mau maju satu demi satu, melainkan ingin maju bersama.
"Sing...!"
Cia Han Tiong memang pantang membunuh, akan tetapi menghadapi lawan-lawan tangguh itu, untuk dapat membela diri dengan baik diapun mencabut pedangnya. Sebetulnya pendekar ini tidak pernah mempergunakan pedang dan pedang yang dibawanya itu lebih merupakan hiasan saja. Akan tetapi, sekali ini dia membutuhkannya.
"Hiaaaat...!" Hek-hiat Lo-mo sudah menusukkan tongkatnya dari kanan.
"Ihhh...!" Hek-hiat Lo-bo juga menyerang dari kiri dengan totokan ke arah leher.
"Wuuutt... sing... trang-trang...!" pedang berkelebat membentuk sinar terang dan menangkis kedua tongkat.
Akan tetapi, begitu kedua tongkat terpental, kakek dan nenek itu menggerakkan tangan kiri dan ternyata serangan tangan kiri mereka yang menyambar itu tidak kalah ampuhnya dibandingkan tongkat mereka!
Han Tiong cepat menggeser kaki dua kali, mengelak dan menggunakan ujung lengan baju kiri untuk menangkis. Kini tahulah dia bahwa yang paling berbahaya adalah tangan kiri kedua lawan itu. Inti penyerangan mereka terletak di kedua tangan kiri sedangkan tongkat-tongkat itu lebih bertugas mengacau kedudukan lawan dan mengalihkan perhatian agar tangan kiri mereka lebih banyak memperoleh kesempatan untuk "mencuri" kelengahan lawan.
Maka diapun segera mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuat di tangan kirinya untuk menjaga diri dan balas menyerang. Terjadilah sebuah pertandingan yang amat seru.
Akan tetapi, dua orang kakek dan nenek itu memiliki gerakan silat yang luar biasa dan asing bagi Han Tiong. Yang berbahaya sekali dan tak terduga-duga datangnya adalah serangan kaki mereka.
Kaki mereka itu dapat menyelingi serangan tongkat dan tangan dengan tendangan-tendangan aneh yang dilakukan dalam berbagai posisi. Tendangan langsung, miring ke belakang, bahkan tendangan lutut. Cara menendang gaya Sailan ini tidak dikenal Han Tiong. Berbeda dengan gaya tendangan dari selatan yang menggunakan sepanjang kaki dengan pengerahan kekuatan dan dilakukan dengan cepat dari jarak agak jauh, tendangan kakek dan nenek ini dapat dilakukan dari jarak dekat, menggunakan lutut dan tiba-tiba datangnya.
Betapapun juga, kematangan Han Tiong dalam ilmu silatnya membuat dia selalu dapat mengelak dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat pula sehingga sering membuat kedua lawannya terkejut dan kesatuan gerakan mereka membuyar.
Ciu Lian Hong merasa penasaran ketika suaminya menyuruhnya mundur tadi. Apalagi kini melihat suaminya dikeroyok dua dan nampak terdesak, ia merasa semakin penasaran. Karena merasa khawatir akan keselamatan suaminya, akhirnya Ciu Lian Hong tak dapat lagi menahan kemarahannya.
"Kakek nenek iblis curang!" bentaknya dan nyonya itupun meloncat ke depas, sambil menyerang Hek-hiat Lo-bo dengan tamparan tangan kanannya.
"Plakk...!"
Tubuh nyonya itu nyaris terpelanting ketika tamparannya ditangkis oleh Hek-hiat Lo-bo dengan amat kuatnya.
"Heh-heh, bagus engkau datang menyerahkan nyawamu!" nenek itu terkekeh lalu menyerang Ciu Lian Hong dengan tongkatnya. Nyonya ini mengelak dan berloncatan ke sana-sini, akan tetapi ujung tongkat itu terus mengejarnya.
"Tranggg...!"
Sinar pedang berkelebat dan ternyata Han Tiong telah menangkis tongkat yang mengancam keselamatan isterinya itu.
"Hong-moi, mundurlah! Biar kuhadapi sendiri..."
"Tidak! Aku harus membantumu!" teriak Lian Hong.
Han Tiong khawatir akan keselamatan isterinya, maklum bahwa tidak mungkin Lian Hong dicegah. Dia menyerahkan pedang di tangannya kepada isterinya lalu berbisik cepat,
"Pergunakan pedang ini dan mainkan Thai-kek Sin-kun hanya untuk membela diri saja!"
Dua orang musuh mereka itu tertawa, lalu menyerang lagi, si kakek menyerang Han Tiong yang bertangan kosong sedangkan nenek itu memutar tongkatnya lalu menyerang Lian Hong.
Nyonya ini maklum akan kelihaian lawan. Maka iapun cepat menggerakkan pedangnya dan bersilat dengan Ilmu Thai-kek Sin-kun, sesuai dengan pesan suaminya. Ilmu ini dapat dimainkan dengan pedang dan ilmu silat ini memang mengandung daya tahan yang amat hebat. Ketika Lian Hong memutar pedangnya memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, tongkat lawannya tidak mampu menembus benteng pertahanan yang kokoh kuat itu.
Betapapun jugat tenaga lawan lebih besar dan ilmu kepandaian nenek itu memang jauh lebih tinggi tingkatnya, maka biarpun Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun amat kokoh kuat, tetap saja Lian Hong terdesak dan tangannya yang memegang pedang terasa panas dan nyeri setiap kali pedangnya bertemu tongkat.
Sejak tadi Lian Hong hanya membela diri saja, sesuai dengan petunjuk suaminya, tidak pernah membalas karena ia mencurahkan seluruh perhatian dan tenaganya untuk bertahan. Akan tetapi, lama kelamaan nyonya ini merasa penasaran. Ia didesak dan dihimpit dan biarpun ilmu silat itu ternyata mampu melindunginya sehingga selama hampir lima puluh jurus ia belum pernah terpukul, akan tetapi kalau hanya bertahan terus, akhirnya pasti ia akan kalah juga. Rasa penasaran membuat Lian Hong kini menyelingi pertahanannya dengan serangan balasan. Dan inilah kesalahannya!
Tadi Han Tiong melihat betapa tingkat kepandaian isterinya masih kalah jauh dibandingkan lawan, maka dia sengaja memberikan pedangnya dengan pesan agar isterinya memainkan Thai-kek Sin-kun untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, walaupun isterinya takkan menang, setidaknya isterinya akan dapat melindungi diri sendiri sampai dia berhasil mengalahkan Hek-hiat Lo-mo kemudian membantu Lian Hong.
Akan tetapi tak disangkanya sama sekali bahwa kakek itu benar-benar amat lihai. Kini, tanpa memegang pedang, sebetulnya Han Tiong dapat mengeluarkan ilmu-ilmunya yang sakti. Sayang, hatinya yang bersih sama sekali tak menghendaki membunuh lawan. Dia merasa bahwa pihaknya yang berhutang. Maka dia hanya membela diri dan balasan serangannya mempergunakan batas-batas agar jangan sampai dia membunuh lawan.
Hal ini mengurangi daya serangannya dan sedemikian jauhnya dia masih belum mampu mengalahkan lawan. Dan tiba-tiba saja Lian Hong yang sudah penasaran itu mulai membalas dengan serangan hebat kepada Hek-hiat Lo-bo!
"Haiiittt...!" Lian Hong menusukkan pedangnya dengan cepat dan kuat ke arah perut nenek itu.
ASMARA BERDARAH JILID 036
(↕)
"Iiihhh...!"
Nenek itu meloncat dan terhuyung ke belakang. Nenek yang sudah berpengalaman ini memang licik sekali. Tadi ia sudah hampir putus asa menghadapi daya tahan yang kokoh kuat dari ilmu silat lawannya. Ia merasa penasaran dan kehabisan akal. Ia tahu bahwa ia menang segala-galanya dari lawan, akan tetapi semua ilmu sudah ia keluarkan namun belum juga ia mampu membobolkan sinar pedang yang membentuk benteng pertahanan lawan itu.
Ketika ia melihat lawan tiba-tiba mulai menyerang, ia menjadi girang sekali. Begitu lawan menyerang, ia melihat lubang terbuka dalam benteng pertahanan itu! Akan tetapi ia tidak tergesa-gesa, bahkan memancing lawan agar menyerang terus sehingga akan terbuka lubang dan kesempatan yang lebih besar. Maka ia pura-pura terkejut, berseru sambil terhuyung ke belakang seolah-olah ia terdesak hebat oleh serangan lawan tadi. Dan Lian Hong terkena jebakan ini!
Melihat betapa nenek itu terhuyung oleh serangannya, Lian Hong menjadi girang sekali, mengira bahwa serangannya ini berhasil. Ia lalu mendesak dan mengirimkan serangan susulan dengan pedangnya, menubruk ke depan dan menyabetkan pedangnya ke arah leher nenek itu dari samping.
"Hong-moi, mundur...!"
Tiba-tiba terdengar Han Tiong berseru keras sekali dan dia hendak meloncat ke depan mencegah isterinya. Akan tetapi, Hek-hiat Lo-mo menghadang dengan totokan tongkatnya. Dan juga, seruannya sudah terlambat karena isterinya yang sudah merasa girang melihat kemenangannya di depan mata itu tidak mau menahan serangannya.
"Wuuuttt... srettt...!"
Pedang itu menyambar leher Hek-hiat Lo-bo yang mengelak dan ketika ia menggerakkan kepala, ikatan rambutnya yang penuh uban itu terlepas dan gumpalan rambutnya bergerak seperti hidup, tahu-tahu sudah membelit dan menangkap pedang lawan.
Lian Hong mengerahkan tenaga untuk menarik pedangnya, namun sukar sekali dan selagi ia bersitegang, mendadak tongkat di tangan nenek itu meluncur di bawah lengan Lian Hong dan menotok dada, tepat di dekat ketiak.
"Tukkk...!" Nyonya itu mengeluh lirih, terkulai dan roboh tak dapat berkutik lagi.
Han Tiong mengeluarkan geraman yang menggetarkan seluruh tempat itu, menerjang kakek yang menghalang dengan tongkat. Karena marah dan khawatir melihat isterinya roboh, dia kini mengeluarkan ilmu simpanannya yang disebut Keng-lun Tai-pun, melakukan sebuah jurus aneh, tubuhnya melayang ke depan, kedua lengannya dikembangkan dan dari dua tangannya keluar hawa panas menyambar-nyambar.
"Tukk! Desss...!"
Tubuh Hek-hiat Lo-mo terjengkang dan Han Tiong terguncang tubuhnya terkena totokan tongkat. Akan tetapi dia menerjang terus dan meloncat ke arah isterinya yang rebah miring.
Hek-hiat Lo-bo yang melihat suaminya terjengkang, mengeluarkan suara pekik melengking dan menyambut Han Tiong dengan tusukan tongkat dibarengi hantaman telapak tangan kiri. Hebat bukan main serangan nenek yang tingkat kepandaiannya tidak di bawah suaminya ini.
"Tukk! Plak! Desss...!"
Tubuh Hek-hiat Lo-bo juga terpelanting dan terguling-guling ke dekat tubuh suaminya. Keduanya dengan susah payah bangkit duduk, muka mereka pucat sekali, napas mereka memburu dan dari mulut dan hidung mereka keluar darah. Maklum bahwa mereka telah terluka parah dalam pertemuan tenaga sakti melawan ketua Pek-liong-pang tadi, keduanya lalu duduk bersila menghimpun hawa murni dan menanti datangnya pukulan maut dari lawan. Mereka tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, melarikan diri tidak mungkin, apalagi melawan!
Han Tiong sendiripun terluka, akan tetapi untung baginya bahwa tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh melindungi tubuhnya sehingga biarpun dalam tubuhnya terguncang hebat dan dari mulutnya mengalir darah segar pula, namun totokan-totokan dan hantaman tangan kiri lawan yang amat ampuh tadi tidak sampai mengakibatkan luka parah.
Dia tidak memperdulikan lagi kedua orang lawannya, melainkan berlutut di dekat tubuh isterinya. Dia mengangkat dan memangku tubuh yang lunglai itu dan biarpun tubuh itu masih hangat, dia tahu bahwa isterinya telah tewas!
"Hong-moi... aihhh, Hong-moi... engkau menjadi korban kekerasan keluargaku..." dia meratap dan mengeluh, penuh rasa duka dan terharu.
Kalau tadi para murid Pek-liong-pai tidak berani turun tangan menghadapi musuh tanpa perintah suhu mereka, kini melihat subo mereka tewas dan kedua orang musuh itu agaknya sudah terluka parah tinggal menyusulkan pukulan maut saja, mereka lalu bergerak menyerang kakek dan nenek itu untuk membalaskan kematian subo dan lima belas orang saudara seperguruan mereka.
Tentu saja sebagai dua orang yang pandai, kakek dan nenek itu tahu akan bahaya yang mengancam diri mereka. Mereka sudah terluka parah dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan berarti membunuh diri sendiri. Akan tetapi, sebelum mati lebih baik mereka merobohkan lagi beberapa orang lawan yang tingkat kepandaiannya belum tinggi. Mereka lalu bangkit berdiri, terengah-engah menyeringai, bertopang pada tongkat mereka.
"Hah, majulah kalian, heh-heh...!"
Hek-hiat Lo-mo menantang. Isterinya juga siap di sebelahnya, tidak berani dan tidak kuat lagi membuka suara. Para murid Pek-liong-pang terkejut dan menjadi agak gentar, menunda serangan mereka dan kini maju mengepung, siap dengan senjata mereka.
"Tahan...!" tiba-tiba untuk kedua kalinya, Han Tiong membentak. Semua muridnya terkejut, menahan senjata dan menoleh ke arah pendekar itu.
Dengan lembut Han Tiong menurunkan tubuh isterinya, merebahkan mayat yang masih hangat itu di atas tanah, lalu dia bangkit berdiri, mengusap darah dari tepi bibirnya, lalu melangkah maju menghampiri kakek dan nenek itu, sejak tadi matanya menatap wajah mereka dengan tajam.
Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo memandang dengan muka pucat, maklum bahwa nyawa mereka berada di tangan pendekar ini karena melawan pendekar ini tidak mungkin lagi bagi mereka yang sudah terluka parah.
Tiba-tiba Hek-hiat Lo-mo terkekeh. Dia tertawa untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya.
"Heh-heh-heh, orang she Cia! Kami sudah kalah olehmu. Mau bunuh lekaslah lakukan itu. Kami tidak merasa rugi, nyawa kami ditukar nyawa isterimu dan lima belas orang muridmu!"
Sinar berapi-api penuh kemarahan memancar dari sepasang mata pendekar ini, dan kedua tangannya mengepal tinju. Terdengar bunyi berkerotokan ketika dia mengerahkan tenaga dan dua orang tua itu merasa semakin serem.
Mereka tahu betapa dahsyatnya tenaga yang tersembunyi di dalam kedua tangan itu sehingga sekali saja tangan itu bergerak, mereka takkan mampu mempertahankan nyawa mereka lagi. Juga para murid Pek-liong-pang memandang terbelalak, ingin sekali melihat guru mereka menurunkan tangan maut membunuh dua orang musuh besar itu.
Akan tetapi pukulan yang dinanti-nantikan itu tak kunjung datang. Bahkan pendekar itu menoleh ke arah mayat isterinya, membalik memandang kakek dan nenek itu, lalu bicara, suaranya menggetar penuh duka.
"Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, setelah kalian membunuh isteriku dan lima belas orang muridku, keuntungan apakah yang kalian peroleh dari kematian mereka? Dan apakah dengan kematian mereka itu nenek guru kalian yang tewas oleh mendiang ayahku itu dapat hidup kembali?"
Mendengar pertanyaan aneh ini, kakek dan nenek itu saling berpandangan dengan bimbang, kemudian kakek itu yang menjawab,
"Tentu saja nenek guru kami tidak dapat hidup kembali, dan keuntungan yang kami dapat adalah rasa puas bahwa dendam kami sudah terbalas sebagian!"
"Benarkah itu? Benarkah kalian merasa puas? Ataukah akan timbul dendam lain karena kalian gagal membunuhku dan dengan sekali pukul aku akan dapat membunuh kalian?"
"Sudahlah, kami sudah kalah dan gagal, engkau boleh membunuh kami, kami tidak merasa takut!"
Akan tetapi Han Tiong menggeleng kepala dan menarik napas panjang lalu menundukkan mukanya.
"Tidak, aku tidak akan mau memperpanjang dan menyambung karma buruk ini. Biarlah isteriku dan lima belas orang muridku menjadi penebus hutang mendiang ayahku dan kubikin putus rantai karma yang membelenggu diriku. Harap kalian dapat menghabiskan permusuhan sampai disini saja."
Kakek dan nenek itu kembali saling pandang seperti tidak percaya akan apa yang mereka dengar.
"Kau... kau tidak akan membunuh kami...?"
Nenek itu bertanya, suaranya mengandung isak tertahan karena ia terlepas dari ketegangan hati seorang yang menghadapi maut yang nampaknya tak terelakkan lagi mengancam dirinya tadi.
Han Tiong mengangguk dan menarik napas panjang.
"Benar, kalian boleh pergi..."
Kakek dan nenek itu merasa terharu sekali. Baru saja mereka membunuh isteri dan lima belas orang murid pendekar ini, akan tetapi pendekar ini mengampuni mereka! Selama hidup mereka belum pernah mendengar yang seganjil ini, apalagi mengalaminya.
Jantung mereka seperti ditusuk-tusuk rasanya dan sekarangpun mereka mulai merasa menyesal sekali. Peristiwa pembunuhan ini akan menghantui mereka selama hidup dengan penyesalan. Kalau pendekar ini merasa dendam dan hendak membalas atas pembunuhan-pembunuhan itu, tentu tidak akan terdapat penyesalan di hati mereka. Akan tetapi kini sikap pendekar itu akan membuat mereka selama hidup menyesal sekali telah melakukan pembunuhan di hari ini. Mereka lebih suka kalau dibunuh saja.
Keduanya menjura dengan muka pucat dan mata basah.
"Cia-taihiap, kami berhadapan dengan seorang mulia, kami takluk dan merasa menyesal sekali..." kata kakek itu.
"Pergilah kalian... pergilah...!" kata Han Tiong, lalu dia menghampiri mayat isterinya, dipondongnya jenazah itu dan dibawanya pulang.
Para muridnya juga mengangkat mayat saudara-saudara mereka mengikuti suhu mereka dari belakang.
Kakek dan nenek itu mengikuti iring-iringan jenazah yang amat menyedihkan itu dengan muka pucat dan pandang mata sayu, kemudian tertatih-tatih merekapun pergi meninggalkan Lembah Naga.
Setelah belasan jenazah itu dimasukkan peti dan para murid Pek-liong-pang berkumpul dan berkabung, suasana menjadi amat menyedihkan. Sisa para murid cepat memberi kabar kepada saudara-saudara seperguruan mereka dan setiap kali ada murid Pek-liong-pang datang, meledaklah ratap tangis diantara mereka.
Hampir tiga puluh orang murid Pek-liong-pang berkumpul di malam terakhir itu. Besok pagi, enam belas peti mati itu akan dikebumikan. Dalam kesempatan ini, para murid kepala menyatakan rasa penasaran hati mereka terhadap sikap suhu mereka kepada kakek dan nenek yang memusuhi Pek-liong-pang dan yang menyebar maut itu.
"Suhu, teecu sekalian tetap merasa penasaran mengapa suhu membiarkan kakek dan nenek iblis itu pergi. Sepatutnya mereka dibunuh untuk membalaskan kematian subo dan enam belas murid Pek-liong-pang. Karena suhu mengampuni dan membebaskan dua iblis itu, apakah arwah subo dan sute tidak penasaran?" demikian seorang murid tua yang sudah lulus dan baru saja tiba, mewakili saudara-saudara seperguruannya menyampaikan rasa penasaran hati mereka.
Para murid lainnya mengangguk setuju dan semua mata ditujukan kepada pendekar itu. Dalam beberapa hari ini, Cia Han Tiong seolah-olah bertambah tua sepuluh tahun. Dia memandang para muridnya yang duduk bersila di depannya, dekat dengan peti-peti jenazah yang berjajar.
"Subo kalian dan para murid Pek-liong-pang tewas dalam perkelahian, bahkan pihak kita yang melakukan pengeroyokan. Mereka, juga subo kalian, tewas karena memang kalah pandai. Bukankah kalah menang adalah wajar saja dalam perkelahian? Juga luka atau tewas merupakan rangkaian dan akibat dari kekerasan yang dilakukan kedua pihak. Apa yang harus dibuat penasaran lagi?"
"Akan tetapi, suhu. Mereka yang datang menyerang, bukan kita yang mulai perkelahian itu."
"Mereka datang bukan tanpa sebab. Mereka datang sebagai akibat dari sebab lama, yaitu terbunuhnya nenek guru mereka oleh mendiang sukong kalian."
ASMARA BERDARAH JILID 037
(↕)
"Tapi, suhu. Mereka datang menyebar maut membunuh! Setelah suhu mengalahkan mereka, mengapa suhu melarang tee-cu sekalian membunuh mereka untuk membalas dendam, malah suhu membebaskan mereka. Sungguh bisa membuat orang mati penasaran!" kata seorang murid yang berwatak keras.
Han Tiong tersenyum duka dan timbul niatnya untuk mengajak para muridnya membuka mata melihat betapa pahit kadang-kadang kenyataan hidup itu adanya.
"Kalian dengar dan camkanlah baik-baik. Kalian bilang bahwa mereka datang membalas dendam dan membunuh, dan kalian menganggap mereka itu jahat. Akan tetapi kalian juga ingin membunuh mereka untuk membalas dendam. Lalu apa bedanya antara mereka dengan kita kalau kita juga ingin membunuh karena dendam? Membunuh adalah perbuatan jahat, apapun alasannya, apalagi membunuh dengan dasar dendam dan kebencian. Andaikata kita membunuh mereka berdua apakah enam belas jenazah ini akan dapat hidup kembali? Tidak, tidak ada gunanya sama sekali kalau kita membunuh mereka, bahkan kita menanam lagi bibit permusuhan baru. Mungkin bibit ini kelak berbuah dengan datangnya keturunan mereka yang akan membalas dendam kepada kita atau keturunan kita."
Hening sejenak. Semua kata-kata itu meresap di dalam hati sanubari para murid Pek-liong-pang karena mata mereka kini terbuka dan baru melihat kenyataan yang hebat.
"Lihatlah," ketua Pek-liong-pang itu melanjutkan, "bukankah setiap peristiwa yang menimpa diri kita hanya merupakan pemetikan buah saja dari pohon yang kita tanam sendiri, sedangkan setiap perbuatan kita seperti menanam bibit yang kelak menjadi pohon dan berbuah yang harus kita petik sendiri pula? Karena itu, kita tidak perlu penasaran memetik buah pohon tanaman sendiri, dan kalau menanam bibit, tanamlah yang baik! Kalau aku menerima malapetaka ini sebagai pemetikan buah dari pohon lama tanaman ayah, kemudian aku tidak menanam bibit baru, berarti aku telah mamatahkan belenggu mata rantai karma yang akan mengikat aku dan keluargaku."
"Akan tetapi suhu, dapatkah manusia hidup bebas dari karma?" tanya seorang murid.
"Setiap perbuatan yang didorong oleh nafsu dan pamrih, tentu mengikatkan diri kita kepada karma. Karma adalah hukum rangkaian sebab-akibat. Harus diketahui bahwa sebabnya berada di telapak tangan kita sendiri. Jadi, terputus atau bersambungnya karmapun berada di tangan kita sendiri. Dendam-mendendam, hutang-pihutang budi atau dendam, menciptakan mata rantai karma yang amat kuat. Kalau setiap tindakan atau perbuatan kita dilandasi cinta kasih yang berarti wajar tanpa pamrih, perbuatan itu akan habis sampai di situ saja, bukan merupakan akibat maupun sebab, tanpa dipengaruhi karma. Pamrih timbul karena kita mengharapkan jasa bagi kita dan kutuk bagi orang lain yang merugikan diri kita. Maka, murid-muridku, hiduplah bebas dari dendam dan hutang-pihutang budi, dan kalian akan bebas dari karma."
Malam sudah larut. Tengah malam baru lewat dan para murid mengganti lilin yang tinggal sedikit dengan lilin-lilin baru. Han Tiong sendiri menyalakan hio (dupa lidi) harum sehingga ruangan itu dipenuhi asap dupa harum. Keadaan menjadi amat hening ketika mereka tidak bicara lagi, keheningan yang mencekam, penuh duka dan keseraman.
Tiba-tiba terjadi hal aneh yang membuat mereka semua merasa terkejut sekali. Ada angin bertiup dari arah kiri ruangan sehingga api lilin-lilin besar di atas meja sembahyang bergoyang seperti hendak padam, menimbulkan banyak bayangan hitam menari-nari di atas dinding putih.
Juga asap dupa beterbangan ke arah kanan. Ini bukan angin biasa, pikir mereka. Sebelum mereka sempat bertanya-tanya, tiba-tiba saja ada angin bertiup dari arah yang berlawanan. Kini api lilin tenang kembali, seperti dihimpit dua tenaga atau tertiup dari dua arah, membuat api tergetar-getar. Asap dupa yang tertiup dari dua arah menjadi berputaran seperti anak-anak domba kebingungan diancam dua ekor harimau dari dua jurusan.
Han Tiong tahu akan hal ini, akan tetapi dia bersikap tenang, bahkan lalu menggeser duduknya di belakang peti jenazah isterinya, tepat di belakang menghadap ke meja sembahyang.
Pendekar ini dapat menduga bahwa tentu akan muncul orang-orang pandai yang belum diketahuinya siapa dan apa maksud kunjungan mereka di saat seperti itu. Dia tidak mengharapkan tamu luar. Para muridnya sudah dipesan agar mengundang murid-murid Pek-liong-pang saja dan kalau mungkin mencari Cia Sun puteranya, dan agar peristiwa itu tidak dikabarkan kepada orang luar.
Dia tidak ingin malapetaka yang menimpanya itu diketahui dunia kang-ouw. Dan rahasia ini mungkin saja dipegang rapat mengingat bahwa Lembah Naga adalah sebuah tempat terpencil yang jarang dikunjungi orang luar. Akan tetapi, mengapa kini muncul orang-orang pandai?
Para murid Pek-liong-pang tidak ada yang mengira bahwa peristiwa angin ganjil itu dilakukan orang pandai. Mereka saling pandang dan merasa ngeri, menyangka bahwa hal itu tentu dilakukan oleh mahluk-mahluk halus, atau mungkin oleh arwah-arwah yang mati penasaran itu. Mereka merasa ngeri dan bulu tengkuk mereka meremang.
Tiba-tiba saja ada suara terkekeh. Para murid Pek-liong-pang tersentak kaget dan memandang terbelalak kepada seorang kakek yang tiba-tiba saja muncul di depan meja sembahyang.
Kakek itu usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam kasar, matanya bundar besar. Seorang kakek dengan wajah angker, mengingatkan orang akan tokoh jaman Sam-kok yang bernama Thio Hwi! Mukanya penuh cambang bauk yang terpelihara rapi sehingga dia nampak bersih, dan pakaiannya seperti jubah pendeta, akan tetapi cukup mewah dan mahal. Sepatunya baru mengkilap.
"Ha-ha-ha...! Menyembunyikan rasa takut di balik filsafat dan kebajikan, itu namanya pengecut. Si jembel membela si pengecut, itu namanya berhati lemah. Aku ikut berduka cita atas malapetaka yang menimpa keluarga Cia!" Berkata demikian, kakek ini lalu menjura ke arah meja sembahyang.
Han Tiong sudah cepat bangkit berdiri. Selama beberapa hari ini dia telah minum obat dan merawat diri sehingga luka tidak parah yang dideritanya dalam perkelahian melawan Hek-hiat Lo-mo dan Lo-bo itu sudah sembuh. Kini dia melihat munculnya orang aneh dan mendengar kata-kata tadi, dapat menduga bahwa kekek ini muncul bukan sebagai sahabat.
Ketika kakek itu menjura ke arahnya, dia terkejut dan cepat mengerahkan sin-kang dan balas menjura untuk menangkis serangan jarak jauh itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia merasa kehebatan tenaga sakti yang menyambar kepadanya. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, akan tetapi tetap saja tidak mampu menahan dorongan kuat yang membuatnya merasa dadanya terhimpit sesak!
Selagi Han Tiong hendak menghentikan adu tenaga ini dengan jalan menghindar dengan loncatan ke samping, tiba-tiba terdengar suara terkekeh lain lagi di sebelah belakangnya.
Para murid Pek-liong-pang juga melihat seorang kakek lain yang tahu-tahu sudah berada di belakang suhu mereka. Kakek inipun sudah tua, sudah enam puluh tahun lebih usia-nya. Tubuhnya tinggi kurus, tangan kirinya memegang sebuah tongkat bambu dan di punggungnya tergantung sebuah ciu-ouw (guci arak).
"Heh-heh-heh...! Dasar orang hutan liar! Mana tahu akan filstafat yang indah? Tahunya hanya mengandalkan kekuatan memaksakan kehendaknya. Keluarga Cia yang gagah perkasa dan budiman, mana bisa dibandingkan dengan orang gunung yang buta huruf?"
Sambil berkata demikian, kakek tinggi kurus yang bajunya penuh tambalan inipun menjura dari belakang Han Tiong dan pendekar ini merasa betapa ada tenaga mujijat mendorong kekuatannya sendiri dari belakang dan menolak tenaga dorongan kakek tinggi besar itu.
Sementara itu, seorang murid Pek-liong-pang yang tidak tahu akan adanya adu tenaga sakti itu, mengira bahwa dua orang kakek itu memang tamu yang hendak bersembahyang, lalu menyalakan beberapa batang hio dan dengan sikap hormat menyerahkan dupa lidi membara itu kepada kedua orang kakek, masing-masing tiga batang.
Agaknya murid yang tak tahu gelagat ini menganggap bahwa dua orang kakek itu adalah sahabat-sahabat suhunya, kerena dia memang tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak sekali orang-orang yang berwatak aneh. Dia tidak menyadari bahwa di antara kedua orang kakek itu diam-diam telah terjadi adu tenaga sakti yang seru!
Dua orang kakek itu tersenyum-senyum menerima tiga batang hio. Kakek bercambang bauk lalu bersembahyang di depan meja dan asap dari tiga batang hio yang dipegangnya itu tiba-tiba meluncur ke depan dan mengeluarkan suara mendesis seperti tiga ekor ular yang hendak menyerang Han Tiong dan kakek jembel!
Barulah para murid Pek-liong-pang terkejut. Juga Han Tiong terkejut sekali, dan dia siap mengelak atau menangkis serangan asap hio itu. Akan tetapi pada saat itu, asap dari tiga batang hio di tangan kakek jembel juga meluncur ke depan, menyambut tiga jalur asap pertama. Terjadilah pemandangan yang amat yang amat menarik, aneh dan menegangkan.
Dari satu pihak terdapat tiga jalur asap dan kini enam jalur asap itu bergulung, saling belit, saling dorong, seperti enam ekor ular sakti bermain-main di angkasa! Pengendalinya adalah dua orang kakek itu yang berdiri memegangi tiga batang hio. Anehnya, bara api pada hio-hio itu amat besar nyalanya seperti ditiup terus-menerus sehingga tak lama kemudian hio-hio itupun habis terbakar dan padam. Ular-ular asap itupun membuyar dan pertandingan berhenti.
"Ha-ha-ha! Si jembel pemabok ternyata semakin kuat saja!" kakek tinggi besar tertawa gembira.
"Dan engkau orang gunung liar semakin binal saja!" kakek jembel itupun tertawa.
"Kau masih menganggap kelemahan orang she Cia ini benar?" tanya kakek tinggi besar.
"Tentu saja! Hidup haruslah bebas, baru dapat menikmati hidupnya!" kata kakek jembel.
"Huh! Hidup tanpa adanya sesuatu yang mengikat, lalu apa artinya? Tiada isi, hampa belaka!" kata kakek tinggi besar.
"Itu pendapatmu! Hidup harus bebas dari pendapat..."
"Ha-ha, jembel mabok! Ucapanmu itupun merupakan suatu pendapat, bukan?"
Wajah kakek jembel itu berobah merah dan sejenak dia seperti kebingungan.
"Sudahlah!" dia mengetukkan tongkat bambunya di atas lantai. "Kita bukan nenek-nenek bawel yang suka berdebat. Kalau engkau ingin mengadu kepandaian, hayoh! Di manapun dan kapanpun akan kulayani. Sudah lama tongkatku tidak pernah menggebuk anjing tinggi besar dari gunung!"
Akan tetapi kakek tinggi besar yang disindir itu hanya tertawa.
"Engkau tahu bahwa ucapanmu itu hanya gertak sambal! Akupun tahu bahwa aku takkan mudah mengalahkan engkau jembel busuk. Kita sudah semakin tua, tiada gunanya membuang tenaga sia-sia. Mari kita berlomba membuktikan kebenaran filsafat lemah pengecut dari orang she Cia ini!"
"Baik, bagaimana caranya?"
"Kita didik murid menurut cara masing-masing, engkau boleh mencontoh filsafatnya dan aku sebaliknya. Tiga tahun kemudian kita adu murid kita!"
"Baik!"
Kedua orang kakek itu lalu berkelebat lenyap! Cia Han Tiong cepat menjura dan mencoba menahan.
"Ji-wi locianpwe, harap duduk dulu...!"
"Ha-ha!" Terdengar suara kakek jembel. "Kau mau tahu. Aku hanya jembel tua Ciu-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Arak)!"
"Dan aku adalah Go-bi San-jin (Orang Gunung Gobi)!" terdengar suara kakek tinggi besar. Suara mereka terdengar dari jauh sekali, dan dari dua jurusan!
Cia Han Tiong duduk kembali, menarik napas panjang dan menghapus keringatnya.
"Suhu, siapakah dua orang aneh itu?" tanya seorang murid.
Han Tiong menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya.
"Sungguh aku seorang yang harus malu melihat kepandaian sendiri tiada artinya dibandingkan mereka itu. Melihat sin-kang mereka, agaknya mereka memiliki tingkat yang tak kalah tingginya dibandingkan tingkat mendiang ayahku sendiri! Dan mereka itu jauh lebih lihai daripada Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo! Namun, baik kedua Lo-mo dan Lo-bo maupun kedua kakek tadi, sama sekali tak terkenal di dunia kang-ouw! Terbuktilah kini bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, jauh lebih pandai daripada orang yang terkenal!"
"Apakah maksud kedatangan mereka itu, suhu?"
"Entahlah. Entah ada hubungannya dengan kemunculan Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo itu atau tidak. Akan tetapi, kalau orang-orang sakti seperti mereka muncul, biasanya tentu akan terjadi hal-hal yang penting."
Setelah mengubur peti-peti jenazah itu, Han Tiong lalu membubarkan Pek-liong-pang! Dia mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Peristiwa yang terjadi baru-baru ini membuka matanya bahwa memperkuat diri sendiri dan kelompoknya berarti mengundang datangnya lawan yang tak mau kalah kuat.
"Kalian jalanlah sendiri-sendiri dan peganglah teguh semua ajaran yang telah kalian peroleh disini. Akan teetapi jangan lagi sebut-sebut namaku atau Pek-liong-pang. Pek-liong-pang sudah bubar dan segala perbuatan kalian adalah urusan pribadi yang harus kalian pertanggungkan sendiri. Kalau ada yang bertemu dengan Cia Sun, beritahukan segalanya dan suruh dia pulang. Selanjutnya, aku tak mau diganggu dengan persoalan-persoalan dunia lagi."
Tentu saja para murid menjadi berduka. Akan tetapi mereka mengenal watak suhu mereka yang keras. Beberapa hari kemudian, Lembah Naga menjadi sunyi ditinggalkan semua murid Pek-liong-pang. Cia Han Tiong hidup menyendiri sebagai seorang pertapa!
ASMARA BERDARAH JILID 038
(↕)
Sui Cin yang menyamar sebagai seorang pemuda jembel, merasa cocok dan senang sekali melakukan perjalanan bersama Hui Song. Pemuda ini berandalan, jenaka, gembira dan nakal, suatu sifat yang cocok dengan wataknya sendiri.
Ketika ia melakukan perjalanan bersama Sim Thian Bu menuju ke telaga setelah gagal nonton pertemuan para pendekar yang urung diadakan, mula-mula iapun merasa cocok. Sim Thian Bu seorang pemuda ganteng pesolek yang pandai memikat hati. Akan tetapi, baru sehari melakukan perjalanan bersama, ia sudah melihat bahwa keramahan pemuda itu pura-pura dan pandang matanya, tutur sapanya, semakin berani mengarah cabul. Maka, pada malam harinya ketika mereka bermalam di rumah penginapan, diam-diam Sui Cin meninggalkan tanpa pamit. Ia lalu menyamar sebagai pemuda jembel yang merantau sendirian, bebas gembira sampai ia bertemu dengan Hui Song.
Seperti telah kita ketahui, Sui Cin yang menyamar sebagai pemuda jembel melakukan perjalanan dengan Hui Song menuju ke kota raja. Ia mengatakan hendak mencari encinya! Dan Hui Song juga pergi ke kota raja dengan dalih hendak menyelidiki Hwa-i Kai-pang yang bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Padahal sesungguhnya dia ingin sekali berkenalan dengan enci dari pemuda jembel itu yang ternyata adalah dara yang pernah dijumpainya dan yang amat menarik hatinya itu.
Di sepanjang perjalanan, keduanya merasa cocok sekali. Akan tetapi setiap kali malam tiba, Sui Cin tidak pernah mau diajak bermalam di rumah penginapan, melainkan mengajak bermalam di kolong-kolong jembatan atau di emper-emper toko! Ketika Hui Song memprotes, Sui Cin menjawab.
"Song-twako, engkau tahu bahwa aku sudah biasa hidup sebagai pengemis. Maka, akupun lebih leluasa tidur di kolong jembatan daripada di kamar hotel. Kalau engkau mau tidur di hotel, silakan. Aku di emper toko sini saja."
Hui Song terpaksa menurut biarpun dia mengomel karena dia tahu bahwa pemuda ini bukan jembel asli melainkan putera Pendekar Sadis yang kaya raya dan suka membagi-bagi uang pada para jembel! Dia tidak tahu bahwa Sui Cin sendiri jarang tidur di tempat kotor itu. Kalau sekarang ia memilih tidur di emper adalah untuk menghindari tidur sekamar dan seranjang dengan Hui Song!
Pada suatu malam mereka terpaksa tidur di bawah pohon dalam sebuah hutan. Kota raja sudah dekat dan hawa udara malam itu dingin sekali. Melihat betapa pemuda jembel itu tidur meringkuk kedinginan, Hui Song membesarkan api unggun.
Akan tetapi agaknya masih belum cukup dapat mengusir dingin, bahkan dalam tidurnya Sui Cin agak menggigil. Karena khawatir kalau-kalau pemuda jembel itu jatuh sakit, Hui Song melepaskan jubahnya dan menyelimuti tubuh Sui Cin yang sudah tidur nyenyak.
Akan tetapi, pemuda jembel itu masih kelihatan meringkuk kedinginan sedangkan Hui Song sendiri setelah menanggalkan jubahnya juga merasa dingin sekali. Maka dia lalu merebahkan dirinya dekat Sui Cin dan untuk mengurangi rasa dingin bagi mereka berdua, dia lalu merangkul tubuh Sui Cin merapatkan diri.
Benar saja, dia merasa hangat dan nyaman. Juga Sui Cin mengeluarkan suara lega. Akan tetapi hanya sebentar saja karena tiba-tiba Sui Cin meronta dan siku lengannya menyodok ke belakang.
"Hekk...!"
Hui Song merasa dadanya sesak karena tersodok siku dan dia memandang terbelalak kepada Sui Cin yang sudah meloncat berdiri. Pemuda jembel itu bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan marah sekali.
"Apa... apa yang kau lakukan tadi?" bentaknya.
Hui Song bangkit duduk termangu-mangu, keheranan.
"Apa...? Mengapa...? Aku tidak apa-apa..." jawabnya bingung.
"Kenapa engkau... memelukku tadi?"
Hui Song mengangkat alis dan pundaknya.
"Agar kita berdua tidak kedinginan. Cin-te, engkau sungguh aneh, apa salahnya kalau aku memelukmu?"
Baru Sui Cin sadar akan keadaannya, akan penyamarannya. Iapun duduk dekat api unggun.
"Maaf, Song-twako. Engkau mengagetkan aku yang sedang tidur dan... dan engkau mengingatkan aku akan pengalaman tidak enak beberapa bulan yang lalu ketika tadi engkau merangkul aku."
"Pengalaman apakah, Cin-te? Kurasa tidak ada salahnya dua orang laki-laki yang sudah bersahabat saling merangkul." Hui Song mengomel karena dadanya masih terasa memar.
"Ada seorang pria yang juga merangkulku... ihh, aku masih jijik dan ngeri membayangkan perbuatannya itu!"
"Aih, engkau seperti wanita saja, Cin-te. Apa salahnya laki-laki itu merangkulmu kalau memang dia sahabatmu?"
"Dia bukan hanya merangkul, akan tetapi... hendak... mencium dan mengajakku melakukan... hal yang tidak senonoh..."
Sui Cin tidak membohong ketika menceritakan ini karena memang dalam penyamarannya sebagai seorang pemuda jembel, pernah ada seorang jembel pria lainnya yang berbuat seperti itu kepadanya sehingga ia menjadi marah, menghajar jembel itu sampai babak belur dan pingsan baru meninggalkannya.
"Ahh...!"
Kini Hui Song terbelalak, kemudian menepuk pahanya sambil tertawa geli. Sui Cin melirik dengan hati mendongkol.
"Kenapa kau mentertawakan aku?" bentaknya.
"Aku tidak mentertawakan kau, Cin-te. Aku hanya merasa geli sendiri. Aku sudah pernah mendengar tentang pria yang suka berjina dengan pria lain, juga tentang wanita yang lebih suka bercinta dengan sesama wanita. Akan tetapi, wah, sialan benar! Apakah engkau menyamakan aku dengan pria itu?"
"Bukan begitu, akan tetapi pengalaman itu membuat aku merasa geli setiap kali ada pria memelukku. Itulah sebabnya mengapa aku tadi terkejut sekali."
"Maaf... maaf... aku tidak tahu dan tidak sengaja..."
"Sudahlah, asal mulai sekarang engkau jangan sekali-kali lagi mengulang perbuatan itu."
"Aku tidak berani...!" Hui Song tertawa.
"Awas kalau kau ulangi lagi, aku akan bilang kepada enciku bahwa engkau adalah seorang pemuda kurang ajar yang sukanya kepada sesama pria."
"Wah, gawat! Sungguh mati, aku tidak berani lagi. Eh, Cin-te, siapakah nama encimu itu?"
Sui Cin tidak segera menjawab, membesarkan nyala api unggun.
"Enci akan marah kalau aku lancang memperkenalkan namanya. Engkau tanya sendiri saja kalau sudah bertemu dengannya."
Pada keesokan harinya, mereka memasuki pintu gerbang kota raja. Ketika Hui Song bertanya dimana adanya enci sahabatnya itu, Sui Cin menjawab,
"Soal enciku mudah. Akan tetapi aku ingin sekali mengikutimu dan melihat bagaimana caranya engkau menyelidiki Hwa-i Kai-pang itu."
Terpaksa Hui Song mengajak Sui Cin melakukan penyelidikan. Setelah mereka mendapat keterangan dimana adanya gedung perkumpulan Hwa-i Kai-pang, mereka segera menuju kesana.
Gedung itu besar dan megah, sungguh tidak pantas menjadi pusat perkumpulan para pengemis. Dan di pintu gerbang nampak pengemis-pengemis muda yang bertampang serem melakukan penjagaan dengan lagak seperti pasukan tentara menjaga pintu gerbang saja. Dan nampak pula beberapa kali orang-orang berpakaian seperti pejabat pemerintah naik kereta memasuki halaman gedung itu sebagai tamu.
Sui Cin sudah tidak sabar dan hendak menyerbu saja, akan tetapi Hui Song mencegahnya.
"Kita datang bukan untuk menyerbu, melainkan untuk menyelidiki rahasia mereka. Nanti malam saja kita kembali dan melakukan pengintaian."
Malam itu sunyi dan dingin. Setelah makan malam Hui Song dan Sui Cin berangkat menuju ke gedung perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang. Gedung itu megah dan besar, dikelilingi tembok tinggi dan satu-satunya pintu masuk pekarangan hanya pintu gerbang yang terjaga ketat siang malam itu.
Akan tetapi, tidak sukar bagi Hui Song dan Sui Cin untuk memasuki pekarangan belakang dengan meloncati pagar tembok bagian belakang. Agaknya Hwa-i Kai-pang begitu percaya akan kebesaran nama dan pengaruh mereka sehingga menganggap mustahil ada orang yang bosan hidup berani memasuki pekarangan mereka tanpa ijin, maka bagian belakang tidak dijaga.
Bagaikan dua ekor kucing, Hui Song dan Sui Cin menyelinap dan naik ke atas genteng bangunan bersembunyi di balik wuwungan. Tak lama kemudian mereka sudah membuka genteng mengintai ke bawah, ke dalam sebuah ruangan di bagian belakang gedung itu.
Ruangan itu luas dan melihat gambar-gambar orang bersilat yang berada di atas dinding, juga adanya rak penuh bermacam senjata di sudut, mudah diduga bahwa ruangan itu tentu sebuah lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Di sebuah sudut ruangan nampak empat orang duduk seenaknya di atas lantai. Keadaan empat orang kakek itu menyeramkan.
Keempatnya mengenakan baju tambal-tambalan dan berkembang-kembang seperti baju pengemis akan tetapi kainnya masih baru. Yang menyeramkan adalah wajah dan sikap mereka. Seorang yang duduk hampir rebah bertubuh gendut dengan perut seperti gentong, kepala botak dan rambutnya dikuncir lucu seperti ekor babi. Alisnya tebal, mata hidung dan mulutnya besar-besar.
Orang kedua di sebelah kirinya adalah seorang kakek tinggi kurus yang rambutnya panjang riap-riapan, kepalanya memakai kopyah pendeta, tangan kanan memegang pipa tembakau berbentuk ular. Dia nampak kurus sekali bersanding kakek pertama yang kegerahan membuka bajunya, atau mungkin juga karena perutnya terlalu gendut, kancing bajunya tak dapat ditutup.
Orang ketiga lebih menyeramkan lagi. Tubuhnya tinggi besar nampak kuat. Mata kirinya ditutup dengan penutup mata berwarna hitam. Rambutnya sedikit, hampir gundul dan wajah yang bermata satu ini membayangkan kebengisan yang kejam. Orang keempat berwajah buruk, dengan mulut yang moncong bentuknya, punggungnya bongkok dan dia memegang sebatang tongkat bulat. Agaknya mereka sedang bercakap-cakap dengan santai, menghadapi arak wangi dan sepiring ayam panggang utuh berada di antara mereka.
Hui Song dan Sui Cin yang mengintai merasa heran. Melihat pakaian mereka berempat itu, agaknya tak salah lagi bahwa empat orang itu tentu tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi sikap dan wajah mereka sama sekali tidak pantas menjadi tokoh jembel. Lebih patut kalau menjadi kepala-kepala rampok!
"Kurang ajar sekali, kini di Cin-an muncul dua orang muda yang berani menentang kita!" si perut gendut berkata sambil mengembangkan lengan kanan.
"Kalau mereka tidak lari dan kuketahui tempatnya, tentu keduanya takkan kuampuni lagi, akan kupatahkan kaki tangan mereka dan kukeluarkan isi perut mereka!" kata si mata satu dengan suara penuh geram.
Kakek yang mengisap huncwenya mengepulkan asap sehingga tercium bau yang harum memuakkan.
"Hemm, sebaliknya diselidiki benar-benar siapa pemuda jembel yang membagi-bagi uang itu. Sungguh kedengaran aneh sekali."
"Kalian tak perlu khawatir," kini kakek buruk rupa yang memegang tongkat berkata. "Kewajiban kita hanyalah menjaga kota raja dan sekitarnya, bekerjasama dengan pasukan pemerintah, mencegah pengaruh buruk mendekati sri baginda. Peristiwa di Cin-an itu membuktikan adanya kerja sama yang baik antara anak buah kita dengan pasukan pemerintah. Itu sudah cukup menguntungkan kita. Rakyat melihatnya dan kita tentu semakin ditaati sebagai pembantu pemerintah."
"Akan tetapi, Lo-eng (Pendekar Tua), dua pemuda itu kabarnya lihai sekali. Kalau tidak dicari dan dibasmi, bisa berbahaya, kelak hanya akan mendatangkan kesulitan," kata si gendut.
Mendengar percakapen itu, Sui Cin mengepal tinju. Ingin ia turun dan mengamuk, menghajar mereka, terutama si perut gendut. Akan tetapi agaknya Hui Song dapat merasakan gerakannya. Pemuda itu menyentuh tangannya dan berbisik,
"Hati-hati ada orang datang!"
Tiba-tiba ada dua bayangan berkelebat. Sui Cin terkejut bukan main karena bayangan itu memiliki gerakan yang amat cepat dan ringan, tanda bahwa mereka mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Untung Hui Song telah mengetahui kedaaan mereka lebih dulu sehingga ia tak jadi turun tangan.
Bagaikan dua ekor burung, bayangan dua orang itu sudah melayang turun memasuki ruangan itu. Empat orang yang sedang bercakap-cakap itu terkejut dan berlompatan berdiri, siap menggempur musuh.
Sepasang orang muda yang mengintai di atas melihat betapa gerakan mereka hebat, membayangkan kepandaian tinggi. Akan tetapi ketika empat orang itu mengenal kakek dan nenek yang muncul seperti iblis itu, wajah mereka menjadi girang. Kakek bertongkat yang menjadi ketua Hek-i Kai-pang, yaitu yang menamakan diri Hwa-i Lo-eng, cepat menjura dengan hormat.
"Aih, kiranya Kui-kok Pang-cu berdua yang datang berkunjung! Selamat datang dan silakan duduk!" Juga tiga orang kakek yang menjadi pembantu-pembantunya memberi hormat.
Kakek dan nenek itu adalah Kui-kok Lo-mo dan isterinya Kui-kok Lo-bo, sepasang suami isteri yang berpakaian putih-putih dan bermuka pucat seperti mayat itu. Mereka adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui dan karena Cap-sha-kui juga sudah diperalat oleh Liu-thaikam, seperti halnya Hwa-i Kai-pang, maka tentu saja mereka terhitung rekan dan saling mengenal.
Melihat betapa kakek dan nenek yang bermuka putih pucat itu masih berdiri saja, ketua Hwa-i Kai-pang kembali mempersilakan mereka duduk.
"Ji-wi, silakan duduk."
"Nanti dulu, Kai-pang-cu, kami menanti munculnya tamu lain!" Lalu Kui-kok Lo-bo melambaikan tangan ke atas sambil membentak, "Apakah kau masih juga belum mau turun?"
Sui Cin terkejut sekali, mengira bahwa ialah yang disuruh turun karena nenek bermuka pucat itu memandang ke arah tempat ia bersembunyi. Tentu saja ia tidak takut dan hendak turun. Akan tetapi kembali Hui Song mencegahnya dan memegang lengannya. Dan pada saat itu terdengarlah bunyi ledakan cambuk disusul melayangnya seorang nenek bongkok kurus ke dalam ruangan itu. Kiranya Kui-bwe Coa-li, satu diantara Cap-sha-kui yang dimaksudkan oleh kakek dan nenek iblis itu!
"Hi-hik, matamu masih tajam sekali Lo-bo?" Kui-bwe Coa-li berkata dengan nada mengejek.
"Coa-li, untuk mengetahui kehadiranmu, tak memerlukan ketajaman mata, cukup mencium bau yang amis seperti ular itupun cukuplah, ha-ha-ha!" Kui-kok Lo-mo mengejek.
"Huh! Hidung kerbau ini masih besar kepala juga!"
Nenek iblis itu balas memaki. Tidaklah aneh sikap antara para iblis Cap-sha-kui ini. Memang mereka adalah datuk-datuk sesat yang kasar.
Akan tetapi Hwa-i Lo-eng girang sekali kedatangan tamu-tamu lihai ini. Dengan hormat dia mempersilakan mereka duduk di ruangan tanpa kursi itu. Lantai mengkilap bersih, maka mereka lalu duduk di lantai begitu saja. Ketua pengemis itu membunyikan genta kecil dan muncullah lima orang gadis cantik menyuguhkan arak dan daging.
"Ha-ha! Para pelayanmu cantik-cantik, Lo-eng!" kata Kui-kok Lo-mo sambil mencolek pinggul seorang diantara mereka.
Hui Song dan Sui Cin memandang dengan heran. Perkumpulan pengemis akan tetapi mempunyai pelayan-pelayan yang terdiri dari gadis-gadis cantik yang berpakaian indah seperti perkumpulan orang-orang bangsawan atau hartawan saja!
Akan tetapi sepasang orang muda ini tetap mengintai dengan hati-hati karena mereka kini maklum bahwa datuk-datuk sesat dari Cap-sha-kui ternyata bersekongkol dengan Hwa-i Kai-pang dan agaknya mereka diperalat oleh pemerintah! Betapapun aneh kedengarannya, namun agaknya kenyataannya begitulah karena bukankah tadi ketua Hwa-i Kai-pang menyebut tentang adanya kerja sama antara mereka dan pemerintah?
Sambil makan minum, Kui-kok Lo-mo menceritakan maksud kedatangannya.
"Sebagai sesama rekan, kami membuka rahasia kami. Kami menerima tugas untuk membunuh Jenderal Ciang."
"Ah...! Beliau adalah panglima kedua di kota raja! Bukan hal mudah untuk mendekatinya, apalagi membunuhnya!" kata kakek yang mengisap pipa tembakau.
Hui Song dan Sui Cin juga kaget bukan main! Dan mereka merasa bingung. Para datuk sesat ini bekerja sama dengan pemerintah, akan tetapi mengapa iblis muka pucat mendapat tugas membunuh Jenderal Ciang, panglima kedua dari kerajaan? Sungguh sukar dimengerti. Akan tetapi mereka mendengarkan terus.
"Kami mengerti akan beratnya tugas kami, karena itulah kami datang kesini mengharapkan bantuan kawan-kawan yang tentu lebih tahu akan kebiasaan-kebiasaan panglima itu sehingga kami dapat turun tangan pada saat yang tepat," kata Kui-kok Lo-bo.
"Sebaiknya, kalau kita bekerja sama!" Tiba-tiba Kui-bwe Coa-li berseru. "Kalian membantuku Menteri Kebudayaan Liang, baru kemudian aku membantu kalian menyingkirkan Ciang-goanswe. Dengan majunya kita bertiga, mustahil kita takkan berhasil membunuh jenderal itu!"
Suami isteri itu saling pandang dan mengangguk setuju. Membunuh Menteri Liang merupakan pekerjaan amat mudah kalau dibandingkan dengan tugas mereka membunuh Jenderal Ciang. Dan bantuan Kiu-bwe Coa-li tentu saja amat berharga.
"Bagus, kami setuju dengan kerja sama itu," kata Kui-kok Lo-mo.
"Nah, sekarang kita minta bantuan kawan-kawan dari Hwa-i Kai-pang bagaimana sebaiknya untuk dapat menyerang Menteri Liang!" kata Kui-bwe Coa-li.
"Mencari kesempatan baik untuk menyerang Menteri Liang jauh lebih mudah daripada Jenderal Ciang!" kata Hwa-i Lo-eng yang tentu saja lebih banyak mengenal keadaan para pembesar di kota raja.
Apalagi dia sudah banyak menerima tugas mengamati dan memata-matai para pembesar yang menjadi lawan Liu-thaikam termasuk Jenderal Ciang dan Menteri Liang.
"Ceritakan yang jelas, pang-cu," kata Kiu-bwe Coa-li dengan girang karena merasa betapa tugasnya akan menjadi ringan setelah mendapat bantuan rekan-rekannya.
"Begini : Menteri Liang mempunyai suatu kegemaran, yaitu berlayar dan memancing ikan di Telaga Emas di sebelah selatan kota raja. Sebulan dua tiga kali dia pergi ke telaga itu dan saat itulah terbaik untuk turun tangan. Pertama, dia berada di luar kota raja dan kedua, biasanya dia tidak disertai banyak pengawal. Nah, cu-wi tinggal bersiap-siap saja, kalau dia pergi ke telaga itu, cu-wi turun tangan. Kami sendiri sudah banyak dikenal, tentu saja tidak mungkin dapat membantu turun tangan sendiri. Akan tetapi, disini ada saudara Bhe Hok ini yang merupakan tokoh baru dan belum banyak dikenal di daerah telaga itu, maka dialah yang akan membantu cu-wi mengamati dan memata-matai lebih dahulu sehingga akan tahu keadaan pembesar itu kalau sampai di telaga."
Ketua perkumpulan pengemis itu menunjuk kepada kakek berperut gendut yang ikut hadir disitu dan kakek gendut ini mengangguk-angguk sambil terkekeh girang menerima tugas penting ini.
Ketua Hwa-i Kai-pang itu bicara lirih ketika mengatur siasatnya, sama sekali tidak tahu bahwa semua percakapan itu didengarkan oleh Hui Song dan Sui Cin!
ASMARA BERDARAH JILID 039
(↕)
Pagi itu amat indahnya di tepi telaga. Masih sunyi karena hari masih amat pagi, belum ada orang datang ke tempat itu. Sui Cin sejak tadi sudah berada di tepi telaga seorang diri dan ia terpesona oleh keindahan pemandangan pagi hari itu.
Pagi yang cerah. Sinar matahari masih lemah, kuning emas membentuk garis-garis mengkilap di permukaan air telaga yang tenang dan halus seperti sutera kehijauan berkeriput. Kicau burung-burung diantara daun-daun pohon menambah meriahnya suasana.
Langit bersih, hanya ada awan putih berkelompok-kelompok membentuk beraneka macam mahluk khayali. Indah sekali awan-awan itu, tak pernah diam mati melainkan setiap detik berobah dengan halus, seperti permukaan air telaga yang selalu bergerak menimbulkan perobahan-perobahan. Seperti mengalirnya air kehidupan yang setiap saat berobah.
Hening sekali. Keheningan yang agung menyelimuti seluruh telaga dan sekitarnya, keheningan total dimana Sui Cin juga termasuk. Keheningan yang terasa benar pada saat itu oleh Sui Cin. Keheningan yang menenteramkan, sama sekali bukan rasa kesepian yang menggelisahkan.
Dara itu sejak tadi berdiri tak bergerak, seperti patung, memiliki keindahan tersendiri walaupun ia menjadi bagian dari keindahan total itu. Seorang dara yang menjelang dewasa, cantik jelita dan manis dalam kesederhanaannya. Pakaiannya sederhana, bersahaja dan lebih diutamakan sebagai pelindung tubuh daripada sebagai hiasan seperti kebanyakan wanita.
Rambutnya yang hitam panjang itu terurai ke belakang hanya diikat sutera hijau, agak awut-awutan karena tak diminyaki dan kurang sisiran, juga karena dipermainkan angin pagi sejak tadi. Anak rambut terjuntai di dahi dan pelipis menjadi penambah manis. Wajah yang berkulit halus dan berbentuk ayu itu tidak dilapisi bedak. Akan tetapi kulit muka itu sudah halus putih dan kedua pipinya segar kemerahan.
Tiba-tiba patung cantik jelita itu bergerak, menggerakkan kepalanya dan dua gumpalan rambut itu bergerak pula, yang satu pindah dari punggung ke dada. Terdengar tawa kecil dan sekilat deretan gigi rapi berkilauan tertimpa cahaya matahari, mata yang jelita itu agak menyipit ketika ia tertawa kecil.
Yang memancingnya tertawa kecil sehingga sadar dari lamunannya adalah tingkah dua ekor burung gereja yang sedang berkasih-kasihan. Yang jantan selalu mengejar, yang betina lari, jinak-jinak merpati seperti menggoda tapi akhirnya menyerah dan ketika yang jantan hinggap di atas punggungnya, yang betina terpeleset sehingga keduanya jatuh tunggang-langgang ke bawah.
Akan tetapi sebagai burung yang memiliki sayap dengan indahnya mereka dapat menghindarkan diri dari kejatuhan itu dan di lain saat sudah berkejaran lagi sambil berteriak-teriak bersendau-gurau dalam bahasa mereka.
Sui Cin sama sekali tidak tahu bahwa selagi ia terpesona oleh keindahan pemandangan di telaga, ada sepasang mata orang lain juga terpesona, bukan oleh keindahan telaga melainkan keindahan dirinya. Seorang pria yang sejak tadi menyembunyikan diri di balik semak-semak sambil mengamati setiap gerak-geriknya.
Setelah memperoleh banyak keterangan penting dalam pengintaian mereka di Hwa-i Kai-pang, Hui Song dan Sui Cin lalu mengadakan perundingan. Mereka bersepakat untuk mencegah usaha jahat kaum sesat yang hendak membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang.
Juga dalam percakapan rahasia antara para datuk sesat itu mereka tahu bahwa para kaum sesat itu diperalat oleh Liu-thai-kam. Dua orang pembesar yang hendak dibunuh adalah musuh-musuh Liu-thaikam karena mereka merupakan pembesar-pembesar jujur yang dapat membahayakan kedudukannya.
Juga kini Hui Song dan Sui Cin tahu mengapa kaum sesat melindungi kaisar. Bukan karena kesetiaan Liu-thaikam, melainkan karena pembesar korup ini merasa aman dengan berkuasanya kaisar muda yang mempercayanya itu. Melindungi dan mempertahankan kaisar muda ini berarti melindungi dan mempertahankan kedudukannya sendiri. Semua ini mereka ketahui dari percakapan antara para datuk sesat malam itu.
Hui Song lalu membagi pekerjaan. Dia minta agar Sui Cin yang dikenalnya sebagai pemuda jembel lihai itu melakukan pengamatan di telaga yang disebut Telaga Emas, sedangkan Hui Song sendiri akan menghubungi Menteri Liang dan Jenderal Ciang.
Mereka lalu berpisah. Sui Cin yang sudah merasa bosan menyamar sebagai pemuda jembel setelah kini berpisah dari Hui Song lalu berganti pakaian menjadi dara cantik sederhana seperti biasa dan pagi itu ia sudah menikmati keindahan alam di tepi telaga. Kini ia mengerti mengapa telaga itu dinamakan Telaga Emas. Memang tiap pagi sinar matahari merobah air telaga menjadi keemasan.
Ia tidak perlu melakukan pengamatan sambil bersembunyi. Kini ia merupakan seorang gadis perantau yang sedang berkelana dan melancong ke telaga ini. Cukup wajar dan ia dapat pesiar sambil memasang mata. Andaikata Kiu-bwe Coa-li muncul dan nenek iblis ini menyerangnya, iapun tidak takut!
Akan tetapi ketika pagi itu ia datang ke tepi telaga, keadaan di situ amat sepi dan yang muncul bukan Kiu-bwe Coa-li atau tokoh sesat lainnya, melainkan seorang pemuda tampan pesolek yang sudah dikenalnya, yaitu Sim Thian Bu! Ia sama sekali tidak tahu bahwa pemuda ini sejak tadi telah mengamati semua gerak-geriknya dari tempat tersembunyi.
Sim Thian Bu tiba-tiba muncul dan dengan ramah berseru gembira,
"Nona Ceng! Aih, akhirnya kita saling berjumpa juga. Memang kita ada jodoh! Aku memang tempo hari mengajakmu pesiar ke telaga ini, akan tetapi di tengah perjalanan engkau pergi. Tak kusangka kita justeru saling jumpa di Telaga Emas ini. Bukankah ini jodoh namanya?"
Tentu saja Sui Cin merasa kaget melihat munculnya pemuda ini dan iapun agak tertegun mengingat bahwa ia pernah meninggalkan pemuda ini malam-malam tanpa pamit. Akan tetapi iapun teringat akan sikap kurang ajar pemuda ini, bahkan sekarangpun pemuda ini berkali-kali bicara tentang jodoh!
"Saudara Sim, pergilah dan jangan ganggu, aku ingin sendirian," katanya singkat.
Akan tetapi pemuda tampan pesolek itu tersenyum dan memandang ke kanan kiri. Tempat itu sangat sepi pada saat itu. Permukaan telagapun masih sunyi, hanya ada sebuah perahu kecil nampak jauh di tengah telaga dengan seorang saja di dalamnya, agaknya seorang nelayan yang kesiangan. Sim Thian Bu sama sekali tidak memperdulikan nelayan dengan perahunya yang jauh itu.
"Nona Ceng, kenapa sikapmu begitu terhadapku? Bukankah kita sudah berkenalan dan menjadi sahabat baik? Pertemuan yang tidak kita sangka-sangka ini tandanya bahwa kita berjodoh. Marilah kita pelesir dan bersenang-senang berdua, nona. Jangan kau tinggalkan aku lagi. Aku... sejak pertemuan pertama itu, aku sudah tergila-gila padamu, nona..."
"Tutup mulutmu!" Sui Cin membentak marah.
"Ahhh...! Salahkah kalau seorang pemuda seperti aku tergila-gila dan jatuh cinta kepada seorang gadis sepertimu? Engkau yang salah, siapa suruh engkau begini cantik manis menggairahkan?"
Wajah Sui Cin yang putih halus itu menjadi merah. Belum pernah selama hidupnya ada laki-laki bicara seperti itu kepadanya. Rasa malu dan marah, membuatnya sukar bicara. Akan tetapi sebagai seorang gadis bebas yang jujur, harus diakuinya bahwa ucapan pemuda itu tak dapat disebut kurang ajar. Bukankah Sim Thian Bu mengeluarkan isi hatinya secara jujur? Pendapat ini menyabarkan hatinya dan iapun tersenyum.
"Saudara Sim, pergilah dan jangan menggangguku kalau kau tidak ingin kuanggap sebagai musuh."
Thian Bu tersenyum lebar, dan matanya dipicingkan, memandang dengan gaya lucu memikat, kemudian dia bertepuk tangan tertawa.
"Ha-ha! Aku mengerti sekarang. Engkau belum dapat menerima cintaku karena engkau belum mengenal kepandaianku, bukan? Seorang dara pendekar tentu hanya mau bergaul dengan seorang pembda yang lihai pula ilmu silatnya. Nah, disini merupakan tempat yang baik sekali untuk menguji kepandaian, nona Ceng. Silakan!" Pemuda itu memasang kuda-kuda dengan gaya dibuat-buat.
Sui Cin tersenyum mengejek. Bagaimanapun juga, terasa olehnya ketidakwajaran dalam sikap Thian Bu. Hui Song juga nakal dan jenaka, akan tetapi selalu menjaga kesopanan dan tidak pernah menyinggung perasaan. Sebaliknya, dalam kata-kata, pandang mata dan senyum Sim Thian Bu terkandung suatu sikap cabul dan kurang ajar yang membuat Sui Cin merasa ngeri dan juga marah.
"Aku tidak ingin mengujimu melainkan menghajarmu!" hardiknya dan Sui Cin sudah menerjang maju dengan tamparan-tamparan kedua tangannya.
"Heiittt... perlahan dulu...! Wah, jangan galak-galak, nona manis!" Thian Bu mengelak, bahkan berusaha menangkap pergelangan tangan Sui Cin.
Tentu saja Sui Cin tidak sudi ditangkap dan ia menarik kembali tangannya lalu menerjang dengan dahsyat mempergunakan pukulan dan tendangan.
"Aih, engkau bersungguh-sungguh, manis?"
Thian Bu mengejek dan diapun mengelak, menangkis dan membalas tak kalah dahsyatnya.
Sim Thian Bu sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan puteri Pendekar Sadis yang lihai sekali, maka dia tidak berani memandang ringan dan segera mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Sebaliknya, baru sekarang Sui Cin benar-benar berkenalan dengan ilmu kepandaian pemuda itu dan diam-diam ia terkejut karena ternyata Thian Bu amat lihai! Melihat ketangguhan lawan, Sui Cin lalu mainkan Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun (Silat Sakti Penakluk Iblis) dari ibunya. Ilmu silat ini amat cepat dan ganas dan jarang ada orang mampu menandinginya. Akan tetapi ternyata Thian Bu dapat melawan dengan baik, bahkan keceriwisan pemuda itu membuat Sui Cin merasa malu, kikuk dan gugup.
"Ha-ha, manis. Bagaimanapun, engkau harus menyerahkan diri padaku!"
Pemuda itu menyerang sambil main colek ke arah dada dan dagu Sui Cin secara kurang ajar sekali.
Kini barulah dara itu sadar dengan orang macam apa ia berhadapan. Seorang pemuda cabul yang agaknya biasa menggoda, mempermainkan dan menghina wanita. Ia sudah mendengar tentang seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) dan kini ia menduga bahwa tentu pemuda yang disangkanya pendekar ini sebetulnya adalah seorang penjahat cabul!
"Bangsat jai-hwa-cat!" Sui Cin memaki.
"Heh-heh, baru sekarang engkau tahu? Ha-ha-ha!" Thian Bu tidak marah dimaki begitu, malah tertawa-tawa dan mempercepat gerakannya.
Kini Sui Cin benar-benar kaget. Kiranya pemuda tampan yang tadinya dianggap seorang pendekar yang berkunjung pada pertemuan para pendekar di Bukit Perahu itu, ternyata benar seorang jai-hwa-cat seperti pengakuannya tadi. Seorang penjahat cabul! Berarti kaki tangan kaum sesat yang menyusup dan kini muncul pula di tepi telaga. Tentu ada hubungannya dengan usaha pembunuhan Menteri Liang.
"Jahanam busuk, manusia palsu! Engkau tentu kaki tangan kaum sesat!" bentaknya dan dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang ia menerjang.
Kemarahan membuat tenaga dara ini menjadi berlipat ganda. Sim Thian Bu memang berwatak sombong dan selalu memandang rendah orang lain. Maka dia kurang waspada dan terjangan dahsyat Sui Cin itu ditangkis seenaknya saja.
"Dess...!"
Akibatnya, tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat itu melanda ke arah Thian Bu dan membuatnya terlempar ke belakang dan terbanting keras!
Akan tetapi pada saat Sui Cin berhasil membuat lawan terjengkang, pada saat itu ada angin keras menyambar dari arah kiri. Sui Cin yang tadinya siap menyusulkan pukulan pada Thian Bu, cepat memutar tubuh hendak menangkis.
"Plakk!"
Tongkat itu tertangkis, akan tetapi bukan mental malah meluncur ke samping dan menotok punggung Sui Cin.
"Tukk!" Dara itu merasa betapa tubuhnya menjadi lemas dan iapun roboh terkulai.
Sejak tadi, perahu kecil yang nampak dari jauh tadi sudah bergerak menuju ke pantai itu. Kakek sendirian yang duduk di perahu kecil itu bukan nelayan karena dia duduk sambil memainkan sebuah alat yang-kim (semacam siter). Ketika kakek itu melihat robohnya Sui Cin, dia menghentikan permainan musiknya.
Kakek penabuh yang-kim ini adalah Shan-tung Lo-kiam. Seperti telah kita ketahui, kakek sasterawan pendekar ini pernah muncul pula dalam pertemuan antara para datuk sesat. Dia ikut mendengar rencana kaum sesat untuk membunuh Menteri Liang yang sejak lama menjadi sahabat baiknya, maka dia selalu mengamati.
ASMARA BERDARAH JILID 040
(↕)
Hari itu dia mendengar bahwa Menteri Liang akan pesiar di Telaga Emas. Oleh karena itulah maka dia menanti disitu untuk ikut melindunginya. Ketika pagi hari itu dia melihat seorang gadis yang tidak dikenalnya dirobohkan orang, tentu saja pendekar tua ini tidak tinggal diam dan segera mendayung perahunya ke pantai.
"Siancai...! Di tempat hening seperti ini masih saja ada kejahatan!"
Shan-tung Lo-kiam meloncat naik ke darat sambil membawa alat musik yang-kim yang tadi ditabuhnya.
Melihat munculnya seorang kakek tua renta membawa yang-kim, orang yang merobohkan Sui Cin dengan totokan itu memandang galak. Dia adalah seorang kakek yang perutnya gendut sekali. Dan kakek ini pernah dilihat oleh Sui Cin ketika ia mengintai di gedung Hwa-i Kai-pang bersama Hui Song. Kakek inilah yang bernama Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang baru yang menjadi pembantu ketua perkumpulan pengemis ini. Dia cukup lihai dengan tongkatnya dan juga licik sehingga ketika Sui Cin lengah tadi karena berhasil membuat Sim Thian Bu terjengkang, dara itu berhasil ditotoknya.
"Hemm, tua bangka bosan hidup dari mana berani mencampuri urusan kami?" bentak kakek berperut gendut itu.
"Bhe-lopek, dia adalah Shan-tung Lo-kiam, musuh kita!"
Tiba-tiba Sim Thian Bu berseru. Ternyata pemuda ini tidak terluka parah, tadi hanya terjengkang karena dahsyatnya tenaga dara itu.
Mendengar nama ini, kakek perut gendut terkejut dan cepat dia menyerang dengan tongkatnya, menghantam ke arah kepala lawan. Shan-tung Lo-kiam mengangkat alat musiknya menangkis.
"Trang... cringg...!"
Terdengar suara nyaring ketika tongkat bertemu yang-kim. Dua orang kakek itu lalu berkelahi dengan seru. Sementara itu, sambil tersenyum licik, Sim Thian Bu menyambar tubuh Sui Cin yang lemas, memanggulnya dan membawanya lari dari situ.
Perkelahian antaya dua orang kakek itu terjadi cepat dan seru, akan tetapi si gendut segera mengerti bahwa kakek yang menjadi lawannya itu terlalu kuat baginya. Melihat Sim Thian Bu sudah melarikan gadis tadi, diapun meloncat dan melarikan diri memasuki hutan di tepi telaga.
Kakek pemegang yang-kim itu tidak mengejar, melainkan mencari-cari dengan pandang matanya. Ketika dia tidak melihat kemana dara tadi dilarikan, dia hanya menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang, kemudian diapun melompat kembali ke dalam perahunya dan mendayung perahunya ke tengah telaga. Dia memiliki tugas yang dianggapnya lebih penting daripada mencari dara yang dilarikan orang itu.
Orang-orang mulai berdatangan ke tepi telaga. Nelayan dan pelancong. Keadaan tenang dan biasa saja seolah-olah tidak pernah dan tidak akan terjadi sesuatu yang luar biasa di tempat itu.
Kemudian, saat yang ditunggu-tunggu dengan hati tegang oleh orang-orang yang bersembunyi, tibalah. Sebuah kereta yang dikawal enam orang perajurit datang ke tepi telaga. Dengan pengawalan ketat, seorang laki-laki berpakaian pembesar bergegas menuruni kereta dan masuk ke dalam sebuah perahu besar yang memang sudah siap di pantai itu.
Itulah Menteri Kebudayaan Liang, pejabat tinggi yang gemar memancing ikan di telaga itu. Perahu itu berlayar ke tengah telaga. Peristiwa ini tidak menarik perhatian orang yang asyik dengan kesibukan masing-masing dan sebentar saja perahu besar yang kini berada di tengah telaga itu sudah dilupakan orang.
Sementara itu, kesibukan-kesibukan rahasia terjadi di sekitar tempat itu. Sebuah perahu hitam dengan bilik tertutup didayung cepat oleh dua orang, meluncur ke tengah telaga menuju perahu besar Menteri Liang. Setelah perahu hitam tiba dekat perahu besar, mendadak tiga orang berlompatan naik ke atas perahu besar dengan kecepatan luar biasa. Mereka itu adalah Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo! Serentak mereka menyerbu pembesar yang asyik duduk memegang tangkai pancing itu.
"Tar-tar-tar...! Pembesar Liang, bersiaplah engkau untuk mampus!"
Kiu-bwe Coa-li yang memegang tugas membunuh pembesar itu menerjang sambil menggerakkan cambuknya yang berekor sembilan. Sinar hitam menyambar ke arah pembesar itu dari belakang.
Kakek dan nenek Kui-kok itupun sudah berhantam melawan enam orang perajurit pengawal dan terkejutlah mereka ketika mendapatkan kenyataan bahwa para pengawal itu ternyata rata-rata memiliki ilmu silat tinggi. Dan terjadilah perkelahian hebat antara suami isteri Kui-kok-pang itu melawan pengeroyokan enam orang pengawal istimewa.
Akan tetapi yang paling kaget adalah Kiu-bwe Coa-li. Ketika cambuknya menyambar, tiba-tiba Menteri Kebudayaan Liang itu menggerakkan tangkai pancingnya ke belakang.
"Wuuuttt...! Ayaaaa... aduuuhh...!"
Kiu-bwe Coa-li berteriak kesakitan. Tali pancing yang panjang itu menangkis dan membelit cambuk, membuat sembilan ekor cambuk itu lumpuh dan ujung tali kail masih menyambar dan mengait pangkal lengan kiri nenek iblis itu, masuk ke dalam daging tua!
Bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya dan nenek itu cepat mencengkeram dan membikin putus tali pancing sehingga mata kail itu tertinggal di daging pangkal lengannya. Pembesar itu sudah bangkit berdiri dan membalikkan tubuh. Kiranya dia seorang pemuda tampan yang tertawa gembira, dengan nada mengejek.
"Wah, tak kusangka pancingku mendapat seekor ikan siluman ekor sembilan!"
Kiu-bwe Coa-li memandang dengan mata mendelik dan kemarahannya memuncak ketika ia melihat bahwa orang yang memakai pakaian pembesar ini adalah seorang pemuda, sama sekali bukan Menteri Kebudayaan Liang. Ia dan teman-temannya telah tertipu dan terjebak. Ada orang yang sengaja menyamar dan menggantikan pembesar itu untuk menyambut serangan mereka.
"Kita tertipu!" teriaknya mengingatkan dua orang kawannya. "Dia bukan Menteri Liang!" Kemudian ia menggerakkan senjatanya dan menyerang pemuda itu dengan ganas.
Pemuda itu adalah Hui Song. Seperti kita ketahui, pemuda ini membagi tugas dengan Sui Cin. Dia sendiri mengunjungi Menteri Liang dan melaporkan bahaya yang mengancam keselamatan menteri itu. Lalu diatur jebakan. Hui Song menyamar dan menggantikan sang menteri dalam kereta menuju ke perahu di telaga, dikawal oleh enam orang jagoan yang menyamar sebagai perajurit-perajurit biasa. Padahal mereka adalah perwira-perwira pilihan!
Akan tetapi enam orang pengawal itu masih kewalahan menghadapi amukan kakek dan nenek Kui-kok-pang, sedangkan Hui Song sendiri mendapat kenyataan betapa lihainya nenek bercambuk ekor sembilan ini. Dia dapat menduga bahwa nenek ini tentulah seorang tokoh Cap-sha-kui yang berjuluk Kiu-bwe Coa-li.
Diam-diam dia harus mengakui kelihaian nenek ini. Masih untung mereka berkelahi di atas perahu, bukan di darat. Kabarnya nenek ini pandai memanggil dan mengerahkan ular-ular untuk mengeroyok lawan.
Kedua pihak yang berkelahi mengharapkan bantuan masing-masing. Para penyerbu tentu saja merasa heran sekali mengapa dua orang kawan yang boleh mereka andalkan itu tidak juga muncul. Mereka telah bertemu dengan Sim Thian Bu yang sudah berjanji membantu, bahkan pemuda cabul itu hendak melakukan pengamatan bersama seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang bernama Bhe Hok itu.
Tentu saja para iblis Cap-sha-kui tidak tahu bahwa Bhe Hok tidak kuat menandingi Shan-tung Lo-kiam sehingga melarikan diri sedangkan Sim Thian Bu setelah memperoleh mangsa, lupa akan janjinya.
Di lain pihak, Hui Song juga terheran-heran mengapa pemuda jembel yang menjadi sahabatnya itu, Sui Cin, tak kunjung muncul untuk membantunya. Tiba-tiba terdengar suara yang-kim dan muncullah seorang kakek lihai yang bukan lain adalah Shan-tung Lo-kiam. Begitu naik ke atas perahu dimana sedang terjadi perkelahian itu, kakek ini segera membantu enam orang pengawal yang terdesak.
Melihat betapa para penjahat itu terjebak oleh seorang pemuda perkasa yang menyamar sebagai Menteri Liang yang dibantu oleh enam orang pengawal pilihan, kakek ini tertawa.
"Ha-ha-ha! Para tokoh Cap-sha-kui terjebak seperti tiga ekor tikus dalam perangkap, ha-ha-ha."
Dan diapun menggerakkan senjatanya yang sesungguhnya, yaitu sebatang pedang sedangkan yang-kim di tangan kirinya hanya dipergunakan sebagai perisai. Dan ternyata, sesuai dengan julukannya, yaitu Lo-kiam (Pedang Tua), begitu memainkan pedangnya, kakek ini memperlihatkan kelihaiannya.
Tiga orang tokoh Cap-sha-kui merasa terkejut bukan main melihat munculnya Shan-tung Lo-kiam yang sudah mereka ketahui kelihaiannya. Munculnya kakek ini tentu saja menambah kekuatan lawan dan membahayakan diri mereka. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berdesir nyaring dan segera terasa getaran perahu disusul teriakan para anak buah perahu besar,
"Perahu terbakar...!"
Hui Song, enam orang pengawal dan Shan-tung Lo-kiam terkejut melihat betapa ujung perahu terbakar. Mereka meloncat ke tepi dan melihat sebuah perahu kecil tak jauh dari situ. Ada dua orang yang berada di dalam perahu itu, seorang kakek kurus memegang tongkat dan seorang pemuda remaja yang berdiri tegak di atas perahu. Pemuda ini memegang sebuah busur dan dialah yang tadi melepaskan anak panah berapi yang membakar perahu besar.
Melihat peristiwa ini, tiga orang datuk Cap-sha-kui bergerak cepat. Merekapun meloncat meninggalkan lawan dan melihat perahu kecil itu mereka lalu berlompatan turun dari perahu besar menuju ke perahu kecil itu. Kui-kok Lo-mo dan Lo-bo dapat hinggap di atas perahu kecil itu.
Perahu terguncang dan lompatan Kiu-bwe Coa-li tidak tepat. Nenek ini tentu terjatuh ke air kalau saja pemuda itu tidak cepat mengulur tangan kiri menyambar ujung baju si nenek dan sekali tarik dengan sentakan, tubuh nenek itu tertahan dan dapat turun ke atas perahu dengan selamat!
Gerakan pemuda yang memegang busur ini sungguh cekatan dan amat kuatnya sehingga diam-diam Hui Song harus mengakui bahwa pemuda itu merupakan lawan yang amat tangguh.
Ketika para pengawal dan Hui Song hendak mengejar, tiba-tiba pemuda di atas perahu kecil itu kembali meluncurkan dua buah anak panah berapi yang tepat mengenai layar dan bilik perahu besar sehingga terjadi kebakaran besar. Sementara itu tiga orang tokoh Cap-sha-kui sudah bergerak mendayung perahu tanpa diperintah lagi sehingga perahu kecil itu meluncur pergi dengan cepatnya.
Terpaksa Hui Song, para pengawal dan Shan-tung Lo-kiam sibuk membantu para anak buah perahu memadamkan api dan membiarkan perahu kecil yang membawa lima orang sesat itu melarikan diri.
Dengan kecepatan luar biasa, perahu kecil yang didayung oleh orang-orang kuat itu sebentar saja lenyap. Hui Song kecewa sekali. Dia tadinya mengharapkan untuk dapat menangkap seorang diantara mereka agar rahasia kejahatan Liu-thaikam dapat terbongkar. Tanpa adanya bukti, sukar untuk menjatuhkan pembesar korup yang amat dipercaya oleh kaisar itu. Kalau ada bukti dan saksi, barulah kejahatan pembesar itu dapat terbongkar dan diketahui oleh kaisar.
Para pengawal dan anak buah perahu besar ternyata sudah mengenal baik kakek pembawa yang-kim itu dan mereka semua bersikap hormat. Memang kakek ini tidak asing bagi para pembantu dan keluarga Menteri Liang yang menjadi sahabat baiknya. Hui Song segera maju memberi hormat kepada Shan-tung Lo-kiam.
"Terima kasih atas bantuan locianpwe."
Kakek itu tersenyum dan memandang kagum kepada pemuda itu.
"Orang muda, aku Shan-tung Lo-kiam, sejak dahulu adalah sahabat baik Menteri Liang maka tidak aneh kalau aku membela beliau. Akan tetapi engkau seorang muda sudah berani menghadapi para datuk sesat dari Cap-sha-kui, sungguh amat mengagumkan. Siapakah engkau, orang muda?"
Mendengar bahwa kakek ini adalah Shan-tung Lo-kiam yang terkenal sebagai seorang pendekar angkatan tua, Hui Song menjadi kagum. Dia menjura dan memperkenalkan diri,
"Saya bernama Cia Hui Song, locianpwe."
"She (marga) Cia? Adakah hubungannya dengan keluarga Cia dari Cin-ling-pai?"
Hui Song agak meragu. Akan tetapi ketika dia menghadap Menteri Liang, terpaksa dia memperkenalkan diri sehingga enam orang pengawal itu telah mengetahui keadaan dirinya. Kini seorang dari mereka menyela,
"Locianpwe, Cia-taihiap ini adalah putera ketua Cin-ling-pai."
"Ah, pantas begini gagah perkasa!" kakek itu memuji kagum, kemudian dia menarik napas panjang. "Sayang para penjahat itu dapat melarikan diri..."
"Siapakah pemuda yang melepas anak panah dan kakek bertongkat dalam perahu kecil tadi, locianpwe? Saya melihat pemuda itu lihai sekali," tanya Hui Song.
"Aku sendiri belum pernah bertemu dengan kakek itu, akan tetapi aku yakin bahwa tentu dia yang kini memimpin para tokoh sesat dan dialah agaknya yang bernama Siangkoan Lo-jin dan berjuluk Si Iblis Buta."
"Ahhh...!"
Enam orang perwira pengawal itu terkejut mendengar nama ini. Akan tetapi Hui Song tidak mengenalnya.
"Dan pemuda itu?" tanyanya.
"Entahlah," jawab Shan-tung Lo-kiam, "Akan tetapi aku pernah mendengar bahwa dia mempunyai seorang putera yang kabarnya telah mewarisi semua kepandaiannya. Mungkin juga pemuda tadi puteranya. Sayang, kalau kita tadi dapat menawan seorang saja diantara mereka, tentu akan memperoleh banyak keterangan."
Hui Song teringat akan sahabatnya yang tidak pernah muncul.
"Locianpwe, saya mempunyai seorang kawan, seorang pemuda jembel yang berada disini terlebih dulu untuk mengamati. Dia cukup lihai, dan kalau dia tadi membantu, mungkin kita berhasil. Akan tetapi saya merasa heran sekali mengapa dia tidak muncul. Apakah barangkali locianpwe tadi ada melihatnya?"
Kakek itu mengingat-ingat lalu menggeleng kepala.
"Seorang pemuda jembel? Tidak ada aku melihatnya. Pagi tadi disini aku hanya melihat seorang gadis cantik berkelahi melawan seorang pemuda dan seorang tokoh Hwa-i Kai-pang gendut. Aku turun tangan membantunya, akan tetapi iblis Hwa-i Kai-pang itu melarikan diri dan nona itu ditawan dan dilarikan si pemuda. Sayang aku tidak dapat mengejar, karena aku harus menanti datangnya Menteri Liang."
"Siapakah pemuda itu dan siapa pula gadis yang dilarikannya itu, locianpwe?" tanya Hui Song dengan alis berkerut dan hati terasa tidak enak.
"Aku tidak mengenal mereka akan tetapi harus diakui bahwa mereka berdua bukan orang muda sembarangan. Gadis itu lihai dan roboh karena dibokong dan dikeroyok. Pemuda itupun lihai sekali dan melihat gerak-geriknya, sepatutnya dia seorang pendekar. Akan tetapi pandang matanya cabul. Aku sedang menanti Menteri Liang untuk melindunginya, maka menyesal sekali aku tidak sempat melakukan pengejaran terhadap pemuda yang melarikan gadis itu."
Hui Song merasa semakin tidak enak hatinya. Dia teringat akan enci dari Sui Cin. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia menghubungkan peristiwa itu dengan encinya Sui Cin. Akan tetapi ketidak munculan pemuda jembel itu membuat hatinya merasa gelisah.
"Biar saya yang akan mencarinya, locianpwe," katanya sambil menanggalkan jubah menteri yang menutupi pakaiannya sendiri, kemudian diapun meloncat ke atas sebuah perahu nelayan yang berdekatan dan minta kepada nelayan itu untuk mengantarnya ke pantai.
Kini banyak perahu mendekati perahu pembesar itu dan Shan-tung Lo-kiam bersama enam orang perwira pengawal tadi tidak berani menahan Hui Song karena mereka maklum bahwa sudah menjadi kewajiban seorang pendekar seperti putera ketua Cin-ling-pai itu untuk menolong gadis yang diculik penjahat.
ASMARA BERDARAH JILID 041
(↕)
Bagaimana dengan nasib Sui Cin? Apakah yang menimpa diri gadis pendekar itu? Ia tidak pingsan ketika roboh tertotok oleh tongkat Bhe Hok tokoh baru Hwa-i Kai-pang, hanya lemas dan ia sama sekali tidak dapat meronta ketika dirinya dipanggul dan dilarikan Sim Thian Bu.
Baru sekarang terbukti bahwa pemuda ini sama sekali bukan seorang pendekar gagah perkasa seperti yang disangkanya dalam pertemuan pertama mereka di Bukit Perahu. Sim Thian Bu ini seorang penjahat, seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang cabul dan keji. Sui Cin sejak kecil digembleng ayah bundanya menjadi seorang gadis yang selain berilmu tinggi, gagah perkasa juga tidak pernah mengenal rasa takut.
Akan tetapi sekali ini ia merasa ngeri juga terjatuh ke dalam tangan seorang jai-hwa-cat dalam keadaan tak berdaya sama sekali. Ia pernah mendengar dari ibunya tentang jai-hwa-cat yang suka memperkosa wanita. Akan tetapi iapun teringat akan pesan dan nasihat ibunya bagaimana harus menghadapi bahaya seperti itu.
Pertama ia harus tenang dan tidak panik. Dalam keadaan tidak berdaya melakukan perlawanan dengan kekerasan ia harus pura-pura menyerah. Menurut ibunya, jai-hwa-cat akan menjadi lunak hatinya apabila korbannya menyerah dan dalam cengkeraman nafsu, penjahat itu akan menjadi lengah. Saat itulah paling tepat untuk tiba-tiba menyerangya. Ia pernah bertanya kepada ibunya bagaimana kalau ia diperkosa dalam keadaan tertotok atau terbelenggu.
Ibunya menjawab bahwa kalau tiada jalan lain menghindarkan malapetaka itu, satu-satunya jalan hanya mematikan rasa dan menutup pikiran. Kelak masih banyak kesempatan untuk membalas perbuatan terkutuk itu berikut bunganya yang berlipat ganda. Bagaimanapun juga, membayangkan betapa ia harus membiarkan dirinya diperkosa orang tanpa dapat melawan, hampir membuat Sui Cin menangis.
Ia diam-diam menghimpun hawa murni. Kalau saja totokan itu dapat ia punahkan, tentu sekali pukul kepala pemuda yang memondongnya ini akan pecah dan ia akan dapat membunuhnya dengan mudah. Sekali ini, ia akan melanggar pesan ayahnya. Ia takkan segan-segan membunuh jai-hwa-cat ini!
Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu berhenti berlari, menurunkannya ke atas tanah, kemudian menotok jalan darah di punggungnya, membuat ia terkulai kembali dengan lemas dan pemuda itu sambil tersenyum-senyum bahkan membelenggu kaki tangannya dengan tali sutera halus yang amat ulet dan tidak akan mungkin terputuskan. Agaknya jai-hwa-cat ini sudah berpengelaman dan sudah mempersiapkan segalanya.
"Ha-ha-ha! Menghadapi seorang gadis lihai sepertimu harus berhati-hati!" kata pemuda itu sambil mencolek dagu Sui Cin yang hanya dapat memandang dengan mata mendelik.
Tapi mata itu tak basah dengan air mata. Pemuda itu kini memondongnya dan membawa dirinya lari dengan amat cepatnya.
Sambil melarikan gadis itu, di dalam otak pemuda itupun terjadi kesibukan. Sim Thian Bu bukan seorang pemuda ceroboh dan bodoh yang hanya menurutkan dorongan nafsunya saja. Tidak, dia tidak bodoh karena dia adalah murid utama dari Siang-koan Lo-jin alias Si Iblis Buta!
Karena kecerdikannya itulah dia merupakan satu-satunya murid datuk itu yang dapat mewarisi hampir semua ilmu kepandaian Si Iblis Buta. Dan karena kecerdikannya dia diberi tugas untuk menyusup sebagai seorang pendekar ke Bukit Perahu. Dia begitu cerdik sehingga selama ini, biarpun dia mempunyai kesukaan memperkosa wanita dan membunuhnya, dia tidak dicurigai dan tidak dikenal kejahatannya.
Bahkan dalam pertemuannya yang pertama dengan Sui Cin dan Cia Sun, Sim Thian Bu begitu cerdiknya mengelabuhi mata mereka. Yang membunuh tiga orang muda dan seorang gadis yang lebih dulu diperkosanya adalah dia sendiri. Akan tetapi dengan cerdik dia mampu memaksa seorang laki-laki kasar, seorang penjahat rendahan biasa, untuk mengakui perbuatan itu lalu membunuh diri. Dengan demikian, di dalam pandangan Sui Cin dan Cia Sun dalam pertemuan iiu, dia bukan saja bebas dari tuduhan, bahkan dia menjadi seorang pendekar!
Ketika bertemu Sui Cin yang cantik jelita, jenaka dan segar, tentu saja jai-hwa-cat ini merasa tertarik sekali dan bangkitlah nafsunya. Andaikata Sui Cin adalah seorang gadis biasa, tentu pada saat itu juga dia kerjakan! Akan tetapi Sui Cin adalah seorang gadis yang amat lihai, apalagi puteri Pendekar Sadis! Maka Sim Thian Bu mempergunakan siasat lain.
Mula-mula dia hendak menjatuhkan hati dara itu dengan rayuannya untuk memikat hatinya, mengandalkan ketampanan wajahnya dan kematangan pengalamannya menghadapi wanita. Akan tetapi Sui Cin adalah seorang dara pendekar yang tidak mudah terpikat rayuan. Usahanya gagal sama sekali ketika dara itu meninggalkannya begitu saja pada suatu malam. Hatinya kecewa, penasaran dan juga marah.
Kedatangannya di Telaga Emas sehubungan dengan tugas rahasia yang diterima dari suhunya untuk melakukan pengintaian di telaga itu, bersama seorang tokoh Hwa-i Kai-pang. Maka, bukan main girang hatinya ketika dia melihat Sui Cin disitu. Pertemuan yang sama sekali tidak disengaja, bahkan tidak disangka-sangkanya. Dan diapun tidak mau membuang kesempatan baik itu untuk menjumpainya, sampai terjadi perkelahian den akhirnya dengan bantuan Bhe Hok tokoh gendut Hwa-i Kai-pang, dia berhasil merobohkan dan melarikan Sui Cin.
Tentu saja dia sudah lupa sama sekali akan tugasnya membantu suhunya setelah dia berhasil melarikan dara yang membuatnya tergila-gila itu. Dan kini dia memutar otak mencari akal. Dia tahu kemana harus membawa gadis itu. Kedalam sebuah guha rahasia yang menjadi satu diantara tempat-tempat persembunyian suhunya. Tempat itu kosong dan disitu dia takkan terganggu oleh siapapun. Tempat sepi terpencil yang aman baginya.
Dia tidak mungkin memperlakukan gadis ini seperti para korban lainnya, yaitu memperkosa dan mempermainkannya sampai puas lalu membunuhnya untuk merahasiakan perbuatannya. Tidak! Gadis ini terlalu penting untuk sekedar dinikmati lalu dibunuh. Dia harus dapat memanfaatkan gadis ini, memperoleh keuntungan sebanyaknya. Gadis ini adalah puteri Pendekar Sadis! Baru mengingat nama ini saja dia sudah merasa ngeri.
Kalau dia memperkosa lalu membunuh Sui Cin seperti yang dilakukannya terhadap wanita-wanita lain, kemudian hal itu terdengar oleh Pendekar Sadis, dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Terlalu mengerikan! Akan tetapi, kalau dia bisa menjadi suami Sui Cin, mantu Pendekar Sadis? Amboi...! Betapa hebatnya! Dia akan menjadi terkenal, ditakuti, dan lebih lagi, dia mendengar bahwa keluarga Pendekar Sadis amat kaya raya, hidup di Pulau Teratai Merah.
Ketika Sim Thian Bu tiba di lembah sunyi itu, dimana guha tempat persembunyian gurunya berada, hari sudah menjelang senja. Dia berhenti di tepi jurang, merebahkan tubuh Sui Cin di atas tanah berumput, lalu membebaskan totokannya. Sui Cin dapat bergerak kembali akan tetapi karena kedua kaki tangannya terbelenggu kuat, tetap saja ia tidak berdaya. Ia hanya memandang marah, lalu memaki,
"Jahanam busuk!"
Thian Bu tersenyum.
"Nona Ceng, kenapa engkau tidak mau melihat kenyataan? Aku cinta padamu, nona. Sungguh, sejak pertemuan kita yang pertama, aku sudah jatuh hati dan tergila-gila kepadamu. Aku sungguh-sungguh, bukan main-main dan hidupku baru akan berbahagia kalau engkau dapat menjadi isteriku yang sah."
"Lebih baik aku mati!" Sui Cin membentak marah.
"Nona, pikirlah baik-baik. Sekali aku melemparmu ke jurang ini, engkau akan tewas dengan tubuh hancur dan tidak seorangpun akan dapat menemukanmu. Atau engkau lebih suka diperkosa dan dihina lalu dibunuh? Ingatlah, engkau masih muda. Tidakkah lebih baik engkau menjadi isteriku yang terhormat? Kurang apakah diriku? Masih muda dan cukup tampan, memiliki ilmu silat yang cukup, dan amat mencintamu."
Pura-pura menyerah mencari kelengahannya, pikir Sui Cin. Biarpun dadanya seperti mau meledak saking marahnya, ia menekan kemarahannya dan berkata halus,
"Tentu saja aku tidak ingin begitu, akan tetapi beginikah sikapmu yang katanya mencinta? Lepaskan dulu belenggu-belenggu ini, baru kita bicara dan kupertimbangkan usulmu."
Akan tetapi Thian Bu tersenyum dan menggeleng kepala.
"Hemm, lihat, bukankah di samping semua kelebihanku, masih ditambah kenyataan bahwa aku cerdik sekali dan tidak tertipu muslihatmu? Kecerdikanku membikin aku semakin berharga untuk menjadi suamimu. Nona, engkau bersumpahlah dulu bahwa engkau takkan melawan dan menentangku, bahwa engkau akan suka menjadi isteriku, kemudian kita akan bersatu badan sebagai suami isteri, barulah aku akan melepaskan belenggu. Maaf, semua itu hanya untuk menjamin dan meyakinkan hatiku."
Sui Cin membuang muka, menahan mulutnya yang ingin memaki-maki. Melihat sikap gadis itu, Thian Bu melakukan siasatnya yang pertama, yaitu membujuknya dengan jalan menakut-nakutinya.
"Nona, benarkah engkau begitu tega, memilih mati dan menghancurkan hatiku daripada hidup berbahagia bersamaku?"
"Jahanam keparat, tidak perlu banyak cerewet lagi. Mati jauh lebih mulia daripada hidup bersama seorang manusia berwatak iblis macammu ini. Bunuhlah, siapa takut mati?"
"Hemm, perempuan sombong. Hendak kulihat sampai dimana keberanianmu!"
Dia lalu memondong tubuh Sui Cin dan dibawanya ke tepi jurang.
"Lihat, lihat dasar jurang tak terukur dalamnya yang akan menerima tubuhmu ini!"
Dan tiba-tiba dia melepaskan tubuh Sui Cin dengan kepala lebih dulu ke dalam jurang! Tubuh itu melayang ke bawah dan Sui Cin memejamkan mata, menutup mulutnya rapat-rapat agar jangan menjerit. Tiba-tiba tubuhnya berhenti meluncur dan ternyata pemuda itu telah menangkap kedua kakinya sehingga tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah.
Keadaan ini mengingatkan ia akan latihan samadhi sambil berjungkir balik ketika ia mempelajari ilmu menghimpun tenaga istimewa dari ayahnya. Maka, begitu tubuhnya tergantung membalik seperti itu, dari pusarnya terhimpun hawa panas dan sebentar saja aliran darahnya sudah menjadi lancar dan normal kembali, bekas totokan pemuda jahat itu lenyap sama sekali.
Ia percaya bahwa kalau saat itu ia mengerahkan tenaga dan melakukan ilmu Hok-te Sin-kun, tenaganya akan mampu mematahkan belenggu sutera dan sekalian menendang lawan. Akan tetapi, biarpun berhasil, tidak urung tubuhnya akan terjatuh ke dalam jurang dan ini berarti bunuh diri! Tidak, ia tidak sebodoh dan senekat itu.
"Bagaimana, nona? Apakah engkau memilih aku melepaskan kakimu dan tubuhmu meluncur ke bawah, kepalamu menimpa batu di dasar jurang itu sampai remuk-remuk?" Suara Sim Thian Bu penuh ejekan dan ancaman.
Sui Cin juga searang yang cerdik. Ia tahu bahwa semua ini dilakukan jai-hwa-cat itu hanya untuk menggertaknya. Satu-satunya cara untuk menghentikan siksaan ini hanya memperlihatkan bahwa ia tidak takut.
"Pengecut busuk! Kau kira aku takut? Lepaskan dan aku akan terbebas dari binatang busuk macam kamu ini!"
Thian Bu merasa mendongkol sekali. Kalau dia tidak merasa sayang akan kecantikan gadis ini dan mempunyai rencana yang amat menguntungkan dirinya terhadap Sui Cin, tentu sudah dilemparkannya tubuh itu ke dalam jurang. Belum pernah selama hidupnya ada wanita berani menolaknya, bahkan sebagian besar wanita atau gadis yang diculiknya, dapat ditundukkan dengan rayuan dan ketampanannya.
Akan tetapi, gadis puteri Pendekar Sadis ini tidak mempan dengan dirayu, dan tidak takut diancam, membuat dia kehilangan akal. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu meloncat dan membawa Sui Cin ke dalam sebuah guha besar yang tertutup semak-semak belukar.
Diam-diam Sui Cin memperhatikan tempat ini. Sebuah guha tersembunyi. Tidak mungkin akan ditemukan orang luar karena mulut guha yang tidak berapa besar itu tersembunyi di balik semak-semak belukar yang penuh duri dan pantasnya hanya menjadi sarang ular-ular dan binatang-binatang buas.
Setelah menguak semak-semak belukar dan nampak mulut guha, pemuda itu membawa Sui Cin memasuki guha dan menutupkan kembali semak-semak di depan guha. Setelah masuk ke dalam guha, ternyata guha itu berlorong lebar yang membawanya ke dalam ruangan yang cukup luas.
Akan tetapi keadaan disitu kotor dan tidak terawat, tanda bahwa tempat itu sudah lama tidak didatangi orang. Ruangan dalam guha itu seperti ruangan rumah saja, dimana terdapat meja-meja tua, bangku-bangku dan juga sebuah dipan kayu yang masih kokoh kuat. Sim Thian Bu menurunkan tubuh Sui Cin dan mengikat kaki dan tangan dara itu, menelentangkannya di atas dipan.
"Ha-ha-ha, nona manis. Dengar baik-baik, aku mengajakmu hidup bersama sebagai suami isteri, akan tetapi engkau selalu menolak. Dan engkau bahkan memilih mati daripada hidup sebagai isteriku yang terhormat dan tercinta. Kebandelanmu ini membuat aku bingung dan sebaiknya kalau engkau kupaksa menjadi isteriku, baru kita bicara lagi, ha-ha-ha!"
Sim Thian Bu tersenyum-senyum dan memandang penuh nafsu kepada tubuh gadis yang sudah ditelentangkan di atas dipan dalam keadaan kaki tangan terikat itu. Dia menanggalkan bajunya dan nampaklah dadanya yang bidang. Pemuda ini memang selain memiliki wajah tampan pesolek, juga memiliki bentuk tubuh yang baik. Sayangnya bahwa tubuh yang demikian baik dihuni oleh batin yang bobrok dan kejam.
ASMARA BERDARAH JILID 042
(↕)
Melihat betapa pemuda itu mulai membuka baju, Sui Cin menjadi pucat dan ia merasa betapa tengkuknya dingin sekali saking ngeri dan takutnya. Ia dapat menduga apa yang akan dilakukan pemuda bejat ahlak ini kepada dirinya dan mulailah ia meronta-ronta, mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri dari ikatan kaki tangannya.
Gerakannya ini membuat dipan itu bergoyang-goyang dan keempat kakinya berdetak-detak. Akan tetapi, pada saat itu sambil terkekeh Sim Thian Bu yang menanggalkan bajunya itu menubruk dan memeluknya.
"Aih, jantung hatiku, engkau hendak lari kemana sekarang?"
Melihat pemuda itu sudah menindihnya dan wajah pemuda itu demikian dekat dengan wajahnya, Sui Cin terbelalak dan menjerit.
"Jangan...! Kau bunuh saja aku...!"
"Ha-ha, bunuh engkau? Aih, sayang dong...! Engkau cantik manis..."
Sim Thian Bu hendak mencium akan tetapi Sui Cin mengelak dan miringkan mulutnya, kemudian ia teringat akan akal yang pernah didengarnya dari ibunya. Suaranya terdengar gemetar ketika ia berkata lirih.
"Akan tetapi jangan begini... ah, kalau tiada jalan lain... aku bersedia... tapi jangan begini... lepaskan dulu belenggu ini agar kita dapat melakukannya secara wajar..."
Sim Thian Bu menjadi girang sekali.
"Engkau... engkau mau...?"
Dia bertanya sambil menatap wajah dara itu. Sui Cin mengeraskan hatinya dan mengangguk.
"Tapi, lepaskan belenggu-belenggu ini... sungguh tidak enak dalam keadaan terbelenggu begini..."
Ia sudah siap. Begitu belenggu dibuka, ia akan mengirim serangan kilat yang mematikan kepada pemuda jahanam itu.
"Baik..." kata Sim Thian Bu dengan girang dan pemuda itu turun dari atas tubuh Sui Cin yang ditindihnya.
Tangannya meraih ke arah belenggu kaki, dan Sui Cin sudah menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi, jari-jari tangan pemuda itu tidak melepaskan belenggu, melainkan meraba kaki dan kini wajah pemuda itu menoleh, memandangnya dangan tersenyum mengejek. Jari tangan itu kini malah membuka sepatu dari kaki Sui Cin, dan melihat gelagatnya, pemuda itu bukan hendak membuka tali belenggu, melainkan hendak melucuti pakaian gadis itu.
"Heh-heh, engkau puteri Pendekar Sadis, sungguh cerdik dan licik. Kau kira aku tidak dapat merasakan betapa tubuhmu menegang penuh kekuatan dan betapa engkau akan menyerbu begitu aku membuka kaki tanganmu? Heh-heh, memang hendak kulepaskan, akan tetapi bukan belenggu kaki tanganmu, melainkan saluruh pakaianmu, ha-ha-ha!"
Tangan pemuda itu kini sudah mencengkeram kain celana Sui Cin.
"Jangan... ah, jangan...!"
Kini gadis itu memohon dengan suara lemah karena hilanglah harapannya dan dia hampir pingsan menghadapi bayangan yang amat mengerikan dari malapetaka yang akan menimpa dirinya.
"Sim Thian Bu! Mundur kau! Apa yang hendak kau lakukan ini?"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras dan tahu-tahu di ambang pintu telah muncul seorang pemuda bertubuh tinggi tegap yang melihat wajahnya masih muda sekali, paling banyak berusia delapan belas tahun, akan tetapi wajah itu nampak dingin dan sepasang mata mencorong, sedangkan tubuhnya tinggi tegap melebihi orang dewasa umumnya.
Sim Thian Bu yang tadinya sudah siap untuk merobek dan merenggut pakaian Sui Cin, terkejut dan menoleh lalu mundur dua langkah, matanya terbelalak nampak ketakutan akan tetapi mulutnya tersenyum membujuk.
"Ah, kiranya suheng yang datang. Suheng, maafkan aku dan biarkan aku menyelesaikan urusan pribadiku ini dulu, nanti akan kulayani suheng bicara kalau memang suheng datang membawa keperluan yang harus kubantu."
"Sim Thian Bu, aku bertanya tadi. Apa yang akan kau lakukan ini?"
Sim Thian Bu memandang pemuda remaja itu dengan sinar mata mengandung kemarahan, akan tetapi agaknya dia merasa jerih terhadap pemuda remaja itu, dan diapun tersenyum lebar.
"Aih, engkau masih terlalu muda untuk mengetahui urusan ini, suheng. Dia ini seorang kekasihku dan kami hendak main-main sebentar. Apakah suheng ingin melihat kami bermain cinta?"
Sui Cin sudah ingin memaki untuk menyangkal ucapan jai-hwa-cat itu, akan tetapi ia diam saja dan memandang heran. Sungguh mengherankan memang keadaan pemuda remaja yang baru tiba. Usianya paling banyak delapan belas tahun, akan tetapi mengapa jai-hwa-cat yang usianya dua puluh lima tahun ini menyebutnya suheng dan bersikap jerih terhadap pemuda remaja itu? Ah, kalau pemuda remaja itu benar suheng dari Sim Thian Bu, tentu ia akan lebih celaka lagi dan tidak mempunyai harapan sama sekali untuk dapat lolos.
Menghadapi Sim Thian Bu yang lihai dan cerdik itu saja ia sudah tidak berdaya dan kini berada di ambang malapetaka yang mengerikan, apalagi kalau kini datang suheng si jahanam itu yang tentu saja lebih jahat dan lebih lihai, walaupun usianya jelas lebih muda. Ia memandang dan mendengarkan penuh perhatian, ingin melihat perkembangan kemunculan pemuda remaja itu dengan waspada. Siapa tahu kemunculan ini bahkan menolongnya.
"Kekasihmu? Dibelenggu?"
Pemuda itu berkata dan kulit diantara kedua alisnya yang tebal berkerut, pandang matanya yang tajam mencorong itu ditujukan ke arah tubuh Sui Cin, penuh selidik. Kemudian dia berkata lagi, suaranya bernada memerintah,
"Lepaskan belenggu kaki tangannya!"
Sim Thian Bu nampak terkejut dan marah.
"Akan tetapi, suheng, ia itu punyaku, dan aku berhak melakukan apa saja terhadap dirinya. Aku belum mau membebaskannya, hendak main-main dulu dengan gadis ini..."
"Lepaskan kataku!"
Suara itu mengandung wibawa yang amat besar dan terasa pula oleh Sui Cin betapa kuatnya khi-kang terkandung dalam suara itu.
Sim Thian Bu juga merasakan ini, akan tetapi agaknya dia masih penasaran.
"Suheng, engkau keterlaluan mendesakku..."
Sim Thian Bu terpaksa menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba saja pemuda itu sudah menerjangnya. Luar biasa cepatnya gerakan pemuda remaja itu. Seperti terbang saja tubuhnya tahu-tahu menyambar dan meluncur ke arah Sim Thian Bu dan tangannya menampar. Melihat ini Sim Thian Bu terkejut dan cepat mengelak sambil menggerakkan tangan untuk menangkis.
"Plakk!"
Entah bagaimana. Walaupun jai-hwa-cat yang tangguh itu sudah mengelak dan menangkis, tetap saja pundaknya terkena tamparan dan tubuhnya terpelanting seperti disambar pukulan yang amat kuat.
"Suheng...!" teriaknya dan diapun meloncat bangun, lalu hendak balas menyerang pemuda remaja itu.
"Plak! Plak!"
Kembali tubuh Sim Thian Bu terjengkang, kini lebih keras lagi. Sui Cin memandang heran dan kagum. Dara ini dapat melihat betapa pemuda remaja itu menguasai gerakan jai-hwa-cat, sehingga biarpun Thian Bu yang menyerang, akan tetapi sebaliknya dia yang roboh karena serangannya telah dihadang di tengah jalan dan sebaliknya, balasan pemuda remaja itu tidak mampu dihindarkannya.
Kini pemuda remaja itu agaknya sudah marah. Sejak tadi dia tidak mengeluarkan kata-kata lagi, akan tetapi sinar mata yang mencorong itu kini berapi. Dengan gerakan ringan sekali kedua kakinya melakukan gerakan srat-sret-srat-sret, tubuhnya tahu-tahu sudah berada dekat Thian Bu dan kini kaki tangannya bergerak secara aneh.
Hebatnya, setiap sambaran tangan atau kakinya tentu mengenai sasaran! Terdengarlah suara plak-plok dan bak-buk ketika tubuh Thian Bu menjadi sasaran pukulan dan tendangan pemuda remaja itu sehingga tubuh Thian Bu terguling-guling dan tidak sempat bangun karena setiap kali merangkak hendak bangun sudah disambut oleh tamparan atau pukulan lain! Akhirnya terdengar Thian Bu mengeluh.
"Suheng... ampunkan aku..."
Pemuda remaja itu berhenti bergerak, menatap wajah jai-hwa-cat yang sudah bengkak-bengkak dan matang biru itu.
"Kau tahu, aku benci laki-laki yang memperkosa wanita. Lain kali kubunuh kau!"
Hanya itu kata-katanya dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke dekat dipan dan dua kali dia menggerakkan tangannya dan Sui Cin merasa betapa belenggu kaki tangannya putus semua dan ia dapat bergerak lagi! Tentu saja begitu dapat bergerak, meledaklah semua kemarahan dan ketakutan yang tadi menghimpit di dada dara itu.
"Haiiiiittt...!"
Ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya sudah meluncur ke depan. Dengan pengerahan sin-kang sekuatnya ia sudah menggerakkan tangannya, menghantam ke arah kepala Sim Thian Bu dalam serangan maut!
"Dukk!"
Sim Thian Bu sendiri tidak mampu menghindarkan diri karena tubuhnya masih nyeri semua dan kepalanya pening, akan tetapi tiba-tiba pemuda remaja itu bergerak dan pemuda inilah yang menangkis pukulan Sui Cin tadi.
Tangkisan itu kuat bukan main, terasa oleh Sui Cin dan lengannya tergetar hebat. Ia terdorong mundur tiga langkah dan matanya menatap tajam kepada wajah pemuda remaja yang menangkis pukulannya tadi. Ia menjadi serba salah. Mau marah teringat bahwa pemuda inilah yang telah menyelamatkannya dari malapetaka yang nyaris menimpanya. Tidak marah, ia kecewa dan penasaran karena niatnya membunuh atau setidaknya menghukum Thian Bu dihalangi.
Sejenak mereka saling pandang dan di dalam pandang mata pemuda remaja itu kini terdapat kekaguman. Agaknya baru dia tahu bahwa dara yang tadi hendak diperkosa Thian Bu itu adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hal ini dapat dirasakan ketika dia menangkis dan ternyata pukulan gadis itu mengandung sin-kang yang amat hebat sehingga lengannya sendiri tergetar dalam pertemuan tenaga itu. Jelas bukan gedis sembarangan!
"Aku... aku harus menghajar jahanam busuk itu!" Sui Cin akhirnya berteriak marah.
Pemuda itu menggeleng kepala, sikapnya tenang dan pandang matanya tetap dingin.
"Suteku sudah kuhajar sendiri." katanya singkat saja.
"Tapi... tapi dia hendak memperkosaku, dia penjahat jai-hwa-cat terkutuk!"
Kembali pemuda itu menggeleng kepalanya.
"Baru hendak, tapi belum. Pergilah, nona."
Sui Cin menjadi bingung, seperti kehilangan akal menghadapi pemuda remaja yang tidak banyak cakap dan bersikap dingin serius ini. Kalau dia berkeras dan sampai ia bentrok dengan pemuda ini, berarti ia yang bo-ceng-li (tak tahu aturan). Bukankah ia baru saja diselamatkan dari bencana yang bahkan melebihi maut? Dan kalau pemuda ini membela Thian Bu, hal itu wajar saja karena memang Thian Bu itu sutenya! Bagaimana ada sute seperti itu dan suheng seperti ini? Bumi dan langit bedanya. Sui Cin mengepal tinju, kehilangan akal, akhirnya ia mendengus dan menyambar sepasang sepatunya, kemudian sekali berkelebat ia sudah meloncat keluar dari dalam guha itu!
Kini pemuda remaja itu menghadapi Thian Bu yang sudah merangkak bangun dan duduk di atas dipan dimana dia tadi hendak memperkosa Sui Cin. Dia menyusuti darah dari ujung bibirnya dan kelihatan takut walaupun pada sinar matanya terdapat rasa marah dan dendam yang disembunyikan.
"Sute, kuulangi. Sekali lagi aku melihatmu memperkosa wanita, kubunuh engkau! Ada urusan penting engkau tinggalkan di telaga, malah engkau sibuk hendak melakukan perbuatan memalukan. Pergilah!" Pemuda itu menundingkan telunjuknya ke pintu guha dengan nada dan sikap mengusir.
ASMARA BERDARAH JILID 043
(↕)
Sim Thian Bu mengangkat muka memandang sejenak, lalu bangkit dan tertatih-tatih berjalan keluar tanpa berani membantah. Setelah Thian Bu pergi, pemuda remaja itu menjatuhkan dirinya di atas dipan, duduk termangu-mangu dan mengepal kedua tangannya.
Dia seperti orang berpikir mendalam penuh rasa penasaran, lalu memukulkan tinju kanannya pada telapak tangan kiri sendiri sampai terdengar bunyi nyaring, kemudian dia menutupi muka dengan kedua tangan penuh penyesalan. Siapakah pemuda remaja ini?
Dia adalah pemuda yang muncul di telaga, berperahu bersama seorang kakek kurus bertongkat. Dialah pemuda lihai yang melepas anak panah berapi membakar perahu besar dimana terjadi perkelahian dan dia yang monolong sehingga tiga orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos.
Dialah pemuda yang dikagumi Hui Song yang dapat menduga bahwa pemuda itu amatlah tangguh dan lihai. Dan tepat seperti dugaan Shan-tung Lo-kiam ketika dia bercerita kepada Hui Song, pemuda ini adalah putera tunggal Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta.
Siangkoan Lo-jin mempunyai riwayat yang cukup menarik. Sejak muda, orang she Siangkoan ini memang hidup di kalangan sesat. Akan tetapi di waktu dia masih muda, dia yang sudah merasa tidak suka akan perbuatan jahat yang kejam. Seringkali dia menentang para paman gurunya, bahkan gurunya sendiri sehingga akhirnya dia dianggap murtad.
Sebagai hukuman kaum sesat yang kejam, kedua matanya dibikin buta oleh guru dan para paman gurunya sendiri dengan jalan meracuninya. Semenjak itu, baru berusia dua puluh tahun, dia telah menjadi seorang buta. Biarpun matanya tidak cacat dan masih terbuka seperti orang biasa, namun dia tidak dapat melihat apa-apa lagi.
Hukuman yang membuat cacat ini diterima dengan sabar dan tabah. Akan tetapi, didalam hatinya terkandung rasa penasaran yang amat hebat. Dia berlatih silat terus dengan tekun sehingga kepandaiannya menonjol, bahkan setelah berusia kurang lebih lima puluh tahun, kepandaiannya sudah melampaui para paman gurunya!
Sementara itu, suhunya telah meninggal dunia dan pada suatu hari, dendam yang terpendam selama puluhan tahun itu baru memperoleh pelepasan, Siangkoan Lo-jin memberontak dan lima orang paman gurunya yang dahulu ikut membutakan matanya dibunuhnya semua satu demi satu!
Dan di kalangan kaum sesat, siapapun yang berani menentangnya lalu dibunuhnya. Mulailah nama Siangkoan Lo-jin si kakek buta ini ditakuti orang. Dan terjadi perobahan pada diri kakek ini. Kalau di waktu mudanya dia menentang kejahatan para gurunya, setelah kini cacat, dia malah ingin menjadi pemimpin kaum sesat! Hal ini mungkin timbul karena derita batinnya. Dia menentang kejahatan dan matanya menjadi buta, maka kini dia bahkan hendak menjadi kepala semua penjahat!
Setelah berusia setengah abad dan diakui sebagai seorang jagoan yang amat ditakuti di antara golongan sesat, dia lalu mengambil seorang gadis dari kalangan sesat pula untuk menyambung keturunan. Dan isterinya itu ternyata dapat memberi keturunan padanya, seorang anak laki-laki yang diberi nama Siangkoan Ci Kang.
Tentu saja hati kakek buta ini menjadi girang bukan main. Semenjak lahir, Ci Kang digemblengnya. Bahkan untuk manjadi bayi itupun dia beri ramuan obat agar jasmani anak itu menjadi kuat dan kebal. Dan gemblengan penuh ketekunan dari Siangkoan Lo-jin tidak sia-sia. Anak itu ternyata memiliki bakat yang amat hebat dan setelah berusia delapan belas tahun, anak itu telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian ayahnya! Dia bahkan lebih lihai daripada ayahnya karena dia lebih muda, menang kuat dan menang daya tahannya, menang cepat.
Ternyata Siangkoan Ci Kang bukan hanya menuruni ilmu kepandaian ayahnya, melainkan juga menuruni wataknya! Sejak kecil, sejak dia belajar membaca dan mulai membaca kitab-kitab kuno, Ci Kang menumbuhkan pendiriannya di batinnya yang berlawanan dengan kenyataan yang ada pada keluarganya.
Dia, seperti para pendekar dan para budiman dalam kitab-kitab yang dibacanya, tidak suka akan kejahatan! Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang tokoh kaum sesat yang ditakuti dan disegani, dan hal inilah yang membuatnya seringkali termenung dan merasa penasaran. Bahkan setelah dewasa, dia berani pada suatu hari menyerang ayahnya dengan kata-kata mencela mengapa ayahnya terjun ke dalam dunia hitam dan menjadi pemimpin kaum sesat.
"Hemm, kau tahu apa?" ayahnya menjawab dengan senyum kecut. "Engkau tahu mengapa mata ayahmu menjadi buta? Karena akupun ingin menjadi orang bersih macam engkau sekarang ini! Aku ingin menentang kejahatan dan akibatnya aku kehilangan kedua mataku! Kuharap engkau dapat mengerti bahwa menjadi orang baik hanya mengundang datangnya malapetaka dan kerugian saja. Semenjak kehilangan mata, aku mengambil keputusan untuk menjadi tokoh sesat, akan tetapi tidak kepalang tanggung dan harus menjadi nomor satunya!"
Ci Kang merasa tidak puas akan keterangan ayahnya ini. Dia menyelidiki diantara tokoh sesat dan mendengar bahwa ayahnya dibikin buta oleh guru dan para paman gurunya sendiri karena menentang kaum sesat. Akhirnya setelah lihai, ayahnya membalas dendam, membunuh lima orang susioknya sendiri, kemudian bangkit menjadi pemimpin kaum sesat. Hal ini membuat hati Ci Kang kadang-kadang berduka.
Terjadi konflik dalam batinnya antara pendirian dan perasaan hatinya yang menentang kejahatan, terutama sekali kekejaman-kekejaman, dan kenyataan bahwa ayahnya adalah tokoh utama kaum setat!
Tentu saja, sebagai putera Siangkoan Lo-jin, dia tidak dapat lari dari kenyataan ini dan beberapa kali dia harus turun tangan membantu ayahnya kalau ayahnya atau teman-teman sekaum bertemu dengan lawan atau kalau sedang melaksanakan tugas, seperti yang dilakukannya di Telaga Emas itu.
Akan tetapi selamanya dia sendiri tidak pernah melakukan perbuatan jahat yang berupa kekejaman kepada orang lain. Konflik-konflik batin yang dideritanya sejak dia mengerti itu membentuk suatu watak yang aneh pada Ci Kang. Dia menjadi seorang pemuda yang pendiam, dingin, keras seperti baja dan kadang-kadang membawa mau sendiri, tak perduli, dan aneh!
Ketika Ci Kang diajak ayahnya ke telaga itu dan dengan kegagahannya dia berhasil membebaskan tiga orang tokoh Cap-sha-kui, ayahnya memarahi tiga orang tokoh itu yang gagal membunuh panglima Liang.
"Kalian sungguh tolol dan harus malu menjadi tokoh Cap-sha-kui kalau melaksanakan pekerjaan membunuh seorang menteri saja gagal, bahkan digagalkan oleh seorang pemuda yang menyamar sebagai menteri itu."
Demikian Siangkoan Lo-jin mengomel setelah mereka semua berhasil melarikan diri dan berada di tempat persembunyian.
"Bukankah seharusnya lebih dulu melakukan pengamatan dan pengintaian?"
"Maaf, Lo-jin. Sesungguhnya, kami bertiga sama sekali tidak tahu bahwa Menteri Liang telah diganti oleh seorang pemuda lihai, dan semua ini adalah kesalahan jembel gendut ini yang bertugas sebagai pengamat. Kami telah dijanji oleh Hwa-i Kai-pang yang hendak membantu dengan penyelidikan, dan perkumpulan jembel itu telah mengutus si gendut yang tidak teliti ini!" kata Kui-kok Lo-mo dengan nada suara jengkel sambil menuding ke arah Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang yang gendut itu.
Siangkoan Lo-jin mengerutkan alisnya yang putih. Tentu saja dia tidak dapat melihat tudingan telunjuk Kui-kok Lo-mo ke arah orang gendut itu, akan tetapi dia dapat mengerti bahwa orang itu hadir pula disitu.
"Hemm, siapakah engkau utusan Hwa-i Kai-pang?" bentaknya.
Bhe Hok adalah seorang bekas penjahat yang kejam dan tabah, akan tetapi berhadapan dengan kakek buta itu dia merasa gentar sekali. Dia sudah mendengar bahwa kakek buta ini amat lihai dan juga tidak segan-segan membunuh pembantu yang bersalah. Maka, biarpun orang itu tidak dapat melihat, dia segera memberi hormat.
"Saya bernama Bhe Hok, Lo-jin. Dan sayalah yang diutus oleh para pimpinan Hwa-i Kai-pang untuk membantu dalam usaha penyergapan di telaga itu. Saya bertugas mengamati dan memata-matai telaga itu sampai Menteri Liang muncul. Akan tetapi, sebelum menteri itu muncul, secara tak disangka-sangka, saya terlibat dalam perkelahian yang disebabkan oleh... oleh murid Lo-jin sendiri."
Iblis buta itu mendengus.
"Hemm, kau maksudkan Thian Sin Bu?"
"Benar, Lo-jin. Ketika saya sedang melakukan pengintaian, di pantai telaga saya melihat Sim-sicu sedang berkelahi melawan seorang gadis yang amat lihai. Karena saya melihat murid Lo-jin itu terdesak, saya lalu muncul dan membantunya, menotok roboh gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Shan-tung Lo-kiam dan saya lalu berkelahi melawan jago pedang itu sedangkan murid Lo-jin pergi melarikan gadis yang sudah roboh tertotok itu! Karena ditinggal sendiri, terpaksa saya juga melarikan diri karena Lo-kiam itu lihai sekali. Kalau saja Sim-sicu tidak muncul berkelahi dengan gadis itu, atau kalau saja dia tidak pergi meninggalkan saya dan melarikan gadis itu, tentu kami berdua akan dapat menjatuhkan Shan-tung Lo-kiam dan keadaan akan menjadi lain."
"Hemmm...!"
Terpaksa Siangkoan Lo-jin tidak jadi marah kepada orang Hwa-I Kai-pang itu karena ternyata muridnya sendiri yang menjadi biang keladi kegagalan usaha itu.
"Ci Kang, engkau hendak kemana?"
Tiba-tiba kakek buta itu menegur ketika telinganya menangkap gerakan orang ke pintu. Dia mengenal gerakan puteranya yang ringan dan menegur.
Akan tetapi Ci Kang sudah tiba di luar tempat itu dan terdengar jawabannya dari luar,
"Ayah, aku mau mencari angin segar."
Dan diapun sudah jauh sekali sehingga ayahnya tidak sempat lagi untuk mencegahnya. Siangkoan Lo-jin mengenal keanehan watak puteranya maka diapun lalu melanjutkan percakapannya dengan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu.
"Sudahlah, kegagalan membunuh Menteri Liang biar menjadi pelajaran baik bagi kalian semua. Lain kali kita dapat mencari jalan lain untuk melenyapkannya. Sekarang yang penting bagaimana melaksanakan tugas kedua. Lo-mo dan Lo-bo, bukankah kalian sudah mempunyai rencana untuk membunuh jenderal itu?"
"Sudahlah, Lo-jin. Kami akan melaksanakannya sebaik mungkin, dibantu oleh Ular Betina ini."
"Dalam melaksanakan tugasku, biarpun kalian membantu, telah mengalami kegagalan. Kalau aku membantu kalian sampai berhasil, lain kali kalian harus membantuku pula sampai aku berhasil membunuh menteri itu." Kiu-bwe Coa-li mengomel.
Demikianlah, seperti diceritakan di bagian depan, Siangkoan Ci Kang ternyata melakukan pengejaran terhadap murid ayahnya. Biarpun murid ayahnya itu jauh lebih tua dari padanya, namun Sim Thian Bu termasuk murid terakhir sehingga menyebut suheng kepadanya.
Dia sudah tahu akan kejahatan Thian Bu, sudah mendengar bahwa sutenya itu adalah seorang jai-hwa-cat keji. Ingin dia mempergoki sutenya dan menghajarnya, akan tetapi Thian Bu yang cerdik itu selalu dapat lolos dan merahasiakan kejahatannya. Kini, mendengar betapa sutenya telah melarikan seorang gadis, dia menjadi marah dan segera melakukan pengejaran.
Dia tentu saja dapat menduga kemana sutenya membawa pergi gadis culikannya itu. Kemana lagi kalau bukan kedalam guha rahasia tempat persembunyian ayahnya? Hanya di sanalah tempat aman bagi sutenya itu untuk melakukan segala macam kejahatan tanpa diketahui orang!
Dan ternyata dugaannya memang benar. Dan dia datang pada saat yang tepat. Kalau Sim Thian Bu tidak berniat memperisteri Sui Cin dan melakukan bujukan-bujukan dan ancaman-ancaman, melainkan langsung saja diperkosanya seperti yang biasa dia lakukan, tentu kedatangan Ci Kang terlambat dan gadis itu telah ternoda, mungkin jejaknya telah disingkirkan oleh Thian Bu yang licik.
Kemudian, setelah menyelamatkan Sui Cin dan mengusir sutenya sehabis menghajarnya babak belur, Ci Kang duduk sendirian di dalam guha itu sambil termenung. Hatinya semakin sakit den menyesal sekali. Perbuatan keji dari sutenya tadi mengingatkan dia bahwa pria amat cabul dan keji itu adalah sutenya, murid ayahnya dan bahwa ayahnya adalah seorang gembong penjahat yang kini menjadi antek pemerintah yang lalim. Sedih hatinya.
Dia sudah banyak membaca tentang pembesar-pembesar lalim yang mempergunakan penjahat-penjahat, dan dia selalu menganggap, betapa jahatnya pembesar seperti itu dan betapa rendah dan hinanya penjahat yang menjadi anteknya. Akan tetapi kini dia dihadapkan kenyataan bahwa ayah kandungnya sendiri menjadi penjahat antek pembesar lalim! Siapa yang takkan hancur dan sedih hatinya?
Baru setelah guha itu mulai gelap, tanda bahwa senja telah mendatang, Ci Kang keluar dari dalam guha, menutupi lagi mulut guha dengan semak belukar, kemudian melangkah pergi dengan gontai dan hilang semangat. Pemuda ini semakin murung dan wajahnya semakin dingin.
ASMARA BERDARAH JILID 044
(↕)
"Haiii... nona...! Perlahan dulu, nona...!"
Sui Cin sudah tahu bahwa ada seorang pemuda berlari-lari mengejarnya, bahkan dara ini sudah tahu pula siapa pemuda itu. Akan tetapi ia pura-pura tidak dengar atau tidak perduli, melainkan melanjutkan perjalanannya menunggang kuda kecilnya dengan santai.
Ia bahkan tidak memegang kendali kuda, dibiarkan kudanya berjalan seenaknya dan ia melindungi kepalanya dengan sebuah payung yang dikembangkan dan dipanggulnya. Iapun duduk miring di atas punggung kudanya, seenaknya sambil menikmati keindahan pemandangan alam pegunungan di sekitarnya. Jalan itu kasar dan sunyi, sinar matahari membakar panas, maka terasa nyaman berlindung di bawah payung.
"Prak-plok-prak-plok-prak...!"
Suara kaki kuda berirama dan nyaring karena kuda itu mengenakan sepatu atau tapal kaki baru.
Hui Song merasa penasaran sekali. Dari jauh dia mengenal gadis berpayung menunggang kuda itu. Siapa lagi kalau bukan gadis yang pernah membuatnya tak mampu tidur nyenyak, gadis yang membuatnya tergila-gila, gadis perkasa yang pernah membantunya ketika dia dikeroyok oleh tiga orang tokoh Cap-sha-kui yang bernama Tho-tee-kui, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo? Maka dia lalu lari mengejar dan bukan main girangnya melihat kenyataan bahwa dugaannya memang benar, terutama sekali karena sekarang gadis itu tidak membalapkan kuda kecil yang lihai itu untuk meninggalkannya.
Seperti kita ketahui, Sui Cin telah terlepas dari malapetaka ketika ia terculik Sim Thian Bu dan tortolong oleh Siangkoan Ci Kang. Setelah pergi, ia lalu kembali ke dusun dimana ia menitipkan kudanya, dan kini ia melakukan perjalanan berkuda dengan niat pulang ke selatan, ke tempat tinggal orang tuanya di Pulau Teratai Merah.
Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa ia bertemu dengan Hui Song di tengah perjalanan, atau lebih tepat tersusul oleh pemuda itu. Ia sengaja membiarkan kudanya berjalan terus dan kini dengan napas agak terengah-engah Hui Song berjalan di sebelah kanan kuda itu sambil tersenyum menoleh dan memandang wajah di bawah payung itu. Sejenak kedua mata pemuda itu terbelalak keheranan, akan tetapi dia lalu tersenyum lagi dan nampak gembira sekali.
"Huh, apa maksudmu teriak-teriak seperti orang kesurupan dan lari-lari seperti orang dikejar setan?" Sui Cin menegur sambil tersenyum mengejek.
"Aku tidak kesurupan, memang gila, tergila-gila dan aku bukan dikejar setan melainkan dikejar ketakjuban. Sungguh tak pernah kusangka sebelumnya bahwa yang bernama Sui Cin adalah seorang gadis yang cantik jelitanya melebihi semua bidadari di kahyangan!"
Kedua pipi itu menjadi merah, dan mata itu mengeluarkan sinar berapi. Entah mana yang lebih besar dan yang lebih memerahkan pipi, kemarahan ataukah kebanggaan mendengar pujian itu. Juga ia merasa terkejut karena ternyata Hui Song dapat menduga bahwa ia adalah Sui Cin si "pemuda jembel" itu. Kini tidak perlu berpura-pura lagi.
"Hemm, baru sekarang engkau tahu?" pancingnya. Ia tidak menghentikan kudanya dan terpaksa Hui Song berjalan-jalan di samping kuda itu yang kelihatan tidak senang kerena ada orang yang mengganggu ketenangannya di tempat sunyi indah itu.
"Memang baru sekarang! Wah, kalau aku tahu sejak dulu..."
"Lalu mau apa?"
"Tidak apa-apa. Sungguh engkau pandai sekali menyamar dan kau bilang mempunyai seorang cici."
"Akulah cicinya!"
"Ha-ha, dan engkau adiknya pula, pemuda jembel yang membagi-bagi uang kepada para jembel lain. Sungguh luar biasa! Dan engkau menjanjikan kepadaku untuk memperkenalkan aku kepada cicimu. Nah, sekarang perkenalkan. Kau tahu namaku, akan tetapi apakah namamu juga masih sama? Sui Cin?"
Sui Cin mengangguk.
"Eh, bagaimana engkau tiba-tiba saja dapat menduga bahwa aku adalah pemuda jembel itu pula?"
"Nanti dulu, apakah engkau begitu kejam membiarkan aku berjalan-jalan bersama kudamu yang mempunyai empat kaki sedangkan aku hanya mempunyai dua kaki?"
"Hemm, engkaupun boleh menggunakan kedua tanganmu sebagai kaki!"
"Sialan! Kau suruh aku merangkak?"
"Kalau kau mau!"
"Sudahlah, kasihanilah padaku. Aku capek dan kepanasan, mari kita berhenti dulu di bawah pohon sana itu, tempatnya teduh dan di situ banyak rumput. Kalau engkau tidak kesihan padaku, sedikitnya engkau kasihan kepada kudamu dan membiarkan dia istirahat dan makan rumput."
Sui Cin tak membantah lagi, lalu menepuk bahu kudanya yang segera membelok ke kiri menuju ke arah pohon rindang. Disini ia turun, menutup payungnya dan membiarkan kudanya makan rumput sedangkan ia sendiri duduk di atas akar pohon yang menonjol diatas tanah, berhadapan dengan pemuda itu.
Sejenak mereka saling berpandangan dan sekali ini Hui Song yang menundukkan mukanya karena malu akan tetapi juga girang sekali.
"Nah, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Mengenalimu? Mudah sekali. Ketika aku melihatmu dari jauh, aku segera teringat akan encinya Sui Cin, gadis yang pernah membantuku melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu, maka aku mengejarnya. Begitu tiba di dekat kuda dan melihat wajahmu, aku terkejut dan segera timbul keyakinan di hatiku bahwa engkau adalah Sui Cin pemuda jembel itu."
"Hemm, mengapa begitu yakin? Bagaimana kalau aku encinya?"
"Memang mungkin ada persamaan antara seorang enci dan seorang adiknya, akan tetapi sinar mata dan senyum bibir itu tidak mungkin ada keduanya di dunia ini... eh, maaf, maksudku... aku sudah mengenal benar sinar mata dan senyum itu, jadi begitu melihatnya aku segera mengenalmu, Sui Cin. Maaf, rasanya janggal menyebutmu nona, setelah sekian lamanya menyebutmu Cin-te! Sekarang, agaknya tidak mungkin lagi menyebut Cin-te (adik laki-laki Cin), maka kusebut saja namamu."
"Memang benar, Song-ko. Aku bernama Sui Cin dan tidak mempunyai adik maupun kakak. Memang sudah menjadi kebiasaanku di waktu merantau, aku suka menyamar sebagai seorang pemuda. Kebetulan aku bertemu denganmu dalam penyamaran itu dan berkenalan, tentu saja aku terpaksa menyamar terus."
Tiba-tiba Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin mengerutkan alisnya, merasa ditertawakan dan ia menjadi marah.
"Mau apa kau tertawa-tawa seperti gila?"
Hui Song menahan ketawanya.
"Aku teringat akan ceritamu tentang banci itu... ha-ha, bisa saja engkau mencari alasan mengapa engkau marah-marah ketika aku mendekatimu. Ingat ketika aku merangkulmu karena kuanggap biasa antara laki-laki dan kau marah-marah dan..."
Wajah dara itu menjadi merah sekali.
"Sudahlah, tak perlu diungkit-ungkit kembali. Sekarang, mau apa sih engkau mengejarku?"
Hui Song bersikap sungguh-sungguh walaupun kini wajahnya cerah dan gembira sekali. Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Sui Cin si pemuda jembel, dia merasa kehilangan dan kesepian.
"Sebenarnya aku tidak mengejarmu, melainkan mencari jejak Sui Cin pemuda itu."
"Mau apa?"
Hui Song tersenyum malu-malu.
"Pertama... eh, untuk bertanya bagaimana dia tidak muncul di pantai telaga, dan kedua... anu... aku ingin menagih janji karena dia berjanji hendak memperkenalkan aku kepada encinya."
"Mata keranjang!"
"Bukan begitu, Sui Cin. Janji tetap janji! Sekarang katakanlah, mengapa engkau tidak muncul di pantai? Aku mendengar penuturan Shantung Lo-Kiam bahwa ada seorang gadis diculik penjahat. Entah bagaimana, aku teringat akan encinya Sui Cin, maka akupun lalu melakukan pengejaran dan pencarian. Dan ternyata aku beruntung sekali, menemukan Sui Cin sahabatku bersama encinya sekaligus. Sui Cin, benarkah engkau yang dikabarkan oleh Shantung Lo-kiam itu?"
Sui Cin mengangguk.
"Benar. Aku melakukan pengamatan di pantai seperti yang telah kita rencanakan, dan karena aku sudah berpisah darimu, aku mengenakan pakaian wanita kembali agar lebih mudah mengamati. Disitu aku bertemu dengan Sim Thian Bu yang tadinya tidak kusangka seorang penjahat karena dia pernah mau ikut menghadiri pertemuan antara para pendekar tempo hari. Kiranya dia seorang jai-hwa-cat dan kami segera berkelahi. Aku lengah ketika muncul seorang di antara tokoh Hwa-i Kai-pang itu, yang perutnya gendut, dan aku tertotok roboh. Lalu muncul kakek itu, yang membawa yang-kim..."
"Shan-tung Lo-kiam..."
"Kakek itu menyerang si gendut dan mereka berkelahi. Aku yang sudah tertotok lalu dilarikan oleh jahanam Sim Thian Bu. Aku dilarikan menuju ke sebuah guha tersembunyi dan... dan... si jahanam keparat itu hampir saja menggangguku!"
Hui Song mengepal tinju.
"Keparat! Lalu bagaimana?"
"Untung muncul seorang pemuda... anehnya, pemuda itu adalah suheng dari Sim Thian Bu walaupun usianya paling banyak delapan belas tahun sedangkan Sim Thian Bu sudah dua puluh lima tahun lebih. Pemuda itu melarang, akan tetapi jahanam itu membantah dan akhirnya jahanam itu dihajar babak-belur oleh pemuda yang amat lihai itu. Kemudian aku dibebaskan dan begitu kaki tanganku bebas, tentu saja aku menyerang Sim Thian Bu yang sudah dihajar parah. Akan tetapi pemuda itu menangkis dan ternyata dia amat kuat..."
Hui Song terbelalak heran.
"Nanti dulu, apakah pemuda itu wajahnya masih amat muda akan tetapi matanya mencorong, pakaiannya sederhana den tubuhnya tinggi tegap?"
"Benar jubahnya kasar belang-belang agaknya dari kulit harimau..."
"Ah, benar dia! Menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam, dia tentu putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta!"
"Apa? Datuk itu?" Sui Cin bertanya kaget. "Kalau begitu, Sim Thian Bu adalah murid Si Iblis Buta?"
"Mungkin sekali, dan itulah sebabnya dia menyebut suheng kepada pemuda itu, karena kalah tingkat."
"Tapi kalau pemuda itu putera Iblis Buta, kenapa dia menolongku dan menghajar sutenya sendiri?"
Hui Song termenung.
"Entahlah, sungguh teka-teki yang membingungkan."
Hening sejenak. Kemudian Sui Sin yang mulai merasa biasa berhadapan dengan Hui Song sebagai seorang wanita, bertanya,
"Bagaimana dengan usahamu menyelamatkan Menteri Liang?"
"Berhasil dengan baik," katanya dan diapun lalu menceritakan bahwa dia telah menemui Menteri Liang, menceritakan semua rencana kaum penjahat dan betapa dia lalu pada saat yang ditentukan menyamar sebagai Menteri Liang dan menggantikan menteri itu pergi ke telaga.
Diceritakan betapa yang muncul adalah Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo dan Kiu-bwe Coa-li yang menyerangnya akan tetapi dia dan para pengawal istimewa dapat menanggulangi, bahkan sudah hampir berhasil dibantu oleh Shan-tung Lo-kiam untuk mengalahkan mereka.
"Sayang muncul pemuda aneh itu bersama kakek kurus yang menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam adalah Si Iblis Buta bersama puteranya. Pemuda itu lihai sekali, menggunakan panah api membakar perahu dan dia berhasil menyelamatkan tiga tokoh Cap-sha-kui itu sehingga kami tidak berhasil mencegah mereka meloloskan diri."
Sui Cin mendengarkan dengan heran dan kagum. Sungguh tokoh muda yang menolongnya itu amat aneh. Membantu para penjahat, akan tetapi juga menentang kejahatan sute sendiri.
ASMARA BERDARAH JILID 045
(↕)
"Dan selanjutnya, apa yang akan kau lakukan, Song-ko?"
"Masih banyak yang hendak kulaksanakan, akan tetapi aku ingin melakukannya bersamamu, Sui Cin, karena itulah maka aku mengejar dan mencarimu."
"Aku baru saja terlepas dari bencana dan aku ingin pulang, sudah terlalu lama meninggalkan ayah ibu."
"Ah, betapa inginku ikut bersamamu pergi menghadap dan berkenalan dengan orang tuamu, secara langsung bertemu muka dengan Pendekar Sadis yang namanya sudah kukenal sejak kecil! Akan tetapi, tugas masih mengikatku, Sui Cin. Engkau tentu tahu bahwa keselamatan Menteri Liang masih terancam..."
"Engkau bukan pegawai negeri dan perlindungan terhadap seorang menteri dapat dilakukan oleh pasukan keamanan!"
"Engkau benar. Akan tetapi kita tahu bahwa juga Jenderal Ciang terancam. Kalau kita tidak membantu, padahal sumber keterangan itu dari kita, tentu pihak pemerintah akan merasa curiga akan kebenaran berita itu. Apalagi kalau di belakang para penjahat itu terdapat pembesar yang amat berpengaruh dan berkuasa. Kita harus membongkar semua kejahatan itu dan menentang kelaliman, barulah tidak percuma kita belajar silat sejak kecil dan menjadi keturunan para pendekar."
"Uwaahhh! Agaknya engkau hendak membanggakan kedudukanmu sebagai putera pendekar, putera ketua Cin-ling-pai, ya?" Sui Cin mengejek sambil tersenyum.
"Tidak demikian, adikku yang baik. Akan tetapi, kalau orang tua kita sudah berjuang sebagai pendekar dan memperoleh nama harum, bukankah sudah menjadi kewajiban kita anak-anak mereka untuk menjunjung tinggi nama itu dengan perbuatan gagah dan baik pula? Selain itu, bukankah di lubuk hati kita sudah terdapat perasaan menentang kejahatan?"
Sui Cin mengibaskan tangan kirinya.
"Sudahlah, cukup dengan kuliahmu itu. Sekarang apa kehendakmu setelah engkau bertemu denganku disini?"
"Cin-moi, aku merasa berbahagia sekali bertemu denganmu disini, baik sebagai pemuda jembel maupun sebagai seorang gadis. Bagaimanapun juga, diantara kita masih terdapat ikatan yang amat dekat, setidaknya ikatan saudara seperguruan. Ingat bahwa ayahmu juga merupakan seorang murid Cin-ling-pai yang amat membanggakan, dan engkaupun menguasai banyak ilmu-ilmu tingkat tinggi dari Cin-ling-pai."
"Sudahlah jangan memuji-muji, maksudmu bagaimana?"
"Kita masih saudara seperguruan, dan kita bardua sudah mengalami bersama kejahatan yang dilakukan oleh komplotan busuk antek-antek pembesar lalim itu. Maka, jika engkau tidak keberatan, Cin-moi, marilah kita lanjutkan kerjasama ini untuk menentang mereka. Setidaknya, sampai urusan ini selesai dan aku akan menemanimu kembali ke tempat tinggal orang tuamu, memberi kesempatan kepadaku untuk belajar kenal dengan mereka."
Sui Cin termenung. Bagaimanapun juga, ia merasa suka kepada pemuda ini dan sudah menikmati perjalanan bersama yang penuh petualangan itu. Rasanya tidak enak juga kalau kini membiarkan Hui Song bekerja sendiri menempuh bahaya besar menghadapi komplotan yang lihai itu.
Akhirnya ia mengangguk.
"Baiklah, aku akan membantumu sampai usaha pembunuhan terhadap Jenderal Ciang itu digagalkan."
Wajah yang cerah itu makin berseri dan sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar ketika dia meloncat bangun dengan girang.
"Wah, terima kasih, Cin-moi! Aku memang tahu bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita sejati!"
"Simpan pujian-pujianmu untuk lain kali, jangan dihabiskan sekarang. Yang penting, sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Untuk sementara ini, Menteri Liang sudah dapat diselamatkan dan tentu akan selalu dikawal ketat."
"Dan kalau engkau memberi tahu kepada Jenderal Ciang lalu pembesar itu selalu dikawal pasukan-pasukan yang kuat, penjahat-penjahat itu mampu berbuat apakah? Perlu apa kita harus bersusah payah lagi, Song-ko?"
"Engkau tahu, urusan ini bukan sekedar kejahatan biasa, melainkan komplotan yang menjadi antek dari Liu-thaikam, pembesar dalam istana yang korup dan jahat itu. Aku sudah menemui Jenderal Ciang dan beliau tidak merasa heran mendengar beritaku bahwa ada tokoh-tokoh sesat yang hendak membunuhnya, karena dia tahu betapa Liu-thaikam membencinya. Liu-thaikam harus ditumbangkan kekuasaannya, demikian kata Jenderal Ciang. Kalau tidak, pembesar keji itu akan semakin berani dan mungkin saja keselamatan kaisar sendiri kelak akan terancam oleh kejahatan Liu-thaikam dan antek-anteknya."
"Apa susahnya? Laporkan saja kejahatan Liu-thaikam kepada sri baginda kaisar agar dia ditangkap dan dihukum, habir perkara."
"Enak saja kau bicara, Cin-moi! Ketahuilah, menurut penuturan Jenderal Ciang, kedudukan thaikam itu amat tinggi dan celakanya, kaisar amat percaya kepadanya. Bahkan dia merupakan orang pertama yang dipercaya sri baginda kaisar. Melaporkannya begitu saja kepada kaisar bahkan akan mencelakakan si pelapor karena kaisar tidak akan percaya.
Karena itulah, maka Ciang-goanswe minta bantuan dan kerja samaku untuk menghadapi para penjahat itu, memancing mereka agar turun tangan dan kita akan menghadapi mereka sehingga tidak sampai gagal seperti ketika para penjahat menyerbu Menteri Liang. Kita harus dapat menangkap hidup-hidup agar para penjahat itu dapat membuat pengakuan di depan kaisar sebagai saksi. Hanya dengan demikian maka kaisar akan percaya betapa jahat dan palsunya kepala thaikam itu dan dapat menjatuhkan hukuman. Nah, maukah engkau membantu agar usaha penting ini berhasil?"
"Bagaimana rencana jenderal itu?"
"Ciang-goanswe diam-diam memerintahkan agar seorang sahabatnya yang menjadi guru silat di kota Pao-fan, merayakan hari ulang tahunnya dan mengundangnya, juga mengundang para tokoh persilatan, baik dari golongan sesat maupun dari golongan bersih. Sebagai seorang bekas piauwsu dan juga sebagai guru silat, tidak terlalu menyolok kalau dia memberi kesempatan kepada para tokoh silat untuk menghadiri pestanya. Akan disiarkan berita bahwa pesta itu dihadiri oleh Jenderal Ciang sehingga komplotan itu tentu akan mendengarnya dan dapat dipastikan bahwa mereka akan turun tangan menyerang Jenderal itu di tempat pesta. Nah, disinilah kita turun tangan pula menentang dan menangkap mereka, bersama dengan para pengawal yang diam-diam diselundupkan ke tempat itu."
"Bagus sekali, mari kita berangkat!" kata Sui Cin penuh semangat.
Gadis ini memang sejak kecil suka berkelahi, apalagi berkelahi menghadapi para penjahat dan dalam urusan menentang kejahatan, ia tidak pernah mengenal takut.
Sui Cin menunggang kudanya lagi, memakai payung karena panas matahari masih menyengat. Hui Song berjalan di samping kuda, wajahnya berseri dan semangatnya berkobar. Setelah kini didampingi Sui Cin, semangat pemuda ini semakin besar dan diapun tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini, bahkan mungkin cintanya itu sudah bersemi ketika dia menganggap gadis ini seorang pemuda jembel.
ASMARA BERDARAH JILID 046
(↕)
Ang-kauwsu (guru silat Ang) memang mempunyai banyak kenalan. Sebelum menjadi guru silat yang tinggal di kota Pao-fan, di waktu mudanya dia pernah bakerja sebagai kepala piauwau (pengawal barang) yang cukup terkenal di kota raja. Sebagai piauwau, tentu saja dia banyak mengenal dunia hitam, mengenal para penjahat karena hal ini amat penting bagi pekerjaannya. Karena bersahabat dan suka memberi hadiah, maka para penjahat tidak akan mengganggu kiriman barang-barang di bawah bendera piauw-kiok yang dipimpinnya.
Kini usianya sudah enam puluh tahun dan ketika dia diundang oleh Jenderal Ciang yang sudah dikenalnya dan diberitahu tentang komplotan yang hendak membunuhi para pembesar yang setia, dia segera menyatakan kesetiaannya untuk membantu jenderal itu menumpas para penjahat. Tentu saja hanya dengan cara mengadakan pesta ulang tahun ke enam puluh dan mengundang semua golongan sebagai pancingan agar para penjahat itu melihat kesempatan hadirnya Ciang-goanswe disitu dan berani turun tangan.
Dia sendiri tidak berani mencampuri karena begitu mendengar bahwa komplotan itu terdiri dari orang-orang Cap-sha-kui, nyali guru silat ini sudah terbang dan mukanya menjadi pucat ketakutan. Siapa orangnya takkan ngeri mendengar nama Cap-sha-kui?
Berita tentang pesta ulang tahun Ang-kauwsu telah tersiar luas. Diberitakan bahwa Ang-kauwsu mengadakan pesta besar-besaran dan meriah, bahkan mengundang orang-orang penting, juga Jenderal Ciang dari kota raja akan hadir dalam pesta itu. Juga diberitakan bahwa Ang-kauwsu membuka kesempatan kepada semua kawan di rimba raya untuk datang tanpa adanya surat undangan karena sukar menyampaikan surat undangan kepada mereka.
Berita ini cukup bagi kaum sesat bahwa Ang-kauwsu tidak melupakan mereka dan bahwa semua orang tokoh sesat akan diterima sebagai tamu terhormat kalau menghadiri pesta itu. Tentu saja yang dimaksudkan dengan tokoh adalah mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk menjadi tamu kehormatan Ang-kauwsu.
Sejak pagi pada hari yang ditentukan, ruangan besar yang merupakan tempat darurat, yaitu halaman depan rumah yang dibangun untuk tempat pesta, mulai dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Tidaklah sukar untuk menduga siapakah tamu-tamu dari golongan bersih dan siapa pula tamu dari golongan sesat karena sebagian besar dari para kaum sesat itu bersikap kasar dan congkak, juga aneh-aneh pakaian dan sikap mereka. Karena para undangan itu terdiri dari orang-orang dari kaum persilatan, maka tidak diadakan penggolongan tempat duduk bagi wanita dan pria.
Biarpun wanita, kalau wanita kang-ouw, tidak merasa canggung duduk diantara kaum pria. Ada belasan orang wanita diantara para undangan itu yang duduknya berpencaran. Diantara mereka terdapat seorang gadis yang sikapnya menonjol karena selain wajahnya angker dan galak, juga dara ini amat cantik dan datangnya sendirian saja ke dalam pesta itu.
Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri kepada tuan rumah sebagai seorang murid yang mewakili Cin-ling-pai, ia menjadi pusat perhatian orang di sekitarnya. Cin-ling-pai, nama yang sudah amat terkenal. Akan tetapi banyak pula yang merasa heran mengapa Cin-ling-pai diwakili oleh seorang gadis yang masih begitu muda, cantik jelita dan halus pula gerak-geriknya. Yang dapat menunjukkan bahwa ia seorang ahli silat hanyalah sepasang pedang yang tergantung di punggung dan wajahnya yang angker itu.
Dara itu berusia sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas namun cukup mewah dan bersih, sepatunya mengkilap, wajahnya manis sekali, dengan mulut yang kecil dan dagu yang meruncing, matanya tajam galak dan rambutnya hitam dan lebat sekali, digelung ke atas merupakan sanggul yang besar dan diikat sutera kuning. Kalau rambut itu dilepas sanggulnya, mungkin panjangnya sampai ke lutut. Sepasang pedang panjang tipis melintang di kanan kiri pundak, tergantung pada punggung dan ini menambah kegagahannya.
Ketika Ang-kauwsu mendengar bahwa gadis cantik ini adalah wakil Cin-ling-pai yang memberi selamat kepadanya, dia lalu mengantar tamu ini ke sebuah meja dimana telah duduk tiga orang tamu lain, dua wanita dan seorang pria yang menjadi kenalan baiknya karena mereka itu adalah keluarga piauwsu di kota Pao-fan.
Dara Cin-ling-pai itu dipersilakan duduk dan gadis itu nampak lega karena memperoleh teman duduk yang cukup sopan dan yang usianya sekitar tiga puluhan, belum tua benar. Ia memperkenalkan diri sebagai Tan Siang Wi dan segera bercakap-cakap dengan tiga orang semeja itu.
Tak jauh dari meja dimana Tan Siang Wi duduk, terdapat pula tiga orang pria sedang duduk bercakap-cakap. Sukar dikatakan apakah mereka itu golongan sesat ataukan golongan bersih. Pakaian mereka cukup rapi, dan jelas menunjukkan pakaian ahli-ahli silat karena ringkas dan sikap merekapun gagah.
Seorang diantara mereka sudah tua, jenggot kumis dan alisnya sudah putih namun tubuhnya masih tegap dan nampak kuat. Dua orang lainnya yang duduk di kanan kirinya berusia empat puluh tahun lebih, rambut mereka dikuncir tebal dan wajah mereka nampak gagah dengan jenggot terpelihara rapi.
Akan tetapi, sikap tiga orang ini agak congkak dan hal ini dapat nampak pada pandang mata mereka yang ditujukan kepada para tamu yang hadir. Bahkan setiap kali ada tamu datang, terutama tamu yang menunjukkan bahwa mereka ini datang dari golongan hitam, mereka bertiga bicara dan tertawa-tawa. Pandang mata mereka yang ditujukan kepada tamu baru itu ketika tertawa-tawa menunjukkan bahwa tentu tamu baru itu yang menjadi bahan ketawa mereka.
Demikian pula ketika Tan Siang Wi muncul, mereka berbisik-bisik dan melirik ke arah gadis itu, tersenyum-senyum menyeringai dengan sikap kurang ajar sekali. Karena Siang Wi tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, dara inipun tidak perduli. Akan tetapi setelah ia duduk bersama tiga orang tamu dan kebetulan duduknya menghadap ke arah meja tiga orang itu, mulailah Siang Wi mengerutkan alisnya.
Ia melihat betapa tiga orang itu, terutama dua orang termuda, selalu memandang kepadanya dan sengaja mainkan mata mereka seperti lagak laki-laki yang hendak menggoda wanita. Tentu saja Siang Wi menjadi mendongkol dan mula-mula ia memang membuang muka saja dan tidak mau balas memandang. Akan tetapi, telinganya mulai dapat menangkap percakapan mereka itu diantara berisiknya suara para tamu lain. Marahlah gadis ini.
Tan Siang Wi adalah murid tunggal dari Bin Biauw, isteri ketua Cin-ling-pai. Seperti kita ketahui, Bin Biauw atau nyonya Cia Kong Liang ini adalah puteri bekas datuk sesat Tung-hai-sian, seorang Bangsa Jepang. Setelah berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, Tung-hai-sian mencuci tangan dan tidak lagi berkecimpung di dalam dunia sesat.
Puterinya, Bin Biauw, biarpun puteri seorang datuk sesat, adalah seorang gadis yang baik sehingga dapat menjatuhkan hati Cia Kong Liang. Akan tetapi setelah kini mempunyai seorang murid, ternyata muridnya ini sedikit banyak mewarisi watak Tung-hai-sian.
Tan Siang Wi ini berwatak keras sekali, tidak pernah mau mengalah, agak tinggi hati dan angkuh walaupun ia selalu bertindak gagah dan menentang kejahatan. Selain mewarisi ilmu dari Bin Biauw, ia juga menerima petunjuk-petunjuk dan ilmu silat dari ketua Cin-ling-pai sendiri maka dapat dibayangkan betapa lihainya Siang Wi.
Kelihaiannya membuat dara ini semakin tinggi hati, terutama terhadap golongan sesat yang dianggap musuhnya. Tangannya berobah ganas kalau ia berurusan dengan kaum sesat dan sedikitpun ia tidak mau mengalah atau memberi hati. Maka, selama satu dua tahun saja memasuki dunia kang-ouw, gadis ini telah dijuluki orang Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa) karena ganasnya terhadap musuh-musuhnya. Agaknya karena kenyataan yang sudah didengarnya bahwa sukongnya, yaitu Bin Mo To di Ceng-to, adalah seorang bekas datuk sesat, gadis ini hendak membuktikan kepada semua orang di dunia bahwa dia adalah murid isteri ketua Cin-ling-pai, jadi seorang pendekar, bukan orang sesat!
Terdapat kecondongan hati kita untuk selalu menutupi kekurangan dan menonjolkan kelebihan kita. Kita selalu ingin disebut baik. Keinginan seperti ini selalu timbul karena kenyataan yang kita lihat bahwa keadaan kita adalah sebaliknya daripada baik. Hanya orang yang berkulit hitam sajalah yang selalu ingin disebut putih. Hanya orang yang bodoh sajalah yang selalu ingin dianggap pintar, dan hanya orang yang melihat betapa kotor dirinya sajalah yang selalu ingin dianggap bersih dan baik.
Kita lupa bahwa justeru keinginan-keinginan untuk dianggap lain daripada kenyataan ini yang seringkali mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang buruk dan bodoh. Kalau kita sadar akan kekotoran kita, maka kita akan berusaha membersihkannya, bukan dengan cara menyembunyikan atau menutupinya.
Kalau kita sadar bahwa kita bersih, maka kita akan menjaga agar kebersihan itu tidak ternoda kekotoran, bukan lalu menjadi tinggi hati dan merasa bersih dan baik sendiri karena perasaan demikian itu sudah menodai kebersihan itu sendiri. Mengapa kita kadang-kadang merasa ngeri untuk menghadapi dan melihat kenyataan apa adanya, betapa buruk dan kotor sekalipun kenyataan itu? Menutupi kenyataan, melarikan diri dari kenyataan, jelas tidak akan dapat merobah keadaan itu.
"Ha-ha-ha!"
Seorang diantara tiga pria itu tertawa lagi sambil menyumpit dan makan kue yang mulai dihidangkan. Wajah mereka mulai merah oleh arak.
"Agaknya Cin-ling-pai sudah kehabisan jago jantan maka mengeluarkan jago betina, heh-heh!"
Ucapan itu sebenarnya lebih merupakan kelakar diantara mereka sendiri karena diucapkan perlahan dan dimaksudkan untuk mereka dengar sendiri, dan ketiganya tertawa bergelak sambil melontarkan pandang ke arah meja Siang Wi.
Akan tetapi karena mencurahkan perhatian ke arah mereka, Siang Wi dapat menangkap kata-kata itu dan marahlah gadis ini. Ia tidak mampu lagi mengendalikan dirinya dan sekali melompat, ia telah meloncati mejanya dan tahu-tahu seperti seekor burung saja ia sudah hinggap di atas lantai dekat meja tiga orang itu!
"Kalian tadi bilang apa?" bentaknya sambil berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang dan mata tajam penuh kemarahan menatap mereka.
Tiga orang itu terkejut. Tak mereka sangka bahwa gadis itu akan dapat mendengar ucapan yang menghina Cin-ling-pai tadi, juga mereka terkejut melihat gadis itu demikian gesitnya meloncati meja dan kini berdiri di depan mereka dengan sikap mengancam.
"Eh, kami bilang apa? Tidak ada sangkut-pautnya denganmu!" seorang diantara mereka menjawab dan melanjutkan jepitan sumpitnya pada kue di atas piring.
"Bagus! Kalian menghina Cin-ling-pai dan masih berani bilang tidak ada sangkut-pautnya denganku? Biarpun Cin-ling-pai diwakili seorang wanita setidaknya jauh lebih gagah daripada kalian ini banci-banci pengecut yang tidak berani mengakui perbuatannya!"
Para tamu yang duduk di sekitar tempat itu menjadi kaget dan merekapun menoleh dengan penuh perhatian dan wajah mereka tertarik sekali. Dalam pertemuan antara para orang-orang kang-ouw sudah lumrah apabila terjadi keributan dan perkelahian. Mereka bahkan sebagian besar mengharapkan terjadinya hal ini, karena dalam pertemuan para ahli persilatan, terasa kurang sedap dan kurang bumbu kalau tidak terjadi keributan dan perkelahian.
Tiga orang itu sebenarnya bukan orang-orang sembarangan. Kakek yang berjenggot putih itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal yang berjuluk Huang-ho Lo-eng (Pendekar Tua Sungai Kuning) bernama Pui Tek. Adapun dua orang laki-laki gagah di sampingnya adalah dua orang muridnya, juga amat terkenal sebagai Huang-ho Siang-houw (Sepasang Harimau Sungai Kuning).
Mereka bukan penjahat dalam arti kata memiliki pekerjaan jahat seperti perampok atau bajak, akan tetapi karena orang-orang takut kepada mereka, maka dengan mudah mereka memperoleh hasil dari hadiah yang mereka terima dari para pedagang demi keselamatan dan keamanan. Mereka adalah semacam tukang-tukang pukul yang disegani.
Guru mereka, Huang-ho Lo-eng Pui Tek pernah dalam suatu perkelahian dikalahkan oleh Cia Kong Liang ketua Cin-ling-pai. Walaupun bukan merupakan permusuhan pribadi dan tidak ada dendam secara terbuka, namun kekalahan itu membuat Pui Tek mendongkol dan tidak suka kepada Cin-ling-pai, menganggap ketua Cin-ling-pai yang memang keras wataknya itu terlalu sombong. Dengan sendirinya, kedua orang muridnya juga tidak suka kepada Cin-ling-pai, maka tidak heranlah kalau mereka tadi mengeluarkan kata-kata yang nadanya tidak bersahabat terhadap Cin-ling-pai sehingga membuat Siang Wi menjadi marah sekali.
Kini, di depan meja mereka berdiri seorang gadis Cin-ling-pai yang bertolak pinggang dan memaki mereka banci pengecut di depan begitu banyak orang. Tentu saja wajah tiga orang itu menjadi merah sekali dan kemarahan mulai memenuhi hati mereka. Akan tetapi, bagaimanapun juga mengingat akan julukan Pui Tek yang masih memakai Lo-eng (Pendekar Tua), dua orang harimau itu tentu saja lebib condong merasa diri mereka pendekar dari golongan bersih daripada sebagai golongan hitam, maka ada rasa harga diri pada mereka yang membuat mereka merasa malu kalau harus ribut-ribut dan berkelahi melawan seorang gadis yang masih remaja, yang usianya tentu belum ada dua puluh tahun.
Mereka adalah jagoan-jagoan di sepanjang Sungai Kuning, tentu memalukan kalau harus berkelahi melawan seorang dara remaja. Akan tetapi didiamkan sajapun tidak mungkin setelah gadis itu memaki mereka sebagai banci pengecut.
"Bocah perempuan kurang ajar, makanlah ini!"
Bentak orang yang menyumpit kue itu dan sekali tangan kanan yang memegang sumpit bergerak, kue sepotong yang disumpitnya itu meluncur ke arah muka Siang Wi dengan kecepatan kilat!
ASMARA BERDARAH JILID 047
(↕)
"Capp!"
Dara itu menggerakkan tangan kanan dan menjepit ke arah kueh itu. Dengan tepat sekali telunjuk dan jari tengah tangan kanannya telah menjepit kueh itu dan ia melakukan ini sambil tersenyum mengejek.
"Makanlah sendiri!"
Dara itu membentak dan tiba-tiba tangannya bergerak. Kueh itu meluncur cepat ke arah muka orang yang menyambit tadi. Orang itu cepat menggerakkan sumpit untuk menjepit kembali, akan tetapi begitu bertemu sumpit, kue itu hancur dan tentu saja hancuran kue itu menyambar dan mengenai muka orang itu.
Ternyata sebelum membalas dengan timpukan, Siang Wi telah lebih dulu menggunakan tenaga jari tangan membikin kue itu remuk bagian dalamnya. Hancurnya kue menyerang mata, hidung dan mulut, membuat orang itu repot membersihkan mukanya sambil memaki-maki!
Orang kedua yang melihat saudaranya mendapat malu, sudah bangkit dan membentak marah,
"Bocah perempuan, berani kau menghina orang?"
Dan sekali kepalanya bergerak, rambut yang dikuncir tebal itu menyambar ke depan, mengeluarkan suara bersuitan dan memukul ke arah leher Siang Wi. Sungguh merupakan serangan yang aneh akan tetapi juga berbahaya karena thouw-cang (kuncir) yang digerakkan dengan tenaga sin-kang ini tak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata keras.
Orang itu sungguh terlalu memandang rendah kepada Siang Wi maka dia berani selancang itu menyerang dengan kuncirnya. Kalau tidak begitu tentu dia tidak berani bergerak secara sembrono seperti itu.
"Wuuuuttt...!"
Kuncir itu meluncur lewat ketika Siang Wi merendahkan tubuh mengelak dan begitu kuncir menyambar lewat, tangan kiri Siang Wi mencuat dan tahu-tahu kuncir itu sudah dapat dicengkeramnya! Sekali sentakan, terpaksa kepala orang itu tertunduk dan Siang Wi sudah mengangkat lututnya untuk menghajar muka orang! Tentu sedikitnya hidung orang itu akan berdarah kalau saja saudaranya tidak cepat menubruk dengan pukulan tangan ke arah punggung Siang Wi.
"Huh, pengecut curang!" bentak Siang Wi yang terpaksa melepaskan orang pertama dengan mendorongnya mundur, kemudian sambil meloncat dara itu membalik dan menangkis pukulan orang kedua.
"Dukk!"
Dua tenaga besar bertemu dan akibatnya, orang berjenggot itu menyeringai kesakitan dan meloncat ke belakang. Tak disangkanya pertemuan lengan itu membuat lengannya kesakitan dan seperti lumpuh saking kuatnya lengan kecil milik nona itu. Kini tahulah dua orang Harimau Sungai Kuning itu bahwa lawannya, biarpun wanita, biarpun masih muda sekali, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang cukup hebat.
Kini para tamu menjadi semakin gembira, dan tuan rumah, yaitu Ang-kauwsu yang juga melihat pertikaian itu diam saja karena diapun ingin melihat kesudahannya. Guru silat ini juga memiliki penyakit yang sama dengan orang-orang dari kalangan persilatan, yaitu suka melihat adu silat.
Pula, diam-diam diapun merasa tidak senang melihat sikap para jagoan Huang-ho yang terkenal kasar dan banyak lagak itu tadi menghina utusan Cin-ling-pai. Dia mengharapkan jagoan-jagoan sombong itu menemui batunya walaupun hatinya khawatir melihat bahwa disitu terdapat pula Huang-ho Lo-eng yang dia tahu amat lihai sekali.
"Budak perempuan kurang ajar! Berani engkau menghina kami di tempat umum? Hayo cepat berlutut minta maaf kalau tidak ingin menerima hajaran kami!" bentak seorang di antara dua jagoan yang mukanya terkena hancuran kue tadi.
Bagaimanapun juga, dia dan kawannya masih sungkan melawan seorang gadis, apalagi sekarang mereka berdua telah memegang senjata andalan mereka, yaitu sebatang tombak besar gagang panjang. Kalau dara itu mau minta maaf, berarti muka mereka telah tercuci, atau kalau dara itu tetap hendak melawan, berarti mereka sudah memberi kesempatan kepadanya untuk minta maaf.
Seorang seperti Siang Wi, mana mengenal minta maaf? Hatinya terlalu keras untuk mau mengalah, apalagi terhadap orang-orang yang sudah berani menghinanya dan menghina Cin-ling-pai.
Ia tersenyum mengejek dan mukanya menjadi semakin dingin, sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat.
"Dua monyet busuk, dengarlah baik-baik. Kalian yang telah menghina Cin-ling-pai dan kalau kalian kini berlutut minta ampun, barulah nonamu hendak mempertimbangkan apakah kalian dapat diampunkan. Kalau tidak, aku akan menghajar kalian!"
Ucapan ini sungguh amat hebat. Bukan hanya menantang terang-terangan di depan orang banyak itu, bahkan menghina. Mana bisa Huang-ho Siang-houw, dua jagoan itu mau menerima begitu saja?
"Bocah setan, engkau bosan hidup!" teriak seorang diantara mereka dan golok besar bergagang panjang itu menyambar dahsyat ke leher Siang Wi.
Tentu saja dara perkasa itu tidak sudi lehernya dibabat begitu saja. Ia cepat mengelak sambil membalikkan tubuh menendang meja di depannya. Kakek Huang-ho Lo-eng yang duduk di belakang meja itu cepat menghindar dengan loncatan gesit ke kanan sehingga dia tidak sampai terkena tumpahan makanan dan arak.
Akan tetapi dia bukan hanya meloncat begitu saja, melainkan cepat meraih dan dia sudah berhasil menangkap kaki meja dan menaruh meja itu di samping. Gerakan ini saja membuktikan kecepatan dan kelihaian jago tua ini.
Kini terdapat ruang agak luas bagi Siang Wi yang menghadapi dua orang lawannya. Dua orang harimau itu mulai menyerang dengan golok gagang panjang mereka. Semua orang memandang dengan tegang dan juga agak khawatir karena Siang Wi tidak mau mempergunakan pedangnya.
Dara ini tadi memang melolos sepasang pedangnya, akan tetapi bukan dicabut untuk melawan, melainkan ia letakkan di atas mejanya sendiri agar sepasang senjata itu tidak mengganggu gerakannya, kemudian ia kembali ke hadapan dua orang lawannya, melawan dengan tangan kosong.
"Anak itu terlalu sembrono!"
"Terlalu sombong bisa merugikannya."
"Tapi, ia kelihatan lihai sekali."
Demikianlah para penonton saling berbisik melihat betapa dara itu menghadapi Huang-ho Siang-houw dengan tangan kosong, padahal kedua orang lawan itu menggunakan senjata tajam yang bergagang panjang. Dua orang jagoan itu sendiri merasa kikuk dan sungkan.
"Bocah gila, hayo pergunakan pedangmu!" bentak mereka.
"Melawan dua ekor monyet tua macam kalian tidak perlu pakai pedang!" jawab Siang Wi yang memang tinggi hati.
Dua orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan hati mereka. Keduanya lalu menyerang dengan golok mereka. Senjata itu mengeluarkan suara bercuitan dan berdesing-desing, dan terbentuk dua gulungan sinar lebar yang menyambar-nyambar.
Akan tetapi, para tamu menjadi bengong ketika mereka melihat betapa dara itu menggerakkan tubuhnya dan seperti seekor burung walet saja gesitnya beterbangan di antara sambaran kedua golok itu! Bukan main indahnya gerakan dara itu dan tak terasa lagi keluar pujian dari mulut para tamu yang sudah tinggi ilmunya.
Hui Song dan Sui Cin baru saja menyelinap ke dalam rombongan tamu, memilih tempat di sudut. Mereka mempergunakan kesempatan selagi keadaan menjadi kacau karena perkelahian itu, dimana semua tamu mencurahkan perhatiannya ke arah perkelahian untuk menyelinap masuk dan tanpa menemui tuan rumah mereka sudah mengambil tempat duduk di sudut yang agak tersembunyi oleh satu diantara tiang-tiang penyangga bangunan darurat itu. Mereka juga tertarik menonton ke arah perkelahian.
"Hemm, berani benar gadis itu menghadapi pengeroyokan dua orang lawan yang bersenjata panjang dengan tangan kosong saja." kata Sui Cin setelah melihat dengan teliti dan mendapat kenyataan bahwa dua orang bersenjata golok panjang itu tak boleh dipandang ringan.
"Sumoi takkan kalah," kata Hui Song lirih dan Sui Cin terkejut.
"Sumoimu...?"
Ia memandang lebih teliti dan kini iapun mengenal gerakan kaki dan tangan gadis itu, walaupun kadang-kadang gerakan itu berobah aneh. Masih ada dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai dalam gerakan silat gadis itu, akan tetapi sudah bercampur dengan ilmu silat lain yang tidak dikenalnya.
Memang sesungguhnyalah. Setelah menikah dengan Cia Kong Liang, Bin Biauw mendapat banyak petunjuk dari suaminya dan iapun mempelajari dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai yang kokoh kuat. Maka, ketika ia melatih Siang Wi, tentu saja dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai juga diajarkan, bahkan Siang Wi juga menerima gemblengan dari ketua Cin-ling-pai sendiri.
"Ya, namanya Tan Siang Wi," jawab Hui Song sederhana.
Dia tidak merasa girang bertemu dengan sumoinya. Pemuda ini tahu benar bahwa sumoinya itu sudah sejak lama sekali menaruh perhatian kepadanya dan dalam sikap dan gerak-gerik dara yang pendiam itu terdapat tanda-tanda bahwa Siang Wi mencintanya.
Hal inilah yang membuat dia merasa tidak enak kalau bertemu dengan sumoinya. Diapun menyayang sumoinya ini, akan tetapi sumoinya berwatak keras, terlalu berani dan agak angkuh. Dia tidak mencinta sumoinya, maka merasa semakin tidak enak setelah tahu bahwa sumoinya itu jatuh cinta kepadanya.
"Hemm, ia cantik dan gagah!" Sui Cin memuji. Memang gadis itu manis sekali, terutama pinggangnya amat ramping.
"Ya, tapi keras hati dan galak."
ASMARA BERDARAH JILID 048
(↕)
Sui Cin menahan senyum dan mengerling ke arah wajah pemuda itu, akan tetapi Hui Song tidak sedang bergurau melainkan memandang ke arah perkelahian dengan wajah serius dan tegang. Bagaimanapun juga, memang Sui Cin benar. Terlalu sembrono menghadapi dua lawan tangguh yang bersenjata panjang itu dengan tangan kosong.
"Haaaiiiittt...!"
Tiba-tiba Siang Wi memekik, tangan kanan memukul gagang tombak lawan yang menyerang dari kanan sedangkan kaki kiri mendahului lawan kedua, menendang kearah dada.
"Bukk... plakkk!"
Lawan pertama terpental goloknya sedangkan lawan kedua tidak mampu menghindar. Serangan atau gerakan Siang Wi memang hebat, seperti seekor burung rajawali mementang sayap, kedua lengannya berkembang dan kaki kirinya menendang ke depan selagi tubuhnya masih melayang. Orang yang kena tendang dadanya itu terbanting roboh dan sebelum orang kedua hilang kagetnya, kaki kanan menggantikan kaki kiri yang turun untuk menyambar ke depan.
"Desss...!" Orang kedua juga terbanting karena perutnya dicium ujung sepatu Siang Wi.
Dua orang itu meringis kesakitan dan merayap bangun, sementara itu Huang-ho Lo-eng yang melihat betapa dua orang muridnya dirobohkan seorang gadis muda, mukanya berobah merah sekali. Dia sudah bangkit berdiri, mengebutkan ujung jubahnya dan melangkah maju menghampiri Siang Wi.
Akan tetapi sebelum guru dan dua orang muridnya ini sempat bicara atau bergerak, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang segera menghadapi tiga orang itu sambil menjura.
"Sam-wi-eng-hiong, saya mewakili tuan rumah menyampaikan permohonan maaf, harap sam-wi menyudahi urusan ini sampai disini agar tidak mengganggu jalannya pesta."
Kemudian pemuda itu membalik dan menghadapi Siang Wi sambil menjura pula,
"Nona, harap suka mundur dan mengakhiri keributan ini."
Tanpa setahu orang, pemuda itu berkedip. Sejenak Siang Wi terbelalak. Tentu saja dia mengenal suhengnya! Akan tetapi sebeium dia menegur, Hui Song mengedipkan mata, dan Siang Wi yang cukup cerdik itu maklum bahwa suhengnya tidak ingin dikenal orang. Maka iapun mengangguk dan kembali ke mejanya, menggantung kembali siang-kiamnya di punggung dan duduk tenang, bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Tentu saja Huang-ho Lo-eng masih penasaran. Dua orang muridnya dirobohkan seorang anak perempuan di tempat pesta, hal ini sungguh amat menyakitkan hati dan menjatuhkan pula martabat dan nama besarnya, maka dia harus turun tangan membersihkan noda itu. Akan tetapi, kini muncul pemuda yang mewakili tuan rumah minta agar keributan jangan dilanjutkan. Selagi kakek ini merasa serba salah, tiba-tiba terdengar seruan di luar.
"Paduka Jenderal Ciang telah tiba...!"
Mendengar ini, semua orang menengok keluar dan Ang-kauwsu sendiri bersama beberapa orang penyambut bergegas lari keluar untuk menyambut datangnya tamu agung ini. Seorang jenderal adalah seorang perwira yang berpangkat tinggi, apalagi datang dari kota raja, maka tentu saja merupakan seorang tamu agung yang paling terhormat.
Hui Song dan Sui Cin sudah duduk kembali dan mereka berdua menandang penuh kewaspadaan. Seperti sudah mereka rencanakan ketika keduanya pergi menghadap Jenderal Ciang, mereka berdua bersama belasan orang pengawal pilihan menyelundup ke tempat pesta dan akan berjaga-jaga kalau ada orang melakukan serangan gelap.
Sementara itu sang jenderal sendiri datang dikawal enam orang pengawal pilihan yang dipercaya. Agaknya belum puas dengan semua ini, Jenderal Ciang juga mengenakan lapisan baja di balik baju kebesarannya sehingga tubuhnya akan kebal terhadap serangan senjata tajam.
Saat yang sudah dinanti-nantikan banyak orang ini tiba! Tentu saja terjadi ketegangan hebat di dalam dada mereka yang memiliki kepentingan dengan kedatangan jenderal ini.
Seperti telah mereka sepakati, Sui Cin memasang mata memandang ke kiri dan Hui Song ke kanan, siap untuk turun tangan kalau melihat orang yang hendak melakukan serangan gelap kepada jenderal itu. Tadipun mereka sudah memasang mata mencari-cari, akan tetapi mereka tidak melihat adanya tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang mereka kenal, walaupun ada beberapa orang dari Hwa-i Kai-pang mereka lihat menyelinap dalam pakaian biasa atau menyamar sebagai orang biasa, bukan pengemis. Mereka merasa yakin bahwa diantara banyak tamu itu terdapat tokoh-tokoh kaum sesat yang lihai.
Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu ketika jenderal itu datang sampai diantar oleh tuan rumah menuju ke kursi kehormatan di panggung yang agak tinggi. Sementara itu, Siang Wi yang tadi memandang ke arah suhengnya, merasa heran dan alisnya berkerut ketika ia melihat suhengnya berbisik-bisik dengan seorang gadis yang cantik jelita!
Mereka berbisik-bisik demikian akrabnya dan perasaan tidak senang memenuhi hati gadis yang jatuh cinta ini. Perasaan cemburu membakar dadanya dan biarpun tadi ia mengerti akan isyarat suhengnya dan iapun berdiam diri, kini perasaan cemburu membuat ia cepat bangkit berdiri, meninggalkan teman-teman semeja dan langsung saja menghampiri Hui Song dan Sui Cin yang duduk di sudut, di belakang tiang.
"Suheng, siapakah ia ini?" tanyanya menuding ke arah muka Sui Cin dengan alis berkerut dan mulut cemberut mata menantang.
"Ssttt... diamlah, sumoi..." Hui Song berbisik kaget, lalu menarik tangan sumoinya sehingga gadis itu terduduk di kursi kosong dekatnya. "Kau ikut menjaga keselamatan jenderal itu, jangan banyak tanya..."
"Tapi... tapi siapa perempuan ini...?"
Siang Wi masih berbisik dan matanya mengerling ke arah Sui Cin dengan wajah membayangkan ketidak puasan.
"Diam kau, cerewet!"
Sui Cin balas menghardik dengan suara berbisik. Siang Wi terkejut setengah mati dan mukanya menjadi pucat lalu merah seperti dibakar. Hatinya panas mendengar ada orang berani bersikap seperti itu menghardiknya dengan kasar. Tentu saja ia hendak membalas akan tetapi pada saat itu terdengar ledakan-ledakan keras dan apipun berkobar!
"Kebakaran! Kebakaran...!"
Para tamu menjadi panik dan semua orang bangkit berdiri, ada yang mulai lari ke sana-sini, berdesak-desakan dan keadaan menjadi semakin kacau-balau ketika terjadi perkelahian di sana-sini.
Sui Cin dan Hui Song sudah meloncat ke tengah, mendekati Jenderal Chiang. Ternyata para pengawal sudah mulai berkelahi melawan beberapa orang diantara tamu dan kini dari luar bermunculan tokoh-tokoh Cap-sha-kui!
Sui Cin mengenal Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo dan Tho-tee-kwi. Mereka ini tadi menerjang maju seperti berlomba hendak membunuh Jenderal Ciang.
Akan tetapi para pengawal, baik yang enam orang maupun yang belasan orang yang penyamar, menyambut mereka. Betapapun juga, saking lihainya para penyerang, masih ada senjata rahasia menyambar dan mengenai dada sang jenderal, akan tetapi karena pembesar itu memakai perisai di balik bajunya, senjata itu mental kembali. Sebelum para penyerang yang jumlahnya ada dua puluh orang itu dapat mengepung sang jenderal, Hui Song, Sui Cin dan diikuti pula oleh Siang Wi sudah tiba di situ.
Hui Song dan Sui Cin yang bertangan kosong mengamuk melindungi Jenderal Ciang yang juga sudah mencabut pedang panjangnya.
"Goanswe, mari keluar!" Hui Song berteriak sambil menggandeng tangan jenderal itu dengan tangan kirinya. "Sui Cin, engkau di sebelah kirinya." Dara itupun menggamit tangan kiri jenderal itu dengan tangan kanannya.
"Sumoi, kau lindungi kami keluar!" teriak pula Hui Song kepada sumoinya.
Siang Wi tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dengan patuh ia mentaati perintah suhengnya. Ia mencabut sepasang pedangnya melindungi mereka berdua yang berusaha untuk membawa Jenderal Ciang keluar dari tempat itu.
Akan tetapi, Huang-ho Lo-eng sudah meloncat menghadapi Siang Wi.
"Hemm, bocah sombong, sekarang tiba saatnya aku membalas kekalahan dua muridku!" katanya dan kakek ini menerjang ke depan.
Melihat ini, Hui Song menjadi marah. Kakek ini tidak perduli akan keributan dan hanya mengingat keperluan sendiri saja, keperluan dendam! Demikian pula Sui Cin juga marah melihat lagak kakek ini. Mereka berdua seperti telah bersepakat saja, tiba-tiba menerjang maju dan menampar ke arah Huang-ho Lo-eng.
Kakek itu terkejut ketika merasa ada angin menyambar dari kanan kiri, maklum bahwa dia diserang oleh dua orang secara hebat sekali.
"Uhhhh!" Dia mengerahkan tenaga ke dalam dua lengannya dan menangkis sambil mendorong.
"Desss...!"
Akibatnya, tubuh kakek itu terjengkang dan menimpa meja kursi. Dia memandang dengan bengong, melongo melihat bahwa yang merobohkan dia adalah seorang pemuda dan seorang gadis lain yang kini kembali menggamit Jenderal Ciang untuk keluar, dilindungi oleh Siang Wi yang memutar sepasang pedangnya.
Beberapa orang penjahat, agaknya anggauta Hek-i Kai-pang karena diantaranya terdapat Bhe Hok si gendut, hendak mencegah Hui Song membawa jenderal itu keluar. Siang Wi menyerang mereka dan dara inipun dikeroyok.
Maklum akan besarnya bahaya bagi sang jenderal kalau tidak cepat-cepat keluar, Hui Song dan Sui Cin cepat menarik tangan jenderal itu menyelinap diantara banyak orang, menangkis semua serangan dan akhirnya merekapun berhasil keluar. Setelah tiba di luar, Jenderal Ciang mengeluarkan terompet dan ditiupnya terompet itu berkali-kali.
Bagaikan datangnya air bah, bermunculanlah barisan pendam yang memang sudah sejak tadi dipasang oleh jenderal yang berpengalaman itu di sekeliling tempat itu dan tempat itupun sudah terkurung rapat!
Jenderal Ciang dengan dikawal oleh Hui Song dan Sui Cin, kini berdiri di atas batu besar, berteriak dengan suara lantang,
"Hentikan semua perkelahian di dalam! Semua penyerbu agar menyerah!"
Akan tetapi, para penjahat yang tadi menyerbu dan hendak membunuh jenderal itu, malah semakin mengamuk karena mereka merasa penasaran sekali bahwa rencana yang sudah mereka atur dengan rapi itu menemui kegagalan. Dan karena tempat itu penuh dengan orang-orang dunia persilatan, maka begitu terjadi pertempuran, orang-orang itupun banyak pula yang terseret dan berkelahi sendiri!
Tentu saja orang-orang dari golongan sesat membantu rekan-rekan mereka tanpa mereka ketahui sebab-sebab perkelahian, dan orang-orang yang merasa dirinya pendekar atau yang menentang kaum sesat segera pula melawan mereka. Hal ini membuat tokoh-tokoh lihai seperti Cap-sha-kui itu memperoleh kesempatan banyak untuk merobohkan dan membunuh orang.
"Kalian sudah dikepung ratusan orang pasukan! Kalau tidak menyerah dan melempar senjata, akan diambil tindakan kekerasan!" Kembali terdengar suara jenderal itu.
Ketika para tokoh sesat yang mengamuk di dalam itu tidak mau juga mentaati perintahnya, Jenderal Ciang lalu mengeluarkan aba-aba memerintahkan pasukannya menyerbu ke dalam.
Hui Song, Sui Cin, dan Siang Wi juga ikut menyerbu bersama pasukan karena Hui Song ingin menangkap hidup-hidup beberapa orang tokoh sesat untuk dijadikan saksi tentang pengkhianatan Liu Kim atau Liu-thaikam.
Ketika para perajurit menyerbu, suasana menjadi semakin kacau dan geger. Dan pada saat itu, terdengar suara melengking panjang dari luar tempat pesta yang berobah menjadi tempat pertempuran itu. Suara lengkingan panjang dari luar ini disusul oleh ledakan-ledakan benda yang dilempar dari luar. Begitu meledak, benda-benda yang dilempar dari luar itu mengeluarkan asap hitam yang tebal sehingga suasana menjadi semakin kacau.
"Cepat lolos dari atas...!"
Terdengar teriakan suara yang nyaring, mengatasi suara kegaduhan itu. Mendengar seruan ini, enam orang tokoh Cap-sha-kui berloncatan naik ke atas atap yang sudah dibuka dari atas.
ASMARA BERDARAH JILID 049
(↕)
Hui Song, Sui Cin dan Siang Wi melihat pula hal ini dan melihat bahwa di atas berdiri bayangan dua orang, seorang kakek tinggi kurus bertongkat dan seorang pemuda tinggi tegap. Pemuda itulah yang membantu enam orang Cap-sha-kui lolos dengan menyambar tangan mereka dan menariknya ke atas setelah mereka itu berloncatan dan hampir tidak mencapai tempat yang amat tinggi itu.
Apalagi atap itu adalah atap darurat terbuat dari bambu sehingga tidak begitu kuat dan ada bahayanya mereka akan terjeblos lagi ke bawah. Untung ada pemuda itu yang menyambut mereka dan menarik mereka keluar.
"Kejar...!"
Hui Song yang merasa penasaran itu lalu berlompatan keluar diiringkan sumoinya dan Sui Cin dan dari luar mereka lalu berloncatan naik ke atas atap, Hui Song tidak begitu bodoh untuk menyusul naik dari lubang atap itu selagi musuh-musuh yang lihai itu berada di luar lubang karena tentu mereka itu akan mudah menyambutnya dengan serangan berbahaya.
Ketika tiga orang muda perkasa itu tiba di atas atap, sebagian dari tokoh-tokoh Cap-sha-kui berloncatan ke atas genteng rumah-rumah lain, sedangkan diatas atap itu masih terdapat kakek kurus, pemuda itu dan Kiu-bwe Coa-li bersama ketua Kui-san-kok dan isterinya.
"Penjahat-penjahat keji, kalian hendak lari kemana?" Hui Song membentak dan segera menyerang ke arah pemuda tinggi tegap itu.
"Kau...? Kau seorang tokoh sesat...?"
Sui Cin juga berseru ketika ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang pernah menyelamatkannya dari malapetaka ketika ia akan diperkosa Sim Thian Bu. Akan tetapi ia hanya meloncat mendekat, tidak berani menyerang seperti yang dilakukan Hui Song.
Sementara itu, Siang Wi juga sudah mencabut sepasang pedangya kembali dan menyerang Kiu-bwe Coa-li.
"Sing-... singg... tarrr...!"
Sepasang pedang yang menyambar-nyambar itu tertahan oleh ledakan pecut ekor sembilan di tangan nenek ular yang lihai itu.
Sementara itu, pemuda yang ternyata adalah Siangkoan Ci Kang, menyambut serangan Hui Song dengan tenang, menangkisnya dari samping.
"Dukk!"
Tangkisan itu tepat menyambut pukulan Hui Song dan akibatnya keduanya terjeblos ke dalam atap yang menjadi jebol di bawah kaki mereka! Hui Song terkejut bukan main dan cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali baru dia dapat mencegah tubuhnya terjatuh ke bawah, ke dalam ruangan dimana masih terjadi pertempuran.
Dan ketika Siangkoan Ci Kang terjeblos dan tubuhnya terjatuh ke bawah, tiba-tiba saja kakek tinggi kurus itu menggerakkan tongkatnya dan tongkat itu dapat mengait kaki pemuda itu dan menempelnya sehingga pemuda itu terhindar dari jatuh ke bawah.
Bukan main cepatnya gerakan kakek tinggi kurus itu ketika tiba-tiba dia menggerakkan tongkat lagi. Tongkatnya menyelonong diantara Kiu-bwe Coa-li dan Siang Wi dan ketika sebatang pedang di tangan kiri Siang Wi bertemu tongkat, gadis ini berteriak kaget karena ada getaran hebat membuat tangannya hampir saja melepaskan pedang. Terpaksa iapun melangkah mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh kakek itu untuk berseru,
"Kita pergi!"
Hui Song menahan napas dan tidak mau mengejar ketika melihat kakek tinggi kurus, pemuda perkasa, Kiu-bwe Coa-li dan sepasang suami isteri Kui-san-kok itu berloncatan pergi. Dia tahu betapa lihainya mereka itu, terutama pemuda dan kakek tinggi kurus. Mereka berdua itu ditambah tiga orang tokoh Cap-sha-kui sungguh merupakan lawan yang terlalu berat bagi dia, Sui Cin dan Siang Wi.
Juga Sui Cin diam saja karena ia masih tertegun melihat betapa pemuda yang pernah menyelamatkannya itu ternyata adalah seorang tokoh sesat dan agaknya tepat seperti yang pernah diceritakan Hui Song kepadanya. Kakek tinggi kurus yang matanya terbuka tanpa berkedip itu tentulah yang bernama Siangkoan Lo-jin alias Si Iblis Buta dan pemuda itu tentulah puteranya.
Akan tetapi Siang Wi yang sudah hilang kagetnya, melihat mereka melarikan diri, segera berseru,
"Iblis-iblis busuk, kalian hendak lari kemana?" Dan iapun meloncat ke depan dan melakukan pengejaran.
"Sumoi, jangan kejar...!"
Hui Song berseru sambil meloncat ke depan untuk mencegah sumoinya. Mendengar suara suhengnya yang setengah membentak, Siang Wi terkejut dan menahan kakinya. Pada saat itu, serombongan perajurit yang berada di bawah melepaskan anak panah ke arah para penjahat yang melarikan diri. Akan tetapi, mereka itu hanya mengebutkan tangan dan semua anak panah runtuh ke bawah!
Sebentar saja, para penjahat itu telah berhasil meloloskan diri. Dengan bantuan pemuda itu dan ayahnya yang buta, kembali enam orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos dari kepungan pasukan yang kuat!
Hui Song merasa kecewa, akan tetapi dia teringat bahwa di bawah masih terdapat banyak penjahat, terutama orang-orang Hwa-i Kai-pang yang menyamar. Merekapun dapat dijadikan saksi, pikirnya, maka dia lalu mengajak Sui Cin dan Siang Wi untuk kembali ke dalam ruangan dimana masih terjadi pertempuran hebat.
Akan tetapi, tanpa adanya para tokoh Cap-sha-kui, akhirnya para penjahat itu dapat dirobohkan dan ditangkap. Sui Cin, Hui Song dan Siang Wi masing-masing berhasil menangkap seorang penjahat anggauta Hwa-i Kai-pang, bahkan Hui Song menotok roboh Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang gendut bertongkat yang cukup lihai itu.
Sui Cin juga menampar seorang anggauta Hwa-i Kai-pang sehingga roboh pingsan dan Siang Wi yang berpedang itu merobohkan seorang tokoh sesat dengan membacok pahanya sampai hampir buntung.
Jenderal Ciang memerintahkan agar semua tawanan itu dikumpulkan untuk dibawa ke kota raja. Gerobak-gerobak tawanan dipersiapkan dan semua tawanan, kecuali Bhe Hok si gendut, dijebloskan ke dalam gerobak-gerobak kerangkeng dengan dibelenggu kaki tangan mereka.
Hui Song yang menemui Jenderal Ciang dan minta agar tawanan yang satu ini tidak dimasukkan gerobak kerangkeng, melainkan hendak dikawalnya sendiri ke kota raja. Usul ini timbul dalam hati Hui Song ketika membayangkan kemungkinan tokoh sesat akan berusaha membebaskan para tawanan. Padahal, para tawanan itu merupakan saksi-saksi penting sekali, terutama Bhe Hok yang tahu akan semua persekutuan busuk di istana, seperti yang pernah dia dengar bersama Sui Cin ketika di gedung Hwa-i Kai-pang diadakan pertemuan dan percakapan antara para tokohnya, termasuk Bhe Hok itu.
"Sumoi, engkau lebih dahulu pergi ke Cin-ling-san, tolong beritahukan ayah bahwa setelah selesai urusan di kota raja, aku akan pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, baru akan pulang ke Cin-ling-san."
Hui Song berkata kepada sumoinya. Wajah yang manis itu nampak semakin keruh dan matanya mengerling ke arah Sui Cin. Ia belum tahu siapa adanya dara yang bersama suhengnya ini, akan tetapi dari pertempuran tadi ia melihat bahwa Sui Cin adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula.
"Akan tetapi, aku..."
Ia merasa sungkan dan malu untuk menyatakan keinginannya agar dapat selalu bersama suhengnya.
"Engkau pergilah lebih dulu dan aku akan menyelesaikan tugas kami berdua yang sudah melibatkan diri kami sejak lama."
Kembali Siang Wi memandang kepada Sui Cin dengan alis berkerut. Hui Song cukup mengenal watak sumoinya dan ia kini tahu pula betapa hati sumoinya tidak senang karena dia melakukan perjalanan berdua dengan seorang gadis lain.
"Sumoi, engkau belum berkenalan. Nona ini adalah nona Ceng Sui Cin, puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin."
Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi lalu menyipit kembali dan alisnya berkerut lebih dalam, wajahnya dibayangi kekhawatiran yang lebih besar. Kiranya gadis cantik dan lihai ini adalah puteri pendekar yang namanya sudah amat dikenalnya itu. Sungguh merupakan saingan yang amat kuat! Akan tetapi, sebagai murid isteri ketua Cin-ling-pai, iapun cukup tahu akan peraturan, maka cepat ia menjura ke arah Sui Cin.
"Kiranya enci adalah puteri Ceng-locianpwe yang terkenal itu. Maaf kalau aku bersikap kurang hormat karena belum mengenalmu."
Sui Cin tertawa geli dan mengibaskan tangannya.
"Wah, sudahlah, diantara kita tidak perlu banyak memakai sungkan-sungkan lagi."
Hui Song juga tersenyum, lega melihat sikap Siang Wi yang menghormat dan geli melihat sikap wajar Sui Cin. Diapun tertawa.
"Sumoi, nona Ceng ini baru berusia enam belas tahun, jadi, sebaiknya kalau engkau menyebutnya adik, bukan enci."
Setelah berpamit dari sumoinya dan juga dari Jenderal Ciang yang sibuk mengatur sendiri pasukannya membawa para tawanan, Hui Song lalu mengajak Sui Cin pergi sambil menggiring si gendut Bhe Hok pergi ke kota raja melalui jalan memotong.
Sui Cin tetap menunggang kudanya, Bhe Hok berjalan di belakang kuda dan Hui Song berjalan di belakangnya. Sui Cin dan Hui Song tidak merasa khawatir kalau-kalau tawanan itu akan lari atau akan memberontak karena Hui Song sudah monotok jalan darah di kedua pundaknya yang membuat kedua lengan si gendut itu tidak dapat digerakkan lagi, tergantung lumpuh di kanan kiri tubuhnya.
ASMARA BERDARAH JILID 050
(↕)
Hui Song dan Sui Cin membawa tawanan itu ke markas Jenderal Ciang begitu mereka tiba di kota raja dengan selamat. Para perwira di markas itu sudah mengenal Hui Song, maka mereka menyambut pemuda itu dan dengan gembira mendengarkan penuturan Hui Song tentang peristiwa pertempuran di rumah Ang-kauwsu.
Si gendut Bhe Hok dimasukkan dalam kamar tahanan dan dijaga dengan ketat. Sesuai dengan permintaan Hui Song, si gendut yang menjadi tawanan penting ini diperlakukan dengan baik. Hui Song sendiri mengancam bahwa kalau si gendut tidak mau membuat pengakuan di depan kaisar nanti apabila dibutuhkan, dia akan disiksa.
"Terutama, engkau akan dibiarkan kelaparan sampai satu bulan lamanya, akan tetapi kalau engkau mengaku, aku akan mintakan ampun untukmu, dan engkau akan mendapatkan makan enak, mungkin dibebaskan."
Tidak ada siksaan yang lebih menakutkan bagi si gendut Bhe Hok daripada kelaparan! Baginya, makan enak sekenyangnya merupakan kenikmatan nomor satu di dunia dan tanpa itu, hidup tidak ada artinya lagi. Maka, mendengar ancaman Hui Song itu, dia sudah mengangguk-angguk seperti burung kakak tua diberi hidangan.
Kemudian, tepat seperti yang sudah dikhawatirkan oleh Hui Song, datang berita mengejutkan bahwa pasukan Jenderal Ciang yang membawa rombongan tawanan menuju ke kota raja, di tengah perjalanan pada senja hari itu telah dihadang dan diserang oleh gerombolan penjahat, namun sebagian besar para tawanan dapat dibebaskan oleh para penyerang, sedangkan yang tidak dapat dibebaskan, telah kedapatan mati di dalam gerobak masing-masing!
Tidak ada sisa seorangpun! Ternyata para penjahat yang lihai itu telah membunuh teman-teman sendiri yang tertawan, tentu dengan maksud agar tawanan-tawanan itu tidak sampai membocorkan rahasia. Rahasia besar bahwa Liu-thaikam yang berada di balik semua kejahatan ini!
Begitu memasuki benteng dengan wajah muram, Jenderal Ciang lalu menemui Hui Song dan hatinya menjadi lega mendengar bahwa Bhe Hok, satu-satunya tawanan yang tinggal, kini sudah aman berada di dalam kamar tahanan.
"Harus dijaga keras agar dia jangan sampai mendengar bahwa tidak ada tawanan lain kecuali dia, bahwa dialah satu-satunya saksi di depan sri baginda kaisar." kata jenderal itu kepada Hui Song. "Kalau dia mendengar akan nasib para tawanan yang tidak sempat dibebaskan, tentu dia akan ketakutan dan tidak mau mengaku."
Hui Song lalu mendatangi Bhe Hok. Dengan sikap tenang dan wajar dia menanyakan bagaimana perlakuan para penjaga tahanan terhadap dirinya.
"Engkau adalah tawananku, maka akulah yang bertanggung jawab atas dirimu. Tawanan-tawanan lain yang ditawan oleh pasukan dipisahkan dan keadaan mereka tidaklah begitu menyenangkan dibandingkan dengan keadaanmu."
"Apakah... apakah Hwa-i Lo-eng juga... tertangkap?" Bhe Hok bertanya dengan penuh keinginan tahu.
Hui Song sudah mendengar berita mengejutkan lain bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu ternyata telah kedapatan tewas di dalam gedung perkumpulan itu, tidak lama setelah rombongan Jenderal Ciang tiba. Dan dia tahu apa artinya itu. Agaknya para tokoh jahat, tentu saja atas perintah Liu-thaikam, telah melakukan persiapan agar rahasianya tidak terbuka, dengan jalan membunuhi semua tawanan, juga ketua Hwa-i Kai-pang dibunuh agar pemerintah tidak akan menangkap dan memaksanya mengaku!
"Dia? Tentu saja dia ditangkap karena anak buahnya banyak yang terlibat. Akan tetapi, pemeriksaan akan dilakukan secara terpisah dan satu-satu. Maka engkau tidak perlu khawatir, mengakulah saja seperti apa adanya. Kalau engkau menyesali pengkhianatanmu dan mengaku terus terang tentang persekongkolan di bawah pimpinan Liu-thaikam, tentu engkau akan mendapat keringanan."
"Apa? Apa... Liu-thaikam...? Aku tidak... tidak mengerti..."
Hui Song tersenyum.
"Ah, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Kami sudah mendengar semua tentang persekutuan itu, tentang bagaimana Hwa-i Kai-pang dipergunakan oleh Liu-thaikam, juga tentang Cap-sha-kui menjadi antek-antek pembesar itu di bawah pimpinan seorang datuk yang bernama Siangkoan Lo-jin berjuluk Iblis Buta. Kami sudah tahu semua, dan engkau hanya tinggal membuat pengakuan saja sejujurnya. Ingat, kalau engkau membohong dan tidak mau mengaku, kamipun sudah mengetahui persoalannya dan akibatnya engkau akan disiksa."
Bhe Hok mengangguk-angguk meyakinkan sehingga legalah hati Hui Song. Pengakuan si gendut ini di depan sri baginda kaisar berarti berhasilnya tugasnya membongkar persekutuan jahat di dalam istana yang dikepalai oleh Liu-thaikam.
Sementara itu, Jenderal Ciang mengadakan hubungan dengan dua orang menteri yang pandai dan yang termasuk sebagai menteri-menteri setia yang juga dianggap sebagai saingan dan ditentang oleh Liu-thaikam.
Mereka adalah Menteri Ting Hoo dan Cang Ku Ceng. Di dalam sejarah tercatat bahwa dua orang menteri ini kelak akan menjadi pembantu-pembantu yang amat setia dan pandai dari Kaisar Cia Ceng pengganti Kaisar Ceng Tek. Jenderal Ciang mengadakan perundingan dengan dua orang menteri ini dan pada keesokan harinya, dengan usaha kedua orang menteri ini, sri baginda kaisar berkenan menerima Jenderal Ciang yang diikuti pula oleh Menteri Liang dan kedua orang menteri Ting dan Cang itu.
Tentu saja sri baginda kaisar menjadi terkejut sekali ketika mendengar pelaporan Jenderal Ciang tentang persekutuan yang hendak membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang apalagi ketika dengan terus terang jenderal itu mengatakan bahwa persekutuan itu dipimpin oleh Liu-thaikam sendiri!
"Mustahil!" Sri baginda kaisar berseru sambil menepuk lengan kursi. "Dia adalah seorang pembantuku yang paling setia. Dan apa sebabnya dia hendak membunuh kalian berdua? Tentu ada permusuhan pribadi!"
Ketika mendengar betapa kaisar agaknya malah berpihak kepada thaikam itu, Jenderal Ciang menjadi pucat wajahnya. Menteri Liang yang berlutut itu lalu berkata,
"Mohon beribu ampun, sri baginda. Sesungguhnya, tidak terdapat permusuhan apapun antara hamba dan Liu-thaikam, akan tetapi sebenarnya dia menganggap hamba dan Jenderal Ciang dan banyak yang lain sebagai saingannya karena hamba sekalian tidak mau tunduk kepadanya. Itulah sebabnya mengapa dia hendak membunuh hamba."
"Dan sudah banyak pembesar dibunuhnya, sri baginda. Dia tidak segan-segan mempergunakan para penjahat sebagai antek-anteknya. Ketika hendak membunuh Menteri Liang dan hamba, dia malah memperalat datuk-datuk sesat seperti Cap-sha-kui, dan juga mempergunakan orang-orang Hwa-i Kai-pang yang juga ikut bersekongkol dan menjadi anteknya."
Alis Sri Baginda Kaisar Ceng Tek berkerut, hatinya tidak senang.
"Jenderal Ciang, kami tahu bahwa engkau adalah seorang jenderal yang gagah dan setia, dan juga Menteri Liang adalah seorang menteri lama yang setia. Tahukah kalian betapa hebat dan berbahayanya semua cerita kalian ini? Kalau tidak benar, ini merupakan fitnah yang akan dapat membuat kalian terpaksa harus dihukum seberat-beratnya!"
"Hamba bersedia dihukum kalau pelaporan hamba tidak benar, sri baginda!" kata sang jenderal.
"Hamba juga bersedia menyerahkan nyawa kalau hamba menjatuhkan fitnah kepada siapapun juga," sambung Menteri Liang dengan suara tegas.
Mulailah Kaisar Ceng Tek merasa bimbang. Sebetulnya, sudah lama banyak pembesar yang mencoba untuk menyadarkannya akan kepalsuan Liu-thaikam, akan tetapi karena thaikam itu selalu bersikap baik dan menyenangkan hatinya, juga karena tidak pernah ada bukti penyelewengannya, kaisar merasa terlalu sayang kepada pembantu itu untuk melakukan penyelidikan secara mendalam.
Pula, kaisar yang masih amat muda itu, baru sembilan belas tahun usianya, merasa banyak dibantu oleh Liu-thaikam. Sewaktu dia melakukan perjalanan keluar dari istana secara diam-diam, thaikam itulah yang membantunya, dan urusan dalam istana dapat diselesaikan semua oleh thaikam itu dengan baik,
"Bagaimana kalian dapat memastikan bahwa laporan kalian ini bukan fitnah belaka?" kaisar mendesak.
"Penyerangan terhadap Menteri Liang di telaga disaksikan banyak orang, dan penyerangan terhadap hamba di dalam pesta Ang-kauwsu lebih banyak saksinya," jawab Jenderal Ciang.
"Kalian adalah pejabat-pejabat pemerintah. Tidak aneh kalau dimusuhi oleh kaum penjahat. Akan tetapi apa buktinya bahwa Liu-thaikam yang berdiri di belakang semua itu?"
Inilah pertanyaan yang dinanti-nanti oleh Jenderal Ciang. Dengan suara lantang namun tetap hormat dia menjawab.
"Sri baginda, hamba telah menangkapi sebagian dari para penjahat, akan tetapi ketika hamba menggiring para penjahat itu ke kota raja, di tengah perjalanan para datuk sesat menghadang, merampas tawanan dan membunuh mereka yang tidak dapat mereka rampas. Akan tetapi, masih ada seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang berhasil hamba bawa sebagai saksi. Kalau paduka berkenan, hamba dapat menyuruhnya membuat pengakuan di depan paduka."
Jenderal itu berhenti sebentar, kemudian menyambung,
"Selain itu, juga hamba dibantu oleh seorang pendekar muda yang pernah menyelamatkan paduka ketika paduka diserang oleh orang-orang Kang-jiu-pang, yaitu putera ketua Cin-ling-pai bersama seorang temannya, pendekar wanita Ceng Sui Cin."
"Hemm, bawa mereka semua menghadap!"
Kaisar memerintah, Jenderal Ciang lalu memberi isyarat kepada para penjaga di luar dan tak lama kemudian muncul Hui Song dan Sui Cin menggiringkan Bhe Hok sebagai tawanan. Mereka menjatuhkan diri berlutut dan tubuh Bhe Hok gemetar ketakutan.
Jenderal Ciang memperkenalkan dua orang muda pendekar itu dan kaisar masih ingat kepada Hui Song yang gagah.
"Hai, engkau orang muda yang gagah perkasa itu! Urusan apalagi yang membawamu terlibat dan kini dihadapkan disini?" Kaisar menegur, suaranya ramah.
"Ampun, sri baginda. Hamba melihat persekutuan busuk mengancam para pembesar setia, dan kerena persekutuan itu membahayakan pula keselamatan paduka, maka hamba berdua nona Ceng ini membantu Jenderal Ciang untuk membuka rahasia ini dan menghaturkannya kepada paduka."
Kaisar teringat lagi akan tuduhan terhadap thaikam yang disayangnya, maka alisnya berkerut lagi, hatinya kesal dan diapun berkata kepada Jenderal Ciang.
"Nah, suruhlah saksi bercerita. Awas, kalau dia berbohong, kalian semua takkan bebas dari hukuman!"
Ucapan kaisar itu untuk mengancam mereka yang memusuhi Liu-thaikam, akan tetapi malah membuat si gendut Bhe Hok semakin ketakutan dan tidak berani berbohong. Dia berlutut dan tidak berani berkutik sampai dihardik oleh Jenderal Ciang.
"Penjahat Bhe, lekas membuat pengakuan apa adanya dan jangan berbohong."
"Hamba... hamba bernama Bhe Hok dan hamba menjadi seorang diantara para pembantu Hwa-i Lo-eng ketua Hwa-i Kai-pang. Bersama rekan-rekan dari Cap-sha-kui, hamba menjadi anggauta kelompok yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin dan hamba semua bekerja untuk Liu-taijin. Hamba menerima tugas untuk membantu tokoh-tokoh Cap-sha-kui, pertama-tama untuk membunuh Menteri Liang, kemudian membunuh Jenderal Ciang. Hamba membuat pengakuan sebenarnya, berani disumpah dan berani mempertanggung jawabkan kebenaran pengakuan hamba."
Wajah kaisar sudah menjadi merah sekali. Haruskah dia mempercaya pengakuan seorang penjahat macam ini?
"Tangkap dan seret ketua Hwa-i Kai-pang kesini!" bentaknya.
"Ampun sri baginda. Hwa-i Lo-eng telah dibunuh oleh tokoh-tokoh sesat, mungkin karena mereka takut kalau-kalau ketua Hwa-i Kai-pang itu akan membuat pengakuan dan membuka rahasia kejahatan Liu-thaikam."
"Hemm, kalau begitu tangkap dan bawa Liu-thaikam kesini!" perintah kaisar.
"Hamba akan melaksanakan perintah paduka. Akan tetapi tanpa adanya lengki (bendera tanda utusan kaisar), tentu dia tidak akan percaya dan akan melawan.”
"Nih, bawa tanda dari kami!"
Berkata demikian kaisar muda itu melepaskan pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Jenderal Ciang. Benda itu adalah pusaka tanda kekuasaan kaisar, maka tentu saja sudah merupakan bukti kekuasaan yang cukup.
Dengan girang sekali Jenderal Ciang menerima pedang, kemudian membawa pasukan pengawal pergi menuju ke gedung tempat tinggal Liu-thaikam dan menangkapnya. Melihat pedang di tangan jenderal itu, Liu-thaikam tidak berkutik lagi dan dengan muka pucat tak lama kemudian dia sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki kaisar.
"Mohon paduka sudi mengampuni semua kesalahan hamba, akan tetapi sungguh hamba merasa terkejut sekali menerima panggilan paduka seperti ini. Apakah yang telah terjadi? Apakah yang dapat hamba lakukan untuk paduka?"
ASMARA BERDARAH JILID 051
(↕)
Thaikam itu hanya pura-pura saja tentunya. Dia sudah mendengar akan semua yang telah terjadi, akan kegagalan-kegagalan para anteknya dan dialah yang memerintahkan agar semua tokoh Hwa-i Kai-pang dibunuh, dan para tawanan yang tidak sempat dibebaskan juga dibunuh. Biarpun demikian, hatinya masih selalu dalam keadaan was-was maka dia sudah bersiap untuk melarikan diri, walaupun dia masih percaya akan pengaruhnya terhadap kaisar. Kedatangan Jenderal Ciang yang menangkapnya sama sekali tidak disangkanya.
"Orang she Liu, apakah yang telah kau lakukan selama ini? Mengapa engkau memperalat orang-orang jahat dan menyuruh orang-orang jahat mencoba untuk membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang?" Kaisar membentak.
Dengan mimik muka yang pandai, thaikam itu terbelalak dan memprotes dengan sikap wajar orang yang merasa difitnah.
"Ampun, sri baginda! Itu sama sekali tidak benar! Hamba telah difitnah orang! Banyak sekali orang yang merasa iri dan ingin menjatuhkan hamba karena paduka telah melimpahkan kepercayaan yang besar kepada hamba. Ini merupakan fitnah penasaran! Hamba berani bersumpah bahwa hamba setia terhadap paduka sampai mati!"
"Hemm, setia dan memelihara penjahat-penjahat sebagai kaki tanganmu?"
"Tidak, sama sekali tidak benar. Hamba bersumpah..."
"Apakah persekutuan penjahat-penjahat Hwa-i Kai-pang dan Cap-sha-kui yang dipimpin oleh datuk bernama Siangkoan Lo-jin itu bukan antek-antekmu?"
"Tidak, hamba sama sekali tidak pernah mendengar nama-nama itu, hamba tidak mengenalnya. Memang hamba merasa tidak suka kepada Menteri Liang dan Jenderal Ciang karena hamba melihat bahwa mereka itu menentang paduka, tidak taat..."
Kaisar menghardiknya dan berkata kepada Bhe Hok.
"Hai, kamu! Katakan apakah ini orangnya yang memimpin seluruh persekutuan busuk itu!"
Bhe Hok memandang kepada Liu-thaikam dengan muka pucat. Tadi dia mendengar betapa Hwa-i Lo-eng sudah dibunuh dan sekarang tinggal dia agaknya yang harus berani menjadi saksi. Akan tetapi dia tadi sudah mengucapkan pengakuannya, tidak mungkin mengingkarinya kembali, maka diapun berkata dengan suara gemetar,
"Benar, sri baginda. Dia adalah Liu-taijin yang dibantu oleh kelompok hamba semua..."
Liu-thaikam menengok dan begitu melihat wajah Bhe Hok, dia terkejut dan marah bukan main.
"Kau... kau...!" Bentaknya sambil menudingkan telunjuknya. "Engkau pengkhianat busuk! Berani engkau membawa-bawa namaku disini? Akan kusuruh cincang hancur kepalamu..."
"Cukup!" Kaisar membentak. "Tangkap pengkhianat ini dan seret ke pengadilan tinggi!"
Para pengawal maju dan menangkap Liu-thaikam yang berteriak-teriak dan meronta-ronta, memaki-maki Bhe Hok, Menteri Liang, Jenderal Ciang dan akhirnya memaki-maki kaisar pula sehingga para pengawal membungkam mulutnya dan menyeretnya keluar.
Dengan wajah murung lalu mengucapkan terima kasihnya kepada Jenderal Ciang, Menteri Liang, juga kepada Hui Song dan Sui Cin, kemudian kaisar membubarkan persidangan darurat itu.
Pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada Liu-thaikam dan ketika diadakan pemeriksaan dan penggeledahan, kaisar sendiri tertegun melihat tumpukan harta hasil korupsi dan penindasan yang dilakukan bekas pembantunya yang tadinya amat disayang dan dipercayanya itu.
Harta benda yang ditumpuk oleh Liu Kim atau Liu-thaikam itu sungguh amat besar jumlahnya. Menurut catatan sejarah, emas dan perak yang didapatkan sebanyak 251.583.600 tail, batu permata sebanyak sepuluh kilo lebih, dua stel pakaian perang dari emas, 500 piring emas, 300 pasang gelang dan cincin emas, 4000 ikat pinggang emas permata.
Dan istananya di kota raja bahkan melebihi kemewahan istana kaisar sendiri! Memang luar biasa sekali penumpukan harta yang dilakukan oleh Liu-thaikam melalui korupsi dan penindasannya itu. Tiada keduanya dalam sejarah. Kerakusannya dalam hal menumpuk harta sukar dicari bandingannya dan menjadi buah bibir rakyat sampai sepanjang sejarah. Padahal, sebelum menjadi thaikam, Liu Kim adalah seorang anak dari keluarga yang miskin dan rendah.
Setelah komplotan itu berhasil dibongkar, barulah Kaisar Ceng Tek menjadi panik dan kaisar ini lalu melakukan pembersihan diantara para pejabat tinggi. Juga dia memerintahkan Jenderal Ciang untuk mengerahkan pasukan membasmi para penjahat yang tadinya menjadi antek Liu-thaikam.
Hwa-i Kai-pang diserbu, para anggautanya ditangkap dan dihukum, gedungnya dirampas pemerintah. Akan tetapi tidak mudah bagi Jenderal Ciang untuk dapat mencari tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang bergerak seperti setan. Dengan tertangkapnya Liu-thaikam dan hancurnya komplotan itu, barulah pemerintahan Kaisar Ceng Tek yang muda itu menjadi bersih dan barulah kaisar muda itu mulai memperhatikan roda pemerintahan.
ASMARA BERDARAH JILID 052(↕)
Pemuda itu menangis sampai tersedu-sedu sambil berlutut. Dia mengepal tinju dan ingin dia meraung-raung, akan tetapi ditahannya sehingga dia hanya tersedu dan terisak. Laki-laki setengah tua yang duduk bersila di depannya membuka mata memandang dan menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara halus namun mengandung wibawa.
"Hentikan tangismu, hapus air matamu. Tidak layak membiarkan perasaan dipengaruhi pikiran menimbulkan kelemahan. Tidak ada gunanya semua itu."
Pemuda itu berhenti terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, lalu dia memandang wajah ayahnya dengan sinar mata penuh tanya dan penasaran. Pemuda itu adalah Cia Sun, sedangkan yang bersila di depannya adalah ayahnya, Cia Han Tiong.
Baru saja Cia Sun pulang ke Lembah Naga setelah melakukan perantauan ke selatan. Ketika pagi hari itu dia tiba di lembah, dia merasa heran mengapa keadaan demikian sunyinya dan mengapa pula pandang mata para petani gunung kepadanya demikian ganjil dan penuh rasa iba. Hatinya merasa tidak enak dan dia menghampiri seorang kakek petani dan bertanya mengapa mereka memandangnya seperti itu.
"Kakek Phoa, aku adalah Cia Sun, apakah kakek dan saudara sekalian telah lupa? Ha-ha, baru saja aku pergi merantau setahun dan kalian memandangku seperti aku ini orang asing bagi kalian."
Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat beberapa orang petani wanita menangis dan pergi meninggalkannya. Juga kakek itu memandang kepadanya dengan mata basah air mata.
"Kakek Phoa, apakah yang telah terjadi?"
Dia memegang lengan kakek itu dan bertanya dengan mata terbelalak, hatinya gelisah sekali.
Dan kakek itulah yang bercerita. Betapa orang tuanya didatangi penjahat, betapa banyak murid Pek-liong-pai tewas oleh para penjahat, juga ibunya tewas. Ibunya! Tewas di tangan orang jahat! Mendengar ibunya tewas, Cia Sun tidak menanti sampai kakek itu melanjutkan ceritanya. Dia sudah meloncat dan lari menuju ke pondok orang tuanya.
Didapatkannya rumah itu sunyi dan kotor dan ketika dia masuk, ayahnya duduk bersila di dalam kamar. Ayahnya nampak menjadi tua dan kurus. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis sampai ayahnya menyuruhnya berhenti menangis.
“Ayah, siapakah yang membunuh ibu?" Hanya itu yang dapat dikatakan setelah tangisnya dihentikannya.
Ayahnya tidak menjawab, hanya memandang kepadanya. Sejenak ayah dan anak ini saling pandang.
"Anakku, apakah maksudmu dengan pertanyaan itu? Hanya sekedar ingin tahu, apakah di baliknya tersembunyi dendam sakit hati?"
Cia Sun sudah mengenal watak ayahnya, bahkan sejak kecil dia bukan hanya digembleng ilmu silat dan sastera, akan tetapi juga tentang filsafat kehidupan. Akan tetapi pada saat itu hatinya terlampau sakit dan sedih mendengar bahwa ibunya tewas oleh musuh, maka dia tidak mampu lagi mengendalikan perasaannya.
"Akan tetapi, ayah. Sebagai seorang anak, aku mendengar bahwa ibuku dibunuh orang. Apakah aku harus diam saja menerima nasib? Lalu menjadi anak macam apakah aku ini? Mana kebaktianku terhadap ibu kandungku, ayah?"
"Hemm, dengan lain kata-kata, engkau menanyakan pembunuh ibumu untuk dapat mencarinya lalu membalas dendam, membunuhnya untuk membalas sakit hatimu?"
"Bukankah hal itu sudah wajar saja, ayah? Kalau sebagai anak ibu aku tidak mencari pembunuhnya dan membalas sakit hatinya, apakah ibu tidak akan menjadi setan penasaran?"
"Cia Sun!"
Ayahnya membentak dan dalam suara pendekar ini terkandung wibawa yang kuat. Nadanya bukan kemarahan, melainkan memperingatkan dan tegas sekali.
"Dengarlah baik-baik, buang dulu semua nafsu yang memenuhi batinmu. Cia Sun, bukalah mata dan lihatlah. Apakah engkau mengira bahwa ibumu yang telah meninggal dunia itu kini menjadi setan penasaran yang haus darah, yang akan menyeringai kegirangan melihat anak kandungnya menjadi pembunuh? Serendah itukah engkau menilai ibumu?"
Tentu saja Cia Sun terkejut sekali dan dia mengangkat muka memandang wajah ayahnya dengan mata terbelalak.
"Tidak...! Tentu saja tidak! Bukan begitu maksudku, ayah!"
"Kalau bukan begitu maksudmu, maka jangan membawa-bawa nama ibumu jika engkau berniat membunuh orang! Apa yang akan kau lakukan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan ibumu, melainkan keluar dari gejolak batinmu yang diracuni dendam kebencian! Engkau hanya akan menodai dan mengotorkan jiwa ibumu kalau engkau menyeret ibumu ke dalam alam pikiranmu yang penuh dendam kebencian itu."
Getaran dalam suara ayahnya meredakan kemarahan yang tadi berkobar di dalam batin Cia Sun. Sejenak dia termenung, diam-diam mengakui bahwa memang kemarahannya itu timbul karena dia merasa kehilangan ibunya yang tercinta, jadi dialah yang sakit hati, dialah yang mendendam karena orang merenggutkan sesuatu yang mendatangkan rasa senang di hatinya.
"Baiklah, ayah. Akan kucoba untuk mengerti apa yang ayah maksudkan. Akan tetapi apakah yang telah terjadi? Apakah kesalahan ibu maka ia sampai dibunuh orang?"
Cia Han Tiong menarik napas panjang.
"Dendam... dendam... balas-membalas, baik membalas budi maupun membalas sakit hati, dendam dan kebencian telah mengotorkan batin manusia dan membuat dunia menjadi sekeruh ini. Mereka datang karena dendam kepada keluarga kita, dendam kepada kakekmu dan kamilah yang menerima akibatnya. Mereka datang menyebar maut karena dendam, ibumu dan belasan orang muridku menjadi korban. Nah, bagaimana pendapatmu tentang mereka itu, anakku? Bukankah mereka itu merupakan orang-orang tersesat yang mabok dendam kebencian yang hanya ingin memuaskan nafsu kebencian hati mereka saja dengan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak mereka kenal?"
Cia Sun mengepal tinju dan mengangguk.
"Mereka itu orang-orang jahat!" jawabnya.
"Bagus!" kata ayahnya. "Dan sekarang engkaupun ingin menjadi seperti mereka, hendak mencari orang-orang yang tidak kau kenal untuk kau bunuh hanya untuk memuaskan nafsu kebencianmu?"
Cia Sun terkejut, tak mengira bahwa ke situ maksud ayahnya.
"Tapi, ibu telah mereka bunuh, juga para suheng!"
"Rasa penasaran dalam pemikiran seperti itulah yang menimbulkan dendam mendendam dan bunuh-membunuh, menciptakan lingkaran setan dari mata rantai karma. Apakah engkau menghendaki dirimu terikat oleh rantai itu, sampai ke cucumu, terbelenggu rantai karma, terus-menerus dicekam dendam balas-membalas tiada akhirnya? Mata rantai itu kini berada di tanganmu, mau kau patahkan ataukah mau kau sambung, terserah kepadamu. Kalau engkau hendak menyambungnya, engkau mendendam, mencari pembunuh ibu dan para suhengmu, kemudian engkau membunuh mereka.
Apakah kau kira sudah selesai sampai disitu saja? Kalau murid atau keturunan mereka mempunyai batin yang sama denganmu, merekapun akan mendendam dan akhirnya mencarimu untuk membalas dendam kepada muridmu atau keturunanmu. Terus-menerus begitu, tiada habisnya. Sebaliknya, kalau engkau hendak membebaskan diri dari lingkaran setan karma itu, engkau diam dan menghapus dendam sekarang juga dan rantai belenggu itupun patah."
Cia Sun termenung, lalu menarik napas panjang.
"Ayah, dari ajaran ayah yang lalu, aku dapat mengerti akan penjelasan ayah tadi. Akan tetapi bagaimanapun juga, aku yang masih muda ini, hanyalah seorang manusia biasa ayah, yang tidak terlepas dari perasaan senang susah malu marah dan takut. Menghadapi kematian ibu dan para suheng seperti ini, melihat orang-orang menyebar maut di dalam keluarga kita, bagaimana mungkin aku melupakannya dan mendiamkannya begitu saja?"
"Andaikata engkau berada disini ketika peristiwa itu terjadi dan engkau membela ibumu dan suheng-suhengmu, seperti yang kulakukan juga, hal itu adalah wajar. Akan tetapi, menanam kebencian dalam hati merupakan racun bagi batin sendiri, anakku."
"Biarkan aku melihat kenyataan yang tumbuh dalam batin sendiri, ayah. Harap ayah suka menceritakan bagaimana peristiwa ini dapat terjadi, bagaimana asal mulanya."
"Mereka yang datang menyerbu itu berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Mereka adalah cucu murid dari mendiang Hek-hiat Mo-li, seorang datuk sesat yang dahulu tewas di tangan kakekmu. Mereka berdua datang jauh dari negeri Sailan untuk mencari mendiang ayah Cia Sin Liong, untuk membalas dendam. Akan tetapi karena ayah yang mereka cari-cari telah meninggal dunia, mereka lalu menimpakan dendam mereka kepada keturunan ayah yaitu aku sekeluarga. Dan dalam perkelahian itu, para suhengmu dan ibumu jatuh sebagai korban dan tewas."
"Dan kedua iblis itu?"
"Mereka telah pergi dalam keadaan luka."
"Tapi kenapa mereka tidak membunuh ayah? Bukankah ayah merupakan musuh utama, sebagai putera kong-kong? Mengapa mereka hanya membunuh ibu dan para suheng, dan melepaskan ayah?"
Cia Han Tiong menghela napas.
"Mereka tidak mampu melakukan hal itu karena mereka terluka olehku dan tidak mampu melawan lagi."
Cia Sun memandang dengan mata terbelalak.
"Ayah telah mengalahkan mereka?"
Ayahnya mengangguk.
"Mereka itu lihai bukan main akan tetapi aku berhasil mengalahkan mereka."
"Dan melukai mereka?"
"Kalau mereka kalah dan terluka... bagaimana mereka dapat lolos dan pergi dari sini?"
"Aku telah melepaskan mereka dan membiarkan mereka pergi."
"Apa?" Cia Sun terlonjak berdiri, memandang kepada ayahnya dengan muka pucat. "Ayah telah mengalahkan dan melukai mereka, akan tetapi ayah... membiarkan mereka pergi begitu saja selagi jenazah ibu dan para suheng masih menggeletak di depan kaki ayah?"
Ayahnya mengangguk.
"Aku sendiripun hanya seorang manusia biasa, anakku, dan akupun tidak luput daripada nafsu amarah dan sakit hati. Akan tetapi aku melihat dengan jelas betapa aku sekeluarga akan terperosok semakin dalam kalau aku menuruti nafsu kebencian, maka aku sengaja membiarkan mereka pergi."
"Dan dengan perbuatan itu ayah merasa yakin bahwa ikatan dendam itu akan putus? Bagaimana kalau dua iblis itu masih penasaran karena ayah dan aku masih belum tewas dan mereka berusaha untuk membunuh kita? Apakah kitapun harus diam saja menyerahkan nyawa untuk dibunuh?" Dalam pertanyaan pemuda ini masih terkandung rasa penasaran yang amat besar.
Mendengar pertanyaan puteranya itu, Cia Han Tiong menahan senyum, menghela napas dan menggeleng kepala.
"Aku percaya bahwa merekapun telah insyaf akan kebodohan mereka dan merasa menyesal sekali. Dan andaikata benar seperti yang kau katakan tadi, andaikata mereka itu pada suatu hari datang dan berusaha untuk menyerang dan membunuh kita tentu saja kita akan melawan mereka."
"Hemm, bukankah itu sama saja namanya, ayah? Kitapun akan menggunakan kekerasan apabila diserang dan kalau mereka itu lihai, berarti mereka atau kita yang akan tewas dalam perkelahian itu?"
"Tidak, anakku. Hal itu sudah menjadi berbeda dan lain lagi. Kalau kita diserang orang, berarti kita terancam bahaya dan sudah menjadi hak dan kewajiban kita untuk melindungi dan membela diri berusaha melepaskan diri daripada ancaman bahaya. Dalam pembelaan diri ini tidak terkandung kebencian."
Han Tiong menatap tajam wajah puteranya dan merasa prihatin karena dia dapat melihat betapa rasa penasaran yang amat besar mencekam hati puteranya dan bahwa dendam masih meracuni hati puteranya.
"Ingat, anakku. Kegagahan sejati berarti mengalahkan cengkeraman hawa nafsu diri sendiri yang meracuni batin. Tidak ada orang lain yang akan dapat membersihkan batin sendiri dari cengkeraman beracun nafsu dendam kalau bukan kewaspadaan dan kesadaran sendiri."
ASMARA BERDARAH JILID 053(↕)
Cia Sun tidak membantah lagi, akan tetapi dia masih merasa penasaran dan untuk melapangkan hatinya, dia lalu barpamit dan meninggalkan ayahnya untuk menghirup udara segar di luar rumah yang kini kehilangan keindahan dan daya tariknya baginya itu.
Dia pergi ke kuburan ibunya dan di depan kuburan yang masih baru itu dia tidak dapat menahan lagi kesedihannya dan menangislah pemuda yang biasanya tabah ini tersedu-sedu. Mengingat betapa ibunya masih segar bugar dan bergembira ketika dia meninggalkannya setahun yang lalu dan kini telah tiada, apalagi mengingat betapa ibunya yang dianggapnya sebagai seorang wanita paling lembut, paling baik dan paling mulia di dunia ini tewas terbunuh oleh orang jahat, hatinya terasa sakit sekali dan dendam semakin tumbuh dalam hatinya.
Memang, kedukaan, kemarahan yang menimbulkan kebencian, semua itu muncul dalam batin apabila pikiran mengingat-ingat segala hal yang telah lewat, menghidupkan segala peristiwa dan pengalaman yang lalu itu dalam ingatan, memperbesar rasa iba diri melalui penonjolan si aku yang dibikin susah atau tidak disenangkan.
Makin mendalam pikiran mengingat-ingat, makin berkobarlah nafsu kedukaan dan amarah, membuat kebencian menjadi semakin subur pula. Kebencian timbul dari ingatan. Kebencian adalah ingatan itu sendiri yang disalahgunakan oleh si aku. Tanpa adanya ingatan, tanpa adanya si aku yang mengingat-ingat, takkan ada kebencian.
Sampai hari berganti malam, Cia Sun belum meninggalkan makam ibunya dan para suhengnya yang tewas dalam tangan musuh. Dia duduk bersila, tidak menangis lagi akan tetapi hatinya diliputi penuh duka dan dendam.
Makin dia membayangkan kehidupan yang lalu di samping ibunya, makin dia mengingat akan kematian orang yang disayangnya, semakin besar pula penderitaan batinnya. Dia tidah tahu bahwa sore tadi ayahnya menjenguknya dan memandangya dari jauh tanpa mengganggunya.
Orang tua itu hanya memandang dengan sinar mata terharu, kemudian Cia Han Tiong meninggalkan puteranya, kembali ke dalam kamarnya dimana diapun duduk bersamadhi dengan tenang. Dia harus membiarkan puteranya itu sadar sendiri dan dia dapat menduga bahwa pada saat itu sedang terjadi perang batin dalam diri puteranya.
Malam itu langit tak berbintang, akan tetapi bulan purnama menerangi permukaan bumi dengan cahayanya yang lembut. Cia Sun masih tetap duduk di depan makam ibunya. Hatinya terasa seperti ditusuk ketika secara tiba-tiba dia teringat akan Sui Cin, gadis yang telah menjatuhkan hatinya, membuatnya mengalami perasaan cinta untuk pertama kali dalam hidupnya.
Ketika dia melakukan perjalanan pulang, sudah terkandung rencana dalam hatinya bahwa ibunya akan merupakan orang pertama yang akan diberi tahu tentang rahasia hatinya itu. Dia hendak menceritakan tentang Sui Cin kepada ibunya dan minta nasihat ibunya, bahkan mengharapkan ibunya akan dapat mengatur dan menyampaikan kepada ayahnya tentang hasrat hatinya terhadap puteri Pendekar Sadis.
Dia percaya bahwa ayah ibunya akan merasa girang dan akan menyetujui kalau dia minta dilamarkan Sui Cin. Bukankah diantara ayahnya dan Pendekar Sadis terdapat pertalian batin yang amat erat? Teringat akan semua itu, hatinya menjadi hancur. Kini ibunya telah tiada dan dia merasa malu kalau harus bicara tentang gadis itu kepada ayahnya. Dengan kematian ibunya, dia kehilangan banyak sekali.
Selagi Cia Sun tenggelam ke dalam lamunannya sendiri, tiba-tiba terdengar suara orang di belakangnya,
"Uh-uhh, membiarkan diri tenggelam dalam duka hanya dilakukan oleh orang-orang lemah. Kalau seorang pemuda selemah ini batinnya, tidak dapat diharapkan lagi!"
Cia Sun melompat berdiri sambil membalikkan tubuhnya. Dia terkejut sekali mendengar suara orang itu dan kini dia terbelalak memandang kepada seorang kakek yang tahu-tahu telah berdiri di depannya. Seorang kakek yang menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi besar, mukanya hitam penuh cambang bauk dan matanya melotot galak, pakaiannya jubah pendeta yang nampak bersih bahkan mewah, sepatunya baru mengkilap.
Diam-diam Cia Sun merasa heran melihat betapa kakek tinggi besar ini tahu-tahu berada di belakangnya tanpa dia mendengar sama sekali. Hal ini saja membuktikan bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi keheranannya tidak mengurangi kemarahannya. Hatinya sedang dipenuhi kemarahan dan dendam, maka kemunculan orang asing yang begitu saja mencelanya membuat pandang mata pemuda ini mengandung api berkilat.
"Iblis dari mana berani datang mengganggu ketenteramku?" bentaknya marah.
"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa mengejek. "Kiranya masih ada juga sisa api dalam hatimu. Siapa mengganggu ketenteramanmu? Hatimu jelas tidak tenteram. Apakah kalau engkau menangis seperti itu yang mati akan dapat bangkit kembali? Biar engkau menangis sampai mengeluarkan air mata darah sekalipun, ibumu tetap saja akan tinggal di dalam kuburnya, tidak akan dapat bangkit hidup kembali, ha-ha-ha!"
Tentu saja Cia Sun menjadi marah mendengar kata-kata yang kasar dan nadanya mengejek ini. Andaikata dia tidak sedang diracuni kemarahan dan kebencian, tentu kata-kata ini masih dapat diterimanya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ucapan kakek ini membuatnya marah sekali.
"Orang asing, pergilah dan jangan ganggu aku. Apa hubunganmu dengan urusan kematian ibuku?"
"Ha-ha, engkau belum tahu siapa pembunuh ibumu, hanya mendengar nama saja. Siapa tahu pembunuhnya itu adalah orang macam aku, ha-ha!"
Cia Sun terbelalak. Menurut ayahnya, pembunuh ibunya ada dua orang yang berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo.
"Apakah engkau berjuluk Hek-hiat Lo-mo?" tanyanya dengan suara membentak.
"Ha-ha, aku boleh saja disebut Lo-mo (Iblis Tua), akan tetapi apakah aku memiliki Hek-hiat (Darah Hitam) ataukah tidak, haruslah dibuktikan dulu. Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau adalah putera seorang pendekar yang berhati lemah, yang tidak memiliki kegagahan, membiarkan diri dihina dan diinjak-injak orang lain. Engkaupun seorang pemuda yang lemah dan tidak dapat diharapkan."
"Iblis tua, engkau terlalu menghina orang!" Cia Sun marah sekali dan dia sudah mengepal kedua tinjunya dan siap untuk menerjang.
"Ha-ha, engkau hendak menyerangku? Engkau memiliki keberanian itu? Cobalah, orang muda, memang aku ingin sekali melihat sampai dimana kehebatan keturunan Pendekar Lembah Naga!"
Mendengar ini, semakin besar kecurigaan hati Cia Sun. Siapa tahu kakek ini benar-benar musuh besar keluarganya yang datang lagi, untuk menyempurnakan pekerjaannya yang terkutuk itu, yakni membasmi habis keluarga Pendekar Lembah Naga.
Maka dengan kemarahan meluap, Cia Sun sudah menerjang ke depan dan menyerang kakek berjubah pendeta itu. Karena dia sudah dapat menduga bahwa lawan ini tentu lihai sekali, diapun tidak bersikap sungkan lagi dan begitu menyerang, Cia Sun sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang dan begitu tangannya meluncur dia sudah meluruskan telunjuknya yang menjadi kaku seperti baja melakukan totokan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama dibagian depan tubuh lawan. Terdengar bunyi bercuitan ketika tangannya bergerak dan totokan-totokan itu sungguh amat dahsyat!
Biarpun tubuhnya tinggi besar, namun ternyata kakek itu dapat bergerak dengan amat cepat. Tubuhnya bergerak ke sana-sini mengelak dari sambaran jari tangan Cia Sun dan mulutnya mengeluarkan kata-kata seruan,
"Ah, inikah yang disebut totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti)? Hebat, akan tetapi masih mentah!"
Dan ucapannya ini bukan hanya sekedar membual karena tujuh kali totokan itu lewat dan tidak satupun dapat mengenai tubuh kakek itu.
Diam-diam Cia Sun terkejut. Jurus-jurus serangannya tadi adalah jurus-jurus simpanan. Lawan mungkin dapat menangkisnya, akan tetapi menghindarkan diri dari tujuh kali totokan bertubi-tubi itu hanya dengan cara mengelak, sungguh amat luar biasa!
Selain resikonya terlalu besar, juga gerakan tangannya amat cepat sehingga kalau tidak ada orang yang sudah matang ilmunya sehingga gerakannya sudah otomatis dan mendarah daging, kiranya tidak akan mungkin menghindarkan diri semudah itu dari serangkaian totokannya.
Dia juga merasa penasaran dan kini mendesak dan menyerang lagi dengan Hok-mo Cap-sha-ciang! Inilah ilmu yang paling dirahasiakan dari ayahnya. Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis) adalah ilmu yang amat luar biasa dan mujijat.
Biarpun hanya tiga belas jurus, akan tetapi setiap jurus mengandung kehebatan yang sukar ditahan atau ditandingi lawan. Kalau tidak berada dalam kesulitan, mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong sendiripun jarang mempergunakan ilmu dahsyat itu. Juga Cia Han Tiong hampir tidak pernah mempergunakannya dalam perkelahian.
Sekali ini, Cia Sun yang berada dalam keadaan sedih dan sakit hati, tak dapat menahan dirinya dan sudah mempergunakan ilmu simpanan terakhir yang paling hebat diantara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya.
"Wuuuttt... singgg...!"
Angin yang amat kuat menyambar dan suara berdesing terdangar ketika tangan pemuda itu menyambar ke depan. Kakek itu mengeluarkan suara kaget dan tidak berani main-main lagi, segera mengerahkan tenaga dan menyambut dorongan kedua telapak tangan pemuda itu dengan kedua tangannya sendiri. Dia maklum bahwa serangan sedahsyat itu tidak mungkin dielakkan tanpa membahayakan nyawanya. Satu-satunya jalan adalah menyambu pukulan dahsyat itu.
"Plak! Plak!"
Tubuh Cia Sun terdorong ke belakang dan dia merasa betapa tenaganya bertemu dengan sesuatu yang lembut, kedua tangannya bertemu dengan telapak tangan lawan yang amat lunak akan tetapi dia merasa seolah-olah semua tenaganya masuk ke dalam air sehingga hilang kekuatannya, namun ternyata di balik kelembutan itu ada tenaga yang sedemikian halus dan kuatnya sehingga tubuhnya yang terdorong ke belakang. Dan begitu dia berhasil menghentikan tubuhnya yang terdorong, tiba-tiba saja kedua kakinya gemetar dan lemas sehingga dia hampir terguling.
Sebaliknya, kakek itupun membelalakkan kedua matanya yang melotot lebar.
"Ihh, ilmu setan apakah itu? Setahuku Pendekar Lembah Naga adalah seorang pendekar gagah yang tidak pernah tersesat, akan tetapi bagaimana cucunya mempunyai ilmu sesat macam itu tadi?"
Berkata demikian, kakek itu lalu menubruk maju dan jubahnya yang lebar itu berkembang. Cia Sun merasa seolah-olah dia diserang oleh seekor kelelawar raksasa yang terbang dan menyambar ke arahnya. Dia masih merasa lemas kedua kakinya, maka kini diapun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk melindungi dirinya, menangkis ke depan dari samping sambil mengerahkan tenaga sin-kang.
"Desss...!"
Dan kini, pertemuan antara lengan mereka membuat tubuh Cia Sun terpelanting! Belum hilang rasa kaget pemuda itu, kakek yang amat lihai itu sudah menubruk dengan cengkeraman kedua tangannya kearah kepala dan dada Cia Sun.
"Heh!"
Cia Sun yang masih terpelanting itu terkejut melihat dua buah lengan yang besar dan panjang menyambar dangah cengkeraman maut. Dia menggulingkan tubuhnya mengelak lalu meloncat bangun. Ternyata kedua tangan kakek itu masih melanjutkan serangannya secara aneh dan dahsyat. Akan tetapi Cia Sun cepat memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-ciang untuk membela dan melindungi dirinya sehingga semua serangan kakek itu dapat dielakkan atau ditangkis!
"Bagus!" Kakek itu memuji. "Thai-kek Sin-ciang yang baik sekali!"
Akan tetapi biarpun mulutnya memuji, kakek itu melanjutkan serangan-serangannya yang ternyata selain aneh sekali gerakannya, juga amat cepat dan kuat sehingga Cia Sun menjadi repot dibuatnya.
Pemuda ini segera merobah gerakannya, berturut-turut dia memainkan San-in Kun-hoat dan semua ilmu yang pernah dipelajarinya. Akan tetapi kakek itu dapat mengenal semua gerakannya dan memuji-muji setengah mengejek!
"Ha-ha, ilmu-ilmu silat yang tinggi dan hebat, akan tetapi masih mentah. Mana Thi-khi-i-beng? Hayo keluarkan, biar kucoba kelihaiannya!"
Cia Sun kini merasa yakin bahwa lawannya benar-benar amat lihai dan telah mengenal ilmu-ilmunya, kecuali Hok-mo Cap-sha-ciang tadi. Hal ini membuatnya merasa gugup dan ketika kakek itu menerjangnya dengan tendangan-tendangan berputar yang amat dahsyat, pahanya kena tendangan dan diapun terguling lagi.
Dan sekali ini, sebelum dia sempat bangun, tahu-tahu kakek itu telah menempelkan jari-jari tangannya ke ubun-ubun kepalanya! Cia Sun memejamkan mata, menanti datangnya maut karena dia yakin bahwa kalau kakek itu menggerakkan jari-jari tangannya, dia tidak akan tertolong lagi. Akan tetapi jari-jari tangan itu tak kunjung terasa oleh kepalanya dan diapun membuka mata. Dilihatnya bahwa jari-jari tangan itu masih menempel di ubun-ubunnya, akan tetapi kakek itu hanya memandang sambil menyeringai.
ASMARA BERDARAH JILID 054(↕)
"Iblis busuk, kalau engkau hendak membasmi kelurga kami, lakukanlah. Bunuhlah, aku tidak takut mati!"
"Ha-ha-ha!" kakek itu menarik tangannya dan melangkah mundur. "Orang muda, kalau aku ini Hek-hiat Lo-mo, apa kau kira engkau masih hidup sekarang ini?"
Sadarlah Cia Sun bahwa kakek ini sesungguhnya bukanlah musuh, melainkan seorang aneh yang agaknya tadi sengaja hendak menguji ilmu kepandaiannya. Dia tahu bahwa banyak sekali orang pandai di dunia ini yang berwatak aneh dan agaknya kakek inipun seorang diantara orang-orang aneh itu yang tidak dikenalnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun lalu bangkit duduk dan berlutut menghadap kakek itu.
"Maaf kalau saya keliru menilai orang. Siapakah locianpwe sebenarnya?" tanyanya dengan sikap hormat.
"Orang muda, siapa adanya aku tidaklah begitu penting dan baru akan kujawab satelah engkau mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku."
Kini sudah hilang rasa marah di hati Cia Sun terhadap orang aneh yang dia percaya adalah seorang sakti ini.
"Silakan bertanya, locianpwe."
"Engkau adalah putera keluarga gagah perkasa yang selalu mengutamakan kebaikan. Ibumu adalah seorang wanita gagah yang berhati mulia, dan murid-murid Pek-liong-pai adalah pendekar-pendekar yang baik hati. Akan tetapi pada suatu hari, malapetaka datang menimpa. Dua orang manusia berhati iblis telah menyebar maut, membunuh ibumu dan para suhengmu, yang sama sekali tidak bersalah terhadap dua orang itu. Nah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu. Apakah engkau ingin membiarkan saja kejahatan itu, sama sekali tidak mendendam dan tidak ingin mencari dan membunuh kedua orang itu untuk membalas dan juga untuk membasmi orang-orang yang demikian jahatnya?"
Cia Sun mengepal tinju, hatinya terasa seperti api disiram minyak, semangatnya semakin berkobar.
"Tentu saja, locianpwe! Saya akan berusaha mencari dan membunuh kedua iblis jahat itu!"
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Benarkah itu? Bukankah ayahmu, ketua Pek-liong-pai yang berhati mulia dan suka mengalah itu tidak menghendaki demikian?"
Diam-diam Cia Sun terkejut. Orang aneh ini agaknya tahu segala-galanya, bukan hanya yang menimpa keluarganya, akan tetapi juga tahu akan watak ayahnya. Tentu saja hatinya memberontak dan dia ingin mempertahankan kehormatan dan nama ayahnya, ingin membenarkan dan membela pendirian ayahnya. Akan tetapi, pada saat itu batinnya sudah terlalu panas oleh dendam sehingga pertanyaan itu bahkan membuat dia melihat lebih jelas lagi akan kesalahan dalam pendapat ayahnya itu.
"Mungkin ayah berpendapat demikian, akan tetapi saya tidak! Saya tidak ingin menjadi orang selemah itu dan membiarkan kejahatan berlangsung tanpa memberi hukuman dan tanpa membalas!"
"Jadi engkau ingin membelas dendam? Tahukah engkau siapa pembunuh ibumu?"
"Mereka adalah Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo."
"Tahukah pula engkau dimana adanya mereka?"
Cia Sun memandang bingung dan menggeleng kepala.
"Saya tidak tahu, locianpwe. Akan saya cari mereka sampai dapat!"
"Orang muda, semangatmu cukup besar, akan tetapi jangan mengira akan mudah saja mencari mereka. Mereka itu adalah pendatang dari Sailan dan kini menyembunyikan diri. Pula, andaikata dapat bertemu, belum tentu engkau dapat mengalahkan mereka. Sekarang begini. Aku tertarik kepadamu, kagum akan kelihaianmu dan kegagahanmu. Ilmu silatmu sudah hebat dan jarang ada yang akan dapat menandingimu kalau ilmu-ilmu yang kau miliki itu sudah dapat kau kuasai sampai matang. Ibarat buah engkau masih belum matang benar, dan ibarat batu giok engkau belum digosok. Maukah engkau menjadi muridku dan membiarkan aku membimbingmu selama satu tahun kemudian kutunjukkan kepadamu dimana adanya dua orang musuh besarmu itu?"
Bukan main girangnya hati Cia Sun. Tanpa banyak sangsi lagi dia lalu memberi hormat sambil berlutut dan menjawab.
"Saya bersedia dan saya mau, locianpwe!"
"Nah, kalau begitu, ketahuilah bahwa aku adalah Go-bi San-jin, seorang pertapa usil yang tidak terkenal dan mulai sekarang engkau harus ikut bersamaku tanpa memberi tahu ayahmu."
"Baik, suhu. Teecu mentaati perintah suhu," kata Cia Sun dan malam hari itu juga dari makam ibunya dia langsung saja pergi mengikuti gurunya tanpa memberitahukan ayahnya!
Dendamnya sudah sedemikian besarnya sehingga dia bersedia melakukan apa saja untuk dapat membalas kematian ibunya dan para suhengnya.
ASMARA BERDARAH JILID 055(↕)
Rumah besar di Ta-tung itu tentu akan dianggap sebagai rumah seorang hartawan atau setidaknya rumah bangsawan oleh orang-orang yang baru datang di kota itu. Penduduk Ta-tung juga hanya mengetahui bahwa rumah besar itu adalah milik seorang hartawan kaya raya bershe (marga) Siangkoan.
Akan tetapi hartawan yang kabarnya usianya sudah amat lanjut dan sakit-sakitan itu jarang kelihatan orang, kabarnya selalu bersembunyi di dalam kamarnya dan dilayani oleh belasan orang pelayan! Hanya kadang-kadang saja orang melihat kakek hartawan ini keluar rumah memasuki sebuah kereta yang mewah, entah pergi kemana. Pendeknya, pemilik rumah besar itu diketahui orang sebagai Siangkoan-wangwe (Hartawan Siangkoan) yang sudah tidak kelihatan aktip berdagang lagi, agaknya seorang kakek pensiunan yang menghabiskan sisa hidupnya dengan harta kekayaannya.
Akan tetapi kalau saja orang dapat melihat tembus tembok tebal itu dan menyaksikan apa yang seringkali terjadi di dalam rumah itu, orang akan terheran-heran dan terkejut bukan main.
Kiranya kakek hartawan yang kabarnya sakit-sakitan ini sebetulnya adalah seorang datuk kaum sesat yang ditakuti hampir semua anggauta dunia hitam. Juga para pendekar di dunia kang-ouw merasa serem kalau mendengar namanya. Dia adalah Siangkoan Lo-jin (Kakek Siangkoan) yang lebih terkenal dengan julukan Iblis Buta!
Dengan menyamar sebagai seorang hartawan tua renta yang sakit-sakitan, Siangkoan Lo-jin dapat terbebas dari gangguan, dan lolos dari pengamatan para pendekar dan juga dari pemerintah yang pada waktu itu sedang sibuk mencarinya sehubungan dengan aksi gerakan pembersihan yang dilakukan oleh para petugas pemerintah atas perintah dari kaisar sendiri.
Siangkoan Lo-jin dikenal sebagai pemimpin semua gerakan rahasia, persekutuan yang bekerja untuk kepentingan Liu-thaikam yang sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman mati itu. Akan tetapi, alat pemerintah tidak berhasil menemukannya, bahkan tidak berhasil pula menemukan para tokoh sesat Cap-sha-kui yang menjadi para pembantu utama dari Siangkoan Lo-jin. Pemerintah hanya mampu membasmi anak buah penjahat saja seperti perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang dan lain-lain.
Pada suatu malam setelah gerakan pembersihan dari pasukan pemerintah agak mereda di kota Ta-tung yang dekat dengan kota raja, di sebelah dalam rumah besar itu terjadi kesibukan. Para komandan keamanan di kota Ta-tung bisa mati berdiri kalau tahu apa yang terjadi di dalam rumah besar itu.
Kiranya pada malam hari itu, seluruh tokoh pemberontak yang dicari-cari pemerintah telah berkumpul di rumah itu. Di malam gelap itu, seperti iblis-iblis gentayangan, berturut-turut datang berkelebatan bayangan-bayangan hitam memasuki rumah besar.
Mereka ini adalah tokoh-tokoh sesat dari Cap-sha-kui yang terilbat dalam pemberontakan di bawah pimpinan Liu-thaikam yang datang untuk memenuhi panggilan Siangkoan Lo-jin yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka dalam persekutuan itu.
Menjelang tengah malam, di waktu kota Ta-tung menjadi sunyi dan sebagian besar penduduknya sudah tidur nyenyak, lengkaplah para tamu aneh yang berdatangan ke rumah besar menghadap Siangkoan Lo-jin. Di dalam ruangan di belakang, sebuah ruangan luas, mereka berkumpul, duduk menghadapi meja besar panjang dengan berkeliling.
Para pelayan Siangkoan Lo-jin yang sesungguhnya bukan orang-orang biasa melainkan anak buah yang rata-rata memiliki ilmu silat tangguh, kini mengadakan penjagaan ketat walaupun mereka yakin bahwa rumah itu aman dan tidak pernah dicurigai orang.
Ruangan itu luas dan terang sehingga nampak jelas wajah mereka yang duduk mengelilingi meja besar panjang. Di kepala meja duduk Siangkoan Lo-jin sendiri, seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dengan pakaian hitam sederhana, pakaiannya sebagai Si Iblis Buta, berbeda dari pakaian hartawan yang dikenakannya kalau dia kebetulan keluar sebagai pemilik rumah.
Kini pakaian hitamnya amat sederhana dan longgar. Kedua matanya mengerikan, nampak putihnya saja dan tak pernah berkedip. Di tangan kirinya terdapat sebuah tongkat kayu cendana hitam yang selain menjadi pembantunya dalam meraba-raba mencari jalan, juga merupakan sebuah senjatanya yang ampuh sekali.
Sebetulnya kakek buta ini memiliki sebuah rumah di Pao-ci, di Propinsi Shen-si, akan tetapi semenjak kegagalan persekutuannya yang mengabdi kepada Liu-thaikam, terpaksa dia bersembunyi di Ta-tung ini, dimana dia dikenal sebagai seorang hartawan yang tidak melakukan kegiatan apa-apa lagi.
Di sebelah kirinya duduk seorang pemuda, yaitu Siangkoan Ci Kang, putera tunggalnya. Ci Kang tidak dapat mengingat ibu kandungnya dengan baik. Seingatnya, ketika masih kecil pernah dia diasuh oleh seorang wanita yang menurut ayahnya adalah ibunya yang tewas ketika dia masih kecil. Dia hidup bersama ayahnya, digembleng oleh ayahnya yang buta dan harus diakuinya bahwa ayahnya amat mencintanya, walaupun dengan caranya sendiri yang aneh.
Seluruh ilmu kepandaian ayahnya diwariskan kepadanya dan karena memang dia amat berbakat, biarpun kini usianya baru delapan belas tahun lebih, namun dia telah dapat mewarisi kepandaian itu. Siangkoan Ci Kang duduk seperti arca, diam dan wajahnya membayangkan hati yang dingin dan tidak perdulian. Pakaiannya seperti ayahnya, amat sederhana, bahkan jubahnya terbuat dari kulit harimau yang kuat. Usianya baru delapan belas tahun, akan tetpi tubuhnya tinggi tegap.
Pada saat itu dia duduk dengan sepasang alis berkerut seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan membuat dia merasa tidak gembira. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Sejak semula, dia sudah tidak setuju mendengar ayahnya memimpin Cap-sha-kui dan para tokoh sesat untuk menjadi antek pembesar korup Liu-thaikam.
Dia tidak setuju, akan tetapi betapapun juga, sebagai seorang anak yang mencinta ayahnya, dia selalu membantu ayahnya, walaupun bantuan itu lebih merupakan perlindungan karena dia tidak pernah mau membantu kalau teman-teman ayahnya melakukan kejahatan. Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang datuk sesat, akan tetapi diapun tahu, bahkan merasa yakin, bahwa sesungguhnya ayahnya bukanlah orang jahat, melainkan orang yang diracuni dendam setelah kedua matanya menjadi buta.
Ayahnya hanya ingin menonjol, ingin menjadi orang nomor satu dalam dunia sesat, dan dia merasa kasihan melihat ayahnya yang buta, juga kagum bahwa ayahnya yang buta itu ternyata masih mampu menguasai dan memimpin orang-orang sesat yang jahat seperti iblis macam gerombolan Cap-sha-kui itu.
Berturut-turut mereka datang dan kini sudah berkumpul disitu dengan lengkap. Semua tokoh Cap-sha-kui yang pernah bekerja sama dengan Siangkoan Lo-jin. Mereka adalah Koa-i Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, dan Tho-tee-kwi Si Setan Bumi. Memang hanya enam orang ini saja dari Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) yang tersangkut dalam gerakan membantu Liu-thaikam yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin.
Sebenarnya Cap-sha-kui bukan merupakan suatu gerombolan dari tiga belas orang datuk sesat, akan tetapi mereka itu masing-masing memiliki nama besar dan keistimewaan sehingga dunia kang-ouw mengenal mereka sebagai Tiga Belas Iblis. Karena nama sebutan ini maka mereka, tiga belas orang tokoh sesat, merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengikat mereka satu sama lain, yaitu nama itulah. Sedikit banyak nama sebutan Tiga Belas Iblis itu mendatangkan semacam perasaan setia-kawan dalam hati mereka. Akan tetapi, kecuali yang enam orang ini, yang lain dari mereka tidak tertarik dan tidak mau mencampuri urusan pemberontakan itu.
Mereka sedang bercakap-cakap dengan wajah muram dan lesu, membicarakan kegagalan mereka dan hancurnya persekutuan mereka dengan ditangkap dan dihukum matinya Liu-thaikam yang merupakan sumber uang dan harapan mereka untuk dapat meraih kedudukan. Terutama sekali Siangkoan Lo-jin menjadi kecewa dan penasaran sekali.
"Brakkk!"
Dia menggebrak meja sampai ruangan itu tergetar oleh hawa pukulan yang keluar dari gerakannya.
"Sungguh membuat orang bisa mati penasaran! Bagaimana untuk pekerjaan membunuh dua orang pejabat saja sampai gagal, bukan saja gagal, bahkan membuat usaha kita hancur dan Liu-thaikam sampai terhukum mati. Kegagalan itu sendiri tidaklah begitu menyedihkan, akan tetapi telah menyeret nama kita ke dalam lumpur. Masa kita, yang sudah dikenal sebagai tokoh-tokoh utama, sampai gagal dan hancur dalam usaha membunuh dua orang pejabat saja?"
Kui-kok Lo-mo yang mewakili teman-temannya berkata dengan suara lirih, jelas bahwa diapun jerih terhadap kakek buta itu.
"Lo-jin, harap maafkan kami. Bukan sekali-kali karena kami kurang hati-hati. Semua rencana sudah kami atur sebaik-baiknya, bahkan kami dibantu oleh tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi sungguh menjemukan pemuda Cin-ling-pai itu! Dia pula yang menggagalkan rencana kita. Dia yang dahulu menyamar sebagai Menteri Liang, dan dia pula yang menyelamatkan Jenderal Ciang dari dalam pesta Ang-kawsu. Dan ternyata bahwa pesta itupun agaknya telah diatur oleh pemuda itu untuk menjebak dan memancing kami. Kalau tidak ada pemuda itu, tentu tugas kami telah berhasil dengan baik semua."
“Pemuda keparat itu pula yang telah menyelamatkan ketua Kang-jiu-pang Song Pak Lun ketika aku dan Hwa-hwa Kui-bo menyerbu!" kata Koai-pian Hek-mo dengan suara lantang dan marah.
"Bukan hanya pemuda putera ketua Cin-ling-pai, bahkan juga anak setan puteri Pendekar Sadis itu yang menghalangi pekerjaan kita!"
Suara Kiu-bwe Coa-li melengking ketika ia ikut bicara. Semua orang menengok kepadanya dan ada yang terkejut.
"Anak Pendekar Sadis? Yang mana?" tanya Kui-kok Lo-bo, terkejut mendengar disebutnya nama Pendekar Sadis oleh rekannya itu. Juga suaminya nampak kaget.
"Hi-hik, sungguh lucu kalau sampai ketua Kui-kok-pang dapat dikibuli dan tidak mengenalnya. Aku sudah menyelidiki dan aku tahu rahasianya. Ia adalah puteri atau anak tunggal Pendekar Sadis, kadang-kadang ia memakai pakaian wanita biasa, kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Ilmu kepandaian gadis itu tinggi sekali, agaknya telah mewarisi semua kepandaian ayah ibunya," kata Kiu-bwe Coa-li, agaknya gembira karena suami isteri Kui-kok-san itu tidak tahu akan rahasia itu sehingga ia yang tahu berarti lebih waspada dan lebih cerdik daripada mereka.
"Aihh, perempuan setan itukah yang kau maksudkan?" Hwa-hwa Kui-bo berseru kaget. "Apakah ia yang pernah kita jumpai di kuil Dewi Laut di Ceng-tao?"
Ia memandang kepada rekannnya, Koai-pian Hek-mo dengan mata terbelalak dan rekannya itu mengangguk-angguk, merasa ngeri. Kakek iblis ini bersama Hwa-hwa Kui-bo pernah bertemu dan bertanding melawan seorang gadis yang luar biasa lihainya sehingga mereka berdua kalah.
Kiranya gadis itu adalah puteri Pendekar Sadis! Memang, diantara para tokoh sesat yang dijuluki Cap-sha-kui, dua orang tokoh ini memiliki tingkat kepandaian yang paling rendah maka biarpun mengeroyok, mereka itu masih belum mampu menandingi Sui Cin.
"Brakkk!" kembali Siangkoan Lo-jin menggebrak meja.
Diam-diam dia menyesal sekali mengapa kedua matanya buta sehingga biarpun dia lihai akan tetapi dia tidak dapat menyaksikan sendiri semua itu dan tidak dapat mengenal kedua orang muda yang telah menggagalkan semua usahanya. Kini Liu-thaikam telah dihukum mati semua hartanya telah disita dan ini berarti bahwa usahanya yang dipupuknya selama ini berantakan sama sekali.
"Sungguh amat menjemukan! Campur tangan dua orang muda saja telah membuat semua usaha kita gagal. Ci Kang, apakah engkau juga tidak mampu menandingi orang-orang muda itu?" tiba-tiba ayah itu menoleh ke kiri, bertanya kepada puteranya.
Sejak tadi Ci Kang mendengarkan percakapan mereka dengan alis berkerut. Mendengar pertanyaan ayahnya, diapun menarik napas panjang.
"Aku sudah pernah bertemu dengan mereka, dan menurut penglihatanku, biarpun mereka itu merupakan dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi, namun tidaklah luar biasa!"
"Kalau begitu, mengapa usaha kita sampai gagal?" bentak ayahnya.
"Karena mereka berada di pihak benar dan di belakang mereka terdapat pasukan pemerintah!" jawab pemuda itu dengan singkat.
"Keparat! Tanpa sebab Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis memusuhi kita. Kita tidak boleh tinggal diam saja. Kita harus membalas dendam atas gangguan mereka ini!"
Enam orang tokoh Cap-sha-kui itu mengangguk-angguk, akan tetapi tiba-tiba Tho-tee-kwi yang sejak tadi diam saja mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. Raksasa yang tinggi besar dengan ukuran satu setengah kali orang biasa ini biarpun kasar dan liar, akan tetapi cerdik dan cukup berpengalaman sehingga dia tidak mau melakukan hal-hal yang sembono tanpa perhitungan.
“Heh, bukan aku takut menghadapi mereka, akan tetapi memusuhi ketua Cin-ling-pai dan terutama sekali Pendekar Sadis tanpa perhitungan, bukankah itu sama saja dengan menabrak batu karang dan kita mencari mati konyol!"
ASMARA BERDARAH JILID 056(↕)
Suaranya itu membuat para rekannya saling pandang dengan muka berobah agak pucat. Memang, bagaimanapun juga mereka sudah mendengar akan kehebatan tokoh-tokoh yang hendak mereka gempur itu, dan terutama sekali nama besar Pendekar Sadis membuat mereka harus menghitung sampai seratus kali sebelum turun tangan memusuhinya.
"Dalam hal ini, nama Cap-sha-kui tersangkut. Kalau kalian semua sebanyak tiga belas orang maju, apakah masih takut juga? Dan aku sendiripun tidak akan tinggal diam. Setidaknya, anakku Ci Kang akan mewakili aku untuk menghadapi anak-anak ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."
"Tidak, ayah, aku tidak mau!"
Ucapan Ci Kang ini membuat semua orang terkejut dan para tokoh Cap-sha-kui memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda yang berani membantah ayahnya itu. Suasana menjadi sunyi sekali selama beberapa detik setelah Ci Kang mengeluarkan bantahannya, kesunyian yang mendebarkan hati.
"Apa...? Apa kau bilang tadi, Ci Kang?"
Akhirnya terdengar suara Siangkoan Lo-jin, lambat dan lirih, akan tetapi penuh dengan kemarahan yang ditahan-tahan.
Siangkoan Ci Kang tetap tenang saja walaupun dia tahu bahwa ayahnya dan sekutu ayahnya itu tentu akan marah menghadapi pembangkangannya.
"Aku tidak mau mewakili ayah untuk memusuhi Cin-ling-pai dan keluarga Pendekar Sadis."
Terdengar suara keras disusul meluncurnya sinar hitam dan tahu-tahu dinding di belakang tempat Ci Kang duduk berlubang disambar ujung tongkat kayu cendana. Kalau bukan Ci Kang, agaknya bukan dinding yang berlubang, melainkan tubuh orang yang telah berani membantah dan membangkang terhadap kehendak Si Iblis Buta itu.
Melihat betapa tongkat itu menyambar cepat sukar diikuti pandang mata dan betapa besar bahaya maut mengancam kalau diserang oleh kekek buta itu, enam orang Cap-sha-kui diam-diam bergidik. Hebat bukan main kepandaian kakek buta itu dan mereka merasa gentar untuk menghadapinya sebagai lawan, walaupun mereka juga tahu bahwa dengan majunya mereka berenam, apalagi kalau lengkap tiga belas orang, kakek buta itupun belum tentu akan mampu melawan mereka.
"Ci Kang, apa artinya ucapanmu itu? Apakah engkau akan menjadi anak durhaka, mengkhianati ayahmu sendiri?"
"Tidak, ayah. Akan tetapi sejak dahulupun aku sudah tidak setuju dengan persekutuan ini. Ayah bermain api terlalu besar dan berbahaya dan kegagalan yang sudah semestinya menjadi peringatan agar ayah menghentikan semua kegiatan yang tidak sehat itu. Aku tidak suka melihat ayah melakukan kejahatan dan mengumpulkan orang-orang jahat untuk bekerja sama."
"Brakkk!"
Ujung tepi meja itu hancur luluh dicengkeram tangan Siangkoan Lo-jin, sedangkan tangan sebelah yang memegang tongkat nampak gemetar. Kakek buta ini marah bukan main.
"Ci Kang, aku sudah tua dan aku sudah mempunyai rencana untuk mengundurkan diri dan mengangkat engkau sebagai penggantiku, memimpin para rekan di dunia hitam. Engkau harus lebih berhasil daripada aku, anakku, dan..."
"Maaf, ayah. Aku tidak sanggup, dan aku tidak mau melumuri hidupku dengan kejahatan dalam bentuk apapun juga. Aku tidak mau mengganggu orang lain..."
"Tutup mulutmu! Kau kira selama ini engkau makan apa kalau tidak hasil pekerjaan ayahmu? Kau kira dari mana kita memperoleh semua harta kekayaan..."
Kakek itu menahan diri karena baru dia teringat bahwa disitu terdapat orang--orang lain yang mendengarkan sehingga tidak semestinya dia membuka semua rahasia keluarganya.
"Ayah, aku tidak menghendaki semua harta itu. Aku lebih baik hidup miskin dan tidak mempunyai apa-apa daripada harus mendapatkan harta kekayaan melalui kejahatan."
"Sombong engkau! Katakan saja engkau jerih dan takut terhadap Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis, engkau takut menghadapi manusia-manusia sombong yang menamakan diri mereka kaum bersih, golongan putih atau para pendekar. Engkau pengecut, penakut..."
"Aku tidak takut kepada siapa juga, ayah. Akan tetapi kurasa penghidupan para pendekar itu jauh lebih bersih dari pada penghidupan kaum sesat..."
"Anak durhaka...!"
Tongkat hitam itu kini berkelebat menyambar ke arah kepala Ci Kang dengan pukulan maut yang amat dahsyat. Akan tetapi pemuda itu sudah mampu mengelak dan melempar diri ke belakang sehingga dia terjengkang, akan tetapi dengan berjungkir balik dia sudah meloncat bangun dan berdiri kembali.
Akan tetapi ayahnya yang menjadi semakin marah karena serangannya gagal, telah menerjangnya lagi dengan tongkatnya, kini melakukan serangan yang lebih hebat lagi. Biarpun buta, namun Siangkoan Lo-jin memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya, jauh lebih tajam daripada orang lain, sehingga dalam menghadapi lawan, dia sepenuhnya bergantung kepada pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan dan mengetahui dimana lawan berada! Melihat ayahnya sudah nekat dan menyerangnya mati-matian, kembali Ci Kang mengelak dan meloncat agak jauh dekat pintu.
"Ayah!" teriak Ci Kang penasaran. "Ayah sendiri dahulu menentang kejahatan dan karena dibikin buta, ayah lalu berubah dan menjadi pemimpin para datuk sesat. Kalau ayah hendak memaksaku menjadi penjahat, tidak cukup ayah membikin buta, akan tetapi harus lebih dulu membunuhku!"
"Keparat, kalau begitu aku akan membunuhmu!"
Siangkoan Lo-jin yang merasa kecewa dan menjadi marah sekali itu sudah meloncat kearah puteranya dan menusukkan tongkatnya. Akan tetapi Ci Kang sudah menguasai semua ilmu ayahnya, maka diapun tahu akan kehebatan serangan itu, dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke kiri dan ketika dia turun ke atas lantai, kedua kakinya tidak mengeluarkan bunyi.
Pemuda ini telah mempergunakan gin-kang yang paling hebat sehingga tubuhnya menjadi ringan sekali dan disitu dia berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak, bahkan pernapasannyapun ditahan dan diatur sehingga tidak mengeluarkan bunyi. Dia tahu akan kelemahan ayahnya yang hanya mengandalkan pendengaran, maka kini, setelah dia tidak mengeluarkan bunyi, ayahnya juga berdiri bingung, tidak tahu kemana perginya Ci Kang!
"Anak durhaka, jangan lari kau! Dimana engkau? Kurang ajar! Heii, kalian ini apakah sudah berobah menjadi patung semua? Hayo bantu aku menangkap dan membunuh anak durhaka itu!"
Teriakan ini ditujukan kepada enam orang Cap-sha-kui yang sejak tadi hanya duduk diam saja dengan penuh perhatian dan kegembiraan melihat bentrokan antara ayah dan anak itu.
Kini, mendengar bentakan Siangkoan Lo-jin mereka serentak bangkit. Akan tetapi mereka merasa ragu-ragu. Mereka mengenal Ci Kang, dan selalu mereka segan kepada pemuda remaja putera Iblis Buta yang selain amat lihai juga pendiam dan tidak banyak cakap itu. Kini pemuda itu memandang kepada mereka dengan wajah dingin dan mata berkilat membuat mereka menjadi gentar juga. Kalau mereka maju, kemudian ayah dan anak itu bersatu, mereka tentu akan mati konyol.
"Lo-jin, puteramu berada di sebelah kananmu, dekat pintu keluar!" tiba-tiba Kui-kok Lo-mo berseru dan teman-temannya menjadi lega.
Memang mereka tadi ragu-ragu dan kini mereka hendak melihat sikap anak dan ayah itu sebelum mereka turun tangan membantu Siangko-an Lo-jin. Begitu mendengar ucapan ini, tiba-tiba Siangkoan Lo-jin meloncat ke kanan dengan kecepatan luar biasa tongkatnya diputar dan dihantamkan ke arah kepala puteranya.
Ketika Siangkoan Ci Kang mengelak, gerakannya terdengar oleh ayahnya dan ayah yang sudah marah ini lalu mengulur tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala puteranya.
Suatu serangan yang amat berbahaya dan cepat, mengandung maut! Mengelak dari serangan ini selagi tongkat itu mengancam dari lain jurusan, amat berbahaya dan jalan satu-satunya hanyalah menangkis, pikir Ci Kang. Dia sebetulnya tidak ingin menghadapi ayahnya dengan kekerasan, akan tetapi untuk melindungi dirinya dari tangan maut yang mencengkeram, terpaksa dia harus mengerahkan tenaganya menangkis.
"Dukk...!"
Dua tenaga besar itu bertemu dan akibatnya, Siangkoan Lo-jin berusaha meloncat ke belakang untuk mematahkan tenaga yang membuat dia terdorong ke belakang, sedangkan Ci Kang sendiri terlempar keluar pintu ruangan itu!
Melihat betapa Siangkoan Lo-jin benar-benar hendak membunuh puteranya, enam orang Cap-sha-kui itu menjadi berani dan merekapun melakukan pengejaran keluar ruangan.
"Orang muda, perlahan dulu!" teriak Kui-kok Lo-mo yang melompat paling depan sambil mengirim serangan dengan kedua tangannya.
Angin keras menyambar disertai uap tipis putih keluar dari kedua telapak tangan ketua Kui-kok-pang ini ketika dia menyerang ke arah Ci Kang.
"Jangan kalian mencampuri urusan pribadiku!" bentak Ci Kang dan diapun mengerahkan tenaganya, membalik dan mendorong untuk menyambut serangan lawan.
"Desss...!"
Keduanya terpental dan Kui-kok Lo-mo terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga pemuda remaja itu benar-benar amat hebat dan mampu membuat dirinya terpental. Juga isterinya yang datang menyusul di belakangnya, terkejut melihat suaminya sampai terpental.
Karena suami isteri ini kelihatan tercengang dan ragu-ragu, para tokoh sesat lainnya yang memiliki tingkat lebih rendah, menjadi ragu-ragu sehingga Ci Kang memperoleh kesempatan untuk meloncat keluar rumah dan melarikan diri.
Marahlah hati Siangkoan Lo-jin ketika memperoleh kenyataan bahwa puteranya berhasil lolos.
"Kalian ini sungguh sekelompok orang tak berguna. Kalian membiarkan anak durhaka itu lolos begitu saja, tanpa mengejar?"
“Jangan salah mengerti, Lo-jin. Kami masih ragu-ragu untuk mengejar, karena bagaimanapun juga, dia adalah putera tunggalmu, kami masih belum yakin benar apakah engkau hendak melihat dia terbunuh oleh kami," kata Kui-kok Lo-mo dengan cerdik.
"Bodoh! Siapa main-main! Daripada melihat anakku sendiri durhaka dan menentangku, lebih baik melihat dia mampus. Sekarang kuperintahkan kepada kalian, semua anggauta Cap-sha-kui, untuk selain memusuhi Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis, juga mencari dan menyeret anak durhaka itu ke depan kakiku agar aku dapat menghukumnya sendiri! Nah, pergilah kalian, aku tak ingin diganggu lagi!"
Enam orang itu lalu berkelebatan pergi dan kakek buta itu kini berada seorang diri didalam ruangan. Dia berdiri seperti patung, termenung, dan dia membayangkan puteranya sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa, yang menentang kejahatan sehingga namanya dipuja dan dikagumi semua pendekar di dunia kang-ouw. Tak terasa lagi, bibirnya yang kering itu tersenyum.
Teringatlah dia akan dirinya sendiri. Menjadi seorang gagah yang dikagumi seluruh dunia adalah cita-citanya, dan karena cita-cita itu tidak terlaksana melalui kebaikan, dia hendak mengejar nama besar itu melalui kejahatan dengan memimpin kaum sesat dan menjadi orang jahat nomor satu! Kalau puteranya bisa menjadi orang yang paling menonjol dan terkenal, tidak perduli sebagai penjahat nomor satu atau pendekar nomor satu, dia akan merasa bangga!
Akan tetapi dia telah memerintahkan Cap-sha-kui untuk memusuhi anaknya! Tidak apa, memang seharusnya begitu. Kalau anakku itu ingin menjadi pendekar nomor satu, dia harus mampu menghadapi Cap-sha-kui, bahkan dia harus mampu membasmi Cap-sha-kui! Kalau anaknya yang tidak mau menjadi penjahat nomor satu itu tidak bisa menjadi pendekar nomor satu, biar anaknya mati saja daripada menjadi manusia yang tidak terkenal sama sekali!
Pemikiran seperti yang berada dalam batin Siangkoan Lo-jin itu mungkin akan kita anggap gila dan tidak lumrah. Akan tatapit kalau kita mau membuka mata mengamati kehidupan di sekeliling kita, akan kita temui bahwa hampir setiap orang tidak jauh bedanya dengan Siangkoan Lo-jin ini.
Kita semua ini haus akan kehormatan, haus akan penonjolan diri, bahkan watak ini sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh kita. Lihatlah betapa banyaknya orang yang dengan nada suara penuh kebanggaan menceritakan betapa kakeknya dahulu adalah seorang maling terbesar, seorang jagoan terbesar, seorang penjudi terbesar dan sebagainya? Mereka ini bercerita dengan nada suara sama bangganya dengan mereka yang menceritakan betapa kakek mereka dahulunya seorang yang paling terhormat, terkaya atau tertinggi kedudukannya.
Juga, hampir semua orang menceritakan dengan bangga bahwa anaknya adalah yang paling nakal, paling bandel, dan sebagainya, sama bangganya dengan mereka yang menceritakan dengan suara malu-malu dan rendah hati bahwa anak mereka adalah yang paling patuh, paling pintar dan sebagainya.
Kita sudah berwatak ingin menonjolkan diri, diri sendiri atau perkembangan dari diri sendiri yang menjadi anakku, keluargaku, bangsaku dan selanjutnya.
Membayangkan betapa puteranya akan menjadi seorang yang amat terkenal, kakek itu terkenang akan keadaan dirinya sendiri yang serba gagal, dan dia lalu meraba-raba dengan tongkatnya, menemukan sebuah kursi, menjatuhkan dirinya di atas kursi dan menutupi muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua tetes air mata yang jatuh ke atas pipi.
ASMARA BERDARAH JILID 057(↕)
Restoran itu cukup ramai dan besar dan malam hari itu restoran ini dikunjungi banyak tamu. Restoran Ban Lok memang merupakan sebuah restoran yang terkenal mempunyai masakan enak, paling terkenal di seluruh kota Cin-an.
Ketika Ci Kang memasuki restoran itu, untung baginya dia masih kebagian meja yang paling sudut. Dia memasuki restoran, tidak perduli akan pandangan orang kepadanya, memang agak menyolok pakaian pemuda ini, tidak mewah seperti pakaian para tamu lain.
Pakaian Ci Kang yang sederhana, dengan jubah kulit harimau, membuatnya nampak sebagai seorang pemburu, tidak ada keduanya di restoran itu. Ketika dia melewati serombongan orang yang duduk mengelilingi meja bundar besar, ada empat pasang mata yang memandangnya dengan senyum mengejek dan hidung agak dikembang-kempiskan seperti orang mencium bau busuk, akan tetapi ada dua pasang mata halus yang memandang kepadanya, kearah wajahnya, dengan pandang mata kagum.
Empat pasang mata yang terutama memandang kepada bajunya itu adalah mata empat orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Mereka berpakaian mewah, akan tetapi sekali pandang saja tahulah Ci Kang bahwa mereka adalah orang-orang yang tergolong penjahat yang suka melakukan hal-hal yang tidak baik untuk mencari uang.
Dan dua pasang mata halus itu adalah mata dua orang wanita yang juga berpakaian mewah. Mereka itu adalah dua orang wanita muda yang usianya antara dua puluh tahun, cantik manis akan tetapi melihat sikap mereka yang genit dengan gaya yang dibuat-buat untuk memikat hati orang, Ci Kang juga mengenal sifat berandalan pada dua orang wanita itu dan dapat menduga bahwa mereka tentu pelacur-pelacur yang dibawa ke restoran untuk pesta oleh empat orang itu yang agaknya baru saja memperoleh hasil banyak dari pekerjaan kotor mereka.
Akan tetapi Ci Kang tidak perduli dan duduk memesan nasi, sayur dan air teh panas. Sudah menjadi wataknya untuk tidak mencampuri urusan orang dan tidak memperhatikan orang lain. Sekali pandang saja dia sudah dapat melihat keadaan dan kalau tadi dia memandang ke arah enam orang itu hanyalah karena kewaspadaan saja, bukan karena ingin tahu.
Setelah hidangan yang dipesannya datang, diantar oleh seorang pelayan, pada saat Ci Kang mengangkat muka untuk menerima hidangan itu, kembali dia melihat betapa dua orang wanita cantik yang genit-genit itu memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum dan melempar kerling.
Bahkan keduanya cekikikan sambil saling berbisik dan memandang kepadanya, jelas sekali mereka itu sedang membicarakan dirinya. Melihat ini, Ci Kang cepat menundukkan muka dan menghindarkan pertemuan pandang mata dengan mereka.
Hatinya sedang murung dan sikap kedua orang wanita cantik itu menambah kemurungan hatinya. Dia masih belum dapat melupakan peristiwa yang terjadi di dalam pertemuan antara ayahnya dengan para tokoh Cap-sha-kui itu. Dia sungguh menyesali sikap ayahnya yang demikian keras dan kejam, bahkan tega hendak membunuhnya. Dia yakin benar akan napsu membunuh ayahnya ketika ayahnya menyerang dalam keadaan marah dan hal ini sungguh amat menyakitkan hatinya.
Dia merasa benar betapa ayahnya amat mencintanya, amat sayang kepadanya dan telah mencurahkan kasih sayangnya itu sejak dia kecil. Akan tetapi dia juga tahu bahwa ayahnya mengejar ambisi dan untuk itu, ayahnya dapat bersikap dan berbuat kejam, seperti yang telah diperlihatkannya dengan cara hendak membunuhnya, putera kandungnya sendiri.
"Heii, kalian melihat siapa sih? Kenapa lirak-lirik dan senyam-senyum saja kepada orang itu?" terdengar seorang diantara empat pria itu menegur.
Ci Kang mendengar ini dan sudah dapat menduga bahwa yang ditegur tentulah dua orang pelacur itu dan yang dimaksudkan dengan "orang itu" tentulah dia sendiri. Akan tetapi dia terus makan minum dan tidak perduli.
"Percuma kami keluarkan banyak uang kalau kalian main mata dengan pria lain!" tegur suara kedua.
"Apakah pelacur-pelacur masih mata keranjang melihat orang muda dan tampan?" orang ketiga berkata.
"Uhh, biar muda dan tampan, kalau kotor seperti itu, sungguh menjijikkan. Agaknya tak pernah berganti pakaian dan siapa tahu makanan itu takkan dibayarnya!" ejek orang keempat dan mereka berempat tertawa-tawa.
Dua orang pelacur itupun ikut tertawa walaupun suara ketawa mereka itu paksaan atau terdorong oleh kegenitan mereka.
Tentu saja Ci Kang mendengar itu semua dan tahu bahwa mereka molontarkan hinaan-hinaan kepada dirinya, bahkan mendengar suara mereka meludah-ludah ketika orang keempat mengatakan dia kotor dan menjijikkan.
Akan tetapi di dalam batin Ci Kang tersenyum, mentertawakan orang-orang itu karena dari sikap mereka itu mereka seperti memperlihatkan kepada umum orang-orang macam apa adanya mereka. Dia tidak mau melayani dan melanjutkan makan nasi dan sayur dengan cepat, lalu minum sedikit arak dan teh. Setelah selesai, diapun cepat membayar harga makanan dan hendak meninggalkan restoran yang masih banyak pengunjungnya itu.
Empat orang itu memang jagoan-jagoan yang terkenal bengis dan ditakuti orang di Cin-an. Maka, biarpun semua orang juga mendengar ucapan-ucapan mereka yang menghina orang, tidak ada yang mau mencampuri karena mencampuri urusan empat orang itu berarti mencari penyakit.
Sedangkan empat orang jagoan itu memang tadi sengaja melontarkan kata-kata untuk menghina dan memancing kemarahan Ci Kang. Pemuda itu makan di restoran tidak mengganggu siapapun juga, bahkan tidak pernah menoleh kepada mereka, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk mengganggu Ci Kang. Maka, karena hati mereka panas melihat betapa dua orang pelacur yang mereka bawa itu nampaknya tertarik kepada Ci Kang, mereka lalu melontarkan kata-kata hinaan untuk memancing agar pemuda itu marah-marah sehingga mereka mempunyai alasan untuk menghajarnya.
Siapa kira, pemuda itu sama sekali tidak mau menyambut atau saking tolol atau takutnya tidak berani menjawab. Melihat betapa pemuda itu sudah bangkit dan hendak pergi, dan kini dua orang pelacur memperoleh kesempatan untuk memandang wajah pemuda itu dengan kagum, empat orang itu tidak dapat menahan kemarahan dan iri hati mereka. Setelah saling pandang dan mengangguk, mereka bangkit dari kursi mereka dan berloncatan menghadang Ci Kang yang hendak keluar dari restoran.
Melihat ini, para tamu yang sudah mengenal empat orang jagoan itu menjadi ketakutan dan sebagian cepat menyingkir ke tempat yang agak jauh sambil memandang dengan hati khawatir.
Melihat empat orang itu berdiri menghadangnya, Ci Kang mengerutkan alisnya. Jelaslah bahwa empat orang yang menyeringai ini sengaja mencari keributan. Dia masih mencoba untuk menghindar dan mencari jalan keluar lain, akan tetapi gerakan ini oleh empat orang itu dianggap sebagai tanda takut, maka mereka lalu mengurungnya sambil tersenyum lebar.
Ci Kang kehabisan jalan dan terpaksa dia mengangkat muka memandang mereka satu demi satu. Empat orang itu terkejut melihat sinar mata mencorong itu, akan tetapi karena sikap pemuda itu yang sejak tadi tidak pernah memperlihatkan perlawanan membuat hati mereka menjadi besar. Mereka sengaja hendak berlagak di depan dua orang pelacur itu dan ingin membikin malu kepada pemuda yang agaknya telah menarik hati dan dikagumi oleh dua orang pelacur yang mereka sewa.
"Ha-ha-ha, bocah petani busuk, bersihkan dulu sepatu kami baru engkau boleh pergi dari sini!" kata seorang di antara mereka yang berkumis lebat.
Tiga orang temannya tertawa sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuh dan memandang rendah.
Ci Kang tidak marah, hanya merasa muak dengan sikap mereka. Tanpa memperdulikan mereka, dia lalu melangkah maju dan ketika si kumis tebal yang berada di depannya itu mengangkat tangan hendak memukul, dia tidak perduli dan melangkah terus hendak menabrak tubuh si kumis tebal.
Tentu saja si kumis tebal menjadi marah dan melanjutkan pukulannya ke arah kepala Ci Kang dan melihat ini, tiga orang kawannya juga sudah menggerakkan tangan menyerang Ci Kang dari kanan kiri dan belakang. Sekaligus, pemuda remaja itu diserang oleh empat orang dari empat jurusan, akan dipukuli begitu saja tanpa salah apa-apa.
Sejenak empat orang itu mengira bahwa pemuda itu takkan melawan dan akan mandah saja mereka pukuli karena tubuh Ci Kang sama sekali tidak nampak bergerak atau bersiap melawan.
Akan tetapi, ketika tangan empat orang itu sudah tiba dekat tubuhnya, tiba-tiba Ci Kang menggerakkan tubuhnya, mengangkat kedua tangan sambil memutar tubuh menggeser kaki dan terdengarlah suara tulang patah berturut-turut dan empat orang itu mengaduh-aduh sambil terpelanting ke belakang, jatuh dan memegangi tangan yang dipakai menyerang tadi karena lengan tangan itu telah patah-patah tulangnya ketika disambar tangan pemuda itu.
Ci Kang sama sekali tidak memperdulikan mereka lagi. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, pemuda ini dengan wajah dingin dan langkah tenang meninggalkan restoran itu, diikuti pandang mata semua orang yang terbelalak penuh keheranan dan kekaguman.
Empat orang itu seperti empat orang anak kecil yang karena tololnya memukul benda keras sehingga tangan mereka sakit sendiri. Akan tetapi merekapun maklum bahwa pemuda berwajah dingin yang hendak mereka jadikan korban penghinaan mereka itu ternyata adalah seorang pemuda yang sakti, maka merekapun hanya berani memandang dengan muka pucat karena gentar dan karena menahan rasa nyeri dan tidak berani mengejar.
Peristiwa di dalam restoran itu tentu saja menjadi buah bibir para tamu setelah mereka meninggalkan restoran, akan tetapi karena Ci Kang tidak pernah memperkenalkan nama, bahkan tidak pernah mengeluarkan sepatahpun kata dalam peristiwa itu, orang-orang hanya dapat menduga-duga siapa gerangan pemuda remaja berwajah dingin yang amat lihai itu.
Sementara itu, Ci Kang terus melanjutkan perjalanannya meninggalkan Cin-an pada malam hari itu juga karena dia tidak ingin dirinya terlibat lagi dalam keributan lain sebagai lanjutan dari peristiwa dalam restoran tadi.
Sebagai putera seorang datuk sesat yang sudah banyak mengenal watak para penjahat, Ci Kang mengerti bahwa orang-orang macam penjahat-penjahat kecil seperti yang beraksi di restoran tadi, tentu mempunyai kepala atau pemimpin dan orang-orang semacam itu tidak pernah mau mengenal kelemahan sendiri. Mereka tentu tidak mau sudah begitu saja, melapor kepada kepala mereka atau mengumpulkan kawan-kawan mereka kemudian mencarinya untuk melakukan pembalasan.
Orang-orang seperti itu tidak memiliki kejantanan sedikitpun juga, tidak malu-malu untuk mengandalkan pengeroyokan dan kecurangan lain. Oleh karena dia tidak ingin direpotkan oleh urusan tetek bengek macam itu, maka lebih baik dia pergi meninggalkan Cin-an malam itu juga, bukan karena takut melainkan karena segan berurusan dengan penjahat-penjahat kecil itu.
Ci Kang tidak pernah menduga bahwa urusan kecil di rumah makan itu memang tidak berhenti sampai disitu saja, melainkan mendatangkan akibat yang amat besar. Peristiwa itu menjadi buah bibir orang di Cin-an karena disebar oleh para tamu restoran yang menyaksikan keributan itu dan terdengar pula oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kebetulan pada keesokan harinya tiba di kota itu.
"Heh, tak salah lagi, pemuda berjubah kulit harimau itu tentulah Siangkoan Ci Kang," kata Kiu-bwe Coa-li.
"Benar, dan kita harus cepat mengejarnya!" kata Kui-kok Lo-mo.
"Mengapa? Apa perlunya kita mengejarnya?" tanya Tho-tee-kwi dengan suara tak acuh.
Yang lain-lain juga memandang kepada kakek jubah putih itu. Selain tingkat kepandaiannya paling tinggi, juga Kui-kok Lo-mo selain berdua dengan isterinya yang juga amat lihai sehingga suami isteri ini dianggap sebagai pemuka oleh empat orang rekannya.
"Apa perlunya? Tentu saja untuk menangkapnya dan menyeretnya kepada Siangkoan Lo-jin, hidup atau mati." jawab Kui-kok Lo-mo.
"Mengapa kita harus mencampuri urusan ayah dan anak itu?"
Kembali yang bertanya itu adalah Tho-tee-kwi. Diantara empat orang rekan suami isteri dari Kui-kok-san itu, hanya raksasa inilah yang kelihatan tidak gentar menentangnya dan sikapnya selalu kasar, liar dan tak acuh. Tiga orang rekan yang lain menanti jawaban pertanyaan ini yang mereka anggap mewakili keraguan hati mereka sendiri untuk mencampuri urusan keluarga Siangkoan.
"Begitu bodohkah engkau maka hal itu saja engkau tidak mengerti? Apakah kalian merasa senang selalu diperkuda oleh Siangkoan Lo-jin? Cap-sha-kui yang selama ini merajalela dan merajai dunia persilatan, kini harus tunduk kepada seorang kakek buta! Lihat, diantara kita tiga belas orang, hanya kita berenam saja yang tolol dan mau saja diperkuda olehnya. Kalau kita tempo hari merendahkan diri dan mau membantunya, hal itu adalah karena harapan imbalannya yang amat besar, selain harta benda juga mungkin kedudukan tinggi yang akan kita terima dari Liu-thaikam. Akan tetapi sekarang? Liu-thaikam sudah tidak ada, untuk apa kita masih terus merendahkan diri di bawah kekuasaan kakek buta itu lagi?"
ASMARA BERDARAH JILID 058(↕)
"Nah, kalau begitu, mengapa sekarang kita masih harus mentaati perintahnya untuk menyeret pemuda itu ke depan kakinya?" Hwa-hwa Kui-bo bertanya heran.
"Kakek buta itu tentu tidak akan mengampuni kita kalau mendengar bahwa kita menentangnya. Dan kakek itu sendiri sebetulnya hanya seorang tua bangka buta, betapapun lihainya. Yang membuat dia kuat adalah puteranya itu. Kalau dia dan puteranya maju bersama sungguh sukar untuk ditundukkan. Sekarang mereka itu saling bentrok. Kita harus dapat mempergunakan kesempatan yang baik ini untuk menghancurkan kekuatan ayah dan anak itu. Kalau kita sudah dapat membunuh anaknya, apa sukarnya bagi kita untuk menghadapi tua bangka buta itu? Dia telah menyeret kita ke dalam persekutuan itu, berarti telah merugikan kita, dan sudah cukup lama dia meremehken dan merendahkan kita sebagai pembantu-pembantunya. Sekaranglah tiba saat pembalasan kita!"
Kehidupan para kaum sesat sepenuhnya dipengaruhi oleh nafsu angkara murka dan dendam kebencian, maka pendapat Kui-kok Lo-mo ini segera mendapatkan persetujuan para rekannya dan berangkatlah mereka bergegas untuk mencari jejak Siangkoan Ci Kang dan melakukan pengejaran.
Tidak mengherankan kalau pada keesokan harinya, selagi Ci Kang berjalan sendirian diluar sebuah dusun yang sunyi, dibawah terik matahari, tiba-tiba saja dia mendengar orang-orang berteriak memanggil namanya dan ketika dia berhenti, dia tersusul oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kini berdiri di depannya dan setengah mengepungnya.
Ci Kang memandang heran dan mengerutkan alisnya. Sejak pertama kali orang-orang ini membantu ayahnya, dia memang sudah tidak suka kepada mereka. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo amat menjemukan hatinya karena kedua orang kakek dan nenek ini seakan-akan berlomba untuk memikatnya.
Kiu-bwe Coa-li adalah seorang nenek kejam yang mengerikan dengan tubuh dan wajahnya yang buruk, ditambah lagi suka bermain-main dengan ular, menjijikkan. Suami isteri dari Kui-kok-san itupun menimbulkan rasa muak karena mereka berdua itu seperti mayat hidup saja. Adapun Tho-tee-kwi yang suka makan daging manusia itu menjemukan hatinya.
"Ada keperluan apakah cu-wi memanggil-manggil dan menyusulku?" tanyanya singkat.
Yang menjawab adalah Kui-kok Lo-mo, mewakili rekan-rekannya,
"Siangkoan Ci Kang, kami disuruh ayahmu untuk membawamu pulang."
Ci Kang mengangkat muka memandang kakek itu dan tahu akan adanya perubahan karena kakek itu biasanya tidak memanggil namanya begitu saja. Biasanya, mereka itu menyebutnya Siangkoan kongcu atau Siangkoan sicu dengan sikap dan nada menghormat.
"Kalau aku tidak mau?" tanyanya sebagai jawaban.
"Kami telah diberi wewenang untuk memaksamu dan membawamu pulang, hidup atau mati. Kalau engkau menolak, kami akan menggunakan kekerasan!"
Tanpa menanti jawaban Ci Kang, begitu Kui-kok Lo-mo berkata demikian, isterinya telah menerjang pemuda itu dengan tamparan tangannya yang mengandung hawa panas. Serangan ini dilakukan oleh Kui-kok Lo-bo dari samping kiri dan tangan kanannya menyambar ke arah pelipis kiri Ci Kang.
Pemuda ini maklum betapa ampuhnya tamparan nenek itu, maka cepat diapun mengelak, dengan menggeser kaki ke belakang dan menarik tubuh atasnya ke belakang. Tamparan itu luput dan lewat di depannya sehingga terasa hawa panas menyambar mukanya.
Pada saat itu, Kui-kok Lo-mo yang melihat isterinya sudah mulai menyerang, juga menerjang ke depan dan melakukan serangan yang tidak kalah ampuhnya. Ci Kang menangkis dan segera pemuda itu dikeroyok dua oleh suami isteri dari Kui-kok-san itu. Terjadilah perkelahian yang amat seru.
Tak dapat disangkal lagi bahwa Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda remaja yang istimewa, bakatnya menonjol sekali sehingga dalam usia delapan belas tahun dia telah berhasil menguasai semua ilmu ayahnya.
Akan tetapi, dibandingkan dengan suami isteri itu tentu saja dia kalah pengalaman dan kalah latihan, kalah matang ilmu silatnya. Dan mengingat bahwa Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang tinggi ilmunya, tentu saja dikeroyok dua Ci Kang menjadi repot dan terdesak hebat.
Andaikata suami isteri itu maju satu demi satu, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan Ci Kang. Akan tetapi begitu maju bersama, suami isteri yang tentu saja dapat bekerja sama dengan baik sekali dalam serangan-serangan mereka,
Ci Kang terdesak hebat dan lewat lima puluh jurus saja dia sudah terus mundur dan hanya mampu mengelak ke sana-sini sambil kadang-kadang menangkis, tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan tubuhnya sudah menerima beberapa hantaman dan tendangan yang berkat kekebalannya membuat dia belum juga dapat dirobohkan.
Ci Kang yang keras hati itu tidak pernah mengeluh dan sama sekali tidak berniat untuk melarikan diri. Dia bertekad untuk melawan sampai mati. Pula, apa gunanya lari? Disitu terdapat enam orang tokoh Cap-sha-kui sehingga laripun, dalam keadaan terluka-luka, akan percuma saja. Dan diapun tahu bahwa tidak ada harapan baginya untuk lolos. Baru suami isteri Kui-kok-san saja sudah begini hebat, apalagi kalau empat orang tokoh lain itu maju mengeroyok.
Melihat cara kedua orang suami isteri itu menyerang, dengan pukulan-pukulan maut, tahulah Ci Kang bahwa mereka itu menghendaki kematiannya, maka diapun membela diri sebaik mungkin dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh tenaganya.
Hebat bukan main sepak terjang pemuda ini. Biarpun terdesak hebat, namun tidak mudah bagi suami isteri itu untuk merobohkannya. Lengah sedikit saja pemuda itu akan membalas serangan maut yang berbahaya.
Pada saat itu, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di belakang Ci Kang berdiri seorang kakek tinggi kurus. Kakek ini bajunya tambal-tambalan, tangan kanan memegang sebatang tongkat bambu kuning dan di punggungnya nampak sebuah ciu-ouw (guci arak). Kakek yang usianya kurang lebih enam puluh lima tahun ini memandang perkelahian sambil mengelus jenggotnya, lalu mengomel,
"Terlalu, terlalu...! Suami isteri tua bangka mengeroyok seorang bocah ingusan. Sungguh terlalu...!"
Kemudian tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya sambil terus bicara,
"Nah, anak baik, bagus begitu! Lawanlah, jangan mau kalah terhadap sepasang mayat itu. Pukul, nah, bagus, begitu haittt... begini... bagus!"
Kakek jembel ini, seperti orang gila, lalu meniru-niru gerakan Ci Kang bersilat, akan tetapi karena tangannya memegang tongkat maka tongkatnya bergerak pula dengan lucunya. Dia bukan mengajari Ci Kang, melainkan menirukan gerakan Ci Kang yang berloncatan ke sana-sini mengelak dari serangan suami isteri itu.
Dan... terjadilah hal yang luar biasa sekali. Tiba-tiba saja suami isteri itu merasa betapa tangkisan tangan Ci Kang menjadi sedemikian kuatnya sehingga mereka merasa lengan mereka nyeri dan tubuh mereka terpelanting!
Ada angin pukulan dahsyat keluar dari kedua tangan Ci Kang. Pemuda ini sendiri merasa heran, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek jembel aneh itu telah membantunya dengan tenaga sakti yang luar biasa.
Sementara itu, empat orang tokoh Cap-sha-kui yang lain bukan orang-orang tolol. Kemunculan kakek jembel yang aneh ini dan terdesaknya suami isteri Kui-kok-san tentu ada hubungannya, pikir mereka. Tanpa banyak cakap lagi mereka berempat lalu maju menyerang kakek jembel yang masih mencak-mencak menirukan gerakan Ci Kang karena kini suami isteri itu sudah menyerang lagi.
Hwa-hwa Kui-bo menyerang dengan pedangnya yang beracun, ditemani Koai-pian Hek-mo yang menggerakkan senjatanya, yaitu sebatang pecut baja yang ujungnya berpaku. Kiu-bwe Coa-li meledakkan cambuk hitam ekor sembilan, menyerang dari depan bersama Thio-tee-kui yang menggerakkan kedua lengannya sehingga dua buah gelang emas yang berat di kedua lengannya itu saling beradu mengeluarkan bunyi nyaring. Dikepung empat orang tokoh sesat yang lihai ini, kakek jembel itu malah tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, bagus, bagus!"
Dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah berkelebatan diantara sinar senjata empat orang pengeroyoknya yang bergulung-gulung itu. Tentu saja empat orang pengeroyok itu terkejut bukan main. Tak pernah mereka sangka bahwa kakek jembel itu sedemikian lihainya dan seperti pandai menghilang saja saking cepatnya dan ringannya gerakan tubuhnya.
Ternyata kakek ini bukan hanya mampu menghindarkan diri dari sambaran senjata-senjata ampuh itu, bahkan dengan gerakan-gerakannya seperti tadi masih dapat pula membantu Ci Kang sehingga kini pemuda itu dapat membalas serangan kedua orang pengeroyoknya karena setiap serangan kedua suami isteri itu selalu tertumbuk pada tenaga yang tidak nampak akan tetapi yang kuat sekali.
"Ha-ha-ha, menggembirakan sekali!" kakek itu menari-nari ketika senjata-senjata lawan berobah menjadi sinar bergulung-gulung dan menyambar-nyambar.
"Tar-tar-tarrr...!"
Senjata cambuk hitam ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak, diselingi ledakan satu-satu dan nyaring dari cambuk baja di tangan Koai-pian Hek-mo.
"Singggg... tring-tringgg...!"
Suara pedang di tangan Hwa-hwa Kui-bo dan sepasang gelang emas di lengan Tho-tee-kui juga terdengar nyaring membuat kakek jembel yang dikeroyok itu menjadi semakin girang seperti seorang anak kecil melihat permainan yang menarik.
"Tar-tar-tarr...!"
Cambuk ekor sembilan di tangan Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak di atas kepala kakek itu. Sembilan ekor cambuk itu seperti hidup, seperti sembilan ekor ular yang menyambar-nyambar turun.
Akan tetapi kakek itu menggunakan jari tangannya menyentil setiap kali ujung cambuk menyambar. Tiga kali dia menggunakan telunjuk tangannya menyentil dan ekor cambuk itu menyeleweng dan melesat amat cepatnya ke arah tiga orang pengeroyok lain.
Hal ini sama sekali tidak diduga-duga dan tahu-tahu Hwa-hwa Kui-bo, Koai-pian Hek-mo, dan Tho-tee-kwi berteriak kaget dan tubuh mereka terpelanting berturut-turut karena tahu-tahu tubuh mereka sudah tertotok oleh ujung cambuk Kiu-bwe Coa-li yang disentil menyeleweng tadi. Melihat robohnya tiga orang itu, kakek jembel tertawa dan mengangkat kedua tangan depan dada, menjura ke arah Kiu-bwe Coa-li.
"Terima kasih, engkau baik sekali telah menolongku dengan cambukmu!"
Kiu-bwe Coa-li masih terbelalak saking kagetnya melihat betapa ujung cambuknya malah menotok dan merobohkan tiga orang kawannya sendiri, tiba-tiba merasa ada sambaran angin dari depan ketika kakek itu menjura. Dengan cepat ia hendak mengelak, akan tetapi tidak keburu dan ketika ia mengerahkan tenaga untuk melawan, tubuhnya terjengkang dan dadanya terasa sesak, seperti telah dipukul orang dengan keras!
Empat orang itu merangkak bangun dengan mata terbelalak. Mereka adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui, bagaimana mungkin dapat dirobohkan semudah itu oleh kakek jembel ini? Si kakek jembel tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, kalian memang amat baik hati, pantas kusuguhi arak!"
Dan diapun menurunkan guci araknya, mendekatkan bibir arak ke mulutnya, minum beberapa teguk kemudian dia menyemburkan arak di mulutnya itu ke arah empat orang bekas lawan.
Empat orang datuk itu terkejut dan berusaha menghindar, akan tetapi masih terasa oleh mereka betapa kulit tubuh mereka yang terkena percikan air yang disemburkan terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum. Bahkan percikan arak itu menembus baju mereka dan mengenai kulit.
Sementara itu, memperoleh kenyataan bantuan rahasia dari kakek aneh, kini Ci Kang mendesak kedua lawannya dan akhirnya dialah yang berada di pihak menyerang. Tiba-tiba terdengar suara kakek itu,
"Tendang pantat mereka! Tendang pantat mereka!"
Aneh sekali, di dalam suara itu seperti terkandung tenaga mujijat yang membuat Ci Kang tak dapat menahan diri lagi dan kakinyapun menyambar dan menendang berturut-turut ke arah pinggul dua orang lawannya. Hebatnya, dua orang suami isteri itu tidak kuasa mengelak seolah-olah tubuh mereka terhalang sesuatu.
"Bukk! Bukk!"
Dua kali kaki Ci Kang menendang dan dua orang suami isteri itupun terbanting ke atas tanah. Mereka berloncatan bangun sambil meringis dan setelah saling pandang dengan rekan-rekannya, mereka lalu melarikan diri tanpa berani mengeluarkan kata-kata lagi. Peristiwa itu terlampau hebat bagi mereka. Belum pernah selama hidup mereka dikalahkan orang secara ini.
ASMARA BERDARAH JILID 059(↕)
Akan tetapi, ketika kakek tadi menyembur dengan arak, wajah mereka pucat karena mereka teringat akan nama seorang yang selama ini dikabarkan sudah mati atau telah menjadi dewa, yaitu Ciu-sian Lo-kai (Jembel Tua Dewa Arak).
Memang orang sakti ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, akan tetapi ada beberapa orang tokoh kang-ouw pernah melihat kesaktiannya sehingga namanya dikenal sebagai seorang diantara tokoh-tokoh rahasia yang amat sakti. Maka, enam orang datuk sesat itu segera mengambil langkah seribu. Biarpun mereka itu sudah menjadi datuk yang berkedudukan tinggi, akan tetapi karena mereka adalah golongan sesat, maka melarikan diri bukanlah hal yang dipantang oleh mereka.
Ci Kang berdiri memandang sambil bertolak pinggang, sama sekali tidak bergerak untuk melakukan pengejaran.
"Orang muda, kenapa engkau tidak mengejar mereka?"
Ci Kang menoleh kepada kakek jembel itu.
"Kenapa aku harus mengejar mereka?" dia balas bertanya sambil memandang tajam kepada kakek jembel yang sakti itu, yang entah mengapa telah mencampuri urusannya dan membantunya.
Harus diakuinya dalam hati bahwa kakek ini telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut dikeroyok orang-orang Cap-sha-kui tadi.
"Lhoh! Bukankah mereka tadi mati-matian hendak membunuhmu?"
"Benar, akan tetapi aku tidak ingin membunuh mereka."
Kakek jembel itu melangkah dekat dan memandang sambil tersenyum lebar, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.
"Orang muda, apakah engkau tidak menaruh dendam kepada mereka yang hendak membunuhmu?"
"Tidak, mereka suka kekerasan dan suka membunuh, aku tidak."
"Bagus! Andaikata mereka itu membunuh ayahmu, apakah engkau juga tidak sakit hati dan mendendam?"
Ci Kang teringat akan ayahnya yang hidup sebagai datuk sesat. Kalau ayahnya terbunuh orang, hal itu hanya terjadi karena kesalahan ayahnya sendiri. Orang yang suka bermain dengan api seperti ayahnya, kalau sekali waktu terbakar, tidak perlu penasaran lagi. Maka diapun menggeleng kepala.
Kakek jembel itu kelihatan semakin girang.
"Wah, inilah orangnya yang kucari selama ini. Orang muda, engkau bernama Siangkoan Ci Kang, bukan? Engkau putera tunggal Siangkoan Lo-jin?"
Pemuda itu menjadi semakin heran dan dia mengangguk.
"Heh-heh, bagus! Ayahnya menjadi pimpinan kaum sesat mengumbar nafsu, puteranya malah bebas dari nafau dendam. Siangkoan Ci Kang, baru saja kalau tidak ada aku, engkau tentu sudah mati di tangan badut-badut itu. Nah, untuk membalas budi itu, apa yang ingin kau lakukan untukku?"
Ci Kang mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.
"Locianpwe, walaupun locianpwe telah mengusir orang-orang yang mengeroyokku dan menyelamatkan aku, hendaknya locianpwe ingat bahwa aku tidak pernah minta tolong kepadamu. Jadi aku tidak berhutang budi atau apapun kepada locianpwe."
Orang lain tentu akan merasa penasaran dan marah sekali mendengar jawaban orang yang pernah diselamatkan nyawanya seperti itu, akan tetapi sungguh kakek itu berwatak aneh. Dia malah tertawa senang!
"Ha-ha-ha, cocok! Bagus! Tidak pernah hutang budi, tidak pernah menghutangkan budi, berarti tidak pula pernah mendendam. Ha-ha, orang muda, engkaulah orang yang kucari-cari!"
Ci Kang merasa semakin heran. Kakek ini sungguh luar biasa, tidak saja mengetahui keadaannya, akan tetapi juga omongannya aneh dan sikapnya luar biasa.
"Mengapa locianpwe berkata demikian? Mengapa locianpwe mencari-cari aku?"
"Aku mencari murid dan engkaulah orangnya yang paling cocok. Orang muda, tidak kusangkal bahwa engkau telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan jarang ada orang dapat menandingimu. Akan tetapi sayang, ilmu-ilmumu masih mentah. Tadipun andaikata ilmumu sudah matang, tanpa kubantu sekalipun engkau akan menang menghadapi para pengeroyokmu."
Ci Kang menggeleng kepala.
"Tidak mungkin, locianpwe. Mereka itu adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang berilmu tinggi. Bahkan ayah sendiripun agaknya tidak akan kuat kalau menghadapi pengeroyokan mereka."
"Ha-ha, engkau sudah melihat betapa dengan mudah aku menghadapi mereka. Siangkoan Ci Kang, mari kau ikut bersamaku setahun saja dan aku akan mamatangkan ilmumu."
Ci Kang mengerutkan alisnya, mempertimbangkan. Tentu saja dia yang sejak kecil belajar silat, merasa girang kalau sampai dapat menjadi murid kakek yang dia tahu memiliki kepandaian hebat ini. Akan tetapi diapun memiliki watak yang bebas, tidak mau terikat.
"Apakah locianpwe hendak mengambil murid kepadaku sebagai balas budi?"
“Ha-ha-ha, akupun seorang yang suka bebas dari pada segala macam hutang budi seperti engkau. Aku ingin mengambil murid karena kulihat engkau berbakat sekali, dan karena aku merasa cocok dengan watakmu."
Giranglah rasa hati Ci Kang mendengar ucapan ini. Tanpa ragu-ragu lagi diapun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel itu.
"Baiklah, suhu, teecu terima dengan gembira sekali."
Kakek itu juga merasa gembira bukan main. Sambil tertawa-tawa dia lalu menarik tangan Ci Kang dan diajaklah pemuda itu pergi dari situ untuk mulai menggemblengnya sebagai murid.
Kakek itu adalah Ciu-sian Lo-kai, tokoh sakti aneh yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan yang pernah mengunjungi Lembah Naga tempo hari. Seperti kita ketahui, Ciu-sian Lo-kai berbeda pendapat dan berbantahan dengan Go-bi San-jin tentang sikap Pendekar Cia Han Tiong mengenai dendam dan ikatan.
Dan karena mereka merasa sudah terlalu tua untuk saling gempur, keduanya lalu berjanji untuk mencari murid dan mendidik murid itu menurut pandangan hidup masing-masing, tentu saja dengan maksud untuk kemudian diuji siapa yang lebih berhasil.
Go-bi San-jin lalu berhasil membujuk Cia Sun yang sedang dicekam dendam karena kematian ibu dan para suhengnya, sedangkan Ci Kang yang jemu dengan dunia hitam dan kejahatan, kini menjadi murid kakek jembel itu.
ASMARA BERDARAH JILID 060(↕)
Pulau Teratai Marah merupakan sebuah diantara pulau-pulau kecil yang berada di Lautan Tiongkok Timur, beberapa li jauhnya dari pantai. Kalau dilihat dari pantai, hanya nampak bintik-bintik kecil di sebelah timur yang tidak menarik perhatian. Bahkan para nelayan hanya mengenal pulau-pulau kecil itu sebagai pulau-pulau kosong dan sebagian besar hanya merupakan pulau-pulau batu karang yang tiada gunanya karena tidak memiliki tanah subur, tidak memiliki air tawar.
Akan tetapi ada beberapa buah pulau yang ditumbuhi pohon-pohon liar dan diantara pulau-pulau inilah yang dinamakan Pulau Teratai Merah. Pulau ini mempunyai tanah yang cukup subur, bahkan ada sumber airnya, dan ada bukit kecilnya. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, pulau inipun hanya dilewati saja oleh para nelayan karena hanya terisi pohon-pohon liar dan binatang-binatang berbahaya.
Akan tetapi, pulau ini telah dipilih oleh Pangeran Toan Su-ong, pangeran pelarian yang meninggalkan kota raja, seorang bangsawan yang menentang keluarga kaisar sendiri, dan seorang ahli silat yang amat pandai. Di pulau inilah Pangeran Toan Su-ong bersembunyi, hidup bersama isterinya yang tercinta, yang bernama Ouwyang Ci.
Isterinya itu memiliki kitab pusaka peninggalan Panglima The Hoo yang terkenal dan di tempat sunyi ini, Pangeran Toan Su-ong dan Ouwyang Ci yang menjadi isterinya, tekun memperdalam ilmu silat, bahkan berhasil menciptakan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang hebat.
Di tempat itu pula mereka mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Toan Kim Hong yang kemudian menjadi datuk selatan Lam-sin dan akhirnya menjadi isteri Pendekar Sadis (baca cerita Pendekar Sadis).
Pangeran bersama isterinya itu membabat hutan di pulau itu, menanami tanah pulau itu dengan pohon-pohon yang berguna, sayur-sayuran, bahkan akhirnya mereka berdua menanam bunga-bunga, membuat telaga kecil dari air sumber yang dialirkan ke situ dan sebentar saja mereka dapat memperkembangbiakkan bunga teratai merah. Pulau itu berobah menjadi tempat yang indah dan subur dan mereka memberi nama Pulau Teratai Merah.
Demikianlah riwayat singkat Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah) itu yang kini menjadi tempat tinggal Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Lam-sin Toan Kim Hong.
Setelah Pendekar Sadis dan isterinya yang memang ahli waris pulau itu tinggal disitu, pulau itu menjadi semakin indah dan terawat baik. Apalagi karena pendekar ini mempergunakan belasan orang pelayan untuk merawat pulau, tempat itu menjadi sebuah pulau yang mewah.
Ceng Thian Sin telah menjadi seorang yang kaya raya, memiliki sebuah bangunan gedung seperti istana di atas pulau. Para pembaca cerita serial Pendekar Sadis tentu maklum, betapa suami isteri pendekar ini telah memperoleh harta karun Jenghis Khan yang amat besar nilainya dan yang membuat suami isteri itu menjadi kaya raya.
Biarpun sudah lama suami isteri pendekar ini tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw, melainkan hidup makmur dan tenteram di Pulau Teratai Merah, namun hal ini bukan berarti mereka mengasingkan diri dari pergaulan. Sama sekali tidak, karena keluarga Ceng ini mengadakan hubungan dengan kota Ning-po, kota pelabuhan terbesar di daratan yang terdekat dengan Pulau Teratai Merah.
Para penghuni kota Ning-po, dari pembesar sampai kepada para pelayannya, tahu dimana letaknya pulau itu dan siapa keluarga yang tinggal di sana. Bahkan Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur di Propinsi Ce-kiang dan daerah selatan, berkenan datang berkunjung beberapa hari ke pulau indah itu dan menjadi tamu kehormatan keluarga Ceng.
Terjalin persahabatan antara keluarga Ceng dan keluarga Can, apalagi setelah pangeran yang masih berdarah keluarga kaisar di kota raja itu mengetahui bahwa isteri Pendekar Sadis adalah keturunan Pangeran Toan Su-ong yang amat terkenal itu. Bagaimanapun juga, masih ada hubungan keluarga, biarpun jauh, antara keluarga Can Seng Ong dan isteri Pendekar Sadis.
Selain itu, sudah beberapa kali suami isteri majikan Pulau Teratai Merah itu berjasa dengan beberapa kali mengusir dan membasmi penjahat-penjahat yang berani merajalela di Ning-po dan sekitarnya, yang tidak dapat ditanggulangi oleh para petugas keamanan.
Pada suatu siang yang panas, sebuah perahu kecil meluncur meninggalkan Pantai Ning-po menuju ke timur, ke arah pulau-pulau kecil yang nampak seperti titik-titik hitam itu. Perahu itu didayung gadis berpakaian sederhana dan setelah agak ke tengah, gadis itu mengembangkan layar yang segera menangkap angin dan meluncurlah perahu itu dengan lajunya, dikemudikan tangan-tangan kecil halus dengan sikap cekatan.
Jelaslah bahwa gadis ini tidak asing dengan lautan dan perahu. Hal ini bukanlah aneh kalau diketahui bahwa gadis itu lahir dan dibesarkan di Pulau Teratai Merah. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!
Setelah peristiwa pembongkaran rahasia Liu-thaikam di istana selesai dan pembesar korup itu tertangkap dan dihukum mati, Sui Cin bersama Cia Hui Song meninggalkan kota raja. Tadinya Hui Song hendak mengantar Sui Cin sampai ke Pulau Teratai Merah karena pemuda yang sudah jatuh cinta ini selain ingin memperpanjang perjalanannya bersama dara itu, juga ingin berkunjung ke pulau itu bertemu dengan Pendekar Sadis dan isterinya yang sudah lama dia kagumi namanya itu. Akan tetapi Sui Cin mencegahnya.
"Twako, harap kau jangan dulu berkunjung ke rumah kami. Ayah ibuku akan marah kepadaku kalau membawa teman tanpa memberi tahu lebih dahulu. Tidak begitu mudah untuk mendatangi Pulau Teratai Merah tanpa mendapat perkenan ayah ibu. Aku sudah lama merantau meninggalkan mereka. Kalau aku pulang membawa teman tanpa lebih dahulu mendapat ijin, aku tentu akan kena marah. Lain kali saja engkau datang kalau aku sudah menceritakan tentang dirimu kepada mereka."
Hui Song merasa kecewa akan tetapi tidak berani memaksa.
"Cin-moi, akupun tidak berani lancang mengunjungi Pulau Teratai Merah tanpa ijin orang tuamu. Biarlah aku mengantarmu sampai ke pantai dan engkau lebih dahulu menyeberang ke pulau dan melaporkan kepada orang tuamu. Kalau mereka setuju, baru aku akan ke sana. Bagaimana?"
Tentu saja tidak ada alasan bagi Sui Cin untuk menolak. Apalagi ia memang suka kepada pemuda yang jenaka dan lincah akan tetapi gagah perkasa dan berbudi ini. Ia tahu benar bahwa Hui Song mencintanya dan hal ini mendatangkan rasa senang di dalam hatinya, walaupun ia sendiri tidak tahu pasti apakah iapun mencinta pemuda ini.
Ia suka kepada Hui Song, sebagai seorang sahabat, hal ini sudah jelas. Senang bekerja sama dengan pemuda yang gagah perkasa itu, melakukan perjalanan bersama, bersendau-gurau dan bicara tentang ilmu silat. Dan bagaimanapun juga harus diakuinya bahwa cintanya pemuda itu kepadanya mendatangkan semacam rasa bangga dalam hatinya.
Mereka lalu melakukan perjalanan ke selatan dan setelah mereka tiba di kota Ning-po, Sui Cin berkata,
"Song-twako, harap engkau suka menanti di kota ini lebih dulu. Paling lambat tiga hari aku pasti akan memberi kabar kepadamu, entah aku datang sendiri atau menyuruh pelayan, mengabarkan kepadamu apakah engkau sudah boleh menyeberang ke pulau ataukah tidak."
"Baik, Cin-moi. Aku menanti di penginapan ini, mudah-mudahan orang tuamu berkenan menerima kunjunganku. Selamat jalan, Cin-moi."
“Selamat tinggal, sampai jumpa kembali."
Sui Cin meninggalkan pemuda itu dan berlayar seorang diri menuju ke Pulau Teratai Merah. Wajahnya gembira sekali, berseri-seri dan senyum menghias bibirnya. Hatinya terasa nyaman dan gembira karena begitu ia berlayar menuju ke pulaunya, barulah terasa betapa sebetulnya ia merasa amat rindu kepada ayah bundanya, kepada pulaunya, bahkan rindu kepada air laut dimana ia biasa bermain-main semenjak ia kecil.
Kini, setelah ia mangemudikan perahunya yang ngebut menuju ke timur, hatinya riang sekali. Dalam keriangannya itu teringatlah ia akan sajak yang dibuat ibunya dan yang dihafalnya ketika ia masih kecil. Kini, tak terasa lagi bibirnya bergerak dan terdengarlah alunan suaranya yang nyaring merdu diantara suara percikan air pecah dibelah ujung perahunya.
"Laut! Hidupmu penuh rahasia
airmu luas tak terjangkau mata
bergerak berobah tiada hentinya
tak berdaya namun penuh kuasa!
Kadang marah liar mengganas
kadang lembut halus dan lemas
kadang riang gembira penuh tawa
kadang meraung menangis penuh duka!
Laut! Penuh sgala
kemungkinan rahasia
cermin batin setiap manusia!
Dahulu, di waktu ia masih kecil, biarpun ia hafal akan kata-kata nyanyian itu, namun ia tidak mengerti apa yang termaksud dalam sajak itu. Memang penggambaran lautan itu dapat dimengerti. Lautan selalu berobah. Kalau sedang tenang halus, amat mentakjubkan karena indahnya, bagaikan sutera biru terhampar, atau bagaikan padang rumput segar tertiup angin, seolah-olah melambai mengajak orang menikmati keindahannya.
Akan tetapi ada kalanya laut membuat ia berlari menjauh, bersembunyi aman di dalam rumah karena laut mengamuk, mengganas, mengeluarkan suara yang mengerikan, gelombang menderu meraung-raung, kadang-kadang menangis mendesis-desis, menggelegar menghantam batu karang di pantai, demikian perkasa dan menyeramkan.
Akan tetapi hanya sampai disitu saja batas kemampuannya untuk menyelami arti sajak buatan ibunya itu. Bahkan setahun yang lalu ketika ia meninggalkan pulau, ia masih tidak perduli akan isi sajak itu, tidak berminat untuk menyelami artinya lebih mendalam.
Akan tetapi sekarang, pada saat ia bernyanyi, artinya meresap ke dalam kalbu dan ia mengerti sepenuhnya akan isi kalimat terakhir dari sajak itu.
"Laut! Penuh segala kemungkinan rahasia, cermin batin setiap manusia!"
Memang ada gerakan tiada hentinya dalam batin manusia, seperti lautan. Kadang-kadang manusia dapat bersikap lembut, terkadang ganas dan kejam, dan selama ini ia sudah melihat betapa banyaknya manusia melakukan kekejaman-kekejaman dan kebuasan yang lebih mengerikan daripada kebuasan lautan!
Baru saja Sui Cin menghentikan nyanyiannya, perhatiannya tertarik oleh beberapa buah perahu yang agaknya baru saja meninggalkan Pulau Teratai Merah. Sebuah perahu besar mewah dikawal oleh empat buah perahu kecil. Begitu melihat perahu besar itu, Sui Cin tersenyum.
Tentu saja ia mengenal perahu mewah yang berbendera besar itu. Perahu siapa lagi kalau bukan perahu Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur atau Raja Muda dan mempunyai rumah di Ning-po itu! Ia mengenal keluarga itu, juga mengenal putera tunggal raja muda itu, seorang yang usianya lima enam tahun lebih tua daripada usianya dan yang disukainya karena pemuda bangsawan yang bernama Can Koan Ti itu wataknya ceriwis, suka menggodanya dengan sikap yang kurang ajar!
Akan tetapi dalam pergaulan biasa, tentu saja ia tidak menyatakan sikap tidak senang itu, karena ia maklum bahwa orang tuanya adalah sahabat baik keluarga Can. Agaknya yang membuat ia tidak suka adalah kemewahan yang terlalu berlebihan itu. Ibunya sendiri seorang wanita cantik jelita yang pesolek dan suka mengenakan pakaian-pakaian indah, demikian pula ayahnya.
Dan keluarga Can itu seolah-olah berlomba dalam menonjolkan kekayaan mereka. Hal-hal inilah yang tidak disukai Sui Cin. Entah bagaimana, ia tidak suka bersolek, tidak suka menonjolkan kekayaan dan kadang-kadang selagi ia kecil, ia ngambek kalau oleh ibunya dipaksa mengenakan pakaian-pakaian indah. Ia lebih mengutamakan keenakan pakaian yang menempel di tubuh daripada keindahannya.
Karena inilah maka Sui Cin seringkali memakai pakaian yang aneh-aneh dan nyentrik, semata-mata dilakukan bukan untuk menarik perhatian, melainkan karena ia mengutamakan keenakan pada pakaian yang dipakainya itu.
"Haiii... Ceng Siocia...!"
Tiba-tiba terdengar seruan dari perahu besar dan seorang laki-laki menjenguk dari atas pagar besi di tepi geladak perahu. Orang itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Wajahnya tidak berapa tampang akan tetapi karena dia pesolek, dengan kulit muka biasa dibedaki, rambut tersisir rapi dan mengkilat karena minyak, pakaiannya mewah sekali, maka dia nampak sebagai seorang pria yang ganteng.
Sui Cin segera mengenalnya karena pemuda itu bukan lain adalah Can Koan Ti, putera tunggal Raja Muda Can Seng Ong atau gubernur Ce-kiang itu. Bertemu dengan orang yang sudah dikenalnya setelah lebih dari setahun berpisah mendatangkan kegembiraan. Sui Cin segera melupakan sifat-sifat yang tidak disukanya pada diri putera pembesar itu dan iapun melambaikan tangan.
"Heiii, Cong-kongcu... selamat berjumpa!" teriaknya riang.
Pemuda itu melambaikan tangan dengan gembira, lalu terdengar suaranya nyaring dan sengaja dinyaringkan karena perahu mereka sudah meluncur berpapasan,
"Haiii... engkau semakin cantik saja..."
ASMARA BERDARAH JILID 061(↕)
Sui Cin cemberut. Kiranya belum sembuh juga penyakit laki-laki itu, pikirnya. Ia hendak memaki dan sudah mengerahkan khi-kang untuk berteriak agar terdangar dari perahu besar yang sudah jauh, akan tetapi pada saat itu, banyak kepala nongol di tepi perahu itu sehingga ia melirihkan suaranya agar tidak terdangar banyak orang,
"Engkau... ceriwis dan brengsek...!"
Karena gadis itu tidak mempergunakan khi-kang ketika berteriak, tentu saja suaranya tidak dapat mencapai perahu besar yang sudah lewat agak jauh. Can Koan Ti merasa penasaran tidak mendangar apa yang diucapkan dara jelita itu, maka diapun berteriak,
"Apaaaa...? Kau bicara apa, nona...?"
Akan tetapi Sui Cin hanya memoncongkan mulut mencibirkan bibir saja. Melihat ini, pemuda bangsawan itu menjadi gemas. Awas kau, pikirnya, kalau sudah menjadi milikku, kugigit bibirmu itu!
Sui Cin tertawa-tawa kecil, senang hatinya sudah dapat menggoda pemuda bangsawan itu. Aneh, kenapa aku menjadi marah karena dipuji cantik? Ah, bukan pujiannya yang membuatnya marah, melainkan sikap pemuda itu, dan mungkin juga tergantung dari siapa yang memujinya. Kalau memang hati sudah tidak suka, biar dipujipun mungkin saja dianggap melakukan kekurangajaran. Sebaliknya kalau hati suka, biar dikurangajari sekalipun mungkin akan dianggap sebagai pujian yang menyenangkan!
Sui Cin sengaja memutar perahunya dan menghampiri Pulau Teratai Merah dari arah selatan karena di bagian selatan dari pulau itu terdapat sebuah taman laut yang amat indah. Di waktu air laut sedang tenang, dari atas perahu dapat nampak ikan-ikan di bawah permukaan air yang tidak begitu dalam dan dasar laut itupun penuh dengan batu dan bunga karang yang amat indah dan beraneka warna.
Ketika tiba di tempat ini, Sui Cin tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk menikmati tempat itu. Ia menoleh ke kanan kiri. Sunyi. Memang tidak ada nelayan berani mendekat Pulau Teratai Merah tanpa seijin orang tuanya, dan ayah bundanya melarang para nelayan mendatangi taman laut itu.
Setelah merasa yakin bahwa disitu tidak terdapat orang lain, Sui Cin lalu membuang jangkar, menggulung layar, menanggalkan pakaian luarnya kemudian juga pakaian dalamnya. Dengan bertelanjang bulat ia mengikat rambutnya di atas kepala dan terjunlah ia ke dalam air. Ia menyelam dan segera ia memasuki keadaan yang hanya dapat dibayangkan dalam mimpi.
Sebuah alam yang amat indah, beraneka warna, ada bintang-bintang berwarna, ada bunga-bunga raksasa dengan warna menyolok, ada ikan-ikan yang warnanya berkilauan dan bentuknya beraneka macam, ada yang teramat aneh dan menyeramkan.
Ia menyelam, hanya timbul untuk berganti napas dan menyedot hawa murni sebanyaknya, menyelam lagi dan tanpa dirasakan telah satu jam lebih ia bermain-main di tempat itu, suatu kebiasaan yang dahulu menjadi kesukaannya sebelum ia pergi merantau.
Setelah ia merasa lelah dan puas, baru ia naik ke perahunya, mengeringkan tubuh dan rambut, lalu mengenakan lagi pakaiannya. Dan hatinya kini menjadi semakin riang, wajahnya semakin cerah ketika ia mengemudikan perahunya menuju ke Pulau Teratai Merah.
Biarpun Pulau Teratai Merah tidak pernah dijaga ketat karena keluarga Ceng tidak takut akan ancaman bahaya, namun para pelayan mereka yang rata-rata memiliki kepandaian silat lumayan itu selalu bersikap waspada.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila mereka sudah tahu akan kedatanan nona mereka dan hal ini segera mereka laporkan kepada majikan mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin muncul di ruangan depan rumah gedung keluarganya, ayah ibunya telah berdiri menyambut dengan senyum gembira.
"Ayah...!"
Sui Cin berlari dan memeluk ayahnya, sejenak menempelkan mukanya di dada yang bidang itu. Jari-jari tangan ayahnya mengelus rambutnya, mendatangkan rasa senang dan tenteram di hati. Ia lalu mengangkat mukanya, memandang wajah ayahnya yang masih ganteng itu sambil tersenyum.
"Engkau baik saja, bukan?" Ayahnya bertanya halus.
Sui Cin mengangguk, lalu melepaskan dirinya dan menghampiri ibunya, terus merangkulnya,
"Ibu...!"
Toan Kim Hong memeluk anaknya dan menciumi pipinya.
"Anak bengal, terlalu lama kau pergi, membuat kami merasa rindu sekali."
Sui Cin juga menciumi muka ibunya yang amat cantik itu.
"Ihh, rambutmu basah! Bau air laut pula! Dan pakaianmu... hemm, kenapa engkau memakai pakaian seperti... seperti jembel...!"
Wanita itu menegur dan alisnya berkerut. Sebagai seorang ibu yang suka akan pakaian indah, tentu saja hati nyonya ini merasa kecewa melihat puteri tunggalnya berpakaian yang dianggapnya jorok dan terlalu sederhana, pantasnya pakaian wanita petani miskin.
Sui Cin melepaskan rangkulannya, melangkah mundur tiga tindak dan memandang ayah ibunya. Baru sekarang ia melihat betapa pakaian orang tuanya amat mewah, lebih indah daripada biasanya dan teringatlah ia bahwa tentu ayah ibunya belum berganti pakaian setelah tadi menerima tamu agung, yaitu keluarga Raja Muda Can itu. Timbul rasa tidak senangnya akan kemewahan ayah bundanya dan ia berkata dengan nada mengejek dan senyum dibuat-buat.
"Wah, pakaian ibu dan ayah indah sekali, baru dan mewah seperti pakaian kaum bangsawan saja!"
Memang pakaian yang dikenakan suami isteri itu indah dan mewah. Ceng Thian Sin yang telah berusia empat puluh enam tahun itu masih nampak muda dan gagah, tubuhnya tegap dan sehat, wajahnya berseri dan kepalanya memakai sebuah topi yang bagus, dihias bulu. Pakaiannya dari sutera halus biru dan putih, rapi dan mewah seperti pakaian seorang hartawan asli, sepatunya mengkilap dan baru.
Toan Kim Hong lebih mewah lagi. Rambutnya disanggul di atas, dihias emas dan permata berbentuk sebuah mainan naga kecil, kedua telinganya dihias anting-anting mutiara besar, juga kalung batu-batu permata tergantung di luar bajunya yang amat indah.
Gaun itu disulam gambar seekor burung hong dari benang emas, sesuai dengan namanya "Kim Hong" yang berarti burung hong emas! Wajah wanita yang sebetulnya dua tahun lebih tua dari suaminya ini masih nampak seperti wanita tiga puluh tahunan saja, cantik manis dan kulitnya putih halus. Sungguh sukar dipercaya bahwa wanita yang begini cantik jelita pernah menjadi Lam-sin, datuk selatan yang ditakuti semua golongan hitam.
Toan Kim Hong merasakan nada suara mengandung ejekan itu. Sepasang alisnya berkerut ketika ia berkata,
"Sui Cin! Tidak pantas engkau mengejek orang tuamu! Tidak pantas pula engkau mengenakan pakaian semacam ini! Engkau tentu tahu siapa ayahmu, dan dari mana datangnya nama keluarga Ceng. Ayahmu masih berdarah keluarga kaisar! Kakek ayahmu adalah mendiang Kaisar Ceng Tung, maka memang sudah sepatutnya kalau keluarga kita adalah keluarga bangsawan. Dan ayahku sendiri adalah seorang pangeran yang tidak rendah kedudukannya. Keluarga Toan adalah keluarga bangsawan pula. Maka, tidak perlu engkau mengejek."
Thian Sin memegang lengan isterinya dan merangkul pundak puterinya.
"Sudahlah, masa anak baru datang dimarahi. Dan engkau, Cin, tidak baik bersikap seperti itu kepada ibumu. Mari kita bicara di dalam. Kami ingin menyampaikan berita penting sekali mengenai dirimu."
Mereka bertiga lalu berjalan masuk dan suasana antara ibu dan anak itu sudah pulih kembali. Mereka masuk ke ruangan dalam dimana tidak ada pelayan yang berani masuk tanpa dipanggil dan duduklah keluarga yang terdiri dari tiga orang itu.
"Dalam perjalanan pulang tadi, di tengah lautan aku bertemu dengan perahu Raja Muda Can. Agaknya dia berkunjung kesini, benarkah, ayah?" Sui Cin bertanya, teringat akan perjalanannya tadi.
"Benar," jawab ayahnya. "Memang keluarga Can tadi berkunjung kesini dan justeru urusan dengan mereka itu yang ingin kami ceritakan kepadamu!"
Sui Cin mengerutkan alis.
"Tadi ayah bilang akan menyampaikan berita penting mengenai diriku...?"
"Ada hubungannya dengan kunjungan keluarga Raja Muda Can..." kata ibunya.
Sui Cin memandang kepada ayah ibunya yang kelihatannya ragu-ragu untuk bicara.
"Apakah yang terjadi? Apa hubunganku dengan keluarga Can? Ayah, katakanlah!"
Suami isteri itu saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata itu tahulah Pendekar Sadis bahwa isterinya dalam keadaan terharu dan menghendaki agar dia yang menyampaikan berita itu kepada anak mereka.
"Anakku, tahukah engkau berapa usiamu tahun ini?" tanyanya, ingin menyampaikan berita itu secara halus dan memutar.
"Usiaku?" Sui Cin memandang heran. "Ayah tentu tahu, usiaku hampir enam belas tahun..."
"Hemmp, sudah dewasa anakku sekarang," Toan Kim Hong berkata.
"Apa hubungannya aku dan usiaku dengan keluarga Raja Muda Can? Ahhh... aku tahu... ahh, si keparat, agaknya mereka datang untuk meminang aku, begitukah ayah dan ibu?"
"Sui Cin, hati-hati dengan mulutmu itu!" Ibunya menghardik. "Keluarga Can adalah keluarga bangsawan dan pembesar yang terhormat dan mereka datang meminangmu merupakan suatu kehormatan besar bagi kita, bagaimana engkau berani mengeluarkan kata makian?"
"Sui Cin, bersikaplah tenang dan hadapi segalanya dengan pikiran yang matang, jangan terlalu mudah menurutkan perasaan suka atau tidak suka dan dengarkan kata-kata kami." Suara Pendekar Sadis terdengar tegas dan Sui Cin menunduk.
"Maafkan, ayah."
Iapun insyaf bahwa sikapnya memang tidak sepatutnya. Ia sudah dewasa, bukan anak kecil lagi dan ia harus dapat menghadapi segala sesuatu dengan tenang seperti yang dimaksudkan ayahnya.
"Sui Cin, keluarga Can memang datang berkunjung untuk mengajukan pinangan atas dirimu. Engkau tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga yang terhormat, seorang wakil kaisar untuk daerah selatan, seorang pangeran yang menjadi raja muda, selain berdarah bangsawan tinggi, juga kaya raya dan kedudukannya tinggi terhormat. Dan puteranya, Can-kongcu adalah seorang pemuda yang terpelajar dan halus budi. Tak perlu kuceritakan banyak karena engkaupun sudah mengenalnya."
"Dan ayah ibu sudah menerimanya?" tanya Sui Cin, jantungnya berdebar tegang.
"Kami menyambutnya dengan baik dan biarpun di dalam hati kami merasa setuju sekali, akan tetapi kami ingin menanti sampai engkau pulang, jadi kami belum mengambil keputusan menerimanya. Keluarga Can yang bijaksana mengerti keadaan kami karena engkau tidak berada di rumah dan mereka menanti sampai engkau pulang."
"Terima kasih, ayah dan ibu, dan memang tidak perlu diterima pinangan itu karena aku tidak mau."
"Apa?" Ceng Thian Sin bangkit berdiri. "Engkau tidak mau? Mengapa?"
Sui Cin menentang pandang mata ayahnya yang kelihatan tidak senang.
"Tidak apa-apa, hanya aku tidak suka dan tidak disuka menjadi isteri Can Koan Ti yang ceriwis itu!"
"Sui Cin, jangan sesombong itu engkau!"
Kini ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah.
"Can-kongcu orangnya baik hati dan ramah, dan engkau memakinya ceriwis! Kami hendak mengangkatmu menjadi seorang yang terhormat dan mulia, akan tetapi engkau menolaknya mentah-mentah! Apakah engkau ingin menjadi perawan tua? Apakah engkau ingin membikin malu orang tua dengan penolakan ini, padahal kami sudah bersikap menerima dan setuju terhadap mereka?"
Melihat ayah ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah, Sui Cin juga bangkit berdiri menghadapi mereka. Hatinya terasa panas dan ia merasa dipojokkan.
"Ibu sekarang sudah berusia empat puluh tahun lebih dan aku baru enam belas tahun, berarti bahwa ibupun tentu bukan berusia muda ketika menikah dengan ayah. Mengapa hendak memaksa menikah dalam usia enam belas tahun dan khawatir aku menjadi perawan tua?"
ASMARA BERDARAH JILID 062(↕)
"Jangan bawa-bawa masa muda ibumu!" Kini Toan Kim Hong menudingkan telunjuknya dengan sikap marah. "Memang aku telah berusia dua puluh tiga tahun ketika menjadi isteri ayahmu, akan tetapi justeru kami tidak ingin melihat engkau seperti kami di masa muda. Kami ingin melihat engkau kembali kepada kedudukan yang wajar dan pantas bagi seorang keturunan bangsawan seperti engkau, menjadi orang terhormat dan mulia. Dan menjadi mantu Raja Muda Can adalah kedudukan yang paling baik yang akan pernah dapat kaumiliki, kecuali kalau engkau dapat menjadi mantu kaisar yang takkan mungkin terjadi!"
Sui Cin menjadi semakin tak senang. Perut dan dadanya terasa panas dan darahnya bergolak. Iapun bertolak pinggang dan alisnya berkerut ketika ia memandang ayah ibunya.
"Jadi... ayah dan ibu hendak memaksaku?"
Melihat ketegangan memuncak, Thian Sin melerai.
"Bukan sekali-kali kami hendak memaksamu, anakku. Kami hanya minta agar engkau suka memikirkan secara mendalam semua kata-kataku dan kata-kata ibumu. Engkau tentu tahu betapa besar cinta kami terhadap dirimu, dan kami hanya berusaha untuk membuatmu berbahagia," kata-katanya halus menghibur, membuat Sui Cin rasanya ingin menangis.
"Kalau ayah dan ibu ingin melihat aku berbahagia, janganlah memaksaku kawin dengan siapapun juga. Tunggu sampai aku berusia dua puluh tahun lebih, seperti ibu dahulu. Aku tidak suka, ayah, aku tidak mau menikah dengan orang she Can itu. Pendeknya, aku tidak suka menikah dengan orang bangsawan."
"Ehh...?"
Toan Kim Hong berseru marah. Ia sendiri adalah puteri seorang pangeran, walaupun pangeran buangan atau pengasingan, dan sejak kecil ia sudah merindukan kemuliaan itu yang kini hampir tercapai kalau puterinya menjadi mantu Raja Muda Can. Dan kini puterinya itu malah mengatakan tidak suka menikah dengan orang bangsawan!
"Kenapa engkau tidak suka menikah dengan orang bangsawan? Kenapa? Hayo jawab, tentu ada alasannya."
"Karena aku benci! Aku benci pada orang-orang bangsawan. Mereka itu tinggi hati, sombong dan korup! Aku benci kepada pembesar-pembesar yang korup, macam Liu-thaikam sehingga aku membantu para penentangnya sampai akhirnya dia jatuh."
"Hemm, jadi engkaukah satu diantara mereka yang berhasil menjatuhkan orang she Liu itu?"
Toan Kim Hong yang tadinya marah-marah kini berkata lunak karena hatinya merasa girang dan bangga sekali. Berita tentang kejatuhan Liu-thai-kam sudah mereka dengar dari keluarga Can yang memuji-muji para pendekar yang membantu pemerintah membongkar persekutuan jahat yang dipimpin Liu-thaikam dan kini ternyata bahwa satu diantara orang-orang gagah itu adalah Sui Cin.
"Sui Cin, tidak semua bangsawan tinggi hati dan sombong. Engkau tidak boleh menilai orang dari keadaan atau kedudukannya. Keadaan apapun juga tentu ada kecualinya. Banyak saja bangsawan tinggi yang rendah hati dan orang-orang biasa yang tinggi hati. Juga banyak orang-orang hartawan yang berwatak pendekar sebaliknya orang-orang miskin yang berwatak penjahat. Sudahlah, nanti kita bicarakan lagi. Engkau baru saja pulang dari kepergianmu yang setahun lebih itu."
"Benar ayahmu, Cin. Mari kita beristirahat dulu dan berganti pakaian. Engkau harus ceritakan semua pengalamanmu, terutama perjuanganmu meruntuhkan Liu-thaikam yang menggemparkan itu," kata Toan Kim Hong yang kini sudah memperoleh kembali kesabarannya, merangkul puterinya dan mengajaknya masuk ke dalam kamar.
Kepada ayah ibunya Sui Cin menceritakan semua pengalamannya, juga pertemuannya dengan tokoh-tokoh sesat Cap-sha-kui, dengan Cia Sun dan Cia Hui Song. Semua diceritakan dengan jelas kecuali bahwa saat ini Hui Song menanti di kota Ning-po, menanti "lampu hijau" darinya agar pemuda itu diperbolehkan mengunjungi Pulau Teratai Merah untuk berkenalan dengan orang tuanya.
Ketika Sui Cin bercerita tentang murid Cin-ling-pai yang bernama Tan Siang Wi yang tinggi hati, angkuh dan galak, ibunya mengerutkan alis.
"Ah, ketua Cin-ling-pai itu bernama Cia Kong Liang dan memang wataknya angkuh dan memandang rendah semua orang. Pantas kalau dia memiliki seorang murid seperti itu. Terus terang saja, aku tidak suka kepada Cin-ling-pai!"
"Memang wataknya agak tinggi hati, akan tetapi harus diakui bahwa keluarga Cin-ling-pai adalah keluarga gagah perkasa yang selalu menjunjung tinggi kebenaran. Bagaimanapun juga, aku sendiripun terhitung murid Cin-ling-pai."
“Memang benar ayah," kata Sui Cin. "Biarpun Tan Siang Wi itu berwatak angkuh, akan tetapi Cia Hui Song, putera ketua Cin-ling-pai itu sama sekali tidak sombong, bahkan ramah dan baik sekali di samping ilmu silatnya yang tinggi. Dialah yang berkeras menentang kelaliman Liu-thaikam dan aku membantunya."
Lalu diceritakannya semua tentang pemuda itu, tentu saja sambil mencari jalan untuk menyampaikan keinginan pemuda itu yang masih menanti di Ning-po.
"Cia Hui Song juga menyatakan kekagumannya terhadap ayah, dan dia ingin sekali menghadap dan berkenalan dengan ayah dan ibu." Akhirnya ia memancing.
"Hemm, tidak usah kesini... aku sudah merasa tidak suka kepada keluarga itu, lebih baik tidak ada hubungan sama sekali," kata Kim Hong dan mendengar ucapan ibunya itu, tentu saja Sui Cin tidak berani lagi mendesak.
Munculnya urusan dengan keluarga Can tentu saja merupakan halangan besar baginya untuk memperkenalkan Hui Song. Ia menolak pinangan keluarga Can dan hal itu tentu mengesalkan hati ayah ibunya yang sudah setuju menerima, maka kalau ia membawa Hui Song ke pulau tentu hanya akan makin menjengkelkan hati orang tuanya. Tidak, saatnya tidak tepat bagi Hui Song untuk datang berkunjung dan ia harus segera memberi tahu kepada pemuda itu agar tidak menunggu dengan sia-sia di Ning-po.
Pada keesokan harinya, selagi Sui Cin termenung di taman belakang gedung, masih bingung memikirkan tentang Hui Song yang menantinya di seberang, ibunya datang menghampiri, memeluk dan duduk di sampingnya, di atas sebuah bangku batu di taman itu.
"Anakku, maafkan sikap ibu kemarin. Aku telah marah-marah kepadamu, aku menyesal sekali menyambut pulangmu yang sudah amat kurindukan dengan kemarahan." Ibu itu dengan sikap lembut dan sayang mencium pipi anaknya.
Sui Cin balas mencium dan merangkul ibunya.
"Tidak, ibu. Akulah yang minta maaf karena setelah lama meninggalkan ibu, aku pulang tidak membawa oleh-oleh yang menyenangkan, malah mendatangkan kejengkelan di hati ibu dan ayah saja. Kalau aku tahu begini, aku tidak akan pulang dulu dan melanjutkan perantauanku."
"Hushhh, sudahlah. Kita lupakan saja peristiwa kemarin dan mari kita bicara dengan hati terbuka. Sui Cin, katakanlah terus terang, engkau menolak keras lamaran putera Raja Muda Can, apakah dalam perantauanmu itu engkau bertemu dengan pemuda yang telah menjatuhkan hatimu?"
Dara itu memandang wajah ibunya dengan mata terbelalak. Kim Hong menatap sepasang mata yang bening itu, penuh selidik, akan tetapi ia tidak melihat sesuatu pada sepasang mata itu dan memang anaknya benar-benar heran dan terkejut, tidak menyembunyikan sesuatu. Kim Hong adalah seorang wanita yang amat tinggi ilmunya, luas pengalamannya dan amat cerdik, maka andaikata Sui Cin menyembunyikan sesuatu perasaan tertentu sudah pasti ibunya akan dapat mengetahuinya atau setidaknya mencurigainya.
"Ibu, apa yang kau maksudkan? Menjatuhkan hatiku?"
Pertanyaan yang polos dan jujur karena memang Sui Cin belum paham akan lika-liku dan istilah tentang cinta.
"Maksudku, apakah ada pemuda yang menarik hatimu dan kau suka?"
Sui Cin masih bersikap biasa saja dan keheranan pada pandang matanya lenyap setelah ia mengerti pengertian yang tanpa diketahuinya keliru.
"Ah, itukah yang ibu maksudkan? Tentu saja ada dan banyak. Banyak kujumpai orang-orang pandai dan lihai, gagah perkasa dan menyenangkan. Terutama sekali Cia Sun dan Cia Hui Song. Mereka adalah pemuda-pemuda gagah perkasa yang mengagumkan sekali."
"Bukan begitu maksudku."
"Lalu bagaimana?" Kembali keheranan membayang di mata dara itu.
"Maksudku, apakah ada pemuda yang... eh, kepada siapa engkau jatuh cinta?"
"Ohh...!" Wajah Sui Cin berobah merah dan sejenak ia termangu-mangu, akan tetapi ia segera menggeleng kepala. "Aku tidak mengerti apa yang ibu maksudkan. Aku... aku tidak tahu apakah aku mencinta seseorang, kurasa aku hanya suka saja, ibu, suka bersahabat, terutama kepada... Cia Hui Song."
"Hemm, terutama kepada putera ketua Cin-ling-pai itu? Hati-hati, Sui Cin, jangan kau jatuh cinta kepadanya. Aku tidak suka mempunyai mantu putera Cin-ling-pai!"
Sudah menjadi watak Sui Cin tidak bisa dikeras. Kalau dihadapi dengan kekerasan, ia akan menentang. Maka kini mendengar ucapan ibunya, ia berkata,
"Ibu, terus terang saja, aku suka kepada Hui Song, akan tetapi aku tidak tahu apakah aku mencintanya. Andaikata aku mencinta, siapapun juga tidak akan dapat melarangku!"
Wajah ibunya berubah dan matanya terbelalak, akan tetapi melihat sikap puterinya yang begitu tegas dan keras, tiba-tiba nyonya ini tersenyum, teringat akan kekerasan hatinya sendiri. Ia mengangguk dan merangkul puterinya.
"Baiklah, akan tetapi engkau tidak cinta kepadanya, bukan?"
Sui Cin menggeleng kepala.
"Aku suka kepadanya karena dia gagah perkasa, ramah dan baik budi, ibu. Akan tetapi aku... aku tidak tahu apakah aku cinta kepadanya atau kepada siapapun juga. Aku masih suka hidup bersama ayah ibu, atau hidup seorang diri, merantau dan memperluas pengalaman. Aku tidak ingin terikat oleh pernikahan dan menggantungkan hidupku pada seseorang, mengurung diriku dalam sebuah rumah tangga. Ngeri aku membayangkan betapa aku menjadl nyonya rumah yang tidak pernah meninggalkan rumahnya, seperti seekor anjing yang dirantai di dalam kandangnya. Aku masih ingin bebas, ibu, seperti burung di udara..."
Ibunya mengangguk.
"Aku mengerti perasaanmu, anakku. Agaknya, jiwa petualangan ayah ibu menurun kepadamu. Akan tetapi ingat, anakku. Usiamu sudah enam belas tahun dan sudah sepatutnya engkau mempunyai ikatan dengan seseorang yang kelak akan menjadi suamimu. Kulihat Can-kongcu merupakan calon yang paling baik dan tepat untukmu. Kelak dia tentu akan menduduki pangkat yang tinggi dan hidupmu terjamin, mulia, terhormat dan bahagia. Soal pernikahan dapat saja diundur, akan tetapi asal engkau setuju, ikatan perjodohan dapat diadakan lebih dulu."
"Tidak, ibu, aku tidak mau! Aku tidak cinta pada orang itu, aku tidak suka, bahkan aku benci padanya!"
Wajah Toan Kim Hong menjadi keruh dan ia bangkit berdiri.
"Engkau hanya mengecewakan hati orang tua saja, Sui Cin."
Dan ibu yang kecewa ini meninggalkan anaknya yang duduk termenung dengan muka berubah merah dan hampir menangis. Akan tetapi Sui Cin tidak menangis, walaupun ingin ia melepaskan kemarahan dan kejengkelan hatinya melalui tumpahan air mata. Tidak, ia tidak akan menangis. Ia akan menentang kalau harus dijodohkan dengan pemuda bangsawan she Can yang ceriwis itu! Ia sudah dapat membayangkan kalau menjadi isteri bangsawan. Mengenakan pakaian indah-indah dan tebal tidak enak dipakai, harus bersikap agung-agungan menerima penghormatan orang, harus bersopan-sopan dan berpatut-patut di depan orang banyak, kemudian akan merenungi nasib sendiri di dalam kamar karena suaminya sang bangsawan pergi ke kamar selir-selir yang tak terhitung banyaknya!
Tidak, ia tidak mau. Kalau ia menjadi isteri bangsawan, tentu ia akan menjadi pembunuh, membunuh suaminya dan selir-selir suaminya. Ia ingin bebas, biarpun bersuami, akan tetapi bebas bersama suaminya menjelajahi hutan dan gunung, tidak menjadi boneka-boneka hidup di dalam gedung besar dan pengap! Dan ia teringat akan kesenangan ketika melakukan perjalanan bersama Hui Song. Menentang orang-orang jahat, menggoda dan menumpas mereka, menghadapi bahaya-bahaya yang menegangkan, mengatasi ancaman-ancaman bahaya maut, tidur di alam terbuka. Bebas!
Alangkah senangnya. Itulah hidup dan itulah kehidupan yang disenanginya. Bukan menjadi boneka hidup di samping seorang bangsawan yang menjadi suaminya, juga majikannya.
Hui Song! Dia masih menanti di Ning-po. Sui Cin lalu bangkit berdiri dan meninggalkan taman itu, menuju ke pantai dan tak lama kemudian iapun sudah melayarkan perahu kecil itu menuju ke seberang, ke daratan besar.
Hari telah senja ketika ia meninggalkan pulau tanpa setahu ayah ibunya dan ketika perahunya mendarat di pantai, cuaca sudah mulai gelap. Akan tetapi ketika ia meloncat ke daratan dan menarik pcrahunya, tiba-tiba muncul sesosok bayangan hitam menghampirinya.
ASMARA BERDARAH JILID 063(↕)
"Cin-moi...! Ah, betapa girang hatiku melihatmu!"
"Song-twako, engkau disini?" tanya Sui Cin ketika mendengar suara pemuda itu.
"Aku tidak pernah meninggalkan pantai ini sejak kita saling berpisah..."
"Eh? Engkau... tidak kembali ke penginapan?"
Pemuda itu membantunya menarik perahu ke darat dan mengikatkan tali pada tonggak. Wajahnya berseri dan nampaknya gembira bukan main dapat melihat kembali gadis itu.
"Tidak, Cin-moi. Aku... aku tidak berani meninggalkan pantai ini, takut kalau-kalau tidak melihat engkau kembali."
Sui Cin menahan tawanya.
"Ihh, engkau ini aneh sekali, twako. Seperti anak kecil. Masa aku tidak kembali? Bukankah aku sudah berjanji akan memberi kabar kepadamu?"
"Lalu bagaimana, Cin-moi? Bolehkah aku menyeberang? Apakah engkau datang ini untuk mengabarkan bahwa aku boleh menghadap orang tuamu?"
Wajah yang cantik manis itu berubah muram dan ia menggeleng kepala.
"Ah, orang tuamu... menolak kunjunganku?"
Sui Cin merasa rikuh dan serba salah. Ia adalah seorang gadis yang sejak kecil biasa bersikap terbuka, jujur. Akan tetapi kini ia merasa serba salah untuk mengaku bahwa ayah ibunya tidak suka kepada Cin-ling-pai, dan bukan hanya berkeberatan menerima putera ketua Cin-ling-pai datang berkunjung, bahkan tidak suka kalau ia bergaul dengan pemuda itu.
"Maafkan, twako. Pada waktu ini, ayah dan ibu tidak suka menerima tamu, jadi... lebih baik lain kali saja kalau engkau ingin berkenalan dengan mereka."
"Ah, sayang sekali..."
Pemuda itu kelihatan kecewa bukan main. Sesungguhnya, dia ingin sekali berkenalan dengan orang tua gadis ini, Pendekar Sadis yang sudah sejak kecil dia dengar namanya itu. Bukan hanya sekedar berkenalan biasa, akan tetapi dia sudah yakin akan cintanya terhadap Sui Cin dan pada suatu hari dia tentu akan datang bersama orang tuanya untuk meminang gadis itu. Alangkah baiknya kalau sebelumnya dia sudah berkenalan dengan orang tua Sui Cin.
Melihat betapa Hui Song nampak kecewa bukan main, Sui Cin merasa kasihan dan cepat ia berkata,
"Bagaimanapun juga, aku sendiri tidak akan kembali kesana, twako."
Tentu saja perkataan ini mengherankan hati Hui Song.
"Apa? Apa maksudmu? Engkau tidak akan pulang?"
Sui Cin menggeleng.
"Tidak, aku akan pergi lagi merantau."
Hui Song mengerutkan alisnya.
"Eh, kenapa begitu, Cin-moi? Bukankah engkau baru saja pulang dari perantauan? Baru dua hari pulang, masa hendak pergi lagi? Tentu orang tuamu akan melarangmu."
"Aku tidak perlu minta ijin mereka, aku memang pergi tanpa pamit!" kata Sui Cin dengan nada suara tak senang.
Hui Song memandang khawatir.
"Cin-moi... maaf, bukan aku ingin mencampuri urusan keluargamu, akan tetapi apakah yang telah terjadi? Engkau nampaknya tidak senang dan marah. Kalau hanya karena aku tidak boleh menyeberang, hal itu tidak ada artinya Cin-moi dan membuatmu marah, apalagi kepada orang tuamu sendiri."
"Bukan hanya itu, twako. Yang membuat hatiku kesal dan mendorongku pergi lagi meninggalkan rumah adalah karena aku... mau dijodohkan dengan putera gubernur!"
Hati Hui Song berdebar setelah terasa nyeri seperti tertusuk. Dia memaksa senyum dan menjura.
"Wah, selamat, Cin-moi."
"Selamat hidungmu!" Sui Cin membentak jengkel. "Engkau malah ingin menambah kejengkelan hatiku? Aku tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi isteri bangsawan ceriwis itu!"
Hui Song merasa betapa suatu kelegaan dan kegembiraan luar biasa menyelinap di hatinya mendengar kata-kata setengah teriakan dari gadis itu. Akan tetapi dia pura-pura terkejut dan bersikap serius.
"Ah, kalau begitu maafkan aku, Cin-moi. Akan tetapi... mengapa engkau begitu marah dan menolak? Bukankah putera seorang gubernur itu merupakan calon suami yang amat baik, terpelajar, kaya raya dan berkedudukan tinggi? Hemm, aku tahu, Cin-moi. Aku tahu mengapa engkau menolaknya."
Sui Cin memang mudah marah dan mudah bergembira. Orang seperti ia tidak dapat marah terlalu lama. Wataknya terlalu lincah gembira untuk dapat bertahan marah terlalu lama. Kini ia memandang pemuda itu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum.
"Hemm, engkau seperti peramal saja, twako. Coba ingin kudengar tebakanmu, kalau memang engkau tahu mengapa aku menolaknya."
"Apalagi kalau bukan karena engkau sudah mempunyai pilihan hati sendiri? Engkau tentu sudah mempunyai seorang calon dalam hatimu."
Wajah yang manis itu menjadi merah, akan tetapi bibirnya berjebi mengejek.
"Ihh, engkau hanya ngawur saja! Tidak, aku tidak mempunyai calon seperti yang kau terka itu. Sedikitpun aku belum memikirkan tentang itu. Cih, memalukan saja! Aku menolak karena memang aku tidak suka kepada pemuda bangsawan yang ceriwis itu, dan juga karena aku sama sekali belum mau terikat menjadi isteri orarg. Aku masih ingin bebas seperti burung di udara, merdeka beterbangan ke manapun yang kukehendaki."
Sui Cin tidak menyadari betapa Hui Song telah memancing untuk mengetahui isi hatinya dan tentu saja pemuda ini merasa girang sekali karena kini dia tahu bahwa gadis ini masih kosong hatinya dan dia mengharapkan untuk mengisinya.
"Kalau engkau tidak mau pulang, lalu engkau hendak pergi kemana, Cin-moi?"
"Kemana saja asal tidak pulang, asal tidak mendengarkan bujukan orang tuaku untuk menerima tikus itu sebagai calon suamiku!"
"Kalau begitu, marilah ikut bersamaku, Cin-moi. Aku hendak pulang ke Cin-ling-pai dan mari kuperkenalkan engkau kepada orang tuaku."
Sui Cin mengangguk.
"Aku tidak mempunyai tujuan tertentu, boleh saja kalau pergi kesana. Sudah lama aku mendengar tentang Cin-ling-pai dan akupun ingin berkunjung ke Pegunungan Cin-ling-san yang katanya amat indah. Akan tetapi, jangan mengambil jalan darat. Lebih baik mempergunakan perahu menyusuri pantai ke utara dan mendarat di Hang-couw, baru kita melanjutkan perjalanan melalui daratan."
"Kenapa begitu?"
"Engkau tidak tahu kelihaian orang tuaku. Kalau mereka tahu aku pergi, tentu mereka akan melakukan pengejaran dan kalau aku mengambil jalan darat, jangan harap dapat lolos dari kejaran mereka. Akan tetapi kalau mengambil jalan laut dari sini, tentu tidak meninggalkan jejak dan betapapun lihainya ayah, tentu dia tidak akan dapat mengikuti kepergianku."
Hui Song menyetujui dengan kagum dan tak lama kemudian merekapun sudah berlayar lagi menempuh gelombang menuju ke utara. Sementara itu, malam telah tiba dan pelayaran mereka diterangi bintang-bintang di langit.
"Song-twako, sekali ini aku benar-benar menjadi seorang kelana miskin. Aku pergi tanpa pamit, tidak membawa bekal pakaian, apalagi uang. Perantauanku yang dahulu direstui orang tuaku dan aku membawa bekal banyak emas. Akan tetapi sekarang... aku benar-benar miskin."
"Kita bukan orang-orang hartawan yang sedang pelesir, Cin-moi. Perlu apa bekal uang banyak? Asal engkau tidak menyebar dan membagi-bagikan uang kepada para jembel di pasar, aku masih mempunyai bekal cukup kalau hanya untuk biaya di perjalanan saja."
"Kalau hanya untuk biaya perjalanan, apa sih sukarnya? Kalau memang kita memerlukan, mudah saja mengambil dari peti-peti uang orang lain!"
"Wah, engkau hendak mencuri? Dari para hartawan?"
Sui Cin menggeleng kepala.
"Ayah dan ibu akan marah kalau aku mencuri milik siapapun. Akan tetapi kalau aku mengambilnya dari tempat judi misalnya, mereka tentu tidak akan marah."
Keduanya tersenyum dan perahu meluncur dengan laju. Indah bukan main pemandangan di malam hari itu. Bintang-bintang bercermin di permukaan air laut dan kadang-kadang orang akan terlupa dan mengira bahwa benda-benda bercahaya yaeg jutaan banyaknya itu bukan berada di atas kepala, melainkan di bawah jauh tak berdasar.
ASMARA BERDARAH JILID 064(↕)
Dusun Lok-cun di luar kota Sin-yang di tepi Sungai Huai pada pagi hari itu nampak ramai dan gembira. Para penghuni dusun yang tidak berapa besar itu nampak merayakan sesuatu dan nampak sibuk sejak pagi tadi.
Memang, pada hari itu mereka semua merayakan pernikahan anak perempuan dari kepala dusun mereka. Seperti di dusun-dusun lainnya pada jaman itu, seorang kepala dusun merupakan seorang raja kecil yang amat dihormati oleh para penghuni dusun yang merupakan rakyatnya. Maka, ketika kepala dusun Coa dari dusun Lok-cun itu merayakan pernikahan puterinya, seluruh penghuni dusun itu sibuk merayakannya.
Lurah Coa hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak perempuan yang kini sedang dirayakan hari pernikahannya. Seluruh keluarga Coa nampak gembira ria. Mereka merasa terhormat sekali karena puteri lurah itu akan menikah dengan jaksa di kota Sin-yang!
Walaupun jaksa itu usianya sudah hampir enam puluh tahun dan gadis itu menjadi isteri ke lima, akan tetapi semua orang tahu bahwa jaksa itu memiliki kekuasaan yang amat besar di kota Sin-yang, bahkan mempunyai pengaruh dan kawan-kawan di kota raja. Maka, kalau gadis itu menjadi isterinya, walaupun isteri kelima, bukan hanya gadis itu akan terjamin hidupnya dan menjadi nyonya jaksa yang terhormat, akan tetapi juga kepala dusun itu akan naik derajatnya dan mungkin akan mudah naik pangkat!
Akan tetapi, kalau semua orang bergembira, sebaliknya Coa Lan Kim, gadis puteri kepala dusun itu sendiri, sejak beberapa hari yang lalu menangis saja di dalam kamarnya. Gadis ini selalu membayangkan seorang pemuda sederhana yang selama ini menjadi kekasihnya, seorang pemuda petani yang dahulu menjadi pembantu ayahnya, mengurus sawah ladang ayahnya.
Pemuda ini bahkan sudah disetujui oleh keluarga lurah Coa sendiri untuk menjadi calon mantu karena memang pemuda itu cukup tampan, rajin bekerja dan berbadan sehat. Akan tetapi, begitu datang lamaran dari jaksa itu, si pemuda dilupakan, bahkan didepak keluar oleh lurah Coa.
Betapa hati Lan Kim tidak akan berduka kalau ia memikirkan nasibnya dan nasib kekasihnya yang bernama Lo Seng itu? Ia dipaksa untuk menjadi isteri orang lain, padahal sejak dahulu ia sudah membayangkan kehidupan yang berbahagia bersama pemuda itu.
Kini ia harus menurut untuk dibawa pergi dari rumahnya, tidak akan dapat bertemu kembali dengan Lo Seng dan yang membuat ia amat berduka adalah karena ia mendengar bahwa selain dipecat, juga Lo Seng dipukuli karena hendak menentang pernikahannya dengan jaksa itu. Dan ia tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan kekasihnya itu.
Pagi hari itu, selagi semua penghuni dusun sibuk membantu keluarga lurah Coa, Lan Kim menangis dalam kamarnya, tidak mendengarkan bujukan-bujukan dan hiburan-hiburan ibunya dan beberapa orang wanita yang bertugas menemaninya.
"Sudahlah, Lan Kim. Mengapa menangis terus? Nasibmu baik sekali, engkau akan meniadi nyonya jaksa yang dihormati orang banyak, bergelimang kemewahan, kenapa menangis? Nanti matamu akan bengkak-bengkak dan memalukan kalau pengantin matanya bengkak-bengkak. Pula, sebentar lagi engkau mulai dirias dengan pakaian pengantin dan nanti menjelang sore engkau akan dijemput dan dibawa ke Sin-yang," demikian antara lain ibunya membujuk.
"Ibu, aku tidak suka... aku tidak mau..."
"Ahhhh... engkau memang keras kepala, Lan Kim! Apakah engkau ingin ayahmu marah? Aku tahu, engkau menolak hanya karena disana ada Lo Sang, bukan?"
"Ibu... bagaimana dengan dia? Ibu, kasihan dia..."
"Hemm, sikapmu ini sama sekali tidak menolongnya. Bahkan akan mencelakakan Lo Seng karena engkau tetap bersikap keras seperti ini. Kau tahu, kalau ayahmu mengetahui bahwa engkau menolak karena Lo Seng, banyak kemungkinan Lo Seng akan dijebloskan penjara atau dibunuh!"
“Ibu...!"
"Karena itu, engkau menurut saja. Dan kalau engkau sudah menjadi isteri jaksa, aku akan membujuk ayahmu agar Lo Seng dipekerjakan lagi. Bukankah dengan demikian berarti engkau menolong dan menyelamatkannya?"
Demikianlah sang ibu membujuk puterinya yang kini hanya terisak perlahan.
"Ambil pakaian pengantin itu, akan kucobakan dahulu, kalau ada yang kurang pas masih ada waktu untuk dibetulkan," kata nyonya Coa.
Akan tetapi, terdengar jeritan kaget dan tukang rias itu kini datang membawa sebuah peti dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Nyonya... celaka... pakaiannya hilang...!"
Wanita itu terkejut bukan main dan bangkit sambil membelalakkan matanya.
"Apa? Hilang bagaimana maksudmu?"
"Hilang, nyonya. Peti tempat pakaian pengantin ini kosong!"
Keadaan menjadi geger. Ketika lurah Coa diberi tahu, dia marah-marah dan mengerahkan semua orangnya untuk mencari siapa pencuri pakaian pengantin. Akan tetapi, isterinya lebih cerdik dan cepat-cepat memanggil tukang jahit untuk secara kilat membuatkan pakaian pengantin baru, walaupun pakaian yang dibuat tergesa-gesa ini tentu saja tidak seindah pakaian pengantin yang hilang.
Ketika keadaan menjadi kacau dan tak seorangpun memperhatikan pengantin wanita, tiba-tiba terjadi keributan lain yang lebih menggegerkan lagi. Tiba-tiba saja, seperti juga hilangnya pakaian pengantin tadi, Coa Lan Kim juga lenyap begitu saja dari dalam kamarnya!
Tidak ada seorangpun yang melihat bagaimana lenyapnya, juga tidak ada yang mendengar sesuatu. Tentu saja kini keadaan menjadi benar-benar kalut. Lurah Coa semakin marah dan seluruh pasukan keamanan dikerahkan, bahkan semua penduduk menjadi ikut gelisah dan ikut mencari-cari kemana perginya pengantin wanita.
Kegembiraan yang berganti dengan kegelisahan dan kekacauan itu amat menarik perhatian Sui Cin dan Hui Song yang kebetulan sekali pada pagi hari itu tiba disitu, memasuki dusun Lok-cun dalam perjalanan mereka menuju ke barat, ke Pegunungan Cin-ling-san.
Tentu saja hati mereka tertarik melihat betapa penduduk nampak begitu gelisah ketakutan, orang-orang mencari-cari sesuatu kesana-sini sedangkan rumah kepala dusun terhias indah, akan tetapi kini orang-orang tidak ada lagi yang melanjutkan pekerjaan merias rumah yang belum selesai sepenuhnya itu. Juga adanya para penjaga berkeliaran dengan sikap cemas itu menarik sekali. Rasa heran mereka bertambah ketika tiba-tiba saja ada belasan orang penjaga keamanan mengepung mereka dengan senjata tajam di tangan.
"Hemm, kalian ini mau apakah mengepung kami?" Sui Cin bertanya dengan alis berkerut.
"Kalian adalah orang-orang asing yang baru memasuki dusun kami. Menyerahlah. Karena kami yakin bahwa kalian yang kami cari-cari. Siapa lagi yang mengacau dusun kami kecuali dua orang asing?" bentak seorang yang bermata lebar dan bersikap bengis.
"Sabar dulu, sobat," kata Hui Song, mencoba untuk tersenyum ramah. "Apa yang terjadi dan mengapa kalian menuduh kami secara membabi-buta? Kami tidak tahu apa-apa. Kami baru saja tiba disini dan melihat kekacauan ini, malah kami bertanya-tanya mengapa kalian begini gelisah dan apa yang terjadi...?"
"Cukup! Ikut kami menghadap kepala dusun, tak perlu membela diri di sini!" bentak si muka bengis dan dia sudah maju untuk menangkap lengan Sui Cin.
Akan tetapi gadis itu menarik tangannya dan sekali kakinya bergerak, ujung sepatunya mencium lutut si mata lebar dan orang ini mengaduh dan jatuh berlutut.
"Nah, bagus! Minta ampun dahulu baru kita bicara," Sui Cin mengejek.
Melihat betapa seorang kawan mereka roboh oleh gadis itu, kecurigaan mereka semakin kuat bahwa dua orang muda mudi inilah tentu yang telah mengacaukan dusun mereka. Maka serentak mereka maju menerjang dengan senjata mereka.
Hui Song dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu dan orang-orang dusun ini salah duga. Kalau dilanjutkan sikap Sui Cin, tentu mereka akan semakin curiga lagi. Maka diapun cepat merggunakan kepandaiannya, menyambut serangan itu dengan merampas semua golok dan pedang.
Gerakannya memang cepat bukan main karena dia menggunakan jurus Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok) sehingga para pengeroyok itu tidak tahu apa yang terjadi karena tiba-tiba saja senjata mereka terlepas dan terampas. Kiranya pemuda itu sudah merampas semua senjata mereka dan kini golok dan pedang itu telah ditumpuk di depan kaki si pemuda tampan.
"Tenanglah saudara-saudara. Kami bukan orang jahat dan kalau ada urusan, beritahukanlah kami. Siapa tahu kami dapat membantu kalian," kata Hui Song.
Pada saat itu, lurah Coa sudah tiba disitu dan lurah inipun tadi melihat betapa dengan mudahnya pemuda tampan itu merampasi senjata orang-orangnya. Dia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu seorang pendekar, maka diapun cepat maju menjura.
"Harap taihiap sudi memaafkan orang-orang kami yang kurang ajar. Dusun kami sedang dilanda kekacauan karena munculnya iblis yang mencuri calon pengantin wanita..."
"Eh? Ada pengantin dicuri?" Sui Cin berseru kaget dan tertarik sekali.
"Pengantin itu adalah anak saya sendiri, baru saja lenyap tanpa bekas setelah lebih dahulu pakaian pengantin yang lenyap." Lurah Coa lalu menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi.
Hui Song dan Sui Cin mendangarkan penuh perhatian.
"Kami akan mencoba untuk mencari penculiknya," kata Hui Song. "Mudah-mudahan kami dapat menemukan kembali puterimu itu."
Setelah mendangarkan penuturan itu, Hui Song dan Sui Cin mempergunakan kepandaian mereka berloncatan pergi meninggalkan dusun. Mereka mengambil keputusan untuk mencari penculik gadis itu dan tentu saja mereka tidak mengharapkan akan dapat menemukan penculik itu di dalam dusun. Mereka mencari keluar dusun, mengelilingi dusun itu dan akhirnya mereka mendaki sebuah bukit tak jauh dari dusun itu karena bukit itu penuh dengan hutan, tempat yang baik sekali bagi para penjahat untuk menyembunyikan diri.
Dengan cepat sekali mereka mendaki bukit dan tibalah mereka di daerah berbatu di luar hutan dan dari jauh mereka sudah melihat seorang kakek duduk bersila di depan sebuah guha yang besar.
Tentu saja mereka menjadi curiga dan tertarik sekali karena keadaan kakek itu sudah amat mengherankan hati. Seorang kakek tua renta yang kepalanya gundul tak ditumbuhi rambut lagi, alisnya amat lebat dan panjang, demikian pula jenggot dan kumisnya yang semua telah berwarna putih.
Sukar ditaksir berapa usia kakek ini, mungkin sudah seratus tahun. Akan tetapi tubuh kakek itu pendek kecil, seorang kakek katai yang pakaiannya juga aneh. Kakek katai jenggot panjang sampai ke perut ini memakai jubah yang mewah! Jubah yang sepatutnya dipakai seorang pembesar atau seorang hartawan!
Dan di punggungnya tergantung guci arak yang besar, sebesar kepalanya yang gundul, diikatkan dengan tali ke pundaknya. Sepatunya dari kulit, juga bagus dan baru.
Ketika Hui Song dan Sui Cin tiba di depan kakek itu, si kakek katai yang tadinya seperti orang bersamadhi itu kini membuka kedua matanya dan begitu sepasang mata itu dibuka, mau tidak mau Sui Cin menahan ketawanya. Dari sepasang matanya ini saja sudah dapat diketahui bahwa kakek ini adalah seorang aneh yang berwatak riang gembira, terbukti dari sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah yang berseri-seri lucu itu.
"Heh-heh-heh!" Kakek katai itu mendahului mereka, terkekeh geli. "Apakah kalian ini sepasang pendekar muda yang hendak mencari penculik pengantin wanita? Heh-heh!"
Tentu saja Hui Song dan Sui Cin terkejut, merasa ditodong ketika kakek itu mendadak saja bertanya seperti itu, Hui Song hanya dapat mengangguk dan Sui Cin melangkah maju dan dialah yang menjawab,
"Benar, kek. Engkau ini kakek pendek lucu bagaimana bisa tahu bahwa kami mencari penculik pengantin?"
Sejenak kakek itu memandang wajah Sui Cin, matanya semakin bersinar dan wajahnya semakin berseri
"Heh-heh, nona manis, apa sukarnya? Kalian berlari-lari mendaki bukit dengan mempergunakan ilmu berlari cepat seperti dua orang pendekar, berkeliaran ke sini mau apalagi kalau bukan mencari penculik pengantin? Heh-heh-heh."
ASMARA BERDARAH JILID 065(↕)
Literatur Fiksi silat karya A.S. Kho Ping Hoo ini sangat populer di Indonesia. Cerita berlatar belakang Tionghoa ini boleh dibilang melegenda sampai sekarang. Alur ceritanya sangat menarik disisipi filsafat-filsafat kehidupan, sehingga pembacanya merasa tidak bosan dan mengikuti terus alur cerita sampai akhir. Bahkan para penggemarnya ada yang berkelompok dan membentuk sebuah group, baik di dunia nyata maupun di berbagai media sosial FB, IG, Twitter dll.
Senin, 19 Februari 2018
Asmara Berdarah Jilid 065
Kini Hui Song sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentulah memiliki kepandaian tinggi, maka dia bersikap hormat dan menjura.
"Maaf kalau kami menggangumu, locianpwe. Kami berdua bukanlah pendekar, akan tetapi dugaan lo-cianpwe benar bahwa kami sedang mencari pengantin wanita yang lenyap diculik orang. Dapatkah kiranya locianpwe membantu kami..."
"Membantu apa?" kakek itu memotong.
"Hi-hik, engkau ini aneh, kek. Tentu saja membantu kami memberi tahu apakah engkau tahu dimana adanya pengantin wanita yang diculik itu," kata Sui Cin, tidak mau bersikap terlalu hormat dan menyebut locianpwe kepada kakek lucu ini.
Anehnya, menghadapi sikap Sui Cin yang bebas dan seenaknya itu, si kakek katai kelihatan lebih senang dan diapun tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Nona manis, engkau sungguh menyenangkan hati. Tentu saja aku tahu dimana adanya pengantip wanita itu karena akulah orangnya yang telah menculiknya!"
"Uhh...! Heiiiittt...!"
Hui Song demikian kaget mendengar pengakuan langsung seperti itu dan diapun sudah meloncat ke belakang sambil memasang kuda-kuda karena ketika bicara tadi si kakek botak mengakhiri pengakuannya sambil menggerakkan kedua tangan ke depan yang disangkanya sebagai gerakan hendak menyerang.
Melihat ini, kakek itu memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak, lalu dia tertawa bergelak sambil menepuk-nepuk perut.
"Hua-ha-ha, orang muda, apakah engkau hendak menari monyet? Ha-ha-ha!"
Wajah Hui Song menjadi merah karena malu. Dia sendiri adalah seorang pemuda jenaka dan periang, suka menggoda orang, akan tetapi sekali ini dia bertemu batunya dan sebaliknya malah digoda dan menjadi bahan ejekan orang.
Akan tetapi Sui Cin yang sejak semula sudah merasa suka dan menganggap kakek itu lucu, segera mencela.
"Wah, siapa percaya omonganmu, kek? Engkau tentu hanya membual saja. Mana bisa orang tua renta lemah sepertimu ini mampu melarikan seorang gadis pengantin? Dan pula, untuk apa bagimu? Engkau membual dan aku tidak percaya kentut itu!"
Kakek itu bangkit berdiri dan melihat betapa kakek itu tingginya hanya sampai ke dadanya, Sui Cin merasa semakin geli.
"Wah, kau ini anak kecil beruban ataukah kakek bertubuh kecil?" Ia menggoda.
"Kentut! Siapa yang kentut? Yang bertelur itulah yang berkotek, dan tentu engkau yang kentut, bukan aku, karena mana mungkin aku menjadi ayam biang? Aku jantan, dan engkau betina, maka engkaulah yang menjadi ayam biang dan engkau yang kentut berbau busuk!"
Mendengar omongan yang tidak karuan dan ugal-ugalan itu, Sui Cin terkekeh dan terpingkal-pingkal, membuat kakek itu semakin penasaran lagi.
"Eh, nona, berani engkau mentertawakan aku dan mengira aku membual, ya? Nah, lihat sendiri itulah mempelai wanita yang kuculik dari rumah lurah Coa. Hei, anak-anak, keluarlah dan perlihatkan diri kalian kepada nona tukang kentut dan penari monyet ini!"
Sui Cin dan Hui Song memandang ke dalam guha dan mereka terbelalak heran ketika melihat munculnya seorang gadis manis yang bergandeng tangan dengan seorang pemuda yang bajunya robek-robek dan kulit tubuhnya juga memperlihatkan bekas-bekas cambukan.
Sui Cin yang tadinya mengira kakek itu membual, kini memandang penuh perhatian. Inikah mempelai wanita yang dikabarkan hilang diculik orang itu? Dan kakek ini penculiknya? Lalu siapa pemuda yang kelihatan jujur, seperti kebanyakan pemuda dusun atau petani itu?
"Eh, enci, benarkah engkau puteri lurah Coa, yang akan menjadi pergantin lalu diculik kakek ini? Dan siapa temanmu itu?" Sui Cin bertanya.
Gadis itu memang benar Lan Kim adanya, dan pemuda itu adalah kekasihnya yang bernama Lo Sang. Mendengar pertanyaan Sui Cin, ia mengangguk.
"Aku adalah Coa Lan Kim, puteri lurah Coa yang akan menjadi pengantin, dan memang aku diculik oleh locianpwe ini dan dia ini adalah Lo Seng, calon suamiku," katanya dengan tabah dan sikap menentang.
Memang kini ia akan menentang siapa saja yang hendak menghalangi niatnya hidup bersama Lo Seng yang dicintainya.
"Suamimu? Calon suamimu? Bagaimana pula ini? Kalau engkau mau dikawinkan dengan pemuda ini, kenapa engkau diculik kesini dan bersama calon suamimu..." Sui Cin berkata bingung.
"Aku bukan akan dikawinkan dengan dia!" Lan Kim berkata. "Aku hendak dikawinkan menjadi isteri kelima seorang pembesar di Sin-yang, dan aku tidak mau. Dia ini... pilihan hatiku dan aku ingin hidup bersama dia..."
"Ah, jadi engkau penculiknya!" Hui Song menudingkan telunjuknya kepada Lo Seng, "Engkau menculik pengantin untuk kau kawini sendiri? Sungguh berani dan..."
"Hushh, penari monyet ini benar-benar menjengkelkan!" Kakek katai ikut bicara. "Dengarkan dulu penuturan pengantin wanita dan jangan cerewet dulu seperti perempuan!"
"Wah, kek, jangan gitu! Tidak semua perempuan cerewet!" Sui Cin menegur, agak tak senang karena Hui Song dipermainkan.
"Aku tidak perduli kalau perempuan cerewet, memang sudah pembawaannya. Akan tetapi kalau laki-laki cerewet, aku tidak suka."
Lan Kim mengerti bahwa dua orang muda yang kelihatannya pantas itu tentu bukan orang jahat dan agaknya terjadi kesalah-pahaman tentang penculikannya, maka iapun sambil menggandeng tangan kekasihnya, maju melangkah lagi.
"Harap ji-wi suka mendengarkan penuturanku agar jangan salah sangka. Sejak dahulu antara aku dan Lo Seng ini terjalin hubungan akrab dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Apalagi orang tuaku juga sudah setuju mengambil Lo Seng sebagai mantu, setelah Lo Seng membantu mengurus sawah ladang ayah selama beberapa tahun. Akan tetapi pada suatu hari datanglah pinangan pembesar di kota Sin-yang terhadap diriku. Ayah tidak berani menolak, bahkan merasa beruntung menerimanya. Dan Lo Seng yang menentang lalu dipecat, bahkan dicambuki. Nah, dalam keadaan seperti itu, selagi aku putus asa, muncul locianpwe ini membawa aku lari dari rumah dan mempertemukan aku dengan kekasihku di guha ini."
Kini terdengar Lo Seng bercerita.
"Aku sudah hampir putus asa dan mengambil keputusan membunuh diri saja daripada melihat kekasihku menikah dengan orang lain dan aku sendiri kehilangan pekerjaan dan dimusuhi. Tapi muncul lo-cianpwe ini menyelamatkan aku dan ketika aku bercerita tentang keadaanku, locianpwe ini membawaku kesini, menyuruh aku menunggu didalam guha ini dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa Lan Kim. Kini kami berdua sepakat untuk hidup bersama atau mati berdua. Harap ji-wi dapat mengerti keadaan kami dan tidak memaksa kami untuk kembali."
Hui Song dan Sui Cin saling pandang dan hati mereka merasa terharu. Kiranya kakek katai itu sama sekali bukan orang jahat, melainkan seorang penolong budiman.
"Aah, kiranya engkau benar-benar seorang yang baik, kakek tua," kata Sui Cin gembira dan Hui Song menjura.
"Harap locianpwe maafkan kalau kami menyangka buruk."
"Heh-heh, orang-orang muda baru mempunyai kepandaian sedikit saja sudah tekebur dan ingin berlagak pendekar-pendekar jagoan. Orang-orang muda, andaikata aku benar-benar menculik gadis itu untukku sendiri, dengan niat busuk, habis apa yang hendak kalian lakukan?"
"Tentu saya akan menentangnya!" kata Hui Song.
"Kau akan kugempur dan gadis itu kurampas untuk kukembalikan kepada orang tuanya, kek," sambung Sui Cin.
"Bagus, nah, kalau begitu kalian majulah, hendak kulihat sampai dimana kelihaian kalian."
"Tapi, locianpwe tidak berniat buruk dan tidak bersalah...!" Hui Song membantah.
"Hemm, andaikata aku penjahat, apakah engkau juga masih ragu-ragu. Nah, majulah dan anggap saja aku pencuilk gadis. Ingin kulihat sampai dimana kelihaian kalian. Atau, aku sebagai penjahat medahului kalian karena tidak ingin diganggu!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja kakek itu sudah maju dan ketika tangannya bergerak, tangan itu sudah menampar ke arah dada Hui Song.
"Eeiiitt...!"
Hui Song mengelak dengan mundur selangkah, akan tetapi tamparan yang luput itu sudah disambung dengan totokan ke arah pundak. Gerakan kakek itu cepat sekali sehingga mengejutkan hati Hui Song yang kini menggunakan tangan menangkis totokan.
"Dukk!"
Tubuh Hui Song terhuyung ke belakang. Pemuda ini terkejut bukan main karena tadi ia hanya mempergunakan sebagian sin-kangnya, khawatir akan melukai kakek tua renta itu, akan tetapi akibatnya, dia terhuyung dan lengannya tergetar hebat. Kiranya kakek ini memiliki sin-kang yang hebat.
Akan tetapi, sambil terkekeh-kekeh kakek itu sudah menyerangnya lagi dan gerakannya cepat bukan main. Tubuh yang kecil itu berkelebat seperti terbang saja dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram ke arah pundak Hui Song.
"Lihat seranganku!"
Tiba-tiba terdengar Sui Cin membentak dari samping dan ia sudah menggerakkan tangan kirinya menotok ke arah iga bawah ketiak dari lengan kakek yang mencengkeram itu. Totokan ini hebat dan cepat datangnya, membuat kakek itu terpaksa membatalkan cengkeramannya pada pundak Hui Song, lalu menekuk lengan untuk menangkis sekalian menangkap pergelangan tangan gadis itu.
Namun Sui Cin sudah menarik pulang tangan kirinya dan kini tangan kanannya menampar dan dari telapak tangan itu keluarlah uap putih tipis. Itulah Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), sebuah ilmu pukulan yang amat ampuh, satu diantara ilmu-ilmu ampuh yang diajarkan Pendekar Sadis kepada puteri tunggalnya itu.
"Ehh...!"
Kakek itu terkejut sekali menyaksikan ilmu pukulan yang hebat ini dan begitu dia berkelebat, Sui Cin yang menjadi bengong karena orang yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan tahu-tahu sudah berada di belakang tubuhnya dan sambil terkekeh kakek itu kini menotok ke arah tengkuknya.
Sui Cin merasa adanya angin menyambar ini, maka iapun mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya mencelat ke depan untuk mengelak. Akan tetapi pada saat itu, Hui Song yang sudah tahu betapa lihainya kakek itu, sudah menerjang ke depan pada saat Sui Cin diserang sehingga andaikata Sui Cin tidak mempergunakan kecepatan gerakannya mengelak sekalipun, serangan kakek itu akan dapat digagalkannya karena kini Hui Song juga tidak sungkan-sungkan lagi. Begitu menyerang, pemuda ini telah mempergunakan jurus Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan tenaga sakti Thian-te Sin-kang!
Kembali kakek itu terkejut. Diapun agaknya tidak mengira bahwa dua orang muda itu sungguh merupakan dua orang muda yang berilmu tinggi, dua orang pendekar muda tulen! Apalagi ketika dia melihat betapa ilmu-ilmu yang dipergunakan dua orang muda ini bukanlah ilmu-ilmu silat biasa saja, melainkan ilmu-ilmu yang amat tinggi mutunya.
"Nantl dulu, tahan dulu...!"
Tiba-tiba kakek itu berhenti dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke belakang menjauhi dua orang muda itu.
"Kek, kami belum kalah kenapa berhenti?"
Sui Cin yang sudah merasa gembira dengan pertandingan itu, mencela. Bagaimanapun juga, gadis ini merasa benar dalam hatinya bahwa kakek itu bukan orang jahat dan pertandingan itu hanya merupakan pengujian kepandaian saja. Ia bahkan merasa suka kepada kakek itu yang memiliki wajah jenaka dan gembira.
"Heh-heh-heh, akupun belum kalah. Aku hanya minta berhenti sebentar untuk bicara. Agaknya kalian berdua memiliki sedikit ilmu silat, pantas saja kalian begitu tekebur hendak berperan sebagai pendekar-pendekar. Sekarang begini. Kalian melawan aku, dan kalau dalam waktu dua puluh jurus aku masih belum dapat mengalahkan kalian, anggap saja aku kalah dan aku akan menyebut kalian suhu dan subo!"
Sui Cin tertawa geli.
"Wah, kalau engkau menyebut subo kepadaku, berarti usiaku tentu sudah seratus tahun lebih. Tapi itu merupakan penghormatan besar. Baik, aku setuju!"
ASMARA BERDARAH JILID 066(↕)
Hui Song diam-diam merasa terkejut. Begini tekeburkah kakek ini? Dia tahu akan kemampuan diri sendiri dan diapun sudah tahu betapa tinggi ilmu gadis puteri Pendekar Sadis itu. Menandingi mereka satu lawan satu saja jarang dapat ditemukan orangnya, dan kakek ini menantang mereka berdua maju mengeroyok dan bertaruh dapat mengalahkan mereka dalam waktu dua puluh jurus! Tentu saja hatinya merasa penasaran karena dia merasa dipandang rendah.
"Baik, locianpwe, kami setuju. Akan tetapi bagaimana kalau... kalau kami yang kalah dalam dua puluh jurus itu?"
"Ha-ha-ha, orang muda yang berhati-hati, tentu engkau sudah menyangka buruk lagi kepadaku, ya? Dengarlah, kalau aku kalah, aku menyebut kalian suhu dan subo, akan tetapi kalau sebelum dua puluh jurus kalian yang kalah, kalian harus membantuku menolong pengantin ini."
"Menolong dengan cara bagaimana?" tanya Sui Cin.
"Kita harus menggagalkan pernikahan itu dan menghajar pembesar mata keranjang itu agar kapok. Akan tetapi, kalian harus menurut semua rencana siasat yang kuatur dan sama sekali tidak boleh menolak."
Tentu saja Sui Cin dan Hui Song menyetujui karena apa salahnya kalau hanya itu taruhannya? Tanpa bertaruh sekalipun, mereka berdua bukankah sekarang juga sudah berusaha menolong pengantin wanita yang tadinya mereka cari karena menyangka diculik penjahat?
"Baik, baik, kami berjanji," kata mereka dengan gembira.
"Nah, bersiaplah. Jurus pertama!" kakek itu berseru dan tubuhnya bergerak secara aneh, tahu-tahu dalam satu jurus saja dia sudah menendang ke arah lutut Hui Song dan tangan kirinya menyambar ke arah pundak Sui Cin.
Gerakannya selain aneh dan kuat, juga cepat sekali, mendatangkan angin bersuitan mengejutkan dua orang muda yang cepat menghindarkan diri.
Hui Song adalah seorang pemuda cerdik. Dia maklum bahwa kakek ini memang lihai bukan main, akan tetapi kalau dalam waktu dua puluh jurus saja, mana mungkin mengalahkan dia dan Sui Cin, apalagi kalau mereka berdua mengerahkan seluruh daya untuk melindungi diri? Kalau mereka membagi perhatian untuk menyerang, mungkin mereka akan terlengah dan dapat dikalahkan.
"Cin-moi, pergunakanlah daya tahan Thai-kek Sin-kun!"
Gadis itupun cerdik dan ia mengerti apa yang dimaksudkan Hui Song, maka seperti juga pemuda itu, ia segera mainkan Thai-kek Sin-kun, mencurahkan segala perhatian untuk mempertahankan atau melindungi dirinya. Keadaan kedua orang muda itu tiada ubahnya dua buah benteng baja yang amat kuat dan tidak ada bagian lemah yang akan dapat ditembus!
Kakek itu sejenak terbelalak, kemudian mengeluarkan seruan keras dan sampai beberapa jurus lamanya dia berusaha mendobrak benteng pertahanan itu dengan berbagai macam serangan yang aneh-aneh. Namun semua serangannya kandas dan tidak mampu membobolkan benteng-benteng pertahanan dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun itu.
"Wah, hebat, hebat... Thai-kek Sin-kun yang hebat sekali...!"
Berkali-kali kakek itu berseru dengan suara mengeluh ketika kemanapun juga dia menyerang, dia selalu gagal karena yang diserang itu pasti bisa mengelak atau menangkis. Padahal, dia sudah menyerang selama dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi! Dia termangu-mangu sejenak dan Sui Cin mengejek.
"Hi-hik, kakek lucu, bersiap-siaplah menyebut subo kepadaku. Sudah dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi, jangan mengurangi hitungan!"
"Heh-heh-heh, siapa mengurangi hitungan? Masih ada delapan jurus, cukup untuk mengalahkan kalian!"
Tanpa menanti jawaban, tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring. Dua orang muda itu terkejut karena suara melengking itu mengandung khi-kang yang amat kuat, yang masuk dengan tajam menusuk jantung melalui telinga.
Cepat mereka memasang kuda-kuda dan mengerahkan sin-kang melindungi tubuh bagian dalam dari serangan suara penuh khi-kang ini. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh kakek itu melesat dan lenyap, yang nampak kini hanya bayangan berkelebatan mengitari mereka, makin lama makin cepat sehingga tidak lagi nampak jelas bayangannya, menjadi kabur!
Inilah berbahaya, pikir mereka. Tanpa dapat mengikuti gerak-gerik kakek itu yang ternyata mempergunakan gin-kang yang sukar dipercaya kalau tidak melihat sendiri, begitu cepat seperti terbang, bahkan seperti menghilang saja, mereka takkan percaya ada gin-kang sehebat itu. Maka, merekapun bersikap waspada, tidak berani berkedip karena sekali berkedip cukuplah bagi kakek itu untuk memasukkan serangannya dengan tepat.
Benar saja, dua kali kakek itu menerjang sambil berputar, akan tetapi karena dua orang muda itu sudah bersiap-siap dengan kuda-kuda yanig amat kuat, mereka berdua mampu menangkis. Kakek itu agaknya merasa penasaran dan menyerang lagi sampai empat jurus, akan tetapi semua serangannnya gagal.
"Hi-hik, tinggal dua jurus lagi dan engkau menyebutku subo!" Sui Cin tak dapat menahan kegembiraan hatinya mengejek.
Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu mengeluarkan uap putih dan terciumlah bau arak wangi. Kiranya kakek itu sambil berputar semakin cepat telah menyerang dengan menggunakan semburan arak yang agaknya diminumnya sambil berlari berputar-putar itu.
Sui Cin dan Hui Song terkejut. Sambaran arak itu mengenai kulit mereka seperti jarum-jarum halus saja, dan yang membuat mereka repot adalah semburan yang mengarah muka mereka! Tentu saja mereka gelagapan dan melindungi muka, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja mereka merasakan lutut mereka lemas kehilangan tenaga dan betapapun mereka bertahan, tetap saja kaki mereka tertekuk dan keduanya roboh berlutut!
"Hoa-ha-ha-ha, tepat dua puluh jurus dan kalian mengaku kalah. Akan tetapi tak perlu berlutut, jangan sungkan-sungkan, aku tidak bisa menerima penghormatan berlebihan ini, ha-ha-ha!"
Sui Cin dan Hui Song saling berpandangan. Lutut mereka tadi tertotok, akan tetapi tidak parah, hanya cukup membuat mereka terpaksa berlutut saja. Kini pengaruh totokan sudah lenyap lagi dan mereka bangkit berdiri. Tahulah mereka bahwa kakek itu selain amat lihai juga tidak berniat buruk, hanya ingin menang tanpa berniat mencelakakan mereka. Akan tetapi Sui Cin cemberut.
"Kakek buruk, engkau telah menang dengan menggunakan akal busuk!"
"Ha-ha-ha, anak manis, akal dan siasat memang diperlukan dalam pertandingan. Siapa kalah kuat harus menggunakan akal. Nah, kalian sudah kalah dan sekarang kalian harus membantuku. Waktunya hanya tinggal setengah hari. Sore hari nanti pengantin wanita she Coa ini akan dijemput dan dibawa ke Sin-yang, ke rumah calon suaminya, si bangsawan keparat itu. Siapakah nama kalian?"
"Saya bernama Cia Hui Song, locian-pwe."
"Namaku Ceng Sui Cin."
"Hemm, she Cia mengingatkan aku kepada Cin-ling-pai dan she Ceng...? Apakah bocah nakal yang dijuluki Pendekar Sadis itu juga she Ceng?"
Karena maklum bahwa kakek ini tentu seorang tokoh sakti yang selama ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah mendengar tentang kakek katai ini, Hui Song merasa tidak perlu menyembunyikan diri.
"Pendekar Sadis adalah ayah kandung nona ini dan ketua Cin-ling-pai adalah ayah saya, locianpwe."
Kakek itu membelalakkan matanya, mengelus jenggot panjangnya dan terta-watawa.
"Hua-ha-ha-ha, pantas, pantas...! Sekarang aku tidak penasaran lagi mengapa mengalahkan dua orang bocah ingusan macam kalian saja aku harus mengerahkan seluruh tenaga sampai dua puluh jurus, kalau bukan kalian, ha-ha, baru muncul saja aku sudah jatuh nama. Nah, Sui Cin dan Hui Song, kini dengar baik-baik rencanaku untuk menolong gadis itu dan menghajar pembesar mata keranjang itu. Sui Cin, sekarang engkau harus mengantar gadis Coa itu pulang ke rumahnya karena disana sudah dipersiapkan untuk sore nanti mengantar pengantin wanita ke Sin-yang."
"Eh, bagaimana ini? Bukankah gadis itu akan dipaksa kawin dan engkau hendak mencegah terjadinya hal itu, kek?" tanya Sui Cin yang tetap menyebut kakek dan tidak bersikap hormat seperti Hui Song.
"Ingat, kalian sudah kalah dan berjanji akan mentaati semua perintahku untuk menolong pengantin."
"Baiklah, kek, aku tidak membantah, hanya bertanya," kata Sui Cin bersungut-sungut.
Kakek itu tertawa, gembira agaknya dapat menggoda Sui Cin. "Engkau mengantar gadis Coa itu kembali karena engkau tadi berjanji untuk mencarinya. Katakan saja kepada keluarga itu bahwa gadisnya diculik penjahat dan engkau berhasil merampasnya kembali, dan katakan bahwa engkau akan mengawal sendiri puteri menuju ke Sin-yang agar jangan diganggu penjahat di tengah perjalanan. Mengerti?"
"Wah, kakek buruk, agaknya engkau hendak mengejekku, ya? Sudah jelas bahwa aku gagal merampas kembali pengantin yang kau culik!" Sui Cin mengomel.
"Dan apakah tugas saya, locianpwe?" tanya Hui Song yang terbawa oleh percakapan itu. "Cin-moi, sudahlah kita mentaati saja karena sudah kalah. Pula, kita tahu bahwa locianpwe ini bukan orang jahat, andaikata demikian, tentu kita tidak akan menurut begitu saja."
"Heh-heh, putera Cin-ling-pai ini sukar mempercaya orang, dan selalu menyangka buruk. Untukmu aku sudah mempunyai tugas yang amat tepat. Engkau akan kudandani, ingat, engkau harus taat kepadaku. He, orang muda, kau bawa kesini pakaian pengantin itu!" kata kakek itu kepada Lo Seng.
Lo Seng mengambil sebuah bungkusan di sudut guha dan menyerahkannya kepada si kakek yang segera membuka bungkusan dan keluarlah seperangkat pakaian pegantin berikut penghias rambut dan sebagainya, milik nona pengantin Coa yang lenyap dicuri orang itu! Melihat ini, Hut Song terbelalak dan mukanya berubah merah.
"Locianpwe, apa maksudmu?"
Akan tetapi kakek itu sudah menghampirinya, membentang pakaian pengantin wanita yang lebar dan berwarna indah dengan hiasan huruf-huruf yang berbunyi "Bahagia" itu.
"Engkau harus mentaati perintahku, menjalankan siasatku. Lekas pakai pakaian ini. Engkau harus menyamar pengantin wanita, menggantikannya kelak untuk diboyong ke rumah pejabat itu."
"Wah...! Ini... ini..." Hui Song tergagap dan bingung.
"Hi-hik! Twako, kita sudah kalah dan berjanji mentaatinya. Engkau juga harus mentaati perintahnya."
Sui Cin tertawa-tawa gembira dan geli ketika kakek itu memaksa Hui Song memakai jubah pengantin diluar pakaiannya sendiri. Karena pakaian pengantin itu memang besar kedodoran dan tubuhnyapun sedang saja, maka pakaian itu dapat juga menutupi tubuhnya dan tentu saja kelihatan lucu. Apalagi setelah kakek itu memaksanya memakai rangkaian bunga di kepalanya. Sui Cin melihat ini sambil tertawa-tawa geli, sampai memegangi perutnya saking gelinya. Apalagi melihat betapa Hui Song menjadi bengong dan melongo saja dengan muka yang ketololan, ia menjadi semakin geli.
"Wajahmu cukup tampan, akan tetapi kurang halus untuk menjadi wajah pengantin wanita yang halus putih," kakek itu berkata, mengeluarkan bedak dan menggunakan jari tangannya mengoleskan bedak di muka Hui Song yang terpaksa berdiri tak bergerak dan mendorong muka ke depan, pasrah tanpa berani membantah. Sui Cin yang berdiri di belakangnya, tertawa gembira.
"Wah, sulit amat. Membungkuklah, Hui Song, wah, alismu terlalu tebal, harus dicukur bersih dan dibikin kecil," kakek itu tertawa-tawa.
"Wah, jangan, locianpwe...!" Hui Song berkata khawatir.
Melihat ini, Sui Cin lalu turun tangan. "Kakek nakal, biarkan aku yang mendandani Song-twako, tanggung akan kelihatan lebih cantik menarik daripada kalau engkau yang merusak mukanya."
Sui Cin memang ahli dalam melakukan penyamaran dan setelah ia turun tangan, maka Wajah Hui Song memang kelihatan cantik, walaupun tentu saja ails-nya masih terlalu tebal dan juga tubuhnya kaku.
Kakek itu lalu memberitahukan siasatnya. Gadis Coa akan diantar pulang oleh Sui Cin dan selanjutnya mereka akan bergerak menukar pengantin dan memberi hajaran kepada pembesar itu dan pemuda Lo Seng diharuskan menanti di dalam guha.
Berangkatlah mereka. Sui Cin mengantar gadis Coa pulang ke dusunnya. Karena sudah diberi tahu bahwa para orang gagah itu akan menolongnya dan akan melepaskannya dari cengkeraman pembesar di Sin-yang agar ia dapat hidup bersama Lo Seng, Coa Lan Kim tidak merasa takut ketika dibawa pulang ke dusun oleh Sui Cin.
"Ingat, kalian sudah kalah dan berjanji akan mentaati semua perintahku untuk menolong pengantin."
"Baiklah, kek, aku tidak membantah, hanya bertanya," kata Sui Cin bersungut-sungut.
Kakek itu tertawa, gembira agaknya dapat menggoda Sui Cin. "Engkau mengantar gadis Coa itu kembali karena engkau tadi berjanji untuk mencarinya. Katakan saja kepada keluarga itu bahwa gadisnya diculik penjahat dan engkau berhasil merampasnya kembali, dan katakan bahwa engkau akan mengawal sendiri puteri menuju ke Sin-yang agar jangan diganggu penjahat di tengah perjalanan. Mengerti?"
"Wah, kakek buruk, agaknya engkau hendak mengejekku, ya? Sudah jelas bahwa aku gagal merampas kembali pengantin yang kau culik!" Sui Cin mengomel.
"Dan apakah tugas saya, locianpwe?" tanya Hui Song yang terbawa oleh percakapan itu. "Cin-moi, sudahlah kita mentaati saja karena sudah kalah. Pula, kita tahu bahwa locianpwe ini bukan orang jahat, andaikata demikian, tentu kita tidak akan menurut begitu saja."
"Heh-heh, putera Cin-ling-pai ini sukar mempercaya orang, dan selalu menyangka buruk. Untukmu aku sudah mempunyai tugas yang amat tepat. Engkau akan kudandani, ingat, engkau harus taat kepadaku. He, orang muda, kau bawa kesini pakaian pengantin itu!" kata kakek itu kepada Lo Seng.
Lo Seng mengambil sebuah bungkusan di sudut guha dan menyerahkannya kepada si kakek yang segera membuka bungkusan dan keluarlah seperangkat pakaian pegantin berikut penghias rambut dan sebagainya, milik nona pengantin Coa yang lenyap dicuri orang itu! Melihat ini, Hut Song terbelalak dan mukanya berubah merah.
"Locianpwe, apa maksudmu?"
Akan tetapi kakek itu sudah menghampirinya, membentang pakaian pengantin wanita yang lebar dan berwarna indah dengan hiasan huruf-huruf yang berbunyi "Bahagia" itu.
"Engkau harus mentaati perintahku, menjalankan siasatku. Lekas pakai pakaian ini. Engkau harus menyamar pengantin wanita, menggantikannya kelak untuk diboyong ke rumah pejabat itu."
"Wah...! Ini... ini..." Hui Song tergagap dan bingung.
"Hi-hik! Twako, kita sudah kalah dan berjanji mentaatinya. Engkau juga harus mentaati perintahnya."
Sui Cin tertawa-tawa gembira dan geli ketika kakek itu memaksa Hui Song memakai jubah pengantin diluar pakaiannya sendiri. Karena pakaian pengantin itu memang besar kedodoran dan tubuhnyapun sedang saja, maka pakaian itu dapat juga menutupi tubuhnya dan tentu saja kelihatan lucu. Apalagi setelah kakek itu memaksanya memakai rangkaian bunga di kepalanya. Sui Cin melihat ini sambil tertawa-tawa geli, sampai memegangi perutnya saking gelinya. Apalagi melihat betapa Hui Song menjadi bengong dan melongo saja dengan muka yang ketololan, ia menjadi semakin geli.
"Wajahmu cukup tampan, akan tetapi kurang halus untuk menjadi wajah pengantin wanita yang halus putih," kakek itu berkata, mengeluarkan bedak dan menggunakan jari tangannya mengoleskan bedak di muka Hui Song yang terpaksa berdiri tak bergerak dan mendorong muka ke depan, pasrah tanpa berani membantah. Sui Cin yang berdiri di belakangnya, tertawa gembira.
"Wah, sulit amat. Membungkuklah, Hui Song, wah, alismu terlalu tebal, harus dicukur bersih dan dibikin kecil," kakek itu tertawa-tawa.
"Wah, jangan, locianpwe...!" Hui Song berkata khawatir.
Melihat ini, Sui Cin lalu turun tangan. "Kakek nakal, biarkan aku yang mendandani Song-twako, tanggung akan kelihatan lebih cantik menarik daripada kalau engkau yang merusak mukanya."
Sui Cin memang ahli dalam melakukan penyamaran dan setelah ia turun tangan, maka Wajah Hui Song memang kelihatan cantik, walaupun tentu saja ails-nya masih terlalu tebal dan juga tubuhnya kaku.
Kakek itu lalu memberitahukan siasatnya. Gadis Coa akan diantar pulang oleh Sui Cin dan selanjutnya mereka akan bergerak menukar pengantin dan memberi hajaran kepada pembesar itu dan pemuda Lo Seng diharuskan menanti di dalam guha.
Berangkatlah mereka. Sui Cin mengantar gadis Coa pulang ke dusunnya. Karena sudah diberi tahu bahwa para orang gagah itu akan menolongnya dan akan melepaskannya dari cengkeraman pembesar di Sin-yang agar ia dapat hidup bersama Lo Seng, Coa Lan Kim tidak merasa takut ketika dibawa pulang ke dusun oleh Sui Cin.
ASMARA BERDARAH JILID 067(↕)
Lurah Coa dan orang-orangnya menyambut kedatangan mereka dengan gembira sekali. Dengan gayanya yang menarik Sui Cin menceritakan bahwa Lan Kim diculik oleh gerombolan penjahat yang berilmu tinggi, akan tetapi ia berhasil merampasnya kembali.
"Lanjutkanlah upacara pernikahan, dan aku sendiri yang akan mengawal enci Lan Kim ke Sin-yang agar dapat membasmi para penjahat yang hendak mencoba menghadang di tengah perjalanan."
Tentu saja keluarga Coa menjadi gembira sekali dan Sui Cin disambut dan dijamu seperti seorang tamu agung yang amat dihormati. Kepada lurah Coa, Sui Cin memberitahukan bahwa kawannya kini masih menyelidik gerombolan itu, membayangi mereka ketika mereka melarikan diri.
Lan Kim didandani dan kini gadis itu tidak menolak lagi, tidak rewel sehingga ibunya merasa lega dan senang. Biarpun pakaian pengantin yang dikenakan nona pengantin itu dibuat tergesa-gesa dan tidak seindah pakaian pengantin yang hilang, namun Lam Kin nampak cantik dan anggun dalam pakaian pengantin.
Setelah saatnya tiba, muncullah jemputan dari Sin-yang, utusan pengantin pria yang mengirim joli dan barang-barang hadiah. Pengantin pria sendiri tidak muncul. Bukankah dia seorang pejabat tinggi di Sin-yang dan Lan Kim hanya menjadi isteri ke lima?
Kedudukannya terlalu tinggi untuk merendahkan dia turun ke dusun menjemput sendiri calon isterinya kelima, dan para utusannya saja sudah cukup membuat keluarga Coa merasa terhormat sekali, apalagi para utusan itu datang membawa hadiah-hadiah yang luar biasa banyaknya bagi keluarga lurah itu.
Setelah lurah Coa menceritakan kepada para utusan bahwa di dusun itu terdapat gangguan gerombolan penjahat dan bahwa Sui Cin adalah seorang pendekar wanita yang mengawal pengantin, para pesuruh dari kota itupun merasa gembira. Siapa tidak akan gembira melakukan perjalanan dikawal seorang pendekar wanita secantik itu?
Berangkatlah rombongan pengantin, diiringi suara musik dan petasan, juga suara tangisan ibu pengantin dan para keluarga wanita lain. Tangis para keluarga wanita mengantar pengantin ini sudah merupakan semacam kebiasaan dan tradisi yang tidak mungkin dapat ditinggalkan lagi. Sukar lagi membedakan mana tangis yang sungguh-sungguh dan mana tangis buatan, seperti juga ratap tangis yang terdengar pada peristiwa perkabungan.
Menyedihkan memang kalau kita benar-benar mau membuka mata dengan waspada dan melihat betapa kepalsuan-kepalsuan semakin tebal menghiasi kehidupan kita. Tangis kita, tawa kita, kebanyakan merupakan perbuatan yang palsu dan pura-pura untuk menutupi atau menyembunyikan keadaan yang sesungguhnya dari batin kita.
Dengan dalih demi sopan santun, demi tata susila dan sebagainya, banyak hati yang sedang berduka memaksa mulut untuk tersenyum atau sebaliknya batin yang tidak sedang perihatin memaksa mata untuk menangis.
Bahkan setiap hari kita selalu seperti terpaksa untuk berpura-pura, berpalsu-palsu, bersikap atau berbuat yang berlawanan dengan batin! Tidak adanya persamaan atau keserasian antara batin dan ucapan, antara batin, ucapan dan perbuatan, merupakan konflik-konflik yang setiap hari terjadi dalam diri kita.
Kesemuanya itu bahkan seperti sudah menjadi suatu keharusan, suatu kebiasaan bagi kita. Dapat kita selidiki pada diri sendiri. Kalau kita berhadapan dengan orang lain, kalau kita bersikap manis, tersenyum, menangis. Benarkah semua itu sesuai dengan suara hati kita? Ataukah hanya pura-pura saja, sekedar memenuhi syarat umum agar dianggap sopan, beradab dan sebagainya? Mengapa begini? Tidak dapatkah kita bersikap wajar dan selalu ada keserasian antara batin, ucapan dan perbuatan?
ASMARA BERDARAH JILID 068(↕)
Rombongan pengantin itu hanya melalui sebuah hutan kecil karena jarak antara dusun Lok-cun dan kota Sin-yang juga tidak begitu jauh, hanya perjalanan kurang lebih dua jam saja. Maka, para pengawal atau utusan Su-tikoan (jaksa Su) sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan agak geli melihat betapa keluarga pengantin wanita menyediakan seorang pendekar wanita untuk mengawal pengantin.
Sudah bertahun-tahun tidak pernah terjadi pencegatan perampok atau penjahat lain di hutan itu. Tadipun ketika mereka pergi ke dusun membawa barang-barang hadiah pengantin yang berharga, sama sekali tidak terjadi gangguan. Pula, siapa berani mengganggu rombongan pengantin Su-tikoan? Mencari mati saja namanya!
Ketika mereka tiba di dalam hutan, sore telah larut dan senja mendatang, membuat cuaca dalam hutan menjadi remang-remang karena sinar matahari yang sudah condong ke barat itu terhalang daun pohon-pohon. Ketika mereka sedang enak berjalan, tiba-tiba terdengar teriakan yang amat nyaring dari samping kiri, teriakan yang menggetarkan jantung dan menusuk telinga mereka.
"Berhenti dan serahkan nona pengantin!"
Mendengar ini, wajah para utusan dan para pengawal yang jumlahnya belasan orang itu menjadi pucat dan mata mereka terbelalak. Akan tetapi dengan memberanikan hati mereka mencabut senjata masing-masing, dan mereka memandang kepada Sui Cin yang menurut keluarga mempelai ditunjuk sebagai pengawal dan pelindung nona pengantin.
Sui Cin juga memperlihatkan sikap gugup.
"Kalian bertahan disini, biar aku yang menyelamatkan pengantin. Aku tunggu kalian di luar hutan ini!"
Berkata demikian, Sui Cin lalu mengambil joli atau gerobak dorong itu dan mendorongnya sendiri sambil berlari keluar dari hutan.
Tiba-tiba muncullah seorang yang melihat pendeknya tubuh tentu seorang remaja, akan tetapi dia memakai kedok lebar yang menutupi semua wajahnya, hanya memperlihatkan dua buah mata yang mencorong di balik lubang-lubang kedok kayu itu. Sambil mementangkan kedua lengannya, orang yang bertubuh kecil pendek seperti anak-anak ini berkata,
"Hayo tinggalkan semua senjata dan pakaian kalian disini kalau ingin selamat!"
Kalau tadi semua orang itu merasa takut, kini mereka tersenyum mengejek. Kiranya hanya seorang anak kecil yang menghadang mereka, yang hendak menakut-nakuti mereka dengan kedok setan, seolah-olah mereka itu dianggap sebagai serombongan anak-anak penakut saja.
"Heh, bocah setan, apa kau sudah bosan hidup?" bentak kepala rombongan. "Hayo buka kedokmu dan berlutut minta ampun telah mengejutkan hati kami!"
"Heh-heh-heh, rombongan tikus. Lekas lakukan perintahku tadi atau kalian harus berlutut delapan kali dan menyebut aku kong-couw!"
Tentu saja rombongan itu menjadi marah sekali. Seorang diantara mereka melangkah maju dan mengayun tangan menampar ke arah muka anak bertopeng itu dengan keras. Orang ini tinggi besar dan tangannyapun lebar, ketika menampar seperti kipas saja mendatangkan angin.
"Plakk!”
Sungguh aneh sekali. Anak pendek berkedok itu hanya mengangkat tangan menangkis, tepat mengenai lengan si tinggi besar, akan tetapi seketika si tinggi besar mengaduh dan berjingkrak sambil memegang lengan kanannya yang terasa panas dan sakit seperti tadi bertemu dengan tongkat baja. Melihat ini, semua orang menjadi marah dan dengan senjata di tangan mereka menerjang.
"Heh-heh, kalian harus berlutut semua, berlutut semua!"
Orang berkedok itu tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap, disusul teriakan-teriakan dan belasan orang itu roboh satu demi satu, roboh berlutut karena tiba-tiba saja mereka merasa kaki mereka seperti lumpuh.
Akan tetapi ketika mereka semua memandang, orang berkedok yang bertubuh pendek itu telah lenyap dari situ, entah kemana dan agaknya orang itu tidak melakukan sesuatu lagi, buktinya barang-barang mereka masih utuh, juga mereka itu semua tidak terluka dan kini dapat berdiri lagi.
Tentu saja pengalaman aneh ini membuat mereka merasa ketakutan. Belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan orang yang sehebat itu kepandaiannya, dan tanpa menanti perintah lagi mereka segera berlomba melarikan diri keluar hutan menyusul larinya Sui Cin yang telah pergi lebih dahulu menyelamatkan nona pengantin itu.
Ketika mereka tiba di luar hutan, rombongan itu melihat Sui Cin berdiri menanti bersama joli dorong yang diselamatkannya tadi. Giranglah hati mereka karena ternyata gadis pendekar itu dalam keadaan selamat dan terutama sekali pengantin wanita ternyata tidak terganggu.
Sui Cin berpura-pura heran melihat mereka berlari-lari dengan sikap ketakutan itu dan menyongsong mereka dengan pertanyaan heran,
"Eh, kenapa kalian berlari-lari seperti orang ketakutan?"
Dengan suara mengandung ketegangan dan napas masih terengah-engah, mereka lalu menceritakan betapa mereka diserang oleh seorang penjahat bertubuh kecil seperti kanak-kanak yang memakai kedok. Tentu saja Sui Cin diam-diam merasa geli karena ia dapat menduga siapa adanya anak kecil berkedok yang lihai itu.
"Kalau begitu, mari kita cepat pergi dari sini menyelamatkan pengantin sebelum setan itu melakukan pengejaran," katanya.
Rombongan itu tentu saja setuju dengan ucapan ini dan dengan tergesa-gesa mereka lalu mendorong joli pengantin yang berupa gerobak kecil beroda itu. Saking tegang hati mereka, para pendorong gerobak itu tidak menyadari bahwa joli atau berobak yang mereka dorong itu jauh lebih berat daripada tadi.
Ketika rombongan yang menjemput nona pengantin tiba di gedung Su-tikoan, ternyata rumah itu tidak dirias dan penyambutan tidak semeriah upacara yang diadakan di rumah nona pengantin.
Dan memang hal itu tidak mengherankan. Menikahi seorang wanita untuk menjadi isteri kelima, apalagi kalau wanita itu hanya seorang gadis desa, tidak dianggap sebagai peristiwa yang patut dirayakan secara besar-besaran oleh pejabat tinggi itu. Bahkan dianggapnya sebagai suatu kesenian atau hiburan pribadi saja, maka disitu tidak terdapat pesta penyambutan, tidak banyak tamu kecuali beberapa belas orang anak buah pembesar itu.
Apalagi ketika para penjemput itu dengan bermacam gaya menceritakan tentang pencegatan orang aneh yang amat lihai, Su-tikoan sendiri yang merasa khawatir lalu tergesa-gesa memerintahkan agar pengantin perempuan langsung saja dalam jolinya itu dibawa ke dalam gedung dan langsung ke dalam kamar pcngantin!
Hanya empat orang yang memanggul joli dorong itu, dan dikawal oleh Sui Cin. Ketika Su-tikoan mendengar bahwa gadis cantik jelita yang ikut bersama rombongan itu adalah seorang pengawal yang melindungi nona pengantin, tentu saja dia memperkenankan pengawal cantik ini ikut masuk pula.
Hati pembesar bertubuh gendut yang mata keranjang itu segera tertarik kepada Sui Cin. Dia sudah pernah melihat Lan Kim dan kini dia melihat betapa wanita gagah itu jauh lebih cantik daripada gadis desa yang diangkatnya menjadi isteri kelima, maka tentu saja matanya sudah melirak-lirik dan mulutnya tersenyum-senyum ceriwis.
Apalagi ketika dia melihat betapa wanita perkasa yang cantik jelita itu bersikap manis dan selalu tersenyum kepadanya. Pembesar yang usianya sudah enam puluh tatun ini memang terkenal mata keranjang dan agaknya dia beranggapan bahwa semua wanita dibeli dengan harta dan kedudukannya. Baginya, wanita tentu tunduk dan mau kalau dipameri harta dan kedudukan tinggi, biarpun dia sudah tua dan wajahnya buruk, dengan muka kasar menghitam dan perut gendut seperti perut babi.
Maka, ketika joli tiba di depan kamar yang sudah dipilihnya sebagai kamar pengantin bagi calon isterinya yang kelima, dia menyuruh empat orang pemikul joli itu pergi. Joli diturunkan dan kini didorong oleh Sui Cin sendiri memasuki kamar atas isyarat pembesar itu.
Lima orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik dengan suara ketawa ditahan yang genit ikut pula memasuki kamar dan mereka ini segera mempersiapkan hidangan yang lezat dan mewah di atas meja dalam kamar.
"Nona tentu lelah dan baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan. Silakan duduk, nona," kata pembesar itu.
Tanpa banyak pura-pura lagi Sui Cin duduk di atas kursi, menghadapi meja makan sampai semua hidangan diatur di atas meja dan pembesar itu menyuruh para pelayan keluar dari dalam kamar.
"Tinggalkan kami dan jangan ganggu atau masuk kalau tidak dipanggil," kata pembesar gendut itu.
Para pelayan itu cekikikan dan berlarian keluar. Tentu saja pembesar yang mata keranjang itu tidak pernah membiarkan wanita begitu saja dan semua pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik itu selain bertugas sebagai pelayan juga kadang-kadang memperoleh giliran menemaninya dalam kamar. Karena itulah maka mereka bersikap genit dan berani.
Setelah semua pelayan keluar dan daun pintu kamar itu ditutup, pembesar itu cengar-cengir mendekati Sui Cin. Sekali ini dia mengamati wajah wanita gagah ini dan jantungnya berdebar tegang. Inilah wanita cantik, pikirnya. Belum pernah dia mendapatkan seorang wanita secantik ini, apalagi kalau wanita ini memiliki kegagahan, seorang ahli silat pandai yang selain menjadi miliknya sebagai kekasih juga dapat bertugas menjadi seorang pengawal pribadi yang setia dan menyenangkan!
"Nona, siapakah namamu?"
Sui Cin mengerutkan alisnya akan tetapi tidak memperlihatkan rasa jijik dan marahnya. Pembesar ini adalah seorang laki-laki tua yang buruk rupa juga buruk watak. Mana ada seorang pengantin pria yang sedang dipertemukan dengan calon isterinya, belum juga melihat calon isteri yang masih dibiarkan di dalam joli, sudah main mata dan berusaha merayu seorang wanita lain yang baru dijumpainya? Benar-benar seorang buaya darat, seorang hidung belang yang mata keranjang! Akan tetapi ia pura-pura tersenyum manis dan melirik manja.
"Taijin, nona pengantin sedang menanti dalam joli."
"Ehh...? Ohh... ya, aku lupa..."
"Biarlah saya keluar dari kamar dan pulang, taijin."
"Eh, jangan dulu... jangan dulu, kita makan minum dulu, bersama nona pengantin. Aih, aku sampai lupa kepada nona pengantin. Nona pengantin, keluarlah dan mari kita makan minum!" katanya sambil tersenyum menyeringai dan membuka joli yang tertutup itu.
Akan tetapi ketika nona pengantin itu keluar dari joli, Su-tikoan terbelalak, matanya yang besar itu melotot seperti meloncat keluar dari tempatnya.
"Ini... ini... bukan gadis anak lurah itu...! Eh, siapa engaku, berani mati mempermainkan aku?"
Dia membentak dan melotot ke arah Hui Song yang berdiri di depannya dalam pakaian pengantin wanita!
Hui Song yang memang berwatak jenaka dan suka menggoda orang, kini berlenggak-lenggok genit seperti seorang perempuan, tentu saja dengan gaya yang lucu dan kaku, menggigit bibir dan mengerling tajam.
"Hayaa... kenapa pengantin pria calon suamiku marah-marah kepadaku di malam pertama ini? Aihhh, kakanda, aku adalah mempelai wanita, calon isterimu tercinta. Mari, peluklah aku, pondonglah aku ke atas pembaringan itu... aihhh..."
Pembesar itu menggigil karena jijik mendengar suara nona pengantin itu besar seperti suara pria dan kini nona pengantin itu melangkah menghampirinya dengan sikap merayu.
"Hiiihh...!" Su-tikoan terbelalak ngeri dan mundur-mundur ketakutan bercampur marah. "Pergi engkau! Keparat, berani engkau mempermainkan aku? Pengawal...!"
Akan tetapi suara tikoan itu terhenti karena tiba-tiba jari tangan Hui Song telah menotoknya pada jalan darah di leher yang membuat tikoan itu tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Kemudian, sekali menggerakkan kakinya, Hui Song menendang dan tubuh yang gendut itu terlempar ke atas pembaringan.
Dengan muka ketakutan dan mata terbelalak pembesar itu memandang ke arah Sui Cin, mengharapkan bantuan pengawal ini. Akan tetapi, wajahnya menjadi semakin pucat ketika dia melihat gadis itu tersenyum mengejek. Tahulah dia sekarang bahwa orang yang menyamar sebagai mempelai puteri ini tentu sekutu gadis itu! Dan jantungnya hampir berhenti saking takutnya ketika dia melihat Hui Song menanggalkan pakaian pengantin, menghapus penyamarannya dan menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah.
ASMARA BERDARAH JILID 069(↕)
"Tua bangka mata keranjang, dengar baik-baik. Sekali engkau berteriak, aku akan membunuhmu!" Setelah berkata demikian, Hui Song menepuk lehernya dan Su-tikoan mampu lagi bicara.
"Ampunkan aku... kalian ini mau apa? Mengapa menyamar pengantin dan... dimana pengantinku...?"
"Keparat! Engkau hendak menggunakan harta dan kedudukanmu untuk memaksa gadis orang menjadi isteri kelima. Nona Coa adalah milik kami dan akan pergi bersama kami. Kami melarikannya dari tangan orang tuanya yang mata duitan, agar tidak terjatuh ke tangan srigala tua macam engkau. Nah, cepat keluarkan uang seratus tail emas untuk bekal pengantin dan berjanji selamanya tidak akan melakukan paksaan menggunakan harta dan kekuasaan!"
Tubuh pembesar itu menggigil.
"Baik... baik..." katanya akan tetapi dari pandang matanya yang berkilat tahulah Hui Song bahwa orang ini merasa penasaran dan marah, hanya tunduk karena terpaksa saja. Juga Sui Cin dapat menduga hal ini maka gadis itupun menghardik.
"Engkau adalah seorang pejabat tinggi, seorang pembesar yang sepatutnya menjadi pelindung rakyat, menjadi teladan bagi rakyat. Akan tetapi, engkau lupa bahwa engkaupun seorang manusia biasa, seorang diantara rakyat. Setelah memegang jabatan tinggi, engkau lupa dan gila kekuasaan, mabok kemuliaan, sehingga engkau suka berbuat sewenang-wenang. Mengawini seorang gadis di luar kehendak gadis itu, menggunakan harta dan kekuasaan untuk memaksa orang tua gadis itu. Orang seperti engkau ini layak dilenyapkan dari muka bumi. Akan tetapi kami masih mengampuni asal engkau insyaf dan mulai sekarang menjadi seorang pemimpin rakyat sejati."
Pembesar itu menundukkan mukanya, seperti seorang anak kecil yang dimarahi ibunya.
"Hayo cepat keluarkan seratus tail emas!" bentak Hui Song.
"Baik... baik...!"
Kakek gendut itu lalu menghampiri sebuah lemari yang berada di sudut kamar. Di dekat lemari itu terdapat sebuah jendela yang tertutup. Tiba-tiba pembesar itu membuka daun jendela dan berteriak,
"Pengawal...! Toloonggg...!"
"Keparat!"
Hui Song berseru dan tangannya menyambar kursi lalu dilontarkan ke arah pembesar yang hendak melarikan diri keluar dari jendela itu.
"Brukk...!"
Kursi itu menghantam muka si pembesar yang mengeluh dan roboh dengan muka berlumuran darah, karena hidungnya telah remuk kena hantaman kursi itu.
"Cepat, ambil uangnya!" kata Hui Song.
Sui Cin menghampiri lemari itu dan mendobrak daun pintu lemari. Akan tetapi isinya tidak begitu banyak, hanya sepuluh tail emas dan beberapa belas potong perak. Sui Cin mengambil emas dan perak itu, membungkusnya dengan kain sutera yang banyak terdapat dalam lemari.
Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di luar. Hui Song yang sudah berjaga-jaga di pintu, tidak melihat adanya pengawal datang dan di luar seperti terdengar suara orang berkelahi.
"Cin-moi, cepat kita keluar!" teriaknya dan merekapun berloncatan keluar setelah Sui Cin menyimpan uang rampasan itu.
Kiranya di ruangan dalam yang menuju ke kamar itu telah terjadi perkelahian yang seru. Kakek katai itu sambil tertawa-tawa telah dikepung dan dikeroyok oleh dua puluh lebih pengawal dan penjaga yang tadi mendengar teriakan majikan mereka.
Biarpun para pengepung itu menggunakan segala macam senjata, namun kakek katai yang bertangan kosong itu menghadapi mereka sambil terkekeh-kekeh. Enak saja dia mengelak dan menangkis semua senjata yang datang kepadanya bagaikan hujan. Beberapa buah senjata bahkan bertemu dengan lengan-lengan yang pendek dan kecil dari kakek itu. Akan tetapi jelas bahwa kakek itu tidak mau melukai orang, apalagi membunuh, hanya mempermainkan mereka seperti seekor kucing mempermainkan segerombolan tikus.
Melihat kakek itu bermain-main, Sui Cin lalu berseru.
"Kakek, jangan main-main, mari kita pergi!"
"Heh-heh-heh, kalian sudah selesai?"
Kata kakek itu dan tiba-tiba saja para pengeroyoknya mengeluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba saja kakek yang mereka keroyok itu lenyap seperti berubah menjadi asap dan menghilang.
Gegerlah gedung pembesar Su itu, apalagi ketika para penjaga itu memeriksa ke dalam mereka menemukan Su-tikoan pingsan dalam kamarnya dengan hidung remuk sehingga dari hidung yang rusak itu mengucur darah yang melumuri seluruh mukanya.
Melihat muka berlumuran darah itu, semua orang terkejut dan merasa ngeri, mengira bahwa pembesar itu tentu luka-luka parah pada mukanya. Akan tetapi setelah muka itu dibersihkan, ternyata hanya hidungnya yang remuk. Biarpun demikian, akan tetapi selamanya Su-tikoan akan menjadi orang cacat karena hidungnya hanya akan dapat sembuh dari lukanya, tidak dapat pulih kembali, menjadi hidung yang melesak dan membuat mukanya buruk menakutkan.
Dan pengalaman itu ternyata membuat Su-tikoan menjadi ketakutan dan bertobat. Dia hanya mengerahkan pasukannya untuk mencari penjahat-penjahat yang melarikan gadis Coa itu. Juga lurah Coa berusaha mencari puterinya, namun sia-sia karena puterinya telah pergi jauh sekali ke propinsi lain bersama laki-laki yang dicintanya, yaitu Lo Seng dan membina rumah tangga yang berbahagia, dengan modal uang yang diberikan oleh Sui Cin kepadanya, uang emas dan perak yang dirampas dari dalam lemari Su-tikoan.
Setelah melarikan diri dari gedung Su-tikoan, Hui Song, Sui Cin dan kakek itu berlari kembali ke dalam hutan dimana kini telah menunggu Lo Seng dan Lan Kim. Seperti dapat kita duga, ketika kakek itu menggoda para pengawal di hutan dan Sui Cin menyelamatkan pengantin wanita, Lan Kim keluar dari dalam joli dan digantikan oleh Hui Song dan kini Lo Seng bersama Lan Kim menanti di dalam kuil tua.
Mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang penyelamat mereka itu dan akhirnya mereka berdua dinasihatkan untuk pergi jauh ke propinsi lain dan diberi bekal uang yang dirampas dari Su-tikoan.
Setelah dua sejoli itu pergi, kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, senang hatiku bahwa urusan ini berakhir dengan baik berkat pertolongan kalian berdua."
"Ahh, engkau terlalu merendahkan diri, kek. Untuk urusan sepele seperti ini saja, biar tanpa bantuan kamipun engkau tentu akan mampu membereskannya sendiri." Sui Cin mencela.
"Heh-heh-heh, belum tentu! Mana aku mampu bergaya menjadi pengantin wanita seperti Hui Song ini? Ha-ha-ha, setidaknya aku dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian dua orang muda yang hebat, keturunan ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."
"Locianpwe telah mengenal kami berdua, akan tetapi kami belum mengetahui siapa nama locianpwe yang mulia."
"Benar, engkau harus memperkenalkan namamu kepada kami, kek."
"Namaku? Ha-ha, apa sih artinya nama? Hanya sebutan kosong saja. Nama sama sekali tidak menunjukkan isinya, dan kalau mau bicara tentang isi, sekarang perutku kosong dan lapar bukan main!"
"Jangan khawatir, kek. Aku akan masak makanan untukmu asal engkau suka memperkenalkan nama," kata Sui Cin sambil mengeluarkan bungkusan-bungkusan kecil dari buntalan pakaiannya. Bungkusan-bungkusan itu terisi bumbu-bumbu masakan.
"Kau bisa masak?"
Mendengar pertanyaan yang nadanya tidak percaya dan memandang rendah ini, Sui Cin bangkit berdiri dan bertolak pinggang.
"Jangan memandang rendah orang sebelum mengujinya, kek. Kalau tidak pandai masak, perlu apa aku membual? Ibuku telah mengajarkan masakan-masakan yang luar biasa, masakan model selatan yang akan membuat lidahmu menari-nari!"
"Ibumu? Aih, bukankah isteri Pendekar Sadis itu datuk yang pernah berjuluk Lam-sin? Ha-ha, jangan-jangan hanya namanya saja yang besar akan tetapi isinya melompong. Jangan-jangan engkau masak, hasilnya hanya masakan gosong dan pahit!" Kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha, bocah sombong, tentang masak-memasak, kiranya engkau harus belajar dulu dari Wu-yi Lo-jin (Kakek dari Gunung Wu-yi)!"
"Hemm, dan siapa itu Kakek Gunung Wu-yi?"
"Siapa lagi kalau bukan ini orangnya!" Kakek itu menunjuk hidungnya sendiri dengan telunjuknya. "Aku bertapa selama puluhan tahun di puncak Gunung Wu-yi, dan aku sekarang menjadi seorang kakek, maka apalagi namaku, kalau bukan Wu-yi Lo-jin? Ha-ha!"
"Huh, engkau seorang pertapa, paling-paling bisanya makan rumput dan daun muda, mana bisa memasak? Mari kita bertaruh. Kalau masakanku kalah olehmu, biar aku mengangkatmu sebagai guru masak. Akan tetapi kalau masakanku lebih enak, engkau harus memberi hadiah kepadaku."
"Ha-ha-ha!" Kakek itu mengelus jenggot yang panjangnya sampai ke perut itu, nampak gembira sekali. "Bagus, coba kau masak untukku, hendak kulihat apakah benar engkau pandai memasak ataukah hanya membual saja. Kalau benar-benar masakanmu lebih enak daripada masakanku, engkau boleh minta hadiah, sebut apa saja, tentu akan kuberikan padamu!"
"Benarkah itu? Apa saja yang kuminta akan kau berikan? Song-twako ini menjadi saksi hidup!"
"Tentu saja selamanya aku tidak pernah bohong."
"Ah, batal saja, aku tidak jadi masak." kata Sui Cin. "Orang seperti engkau ini banyak akalnya, tentu aku akan kalah karena engkau menggunakan akal."
"Akal begaimana?" Kakek yang mengaku bernama Wu-yi Lo-jin itu mendesak.
"Bagaimana enaknya, bisa saja engkau bilang tidak enak, tentu saja aku akan kalah!"
"Ah, tidak mungkin. Perutku lapar begini, kalau ada masakan enak, mana tega aku mengatakan tidak enak? Kalau aku terus makan, berarti enak, kalau tidak enak tentu tidak akan kumakan, padahal perutku lapar sekali."
"Baik, aku akan mencari bahan masakan!"
Berkata demikian, Sui Cin meloncat dan sekali berkelebat, gadis itu telah lenyap keluar guha.
Kakek itu mengangguk-angguk dan kini, setelah Sui Cin pergi, sikapnya yang tadi jenaka itu berobah serius.
"Hui Song, gin-kang gadis itu hebat sekali. Kabarnya ibunya yang memiliki gin-kang istimewa dan ternyata memang benar. Dan dara itu... sungguh hebat. Aku pasti akan jatuh cinta kalau aku sebaya denganmu."
Wajah Hui Song berubah merah sekali. Tadi dia termenung dan diam-diam menganggap betapa bodohnya Sui Cin. Bertaruh melawan kakek ini apa gunanya? Andaikata menang, apa yang dapat diharapkan dari kakek yang hanya mempunyai satu-satunya pakaian mewah yang menempel di badannya berikut guci arak besar itu?
Tak lama kemudian Sui Cin sudah datang lagi membawa sebuah rebung (bambu muda), seekor ayam hutan dan seekor kadal yang gemuk! Hui Song sudah pernah menikmati masakan Sui Cin ketika mereka melakukan perjalanan bersama dan dia tahu bahwa gadis itu memang pandai memasak, bahkan agaknya binatang apa saja dapat disulap menjadi masakan yang lezat olehnya. Biarpun dia belum pernah makan daging kadal, akan tetapi dia percaya bahwa gadis itupun tentu dapat memasak daging binatang itu menjadi santapan nikmat.
"Kakek, pernahkan engkau makan masak rebung campur hati dan daging naga ditambah kepala dan kaki burung Hong? Dan juga, panggang daging burung Hong muda?"
Sui Cin bertanya kepada kakek itu sambil melempar rebung, ayam hutan dan kadal yang sudah mati itu ke atas lantai. Hui Song tanpa diperintah lagi segera mencari kayu bakar dan membuat api unggun.
Kakek itu memandang terbelalak mendengar nama masakan-masakan aneh itu, tidak mampu menjawab hanya geleng-geleng kepala, lalu menelan ludah dan bertanya,
"Anak baik, bagaimam mungkin engkau akan memasak daging binatang-binatang suci itu? Mana naganya dan burung Hongnya?"
ASMARA BERDARAH JILID 070(↕)
Sui Cin tersenyum, mengambil bangkai ayam dan kadal.
"Inilah burung Hong dan naganya!"
"Kadal itu? Hihh, menjijikkan! Lebih baik masak daging ayam itu saja!"
Sui Cin cemberut dan melemparkan dua bangkai binatang itu ke atas lantai, lalu berkata dengan nada suara ngambek,
"Sudahlah, kalau belum apa-apa dicela, lebih baik aku tidak jadi masak!"
"Wah, jangan begitu, aku sudah lapar sekali!" kata si kakek terkejut.
"Biar kau kelaparan, siapa peduli?"
"Aih, anak baik, jangan marah. Masaklah, masaklah apa saja, hendak kulihat apakah engkau benar-benar pandai masak."
"Baik, akan tetapi, engkau harus membantuku mencarikan kebutuhan masak yang kuperlukan saat ini."
"Boleh, boleh! Apa saja?"
Sui Cin menghitung-hitung dengan jarinya sambil mengerutkan alisnya.
"Pertama tentu saja adalah panci tanggung berisi air jernih, lalu fetsin, dua jari jahe, kulit jeruk dan bawang. Nah, itulah yang kuperlukan. Cepat, kek, akupun ingin melihat apakah engkau benar-benar memiliki ilmu berlari cepat yang hebat."
"Tunggu sebentar!" Suaranya masih bergema dan kakek itu sudah lenyap dari situ!
Sui Cin melongo, juga Hui Song yang sudah kembali membawa kayu bakar itu bengong.
"Song-ko, dia seperti bukan manusia, seperti iblis yang pandai merghilang saja!"
"Cin-moi, kenapa engkau mengadakan pertaruhan dengan dia seperti itu? Kalau engkau menang seperti yang kupercaya, lalu apa yang dapat kau minta darinya?"
Sui Cin tertawa.
"Song-twako, kemana larinya kecerdikanmu dan kenapa semenjak bertemu dengan kakek itu engkau kehilangan rasa gembira dan kejenakaanmu? Aku dapat minta diajari gin-kangya itu!"
Hui Song mengangguk-angguk, akan tetapi dia mengerutkan alisnya.
"Kenapa engkau nampak tidak gembira, twako? Engkau tidak seperti biasanya, kocak dan gembira?"
"Entahlah, Cin-moi, akan tetapi... aku... seperti merasa tidak enak hati semenjak dia muncul..."
Dan pemuda ini merasa bingung sendiri di dalam hatinya mengapa dia bisa merasa cemburu kepada kakek tua renta itu! Melihat betapa Sui Cin bergembira dengan kakek itu, sikap Sui Cin yang demikian akrab, dia merasa cemburu! Padahal dia sendiri maklum bahwa Wu-yi Lo-jin adalah seorang kakek yang sakti dan tidak ada alasan sedikit juga baginya untuk merasa cemburu.
Pemuda ini tidak tahu bahwa yang dideritanya bukanlah sekedar cemburu, melainkan iri hati melihat betapa gadis yang dicintanya itu bersikap baik kepada orang lain, walaupun orang lain itu seorang kakek tua renta! Dan hatinya merasa lebih tidak enak lagi mendengar bahwa Sui Cin akan minta diajari gin-kang oleh kakek yang sakti itu. Kalau hal ini terjadi, berarti tidak lama lagi dia akan tertinggal jauh oleh Sui Cin dan dia khawatir bahwa kalau sampai terjadi demikian, gadis itu memandang rendah kepadanya.
Terdengar suara kakek itu.
"Hah-hah, sudah dapat semua yang kau butuhkan!"
Dan tiba-tiba saja dia sudah berdiri disitu, membawa sebuah panci yang terisi air penuh. Juga dia membawa semua bumbu yang dibutuhkan Sui Cin tadi. Sungguh amat mengherankan sekali betapa kakek ini dapat berlari cepat membawa panci terisi air penuh yang nampaknya sama sekali tidak tumpah karena air itu masih penuh sampai ke bibir panci.
Dengan girang Sui Cin menerima semua bumbu dan panci berisi air itu, lalu mulailah gadis itu mempersiapkan masakannya, dibantu oleh Hui Song. Adapun Wu-yi Lo-jin sendiri lalu duduk bersila menanti di sudut guha, memejamkan mata dan sebentar saja terdengar suara mendengkur!
Dari pernapasannya, dua orang muda yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu merasa yakin bahwa kakek itu memang benar sudah tidur, maka kembali mereka kagum. Orang yang dapat secara seketika tidur pulas hanyalah orang yang sudah amat kuat batinnnya yang begitu mengosongkan batin segera tenggelam dalam kepulasan. Kepandaian seperti ini hanya dimiliki orang yang sudah mendalam latihannya dalam ilmu samadhi.
Sui Cin memang seorang gadis yang ahli dalam hal memasak. Bukan hanya karena ibunya mengajarkan ilmu memasak kepadanya, akan tetapi karena memang gadis ini gemar memasak sehingga dalam perantauannya, ia selalu mempelajari ilmu ini dan memperdalamnya.
Setiap kali mencicipi masakan yang lezat, umpamanya didalam sebuah restoran, ia tentu segera menghubungi kokinya dan tidak segan-segan ia mengeluarkan uang untuk membeli resep masakan atau mempelajarinya.
Dengan mengumpulkan berbagai cara masakan dari bermacam-macam daerah, akhirnya ia pandai sekali mencampur-campur bumbu sehingga menjadi masakan yang lezat, walaupun yang dimasaknya hanya sayur atau daging seadanya saja. Ia tahu bagaimana caranya menghilangkan bau amis pada daging, membuat daging yang alot menjadi lunak, menghilangkan rasa pahit pada beberapa macara sayur, bahkan membebaskan daging atau sayur dari pengaruh racun.
Dengan dibantu Hui Song yang memandang kagum melihat pandainya Sui Cin memasak, tak lama kemudian terciumlah bau sedap ketika masakan-masakan itu matang. Dan sungguh luar biasa sekali, kakek yang tadinya tidur nyenyak mendengkur itu tiba-tiba mengeluarkan suara!
"Wah, harumnya...! Sedap... sedap...!"
Dan dia langsung saja membuka matanya lalu bangkit berdiri, seperti orang yang tidak pernah tidur saja. Sambil mengucek mata kakek itu memandang dan menghampiri Sui Cin, menelan ludah dan menjilati bibirnya sendiri.
"Nah, sudah matang, kek. Cobalah masakanku dan aku menantangmu apakah engkau berani mengatakan bahwa masakanmu lebih enak daripada masakanku!"
Wu-yi Lo-jin lalu duduk menghadapi dua macam masakan itu. Seperti main sulap saja, dari balik jubahnya yang kedodoran itu dia mengeluarkan sebuah mangkok yang masih baru dan mengkilap dan sepasang sumpit yang terbuat dari gading tua yang mahal!
Dan mulailah kakek itu menyumpit masakan itu dan tak lama kemudian nampak dia mengunyah makanan dengan mata meram-melek, jelas sekali nampak dia menikmati masakan yang lezat itu. Hui Song memandang hampir tak pernah berkedip dan kalamenjingnya turun naik. Dia sendiri sedang merasa lapar, maka melihat orang makan dengan demikian lahap dan enaknya, tentu saja seleranya timbul. Sui Cin juga memandang sambil tersenyum girang.
"Bagaimana, kek? Bagaimana pendapatmu? Bukankah masakanku enak sekali?"
Sui Cin bertanya tak sabar lagi setelah dua macam masakan itu habis lenyap ke dalam perut kakek katai itu.
Sambil mengunyah-ngunyah masakan terakhir, kakek itu mengangguk-angguk, menanti sampai dia menelan makanan itu baru menjawab,
"Lumayan, akan tetapi aku belum yakin benar kalau masakanmu lebih enak daripada masakanku. Mana... masih ada lagikah?"
Dia mengulur tangan memberi panci kosong kepada Sui Cin. Melihat ini, Sui Cin tidak dapat menahan ketawanya.
"Hi-hik, kakek curang, kau kira aku tidak tahu isi hatimu? Kau kira aku dapat kau bodohi begitu saja? Kalau tidak lezat, mana mungkin engkau makan begitu lahapnya dan engkau sikat semua sampai habis, sehingga engkau sampai lupa sopan santun, makan sendiri tanpa menawarkan kepada kami berdua yang juga sudah lapar sekali? Cih, dan masih tidak malu untuk menyangkal bahwa masakanku sangat lezat?"
Ditegur begitu, agaknya kakek itu baru sadar dan dia menoleh kepada Hui Song, lalu terkekeh.
"Heh-heh-heh, baiklah... tapi mana, apakah masih ada lagi? Jangan kau bohongi aku, aku tahu bahwa masih ada daging panggang yang belum kau hidangkan!"
Kakek itu mengusap bibir dengan saputangan sutera, kemudian membuka tutup guci arak dan minum arak dengan suara menggelogok.
Sui Cin tersenyum.
"Jadi, engkau sudah mengaku kalah?"
"Sudah, kau memang anak yang baik dan pandai masak. Mana panggang ayam itu?"
"Nanti dulu, kek. Kalau kau sudah mengaku kalah, engkau tentu mau memberikan apa saja yang kuminta seperti janji kita, bukan? Ataukah engkau juga tidak malu-malu untuk menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"
"Heh-heh, anak nakal! Katakan, mau minta apa? Aku hanya punya guci arak ini, boleh kau minta setelah araknya habis kuminum nanti!"
"Aku tidak butuh guci arakmu, kek!"
"Apa...?" Kakek itu membelalakkan matanya. "Anak bodoh, kau tahu harganya guci ini? Guci ini terbuat dari emas murni dan sudah seribu tahun umurnya. Tak ternilai harganya! Juga, segala macam makanan atau minuman beracun kalau dimasukkan ke dalam guci ini akan berubah hitam! Belum lagi kalau dipergunakan sebagai senjata, ampuhnya bukan main!"
"Biarpun begitu, bukan itu yang kuminta darimu."
"Hemm, lalu apa yang kau minta? Aku tidak punya apa-apa lagi. Mangkok dan sumpit ini? Ataukah pakaianku? Aih, kurasa engkau tidak begitu kejam untuk merampas sandang panganku!"
"Bukan! Aku hanya minta agar engkau suka mengajarkan gin-kang kepadaku sampai aku dapat bergerak secepat engkau, kek!"
Kini sepasang mata kakek itu terbelalak dan mukanya agak berubah, dan... aneh sekali, dia menoleh ke kanan kiri seolah-olah merasa khawatir kalau-kalau percakapan mereka terdengar orang lain.
"Ah, tidak bisa... tidak bisa...!"
"Nah, ketahuan sekarang belangmu!" Sui Cin berseru. "Sudah menelan habis semua masakan dengan lahap dan enak, lalu lupa janji. Baru begitu saja sudah hendak mengingkari janji, apalagi kalau janji-janji penting!"
"Wahh... berabe... ssttt. Jangan keras-keras...!" Dia lalu berbisik, "Baiklah, akan tetapi hal ini harus dirahasiakan dan engkau tidak boleh menyebut guru kepadaku."
"Aku tidak perduli sebutan guru itu asal dapat mewarisi ilmu gin-kangmu."
"Baik, baik... aku bukan orang yang suka mengingkari janji, tapi hati-hati, jangan ketahuan orang lain. Sudah, kesinikan panggang daging itu."
"Kami sendiripun belum makan, kek."
"Biarlah, Cin-moi, berikan saja kepada locianpwe. Aku masih mempunyai sisa roti kering," kata Hui Song, mengeluarkan roti kering dari buntalannya.
Sui Cin terpaksa memberikan daging ayam panggang kepada kakek itu yang segera makan lagi dengan lahapnya, matanya meram-melek keenakan tanpa merasa sungkan sedikitpun kepada dua orang muda yang kini makan roti kering untuk mengurangi rasa lapar.
Setelah semua daging panggang itu amblas, disusul belasan teguk arak, kakek itu nampok kekenyangan, menutup gucinya dan menggantung gucinya kembali di punggung, mengusap bibir dengan saputangannya yang indah. Mukanya merah segar dan wajahnya berseri memandang dua orang muda di depannya itu.
"Kalian anak-anak muda yang baik. Tidak rugi aku bertemu dengan kalian. Kalian menjadi sekutu yang baik."
"Wu-yi Lo-jin, kau sudah berjanji akan mengajarkan gin-kang kepadaku."
Sui Cin memperingatkan, khawatir kalau-kalau kakek yang wataknya ugal-ugalan ini akan kabur setelah makan kenyang. Siapa dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh kakek aneh ini.
ASMARA BERDARAH JILID 071(↕)
Kakek itu mengangguk-angguk sambil kembali melirik ke kanan kiri. Hal ini mengherankan hati Sui Cin dan Hui Song.
"Kek, kenapa engkau kelihatan takut kalau aku bicara tentang belajar ilmu darimu. Siapa yang kau takuti?"
"Ssstt... mari kita keluar dari guha dan akan kuceritakan semua kepada kalian," kata kakek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari dalam ruangan guha itu.
Sui Cin yang takut kakek itu kabur cepat mengejar, diikuti pula oleh Hui Song. Ternyata Wu-yi Lo-jin duduk di atas batu depan guha, menanti mereka.
"Nah, disini kita bicara agar tidak ada yang ikut mendengarkan tanpa kita ketahui. Anak-anak, ketahuilah bahwa kalau tidak ada terjadi sesuatu yang amat hebat, tua bangka seperti aku ini mau apa keluar ke dunia ramai? Tentu kalian tidak pernah mendengar apalagi melihat aku yang hanya tinggal menanti datangnya kematian di dalam tempat pertapaanku di Wu-yi-san. Akan tetapi, seperti kukatakan tadi, telah terjadi sesuatu yang amat hebat, yang mengancam kehidupan dan keselamatan manusia. Maka, bagaimanpun juga, terpaksa aku harus keluar dari tempat partapaanku dan disini aku bertemu dengan kalian."
Hui Song dan Sui Cin terkejut bukan main, saling pandang, kemudian memandang lagi kepada kakek katai ini. Miringkah otak kakek ini? Mereka tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, yang mereka anggap menceritakan hal yang bukan-bukan dan aneh-aneh saja.
"Apakah yang telah terjadi, kek? Siapa yang mengancam kehidupan dan keselamatan manusia?"
Kakek itu memandang ke kanan kiri, lalu menarik napas panjang.
"Kalau diingat, memang memalukan sekali. Terjadinya sudah puluhan tahun yang lalu. Kami, sekelompok delapan jagoan yang dahulu menjadi datuk-datuk dunia persilatan, sebelum muncul datuk-datuk seperti See-thian-ong sebagai datuk barat, Tung-hai-sian sebagai datuk timur, Lam-sin sebagai datuk selatan dan Pak-san-kui sebagai datuk utara. Kami delapan orang yang merajai delapan penjuru dunia. Ketika itu usiaku baru sekitar tiga puluh tahun. Akan tetapi, tiba-tiba muncullah pasangan Raja dan Ratu Iblis itu!"
Kembali kakek katai itu kelihatan gelisah dan memandang ke kanan kiri. Kalau seorang sakti seperti Wu-yi Lo-jin saja kelihatan ketakutan, tentu saja hal ini mendatangkan rasa serem di hati dua orang muda itu sehingga mereka ikut pula menoleh ke kanan kiri.
"Siapakah mereka itu, kek?" Sui Cin bertanya lirih.
"Raja Iblis itu seorang pangeran asli yang melarikan diri dari istana. Dia bersama isterinya terjun ke dunia kang-ouw dan segera kami delapan orang jagoan yang menjadi datuk mereka kalahkan secara mutlak, termasuk aku. Kepandaian mereka memang hebat bukah main, mirip iblis-iblis saja mereka itu. Kami delapan orang datuk bersumpah di depan suami isteri iblis itu untuk tidak muncul lagi di dunia kang-ouw, bahkan kami semua telah menyerahkan tanda takluk kepada kami selama hidup. Dengan tanda itu, kami tidak akan berani melawan mereka lagi, dan kalau kami melanggar, maka kami akan dihukum mati menurut sumpah kami. Juga murid-murld kami secara otomatis terikat oleh sumpah itu. Kami semua terpaksa setuju karena itulah jalan satu-satunya untuk menebus nyawa kami yang sudah berada di tangan mereka."
Bukan main hebatnya cerita ini, membuat Sui Cin dan Hui Song melongo. Peristiwa itu tentu terjadi puluhan tahun yang lalu, mungkin ketika orang tua mereka masih kecil, akan tetapi mengapa mereka tidak pernah mendengar cerita itu dari orang tua mereka? Agaknya semua itu terjadi diam-diam dan tidak sampai menghebohkan dunia kang-ouw maka tidak terdengar oleh keluarga mereka. Memang di dunia persilatan terdapat banyak sekali orang-orang sakti yang lebih suka menyembunyikan diri.
"Jadi selama puluhan tabun ini locian-pwe selalu bersembunyi dan bertapa?" tanya Hui Song, tertegun.
"Benar, aku tidak pernah melihat dunia ramai, bahkan jarang bertemu manusia. Hanya bertemu manusia kalau ada pemburu tersesat sampai ke puncak Wu-yi-san."
"Akan tetapi sekarang engkau keluar dari pertapaan, kek."
"Itulah! Aku tidak dapat menahan diri lagi ketika aku mengetahui bahwa raja dan ratu iblis itu juga keluar! Semenjak mereka memaksa kami bersumpah, merekapun bertapa dan kabarnya bahkan memperdalam ilmu kepandaian mereka yang sudah hebat. Kami mengira bahwa seperti kami, mereka itu mengundurkan diri sampai mati. Akan tetapi ternyata kini mereka keluar! Dan ini berbahaya sekali. Mereka menaruh dendam kepada istana, juga kepada semua pendekar mereka merasa benci. Jadi, dapat kau bayangkan apa yang akan terjadi kalau mereka itu keluar. Mendengar mereka keluar, akupun meninggalkan pertapaanku. Biarlah kalau perlu aku berkorban nyawa, akan tetapi dalam usiaku yang lanjut ini, dalam hari-hari terakhir, aku harus berusaha membendung kejahatan yang akan mereka lakukan."
"Sudah berapa lama locianpwe meninggalkan pertapaan?"
"Sudah tiga bulan. Dan selama ini aku menyelidiki jejak mereka. Dan terdengar berita yang amat mengejutkan. Kiranya mereka itu benar-benar telah mulai menghimpun datuk-datuk kaum sesat, bukan hanya untuk membasmi para pendekar akan tetapi bahkan untuk menyerbu istana!"
"Wahhh... gawat...!" Sui Cin berseru. "Dimana mereka itu, kek?"
"Gerakan mereka seperti iblis, mana dapat diketahui dimana mereka berada? Akan tetapi, aku mendengar bahwa pada akhir bulan depan para datuk itu, termasuk Cap-sha-kui, akan menghadap mereka di sumber mata air Sungai Huai, di lereng Pegunungan Ta-pie-san, tak jauh dari sini. Karena itulah aku berada disini dan kebetulan aku bertemu kalian ketika menyelamatkan nona pengantin. Sungguh girang hatiku karena kalian adalah orang-orang muda perkasa keturunan pendekar-pendekar sakti yang patut menjadi sekutu kami menghadapi iblis-iblis itu. Karena itulah aku tidak dapat menerima sebagai murid walaupun aku akan mengajarkan gin-kang kepadamu, Sui Cin. Kalau aku menerimamu sebagai murid, berarti engkau akan terikat pula oleh sumpah kami terhadap kedua iblis itu."
"Kalau memang sepasang iblis itu benar-benar mengancam keselamatan dunia, kami siap membantumu, locianpwe," kata Hui Song dengan sikap gagah.
"Benar, akupun siap membantumu, kek. Iblis-iblis itu sudah sepatutnya dihadapi dan dibasmi. Mereka tentu jahat, apalagi kalau sampai dapat memperalat Cap-sha-kui yang jahat."
Wu-yi Lo-jin tersenyum geli.
"Biarpun aku bangga dan kagum terhadap sikap kalian dua orang muda, akan tetapi aku juga merasa geli. Kalian seperti anak-anak ayam mencoba untuk menantang srigala! Akan tetapi semangat kalian itulah yang kita perlukan. Bagaimanapun juga, kita memang harus bersatu menentang kejahatan. Kalau kalian sudah siap membantu, marilah kita pergi melakukan penyelidikan. Akan tetapi kalian harus berhati-hati dan jangan bertindak sendiri-sendiri, harus selalu menurut petunjukku."
Berangkatlah tiga orang itu menuju ke lereng Ta-pie-san, mencari sumber air Sungai Huai dimana kabarnya akan dijadikan tempat pertemuan bagi datuk-datuk sesat untuk menghadap Raja dan Ratu Iblis.
Dusun di kaki Pegunungan Ta-pie-san itu disebut dusun Kim-ciu-cung, sebuah dusun yang cukup besar karena dusun itu menjadi pusat pasar rempa-rempa yang ditanam oleh para penghuni dusun sekitarnya dan di dusun itulah semua hasil rempa-rempa itu dikumpulkan, dan orang-orang kota banyak yang datang untuk membeli rempa-rempa itu. kemudian dimuatkan gerobak dibawa ke kota.
Sebuah kedai makan baru dibuka orang. Tidak begitu menarik perhatian karena hanya warung kecil saja yang menyediakan empat buah meja saja dengan beberapa buah bangku.
Akan tetapi kalau melihat dua orang penjaganya, orang akan tertarik juga untuk sarapan atau makan siang di kedai ini. Pelayannya hanya seorang saja, seorang pemuda yang berwajah tampan, walaupun agak kaku dalam pakaian pelayan itu. Kasirnya, yang juga kadang-kadang turun tangan sendiri membantu si pelayan muda kalau kedai itu dipenuhi tamu, lebih menarik lagi. Ia seorang gadis yang amat manis, walaupun dandanannya sederhana seperti orang dusun. Tukang masaknya seorang kakek gundul botak berjenggot panjang sampai ke perut.
Mudah diduga siapa mereka. Pelayan muda itu adalah Hui Song, kasir wanita itu Sui Cin dan kakek Wu-yi Lo-jin menjadi tukang masaknya.
"Jangan kau yang menjadi tukang masak," kata kakek itu kepada Sui Cin. "Masakanmu terlalu aneh dan terlalu enak, bisa membuat orang terheran-heran dan ketagihan, kita jadi repot. Pula, kalau aku yang membantu di depan, orang-orang tentu akan merasa takut selain juga menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan. Masakanmu hanya aku saja yang menikmatinya."
Kakek itu mengajak Hui Song dan Sui Cin membuka warung nasi dengan menyewa sebuah rumah pondok kecil. Semua ini dilakukan dalam usahanya melakukan penyelidikan, hanya untuk sementara saja menjelang datangnya hari dimana para datuk sesat menghadapi Sepasang Iblis atau Raja Iblis dengan Ratunya.
Tentu saja kesal rasa hati mereka bertiga ketika pada hari-hari pertama, yang memenuhi warung mereka hanyalah pedagang-pedagang rempa-rempa. Terpaksa mereka melayani mereka yang datang makan, dan yang lebih memuakkan hati Sui Cin lagi adalah omongan-omongan mereka yang jorok ketika mereka melihat bahwa warung itu dilayani seorang gadis yang amat manis.
Mereka bukan ingin mencari keuntungan, maka makin banyak orang-orang biasa berdatangan, makin gemas hati mereka dan makin lelah mereka melayani. Bahkan kakek nakal itu, saking jengkelnya kepada orang-orang biasa yang berdatangan makan, sengaja mencampurkan keringat kepada masakannya, bahkan kadang-kadang dia masak sembarangan saja.
Akan tetapi anehnya, para pendatang itu tidak ada yang mengeluh, bahkan memuji-muji bahwa masakan warung itu enak dan pujian ini tentu saja diucapkan sambil melirik dan tersenyum penuh arti kepada Sui Cin!
"Wah, kek, kalau begini terus aku tidak kuat!" Pada suatu malam, sepekan kemudian Sui Cin mengeluh kepada kakek itu. "Kalau aku tahu hanya akan dijadikan bahan sikap dan ucapan jorok melayani orang-orang kasar itu, aku tidak sudi. Pula, katanya kau hendak melatih gin-kang kepadaku. Kalau setiap hari bekerja seperti ini, kapan kita latihan? Apakah engkau begitu mata duitan hendak mencari untung sebesarnya dari usaha buka warung ini dan menggunakan aku dan Song-twako sebagai tenaga suka rela tanpa bayaran?"
"Sabarlah, Sui Cin. Kita hanya bersandiwara dan selama beberapa hari ini permainan kita baik sekali sehingga kita sudah dianggap sebagai tukang-tukang warung yang wajar. Dengan begini, pada suatu hari pasti kita akan dapat mendengar tentang mereka, tunggulah saja."
Benarlah apa yang diucapkan Wu-yi Lo-jin itu. Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi, ketika warung itu masih sepi dan tiga orang sedang membuat persiapan, masuklah seorang tamu yang aneh. Dia seorang kakek yang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah enam puluh tahun lebih. Dan segala-galanya nampak besar dan bulat pada kakek ini.
Kepalanya besar bulat, botak licin bagian atasnya, hanya tinggal sedikit rambut tertinggal di bagian belakang kepala yang dikumpulkan menjadi gelung kecil di belakang. Anehnya, rambut di kedua pelipisnya tumbuh panjang kecil seperti ekor tikus berjuntai ke bawah sampai ke dada. Kedua telinganya seperti telinga gajah. Mukanya yang seperti bentuk muka arca Ji-lai-hud itu selalu tersenyum ramah. Bajunya yang biru kedodoran itu tidak mampu menutupi dada dan perutnya. Dadanya penuh dengan buah dada seperti wanita, perutnya bulat besar sekali sehingga pusarnya mekar dan menjadi besar pula. Celananya lebar dan sepatunya dari kain putih kekuningan.
Ketika memasuki warung kakek gendut ini tersenyum lebar dan membawa sebuah benda aneh. Benda itu adalah kipas yang bergagang besi baja. Agaknya benda ini memiliki tugas ganda. Dapat dipakai untuk mengipas kalau kegerahan, gagangnya dapat dipakai sebagai tongkat dan mungkin saja benda itu dapat dipergunakan sebagai semacam senjata toya.
Begitu memasuki warung, hidung kakek itu berkembang kempis mencium-cium seperti seekor anjing mencari jejak.
"Heh-heh, sedap! Perutku lapar, bisakah aku mendapatkan sarapan di warung ini?" tanyanya kepada tiga orang yang memandang kepadanya.
Baru melihat begitu saja, Sui Cin dan Hui Song sudah dapat menduga bahwa tentu tamu ini bukan orang sembarangan, dan agaknya orang ini adalah seorang diantara para datuk yang hendak menghadap Raja dan Ratu Iblis. Maka mereka saling pandang dan bersikap hati-hati.
"Bisa, bisa...!" kata Hui Song sambil menghampiri kakek itu dengan sikap seorang pelayan. "Kami ada bubur ayam, bakmi, daging, sayur..."
"Bubur ayam? Bagus, sediakan semangkok besar!"
Dan melihat beberapa buah prabot dapur di atas meja, karena baru saja dicuci, di antaranya sepasang sumpit besar yang biasa dipergunaken untuk masak, kakek gendut itu mengambil sepasang sumpit besar itu.
"Heh-heh, menggunakan sumpit ini untuk makan lebih enak!"
ASMARA BERDARAH JILID 072(↕)
Wu-yi Lo-jin sudah mempersiapkan bubur ayam satu mangkok besar dan Hui Song cepat membawa bubur ayam yang masih mengepul panas-panas itu kepada tamunya.
Kakek gendut itu duduk di atas bangku, akan tetapi bangku itu terlalu kecil untuk tubuhnya yang gendut besar, maka dia lalu pindah duduk di atas meja kecil pendek, mengangkat kedua kakinya ke atas meja dan duduk seperti orang duduk di lantai. Mangkok terisi bubur panas itu diterimanya, sepasang sumpit besar digerakkan dan terdengar suara berseruputan seperti seekor babi kalau sedang makan.
"Hei, pelayan, tambah lagi buburnya. Tolong cepat sedikit! Bawa saja dua mangkok agar tidak tertunda makanku!"
Kakek gendut itu berseru dan Hui Song terkejut. Semangkok besar bubur tadi saja sudah cukup untuk dua orang, akan tetapi agaknya kakek gendut ini hanya menuangkannya sekaligus ke dalam perutnya. Bergegas dia menerima dua mangkok lagi dari Wu-yi Lo-jin dan mengantarnya kepada tamu aneh.
Akan tetapi, sebentar saja dua mangkok inipun disikat habis dalam waktu singkat dan si kakek gendut sudah berteriak-teriak minta tambah lagi. Sibuklah Hui Song berlari hilir-mudik, sibuk pula Wu-yi Lo-jin yang harus melayani permintaan tamu aneh itu. Biarpun tamu mereka hanya seorang saja, akan tetapi karena cara makan tamu itu amat cepat dan terus minta tambah, mereka menjadi sibuk seolah-olah melayani banyak tamu.
Setelah menghabiskan belasan mangkok bubur dan kakek gendut masih minta tambah lagi, mulailah Wu-yi Lo-jin mengerutkan alisnya. Juga Hui Song dan Sui Cin melirik dengan alis berkerut dan hati tidak senang. Akan tetapi, yang dilirik oleh tiga orang itu enak-enak saja duduk sambil tersenyum ramah, mengulurkan tangan kiri memperlihatkan mangkok kosong sambil minta tambah lagi.
"Masih ada buburnya? Bung pelayan, tambah lagi buburnya lima mangkok, juga mi goreng dua kati, masak daging sekati campur sayuran yang masih segar. Dan araknya seguci!"
Tentu saja mendengar pesanan ini, tiga orang itu menjadi terkejut dan makin heran. Si gendut itu makannya melebihi seekor kerbau!
"Hati-hati, tanyakan apa dia membawa uang," bisik Wu-yi Lo-jin kepada Hui Song ketika pemuda ini masuk ke dapur. "Kalau dia tidak bayar, bisa bangkrut kita!"
Akan tetapi Hui Song yang semakin merasa yakin bahwa kakek gendut ini tentu bukan orang sembarangan, merasa sungkan untuk menanyakan hal itu. Tidak demikian dengan Sui Cin. Gadis ini setuju dengan pendapat Wu-yi Lo-jin, maka dari tempat duduknya ia bertanya,
"Kakek yang baik, pesananmu makanan begitu banyak, harap suka bayar lebih dulu!"
Ucapan Sui Cin itu wajar dan tidak mengandung penghinaan melainkan jujur dan terbuka, maka kakek gendut itupun tidak merasa tersinggung, melainkan tertawa,
"Hah-hah-ha! Nona, apakah aku kelihatan seperti orang yang biasanya menyikat makanan tanpa membayar?"
"Aku tidak menuduh demikian, akan tetapi, karena pesananmu amat banyak sedangkan warung kami kecil saja..."
"Ya-ya, warung kecil di kaki gunung, pemiliknya seorang gadis cantik jelita, penjaganya seorang pemuda ganteng perkasa, tukang masaknya kakek aneh luar biasa! Ha-ha, inilah uangku, apa masih kurang?"
Berkata demikian, kakek gendut itu mengeluarkan sepotong emas yang beratnya tentu tidak kurang dari satu tail. Tentu saja sepotong emas ini sudah lebih dari cukup untuk membayar makanan, berapapun banyaknya.
Karena kehabisah air jernih, Hui Song lalu membawa tong air untuk mengambil air dari sumber di belakang warung. Ketika dia memikul air memasuki warung itu dan lewat dekat si gendut, tiba-tiba kakek gendut itu menggerak-gerakkan dan mengembang-kempiskan hidungnya seperti tadi, seperti seekor anjing mencium sesuatu.
Dia menghentikan makannya, matanya mengikuti Hui Song yang kini menuangkan air ke dalam tong air besar yang berdiri di sudut dapur. Tiba-tiba kakek gendut itu menggerakkan tangannya dan nampak dua sinar putih berkelebat memasuki dapur.
"Prokk! Prak!" dua batang sumpit besar yang tadi dipakai makan si gendut itu kini tahu-tahu sudah menancap dan membikin retak tong-tong air itu.
Airnya tentu saja tumpah dan mengucur keluar melalui lubang-lubang retakan tong yang disambar sumpit. Melihat ini, tiga orang itu terkejut dan memandang dengan mata terbelalak.
"Apa artinya ini? Mengapa engkau melakukan ini?" Sui Cin menegur dengan marah.
Kakek gendut itu kini sudah menghampiri mereka di dalam dapur dan berdiri tegak sambil memegang tongkat kipasnya dan memandang ke air yang memenuhi lantai dapur. Kemudian dia memandang kepada Wu-yi Lo-jin dan tiba-tiba menudingkan kipasnya ke arah guci arak milik kakek katai itu sambil berkata,
"Bukankah guci itu guci emas dari Wu-yi-san? Coba kau kakek katai, pergunakan gucimu untuk menguji apakah air ini beracun seperti yang kusangka atau tidak!"
Wu-yi Lo-jin terlalu kaget mendengar bahwa air itu beracun sehingga dia tidak memperhatikan betapa si gendut itu mengenal gucinya. Dia membuka tutup gucinya, akan tetapi nampak ragu-ragu.
"Wah, arakku masih setengah guci..."
Kakek gendut menyodorkan sebuah panci kosong dan Wu-yi Lo-jin tanpa banyak cakap lagi lalu menuangkan arak dari gucinya ke dalam panci itu. Tercium bau harum dan setelah guci itu kosong, Wu-yi Lo-jin segera menampung air yang tumpah itu ke dalam gucinya. Benar saja, air itu berobah menghitam, tanda bahwa air itu memang benar beracun!
"Ihh, air ini beracun!" katanya sambil membuang air itu dari gucinya.
Dia mambalik untuk mengembalikan araknya, akan tetapi panci itu telah kosong, dan araknya telah habis.
"Loh, siapa minum arakku, hah?"
Dia tidak perlu terlalu sibuk menyelidiki karena kakek gendut itu masih kelihatan mengusap bibirnya yang berlepotan arak itu dengan ujung lengan bajunya.
"Heh-heh, arak baik... arak baik...!"
"Kurang ajar si gendut laknat, kau mengbabiskan arakku, ya?"
Wu-yi Lo-jin marah sekali dan mengambil sikap menyerang. Si gendut juga sudah melangkah mundur setindak dan bersikap hendak melawan.
Melihat kedua orang kakek itu hendak bersitegang hanya karena hilangnya arak, Sui Cin berkata,
"Air beracun itu tentu ada yang membuat!"
"Benar!" kata Hui Song. "Tentu ada yang menaruh racun. Wah, tadi banyak orang mengambil air! Mari kita peringatkan mereka, jangan sampai ada yang menjadi korban!"
Dua orang muda itu berlari keluar dan dua orang kakek itupun agaknya sadar lalu mengikuti dari belakang. Akan tetapi, ketika mereka tiba di luar warung, mereka mendengar teriakan-teriakan, jeritan-jeritan dan tangis memenuhi dusun itu. Dan nampaklah penglihatan yang mengerikan. Di sana-sini menggeletak orang-orang yang berkelojotan sambil memegangi perutnya, bahkan ada diantara mereka yang sudah tewas tak mampu bergerak lagi.
Hui Song cepat meloncat ke depan dan suaranya lantang ketika dia berteriak keras,
"Saudara-saudara sekalian dengarlah baik-baik! Air sumber itu mengandung racun! Karena itu sebaiknya jangan minum dulu sebelum diperiksa teliti apakah air itu beracun atau tidak. Ingat, jangan ada yang minum dulu, air apapun jangan diminum dulu!"
Suaranya yang lantang ini menolong banyak orang. Mereka yang sedang mengangkat cangkir untuk minum, tiba-tiba saja mengurungkan niatnya. Akan tetapi ketika diperiksa, yang sudah menjadi korban dan roboh keracunan tidak kurang dari tiga puluh orang banyaknya!
Gegerlah dusun itu. Dan tanpa dicegah lagi, para penghuni dusun itu segera mengungsi meninggalkan dusun yang dilanda malapetaka hebat itu. Hanya tinggal beberapa orang saja yang tinggal dan bersama belasan orang ini, Hui Song, Sui Cin, dan dua orang kakek itu segera mengurus jenazah puluhan orang itu. Ternyata racun yang dicampurkan di air itu amat jahat sehingga biarpun kedua orang kakek itu mencoba untuk mengobati mereka yang tadinya belum tewas, percuma saja.
"Huh, ini seperti bekas tangan Setan Selaksa Racun," kata kakek gendut setelah memeriksa seorang korban.
"Siapakah Ban-tok-kwi (Setan Selaksa Racun) itu?" tanya Sui Cin.
"Seorang diantara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)," jawab si kakek gundul.
"Kalau begitu mereka sudah muncul?" Wu-yi Lo-jin berseru. "Celaka, kita mengintai malah kebobolan."
"Heh-heh, tua bangka katai dari Wu-yi-san memang selalu ceroboh!" kata si kakek gendut.
Kini Wu-yi Lo-jin memandang dengan alisnya yang panjang berkerut kepada kakek gendut, wajahnya membayangkan kemarahan.
"Heh, gendut! Engkau licik! Engkau agaknya sudah mengenalku, sudah mengenal guci wasiatku, akan tetapi engkau sendiri menyembunyikan nama. Siapa sih sebetulnya tua bangka gembul gendut ini dan bagaimana kau bisa mengenalku, dan apa kehendakmu datang ke tempat ini?"
"Ha-ha-ha-ha, setan pendek, apa benar engkau tidak dapat mengenalku lagi hanya karena tubuhku sekarang sudah gendut? Hei, Ciu-sian (Dewa Arak), lupakah engkau kepada kipasku?"
Wu-yi Lo-jin terbelalak, lalu menggunakan tangannya ke depan mukanya dan matanya kini mengincar ke arah wajah si gendut. Dari balik tangannya, dia tidak lagi dapat melihat tubuh si gendut dari leher ke bawah, hanya nampak kepalanya saja dan diapun terkekeh.
"Heh-heh-heh-heh, kiranya San-sian (Dewa Kipas) benar-benar! Siapa bisa mengenalmu kalau kini tubuhmu rusak seperti itu? Dahulu engkau paling gagah dan tampan diantara Pat-sian (Delapan Dewa), akan tetapi sekarang engkau menjadi seperti kerbau bengkak hamil! Ha-ha--ha-ha!"
Si Dewa kipas juga tertawa bergelak.
"Dan engkau semakin pendek saja, apakah selama ini engkau tidak tumbuh tinggi melainkan bahkan mengeriput dan mengecil?"
"Mari kita bicara dalam warung," kata kakek katai. "Dan biarkan semua orang pergi saja dari tempat ini. Tempat ini menjadi terlalu berbahaya bagi orang-orang biasa."
Mereka lalu menasihatkan kepada belasan orang yang tinggal disitu untuk pergi mengungsi pula, karena mungkin sekali akan muncul banyak datuk-datuk sesat yang amat jahat dan kejam. Agaknya tempat itu memang sudah diincar oleh para datuk untuk menjadi tempat mereka berkumpul, maka sengaja melepas racun untuk mengusir semua penghuni dusun.
Empat orang itu lalu memasuki warung dan atas perintah Wu-yi Lo-jin, Hui Song dan Sui Cin menutup semua pintu dan jendela.
"Sui Cin, engkau mengintai dari belakang dan engkau Hui Song, engkau mengintai dari depan. Kalau nampak orang, beritahu kami."
Dua orang muda itu menuju ke pos masing-masing. Sui Cin berdiri mengintai dari balik jendela belakang, sedangkan Hui Song berdiri mengintai dari balik pintu depan yang direnggangkan sedikit.
Dusun itu kini sunyi sama sekali. Tidak ada seekor anjing atau ayampun yang nampak berkeliaran karena binatang-binatang itu sudah mati semua, yang masih hidup dibawa mengungsi oleh para penduduk. Sementara itu, hari telah menjadi siang dan dusun yang kosong itu ditimpa sinar matahari yang cukup hangat.
Akan tetapi, penglihatan yang nampak oleh Sui Cin dan Hui Song di luar warung itu amat menyeramkan. Sunyi sekali, tidak ada sesuatu yang hidup. Karena itu, bergeraknya daun-daun yang tertiup angin saja sudah amat menarik perhatian. Dusun yang ramai itu kini berobah menjadi sunyi seperti tanah kuburan.
Dua orang kakek itu bercakap-cakap dan biarpun biasanya mereka bersikap kocak bahkan ugal-ugalan, kini mereka terlibat dalam percakapan yang serius dan anehnya, kedua orang kakek itu yang sudah jelas memiliki kesaktian, kini kelihatan seperti orang-orang ketakutan!
"San-sian, kalau aku tidak keliru sangka, engkau yang selama ini juga bersembunyi dan bertapa, kini keluar tentu dengan alasan yang sama dengan aku, bukan?"
ASMARA BERDARAH JILID 073(↕)
Si gendut mengangguk dan mengangkat kedua jari kirinya, telunjuk dan jari tengah ke atas.
"Benar, mereka telah turun ke dunia, atau katakanlah keluar dari neraka dan tentu dunia akan menjadi rusak binasa. Apakah engkau juga mendengar apa yang kudengar di luaran bahwa para datuk sesat akan berkumpul menghadap mereka?"
Kembali si gendut mengangguk.
"Karena itulah aku tiba di dusun ini," katanya. "Ketika aku memasuki warung, aku sudah curiga, akan tetapi begitu melihatmu, aku tahu bahwa aku memperoleh teman. Aku makan mempermainkan kalian, akan tetapi ketika pemuda itu membawa air, aku mencium hal yang tidak wajar."
"Wah, hidung anjingmu kiranya semakin tajam saja," kata si kakek katai.
"Apakah selama ini engkau tetap tinggal di Wu-yi-san dan tidak pernah keluar dari tempat pertapaanmu?" kakek gendut bertanya.
Kakek katai mengangguk.
"Mau apa keluar? Hanya akan menderita penghinaan saja. Setelah secara kebetulan aku keluar dan mendengar desas-desus bahwa mereka juga keluar dari tempat persembunyian mereka, aku merasa panas hatiku dan akupun nekat keluar. Dan engkau sendiri? Kabarnya tinggal di Lembah Sungai Harum?"
"Benar, aku tinggal di lembah Siang-kiang, tempat yang tersembunyi. Akan tetapi aku tidak betah untuk menyendiri di tempat sunyi terus. Aku mulai suka keluar dan merantau, dan untung perutku menjadi gendut sehingga tidak mudah dikenal, apalagi kipasku juga sudah berubah bentuk. Akupun memakai nama Siang-kiang Lo-jin..."
"Heh-heh-heh, kenapa bisa sama? Aku tinggal di Wu-yi-san dan menggunakan nama Wu-yi Lo-jin, engkaupun menggunakan nama Lo-jin pula. Apakah enam tua bangka yang lain juga menggunakan nama itu? Bagaimana dengan mereka?"
Si gendut yang memakai nama Siang-kiang Lo-jin (Kakek Sungai Harum) itu menggeleng kepala.
"Aku tidak pernah lagi mendengar tentang mereka. Akan tetapi aku mendengar betapa Si Iblis Buta memimpin beberapa orang Cap-sha-kui membantu pembesar korup yang kabarnya kini sudah terbasmi. Akan tetapi dengan munculnya mereka berdua itu, kalau sampai para datuk sesat dikuasai mereka berdua, tentu akan rusak binasa keamanan rakyat."
"Karena itu, kita harus menyelidiki apa yang akan mereka lakukan. Dan ternyata mereka telah meninggalkan jejak, walaupun mereka telah membunuh puluhan orang di dusun ini."
"Kakek, apa sih maksud mereka membunuhi orang-orang dusun dengan penyebaran racun dalam air minum?" Sui Cin ikut bertanya sambil melanjutkan penjagaannya karena hatinya ingin sekali tahu. "Dan siapakah kiranya yang melakukan perbuatan keji itu?"
"Siapa lagi kalau bukan mereka? Ah, perbuatan mereka sekali ini belum berapa hebat. Mereka itu dapat melakukan apa saja, bahkan yang jauh lebih kejam daripada ini. Dan mereka membunuhi orang-orang dusun itu tentu ada maksudnya."
"Yang jelas tentu saja untuk membunuh kalian bertiga yang agaknya sudah mereka curigai," sambung kakek gendut Siang-kiang Lo-jin.
"Belum tentu!" kata kakek katai dengan muka berubah gelisah. "Kalau mereka menghendaki kami, kenapa yang mereka racuni adalah sumber air? Tidak, tentu mereka itu hendak membikin panik dan takut kepada penduduk sehingga semua penghuni dusun melarikan diri. Keadaan seperti sekarang inilah yang mereka kehendaki, untuk membuat keadaan sekeliling sini menjadi sunyi agar mereka dapat melakukan pertemuan dengan aman dan tidak diketahui orang lain."
"Hayaaa, tua bangka Ciu-sian ternyata masih cerdik. Agaknya hawa arak telah mempertajam otakmu. Benar sekali dugaanmu itu. Akan tetapi, tahukah engkau bagaimana kita akan mencari jejak mereka?"
"Aku tahu. Melalui air."
"Bagus! Akupun berpikir demikian. Mari kita selidiki."
"Sssttt...!" Tiba-tiba Sui Cin memberi isyarat tanpa menoleh, matanya ditujukan keluar pondok warung. "Aku melihat berkelebatnya bayangan orang, lima atau enam orang, cepat sekali, di ujung dusun sebelah timur."
"Aku juga melihat bayangan tiga orang di ujung barat, menuju ke utara," bisik Hui Song.
"Benar," kata Sui Cin pula. "Bayangan-bayangan itu menuju ke utara."
Dua orang kakek itu bergerak cepat, mendekati tempat pengintaian dua orang muda itu, akan tetapi bayangan-bayangan yang bergerak cepat itu telah lenyap. Sampai lama mereka menanti, dan kini dua orang kakek itu ikut mengintai, akan tetapi dusun yang sudah kosong itu sunyi sekali, tidak nampak lagi adanya bayangan lewat di situ. Dan kini senja telah mendatang.
"Kita harus memberanikan diri mencari jejak mereka sekarang juga sebelum gelap. Siang tadi mereka telah beraksi, membunuh banyak orang, maka kurasa malam inilah penentuan waktu mereka berkumpul."
Wu-yi Lo-jin yang bersikap sebagai pemimpin rombongan empat orang itu berkata dengan nada mengambil keputusan.
Agaknya Siang-kiang Lo-jin juga tidak berkeberatan membiarkan rekannya mengambil sikap memimpin. Dia mengangguk dan mereka berempat lalu berloncatan keluar dengan hati-hati sekali. Setelah mereka berempat mengadakan pemeriksaan dan merasa yakin bahwa di dusun itu memang tidak ada orang lain kecuali mereka berempat, mulailah dua orang kakek sakti itu mengadakan pemeriksaan. Semua saluran air mereka periksa dan ternyata diantara banyak saluran air, hanya satu saluran air yang tidak mengandung racun, yaitu yang mengalir ke utara!
"Hemm, kalau begitu tepatlah seperti yang dilihat dua orang pembantu muda kita ini, mereka menuju ke utara dan air yang menuju ke sana saja yang bersih dari racun."
Dengan penuh semangat akan tetapi amat hati-hati, dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin mereka lalu bergerak menuju ke utara, menurutkan jalannya saluran air jernih itu.
Saluran air itu berlika-liku dan akhirnya terjun ke dalam Sungai Huai yang baru saja meninggalkan sumbernya, jadi masih kecil dan jernih. Dan berhentilah mereka di lembah sungai yang datar, yang merupakan padang rumput yang luas, mereka melihat adanya sebatang bambu tinggi yang puncaknya dipasangi sehelai bendera. Itulah bendera yang amat dikenal oleh Wu-yi Lo-jin. Sebuah bendera yang melukiskan dua buah tengkorak disilang tulang-tulang yang menjadi gagang sepasang pedang.
Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin nampak pucat dan gelisah. Tentu saja Hui Song dan Sui Cin yang tidak mengenal bendera itu merasa heran, akan tetapi ketika mereka hendak bertanya, dua orang kakek sakti itu sudah menaruh telunjuk di depan mulut, tanda bahwa kedua orang kakek sakti itu amat gelisah, tidak berani sembarangan bergerak, bahkan pernapasan merekapun agaknya ditahan dan tidak sampai terdengar, tanda bahwa mereka berdua itu sungguh tidak ingin ketahuan orang!
Tentu saja hal ini membuat dua orang muda itu selain merasa heran, juga merasa ngeri. Kalau sampai dua orang kakek seperti mereka itu ketakutan, tentu ada hal yang amat gawat dan agaknya pemilik bendera itu benar-benar memiliki kesaktian seperti iblis sendiri!
Malam itu bulan bersinar terang, tidak dihalangi awan. Di angkasa memang ada gumpalan-gumpalan awan hitam, akan tetapi gumpalan-gumpalan awan itu terpisah-pisah dan hanya lewat sebentar saja, sejenak menutupi sinar bulan lalu pergi lagi, membentuk berbagai macam rupa yang menyeramkan.
Lapangan rumput itupun nampak terang oleh sinar bulan yang lembut dan penuh rahasia. Akan tetapi, yang nampak hanyalah tiang bendera dari bambu itu saja, dan bendera bergambar sepasang tengkorak yang kadang-kadang saja berkibar lembut tertiup angin malam yang halus.
Empat orang yang mengintai itupun berpencar, dengan hati-hati bersembunyi karena kedua orang kakek itu tadi sudah memesan kepada Hui Song dan Sui Cin agar berhati-hati dan jangan sekali-kali sampai memperlihatkan diri.
"Mereka itu amat berbahaya, apalagi kalau sedang berkumpul dalam jumlah banyak. Kita datang hanya untuk menyelidiki keadaan dan rencana mereka, bukan untuk melakukan penyerbuan."
Demikianlah dua orang kakek itu berpesan kepada dua orang muda yang tentu saja dapat memaklumi pesanan itu dan tidak berani sembarangan bergerak.
Tiba-tiba, setelah lebih satu jam mereka menanti, terdengar suara jerit tangis seorang anak kecil! Dalam sunyi menegangkan itu, tentu saja suara ini membuat suasana menjadi semakin menyeramkan. Suara anak menangis itu mengaduh-aduh ketakutan, membuat wajah Sui Cin menjadi pucat dan iapun tak dapat menahan lagi perasaan hatinya. Ia bergerak dan biarpun terdengar suara Hui Song "Sshhhh...!" mencegahnya, namun Sui Cin tidak mau diam lagi.
Tangis anak itu seperti menusuk-nusuk jantungnya. Mana mungkin ia tinggal diam saja kalau ada seorang anak begitu ketakutan dan agaknya terancam bahaya maut? Bagaimanapun juga, ia harus menyelidikinya dan kalau perlu turun tangan menolongnya, apapun yang akan menjadi resikonya. Maka, dengan hati-hati sekali iapun menyelinap diantara pohon-pohon dan batu-batu besar, bergerak cepat menuju ke arah suara tangis anak itu. Melihat ini, Hui Song merasa khawatir sekali dan iapun terpaksa bergerak mengejar. Ketika dia dapat menyusul, dia menangkap lengan gadis itu.
"Hati-hati, Cin-moi..." bisiknya.
"Aku harus menolongnya, apapun yang terjadi," bisik Sui Cin kembali.
"Hati-hati, siapa tahu ini jebakan mereka..."
Akan tetapi Sui Cin melanjutkan usahanya mencari karena kini hanya terdengar tangis ketakutan lemah saja dari suara anak tadi. Dan ternyata suara itu membawa mereka menjauhi padang rumput dan tiba di luar sebuah hutan.
Tiba-tiba, tiba-tiba sekali sehingga amat mengejutkan hati Sui Cin dan Hui Song, terdengar jerit yang menyayat hati kemudian diam! Dua orang pendekar itu saling berpegang tangan dan saling pandang di bawah sinar bulan, keduanya terbelalak dan muka mereka pucat.
Jeritan tadi jelas merupakan jeritan maut seorang anak yang berada dalam puncak ketakutan atau kesakitan. Sui Cin kini bergegas lari menyusup diantara semak-semak, diikuti oleh Hui Song dan tak lama kemudian mereka tiba di depan sebuah guha, mengintai dari balik batu, pohon dan semak-semak.
Dan apa yang mereka lihat hampir membuat Sui Cin muntah, bahkan Hui Song sampai terbelalak tak mampu bergerak seperti telah berubah menjadi patung. Mereka berdua merasa ngeri, jijik, dan juga marah bukan main.
Penglihatan di depan guha itu sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Amat mengerikan! Seorang laki-laki yang seperti raksasa sedang memangku tubuh seorang anak kecil telanjang yang menelungkup dan bagian bawah tubuh anak itu mandi darah yang juga membasahi paha laki-laki raksasa itu.
Melihat tubuh kecil telanjang yang tertelungkup di atas pangkuan dalam keadaan mandi darah dan tidak bergerak lagi itu mudah diduga bahwa anak itu tentu sudah mati dan agaknya baru saja tewas. Yang amat menjijikkan adalah betapa raksasa itu memegang sebuah kaki kecil yang agaknya kaki anak itu yang direnggut lepas begitu saja dari tubunya. Raksasa itu memegang kaki seperti memegang paha ayam atau paha kelinci, lalu mengganyangnya mentah-mentah. Daging paha kaki yang masih berdarah itu dilahapnya seperti seekor harimau sedang melahap paha domba.
Sui Cin menutupi mulutnya untuk mencegah muntah atau berteriak. Memang amat mengerikan penglihatan itu. Kakek itu sukar ditaksir berapa usianya. Akan tetapi tubuhnya telanjang hanya mengenakan untaian daun-daun yang melingkar di pinggangnya. Tubuh kakek itu besar sekali dan nampak kuat. Di pundah dan lengannya tumbuh rambut panjang seperti monyet. Di bawah tengkuknya terdapat punuk atau daging jadi.
Sebuah gelang akar kayu hitam menghias lengan kirinya. Kepala dan muka orang ini sungguh menyeramkan. Di dahinya juga tumbuh daging jadi dan hanya bagian belakang kepalanya saja yang ditumbuhi rambut pendek kaku. Mukanya tidak berjenggot atau berkumis, muka yang kasar dengan mata besar, hidung pesek dan mulut lebar dengan gigi-gigi menonjol. Di belakang raksasa ini terdapat tulang-tulang dan tengkorak manusia, agaknya raksasa ini sudah biasa makan daging manusia mentah-mentah.
Melihat kekejian yang tiada taranya ini, Sui Cin tak dapat menahan kemarahannya dan iapun sudah bergerak siap menerjang keluar. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya ditekan orang dan tubuhnya menjadi lemas. Ketika ia menengok, ternyata yang menekan jalan darah di pundaknya itu adalah Wu-yi Lo-jin sendiri yang agaknya sudah berada di belakangnya bersama Siang-kiang Lo-jin!
Sui Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi Wu-yi Lo-jin menggeleng kepala dan memberi isyarat kepada dua orang muda itu untuk mengikutinya pergi meninggalkan tempat mengerikan itu. Setelah jauh dari raksasa itu, Wu-yi Lo-jin berkata,
"Sui Cin, hampir saja engkau menggagalkan semua usaha kita."
ASMARA BERDARAH JILID 074(↕)
"Tapi, kek, bagaimana mungkin kita mendiamkan saja kekejian seperti yang dilakukan oleh iblis raksasa itu?"
Wu-yi Lo-jin tidak bergurau seperti biasa, melainkan memandang dengan wajah serius.
"Sui Cin, kekejian seperti itu saja masih belum apa-apa dibandingkan dengan kejahatan yang dapat dilakukan oleh orang-orang dunia sesat. Anak itu telah tewas, jadi tidak dapat ditolong lagi. Dan belum waktunya bagimu untuk turun tangan menentang iblis itu, karena kalau hal itu kau lakukan tadi, akan bermunculan mereka semua dan kita tidak mungkin dapat menyelamatkan diri lagi."
Sebelum Sui Cin dapat membantah, tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriakan dan hiruk-pikuk di sebelah kiri, dari arah sebuah dusun yang berada di luar hutan. Mendengar ini, empat orang itu, dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin, segera menggunakan ilmu kepandaian mereka untuk berlari ke arah itu.
Apakah yang terjadi di dusun kecil itu? Seorang kakek lain yang juga seperti raksasa, bertubuh tinggi besar dengan perut gendut, membawa sebuah tongkat panjang, mengamuk den membunuhi para penduduk.
Seorang ayah yang melindungi anak isterinya, mencoba melawan dengan golok di tangan. Akan tetapi dia bukan lawan kakek raksasa yang seperti iblis itu. Sekali dorong saja petani itu roboh dan ujung tongkat menembus dadanya, sedangkan isterinya telah tewas diambang pintu. Anaknya yang tunggal, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, menangis dan tak mampu bergerak ketika lengan kanannya dicengkeram oleh jari-jari tangan kiri yang besar dan panjang itu. Melihat betapa ayahnya dibunuh, anak itu menjadi nekat. Sambil menjerit-jerit dia lalu menggigit punggung tangan kakek yang mencengkeram lengannya.
“Huh! Keparat!"
Kakek itu menghardik dan sekali tangan kirinya bergerak, kepala anak itupun pecah dan tubuhnya terpelanting ke dekat mayat ayahnya dalam keadaan tewas seketika. Melihat betapa kakek ini mengamuk, para penduduk dusun melarikan diri ketakutan, meninggalkan belasan orang kawan yang sudah roboh dan tewas terlebih dahulu.
Ketika Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, Hui Song dan Sui Cin tiba di situ dan mengintai, semua penduduk yang masih hidup telah lari mengungsi dan yang ada hanya kakek raksasa itu yang tertawa bergelak memegangi tongkatnya, di tengah-tengah dusun dan di sana-sini nampak mayat-mayat berserakan.
Kembali Wu-yi Lo-jin harus menahan Sui Cin yang sudah merah mukanya karena marah dan sudah gatal-gatal tangannya untuk keluar dan menyerang iblis itu.
"Sabarlah. Mereka itu memang sengaja membuat pembersihan agar semua dusun di sekitar tempat ini ditinggalkan kosong dan pertemuan mereka tidak terganggu. Dan perbuatan mereka itu, selain berusaha mengusir semua penghuni penduduk, juga agaknya hendak memancing keluarnya golongan musuh yang mungkin datang mengintai seperti yang kita lakukan. Jangan kita mudah terpancing keluar dan mati konyol. Mari kita bersembunyi dan mengintai lagi di padang rumput itu. Disana adanya bendera itu, maka tentu disana pula mereka akan datang berkumpul."
Empat orang itu berindap-indap dan menyusup-nyusup melalui belakang semak-semak dan batu-batu besar, kembali ke tempat tadi. Masih sunyi disitu dan bendera itupun masih berkibar di ujung tiang bendera dari bambu. Akan tetapi, dengan gerakan tangan Wu-yi Lo-jin menudingkan telunjuknya dan memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk memperhatikan ke atas.
Sui Cin dan Hui Song memandang ke arah yang ditunjuk dan mereka terbelalak. Disana, di atas puncak tiang bambu seperti ada dua ekor burung raksasa bermain-main. Yang seekor hinggap di atas puncak tiang bambu dan yang seekor lagi berjungkir balik di atas.
Ketika yang berjungkir balik tadi melayang turun, yang hinggap di ujung bambu mencelat ke atas, berjungkir balik dan tempatnya kini dipakai oleh burung kedua. Akan tetapi setelah dipandang dengan teliti, nampak oleh Sui Cin dan Hui Song bahwa dua bayangan yang bermain-main di puncak tiang bambu itu sama sekali bukan burung melainkan manusia!
Dua orang manusia yang keduanya berambut panjang riap-riapan, berpakaian longgar dan dari jarak sejauh itu sukar dikenal wajahnya. Akan tetapi melihat bentuk tubuh yang seorang ramping, mudah diduga bahwa mereka itu adalah seorang pria dan seorang wanita.
Akan tetapi yang amat mengagumkan adalah gerakan mereka. Sui Cin sendiri seorang ahli gin-kang yang telah mewarisi ilmu gin-kang ibunya yang juga hebat. Akan tetapi melihat cara dua orang itu main-main di puncak tiang bambu yang lentur seperti dua ekor burung saja, diam-diam ia terkejut dan kagum bukan main. Tahulah ia bahwa kedua orang itu memiliki ilmu gin-kang yang amat tinggi dan ia, seperti juga Hui Song, menduga-duga siapa adanya kedua orang lihai itu.
Ketika Sui Cin menoleh dan memandang kepada Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, ia melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas itu nampak pucat, terbelalak dan seperti orang ketakutan. Bahkan ketika Si Dewa Arak Wu-yi Lo-jin menoleh kepada Sui Cin dan melihat gadis ini seperti hendak membuka mulut, dia cepat memberi isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara.
Kini nampak oleh empat orang pengintai itu betapa yang pria hinggap di atas ujung bambu dan yang wanita melayang ke atas, berjungkir balik beberapa kali kemudian turun, melayang ke arah pria yang berdiri dengan satu kaki di atas puncak bambu. Akan tetapi, pria itu tidak meninggalken tempatnya dan si wanita dengan lunaknya dapat hinggap di atas kepala pria itu dengan kepalanya pula!
Mereka beradu kepala dan si wanita kini berdiri jungkir balik, kepalanya menempel pada kepala pria yang masih berdiri tegak. Sungguh pertunjukan yang amat mengagumkan dan kalau saja tidak ada tiga orang lain yang memperingatkannya, tentu Sui Cin akan bertepuk tangan dan bersorak memuji.
Gin-kang seperti yang diperlihatkan dua orang yang agaknya sedang berlath itu sungguh membuat hatinya kagum bukan main. Akan tetapi, Wu-yi Lo-jin yang juga merupakan seorang ahli gin-kang yang hebat, memandang khawatir. Dia tahu bahwa menghadapi sepasang iblis itu, hanya dalam gin-kang saja dia masih mampu mengungguli mereka, akan tetapi kini, melihat cara kedua orang itu berlatih, dia merasa sangsi apakah ilmu gin-kangnya akan mampu menandingi mereka sekarang!
Melihat kekhawatiran di wajah kedua orang kakek sakti, Sui Cin lalu menyentuh lengan Wu-yi Lo-jin, kemudian dengan isyarat ia mengangkat dua jari tangan, telunjuk dan jari tengah ke atas. Melihat isyarat ini, Wu-yi Lo-jin mengangguk dan tahulah Sui Cin bahwa kedua orang yang sedang berlatih itu benar adalah Raja Iblis dan Ratu Iblis seperti yang pernah diceritakan Dewa Arak yang katai itu kepadanya. Maka tentu saja iapun menjadi gelisah dan tertarik, memandang dengan penuh perhatian.
Tiba-tiba para pengintai melihat berkelebatnya bayangan orang. Agaknya mereka yang sedang berlatih di puncak bambu juga melihatnya karena mereka berdua tiba-tiba melayang turun dan gerakan mereka ketika melayang sambil mengembangkan kedua lengan dan jubah mereka yang lebar berkibar benar-benar membuat mereka nampak seperti dua ekor burung besar.
Tanpa mengeluarkan sedikitpun suara, kedua orang itu turun hinggap di atas dua buah batu besar yang agaknya seperti juga tiang bendera itu, sudah sengaja dipersiapkan lebih dahulu di tempat itu. Dengan berdiri di atas batu yang besar setinggi manusia ini, maka kedua orang itu nampak nyata dari jarak jauh.
Sui Cin memandang penuh perhatian. Laki-laki itu bertubuh jangkung dan berperawakan sedang. Wajahnya sama sekali bukan seperti wajah iblis atau wajah tokoh-tokoh sesat lain yang biasanya menyeramkan. Orang-orang Cap-sha-kui juga berwajah menyeramkan, juga dua orang raksasa yang dilihatnya tadi jelas membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang sesat yang kejam sekali.
Akan tetapi kalau pria ini dinamakan Raja Iblis yang ditakuti sekali oleh dua orang kakek sakti yang berada di dekatnya, sungguh membuat hatinya penasaran. Laki-laki itu sukar ditaksir berapa usianya karena walaupun wajahnya masih nampak muda dan tidak keriputan, akan tetapi rambutnya yang panjang riap-riapan itu sudah putih semua. Kumis dan jenggotnya dipotong pendek. Tidak nampak sesuatu yang aneh atau menakutkan pada diri pria ini kecuali barangkali matanya. Sepasang matanya itu mencorong dan nampak kehijauan! Sungguh bukan seperti mata manusia biasa.
Orang kedua, seorang wanita yang bertubuh langsing, juga tidak kelihatan aneh atau menakutkan. Tubuhnya masih langsing padat seperti tubuh seorang wanita muda, dan wajahnya juga belum berkeriput. Akan tetapi rambutnya yang riap-riapan itupun sudah putih semua dan seperti juga pria itu, ia meiliki sepasang mata yang mencorong bersinar kehijauan.
Selain mata mereka yang mencorong kehijauan, juga sikap kedua orang ini amat dingin, wajah mereka seperti topeng saja, seperti kulit mati dan hanya mata mereka yang hidup. Wajah itu tidak membayangkan perasaan apa-apa kecuali dingin dan mati, dengan kerut dekat mata dan mulut yang menunjukkan kemarahan atau ejekan atau tidak perdulian. Pakaian mereka hanya dari dua macam warna, putih dan kuning, dan polos. Potongannya sederhana sekali, kebesaran dan longgar, akan tetapi kainnya terbuat dari sutera halus dan nampak bersih.
Bagaikan setan-setan yang berkeliaran, bayangan-bayangan berkelebat dan kini di tempat itu telah berkumpul banyak orang. Tidak kurang dari tiga puluh orang berdatangan dari segala penjuru.
Sui Cin yang mengintai, diam-diam bergidik melihat betapa puluhan orang ini, sebagian besar memiliki bentuk wajah, tubuh atau pakaian yang aneh-aneh dan menyeramkan. Dua orang kakek raksasa yang dilihatnya tadipun berada disitu. Anehnya, diantara tiga puluh orang lebih itu, sebagian berlutut menghadap kepada dua orang yang berdiri tegak di atas batu besar, akan tetapi sebagian lagi, kurang lebih setengahnya tetap berdiri dan menghadap dua orang itu dengan sikap yang jelas menyatakan bahwa mereka yang berdiri ini tidak tunduk!
Dan dua orang kakek raksasa tadi termasuk diantara mereka yang berdiri dengan sikap angkuh. Puluhan orang itu rata-rata sudah tua, diantara empat puluh tahun sampat ada yang sukar ditaksir berapa usianya.
Dan Sui Cin melihat betapa hidung kakek gendut Dewa Kipas berkembang kempis tanda bahwa dia mencium sesuatu. Ia sendiripun lapat-lapat dapat mencium bau yang bermacam-macam. Ada bau yang amis sekali, ada bau harum yang aneh, dan iapun tahu bahwa diantara orang-orang yang berkumpul disitu tentu terdapat banyak datuk-datuk sesat yang selalu bergelimang dengan racun yang berbahaya.
Kalau ia membayangkan betapa disitu terdapat orang yang melepas racun dalam air sehingga membunuh puluhan orang, sungguh ia merasa ngeri dan bergidik. Agaknya mereka semua itu bukan manusia lagi, melainkan iblis-iblis jahat yang berhati kejam bukan main.
Pria dan wanita yang berdiri di atas batu besar itu kini memandang ke bawah. Wajah mereka yang tertimpa sinar bulan itu nampak kehijauan, akan tetapi mereka tidak memperlihatan perasaan apapun wajah mereka ketika melihat betapa sebagian dari mereka yang muncul itu tidak berlutut.
Wanita berambut riap-riapan putih itu kini mengangkat tangan kanan ke atas dan terdengar suaranya, suara yang lantang dan melengking halus, menusuk anak telinga.
"Kawan-kawan yang sudah memperlihatkan penghormatan kepada kami, kami menerimanya dan silakan kalian duduk dan berkumpul di sebelah kanan!"
Jarinya menuding ke kanan dan mereka yang berlutut itu, berjumlah belasan orang, lalu bangkit dan berkumpul di sebelah kanan, dimana mereka lalu duduk dengan santainya di atas rumput. Akan tetapi, dasar orang-orang kasar yang tidak mengindahkan kesopanan dan aturan, mereka duduk seenaknya, ada yang jongkok, ada yang mekangkang, ada yang setengah tiduran.
Tinggal belasan orang yang merupakan kelompok yang sejak tadi berdiri saja, tidak mau berlutut seperti yang lain. Dan di tengah-tengah mereka, kini bahkan berada paling depan, berdiri seorang kakek yang sudah dikenal oleh Sui Cin, yaitu kakek buta yang terkenal dengan julukan Iblis Buta! Itulah Siangkoan Lo-jin, kakek yang berpakaian petani hitam sederhana, yang matanya buta hanya nampak putihnya saja dan melek terus, kakek yang menjadi datuk sesat dan yang pernah memimpin sebagian dari anggauta Cap-sha-kui.
Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta itu kini berdiri tegak dengan tongkat kayu cendana hitam di tangannya. Sikapnya tegak dan angkuh berwibawa dan agaknya inilah yang membuat belasan orang datuk lain, termasuk mereka dari Cap-sha-kui, berani untuk berdiri di belakangnya menentang suami isteri yang merupakan raja dan ratu baru di kalangan sesat, akan tetapi yang belum pernah mereka rasakan sendiri kehebatan mereka itu.
Mereka semua kaum sesat yang pernah mendengar nama Raja Iblis dan Ratu Iblis dari Guha Tengkorak, akan tetapi karena selama puluhan tahun suami isteri ini tidak pernah muncul, maka merekapun tidak pernah bertemu dengan mereka dan kini mereka sangsi apakah benar suami isteri itu hebat dan lebih tangguh daripada Si Iblis Buta!
Wanita itu kembali menghadapi mereka yang berdiri di bawah dan suaranya masih terdengar melengking nyaring dan tidak ada bedanya dengan tadi, tidak menunjukkan kemarahan, hanya terdengar lebih dingin.
"Dan kalian yang berani menentang kami dengan pandang mata dan sikap, kami masih memberi kesempatan untuk bicara dan mengemukakan alasan mengapa kalian tidak mau tunduk kepada kami, Raja dan Ratu kalian!"
Belasan orang yang berdiri tegak dan tidak mau tunduk itu nampak ragu-ragu. Sikap wanita itu biarpun nampak halus namun sungguh mengandung suatu wibawa yang amat menyeramkan, dan lebih-lebih lagi sikap pria yang berdiri tegak di atas batu besar tanpa mengeluarkan sepatah kata itu, yang hanya memandang dengan matanya yang mengeluarkan sinar hijau seperti mata iblis. Agaknya, Raja Iblis ini memang jarang bicara dan isterinya, Ratu iblis itu yang menjadi juru bicara
ASMARA BERDARAH JILID 075(↕)
Nama seseorang memang mempunyai pengaruh besar. Biarpun belum pernah melihat kelihaian Raja dan Ratu Iblis itu, namun tiga belas orang Cap-sha-kui yang kini berkumpul semua, bersama beberapa orang datuk sesat lainnya, dan dipelopori oleh Iblis Buta, sudah pernah mendengar kesaktian suami isteri bangsawan yang kini menjadi manusia iblis itu.
Maka, bagaimanapun juga, ada perasaan gentar di dalam lubuk hati mereka. Hanya karena disitu terdapat Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta yang menjadi pelopor, maka mereka masih berbesar hati karena mereka semua sudah melihat sendiri kesaktian Iblis Buta ini yang telah mereka akui sebagai pemimpin, atau setidaknya beberapa orang diantara Cap-sha-kui telah mengakuinya.
Kini, mendengar pertanyaan dan ucapan Ratu Iblis, belasan orang itu memandang ke arah Siangkoan Lo-jin, mengharapkan tokoh pemimpin ini yang akan menjawab.
Siangkoan Lo-jin yang buta itu maklum melalui pendengaran dan perasaan hatinya bahwa rekan-rekannya mengharapkan dirinya sebagai pemimpin untuk menghadapi suami isteri yang begitu muncul telah menentukan dan mengangkat diri sendiri sebagai raja dan ratu para datuk. Dia menjadi marah.
"Tukk! Tukk! Tukk!"
Tiga kali ujung tongkat kayu cendana yang berada di tangannya itu menotok ke atas sebongkah batu yang berada di depan kakinya. Totokan-totokan itu nampaknya perlahan saja, akan tetapi sebongkah batu itu retak-retak dan ketika tongkat kakek buta mendorong, batu itu pecah menjadi empat potong! Betapa hebat tenaga sin-kang kakek buta ini yang disalurkan melalui tongkatnya!
"Seorang pemimpin dinilai dari perbuatannya, bukan dari namanya atau omongannya! Kalian datang-datang mengangkat diri menjadi raja dan ratu dan minta agar kami tunduk dan taat. Kami bukan anak kecil yang dapat kalian takut-takuti begitu saja. Aku Siangkoan Lo-jin, minta bukti apakah kalian memang sudah pantas untuk memimpin kami!"
Melihat betapa pemimpin ini sudah berani maju menentang, tiba-tiba suami isteri dari Kui-kok-pang, yaitu Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo juga berloncatan ke depan dengan sikap menantang.
"Kami juga penasaran!" kata Kui-kok Lo-bo dengan suara melengking. "Melihat keadaan kalian, tidak lebih hebat daripada aku dan suamiku. Mana mungkin kami berdua mau tunduk dan taat kepada kalian kalau kami belum tahu sampai dimana kesaktian kalian?"
Kui-kok Lo-bo memandang dengan mata terbelalak. Nenek ini sesungguhnya tidak kalah angkernya dibandingkan dengan nenek yang berdiri di atas batu besar. Ia dan suaminya memang merasa penasaran sekali. Mereka merupakan suami isteri yang terkenal sebagai sepasang iblis, ketua Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) dan merupakan tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang ditakuti. Kini muncul suami isteri yang seolah-olah hendak menyaingi mereka, dan melihat betapa suami isteri yang baru muncul dan mengangkat diri sendiri menjadi Raja Iblis dan Ratu Iblis, tentu saja Kui-kok Lo-bo merasa penasaran.
Kakek nenek diatas batu itu merupakan orang-orang biasa saja. Dan memang keadaan suami isteri Kui-san-kok ini lebih menyeramkan dibandingkan dengan Raja dan Ratu Iblis itu. Suami isteri ini berpakaian putih-putih dan muka merekapun putih pucat, seperti muka mayat. Mata mereka mencorong mengerikan dan kekejaman mereka sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Jauh lebih mengesankan daripada suami isteri biasa sederhana yang kini berdiri di atas batu besar itu.
Sejenak nenek berambut putih itu memandang kepada suami isteri yang berdiri bertolak pinggang menentangnya di bawah batu itu tanpa perubahan air muka, hanya sepasang matanya berkedip-kedip dan sinar pandang matanya menyambar ganas. Dengan suara tetap halus akan tetapi nadanya semakin dingin saja, akhirnya ia bertanya sambil memandang ke arah sekelompok orang yang berdiri di sebelah belakang Iblis Buta dan sepasang Iblis Kui-kok-pang itu,
"Masih ada lagikah yang merasa penasaran dan yang hendak menentang kami selain tiga ekor monyet ini?"
Biarpun disitu berkumpul datuk-datuk sesat yang amat kejam deperti sakumpulan Cap-sha-kui, namun ternyata selain tiga orang itu, tidak ada lagi yang berani menentang secara terang-terangan. Mereka merasa lebih aman untuk menunggu dan melihat bagaimana kelanjutan dari sikap Iblis Buta dan suami isteri Kui-kok-pang itu.
Sementara itu, mendengar dirinya disebut "tiga ekor monyet", tentu saja Iblis Buta dan suami isteri Kui-kok-pang menjadi marah. Itulah penghinaan yang hebat! Akan tetapi, merasa betapa derajatnya lebih tinggi, yaitu sebagai pemimpin sebagian tokoh Cap-sha-kui termasuk suami isteri Kui-kok-pang itu, Iblis Buta diam saja, membiarkan bawahannya untuk bertindak lebih dahulu.
Pula, dia sendiri belum mengenal kelihaian lawan, maka kalau lawan sudah bergebrak melawan suami isteri Kui-kok-pang, dia dapat mempergumkan pendengarannya yang tajam untuk mengikuti gerakan mereka dan mengukur sampai dimana kelihaian dua orang itu.
"Kawan-kawan semua yang telah datang memenuhi undangan kami, kami berdua mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas perhatian kalian. Percayalah, kami berdua Raja dan Ratu kalian akan mendatangkan suasana baru bagi kita semua, dan sudah waktunya bagi kita untuk menguasai dunia! Sekarang, kalau ada yang tidak setuju bahwa kami berdua yang menjadi Raja dan Ratu, dan kalau ada yang hendak menentang, kami persilakan naik ke atas batu ini. Kalau kami sampai dapat digusur turun dari atas batu ini, biarlah kami tidak akan banyak bicara lagi dan kembali ke tempat pertapaan kami dan tinggal disana sampai mati. Nah, hayo, siapa hendak naik? Tiga ekor monyet ini?"
Sikap dan ucapan nenek berambut putih itu sungguh menyakitkan hati Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo. Mereka melihat bahwa batu besar itu cukup luas, tidak kurang dari lima meter persegi luasnya. Memang kurang luas untuk menjadi tempat perkelahian, akan tetapi, mereka maju bersama dan mereka berdua sudah memiliki ilmu gabungan yang dapat dimainkan oleh mereka berdua. Tempat yang sempit itu bahkan menguntungkan kalau mereka maju bersama.
"Perempuan sombong, biarkan kami yang mencoba untuk menyeret kalian turun!"
Bentak Kui-kok Lo-bo yang berwatak keras dan galak. Ia mendahului suaminya meloncat dan nampaklah dua bayangan berkelebat cepat ketika suami isteri ini melayang naik ke atas batu dan dalam waktu sekejap saja mereka kini telah berdiri berdampingan, menghadapi nenek berambut putih yang menyambut mereka dengan sikap dingin dan mata mencorong penuh selidik.
Adapun suaminya, kakek berambut putih riap-riapan itu, agaknya tidak memperdulikan, bahkan kini dia mengundurkan diri dan duduk bersila di sudut permukaan batu, bahkan lalu memejamkan kedua matanya seperti orang bersamadhi.
"Agaknya kalian yang disebut Sepasang Iblis Kui-kok-pang, dua orang diantara Cap-sha-kui. Sayang, mulai sekarang, Cap-sha-kui harus merasa puas dengan sebutan Cap-it-kui (Sebelas Iblis) saja," kata nenek berambut putih.
Suami isteri Kui-kok-pang itu mendelik. Penghinaan ini lebih hebat daripada makian monyet tadi, karena ucapan itu amat meremehkan mereka, memastikan bahwa mereka berdua tentu akan tewas sehingga Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) hanya akan tinggal sebelas orang lagi saja.
"Perempuan sombong, engkaulah yang akan mampus di tangan kami!" bentak Kui-kok Lo-bo yang sudah menubruk ke depan.
Kedua lengannya tadinya terkembang, kemudian menubruk dengan sepuluh jari tangan membentuk cakar setan. Gerakannya demikian kuatnya dan mengandung sin-kang amat kuat sehingga mengeluarkan bunyi angin bersiutan!
"Plak! Plakk!"
Dua kali tangan nenek berambut putih menangkis dan tubuh Kui-kok Lo-bo terdorong dan hampir terjengkang. Tentu saja ia terkejut bukan main ketika merasa betapa dorongan tangan lawan itu lunak dan lembut, akan tetapi di balik kelembutan itu terkandung tenaga dahsyat yang tenang seperti air telaga sehingga tenaga sin-kangnya sendiri yang bersifat keras itu seperti tenggelam ke dalamnya!
Itulah semacam tenaga halus yang amat hebat, yang membuat telapak tangan wanita itu seperti kapas halusnya akan tetapi mengandung tenaga dahsyat yang sewaktu-waktu dapat dikeluarkan untuk mengirim serangan maut dari balik kelembutan.
Pada saat isterinya terdorong mundur, Kui-kok Lo-mo yang terkejut melihat cara lawan menangkis isterinya dan membuat isterinya terhuyung, sudah mengeluarkan teriakan nyaring dan diapun menerjang maju mengirim pukulan dengan targan kanan terbuka ke arah dada lawan. Kali ini, angin yang berhembus lebih kuat daripada gerakan Kui-kok Lo-bo dan tangan maut itu menyambar dahsyat, mengeluarkan suara berdesing.
Nenek rambut putih mengenal pukulan dahsyat, maka iapun mengelak dengan gerakan yang gesit, tubuhnya menyelinap ke samping akan tetapi bukan hanya sekedar mengelak karena sambil mengelak kakinya melayang ke arah selangkang lawan.
"Wuuuttt...!"
Kui-kok Lo-mo cepat meloncat ke belakang sehingga tendangan yang amat berbahaya itu lewat di depan tubuhnya. Menggunakan kesempatan ini, Kui-kok Lo-bo sudah menerjang lagi dari belakang, mencengkeram ke arah tengkuk lawan, sedangkan tangan yang lain menusuk dengan jari-jari tangan ditegakkan ke arah lambung. Sungguh merupakan serangan maut yang amat berbahaya, dilakukan dari belakang tubuh lawan pula!
Akan tetapi nenek rambut putih itu sama sekali tidak kelihatan terkejut atau gugup menghadapi serangan dari belakang ini. Ia menarik tubuh atas ke belakang sambil memutar tubuh, menangkis tusukan ke arah lambungnya itu sedangkan cengkeraman ke arah tengkuknya luput, dan secepat kilat ia menggerakkan kepala dan rambutnya yang putih dan riap-riapan itu tiba-tiba saja berubah kaku seperti kawat-kawat baja menyambar ke depan.
Bukan main hebatnya serangan ini! Di dunia persilatan ada ilmu mempergunakan rambut sebagai senjata. Akan tetapi biasanya rambut itu dikuncir sehingga kalau kepala digerakkan, kuncir yang tebal itu depat menghantam seperti ujung toya.
Ilmu mempergunakan rambut nenek ini lain lagi. Rambutnya tidak dikuncir melainkan riap-riapan dan menurut nalar, rambut yang riap-riapan ini tentu saja tidak mempunyai daya kekuatan. Akan tetapi hebatnya, begitu nenek ini menggerakkan kepalanya, rambut putih yang riap-riapan dan beribu-ribu banyaknya itu menjadi tegang seperti kawat-kawat baja halus menyambar ke arah lawan.
Kui-kok Lo-bo terkejut bukan main ketika tubuhnya dari dada sampai kepala diserang oleh rambut-rambut putih yang menjadi kaku itu. Ia cepat melempar tubuh ke belakang, akan tetapi masih saja ada rambut yang menyentuh kulit lehernya dan kulit leher itupun terluka berlubang-lubang seperti ditusuki jarum-jarum halus! Memang tidak terlalu nyeri bagi wanita iblis ini, akan tetapi cukup mengejutkan karena ternyata kekebalan kulitnya tidak dapat bertahan terhadap rambut-rambut putih halus itu.
Sementara itu, Kui-kok Lo-mo sudah menyerang lagi dengan pukulan-pukulan dahsyat. Juga Lo-bo cepat membantu suaminya dan sebentar saja nenek rambut putih itu sudah dikeroyok dua oleh sepasang iblis dari Kui-kok-pang.
Perlu diketahui bahwa suami isteri Kui-kok-pang itu melatih diri bersama, mempelajari berbagai ilmu pukulan yang ampuh-ampuh sehingga mereka berdua merupakan pasangan yang dapat bekerja sama dengan baik.
Akan tetapi, nenek yang tidak mengesankan keadaannya itu ternyata lincah bukan main dan ia seperti mempermainkan kedua orang pengeroyoknya! Gerakannya begitu mantap dan cepat sehingga kemanapun kedua orang lawannya menyerang, ia sudah siap untuk mengelak atau menangkis, bahkan hampir selalu secara langsung ia membalas setiap serangan dengan tidak kalah dahsyatnya. Hebatnya, makin dahsyat serangan lawan, makin dahsyat pula ia membalas, seolah-olah kedahsyatan serangannya tergantung kepada serangan lawan.
Hui Song dan Sui Cin yang nonton dari tempat persembunyian mereka, terbelalak kagum. Mereka berdua sudah maklum akan kesaktian suami isteri Kui-kok-pang itu. Akan tetapi melihat betapa nenek rambut putih itu mampu mempermainkan pengeroyokan mereka, sungguh hal ini amat mengejutkan dan mengagumkan. Kini mengertilah mereka mengapa dua orang kakek sakti seperti Dewa Arak dan Dewa Kipas itu nampak jerih terhadap Raja dan Ratu Iblis!
Perkelahian di atas batu itu menjadi semakin seru. Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo adalah dua orang datuk sesat yang sudah memiliki kedudukan tinggi dan mengalahkan pengeroyokan dua orang ini bukan merupakan hal mudah, biarpun bagi nenek berambut putih itu sekalipun.
Memang benar bahwa nenek itu menang segala-galanya, baik kekuatan sin-kang maupun kepandaian silat dan ketinggian gin-kang, akan tetapi berkat kerja sama yang amat kompak suami isteri iblis dari Kui-san-kok itu dapat bertahan dan menjaga diri. Mereka berdua terdesak hebat dan kini bahkan sukar untuk membalas serangan nenek itu yang dibantu oleh rambutnya itu. Bagaikan gelombang samudera, nenek itu mengirim serangannya susul-menyusul, dengan kedua tangan, kedua kaki dan diseling dengan gerakan rambutnya yang amat berbahaya.
Karena merasa kewalahan, suami isteri dari Kui-kok-pang itu menjadi penasaran dan marah. Biarpun mereka bertangan kosong dan nenek rambut putih itu juga bertangan kosong, akan tetapi penggunaan rambut nenek itu bahkan lebih merepotkan daripada kalau lawan menggunakan senjata. Maka merekapun mengeluarkan bentakan nyaring dan nampaklah sinar berkelebat di bawah bayangan cahaya bulan yang kini bersinar terang. Tahu-tahu Kui-kok Lo-mo telah memegang sebatang pedang panjang lemas yang tadinya dipakai sebagai ikat pinggang, sedangkan isterinya telah memegang dua buah pisau belati yang tajam mengkilat. Dengan senjata di tangan, mereka lalu mengamuk dan menyerang kalang kabut.
ASMARA BERDARAH JILID 076(↕)
"Plak! Plak! Plak!"
Sui Cin hampir berseru saking kagumnya. Nenek rambut putih itu tidak hanya pandai mengelak, bahkan berani menangkis pedang dan pisau yang amat tajam itu dengan kedua lengannya! Kulit lengan menjadi lunak sekali sehingga ketika bertemu dengan senjata tajam, sama sekali tidak terluka karena tenaga bacokan senjata-senjata itu lenyap disedot oleh kulit pembungkus daging yang lunak dan ulet seperti kapas di udara yang tidak akan rusak terbacok senjata tajam.
Betapapun juga, nenek itu belum berani menerima senjata-senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan yang memiliki tenage sin-kang amat kuat itu dengan tubuhnya. Yang berani beradu dengan senjata-senjata tajam itu hanyalah kedua lengannya saja yang agaknya sudah terlatih dengan amat baiknya.
"Tringgg... crakkk... tranggg...!"
Bunga api berpijar ketika ujung pedang mencium permukaan batu, membuat debu batu bertaburan. Diserang kedua kakinya dengan babatan pedang sedangkan Kui-kok Lo-bo menggerakkan sepasang belatinya mengarah jalan-jalan darah yang berbahaya, nenek itu harus memperlipatgandakan kecepatannya.
Setelah suami isteri itu mempergunakan senjata, perkelahian menjadi semakin seru menegangkan. Semua orang yang hadir di situ, baik yang sekelompok dan duduk di sebelah kanan maupun mereka yang masih berdiri di belakang Iblis Buta, nonton dengan hati tegang. Bagi mereka, yang berkelahi itu seolah-olah mewakili golongan masing-masing, yaitu golongan yang tunduk kepada Raja dan Ratu Iblis dan golongan yang menentang.
Biarpun ia harus mengakui bahwa nenek berambut putih itu memang lihai sekali sehingga dikeroyok suami isteri iblis dari Kui-kok-pang itu yang keduanya bersenjata tajam tidak sampai kalah, namun ia masih merasa ragu-ragu apakah orang-orang seperti Dewa Arak atau Dewa Kipas harus takut menghadapinya.
Menurut penilaiannya, tingkat kepandaian dua orang kakek itu belum tentu kalah oleh nenek berambut putih itu, akan tetapi mengapa mereka berdua nampak sedemikian takutnya menghadapi Raja dan Ratu Iblis? Ia menaksir bahwa kalau hanya dapat mengimbangi kepandaian kedua orang suami isteri Kui-kok-pang itu saja, ayahnya atau ibunya belum tentu akan kalah!
Akan tetapi tiba-tiba kakek katai menyentuh lengannya dan menudingkan telunjuknya ke arah batu dimana perkelahian masih berlangsung dengan serunya. Dan Sui Cin yang tadinya termenung itu kini terbelalak. Dua orang suami isteri Kui-kok-pang itu kini kelihatan terhuyung-huyung!
Yang membuat Sui Cin terheran-heran dan merasa ngeri adalah ketika ia melihat betapa kedua tangan suami isteri itu kini berubah menjadi hijau, juga muka mereka yang tadinya pucat seperti muka mayat itu berubah menjadi kehijauan!
Dan ia, sebagai puteri suami isteri pendekar sakti, dapat menduga apa artinya itu. Suami isteri Kui-kok-pang itu ternyata telah keracunan secara hebat sekali. Inilah sebabnya mengapa gerakan mereka menjadi kacau dan lemah. Padahal, nenek berambut putih itu sama sekali tidak pernah kelihatan menggunakan racun! Dari mana datangnya racun yang menguasai suami isteri itu? Dan kedua suami isteri Iblis Kui-kok-san itupun merupakan datuk-datuk sesat yang tidak asing dengan segala macam racun, bagaimana mungkin mereka dapat keracunan semudah itu?
Tiba-tiba nenek berambut panjang itu mengeluarkan suara bentakan melengking, tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu sepasang pisau dan pedang itu terbang dari tangan para penyerangnya. Suami isteri itu nampak terkejut, akan tetapi mereka menggunakan tangan kosong untuk melawan terus. Bahkan kini mereka mengamuk dengan nekat, melihat betapa tubuh mereka telah dipengaruhi hawa racun hijau yang tidak menimbulkan rasa nyeri, akan tetapi membuat tubuh mereka makin lama semakin lemas.
"Hyaaattt!" tiba-tiba Kui-kok Lo-bo menubruk dengan kedua tangan membentuk cakar setan.
Nenek ini sudah nekat karena betapa sebetulnya ia dan suaminya dipermainkan, dan agaknya kalau dikehendaki, sejak tadi ia dan suaminya sudah dapat dikalahkan. Ia tadi sudah mencoba menggunakan pel anti racun untuk menyembuhkan keracunan itu dengan menelannya, akan tetapi tidak ada hasilnya sama sekali. Maka, ia berlaku nekat, kalau perlu hendak mengadu nyawa dengan lawan. Maka serangannya itu amat hebat, tidak lagi memperdulikan daya pertahanan lagi, melainkan mengerahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk mencengkeram tubuh lawan.
Tentu saja ia menyerang sambil mengerahkan tenaga sin-kang yang membuat kedua tangannya berubah hitam dan mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Akan tetapi karena racun hijau itu mulai menguasai dirinya, gerakannya menjadi kurang cepat dan lawannya dengan mudah saja dapat mengelak, bahkan kini lawannya berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Kui-kok Lo-bo.
Sebelum Lo-bo dapat mencegahnya, tahu-tahu sinar putih berkelebat dan rambut-rambut putih yang riap-riapan itu sudah bergerak menyerang mukanya! Terdengar jerit mengerikan ketika rambut-rambut halus yang berobah menjadi kaku meruncing menerkam muka dan leher Kui-kok Lo-bo. Ketika nenek berambut putih itu melepaskan pegangan sambil mendorong, tubuh Kui-kok Lo-bo terjengkang dan terlempar jauh dari atas batu, terbanting ke atas tanah dan disitu tubuhnya berkelojotan. Muka dan lehernya mandi darah, juga kedua matanya rusak dan hancur karena tusukan-tusukan rambut-rambut itu!
Melihat isterinya roboh, Kui-kok Lo-mo menjadi marah dan mata gelap. Dia lupa bahwa sudah jelas dia bukan lawan nenek rambut putih, akan tetapi dia sudah nekat dan sambil berseru keras dia memukul dengan tangan kanannya ke arah kepala nenek berambut putih, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut. Serangan kedua tangan ini hebat bukan main. Biarpun kakek ini juga sudah keracunan dan tenaganya banyak berkurang, namun pengerahan sinkang dalam keadaan marah ini memperlipatgandakan kekuatannya dan dua serangan itu sungguh dahsyat dan berbahaya sekali.
Nenek rambut putih itu cepat menyambut cengkeraman itu dengan pukulan kedua tangan miring ke bawah, sedangkan tangan yang menghantam ke arah kepalanya itu ia sambut dengan rambutnya. Akan tetapi, sekali ini rambut di kepalanya tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan menjadi bergumpal sebesar lengan dengan kekuatan dahsyat menyambut pukulan tangan kanan Kui-kok Lo-mo dengan tangkisan dari atas ke bawah pula, seperti sebuah lengan atau sebatang toya baja menangkis.
"Krakk!! Krekkk...!!"
Kui-kok Lo-mo meloncat ke belakang dan mukanya yang pucat agak kehijauan itu menjadi semakin pucat. Kedua lengannya tergantung lemas dan tak berdaya lagi karena tulang-tulang kedua lengannya patah-patah oleh tangkisan gumpalan tambut dan kedua tangan nenek itu! Dalam satu jurus saja, kedua lengannya menjadi tak berdaya dan tidak dapat dipergunakan untuk menyerang lagi.
"Haiiiittt...!"
Biarpun kedua lengannya sudah lumpuh, Kui-kok Lo-mo masih tidak mau mundur. Sudah kepalang baginya. Isterinya sudah tewas dan bagaimanapun juga, tidak mungkin dia mundur menelan penghinaan dan kekalahan begitu saja di depan banyak orang. Akan dikemanakan mukanya? Namanya akan hancur dan menjadi buah tertawaan orang kalau dia mundur dan mengaku kalah. Sambil mengeluarkan pekik yang nyaring tadi, kedua kakinya bergerak dan tubuhnya melayang ke atas, kedua kaki melakukan tendangan dahsyat sekali.
"Plakkk! Brukkk...!"
Tubuh Kui-kok Lo-mo terbanting keras ke atas batu ketika nenek itu mengelak ke samping sambil menangkis dengan lengannya. Akan tetapi Kui-kok Lo-mo bangkit lagi dengan loncatan karena kedua tangannya tidak dapat dipergunakan untuk menyangga tubuhnya dan dengan nekat dia menendang lagi. Akan tetapi, sampai empat kali tubuhnya terbanting karena setiap tendangan dapat dielakkan dengan mudah oleh lawannya, bahkan tangkisan keras lawannya membuat tubuhnya terpelanting dan terbanting.
"Aaahhhh...!"
Tiba-tiba Kui-kok Lo-mo mengambil posisi menunduk seperti seekor kerbau mengamuk dan hendak menggunakan tanduk menyerang. Akan tetapi karena Kui-kok Lo-mo tidak bertanduk, ketika dia lari menyeruduk ke depan, dia hanya menggunakan kepalanya yang menerjang dan menyeruduk ke arah perut nenek berambut putih itu.
Jangan dipandang ringan serangan seperti ini! Bukan hanya kaki tangan kakek itu yang terlatih dan dapat disaluri tenaga sin-kang sehingga mampu menghancurkan batu karang. Akan tetapi kepalanya juga merupakan anggauta badan yang dapat dipakai untuk menyerang. Serudukan kepala itu amat berbahaya. Tembok tebal sekalipun akan jebol kalau diseruduk kepala yang penuh dengan tenaga sin-kang ini.
Sui Cin dan Hui Song yang sejak tadi melihat semua peristiwa itu dengan mata jarang berkedip, kini memandang penuh perhatian. Mereka tahu bahwa nenek berambut putih itu tentu akan mengelak.
Akan tetapi, betapa kaget hati mereka melihat bahwa nenek itu sama sekali tidak mau mengelak, bahkan menerima kepala yang menyeruduk ke arah perutnya yang kecil itu.
"Ceppp...!"
Terdengar suara nyaring ketika kepala itu membentur perut dan... kepala itu menancap ke dalam perut. Perut yang ramping itu seperti menjadi kosong dan kepala Kui-kok Lo-mo masuk ke dalam rongga perut, disedot dan tidak dapat dikeluarkan lagi!
Kui-kok Lo-mo terkeJut bukan main. Dari hidungnya ke atas, kepalanya sudah terbenam ke dalam perut wanita itu. Dia hanya dapat bernapas melalui mulutnya dan dia merasa betapa kepalanya menjadi panas sekali, seperti dimasukkan ke dalam perapian!
Dan ada gencatan amat kuat yang seolah-olah akan meledakkan kepalanya. Kedua lengannya sudah lumpuh, tidak dapat dipakai untuk menyerang, dan kedua kakinyapun tidak dapat melakukan tendangan karena terlalu dekat dengan lawan.
Kini dia hanya dapat mengerahkan tenaga seadanya untuk meronta dan berusaha melepaskan diri dari sedotan perut itu. Akan tetapi semua usahanya sia-sia belaka dan kepalanya terasa semakin nyeri dan panas. Demikian hebat rasa nyeri yang dideritanya sehingga kedua kakinya meronta-ronta, kemudian terdengar mulutnya mengeluarkan pekik mengerikan ketika tubuhnya terlempar dari atas batu karena wanita berambut putih itu secara tiba-tiba menggerakkan perutnya dan tenaga dari perut itu menendang kepala Kui-kok Lo-mo sehingga tubuhnya terpental ke bawah batu, tepat di samping tubuh isterinya yang masih berkelojotan, dari mulut, hidung dan telinganya bercucuran darah dan mulutnya mengeluarkan suara ngorok seperti seekor babi disembelih.
Melihat tubuh kakek dan nenek itu berkelojotan dalam keadaan sekarat, Sui Cin merasa ngeri sekali. Betapa sadisnya nenek berambut putih itu, pikirnya. Biarpun ia ingat bahwa kakek dan nenek itu juga merupakan iblis-iblis berujud manusia, akan tetapi menyaksikan kekejaman sedemikian hebatnya terjadi di depan mata, hampir ia tidak dapat bertahan untuk meloncat keluar dan menyerang nenek iblis itu!
Akan tetapi, Dewa Arak yang berada di dekatnya, agaknya tahu akan isi hati gadis ini, maka beberapa kali kakek itu menepuk pundak atau lengan Sui Cin untuk menyabarkannya.
Sementara itu, Siangkoan Lo-jin kini menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya mencelat ke atas batu besar, berhadapan dengan nenek berambut putih yang sudah bertolak pinggang menanti lawan itu. Biarpun buta, akan tetapi kakek berambut putih itu tadi dapat mengikuti jalannya perkelahian dengan baik, menggunakan pendengarannya saja. Bahkan lebih daripada mereka yang memiliki mata sehat, dia mampu meneliti dan mengenal gerakan-gerakan nenek berambut putih itu, dapat mengetahui dimana letak kekuatannya dan dimana pula letak kelemahannya. Kini, dengan tenang dia berhadapan dengan nenek itu, memegang tongkatnya dengan tangan kiri.
"Hemm, sobat. Kini agaknya tinggal aku seorang saja yang berani menentang kalian. Majulah dan mari kita selesaikan urusan ini dengan taruhan darah dan nyawa."
Melihat sikap kakek buta ini, nenek berambut putih nampak ragu-ragu. Biarpun buta, kakek ini tak boleh dibuat main-main, tidak boleh dipandang ringan karena iapun sudah mendengar bahwa Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta ini sudah berhasil menundukkan banyak tokoh sesat yang lihai, bahkan beberapa orang anggauta Cap-sha-kui, termasuk suami isteri yang telah dirobohkannya itu telah tunduk kepada Iblis Buta ini. Orang yang sudah dapat menundukkan mereka, apalagi dalam keadaan buta, tentu mengandalkan ilmu silat yang luar biasa dan ia harus berhati-hati.
Agaknya suaminya maklum akan keraguan isterinya, karena suaminya itu tiba-tiba saja bangkit berdiri dan melangkah maju. Tanpa bicara apapun, si isteri agaknya maklum bahwa kalau suaminya sudah maju sendiri, tidak ada alasan baginya untuk mencampurinya. Maka iapun mundur dan duduk bersila di sudut batu seperti yang dilakukan suaminya tadi. Kini kakek yang mukanya kehijauan itu berdiri berhadapan dengan Iblis Buta.
Siangkoan Lo-jin juga dapat mengikuti semua gerakan tadi dan tahu bahwa nenek itu mundur, digantikan dengan seorang yang langkah kakinya perlahan namun getarannya terasa mempengaruhi batu besar itu sehingga kakinya sendiripun dapat merasakan getaran itu!
Diam-diam Siangkoan Lo-jin mengerutkan alisnya dan maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh. Akan tetapi dia adalah pemimpin para datuk sesat, selama ini dia dianggap raja, maka tentu saja dia akan mempertahankan kedudukannya itu yang hendak dirampas oleh suami isteri yang menyebut diri Raja Iblis dan Ratu Iblis itu.
ASMARA BERDARAH JILID 077(↕)
"Apakah aku berhadapan dengan pangeran yang dijuluki Raja Iblis?"
Siangkoan Lo-jin bertanya, tongkatnya mengetuk-ngetuk permukaan batu besar untuk mengenal keadaan.
"Kami adalah Pangeran Toan Jit-ong," untuk pertama kalinya terdengar kakek berambut putih riap-riapan itu bicara, suaranya halus dan tenang berwibawa, seperti suara dan sikap seorang bangsawan tinggi. "Kamu tentu orang she Siangkoan itu. Menyerahlah dan kami akan mengampunimu, dan mengangkatmu menjadi pembantu kami!"
"Manusia sombong! Aku baru mau menyerah kalau kalah olehmu dan aku lebih baik mati kalau sampai kalah oleh orang lain!" Berkata demikian, si buta sudah menggerakkan tongkatnya.
"Wirrrr... siuuuuttt...!"
Nampak sinar hitam bergulung-gulung lalu mencuat ke arah kakek rambut putih yang mengaku bernama Pangeran Toan Jit-ong itu. Serangan ini dahsyat sekali karena tongkat kayu cendana itu digerakkan dengan tenaga sin-kang yang amat kuat.
Pangeran yang dijuluki Raja Iblis itu agaknya mengenal serangan ampuh, maka cepat dia menggerakkan tubuhnya. Yang mengagumkan adalah bahwa gerakannya itu seenaknya saja tidak tergesa-gesa dan hanya menarik kaki menggeser tubuh dan serangan tongkat itu luput dan lewat di samping tubuhnya.
Akan tetapi, kakek buta itu lihai bukan main. Biarpun matanya buta, akan tetapi pendengarannya dapat mengikuti semua gerakan lawan dan biarpun tongkatnya luput dalam serangan pertama, akan tetapi tongkat itu seperti hidup dapat mengejar lawan dengan susulan serangan yang lebih dahsyat lagi, kini menghantam dari atas ke bawah!
"Wuuuttt... tarrr...!"
Bunga api berpijar ketika tongkat itu menghantam batu dan debu berhamburan. Hebat bukan main tenaga pukulan ini. Batu besar itu tergetar dan dapat dibayangkan kalau hantaman seperti itu mengenai kepala atau anggauta badan lainnya.
Sampai lima kali pangeran yang kini menjadi datuk sesat itu mengelak, dengan gerakan seenaknya saja, kemudian tahu-tahu tubuhnya mencelat ke tempat tadi dalam keadaan duduk bersila.
"Kamu orang buta masih tidak berharga menjadi lawan kami!" katanya dan diapun sudah memejamkan kedua matanya.
Agaknya sikap ini mudah dimengerti oleh isterinya. Nenek itu yang tadinya juga duduk bersila, sudah meloncat ke depan, menyambut si buta yang menjadi marah dan mengejar lawan yang meninggalkannya. Ketika dia mendengar suara nenek itu bergerak menyambutnya, dia menggerakkan tongkatnya menyapu dari samping.
Wanita berambut putih itu mengelak dengan loncatan tinggi. Ketika tongkat lewat di bawah kakinya, nenek itu membalas serangan dengan tamparan tangan dari atas. Akan tetapi, Siangkoan Lo-jin sudah melanjutkan babatan tongkat tadi dengan membalikkan tongkatnya dan kini gagang tongkat yang berbentuk kepala ular atau naga itu menyambut serangan nenek itu dengan dorongan kuat!
Hampir saja Ratu Iblis itu celaka ketika gagang tongkat itu menyambut dadanya langsung dari depan. Namun ia lihai sekali, dalam keadaan meloncat tadi, selagi tubuhnya melayang di udara dan didorong tongkat, tiba-tiba rambutnya menyambar ke depan ketika ia menggerakkan kepala dan ribuan helai rambut membelit ujung tongkat.
Tubuhnya terbawa oleh gerakan tongkat sehingga tubuh itu terpelanting, akan tetapi berkat rambutnya yang bertahan pada tongkat, ia tidak sampai terkena dorongan, juga tidak sampai terbanting ke atas batu.
Siangkoan Lo-jin terkejut sekali ketika tubuh lawan menempel seperti lintah pada tongkatnya. Ia tidak dapat melihat, juga tidak dapat mengikuti gerakan rambut yang halus itu, hanya mengira bahwa lawannya tentu mempergunakan semacam senjata lemas untuk menangkap ujung atau gagang tongkatnya. Maka dia segera memutar tongkatnya agar tubuh itu ikut terputar dengan cepat.
Untung bagi Ratu Iblis bahwa ia dapat menduga maksud lawan. Kalau sampai ia terbawa berputar oleh tongkat pada rambutnya, ia dapat celaka, terbanting keras atau rambutnya tercabut dari kepala!
Namun nenek ini cerdik sekali. Ia dapat menduga siasat lawan, maka cepat ia melepaskan rambutnya pada satu kali putaran, dan dengan berjungkir balik di udara sampai lima kali ia dapat mematahkan tenaga putaran itu dan melayang turun ke atas batu. Namun Iblis Buta sudah menyambutnya lagi dengan hantaman-hantaman dahsyat, membuat nenek itu terpaksa berloncatan ke sana-sini dengan sigapnya, seperti seekor lalat saja.
"Dinda, jangan main-main, cepat bereskan dia!" terdengar kakek yang duduk bersila itu berkata.
Dan tiba-tiba saja terdengar suara getaran lembut, seperti suara nyamuk yang beterbangan di dekat telinga. Akan tetapi suara mendangung itu makin lama semakin kuat sehingga menusuk telinga.
Sui Cin terkejut sekali. Suara mendengung yang tadinya lembut seperti nyamuk itu, kini benar-benar merupakan suara yang amat menyiksa dan tahulah ia bahwa suara itu dikeluarkan oleh Raja Iblis, suara mengandung khi-kang yang amat kuat, semakin lama semakin kuat.
Terpaksa ia harus mengerahkan sin-kang untuk bertahan, karena ia tahu bahwa kalau dibiarkan saja, kekuatan yang tersembunyi dalam suara itu akan merusak jantungnya, dan akan merusak telinganya. Ketika ia melirik ke arah Hui Song, iapun melihat betapa pemuda itu juga sedang mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan suara yang menyiksa itu. Juga dua orang kakek sakti. Maka tahulah Sui Cin bahwa memang suara mendengung itu amat kuat.
Dan kini terjadi perobahan pada perkelahian di atas batu besar. Kalau tadi Siangkoan Lo-jin menggerakkan tongkatnya dengan ganas sehingga Ratu Iblis sibuk mengandalkan gin-kangnya untuk mengelak terus-menerus, kini nampak seperti orang kebingungan.
Jelas bahwa dia terserang suara itu dan hal ini sungguh membuat dia bingung. Biarpun dengan sin-kangnya yang kuat dia mampu bertahan dan suara mendengung itu tidak sampai melukainya, namun tetap saja pendengarannya terganggu. Padahal, untuk berkelahi, dia hanya mengandalkan pendengaran sepenuhnya.
Kini pendengarannya terganggu suara berdengung yang semakin kuat itu menggetarkan anak telinga dan dia tidak mungkin lagi dapat mengikuti gerakan Ratu Iblis dengan seksama. Maka, kini dia hanya memutar tongkatnya secara ngawur saja seperti sebuah perahu tanpa kemudi dan tanpa kompas. Sudah tentu saja menghadapi seorang lawan selihai Ratu Iblis, tidak mungkin dilawan dengan pemutaran tongkat secara ngawur.
"Plakk!"
Sebuah tamparan yang amat keras dari tangan kiri Ratu Iblis mengenai telinga kanan Siangkoan Lo-jin. Tamparan itu masuk menyelinap melalui putaran tongkat dan sama sekali tidak mampu dielakkan atau ditangkis oleh Siangkoan Lo-jin yang kini benar-benar menjadi seperti buta-tuli itu.
"Ahhh...!"
Tubuh kakek itu terpelanting. Tamparan itu amat keras, bukan hanya mengandung tenaga sin-kang akan tetapi juga mengandung hawa beracun. Seketika muka kakek buta itu yang sebelah kanan menjadi kehijauan dan telinga kanannya menjadi rusak. Darah segar mengalir keluar dari telinga itu!
Akan tetapi kakek buta itu memang hebat bukan main. Setua itu dia masih memiliki daya tahan yang mengagumkan. Padahal, kalau orang lain yang terkena pukulan seperti itu, tentu akan roboh dan tewas, atau setidaknya terluka parah dan tidak mampu melawan lagi.
Kakek ini begitu terpelanting, mempergunakan tongkatnya melindungi tubuh agar tidak menerima serangan susulan, lalu sekali menggerakkan tubuh dia sudah meloncat bangkit lagi dan memutar tongkatnya. Kini begaikan orang gila dia mengamuk, memutar tongkatnya dan kakinya meraba-raba sambil melangkah ke kanan kiri dengan tegapnya! Darah yang bercucuran keluar dari telinga kanannya tidak mengurangi kegesitannya.
Akan tetapi, sekarang dia sungguh tidak berdaya, seperti seekor tikus menghadapi seekor kucing yang mempermainkan dirinya. Telinga kanannya sudah rusak, telinga kirinya seperti tuli saja karena dipenuhi suara mendengung-dengung yang keluar dari dalam kerongkongan Raja Iblis.
Kini tahulah Sui Cin bahwa Raja Iblis itu secara lihai sekali menyerang dengan suara dan membuat Iblis Buta menjadi tidak berdaya sama sekali. Sungguh cerdik dan licik! Pantas saja dia tidak mau melawan Siangkoan Lo-jin yang dianggapnya terlalu rendah atau terlalu lemah. Kiranya sekali berhadapan, Raja Iblis itu telah tahu apa yang harus dilakukan untuk melumpuhkan lawan sehingga isterinya saja sudah lebih dari cukup untuk menghadapi lawan ini.
"Desss...!"
Kembali Ratu Iblis memukul dan sekali ini pukulannya mengenai telinga kiri kakek buta itu. Darah kini mengucur keluar dari telinga kiri yang rusak dan tubuhnya terhuyung-huyung. Akan tetapi dia masih dapat bertahan dan tidak roboh! Kembali dia memutar tongkatnya.
Sui Cin mengerutkan alisnya. Ia melihat betapa nenek berambut putih itu tersenyum dingin, senyum yang amat keji dan sinar mata yang mencorong itu kini berkilauan seperti mata seekor binaang buas yang haus darah. Penuh kesadisan! Tahulah ia bahwa nenek itu sengaja tidak mau merobohkan lawan, melainkan hendak mempermainkannya lebih dahulu.
Tiba-tiba suara mendengung itu lenyap dan sungguh hal ini mendatangkan perasaan amat tidak enak dalam hati. Kalau tadi ada suara mendengung-dengung sehingga ia terpaksa harus mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan, kini tiba-tiba suara itu lenyap dan telinganya masih saja mendengar suara dengungan itu, seakan-akan selamanya tidak akan mau meninggalkan telinga.
Dan perasaan tidak enak ini dapat nampak pada wajah semua orang yang berada di situ dan yang tadipun semua mengerahkan sin-kang melawan suara yang menyiksa itu. Sungguh hebat sekali serangan suara Raja Iblis.
Agaknya memang benar dugaan Sui Cin. Kini Ratu Iblis itu mempermainkan Siangkoan Lo-jin yang sudah tidak dapat menggunakan pendengarannya lagi. Wanita itu berloncatan ke sana-sini dan begitu tiba di belakang kakek yang mengamuk ke depan, ia mengirim tamparan. Tidak cukup keras untuk mematikan lawan, akan tetapi juga tidak terlalu perlahan karena setiap kali terkena tamparan, tubuh kakek itu terputar-putar dan terhuyung-huyung.
Muka kakek itu sudah berlumuran darah. Darah bercucuran dari mulut, hidung, telinga, bahkan kedua matanya menjadi sasaran-sasaran pukulan ringan yang cukup membuat biji mata yang tak dapat melihat itu pecah-pecah dan berdarah. Namun kakek itu dengan semangat pantang mundur melawan terus dengan napas terengah-engah!
Yang mengerikan, diantara para tokoh yang berada di kelompok yang menakluk kepada Raja dan Ratu Ibils, terdengar sorak-sorai dan tepuk tangan. Mereka itu nampak beringas, seperti harimau-harimau mencium darah, dan semakin tersiksa Si Iblis Buta, semakin gembira suara mereka bersorak-sorak.
"Dinda, hentikan main-main itu. Bereskan dia!" Kembali terdengar Raja Iblis berkata.
"Dukkk...! Aughhhh...!"
Tubuh Siangkoan Lo-jin terjengkang dan terbanting jatuh ke bawah batu. Di atas tanah, tubuh itu berkelojotan akan tetapi tongkat hitam kayu cendana masih saja dipegangnya erat-erat. Kakek itu tewas dengan dada pecah dan dengan senjata masih di tangan!
Sui Cin menahan napas menahan isak. Dia tahu bahwa kakek buta itu juga seorang datuk sesat yang kejam seperti iblis. Akan tetapi melihat kakek ini tersiksa seperti itu, hatinya menjadi panas dan dia membenci Raja dan Ratu Iblis itu. Akan tetapi ia masih ingat bahwa ia tidak boleh sembarangan menurut perasaan hati terhadap dua orang yang benar-benar memiliki kepandaian amat hebat itu. Maka ia menahan diri, sejenak menundukkan muka dan mengumpulkan hawa murni untuk menenangkan batinnya yang terguncang.
Ketika ia mengangkat muka lagi, ia melihat betapa kini para iblis Cap-sha-kui dan semua datuk yang tadinya berdiri dengan sikap menentang di belakang Si Iblis Buta, telah menjatuhkan diri berlutut. Agaknya mereka maklum bahwa setelah suami isteri Kui-kok-pang dan Siangkoan Lo-jin sendiri tewas di tangan pangeran dan isterinya yang mengangkat diri menjadi Raja dan Ratu Iblis, tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk dapat menang. Menentang suami isteri yang amat lihai itu berarti mencari kematian yang mengerikan.
Ratu Iblis tersenyum dingin melihat sebelas orang Cap-sha-kui dan dua orang tokoh sesat lainnya berlutut tanda menakluk.
"Kalian tadi berani menentang kami, dan hal itu saja sudah cukup bagi kami untuk membunuh kalian! Akan tetapi karena kalian telah insyaf dan menyerah, kalian harus bersumpah untuk selamanya tidak akan menentang kami lagi. Bersediakah kalian disumpah?"
ASMARA BERDARAH JILID 078(↕)
Cap-sha-kui kini tinggal sebelas orang lagi karena suami isteri Kui-kok-pang telah tewas. Mereka adalah datuk-datuk sesat yang amat lihai dan ditakuti, akan tetapi kini mereka maklum bahwa berhadapan dengan dua orang yang memiliki kepandaian amat tinggi. Dan mereka tahu pula bahwa nenek berambut putih itu tidak mengancam kosong belaka. Kalau mereka menolak untuk takluk dan bersumpah, tentu nenek itu tidak akan ragu-ragu turun tangan membunuh mereka semua!
"Kami bersedia!" Serentak mereka menjawab!
Nenek itu kini menghadap ke arah suaminya yang masih duduk bersila dan sambil menjura ia berkata,
"Pangeran, silakan. Saya akan menyumpah mereka."
Pangeran Toan Jit-ong membuka matanya dan bangkit berdiri. Tubuhnya yang jangkung nampak semakin tinggi dan Sui Cin memandang penuh perhatian kepada kakek berambut putih ini. Tadi ia mendengar bahwa kakek ini bernama Pangeran Toan Jit-ong. Hal ini mengingatkan ia akan sesuatu yang membuat dara ini diam-diam merasa jantungnya berdebar dan ia bergidik.
Ibunya, yang selama ini ia anggap sebagai seorang wanita gagah perkasa, seorang pendekar wanita yang hebat, kabarnya pernah menjadi seorang datuk sesat di selatan! Dan ibunya itupun she Toan! Kakeknya, yaitu ayah dari ibunya yang telah meninggal, bernama Pangeran Toan Su-ong! Jangan-jangan masih ada hubungan keluarga antara kakeknya, Toan Su-ong itu dengan Raja Iblis yang mengaku bernama Pangeran Toan Jit-ong ini. Kalau benar demikian, berarti Raja Iblis masih kakeknya juga! Kakek paman! Mengerikan, pikirnya.
Dengan gerakan perlahan dan tenang, kakek berambut putih itu lalu mengeluarkan sebuah tongkat pendek hitam dari pinggangnya. Sebatang tongkat yang panjangnya hanya dua kaki dan dari jauh hanya nampak kehitaman. Kakek itu mengangkat tongkat ke atas kepalanya dengan sikap menghormat sekali.
Dengan heran bukan main, Sui Cin melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas bersikap hormat pula dan menundukkan muka menghadap ke arah tongkat hitam itu!
"Kalian semua lihat baik-baik. Tongkat di tangan Raja kalian itu adalah Tongkat Suci, tongkat keramat pegangan para kaisar jaman dahulu, yang sampai sekarangpun masih dianggap suci dan dapat membuka semua pintu di istana kaisar! Pemegang tongkat suci ini berhak menasihati dan menegur kaisar yang manapun juga. Tongkat suci inipun mengandung kekuasaan untuk menghukum siapapun yang bersalah, termasuk kaisar! Oleh karena itu, kalian harus menganggap tongkat ini sebagai tongkat suci dan disaksikan oleh tongkat suci ini kalian diminta bersumpah. Bersediakah kalian?"
"Kami bersedia!"
Jawab belasan orang itu yang sudah terpengaruh oleh keterangan Ratu Iblis mengenai tongkat hitam itu.
"Nah, ikuti kata-kataku!" kata nenek itu, kemudian dengan suara lantang ia mengucapkan kata-kata sumpah sekalimat demi sekalimat yang ditirukan oleh belasan orang itu dengan serempak.
"Kami bersumpah, bahwa mulai saat ini kami mengangkat Pangeran Toan Jit-ong dan isterinya menjadi Raja dan Ratu kami. Kami bersumpah akan mentaati semua perintahnya, dan kami siap mengorbankan nyawa untuk membela Tongkat Suci! Kami bersama seluruh murid dan keturunan kami akan selalu menjunjung Tongkat Sakti atau Tongkat Suci, dan akan taat kepada pemilik atau pemegangnya. Kalau kami melanggar, kami rela mati di ujung Tongkat Suci! Sumpah kami disaksikan oleh tongkat suci dan kesaktian tongkat suci akan menghukum kami, biarlah Bumi dan Langit akan mengutuk kami sampai tujuh turunan kalau kami melanggar sumpah!"
Sui Cin meleletkan lidahnya. Sungguh merupakan sumpah yang amat berat dan diam-diam ia memikirkan keadaan dua kakek sakti yang datang bersamanya ke tempat itu. Seperti itu pulakah sumpah dua orang sakti ini maka kini mereka begitu ketakutan? Kebetulan pada saat itu kakek katai memandang kepadanya dan agaknya kakek itu dapat menangkap pertanyaan di hati Sui Cin itu melalui pandang matanya, karena kakek itu seakan-akan memberi jawaban dengan mengangguk-angguk!
Kini Raja Iblis itu menyimpan kembali tongkat hitamnya dan berdiri tegak menghadapi semua datuk sesat yang kini berlutut semua. Di sudut nampak mayat tiga orang yang tadi dikalahkan Ratu Iblis.
"Kawan-kawan semua, bangkitlah dan dengarkan baik-baik!" kata Ratu Iblis yang agaknya memang menjadi juru bicara suaminya yang mungkin merasa terlalu tinggi untuk bicara sendiri kepada para datuk yang baru saja tunduk kepadanya itu.
"Toan Ong-ya sudah puluhan tahun meninggalkan istana, tetapi selama ini kaisar-kaisar yang memimpin kerajaan tidak ada yang becus, bahkan kaisar yang sekarang terlalu muda dan tolol, dipermainkan oleh pembesar-pembesar korup. Oleh karena itu, Toan Ong-ya mengambil keputusan untuk pulang ke istana dan memimpin sendiri pemerintahan!"
"Pemberontakan...?" terdengar suara kasar dari tengah rombongan orang-orang yang berdiri itu.
"Bukan pemberontakan! Melainkan perbaikan. Dengan menggunakan Tongkat Suci, Toan Ong-ya akan mempergunakan kekuasaannya menyalahkan dan menurunkan kaisar dan mengangkat penggantinya yang cakap. Akan tetapi, karena mungkin akan timbul perlawanan dan pertentangan, kita perlu membina pasukan yang kuat. Untuk itulah kawan-kawan semua dikumpulkan malam ini. Kalian semua diwajibkan untuk menghimpun pasukan-pasukan dan membawa pasukan-pasukan itu untuk dilatih bersama oleh Ong-ya sendiri."
"Mengumpulkan pasukan-pasukan tentu diketahui pemerintah dan sebelum dapat dihimpun, tentu pemerintah akan mengirim balatentara untuk menghancurkan kita!" kata pula seorang datuk.
"Kita harus dapat bekerja secara rahasia. Pasukan itu dikirim serombongan demi serombongan kecil, menuju ke benteng yang sudah tersedia. Ong-ya memilih benteng di luar tembok besar, di utara. Kalian tentu dapat mencari benteng itu. Tempat itu dahulu merupakan markas dari perkumpulan Jeng-hwa-pang..."
"Ah, aku tahu..."
"Aku tahu tempat itu!"
"Akan tetapi tempat itu telah terbakar dan orang-orang Jeng-hwa-pai telah terbasmi!"
Mendengar suara-suara itu, nenek berambut putih mengangkat tangan kanan ke atas dan suasana menjadi tenang kembali.
"Kami tahu. Tempat itu kosong dan sunyi, bangunan-bangunannya sudah rusak. Akan tetapi tempat itu amat baik, berada di puncak bukit dan kalau kita membangun kembali benteng itu, akan menjadi markas yang amat baik. Tempatnya di luar tembok besar, jadi pemerintah tentu tidak akan mencampuri. Kita gembleng pasukan yang kita kumpulkan di situ dan pada waktu yang tepat, pasukan kita turunkan melalui tembok besar ke selatan, menuju ke kota raja, bertepatan dengan munculnya Toan Ong-ya di istana. Pasukan kita itu mungkin tak usah bergerak, hanya untuk memperkuat wibawa saja."
Nenek itu berhenti bicara dan semua tokoh sesat yang berada di bawah kembali bicara sendiri-sendiri sehingga keadaannya menjadi berisik seperti tawon diganggu dari sarangnya. Sementara itu, Sui Cin melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas saling pandang dengan mata terbelalak dan wajah mereka yang biasanya gembira itu nampak gelisah sekali.
"Kawan-kawan harap tenang! Apakah kalian sudah mengerti dan dapat mentaati perintah pertama tadi?"
"Akan tetapi, mengumpulkan pasukan membutuhkan waktu..."
"Kawan-kawan, dengar baik-baik! Toan Ong-ya sudah memikirkan hal itu pula. Maka, beliau memberi waktu selama tiga tahun. Tiga tahun lagi, tepat pada permulaan musim semi, pada hari Tahun Baru, semua pasukan harus dikumpulkan di luar tembok besar, di benteng kita untuk segera memulai dengan pembangunan benteng dan melatih pasukan. Mengertikah kalian?"
Semua orang mengangguk dan menjawab bahwa mereka mengerti dan dapat menerima perintah itu. Kalau diberi waktu selama tiga tahun, tentu saja mereka akan sanggup mengumpulkan kawan-kawan. Bagaimanapun juga, mereka sudah bosan menjadi golongan hitam yang selalu dimusuhi para pendekar dan selalu dikejar pasukan pemerintah.
Kini, di bawah pimpinan suami isteri yang amat sakti itu, mereka ditawari kehidupan lain yang lebih mulia. Kalau sampai perjuangan Pangeran Toan Jit-ong itu berhasil, tentu mereka akan memperoleh kedudukan tinggi dan mereka dapat hidup mulia dan terhormat seperti para pembesar, bukan seperti sekarang ini. Dan mereka yakin bahwa pemimpin mereka sekarang ini tentu akan berhasil, tidak seperti Liu-thaikam yang hanya seorang pembesar korup saja. Kalau pemimpin sekarang ini berhasil merebut tahta kerajaan, tentu mereka semua akan menjadi pejabat tinggi!
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara keras,
"Tidak! Tidak boleh begitu! Pangeran Toan tidak boleh memberontak terhadap kerajaan dan menimbulkan perang saudara, sehingga menghancurkan kehidupan rakyat!" berseru demikian adalah Siang-kiang Lo-jin atau San-sian Si Dewa Kipas.
Agaknya kakek ini tidak dapat menahan dirinya lagi. Melihat dan mendengar semua yang terjadi disitu, dia merasa khawatir dan penasaran. Hal ini tidak aneh karena di waktu mudanya, kakek ini adalah seorang yang berjiwa patriot, yang selalu condong membela pemerintah dan dia paling anti pemberontakan.
Oleh karena itu, walaupun dia sendiri tidak berani menentang Toan Jit-ong dan isterinya, namun rasa penasaran mendengar persekutuan yang hendak melakukan pemberontakan itu, dia segera melompat keluar dan menegur. Melihat ini, tahulah Wu-yi Lo-jin bahwa tempat persembunyian mereka tak dapat dipertahankan lagi, maka tidak ada lain jalan baginya kecuali keluar dan mendukung pendapat temannya.
"Benar, Ong-ya. Tidak baik merencanakan pemberontakan karena akhirnya pemberontakan hanya mendatangkan kehancuran bagi diri sendiri dan perang amat menyengsarakan rakyat!"
Melihat munculnya dua orang ini, Pangeran Toan Jit-ong memandang dengan mata mencorong marah. Juga Ratu Iblis menjadi marah sekali ketika mengenal dua orang itu. Ia tidak turun tangan sendiri karena ingin menguji kesetiaan para anak buah baru yang baru saja mengucapkan sumpah. Maka ia menudingkan telunjuknya kepada dua orang kakek yang baru muncul itu sambil berteriak,
"Kawan-kawan, tangkap dan bunuh dua orang tua bangka tak tahu diri ini!"
Kebetulan yang dekat dengan San-sian Si Dewa Kipas adalah raksasa pemakan anak kecil yang tadi mereka lihat. Raksasa ini ingin memperlihatkan kesetiaannya dan juga kelihaiannya, maka begitu membalik dia mengeluarkan suara mengggereng seperti seekor binatang buas, dan mulutnya menyeringai, nampaklah giginya yang besar-besar dan ada taring di ujung mulutnya.
"Grrrrr... mampuslah!"
Bentak raksasa itu dan dengan gerakan seperti seekor biruang dia sudah menubruk ke depan dan yang menjadi sasaran kedua tangannnya yang besar-besar berbulu adalah perut gendut San-sian yang tidak tertutup baju itu. Agaknya si pemakan daging manusia ini sudah ngilar melihat gumpalan di perut San-sian yang putih halus itu, maka langsung saja dia menghantam dengan tangan kanan, lalu mencengkeram dengan tangan kiri ke arah perut itu!
Semua orang memandang dengan mata terbelalak, maklum akan kehebatan raksasa ini. Akan tetapi, San-sian hanya menyeringai saja, tersenyum lebar dan sama sekali tidak mengelak atau membalas, bahkan menonjolkan perutnya sehingga perut itu mengembung seperti balon ditiup!
"Bukk! Bung...!"
Suara yang terdengar itu nyaring sekali, keluar dari perut gendut itu seperti sebuah tambur besar ditabuhi. Akan tetapi hebatnya, raksasa pemakan daging manusia itu terpental ke belakang dan hampir saja terbanting! Tentu saja dia menjadi marah sekali. Kekuatannya amat besar dan jarang ada orang mampu menahan pukulan atau cengkeramannya.
Akan tetapi, cengkeramannya tadi seperti mengenai bola baja saja, licin dan keras, sedangkan pukulannya membuat tubuhnya malah terpental, seperti orang memukul bola karet yang besar. Kembali dia mengeluarkan gerengan marah dan kini dia tahu bahwa lawannya lihai, maka dia sudah menerjang ke depan, tidak ngawur macam binatang buas seperti tadi, melainkan dengan gerakan-gerakan silat tinggi yang amat berbahaya!
Sementara itu, kakek raksasa kedua yang mereka lihat membunuhi orang-orang dusun dengan tongkat kepala harimau tadi, kinipun menerjang Ciu-sian dengan tongkatnya. Agaknya, tidak seperti raksasa pemakan daging manusia, kakek ini sudah dapat menduga bahwa lawannya lihai, maka begitu menyerang dia sudah menggunakan tongkatnya.
Gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang amat besar. Akan tetapi tiba-tiba dia melongo, karena kakek katai kecil yang dihantam tongkatnya itu mendadak hilang begitu saja! Selagi dia kebingungan, telinganya yang sebesar telinga gajah itu tahu-tahu disentil orang dari belakang, dibarengi suara orang terkekeh.
"Heh-heh-heh, aku di sini!"
ASMARA BERDARAH JILID 079(↕)
Kakek raksasa itu membalik dan memutar tubuhnya, lalu menyerang lagi. Akan tetapi kembali Ciu-sian sudah lenyap. Kakek katai ini mempermainkan lawan dengan menggunakan gin-kangnya yang memang luar biasa hebatnya itu. Kakek tinggi besar itu seperti seorang anak kecil yang berusaha memukul seekor capung dengan tongkatnya saja, memukul ke sana ke mari akan tetapi tidak pernah mampu mengenai Ciu-sian. Jangankan mengenai tubuhnya, menyentuh ujung jubahnyapun tidak mampu. Demikian cepat gerakan kakek katai itu ketika mengelak.
"Wah, mulutmu bau darah dan mayat, bau bangkai, tidak kuat aku!"
Berkali-kali San-sian mengeluh dan mengejek, membuat raksasa pemakan bangkai itu semakin marah. Dia adalah seorang diantara Cap-sha-kui, seorang yang tadinya memiliki ilmu silat tinggi akan tetapi karena menjadi buronan lalu menyembunyikan diri di dalam hutan dan akhirnya dia berubah seperti seorang sinting atau seekor binatang buas yang suka makan daging mentah, termasuk daging manusia! Akan tetapi, biarpun dia sinting atau buas seperti binatang, dia tidak melupakan ilmu silatnya dan karenanya, dia amat berbahaya.
Dengan lompatan tinggi, kini raksasa itu menerjang San-sian yang sejak tadi hanya mengelak atau membiarkan perut dan tubuhnya dipukuli. Kini, tiba-tiba saja dia membalikkan tongkat kipasnya, gagang tongkat itu dia sodokkan, menyambut tubuh lawan, menotok ke arah muka diantara alis.
Itulah serangan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan. Namun, raksasa buas itu menggunakan kedua tangannya, mencengkeram dan menangkis ke arah ujung tongkat, berusaha menangkapnya. Karena itu, terpaksa San-sian menarik kembali tongkatnya sambil mengelak karena tubuh lawan sudah menubruknya seperti seekor singa menubruk domba.
Dan kini, pada saat lawannya membalik, dia juga membalikkan senjatanya dan kipas besar itu bergerak meniup ke arah muka si raksasa. Tiupan kipas ini hebat sekali. Datang angin seperti badai yang kekuatannya dipusatkan dan menyambar ke arah muka si raksasa. Tentu saja raksasa itu terkejut sekali, menarik kepala ke belakang dan terpaksa memejamkan matanya karena angin yang menyambar itu amat dahsyat. Saat itu, tongkat membalik lagi dan ujungnya menotok ke arah dada.
"Dukk...!"
Kakek raksasa mengeluarkan pekik menyeramkan, kedua tangannya mencengkeram ke arah dada sendiri, akan tetapi tiba-tiba dia muntah-muntah dan darah segar yang berbau busuk muncrat-muncrat dari mulutnya. Totokan pada ulu hatinya itu ternyata telah membuat jantungnya pecah. Biarpun dia berusaha untuk menyerang lagi, akan tetapi matanya terbelalak dan kini dia terpelanting roboh dan berkelojotan. Kakek raksasa yang suka membunuh dan makan daging anak itu akhirnya tewas dalam keadaan yang amat mengerikan!
Sementara itu, raksasa kedua yang menyerang Ciu-sian juga mulai terengah karena sejak tadi dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang secara bertubi-tubi tanpa hasil sedikitpun juga.
Ketika Ciu-sian yang selalu mempermainkan lawan itu melihat betapa temannya telah merobohkan musuh, diapun cepat menyemburkan arak dari mulutnya. Semburan arak itu menyerang muka si raksasa yang menjadi bingung menghindar, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ciu-sian untuk menendang ujung tongkat lawan ke samping, lalu menyusulkan pukulan dengan ciu-ouw (guci arak) yang besar itu.
"Krakk!" Robohlah raksasa yang menjadi lawannya itu dengan kepala retak-retak.
Tentu saja peristiwa ini mengejutkan sembilan orang Cap-sha-kui yang lain. Tak mereka sangka bahwa dua orang rekan mereka akan roboh dalam waktu sesingkat itu, tidak sampai dua puluh jurus! Dan dalam waktu singkat mereka telah kehilangan empat orang rekan!
Pertama-tama adalah suami isteri Kui-kok-pang yang tewas oleh Ratu Iblis sendiri, kemudian dua orang rekan ini tewas di tangan kedua orang kakek aneh yang agaknya menentang Toan Jit-ong! Kini, Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) hanya tinggal menjadi Kiu-lo-kwi (Sembilan Iblis Tua) saja!
"Ciu-sian dan San-sian! Berani kalian membunuh para pembantu Toan Jit-ong ya?" Bentak Ratu Iblis dengan nada marah dan penasaran sekali.
"Maaf, aku melihat si pemakan bangkai ini tadi membunuh seorang anak kecil dan memakan dagingnya. Dia bukan manusia lagi, melainkan iblis busuk yang sudah selayaknya dienyahkan dari muka bumi!" kata Siang-kiang Lo-jin sambil mengipasi perutnya yang gendut dan berkeringat dengan kipasnya.
"Dan raksasa buas inipun bukan manusia karena tadi aku melihat dia membunuhi banyak orang dusun yang sama sekali tidak berdosa, bahkan dia membunuh anak-anak dengan tongkatnya itu. Maka, ketika dia menyerangku dan aku teringat akan kekejiannya, terpaksa aku membunuhnya!"
"Tua bangka-tua bangka gila, berani kalian melawan Toan Ong-ya?"
Ratu Iblis membentak lagi, menoleh kepada suaminya yang kini berdiri tegak memandang kepada dua orang kakek itu dengan mata mencorong seperti mengeluarkan api.
"Ha-ha, kami tidak pernah menentang siapa saja, melainkan menentag kejahatan. Seperti tidak tahu saja!" jawab Ciu-sian sambil menenggak arak dari gucinya, sikapnya acuh tak acuh walaupun Sui Cin dan Hui Song yang kini mengintai dengan khawatir itu maklum betapa sebetulnya dua orang kakek itu merasa ketakutan dan jerih terhadap suami isteri di atas batu itu.
Melihat sikap dua orang kakek yang jelas menentang itu, tiba-tiba Toan Jit-ong mengeluarkan tongkat hitamnya dan mengangkatnya ke atas kepala, lalu terdangar bentakannya halus namun berwibawa,
"Berlututlah kalian semua menghormati Tongkat Suci!"
Para datuk yang tadinya mengambil sikap bermusuh dan siap menyerang dua orang kakek itu, kini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Toan Jit-ong yang mengangkat tongkat itu. Hanya tinggal Ciu-sian dan San-sian yang masih berdiri, akan tetapi wajah kedua orang kakek ini berobah pucat dan sikap mereka bingung.
"Ciu-sian dan San-sian, apakah kalian berani menentang Tongkat Suci dan melanggar sumpah kalian sendiri?" terdangar Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit-ong berkata kepada mereka.
Dua orang kakek itu saling pandang, kemudian menghadap ke arah tongkat dan kakek katai yang menjadi wakil mereka itu berkata dengan lirih,
"Kami tidak berani..."
Kini Sui Cin melihat betapa wajah yang dingin seperti topeng itu agak tersenyum, menambah seram.
"Ciu-sian dan San-sian, kalian berdua telah berdosa, berani memperlihatkan sikap menentang kepada kami, bahkan telah membunuh dua orang pembantu kami. Kalian berdosa kepada Tongkat Suci, melanggar janji dan karena itu, kami menjatuhkan hukuman mati kepada kalian. Adinda, laksanakan hukuman itu sekarang juga!" Ratu Iblis mengangguk dan nampak girang sekali.
Sui Cin dan Hui Song melihat dengan mata terbelalak, apalagi melihat betapa dua orang kakek itu agaknya tidak akan melawan sama sekali, berlutut dengan muka tunduk, agaknya sudah pasrah! Sui Cin yang cerdik itu tadi sudah mencari sepotong kayu dan di dalam keremangan cuaca, kayu itu yang ukurannya sama dengan tongkat suci di tangan Toan Jit-ong, nampak kehitaman. Ia berbisik ke dekat telinga Hui Song.
"Kita harus bertindak menolong mereka. Biar kupergunakan akal untuk merampas tongkat iblis itu dari tangannya."
Setelah membisikkan kata-kata ini, Sui Cin menyelipkan tongkatnya di balik jubah, lalu meloncat keluar, diikuti Hui Song.
"Tahan dulu...!"
Dengan gerakan yang amat gesit karena memang gin-kang dara ini cukup hebat, tahu-tahu tubuh Sui Cin telah berada di atas batu besar, berhadapan dengan Raja dan Ratu Iblis. Hui Song juga meloncat dan tiba di belakang dara itu.
"Hemm, bocah-bocah bosan hidup! Siapa kalian berani mencampuri urusan kami?" bentak Ratu Iblis marah.
Hui Song tidak dapat menjawab. Dia tidak tahu apa yang menjadi siasat Sui Cin. Karena tindakan Sui Cin itu secara mendadak dan dia tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya, maka dia diam saja, hanya bersikap waspada dan menyerahkan jawabannya kepada dara itu.
"Aku mau mengatakan bahwa tongkat suci yang berada di tangan Pangejan Jit-ong ini palsu!"
Tentu saja semua orang terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan semua muka diangkat, semua mata memandang ke arah gadis yang berani mengeluarkan tuduhan seperti itu. Bahkan Ciu-sian dan San-sian yang tadinya menunduk dan pasrah, kini mengangkat muka memandang dengan mata terbelalak. Apakah gadis itu telah menjadi gila karena gelisahnya?
Pangeran Toan Jit-ong tentu saja marah bukan main. Dengan tongkat masih diangkat tinggi di atas kepalanya, dia melirik ke arah tongkatnya itu, lalu berkata, suaranya agak keras, tidak sehalus tadi,
"Anak perempuan gila, apa yang kau katakan itu? Siapakah kamu?"
"Ibuku adalah she Toan, ayah dari ibuku adalah Pangeran Toan Su-ong...!" Sui Cin memperkenalkan diri.
"Gadis itu puteri Pendekar Sadis! Dan pemuda itu putera ketua Cin-ling-pai! Bunuh mereka!"
Kini orang-orang dari Cap-sha-kui mengenal Sui Cin dan Hui Song dan mereka berteriak-teriak.
"Tenang!" Tiba-tiba Pangeran Toan Jit-ong berseru sambil mengangkat tongkat di atas kepalanya. Suasana menjadi tenang dan pangeran itu memandang tajam kepada Sui Cin. "Mendiang Toan Su-ong adalah kakakku! Jadi engkau ini cucunya? Apa hubungannya kakekmu itu dengan tongkat suci ini?"
Sui Cin merasa mendapat hati dan iapun berkata dengan suara lantang.
"Tongkat Suci adalah sebuah tongkat keramat hadiah yang amat mulia dari kaisar sendiri. Tongkat itu diberi nama Ceng-thian Hek-liong (Naga Hitam Naik ke Langit) dan menjadi semacam tek-pai atau tanda kekuasaan seseorang di istana. Yang menerima tongkat itu adalah mendiang kakekku, dan benda keramat itu diwariskan kepadaku. Maka, kalau kini muncul tongkat yang lain, benda itu adalah palsu! Yang asli berada bersamaku!"
Tentu saja ucapan Sui Cin ini semua ngawur saja, walaupun pada saat itu sempat membikin kaget dan bingung semua orang, termasuk Hui Song, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin. Sikap gadis itu sedemikian meyakinkan sehingga Pargeran Toan Jit-ong sendiri mengerutkan alisnya dan matanya terbelalak. Demikian pula isterinya.
"Tongkat ini adalah Tongkat Suci yang asli! Tongkat Sakti yang asli dan selamanya berada di tanganku. Mana mungkin palsu?" kata pangeran itu sambil memandangi tongkatnya.
"Sebagai cucu tunggal mendiang kakek Pangeran Toan Su-ong, tentu saja aku dapat mengenal mana palsu mana asli. Yang asli berada di tanganku," katanya dengan lantang.
Pangeran Toan Jit-ong mengerutkan alisnya dan semua orang yang hadir saling pandang dengan bingung.
"Bocah lancang, perlihatkan tongkatmu agar kuperiksa apakah omonganmu itu benar!" bentaknya.
"Boleh, akan tetapi akupun ingin melihat tongkatmu apakah bukan palsu seperti kuduga! Tidak boleh orang mempergunakan tongkat palsu untuk mengelabuhi begini banyak orang!"
Tadinya pangeran tua iti ragu-ragu, akan tetapi lalu teringat bahwa seorang dara seperti Sui Cin ini akan dapat berbuat apakah terhadap dirinya? Sekali serang saja dara itu akan roboh tewas.
"Baik, mari kita saling memeriksa tongkat masing-masing!" katanya mengulurkan tongkat hitam itu.
Sui Cin juga mencabut kayu dari pinggangnya. Sambil menerima sodoran tongkat pangeran itu dengan tangan kiri, ia menyerahkan tongkatnya sendiri. Dengan sikap pura-pura memeriksa lebih teliti tongkat hitam yang ternyata berat itu, mundur dua langkah, lalu tiba-tiba dara itu meloncat jauh!
ASMARA BERDARAH JILID 080(↕)
"Hei, kembalikan tongkatku!"
Pangeran Toan Jit-ong terkejut sekaii dan marah, tangannya bergerak hendak mengejar. Akan tetapi kini Hui Song baru mengerti siasat apakah yang dipergunakan oleh temannya yang bengal itu dan langsung saja dia membantu. Melihat pangeran itu hendak mengejar, dia lalu membentak.
"Perlahan dulu!"
Dan tannganya sudah menusuk ke arah perut orang itu. Bukan sembarang tusukan karena jari-jari tangannya sudah terisi oleh tenaga Thian-te Sin-ciang sepenuhnya dan dia menusuk dengan jurus San-in Kun-hoat yang cepat dan halus.
Melihat serangan yang tenaga sin-kangnya dapat dia rasakan kehebatannya ini, Pangeran Toan Jit-ong menggerakkan tongkat yang diambilnya dari tangan Sui Cin tadi untuk menangkis.
"Krekkk...!"
Tongkat yang sebetulnya hanya sepotong dahan yang diambil Sui Cin tentu saja tidak dapat bertahan ketika bertemu dengan tangan Hui Song. Tongkat pendek itu hancur berkeping-keping dan tahulah Pangeran Toan Jit-ong bahwa dia telah ditipu mentah-mentah oleh gadis yang agaknya memang hendak merampas tongkat suci itu.
"Plakk...!"
Sebuah tamparan yang aneh dan tiba-tiba datangnya mengenai pundak Hui Song. Untung pemuda ini masih dapat membuang tubuh ke belakang sehingga yang terkena tamparan hanya pundaknya. Akan tetapi ini cukup membuatnya terpelanting. Sementara itu, Ratu Iblis yang juga baru tahu bahwa suaminya diakali orang, kini mengejar Sui Cin dengan kemarahan memuncak.
"Berikan tongkat itu!" Teriaknya dan tangannya diulur ke depan, mencengkeram ke arah tengkuk Sui Cin.
"Hihhh...!"
Sui Cin bergidik ketika merasa betapa tengkuknya diserang hawa dingin. Ia mempercepat gerakannya, berjungkir balik ke samping dan serangan itu luput. Sui Cin sudah meloncat ke atas cabang pohon dan mengangkat tongkat hitam itu tinggi di atas kepalanya.
"Berani kau melawan tongkat suci ini?" bentaknya kepada Ratu Iblis ketika wanita itu hendak menyerangnya lagi.
Aneh, tiba-tiba saja nenek itu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Sui Cin yang berdiri di atas cabang pohon, tidak berani berkutik.
"Hayo kalian semua berlutut!" Bentak Sui Cin lagi. "Beri hormat kepada Tongkat Suci!"
Para datuk sesat itu mula-mula menjadi bingung. Akan tetapi mereka teringat akan sumpah mereka dan karena kini tongkat itu berada di tangan gadis itu, terpaksa mereka lalu menjatuhkan diri berlutut, walaupun hati mereka meragu dan bingung.
Sementara itu, Pangeran Toan Jit-ong masih hendak mengejar Sui Cin, akan tetapi Hui Song selalu menghalangi dan menyerangnya, membuat Raja Iblis itu semakin marah. Melihat ini Sui Cin berseru,
"Hayo berlutut! Kau juga, Pangeran Toan Jit-ong...!"
Akan tetapi pangeran itu sama sekali tidak mau mentaatinya, bahkan kini sambil mendesak Hui Song, dia berkata,
"Dinda, bangkit dan bantu aku menangkap bocan itu, merampas kembali tongkatku!"
Nenek itu mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya mencelat ke arah Sui Cin. Kaget bukan main gadis itu.
"Krakkk...!"
Batang yang tadi dijadikan tempat ia berdiri patah-patah, akan tetapi untung ia sudah meloncat turun lebih dulu sehingga terhindar dari bahaya maut. Kini ia harus berloncatan menjauh karena nenek itu mengejarnya dengan rambutnya yang putih itu riap-riapan seperti ular-ular hidup, amat mengerikan.
"Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, apakah kalian akan berlutut sampai tua? Tongkat sudah berada di tanganku, kalian tidak perlu berlutut lagi kepada Toan Jit-ong! Bantulah aku dan Hui Song!"
Mendengar teriakan Sui Cin, baru kedua orang kakek itu tahu mengapa dara itu melakukan hal yang demikian berani dan aneh. Baru mereka sadar bahwa kini mereka tidak berarti melanggar sumpah kalau melawan Raja dan Ratu Iblis, karena bukankah Tongkat Suci sudah pindah tangan?
Akan tetapi mereka berdua maklum bahwa sampai kinipun, mereka bukanlah lawan Raja Iblis. Maka mereka segera meloncat dan San-sian sudah menerjang Raja Iblis membantu Hui Song yang kewalahan. Kipasnya mengebut dengan serangan dahsyat.
"Hemm...!"
Pangeran Toan Jit-ong menghardik dan kedua tangannya mendorong. Dari kedua tangan itu keluar hawa pukulan yang dahsyat bukan main, bahkan ketika kedua telapak tangan pangeran itu saling bersentuhan, nampak sinar berkilat seperti ada api bernyala! Akibatnya, Hui Song dan San-sian terdorong dan terpelanting! Bukan main kagetnya kakek gendut itu.
"Mari...!" serunya kepada Hui Song.
Sementara itu, Sui Cin menjerit ketika tiba-tiba lengan kirinya terlibat rambut putih yang panjang! Akan tetapi pada saat itu, Ciu-sian menyemburkan arak ke arah muka nenek berambut putih dan sekali tangannya mengebut selagi nenek itu mengelak, rambut-rambut itu putus dan lengan Sui Cin bebas.
"Lari...!" teriak pula Ciu-sian kepada Sui Cin.
Sui Cin dan Hui Song cepat meloncat dan melarikan diri, disusul oleh dua orang kakek yang menjaga di belakang dengan senjata masing-masing, yaitu tongkat kipas dan guci arak. Tentu saja Pangeran Toan Jit-ong dan isterinya tidak mau membiarkan mereka melarikan diri begitu saja dan mereka berdua mengejar!
Gerakan Toan Jit-ong dan isterinya sungguh amat cepat dan yang dapat mengimbangi kecepatan lari mereka hanya Sui Cin dan tentu saja kakek katai, maka Sui Cin lalu memegang tangan Hui Song untuk dibantunya agar larinya lebih cepat, sedangkan kakek katai memegang ujung tongkat kipas kakek gendut untuk ditariknya. Namun, biarpun kini mereka dapat berlari lebih cepat, tetap saja mereka dapat disusul!
"Sui Cin, cepat buang tongkat itu ke dalam jurang di kiri sana!"
Teriak Ciu-sian kepada Sui Cin. Gadis yang cerdik ini maklum akan maksud kakek itu, maka sambil mengangkat tongkat hitam itu tinggi-tinggi, dara itu berteriak ke belakang.
"Toan Jit-ong, lihat tongkatmu melayang ke jurang dan lenyap di sana!"
Ia melemparkan tongkat itu tinggi-tinggi ke arah jurang. Tongkat itu melayang di bawah sinar bulan.
"Tongkatku...!"
Kakek berambut putih itu menjerit dan diapun cepat meloncat ke arah jurang, agaknya hendak mencari tongkatnya. Melihat ini, Ratu Iblis tidak berani melakukan pengejaran sendirian saja. Dua orang kakek itu terlampau lihai, apalagi dibantu dua orang muda yang tak boleh dipandang ringan. Selain itu, iapun harus membantu suaminya mencari Tongkat Suci karena tongkat itu amat penting bagi mereka, untuk menundukkan dan menguasai semua datuk sesat. Maka, wanita itupun menghentikan pergejaran dan ikut turun ke dalam jurang.
Empat orang itu mempercepat lari mereka dan kini dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin atau Ciu-sian yang sengaja mengambil jalan berlika-liku agar tidak dapat disusul oleh musuh. Biarpun tidak kelihatan ada yang mengejar mereka, namun mereka tidak berani berhenti sebelum pagi. Raja dan Ratu Iblis itu terlalu berbahaya, apalagi setelah mereka dibantu oleh para datuk sesat.
Setelah malam berganti pagi, barulah kakek katai itu berhenti di sebuah lereng bukit. Pagi itu hawanya dingin di lereng bukit, akan tetapi tetap saja San-sian sibuk mengipasi perutnya yang basah oleh peluh. Kakek gendut ini mengomel panjang pendek.
"Wah, wah, untung aku tidak mempunyai anak cucu. Kalau punya, malam tadi sungguh merupakan bagian riwayat hidupku yang akan memalukan anak cucu. Lari terbirit-birit seperti anjing tua diancam cambuk. Ha-ha-ha!"
Ciu-sian juga tertawa.
"Masih mending daripada mati konyol disiksa Ratu Iblis. Aku si tua bangka ini sudah tidak berdaya dan sudah pasrah menanti maut. Eh, gendut, apa kau kira kita masih akan dapat menikmati sinar matahari pagi mengusir kabut ini kalau dua orang muda ini tidak turun tangan menyelamatkan kita dengan akal mereka?"
"Ha-ha, memang mereka ini mengagumkan sekali! Dan ilmu silat merekapun hebat. Aku ingin sekali mengambil mereka ini sebagai murid-muridku. Bagaimana pendapatmu, katai?"
"Enak saja kau ngomong! Aku yang terkena getahnya engkau yang mau menikmati hasilnya! Aku yang susah payah menemukan mereka dan kamu yang enak-enakan saja mengambil mereka sebagai murid? Mana ada aturan macam ini?"
Kakek gendut menghentikan senyumnya, menyeringai dan alisnya berkerut.
"Hai, katai! Kau berani menghalangi kehendakku?"
"Tentu saja, habis kau mau merampas muridku! Kau kemarin sudah mencuri arakku, itu bisa dimaafkan antara teman. Akan tetapi mencari murid? Nanti dulu, ya!"
"Wah, kalau aku mengambil mereka menjadi murid, lalu engkau mau apa?" bentak si kakek gendut, kini melotot.
"Boleh, asal engkau dapat mengalahkan aku lebih dulu!"
Si kakek katai membantah, ngotot. Keduanya kini berdiri berhadapan dengann mata sama-sama melotot, dengan pasangan kuda-kuda. Si gendut hendak membusungkan dada, akan tetapi apa daya perutnya yang terlalu gendut itu mendahului dada sehingga yang membusung bahkan perutnya.
Sebaliknya, si katai yang hendak membusungkan dadapun tidak mungkin karena dadanya kerempeng, makin dibusungkan makin kempis! Keduanya seperti dua ekor ayam aduan berlagak, siap untuk saling serang.
Melihat ini Sui Cin tersenyum geli, akan tetapi Hui Song mengerutkan alisnya karena pemuda ini khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu saling gempur dan akibatnya bisa hebat. Hanya Sui Cin yang agaknya sudah dapat menangkap watak kedua orang kakek sakti itu, yang kelihatan ayem saja, bahkan gembira karena ia tahu bahwa ia hendak diberi suguhan tontonan yang hebat kalau sampai dua orang kakek sakti itu mengadu ilmu.
"Kau mau apa?" bentak si gendut.
"Kau mau apa?" bentak si katai.
"Heiii! Kalian punya apa? Aku sih apa-apa mau!" tiba-tiba Sui Cin berseru sambil maju menghampiri kedua orang kakek itu.
Tentu saja ucapan dara ini membuat kedua orang kakek yang sudah saling tantang seperti dua orang anak kecil memperebutkan kembang gula itu menjadi bingung, saling pandang dan seperti lupa bahwa mereka tadi sudah saling tantang.
"Punya apa? Kau mau apa?" kata kakek katai bingung.
"Aku tidak punya apa-apa!" kakek gendut juga menjawab ragu.
Sui Cin terkekeh menutupi mulutnya dengan punggung tangan.
"Hi-hik, kalian ini kulihat seperti dua orang badut wayang sedang melawak!"
"Aku ingin mengambil kalian menjadi murid!" kata si gendut.
"Tidak bisa, aku yang lebih dulu!" kata si kakek katai.
"Aku dulu!"
"Aku dulu!"
Kembali mereka melangkah maju, mulut dicemberutkan sampai meruncing, mata melotot, muka dijulurkan ke depan seolah-olah keduanya hendak berciuman dengan mulut.
"Eiit, eiit... harap ingat, ji-wi adalah dua orang sahabat. Kalau memang ingin adu ilmu, harus dilakukan tanpa emosi, tanpa kebencian agar tidak sampai saling bunuh!" kata Sui Cin.
"Eh, siapa yang mau saling bunuh?" kakek gendut bertanya heran.
ASMARA BERDARAH JILID 081(↕)
"Heh-heh-heh! Sui Cin, kau kira kami ini orang-orang apa, mau saling bunuh? Kami hanya memperebutkan kebenaran. Nah, gendut, kau sudah mendengar nasihat nonamu. Kalau kau mampu menerima pukulan guci arakku sebanyak tiga kali, baru aku mau mengaku kalah."
"Baik! Dan kalau kau mampu menerima kebutan kipasku tiga kali, akupun mengaku kalah."
"Bagus! Nah, bersiaplah, aku akan memukulmu lebih dulu." kata Wu-yi Lo-jin.
"Enaknya! Tidak, aku yang mulai dulu dengan kebutan kipasku," bantah Siangkoan Lo-jin.
"Aku dulu!"
"Aku dulu!"
Kembali mereka bersitegang seperti dua orang anak kecil, tidak mau saling mengalah. Diam-diam Sui Cin dan Hui Song merasa heran. Mereka itu adalah dua orang kakek yang memiliki kesaktian, akan tetapi mengapa kedang-kadang sikap mereka seperti anak kecil? Apakah benar kata orang bahwa yang sudah terlalu tua berubah seperti kanak-kanak? Dan ada pula yang bilang bahwa orang yang terlalu pintar itupun kadang-kadang sifatnya seperti kanak-kanak?
Betapapun juga, Sui Cin yang sudah mendapatkan janji kakek katai untuk belajar gin-kang diam-diam berpihak kepada kakek ini. Maka, melihat mereka bersitegang lagi, iapun maju lagi dan berkata,
"Di dalam dunia ini, apa yang lebih baik daripada keadilan? Biarpun gagah perkasa, kalau tidak adil apa gunanya?"
"Benar sekali!" kata Ciu-sian.
"Tidak salah itu!" kata San-sian.
"Demi kebenaran dan keadilan, sudah sepantasnya kalau Wu-yi Lo-jin yang memulai lebih dulu dalam adu ilmu ini. Pertama, melihat bentuk tubuhnya, dia jauh lebih kecil ketimbang Siang-kiang Lo-jin, dan kedua, memang sebenarnya kami berdua lebih dulu kenal dengan Ciu-sian sebelum bertemu dengan San-sian. Nah, kalau kalian memang adil, tentu Ciu-sian yang memperoleh kesempatan lebih dulu. Kecuali kalau kalian memang tidak adil."
Wajah si gendut menjadi merah.
"Hah, siapa tidak adil dan siapa takut? Katai, kau pukulilah dulu, nih, perutku sudah siap menerima pukulanmu yang kau banggakan itu. Mulailah!"
Berkata demikian, si gendut itu lalu berdiri memasang kuda-kuda, kaki kiri di belakang, kaki kanan di depan, tangan kiri memegang tongkatnya, tangan kanan dikepal di pinggang, perutnya dikembungkan ke depan!
"Bagus! Aku memang tahu bahwa engkau seorang gagah yang adil!" seru kakek katai dengan girang sekali sambil menurunkan guci araknya.
Dia membuka tutupnya, minum sisa arak yang tinggal sedikit sampai kosong, menutup mulut guci lagi dan memegang leher guci yang kecil dengan kedua tangannya.
"Nah, kau bersiaplah baik-baik, aku akan mulai menghantam!" katanya sambil memasang kuda-kuda dengan kedua kakinya yang kecil namun kokoh kuat.
Kemudian, diayunkannya guci itu dari belakang ke depan, menghantam ke arah perut gendut itu.
"Bunggg...!"
Guci menghantam perut dan terdengar seperti gentong dipukul. Tubuh gendut itu tidak bergeming dan guci arak itu terpental sediki seperti menghantam karet amat kuat.
"Bukkk...!"
Hantaman kedua lebih kuat lagi, namun tetap saja tubuh kakek gendut tidak bergoyang dan kakek gendut itu selalu tersenyum lebar, mulutnya sedikit terbuka dan senyum itu membuat kedua matanya semakin sipit.
Kakek katai menjadi penasaran. Dua kali pukulan gucinya itu hebat sekali. Batu karang sekalipun akan ambrol dan pecah terkena pukulannya, akan tetapi pukulan guci araknya itu sungguh kehilangan daya kekuatannya ketika mengenai perut gendut yang terisi penuh hawa sin-kang itu.
Diam-diam dia merasa kagum karena dua puluh tahun yang lalu. San-sian ini takkan mungkin kuat menerima hantamannya itu. Hal ini membuktikan bahwa selama ini si gendut memang telah memperoleh banyak kemajuan.
"Awas, sekali lagi!"
Teriaknya dan dua orang muda yang berdiri di pinggir memandang dengan penuh perhatian dan kekaguman. Mereka berdua dapat merasakan kehebatan pukulan ciu-ouw itu. Dari tempat mereka berdiri saja mereka dapat merasakan getaran hawa pukulan yang amat dahsyat dari guci arak, dan ketika guci arak tadi bertemu dengan perut, terjadi getaran yang lebih hebat lagi, terasa benar oleh mereka.
"Siuuuttt... bunggg...!"
Pukulan ketiga ini hebat bukan main, getarannya sampai membuat daun-daun pohon bergerak dan bumi yang diinjak Hui Song dan Sui Cin ikut tergetar. Akan tetapi, San-sian menerima pukulan ketiga itu sambil tersenyum lebar dan sedikitpun tubuhnya tidak tergoncang!
"Heh-heh-heh-ha-ha-ha!" Kakek gendut tertawa.
Sui Cin dan Hui Song maklum bahwa kakek itu bukan sembarangan saja tertawa, melainkan mengeluarkan hawa yang tadi dipergunakan untuk melindungi isi perutnya. Ketika dia tertawa, hawa itu keluar dan nampak uap putih keluar dari mulutnya.
"Tiga kali gucimu yang butut itu menghantamku dan aku tidak merasa apa-apa! Kau kalah, Ciu-sian!"
Ciu-sian mengerutkan alisnya dan mengamati gucinya, seolah-olah hendak menyalahkan gucinya dalam kegagalannya itu. Lalu dia mengikatkan guci di punggungnya lagi dan berkata,
"Gendut! Engkau memang kuat. Akan tetapi sekarang cobalah kau menyerangku tiga kali dengan kipas lalatmu itu. Kalau aku tidak kuat bertahan, maka kekalahanku menjadi lengkap dan baru aku mengakui kekalahan."
"Ha-ha-ha, Ciu-sian, hati-hati kau dengan kebutan kipasku. Pohon besar itupun akan roboh dilanda kebutanku!" kata kakek gendut. "Apalagi tubuhmu yang kecil kerempeng ini!"
"Tak perlu memperlebar mulutmu yang sudah besar, San-sian. Mulailah!"
Kakek katai itu memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lalu ditekuk, seperti orang menunggang kuda dan kedua lengan disilangkan, dipasang di depan dada.
"Sini, agak jauh dari pohon itu!" kata San-sian sambil melangkah mundur menjauhi pohon.
"Srrrttt...!"
Kakek katai itu mengikuti maju, akan tetapi kedua kakinya sama sekali tidak melangkah. Tubuhnya maju dalam keadaan masih memasang kuda-kuda seperti tadi. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya Kakek Dewa Arak ini. Diam-diam kakek gendut harus mengakuinya juga.
"Awas, Sui Cian, aku mulai! Jangan salahkan aku kalau kipasku mengebutmu sampai terlempar dan terbang ke langit!"
Setelah memasang kuda-kuda, kakek gendut menggerakkan tongkatnya, diputarnya ke atas kepala dan tiba-tiba kipas itu menyambar dari belakang tubuhnya, membawa angin besar mengebut ke arah kakek katai dengan kekuatan kebutan yang amat hebat.
Angin kebutan menyambar dahsyat, membuat jenggot panjang dan jubah kakek katai itu berkibar, bahkan Sui Cin dan Hui Song yang berada agak jauh merasakan kebutan angin yang membuat pakaian dan rambut mereka berkibar. Akan tetapi, tubuh kakek katai itu sendiri sama sekali tidak bergeming, seperti angin keras yang biarpun mampu menumbangkan pohon, sama sekali tidak berdaya terhadap sebongkah pilar baja yang kokoh kuat dan tertanam dalam-dalam di tanah!
San-sian menjadi penasaran dan kebutannya yang kedua kalinya lebih kuat lagi, sampai mengeluarkan angin yang suaranya bersiutan. Akan tetapi, seperti juga tadi kakek katai berdiri tegak dan tidak bergeming, hanya memejamkan mata karena angin keras membuat matanya perih. Kedua kakinya yang kecil seolah-olah sudah berakar dalam-dalam di tanah dimana dia berpijak.
"Heh-heh-heh, satu kali lagi dan awas, hati-hati kau!" bentak kakek gendut dan kini dia memutar tongkatnya, kemudian kipasnya membuat gerakan berputar yang aneh.
Dan akibatnya hebat sekali. Debu beterbangan, bukan hanya debu, melainkan juga pasir dan batu kerikil yang beterbangan lalu berpusingan. Ternyata gerakan kipas itu mendatangkan angin berpusing yang kuat dan melanda tubuh kakek katai, seolah-olah angin puyuh yang hendak mencabut kakek katai itu dari atas tanah!
Akan tetapi, kakek katai itu nampak mengerahkan kekuatannya, kedua kakinya agak tergetar, akan tetapi kekuatan dahsyat yang timbul dari gerakan kebutan kipas itupun sekali ini tidak mampu mengangkat kedua kakinya!
"Wah, wah, Ciu-sian, engkau ini ternyata tua-tua keladi, makin tua makin jadi! Hebat dan kita masih belum ada yang kalah atau menang!"
"Jalan satu-satunya, San-sian, hanya mengadu ilmu silat," kata kakek katai sambil melepaskan guci araknya dari punggung.
“Boleh, boleh, memang aku ingin sekali melihat kemampuanmu!" kata San-sian sambil melintangkan tongkat kipasnya.
Melihat betapa dua orang kakek katai itu sudah siap untuk saling gebuk, Sui Cin cepat melangkah maju melerai.
"Harap kalian bersabar dulu," katanya.
"Mana bisa bersabar kalau kehendakku ditentang?" kata kakek gendut.
"Mana bisa bersabar kalau muridku hendak dirampas?" bantah kakek katai.
Sui Cin tersenyum.
"Ji-wi berdua, dan kamipun berdua, mengapa harus ribut-ribut dan diperebutkan? Bagi rata kan beres? Ciu-sian sudah berjanji akan mengajarkan gin-kang kepadaku, dan kalau kakek San-sian mengajarkan ilmunya kepada Song-twako, bukankah itu sudah tepat sekali?"
Dua orang kakek itu bingung, lalu keduanya menggeleng kepala.
"Kenapa kita jadi tolol begini?" kata si gendut.
"Kenapa hal begini sepele saja kita tidak mampu pecahkan tadi?" gumam si katai.
"Nah, pemecahannya mudah, bukan? Mulai sekarang, Song-twako menjadi murid Siang-kiang Lo-jin dan..."
"Tidak ada murid! Tidak ada murid!"
Dua orang kakek itu berkali-kali bicara, dan ketika dua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka, keduanya membalikkan tubuhnya tidak mau menerima penghormatan murid terhadap guru itu.
"Eh, bukankah ji-wi tadi sampai mau berkelahi karena memperebutkan kami untuk menjadi murid? Kenapa sekarang malah menolak? Apa maksud ji-wi ini?"
Hui Song mengerutkan alisnya dan bertanya. Tadi dia sudah merasa gembira sekali karena kalau dia dapat mempelajari ilmu dari kakek gendut itu, alangkah senang hatinya.
"Bangun dan duduk, mari bicara," kata Wu-yi Lo-jin.
Dua orang itu lalu bangkit dari berlutut dan mereka duduk di atas batu-batu di bawah pohon.
"Seperti pernah kuceritakan kepada kalian, kami sudah terikat oleh sumpah kami kepada tongkat laknat... eh, Tongkat Suci itu bahwa kami seketurunan termasuk murid-murid harus tunduk dan taat, tidak boleh melawan mereka yang memiliki tongkat itu. Kami tidak ingin kalian menjadi murid kami dan terseret ke dalam ikatan itu. Kalian sudah melihat sendiri betapa Pangeran Toan Jit-ong mempengaruhi dan mengikat mereka yang kalah dengan sumpah. Nah, kami yang pernah dijuluki Delapan Dewa juga telah diikat dengan sumpah."
"Akan tetapi, kek. Melihat ilmu kepandaian Ratu Iblis itu, agaknya kalian tidak akan kalah..."
ASMARA BERDARAH JILID 082(↕)
Kakek katai menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
"Engkau tidak tahu... kepandaian mereka itu hebat sekali. Ketika Ratu Iblis itu mengalahkan lawan-lawannya, ia tidak mengeluarkan semua ilmunya, hanya mempermainkan saja. Dan pangeran itu sendiri, baru mengeluarkan suara saja sudah mampu menaklukkan Iblis Buta! Agaknya, aku sendiri hanya dapat mengimbanginya dalam hal gin-kang, sedangkan dalam ilmu-ilmu lain, jelas aku masih tidak mampu menandinginya."
"Benar Itu! Ilmu iblis itu hebat bukan main. Aku sendiripun mungkin hanya mampu menandingi dalam hal kekuatan, akan tetapi dalam ilmu silat, aku kalah jauh," sambung kakek gendut dengan suara sungguh-sungguh.
"Karena kami sendiri tidak berdaya dan tidak mau melanggar atau mengkhianati sumpah sendiri, maka satu-satunya jalan bagi kami adalah menurunkan ilmu-ilmu kami kepada orang-orang muda yang berbakat dan berjiwa bersih. Merekalah yang kelak harus menghadapi dan membasmi Raja dan Ratu Iblis bersama para pembantunya."
"Orang muda, maukah engkau belajar ilmu dariku?" tanya San-sian sambil menatap wajah pemuda yang ganteng dan gagah itu."
Hui Song mengangguk-angguk dan menjura dengan wajah girang.
"Tentu saja aku mau, kek," katanya meniru Sui Cin karena kini dia tahu benar bahwa kakek inipun tidak mau dianggap guru olehnya.
"Akan tetapi, tidak mudah belajar dariku. Selain harus tekun, juga harus tahan uji dan sekali bilang mau, harus belajar sampai berhasil. Latihan-latihannya berat sekali dan engkau tidak boleh meninggalkannya setengah jalan, karena kalau demikian, terpaksa aku akan membunuhmu daripada engkau membawa pergi ilmuku yang masih mentah."
Hui Song mengangguk-angguk. Dia putera ketua Cin-ling-pai, seorang yang sejak kecil digembleng untuk menjadi pendekar tulen. Maka tentu saja dia siap menghadapi segala macam kesukaran dalam belajar ilmu.
"Dan engkau ikutlah denganku, Sui Cin. Aku akan mengajarkan ilmu gin-kang, akan tetapi jangan dikira latihan-latihan dariku tidak berat! Kalau engkau kurang tekun dan sembarangan, nyawa taruhannya!" kata Ciu-sian.
Sui Cin tersenyum.
"Kesukaran dan bahaya adalah makananku sejak kecil, kek, jangan khawatir aku akan mundur karenanya. Akan tetapi, berapa lamakah kiranya kami masing-masing harus belajar dari kalian?"
"Ilmu silat kalian sudah cukup tinggi, kalau dilatih sampai matang kiranya sudah cukup untuk menghadapi lawan seperti Raja Iblis sekalipun. Akan tetapi, iblis-ibils itu memiliki sin-kang dan gin-kang yang amat hebat. Kalian jauh kalah cepat dan kalah kuat, maka kami akan memperkuat kalian dalam hal itu, disamping mematangkan ilmu silat kalian. Karena kita diburu waktu, kalian sendiri sudah mendengar bahwa dalam waktu tiga tahun lagi mereka akan mempersiapkan pemberontakan mereka, maka sebelum waktu itu kalian harus sudah selesai mematangkan ilmu kalian," kata Ciu-sian dan mendengar ini, San-sian mengangguk-angguk.
"Benar sekali. Orang muda, dengan bekal ilmu silatmu yang tinggi dan murni dari Cin-ling-pai itu, kalau dimatangkan selama tiga tahun, tentu engkau akan cukup kuat untuk menentang mereka."
Hati kedua orang muda itu merasa girang sekali, akan tetapi wajah Hui Song menjadi muram dan hatinya berduka ketika dia mendengar bahwa kedua orang kakek itu akan berpisah sehingga terpaksa diapun akan berpisah dari Sui Cin! Dan perpisahan itu untuk waktu tiga tahun!
"Cin-moi..." katanya ketika mereka diberi kesempatan untuk bicara empat mata karena dua orang kakek itupun sedang bercakap-cakap dan berunding berdua di bawah pohon, agaknya tidak memperdulikan dua orang muda itu.
"Bagaimana Song-twako? Tidak girangkah hatimu memperoleh guru yang demikian lihai?" Dara itu menatap wajah yang tampan itu, lalu menyambung cepat. "Mengapa wajahmu muram seperti orang berduka, twako?"
"Cin-moi, bagaimana hatiku tidak akan berduka? Kita akan saling berpisah!"
Dara itu tersenyum.
"Aih, tentu saja! Bukankah kita masing-masing akan mengikuti pelatih kita ke tempat masing-masing? Tiga tahun lagi kita akan saling berjumpa, twako."
"Tiga tahun... alangkah lamanya. Aku akan merasa rindu sekali kepadamu, Cin-moi."
"Tentu saja, akupun akan merasa rindu kepadamu, twako," kata Sui Cin yang berhati polos dan jujur. Mendengar ini, sepasang mata Hui Song bersinar penuh harapan.
"Benarkah itu, Cin-moi? Engkau akan rindu kepadaku?"
Sui Cin memandang heran. Kenapa yang begitu saja Hui Song bertanya dan seperti tidak percaya?
"Tentu saja! Kenapa tidak?"
"Ah, aku akan setiap malam mimpikan engkau, Cin-moi...!"
Sui Cin tertawa,
"Ya, akupun akan mimpikan engkau, twako. Akan tetapi tidak saban malam. Wah, bisa capek kalau setiap malam mimpikan engkau saja."
Hui Song mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah yang cantik manis itu.
"Cin-moi, jangan main-main, engkau... engkau tidak tahu apa artinya semua ini begiku... Aku akan menderita, Cin-moi... selama tiga tahun tidak melihatmu. Ah, rasanya belum tentu kuat aku menahan kerinduan hatiku..."
"Ah, apa-apaan sih engkau ini twako? Omonganmu tidak seperti biasa dan aku menjadi bingung."
"Cin-moi, benarkah engkau tidak tahu atau tidak dapat menduganya?, Baiklah, sebelum kita saling berpisah, aku harus memberi tahu kepadamu. Cin-moi, semenjak kita berjumpa, semenjak kita berkenalan, bahkan selagi aku mengenalmu sebagai pemuda, aku... aku telah jatuh cinta padamu! Nah, lega hati ini setelah mengaku. Aku cinta padamu, Cin-moi, aku cinta padamu!"
Sepasang pipi dara itu memang berubah merah, akan tetapi ia tidak menundukkan mukanya seperti lajimnya gadis yang menghadapi pengakuan cinta seorang pemuda dan menjadi malu. Tidak, Sui Cin tidak merasa malu, bahkan merasa geli dan ia tidak dapat menahan ketawanya. Ia tertawa bebas, seperti biasanya kalau ia tertawa di depan Hui Song, tanpa malu-malu dan tidak ditutup-tutupinya lagi mulutnya seperti kalau ia tertawa di depan orang lain.
"Eh, kenapa kau tertawa, Cin-moi?"
"Habis, engkau lucu sih!"
"Cin-moi, aku tidak main-main. Aku bicara sungguh-sungguh dan semua kata-kataku keluar langsung dari lubuk hatiku. Aku sungguh telah jatuh cinta padamu, Cin-moi!"
"Ih, twako, engkau ini aneh-aneh saja. Aku tidak tahu apa dan bagaimana cinta itu. Aku suka padamu, twako, suka bersahabat denganmu. Akan tetapi cinta? Entahlah, aku tidak tahu apakah aku mencintamu atau mencinta seseorang ataukah tidak?"
"Cin-moi, aku... aku ingin agar kelak kita menjadi jodoh, menjadi suami isteri..."
"Ihhh! Kau membikin aku bingung dan canggung, twako. Aku belum memikirkan yang tidak-tidak. Kita masih memiliki banyak tugas, pertama belajar yang tekun dan kedua menghadapi persekutuan Raja Iblis itu, bukan? Pula, urusan perjodohan selayaknya dibicarakan orang tua, bukan kita."
Sui Cin teringat akan usul orang tuanya yang ingin menjodohkan ia dengan Can Koan Ti, putera Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur Propinsi Ce-kiang di Ning-po itu. Tentu saja ia akan memilih Hui Song daripada Koan Ti, akan tetapi ia tidak tahu apakah ia ingin menjadi isteri Hui Song atau isteri siapa saja.
"Memang benar, Cin-moi. Akan tetapi hatiku akan tenteram kalau mengetahui bahwa engkaupun setuju, bahwa engkau sudi menerima cintaku, bahwa engkaupun cinta padaku..."
Kembali Sui Cin tertawa dan kembali suara ketawa itu seperti ujung pedang menusuk hati Hui Song.
"Eh, kenapa engkau tertawa lagi, Cin-moi?" tanyanya dengan alis berkerut.
"Ucapanmu tadi mengingatkan aku akan pertunjukan wayang yang pernah kutonton... kalau tidak salah, ketika Pangeran Can Seng Ong gubernur di Ning-po, mengadakan pesta ulang tahunnya. Ada sandiwara wayang disitu dan dalam pertunjukan itu, ada seorang pemain pria mengucapkan kata-kata sama persis dengan ucapanmu tadi kepada seorang pemain wanita..."
"Cin-moi, agaknya ucapan pengakuan cinta di bagian dunia manapun sama saja. Ucapan itu suci dan mulia, Cin-moi, jangan ditertawai karena aku sungguh-sungguh cinta padamu. Sudikah engkau menerima cintaku Cin-moi?"
"Aih, sudahlah twako, jangan bicara tentang hal itu sekarang. Aku belum mau memikirkan hal itu dan aku tidak tahu!"
Itulah ucapan terakhir Sui Cin, karena Hui Song tidak berani mendesak lagi. Dia cukup mengenal watak dara itu dan kalau dia mendesak, tentu Sui Cin akan marah. Dara itu baru berusia lima belas atau enam belas tahun, mungkin belum cukup dewasa untuk bicara tentang cinta. Dia harus bersabar.
Betapapun juga, hatinya terasa berat, tertekan dan sedih ketika dia berpisah pada siang hari itu dari Sui Cin yang mengikuti kakek katai dengan wajah gembira. Dia sendiri mengikuti kakek gendut yang menjadi gurunya tanpa mau disebut guru.
ASMARA BERDARAH JILID 083(↕)
Teriakan-teriakan yang menyelingi desir angin pukulan itu tidak terdengar lagi dari luar air terjun, karena selain guha yang berada di belakang air terjun itu amat dalam, juga suara air terjun yang gemuruh itu menyeilmuti suara di sebelah dalam.
Guha itu memang lebar dan dalam, luas sekali. Dasarnya berupa anak sungai yang mengalir jernih diantara batu-batu besar yang menonjol di sana-sini. Di tepi anak sungai itu terdapat lantai guha dari batu dan melihat betapa di sana-sini terdapat pilar-pilar batu, dapat diketahui bahwa guha ini, yang tercipta oleh alam, telah dibantu oleh manusia yang membuat pilar-pilar batu untuk menyangga. Sebuah tempat persembunyian yang amat luas dan enak. Inilah tempat pertapaan Siang-kiang Lo-jin. Sebuah guha di balik air terjun yang terdapat di lembah Sungai Siang-kiang.
Kalau orang memasuki guha itu, yang tidak nampak dari luar dan merupakan tempat tersembunyi, dia akan melihat bahwa teriakan-teriakan itu keluar dari mulut seorang pemuda yang sedang berlatih silat. Akan tetapi cara pemuda ini bermain silat akan membuat orang merasa heran dan kagum bukan main. Pemuda itu bertubuh sedang dan tegap, hanya memakai celana panjang saja tanpa baju. Nampak tubuh yang sedang itu penuh dengan otot-otot yang melingkar-lingkar, membuat tubuh itu nampak kokoh kuat penuh tenaga. Rambutnya agak awut-awutan, digelung ke atas dan sisanya berjuntai ke bawah, ikut berge-rakgerak bersama kepalanya ketika dia bermain silat.
Anehnya, pemuda itu memakai beban besi yang besar pada kedua kaki dan tangannya. Beban di kakinya itu masing-masing tentu tidak kurang dari empat puluh kati dan di tangan masing-masing melingkari lengan, tentu ada dua puluh lima kati. Selain dibebani besi pada kedua kaki dan lengannya, juga pemuda ini bersilat di atas batu-batu yang menonjol di permukaan anak sungai itu, batu-batu yang amat licin.
Dapat dibayangkan beratnya latihan ini. Namun, pemuda yang usianya sekitar dua puluh empat tahun itu berlatih dengan tekun, mengatur napas dalam setiap gerakan, dan mengeluarkan bentakan-bentakan untuk setiap pukulan atau tangkisan. Orang biasa saja tentu sudah akan mereka tersiksa kalau harus bergerak dengan beban pada kaki tangan itu, apalagi harus bermain silat, di atas batu-batu licin lagi! Namun, pemuda itu bersilat dengan gaya yang indah, dengan gerakan yang cepat dan amat keras. Setiap gerakannya menimbulkan desiran angin.
Di tepi anak sungai itu berdiri seorang kakek yang perutnya gendut sekali, berdiri sambil tersenyum lebar dan memegang sebatang tongkat yang ujungnya ada kipasnya. Dengan ramah dia memberi petunjuk-petunjuk dan mengangguk-angguk dengan wajah puas sekali.
Memang tidak ada alasan bagi Siang-kiang Lo-jin untuk tidak merasa puas dengan kemajuan yang dicapai oleh Hui Song, pemuda itu. Selama hampir tiga tahun, pemuda itu berlatih dengan amat tekunnya. Dia digembleng keras oleh kakek gendut itu, berlatih memperkuat sin-kang dengan bertapa di dalam air setinggi leher. Air dingin itu menyeilmuti tubuhnya, sampai tiga hari tiga malam dan dia hanya boleh meneguk air di depannya setiap kali kelaparan atau kehausan menyiksanya.
Kemudian, latihan dengan beban-beban berat pada kaki dan lengannya. Mula-mula memang tidak berapa berat beban itu, akan tetapi lambat laun ditambah sampai akhirnya dia berlatih silat dengan beban seberat itu. Namun, hasilnya memang hebat bukan main. Tubuh pemuda itu menjadi kuat sekali, gerakannya lincah dan tenaganya besar. Kini Hui Song mampu mainkan semua ilmu silat Cin-ling-pai jauh lebih sempurna daripada tiga tahun yang lalu!
"Hentikan sebentar dan buka beban kaki tanganmu. Aku ingin melihat untuk yang terakhir kali apakah selama tiga tahun ini aku tidak mengajar secara sia-sia belaka!" Tiba-tiba kakek itu berkata.
"Terakhir kali? Apa maksud locianpwe?" tanya Hui Song sambil membuat gerakan melompat ke tepi.
Gerakannya demikian sigapnya seolah-olah dia tidak dibebani besi yang berat itu. Sambil melepaskan beban kaki tangannya, pemuda itu memandang wajah kakek gendut dengan penuh perhatian.
"Tentu saja! Apakah engkau ingin selama hidupmu tinggal disini?" tanya kakek gendut.
"Tapi, locianpwe, rasanya belum lama saya berada disini..."
"Ha-ha-ha! Itu berkat ketekunanmu. Memang demikianlah rahasia waktu. Kalau tidak pernah kita pikirkan, ia berlalu amat cepatnya melebihi anak panah. Akan tetapi kalau diingat selalu, ia merayap seperti siput. Tak tahukah engkau bahwa kita berada disini hampir tiga tahun lamanya? Nah, kau bersilatlah, kini tanpa beban itu."
Hui Song yang kini sudah melepaskan beban besi dari kaki dan lengannya, lalu meloncat lagi ke tengah sungai, di atas batu-batu licin itu dan dia bersilat dengan amat cepatnya. Berkali-kali dia berseru kaget karena tubuhnya bergerak luar biasa ringan dan cepatnya, lebih ringan dan lebih cepat daripada yang dikehendakinya.
Hal ini adalah karena dia belum biasa terbebas dari beban-beban besi pada kaki tangannya itu. Selama bertahun-tahun dia dibebani pada kaki tangannya dan begitu dibuka, tentu saja dia merasa gerakarmya amat cepat dan ringan sehingga mengejutkan. Akan tetapi, begitu dia dapat menyesuaikan diri, gerakannya mulai teratur dan kini tubuhnya berkelebatan di atas batu-batu licin itu dengan amat mudahnya.
Kakek gendut itu mengangguk-angguk dan wajahnya berseri gembira.
"Cukuplah, Hui Song, kesinilah aku mau bicara."
Tubuh Hui Song mencelat ke tepi anak sungai itu dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Baru sekarang dia dapat merasakan benar kemajuan yang diperolehnya selama tiga tahun digembleng kakek itu.
"Saya menghaturkan terima kasih atas semua bimbingan locianpwe selama ini," katanya dengan hati terharu.
Kakek itu tertawa.
"Ha-ha-ha, akulah yang bergembira, Hui Song.Engkau memenuhi harapanku. Siapa lagi kalau bukan orang-orang muda seperti engkau ini yang dapat menyelamatkan dunia dari bencana. Biarpun aku masih sangsi apakah engkau seorang diri saja akan mampu menentang mereka, akan tetapi setidaknya engkau akan dapat mengimbangi kelihaian Ratu Iblis. Mudah-mudahan saja temanmu itupun akan memperoleh kemajuan pesat di bawah pimpinan Wu-yi Lo-jin dan dapat bekerja sama denganmu, bersama para pendekar muda lainnya."
Mendergar ucapan ini, Hui Song merasa seperti diingatkan, dan terbayanglah wajah manis dari Sui Cin di depan matanya. Wajahnya berseri dan sinar matanya berkilat ketika dia teringat kepada gadis itu. Selama ini, dia memaksa batinnya untuk tidak selalu mengenangkan Sui Cin dan dia mencurahkan seluruh perhatian dan ketekunannya untuk mempelajari ilmu dari kakek gendut.
Dia memperoleh kenyataan bahwa kakek itu memang lihai bukan main, memiliki kesaktian yang jauh melampaui tingkat ayah ibunya sendiri. Maka diapun belajar dengan giat dan mentaati semua petunjuk gurunya yang tidak mau disebut guru itu.
"Apakah ia juga sudah menamatkan pelajarannya dari Wu-yi Lo-jin, locianpwe?" tanyanya dengan penuh gairah.
Kakek itu tersenyum lebar dan mengangguk-angguk.
"Kami berdua memang sudah bersepakat untuk menggembleng kalian berdua selama kurang lebih tiga tahun dan sebelum tiba waktunya pemberontakan terjadi, harus sudah selesai penggemblengan itu. Aku yakin temanmu itu sudah selesai belajar pula sekarang."
"Kalau begitu, locianpwe tahu dimana Wu-yi Lo-jin membawanya dan dimana saya dapat menjumpai Sui Cin?"
"Tentu saja dia membawa gadis itu ke Wu-yi-san, ke tempat pertapaannya. Kami hanya berjanji akan menggembleng kalian sampai tahun ini dan sebelum Tahun Baru, kami akan menyuruh kalian masing-masing pergi keluar Tembok Besar di utara, mencari bekas benteng Jeng-hwa-pang itu. Jadi, kalian bersiap-siap saja disana dan kita semua akan bertemu disana untuk bersama-sama menghadapi gerombolan pemberontak itu."
"Karena saya tidak pernah lagi mengikuti hari dan bulan, kapankah kiranya hari Tahun Baru itu, locianpwe? Masih berapa lamakah?"
"Sekarang pertengahan bulan sembilan. Masih ada tiga setengah bulan lagi bagimu untuk melakukan perjalanan sebelum Tahun Baru tiba."
Hui Song menjadi girang sekali.
"Kalau begitu, masih banyak waktu bagi saya untuk singgah ke Cin-ling-san. Orang tua saya tentu merasa gelisah karena tiga tahun saya tidak pulang."
"Terserah, dan alangkah baiknya kalau Cin-ling-pai mau pula turun tangan membantu dalam usaha kita menentang ancaman malapetaka dari Pangeran Toan Jit-ong dan sekutunya."
"Baik, locianpwe, akan saya bicarakan hal itu dengan ayah dan ibu dan semua saudara pimpinan Cin-ling-pai."
Setelah menghaturkan terima kasih lagi dan menerima doa restu dari kakek gendut itu, Hui Song lalu meninggalkan guha di balik air terjun itu dan melakukan perjalanan dengan cepat ke utara. Hatinya gembira bukan main dan dia merasa seperti seekor burung yang bebas terbang ke udara.
Betapa nikmatnya, betapa senangnya dapat melakukan perjalanan bebas seperti itu setelah hampir tiga tahun dapat dibilang selalu berada di dalam guha, atau paling jauh juga keluar dari situ dan mencari sayur-sayuran ke sekitar air terjun di lembah sungai itu.
Yang amat menggembirakan hatinya lagi adalah bayangan Sui Cin yang segera akan dapat dijumpainya lagi. Juga membayangkan bahwa dia akan bertemu dengan ayah dan ibunya, amat menggembirakan hati pemuda ini. Tidak dia sadari sendiri, Hui Song kini jauh berbeda dengan keadaan dirinya tiga tahun yang lalu. Kini tubuhnya lebih tegap dan gerak-geriknya lebih gesit berisi, bahkan ketika dia melakukan perjalanan cepat sambil berlari, larinya jauh lebih ringan dan cepat dibandingkan dahulu sebelum dia digembleng oleh Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas.
ASMARA BERDARAH JILID 084(↕)
Kita tinggalkan dulu Hui Song yang dengan hati gembira sekali melakukan perjalanan cepat menuju ke utara itu, dan mari kita mengikuti kakek Wu-yi Lo-jin menuju ke tempat pertapaan kakek itu di Wu-yi-san.
Dalam perjalanan hari pertama saja, kakek Wu-yi Lo-jin sudah mulai menguji ilmu gin-kang dara itu.
"Mari kita ikuti lariku secepatnya!" katanya dan belum juga kata-katanya habis diucapkan, tubuhnya sudah berkelebat lenyap dari situ.
Sui Cin maklum bahwa kakek itu hendak mengujinya, maka iapun cepat mengejar dan mengerahkan seluruh tenaganya dan ilmu gin-kangnya untuk menyusul kakek itu. Akan tetapi, kakek yang bertubuh kecil pendek itu sungguh luar biasa sekali. Betapapun ia mengerahkan seluruh ilmunya, tetap saja ia tertinggal dalam jarak belasan tombak. Dan hebatnya, kakek itu dari belakang kelihatan seperti tidak berjalan, melainkan seperti orang melayang saja dan kelihatan seenaknya, berbeda dengan ia yang mengerahkan tenaga. Sampai ia terengah-engah, kakek itu masih terus berlari. Akhirnya, setelah napasnya hampir putus, Sui Cin berhenti dan berteriak memanggil.
"Berhenti, kek, aku tidak kuat lagi...!"
Mulai hari itu juga, Wu-yi Lo-jin memberi kuliah tentang teori-teori ilmu gin-kangnya yang oleh kakek itu dinamakan Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan), semacam ilmu meringankan diri ciptaannya sendiri.
Setelah tiba di Wu-yi-san, Sui Cin kagum melihat keadaan puncak dimana kakek itu mengasingkan diri selama puluhan tahun. Tidak sembarang orang dapat mencapai puncak ini karena tidak ada jalan umum dari bawah, jalan setapakpun tidak ada. Yang ada hanyalah jurang-jurang yang mengelilingi puncak dan mereka harus mendaki puncak melalui jurang-jurang yang curam dan tebing-tebing yang terjal. Hanya orang-orang yang memiliki gin-kang tinggi sajalah kiranya yang akan mampu mencapai puncak Wu-yi-san di bagian yang didiami kakek Wu-yi Lo-jin itu.
Semenjak hari itu, mulailah kakek Wu-yi Lo-jin menggembleng Sui Cin dengan tekun dan keras sekali. Dia melatih dara itu untuk bersamadhi dan melatih sin-kang dan khi-kang, dia mengajarkan ilmu silat yang seluruhnya digerakkan dengan tenaga dalam dan dengan ilmu meringankan tubuh sehingga dalam melatih ilmu silat ini berarti juga melatih dan menyempurnakan gin-kang.
Kurang lebih tiga tahun kemudian, dengan latihan yang amat tekun di bawah bimbingan dan pengawasan Wu-yi Lo-jin yang ketat dan keras, Sui Cin telah memperoleh kemajuan hebat tanpa disadarinya sendiri.
Pada suatu hari, kakek itu membawanya ke sebelah belakang puncak gunung itu dan mereka berdiri di tepi sebuah jurang yang amat curam. Ketika menjenguk ke bawah, Sui Cin bergidik. Jurang itu sungguh curam, sampai tidak nampak dasarnya! Di bawah nampak batu-batu gunung yang meruncing seperti pedang-pedang raksasa, atau seperti gigi naga yang ternganga lebar. Di sebelah depan, dipisahkan celah yang mengerikan itu, terdapat dataran yang merupakan tepi jurang di seberang.
Wu-yi Lo-jin mengeluarkan gulungan-gulungan besar tali yang terbuat dari otot dan kulit binatang yang sudah kering dari dalam kantong besar yang tadi dibawanya, kemudian dia mengeluarkan pula potongan-potongan baja sebesar kaki orang yang tadinya disembunyikan di balik sebuah batu besar. Potongan-potongan baja ini runcing dan panjangnya ada tiga kaki. Sui Cin melihat kesibukan kakek itu dengan heran, tidak tahu apa yang hendak dilakukan Wu-yi Lo-jin.
"Sui Cin, mulai hari ini, engkau akan kuberi latihan-latihan terakhir yang selain melatih silat dan gin-kang, juga melatih keberanian, kecermatan dan kekuatan batinmu. Nah, dapatkah engkau meloncat ke seberang sana?"
Dia menuding ke tebing di depan yang tepinya agak lebih rendah daripada tepi tebing sebelah sini.
Sui Cin memandang terbelalak, lebih heran daripada takut.
"Meloncat ke seberang sana? Ah, perlukah itu, kek? Melihat jaraknya, agaknya aku akan bisa meloncat ke sana, akan tetapi apa gunanya menentang bahaya maut padahal latihan meloncat jauh tidak perlu menggunakan tempat seperti ini?"
Kakek itu tertawa.
"Heh-heh, engkau belum mengerti maksudku. Tempat ini memang merupakan tempat aku berlatih gin-kang. Sudahlah, engkau saja yang memasang tonggak-tonggak ini di sebelah sini, biar aku yang memasang di sebelah sana. Kau lihat lubang-lubang di tepi tebing ini? Ada sebelas lubang. Nah, pasanglah tonggak-tonggak besi ini dalam lubang, masukkan yang dalam dan kuat. Aku akan memasang tonggak-tonggak besi di sebelah sana."
Kakek itu membagi tonggak-tonggak itu yang dibongkoknya menjadi satu, tubuhnya lalu meloncat ke depan, melalui jurang yang curam itu. Sui Cin memandang dan biarpun ia merasa yakin bahwa kakek itu akan mampu meloncati celah, namun tidak urung hatinya merasa ngeri dan ia menahan napas sampai kakek itu selamat tiba di seberang sana.
Melihat kakek itu mulai menancap-nancapkan tonggak baja di tepi tebing di seberang, iapun lalu melakukan apa yang dipesankan kakek itu. Ternyata lubang-lubang dalam batu di tepi tebing itu besarnya tepat sekali dan tonggak-tonggak itu masuk dengan pas sampai hanya satu kaki yang nampak di atas permukaan batu. Sebentar saja selesailah pekerjaan itu dan ketika ia mengangkat muka memandang, kakek itupun sudah menyelesaikan pekerjaannya.
"Sui Cin!" teriak kakek itu dari seberang. "Sekarang ambillah tali-tali itu. Ada sebelas helai banyaknya, ikatkan ujungnya pada tiap tonggak dan lemparkan ujung yang lain ke sini! Awas, yang kuat mengikatnya karena nyawamu tergantung pada tali-tall ini!"
Terkejutlah hati Sui Cin mendengar ucapan itu dan ia menduga-duga apa yang diajarkan kakek itu kepadanya. Akan tetapi, ia tidak berkata apa-apa dan mulai mengikatkan ujung tali-tali itu dengan amat kuatnya pada tonggak-tonggak itu dan melemparkan ujung yang lain ke seberang.
Kakek itu menangkap ujung yang lain itu dan mulailah dia mengikatkan ujung itu pada tonggak-tonggak di depannya. Kini terbentanglah tali-tali itu, merupakan jembatan-jembatan istimewa yang berjumlah sebelas helai. Dan hebatnya, kakek itu menyetel kendur kuatnya tali-tali itu sehingga ketika dia menyentil-nyentilnya, terdengar bunyi nyaring yang berbeda-beda, seperti tali-tali yang-kim yang mengeluarkan nada-nada berbeda, makin ke kanan semakin tinggi nadanya. Setelah selesai, diapun berkata kepada Sui Cin dari seberang.
"Mulai hari ini, engkau harus berlatih di atas tali-tali ini. Kalau engkau sudah dapat memainkan semua ilmu silat yang kau kuasai di atas tali-tali ini, baru engkau lulus dan boleh meninggalkan tempat ini!"
Kakek itu lalu memberi petunjuk-petunjuk. Mula-mula memang ngeri rasa hati Sui Cin ketika ia harus berjalan, melangkah dan berlari-lari, berloncatan di atas tali-tali itu. Menjenguk ke bawah dari atas tali-tali itu membuat ia merasa seperti sedang melayang di langit dan setiap saat kalau tali yang diinjaknya putus, tubuhnya akan meluncur ke bawah, disambut ujung batu-batu runcing untuk kemudian terbanting hancur berkeping-keping di dasar jurang yang tidak nampak dari atas.
Akan tetapi, setelah terbiasa, lenyaplah rasa ngeri atau takutnya. Ia berlatih dengan tekun setiap hari dari pagi sampai sore, kadang-kadang di malam hari dan kini kedua kakinya demikian trampilnya menginjak tali, berloncatan, berjungkir balik dan bermain-main seolah-olah ia berada di atas tanah datar saja.
Pada suatu pagi, Sui Cin sudah berlatih di atas tali-tali itu. Gerakannya lincah bukan main, seperti menari-nari ia bersilat di atas tali-tali itu. Dan tali-tali yang diinjaknya mengeluarkan bunyi dengan nada-nada berbeda dan terdengarlah irama nada yang teratur seperti bunyi yang-kim yang mendendangkan lagu merdu! Kendur kuatnya tali-tali itu, lembut dan kuatnya loncatan dan injakan kaki Sui Cin menciptakan getaran-getaran berbeda pada tali-tali itu.
Kakek Wu-yi Lo-jin berdiri tegak di tepi jurang, memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Setelah data itu selesai bersilat dan meloncat ke tepi, kakek itu mengangguk-angguk.
"Heh-heh-heh, bagus! Bagus sekali! Tidak sia-sia jerih payah kita selama hampir tiga tahun ini. Engkau sudah memiliki gin-kang yang setingkat denganku, dan aku yakin engkau dapat menandingi Raja dan Ratu Iblis dalam hal kecepatan. Sekaranglah tiba waktunya bagimu untuk pergi dari sini, mempersiapkan dirimu untuk menentang persekutuan busuk dari Pangeran Toan Jit-ong itu, Sui Cin. Masih ada setengah tahun waktunya bagimu untuk pergi keluar tembok besar, ke sarang mereka itu, bekas benteng Jeng-hwa-pang. Kita semua akan berkumpul di sana."
"Engkau juga akan pergi ke sana, kek?" tanya Sui Cin yang selalu bersikap akrab dan bicara kepada kakek itu seperti terhadap keluarga sendiri, tanpa banyak peradatan.
Wu-yi Lo-jin agaknya lebih senang dengan sikap ini, sesuai dengan wataknya yang memang suka akan kebebasan dan tidak mau terikat oleh segala macam peraturan.
"Tentu saja! Juga Siang-kiang Lo-jin dan temanmu itu, dan kalau memang masih hidup, enam orang rekan kami, para Dewa yang lain, tentu akan muncul disana."
Ucapan ini mengingatkan Sui Cin kepada Hui Song yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dijumpainya itu dan hatinya memang gembira. Juga jantungnya berdegup aneh karena begitu teringat kepada Hui Song, iapun segera teringat akan ucapan terakhir pemuda itu ketika mereka akan saling berpisah.
Pengakuan cinta pemuda itu terhadap dirinya! Ia kini bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah hampir sembilan belas tahun! Masa akhil baliq sudah lewat dan ia kini sudah menjadi seorang wanita dewasa. Biarpun tidak mempunyai pengalaman tentang cinta, namun perasaan wanitanya membuat ia sadar akan hal itu dan mulailah ia mempertimbangkan tentang uluran cinta pemuda yang amat disukanya itu. Akan tetapi, tetap saja Sui Cin belum dapat menentukan apakah iapun mencinta pemuda itu ataukah sekedar suka saja karena watak pemuda itu cocok dengan wataknya.
"Kek, karena waktunya masih cukup, aku akan singgah dulu ke Pulau Teratai Merah. Sudah terlalu lama aku meninggalkan orang tuaku dan mereka tentu merasa gelisah sekali."
"Heh-heh, Pendekar Sadis dan Lam-sin, ya? Sui Cin, ayah bundamu itu adalah orang-orang hebat dan kalau mereka dapat mengulurkan tangan membantu kita untuk menentang persekutuan pemberontak itu, alangkah baiknya!"
"Akan kusampaikan kepada mereka kek, dan mudah-mudahan saja mereka dapat melihat pentingnya menentang Raja dan Ratu Iblis itu. Tentu mereka, terutama ibu, akan tertarik sekali kalau mendengar bahwa Pangeran Toan Jit-ong itu masih paman dari ibu."
Demikianlah, pada hari itu juga Sui Cin meninggalkan Wu-yi-san dan melakukan perjalanan cepat ke utara, menuju ke Ning-po untuk menyeberang ke Pulau Teretai Merah. Dara yang melakukan perjalanan turun Gunung Wu-yi-san ini sungguh jauh bedanya dengan dara remaja yang hampir tiga tahun lalu mendaki gunung itu bersama kakek katai.
Kini Sui Cin bukan lagi seorang dara remaja, melainkan seorang gadis dewasa yang amat cantik dan manis. Ia memang masih lincah jenaka seperti biasa, masih nyentrik karena pakaiannya juga sembarangan saja asalkan bersih, akan tetapi pada sikapnya terdapat kematangan dan sepasang matanya juga mengeluarkan sinar mencorong yang biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, Sui Cin melakukan perjalanan cepat dan tanpa halangan sesuatu, tibalah ia di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi, alangkah kecewa hatinya ketika ia melihat ayah bundanya tidak berada di pulau! Ia hanya disambut oleh para pelayan yang menjadi girang dan gembira bukan main melihat munculnya nona mereka itu. Bahkan diantara mereka yang sudah tua dan yang pernah mengasuh Sui Cin sejak gadis itu kecil, menangis saking terharu dan gembiranya.
"Aih, nona... terima kasih kepada Thian bahwa nona ternyata dalam keadaan selamat. Betapa nona telah membuat kami semua gelisah dan berduka. Bahkan ayah ibu nona selalu bingung dan entah sudah berapa kali meninggalkan pulau untuk mencari nona. Yang terakhir mereka berdua pergi sebulan yang lalu, entah kapan pulangnya."
Baru Sui Cin merasa betapa besar kesalahannya terhadap ayah ibunya. Mereka hanya mempunyai anak ia seorang dan ia telah pergi selama tiga tahun tanpa memberi tahu! Dan ayah ibunya kebingungan, mencari-carinya. Tentu saja ayah ibunya tidak dapat menemukannya karena ia bersembunyi di Wu-yi-san dan tidak pernah meninggalkan tempat pertapaan kakek katai. Dan sekarang ayah ibunya pergi, tentu mencarinya lagi, entah kemana. Padahal iapun tidak dapat lama-lama menanti kembali mereka di Pulau Teratai Merah karena ia mempunyai tugas berat membantu para pendekar yang akan menentang persekutuan pemberontak di luar tembok besar.
Maka iapun lalu membuat surat panjang lebar kepada ayah bundanya, menceritakan tentang semua pengalamannya, tentang pertemuannya dengan Wu-yi Lo-jin, tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para datuk sesat untuk melakukan pemberontakan, kemudian dalam surat itu ia menceritakan ayah ibunya bahwa ia berangkat keluar Tembok Besar untuk menentang persekutuan pemberontak itu bersama para pendekar lain.
Juga ia mengharapkan agar ayah ibunya suka pula membantu, mengingat betapa kuatnya para datuk sesat itu. Bahkan ia tidak lupa menulis dalam surat itu bahwa Raja Iblis itu bernama Pangeran Toan Jit-ong yang mengaku masih bersaudara dengan mendiang kakeknya, Pangeran Toan Su-ong!
Setelah meninggalkan surat itu di kamar ayah ibunya dan memesan kepada para pelayan agar menyerahkan surat itu kepada mereka, Sui Cin lalu meninggalkan lagi pulau itu dan mulailah ia melakukan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan yang amat jauh, akan tetapi ia mempunyai banyak waktu dan iapun dapat mengandalkan ilmunya berlari cepat.
ASMARA BERDARAH JILID 085(↕)
Ruangan itu luas dan terhias indah, juga hiasannya membayangkan kegagahan. Pilar besar yang berada di ruangan itu diukir dengan gambar dua naga berebut mustika. Ukirannya kuat dan indah, dengan warna yang mengkilap dan hidup. Meja kursi yang berada disitu juga merupakan perabot-perabot yang kuno dan terawat baik.
Pada dinding ruangan itu nampak lukisan-lukisan yang indah pula tergantung, lukisan keindahan alam dengan sajak-sajaknya yang berisi dan berbobot. Tulisan-tulisan indah menghias pula dinding ruangan itu. Sebuah ruangan yang menimbulkan kesan kagum dan hormat bagi orang luar.
Akan tetapi pada sore hari itu, di dalam ruangan indah ini terjadi ketegangan. Tiga orang laki-laki gagah yang usianya sekitar tiga puluh tahun, nampak berlutut di atas lantai, menghadap seorang laki-laki dan seorang wanita yang duduk berdampingan. Sikap tiga orang yang berlutut itu tegang dan gelisah, bahkan takut-takut, terutama sekali laki-laki yang berlutut di tengah-tengah. Laki-laki ini membawa sebatang pedang di punggungnya, mukanya pucat dan membayangkan duka, kepalanya masih diikat kain putih tanda bahwa ia sedang berkabung!
Pria yang duduk di atas kursi itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi rambutnya, yang dikuncir ke belakang itu masih lebat dan hitam, alisnya tebal dan jenggotnya yang pendek itupun masih hitam. Wajahnya tampan dan sikapnya gagah, akan tetapi pada pandang mata dan bibirnya membayangkan kekerasan hati yang penuh wibawa. Pakaiannya sederhana, terbuat dari kain tebal yang bersih. Duduknya tegap berwibawa dan sepasang matanya memandang dengan alis berkerut tanda bahwa pada saat itu hati pria ini sedang tidak senang.
Wanita yang duduk di sebelah kanannya itu usianyapun sudah hampir lima puluh tahun, akan tetapi masih nampak cantik dengan mukanya yang putih halus belum dimakan keriput, tubuhnya agak pendek dan dandanannya menunjukkan bahwa ia adalah seorang keturunan Jepang.
Pria itu adalah ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar Cia Kong Liang dan wanita itu adalah isterinya yang bernama Bin Biauw, puteri dari seorang bekas datuk timur yang bernama Bin Mo To atau Minamoto dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur). Pada siang hari itu, dia dan isterinya berada di ruangan dalam rumahnya yang besar, yang merupakan rumah perguruan Cin-ling-pai yang terkenal itu, dihadap tiga orang muridnya.
Hawa Pegunungan Cin-ling-san yang memasuki ruangan itu melalui jendela-jendela yang terbuka lebar, tidak melenyapkan ketegangan yang terasa oleh mereka. Selain mereka berlima, masih ada lagi dua puluh orang lebih murid Cin-ling-pai yang berlutut di luar ruangan itu dan merekapun memandang dengan muka tegang karena mereka tahu bahwa ketua mereka sedang marah dan bahwa ada murid Cin-ling-pai yang bersalah dan sedang diadili. Ketua atau guru mereka itu terkenal dengan kekerasan hatinya yang tidak mengenal maaf dalam menghukum murid Cin-ling-pai yang bersalah.
"Su Kiat, engkau telah melanggar pantangan Cin-ling-pal, menodai nama baik Cin-ling-pai dengan perbuatanmu. Nah, ceritakan semuanya!" terdengar ketua Cin-ling-pai berkata, suaranya datar dan bengis, pandang matanya berkilat.
Laki-laki yang berada di tengah itu kini bangkit dalam keadaan masih berlutut. Mukanya muram, akan tetapi sepasang matanya penuh semangat.
"Suhu, teecu telah melakukan pelanggaran dan bersedia menerima hukuman suhu."
"Hemm, Koan Tek, ceritakan bagaimana kalian dapat membawanya kesini. Apakah dia melakukan perlawanan?" ketua itu bertanya kepada laki-laki yang berlutut di pinggir kanan.
"Ciang Su Kiat suheng tidak melakukan perlawanan, suhu. Teecu berdua dapat menemukan tempat dia bersembunyi dan membujuknya untuk memenuhi panggilin suhu. Dia hanya mengatakan bahwa dia siap menerima hukuman walaupun dia menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras."
Wajah ketua Cin-ling-pai menjadi merah sekali.
"Su Kiat, benarkah engkau mengatakan demikian?"
"Benar suhu dan memang teecu tetap beranggapan bahwa teecu tidak bersalah walaupun teecu telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi teecu siap menerima hukuman karena teecu adalah murid Cin-ling-pai yang setia dan taat."
"Ceritakan semua yang terjadi!"
"Harap suhu dan subo ketahui bahwa ayah teecu yang sudah tua bekerja sebagai tukang kebun di gedung Coan Ti-hu. Ayah teecu bekerja sejak dia masih muda dan dianggap sebagai seorang pembantu yang setia. Akan tetapi, Coan Ti-hu terkenal pelit dan tidak dapat menghargai jasa para pembantunya. Ketika ibu dan adik bungsu teecu sakit, ayah hamba minta bantuan majikannya, akan tetapi malah dihardik dan dihina. Karena terpaksa dan tidak berdaya lagi, ayah teecu melakukan penyelewengan, mencuri sebuah perhiasan emas yang dijualnya untuk biaya pengobatan ibu dan adik teecu. Perbuatan itu diketahui dan ayah lalu dihukum. Kalau hanya hukuman yang wajar saja, tentu teecu dapat menerimanya karena bagaimanapun juga alasannya, ayah teecu mencuri dan wajarlah kalau dipersalahkan dan dihukum yang pantas. Akan tetapi, ayah telah dihajar, disiksa sampai setengah mati, bahkan ketika pulang, dalam waktu tiga hari ayah meninggal dunia karena luka-lukanya!" Laki-laki itu berhenti sebentar dan menghapus dua titik air mata yang membasahi matanya.
"Aku mendengar bahwa ayahmu melawan dan mengeluarkan kata-kata makian kepada Coan-taijin," kata ketua Cin-ling-pai.
"Mungkin saja ayah menegur karena ayah sudah menghambakan diri sejak muda akan tetapi dalam keadaan terpepet ayah tidak dapat mengharapkan bantuan. Bagaimanapun juga, teecu menganggap perbuatan pembesar itu keterlaluan. Ayah dibunuh hanya untuk perbuatan mencuri yang dilakukan untuk mengobati isteri dan anaknya. Maka, dalam keadaan berkabung dan berduka, teecu lupa diri dan mengamuk di gedung Coan Ti-hu. Sayang teecu tidak berhasil membunuh pembesar sewenang-wenang itu."
"Dan engkau menjadi buronan pemerintah! Su Kiat, perbuatanmu itu tidak hanya menyangkut dirimu sendiri, melainkan juga menyeret nama baik Cin-ling-pai. Coan Ti-hu menuntut kepada Cin-ling-pai, menyalahkan kami karena engkau adalah murid Cin-ling-pai. Kalau kami tidak dapat menangkapmu, kami akan diadukan dan dianggap pemberontak karena murid perguruan Cin-ling-pai telah berani menyerang seorang pembesar pemerintah! Nah, apa yang hendak kau katakan sekarang?"
"Suhu, bagaimanapun juga, teecu tidak merasa bersalah terhadap pembesar itu, bahkan dia masih berhutang nyawa kepada teecu. Akan tetapi teecu memang merasa telah melakukan pelanggaran terhadap Cin-ling-pai."
"Dan mengapa engkau berani menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras?"
"Benar, memang teecu mengatakan demikian kepada kedua orang sute yang mencari dan menemukan tempat persembunyian teecu!" jawab Su Kiat dengan gagah. "Memang peraturan kita terlalu keras, menghukum murid tanpa kebijaksanaan, dan tidak adil karena tidak melihat lagi alasan-alasan perbuatan pelanggaran dilakukan. Akan tetapi bukan berarti bahwa teecu akan mengingkari sumpah, teecu siap menerima hukuman."
"Kesalahanmu terhadap Cin-ling-pai sudah jelas. Engkau telah mencoreng nama baik Cin-ling-pai, bahkan menghadapkan Cin-ling-pai pada pemerintah sehingga perkumpulan kita terancam bahaya dianggap pemberontak. Nah, kesalahanmu jelas. Akan tetapi, Su Kiat, kami hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu kepada Coan Ti-hu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai."
"Tidak...! Teecu... teecu menerima hukuman Cin-ling-pai, akan tetapi teecu tidak mau diserahkan kepada pembesar laknat itu. Teecu dianggap menodai nama Cin-ling-pai, hal itu merupakan pelanggaran peraturan nomor tiga. Nah, biarlah teecu melakukan pelaksanaan hukuman itu!"
Secepat kilat Su Kiat mencabut pedangnya dengan tangan kanan lalu membacok lengan kirinya sendiri.
"Crakkk...!"
Lengan kiri Su Kiat terbabat buntung sebatas siku! Darah muncrat-muncrat dan dua orang sutenya yang berlutut di kanan kirinya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi, Su Kiat sendiri melaksanakan hukuman itu dengan sikap gagah dan sedikitpun tidak mengeluh walaupun lengan kirinya buntung dan rasa nyeri menusuk jantung.
Wajah ketua Cin-ling-pai dan isterinya juga sedikitpun tidak membayangkan perasaan hati mereka. Bahkan pada wajah ketua Cin-ling-pai itu terbayang penyesalan dan dengan sikap dingin dia berkata,
"Perbuatanmu itu adalah atas kehendakmu sendiri. Bagaimanapun juga, buntung atau tidak, engkau harus kuserahkan kepad Coan Ti-hu karena hal itu akan membersihkan nama Cin-ling-pai!"
"Tidak...! Suhu... suhu tidak... akan begitu kejam..."
Si buntung itu terkejut memandang ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi ketua Cin-ling-pai itu dengan wajah dingin mengangguk seperti hendak menegaskan pendiriannya.
"Kalau begitu... lebih baik teecu mati...!"
Berkata demikian, Su Kiat mempergunakan pedang yang masih berlumuran darah itu, membacok ke arah leher sendiri.
"Wuuuttt, plakkk... trangggg...!"
Gerakan ketua Cin-ling-pai itu cepat bukan main. Tubuhnya yang tadinya duduk itu meloncat ke depan, kakinya menendang dan tangan yang memegang pedang itu sudah terkena tendangan sehingga pedang yang mengancam leher itu terpental dan terjatuh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring.
Su Kiat terbelalak memandang kepada gurunya yang sudah berdiri di depannya. Sejenak ketua Cin-ling-pai itu menatap wajah murid yang dianggap bersalah itu, lalu dia mundur lagi, duduk di atas kursinya dengan sikap tenang.
"Siapa bersalah dan melanggar peraturan, dia harus menerima hukuman, tidak perduli apapun alasannya!" kata ketua Cin-ling-pai itu dengan wajah dan sikap keras.
Wajah Su Kiat yang tadinya pucat itu kini berubah merah dan matanya melotot.
"Mulai saat ini, saya Ciang Su Kiat bersumpah tidak menjadi murid Cin-ling-pai lagi, dan nyawa saya adalah milik saya pribadi, kalau saya mau membunuh diri, siapa yang akan dapat menghalangi saya!"
Berkata demikian, laki-laki yang sudah putus asa dan marah ini lalu menggerakkan tubuhnya hendak membenturkan kepalanya ke atas lantai!
"Jangan...!"
Tiba-tiba berbareng dengan seruan ini, nampak bayangan berkelebat cepat bukan main dan tahu-tahu tubuh Su Kiat terangkat ke udara dan di lain saat tubuhnya sudah turun lagi bersama seorang pemuda yang gagah. Kiranya pemuda inilah yang tadi menyambar tubuh Su Kiat pada saat yang tepat sehingga menyelamatkan nyawa orang buntung yang sudah mengambil keputusan tetap bendak membunuh diri itu.
"Hui Song...!"
Teriak isteri ketua Cin-ling-pai, wajahnya cantik dan yang sejak tadi nampak dingin saja itu, tiba-tiba berseri gembira dan sepasang matanya mengeluarkan sinar. Ia bangkit dari tempat duduknya. Nyonya ini memang berada dalam kedukaan besar karena selama ini ia sudah meragukan apakah puteranya itu masih hidup.
Hui Song cepat memberi hormat kepada ayah ibunya.
"Ayah dan ibu, maafkan, aku akan membereskan urusan dengan Ciang-suheng ini. Ciang suheng, bunuh diri bukanlah cara yang baik bagi seorang gagah untuk mengatasi persoalan. Bahkan bunuh diri merupakan suatu perbuatan yang rendah dan pengecut."
Dia lalu menotok pundak dan pangkal lengan kiri yang buntung itu, dan menerima obat dari seorang saudara seperguruan, mengobati luka itu dan membalutnya.
"Ambillah lengan buntungmu itu dan mari kita bereskan urusan ini dengan pembesar Coan tanpa Cin-ling-pai. Seorang gagah, berani berbuat harus berani bertanggung jawab!"
Berkata demikian, Hui Song lalu menyambar tubuh Su Kiat yang sudah memungut lengan buntungnya dan sekali berkelebat diapun lenyap dari tempat itu bersama suhengnya yang sudah buntung lengannya.
"Hui Song, apa yang hendak kau lakukan?"
Ayahnya membentak dan meloncat untuk mengejar, akan tetapi pemuda itu sudah tiba jauh di luar rumah dan hanya terdengar suaranya yang lirih, akan tetapi seolah-olah diucapkan di dekat telinga ketua Cin-ling-pai itu.
"Ayah, aku akan membantunya menyelesaikan urusannya tanpa campur tangan Cin-ling-pai, karena dia sekarang bukan murid Cin-ling-pai lagi."
Ketua Cin-ling-pai itu terkejut. Puteranya telah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu kepandaiannya. Suara yang dikirim dari jauh itu saja sudah sedemikian hebat, terdengar lirih namun jelas sekali dekat telinganya, tanda bahwa kini Hui Song telah mampu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh secara hebat sekali, lebih hebat daripada kalau dia sendiri yang melakukannya. Pula, diapun sadar bahwa dengan sumpahnya tadi, Su Kiat telah menyatakan dirinya bukan lagi murid Cin-ling-pai. Kalau memang Su Kiat hendak menyelesaikan sendiri urusannya dengan pembesar Coan dan meyakinkan pembesar itu bahwa dia bukan lagi murid Cin-ling-pai, maka semua sepak terjangnya bukan lagi menjadi tanggung jawah Cin-ling-pai. Bagaimanapun juga, Cin-ling-pai sudah melakukan tindakan dan telah menghukum murid yang bersalah.
ASMARA BERDARAH JILID 086(↕)
Diam-diam diapun merasa kagum melihat ketegasan sikap puteranya, yang hendak membantu Su Kiat menyelesalkan urusannya. Hanya dia kecewa melihat puteranya yang baru saja tiba setelah bertahun-tahun pergi tanpa berita, telah meninggalkannya lagi. Dia lalu membubarkan pertemuan itu dan mengundurkan diri ke dalam kamar bersama isterinya, menanti dengan hati tak sabar kembalinya Hui Song yang sudah amat lama mereka rindukan itu.
Sore telah berganti malam ketika Hui Song berkelebat di atas genteng gedung tempat tinggal Coan Ti-hu yang berada di tengah kota Han-cung yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-san. Gedung itu dijaga ketat di sekelilingnya oleh pasukan penjaga, namum mereka tidak dapat melihat gerakan Hui Song yang amat cepat bagaikan burung malam beterbangan itu.
Suasana sunyi di gedung besar itu tiba-tiba menjadi ribut ketika terdangar teriakan suara nyaring dari atas genteng.
"Coan Ti-hu, buka telingamu dan dangar baik-baik. Ini aku Ciang Su Kiat yang datang!"
Tentu saja para pengawal segera datang berlarian dan mereka menjadi panik sendiri. Setelah ada yang melihat dua -bayangan yang berdiri tegak di atas wuwungan rumah, mereka berteriak-teriak dan sebentar saja bangunan itu dikurung.
Tentu saja Coan Ti-hu sendiri juga mendengar teriakan itu, akan tetapi dia tidak berani keluar, bahkan memerintahkan agar para pengawal pribadinya menjaganya di dalam kamar dan dia memerintah para penjaga untuk menangkap pemberontak itu.
"Diam di bawah!" Su Kiat berteriak pula. "Dan biarkan pembesar laknat itu mendengar kata-kataku! Coan Ti-hu, engkau telah bertindak sewenang-wenang membunuh ayahku. Aku sendiri yang hendak membalas dandam telah dihukum oleh Cin-ling-pai, kehilangan sebelah lenganku! Ketahuilah bahwa semua perbuatanmu ini adalah urusan sendiri, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai. Orang she Coan, sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku membalaskan kematian ayahku dan buntungnya lenganku karena perbuatanmu!"
Setelah berkata demikian, Su Kiat melemparkan potongan lengannya itu ke bawah. Lengan itu jatuh ke dalam ruangan dan semua pengawal memandang dengan jijik dan ngeri.
"Serang dengan anak panah!" bentak seorang komandan pasukan keamanan dan belasan orang perajurit penjaga segera menghujankan anak panah ke arah dua bayangan di atas wuwungan itu.
Akan tetapi, Hui Song sudah menghadang di depan tubuh suhengnya dan dengan kebutan-kebutan kedua tangannya dia meruntuhkan semua anak panah yang menyambar tubuh suhengnya dan dilarikannya suhengnya keluar kota Han-cung.
Di persimpangan jalan di lereng Pegunungan Cin-ling-san, Hui Song berhenti dan melepaskan tubuh suhengnya.
"Ciang suheng, disini kita berpisah. Bawalah ini untuk bekal dan engkau mengerti bahwa sejak sekarang, engkau tidak seharusnya naik lagi ke Cin-ling-san, dan jangan memperlihatkan diri di kota Han-cung dan sekitarnya. Engkau tentu menjadi buronan pemerintah."
Dengan tangan kanannya Su Kiat memeluk pemuda itu dan menangislah dia.
"Sute... ah, sute... kalau tidak ada engkau, aku akan mati penasaran. Dan ilmumu sekarang demikian hebatnya. Akupun sekarang mempunyai cita-cita, sute. Aku akan mempelajari ilmu sampai tinggi agar aku dapat membalaskan kematian ayah dan juga membalaskan semua yang menimpa diriku kepada pembesar laknat itu. Sute, sampaikan maafku kepada suhu dan subo. Mereka telah begitu baik kepadaku, akan tetapi apa balasku? Hanya menyeret Cin-ling-pai ke dalam kesukaran saja. selamat tinggal, sute...!"
Dan orang buntung itupun pergilah berlari-lari meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata haru oleh Hui Song. Dia dapat mengenal seorang jantan yang gagah perkasa. Suhengnya itu, Ciang Su Kiat, dia takkan merasa heran kalau suhengnya itu kelak dapat berhasil memenuhi cita-citanya dan muncul sebagai seorang yang pandai.
"Kasihan Ciang-suheng...!"
Tak terasa lagi kata-kata ini keluar dari mulutnya seperti keluhan dan Hui Song menggeleng-geleng kepala, menghela napas.
"Seorang murid murtad seperti itu tidak perlu dikasihani!"
Mendengar suara orang yang tiba-tiba menyambut ucapannya tadi, Hui Song membalik dan memandang bayangan yang muncul dari balik batang pohon.
"Sumoi...!" tegurnya, kaget dan juga girang mengenal bahwa bayangan itu adalah Tan Siang Wi, murid ayah ibunya yang amat disayang sekali oleh ibunya.
Sebelum dia mengikuti Dewa Kipas Siangkoan Lo-jin untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun, pernah dia bertemu dengan sumoinya itu dalam perantauannya, ialah ketika dia menghadiri pesta ulang tahun Ang-kauwsu. Di tempat itu Tan Siang Wi ikut pula membantunya ketika dia dan Sui Cin menyelamatkan Jenderal Ciang yang diserbu oleh para datuk sesat. Ternyata kini Siang Wi telah berada di depannya, memandang tajam kepadanya dan di bawah sinar bulan yang baru muncul, wajahnya nampak cantik manis dan matanya bersinar-sinar.
"Suheng, setelah bertahun-tahun pergi baru engkau kembali! Betapa rinduku kepadamu!" Gadis itu lari mendekat dan memegang kedua tangan Hui Song.
"Sumoi, bagaimana engkau bisa berada disini?"
Hui Song bertanya, membiarkan kedua tangannya dipegang sambil menekan perasaan hatinya yang berdebar ketika dia merasa betapa tangan gadis itu lunak hangat dan jari-jari tangannya menggetar.
"Suheng, aku sengaja membayangimu ketika engkau mengajak pergi Ciang-suheng tadi. Aku melihat semua sepak terjangmu di gedung pembesar itu dan ah... betapa hebat engkau, suheng, aku kagum sekali kepadamu. Kepandaianmu kini amat hebat."
Hui Song melepaskan kedua tangannya dengan halus, kemudian tersenyum.
"Kau terlalu memuji, sumoi. Kau sendiri sudah dapat membayangi kami tanpa kami ketahui, hal ini membuktikan bahwa engkau kini bertambah lihai saja. Tak kusangka bahwa engkau masih tinggal bersama ibu di Cin-ling-san."
"Habis, dimana lagi kalau tidak di Cin-ling-san bersama subo dan suhu?" tanya Siang Wi heran.
Hui Song tertawa.
"Tentu saja di rumah... suamimu! Aku mengira bahwa engkau tentu sudah menikah, seperi banyak para suheng lainnya."
Pemuda itu tidak dapat melihat di bawah sinar bulan remang-remang betapa wajah gadis itu menjadi merah sekali, bukan merah karena malu saja, terutama sekali karena kecewa, marah dan penasaran.
"Suheng! Kenapa kau bisa berkata begitu, menyangka aku seperti itu?"
Mendengar suara yang bernada keras itu, Hui Song terheran.
"Aih, sumoi, kenapa marah? Apa anehnya kalau aku mengira bahwa engkau sudah menikah? Usiamu hanya lebih muda dua tahun dariku dan mengingat bahwa aku sudah berusia dua puluh empat, sudah sepatutnya kalau engkau sudah menikah, bukan?"
"Bukan itu, suheng! Tapi ah... masih pura-pura tidak tahukah engkau bahwa selama tiga tahun ini aku selalu menantimu dengan penuh rindu? Lupakah engkau akan janji-janji kita di waktu kita masih remaja dulu, suheng? Suhu dan subo juga sudah setuju mengenai kita dan aku... aku selalu menunggu dengan hati rindu..."
Hui Song terbelalak, terkejut dan mundur tiga langkah melihat sumoinya membuat gerakan seperti hendak memegang tangannya atau merangkulnya itu. Dia teringat akan masa remajanya bersama Siang Wi. Mereka masih kekanak-kanakan ketika itu dan karena Siang Wi merupakan murid istimewa kesayangan ibunya, hubungan antara mereka memang akrab sekali.
Dan ketika mereka bermain-main, setengah bergurau mereka memang pernah berjanji bahwa kelak mereka akan menjadi suami isteri. Pada waktu itu tentu saja dia tidak pernah mimpi bahwa pernikahan adalah sebuah urusan besar yang mutlak bersyaratkan cinta kasih kedua pihak. Dan dia tidak pernah mencinta sumoinya ini, bahkan semakin dewasa dia merasa tidak cocok dengan sumoinya yang berwatak galak, angkuh dan serius ini.
"Tapi... janji kanak-kanak... hanya main-main saja, sumoi."
"Suheng...! Apa maksud kata-katamu itu? Salahkah keyakinan hatiku selama ini bahwa... bahwa engkau cinta padaku seperti aku mencintaimu? Suhu dan subo sudah yakin pula akan hal ini!"
Hui Song terkejut. Tak disangkanya sudah sejauh itu urusan yang tadinya dianggap permainan kanak-kanak itu. Sumoinya selam ini, mungkin sejak anak-anak, mencintanya dan merasa yakin bahwa diapun mencinta gadis ini, dan ayah ibunya juga yakin dan setuju pula menjodohkan dia dengan Siang Wi. Ini bukan urusan kecil dan main-main lagi!
"Sumoi, jangan kita bicarakan hal itu sekarang di tempat ini. Aku sendiri belum pernah berpikir tentang perjodohan. Mari kita pulang!"
Dan tanpa menanti jawaban dia sudah meloncat dan lari dari situ. Siang Wi juga meloncat dan mengejar, akan tetapi ia tertinggal jauh. Gadis itu mengerahkan tenaga dan ilmu gin-kangnya, mencoba untuk menyusul, akan tetapi tetap saja pemuda itu lenyap dengan cepat. Terkejutlah ia dan baru ia tahu bahwa ketika ia tadi membayangi Hui Song, ia dapat mengejar dan menyusul karena pemuda itu tidak mengerahkan kepandaiannya, mungkin karena bersama Su Kiat. Kini pemuda itu berlari cepat sekali dan sebentar saja sudah lenyap, membuat ia menjadi semakin kagum.
Ketika tiba di rumahnya, Hui Song disambut oleh ayah ibunya yang ternyata masih menantinya dengan hati gembira bercampur gelisah. Gembira melihat putera tunggal mereka itu pulang setelah merantau selama bertahun-tahun, dan gelisah melihat Hui Song bersikap membela kepada Su Kiat.
"Apa yang kau lakukan bersama Su Kiat?" tanya ketua Cin-ling-pai kepada puteranya yang telah berlutut di depan dia dan isterinya.
"Aih, biarkan dia beristirahat dulu!" isterinya mencela, kemudian wanita itu merangkul Hui Song menyuruh puteranya bangun dan duduk di atas kursi di sebelahnya.
Sambil memegang tangan puteranya dan kedua matanya yang basah oleh air mata menatap wajah tampan itu penuh kasih sayang, wanita itu melanjutkan,
"Hui Song, anak nakal kau, membikin hati ibumu gelisah selama bertahun-tahun! Kemana saja engkau pergi tanpa berita selama ini?"
"Maaf, ibu. Aku pergi merantau, kemudian bertemu seorang sakti dan mempelajari ilmu selama tiga tahun."
"Hui Song," potong ayahnya, "mengenai perantauanmu itu, kau ceritakan besok saja. Sekarang ceritakan dulu apa yang telah kau lakukan bersama Su Kiat."
"Ayah, Ciang-suheng secara jantan mengakui dengan suara keras diatas gedung Coan Ti-hu bahwa perbuatannya tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai, bahwa dia bukan murid Cin-ling-pai."
"Hemm, engkau mencampurinya dan ikut mengacau gedung pembesar itu?" tanya ayahnya dengan alis berkerut.
"Tidak, ayah. Aku hanya mengantar dan melindungi Ciang-suheng sampai disana. Setelah dia melemparkan potongan lengannya dan meneriakkan kata-katanya, kami segera pergi."
Pada saat itu masuklah Siang Wi. Ia baru saja dapat menyusul Hui Song dan ia dapat mendengar keterangan pemuda itu.
"Benar, suhu," katanya cepat. "Suheng hanya melindungi Ciang Su Kiat ketika dia dihujani anak panah. Suheng meruntuhkan semua anak panah hanya dengan kebutan kedua tangannya, dan ketika dia mengerahkan gin-kangnya, teecu sama sekali tidak mampu menyusulnya. Dia kini lihai bukan main, suhu!"
Tentu saja Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu dan isterinya, merasa girang dan bangga sekali, akan tetapi Hui Song lalu digandeng ibunya yang berkata,
"Sudahlah, kau harus beristirahat dulu, anakku. Mari lihat kamarmu, masih tidak berubah sejak dulu dan tiap hari kusuruh bersihkan."
Ketika rebah di atas pembaringannya, di dalam kamar yang amat dikenalnya itu, diam-diam Hui Song merasa terharu sekali. Orang tuanya, terutama ibunya, amat sayang kepadanya dan dia merasa begitu tenteram dan terlindung berada di kamarnya ini, merasa betah dan enak. Dia dapat tidur melepaskan lelahnya tanpa mimpi dan ketika pada keesokan harinya dia bangun, tubuhnya terasa segar sekali.
Hari itu, setelah makan pagi mereka semua, ketua Cin-ling-pai dengan isteri dan puteranya, dihadiri pula oleh Tan Siang Wi yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, berkumpul di ruangan keluarga di belakang dan bercakap-cakap.
ASMARA BERDARAH JILID 087(↕)
Dalam kesempatan ini, Hui Song menceritakan semua pengalamannya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh ayah bundanya dan sumoinya. Ketika dia bercerita tentang Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang menjadi temannya dalam menghadapi bermacam peristiwa hebat, Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya terasa tidak enak mendengar betapa puteranya bergaul dengan puteri Pendekar Sadis, bahkan dia dapat merasakan dalam kata-kata puteranya itu terkandung rasa kagum dan suka.
Dia merasa tidak suka kepada Pendekar Sadis yang dianggapnya sebagai seorang pendekar berhati kejam sekali dan tidak menghendaki puteranya bergaul dengan keluarga itu. Memang ketua Cin-ling-pai dan isterinya itu sebelumnya sudah mendengar dari Siang Wi yang melaporkan bahwa Hui Song bergaul dengan puteri Pendekar Sadis dan mereka sudah merasa tidak senang, akan tetapi baru sekarang mereka mendengar pengakuan langsung dari Hui Song.
Ketika Hui Song bercerita tentang kakek sakti Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, hati ayahnya tertarik sekali. Dia belum pernah mendengar nama itu, juga belum pernah mendengar kakek sakti yang berjuluk Dewa Arak Wu-yi Lo-jin. Dan mendengar bahwa puteranya mendapatkan gemblengan ilmu selama tiga tahun dari kakek sakti Dewa Kipas dia ikut merasa gembira.
Akan tetapi ketika Hui Song bercerita tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para datuk untuk melakukan pemberontakan kelak, mendengar betapa oleh gurunya itu Hui Song ditugaskan untuk membantu para pendekar menentang gerakan para calon pemberontakan, ketua Cin-ling-pai mengerutkan alisnya.
"Hui Song, aku tidak setuju kalau engkau mencampuri urusan pemerintah! Sejak dulu Cin-ling-pai adalah perkumpulan para pendekar dan kita hanya bertindak sebagai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan, bukan bertindak menjadi pembela kaisar atau sebaliknya! Biarkan urusan pemerintahan dibereskan oleh para pejabat, itu adalah kewajiban dan urusan mereka sendiri, kita tidak perlu mencampurinya."
"Akan tetapi, ayah! Mana mungkin kita berdiam diri kalau melihat ada komplotan busuk merencanakan pemberontakan terhadap kaisar?" Hui Song membantah.
"Hemm, mana kita tahu siapa sebetulnya yang busuk? Apakah engkau tidak mendengar betapa kaisar yang muda itu hanya mengutamakan kesenangan dan beliau dikelilingi pembantu-pembantu yang amat busuk dan korup? Sudahlah, tidak pernah kita mencampurinya dan serahkan saja kepada mereka, baik para pejabat maupun mereka yang tidak puas dan ingin memberontak. Kita tidak perlu mencampuri, dan aku tidak suka melihat engkau mencampuri urusan pemerintahan dan pemberontakan!"
"Akan tetapi, ayah, bukankah sudah menjadi tugas kewajiban para pendekar untuk menentang semua kejahatan yang akan mengacaukan kehidupan rakyat, menjaga agar masyarakat dapat hidup tenteram?"
"Benar, karena itu kita tidak boleh mencampuri urusan pemberontakan dan urusan pemerintahan."
"Akan tetapi, mana mungkin ada ketenteraman kalau terjadi pemberontakan?"
"Pemerintah sudah mempunyai pasukan yang kuat. Apa gunanya pemerintah mengeluarkan banyak biaya untuk membentuk bala tentara? Kalau terjadi pemberontakan, pemerintah tentu akan menumpasnya dengan kekuatan tentaranya."
"Justeru itulah, ayah. Sebelum terjadi perang yang hanya akan menyengsarakan kehidupan rakyat bukankah lebih baik kalau para pendekar turun tangan menentang komplotan yang hendak memberontak itu?"
"Hemm, bagaimana kalau kaisarnya yang tidak baik? Bagaimana kalau pemerintahnya yang tidak baik?" Ketua Cin-ling-pai itu membantah. "Dengan campur tanganmu itu, bukankah berarti engkau akan membantu pihak yang tidak benar? Sudah, jangan mencampuri urusan pemerintah, itu bukan tugas kita sebagai pendekar!"
"Ayahmu benar, Hui Song. Pemerintah belum tentu selamanya betul, dan kalau ada yang memberontak, itu tentu disebabkan karena pemerintah tidak benar. Kalau kita selalu membela pemerirtah, berarti kita tersesat kalau membantu pemerintah yang tidak benar," sambung ibunya.
"Ayah dan ibu, harap maafkan kalau aku terpaksa membantah. Pemerintah terdiri dari orang-orang juga, manusia-manusia biasa yang tidak akan bebas daripada kesalahan-kesalahan. Akan tetapi, pemerintah tidak terlepas dari kita. Kita adalah warga negara yang membentuk masyarakat dan bangsa. Tanpa warga negara, tidak akan ada pemerintah karena para pejabat juga warga negara yang terpilih untuk mengurus negara. Kalau pemerintahnya tidak baik, akibatnya rakyat pula yang menanggung, sebaliknya kalau pemerintah dipegang oleh orang-orang bijaksana dan berjalan dengan baik, rakyat pula yang akan makmur.
Kalau pemerintahan tidak benar, dan orang-orang yang mengemudikannya menyeleweng, hal itu merupakan tugas para warga negara pula untuk mengawasinya, mengeritik dan memprotesnya. Tanpa pengawasan, tanpa kritik, mana mungkin orang-orang pemerintah akan menyadari kekeliruan-kekeliruannya? Kalau pemerintah bersalah, bukan cara yang baik untuk menimbulkan pemberontakan dan merebut kekuasaan, karena yang merebut kekuasaan itupun belum tentu benar, hanya kelihatannya saja benar karena kebetulan pemerintah yang dihadapinya dalam keadaan tidak benar! Jadi, baik atau buruk keadaan pemerintah, tetap saja kita, terutama para pendekar, mempunyai tugas untuk menjaga keamanan negara dari gangguan luar yang berupa pemberontakan."
Hui Song yang kini sudah banyak mendengar dari Dewa Kipas tentang kepatriotan dan kependekaran, bicara penuh semangat. Akan tetapi ayahnya melambaikan tangan dengan tidak sabar, seolah-olah mendengarkan ocehan seorang anak kecil saja..
"Hayaaa, Hui Song. Perlu apa engkau memusingkan pikiran dan merepotkan diri sendiri? Aku juga sudah banyak mendengar tentang kaisar yang masih seperti kanak-kanak itu! Kabarnya dia hanya mabok kesenangan dan roda pemerintahan diserahkan kepada para thaikam yang lalim. Dengan demikian, para pembesar korup merajalela, memeras rakyat dan bertindak sewenang-wenang, hanya menggendutkan perut sendiri tanpa memperdulikan keadaan rakyat yang sengsara. Maka kalau ada yang hendak memberontak, hal itu sudah wajar saja. Tidak perlu kita membantu pemerintahan yang buruk seperti itu, karena hal itu berarti kita membantu tegaknya kelaliman yang menggencet rakyat!"
"Tidak ayah, aku tidak setuju! Pemerintah dalam bahaya, diancam gerombolan penjahat yang hendak memberontak. Inilah yang terpenting. Aku harus membantu para pendekar menghalau bahaya ini lebih dahulu. Barulah kemudian kita bertindak mengoreksi kesalahan-kesalahan pemerintah. Bukankah aku sudah pula membantu sehingga pembesar korup Liu-thaikam terbongkar rahasianya dan tertangkap? Kalau pemerintah sudah aman dari ancaman pemberontakan, baru kita mengadakan perbaikan-perbaikan dengan menentang para pembesar korup. Apalagi kalau diingat bahwa pemberontakan kali ini dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang mengumpulkan para datuk sesat, sisa-sisa dari Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya."
"Cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang pemberontakan dan..."
Pada saat itu terdangar ketukan pintu dan ketua Cin-ling-pai itu menghentikan ucapannya dan menyuruh murid yang mengetuk pintu itu masuk. Seorang murid masuk memberi tahu bahwa di luar ada tamu.
"Bin-locianpwe datang berkunjung," katanya.
Mendengar bahwa ayahnya datang berkunjung, Bin Biauw isteri ketua Cin-ling-pai itu meloncat bangun dengan wajah gembira. Mereki semua menyongsong keluar dan dengan gembira kakek itu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam. Kembali keluarga ketua Cin-ling-pai itu, ditemani oleh Tan Siang Wi dan sekali ini ditambah lagi dengan ayah mertua sang ketua, berkumpul di dalam ruangan.
Kakek itu sudah tua sekali, usianya sudah delapan puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih nampak sehat berisi. Bentuk tubuhnya pendek tegap, kepalanya botak dan hampir gundul. Sedikit rambut yang menghias di belakang kepalanya sudah berwarna putih semua.
Inilah dia to-koh persilatan yang pernah merajai lautan timur dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur), seorang berbangsa Jepang yang tadinya bernama Minamoto kemudian berobah menjadi Bin Mo To. Kakek ini dahulu merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal, menguasai wilayah timur di sepanjang pantai laulan.
Akan tetapi setelah puterinya, Bin Biauw yang merupakan anak tunggalnya, berjodoh dengan keluarga Cia dari Cin-ling-pai, dia mencuci tangan dan meninggalkan julukannya, bahkan membubarkan perkumpulan Mo-kiam-pang yang dipimpinnya. Dia cukup kaya sehingga biarpun meninggalkan segala macam pekerjaan haram, dia masih dapat hidup berkecukupan, di kota Ceng-to di Propinsi Shan-tung.
Melihat Hui Song, kakek itu merangkulnya, lalu memegang kedua pundak pemuda itu, mendorongnya agar dia dapat melihat lebih jelas, lalu dia tertawa bergelak dengan gembira sekali.
"Ha-ha-ha, engkau cucuku Hui Song! Ahh, engkau sudah menjadi seorang laki-laki jantan yang amat gagah. Bagus, bagus, aku bangga sekali. Berapa usiamu sekarang, Hui Song?"
"Dua puluh empat tahun, kek."
Kakek itu menggerakkan alisnya yang putih.
"Apa? Dua puluh empat tahun dan engkau belum kawin?" Dia menoleh kepada Siang Wi, lalu menuding. "Apakah dia ini...?"
Wajah Hui Song menjadi merah.
"Tidak, kek, aku belum menikah."
"Aih, bagaimana ini?" Kakek itu menoleh kepada anaknya dan mantunya. "Sudah dua puluh empat tahun dan belum menikah? Aku sudah ingin melihat cucu buyutku."
"Mana ada waktu untuk memikirkan pernikahan?" Bin Biauw mengomel. "Waktunya dihabiskan untuk merantau dan bertualang saja, ayah. Dia baru saja pulang kemarin dari perantauannya yang memakan waktu hampir empat tahun!"
"Ha-ha-ha, merantau dan bertualang amat baik bagi seorang pemuda untuk menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Akan tetapi, menikah juga perlu sekali untuk menyambung keturunan," kata kakek itu.
"Aku juga berpikir begitu, ayah, bahkan muridku ini merupakan calon mantu yang amat baik."
Bin Mo To memandang wajah gadis yang manis itu, yang kini menunduk malu-malu dan dia mengangguk-angguk.
"Engkau tentu lebih pandai memilih..." katanya.
"Aku belum memikirkan tentang pernikahan!" Hui Song berkata, nada suaranya jengkel.
"Nah, itulah ayah, cucumu yang keras kepala. Kalau diajak bicara tentang pernikahan, nampak tidak senang, dan senangnya hanya bicara tentang pemberontakan dan petualangan saja," kata Bin Biauw.
"Pemberontakan? Apa yang dimaksudkan dengan pemberontakan? Siapa yang hendak memberontak?" Kakek itu bertanya dengan penuh perhatian, agaknya dia tertarik sekali.
"Entahlah, katanya para tokoh hitam ingin melakukan pemberontakan terhadap kerajaan dan dia berkeras hendak menentang komplotan itu."
Kakek itu menarik napas panjang.
"Ahh... sungguh berbahaya sekali...!" kakek itu berkata, memandang kepada mantunya dengan mata penuh tanda tanya.
"Saya sudah melarangnya, ayah. Cin-ling-pai tidak pernah mencampuri urusan pemerintah," kata Cia Kong Liang.
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu memandang kepada Hui Song yang diam saja.
"Hui Song, benarkah bahwa engkau bermaksud membantu kaisar dan menentang mereka yang hendak memberontak terhadap kaisar?"
Pemuda itu mengangguk, mengharap bantuan kakeknya dalam hal ini untuk menghadapi kekakuan ayahnya.
"Kong-kong, dalam perantauanku aku melihat dan mendengar sendiri adanya para datuk kaum sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang merencanakan pemberontakan terhadap kaisar. Tidak benarkah kalau aku membantu pihak yang akan melindungi kerajaan dan menentang usaha pemberontakan itu?"
"Ha-ha-ha, tentu saja, cucuku. Engkau benar, dan searang pendekar memang sepatutnya kalau berjiwa pahlawan, membela negara nusa dan bangsa. Akan tetapi hal ini harus pula diperhitungkan dan dilihat kenyataan bagaimana sifat kaisar atau pemerintah yang dipimpinnya, bagaimana keadaan orang-orang yang memegang tampuk pimpinan itu! Kalau mereka itu lalim, kalau mereka itu menjadi penindas rakyat, apakah kita sebagai pendekar dan pahlawan juga harus membela kelaliman?"
"Nah, dengarkan ucapan kong-kongmu itu Hui Song!" kata Cia Kong Liang. "Terdapat kebijaksanaan dalam kata-kata itu!"
"Akan tetapi, mereka yang hendak memberontak itu adalah datuk-datuk sesat yang amat jahat, kong-kong!" Hui Song membantah.
ASMARA BERDARAH JILID 088(↕)
Kakek itu tersenyum sabar.
"Cucuku, engkau harus dapat membagi-bagi antara perjuangan para pahlawan dan perjuangan para pendekar. Pendekar adalah pembela kebenaran dan keadilan perorangan saja, karena itu dia memang harus memilih mana yang baik mana yang jahat, untuk membela yang baik dan menentang yang jahat. Akan tetapi dalam perjuangan para pahlawan berbeda lagi. Dalam perjuangan itu, untuk sementara sifat-sifat pribadi perorangan tidak masuk hitungan lagi, yang penting adalah membela nusa bangsa dan kepentingan rakyat banyak."
"Jadi... dengan kata lain, kong-kong membenarkan para datuk sesat yang hendak memberontak itu?"
Kakek itu tetap tersenyum ramah.
"Sudah kukatakan tadi, dalam hal ini kita harus memejamkan mata untuk sementara terhadap sifat-sifat pribadi karena hal itu mengenai urusan negara. Yang penting kita melihat keadaan mereka yang memegang tampuk kekuasaan. Bagaimanakah keadaannya? Sepanjang pendengaranku, biarpun kini Liu-thaikam telah tertangkap dan tewas, namun keadaan kerajaan masih penuh dengan kotoran. Hanya beberapa orang menteri saja dan beberapa orang jenderal, yang merupakan pejabat-pejabat bersih. Lainnya bertangan kotor dan semua ini tidak terlepas dari tanggung jawab kaisar.
Sri baginda kaisar masih terlalu muda dan terlalu membiarkan dirinya dimabok kesenangan, tidak memperdulikan pemerintahan. Kalau keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, maka rakyatlah yang akan menderita. Oleh karena itu, kalau terjadi pemberontakan, hal itu kuanggap wajar, sebagai akibat dari tidak baiknya pemerintahan. Bukan berarti bahwa aku membenarkan para pemberontak, akan tetapi jelas bahwa pemerintahan seperti keadaannya sekarang tidak patut memperoleh bantuan para pendekar yang berjiwa patriot!"
"Akan tetapi, kong-kong, bukankah sejak jaman dahulu yang disebut orang gagah dan patriot itu adalah orang-orang yang setia kepada kerajaan dan membela pemerintah mati-matian? Bukankah orang orang seperti itu akan selalu menentang pemberontakan?"
"Hui Song, engkau belum mengerti!" bentak ayahnya. "Seorang patriot adalah seorang gagah yang membela rakyat, membela nusa bangsa! Kalau pemerintahannya baik dan mengangkat nasib rakyat jelata, maka patriot tentu akan membela pemerintah itu mati-matian karena berarti membela rakyat pula. Sebaliknya, kalau pemerintahnya lalim dan dia membantu pemerintah, berarti dia membantu kelaliman dan ikut pula menindas rakyat. Yang seperti ini namanya bukan pahlawan, bukan patriot, melainkan antek-antek pembesar lalim!"
"Akan tetapi, ayah. Yang namanya pemberontak itu, sejak dahulu, bukankah dikutuk dan dianggap pengkhianat dan jahat?"
"Belum tentu! Tidak semua pemberontak jahat. Kalau orang memberontak terhadap pemerintah yang baik, maka jelas bahwa dia jahat dan pamrihnya untuk mencari keuntungan. Akan tetapi kalau dia memberontak terhadap pemerintah yang lalim, dia tidak dapat dinamakan jahat."
"Tapi pemberontak mengobarkan api perang saudara dan mengorbankan banyak harta milik dan nyawa rakyat jelata!"
"Itu pengorbanan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik!" Kakek Bin Mo To menjawab cepat. "Untuk dapat membangun sesuatu yang lebih baik, kita harus berani membongkar yang lama dan buruk dan hal ini selalu mendatangkan pengorbanan. Cucuku, ingat bahwa dalam setiap pergantian kekuasaan, calon kaisar yang setelah menjadi kaisar melakukan perbaikan-perbaikan dan bertindak bijaksana, tadinya adalah seorang pemberontak pula terhadap kekuasaan lama yang lalim."
Hui Song termenung. Kewalahan juga dia dikeroyok oleh ayah dan kong-kongnya, dan kini timbul keraguan dalam hatinya. Gerombolan yang hendak memberontak itu dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang dia ketahui jahat hanya dari pendengaran saja. Akan tetapi Raja Iblis itu adalah seorang bekas pangeran, jadi, bukan tidak mungkin kalau pemberontakannya itu didorong oleh jiwa patriot untuk menghalau kaisar dan antek-anteknya yang tidak memperdulikan nasib rakyat. Dia menjadi bingung, bimbang dan ragu, lalu mengundurkan diri dan menyendiri dalam kamarnya.
Pahlawan! Patriot! Dari manakah la-hirnya sebutan ini dan apakah sesungguhnya arti sebutan itu? Pada umumnya, pengertian kata pahlawan adalah orang yang berjasa terhadap nusa dan bangsa, namanya diagungkan dan dihormati, dicatat dalam sejarah bahkan kadang-kadang diperingati, walaupun hanya sekali setahun dan hanya makan waktu beberapa menit saja. Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah bahwa seorang pahlawan itu dianggap pahlawan oleh seluruh lapisan masyarakat, oleh seluruh bangsa? Ataukah hanya oleh satu golongan saja, satu kelompok saja karena orang yang berjasa itu menguntungkan atau membantu golongannya, kelompoknya?
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa yang dipuja dan diagungkan sebagai pahlawan hanyalah mereka yang dianggap berjasa terhadap golongan yang pada saat itu kebetulan menjadi pemenang saja, kebetulan memegang kekuasaan saja.
Bagaimana dengan mereka yang dahulu dianggap berjasa kepada nusa bangsa oleh golongan lain yang dikalahkan oleh golongan yang kini berkuasa? Mereka sama sekali tidak dinamakan pahlawan, bahkan sebaliknya, dicap sebagai "pengkhianat"! Inilah kenyataan pahit yang harus dapat kita hadapi dengan mata terbuka. Lihatlah keadaan di seluruh dunia. Bukankah demikian pula? Tokoh-tokoh yang tadinya dianggap pahlawan dan patriot terbesar sekalipun, kalau sekali waktu yang memegang kekuasaan adalah pihak yang pernah menjadi lawannya, maka tokoh-tokoh ini lalu dicap pengkhianat, yang masih hidup lalu ditangkap dan kadang-kadang ada pula yang dibunuh, yang sudah mati akan diejek dan dihina namanya!
Dan ini bukan terjadi antara bangsa, melainkan di dalam negeri, antara golongan satu bangsa yang berlainan golongan, berlainan corak pendapat dan gagasannya. Yang tadinya oleh satu golongan diagungkan sebagai pahlawan, oleh golongan lain yang menang dan berkuasa sebagai lawan golongan pertama, dicap pengkhianat dan jahat. Sebaliknya, orang yang oleh golongan pertama tadinya dicap pengkhianat dan pemberontak, setelah golongan orang itu menang, dia akan dipuja sebagai pahlawan, patriot dan sebagainya.
Jelaslah bahwa manusia telah menjadi boneka permainan gagasan mereka sendiri, saling bertentangan, bermusuhan, bunuh-membunuh. Dan seperti biasa, hanya beberapa gelintir orang saja yang duduk di atas mendalangi semua itu, mempergunakan nama rakyat, menyanjung dan memuji rakyat di waktu mereka sedang berjuang untuk merebut kekuasaan dari tangan pihak lawan yang berkuasa, demi memperoleh dukungan dan bantuan rakyat.
Para pejuang dari golongan manapun, yang sedang berusaha menumbangkan kekuasaan yang dianggap lalim, selalu menggunakan nama rakyat sebagai perisai dan senjata untuk mencapai kemenangan.
Demi rakyat, untuk rakyat, demikian semboyan usang yang diulang-ulang sepanjang sejarah. Dan rakyatpun terbujuk, terpukau, tergugah semangatnya mmbantu para "patriot yang berjuang demi keadilan dan kebenaran, demi rakyat" itu. Akan tetapi bagaimanakah kalau perjuangan itu sudah berhasil baik dan selesai? Lagu lama!
Sekelompok orang yang berada di tingkat atas itulah, bersama para pembantunya, yang akan menikmati hasil kemenangan itu. Mereka akan berkuasa membagi-bagi kedudukan seperti orang membagi-bagi warisan diantara mereka. Dan rakyat? Rakyat yang paling menderita, berkorban menyerahkan harta milik dan darah dalam perjuangan merebut kekuasaan itu? Lagu lama pula! Rakyat hanya menerima janji-janji sedangkan yang mati akan diperingati setahun sekali untuk beberapa menit. Tapi, apa yang dapat dilakukan rakyat terhadap golongan yang berkuasa? Di mana-mana yang berkuasa itu sama saja. Tidak mau salah, tidak mau kalah, apa pula mengalah. Yang menentang, walaupun dia dahulu membantu dalam perjuangan, akan dicap pengacau dan pemberontak. Hal ini dapat dibuktikan dan dilihat dalam sejarah.
Rakyat tertekan lagi. Lalu muncul lagi golongan baru yang kembali mengulang sejarah usang. Mereka yang baru muncul ini, seperti dahulu, seperti mereka yang kini berkuasa, akan menggandeng rakyat untuk menentang mereka yang kini berkuasa, menuduh pemerintah lalim dan kembali semboyan usang demi rakyat, demi keadilan dan kebenaran, terulang lagi!
Berbahagialah rakyat kalau ada sekelompok pemimpin yang berjuang dengan dasar demi rakyat secara murni, bukan demi rakyat sebagai semboyan dan slogan kosong belaka. Kalau ada sekelompok pemimpin seperti itu, yang tidak mementingkan diri pribadi, tidak hanya mendahulukan kemuliaan, kekayaan dan kesenangan diri pribadi, melainkan para pemimpin yang benar-benar berjuang dan berusaha demi kepentingan rakyat, maka negara itu pasti akan makmur dan rakyat pasti akan hidup dengan tenteram dan makmur.
Malam itu Hui Song tak dapat tidur, gelisah dicekam keraguan dan kebingungan. Sebagai seorang muda, dia merasa penasaran dan ingin menyelidiki sendiri. Ingin dia melihat sendiri siapakah yang benar. Pendapat ayah ibu dan kakeknya, ataukah pendapat Dewa Kipas dan golongannya? Dia harus pergi, sekarang juga, untuk melakukan penyelidikan sendiri.
Pada keesokan harinya, ketua Cin-ling-pai dan isterinya hanya menemukan sesampul surat di dalam kamar Hui Song. Dalam surat itu Hui Song mohon maaf dari ayah ibunya dan bilang bahwa dia ingin melakukan penyelidikan tentang usaha pemberontakan yang dipimpin para datuk sesat itu.
"Saya akan menyelidiki dengan seksama sebelum mengambil keputusan apa yang akan saya lakukan terhadap pemberontakan itu," demikian Hui Song mengakhiri suratnya.
"Anak bandel!"
Cia Kong Liang mengepal tinju dengan marah, dan isterinya menangis. Anak tunggal yang baru saja tiba setelah pergi bertahun-tahun, hanya semalam saja tinggal di rumah lalu pergi lagi tanpa pamit, entah ke mana.
"Ah, sudahlah. Tidak aneh kalau putera kalian haus akan petualangan. Bukankah kematangan seorang pendekar juga hanya bisa didapat melalui pengalaman? Biarkan Hui Song memperdalam pengetahuannya dalam perantauan," kata Bin Mo To menghibur.
"Tapi, ayah. Aku ingin melihat dia menikah atau setidaknya bertunangan dulu dengan muridku Siang Wi. Eh, mana Siang Wi...?"
Isteri ketua Cin-ling-pai itu memanggil-manggil muridnya, akan tetapi tidak nampak bayangan Siang Wi. Ketika para murid Cin-ling-pai ditanya, mereka mengatakan bahwa sejak pagi mereka tidak pernah melihat Hui Song maupun Siang Wi.
"Jangan-jangan muridmu itu pergi bersama puteramu," kata Bin Mo To.
"Entahlah... akan tetapi baik sekali kalau memang begitu. Aku senang sekali kalau mereka pergi berdua meluaskan pengalaman. Kuharap saja dugaanmu itu benar, ayah," kata Bin Biauw.
Selanjutnya, dalam percakapan diantara mereka, kakek Bin Mo To perlahan-lahan membujuk mantunya untuk mendukung setiap perjuangan menentang kaisar.
"Setiap usaha menentang pemerintahan yang buruk patut didukung oleh orang orang gagah. Dan perjuangan menentang kelaliman, siapapun juga yang memimpin perjuangan itu, adalah usaha yang benar dan baik," antara lain Bin Mo To berkata dengan nada suara serius.
Mendengar ucapan ayahnya dan melihat sikap ayahnya sejak kemarin jelas mendukung pemberontakan terhadap kaisar, Bin Biauw mengerutkan alisnya dan memandang ayahnya dengan heran.
"Ayah, ada apa pulakah ini? Bukankah sejak puluhan tahun, semenjak aku menikah, ayah telah mencuci tangan dan tidak ingin mencampuri lagi segala urusan dunia? Kenapa kini tiba-tiba saja ayah begitu menaruh perhatian terhadap usaha pemberontakan itu dan mendukungnya?"
Bin Mo To tersenyum. Anaknya ini memang cerdik sekali dan agaknya sudah amat mengenal gerak-geriknya. Memang tepat sekali apa yang diduga dan ditanyakan Bin Biauw tadi. Dia memang menaruh perhatian besar, bahkan mendukung gerakan itu.
Kiranya, gerakan yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, setelah diadakan pertemuan antara para datuk sesat, telah mengguncangkan dunia kaum sesat. Berita itu disambut dengan ramai dan di daerah Ceng-tao juga terguncang oleh berita itu. Biarpun Bin Mo To sudah lama mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, akan tetapi dia tetap saja dikenal dan disegani oleh para tokoh hitam di wilayah pantai timur. Bekas kawan-kawan kakek itu datang berkunjung dan urusan gerakan pemberontakan itu mereka bicarakan.
Mendengar bahwa gerakan itu dipimpin Raja Iblis yang sesungguhnya juga seorang pangeran bernama Toan Jit-ong, dan memperoleh dukungan Cap-sha-kui dan sebagian besar para datuk dan tokoh sesat, Bin Mo To tertarik sekali. Dia sendiri sudah tua akan tetapi dia ingat akan mantunya. Dia sama sekali tidak ingin menentang kerajaan karena bujukan atau karena paksaan, melainkan ada suatu hal yang mendorongnya. Dia sudah muak akan kekayaan yang dirasakannya tidak mampu mendatangkan kabahagiaan.
Kini dia ingin melihat mantunya, sebagai suami anaknya, dapat meraih kedudukan. Kalau orang seperti mantunya, ketua Cin-ling-pai, dapat ikut membantu perjuangan, dan kelak kalau pemberontakan itu berhasil, tentu mantunya akan memperoleh pangkat tinggi. Dan anaknya akan terangkat dalam kemuliaan, juga dia sebagai mertua akan ikut pula naik derajatnya! Inilah sebabnya mengapa Bin Mo To datang mengunjungi mantunya dan kebetulan sekali cucu dan mantunya bicara tentang pemberontakan. Kini dia memperoleh jalan untuk membujuk mantunya.
"Anakku, ayahmu ini sudah tua, mana ada tenaga lagi untuk ikut berjuang? Perjuangan adalah untuk yang muda-muda. Akan tetapi, aku hanya dapat mendukung dalam batin. Dan siapa yang tidak akan mendukung perjuangan menumbangkan kekuasaan lalim karena hal itu berarti membebaskan rakyat dari kelaliman pemerintah?" demikian dia menjawab pertanyaan-pertanyaan puterinya tadi.
"Akan tetapi, sepanjang pendengaran saya, Kaisar Ceng Tek bukan seorang kaisar lalim, hanya masih terlalu muda sehingga dia lemah dan mudah dipermainkan oleh para pejabat tinggi yang membantunya," kata Cia Kong Liang.
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Mungkin benar, akan tetapi kalau dia lemah dan membiarkan para pejabat merajalela dengan kelaliman mereka, apa bedanya? Tetap saja rakyat yang tertindas, dan hal itu berarti bahwa kaisar yang bersalah karena dia harus bertanggung jawab atas kelaliman para pembantunya."
Bin Mo To terus membujuk mantunya, dan dibantu oleh Bin Biauw yang memihak ayahnya, akhirnya Cia Kong Liang tertarik juga dan berjanji akan membantu kelak kalau saatnya telah tiba.
ASMARA BERDARAH JILID 089(↕)
Hati Hui Song masih diliputi rasa penasaran dan dia nampak termenung ketika dia berjalan seorang diri melalui jalan raya yang kasar dan sunyi itu. Hari itu amat panas dan perutnya terasa amat lapar. Tengah hari sudah lewat dan dusun di depan sudah nampak genteng-gentengnya.
Sudah tiga hari dia meninggalkan Cin-ling-san dan kini Gunung Cin-ling-san sudah tertinggal jauh di belakang, hanya nampak puncaknya saja dari situ. Dia merasa penasaran dan gelisah. Benarkah ayahnya dan kakeknya dan salahkah gurunya Si Dewa Kipas, juga Dewa Arak yang menjadi guru Sui Cin? Benarkah ayah dan kakeknya bahwa pemerintah tidak baik dan sudah sepatutnya kalau ditumpas?
Akan tetapi... membantu gerakan gerombolan seperti Cap-sha-kui itu? Ah, tidak mungkin dapat dia lakukan! Orang-orang seperti mereka itu amat jahat dan perjuangan murni bagaimanapun yang menjadi alasannya, dia tidak sudi bekerja sama dengan kaum sesat itu. Dan diapun yakin bahwa Sui Cin juga tidak mungkin sudi membantu para datuk hitam itu. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh sembrono, tidak boleh secara membuta membenarkan satu pihak saja tanpa penyelidikan sendiri.
Dia tahu bahwa kaisar memang dikelilingi pembesar lalim dan korupsi merajalela di seluruh negeri. Setiap orang pejabat disangsikan kejujurannya karena terlalu banyak pejabat yang mempergunakan hak dan kekuasaannya untuk menindas dan untuk mengeruk kekayaan bagi diri sendiri.
Pada jaman itu, sukarlah ditemukan pejabat yang jujur dan benar-benar merupakan pelindung rakyat. Dan memang sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kebobrokan ini, akan tetapi dia sangsi apakah tepat kalau dia membantu pemberontakan para datuk sesat, walaupun pemberontakan itu berdalih mengenyahkan pemerintah lalim. Sukar dia membayangkan sebuah pemerintahan baru yang lebih baik kalau kekuasaan berada di tangan para datuk sesat!
Dia sudah mendekati dusun di depan ketika terdengar derap kaki kuda dari arah belakangnya. Hui Song cepat minggir karena jalan itu sempit, memberi kesempatan kepada si penunggang kuda untuk lewat lebih dulu. Dan ternyata kuda itu lewat dengan cepat di sampingnya, seekor kuda yang besar dan baik. Hui Song dapat mengenal kuda baik, akan tetapi begitu penunggang kuda lewat di sampingnya, hidungnya mencium bau yang harum sekali, membuat dia memperhatikan si penunggang kuda.
Seorang wanita muda yang berwajah cantik, bertubuh ramping dengan pakaian yang sederhana potongannya namun bersih dan baru dan minyak wangi yang dipergunakan wanita itu sungguh harum. Wajah gadis ini mengingatkan Hui Song kepada Sui Cin karena memiliki ciri kecantikan yang sama. Rambutnya hitam panjang, berjuntai di punggung dan diikat pita merah. Bagian atasnya yang tidak tertutup menjadi kusut karena tiupan angin, namun kekusutan itu tidak mengurangi kecantikannya, bahkan menambah manis.
Sebatang bunga putih menghias di atas telinga kirinya. Telinganya memakai anting-anting emas dan selain itu tidak ada perhiasan menempel di tubuhnya. Yang membuat gadis itu nampak lebih manis adalah sebuah tahi lalat hitam yang menghias di atas dagu sebelah kiri, agak di bawah mulut.
Dan ketika gadis itu mengerling ketika lewat, Hui Song merasa jantungnya berdebar. Lirikan itu sungguh tajam dan mengandung banyak arti, lirikan yang dapat dikatakan genit memikat! Lirikan yang dihias senyum membayang pada bibir yang tipis merah membasah itu.
Dan ketika kuda itu sudah lewat, dari belakang Hui Song dapat melihat betapa gadis itu memiliki pinggang yang amat ramping dan pinggulnya menari-nari di atas punggung kudanya ketika kuda itu berlari congklang.
Agak sukar menduga orang macam apa adanya gadis itu. Usianya tentu tidak kurang dari dua puluh empat tahun. Melihat pakaiannya yang cukup sederhana, dengan baju luar berkembang, ia seperti seorang gadis dusun biasa saja. Akan tetapi perawatan mukanya menunjukkan bahwa ia seorang gadis kota. Ia tidak membawa senjata, seperti seorang gadis lemah biasa saja, akan tetapi melihat cara ia menguasai kudanya, membayangkan bahwa ia bukan seorang gadis yang begitu lemah, dan terutama sekali jelas bahwa ia menguasai ilmu menunggang kuda dengan cukup baik.
Kuda dan penunggangnya itu bersembunyi di balik debu yang ditimbulkan oleh kaki kuda dan akhirnya menghilang di balik pagar tembok dusun, melalui pintu gerbang yang terbuka lebar.
Hui Song sudah melupakan gadis itu ketika dia memasuki dusun, sebuah dusun yang cukup besar dan hatinya girang melihat bahwa di dalam dusun Lok-cun itu terdapat rumah penginapan dan juga terdapat sebuah restoran yang cukup besar. Setelah memesan sebuah kamar dalam rumah penginapan sederhana itu, dia lalu keluar memasuki kedai makan yang cukup besar dan ramai dikunjungi tamu. Ada belasan meja di situ dan lebih dari setengahnya diduduki tamu yang makan sore.
Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan melihat sikap mereka yang bebas mudah diduga bahwa mereka adalah langganan-langganan restoran itu. Akan tetapi di sudut yang terpisah Hui Song melihat dua orang kakek duduk berhadapan dan keadaan kakek itu menarik perhatiannya sehingga diapun memilih meja yang tidak berjauhan dengan dua orang tamu itu, hanya terpisah dua meja kosong.
Dua orang kakek itu berusia kurang lebih enam puluh tahun. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus dan tubuh itu nampak menjadi semakin jangkung karena dia memakai sebuah topi hitam yang tinggi, topi seperti yang biasa dipakai oleh tosu atau kepala agama atau pertapa. Jubahnya juga lebar dan kedodoran menutupi semua tubuhnya dari leher sampai kaki yang mengenakan sepatu kulit setinggi betis. Rambutnya panjang dibiarkan terurai di depan dan belakang, mencapai dadanya. Tubuhnya yang kurus itu seperti tulang dibungkus kulit, seperti tengkorak berkulit, dengan sepasang mata kecil yang dalam. Kumis dan jenggotnya membentuk lingkaran hitam di sekeliling mulutnya.
Adapun orang kedua tidak kalah anehnya. Orang ini tubuhnya besar dan perutnya gendut, dibiarkan perutnya itu nampak karena bajunya terbuka tanpa kancing, atau kancingnya agaknya sudah putus semua karena besarnya perut, atau memang baju itu kurang lebar untuk dapat menutupi perutnya. Perut gendut dan dadanya terbuka. Jubahnya juga lebar dan panjang di bagian belakang, sampai hampir menyentuh tanah. Sebuah guci arak tergantung di pinggang kanan. Kepalanya yang bundar itu dicukur gundul kecuali di tengah-tengah, di atas ubun-ubun terdapat segumpal rambut yang diikat dengan tali kasa.
Kakek ini seperti hwesio akan tetapi bukan hwesio sedangkan temannya itu seperti tosu akan tetapi bukan tosu. Pada jaman itu, banyak para pendeta dan pertapa yang meninggalkan pantangan makan daging dan berkeliaran memasuki rumah-rumah makan, maka kehadiran dua orang itupun tidak menimbulkan perhatian orang.
Namun tidak demikian bagi Hui Song. Pemuda ini amat tertarik dan menaruh perhatian karena sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, dari sinar mata, gerak-gerik dan sikap dua orang kakek itu, dia dapat menduga bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan.
Tiba-tiba percakapan di sebelah kirinya diantara empat orang muda yang sudah setengah mabok menarik perhatian Hui Song. Pesanan makanan sudah dihidangkan dan sambil makan diapun memasang telinga mendengarkan percakapan yang terdengar cukup lantang, dan jelas dapat dikenal suara orang setengah mabok.
"Huh, di jaman seperti sekarang ini, mana ada orang benar?" terdengar suara yang lantang seorang pemuda bermuka hitam. Dengan kepala bergoyang-goyang dan mulut menyeringai tanda kemabokannya, dia melanjutkan. "Sekarang ini jamannya pagar makan tanaman, mereka yang menjadi pelindung malah mengganyang yang dilindungi sendiri. Tidak ada orang dapat dipercaya sekarang ini!"
"Benar, benar! Jamannya sudah berubah, penjahat-penjahat kabarnya berjiwa patriot, sebaliknya orang-orang yang menjadi pendeta melakukan hal-hal memalukan. Lihat saja, di mana-mana terdapat pendeta-pendeta yang lahap makan daging dan mabok-mabokan minum arak, huh!"
Mudah saja diketahui bahwa orang kedua yang mukanya kekuningan ini dalam maboknya telah menyindir dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan hwesio itu. Empat orang pemuda itupun melirik ke arah dua orang kakek itu penuh ejekan, sedangkan Hui Song juga mengamati dari sudut kerlingnya.
Diam-diam Hui Song mencela empat orang pemuda mabok-mabokan ini yang tak tahu diri, tidak mengenal gelagat berani sekali menyinggung dua orang kakek yang sama sekali tidak pernah mengganggu mereka itu. Dan dia khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu marah.
Akan tetapi dari kerling matanya dia melihat bahwa dua orang kakek itu diam saja, seolah-olah tidak mendengar percakapan lantang itu dan melanjutkan makan minum tanpa memberi komentar, bahkan sedikitpun juga tidak menoleh ke arah meja empat orang yang menyindir mereka itu.
Agaknya mereka sudah selesai makan sekarang. Keduanya bangkit berdiri, membayar harga hidangan lalu melangkah keluar. Ketika mereka berjalan menuju keluar pintu, mereka melewati meja Hui Song. Tiba-tiba pemuda itu terkejut bukan main karena ketika dua orang itu lewat, dia merasa ada dua hawa yang amat berlainan.
Si jangkung berjalan di depan dan ketika dia lewat, Hui Song merasakan hawa yang amat panas lewat pula, sebaliknya ketika si gendut yang lewat, ada hawa yang amat dingin. Akan tetapi Hui Song belum menduga buruk, dan kedua orang itu kini lewat di dekat meja empat orang muda yang masih bercakap-cakap dengan asyik dan melirik ke arah dua orang kakek itu dengan mulut menyeringai penuh ejekan. Tidak terjadi sesuatu dan dua orang kakek itupun tidak kelihatan bergerak melakukan serangan.
Akan tetapi setelah tiba di ambang pintu, mereka menoleh dan tiba-tiba empat orang pemuda itu mengeluarkan teriakan-teriakan kesakitan dan merekapun terguling roboh. Kursi-kursi mereka terbawa roboh dan semua tamu tentu saja memandang terbelalak melihat betapa empat orang muda itu berkelojotan dan mata mereka mendelik, dari mata, hidung, mulut dan telinga keluar darah!
Karena tidak menaruh curiga, tidak seorangpun diantara para tamu itu menoleh kepada dua orang kakek. Akan tetapi Hui Song memandang kepada mereka dan melihat betapa mereka itu melepas senyum keji lalu mereka membalik dan terus melangkah lebar keluar dari rumah makan itu.
Hui Song cepat meninggalkan mejanya setelah meninggalkan harga makanan di atas meja. Sekali melewati empat orang yang kini sudah tidak bergerak lagi dan sudah tewas itu tahulah dia tanpa memeriksa bahwa empat orang itu tewas karena pukulan beracun atau senjata gelap beracun, maka diapun langsung saja mengejar keluar. Dia celingukan dan akhirnya dia melihat bayangan dua orang yang dicarinya itu, sudah jauh di depan, mendekati pintu gerbang dusun Lok-cun. Diapun cepat melakukan pengejaran.
Tepat seperti yang telah diduganya, dua orang kakek itu ternyata lihai. Begitu tiba di luar dusun, mereka berdua lalu berkelebat dan berlari cepat sekali, bagaikan terbang saja!
Akan tetapi, Hui Song adalah seorang pendekar muda gemblengan yang telah mewarisi bermacam ilmu yang hebat-hebat. Apalagi selama tiga tahun dilatih Si Dewa Kipas, dia telah memperoleh kemajuan pesat dan latihan beban besi pada kedua kakinya kini membuat gin-kangnya juga memperoleh kemajuan. Ketika dia meloncat dan berlari, tubuhnya amat ringan dan diapun dapat berlari amat cepatnya melakukan pengejaran.
Dua orang kakek itu agaknya maklum bahwa ada orang yang mengejar, karena mereka itu tiba-tiba membelok memasuki hutan dan gerakan lari mereka semakin cepat. Hui Song terus mengejar dan akhirnya, karena makin lama jarak diantara mereka semakin dekat, tiba-tiba dua orang yang merasa tidak akan dapat melepaskan diri dari pengejarannya, berhenti di sebuah tempat terbuka yang merupakan padang rumput kecil diantara hutan di lereng bukit itu. Mereka berdiri tegak dan mengambil sikap menantang, juga sinar mata mereka membayangkan kemarahan.
Begitu Hui Song tiba di depan mereka, kedua orang kakek itu memandang dengan penuh selidik, kemudian si jangkung yang mukanya kelihatan kering dan galak itu menegur,
"Orang muda, siapakah engkau dan kenapa engkau mengikuti dan mengejar kami?"
Hui Song maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang pandai. Dia tidak mau bersikap sembrono sebelum mengenal mereka dan tahu mengapa mereka membunuh orang-orang sedemikian mudah dan kejinya, maka diapun menjura dengan hormat.
"Harap ji-wi locianpwe suka memaafkan kalau aku bersikap kurang hormat dan melakukan pengejaran. Secara kebetulan aku melihat ji-wi melakukan pembunuhan di dalam restoran terhadap empat orang itu..."
"Hemm, engkau yakin bahwa kami yang membunuh mereka?" tanya si gendut.
"Pembunuhan itu dilakukan dengan serangan beracun dan hanya ji-wi yaqg mampu melakukan serangan seperti itu. Mengapa ji-wi membunuh mereka?"
Dua orang kakek itu saling pandang, nampaknya terkejut melihat betapa pemuda yang pandai berlari cepat ini ternyata bermata tajam. Si jangkung lalu menarik napas panjang dan berkata dengan nada suara menantang,
"Baik, memang kami yang membunuh mereka. Habis, kau mau apa? Siapa engkau?"
Hui Song mulai mengerutkan alisnya. Jawaban kedua orang ini sungguh merupakan tantangan dan sikap mereka bukan seperti sikap orang baik-baik. Akan tetapi dia masih tersenyum dan menjawab,
"Namaku Cia Hui Song dan kalau benar ji-wi yang membunuh mereka, aku ingin sekali mengetahui mengapa ji-wi melakukan pembunuhan sedemikian keji. Apakah hanya karena ucapan yang mereka keluarkan di restoran itu?"
ASMARA BERDARAH JILID 090(↕)
"Ha-ha, engkau sudah tahu akan tetapi masih juga bertanya. Telingamu sendiri tentu sudah menangkap penghinaan mereka yang ditujukan kepada kami," kata si gendut dan perutnya bergerak aneh, seperti ada seekor kelinci besar yang hidup di dalam perutnya dan kini berlari ke sana-sini. Melihat ini, Hui Song terkejut. Si gendut ini memiliki sin-kang yang amat kuat, pikirnya.
"Kalau hanya ocehan orang-orang yang mabok saja membuat ji-wi demikian ringan tangan membunuh orang, sekaligus empat nyawa, sungguh aku tidak dapat menerimanya begitu saja," katanya dan sinar matanya mencorong menyambar ke arah wajah kedua orang kakek itu yang kelihatan terkejut sekali.
Baru sekarang mereka melihat betapa sepasang mata pemuda itu mencorong seperti itu, juga mereka berpikir-pikir mendengar nama keturunan Cia itu, diam-diam menduga-duga apakah pemuda ini ada hubungannya dengan keluarga Cin-ling-pai yang juga she Cia.
"Bagus, bagus! Engkau orang muda yang bernyali besar! Kami sudah membunuh empat orang lancang mulut dan kurang ajar itu. Nah, kalau engkau tidak dapat menerimanya, habis engkau mau apa?" tantang lagi si jangkung sambil bertolak pinggang di sebelah dalam jubahnya dengan cara menyisipkan tangannya ke dalam jubah.
Hui Song yang bermata tajam melihat gerakan tak wajar ini dan dia sudah bersikap waspada dan siap siaga.
"Ji-wi sebagai pembunuh-pembunuh harus ikut bersamaku untuk menyerahkan diri kepada petugas keamanan. Kejahatan yang ji-wi lakukan harus diadili."
Dua orang itu saling pandang lalu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha!" Si gendut berkata. "Engkau ini seperti seekor burung yang baru turun dari sarang dan belajar terbang, tidak mengenal peraturan kang-ouw. Bagi kami, hukum berada di tangan kami sendiri. Siapa bersalah terhadap kami akan kami hukum sendiri dan tidak ada pengadilan yang boleh mengadili kami!"
Tentu saja Hui Song sudah mengenal kehidupan dunia kang-ouw yang tidak mengenal hukum pemerintah itu.
"Karena itulah maka aku harus menentang kejahatan yang tidak diadili. Ji-wi membunuh orang tak berdosa, tak mungkin dapat dilepaskan begitu saja tanpa hukuman..."
Tiba-tiba tangan kiri yang tadinya menyusup ke balik jubah itu bergerak dan Hui Song cepat meloncat ke samping, membiarkan tiga sinar menyambar lewat. Itulah pisau-pisau kecil yang menyambar cepat sekali dan bau amis yang tercium olehnya ketika pisau-pisau itu lewat, tahulah dia bahwa senjata-senjata rahasia itu beracun.
Akan tetapi yang mencabut nyawa empat orang di dalam restoran itu bukanlah senjata seperti ini, melainkan lebih kecil lagi atau mungkin juga hanya pukulan jarak jauh yang mengandung racun.
"Kau bocah yang bosan hidup!" melihat pemuda itu dapat menghindarkan serangan gelap kawannya, si gendut membentak dan kedua tangannya bergerak ke depan, dengan jari-jari terbuka dia memukul dengan gerakan mendorong ke arah dada Hui Song.
Angin pukulan dahsyat menyambar ke depan dan mengeluarkan hawa dingin! Hui Song mengenal pukulan ampuh yang mengandung sin-kang kuat, maka diapun mengerahkan tenaga dan menyambut dengan kedua tangan pula.
"Syuuuttt... dukkk...!"
Dua tenaga dahsyat bertemu di udara dan biarpun tangan mereka belum bersentuhan, masih dalam jarak beberapa senti, namun benturan tenaga sin-kang dahsyat itu sudah memperlihatkan akibatnya. Tubuh si gendut terpental ke belakang dan Hui Song tetap tegak walaupun tubuhnya terguncang hebat.
Dua orang kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran, lalu merekapun melompat dan melarikan diri! Hui Song tidak mengejar. Dia maklum bahwa dua orang kakek itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amatlah berbahaya mengejar dua orang selihai itu padahal mereka sudah melarikan diri dan agaknya tidak menginginkan permusuhan dengan dirinya.
Bagaimanapun juga, empat orang itu telah tewas dan dia bukan seorang petugas keamanan. Andaikata empat orang itu belum tewas dan berada dalam ancaman bahaya, sudah menjadi tugasnya untuk melindungi mereka. Akan tetapi, mereka telah tewas karena kelancangan mulut mereks sendiri.
Sambil menduga-duga siapa adanya dua orang kakek yang seperti pendeta akan tetapi mempunyai watak seperti iblis kejamnya itu, mudah membunuh orang hanya karena urusan amat kecil, dia lalu kembali memasuki dusun Lok-cun. Matahari sudah condong ke barat ketika dia memasuki dusun dan menuju ke rumah penginapan dimana dia sudah menyewa sebuah kamar.
Bagaimanapun juga, hati Hui Song tertarik sekali dengan keadaan dusun ini. Dusun yang kecil saja akan tetapi cukup ramai karena di sekitar bukit itu terdapat bukit yang menghasilkan banyak rempah-rempah sehingga penduduknya cukup makmur.
Yang menarik hatinya adalah munculnya dua orang kakek itu di tempat kecil seperti ini. Setelah mandi dan makan malam, dia mencari keterangan kepada pelayan penginapan itu tentang keadaan dusun dan terutama sekali dia menyelidiki apakah di tempat itu terdapat kuilnya mengingat bahwa dua orang kakek itu berpakaian seperti pendeta.
"Dahulu memang terdapat sebuah kuil di pinggir dusun sebelah selatan," pelayan itu menerangkan, "akan tetapi semenjak empat lima tahun ini, kuil itu kosong, bahkan tidak ada orang berani mendekati, terutama sekali di waktu malam."
"Eh, kenapa?" Hui Song bertanya.
"Karena... tempat itu angker, ada setannya."
"Hemm, benarkah itu? Ada setannya bagaimana dan mengapa kuil itu ditinggalkan? Kemana perginya para pendetanya?"
"Kuil itu dahulu adalah kuil Kwan Im Po-sat yang diurus oleh lima orang nikouw, yaitu seorang nikouw tua bersama empat orang muridnya yang usianya kira-kira tiga puluh tahun. Akan tetapi pada suatu malam, terdengar jeritan-jeritan dari kuil itu dan pada keesokan harinya, kami para penduduk melihat mereka berlima telah tewas dalam keadaan mengerikan!" Pelayan itu bergidik dan kelihatan ketakutan.
"Bagaimana? Terbunuhkah?"
"Mereka terbunuh... dan agaknya iblis-iblis saja yang dapat melakukan pembunuhan itu. Kepala mereka berobah hitam membengkak, dan empat orang nikouw muda itu kesemuanya telanjang bulat."
Hui Song mengerutkan alisnya. Bukan iblis, pikirnya, melainkan orang atau orang-orang yang amat kejam dan jahat, dan bukan tidak mungkin empat orang nikouw muda itu diperkosa penjahat sebelum mereka dibunuh.
"Dan semenjak peristiwa itu, kuil itu dibiarkan kosong dan sekarang seperti keteranganmu tadi, ada setannya? Bagaimana pula itu?"
Pelayan itu mengangguk-angguk.
"Para penduduk mengurus jenazah mereka dan sejak hari itu, kuil dibiarkan kosong dan tidak ada yang berani tinggal, bahkan mendekatipun tidak berani, apalagi di waktu malam. Sering terdengar suara-suara aneh dan nampak bayangan-bayangan setan di sekitar kuil. Bahkan beberapa orang pemberani yang mengumpulkan tenaga sebanyak sepuluh orang pernah tidur di sana untuk membuktikan dan mereka semua tertidur pulas atau pingsan dan tahu-tahu tubuh mereka digantung di atas pohon, dengan kaki di atas dan kepala di bawah!"
"Mati...?" tanya Hui Song kaget.
"Tidak, hanya pingsan. Akan tetapi tentu saja hal itu membuat kami semua makin takut dan sejak itu tidak ada orang berani mencoba-coba mendekati kuil di waktu malam, apalagi tidur di situ."
Mendengar keterangan ini, Hui Song makin tertarik. Hampir yakin hatinya bahwa tempat itu tentu saja menjadi tempat yang amat baik bagi orang-orang jahat untuk menyembunyikan diri mereka. Dan dia teringat akan dua orang kakek siang tadi. Bukan tidak mungkin kalau mereka itupun mempergunakan tempat yang ditakuti orang itu untuk bersembunyi atau setidaknya melewatkan malam.
Malam itu Hui Song keluar dari penginapan dan berjalan menuju ke selatan. Setelah tiba di depan kuil, dia melihat bahwa tempat itu memang terpencil dan sunyi. Gelap sekali di situ, dan kuil itu nampak sunyi kosong dan menyeramkan. Pohon-pohon besar yang tumbuh di depan dan kanan kiri kuil menambah keseraman. Batang-batang pohon itu nampak kehitaman dan cabang serta ranting-ranting yang belum lebat menutupi sebagian genteng kuil yang nampak masih kokoh namun kotor tidak terpelihara itu.
Memang sebuah tempat yang amat sunyi, juga menyeramkan apalagi kalau mengandung cerita tentang setan-setan. Baru mengingat akan kematian lima orang nikouw itu saja sudah mendatangkan kengerian, apalagi sudah terjadi keanehan pada sepuluh orang pemberani yang berani tidur di situ. Di pohon-pohon itukah mereka kedapatan tergantung dengan kepala di bawah?
Hui Song mengayun tubuhnya, meloncat ke atas pohon dan mengintai. Sampai beberapa lama dia mengintai dengan sembunyi di atas cabang, di balik daun-daun lebat. Namun tidak nampak sesuatu dan tidak terdengar sesuatu dari dalam kuil. Ketika dia memandang dari atas ke arah empat penjuru, nampak kelap-kelip sinar lampu rumah-rumah agak jauh dari kuil, sedangkan di kuil dan sekelilingnya sunyi saja, sunyi dan gelap.
Malam makin larut dan kini nampak bulan sepotong tersembul naik dari awan-awan gelap yang menutupinya. Awan-awan terakhir meninggalkannya sehingga kini cahaya bulan menerangi pohon dan genteng kuil, cukup terang bagi Hui Song sehingga dia dapat melihat berkelebatnya bayangan orang! Bukan setan, melainkan orang!
Tentu saja, kalau ada penduduk dusun yang kebetulan melihat bayangan itu, akan menyangka bahwa itu adalah bayangan setan karena memang bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya, akan sukar dlikuti oleh pandang mata orang biasa.
Hui Song melihat seorang gadis cantik berhenti di atas wuwungan kuil, setelah tadi gadis itu menjadi bayangan berkelebatan di bawah, kemudian dengan ringan sekali melayang naik. Dan diapun terkejut dan terheran. Dia mengenal gadis ini! Bukan lain adalah gadis penunggang kuda yang melewatinya di luar dusun, ketika dia akan memasuki dusun Lok-cun. Dan kini tidak menunggang kuda, melainkan berlompatan dengan gesit dan ringan. Akan tetapi pakaian yang dipakainya masih seperti tadi. Gadis yang sederhana akan tetapi manis sekali.
Karena kaget tadi, dan karena ingin memandang lebih jelas, Hui Song membuat gerakan sehingga ranting-ranting dari cabang yang diinjaknya bergoyang dan daun-daunnya ikut pula bergoyang. Sedikit saja, seperti goyangan angin, namun cukup bagi wanita itu yang memandang ke sekeliling untuk dapat melihat ketidak wajaran ini. Hanya ranting-ranting di cabang itu yang bergoyang, sedangkan angin tidak ada sedikitpun juga di malam itu.
"Wuuuttt... cit-cittt...!"
Dua sinar putih menyambar ke arah Hui Song ketika gadis itu menggerakkan jari tangan kirinya. Kiranya ada dua batang jarum sulam yang meluncur bagaikan kilat menyambar ke arah tubuh pemuda itu.
"Aihh... galak amat...!"
Hui Song melompat keluar dari balik rumpun daun dan berdiri di atas wuwungan, berhadapan dengan gadis itu sambil tersenyum. Dua batang jarum dia serahkan kepada gadis itu.
"Sayang jarummu ini, nona, engkau akan kehilangan dan tidak dapat melanjutkan pekerjaanmu menyulam."
Dia sudah melihat bahwa jarum itu tidak mengandung racun, maka diapun tidak menyangka buruk.
Dengan pandang mata kagum dan tangan cekatan, gadis itu mengambil kembali dua batang jarumnya dan menyimpannya di dalam saku di balik baju luar.
"Siapa kau?"
"Nanti dulu, nona. Kita sudah saling bertemu di luar dusun dan kenapa engkau begitu mudah menyerangku dengan jarum-jarummu? Kalau aku tidak hati-hati dan jarummu itu menembus kepala atau dadaku, bukankah sekarang juga aku sudah tidak dapat menjawab pertanyaanmu tadi?"
Sejenak sepasang mata yang tajam dan jeli itu menatap wajah Hui Song penuh selidik dan kekerasan, yang tadi membayang di wajah manis itu mulai melembut. Wajah pemuda yang tampan, gagah dan juga penuh senyum itu amat menarik dan mengagumkan hatinya. Akan tetapi ia masih menaruh curiga.
"Engkau memata-matai dan menyelidiki tempatku!" bentaknya.
Hui Song tersenyum dan kembali pada sepasang mata tajam itu terbayang kekaguman. Sungguh ganteng pemuda ini, apalagi kalau tersenyum.
"Nona, menurut cerita orang di dusun ini, kuil ini adalah tempat tinggal para setan. Bagaimana menjadi tempat tinggalmu? Aku yakin engkau bukan setan."
ASMARA BERDARAH JILID 091(↕)
"Untuk sementara aku memilih tempat sunyi ini sebagai tempat berteduh, dan engkau malam-malam begini datang dan bersembunyi di dalam pohon, tentu bermaksud buruk. Agaknya engkau mengandalkan sedikit kepandaianmu menangkap jarum-jarumku. Nah, lihat serangan!"
Gadis itu kembali menjadi galak dan tiba-tiba saja melakukan serangan yang cukup keras dan cepat.
"Dukk! Plakk!"
Hui Song menangkis dua kali dan setiap kali ditangkis, tubuh gadis itu terdorong mundur. Hal ini amat mengejutkan hati gadis itu. Tak disangkanya bahwa pemuda ini benar-benar amat lihai, maka iapun lalu mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya menyambar-nyambar, serangannya semakin hebat dan cepat. Jari-jari tangannya berubah kaku keras dan dia menyelingi pukulan-pukulan dengan cengkeraman atau totokan ke arah jalan-jalan darah yang berbahaya.
Akan tetapi, Hui Song menghadapi semua serangan itu dengan tenang saja. Ia mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis dan tidak pernah membalas.
"Eiiit, perlahan dulu, nona. Kenapa galak amat? Kita tidak pernah bermusuhan, mengapa engkau menyerangku dengan pukulan-pukulan maut? Eiiit, sayang tak kena!"
Nona itu semakin penasaran dan tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah saputangan sutera putih dari lengan bajunya. Saputangan itu dipergunakannya sebagai senjata dan biarpun saputangan itu hanya merupakan kain sutera tipis lemas, namun di tangannya berubah menjadi senjata ampuh, kadang-kadang merupakan cambuk yang melecut dan mengeluarkan suara ledakan, kadang-kadang menjadi kaku dan keras seperti besi baja!
Hui Song masih tetap tenang. Saputangan sutera itu boleh jadi berbahaya bagi lain orang, akan tetapi baginya tidak ada artinya. Pula, dia mendapat kenyataan bahwa saputangan itu tidak mengandung racun, seperti jarum-jarum tadi, maka hatinya semakin senang.
Seorang gadis manis seperti ini tidak mau berlaku curang, tentu seorang gadis baik-baik, mungkin seorang gadis kang-ouw yang gagah perkasa, seorang pendekar wanita seperti Sui Cin. Dia mulai membanding-bandingkan. Gadis ini juga cantik manis, dan juga galak seperti Sui Cin, akan tetapi kalau dinilai dari kepandaian silatnya, Sui Cin tentu saja lebih lihai, apalagi sekarang setelah Sui Cin digembleng oleh Dewa Arak! Dia ingin sekali menguji sampai dimana kemajuan dan kelihalan Sui Cin sekarang.
Gadis itu semakin kagum saja, terbukti dari seruan-seruannya ketika setiap serangannya selalu dapat dihindarkan oleh lawan dengan amat baik. Dan diapun menyerang semakin nekat.
Melihat ini, Hui Song mengerutkan alisnya. Nona ini bukan orang sembarangan, memiliki ilmu silat tinggi, tentu sudah tahu bahwa dia sengaja mengalah dan tidak pernah membalas. Akan tetapi mengapa nona ini nekat menyerang terus?
"Nona, hentikanlah seranganmu dan mari kita bicara. Diantara kita tidak ada permusuhan. Kalau engkau tidak mau berhenti, terpaksa aku akan membalas!"
Terpaksa dia mengancam dan dia mengepal tinju kanan, siap untuk membalas serangan kalau lawannya tetap berkeras hati tidak mau menyudahi perkelahian itu.
Tiba-tiba saputangan sutera itu menyambar lagi ke arah muka Hui Song dan kini benda itu menjadi lemas. Karena yang diserang adalah mukanya dan karena dia sudah mengambil keputusan untuk membalas, Hui Song menarik tubuh atasnya ke belakang dan saputangan itu tidak mengenai muka, hanya lewat saja.
Akan tetapi tiba-tiba hidungnya mencium bau yang sangat wangi dan tiba-tiba saja kepalanya pening dan pandang matanya gelap.
"Celaka...!" teriaknya, sadar bahwa sekali ini, entah bagaimana caranya, saputangan itu mengandung bubuk beracun yang ketika dikebutkan telah menyambar dan masuk ke dalam hidungnya, membuat dia keracunan.
"Tukk!"
Jari tangan gadis itu sudah menyambar dan menotok pinggang, membuat Hui Song yang sudah setengah pingsan itu seketika menjadi lemas. Dia masih mendengar suara gadis itu terkekeh disusul kata-katanya memuji,
"Engkau gagah perkasa..."
Dan diapun tidak ingat apa-apa lagi. Juga dia tidak sadar sama sekali ketika gadis itu memondongnya dan membawanya melompat turun dari atas genteng, lalu membawanya masuk ke dalam sebuah kamar dalam kuil itu.
Kalau saja Hui Song tahu siapa gadis ini, tentu dia tidak akan bersikap sembrono dan mengalah seperti tadi. Gadis yang berusia dua puluh empat tahun ini memang kelihatannya saja cantik manis dan lemah lembut, juga tidak nampak membawa senjata atau bersikap menyeramkan.
Akan tetapi sesungguhnya ia merupakan seorang tokoh besar dunia hitam pada waktu itu, dan walaupun ia baru saja keluar dari tempat pertapaan bersama gurunya, ia boleh dibilang menduduki tempat tinggi di kalangan kaum hitam, terbawa oleh nama gurunya yang ditakuti semua orang di dunia kaum sesat. Siapakah gurunya? Bukan lain adalah Pangeran Toan Jit-ong atau Si Raja Iblis sendiri!
Tokoh sakti Toan Jit-ong yang dijuluki Raja Iblis dan isterinya yang berjuluk Ratu Iblis itu walaupun merupakan sepasang tokoh yang memiliki kesaktian luar biasa, hanya mempunyai seorang murid itulah. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa sayangnya mereka kepada murid itu dan tentu saja murid itu digembleng dan diberi pelajaran ilmu-ilmu yang hebat.
Murid itu bernama Gui Siang Hwa, seorang gadis yatim piatu yang dipelihara suami isteri itu semenjak berusia sepuluh tahun dan digembleng dengan ilmu-ilmu yang hebat. Selain ahli dalam bermacam ilmu silat, memiliki sin-kang kuat dan gin-kang yang hebat, juga gadis ini amat ahli dalam pengolahan dan penggunaan racun, terutama sekali racun yang berbau wangi.
Karena pandainya bermain racun wangi, dan karena memang ia cantik manis, maka sebentar saja ia memperoleh julukan Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi). Siang Hwa sudah berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi ia belum menikah. Biarpun kedua orang gurunya sudah membujuknya, namun ia belum mau menikah karena ia belum menemukan seorang pria yang dianggapnya pantas menjadi suaminya.
Akan tetapi karena sejak kecil berada di lingkungan penjahat, wataknyapun menjadi binal dan seperti para penjahat lain, gadis inipun menjadi budak nafsunya sendiri. Di luarnya saja kelihatan halus dan sopan, juga alim dan lembut. Akan tetapi, seperti para rekannya, iapun dapat bertindak kejam sekali, penuh dengan akal dan muslihat busuk, dan terutama sekali, sejak mulai dewasa, ia sudah suka berhubungan dengan pria-pria tampan yang menarik hatinya. Bahkan ia termasuk seorang wanita mata keranjang yang akan mempergunakan segala akal, kalau perlu mempergunakan ilmu kepandaian silatnya yang tinggi, untuk berhasil mendapatkan pria yang disukainya.
Seperti telah kita ketahui, Toan Jit-ong dan isterinya pada tiga tahun yang lalu telah mengumpulkan para datuk sesat untuk mengadakan pertemuan dan di dalam pertemuan ini Raja Iblis dan isterinya mengangkat diri mereka sendiri menjadi pimpinan para datuk untuk merencanakan pemberontakan.
Pada waktu diadakan pertemuan itu, Siang Hwa berusia dua puluh satu tahun dan ia sendiri tidak memperlihatkan diri dalam pertemuan itu karena ia mempunyai tugas lain yang diberikan gurunya kepadanya. Ia harus bersembunyi dan melakukan penjagaan rahasia bersama belasan orang teman yang menjadi kaki tangan gurunya.
Setelah pertemuan para datuk itu selesai, Raja Iblis dan isterinya lalu menggembleng lagi murid mereka sambil mengatur persiapan untuk melakukan rencana pemberontakan mereka. Murid inilah yang mendapat tugas mewakili mereka mengadakan pertemuan-pertemuan dan persekutuan rahasia dengan para tokoh dan juga para pembesar penting.
Berkat kecantikannya, kecerdikan dan juga kepandaiannya, Siang Hwa berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik sekali dan pada waktu itu, sudah banyaklah pembesar-pembesar yang mempunyai kekuatan pasukan telah diam-diam menjadi sekutu para pemberontak yang sudah siap siaga dan sewaktu-waktu mereka akan dapat mengerahkan pasukan untuk bersama-sama menggempur kota raja dan merampas kekuasaan dari Kaisar Ceng Tek!
Selain membujuk para pembesar untuk bersekutu, juga Siang Hwa bertugas membujuk orang-orang gagah dari dunia kang-ouw, yang biasanya bahkan menjadi lawan kaum sesat, untuk bekerja sama demi perjuangan membasmi kelaliman!
Dalam rangka tugas inilah Siang Hwa berada di dusun Lok-cun itu. Dara ini mempergunakan kuil sunyi yang ditakuti orang itu untuk tempat tinggal sementara sehingga ia dapat melakukan pertemuan-pertemuan rahasia dengan para pembantunya tanpa dilihat orang.
Sungguh tidak disangkanya bahwa malam hari itu ia akan bertemu dengan seorang pemuda yang selain amat tampan dan ganteng, juga amat gagah perkasa sehingga ia sendiri tidak mampu mengalahkannya dengan ilmu silat. Munculnya pemuda seperti Hui Song ini sungguh di luar dugaan Siang Hwa dan begitu bertemu ia sudah jatuh cinta! Inilah pemuda yang selama ini diidam-idamkannya.
Banyak sudah ia bertemu dengan pemuda tampan, bahkan sudah sering pula ia menyerahkan diri kepada pria-pria yang disukainya, akan tetapi belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan disukainya, yang memiliki kepandaian lebih tinggi darinya. Akan tetapi para pria itu tidak masuk hitungan, hanya merupakan alat penghiburnya saja untuk melampiaskan nafsu.
Ia hanya mau menjadi isteri seorang pemuda yang selain disukanya juga memiliki kepandaian lebih tinggi darinya, dan pemuda ini sungguh amat lihai. Maka, terpaksa ia harus mempergunakan akal dan saputangannya yang berbahaya itu, yang kalau tidak dikehendakinya merupakan saputangan biasa, akan tetapi pada saat ia terdesak, ia dapat menarik alat halus pada saputangan itu yang akan membuka tempat penyimpanan bubuk beracun wangi yang amat ampuh.
Selain tugas untuk menghubungi para orang gagah di dunia kang-ouw agar mau bekerja sama menentang kaisar, juga ada suatu tugas rahasia lain, yang pada waktu itu amat mengganggu hati Siang Hwa. Gurunya menunjuk ia untuk memimpin teman-teman yang boleh dipercaya dan yang memiliki kepandaian tinggi, untuk menyelidiki dan mencari sebuah harta karun yang berada di sebuah tempat rahasia yang amat sulit dan sukar dikunjungi.
Ia sudah berkali-kali mencoba dengan teman-temannya menyelidiki tempat itu, namun selalu gagal, bahkan beberapa orang temannya berkorban nyawa di tempat itu sedangkan tempat penyimpanan harta karun itu tetap saja belum dapat ia temukan. Gurunya berpesan bahwa kalau ia tidak mampu, barulah kedua orang gurunya akan turun tangan sendiri.
Teman-temannya sudah menganjurkan dan menasihatkannya untuk melapor kepada Raja dan Ratu Iblis saja bahwa ia dan teman-temannya tidak sanggup lagi. Akan tetapi Siang Hwa adalah seorang gadis yang keras hati dan angkuh. Ia merasa malu kalau harus menghadap kedua orang gurunya dan melaporkan kegagalannya. Ini berarti mengakui kelemahan sendiri! Tidak, ia harus mencoba lagi dan untuk itu ia harus mendapatkan seorang kawan yang lihai, setidaknya memiliki tingkat kepandaian, terutama gin-kang yang setingkat dengannya!
Diantara para pembantunya, terdapat dua orang kakek yang menjadi orang-orang kepercayaan gurunya. Mereka itu adalah Hui-to Cin-jin (Manusia Sakti Pisau Terbang) dan Kang-thouw Lo-mo (Setan Tua Kepala Baja) yang siang hari tadi sudah pernah berjumpa dengan Hui Song. Mereka adalah dua orang kakek yang tadi membunuh empat orang pemuda mabok di dalam restoran. Dua orang kakek ini bukan orang sembarangan, bukanlah penjahat biasa. Mereka itu adalah dua di antara Cap-sha-kui yang tentu saja memiliki kepandaian hebat!
Dan dari dua orang kakek inilah Siang Hwa mendengar bahwa di dusun itu muncul seorang pemuda yang amat lihai, seorang pemuda bernama Cia Hui Song yang bukan hanya mampu menghindarkan diri dari sambaran pissu-pisau maut yang dilempar oleh Hui-to Cin-jin, akan tetapi bahkan sanggup menahan pukulan Kang-thouw Lo-mo yang amat kuat itu.
Mendengar ini, Siang Hwa merasa tertarik sekali, juga curiga. Jangan-jangan pemuda itu adalah mata-mata pihak musuh, pikirnya. Ia tahu bahwa gerakan gurunya mengumpulkan orang-orang kang-ouw dan niat hendak memberontak itu tentu sudah terdengar oleh dunia persilatan dan tidak merupakan hal aneh kalau ada pihak yang akan menentangnya.
ASMARA BERDARAH JILID 092(↕)
Ruangan yang meniadi tempat tidur itu tidak berapa luas dan keadaannya tidak dapat dibilang bagus, apalagi mewah. Namun, kalau orang melihat keadaan kuil yang sudah tidak dipakai dan rusak itu, dia akan heran melihat betapa di dalam kuil kosong yang rusak itu terdapat sebuah kamar di dalamnya, kamar yang cukup teratur dan terawat.
Kamar itu bersih walaupun sederhana dan berbau harum. Di dalam kamar itu hanya terdapat sebuah dipan kayu dan sebuah meja kayu. Satu-satunya hiasan hanyalah sehelai tirai sutera yang juga dipergunakan sebagai penutup jendela yang sudah berlubang dan daun jendelanya rusak.
Inilah ruangan yang dipergunakan oleh Siang Hwa untuk menjadi kamar tidurnya, sementara ia bersembunyi di dalam kuil itu. Dan setelah berhasil membuat Hui Song pingsan dan tidak berdaya lalu menawannya, ia membawa pemuda itu ke dalam kamar dan setelah mendudukkan tubuh Hui Song ke atas pembaringan dan mengikat kedua tangan pemuda itu dengan erat, ia lalu menyandarkan Hui Song dengan usapan-usapan pada muka, terutama di depan hidungnya, menggunakan obat bubuk penawar racun yang membuat pemuda itu jatuh pingsan.
Tak lama kemudian, sadariah Hui Song. Dia menggerakkan cuping hidungnya karena yang pertama terasa olehnya adalah keharuman yang menusuk hidungnya. Lalu dia membuka mata dan terbelalak menatap wajah manis yang berada begitu dekat dengan mukanya.
Wajah cantik manis yang berbau harum, dengan sepasang mata setengah terpejam, bibir setengah terbuka, menantang dengan tahi lalat kecil di atas dagu. Dia terkejut dan otomatis meronta, akan tetapi dia semakin kaget mendapat kenyataan bahwa kedua lengannya tak dtpat digerakkan, terbelenggu pada pergelangan tangannya.
Diapun teringat kini dan alisnya berkerut, matanya menatap tajam wajah cantik yang amat dekat itu. Siang Hwa juga merasa bahwa tawanannya sadar, maka ia membuka mata menatap sambil tersenyum dan semakin mendekat sehingga tangannya menyentuh dada Hui Song.
Pemuda itu bergidik ketika jari-jari tangan halus itu menyentuh dadanya yang ternyata sudah telanjang karena baju di bagian dadanya terbuka. Jari-jari tangan itu bergerak halus seperti cecak merayap di sepanjang dadanya, membuat Hui Song merasa malu dan canggung, akan tetapi dia tidak mampu mengelak karena punggungnya bersandar pada kepala dipan dan kedua lengannya tidak mampu digerakkan, Dia hanya dapat menarik kepalanya ke belakang untuk menjauhi muka manis yang begitu dekat sehingga napas gadis itu menyapu pipinya.
"Ehh...? Kau... kau perempuan curang!" dia membentak, teringat bagaimana dia sampai tertawan oleh gadis ini.
"Kau... kau laki-laki yang gagah perkasa, seorang jantan perkasa yang mengagumkan hatiku..."
Siang Hwa berbisik dan merangkul, mendekap dan membenamkan mukanya di dada yang bidang dan telanjang itu. Sejenak mereka diam saja dan gadis itu dapat merasakan dan mendengar degup jantung yang amat kuat di balik dada itu, sedangkan Hui Song memejamkan kedua matanya. Seluruh tubuhnya tergetar oleh dekapan yang penuh gairah dan nafsu ini. Terasa olehnya betapa dari seluruh tubuh wanita ini seperti keluar hawa panas yang membakarnya dan dia terpaksa harus mengerahkan sin-kang untuk melawan dorongan nafsu yang mulai timbul dalam benaknya.
Pengerahan sin-kang ini menolongnya dan dia membuka mata. Pada saat itu, dia melihat berkelebatnya bayangan orang di luar jendela! Ada seorang wanita yang mengintai ke dalam! Penglihatan ini sungguh amat membantunya dan seketika kegelisahan dan kebimbangannya lenyap. Tidak, dia tidak boleh jatuh ke dalam rayuan gadis jalang ini!
"Pergilah kau, perempuan curang dan jalang!" dia membentak.
Siang Hwa tidak menjadi marah, melainkan memandang dengan sinar mata lembut dan sikap memikat.
"Kalau aku menghendaki tadi aku sudah membunuhmu. Akan tetapi tidak, aku tidak ingin membunuhmu, karena itu aku harus menggunakan siasat untuk mengalahkanmu tanpa melukaimu atau membunuh. Kau maafkanlah aku."
"Hemm, siapakah engkau dan mengapa engkau menawanku?"
"Aku... namaku Siang Hwa, Gui Siang Hwa, seorang yatim piatu yang hidup sebatangkara. Aku ingin sekali bersahabat denganmu, akan tetapi engkau begitu gagah perkasa, tanpa menggunakan akal aku tidak akan dapat merobohkanmu. Engkau... yang bernama Cia Hui Song, bukan?"
Diam-diam pemuda itu terkejut. Kiranya wanita ini bukan saja lihai dan berbahaya, akan tetapi juga cerdik sekali. Dia sendiri belum mengenal gadis ini, bahkan mendugapun tidak dapat siapa gerangan gadis cantik ini, akan tetapi gadis ini sudah mengenal namanya.
"Engkau sudah mengenalku. Engkau bilang ingin bersahabat dengan aku, akan tetapi engkau menyerangku, kemudian merobohkan aku dengan bubuk beracun dan kini menawanku, siapa mau percaya omonganmu?"
"Cia-taihiap, aku... begitu melihatmu, kemudian melihat kepandaianmu, aku... suka sekali kepadamu, aku... jatuh cinta dan aku ingin sekali bersahabat denganmu. Akan tetapi karena aku takut engkau akan memberontak dan tidak percaya kepadaku, maka terpaksa aku merobohkanmu secara itu dan kalau sekarang engkau berjanji mau menerima uluran tangan dan hatiku, aku tentu akan segera melepaskan ikatan kedua tanganmu..."
"Hemm, apa yang kau maksudkan dengan uluran tangan dan hati itu?"
Hui Song sudah berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi dia masih asing dengan istilah-istilah mengenai cinta dan dia belum berpengalaman tentang wanita.
Siang Hwa tersenyum, mendekat dan meraba lalu mengelus dada telanjang itu, dan ia mendekatkan mukanya, bibirnya bergerak hendak mencari dan mencium bibir pemuda itu. Hui Song terpaksa menarik kepalanya ke belakang dan terdengar gadis itu berbisik,
"Taihiap, uluran tangan dan hatiku adalah penyerahan seluruh jiwa ragaku kepadamu, aku cinta padamu, taihiap..." Dan Siang Hwa tiba-tiba mencium bibir Hui Song yang tidak dapat mengelak lagi.
"Perempuan hina tak tahu malu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari luar jendela dan mendengar ini, tiba-tiba Siang Hwa melepaskan rangkulannya dan sekali meloncat ia sudah keluar dari dalam kamar itu.
Begitu ia tiba di luar kamar, seorang gadis yang manis menyambutnya dengan serangan sepasang pedang mengeluarkan sinar berkilat. Siang Hwa terkejut bukan main. Sebagai seorang ahli silat pandai, ia mengenal gerakan pedang yang amat lihai, maka iapun cepat mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi gadis itu mendesaknya dengan kilatan-kilatan sepasang pedang yang dimainkan dengan cepat, indah dan berbahaya.
"Siapa engkau?"
Siang Hwa membentak sambil meloncat mundur lagi ke ruangan depan kamarnya yang luas.
"Perempuan hina, aku adalah algojomu untuk mengakhiri kecabulanmu!"
Gadis itu berteriak semakin marah dan penasaran melihat betapa serangan-serangannya tidak pernah berhasil. Ia menerjang lagi ke depan dan sepasang pedang di kedua tangannya itu berkelebatan membentuk dua gulungan sinar yang berkilauan.
"Bagus! Ilmu pedangmu bagus juga!"
Siang Hwa berseru dan begitu tangan kanannya meraba pinggang, ia telah mengeluarkan sebatang pedang yang kebiruan. Kiranya pedangnya itu terbuat dari baja yang tipis sekali, tipis dan lemas sehingga dapat disimpan di pinggang sebagai ikat pinggang! Dan begitu ia mengelebatkan pedangnya, nampak sinar kebiruan.
"Trang! Cringg...!"
Gadis itu mengeluarkan seruan kaget. Pedang kebiruan itu dengan gerakan aneh dan cepat, telah menangkis dan begitu membentur sepasang pedangnya, ia merasa betapa tangannya kesemutan. Cepat ia meloncat ke belakang sambil memutar sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya.
Terdengar Siang Hwa terkekeh dan iapun kini membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang membuat gadis pemegang siang-kiam (sepasang pedang) itu menjadi repot untuk menangkis dan menghindarkan diri dari sambaran sinar biru yang amat lihai itu.
Mendengar suara gadis di luar kamar itu, Hui Song segere mengenalnya. Itulah suara Tan Siang Wi, sumoinya! Tentu saja dia merasa gelisah sekali karena dia tahu bahwa sumoinya bukanlah lawan Siang Hwa yang amat lihai itu. Dia berusaha melepaskan diri, akan tetapi pengaruh obat bius masih melemaskannya dan tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya juga amat kuat.
Dia harus menanti sampai tenaganya pulih kembali akan tetapi saat itu sumoinya berada dalam bahaya maut. Dia sudah mendengar suara berdencingan senjata pedang yang saling beradu dan dengan pendengarannya diapun dapat mengenal gerakan sumoinya yang kini mulai kacau dan terdesak, lebih banyak menangkis daripada menyerang.
"Gui Siang Hwa, jangan celakai sumoiku...!" Akhirnya karena khawatir sumoinya celaka, dia berteriak.
Terdengar suara ketawa merdu wanita itu disusul tangkisan-tangkisan yang menimbulkan suara berdenting.
"Hi-hik, kiranya sumoimu sendiri? Tentu saja aku tidak akan membunuhnya kalau begitu!"
Dan suara ini disusul keluhan Tan Siang Wi dan terdengar jatuhnya tubuh gadis Cin-ling-pai itu.
"Sumoi, awas bubuk beracun obat biusnya!" Kembali Hui Song berteriak dengan khawatir.
Akan tetapi sumoinya tidak menjawab dan suasana menjadi sunyi. Yang terdengar hanyalah suara ketawa Siang Hwa dan tak lama kemudian wanita itu masuk lagi ke dalam kamar sambil mengempit tubuh Siang Wi yang sudah pingsan! Kiranya suara terjatuh tadi adalah robohnya Siang Wi terkena obat bius seperti yang pernah dialaminya tadi.
Sambil tersenyum kepada Hui Song, Siang Hwa berkata,
"Lihat, kalau tidak berat kepadamu, tentu ia telah menjadi mayat. Cia-taihiap, dengan perbuatanku tidak membunuh engkau dan sumoimu, bukankah sudah cukup bukti bahwa aku ingin bersahabat denganmu?"
Hui Song maklum bahwa pada saat itu, sebelum dia dapat membebaskan dirinya, keselamatan nyawanya dan nyawa sumoinya memang berada di tangan gadis lihai ini.
"Baiklah, kalau memang benar engkau ingin bersahabat denganku, apa salahnya? Akan tetapi, engkau tidak boleh memaksakan kehendakmu mengenai... mengenai cinta. Hal seperti ini tidak boleh dipaksakan, sama sekali tidak boleh!"
Siang Hwa mengerutkan alisnya. Belum pernah atau jarang sekali ada pria menolak cintanya. Hampir semua pria yang disenanginya menyambut cintanya dengan kedua tangan terbuka, sebagian kecil saja karena takut kepadanya dan sebagian besar karena memang mereka tergila-gila oleh kecantikannya.
Akan tetapi pemuda Cin-ling-pai ini, ia yakin benar bahwa tentu pemuda she Cia ini adalah pemuda Cin-ling-pai karena ia tadi mengenal beberapa macam gerakan dasar dari Cin-ling-pai, pemuda ini tidak tergila-gila kepadanya, juga sama sekali tidak takut walaupun sudah tertawan dan tidak berdaya! Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini. pemuda gagah perkasa seperti ini selain amat mengagumkan hatinya dan menjatuhkan hatinya seperti yang belum pernah dialaminya, juga dapat merupakan seorang sahabat dan sekutu yang amat baik.
Gurunya tentu akan girang sekali kalau bisa mendapatkan pembantu seperti Cia Hui Song ini dan tentu akan memujinya sebagai seorang yang pandai menarik tenaga yang amat kuat sebagai sekutu.
Hatinya amat kecewa dan nafsu berahinya yang tadinya memuncak itu tiba-tiba saja menjadi menurun banyak. Baiklah, bagaimanapun juga, aku harus dapat memanfaatkan pertemuannya dengan pemuda istimewa ini. Kalau tidak dapat menariknya sebagai kekasih, setidaknya untuk saat ini, biarlah ia menariknya sebagai sahabat dan sekutu.
Kalau sudah menjadi sahabat, perlahan-lahan ia akan dapat merayunya dan ia masih penuh kepercayaan akan kemampuan dirinya dalam hal ini, bahkan hampir merasa yakin bahwa akhirnya pemuda ini akan roboh ke dalam pelukannya juga.
"Cia-taihiap, kau kira aku ini orang macam apakah? Aku tidak biasa memaksakan cinta, dan walaupun aku jatuh hati kepadamu dan mencintamu sejak pertama kali bertemu, akan tetapi aku hanya mengharapkan engkau akan dapat menerima uluran tangan dan hatiku, aku tidak akan memaksamu. Baiklah, apakah engkau mau berjanji untuk bersahabat denganku?"
ASMARA BERDARAH JILID 093(↕)
Hui Song juga bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis ini lihai dan berbahaya sekali dan dalam keadaan seperti itu, dia tidak dapat memilih. Dia sendiri sudah merasa betapa tenaganya sudah pulih dan dia merasa yakin bahwa kalau dia menghendaki, pada saat itupun dia akan mampu mengerahkan tenaga dan membebaskan diri dari belenggu.
Akan tetapi, dengan adanya Siang Wi yang masih tak mampu bergerak, akan berbahaya sekali kalau dia melakukan hal itu. Dan wanita ini hanya minta kepadanya untuk bersahabat. Apa salahnya?
"Baiklah, apa salahnya kalau kita bersahabat? Akan tetapi sikapmu tidak seperti bersahabat. Engkau menawan aku dan sumoi..."
"Sabarlah, aku akan membebaskanmu. Dalam keadaan sekacau ini, bagaimana aku tahu bahwa kalian adalah orang baik-baik? Siapa tahu kalau-kalau kalian ini mata-mata dari pihak pemberontak? Kalau kau mau berjanji menjadi sahabatku dan membantuku dengan suatu urusan, aku tentu akan membebaskanmu dan juga sumoimu dan minta maaf."
Diam-diam Hui Song merasa heran. Wanita ini agaknya tahu pula akan rencana pemberontakan para datuk sesat. Akap tetapi hal inipun tidaklah berapa aneh. Bukankah berita itu telah tersiar di dunia kang-ouw dan melihat kepandaiannya, wanita inipun tentu seorang kang-ouw yang lihai dan sudah mendengar pula akan berita itu. Dan agaknya wanita ini menentang kaum pemberontak, akan tetapi dia harus yakin akan hal ini.
"Nona, seorang dengan kepandaian seperti engkau ini mana takut akan segala kekacauan? Dan pemberontakan apa yang nona maksudkan?"
"Hemmm, tidak tahukah engkau bahwa kini ada rencana pemberontakan yang diatur oleh para datuk di dunia kang-ouw?"
Hui Song mengangguk.
"Aku sudah mendengar. Bukan datuk kang-ouw, melainkan datuk kaum sesat, bahkan Cap-sha-kui bersatu dan bersekutu dengan para datuk jahat dan dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis!" Hui Song memandang tajam untuk melihat reaksi pada wajah gadis itu.
"Ihh...!" Siang Hwa menarik muka kaget dan ngeri. "Sampai sedemikian jauh dan hebat? Kalau begitu, kerajaan terancam bahaya!"
"Nona, engkau mempunyai kepandaian tinggi, lalu dengan adanya kenyataan ini apakah yang akan kau lakukan? Apakah engkau hendak bergabung dengan mereka yang akan memberontak itu?"
Muka Siang Hwa menjadi merah, sebetulnya mukanya merah karena malu dan tidak enak hati, akan tetapi Hui Song mengiranya merah karena marah sehingga diam-diam dia merasa girang dan menduga bahwa gadis ini bukan teman para pemberontak.
"Hemm, Cia-taihiap, apakah engkau juga hendak membantu Cap-sha-kui dan para pemberontak itu?" Siang Hwa yang cerdik balas bertanya sambil menatap tajam.
Hui Song menggeleng kepala.
"Aku bukan penjahat dan bukan pula pemberontak, dan aku lebih suka menentang Cap-sha-kui daripada menjadi sahabat mereka!"
"Bagus, kalau begitu kita sepaham!" Siang Hwa berkata dengan senyum lebar. "Tadinya aku meragukan apakah engkau dan sumoimu itu mata-mata pemberontak. Maafkan aku, kalau begitu aku harus membebaskanmu, taihiap." Berkata demikian, ia mendekat dan hendak melepaskan tali yang mengikat kedua pergelangan tangan Hui Song. Akan tetapi ia berhenti dan menatap wajah itu. "Tapi... kau belum berjanji untuk membantuku."
"Setelah kita bersahabat, tentu saja aku akan membantumu, asal saja bukan untuk perkara kejahatan."
"Hemm, apakah kau belum percaya padaku, taihiap? Aku bukan penjahat. Berjanjilah baHwa engkau akan membantuku, dan aku akan membebaskan kau dan sumoimu. Akan tetapi, sumoimu tidak boleh ikut serta."
"Mengapa?"
"Urusan itu adalah rahasiaku sendiri, orang lain, kecuali engkau yang kuminta bantuan tidak boleh tahu."
Hui Song mengangguk, mengerti. Pula, diapun tidak senang kalau sumoinya mencampuri urusannya. Pertama, watak sumoinya itu angkuh dan keras sehingga di mana-mana mudah menimbulkan keributan dan permusuhan, kedua, tingkat ilmu kepandaian sumoinya, walaupun pada umumnya dapat dianggap cukup lihai, akan tetapi belum boleh diandalkan kalau bertemu dengan datuk-datuk sesat dan ketiga, dia tahu betapa sumoinya mencintanya dan mengharapkan dia menjadi suaminya dan hal ini membuat dia merasa canggung dan tidak enak untuk berhadapan dengan gadis itu.
"Kalau begitu, aku akan membebaskanmu sekarang!" Siang Hwa mendekat tetapi Hui Song tersenyum.
"Tidak perlu lagi, nona. Kalau aku mau, sejak tadipun aku sudah bisa membebaskan diri sendiri."
Berkata demikian, dia mengerahkan tenaga sin-kang, disalurkan kepada lengannya dan sekali kedua lengan itu bergerak merenggut, terdangar suara keras, dan belenggu itupun putus-putus.
"Ihhh...!"
Siang Hwa terkejut dan melompat ke belakang, meraba pinggang dan matanya terbelalak.
Akan tetapi Hui Song tersenyum.
"Jangan kaget dan jangan khawatir, nona. Aku tadi hanya ingin melihat apakah benar-benar engkau berniat baik maka aku sengaja membiarkan diri terbelenggu."
"Aihh... engkau... sungguh hebat, taihiap," katanya kagum. "Dan sekarang aku akan membebaskan sumoimu,"
Iapun cepat menghampiri Siang Wi, menggunakan obat penawar racun bius tadi. Tak lama kemudian terdangar Siang Wi mengeluh dan membuka mata. Begitu melihat gadis yang tadi merayu suhengnya itu duduk berjongkok di dekatnya, Siang Wi mengeluarkan teriakan marah dan langsung saja ia mengirim pukulan-pukulan bertubi ke arah tubuh lawan yang amat dibencinya karena cemburu itu.
Siang Hwa meloncat ke belakang dan mengelak sambil menangkis beberapa kali. Gerakannya amat diperhatikan Hui Song dan pemuda ini diam-diam harus mengakui bahwa tingkat ilmu silat dari Gui Siang Hwa memang amat tinggi, gerakannya cekatan, cepat sekali dan juga indah walaupun aneh dan liar sifatnya. Mudah nampak olehnya bahwa gerakan gadis itu jauh lebih lihai daripada gerakan sumoinya dan kalau dilanjutkan, tentu sumoinya akan kalah walaupun Siang Hwa tidak mempergunakan racun bius.
"Sumoi, hentikan seranganmu!" bentak Hui Song.
Mendengar bentakan ini, Siang Wi menahan serangannya dan membalik, memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak mengandung sinar marah penasaran.
"Suheng, ia... ia... si wanita cabul ini, tak tahu malu dan patut dibunuh!"
"Sumoi, tenanglah. Nona Gui ini adalah segolongan, tadi hanya terjadi salah paham antara kami..."
"Tapi... tapi aku melihat dengan mataku sendiri, mendengar dengan telingaku sendiri betapa ia telah menawanmu, dan merayumu secara tak tahu malu..."
"Sstt, sumoi. Sudahlah. Kukatakan tadi hanya salah paham. Kini kami sudah bersahabat, dan kami akan melakukan kerja sama untuk suatu urusan yang tak boleh diketahui orang lain. Karena itu, kuminta agar engkau suka meninggalkan tempat ini sekarang juga. Kembalilah kau ke Cin-ling-san dan jangan aku lagi."
"Tapi... suheng..."
"Sudahlah, sumoi. Kau jangan banyak membantah. Ketahuilah bahwa kalau tidak berniat baik, kita berdua tadi sudah tewas di tangan nona Gui. Pergilah!"
Tan Siang Wi berdiri dengan muka pucat, kedua tangan dikepal dan kini kedua matanya mulai basah. Ia memandang kepada dua orang itu secara bergantian, tatapan matanya pada Siang Hwa penuh kebencian, sedangkan kalau ia memandang suhengnya sepasang matanya memancarkan permohonan dan kekecewaan.
"Suheng... haruskah aku pergi... Engkau mengusir aku begitu saja?"
Hui Song mengangguk. Dia tidak ingin menyakiti hati sumoinya, akan tetapi mengingat akan watak sumoinya yang keras, dia harus bersikap tegas. Dia sudah berjanji kepada Siang Hwa dan dia tidak boleh melanggar janji itu. Pula, diam-diam dia menaruh hati curiga kepada Siang Hwa dan ingin menyelidiki siapa sesungguhnya wanita ini dan peran apa yang dipegangnya.
Dia merasa bahwa ada sesuatu di balik diri wanita ini, karena seorang wanita selihai Siang Hwa tidak mungkin secara kebetulan saja bertemu dengan dia, mengajak bersahabat dan minta bantuannya untuk mengurus sesuatu yang rahasia.
"Sumoi, harap jangan banyak bicara lagi. Pergi dan kembalilah ke Cin-ling-san."
Kini beberapa tetes air mata jatuh menitik.
"Suheng... engkau... selalu mengecewakan dan menyakiti hatiku..."
"Maafkan, sumoi..."
Akan tetapi Tan Siang Wi sudah menyambar sepasang pedangnya yang tadi jatuh ke atas lantai ketika ia roboh pingsan dan berloncatan pergi meninggalkan tempat itu. Sunyi keadaan di dalam ruangan itu setelah Siang Wi pergi dan akhirnya terdengar tarikan napas panjang dari Siang Hwa.
"Aihhh... agaknya dengan kegantengan dan kegagahanmu engkau ditakdirkan untuk menjatuhkan dan mengecewakan hati wanita, taihiap. Sudah dua orang wanita kulihat hari ini yang menjadi korbanmu. Pertama adalah diriku sendiri, dan kedua adalah sumoimu!"
Hui Song juga menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Siang Wi, sumoinya itu. Sejak kecil sumoinya mencintanya dan cinta kanak-kanak itu makin lama semakin kuat dan akhirnya menjadi cinta kasih seorang wanita terhadap seorang pria, cinta kasih yang mengharapkan untuk diikat dan dikukuhkan menjadi perjodohan suami isteri.
Dan dia tahu benar bahwa hatinya tidak mencinta sumoinya, walaupun dia sayang kepada sumoinya itu yang dianggap sebagai adik sendiri. Akan tetapi gadis di depannya ini? Dia belum mengenalnya benar dan tidak tahu apakah benar gadis ini cinta kepadanya seperti yang diakuinya. Dia harus bersikap hati-hati terhadap wanita ini.
"Maafkan aku kalau memang demikian, nona. Akan tetapi semua itu terjadi tanpa kesengajaan dari pihakku, dan ingat, cinta tidak mungkin dapat dipaksakan."
Siang Hwa tersenyum pahit dan mengangguk-angguk, diam-diam dia semakin kagum dan membayangkan betapa akan nikmatnya kelak kalau sampai ia berhasil membujuk pria ini menjadi kekasihnya dan berada dalam dekapannya.
"Aku tidak menyalahkanmu, Cia-taihiap, dan aku merasa kasihan kepada sumoimu itu yang agaknya mencintamu dengan amat mendalam."
"Nona, ingin sekali aku mengetahui bagaimana engkau dapat mengenal namaku?"
Mereka kini duduk berhadapan di atas dua buah bangku yang berada di dalam ruangan itu, terhalang sebuah meja kecil. Siang Hwa tersenyum.
"Aku mendengar dari Ciang-tosu dan Ciong-hwesio yang menjadi teman-temanku dalam urusan yang kumintakan bantuanmu ini."
Hui Song teringat akan dua orang kakek itu dan diapun tersenyum mengejek.
"Wah, jangan-jangan dua orang kakek berpakaian tosu dan hwesio yang kejam itu, yang membunuh empat orang muda di dalam restoran dan..."
"Benar mereka!" kata Siang Hwa dengan sikap sungguh-sungguh. "Dan harap taihiap jangan mentertawakan dan salah sangka terhadap mereka! Mereka itu adalah bekas-bekas tosu dan hwesio dan biarpun kini bukan lagi terikat agama, mereka sudah terbiasa memakai jubah seperti yang dahulu mereka pakai ketika masih menjadi pendeta. Kini mereka adalah pertapa-pertapa dan mereka juga turun di dunia ramai untuk menentang kaum pemberontak."
“Ahh...!" Hui Song terheran dan juga kagum. "Akan tetapi mengapa mereka begitu kejam, menyebar maut di restoran, membunuh empat orang muda yang tidak berdosa?"
ASMARA BERDARAH JILID 094(↕)
Gadis itu tersenyum, manis sekali kalau tersenyum, terutama karena tahi lalat kecil di atas dagu itu.
"Orang-orang muda yang tidak berdosa? Taihiap tidak tahu..."
"Mungkin mereka melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanyalah berupa ejekan terhadap mereka yang berpakaian pendeta, dan itupun dilakukan dalam keadaan mabok."
"Taihiap salah mengerti. Empat orang muda itu tidaklah sebersih itu, tidak seperti yang taihiap sangka. Mereka adalah mata-mata pemberontak yang menyamar, sebagai pemuda-pemuda pemabokan dan kalau Ciang-tosu dan Ciong-hwesio tidak mempergunakan pukulan beracun, mereka tentu tidak mudah dikalahkan dan tempat kami tentu sudah ketahuan dan kami diserbu oleh para pemberontak."
Hui Song terbelalak heran, juga terkejut karena sungguh hal itu tidak pernah disangkanya sama sekali.
"Aku merasa gembira sekali dapat bersahabat dengan taihiap, apalagi akan mendapatkan bantuanmu. Ketika kedua orang locianpwe itu memberi tahu kepadaku tentang diri taihiap, kami bertiga sudah mengambil kesimpulan bahwa tentu engkau adalah seorang tokoh Cin-ling-pai dan ternyata dugaan kami benar seperti yang taihiap nyatakan sendiri ketika taihiap bicara dengan sumoi taihiap itu dan menyebut-nyebut Cin-ling-san."
"Memang aku adalah putera ketua Cin-ling-pai," kata Hui Song yang merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan keadaan dirinya.
"Ahh...!" Gadis itu bangkit dan menjura. "Kalau begitu aku telah berlaku kurang hormat dan maafkanlah kelancanganku, taihiap."
"Sudahlah, nona. Kedudukan dan nama tidak merubah keadaan seseorang. Sebaiknya nona ceritakan, urusab apakah itu yang membutuhkan bantuanku?"
"Urusan ini amat penting dan rahasia, taihiap. Ketahuilah bahwa kami yang mewakili beberapa orang-orang kang-ouw di wilayah selatan, mengutus aku dan dibantu oleh dua orang locianpwe itu untuk menyelidiki sebuah harta karun."
"Hemm..."
Hui Song termenung. Tak disangkanya bahwa urusan itu hanyalah urusan menyelidiki dan mencari harta karun!
"Bukan sembarang harta karun, taihiap. Kalau engkau mengira bahwa kami adalah orang-orang yang haus akan harta karun, engkau keliru! Ketahuilah bahwa kami mencari harta karun itu justeru dalam usaha kami menentang usaha para pemberontak. Para pemberontak itu akan menjadi kuat sekali kalau harta karun itu tidak kita dahului dan kita ambil."
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, nona."
"Begini, taihiap. Tempat dimana harta karun itu berada kini juga diintai oleh para pemberontak. Kabarnya malah Raja dan Ratu Iblis sendiri juga mencarinya. Akan tetapi, kami lebih beruntung karena kami sudah dapat menemukan tempat itu. Hanya saja... tempat itu sukar didatangi, bahkan aku telah kehilangan nyawa beberapa orang teman ketika mencoba untuk mencari harta karun di tempat itu."
"Ah, begitu berbahayakah? Apa yang menyebabkan bahaya itu?"
"Tempatnya amat sukar dilalui dan tempat itu terkenal dengan nama Guha Iblis Neraka! Agaknya tempat itu memang sengaja dibuat agar tidak ada orang yang berani memasuki. Kabarnya, dahulu dibuat oleh seorang tosu sakti, yang mencuri harta karun dari kaisar lalim dan disimpan di tempat itu, dan disediakan untuk mereka yang akan menentang kaisar lalim di kemudian hari. Harta karun itu sudah hampir seribu tahun umurnya dan sampai kini belum juga ada yang berhasil menemukannya."
"Kalau demikian sukarnya, mengapa engkau minta bantuanku? Kalau orang seperti engkau dan teman-temanmu tidak sanggup, mana mungkin aku akan bisa membantumu?"
"Begini, taihiap. Diantara kami yang dapat menyeberangi jembatan batu pedang, hanya aku seorang. Kedua locianpwe itupun hanya sanggup maju belasan meter saja. Dan aku sudah menyeberangi jembatan batu pedang itu, namun selanjutnya aku tidak sanggup menggerakkan batu penutup lubang di sebelah dalam. Aku membutuhkan bantuan orang yang memiliki gin-kang dan sin-kang yang melebihi aku dan ternyata engkau amat lihai, jauh melampaui tingkatku dan..."
"Dan dengan mudah aku yang lebih lihai ini tertawan olehmu!" Hui Song mengejek
Siang Hwa tertawa.
"Aih, engkau sakit hati benarkah, taihiap? Sudahlah, biar aku mengaku bahwa aku telah bertindak curang dan maafkanlah aku. Nah, rahasia itu sudah kuceritakan dan kalau engkau membantu kami, hal itu berarti bahwa engkau sudah menentang para pemberontak. Kalau kita berhasil, berarti kita telah memukul para pemberontak dan melumpuhkan setengah dari kekuatan mereka!"
Tentu saja Hui Song tertarik sekali. Biarpun dua orang kakek itu dianggapnya kejam, dan ternyata tidak dapat dinamakan kejam kalau empat orang muda itu adalah mata-mata pentberontak, dan biarpun gadis ini pernah bersikap tidak menyenangkan hatinya, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yung menentang pemberontak yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, berarti masih rekan sendiri dalam usahanya menentang para pemberontak.
"Baik, kapan kita berangkat kesana?"
"Sekarang juga, taihiap."
"Baik, mari kita berangkat, singgah di rumah penginapan karena aku akan mengambil buntalan pakaianku lebih dahulu."
Wanita itu tertawa, pergi ke sebelah kamar dan kembali membawa sebuah buntalan yang terisi semua pakaian Hui Song yang tadi ditinggalkan di dalam kamar rumah penginapan itu.
"Eh? Bagaimana... kapan..."
"Taihiap, ketika aku mendengar dari kedua locianpwe tentang dirimu, aku tertarik sekali dan aku lalu pergi ke rumah penginapan itu, diam-diam memasuki kamarmu. Ternyata engkau tidak ada, maka aku lalu mengambil pakaianmu, kubawa ke sini karena aku bermaksud untuk mencarimu sampai dapat. Ketika kulihat engkau berada di balik pohon, aku menyimpan pakaian ini, lalu aku pergi lagi untuk muncul berlarian di atas genteng agar nampak olehmu dan selanjutnya kita bertanding..."
Ia terkekeh lirih dan menutupi mulut, gayanya manis sekali. Wajah Hui Song menjadi kemerahan.
"Sudahlah, mari kita pergi."
"Pakaianmu biar disimpan disini dulu."
Berangkatlah mereka berdua, seperti dua sahabat lama, meninggalkan kuil tua itu setelah Siang Hwa memadamkan penerangan dan menutupkan pintu kamar sederhana itu. Dari luar, kuil itu nampak sunyi dan menyeramkan.
Mereka melakukan perjalanan cepat keluar dusun menuju ke arah timur. Pada pagi harinya, setelah melakukan perjalanan beberapa jam lamanya, mereka tiba di kaki bukit dan di luar sebuah hutan telah menanti dua orang yang dari jauh sudah dikenal oleh Hui Song, yaitu dua orang kakek yang pernah bertanding dengan dia, si tosu tinggi kurus dan si hwesio gendut!
Dua orang itu nampak terkejut melihat Hui Song, akan tetapi Siang Hwa segera tersenyum dan memperkenalkan.
"Ji-wi locianpwe jangan khawatir. Cia-tai-hiap telah menjadi sahabat kita yang sehaluan dan sudah kujelaskan semua tentang ji-wi kepadanya. Cia-taihiap adalah putera ketua Cin-ling-pai dan agaknya dialah yang memiliki kemampuan untuk membuat usaha kita berhasil."
Dua orang itu kini sikapnya berbeda dengan ketika pertama kali bertemu dengan Hui Song. Mendengar ucapan Siang Hwa, mereka segera menjura kepada Hui Song dengan sikap hormat dan ramah.
"Cia-taihiap, maafkan kami yang telah bersikap tidak patut kepadamu," kata Ciang-tosu yang sebenarnya adalah Hui-to Cin-jin, seorang diantara Cap-sha-kui yang belum pernah dikenal Hui Song.
"Ha-ha-ha, ada peribahasa mengatakan bahwa Tidak Berkelahi Maka Tidak Kenal ternyata benar! Cia-taihiap, kita sudah saling bertanding, maka saling mengenal isi perut masing-masing! Ha-ha-ha!" Ciong hwesio yang sebenarnya adalah Kang-thouw Lo-mo juga berkata.
"Cia-taihiap, harap maafkan. Ciang-tosu memang selalu serius dan Ciong-hwesio sebaliknya suka bergurau!"
Siang Hwa cepat berkata untuk memberi isyarat kepada kedua orang temannya bahwa ia memperkenalkan mereka kepada Hui Song sebagai Ciang-tosu dan Ciong-hwe-sio.
"Siancai... memperoleh seorang pembantu seperti Cia-taihiap sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar!" kata Ciang-tosu.
"Omitohud, sungguh pinceng yang tidak becus sehingga merepotkan saja kepada putera ketua Cin-ling-pai." kata pula Ciong-hwesio.
Berangkatlah empat orang itu melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan itu dilakukan dengan cepat dan setelah mereka melewati dan menyeberangi Sungai Ching-ho, tibalah mereka di kaki Pegunungan Lu-liang-san yang amat luas itu.
Perjalanan sampai ke situ sudah makan waktu lima hari dan selama lima hari itu, Siang Hwa dan dua orang kakek itu selalu bersikap ramah dan sopan sehingga keraguan dan kecurigaan hati Hui Song semakin menipis. Gadis itu memang seorang pendekar wanita, pikirnya, hanya agaknya memiliki kelemahan terhadap pria yang menarik hatinya, ataukah memang gadis ini benar-benar jatuh cinta kepadanya.
Di sepanjang perjalanan, Siang Hwa tidak memperlihatkan sikap genit. Bujuk rayu yang amat berani, yang dilakukan ketika Hui Song tertawan itu, kini sama sekali tidak nampak lagi dan ia hanya kelihatan amat memperhatikan Hui Song dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, seperti biasanya seorang wanita yang jatuh cinta.
Setelah melewatkan malam di kaki bukit, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat lagi, sekali ini memasuki hutan dan melalui jalan yang amat sukar, naik turun bukit dan jurang, melalui jalan liar berbatu-batu yang runcing dan tajam. Jelas bahwa orang biasa akan sukar melalui jalan seperti itu, dan kalaupun ada orang pandai yang dapat, untuk apa mereka bersusah payah mendatangi tempat ini? Tanpa tujuan penting, kiranya tidak akan ada orang begitu gila untuk menyusahkan diri memasuki daerah yang liar dan sukar dilalui ini.
Setelah matahari naik tinggi, di bawah pimpinan Ciang-tosu yang agaknya mengenal baik jalan liar itu, tibalah mereka di daerah berbukit-bukit dan mereka berhenti di depan sebuah bukit yang dikelilingi jurang.
Hui Song terbelalak kagum. Bukit ini seperti sebuah rumah besar saja, dan pintunya adalah sebuah guha yang besar. Agaknya guha ini dahulunya ditutup dengan pintu batu yang amat besar. Akan tetapi pintu batu itu kini sudah terbuka miring dan pada pintu batu yang amat tebal dan beratnya tentu ribuan kati itu terdapat ukiran tulisan tiga huruf yang berbunyi GUHA IBLIS NERAKA.
Sungguh amat indah, megah dan juga menyeramkan. Siapakah orangnya yang sudah dapat membuat pintu batu seperti itu dan siapa pula yang kuat membukanya? Kalau menggunakan tenaga manusia biasa, sedikitnya membutuhkan lima puluh orang yang menggabungkan tenaganya. Dan guha yang sudah terbuka itu nampak begitu luas, seolah-olah bukan guha melainkan sebuah pintu tembusan menuju ke sebuah dunia yang lain lagi, dunia penuh dengan batu-batu raksasa yang aneh-aneh bentuknya, seperti diukir saja. Ataukah ini merupakan istana besar yang dihuni setan?
Empat orang itu begitu terpesona dan asyik memandang ke dalam, berdiri seperti patung-patung di depan guha yang pintunya terbuka itu sehingga mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi, sebelum mereka tiba di tempat itu, jauh tinggi di atas pohon terdapat seorang gadis yang mendekam di atas dahan dan bersembunyi di balik daun-daun lebat, mengintai ke arah mereka!
Seorang gadis manis yang cantik jelita, berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah periang dan bermata kocak, berpakaian sederhana.
Kalau saja Hui Song dapat melihat gadis itu, tentu dia akan berteriak kegirangan karena gadis itu adalah wanita yang selama ini selalu terbayang olehnya, dibawa ke dalam mimpi, dan tak pernah dilupakannya. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!
"Sebaiknya kita masuk sekarang sebelum gelap," kata Ciang-tosu atau Hui-to Cin-jin sambil menunjuk ke dalam dengan tangan kirinya.
"Mari, taihiap, kita masuk, biar aku yang menjadi penunjuk jalan karena aku yang sudah beberapa kali pernah masuk kesini!" kata Siang Hwa.
ASMARA BERDARAH JILID 095(↕)
Hui Song yang sudah tertarik sekali mengangguk. Mereka berempat lalu masuk ke dalam guha, Siang Hwa dan Hui Song di depan, diikuti oleh dua orang kakek itu. Setelah mereka berempat masuk, Sui Cin dari atas "melayang" ke bawah. Ya, gerakannya itu seperti seekor burung melayang saja, demikian ringan dan cepatnya.
Ternyata gadis ini jauh berbeda dengan Sui Cin tiga tahun yang lalu. Gerakannya sungguh luar biasa dan ia telah benar-benar menguasai ilmu Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) dengan baik. Dengan gerakan yang amat sigap, iapun menyelinap masuk ke dalam guha di sebelah sana pintu dan ternyata di bagian dalam itu merupakan daerah yang luas dan berbatu-batu sehingga memudahkan gadis ini untuk menyelinap diantara batu-batu, bersembunyi dan membayangi empat orang yang berloncatan di sebelah depan.
Setelah melalui perjalanan berliku-liku diantara batu-batu besar, empat orang itu berhenti di depan terowongan dan memandang ke depan.
"Inilah jembatan batu pedang itu!" kata Siang Hwa dan Hui Song memandang terbelalak ke depan.
Hebat memang. Bukan jembatan, melainkan lorong yang penuh dengan batu-batu meruncing seperti dibuat oleh tangan manusia sakti saja. Lorong itu demikian penuh dengan batu-batu meruncing ini sehingga untuk melewati lorong itu, satu-satunya jalan haruslah berloncatan dari batu ke batu, di atas ujung-ujung batu runcing seperti pedang itu! Dan untuk mengerjakan ini bukanlah hal yang mudah, membutuhkan gin-kang yang sudah matang dan juga tenaga sin-kang yang kuat.
"Nah, disinilah semua teman mogok. Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah pernah mencoba, akan tetapi mereka hanya sampai beberapa meter saja. Aku sendiri sudah tiga kali melewati jembatan ini dengan hasil baik, akan tetapi selanjutnya aku tidak sanggup lagi. Di sebelah depan sana terlalu berbahaya dan sukar," Siang Hwa menerangkan.
"Apakah kesukarannya?" Hui Song bertanya.
"Menuturkannya membuang-buang waktu saja dan tidak ada gunanya. Marilah kita melewati jembatan ini dulu, di depan engkau akan dapat melihatnya sendiri, taihiap. Mulai dari sinilah aku membutuhkan bantuan seorang seperti engkau maka selanjutnya engkaulah yang memimpin karena kepandaianmu jauh lebih lihai dan dapat dipercaya daripada aku sendiri."
"Nanti dulu, nona. Selama beberapa hari aku mengikutimu dan membantumu tanpa banyak bertanya. Kini kita telah tiba di tempat ini dan kukira aku berhak mengetahui segala sesuatu tentang pekerjaan yang kita lakukan. Tempat apakah ini sebenarnya dan harta pusaka itu milik siapakah? Bagaimanapun juga, aku sungguh tidak akan mau membantu kalau terdapat kenyataan bahwa kita sedang melakukan pencurian atau perampasan."
Mendengar ini, Siang Hwa dan dua orang kakek itu saling pandang dan nampak keraguan pada pandang mata dua orang kakek itu. Akan tetapi Siang Hwa mengangguk dan berkata.
"Memang sudah sepatutnya kalau taihiap mengetahuinya, dan orang yang lebih mengetahuinya mengenai harta pusaka itu adalah Ciang-to-su." Dan ia menoleh kepada kakek berpakaian tosu itu. "Ciang-locianpwe, Cia-taihiap adalah orang segolongan dan sehaluan, tiada salahnya kalau mendengar tentang harta pusaka ini. Harap locian-pwe suka menjelaskannya."
"Siancai, sesungguhnya cerita mengenai harta pusaka ini merupakan rahasia besar, tadinya rahasia keluarga pinto, kini menjadi rahasia kita yang menentang pemberontakan. Akan tetapi karena Cia-taihiap, biarlah pinto membuka rahasia dan menceritakannya."
Kakek yang berlagak seperti pendeta beragama To itu mulai bercerita. Kiranya dia adalah keturunan Bangsa Mongol, bahkan nenek moyangnya pada hampir dua ratus tahun yang lalu merupakan pejabat tinggi atau ningrat dalam Kerajaan Goan yang berbangsa Mongol. Ketika itu pemerintahan Mongol yang memakai nama Dinasti Goan menguasai seluruh Tiongkok dan cerita tosu ini terjadi pada waktu pemerintahan dipegang oleh Kaisar Shun Ti (1333-1368).
Pada waktu itu hasil tanah rampasan dari daerah-daerah yang tadinya masih belum mau mengakui kekuasaan Kerajaan Goan kemudian ditaklukkan, dibagi-bagi diantara para ningrat Mongol. Pembagian itu amat besar karena paling kecil tanah yang dibagikan kepada mereka itu mencapai luas seratus hektar!
Terjadilah perampasan-perampasan karena para pejabat tinggi menjadi "mabok tanah" dan timbullah tuan-tuan tanah dalam arti yang sebenarnya karena mereka itu masing-masing memiliki tanah yang ratusan, bahkan ribuan hektar luasnya! Tentu saja orang yang menguasai tanah sampai sekian luasnya itu merupakan raja kecil dalam tanah yang dikuasainya.
Tanah-tanah itu oleh para tuan tanah disewakan kepada buruh-buruh tani dengan memungut hasil tanah yang amat menekan, seolah-olah para petani itu diperas keringatnya dan dihisap sebagian besar hasil tenaga mereka. Dan para petani itu tetap mau saja diperas seperti itu karena mereka hanya bermodal tenaga, tidak memiliki tanah secuilpun. Tanpa adanya tanah, kepandaian dan tenaga mereka untuk bercocok tanam tidak ada artinya dan mereka perlu makan setiap hari.
Dengan adanya kekuasaan mutlak yang dipergunakan dengan sewenang-wenang ini, maka banyak diantara para pejabat tinggi dan ningrat ini yang berhasil menumpuk harta kekayaan yang sukar dibayangkan banyaknya. Dan diantara mereka itu terdapat nenek moyang Ciang-tosu atau yang sesungguhnya berjuluk Hui-to Cin-jin itu!
Pembesar Mongol ini menumpuk harta kekayaan yang amat besar, kemudian menurunkan harta kekayaan itu kepada keturunannya sampai akhirnya pemerintah Mongol ditumbangkan oleh rakyat yang memberontak pada tahun 1368 dan berakhirlah pemerintahan penjajah Mongol dan lahirlah Dinasti Beng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa sendiri sampai saat Hui Song mendengar cerita itu dituturkan oleh Ciang-tosu.
Akan tetapi, seperti juga banyak pembesar tinggi pemerintah Mongol lainnya, nenek moyang Ciang-tosu berhasil melarikan sebagian besar harta kekayaannya dan menyembunyikannya ke dalam tempat rahasia yang dinamakan Guha Iblis Neraka itu.
Dengan bantuan beberapa orang pandai, pembesar Mongol itu menyembunyikan harta kekayaan berupa emas dan batu-batu permata dan setelah berhasil menyembunyikannya, pembesar ini memerintahkan para pengawalnya untuk membunuh semua pembantu sehingga tempat itu menjadi rahasia yang hanya diketahuinya sendiri saja.
Rahasia ini dibawanya lari ketika pemerintahan bangsanya jatuh dan hanya sedikit harta benda yang dapat dibawanya lari ke utara. Dan rahasia itu menjadi warisan bagi anak cucunya. Akan tetapi, tidak mudah bagi anak cucunya untuk dapat mengambil harta pusaka yang tersimpan di tempat yang rahasia dan berbahaya itu. Ketika menyimpan rahasia itu, orang-orang pandai yang membantunya menggunakan alat-alat rahasia sehingga ketika mereka keluar, alat-alat itu digerakkan dan batu-batu runtuh menimbun dan menghapus jejak sehingga amatlah sukar bagi orang untuk menemukan harta itu, biarpun dia sudah tahu dimana letaknya.
Apalagi bagi orang luar. Dan jalan menuju ke harta karun itupun amatlah sulit dan berbahayanya. Inilah sebabnya, mengapa sampai hampir dua ratus tahun, tidak ada orang yang menemukan harta itu yang masih tersimpan dan tertimbun dengan aman di tempat yang menyeramkan itu.
"Keturunan pembesar penyimpan harta karun itu, yang terakhir adalah pinto sendiri. Akan tetapi, biarpun pinto juga mewarisi pengetahuan tentang harta itu dan memiliki peta yang menunjukkan tempatnya, untuk apakah harta itu bagi pinto yang sejak muda menjadi pendeta? Pula, kepandaian pinto terlalu rendah untuk dapat menggali dan menemukan harta pusaka itu, maka sampai kini pinto tinggal diam saja. Barulah setelah pinto mendengar bahwa rahasia harta karun ini sampai ke telinga para pemberontak dan mereka berusaha mencari dan menguasainya untuk dipakai biaya melakukan pemberontakan, hati pinto tergerak dan bersama kawan-kawan sehaluan pinto berusaha mendapatkan harta karun itu mendahului para pemberontak!"
"Jalan selanjutnya bukan terjun ke bawah, melainkan melompati sumur pasir itu dan berusaha mendarat di seberang," kata Siang Hwa.
"Menyeberang ke sana? Tapi, di depan itu hanya tebing..."
"Inilah mengapa aku mengatakan bahwa tempat ini amat sukar, taihiap. Dan bagian ini bukanlah yang paling sukar. Aku sendiri sudah sampai kesana. Kau lihat batu menonjol di tebing itu, yang berwarna agak kehitaman? Nah, tonjolan batu itu dapat dipakai tempat mendarat. Di sebelah atas tonjolan itu terdapat lekukan yang cukup dalam dan lebar untuk tangan berpegangan dan bergantung, sedangkan di bawah tonjolan batu itu terdapat pula lekukan yang lebih besar lagi untuk tempat kaki berpijak. Kau dapat melihatnya, taihiap?"
Hui Song mengangguk-angguk dan dia merasa kagum kepada nona ini. Seorang diri, Siang Hwa dapat menemukan tempat mendarat yang luar biasa itu, sungguh merupakan kecerdikan dan juga keberanian yang jarang terdapat. Dia sendiri, kalau tidak diberi tahu, belum tentu akan dapat menemukan kemungkinan meloncati sumur pasir dan mendarat di tebing yang curam itu.
"Kalau ragu-ragu, biarlah aku yang melompat lebih dulu, taihiap," kata Siang Hwa.
Mendengar ini, tersinggung rasa harga diri Hui Song. Kalau gadis itu berani meloncati, mengapa dia tidak? Dan pula, setelah melihat tonjolan batu dan lekukan-lekukan pada dinding itu, dia maklum bahwa meloncati dan hinggap di tebing itu bukan merupakan pekerjaan yang terlalu sukar baginya.
"Tidak, biarkan aku melompat lebih dulu."
Tanpa menanti jawaban, Hui Song mengerahkan tenaganya dan meloncat. Dengan mudah saja tubuhnya melayang ke depan dan di lain saat dia sudah hinggap di tebing itu, tangan kanannya mencengkeram lekukan di atas tonjolan batu dan kaki kirinya hinggap di lekukan bawah.
"Bagus, sekarang harap merayap ke kiri. Di balik batu itu terdapat batu datar, harap berputar di balik batu dan meninggalkan tempat mendarat itu untukku, taihiap."
Hui Song merayap ke kiri, berpegang kepada lekukan-lekukan di permukaan tebing yang tidak rata dan sebentar saja dia menemukan tempat yang dimaksud oleh gadis itu. Memang, di balik tebing terdapat batu datar dan diapun berputar dan berdiri di atas batu datar itu. Kiranya di balik tebing terdapat lereng yang batunya datar.
Dia memandang ketika gadis itu meloncat dan ternyata Siang Hwa mampu pula meloncati sumur pasir itu dengan mudah, hinggap di tempat dia mendarat tadi. Tak lama kemudian gadis itu telah berdiri di sampingnya, dan sebuah tangan yang hangat lunak memegang tangannya. Dia merasa betapa tangan gadis itu agak dingin gemetar.
"Kenapa?" tanyanya heran.
Jari-jari tangan itu mencengkeram dengan hangat, lalu melepaskan kembali pegangannya.
"Maaf, taihiap. Aku selalu merasa tegang sekali kalau sudah meloncati sumur mengerikan itu, teringat kepada teman-teman yang telah ditelannya."
Ia bergidik. Kemarahan Hui Song karena kemesraan yang lancang itu lenyap dan dia merasa kasihan.
"Engkau tidak sendirian, nona. Akupun merasa tegang dan ngeri. Tempat ini memang sungguh menyeramkan dan sukar dilalui. Akan tetapi aku berjanji akan membantu sampai engkau dapat menemukan tempat penyimpanan harta karun itu, terutama demi untuk menentang para penjahat yang hendak memberontak."
"Terima kasih, Cia-taihiap, mari kita lanjutkan perjalanan ini. Tidak jauh lagi, akan tetapi masih harus melalui dua tempat yang lebih sukar dan lebih berbahaya lagi. Nah, kau lihat, di depan itu terbentang rawa yang menghalang perjalanan menuju ke tempat penyimpanan harta karun itu. Perjalananku yang sudah-sudah, untuk pertama kalinya ketika aku melakukan perjalanan seorang diri menyelidik, hanya sampai di tepi rawa ini dan aku tidak mampu melanjutkan. Kemudian aku datang lagi dibantu oleh seorang yang cukup lihai dan kami berhasil menyeberang, akan tetapi pada rintangan terakhir kami gagal dan pulangnya, temanku itu celaka dan tewas di rawa itu."
Kalau saja Hui Song tahu akan kebohongan gadis ini, tentu dia akan bergidik ngeri. Memang benar gadis itu pernah berhasil menyeberangi rawa dengan bantuan seorang gagah, akan tetapi setelah gagal menemukan harta pusaka, khawatir karena rahasia harta karun itu telah diketahui orang luar, secara keji ia lalu membunuh orang gagah yang tadinya membantunya itu di tengah rawa!
Mendengar ini, Hui Song memandang rawa itu dengan penuh perhatian. Mereka kini sudah tiba di tepi rawa. Sebuah rawa yang kecil saja, akan tetapi sungguh tidak mungkin dilewati tanpa mempergunakan alat. Melompati rawa ini hanya mampu dilakukan oleh burung dan binatang bersayap lainnya saja. Rawa itu merupakan air lumpur yang ditumbuhi bermacam tumbuh-tumbuhan yang biasa hidup di atas lumpur dan tidak melihat perahu atau alat lain untuk menyeberang.
"Bagaimana cara menyeberangi rawa ini dan apa bahayanya, nona?" ta-nyanya.
Siang Hwa tersenyum.
"Nampaknya aman dan tenang, bukan? Akan tetapi ketahuilah, taihiap, dibawah permukaan air berlumpur yang kelihatan tenang itu bersembunyi binatang-binatang iblis yang amat mengerikan dan liar sekali. Binatang yang siap mengintai dari bawah untuk menerkam dan menyerang siapa saja yang berani melintas di permukaan rawa."
"Binatang apakah itu?"
ASMARA BERDARAH JILID 096(↕)
"Lihat, akan kupancing keluar mereka!" kata Siang Hwa, kemudian ia mengambil sebatang kayu dan menggunakan kayu itu untuk mengaduk-aduk dan menggerak-gerakkan permukaan air berlumpur di tepi rawa.
Tak lama kemudian air berlumpur itu berguncang dan muncullah moncong beberapa ekor binatang seperti buaya dan mereka bergerak ganas, memukul-mukul dengan ekor mereka yang seperti gergaji ke arah kayu itu bahkan ada yang menggunakan moncongya untuk menyerang.
Moncong itu mengerikan. Panjang dan ketika dibuka, amat lebarnya, penuh dengan gigi yang tajam meruncing seperti gigi gergaji pula! Dan gerakan ini memancing datangnya segerombolan binatang ini sehingga dalam waktu singkat saja di seluruh permukaan rawa itu nampak moncong atau ekor tersembul keluar! Mungkin ada ribuan ekor di seluruh rawa itu.
"Ah, sungguh berbahaya!" Hui Song bergidik ngeri. Bagaimana mungkin mereka akan dapat melawan sekian banyaknya binatang liar dan buas ini? "Lalu begaimana kita akan dapat menyeberang?"
Siang Hwa tersenyum, agaknya bangga akan pengetahuan dan kecerdikannya.
"Kita tidak dapat menggunakan perahu. Selain akan sukar meluncur, juga sekali terpukul ekor binatang itu, perahu kayu akan hancur berkeping-keping. Kita menggunakan bambu. Kalau kita berdiri di atas bambu dan mendayung, tentu bambu akan meluncur laju dan kalau kita berdua, kita dapat berjaga di kedua ujung bambu. mengusir dan menghantam setiap ekor binatang yang berani mendekat dengan pentungan kayu yang dapat kita cari disini. Seorang diri saja akan amat berbahaya karena kalau kita diserang dari depan belakang, selagi berdiri di atas bambu dan mengatur keseimbangan badan pula, akan sukarlah menyelamatkan diri."
Gadis itu lalu mengajak Hui Song pergi mengambil alat-alat itu yang disembunyikannya di balik bukit kecil tidak jauh dari situ. Mereka lalu menggotong sebatang bambu yang panjangnya kurang lebih tiga meter, kedua ujungnya meruncing. Bambu ini sudah tua dan kering, kuat dan ulet sekali dan Siang Hwa juga sudah menyediakan dayung sebanyak dua batang dengan gagang panjang. Dayung ini terbuat dari kayu dilapis baja dan ujungnya bahkan seluruhnya terbuat dari besi, maka dayung ini dapat dipergunakan untuk mendayung perahu istimewa berupa sebatang bambu itu, juga dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh untuk menghadapi binatang-binatang seperti buaya itu.
"Hemm, kiranya engkau sudah mempersiapkan segalanya, nona," kata Hui Song kagum.
"Sudah kukatakan bahwa sudah beberapa kali aku datang ke tempat ini, taihiap. Namun sampai kini tanpa hasil dan sekaranglah timbul harapanku akan berhasil, dengan bantuanmu. Mari kita menyeberang. Biar aku menjaga di ujung depan dan engkau di ujung belakang, taihiap."
"Baiklah!" kata Hui Song yang merasa betapa jantungnya berdebar juga ketika batang bambu itu diturunkan di atas permukaan air berlumpur.
Siang Hwa meloncat ke atas bambu dan berjalan sampai ke ujung depan, diikuti oleh Hui Song. Jangan dikira mudah berdiri di atas batang bambu besar yang terapung di atas air berlumpur. Bambu itu bergoyang-goyang dan condong untuk berputar sehingga orang yang tidak memiliki gin-kang yang tinggi dan pandai mengatur keseimbangan tubuh, tentu akan terbawa berputar dan terpelanting ke dalam air berlumpur itu. Dan di kanan kiri bambu itu kini sudah nampak moncong-moncong mengerikan dan ekor-ekor yang panjang dan kuat!
"Jangan sembarangan memukul mereka, taihiap. Kalau ada yang mencoba menyerang, baru kita memukul, akan tetapi sekali pukul harus mengenai kepalanya dan harus menewaskannya, kalau tidak dia akan mengamuk dan berbahayalah kita. Sesudah seekor kita tewaskan, kita harus cepat mendayung bambu ini meluncur maju, karena bangkainya akan dijadikan rebutan kawan-kawannya sendiri sehingga air lumpur akan berguncang hebat."
Hui Song mengangguk-angguk, matanya tidak berani berkedip memandang ke sekelilingnya dan diapun menggerakkan dayungnya membantu Siang Hwa yang sudah mulai mendayung. Bambu yang ujungnya runcing itu menggeleser lembut dan meluncur dengan cepatnya di atas permukaan air berlumpur itu, menyusup diantara alang-alang dan tumbuh-tumbuhan lain.
Baru belasan meter bambu mereka meluncur, setelah banyak pasang mata di belakang moncong-moncong itu memandang seperti terkejut dan terheran, mulailah datang serangan itu. Seekor binatang liar menerjang dari depan menyambut ujung bambu. Melihat behaya ini, Siang Hwa menggerakkan dayungnya, menyambut dengan hantaman keras.
"Prakkk!"
Pecahlah kepala binatang itu dan dengan dayungnya Siang Hwa mencongkel dan melempar bangkai binatang itu agak jauh. Hui Song melihat betapa tempat dimana bangkai itu jatuh kini penuh dengan binatang yang mengeroyok dan memperebutkan bangkai yang sebentar saja sudah dirobek-robek dan ditelan habis. Air lumpur menjadi merah warnanya. Diam-diam dia bergidik juga membayangkan bagaimana kalau tubuh manusia yang dijadikan rebutan seperti itu!
"Cepat dayung!" Siang Hwa berteriak.
Mereka mendayung dan bambu meluncur ke depan, akan tetapi terpaksa Hui Song harus berhenti mendayung karena tiba-tiba seekor binatang yang amat besar berenang dengan cepat dan memukulkan ekornya ke arahnya. Dayungnya terlampau pendek untuk mencapai kepala buaya itu, maka dia hanya mempergunakan dayung untuk menangkis ekor.
Buaya itu kesakitan dan marah, membalik dan dengan moncong dibuka lebar dia menyerang, hendak menggigit apa saja. Hui Song menggerakkan dayungnya dan pecahlah kepala binatang itu. Seperti yang dilakukan oleh Siang Hwa tadi, dengan dayungnya dia mendorong dan melemparkan bangkai itu agak jauh dari bambu. Bangkai itu segera menjadi rebutan seperti tadi.
Akan tetapi, agaknya binatang-binatang itu menganggap bahwa dua orang penunggang bambu itu mendatangkan rejeki dan memberi makanan kepada mereka, kini mereka semua bareng menghampiri dan nampak betapa moncong-moncong itu muncul banyak sekali di kanan kiri, depan dan belakang perahu.
“Dayung cepat...!"
Siang Hwa berteriak khawatir melihat begitu banyaknya binatang yang mendekati bambu. Kembali mereka mendayung sambil mengerahkan tenaga sin-kang dan karena tenaga Hui Song memang besar sekali, dayungnya membuat bambu itu meluncur dengan amat lajunya.
Akan tetapi, baru sampai di tengah-tengah rawa, bambu itu sudah dikurung oleh ratusan ekor binatang buas itu yang kini agaknya menjadi marah karena tidak mendapatkan makanan lagi. Binatang ini agaknya mempunyai watak seperti ikan-ikan hiu di lautan. Mereka bekerja sama dengan rukun, akan tetapi sekali mencium darah, mereka tidak memperdulikan darah kawan atau lawan. Semua yang berdarah akan diserbu dan diganyang dengan lahapnya!
Melihat ancaman hebat ini, Siang Hwa berteriak,
"Taihiap, cepat, kita berkumpul di tengah dan saling melindungi!"
Mereka berdua melangkah ke tengah-tengah bambu dan beradu punggung, menghadapi penyerbuan binatang-binatang buas itu.
"Bunuh sebanyaknya dan lemparkan bangkai mereka ke sana-sini, untuk mencerai-beraikan mereka!"
Kembali gadis itu berkata dengan tenang, namun hanya sikapnya yang tenang, suaranya agak gemetar. Diam-diam Hui Song merasa kagum. Dia sendiri merasa ngeri dan dia tahu bahwa kalau hanya sendirian saja, akan lebih besarlah bahayanya, walaupun dia tentu akan memperoleh akal untuk menyelamatkan dirinya.
Kini, binatang-binatang liar itu menyerbu dari kanan kiri dan kedua orang muda itu menggerakkan dayung mereka untuk menyambut. Terdengar suara keras pecahnya kepala binatang itu berkali-kali disusul terlemparnya bangkai-bangkai mereka ke kanan kiri. Bangkai-bangkai itu menjadi rebutan, akan tetapi karena yang menyerbu amat banyaknya, biarpun sebagian ada yang memperebutkan bangkai kawan sendiri, yang menyerbu bambu itu tetap saja masih amat banyak.
Hui Song merasa tidak leluasa kalau menghadapi sekian banyaknya binatang itu hanya dengan berdiri di atas bambu dan menyambut setiap binatang yang berani menyerang paling dekat. Maka dia lalu meloncat dari atas bambu, menghantam seekor buaya, lalu kakinya hinggap di atas kepala seekor buaya lain, menghantam lagi dan dengan cara berloncatan dari kepala ke kepala, dia dapat membagi-bagi pukulan dengan lebih baik.
Sebentar saja, belasan ekor buaya telah pecah kepalanya dan terjadilah perebutan bangkai yang hiruk-pikuk. Melihat sepak terjang pendekar itu, Siang Hwa terkejut dan juga amat kagum. Biarpun dia tahu bahwa pendekar itu lihai sekali, namun dia tidak pernah mengira bahwa Hui Song akan seberani dan sehebat itu.
"Mari, taihiap, kini ada kesempatan untuk melarikan diri!" katanya setelah kini para binatang itu sibuk sendiri saling serang dan memperebutkan bangkai-bangkai yang banyak itu.
Mereka lalu mendayung lagi setelah dengan sigapnya Hui Song meloncat kembali ke atas bambu. Bambu meluncur cepat dan biarpun ada beberapa ekor binatang yang memburu, namun mereka sudah dapat tiba di seberang dengan selamat. Mereka menarik bambu itu ke darat dan menyembunyikannya ke belakang serumpun semak-semak.
"Hayaaa... berbahaya juga...!" kata Hui Song sambil menyusuti peluh dari lehernya dengan saputangan.
Siang Hwa juga menyusuti keringatriya dan memandang kagum.
"Akan tetapi engkau hebat, taihiap. Sungguh hebat den membuatku kagum sekali. Memang amat berbahaya tadi, dan sekiranya bukan engkau yang mendampingiku, tentu tamatlah riwayat Gui Siang Hwa pada hari ini!"
"Ah, sudahlah jangan terlalu memuji, nona. Engkau sendiri juga mengagumkan sekali. Nah, sekarang apa pula yang akan kita hadapi?"
"Tinggal satu lagi, taihiap, akan tetapi satu yang paling sukar dan biarpun sudah dibantu oleh teman lihai yang akhirnya tewas di rawa, tetap saja aku tidak mampu mengatasi kesukaran terakhir ini. Mari kita lanjutkan perjalanan."
Akhirnya tibalah mereka di depan sebuah guha kecil yang tertutup batu bundar yang besar.
"Nah, di belakang batu besar inilah tempat penyimpanan harta karun, yaitu menurut peta rahasia yang menjadi warisan Ciang-tosu. Akan tetapi, biarpun aku sudah berusaha mati-matian bersama teman itu, tetap saja kami tidak berhasil menggerakkan batu ini yang seolah-olah melekat pada guha di belakangnya."
Hui Song tertarik sekali dan memandang batu besar bulat itu. Batu itu memang besar, akan tetapi karena bentuknya bulat, rasanya kalau orang memiliki tenaga sin-kang yang sudah cukup kuat, tentu akan mampu mendorongnya sehingga menggelinding atau tergeser dari tempat semula.
Gadis ini cukup lihai dan kuat, apalagi dibantu seorang teman yang juga lihai, bagaimana sampai tidak berhasil mendorong batu bulat ini ke samping? Dia tidak boleh mempergunakan tenaga kasar saja. Kalau dua orang itu dengan tenaga digabung tidak berhasil menggeser batu ini, tentu ada rahasianya.
Dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono. Maka mulailah dia meneliti dan mendekati batu itu meraba sana-sini dan memeriksa ke sekelilingnya. Akhirnya dia mengambil kesimpulan bahwa memang batu ini, biarpun tidak melekat dan menjadi satu dengan mulut guha, namun ditahan oleh sesuatu yang membuat batu itu sukar dilepaskan dari mulut guha. Tentu ada alat rahasianya.
"Taihiap, mari kita mencoba untuk menyatukan sin-kang dan mendorong batu ini agar tergeser dan membuka pintu guha," kata gadis itu.
Akan tetapi Hui Song menggeleng kepalanya.
"Nona, kurasa akan percuma saja mempergunakan tenaga kasar memaksa batu ini tergeser. Batu ini besarnya membuat ia tidak mungkin dipecahkan dan biarpun garis tengahnya ada dua meter, mestinya dapat didorong dan digeser. Kalau tidak dapat digeser, itu berarti bahwa di balik batu ini ada sesuatu yang mungkin sengaja dipasang untuk menahan batu ini agar tidak pindah dari tempatnya. Aku mempunyai akal yang akan lebih mudah kita laksanakan."
“Bagaimana, taihiap?" gadis itu memandang penuh harapan.
"Kekuatan manusia ada batasnya. Akan tetapi kekuatan yang timbul dari berat jenis batu ini sendiri akan sukar dapat ditahan oleh alat yang membuat batu itu tidak bergoyah dari tempatnya. Mari kita membuat batu itu melepaskan diri sendiri dengan berat jenisnya."
Mula-mula Siang Hwa tidak mengerti, akan tetapi melihat pemuda itu mulai menggali tanah di sebelah batu besar, ia mengerti dan cepat membantu penggalian itu. Karena mereka berdua adalah orang-orang pandai yang bertenaga besar, sebentar saja mereka sudah menggali cukup lebar dan dalam.
Tiba-tiba Hui Song berteriak mendorong tubuh gadis itu ke samping. Batu itu bergerak! Tak lama kemudian batu itupun menggelinding masuk ke dalam lubang galian di sebelah kirinya dan terbukalah setengah pintu guha itu!
ASMARA BERDARAH JILID 097(↕)
"Awas, jangan masuk dulu dengan sembrono!"
Hui Song memperingatkan dan betapapun ingin hati Siang Hwa, ia cukup waspada dan mentaati peringatan ini. Terdengar suara keras dan tiba-tiba dari dalam lubang guha itu menyambar tujuh batang anak panah menghitam yang sudah berkarat disusul oleh debu yang mengepul keluar, debu yang jelas mengandung racun!
Kedua orang muda itu menyingkir dan bergidik melihat anak panah itu meluncur lewat dan jatuh ke dalam jurang di belakang mereka.
"Aih, sungguh berbahaya sekali!" kata Siang Hwa.
Hui Song mempergunakan tenaga sin-kang untuk pukulan jarak jauh, mendorong dengan kedua telapak tangannya ke arah lubang guha mengusir sisa debu dan juga untuk menahan kalau-kalau dari dalam ada serangan mendadak.
Mereka berindap masuk dan ternyata bukan manusia menyerang mereka, melainkan alat rahasia yang agaknya dipasang orang untuk menyerang siapa saja yang berani membuka batu dan memasuki guha itu.
Ternyata seperti dugaan Hui Song, di belakang batu itu terdapat sambungan besi yang terkait pada kaitan baja yang ditanam di lantai dua. Pantas saja tenaga manusia tidak mampu mendorong batu itu dari luar.
Setelah batu itu bergantung pada lubang yang mereka gali, kaitan baja itu tidak kuat menahan berat batu yang patah. Akan tetapi begitu guha terbuka dan batu tergeser, berjalanlah alat-alat rahasia yang membuat tujuh anak panah itu meluncur keluar dan kantong terisi debu beracunpun jatuh pecah berhamburan. Semua itu digerakkan dengan per yang bekerja setelah batu itu tergeser.
Setelah meniliti semua itu, Hui Song menggeleng kepala kagum.
"Sungguh hebat sekali kepandaian orang yang memasangkan alat rahasia ini."
Akan tetapi Siang Hwa tidak begitu memperhatikan lagi semua alat rahasia itu.
"Taihiap, mari kita masuk. Menurut peta, harta karun tersimpan dalam jarak dua puluh satu langkah dari pintu dan tersembunyi di dalam dinding guha sebelah kiri. Biar kuukur jarak itu!"
Dengan sikap gembira dan penuh ketegangan, Siang Hwa lalu melangkah sambil menghitung dari pintu guha. Setelah dua puluh satu langkah dia berhenti.
"Tentu disini tempatnya," katanya sambil berjongkok dan memeriksa dinding sebelah kiri. Hui Song mendekati, hatinya juga ikut merasa tegang.
"Ihh... apa ini...?" tiba-tiba gadis itu berteriak.
"Awas...!"
Hui Song berseru dan cepat tangan kanannya mencengkeram pundak Siang Hwa untuk ditariknya ke belakang dan tangan kirinya menangkis ketika ada benda hitam tiba-tiba saja meluncur ke arah dada gadis itu.
"Trakkk!"
Benda itu ternyata sebuah tombak kuno yang menghitam dan mudah diduga pula bahwa tombak ini, seperti juga anak panah tadi, mengandung racun. Akan tetapi bukan itu yang mengejutkan hati Hui Song dan Siang Hwa, melainkan jatuhnya pula sebuah kerangka manusia lengkap dari dinding itu.
Tadi Siang Hwa meraba-raba dinding itu dan menemukan besi kaitan yang segera ditariknya dan begitu penutup dinding terbuka, kerangka itu terjatuh berikut tombak yang meluncur!
Hui Song menyingkirkan tombak itu, kemudian bersama Siang Hwa menyalakan lilin-lilin yang sudah mereka bawa sebagai bekal tadi. Di bawah penerangan sinar lilin-lilin yang lumayang terang, mereka melihat bahwa di balik pintu yang menutup dinding tadi terdapat sebuah peti besar hitam.
"Itulah harta karunnya!"
Siang Hwa berseru girang sekali dan melonjak seperti anak kecil. Hui Song tersenym dan pemuda inipun dapat merasakan gejolak hatinya yang ikut bergembira. Usaha mereka berhasil dan semua jerih payah tadi tidak sia-sia.
"Hati-hati, nona. Jangan-jangan ada jebakan lagi atau senjata rahasia. Mari kita turunkan peti itu perlahan-lahan."
Hui Song lebih dulu mencoba dengan mencokel-cokel peti itu menggunakan sepotong batu, bahkan Siang Hwa lalu menghunus pedang dan memukul-mukul di atas peti. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Barulah mereka berani menarik dan menurunkan peti besar itu yang ukurannya lebih dari setengah meter persegi.
"Mengapa begini ringan?" Hui Song berkata.
"Kita buka saja, coba lihat isinya!" kata Siang Hwa tak sabar.
Peti itu dapat dibuka dengan mudah dan merekapun bersikap hati-hati ketika membuka tutup peti. Tidak terjadi sesuatu, akan tetapi keduanya terbelalak memandang ke dalam peti karena peti itu ternyata kosong sama sekali! Bagaikan awan tipis ditiup angin, lenyaplah semua kegembiraan yang memenuhi hati, terganti rasa kecewa yang amat menghimpit batin.
"Peti kosong...!" teriak Siang Hwa kemudian setelah ia dapat mengeluarkan suara.
"Mungkin bukan ini, mungkin di tempat lain," kata Hui Song membangkitkan harapan.
"Tidak, tidak! Pasti ini. Tempatnya sudah tepat, dan memang beginilah gambaran peti dalam peta Liang-tosu... Yang dimaksudkan seperti apa yang diceritakan suhunya. Tapi... sudah kosong. Ah, inilah sebabnya mengapa ada kerangka manusia ini, dan pasti ada orang mendahului kita. Dalam peta tidak pernah disebutkan adanya kerangka manusia atau tombak!"
"Didahului orang? Akan tetapi siapa dapat mendahuluimu, nona? Bagaimana pula dia dapat masuk kalau tadi batu itu masih utuh dan kaitannya juga baru saja terlepas? Dan siapa pula kerangka manusia? Mari kita selidiki!"
Hui Song dan Siang Hwa masing-masing membawa lilin karena bagian dalam guha itu sudah mulai remang-remang, melakukan pemeriksaan dengan hati kecewa dan tegang.
Hui Song ingin sekali membuktikan kebenaran dugaan Siang Hwa bahwa ada orang mendahului mereka. Kalau benar demikian, harus ada tanda-tandanya bagaimana orang itu dapat memasuki guha itu. Ataukah orang itu yang memasang semua alat rahasia di dalam guha itu? Akan tetapi, bukankah jebakan dan alat-alat rahasia itu sudah diketahui oleh Siang Hwa melalui peta, kecuali alat terakhir berupa tombak meluncur tadi? Tidak, kalau benar ada yang mendahului, tentu orang itu mengambil jalan lain yang tidak perlu merusak kaitan batu bundar penutup mulut guha!
Akhirnya usahanya berhasil. Dia menemukan sebuah lubang di lantai guha sebelah kanan, dan ketika dia menyingkirkan tanah yang menutupi lubang itu, lubang itu ternyata menuju ke bawah dan menembus keluar guha, melalui bawah batu! Mengertilah dia kini dan dia berseru kagum.
"Ah, orang itu memasuki guha dengan jalan membuat lubang terowongan di bawah batu. Sungguh cerdik sekali!" katanya.
"Dan kerangka ini adalah kerangka seorang Mongol dan pembunuhnya atau orang yang telah mengambil harta karun ini tentu ada hubungannya dengan perkumpulan rahasia Harimau Terbang di Mongol!"
"Apa...? Begaimana engkau bisa tahu, nona?"
Hui Song mendekati gadis itu yang sedang memeriksa sebuah lencana yang terbuat dari emas.
"Aku pernah mempelajari ciri-ciri khas dari tulang pipi dan dagu orang Mongol asli dan tengkorak kerangka ini jelas adalah tengkorak seorang Mongol. Dan lencana ini kudapatkan dalam genggamannya, agaknya sampai tewas, orang ini terus menggenggam sebuah lencana yang besar kemungkinannya dapat dirampasnya dari leher lawannya yang membunuhnya. Lencana ini adalah tanda anggauta Harimau Terbang, sebuah perkumpulan rahasia di Mongol, yaitu menurut tulisan Mongol yang diukir di atasnya."
Hui Song melihat lencana itu dan dia merasa semakin kagum terhadap Siang Hwa. Kiranya gadis ini selain lihai, juga mempunyai pengetahuan yang luas.
"Jadi kalau begitu kesimpulannya..."
"Seorang atau lebih orang yang lihai dan cerdik sekali telah tahu akan rahasia harta karun ini, dan telah mendahului kita, mungkin sudah belasan bulan melihat betapa mayat ini telah menjadi kerangka yang masih utuh. Dia atau mereka memasuki guha dengan jalan membuat lubang terowongan kecil itu. Kemudian agaknya terjadi perebutan disini, dan orang ini tewas sedangkan dia hanya dapat merampas lencana yang agaknya dipakai oleh lawan sebagai kalung tanpa diketahui lawan itu. Orang itu, atau lebih dari seorang, lalu mengambil seluruh isi peti harta karun, memasukkan mayat orang ini ke dalam lubang bersama peti, memasang sebuah tombak untuk menyerang orang yang datang kemudian membuka tempat penyimpanan peti harta pusaka, Bagaimana pendapatmu, taihiap?"
Hui Song mengangguk-angguk. Perkiraan yang tepat sekali dan dia sendiripun tidak dapat menerka lain.
"Dugaanmu agaknya tepat sekali, nona. Memang hanya seperti itulah kiranya yang dapat terjadi. Alat-alat rahasia di balik batu penutup guha itu dibuat oleh mereka atau dia yang menyimpan harta pusaka itu, sedangkan mayat dan tombak tadi memang ditaruh kemudian, dan pasti oleh si pencuri harta pusaka. Lalu sekarang bagaimana?"
Tiba-tiba Siang Hwa menangis! Hal ini amat mengejutkan hati Hui Song. Dia terkejut dan terheran, sama sekali tidak pernah dapat membayangkan seorang yang gagah dan lihai seperti Siang Hwp dapat menangis sesenggukan seperti anak kecil begitu, akan tetapi dia segera teringat bahwa bagaimanapun juga, Siang Hwa adalah seorang wanita, dan harus diakuinya bahwa mendapatkan peti harta pusaka yang telah kosong itu sungguh merupakan pukulan batin yang amat hebat!
Dia sendiri yang sama sekali tidak mempunyai kepentingan dengan harta itu, yang hanya terlibat secara kebetulan saja, merasa amat kecewa, menyesal dan tertekan batinnya. Apalagi Siang Hwa! Gadis ini sudah lama menyelidiki tempat ini, sudah berkali-kali gagal, bahkan sudah banyak temannya tewas dalam tugas penyelidikan.
Kini, setelah berhasil menemukan tempat dan peti harta pusaka, setelah harapan sudah memuncak di ambang keberhasilan, tiba-tiba saja segala-galanya hancur dan gagal sama sekali! Dia merasa kasihan, lalu teringat bahwa harta pusaka itu diperebutkan hanya demi menentang pemberontakan, bukan untuk kepentingan diri pribadi.
“Sudahlah, nona. Kiranya tidak ada gunanya ditangisi lagi. Pula, kita mencari harta pusaka untuk menghalangi pusaka itu terjatuh ke tangan pemberontak. Dan sekarang seperti dugaanmu tadi, yang mengambilnya adalah orang Mongol, bukan para datuk sesat yang hendak memberontak. Yang penting adalah tidak terjatuh ke tangan pemberontak, jadi sama saja apakah pusaka itu terjatuh ke tangan kita ataukah orang lain asal jangan pemberontak, bukankah begitu?"
Siang Hwa memandang tajam dan sepasang matanya seperti berkilauan di bawah cahaya lilin.
"Taihiap, engkau tentu akan suka membantu kami untuk melakukan pengejaran ke Mongol, membantu kami merampas kembali harta pusaka itu, bukan?"
Hui Song mengerutkan alisnya.
"Untuk apa, nona? Aku... aku mempunyai urusan lain..." dia teringat akan tugasnya seperti yang dipesankan oleh gurunya.
Tentu saja dia tidak berani berterus terang kepada Siang Hwa tentang usaha para pendekar menentang para datuk sesat yang merencanakan pemberontakan, walaupun dia menganggap Siang Hwa juga seorang diantara para orang gagah yang menetang pemberontakan.
Akan tetapi, ucapan gadis itu meyakinkan hatinya dan memperkuat kepercayaannya.
"Taihiap, bukankah kita sehaluan, yaitu hendak menentang para pemberontak? Nah, usaha mendapatkan harta karun itu merupakan pukulan paling hebat bagi mereka, selain mereka gagal memperoleh harta yang akan dapat mereka pergunakan untuk membiayai pemberontakan, juga kita dapat menggunakan harta itu untuk keperluan gerakan menentang mereka."
Timbul kepercayaan di hati Hui Song. Jangan-jangan gadis ini adalah seorang diantara pimpinan para patriot yang hendak membela negara!
"Nona Gui, aku harus pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang..."
Dia memancing sambil menatap tajam wajah gadis itu. Akan tetapi wajah Siang Hwa tidak menunjukkan sesuatu, hanya sepasang mata itu yang berkilat penuh penyelidikan mengamati wajah Hui Song.
"Cia-taihiap, sudah terlalu lama aku sibuk dengan tugasku mencari harta karun ini sehingga aku agak terlambat mengikuti perkembangan gerakan kawan-kawan kita di luar. Tentu disana akan diadakan pertemuan rahasia antara kita, bukan?"
Hui Song mengangguk.
"Para pendekar akan mengadakan pertemuan disana, kalau aku harus membantumu, aku khawatir akan terlambat."
ASMARA BERDARAH JILID 098(↕)
"Ah, kalau begitu aku tidak boleh mengganggumu! Apakah engkau akan datang sebagai wakil dan utusan Cin-ling-pai?"
Betapa inginnya hati Hui Song untuk mengaku demikian. Akan tetapi dia teringat akan sikap ayahnya dan dia tidak berani berbohong, maka diapun tidak menjawab secara langsung melainkan hanya menggeleng kepala.
"Baiklah, kalau begitu terpaksa kami akan melanjutkan sendiri pencarian kami, dan sekarang kita harus keluar dari tempat ini sebelum malam tiba, taihiap."
Akan tetapi, melihat gadis itu mengangkat lilin tinggi di atas kepala dan terus berjalan menuju ke sebelah dalam guha, Hui Song bertanya,
"Eh, jalan kemana, nona?"
"Taihiap, menurut peta yang dimiliki Ciang-tosu, guha ini merupakan terowongan yang menuju ke belakang bukit. Seperti yang kau lihat, di depan sana ada sinar terang, berarti di sana ada lubang mulut guha di belakang bukit ini. Mari kita mengambil jalan kesana, dan melihat keadaannya. Siapa tahu kalau-kalau penjahat-penjahat yang mencuri harta itu menyembunyikan harta itu disana, walaupun harapan ini tipis sekali. Akan tetapi setelah berhasil memasuki tempat yang luar biasa ini, tiada salahnya kalau kita melihat sebentar bagaimana macamnya tembusan guha ini, bukan?"
Hui Song mengangguk dan mengikuti gadis itu. Setelah maju belasan meter dan membelok, benar saja nampak mulut guha dan kini tidak perlu lagi mereka memakal lilin karena cahaya terang memasuki guha dari pintu atau mulut guha itu.
Matahari sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih nampak terang. Silau juga rasanya mata yang sudah lama berada di dalam guha gelap, hanya diterangi api lilin, kini tiba-tiba harus menghadapi cahaya matahari di luar guha itu. Dan pemandangan di depan guha itu sungguh indah, juga amat mengerikan.
Depan guha itu merupakan batu datar yahg lebarnya dua meter dan panjangnya kurang lebih lima belas meter, akan tetapi selanjutnya tidak ada apa-apa lagi, merupakan jurang yang amat curam! Mengerikan kalau memandang ke bawah, yang nampak hanya kabut. Tidak ada jalan keluar dari tempat itu, merupakan jalan mati yang berakhir dengan jurang yang amat dalam.
Di depan nampak puncak bukit batu karang menonjol, jaraknya dari tepi jurang itu tidak terlampau jauh, hanya kurang lebih lima puluh meter, akan tetapi karena adanya jurang yang amat curam itu, nampak menganga mengerikan dan nampak lebih jauh dari kenyataannya.
"Ini merupakan jalan buntu dan mati, tidak ada jalan keluar dari sini. Tidak, nona, pencuri harta pusaka itu tidak mengambil jalan sini, melainkan kembali melalui terowongan kecil yang mereka buat di bawah batu," kata Hui Song sambil menjenguk ke bawah dari tebing jurang itu.
Tidak terdengar jawaban sampai lama. Hui Song menengok dan terbelalak sambil memutar tubuh, memandang dengan terheran-heran kepada tiga orang itu. Siang Hwa, Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah berdiri menghadang di depan mulut guha dengan wajah beringas! Senyum mengejek menghias bibir Siang Hwa yang biasanya bersikap manis dan halus itu.
"Cia Hui Song, pencuri itu tidak keluar dari sini, akan tetapi sekarang engkau harus keluar dari sini!"
"Nona, apa artinya ini?"
Hui Song bertanya, sikapnya masih tenang namun waspada karena dia maklum bahwa tiga orang ini telah membohonginya, buktinya kini dua orang kakek yang katanya tidak dapat melewati jembatan batu-batu pedang itu ternyata telah dapat menyusul ke sini.
"Artinya, engkau harus mampus di sini untuk menebus dosa-dosamu. Pertama, engkau berani menghina dengan menolak perasaan hatiku kepadamu, dan kedua, engkau tidak bersedia membantu kami mencari harta karun itu ke Mongol, dan ketiga, engkau sebagai orang luar telah tahu akan harta karun itu, maka untuk menutup rahasia ini dan untuk menebus dosamu, engkau harus mati. Nah, terjunlah ke dalam jurang itu."
“Tapi... bukankah kita sehaluan...?" Hui Song bertanya, bukan karena takut melainkan karena penasaran dan heran.
"Ha-ha-ha-ha!" kakek gendut yang disebutnya Ciong-hwesio tertawa bergelak. "Sehaluan? Ha-ha-ha...!"
"Nona, apa artinya semua ini?"
Hui Song membentak kepada Siang Hwa, merasa cukup dipermainkan dan menuntut penjelasan, namun matanya tidak lepas dari sikap mereka itu karena dia cukup mengenal kelihaian dan kecurangen mereka.
"Orang tampan yang berhati dingin, engkau ingin tahu dan masih belum dapat menerkanya? Baik, dengarlah sebelum engkau mati. Aku Gui Siang Hwa adalah murid Pangeran Toan Jit-ong dan aku mewakili suhu mencari harta karun. Mereka ini adalah para pembantu suhu yang berjuluk Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo..."
Mata Hui Song terbelalak dan ingin dia menampar muka sendiri karena merasa menyesal sekali atas kebodohannya. Dia seperti pernah mendengar nama kedua orang kakek itu, mengingat-ingat lagi mengangguk-angguk.
"Kiranya dua orang dari Cap-sha-kui...? Bagus sekali kiranya kalian bertiga adalah komplotan busuk itu sendiri!"
"Cia Hui Song, lebih baik kau cepat meloncat ke bawah, atau engkau lebih suka kami yang memaksamu?"
Siang Hwa menghunus pedang tipisnya. Hui-to Cin-jin juga sudah menghunus keluar sepasang pisau belati, sedangkan kakek gendut Kang-thouw Lo-mo melepaskan tali guci arak yang tadinya tergantung di pinggang. Kiranya guci arak kecil ini juga dapat dipergunakan sebagai senjata oleh si gendut ini!
Hui Song tersenyum mengejek, timbul kembali kegembiraan dan ketabahannya. Lebih baik menghadapi lawan secara berterang begini daripada menghadapi mereka yang disangkanya teman sehaluan yang dapat dipercaya.
"Perempuan hina, jangan disangka bahwa aku takut menghadapi kalian bertiga. Dahulu, karena tidak mengira bahwa engkau adalah seorang iblis betina, aku terjebak. Jangan harap sekarang akan dapat mengulangi lagi kecuranganmu itu!"
"Manusia sombong!" bentak Hui-to Cin-jin yang tadinya diberi nama Ciang-tosu itu dan tiba-tiba sinar kilat menyambar ketika kedua tangannya bergerak.
Dua batang pisau itu telah menyambar ke arah tenggorokan dan perut Hui Song dengan kecepatan kilat! Memang inilah keistimewaan kakek itu, bahkan nama julukannya Hui-to (Pisau Terbang).
Akan tetapi sekali ini Hui Song sudah siap siaga dengan penuh kewaspadaan, maklum bahwa yang dihadapinya adalah lawan-lawan yang tangguh, berbahaya dan juga curang sekali. Maka begitu melihat ada dua sinar berkelebat, dengan tenang saja dia menggerakkan tangannya dan dengan sentilan jari tangannya, dua batang pisau itu runtuh ke atas tanah dan menancap sampai hanya nampak gagangnya saja! Tosu itu terkejut dan kedua tangannya sudah memegang dua batang pisau lainnya.
Siang Hwa yang sudah maklum akan kelihaian Hui Song, sudah menerjang ke depan dan pedangnya sudah berkelebat membentuk gulungan sinar yang menyambar-nyambar.
Hui Song dengan tenang mengelak ke sana-sini, dan karena tempat itu memang sempit, diapun mengelak sambil membalas dengan tendangan kakinya yang hampir saja mengenai lutut lawan.
Gadis itu terpaksa meloncat ke belakang dan menyerang lagi, sekali ini dibantu oleh dua orang kawannya yang masing-masing mempergunakan sebuah guci arak dan sepasang pisau belati.
Hui Song melihat bahwa dua orang kakek itupun ternyata lihai sekali, maka diapun bergerak dengan hati-hati. Namun, di belakangnya terdapat jurang yang amat curam dan dia didesak oleh tiga orang yang kepandaiannya tinggi dan bersenjata, maka betapapun lihainya, dia tersudut dan terancam bahaya maut. Gerakannya kurang leluasa, terutama karena ada ancaman maut ternganga di belakangnya dan tiga orang lawan yang cerdik itu agaknya memang hendak mendesak dan memaksanya untuk terjun ke dalam jurang.
Tiba-tiba Siang Hwa mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tangan kirinya sudah mengeluarkan saputangannya yang mengandung bubuk obat bius. Akan tetapi Hui Song sudah siap pula menghadapi ini. Mulutnya meniup dan bubuk obat bius itu buyar membalik, juga dia menahan napas dan baru berani menarik napas setelah racun itu lenyap.
Pada saat itu kembali Hui-to Cin-jin menyerang dengan sepasang belatinya dan tiba-tiba, ketika pemuda itu mengelak, tosu itu melepaskan dua batang pisaunya menjadi sambitan dari jarak yang amat dekat!
Hui Song tidak menjadi gugup dan berhasil menyampok dua batang pisau itu. Pada saat itu, Siang Hwa sudah menyerang dengan pedangnya menusuk ke arah perut sedangkan si gendut menghantam dari samping ke arah kepalanya menggunakan guci arak itu!
Hui Song meloncat dan hendak menangkap hantaman guci arak, akan tetapi pedang Siang Hwa membalik dan tahu-tahu sudah menyerempet pahanya.
"Brettt...!"
Ujung pedang itu merobek celana kakinya yang kanan, merobek celana itu dari paha ke bawah sampai betis, akan tetapi ujung pedang itu tidak mampu membuat luka dalam, hanya membuka sedikit kulit kaki yang biarpun mengeluarkan darah namun bukan merupakan luka yang berat, hanya lecet saja.
"Iblis-iblis busuk yang curang!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dari dalam guha itu berkelebatan bayangan orang yang amat cepat dan ringan gerakannya. Begitu tiba di luar mulut guha, bayangan ini sudah menendang ke arah perut gendut Kang-thouw Lo-mo dan tangan kirinya mencengkeram ke arah kepala Hui-to Cin-jin!
Gerakannya demikian cepatnya sehingga hampir saja perut gendut itu tercium ujung sepatu. Si gendut cepat mundur, akan tetapi tetap saja pinggangnya terserempet tendangan yang membuat dia terbuyung. Hui-to Cin-jin juga terkejut akan tetapi mampu menghindarkan diri.
"Sui Cin...!"
Hui Song berseru girang bukan main ketika mengenal wajah gadis yang baru datang itu. Tadinya ketika melihat bayangan berkelebat datang membantunya dan melihat bahwa bayangan itu adalah seorang gadis, dan masih belum mengenalnya, akan tetapi kini dia dapat melihat jelas dan kegembiraan yang amat besar menyelinap dalam hatinya ketika dia menyebut nama gadis itu.
Sui Cin meloncat dekat dan mereka saling melindungi.
"Song-ko, jangan khawatir, aku membantumu. Mari kita hajar tiga ekor tikus ini... eh, mana mereka?"
Ternyata Siang Hwa dan dua orang kakek itu sudah lenyap dari depan mulut guha. Hui Song terkejut.
"Mari kita kejar...!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dan ada pintu besi yang bergerak menutup mulut guha itu, agaknya digerakkan oleh alat rahasia yang membuat daun pintu besi itu keluar dari dalam dinding. Ternyata Siang Hwa amat cerdiknya. Melihat datangnya seorang gadis yang amat lihai membantu Hui Song, ia merasa khawatir dan cepat ia mengajak dua orang pembantunya lari masuk ke dalam guha dan menggerakkan pintu rahasia yang memang sudah diketahuinya.
Hui Song dapat menduga kecurangan itu yang amat membahayakan keselamatan dia dan Sui Cin, maka diapun menerjang daun pintu itu.
"Brungggg...!"
Daun pintu tergetar akan tetapi tidak pecah oleh terjangan kaki tangan Hui Song. Ternyata daun pintu itu terbuat dari baja yang tebal.
"Song-ko, kita dapat lari melalui tebing di depan itu!" kata Sui Cin sambil menunjuk ke arah puncak bukit yang merupakan tebing di depan, di seberang jurang yang tak nampak dasarnya saking dalamnya itu. "Kita dapat meloncat kesana."
Hui Song memandang dan menggeleng kepala.
"Terlalu berbahaya..."
Dia sendiri merasa sanggup meloncat kesana, akan tetapi bagaimana dengan Sui Cin? Terlalu berbahaya bagi Sui Cin, bukan baginya dan meloncati jarak itu sambil menggendong tubuh Sui Cin jelas tidak mungkin.
Sui Cin sudah lama mengenal Hui Song dan mengerti apa yang berada dalam batin pemuda itu.
"Song-ko, jangan khawatir, aku dapat meloncat kesana...!"
ASMARA BERDARAH JILID 099(↕)
Pada saat itu terdengar suara ketawa Siang Hwa dari balik daun pintu baja.
"Ha-ha-ha, orang she Cia. Lebih baik engkau ajak temanmu itu meloncat turun ke dalam jurang karena mau tidak mau kalian harus melakukannya!"
Dan tiba-tiba pintu baja itu terbuka sedikit dan meluncurlah pisau-pisau terbang, jarum-jarum dan juga batu-batu yang dilemparkan oleh tiga orang itu! Karena mereka adalah orang-orang yang lihai, tentu saja lemparan mereka itu amat kuat dan berbahaya, terutama pisau-pisau terbang yang menjadi kepandaian khas dari Hui-to Cin-jin.
Sibuk juga Hui Song dan Sui Cin mengelak dan memukul runtuh senjata-senjata rahasia itu dan dalam gerakan Sui Cin, Hui Song melihat kecepatan yang amat luar biasa. Besarlah hatinya. Agaknya selama tiga tahun ini Sui Cin yang digembleng oleh Dewa Arak Wu-yi Lo-jin telah memperoleh kemajuan pesat, terutama dalam ilmu gin-kang seperti dapat dilihatnya ketika gadis itu tadi menyerbu menolongnya dan kini ketika mengelak dari sambaran senjata-senjata rahasia. Dia dan Sui Cin meloncat ke arah pintu, akan tetapi pintu itu cepat sudah tertutup kembali dari dalam!
"Memang tidak ada jalan lain," kata Hui Song mengerutkan alisnya yang tebal. "Kalau kita berdiam disini, tentu mereka akan mencari akal untuk mencelakakan kita. Kalau cuaca sudah gelap, sukarlah kita untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan gelap mereka. Menerjang pintupun percuma saja. Akan tetapi, benarkah engkau sanggup meloncat kesana, Cin-moi?"
"Tentu saja sanggup, biar aku melompat lebih dulu agar hatimu tiduk akan khawatir lagi."
"Jangan Cin-moi. Jangan, biar aku yang melompat lebih dulu sehingga engkau dapat memperoleh tempat pendaratan yang aman disana."
"Baiklah, Song-ko. Akan tetapi cepat, itu di sebelah kanan kulihat banyak lekukan pada dinding batu, kau loncatlah ke sana, Song-ko."
"Baik, Cin-moi."
"Berhati-hatilah."
Hui Song mengambil ancang-ancang, lalu berlari dan meloncat sambil mengerahkan gin-kangnya, menuju ke tempat pendaratan di tebing bukit di depan. Tubuhnya meluncur seperti seekor burung saja dan tepat tiba pada dinding di mana terdapat banyak lekukan, agak ke bawah.
Dengan cekatan tangannya mencengkeram lekukan batu dan kedua kakinya hinggap pada lekukan batu pula. Dia telah mendarat dengan selamat! Dia menoleh dan tersenyum kepada Sui Cin, lalu berseru,
"Cin-moi, sekarang kau meloncatlah. Ke sebelah kananku ini, banyak lekukan dan baik untuk mendarat. Aku akan menjagamu disini!"
Dia sudah siap dengan tangan kirinya untuk menolong kalau-kalau loncatan Sui Cin tidak mencapai sasaran. Bagaimanapun juga, dia belum tahu sampai dimana kemampuan gin-kang gadis itu.
"Baik, Song-ko, aku meloncat!"
Gadis itu meloncat dengan gerakan yang indah dan cekatan, akan tetapi pada saat itu, Hui Song melihat dua orang kakek itu keluar dari pintu mulut guha yang tiba-tiba terbuka dan melihat betapa kakek gendut itu melontarkan batu-batu yang sebesar kepala orang ke arah Sui Cin yang sedang meloncat.
"Cin-moi, awas...!"
Teriaknya, akan tetapi terlambat. Gadis itu tentu saja sama sekali tidak pernah menduganya bahwa ia akan diserang dari belakang dan dalam keadaan melayang itu, sukar baginya untuk mengelak.
"Bukkk...!" Sebuah batu sebesar kepala tepat mengenai belakang kepalanya.
"Oughhh...!"
Gadis itu mengeluh dan tubuhnya terkulai. Untung baginya bahwa loncatannya tadi amat kuat sehingga tubuhnya kini melayang ke arah Hui Song. Pemuda ini cepat menangkap lengan kiri Sui Cin dan gadis itu bergantung pada pegangannya dengan tubuh lemas. Gadis itu tidak pingsan, akan tetapi kelihatan lemas dan pandang matanya nanar dan agaknya timpukan yang mengenai belakang kepalanya itu membuatnya nanar dan pening.
"Jangan takut... tenang saja... aku menolongmu...!"
Hui Song menghibur dengan kata-kata lembut sambil menguatkan hatinya yang dicekam kegelisahan. Pada saat itu, dia mendengar desir angin dari belakang dan tahulah dia bahwa ada beberapa batang pisau terbang menyambar ke arah tubuh belakangnya. Dia tidak mungkin dapat mengelak atau menangkis, maka Hui Song mengerahkan tenaga sin-kang, disalurkannya ke punggung.
Empat batang pisau mengenai tengkuk dan punggungnya, akan tetapi semua runtuh dan hanya merobek bajunya saja, sama sekali tidak mampu menembus kulit tubuhnya yang dilindungi tenaga sin-kang yang amat kuat.
Dia lalu menarik tubuh Sui Cin ke dinding batu, kemudian memanjat dengan satu tangan saja dibantu pengerahan tenaga pada kedua kakinya dan akhirnya, dengan susah payah, berhasillah dia mencapai puncak yang tidak begitu jauh lagi dan memondong tubuh Sui Cin yang lemas, dibawa meloncat ke balik puncak sehingga terlepas dari sasaran senjata-senjata rahasia lawan.
Hui Song duduk di balik batu besar dan merebahkan tubuh Sui Cin. Gadis itu masih sadar, akan tetapi sepasang matanya yang terbuka itu nampak kosong dan tubuhnya lemas. Cepat Hui Song meraba kepala bagian belakang gadis itu. Hanya terluka sedikit saja akan tetapi banyak darah yang keluar. Dia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan aliran darah, kemudian mengurut tengkuk dara itu perlahan-lahan.
Dia dapat menduga bahwa otak dalam kepala dara itu terguncang oleh hantaman batu sehingga membuat gadis itu nanar dan pening. Dia khawatir kalau-kalau ada kerusakan di dalam susunan syaraf otak. Dengan sin-kangnya yang disalurkan ke dalam telapak tangannya, dia membantu gadis itu untuk menyembuhkan luka di dalam kepala.
Rasa hangat yang menyelinap ke dalam kepala itu agaknya terasa nyaman sekali karena tak lama kemudian, keluhan-keluhan kecil dan rintihan yang tadinya keluar dari mulut Sui Cin terhenti dan tak lama kemudian gadis itupun tertidur pulas.
Hui Song membebaskan jalan darah yang ditotoknya agar tidak menghalangi darah yang mengalir ke otak dan dia menjaga tubuh yang lemah itu tertidur pulas terlentang di depannya. Dia tidak berani membuat api unggun karena khawatir kelau-kalau para iblis itu melakukan pengejaran.
Tiga orang musuh itu lihai dan curang, dan Sui Cin sedang dalam keadaan terluka, maka berbahayalah kalau dia membuat api unggun dan tiga orang itu dapat mencarinya. Karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu Sui Cin tidak dapat mengerahkan sin-kang melawan hawa dingin, dia lalu menanggalkan jubah dan bajunya, menyelimuti tubuh Sui Cin dengan itu dan dia sendiri bertelanjang dada.
Malam itu udara cerah dan bulan bersinar terang. Hawanya dingin sekali akan tetapi dengan kekuatan sin-kangnya, Hui Song mampu bertahan terhadap hawa dingin itu. Dia duduk dekat Sui Cin dan tiada jemunya mengamati wajah gadis itu, wajah yang selama ini selalu terbayang olehnya terbawa dalam mimpi.
"Sui Cin... ah, Cin-moi... tak kusangka bahwa begitu berjumpa, engkau telah menyelamatkan nyawaku..." bisiknya dengan perasaan hati penuh haru.
Dia tahu bahwa tadi, selagi dia diserang oleh tiga orang jahat yang curang itu di tepi tebing, kalau tidak muncul dara ini, besar sekali kemungkinannya dia akan terjengkang dan tewas!
Masih bergidik dia membayangkan bahwa gadis cantik yang tadinya dianggap sahabat dan teman sehaluan, yang dianggap sebagai seorang pendekar yang sedang bergerak menentang para datuk yang hendak memberontak, ternyata malah merupakan tokoh sesat itu sendiri, bukan sembarang orang melainkan murid Raja Iblis!
Dan dua orang kakek yang berdandan seperti tosu dan hwesio itu ternyata adalah dua orang di antara Cap-sha-kui. Sungguh berbahaya sekali. Jelaslah bahwa memang Siang Hwa, gadis murid Raja Iblis itu, sedang mencari harta karun itu untuk membiayai pemberontakan yang dipimpin oleh gurunya. Dan semua yang terjadi tadi memang merupakan perangkap baginya. Tenaganya hendak dipergunakan untuk mencari harta karun dan setelah harta karun itu lenyap didahului orang, dianggap tidak berguna lagi dan tentu saja akan dibunuh.
Hui Song mengepal tinju dan tersenyum dingin.
"Bagaimanapun juga, bagus sekali bahwa aku telah mengetahui akan adanya harta pusaka itu dan akan kuperjuangkan agar harta pusaka itu jangan jatuh ke tangan para pemberontak!"
Untunglah bahwa pencuri harta pusaka itu meninggalkan jejak berupa tanda lencana perkumpulan Harimau Terbang di Mongol. Dia sendiripun harus pergi keluar Tembok Besar untuk menghadiri pertemuan antara para pendekar dan sebelum itu dia akan dapat menyelidiki tentang harta karun yang dicuri itu di Mongol. Akan tetapi sekarang ini, yang terpenting adalah menolong Sui Cin. Dia hanya mengharap dara ini tidak terluka terlalu parah.
Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, Hui Song melihat Sui Cin menggeliat dan mengeluh halus. Dia yang tadinya duduk bersila di bawah pohon, cepat menghampiri sambil tersenyum, jantungnya berdebar girang karena kini dia akan dapat bercakap-cakap dengan gadis pujaan hatinya itu.
"Cin-moi...!" Panggilnya lirih sambil mendekat.
Sui Cin membuka mata, bangkit duduk sambil menoleh. Begitu melihat Hui Song, ia mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya mencelat ke depan, menyerang dengan tendangan ke arah dada pemuda itu.
Gerakannya demikian ringan dan cepat. Andaikata Hui Song sudah tahu sebelumnya bahwa dia akan diserang, biarpun gerakan gadis itu amat cepat, agaknya dia masih akan mampu menghindar. Akan tetapi perbuatan Sui Cin itu sama sekali tidak pernah disangkanya, maka dia terkejut dan heran dan karena itu gerakannya mengelak kurang cepat sehingga ujung sepatu gadis itu masih saja menyambar pundaknya.
"Bukk...!"
Tubuh Hui Song terpelanting dan Sui Cin sudah meloncat lagi datang dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan dan kakinya.
"Heiii...!"
Hui Song terpaksa bergulingan untuk mengelak. Akan tetapi betapapun dia berteriak mencegah, gadis itu seperti kesetanan dan menyerang terus semakin hebat saja. Hui Song terpaksa mempergunakan kepandaiannya, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang harus menangkis karena serangan-serangan gadis itu cepat bukan main.
"Cin-moi, ingatlah... Cin-moi...!"
"Engkau jahat, kejam, curang...!"
Sui Cin memaki-maki dan menyerang terus. Makin lama, Hui Song menjadi semakin bingung dan khawatir. Beberapa kali tubuhnya sudah terkena pukulan atau tendangan, walaupun tidak mengakibatkan luka parah karena dia sudah menjaga diri dengan kekuatan sin-kang, namun terasa nyeri dan beberapa kali dia jatuh bangun.
"Cin-moi, aku... aku Hui Song, lupakah kau padaku?" beberapa kali dia berseru karena kini dia mulai menduga bahwa agaknya gadis ini kehilangan ingatannya, padahal kemarin masih menolongnya, berarti masih ingat kepadanya.
Tidak salah lagi, tentu hantaman batu yang mengenai belakang kepala gadis itulah yang menyebabkan kini Sui Cin seperti lupa kepadanya.
Akan tetapi Sui Cin agaknya tidak perduli dan menyerang terus lebih hebat lagi. Dia mendapat kenyataan betapa kini Sui Cin dapat bergerak amat cepatnya, kadang-kadang seperti berkelebat lenyap saja. Dia merasa kagum dan dapat menduga bahwa tentu kehebatan gadis ini adalah hasil dari bimbingan dari Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun.
Makin lama makin repotlah dia kalau harus bertahan saja. Gerakan gadis itu terlalu cepat dan kalau hanya dihadapi dengan elakan dan tangkisan, akhirnya dia tentu akan terkena pukulan telak yang akibatnya akan berbahaya sekali. Maka, terpaksa untuk menahan gelombang serangan Sui Cin, Hui Song mulai membalas. Gerakannya mantap dan pukulan atau sambaran tangannya amat kuat sehingga ketika Sui Cin menangkis, gadis ini terhuyung.
"Sui Cin, ingatlah...!"
Hui Song masih terus mencoba untuk menyadarkan. Akan tetapi, gadis itu menyerang lagi dan keduanya berkelahi dengan amat serunya. Kini Hui Song juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Dia yakin bahwa Sui Cin kehilangan ingatan dan percuma sajalah kalau dibujuk atau diingatkan dengan omongan. Ia harus dapat merobohkan gadis ini, membuatnya tidak berdaya, baru dia akan berusaha untuk mencarikan obat atau untuk mengingatkan kembali.
Dia membalas dan terjadilah pertandingan yang hebat. Sui Cin bergerak amat cepat berkat ilmu gin-kang bimbingan Wu--yi Lo-jin sedangkan Hui Song sendiri mempunyai gerakan yang juga cepat dan mengandung tenaga sin-kang yang membuat gadis itu agak kewalahan.
ASMARA BERDARAH JILID 100(↕)
Tiba-tiba Sui Cin terhuyung ke belakang dan memegangi kepala dengan tangan kiri. Hui Song menahan gerakannya. Gadis itu terhuyung bukan oleh serangannya dan kini kelihatan memejamkan kedua matanya dan mengeluh.
"Aihh... kepalaku... pening...!"
"Cin-moi, engkau kenapakah...? Sudah ingat lagikah engkau...?"
Hui Song menghampiri dan hendak memegang tangan gadis itu. Akan tetapi Sui Cin merenggutkan tangannya dan menampar. Untung Hui Song dapat cepat meloncat ke belakang sehingga tamparan yang amat berbahaya itu luput. Sui Cin memandang wajah pemuda itu dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi ia mengeluh lagi, memegang kepalanya, lalu ia meloncat jauh dan lari meninggalkan tempat itu.
"Cin-moi, tunggu...!"
Hui Song berteriak memanggil dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, biarpun berkali-kali memanggil, gadis itu sama sekali tidak menjawab atau menoleh, apalagi berhenti. Dan larinya cepat sekali, secepat kijang! Betapapun Hui Song telah mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, tetap saja dia tidak mampu menyusul bahkan semakin jauh tertinggal. Dia sendiri telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu gin-kang, namun tentu saja kalau dibandingkan dengan Sui Cin yang telah menguasai Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, dalam hal berlomba lari, dia masih kalah jauh.
"Cin-moi...!" teriaknya penuh kekhawatiran ketika dia melihat betapa bayangan gadis yang jauh meninggalkannya itu kini lenyap ke dalam sebuah hutan lebat.
Dia mengejar terus akan tetapi menjadi bingung karena di dalam hutan itu dia sudah kehilangan jejak dan bayangan Sui Cin. Berkali-kali dia memanggil sambil berlari ke sana-sini, namun hasilnya nihil dan akhirnya pemuda ini menjatuhkan diri duduk di bawah pohon sambil menghapus keringat yang membasahi leher dan mukanya.
"Sui Cin, kemana kau pergi dan apa yang akan terjadi dengan dirimu?"
Teringat kembali bahwa gadis itu agaknya sedang menderita kehilangan ingatan, dia lalu meloncat bangun dan kembali mencari-cari dengan penuh semangat. Mengenai keselamatan diri gadis itu dia tidak begitu mengkhawatirkan karena biarpun berada dalam keadaan lupa ingatan, ternyata gadis itu kini merupakan seorang wanita yang luar biasa lihainya. Dia sendiripun tadi sampai hampir kewalahan menghadapi Sui Cin. Tidak, tidak ada orang akan dapat sembarangan saja mencelakai gadis yang lihai itu. Akan tetapi dia khawatir bagaimana akan jadinya gadis yang kehilangan ingatan itu.
Akan tetapi dia bingung kemana harus mencarinya, sedangkan ada dua macam tugas penting yang harus dilaksanakannya. Pertama, memenuhi pesan Siang-kiang Lo-jin untuk mendatangi bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar.
Kedua, dia harus menyelidiki tentang harta karun yang agaknya dilarikan orang ke Mongol. Urusan kedua ini tidak kalah pentingnya karena kalau sampai harta karun itu terjatuh ke tangan Raja Iblis, maka pemberontak-pemberontak itu akan semakin berbahaya, memiliki harta untuk membiayai pemberontakan mereka.
Maka secara untung-untungan diapun melakukan pencarian ke arah utara, sambil mencari Sui Cin, sekalian menuju ke tempat yang harus didatanginya. Pemuda ini melakukan perjalanan cepat, di sepanjang perjalanan bertanya-tanya dan menyelidiki kalau-kalau ada orang melihat Sui Cin lewat di situ.
ASMARA BERDARAH JILID 101(↕)
Bagaimana Sui Cin dapat muncul di depan Guha Iblis Neraka dan membantu Hui Song yang terdesak tiga orang lawannya dan berada dalam bahaya? Seperti telah kita ketahui, Sui Cin berpisah dari Hui Song tiga tahun yang lalu setelah ia bersama pemuda itu dan dua orang kakek sakti menyaksikan pertemuan para datuk bahkan sempat membuat kacau dalam pertemuan para datuk sesat itu, gadis ini lalu diajak pergi oleh Wu-yi Lo-jin atau Dewa Arak untuk mempelajari ilmu.
Seperti juga halnya Hui Song yang dibawa pergi dan digembleng ilmu oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas, Sui Cin juga diberi tahu oleh gurunya bahwa ia harus pergi ke utara, ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk mengadakan pertemuan dengan para pendekar yang siap menentang para datuk sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis dengan rencana pemberontakan mereka.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sui Cin mampir ke Pulau Teratai Merah, akan tetapi ayah ibunya tidak berada di pulau itu. Mereka kabarnya pergi untuk mencarinya. Maka Sui Cin lalu meninggalkan surat dan pergi lagi menuju ke utara.
Secara kebetulan saja dalam perjalanannya itu ia tiba di dusun Lok-cun, beberapa hari sebelum Hui Song tiba disitu. Ketika ia lewat di depan kuil kosong, ia melihat dua orang penghuni dusun berlari-larian dengan muka pucat. Sebagai seorang pendekar wanita tentu saja ia menjadi tertarik. Waktu itu sudah senja dan matahari sudah mulai mengundurkan diri dari ufuk barat.
"Kalian mengapa berlari-lari ketakutan? Ada apakah?" tegurnya kepada dua orang dusun yang usianya sudah empat puluhan tahun itu.
Dua orang itu berlari semakin cepat ketika tiba-tiba saja ada seorang wanita cantik berlari di belakang mereka tanpa mereka dengar sebelumnya. Akan tetapi Sui Cin sekali meloncat sudah berdiri menghadang mereka dan mengembangkan kedua lengannya.
"Nanti dulu, kalian harus memberi tahu mengapa kalian berlari ketakutan?"
Dua orang itu memandang kepada Sui Cin dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu seorang di antara mereka berkata,
"Nona... kami... kami dikejar setan..."
Sui Cin memandang ke belakang mereka dan diam-diam ia merasa ngeri. Kalau hanya penjahat, tentu ia sama sekali tidak merasa takut. Akan tetapi setan? Ah, mana ada setan berani mengejar manusia, pikirnya.
"Mana setannya? Dimana?" tanyanya.
Di... di kuil, nona. Memang kuil itu terkenal berhantu, akan tetapi kami tidak memasuki kuil, hanya lewat. Tiba-tiba kami mendengar suara tangis disusul tawa seorang wanita, dan ada bayangan berkelebatan lenyap begitu saja di depan kami...!" dua orang itu masih menggigil, dan yang seorang segera menarik tangan kawannya lalu diajak lari dari tempat itu sambil mengomel.
"Hayo kita pergi, siapa tahu ia ini..."
Keduanya lari tunggang langgang meninggalkan Sui Cin yang tersenyum seorang diri. Sialan, ia malah disangka setan!
Akan tetapi sikap dan keterangan dua orang dusun itu membuatnya penasaran. Benarkah ada setan? Bagaimanapun juga, ia harus membuktikan sendiri, tidak percaya omongan orang begitu saja tentang setan. Selama hidupnya ia belum pernah melihat setan, dan kiranya semua orang pemberani juga belum pernah melihatnya. Yang pernah melihat setan biasanya hanya orang-orang yang sudah mempunyai rasa takut di dalam hatinya, dan sebagian besar setan hanya ada dalam dongengan dan cerita orang lain saja.
Bagaimanapun juga, ia merasa betapa jantung di dalam dadanya berdebar keras ketika ia menghampiri kuil tua itu. Cuaca sudah mulai gelap sehingga kuil kuno itu nampak menyeramkan.
Sui Cin bergerak dengan hati-hati. Mungkin tidak ada setan, akan tetapi kalau dua orang dusun itu melihat bayangan, berarti setidaknya tentu ada orang di sekitar atau di dalam kuil. Dan orang yang dapat berkelebat lenyap di depan dua orang dusun itu begitu saja, jelas bukan orang sembarangan, melainkan memiliki kepandaian tinggi. Ia harus hati-hati dan tidak sembrono. Andaikata ada orang pandai di situ, ia masih belum tahu siapa orang itu dan dari golongan apa. Dan ia merasa betapa tidak patut dan kurang ajar mendatangi tempat orang begitu saja.
Dengan hati-hati sekali, Sui Cin mempergunakan ilmu gin-kangnya yang hebat sehingga tubuhnya bagaikan seekor burung saja berkelebat dan melayang ke atas pohon-pohon, lalu melayang ke atas genteng kuil. Kedua kakinya tidak mengeluarkan bunyi apa-apa sehingga mereka yang berada di dalam kuil, biarpun memiliki kepandaian tinggi, tidak mendengar gerakannya dan tidak tahu akan kedatangan pendekar wanita ini.
Sui Cin melakukan pemeriksaan dari atas genteng kuil dan akhirnya ia dapat melihat tiga orang sedang bercakap-cakap di dalam kuil itu! Ia tersenyum. Bukan setan bukan iblis, melainkan seorang gadis cantik dan dua orang kakek yang sedang bercakap-cakap dengan suara perlahan di dalam ruangan kuil itu, ruangan yang buruk dan temboknya sudah banyak yang retak-retak.
"Dua orang dusun tadi tidak curiga?" tanya si gadis cantik.
"Ha-ha-ha, seperti biasa, orang-orang dusun itu tahyul. Mereka menyangka kami setan dan lari tunggang langgang," jawab kakek gendut sambil tertawa.
"Bagus! Biarlah mereka menyebarkan berita bahwa tempat ini berhantu. Kita tidak ingin diganggu," kata pula si gadis cantik. "Aku lelah sekali malam ini, besok pagi-pagi kita harus mencoba lagi di Guha Iblis Neraka."
"Kurasa percuma saja," kata kakek kurus, "batu besar itu mana bisa kita buka? Sudah kita coba dengan bantuan banyak kawan tetap gagal. Apakah tidak lebih baik kalau kita melapor saja kepada Ong-ya?"
Gadis itu menggeleng kepala.
"Tidak, suhu dan subo kini sedang sibuk dan sukar mencari mereka. Pula, mereka sudah menugaskan ini kepadaku, mana bisa kutinggalkan begitu saja sebelum berhasil? Kita harus mencoba lagi besok pagi-pagi, kalau gagal, biar aku akan mencari bantuan lagi."
Agaknya dua orang kakek itu merupakan pembantu-pembantu si gadis cantik karena mereka kelihatan tunduk dan taat. Mereka berdua lalu duduk bersila di ruangan itu sedangkan si gadis cantik memasuki sebuah kamar yang agaknya menjadi kamar tidurnya di dalam kuil itu.
Yang diintai oleh Sui Cin itu adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis yang berjuluk Siang-tok Sian-li dan dua orang pembantunya, yaitu Hui-to Cin-jin si kakek kurus dan Kang-thouw Lo-mo si kakek gendut, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui.
Ia tidak mengenal siapa adanya tiga orang itu, akan tetapi gadis ini dapat menduga bahwa tiga orang yang berada di dalam kuil itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Percakapan mereka amat menarik perhatiannya, terutama sekali mengenai Guha Iblis Neraka itu. Ingin sekali ia tahu siapa adanya mereka dan tempat macam apakah guha itu.
Karena ia ingin sekali tahu, maka malam itu ia kembali ke penginapan dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia sudah bersembunyi di balik pohon dekat kuil. Pagi-pagi sekali ia melihat tiga orang itu berkelebat keluar dan berlari cepat meninggalkan kuil. Ia semakin tertarik karena ternyata tiga orang itu memang benar memiliki kepandaian tinggi dan dapat berlari cepat sekali. Akan tetapi dalam hal ilmu berlari cepat, ia adalah ahlinya dan tanpa kesukaran sama sekali ia dapat membayangi tiga orang itu dari jauh tanpa mereka ketahui.
Ketika tiga orang yang dibayangi itu tiba di Guha Iblis Neraka, Sui Cin semakin tertarik sekali. Ia mengikuti kegiatan mereka, ikut pula menyeberangi jembatan batu pedang dan melihat betapa mereka gagal membuka batu besar yang menutupi guha di sebelah dalam.
Dari percakapan mereka yang dapat ditangkapnya, akhirnya Sui Cin tahu bahwa mereka itu sedang mencari harta karun yang terdapat di balik batu besar itu! Tentu saja hatinya menjadi semakin tertarik dan ketika akhirnya dengan putus asa mereka gagal lagi, Sui Cin mendengar bahwa gadis cantik itu hendak mencari bantuan.
Ketika mereka pergi, Sui Cin tinggal di situ dan ia sendiripun lalu melakukan penyelidikan. Akan tetapi iapun tidak mampu membuka batu besar penutup guha, dan karena ia tidak tahu rahasia harta itu, tidak tahu dimana letaknya yang tepat, iapun lalu menanti kembalinya gadis cantik yang akan membawa pembantu-pembantu itu.
Ia mulai curiga mendengar dan melihat sikap dua orang kakek yang amat kasar, dan melihat sikap gadis yang genit. Biarpun belum merasa yakin benar karena belum ada buktinya, namun perasaannya mengatakan bahwa tiga orang itu bukanlah orang baik-baik dan tentu termasuk golongan sesat. Ia bersabar menunggu untuk melihat perkembangannya lebih jauh dan ia tinggal di dalam guha itu seorang diri sampai beberapa hari lamanya.
Akhirnya, pada suatu hari ia melihat munculnya tiga orang itu, sekali ini ditemani oleh seorang pemuda! Dan ketika dengan cepat ia bersembunyi di dalam pohon di atas guha dan melihat pemuda gagah itu, hampir ia berteriak saking girang dan kagetnya.
Tentu saja ia mengenal Hui Song! Akan tetapi karena ia masih menaruh hati curiga kepada tiga orang itu, ia menahan diri dan merasa heran sekali bagaimana Hui Song dapat bergaul dengan mereka dalam keadaan yang demikian karib. Apalagi melihat sikap gadis cantik itu yang demikian memikat dan dalam sikap dan gerak-geriknya nampak sekali bahwa gadis itu mencinta Hui Song, mendatangkan perasaan tidak enak dalam hati Sui Cin.
Ia membayangi terus dan terheran-heran melihat betapa kini Hui Song dan gadis itu menyeberangi jembatan batu pedang sedangkan dua orang kakek itu berhenti dan mengatakan bahwa mereka tidak sanggup maju lagi. Padahal, ia pernah melihat kedua orang kakek itu menyeberangi jembatan batu pedang ini bersama si gadis cantik, dan walaupun dengan agak sukar, kedua orang itu mampu menyeberangi.
Mengapa kini berpura-pura tidak dapat menyeberang? Ia semakin curiga, apalagi ketika melihat betapa setelah menanti beberapa lama dan Hui Song sudah lenyap bersama gadis itu, kedua orang kakek ini berindap-indap menyeberangi batu pedang! Mulailah Sui Cin mencium sesuatu yang tidak beres dan ia mengkhawatirkan keselamatan Hui Song di tangan tiga orang ini dan iapun cepat membayangi dua orang kakek itu masuk ke bagian dalam.
Demikianlah, keinginan tahu Sui Cin menyelidiki tiga orang itu dan rahasia di dalam Guha Iblis Neraka telah menyelamatkan Hui Song. Ketika pemuda ini dikeroyok tiga, Sui Cin muncul membantu dan menyelamatkannya karena Hui Song memang amat terancam bahaya ketika itu. Akan tetapi, dalam usaha mereka berdua untuk melarikan diri, Sui Cin terkena lontaran batu Kang-thouw Lo-mo yang mengakibatkan dalam kapalanya terguncang dan ia kehilangan ingatannya!
Ketika ia siuman, ia lupa segala dan melihat Hui Song, ia lalu menyerangnya. Hal ini adalah karena yang masuk ke dalam ingatannya pada saat terakhir adalah orang-orang jahat yang dilawannya. Maka begitu melihat Hui Song sebagai orang pertama pada saat ia siuman, iapun menganggap bahwa Hui Song adalah orang jahat dan diserangnya pemuda itu mati-matian.
Akan tetapi pemuda itu ternyata merupakan lawan yang amat kuat dan ia merasa kepalanya pusing maka iapun melarikan diri, mempergunakan ilmu lari cepat Bu-eng Hui-teng yang membuat pemuda itu tidak mampu mengejarnya.
Sui Cin sudah tidak ingat apa-apa lagi, yang diingatnya hanyalah bahwa ia bertemu dengan lawan, seorang pemuda jahat dan curang yang amat lihai, yang telah menyambitkan benda keras dan mengenai kepalanya karena kepala itu masih terasa sakit, dan yang tidak dapat ia kalahkan tadi. Ia hanya tahu bahwa lawan itu mengejarnya, dan karena kepalanya pening, apalagi ia tidak mampu mengalahkan, maka akan berbahayalah kalau sampai pria itu dapat mengejarnya.
Maka, Sui Cin mengerahkan tenaganya dan berlari dengan cepat sekali. Sehari lamanya ia berlari terus, hanya kadang-kadang lambat dan mengaso kalau ia sudah merasa lelah sekali. Setelah malam tiba, baru ia berhenti dan beristirahat di dalam sebuah hutan. Gadis ini sudah lupa sama sekali akan masa lalunya. Bahkan namanya sendiripun ia lupa! Iapun tidak mempunyai apa-apa lagi karena semua, pakaiannya tertinggal di tempat persembunyian di dekat Guha Iblis Neraka.
Malam itu ia menangkap seekor kelinci dan setelah memanggang dagingnya lalu makan daging panggang. Lalu ia duduk melamun di depan api unggun, mengerahkan pikiran untuk mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja ia tidak tahu apa-apa. Yang diketahuinya hanyalah, bahwa ia dikejar-kejar seorang lawan tangguh, dan bahwa ia harus pergi ke utara, jauh melewati Tembok Besar.
Entah bagaimana, mungkin karena urusan menghadapi pemberontakan para datuk sesat itu amat terkesan di dalam batinnya, maka inilah yang teringat olehnya, yaitu bahwa ia harus pergi ke utara, keluar Tembok Besar!
Biarpun sudah kehilangan ingatannya tentang masa lalu, namun Sui Cin tidak kehilangan semangat dan kelincahannya. Ia tetap nampak segar dan wajahnya selalu berseri-seri, melakukan perjalanan dengan cepat, terus menuju ke utara.
Sama sekali tidak ada tanda-tandanya bahwa ia sedang menderita luka dan guncangan yang membuat ia kehilangan ingatannya. Hanya kalau sedang duduk seorang diri melamun dan mencoba untuk mengingat-ingat keadaan dirinya, siapa dirinya dan bagaimana asal usulnya, ia nampak bengong dan bingung.
ASMARA BERDARAH JILID 102(↕)
Karena ia tidak sadar betul kemana ia harus pergi, setelah melewati Tembok Besar, Sui Cin memasuki daerah Mongol tanpa ia ketahui dimana ia berada dan kemana ia harus pergi.
Ia merasa gembira melihat daerah yang sama sekali asing baginya ini. Akan tetapi ia merasa bingung ketika bertemu dengan serombongan orang Mongol, ia sama sekali tidak mengerti bahasa mereka! Setelah rombongan itu pergi ia melamun. Untuk apa ia datang ke tempat asing ini? Ia hanya merasa betapa ada dorongan dalam hatinya bahwa ia harus pergi keluar Tembok Besar, akan tetapi dimana dan untuk apa ia tidak tahu!
Ia mengambil keputusan untuk merantau selama beberapa hari. Kalau selama itu ia tidak juga dapat teringat untuk keperluan apa ia berada di tempat ini, ia akan kembali ke selatan, ke daerah dimana bahasa orang-orangnya ia dapat mengerti artinya.
Pada suatu hari, dalam keadaan kesepian, ia melihat serombongan orang Mongol lagi dan sekali ini diantara mereka terdapat beberapa orang wanita Mongol yang memakai pakaian wanita Han.
Sui Cin teringat akan pakaiannya sendiri. Pakaiannya sudah kotor dan banyak yang robek-robek. Hanya beberapa kali saja, di tempat sunyi dimana tidak terdapat orang lain, ia mencuci pakaiannya dan menjemur pakaian itu. Ia sendiri bertelanjang bulat, karena tidak mempunyai pakaian cadangan.
Dan kini pakaiannya sudah kotor lagi, bahkan sudah robek-robek. Ia bukan seorang gadis pesolek, bahkan biasanya iapun memakai pakaian seadanya dan seenaknya saja, bahkan kadang-kadang nampak nyentrik. Walaupun Sui Cin seorang gadis puteri Pendekar Sadis yang kaya raya, namun sejak kecil ia lebih suka berpakaian sederhana.
Dalam keadaan kehilangan ingatan inipun ia tidak berubah. Hanya ia sejak kecil memang suka akan kebersihan sehingga biarpun pakaiannya buruk dan lama, akan tetapi harus selalu bersih. Dan kini, dengan pakaian hanya satu-satunya sehingga tak dapat diganti dan sudah kotor, ia merasa tersiksa sekali. Karena itulah, melihat beberapa orang yang mengenakan pakaian bagus-bagus dan bersih itu, ia kepingin sekali. Akan tetapi, di saku bajunya sama sekali tidak ada apa-apanya, apalagi uang untuk membeli pakaian.
Dengan hati amat kepingin akan tetapi tidak berdaya membeli dan juga merasa malu untuk mencoba-coba minta, Sui Cin diam-diam mengikuti rombongan yang terdiri dari belasan orang itu.
Mereka membawa dua buah kereta untuk wanita dan anak-anak, sedangkan para prianya berjalan sambil berjaga-jaga. Malam itu, ketika rombongan berhenti dan bermalam di sebuah dusun, Sui Cin beraksi dan pada keesokan harinya, keluarga itu ribut-ribut karena kehilangan dua stel pakaian wanita yang masih baru. Dua stel pakaian itu menghilang tanpa bekas!
Dan pada pagi hari itu, Sui Cin dengan pakaian baru tersenyum-senyum gembira. Ia telah berganti pakaian dan merasa dirinya segar sehabis mandi di luar dusun dan mengenakan pakaian baru dan bersih, bahkan kini masih ada satu stel yang dibuntalnya dengan pakaian lamanya.
Hanya satu hal yang masih membuatnya tidak senang, yaitu bahwa ia sama sekali tidak dapat berhubungan dengan orang-orang itu karena tidak mengerti bahasanya. Dan iapun tidak ingin pakaian yang dipakainya itu dikenal oleh rombongan semalam, maka iapun melanjutkan perjalanannya, kini membelok ke timur.
Pada keesokan harinya, selagi berjalan seorang diri menimbang-nimbang apakah tidak sebaiknya kalau ia kembali ke selatan, tiba-tiba ia melihat seorang nenek sedang menangis di tepi sebuah hutan.
Nenek itu berjongkok dan menangisi seekor ular yang mati dan melingkar di atas tanah. Nenek itu jelek sekali. Mukanya penuh keriput dan buruk, tubuhnya kurus dan punggungnya bongkok melengkung, rambutnya yang putih riap-riapan. Pakaiannya jubah kedodoran dan ketika Sui Cin mendekat, ia mencium bau yang tidak enak. Akan tetapi, biarpun demikian, tetap saja hati gadis itu merasa gembira dan ia terus menghampiri.
Yang membuatnya bergembira adalah karena ia dapat mengerti kata-kata tangisan atau keluhan nenek itu! Nenek itu mempergunakan bahasa Han dari selatan, walaupun agak kaku, namun ia dapat mengerti dengan jelas.
"Aduhhh, anakku yang baik... ah, kenapa engkau mati dan kenapa engkau tega sekali meninggalkan aku seorang diri... hu-hu-huhh... kemana aku harus mencari pengganti sepertimu, yang setia, patuh dan tangguh? Hu-hu-huuhhh...!"
Dalam keadaan biasa, tentu Sui Cin akan merasa ngeri mendekati nenek itu. Wajahnya demikian buruk menakutkan, dan sikapnya itu seperti orang gila. Mana ada orang menangisi kematian seekor ular besar? Akan tetapi, karena sudah berhari-hari baru sekarang ia mendengar kata-kata yang dapat dimengertinya, hatinya gembira sekali dan ia merasa kasihan kepada nenek ini.
Memang bukan hanya gadis itu yang mempunyai perasaan demikian. Semua orangpun, kalau berada di tempat asing, atau lebih tepat lagi, kalau berada di negara asing, diantara bangsa asing yang berbahasa asing pula, akan merasa gembira sekali kalau berjumpa dengan orang sebangsa, atau setidaknya sebahasa! Seolah-olah bertemu dengan seorang saudara diantara orang-orang asing.
"Nenek yang baik, mengapa engkau begini bersedih? Engkau kematian binatang peliharaanmu? Mengapa ular ini bisa mati, nek?"
Nenek itu menghentikan tangisnya dengan tiba-tiba, lalu menoleh. Matanya yang melotot lebar itu amat mengerikan, akan tetapi Sui Cin tersenyum manis kepadanya, dengan sikap menghibur. Nenek ini seperti anak kecil saja, pikirnya, menangisi binatang peliharaannya yang mati. Kalau binatang peliharaan seperti kucing, anjing, kuda atau ternak lainnya, bahkan burung kesayangan, masih wajar. Akan tetapi yang ditangisi kematiannya ini adalah seekor ular besar yang mengerikan!
"Siapa kau...?" Nenek itu tiba-tiba bertanya, seolah-olah merasa heran ada orang menegurnya, apalagi dalam bahasa Han. Kemudian matanya terbelalak dan mengeluarkan sinar berkilat. "Eh, engkau... engkau gadis she Ceng itu...!" nenek itu berseru dan bangkit berdiri. Setelah ia berdiri, bongkoknya nampak sekali.
Sui Cin juga bangkit berdiri, memandang kepada nenek itu dengan wajah berseri.
"Nenek yang baik, engkau mengenalku? Engkau tahu benar bahwa aku she Ceng? Sesungguhnya nek, aku telah lupa segala tentang diriku, maka... tolonglah kau beritahu siapa diriku ini, nek?"
Nenek itu tertawa, suara ketawanya terkekeh lirih dan mata yang lebar itu berkilauan membayangkan kecerdikan dan kelicikan, juga kekejaman luar biasa. Kalau saja Sui Cin tidak kehilangan ingatannya, tentu ia akan terkejut setengah mati berjumpa dengan nenek ini, karena nenek ini adalah seorang musuh lamanya, yaitu Kiu-bwe Coa-li (Nenek Ular Ekor Sembilan), seorang diantara Cap-sha-kui yang kejam dan lihai!
Dan agaknya nenek yang menjadi datuk kaum sesat ini tidak melupakan Sui Cin, maka ia nampak terkejut sekali. Akan tetapi begitu melihat sikap Sui Cin yang lupa akan keadaan dirinya, nenek itu terkekeh girang.
"Ah, bagaimana engkau bisa melupakan dirimu sendiri, nona?" tanyanya, sikapnya kelihatan ramah dan wajahnya yang amat buruk itu tidak begitu menakutkan lagi.
"Entahlah, nek. Seingatku, ada yang menghantam kepalaku, mungkin batu yang dilontarkan seorang musuhku kepadaku dan mengenai belakang kepalaku. Akan tetapi aku menjadi pening dan sampai sekarang aku lupa segalanya tentang diriku. Bahkan engkau yapg ternyata sudah mengenal akupun sama sekali aku tidak ingat lagi. Siapakah aku ini, nek? Tolonglah bantu aku agar kembali ingatanku. Siapakah aku ini?"
"Anak baik, siapakah musuhmu yang menyerangmu dengan lontaran batu itu?"
Sui Cin menggeleng kepala.
"Akupun tidak tahu, nek. Hanya setahuku, dia seorang pemuda yang lihai sekali ilmu silatnya, dan aku tidak akan melupakan wajahnya karena sekali waktu aku harus membalas perbuatannya itu!" Sui Cin mengepal tinju dengan gemas.
"Heh-heh-heh, anak baik, engkau bukan orang lain, masih terhitung cucu keponakanku sendiri."
Sui Cin terbelalak, terkejut, heran dan juga girang.
"Aih, benarkah itu, nek? Siapakah engkau dan siapa pula namaku, siapa pula orang tuaku?"
"Engkau benar-benar tidak ingat kepadaku? Lihat ini, apakah engkau lupa kepada benda ini?"
Kui-bwe Coa-li mengeluarkan senjatanya, yaitu cambuk ekor sembilan yang ampuh dan menyeramkan itu. Akan tetapi Sui Cin memandang biasa saja dan menggeleng kepalanya.
"Tidak, nek, aku tidak mengenal cambuk itu."
Legalah hati Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis ini memang benar-benar kehilangan ingatannya dan tidak ingat lagi akan segala hal yang dikenalnya di masa lalu. Bagus, pikirnya, memudahkan ia untuk melumpuhkan gadis ini!
"Namamu... Bi Hwa, Ceng Bi Hwa, ayah ibumu sudah tidak ada, engkau yatim piatu dan pernah engkau ikut belajar silat kepadaku selama beberapa tahun dahulu. Mendiang ayahmu adalah keponakanku, jadi engkau adalah cucu keponakanku. Aku dijuluki orang sesuai dengan senjataku ini, ialah Kiu-bwe Coa-li."
Nenek itu memegang cambuk ekor sembilan di tangan kanannya dan diam-diam ia mempersiapkan diri untuk menyerang, kalau gadis itu teringat kembali akan nama julukannya. Akan tetapi, Sui Cin sama sekali tidak ingat, hanya mengulang namanya dengan alis berkerut,
"Bi... Ceng Bi Hwa... ah, aku sama sekali tidak ingat lagi namaku sendiri, nek, Harap maafkan aku..." Kemudian ia memberi hormat kepada nenek itu. "Terimalah hormatku, nek."
Kiu-bwe Coa-li mengangguk-angguk sambil terkekeh girang.
"Bagus, bagus... jangan khawatir, cucuku. Setelah engkau bertemu dengan nenekmu ini, engkau tentu akan menemukan kembali ingatanmu, heh-heh."
"Aih, benarkah, nek? Benarkah engkau hendak mengobatiku? Ah, aku akan girang sekali kalau aku dapat mengingat semua keadaan diriku."
"Tentu saja! Bukankah engkau cucu keponakanku yang tersayang? Jangan khawatir, dengan mudah saja aku akan dapat menyembuhkanmu dan mengembalikan ingatanmu. Akan tetapi sebelum itu, aku ingin sekali menyelidiki bagaimana keadaan orang yang kehilangan ingatannya. Perlu bagiku untuk pengobatan. Bi Hwa, apakah engkau lupa pula dengan semua ilmu silatmu yang pernah kuajarkan kepadamu?"
Sui Cin mengerutkan alisnya dan menggeleng.
"Aku lupa bahwa engkau yang mengajarkan ilmu silat kepadaku, nek, dan lupa lagi ilmu silat apa adanya itu. Akan tetapi gerakan ilmu silat itu sudah mendarah daging di tubuhku, menjadi gerakan otomatis kaki tanganku sehingga aku bergerak tanpa kuingat lagi. Agaknya... agaknya aku tidak melupakan ilmu silat itu, nek."
"Hemm... aneh, aneh. Akan tetapi sebaiknya kalau kucoba untuk membuktikan kebenaran omonganmu. Nah, kau bergeraklah menurut nalurimu, aku akan mencoba untuk menyerangmu dengan cambukku. Setelah ujian ini, baru nanti aku akan mengobatimu sampai sembuh, cucuku tersayang."
Nenek itu menggerakkan cambuknya ke atas, terdengar bunyi meledak-ledak ketika sembilan ekor cambuknya itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak-gerak bagaikan sembilan ekor ular hidup! Dan tiba-tiba cambuk itu menyambar ke arah Sui Cin.
"Tar-tar-tarr...!"
Sui Cin terkejut melihat gerakan cambuk yang hebat ini. Tak disangkanya nenek yang aneh seperti orang gila atau seperti anak kecil ini, yang menangisi kematian seekor ular, dan yang ternyata adalah bibi dari ayahnya seperti yang dikatakan nenek itu, kiranya memiliki kepandaian hebat dan serangan cambuk itu benar-benar amat berbahaya.
Sembilan ekor ujung cambuk itu bergerak seperti ular-ular hidup dan masing-masing kini menyerang secara bertubi ke arah sembilan jalan darah di tubuhnya! Tentu saja iapun cepat menggerakkan tubuhnya dan tiba-tiba saja tubuh gadis di depannya itu berkelebat dan lenyap!
Terkejutlah Kiu-bwe Coa-li. Seingatnya, gadis yang ia ketahui adalah puteri Pendekar Sadis ini, walaupun memang lihai, namun tidak sehebat ini kelihaiannya. Gadis yang berada di depannya ini memiliki gin-kang yang mentakjubkan! Ia menjadi penasaran sekali, akan tetapi mulutnya terkekeh.
"Heh-heh, bagus, engkau masih memiliki kegesitanmu. Nah, bersiaplah, aku akan menyerang sungguh-sungguh!"
Dan cambuk itu diputar, mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan kini nenek itu menyerang dengan hebat sekali. Dahsyat dan buas serangannya, ujung cambuk yang sembilan itu mematuk-matuk dan menotok-notok, mencari jalan darah di tubuh Sui Cin.
Gadis ini secara otomatis menggerakkan tubuhnya, dengan gin-kang yang baru-baru ini dipelajarinya dari Wu-yi Lo-jin, tubuhnya berkelebatan seperti bayang-bayang yang cepat sekali menyambar-nyambar diantara gulungan sinar-sinar hitam dari cambuk nenek itu. Tentu saja ia tidak membalas karena ia menganggap bahwa nenek itu hanya sekedar menguji apakah ia tidak melupakan ilmu silatnya yang menurut nenek itu diajarkan oleh nenek itu kepadanya!
ASMARA BERDARAH JILID 103(↕)
Tentu saja niat yang terkandung di dalam hati Kiu-bwe Coa-li tidaklah demikian. Ia hanya ingin melihat sampai dimana kelihaian gadis ini. Kalau mungkin, tentu lebih mudah baginya membunuh gadis puteri Pendekar Sadis itu secara langsung saja dengan cambuknya ini. Akan tetapi, kalau ternyata gadis itu terlalu lihai, dalam keadaan hilang ingatan, ia akan dapat mempergunakan akal lain yang lebih halus untuk menjerat dan melumpuhkannya.
Kini, melihat gerakan Sui Cin yang demikian hebatnya ketika berkelebatan mengelak dari sambaran cambuknya, nenek itu terkejut. Tak disangkanya gadis itu kini sedemikian hebatnya, memperoleh kemajuan yang demikian pesat, jauh lebih hebat dibandingkan dahulu. Maka, iapun maklum bahwa dengan cambuknya, ia tidak akan mampu membunuh gadis ini, dan iapun lalu melompat ke belakang menghentikan serangannya.
"Bagus, bagus... heh-heh, engkau masih belum lupa akan ilmumu. Baiklah, sekarang aku akan memberi obat kepadamu agar engkau dapat pulih kembali, agar ingatanmu sehat kembali."
Hati Sui Cin merasa lega dan girang sekali. Tadi ia sudah merasa khawatir melihat betapa nenek itu menyerangnya secara dahsyat dan berbahaya.
"Terima kasih, nek."
Nenek itu lalu duduk bersila di atas tanah, Sui Cin juga berjongkok di depannya, melihat nenek itu mengeluarkan seguci arak, sebuah cawan dan sebuah botol kecil dari balik jubah yang lebar itu. Ia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan, hanya setengah cawan, kemudian menuangkan bubuk kehijauan dari botol kecil ke dalam cawan berisi arak setengahnya itu. Sambil terkekeh ia mengocok arak itu sehingga bubukan hijau bercampur ke dalam arak.
"Nah, ini obat mujarab sekali, cucuku. Sekali minum engkau akan merasa mengantuk, tertidur dan setelah engkau bangun dari tidur, ingatanmu akan pulih kembali," katanya sambil menyodorkan minuman itu.
Sui Cin menerimanya dan langsung membawa cawan itu ke bibirnya. Akan tetapi begitu cawan itu menempel di bibirnya, ia tidak jadi minum dan memandang nenek itu dengan alis berkerut.
"Eh, ada apakah, cucuku? Hayo minum obat itu dan engkau akan sembuh."
"Tapi, nek. Aku tidak tahu apa isi obat ini, hanya perasaanku melarang aku untuk meminumnya karena mengandung bau amis beracun!"
"Heh-heh-heh-heh, tentu saja, memang obat itu mengandung racun dari ular sendok merah! Memang obat itu racun, racun itu obat, asal kita tahu cara mempergunakannya saja. Eh, Bi Hwa, apakah engkau tidak percaya kepada nenekmu sendiri, kepada orang yang menimang-nimangmu di waktu engkau kecil, kepada orang yang telah mengajarkan semua ilmu itu kepadamu? Apa kau kira aku akan meracunimu? Pikiranmu telah jadi hilang ingatan, akan tetapi tentu belum begitu gila untuk mengira bahwa aku, nenekmu yang menyayangmu, akan meracunimu!"
Merah wajah Sui Cin. Tentu saja ia merasa tidak enak sekali. Ia tidak tahu pasti apakah minuman itu akan mencelakakannya, akan tetapi nenek ini mengenalnya, dan nenek ini tadi sudah mengujinya dan kini hendak menyembuhkannya. Mengapa ia ragu-ragu? Ia mendekatkan lagi cawan itu sambil memejamkan mata, iapun menuangkan arak itu ke dalam mulut dan terus ditelannya. Ia menahan diri untuk tidak muntah oleh bau amis itu!
Begitu arak itu memasuki perutnya, ia merasa ada hawa panas berputaran di dalam perutnya. Itulah hawa gin-kang dari pusar yang otomatis memberontak dan hendak melawan ketika perut itu dimasuki benda berbahaya. Akan tetapi, racun itu sudah bekerja dan Sui Cin merasa betapa tubuhnya lemas dan matanya mengantuk.
"Heh-heh-heh, engkau sudah mulai mengantuk, bukan? Nah, tidurlah dan setelah bangun nanti engkau sudah akan sembuh sama sekali. Tidurlah, cucuku yang baik, tidurlah."
Nenek itu sambil tersenyum melihat Sui Cin yang lemas itu merebahkan tubuhnya di atas tanah, dan Sui Cin mendengar nenek itu bersenandung, seperti sedang meninabobokkan cucunya! Suara itu aneh sekali, dan tidak enak didengar, akan tetapi karena rasa kantuk tak tertahankan lagi, iapun tertidurlah.
Sui Cin tidak tahu berapa lama ia tertidur pulas, akan tetapi ketika sadar kembali, matahari telah naik tinggi dan ia berada dalam keadaan terikat pada sebatang pohon! Tentu saja ia terkejut sekali dan otomatis ia mencoba untuk meronta. Akan tetapi, usahanya sia-sia belaka karena ia mendapat kenyataan yang amat mengejutkan, yaitu bahwa kaki tangannya lemas tidak bertenaga! Ia teringat akan nenek itu dan tahulah ia bahwa ia telah tertipu!
"Nenek iblis jahanam!"
Ia memaki dan terdengar suara terkekeh di belakangnya. Lalu muncullah nenek itu, yang tadinya tertidur pula di atas rumput, agaknya menanti sampai korbannya terbangun. Kini nenek itu menyeringai dan berdiri di depan Sui Cin, mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena tanah.
"Heh-heh-heh, nona yang tolol, heh-heh-heh!"
Ia terkekeh-kekeh girang melihat korbannya. Nenek ini, sebagai seorang diantara Cap-sha-kui, memang memiliki hati yang kejam sekali dan kepuasan hatinya adalah kalau ia dapat menyiksa korbannya. Maka, kini dapat menawan nona yang menjadi musuhnya itu dalam keadaan tidak berdaya, tentu saja hatinya girang bukan main.
"Nenek iblis, kiranya engkau telah menipuku! Hayo kalau memang engkau gagah, lepaskan aku dan kita bertanding sampai mati!" Sui Cin berteriak memaki.
"Heh-heh-heh, andaikata kulepaskan juga, engkau takkan mampu bertahan lebih dari satu dua jurus. Dan aku tidak menipu, karena memang aku adalah Kiu-bwe Coa-li, musuh besarmu, ha-ha-ha!"
Diam-diam Sui Cin terkejut. Kiranya hilangnya ingatannya berakibat demikian hebat sampai musuh lamanya tidak ia kenal dan akibatnya ia mudah terjebak.
"Jadi kalau begitu... namaku itu... bukan... bukan Ceng Bi Hwa..."
"Heh-heh-heh, namamu Ceng Sui Cin, engkau puteri Pendekar Sadis, heh-heh-heh, dan sekarang jatuh ke tanganku. Aku ingin menikmati kematianmu yang akan terjadi perlahan-lahan... ha-ha. Eh, nona manis, apa engkau suka dengan ular?"
"Ular...?" Sui Cin yang merasa bingung itu bertanya.
"Ya, ular... heh-heh, engkau tahu, aku adalah Kiu-bwe Coa-li, Ratu Ular!"
Dan nenek itu lalu membunyikan cambuknya berkali-kali. Terdengar suara meledak-ledak dan suara ledakan ini seperti bergema sampai jauh. Tidak lama kemudian, terbelalak mata Sui Cin melihat datangnya banyak ular dari empat penjuru, seperti tertarik oleh suara cambuk yang masih meledak-ledak itu, dan suara mendesis yang keluar dari mulut ompong Kiu-bwe Coa-li.
Ular-ular itu menggeleser di atas tanah, membuat rumput-rumputan bergerak-gerak dan terdengarlah suara mereka mendesis-desis, lidah mereka itu keluar masuk dan kini mereka semua berkumpul mengelilingi tempat itu.
"Bagus, bagus, heh-heh-heh, anak-anakku, kalian sudah datang..."
Sui Cin bergidik. Teringat ia akan nenek itu yang menangisi kematian seekor ular yang juga disebut anaknya. Nenek ini gila atau lebih dari itu, jahat dan keji seperti iblis. Kini nenek itu membuat suara dengan mulutnya, suara mendesis dibarengi ledakan cambuknya dan beberapa ekor ular yang besar mengembangkan lehernya. Itulah ular-ular sendok yang amat berbahaya karena amat kuat. Sekali saja digigit oleh ular seperti ini, dalam waktu beberapa jam saja, kalau tidak memperoleh obat penawarnya yang ampuh, orang itu tentu akan mati!
Sui Cin yang kehilangan ingatannya itu tidak mengenal ular seperti itu, akan tetapi ia tahu bahwa ular-ular ini tentu berbahaya sekali. Tiga ekor ular sendok yang paling besar berjoget di depannya, dengan lidah merah menjilat-jilat keluar, mata yang tak berkedip itu memandang kepadanya, kepalanya lenggang-lenggok seperti menggoda dan hendak mempermainkan Sui Cin.
"Heh-heh-heh, mereka bertiga ini yang kupilih untuk menggerogoti dagingmu, sedikit demi sedikit, ha-ha-ha!" kata nenek itu dan makin gencar cambuknya berbunyi, makin lincah lagi tiga ekor ular itu menari-nari di depan Sui Cin, makin lama makin mendekati gadis yang terikat kaki tangan dan pinggangnya pada batang pohon itu.
Sui Cin memandang tak berkedip kepada tiga ekor ular ini, menahan hatinya agar jangan sampai ia menjerit kengerian. Sementara itu, puluhan ekor ular lainnya yang mengurung tempat itu ikut pula bergerak-gerak seperti menari, akan tetapi mereka tidak berani mendekati tiga ekor ular sendok itu.
"Heh-heh-heh, Ceng Sui Cin, engkau baru tahu bahwa aku ini adalah ratu ular, ya? Aku dapat memerintah ular-ular ini menurut sekehendakku. Dan pertama-tama, aku akan memerintahkan mereka itu menyusup ke dalam pekaianmu, menelusuri seluruh tubuhmu sampai kau hampir mati karena geli dan ngeri. Kemudian, aku akan memerintahkan mereka itu merobek-robek semua pakaianmu sampai kau bertelanjang bulat. Nah, sesudah itu mulailah pesta untuk mereka. Gigit sana-sini, betis, paha, lengan dan bagian-bagian yang tidak berbahaya, menjilati darah dari luka-luka itu. Kemudian mukamu, pipimu yang halus itu, hidungmu yang mancung, bibirmu yang merah, akan digerogoti perlahan-perlahan. Engkau takkan mudah mati, akan kusiksa dulu sampai puas, sebagai hukuman ayahmu, Si Pendekar Sadis, ha-ha-ha!"
Cambuknya meledak-ledak dan tiga ekor ular itu mulai nampak beringas. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara suling yang ditiup dengan indah dan kuatnya, menyelinap suara itu diantara ledakan-ledakan cambuk dan akibatnya sungguh aneh.
Ular-ular yang mengelilingi tempat itu nampak gelisah dan ketakutan, lalu perlahan-lahan mereka meninggalkan tempat itu! Kini hanya tinggal tiga ekor ular sendok itu saja yang masih bertahan, menari-nari di depan Sui Cin. Akan tetapi suara suling terdengar semakin kuat dan tiga ekor ular itu kelihatan ragu-ragu dan bingung, kacau oleh suara ledakan-ledekan cambuk yang kini bercampur suara suling yang agaknya lebih terasa dan lebih mempengeruhi mereka!
"Eh, keparat jahanam kurang ajar!"
Nenek Kiu-bwe Coa-li memaki dan menoleh. Matanya terbelalak marah ketika ia melihat seorang pemuda datang sambil meniup suling, sikapnya tenang dan gagah. Sui Cin juga melihat datangnya pemuda ini dan iapun merasa girang karena ia mengerti bahwa suara suling pemuda itu telah mengusir ular-ular yang tadinya mengurung tempat itu, dan kini suara suling itu membuat tiga ekor ular itu menjadi bimbang dan bingung, seperti kehilangan pegangan.
Ia dapat menduga bahwa suara suling itu menghancurkan pengaruh nenek iblis terhadap ular-ularnya dan timbullah harapannya walaupun ia sendiri masih lemas dan tidak mampu meloloskan diri dari belenggu. Pemuda yang mampu menlup suling seperti itu tentu memiliki kepandaian tinggi, ia menduga.
Sementara itu, Kiu-bwe Coa-li yang menengok dan memandang pemuda itu, segera mengenalnya dan wajahnya agak berubah, kemarahannya memuncak.
"Kau...! Keparat, kau putera ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga itu?"
Nenek itu menggerakkan cambuknya dan mengeluarkan suara mendesis. Karena semua ularnya sudah pergi terusir oleh suara suling tadi, kini tinggal tiga ekor ular sendok yang hendak dikerahkan untuk menyerang pemuda itu.
Akan tetapi, dengan tenang pemuda itu melangkah maju ketika tiga ekor ular sendok menerjangnya dengan semburan-semburan uap hitam dari mulut mereka. Tiba-tiba pemuda yang bukan lain adalah Cia Sun itu, meniup sulingnya dengan kuat. Terdengar suara melengking yang membuat Sui Cin sendiri terpaksa harus berusaha mematikan rasa menulikan telinga karena suara melengking itu amat tinggi dan dahsyat, menusuk telinga menikam jantung.
Akan tetapi agaknya suara itu memang sengaja ditujukan untuk menyerang atau menyambut tiga ekor ular itu. Tiga ekor ular yang sudah mengangkat kepala tinggi-tinggi itu, tiba-tiba mendengar suara ini lalu terkulai dan berkelojotan seperti dalam keadaan kesakitan hebat.
Cia Sun melangkah maju dan tiga kali kakinya menginjak, pecahlah kepala tiga ekor ular itu. Tubuh mereka masih berkelojotan, akan tetapi karena kepala sudah hancur terinjak kaki yang kuat itu, mereka berkelojotan dalam keadaan sekarat!
Dapat dibayangkan betapa marahnya Kiu-bwe Coa-li melihat tiga ekor ular andalannya itu mati. Sambil mengeluarkan suara melengking ia menerjang ke depan, cambuknya meledak-ledak di atas kepalanya dan tangan kirinya yang berkuku panjang itupun dipergunakan untuk menyerang dengan cakaran-cakaran dan cengkeraman-cengkeraman maut karena kuku-kuku panjang tangan kiri itu mengandung racun.
Akan tetapi, dengan amat tenangnya, Cia Sun mengelak mundur dua langkah kemudian sekali tangan kirinya bergerak mendorong ke depan, angin pukulan dahsyat menyambar bagaikan hawa berapi, panas dan kuat. Kiu-bwe Coa-li menyambut dengan cambuk dan tangan kirinya dan akibatnya, ia terpental ke belakang!
"Ehhh...!"
Nenek itu berseru kaget bukan main. Kalau tadi ia dikejutkan oleh kecepatan gerakan Sui Cin, kini ia dikejutkan pula oleh kekuatan sin-kang yang menyambar keluar dari tangan kiri pemuda ini. Ia pernah melawan pemuda ini, bahkan pernah ia hampir merobohkan Cia Sun dengan bantuan ular-ularnya beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, pada waktu itu, biarpun pemuda ini sudah amat lihai, tenaga sin-kangnya tidaklah sehebat sekarang ini.
ASMARA BERDARAH JILID 104(↕)
Tentu saja nenek ini tidak tahu bahwa Cia Sun tiga tahun yang lalu tidak dapat disamakan dengan Cia Sun sekarang. Seperti kita ketahui, pemuda ini diajak pergi oleh seorang kakek sakti yang hanya memperkenalkan diri sebagai Go-bi San-jin dan diantara puncak-puncak Pegunungan Go-bi-san yang sunyi, pemuda ini telah digembleng dengan hebat.
Setelah oleh gurunya yang baru itu dia dinyatakan sudah cukup menerima ilmu, gurunya menyuruhnya pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar, tidak begitu jauh dari Lembah Naga, untuk menghadiri pertemuan para pendekar.
"Dunia sudah berubah," demikian Go-bi San-jin yang gendut itu berkata, "para datuk sesat, seperti iblis-iblis keluar dari neraka dan siap mengacau dunia. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang mereka itu dan para pendekar sudah bersepakat untuk mengadakan pertemuan di tempat itu. Pergilah kesana. Akan tetapi jangan lupa, engkau mempunyai semacam tugas lain. Jika engkau bertemu dengan seorang murid dari Ciu-sian Lo-kai, nah, dia itu lawanmu. Bukan musuh, melainkan lawan dan antara aku dan Ciu-sian Lo-kai sudah saling berjanji untuk mengadu murid kami masing-masing. Engkau tidak boleh kalah karena hal itu akan membuatku malu."
Tugas pertama diterima dengan gembira oleh Cia Sun, akan tetapi tugas kedua ini sebenarnya tidak berkenan di dalam hatinya. Bagaimana dia harus melawan dan berkelahi dengan seorang yang tidak dikenalnya, tanpa sebab, bahkan bukan musuh, melainkan hanya karena perjanjian antara guru mereka untuk saling mengadu murid-murid mereka? Seperti ayam aduan atau jengkerik saja.
Akan tetapi, perintah guru tidak mungkin diabaikan dan diapun menyanggupi. Demi-kianlah, pemuda dari Lembah Naga ini meninggalkan gurunya dan dalam perjalanan menuju ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, di daerah Mongol ini, secara kebetulan saja dia melihat seorang gadis yang akan dikorbankan kepada ular-ular berbisa oleh seorang nenek mengerikan.
Cia Sun segera mengenal nenek itu sebagai Kiu-bwe Coa-li, seorang diantara Cap-sha-kui, akan tetapi hampir dia berteriak ketika dia mengenal pula Sui Cin! Gadis yang dibelenggu dan menghadapi ancaman mengerikan dari ular-ular sendok itu adalah Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang selama ini tidak pernah dia lupakan.
Akan tetapi, Cia Sun adalah seorang pemuda yang tenang. Melihat keadaan Sui Cin, din tidak tergesa-gesa bertindak sembrono untuk menyelematkannya dengan kekerasan begitu saja. Dia tahu betapa lihainya nenek itu dan tiga ekor ular sendok itu sudah siap mematuk, apalagi tempat itu dikelilingi oleh puluhan ekor ular.
Maka, sambil bersembunyi dia lalu meniup sulingnya yang selalu dibawanya, dan mengerahkan khi-kang untuk mengusir ular-ular itu. Barulah dia muncul dan dia masih terus menggunakan sulingnya untuk mengalihkan perhatian tiga ekor ular sendok itu dari Sui Cin kepada dirinya. Setelah ular-ular itu menyerangnya, barulah dia turun tangan membunuh binatang-binatang itu.
Melihat betapa nenek iblis itu menyerangnya dengan ganas, Cia Sun tidak tinggal diam menahan diri begitu saja. Nenek ini adalah seorang diantara Cap-sha-kui, datuk-datuk sesat yang amat jahat dan karenanya haruslah dibasmi. Dulu, pernah dia hampir celaka diserang nenek ini bersama pengeroyokan ular-ularnya dan pada waktu itu untung muncul Sui Cin yang membantunya.
Kini, Sui Cin yang menjadi korban kejahatan nenek itu, dan untung dia yang tanpa disengaja tiba di tempat itu sehingga dapat menyelamatkan Sui Cin. Yang membuat dia terheran-heran adalah melihat Sui Cin kelihatan begitu lemah, tidak mampu membebaskan diri dari belenggu yang tidak begitu kuat itu. Apa yang telah terjadi dengan gadis itu? Dan mengapa Sui Cin memandangnya dengan sinar mata keheranan seperti itu, sama sekali tidak kelihatan bahwa gadis itu mengenalnya? Apakah Sui Cin sudah pangling kepadanya?
Setelah mengelak dari sambaran cambuk ekor sembilan, Cia Sun membalas dengan serangan tamparan tangan kirinya, disusul totokan suling yang tadi dipergunakannya untuk mengusir ular.
Nenek itu mengelak dan menggerakkan lagi cambuknya yang mengeluarkan suara meledak-ledak. Terjadilah perkelahian yang seru, serang-menyerang dengan dahsyatnya. Akan tetapi, segera nenek itu mendapatkan kenyataan pahit bahwa lawannya ini luar biasa kuatnya, terlalu tangguh baginya. Semua serangannya gagal, bukan hanya gagal, akan tetapi setiap kali benturan tenaga, ia tentu terdorong dan terhuyung. Hatinya mulai merasa jerih. Akan tetapi Cia Sun yang mengambil keputusan untuk membunuh nenek jahat ini, mendesak terus dengan pukulan-pukulannya yang ampuh.
Pada suatu saat nenek itu terdesak dan terhuyung ke belakang. Dengan gerakan aneh tangan kanan Cia Sun menyambar ke arah ubun-ubun kepala nenek itu dengan cengkeraman maut yang dahsyat. Nenek itu terkejut, cepat menggerakkan cambuknya menangkis dan langsung melibat lengan kanan lawan, kemudian kepalanya bergerak dan rambutnya yang riap-riapan itu menyambar ke arah leher Cia Sun untuk menotok jalan darah maut.
Pemuda itu tidak menjadi gugup, tangan kirinya menyambar dan menangkap bulu-bulu cambuk, kemudian kaki kiri Cia Sun melayang ke depan mengirim tendangan yang mengarah leher lawan. Hebat sekali tendangan ini dan dilakukan selagi kedua tangan mereka tidak bebas. Kiu-bwe Coa-li terkejut dan cepat mengelak dengan miringkan kepala, akan tetapi tetap saja ujung sepatu kaki Cia Sun mengenai pundaknya.
"Dukkk...!"
Tubuh nenek itu terpelanting dan ujung bulu cambuknya rontok karena sebagian putus oleh cengkeraman tangan Cia Sun, sedangkan rambut kepalanya juga banyak yang jebol. Ia menggulingkan tubuh untuk menghindarkan serangah susulan, akan tetapi pemuda itu tidak mau mendesak lawan yang sudah roboh, hanya bersiap-siap melanjutkan perkelahian itu.
Kiu-bwe Coa-li tidak terluka berat, akan tetapi ia maklum bahwa kalau dilanjutkan, tentu akhirnya ia akan kalah karena pemuda itu sungguh lihai bukan main. Ia khawatir bahwa kalau ia melarikan diri, pemuda itu tentu akan mengejarnya, maka iapun mempergunakan akal. Sambil menudingkan cambuknya yang sudah bodol itu ke arah Sui Cin yang masih terbelenggu, ia berkata,
"Kau membelanya? Biarlah ia mampus sekarang juga!"
Dari tengah gagang cambuknya meluncur jarum-jarum halus yang digerakkan oleh alat di gagang cambuk.
Cia Sun terkejut bukan main. Tangannya cepat membuat gerakan memukul ke arah depan gadis itu dan jarum-jarum halus beracun itupun runtuh semua! Kiu-bwe Coa-li semakin kaget. Pemuda ini benar-benar hebat, pikirnya dan hatinya menjadi semakin gentar. Kini cambuknya menuding ke arah pemuda itu dan kembali ada belasan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun.
"Nenek iblis jahat!"
Cia Sun membentak dan begitu ia mengebutkan lengan bajunya, jarum-jarum itu bukan hanya runtuh, melainkan membalik ke arah nenek itu! Kiu-bwe Coa-li mengebutkan cambuknya dan jarum-jarum itupun runtuh.
"Heh-heh-heh, orang muda, kau boleh juga. Akan tetapi temanmu itu jangan harap akan dapat hidup lagi, ia telah keracunan. Lihat, wajahnya sudah mulai kehilangan cahayanya!"
Cia Sun terkejut dan menoleh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kiu-bwe Coa-li untuk meloncat dan melarikan diri. Cia Sun tiduk mau mengejar karena dia mengkhawatirkan keadaan Sui Cin. Dia tahu bahwa nenek itu tidak membohong. Keadaan Sui Cin memang tidak wajar. Gadis yang dahulu dia kenal sebagai seorang pendekar wanita yang hebat, puteri tunggal Pendekar Sadis, kini demikian lemah dan tidak berdaya sehingga terbelenggu seperti itupun tidak mampu membebaskan diri. Tentu gadis itu telah terluka, atau keracunan seperti yang dikatakan nenek itu. Diapun cepat meloncat dekat dan melepaskan ikatan kaki tangan dan pinggang gadis itu.
Sejak tadi Sui Cin menjadi saksi perkelahian itu dan iapun merasa kagum kepada pemuda berpakaian serba putih sederhana yang lihai itu. Setelah semua belenggu yang mengikat kaki tangannya putus dan ia menjadi bebas, ia segera merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata,
"Terima kasih, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan nenek iblis itu."
Cia Sun membalas penghormatan itu sambil tersenyum.
"Adik Sui Cin, kenapa engkau begini sungkan? Diantara kita mana ada sebutan pertolongan?"
Sui Cin memandang dengan mata terbelalak dan jelas nampak oleh Cia Sun betapa gadis ini sekarang menjadi semakin cantik menarik.
"Saudara yang gagah perkasa, apa maksudmu...?"
Kini Cia Sun yang melongo.
"Cin-moi... lupakah engkau kepadaku? Aku Cia Sun..."
Akan tetapi gadis itu memandang bingung.
"Cia Sun...? Aku... aku tidak mengenal nama itu..."
"Ehh...? Bagaimana ini? Bukankah engkau... adik Ceng Sui Cin?"
Sui Cin menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya.
"Aku tidak tahu... aku tidak tahu..."
Cia Sun merasa khawatir sekali dan memandang tajam.
"Apa maksudmu? Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau bukan adik Ceng Sui Cin?"
"Aku tidak tahu apakah namaku Ceng Sui Cin ataukah Ceng Bi Hwa..."
"Apa pula ini? Bagaimana engkau tidak yakin akan nama sendiri?"
"Aku tidak tahu, aku sudah lupa segalanya... dan nama Ceng Sui Cin atau Ceng Bi Hwa itupun kudengar dari nenek itu..."
"Engkau adalah adik Ceng Sui Cin, tak salah lagi! Coba ingat-ingat baik-baik, aku adalah Cia Sun dari Lembah Naga. Lupakah engkau kepada nama itu? Antara ayahmu dan ayahku terdapat hubungan yang amat erat... bukankah ayahmu adalah paman Ceng Thian Sin yang berjuluk Pendekar Sadis?"
Dengan sedih Sui Cin menggeleng kepala.
"Aku lupa semua, aku tidak tahu apa-apa, aku lupa siapa sebenarnya diriku. Aku hanya ingat bahwa aku terkena lemparan batu pada kepalaku, dan aku dikejar-kejar seorang musuh lihai. Kemudian aku bertemu dengan nenek itu dan ia telah menipuku, memberi minum yang katanya obat mengembalikan ingatanku. Akan tetapi ternyata obat itu adalah racun, aku menjadi lemas dan dibelenggunya seperti tadi... dan ia mengaku bernama Kiu-bwe Coa-li, katanya ia adalah musuh besarku..."
"Tentu saja! Ia adalah seorang diantara Cap-sha-kui yang jahat. Lupakah engkau?"
"Aku tidak ingat lagi siapa itu Cap-sha-kui..."
"Aih, Cin-moi. Aku pernah hampir celaka di tangan nenek ini beberapa tahun yang lalu, dan engkaulah yang muncul menolongku. Apakah engkau tidak ingat?"
Sui Cin menggeleng kepalanya.
"Aku lupa segala... kepalaku pening, ahh... batu itu menghantam kepalaku amat kerasnyna..." Gadis itu duduk kembali dan memejamkan mata untuk berusaha mengumpulkan tenaganya, akan tetapi ia mengeluh. Tenaganya hilang. "Aku lemas sekali, seluruh tenagaku lenyap... ini tentu karena racun yang diberikan nenek iblis itu kepadaku..."
"Cin-moi, kalau begitu aku mengerti sekarang. Engkau tentu telah kehilangan ingatanmu, entah mengapa, mungkin seperti yang kau ingat itu, terkena lemparan batu sehingga otakmu terguncang dan ingatanmu hilang atau kabur. Kemudian, dalam keadaan hilang ingatan itu engkau bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan nenek iblis yang curang itu telah menipumu, menggunakan keadaan dirimu yang lupa ingatan, kemudian meracunimu. Engkau keracunan, Cin-moi. Dan inilah yang harus lebih dahulu disembuhkan. Mari kubantu engkau..."
Cia Sun lalu duduk bersila di belakang Sui Cin, akan tetapi gadis itu meloncat bangun dan memandang dengan sinar mata meragu.
"Adikku yang baik, apakah engkau tidak percaya kepadaku?"
"Aku tidak kenal denganmu..."
"Cin-moi, dalam keadaan hilang ingatan, aku tidak merasa heran kalau engkau tidak lagi mengenal aku, bahkan namamu sendiripun engkau lupa, juga siapa orang tuamu. Akan tetapi, biarpun aku sekarang menjadi seorang kenalan baru, apakah engkau tetap tidak percaya kepadaku setelah tadi melihat betapa aku mati-matian membantumu dari ancaman nenek iblis itu?"
Sui Cin boleh jadi kehilangan ingatannya tentang masa lalu, akan tetapi ia tidak kehilangan kegagahan dan keadilannya. Ia mengangguk.
"Baiklah, aku yang salah. Lalu, apa yang hendak kau lakukan dalam usahamu mengobatiku?"
"Aku tidak tahu racun apa yang diminumkan nenek itu kepadamu, Cin-moi, karena itu tentu saja akupun tidak tahu apa obat penawarnya. Akan tetapi setidaknya, dengan pengerahan sin-kang, barangkali aku akan dapat memulihkan tenagamu, atau setidaknya aku akan dapat mencegah racun itu menjalar dan membahayakan keselamatan nyawamu."
Kembali Sui Cin mengangguk.
"Baiklah, saudara..."
"Cin-moi, dahulu engkau selalu menyebut twako kepadaku, dan namaku Cia Sun..." pemuda itu berkata halus.
"Baik, Sun-twako, silakan dan sebelumnya aku menghaturkan terima kesih."
Gadis itu duduk bersila kembali. Cia Sun duduk di belakangnya dan menempelkan kedua telapak tangannya di punggung gadis itu. Segera Sui Cin merasa betapa ada hawa panas menjalar ke dalam tubuhnya melalui telapak kedua tangan itu yang menempel punggung dan ia bergidik. Ia tahu bahwa pemuda itu sungguh lihai, akan tetapi mengerti juga bahwa nyawanya seolah-olah berada di telapak tangan pemuda itu. Ia menyerah dengan ikhlas dan memejamkan kedua matanya.
ASMARA BERDARAH JILID 105(↕)
Kiu-bwe Coa-li lari sambil memaki-maki.
"Keparat! Anjing monyet tikus sialan!"
Ia merasa betapa nasibnya amatlah buruknya. Sudah baik-baik bertemu dengan puteri Pendekar Sadis, malah sudah berhasil ia meringkus tanpa banyak susah dan selagi ia menikmati kepuasan hatinya menyiksa gadis itu sebelum membunuhnya, tahu-tahu muncul pemuda lihai itu, putera ketua Pek-liong-pang dari Lembah Naga! Dan nyaris ia celaka, mungkin tewas di tangan pemuda itu! Hanya dengan susah payah dan berkat kecerdikannya ia mampu lolos dari ancaman maut, walaupun cambuk ekor sembilan dan rambutnya rontok dan bodol!
"Sialan...!" gerutunya. mungkin ia kurang perhitungan ketika melakukan perjalanan, keliru memilih hari baik!
Memang menggelikan sekali ulah nenek iblis itu. Akan tetapi, kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan hidup ini, akan nampaklah oleh kita bahwa kenyataan hidup sehari-hari diantara kita tidaklah banyak bedanya dengan sikap nenek Kiu-bwe Coa-li itu.
Kitapun sudah terbiasa sejak kecil untuk menggantungkan diri pada nasib! Dan setiap ada peristiwa merugikan menimpa diri kita, kita lalu menyalahkan kepada nasib. Nasib buruk, sial, bintang gelap, dan sebagainya kita lontarkan sebagai ungkapan kekecewaan hati. Mari kita sama membuka mata dan mengamati kenyataan ini. Tidak demikianlah kebiasaan kita sehari-hari?
Kita selalu mencari kambing hitam keluar, menimpakan semua kesalahan keluar diri kita dan mencari-cari alasan dari luar, lalu kalau tidak menemukan lain orang atau barang sebagai penyebab datangnya kegagalan atau kerugian, kita masih melontarkan sebabnya kepada nasib!
Seorang yang gagal dalam ujian akan mencari-cari alasan keluar, menyalahkan gurunya yang dikatakan tidak adil, menyalahkan sistim pelajarannya, menyalahkan teman-teman dan kalau tiada alasan menimpakan kesalahan kepada orang lain lalu melontarkannya kepada nasib. Nasib buruk katanya!
Seorang yang gagal dan kalah dalam pertandingan olah raga dan lain-lain akan mencari-cari alasan di luar dirinya, menyalahkan lapangannya yang dikatakan buruk, licin dan sebagainya, menyalahkan alat permainan yang dikatakannya tidak memenuhi syarat dan sebagainya, atau ada pula yang menyalahkan keadaan kesehatannya atau juga melontarkannya kepada nasib!
Seorang yang dagangannya tidak laku dan gagal dalam usahanya akan selalu mencari kesalahan pada tempatnya, para pembelinya, atau juga kepada nasib. Seorang pengarang yang hasil karangannya tidak mendapat sambutan, tidak dibaca orang akan menyalahkan para pembaca yang dikatakannya tolol dan bodoh tidak mengenal karangan yang bermutu dan yang baik, atau juga melontarkannya kepada nasib.
Bukankah semua ini merupakan suatu sikap yang amat buruk, suatu kelucuan yang konyol dan tidak lucu? Bukankah sikap seperti itu merupakan suatu kebodohan dan menjadi penghalang besar daripada kemajuan diri pribadi? Kalau saja mereka itu mau menyelidiki dan mencari alasan-alasan kegagalan itu dalam diri sendiri, pasti akan mereka temukan sebab-sebab kegagalan semua itu. Sebabnya terletak dalam diri sendiri!
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini berputar pada suatu sumber yang berada di dalam diri sendiri. Dan sikap mencari segala sebab pada diri sendiri merupakan suatu kebijaksanaan yang amat besar dan amat berguna bagi kehidupan manusia, karena dengan cara demikian, kita masing-masing akan dapat melihat dan menemukan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan pada diri sendiri dan hanya kalau kita sudah menemukan kesalahan-kesalahan kepada diri sendiri inilah maka akan dapat terjadi perbaikan-perbaikan dan pembetulan-pembetulan. Nasib berada di dalam telapak tangan kita sendiri karena segala sebab dan semua akibat berada di telapak tangan kita sendiri.
Bukan hanya kegagalan, bahkan segala peristiwa, seyogianya ditelusur dari dalam diri sendiri. Kalau ada orang membenci kita, biasanya kita menjadi marah, kita membiarkan pikiran berceloteh, mengagungkan diri sendiri sedemikian tingginya.
"Mengapa dia benci kepadaku? Kurang bagaimanakah aku? Aku selalu baik, selalu ramah, selalu memberi, akan tetapi mengapa dia benci kepadaku? Dasar dia orang dengki, iri, jahat...!" Demikianlah celoteh pikiran yang selalu mengangkat dan mengagung-agungkan diri sendiri.
Dengan cara membiarkan pikiran berceloteh macam itu, kita akan mandeg, bahkan mundur, dan kita tidak akan mampu melihat kenyataan, melihat kesalahan sendiri dan kita hanya akan menambah kebencian diantara manusia.
Akan tetapi, kalau kita selalu waspada terhadap diri sendiri, mengamati diri sendiri tanpa menilai, tanpa mencela atau memuji, akan nampaklah segalanya itu, akan jelaslah bagi kita mengapa ada orang membenci kita dan sebagainya. Dan kewaspadaan ini, pengamatan ini sekaligus menimbulkan kesadaran yang melahirkan tindakan nyata pula, mendatangkan keberanian untuk merobah kesalahan sendiri.
Kiu-bwe Coa-li bersungut-sungut dan marah-marah, menyalahkan nasibnya. Padahal semua kegagalan yang menimpa dirinya bukan lain merupakan buah yang dipetik dari pohon yang ditanamnya sendiri! Ia bersungut-sungut dan karena ia berjalan cepat sambil melamun, hampir saja ia menabrak seorang yang sedang berjalan perlahan dari depan. Orang itu menyerongkan langkah, memiringkan tubuh sehingga tabrakan terhindar.
Kiu-bwe Coa-li hanya merasakan angin berseliwer halus ketika orang itu lewat di sampingnya dan barulah ia sadar bahwa hampir saja ia bertubrukan dengan orang lain. Hatinya yang sedang murung itu menjadi panas dan marah, apalagi ketika ia mengangkat muka dan melihat bahwa yang hampir bertubrukan dengannya itu juga seorang nenek yang pakaiannya indah dan bersih.
Nenek inipun sudah tua, tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, malah lebih tua dari nenek Kiu-bwe Coa-li. Akan tetapi jelas nampak perbedaan antara kedua orang nenek itu. Kalau Kiu-bwe Coa-li berwajah buruk sekali, sebaliknya nenek ini menunjukkan bahwa di waktu mudanya ia tentu seorang wanita yang amat cantik.
Akan tetapi bukan kecantikan seorang wanita Han, melainkan kecantikan asing, dengan matanya yang lebar, hidungnya yang terlalu mancung dan dagunya yang panjang meruncing itu. Juga dandanannya jauh berbeda dengan wanita Han, bahkan juga berbeda dengan pakaian wanita-wanita Mongol pada umumnya. Rambutnya yang sudah putih itu dikuncir dua, bukan dikuncir melainkan dibagi dua dan diikat dengan kain lebar. Telinganya yang lebar itu memakai anting-anting gelang yang besar pula. Lehernya memakai kalung dari untaian batu-batu putih bundar seperti tasbeh. Jubahnya berwarna putih bersih, dengan rangkapan berwarna biru dan kuning yang indah.
Tangannya memegang sebatang kebutan yang juga berbulu putih seperti rambutnya. Nenek ini nampak agung dan berwibawa, juga gerak-geriknya halus seperti wanita bangsawan. Mulutnya tersenyum membayangkan kebesaran hati ketika ia memandang kepada Kiu-bwe Coa-li.
Sejenak Kiu-bwe Coa-li mempergunakan sepasang matanya yang agak juling itu untuk memandang dan hatinya menjadi semakin panas. Nenek itu dianggapnya terlalu sombong dan genit! Sudah tua masih berdandan begitu rapinya, memakai kalung dan anting-anting pula, dan pakaiannya bagus-bagus!
"Perempuan tak tahu malu!" bentaknya sambil menggoyang-goyang cambuknya. "Dimana kau taruh matamu maka engkau berani hampir menubruk aku?"
Nenek berjubah putih-putih itu tersenyum.
"Sobat, jangan marah-marah dulu dan ingatlah baik-baik, siapa yang bendak menubruk tadi? Engkau berjalan setengah berlari sambil melamun sehingga tidak melihat ke depan dan kalau aku kurang cepat menyingkir tentu telah kau tabruk."
Suaranya halus dan dari suara dan kata-katanya jelas bahwa ia adalah seorang wanita Mongol yang pandai berbahasa Han. Kata-katanya menunjukkan bahwa ia terpelajar, karena ia menggunakan bahasa yang halus, lebih halus daripada kata-kata yang keluar dari mulut Kiu-bwe Coa-li, seorang nenek berbangsa Han asli.
Ucapan yang halus dan sikap yang tenang itu menambah kemarahan Kiu-bwe Coa-li, karena ia merasa seolah-olah diejek. Ia menudingkan cambuknya ke arah muka nenek itu sambil membentak,
"Perempuan tua bangka Mongol yang bosan hidup! Buka mata dan telingamu baik-baik. Engkau berhadapan dengan Kiu-bwe Coa-li dan kalau engkau tidak lekas berlutut minta ampun, cambukku akan mencabut nyawamu!"
"Ck-ck-ck..." Nenek itu menggeleng kepala perlahan sehingga anting-antingnya yang seperti gelang itu bergoyang-goyang, akan tetapi mulutnya masih tersenyum. "Kiranya Kiu-bwe Coa-li, seorang dari Cap-sha-kui yang namanya menggelapkan angkasa di selatan? Wah, hebat sekali. Kiu-bwe Coa-li, aku sudah tua, nyawa ini tidak akan dapat kupertahankan selamanya dan sekali hendak pergi meninggalkan badan, siapa yang mampu menangguhkannya? Akan tetapi jangan harap dapat memaksaku berlutut karena aku tidak mempunyai kesalahan apapun kepadamu."
"Keparat! Berani engkau membantah dan menantangku? Apakah kau bosan hidup?"
Pada saat itu terdengar auman yang keras dan menggetarkan bumi. Kiu-bwe Coa-li terkejut bukan main ketika tiba-tiba seekor harimau yang amat besar muncul dan berlari menghampiri nenek berjubah putih itu. Harimau itu juga memandang kepadanya dan menggereng marah, matanya mencorong dan bibir atasnya mendesis-desis, meringis memperlihatkan gigi dan taring yang amat kuat.
Diam-diam Kiu-bwe Coa-li merasa ngeri dan jerih juga. Biarpun ia lihai, akan tetapi menghadapi seekor harimau yang demikian besarnya, ia maklum betapa besar bahayanya melawan binatang seperti ini.
"Houw-cu... diamlah dan jangan ribut," kata nenek itu dengan suara membujuk dan harimau itu lalu mendekam di samping si nenek berjubah putih.
"Huh, biarpun engkau mempunyai peliharaan kucing itu, jangan dikira aku takut!" Kiu-bwe Coa-li menantang.
Nenek itu tetap tersenyum, akan tetapi sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mencorong, seperti mata binatang peliharaannya.
"Kiu-bwe Coa-li, sungguh mengherankan sekali bahwa orang dengan watak seperti engkau ini dapat hidup sampai usia tua. Aku bukan orang yang suka mempergunakan kekerasan, tidak suka berkelahi, akan tetapi juga bukan orang yang takut akan ancaman-ancaman dan gertak-gertak kosong belaka!"
"Akan tetapi yang suka mengandalkan perlindungan binatang buas!" ejek Kiu-bwe Coa-li yang masih merasa ragu-ragu untuk turun tangan mengingat adanya harimau yang nampaknya buas sekali itu.
Kalau hanya harimau biasa saja, ia tidak akan gentar. Akan tetapi harimau ini sungguh luar biasa besarnya dan nampaknya kuat bukan main.
"Begitukah? Aku tidak minta perlindungan Houw-cu, dia hanya marah karena hidungnya dapat mencium bau busuk. Eh, Houw-cu, pergilah bersembunyi sebentar agar perempuan kejam ini tidak menjadi ketakutan."
Seperti seekor binatang jinak yang mengenal perintah majikannya, harimau itu pergi setelah beberapa kali menoleh ke arah Kiu-bwe Coa-li sambil menggereng seperti merasa curiga dan marah. Kemudian dia menghilang di balik pohon-pohonan dan tidak terdengar lagi suaranya.
"Nah, dia sudah pergi, Kiu-bwe Coa-li. Sekarang engkau mau apa?"
"Mau membunuhmu!" bentak Kiu-bwe Coa-li marah dan nenek ini sudah melakukan serangan dengan cambuknya.
Cambuk itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan dan biarpun sudah ada dua ekornya yang putus ketika ia menghadapi Cia Sun tadi, akan tetapi masih ada sisa tujuh ekor yang kini menyambar dan melakukan totokan-totokan yqng dahsyat.
"Hemmm...!"
Nenek berjubah putih itu berseru kaget menyaksikan kehebatan gerakan serangan Kiu-bwe Coa-li dan ia melompat ke belakang sambil mengebutkan kebutan putih di tangannya.
"Pratt-pratt-prattt!"
Cambuk itu bertemu dengan kebutan beberapa kali dan nenek berjubah putih itu terhuyung ke belakang.
"Heh-heh-heh, kematian sudah di depan mata, bersiaplah engkau, tua bangka!"
Kiu-bwe Coa-li mengejek dan terus menyerang lagi. Ia sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada nenek itu sehingga bertanya namapun tidak. Demikian watak orang-orang Cap-sha-kui yang rata-rata sombong dan kejam itu. Dan itulah kesalahannya.
Andaikata ia tadi bertanya dan ia tahu dengan siapa dia berhadapan, tentu ia akan bersikap hati-hati dan mungkin ia akan pergi tanpa berani mengganggu nenek berjubah putih itu. Akan tetapi ia terlalu sombong dan pada saat itu hatinya sedang marah karena kekalahannya terhadap Cia Sun.
ASMARA BERDARAH JILID 106(↕)
Didesak oleh serangan-serangan yang dahsyat itu, nenek jubah putih mengelak sambil berloncatan dan anehnya ia sama sekali tidak pernah membalas. Akan tetapi iapun terkejut memperoleh kenyataan betapa hebat dan berbahayanya serangan-serangan yang dilakukan oleh Kiu-bwe Coa-li itu, maka begitu melompat ke belakang ia menudingkan kebutannya sambil berkata halus,
"Kiu-bwe Coa-li, membenci orang lain berarti membenci diri sendiri. Engkau menyerang orang lain sama saja dengan menyerang diri sendiri!"
Kiu-bwe Coa-li tidak perduli walaupun ucapan nenek itu seperti menembus ke dalam dadanya. Dengan ganas ia menubruk dengan cambuknya.
"Tar-tar-tarrr...!"
Cambuk meledak-ledak lalu menerjang ke arah nenek itu. Akan tetapi, entah kekuatan apa yang terdapat dalam kebutan berbulu putih, tiba-tiba saja cambuk itu membalik dan memukul muka Kiu-bwe Coa-li sendiri!
"Ihhh...!"
Kiu-bwe Coa-li berteriak keras dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja tiga ekor cambuk itu mengenai muka dan lehernya dan nampaklah jalur-jalur merah berdarah di muka dan lehernya. Ia terbelalak, akan tetapi tidak menjadi takut, bahkan makin marah.
"Kubunuh kau... kau harus mampus!"
Ia berteriak marah sekali dan kembali ia meloncat ke depan. Nenek itu mengacungkan kebutannya ke atas, lalu membanting kebutan itu ke bawah. Aneh sekali, tiba-tiba saja tubuh Kiu-bwe Coa-li yang sedang meloncat itu tiba-tiba saja terbanting ke bawah oleh tenaga yang tidak nampak.
"Brukkk...!"
Kiu-uwe Coa-li terbelalak dan menjadi semakin marah karena bantingan itu tidak melukainya, walaupun membuat napasnya agak sesak dan jalannya menjadi pincang. Ketika ia mengangkat mukanya, nenek itu sudah berjalan pergi sambil membawa kebutannya, seolah-olah tidak lagi mau memperdulikannya! Kemarahannya memuncak. Dilihatnya nenek itu menuruni sebuah lereng yang curam.
"Tunggu, kemana engkau hendak lari, keparat?" Ia mengejar dan menuruni lereng yang diapit-apit jurang yang curam itu.
Nenek itu menengok.
"Kiu-bwe Coa-li, aku melihat awan hitam mempengaruhimu. Mundurlah sebelum terlambat!"
Ucapannya itu halus dan bernada serius. Akan tetapi orang macam Kiu-bwe Coa-li mana mau mengalah dan mundur sebelum kalah?
Setelah mengejar sampai jarak empat meter, tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya dan meluncurlah belasan jarum halus menyerang ke arah tubuh belakang nenek itu.
Akan tetapi, nenek itu membalikkan tubuhnya dan kembali mengacungkan kebutannya dan belasan batang jarum halus yang sedang meluncur itu tiba-tiba saja membalik ke arah Kiu-bwe Coa-li sendiri!
Nenek buruk itu terbelalak, terkejut bukan main karena kembalinya belasan batang jarumnya itu amat cepatnya, lebih cepat daripada ketika ia pakai menyerang. Ia tidak mau kalau senjatanya makan tuan. Untuk menangkis tidak sempat lagi saking cepatnya jarum-jarum itu meluncur, maka iapun meloncat ke kiri untuk mengelak dan... terdengarlah jeritan menyayat hati ketika tubuhnya meluncur ke bawah, ke dalam jurang yang amat curam!
Nenek ini dalam kemarahannya telah menjadi lengah dan kehilangan kewaspadaan sehingga lupa bahwa di kanan kiri tempat itu terdapat jurang-jurang yang curam sehingga ketika ia mengelak dan melompat ke kiri, ia telah melompat ke dalam jurang.
Jeritan itu berhenti dan nenek berjubah putih menjenguk dari tepi jurang, memandang ke bawah. Masih nampak olehnya tubuh Kiu-bwe Coa-li yang dari atas nampak kecil seperti boneka menggelinding ke bawah, terlempar-lempar ketika menimpa batu-batu dan akhirnya terbanting ke dasar jurang dan diam tak bergerak lagi.
"Ck-ck-ckk...!"
Nenek itu menggeleng-geleng kepalanya lalu bertepuk tangan. Tepukan tangan itu terdengar nyaring sekali dan agaknya merupakan isyarat bagi harimau peliharaannya karena kini muncullah harimau besar itu, berlari-lari mendatangi. Nenek itu lalu naik ke punggung harimau, menggerakkan kebutannya dan harimau itupun berlari ke arah dari mana Kiu-bwe Coa-li tadi datang.
Tak lama kemudian tibalah nenek dan harimaunya itu di tempat dimana Cia Sun sedang berusaha untuk mengobati Sui Cin. Dari jauh nenek itu sudah melihat mereka dan iapun menyuruh harimaunya berhenti. Ia mengintai dan sampai lama ia mengamati dua orang muda itu. Berulang kali ia menarik napas panjang dan menggumam seorang diri.
"Ah, agaknya perempuan itu keracunan dan tentu perbuatan Kiu-bwe Coa-li itu. Kasihan, aku melihat cahaya gelap menyelubungi wajahnya."
Nenek ini bukan orang sembarangan. Kalau tadi Kiu-bwe Coa-li tidak begitu sombong dan mau bertanya nama, agaknya ia belum tentu akan tewas, mati konyol karena terjatuh ke dalam jurang karena nama nenek itu tentu akan membuatnya merasa jerih dan membuatnya tidak berani sembarangan menyerang.
Nenek itu terkenal sekali di daerah utara, di luar Tembok Besar dan bahkan seluruh penduduk Mongol dan Mancu amat takut kepadanya. Di Mongol, ia dikenal sebagai seorang dukun wanita yang terkenal sakti dan ampuh. Apalagi, di samping menjadi dukun yang diakui mempunyai banyak macam ilmu yang aneh-aneh, juga ia merupakan keturunan dari Yelu Ce-tai, seorang arif bijaksana yang dahulu menjadi penasihat Raja Jenghis Khan!
Biarpun sudah lama Kerajaan Goan, yaitu penjajah Mongol, terjatuh dan sisa-sisa orang Mongol kembali ke utara di luar Tembok Besar, namun nama keluarga Yelu Ce-tai masih dikenal orang, bahkan ratusan tahun kemudian, nenek itu sebagai keturunan keluarga Yelu, masih dihormati orang-orang Mongol, apalagi karena ia memang seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu sihirnya.
Bahkan para kepala suku yang banyak terdapat di daerah itu semua menghormatinya. Ia menjadi tempat bertanya nasihat para pimpinan suku dan bahkan pertikaian-pertikaian yang timbul diantara mereka seringkali baru dapat didamaikan kalau Yelu Kim demikian nama nenek itu, sudah turun tangan melerai. Di kalangan orang Mongol yang masih percaya akan hal-hal mujijat dan ketahyulan, nenek itu dikabarkan sakti seperti dewa, dapat menghidupkan orang mati dan mematikan orang hidup!
Sebetulnya, Yelu Ce-tai dahulu adalah seorang bangsawan Khitan akan tetapi ahli dalam kebudayaan bangsa pribumi Han sehingga dia dianggap sebagai seorang berbangsa pribumi. Keturunannya banyak yang menikah campuran sehingga darah Yelu Kim sekarang adalah darah campuran, bahkan ada pula darah Bangsa India di barat.
Itulah sebabnya mengapa wajahnya memiliki kecantikan yang asing dan aneh. Namanya terkenal sekali, bahkan tokoh-tokoh besar di pedalaman yang sering menjelajah ke utara, sudah mendengar akan kehebatan nama ini. Maka sayanglah bahwa Kiu-bwe Coa-li tidak menanyakan namanya sehingga nenek iblis itu tewas tanpa mengetahui bahwa lawannya adalah orang yang paling terkenal di Mongol.
Sebagai seorang yang dihormati, Yelu Kim yang berdarah bangsawan itu bersikap agung dan ramah, akan tetapi di balik kehalusan sikapnya itu tersembunyi kekuatan yang menakutkan dan memang nenek ini kadang-kadang mempunyai sikap yang aneh dan mengejutkan orang, kadang-kadang ia murah hati sekali dan mudah mengampuni, akan tetapi ada kalanya ia bersikap amat keras hati dan amat kejam.
Padahal, pada dasarnya Yelu Kim bukanlah seorang kejam, melainkan seorang yang bijaksana dan adil, dan pandangannya sedemikian jauh sehingga banyak orang tidak mengerti dan menganggap ia kejam. Nenek yang sudah beberapa kali menikah ini tidak pernah mengecap kebahagiaan hidup keluarganya, dan ia tidak pernah mempunyai anak sehingga kini hidup kesepian dalam usia tua. Dan sebagai seorang janda tua yang hidup kesepan, ia suka akan binatang peliharaannya.
Akan tetapi kalau para janda itu suka memelihara kucing atau anjing, nenek ini memelihara seekor harimau yang amat besar dan menakutkan. Dan harimau ini bukan hanya menjadi binatang peliharaan dan kesayangan, bahkan juga dapat menjadi binatang tunggangan dan binatang yang menjaga dan melindungi keselamatannya.
Melihat binatang ini saja membuat orang yang tadinya berniat buruk terhadap Yelu Kim harus berpikir panjang lebih dulu karena harimau itu nampaknya amat menyayang dan setia kepada majikannya.
Demikianlah sedikit tentang nenek aneh itu yang kini mengintai Cia Sun dan Sui Cin yang sedang duduk bersila. Sui Cin yang merasa betapa hawa yang panas menjalar ke dalam tubuhnya merasa nyaman sekali dan hampir tertidur. Sebaliknya Cia Sun dengan pengerahan sin-kang berusaha untuk membangkitkan kembali tenaga gadis itu yang seakan-akan menjadi lumpuh. Namun, dia tidak pernah menemui perlawanan sehingga hal ini menandakan bahwa Sui Cin belum juga menemukan kembali kekuatannya. Sin-kang atau hawa sakti dalam tubuh gadis itu belum bangkit.
Telah lewat tiga jam lamanya sejak Cia Sun mencoba untuk mengobati gadis itu dan terpaksa dia berhenti dulu untuk menyimpan tenaganya sendiri. Dia melepaskan kedua tangannya dan Sui Cin sadar dari keadaan seperti tidur itu. Mereka lalu duduk beristirahat, berhadapan di atas rumput tebal, saling memandang. Melihat betapa sepasang mata gadis itu memandang kepadanya penuh pertanyaan, Cia Sun menarik napas panjang.
"Cin-moi, kita harus mengaso dulu. Sungguh heran, aku belum menemui perlawanan, agaknya sin-kang di dalam tubuhmu sama sekali tidak bangkit. Entah pengaruh racun apa yang dipergunakan Kiu-bwe Coa-li sehingga bisa melumpuhkan kekuatan dalam tubuhmu seperti ini."
Gadis itu memandang wajah yang gagah dan nampaknya sedih itu, dan hatinya terharu. Ia tidak mengenal pemuda ini, atau lebih tepat lagi, ia sudah lupa lagi siapa adanya pemuda ini, namun menurut penuturan pemuda ini, diantara mereka terdapat hubungan dekat dan bahwa pemuda itu adalah putera ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga, seorang pendekar!
Dan melihat sepak terjangnya tadi, memang pemuda ini seorang pendekar yang mengagumkan, bukan hanya telah menyelamatkannya dari ancaman maut di tangan nenek iblis Kiu-bwe Coa-li, akan tetapi juga bersikap sopan dan mengagumkan ketika berusaha mengobatinya dengan pengerahan sin-kang. Seorang pemuda yang hebat, dan sinar mata pemuda itu kalau ditujukan kepadanya membuat jantungnya tergetar karena jelas terasa dan nampak olehnya betapa pemuda ini jatuh cinta kepadanya, atau mungkin juga sudah sejak dahulu mencintanya.
"Sudahlah, Sun-twako, biarkan saja. Tidak perlu engkau menghambur-hamburkan tenagamu untuk mencoba mengobatiku. Aku tidak menderita rasa nyeri, hanya lemas dan tidak mampu membangkitkan tenaga sin-kangku..."
"Akan tetapi, engkau tentu menderita. Engkau sakit, mukamu pucat dan matamu layu, Cin-moi, bagaimanapun juga, aku harus berusaha mengobatimu sampai sembuh. Setidaknya aku akan mencarikan obat, mencarikan ahli untukmu."
Pada saat itu, Cia Sun meloncat berdiri dan memandang ke arah pohon-pohon dimana kini sudah berdiri seorang nenek yang memegang sebuah kebutan putih. Karena baru saja dia berkelahi melawan seorang nenek iblis, maka munculnya nenek ini tentu saja mendatangkan kecurigaan besar dan mengingat bahwa Sui Cin masih tidak berdaya, diapun cepat lari menghampiri nenek itu dengan pandang mata penuh curiga.
Nenek itu adalah Yelu Kim dan kini tiba-tiba saja sikap nenek ini berubah sama sekali. Pandang matanya nampak jahat dan kejam, senyumnya penuh ejekan.
"Orang muda, kaukah yang tadi bertanding dengan Kiu-bwe Coa-li?"
Cia Sun mengerutkan alisnya dan memandang tajam.
"Benar sekali, dan setelah nenek iblis itu melarikan diri sekarang muncul engkau. Siapakah kau ini, nek, dan ada hubungan apa engkau dengan Kiu-bwe Coa-li?"
Senyum mengejek di mulut nenek itu melebar dan pandang matanya nampak heran dan tidak percaya.
"Engkau yang semuda ini mampu mengalahkan Kiu-bwe Coa-li?"
"Kalau nenek iblis itu tidak melarikan diri, tentu ia sekarang sudah tewas di tanganku. Seorang manusia berwatak iblis seperti ia memang sudah sepatutnya dibasmi dari permukaan bumi. Dan engkau, siapakah engkau, dan apa maksudmu muncul disini?"
"Aku tidak percaya bahwa engkau mampu mengalahkan Kiu-bwe Coa-li, dan aku datang untuk mencoba apakah kepandaianmu benar-benar sehebat itu."
Berkata demikian, nenek itu langsung saja menubruk ke depan dan mengelebatkan kebutannya. Ujung kebutan yang menjadi kaku meluncur dan menotok ke arah tiga jalan darah di dada, leher dan pundak Cia Sun secara bertubi-tubi.
"Hemm, kiranya engkau sebangsa nenek iblis itu!" bentak Cia Sun yang cepat mengelak dan diapun membalas dengan tamparan-tamparan tangannya yang ampuh.
ASMARA BERDARAH JILID 107(↕)
Melihat tamparan ini yang mengandung hawa pukulan amat dahsyat, nenek Yelu Kim terkejut bukan main dan tahulah ia bahwa memang pemuda ini lihai sekali. Tidaklah mengherankan kalau Kiu-bwe Coa-li sampai melarikan diri dalam keadaan marah-marah sehingga hampir menubruknya. Iapun menggunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk berloncatan dan mengelak ke sana-sini sambil membalas dengan cambuknya.
Beberapa kali nenek itu mengelebatkan kebutannya dan setiap kali Cia Sun kehilangan lawannya. Pemuda ini terkejut sekali, apalagi ketika melihat nenek itu sudah berada dalam jarak empat lima tombak di sebelah depan. Dia mengejar dan berkelahi lagi, akan tetapi nenek itu seringkali berkelebatan lenyap dan tanpa diketahuinya, Cia Sun sudah terpancing meninggalkan tempat dimana Sui Cin duduk bengong tadi.
Gadis ini merasa gelisah karena ia tidak dapat membantu Cia Sun menghadapi nenek yang nampaknya juga lihai sekali itu. Makin gelisah rasa hati Sui Cin melihat betapa kini Cia Sun yang masih berkelahi melawan nenek aneh itu, telah lenyap di sebuah tikungan, terhalang oleh pohon-pohon. Iapun melangkahkan kaki untuk mengejar karena walaupun ia sendiri tidak berdaya, tidak mampu membantu karena tenaganya belum pulih, kaki tangannya masih lemas, akan tetapi ia harus menyaksikan bagaimana kelanjutan perkelahian itu.
Tiba-tiba terdengar suara gerengan dan tahu-tahu muncullah seekor harimau yang amat besar, yang melompat keluar dari balik semak-semak belukar. Harimau itu demikian besar dan nampak garang sekali sehingga Sui Cin berdiri terpukau dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Kalau ia berada dalam keadaan biasa, tentu ia akan mampu melawan binatang ini mengandalkan kepandaiannya. Akan tetapi dalam keadaan kehilangan tenaga itu, mana mungkin ia mampu menyelamatkan diri? Ia mencoba untuk membalikkan tubuh dan lari, akan tetapi tiba-tiba harimau itu menubruk dan tahu-tahu sudah menghadang di depannya.
Sui Cin menjadi panik. Rasa ngeri mencekam hatinya dan ia berusaha untuk memanjat sebatang pohon yang berada di samping kirinya. Ia berhasil naik dahan pohon, akan tetapi harimau itu mengaum dan menubruk pohon. Pohon yang batangnya sebesar paha manusia itu roboh, membawa Sui Cin bersama roboh ke bawah!
"Ahhhh...!"
Demikian ngeri rasa hati gadis yang biasanya amat gagah perkasa ini dan iapun jatuh pingsan.
Sementara itu, nenek pemegang kebutan ketika mendengar auman-auman harimau itu, tersenyum dan berkata,
"Orang muda, cukuplah kita bermain-main. Ilmu silatmu hebat sekali, membuat aku kagum bukan main. Nah, selamat tinggal!"
Ia menggerakken kebutannya dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan Cia Sun. Pemuda ini tercengang, mencari dengan pandang matanya ke sana-sini, akan tetapi sia-sia belaka, ia tidak dapat melihat kembali nenek itu. Maka iapun cepat kembali ke tempat tadi karena iapun mendengar suara auman-auman harimau tadi dan mengkhawatirkan keselamatan Sui Cin.
Ketika tiba di tempat tadi, dimana dia meninggalkan Sui Cin untuk melawan nenek itu, dia terkejut bukan main. Sui Cin tidak ada lagi di situ.
"Cin-moi...!"
Dia berseru memanggil mengharap kalau-kalau gadis itu bersembunyi ketika mendengar suara auman harimau. Akan tetapi, panggilannya yang dilakukan dengan pengerahan khi-kang itu hanya bergema dari jauh, tidak ada jawaban sama sekali.
"Cin-moi, dimana kau...?"
Dia berteriak lagi dan mulai mencari ke sana sini dengan hati khawatir. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan bayangan ataupun jejak gadis itu. Akhirnya dia menghentikan usahanya mencari dan duduk termenung di atas sebongkah batu besar, alisnya berkerut. Timbul kecurigaannya kepada nenek tadi. Nenek tadi adalah seorang yang amat pandai dan biarpun ilmu silatnya tidak begitu hebat, juga tenaganya tidak terlalu kuat baginya, namun nenek itu memiliki ilmu yang luar biasa, yaitu pandai menghilang.
Ataukah itu hanya semacam ilmu sihir saja? Dan nenek itu seperti sengaja memancingnya menjauhi Sui Cin. Kemudian setelah terdengar auman harimau, nenek itupun menghilang! Kini dia teringat bahwa agaknya nenek itu memang sengaja memancingnya untuk menjauhi Sui Cin. Jelas bahwa ada hubungan antara hilangnya gadis itu dengan si nenek aneh.
Cia Sun mengepal tinju dan bangkit berdiri. Sinar matanya tajam dan keras.
"Nenek siluman, sampai dimanapun juga, aku akan mengejarmu!"
Dan diapun pergi meninggalkan tempat itu, memulai tugasnya untuk menyelidiki dan mencari Sui Cin dengan jalan mencari nenek itu karena dia merasa yakin bahwa Sui Cin tentu diculik oleh nenek itu, mungkin dilakukan oleh pembantu-pembantunya.
ASMARA BERDARAH JILID 108(↕)
Daerah pegunungan itu penuh dengan batu-batu karang yang besar-besar, seperti barisan bukit-bukit kecil atau jajaran bangunan-bangunan kuno yang aneh-aneh bentuknya. Dan di daerah ini banyak terdapat guha-guha alam yang besar-besar dan juga aneh-aneh bentuknya. Di atas sebuah di antara bukit-bukit batu itu, terdapat sebuah guha yang amat besar. Pintu guha ini luas, besar dan tinggi, juga amat bersih, tanda bahwa guha itu dirawat dengan baik. Lantainya amat rata dan halus, dan dari luar guha sudah nampak bahwa di sebelah dalam guha itu memang dijadikan tempat tinggal manusia, nampak tirai-tirai kain di balik pintu.
Nenek itu duduk bersila di atas sebuah tikar yang terbentang di ruangan depan guha. Ia adalah nenek Yelu Kim. Pakaiannya tetap bersih dan rapi dan wajahnya berseri. Tangan kanannya membawa kebutan bulu putih dan di depannya terdapat sebuah guci yang mengkilap dan indah, entah terisi apa karena tertutup.
Terdengar auman harimau dari depan guha. Untuk mencapai guha itu orang harus mendaki dari bawah. Nenek itu memandang ke bawah dan mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Mongol untuk menyuruh harimau peliharannya itu mendaki naik membawa gadis yang diseretnya itu.
Harimau besar itu mendaki naik, menyeret tubuh Sui Cin dengan menggigit punggung baju gadis itu. Gadis itu masih dalam keadaan pingsan dan agaknya tidaklah sukar bagi harimau itu untuk menyeret tubuh Sui Cin menaiki anak tangga menuju ke mulut guha dimana nenek itu menanti dengan wajah berseri.
"Letakkan ia disini, Houw-cu," kata nenek itu sambil menudingkan kebutannya.
Harimau itu membawa Sui Cin ke depan si nenek dan melepaskannya di atas lantai. Tubuh Sui Cin rebah terlentang.
"Nah, kau boleh pergi mengaso, Houw-cu," kata pula nenek Yelu Kim dan harimau itu mengeluarkan suara mengaum panjang lalu berlari pergi menuruni anak tangga.
Nenek itu lalu membuka baju atas Sui Cin dan melakukan pemeriksaan, meraba sana-sini, mengetuk sana-sini dan akhirnya ia menutupkan lagi baju gadis itu dan mengangguk-angguk.
"Sungguh keji sekali Kiu-bwe Coa-li, meracuni seorang anak perempuan dengan racun ular bunga kuning, racun yang melumpuhkan kaki tangannya."
Kemudian, dengan gerakan ringan nenek itu mengangkat tubuh Sui Cin, dipondongnya tubuh itu dan dibawanya masuk ke dalam guha. Ternyata guha itu amat lebar dan di sebelah dalamnya terdapat sebuah kamar tidur dan sebuah ruangan yang luas. Nenek itu merebahkan tubuh Sui Cin di atas pembaringan kayu yang berada di sudut ruangan luas itu. Kemudian ia membuat api di tungku dan memasak obat.
Sebelum obat itu siap, Sui Cin sadar dari pingsannya. Ia mengeluh dan seketika teringat akan harimau itu, maka iapun bangkit duduk dan matanya terbelalak memandang ke kanan kiri. Tidak dilihatnya ada harimau disitu sehingga melegakan hatinya. Akan tetapi ketika ia melihat nenek yang sedang memasak obat, ia cepat turun dari pembaringan dan alisnya berkerut. Tentu saja ia mengenal nenek yang tadi berkelahi melawan Cia Sun itu.
"Nenek iblis! Apa yang telah kau lakukan terhadap Sun-twako?" bentaknya marah, akan tetapi perasaannya menjadi gentar ketika ia mencoba mengerahkan tenaga, masih saja tidak dapat membangkitkan tenaganya.
Yelu Kim masih duduk berjongkok di depan tungku api, menoleh dan tersenyum.
"Ah, engkau sudah sadar, nona? Aku dan Houw-cu sudah banyak mengejutkan hatimu, bukan? Lupakanlah itu, karena aku berniat baik terhadap dirimu."
"Hemmm, siapa mau percaya omongan seorang nenek iblis sepertimu? Dimana Sun-twako dan mau apa engkau membawaku ke tempat ini?"
Nenek itu tersenyum dan sebelum menjawab, ia mengambil tempat obat dari atas api dan menuangkan air obat yang berwarna coklat itu dan yang mengebulkan uap panas ke dalam sebuah mangkok. Bau sedap harum mencapai hidung Sui Cin, bau masakan obat.
"Aku tidak menyalahkan engkau kalau terjadi salah pengertian. Dengarlah, nona, aku Yelu Kim jangan kau samakan dengan Kiu-bwe Coa-li."
"Kalau tidak sama, mengapa engkau menyerang Sun-twako?"
"Memang kusengaja memancing dia meninggalkanmu agar mudah bagi Houw-cu untuk membawamu kesini."
Mata Sui Cin terbelalak.
"Apa? Harimau itu peliharaanmu dan dia kau suruh datang menculikku?"
Nenek itu masih tersenyum dan mengangguk.
"Aku tidak berniat jahat, anakku yang baik."
Sui Cin mendengus marah.
"Tidak berniat jahat akan tetapi menyuruh harimaumu mengejutkan hatiku dan menculikku, dan engkau sendiri menyerang dan memancing Sun-twako meninggalkan aku? Bagus, kau kira ada orang mau percaya omonganmu ini?"
"Terserah kepadamu, nona. Akan tetapi, kalau aku berniat buruk, apakah kau kira masih hidup sekarang ini, dan juga temanmu itu masih hidup?"
"Dimana Sun-toako?"
"Aku meninggalkan dia. Dia terlalu kuat dan aku tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Setelah engkau dibawa harimauku, akupun meninggalkannya."
"Tapi... tapi apa artinya semua ini dan apa kehendakmu melakukan hal itu terhadap kami?"
"Sabarlah dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Terserah kepadamu apakah engkau akan percaya kepadaku atau tidak, akan tetapi sesungguhnya aku tidak mempunyai niat buruk terhadap dirimu atau terhadap temanmu yang gagah perkasa itu. Namaku Yelu Kim dan di daerah Mongol ini aku dihormati orang, bahkan dianggap sebagai orang tua yang patut dimintai nasihat oleh para kepala suku."
Nenek itu mulai bercerita dan ia merasa heran melihat betapa gadis ini sama sekali tidak kaget mendengar namanya. Timbul keinginan hatinya mengenal siapa adanya gadis ini dan apakah ia salah pilih, mengira gadis ini adalah seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan boleh diandalkan kelak.
"Nona, engkau sendiri siapakah, siapa namamu dan siapa pula gurumu, mengapa engkau sampai berada di daerah ini dan keracunan?"
Melihat sikap orang yang begitu ramah dan halus, berkuranglah kecurigaan Sui Cin. Bagaimanapun juga, dari sikap dan bicaranya, sukarlah menyamakan nenek ini dengan nenek iblis Kiu-bwe Coa-li. Ia menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, dalam keadaan kehilangan tenaga ini iapun tidak akan mampu menjaga diri dan keselamatannya berada di tangan nenek ini, maka sebaiknyalah kalau ia bersikap halus mengimbangi sikap nenek itu.
"Ah, aku menjadi bingung kalau ditanya begitu, nek. Ketahuilah, aku telah lupa sama sekali akan keadaan diriku atau riwayatku. Karena aku kehilangan ingatan inilah maka Kiu-bwe Coa-li dapat menipuku, memberiku minum racun itu yang melumpuhkan kaki tanganku. Aku sampai sekarang tidak ingat lagi siapa adanya diriku, apalagi nama orang tua atau guruku, bahkan aku sendiri tidak tahu untuk apa aku berada di daerah ini..."
Mendengar ucapan itu dan melihat sikap yang sedih dari Sui Cin, nenek itu terkejut dan tertarik sekali. Ia memandang tajam penuh selidik.
"Apa? Engkau kehilangan ingatanmu? Bagaimana bisa terjadi demikian dan kapan terjadinya?"
"Bagaimana aku tahu, nek? Yang kuingat hanyalah bahwa kepalaku terpukul batu yang dilontarkan seorang musuh yang lihai. Aku lupa segala dan ada dorongan dalam hatiku untuk pergi keluar Tembok Besar dan disinilah aku. Aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li yang sejak dahulu menjadi musuh besarku. Akan tetapi aku tidak mengenalnya dan baru aku tahu setelah ia memberi minum racun dan aku terjatuh ke dalam tangannya, aku ditawan dan ia mengaku bahwa ia adalah musuh besarku. Hampir aku tewas olehnya, akan tetapi untung muncul Cia Sun yang menolongku. Menurut Sun-twako, antara aku dan dia masih ada hubungan dekat, akan tetapi akupun sudah tidak ingat lagi siapa dia. Dia berusaha mengobatiku dari pengaruh racun yang melumpuhkan, dan engkau muncul..."
Nenek itu tertarik sekali dan mengangguk-angguk.
"Ah, kalau begitu, selain menyembuhkan engkau dari keracunan, akupun harus berusaha membangkitkan kembali ingatanmu itu, nona."
Sui Cin memandang tajam.
"Mengapa, nek? Mengapa engkau hendak menolongku dengan cara seperti itu? Memisahkan aku dari Sun-twako dan menyuruh harimau peliharaanmu itu untuk membawaku kesini?"
"Nona, di tengah jalan aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan iblis itu tanpa sebab menyerangku. Akan tetapi akhirnya ia tewas oleh ulahnya sendiri, terjatuh ke dalam jurang. Lalu ketika aku melanjutkan perjalanan, aku melihat engkau sedang diobati oleh pemuda itu. Aku dapat menduga bahwa engkau tentu terluka oleh Kiu-bwe Coa-li. Aku merasa kasihan kepadamu dan ingin mengobatimu, akan tetapi juga aku dapat menduga bahwa engkau tentu memiliki ilmu silat tinggi, dan agaknya hanya engkaulah yang akan mampu membantuku menyelesaikan sebuah persoalan. Akan tetapi aku tidak mau kalau pemuda itu mencampurinya, maka aku lalu menggunakan akal untuk memancingnya meninggalkanmu dan aku menyuruh Houw-cu untuk membawamu ke sini."
Sui Cin mengerutkan alisnya. Tahulah ia kini bahwa nenek ini hendak menolongnya, akan tetapi juga hendak minta bantuannya. Pertolongan yang bersyarat, pikirnya.
"Nenek yang baik, hendaknya engkau ketahui lebih dahulu bahwa kalau minta bantuanku untuk melakukan kejahatan, aku tidak sudi dan biarlah aku tidak menerima pengobatanmu!"
Nenek itu tertawa.
"Nona, sekali lagi kukatakan bahwa jangan engkau menyamakan aku dengan mendiang Kiu-bwe Coa-li."
"Sungguh aneh sekali. Engkau yang mampu mengalahkan bahkan membunuh seorang iblis seperti Kiu-bwe Coa-li, masih mengharapkan bantuanku. Apakah yang dapat kulakukan untuk seorang sakti seperti engkau?"
"Sudahlah, tidak perlu engkau membuang banyak tenaga. Mari kuobati engkau lebih dulu, baru nanti kuceritakan apa yang harus kau lakukan untukku. Mari, kau minumlah obat ini dan racun ular itu akan menjadi tawar dan kelumpuhanmu akan lenyap, tenagamu akan pulih kembali."
"Tapi... tapi engkau belum menceritakan syaratmu..." Sui Cin meragu.
"Tidak usah. Biar kusembuhkan dulu engkau, baru kemudian kuceritakan dan andaikata engkau menganggap syarat itu terlalu berat atau tidak berkenan di hatimu, engkau boleh tidak usah melakukannya. Nah, kau tahu sekarang bahwa aku tidak berniat buruk. Minumlah dan engkau akan sembuh."
Sui Cin yang tahu bahwa kalau ia tidak minum obat, keselamatannya tentu terancam maut, maka iapun lalu nekat. Memang benar ucapan nenek ini, kalau nenek ini bermaksud buruk dan hendak membunuhnya, apa sukarnya? Apa perlunya nenek ini susah-susah membawanya ke sini dan memberinya obat kalau maksudnya buruk? Ia lalu menerima mangkok itu dan minum isinya. Cairan berwarna coklat itu rasanya tidaklah seburuk rupanya. Baunya sedap dan rasanya agak manis, maka tanpa ragu-ragu lagi diminumnya obat itu sampai habis.
Tiba-tiba ia merasa betapa dalam perutnya bergerak-gerak dan terdengar suara berkeruyukan seperti perut yang lapar sekali. Ia terkejut dan memandang nenek itu dengan tajam. Akan tetapi nenek Ye-lu Kim tersenyum.
"Nona, kau duduklah bersila dan cobalah perlahan-lahan menghimpun tenagamu. Jangan tergesa-gesa, kalau pintu pusar sumber tian-tian sudah terbuka, salurkan tenagamu perlahan-lahan agar tidak merusak jaringan syaraf yang penting. Nah, mulailah. Lebih baik pejamkan matamu."
Sui Cin menurut dan iapun bersila. Makin lama makin keras gerakan dalam perutnya dan perlahan-lahan ia merasa betapa hawa panas bangkit dari pusarnya dan ada kekuatan yang naik. Ia lalu menguasai tenaga itu dan perlahan-lahan menyalurkannya ke seluruh tubuh, perlahan-lahan dan hati-hati sampai ia merasa biasa kembali dengan tenaga sakti yang tadi seperti tenggelam itu. Tak lama kemudian ia merasa segar dan sehat kembali dan dibukanya kedua matanya.
Nenek Yelu Kim berdiri memandang kepadanya dengan senyum ramah. Kini lenyaplah keraguan dari hati Sui Cin dan iapun cepat bangkit dan memberi hormat kepada wanita itu, malu kepada diri sendiri mengingat betapa ia tadi bersikap kasar dalam keraguannya.
"Harap locianpwe sudi memaafkan kekasaranku tadi dan terima kasih atas pertolongan locianpwe."
Nenek itu tersenyum.
"Nantl dulu, aku ingin melihat apakah aku tidak salah menilai orang. Nona, sambutlah seranganku ini!"
ASMARA BERDARAH JILID 109(↕)
Dan kebutan di tangannya bergerak menyambar, ujung kebutan melakukan totokan kilat ke arah pundak Sui Cin. Gadis ini terkejut, namun otomatis ia bergerak mengelak dan setelah ia mengerti bahwa nenek itu hendak mengujinya, maka iapun bergerak lincah menghadapi serangan kebutan bertubi-tubi itu, bahkan berani menangkis menggunakan tenaga sin-kangnya.
"Plakk!"
Tangkisannya itu membuat Yelu Kim terhuyung ke belakang dan nenek ini menjadi semakin girang. Ia mempercepat gerakan kebutannya, akan tetapi segera ia merasa pusing setelah Sui Cin menggunakan gin-kangnya yang istimewa. Nenek ini dapat menghilang dengan bantuan sihirnya, akan tetapi sekarang ia menghadapi kecepatan Sui Cin, ia menjadi bingung karena kadang-kadang bayangan gadis itu seperti lenyap dan tahu-tahu telah berada di samping atau belakangnya. Ia melompat mundur dan memandang kagum.
"Cukup, cukup! Aih, girang hatiku karena aku sama sekali tidak kecewa. Engkau bahkan melampaui semua harapan dan dugaanku, nona."
"Ah, locianpwe terlalu memuji. Sekarang harap locianpwe ceritakan, bantuan apakah yang dapat kulakukan untukmu!"
Nenek itu kembali tersenyum.
"Nanti dulu, nona, jangan tergesa-gesa. Urusan itu penting sekali dan aku tidak mau bantuan orang untuk mewakiliku tanpa kukenal benar siapa adanya orang itu. Karena itu, biarlah aku akan mencoba untuk menyembuhkan dulu luka di dalam kepalamu yang membuatmu kehilantan ingatan itu."
Sepasang mata Sui Cin terbelalak dan wajahnya berseri saking girangnya.
"Lo-cianpwe dapat menyembuhkan aku dan mengembalikan ingatanku yang hilang?" tanyanya penuh harapan.
Nenek itu mengangguk.
"Mudah-mudahan demikian agar tidak percuma sebutan semua rakyat Mongol yang menyebut aku Dewi Penyelamat. Marilah masuk ke dalam kamarku dan aku akan mulai dengan pengobatan itu, nona. Akan tetapi engkau harus percaya penuh kepadaku dan bersabar karena mengobati bagian kepala harus sangat hati-hati dan teliti."
Demikianlah, nenek Yelu Kim yang ternyata memiliki ilmu pengobatan yang tinggi itu memeriksa kepala Sui Cin dan mulai memberi pengobatan dengan urutan-urutan pada jalan darah dan juga memberi obat minum yang rasanya amat pahit.
Namun Sui Cin yang sudah menaruh kepercayaan penuh kepada nenek yang ramah itu mentaati semua petunjuknya dengan sabar. Kemudian ia melihat betapa nenek ini dibantu oleh beberapa orang pelayan wanita Mongol yang datang setiap kali tenaga mereka diperlukan dan agaknya mereka itu tinggal di luar guha yang hanya ditempati nenek Yelu Kim seorang diri saja.
Juga ia melihat betapa harimau besar yang pernah mengejutkannya itu ternyata adalah seekor binatang yang amat jinak jika berada di dekat nenek Yelu Kim. Bahkan ia sendiri mulai bersababat dengan binatang itu yang agaknya mengerti bahwa ia bukanlah seorang musuh melainkan seorang kawan baik.
ASMARA BERDARAH JILID 110(↕)
Hui Song memasuki kota kecil yang merupakan benteng terakhir di daerah utara dari pasukan pemerintah. Benteng itu berada di dekat Tembok Besar, sebelah selatan tembok dan penduduknya cukup banyak karena kota San-hai-koan ini benar-benar merupakan kota dekat laut dan gunung. Penghuninya sebagian besar adalah orang-orang Han utara, akan tetapi banyak juga terdapat orang-orang Mongol dan Mancu, yaitu para pedagang yang datang dari luar Tembok Besar.
Karena kota benteng ini merupakan pertahanan terakhir dari pemerintah Kerajaan Beng. Pada waktu itu, kekuasaan Kerajaan Beng meliputi daerah yang cukup luas. Keselatan sampai lautan dan propinsi paling selatan adalah Kiang-si dan Yun-nan, ke barat hanya sampai Se-cuan dan Shen-si saja dan ke utara hanya sampai batas Tembok Besar. Tentu saja luasnya wilayah ini merupakan warisan atau rampasan dari kekuasaan Kerajaan Goan atau penjajah Mongol yang memang berambisi untuk memperluas wilayah.
San-hai-koan merupakan kota penghubung antara Tiongkok dan daerah Mongol dan Mancu, dan menjadi satu diantara benteng-benteng terakhir di utara, dan merupakan benteng terakhir dan terkuat di daerah timur laut. Karena itu, benteng ini diperkuat dengan pasukan yang cukup besar, dipimpin oleh seorang gubernur yang dibantu oleh seorang panglima perang.
Karena letaknya di tepi lautan, di tepi teluk besar Po-hai, maka sebagian besar daripada penghuninya adalah pelaut-pelaut dan nelayan yang biasa bekerja keras, di samping banyak pula yang menjadi pedagang karena ramainya lalu-lalang di daerah perbatasan ini. Kotanya cukup besar, banyak terdapat rumah makan dan rumah penginapan. Akan tetapi, penjagaan kota itu cukup ketat dan para penjaga keamanan selalu mengadakan pemeriksaan untuk mencegah terjadinya kerusuhan di kota benteng itu.
Ketika Hui Song memasuki kota itu, dia melihat banyak orang, kesemuanya pria, menuju ke satu jurusan. Dia sedang melakukan penyelidikan dan pencarian terhadap diri Sui Cin, maka melihat ramainya orang pergi ke jurusan tengah kota, diapun lalu menyusup diantara banyak orang sambil bertanya-tanya. Siapa tahu dia akan bertemu dengan Sui Cin di pusat keramaian, karena dia tahu bahwa Sui Cin suka sekali menyamar sebagai pria.
Dia tersenyum geli kalau teringat akan hal itu. Betapa bodohnya dia dahulu, kena dipermainkan gadis itu yang menyamar sebagai pria dan dia sama sekali tidak tahu bahwa "pemuda jembel" yang lucu dan jenaka itu adalah Sui Cin! Akan tetapi sekarang, biar gadis itu akan menyamar seribu kali, dia pasti akan dapat mengenalnya.
"Sobat, ada peristiwa apakah maka orang-orang begini banyak berbondong-bondong ke suatu arah? Kemanakah kalian hendak pergi?" tanyanya kepada seorang laki-laki brewok yang wajahnya membayangkan keramahan.
Orang itu memandang kepada Hui Song dan memicingkan matanya.
"Hemm, agaknya engkau baru datang dari selatan, ya?"
"Benar," Hui Song menjawab terus terang, "aku sedang melancong."
Si brewok itu menggeleng kepala.
"Aihh, melancong dalam waktu begini, sungguh berbahaya."
"Eh, ada apakah?"
"Negara sedang tidak aman. Didesas-desuskan orang bahwa akan ada pemberontakan besar. Karena itu, sejak sepekan ini, Kok-taijin dan Ji-ciangkun mengadakan sayembara penerimaan perwira-perwira baru, juga perajurit-perajurit cadangan untuk menjaga kalau-kalau benteng ini diserang musuh."
"Ah, begitukah? Sayembara apakah itu?"
"Tentu saja semacam pibu (adu kepan-daian silat). Setiap orang yang mampu mengalahkan pengujinya, akan diterima. Akan tetapi jangan harap untuk dapat mengalahkan penguji untuk penerimaan calon perwira itu. Kalau hendak masuk perajurit, boleh saja karena pengujinya tidak begitu berat. Akan tetapi penguji para calon perwira itu, waah, luar biasa sekali. Raksasa itu tak terkalahkan sehingga dalam sepekan ini, belum ada seorangpun yang lulus ujian! Dan hari ini kami semua ingin melihat apakah masih ada orang berani menghadapi raksasa itu."
Hati Hui Song tertarik sekali dan diapun ikut bersama rombongan orang yang berduyun menuju ke alun-alun, semacam lapangan rumput yang luas dan yang berada di tengah kota. Kota itu memang merupakan kota tentara, dikurung tembok benteng yang tinggi dan kokoh kuat, dan di dalamnya terdapat pula lapangan-lapangan untuk berlatih baris dan olah raga bagi para perajurit.
Ternyata di tempat itu sudah terdapat banyak orang. Mereka berdiri mengepung sebuah panggung yang tingginya setombak dan di belakang panggung itu terdapat sebuah bangunan kecil dimana duduk seorang pembesar sipil dan seorang pembesar militer yang dijaga oleh belasan orang pengawal yang bersenjata tombak dan golok. Dan di atas panggung berdiri seorang laki-laki yang tinggi besar.
Hui Song dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki tenaga yang amat besar. Dia sendiri mungkin hanya setinggi leher orang itu dan tubuhnya tidak ada setengahnya dibandingkan dengan tubuh raksasa itu. Kepalanya gundul, akan tetapi alisnya tebal dan hitam, kepala itu besar, dengan sepasang telinga yang lebar, mulut, hidung dan matanya juga besar. Tubuhnya yang hanya memakai cawat menutupi pinggul dan selangkangnya itu, kelihatan menyeramkan. Pada bagian dada, lengan, paha dan betis ditumbuhi rambut yang panjang-panjang seperti monyet.
Selain cawat itu, betisnya diikat semacam tali hitam dan sepatunya berwarna abu-abu. Perutnya besar gendut, akan tetapi penuh kekuatan dan nampak keras. Lengan dan kakinya juga penuh tonjolan dan gembungan otot-otot yang kekar. Pundaknya seperti pundak sapi jantan. Pendeknya, raksasa ini cukup menakutkan bagi orang yang harus menghadapinya sebagai lawan.
Dan melihat bentuk mukanya, Hui Song dapat menduga bahwa raksasa itu tentu bukan Bangsa Han, melainkan suku Mongol atau Mancu. Dan melihat dandanannya yang hanya mengenakan cawat, diapun dapat menduga bahwa orang itu tentu ahli silat yang amat kuat.
Seorang pengawal yang agaknya bertugas sebagai tukang bicara, dengan suara lantang berkata sambil berdiri di sudut panggung,
"Saudara-saudara sekalian! Bagi mereka yang belum mengenalnya, kami perkenalkan penguji calon perwira yang diajukan oleh Ji-ciangkun, dan inilah dia jagoan kami, ahli gulat yang bernama Moghul!"
Pegulat raksasa itu mengangkat kedua tangannya ke atas dan memberi hormat ke empat penjuru disambut tepuk sorak para penonton yang kagum kepadanya karena selama ini belum ada seorangpun mengalahkannya. Akan tetapi banyak juga diantara penonton memandangnya penuh kebencian.
"Biarkan aku maju menghadapinya, paman," kata seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berbaju hitam dan nampaknya gagah.
Hui Song memperhatikan percakapan antara orang ini dan seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang berada di tempat itu pula, tidak jauh darinya.
"Aih, sudahlah, Bian-ji, jangan mencari penyakit. Engkau tidak tahu, selama beberapa hari ini sudah ada belasan orang-orang gagah yang naik melawannya, hanya untuk menjadi bulan-bulan dan permainannya, kemudian dilempar ke bawah panggung dalam keadaan menyedihkan, sedikitnya tentu tulang lengan atau kaki mereka patah-patah. Dia lihai sekali, kuat dan kebal," kata yang tua.
"Akan tetapi aku tidak takut, paman. Bukankah aku sudah mempelajari silat bertahun-tahun?" bantah yang muda.
"Ah, apa kau kira belasan orang muda yang maju pada hari-hari yang lalu itupun bukan ahli-ahli silat? Percuma saja, mereka itu satu demi satu, begitu tertangkap oleh tangan raksasa itu, tidak mampu berkutik, dibanting, ditekuk dan dipatah-patahkan tulangnya."
"Saudara-saudara sekalian," kembali tukang bicara itu berteriak nyaring, "Sampai hari ini belum ada seorangpun calon perwira yang lulus! Apakah benar di kota kita ini tidak ada orang gagah? Kami hanya membutuhkan lima sampai sepuluh orang saja. Tidak perlu mengalahkan Moghul, asal dapat bertahan melawan dia sampai habis terbakarnya sebatang hio saja sudah dianggap lulus. Kamipun tahu bahwa tidak ada orang yang akan mampu menandingi dan mengalahkan Moghul, si manusia gajah!"
Ucapan itu merupakan tantangan. Dengan mengatakan pertanyaan apakah di kota San-hai-koan tidak ada orang gagah, pertanyaan yang sengaja dikeluarkan oleh si pembicara tadi, si pembicara membangkitkan amarah dan penasaran dalam hati orang-orang yang merasa mempunyai kepandaian.
"Paman, aku akan mencoba...!" Pemuda baju hitam tadi segera melangkah maju mendekati panggung.
"A-bian... jangan...!" pamannya mencegah, akan tetapi si baju hitam itu sudah meloncat naik ke atas panggung.
Gerakannya cukup cekatan ketika meloncat dan para penonton menyambut penantang pertama ini dengan sorakan dan tepuk tangan memberi semangat. Si baju hitam itu lalu menghampiri bawah panggung tempat duduk dua orang pembesar dan memberi hormat.
"Hamba Kui Bian mohon perkenan paduka untuk mencoba kebodohan hamba."
Ji-ciangkun memberi isyarat dengan tangannya.
"Majulah dan mudah-mudahan engkau dapat lulus."
Seorang pengawal siap dengan sebatang hio dan dinyalakannya ujung itu. Asap mengepul dan hio itu ditancapkan di tempat hio yang ditaruh di sudut depan panggung yang luas tempat bertanding itu. Si baju hitam lalu bangkit dan menghampiri raksasa. Moghul yang sudah siap dengan kedua tangan bertolak pinggang dan mulut menyeringai, lagaknya memandang rendah sekali.
Si baju hitam kini menghadapi Moghul dan sudah memasang kuda-kuda dengan sikap gagah. Akan tetapi raksasa itu hanya memandang saja dan menyeringai, dan melihat si baju hitam diam saja, diapun berkata dengan bahasa Han yang kaku,
"Majulah, hio telah menyala."
Si baju hitam tiba-tiba berteriak,
"Lihat serangan!" dan diapun menggerakkan tubuhnya yang meluncur ke depan.
Ternyata dia menggunakan tendangan dengan tubuh seperti terbang dan kedua kakinya itu meluncur ke arah dada si raksasa Mongol. Agaknya Moghul tidak menduga akan diserang seperti ini, maka dia terkejut sekali dan tidak mampu mengelak atau menangkis.
"Blukk...!"
Sepasang kaki itu menghantam dada telanjang itu dengan kuat sekali dan akibatnya, tubuh yang besar itu terjengkang ke atas papan panggung, menimbulkan suara berdebuk nyaring.
Sementara itu, si baju hitam sudah berjungkir balik dan tubuhnya sudah berdiri kembali ke atas papan dengan tegak. Sorak-sorai menyambut jatuhnya si raksasa ini dan Hui Song melihat betapa pembesar sipil yang duduk di atas panggung itu mengangguk-angguk sambil tersenyum girang dan mengelus jenggotnya. Agaknya pembesar ini girang melihat bahwa akhirnya muncul seorang gagah yang mampu merobohkan si raksasa dalam satu serangan saja. Sementara itu, Ji-ciangkun mengerutkan alisnya, agaknya tidak senang melihat jatuhnya jagoannya.
Memang tubuh raksasa Moghul itu kebal. Kiranya tendangan yang amat keras dan membuat dia terjengkang itu sama sekali tidak melukainya. Sebelum lawan sempat menyerang lagi, dia sudah meloncat bangun dan gerakannya ini amat mengherankan. Sukar dapat dipercaya seorang yang segendut dia dapat bergerak demikian cepatnya.
Dengan marah Moghul balas menyerang. Dia mementang kedua lengannya seperti seorang jago gulat atau seperti seekor biruang yang hendak menerkam, kemudian menerjang ke depan, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri hendak menangkap kedua pundak lawan.
Akan tetapi si baju hitam itu cukup gesit, dengan gerakan yang cepat dia menyelinap di antara kedua tangan itu dan meloncat ke samping dan kembali melayang dan kedua kakinya menerjang dengan tendangan terbang seperti tadi, akan tetapi sekali ini dari samping kanan Moghul. Raksasa ini agaknya kini tahu akan kelihaian lawan, terutama tendangan terbang yang berbahaya itu. Maka diapun lalu menangkis dengan lengan kanannya yang besar.
"Bresss...!"
Dan kembali dia terguling. Biarpun dia dapat menangkis, namun tenaga tendangan kedua kaki yang dibantu berat badan yang melayang itu agaknya tidak mampu ditahannya dan untuk kedua kalinya dia roboh terpelanting. Agaknya si baju hitam itu sudah lama mengamati gerakan si raksasa Moghul dan tahu bagaimana untuk mengalahkannya, maka dia menggunakan tendangan-tendangan terbang itu untuk menyerang secara tiba-tiba dan dengan kekuatan yang amat besar.
ASMARA BERDARAH JILID 111(↕)
Sekali ini si raksasa Mongol itu agak terlambat bangun dan agaknya kesempatan ini hendak dipergunakan oleh si baju hitam untuk mencari kemenangan. Diapun sudah meloncat ke depan untuk mengirim tendangan beruntun.
Akan tetapi, tiba-tiba saja Moghul mengulur tangan dan dengan kecepatan kilat, jari-jari tangannya yang besar itu telah menangkap kaki kiri lawan! Si baju hitam mengeluarkan seruan kaget, kakinya terasa nyeri seperti dijepit jepitan baja dan ketika Moghul yang masih mencengkeram kakinya itu meloncat bangun, tubuh si baju hitam hampir terbanting dan kakinya terangkat pula ke atas.
Akan tetapi, selagi Moghul menyeringai girang karena melihat akalnya yang pura-pura lambat bangun tadi kini berhasil, tiba-tiba si baju hitam mengeluarkan bentakan keras dan kaki kanannya menyambar ke atas, ke arah muka lawan.
Moghul terkejut. Kalau hanya tubuhnya yang ditendang, dia dapat menerimanya dengan lindungan kekebalannya. Akan tetapi kini yang diserang adalah mukanya dimana terdapat bagian-bagian yang tidak mungkin bisa kebal seperti mata dan hidung. Dan tendangan itu cepat bukan main datangnya, lagi tidak terduga-duga.
"Desss...!"
Cengkeraman tangan pada kaki kiri si baju hitam itu terlepas dan Moghul terhuyung ke belakang, kedua tangannya menutupi mukanya. Hidungnya mengeluarkan darah yang cukup banyak. Kembali terdengar sorak-sorai menyambut kemenangan si baju hitam ini, dan juga Kok-taijin tersenyum girang akan tetapi Ji-ciangkun menggeleng-geleng kepala dengan alis berkerut.
Akan tetapi Moghul belum kalah karena dia hanya menderita luka ringan saja, berdarah pada hidungnya. Dia menekan batang hidungnya dan darah itupun berhenti mengalir. Kini matanya agak kemerahan dan mulutnya membayangkan kemarahan besar. Dan hio yang bernyala itupun belum padam, baru terbakar setengahnya. Dengan demikian berarti bahwa si baju hitam belum menang.
Menurut peraturannya, kalau dia dapat bertahan sampai hio itu habis terbakar, atau kalau dia dapat merobohkan Moghul sampai si raksasa itu mengaku kalah, barulah calon perwira itu dinyatakan menang. Kini Moghul menerjang maju dengan kedua lengan bergerak mencengkeram dari atas ke bawah. Melihat serangan yang ganas ini, si baju hitam kembali menyambutnya dengan tendangan.
Agaknya si baju hitam itu tidak mempunyai akal lain kecuali hendak mengalahkan lawan dengan tendangan-tendangannya yang memang ampuh. Dia tidak tahu bahwa Moghul, selain kebal dan bertenaga besar, juga memiliki kecerdikan. Begitu melihat lawan menyambutnya dengan tendangan, Moghul juga menggerakkan kakinya ke depan, menerima tendangan kaki kanan lawan itu dengan kaki kanannya sendiri. Dua batang kaki menyambar, sebatang amat kecil dibandingkan dengan kaki Moghul.
"Bresss...!"
Dua batang kaki itu bertemu dan kini tubuh si baju hitam yang terpelanting keras, lalu terguling-guling di atas papan panggung. Semua penonton terdiam dan Kok-taijin mengerutkan alisnya. Juga Hui Song mengerutkan alisnya, bukan karena kekalahan si baju hitam, melainkan karena dia melihat betapa si raksasa itu curang.
Mungkin hanya dia yang tahu, juga tentunya si baju hitam, bahwa di sebelah dalam kain yang dilibat-libatkan di betis raksasa itu, yang diikat dengan tali-temali, tersembunyi perisai baja! Tentu saja kaki si baju hitam yang terdiri dari kulit daging dan tulang, terasa nyeri bukan main bertemu dengan kaki besar yang dilindungi baja ini.
Ketika si baju hitam dapat bangkit berdiri, dia agak terpincang. Akan tetapi, dia masih belum mau menerima kalah dan sudah menyerang lagi dengan layangan kedua kaki meluncur ke depan. Agaknya dia hendak mengalahkan lawan dengan tendangan terbang seperti tadi.
Si raksasa menyeringai. Dia kini berdiri dengan kedua kaki terkangkang lebar, tubuh direndahkan, dan kedua tangannya yang besar itu melindungi mukanya. Tubuhnya kokoh kuat seperti batu karang dan memang sekali ini dia sudah siap-siap menghadapi tendangan terbang yang lihai itu. Dia tidak memandang rendah lagi tendangan itu dan mengerahkan tenaga untuk memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Kedua kaki si baju hitam itu menyambar dengan tumbukan keras mengenai dada yang bidang dari Moghul.
"Bresss...!"
Dan sekali ini tubuh Moghul hanya bergoyang-goyang saja, akan tetapi sebaliknya tubuh si baju hitam terlempar ke belakang dan terbanting keras. Dan sebelum si baju hitam sempat melompat bangun, tahu-tahu Moghul sudah melangkah lebar menghampirinya dan begitu tubuh si baju hitam bangkit, Moghul mengirim tendangan! Agaknya si raksasa ini masih marah karena tadi beberapa kali menjadi bulan-bulan tendangan yang membuatnya roboh, maka kini dia hendak membalas dengan tendangan pula.
Melihat tendangan yang menyambar ke arah perutnya, si baju hitam yang tak sempat mengelak itu terpaksa menggunakan lengan tangan menangkis keras.
"Dukkk...!"
Dan si baju hitam mengeluh kesakitan dan terguling, tulang lengan yang menangkis itu patah bertemu dengan sepatu besar si raksasa. Hui Song yang mendengarkan dengan seksama ketika terjadi pertemuan antara lengan dan sepatu itu, mengerti bahwa juga sepatu itu dalamnya berlapis baja!
Kini Moghul mendesak terus dengan tendangan-tendangannya. Si baju hitam yang sudah patah tulang lengannya, terhuyung-huyung dan sebuah tendangan yang keras mengenai lututnya, membuat dia terpelanting. Dan Moghul menghampirinya, lalu menggunakan kedua kakinya bergantian menginjak kedua kaki si baju hitam. Si baju hitam berteriak kesakitan dan ternyata kedua kakinya itu retak-retak tulangnya diinjak oleh Moghul.
Sambil tertawa-tawa Moghul sekali lagi menendang dan tubuh yang sudah terkulai itu terlempar ke bawah panggung, menimpa para penonton yang kini terdiam dan terbelalak ngeri menyaksikan betapa Moghul menyiksa korbannya. Ada pula beberapa orang yang menang bertaruh bersorak girang memuji dan menyambut kemenangan raksasa Moghul.
Memang diantara para penonton, banyak yang mengadakan taruhan dalam setiap pertandingan dan kini orang-orang yang bertaruh memegang Moghul berani melipatgandakan taruhannya dengan satu banding tiga! Agaknya mereka sudah merasa yakin benar bahwa tidak ada yang akan mampu lulus jika harus berhadapan dengan Moghul!
Setelah si baju hitam itu kalah dan diusung pergi oleh pamannya, muncul pula beberapa orang pemuda berturut-turut, mencoba peruntungan mereka. Akan tetapi, mereka itu satu demi satu dirobohkan oleh Moghul dengan tulang kaki atau tangan patah-patah.
Agaknya si raksasa itu semakin lama semakin kuat saja sehingga berturut-turut, bersama si baju hitam, sudah ada lima orang calon yang dirobohkan dan terpaksa digotong pergi dalam keadaan pingsan dan patah-patah tulangnya. Keadaan menjadi sunyi dan semua penonton mengerutkan alisnya, kecuali mereka yang menang bertaruh. Si tukang bicara sudah berteriak-teriak lagi melakukan tugasnya, menantang dan menganjurkan orang-orang gagah untuk maju.
"Saudara-saudara yang gagah perkasa, silakan, siapa mau maju lagi? Benarkah tidak ada seorangpun yang mampu bertahan menandingi Moghul sampai habis terbakarnya sebatang hio saja? Apakah kalian tidak malu kalau dikatakan bahwa di San-hai-koan tidak ada seorangpun yang dapat disebut gagah? Ingat, yang masuk menjadi perwira akan memperoleh pangkat tinggi dan gaji besar, juga mempunyai tugas amat mulia, membela negara dari gangguan para pemberontak!"
Demikian si tukang bicara itu membujuk, menantang dan memanaskan hati para penonton. Akan tetapi agaknya, mereka yang merasa memiliki kepandaian silat, sudah menjadi gentar dan melihat betapa lima orang tadi, yang gagah-gagah, kalah dan menderita siksaan mengerikan, dan merasa bahwa mereka tidak akan mampu menandingi raksasa itu.
Maka, para penonton hanya bisa saling pandang dengan perasaan mendongkol, penasaran, juga kecewa dan menyesal. Kini perasaan mereka semua hanya ingin melihat si raksasa Moghul itu dikalahkan. Sayembara memasuki ketentaraan itu kini berobah menjadi semacam pibu atau adu kepandaian untuk mengalahkan raksasa yang kini nampaknya semakin sombong itu.
Moghul kini berdiri di tengah-tengah panggung, bertolak pinggang dan tubuhnya yang telanjang berkilauan karena keringat. Dia terbelalak memandang ke empat penjuru, mulutnya menyeringai lebar.
"Ha-ha-ha, apakah tidak ada lagi yang maju? Aku belum lelah, belum keluar keringat!"
Tentu saja ucapan ini hanya dipergunakan untuk menyombongkan diri saja. Dia lalu menggerak-gerakkan kaki tangannya dan terdengar suara berkerotokan dan nampak betapa otot-ototnya mengembang, membayangkan kekuatan yang dahsyat.
Sejak tadi Hui Song hanya menonton saja dan pemuda ini merasa heran. Dia tahu bahwa raksasa itu memang hebat dan sukar dikalahkan. Mengapakah pembesar setempat mengadakan syarat yang demikian beratnya untuk menjadi calon perwira? Jelaslah bahwa diantara para ahli silat biasa saja, jarang ada yang dapat bertahan sampai habis terbakarnya sebatang hio kalau menandingi seorang jago gulat yang demikian kuatnya seperti Moghul, apalagi raksasa itu masih berlaku curang, menyembunyikan besi di dalam sepatu dan pembalut kakinya.
Seolah-olah pembesar setempat itu bahkan hendak menghalangi masuknya orang-orang pandai ke dalam ketentaraan. Dan dia tadi melihat betapa setiap kali ada peserta yang unggul, biarpun Kok-taijin nampak gembira, si panglima itu nampak tidak senang dan bahkan khawatir. Mengapa begini? Bukankah si panglima itu justeru yang membutuhkan perwira-perwira baru untuk membantunya? Dan Moghul juga dia yang memilih sebagai penguji. Bukankah dengan demikian, Ji-ciang-kun itu bahkan hendak mencegah masuknya orang-orang gagah menjadi perwira baru? Semua ini, ditambah pula oleh sikap Moghul yang sombong, dan melihat betapa para penonton menjadi penasaran, mendorong Hui Song untuk meloncat ke atas panggung.
Dia harus menyelidiki semua ini. Pula, kalau dia sudah memperoleh kedudukan, biarpun hanya untuk sementara, dia akan lebih mudah menggunakan pasukan untuk mencari Sui Cin, selain itu, diapun dapat membantu dengan pasukannya kalau para pemberontak itu bergerak dari utara seperti yang disangkanya.
Begitu muncul pula seorang pemuda yang melihat tubuhnya hanya sedang-sedang saja dan tidak ada apa-apanya yang istimewa, Moghul tertawa girang dan matanya bersinar-sinar seperti seekor kucing melihat seekor tikus yang akan dapat dipermainkannya sepuas hatinya.
Akan tetapi, para penonton sudah bersorak-sorai lagi menyambut kehadiran Hui Song, walaupun sorak-sorai itu hanya untuk melepaskan ganjalan hati yang menjadi penasaran karena si pembicara tadi mengatakan bahwa tidak ada orang gagah lagi di San-hai-koan. Di lubuk hati mereka, timbul kekhawatiran baru akan melihat pemuda tampan ini nanti juga dilemparkan ke bawah panggung dalam keadaan menyedihkan, luka-luka atau patah-patah tulang kaki tangannya.
Hui Song menghampiri panggung dimana dua orang pembesar itu duduk, memberi hormat dan berkata dengan suara nyaring,
"Saya Cia Hui Song mohon ijin memasuki sayembara."
Kok-taijin mengangguk-angguk dan Ji-ciangkun melambaikan tangan berkata,
"Baik, majulah dan lawanlah Moghul dengan sungguh-sungguh."
Hui Song memberi hormat lagi, lalu dia bangkit dan menghampiri Moghul. Dia tadi sudah melihat betapa jago gulat ini mempergunakan keuntungan karena lawannya berpakaian. Raksasa ini sekali tangkap dan berhasil mencengkeram baju lawan, tentu akan celakalah lawan itu. Dengan gerakan-gerakan ilmu gulat, lawan yang sudah ditangkap bajunya akan dapat diangkat atau dibanting. Sedangkan tubuh si raksasa ini sendiri yang telanjang, berkeringat dan licin. Teringat akan ini, dia tidak mau dirugikan oleh pakaiannya. Setidaknya, karena Moghul mempergunakan ilmu gulat dan cengkeraman, dia khawatir kalau pakaiannya akan robek. Maka sambil tersenyum Hui Song berkata.
"Moghul, tunggu dulu. Engkau telanjang badan, tidak adil kalau aku memakai baju ini. tunggu aku akan melepaskan pakaian ini dulu."
Dan diapun menanggalkan jubah dan baju atasnya, kini hanya memakai sebuah celana saja. Dia melangkah ke tepi panggung dan menghadap penonton.
"Diantara cu-wi sekalian, apakah ada yang kebetulan membawa minyak? Atau gajih? Kalau ada, maukah membantuku dan memberi sedikit?" tanya Hui Song kepada mereka.
Para penonton menjadi heran, akan tetapi memang kebetulan ada yang membawa karena memang tadi dia berbelanja dan datang ke tempat itu mampir dari berbelanja. Dia menghampiri dekat panggung dan menyerahkan sebotol minyak. Hui Song mengambil sedikit di kedua telapak tangannya, dan dia lalu menggosok seluruh tubuh bagian atas yang telanjang itu dengan minyak.
Tentu saja para penonton saling pandang dan menjadi terheran-heran, akan tetapi melihat ini, Moghul terkejut dan diam-diam dia memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Setelah menitipkan bajunya kepada seorang penonton terdekat, Hui Song lalu menghadapi Moghul dan sebatang hio dibakar oleh seorang petugas.
Sekali ini si raksasa Mongol itu agak terlambat bangun dan agaknya kesempatan ini hendak dipergunakan oleh si baju hitam untuk mencari kemenangan. Diapun sudah meloncat ke depan untuk mengirim tendangan beruntun.
Akan tetapi, tiba-tiba saja Moghul mengulur tangan dan dengan kecepatan kilat, jari-jari tangannya yang besar itu telah menangkap kaki kiri lawan! Si baju hitam mengeluarkan seruan kaget, kakinya terasa nyeri seperti dijepit jepitan baja dan ketika Moghul yang masih mencengkeram kakinya itu meloncat bangun, tubuh si baju hitam hampir terbanting dan kakinya terangkat pula ke atas.
Akan tetapi, selagi Moghul menyeringai girang karena melihat akalnya yang pura-pura lambat bangun tadi kini berhasil, tiba-tiba si baju hitam mengeluarkan bentakan keras dan kaki kanannya menyambar ke atas, ke arah muka lawan.
Moghul terkejut. Kalau hanya tubuhnya yang ditendang, dia dapat menerimanya dengan lindungan kekebalannya. Akan tetapi kini yang diserang adalah mukanya dimana terdapat bagian-bagian yang tidak mungkin bisa kebal seperti mata dan hidung. Dan tendangan itu cepat bukan main datangnya, lagi tidak terduga-duga.
"Desss...!"
Cengkeraman tangan pada kaki kiri si baju hitam itu terlepas dan Moghul terhuyung ke belakang, kedua tangannya menutupi mukanya. Hidungnya mengeluarkan darah yang cukup banyak. Kembali terdengar sorak-sorai menyambut kemenangan si baju hitam ini, dan juga Kok-taijin tersenyum girang akan tetapi Ji-ciangkun menggeleng-geleng kepala dengan alis berkerut.
Akan tetapi Moghul belum kalah karena dia hanya menderita luka ringan saja, berdarah pada hidungnya. Dia menekan batang hidungnya dan darah itupun berhenti mengalir. Kini matanya agak kemerahan dan mulutnya membayangkan kemarahan besar. Dan hio yang bernyala itupun belum padam, baru terbakar setengahnya. Dengan demikian berarti bahwa si baju hitam belum menang.
Menurut peraturannya, kalau dia dapat bertahan sampai hio itu habis terbakar, atau kalau dia dapat merobohkan Moghul sampai si raksasa itu mengaku kalah, barulah calon perwira itu dinyatakan menang. Kini Moghul menerjang maju dengan kedua lengan bergerak mencengkeram dari atas ke bawah. Melihat serangan yang ganas ini, si baju hitam kembali menyambutnya dengan tendangan.
Agaknya si baju hitam itu tidak mempunyai akal lain kecuali hendak mengalahkan lawan dengan tendangan-tendangannya yang memang ampuh. Dia tidak tahu bahwa Moghul, selain kebal dan bertenaga besar, juga memiliki kecerdikan. Begitu melihat lawan menyambutnya dengan tendangan, Moghul juga menggerakkan kakinya ke depan, menerima tendangan kaki kanan lawan itu dengan kaki kanannya sendiri. Dua batang kaki menyambar, sebatang amat kecil dibandingkan dengan kaki Moghul.
"Bresss...!"
Dua batang kaki itu bertemu dan kini tubuh si baju hitam yang terpelanting keras, lalu terguling-guling di atas papan panggung. Semua penonton terdiam dan Kok-taijin mengerutkan alisnya. Juga Hui Song mengerutkan alisnya, bukan karena kekalahan si baju hitam, melainkan karena dia melihat betapa si raksasa itu curang.
Mungkin hanya dia yang tahu, juga tentunya si baju hitam, bahwa di sebelah dalam kain yang dilibat-libatkan di betis raksasa itu, yang diikat dengan tali-temali, tersembunyi perisai baja! Tentu saja kaki si baju hitam yang terdiri dari kulit daging dan tulang, terasa nyeri bukan main bertemu dengan kaki besar yang dilindungi baja ini.
Ketika si baju hitam dapat bangkit berdiri, dia agak terpincang. Akan tetapi, dia masih belum mau menerima kalah dan sudah menyerang lagi dengan layangan kedua kaki meluncur ke depan. Agaknya dia hendak mengalahkan lawan dengan tendangan terbang seperti tadi.
Si raksasa menyeringai. Dia kini berdiri dengan kedua kaki terkangkang lebar, tubuh direndahkan, dan kedua tangannya yang besar itu melindungi mukanya. Tubuhnya kokoh kuat seperti batu karang dan memang sekali ini dia sudah siap-siap menghadapi tendangan terbang yang lihai itu. Dia tidak memandang rendah lagi tendangan itu dan mengerahkan tenaga untuk memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Kedua kaki si baju hitam itu menyambar dengan tumbukan keras mengenai dada yang bidang dari Moghul.
"Bresss...!"
Dan sekali ini tubuh Moghul hanya bergoyang-goyang saja, akan tetapi sebaliknya tubuh si baju hitam terlempar ke belakang dan terbanting keras. Dan sebelum si baju hitam sempat melompat bangun, tahu-tahu Moghul sudah melangkah lebar menghampirinya dan begitu tubuh si baju hitam bangkit, Moghul mengirim tendangan! Agaknya si raksasa ini masih marah karena tadi beberapa kali menjadi bulan-bulan tendangan yang membuatnya roboh, maka kini dia hendak membalas dengan tendangan pula.
Melihat tendangan yang menyambar ke arah perutnya, si baju hitam yang tak sempat mengelak itu terpaksa menggunakan lengan tangan menangkis keras.
"Dukkk...!"
Dan si baju hitam mengeluh kesakitan dan terguling, tulang lengan yang menangkis itu patah bertemu dengan sepatu besar si raksasa. Hui Song yang mendengarkan dengan seksama ketika terjadi pertemuan antara lengan dan sepatu itu, mengerti bahwa juga sepatu itu dalamnya berlapis baja!
Kini Moghul mendesak terus dengan tendangan-tendangannya. Si baju hitam yang sudah patah tulang lengannya, terhuyung-huyung dan sebuah tendangan yang keras mengenai lututnya, membuat dia terpelanting. Dan Moghul menghampirinya, lalu menggunakan kedua kakinya bergantian menginjak kedua kaki si baju hitam. Si baju hitam berteriak kesakitan dan ternyata kedua kakinya itu retak-retak tulangnya diinjak oleh Moghul.
Sambil tertawa-tawa Moghul sekali lagi menendang dan tubuh yang sudah terkulai itu terlempar ke bawah panggung, menimpa para penonton yang kini terdiam dan terbelalak ngeri menyaksikan betapa Moghul menyiksa korbannya. Ada pula beberapa orang yang menang bertaruh bersorak girang memuji dan menyambut kemenangan raksasa Moghul.
Memang diantara para penonton, banyak yang mengadakan taruhan dalam setiap pertandingan dan kini orang-orang yang bertaruh memegang Moghul berani melipatgandakan taruhannya dengan satu banding tiga! Agaknya mereka sudah merasa yakin benar bahwa tidak ada yang akan mampu lulus jika harus berhadapan dengan Moghul!
Setelah si baju hitam itu kalah dan diusung pergi oleh pamannya, muncul pula beberapa orang pemuda berturut-turut, mencoba peruntungan mereka. Akan tetapi, mereka itu satu demi satu dirobohkan oleh Moghul dengan tulang kaki atau tangan patah-patah.
Agaknya si raksasa itu semakin lama semakin kuat saja sehingga berturut-turut, bersama si baju hitam, sudah ada lima orang calon yang dirobohkan dan terpaksa digotong pergi dalam keadaan pingsan dan patah-patah tulangnya. Keadaan menjadi sunyi dan semua penonton mengerutkan alisnya, kecuali mereka yang menang bertaruh. Si tukang bicara sudah berteriak-teriak lagi melakukan tugasnya, menantang dan menganjurkan orang-orang gagah untuk maju.
"Saudara-saudara yang gagah perkasa, silakan, siapa mau maju lagi? Benarkah tidak ada seorangpun yang mampu bertahan menandingi Moghul sampai habis terbakarnya sebatang hio saja? Apakah kalian tidak malu kalau dikatakan bahwa di San-hai-koan tidak ada seorangpun yang dapat disebut gagah? Ingat, yang masuk menjadi perwira akan memperoleh pangkat tinggi dan gaji besar, juga mempunyai tugas amat mulia, membela negara dari gangguan para pemberontak!"
Demikian si tukang bicara itu membujuk, menantang dan memanaskan hati para penonton. Akan tetapi agaknya, mereka yang merasa memiliki kepandaian silat, sudah menjadi gentar dan melihat betapa lima orang tadi, yang gagah-gagah, kalah dan menderita siksaan mengerikan, dan merasa bahwa mereka tidak akan mampu menandingi raksasa itu.
Maka, para penonton hanya bisa saling pandang dengan perasaan mendongkol, penasaran, juga kecewa dan menyesal. Kini perasaan mereka semua hanya ingin melihat si raksasa Moghul itu dikalahkan. Sayembara memasuki ketentaraan itu kini berobah menjadi semacam pibu atau adu kepandaian untuk mengalahkan raksasa yang kini nampaknya semakin sombong itu.
Moghul kini berdiri di tengah-tengah panggung, bertolak pinggang dan tubuhnya yang telanjang berkilauan karena keringat. Dia terbelalak memandang ke empat penjuru, mulutnya menyeringai lebar.
"Ha-ha-ha, apakah tidak ada lagi yang maju? Aku belum lelah, belum keluar keringat!"
Tentu saja ucapan ini hanya dipergunakan untuk menyombongkan diri saja. Dia lalu menggerak-gerakkan kaki tangannya dan terdengar suara berkerotokan dan nampak betapa otot-ototnya mengembang, membayangkan kekuatan yang dahsyat.
Sejak tadi Hui Song hanya menonton saja dan pemuda ini merasa heran. Dia tahu bahwa raksasa itu memang hebat dan sukar dikalahkan. Mengapakah pembesar setempat mengadakan syarat yang demikian beratnya untuk menjadi calon perwira? Jelaslah bahwa diantara para ahli silat biasa saja, jarang ada yang dapat bertahan sampai habis terbakarnya sebatang hio kalau menandingi seorang jago gulat yang demikian kuatnya seperti Moghul, apalagi raksasa itu masih berlaku curang, menyembunyikan besi di dalam sepatu dan pembalut kakinya.
Seolah-olah pembesar setempat itu bahkan hendak menghalangi masuknya orang-orang pandai ke dalam ketentaraan. Dan dia tadi melihat betapa setiap kali ada peserta yang unggul, biarpun Kok-taijin nampak gembira, si panglima itu nampak tidak senang dan bahkan khawatir. Mengapa begini? Bukankah si panglima itu justeru yang membutuhkan perwira-perwira baru untuk membantunya? Dan Moghul juga dia yang memilih sebagai penguji. Bukankah dengan demikian, Ji-ciang-kun itu bahkan hendak mencegah masuknya orang-orang gagah menjadi perwira baru? Semua ini, ditambah pula oleh sikap Moghul yang sombong, dan melihat betapa para penonton menjadi penasaran, mendorong Hui Song untuk meloncat ke atas panggung.
Dia harus menyelidiki semua ini. Pula, kalau dia sudah memperoleh kedudukan, biarpun hanya untuk sementara, dia akan lebih mudah menggunakan pasukan untuk mencari Sui Cin, selain itu, diapun dapat membantu dengan pasukannya kalau para pemberontak itu bergerak dari utara seperti yang disangkanya.
Begitu muncul pula seorang pemuda yang melihat tubuhnya hanya sedang-sedang saja dan tidak ada apa-apanya yang istimewa, Moghul tertawa girang dan matanya bersinar-sinar seperti seekor kucing melihat seekor tikus yang akan dapat dipermainkannya sepuas hatinya.
Akan tetapi, para penonton sudah bersorak-sorai lagi menyambut kehadiran Hui Song, walaupun sorak-sorai itu hanya untuk melepaskan ganjalan hati yang menjadi penasaran karena si pembicara tadi mengatakan bahwa tidak ada orang gagah lagi di San-hai-koan. Di lubuk hati mereka, timbul kekhawatiran baru akan melihat pemuda tampan ini nanti juga dilemparkan ke bawah panggung dalam keadaan menyedihkan, luka-luka atau patah-patah tulang kaki tangannya.
Hui Song menghampiri panggung dimana dua orang pembesar itu duduk, memberi hormat dan berkata dengan suara nyaring,
"Saya Cia Hui Song mohon ijin memasuki sayembara."
Kok-taijin mengangguk-angguk dan Ji-ciangkun melambaikan tangan berkata,
"Baik, majulah dan lawanlah Moghul dengan sungguh-sungguh."
Hui Song memberi hormat lagi, lalu dia bangkit dan menghampiri Moghul. Dia tadi sudah melihat betapa jago gulat ini mempergunakan keuntungan karena lawannya berpakaian. Raksasa ini sekali tangkap dan berhasil mencengkeram baju lawan, tentu akan celakalah lawan itu. Dengan gerakan-gerakan ilmu gulat, lawan yang sudah ditangkap bajunya akan dapat diangkat atau dibanting. Sedangkan tubuh si raksasa ini sendiri yang telanjang, berkeringat dan licin. Teringat akan ini, dia tidak mau dirugikan oleh pakaiannya. Setidaknya, karena Moghul mempergunakan ilmu gulat dan cengkeraman, dia khawatir kalau pakaiannya akan robek. Maka sambil tersenyum Hui Song berkata.
"Moghul, tunggu dulu. Engkau telanjang badan, tidak adil kalau aku memakai baju ini. tunggu aku akan melepaskan pakaian ini dulu."
Dan diapun menanggalkan jubah dan baju atasnya, kini hanya memakai sebuah celana saja. Dia melangkah ke tepi panggung dan menghadap penonton.
"Diantara cu-wi sekalian, apakah ada yang kebetulan membawa minyak? Atau gajih? Kalau ada, maukah membantuku dan memberi sedikit?" tanya Hui Song kepada mereka.
Para penonton menjadi heran, akan tetapi memang kebetulan ada yang membawa karena memang tadi dia berbelanja dan datang ke tempat itu mampir dari berbelanja. Dia menghampiri dekat panggung dan menyerahkan sebotol minyak. Hui Song mengambil sedikit di kedua telapak tangannya, dan dia lalu menggosok seluruh tubuh bagian atas yang telanjang itu dengan minyak.
Tentu saja para penonton saling pandang dan menjadi terheran-heran, akan tetapi melihat ini, Moghul terkejut dan diam-diam dia memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Setelah menitipkan bajunya kepada seorang penonton terdekat, Hui Song lalu menghadapi Moghul dan sebatang hio dibakar oleh seorang petugas.
"Apakah engkau seorang jago gulat?" Moghul bertanya kepada Hui Song setelah pemuda itu berdiri di depannya.
Hui Song menggelengkan kepala.
"Bukan, akan tetapi melihat tubuhmu berminyak, akupun melumuri tubuhku dengan minyak," katanya dengan sikap tolol.
"Orang muda, engkau menanggalkan baju dan melumuri tubuhmu dengan minyak, apakah kau akan menghadapi aku bertanding gulat? Ataukah dengan ilmu silat?"
"Dengan apa saja asal aku dapat mengalahkanmu dan dapat diterima menjadi perwira," jawab Hui Song seenaknya.
"Kau pandai gulat?" tanya Moghul. Hui Song menggeleng kepala.
"Pandai silat?" Kembali Hui Song menggeleng kepala.
Mendengar percakapan ini, semua penonton terbelalak. Sudah gilakah pemuda ini? Tidak bisa gulat atau silat, akan tetapi berani naik ke panggung melawan Moghul! Apakah pemuda ini mencari mati?
Moghul sendiri tertawa bergelak, kepalanya ditarik ke belakang, wajahnya bordongak dan perutnya sampai bergelombang ketika dia tertawa.
"Ha-ha-ha, bocah nakal, lebih baik pulanglah saja dan minum susu ibumu sebelum terlambat, ha-ha!"
Para penonton juga merasa ngeri membayangkan pemuda yang lemah ini akan disiksa habis-habisan, maka diantara mereka ada yang berteriak-teriak minta agar Hui Song turun saja dari atas panggung.
Akan tetapi Hui Song bersikap tenang. Dia bahkan menghampiri tempat hio yang sudah ditancapi sebatang hio bernyala, lalu dia menggunakan jari menjepit ujung hio itu sehingga apinya padam.
"Hei, apa yang kau lakukan itu?" Si petugas yang tadi membakar hio menegur.
"Terlalu cepat kalau dibiarkan terbakar. Kalau begini kan bisa lama bermain-main dengan gajah bengkak itu? Biarlah kami berdua main-main sampai seorang diantara kami roboh tak mampu melawan lagi!" jawab Hui Song dengan sikap yang masih tenang.
Mendengar ini, semua orang menjadi terkejut dan semakin terheran. Pemuda ini benar-benar sudah gila! Kalau tidak, mana mungkin berani bersikap seperti itu, menantang si raksasa untuk bertanding sampai seorang di antara mereka menggeletak tak mampu melawan lagi? Seolah-olah dia akan mampu bertahan sekian lamanya!
Akan tetapi, sikap Hui Song ini membuat Moghul menjadi marah. Dia merasa ditantang dan bahkan dipandang rendah oleh pemuda hijau itu.
"Majulah dan aku akan mematahkan seluruh tulang-tulang tubuhmu!" bentaknya sambil melangkah lebar menghampiri Hui Song yang sudah kembali ke tengah panggung. "Engkau ini tikus kecil berani banyak lagak!"
Hui Song tersenyum jenaka.
"Dan engkau ini babi kebiri terlalu banyak kaok-kaok, cobalah tangkap aku kalau bisa!"
Para penonton mulai tertawa melihat betapa pemuda ingusan itu berani mempermainkah si raksasa dan memakinya babi kebiri. Moghul memandang marah, matanya menjadi semakin lebar dan alisnya bangkit berdiri, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia menubruk ke depan, kedua tangannya mencengkeram hendak menangkap tubuh Hui Song, seperti seekor kucing menubruk tikus. Akan tetapi, dengan gaya yang lucu namun cepat, Hui Song sudah menyelinap dan menyuruk ke bawah lengan si raksasa sambil berseru
"Sayang luput!"
Kemudian, karena dia tadi menyelinap melalui bawah lengan lawan, kini tubuhnya berada di belakang lawan dan sekali dia mengangkat kaki kiri, sepatunya telah menendang pinggul yang besar dan berdaging tebal itu. Tentu saja dia tidak mengerahkan tenaga sin-kangnya karena dia ingin mempermainkan raksasa yang berhati kejam ini.
"Bukkk...!"
Pinggul itu kena ditendang dan walaupun Moghul tidak roboh dan tendangan itu tidak mendatangkan rasa nyeri akan tetapi suaranya yang nyaring itu terdengar semua orang dan mulailah para penonton bersorak gembira. Walaupun gerakan pemuda itu tidak memperlihatkan gerak silat atau gerak gulat yang mahir, namun buktinya pemuda itu telah berhasil menendang pinggul Moghul. Ini saja sudah hebat!
Moghul memutar tubuhnya, membalik dan mukanya merah sekali, matanya melotot saking marahnya. Dia menyerbu dan hendak menangkap, namun kembali Hui Song mengelak. Moghul mengejarnya dan kini raksasa itu mempergunakan kakinya yang besar untuk menyerang dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi.
Hemm, pikir Hui Song, kiranya pegulat inipun mahir ilmu tendangan yang cukup lihai, apalagi kalau diingat bahwa di balik sepatu dan pembalut kakinya itu tersembunyi baja yang keras dan kuat. Dia mengelak dengan sembarangan saja, sengaja bersikap bodoh untuk memancing si raksasa agar bersikap lengah.
Beberapa kali tendangan itu lewat dan ketika tendangan kaki kanan raksasa itu menyambar, dia cepat merendahkan tubuhnya dan begitu kaki itu lewat, dia mengulur tangannnya, menangkap bawah kaki itu dan terus mendorongnya ke atas. Karena Hui Song hanya menambah tenaga luncuran kaki itu sendiri, maka Moghul tidak mampu mempertahankan diri. Karena kakinya terus terangkat ke atas, otomatis tubuhnya terjengkang dengan keras.
"Brukkk...!"
Papan lantai panggung itu tergetar hebat dan untung tidak ambrol tertimpa tubuh yang besar dan berat itu.
"Waah, hati-hati, babi kebiri. Perutmu bisa pecah kalau kau banting-banting begitu!"
Hui Song mengejek dan kembali terdengar sorak-sorai yang amat hebat. Kini mulailah timbul harapan di dalam hati penonton. Boleh jadi pemuda itu tidak mampu silat, tidak mampu gulat, akan tetapi jelas amat pemberani dan cerdik, dan sudah terbukti bahwa dalam beberapa gebrakan saja sudah mampu menendang pinggul si raksasa dan kini malah membuatnya terjengkang dan terbanting keras.
Dan Moghul tidak segera bangkit, sengaja memancing agar pemuda itu melanjutkan serangannya untuk ditangkapnya, seperti yang dilakukannya terhadap si baju hitam tadi. Akan tetapi Hui Song tidak menyerang lagi, melainkan hanya pringas-pringis mengejek.
"Heh-heh, apakah perutmu terasa mulas dan kau tidak mampu bangun berdiri? Nah, baiklah. Mari kubantu, babi!"
Hui Song mengulurkan tangannya seperti hendak membantu raksasa itu bangun. Tentu saja para penonton menjadi panik, bahkan ada yang berteriak-teriak agar Hui Song berhati-hati.
Memang pemuda itu nampaknya terlalu sembrono dengan memberikan tangannya seperti itu. Sekali tangannya tertangkap, tentu pemuda itu akan celaka, akan dipatah-patahkan tulangnya dan mungkin saja akan dibunuh karena raksasa itu sudah amat marah padanya. Akan tetapi Hui Song pura-pura tidak mendengar cegahan-cegahan itu dan tetap mengulur tangan kepada Moghul.
Dan raksasa itu benar-benar menyambar tangan Hui Song yang diulurkan dan jari-jari yang panjang besar itu berhasil menangkap pergelangan tangan Hui Song dengan kuat. Akan tetapi, tiba-tiba Hui Song menarik lengannya dan cekalan itu terlepas, tangan itu licin seperti belut terlepas tak mampu dipertahankan oleh Moghul. Hui Song tersenyum dan memandang kepada orang yang memberi minyak kepadanya tadi, menjura.
"Terima kasih atas minyaknya, lenganku jadi licin, hi-hik!"
Kembali orang-orang bersorak-sorai dan Hui Song kembali mengerahkan lengan yang satu lagi kepada Moghul. Ketika secara otomatis Moghul mengulur tangan hendak menangkap, Hui Song menarik kembali tangannya, seperti menggoda seorang anak kecil saja. Sorak-sorai makin keras, orang-orang tertawa dan merasa geli menyaksikan pertunjukan yang lucu itu. Seperti bukan melihat pibu yang menyeramkan saja melainkan nonton panggung lawak yang lucu.
Dapat dibayangkan betapa kemarahan Moghul makin menjadi.
"Kupatahkan semua tulangmu, kuhancurkan kepalamu...!" katanya berkali-kali dengan suara`mendesis.
"Silakan, kalau kau mampu menangkap aku," Hui Song mengejek.
Moghul yang sudah marah sekali itu tidak menjawab, melainkan menubruk lagi dengan cepat sambil mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang marah. Namun, Hui Song mengelak dan sambil tersenyum mengejek pemuda ini tidak membalas, melainkan terus mengelak sampai raksasa itu terengah-engah kecapaian.
Para penonton tertawa-tawa melihat tingkah Hui Song yang mempermainkan Moghul. Akan tetapi, agaknya bagi Moghul tidak ada kata kalah dalam benaknya. Dia sudah terbiasa selalu menang, sehingga kini, menghadapi seorang lawan yang demikian licin bagai belut sehingga semua serbuan dan terkamannya mengenai tempat kosong selalu, diapun merasa penasaran dan belum sadar bahwa dia sebenarnya menghadapi seorang lawan yang jauh lebih pandai daripada dia.
"Hohhhhh...!"
Kembali raksasa itu menubruk dari samping, dan untuk ke sekian kalinya Hui Song mengelak dan menyelinap di bawah lengan kanannya. Raksasa yang sudah lelah itu terhuyung ke depan karena terdorong tenaga tubrukannya sendiri. Ketika dia membalik, tiba-tiba dia melihat lawannya yang tubuhnya kecil dibandingkan dengan tubuh raksasa itu, menerjang ke depan.
Hui Song meloncat dan menggunakan jari-jari tangan kirinya hendak mencengkeram muka raksasa itu.
"Awas, kucokel keluar matamu!"
Moghul terkejut dan tentu saja dia terpengaruh ucapan itu, memperhatikan tangan kiri lawan yang menyerangnya dan siap melindungi matanya dengan kedua tangan sambil mencari kesempatan untuk menangkap tangan kiri itu. Sejak tadi dia sudah mengancam dalam hatinya bahwa sekali dia dapat menangkap pemuda itu, akan diangkat dan dibantingnya, akan dipatah-patahkan semua tulang tubuhnya!
Akan tetapi, dia sama sekali tidak tahu bahwa serangan Hui Song itu hanya merupakan gertakan saja, karena yang bekerja adalah tangan kanannya yang menepuk-nepuk ke arah perut gendut itu dengan keras.
"Plak! Plak! Pungg...!"
Akan tetapi tamparan-tamparan tangannya itu membalik dan perut yang ditamparnya mengeluarkan suara seperti sebuah tambur besar dipukul.
"Wah, gentong ini kosong!"
Hui Song masih mengeluarkan suara ejekan keras sehingga para penonton semakin geli tertawa. Akan tetapi, suara ketawa mereka terhenti seketika karena pada saat itu, Moghul telah berhasil menangkap lengan kiri Hui Song dengan tangan kanannya. Dengan gerakan seorang jago gulat yang mahir, tangan kirinya menyusul dan sudah menangkap pundak pemuda itu. Kemudian, secepat kilat tahu-tahu tubuh Hui Song sudah diangkat ke atas kepala.
Semua orang memandang pucat dan Moghul menyeringai, mengeluarkan suara ha-ha-huh-huh seperti orang terengah-engah saking girangnya. Dia hendak membanting lawannya ke atas lantai panggung dan sudah mengerahkan tenaga agar bantingannya dapat dilakukan sekuatnya. Akan tetapi, tiba-tiba dia memekik kesakitan dan kedua lengannya menjadi lemas.
Kiranya Hui Song menggunakan jari-jari tangannya, biarpun pergelangan tangan sudah ditangkap, untuk mencengkeram dan mencabuti bulu-bulu panjang di dada dan lengan raksasa itu, berbareng dengan itu, ujung sepatunya telah menotok jalan darah di dekat punggung lawan, membuat Moghul kehilangan tenaga untuk beberapa detik lamanya. Ini sudah cukup bagi Hui Song untuk meronta dan melepaskan diri dari pegangan kedua tangan lawannya. Dia menggeliatkan tubuhnya yang sudah dilumuri minyak tadi dan terlepas lalu meloncat ke belakang sambil berkata,
"Heh-heh, tubuhku licin, berkat minyak!"
Kembali penonton tertawa dengan hati lega. Biarpun sampai kini pemuda itu belum juga memperlihatkan ilmu silat atau ilmu gulat, namun semua gerakannya yang kelihatannya ngawur itu ternyata telah membuat si raksasa tidak berdaya!
Lumpuhnya kedua tangan Moghul tidak lama dan tentu saja raksasa ini menjadi semakin penasaran dan marah. Apalagi melihat betapa pemuda itu kini berdiri sambil bertolak pinggang dengan kedua kaki terpentang lebar, berkata kepadanya,
"Hei, babi bengkak, coba sekarang engkau mengangkat dan membantingku kalau mampu!"
Tantangan ini mendatangkan rasa heran dan khawatir kepada para penonton, kecuali beberapa orang diantara mereka yang bermata tajam dan sudah dapat menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang pendekar yang lihai dan tinggi ilmu kepandaiannya.
Akan tetepi yang merasa girang adalah Moghul. Tadi dia penasaran dan kecewa karena sungguh tidak disangkanya, pemuda yang sudah berada dalam cengkeramannya dan tinggal banting saja itu dapat lolos. Kini dia ditantang, tentu saja dia merasa girang. Sekali ini, kalau aku dapat menangkapnya, tak mungkin dia akan dapat lolos, pikirnya.
Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri dan tadinya mengira bahwa pemuda itu tentu hanya mempermainkannya dan akan mengelak kalau ditangkap. Akan tetapi ternyata tidak! Ketika kedua tangannya yang besar itu menangkap pinggang Hui Song dan dia mengerahkan tenaga untuk mengangkatnya, ternyata tubuh kecil itu tidak bergeming dan tidak dapat diangkatnya!
Tubuh yang kecil itu, yang agaknya akan dapat diangkat walaupun hanya dengan satu tangan saja oleh Moghul, kini terasa berat sekali, atau seolah-olah kedua kaki pemuda itu sudah berakar pada lantai panggung.
Moghul tidak percaya dan semakin penasaran. Dikerahkannya kekuatannya sehingga urat dan otot di kedua lengan dan dadanya menggembung dan dicobanya lagi untuk mengangkat tubuh Hui Song. Namun tetap tak terangkat olehnya. Kedua tangannya pindah ke pundak, lalu ke pinggang lagi, tetap saja tidak terangkat.
Tiba-tiba Hui Song merendahkan tubuhnya, menggunakan kedua tangannya untuk menyangga paha dan perut si raksasa, mengerahkan sin-kangnya dan sambil mengeluarkan lengking suara yang nyaring, dia meluruskan tubuh dan Moghul sudah terangkat ke atas olehnya!
Tentu saja perbuatannya ini disambut sorak-sorai gemuruh, bahkan Ji-ciangkun terbelalak dan mukanya berobah agak pucat, sementara itu Kok-taijin bertepuk tangan saking gembiranya.
"Brukkkk...!"
Tubuh tinggi besar itu dilempar oleh Hui Song, bukan dibanting, melainkan hanya dilempar, akan tetapi akibatnya, bagian papan lantai panggung di ujung depan yang tertimpa tubuh raksasa itu ambrol!
Di bawah suara ketawa dan sorak-sorai para penonton. Moghul merangkak ke luar lagi dari lantai papan panggupg. yang ambrol dan kini mukanya menjadi hitam, matanya merah sekali dan ada hawa pembunuhan membayangi wajahnya ketika dia melangkah maju lagi menghampiri Hui Song. Karena kini tidak ada lagi hio yang terbakar, maka orang tidak tahu lagi berapa lama batas pertandingan itu dan agaknya Moghul juga belum mau menerima kalah.
"Eh-eh, engkau masih juga belum mau mengaku kalah?"
Hui Song bertanya mengejek. Raksasa itu tidak menjawab, melainkan menubruk dengan dahsyat, penuh kemarahan. Akan tetapi tiba-tiba dia terbelalak karena tubuh pemuda di depannya itu lenyap.
Semua penonton dapat melihat betapa pemuda itu mengelak tubrukan lawan sambil meloncat ke atas, tinggi sekali melampaui kepala Moghul dan ketika tubuhnya berjungkir balik dengan indahnya seperti seekor burung walet di udara, tubuh itu menukik turun dan tahu-tahu Hui Song telah hinggap di atas kedua pundak raksasa itu sambil tertawa-tawa!
Sejenak Moghul kebingungan, akan tetapi melihat kedua batang kaki Hui Song bergantung di depan dadanya, dia cepat menangkap kedua kaki itu. Akan tetapi tiba-tiba kedua kaki itu membalik dan menjepit lehernya dan kini tubuh atas Hui Song bergantung di belakang punggungnya dalam keadaan menelungkup.
"Wah, wah, celaka, kain cawatmu bau sekali, babi bengkak!"
Hui Song berseru dan dengan kedua kaki masih menjepit leher, dia menggunakan kedua tangannya untuk menangkap ujung kain cawat di belakang pinggul Moghul dan membukanya. Tentu saja nampak kedua bukit pinggul raksasa itu yang berkulit halus dan lebih putih daripada bagian tubuh lainnya. Semua penonton tertawa bergelak melihat ini karena dengan ditariknya cawat itu, nampaklah semua tubuh bagian bawah raksasa itu dari belakang!
Kini Moghul sama sekali tidak ingat untuk melakukan serangan lagi karena kedua kaki yang menjepit lehernya itu membuat dia merasa sukar bernapas. Kedua kaki itu sedemikian kuatnya seperti jepitan baja dikalungkan di lehernya saja. Dengan susah payah dia mencoba untuk melepaskan jepitan kedua kaki itu, namun sia-sia dan tiba-tiba Hui Song yang bergantungan di belakang tubuhnya itu menggunakan kedua tangannya untuk menotok belakang lutut Moghul. Raksasa itu mengeluh keras dan kedua kakinya tertekuk.
Hui Song melepaskan jepitan kakinya dan meloncat turun kemudian dia berdiri mengejek di depan Moghul. Raksasa ini merasa betapa kedua kakinya nyeri sekali akibat totokan di belakang lutut tadi, akan tetapi kemarahan membuat dia mata gelap. Dia bangkit berdiri dan kini menyerang dengan pukulan tangannya yang dikepalkan, tidak menggunakan ilmu gulat lagi.
Hui Song agaknya sudah merasa cukup mempermainkannya, maka diapun menyambut pukulan lengan kanan ini dengan tangkisan tangan kirinya, dengan jari-jari terbuka dan tangan dimiringkan seperti golok membacok ke arah lengan kanan lawan.
"Krekkk...!"
Moghul memekik dan lengan kanannya menjadi lumpuh karena tulang lengan itu sudah patah! Dasar manusia yang keras kepala. Dia masih menyerang terus dengan tangan kirinya. Kembali Hui Song menangkis dan kini lengan kiri itupun patah lengannya.
Pemuda itu teringat betapa raksasa ini sudah menyiksa banyak orang dengan mematahkan tulang kaki tangan mereka, maka diapun cepat melakukan tendangan susulan dua kali yang mematahkan tulang kedua kaki raksasa itu.
Moghul roboh dan tak dapat bangkit kembali karena kedua kaki dan tangannya sudah tidak dapat digerakkan, sudah patah-patah tulangnya. Hui Song kini membungkuk, menyambar sebuah lengan dan kaki, lalu mengangkat tubuh raksasa itu ke atas, memutar-mutarnya cepat lalu melemparkannya ke bawah panggung.
Tubuh itu melayang dan jatuh terbanting ke atas tanah, di luar kepungan para penonton! Sorak-sorai bagaikan meledak dan seperti akan meruntuhkan panggung itu sendiri. Semua penonton mengangkat kedua tangan dan ada yang berjingkrak-jingkrak menari kegirangan.
Akan tetapi, semua penonton kini berdiam dan memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan dan kekhawatiran ketika melihat betapa Ji-ciangkun bersama belasan orang pengawalnya telah berdiri di atas panggung dan mengurung pemuda yang baru saja memperoleh kemenangan secara mutlak itu.
"Tangkap keparat ini!" bentak Ji-ciangkun kepada para perajuritnya yang nampak ragu-ragu.
Tentu saja Hui Song juga berdiri dengan mata terbelalak heran dan diapun merasa penasaran sekali.
"Ciangkun, apa sebabnya aku akan ditangkap?" bantahnya.
"Orang muda, engkau masih belum mengakui kesalahan-kesalahanmu? Pertama, engkau telah memadamkan hio yang terbakar, dan kedua, engkau telah melukai penguji yang menjadi jagoan kami. Berarti engkau menyalahi peraturan dan tidak memandang kepada kami, berani mempermainkan dan melukai orang kami, dan itu berarti bahwa engkau telah memberontak, berani melawan pejabat tinggi!"
Akan tetapi pada waktu itu, Kok-taijin muncul pula dan terdengar pembesar sipil ini berkata,
"Tidak, dia jangan ditangkap, ciangkun. Biarlah kuampunkan kesalahan-kesalahannya dan aku akan mengambil dia menjadi seorang pengawal pribadiku. Orang she Cia, maukah engkau menjadi seorang pengawal pribadiku?"
Hui Song merasa semakin heran. Agaknya ada pertentangan secara rahasia antara kedua pejabat itu dan diapun menjura kepada gubemur itu,
"Saya bersedia, taijin."
Ji-ciangkun nampak marah, akan tetapi karena Kok-taijin merupakan wakil dari kerajaan yang merupakan penguasa tertinggi di daerah itu, maka diapun tidak berani menentang secara terang-terangan dan diapun memberi isyarat kepada para perajuritnya untuk mundur dan meninggalkan panggung. Kok-taijin mengajak Hui Song mengikutinya pulang ke dalam gedungnya dan pemilihan calon perwira itupun dibubarkan.
Setelah tiba di dalam gedungnya, Kok-taijin mengajak Hui Song memasuki sebuah kamar untuk bicara empat mata. Pembesar yang berwibawa itu menyuruh Hui Song duduk di atas kursi, berhadapan dengan dia terhalang sebuah meja kecil dan setelah dia menyuruh seorang pelayan menghidangkan minuman dan menyuruh pelayan lain mempersiapkan sebuah kamar untuk pengawal pribadi baru ini, dia lalu mengajak Hui Song bercakap-cakap.
"Cia-sicu, aku sudah terlalu banyak mengenal para pendekar gagah maka begitu engkau muncul, walaupun engkau bersikap ketolol-tololan, aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentu seorang pendekar yang berkepandaian tinggi. Dan timbul keheranan dalam hatiku, karena janggal dan anehlah kalau seorang pendekar berilmu seperti engkau ini hendak masuk menjadi seorang perwira. Sebetulnya, apakah yang mendorongmu naik ke panggung dan melawan Moghul?"
Diam-diam Hui Song memuji kecerdikan pembesar ini yang ternyata mempunyai pandangan tajam sekali. Dan diapun tidak perlu lagi bersembunyi karena dia tahu bahwa pembesar ini boleh dipercaya, tidak seperti Ji-ciangkun yang sikapnya mencurigakan itu.
"Harap taijin suka memaafkan saya. Sesungguhnya ada dua hal yang mendorong saya memasuki sayembara itu. Pertama karena saya merasa jengkel melihat kekejaman Moghul yang menyiksa para pengikut sayembara yang kalah dan saya ingin membalaskan mereka itu dan menghukumnya. Kedua, saya merasa heran sekali mengapa kalau pemerintah membutuhkan perwira-perwira baru, dengan mengajukan Moghul sebagai penguji maka seolah-olah pemerintah daerah bahkan menghalangi adanya perwira-perwira baru. Sukarlah dicari orang yang akan mampu mengalahkan raksasa itu. Maka, saya ingin sekali menyelidiki kejanggalan ini."
Pembesar ini mengangguk-angguk.
"Tepat seperti yang sudah kuduga, Cia-sicu. Oleh karena itulah maka aku turun tangan dan mengangkatmu menjadi pengawal pribadi. Sesungguhnya, sudah lama aku merasa curiga akan gerak-gerik Ji-ciangkun yang berobah semenjak beberapa bulan yang lalu ini. Dahulu diapun merupakan seorang panglima yang setia kepada pemerintah, akan tetapi entah mengapa, semenjak beberapa bulan ini terjadi perobahan pada sikapnya dan Moghul itupun pilihan dia. Dialah yang tadinya tidak setuju ketika aku mengusulkan untuk menerima perajurit dan perwira baru karena adanya desas-desus pemberontakan. Cia-sicu, tentu engkaupun sudah mendengar tentang desas-desus itu, bukan?"
Hui Song mengangguk.
"Bukan berita bohong, taijin. Memang ada datuk-datuk kaum sesat yang sedang menghimpun tenaga untuk mengadakan pemberontakan, dan terus terang saja, saya sampai ke daerah inipun adalah untuk menyelidiki tentang hal itu."
"Bagus kalau begitu, sicu. Bagaimana kalau engkau tinggal disini, pura-pura saja menjadi pengawal pribadiku, kemudian tugas yang sesungguhnya bagimu adalah menyelidiki Ji-ciangkun? Siapa tahu dia mempunyai hubungan dengan para tokoh yang hendak memberontak itu."
"Baik, taijin. Saya dapat menggunakan waktu kira-kira sebulan untuk melakukan penyelidikan disini."
Demikianlah, mulai hari itu, Hui Song berpakaian pengawal dan menjadi pengawal pribadi Kok-taijin. Tentu saja hal ini hanya untuk menyembunyikan tugasnya yang sebenarnya, yaitu menyelidiki Ji-ciangkun. Hanya dia sendiri dan Gubernur Kok yang tahu, bahkan keluarga gubernur itu sendiripun tidak mengetahuinya.
Gubernur Kok tinggal dengan seorang isterinya, beberapa orang selir dan hanya mempunyai seorang anak, yaitu seorang anak perempuan yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun. Sebagai seorang pengawal pribadi, Hui Song mengenal baik semua keluarga Kok-taijin dan dengan pakaian pengawal, tidak begitu sukar baginya untuk melakukan penyelidikan, karena tidak dicurigai.
Pada suatu malam, beberapa hari kemudian, dua bayangan yang amat gesit gerakannya, berlompatan memasuki benteng dengan melewati tembok benteng yang tinggi.
Anehnya, ketika para penjaga melihat dua orang ini, mereka diam saja, bahkan ada perwira yang memberi hormat kepada mereka, lalu perwira ini melapor kepada Ji-ciangkun yang berada di sebelah dalam gedungnya.
"Ciangkun, dua orang tamu yang ditunggu sudah datang," perwira itu melaporkan.
"Baik. Persilakan mereka menanti ke dalam kamar tunggu dan suruh para pengawal menjaga di luar, jangan menerima tamu dari luar pada malam hari ini, aku tidak mau diganggu."
Perwira itu memberi hormat dan keluar, menanti di pekarangan gedung atasannya itu. Tak lama kemudian, dua sosok bayangan berlompatan turun dan mereka itu ternyata adalah seorang tosu tinggi kurus dan seorang hwesio gendut yang bukan lain adalah Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui yang pernah bersama-sama Siang-to Sian-li Gui Siang Hwa murid Raja Iblis memikat Hui Song ke Guha Iblis Neraka tempo hari!
Sang perwira menyambut mereka dengan hormat, lalu mempersilakan mereka menanti Ji-ciangkun di dalam ruangan tamu yang luas. Tiga orang ini memasuki pintu ruangan tamu, sama sekali tidak tahu bahwa seorang perajurit pengawal yang berdiri di situ dengan tombak di tangan sama sekali bukanlah perajurit benteng itu, melainkan Hui Song yang telah menyamar!
Dengan bantuan Kok-taijin, tidak sukar bagi Hui Song untuk menyamar dengan pakaian perajurit benteng dan menyelundup masuk untuk melakukan penyelidikan. Malam itu, tanpa disangka-sangkanya dia melihat dua orang tamu dari Ji-ciangkun, yang bukan lain adalah kenalan lamanya, yaitu Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo yang pernah nyaris mene-waskannya di Guha Iblis Neraka.
Terkejut, heran dan juga giranglah hati Hui Song bahwa kecurigaannya terhadap Ji-ciangkun ternyata kini terbukti kebenarannya. Jelaslah bahwa Ji-ciangkun tentu bersekongkol dengan kaum sesat yang hendak memberontak, karena dua orang kakek iblis itu adalah para pembantu Raja dan Ratu Iblis dan tentu kini menjadi semacam utusan dari Raja Iblis untuk bersekongkol dengan Ji-ciangkun. Maka, setelah keadaan sunyi dan dia memperoleh kesempatan, Hui Song lalu melakukan pengintaian ke dalam ruangan tamu.
Tidak salah penglihatannya tadi, yang duduk di dalam ruangan itu adalah Hui-to Cin-jin, Kang-thouw Lo-mo, bersama Ji-ciangkun dan Moghul! Agaknya orang Mongol jago gulat itu memang kuat sekali. Biarpun tulang kedua kaki tangannya patah, akan tetapi kini, dengan bantuan kursi roda, dia mampu menghadiri pertemuan itu dengan kaki tangan dibalut kuat. Tentu dia menggunakan obat yang amat manjur, pikir Hui Song kagum juga. Dia sudah mendengar betapa Bangsa Mongol mempunyai obat-obat yang amat mujarab untuk luka-luka atau patah tulang.
Dan kini makin mengertilah dia. Kiranya Moghul yang dijadikan jagoan penguji itupun merupakan seorang diantara tokoh persekutuan pemberontak itu! Dari percakapan diantara empat orang itu, tahulah dia bahwa Moghul bukanlah orang biasa. Dia mengaku sebagai keturunan para Raja Mongol yang pernah memerintah di Tiongkok dan kini dia berusaha untuk membangun kembali kekuasaan bangsanya yang sudah jatuh. Jadi terdapat persekutuan antara tiga unsur disini.
Yang pertama adalah seorang panglima pemerintah sendiri yang berambisi untuk memberontak, yaitu Panglima Ji Sun Ki. Kedua adalah Moghul yang mewakili orang-orang Mongol yang menjadi anak buahnya. Dan ketiga adalah rombongan kaum sesat yang diketuai Raja Iblis! Suatu persekutuan yang amat berbahaya, pikir Hui Song yang mengintai dan mendengarkan dengan hati-hati.
"Pemuda itu...?" kata Kang-thouw Lo-mo sambil menenggak araknya ketika dia mendengar Ji-ciangkun bercerita tentang pemuda yang mengalahkan Moghul dalam sayembara pemilihan perwira baru. "Ah, dialah orang she Cia, putera ketua Cin-ling-pai itu! Pantas saja kalau saudara Moghul kalah karena dia memang lihai bukan main."
"Dan sekarang telah menjadi pengawal pribadi Kok-taijin?" Hui-to Cin-jin menyambung. "Wah, berbahaya sekali itu. Dia harus disingkirkan lebih dahulu!"
Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. Dia terkejut bukan main mendengar bahwa pemuda yang sikapnya ketolol-tololan itu, yang telah mengalahkan Moghul, ternyata bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar!
"Tidak mudah begitu saja menyingkirkannya, bukan hanya karena dia lihai, akan tetapi karena dia sudah menjadi pengawal pribadi Kok-taijin. Kita harus bertindak hati-hati dan jangan sampai menimbulkan kecurigaan di hati Kok-taijin sebelum gerakan kita itu dilakukan. Jelaslah bahwa Kok-taijin tidak dapat dibujuk dan dia akan menjadi penghalang terbesar. Maka, biarlah aku mengerahkan orang-orangku untuk mengamati orang she Cia itu. Sama sekali aku tidak mengira bahwa dia adalah seorang pendekar, maka aku tidak menaruh curiga."
Mendengar ini, Hui Song sudah merasa cukup. Kalau kini Ji-ciangkun sudah mengerti siapa dirinya, tentu dia akan selalu diawasi dan hal itu membuat dia tidak akan leluasa bergerak. Maka dia lalu secara hati-hati meninggalkan tempat itu dan malam itu juga dia menghadap Kok-taijin yang menjadi terkejut karena pembesar ini tadinya sudah mengaso dan bahkan hampir tidur pulas ketika dibangunkan.
"Cia-sicu, ada apakah...?" tanyanya kaget.
"Taijin, mari kita bicara di dalam. Ada hal penting sekali," jawab Hui Song.
Mereka lalu memasuki ruangan dalam dan disitu Hui Song menceritakan apa yang baru saja dilihat dan didengarnya.
Diceritakannya kepada pembesar itu bahwa Ji-ciangkun benar-benar bersekongkol dengan orang-orang yang hendak memberontak, betapa Moghul sebenarnya menurut pengakuannya adalah keturunan Jenghis Khan dari Raja-raja Mongol yang hendak membangkitkan kembali kekuasaan bangsanya, kemudian diceritakannya tentang dua orang tokoh Cap-sha-kui yang menjadi para pgmbantu Raja Iblis yang memimpin para datuk sesat yang hendak memberontak.
Mendengar penuturan itu, Kok-taijin terkejut bukan main. Pembesar ini mengerutkan alisnya.
"Ah, tak kusangka sudah sejauh itu! Dan biarpun di San-hai-koan ini aku menjadi penguasa tertinggi, akan tetapi untuk menangkap Ji-ciangkun, aku kekurangan kekuatan. Disini aku hanya mempunyai pasukan pengawal dan penjaga keamanan yang jumlahnya tidak ada seribu orang sedangkan Ji-ciangkun menguasai pasukan yang beribu-ribu banyaknya. Kita harus bertindak hati-hati dan tidak ada jalan bagiku kecuali melaporkan ke kota raja. Akan tetapi hal itu membutuhkan waktu lama dan melaporkan kepada kaisar harus disertai bukti-bukti sedangkan bukti itu belum ada. Maka, sicu, aku minta bantuanmu. Sampaikan suratku kepada komandan benteng Ceng-tek. Komandan itu adalah seorang panglima yang setia dan kalau dia menerima suratku, tentu dia akan percaya dan dia akan mengirimkan pasukan yang besar ke sini untuk membantuku. Tidak ada orang lain yang dapat kupercaya untuk melakukan tugas ini, sicu. Berangkatlah malam ini juga."
Hui Song tidak dapat menolak karena dia sendiripun maklum akan gawatnya keadaan. Agaknya pihak pemberontak itu akan menduduki San-hai-koan lebih dulu untuk menjadi markas dan basis pemberontakan mereka. Maka, malam itu juga, dia diberi seekor kuda yang paling baik, membawa surat dari Kok-taijin dan berangkatlah dia meninggalkan San-hai-koan.
Dugaan Hui Song memang tidak banyak selisihnya dengan kenyataan sebenarnya. Kedatangan Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo ke markas San-hai-koan itu selain untuk berunding dimana dua orang kakek itu membongkar keadaan diri Cia Hui Song, juga dua orang kakek itu diutus oleh Raja Iblis untuk mengundang Ji-ciangkun agar pada malam itu juga datang menemui Raja Iblis di suatu tempat tersembunyi tidak jauh dari San-hai-koan!
Setelah dia memanggil para perwira pembantu dan kepercayaannya, memberi tahu kepada mereka agar mulai saat itu juga mereka semua mengamat-amati semua gerakan gubernur itu, Ji-ciangkun lalu berangkat naik kuda bersama dua orang tamunya. Dia tidak membawa pengawal karena memang tidak boleh sembarang orang datang menghadap Raja Iblis. tadinya Moghul juga diundang, akan tetapi mengingat bahwa orang Mongol itu berada dalam keadaan terluka dan tidak dapat berjalan, yang berangkat hanyalah Ji-ciangkun saja bersama dua orang tokoh Cap-sha-kui itu.
Malam itu terang bulan dan tiga orang yang menunggang kuda itu berhenti di sebuah lereng bukit. Dua orang kakek itu memberi isyarat kepada Ji-ciangkun untuk menghentikan kuda masing-masing dan menambatkan kuda mereka itu pada batang pohon.
"Dari sini kita harus berjalan kaki dan jangan sekali-kali mengeluarkan suara," kata Hui-to Cin-jin berbisik.
"Lihat saja isyarat tangan kami. Kalau bicara sebelum ditanya, dapat mengakibatkan bencana," kata pula Kang-thouw Lo-mo.
Mendengar ucapan dua orang kakek itu dan melihat sikap mereka seperti orang yang amat takut, diam-diam Ji-ciangkun bergidik. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan Raja dan Ratu Iblis, dan dia hanya mendengar bahwa Raja Iblis adalah seorang pangeran yang bernama Toan Jit-ong dan bahwa tokoh ini memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia dan mempunyai watak yang amat aneh dengan wibawa melebihi kaisar sendiri!
Setelah mereka berjalan kira-kira setengah jam lamanya, menyusup-nyusup melalui semak-semak belukar, akhirnya mereka tiba di sebuah lereng terbuka dan dari jauh, di bawah sinar bulan purnama, nampaklah tembok-tembok nisan kuburan berjajar-jajar. Dua orang kakek itu berhenti memandang ke arah tanah kuburan itu dan ketika Ji-ciangkun memandang kepada mereka, dua orang itu tanpa bicara menuding ke arah tanah kuburan itu.
"Di sanakah...?" Ji-ciangkun berbisik.
"Sssstt!"
Hui-to Cin-jin menegur dan menaruh telunjuk ke depan mulut, lalu mengangguk membenarkan. Mereka lalu maju lagi perlahan-lahan menghampiri tanah kuburan yang sudah nampak dari jauh itu.
Ketika mereka tiba di luar tanah pekuburan, tiba-tiba dua orang kakek itu memegang lengan Ji-ciangkun dan memberi isyarat agar diam dan tidak mengeluarkan suara, mereka hanya memandang ke depan. Panglima itu ikut memandang dan matanya terbelalak, wajahnya berobah pucat. Memang amat mengerikan apa yang terlihat olehnya di tengah kuburan itu. Biarpun sinar bulan redup, namun lambat laun matanya sudah terbiasa dan dia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di tengah kuburan itu.
Di antara kuburan-kuburan yang nampak sudah kuno dan tidak terawat, nampak dua orang yang sedang berlatih ilmu kesaktian yang amat luar biasa. Seorang diantara mereka, adalah seorang pria yang rambutnya sudah putih semua, awut-awutan dan riap-riapan, jenggot dan kumisnya pendek, tubuhnya jangkung dan wajah yang tertimpa sinar bulan itu nampak seperti topeng saja, agak kehijauan dan dingin seperti muka mayat, sepasang matanya yang kehijauan mencorong seperti mata harimau, pakaiannya yang berwarna putih dan kuning itu longgar dan kedodoran, usianya sukar ditaksir berapa karena biarpun rambutnya sudah putih semua, akan tetapi wajah seperti topeng itu sukar ditaksir usianya, mungkin saja empat puluh atau mungkin juga enam puluh tahun lebih.
Dan orang ini sedang duduk di atas tumpukan tengkorak-tengkorak manusia! Sedikitnya ada lima puluh buah tengkorak yang ditumpuk berbentuk kerucut itu dan dia kini duduk bersila di atas tumpukan tengkorak itu.
Baru duduk di atas tumpukan tengkorak saja sudah merupakan hal yang sukar dilakukan, karena tengkorak yang hanya bertumpuk-tumpuk itu tentu akan runtuh kalau di puncaknya diduduki orang.
Akan tetapi kakek itu dapat duduk dengan tegak, bersila dan matanya memandang tajam ke depan. Di depannya, terpisah kurang lebih tiga tombak, ada tumpukan tengkorak lain seperti yang didudukinya. Dan di atas tumpukan tengkorak kedua berdiri seorang wanita, akan tetapi berdiri dengan kepala di bawah dan kedua kaki lurus ke atas!
Wanita inipun rambutnya putih riap-riapan, pakaian dan wajahnya sama dengan yang pria, mukanya yang ada garis-garis cantik itu nampak dingin dan kaku, dan pakaiannya juga longgar dan kedodoran sehingga karena ia berdiri jungkir balik di atas tumpukan tengkorak, jubahnya tersingkap ke bawah dan nampak celananya yang berwarna putih.
"Sudah slap?" terdengar suara yang halus akan tetapi mengandung getaran kuat dari pria yang duduk bersila itu.
"Siap," jawab wanita itu dengan tubuh yang jungkir balik itu sama sekali tidak bergoyang.
"Mulai...!" kata pula yang pria.
Kedua orang itu kini meggerakkan sepasang tangan ke depan, dengan gerakan mendorong, dengan jari-jari tangan terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan.
"Tarrrr...!" terdengar ledakan di tengah udara antara keduanya seolah-olah ada suatu tenaga tak nampak yang saling bertemu dan beradu di udara!
Dan mereka berdua melakukan adu tenaga ini berulang kali. Setiap kali tentu terdengar suara ledakan itu, akan tetapi, kini setiap ledakan makin mendekati si wanita, seolah-olah tenaga yang bertemu itu kini tidak seimbang lagi dan tenaga si wanita terpukul mundur.
"Jagalah ini...!" Tiba-tiba si pria berseru dan kembali mereka saling dorong.
"Tarr... brukkkkk...!"
Tubuh wanita itu jungkir balik meloncat ke atas dan tumpukan tengkorak yang tadi terinjak kepalanya itu berantakan, dan ada beberapa buah tengkorak yang pecah berhamburan seperti diterjang tenaga dahsyat!
"Tenagaku masih kurang kuat...!"
Wanita itu menarik napas ketika ia sudah turun dan berdiri tak jauh dari pria yang masih duduk bersila itu.
"Siapa bilang? Engkau sudah kuat sekali dan hampir aku tidak tahan. Lihat ini!"
Diapun melayang turun dari atas tumpukan tengkorak dan begitu menendang, tumpukan tengkorak itu berantakan dan ada empat buah tengkorak yang berada paling atas, remuk menjadi debu!
Melihat pertunjukan yang seperti sulap atau sihir itu, diam-diam Ji-ciangkun menjadi terkejut ngeri dan juga gentar hatinya. Apalagi ketika tiba-tiba dua orang berambut putih itu menoleh ke arah mereka.
"Majulah kalian!" Wanita itu berseru sambil menggapai dengan jari-jari tangannya yang berkuku runcing.
Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo segera maju, sedangkan Ji-ciangkun mengikuti dari belakang. Dua orang kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Raja Iblis, dan panglima itu yang merasa bahwa dia hanyalah sekutu, bukan anak buah iblis-iblis itu, hanya menjura dengan hormat.
"Inikah Ji-ciangkun dari San-hai-koan?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah Ratu Iblis.
Seperti biasa, ialah yang menjadi juru bicara suaminya, sedangkan Raja Iblis hanya berdiri memandang dengan sepasang matanya yang mencorong kehijauan.
"Benar, toanio, saya adalah Ji Sun Ki, panglima di San-hai-koan. Saya datang memenuhi undangan Ong-ya melalui Cin-jin dan Lo-mo."
Raja Iblis memberi isyarat kepada mereka untuk duduk di atas tanah, sedangkan dia sendiri duduk di atas tumpukan kecil tengkorak. Isterinya duduk pula di atas tumpukan kecil tengkorak, sedangkan dua orang kakek pembantu mereka itupun masing-masing mengambil sebuah tengkorak untuk dijadikan tempat duduk.
Ji-ciangkun sendiri merasa ngeri kalau duduk di atas tengkorak manusia itu, maka dia hanya menduduki sebuah batu nisan.
"Ji-ciangkun," terdengar suara Raja Iblis. Jarang dia bicara, akan tetapi agaknya kini dia merasa betapa pentingnya merangkul panglima ini untuk mulai menyalakan api pemberontakan. "Apakah sewaktu-waktu benteng itu dapat kita kuasai?"
Agak lega rasa hati Ji-ciangkun mendengar suara Raja Iblis. Ternyata suaranya halus dan bahasanya rapi seperti biasa dipergunakan para bangsawan atau orang terpelajar.
"Semua sudah saya persiapkan, Ong-ya. Sepuluh ribu perajurit yang tergabung dalam pasukan di benteng San-hai-koan, sebagian besar dikuasai oleh perwira-perwira pembantu saya. Yang mungkin akan menentang tidak lebih dari dua tiga ribu perajurit saja yang akan mudah diatasi. Akan tetapi, Kok-taijin sukar diajak berdamai dan tidak mungkin bekerja sama. Dari dialah mungkin datangnya tentangan dan halangan."
"Kekuatannya?" tanya Raja Iblis itu tenang.
"Lumayan. Ada seribu orang pasukan pengawal yang akan selalu membelanya. Apalagi baru-baru ini dia memperoleh seorang pengawal pribadi yang lihai..."
Ji-ciangkun berhenti karena pada saat itu Hui-to Cin-jin yang melihat keraguannya menyambung.
"Ong-ya, orang yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu telah mengalahkan Moghul dan dia bukan lain adalah putera ketua Cin-ling-pai!"
Raja Iblis mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya yang pendek.
"Hemm, bukankah Bin Mo To dari Ceng-tao itu sudah memberikan janjinya akan membantu, dan juga mantunya, ketua Cin-ling-pai akan membantu pula kalau sudah tiba waktunya? Apakah keluarga itu akan melanggar janji?"
"Hamba tidak tahu, Ong-ya. Akan tetapi kita memang tidak boleh terlalu percaya kepada orang-orang seperti ketua Cin-ling-pai itu. Apalagi Bin Mo To yang sudah lama mencuci tangan, tidak seperti dahulu ketika dia masih berjuluk Tung-hai-sian."
"Pemuda itu harus dibunuh, juga kalau mungkin, secepatnya Kok-taijin yang menjadi penghalang itu harus dibunuh!" kata Raja Iblis kepada Ji-ciangkun.
Ji-ciangkun mengerutkan alisnya.
"Maaf, Ong-ya. Saya sudah menyuruh anak buah mengawasi pemuda she Cia itu. Dan kalau perlu, kiranya tidak begitu sukar membunuhnya dengan pengeroyokan. Akan tetapi membunuh Kok-taijin saya kira tidak bijaksana, bahkan akibatnya bisa amat merugikan."
"Mengapa?"
"Seperti telah saya katakan tadi, Kok-taijin mempunyai pasukan pengawal yang setia kepadanya, kurang lebih seribu orang. Kalau saya menyerangnya secara berterang, tentu seribu orang pengawal itu akan memberontak dan melawan, dan kalau terjadi demikian, tentu dua tiga ribu orang pasukan yang belum dapat saya tundukkan itu akan bergabung. Hal ini akan menimbulkan perang sendiri dalam benteng dan biarpun kita dapat menang, namun tentu akan mengalami kerugian banyak pasukan. Lebih baik kalau dapat kita pergunakan akal agar benteng jatuh ke tangan kita tanpa banyak korban, dan lebih baik lagi kalau kita dapat memaksa Kok-taijin menakluk kepada kita."
"Caranya? Dengan menawannya dan memaksanya?" Raja Iblis bertanya.
Ji-ciangkun menggeleng kepala.
"Biarpun dia seorang sipil, namun Kok-taijin memiliki hati yang keras. Andaikata dia ditangkap dan disiksa sekalipun, jangan harap dia akan mau menakluk. Akan tetapi, dia hanya mempunyai seorangi anak, yaitu anak perempuan yang baru berusia sepuluh tahun. Kalau kita menculik anak itu, besar kemungkinan dia mau tunduk dan menurut, demi keselamatan anaknya yang amat disayangnya."
"Bagus! Lakukanlah itu, Ji-ciangkun. Ingat kami tidak akan mau bergabung denganmu sebelum kau berhasil menguasai benteng San-hai-koan. Setelah berhasil, barulah engkau akan resmi menjadi panglima besar semua pasukan kita dan kelak engkau tentu akan tetap menjadi panglima kerajaan baru kita."
Wajah Ji-ciangkun berseri gembira membayangkan kedudukan yang akan diperolehnya kalau gerakan mereka berhasil. Dan dia yakin akan berhasil setelah dia bertemu dengan bekas pangeran yang sakti luar biasa ini.
Setelah mengadakan perundingan dengan matang dan Raja Iblis menyatakan siap membantu kalau terdapat kesukaran dalam pengambil-alihan kekuasaan di San-hai-koan itu, Ji-ciangkun lalu kembali ke San-hai-koan, dikawal oleh dua orang kakek iblis.
Sementara itu, Hui Song yang keluar dari San-hai-koan dengan berkuda, baru kira-kira meninggalkan benteng itu sejauh sepuluh li, dia mendengar suara derap kaki kuda dari belakang. Pemuda ini dapat menduga bahwa derap kaki banyak kuda itu tentulah pasukan dan kemana lagi malam-malam begitu ada pasukan membalapkan kuda mereka kalau bukan untuk mengejar dirinya? Dia sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi karena dia sedang membawa tugas yang amat penting, dia tidak mau menunda perjalanan itu dengan perkelahian melawan pasukan yang mengejarnya.
Maka diapun lalu berhenti, mengumpulkan bekalnya dan diikatnya buntalan itu di punggungnya, kemudian dia mencambuk kuda itu, diusir dan dikejarnya agar kuda itu lari ke lain jurusn, bukan ke jurusan Ceng-tek, melainkan ke timur. Kuda itu ketakutan dan lari cepat, dia masih mengejarnya dengan lemparan-lemparan batu sehingga kuda itu lari tunggang-langgang. Setelah itu, Hui Song meloncat naik ke atas dahan pohon dan bersembunyi di balik daun-daun lebat.
Tak lama kemudian, muncullah serombongan pasukan itu dan ternyata jumlah mereka ada seratus orang! Akan sukar juga kalau dia harus melawan orang sedemikian banyaknya, dan juga akan membuang-buang waktu saja. Pasukan itu berhenti, memeriksa tanah dengan obor-obor dan akhirnya mereka membelok ke kiri, mengejar kuda yang meninggalkan jejak di atas tanah itu.
Setelah pasukan itu membalapkan kuda ke timur, barulah Hui Song meloncat turun dari atas pohon, lalu mempergunakan ilmu lari cepat, lari ke selatan lalu ke barat, menuju ke Ceng-tek. Jarak yang ditempuhnya akan makan waktu sehari semalam, dan pada besok malam baru dia akan tiba di Ceng-tek.
Kota Ceng-tek merupakan kota yang cukup besar dan ramai. Kota ini merupakan semacam benteng pertahanan pula atau merupakan pintu menuju ke kota raja Peking, karena itu di kota ini terdapat benteng yang cukup besar dan kuat. Yang menjadi komandan pasukan di Ceng-tek adalah seorang jenderal bernama Lui Siong Tek, seorang laki-laki tinggi besar dan gagah perkasa, berusia empat puluh lima tahun.
Dia menguasai selaksa pasukan tetap dan dengan mudah dia akan memperlipat-gandakan pasukannya itu dengan pasukan-pasukan lain yang berada di sekeliling daerah itu, yang merupakan mata rantai pertahanan di utara di sebelah dalam Tembok Besar untuk melindungi kota raja dari serbuan-serbuan yang mungkin datang dari bangsa-bangsa liar di utara.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa seorang pembesar yang mempunyai kekuasaan penuh di suatu daerah, akan merasa yang paling berkuasa, seolah-olah menjadi raja kecil di wilayah kekuasaannya. Pembesar itu akan lupa bahwa dia hanyalah seorang petugas yang bekerja untuk atasan di kota raja.
Dan seorang pembesar militer seperti Lui-goanswe ini, di waktu negara sedang aman dan tidak ada perang, akan menjadi malas dan lengah, membiarkan diri tenggelam dalam kesenangan-kesenaangan yang mudah saja didapat karena kekuasaan dan kekayaannya.
Demikian pula dengan Lui Siong Tek, karena wilayahnya dalam keadaan aman dan tenteram, diapun membiarkan dirinya hanyut dalam kesenangannya yang telah memperbudaknya sejak dia masih amat muda, yaitu bersenang-senang dengan wanita cantik.
Ketika Hui Song tiba di Ceng-tek, sebelum dia mengunjungi pembesar itu, dia lebih dahulu menyelidiki dan mencari keterangan perihal komandan yang menjadi panglima di benteng kota itu. Dan dia mendengar bahwa komandan itu adalah seorang yang gagah perkasa, yang pandai mengatur pasukan dan sudah amat terkenal, akan tetapi juga memiliki kelemahan, yaitu suka mengumpulkan wanita-wanita cantik dan mempunyai banyak selir yang tak terhitung banyaknya. Bahkan ada kabar angin bahwa pembesar itu kini mempunyai seorang selir baru dan setiap hari bersenang-senang dengan selir barunya itu.
Setelah mendapat keterangan dimana adanya pembesar itu, malam itu juga Hui Song lalu memasuki benteng melalui tembok benteng yang tidak terjaga ketat. Kalau pemimpinnya malas, anak buahnyapun tentu saja malas, dan kalau pemimpinnya lengah, anak buahnyapun lengah, maka penjagaan di sekitar benteng itupun tidak ketat.
Para penjaga hanya bergerombol di pintu gerbang, mengobrol atau bermain kartu sehingga dengan mudah Hui Song dapat melompati tembok dan meloncat ke sebelah dalam, menyelinap diantara bangunan-bangunan besar di dalam benteng itu dan dengan mudah saja dia dapat memasuki sebuah gedung terbesar di tengah benteng.
Itulah gedung tempat tinggal Lui-goanswe yang nampak sunyi saja, tanpa ada penjagaan di sekitar gedung, dan agaknya semua penghuninya telah tidur. Hui Song menyelinap masuk ke dalam gedung itu dan tak lama kemudlan dia sudah mengintai ke dalam sebuah ruangan yang terang dan dimana dia mendengar suara orang bercakap-cakap.
Ketika dia mengintai ke dalam, dia melihat seorang laki-laki tinggi besar dan berwajah gagah, mukanya dihias jenggot dan kumis lebat, berusia empat puluh tahun lebih, sedang makan minum dilayani oleh dua orang pelayan wanita muda dan di depannya duduk pula seorang wanita cantik.
Melihat wanita itu, jantung Hui Song berdebar keras dan dia kaget sekali karena dia mengenal baik wanita cantik ini yang bukan lain adalah Gui Siang Hwa, wanita yang pernah memperdayainya dan nyaris membunuhnya, murid dari Raja Iblis itu!
Dan ternyata bahwa pada saat dia mengintai, mereka sudah selesai makan. Tiba-tiba wanita cantik itu bangkit berdiri dan berkata kepada dua orang pelayan wanita,
"Bersihkan meja!" lalu ia menggandeng tangan pria itu dan dengan sikap manja menariknya bangkit dari kursinya.
Pria itu hanya tersenyum dan Hui Song melihat bahwa keduanya hanya memakai pakaian tidur yang tipis dan longgar saja. Karena dia tahu betapa lihainya Gui Siang Hwa, Hui Song merasa terheran-heran melihat hadirnya gadis iblis itu di tempat itu, cepat dia meloncat dan menyelinap ke dalam sebuah kamar yang berdekatan dengan ruangan itu karena dia melihat kamar itu terbuka daun pintunya dan kosong. Tempat itulah yang paling baik untuk bersembunyi. Sebelum dia menghadap Lui-goanswe, dia harus lebih dahulu menyelidiki apa artinya murid Raja Iblis itu berada di tempat ini.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia mendengar suara langkah kaki dan percakapan dua orang itu menuju ke kamar dimana dia telah bersembunyi. Celaka, pikirnya. Agaknya dia telah salah masuk dan yang dimasukinya agaknya malah kamar tidur mereka! Tidak ada waktu lagi untuk keluar dari situ, maka jalan satu-satunya bagi Hui Song hanyalah bersembunyi dan cepat dia menyusup ke bawah tempat tidur.
Dan tepat seperti yang diduganya, langkah kaki itu menuju ke kamar dan dari bawah tempat tidur, di bawah kain tilam tempat tidur itu, dia dapat melihat dua pasang kaki memasuki kamar itu, lalu daun pintu ditutup dan sambil tertawa-tawa mereka berdua langsung saja menuju ke tempat tidur!
Tempat tidur berderit ketika tertimpa pinggul wanita itu yang sudah merangkul sang pria yang ditariknya duduk di sampingnya.
"Aih, manis, kenapa engkau begini tergesa-gesa? Baru saja kita habis makan...!" kata pria itu yang bukan lain adalah Jenderal Lui Siong Tek berkata sambil tertawa menerima cumbuan wanita cantik yang bertubuh menggiurkan itu.
"Hemm, siapa sih yang kepingin? Apa kau kira aku tergesa-gesa mengajakmu tidur? Tak tahu malu...!" Dengan sikap genit wanita itu mencela.
"Ha-ha-ha, engkau menarikku dari meja makan, lalu kini menarik-narikku ke atas tempat tidur, mau apalagi kalau..."
"Pikiranmu memang penuh dengan itu-itu saja!" Siang Hwa terkekeh manja dan merangkul leher pria itu. "Aku tidak mau bicara di depan para pelayan maka aku tergesa-gesa mengajakmu masuk kamar. Bukan untuk itu, melainkan untuk bicara."
"Bicara apakah, Siang Hwa? Engkau minta apakah?"
"Lui-ciangkun, benarkah... benarkah engkau cinta padaku...?"
Jenderal itu merangkul dan menciumnya.
"Aihhh, Siang Hwa, masihkah engkau tidak yakin akan cintaku? Semenjak kita berjumpa di hutan itu, ketika aku berburu dan engkau berjalan sendirian, aku sudah menyangka engkau seorang bidadari dan aku sudah jatuh cinta padamu."
"Ciangkun, sudah sepekan lebih aku berada disini, melayanimu dengan sepenuh hati, akan tetapi mengapa engkau belum juga mau memenuhi permintaanku, tidak mau membalaskan dendam sakit hatiku?"
"Aaahh... itu...?"
Tiba-tiba saja jenderal itu kehilangan kegembiraan dan gairahnya, lalu duduk di tepi tempat tidur. Hui Song cepat menyusup ke dalam kolong lagi, menarik kepalanya yang tadinya dikeluarkan agar dia dapat mendengar dan melihat lebih jelas, karena setelah jenderal itu duduk di tepi tempat tidur, dia akan dapat kelihatan kalau menjulurkan kepalanya.
"Ciangkun, sejak kita saling jumpa dan saling mencinta, tidak ada permintaan lebih dariku kecuali yang satu itu. Lui-ciangkun, aku telah menyerahkan segala-galanya kepadamu, hanya untuk itu..."
Jenderal itu mengerutkan alisnya dan kelihatan berduka.
"Sayangku, kenapa justeru itu yang kau minta? Mintalah yang lain. Apa saja tentu akan kupenuhi, kecuali itu. Aku adalah seorang panglima yang setia, yang sejak nenek moyangku menjunjung tinggi nama dan kehormatan, mana mungkin engkau memintaku agar aku memberontak terhadap pemerintah?"
Hui Song terkejut bukan main mendengar ini. Ah, dia mengerti sekarang. Gadis iblis ini tentu sedang melakukan tugasnya, dan tugas itu adalah menggoda dan membujuk panglima benteng Ceng-tek ini untuk bersekutu dengan pemberontak! Kiranya Raja Iblis sudah mendengar akan kelemahan jenderal ini terhadap wanita cantik, maka menyuruh muridnya sendiri yang selain lihai juga cantik manis itu untuk menjebak sang jenderal den kini Siang Hwa sedang menjalankan peranannya dengan amat baik.
Mendengar ucapan sang jenderal, Siang Hwa membujuk-bujuk lagi.
"Ciangkun, di dalam hidupku ini tidak ada lagi hal lain yang kuinginkan kecuali membalas dendam. Ayah bundaku, saudara-saudaraku semua tewas oleh pemerintah, difitnah dan dihukum mati sekeluargaku! Aku harus membalas dendam dan satu-satunya jalan hanyalah memberontak terhadap pemerintah! Ciangkun, engkau memegang kekuasaan atas puluhan ribu tentara, betapa akan mudahnya kalau engkau mau memenuhi permintaanku itu..."
"Hushhh... diamlah dan jangan bicara lagi tentang hal itu, sayang. Mudah saja kau bicara begitu. Kalau bukan engkau yang bicara, tentu sudah kutangkap atau kubunuh karena kata-katamu itu berarti pemberontakan. Dan mudah saja melawan pemerintah, ya? Apa artinya balatentara puluhan ribu ini menghadapi balatentara pemerintah yang ratusan ribu? Sudahlah, jangan melamun yang bukan-bukan dan anggap saja malapetaka yang menimpa keluargamu itu memang sudah menjadi nasibmu yang ditentukan takdir."
"Ciangkun, kiraku bukan aku saja yang mendendam kepada pemerintah. Engkau dapat mencari kawan-kawan dalam hal ini, dan aku sanggup mencarikan kawan-kawan sehaluan. Lui-ciangkun, aku... aku akan mencintamu sampai mati kalau engkau mau memenuhi permintaanku ini..." Dan wanita itu merangkul dan menciumi. Akan tetapi tiba-tiba jenderal itu menghardik.
"Siang Hwa, cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang hal itu! Kau dengar baik-baik, aku adalah seorang panglima yang setia, kehormatan dan kesetiaanku lebih berat daripada dirimu, bahkan leblh berat daripada nyawaku sendiri, mengerti?"
Diam-diam Hui Song merasa kagum juga kepada jenderal ini. Boleh jadi dia memiliki kelemahan terhadap wanita, mata keraniang dan menjadi hamba nafsu kelamin, akan tetapi harus diakui bahwa dia seorang laki-laki yang gagah dan teguh pendiriannya.
"Bagus! Begitukah, ciangkun? Setelah kuserahkan segala-galanya selama sepekan ini kepadamu, menyenangkan hatimu, menahan kemuakan hatiku sendiri, semua itu hanya untuk sia-sia belaka? Kalau begitu, ketahuilah bahwa aku adalah murid dari Pangeran Toan Jit-ong yang akan memimpin pemberontakan, dan karena penampikanmu, engkau tidak boleh hidup lebih lama lagi!"
Hui Song terkejut bukan main dan seperti kilat cepatnya dia sudah menerobos keluar dari dalam kolong tempat tidur. Namun terlambat. Dia mendengar jenderal itu memekik keras dan tubuh yang tinggi besar itu terguling roboh di atas lantai tanpa nyawa lagi karena jari-jari tangan gadis iblis itu telah menusuk pelipisnya!
Gui Siang Hwa telah menyambar segulung kertas dari atas meja, akan tetapi gadis itu terkejut setengah mati ketika tiba-tiba muncul seorang pemuda dari kolong tempat tidur, apalagi ketika di bawah sinar lampu ia melihat dan mengenal wajah pemuda itu.
"Kau... kau... Cia Hui Song...!" Serunya dengan suara gemetar dan muka berobah pucat.
"Perempuan jahat!"
Hui Song memaki marah karena dia melihat betapa munculnya terlambat dan jenderal itu tidak dapat ditolong lagi. Maka diapun segera langsung menyerang ke arah wanita itu dengan maksud untuk merobohkannya dan menangkapnya, apalagi dia melihat bahwa Siong Hwa mengambil gulungan kertas yang menurut dugaannya tentu merupakan benda penting.
Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu tertawa dan tangan kirinya bergerak ke depan. Sinar hijau yang berbau harum menyambar ke arah muka Hui Song. Pemuda ini sudah mengenal kelicikan dan kelihaian wanita itu, maka diapun mengelak dengan lemparan diri ke kiri. Kesempatan itu dipergunakan oleh Siang Hwa untuk melompat keluar dari dalam kamar terus melarikan diri dalam keadaan masih memakai pakaian dalam dan kedua kakinya telanjang tanpa sepatu.
"Mau lari kemana kau?" bentak Hui Song sambil mengejar.
Akan tetapi, suara ribut-ribut itu memancing datangnya serombongan penjaga dan Hui Song mendengar Siang Hwa berkata,
"Tolong, pengawal...! Penjahat itu membunuh Lui-ciangkun...!"
Karena para pengawal mengenal Siang Hwa sebagai kekasih baru Jenderal Lui, mereka percaya dan serta merta mereka menghadang dan menyerang Hui Song dengan senjata mereka!
"Perempuan itulah pembunuhnya! Ia siluman jahat...!"
Hui Song berseru, akan tetapi mana mungkin para penjaga percaya kepadanya? Mereka tidak mengenalnya, sebaliknya, wanita itu telah mereka kenal baik sebagai kekasih atasan mereka. Mereka mengurung sambil berteriak-teriak. Dengan gemas Hui Song tidak mau melayani mereka, mendorong mereka roboh terpelanting ke kanan kiri dan melanjutkan pengejarannya.
Akan tetapi, serbuan para penjaga itu membuatnya terlambat dan dia sudah kehilangan jejak Siang Hwa yang sudah menghilang entah ke jurusan mana. Hui Song membanting-banting kaki dan diapun tidak mau melanjutkan pengejarannya. Keadaan sudah amat gawat. Tidak perlu membuang waktu. Bagaimanapun juga, Jenderal Lui telah tewas dan dia harus menyerahkan surat dari Kok-taijin kepada wakil dari jenderal itu.
Dengan hati tabah Hui Song lalu kembali lagi ke benteng. Tentu saja dia disambut oleh para penjaga dengan tombak di tangan. Hui Song mengangkat tangan kanan ke atas dan berkata dengan suara nyaring,
"Sobat-sobat harap jangan salah sangka. Aku adalah tamu dari San-hai-koan, membawa pesan dari Kok-taijin untuk Lui-ciangkun. Akan tetapi, kebetulan sekali kedatanganku melihat betapa Lui-ciangkun dibunuh oleh perempuan iblis itu...!"
"Bohong! Wanita itu adalah selir Lui-ciangkun dan dia ini..."
"Tenang dulu, sobat! Pikirlah baik-baik. Dimana adanya perempuan itu sekarang? Kalau memang ia orang baik-baik, kenapa ia melarikan diri? Karena kalian menghadangku, maka aku sampai tidak berhasil menangkapnya. Lui-ciangkun telah dibunuhnya, dan ketahuilah bahwa wanita itu adalah seorang tokoh pemberontak!"
Akan tetapi para penjaga tidak mau percaya begitu saja walaupun ada diantara mereka yang mencari-cari dan tidak dapat menemukan Siang Hwa. Didalam gedung Lui-ciangkun sudah geger dan terdengar tangisan dari isteri-isterinya.
"Sebaiknya kalian bawa aku menghadap wakil dari Lui-ciangkun. Biar yang menentukan apakah aku bersalah atau tidak!"
Usul ini dapat diterima oleh para penjaga dan dengan pengawalan ketat, Hui Song digiring masuk ke dalam benteng dan dihadapkan kepada Bhe-ciangkun yang menjadi wakil dari Lui-ciangkun.
Bhe-ciangkun adalah seorang panglima yang sudah berpengalaman dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sekali pandang saja dia dapat menduga bahwa yang dibawa menghadap padanya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan memiliki kepandaian tinggi, juga sikapnya tabah dan gagah, sama sekali tidak membayangkan watak yang jahat.
Dengan jujur Hui Song membuat laporan di depan panglima itu.
"Harap ciangkun maafkan bahwa saya telah menimbulkan keributan dan salah sangka. Saya adalah utusan pribadi dari Kok-taijin di San-hai-koan, membawa surat untuk Lui-goanswe. Karena tidak ingin membuang waktu, malam-malam saya langsung memasuki benteng hendak menghadap Lui-goanswe. Akan tetapi, saya melihat seorang wanita yang saya kenal, yaitu Gui Siang Hwa. Ia adalah murid Raja Iblis yang sedang menghimpun para datuk sesat untuk memberontak, maka kehadirannya di Ceng-tek tentu saja membuat saya heran dan curiga. Demikianlah, saya melakukan pengintaian di kamar Lui-goanswe dan tak saya sangka-sangka iblis perempuan itu membunuh Lui-goanswe ketika rayuan dan bujukannya terhadap panglima itu agar ikut memberontak ditolak oleh Lui-goanswe. Dan ia pergi membawa gulungan kertas dari dalam kamar. Saya mengejarnya, akan tetapi para penjaga salah sangka dan tertipu oleh perempuan jahat itu, sehingga ia dibiarkan pergi dan saya malah yang dikeroyok."
Dengan tenang Bhe-ciangkun mendengarkan pula laporan para penjaga dan mendengar bahwa memang ternyata wanita bernama Gui Siang Hwa itu telah lenyap dan wanita itu pergi dalam keadaan setengah telanjang.
Bhe-ciangkun menerima surat kiriman dari Kok-taijin. Begitu membaca surat itu, wajahnya berobah dan dia lalu mengajak Hui Song untuk masuk ke dalam sebuah kamar untuk diajak bicara empat mata. Tentu saja para penjaga merasa heran dan baru mereka tahu bahwa mereka tadi telah salah tangkap.
Sementara itu, setelah tiba di dalam kamarnya bersama Hui Song, Bhe-ciang-kun berkata,
"Ah, kiranya pengkhianat Ji Sun Ki itu bersekongkol dengan pemberontak?"
Hui Song mengangguk.
"Dia malah merencanakan dengan para pemberontak untuk membujuk Kok-taijin, akan tetapi tidak berhasil. Agaknya mereka akan menguasai San-hai-koan untuk dijadikan basis gerakan pemberontakan mereka. Karena itu, Kok-taijin mengharap bantuan pasukan dari sini, ciangkun."
Hui Song lalu menceritakan semua tentang sayembara dan bagaimana dia memasuki sayembara karena curiga dan kemudian dia membantu Kok-taijin.
"Hemm, agaknya para tokoh pemberontak itu berusaha keras untuk mempengaruhi pula Lui-goanswe dan ketika mereka tidak berhasil, Lui-goanswe dibunuh dan gulungan kertas itu adalah catatan keadaan kekuatan di benteng ini. Sungguh berbahaya sekali. Cia-sicu, jasamu besar sekali dan jangan khawatir, aku akan mempersiapkan pasukan besar untuk sewaktu-waktu menggempur pasukan Ji-ciangkun kalau dia benar-benar berani memberontak."
"Terima kasih, ciangkun. Tugas saya disini sudah selesai. Saya mengkhawatirkan keadaan di San-hai-koan, maka saya akan kembali kesana secepatnya."
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi Hui Song kembali ke San-hai-koan dan Bhe-ciangkun memberi seekor kuda yang baik, lengkap dengan satu stel busur dan anak panah yang memang diminta oleh Hui Song sekedar untuk penjagaan diri karena dia maklum bahwa setelah dirinya terlihat oleh Siang Hwa, bukan tidak mungkin gadis itu mempersiapkan teman-temannya untuk menghadangnya apabila dia kembali ke San-hai-koan.
Kekhawatiran Hui Song itu sama sekali tidak terbukti. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu, Siang Hwa dan kawan-kawannya sedang sibuk untuk suatu urusan yang lebih penting lagi, yaitu persiapan untuk menguasai benteng San-hai-koan! Hal ini terjadi di luar sangkaan den perhitungan Hui Song. Tak disangkanya bahwa secepat itu Ji-ciangkun akan bergerak untuk merampas dan menguasai benteng untuk kaum pemberontak.
Dipercepatnya pengambil-alihan benteng San-hai-koan oleh para pemberontak ada hubungannya dengan pertemuan antara Hui Song dan Siang Hwa di dalam kamar Lui-ciangkun di Ceng-tek itu.
Setelah bertemu dengan Hui Song dan menyampaikan berita ini secepatnya kepada gurunya dan Raja Iblis juga segera minta kepada Ji-ciangkun untuk bergerak pada hari itu juga! Raja Iblis dapat menduga bahwa munculnya Cia Hui Song di Ceng-tek itu tentu ada hubungannya dengan Kok-taijin, bahkan dia hampir yakin bahwa pemuda itu yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu tentu menjadi utusan gubernur San-hai-koan untuk minta bantuan kepada benteng Ceng-tek!
Karena desakan yang mendadak ini, Ji-ciangkun menjadi sibuk. Dia belum melaksanakan rencananya menculik Kok Hui Lien, anak perempuan dari Kok-taijin itu. Karena desakan Raja Iblis, mau tidak mau harus mempergunakan kekerasan. Demikianlah, pada hari itu juga dia mengerahkan pasukannya untuk mengepung gedung Kok-taijin.
Gubernur ini yang sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan, segera mengumpulkan para pengawalnya. Pasukan pengawal yang berada di luar gedung segera berkumpul dan menjaga rumah majikan mereka dengan ketat.
Ji-ciangkun masih hendak mempergunakan bujukan. Setelah gedung dikepung, dia menyampaikan pesan kepada gubernur itu melalui para pengawal, agar sang gubernur menyerah saja daripada harus diserbu dengan kekerasan.
Akan tetapi Gubernur Kok membalas dengan makian dan semua pengawalnya juga siap untuk melindunginya. Terjadilah penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan Ji-ciangkun. Akan tetapi, para pengawal melakukan perlawanan dengan gagah perkasa sehingga terjatuhlah banyak korban diantara kedua pihak. Sampai sehari lamanya, gedung Kok-taijin masih dapat dipertahankan oleh para pengawal walaupun jumlah mereka sudah banyak berkurang dan gedung itu masih tetap dikurung.
Dalam keadaan seperti itulah Hui Song muncul. Dari para penghuni San-hai-koan yang lari mengungsi keluar kota, dia mendengar akan terjadinya pertempuran antara pasukan Ji-ciangkun melawan para pengawal Kok-taijin dan bahwa gedung gubernur telah dikepung pasukan Ji-ciangkun. Maka diapun membalapkan kudanya dan ketika dia memasuki pintu gerbang kota benteng itu, keadaan masih kacau-balau.
Hui Song tidak perduli dan terus membedal kudanya menuju ke gedung Gubernur Kok. Dia menerjang semua perajurit yang berani menghalanginya dan ketika para pengawal Gubernur Kok mengenalnya, mereka membukakan pintu dan membiarkan Hui Song memasuki pintu gerbang yang mereka jaga ketat.
Sedih juga hati Hui Song melihat betapa mayat para pengawal sudah bertumpuk-tumpuk dan berserakan, dan betapa besar jumlah pasukan Panglima Ji yang mengepung rumah gedung itu. Melihat perbandingan jumlah pasukan, jelaslah bahwa tak mungkin pihak gubernur akan dapat bertahan lebih lama lagi. Dia segera menghadap Kok-taijin yang berkumpul di ruangan dalam bersama keluarganya. Keluarga gubernur itu sudah menangis dan nampak ketakutan, hanya sang gubemur yang masih bersikap tenang dan tabah, walaupun wajahnya juga pucat sekali.
"Cia-sicu...!" Gubemur itu girang sekali melihat Hui Song dan merangkulnya. "Ah, engkau dapat datang juga? Bagaimana dengan tugasmu?"
Dengan singkat dan cepat Hui Song menceritakan pengalamannya dan bahwa Bhe-ciangkun di Ceng-tek sudah menyanggupi untuk mengirim pasukan. Akan tetapi dia menambahkan bahwa dia dan mereka yang berada di Ceng-tek sama sekali tidak menduga bahwa pengkhianat Ji Sun Ki akan bertindak demikian cepatnya, sehingga tentu saja bantuan dari Ceng-tek tidak dapat diharapkan akan datang hari ini.
Mendengar ini, sang gubemur menarik napas panjang dan menjatuhkan diri di atas kursi dengan lemas. Para keluarga wanita makin keras menangis ketika mendengar bahwa tidak ada harapan datangnya pertolongan.
"Diam! Jangan menangis lagi!" bentak sang gubernur. Suara tangisan itu membuat dia semakin bingung. Kemudian dia menoleh kepada Hui Song dan berkata, "Biarlah, kalau mereka terlambat datang, aku akan memimpin semua pengawalku melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir!"
"Taijin, saya mempunyai usul. Bagaimana kalau taijin menyelamatkan diri keluar dari San-hai-koan? Biarlah saya yang akan mengawal taijin menyelamatkan diri, dibantu oleh pasukan pengawal."
Gubernur itu menggeleng kepala.
"Tidak ada gunanya, sicu. Mana mungkin menyelamatkan seluruh keluarga yang begini besar keluar dengan selamat? Dan engkau tentu akan repot sekali, tidak mungkin dapat melindungi kami semua. Pula, sebagai seorang gubernur, mana aku ada muka untuk melarikan diri ketakutan seperti anjing mau disembelih? Tidak, aku akan tetap bersama keluargaku disini, akan kuhadapi semua dengan tabah. Lebih baik aku tewas sebagai seorang pejabat yang membela kehormatannya sampai akhir daripada harus lari terbirit-birit ketakutan. Hanya ada satu permintaanku kepadamu, sicu. Kau selamatkanlah Hui Lian, anakku satu-satunya ini." Dan gubemur itu menuntun tangan Hui Lian, ditariknya ke depan Hui Song.
Hui Song yang baru beberapa hari lamanya berdekatan dengan gubernur itu, sudah dapat mengenal wataknya yang gagah dan teguh, maka diapun tahu bahwa berbantah tidak akan ada gunanya. Di samping itu, diapun menyangsikan apakah dia dan para pengawalnya akan berhasil kalau hendak menyelamatkan gubemur itu sekeluarganya karena pihak musuh terlampau banyak dan kalau kereta yang membawa gubernur itu dihujani anak panah, bagaimana pula dia akan dapat melindungi mereka?
Berbeda halnya kalau hanya menyelamatkan satu orang saja, apalagi yang bertubuh kecil seperti anak perempuan ini. Dan diapun tahu akan hati seorang ayah seperti Gubernur Kok, yang lebih senang melihat puterinya selamat daripada dirinya sendiri.
"Baik, taijin, akan saya coba untuk menyelamatkan adik ini," katanya sambil memegang tangan anak perempuan itu.
Anak itu tidak nampak ketakutan karena agaknya ia belum mengerti benar apa sebetulnya yang sedang terjadi. Rambutnya yang hitam diikat menjadi dua di atas kepalanya, seperti sepasang sayap burung saja dan ia memakai pita merah. Ia tersenyum ketika tangannya digandeng Hui Song yang biarpun belum dikenalnya benar, namun agaknya ia tahu bahwa orang ini adalah sahabat ayahnya. Akan tetapi ketika Hui Song menggandengnya dan mengajaknya keluar dari ruangan itu, anak itu menangis.
"Ayah...! Ibu...! Aku ikut ayah dan ibu...!"
Ibunya menangis, akan tetapi Kok-tai-jin memberi isyarat kepada Hui Song untuk membawa anak itu keluar. Hui Song lalu mengangkat dan memondongnya. Anak itu meronta-ronta, akan tetapi tidak berdaya dalam pondongan Hui Song.
"Diamlah, adik yang manis, kita keluar untuk menyelamatkanmu. Marilah!"
Hui Song membujuk dengan halus. Dia lalu berlari keluar dan meloncat ke atas punggung kudanya.
"Adik yang manis, kau rangkullah leherku dan kugendong di belakangku. Jangan takut, aku akan menyelamatkanmu," katanya dan diapun sudah mengambil busur dan mempersiapkan anak panahnya, lalu membedal kudanya keluar.
Para pengawal sudah tahu bahwa pemuda ini bertugas menyelamatkan puteri sang gubernur, maka mereka melindunginya dengan anak panah yang mereka luncurkan ke depan.
Pertempuran sudah terjadi lagi dan kini Hui Song membalapkan kudanya diantara pertempuran. Dia dihujani anak panah, akan tetapi semua itu dapat dia runtuhkan dengan busurnya dan kadang-kadang diapun melepas anak panah merobohkan beberapa orang perajurit musuh yang berani menghadang. Kadang-kadang dia menggunakan tangan atau tendangan kakinya merobohkan musuh yang berani mendekat. Kebakaran-kebakaran terjadi ketika para perajurit Ji-ciangkun menghujankan panah api ke arah gedung.
Hui Song melompati pagar-pagar yang terbakar dengan kudanya. Ketika ada beberapa batang anak panah menyambar dari atas, dia membalas dengan anak panahnya, dan robohlah dua orang perajurit yang menyerangnya dari atas benteng. Dan para petajurit agaknya gentar juga menyaksikan sepak terjangnya, karena siapapun yang menghalang di depannya, kalau tidak terpelanting ditabrak kuda pendekar itu, tentu roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya.
Akhirnya, biarpun dengan susah payah, berhasillah Hui Song membawa anak perempuan itu keluar dari pintu gerbang San-hai-koan. Legalah hatinya dan dia terus membalapkan kudanya memasuki sebuah hutan.
Akan tetapi tiba-tiba ada benda-benda berkilauan menyambarnya dengan kecepatan luar biasa. Hui Song terkejut sekali dan sambil memondong tubuh Hui Lian, dia meloncat turun dari atas punggung kudanya. Kuda itu ketakutan, sejak tadi memang kuda itu sudah panik diantara pertempuran yang terjadi di San-hai-koan, setelah dia terbebas dari beban penunggangnya, dia membalap melarikan diri.
Setelah meloncat turun dan menengok ke kanan dari mana pisau-pisau terbang tadi menyambar, tahulah dia siapa yang tadi menyerangnya. Si pisau terbang Hui-to Cin-jin sudah berdiri disitu, bersama Kang-thouw Lo-mo si gendut dan tak ketinggalan pula Gui Siang Hwa! Mereka bertiga berdiri disitu dan memandang kepadanya dengan senyum mengejek.
"Hemm, kembali si tampan gagah putera ketua Cin-ling-pai mencampuri urusan kita," kata Siang Hwa biarpun suaranya mengandung ejekan, namun sinar matanya tidak dapat menyembunyikan perasaan kagum dan sukanya kepada pendekar yang tampan dan gagah itu.
"Ha-ha-ha, sekali ini kita tidak boleh membiarkan tikus ini terlepas!"
Kang-thouw Lo-mo tertawa dan Hui-to Cin-jin yang merasa penasaran karena serangan pisau-pisau terbangnya tadipun gagal, kini sudah mencabut sepasang belatinya dan siap untuk menyerang dengan sikap mengancam.
Hui Lian yang berada dalam gendongan Hui Song, ketakutan dan menangis. Anak itu mulai memanggil-manggil ayah ibunya dan kembali Siang Hwa tertawa.
"Hi-hik, kiranya Cia Hui Song yang gagah perkasa itu kini menjadi seorang pengasuh anak-anak."
Dan kini wanita itu mengeluarkan sebatang pedang yang tadi terselip di punggungnya dan suaranya menjadi keren dan ganas ketika ia berkata,
"Tidak, sekali ini dia tidak boleh lolos. Pekerjaanku di Ceng-tek hampir saja gagal karena campur tangannya."
Kang-thouw Lo-mo juga sudah mengambil guci araknya dan membuka tutup guci, minum araknya sambil menyeringai. Hui Song maklum bahwa dia kini menghadapi tiga orang musuh besarnya yang pernah hampir menewaskannya di dalam Guba Iblis Neraka. Selain maklum akan kelihaian dan kecurangan mereka, juga dia ingin sekali membalas kelicikan mereka ketika di dalam guha dahulu itu. Sekali ini dia harus dapat membasmi tiga orang iblis ini, karena kalau tidak, mereka ini hanya akan menimbulkan kekacauan-kekacauan saja di dalam dunia. Maka, diapun segera menurunkan anak perempuan itu, melepaskannya di bawah sebatang pohon tidak jauh dari situ.
"Adik yang baik, kau duduklah disini dulu, dan jangan pergi ke manapun," katanya.
Anak itu berhenti menangis dan duduk sambil memeluk batang pohon, seolah-olah hendak mencari perlindungan pada sebatang pohon yang kokoh kuat itu. Setelah melepaskan anak itu, Hui Song merasa lega dan dia lalu dengan senyum di bibir, sikapnya tenang dan tabah sekali, menghampiri tiga orang musuh yang sudah siap mengeroyoknya itu.
"Hui-to Cin-jin, Kang-thouw Lo-mo dan Gui Siang Hwa, kalian ini tiga orang manusia berhati iblis, jangan harap akan dapat melakukan kecurangan lagi kepadaku. Sekali ini aku akan menghajar dan menghukum kalian yang sudah terlalu banyak melakukan dosa!"
Pendekar ini memang tidak pernah membawa pedang dan sudah biasa menghadapi lawan yang tangguh dengan tangan kosong saja. Bagi seorang pendekar seperti Hui Song yang sudah mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai, bertangan kosongpun tidak kurang berbahayanya daripada kalau dia bersenjata dan setiap benda bisa saja menjadi senjata baginya.
Tiga orang lawan yang sudah memegang senjata andalan mereka masing-masing itu melihat Hui Song melangkah maju tanpa senjata, diam-diam merasa gentar juga. Orang yang sudah berani maju bertangan kosong, apalagi dengan sikap sedemikian tenangnya, tentu memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Dan merekapun sudah pernah menguji kehebatan ilmu silat pemuda ini, maka kini mereka bertiga bersikap hati-hati dan diam-diam mereka mempersiapkan senjata rahasia masing-masing.
Namun, gerakan mereka itu sudah diketahui oleh Hui Song. Apalagi pemuda ini sudah mengenal kecurangan mereka. Kalau dia teringat kepada gadis yang menjadi pujaan hatinya, Sui Cin, yang sekarang entah berada dimana, yang mengalami gegar otak dan kehilangan ingatannya, bahkan nyaris tewas ketika terkena sambitan batu yang dilontarkan oleh Kang-thouw Lo-mo, dia merasa sakit hati sekali.
Sekali ini dia harus mampu membalaskan penderitaan Sui Cin dan dia sendiri, juga melenyapkan tiga orang manusia jahat ini dari permukaan bumi berarti mengurangi terjadinya kejahatan yang timbul dari perbuatan mereka.
"Bocah sombong, bersiaplah untuk mampus!"
Tiba-tiba Hui-to Cin-jin menyerang dengan kedua pisaunya. Gerakannya memang cepat dan lengannya yang panjang itu bergerak dari atas bawah dan kanan kiri, ujung pisaunya yang runcing tajam menyambar-nyambar seperti patukan maut. Namun, dengan lincahnya Hui Song mengelak dan menangkis hantaman Kang-thouw Lo-mo yang sudah menyusul pula dengan serangan hantaman ciu-ouw di tangannya.
"Dess...!"
Tangkisan Hui Song membuat tubuh gendut itu terhuyung dan pada saat itu nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu pedang di tangan Siang Hwa telah menyambar ke arah leher Hui Song.
"Mampuslah kau!" bentak Siang Hwa dan pedangnya mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar lewat karena dengan mudah saja Hui Song dapat mengelak dengan merendahkan dirinya sedangkan kaki kanan pemuda itu sudah meluncur ke kanan, menghantam ke arah perut gendut Kang-thouw Lo-mo. Kakek ini terkejut dan menangkis dengan tangan kirinya yang dimiringkan sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukkk...!"
Kembali kakek itu terhuyung. Terkejutlah kakek gendut ini. Dia adalah seorang tokoh Cap-sha-kui, yang terkenal memiliki tenaga besar, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja sudah dua kali dia terhuyung karena terdorong oleh kekuatan besar sekali dalam pertemuan tenaga itu.
Hal ini tidaklah mengherankan. Hui Song telah mewarisi tenaga sakti Thian-te Sin-ciang dari ayahnya dan ketika dia digembleng selama tiga tahun oleh Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, tenaganya itu bertambah kuat saja.
Terjadilah perkelahian yang amat seru antara Hui Song dengan ketiga orang pengeroyoknya. Biarpun tiga orang lawannya mempergunakan senjata, Hui Song sama sekali tidak nampak terdesak. Dengan mudahnya dia dapat mengelak dari semua serangan, atau kadang-kadang menangkis dengan lengannya yang tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan senjata lawan.
Bahkan jari-jari tangan pemuda ini berani menangkis pedang di tangan Siang Hwa, membuat gadis itu terpekik kagum dan kaget karena jari-jari tangan pemuda itu kalau menangkis pedang, membuat pedangya terpental dan mengeluarkan suara berdencing seolah-olah pedangnya bertemu dengan baja.
Hui Song sama sekali tidak terdesak, bahkan diapun dapat membagi-bagi pukulan atau tendangan sebagai balasan. Badan pemuda itu kadang-kadang dilindungi ilmu kekebalan yang luar biasa kuatnya, yaitu ilmu kebal Tiat-po-san yang membuat kulitnya tidak tembus oleh bacokan senjata tajam. Karena ini, biarpun beberapa kali pisau atau pedang mengenai tubuhnya karena dia memang tidak merasa perlu untuk menghindarkan diri, senjata-senjata tajam itu bertemu dengan kulit dan membalik. Hanya baju pemuda itu saja yang robek oleh senjata-senjata tajam itu.
Dan permainan ilmu silat sakti Thai-kek Sin-kun yang mempunyai daya tahan amat kuat itu membingungkan tiga orang lawannya, membuat mereka sukar sekali mencari tempat lowong, seolah-olah seluruh tubuh pemuda itu dilindungi oleh bayangan lengan yang merupakan benteng yang kokoh kuat.
Hui-to Cin-jin menjadi penasaran dan tidak sabar. Dia mengeluarkan pekik nyaring dan ada tiga sinar berkelebat terbang ke arah Hui Song. Itulah tiga batang pisau terbang yang dilepasnya kepada pemuda itu.
"Tring-tring-tringg...!"
Jari-jari tangan Hui Song menyambut dengan sentilan-sentilan dan tiga batang pisau terbang itu membalik ke arah pemlliknya! Nyaris leher Hui-to Cin-jin terkena pisaunya sendiri kalau dia tidak cepat merendahkan tubuhnya.
Akan tetapi pada saat dia merendahkan tubuh, tiba-tiba tubuh Hui Song berkelebat datang dan sebuah tendangan kaki kiri pendekar muda itu tidak mampu dihindarkan oleh si kakek yang berpakaian tosu itu, walaupun dia mencoba mengelak dengan miringkan tubuhnya.
"Dess...!"
Pinggulnya disambar kaki Hui Song dan kakek ini terlempar dan terbanting jatuh. Dia menyeringai karena merasa pinggulnya nyeri sekali dan ketika dia bangkit bangun dan berjalan, langkahnya terpincang-pincang. Hanya kemarahan dan rasa malu yang membuat dia nekat menyerang lagi dengan sepasang pisaunya.
Guci arak di tangan si gendut Kang-thouw Lo-mo menyambar ke arah dada Hui Song. Pemuda ini tidak ingin berkelahi terlalu lama karena kalau dia tidak cepat merobohkan mereka ini mungkin teman-teman mereka akan datang atau andaipun tidak, dia akan berada dalam ancaman bahaya kalau sampai ada pengejaran dari pasukan anak buah Ji-ciangkun.
Maka, melihat datangnya guci arak yang menyambar ke dadanya, dia cepat mengerahkan tenaga Tiat-po-san melindungi dadanya. Pada saat guci itu menghantam dadanya, dia membarengi tamparan tangan kanannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke arah perut gendut itu.
"Bunggg...!"
Terdengar perut itu berdengung ketika terkena hantaman dan tubuh si gendut itu terjengkang dan terguling-guling sampai jauh. Akan tetapi, ternyata dia juga memiliki kekebalan bukan hanya di kepalanya, melainkan juga di perutnya. Perutnya itu kuat seperti bola karet yang penuh hawa, maka ketika kena hantaman Thian-te Sin-ciang, isi perut itu tidak terluka hanya tubuhnya saja yang terlempar dan hanya terasa nyeri karena babak-belur saja terguling-guling.
Kakek berbaju hwesio ini bangkit dan mukanya berobah merah karena malu dan marah. Dia tertatih-tatih maju lagi mengayun-ayun guci araknya di atas kepala.
Sementara itu, melihat betapa dua orang pembantunya sempat dirobohkan Hui Song, Siang Hwa menjadi marah. Gerakan pedangnya semakin gencar dan ia menerjang ke depan bagaikan kesetanan dan tiba-tiba tangan kirinya mengebutkan saputangan merah yang mengandung racun pembius itu.
Akan tetapi sekali ini, Hui Song sudah bersiap-siap. Dia menahan napas dan meniup ke arah debu yang mengepul dari sapu tangan dan buyarlah debu itu, bahkan membalik ke arah Siang Hwa sendiri.
"Keparat!" Siang Hwa berteriak marah.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring Hui-to Cin-jin,
"Cia Hui Song, hentikan perlawananmu atau anak ini akan kusembelih!"
Hui Song terkejut bukan main. Dia meloncat mundur dan ketika menengok ke arah suara itu, mukanya berobah pucat. Kiranya Hui-to Cin-jin sudah menjambak rambut anak perempuan itu dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya yang memegang pisau tajam berkilauan itu ditempelkan di leher anak kecil yang mulai menangis ketakutan itu!
"Jahanam busuk! Lepaskan anak itu dan mari kita bertanding sampai satu diantara kita roboh tewas!" Hui Song membentak marah akan tetapi tosu itu menyeringai.
"Kau menyerah atau anak ini kusembelih lebih dulu... aihhhh...!"
Tiba-tiba tosu itu menjerit dan terhuyung, dari lambungnya bercucuran darah segar dan diapun terguling roboh dan berkelojotan. Kiranya diam-diam muncul seorang pria yang menggunakan pedang menusuk lambung kakek berpakaian tosu itu. Gerakannya demikian aneh dan cepat sehingga tosu itu tidak sempat mengelak dan kini dia menyelipkan pedangnya di sarung pedang, kemudian menyambar tubuh Kok Hui Lian dengan lengan kanannya lalu dia melompat pergi dari situ tanpa mengeluarkan sepatahpun kata.
"Ciang-suheng...!"
Hui Song berseru, kaget dan juga girang. Dia mengenal orang yang lengan kirinya buntung itu karena orang itu adalah Ciang Su Kiat, bekas murid Cin-ling-pai yang membuntungi lengan kiri sendiri karena dipersalahkan oleh ketua Cin-ling-pai.
Akan tetapi, laki-laki buntung sebelah lengannya itu tidak menjawab, menolehpun tidak, bahkan berlari semakin cepat. Larinya cepat sekali sehingga mengagetkah hati Hui Song yang dapat menduga bahwa bekas suhengnya itu kini memiliki kepandaian tinggi.
Tentu saja Kang-thouw Lo-mo dan Siang Hwa terkejut sekali melihat betapa kawan mereka tewas secara tidak terduga-duga, hanya karena serangan satu kali saja dari orang buntung tadi. Akan tetapi mendengar Hui Song menyebut "suheng" kepada orang itu, tentu saja mereka terkejut dan gentar. Baru Hui Song sudah begini lihai, apalagi suhengnya! Orang-orang yang berwatak kejam biasanya berjiwa pengecut. Tanpa banyak kata lagi, dua orang itu lalu membalikkan tubuhnya dan lari!
Melihat ini, Hui Song mengejar,
"Keparat, kalian hendak lari kemana?" bentaknya dan diapun mengerahkan gin-kangnya melakukan pengejaran.
Semenjak berlatih di bawah bimbingan Si Dewa Kipas, ilmu meringankan tubuh pemuda ini memang meningkat dengan hebat. Belum lama dia mengejar, dia sudah dapat menyusul Kang-thouw Lo-mo yang larinya tidak secepat Siang Hwa.
"Iblis tua, engkau hendak lari kemana?" Hui Song membentak.
Karena maklum bahwa lari tiada gunanya, Kang-thouw Lo-mo menjadi nekat. Dia membalik dan menghantamkan guci araknya ke arah muka Hui Song. Pemuda yang sudah marah ini tidak mengelak, bahkan menggunakan tangan kanan yang terbuka memapaki pukulan itu dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang.
"Prokkk...!"
Guci arak itu pecah berantakan dan isinya setengahnya masih berisi arak, berhamburan memercik ke mana-mana dan terciumlah bau arak yang sangat menyengat hidung.
Melihat senjatanya yang amat disayangnya itu pecah, Kang-thouw Lo-mo marah bukan main. Dia lalu melangkah mundur dan menundukkan kepalanya, tubuhnya direndahkan dan seperti seekor kerbau mengamuk, dia lalu lari ke depan, menggunakan kepalanya yang botak itu untuk menyeruduk ke arah perut Hui Song!
Hebat bukan main serangan ini dan agaknya kakek yang sudah putus harapan dan nekat ini mempergunakan senjatanya yang terakhir, yaitu kepalanya. Kepalanya memang sudah terlatih, dapat membentur pecah batu karang, kuat bukan main.
Hui Song belum tahu sampai dimana kekuatan yang berada dalam kepala itu, maka diapun tidak mau sembrono menerima serudukan itu begitu saja. Cepat dia miringkan tubuhnya dan ketika kepala botak itu meluncur lewat dekat perutnya, dia menggerakkan tangan kanannya, mengerahkan Thian-te Sin-ciang dan tangan kanannya itu seperti sebatang golok atau sebuah palu godam menyambar turun dari atas, tepat ke arah tengkuk di belakang kepala botak besar itu.
"Ngekkk...!"
Tengkuk itu besar dan kuat seperti tengkuk kerbau, akan tetapi kekuatan yang berada di tangan Hui Song amat hebat. Maka sekali pukul saja, kakek itu mengeluh dan terpelanting roboh dan matanya mendelik, nyawanya putus bersama dengan patahnya tulang tengkuknya! Tewaslah Kang-thouw Lo-mo.
Hui Song sejenak meragu. Siapakah yang harus dikejar? Siang Hwa ataukah bekas suhengnya? Siang Hwa sudah tidak nampak lagi dan dia tahu betapa lihainya wanita itu. Kalau sampai wanita itu mendahuluinya mencapai guru-gurunya, dia akan celaka. Bagaimanapun lihainya, dia masih ragu-ragu apakah dia akan dapat menandingi Raja dan Ratu Iblis yang dia tahu sakti bukan main itu. Dan diapun mengkhawatirkan keselamatan puteri gubernur, maka dia mengejar ke arah larinya Ciang Su Kiat.
Akan tetapi, iapun kehilangan jejak bekas suhengnya ini dan akhirnya dia menghibur hatinya sendiri bahwa puteri gubernur itu tentu selamat berada di tangan Ciang Su Kiat yang dia yakin memiliki jiwa pendekar yang gagah perkasa. Maka diapun lalu kembali ke San-hai-koan untuk melihat bagaimana perkembangan di kota benteng itu.
Akan tetapi, dia tidak dapat masuk. San-hai-koan sudah jatuh ke tangan pasukan Ji-ciangkun yang memberontak! Dan pintu gerbang dijaga ketat. Juga di atas tembok-tembok benteng terdapat barisan anak panah yang siap menyerang siapa saja yang berani naik.
Apa gunanya lagi memasuki San-hai-koan, pikirnya. Keluarga gubernur telah terbasmi dan dari para pengungsi dia mendengar bahwa gubernur sekeluarganya telah tewas dalam gedungnya yang terbakar habis. Sebagian dari pasukan pengawal menyerah kepada pasukan Ji-ciangkun dan pembersihan masih terus dilakukan. Siapapun juga yang mencurigakan ditangkap, dan yang condong memihak Kok-taijin dibunuh.
Kekacauan terjadi di kota San-hai-koan dan karena dia sudah dikenal sebagai pengawal pribadi Kok-taijin, tentu saja Hui Song tidak begitu bodoh untuk memasuki kota itu. Dia lalu mengambil keputusan untuk kembali ke Ceng-tek dan mengabarkan jatuhnya San-hai-koan ke tangan pemberontak itu kepada Bhe-ciangkun yang kini menjadi komandan sementara di Ceng-tek menggantikan kepalanya yang telah tewas.
Mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan itu, Bhe-ciangkun tidak berani sembarangan turun tangan dan segera mengutus anak buahnya untuk cepat menunggang kuda ke kota raja dan mengirimkan berita ke kota raja, menanti keputusan dan perintah selanjutnya dari pusat pemerintahan mengenai pemberontakan Ji-ciangkun itu.
Pemuda yang berjalan seorang diri di luar Tembok Besar itu amatlah gagahnya. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh dua tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya tenang serius sehingga dia nampak jauh lebih dewasa daripada usia yang sebenarnya. Rambutnya yang hitam dan lebat itu dikuncir tebal dan panjang, dikalungkan ke lehernya yang nampak kokoh kuat itu.
Pakaiannya amat sederhana, terbuat dari kain kasar saja, namun bersih dan di sebelah luarnya dia mengenakan jubah pendek terbuat dari kulit harimau. Dandanan sederhana dan gagah ini memberi kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang gagah, seorang pendekar muda atau setidaknya seorang pemburu, atau orang yang biasa hidup menghadapi kesukaran dan kekerasan. Sinar matanya tajam mencorong dan membayangkan kekerasan hati, walaupun terdapat kelembutan dan kejujuran, terutama pada bentuk dagu dan tarikan mulutnya.
Pemuda tinggi tegap yang gagah perkasa ini adalah Siangkoan Ci Kang yang pada waktu itu sudah berusia dua puluh satu tahun. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini adalah putera tunggal dari mendiang Siangkoan Lo-jin yang berjuluk Iblis Buta yang merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat ditakuti. Akan tetapi, datuk sesat ini tewas di tangan Ratu Iblis.
Dan sebelumnya, seperti telah diceritakan di bagian depan, Ci Kang melarikan diri dari ayahnya setelah antara anak dan ayah ini terdapat bentrokan paham, bahkan oleh para tokoh Cap-sha-kui pemuda itu dianggap musuh yang harus ditangkap atau dibunuh.
Kemudian, pemuda ini bertemu dengan Ciu-sian Lo-kai, tokoh sakti yang berpakaian pengemis itu, dan digembleng sebagai muridnya. Di bawah bimbingan Ciu-sian Lo-kai, bakat dan watak yang baik dan gagah pemuda ini berkembang, bahkan Ciu-sian Lo-kai, seperti telah diadakannya perjanjian dan perlombaan mendidik murid dengan Go-bi San-jin, telah menanamkan pandangan hidup Cia Han Tiong, ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga, kepada muridnya itu.
Maka, biarpun Ci Kang terlahir di kalangan sesat dan sejak kecil bergaul dengan datuk-datuk sesat, melihat segala macam tindakan yang kejam, ganas dan curang, kini dapat melihat dengan jelas betapa buruknya kehidupan diantara teman-teman ayahnya itu. Jiwa kependekerannya semakin bangkit dan biarpun dia tetap ingin menentang segala bentuk kejahatan, namun dia sudah berjanji kepada diri sendiri untuk meluruskan yang bengkok, menyadarkan yang sesat, dan bukannya mematahkannya atau membunuhnya, sesuai dengan pesan-pesan Ciu-sian Lo-kai yang mentrapkan pandangan hidup Cia Han Tiong kepada muridnya ini.
Setelah lewat tiga tahun, Ciu-sian Lo-kai menyuruh muridnya untuk pergi ke Benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar. Gurunya itu memberi tahu kepadanya bahwa di tempat ini akan diadakan pertemuan para pendekar untuk membicarakan tentang bangkitnya para datuk sesat yang hendak mengadakan gerakan bemberontakan dan pemuda itu ditugaskan oleh gurunya untuk ikut pula menentang usaha para datuk sesat.
Berangkatlah Ci Kang meninggalkan gurunya akan tetapi bagaimanapun juga, dia teringat akan ayahnya yang sudah tua dan buta. Biarpun ayahnya menjadi seorang datuk sesat, akan tetapi kasih sayangnya sebagai seorang anak terhadap ayahnya membuat Ci Kang lebih dahulu pergi mengunjungi ayahnya di Po-hai, Sen-si, sebelum dia melakukan perjalanan keluar Tembok Besar di utara.
Akan tetapi, dia tidak dapat bertemu dengan ayahnya, bahkan dia mendengar berita bahwa ayahnya telah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis, datuk sesat baru yang kini menguasai seluruh datuk sesat ketika terjadi pertemuan antara para datuk di lereng Pegunungan Tapie-san.
Dia hanya menarik napas panjang, tahu bahwa kematian ayahnya di tangan datuk sesat itu hanyalah akibat daripada sikap dan perbuatan ayahnya sendiri. Dia akan menentang para datuk sesat, terutama Raja Iblis, akan tetapi bukan karena dendam terhadap kematian ayahnya, melainkan karena sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan. Andaikata ayahnya masih hidup sekalipun, dia akan menentang kejahatan yang dilakukan ayahnya dan anak buahnya.
Ketika pada pagi hari itu dia berjalan seorang diri di luar Tembok Besar di wilayah yang dahulu pernah dikuasai oleh Jeng-hwa-pang, tempat itu masih nampak sunyi. Pemuda ini tidak tahu bahwa dia datang terlalu pagi. Waktu yang ditentukan oleh para pendekar untuk mengadakan pertemuan di tempat itu masih satu bulan lagi. Akan tetapi, akhirnya dia tiba juga di bekas benteng Jeng-hwa-pang yang tembok-temboknya masih kokoh kuat akan tetapi kini hanya menjadi sebuah dusun kecil yang dihuni oleh orang-orang yang biasa melakukan pekerjaan sebagai pemburu dan juga menjadi tempat persinggahan para pedagang atau mereka yang sering berlalu-lalang melalui Tembok Besar.
Hatinya agak tegang dan berdebar karena dia merasa gembira. Biarpun dia dahulu selalu bergaul dengan datuk sesat, akan tetapi dia selalu menentang perbuatan-perbuatan mereka yang tidak baik dan dia merasa tidak pernah suka bergaul dengan mereka.
Akan tetapi kini, dia datang ke tempat itu sebagai seorang pendekar yang menghadiri pertemuan antara kaum pendekar! Hatinya merasa gembira sekali karena dia akan bertemu dan berkenalan dengan orang-orang gagah yang menurut gurunya akan berkumpul di tempat ini dan diantara mereka terdapat orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Sungguh merupakan pertemuan yang akan membuka matanya dan menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuannya.
Ketika dia tiba di tempat itu, dia pertama-tama melihat serombongan orang gagah, terdiri dari tujuh orang lima pria dua wanita. Usia mereka antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun dan sikap mereka nampak gagah sekali dengan pedang di punggung mereka.
Karena dari sikap mereka saja Ci Kang sudah dapat menduga bahwa mereka adalah pendekar-pendekar yang datang menghadiri pula pertemuan maka diapun menghampiri mereka. Mereka bertujuh sedang duduk di bawah pohon, di luar bekas benteng itu dan tujuh ekor kuda yang baik ditambatkan di batang pohon itu. Di atas sebuah diantara sela-sela kuda, dia melihat berkibarnya sebuah bendera kecil berwarna kuning yang bertuliskan tiga buah huruf Hoa-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Bunga) dan ada gambar sepasang pedang melintang.
Ci Kang belum pernah mendengar tentang nama perkumpulan itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu ini nama sebuah perkumpulan pendekar pedang yang tangguh. Dia semakin gembira dan cepat menjura kepada mereka dengan sikap hormat dan wajah ramah.
"Selamat berjumpa, cu-wi-enghiong (para pendekar sekalian)! Cu-wi tentu tokoh-tokoh dari Hoa-kiam-pang yang terkenal."
Seorang diantara mereka, seorang laki-laki jangkung yang kurus dan paling tua diantara mereka, agaknya menjadi pemimpin rombongan, bersama yang lain membalas penghormatan itu dan si jangkung kurus menjawab,
"Selamat bertemu, sobat. Kami hanyalah murid-murid Hoa-kiam-pang yang diutus oleh para pemimpin kami untuk melihat-lihat keadaan. Selamat berkenalan! Bolehkah kami mengenal siapa adanya sobat yang gagah ini?"
Ci Kang tersenyum ramah.
"Saya bernama Siangkoan Ci Kang dan saya diutus oleh suhu untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang akan diadakan di tempat ini. Bukankah cu-wi juga datang untuk keperluan itu?"
Si jangkung kurus memandang tajam.
"Pertemuan itu akan diadakan sebulan lagi. Engkau datang terlalu pagi, sobat. Kami sendiri datang hanya untuk melihat-lihat keadaan, apakah tempat ini aman untuk pertemuan itu dan selain kami, ada pula belasan orang sahabat dari berbagai perkumpulan pendekar yang juga datang, melihat keadaan."
"Benarkah? Ah, saya ingin sekali belajar kenal dengan para pendekar itu."
"Mereka berkumpul di sebelah dalam bekas benteng, di sebuah kedai arak kecil yang dibuka oleh penduduk tempat ini. Mari, saudara Siangkoan Ci Kang, mari kita perkenalkan."
Tujuh orang itu lalu mengajak Siangkoan Ci Kang memasuki bekas benteng Jeng-hwa-pang dan ketika mereka menghampiri sebuah kedai arak, beberapa orang yang nampaknya gagah-gagah dan yang duduk minum arak di kedai itu memandang penuh perhatian.
"Cu-wi-enghiong!" kata murid Hoa-kiam-pang yang jangkung kurus itu memperkenalkan, "ini seorang pendatang baru, seorang pendekar muda bernama Siangkoan Ci Kang...!"
"Dia tokoh sesat!"
Tiba-tiba terdengar suara orang dan seorang pemuda tampan gagah meloncat keluar kedai dan menghadapi Ci Kang dengan mata mencorong penuh kemarahan. Ci Kang terkejut dan memandang. Dia tidak lupa. Pemuda ini adalah seorang diantara para pendekar yang dahulu membela Jenderal Ciang di dalam perayaan pesta ulang tahun Ang-kauwsu di kota Pao-fan! Pemuda ini selalu bersama Ceng Sui Cin, gadis cantik gagah puteri Pendekar Sadis itu. Ah, benar. Pemuda ini adalah putera ketua Cin-ling-pai seperti yang diketahuihya dari para tokoh Cap-sha-kui!
Tentu saja seruan yang dikeluarkan oleh Hui Song ini mengejutkan semua pendekar yang berkumpul disitu. Seperti kita ketahui, Hui Song tidak dapat kembali ke San-hai-koan yang sudah diduduki oleh pemberontak dan diapun pergi ke benteng Jeng-hwa-pang dimana dia bertemu dengan beberapa orang pendekar dan dia bercerita tentang gerakan para pemberontak kepada mereka. Ketika tujuh orang murid Hoa-kiam-pang itu muncul bersama Ci Kang, dia segera mengenal pemuda berbaju kulit harimau ini dan tentu saja dia menjadi marah.
"Dia ini tokoh pemberontak sesat, tentu datang untuk memata-matai kita!" Hui Song berseru lagi sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.
Ci Kang menjura dengan sikap hormat dan gagah, akan tetapi juga tenang, walaupun ucapan putera ketua Cin-ling-pai itu seperti pedang menusuk jantung.
"Maaf, saya datang sebagai utusan suhu yang berjuluk Ciu-sian Lo-kai, harap cu-wi tidak salah sangka."
Nama Ciu-sian Lo-kai tidak terkenal di dunia kang-ouw karena memang kakek ini, seperti juga kakek-kakek sakti lain yang baru bermunculan setelah dunia kang-ouw dikacau oleh Cap-sha-kui dan terutama sekali karena munculnya Raja dan Ratu Iblis.
Oleh karena itu, nama ini tidak mendatangkan kesan di hati pendekar muda yang berkumpul disitu. Akan tetapi, Hui Song juga bukan seorang pemuda sembrono dan dia mau yakin dulu apakah benar pemuda ini yang pernah dilihatnya membantu Cap-sha-kui lolos dari kepungan beberapa tahun yang lalu.
"Hemm, namamu Siangkoan Ci Kang, engkau putera tunggal dari datuk sesat Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta, bukan?"
"Benar, akan tetapi saya tidak pernah mencampuri semua perbuatan jahat dunia sesat," jawab Ci Kang dengan jujur dan gagah.
"Hemm, bukankah engkau pernah beberapa kali menggunakan anak panah membantu para tokoh Cap-sha-kui lolos dari tangkapan?" Hui Song mendesak lagi.
Siangkoan Ci Kang terlalu jujur dan gagah untuk menyangkal. Dia mengangguk.
"Benar..."
"Nah, mau bicara apa lagi? Engkau mata-mata kaum sesat, terimalah ini!"
Hui Song menerjang sambil mengirim tamparan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat. Tamparannya itu mendatangkan angin bersiut menyambar ke arah muka Siangkoan Ci Kang.
Pemuda ini tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membantah dan melihat betapa serangan Hui Song demikian hebatnya, diapun menggerakkan lengan menangkis.
"Dukkk...!"
Keduanya mengeluarkan seruan kaget karena pertemuan lengan itu membuat kedua orang pemuda itu terdorong ke belakang seolah-olah bertemu dengan gelombang tenaga yang amat kuat. Mereka saling pandang dan tahulah mereka bahwa keduanya menemukan lawan yang amat tangguh.
Sementara itu, para pendekar yang berada di situ semua mengenal Hui Song sebagai putera ketua Cin-ling-pai yang berkepandaian tinggi. Tentu saja mereka lebih percaya kepada Hui Song. Apalagi, pemuda berjubah kulit harimau itu sudah mengaku sebagai putera Si Iblis Buta. Hal ini saja sudah cukup membuat mereka semua memusuhinya, dan serentak mereka lalu mencabut senjata dan menerjang maju.
Dihujani senjata, Ci Kang cepat berloncatan dengan amat gesitnya mengelak ke sana-sini. Dia tahu bahwa percuma saja membantah dan bicara untuk membersihkan dirinya dan tidak baik kalau sampai dia bentrok dengan para pendekar ini, maka sambil mengeluh panjang dia lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat itu.
"Aku datang hendak membantu kalian menentang kejahatan, sayang kalian tidak percaya!" teriaknya dan tubuhnya sudah berkelebat cepat sekali meninggalkan benteng itu.
Hui Song tidak melakukan pengejaran dan para pendekar itupun tidak karena mereka maklum betapa lihainya putera Si Iblis Buta itu. Hui Song sendiri tentu saja dapat mengimbangi kecepatan gerakan Ci Kang dan dapat melakukan pengejaran kalau dia mau, akan tetapi dia teringat bahwa bagaimanapun juga Siangkoan Ci Kang itu pernah menyelamatkan Sui Cin dan biarlah kini dia berlaku murah untuk membalas budi Ci Kang terhadap gadis pujaan hatinya itu.
Ci Kang berlari cepat sekali dengan hati murung. Dia lari ke barat dan tidak tahu harus pergi kemana. Dia telah datang terlalu pagi dan dia tidak dapat menghadiri pertemuan para pendekar itu tanpa adanya gurunya. Kalau ada Ciu-sian Lo-kai disitu, baru dia akan dapat hadir karena tentu gurunya yang akan dapat memberi kesaksian akan kebersihan dirinya.
Dia tidak menyalahkan Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai itu, melainkan hanya merasa mendongkol sekali. Bagaimanapun juga, memang pemuda Cin-ling-pai itu pernah melihat dia membantu dan menyelamatkan orang-orang Cap-sha-kui bersama ayahnya. Sudah tentu saja Hui Song curiga kepadanya. Dan satu-satunya orang yang akan dapat menanggung dirinya agar dipercaya oleh para pendekar hanyalah gurunya, Ciu-sian Lo-kai yang belum nampak ada di tempat itu.
Hatinya murung sekali dan ketika dia memasuki sebuah desa kecil dimana terdapat sebuah kedai arak, diapun memasuki kedai itu. Kedai yang cukup besar, bahkan terlalu besar untuk sebuah dusun yang penghuninya sedikit dan agaknya hanya terdiri dari crang-orang miskin atau pemburu-pemburu.
Agaknya kedai ini dibuka orang belum begitu lama dan agaknya dibuka untuk menjadi pemberhentian orang-orang yang melakukan perjalanan dan lewat di tempat ttu. Bagaimanapun juga, bau arak yang sedap menarik perhatian Ci Kang dan diapun yang diganggu rasa mendongkol perlu beristirahat menenangkan hatinya.
Ci Kang mengambil tempat duduk di atas kursi yang kasar buatannya, menghadapi sebuah meja yang kasar pula. Seorang pelayan cepat menghampirinya dan dengan membungkuk-bungkuk penuh senyum menjilat pelayan itu menyapanya.
"Selamat siang, tuan. Tuan hendak makan dan minum apakah?"
"Bawakan aku seguci besar arak!" kata Ci Kang.
Pemuda ini setelah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai, mewarisi kebiasaan gurunya, suka minum arak. Tentu saja dia tidak minum terlalu banyak walaupun banyaknya arak dapat dilawannya dengan kepandaiannya sehingga dia tidak akan terpengaruh, akan tetapi saat itu hatinya sedang mendongkol dan dia hendak minum sebanyaknya!
"Seguci besar...? Apakah tuan menunggu datangnya banyak teman?"
"Tidak, aku hanya seorang diri..."
"Tapi, arak seguci besar cukup untuk sepuluh orang..."
"Jangan cerewet! Bawa arak itu dan aku akan membayarnya!" bentak Ci Kang marah.
Hatinya yang sedang kesal itu tidak sabar lagi mendengar kerewelan si pelayan. Pelayan itu membungkuk-bungkuk pergi dan Ci Kang mendengar pelayan itu berbisik-bisik dengan teman-temannya dalam bahasa sandi yang mengejutkan hatinya.
Bahasa rahasia seperti itu hanya dipergunakan orang-orang dari golongan hitam! Dan pelayan itu berkata kepada teman-temannya agar berhati-hati karena tamu yang datang ini tentulah seorang pendekar. Ci Kang melirik sambil lalu dan dia melihat bahwa pelayan itu berbisik-bisik dengan teman-temannya. Jumlah mereka semua ada enam orang! Heran dan curigalah hatinya. Sebuah kedai arak begini besar di dalam sebuah dusun miskin kecil! Dan dibukanya tentu masih baru pula. Lebih lagi, dilayani oleh enam orang! Dan mereka menggunakan kata-kata sandi, bahasa rahasia dari golongan hitam.
Ci Kang duduk dengan wajah muram. Kenyataan bahwa dia duduk di warung golongan hitam membuat hatinya semakin kesal. Keadaan dirinya membuat dia merasa mendongkol dan juga murung dan sedih. Dia dilahirkan di tengah keluarga sesat, walaupun mendiang ayahnya dahulu bukanlah orang jahat.
Dia dibesarkan diantara para datuk sesat. Dia tidak menyukai cara hidup demikiann sehingga dia menentang ayahnya sendiri, bahkan hampir dibunuh ayahnya karena tidak menuruti kehendak ayahnya. Di dunia golongan kotor, dia tidak dapat hidup dan dimusuhi. Kemudian, setelah digembleng selama tiga tahun oleh Ciu-sian Lo-kai dan dia mulai hidup baru, diantara golongan bersih, diapun dihina dan diserang, tidak diterima! Hati siapa takkan merasa murung?
Pada saat itu muncul tiga orang berpakaian seperti orang dusun. Tubuh mereka kurus-kurus dan melihat pakaian mereka yang kotor, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang miskin yang kekurangan makan kekurangan pakaian. Melihat mereka, pemilik atau kuasa kedai yang bertubuh gendut dan bermuka ramah itu segera menghampiri dan menyambut ke depan pintu.
"Eh, kalian bertiga ada keperluan apakah?" tegur pemilik kedai dengan ramah.
"Maaf, twako, kami datang mengganggu lagi..." kata seorang diantara mereka.
"Kalian butuh apa lagi? Bukankah kemarin dulu kami sudah menyumbangkan tiga karung beras untuk dibagi-bagi antara kalian penduduk dusun ini? Apakah beras itu sudah habis?"
"Belum, toako dan terima kasih atas segala pertolongan twako yang dilimpahkan kepada kami para penduduk dusun selama ini. Akan tetapi, kamipun bukan orang-orang yang hanya mengandalkan hidup dari minta-minta saja. Kami ingin bercocok tanam, akan tetapi tanah itu perlu digarap dan kami tidak mempunyai alat-alatnya. Kalau twako sudi menolong kami untuk sekali ini dan kami dapat mengerjakan tanah, selanjutnya kami tentu akan mampu mencukupi diri sendiri..."
Si gendut itu meraba jenggotnya yang agaknya baru beberapa pekan dicukur dan kini mulai tumbuh dengan liar. Dia mengangguk-angguk dan melirik ke arah para tamu yang kebetulan sedang duduk minum arak dan makan di kedal itu, seolah-olah dia ingin agar semua percakapan itu didengar oleh mereka. Dan memang, percakapan yang cukup keras itu didengarkan oleh mereka, juga Ci Kang memperhatikan.
"Baiklah, kami akan membantu dan membelikan alat-alat pertanian untuk kalian. Nah, pulanglah dulu, dan malam nanti saja kita rundingkan kembali kalau kedaiku sedang sepi."
"Baik, twako, dan terima kasih, twako, sungguh engkau merupakan tuan penolong kami."
Dan tiga orang itu memberi hormat sampai hampir berlutut, kemudian pergi dengan wajah berseri-seri. Dari percakapan dan melihat sikap para penduduk dusun miskin itu saja mudah diketahui bahwa pemilik kedai ini adalah seorang yang dermawan dan baik hati. Akan tetapi sikap ini justeru membuat Ci Kang mengerutkan alisnya. Mereka itu jelas golongan hitam yang menggunakan kata-kata sandi, akan tetapi mengapa kini mereka bersikap begitu dermawan terhadap para penduduk miskin? Sungguh suatu keadaan yang amat aneh dan tidak sewajarnya!
Ketika pesanannya tiba, yaitu seguci besar arak, yang menggotongnya dua orang pelayan diantar pula oleh si kuasa kedai yang gendut dan ramah itu. Si gendut ini membungkuk-bungkuk dengan ramah, akan tetapi matanya yang tajam itu memandang wajah Ci Kang penuh perhatian, tersenyum-senyum dan berkata,
"Harap sicu sudi memaafkan bahwa pelayan kami agak terlambat karena gangguan para petani tadi. Kasihan sekali mereka itu, memang perlu dibantu dan dibimbing."
Jelaslah bagi Ci Kang bahwa si gendut kuasa kedai ini memang sengaja memancing percakapan dengan dia. Dia tidak dapat menduga apa maunya, akan tetapi karena hatinya sedang kesal, dia tidak mau menanggapi, bahkan sama sekali tidak mengacuhkan dan segera menyambar guci arak dan minum langsung dari bibir guci tanpa cawan atau mangkok lagi.
Dia mau minum sepuasnya, biarpun dia bukan seorang pecandu arak, akan tetapi sekali ini dia ingin minum sampai mabok untuk mengusir kekesalan hatinya! Mengingat betapa dia dituduh mata-mata oleh para pendekar dan hampir dikeroyok, hatinya merasa panas dan penasaran sekali. Dia kini menjadi orang setengah matang, kepalang tanggung, masuk golongan hitam dimusuhi karena dia menentang mereka, masuk golongan putih dimusuhi pula karena tidak dipercaya.
"Sialan! Manusia tiada guna!" gerutunya dalam hati sambil menenggak lagi araknya.
Melihat pemuda tinggi besar yang bertubuh tegap dan berpakaian seperti seorang pemburu dengan jubah kulit harimau, dan melihat caranya minum arak, semua orang yang berada di dalam kedai itu memandang dan mereka semua dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah seorang yang gagah perkasa.
"Saya berani bertaruh apa saja bahwa sicu tentulah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amal terkenal."
Kembali terdengar suara si gendut. Ci Kang merasa semakin kesal dan baru dia melihat bahwa si gendut itu masih berdiri di dekat mejanya. Dia hanya mengerling dengan alis berkerut tanpa menjawab atau berkata sesuatu. Kalau melihat kerut diantara alisnya, sepatutnya si gendut itu mengerti bahwa pemuda itu tidak suka diajak ngobrol. Akan tetapi agaknya dia tidaklah secerdik itu.
"Tentu tidak salah lagi bahwa sicu adalah seorang diantara para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan, bukan? Sicu, kapankah diadakannya pertemuan itu dan dimana? Saya ingin sekali mengetahui agar dapat membuat persiapan dagangan saya. Pada hari itu tentu akan banyak para pendekar lewat disini dan..."
"Plakk!"
Tangan Ci Kang menyambar ke arah muka orang gendut itu. Si gendut ternyata memiliki gerakan cepat untuk ukurannya, dan berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu mengejarnya dan akhirnya mengenai pipinya tanpa dia dapat menghindarkannya lagi.
"Aduhh...!" Si gendut terhuyung dan meraba pipinya yang menjadi merah sekali.
"Eh, kenapa kau memukul orang...?"
Dua orang pelayan cepat menghampiri untuk melerai, akan tetapi tanpa bangkit dari kursinya, tangan kanan dan kakinya bergerak menyambut dua orang pelayan itu. Terdengar mereka mengaduh dan dua orang itupun terpelanting roboh.
Kini si gendut menjadi marah dan dengan suara menggereng seperti harimau, diapun menubruk dengan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau, menyerang kearah kepala dan dada pemuda yang kini sudah menggerakkan tubuh memutar kursinya sehingga meja yang tadi berada di depannya kini berada di sebelah kirinya.
"Wuuuttt...!"
Serangan si gendut itu cukup kuat, mendatangkan angin dan ini membuktikan bahwa dugaan Ci Kang memang benar. Si gendut itu yang nampaknya seorang pengurus kedai arak yang ramah dan murah hati, ternyata memiliki kepandaian silat yang cukup lihai. Akan tetapi, ketika Ci Kang mengangkat tangan kirinya menangkis, menyambut kedua lengan itu, terdengar suara "krekk!" dan lengan kanan si gendut itu patah.
Sebelum si gendut sempat menghindar, secepat kilat kaki Ci Kang menendang lutut dan si gendut mengaduh, lalu jatuh berlutut. Tangan kanan Ci Kang mencengkeram rambut orang itu dan menekan kepala itu ke bawah.
Dua orang pelayan yang tadi dirobohkan, terkejut bukan main melihat kepala mereka sudah dikalahkan, dan mereka berdua itu dalam keadaan berlutut hanya dapat memandang penuh kekhawatiran. Juga tiga orang lain yang menjadi pengurus kedai itu berdiri berkelompok di dekat pintu menuju dapur dengan muka ketakutan.
Tiba-tiba seorang diantara para tamu yang sedang duduk menghadapi hidangannya, menggebrak meja dan bangkit berdiri. Orang ini adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana namun bersih dan gerak-geriknya halus, wajahnya tampan dan dia sejak tadi duduk menghadapi hidangan di depan mejanya, makan dan minum sendirian saja. Pakaiannya serba putih dan dia lebih pantas menjadi seorang sasterawan daripada seorang ahli silat.
Akan tetapi ketika dia menggebrak meja, mangkok piring di atas mejanya itu mencelat ke atas dan menimbulkan suara berisik ketika jatuh kembali ke atas mejanya. Pemuda berpakaian putih ini bangkit dan menoleh, memandang kepada Ci Kang yang masih menjambak rambut si gendut yang hanya mengeluh panjang pendek. Dengan tangan kanan menekan sandaran kursi, pemuda baju putih itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.
"Manusia sombong dan kasar! Berani kau menghina orang mengandalkan sedikit kepandaian?"
Sepasang alis hitam tebal yang seperti sayap burung garuda terbentang itu bergerak-gerak dan sepasang mata yang tajam itu mengeluarkan sinar berapi. Hati Ci Kang menjadi semakin panas. Orang berpakaian putih tentulah kawan golongan hitam yang menyamar menjadi pengurus-pengurus kedai ini, pikirnya.
"Habis, kau mau apa?" Diapun membentak sebagai jawaban ucapan pemuda baju putih itu.
Pemuda baju putih itu memandang tajam dan suaranya penuh wibawa.
"Hayo lepaskan paman itu dan kau harus mohon maaf atas sikapmu yang kasar dan sombong, baru aku akan melupakan kesombonganmu!"
Ci Kang adalah seorang yang sejak kecil dididik dalam kekerasan. Dasar wataknya jujur dan keras, dan karena sejak kecil hidup di tengah golongan sesat, dia sudah terbiasa dengan sikap dan perbuatan keras dan kasar. Akan tetapi, dia selalu menentang kejahatan, dan setelah dia digembleng selama beberapa tahun oleh Ciu-sian Lo-kai, dia sudah dapat mengatasi kekerasan hatinya. Dia selalu bersikap mengalah dan sabar, sesuai dengan pelajaran yang diterimanya dari kakek Dewa Arak itu.
Akan tetapi, penolakan dan penentangan para pendekar terhadap dirinya membuat hatinya kesal dan murung dan mudah marah. Kini, melihat sikap pemuda baju putih yang menentangnya pemuda baju putih yang dianggapnya tentulah kawan dari gerombolan penjahat yang membuka kedai arak ini, dia tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Gerombolan penjahat ini harus dihajarnya, demikian dia mengambil keputusan.
"Kau mau membelanya? Nih, terimalah!"
Dengan gerakan tangannya yang kuat, Ci Kang bangkit dan melontarkan tubuh gendut yang dicengkeram rambutnya itu ke depan. Tubuh gendut itu terlempar melayang ke arah pemuda baju putih! Kalau mengenai dan menubruk pemuda baju putih itu, tentu dia akan terpelanting pula.
Akan tetapi, pemuda baju putih itu dengan sikap tenang menyambut tubuh itu dengan dua tangannya dan dia sudah berhasil menangkap tubuh itu pada lengan dan pundaknya, lalu menurunkan tubuh gendut itu sehingga tidak sampai jatuh terbanting.
Ketika dia memandang, ternyata Ci Kang sudah duduk lagi menghadapi meja dan mengangkat guci arak, menuangkan isinya ke mulut menggunakan tangan kiri, sedangkan lengan kanannya terletak di atas meja.
"Engkau sungguh manusia sombong yang patut dihajar!"
Si baju putih itu dengan cepat melangkah maju dan menggerakkan tangannya menotok ke arah leher Ci Kang yang sedang minum araknya.
Tiba-tiba Ci Kang menurunkan gucinya dan tanpa bangkit dari kursinya, dia menggerakkan tangan kanannya ke atas untuk menangkis tangan lawan. Gerakannya cepat mengandung tenaga amat kuat kerena memang dia mengerahkan sin-kangnya untuk menangkis dengan harapan sekali tangkis akan dapat mengalahkan lawan, sedikitnya mematahkan tulang lengan lawan.
"Dukkk...!"
Akibat benturan dua lengan itu membuat keduanya mengeluarkan teriakan tertahan saking kagetnya. Tubuh pemuda baju putih itu terdorong ke belakang sampai empat langkah, sedangkan sebaliknya, biarpun tubuh Ci Kang tidak terlempar karena dia sedang duduk, namun kursi yang didudukinya pecah berantakan!
Ci Kang sudah meloncat bangun dan alisnya berkerut semakin dalam. Kecurigaannya makin kuat. Orang ini tentu seorang tokoh sesat walaupun belum pernah dia melihatnya. Seorang tokoh muda yang entah datang dari mana dan agaknya diam-diam menjadi pelindung gerombolan penjahat yang menyamar menjadi pengusaha kedai arak.
Teringatlah dia betapa si gendut tadi berusaha memancingnya agar dia suka bicara tentang pertemuan para pendekar dan kini diapun menduga bahwa tentu tokoh sesat ini bertugas menyelidiki pertemuan itu!
"Bagus, kiranya engkau seorang yang memiliki kepandaian juga. Sayang, kepandaian itu kau pergunakan untuk kejahatan!"
Setelah berkata demikian, Ci Kang melompat ke depan dan menyerang dengan pukulan tangannya yang kuat.
Orang berbaju putih itu sudah mengenal kekuatan tangan lawan, maka diapun bersikap hati-hati sekali. Dengan mudah dia mengelak dari serangan Ci Kang lalu membalas dengan tendangan.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat dalam restoran itu antara Ci Kang dan pemuda baju putih. Dan para tamu segera meninggalkan meja masing-masing, menjauh akan tetapi menonton perkelahian itu. Dari sikap mereka, hampir semua berpihak kepada si baju putih!
"Pemburu dari mana dia?" terdengar orang bertanya-tanya.
"Entah, dia baru datang, akan tetapi dia jahat sekali!"
"Dia telah memukuli Cou-twako, pengurus kedai yang baik hati!"
"Tentu dia penjahat!"
Demikianlah percakapan antara mereka yang sedang menonton perkelahian itu. Ci Kang menjadi semakin heran mendengar semua ini. Kenapa semua orang menganggapnya jahat? Akan tetapi dia tidak perduli karena dia maklum bahwa tentu semua orang telah tertipu oleh sikap penjahat-penjahat yang menyamar menjadi pemilik kedai arak ini. Hanya dia yang tahu bahwa mereka ini adalah orang-orang golongan hitam. Dan diapun merasa penasaran sekali.
Pemuda baju putih ini hebat bukan main! Bukan hanya dalam kegesitan dan tenaga si baju putih ini dapat menandinginya, juga dalam ilmu silat pemuda ini agaknya dapat pula mengimbanginya. Gerakannya demikian kuat dan tenang, dan semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkisnya dengan baik.
Ci Kang yang sedang murung itu masih dapat menenangkan hatinya dan menahan kemarahannya dan ini adalah berkat gemblengan dari Ciu-sian Lo-kai selama ini. Sebelum dia menjadi murid Si Dewa Arak, mungkin saja tadi dia telah membunuh para pengurus kedai itu, dan mungkin kini dia akan mengeluarkan serangan-serangan maut untuk membunuh pemuda baju putih yang disangkanya tentu juga seorang tokoh sesat yang membela para penjahat yang menyamar menjadi pengurus kedai.
"Manusia jahat! Terimalah ini...!"
Tiba-tiba si baju putih itu membalas dengan serangan yang amat mengejutkan hati Ci Kang. Pemuda itu menyerangnya dengan pukulan aneh, dengan kedua tangan disilangkan dan didorongkan sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi dari kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan panas yang amat dahsyat, yang menyambar kepadanya seperti badai mengamuk!
Tahulah Ci Kang bahwa pemuda itu ternyata memiliki pukulan sakti yang amat berbahaya dan kini menyerangnya dengan ganas sekali. Maka diapun cepat mengerahkan sin-kangnya dan mendorongkan kedua tangannya dengan telapak terbuka ke depan.
Kembali dua tenaga raksasa saling bentur dan sekali ini sebelum dua pasang tangan bertemu, lebih dulu hawa pukulan itulah yang saling beradu. Dan sekali ini, Ci Kang merasakan betapa tubuhnya tergetar hebat oleh hawa panas itu dan biarpun dia tidak sampai terhuyung ke belakang, namun pasangan kuda-kuda kakinya tergeser. Terkejutlah dia.
Tak disangkanya sama sekali bahwa lawannya sehebat itu. Dan dia yang sudah banyak pengalamannya tentang ilmu-ilmu kaum sesat, tidak dapat mengenal ilmu pukulan apa yang dipergunakan pemuda baju putih ini. Maka mulailah timbul keraguannya. Jangan-jangan pemuda baju putih ini bukan seorang tokoh sesat, melainkan seorang pendekar yang juga tertipu oleh para pengurus kedai dan menganggap para pengurus kedai itu orang baik-baik dan dermawan, dan mengira bahwa dialah yang jahat!
Pemuda baju putih itu agaknya juga terkejut ketika melihat betapa pukulannya yang ampuh tadi dapat ditahan oleh Ci Kang dan hanya membuat pemuda berpakaian pemburu itu bergeser sedikit saja kakinya.
"Seorang pemuda yang berilmu tinggi, akan tetapi mempergunakannya untuk kekejaman dan kejahatan! Orang macam engkau ini harus dibasmi agar tidak menyebar kekejaman lagi!"
Pemuda baju putih itu berseru marah dan kini dia menyerang semakin hebat, dengan gerakan-gerakan aneh yang setiap gerakan mengandung daya serang mematikan! Ci Kang terkejut mendengar ucapan itu, apalagi melihat serangan bertubi-tubi yang amat hebatnya dan mendengar pula kata-kata para penonton yang jelas berpihak kepada si pemuda baju putih. Semua orang agaknya menganggap dia yang jahat!
Cepat dia mengelak beberapa kali lalu meloncat ke belakang sambil berteriak,
"Kalian semua seperti orang buta saja! Tidak tahukah kalian siapa enam orang pengurus kedai ini? Mereka adalah orang-orang dari golongan hitam, kaum sesat atau penjahat-penjahat yang menyamar! Mereka hanya pura-pura saja dermawan, akan tetapi mereka adalah penjahat-penjahat keji yang memusuhi para pendekar!"
Pemuda baju putih itu agaknya tidak percaya, bahkan semakin marah.
"Sudah busuk perbuatannya, busuk pula mulutnya melontarkan fitnah keji!" Dan diapun menyerang lagi dengan pukulan tangan kanan.
"Wuuuttt... dukk!"
Kembali Ci Kang menangkis dan keduanya tergetar dan terpaksa melangkah mundur beberapa tindak.
"Sobat, engkau masih belum percaya? Lihat, kemanakah mereka itu? Mereka telah lari setelah aku membuka kedok mereka!"
Ci Kang berseru dan pemuda baju putih itu menengok dan diapun tidak melihat seorangpun diantara enam pengurus kedai tadi.
"Kebakaran...! Kebakaran...!"
"Pembunuhan...! Rampok... rampok...!"
Di luar kedai terdengar suara gaduh dan tiba-tiba di bagian belakang kedai itupun dimakan api. Asap sudah masuk ke dalam ruangan itu dan semua orang sudah cerai-berai dalam keadaan panik dan sebentar saja yang tertinggal di dalam kedai tinggal Ci Kang dan si pemuda baju putih.
Akan tetapi keduanya segera sadar bahwa di luar tentu terjadi hal-hal yang membutuhkan pertolongan mereka, maka seperti orang berlomba, kedua orang muda itu meloncat keluar kedai. Dan memang keadaan di dusun kecil itu kacau balau. Kebakaran-kebakaran terjadi di sana-sini dan orang-orang berlarian simpang siur dengan panik.
Ci Kang melihat betapa enam orang pangurus kedai tadi, dengan belasan orang lain yang jelas terdiri dari golongan sesat, sedang membakari rumah dan merampoki barang-barang yang mereka angkut keluar. Tentu saja Ci Kang menjadi marah bukan main. Akan tetapi dia sudah keduluan pemuda baju putih yang sudah meloncat dan menerjang orang-orang yang membakari rumah-rumah dan merampoki barang-barang itu. Di beberapa tempat terdapat mayat bergelimpangan, agaknya mayat dari mereka yang hendak melawan keganasan para perampok.
Ci Kang menerjang segerombolan orang yang sedang melakukan pembakaran rumah. Empat orang penjahat yang bertubuh tinggi besar dan berwajah kejam mengeroyoknya dengan senjata golok mereka. Akan tetapi, dengan mudah Ci Kang menyambut serangan mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat empat orang itu kocar-kacir dan jatuh bangun.
Mereka merasa penasaran dan hendak melawan terus, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja Ci Kang membuat mereka tak berdaya, mematahkan tulang lengan atau kaki mereka dan akhirnya empat orang penjahat itu lari tunggang-langgang, yang patah tulang kakinya menyeret kaki itu terpincang-pincang.
Ci Kang tidak mengejar mereka. Gurunya, Si Dewa Arak, selalu menekankan kepadanya betapa tidak baiknya melakukan pembunuhan-pembunuhan. Bahkan sedapat mungkin jangan melakukan kekerasan, kata gurunya itu. Andaikata terpaksa harus menggunakan kekerasan terhadap penjahat, cukup kalau menundukkan dan sekedar memberi hukuman saja agar mereka tidak berani melanjutkan kejahatan mereka, akan tetapi sama sekali tidak boleh dibunuh.
Ajaran Si Dewa Arak ini sungguh berlawanan sekali dengan kebiasaan hidup di lingkungan kaum sesat, akan tetapi Ci Kang menerimanya dengan hati senang dan patuh karena memang cocok sekali dengan pendiriannya sendiri yang tidak suka akan kejahatan dan kekerasan karena dia sudah muak hidup di lingkungan yang penuh dengan kekerasan.
Tiba-tiba Ci Kang terkejut oleh suara teriakan-teriakan yang mengerikan. Dia cepat menoleh dan wajahnya berobah merah. Dia melihat pemuda baju putih itu mengamuk dan sepak terjangnya menggiriskan sekali. Sudah ada tujuh atau delapan orang penjahat termasuk si gendut dari kedai arak dan anak buahnya, berserakan menjadi mayat.
Pemuda itu menurunkan tangan mautnya dan tidak memberi ampun kepada para penjahat. Masih ada beberapa orang penjahat yang mengeroyoknya, akan tetapi Ci Kang maklum bahwa mereka semua itu tentu akan tewas di tangan si pemuda baju putih kalau dia tidak mencegahnya. Cepat dia meloncat dan ketika tangan pemuda baju putih itu menyambar dengan serangan maut kepada seorang penjahat yang goloknya sudah terlempar, dia menubruk dan menangkis.
"Dukkk...!"
Untuk ke sekian kalinya kembali dua lengan yang mengandung tenaga kuat itu saling bertemu, menggetarkan tubuh kedua pihak.
Pemuda baju putih itu mengerutkan alisnya dan matanya memandang terbelalak kepada Ci Kang.
"Gilakah kau?" bentak pemuda itu kepada Ci Kang. "Tadi engkau menyerang mereka dan aku yang tidak mengenal siapa mereka membela mereka. Sekarang, setelah mengetahui bahwa mereka ini adalah penjahat-penjahat terkutuk dan hendak membasmi mereka, engkau muncul melindungi mereka!"
Pemuda baju putih itu benar-benar terkejut, heran dan penasaran melihat tingkah Ci Kang yang dianggapnya aneh sekali itu.
"Sobat, engkau memang gagah perkasa, akan tetapi terlalu kejam! Memang sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan, akan tetapi bukan membunuh!"
Pemuda itu mengerutkan alisnya.
"Kau perduli apa?"
Dan diapun sudah menerjang lagi ke depan, merobohkan seorang penjahat dengan tamparan tangan kirinya yang ampuh. Sekali terkena tamparan itu, golok yang menangkisnya terlempar dan orang itu tidak mampu menghindarkan dirinya lagi, dadanya kena dihantam dan terdengar tulang-tulang iga yang patah-patah dan orang itu menjerit dan roboh berkelojotan.
"Kau kejam...!"
Ci Kang menghardik dan ketika orang baju putih itu hendak mengejar para penjahat yang menjadi gentar dan melarikan diri, Ci Kang sudah menghadangnya.
"Kau kini membela mereka? Gila dan biar kubasmi sekalian!"
Orang berbaju putih itu membentak dan menyerang Ci Kang. Tentu saja Ci Kang cepat mengelak dan untuk mencegah orang itu menyebar maut lebih banyak lagi, diapun membalas dan kini mereka kembali berkelahi dengan amat serunya. Karena masing-masing kini sudah yakin akan kelihaian lawan, maka merekapun berkelahi lebih seru dan lebih hebat daripada tadi, masing-masing mengeluarkan ilmu-ilmu silat yang hebat.
Kini para penjahat sudah lari semua dan juga para penghuni dusun sudah sejak tadi melarikan diri. Sebagian besar dari rumah-rumah dusun itu terbakar. Namun, dua orang muda itu agaknya lupa akan keadaan sekeliling karena mereka itu asyik berkelahi dan terpaksa harus mencurahkan seluruh perhatian, menggunakan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga kalau tidak mau kalah! Dan kepandaian keduanya memang hebat, setingkat dan seimbang.
Entah berapa lama perkelahian itu akan berlangsung sampai ada yang kalah. Sudah hampir seratus jurus berlalu dan keduanya masih terus saling hantam dengan gigihnya. Tiba-tiba terdengar suara jerit minta tolong. Suara wanita yang ketakutan!
Mendengar suara ini, seketika dua orang muda itu melupakan perkelahian mereka dan meloncat lalu berlari ke arah suara itu seperti orang berlomba. Jerit tangis itu kini semakin jelas, keluar dari sebuah rumah yang sudah terbakar bagian belakangnya.
"Tolong...! Toloooonggg... ahh, tolonglah aku...!" Demikianlah suara itu terdengar dari dalam rumah yang sedang terbakar.
"Brakkkkk...!"
Dua tempat pada dinding rumah itu jebol ketika si pemuda baju putih dan Ci Kang secara berbareng menerjang tembok. Keduanya berlari memasuki rumah itu dan melihat seorang gadis yang terbelenggu kedua tangannya pada tiang rumah sedang meronta-ronta ketakutan melihat api mulai membakar dinding kamar itu!
Seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian sederhana akan tetapi justeru pakaian sederhana itulah yang membuat kecantikannya semakin menonjol. Karena kedua lengannya ditelikung ke belakang dan ia meronta-ronta, maka lekuk lengkung dan tonjolan-tonjolan pada tubuhnya nampak jelas dan amat menggairahkan!
Melihat munculnya dua orang itu, sepasang mata yang jeli itu terbelalak ketakutan, akan tetapi agaknya ia dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang yang hendak menolongnya, bukan orang-orang jahat yang menyerang dusun itu.
"Ah, tolonglah saya...!" Ia memohon.
Pada saat itu, dinding di bagian belakang kamar itu, yang mulai terbakar, runtuh ke bawah mengancam gadis itu yang tentu akan tertimpa runtuhan dinding tembok! Dua orang muda yang gagah perkasa itu bergerak cepat sekali. Pemuda baju putih itu sudah meloncat dan sekali sambar dia sudah merenggut putus tali yang mengikat gadis itu dengan tiang, lalu meloncat sambil memondong tubuh itu, sedangkan Ci Kang meloncat menggempur dinding yang runtuh itu dengan kedua tangannya.
"Braaakkkk...!"
Runtuhan dinding itu pecah berantakan dan diapun cepat meloncat keluar menyusul. Di luar rumah yang terbakar itu, dia melihat pemuda baju putih sudah menurunkan gadis tadi yang kini berdiri kebingungan dan masih menangis. Ketika Ci Kang tiba pula di situ, gadis itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang pemuda itu sambil menangis.
"Sudahlah, jangan menangis dan ceritakan apa yang telah terjadi." kata Ci Kang sambil memandang kepada pemuda baju putih yang berdiri tenang dan menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh selidik.
Gadis itu menyusut air matanya. Usianya tidak sangat muda lagi, kurang lebih dua puluh lima tahun. Akan tetapi usia ini bagi seorang wanita merupakan usia yang sedang masaknya, bagaikan setangkai bunga sedang mekarnya. Pakaiannya sederhana namun rapi, wajahnya cantik dan terutama sekali mulutnya manis sekali.
"Saya menghaturkan terima kasih kepada ji-wi taihiap... yang sudah menyelamatkan nyawa saya yang tidak berharga..."
"Sudahlah," kata pemuda baju putih. "Tak perlu bicara tentang itu. Yang penting sekarang ceritakan apa yang telah terjadi maka kau berada dalam rumah terbakar itu dalam keadaan terbelenggu."
Pada waktu itu, dusun kecil yang terbakar ini sudah ditinggalkan orang dan agaknya hanya mereka bertiga saja yang masih berada di situ, kecuali mayat-mayat yang menggeletak di sana-sini, korban kekejaman para perampok.
"Saya bernama Ji Hwa dan tinggal bersama ayah dan ibu di luar dusun, di lereng bukit sana itu... dan saya berada disini karena mengunjungi paman dan bibi saya, pemilik rumah ini. Ketika tadi para penjahat datang, paman melawan dan bibi entah lari kemana, dan saya... perampok ganas itu menawan saya, hendak dibawa pergi. Tapi ketika paman melawan, perampok itu mengikat saya di tiang tadi dan dia lalu berkelahi dengan paman di luar rumah... selanjutnya... saya tidak tahu apa yang terjadi, rumah terbakar dan saya ketakutan sekali..."
Ia menengok ke kiri dimana terdapat mayat-mayat bergelimpangan, membuat gadis itu bergidik ngeri.
"Siapakah pemimpin para perampok itu, nona?" Ci Kang bertanya. "Apakah engkau mengenal para pengurus kedai arak itu?" Dia menunjuk ke arah kedai arak yang sudah habis terbakar.
Gadis itu menggeleng kepala dan kelihatan ketakutan.
"Saya tidak tahu... akan tetapi... saya merasa yakin bahwa ayah saya tahu akan semua itu. Pernah dia berkata kepada saya bahwa dusun ini terancam kekuasaan para penjahat..."
"Hemm, kalau begitu mari kuantar kau pulang, nona. Aku ingin bicara dengan ayahmu," kata Ci Kang.
"Akupun ingin bertemu dengan ayahmu, nona," kata pula pemuda baju putih itu.
Ci Kang memandang pemuda itu sambil tersenyum mengejek.
"Agaknya dalam segala hal engkau tidak mau kalah, sobat. Perlu apa engkau ikut pula dengan kami?"
Pemuda itu tersenyum pahit.
"Aku belum tahu benar siapa engkau dan orang macam apa adanya dirimu. Melihat engkau pergi berdua dengan seorang gadis yang tak berdaya ini, sungguh hatiku merasa tidak enak. Aku baru lega kalau melihat ia sudah berkumpul kembali dengan orang tuanya."
"Sialan!" Ci Kang membentak. "Engkau masih tidak percaya kepadaku? Nah, mari kita saling mengenal. Namaku Ci Kang."
"Shemu?" tanya pemuda itu, ingin tahu nama keluarga Ci Kang.
"Tidak perlu kuperkenalkan."
Ci Kang memang tidak ingin memperkenalkan nama keluarga ayahnya yang terkenal sebagai Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta.
"Namaku Sun," kata pemuda baju putih itu, juga tidak mau menyebutkan shenya melihat betapa Ci Kang menyembunyikan shenya pula.
Pemuda ini sesungguhnya she Cia. Ya, dia adalah Cia Sun, putera dari Cia Han Tiong yang tinggal di Lembah Naga! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini merasa penasaran sekali akan sikap ayahnya. Ibunya tewas di tangan musuh dan ayahnya mengampuni musuh-musuh itu.
Dalam keadaan penasaran dan penuh duka dan dendam ini, dia bertemu lalu diambil murid oleh Go-bi San-jin dan digembleng selama tiga tahun. Oleh gurunya ini, di dalam batinnya ditanam jiwa kependekaran yang tegas dan keras menentang kejahatan. Gemblengan ini, ditambah oleh rasa dendam atas kematian ibunya, membuat Cia Sun menjadi seorang pendekar yang tidak mau mengampuni orang-orang jahat dan dia menganggap sebagai tugasnya untuk menentang kejahatan dan membasmi para penjahat, membunuh mereka tanpa mengenal ampun lagi!
Seperti juga Ci Kang yang disuruh oleh gurunya, Ciu-sian Lo-kai untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar untuk mengadakan pertemuan dengan para pendekar, juga Cia Sun diutus oleh Go-bi San-jin untuk pergi ke tempat itu.
Munculnya Raja dan Ratu Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk kaum sesat membuat orang-orang sakti dan para pendekar berusaha menentangnya dan mereka akan mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
Setelah memperkenalkan nama masing-masing tanpa menyebut nama keturunan, dua orang muda itu lalu mengawal gadis yang bernama Ji Hwa itu pulang. Mereka keluar dari dusun kecil yang sudah sunyi itu dan menuju ke utara dimana terdapat sebuah bukit yang penuh dengan pohon-pohon rindang.
"Jauhkah rumahmu dari sini, nona?" tanya Cia Sun yang masih belum percaya benar kepada gadis ini dan selalu tidak meninggalkan kewaspadaannya.
"Tidak jauh, di lereng bukit itu, taihiap. Akan tetapi harap jangan sebut nona padaku, namaku Hwa dan biasa disebut Hwa Hwa saja."
Cia Sun mengerutkan alis dan tidak menjawab. Gadis ini baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan dan mengejutkan, baru saja terlepas dari maut dan nyaris terbakar hidup-hidup dalam rumah tadi. Akan tetapi sekarang sudah bicara sambil senyum-senyum dan kerling mata gadis ini membuat hatinya terasa tidak enak. Biarpun Cia Sun sampai saat itu belum pernah bergaul rapat dengan wanita, namun dia mengenal kerling yang tajam memikat, kerling yang membayangkan kegenitan yang disembunyikan, sikap yang agaknya tidak wajar dan berpura-pura.
Rumah itu besar dan kuno sekali, terletak di lereng bukit. Rumah yang besar dan kuno, terpencil sendiri dan dari jauh tidak nampak karena tersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak belukar. Karena kuno, besar dan sudah rusak tak terpelihara, bangunan itu nampak menyeramkan, pantasnya hanya dihuni oleh setan-setan dan iblis-iblis saja.
"Disinikah engkau dan orang tuamu tinggal?" Ci Kang bertanya ketika mereka tiba di depan rumah. "Bekerja apakah orang tuamu?"
Kiranya diapun, seperti Cia Sun, mulai merasa heran dan curiga melihat betapa gadis itu bersama orang tuanya tinggal di tempat yang serem seperti ini.
Gadis yang minta disebut Hwa Hwa itu tersenyum memandang Ci Kang.
"Kalau melihat pakaian taihiap, agaknya pekerjaan ayah tidak asing bagi taihiap. Dia seorang pemburu dan karena itu kami memilih tempat di bukit dekat hutan-hutan ini."
Dengan sikap ramah dan lincah gadis itu mempersilakan dua orang pemuda itu untuk memasuki gedung kuno.
"Marilah, harap ji-wi taihiap sudi masuk dan menemui ayah dan ibu yang berada di dalam. Saya merasa yakin bahwa ayah akan dapat bercerita banyak tentang penjahat-penjahat yang tadi mengacau dusun."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang sejenak. Biarpun mereka masih merasa penasaran dan ada rasa tidak suka satu kepada yang lain, akan tetapi kini mereka berada dalam sebuah perahu yang sama. Maka, biarpun hanya sedikit, terdapat suatu kepentingan bersama diantara mereka dan setelah saling pandang, tahulah mereka bahwa masing-masing tidak akan mau kalah dan merasa malu kalau mundur.
Mereka lalu mengikuti gadis itu memasuki bangunan dan ternyata memang bangunan itu kuno dan tidak terawat. Banyak bagian yang sudah rusak, akan tetapi sebagian besar masih kokoh kuat karena memang bangunan kuno itu kuat buatannya.
"Mari silakan, ji-wi taihiap. Saya kira ayah dan ibu sedang bersamadhi di dalam kamar samadhi," kata gadis itu sambil mengajak mereka menuju ke sebuah ruangan yang pintunya kecil.
Mendengar ini, kembali Cia Sun dan Ci Kang melirik. Kalau mereka sedang bersamadhi, tentu orang tua gadis ini termasuk orang-orang yang pandai ilmu silat, atau kalau tidak tentu orang-orang yang saleh.
Mereka melewati pintu kecil itu dan memasuki sebuah ruangan yang bentuknya aneh. Kamar itu tidak berjendela, dan bentuknya bundar. Lantainya tertutup babut tipis yang sudah lapuk, dan tidak terdapat perabot rumah, akan tetapi cukup bersih keadaannya. Di dekat dinding nampak seorang kakek dan seorang nenek sedang duduk bersila dalam keadaan bersamadhi. Dan melihat keadaan dua orang kakek dan nenek ini, dua orang pemuda itu merasa heran dan terkejut.
Kakek itu berpakaian serba polos putih kuning, rambutnya putih semua riap-riapan, jenggot dan kumisnya pendek terpelihara baik-baik, tubuhnya jangkung dan wajahnya aneh menyeramkan. Wajah itu memang bagus bentuknya, membayangkan ketampanan, akan tetapi wajah itu nampak begitu dingin, agak kehijauan kulitnya dan matanya terpejam. Sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah enam puluh tahun lebih.
Adapun nenek itu juga mempunyai keadaan yang sama, baik pakaiannya yang sederhana kedodoran maupun rambutnya yang juga sudah putih semua dan riap-riapan. Rambutnya lebih panjang ketimbang rambut kakek itu, dan bentuk atau raut wajah wanita inipun menunjukkan bekas kecantikan, hanya nampak begitu dingin seperti topeng.
"Silakan duduk, ji-wi taihiap dan maaf disini tidak ada bangku atau kursi, terpaksa kita duduk di atas lantai," kata Hwa Hwa dengan ramahnya.
Cia Sun dan Ci Kang yang sudah terlanjur masuk, lalu duduk di atas lantai berbabut itu, bersila dengan sikap hormat karena mereka berdua meragu orang-orang macam apa adanya kakek dan nenek ini. Yang jelas, bukan orang-orang sembarangan saja, demikian mereka berpikir.
Setelah dua orang pemuda itu duduk, Hwa Hwa lalu keluar dari dalam kamar itu, sampai di ambang pintu menoleh dan berkata sambil tersenyum,
"Maafkan, saya akan mempersiapkan minuman untuk ji-wi..."
Sebelum dua orang muda itu menolak, pintu yang sempit itu tiba-tiba sudah ditutup dari luar oleh Hwa Hwa dan baru nampak oleh dua orang muda itu bahwa pintu itu berbuat daripada besi yang kokoh kuat! Akan tetapi karena di dalam ruangan itu masih terdapat kakek dan nenek tadi, Cia Sun dan Ci Kang bersikap tenang saja dan kini mereka berdua memandang kepada kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian.
Tiba-tiba kakek dan nenek itu membuka matanya dan terkejutlah dua orang pendekar muda itu melihat betapa dua pasang mata itu amat tajam, mencorong seperti bukan mata manusia biasa! Mata kakek dan nenek itu mencorong dan kehijauan!
Terkejutlah Cia Sun dan Ci Kang, tahu bahwa mereka itu ternyata bukan orang sembarangan, melainkan orang-orang yang memiliki tenaga sin-kang amat kuat, kalau tidak demikian, tak mungkin mereka memiliki sinar mata seperti itu. Akan tetapi keduanya tetap tenang saja dan menanti apa yang akan terjadi selanjutnya, tentu saja dengan penuh kewaspadaan karena kini mereka mulai dapat menduga bahwa sikap gadis yang bernama Hwa Hwa tadi hanya pura-pura saja.
Tiba-tiba terdengar suara kakek itu yang bicara seolah-olah tanpa menggerakkan bibir.
"Berlutut...!"
Dua orang pemuda itu terkejut dan heran, akan tetapi biarpun mereka menduga bahwa kakek itu menyuruh mereka berlutut, tentu saja mereka tidak sudi melaksanakan perintah itu. Mereka hanya memandang tajam, menentang dua pasang mata hijau yang mencorong itu. Kini, nenek itulah yang bicara, suaranya lirih akan tetapi mendesis dan menusuk jantung.
"Kalau murid kami sudah membawa kalian kesini, tentu kalian bukan orang-orang biasa dan ada harganya untuk menjadi pembantu-pembantu kami. Nah, orang-orang muda, berilah hormat kepada Ong-ya!"
Dua orang muda itu kini terkejut bukan main. Mereka berdua sudah mendengar dari guru masing-masing tentang Raja dan Ratu Iblis yang menganggap dirinya raja dan ratu, dan betapa semua tokoh sesat yang takluk kepada mereka menyebut Raja Iblis itu Ong-ya karena memang dia dahulunya seorang pangeran bernama Toan Jit-ong.
Kini Cia Sun dan Ci Kang memandang penuh perhatian dan merekapun baru sadar bahwa mereka sebenarnya berhadapan dengan Raja dan Ratu Iblis yang amat ditakuti itu, yang kini kabarnya sedang menggerakkan para datuk kaum sesat termasuk Cap-sha-kui untuk menguasai dunia!
Bahkan karena adanya gerakan mereka inilah maka para pendekar dan orang sakti hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk merencanakan langkah-langkah untuk menentang gerakan berbahaya itu. Dan kini, tanpa mereka sangka-sangka, mereka telah dipancing oleh seorang gadis cantik yang ternyata murid iblis-iblis ini, dan telah berhadapan dengan mereka, berada di sebuah ruangan tertutup!
"Apakah ji-wi yang berjuluk Raja dan Ratu Iblis?" Dengan hati tabah, sedikitpun tidak gentar suara Ci Kang bertanya.
Nenek itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa, walaupun mulutnya tidak tertawa.
"Kalau kalian sudah tahu, cepat memberi hormat!" katanya.
Akan tetapi, seperti dikomando saja, Cia Sun dan Ci Kang sudah meloncat berdiri. Mereka berdua sudah banyak mendengar tentang suami isteri iblis ini, dan mereka tahu bahwa sudah menjadi kewajiban mereka untuk menentang dua orang ini. Mereka sama sekali tidak merasa takut, walaupun mereka sudah mendengar betapa lihainya kakek dan nenek ini.
"Inilah penghormatanku!" kata Cia Sun yang sudah menyerang kakek yang duduk bersila itu.
"Dan ini bagianku!" bentak Ci Kang, secepat kilat diapun menyerang ke arah si nenek.
Serangan dua orang muda itu hebat sekali, mendatangkan angin pukulan dahsyat karena mereka berdua yang maklum akan kelihaian kakek dan nenek itu sudah mengerahkan sin-kang dan menyerang sekuat tenaga.
Kakek dan nenek itu mendengus dan mengulur tangan menyambut. Mereka hanya mendorong tangan mereka ke depan dan segumpal uap menyambar dan menyambut serangan Cia Sun dan Ci Kang.
"Bresss...!"
Tubuh dua orang muda itu terdorong ke belakang dan tanpa dapat mereka cegah lagi, keduanya terbanting pada dinding di belakang lalu terguling ke atas lantai!
Pada saat itu, lantai tertutup babut itu terbuka dan tentu saja dua orang pemuda yang baru saja terguling, cepat meloncat ke depan. Hanya bagian dimana kakek dan nenek itu duduk saja yang tidak terjeblos dan jalan satu-satunya hanyalah mencoba untuk menyerang lagi kakek dan nenek yang masih duduk bersila di atas lantai, bagian yang tidak terbuka.
"Desss...!"
Kini empat pasang tangan itu bertemu langsung secara dahsyat sekali dan akibatnya, kakek dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget bukan main. Benturan tangan mereka dengan tangan pemuda-pemuda itu membuat tubuh mereka tergetar dan terguncang hebat!
Akan tetapi karena mereka duduk di atas lantai, sedangkan tubuh Cia Sun dan Ci Kang melayang, tentu saja kedua orang pemuda itu yang tidak mempunyai landasan, terdorong mundur dan tak dapat dihindarkan lagi tubuh mereka terjatuh ke dalam lubang di bawah mereka.
Mereka mempergunakan gin-kang dan tidak sampai terbanting, juga mereka tiba di dasar lubang itu dengan kaki lebih dulu, dalam keadaan berdiri. Akan tetapi tiba-tiba tempat dimana mereka terjatuh itu menjadi gelap gulita karena lantai dari kamar di atas tadi telah tertutup kembali!
Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan tercium bau harum yang menyengat hidung.
"Asap beracun...!"
Cia Sun berseru dan keduanya segera menahan napas dan meraba-raba mencari jalan keluar. Akan tetapi kamar dimana mereka tersekap itu ternyata terbuat dari besi dan tidak ada pintunya! Mereka lalu meloncat ke atas dan menghantam ke arah lantai kamar atas yang kini menjadi langit-langit bagi mereka itu.
"Bress! Bress!"
Akan tetapi lantai itu terlalu kuat dan tubuh mereka terlempar lagi ke bawah. Mereka seperti dua ekor tikus memasuki perangkap dan kini kamar itu mulai penuh dengan asap wangi beracun. Mereka menahan napas sekuat mungkin, akan tetapi tentu saja kekuatan ini ada batasnya. Betapapun saktinya kedua orang muda itu, jantung mereka harus berdenyut terus dan untuk ini, jantung membutuhkan hawa murni melalui pernapasan.
Akhirnya Cia Sun dan Ci Kang tidak kuat bertahan lagi dan merekapun terpaksa menyedot asap itu dan tubuh mereka terguling dan mereka pingsan oleh asap pembius. Sebelum mereka kehilangen kesadaran, mereka mendengar suara ketawa merdu, suara dari Hwa Hwa yang sebetulnya adalah Gui Siang Hwa, murid terkasih dari Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit-ong.
Ketika Cia Sun dan Ci Kang siuman kembali, mereka telah saling berpisah, Cia Sun yang siuman mendapatkan dirinya telah berada di atas pembaringan sebuah kamar dalam keadaan terbelenggu dan tertotok jalan darahnya! Dia berusaha membebaskan jalan darahnya ketika terpaksa usaha ini dihentikannya karena ada langkah kaki orang memasuki kamar. Kiranya yang masuk adalah gadis cantik yang telah menjebaknya itu! Tentu saja Cia Sun menjadi marah sekali dan memandang dengan mata melotot.
"Hemm, perempuan hina! Kiranya engkau adalah seorang penjahat betina yang sengaja menjebak kami! Engkau tentu kaki tangan perampok yang mengacau di dusun itu!" bentak Cia Sun.
Siang Hwa tersenyum manis dan menghampiri, lalu duduk di tepi pembaringan dan membelai pundak yang nampak karena baju di bagian pundak Cia Sun robek ketika dia meloncat dan mendobrak lantai atas. Cia Sun merasa betapa bulu-bulu tubuhnya meremang ketika jari-jari tangan yang berkulit halus itu menelusuri pundaknya dengan belaian sayang. Dia menggerakkan pundaknya untuk menolak, akan tetapi karena dia berada dalam keadaan tertotok, pundaknya hanya bergerak sedikit saja, membuat Siang Hwa tertawa geli.
"Hi-hik, pemuda yang gagah dan tampan. Sun-koko, dugaanmu itu terbalik. Bukan aku kaki tangan mereka, akan tetapi mereka adalah kaki tanganku, para pembantuku. Sun-koko, tahukah engkau kenapa suhu dan subo tidak langsung saja membunuhmu? Akulah yang minta ampun. Nyaris aku dibunuh karena mintakan ampun untukmu, koko. Akan tetapi, aku menangis dan meratap minta agar engkau tidak dibunuh..."
"Hemm, apa maksudmu?"
Cia Sun bertanya, merasa heran mendengar bahwa murid kedua iblis itu mintakan ampun untuknya.
Tiba-tiba Siang Hwa merangkul leher pemuda yang masih rebah terlentang karena belum dapat bangun itu. Tentu saja Cia Sun terkejut bukan main akan tetapi dia tidak mampu meronta atau mengelak, apalagi memukul. Kedua tangannya ditelikung ke belakang, juga kedua kakinya terikat dan selain itu, kaki tangannya lumpuh oleh totokan.
"Sun-koko, tidak dapatkah engkau menebak? Aku cinta padamu...! Aku cinta padamu, karena itu mati-matian aku mempertahankan nyawamu. Kalau engkau mau membalas cintaku, kita akan hidup bahagia dan menjadi pembantu-pembantu suhu yang amat dipercaya. Ah, koko, marilah kita hidup bahagia bersamaku..."
Siang Hwa mendekatkan mukanya dan siap untuk mencium dengan sikap yang amat memikat. Bau harum semerbak keluar dari rambut dan leher gadis itu, akan tetapi hal ini sama sekali bukan membuat Cia Sun terpikat atau terangsang, sebaliknya mengingatkan dia akan bau harum asap beracun yang membuat dia dan Ci Kang terbius.
"Ci Kang... dimana dia?"
Gadis itu tersenyum manis dan karena mukanya sangat dekat, Cia Sun dapat melihat rongga mulut yang merah, lidah yang meruncing merah dan deretan gigi yang putih bersih. Mulut yang penuh daya pikat, akan tetapi yang mendatangkan rasa jijik dan marah kepadanya karena maklum bahwa di balik kecantikan ini tersembunyi kejahatan yang mengerikan.
"Sun-koko, temanmu itu sudah dibunuh, dan kalau tidak ada aku, engkau tentu dibunuh pula. Karena itu, marilah kita mengecap kebahagiaan, mari kita menikmati hidup berdua..." Gadis itu kini menunduk dan mencium bibir Cia Sun. Akan tetapi ia terkejut dan mengeluh. "Aihhh...!"
Ia merasa betapa bibir itu kaku dan dingin, betapa pemuda itu sama sekali tidak membalas perasaan cintanya, bahkan pemuda itu kini memandang marah.
"Iblis betina, perempuan tak tahu malu, jahanam busuk! Jangan harap aku akan dapat terbujuk olehmu. Bujuk rayumu tiada gunanya dan kalau mau membunuh aku, bunuhlah! Lebih baik seribu kali mati daripada harus tunduk kepada ular betina seperti kamu ini!"
Siang Hwa melepaskan rangkulannya dan memandang dengan alis berkerut. Pandang matanya membayangkan kekecewaan besar.
"Sun-koko, pikirlah baik-baik... engkau masih muda, gagah perkasa, haruskah mati konyol begitu saja? Sun-koko, aku cinta padamu dan aku dapat membahagiakanmu..."
"Sudahlah! Sampai mati aku tidak mungkin dapat berbaik dengan iblis-iblis berwajah manusia macam engkau dan Raja Iblis! Kalau aku tidak dijatuhkan dengan kelicikan dan kecurangan, kalau aku bebas, pertama-tama yang akan kulakukan adalah mencekikmu sampai mampus baru kucari kakek dan nenek iblis untuk kubunuh! Jadi tidak perlu engkau membujuk rayu seperti itu. Bunuh saja kalau mau bunuh!"
Tiba-tiba terdengar suara lirih, terdengar dari jauh akan tetapi jelas sekali.
"Nah, apa kubilang, Siang Hwa. Bocah dari Lembah Naga itu mana mau diajak bekerja sama? Bunuh saja, akan tetapi siksa dulu!"
Itulah suara Ratu Iblis yang agaknya diam-diam mengikuti usaha muridnya untuk membujuk Cia Sun agar suka menjadi pembantu mereka dengan menggunakan kecantikan gadis itu.
"Baik, subo," kata Siang Hwa dengan suara gemas dan kini pandang matanya kepada Cia Sun berobah kelam, "Akan kusiksa mereka, kubikin mereka mati tenggelam, mati perlahan-lahan!"
Setelah berkata demikian, kedua tangan gadis yang tadi membelai-belai Cia Sun dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, kini mencengkeram pundak pemuda itu dan menariknya turun dari pembaringan, lalu menyeretnya keluar kamar itu.
Cia Sun yang tidak berdaya itu melihat bahwa dia diseret keluar dari dalam bangunan induk menuju ke bangunan belakang yang berada di tempat yang agak tinggi, akan tetapi setelah gadis itu menyeretnya naik dan memasuki bangunan itu, ternyata di dalam bangunan terdapat sebuah anak tangga yang menurun. Kemudian, sesampainya di sebuah ruangan sempit, Siang Hwa melepaskan cengkeramannya dan dengan pengerahan tenaga, ia memutar sebuah roda besi di sudut. Terdengar suara berkerotokan dan dua buah batu besar persegi empat yang berada di atas lantai bergerak terbuka ke kanan kiri, memperlihatkan sebuah lubang.
"Nah, mampuslah kau di situ!" kata Siang Hwa sambil menendang tubuh Cia Sun yang tak mampu melawan dan tubuh pemuda itu terlempar masuk ke dalam sebuah kolam atau sumur yang sempit.
Dia hanya mengangkat kepala agar tidak sampai terbanting menimpa dasar sumur. Untung bahwa yang menimpa dasar itu adalah pinggulnya lebih dulu.
"Bukk!"
Agak nyeri rasanya akan tetapi dia tidak terluka. Kiranya sumur itu tidak sangat dalam, kurang lebih dua meter saja dan kejatuhannya itu disusul dengan menutupnya kembali dua buah batu persegi yang mengeluarkan suara gaduh.
"Ah, kau juga?"
Tiba-tiba terdengar suara teguran. Cia Sun terkejut dan menengok. Matanya sudah agak terbiasa dengan keremangan tempat itu dan dia melihat behwa Ci Kang sudah berada di tempat itu pula, duduk di sudut bersandarkan dinding batu!
Cia Sun tidak memperdulikan orang ini. Bagaimanapun juga, dia masih merasa mendongkol dan penasaran. Harus diakuinya bahwa rasa bersaing dengan pemuda inilah yang memaksa dia mengikuti Siang Hwa. Andaikata tidak ada perasaan itu, mungkin dia akan menolak ajakan Siang Hwa. Dia bangkit berdiri dan dengan kedua tangannya yang masih ditelikung ke belakang, dia meraba-raba dinding melakukan penyelidikan, dengan kedua kaki yang juga terbelenggu itu meloncat-loncat.
"Sobat, tiada gunanya kau mencari jalan keluar. Sudah sejak tadi aku menyelidiki dan semua dinding ini terbuat dari besi kuat, dan lantai ini batu-batu gunung. Jalan keluar satu-satunya hanyalah batu penutup lubang di atas itu, akan tetapi sudah kucoba pula dan kuatnya bukan main."
Cia Sun menghentikan usahanya dan duduk di sudut, memandang pemuda di depannya itu. Ci Kang agaknya sudah kehilangan bajunya karena hanya tubuh bagian bawah sajalah yang tertutup celana. Tubuhnya yang kokoh kuat dengan otot yang melingkar-lingkar itu nampak besar menyeramkan. Dia sendiri masih untung, pikir Cia Sun, hanya robek saja bajunya, akan tetapi orang itu malah setengah telanjang!
"Kenapa mereka ingin membunuhmu juga?" akhirnya Ci Kang bertanya. Cia Sun mengerutkan alisnya.
"Karena mereka mangenalku."
"Hemm, kenapa engkau tidak tinggal di atas saja, hidup bahagia dengan perempuan cabul itu dan menjadi pembantu Raja dan Ratu Iblis?" Ci Kang mengejek.
"Aha, agaknya engkaupun telah dibujuk rayu oleh perempuan itu!" Cia Sun mengejek. "Agaknya lebih parah, sampai baju atasmu ditanggalkan. Kenapa engkau tidak memilih hidup enak disana? Dan kenapa mereka juga ingin membunuhmu?"
"Karena merekapun mengenalku, mengenal keadaanku."
"Mengenal ayahmu?" Cia Sun mendesak.
Ci Kang mengangguk dan tiba-tiba wajahnya menjadi muram.
"Mereka... telah membunuh ayahku! Dan untuk itu aku harus hidup, aku harus hidup untuk membuktikan kepada mendiang ayah, bahwa aku bukanlah seperti mereka!" Ci Kang berkata dengan suara gemetar penuh perasaan.
Cia Sun menjadi tertarik.
"Sobat, kita senasib. Agaknya nasib yang mempertemukan kita dimulai dari kesalah-pahaman. Dan ternyata akulah yang salah. Aku tertipu oleh penjahat-penjahat yang menyamar menjadi pengurus-pengurus kedai itu. Sobat, aku she Cia. Namaku Cia Sun dan ayahku tinggal di Lembah Naga, itulah yang menyebabkan mereka hendak membunuhku. Boleh aku mengetahui siapa ayahmu?"
"Aku she Siangkoan, ayahku... ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin..."
"Ahhh...!" Cia Sun terkejut bukan main sampai memandang dengan mata terbelalak. "Maksudmu... maksudmu... yang dijuluki Iblis Buta...?"
Ci Kang mengangguk dan menarik napas panjang.
"Benar, ayahku dijuluki Iblis Buta dan memang ayahku buta..."
"Tapi... tapi... bukankah ayahmu memimpin para penjahat, bahkan para datuk Cap-sha-kui juga menjadi sekutunya? Kenapa engkau dimusuhi Raja dan Ratu Iblis?"
"Ayah mereka bunuh karena menentang mereka, baru kuketahui tadi setelah aku menolak perempuan hina itu dan menghinanya."
"Hemm, jadi karena ayahmu dibunuh maka engkau memusuhi mereka? Akan tetapi mengapa di kedai arak itu engkau memusuhi pula para penjahat yang menyamar?"
Kini tahulah Cia Sun mengapa pemuda ini mengenal penjahat yang menyamar sedangkan ia sama sekali tidak mengenal mereka. Kiranya pemuda ini adalah putera seorang datuk penjahat!
"Sejak lama aku berpisah dari ayahku karena aku tidak cocok dengan cara hidupnya. Aku menentang kejahatan dan karenanya aku dibenci golongan sesat, akan tetapi golongan bersih juga menghina dan menentangku karena aku putera Siangkoan Lo-jin..."
"Kalau ada pendekar menentangmu karena engkau putera Siongkoan Lo-jin, maka dia itu sembrono, Ci Kang. Orang ditentang karena perbuatannya yang jahat, bukan karena keturunannya!"
Ci Kang mengangkat mukanya. Dalam cuaca remang-remang itu sepasang matanya mencorong ketika memandang wajah Cia Sun penuh selidik.
"Orang she Cia, benarkah omonganmu itu? Aku baru saja dikecewakan oleh para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Ketika aku tiba disana dan dikenal sebagai putera ayah, aku nyaris celaka karena dikeroyok mereka."
"Ah, mereka itu sembrono. Jadi itukah sebabnya mengapa engkau murung dan mengamuk di kedai arak itu ketika engkau melihat bahwa mereka adalah penjahat-penjahat yang menyamar?"
Ci Kang mengangguk dan diam-diam timbul rasa sukanya kepada Cia Sun, walaupun masih ada rasa tidak puas bahwa dia belum mampu mengalahkan pemuda gagah perkasa ini.
Tiba-tiba terdengar suara mengejek, suara ketawa Siang Hwa.
"Hi-hi-hik, kalian ini dua orang laki-laki yang tak tahu diri, berlagak alim dan gagah. Rasakan kini pembalasanku. Kalian akan mampus sebagai dua ekor tikus tenggelam, hi-hik!"
Dan tiba-tiba terdengar suara air gemercik dan dari atas, dari celah-celah batu yang menutupi lubang itu, turunlah air dengan derasnya!
"Kita harus dapat keluar dari sini!" kata Cia Sun yang segera mencoba untuk mengerahkan tenaga agar ikatan kaki tangannya dapat dipatahkan.
Akan tetapi totokan pada jalan darah di tubuhnya masih menguasainya dan dia tidak memiliki tenaga otot terlalu besar untuk dapat melawan kuatnya tali pengikat itu. Ci Kang juga berusaha. Dia sendiripun baru saja dapat membebaskan totokannya karena memang dia lebih dahulu dilempar ke dalam lubang ini setelah dengan mati-matian Siang Hwa mencoba merayunya tanpa hasil!
Kini dia mengerahkan tenaga dan putuslah tali yang membelenggu kaki tangannya! Dia lalu bangkit berdiri dan berusaha mendorong batu yang menutupi lubang dengan kedua tangannya. Otot-otot perut, dada, pundak dan kedua lengannya menggembung besar, akan tetapi ternyata batu penutup itu amat kuatnya sehingga semua usahanya untuk membukanya dari bawah sia-sia belaka!
Apalagi batu penutup itu terlalu tinggi sehingga dia tidak dapat mengerahkan seluruh tenaga. Andaikata agak rendah, tentu tenaganya akan lebih besar. Sementara itu, dengan cepat air mulai menggenangi lubang itu, dan Cia Sun melihat betapa air telah mencapal setinggi paha dan terus naik dengan cepatnya.
"Ci Kang, cepat kau lepaskan tali pengikat tanganku agar aku dapat membantumu!" kata Cia Sun sambil menoleh kepada Ci Kang yang masih berusaha sekuat tenaga untuk membuka batu penutup lubang.
Akan tetapi Ci Kang tidak menjawab, menengokpun tidak, seolah-olah tidak perduli kepada Cia Sun dan masih terus berusaha menggunakan tenaganya untuk mendorong membuka batu penutup lubang jebakan itu ke atas. Namun, agaknya batu itu terlalu berat baginya dan air terus naik dengan cepatnya. Dua pendekar muda itu terancam maut dan keadaan mereka amat gawat!
Ci Kang berlari cepat sekali dengan hati murung. Dia lari ke barat dan tidak tahu harus pergi kemana. Dia telah datang terlalu pagi dan dia tidak dapat menghadiri pertemuan para pendekar itu tanpa adanya gurunya. Kalau ada Ciu-sian Lo-kai disitu, baru dia akan dapat hadir karena tentu gurunya yang akan dapat memberi kesaksian akan kebersihan dirinya.
Dia tidak menyalahkan Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai itu, melainkan hanya merasa mendongkol sekali. Bagaimanapun juga, memang pemuda Cin-ling-pai itu pernah melihat dia membantu dan menyelamatkan orang-orang Cap-sha-kui bersama ayahnya. Sudah tentu saja Hui Song curiga kepadanya. Dan satu-satunya orang yang akan dapat menanggung dirinya agar dipercaya oleh para pendekar hanyalah gurunya, Ciu-sian Lo-kai yang belum nampak ada di tempat itu.
Hatinya murung sekali dan ketika dia memasuki sebuah desa kecil dimana terdapat sebuah kedai arak, diapun memasuki kedai itu. Kedai yang cukup besar, bahkan terlalu besar untuk sebuah dusun yang penghuninya sedikit dan agaknya hanya terdiri dari crang-orang miskin atau pemburu-pemburu.
Agaknya kedai ini dibuka orang belum begitu lama dan agaknya dibuka untuk menjadi pemberhentian orang-orang yang melakukan perjalanan dan lewat di tempat ttu. Bagaimanapun juga, bau arak yang sedap menarik perhatian Ci Kang dan diapun yang diganggu rasa mendongkol perlu beristirahat menenangkan hatinya.
Ci Kang mengambil tempat duduk di atas kursi yang kasar buatannya, menghadapi sebuah meja yang kasar pula. Seorang pelayan cepat menghampirinya dan dengan membungkuk-bungkuk penuh senyum menjilat pelayan itu menyapanya.
"Selamat siang, tuan. Tuan hendak makan dan minum apakah?"
"Bawakan aku seguci besar arak!" kata Ci Kang.
Pemuda ini setelah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai, mewarisi kebiasaan gurunya, suka minum arak. Tentu saja dia tidak minum terlalu banyak walaupun banyaknya arak dapat dilawannya dengan kepandaiannya sehingga dia tidak akan terpengaruh, akan tetapi saat itu hatinya sedang mendongkol dan dia hendak minum sebanyaknya!
"Seguci besar...? Apakah tuan menunggu datangnya banyak teman?"
"Tidak, aku hanya seorang diri..."
"Tapi, arak seguci besar cukup untuk sepuluh orang..."
"Jangan cerewet! Bawa arak itu dan aku akan membayarnya!" bentak Ci Kang marah.
Hatinya yang sedang kesal itu tidak sabar lagi mendengar kerewelan si pelayan. Pelayan itu membungkuk-bungkuk pergi dan Ci Kang mendengar pelayan itu berbisik-bisik dengan teman-temannya dalam bahasa sandi yang mengejutkan hatinya.
Bahasa rahasia seperti itu hanya dipergunakan orang-orang dari golongan hitam! Dan pelayan itu berkata kepada teman-temannya agar berhati-hati karena tamu yang datang ini tentulah seorang pendekar. Ci Kang melirik sambil lalu dan dia melihat bahwa pelayan itu berbisik-bisik dengan teman-temannya. Jumlah mereka semua ada enam orang! Heran dan curigalah hatinya. Sebuah kedai arak begini besar di dalam sebuah dusun miskin kecil! Dan dibukanya tentu masih baru pula. Lebih lagi, dilayani oleh enam orang! Dan mereka menggunakan kata-kata sandi, bahasa rahasia dari golongan hitam.
Ci Kang duduk dengan wajah muram. Kenyataan bahwa dia duduk di warung golongan hitam membuat hatinya semakin kesal. Keadaan dirinya membuat dia merasa mendongkol dan juga murung dan sedih. Dia dilahirkan di tengah keluarga sesat, walaupun mendiang ayahnya dahulu bukanlah orang jahat.
Dia dibesarkan diantara para datuk sesat. Dia tidak menyukai cara hidup demikiann sehingga dia menentang ayahnya sendiri, bahkan hampir dibunuh ayahnya karena tidak menuruti kehendak ayahnya. Di dunia golongan kotor, dia tidak dapat hidup dan dimusuhi. Kemudian, setelah digembleng selama tiga tahun oleh Ciu-sian Lo-kai dan dia mulai hidup baru, diantara golongan bersih, diapun dihina dan diserang, tidak diterima! Hati siapa takkan merasa murung?
Pada saat itu muncul tiga orang berpakaian seperti orang dusun. Tubuh mereka kurus-kurus dan melihat pakaian mereka yang kotor, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang miskin yang kekurangan makan kekurangan pakaian. Melihat mereka, pemilik atau kuasa kedai yang bertubuh gendut dan bermuka ramah itu segera menghampiri dan menyambut ke depan pintu.
"Eh, kalian bertiga ada keperluan apakah?" tegur pemilik kedai dengan ramah.
"Maaf, twako, kami datang mengganggu lagi..." kata seorang diantara mereka.
"Kalian butuh apa lagi? Bukankah kemarin dulu kami sudah menyumbangkan tiga karung beras untuk dibagi-bagi antara kalian penduduk dusun ini? Apakah beras itu sudah habis?"
"Belum, toako dan terima kasih atas segala pertolongan twako yang dilimpahkan kepada kami para penduduk dusun selama ini. Akan tetapi, kamipun bukan orang-orang yang hanya mengandalkan hidup dari minta-minta saja. Kami ingin bercocok tanam, akan tetapi tanah itu perlu digarap dan kami tidak mempunyai alat-alatnya. Kalau twako sudi menolong kami untuk sekali ini dan kami dapat mengerjakan tanah, selanjutnya kami tentu akan mampu mencukupi diri sendiri..."
Si gendut itu meraba jenggotnya yang agaknya baru beberapa pekan dicukur dan kini mulai tumbuh dengan liar. Dia mengangguk-angguk dan melirik ke arah para tamu yang kebetulan sedang duduk minum arak dan makan di kedal itu, seolah-olah dia ingin agar semua percakapan itu didengar oleh mereka. Dan memang, percakapan yang cukup keras itu didengarkan oleh mereka, juga Ci Kang memperhatikan.
"Baiklah, kami akan membantu dan membelikan alat-alat pertanian untuk kalian. Nah, pulanglah dulu, dan malam nanti saja kita rundingkan kembali kalau kedaiku sedang sepi."
"Baik, twako, dan terima kasih, twako, sungguh engkau merupakan tuan penolong kami."
Dan tiga orang itu memberi hormat sampai hampir berlutut, kemudian pergi dengan wajah berseri-seri. Dari percakapan dan melihat sikap para penduduk dusun miskin itu saja mudah diketahui bahwa pemilik kedai ini adalah seorang yang dermawan dan baik hati. Akan tetapi sikap ini justeru membuat Ci Kang mengerutkan alisnya. Mereka itu jelas golongan hitam yang menggunakan kata-kata sandi, akan tetapi mengapa kini mereka bersikap begitu dermawan terhadap para penduduk miskin? Sungguh suatu keadaan yang amat aneh dan tidak sewajarnya!
Ketika pesanannya tiba, yaitu seguci besar arak, yang menggotongnya dua orang pelayan diantar pula oleh si kuasa kedai yang gendut dan ramah itu. Si gendut ini membungkuk-bungkuk dengan ramah, akan tetapi matanya yang tajam itu memandang wajah Ci Kang penuh perhatian, tersenyum-senyum dan berkata,
"Harap sicu sudi memaafkan bahwa pelayan kami agak terlambat karena gangguan para petani tadi. Kasihan sekali mereka itu, memang perlu dibantu dan dibimbing."
Jelaslah bagi Ci Kang bahwa si gendut kuasa kedai ini memang sengaja memancing percakapan dengan dia. Dia tidak dapat menduga apa maunya, akan tetapi karena hatinya sedang kesal, dia tidak mau menanggapi, bahkan sama sekali tidak mengacuhkan dan segera menyambar guci arak dan minum langsung dari bibir guci tanpa cawan atau mangkok lagi.
Dia mau minum sepuasnya, biarpun dia bukan seorang pecandu arak, akan tetapi sekali ini dia ingin minum sampai mabok untuk mengusir kekesalan hatinya! Mengingat betapa dia dituduh mata-mata oleh para pendekar dan hampir dikeroyok, hatinya merasa panas dan penasaran sekali. Dia kini menjadi orang setengah matang, kepalang tanggung, masuk golongan hitam dimusuhi karena dia menentang mereka, masuk golongan putih dimusuhi pula karena tidak dipercaya.
"Sialan! Manusia tiada guna!" gerutunya dalam hati sambil menenggak lagi araknya.
Melihat pemuda tinggi besar yang bertubuh tegap dan berpakaian seperti seorang pemburu dengan jubah kulit harimau, dan melihat caranya minum arak, semua orang yang berada di dalam kedai itu memandang dan mereka semua dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah seorang yang gagah perkasa.
"Saya berani bertaruh apa saja bahwa sicu tentulah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amal terkenal."
Kembali terdengar suara si gendut. Ci Kang merasa semakin kesal dan baru dia melihat bahwa si gendut itu masih berdiri di dekat mejanya. Dia hanya mengerling dengan alis berkerut tanpa menjawab atau berkata sesuatu. Kalau melihat kerut diantara alisnya, sepatutnya si gendut itu mengerti bahwa pemuda itu tidak suka diajak ngobrol. Akan tetapi agaknya dia tidaklah secerdik itu.
"Tentu tidak salah lagi bahwa sicu adalah seorang diantara para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan, bukan? Sicu, kapankah diadakannya pertemuan itu dan dimana? Saya ingin sekali mengetahui agar dapat membuat persiapan dagangan saya. Pada hari itu tentu akan banyak para pendekar lewat disini dan..."
"Plakk!"
Tangan Ci Kang menyambar ke arah muka orang gendut itu. Si gendut ternyata memiliki gerakan cepat untuk ukurannya, dan berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu mengejarnya dan akhirnya mengenai pipinya tanpa dia dapat menghindarkannya lagi.
"Aduhh...!" Si gendut terhuyung dan meraba pipinya yang menjadi merah sekali.
"Eh, kenapa kau memukul orang...?"
Dua orang pelayan cepat menghampiri untuk melerai, akan tetapi tanpa bangkit dari kursinya, tangan kanan dan kakinya bergerak menyambut dua orang pelayan itu. Terdengar mereka mengaduh dan dua orang itupun terpelanting roboh.
Kini si gendut menjadi marah dan dengan suara menggereng seperti harimau, diapun menubruk dengan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau, menyerang kearah kepala dan dada pemuda yang kini sudah menggerakkan tubuh memutar kursinya sehingga meja yang tadi berada di depannya kini berada di sebelah kirinya.
"Wuuuttt...!"
Serangan si gendut itu cukup kuat, mendatangkan angin dan ini membuktikan bahwa dugaan Ci Kang memang benar. Si gendut itu yang nampaknya seorang pengurus kedai arak yang ramah dan murah hati, ternyata memiliki kepandaian silat yang cukup lihai. Akan tetapi, ketika Ci Kang mengangkat tangan kirinya menangkis, menyambut kedua lengan itu, terdengar suara "krekk!" dan lengan kanan si gendut itu patah.
Sebelum si gendut sempat menghindar, secepat kilat kaki Ci Kang menendang lutut dan si gendut mengaduh, lalu jatuh berlutut. Tangan kanan Ci Kang mencengkeram rambut orang itu dan menekan kepala itu ke bawah.
Dua orang pelayan yang tadi dirobohkan, terkejut bukan main melihat kepala mereka sudah dikalahkan, dan mereka berdua itu dalam keadaan berlutut hanya dapat memandang penuh kekhawatiran. Juga tiga orang lain yang menjadi pengurus kedai itu berdiri berkelompok di dekat pintu menuju dapur dengan muka ketakutan.
Tiba-tiba seorang diantara para tamu yang sedang duduk menghadapi hidangannya, menggebrak meja dan bangkit berdiri. Orang ini adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana namun bersih dan gerak-geriknya halus, wajahnya tampan dan dia sejak tadi duduk menghadapi hidangan di depan mejanya, makan dan minum sendirian saja. Pakaiannya serba putih dan dia lebih pantas menjadi seorang sasterawan daripada seorang ahli silat.
Akan tetapi ketika dia menggebrak meja, mangkok piring di atas mejanya itu mencelat ke atas dan menimbulkan suara berisik ketika jatuh kembali ke atas mejanya. Pemuda berpakaian putih ini bangkit dan menoleh, memandang kepada Ci Kang yang masih menjambak rambut si gendut yang hanya mengeluh panjang pendek. Dengan tangan kanan menekan sandaran kursi, pemuda baju putih itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.
"Manusia sombong dan kasar! Berani kau menghina orang mengandalkan sedikit kepandaian?"
Sepasang alis hitam tebal yang seperti sayap burung garuda terbentang itu bergerak-gerak dan sepasang mata yang tajam itu mengeluarkan sinar berapi. Hati Ci Kang menjadi semakin panas. Orang berpakaian putih tentulah kawan golongan hitam yang menyamar menjadi pengurus-pengurus kedai ini, pikirnya.
"Habis, kau mau apa?" Diapun membentak sebagai jawaban ucapan pemuda baju putih itu.
Pemuda baju putih itu memandang tajam dan suaranya penuh wibawa.
"Hayo lepaskan paman itu dan kau harus mohon maaf atas sikapmu yang kasar dan sombong, baru aku akan melupakan kesombonganmu!"
Ci Kang adalah seorang yang sejak kecil dididik dalam kekerasan. Dasar wataknya jujur dan keras, dan karena sejak kecil hidup di tengah golongan sesat, dia sudah terbiasa dengan sikap dan perbuatan keras dan kasar. Akan tetapi, dia selalu menentang kejahatan, dan setelah dia digembleng selama beberapa tahun oleh Ciu-sian Lo-kai, dia sudah dapat mengatasi kekerasan hatinya. Dia selalu bersikap mengalah dan sabar, sesuai dengan pelajaran yang diterimanya dari kakek Dewa Arak itu.
Akan tetapi, penolakan dan penentangan para pendekar terhadap dirinya membuat hatinya kesal dan murung dan mudah marah. Kini, melihat sikap pemuda baju putih yang menentangnya pemuda baju putih yang dianggapnya tentulah kawan dari gerombolan penjahat yang membuka kedai arak ini, dia tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Gerombolan penjahat ini harus dihajarnya, demikian dia mengambil keputusan.
"Kau mau membelanya? Nih, terimalah!"
Dengan gerakan tangannya yang kuat, Ci Kang bangkit dan melontarkan tubuh gendut yang dicengkeram rambutnya itu ke depan. Tubuh gendut itu terlempar melayang ke arah pemuda baju putih! Kalau mengenai dan menubruk pemuda baju putih itu, tentu dia akan terpelanting pula.
Akan tetapi, pemuda baju putih itu dengan sikap tenang menyambut tubuh itu dengan dua tangannya dan dia sudah berhasil menangkap tubuh itu pada lengan dan pundaknya, lalu menurunkan tubuh gendut itu sehingga tidak sampai jatuh terbanting.
Ketika dia memandang, ternyata Ci Kang sudah duduk lagi menghadapi meja dan mengangkat guci arak, menuangkan isinya ke mulut menggunakan tangan kiri, sedangkan lengan kanannya terletak di atas meja.
"Engkau sungguh manusia sombong yang patut dihajar!"
Si baju putih itu dengan cepat melangkah maju dan menggerakkan tangannya menotok ke arah leher Ci Kang yang sedang minum araknya.
Tiba-tiba Ci Kang menurunkan gucinya dan tanpa bangkit dari kursinya, dia menggerakkan tangan kanannya ke atas untuk menangkis tangan lawan. Gerakannya cepat mengandung tenaga amat kuat kerena memang dia mengerahkan sin-kangnya untuk menangkis dengan harapan sekali tangkis akan dapat mengalahkan lawan, sedikitnya mematahkan tulang lengan lawan.
"Dukkk...!"
Akibat benturan dua lengan itu membuat keduanya mengeluarkan teriakan tertahan saking kagetnya. Tubuh pemuda baju putih itu terdorong ke belakang sampai empat langkah, sedangkan sebaliknya, biarpun tubuh Ci Kang tidak terlempar karena dia sedang duduk, namun kursi yang didudukinya pecah berantakan!
Ci Kang sudah meloncat bangun dan alisnya berkerut semakin dalam. Kecurigaannya makin kuat. Orang ini tentu seorang tokoh sesat walaupun belum pernah dia melihatnya. Seorang tokoh muda yang entah datang dari mana dan agaknya diam-diam menjadi pelindung gerombolan penjahat yang menyamar menjadi pengusaha kedai arak.
Teringatlah dia betapa si gendut tadi berusaha memancingnya agar dia suka bicara tentang pertemuan para pendekar dan kini diapun menduga bahwa tentu tokoh sesat ini bertugas menyelidiki pertemuan itu!
"Bagus, kiranya engkau seorang yang memiliki kepandaian juga. Sayang, kepandaian itu kau pergunakan untuk kejahatan!"
Setelah berkata demikian, Ci Kang melompat ke depan dan menyerang dengan pukulan tangannya yang kuat.
Orang berbaju putih itu sudah mengenal kekuatan tangan lawan, maka diapun bersikap hati-hati sekali. Dengan mudah dia mengelak dari serangan Ci Kang lalu membalas dengan tendangan.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat dalam restoran itu antara Ci Kang dan pemuda baju putih. Dan para tamu segera meninggalkan meja masing-masing, menjauh akan tetapi menonton perkelahian itu. Dari sikap mereka, hampir semua berpihak kepada si baju putih!
"Pemburu dari mana dia?" terdengar orang bertanya-tanya.
"Entah, dia baru datang, akan tetapi dia jahat sekali!"
"Dia telah memukuli Cou-twako, pengurus kedai yang baik hati!"
"Tentu dia penjahat!"
Demikianlah percakapan antara mereka yang sedang menonton perkelahian itu. Ci Kang menjadi semakin heran mendengar semua ini. Kenapa semua orang menganggapnya jahat? Akan tetapi dia tidak perduli karena dia maklum bahwa tentu semua orang telah tertipu oleh sikap penjahat-penjahat yang menyamar menjadi pemilik kedai arak ini. Hanya dia yang tahu bahwa mereka ini adalah orang-orang golongan hitam. Dan diapun merasa penasaran sekali.
Pemuda baju putih ini hebat bukan main! Bukan hanya dalam kegesitan dan tenaga si baju putih ini dapat menandinginya, juga dalam ilmu silat pemuda ini agaknya dapat pula mengimbanginya. Gerakannya demikian kuat dan tenang, dan semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkisnya dengan baik.
Ci Kang yang sedang murung itu masih dapat menenangkan hatinya dan menahan kemarahannya dan ini adalah berkat gemblengan dari Ciu-sian Lo-kai selama ini. Sebelum dia menjadi murid Si Dewa Arak, mungkin saja tadi dia telah membunuh para pengurus kedai itu, dan mungkin kini dia akan mengeluarkan serangan-serangan maut untuk membunuh pemuda baju putih yang disangkanya tentu juga seorang tokoh sesat yang membela para penjahat yang menyamar menjadi pengurus kedai.
"Manusia jahat! Terimalah ini...!"
Tiba-tiba si baju putih itu membalas dengan serangan yang amat mengejutkan hati Ci Kang. Pemuda itu menyerangnya dengan pukulan aneh, dengan kedua tangan disilangkan dan didorongkan sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi dari kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan panas yang amat dahsyat, yang menyambar kepadanya seperti badai mengamuk!
Tahulah Ci Kang bahwa pemuda itu ternyata memiliki pukulan sakti yang amat berbahaya dan kini menyerangnya dengan ganas sekali. Maka diapun cepat mengerahkan sin-kangnya dan mendorongkan kedua tangannya dengan telapak terbuka ke depan.
Kembali dua tenaga raksasa saling bentur dan sekali ini sebelum dua pasang tangan bertemu, lebih dulu hawa pukulan itulah yang saling beradu. Dan sekali ini, Ci Kang merasakan betapa tubuhnya tergetar hebat oleh hawa panas itu dan biarpun dia tidak sampai terhuyung ke belakang, namun pasangan kuda-kuda kakinya tergeser. Terkejutlah dia.
Tak disangkanya sama sekali bahwa lawannya sehebat itu. Dan dia yang sudah banyak pengalamannya tentang ilmu-ilmu kaum sesat, tidak dapat mengenal ilmu pukulan apa yang dipergunakan pemuda baju putih ini. Maka mulailah timbul keraguannya. Jangan-jangan pemuda baju putih ini bukan seorang tokoh sesat, melainkan seorang pendekar yang juga tertipu oleh para pengurus kedai dan menganggap para pengurus kedai itu orang baik-baik dan dermawan, dan mengira bahwa dialah yang jahat!
Pemuda baju putih itu agaknya juga terkejut ketika melihat betapa pukulannya yang ampuh tadi dapat ditahan oleh Ci Kang dan hanya membuat pemuda berpakaian pemburu itu bergeser sedikit saja kakinya.
"Seorang pemuda yang berilmu tinggi, akan tetapi mempergunakannya untuk kekejaman dan kejahatan! Orang macam engkau ini harus dibasmi agar tidak menyebar kekejaman lagi!"
Pemuda baju putih itu berseru marah dan kini dia menyerang semakin hebat, dengan gerakan-gerakan aneh yang setiap gerakan mengandung daya serang mematikan! Ci Kang terkejut mendengar ucapan itu, apalagi melihat serangan bertubi-tubi yang amat hebatnya dan mendengar pula kata-kata para penonton yang jelas berpihak kepada si pemuda baju putih. Semua orang agaknya menganggap dia yang jahat!
Cepat dia mengelak beberapa kali lalu meloncat ke belakang sambil berteriak,
"Kalian semua seperti orang buta saja! Tidak tahukah kalian siapa enam orang pengurus kedai ini? Mereka adalah orang-orang dari golongan hitam, kaum sesat atau penjahat-penjahat yang menyamar! Mereka hanya pura-pura saja dermawan, akan tetapi mereka adalah penjahat-penjahat keji yang memusuhi para pendekar!"
Pemuda baju putih itu agaknya tidak percaya, bahkan semakin marah.
"Sudah busuk perbuatannya, busuk pula mulutnya melontarkan fitnah keji!" Dan diapun menyerang lagi dengan pukulan tangan kanan.
"Wuuuttt... dukk!"
Kembali Ci Kang menangkis dan keduanya tergetar dan terpaksa melangkah mundur beberapa tindak.
"Sobat, engkau masih belum percaya? Lihat, kemanakah mereka itu? Mereka telah lari setelah aku membuka kedok mereka!"
Ci Kang berseru dan pemuda baju putih itu menengok dan diapun tidak melihat seorangpun diantara enam pengurus kedai tadi.
"Kebakaran...! Kebakaran...!"
"Pembunuhan...! Rampok... rampok...!"
Di luar kedai terdengar suara gaduh dan tiba-tiba di bagian belakang kedai itupun dimakan api. Asap sudah masuk ke dalam ruangan itu dan semua orang sudah cerai-berai dalam keadaan panik dan sebentar saja yang tertinggal di dalam kedai tinggal Ci Kang dan si pemuda baju putih.
Akan tetapi keduanya segera sadar bahwa di luar tentu terjadi hal-hal yang membutuhkan pertolongan mereka, maka seperti orang berlomba, kedua orang muda itu meloncat keluar kedai. Dan memang keadaan di dusun kecil itu kacau balau. Kebakaran-kebakaran terjadi di sana-sini dan orang-orang berlarian simpang siur dengan panik.
Ci Kang melihat betapa enam orang pangurus kedai tadi, dengan belasan orang lain yang jelas terdiri dari golongan sesat, sedang membakari rumah dan merampoki barang-barang yang mereka angkut keluar. Tentu saja Ci Kang menjadi marah bukan main. Akan tetapi dia sudah keduluan pemuda baju putih yang sudah meloncat dan menerjang orang-orang yang membakari rumah-rumah dan merampoki barang-barang itu. Di beberapa tempat terdapat mayat bergelimpangan, agaknya mayat dari mereka yang hendak melawan keganasan para perampok.
Ci Kang menerjang segerombolan orang yang sedang melakukan pembakaran rumah. Empat orang penjahat yang bertubuh tinggi besar dan berwajah kejam mengeroyoknya dengan senjata golok mereka. Akan tetapi, dengan mudah Ci Kang menyambut serangan mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat empat orang itu kocar-kacir dan jatuh bangun.
Mereka merasa penasaran dan hendak melawan terus, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja Ci Kang membuat mereka tak berdaya, mematahkan tulang lengan atau kaki mereka dan akhirnya empat orang penjahat itu lari tunggang-langgang, yang patah tulang kakinya menyeret kaki itu terpincang-pincang.
Ci Kang tidak mengejar mereka. Gurunya, Si Dewa Arak, selalu menekankan kepadanya betapa tidak baiknya melakukan pembunuhan-pembunuhan. Bahkan sedapat mungkin jangan melakukan kekerasan, kata gurunya itu. Andaikata terpaksa harus menggunakan kekerasan terhadap penjahat, cukup kalau menundukkan dan sekedar memberi hukuman saja agar mereka tidak berani melanjutkan kejahatan mereka, akan tetapi sama sekali tidak boleh dibunuh.
Ajaran Si Dewa Arak ini sungguh berlawanan sekali dengan kebiasaan hidup di lingkungan kaum sesat, akan tetapi Ci Kang menerimanya dengan hati senang dan patuh karena memang cocok sekali dengan pendiriannya sendiri yang tidak suka akan kejahatan dan kekerasan karena dia sudah muak hidup di lingkungan yang penuh dengan kekerasan.
Tiba-tiba Ci Kang terkejut oleh suara teriakan-teriakan yang mengerikan. Dia cepat menoleh dan wajahnya berobah merah. Dia melihat pemuda baju putih itu mengamuk dan sepak terjangnya menggiriskan sekali. Sudah ada tujuh atau delapan orang penjahat termasuk si gendut dari kedai arak dan anak buahnya, berserakan menjadi mayat.
Pemuda itu menurunkan tangan mautnya dan tidak memberi ampun kepada para penjahat. Masih ada beberapa orang penjahat yang mengeroyoknya, akan tetapi Ci Kang maklum bahwa mereka semua itu tentu akan tewas di tangan si pemuda baju putih kalau dia tidak mencegahnya. Cepat dia meloncat dan ketika tangan pemuda baju putih itu menyambar dengan serangan maut kepada seorang penjahat yang goloknya sudah terlempar, dia menubruk dan menangkis.
"Dukkk...!"
Untuk ke sekian kalinya kembali dua lengan yang mengandung tenaga kuat itu saling bertemu, menggetarkan tubuh kedua pihak.
Pemuda baju putih itu mengerutkan alisnya dan matanya memandang terbelalak kepada Ci Kang.
Ci Kang dan Cia Sun berdiri memandang, sejenak seperti kehilangan akal karena mereka sungguh tidak mengira bahwa wanita itu bukan Siang Hwa, melainkan seorang gadis muda yang sama sekali tidak mereka kenal. Akan tetapi, karena gadis ini berada di tempat yang mereka anggap sebagai sarang dari Raja Iblis, tentu saja merekapun menaruh curiga kepada gadis ini. Apalagi setelah mereka mengalami malapetaka dan nyaris tewas akibat seorang gadis cantik pula. Dan gadis inipun tadi menyerang mereka dengan amat hebatnya, serangan maut yang kalau tidak cepat mereka elakkan, mungkin dapat membunuh mereka.
Betapapun juga, karena yang mereka hadapi hanya seorang gadis remaja yang kini nampak bingung dan ketakutan seperti seekor harimau yang terkurung, dua orang pemuda itu sendiripun tidak tahu harus berbuat apa. Tentu saja mereka tidak sudi menyerang gadis yang tidak mereka kenal ini.
"Nona, kenapa engkau menakut-nakuti kami kemudian menyerang kami dengan kebutanmu itu?" tanya Cia Sun.
"Karena demikian pesan ibuku..." jawab gadis itu, suaranya merdu akan tetapi agak kaku seperti orang yang jarang sekali bicara.
"Pesan ibumu? Untuk membunuh kami?"
"Ya, kalian atau siapa saja yang berani masuk kesini, terutama laki-laki. Aku... aku tadi tidak tega untuk menyerang kalian, maka hendak mengusir kalian dengan menakut-nakuti, akan tetapi kalian tidak takut..."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang. Mereka mengerutken alis. Gadis ini masih seperti anak-anak saja. Akan tetapi bagaimanapun juga, ketika mengatakan bahwa ia tidak tega menyerang mereka, menunjukkan bahwa gadis ini tidaklah sejahat Siang Hwa.
"Siapakah ibumu, nona?"
"Ibuku... ya, ibuku, satu-satunya orang yang baik kepadaku, yang kadang-kadang mengunjungi dan yang melatih ilmu silat, mengajarku membaca dan menulis. Sayang, ibu kini hanya jarang saja dapat mengunjungiku..."
"Akan tetapi, kenapa engkau berada di tempat ini? Dan bagaimana dapat keluar dari sini?" Cia Sun mendesak.
"Aku berada disini sejak kecil, aku sudah lupa lagi berapa lamanya... sejak kecil, dan yang menemani aku hanya kerangka itu... dan ibu yang kadang-kadang datang menjengukku."
"Engkau tidak pernah keluar dari sini?" tanya Ci Kang yang juga terheran-heran.
Gadis itu menggeleng kepala.
"Tidak diperkenankan ibu. Katanya, kalau aku keluar, aku tentu akan dibunuh orang. Aku hanya dapat mandi cahaya matahari selama beberapa jam saja setiap hari ketika sinar matahari memasuki ruangan belakang melalui sebuah lubang."
"Bagaimana engkau makan? Minum? Dan mandi atau mencuci pakaian?" Cia Sun bertanya, merasa heran dan kasihan.
"Aku masak sendiri, bahan makanan diberi ibu, banyak sekali."
Gadis itu lalu berjalan perlahan, diikuti dua orang pemuda itu. Ia memperlihatkan tumpukan bahan makanan di sebuah ruangan lain dan juga adanya sebuah sumber air. Ada beras, ada daging kering dan bumbu-bumbunya. Cukup untuk makan berbulan-bulan.
"Akan tetapi, kenapa engkau dikurung disini? Siapa yang akan membunuhmu kalau kau keluar?"
"Entahlah, ibu hanya bilang bahwa aku tidak boleh bertemu dengan laki-laki. Kalau ada laki-laki masuk kesini, aku harus membunuhnya. Akan tetapi aku tidak suka membunuh, dan aku sekarang merasa girang sekali dapat bertemu dan bercakap-cakap denganmu..." Gadis itu memandang wajah Cia Sun dengan mata bersinar-sinar. "Aku girang tadi tidak sampai membunuhmu!"
"Hemm, jangan dikira mudah membunuh dia atau aku, nona," kata Ci Kang.
"Aku tentu dapat kalau aku mau!" gadis itu berkata. "Kebutanku ini lihai sekali, bahkan ibu sendiri bilang kebutanku akan sukar dilawan olehnya. Lihat...!" Gadis itu menggerakkan kebutannya.
"Tar-tar...!"
Ujung batu di langit-langit ruangan itu terkena sambaran ujung kebutan dan hancur menjadi debu! Diam-diam dua orang pemuda itu kaget dan kagum. Gadis ini tidak main-main dan ilmu mempergunakan kebutan itu lihai dan berbahaya sekali.
"Siapa yang mengajarmu mainkan kebutan selihai itu?"
Cia Sun bertanya. Kalau sampai ibu gadis itu sendiri yang katanya mengajarnya silat menyatakan tidak sanggup menandingi kebutan itu, berarti tentu bukan ibu gadis itu yang membimbingnya dalam ilmu menggunakan kebutan itu.
"Guruku dalam ilmu kebutan adalah dia!"
Gadis itu menuding ke arah kerangka manusia berpakaian tosu itu. Dua orang pemuda itu terkejut dan kini mereka semua kembali menghampirl kerangka yang masih duduk bersila. Kini mereka berdua dapat membayangkan betapa lihainya orang ini dahulu ketika masih hidup. Jelas bahwa orang itu mati dalam keadaan bersamadhi. Dan hebatnya, biarpun seluruh kulit dan dagingnya telah habis dimakan waktu dan hanya tinggal kerangkanya saja, akan ketapi kerangka itu tetap dalam keadaan duduk bersila dan tidak runtuh.
"Siapakah locianpwe ini...?" tanya Ci Kang dengan hati kagum.
"Dia adalah kakek guruku, dia adalah guru terakhir dari ibu dan ayahku."
Gadis itu menjawab tanpa ragu-ragu dan dengan suara mengandung kebanggaan. Agaknya dara itu merasa bangga sekali kepada kerangka itu yang selain menjadi kakek gurunya, juga menjadi temannya hidup di dalam guha bawah tanah ini.
"Akan tetapi dia... mana bisa mengajarmu? Dia sudah mati lama sekali," kata Cia Sun.
Gadis itu tertawa dan wajahnya yang agak pucat itu nampak manis bukan main. Sepasang matanya memandang wajah Cia Sun dan berseri-seri. Agaknya ia dapat mendengar atau merasakan betapa di dalam suara pemuda itu terkandung perasaan iba dan kagum dan hal ini amat menyenangkan hatinya.
"Tentu saja tidak secara langsung. Dia sudah menjadi kerangka ketika aku dibawa kesini untuk pertama kalinya. Akan tetapi atas petunjuk ibuku, aku mempelajari catatan-catatan dan gambar-gambar yang terukir di atas batu yang berada di belakangnya. Ilmu itu, kata ibu merupakan ilmu rahasia yang tidak pernah diajarkan kepada siapapun juga tidak kepada ibu, sehingga kini menjadi milikku sendiri."
Dua orang pemuda itu kint dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang jahat, dan agaknya tidak ada hubungannya dengan Raja Iblis maupun Siang Hwa. Akan tetapi Ci Kang masih belum puas.
"Apakah engkau mengenal seorang gadis bernama Siang Hwa?" tanyanya sambil memandang wajah dara remaja itu.
Yang ditanya mengerutkan alisnya seperti orang mengingat-ingat, lalu menggeleng kepala.
"Tentu engkau mengenal Raja Iblis atau Ratu Iblis!"
Ci Kang menyambung tiba-tiba dan pandang matanya penuh selidik mengamati wajah cantik manis itu. Akan tetapi gadis itu kelihatan geli dan menggeleng kepalanya lagi.
"Kau kira aku ini siapakah mengenal segala iblis? Aku hanya mengenal iblis dan setan dalam dongeng-dongeng ibuku atau cerita-cerita dalam buku-buku yang ditinggalkan ibu untukku."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang, kini yakin bahwa gadis ini memang tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga iblis itu.
"Siapakah nama ibumu dan ayahmu, nona?"
Cia Sun bertanya, sikapnya halus dan sopan walaupun dia dapat menduga bahwa gadis ini sejak kecil tidak pernah bergaul dengan manusia lain.
Gadis itu memandang Cia Sun dan seperti tadi, wajahnya berseri dan jelas nampak dari pandang matanya bahwa ia suka dan kagum kepada pemuda itu. Lalu ia menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu, aku tidak pernah jumpa dengan ayah, dan ibuku tidak pernah memberitahukan nama. Tapi aku... aku benci ayah!"
Cia Sun mengerutkan alisnya. Seorang gadis yang begini manis dan yang keadaannya amat aneh, menarik perhatian dan rasa ibanya, tidak layak kalau mengeluarkan kata-kata keji seperti itu, kata-kata yang hanya patut keluar dari mulut seorang anak durhaka.
"Nona, tidak baik membenci ayah sendiri." dia menegur.
Mendengar nada suara teguran ini, dan melihat betapa pandang mata Cia Sun sedemikian marah dan tidak senang, tiba-tiba saja gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan dan menangis!
Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang menjadi heran dan tidak tahu harus berbuat apa. Cia Sun yang merasa bersalah telah menegur orang padahal urusan pribadi nona itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dia, segera maju dan berkata dengan suara menyesal,
"Maafkan aku, nona. Bukan maksudku untuk menegurmu dan menyinggung hatimu, akan tetapi aku tadi hanya merasa heran bagaimana seorang gadis seperti engkau ini dapat membenci ayah sendiri. Kenapa engkau membencinya? Kalau sampai engkau membencinya, tentu dia seorang ayah yang tidak baik!"
Gadis itu menurunkan kedua tangannya dan sejenak Cia Sun terpesona. Setelah menangis, ada warna merah pada kedua pipi gadis itu dan kini ia nampak cantik manis sekali, amat menarik hati! Gadis itu mengusap air mata dari kedua pipinya dengan ujung lengan baju, kemudian memandang Cia Sun.
"Dia... dia mau membunuhku!"
"Apa...?" Cia Sun benar-benar terkejut mendengar ini. "Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak pernah berjumpa dengan dia, akan tetapi ibu menekankan kepadaku bahwa aku tidak boleh bertemu dengan orang lain, terutama dengan laki-laki dan lebih-lebih lagi dengan ayahku karena ayahku pasti akan membunuhku kalau bertemu denganku. Karena itulah maka aku dikurung disini."
Hati Cia Sun tertarik sekali. Ayah dan ibu gadis ini sungguh merupakan manusia-manusia aneh. Ibu gadis ini barangkali gila, ataukah ayahnya yang gila? Ataukah gadis ini sendiri yang miring otaknya?
"Engkau tidak tahu siapa nama ayahmu atau ibumu?"
Gadis itu menggeleng kepalanya.
"Dan namamu sendiri? Siapakah namamu?"
"Ibu memanggil aku Hui Cu."
"She-mu...?"
"Apa itu she?"
"Nama keluargamu? Siapakah nama keluarga ayahmu?"
"Aku tidak tahu, tahuku hanya bahwa ibu memanggil aku Hui Cu dan kata ibu usiaku sekarang sudah hampir delapan belas tahun."
Sementara itu, Ci Kang kelihatan tidak sabar melihat betapa Cia Sun asyik bicara dengan gadis ini. Dia tahu bahwa Cia Sun hanya tertarik oleh riwayat gadis yang amat aneh itu, akan tetapi baginya, hal itu tidak ada sangkut-pautnya sama sekali.
"Sudahlah, mari kita cepat keluar dari sini. Nona, tunjukkanlah jalan keluar dari tempat ini untuk kami," katanya.
Baru teringat Cia Sun bahwa mereka terkurung di dalam guha bawah tanah. Diapun mengangguk kepada gadis bernama Hui Cu itu sambil berkata,
"Benar, kami perlu cepat keluar dari sini, adik Hui Cu. Tolonglah kami keluar dari sini!"
Hui Cu kelihatan girang sekali dipanggil adik oleh Cia Sun. Ia tersenyum dan nampaklah giginya berderet putih. Agaknya, ibu gadis ini tidak lupa untuk memberi pelajaran cara merawat dan membersihkan diri kepada gadis yang hidupnya terkurung dalam guha bawah tanah ini.
"Kau... siapakah namamu?" tiba-tiba ia bertanya kepada Cia Sun.
"Namaku Cia Sun dan dia bernama Siangkoan Ci Kang. Nah, adik Hui Cu, tunjukkanlah jalan keluar itu."
"Cia Sun... Cia Sun... kakak Sun, kenapa engkau mau keluar? Kenapa tidak tinggal saja disini menemani aku?"
Keharuan menyelinap dalam hati Cia Sun. Sungguh patut dikasihani anak ini, pikirnya.
"Tidak mungkin, siauw-moi (adik kecil), tidak mungkin aku tinggal disini. Aku harus keluar dari sini. Banyak urusan yang harus kuselesaikan. Nah, tunjukkanlah jalan keluar bagi kami."
Gadis itu menggigit bibir, agaknya terjadi pertentangan dalam hatinya, akan tetapi ia mengangguk lalu melangkah menuju ke lorong samping, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang dari belakang. Akhirnya gadis itu berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari besi dan dicat hitam.
"Hanya dari sinilah jalan kcluar, dan ini merupakan rahasia. Kalau bukan untukmu, Sun-ko, aku tidak akan suka membuka rahasia ini. Kalau diketahui ibu, tentu aku akan mendapat kemarahan besar sekali."
Berkata demikian, gadis itu meraba dinding batu dekat pintu dan terdengar suara berderit ketika pintu besi itu bergerak masuk ke dalam dinding. Seketika Cia Sun dan Ci Kang memicingkan mata dan melindungi mata dengan tangan karena mereka menjadi silau ketika tiba-tiba berbareng dengan terbukanya daun pintu itu, nampak sinar matahari yang amat terang di balik pintu.
Mereka melewati ambang pintu dan berdiri di dalam cahaya matahari.
"Disinilah aku setiap pagi berjemur diri seperti yang diajarkan ibu. Kalau pintu ini terbuka, maka penutup sumur ini di bagian atas terbuka pula. Kalau pintu tertutup, penutup di atas itupun ikut tertutup sehingga tempat ini tidak pernah dapat diketahui orang dari atas," kata Hui Cu.
Dua orang pemuda itu memandang ke atas. Tempat itu merupakan dasar sebuah sumur yang dalam, agaknya tidak kurang dari seratus kaki dalamnya!
"Adik Hui Cu," kata Cia Sun memancing. "Apakah engkau pernah keluar dari lubang ini?"
Gadis itu mengangguk.
"Beberapa kali aku keluar, biasanya di waktu malam saja kalau suasana sepi karena aku takut... kalau sampai ketahuan orang yang akan membunuhku. Dan juga pernah beberapa kali keluar siang bersama ibu, akan tetapi tidak lama dan sebelum bertemu orang lain aku sudah harus masuk lagi."
"Dan bagaimana caranya engkau keluar dari sini?"
Hui Cu memandang ke atas, lalu nampak kaget.
"Aih, kenapa aku tidak ingat? Aku dapat naik dengan mudah, akan tetapi engkau, Sun-ko, kalian... mana bisa memanjat naik?"
"Kenapa tidak bisa?"
Ci Kang berkata dan pemuda ini sudah cepat mengerahkan sin-kang dan menggunakan kedua tangan dan kakinya untuk memanjat naik. Dengan menggunakan kedua tangan mencengkeram dinding sumur itu, dia dapat terus merayap naik seperti seekor cecak.
Hui Cu memandang dengan mata terbelalak.
"Wah, dia lebih pandai daripada aku!" Lalu ia membalikkan tubuhnya menghadapi Cia Sun. "Sun-ko, jangan kau pergi...!"
"Mana bisa? Tak mungkin aku tinggal terus disini, adik Hui Cu."
"Sun-ko, jangan tinggalkan aku, Sun-ko. Maukah engkau menemani aku barang beberapa hari saja? Aku amat kesepian, Sun-ko, hampir tak tertahankan lagi... dan begitu bertemu denganmu, aku ingin lebih lama berkenalan denganmu, bercakap-cakap denganmu..."
Cia Sun memandang dengan hati terharu. Gadis ini masih seperti kanak-kanak saja, polos dan bersih, dan menderita.
"Adik Hui Cu, tidak mungkin aku tinggal disini. Engkau saja agar minta kepada ibumu, kalau benar ia mencintamu, supaya engkau dibawa keluar dari tempat ini. Kulihat kepandaianmu hebat, kiranya engkau akan dapat pergi jauh dari orang yang hendak membunuhmu dan andaikata bertemu dengan aku, aku tentu akan siap melindungimu dari ancaman orang yang hendak membunuhmu."
Tiba-tiba Hui Cu memegang kedua tangan pemuda itu. Dengan kedua mata basah ia memandang wajah Cia Sun.
"Benarkah, koko? Benarkah bahwa engkau akan suka melindungi aku? Menurut ibu, ayahku itu memiliki kepandaian tinggi, sukar dikalahkan siapapun juga..."
"Tentu, siauw-moi, tentu aku akan melindungimu. Nah, sekarang selamat tinggal. Lihat, kawanku sudah hampir sampai diatas!"
Akan tatapi, tiba-tiba saja terdengar Ci Kang mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya melayang turun ke bawah! Cia Sun terkejut bukan main dan cepat dia menyambut tubuh kawannya itu dengan kedua lengannya. Untung Ci Kang masih sempat mengerahkan gin-kangnya sehingga dibantu oleh Cia Sun, dia dapat tiba di dasar sumur itu dengan selamat.
"Ibu...!"
Tiba-tiba Hui Cu berseru nyaring dan tubuhnya melesat ke atas. Cia Sun kagum melihat kehebatan gin-kang gadis itu. Sebentar saja tubuhnya sudah merayap naik dengan cepat sekali. Dari bawah, dia melihat bayangan orang di atas dan maklumlah dia bahwa yang berada di atas itu adalah ibu Hui Cu!
"Ia menyerangku dengan angin pukulan dahsyat!" kata Ci Kang dengan marah.
"Mari kita susul Hui Cu!"
Cia Sun berkata. Dengan cerdik dia hendak mempergunakan Hui Cu sebagai pelindung atau perisai. Kalau mereka merayap di bawah Hui Cu, tentu ibu gadis itu tidak dapat menyerang mereka dan ibu itu kiranya tidak akan mau mencelakai anak sendiri.
Ci Kang mengerti apa maksud kawannya, maka diapun cepat merayap kembali bersama Cia Sun mengejar Hui Cu yang sudah merayap lebih dulu. Benar saja, nenek yang berada di luar sumur itu menjenguk ke bawah dan mengeluarkan teriakan-teriakan yang tidak jelas, agaknya menyuruh puterinya itu turun kembali.
Akan tetapi Hui Cu tidak perduli dan terus merayap naik. Ketika gadis itu akhirnya meloncat keluar sumur, ibunya hendak menyerang Cia Sun dan Ci Kang yang masih belum tiba di atas.
"Ibu, jangan...!"
Hui Cu berseru dan menubruk ibunya, memeluk pinggang ibunya untuk menahan ibunya yang hendak mendekati sumur.
"Lepaskan aku, biar kubunuh mereka...!"
Nenek itu berseru dan meronta-ronta. Akan tetapi Hui Cu tetap tidak mau melepaskan rangkulannya dari pinggang ibunya dan kedua orang ini bersitegang. Keributan itu memberi cukup waktu bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk berloncatan keluar dari sumur dan kini mereka berdiri terbelalak.
Kiranya nenek yang kini berusaha melepaskan rangkulan Hui Cu adalah seorang nenek berambut dan berpakaian putih, dan mereka berdua segera mengenalnya sebagai Ratu Iblis!
Nenek itu kinipun mengenal Ci Kang dan Cia Sun. Sejenak matanya yang kehijauan itu terbelalak, seolah-olah tidak percaya pandang matanya sendiri dan ia nampak kaget seperti melihat orang-orang yang sudah mati hidup kembali! Akan tetapi otaknya yang amat cerdik segera dapat membuat perhitungan dan ia menjadi kagum bukan main. Ia dapat menduga bahwa tentu dua orang muda itu berhasil menjebol lantai kamar jebakan yang dialiri air dari atas itu! Dua orang pemuda ini, yang menjadi musuh besar keluarganya, telah mengetahui rahasianya, rahasia puterinya!
Gadis itu, Toan Hui Cu, adalah puteri Ratu Iblis yang ketika lahir dahulu ditukar dengan bayi seorang penghuni dusun. Puteri inilah yang diselamatkan itu dengan mengorbankan nyawa bayi puteri penghuni dusun yang sama sekali tidak berdosa.
Ratu Iblis membunuh seorang bayi untuk menyelamatkan puterinya dari ancaman suaminya. Kemudian, setelah anak itu berusia lima enam tahun, dia menculiknya dari suami isteri penghuni dusun itu dan mengurung anak yang diberi nama Hui Cu, Toan Hui Cu itu, ke dalam guha bawah tanah yang merupakan tempat rahasia yang hanya diketahuinya sendiri.
Raja Iblis tentu saja tahu akan tempat ini, akan tetapi tempat ini merupakan kuburan atau tempat terakhir dari seorang gurunya dan menjadi tempat keramat, maka dia sendiripun tidak pernah dan tidak mau menjenguk tempat itu. Sama sekali dia tidak mengira bahwa isterinya mempunyai rahasia, bahwa tempat itu menjadi tempat persembunyian puterinya sendiri!
Ratu iblis merahasiakan segalanya dan bersikap hati-hati sekali. Bahkan ia tidak pernah memperkenalkan namanya sendiri atau nama suaminya kepada Hui Cu, dan menakut-nakuti gadis itu agar membunuh setiap orang yang berani masuk, juga memberi tahu bahwa ayah gadis itu tentu akan membunuhnya kalau sampai melihatnya.
Hal ini membuat Hui Cu ketakutan dan ia mentaati pesan ibunya, sampai belasan tahun lamanya ia menjadi penghuni guha bawah tanah itu sampai akhirnya, tanpa tersangka-sangka, nasib mempertemukan ia dengan Cia Sun dan Ci Kang!
Ketika Ratu Iblis mengenal dua orang pemuda itu, selain terkejut dan heran, ia juga marah dan khawatir sekali. Dua orang muda ini harus dibunuhnya, kalau tidak, rahasianya tidak akan dapat dipertahankannya lagi dan suaminya tentu akan marah kalau tahu bahwa ia mempunyai seorang puteri, yang disembunyikan sampai belasan tahun lamanya. Entah apa yang akan diperbuat suaminya terhadap dirinya dan terhadap Hui Cu, ia tidak sanggup membayangkan.
"Lepaskan, aku harus bunuh mereka!" Tiba-tiba ia menggerakkan tubuhnya dengan kuat dan Hui Cu terpelanting jauh. Melihat puterinya terpelanting jatuh, Ratu Iblis tidak jadi menyerang dua orang muda itu melainkan mendekati puterinya, merangkulnya dan bertanya dengan suara penuh kasih sayang, "Anakku, engkau tidak terluka...?"
Diam-diam dua orang pemuda yang memperhatikan gerak-gerik Ratu Iblis merasa heran. Lenyaplah sifat liar dan ganas dari nenek itu, terganti sifat yang menimbulkan rasa haru, karena sikapnya ketika merangkul dan mengelus rambut Hui Cu, dan juga suaranya menggetarkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya!
"Ibu, jangan bunuh mereka... jangan serang Sun-koko...!"
Nenek itu melepaskan rangkulannya dan mengerutkan alianya.
"Sun-koko...? Siapa itu?"
"Seorang dari mereka... mereka tidak sengaja memasuki guha bawah tanah, ibu, jangan serang mereka, mereka itu orang-orang yang amat baik..."
"Setan! Mereka adalah musuh-musuh kita, kalau tidak dibunuh hanya akan mendatangkan bencana di kemudian hari!"
Dan tiba-tiba saja sikap nenek itu berobah lagi dan tubuhnya melesat ke depan, kedua tangannya sudah mendorong ke arah Cia Sun dan Ci Kang.
Akan tetapi kini dua orang pemuda itu sudah siap menghadapi serangan lawan. Mereka berdua tahu bahwa nenek itu lihai bukan main. Serangannya tadi saja mengeluarkan hawa yang amat kuat dan panas dan sebelum tangan itu menyentuh mereka, telah ada angin pukulan dahsyat yang menyerang. Mereka cepat mengelak dan balas menyerang sambil mengerahkan tenaga mereka.
Ratu Iblis menggereng marah melihat betapa tamparan-tamparannya dapat dielakkan oleh dua orang lawan itu, bahkan kini mereka membalas dengan pukulan-pukulan yang keras. Ia masih memandang rendah mereka dan menggunakan kedua lengannya untuk menangkis, dengan maksud tangkisan itu akan dilanjutkan dengan cengkeraman untuk menangkap lengan mereka.
"Dukk! Dukk...!"
Nenek itu kembali mengeluarkan suara geraman aneh ketika ia merasa betapa benturan lengan itu membuat tubuhnya tergetar hebat, jangankan merobah tangkisan menjadi cengkeraman, bahkan ia terhuyung ke belakang oleh benturan-benturan itu. Sedangkan Cia Sun dan Ci Kang juga terhuyung ke belakang karena nenek itu memang memiliki tenaga kuat yang aneh sekali.
Mulailah nenek itu memandang mereka dengan mata lain, tidak lagi berani memandang rendah. Dan iapun mulai mengerti bahwa dua orang pemuda itu memang memiliki ilmu kepandaian hebat. Tadinya memang Siang Hwa melaporkan bahwa mereka itu lihai, akan tetapi ia masih belum percaya. Sekarang baru ia tahu bahwa memang tingkat kepandaian mereka ini lebih lihai daripada tingkat Siang Hwa. Pantas saja muridnya itu terpaksa mempergunakan siasat untuk menjebak mereka.
Karena tidak memandang rendah lagi, nenek itu menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar berkilat ketika ia tahu-tahu sudah mencabut pedangnya. Dicabutnya pedang ini membuktikan bahwa Ratu Iblis benar-benar tidak memandang rendah lawan. Jarang ia mempergunakan pedangnya kalau bertanding karena jarang pula ada orang mampu menandinginya walaupun ia tidak mencabut pedang.
Ci Kang maklum akan kelihaian lawan, maka diapun cepat mematahkan sebuah cabang pohon yang sebesar lengannya dan panjangnya satu tombak. Menghadapi pedang seorang datuk sesat seperti nenek itu dia harus berhati-hati.
Cia Sun juga berhati-hati dan untung bahwa suling yang terselip di pinggangnya, di balik bajunya, masih ada, maka iapun mencabut sulingnya itu. Benda ini telah menjadi senjata yang ampuh semenjak dia di digembleng oleh Go-bi San-jin. Bukan hanya suling ini, bahkan kini dia pandai mempergunakan ujung lengan baju atau benda apa saja sebagai senjata.
Dengan cerdiknya, kedua orang muda itu lalu berpencar, menghadapi nenek itu dari kanan kiri. Mereka bersikap hati-hati dan hanya menanti dengan waspada, tidak mau menyerang lebih dulu.
Sejenak tiga orang itu berdiri tegak seperti patung, hanya mata nenek itu yang melirik ke kanan kiri untuk mengikuti gerakan dua orang lawannya. Pedang di tangan kanannya itu diangkat tinggi-tinggi dan melintang di atas kepala, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka, diletakkan di depan dada, rambutnya yang putih panjang itu tergantung di depan.
"Ibu, jangan serang mereka...! Sun-ko, jangan berkelahi dengan ibuku..."
Akan tetapi nenek itu tentu saja tidak memperdulikan teriakan puterinya, bahkan membentak marah,
"Diam kau...!"
"Siauw-moi, aku hanya membela diri...!"
Cia Sun menjawab. Akan tetapi begitu dia bicara, nenek itu sudah menggerakkan pedangnya menyerang dengan amat hebatnya. Pedang itu menyambar dari atas seperti halilintar dan mengeluarkan hawa dingin.
Cia Sun cepat mengelak. Pedang menyambar lewat akan tetapi cepat membalik dan meluncur turun, kalau tadi membacok kini berbalik menusuk! Demikian cepatnya datangnya serangan lanjutan itu sehingga Cia Sun terpaksa harus mengangkat sulingnya menangkis.
"Trakkk...!"
Kembali keduanya mendapat kenyataan bahwa lawan memang memiliki tenaga sin-kang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Pada saat itu, Ci Kang sudah menyerang dengan tongkatnya yang dibuat secara darurat, yaitu kayu cabang pohon tadi. Serangannya hebat sekali, sampai mengeluarkan angin dan suara bersuitan. Tongkat itu menyambar ke arah kepala nenek itu yang sedang menyerang Cia Sun.
Ratu Iblis itu sungguh lihai bukan main. Menghadapi serangan tongkat yang datang dari samping agak belakang ini, ia bersikap tenang saja. kepalanya digerakkan mengelak dan tiba-tiba saja gumpalan rambut putihnya menyambar dan menangkis batang kayu itu. Hebatnya, kini gumpalan rambut itu tiba-tiba saja berobah menjadi kaku dan keras seperti besi.
"Takkk...!"
Tongkat di tangan Ci Kang tertangkis dan mendadak tangan kiri nenek itu mendorong ke depan dan serangkum hawa panas yang amat hebat menyambar dada Ci Kang sebagai balasan serangannya.
"Ehhh...!"
Ci Kang berseru kaget dan terpaksa dia meloncat jauh ke belakang karena serangan itu sungguh amat berbahaya.
Dua orang muda itu kini bersikap hati-hati sekali. Mereka semakin tahu betapa hebatnya lawan mereka yang memiliki tiga macam senjata ampuh itu, yakni pedangnya, rambutnya, dan tangan kirinya. Belum lagi diperhitungkan kedua kakinya kalau mengirim tendangan karena mereka melihat betapa sepatu nenek itu berlapis baja!
Nenek itu sendiri juga menjadi terkejut. Belum pernah ia menghadapi lawan yang begini tangguhnya. Andaikata dua orang pemuda itu maju satu demi satu saja, agaknya ia masih akan dapat mengatasi mereka, bahkan mengungguli mereka. Akan tetapi pemuda itu maju bersama dan setelah kini mereka bersikap hati-hati, gerakan mereka amat kuat dan terpusatkan sehingga ia segera terdesak hebat! Juga pertemuan-pertemuan tenaga antara ia dan dua orang muda itu membuat ia lelah karena ia harus mengerahkan seluruh tenaganya kalau tidak mau celaka dilanda gelombang tenaga yang dahsyat dari mereka.
"Anakku, cepat maju dan gunakan kebutanmu! Bantulah aku!"
Akhirnya setelah terdesak hebat, nenek itu berseru minta bantuan puterinya yang sejak tadi hanya nonton saja dengan mata terbelalak penuh kegelisahan. Kini, mendengar seruan ibunya, ia menjadi semakin bingung.
"Tidak, ibu! Kata ibu semua orang terutama laki-laki jahat, akan tetapi mereka ini tidak jahat, aku tidak bisa menyerang mereka. Ibu jangan memusuhi mereka!" Gadis itu menjawab dengan suara yang tegas.
"Desss...!"
Tubuh nenek itu terhuyung akan tetapi ia dapat menguasai dirinya dan tidak sampai roboh walaupun tongkat cabang pohon di tangan Ci Kang yang menyerempet pinggangnya tadi kuat bukan main.
Karena puterinya tidak mau membantunya dan maklum bahwa dua orang lawannya sungguh merupakan lawan tangguh yang dapat membahayakan keselamatannya, Ratu Iblis mengeluarkan pekik melengking yang sejenak membuat kedua orang pemuda itu tercengang dan mereka harus mengerahkan sin-kang untuk melawan pengaruh suara itu dan kesempatan itu dipergunakan oleh nenek itu untuk meloncat ke arah puterinya, memegang lengan puterinya dan melarikan diri sambil menarik Hui Cu bersamanya.
"Kurasa tidak perlu dikejar, terlalu berbahaya...!"
Cia Sun berkata ketika melihat temannya hendak mengejar. Mendengar suara Cia Sun, Ci Kang menahan kakinya dan melangkah kembali menghampiri temannya yang sedang memeriksa tangan kirinya yang ternyata kulitnya berwarna hitam kehijauan dari jari-jari tangan sampai ke pergelangan.
"Cia Sun, engkau keracunan!" kata Ci Kang mendekat.
"Nenek itu memiliki banyak pukulan beracun yang jahat. Sungguh berbahaya sekali!" kata Cia Sun. "Karena itu aku mencegahmu melakukan pengejaran. Aku tidak dapat membantumu dan kalau sampai ia dibantu kawan-kawannya, tentu engkau terancam bahaya. Aku harus menggunakan waktu beberapa hari untuk membersihkan racun ini."
"Tidak perlu begitu lama, Cia Sun. Aku telah mempelajari ilmu membersihkan hawa beracun itu dan dengan bantuanku, tanganmu akan sembuh dengan cepat."
Tak lama kemudian Ci Kang sudah mengobati tangan kiri temannya itu. Cia Sun duduk bersila, mengerahkan sin-kang dan dengan hawa murni dia mendorongkan tenaga ke arah tangan kirinya. Kalau dia melakukan pengobatan ini sendiri saja, tentu akan memakan waktu sedikitnya sepekan baru hawa beracun dalam tangan kirinya itu dapat terusir bersih.
Akan tetapi, kini Ci Kang menempelkan kedua telapak tangannya di siku dan pundak kirinya dan teman ini membantunya dengan mengerahkan sin-kang. Hawa panas memasuki lengan kirinya itu dan dengan kekuatan disatukan, dengan mudah mereka dapat mengusir racun dari tangan kiri. Tak lama kemudian, kulit tangan itu berobah warnanya. Warna hitam kehijauan itu perlahan-lahan surut dan akhirnya lenyap melalui kuku-kuku jari tangan.
"Terima kasih, Ci Kang, engkau telah menolongku," kata Cia Sun dengan girang dan kagum.
Ci Kang menggeleng kepala.
"Tidak ada terima kasih, Cia Sun. Ketika aku terjatuh kembali ke dalam sumur tadi, engkaupun telah menolongku. Sikapmu yang baik terhadap diriku saja sudah membuat aku bersyukur sekali."
"Ci Kang, sampai kini aku masih merasa heran mengingat bahwa engkau, seperti pengakuanmu, adalah putera Siang-koan Lo-jin! Dan engkau memusuhi datuk-datuk sesat! Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya mengingat bahwa nasib telah mempertemukan kita yang menjadi sahabat senasib sependeritaan, apakah yang kau cari disini?"
"Sama dengan engkau, Cia Sun. Bukankah engkau datang ini untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak bangkit menentang Raja dan Ratu Iblis yang kabarnya dibantu oleh para datuk sesat termasuk Cap-sha-kui?"
Cia Sun mengangguk lalu bertanya,
"Apa maksudmu ingin menghadiri pertemuan itu?"
Ci Kang tersenyum pahit.
"Aku yang tolol ini hendak menipu diri sendiri. Ayahku seorang datuk sesat, begaimana mungkin aku diterima diantara para pendekar? Tadinya kusangka..."
Melihat Ci Kang tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya menjadi muram, Cia Sun memegang lengan yang kokoh kuat itu.
"Sahabatku, jangan kau persalahkan sikap para pendekar. Andaikata aku sendiri belum mengalami bahaya-bahaya itu bersamamu dan telah mengenalmu benar bahwa engkau adalah seorang gagah yang menentang para datuk sesat, mungkin akupun akan curiga kepadamu. Bayangkan saja. Engkau, putera Siangkoan Lo-jin, berkeliaran disini, padahal para pendekar hendak mengadakan pertemuan untuk menentang golongan sesat! Tentu saja orang yang tidak mengenal keadaan dirimu akan menyangka engkau memata-matai pertemuan para pendekar itu. Akan tetapi jangan takut. Ada aku disini yang akan menjelaskan segalanya kepada para pendekar. Tapi katakan dulu, apa sesungguhnya niat hatimu datang ke sini?"
"Aku hendak menyumbangkan tenaga menentang para datuk yang hendak melakukan pemberontakan."
"Bagus! Kalau begitu kita sehaluan. Mari kita pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menemui para pendekar, Ci Kang."
Akan tetapi pemuda yang tinggi besar itu menggeleng kepala.
"Cia Sun, sejak kecil aku selalu ingin berusaha sendiri. Usaha apapun yang kuhadapi, kalau berhasil hanya karena bantuan orang lain, tidak akan memuaskan hatiku. Biarlah, aku akan hadapi sendiri para pendekar, apapun akibatnya. Aku girang sekali telah dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Cia Sun. Selamat berpisah!"
Setelah berkata demikian, Ci Kang lalu meloncat lari meninggalkan Cia Sun yang berdiri termenung, hatinya kagum melihat pemuda perkasa yang memiliki ilmu kepandaian yang dapat menandinginya. Diapun lalu meninggalkan tempat berbahaya itu.
Seperti telah kita ketahui, sudah beberapa pekan lamanya Raja dan Ratu Iblis berada di daerah utara. Daerah ini sama sekali bukan merupakan daerah asing bagi mereka. Sama sekali tidak. Bahkan ketika Raja Iblis masih menjadi Pangeran Toan Jit-ong, dalam pelariannya dari kota raja, dia bersembunyi di utara.
Gedung itu adalah sebuah istana kuno yang dahulu dipergunakan kaisar untuk melepaskan lelah dan bermalam jika mengadakan perjalanan ke utara, yang amat jarang terjadi. Dan kaisar yang masih ingat akan pertalian kekeluargaan dengan Pangeran Toan Jit-ong, diam-diam mengutus orang untuk menyerahkan istana kuno itu kepada Pangeran Toan Jit-ong.
Maka pangeran pelarian itupun tinggal di dalam istana tua itu. Istana itu selain kokoh kuat juga mempunyai beberapa tempat untuk tahanan, karena para pengawal kaisar selalu siap dengan mereka yang menentang kaisar, mata-mata musuh ataupun pengacau-pengacau. Tempat-tempat ini oleh Pangeran Toan Jit-ong diperbaiki dan disempurnakan menjadi tempat-tempat jebakan yang berbahaya.
Ketika dia meninggalkan kota raja sebagai buronan, Toan Jit-ong sudah berusia tiga puluh tahun lebih, memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Dan ketika dia merantau ke utara dan tinggal di dalam istana kuno itu, dia memperdalam ilmu-ilmunya dengan menghubungi pertapa-pertapa dan orang-orang pandai.
Pintar sekali pangeran ini mengambil hati orang-orang pandai sehingga dia berhasil mengumpulkan ilmu-ilmu kesaktian yang aneh-aneh. Di dalam perantauan inilah dia bertemu dengan seorang gadis puteri seorang pertapa di Pegunungan Go-bi-san, gadis Thio yang kini menjadi Ratu Iblis. Gadis itu selain cantik juga memiliki kepandaian tinggi dan setelah mereka menjadi suami isteri, mereka lalu mengadakan perjalanan ke seluruh negeri.
Dengan kepandaian mereka yang tinggi, mereka mencoba dan menandingi semua datuk sesat dan tak seorangpun diantara para datuk itu ada yang mampu mengalahkannya!
Nama Raja dan Ratu Iblis, demikian mereka dijuluki oleh para datuk sesat, menjadi amat terkenal dan ditakuti di kalangan kaum sesat. Akan tetapi, pangeran ini tinggi hati dan tidak mau merendahkan dirinya untuk bergaul dengan kaum sesat walaupun dia membenci pemerintah dan kaum pendekar pula. Dia dan isterinya hidup terasing, hanya bertapa dan memperdalam ilmu kepandaian mereka di dalam perantauan mereka sampai jauh ke barat.
Dalam usia setengah tua, Raja dan Ratu Iblis baru kembali ke istana di utara itu dan tinggal di situ. Mungkin karena kini merasakan ketenteraman hati setelah tidak merantau lagi, Ratu Iblis yang setengah tua itu mengandung! Hal ini menggirangkan hati Raja Iblis yang kini hidup seperti raja kecil di tempat sunyi, dilayani belasan orang taklukan yang juga rata-rata berkepandaian tinggi. Akan tetapi dasar watak Pangeran Toan Jit-ong aneh dan jahat seperti iblis, bahkan mendekati kegilaan, dia mengatakan kepada isterinya bahwa dia ingin anak laki-laki.
"Awas kalau engkau melahirkan anak perempuan," katanya mengancam, "akan kubunuh anak itu, atau kalau tidak, akan kuambil ia sebagai selirku!"
Biarpun ia sendiri sudah biasa melakukan hal-hal yang menyeramkan dan juga memiliki dasar watak yang liar dan jahat, akan tetapi hati wanita itu khawatir sekali mendengar ucapan suaminya. Dan ia tahu betul bahwa suaminya itu bukan hanya mengancam kosong belaka, akan tetapi tentu akan melaksanakan apa yang diancamkannya. Kalau ia gagal melahirkan seorang putera, kalau yang terlahir itu seorang anak perempuan, tentu akan dibunuh suaminya atau lebih menyakitkan hati lagi, kelak akan menjadi selir suaminya!
Akan tetapi Ratu Iblis bukan seorang bodoh. Sebaliknya, ia cerdik sekali dan dalam keadaan terancam itu, jauh hari sebelumnya ia sudah mengatur siasat dan merencanakan penyelamatan bayinya andaikata bayinya itu lahir perempuan. Ia telah memperoleh seorang pembantu yang akan melaksanakan segala rencananya itu andaikata bayinya terlahir perempuan.
Saat yang dinanti-nantikan itupun tibalah. Dan untung bagi Ratu Iblis, kelahiran itu terjadi tengah malam sehingga amat memudahkan pelaksanaan siasatnya. Siasat yang amat keji karena pembantunya itu telah menyingkirkan bayinya yang ternyata terlahir perempuan dan menaruhkan seorang bayi lain, juga bayi perempuan yang diperolehnya dari dalam dusun yang berdekatan.
Menculik bayi itu dan menukarnya dengan bayi yang baru dilahirkan oleh Ratu Iblis! Dan ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Raja Iblis datang menjenguk, dia hanya mendapatkan seorang bayi perempuan yang sudah mati!
"Ia lahir perempuan dan... mati?" tanyanya.
"Ya, aku membunuhnya. Lebih baik mati di tanganku daripada di tanganmu," jawab Ratu Iblis sederhana.
Beberapa hari kemudian, setelah Ratu Iblis pulih kembali kesehatannya, secara aneh pembantu itupun tewas pada suatu malam. Tentu saja yang membunuhnya adalah Ratu Iblis yang merasa khawatir kalau-kalau rahasianya terbongkar. Setelah ia menyelidiki dimana adanya anak yang ditukarkan itu, ia lalu membunuh si pembantu sehingga rahasia itu hanya diketahui oleh dirinya sendiri saja.
Demikian besarlah "aku"nya Ratu Iblis yang selalu mementingkan diri sendiri saja. Demi menyelamatkan nyawa bayinya, ia tidak segan-segan untuk membunuh lain bayi secara kejam sekali! Akan tetapi, penyakit seperti yang mencengkeram batin Ratu Iblis inipun agaknya diderita oleh kita semua pada umumnya. Keakuan yang amat kuat mencengkeram batin kita masing-masing sehingga demi kepentingan sang aku, kita tidak segan-segan melakukan apa saja, kalau perlu merugikan orang lain.
Kalau orang dengan mati-matian, dengan mempertaruhkan nyawa, membela negara, agama, keluarga atau harta dan apapun juga, maka yang dibela dan dipentingkan itu sesungguhnya adalah akunya. Negara-Ku yang kubela, agama-Ku yang kubela, keluarga-Ku, harta-Ku dan selanjutnya.
Bukan negara yang penting, bukan agama-nya dan sebagainya, melainkan AKU-nya. Negara orang lain? Masa bodoh kalau mau dijajah orang lain! Masa bodoh kalau mau dihina, asal jangan agama-Ku. Demikian selanjutnya, yang menunjukkan bahwa semua itu hanyalah merupakan perluasan daripada si aku belaka. Si aku yang penting. Milikku!
Demikian pula dengan Ratu Iblis itu. Ia melindungi bayi, bukan bayi pada umumnya, melainkan bayi-NYA, dengan cara membunuh bayi lain! Demikian pula terjadi di seluruh dunia. Untuk membela agama-NYA, orang rela menyerang agama lain. Untuk membela bangsa-NYA, orang rela membunuhi bangsa lain. Untuk membela keluarga-NYA, orang rela menghancurkan keluarga lain.
Akan tetapi, setelah isterinya melahirkan seorang anak perempuan yang dibunuhnya sendiri, Raja Iblis menjadi semakin menggila. Dia ingin sekali memperoleh keturunan terutama seorang putera.
"Kalau kelak aku menjadi kaisar, lalu siapa yang akan menggantikan aku? Aku tidak rela kalau digantikan oleh orang lain!"
Mulailah dia mengambil selir-selir, bahkan Siang Hwa yang menjadi muridnya juga tidak terlepas dari gangguannya, dengan harapan agar dia dapat memperoleh keturunan, terutama keturunan laki-laki dari para selirnya itu.
Akan tetapi, Ratu Iblis yang merasa betapa kedudukannya sebagai "permaisuri" akan terancam kalau ada selir yang melahirkan seorang anak laki-laki, diam-diam mengancam mereka agar mereka itu suka makan ramuan obat yang dibuatnya khusus untuk mencegah kehamilan, dengan ancaman akan membunuh mereka kalau tidak menurut.
Juga Siang Hwa diancam dan dipaksa minum obat itu. Sebagai balas jasa, juga sebagai penyimpan rahasia ini, Siang Hwa selalu dilindungi oleh Ratu Iblis, bahkan dilindungi dan diperbolehkan pula murid itu berbuat cabul dengan pria mana saja yang disukainya.
Seperti telah kita ketahui, Siang Hwa gagal membujuk Lui Siong Tek, komandan kota Ceng-tek sehingga ia membunuh komandan itu dan melarikan dokumen penting mengenai keadaan benteng Ceng-tek. Ia melarikan diri menemui gurunya dan sementara itu pasukan Ji-ciangkun yang dibantu oleh para tokoh sesat telah berhasil menguasai benteng San-hai-koan.
Siang Hwa melaporkan peristiwa di Ceng-tek dan Raja Iblis girang mendengar bahwa komandan kota Ceng-tek yang setia terhadap pemerintah itu telah tewas. Siang Hwa lalu diberi tugas untuk melakukan penyelidikan tentang berita bahwa para pendekar hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
Gadis yang cerdik ini lalu memasang banyak pembantunya untuk menjadi mata-mata, diantara mereka adalah enam orang yang membuka kedai arak itu. Dan ketika muncul Cia Sun dan Ci Kang yang lihai, hati Siang Hwa menjadi tertarik sekali. Dengan cepat gadis ini dapat menyelidiki siapa adanya dua orang muda yang tampan dan gagah perkasa itu.
Terkejutlah ia mendengar bahwa mereka itu adalah putera penghuni Lembah Naga dan putera mendiang Iblis Buta. Timbul niatnya untuk menaklukkan dua orang pemuda itu agar suka menjadi pembantu-pembantu gurunya, dan terutama sekali tentu saja, menarik dua orang pemuda itu menjadi kekasihnya!
Diaturlah siasat yang amat kejam, mengorbankan penghuni dusun yang dirampok dan dibunuh, hanya untuk membuat dua orang itu mudah percaya kepadanya. Dan akhirnya iapun berhasil menjebak Cia Sun dan Ci Kang sehingga dua orang muda itu terperangkap dan karena mereka berdua menolak bujuk rayu Siang Hwa, kini gadis itu mencari kesenangan dengan jalan menghukum dan menyiksa mereka berdua sampai mati.
Ia merasa yakin bahwa kedua orang pemuda itu sudah pasti akan menemui kematian seperti dua ekor tikus yang tenggelam karena ia tahu bahwa tidak mudah membuka batu-batu penutup lubang yang digerakkan dengan alat rahasia, tidak mungkin pula membobol dinding yang terbuat dari besi yang melapisi batu gunung!
Dan, direbutnya San-hai-koan juga mengharuskan Raja dan Ratu Iblis, bersama murid mereka itu untuk cepat-cepat memasuki San-hai-koan dan menyusun kekuatan di benteng pertama yang berhasil direbut itu.
Oleh karena itu, yakin bahwa dua orang muda itu tentu akan tewas tenggelam dalam lubang yang dialiri air, kakek dan nenek itu bersama Siang Hwa lalu bergegas pergi meninggalkan istana kuno itu yang hanya disuruh jaga beberapa orang anak buah. Mereka pergi menuju ke San-hai-koan.
Ada kekuasaan rahasia yang mujijat, yang mengatur segala sesuatu di alam mayapada ini. Kekuasaan mutlak yang tak dapat dilawan oleh siapa atau oleh apapun juga. Kekuasaan tertinggi yang meliputi seluruh jagat raya. Kekuasaan ini tidak dapat dipercaya atau tidak dipercaya lagi, karena terjadi dan dapat kita dengar, cium, lihat, dan rasakan sendiri, menjadi kenyataan yang terjadi di sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita.
Kekuasaan yang mengatur arah angin, mengatur alam semesta, perederan bintang-bintang, kekuasaan yang memberi kehidupan di angkasa, di atas bumi, di dalam air, dari makhluk-makhluk hidup bergerak yang paling kecil tak dapat dilihat mata sampai kepada makhluk yang paling besar.
Kekuasaan yang menciptakan ketertiban dalam kehidupan di bagian tanah paling dalam, di dasar laut yang paling dalam, ataupun di angkasa yang paling tinggi. Kekuasaan yang membuat jantung kita berdenyut di luar kemampuan kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang membuat kuku dan setiap helai rambut bartumbuh di luar kekuasaan kita untuk mengaturnya, kekuasaan yang menciptakan kelahiran dan kematian!
Satu diantara hal-hal yang tidak dapat dikuasai oleh kita adalah kematian. Kalau memang sudah tiba saatnya, kemanapun juga kita bersembunyi, maut tentu akan datang menjemput. Sebaliknya, kalau memang belum semestinya kita mati, seribu ancaman mautpun akan luput.
Siapapun adanya Dia yang mengatur semua itu, disebut dengan apapun juga menurut istilah dan kebiasaan dari bangsa, bahasa, dan agama masing-masing, namun kita manusia tidak mungkin dapat menyangkal akan adanya kenyataan itu, bahwa kekuasaan rahasia yang mujihat itu memang ada terjadi di sekitar kita, di alam dan bahkan di dalam diri kita sendiri.
Pikiran kita terlalu dangkal untuk dapat menyelidiki tentang ada atau tidaknya Pengatur itu yang terlalu agung dan tinggi bagi kita, namun, pikiran dan tubuh kita dengan jelas dapat melihat adanya kenyataan akan kekuasaan yang mujijat itu. Disini tidak ada masalah percaya atau tidak percaya, karena kita dapat melihatnya, merasakannya, segalanya terjadi pada diri kita sendiri masing-masing.
Agaknya memang belum tiba saatnya bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk mati sebagai dua ekor tikus yang tenggelam. Dua kali sudah Cia Sun yang masih terbelenggu itu minta kepada Ci Kang untuk melepaskan belenggunya.
"Bantulah aku melepaskan diri, Ci Kang, agar aku dapat membantumu membongkar penutup lubang itu!" untuk ketiga kalinya Cia Sun berseru setelah air sudah mencapai dada.
"Hemm, melepaskan diri dari belenggu sendiri saja tidak mampu, apa artinya bantuanmu mendorong batu ini?"
Ci Kang berkata dengan pandang mata merendahkan dan hatinya menjadi semakin penasaran. Dia belum dapat mengalahkan pemuda yang begini lemah, yang tidak mampu membikin putus belenggu macam itu saja!
Cia Sun menjadi tidak sabar lagi. Pemuda itu sungguh terlalu memandang rendah dirinya.
"Ci Kang, apakah kau sudah siap mati seperti tikus tenggelam?" bentaknya. "kalau kau tidak mau melepaskan belengguku, tolong kau bebaskan totokanku. Jangan dikira aku tidak mampu membebaskan diri kalau pengaruh totokan sudah punah. Kau lebih banyak mempunyai waktu untuk membebaskan totokanmu daripada aku, maka jangan kau tekebur dan sombong!"
Ci Kang menoleh dan baru dia teringat bahwa adanya Cia Sun tidak mampu melepaskan belenggu itu adalah karena jalan darahnya tertotok. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menghampiri Cia Sun dan menotok kedua pundak pemuda itu. Cia Sun memperoleh lagi tenaga sin-kangnya setelah jalan darahnya lancar.
"Mari kita cepat menyatukan tenaga!" katanya karena air sudah mencapal leher. Sebentar lagi mereka akan mati tenggelam kalau tidak cepat memperoleh jalan keluar.
"Mari!" kata Ci Kang dan mereka berdua kini berdiri dengan kaki kokoh kuat di atas lantai dan dua lengan mereka menyangga batu penutup lubang, lalu mereka mengerahkan sin-kang sekuat tenaga untuk mendorong batu ke atas.
Hebat bukan main tenaga kedua orang pemuda itu. Batu itu bukan hanya amat berat, akan tetapi juga diikat rantai baja yang dihubungkan dengan alat rahasia yang menggerakkannya. Akan tetapi kekuatan kedua orang muda itu membuat batu itu mulai bergerak terangkat! Akan tetapi, ketika batu itu terangkat sedikit, air yang masuk dari celah-celah batu semakin banyak sehingga sebentar saja air sudah sampai ke mulut mereka! Mereka mengerahkan seluruh tenaga terakhir.
"Brakkkk...!"
Bukan batu di atas itu yang terangkat, melainkan lantai yang menjadi landasan kaki mereka yang tentu tertekan dengan hebatnya ke bawah, kini jebol ke bawah! Dan kedua orang muda itu terjatuh ke dalam lubang baru yang timbul karena jebolnya lantai yang mereka injak, terbawa bersama air yang membanjir ke bawah.
Cepat mereka mengerahkan gin-kang dan menyalurkan tenaga ke kulit mereka melindungi diri. Mereka terjatuh dan terbanting ke atas batu lantai yang jebol tadi, dan kalau bukan mereka berdua yang memiliki kekebalan dan ilmu yang tinggi, tentu setidaknya akan menderita patah tulang atau babak belur.
Mereka cepat berloncatan dan menjauhi air yang masih terjun ke bawah itu. Dengan tubuh basah kuyup keduanya kini berdiri di dalam ruangan yang amat luas itu, siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka saling pandang dan tidaklah mengherankan kalau ada rasa haru di lubuk hati mereka. Terharu karena baru saja mereka terlepas dari cengkeraman maut. Air tadi sudah mencapai mulut dan terlambat satu menit lagi saja mereka akan tewas.
"Siangkoan Ci Kang, kita masih hidup?" seru Cia Sun.
Ci Kang mengangguk. Kalau dia tadi tidak cepat-cepat membebaskan totokan pada tubuh Cia Sun, belum tentu sekarang mereka masih hidup.
"Cia Sun, engkau hebat!"
Dia memuji karena bagaimanapun juga, tanpa bantuan tenaga Cia Sun, tak mungkin lantai itu dapat jebol.
"Sudahlah, tak perlu saling puji. Mari kita selidiki tempat ini!" kata Cia Sun sambil memeras air dari rambut dan bajunya.
Mereka lalu menjauhi tempat yang jebol bagian atasnya itu dan tempat itu merupakan ruangan batu yang luas sekali.
"Ssttt... lihat...!"
Tiba-tiba Ci Kang berbisik. Cia Sun cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak. Tak jauh dari situ dia melihat orang yang melihat pakaian dan tata rambutnya adalah seorang tosu, duduk bersila di atas sebuah batu datar tinggi yang mepet pada dinding batu. Dilihat dari tempat mereka, tosu yang nampak dari sisi itu berambut panjang, sudah putih semua, pakaiannya juga serba putih dan dia memegang sebuah kebutan berbulu putih pula.
Tentu saja dua orang muda itu siap siaga karena di tempat seperti ini, mereka dapat menduga bahwa tentu tosu itupun merupakan sekutu dari Raja Iblis dan merupakan lawan yang amat berbahaya.
Dengan hati-hati keduanya lalu melangkah menghampiri batu datar itu dan ketika mereka tiba di depan tosu itu, mereka memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan. Kiranya tosu itu telah menjadi tulang-tulang manusia yang masih duduk bersila, masih berpakaian lengkap! Mukanya merupakan tengkorak yang menyeramkan, juga kedua tangan yang terjulur keluar dari lengan baju itu merupakan tulang-tulang rangka yang panjang-panjang dengan kuku panjang pula.
Akan tetapi rambut putih panjang itu masih utuh, demikian pula pakaian putih dan kebutan berbulu putih! Menyeramkan sekali keadaan kerangka manusia berpakaian lengkap itu.
"Ah, hanya kerangka..." kata Cia Sun dan suaranya hanya bisikan yang agak gemetar karena dia masih dipengaruhi rasa kaget dan heran, juga serem.
"Ssst, lihat...!"
Ci Kang berbisik dan suaranya juga gemetar. Keduanya terbelalak dengan muka berobah agak pucat ketika melihat betapa tiba-tiba saja kebutan berbulu putih itu bergerak-gerak ke atas! Ini tandanya bahwa kerangka itu masih hidup dan dapat menggerakkan kebutan! Bukan itu saja, bahkan tiba-tiba terdengar suara keluar dari dalam tengkorak itu, suara yang melengking tinggi dan terdengar menyeramkan penuh wibawa, bergema di seluruh ruangan luas itu.
"Kalian ini orang-orang lancang dari mana berani mati memasuki dan mengotori tempat ini?"
Cia Sun dan Ci Kang yang terkejut setengah mati itu sejenak saling pandang dengan muka masih pucat. Mereka sungguh hampir tidak dapat percaya kepada telinga sendiri. Jelaslah bahwa kerangka manusia itu bukan topeng, melainkan kerangka yang benar-benar terbungkus pakaian. Akan tetapi kenapa kerangka itu dapat menggerakkan kebutan dan dapat mengeluarkan suara seperti masih hidup?
Karena suara ini jelas adalah suara wanita, mereka lalu menduga bahwa pendeta yang sudah menjadi kerangka ini dahulunya adalah seorang pendeta wanita. Maka Cia Sun segera menjura dengan sikap hormat.
"Harap locianpwe sudi memaafkan karena tanpa sengaja kami berdua telah memasuki tempat ini..."
"Tiada maaf! Cepat kalian pergi dari sini, kalau tidak akan kucabut nyawa kalian!" kerangka itu memotong dan suaranya terdengar galak sekali.
"Heeii!" Tiba-tiba Ci Kang berseru sambil menudingkan telunjuknya ke arah kerangka itu. "Lihat, mulutnya tidak bergerak dan kebutan itu gagangnya tidak dipegang oleh tangannya!"
Setelah berkata demikian, dengan cekatan Ci Kang melompat naik melalui lantai tangga yang menuju ke atas batu datar tinggi dimana tengkorak berpakaian itu duduk. Kiranya selagi Cia Sun tadi bicara kepada kerangka itu, diam-diam Ci Kang memperhatikan dan pandang matanya yang tajam melihat kejanggalan-kejanggalan itu yang membuatnya berteriak dan cepat meloncat ke atas untuk mendekati kerangka itu.
Pada saat itu, dari belakang kerangka itu berkelebatan bayangan putih yang melesat dengan cepatnya sehingga sukar bagi pandang mata untuk mengikutinya. Akan tetapi Cia Sun dan Ci Kang adalah dua orang muda yang terlatih sejak kecil, dengan pandang mata mereka yang terlatih, mereka dapat melihat bahwa yang berkelebat dari belakang kerangka itu adalah seorang gadis muda yang gerakannya lincah bukan main. Mereka teringat akan Siang Hwa yang telah memperdayakan mereka, maka dengan marah mereka lalu mengejar dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya.
Gadis yang berpakaian serba putih itu menyelinap ke sudut ruangan yang luas itu, bersembunyi di balik batu yang menonjol. Ketika dia melihat betapa dua orang pemuda itu melakukan pengejaran dengan gerakan yang cepat, ia lalu mengeluarkan teriakan nyaring.
"Laki-laki kurang ajar dan tidak sopan, jangan dekati aku!"
Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang tidak takut oleh gertakan ini. Mereka menduga bahwa wanita itu Siang Hwa, maka dengan marah mereka mengejar terus hendak menghadapi wanita jahat yang mencelakakan mereka itu. Akan tetapi, begitu mereka tiba disitu, gadis itu meloncat keluar dari balik batu menonjol dan sinar putih yang amat cepat menyambar ke arah leher Cia Sun dan Ci Kang.
Dua orang pemuda itu terkejut bukan main. Serangan ini sungguh amat cepat dan tidak terduga sehingga nyaris leher mereka kena totokan ujung kebutan putih yang bertubi-tubi menyerang ke arah leher mereka bergantian. Untung keduanya cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan ketika mereka turun lagi ke atas lantai, mereka berhadapan dengan seorang gadis yang sama sekali bukan Siang Hwa!
Dara itu bertubuh kecil ramping, wajahnya agak pucat seperti wajah orang yang kurang memperoleh sinar matahari, akan tetapi sepasang mata itu amat tajam mencorong seperti mata seekor harimau, agaknya mata yang terlatih dalam gelap. Rambutnya hitam panjang digelung sederhana, wajahnya manis sekali, terutama mulutnya yang kecil dengan bibir yang kelihatan amat merah dengan latar belakang kulit mukanya yang putih agak pucat. Pakaiannya putih bersih namun potongannya sederhana, seperti pakaian pertapa saja, juga bulu kebutan yang dipegangnya putih bersih, seperti kebutan yang berada di pangkuan kerangka berpakaian itu.
Melihat wajah yang manis itu, agaknya dara ini paling banyak delapan belas tahun usianya, masih amat muda dan bahkan sikapnya masih kekanak-kanakan ketika ia berdiri menghadapi dua orang pemuda itu dengan mata terbelalak, marah dan juga takut atau ngeri melihat tubuh Ci Kang yang telanjang dada itu, suatu penglihatan yang belum pernah dialaminya sebelumnya.
Ia tidak berani memandang dada itu lama-lama dan menundukkan muka, akan tetapi sepasang matanya mengerling penuh kewaspadaan, memperhatikan gerak-gerik dua orang pemuda itu.
Ci Kang dan Cia Sun berdiri memandang, sejenak seperti kehilangan akal karena mereka sungguh tidak mengira bahwa wanita itu bukan Siang Hwa, melainkan seorang gadis muda yang sama sekali tidak mereka kenal. Akan tetapi, karena gadis ini berada di tempat yang mereka anggap sebagai sarang dari Raja Iblis, tentu saja merekapun menaruh curiga kepada gadis ini. Apalagi setelah mereka mengalami malapetaka dan nyaris tewas akibat seorang gadis cantik pula. Dan gadis inipun tadi menyerang mereka dengan amat hebatnya, serangan maut yang kalau tidak cepat mereka elakkan, mungkin dapat membunuh mereka.
Betapapun juga, karena yang mereka hadapi hanya seorang gadis remaja yang kini nampak bingung dan ketakutan seperti seekor harimau yang terkurung, dua orang pemuda itu sendiripun tidak tahu harus berbuat apa. Tentu saja mereka tidak sudi menyerang gadis yang tidak mereka kenal ini.
"Nona, kenapa engkau menakut-nakuti kami kemudian menyerang kami dengan kebutanmu itu?" tanya Cia Sun.
"Karena demikian pesan ibuku..." jawab gadis itu, suaranya merdu akan tetapi agak kaku seperti orang yang jarang sekali bicara.
"Pesan ibumu? Untuk membunuh kami?"
"Ya, kalian atau siapa saja yang berani masuk kesini, terutama laki-laki. Aku... aku tadi tidak tega untuk menyerang kalian, maka hendak mengusir kalian dengan menakut-nakuti, akan tetapi kalian tidak takut..."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang. Mereka mengerutken alis. Gadis ini masih seperti anak-anak saja. Akan tetapi bagaimanapun juga, ketika mengatakan bahwa ia tidak tega menyerang mereka, menunjukkan bahwa gadis ini tidaklah sejahat Siang Hwa.
"Siapakah ibumu, nona?"
"Ibuku... ya, ibuku, satu-satunya orang yang baik kepadaku, yang kadang-kadang mengunjungi dan yang melatih ilmu silat, mengajarku membaca dan menulis. Sayang, ibu kini hanya jarang saja dapat mengunjungiku..."
"Akan tetapi, kenapa engkau berada di tempat ini? Dan bagaimana dapat keluar dari sini?" Cia Sun mendesak.
"Aku berada disini sejak kecil, aku sudah lupa lagi berapa lamanya... sejak kecil, dan yang menemani aku hanya kerangka itu... dan ibu yang kadang-kadang datang menjengukku."
"Engkau tidak pernah keluar dari sini?" tanya Ci Kang yang juga terheran-heran.
Gadis itu menggeleng kepala.
"Tidak diperkenankan ibu. Katanya, kalau aku keluar, aku tentu akan dibunuh orang. Aku hanya dapat mandi cahaya matahari selama beberapa jam saja setiap hari ketika sinar matahari memasuki ruangan belakang melalui sebuah lubang."
"Bagaimana engkau makan? Minum? Dan mandi atau mencuci pakaian?" Cia Sun bertanya, merasa heran dan kasihan.
"Aku masak sendiri, bahan makanan diberi ibu, banyak sekali."
Gadis itu lalu berjalan perlahan, diikuti dua orang pemuda itu. Ia memperlihatkan tumpukan bahan makanan di sebuah ruangan lain dan juga adanya sebuah sumber air. Ada beras, ada daging kering dan bumbu-bumbunya. Cukup untuk makan berbulan-bulan.
"Akan tetapi, kenapa engkau dikurung disini? Siapa yang akan membunuhmu kalau kau keluar?"
"Entahlah, ibu hanya bilang bahwa aku tidak boleh bertemu dengan laki-laki. Kalau ada laki-laki masuk kesini, aku harus membunuhnya. Akan tetapi aku tidak suka membunuh, dan aku sekarang merasa girang sekali dapat bertemu dan bercakap-cakap denganmu..." Gadis itu memandang wajah Cia Sun dengan mata bersinar-sinar. "Aku girang tadi tidak sampai membunuhmu!"
"Hemm, jangan dikira mudah membunuh dia atau aku, nona," kata Ci Kang.
"Aku tentu dapat kalau aku mau!" gadis itu berkata. "Kebutanku ini lihai sekali, bahkan ibu sendiri bilang kebutanku akan sukar dilawan olehnya. Lihat...!" Gadis itu menggerakkan kebutannya.
"Tar-tar...!"
Ujung batu di langit-langit ruangan itu terkena sambaran ujung kebutan dan hancur menjadi debu! Diam-diam dua orang pemuda itu kaget dan kagum. Gadis ini tidak main-main dan ilmu mempergunakan kebutan itu lihai dan berbahaya sekali.
"Siapa yang mengajarmu mainkan kebutan selihai itu?"
Cia Sun bertanya. Kalau sampai ibu gadis itu sendiri yang katanya mengajarnya silat menyatakan tidak sanggup menandingi kebutan itu, berarti tentu bukan ibu gadis itu yang membimbingnya dalam ilmu menggunakan kebutan itu.
"Guruku dalam ilmu kebutan adalah dia!"
Gadis itu menuding ke arah kerangka manusia berpakaian tosu itu. Dua orang pemuda itu terkejut dan kini mereka semua kembali menghampirl kerangka yang masih duduk bersila. Kini mereka berdua dapat membayangkan betapa lihainya orang ini dahulu ketika masih hidup. Jelas bahwa orang itu mati dalam keadaan bersamadhi. Dan hebatnya, biarpun seluruh kulit dan dagingnya telah habis dimakan waktu dan hanya tinggal kerangkanya saja, akan ketapi kerangka itu tetap dalam keadaan duduk bersila dan tidak runtuh.
"Siapakah locianpwe ini...?" tanya Ci Kang dengan hati kagum.
"Dia adalah kakek guruku, dia adalah guru terakhir dari ibu dan ayahku."
Gadis itu menjawab tanpa ragu-ragu dan dengan suara mengandung kebanggaan. Agaknya dara itu merasa bangga sekali kepada kerangka itu yang selain menjadi kakek gurunya, juga menjadi temannya hidup di dalam guha bawah tanah ini.
"Akan tetapi dia... mana bisa mengajarmu? Dia sudah mati lama sekali," kata Cia Sun.
Gadis itu tertawa dan wajahnya yang agak pucat itu nampak manis bukan main. Sepasang matanya memandang wajah Cia Sun dan berseri-seri. Agaknya ia dapat mendengar atau merasakan betapa di dalam suara pemuda itu terkandung perasaan iba dan kagum dan hal ini amat menyenangkan hatinya.
"Tentu saja tidak secara langsung. Dia sudah menjadi kerangka ketika aku dibawa kesini untuk pertama kalinya. Akan tetapi atas petunjuk ibuku, aku mempelajari catatan-catatan dan gambar-gambar yang terukir di atas batu yang berada di belakangnya. Ilmu itu, kata ibu merupakan ilmu rahasia yang tidak pernah diajarkan kepada siapapun juga tidak kepada ibu, sehingga kini menjadi milikku sendiri."
Dua orang pemuda itu kint dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang jahat, dan agaknya tidak ada hubungannya dengan Raja Iblis maupun Siang Hwa. Akan tetapi Ci Kang masih belum puas.
"Apakah engkau mengenal seorang gadis bernama Siang Hwa?" tanyanya sambil memandang wajah dara remaja itu.
Yang ditanya mengerutkan alisnya seperti orang mengingat-ingat, lalu menggeleng kepala.
"Tentu engkau mengenal Raja Iblis atau Ratu Iblis!"
Ci Kang menyambung tiba-tiba dan pandang matanya penuh selidik mengamati wajah cantik manis itu. Akan tetapi gadis itu kelihatan geli dan menggeleng kepalanya lagi.
"Kau kira aku ini siapakah mengenal segala iblis? Aku hanya mengenal iblis dan setan dalam dongeng-dongeng ibuku atau cerita-cerita dalam buku-buku yang ditinggalkan ibu untukku."
Cia Sun dan Ci Kang saling pandang, kini yakin bahwa gadis ini memang tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga iblis itu.
"Siapakah nama ibumu dan ayahmu, nona?"
Cia Sun bertanya, sikapnya halus dan sopan walaupun dia dapat menduga bahwa gadis ini sejak kecil tidak pernah bergaul dengan manusia lain.
Gadis itu memandang Cia Sun dan seperti tadi, wajahnya berseri dan jelas nampak dari pandang matanya bahwa ia suka dan kagum kepada pemuda itu. Lalu ia menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu, aku tidak pernah jumpa dengan ayah, dan ibuku tidak pernah memberitahukan nama. Tapi aku... aku benci ayah!"
Cia Sun mengerutkan alisnya. Seorang gadis yang begini manis dan yang keadaannya amat aneh, menarik perhatian dan rasa ibanya, tidak layak kalau mengeluarkan kata-kata keji seperti itu, kata-kata yang hanya patut keluar dari mulut seorang anak durhaka.
"Nona, tidak baik membenci ayah sendiri." dia menegur.
Mendengar nada suara teguran ini, dan melihat betapa pandang mata Cia Sun sedemikian marah dan tidak senang, tiba-tiba saja gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan dan menangis!
Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang menjadi heran dan tidak tahu harus berbuat apa. Cia Sun yang merasa bersalah telah menegur orang padahal urusan pribadi nona itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dia, segera maju dan berkata dengan suara menyesal,
"Maafkan aku, nona. Bukan maksudku untuk menegurmu dan menyinggung hatimu, akan tetapi aku tadi hanya merasa heran bagaimana seorang gadis seperti engkau ini dapat membenci ayah sendiri. Kenapa engkau membencinya? Kalau sampai engkau membencinya, tentu dia seorang ayah yang tidak baik!"
Gadis itu menurunkan kedua tangannya dan sejenak Cia Sun terpesona. Setelah menangis, ada warna merah pada kedua pipi gadis itu dan kini ia nampak cantik manis sekali, amat menarik hati! Gadis itu mengusap air mata dari kedua pipinya dengan ujung lengan baju, kemudian memandang Cia Sun.
"Dia... dia mau membunuhku!"
"Apa...?" Cia Sun benar-benar terkejut mendengar ini. "Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak pernah berjumpa dengan dia, akan tetapi ibu menekankan kepadaku bahwa aku tidak boleh bertemu dengan orang lain, terutama dengan laki-laki dan lebih-lebih lagi dengan ayahku karena ayahku pasti akan membunuhku kalau bertemu denganku. Karena itulah maka aku dikurung disini."
Hati Cia Sun tertarik sekali. Ayah dan ibu gadis ini sungguh merupakan manusia-manusia aneh. Ibu gadis ini barangkali gila, ataukah ayahnya yang gila? Ataukah gadis ini sendiri yang miring otaknya?
"Engkau tidak tahu siapa nama ayahmu atau ibumu?"
Gadis itu menggeleng kepalanya.
"Dan namamu sendiri? Siapakah namamu?"
"Ibu memanggil aku Hui Cu."
"She-mu...?"
"Apa itu she?"
"Nama keluargamu? Siapakah nama keluarga ayahmu?"
"Aku tidak tahu, tahuku hanya bahwa ibu memanggil aku Hui Cu dan kata ibu usiaku sekarang sudah hampir delapan belas tahun."
Sementara itu, Ci Kang kelihatan tidak sabar melihat betapa Cia Sun asyik bicara dengan gadis ini. Dia tahu bahwa Cia Sun hanya tertarik oleh riwayat gadis yang amat aneh itu, akan tetapi baginya, hal itu tidak ada sangkut-pautnya sama sekali.
"Sudahlah, mari kita cepat keluar dari sini. Nona, tunjukkanlah jalan keluar dari tempat ini untuk kami," katanya.
Baru teringat Cia Sun bahwa mereka terkurung di dalam guha bawah tanah. Diapun mengangguk kepada gadis bernama Hui Cu itu sambil berkata,
"Benar, kami perlu cepat keluar dari sini, adik Hui Cu. Tolonglah kami keluar dari sini!"
Hui Cu kelihatan girang sekali dipanggil adik oleh Cia Sun. Ia tersenyum dan nampaklah giginya berderet putih. Agaknya, ibu gadis ini tidak lupa untuk memberi pelajaran cara merawat dan membersihkan diri kepada gadis yang hidupnya terkurung dalam guha bawah tanah ini.
"Kau... siapakah namamu?" tiba-tiba ia bertanya kepada Cia Sun.
"Namaku Cia Sun dan dia bernama Siangkoan Ci Kang. Nah, adik Hui Cu, tunjukkanlah jalan keluar itu."
"Cia Sun... Cia Sun... kakak Sun, kenapa engkau mau keluar? Kenapa tidak tinggal saja disini menemani aku?"
Keharuan menyelinap dalam hati Cia Sun. Sungguh patut dikasihani anak ini, pikirnya.
"Tidak mungkin, siauw-moi (adik kecil), tidak mungkin aku tinggal disini. Aku harus keluar dari sini. Banyak urusan yang harus kuselesaikan. Nah, tunjukkanlah jalan keluar bagi kami."
Gadis itu menggigit bibir, agaknya terjadi pertentangan dalam hatinya, akan tetapi ia mengangguk lalu melangkah menuju ke lorong samping, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang dari belakang. Akhirnya gadis itu berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari besi dan dicat hitam.
"Hanya dari sinilah jalan kcluar, dan ini merupakan rahasia. Kalau bukan untukmu, Sun-ko, aku tidak akan suka membuka rahasia ini. Kalau diketahui ibu, tentu aku akan mendapat kemarahan besar sekali."
Berkata demikian, gadis itu meraba dinding batu dekat pintu dan terdengar suara berderit ketika pintu besi itu bergerak masuk ke dalam dinding. Seketika Cia Sun dan Ci Kang memicingkan mata dan melindungi mata dengan tangan karena mereka menjadi silau ketika tiba-tiba berbareng dengan terbukanya daun pintu itu, nampak sinar matahari yang amat terang di balik pintu.
Mereka melewati ambang pintu dan berdiri di dalam cahaya matahari.
"Disinilah aku setiap pagi berjemur diri seperti yang diajarkan ibu. Kalau pintu ini terbuka, maka penutup sumur ini di bagian atas terbuka pula. Kalau pintu tertutup, penutup di atas itupun ikut tertutup sehingga tempat ini tidak pernah dapat diketahui orang dari atas," kata Hui Cu.
Dua orang pemuda itu memandang ke atas. Tempat itu merupakan dasar sebuah sumur yang dalam, agaknya tidak kurang dari seratus kaki dalamnya!
"Adik Hui Cu," kata Cia Sun memancing. "Apakah engkau pernah keluar dari lubang ini?"
Gadis itu mengangguk.
"Beberapa kali aku keluar, biasanya di waktu malam saja kalau suasana sepi karena aku takut... kalau sampai ketahuan orang yang akan membunuhku. Dan juga pernah beberapa kali keluar siang bersama ibu, akan tetapi tidak lama dan sebelum bertemu orang lain aku sudah harus masuk lagi."
"Dan bagaimana caranya engkau keluar dari sini?"
Hui Cu memandang ke atas, lalu nampak kaget.
"Aih, kenapa aku tidak ingat? Aku dapat naik dengan mudah, akan tetapi engkau, Sun-ko, kalian... mana bisa memanjat naik?"
"Kenapa tidak bisa?"
Ci Kang berkata dan pemuda ini sudah cepat mengerahkan sin-kang dan menggunakan kedua tangan dan kakinya untuk memanjat naik. Dengan menggunakan kedua tangan mencengkeram dinding sumur itu, dia dapat terus merayap naik seperti seekor cecak.
Hui Cu memandang dengan mata terbelalak.
"Wah, dia lebih pandai daripada aku!" Lalu ia membalikkan tubuhnya menghadapi Cia Sun. "Sun-ko, jangan kau pergi...!"
"Mana bisa? Tak mungkin aku tinggal terus disini, adik Hui Cu."
"Sun-ko, jangan tinggalkan aku, Sun-ko. Maukah engkau menemani aku barang beberapa hari saja? Aku amat kesepian, Sun-ko, hampir tak tertahankan lagi... dan begitu bertemu denganmu, aku ingin lebih lama berkenalan denganmu, bercakap-cakap denganmu..."
Cia Sun memandang dengan hati terharu. Gadis ini masih seperti kanak-kanak saja, polos dan bersih, dan menderita.
"Adik Hui Cu, tidak mungkin aku tinggal disini. Engkau saja agar minta kepada ibumu, kalau benar ia mencintamu, supaya engkau dibawa keluar dari tempat ini. Kulihat kepandaianmu hebat, kiranya engkau akan dapat pergi jauh dari orang yang hendak membunuhmu dan andaikata bertemu dengan aku, aku tentu akan siap melindungimu dari ancaman orang yang hendak membunuhmu."
Tiba-tiba Hui Cu memegang kedua tangan pemuda itu. Dengan kedua mata basah ia memandang wajah Cia Sun.
"Benarkah, koko? Benarkah bahwa engkau akan suka melindungi aku? Menurut ibu, ayahku itu memiliki kepandaian tinggi, sukar dikalahkan siapapun juga..."
"Tentu, siauw-moi, tentu aku akan melindungimu. Nah, sekarang selamat tinggal. Lihat, kawanku sudah hampir sampai diatas!"
Akan tatapi, tiba-tiba saja terdengar Ci Kang mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya melayang turun ke bawah! Cia Sun terkejut bukan main dan cepat dia menyambut tubuh kawannya itu dengan kedua lengannya. Untung Ci Kang masih sempat mengerahkan gin-kangnya sehingga dibantu oleh Cia Sun, dia dapat tiba di dasar sumur itu dengan selamat.
"Ibu...!"
Tiba-tiba Hui Cu berseru nyaring dan tubuhnya melesat ke atas. Cia Sun kagum melihat kehebatan gin-kang gadis itu. Sebentar saja tubuhnya sudah merayap naik dengan cepat sekali. Dari bawah, dia melihat bayangan orang di atas dan maklumlah dia bahwa yang berada di atas itu adalah ibu Hui Cu!
"Ia menyerangku dengan angin pukulan dahsyat!" kata Ci Kang dengan marah.
"Mari kita susul Hui Cu!"
Cia Sun berkata. Dengan cerdik dia hendak mempergunakan Hui Cu sebagai pelindung atau perisai. Kalau mereka merayap di bawah Hui Cu, tentu ibu gadis itu tidak dapat menyerang mereka dan ibu itu kiranya tidak akan mau mencelakai anak sendiri.
Ci Kang mengerti apa maksud kawannya, maka diapun cepat merayap kembali bersama Cia Sun mengejar Hui Cu yang sudah merayap lebih dulu. Benar saja, nenek yang berada di luar sumur itu menjenguk ke bawah dan mengeluarkan teriakan-teriakan yang tidak jelas, agaknya menyuruh puterinya itu turun kembali.
Akan tetapi Hui Cu tidak perduli dan terus merayap naik. Ketika gadis itu akhirnya meloncat keluar sumur, ibunya hendak menyerang Cia Sun dan Ci Kang yang masih belum tiba di atas.
"Ibu, jangan...!"
Hui Cu berseru dan menubruk ibunya, memeluk pinggang ibunya untuk menahan ibunya yang hendak mendekati sumur.
"Lepaskan aku, biar kubunuh mereka...!"
Nenek itu berseru dan meronta-ronta. Akan tetapi Hui Cu tetap tidak mau melepaskan rangkulannya dari pinggang ibunya dan kedua orang ini bersitegang. Keributan itu memberi cukup waktu bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk berloncatan keluar dari sumur dan kini mereka berdiri terbelalak.
Kiranya nenek yang kini berusaha melepaskan rangkulan Hui Cu adalah seorang nenek berambut dan berpakaian putih, dan mereka berdua segera mengenalnya sebagai Ratu Iblis!
Nenek itu kinipun mengenal Ci Kang dan Cia Sun. Sejenak matanya yang kehijauan itu terbelalak, seolah-olah tidak percaya pandang matanya sendiri dan ia nampak kaget seperti melihat orang-orang yang sudah mati hidup kembali! Akan tetapi otaknya yang amat cerdik segera dapat membuat perhitungan dan ia menjadi kagum bukan main. Ia dapat menduga bahwa tentu dua orang muda itu berhasil menjebol lantai kamar jebakan yang dialiri air dari atas itu! Dua orang pemuda ini, yang menjadi musuh besar keluarganya, telah mengetahui rahasianya, rahasia puterinya!
Gadis itu, Toan Hui Cu, adalah puteri Ratu Iblis yang ketika lahir dahulu ditukar dengan bayi seorang penghuni dusun. Puteri inilah yang diselamatkan itu dengan mengorbankan nyawa bayi puteri penghuni dusun yang sama sekali tidak berdosa.
Ratu Iblis membunuh seorang bayi untuk menyelamatkan puterinya dari ancaman suaminya. Kemudian, setelah anak itu berusia lima enam tahun, dia menculiknya dari suami isteri penghuni dusun itu dan mengurung anak yang diberi nama Hui Cu, Toan Hui Cu itu, ke dalam guha bawah tanah yang merupakan tempat rahasia yang hanya diketahuinya sendiri.
Raja Iblis tentu saja tahu akan tempat ini, akan tetapi tempat ini merupakan kuburan atau tempat terakhir dari seorang gurunya dan menjadi tempat keramat, maka dia sendiripun tidak pernah dan tidak mau menjenguk tempat itu. Sama sekali dia tidak mengira bahwa isterinya mempunyai rahasia, bahwa tempat itu menjadi tempat persembunyian puterinya sendiri!
Ratu iblis merahasiakan segalanya dan bersikap hati-hati sekali. Bahkan ia tidak pernah memperkenalkan namanya sendiri atau nama suaminya kepada Hui Cu, dan menakut-nakuti gadis itu agar membunuh setiap orang yang berani masuk, juga memberi tahu bahwa ayah gadis itu tentu akan membunuhnya kalau sampai melihatnya.
Hal ini membuat Hui Cu ketakutan dan ia mentaati pesan ibunya, sampai belasan tahun lamanya ia menjadi penghuni guha bawah tanah itu sampai akhirnya, tanpa tersangka-sangka, nasib mempertemukan ia dengan Cia Sun dan Ci Kang!
Ketika Ratu Iblis mengenal dua orang pemuda itu, selain terkejut dan heran, ia juga marah dan khawatir sekali. Dua orang muda ini harus dibunuhnya, kalau tidak, rahasianya tidak akan dapat dipertahankannya lagi dan suaminya tentu akan marah kalau tahu bahwa ia mempunyai seorang puteri, yang disembunyikan sampai belasan tahun lamanya. Entah apa yang akan diperbuat suaminya terhadap dirinya dan terhadap Hui Cu, ia tidak sanggup membayangkan.
"Lepaskan, aku harus bunuh mereka!" Tiba-tiba ia menggerakkan tubuhnya dengan kuat dan Hui Cu terpelanting jauh. Melihat puterinya terpelanting jatuh, Ratu Iblis tidak jadi menyerang dua orang muda itu melainkan mendekati puterinya, merangkulnya dan bertanya dengan suara penuh kasih sayang, "Anakku, engkau tidak terluka...?"
Diam-diam dua orang pemuda yang memperhatikan gerak-gerik Ratu Iblis merasa heran. Lenyaplah sifat liar dan ganas dari nenek itu, terganti sifat yang menimbulkan rasa haru, karena sikapnya ketika merangkul dan mengelus rambut Hui Cu, dan juga suaranya menggetarkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya!
"Ibu, jangan bunuh mereka... jangan serang Sun-koko...!"
Nenek itu melepaskan rangkulannya dan mengerutkan alianya.
"Sun-koko...? Siapa itu?"
"Seorang dari mereka... mereka tidak sengaja memasuki guha bawah tanah, ibu, jangan serang mereka, mereka itu orang-orang yang amat baik..."
"Setan! Mereka adalah musuh-musuh kita, kalau tidak dibunuh hanya akan mendatangkan bencana di kemudian hari!"
Dan tiba-tiba saja sikap nenek itu berobah lagi dan tubuhnya melesat ke depan, kedua tangannya sudah mendorong ke arah Cia Sun dan Ci Kang.
Akan tetapi kini dua orang pemuda itu sudah siap menghadapi serangan lawan. Mereka berdua tahu bahwa nenek itu lihai bukan main. Serangannya tadi saja mengeluarkan hawa yang amat kuat dan panas dan sebelum tangan itu menyentuh mereka, telah ada angin pukulan dahsyat yang menyerang. Mereka cepat mengelak dan balas menyerang sambil mengerahkan tenaga mereka.
Ratu Iblis menggereng marah melihat betapa tamparan-tamparannya dapat dielakkan oleh dua orang lawan itu, bahkan kini mereka membalas dengan pukulan-pukulan yang keras. Ia masih memandang rendah mereka dan menggunakan kedua lengannya untuk menangkis, dengan maksud tangkisan itu akan dilanjutkan dengan cengkeraman untuk menangkap lengan mereka.
"Dukk! Dukk...!"
Nenek itu kembali mengeluarkan suara geraman aneh ketika ia merasa betapa benturan lengan itu membuat tubuhnya tergetar hebat, jangankan merobah tangkisan menjadi cengkeraman, bahkan ia terhuyung ke belakang oleh benturan-benturan itu. Sedangkan Cia Sun dan Ci Kang juga terhuyung ke belakang karena nenek itu memang memiliki tenaga kuat yang aneh sekali.
Mulailah nenek itu memandang mereka dengan mata lain, tidak lagi berani memandang rendah. Dan iapun mulai mengerti bahwa dua orang pemuda itu memang memiliki ilmu kepandaian hebat. Tadinya memang Siang Hwa melaporkan bahwa mereka itu lihai, akan tetapi ia masih belum percaya. Sekarang baru ia tahu bahwa memang tingkat kepandaian mereka ini lebih lihai daripada tingkat Siang Hwa. Pantas saja muridnya itu terpaksa mempergunakan siasat untuk menjebak mereka.
Karena tidak memandang rendah lagi, nenek itu menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar berkilat ketika ia tahu-tahu sudah mencabut pedangnya. Dicabutnya pedang ini membuktikan bahwa Ratu Iblis benar-benar tidak memandang rendah lawan. Jarang ia mempergunakan pedangnya kalau bertanding karena jarang pula ada orang mampu menandinginya walaupun ia tidak mencabut pedang.
Ci Kang maklum akan kelihaian lawan, maka diapun cepat mematahkan sebuah cabang pohon yang sebesar lengannya dan panjangnya satu tombak. Menghadapi pedang seorang datuk sesat seperti nenek itu dia harus berhati-hati.
Cia Sun juga berhati-hati dan untung bahwa suling yang terselip di pinggangnya, di balik bajunya, masih ada, maka iapun mencabut sulingnya itu. Benda ini telah menjadi senjata yang ampuh semenjak dia di digembleng oleh Go-bi San-jin. Bukan hanya suling ini, bahkan kini dia pandai mempergunakan ujung lengan baju atau benda apa saja sebagai senjata.
Dengan cerdiknya, kedua orang muda itu lalu berpencar, menghadapi nenek itu dari kanan kiri. Mereka bersikap hati-hati dan hanya menanti dengan waspada, tidak mau menyerang lebih dulu.
Sejenak tiga orang itu berdiri tegak seperti patung, hanya mata nenek itu yang melirik ke kanan kiri untuk mengikuti gerakan dua orang lawannya. Pedang di tangan kanannya itu diangkat tinggi-tinggi dan melintang di atas kepala, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka, diletakkan di depan dada, rambutnya yang putih panjang itu tergantung di depan.
"Ibu, jangan serang mereka...! Sun-ko, jangan berkelahi dengan ibuku..."
Akan tetapi nenek itu tentu saja tidak memperdulikan teriakan puterinya, bahkan membentak marah,
"Diam kau...!"
"Siauw-moi, aku hanya membela diri...!"
Cia Sun menjawab. Akan tetapi begitu dia bicara, nenek itu sudah menggerakkan pedangnya menyerang dengan amat hebatnya. Pedang itu menyambar dari atas seperti halilintar dan mengeluarkan hawa dingin.
Cia Sun cepat mengelak. Pedang menyambar lewat akan tetapi cepat membalik dan meluncur turun, kalau tadi membacok kini berbalik menusuk! Demikian cepatnya datangnya serangan lanjutan itu sehingga Cia Sun terpaksa harus mengangkat sulingnya menangkis.
"Trakkk...!"
Kembali keduanya mendapat kenyataan bahwa lawan memang memiliki tenaga sin-kang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Pada saat itu, Ci Kang sudah menyerang dengan tongkatnya yang dibuat secara darurat, yaitu kayu cabang pohon tadi. Serangannya hebat sekali, sampai mengeluarkan angin dan suara bersuitan. Tongkat itu menyambar ke arah kepala nenek itu yang sedang menyerang Cia Sun.
Ratu Iblis itu sungguh lihai bukan main. Menghadapi serangan tongkat yang datang dari samping agak belakang ini, ia bersikap tenang saja. kepalanya digerakkan mengelak dan tiba-tiba saja gumpalan rambut putihnya menyambar dan menangkis batang kayu itu. Hebatnya, kini gumpalan rambut itu tiba-tiba saja berobah menjadi kaku dan keras seperti besi.
"Takkk...!"
Tongkat di tangan Ci Kang tertangkis dan mendadak tangan kiri nenek itu mendorong ke depan dan serangkum hawa panas yang amat hebat menyambar dada Ci Kang sebagai balasan serangannya.
"Ehhh...!"
Ci Kang berseru kaget dan terpaksa dia meloncat jauh ke belakang karena serangan itu sungguh amat berbahaya.
Dua orang muda itu kini bersikap hati-hati sekali. Mereka semakin tahu betapa hebatnya lawan mereka yang memiliki tiga macam senjata ampuh itu, yakni pedangnya, rambutnya, dan tangan kirinya. Belum lagi diperhitungkan kedua kakinya kalau mengirim tendangan karena mereka melihat betapa sepatu nenek itu berlapis baja!
Nenek itu sendiri juga menjadi terkejut. Belum pernah ia menghadapi lawan yang begini tangguhnya. Andaikata dua orang pemuda itu maju satu demi satu saja, agaknya ia masih akan dapat mengatasi mereka, bahkan mengungguli mereka. Akan tetapi pemuda itu maju bersama dan setelah kini mereka bersikap hati-hati, gerakan mereka amat kuat dan terpusatkan sehingga ia segera terdesak hebat! Juga pertemuan-pertemuan tenaga antara ia dan dua orang muda itu membuat ia lelah karena ia harus mengerahkan seluruh tenaganya kalau tidak mau celaka dilanda gelombang tenaga yang dahsyat dari mereka.
"Anakku, cepat maju dan gunakan kebutanmu! Bantulah aku!"
Akhirnya setelah terdesak hebat, nenek itu berseru minta bantuan puterinya yang sejak tadi hanya nonton saja dengan mata terbelalak penuh kegelisahan. Kini, mendengar seruan ibunya, ia menjadi semakin bingung.
"Tidak, ibu! Kata ibu semua orang terutama laki-laki jahat, akan tetapi mereka ini tidak jahat, aku tidak bisa menyerang mereka. Ibu jangan memusuhi mereka!" Gadis itu menjawab dengan suara yang tegas.
"Desss...!"
Tubuh nenek itu terhuyung akan tetapi ia dapat menguasai dirinya dan tidak sampai roboh walaupun tongkat cabang pohon di tangan Ci Kang yang menyerempet pinggangnya tadi kuat bukan main.
Karena puterinya tidak mau membantunya dan maklum bahwa dua orang lawannya sungguh merupakan lawan tangguh yang dapat membahayakan keselamatannya, Ratu Iblis mengeluarkan pekik melengking yang sejenak membuat kedua orang pemuda itu tercengang dan mereka harus mengerahkan sin-kang untuk melawan pengaruh suara itu dan kesempatan itu dipergunakan oleh nenek itu untuk meloncat ke arah puterinya, memegang lengan puterinya dan melarikan diri sambil menarik Hui Cu bersamanya.
"Kurasa tidak perlu dikejar, terlalu berbahaya...!"
Cia Sun berkata ketika melihat temannya hendak mengejar. Mendengar suara Cia Sun, Ci Kang menahan kakinya dan melangkah kembali menghampiri temannya yang sedang memeriksa tangan kirinya yang ternyata kulitnya berwarna hitam kehijauan dari jari-jari tangan sampai ke pergelangan.
"Cia Sun, engkau keracunan!" kata Ci Kang mendekat.
"Nenek itu memiliki banyak pukulan beracun yang jahat. Sungguh berbahaya sekali!" kata Cia Sun. "Karena itu aku mencegahmu melakukan pengejaran. Aku tidak dapat membantumu dan kalau sampai ia dibantu kawan-kawannya, tentu engkau terancam bahaya. Aku harus menggunakan waktu beberapa hari untuk membersihkan racun ini."
"Tidak perlu begitu lama, Cia Sun. Aku telah mempelajari ilmu membersihkan hawa beracun itu dan dengan bantuanku, tanganmu akan sembuh dengan cepat."
Tak lama kemudian Ci Kang sudah mengobati tangan kiri temannya itu. Cia Sun duduk bersila, mengerahkan sin-kang dan dengan hawa murni dia mendorongkan tenaga ke arah tangan kirinya. Kalau dia melakukan pengobatan ini sendiri saja, tentu akan memakan waktu sedikitnya sepekan baru hawa beracun dalam tangan kirinya itu dapat terusir bersih.
Akan tetapi, kini Ci Kang menempelkan kedua telapak tangannya di siku dan pundak kirinya dan teman ini membantunya dengan mengerahkan sin-kang. Hawa panas memasuki lengan kirinya itu dan dengan kekuatan disatukan, dengan mudah mereka dapat mengusir racun dari tangan kiri. Tak lama kemudian, kulit tangan itu berobah warnanya. Warna hitam kehijauan itu perlahan-lahan surut dan akhirnya lenyap melalui kuku-kuku jari tangan.
"Terima kasih, Ci Kang, engkau telah menolongku," kata Cia Sun dengan girang dan kagum.
Ci Kang menggeleng kepala.
"Tidak ada terima kasih, Cia Sun. Ketika aku terjatuh kembali ke dalam sumur tadi, engkaupun telah menolongku. Sikapmu yang baik terhadap diriku saja sudah membuat aku bersyukur sekali."
"Ci Kang, sampai kini aku masih merasa heran mengingat bahwa engkau, seperti pengakuanmu, adalah putera Siang-koan Lo-jin! Dan engkau memusuhi datuk-datuk sesat! Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya mengingat bahwa nasib telah mempertemukan kita yang menjadi sahabat senasib sependeritaan, apakah yang kau cari disini?"
"Sama dengan engkau, Cia Sun. Bukankah engkau datang ini untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak bangkit menentang Raja dan Ratu Iblis yang kabarnya dibantu oleh para datuk sesat termasuk Cap-sha-kui?"
Cia Sun mengangguk lalu bertanya,
"Apa maksudmu ingin menghadiri pertemuan itu?"
Ci Kang tersenyum pahit.
"Aku yang tolol ini hendak menipu diri sendiri. Ayahku seorang datuk sesat, begaimana mungkin aku diterima diantara para pendekar? Tadinya kusangka..."
Melihat Ci Kang tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya menjadi muram, Cia Sun memegang lengan yang kokoh kuat itu.
"Sahabatku, jangan kau persalahkan sikap para pendekar. Andaikata aku sendiri belum mengalami bahaya-bahaya itu bersamamu dan telah mengenalmu benar bahwa engkau adalah seorang gagah yang menentang para datuk sesat, mungkin akupun akan curiga kepadamu. Bayangkan saja. Engkau, putera Siangkoan Lo-jin, berkeliaran disini, padahal para pendekar hendak mengadakan pertemuan untuk menentang golongan sesat! Tentu saja orang yang tidak mengenal keadaan dirimu akan menyangka engkau memata-matai pertemuan para pendekar itu. Akan tetapi jangan takut. Ada aku disini yang akan menjelaskan segalanya kepada para pendekar. Tapi katakan dulu, apa sesungguhnya niat hatimu datang ke sini?"
"Aku hendak menyumbangkan tenaga menentang para datuk yang hendak melakukan pemberontakan."
"Bagus! Kalau begitu kita sehaluan. Mari kita pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menemui para pendekar, Ci Kang."
Akan tetapi pemuda yang tinggi besar itu menggeleng kepala.
"Cia Sun, sejak kecil aku selalu ingin berusaha sendiri. Usaha apapun yang kuhadapi, kalau berhasil hanya karena bantuan orang lain, tidak akan memuaskan hatiku. Biarlah, aku akan hadapi sendiri para pendekar, apapun akibatnya. Aku girang sekali telah dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Cia Sun. Selamat berpisah!"
Setelah berkata demikian, Ci Kang lalu meloncat lari meninggalkan Cia Sun yang berdiri termenung, hatinya kagum melihat pemuda perkasa yang memiliki ilmu kepandaian yang dapat menandinginya. Diapun lalu meninggalkan tempat berbahaya itu.
Semenjak Bangsa Mongol yang pernah menjajah dan menguasai Tiongkok terusir dan terbasmi sehingga sisa-sisa bangsa itu kembali ke utara, maka Bangsa Mongol menjadi bangsa yang lemah. Lenyaplah kebesarannya seperti ketika mereka masih menguasai Kerajaan Goan yang menjajah seluruh Tiongkok itu.
Kini sisa bangsa itu terpecah-pecah, bercampur baur dengan Bangsa Mancu dan Bangsa Khin. Jumlah suku bangsa mereka amat banyak, terpecah-pecah oleh berbagai aliran, tradisi, dan agama. Mereka tinggal berkelompok-kelompok di luar Tembok Besar, dan hidup kembali sebagai suku-suku Nomad yang berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi iklim dan tanah.
Karena terpecah-pecah menjadi kelompok itulah maka Bangsa Mongol, Mancu dan Khin ini menjadi lemah. Diantara mereka sendiri terjadilah persaingan, bahkan kadang-kadang persaingan itu menjadi permusuhan dan pertempuran karena memperebutkan tanah, air dan sebagainya.
Mereka adalah bangsa yang sudah terbiasa dengan kekerasan, karena sifat hidup mereka memang keras, selalu berhadapan dengan kesukaran yang ditimbulkan oleh keadaan alam di daerah itu yang tidak menguntungkan manusia.
Masing-masing suku atau kelompok memiliki kepala sendiri, dan seperti biasa terjadi di seluruh dunia ini diantara manusia, kepala-kepala inilah yang menimbulkan permusuhan dan pertentangan karena ambisi masing-masing yang menyeret kelompok atau pengikut mereka ke dalam permusuhan.
Tidak pernah lagi lahir seorang Jenghis Khan baru yang memiliki kekuatan sedemikian hebatnya untuk menundukkan semua kepala suku itu sehingga terdapat persatuan seperti di jaman Jenghis Khan dahulu yang akan membuat Bangsa Mongol menjadi bangsa yang kuat.
Nenek Yelu Kim yang sudah tua itu memang cukup berpengaruh diantara suku bangsa utara ini. Akan tetapi peranan nenek Yelu Kim bukanlah sebagai pemimpin dan pembangkit semangat mereka, melainkan sebagai penengah. Nenek ini ditakuti karena memang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah nenek Yelu Kim bangkit untuk memimpin mereka, hanya turun tangan kalau terjadi pertempuran-pertempuran antara kelompok atau suku. Dan setiap kali, nenek ini harus memperlihatkan kepandaiannya untuk dapat melerai dan memadamkan api permusuhan diantara mereka.
Akan tetapi pergolakan di utara yang dipimpin oleh pemberontakan para datuk sesat yang bersekongkol dengan Panglima Ji Sun Ki di San-hai-koan, menimbulkan guncangan hebat di kalangan para suku Nomad di utara itu, membangkitkan sesuatu di dalam hati mereka yang selama ini tidak pernah lagi memikirkan kekuasaan yang sudah hilang di selatan.
Juga Yelu Kim seperti baru terbangun dari tidurnya. Mengapa tidak, demikian pikirnya. Kalau para datuk sesat saja berani mengadakan pemberontakan, mengapa ia tidak bisa memimpin suku-suku bangsa yang kuat dan terkenal sebagai ahli-ahli perang itu untuk mencoba membangkitkan kembali kekuasaan Bangsa Mongol dan sekutunya, meraih kembali mahkota yang pernah dikuasai oleh Bangsa Mongol?
Akan tetapi, api semangat yang mulai membakar dada orang-orang yang menjadi kepala kelompok atau suku itu kembali menimbulkan pertentangan diantara mereka sendiri. Masing-masing ingin menjadi pemimpin kalau sampai mereka bersatu dan melakukan penyerbuan ke selatan selagi keadaan kacau oleh adanya pemberontakan.
Masing-masing ingin menjadi pemimpin, tentu saja dengan ambisi bahwa kalau gerakan mereka kelak berhasil, sang pemimpin itulah yang akan menjadi kaisar sampai ke anak cucu keturunannya!
Hal inilah yang membuat prihatin dan menyesal di hati nenek Yelu Kim sampai ia bertemu dengan Sui Cin. Dalam diri gadis ini ia melihat bakat dan kepandaian yang dapat ia pergunakan untuk mencapai hasil baik dalam rencananya menghadapi pertikaian baru diantara para kepala suku itu.
Nenek itu berhasil membawa pergi Sui Cin dengan bantuan harimau peliharaannya, dan mengobati Sui Cin yang tertipu oleh Kiu-bwe Coa-li dan minum racun pembius. Akan tetapi selain keracunan, nenek itu mendapat kenyatan bahwa gadis itupun kehilangan ingatannya, maka iapun berusaha dengan sepenuh perhatian dan kepandaiannya untuk mengobati Sui Cin sehingga gadis itu akan sembuh sama sekali, juga dari penyakit kehilangan ingatan itu.
Nenek Yelu Kim memang ahli dalam hal pengobatan dan akhirnya ia berhasil mengobati Sui Cin sehingga gadis itu memperoleh kembali ingatannya! Ingatan itu kembali kepadanya ketika pada suatu pagi ia terbangun dan melihat nenek itu telah duduk di dekat pembaringannya. Nenek itu memegang sebatang jarum emas dan agaknya nenek itu tadi telah mengerjakan jarumnya ketika ia sedang tidur dan berhasil "membuka" kembali ingatannya.
"Aihhh...!" Sui Cin meloncat dan bangkit duduk, memandang nenek itu dengan mata terbelalak. "Aihh, semuanya terjadi seperti dalam mimpi saja...! Tapi aku tidak bermimpi!" Ia menengok ke arah pintu kamar itu dan memanggil girang ketika melihat seekor harimau besar menjenguk ke dalam. "Houw-cu, engkaupun kenyataan, bukan mimpi! Dan nenek Yelu Kim, yang telah menolongku!"
Nenek itu tersenyum dan wajahnya nampak cantik ketika ia tersenyum.
"Anak baik, engkau sudah ingat semua, juga akan keadaan dirimu? Tadinya engkau lupa sama sekali akan keadaan dirimu dan asal-usulmu."
Sui Cin membelalakkan matanya.
"Benarkah itu? Ah, ya, teringat olehku sekarang. Tentu timpukan batu yang mengenai belakang kepalaku itu yang membuatku lupa segalanya. Dan bagaimana nasib Hui Song...?"
Nenek itu menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu. Apakah dia pemuda yang menolongmu dari Kiu-bwe Coa-li itu?"
"Bukan! Pemuda itu adalah Cia Sun-twako. Ah, tentu locianpwe tidak tahu. Betapa hebat dan mengerikan semua pengalamanku selama ini dan akhirnya lo-cianpwe yang dapat menyembuhkanku. Sungguh besar sekali budi locianpwe kepadaku."
"Hushh, sudahlah. Diantara guru dan murid mana ada budi? Ingat, sesuai dengan janjimu, engkau telah menjadi murid juga pembantuku. Sekarang, ceritakan keadaan dirimu dengan singkat."
"Namaku Ceng Sui Cin dan ayahku..."
Sui Cin teringat bahwa ia tidak boleh membawa-bawa nama orang tuanya, maka ia meragu. Bagaimanapun juga, ia belum mengenal benar siapa sesungguhnya nenek Yelu Kim yang telah menolongnya ini.
Akan tetapi nenek itu tersenyum setelah tadinya sepasang matanya terbelalak mendengar gadis itu memperkenalkan diri. Lalu tangannya yang kurus memegang lengan Sui Cin dan matanya yang tajam itu menatap wajah gadis itu, mulutnya tersenyum ramah.
"Sungguh para dewa telah mempertemukan kita! Tepat suara hatiku bahwa engkaulah yang akan dapat membantuku dan menolong bangsa dan golongan kita. Kiranya engkau adalah keturunan Puteri Khamila, engkau masih berdarah bangsa kami, anak baik!"
Sui Cin terkejut dan merasa heran. Benarkah nenek ini dapat mengenal keluarganya hanya dengan namanya? Padahal, sebelum ini belum pernah ia mengenal nenek Yelu Kim.
"Apa maksud locianpwe?" tanyanya sambil memandang tajam.
Senyum nenek ini melebar.
"Tidak sukar mengenalmu, Sui Cin. Ilmu silatmu lihai dan selama engkau berada disini, di dalam latihan engkau memainkan beberapa ilmu silat yang kukenal bersumber pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Tadinya kukira engkau murid Cin-ling-pai, akan tetapi setelah kini aku tahu bahwa engkau she Ceng, mudah saja menduga siapa adanya dirimu. Bukankah ayahmu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?"
Sui Cin mengangguk.
"Locianpwe sungguh cerdik sekali." Ia memuji.
"Dan ayahmu itu adalah putera Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai. Kakekmu itu adalah putera mendiang Kaisar Ceng Tung dan Puteri Khamila, dengan sendirinya antara engkau dan aku masih ada hubungan yang dekat sekali, Sui Cin."
Dan kata-kata itu diakhiri dengan suara ketawa girang bukan main dari nenek itu. Sui Cin memandang bengong ketika melihat nenek itu tiba-tiba bangkit dan menari-nari didalam kamar itu, menari-nari sambil bernyanyi lagu Mongol dan bertepuk tangan! Harus diakuinya bahwa biarpun disitu tidak ada iringan musik, akan tetapi tarian itu indah sekali dan suara nyanyian nenek itupun merdu.
"Locianpwe..."
"Aku sudah menjadi gurumu dan kau masih menyebutku locianpwe?" Nenek yang sudah selesai menari itu menegur.
"Subo," akhirnya Sui Cin berkata dengan nada agak terpaksa.
Sebenarnya, kalau ia berada dalam keadann sadar, ia tidak akan mau begitu saja berjanji menjadi murid dan pembantu nenek itu tanpa lebih dahulu mengenal keadaannya. Akan tetapi ia sudah berjanji dan ia tidak akan menarik kembali apa yang telah dijanjikan.
"Subo, hubungan dekat apakah yang ada antara kita?"
"Tidak dapatkah engkau menduganya? Nama keturunanku Yelu! Tidak tahukah engkau apa artinya nama itu?"
Sui Cin menggeleng kepala dan menyesal mengapa ia tidak tahu akan hal itu karena ia melihat betapa wajah nenek itu nampak kecewa sekali.
"Aih, agaknya Ceng Thian Sin tidak pernah menceritakan kepadamu tentang kebesaran bangsa kita di utara."
"Ayah memang tidak suka menceritakan riwayat nenek moyang kami," kata Sui Cin.
"Sayang sekali. Nah, dengarlah baik-baik. Ketika Kaisar Jenghis Khan, raja terbesar di seluruh dunia, masih bertahta dan menguasai seluruh daratan sampai ke lautan selatan, beliau mempunyai seorang pembantu dan penasihat yang amat arif bijaksana, bernama Yelu Ce-tai. Siapakah orangnya yang tidak mengenal nama besar Yelu Ce-tai disamping nama besar Jenghis Khan? Yelu Ce-tai inilah pengatur semua siasat yang membuat pemerintahan Jenghis Khan berhasil dengan baik."
"Dan subo tentulah keturunan Yelu Ce-tai itu," kata Sui Cin karena memang mudah saja menduganya sekarang.
Nenek itu mengangguk dan wajahnya yang agung itu nampak diangkat penuh kebanggaan.
"Dan beliau tidak malu mempunyai keturunan seperti aku! Kerajaan Mongol yang menguasai seluruh daratan selatan sudah hancur, keturunan Jenghis Khan yang besar itu telah lenyap tidak ada sisanya lagi, akan tetapi kebesaran Yelu Ce-tai masih belum kabur! Lihat aku ini, aku keturunannya, walaupun aku hanya seorang wanita, akan tetapi aku masih dipandang dan diakui oleh semua kelompok suku bangsa di utara sebagai penasihat agung yang selalu mereka segani dan taati!"
Kini mengertilah Sui Cin mengapa nenek ini nampak begitu agung dan penuh bangga diri. Kiranya memiliki kedudukan tinggi diantara suku bangsa utara.
"Subo telah menyelamatkan aku, dan aku telah berjanji untuk membantu subo, sebenarnya bantuan apakah yang dapat kulakukan? Bukankah sebagai seorang penasihat agung, subo memiliki banyak pembantu dan tidak membutuhkan lagi bantuanku?"
"Engkau tidak tahu betapa aku mengalami banyak kepusingan karena sifat yang liar dan keras dari orang-orang suku utara ini. Terutama sekali suku Khin yang amat ganas. Mereka itu menghormati aku, akan tetapi kadang-kadang memperlihatkan kekerasan mereka dan agaknya mereka itu akan mudah sekali memberontak. Baiknya selama ini aku mampu mengendalikan mereka. Kini timbul keguncangan di kalangan kami karena adanya pergerakan kaum sesat di selatan yang hendak memberontak."
Sui Cin terkejut. Betapa pandainya nenek ini, sehingga urusan di selatan tentang gerakan para datuk sesat yang hendak memberontakpun diketahuinya!
"Apakah yang subo ketahui tentang hal itu?"
Nenek itu tersenyum bangga.
"Tentu saja aku tahu semuanya! Ha, jangan dikira bahwa kami orang-orang Mongol sudah melupakan kekalahan kami! Orang-orang kasar itu mungkin sudah menerima kekalahan mereka dan sudah putus asa. Akan tetapi aku tidak! Aku selalu memperhatikan perobahan dan pergolakan di selatan. Aku tahu bahwa seorang pangeran she Toan yang kini menjadi datuk sesat dengan julukan Raja Iblis, dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya, sedang berusaba untuk memberontak. Bahkan mereka sudah berhasil mengadakan persekutuan dengan panglima San-hai-koan dan merampas benteng itu!"
"Selain itu?" Sui Cin mendesak.
"Tidak cukupkah itu? Kami melihat kesempatan yang baik sekali untuk bergerak selagi keadaan pemerintah Beng-tiauw kacau. Saatnya tiba bagi kami untuk bergerak ke selatan, menegakkan kembali kekuasaan utara atas daerah selatan. Akan tetapi orang-orang kasar itu, orang-orang liar itu, mereka bahkan saling berebut, saling bertentangan sendiri memperebutkan kedudukan pimpinan seperti anjing memperebutkan bungkusan kosong! Sungguh memuakkan!"
Nenek itu mengepal tinju dan kelihatan marah sekali. Sui Cin menduga bahwa nenek itu agaknya belum tahu akan gerakan para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
"Lalu apa hubungannya semua itu dengan bantuan yang subo harapkan dariku?"
"Orang-orang gila itu makin menjadi-jadi dalam nafsu mereka untuk memperebutkan kedudukan sebagai pemimpin gerakan kami. Bahkan setiap kelompok mengajukan usul agar masing-masing mengeluarkan jagoan dan diadakan pertandingan-pertandingan. Siapa yang jagonya menang berarti berhak menjadi pemimpin gerakan ke selatan. Dan aku ingin engkau membantuku, mewakili aku maju sebagai penghukum yang menaklukkan semua jagoan itu, atau menundukkan jagoan yang paling kuat dan yang keluar sebagai pemenang."
"Ahh...!" Sui Cin terkejut. "Mengingat betapa kepandaian subo sendiri sudah amat tinggi, tentu diantara kelompok itu terdapat orang-orang pandai. Bagaimana aku akan dapat mengalahkan jagoan yang paling pandai? Jangan-jangan subo akan menyesal dan kecelik, aku malah yang akan kalah oleh jagoan itu sehingga nama dan wibawa subo menjadi turun."
"Tidak, tidak mungkin! Mereka itu hanya orang-orang kasar yang hanya menggunakan kekuatan dan kelincahan menunggang kuda disertai keberanian. Mana mungkin ada yang mampu mengalahkanmu? Sui Cin, aku sudah tahu akan kelihaianmu. Dalam ilmu berkelahi, aku sendiri tidak menang melawanmu. Pula, kalau engkau maju sambil menunggang Houw-cu, siapa yang akan mampu mengalahkan? Di samping itu, masih ada yang membantumu dari belakang dengan kekuatan sihir. Kami pasti menang dan kemenanganmu akan membuat semua orang tunduk akan keputusanku!"
"Aih, jadi subo bercita-cita untuk memperebutkan kedudukan pemimpin itu"
"Jangan salah sangka! Seorang nenek setua aku ini tidak butuh lagi kedudukan dan kemuliaan, akan tetapi aku ingin melihat bangsaku memperoleh kembali kekuasaannya sebelum aku mati, apalagi kalau kekuasaan itu diperoleh karena bantuan dan jasaku! Aku ingin kelak kalau mati, dapat menghadap nenek moyang Yelu Ce-tai dengan hati bangga. Biar semua orang melihat bahwa sampai kini Yelu Kim tetap menjadi orang yang menurunkan keluarga yang bahkan lebih besar daripada keturunan Jenghis Khan sendiri! Aku harus memimpin kelompok-kelompok liar itu agar berhasil menyerbu ke selatan. Kemudian, untuk pemilihan kaisar, harus dilakukan dengan bijaksana dan adil, dibawah bimbinganku pula!"
Sui Cin merasa heran dan diam-diam merasa khawatir kalau-kalau orang yang menjadi gurunya ini bukan hanya seorang yang mempunyai cita-cita besar, akan tetapi juga merupakan orang yang miring otaknya!
"Kalau aku sudah melakukan tugasku mengalahkan jagoan itu, lalu bagaimana dengan aku, subo?"
"Janjimu itu hanya terikat oleh bantuanmu memenangkan sayembara itu. Selanjutnya aku serahkan kepadamu. Kalau engkau mau membantu kami dalam perjuangan kami, tentu saja aku akan merasa gembira dan bersyukur sekali. Andaikata tidak dan engkau ingin meninggalkan aku, silakan."
Tentu saja, setelah kini semua ingatannya pulih, diam-diam Sui Cin merasa tidak setuju dengan rencana nenek yang telah menjadi gurunva ini. Nenek ini bersama bangsa dan kelompoknya merencanakan pemberontakan! Padahal, sudah menjadi tugasnya untuk menentang pemberontakan, untuk membela negara dan mencegah terjadinya perang agar rakyat tidak akan menderita.
Bahkan ia kini teringat bahwa ia berada di utara adalah karena ditugaskan oleh gurunya, Wu-yi Lo-jin, untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak menentang Raja dan Ratu Iblis yang hendak mengerahkan kaum sesat untuk memberontak.
Mana mungkin kini ia harus membantu pemberontakan nenek ini terhadap pemerintah? Akan tetapi iapun tahu bahwa nenek ini bukan orang jahat, bahkan telah menyelamatkannya dan menolongnya dari keadaan yang amat menyedihkan, yaitu kehilangan ingatannya. Bagi nenek ini tentu saja gerakan memberontak itu merupakan suatu perjuangan untuk memulihkan kembali kekuasaan bangsanya, Bangsa Mongol yang pernah menjajah Tiongkok.
"Subo, apakah subo kira mudah saja melakukan pemberontakan? Mana mungkin kelompok-kelompok suku disini akan mampu menandingi kekuatan balatentara kerajaan? Sebelum dapat berbuat banyak, tentu subo dan teman-teman subo sudah akan dihancurkan oleh kekuatan balatentara kerajaan yang amat bamyak jumlahnya dan kuat."
Nenek itu tersenyum.
"Ucapanmu memang benar. Akan tetapi seperti sudah kukatakan tadi, kini tiba saatnya yang amat baik, terbuka kesempatan besar karena kaum sesat telah bergerak. Biarlah mereka yang akan menandingi balatentara pemerintah dan kami akan memukul mereka dari belakang dan merampas semua kota yang sudah mereka duduki. Dengan menghadapi perlawanan pasukan pemerintah dari depan, tentu mereka akan lemah dan tidak akan mampu bertahan kalau kami pukul dari belakang. Mereka itulah yang akan menjadi pelopor kami dan kami tinggal merampas hasil-hasil mereka dari belakang saja."
Diam-diam Sui Cin terkejut juga. Nenek ini sungguh cerdik dan kalau berhasil semua siasat nenek itu, sungguh berbahaya keadaannya bagi pemerintah. Berarti pemerintah akan menghadapi dua gelombang serangan musuh, dan menurut sejarah yang pernah dibacanya, suku Bangsa Mongol di utara merupakan orang-orang yang amat gagah perkasa, berani mati dan tangkas dalam pertempuran.
"Akan tetapi, subo. Hal itu akan menyalakan api peperangan besar dan untuk menggerakkan banyak orang bertempur, membutuhkan biaya yang amat besar. Kalau subo tidak mempunyai harta benda yang banyak untuk itu..."
"Jangan khawatir. Aku selalu membiasakan diri berpikir sampai matang dan membuat persiapan selengkapnya sebelum bergerak. Kalau aku tidak memiliki harta pusaka yang amat besar jumlahnya, mana berani aku merencanakan gerakan perjuangan?"
Tiba-tiba terdengar suara mengaum dan harimau besar itu mendekati Sui Cin dan mengelus-elus punggung gadis itu dengan kepalanya. Itulah tandanya bahwa si harimau itu mengajaknya bermain-main.
"Houw-cu, bersabarlah, nanti kita main-main," katanya dan tiba-tiba melihat harimau ini, Sui Cin teringat akan sesuatu.
Terbayanglah semua peristiwa di dalam guha. Guha Iblis Neraka! Ketika ia menyelidiki guha itu, sebelum muncul Hui Song bersama Siang Hwa dan dua orang kakek, ia melihat bayangan lima orang yang dengan amat cepatnya berkelebatan memasuki guha. Kemudian ia melihat mereka keluar lagi sambil memikul sebuah peti yang nampaknya berat.
Ia teringat akan harta pusaka di dalam guha itu. Agaknya Hui Song bersama wanita cantik dan dua orang kakek itu memasuki guha untuk mencari harta pusaka, akan tetapi kedahuluan oleh lima bayangan itu. Dan kini teringatlah ia bahwa pada dada mereka itu nampak gambar harimau, tersulam pada baju mereka.
"Subo, aku pernah mendengar tentang pusaka di Guha Iblis Neraka..." Ia memancing.
Nenek itu membelalakkan matanya.
"Aha! Engkaupun tahu akan hal itu? Tak perlu kusembunyikan lagi. Kami telah mendapatkan harta pusaka itu. Untung, karena harta pusaka itu telah diincar oleh Raja dan Ratu Iblis!"
"Kalau begitu, subo mempunyai banyak anak buah? Kukira, tadinya subo hanya bertiga dengan aku dan Houw-cu ini..."
"Jangan bodoh. Mana mungkin kalau hanya sendirian saja aku dapat mempertahankan kedudukanku? Pernahkah engkau mendengar tentang Perkumpulan Harimau Terbang?"
Sui Cin menggeleng kepala, hanya diam-diam menduga bahwa tentu lima orang yang memakai baju bersulam gambar harimau itu merupakan anggauta-anggauta Perkumpulan Harimau Terbang.
"Harimau Terbang adalah nama perkumpulan rahasia yang kudirikan di daerah Mongol ini. Sebetulnya pendirinya adalah nenek moyangku, sejak Yelu Ce-tai dan merupakan perkumpulan yang anggautanya terdiri dari orang-orang pandai. Dengan bantuan para anggauta perkumpulan itu, aku dapat menguasai para kepala kelompok dan kepala suku sehingga sampai kini persatuan diantara mereka dapat kupertahankan."
Diam-diam Sui Cin merasa semakin kagum kepada nenek ini. Seorang nenek yang selain memiliki kepandaian tinggi, pandai sihir, juga cerdik bukan main, bahkan menjadi kepala dari sebuah perkumpulan rahasia yang agaknya bergerak secara rahasia pula dan disegani oleh semua kepala suku dan kepala kelompok yang liar di daerah Mongol dan Mancu.
Iapun melihat betapa para pendekar akan sukar untuk dapat menentang Raja dan Ratu Iblis yang ternyata bukan hanya dibantu oleh kaum sesat, akan tetapi bahkan telah bersekutu dengan pasukan pemberontak yang besar jumlahnya dan kini bahkan telah berhasil merampas dan menduduki benteng pertama San-hai-koan.
Kalau begini, untuk menghadapi mereka dibutuhkan pasukan yang kuat pula, bukan hanya sekedar beberapa puluh orang pendekar saja. Maka, iapun mengambil keputusan untuk menentang pemberontakan yang dipimpin Raja dan Ratu Ibils itu dengan cara membantu orang-orang Mongol ini. Bukan membantu untuk memberontak, melainkan membantu mereka untuk menentang pasukan pemberontak Raja Iblis.
"Subo sudah mempunyai banyak anggauta Perkumpulan Harimau Terbang yang terdiri dari orang-orang berilmu tinggi, kenapa subo masih membutuhkan bantuanku untuk menghadapi jagoan dari para kelompok itu?"
"Tidak, Sui Cin. Mereka itu lihai akan tetapi kelihaian mereka dalam hal ilmu silat jauh di bawah tingkatmu. Mereka itu hanya menguasai ilmu yang mereka pelajari dariku saja, jadi tidak dapat terlalu diandalkan untuk menghadapi jagoan yang tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi kalau engkau dengan ilmu silatmu yang tinggi maju, dibantu oleh Houw-ji yang menjadi binatang tungganganmu, kubantu pula dari belakang dengan kekuatan sihirku, aku yakin engkau pasti akan menang dan kemenanganmu akan membuat mereka semua tunduk padaku."
"Baiklah, subo. Aku akan membantu subo, bahkan aku akan membantu pula kalau subo menentang pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat membantu kalau subo melawan pemerintah. Tentu subo tahu bahwa tidak mungkin aku menjadi pemberontak."
Nenek itu mengangguk-angguk.
"Aku mengerti, Sui Cin. Kita sama-sama merupakan orang yang setia kepada negara dan bangsa, hanya sayang sekali kita terlahir sebagai bangsa yang berlainan."
Demikianlah, Sui Cin lalu diberi petunjuk oleh Yelu Kim untuk dapat bertanding sambil menunggang harimau besar itu dan karena gadis ini memang memiliki gin-kang dan ilmu silat yang hebat, ditambah lagi bahwa ia telah akrab dengan harimau itu, sebentar saja ia sudah mahir menunggang harimau itu sambil menggerakkan sebatang tongkat baja sebagai pengganti senjata payungnya.
Yelu Kim juga sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi sayembara mengadu jagoan untuk memilih pimpinan perjuangan itu. Anak buahnya, yaitu para anggauta Perkumpulan Harimau Terbang, yang jumlahnya ada seratus orang telah dipersiapkan, akan tetapi seperti biasa, mereka ini tidak muncul di depan umum melainkan bergerak secara rahasia, menyelinap diantara para anggauta kelompok berbagai suku bangsa itu, menutupi baju sulaman gambar harimau dengan jubah masing-masing kelompok.
Sejak pagi mereka sudah berkumpul di padang tandus itu. Sebuah tanah datar luas yang kering. Puluhan kelompok suku bangsa yang bermacam-macam, akan tetapi berasal dari tiga suku bangsa, yaitu Mongol, Mancu, dan Khin, telah berkumpul disitu.
Mereka masing-masing mendirikan tenda besar dan dari dandanan pakaian dan bendera masing-masing dapat dibedakan antara mereka walaupun bentuk tubuh dan wajah mereka tidak banyak berbeda, bahkan banyak sekali yang serupa.
Mereka adalah tukang-tukang berkelahi, orang-orang yang sudah terbiasa sejak kecil hidup di alam liar dan selalu menghadapi tantangan hidup yang keras dan sukar. Kepala kelompok atau kepala suku mengenakan pakaian yang bermacam-macam, akan tetapi semuanya serba indah dan gagah. Ada pula yang mengenakan pakaian seragam panglima, mungkin peninggalan nenek moyang mereka ketika masih menjajah Tiongkok. Ada pula yang berkepala gundul berjubah pendeta, menunjukkan bahwa kepala kelompok ini seorang pendeta Buddha.
Para kepala kelompok yang jumlahnya sampai tiga puluh orang lebih karena banyak diantara mereka mempunyai wakil, berkumpul di tengah lapangan luas itu untuk berunding tentang pelaksanaan adu jago diantara mereka.
Nampak Yelu Kim hadir pula dan kedudukan nenek ini jelas nampak karena kalau para kepala kelompok itu duduk bersila di atas tanah yang membentuk sebuah lingkaran, adalah nenek Yelu Kim sendiri yang duduk di atas sebuah tandu. Ia tidak memimpin perundingan itu, namun bertindak sebagai penasihat dan selalu nenek inilah yang memecahkan persoalan yang mereka hadapi dan merupakan jalan buntu.
Setelah mengadakan perundingan yang ramai dan kadang-kadang diselingi pembantahan yang nyaris menjadi perkelahian kalau tidak dilerai oleh Yelu Kim, akhir-nya diambil keputusan bahwa masing-masing kelompok yang hadir hanya diperbolehkan mengajukan seorang jagoan saja.
Masing-masing jagoan hanya dipertandingkan dalam pertandingan satu kali, secara bebas, boleh naik kuda atau tidak, boleh menggunakan senjata apa saja. Jagoan dianggap kalah kalau dia menyatakan tak berani melawan lagi atau kalau dia roboh tak mampu bangun lagi. Kematian atau luka parah yang terjadi dalam pertandingan ini dianggap wajar dan tidak akan dijadikan alasan untuk menaruh dendam atau membalas.
Untuk menentukan siapa yang maju lebih dahulu, diadakan undian dan jagoan yang menang satu kali diperkenankan beristirahat, tidak diharuskan menghadapi lawan secara beruntun. Peraturan pertandingan diadakan sedemikian adilnya sehingga Sui Cin yang diam-diam menyaksikan perundingan itu sebagai pengawal nenek Yelu Kim merasa kagum dan merasakan benar betapa orang-orang yang kasar ini sesungguhnya memiliki kegagahan dan sama sekali tidak mau mempergunakan kecurangan dalam memperebutkan kedudukan itu.
Tidak seorangpun memperdulikannya karena ia dianggap sebagai pengawal atau pembantu Yelu Kim dan Sui Cin merasa aman bersembunyi di balik punggung nenek Yelu Kim. Betapapun juga, ia merasa ngeri juga. Pertandingan itu, walaupun dilaksanakan di antara sahabat-sahabat seperjuangan, namun jelaslah bahwa jagoan masing-masing tidak akan mau saling mengalah. Dan melihat sikap dan watak mereka, agaknya dapat dibayangkan bahwa setiap orang jagoan agaknya akan mempertahankan nama dan kehormatan sampai saat terakhir! Pertandingan yang keras dan kejam dan sudah dapat ia bayangkan bahwa tempat itu nanti tentu akan menjadi merah oleh darah!
Tak lama kemudian, perundingan itupun berakhir dan masing-masing kepala kelompok mengajukan jagoan masing-masing. Bahkan ada kepala kelompok yang maju sendiri karena dia tidak puas dengan wakil seorang yang dianggapnya kurang tangguh.
Nenek Yelu Kim lalu memberi tanda kepada empat orang pemikul tandu untuk mengundurkan diri, diikuti oleh Sui Cin dan nonton dari satu pinggiran yang terpisah. Ternyata, tidak semua kelompok mengajukan jagoan. Agaknya ada pula diantara mereka yang tidak berhasil menemukan jago yang mereka anggap cukup tangguh, maka mereka hanya menjadi tontonan saja. Mereka ini kebanyakan terdiri dari kelompok-kelompok yang kecil. Karena itu, setelah semua jagoan maju, dari dua puluh orang lebih kelompok itu yang muncul hanya sembilan orang jagoan saja.
Diantara sembilan orang jagoan ini hanya ada tiga orang yang tidak menunggang kuda, sedangkan enam orang yang lain menunggang seekor kuda yang besar dan tangkas. Memang satu diantara keahlian orang-orang utara ini adalah menunggang kuda.
Sui Cin hampir mengeluarkan seruan kaget dan heran ketika dia mengenal seorang diantara sembilan jagoan itu. Seorang pemuda tinggi tegap yang amat gagah, dengan memakai jubah kulit harimau, menunggang seekor kuda putih dan bersenjata sebatang tombak kongce yang bercabang dan bergagang panjang.
Pemuda ini nampak pendiam dan tidak bersikap sombong seperti para jagoan lain yang membusungkan dada dan tersenyum-senyum bangga. Pemuda ini hanya menundukkan muka dan bersikap acuh tak acuh. Tentu saja Sui Cin merasa terkejut dan heran karena pemuda ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang!
Mau apa putera Si Iblis Buta ini berada disitu, bahkan menjadi jagoan dari satu diantara kelompok suku dari utara? Biarpun Sui Cin tahu bahwa Ci Kang adalah seorang pemuda gagah perkasa yang tak dapat dikatakan jahat, akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah putera seorang datuk sesat yang ditakuti seperti iblis!
Mengapa pemuda ini tidak berada bersama sekutu Raja Iblis dan berada disitu? Sungguh merupakan hal yang amat mengherankan dan juga mencurigakan. Sui Cin lupa bahwa kehadirannya sendiri di tempat itupun merupakan hal yang amat aneh, mungkin lebih aneh daripada kehadiran Ci Kang sendiri. Ia adalah dari golongan pendekar dan kini ia berada disitu sebagai pengawal atau murid Yelu Kim, orang yang paling tinggi kedudukannya diantara kepala suku yang sedang memilih pimpinan untuk memberontak!
Sui Cin tidak tahu bahwa kehadirannya di situ yang agaknya tidak terlihat oleh Ci Kang, membuat seorang yang menyelinap diantara kelompok Suku Bangsa Mancu Timur hampir saja berteriak pula. Orang ini juga seorang pemuda yang mengenakan pakaian seperti teman-temannya, pakaian orang Mancu Timur yang kehidupannya sebagai pemburu dan nelayan di pantai timur. Dia seorang pemuda tampan yang berwajah gembira.
Ketika pemuda ini melihat Sui Cin, matanya terbelalak dan hampir saja mulutnya berteriak. Akan tetapi dia menahan diri dan alisnya berkerut. Dia merasa heran bukan main melihat Sui Cin berada disitu, apalagi setelah dia memperoleh keterangan dari teman-teman di kanan kirinya yang menceritakan siapa adanya nenek itu! Dan orang ini bukan lain adalah Hui Song!
Dapat dibayangkan betapa besar rasa girang, kaget dan heran bercampur aduk di dalam hati Hui Song ketika tiba-tiba dia melihat Sui Cin diantara orang-orang liar dari utara ini. Dan diapun merasa curiga apalagi mendengar bahwa nenek itu adalah Yelu Kim yang merupakan orang paling ditakuti diantara para kepala suku! Dan Sui Cin, menurut keterangan orang-orang di kanan kirinya, adalah pengawal nenek itu! Sui Cin menjadi pengawal tokoh dari suku-suku bangsa yang hendak mengadakan pemberontakan?
Memang merupakan suatu kebetulan yang amat mengherankan melihat tiga orang muda itu berada disitu, diantara suku-suku bangsa utara. Kita sudah mengetahui mengapa Sui Cin dapat hadir disitu, akan tetapi bagaimana dengan Ci Kang dan Hui Song dapat pula berada disitu dalam keadaan terpisah-pisah, bahkan Ci Kang menjadi seorang diantara jagoan yang terpilih?
Seperti kita ketahui, Ci Kang telah terhindar dari malapetaka bersama Cia Sun ketika mereka berdua terjebak oleh Ciang Hwa ke dalam guha bawah tanah. Akan tetapi akhirnya mereka berhasil ke luar atas pertolongan Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis.
Setelah kedua orang muda ini saling berpisah, Ci Kang tidak mau lagi menuju ke Jeng-hwa-pang dimana dia pernah disambut dengan serangan oleh para pendekar dan diapun melakukan perjalanan di sekitar daerah itu dengan hati murung. Dia akan berusaha mencari gurunya diantara para pendekar, karena hanya dengan perantaraan gurunya dia akan dapat diterima sebagai rekan oleh para pendekar.
Pada suatu hari dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar suara ribut-ribut di dalam hutan itu, teriakan-teriakan manusia dan kadang-kadang suara gerengan yang seolah-olah menggetarkan seluruh hutan.
Ci Kang yang masih bertelanjang dada itu cepat berlari memasuki hutan dan segera dia melihat keadaan yang mengerikan. Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun berada dalam cengkeraman seekor biruang hitam yang besar sekali dan belasan orang laki-laki Suku Bangsa Khin mengurung binatang itu dan berteriak-teriak dalam usaha mereka menyerang biruang itu dan menyelamatkan anak laki-laki itu.
Akan tetapi biruang itu sungguh kuat. Dengan kaki depan kiri yang bergerak seperti lengan binatang itu merangkul dan mencengkeram tubuh anak kecil tadi, sedangkan tangan kanannya mencengkeram dan menangkis semua serangan tombak atau pedang yang ditusukkan kepadanya.
Karena anak itu masih dicengkeram dan dipeluknya, maka para pembantu itupun berhati-hati sekali dalam penyerangan mereka, khawatir kalau kalau senjata mereka mengenai anak itu sendiri. Dan mereka sama sekali tidak berani mempergunakan anak panah.
Melihat keadaan anak yang berada dalam ancaman maut itu, dengan pundak yang sudah robek terluka, Ci Kang tidak sempat menyelidiki lagi siapa adanya orang-orang itu dan siapa pula anak itu. Dia sudah marah sekali melihat keganasan biruang itu dan melihat pula sudah ada dua orang yang terluka parah, mungkin terkena cengkeraman kuku kaki depan kanan biruang itu.
Ci Kang mengeluarkan suara melengking nyaring, mengejutkan para pemburu bangsa Khin itu dan dapat dibayangkan, betapa heran dan kagum rasa hati mereka ketika melihat pemuda yang bertelanjang dada dan mengeluarkan bunyi melengking seperti binatang buas itu meloncat dan tahu-tahu sudah menusukkan jari tangannya menotok pundak kiri biruang itu.
Binatang itu mengeluarkan auman marah dan kesakitan, akan tetapi totokan yang mengenai urat besar di pundaknya itu sejenak melumpuhkan lengan kirinya sehingga ketika Ci Kang menyambar tubuh anak itu, dia tidak mampu mempertahankan.
Ci Kang cepat melemparkan tubuh anak itu kepada seorang diantara para pemburu, dan dia sendiri cepat menghadapi biruang yang kini menjadi semakin marah. Biruang itu sudah menerjang dan menubruk ke depan, kedua kaki depan itu bergerak seperti lengan yang amat kuat, dengan kuku-kuku jari yang meruncing panjang, menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ci Kang.
Akan tetapi, Ci Kang sudah siap siaga. Dengan gerakan yang amat gesit tubuhnya menyelinap ke bawah kaki yang menerkam itu, dan begitu dia terhindar, dia membalik dan tangan kanannya menyambar.
"Dukkk...!"
Betapapun kuatnya kepala biruang itu, begitu terkena tamparan tangan Ci Kang yang amat kuatnya, biruang itu mengeluarkan suara pekik hebat dan tubuhnya terpelanting dan terbanting keras sampai bergulingan. Akan tetapi, binatang itu memang kuat sekali. Kulitnya yang tebal melindungi kepalanya sehingga tidak sampai pecah terpukul dan biarpun binatang itu menjadi pening karena guncangan hebat pada kepalanya, ia masih dapat meloncat bangun dan menerkam lagi, kini gerakannya ngawur karena matanya masih berkunang.
Ci Kang meloncat ke samping, kemudian dari samping dia memukul. Kini dia mengerahkan tenaga pada telapak tangan kanannya itu menghantam ke arah dada kiri biruang.
"Krakkk!"
Jelas sekali terdengar tulang-tulang patah ketika tangan yang ampuh itu menghantam tulang-tulang iga di balik kulit tebal. Biruang itu mengaum dan terjengkang. Ci Kang meloncat dekat dan sekali tangannya bergerak memukul, kini terkepal, terdengar lagi pecahnya tulang dan kepala biruang itupun retak. Binatang itupun tewas dengan mata, hidung, mulut dan telinga mengeluarkan darah!
Terdengar sorak-sorai memuji dan bahkan ada yang bertepuk tangan, dan ada pula yang menari-nari mengelilingi bangkai biruang itu. Seorang diantara mereka yang agaknya menjadi pemimpin rombongan memegang lengan Ci Kang dan mengguncang-guncangkan lalu memeluk Ci Kang dengan sikap ramah bersahabat.
"Orang muda, engkau telah menyelamatkan putera kepala suku kami," kata orang itu dalam bahasa Han yang cukup lancar.
Kiranya orang ini adalah seorang bangsa Khin yang sudah sering berhubungan dengan orang-orang Han di perbatasan untuk menjual kulit-kulit harimau hasil buruan rombongannya.
Ci Kang melihat bahwa luka di pundak anak itu sudah dibalut dan bahwa anak itu tidak terancam bahaya. Dia mengangguk.
"Aku tidak perduli dia anak siapa, akan tetapi aku girang kalau dia selamat," jawabnya sederhana.
Jawaban ini agaknya membuat semua orang bergembira dan kagum dan satu demi satu mereka menyalami Ci Kang. Orang-orang ini sudah hagitu biasa dengan sikap gagah dan jujur, sehingga pernyataan Ci Kang itu menambah rasa kagum di hati mereka. Biasanya orang-orang Han selalu merupakan penjilat-penjilat kepada atasan dan penindas-penindas kepada bawahan, pikir mereka.
"Orang muda, mari ikut bersama kami pergi menemui kepala suku kami," kala si brewok yang menjadi pimpinan rombongan itu.
Ci Kang memandang orang itu dan mengerutkan alisnya.
"Aku tidak butuh hadiah!" setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya hendak pergi dari situ.
Akan tetapi, dengan langkah lebar si brewok itu mengejarnya dan mendahuluinya lalu menghadang di depannya.
"Kau mau apa?" bentak Ci Kang sambil mengepal tinju. Hatinya yang sedang kesal membuatnya murung dan mudah marah.
Tiba-tiba orang brewok itu menjatuhkan diri berlutut,
"Orang muda, aku hanya minta agar engkau suka menyelamatkan nyawaku."
Tentu saja Ci Kang menjadi heran dan terkejut.
"Apa maksudmu?"
"Orang muda, anak yang kau selamatkan tadi adalah putera kepala suku kami. Kalau engkau tidak mau ikut bersama kami menemuinya, bukan untuk minta pahala melainkan untuk menjadi saksi, tentu aku dianggap mempunyai dua kesalahan dan akan dihukum mati. Pertama, aku membiarkan puteranya sampai terluka dan kedua, aku membiarkan penolongnya tanpa memperkenalkannya kepada kepala kami."
Ci Kang mengerutkan alisnya. Dia percaya bahwa orang-orang yang kasar ini, orang-orang yang mempunyai pekerjaan yang sama dengannya, yaitu pemburu-pemburu binatang, tidak pernah membohong, dan kebiasaan yang kasar dan keras dari kepala suku itu mungkin benar. Dan apa salahnya kalau dia berkenalan dengan orang-orang ini? Berada diantara orang-orang kasar jujur pekerjaannya memburu binatang ini dia merasa tidak asing.
"Jauhkah tempat kepala suku itu?"
"Tidak, orang muda, tidak sampai seperempat hari perjalanan. Siang nanti kita sudah akan tiba disana."
"Baiklah. Mari kita berangkat."
Dan orang brewok itu memang tidak berbohong. Setelah matahari naik tinggi, tibalah mereka di perkampungan Suku Bangsa Khin itu dan andaikata Ci Kang tidak ikut datang, tentu si brewok ini mengalami hukuman berat.
Kepala suku itu orangnya tinggi besar dan kasar, sepasang matanya yang lebar itu keras dan terbuka. Dia mendengarkan penuturan si brewok dengan alis berkerut. Akan tetapi setelah memeriksa pundak puteranya yang terluka dan mendapat kenyataan bahwa keadaan puteranya tidak berbahaya, apalagi mendengar bahwa pemuda yang tak berbaju ini telah membunuh biruang hitam besar hanya dengan pukulan tangan kosong, dia lupa akan kemarahannya.
Sejenak dia memandang Ci Kang dengan sepasang mata penuh selidik dan agaknya dia tidak percaya ketika mendengar penuturan si brewok dan kawan-kawannya bahwa Ci Kang telah membunuh biruang itu hanya dengan tiga kali pukulan saja!
Kepala suku itu menggeleng kepala dan dia memandang kepada kedua lengannya yang berotot dan besar.
"Mana mungkin membunuh biruang hitam dewasa dengan tiga kali pukulan saja? Kedua tangan inipun tidak sanggup menandingi kekuatan biruang hitam. Mungkin dalam perkelahian mati-matian akhirnya aku akan dapat membunuhnya, akan tetapi dengan tiga kali pukulan? Tak mungkin! Orang muda, benarkah engkau tadi telah membunuh seekor biruang hitam dewasa dengan tiga kali pukulan?"
Ci Kang sudah menyukai sikap terbuka itu. Orang-orang ini mengagumkan, pikirnya dan cocok sekali dengan wataknya. Dia sejak kecil suka sekali berburu binatang dan walaupun ayahnya dan rekan-rekan ayahnya suka mencemoohkannya, namun dia menganggap berburu binatang untuk dimakan dagingnya dan dimanfaatkan kulitnya merupakan pekerjaan yang gagah. Mencari makan dengan cara yang perkasa!
"Benar, dan kalau aku mau, aku dapat membunuh binatang itu dengan satu kali pukulan saja!" Ucapan Ci Kang ini timbul dari hati yang sejujurnya, bukan untuk menyombongkan diri.
Kepala suku itu mengerutkan alisnya dan menganggap ucapan ini sebagai tanda ketinggian hati.
"Orang muda, kalau engkau tidak dapat membuktikan ucapanmu itu, terus terang saja engkau mengecewakan hatiku dan aku menjadi tidak suka kepadamu walaupun engkau telah menolong puteraku."
"Aku tidak berbohong dan perlu apa aku membuktikan omonganku? Andaikata engkau mempunyai seekor biruang hitam disini, akupun tidak mau membunuhnya tanpa sebab, hanya untuk membuktikan omonganku."
"Orang muda, kekuatanku lima kali seekor biruang hitam. Kalau engkau mampu mengalahkan seekor biruang dengan satu kali pukulan saja, berarti bahwa engkau akan mampu mengalahkan aku dengan lima kali pukulan. Betapa tidak masuk di akal! Nah, aku akan melihat buktinya. Kalau engkau dapat mengalahkan aku dalam sepuluh jurus, berarti omonganmu memang benar."
"Kalau tidak dapat?"
"Berarti engkau bohong dan perkenalan kita hanya sampai disini saja. Nah, bersiaplah engkau, kecuali kalau engkau takut!"
Harga diri Ci Kang tersentuh dengan ucapan itu.
"Aku tidak butuh membuktikan kemampuanku, akan tetapi kalau engkau memaksaku, jangan dikira aku takut!"
Sepasang mata yang lebar itu berseri.
"Bagus, nah, mari kita mulai, orang muda!"
Dia lalu mengajak Ci Kang keluar dari dalam rumahnya dan mereka sudah saling berhadapan di depan rumah itu, di halaman yang luas dimana tumbuh rumput hijau yang subur.
Orang-orang Khin ini selain merupakan pemburu-pemburu yang ulung, juga beternak domba dan mereka menanam semacam rumput yang amat gemuk dan baik sekali untuk makanan ternak mereka.
Kini dua orang laki--laki itu berdiri berhadapan dan banyak sekali orang Khin yang mendengar akan kedatangan pemuda yang gagah perkasa penolong putera kepala suku mereka, sudah berada disitu dan kini dengan wajah berseri mereka melihat betapa kepala suku mereka akan menguji pemuda itu!
Melihat Ci Kang bertelanjang dada, ketua itupun menanggalkan baju atasnya dan Ci Kang melihat tubuh seorang laki-laki yang jantan dan amat tegap, kokoh dan kuat. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepala suku itu hanya memiliki tenaga otot yang amat besar saja, dan dia tidak merasa gentar. Akan tetapi diapun tidak memandang rendah dan mengambil keputusan untuk mengalahkan raksasa ini kurang dari sepuluh jurus karena diapun tidak ingin kehilangan persahabatan dengan orang-orang yang menyenangkan hatinya.
Bahkan orang-orang wanitanya yang berada disitu kelihatan gagah-gagah, sama sekali berbeda dengan wanita-wanita Han yang kebanyakan lemah. Tentu saja ada kecualinya, pikirnya, terutama sekali gadis-gadis seperti Sui Cin dan Hui Cu, puteri Ratu Iblis itu!
"Aku sudah siap!" katanya ketika melihat ketua itu melangkah maju dengan kedua lengan panjang itu tergantung ke sisi, dengan jari-jari tangan terbuka dan agak melengkung.
Sikap ini mirip sikap biruang hitam tadi, pikir Ci Kang dan diapun bersikap waspada, dapat menduga bahwa orang ini tentu ahli dalam ilmu gulat dan karenanya amat berbahaya kalau sampai kedua lengan panjang dengan jari-jari tangan kuat itu sampai dapat menangkapnya.
Akan tetapi ketika kepala suku itu menerjang dengan amat cepatnya, dia sudah mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaiannya dan menundukkan raksasa ini secepat mungkin. Ci Kang mempergunakan perhitungan yang matang dan berani.
Ketika dua tangan yang besar itu menyambar dari kanan kiri, dia sengaja berlaku lengah atau lambat, akan tetapi untuk menjaga kecepatan gerak tangannya, dia tidak membiarkan pundak atau lengannya tersentuh, apalagi tertangkap. Dengan mengembangkan kedua lengannya, dia membiarkan batang leher dan pangkal lengan kirinya kena dicengkeram, sedangkan secepat kilat, begitu merasa kedua tangan lawan menyentuhnya, jari tangan kanannya bergerak dua kali menotok ke arah jalan darah di kedua pundak lawan.
Saking cepatnya, gerakan ini sampai tidak nampak oleh kepala suku itu sendiri yang tiba-tiba merasa betapa dua buah lengannya kehilangan tenaga sama sekali dan menjadi seperti lumpuh. Biarpun kelumpuhan itu hanya terjadi untuk beberapa detik saja lamanya, namun cukup bagi Ci Kang untuk menggerakkan kakinya dan ujung sepatunya menyentuh kedua lutut lawan. Kedua kaki yang besar dan kuat itu seketika kehilangan tenaga dan tubuh itupun terkulai dan roboh miring!
Kepala suku itu merasa kaget, heran dan penasaran sekali ketika mendapat kenyataan betapa dalam segebrakan saja dia sudah roboh dan kini kedua lengannya dicengkeram oleh lawan yang sudah berlutut di belakangnya. Dia mengerahkan tenaga raksasanya, akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan tubuhnya mengejang, tenaganya hilang.
Tiap kali dia mengerahkan tenaga, rasa nyeri yang amat hebat naik ke dalam dadanya dari kedua lengan yang dicengkeram Ci Kang. Belum pernah selama hidupnya kepala suku itu mengalami hal seperti ini. Cengkeraman rahasia dari lawan itu membuat dia menderita nyeri hebat setiap kali dia mengerahkan tenaga!
Melihat betapa kepala suku itu kini sama sekali tidak meronta lagi, Ci Kang melepaskan cengkeraman kedua lengannya dan melompat bangun, berdiri dengan sikap tenang. Semua orang yang menonton pertandingan itu melongo, tak dapat percaya betapa kepala suku itu tak berdaya dan dikalahkan hanya dalam satu gebrakan saja! Hal seperti ini mereka anggap sama sekali tidak mungkin! Kepala suku mereka itu mempunyai kekuatan lebih dari sepuluh orang biasa!
Akan tetapi kepala suku bangsa Khin itu sendiri adaiah seorang gagah yang tentu saja cerdik. Kalau tidak demikian, tak mungkin dia bisa menjadi kepala suku bangsa yang kasar dan gagah berani, juga sukar diatur.
Dia tahu apabila dia kalah dan menghadapi orang yang jauh lebih kuat darinya. Oleh karena itu, diapun bangkit, memijit-mijit kedua lengannya bergantian, memandang kepada Ci Kang dengan wajah berseri, lalu mengulurkan kedua tangannya dan merangkul Ci Kang!
Pemuda ini sudah siap membela diri kalau kepala suku itu akan bertindak curang, akan tetapi ternyata rangkulan itu adalah pelukan persahabatan biasa saja.
"Orang muda, sungguh engkau hebat dan aku sendiri akan memukul orang yang tidak percaya bahwa dengan satu pukulan, engkau akan mampu merobohkan seekor biruang hitam dewasa! Engkau hebat dan aku, Moghu Khali, mengaku kalah!" Kepala suku itu tertawa gembira dan sikap ini makin mengagumkan hati Ci Kang.
"Engkau memiliki tenaga yang amat kuat!" Dia memuji dengan sejujurnya. "Kalau hanya mempergunakan tenaga badan saja melawanmu, aku tentu akan kalah."
Kedudukan Moghu Khali yang tinggi diantara suku bangsanya itu sama sekali tidak membuat kepala suku ini sombong atau tinggi hati. Dia tertawa dan girang sekali mendengar ucapan yang jujur itu.
"Orang muda, siapakah namamu?"
"Siangkoan Ci Kang."
"Saudara Siangkoan, kita sudah saling mengenal nama dan saling mengenal tenaga dan kepandaian. Ilmu kepandaianmu dalam perkelahian memang hebat dan kalau engkau suka mengajarku tentang cengkeraman rahasia yang membuat aku tidak mampu mengerahkan tenaga tadi, sungguh aku akan merasa gembira sekali."
Ci Kang memang merasa kagum dan suka kepada kepala suku ini, maka diapun mengangguk.
"Baiklah, saudara Moghu, akan kuajarkan cara mencengkeram seperti tadi."
Moghu Khali girang sekali dan sambil menggandeng tangan Ci Kang, dia lalu mengajak pemuda itu masuk ke dalam rumah.
Sejak saat itu Ci Kang menjadi seorang tamu yang amat dihormat dan disuka. Karena sikap ini, Ci Kang menjadi semakin akrab dengan mereka. Melihat betapa kepala suku itu mempunyai banyak bulu binatang liar yang bagus, diapun lalu minta dibuatkan sebuah jubah bulu harimau yang menjadi kesukaannya. Kemudian, dalam percakapan mereka, dia mendengar bahwa diantara kepala suku akan diadakan pemilihan ketua atau pimpinan.
"Di selatan terjadi pergolakan dan pemberontakan," demikian antara lain Moghu Khali berkata. "Kota benteng San-hai-koan telah diduduki pemberontak yang kabarnya didukung oleh orang-orang pandai. Kami, bangsa Mongol, Khin dan Mancu harus bersatu untuk menghadapi pemberontak itu dan rencana kami adalah merampas kota-kota yang telah mereka duduki untuk dijadikan benteng-benteng kami di perbatasan. Dan untuk itu, kami akan mengadakan pemilihan pimpinan dan kalau engkau sudi membantu, dan suka menjadi jago kami, aku yakin bahwa tentu aku yang akan terpilih menjadi pimpinan."
"Menjadi jago? Apa yang kau maksudkan, saudara Moghu Khali?" tanya Ci Kang, didalam hatinya terkejut mendengar betapa para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis itu ternyata telah merampas dan menduduki benteng kota San-hai-koan.
Moghu Khali lalu menceritakan kepada pemuda itu tentang rencana para suku bangsa untuk mengadakan pemilihan pimpinan melalui adu jago, seperti yang diusulkan oleh nenek Yelu Kim dan diterima oleh mereka semua.
Biarpun kepala suku itu tidak membuka semua rencana para suku bangsa utara, Ci Kang sudah dapat menduga bahwa tentu para suku bangsa itu tidak memusuhi para pemberontak karena setia kawan kepada pemerintah Kerajaan Beng, melainkan karena mereka itu juga ingin membangun kembali kekuatan mereka yang telah hancur berantakan akibat jatuhnya Kerajaan Mongol.
Akan tetapi baginya, yang penting sekarang adalah menghadapi para pemberontak, dan kalau Raja Iblis sudah bersekutu dengan pasukan, bahkan telah merampas kota benteng San-hai-koan, sebaiknya kalau dia mempergunakan suku bangsa Khin ini untuk menentang para pemberontak.
"Baik, saudara Moghu, aku akan membantumu dan suka menjadi jagoanmu untuk mengalahkan para jagoan lain. Tentu saja aku tidak yakin akan menang karena suku-suku bangsa itu tentu akan mengajukan jago-jago yang tangguh."
"Ha-ha-ha! Kesanggupanmu sudah merupakan kemenangan, saudara Siangkoan. Andaikata nasib tidak mempertemukan aku dan engkau, tentu aku sendiri yang maju. Akan tetapi walaupun tidak ada kulihat jagoan di utara yang dapat mudah mengalahkan aku, namun aku masih ragu-ragu karena memang banyak orang-orang kuat yang memiliki tenaga besar dan ilmu gulat yang hebat di daerah ini. Akan tetapi, tak mungkin ada diantara mereka yang akan dapat mengalahkanmu. Ha-ha-ha, aku sendiri kalah dalam segebrakan, siapa mampu mengalahkan seorang seperti engkau? Terima kasih, saudaraku. Kita harus mengadakan persiapan sekarang."
Demikiahlah, ketika sayembara adu jago untuk menentukan pemenang bagi calon pemimpin suku-suku di utara, Ci Kang muncul dengan gagahnya, mewakili Bangsa Khin, menunggang seekor kuda putih dan memegang sebatang tombak kong-ce.
Akan tetapi bagaimana Hui Song tiba-tiba dapat menyelinap diantara banyak orang, dan berpakaian sebagai seorang anggauta romborgan Mancu Timur? Untuk mengetahui jawabannya, mari kita mengikuti perjalanan Hui Song, pemuda jenaka yang biasa bergembira dan yang kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi berkat gemblengan selama kurang lebih tiga tahun oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas.
Seperti telah kita ketahui, Cia Hui Song hanya berhasil menyelamatkan Kok Hui Lian, anak perempuan berusia sepuluh tahun, puteri gubernur San-hai-koan yang telah tewas bersama semua keluarganya itu. Ketika melarikan anak perempuan itu, dia bertemu dengan sebagian dari Cap-sha-kui dan dikeroyok. Untung ketika anak perempuan itu terancam, muncul Ciang Su Kiat murid Cin-ling-pai yang buntung lengan kirinya itu dan orang ini melarikan Hui Lian.
Karena San-hai-koan telah jatuh ke dalam tangan pemberontak dan dia tidak mampu melakukan suatu untuk menentang para pemberontak, Hui Song lalu pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menghadiri pertemuan para pendekar.
Pertemuan itu menjadi semakin penting saja setelah kini Raja Iblis dan kawan-kawannya sudah membuktikan pelaksanaan rencana mereka untuk memberontak dengan direbutnya San-hai-koan.
Di tempat ini dia bertemu dengan beberapa orang pendekar yang sudah datang terlebih dahulu. Akan tetapi karena memang hari yang ditentukan belum tiba, dia bersama para pendekar menanti di sekitar tempat itu. Tak disangkanya Siangkoan Ci Kang yang dianggap sebagai seorang tokoh muda kaum sesat yang amat berbahaya itu muncul di situ.
Tentu saja Hui Song menjadi curiga. Dia tahu benar siapa adanya pemuda ini dan betapapun gagah pemuda itu, kenyataan bahwa dia adalah putera tunggal Si Iblis Buta tentu saja menimbulkan kecurigaan bahwa Ci Kang tentu datang untuk menjadi mata-mata kaum hitam. Itulah sebabnya tanpa ragu-ragu lagi Hui Song menyerangnya dan para pendekar juga menjadi marah kepada Siangkoan Ci Kang.
Pada hari itu juga girang Hui Song melihat kedatangan gurunya, yaitu Si Dewa Kipas. Murid dan guru ini segera bercakap-cakap dan ternyata kakek gendut itupun sudah mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan ke tangan para pemberontak.
"Mereka telah benar-benar bergerak," kata kakek itu sambil menarik napas panjang. "Kini tidak mungkin lagi kita melawan mereka begitu saja. Raja dan Ratu Iblis bersama para datuk kaum sesat betapapun sakti mereka itu, dapat kita hadapi bersama. Kalau para pendekar bersatu, agaknya fihak kita tidak akan kalah kuat. Akan tetapi setelah mereka itu mempunyai pasukan besar sebagai sekutu, tentu saja tak mungkin bagi kita melawan pasukan yang beribu-ribu banyaknya. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah berpencar dan membantu pasukan pemerintah kalau bertempur dengan mereka, di manapun juga."
Hui Song lalu bercerita tentang putera Si Iblis Buta yang baru pagi tadi datang ke tempat itu dan melarikan diri setelah mereka serang.
"Dia itu tentu mata-mata musuh, suhu. Sayang kami tidak dapat menangkapnya. Dia sungguh lihai."
Kakek gendut itu mengerutkan alisnya. Kakek yang biasanya tertawa-tawa gembira itu kini kehilangan kegembiraannya melihat betapa kaum pemberontak telah bergerak sebelum mereka mampu mencegahnya.
"Aku tidak dapat menduga bagaimana sesungguhnya mereka itu. Aku tidak yakin apakah putera Iblis Buta itu juga bekerja untuk mereka."
"Tentu saja, suhu. Bagaimana tidak? Sejak dahulu dia itu merupakan tokoh jahat yang berbahaya sekali."
"Akan tetapi engkau harus ingat bahwa ayahnya dibunuh oleh Raja Iblis," bantah kakek gendut itu.
"Sekali jahat tetap jahat!" Hui Song berkata lagi. "Putera seorang datuk seperti Iblis Buta itu, tentu menjadi seorang tokoh sesat yang luar biasa. Biarpun ayahnya terbunuh oleh Raja dan Ratu Iblis, mana mungkin dia lalu berubah menjadi orang baik-baik, bahkan hendak mendekati kaum pendekar? Dia tentu mata-mata, suhu."
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Mungkin ada perebutan kekuasaan diantara mereka, Hui Song. Akan tetapi ada yang lebih penting lagi. Biarlah aku yang menghadiri pertemuan dan engkau kuberi tugas baru yang amat penting."
Girang rasa hati Hui Song. Dia gelisah memikirkan Sui Cin dan duduk menganggur sambil menanti hari pertemuan itu di bekas benteng Jeng-hwa-pang sungguh tidak menyenangkan hatinya.
"Tugas apakah itu, suhu?"
"Setelah kini Raja Iblis bersekutu dengan pasukan pemberontak, bagi kita hanya dapat membantu pasukan-pasukan pemerintah untuk menumpas mereka. Akan tetapi ada kekuatan lain yang mungkin dapat kita manfaatkan. Kekuatan itu adalah para suku bangsa di daerah ini. Kalau mereka itu mau bergerak membantu dan menentang pemberontak, tentu akan mudah lagi menghancurkan para pemberontak berikut Raja Iblis dan kaki tangannya. Karena itu, aku menguasakan kepadamu untuk melakukan penyelidikan terhadap suku-suku liar itu, Hui Song. Kalau ada kemungkinan mengajak mereka itu untuk menentang pemberontak, sungguh merupakan bantuan besar sekali kepada pemerintah."
"Akan tetapi, bukankah suhu pernah mengatakan bahwa kita tidak akan mencampuri urusan pemerintah dan hanya semata-mata bangkit untuk menentang Raja Iblis dan para datuk sesat yang hendak mengacaukan negara."
"Benar, akan tetapi setelah mereka itu bergabung dengan pasukan pemberontak, tidak ada jalan bagi kita untuk membantu pemerintah menumpas mereka."
"Baiklah, suhu, akan kuselidiki keadaan para suku bangsa di daerah ini."
Hui Song lalu meninggalkan bekas benteng Jeng-hwa-pang dan menuju ke utara, mendaki bukit dan melintasi gurun pasir. Tanpa disadarinya, ia tersesat jalan menuju ke timur dan pada suatu hari tibalah dia di sebuah dusun kecil.
Hari telah menjelang senja ketika dia memasuki pintu gerbang sederhana dusun itu, akan tetapi yang membuat dia merasa heran adalah karena dusun itu sunyi senyap, tidak nampak seorang manusia, bahkan tidak terdengar sesuatu. Sebuah dusun kosong? Bukan, pikirnya. Masih ada asap mengepul dari sebuah rumah diantara rumah-rumah kecil yang agaknya dibangun secara darurat di dusun itu.
Akan tetapi ke manakah perginya semua orang? Agaknya mereka bersembunyi, pikirnya. Bagaimanapun juga pendengarannya yang terlatih dan amat tajam dapat menangkap gerakan-gerakan dan dia merasa yakin bahwa dia telah dikurung secara sembunyi-sembunyi oleh banyak orang!
Karena dia merasa sebagai seorang tamu yang tidak diundang di dusun itu, maka Hui Song merasa tidak enak sekali dan diapun berdiri di tengah-tengah lapangan diantara rumah-rumah itu, dimana ia melihat bekas api unggun yang agaknya baru saja dipadamkan secara tergesa-gesa. Disini dia berdiri tegak, memandang ke empat penjuru, ke arah rumah-rumah yang sunyi itu, dan diapun berkata dengan dengan suara lantang.
"Saya Cia Hui Song, seorang kelana yang kemalaman di jalan, mohon kebaikan hati para penghuni dusun untuk mengijinkan saya melewatkan malam di dusun ini!"
Tidak ada jawaban. Sampai tiga kali dia mengulang kata-katanya akan tetapi hanya dijawab oleh ringkik kuda di kejauhan saja. Akan tetapi Hui Song dapat merasakan bahwa pengurungan tempat itu makin rapat sehingga dia bersikap waspada.
Tiba-tiba saja, seperti yang sudah diduganya, terdengar teriakan-teriakan dalam bahasa yang tidak dimengertinya dan tahu-tahu puluhan batang anak panah menyerbu dan menyerangnya dari semua penjuru!
"Aku bukan penjahat...!"
Teriak Hui Song akan tetapi percuma saja karena anak panah yang amat banyak itu sudah meluncur ke arah dirinya. Hui Song terpaksa menanggalkan jubahnya dan memutar jubahnya itu untuk melindungi tubuhnya. Semua anak panah runtuh dan tidak ada sebatangpun yang mengenai dirinya, akan tetapi jubahnya robek-robek, juga bajunya ada yang robek, terkena anak panah.
Begitu anak panah itu dapat diruntuhkannya semua, tiba-tiba nampak sinar hitam meluncur dan dia melihat bahwa itu adalah tali-tali hitam panjang yang berbentuk laso pada ujungnya. Dia tersenyum dan berdiri tegak tidak mengelak. Dan laso-laso itu ternyata dengan amat cepatnya telah mengalungi lehernya, bahkan kedua tangannya juga kena dibelenggu.
Harus diakuinya bahwa pelempar-pelempar laso itu amat mahir dan agaknya para penghuni dusun ini adalah peternak-peternak lembu karena hanya peternak- peternak lembu saja yang pandai menggunakan laso untuk menangkap lembu-lembu mereka yang binal atau kabur.
Setelah tubuhnya terbelit-belit laso, terdengar sorak kegirangan dan kini muncul puluhan orang, laki-laki dan wanita, yang kesemuanya berpakaian indah, berwajah cantik-cantik dan tampan-tampan, akan tetapi yang pada saat itu memandang kepadanya dengan penuh kemarahan!
Mereka muncul sambil mengacungkan senjata mereka yang berupa tombak-tombak, golok dan juga anak panah, semua diacungkan dan diangkat tinggi-tinggi. Agaknya mereka itu siap untuk mengeroyok dan menghancurkan tubuhnya.
Akan tetapi terdengar bentakan nyaring dan mereka semua itu berhenti, lalu muncul seorang laki-laki muda yang tampan. Usia laki-laki ini tiga puluh tahun lebih, wajahnya tampan dan pakaiannya paling indah, dengan jubah dari bulu tebal. Laki-laki ini maju dan dia diiringkan oleh belasan orang wanita yang kesemuanya muda-muda dan cantik-cantik, usia mereka dari lima belas sampai dua puluh lima tahun!
Laki-laki bermantel bulu dan bartopi lebar ini melangkah maju dan semua orang yang mengepung Hui Song hanya memandang, namun siap untuk mengeroyok Hui Song andaikata pemuda yang sudah terbelenggu banyak tali laso itu memberontak.
Kini laki-laki bertopi itu berdiri di depan Hui Song yang masih berpura-pura tidak berdaya dalam lilitan laso. Kalau dia mau, tentu saja sekali meronta semua tali laso akan putus dan dia dapat bergerak bebas. Akan tetapi dia hendak melihat dahulu perkembangannya, ingin tahu mengapa orang-orang yang tidak dikenalnya ini memusuhinya.
Kemunculan mereka saja sudah menarik perhatiannya karena mereka itu tidak nampak seperti orang-orang liar yang kasar, bahkan gerak-gerik mereka halus, pakaian mereka indah dan tubuh mereka terpelihara rapi dan bersih. Laki-laki bertopi inipun nampak tampan dan bersih, dan wanita-wanita yang datang bersamanya juga cantik-cantik dan berpakaian rapi.
"Aha, kiranya engkau tampan juga!" kata laki-laki bertopi itu. "Dengan ketampanan dan kemudaanmu, apa sukarnya bagimu untuk menjatuhkan hati wanita-wanita cantik. Kenapa engkau harus mencari wanita dengan cara menculik dan memperkosanya?"
Tentu saja Hui Song melongo mendengar tuduhan-tuduhan ini. Seorang diantara para wanita itu, yang termuda dan paling manis tiba-tiba melangkah maju menghampirinya. Mata wanita ini merah oleh tangis.
"Kembalikan adikku...!" bentaknya dan tiba-tiba tangan yang kecil halus itu bergerak menampar.
"Plak! Plak!"
Dua kali pipi Hui Song ditamparnya dan laki-laki bertopi itu cepat menangkap lengannya dan melarangnya memukul lagi. Wanita itupun mundur sambil terisak.
"Ia adalah kakak gadis yang kau culik semalam. Nah, tidak tergerakkah hatimu menyusahkan hati seorang gadis semanis ia? Padahal, kalau engkau menjadi orang baik-baik, banyak kiranya gadis yang akan jatuh hati kepadamu, yang menyerahkan jiwa raga kepadamu tanpa kau paksa atau perkosa...!"
Biarpun pria itu bicara dengan halus, dengan bahasa yang teratur dan tidak kaku, bahkan halus dan sopan seperti bahasa orang terpelajar, namun Hui Song merasa tersinggung dan bingung. Tamparan tadi tidak begitu dirasakannya, akan tetapi tuduhan bahwa ia menculik dan memperkosa wanita, sungguh keterlaluan. Tahulah dia mengapa dia dimusuhi. Kiranya dia disangka penculik wanita yang agaknya sudah beberapa kali menculik wanita-wanita dari suku ini dan malam ini sengaja mereka berusaha menjebak dan menangkap si pencuri anak perawan!
"Aku bukan pencuri perawan! Untuk apa aku mencuri wanita...?"
Dia berseru beberapa kali. Akan tetapi agaknya yang mengerti bahasanya hanyalah pria bertopi, gadis-gadis pengikutnya dan beberapa orang saja. Yang tidak mengerti lalu bertanya-tanya dan keadaan menjadi berisik.
Tiba-tiba saja terdengar jerit wanita melengking nyaring. Semua orang terkejut. Jerit itu keluar dari rumah terbesar yang berada di tengah dusun.
"Adikku perempuan...!" Laki-laki bertopi itu berteriak gelisah.
Hui Song segera dapat mcngerti apa yang telah terjadi. Agaknya, selagi dia ditawan dan dituduh sebagai pencuri anak perawan, si pencuri yang asli sedang bekerja dan agaknya sekali ini yang dicurinya bukan perawan kepalang tanggung, melainkan adik dari orang bertopi yang agaknya menjadi pemimpin mereka itu!
Dan inilah kesempatan baik baginya untuk membuktikan bahwa dia bukanlah penculik perawan, dan kesempatan baik baginya untuk mencegah terjadinya perbuatan terkutuk dan juga membasmi penjahat pemetik bunga itu. Maka diapun bergerak dan sekali meronta, terdengar suara keras dan semua tali laso itupun putus. Orang-orang berteriak kaget dan Hui Song meloncat dengan gerakan seperti seekor burung terbang saja.
"Aku akan menangkap penjahat itu!" serunya kepada si kepala dusun dan tanpa memperdulikan lagi teriakan-teriakan atau halangan-halangan dari mereka, dia berlompatan menuju ke arah suara jeritan wanita tadi.
Gerakannya yang memang lincah sekali itu tidak terlambat. Dia melihat bayangan berkelebat keluar dari rumah itu, memanggul tubuh seorang wanita yang kelihatan pingsan atau mungkin juga tertotok.
"Perlahan dulu, sobat!"
Hui Song berkata dan dia sudah menerjang ke depan, jari tengan kirinya menotok kearah pundak. Orang itu nampak terkejut dan gerakannya ternyata juga amat cepat dan ringan. Dengan mudahnya dia menggerakkan pundak, mengelak dan melanjutkan larinya.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tahu-tahu tangan yang tadi luput menotok itu dilanjutkan dengan totokan ke arah lambungnya sedangkan tangan lain menyambar ke atas, mencengkeram ke arah kepalanya. Dan dua gerakan ini mengandung hawa yang amat kuat!
Agaknya orang itu sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dengan orang sepandai ini di daerah liar itu, maka dia mengeluarkan ke arah kepalanya.
"Dukk...!" dan orang yang tidak mengerahkan semua tenaganya itu terhuyung!
"Eh, siapa kau...?" bentaknya dan dari suaranya Hui Song tahu jelas bahwa orang ini adalah seorang Han.
Dan setelah orang itu kini melempar korbannya ke atas tanah dan menghadapinya, dia melihat di dalam keremangan senja bahwa dia adalah seorang laki-laki muda yang berwajah tampan bertubuh tegap dan berpakaian pesolek. Dia teringat akan putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta.
Bukan, pemuda ini bukan putera datuk sesat itu, melainkan seorang pemuda tampan pesolek yang gerak-geriknya halus. Kalau di tempat seperti ini ada seorang penjahat bangsa Han, jelaslah bahwa penjahat itu tentu anggauta dari para datuk sesat anak buah Raja Iblis!
"Aku adalah pembasmimu, jai-hwa-cat terkutuk!"
Hui Song membentak dan dia sudah menerjang lagi dengan tamparan-tamparan yang amat kuat karena dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang menghadapi penjahat yang dia dapat menduga juga lihai ini.
Tamparan-tamparan itu hebat sekali dan si penjahat agaknya mengenal pukulan lihai, maka dia menggerakkan tangan, sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis.
"Plakk! Dukkk...!"
Sekali ini, dua tenaga raksasa bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan seluruh tubuh mereka tergetar. Hui Song terkejut dan marah, akan tetapi pada saat itu, orang-orang dusun sudah datang dengan senjata di tangan. Mereka berteriak-teriak dan hendak maju mengeroyok, sebagian lagi, dipimpin pemuda bertopi, menolong gadis yang tadi dilemparkan ke atas tanah.
Melihat keadaan tidak menguntungkan, penjahat pemetik bunga itu lalu mengeluarkan seruan panjang dan meloncat jauh, terus lari menghilang dalam cuaca yang sudah mulai gelap.
Hui Song tidak mengejar karena penjahat itu sudah melepas korbannya. Mengejar seorang musuh selihai itu di dalam gelap amatlah berbahaya, dan pula, tugasnya adalah menyelidiki suku-suku bangsa ini, bukan mengejar-ngejar jai-hwa-cat.
Si pria bertopi kini menghampiri dan merangkulnya.
"Engkau telah menyelamatkan adikku. Maafkan kecurigaan kami tadi. Kami mengira engkau penjahat itu, siapa tahu engkau malah penolong kami."
"Sudahlah, kesalah pahaman itu dapat kumengerti dan dapat kumaafkan. Betapapun juga, penjahat itu telah menolongku."
"Menolongmu?" Pria bertopi itu berseru heran.
"Kalau tidak dia muncul mencuri adikmu, tentu aku masih terus didakwa pencuri anak perawan."
Hui Song tertawa dan orang itupun tertawa, juga belasan orang wanita cantik yang mengerti omongannya tertawa. Suasana berobah gembira sekali.
"Ha-ha, ternyata engkau selain tampan dan lihai, juga periang seperti kami. Saudara yang baik, siapakah namamu tadi? Engkau tadi pernah memperkenalkan nama ketika muncul untuk pertama kali, akan tetapi sayang aku tidak begitu memperhatikan karena kemarahan menyangka engkau penjahat."
"Namaku Cia Hui Song."
"Bagus sekali, Cia-taihiap. Namaku adalah Lam-nong dan aku kepala suku bangsaku, bangsa Mancu Timur yang terpencil dan tidak besar jumlahnya. Kami hidup sebagai nelayan dan juga kadang-kadang memburu atau beternak, akan tetapi kami masih suka merantau seperti kebiasaan nenek moyang kami. Betapapun juga, kami hidup bahagia. Lihat, kami selalu bergembira, bukan? Saudaraku yang baik dan gagah, engkau menjadi tamu kehormatan kami. Malam ini kami akan berpesta untuk menyatakan kegembiraan kami."
Dengan suara lantang kepala suku bernama Lam-nong itu lalu memerintahkan pembantu-pembantunya untuk menyembelih domba dan lembu dan mempersiapkan pesta untuk menghormati Cia Hui Song.
Hui Song menerima dengan gembira dan sambil bergandeng tangan dengan Lam-nong yang diiringkan belasan orang wanita cantik, Hui Song diajak memasuki bangunan terbesar di dalam dusun itu.
"Dusun ini hanya menjadi tempat peristirahatan selama beberapa pekan saja, maka kami membangun pondok-pondok darurat." Lam-nong menerangkan ketika mereka sudah mengambil tempat duduk di atas lantai bertilamkan kulit domba. "Taihiap, orang seperti engkau ini tentulah seorang pendekar seperti yang pernah kudengar diceritakan orang tentang dunia persilatan. Akan tetapi bagaimana seorang pendekar seperti engkau sampai tersesat kesini?"
Hui Song tidak ingin bicara tentang pertemuan para pendekar dan diapun teringat kepada Sui Cin. Tadipun dia sudah cemas membayangkan Sui Cin yang kehilangan ingatan itu bertemu dengan jai-hwa-cat yang jahat seperti orang tadi.
"Aku... aku sedang mencari seorang teman..." Dia teringat betapa tadi dituduh pencuri anak perawan, maka dia menahan lidahnya yang hendak bercerita tentang Sui Cin, seorang teman perempuan! Dia tidak mau kalau nanti disangka seorang mencari wanita lagi. "Aku ingin mencari keterangan tentang Harimau Terbang..."
"Ah! Maksudmu perkumpulan rahasia Harimau Terbang?"
"Ya, benar!" Hui Song bertanya gembira. Dia memang sedang melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang yang lencananya tertinggal di dalam Guha Iblis Neraka yang menunjukkan bahwa mereka itulah pencuri harta pusaka di dalam guha itu. "Apakah di daerah ini terdapat perkumpulan bernama Harimau Terbang?"
Mendengar pertanyaan ini, wajah Lam-nong yang tadinya gembira dan tersenyum-senyum itu berobah agak pucat dan alisnya berkerut, bahkan dia menengok ke kanan kiri seolah-olah tidak ingin percakapan itu didengar orang lain.
Melihat sikap ini, berdebar rasa hati Hui Song. Agaknya penyelidikannya tentang pencuri harta pusaka itu akan mendapatkan jejak.
"Harap jangan takut, saudara Lam-nong, kalau ada ancaman datang dari mereka, akulah yang akan menghadapinya!" katanya dengan suara tegas dan meyakinkan.
Agaknya jaminan ini melegakan hati Lam-nong dan wajahnya berseri kembali, bibirnya tersenyum lagi.
"Cia-taihiap, bukannya kami takut, melainkan kami tidak suka berurusan dengan nenek iblis itu."
"Nenek iblis siapa yang kau maksudkan?"
"Namanya Yelu Kim, menurut pengakuannya. Ia adalah keturnan dari Menteri Yelu Ce-tai penasihat agung dari Jenghis Khan. Kini ia menjadi tokoh sesat di daerah utara dan dianggap sebagai penasihat para kepala suku."
"Dan apa hubungannya dengan Perkumpulan Harimau Terbang?"
"Hemm, biarpun ia tidak pernah mengaku dan tidak pernah terbukti karena perkumpulan itu merupakan rahasia yang bergerak secara rahasia pula, akan tetapi semua orang disini tahu belaka bahwa nenek itulah pemimpin Perkumpulan Harimau Terbang."
"Di manakah sarang mereka? Dimana aku bisa bertemu dengan nenek Yelu Kim itu?" Cia Hui Song bertanya dengan penuh semangat.
"Tinggallah bersama kami dan engkau akan dapat bertemu dengannya, Cia-taihiap. Besok lusa kami akan berangkat menuju ke padang pasir dimana para ketua suku mengadakan pertemuan dan pemilihan calon pemimpin. Aku yakin bahwa nenek Yelu Kim pasti akan hadir pula disana."
"Para suku bangsa di utara ini hendak melakukan pemilihan pemimpin? Untuk apa dan apakah yang terjadi?"
Hui Song bertanya girang. Tak disangka-sangkanya bahwa selain berita yang baik sekali mengenai Harimau Terbang yang diselidikinya, juga dia mendengar berita tentang kepala-kepala suku. Justeru inilah tugas yang diberikan gurunya kepadanya.
"Di perbatasan terjadi pergolakan yang mengguncangkan kehidupan tenteram para suku kami. Menurut berita, golongan hitam di selatan telah bersekutu dengan para pemberontak, dan mereka bahkan telah merampas dan menduduki benteng San-hai-koan, dan kabarnya akan terus bergerak melebarkan wilayah mereka sebelum mereka menyerang ke selatan. Kami terancam, dan... menurut rekan-rekan yang berambisi, inilah saatnya terbaik bagi kami untuk bergerak, menegakkan kembali kekuasaan Mongol di selatan. Sebetulnya aku sendiri pribadi tidak menyukai ambisi itu, akan tetapi kalau memang ketenteraman kami terancam oleh para pemberontak dan diadakan persatuan untuk menghadapi mereka, tentu aku setuju. Nah, kini para kepala suku akan mengadakan pemilihan pimpinan dan lusa kami akan berangkat."
Bukan main girangnya rasa hati Hui Song. Sambil tersenyum dan dengan wajah berseri dia segera menyatakan setuju untuk menemani Lam-nong dan anak buahnya yang akan berangkat ke tempat pertemuan itu
Malam itu, dengan penuh kegembiraan Lam-nong mengadakan pesta untuk menghormati Hui Song. Seperti telah menjadi kebiasaan mereka, pesta itu dilakukan di luar rumah, di sebuah lapangan rumput dimana dibangun tenda besar dan dinyalakan api unggun.
Hui Song diberi pakaian orang Mancu dan mereka duduk di atas rumput. Daging-daging domba dan lembu dipanggang dengan bumbu-bumbu sedap sehingga asap dan uapnya memenuhi tempat itu, mengundang selera.
Lam-nong duduk di samping Hui Song, diapit-apit belasan orang wanita cantik yang ternyata adalah selir-selirnya! Hui Song sampai melongo ketika Lam-nong memperkenalkan mereka sebagai isteri-isterinya! Seorang dengan isteri demikian banyak, kesemuanya muda-muda dan cantik-cantik!
"Kenapa engkau kelihatan heran, Cia-taihiap? Aku hanya mempunyai empat belas orang isteri, itu masih sangat sedikit sekali kalau dibandingkan dengan yang dipunyai kepala-kepala para suku bangsa lainnya. Ada seorang kawanku mempunyai empat puluh empat orang isteri, ha-ha-ha!" Lam-nong tertawa bergelak melihat keheranan di wajah Hui Song.
Hui Song yang disuguhi arak istimewa buatan suku bangsa itu, arak yang amat harum dan keras, tertawa lepas. Memang wataknya bebas gembira, maka kini dengan hawa arak di benaknya, dia menjadi semakin gembira.
"Ha-ha, saudara Lam-nong. Aku pernah melihat seekor ayam jantan dengan puluhan ekor ayam betina, hal itu masih dapat kupercaya dan kumengerti. Akan tetapi manusia? Seorang harus... dengan demikian banyak...?"
"Ha-ha-ha-ha!" Lam-nong tertawa dan para selirnya yang rata-rata mengerti bahasa Han itupun tersenyum dan tersipu-sipu, menutupi mulut mereka dengan saputangan atau punggung tangan. "Kalau perlu aku bisa lebih kuat daripada seekor ayam jantan, ha-ha-ha! Cia-taihiap, memang manusia berbeda dengan ayam, karena itu dalam hal itupun berbeda, tidak sembarang seperti ayam."
Merekapun tertawa-tawa dan suasana menjadi meriah ketika para selir yang memiliki suara merdu itu bernyanyi-nyanyi diiringi suara gendang, tambur dan suling. Dan mulailah selir termuda dari Lam-nong, yang manis sekali dengan kedua pipi kemerahan bukan oleh pemerah muka melainkan merah karena sehat saking halusnya kulit pipi, bangkit dan atas isyarat Lam-nong, selir itupun mulai menari.
Dan Hui Song memandang dengan terpesona. Sellr ini pandai sekali menari, tubuhnya demikian lembut dan lemas meliuk-liuk di depannya, seolah-olah tubuh seekor ular saja. Suara gendang dan tambur menambah kuat gerakan pinggul dan leher itu.
"Sekarang permainan yang kami namakan Bulan Jatuh. Siapa kejatuhan bulan harus bangkit dan menari, siapapun tidak boleh menolak karena menolak bulan yang jatuh ke pangkuannya berarti mengundang malapetaka dan tidak menghormati orang lain."
Lam-nong berkata kepada Hui Song. Tentu saja pemuda ini tidak mengerti apa artinya kata-kata itu dan dia tidak pernah mendengar tentang permainan ini.
Sambil tertawa gembira Lam-nong menerangkan. Permainan itu seperti permainan kanak-kanak yang dikenal oleh Hui Song di selatan, akan tetapi kini dimainkan oleh orang-orang dewasa!
Selir yang menari tadi membuka permainan. Kedua matanya ditutup dengan sehelai saputangan diikatkan ke belakang kepalanya, kemudian oleh dua rekannya ia diputar-putar, hal ini dimaksudkan agar selir yang tertutup matanya itu akan lupa dimana dan siapa yang duduk di sekitarnya.
Setelah itu dilepas dan mulailah ia meraba-raba. Kalau ia berhasil menangkap seorang yang duduk berkeliling, ia akan meraba-raba muka orang itu dan mengatakan siapa dia. Kalau dugaannya keliru, yang ternyata setelah ia diperkenankan membuka penutup mata, maka ia harus menari lagi, kemudian setelah habis satu lagu, ia akan mencari sasaran lagi.
Bagaikan bulan meluncur diantara awan-awan, penari itu akan meraba-raba dan kalau bulan itu "jatuh" kepada seseorang dan orang itu dapat ditebak siapa adanya, maka ia kejatuhan bulan dan ialah yang harus menggantikan permainan itu dan menari. Demikian selanjutnya. Tentu saja dengan adanya Hui Song disitu, permainan itu menjadi lucu dan selain menegangkan hati Hui Song, juga membuatnya merasa malu-malu dan sungkan sekali.
Selir muda yang cantik itu sudah diputar-putar dan dilepas. Kini dengan mata tertutup selir itu melangkah ke depan perlahan-lahan, kedua tangannya diluruskan ke depan meraba-raba.
Hui Song merasa betapa jantungnya berdebar tegang, apalagi ketika kedua kaki yang kecil itu agaknya hendak maju ke arah tempat dia duduk! Akan tetapi kedua kaki itu meragu, dan membelok ke kiri, kemudian maju terus dan akhirnya berhenti karena kaki itu terantuk kaki seseorang yang duduk disitu. Selir itu terkekeh, lalu berjongkok dan kedua tangannya meraba-raba kepala dan muka orang itu.
"Ihhh...!" jeritnya kecil ketika ia meraba topi orang itu dan tahulah ia bahwa ia telah menangkap atau "jatuh" kepada seorang pemukul tambur atau gendang.
Terdengar suara ketawa dari para selir dan selir yang menjadi bulan itu membuka penutup matanya, cemberut secara main-main mencela kesialan dirinya. Kalau kebetulan menangkap seorang pemain musik, maka hal itu dianggap sial karena itu berarti bahwa ia harus main lagi. Pemain musik tidak masuk hitungan karena kalau dia harus main, lalu siapa yang memukul gendang?
Kembali selir itu ditutup mukanya dengan saputangan dan diputar-putar. Akan tetapi selir tadi sudah melirik ke arah Hui Song dan tersenyum. Ketika ia dilepas, iapun berjalan perlahan-lahan, berkeliling dan kedua kaki kecil tertutup sepatu baru itulah yang yang kini meraba-raba dan ketika kakinya menginjak bagian yang agak menonjol, iapun berhenti lalu membalik dan kini kedua kakinya itu bergerak perlahan menuju ke arah Hui Song duduk!
Selir ini memang menjatuhkan pilihannya kepada Hui Song dan sebagai orang yang sudah biasa melakukan permainan Bulan Jatuh ini, tentu saja ia mengerti akan akal-akal yang dipergunakan orang dalam permainan ini.
Tadi ketika ia membuka penutup matanya, ia telah memperhatikan dan mempelajari tanah di depan Hui Song dan ia melihat ada tanah menonjol di depan pemuda itu dan inilah yang dapat menuntunnya kepada Hui Song. Maka tadi ia berjalan keliling sampai kakinya mengijak tanah menonjol, baru ia menujukan langkahnya kepada Hui Song. Ia hendak memilih pemuda yang telah menolong adik suaminya ini untuk penghormatan dan bukan hanya selir ini, juga selir-selir yang lain dan mereka yang hadir disitu ingin sekali melihat Hui Song menjadi bulan dan menari-nari.
Dengan jantung berdebar penuh ketegangan Hui Song melihat betapa selir itu menggerakkan dua buah kaki kecilnya menghampirinya. Dia tidak mungkin dapat lari, dan hanya tersenyum tegang. Diapun tidak dapat mengelak ketika kaki kecil itu menumbuk kakinya dan ketika selir muda itu terkekeh kecil dan berjongkok di depannya,
Hui Song memejamkan mata karena hidungnya mencium bau yang amat harum dan melihat kulit muka yang demikian halusnya. Dia tetap memejamkan mata ketika wanita itu meraba-raba kepalanya, lalu mukanya, meraba-raba telinganya, hidungnya, bibir dan dagunya. Hui Song merasa betapa jari-jari tangan yang berkulit halus dan hangat itu merayap di mukanya dan dia merasa betapa semua bulu di tubuhnya meremang.
"Haii... ini... ini... Cia-taihiap...!" kata selir itu dan tebakannya disambut tepuk sorak memuji. Selir itu cepat membuka penutup matanya dan sambil tersenyum manis ia menjura dan mempersilakan.
"Silakan, taihiap, kami mohon taihiap menjadl bulan," katanya merdu.
"Ha-ha-ha, nasibmu baik, Cia-taihiap. Kami ingin sekali menyaksikan keindahan tarianmu!" kata Lam-nong gembira.
Suling, tambur dan gendang dipukul gencar dan Hui Song yang mukanya menjadi merah itu terpaksa bangkit berdiri. Dia merasa tubuh dan kepalanya ringan karena pengaruh arak. Hal ini membuat dia tidak malu-malu lagi dan karena dia tidak pandai menari, maka diapun mencoba untuk menirukan gerakan selir tadi.
Maka nampaklah pemandangan yang amat lucu ketika Hui Song melenggang-lenggok menggoyang pinggul mengikuti irama musik, berjoget dangdut! Karena dia memang ahli silat yang amat pandai, biarpun gerakannya lucu, namun juga lemas dan kadang-kadang bahkan diisi dengan gerak-gerak silat. Para selir tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan memuji, membuat Hui Song bertambah gembira dan tariannyapun menjadi semakin panas.
Ketika tiba giliran Hui Song untuk ditutup kedua matanya dengan saputangan, dengan mudah saja, mengandalkan ketajaman pendengarannya, dia menjatuhkan pilihannya kepada Lam-nong!
Biarpun Hui Song seorang pemuda romantis dan lincah jenaka dan gembira, namun dia belum cukup berani untuk menjatuhkan pilihannya kepada para selir itu, merasa tidak berani kalau harus meraba-raba muka seorang diantara mereka. Hal ini mengecewakan hati para selir karena mereka ingin sekali kejatuhan bulan! Mereka merasa suka kepada pemuda yang lincah ini dan ingin mempererat persahabatan.
Lam-nong adalah seorang kepala suku. Tentu saja diapun tahu bagaimana caranya untuk menjatuhkan pilihannya kepada Hui Song sehingga terjadilah hal lucu, yaitu hanya dua orang itu saja yang silih berganti menari!
Akhirnya Lam-nong menyuruh para selirnya menari bersama-sama dan suasana menjadi semakin gembira dan suara ketawa mereka riuh rendah ketika mereka menari bersama-sama. Hui Song merasa suka sekali kepada keluarga kepala suku ini dan mereka makan minum dan bernyanyi-nyanyi, menari-nari sampai hampir pagi.
Demikianlah, bersama rombongan ini, Hui Song ikut pula hadir ketika diadakan pertandingan jagoan di antara kepala-kepala suku. Lam-nong sendiri tidak mengajukan jagoan. Dia bersama para pangikutnya datang hanya untuk menyaksikan saja siapa pimpinan yang terpilih. Dan Hui Song yang hendak melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang, bersembunyi diantara orang-orang Mancu Timur itu dan dapat dibayakngkan betapa besar rasa girang, kaget dan herannya melihat Sui Cin bersama seorang nenek yang menurut keterangan Lam-nong adalah nenek Yelu Kim, kepala dari Perkumpulan Harimau Terbang yang dicari-carinya itu! Dia merasa curiga dan heran, lalu diam-diam dia memperhatikan sambil menyelinap diantara anak buah Lam-nong.
Demikianlah, tanpa disengaja, tiga orang muda itu ikut menghadiri pertemuan antara para suku di utara yang sedang mengadakan pertandingan untuk menentukan siapa diantara mereka yang hendak menjadi pimpinan para suku untuk memulai dengan gerakan mereka menegakkan kembali kekuasaan Mongol yang sudah runtuh. Dan mereka bertiga terpisah-pisah dalam kelompok suku yang berlainan, dengan alasan yang berlainan pula.
Sui Cin berada disitu karena ia telah ditolong oleh nenek Yelu Kim yang menjadi gurunya dan kini ia membantu Yelu Kim sebagai balas budi. Siangkoan Ci Kang berada bersama suku Khin untuk membantu Moghu Khali, ketua suku Khin yang telah menjadi sahabatnya, bahkan dia mau dianggap menjadi jagoan suku itu. Adapun Hui Song berada di tempat itu karena dia hendak menyelidiki Perkumpulan Harimau Terbang, juga untuk menyelidiki keadaan para suku bangsa di utara ini sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya oleh gurunya, yaitu Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas.
Kini pertandingan telah dimulai dan seperti sudah diduga semula oleh setiap pengikut, jagoan-jagoan itu memang masing-masing memiliki ketangguhan yang mengagumkan. Suku Mongol yang merupakan suku kedua terbesar sesudah suku Mancuria, mengajukan jagoan seorang ahli gulat yang bertubuh raksasa dan jagoan ini tidak menunggang kuda, juga tidak memegang senjata apapun. Akan tetapi, ketika dia sudah maju karena menurut undian dia harus maju lebih dahulu, dia menghadapi lawan yang menunggang kuda secara mengagumkan dan mengerikan.
Lawannya itu menggunakan sebatang golok dan menunggang seekor kuda. Ketika lawan itu menerjangnya dengan golok diputar dan kaki depan kuda itu mengancam hendak menumbuknya, raksasa Mongol ini tertawa, menangkap dua kaki depan kuda itu dan sekali putar, kuda itu terpelanting dan kedua tulang kaki depan itu patah membuat kuda itu tidak ammpu bangkit kembali. Lawannya cukup tangguh, ketika kuda terpelanting, dia melompat turun dan kini dia menerjang si raksasa dengan goloknya.
"Plakkk!"
Raksasa Mongol itu tidak mengelak, bahkan menerima golok itu dengan tangan kosong begitu saja. Akan tetapi, bukan tangannya yang terluka, melainkan golok itu sendiri yang terlempar dan di lain saat, raksasa itu sudah menangkap pergelangan tangan lawan dan sekali mengerahkan tenaga, tubuh lawan itu sudah terlempar jauh sekali dan terbanting dengan keras ke atas tanah sehingga jatuh pingsan dengan tulang remuk!
Sorak sorai yang riuh rendah menyambut kemenangan raksasa Mongol ini dan diapun memperoleh waktu beristirahat menurut peraturan walaupun si raksana Mongol itu masih menantang-nantang dengan congkaknya.
Menurut hasil undian, kini tiba giliran jagoan Mancu. Seperti juga jagoan Mongol, maka jago dari Mancu inipun bertubuh tinggi besar dan terutama sekali sepasang kakinya amat panjang dan berotot kekar sekali. Kaki itu memakai sepatu panjang sampai ke lutut dan solnya dilapisi besi dan diapun tidak menunggang kuda dan tidak memegang senjata.
Setelah dia melawan seorang jagoan lain, Hui Song yang nonton dari dalam kelom-poknya melihat bahwa raksasa Mancu ini tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan raksasa Mongol tadi. Kalau raksasa Mongol tadi kebal dan kuat sekali, juga ahli dalam ilmu gulat, maka raksasa Mancu yang lebih tinggi ini selain ahli dalam ilmu gulan campur silat, juga tangguh sekali dengan kedua kakinya!
Dalam satu gebrakan saja, lawannya yang menunggang kuda dan memegang tombak, dihadapi dengan tendangan kakinya yang panjang dan kuat itupun terpelanting jauh! Lawannya berhasil melompat dan menyerangnya dengan tombak. Akan tetapi, kembali kakinya bergerak dan tombak itu dihantam tangan yang amat kut, membuat tombak itu patah menjadi tiga potong!
Lawannya masih penasaran dan menyerang dengan pukulan-pukulan, akan tetapi setiap pukulan ini ditangkis oleh tendangan secara sedemikian cepat dan tepatnya seolah-olah kedua kaki itu merupakan sepasang tangan yang lengannya panjang sekali, dan sebelum lawan itu mampu mengelak, tiba-tiba sebuah kaki melayang dan menghantam kepalanya dari samping. Orang itu terjengkang dan roboh pingsan, atau mungkin juga mati karena ketika digotong oleh kawan-kawannya, dia sama sekali tidak bergerak dan terkulai lemas!
Ketika Ci Kang menerima gillrannya, Hui Song memandang dengan alis berkerut. Sejak tadi dia sudah melihat pemuda ini dan dia merasa heran, bertanya-tanya dalam hati mengapa putera Si Iblis Buta itu berada disini, bahkan menjadi seorang diantara jagoan suku utara! Akan tetapi karena pertandingan itu bukan urusannya diapun diam saja dan hanya nonton.
Dengan tombaknya, Ci Kang dengan mudah mengalahkan lawan, akan tetapi berbeda dengan pemenang-pemenang terdahulu, lawannya dirobohkannya tanpa menderita luka apapun, kecuall senjatanya runtuh dan lawan itu ditodong ujung tombak pada lehernya sehingga tidak mampu bergerak dan terpaksa mengaku kalah. Dan hal inipun dilakukan setelah dia membiarkan lawan menyerangnya sampai belasan jurus sehingga lawannya yang kalah itu tidak sampai terlalu kehilangan muka seperti yang diderita mereka yang tadi kalah dalam satu gebrakan saja!
Setelah semua jagoan dipertandingkan, akhirnya hanya tinggal satu orang yang belum kalah, yaitu raksasa Mongol, raksasa Mancu dan Ci Kang. Dua orang raksasa itu telah memenangkan tiga kali pertandingan yang mereka selesaikan hanya dalam beberapa jurus saja, sedangkan Ci Kang memenangkan dua pertandingan. Dan kini, menurut undian, dua orang raksasa itulah yang akan saling berhadapan. Tentu saja para penonton menjadi tertarik sekali karena sudah dapat dibayangkan betapa akan hebatnya kalau dua orang raksasa yang sama tangguhnya itu maju dan saling melawan!
Mereka berdua sudah melangkah maju, kakinya melangkah seperti king-kong, dengan kedua lengan tegak terpentang, kedua kaki agak membungkuk, kepala ditundukkan dan mata mereka mengintai dari bawah alis mata yang tebal, mulut mennyeringai seperti mulut orang hutan marah.
Langkah mereka seperti menggetarkan bumi dan ketegangan semakin memuncak setelah akhirnya mereka saling berhadapan dalam jarak dua meter. Agaknya mereka saling menilai dan menimbang keadaan lawan dengan pandang mata mereka. Keduanya berdiri seperti arca yang menyeramkan, sedikitpun tidak bergerak.
Tiba-tiba terdengar gerengan nyaring dan kaki bersepatu itu meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada si raksasa Mongol. Demikian cepatnya kaki itu menyerang sehingga tidak sempat dielakkan oleh raksasa Mongol yang lamban itu, namun raksasa itu memasang dadanya dan mengerahkan tenaga sampai perutnya mengembung besar dan otot-otot menonjol di dadanya.
"Blukkk...!"
Hebat sekali benturan antara kaki dan dada itu dan akibatnya, tubuh raksasa Mongol terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi tubuh si penendang itupun terlempar ke belakang dalam jarak yang hampir sama!
Keduanya kini berdiri saling pandang dan tahulah mereka bahwa tenaga mereka seimbang dan si raksasa Mancu juga tahu bahwa lawannya sungguh kebal, walaupun dia dapat menduga bahwa kekebalan itu hanya sebatas kulit saja dan tendangannya tadi setidaknya mengguncangkan isi dada lawan. Hal ini memang benar karena si raksasa Mongol merasa betapa tendangan tadi menyesakkan napasnya, maka diapun bersikap hati-hati sekali.
Ketika mereka maju kembali, si raksasa Mancu melancarkan serangan tendangan lagi. Akan tetapi kini lawannya menangkis bertubi-tubi dengan kedua lengan sehingga semua tendangannya gagal dan pada suatu saat, kaki kirinya dapat dicengkeram oleh tangan kanan jagoan Mongol.
Dengan tenaga yang besar, raksasa Mongol itu mengangkat tubuh lawan ke atas dan diputar-putar dengan maksud akan dilemparkan atau dibantingkan. Akan tetapi, jagoan Mancu itu dengan kaki kanannya berhasil menendang pundak kanan lawan, sehingga cengkeramannya mengendur dan pada saat hampir dibanting, jagoan Mancu dapat melepaskan dirinya. Dia terbanting akan tetapi tidak terlalu keras sedangkan lawannya yang tertendang pundaknya juga terhuyung ke belakang. Keduanya kini terengah-engah dan berdiri saling pandang bagaikan dua ekor gajah yang sedang berlaga.
Kemudian keduanya mengeluarkan teriakan-teriakan keras dan mereka saling menerjang ke depan dengan cepat.
"Bress...!"
Keduanya bertumbukan, mempergunakan kedua tangan dan kaki, juga dada untuk mengadu kekuatan dengan lawan. Kembali keduanya terjengkang! Mereka merangkak bangun dan melanjutkan pertandingan yang kini semakin seru bahkan mati-matian.
Jagoan Mancu masih mengandalkan tendangan-tendangan, yang disambut lawan dengan kekebalan dan kelincahan sehingga tiap kali kena dicengkeram, dia selalu dapat melepaskan diri, bahkan beberapa kali dia terbanting, akan tetapi dapat bangun kembali. Juga raksasa Mongol beberapa kali kena terjangan kedua kaki yang melakukan tendangan terbang, sampai terjengkang akan tetapi juga dapat bangkit kembali. Sorak sorai dan tepuk tangan riuh rendah menyambut pertandingan yang hebat ini.
Pertandingan itu memang ramai sekali. Dua orang raksasa itu pukul-memukul, tendang-menendang, saling mencengkeram dan berusaha merobohkan lawan mengandalkan kekuatan otot-otot tubuh yang melingkar-lingkar dan melindungi diri masing-masing dengan kekebalan tubuh. Mereka seperti dua ekor ayam jantan yang tidak mengenal artinya menyerah. Dan agaknya mereka itu akan berkelahi terus sampai mati. Para penonton menjadi seperti binatang-binatang haus darah, ingin sekali melihat seorang diantara mereka roboh dan tewas!
Akan tetapi tiba-tiba kepala suku Mongol dan kepala suku Mancu memasuki arena pertandingan dan masing-masing menyerukan kepada jagoan-jagoan itu untuk menghentikan perkelahian mereka. Dua orang reksasa itu mentaati dan mereka mundur, berdiri terengah-engah dan tubuh mereka yang kokoh itu basah oleh keringat.
"Kami sudah melihat cukup!" kata kepala suku Mongol. "Kedua orang jagoan ini sama kuat dan kalau dilanjutkan, mungkin keduanya akan tewas. Hal ini tidak adil karena masih ada seorang jago lagi yang akan memperoleh kemenangan tanpa berkelahi kalau mereka berdua ini keduanya tewas."
"Benar!" sambung kepala suku Mancu. "Biarlah jagoan ketiga maju dulu melawan seorang diantara mereka menurut undian, baru kemudian perkelahian antara dua jagoan ini dilanjutkan!"
Agaknya kedua kepala suku itu merasa yakin bahwa jagoan ketiga itu tentu akan dapat dikalahkan dengan mudah.
Mendengar itu, Ci Kang sudah membisiki sahabatnya, Moghu Khali kepala suku Khin itu. Moghu Khali bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang,
"Memang benar. yang tinggal hanya tiga orang jago. Agar adil, maka biarlah tiga orang jago itu maju bersama, saling serang sampai seorang diantara mereka tinggal sebagai pemenang dan yang dua orang lagi roboh."
Usul kepala suku Khin ini disetujui oleh semua orang. Tentu saja para penonton menjadi semakin gembira. Orang muda berjubah kulit harimau itupun tadi mereka lihat cukup tangguh sehingga kalau tiga orang jagoan tangguh itu maju bersama dan saling serang, tentu mereka dapat menonton perkelahian yang sungguh menarik, seru dan mati-matian.
Kini tiga orang jagoan itu sudah maju ke tengah arena pertandingan. Ci Kang yang maklum akan kekuatan lawan dan juga kekebalan tubuh mereka, maju sambil menunggang kuda putihnya dan memegang tombak kong-ce yang bergagang panjang itu. Sikapnya tenang saja. Dia sebetulnya tidak gentar kalau harus menghadapi mereka dengan jalan kaki dan bertangan kosong, akan tetapi dia tidak mau membiarkan dirinya terancam bahaya terlalu besar karena menghadapi dua orang itu dengan tangan kosong amatlah berbahaya, kecuali kalau dia menggunakan ilmunya untuk membunuh mereka dengan pukulan-pukulan ampuh. Justeru dia sama sekali tidak ingin membunuh orang, apalagi dalam suatu pertandingan adu kepandaian ini dimana dia hanya menjadi wakil kepala suku Khin yang menjadi sahabatnya.
Sementara itu, dua orang raksasa Mongol dan Mancu itu tadi telah menerima bisikan kepala suku masing-masing. Mereka memang cerdik. Mereka berdua itu maklum bahwa antara mereka terdapat tingkat kekuatan yang seimbang dan biarpun masing-masing belum dapat menentukan kemenangan, akan tetapi setidaknya kesempatan mereka untuk menang adalah setengah bagian.
Akan tetapi, kalau seorang diantara mereka sampai dibantu oleh pemuda berbaju kulit harimau itu yang dikeroyok akan celaka. Maka, jalan satu-satunya bagi mereka adalah maju bersama mengeroyok pemuda berkuda itu dan setelah pemuda itu roboh, hal yang mereka yakin akan dapat mereka lakukan dengan cepat kalau mereka maju berdua, barulah mereka berdua akan dapat bertanding kembali untuk menentukan siapa yang lebih unggul.
Ci Kang sama sekali tidak menyangka bahwa dia akan dikeroyok dan barulah dia tahu akan hal ini ketika dua orang raksasa itu maju menghampirinya dari kanan kiri dengan sikap mengancam dan wajah beringas. Ci Kang sama sekali tidak merasa gentar, akan tetapi, diam-diam dia mengkhawatirkan kudanya, maka diapun meloloskan kedua kakinya dari injakan agar kedua kakinya bebas.
Gerengan dari kanan kiri menandakan bahwa dua orang raksasa itu sudah mulai menyerangnya. Raksasa Mongol itu menyerang dari kiri dengan kedua tangan menubruk seperti seekor harimau sedangkan raksasa Mancu yang mengandalkan kekuatan kakiya telah mengirim tendangan ke arah perut Ci Kang. Pemuda ini sudah siap siaga, menyambut tubrukan raksasa Mongol dengan tombaknya.
Dia bukan menusuk tubuh melainkan menggunakan ujung tombak yang dibalik, yaitu menggunakan gagang tombak, menusuk ke arah mata! Inipun hanya gertakan saja, atau siasat untuk mencegah raksasa itu melanjutkan serangannya. Sementara itu, tendangan kaki raksaaa Mancu ke arah perutnya itu dia sambut dengan kaki kanannya.
"Dukkk...!"
Terdengar dua orang raksasa itu mengeluarkan seruan kaget bukan main. Raksasa Mongol terkejut karena tiba-tiba saja ada ujung gagang tombak menyambar cepat ke arah matanya. Dia boleh mengandalkan kekebalannya, akan tetaipi kalau matanya dicolok dengan gagang tombak, tentu akibatnya celaka baginya. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali membuang diri ke belakang dan bergulingan setelah mengeluarkan seruan kaget.
Sedangkan raksasa Mancu yang mengandalkan kekuatan kakinya itu, begitu kakinya bertemu dengan kaki pemuda itu, tubuhnya terjengkang dan diapun bergulingan sambil menahan rasa nyeri yang membuat tulang kering kakinya berdenyut-denyut panas!
Dua orang raksasa itu meloncat bangun lagi dan suasana menjadi sunyi senyap karena semua penonton melongo ketika melihat betapa dalam gerakan pertama saja pemuda itu sudah berhasil membuat dua orang raksasa yang mereka jagoi itu jatuh bergulingan!
Bahkan orang-orang Khin sendiri yang mengajukan Ci Kang sebagai jagoan mereka, nampak sunyi dan melongo, terlalu heran dan kaget sehingga lupa untuk bersorak. Bukan hanya karena ini saja, akan tetapi juga karena suku itu diam-diam merasa takut dan segan kepada suku Mongol dan Mancu yang merupakan suku-suku terbesar dan terkuat, maka melihat kepala suku mereka diam saja merekapun tidak berani untuk bersorak sorai.
Sementara itu Ci Kang maklum bahwa kalau dia menunggang kuda menghadapi dua orang lawan yang ingin dia jatuhkan tanpa membunuh, maka kudanya tentu akan terancam bahaya, dan agak sukarlah baginya untuk melindungi kuda itu. Maka begitu kedua orang itu melompat bangun, dia sudah meloncat dari atas kudanya.
Ci Kang sengaja meloncat dengan gaya lompatan ke atas, tinggi dan kemudian tubuhnya berjungkir balik beberapa kali di udara sebelum meluncur turun, didahului oleh tombaknya yang menancap di atas tanah dan Ci Kang berdiri tegak di atas tombak itu dengan sebelah kaki.
Sedikitpun tubuhnya tidak bergoyang! Tentu saja hal ini amat mengagumkan para penonton dan orang-orang Khin tidak dapat lagi menahan kebanggaan dan kegembiraan hati mereka. Ketika kepala suku mereka bertepuk tangan memuji, merekapun bersorak gembira sehingga suasana menjadi riuh kembali.
Nenek Yelu Kim terkejut sekali dan ia mendekati Sui Cin, berbisik,
"Pemuda itu hebat sekali, apakah engkau sanggup menandinginya?"
Sui Cin juga melihat semua itu dan diam-diam kagum akan kelihaian Ci Kang. Akan tetapi kalau hanya gin-kang seperti yang dipertontonkan Ci Kang itu, dia masih sanggup menandinginya, bahkan mengatasinya.
"Harap subo jangan khawatir," bisiknya kembali.
Sementara itu, Hui Song yang juga melihat Ci Kang bergaya, diam-diam merasa panas hatinya walaupun dia harus pula akui bahwa pemuda putera Iblis Buta itu agaknya telah memperoleh kemajuan dan kini mungkin lebih lihai daripada dahulu, hal yang sudah diduganya ketika Ci Kang muncul di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Ada timbul keinginan untuk mencoba kepandaian pemuda itu. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan disini karena tentu akan mengacaukan pemilihan pimpinan itu dan dia tidak mau menyusahkan rombongan Lam-nong. Maka diapun diam saja dan hanya menonton, sambil diam-diam seringkali melirik ke arah rombongan nenek Yelu Kim dan Sui Cin.
Dua orang raksasa itu sudah menjadi marah sekali karena dalam gebrakan pertama tadi mereka telah dibikin malu. Walaupun mereka tidak terluka, akan tetapi mereka telah dipaksa roboh bergulingan. Maka kini, biarpun mereka juga kaget melihat betapa pemuda itu memperlihatkan keringanan tubuh yang istimewa, mereka berlari menerjang dengan marah.
Akan tetapi betapa kaget dan heran mereka ketika tiba-tiba saja pemuda itu lenyap bersama tombaknya dan mereka hanya menubruk tempat kosong, bahkan hampir saling pukul sendiri. Kalau saja mereka berdua itu tidak mempunyai siasat untuk lebih dahulu merobohkan Ci Kang, tentu mereka sudah saling hantam karena mereka kini saling berhadapan dekat sekali.
Akan tetapi keduanya sama sekali tidak melakukan hal ini, melainkan cepat membalik dan mencari Ci Kang. Ketika melihat pemuda itu berdiri tak jauh di belakang mereka sambil melintangkan tombaknya, merekapun menyerbu lagi. Kini semua penonton maklum bahwa dua orang raksaka yang tadi saling banting-membanting itu tiba-tiba saja sudah bersatu untuk menghadapi dan mengeroyok pemuda berbaju kulit hatimau itu!
"Curang...!"
Moghu Khali, kepala suku Khin itu mengomel akan tetapi tidak berani bicara keras. Bagaimanapun juga, setelah memasuki arena pertandingan, tiga orang itu bebas berkelahi dengan cara bagaimanapun juga. Dia hanya mengkhawatirkan keselamatan jagoannya karena menghadapi pengeroyokan dua orang raksasa itu sungguh amat berbahaya sekali. Juga Sui Cin dan Hui Song menonton dengan hati tegang. Mereka juga dapat merasakan betapa berbahayanya keadaan Ci Kang sekarang.
Akan tetapi Ci Kang menghadapi mereka dengan sikap tenang-tenang saja. Diapun bukan orang bodoh dan majunya ke tempat itu hanya untuk membantu Moghu Khali yang menjadi sahabatnya. Kalau dia mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, kiranya akan mudah baginya melawan dan menewaskan dua orang raksasa ini. Akan tetapi dia tahu bahwa dengan melakukan hal ini, tentu akan timbul iri dan penasaran dalam hati para kepala suku Mongol dan Mancu yang merupakan suku yang terbesar dan kuat. Dan hal itu tentu akan membuat keadaan Moghu Khali tidak menguntungkan dan mungkin dimusuhi. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan untuk mencapai kemenangan setelah memberi muka kepada dua orang raksasa ini, yang berarti memberi muka kepada kepala suku masing-masing.
Oleh karena itu, ketika dua orang raksasa itu datang menyerbu lagi, dia hanya mengelak dan menangkis, mempergunakan kegesitannya untuk menghindarkan diri. Terjadilah perkelahian yang kelihatannya saja seru dan menegangkan, akan tetapi bagi orang-orang pandai seperti Sui Cin dan Hui Song, nampak jelas bahwa Ci Kang sengaja mengalah dan belum pernah membalas. Dan mereka berdua inipun setelah mengamati gerak-gerik kedua orang raksasa itu mendapat kenyataan bahwa dua jagoan tinggi besar itu hanya memiliki tenaga besar saja namun dalam hal ilmu berkelahi masih jauh kalah kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat Ci Kang.
Setelah membiarkan dirinya dihujani serangan sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba Ci Kang memutar-mutar tombaknya dan tombak itu lenyap berubah menjadi gulungan sinar putih yang membungkus tubuhnya. Tubuh Ci Kang sendiri lenyap, hanya nampak kedua kakinya saja kadang-kadang menginjak tanah.
Melihat ini, dua orang raksasa itu menjadi terkejut dan tentu saja merasa ragu-ragu karena mereka gentar untuk menerjang dinding yang terbuat dari gulungan sinar putih itu.
Ci Kang tidak bermaksud membunuh lawan. Dia memutar tombak itu hanya untuk menciptakan dinding sinar yang menutup tubuhnya, dan memang menjadi maksudnya agar kedua orang lawan itu menghentikan serangan mereka. Pada saat kedua orang raksaaa itu berdiri bimbang, tiba-tiba Ci Kang meloncat ke depan, menggunakan tombak yang dibalik untuk menotok kedua lutut raksasa Mancu yang ahli tendang itu dan berbareng tangan kirinya menampar ke arah tengkuk raksasa Mongol sambil mengerahkan tenaga sin-kang.
Dua serangan yang dilakukukan Ci Kang ini sudah memakai perhitungan dan pemusatan tenaga, maka mengenai sasarannya secara tepat sekali. Dua orang raksasa itu terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali! Raksasa Mancu tertotok kedua lututnya dan kedua kakinya menjadi lumpuh, sedangkan raksasa Mongol yang kena dihantam tengkuknya dengan tangan yang dimiringkan itu roboh pingsan. Ternyata kekebalannya tidak mampu melindungi tengkuknya dari hantaman yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu.
Suasana kembali menjadi sunyi, karena semua orang untuk ke sekian kalinya tertegun dan melongo, hampir tidak percaya bahwa pemuda itu akan mampu mengalahkan dua orang jagoan raksasa yang mengeroyoknya itu sedemikian mudahnya!
Ketika tadi Ci Kang memperlihatkan kepandaiannya, tak pernah dapat dirobohkan oleh kedua orang penyerangnya, orang-orang mulai menjadi tegang dan mengira bahwa tentu akan terjadi perkelahian mati-matian. Akan tetapi siapa kira pemuda itu akan mampu mengakhiri pertandingan itu sedemikian mudah dan cepat.
Akan tetapi Ci Kang tidak perduli dan dia sudah meloncat lagi ke atas punggung kuda putihnya sambil melintangkan tombaknya. Dengan gagahnya, Ci Kang menjalankan kudanya berputaran di lapangan itu, tidak bersikap sombong, melainkan menanti kalau-kalau masih ada jagoan lain yang akan maju menandinginya, sementara itu dua orang raksasa yang roboh telah digotong pergi oleh teman-temannya.
Setelah Moghu Khali mengangkat tangan bersorak, barulah anak buahnya berani bertepuk tangan dan bersorak kegirangan melihat betapa jagoan mereka mendapat kemenangan, dan tak lama kemudian hampir semua orang yang hadir bersorak menyambut kemenangan ini.
Bagaimanapun juga, mereka itu adalah suku-suku bangsa yang menghargai kegagahan dan melihat kehebatan Ci Kang, mereka merasa kagum sekali. Melihat sikap semua orang ini, Moghu Khali berbesar hati untuk menuntut haknya, yaitu menjadi pimpinan karena jagoannya telah keluar sebagai pemenang. Dia melangkah maju dan mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru dengan suara lantang.
"Seperti saudara sekalian menyaksikannya, jagoan yang kami ajukan telah menjadi juara dan mengalahkan semua jagoan lainnya, oleh karena itu..."
"Tunggu dulu...!"
Suara nenek Yelu Kim melengking dan mengatasi semua suara sehingga semua orang menengok kepadanya. Nenek ini sudah bangkit berdiri pula dan mengebut-ngebutkan hud-tim di tangannya. Karena nenek ini dikenal sebagai seorang yang disegani bahkan ditakuti, dan nasihat-nasihatnya selalu ditaati oleh para suku bangsa di utara karena nasihat-nasihat itu memang amat baik dan tepat, maka kini semua orang memandang dan menanti apa yang akan dikatakan oleh nenek itu.
"Saudara sekalian harap tenang dulu. Aku sendiri masih mempunyai seorang jago, dan aku berhak mengajukan jagoku, setidaknya untuk menguji sampai dimana kemampuan jago dari saudara-saudara suku Khin itu!"
Tiba-tiba terdengar suara auman harimau yang menggetarkan jantung dan dari belakang rombongan nenek Yelu Kim melompatlah keluar seekor harimau besar yang ditunggangi oleh seorang bertubuh kecil ramping yang muka dan kepalanya ditutupi kain hitam sebagai kedok. Hanya sepasang matanya yang mencorong itu saja yang nampak dari lubang pada kain hitam itu. Orang ini menunggang harimau seperti menunggang kuda saja, tanpa sela, dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang panjangnya hanya dua kaki lebih.
"Harimau Terbang...!"
Terdengar orang berbisik-bisik dengan mata terbelalak, dan mereka memandang dengan gentar. Hui Song yang sejak tadi memandang ke arah rombongan nenek Yelu Kim dimana terdapat pula Sui Cin, kini ikut terbelalak karena tadi dia hanya melihat gadis itu menyelinap lenyap diantara rombongan nenek itu, kini muncul orang menunggang harimau dan Sui Cin tidak nampak pula.
Biarpun orang itu menyembunyikan kepala dan mukanya di balik kedok kain sutera hitam, akan tetapi dia mengenal perawakannya dan juga tadi Sui Cin memakai pakaian seperti yang kini dipakai penunggang harimau itu. Saking herannya Hui Song hanya memandang saja. Apa artinya semua ini, pikirnya. Sui Cin maju sebagai jagoan nenek Yelu Kim pemimpin perkumpulan rahasia Harimau Terbang, bahkan kini Sui Cin memakai kedok dan menunggang harimau!
Ci Kang juga terkejut sekali melihat munculnya orang menunggang harimau itu. Dari Moghu Khali, dalam percakapan mereka, dia sudah mendengar akan nenek Yelu Kim yang disegani itu, juga bahwa nenek itu memimpin sebuah perkumpulan rahasia yang bernama Harimau Terbang dan nenek itu bertindak sebagai penasihat dan pengawas para suku di utara.
Kini, melihat munculnya penunggang harimau itu, dia bersikap tenang tetapi waspada. Dia tahu bahwa penunggang harimau itu seorang wanita, dan kalau seorang wanita sudah mampu menunggang harimau dengan gerakan seperti itu, tentulah wanita itu lihai sekali.
Akan tetapi calon lawannya itu agaknya tidak memberi banyak waktu baginya untuk berpikir dan melamun. Dengan lompatan-lompatan jauh, harimau itu sudah datang mendekat dan Ci Kang sudah siap siaga dengan tombaknya.
"Lihat serangan!"
Tiba-tiba penunggang harimau itu membentak dan harimau itu sudah melompat, menerkam ke arah Ci Kang dan kudanya, sedangkan penunggangnya juga menggerakkan tongkatnya menusuk ke arah mata Ci Kang!
Sungguh hebat bukan main serangan itu dan melihat kenyataan betapa orang ini memberi peringatan sebelum menyerang, dalam bahasa Han yang tidak kaku, Ci Kang dapat menduga bahwa orang di balik kedok sutera hitam itu tentulah seorang pendekar wanita dari selatan!
Menghadapi serangan maut itu, yang amat berbahaya bagi dirinya dan juga kuda yang ditungganginya, Ci Kang bergerak cepat. Tangan kirinya diangkat ke atas menangkis tusukan tongkat.
"Dukkk...!"
Tangan kirinya yang kuat itu bertemu dengan tongkat dan tongkat itu terpental, akan tetapi Ci Kang juga merasa betapa lengan kirinya tergetar. Pada saat itu diapun harus menyelamatkan kudanya, maka dia menggerakkan tombaknya menangkis dua kaki depan harimau yang menerkam itu.
"Bresss...!"
Dua kaki harimau itu tertangkis dan tombaknya dilanjutkan menusuk dada harimau yang masih melompat itu.
"Dukkk...!"
Kini ujung tombaknya ditangkis oleh tendangan wanita penunggang harimau! Ci Kang terkejut sekali. Sungguh hebat gerakan wanita itu dan kini harimau itu sudah menyerang lagi dengan cepat setelah tadi meloncat turun, membalik dan mengaum.
Ci Kang terpaksa memutar tombaknya untuk melindungi dirinya sendiri dan juga kudanya. Dan binatang tunggangannya itu menjadi panik, mengangkat kaki depan ke atas dan meringkik-ringkik ketakutan, juga meronta-ronta. Hal ini sungguh membahayakan dirinya dan hampir saja pundaknya terkena pukulan tongkat. Kalau dilanjutken begini, menunggang seekor kuda yang ketakutan, dia akhirnya akan celaka, pikirnya.
Maka Ci Kang lalu meloncat turun dari atas kudanya dan begitu kuda itu merasa terbebas dari kendali, diapun meringkik dan melarikan diri ketakutan! Kini Ci Kang berdiri di atas tanah, siap dengan tombaknya. Dia merasa penasaran dan marah, apalagi mendengar wanita itu tertawa lirih di balik kedoknya. Engkau curang, pikirnya, mengandalkan harimau itu untuk membikin takut kuda. Maka, melihat harimau itu kembali menubruk, diapun memapakinya dengan tusukan tombaknya yang panjang.
"Tranggg...!"
Ujung tombak tertangkis tongkat baja dan keduanya merasa betapa masing-masing memiliki tenaga sin-kang yang sama kuat. Akan tetapi Ci Kang tidak mau memberi hati dan diapun memutar tombaknya, mendesak dan ujung tombaknya melakukan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh harimau!
Maka repotlah penunggang harimau itu yang harus melindungi tubuh harimaunya dengan tangkisan-tangkisan, yang membuat tubuhya kadang-kadang membungkuk ke sana-sini. Karena senjata di tangan Ci Kang jauh lebih panjang, maka mudah bagi pemuda itu untuk menghujankan serangan. Kalau dia menujukan serangannya kepada penunggang harimau itu, tentu lebih mudah bagi lawannya untuk melindungi dirinya dan harimau itu akan merupakan bahaya baginya.
Akan tetapi karena dia menujukan serangan-serangannya kepada tubuh harimau, sebaliknya si penunggang harimau itu yang repot bukan main harus menyelamatkan binatang tunggangannya dari tusukan tombak.
Wanita penunggang harimau itu tentu saja Sui Cin orangnya. Seperti kita ketahui, ia telah dipilih oleh Yelu Kint untuk menjadi murid dan pembantunya. Sui Cin merasa hutang budi kepada nenek itu yang telah menyembuhkannya, bukan saja dari pengaruh racun yang diberikan oleh Kiu-bwe Coa-li kepadanya, melainkan juga nenek Yelu Kim itu telah monyembuhkannya dari penyakit hilang ingatan. Dan kini, atas perintah Yelu Kim, ia maju menghadapi Ci Kang sambil menunggang harimau.
Memang benar bahwa harimau itu telah merepotkan Ci Kang dan membuat pemuda itu terpaksa turun dari kudanya yang ketakutan. Akan tetapi setelah kini pemuda itu tidak lagi menunggang kuda dan menghadapinya di atas tanah dengan tombaknya, kini keadaannya menjadi terbalik.
Sui Cin kini menjadi kerepotan sekali, harus melindungi harimaunya. Ia merasa penasaran dan marah, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali lalu meluncur turun menyerang Ci Kang dari udara. Tongkat baja di tangannya diputar dan menghantam ke arah kepala pemuda itu.
Ci Kang terkejut dan cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Tongkat bertemu dengan tombak, nampak bunga api berpijar dan keduanya terdorong ke belakang. Sui Cin berjungkir balik lagi dan turun ke atas tanah.
"Houw-ji, mundurlah!"
Ia berkata kepada harimau itu yang mengeluarkan suara menggereng, meringis memperlihatkan taringnya, akan tetapi agaknya binatang ini sudah mengenal dan mentaati suara Sui Cin. Diapun mundur mendekat nenek Yelu Kim yang mengelus kepalanya.
Kini Ci Kang berhadapan dengan Sui Cin, keduanya berdiri tegak tidak menunggang apa-apa lagi.
"Hemm, kini engkau tidak dapat mengandalkan kegalakan macan itu!"
Ci Kang mengejek, diam-diam merasa kagum dan menduga-duga siapa adanya wanita perkasa bangsa Han yang menjadi kaki tangan nenek Yelu Kim ini.
"Lihat serangan!"
Sui Cin membentak marah dan tidak melayani ejekan Ci Kang, tongkat di tangan menyambar ganas. Akan tetapi sambil tersenyum Ci Kang menggerakkan tombaknya menangkis dengan mudah, lalu balas menyerang, menyapukan tombaknya ke arah kaki lawannya. Akan tetapi sapuan tombak itupun dapat dielakkan dengan amat mudahnya oleh Sui Cin, dengan cara meloncat ke atas.
Melihat gerakan loncatan ke atas lalu tongkat di tangan itu langsung menusuk dari atas, diam-diam Ci Kang merasa kagum juga. Bukan main wanita ini, pikirnya, memiliki gin-kang yang amat hebat dan dia harus berhati-hati karena gin-kang sehebat ini dapat mendatangkan kesukaran baginya. Maka diapun menggerakkan tombaknya melindungi dirinya dengan amat kuat, memutar tombak itu sehingga membentuk lingkaran dari gulungan sinar.
Sui Cin yang mengenal Ci Kang dan mengetahui pula bahwa putera datuk sesat Si Iblis Buta ini memang lihai sekali, tidak merasa gentar dan diapun mengandalkan gin-kangnya untuk mengimbangi kecepatan gerakan tombak.
Terjadilah serang-menyerang dan pertandingan yang seru ini membuat semua penonton menjadi gembira. Bagaimanapun juga, jago yang diajukan oleh suku Khin itu adalah orang Han, dan merekapun tidak tahu siapa adanya jago Harimau Terbang yang diajukan oleh nenek Yelu Kim, maka merekapun sukar menentukan siapa yang mereka dukung.
Akan tetapi melihat betapa kedua orang itu berkelahi dengan amat cepat, perkelahian dengan ilmu silat yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya, membuat mereka kagum sekali, juga bergembira.
Akan tetapi, setelah Ci Kang mengerahkan tenaga sin-kangnya dan mengeluarkan semua ilmu silatnya, Sui Cin terkejut sekali. Tadinya ia merasa yakin akan mampu mengatasi pemuda itu mengingat bahwa selama tiga tahun ini ia digembleng oleh Wu-yi Lo-jin. Akan tetapi siapa kira agaknya pemuda itupun selama ini telah memperoleh kemajuan pesat sekali sehingga kini ia sama sekali tidak mampu mendesaknya, apalagi mengatasinya.
Bahkan ia mulai terdesak karena kalah kuat tenaganya walaupun dalam hal kecepatan ia masih lebih unggul. Akan tetapi keunggulan dalam gin-kang inipun ditutup oleh Ci Kang dengan gerakan tombaknya yang luar biasa cepatnya. Tentu saja Sui Cin tidak tahu bahwa seperti juga ia sendiri, pemuda itu menerima gemblengan hebat selama tiga tahun oleh Cui-sian Lo-kai!
Nenek Yelu Kim juga melihat betapa murid atau pembantunya itu sama sekali tidak mampu mendesak pemuda baju kulit harimau yang amat lihai itu, walaupun muridnya tidak dapat dibilang kalah karena keduanya agaknya memiliki kepandaian yang seimbang.
Akan tetapi ia merasa khawatir kalau-kalau Sui Cin kalah. Ia tidak boleh kalah. Kekalahan muridnya itu berarti akan menghancurkan nama besar Harimau Terbang dan akan meruntuhkan namanya pula sebagai orang yang paling disegani diantara suku-suku di utara.
Terutama sekali, kekalahan Sui Cin berarti kegagalannya untuk memegang tampul pimpinan diantara para suku yang hendak berjuang menegakkan kembali kekuasaan utara atas daerah selatan! Maka, diam-diam nenek ini duduk bersila dan mengerahkan semua tenaga batinnya, mulutnya kemak-kemik dan ia mulai mengerahkan kekuatan sihirnya untuk membantu Sui Cin.
Tiba-tiba terjadilah perubahan dalam perkelahian itu. Beberapa kali Ci Kang terhuyung dan kelihatan betapa dia keheranan dan kebingungan, kadang-kadang menggunakan tombaknya untuk menangkis ke kanan, kiri atau belakang, padahal dari tiga jurusan itu tidak ada sesuatu yang menyerangnya.
Memang dia merasa seperti ada angin-angin pukulan menyambar dari jurusan-jurusan ini sehingga dia cepat menangkis, akan tetapi selalu hanya menangkis angin kosong saja. Karena itu, tentu saja Sui Cin memperoleh kesempatan untuk mendesaknya. Gadis ini merasa seolah-olah lawannya menghadapi pengeroyokan. Sejenak ia sendiripun heran melihat perobahan pada lawannya. Akan tetapi iapun lalu teringat kepada nenek Yelu Kim yang pandai sihir dan dapat menduga bahwa tentu nenek itu yang membantunya dengan kekuatan sihir.
Hal ini malah membuat ia merasa jengkel dan marah. Ia belum kalah dan tidak akan kalah, dan sungguh memalukan kalau harus menghadapi Ci Kang dengan pengeroyokan.
Kemarahan ini yang membuat Sui Cin bertindak sambrono. Karena marah, ia menumpahkan kemarahannya kepada lawan di depannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking keras dan tangan kirinya bergerak ke depan.
Nampak sinar merah disusul teriakan Ci Kang yang kaget dan kesakitan dan tubuh pemuda itupun terjengkang keras, roboh dan tidak bergerak lagi karena dia telah pingsan! Kiranya dalam kemarahannya, Sui Cin telah mempergunakan senjata rahasianya yang ampuh, yang diajarkan ibunya kepadanya. Senjata rahasia itu berupa jarum-jarum halus berwarna merah harum dan beracun!
Inilah senjata rahasia yang biasa dipergunakan oleh golongan hitam dan hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa ibu gadis itu, Toan Kim Hong, dahulunya pernah bertahun-tahun terkenal sebagai Lam-sin, seorang datuk sesat dari selatan!
Baru setelah melihat lawannya menggeletak dengan muka pucat dan pingsan, Sui Cin memandang dengan mata terbelalak, merasa menyesal mengapa ia mempergunakan senjata rahasia yang bahkan oleh ibunya sendiri ia sudah dilarang untuk sembarangan mempergunakannya.
Dan dalam penyesalannya, Sui Cin sampai berdiri terbelalak dan seperti orang kehilangan akal, diam saja ketika melihat beberapa orang Khin cepat maju dan menggotong tubuh Ci Kang yang masih pingsan. Sorak-sorai gegap gempita menyambut kemenangan Sui Cin dan kini terdengar suara nenek Yelu Kim yang melengking tinggi mengatasi semua suara sehingga orang orang menjadi tenang mendengarkan.
"Saudara-saudara sekalian yang tercinta. Para dewata telah menunjuk kami sebagai pemenang dan pimpinan. Para jagoan tadi merupakan tenaga-tenaga yang amat baik untuk membantu perjuangan kita, juga pemuda baju kulit harimau itu agar dirawat sebaiknya. Sekarang kita beristirahat dan mempersiapkan diri untuk malam nanti mengadakan pertemuan rapat besar. Jagoku telah menang, berarti kami berhak menjadi pimpinan kalian yang akan membimbing kalian melakukan perjuangan dengan berhasil. Apakah ada yang tidak setuju dan ada yang masih hendak mengajukan jago baru?"
Semua orang menyatakan setuju. Kalau masih ada yang merasa penasaran, merekapun tidak berani bicara terus terang, karena mereka semum merasa segan dan takut kepada nenek Yelu Kim. Apalagi kini nenek itu mempunyai seorang jago yang sedemikian lihainya, sehingga melawanpun tidak akan menang.
Akan tetapi, diantara para kepala suku, ada pula beberapa yang diam-diam merasa tidak setuju kalau perjuangan mereka itu dipimpin oleh seorang wanita, sudah nenek-nenek pula. Sejak dahulu, perjuangan bangsa mereka itu dipimpin oleh orang laki-laki yang gagah perkasa, bukan oleh seorang nenek tua renta. Hal ini sungguh menyinggung rasa harga diri dan kejantanan mereka.
Akan tetapi, sedikit kepala suku itu, termasuk Lam-nong kepala suku Mancu Timur, tidak berani berterus terang, hanya mereka sudah kehilangan gairah untuk melanjutkan perjuangan menyerbu ke selatan kalau dipimpin oleh seorang nenek tua. Dan diam-diam kelompok-kelompok yang tidak setuju inipun meninggalkan tempat itu, tidak ingin menghadiri rapat yang dipimpin nenek itu. Juga Lam-nong mengajak rombongannya untuk kembali ke timur dan tidak mencampuri pemberontakan.
Sui Cin baru sadar ketika lengannya dipegang nenek Yelu Kim yang mengajaknya mengundurkan diri. Melihat wajah muridnya yang nampak agak pucat dan penuh penyesalan, nenek itu berbisik,
"Engkau kenapakah, Sui Cin? Engkau telah menang, dan aku amat berterima kasih kepadamu. Lawanmu itu sungguh lihai sekali. Akan tetapi kenapa engkau tidak kelihatan senang, sebaliknya kelihatan muram? Apakah kemenanganmu itu tidak menggembirakan hatimu?"
Sui Cin menggeleng kepala.
"Tidak, sama sekali tidak menggembirakan hatiku."
Mendengar ini, nenek Yelu Kim terkejut dan iapun menggandeng tangan muridnya dan diajaknya muridnya itu memasuki tendanya yang sunyi menyendiri dan disini ia bicara dengan wajah serius dengan gadis itu.
"Nah, anak yang baik, sekarang ceritakan mengapa engkau begini muram dan mengapa kemenangan itu tidak menggembirakan hatimu."
"Subo, aku telah kesalahan tangan kepada Siangkoan Ci Kang..."
"Siangkoan Ci Kang? Siapakah itu?"
"Jagoan suku Khin tadi."
"Ah, jadi engkau sudah mengenalnya? Dia... sahabatmu?"
Sui Cin menggeleng kepala.
"Bukan, bahkan dapat dibilang musuh karena dia pernah menjadi tokoh golongan hitam. Akan tetapi, subo, dia pernah menolongku, aku berhutang budi kepadanya dan tadi, karena aku merasa penasaran, aku... aku telah merobohkannya dengan jarum merah beracun yang amat berbahaya..."
Nenek itu mengangguk-angguk dan matanya yang mencorong itu menatap wajah muridnya penuh selidik, dan tiba-tiba ia memegang lengan gadis itu.
"Sui Cin, apakah engkau... cinta padanya?"
Tiba-tiba saja wajah gadis itu berobah merah sekali dan ia memandang nenek itu dengan mata terbelalak.
"Tidak, subo, kenapa subo bertanya dan menduga demikian?"
Nenek itu menarik napas panjang dan diapun menundukkan mukanya.
"Karena orang hidup harus ada cinta di hatinya, anak baik. Tiadanya cinta dalam hati berarti orang hidup dalam neraka, dalam kesengsaraan, dalam kesepian, seperti aku ini..."
Sui Cin semakin heran dan kini ia bengong memandang nenek itu yang tiba-tiba saja menangis! Tangisnya sungguh menyedihkan, kedua pundaknya terguncang-guncang, mukanya disembunyikan di balik jari-jari tangan itu, dan suara tangisnya sampai sesenggukan.
Sui Cin hampir tidak percaya melihat semua ini. Nenek Yelu Kim yang biasanya demikian penuh wibawa dan semangat, yang biasanya demikian tabah dan tegas, kini menangis seperti anak kecil! Sebagai seorang wanita yang biasanya amat peka menghadapi kesedihan dan tangis wanita lain, Sui Cin menahan air matanya dari kedua mata yang sudah terasa panas itu dan iapun memegang kedua lengan nenek itu.
"Subo, ada apakah? Kenapa subo menangis?"
Sampai lama nenek itu tidak dapat menjawab, hanya terisak-isak dan kadang-kadang mengusap air mata yang bercucuran. Akhirnya dapat juga ia menguasai dirinya dan tangisnya terhenti, hanya tinggal isak yang kadang-kadang saja. Ia mengeringkan semua bekas air mata dengan sehelai saputangan, lalu memandang wajah gadis itu dengan mata yang merah bekas tangis.
"Maafkan aku, Sui Cin, baru sekarang aku memperoleh kesempatan menumpahkan semua rasa duka di hatiku di depan seseorang. Ini merupakan yang pertama dan terakhir, walaupun kalau sedang sendirian, terutama sekali sebelum tidur, aku lebih sering menangis daripada tidak."
"Akan tetapi, kenapa subo? Subo adalah seorang yang sakti, yang berwibawa dan berpengaruh, bahkan kini berhasil menjadi pimpinan para suku untuk melakukan gerakan perjuangan, akan tetapi kenapa subo berduka?"
"Karena aku takut!"
Jawaban ini makin mengherankan hati Sui Cin.
"Takut? Subo...? Ah, bagaimana mungkin subo mengenal takut? Takut apakah?"
"Aku takut, Sui Cin. Sungguh, aku menggigil dan jantungku berdebar hampir copot kalau aku membayangkan. Aku takut... takut akan kematian..."
"Eh? Takut akan kematian?"
"Aku takut, Sui Cin. Bagaimana nanti kalau aku sudah mati? Usiaku sudah amat tua dan hari kematianku tentu tidak lama lagi. Aku tahu bahwa kematian tidak dapat dihindarkan, bahwa semua manusia hidup pada suatu ketika pasti mati. Akan tetapi aku takut, karena bagaimana mungkin aku tidak hidup lagi? Lalu bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan kedudukanku? Ah, kalau saja aku dapat melihat apa yang terjadi setelah mati! Sudah banyak ilmu kupelajari, banyak tempat kujelajahi, namun aku belum berhasil memperoleh ilmu untuk menjenguk keadaan sesudah mati. Aku takut, Sui Cin... aku takut..."
Sui Cin duduk diam termenung, alisnya berkerut. Ia sendiri belum pernah berpikir tentang kematian, bahkan sampai saat inipun ia tidak pernah perduli akan hal itu. Akan tetapi ia tidak pernah merasa takut walaupun ia sendiripun tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya sesudah mati. Akan tetapi ia tidak takut!
Rasa takut akan kematian ini bukan hanya dirasakan oleh nenek Yelu Kim, melainkan oleh kebanyakan dari kita, tidak perduli tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, tinggi ataupun rendahnya kedudukan. Bahkan rasa takut ini lebih banyak hinggap dalam batin mereka yang berkedudukan tinggi, yang kaya raya, yang terkenal dan dipuja.
Sesungguhnya, mengapa timbul rasa takut akan kematian ini? Benarkah seperti yang dikatakan oleh Yelu Kim bahwa rasa takut ini akan hilang kalau kita dapat menjenguk keadaan sesudah mati? Agaknya ini hanya merupakan pendapat kosong belaka. Bagaimana kita dapat takut akan sesuatu yang tidak kita mengerti? Kita hanya takut akan sesuatu yang kita mengerti, yaitu kesengsaraan, kehilangan, takut kalau-kalau hal semacam itu akan terjadi.
Kita hanya takut akan hal-hal yang belum terjadi, karena rasa takut sesungguhnya merupakan akibat permainan pikiran yang mengkhayalkan hal-hal buruk yang belum terjadi, pikiran yang mengada-ada. Rasa takut timbul karena kita tidak mau kehilangan hal-hal yang menyenangkan kita, hal-hal yang telah mengikat batin kita, seperti keluarga, kedudukan, kekayaan, nama besar dan sebagainya.
Kita takut kehilangan semua ini kalau kita mati, kita takut akan merasa kesepian karena tidak adanya semua yang kita cinta itu, cinta mengandung kesenangan, cinta yang timbul karena ingin disenangkan.
Jelaslah bahwa rasa takut akan kematian timbul dari ikatan-ikatan itu, ikatan yang kita adakan karena kesenangan, karena kita ingin selalu memiliki kesenangan itu. Kita terikat kepada harta benda kita, maka kita takut kalau kehilangan harta benda itu, terikat kepada keluarga, isteri, suami, anak-anak, terikat kepada kedudukan, kemuliaan, kepada nama besar, dan kita takut kalau kehilangan itu semua. Andaikata semua yang kita anggap menyenangkan itu dapat ikut bersama kita mati, kiranya rasa takut akan kematian itupun tidak akan pernah ada!
Karena itu, dapatkah kita bebas daripada ikatan? Sehingga dengan bebas dari ikatan kita tidak akan tercekam rasa takut, bahkan tidak lagi terpengaruh oleh perpisahan dan kehilangan, sehingga tidak akan menderita kesengsaraan, kekecewaan dan kedukaan sewaktu masih hidup?
Kita semua tahu bahwa kematian tak dapat dihindarkan. Berarti bahwa perpisahan dengan apa dan siapapun juga tidak mungkin dapat pula dielakkan. Sekali waktu pasti terjadi perpisahan itu, entah kita yang ditinggalkan ataukah kita yang meninggalkan.
Karena sudah pasti terjadi perpisahan ini, maka sebelum terjadi perpisahan jalan satu-satunya untuk menghindarkan duka dan rasa takut adalah kebebasan. Bebas dari ikatan. Kalau sesuatu telah mengikat kita, maka sesuatu itu akan berakar dalam hati dan kalau tiba saatnya perpisahan, sesuatu itu dicabut, sudah tentu hati kita akan terluka, akar itu akan jebol dan hati kita akan pecah berdarah.
Bebas dari ikatan bukan berarti lalu meninggalkan semua itu selagi masih hidup atau lalu acuh tak acuh, atau meninggalkan keluarga dan harta milik, meninggalkan dunia ramai dan lari ke puncak gunung atau ke tepi laut yang sunyi untuk hidup menyendiri dan bertapa. Ikatan yang dimaksudkan adalah ikatan batin. Melarikan diri hanya melepaskan ikatan lahir saja. Apa gunanya menyingkir di puncak gunung kalau hati masih terikat? Hanya sengsara yang akan dirasakan!
Bebas dari ikatan berarti tidak memiliki apa-apa secara batiniah. Secara lahiriah memang kita memiliki isteri, suami, anak-anak, keluarga, harta benda, kedudukan, nama dan sebagainya lagi, akan tetapi secara batiniah kita berdiri sendiri, tidak terikat oleh apapun juga. Bukan berarti acuh tidak acuh, bukan berarti tidak mencinta. Justeru cinta kasih sama sekali bukan ikatan! Ikatan ini hanyalah nafsu ingin senang, kesenangan untuk diri sendirt tentunya. Karena ingin senang, maka segala yang menyenangkan diri sendiri ingin dimiliki selamanya, dan timbullah ikatan.
Bebas dari ikatan ini berarti mati dalam hidup. Dan kalau selagi hidup sudah bebas dari ikatan, maka kematian bukan apa-apa. Karena tidak memiliki apa-apa maka tidak akan kehilangan apapun. Orang yang berduka karena kehilangan adalah orang yang merasa memiliki yang hilang itu, terbelenggu oleh ikatan batin yang erat. Padahal, di dalam kehidupan ini tiada apapun yang langgeng, segala sesuatu yang kita punyai hanyalah untuk sementara saja, atau seperti juga barang titipan yang sewaktu-waktu akan diambil kembali oleh Sang Pemilik Abadi.
Yang bebas dari ikatan ini, yang tidak memiliki apa-apa ini, tidak membutuhkan apapun, karena segalanya sudah ada padanya, bagaikan sebuah guci yang sudah penuh, dapat menikmati kehidupan ini, dapat menikmati segala seuatu tanpa keinginan memilikinya. Karena tidak memiliki apa-apa maka dunia ini sudah menjdadi miliknya. Dan hanya yang bebas dari ikatan ini yang mengenal apa itu sesungguhnya yang dinamakan cinta kasih. Tidak semua orang dapat bebas dari ikatan. Bahkan banyak orang-orang yang dianggap dan merasa dirinya pandai, maju dan sebagainya, masih terbelenggu oleh ikatan-ikatan.
Seperti juga nenek Yelu Kim, biarpun ia pandai dan berkedudukan tinggi, namun ia belum mampu membebaskan diri dari ikatan sehingga timbul rasa takut akan kematian yang pada hakekatnya takut kehilangan segala yang mengikatnya itu.
Sui Cin memandang wajah nenek itu yang kini menjadi agak pucat dan wajah itu membayangkan kedukaan.
"Subo, aku sendiri tidak takut terhadap kematian. Aku tidak mengerti tentang kematian, perlu apa takut? Biarlah kuserahkan hidup dan matiku kepada Thian yang Maha Kuasa."
Nenek itu kini dapat tersenyum dan mengangguk.
"Akupun sudah berusaha berbuat demikian, akan tetapi hatiku selalu masih meragu, Sui Cin. Sudahlah, hatiku sudah mulai tenang, dan aku teringat kepada pemuda perkasa itu. Sui Cin, apakah engkau merasa menyesal setelah melukainya dan apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Aku bingung, subo. Jarum-jarum merah itu beracun dan berbahaya sekali, padahal, aku telah kehilangan bekal obat penawarnya. Kalau dia tidak cepat mendapatkan obat yang tepat, dan sampai tewas oleh jarum-jarumku, sungguh aku merasa menyesal bukan main. Diantara kami tidak ada permusuhan, bahkan aku berhutang nyawa kepadanya..."
Sui Cin tidak mau menceritakan bahwa pemuda itu menolongnya dari ancaman bahaya yang lebih hebat daripada nyawa, yaitu ketika ia hampir diperkosa oleh Sim Thian Bu, jai-hwa-cat yang menjadi saudara seperguruan sendiri dari Ci Kang.
Nenek itu tersenyum.
"Jangan khawatir, muridku. Tidak percuma engkau menjadi murid Yelu Kim! Coba keluarkan jarum merahmu, setelah mengenal macam racunnya, kiranya aku akan dapat memberikan obat penawarnya."
Giranglah hati Sui Cin dan ia cepat mengeluarkan beberapa batang jarum merah halus kepada nenek itu. Yelu Kini menerima jarum-jarum itu dan membawanya masuk ke dalam kamarnya untuk mempelajari racunnya tanpa gangguan. Tak lama kemudian, nenek itu sudah keluar membawa obat penawarnya!
"Campur bubukan ini dengan secawan arak, minumkan padanya dan dia pasti akan sembuh. Kalau dia masih lemah, masak akar ini dengan nasi lalu beri dia makan, tentu kesehatannya akan pulih sama sekali."
Dengan hati kagum terhadap kelihaian nenek itu dan juga dengan girang Sui Cin menerima bungkusan dua macam obat itu. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya dan bertanya,
"Subo, bagaimana aku dapat memberikan obat-obat ini kepadanya?"
Yelu Kim tersenyum lebar.
"Anak bodoh, apa sukarnya itu? Ingat, aku ini menjadi pemimpin mereka. Apa sukarnya bagimu untuk mengunjungi pemuda itu di perkemahan orang-orang Khin? Nah, kau bawa ini dan perlihatkan kalau ada yang menghalangi kunjunganmu,. Katakan bahwa aku yang mengutusmu untuk mengobati pemuda itu."
Sui Cin menerima sebuah lambang berupa seekor harimau terbang dari nenek itu. Ia memandang kagum. Ia sudah tahu bahwa gurunya adalah pemimpin Perkumpulan Harimau Terbang yang ditakuti oleh para suku utara, akan tetapi baru sekarang ia melihat lambang perkumpulan itu. Ia mengantongi obat-obat dan lambang itu, lalu memberi hormat kepada Yelu Kim.
"Terima kasih atas bantuan subo sehingga aku mendapatkan kesempatan untuk membalas budi Siangkoan Ci Kang dan menebus kesalahanku telah melukainya."
"Berangkatlah sekarang. Perkemahan orang-orang Khin berada di ujung barat dan malam ini semua kepala suku berkumpul untuk mengadakan rapat seperti yang kuperintahkan tadi. Engkau mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk mengobati dan merawatnya tanpa banyak gangguan."
Tepat seperti yang dikatakan nenek itu, ketika Sui Cin berkunjung ke perkemahan suku Khin, begitu ia dikenal sebagai murid nenek Yelu Kim yang dapat menunjukkan lambang Harimau Terbang, ia di diterima dengan gembira dan penuh hormat. Apalagi ketika ia menyatakan maksud kunjungannya adalah untuk mengobati Siangkoan Ci Kang, Moghu Khali sendiri menyambutnya dan mengantarkannya ke dalam kamar Ci Kang.
Keadaan Ci Kang amat menyedihkan. Pemuda itu rebah terlentang di atas sebuah pembaringan, hanya memakai sepatu dan celananya saja. Tubuh atasnya telanjang, tertutup selimut sampai ke dada dan wajahnya agak pucat, kedua matanya terpejam dan dia masih pingsan.
"Kami telah mencabuti beberapa batang jarum halus merah dari dadanya, akan tetapi ahli pengobatan kami tidak sanggup menyadarkannya. Agaknya jarum-jarum itu mengandung racun yang jahat. Bagaimana nona akan dapat menyembuhkannya?" tanya kepala suku itu dengan khawatir.
Sui Cin tersenyum.
"Jangan khawatir, aku mempunyai obat penawarnya."
Kepala Suku Khin itu memandang tajam, kemudian dia bertanya dengan ragu-ragu.
"Jadi... nona ini... adalah penunggang harimau yang telah mengalahkannya tadi?"
Sui Cin mengangguk, hanya tersenyum dan mengangguk.
"Ahhh...!"
Seru Moghu Khali dengan takjub. Dia seorang yang amat menghargai kegagahan dan sama sekali ia tidak mengira bahwa penunggang harimau yang telah mengalahkan jagoannya itu adalah gadis cantik jelita yang kelihatan lemah ini.
"Sungguh beruntung aku dapat berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi seperti nona," katanya sambil memberi hormat.
Sui Cin merasa suka kepada kepala suku yang tinggi besar dan nampak kuat sekali akan tetapi yang bersikap jujur dan ramah ini.
"Sekarang harap aku diberi kebebasan untuk mengobatinya."
"Baiklah, silakan nona,"
Moghu Khali lalu memanggil seorang pelayan wanita untuk membantu Sui Cin. Kemudian dia meninggalkan kamar itu. Kepada pelayan yang biarpun tidak lancar dapat pula berbahasa Han itu Sui Cin minta disediakan arak yang baik, juga minta disediakan alat memasak obat di dalam kamar itu.
Setelah semua ini tersedia, iapun menyuruh pelayan wanita meninggalkannya dengan Ci Kang berdua saja. Ia lalu menutupkan daun pintu kamar, dan membuka jendela kamar lebar-lebar agar hawa di dalam kamar menjadi segar.
Ia memeriksa luka-luka kecil di dada Ci Kang. Jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah tanpa disadarinya ia melihat dan meraba dada yang bidang dan kokoh kuat itu. Belum pernah ia berada sedekat ini dengan pria, apalagi meraba dada yang tak berbaju. Ia melihat bekas-bekas tusukan jarumnya, kemerahan dan agak menghitam.
Dikeluarkannya obat bubuk pemberian nenek Yelu Kim, dicampurnya obat itu dengan secawan arak. Dengan hati-hati ia lalu menggunakan tangan kanan untuk membuka rahang pemuda itu dan setelah mulut terbuka, ia menuangkan arak obat itu perlahan-lahan, kedalam mulut. Untung baginya bahwa pemuda itu agaknya hanya setengah pingsan saja, karena buktinya dia dapat menelan arak yang memasuki kerongkongannya.
Setelah semua arak obat dalam cawan pindah ke dalam perut Ci Kang, Sui Cin lalu menyingkap selimut yang menutupi dada, dan menempelkan kedua telapak tangannya ke atas luka-luka kecil merah itu dan mengerahkan sin-kang untuk menyedot racun.
Lambat laun ia merasa betapa kulit dada itu panas sekali, makin lama semakin panas sehingga ia hampir tidak tahan. Akan tetapi Sui Cin bertahan terus mengerahkan sin-kangya sampai akhirnya ia merasa betapa telapak tangannya yang menempel pada dada Ci Kang itu menjadi basah dan ketika ia melihatnya, ternyata telapak tangannya berdarah.
Kiranya darah telah dapat disedot dari luka-luka kecil itu dan ia tahu bahwa ini bukan hanya karena tenaga sin-kangnya, melainkan terutama sekali karena manjurnya obat penawar racun yang mulai bekerja dengan cepatnya.
"Uhhh...!"
Ci Kang mengeluh dan menggerakkan bibirnya. Bulu matanya bergerak-gerak dan dia mulai sadar. Sui Cin hanya memandang tanpa melepaskan kedua telapak tangannya dari dada pemuda itu.
Sepasang mata itu kini perlahan-lahan terbuka dan Ci Kang memandang nanar ke atas. Akan tetapi kesadarannya pulih kembali dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah cantik yang berada tidak jauh dari mukanya, dia terbelalak, mengejap-mengejapkan matanya seperti ingin memastikan apakah dia tidak sedang bermimpi.
Apalagi ketika dia teringat akan wajah cantik itu. Inilah puteri Pendekar Sadis itu, yang pernah ditolongnya, juga pernah menolongnya, dan pernah pula mereka berdua saling bertanding karena memang keduanya berdiri di dua pihak yang saling bertentangan. Gadis gagah perkasa yang amat menarik hatinya itu!
Dan kini gadis itu meletakkan kedua tangan ke atas dadanya, dan dari getaran yang keluar dari telapak tangan itu diapun maklum bahwa gadis ini sedang berusaha untuk menyembuhkannya! Dan diapun teringat bahwa dia roboh karena menjadi korban serangan jarum halus yang harum dan merah.
"Kau... kau nona Ceng... kau... mengobati aku...?" tanyanya dengan suara berbisik dan dia merasa betapa tubuhnya lemah sekali.
"Diamlah, jangan bergerak dulu. Lihat, racun itu sudah tersedot keluar dari tubuhmu!"
Sui Cin melepaskan kedua tangannya dan Ci Kang melihat betapa ada darah merah kehitaman pada kedua telapak tangan yang tadi menempel di tubuhnya, yang dia rasakan amat halus dan hangat. Sui Cin mencuci kedua tangannya. Obat dari nenek itu telah bekerja dan ia maklum bahwa obat itu memang mujarab sekali.
"Tapi... mengapa... bagaimana engkau dapat berada disini, nona? Dan mengapa engkau bersusah payah mengobati orang macam aku?"
Ada rasa haru menyelinap di dalam hati Ci Kang. Sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa seorang nona seperti Ceng Sui Cin ini mau mengobatinya seperti itu.
"Ci Kang, apa salahnya kalau aku mengobatimu? Bukankah engkau pernah pula menolongku dahulu? Sudah sewajarnya kalau sekarang aku mencoba untuk menyembuhkan dan aku gembira sekali telah berhasil. Racun jarum itu berbahaya sekali dan tanpa obat penawar yang tepat, bisa berbahaya bagi keselamatan nyawamu."
"Engkau sungguh lihai, nona, di samping ilmu silat yang tinggi, juga masih memiliki keahlian mengobati luka beracun."
"Ah, tak perlu memuji," kata Sui Cin sambil duduk kembali di tepi pembaringan dan menggunakan kain bersih untuk membersihkan darah dari dada Ci Kang. "Aku dapat mengobati karena tentu saja aku mengenal bekerjanya jarum-jarumku sendiri."
Pemuda itu terkejut.
"Kau...? Jadi engkaukah penunggang harimau itu, nona? Ahh, sungguh tak kusangka. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat berada disini, bahkan menjadi jagoan nenek Yelu Kim? Sungguh membingungkan!"
"Aku sendiripun bingung melihat engkau menjadi jagoan suku Khin. Aku pernah diselamatkan nenek Yelu Kim dan aku membalas budinya dengan membantunya di dalam perebutan kedudukan pimpinan itu. Ketika melihat engkau juga menjadi jagoan, aku terheran-heran. Kemudian engkau keluar sebagai pemenang seperti yang sudah kuduga dan aku terpaksa mentaati permintaan nenek Yelu Kim untuk maju dan menghadapimu."
"Dan aku roboh. Engkau sungguh lihai sekali, nona."
"Sudahlah, pujianmu membuat aku malu. Kalau tidak mengandalkan jarum-jarum itu sebagai senjata yang curang, tentu aku sudah kalah. Engkaulah yang lihai sekali, Ci Kang. Akan tetapi bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi jagoan yang diajukan oleh orang-orang Khin? Amat lucu dan aneh keadaan kita berdua ini, tiba-tiba saja berada di antara suku-suku bangsa liar di utara dan menjadi jagoan-jagoan mereka."
Ci Kang menarik napas panjang, agaknya tidak merasa lucu seperti Sui Cin melainkan merasa berduka.
"Ah, semua ini adalah gara-gara ayahku. Kalau tidak karena ayahku, tidak mungkin aku sampai terlibat dalam urusan para suku utara ini, bahkan tidak mungkin aku bisa berkeliaran sampai ke utara ini." Suara Ci Kang mengandung penuh penyesalan.
"Ah, kenapa engkau menyalahkan ayahmu?" Sui Cin bertanya heran.
Kembali pemuda itu menarik napas panjang, diam-diam merasa heran mengapa tubuhnya menjadi semakin lemas saja.
"Ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin, lebih celaka lagi dikenal sebagai Iblis Buta. Ayahku dikenal pula sebagai seorang datuk sesat. Sejak dahulu aku tidak setuju dengan cara hidup ayah dan selalu menentangnya. Akan tetapi hal itu malah membuat ayah marah dan menyebabkan aku terpaksa melarikan diri dari ayah. Aku mencoba untuk mencuci nama ayahku dengan bergabung kepada para pendekar, menentang kejahatan. Akan tetapi, karena nama ayah sudah begitu tersohor busuk, aku malah dimusuhi ketika tiba di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menghadiri pertemuan para pendekar. Dengan rasa malu dan duka, aku berkeliaran sampai disini dan bersahabat dengan kepala suku Khin sehingga akhirnya aku menjadi jagoannya. Bukankah menyedihkan sekali keadaanku? Sayang jarum-jarummu masih terhalang oleh baju kulit harimauku sehingga tidak masuk lebih dalam. Kalau kuingat keadaanku, lebih baik kalau jarum-jarum itu menewaskanku saja. Mati di tanganmu adalah mati terhormat karena engkau adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa, puteri Pendekar Sadis...!"
"Sudahlah, Ci Kang. Tak perlu menyesali diri dan tidak ada baiknya pula mencela ayah kandung sendiri yang sudah tidak ada, apalagi bagaimanapun juga ayahmu meninggal dengan gagah perkasa, berani menentang Raja dan Ratu Iblis. Sayang bahwa dia meninggal karena kecurangan Raja Iblis..."
"Apa...?" Sepasang mata Ci Kang terbelalak. "Kematian ayah karena kecurangan Raja Iblis? Apa maksudmu?"
Baru Sui Cin mengerti bahwa pemuda ini belum tahu bagaimana ayahnya meninggal. Ia memandang dengan hati kasihan. Walaupun pemuda ini putera datuk sesat, akan tetapi telah meninggalkan kesan baik dalam hatinya dalam pertemuan yang pertama, ketika pemuda ini menyelamatkannya dari bencana perkosaan. Dan apa yang diceritakan Ci Kang tadi bahwa dia selalu menentang ayahnya sampai dimusuhi, membuat hatinya merasa semakin kasihan dan suka.
"Aku melihat sendiri peristiwa itu, Ci Kang. Dalam pertemuan para datuk sesat itu, Raja dan Ratu Iblis hendak menguasai mereka, menjadi pimpinan dan hendak mengajak para datuk untuk memberontak. Akan tetapi ayahmu menentang dan dia lalu diserang oleh Ratu Iblis. Mereka berkelahi dengan hebat dan nyaris Ratu Iblis tidak mampu menandingi ayahmu, akan tetapi diam-diam ia dibantu Raja Iblis yang curang dan ayahmu tewas."
"Ayah!" Ci Kang bangkit duduk, wajahnya berseri, tangannya dikepal. "Akhirnya! Akhirnya engkau juga menentang mereka dan bahkan mengorbankan nyawa dalam menentang mereka. Aku bangga, ayah, aku bangga...!"
Pemuda itu tiba-tiba memejamkan kedua matanya dan terjengkang ke belakang, terjatuh rebah lagi dan mukanya kini menjadi pucat sekali, kedua tangannya menekan-nekan pelipis kepala.
"Eh, Ci Kang, engkau kenapakah...?"
Sui Cin bertanya kaget setelah tadi terheran-heran melihat sikap Ci Kang bergembira mendengar ayahnya tewas oleh kecurangan Raja Iblis. Ia memegang tangan pemuda itu dengan khawatir karena wajah pemuda yang tadinya sudah nampak segar itu kini menjadi layu kembali.
"Tidak tahu... tubuhku lemas sekali... tenagaku hilang dan kepalaku... pusing..."
Tiba-tiba Sui Cin teringat akan pesan nenek Yelu Kim yang sudah memberinya obat berupa akar-akaran yang harus dimasak dengan nasi untuk menyembuhkan Ci Kang kalau tubuhnya terasa lemah dan lemas. Tentu akibatnya atau pengaruh obat penawar tadi, pikirnya.
"Jangan khawatir, Ci Kang. Kau rebah saja yang enak, aku akan membuatkan obat untuk menyembuhkanmu dan memulihkan tenagamu."
Ia memasang bantal di punggung dan kepala Ci Kang sehingga pemuda itu dapat duduk setengah rebahan dengan enak. Lalu sibuklah gadis itu memasak akar dicampur nasi dan masakan yang sudah disediakan oleh pelayan tadi. Sebentar saja selesailah pekerjaannya dan ia membawa mangkok nasi berikut akar dan sayuran itu ke pembaringan. Dengan sepasang sumpit, diaduknya nasi itu agar agak dingin. Ci Kang masih rebah dengan kedua mata terpejam itu.
"Ci Kang, obatnya sudah masak. Mari kau makan ini, tentu engkau akan sembuh sama sekali." katanya.
Ci Kang membuka mata, nampak lemas sekali dan ketika dia mengulur tangan menerima mangkok itu, hampir saja mangkok itu terlepas dan tumpah karena tangannya juga gemetar. Melihat ini, Sui Cin cepat mengambil kembali mangkok itu.
"Ah, engkau benar-benar kehilangan tenagamu. Biarlah kubantu kau, Ci Kang." Sui Cin lalu menggunakan sumpit untuk menyuapkan makanan ke mulut pemuda itu.
"Sungguh engkau membuat aku merasa malu, nona. Perawatanmu seperti ini... aku... aku berterima kasih sekali..." kata Ci Kang yang merasa sungkan.
"Aihhh, engkau sedang sakit, sudahlah jangan banyak memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Makanlah ini." kata Sui Cin dan mulai menyuapkan nasi berikut obat dan sayur-mayur itu ke mulut Ci Kang yang menerimanya dengan hati penuh rasa terima kasih.
Ci Kang sedang menderita sakit sedangkan Sui Cin sedang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pemuda itu, maka mereka berdua yang berilmu tinggi dan biasanya amat waspada itu tidak mendengar sama sekali bahwa di luar jendela terdapat sesosok bayangan orang yang baru tiba dan kini bayangan itu mengintai dari balik jendela.
Bayangan orang itu adalah Cia Hui Song dan setelah melihat keadaan di dalam kamar itu, Hui Song mengerutkan alisnya dan matanya mengeluarkan sinar marah! Hati siapa yang tidak akan marah melihat gadis yang sudah lama menjatuhkan hatinya itu, gadis pujaan hati yang diam-diam amat dicintanya, kini duduk di tepi pembaringan dan menyuapkan makanan kepada Ci Kang!
Begitu mesra nampaknya. Hui Song bukan seorang pemuda yang sembrono dan singkat pandangan. Dia tahu bahwa Ci Kang tadi roboh terluka dan agaknya pemuda itu kini menderita sakit cukup berat, maka kalau dia disuapi makanan, hal itu tidak membuatnya heran atau ribut-ribut.
Akan tetapi, justeru yang menyuapkan makanan adalah Sui Cin! Apa artinya ini! Bukankah tadi yang merobohkan Ci Kang adalah wanita penunggang harimau yang dia yakin adalah Sui Cin juga. Mending kalau Sui Cin merawat orang lain, akan tetapi yang dirawat ini adalah Ci Kang, tokoh sesat muda yang lihai dan berbahaya lagi jahat itu! Hati siapa tidak akan panas?
Hati Sui Cin merasa lega dan girang ketika melihat perubahan pada wajah Ci Kang. Kini warna pucat itu berangsur-angsur hilang dari wajah yang ganteng itu, terganti warna kemerahan. Akan tetapi, makin banyak pemuda itu menelan nasi dan obat, mukanya menjadi semakin merah dan pandang matanya yang juga kemerahan itu kini menatap wajah Sui Cin dengan aneh sekali, seolah-olah baru sekarang dia mengenal gadis itu!
Sui Cin masih terus menyuapkan makanan, diam-diam merasa heran dan juga agak khawatir. Agaknya kesehatan pemuda ini mulai pulih, pikirnya, akan tetapi kenapa mukanya menjadi begitu merah, bahkan kedua matanya juga agak kemerahan dan kini napas pemuda itu mulai terengah-engah? Dan yang amat menggelisahkan hatinya adalah pandang mata Ci Kang itu.
Pandang mata itu seperti merayap-rayap dan seolah-olah terasa olehnya betapa pandang mata itu menyentuh dan meraba-raba di seluruh mukanya, matanya, telinganya, pipinya, bibirnya bahkan lehernya. Diam-diam ia bergidik dan jantungnya berdebar keras dan tegang.
Hui Song yang mengintai dari luar jendela harus menekan perasaannya agar kemarahannya tidak sampai membuat dia berbuat sesuatu. Dia tiba di tempat ini bukan hanya kebetulan saja.
Rombongan suku bangsa Mancu Timur yang dipimpin oleh Lam-nong telah diam-diam pergi meninggalkan para suku lain, bersama suku-suku lain yang juga tidak setuju kalau pimpinan dipegang oleh Yelu Kim akan tetapi tidak berani menentang dengan terang-terangan. Lam-nong mengajak Hui Song pergi, akan tetapi Hui Song tidak mau dan mereka saling berpisah pada hari itu juga.
Hui Song masih mempunyai tugas lain, yaitu pertama menyelidiki Yelu Kim sehubungan dengan Perkumpulan Harimau Terbang yang diduganya telah mencuri dan melarikan harta pusaka di Guha Iblis Neraka. Di samping tugas ini, juga dia ingin berjumpa dengan Sui Cin. Dia harus bersikap hati-hati dan sebelum dia bertindak terhadap nenek Yelu Kim, dia harus lebih dahulu menemui Sui Cin dan mendapatkan keterangan mengapa gadis itu membantu nenek Yelu Kim.
Akan tetapi, dia tidak berhasil menemukan Sui Cin ketika pada malam hari itu dia melakukan penyelidikan. Akhirnya dia melakukan penyelidikan di perkemahan suku bangsa Khin untuk mencari keterangan tentang Siangkoan Ci Kang dan bagaimana putera datuk sesat ini dapat menjadi jagoan orang-orang Khin. Hal ini sehubungan dengan tugas yang diberikan oleh gurunya kepadanya, yaitu menyelidiki keadaan para suku bangsa yang agaknya hendak bergerak pula melakukan pemberontakan ke selatan.
Dan tanpa disengaja dia menjenguk ke dalam kamar itu dan melihat Sui Cin sedang merawat Ci Kang yang sakit, sedang menyuapkan makanan kepada putera Iblis Buta itu dengan sikap demikian mesra yang membuat perutnya terasa panas.
Sementara itu, keadaan Ci Kang semakin aneh. Pemuda ini merasa gelisah bukan main dan napasnya semakin memburu, matanya melotot menatap wajah Sui Cin tanpa berkedip.
Melihat ini, Sui Cin menjadi gelisah sekali. Nasi itu sudah hampir habis dan ia meletakkan mangkok di atas pembaringan. Lalu dirabanya dahi Ci Kang dengan telapak tangan kirinya. Terkejutlah ia merasa betapa dahi itu panas sekali dan kulit tubuh pemuda itu dari kepala sampai ke dada nampak merah!
Ci Kang sendiri sejak tadi gelisah bukan main. Setelah perutnya terisi nasi dan obat, tenaganya pulih kembali dengan cepat, akan tetapi bersama kembalinya tenaganya, datang pula suatu perasaan yang amat aneh. Tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup seperti akan pecah, dan timbul gairah rangsangan yang amat kuat, makin lama makin kuat, yang membuat Sui Cin nampak semakin jelita menggairahkan, yang mendatangkan dorongan hasrat dalam hatinya untuk merangkul dan bemesraan dengan Sui Cin.
Namun, dengan kekuatan batinnya Ci Kang mempertahankan diri, tidak mau tunduk terhadap rangsangan gairah yang mendorongnya itu, rangsangan berahi yang tiba-tiba saja menyerangnya secara hebat.
Ketika Sui Cin meraba dahinya, gadis itu seolah-olah merupakan minyak bakar disiramkan kepada nafsu berahi yang sedang bernyala sehingga menjadi semakin berkobar. Dan Ci Kang yang sejak tadi mempertahankan diri, kini tidak kuat lagi.
"Nona...!"
Serunya dan tiba-tiba saja kedua lengannya bergerak merangkul, gadis itu sudah dipeluknya dengan ketat dan dia sudah menciumi muka Sui Cin dengan penuh nafsu berahi. Karena dirinya dipengaruhi nafsu maka belaian dan ciuman Ci Kang kasar sekali.
Sejenak Sui Cin terbelalak dan tak mampu bergerak saking kagetnya, akan tetapi ciuman-ciuman yang panas pada pipinya, bibirnya, lehernya, membuat ia tiba-tiba menjerit dan meronta untuk melepaskan dirinya. Akan tetapi pelukan Ci Kang itu kuat sekali dan terjadilah pergulatan.
Karena keduanya menggunakan tenaga terdengar suara "brettt..." dan kain baju bagian leher dan sebagian dada yang menutupi tubuh Sui Cin terobek! Melihat kulit leher dan dada bagian atas ini, Ci Kang seperti menjadi buas dan dia menciumi bagian itu seperti orang gila.
"Lepaskan...! Ah, lepaskan...!"
Sui Cin meronta sekuat tenaga dan pada saat itu terdengar suara keras disusul jebolnya tirai dan papan di atas jendela ketika Hui Song menerjang masuk. Sui Cin telah berhasil melepaskan dirinya dari pelukan Ci Kang dan ia meloncat turun dari pembaringan dan menjauhi pemuda itu.
Ci Kang sendiri terkejut mendengar suara gaduh itu dan diapun meloncat turun dan berdiri dalam keadaan siap siaga. Pada saat itu, Hui Song meloncat dan menyerbu ke arah Ci Kang, menggerakkan sebatang tongkat kayu yang disambarnya dari luar tadi, menyerang Ci Kang. Tongkat kayu itu menghantam ke arah kepala Ci Kang dan terdengar suara Hui Song memaki.
"Jahanam busuk, kuhancurkan kepalamu!"
Melihat datangnya serangan potongan kayu sebesar lengan yang menyambar kepalanya dengan dahsyat itu, Ci Kang cepat melemparkan selimut yang masih menempel di tubuhnya, kemudian dia mengelak sambil melompat ke belakang.
Hui Song yang sudah marah sekali terus menerjang lagi dengan hebatnya. Ketika dia melihat Sui Cin merawat Ci Kang yang sakit, biarpun hatinya terasa panas, namun dia masih mampu mengendalikan dirinya. Ketika dia melihat Ci Kang tiba-tiba bangkit duduk dan merangkul Sui Cin, menciumi gadis itu dan melihat Sui Cin meronta-ronta, darah dalam tubuh Hui Song mendidih.
Dia menyambar sepotong kayu dari dekatnya dan menerjang ke dalam kamar, langsung saja menyerang Ci Kang tanpa bertanya-tanya lagi. Apalagi yang perlu ditanyakan kalau sudah jelas betapa Ci Kang berbuat kurang ajar terhadap Sui Cin dan gadis itu meronta dan menolak? Agaknya Ci Kang hendak memperkosa Sui Cin dan untuk perbuatan itu, Ci Kang harus dibunuhnya!
"Hyaattt...!"
Kembali tongkat itu meluncur dan menyambar ke arah kepala Ci Kang yang masih berdiri kaget dan bingung. Pemuda ini masih bingung karena semua peristiwa yang terjadi ini sungguh berada di luar kemampuannya untuk menguasainya. Tadipun ketika dia merangkul dan menciumi Sui Cin, hal itu dilakukan dalam keadaan perang di dalam batinnya, sepihak didorong oleh nafsu berahi yang berkobar, di pihak lain batinnya menentang keras.
Ketika Hui Song muncul, dia merasa terkejut, malu dan bingung, tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Betapapun juga, tenaganya sudah pulih kembali dan melihat sambaran tongkat, maklumlah dia bahwa Hui Song yang marah itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dengan pengerahan tenaga sin-kang dan dia tahu betapa bahayanya kalau sampai kepalanya terkena hantaman kayu yang mengandung tenaga sin-kang amat kuatnya itu.
"Ihhh...!"
Ci Kang terpaksa menggerakkan lengan kanannya untuk menangkis, karena mengelak dari sambaran tongkat seperti itu di ruangan yang sempit ini sungguh berbahaya sekali.
"Dukkk...!"
Keras sekali pertemuan antara tongkat dan lengan tangan itu. Ci Kang merasa betapa lengannya tergetar hebat, akan tetapi tongkat kayu itupun pecah berantakan! Hui Song membuang sisa tongkat itu yang tadi hanya dipergunakan karena dia sudah hampir lupa diri saking marahnya. Padahal, menggunakan kedua tangannya bahkan lebih dahsyat dan lebih berbahaya daripada tongkat yang mati itu.
Ci Kang yang merasa bahwa telah melakukan hal yang amat memalukan, merasa bahwa dia bersalah, tidak berniat melawan, dan dia bahkan merasa malu sekali kepada Sui Cin. Dilihatnya Sui Cin berdiri di sudut kamar itu dengan mata dan muka pucat, kedua tangan berusaha menyatukan lagi baju yang terobek.
Ci Kang merasa jantung seperti ditusuk melihat baju yang robek itu, suatu bukti bahwa hal tadi memang telah terjadi, bahwa dia tadi telah melakukan sesuatu yang amat memalukan. Bahkan sekarangpun, darahnya tersirap dan mukanya terasa panas melihat kecantikan Sui Cin. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya menerangkan segalanya, tidak ada gunanya membela diri.
"Nona, maafkan aku...!" katanya dengan suara gemetar dan tubuhnya melayang keluar dari dalam kamar itu.
"Jahanam busuk, hendak lari kemana kau? Dosamu harus kau tebus dengan nyawa!"
Hui Song membentak dan melakukan pengejaran dengan loncatan jauh keluar dari dalam kamar itu.
Sui Cin yang sejak tadi tercengang dan masih terpengaruh oleh peristiwa yang amat mengejutkan dan membingungkan hatinya itu, kini baru tersadar dan iapun turut pula meloncat dan melakukan pengejaran, tangan kirinya memegang dan merapatkan bagian baju yang terobek tadi.
Akan tetapi ternyata oleh mereka ketika mereka tiba di luar, Ci Kang sudah tidak lagi nampak bayangannya. Pemuda itu masih dalam keadaan bingung dan menyadari kesalahannya itu, agaknya tidak mau melayani mereka, bahkan merasa malu untuk bertemu muka dengan Sui Cin, maka dengan cepat sekali dia telah melarikan diri menghilang ke dalam kegelapan malam yang mulai menyelimut tempat itu.
"Jangan khawatir, Ci Kang. Kau rebah saja yang enak, aku akan membuatkan obat untuk menyembuhkanmu dan memulihkan tenagamu."
Ia memasang bantal di punggung dan kepala Ci Kang sehingga pemuda itu dapat duduk setengah rebahan dengan enak. Lalu sibuklah gadis itu memasak akar dicampur nasi dan masakan yang sudah disediakan oleh pelayan tadi. Sebentar saja selesailah pekerjaannya dan ia membawa mangkok nasi berikut akar dan sayuran itu ke pembaringan. Dengan sepasang sumpit, diaduknya nasi itu agar agak dingin. Ci Kang masih rebah dengan kedua mata terpejam itu.
"Ci Kang, obatnya sudah masak. Mari kau makan ini, tentu engkau akan sembuh sama sekali." katanya.
Ci Kang membuka mata, nampak lemas sekali dan ketika dia mengulur tangan menerima mangkok itu, hampir saja mangkok itu terlepas dan tumpah karena tangannya juga gemetar. Melihat ini, Sui Cin cepat mengambil kembali mangkok itu.
"Ah, engkau benar-benar kehilangan tenagamu. Biarlah kubantu kau, Ci Kang." Sui Cin lalu menggunakan sumpit untuk menyuapkan makanan ke mulut pemuda itu.
"Sungguh engkau membuat aku merasa malu, nona. Perawatanmu seperti ini... aku... aku berterima kasih sekali..." kata Ci Kang yang merasa sungkan.
"Aihhh, engkau sedang sakit, sudahlah jangan banyak memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Makanlah ini." kata Sui Cin dan mulai menyuapkan nasi berikut obat dan sayur-mayur itu ke mulut Ci Kang yang menerimanya dengan hati penuh rasa terima kasih.
Ci Kang sedang menderita sakit sedangkan Sui Cin sedang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pemuda itu, maka mereka berdua yang berilmu tinggi dan biasanya amat waspada itu tidak mendengar sama sekali bahwa di luar jendela terdapat sesosok bayangan orang yang baru tiba dan kini bayangan itu mengintai dari balik jendela.
Bayangan orang itu adalah Cia Hui Song dan setelah melihat keadaan di dalam kamar itu, Hui Song mengerutkan alisnya dan matanya mengeluarkan sinar marah! Hati siapa yang tidak akan marah melihat gadis yang sudah lama menjatuhkan hatinya itu, gadis pujaan hati yang diam-diam amat dicintanya, kini duduk di tepi pembaringan dan menyuapkan makanan kepada Ci Kang!
Begitu mesra nampaknya. Hui Song bukan seorang pemuda yang sembrono dan singkat pandangan. Dia tahu bahwa Ci Kang tadi roboh terluka dan agaknya pemuda itu kini menderita sakit cukup berat, maka kalau dia disuapi makanan, hal itu tidak membuatnya heran atau ribut-ribut.
Akan tetapi, justeru yang menyuapkan makanan adalah Sui Cin! Apa artinya ini! Bukankah tadi yang merobohkan Ci Kang adalah wanita penunggang harimau yang dia yakin adalah Sui Cin juga. Mending kalau Sui Cin merawat orang lain, akan tetapi yang dirawat ini adalah Ci Kang, tokoh sesat muda yang lihai dan berbahaya lagi jahat itu! Hati siapa tidak akan panas?
Hati Sui Cin merasa lega dan girang ketika melihat perubahan pada wajah Ci Kang. Kini warna pucat itu berangsur-angsur hilang dari wajah yang ganteng itu, terganti warna kemerahan. Akan tetapi, makin banyak pemuda itu menelan nasi dan obat, mukanya menjadi semakin merah dan pandang matanya yang juga kemerahan itu kini menatap wajah Sui Cin dengan aneh sekali, seolah-olah baru sekarang dia mengenal gadis itu!
Sui Cin masih terus menyuapkan makanan, diam-diam merasa heran dan juga agak khawatir. Agaknya kesehatan pemuda ini mulai pulih, pikirnya, akan tetapi kenapa mukanya menjadi begitu merah, bahkan kedua matanya juga agak kemerahan dan kini napas pemuda itu mulai terengah-engah? Dan yang amat menggelisahkan hatinya adalah pandang mata Ci Kang itu.
Pandang mata itu seperti merayap-rayap dan seolah-olah terasa olehnya betapa pandang mata itu menyentuh dan meraba-raba di seluruh mukanya, matanya, telinganya, pipinya, bibirnya bahkan lehernya. Diam-diam ia bergidik dan jantungnya berdebar keras dan tegang.
Hui Song yang mengintai dari luar jendela harus menekan perasaannya agar kemarahannya tidak sampai membuat dia berbuat sesuatu. Dia tiba di tempat ini bukan hanya kebetulan saja.
Rombongan suku bangsa Mancu Timur yang dipimpin oleh Lam-nong telah diam-diam pergi meninggalkan para suku lain, bersama suku-suku lain yang juga tidak setuju kalau pimpinan dipegang oleh Yelu Kim akan tetapi tidak berani menentang dengan terang-terangan. Lam-nong mengajak Hui Song pergi, akan tetapi Hui Song tidak mau dan mereka saling berpisah pada hari itu juga.
Hui Song masih mempunyai tugas lain, yaitu pertama menyelidiki Yelu Kim sehubungan dengan Perkumpulan Harimau Terbang yang diduganya telah mencuri dan melarikan harta pusaka di Guha Iblis Neraka. Di samping tugas ini, juga dia ingin berjumpa dengan Sui Cin. Dia harus bersikap hati-hati dan sebelum dia bertindak terhadap nenek Yelu Kim, dia harus lebih dahulu menemui Sui Cin dan mendapatkan keterangan mengapa gadis itu membantu nenek Yelu Kim.
Akan tetapi, dia tidak berhasil menemukan Sui Cin ketika pada malam hari itu dia melakukan penyelidikan. Akhirnya dia melakukan penyelidikan di perkemahan suku bangsa Khin untuk mencari keterangan tentang Siangkoan Ci Kang dan bagaimana putera datuk sesat ini dapat menjadi jagoan orang-orang Khin. Hal ini sehubungan dengan tugas yang diberikan oleh gurunya kepadanya, yaitu menyelidiki keadaan para suku bangsa yang agaknya hendak bergerak pula melakukan pemberontakan ke selatan.
Dan tanpa disengaja dia menjenguk ke dalam kamar itu dan melihat Sui Cin sedang merawat Ci Kang yang sakit, sedang menyuapkan makanan kepada putera Iblis Buta itu dengan sikap demikian mesra yang membuat perutnya terasa panas.
Sementara itu, keadaan Ci Kang semakin aneh. Pemuda ini merasa gelisah bukan main dan napasnya semakin memburu, matanya melotot menatap wajah Sui Cin tanpa berkedip.
Melihat ini, Sui Cin menjadi gelisah sekali. Nasi itu sudah hampir habis dan ia meletakkan mangkok di atas pembaringan. Lalu dirabanya dahi Ci Kang dengan telapak tangan kirinya. Terkejutlah ia merasa betapa dahi itu panas sekali dan kulit tubuh pemuda itu dari kepala sampai ke dada nampak merah!
Ci Kang sendiri sejak tadi gelisah bukan main. Setelah perutnya terisi nasi dan obat, tenaganya pulih kembali dengan cepat, akan tetapi bersama kembalinya tenaganya, datang pula suatu perasaan yang amat aneh. Tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup seperti akan pecah, dan timbul gairah rangsangan yang amat kuat, makin lama makin kuat, yang membuat Sui Cin nampak semakin jelita menggairahkan, yang mendatangkan dorongan hasrat dalam hatinya untuk merangkul dan bemesraan dengan Sui Cin.
Namun, dengan kekuatan batinnya Ci Kang mempertahankan diri, tidak mau tunduk terhadap rangsangan gairah yang mendorongnya itu, rangsangan berahi yang tiba-tiba saja menyerangnya secara hebat.
Ketika Sui Cin meraba dahinya, gadis itu seolah-olah merupakan minyak bakar disiramkan kepada nafsu berahi yang sedang bernyala sehingga menjadi semakin berkobar. Dan Ci Kang yang sejak tadi mempertahankan diri, kini tidak kuat lagi.
"Nona...!"
Serunya dan tiba-tiba saja kedua lengannya bergerak merangkul, gadis itu sudah dipeluknya dengan ketat dan dia sudah menciumi muka Sui Cin dengan penuh nafsu berahi. Karena dirinya dipengaruhi nafsu maka belaian dan ciuman Ci Kang kasar sekali.
Sejenak Sui Cin terbelalak dan tak mampu bergerak saking kagetnya, akan tetapi ciuman-ciuman yang panas pada pipinya, bibirnya, lehernya, membuat ia tiba-tiba menjerit dan meronta untuk melepaskan dirinya. Akan tetapi pelukan Ci Kang itu kuat sekali dan terjadilah pergulatan.
Karena keduanya menggunakan tenaga terdengar suara "brettt..." dan kain baju bagian leher dan sebagian dada yang menutupi tubuh Sui Cin terobek! Melihat kulit leher dan dada bagian atas ini, Ci Kang seperti menjadi buas dan dia menciumi bagian itu seperti orang gila.
"Lepaskan...! Ah, lepaskan...!"
Sui Cin meronta sekuat tenaga dan pada saat itu terdengar suara keras disusul jebolnya tirai dan papan di atas jendela ketika Hui Song menerjang masuk. Sui Cin telah berhasil melepaskan dirinya dari pelukan Ci Kang dan ia meloncat turun dari pembaringan dan menjauhi pemuda itu.
Ci Kang sendiri terkejut mendengar suara gaduh itu dan diapun meloncat turun dan berdiri dalam keadaan siap siaga. Pada saat itu, Hui Song meloncat dan menyerbu ke arah Ci Kang, menggerakkan sebatang tongkat kayu yang disambarnya dari luar tadi, menyerang Ci Kang. Tongkat kayu itu menghantam ke arah kepala Ci Kang dan terdengar suara Hui Song memaki.
"Jahanam busuk, kuhancurkan kepalamu!"
Melihat datangnya serangan potongan kayu sebesar lengan yang menyambar kepalanya dengan dahsyat itu, Ci Kang cepat melemparkan selimut yang masih menempel di tubuhnya, kemudian dia mengelak sambil melompat ke belakang.
Hui Song yang sudah marah sekali terus menerjang lagi dengan hebatnya. Ketika dia melihat Sui Cin merawat Ci Kang yang sakit, biarpun hatinya terasa panas, namun dia masih mampu mengendalikan dirinya. Ketika dia melihat Ci Kang tiba-tiba bangkit duduk dan merangkul Sui Cin, menciumi gadis itu dan melihat Sui Cin meronta-ronta, darah dalam tubuh Hui Song mendidih.
Dia menyambar sepotong kayu dari dekatnya dan menerjang ke dalam kamar, langsung saja menyerang Ci Kang tanpa bertanya-tanya lagi. Apalagi yang perlu ditanyakan kalau sudah jelas betapa Ci Kang berbuat kurang ajar terhadap Sui Cin dan gadis itu meronta dan menolak? Agaknya Ci Kang hendak memperkosa Sui Cin dan untuk perbuatan itu, Ci Kang harus dibunuhnya!
"Hyaattt...!"
Kembali tongkat itu meluncur dan menyambar ke arah kepala Ci Kang yang masih berdiri kaget dan bingung. Pemuda ini masih bingung karena semua peristiwa yang terjadi ini sungguh berada di luar kemampuannya untuk menguasainya. Tadipun ketika dia merangkul dan menciumi Sui Cin, hal itu dilakukan dalam keadaan perang di dalam batinnya, sepihak didorong oleh nafsu berahi yang berkobar, di pihak lain batinnya menentang keras.
Ketika Hui Song muncul, dia merasa terkejut, malu dan bingung, tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Betapapun juga, tenaganya sudah pulih kembali dan melihat sambaran tongkat, maklumlah dia bahwa Hui Song yang marah itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dengan pengerahan tenaga sin-kang dan dia tahu betapa bahayanya kalau sampai kepalanya terkena hantaman kayu yang mengandung tenaga sin-kang amat kuatnya itu.
"Ihhh...!"
Ci Kang terpaksa menggerakkan lengan kanannya untuk menangkis, karena mengelak dari sambaran tongkat seperti itu di ruangan yang sempit ini sungguh berbahaya sekali.
"Dukkk...!"
Keras sekali pertemuan antara tongkat dan lengan tangan itu. Ci Kang merasa betapa lengannya tergetar hebat, akan tetapi tongkat kayu itupun pecah berantakan! Hui Song membuang sisa tongkat itu yang tadi hanya dipergunakan karena dia sudah hampir lupa diri saking marahnya. Padahal, menggunakan kedua tangannya bahkan lebih dahsyat dan lebih berbahaya daripada tongkat yang mati itu.
Ci Kang yang merasa bahwa telah melakukan hal yang amat memalukan, merasa bahwa dia bersalah, tidak berniat melawan, dan dia bahkan merasa malu sekali kepada Sui Cin. Dilihatnya Sui Cin berdiri di sudut kamar itu dengan mata dan muka pucat, kedua tangan berusaha menyatukan lagi baju yang terobek.
Ci Kang merasa jantung seperti ditusuk melihat baju yang robek itu, suatu bukti bahwa hal tadi memang telah terjadi, bahwa dia tadi telah melakukan sesuatu yang amat memalukan. Bahkan sekarangpun, darahnya tersirap dan mukanya terasa panas melihat kecantikan Sui Cin. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya menerangkan segalanya, tidak ada gunanya membela diri.
"Nona, maafkan aku...!" katanya dengan suara gemetar dan tubuhnya melayang keluar dari dalam kamar itu.
"Jahanam busuk, hendak lari kemana kau? Dosamu harus kau tebus dengan nyawa!"
Hui Song membentak dan melakukan pengejaran dengan loncatan jauh keluar dari dalam kamar itu.
Sui Cin yang sejak tadi tercengang dan masih terpengaruh oleh peristiwa yang amat mengejutkan dan membingungkan hatinya itu, kini baru tersadar dan iapun turut pula meloncat dan melakukan pengejaran, tangan kirinya memegang dan merapatkan bagian baju yang terobek tadi.
Akan tetapi ternyata oleh mereka ketika mereka tiba di luar, Ci Kang sudah tidak lagi nampak bayangannya. Pemuda itu masih dalam keadaan bingung dan menyadari kesalahannya itu, agaknya tidak mau melayani mereka, bahkan merasa malu untuk bertemu muka dengan Sui Cin, maka dengan cepat sekali dia telah melarikan diri menghilang ke dalam kegelapan malam yang mulai menyelimut tempat itu.
postingan
Pemuda itu menangis seorang diri! Lucu nampaknya, akan tetapi juga mengharukan melihat seorang pemuda bertubuh tinggi besar, yang gagah perkasa seperti Siangkoan Ci Kang itu menangis!
Akan tetapi, tangis tak terlepas daripada kehidupan setiap orang manusia, karena hidup ini memang merupakan tempat bagi tawa dan tangis untuk bersilih ganti mengisi batin manusia. Tangis merupakan alat pelepas semua ganjalan dalam batin, pelepas semua kedukaan dan kekecewaan. Orang yang tidak dapat menangis, yang tidak memiliki tangis sebagai pelepasan duka, tentu akan terganggu kesehatannya.
Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda yang sejak kecil hidup dalam lingkungan yang keras dan boleh dibilang tidak pernah mengenal tangis. Sejak kecil hampir tidak pernah dia menangis. Segala derita batin diterima dengan gigitan bibir. Namun, hal itu bukan berarti dia tidak pernah menangis dalam batinnya. Hanya karena kerasnya hati maka tangis tidak sampai tersalur keluar dari mulut.
Akan tetapi sekarang, menghadapi pengalaman yang bertubi-tubi yang amat menyakitkan hatinya, setelah berada seorang diri di tempat sunyi itu, Ci Kang tidak kuasa lagi membendung air matanya dan diapun menangis tersedu-sedu sembil berlutut di atas tanah dan menutupi muka dengan kedua tangannya!
Dan begitu air matanya mengucur, bagaikan air yang sudah lama terbendung dan sudah terlalu penuh, tangisnyapun menjadi-jadi. Terbayanglah segala pengalaman yang menyedihkan dan mengecewakan hatinya dan diapun membiarkan semua rasa duka itu mengalir keluar melalui air matanya.
Tangis timbul dari perasaan-perasaan hati yang dilanda iba diri. Dan, iba diri ini timbul dari kekecewaan dan kedukaan. Semua ini muncul dari pikiran yang mengenangkan masa lalu, mengenangkan semua pengalaman pahit, semua pengalaman yang mengecewakan dan tidak menyenangkan hati.
Pikiran mengunyah-ngunyah kembali semua hal busuk yang mengecewakan diri, dan hal ini menimbulkan rasa iba diri. Pikiran yang mengenang-ngenang hal-hal yang mengecewakan dan tidak menyenangkan itu seolah-olah berobah menjadi tangan yang mencengkeram dan meremas-remas hati sendiri sehingga air matapun bercucuran keluar. Kalau sudah begitu, kesadaran akan kenyataanpun menjadi kabur dan pikiran yang menguasai perasaan itupun membayangkan bahwa dirinya merupakan orang yang paling sengsara, paling menderita di dalam dunia ini.
Dengan demikian nampaklah dengan jelas bahwa duka timbul karena pikiran yang mengunyah-ngunyah semua pengalaman yang dianggap tidak menyenangkan. Andaikata pikiran tidak mengenang-ngenang kembali semua yang telah terjadi itu, adakah duka? Hal ini hanya dapat kita ketahui dengan mempelajari diri sendiri dan mengamati diri sendiri. Tidak akan ada duka kalau pikiran tidak mengunyah-ngunyah masa lalu, tidak akan ada rasa takut kalau pikiran tidak bermain-main dengan masa lalu dan masa depan.
Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, tentu bersebab. Akan tetapi, pikiran kita yang dipenuhi oleh kesibukan memikirkan masa lalu dan masa depan, membuat kita seringkali tidak dapat melihat bahwa segala macam sebab daripada peristiwa yang menimpa diri kita dapat dipisahkan dari sikap dan perbuatan kita sendiri sebelum peristiwa itu terjadi.
Mungkinkah bagi kita manusia-manusia lemah ini, membiarkan segala macam peristiwa yang menimpa kita lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas sehingga pikiran kita tidak akan mengenang dan mengunyah-ngunyahnya kembali sebagai sesuatu yang menimbulkan duka dalam hati? Dapatkah seluruh perhatian kita tertuju kepada saat ini, saat demi saat, tanpa harus berpaling ke belakang, kepada masa lalu atau menjenguk ke depan, kepada masa yang akan datang?
Terikat kepada masa lalu adalah duka, terikat kepada masa depan menimbulkan takut. Hidup adalah saat ini sepenuhnya! Alangkah indahnya, alangkah bahagianya! Bukan berarti tidak perduli, bukan berarti masa bodoh melainkan justeru waspada karena bukankah hidup adalah SEKARANG INI? Sekarang ini, saat demi saat, adalah hidup. Masa lalu telah lewat, telah mati. Masa depan hanya khayal, belum ada.
Ketika menangis amat sedihnya itu, pikiran Ci Kang penuh dengan kenangan-kenangan yang mengecewakan hatinya. Teringat dia akan semua nasibnya, sejak dia dimusuhi ayahnya sendiri sehingga hampir dia dibunuh oleh ayahnya. Betapa dia senang menentang kejahatan, yang dilakukan oleh ayahnya dan kawan-kawan ayahnya akan tetapi hal ini membuat dia dibenci oleh golongan sesat.
Kemudian, dalam usahanya menjadi orang baik, menggabungkan diri dalam golongan pendekar, dia tidak dipercaya, bahkan dimusuhi oleh para pendekar, dianggap sebagai putera datuk sesat yang tentu jahat pula. Dan berita tentang kematian ayahnya di tangan Raja Iblis. Walaupun dia merasa bangga bahwa pada saat terakhir hidupnya, ayahnya menentang raja datuk sesat itu, bahkan mengorbankan nyawa, akan tetapi tetap saja kenangan akan ayah kandungnya yang tidak pernah akrab dengannya itu menghancurkan perasaannya pula.
Kemudian sekali, pengalaman yang baru-baru ini dia alami bersama Sui Cin! Dia tahu benar bahwa semenjak pertemuannya pertama dengan gadis pendekar itu, ketika dia menolong Sui Cin dari ancaman tangan kotor Sim Thian Bu, dia sudah merasa kagum dan tertarik sekali, bahkan dalam pertemuannya tadi, ketika dia diobati gadis itu, dia merasakan benar betapa dia telah jatuh cinta sejak dahulu kepada nona itu!
Dan teringatlah dia akan ulahnya kepada Sui Cin. Gadis itu mengobatinya, merawatnya, menyuapkan nasi ke mulutnya! Bukan main kenyataan ini! Akan tetapi apa yang dilakukannya tadi? Dia telah membalas kebaikan hati gadis itu dengan perbuatan yang tidak senonoh! Dia telah menghina gadis itu! Makin dibayangkan perbuatannya tadi, makin hancurlah hatinya dan dia merintih-rintih.
"Ya Tuhan... apa yang telah kulakukan tadi...?" Dia mengeluh dan menjatuhkan dirinya di atas tanah, rebah menelungkup sambil menangis!
Batin yang kemasukan satu diantara perasaan girang, susah, takut dan sebagainya akan kehilangan kepekaannya dan biarpun Ci Kang seorang pemuda terlatih yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun dalam keadaan menangis dan tenggelam dalam lautan kedukaan itu dia menjadi lengah.
Sama sekali dia tidak tahu ketika ada bayangan orang berkelebat dengan gerakan yang amat cepat dan ringan. Bayangan itu tahu-tahu telah berada dekat sekali dengan Ci Kang dan sekali tangan kanannya bergerak, tubuh Ci Kang mengejang lalu lemas dan tidak mampu bergerak lagi, karena jalan darahnya telah tertotok secara amat lihai!
"Hi-hi-hik, akhirnya engkau jatuh juga ke tanganku, orang sombong!"
Bayangan yang ternyata seorang wanita itu tertawa mengejek dan menggunakan kaki kirinya untuk membalikkan tubuh Ci Kang yang sudah lemas itu sehingga terlentang. Ci Kang yang tiba-tiba saja merasa tubuhnya lemas dan lumpuh melihat wanita itu.
Seorang wanita cantik, bajunya kembang-kembang, perawakannya ramping, pakaiannya sederhana dengan hiasan rambut setangkai kembang. Akan tetapi alis Ci Kang berkerut melihat wanita muda yang cantik ini karena dia mengenalnya sebagai seorang iblis betina yang amat lihai dan berbahaya, juga amat kejam. Gadis ini bukan lain adalah Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi), murid Raja Iblis!
Tahulah Ci Kang bahwa dia berada dalam ancaman bahaya maut. Iblis ini tentu tidak akan mau melepaskannya, dan dia merasa heran mengapa totokan tadi bukan merupakan serangan maut, karena kalau hal itu dilakukan, tentu kini dia sudah tewas.
Kemudian teringat olehnya akan watak cabul wanita ini yang pernah membujuk rayu padanya. Teringat akan ini, dia maklum bahwa tentu sekarangpun, sebelum membunuhnya, wanita cabul ini akan mengulangi lagi usaha dan bujuk rayunya. Dia merasa sebal dan merasa lebih baik mati, apalagi hatinya sedang berduka seperti itu. Memang kematian lebih baik baginya, sebagai hukuman atas perbuatannya terhadap Sui Cin tadi.
"Iblis betina, engkau telah merobohkan aku dengan curang seperti seorang pengecut. Nah, tidak perlu lagi engkau mengulangi perbuatanmu yang hina dan tak tahu malu, tak perlu lagi engkau merayuku. Kalau engkau memang gagah, bebaskan aku dan kita bertanding sampai mati, atau kalau memang engkau seorang pengecut hina seperti yang kuduga, bunuh saja aku!" katanya sambil memandang dengan mata melotot penuh tantangan.
Akan tetapi, Siang Hwa yang dimaki-maki itu hanya tersenyum mengejek, sama sekali tidak memperlihatkan sikap marah. Dengan lagak genit ia menggunakan telunjuk tangan kirinya mengelus dagu Ci Kang.
"Ehm, tampan! Jangan dikira bahwa hanya engkau saja laki-laki tampan di dunia ini. Kalau engkau menolak melayaniku, masih ratusan orang pria tampan yang siap untuk menyenangkan hatiku. Dan tentang membunuhmu, tentu saja aku akan membunuhmu, akan tetapi jangan mengira engkau akan mati dengan nyaman. Hi-hik, tidak, tampan, karena engkau menyakitkan hatiku dengan penolakanmu, engkau akan mati perlahan-lahan dan dengan sengsara sekali. Aku akan menyayat-nyayat seluruh kulit badanmu sampai penuh darah, dan kutinggalkan engkau disini dalam keadaan seperti itu biar engkau dikeroyok semut dan dipatuk burung-burung sampai engkau mati dengan siksaan hebat. Nah, menarik sekali, bukan?"
Akan tetapi, sebaliknya Ci Kang juga tidak nampak gentar. Dia sudah bertekad untuk menghadapi kematian dengan tabah.
"Perempuan iblis busuk, pengecut jahanam, tak perlu banyak mengeluarkan omongan busuk lagi, bunuhlah kalau mau bunuh, dengan cara apapun juga, aku tidak takut mati!"
Dan Ci Kang lalu memejamkan mata seperti orang yang merasa muak dan hendak tidur, tidak lagi mau memperdulikan gadis itu. Sebetulnya perbuatan ini dilakukan untuk menyembunyikan rasa sesal dan malunya. Dia memaki-maki wanita iblis ini sebagai wanita yang hina dan busuk, wanita yang cabul. Akan tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Apa yang telah dilakukannya terhadap Sui Cin hampir tidak ada bedanya dengan kecabulan yang dilakukan wanita ini. Memaksakan hasrat dan gejolak berahi kepada orang lain.
Gui Siang Hwa sudah mengenal watak seorang pendekar muda seperti Ci Kang yang amat keras hati ini. Ia tahu bahwa percuma saja membujuk pemuda ini, baik untuk menjadi kekasihnya atau menjadi pembantu gurunya. Dan orang yang tidak mau bekerja sama berarti musuh, apalagi orang yang memiliki kelihaian seperti pemuda ini. Sungguh bisa berbahaya sekali.
Maka, jalan terbaik adalah membunuhnya! Ia mencabut pedangnya dan siap untuk melaksanakan ancamannya tadi, yaitu merobek-robek kulit tubuh pemuda itu dan membiarkannya tergolek disitu dalam keadaan lumpuh dan penuh luka agar dia mati perlahan-lahan kehabisan darah dan dikeroyok binatang-binatang kecil yang tentu akan tertarik oleh bau darah.
"Hi-hik, lebih dulu aku akan membikin putus otot-otot kaki tanganmu agar setelah bebas dari totokan engkau tidak akan mampu bergerak!" kata Gui Siang Hwa. Pedangnya diangkat ke atas, lalu berkelebat ke arah lutut kiri Ci Kang.
Akan tetapi, tiba-tiba pedang itu berhenti di udara, tertahan oleh sesuatu yang amat kuat. Siang Hwa terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Ia melihat bahwa pedangnya itu telah terlibat oleh bulu-bulu panjang sebuah kebutan berwarna putih yang gagangnya dipegang oleh seorang gadis remaja yang berdiri sambil memandang kepadanya dengan sepasang mata berapi penuh teguran!
Gadis ini paling banyak delapan belas tahun usianya. Pakaiannya amat sederhana, rambutnyapun dibiarkan riap-riapan ke belakang dan mukanya agak pucat, akan tetapi sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar mencorong!
"Engkau orang jahat!" Gadis ini menegur Siang Hwa dengan suara halus. "Akan membunuh orang begitu saja, orang yang sudah tidak mampu melawan sama sekali. Sungguh jahat!"
Akan tetapi Siang Hwa marah bukan main. Gadis muda ini cukup cantik dan mengingat bahwa Ci Kang selalu menolaknya, kemudian muncul gadis ini yang membela Ci Kang, mudah diduga bahwa tentu gadis ini merupakan kekasih Ci Kang. Ia merasa betapa libatan bulu kebutan itu mengendur, maka iapun lalu menarik pedangnya dan menghadapi gadis itu dengan senyum mengejek. Tentu saja ia memandang rendah gadis bertampang pucat seperti orang berpenyakitan ini.
"Hi-hik, engkau hendak menemaninya mampus? Baik, akan kukirim engkau lebih dulu ke neraka!"
Berkata demikian, pedangnya menyambar ganas ke arah leher gadis itu. Akan tetapi, Siang Hwa kecelik kalau mengira bahwa pedangnya akan mudah merobohkan lawan dengan sekali serang saja. Ia tadi mengeluarkan jurus yang penuh tipuan, pedangnya meluncur menusuk ke arah tenggorokan, akan tetapi sebetulnya pedang itu hanya menggertak saja karena secara tiba-tiba pedang yang meluncur itu berobah arah dan membacok ke bawah, ke arah perut!
Hebatnya, gadis bermuka pucat itu agaknya mengenal gerak serangan ini, karena ia sama sekali tidak melindungi lehernya, melainkan menangkis ke depan dada dengan gagang kebutannya sehingga secara tepat sekali ia menggagalkan serangannya ke arah perut.
"Trangg...!"
Dan Siang Hwa mundur dua langkah dengan kaget karena tangkisan gagang kebutan itu membuat lengannya tergetar, juga gerakan menangkis tadi amat dikenalnya.
Dengan penasaran Siang Hwa lalu menyerang lagi sambil memutar pedangnya dengan amat cepat. Ia menerima pelajaran ilmu pedang dari Raja dan Ratu Iblis, tentu saja ilmu pedangnya amat ganas dan berbahaya. Pedangnya lenyap berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar ganas ke arah lawan.
Akan tetapi, keheranan hati Siang Hwa menjadi-jadi ketika lawannya itu mampu mengelak atau menangkis, menghindarkan semua serangannya dengan amat mudah dan seolah-olah semua gerakan serangannya itu telah diduga lebih dulu.
Ia terkejut bukan main ketika lawannya membalas dengan serangan ujung kebutan dan terpaksa Siang Hwa harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk mempertahankan diri karena serangan balasan lawannya itu benar-benar amat hebat.
Ujung kebutan itu menyambar-nyambar dan setiap helai bulu kebutan seperti hidup, kadang-kadang berobah kaku seperti kawat-kawat baja dan kadang-kadang lemas sekali dan dapat menyerang ke arah jalan darah.
Ci Kang tidak merasa heran melihat betapa gadis muda yang baru datang ini mampu menandingi Siang Hwa. Begitu membuka matanya memandang, dia segera mengenal gadis itu yang bukan lain adalah Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis yang tinggal di dalam guha bawah tanah itu.
Munculnya gadis muda yang membelanya ini menimbulkan harapan baginya bahwa dia akan tertolong dari ancaman maut, walaupun hal ini tidak mendatangkan kegirangan besar dalam hatinya. Bagi Ci Kang pada saat itu, mati dan hidup tiada bedanya, bahkan dia tidak akan menyesal kalau tewas karena hal ini hanya akan membebaskan dirinya daripada kedukaan dan penyesalan.
Perkelahian itu berlangsung dengan serunya dan lima puluh jurus telah lewat. Kini tiada keraguan lagi dalam hati Siang Hwa bahwa lawannya telah mengenal semua gerakan silatnya, dan iapun mengenal gerakan yang serupa dengan ilmu silat yang diajarkan kepadanya oleh suhu dan subonya.
Malang baginya, gerakan kebutan itu asing baginya sehingga baberapa kali ia kebobolan dan hampir celaka ketika ujung kebutan menyambar. Untung ia amat gesit sehingga hanya keserempet saja dan belum terkena serangan yang telak.
Bagaimanapun juga, hal ini mengecutkan hatinya dan Siang Hwa mulai terdesak hebat oleh Hui Cu. Untung bagi Siang Hwa, sejak kecil Hui Cu hidup menyendiri di dalam guha di bawah tanah sehingga ia berwatak bersih, belum terseret ke dalam lembah kekejaman dan kejahatan oleh kehidupan orang tuanya. Oleh karena itu, walaupun ia telah mempelajari ilmu-ilmu silat dari ibunya, bahkan menguasai ilmu kebutan yang merupakan ilmu rahasia dan yang hanya dipelajari olehnya sendiri, namun tiada sedikitpun keinginan di hatinya untuk mencelakakan orang lain. Perasaan inilah yang membuat ia menentang mati-matian ketika ibunya pernah hendak membunuh Cia Sun dan Ci Kang dan kini ia menentang Siang Hwa yang hendak membunuh Ci Kang.
"Hyaaaattt...!"
Tiba-tiba Hui Cu mengeluarkan bentakan aneh seperti sering dilatihnya ketika ia berlatih silat di dalam guha bawah tanah dan ujung kebutannya membuat gulungan sinar yang membuat pandang mata Siang Hwa kabur.
Sebelum Siang Hwa dapat menghindarkan dirinya baik-baik, pundak kirinya telah disambar ujung kebutan dan ia berteriak kesakitan lalu meloncat ke belakang. Pundaknya terasa nyeri bukan main dan kalau saja ia tidak melindungi dirinya dengan tenaga sin-kang, tentu ia sudah roboh.
Dengan muka agak pucat Siang Hwa memandang gadis itu lalu telunjuknya menuding ke arah muka yang putih agak pucat itu.
"Kau... dari mana engkau mencuri ilmu perguruan kami...!"
Yang ditanya tersenyum dan wajahnya tidak lagi nampak menyeramkan karena kepucatan wajahnya setelah tersenyum karena wajah itu menjadi manis sekali.
"Aihh, agaknya engkaulah murid ibuku. Engkau lihai dengan pedangmu, sayang engkau jahat, mau membunuh orang! Ibu pernah bercerita tentang seorang muridnya bernama Gui Siang Hwa. Engkaukah itu?"
Siang Hwa menjadi semakin terkejut. Puteri subonya? Belum pernah ia mendengar subonya mempunyai seorang puteri. Memang, subonya pernah melahirkan seorang anak perempuan akan tetapi anak itu telah mati!
"Kau... kau... puteri subo...?"
Ia memandang terbelalak seperti melihat setan. Mungkinkah anak yang mati dapat hidup kembali?
Tiba-tiba Hui Cu teringat akan pesan ibunya agar tidak memperkenalkan diri kepada siapapun juga, maka iapun berkata dengan tak sabar lagi,
"Sudahlah, engkau cepat pergi dari sini dan jangan mengganggu orang lain. Pergilah!" Ia melangkah maju dan mengancam dengan kebutannya untuk mengusir Siang Hwa.
Pada saat itu ada angin menyambar kuat dan tiba-tiba muncullah seorang nenek berpakaian putih dengan rambut putih riap-riapan dan wajah pucat kehijauan. Ci Kang mengenal nenek ini sebagai Ratu Iblis dan diam-diam diapun merasa menyesal mengapa dia masih dalam keadaan tertotok. Kalau tidak, ingin dia melawan Ratu Iblis ini dengan muridnya yang jahat.
"Hui Cu, apa yang kau lakukan ini?" bentak nenek itu kepada puterinya dan ketika ia melihat Siang Hwa, wajah nenek itu berobah, alisnya berkerut dan sinar matanya mencorong. "Siang Hwa, apa yang kau kerjakan disini?"
Nenek ini sejenak bingung dan terkejut melihat betapa anaknya yang kehadirannya dirahasiakan itu ternyata telah bentrok dengan muridnya dan kalau sampai hal ini ketahuan oleh suaminya tentu akan terjadi geger. Suaminya tentu akan menuntut agar Hui Cu dibunuh mati atau diberikan kepadanya untuk menjadi selirnya!
"Subo, teecu berhasil merobohkan Siangkoan Ci Kang dan akan membunuhnya, akan tetapi lalu muncul... eh, adik ini yang menentang teecu," kata Siang Hwa membela diri karena ia tahu bahwa subonya sedang marah.
Nenek itu membalikkan tubuhnya memandang kepada tubuh Ci Kang, lalu kepada puterinya dengan sikap marah. Sebelum ia mengeluarkan kata-kata, Hui Cu sudah meloncat dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah tiba dekat Ci Kang dan ia bersikap melindungi.
"Ibu, kenapa engkau dan juga muridmu itu berkeras hendak membunuh orang yang tidak bersalah?"
"Hui Cu, pergilah dan biarkan Siang Hwa membunuhnya!" bentak Ratu Iblis.
"Tidak! Siapapun tidak boleh membunuhnya! Aku akan menentang siapa saja yang hendak membunuhnya!" berkata Hui Cu dengan sikap gagah dan ia melintangkan kebutannya di depan dada. "Siang Hwa, kalau engkau berkeras hendak membunuhnya, aku yang akan lebih dulu merobohkanmu. Kalau engkau jahat, akupun terpaksa akan tega melukaimu!"
Tentu saja Siang Hwa tidak berani sembarang bergerak. Ia sudah tahu akan kelihaian gadis itu, apalagi setelah kini tahu bahwa gadis itu puteri subonya. Mana ia berani menyerang atau menentangnya?
"Kalau aku yang membunuhnya?" bentak pula nenek itu.
"Aku tetap akan melindunginya dan agaknya ibu harus membunuh aku lebih dulu sebelum dapat membunuhnya!"
Nenek itu nampak terkejut dan sepasang matanya yang mencorong itu terbelalak.
"Apa? Kau... kau cinta pemuda itu?"
"Aku tidak tahu apa maksudmu, ibu. Aku tidak tahu apa artinya cinta, akan tetapi aku suka kepadanya karena dia orang baik dan aku tidak suka melihat dia dibunuh, aku akan menentang setiap pembunuhan tanpa sebab."
Melihat kenekatan puterinya, nenek itu sejenak nampak bingung dan kehabisan akal. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akan tetapi baginya, mati hidupnya seorang pemuda seperti Siangkoan Ci Kang tidaklah begitu penting. Yang merupakan urusan besar adalah pertemuan antara anaknya dengan Siang Hwa. Maka ia menoleh kepada Siang Hwa dan berkata dengan suara penuh mengandung ancaman,
"Siang Hwa, berjanjilah untuk menutup mulutmu dan tidak bicara kepada siapapun juga tentang Hui Cu, terutama kepada suhumu. Kalau hal ini sampai bocor, engkaulah satu-satunya orang yang tahu dan engkau akan kubunuh!"
Mendengar suara subonya dan melihat sikap yang mengancam itu, Siang Hwa menjadi pucat dan iapun mengangguk sambil berkata lirih,
"Baik subo... teecu berjanji tidak akan bicara dengan siapa juga mengenai... sumoi."
"Nah, Hui Cu, Siang Hwa, mari kita pergi!" kata pula nenek itu.
Hui Cu memandang kepada Ci Kang dan kemudian kepada ibunya dengan ragu-ragu.
"Ibu... dan... suci sungguh tidak akan membunuh dia?"
"Tidak, mari kita pergi," kata pula nenek itu mendesak.
"Pergilah dulu, ibu dan suci, nanti aku menyusul," kata pula Hui Cu yang masih belum percaya benar bahwa ibunya dan sucinya itu benar-benar akan membebaskan Ci Kang dan tidak mengganggunya.
"Mau apa kau?" ibunya membentak.
"Aku mau bercakap-cakap dulu sebentar dengan dia," jawab gadis itu menunjuk kepada Ci Kang.
Nenek itu mendengus marah akan tetapi segera meninggalkan tempat itu. Siang Hwa tersenyum mengejek.
"Sumoi yang manis, agaknya engkau tergila-gila kepada pemuda ini, ya? Memang dia tampan dan gagah, akan tetapi hati-hati, dia jahat dan curang tak dapat dipercaya. Jangan-jangan engkau akan celaka olehnya. Kalau engkau ingin agar dia dapat melayanimu sepuas hatimu, engkau berilah dia minum ini." Wanita itu mengeluarkan sebungkus bubukan merah dan memberikannya kepada Hui Cu.
Akan tetapi Hui Cu menolak, menggeleng kepala dengan alis berkerut.
"Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan, akan tetapi dia tidak jahat dan curang seperti engkau. Pergilah cepat!" bentaknya marah.
Gui Siang Hwa hendak menjawab, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking lirih dan ini adalah panggilan subonya, maka sambil tersenyum mengejek Siang Hwa mengangkat pundak dan pergi meninggalkan sumoinya.
Hui Cu berjongkok dan melihat betapa pemuda itu tak mampu bergerak karena totokan, ia lalu menepuk dan mengurut punggung dan kedua pundak Ci Kang. Akhirnya berhasillah dia membebaskan pemuda itu dari pengaruh totokan dan Ci Kang lalu bangkit duduk sambil mengatur pernapasan.
"Aku sungguh tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suci tadi."
Hui Cu mengomel sambil duduk di depan Ci Kang. Pemuda ini menatap wajah yang manis itu dan merasa kagum. Gadis ini sungguh masih bersih dan polos, batinnya belum tercemar kekotoran yang mengelilingi keluarganya.
"Sucimu itu jahat sekali, Hui Cu. Dan kalau tadi aku tidak tertotok, tentu akan kuserang dan kurobohkan sucimu."
Gadis itu memandang dengan alis berkerut, agaknya bingung dan tidak mengerti.
"Kenapa akan kau lakukan itu?"
"Karena ia jahat dan berbahaya bagi orang lain dan ibumu juga."
"Engkau akan menyerang dan membunuh ibuku pula?"
"Kalau mungkin, walaupun ibumu lihai sekali. Mereka itu jahat bukan main, mereka adalah datuk-datuk sesat, bahkan ibumu dijuluki Ratu Iblis. Mereka itu hanya menyebarkan perbuatan jahat dan kejam dan merupakan ancaman bagi keselamatan orang-orang lain yang tidak berdosa dan mengotorkan bumi."
"Engkau... benci kepada mereka?"
Mendengar pertanyaan ini, Ci Kang termenung dan mengamati batinnya sendiri. Tidak, dia tidak benci siapapun. Apa yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai tentang cinta dan benci dan dendam sudah mendalam di dalam batinnya dan dia tidak merasa membenci siapapun juga. Akan tetapi dia merasa harus menentang orang-orang seperti Ratu Iblis dan Siang Hwa karena mereka itu jahat dan berbahaya bagi manusia pada umumnya, seperti juga dia menentang ayahnya sendiri yang sama sekali tidak dibencinya.
"Tidak, Hui Cu. Aku tidak membenci mereka, akan tetapi yang kutentang adalah kejahatan mereka demi menyelamatkan orang-orang dari ancaman kejahatan mereka."
Gadis itu menggeleng-geleng kepala.
"Aku menjadi bingung dan tidak mengerti, Ci Kang. Akan tetapi, tadi aku melihat engkau seorang diri menangis demikian sedihnya. Kemudian muncul suci yang menotokmu dengan curang. Ci Kang, kenapa engkau menangis begitu menyedihkan? Apakah yang menyusahkan hatimu?"
Ci Kang merasa terharu sekali. Terhadap seorang gadis sejujur dan sebersih ini, dia merasa mendapatkan seorang sahabat dan tak perlu dia merasa malu atau menyembunyikan rahasia hatinya. Bahkan Hui Cu dapat merupakan satu-satunya orang kepada siapa dia boleh mencurahkan semua kepedihan hatinya saat itu.
"Hui Cu, aku memang berduka sekali karena aku mencinta seorang gadis dan tidak ada harapan bagiku untuk berjodoh dengannya."
Gadis itu mengerutkan alisnya seperti hendak mengerahkan otaknya untuk menangkap arti ucapan Ci Kang.
"Engkau cinta padanya? Apakah cinta itu?"
Ci Kang tersenyum. Tidak mengherankan kalau gadis ini demikian hijau, karena sejak kecil selalu berada seorang diri saja di dalam guha bawah tanah.
"Cinta adalah perasaan seorang pria terhadap wanita, Hui Cu, dan orang yang mencinta mengharapkan untuk dapat hidup bersama dengan wanita yang dicintanya. Aku jatuh cinta kepada seorang gadis akan tetapi tidak ada harapan bagiku untuk dapat berjodoh dan hidup bersamanya."
"Kenapa, Ci Kang? Engkau seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik. Apakah ia tidak suka kepadamu?"
"Aku tidak tahu..." Dia teringat betapa Sui Cin menyuapkan makanan ke mulutnya, betapa gadis itu mengobati dan merawatnya. "Mungkin ia suka padaku... akan tetapi aku telah melakukan kesalahan besar terhadap dirinya... dan pula ia adalah puteri seorang pendekar besar, sedangkan aku..."
"Engkau kenapa?"
"Aku sebaliknya adalah anak seorang datuk sesat yang amat jahat!" kata Ci Kang dengan gemas dan suaranya mengandung penuh penyesalan.
Ucapan ini amat menarik hati Hui Cu. Gadis itu memegang lengan Ci Kang dan memandang tajam wajah pemuda itu.
"Apa? Orang tuamu itu jahat? Sejahat... orang tuaku?"
Ci Kang mengangguk.
"Ayah dan ibumu berjuluk Raja dan Ratu Iblis dan kini menjadi raja para datuk sesat. Sebelum itu, yang menjadi raja datuk sesat adalah ayahku yang berjuluk Iblis Buta."
"Ahh... kenapa mereka itu jahat? Dan aku tidak suka perbuatan jahat, engkaupun tidak suka. Kenapa mereka begitu, Ci Kang?"
Pertanyaan yang sederhana ini tidak mampu terjawab oleh Ci Kang.
"Aku tidak tahu, Hui Cu. Akan tetapi aku girang bahwa engkau tidak suka kejahatan seperti mereka. Kita senasib, sama-sama menjadi anak orang-orang jahat. Dan ayahku kini telah tiada..."
"Akan tetapi kalau dia buta, berarti tidak dapat melihat, kenapa jahat? Dan dia tentu lihai sekali, karena engkaupun lihai."
"Dia lihai, akan tetapi masih kalah oleh ayah ibumu. Ayahku tewas di tangan ibumu."
"Ihhh...! Dan kau... kau puteranya, karena itu engkau membenci ibu dan hendak membalas..."
"Tidak! Engkau keliru, Hui Cu. Kalau aku menentang ibumu, itu hanya karena ibumu jahat. Ayahku mati karena akibat ulahnya sendiri, akibat kejahatannya sendiri. Aku tidak mendendam kepada siapapun juga."
Gadis itu terdiam.
"Aku bingung dan tidak mengerti tentang semua ini, Ci Kang. Akan tetapi, mendengar bahwa engkaupun anak seorang datuk sesat seperti aku, aku makin suka padamu. Eh, Ci Kang, dimanakah kawanmu itu?"
"Kawanku? Kau maksudkan Cia Sun?"
"Benar! Cia Sun, yang bersamamu masuk ke dalam guha bawah tanah itu. Dimanakah dia sekarang dan kenapa tidak bersamamu? Aku ingin sekali bertemu dan bicara dengan dia."
Mendengar kegairahan dalam suara gadis itu, Ci Kang menatap wajahnya dengan penuh selidik. Akan tetapi, wajah dan pandang mata yang berseri itu tidak berobah dan tetap polos terbuka.
"Hui Cu, kau... kau cinta pada Cia Sun?"
"Cinta? Ah, kau tadi bilang bahwa cinta berarti ingin hidup bersama orang yang dicinta selamanya. Aku tidak tahu, apakah aku ingin hidup selamanya dengan Cia Sun, akan tetapi, aku suka sekali padanya dan semenjak bertemu dengannya, aku selalu teringat kepadanya."
"Hemm, kalau tidur engkau seringkali mimpi bertemu dengannya?"
"Benar..."
"Dan kalau engkau sedang duduk seorang diri, wajahnya terbayang olehmu, suaranya seperti kau dengar kembali, setiap gerak-geriknya amat menyenangkan hatimu?"
"Wah, benar! Benar sekali! Eh, bagaimana engkau bisa tahu?"
Ci Kang tersenyum pahit. Tentu saja dia tahu karena seperti itulah keadaan dan perasaannya selama ini terhadap Sui Cin! Puteri Raja dan Ratu Iblis ini telah jatuh cinta kepada Cia Sun! Kenyataan ini membuat hatinya semakin pedih. Dia, putera datuk sesat jatuh cinta kepada puteri Pendekar Sadis yang terkenal. Dan kini, puteri Raja Iblis yang amat jahat itu jatuh cinta kepada putera ketua Pek-liong-pang dari Lembah Naga yang juga terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang dihormati orang! Mana mungkin terjadi?
"Ci Kang, kenapa engkau bengong saja? Engkau belum menjawab pertanyaanku, bagaimana engkau dapat mengetahui apa yang kualami selama ini, dan dimana pula adanya Cia Sun?"
"Hui Cu, aku tahu apa yang kau alami karena aku sendiripun mengalami hal yang sama terhadap bayangan gadis yang kucinta. Dan Cia Sun... ah, engkau belum tahu siapa dia. Dia bukan orang sembarangan saja, dia adalah putera dari pendekar besar Cia Han Tiong, ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga."
"Lembah Naga? Aku pernah mendengar nama tempat itu dari ibu, tidak begitu jauh dari sini! Jadi dia berada disana?"
"Entahlah, kukira begitu."
"Kalau begitu, aku akan pergi mencarinya! Aku akan mencari Cia Sun, aku tidak senang tinggal bersama ibuku!" Gadis itu bangkit berdiri.
"Nanti dulu, Hui Cu!" Ci Kang juga melompat dan memegang lengan gadis itu.
"Kenapa kau menahanku? Ada apa?"
Ci Kang merasa kasihan kepada gadis ini dan tidak ingin melihat gadis ini mengalami patah hati dan penghinaan di Lembah Naga.
"Dengarkan dulu baik-baik. Ingat bahwa engkau adalah puteri Raja dan Ratu Iblis, sedangkan Cia Sun adalah putera pendekar..."
Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu menyambar angin dahsyat sekali dan tahu-tahu disitu muncul seorang kakek yang rambutnya riap-riapan putih, pakaiannya juga serba putih dan sepasang matanya mencorong mengerikan, sedangkan mukanya pucat kehijauan. Melihat kakek ini, terkejutlah Ci Kang karena dia mengenal kakek ini sebagai Raja Iblis sendiri!
"Aku mendengar tadi ada puteri Raja dan Ratu Iblis. Siapa puteri itu?" terdengar suara kakek aneh itu, suaranya seperti terdengar dari lain tempat yang jauh, dan bibirnya tidak nampak bergerak.
Hui Cu yang juga kaget melihat munculnya seorang kakek aneh, kini memandang kakek itu dengan mata terbelalak.
"Engkau kakek aneh dan lucu, bicara tanpa menggerakkan bibir! Akulah puteri Raja dan Ratu Iblis!"
Ci Kang terkejut dan tidak sempat menahan gadis itu mengeluarkan kata-kata yang demikian beraninya. Berhadapan dengan iblis ini tidak perlu banyak cakap pikirnya, karena tidak mungkin iblis itu akan mau melepasnya seperti yang dilakukan Ratu Iblis karena bujukan puterinya tadi.
Maka diapun tanpa banyak cakap lagi lalu menerjang maju dengan pukulan tangannya yang ampuh. Karena dia maklum bahwa lawannya ini amat sakti, maka begitu menerjang dia sudah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan mengirim pukulan yang mengandung tenaga dahsyat.
"Wuuuttt... dukk...!"
Tubuh Ci Kang terjengkang ke belakang dan dia tentu akan terbanting keras kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik dan berloncatan ke belakang. Dia dapat berdiri lagi dengan tegak dan merasa betapa lengan kanannya yang tertangkis oleh lengan kakek itu terasa nyeri dan panas.
"Jangan pukul kawanku!"
Hui Cu membentak dan iapun sudah menyerang kakek itu dengan kebutannya. Ia marah melihat betapa Ci Kang terjengkang dan hampir roboh.
Kakek itu mengeluarkan suara menggereng aneh dan begitu jari-jari tangannya bergerak, bulu kebutan itu berhenti dan menempel pada telapak tangannya, sedangkan tangan kirinya diulur untuk mencengkeram ubun-ubun kepala Hui Cu. Jelas bahwa dia bermaksud membunuh puterinya itu dengan sekali serangan.
"Iblis keji! Kau hendak membunuh anakmu sendiri?"
Ci Kanig membentak dan dengan nekat dia menerjang dari samping, memukul ke arah tengkuk kakek itu dan tangan kirinya menangkis tangan kakek yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Hui Cu.
"Dukk! Dukkk!"
Kembali lengan mereka beradu dan Ci Kang terjengkang, akan tetapi Hui Cu selamat dan dapat menarik kembali kebutannya. Gadis ini memandang kakek itu dengan mata terbelalak ketika ia mendengar bentakan Ci Kang tadi.
"Apa? Dia... dia ini ayahku?" teriaknya.
"Benar, dialah Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit-ong, ayah kandungmu. Pangeran Toan Jit-ong, gadis ini adalah Toan Hui Cu, puterimu sendiri. Jangan ganggu ia, akulah lawanmu dan mari kita bertanding sampai mati!"
Ci Kang menantang dengan sikap gagah dan dia sudah memasang kuda-kuda dan siap untuk berkelahi mati-matian melawan raja kaum sesat ini.
Akan tetapi kakek itu tidak menjawab, bahkan tidak memperhatikan dia. Sepasang mata yang mencorong itu ditujukan kepada Hui Cu, mengamatinya dari pucuk rambut sampai ke kaki.
"Ia harus mati, tapi sayang, ia gagah dan cantik. Engkau harus melahirkan anak laki-laki dariku!"
Dan tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tangannya sudah meluncur ke depan. Lengan itu dapat mulur panjang dan tangan itu hendak menangkap pinggang Hui Cu. Gadis ini terkejut dan menjerit, kebutannya digerakkan menotok ke arah pergelangan tangan lawan.
"Tukk!"
Raja Iblis itu bagaimanapun saktinya, terkejut karena pergelangan tangan yang tertotok ujung kebutan itu seperti dipatuk ular dan terasa kesemutan. Mengertilah dia bahwa isterinya telah melatih anak ini dan mungkin anak ini telah mewarisi ilmu kebutan rahasia dari mendiang gurunya yang belum sempat dipelajarinya, dan ilmu kebutan ini lebih lihai daripada ilmu menggunakan rambut dari isterinya. Terpaksa dia menarik kembali lengannya.
"Iblis keji!"
Ci Kang menyerangnya dari samping dengan totokan ke arah lambung kiri Raja Iblis. Totokan ini hebat sekali dan saking cepatnya tidak dapat ditangkis lagi maka terpaksa pula Raja Iblis itu menggerakkan tubuh ke belakang untuk mengelak.
Diam-diam dia terkejut. Pemuda ini cukup lihai, mungkin lebih lihai daripada semua pembantunya. Dan anak perempuan itupun memiliki ilmu kebutan yang hebat. Tiba-tiba dia melompat ke belakang dan mengangkat kedua tangan. Kakek ini memang memiliki wibawa yang kuat karena dua orang muda itu berhenti dan memandang.
"Siapa namamu?" tanyanya kepada Ci Kang.
"Aku Siangkoan Ci Kang," jawab pemuda itu dengan tabah.
"Bagus! Kau putera Siangkoan Lo-jin?"
"Benar!"
"Hemm, kau datang untuk membalas kematian ayahmu?"
"Tidak, aku datang untuk menentang kejahatanmu!"
"Siangkoan Ci Kang, apakah engkau cinta puteriku ini? Jadilah suaminya dan kalian menjadi pembantu-pembantuku yang setia. Bagaimana?"
Sungguh luar biasa sekali watak iblis ini! Baru saja menyerang dan hendak membunuh, sekarang tiba-tiba menawarkan hal yang sebaliknya. Ini menunjukkan betapa cerdiknya Raja Iblis. Dia segera dapat mengubah pendirian begitu melihat segi keuntungannya.
"Persetan dengan engkau!" bentak Ci Kang.
Usul Raja Iblis itu tentang perjodohannya dengan Hui Cu tentu saja bukan merupakan hal yang buruk, akan tetapi menjadi pembantu iblis itu sungguh merupakan tawaran yang dianggapnya amat menghina.
"Lebih baik mati daripada menjadi antekmu!"
Dan pemuda itu sudah menyerang lagi. Raja Iblis mengelak dengan mudah dan balas menendang dengan kecepatan kilat. Akan tetapi Ci Kang juga dapat menghindarkan diri dan menyerang langsung dengan bertubi-tubi.
"Kalau begitu engkau akan mampus dan ia menjadi isteriku!"
Raja Iblis berloncatan sambil berkata demikian, kemudian membalas. Terjadilah serang-menyerang dengan hebat dan lewat beberapa jurus, kembali tangannya yang ampuh itu ketika ditangkis Ci Kang membuat pemuda itu terhuyung ke belakang.
"Mampuslah!"
Raja Iblis meloncat dan mengirim pukulan susulan terhadap pemuda yang sedang terhuyung itu. Akan tetapi Hui Cu menerjang dari samping dengan kebutannya yang menyambar dan beruntun mematuk ke arah jalan darah di pelipis, leher dan pundak!
Terpaksa Raja Iblis mengurungkan pukulannya terhadap Ci Kang dan mengelak dari sambaran ujung kebutan yang cukup lihai itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ci Kang untuk memperbaiki kedudukannya, lalu diapun membantu Hui Cu menyerang lagi.
Raja Iblis menjadi marah sekali. Hampir tidak pernah ada orang yang berani menentangnya, dan kini, seorang pemuda, hanya putera mendiang Iblis Buta, berani menentangnya. Dan yang lebih menggemaskan lagi anak perempuan itu, anaknya sendiri, membantu si pemuda! Dia mengeluarkan suara lengkingan nyaring berkali-kali dan kedua tangannya kini bergerak dengan dorongan-dorongan yang mengeluarkan hawa panas dan mengeluarkan angin kuat.
Nampak uap putih setiap kali dia mendorongkan kedua tangannya. Dan dua orang muda itupun terdesak hebat. Hanya dengan pengerahkan sin-kang sekuatnya saja keduanya tidak sampai terlempar oleh hawa dorongan yang demikian kuatnya. Biarpun demikian, Ci Kang maklum bahwa tidak lama lagi dia dan Hui Cu tentu akan roboh. Raja Iblis ini sungguh memiliki ilmu kepandaian yang amat dahsyat.
Karena merasa bahwa tenaga sin-kangnya masih kalah jauh dibandingkan kakek itu, Ci Kang teringat akan ilmu yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai kepadanya, yaitu ilmu silat menggunakan tongkat atau benda apa saja yang berbentuk tongkat. Dia melompat ke kiri dan menyambar patah sebatang cabang pohon yang besarnya selengan, kemudian diapun menggunakan senjata ini.
Ilmu tongkat bambu merupakan satu diantara ilmu-ilmu yang ampuh dari Ciu-sian Lo-kai, maka begitu Ci Kang mainkan tongkat ini, dia dapat menggempur desakan-desakan lawan dan dibantu oleh Hui Cu, kini dia mampu membalas, bekerja sama dengan kebutan gadis itu yang juga ampuh.
Menghadapi keadaan yang berbalik ini, Raja Iblis semakin marah dan diapun tiba-tiba mengeluarkan gerengan keras dan ketika kedua tangannya bergerak menyilang menyambut tongkat di tangan Ci Kang, terdengar suara keras. Tongkat itu hancur dan tubuh Ci Kang terjengkang!
Dengan mengeluarkan suara gerengan seperti tertawa, kakek itu menubruk ke arah Ci Kang yang masih terlentang. Pemuda ini menyambutnya dengan tendangan, akan tetapi kakek itu dapat menangkis tendangan dan terus menjatuhkan diri berlutut, kedua tangannya dihunjamkan dengan jari-jari terbuka ke arah kepala Ci Kang. Pemuda ini merasa betapa ada hawa pukulan dahsyat menyambar dan maklumlah dia bahwa dia terancam maut karena sekali jari-jari tangan itu mengenai kepalanya, tentu kepalanya akan hancur berantakan.
Jalan satu-satunya baginya hanya menangkis. Dia mengangkat kedua tangannya dan berhasil menangkap dua lengan tangan lawan. Terjadilah adu tenaga yang mengerikan. Kakek itu berusaha melanjutkan terkaman kedua tangannya, sedangkan Ci Kang yang berada di bawah itu mempertahankan.
Mereka bersitegang dan kedua lengan Ci Kang mulai menggigil, mukanya pucat dan penuh keringat, tanda bahwa dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan berada di tepi maut. Agaknya sebentar lagi dia tidak akan kuat bertahan dan kakek itu dapat melanjutkan pukulan mautnya.
Melihat keadaan Ci Kang terancam maut seperti itu, tiba-tiba Hui Cu mengeluarkan teriakan keras dan diapun menggerakkan kebutannya. Ujung kebutannya berubah menjadi dua gumpal yang ujungnya meruncing seperti pedang dan dua batang pedang dari bulu-bulu halus yang kini menjadi kaku keras itu menusuk ke arah sepasang mata Raja Iblis! Tusukan ini cepat dan hebat sekali dan agaknya gadis itu sudah lupa bahwa ia bisa menewaskan atau setidaknya membutakan mata ayah kandungnya.
Menghadapi serangan mendadak yang amat berbahaya ini, Raja Iblis terkejut dan terpaksa dia menarik kembali kedua tangan yang tadi menekan ke bawah, dan kaki kanannya menyambar ke depan menyambut serangan gadis itu.
"Desss...!"
Tubuh Hui Cu terpental dan biarpun ia telah melindungi dirinya dengan sin-kang, tidak urung tubuhnya terlempar sampai beberapa meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah sampai bergulingan.
Akan tetapi, perbuatannya itu menyelamatkan Ci Kang yang cepat meloncat bangun dan menjauhkan diri karena dia harus mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya. Hui Cu juga sudah melompat bangun dan kedua orang muda itu sudah bersiap lagi, kini wajah mereka pucat dan kedua kaki agak gemetar karena kecapaian.
Raja Iblis tersenyum mengejek. Dua orang itu tentu akan dapat dirobohkannya dalam serangan berikutnya. Dia menggerak-gerakkan kedua tangannya, saling bersilang dan setiap kali kedua lengan itu bergesekan, tentu nampak uap putih mengepul.
Memang hebat sekali ilmu kakek ini kalau dia sudah mengeluarkan tenaga sakti seperti itu. Ci Kang memandang khawatir. Dia tidak mengkhawatirkan diri sendiri. Memang tadi dia sudah menghadapi kematian dengan tenang. Akan tetapi dia mengkhawatirkan Hui Cu. Gadis itu tadi telah menyelamatkan nyawanya. Dia tahu bahwa tanpa bantuan Hui Cu tadi, dia sudah tewas.
Dan kini, dia merasa tidak kuat untuk dapat melindungi gadis itu dari ayah kandungnya yang jahat seperti iblis itu. Betapapun juga, dia akan melawan den melindungi Hui Cu sampai napas terakhir. Karena niat melindungi ini perlahan-lahan Ci Kang menghampiri Hui Cu sambil terus memandang ke arah Raja Iblis yang berdiri dalam jarak lima meter dari mereka. Setelah dekat, dia menyentuh lengan gadis itu.
"Jangan takut, Hui Cu, aku akan membelamu sampai mati."
Hui Cu tersenyum duka.
"Kita akan mati, Ci Kang. Akan tetapi aku gembira dapat mati bersama seorang sahabat sepertimu. Mari kita lawan dia."
"Yang berat adalah tenaga dorongannya, mari kita satukan tenaga untuk menyambutnya." bisik Ci Kang.
Gadis itu mengangguk dan menyelipkan kebutan pada pinggangnya, kemudian bersama Ci Kang dia melangkah maju berdampingan.
Melihat dua orang muda itu nekat maju bersama, Raja Iblis kembali tersenyum mengejek. Dia tahu akan siasat pemuda itu untuk menyatukan tenaga. Akan tetapi dia tadi sudah mengukur sampai dimana tenaga mereka dan dia tidak menjadi gentar. Bahkan sengaja dia maju lagi menyerang dengan kedua tangannya didorongkon ke depan, kedua telapak tangannya menghadap kepada dua orang lawan itu. Begitu kedua tangannya mendorong, nampak uap putih dan angin menyambar dahsyat.
Ci Kang dan Hui Cu yang sudah maklum akan kehebatan tenaga dorongan itu, cepat menyambut dengan kedua tangan didorongkan pula. Kini mereka bergerak dengan berbareng, menyatukan tenaga sin-kang menyambut dengan kuatnya.
"Desss...!"
Hebat bukan main ketika tiga pasang tangan itu bertemu dan akibatnya tubuh Raja Iblis undur dua langkah, akan tetapi tubuh Ci Kang dan Hui Cu terjengkang dan roboh terbanting!
Mereka kalah tenaga dan kini mereka berdua merasa betapa napas mereka menjadi sesak. Terpaksa mereka cepat mengatur pernapasan dan menyalurkan hawa murni untuk mencegah dada yang terguncang hebat itu jangan sampai terluka. Kesempatan baik terbuka bagi Raja Iblis dan sambil tersenyum lebar dia melangkah maju, siap untuk mengirim pukulan maut!
"Sungguh tak tahu malu tua bangka menghina orang-orang muda!"
Tiba-tiba terdengar suara halus dan suatu hawa tenaga yang amat kuat mendorong dan menyambut Raja Iblis. Kakek ini terkejut dan mengerahkan tenaga, menggunakan tangannya mengibas dan dua tenaga sakti saling bentur membuat keduanya terkejut karena masing-masing mendapat kenyataan betapa kuatnya lawan yang dihadapi!
Raja Iblis cepat memandang dan alisnya berkerut. Yang muncul di depannya adalah seorang laki-laki yang usianya paling banyak lima puluh tahun. Perawakannya gagah dan wajahnya masih nampak tampan menarik, pakaiannya serba indah dan membuat dia nampak semakin anggun.
Wajah itu tersenyum ramah akan tetapi sepasang matanya mencorong penuh kekuatan. Di samping pria ini berdiri seorang wanita yang usianya sebaya, cantik sekali, dengan pakaian yang juga mewah, bersih dan baru, rambutnya dihias batu permata. Namun wanita cantik ini nampak anggun dan angkuh, serius dan sepasang matanya menatap wajah Raja Iblis seperti hendak menegur.
Raja Iblis tidak pernah mengenal mereka, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah dua orang dari golongan pendekar yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia tidak memandang rendah dan bersikap waspada dan hati-hati. Biasanya, kalau ada Ratu Iblis di sampingnya, dia tidak pernah mau bicara sendiri dan bahkan jarang dia turun tangan sendiri. Kini, karena dia seorang diri saja, dia terpaksa bicara dan bertindak sendiri.
Dia teringat bahwa diantara para datuk di dunia persilatan, banyak yang sudah pernah ditaklukkannya, bahkan mereka bersumpah tidak akan melawannya kalau dia memegang Tongkat Suci Sakti. Kini berhadapan dengan dua orang itu, bahkan dia sudah mengukur tenaga pria itu yang ternyata amat kuat, dia ingin mengambil cara yang lebih mudah.
Kalau dua orang ini mempunyai hubungan dengan para tokoh yang pernah ditundukkannya, tentu mereka tidak akan berani pula menentang dia yang memegang Tongkat Suci Sakti. Cepat dia mengeluarkan sebatang tongkat dari balik jubahnya dan sambil mengangkat tongkat itu ke atas kepala, dia berkata, suaranya bergema seperti datang dari jauh dan amat berwibawa.
"Lihat Tongkat Suci Sakti dan berlututlah kalian sebelum aku menyatakan kalian berdosa dan menerima hukumanku!"
Pria dan wanita itu memandang dengan heran, lalu saling pandang dan pria itu tertawa.
"Ha-ha-ha! Yang suci dan sakti bagi orang jahat belum tentu suci bagi kami! Aku she Ceng belum pernah melihat tongkat butut itu!"
"Tua bangka, jangan membadut di depan kami. Pergilah dan jangan ganggu dua orang muda ini sebelum aku turun tangan menghajarmu!" kata si wanita dengan suara galak dan sepasang matanya mencorong penuh ancaman.
Raja iblis menjadi marah sekali. Tongkat Suci Sakti itu mereka hina! Padahal, melihat tongkat itu saja banyak tokoh persilatan gemetar dan berlutut.
"Bagus, kalau begitu kalian adalah calon-calon bangkai!"
Raja Iblis menyerbu ke depan, menggunakan tongkat itu dan secepat kilat tongkat itu sudah melakukan dua kali pukulan ke arah pria dan wanita itu secara bertubi, bahkan diikuti oleh cengkeraman tangan kirinya yang tidak kalah berbahaya.
Pria dan wanita itupun bukan orang sembarangan. Sekali gerakan saja mereka sudah maklum akan kelihaian kakek yang mukanya seperti kedok mayat itu, dan mereka tahu akan bahayanya tongkat yang dinamakan Tongkat Suci Sakti itu. Maka keduanya cepat mengelak dengan gerakan yang indah dan cepat sehingga semua serangan kakek itu mengenai tempat kosong.
Wanita itu meloncat untuk menghindar dan ketika ia membalikkan tubuhnya, kedua tangannya sudah memegang sepasang pedang berwarna hitam dan ketika dicabut, nampak dua sinar hitam berguung-gulung.
"Awas, tongkatnya itu beracun!" kata si wanita kepada pria yang hanya tersenyum saja.
"Orangnya busuk, bagaimana tongkatnya tidak akan beracun?" Pria itu malah mengejek.
Raja Iblis semakin marah. Tongkatnya menyambar ganas ke arah kepala wanita itu. Wanita setengah tua cantik itu bersikap tenang. Sepasang pedang hitamnya membuat gerakan menangkis dan menggunting, menyambut tongkat.
"Trakk!"
Tongkat itu terjepit sepasang pedang hitam. Pada saat itu, tangan kiri Raja Iblis melayang, menampar kepala lawan.
"Singgg...!"
Pedang kanan melesat dari tongkat menyambut tangan! Raja Iblis kaget, tak mengira wanita itu memiliki gerakan sedemikian cepat dan lihainya. Dia tidak berani mengadu lengannya dengan pedang hitam, menarik tangan dan langsung tangan itu mendorong ke depan. Serangkum hawa panas dan kuat sekali menyambar.
"Ihhh!"
Wanita itu berseru kaget dan cepat meloncat ke belakang. Ketika Raja Iblis hendak mendesak, suami wanita itu sudah menghadapinya dan menghalanginya mendesak isterinya.
"Hemm, engkau lihai juga," kata pria itu. Orang yang mampu mengejutkan isterinya dalam segebrakan saja sungguh jarang terdapat. "Siapakah engkau?"
Akan tetapi Raja Iblis tidak menjawab melainkan menubruk dengan serangan tongkatnya yang menyambar dengan totokan ke arah dahi diantara mata lawan. Pria itu cepat mengelak dengan kepala ditundukkan dan ketika tongkat itu melanjutkan gerakannya menyambar ke arah tengkuknya, dia mengangkat tangan kiri menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang untuk melindungi kulit lengannya kalau-kalau tongkat itu benar mengandung racun seperti yang tadi diperingatkan oleh isterinya. Dalam hal racun, isterinya memang jauh lebih ahli daripada dia. Akan tetapi dia tidak takut terhadap racun.
"Plakkk!"
Dan kembali keduanya terkejut. Pria itu merasa betapa lengannya tergetar dan dia tahu pula bahwa tongkat itu memang dilumuri atau direndam racun. Sebaliknya Raja Iblis merasa tangannya yang memegang tongkat bertemu dengan tenaga yang dahsyat sekali. Jarang dia bertemu tanding sehebat ini tenaganya. Apalagi melihat betapa lawan itu sama sekali tidak terpengaruh oleh racun pada tongkatnya.
Sejak tongkatnya terampas oleh kelicikan Sui Cin dahulu itu, dia merendam tongkat saktinya dengan racun yang amat jahat agar siapapun yang akan merampas tongkatnya menjadi keracunan, dan juga setelah direndam racun, tongkat itu selain merupakan benda pusaka untuk menundukkan tokoh-tokoh dunia persilatan, juga dapat menjadi sebuah senjata yang ampuh. Akan tetapi lawan ini sedemikian lihainya sehingga sin-kangnya mampu menolak hawa beracun yang amat kuat dari tongkatnya.
Maklum akan kehebatan lawan, begitu tongkat tertangkis, Raja Iblis secara tiba-tiba dan cepat sekali menggerakkan tangan kirinya dan sebelum pria itu mengelak atau menangkis, tangan kirinya telah menghantam punggung lawan. Hebat dan cepat sekali tamparan telapak tangan kiri Raja Iblis ini, sama sekali tidak tersangka-sangka dan agaknya pria itupun tidak sempat pula mengelak.
"Plakk...!"
Tiba-tiba sepasang mata Raja iblis terbelalak dan nampak dia menarik kembali tangan kirinya, akan tetapi tangannya itu telah melekat pada punggung lawan. Baru dia tahu bahwa lawannya memang sengaja tidak mengelak dan memang menerima tamparannya tadi.
"Thi-khi-i-beng...!"
Raja Iblis berseru dan secepat kilat tongkatnya menyambar ke arah mata lawan. Pria itu terpaksa mundur dan Raja Iblis menyimpan tenaga saktinya. Agaknya dia tahu pula bagaimana cara menghadapi Ilmu Thi-khi-i-beng. Setelah Raja Iblis menyimpan tenaga saktinya, tangannya yang tadi melekat pada punggung lawan terlepas dengan mudah dan diapun meloncat jauh ke belakang.
"Kau... Pendekar Sadis?" tanyanya, lalu menoleh ke arah wanita cantik.
"Dan kau... yang dulu berjuluk Lam-sin, kau puteri Pangeran Toan Su Ong?"
Kini tahulah pria dan wanita itu dengan siapa mereka berhadapan dan keduanya nampak terkejut bukan main.
"Aha! Kiranya engkau yang terkenal dengan julukan Raja Iblis yang tersohor itu?" kata Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis.
Isterinya, Toan Kim Hong, berkata,
"Inikah Pangeran Toan Jit Ong yang kabarnya memberontak terhadap pemerintah itu?"
"Hemm, kalau engkau puteri Toan Su Ong, berarti engkau adalah keponakanku sendiri! Keponakan dan mantu keponakan. Tidak lekas memberi hormat kepada pamanmu?"
"Biar paman, biar siapapun, kalau jahat adalah musuh kami!" kata Toan Kim Hong dengan suara garang.
Raja Iblis Toan Jit Ong adalah seorang yang amat cerdik. Dia tidak takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis dan isterinya, akan tetapi diapun tahu bahwa tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan suami isteri perkasa ini. Apalagi ada Siangkoan Ci Kang disitu dan pemuda inipun tidak dapat dipandang ringan. Belum lagi puterinya sendiri yang malah membantu musuh! Kalau dia nekat melawan mereka berempat dan kalah atau mati sekalipun tidak takut, akan tetapi namanya akan jatuh dan pula, bagaimana dengan rencana besarnya?
Raja Iblis menarik napas panjang.
"Sudahlah, mengingat hubungan darah, biar aku memandang arwah kakanda Toan Su Ong untuk mengampuni kalian berdua. Inilah anakku. Kemarilah, nak. Mereka ini adalah encimu sendiri dan kakak iparmu."
Dengan lagak kebapakan dia menghampiri Hui Cu seperti hendak memperkenalkan mereka. Hui Cu yang masih hijau itu tentu saja menjadi lengah melihat sikap kakek yang menjadi ayah kandungnya itu. Dengan mudah sekali Raja Iblis dapat menangkap lengan kanan anaknya dan tiba-tiba kakek itu sudah menotoknya dan memanggulnya lalu meloncat jauh, melarikan diri. Melihat ini, Ci Kang meloncat dan hendak mengejar.
"Lepaskan ia!" bentaknya marah.
Akan tetapi, suami isteri pendekar dari Pulau Teratai Merah itu tahu-tahu telah menghadangnya.
"Mengejar dia sama dengan bunuh diri!" kata Pendekar Sadis.
"Gadis itu dibawa pergi ayah kandungnya sendiri, mencampurinya adalah suatu kebodohan!" kata pula Toan Kim Hong.
Ci Kang maklum bahwa suami isteri ini mencegahnya untuk melakukan pengejaran dengan maksud menghindarkannya dari bahaya maut dan diapun sadar akan kebodohannya. Pula, Raja Iblis itu telah cepat menghilang dan dia sendiri tidak begitu mengenal daerah ini maka melakukan pengejaran selain tak mungkin, juga benar-benar sama dengan membunuh diri.
Baru menghadapi Raja Iblis seorang diri saja dia sudah kalah, apalagi kalau raja sesat itu muncul bersama kaki tangannya. Akan tetapi, bagaimanapun juga, tidak mungkin dia dapat mendiamkan saja Hui Cu dibawa ayahnya. Gadis itu seperti berada dalam cengkeraman harimau. Lebih celaka lagi, seperti berada dalam cengkeraman iblis. Harimau takkan membunuh anaknya sendiri, akan tetapi Raja Iblis itu hendak memaksa Hui Cu menjadi isterinya, atau akan dibunuhnya.
Kini setelah Raja Iblis pergi, Ci Kang dapat mencurahkan perhatiannya kepada suami isteri itu. Dia memandang kepada mereka dan merasa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Jadi inikah yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu? Ayah dan ibu Sui Cin, gadis yang dicintanya. Dan mereka ini demikian gagah perkasa, demikian anggun dan berpakaian indah. Sepasang pendekar yang berilmu tinggi, yang dapat membuat datuk sesat seperti Raja Iblis melarikan diri.
Sepasang pendekar perkasa yang agaknya kaya raya pula. Sedangkan dia? Dia hanya seorang yatim piatu, dan lebih lagi, anak seorang datuk sesat yang buta. Dibandingkan dengan Sui Cin dan keluarganya, dia tidak lebih pantas menjadi seorang pelayan atau pegawai mereka saja. Akan tetapi dia teringat bahwa kemunculan dua orang ini tadi telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut. Kalau tidak ada mereka ini, tentu dia sudah tewas di tangan Raja Iblis, maka diapun cepat menjura dengan sikap menghormat.
"Ji-wi locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya. Saya menghaturkan terima kasih."
Suami isteri itu memandang dengan wajah berseri. Mereka merasa suka kepada pemuda gagah yang berani melawan Raja Iblis dan membela gadis itu. Mereka menduga bahwa tentu pemuda ini kekasih gadis itu, atau setidaknya mencinta gadis itu dan mungkin Raja Iblis tidak merestui hubungan mereka. Akan tetapi semua itu bukan urusan mereka.
"Orang muda, engkau gagah dan agaknya tidak akan mudah dapat dirobohkan oleh Raja Iblis itu. Tidak perlu berterima kasih karena kebetulan saja kita berjumpa disini dan setiap orang gagah memang wajib menentang iblis jahat seperti Raja Iblis itu. Nah, selamat berpisah," kata Ceng Thian Sin dengan ramah. Bersama isterinya dia membalikkan tubuhnya hendak melanjutkan perjalanan mereka.
Kepergian Sui Cin yang amat lama itu menggelisahkan hati suami isteri ini dan mereka seringkali melakukan perjalanan untuk mencari puteri mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin pulang ke Pulau Teratai Merah, ia tidak bertemu dengan ayah bundanya yang sedang pergi mencarinya. Ia meninggalkan surat dan melanjutkan perjalanannya ke utara, sesuai dengan perintah gurunya.
Dan tak lama kemudian, Ceng Thian Sin dan isterinya yang kembali ke pulau itu, menemukan surat puteri mereka. Tentu saja keduanya merasa khawatir sekali mendengar betapa Sui Cin terlibat dalam urusan menentang pemberontakan di utara, hendak menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Karena mengkhawatirkan puteri mereka, suami isteri ini berangkat lagi melakukan pengejaran ke utara.
"Ji-wi, harap perlahan dulu!"
Mendengar suara pemuda itu menahan mereka, Ceng Thian Sin dan isterinya berhenti melangkah dan menengok dengan heran.
"Ada apakah, orang muda?" Pendekar Sadis bertanya.
"Kalau tadi saya tidak salah dengar, locianpwe berjuluk Pendekar Sadis. Apakah locianpwe bernama Ceng Thian Sin dan ji-wi adalah ayah bunda dari nona Ceng Sui Cin?"
"Benar, apakah engkau mengenal anakku?"
Toan Kim Hong berseru dengan wajah berseri dan suaranya mengandung kegembiraan. Selama ini mereka berdua sudah mencari-cari akan tetapi belum pernah mendengar tentang puterinya dan tidak dapat menemukan jejaknya. Dan kini, tanpa disangkanya ia mendengar orang bertanya tentang Sui Cin!
"Saya mengenal nona Ceng dengan baik," jawab Ci Kang perlahan.
Ceng Thian Sin memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian. Setelah mendengar bahwa pemuda ini mengenal Sui Cin dan agaknya merupakan sumber berita dimana adanya puterinya itu, tiba-tiba saja pemuda itu menjadi penting baginya.
"Orang muda, sungguh Thian telah menuntun kami untuk bertemu denganmu disini. Siapakah namamu, orang muda?"
"Nama saya Siangkoan Ci Kang."
"Siangkoan...? Jarang mendengar tokoh dengan she Siangkoan di dunia persilatan," kata Pendekar Sadis.
"Bukankah ada seorang datuk yang juga memiliki she Siangkoan, yang terkenal dengan ilmu silatnya yang tinggi?" tiba-tiba Toan Kim Hong berkata.
"Ah, maksudmu Siangkoan Lo-jin? Mana ada hubungannya dengan..."
"Maaf, locianpwe. Siangkoan Lo-jin adalah mendiang ayah saya."
"Ahh...!"
Suami isteri itu saling pandang. Mereka sudah mendengar tentang Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta yang terkenal sebagai seorang datuk kaum sesat yang selain berilmu tinggi, juga amat kejam. Dan mereka juga mendengar berita di dunia kang-ouw selama mereka mencari Sui Cin bahwa Iblis Buta telah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis yang kini merampas kedudukan pemimpin para datuk kaum sesat. Kini merekapun menduga bahwa tentu pemuda ini memusuhi Raja Iblis karena mendendam atas kematian ayahnya. Akan tetapi mengapa pemua ini membela puteri Raja Iblis? Mereka tidak ingin tahu lebih banyak karena hal itu bukan urusan mereka.
"Orang muda, engkau tadi mengatakan mengenal baik anak kami. Dimanakah kini anak kami Sui Cin itu?" Pendekar Sadis bertanya tidak sabar.
"Menurut pengetahuan saya, nona Ceng Sui Cin kini berada bersama para pimpinan suku bangsa di utara ini. Ia telah membantu nenek Yelu Kim yang berhasil meraih kedudukan pemimpin para suku bangsa. Kalau ji-wi dapat bertemu dengan nenek Yelu Kim yang kini menjadi pemimpin besar para kepala suku bangsa di utara, tentu ji-wi akan dapat bertemu pula dengan nona Ceng."
"Apa? Anakku membantu pemimpin para kepala suku liar?" Toan Kim Hong bertanya, matanya terbelalak.
"Orang muda, dimana adanya rombongan nenek Yelu Kim itu sekarang?" Ceng Thian Sin bertanya.
"Tidak begitu jauh dari sini, locianpwe. Di balik bukit tandus di barat itu. Kalau tidak salah, para kepala suku masih berada disana bersama rombongan masing-masing."
"Terima kasih, orang muda. Kami akan mencarinva sekarang juga."
Thian Sin bersama isterinya lalu mengangguk dan meninggalkan Ci Kang yang hanya menjura dengan hormat kepada mereka. Dia tidak berani bicara banyak tentang Sui Cin, tentang hubungannya dengan gadis itu.
Setelah mereka pergi, pemuda itu berdiri termangu-mangu, merasa nelangsa dan kesepian, merasa betapa semakin jauhnya dirinya dari Sui Cin, gadis yang dicintanya itu. Akan tetapi, dia segera teringat kepada Hui Cu dan bangkit semangatnya. Saat ini, yang terpenting adalah menolong Hui Cu dari cengkeraman iblis, dari tangan ayahnya sendiri. Maka diapun cepat pergi dari situ untuk mencari jejak Hui Cu, atau lebih tepat lagi, jejak Raja Iblis.
Pertemuan yang dinanti-nantikan dengan hati tegang oleh para pendekar itupun tibalah. Malam bulan purnama dan mengambil tempat di bekas benteng Jeng-hwa-pang yang sudah rusak dan keadaannya menyeramkan karena tidak pernah ditinggali manusia.
Malam itu, tidak kurang dari seratus orang pendekar dari berbagai aliran berkumpul di tempat itu. Tentu saja tidak semua aliran mengirim wakilnya karena tidak semua pendekar berjiwa patriot. Bahkan banyak sekali para pendekar di dunia kang-ouw yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan pemerintahan dan pemberontakan. Mereka lebih suka bekerja secara bebas, menghadapi kejahatan perorangan dan tidak suka terikat dalam suatu kelompok.
Akan tetapi yang hadir pada malam hari itu telah mewakili sebagian besar dari para perguruan silat dan cabang persilatan. Hal ini adalah karena sebagian besar dari para pendekar merasa perlu untuk menghadiri pertemuan. Pemberontakan yang terjadi sekarang ini bukan sekedar pemberontakan dari golongan yang tidak puas terhadap golongan lain yang berkuasa, bukan sekedar perebutan kedudukan belaka. Akan tetapi yang memberontak adalah kaum sesat yang menjadi musuh besar mereka di sepanjang masa.
Raja Iblis sendiri, dibantu oleh Cap-sha-kui, mengumpulkan para datuk sesat untuk merampas kedudukan dan menggulingkan pemerintah. Kalau sampai mereka berhasil, kalau sampai pemerintah dipegang oleh kaum sesat, berarti dunia para pendekar akan hancur! Jadi, pemberontakan kaum sesat itu bukan hanya mengancam para penguasa yang sekarang menduduki kekuasaan, melainkan juga mengancam kehidupan para pendekar sendiri.
Di pekarangan bangunan-bangunan rusak yang amat luas, yang kini menjadi padang rumput karena tidak terpelihara, para pendekar berkumpul dan membentuk sebuah lingkaran lebar. Di dalam lingkaran itu dinyalakan api unggun besar. Mereka bekerja bergotong-royong tanpa adanya suatu pimpinan karena memang mereka itu datang untuk berunding, mendengar berita dari mulut ke mulut, dan diantara mereka tidak terdapat golongan pimpinan.
Hanya dengan sendirinya mereka semua menganggap para locianpwe yang hadir sebagai pimpinan, bukan hanya karena usia mereka yang lebih tua, melainkan juga karena kedudukan mereka dalam tingkat kepandaian. Diantara para tokoh tua dari berbagai cabang persilatan seperti dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai yang hadir, terdapat pula empat orang tokoh tua yang dianggap sebagai tokoh-tokoh bertingkat tinggi oleh mereka, walaupun sebagian dari para pendekar tidak pernah mengenal mereka.
Hanya kaum tua yang mewakili partai-partai besar itu saja yang mengenal empat orang ini dan memperkenalkan mereka dengan sikap hormat kepada para pendekar. Mereka ini adalah Ciu-sian Lo-kai, Go-bi San-jin, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin. Guru Ci Kang, Go-bi San-jin menjadi guru Cia Sun.
Seperti telah kita ketahui, Ciu-sian Lo-kai adalah Wu-yi Lo-jin menjadi guru Sui Cin sedangkan Siang-kiang Lo-jin menjadi guru Hui Song. Dan mereka berempat ini bukanlah asing satu sama lain. Puluhan tahun yang lalu mereka merupakan empat diantara tokoh penting di dunia persilatan yang telah dikalahkan dan ditaklukkan oleh Raja Iblis dan mereka mengundurkan diri dari dunia ramai untuk bertapa dan memperdalam ilmu.
Dua orang diantara mereka sudah meninggal dunia dalam pertapaan mereka dan empat orang kakek inipun tadinya sudah mengambil keputusan untuk mengasingkan diri dan tidak mencampuri urusan duniawi sampai mati. Akan tetapi, kini mereka semua terpaksa bangkit dan turun tangan ketika mendengar betapa Raja Iblis telah muncul kembali ke dunia ramai, bahkan merencanakan pemberontakan setelah berhasil menguasai para datuk golongan hitam.
Dan sepertli kita ketahui, mereka telah mengambil murid pilihan masing-masing yang memang sengaja mereka gembleng dan mereka wariskan ilmu-ilmu mereka kepada murid-murid itu untuk kelak dapat dipergunakan menghadapi Raja Iblis.
Pernah terjadi kelucuan di antara Ciu-sian Lo-kai dan Wu-yi Lo-jin, puluhan tahun yang lalu. Karena keduanya tukang minum arak, dan keduanya selalu membawa guci arak, ketika saling bertemu terjadi keributan diantara mereka, yaitu saling memperebutkan julukan Ciu-sian (Dewa Arak).
Untuk menentukan siapa yang lebih berhak memakai julukan Dewa Arak, keduanya bertanding, bukan bertanding silat, melainkan bertanding minum arak dengan sewajarnya tanpa mempergunakan akal dan ilmu sin-kang. Dalam pertandingan ini, akhirnya Wu-yi Lo-jin menyerah kalah setelah mereka berdua menghabiskan belasan guci besar arak yang kiranya cukup untuk menjamu dua ratus orang!
Dan mulai saat itu kakek berpakaian jembel berhak memakai julukan Ciu-sian Lo-kai, sedangkan kakek yang selalu berpakaian mewah memakai julukan Wu-yi Lo-jin, biarpun julukan Ciu-sian atau Dewa Arak masih menempel secara tidak resmi pada dirinya.
Pertemuan antara empat orang kakek itu menggembirakan mereka dan mereka merasa muda kembali dan penuh semangat perjuangan. Mereka berempat ini dan beberapa orang kakek tokoh partai-partai persilatan yang besar berada di dalam lingkaran itu, dekat api unggun, dikelilingi oleh para pendekar berbagai aliran.
Tanpa pemilihan dan tanpa diumumkan, empat orang ini dipandang sebagai pimpinan, apalagi karena mereka berempat itulah yang sudah mengenal Raja Iblis dan kesaktiannya yang amat tersohor dan menggemparkan dunia persilatan.
Wu-yi Lo-jin yang usianya sudah amat lanjut, delapan puluh tahun lebih, masih nampak sehat dan gembira. Kepalanya gundul botak, alis, kumis, jenggot dan sedikit rambut yang tersisa di belakang kepalanya sudah putih semua. Jenggotnya putih panjang sampai ke perut. Pakaiannya berkembang-kembang, dari kain yang baru dan indah. Beberapa kali dia minum arak dari gucinya yang besar tanpa menawarkan kepada orang lain. Kini nampak dia menggerakkan tangan kiri ke atas dan berkata,
"Matipun aku tidak akan dapat memejamkan mataku kalau Raja Iblis itu belum terbasmi habis sampai ke akar-akarnya!"
"Bicara memang enak dan mudah, akan tetapi pelaksanaannya yang sukar!" Ciu-sian Lo-kai yang selalu mempunyai perasaan bersaing dengan Dewa Arak yang lain itu mencela. "Aku kira menentang Raja Iblis sekarang ini sama artinya dengan menentang puluhan ribu orang perajurit. Dia sudah menguasai San-hai-koan dan sudah bergabung dengan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Panglima Ji Sun Ki. Mana mungkin kita mengandalkan kaki tangan biasa saja untuk menempuh dan melawan pasukan yang terdiri dari laksaan orang? Kita harus mencari cara yang lebih tepat."
"Benar, memang sekarang ini, dengan jumlah kita yang hanya seratus orang lebih, kiranya tidak mungkin melawan laksaan orang perajurit. Tadinya kita bermaksud untuk menentang Raja Iblis dengan antek-anteknya yang tentu jumlahnya tidaklah terlalu besar bagi kita. Hui Song, muridku, telah kusuruh melakukan penyelidikan diantara para kepala suku karena di sanapun teriadi pergerakan-pergerakan. Hui Song, coba kau ceritakan semua yang kau ketahui," kata Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas kepada pemuda itu.
Dewa Kipas ini masih tetap gendut sekali perutnya, kepalanya botak, dengan rambut sedikit saja di belakang kepala. Jubahnya, seperti biasa, tidak dapat tertutup saking besar perutnya dan juga karena memang tidak suka hawa panas. Kipasnya yang lebar itu kini berkembang dan digerak-gerakkan ke arah perutnya. Kakek berusia tujuh puluh tahun lebih inipun masih nampak sehat.
Hui Song lalu bangkit berdiri diantara mereka yang duduk membentuk lingkaran dan semua mata ditujukan kepadanya. Dia lalu menceritakan tentang segala yang dialaminya, mulai dari jatuhnya kota San-hai-koan sampai kepada para kepala suku yang mengadakan pertemuan dan pemilihan pimpinan.
"Para kepala suku liar itu sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan kesempatan dengan adanya pemberontakan yang terjadi di San-hai-koan untuk membonceng keadaan dan mulai gerakan mereka ke selatan untuk menghidupkan kembali kekuasaan bangsa utara. Pertama-tama mereka akan menyerang para pemberontak dan mengambil alih kota-kota yang sudah diduduki oleh para pemberontak, menyusun kekuatan dan bergerak terus ke selatan." Demikian dia mengakhiri ceritanya.
Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Ah, kalau begitu, sama dengan kita melibatkan diri ke dalam urusan pemerintah dan pemberontakan. Padahal, bukan demikian maksud kita semula. Kita hanya bergerak untuk menentang Raja Iblis," kata Go-bi San-jin, kakek berjubah pendeta, jubahnya bersih dan baru, mukanya hitam dan matanya lebar menambah kegagahan kakek berusia tujuh puluh tahun yang tubuhnya tinggi besar ini. "Kalau saja kita bisa menyerbu Raja Iblis dan antek-anteknya selagi mereka itu berada di tempat persembunyian Raja Iblis, tentu kita tidak perlu berurusan dengan pasukan pemerintah maupun pasukan pemberontak. Muridku telah berhasil menemukan tempat persembunyian Raja Iblis itu. Cia Sun, ceritakan pengalamanmu."
Cia Sun bangkit berdiri dan dia bercerita tentang gedung kuno di lereng bukit yang merupakan tempat persembunyian dan pertapaan Raja dan Ratu Iblis.
"Akan tetapi, kiranya akan sukar menemukan mereka di tempat itu," katanya sebagai penutup penuturannya. "Setelah kota San-hai-koan mereka rampas, tentu Raja Iblis dan para kaum sesat itu ikut memasuki kota untuk mempertahankan kota itu."
"Biarpun demikian," bantah Go-bi San-jin, "kalau sampai pasukan pemberontak itu dipukul hancur, tentu tempat itu menjadi tempat pelarian Raja Iblis dan Cap-sha-kui. Nah, kalau mereka sudah lari kesana, barulah kita dapat menyergap dan menyerang mereka tanpa adanya campur tangan pasukan."
"Semua itu tidak penting," Wu-yi Lo-jin berkata, "yang penting sekarang adalah bagaimana kita akan bertindak selanjutnya. Sayang bahwa muridku belum datang memberi laporan."
Tiba-tiba Hui Song bangkit berdiri dan berkata,
"Locianpwe, saya telah bertemu dengan nona Ceng Sui Cin. Ia kini membantu nenek Yelu Kim yang telah diangkat menjadi pemimpin para kepala suku. Ia berpendapat bahwa untuk menentang Raja Iblis yang sudah bergabung dengan pasukan pemberontak, harus dilakukan dengan menggunakan pasukan pula. Karena itu, ia akan membantu para suku liar kalau mereka menggempur pasukan pemberontak yang menjadi sekutu Raja Iblis."
"Bagus sekali!" Wu-yi Lo-jin berkata girang. "Ah, muridku memang cerdik. Melihat keadaannya sekarang, tidak ada lain jalan bagi kita untuk menentang Raja Iblis kecuali dengan jalan membantu pasukan-pasukan yang menggempur pasukan pemberontak yang menjadi sekutunya itu. Kita harus berpencar, dan masing-masing mengambil jalan dan cara sendiri, baik secara perseorangan maupun bergabung dan membantu pasukan pemerintah atau pasukan mana saja yang menentang Raja Iblis dan sekutunya."
Semua orang merasa setuju dengan usul ini. Memang kebanyakan para pendekar lebih suka bekerja sendiri-sendiri secara bebas, tidak ditentukan oleh siasat suatu pimpinan, walaupun tujuan dari gerakan mereka mempunyai arah yang sama dan tertentu, yakni menentang kekuasaan Raja Iblis.
Maka, mendengar ucapan para tokoh tua itu, mereka menerimanya dengan gembira. Hanya Ciu-sian Lo-kai seorang yang tidak kelihatan gembira. Kemuraman tipis menyelubungi wajahnya yang biasanya gembira itu. Dia merasa kecewa karena muridnya, Siangkoan Ci Kang, tidak muncul dalam pertemuan itu. Akan tetapi, dia tidak mau memperlihatkan kekecewaannya ini dan dia hanya menggunakan pandang matanya untuk melihat-lihat ke sekeliling tempat itu dengan harapan kemunculan Ci Kang yang amat dlharapkannya.
Tiba-tiba sepasang matanya mengeluarkan sinar, bukan karena melihat Ci Kang, melainkan karena dia melihat gerakan orang-orang di luar tembok bekas benteng itu dan sebagai seorang pendekar yang banyak pengalaman, gerakan orang-orang ini dapat ia duga apa artinya.
Kakek ini tiba-tiba meloncat ke depan dan menginjak-injak api unggun sambil berseru,
"Semua berpencar! Kita dikepung!"
Mendengar ini dan melihat sepak terjang Ciu-sian Lo-kai, semua orang terkejut. Para tokoh tua yang melihat betapa orang seperti Ciu-sian Lo-kai nampak gugup dan tegang, mengerti bahwa tentu keadaannya gawat, maka merekapun cepat turun tangan membantu memadamkan api unggun.
"Berpencar dan bersembunyi!" teriak Go-bi San-jin.
"Lihat dulu siapa mereka! Kalau pasukan sekutu Raja Iblis, kita lawan mati-matian!" kata pula Wu-yi Lo-jin.
"Buka jalan darah dan usaha menyelamatkan diri masing-masing!" teriak Siang-kiang Lo-jin yang maklum bahwa kalau pasukan yang datang dalam jumlah yang amat banyak, melawanpun tidak akan menguntungkan.
Tiba-tiba terdengar bunyi terompet disusul derap kaki banyak orang dan benar saja, tempat itu telah dikepung oleh sedikitnya seribu orang perajurit yang kini menyerbu ke dalam benteng kuno itu sambil bersorak-sorak.
Dengan senjata golok atau pedang di tangan kanan dan perisai di tangan kiri, pasukan itu menyerbu ke dalam benteng, dipimpin oleh beberapa orang yang amat lihai gerakannya. Tentu saja para pendekar yang sudah siap itu lalu menyambut dengan perlawanan mati-matian dan terjadilah pertempuran yang amat seru dan hebat di dalam pekarangan luas itu, dalam cuaca yang remang-remang karena hanya disinari bulan purnama.
Pasukan yang menyerbu itu dipimpin oleh Gui Siang Hwa, lalu nampak orang-orang yang aneh pakaiannya dan perawakannya, namun mereka ini memiliki gerakan yang amat lihai. Mereka ini adalah orang-orang Cap-sha-kui dan para datuk sesat lain.
Kiranya Raja Iblis telah mengetahui adanya pertemuan para pendekar itu sebagai hasil penyelidikan Siang Hwa dan pembantunya. Gadis murid Raja Iblis yang amat cerdik ini memang amat lincah dan pandai menyebar orang-orangnya. Mendengar adanya pertemuan para pendekar di daerah utara, Raja Iblis lalu mengirim pasukan dari San-hai-koan berjumlah seribu orang lebih yang dibantu dan dipimpin oleh Siang Hwa dan para datuk Cap-sha-kui. Raja Iblis menghendaki agar semua pendekar yang berada di benteng tua Jeng-hwa-pang itu ditumpas habis.
Di sebelah Siang Hwa nampak seorang pemuda tampan yang juga amat gagah gerakannya. Pemuda ini adalah Sim Thian Bu! Seperti kita ketahui, Sim Thian Bu adalah murid mendiang Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta. Bagaimanakah murid itu malah membantu pasukan Raja Iblis, padahal gurunya tewas di tangan Ratu Iblis?
Agaknya Sim Thian Bu tidak menaruh dendam atas kematian gurunya. Beberapa hari yang lalu, pada suatu pagi, dia yang melakukan perjalanan seorang diri tiba di lereng sebuah bukit yang amat sunyi, di sebuah padang rumput. Tiba-tiba Thian Bu berpapasan dengan Siang Hwa yang menunggang kuda. Biarpun dia sedang berjalan kaki dan penunggang kuda itu membalapkan kuda dengan cepat, namun Thian Bu yang mata keranjang itu dapat melihat bahwa penunggang kuda itu adalah seorang wanita muda yang cantik sekali.
Sebaliknya, biarpun ia sedang sibuk dengan segala urusan pemberontakan yang dibantunya, namun melihat seorang pemuda gagah dan ganteng berada seorang diri di tempat sunyi itu, Siang Hwa segera merasa tertarik sekali. Ia menghentikan kudanya dan memutar kudanya, menjalankan kuda itu menghampiri Thian Bu.
Pemuda inipun sudah merasa amat tertarik dan gembira sekali, maka setelah Siang Hwa menghentikan kudanya di depannya, dia memandang sembil tersenyum. Mereka saling pandang, saling memperhatikan dan keduanya tersenyum, terpesona oleh keanggunan masing-masing.
"Selamat pagi, nona!" Thian Bu yang memang jagoan dalam menghadapi dan mengambil hati wanita itu berkata dan memberi hormat dengan sikap sopan, wajahnya berseri penuh keramahan. "Sungguh mengejutkan sekali bertemu dengan seorang wanita cantik jelita seperti nona di tempat seperti ini. Suatu kejutan yang amat menggembirakan hati. Dari mana hendak kemanakah nona yang sendirian saja di tempat liar ini?"
Siang Hwa tersenyum, senyum manis yang penuh daya pikat. Ia senang sekali melihat sikap pemuda tampan itu.
"Pertanyaan yang sama benar dengan yang berada dalam hatiku. Siapakah engkau yang berada seorang diri di tempat sunyi ini?"
Thian Bu tertawa gembira. Seorang wanita yang selain cantik dan menggairahkan, juga tidak pemalu. Dan melihat pedang yang tergantung di punggung itu, dia dapat menduga bahwa wanita ini bukan orang lemah, apalagi kenyataan bahwa seorang diri wanita ini berani berkeliaran di tempat liar penuh bahaya itu.
"Nona, aku bernama Sim Thian Bu. Senang sekali berkenalan denganmu. Siapakah namamu, nona dan bagaimana seorang gadis cantik jelita seperti nona dapat berada di tempat liar seperti ini?"
Siang Hwa tersenyum. Pemuda ini sungguh menarik hatinya.
"Engkau sungguh tabah, berani berada seorang diri di tempat ini. Tidak takutkah kau bertemu dengan suku-suku liar? Ataukah engkau termasuk seorang pendekar yang akan menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang?"
"Ha-ha, seorang gadis muda cantik seperti nona tidak takut bersendirian di sini, apalagi seorang laki-laki seperti aku."
"Akan tetapi aku dapat membela diri dengan baik, kaki tanganku dan pedangku akan mampu menghalau semua bahaya yang mengancam diriku."
"Akupun tidak takut akan bahaya, nona, dan selama ini kaki tangankupun mampu melindungi diriku dari ancaman bahaya. Eh, nona belum memperkenalkan diri. Siapakah nama nona yang cantik dan gagah?"
Siang Hwa makin tertarik dan iapun meloncat turun dari atas kudanya, membiarkan kudanya makan rumput yang hijau subur dengan membuka kendali kudanya.
"Aih, benarkah engkau ahli membela diri? Tentu ilmu silatmu tinggi sekali. Nah, mari kita bermain silat sebentar, kalau engkau mampu menandingi aku, barulah aku akan memperkenalkan namaku. Kalau engkau ternyata hanya seorang pemuda biasa saja, tidak perlu aku memperkenalkan nama."
Melihat pemuda yang tampan, nampak gagah dan bersikap menarik dan pandai merayu itu timbul gairah dan kegembiraan dalam hati Siang Hwa. Ia sudah terlalu lama sibuk mengurus hal-hal yang serius, dan ia membutuhkan hiburan sebagai selingan dan pemuda ini, baik wajahnya, bentuk tubuhnya maupun sikapnya menjanjikan hiburan manis yang menyenangkan.
Sebaliknya, Thian Bu adalah seorang mata keranjang yang selalu tertarik apabila melihat wanita cantik, maka sikap Siang Hwa sungguh menggembirakan hatinya. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada bermain cinta dengan seorang wanita cantik, dan bermain silat dengan wanita cantikpun tidak kalah menggembirakannya. Maka diapun lalu meloncat ke belakang mencari tempat yang lebih enak agak menjauhi kuda.
"Mari nona, mari kita main-main sebentar. Akan tetapi, tidak biasa aku bertanding tanpa taruhan. Oleh karena itu, mari kita bertaruh dalam pertandingan silat ini," ajaknya sambil bertolak pinggang dengan sikap gagah.
Siang Hwa tersenyum gembira dan menggulung lengan bajunya. Nampaklah sepasang lengan yang berkulit putih bersih dan berbentuk bulat indah. Iapun bertolak pinggang dengan sikap menantang, akan tetapi wajahnya berseri gembira.
"Baik, apa taruhannya?"
"Kalau aku sampai kalah olehmu, maka aku akan menurut segala permintaanmu," jawab Thian Bu.
"Akur! Apapun yang kuperintahkan harus kau taati. Dan kalau aku kalah?"
"Tentu sama juga, semua permintaanku harus kau penuhi."
Keduanya saling pandang dan tersenyum karena mereka sudah sama-sama tahu apa maksud yang tersembunyi di balik taruhan itu.
"Nah, mari kita mulai. Lihat seranganku!"
Siang Hwa membentak dan iapun menyerang dengan cepat, mengayun tangannya menyambar ke arah dada Thian Bu. Pemuda itu melihat datangnya serangan yang amat cepat dan didahului angin pukulan kuat, diam-diam terkejut karena dia tidak menyangka bahwa wanita itu ternyata demikian cepat dan kuatnya. Diapun menggerakkan tangannya menangkis.
"Dukkk...!" Keduanya terpental akan tetapi Sim Thian Bu sampai terhuyung.
"Aihh...!"
Kini dia benar-benar kaget dan Siang Hwa tertawa mengejek lalu menyerang lagi. Karena maklum bahwa gadis itu ternyata jauh lebih lihai daripada yang diduganya, diapun cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan balas menyerang.
Terjadilah pertandingan yang seru dan ramai. Keduanya memang sudah saling tertarik dan tentu saja tidak suka saling melukai, akan tetapi bagaimanapun juga, keduanya ingin keluar sebagai pemenang karena tentu akan lebih senang memerintah daripada mentaati perintah.
Setelah perkelahian berlangsung selama lima puluh jurus, diam-diam Siang Hwa girang sekali. Pemuda ini bukan hanya ganteng, akan tetapi juga cukup lihai sehingga cukup berharga untuk dijadikan kekasih merangkap pembantunya!
Sebaliknya, Thian Bu mulai merasa khawatir ketika memperoleh kenyataan pahit bahwa dia tidak mampu mengatasi lawannya. Dia khawatir bahwa kalau sampai dia kalah, wanita ini mengajukan permintaan yang akan memberatkan dirinya dan tidak seperti yang diharapkannya. Kalau dia menang, tentu dia tidak hanya akan minta wanita itu mengakui namanya, akan tetapi juga akan minta agar wanita itu suka melayaninya dan menjadi kekasihnya untuk beberapa hari lamanya!
Maka, diapun mengeluarkan seluruh tenaganya dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa dia kalah setingkat. Dia mulai terdesak dan tiba-tiba dalam keadaan terdesak dan menghadapi serangan bertubi-tubi itu, lututnya disentuh ujung sepatu Siang Hwa Thian Bu merasa betapa kaki kanannya kesemutan dan seperti lumpuh, maka ketika tangan Siang Hwa mendorong dadanya, diapun terjengkang dan terjatuh ke atas tanah yang bertilam rumput tebal.
Sebelum dia dapat meloncat bangun, Siang Hwa sudah menubruknya, menekan pundaknya dengan jari tangan mengancam ubun-ubun kepalanya dan wanita itu tersenyum menghardik,
"Engkau sudah kalah!"
Melihat sikap dan senyum itu, Thian Bu tersenyum pula.
"Ya, aku sudah kalah. Aku sudah takluk dan akan mentaati permintaanmu."
"Bagus! Nah, kau peluklah aku, kau cintailah aku!"
Thian Bu terbelalak girang, lalu merangkul dan menarik wanita itu ke atas tubuhnya.
"Ha-ha, itulah yang akan kuminta kalau aku menang!"
"Kau kira aku tidak tahu?"
Siang Hwa juga berkata dan balas merangkul. Mereka berciuman dan bergumul di atas rumput tebal di tempat yang sunyi itu. Memang kedua orang ini seperti lalat dengan sampah, cocok satu sama lain sehingga setelah saling bertemu, mereka seperti merasa memperoleh tandingan yang amat cocok dan menyenangkan. Sampai matahari naik tinggi mereka lupa diri dan tenggelam dalam lautan kenikmatan mengumbar nafsu mereka sepuasnya.
Setelah puas bermesraan dengan kekasih barunya itu, Siang Hwa mengajak Thian Bu duduk berteduh di bawah pohon. Sambil memegang tangan pemuda itu dan memandangnya dengan sinar mata mesra, ia berkata,
"Sim Thian Bu, engkau adalah murid mendiang Siangkoan Lo-jin, bukan?"
Bagi Thian Bu, ucapan ini tidak mengejutkan. Nama gurunya memang amat terkenal di dunia dan diapun sejak tadi dapat menduga bahwa wanita yang amat menyenangkan hatinya ini tentu dari golongan sesat. Yang membuat dia merasa tidak enak adalah karena dia sendiri belum mengenal siapa adanya wanita ini, walaupun telah menjadi kekasihnya. Sejak tadi dia menduga-duga siapa gerangan wanita muda yang selain cantik, juga memiliki ilmu silat yang amat tinggi ini.
"Benar, sayang. Dan engkau sendiri? Ilmu silatmu begitu hebat..."
"Nanti dulu. Aku mendengar bahwa gurumu itu tewas di tangan Raja Iblis Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya. Benarkah?"
Thian Bu mengangguk, tidak mengerti apa maksud wanita ini bertanya tentang hal itu.
"Apakah engkau tidak menaruh dendam atas kematian gurumu itu?" Sepasang mata yang jeli namun genit itu memandang penuh selidik.
Thian Bu cukup cerdik untuk bersikap hati-hati. Kini dia mulai dapat menduga bahwa tentu wanita ini mempunyai hubungan dekat dengan Raja Iblis, maka diapun menggeleng kepala.
"Mendiang suhu tewas karena dia menentang Toan Ong-ya, dan itu merupakan kesalahannya sendiri. Dia tidak tahu diri dan tidak mau menerima kehadiran orang yang jauh lebih kuat. Aku sendiri bahkan ingin membantu Toan Ong-ya, akan tetapi aku takut untuk menghadap karena tentu aku akan dicurigai sebagai murid mendiang suhu yang tewas di tangan beliau."
Giranglah hati Siang Hwa mendengar ini. Ia lalu merangkul dan mencium orang muda itu.
"Kekasihku, jangan khawatir. Ada aku disini yang akan menanggungmu bahwa engkau pasti akan diterima dengan hati girang oleh Toan Ong-ya."
"Engkau? Mengapa bisa begitu?"
"Karena aku adalah satu diantara muridnya yang paling dipercaya dan dikasihi."
"Ahh...!" Thian Bu benar-benar terkejut akan tetapi juga girang bahwa dia telah berhasil memikat hati murid terkasih Raja Iblis! "Pantas saja ilmu silatmu begitu hebat. Aku akan senang sekali kalau dapat membantu gurumu, yang berarti akan membantumu dan akan selalu berada di sampingmu."
"Jangan khawatir, mari kita pergi dan mulai saat ini, engkau tidak akan terpisah dariku."
Demikianlah, sejak saat itu, Sim Thian Bu menjadi pembantu Siang Hwa yang paling boleh diandalkan, di samping juga menjadi kekasihnya yang melayaninya setiap saat ia menghendaki. Bahkan ketika dihadapkan kepada Raja dan Ratu Iblis, suhu dan subonya itupun menerima Thian Bu dengan girang.
Dan dalam penyerbuan terhadap para pendekar di dalam benteng Jeng-hwa-pang itu Thian Bu juga berada di samping Siang Hwa, membantu dan ikut menyerbu.
Kita kembali ke dalam bekas benteng Jeng-hwa-pang. Penyerbuan yang terjadi secara mendadak itu tentu saja amat mengejutkan dan membuat panik para pendekar. Namun, mereka adalah pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak mau menyerah begitu saja.
Begitu pasukan itu menyerbu masuk, mereka melakukan perlawanan dengan gigih. Dan karena rata-rata para pendekar memiliki ilmu silat tinggi, sebentar saja tempat itu penuh dengan tubuh anak buah pasukan yang berserakan dan tumpang tindih. Akan tetapi, jumlah pasukan itu jauh lebih besar dan diantara mereka terdapat pula orang-orang pandai Cap-sha-kui, juga Siang Hwa dan Thian Bu. Oleh karena itu, para pendekar terdesak dan banyak pula diantara mereka yang roboh setelah terlebih dahulu merobohkan beberapa orang perajurit. Para pendekar terhimpit dan cerai berai, dan terpaksa mencari jalan keluar berdarah untuk menyelamatkan diri.
Akhirnya, hanya tokoh-tokoh besar yang memiliki kepandaian tinggi saja diantara para pendekar yang mampu meloloskan diri. Sedikitnya lima puluh orang pendekar tewas di dalam pertempuran itu dan selebihnya lolos. Akan tetapi, mayat-mayat anak buah pasukan pemberontak yang berserakan tewas di situ tidak kurang dari dua ratus orang jumlahnya!
Biarpun demikian, Siang Hwa merasa girang sekali dan membawa pulang pasukan ke San-hai-koan dengan gembira dan merasa telah memperoleh hasil baik membasmi sebagian para pendekar yang menjadi musuh besar gurunya dan golongannya. Dan di San-hai-koan mereka disambut dengan girang dan pujian.
Dalam kesempatan ini, Siang Hwa menonjolkan jasa Thian Bu sehingga Raja Iblis makin percaya kepada pemuda ini. Bahkan panglima pemberontak Ji Sun Ki juga mempercayakan seribu orang perajurit untuk dipimpin oleh Sim Thian Bu untuk menyerbu dan menduduki dusun-dusun di sekitar San-hai-koan untuk memperluas dan memperkuat kedudukan mereka di samping merampok bahan-bahan makanan dan ternak untuk ransum.
Kiranya Raja Iblis telah mengetahui adanya pertemuan para pendekar itu sebagai hasil penyelidikan Siang Hwa dan pembantunya. Gadis murid Raja Iblis yang amat cerdik ini memang amat lincah dan pandai menyebar orang-orangnya. Mendengar adanya pertemuan para pendekar di daerah utara, Raja Iblis lalu mengirim pasukan dari San-hai-koan berjumlah seribu orang lebih yang dibantu dan dipimpin oleh Siang Hwa dan para datuk Cap-sha-kui. Raja Iblis menghendaki agar semua pendekar yang berada di benteng tua Jeng-hwa-pang itu ditumpas habis.
Di sebelah Siang Hwa nampak seorang pemuda tampan yang juga amat gagah gerakannya. Pemuda ini adalah Sim Thian Bu! Seperti kita ketahui, Sim Thian Bu adalah murid mendiang Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta. Bagaimanakah murid itu malah membantu pasukan Raja Iblis, padahal gurunya tewas di tangan Ratu Iblis?
Agaknya Sim Thian Bu tidak menaruh dendam atas kematian gurunya. Beberapa hari yang lalu, pada suatu pagi, dia yang melakukan perjalanan seorang diri tiba di lereng sebuah bukit yang amat sunyi, di sebuah padang rumput. Tiba-tiba Thian Bu berpapasan dengan Siang Hwa yang menunggang kuda. Biarpun dia sedang berjalan kaki dan penunggang kuda itu membalapkan kuda dengan cepat, namun Thian Bu yang mata keranjang itu dapat melihat bahwa penunggang kuda itu adalah seorang wanita muda yang cantik sekali.
Sebaliknya, biarpun ia sedang sibuk dengan segala urusan pemberontakan yang dibantunya, namun melihat seorang pemuda gagah dan ganteng berada seorang diri di tempat sunyi itu, Siang Hwa segera merasa tertarik sekali. Ia menghentikan kudanya dan memutar kudanya, menjalankan kuda itu menghampiri Thian Bu.
Pemuda inipun sudah merasa amat tertarik dan gembira sekali, maka setelah Siang Hwa menghentikan kudanya di depannya, dia memandang sembil tersenyum. Mereka saling pandang, saling memperhatikan dan keduanya tersenyum, terpesona oleh keanggunan masing-masing.
"Selamat pagi, nona!" Thian Bu yang memang jagoan dalam menghadapi dan mengambil hati wanita itu berkata dan memberi hormat dengan sikap sopan, wajahnya berseri penuh keramahan. "Sungguh mengejutkan sekali bertemu dengan seorang wanita cantik jelita seperti nona di tempat seperti ini. Suatu kejutan yang amat menggembirakan hati. Dari mana hendak kemanakah nona yang sendirian saja di tempat liar ini?"
Siang Hwa tersenyum, senyum manis yang penuh daya pikat. Ia senang sekali melihat sikap pemuda tampan itu.
"Pertanyaan yang sama benar dengan yang berada dalam hatiku. Siapakah engkau yang berada seorang diri di tempat sunyi ini?"
Thian Bu tertawa gembira. Seorang wanita yang selain cantik dan menggairahkan, juga tidak pemalu. Dan melihat pedang yang tergantung di punggung itu, dia dapat menduga bahwa wanita ini bukan orang lemah, apalagi kenyataan bahwa seorang diri wanita ini berani berkeliaran di tempat liar penuh bahaya itu.
"Nona, aku bernama Sim Thian Bu. Senang sekali berkenalan denganmu. Siapakah namamu, nona dan bagaimana seorang gadis cantik jelita seperti nona dapat berada di tempat liar seperti ini?"
Siang Hwa tersenyum. Pemuda ini sungguh menarik hatinya.
"Engkau sungguh tabah, berani berada seorang diri di tempat ini. Tidak takutkah kau bertemu dengan suku-suku liar? Ataukah engkau termasuk seorang pendekar yang akan menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang?"
"Ha-ha, seorang gadis muda cantik seperti nona tidak takut bersendirian di sini, apalagi seorang laki-laki seperti aku."
"Akan tetapi aku dapat membela diri dengan baik, kaki tanganku dan pedangku akan mampu menghalau semua bahaya yang mengancam diriku."
"Akupun tidak takut akan bahaya, nona, dan selama ini kaki tangankupun mampu melindungi diriku dari ancaman bahaya. Eh, nona belum memperkenalkan diri. Siapakah nama nona yang cantik dan gagah?"
Siang Hwa makin tertarik dan iapun meloncat turun dari atas kudanya, membiarkan kudanya makan rumput yang hijau subur dengan membuka kendali kudanya.
"Aih, benarkah engkau ahli membela diri? Tentu ilmu silatmu tinggi sekali. Nah, mari kita bermain silat sebentar, kalau engkau mampu menandingi aku, barulah aku akan memperkenalkan namaku. Kalau engkau ternyata hanya seorang pemuda biasa saja, tidak perlu aku memperkenalkan nama."
Melihat pemuda yang tampan, nampak gagah dan bersikap menarik dan pandai merayu itu timbul gairah dan kegembiraan dalam hati Siang Hwa. Ia sudah terlalu lama sibuk mengurus hal-hal yang serius, dan ia membutuhkan hiburan sebagai selingan dan pemuda ini, baik wajahnya, bentuk tubuhnya maupun sikapnya menjanjikan hiburan manis yang menyenangkan.
Sebaliknya, Thian Bu adalah seorang mata keranjang yang selalu tertarik apabila melihat wanita cantik, maka sikap Siang Hwa sungguh menggembirakan hatinya. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada bermain cinta dengan seorang wanita cantik, dan bermain silat dengan wanita cantikpun tidak kalah menggembirakannya. Maka diapun lalu meloncat ke belakang mencari tempat yang lebih enak agak menjauhi kuda.
"Mari nona, mari kita main-main sebentar. Akan tetapi, tidak biasa aku bertanding tanpa taruhan. Oleh karena itu, mari kita bertaruh dalam pertandingan silat ini," ajaknya sambil bertolak pinggang dengan sikap gagah.
Siang Hwa tersenyum gembira dan menggulung lengan bajunya. Nampaklah sepasang lengan yang berkulit putih bersih dan berbentuk bulat indah. Iapun bertolak pinggang dengan sikap menantang, akan tetapi wajahnya berseri gembira.
"Baik, apa taruhannya?"
"Kalau aku sampai kalah olehmu, maka aku akan menurut segala permintaanmu," jawab Thian Bu.
"Akur! Apapun yang kuperintahkan harus kau taati. Dan kalau aku kalah?"
"Tentu sama juga, semua permintaanku harus kau penuhi."
Keduanya saling pandang dan tersenyum karena mereka sudah sama-sama tahu apa maksud yang tersembunyi di balik taruhan itu.
"Nah, mari kita mulai. Lihat seranganku!"
Siang Hwa membentak dan iapun menyerang dengan cepat, mengayun tangannya menyambar ke arah dada Thian Bu. Pemuda itu melihat datangnya serangan yang amat cepat dan didahului angin pukulan kuat, diam-diam terkejut karena dia tidak menyangka bahwa wanita itu ternyata demikian cepat dan kuatnya. Diapun menggerakkan tangannya menangkis.
"Dukkk...!" Keduanya terpental akan tetapi Sim Thian Bu sampai terhuyung.
"Aihh...!"
Kini dia benar-benar kaget dan Siang Hwa tertawa mengejek lalu menyerang lagi. Karena maklum bahwa gadis itu ternyata jauh lebih lihai daripada yang diduganya, diapun cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan balas menyerang.
Terjadilah pertandingan yang seru dan ramai. Keduanya memang sudah saling tertarik dan tentu saja tidak suka saling melukai, akan tetapi bagaimanapun juga, keduanya ingin keluar sebagai pemenang karena tentu akan lebih senang memerintah daripada mentaati perintah.
Setelah perkelahian berlangsung selama lima puluh jurus, diam-diam Siang Hwa girang sekali. Pemuda ini bukan hanya ganteng, akan tetapi juga cukup lihai sehingga cukup berharga untuk dijadikan kekasih merangkap pembantunya!
Sebaliknya, Thian Bu mulai merasa khawatir ketika memperoleh kenyataan pahit bahwa dia tidak mampu mengatasi lawannya. Dia khawatir bahwa kalau sampai dia kalah, wanita ini mengajukan permintaan yang akan memberatkan dirinya dan tidak seperti yang diharapkannya. Kalau dia menang, tentu dia tidak hanya akan minta wanita itu mengakui namanya, akan tetapi juga akan minta agar wanita itu suka melayaninya dan menjadi kekasihnya untuk beberapa hari lamanya!
Maka, diapun mengeluarkan seluruh tenaganya dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa dia kalah setingkat. Dia mulai terdesak dan tiba-tiba dalam keadaan terdesak dan menghadapi serangan bertubi-tubi itu, lututnya disentuh ujung sepatu Siang Hwa Thian Bu merasa betapa kaki kanannya kesemutan dan seperti lumpuh, maka ketika tangan Siang Hwa mendorong dadanya, diapun terjengkang dan terjatuh ke atas tanah yang bertilam rumput tebal.
Sebelum dia dapat meloncat bangun, Siang Hwa sudah menubruknya, menekan pundaknya dengan jari tangan mengancam ubun-ubun kepalanya dan wanita itu tersenyum menghardik,
"Engkau sudah kalah!"
Melihat sikap dan senyum itu, Thian Bu tersenyum pula.
"Ya, aku sudah kalah. Aku sudah takluk dan akan mentaati permintaanmu."
"Bagus! Nah, kau peluklah aku, kau cintailah aku!"
Thian Bu terbelalak girang, lalu merangkul dan menarik wanita itu ke atas tubuhnya.
"Ha-ha, itulah yang akan kuminta kalau aku menang!"
"Kau kira aku tidak tahu?"
Siang Hwa juga berkata dan balas merangkul. Mereka berciuman dan bergumul di atas rumput tebal di tempat yang sunyi itu. Memang kedua orang ini seperti lalat dengan sampah, cocok satu sama lain sehingga setelah saling bertemu, mereka seperti merasa memperoleh tandingan yang amat cocok dan menyenangkan. Sampai matahari naik tinggi mereka lupa diri dan tenggelam dalam lautan kenikmatan mengumbar nafsu mereka sepuasnya.
Setelah puas bermesraan dengan kekasih barunya itu, Siang Hwa mengajak Thian Bu duduk berteduh di bawah pohon. Sambil memegang tangan pemuda itu dan memandangnya dengan sinar mata mesra, ia berkata,
"Sim Thian Bu, engkau adalah murid mendiang Siangkoan Lo-jin, bukan?"
Bagi Thian Bu, ucapan ini tidak mengejutkan. Nama gurunya memang amat terkenal di dunia dan diapun sejak tadi dapat menduga bahwa wanita yang amat menyenangkan hatinya ini tentu dari golongan sesat. Yang membuat dia merasa tidak enak adalah karena dia sendiri belum mengenal siapa adanya wanita ini, walaupun telah menjadi kekasihnya. Sejak tadi dia menduga-duga siapa gerangan wanita muda yang selain cantik, juga memiliki ilmu silat yang amat tinggi ini.
"Benar, sayang. Dan engkau sendiri? Ilmu silatmu begitu hebat..."
"Nanti dulu. Aku mendengar bahwa gurumu itu tewas di tangan Raja Iblis Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya. Benarkah?"
Thian Bu mengangguk, tidak mengerti apa maksud wanita ini bertanya tentang hal itu.
"Apakah engkau tidak menaruh dendam atas kematian gurumu itu?" Sepasang mata yang jeli namun genit itu memandang penuh selidik.
Thian Bu cukup cerdik untuk bersikap hati-hati. Kini dia mulai dapat menduga bahwa tentu wanita ini mempunyai hubungan dekat dengan Raja Iblis, maka diapun menggeleng kepala.
"Mendiang suhu tewas karena dia menentang Toan Ong-ya, dan itu merupakan kesalahannya sendiri. Dia tidak tahu diri dan tidak mau menerima kehadiran orang yang jauh lebih kuat. Aku sendiri bahkan ingin membantu Toan Ong-ya, akan tetapi aku takut untuk menghadap karena tentu aku akan dicurigai sebagai murid mendiang suhu yang tewas di tangan beliau."
Giranglah hati Siang Hwa mendengar ini. Ia lalu merangkul dan mencium orang muda itu.
"Kekasihku, jangan khawatir. Ada aku disini yang akan menanggungmu bahwa engkau pasti akan diterima dengan hati girang oleh Toan Ong-ya."
"Engkau? Mengapa bisa begitu?"
"Karena aku adalah satu diantara muridnya yang paling dipercaya dan dikasihi."
"Ahh...!" Thian Bu benar-benar terkejut akan tetapi juga girang bahwa dia telah berhasil memikat hati murid terkasih Raja Iblis! "Pantas saja ilmu silatmu begitu hebat. Aku akan senang sekali kalau dapat membantu gurumu, yang berarti akan membantumu dan akan selalu berada di sampingmu."
"Jangan khawatir, mari kita pergi dan mulai saat ini, engkau tidak akan terpisah dariku."
Demikianlah, sejak saat itu, Sim Thian Bu menjadi pembantu Siang Hwa yang paling boleh diandalkan, di samping juga menjadi kekasihnya yang melayaninya setiap saat ia menghendaki. Bahkan ketika dihadapkan kepada Raja dan Ratu Iblis, suhu dan subonya itupun menerima Thian Bu dengan girang.
Dan dalam penyerbuan terhadap para pendekar di dalam benteng Jeng-hwa-pang itu Thian Bu juga berada di samping Siang Hwa, membantu dan ikut menyerbu.
Kita kembali ke dalam bekas benteng Jeng-hwa-pang. Penyerbuan yang terjadi secara mendadak itu tentu saja amat mengejutkan dan membuat panik para pendekar. Namun, mereka adalah pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak mau menyerah begitu saja.
Begitu pasukan itu menyerbu masuk, mereka melakukan perlawanan dengan gigih. Dan karena rata-rata para pendekar memiliki ilmu silat tinggi, sebentar saja tempat itu penuh dengan tubuh anak buah pasukan yang berserakan dan tumpang tindih. Akan tetapi, jumlah pasukan itu jauh lebih besar dan diantara mereka terdapat pula orang-orang pandai Cap-sha-kui, juga Siang Hwa dan Thian Bu. Oleh karena itu, para pendekar terdesak dan banyak pula diantara mereka yang roboh setelah terlebih dahulu merobohkan beberapa orang perajurit. Para pendekar terhimpit dan cerai berai, dan terpaksa mencari jalan keluar berdarah untuk menyelamatkan diri.
Akhirnya, hanya tokoh-tokoh besar yang memiliki kepandaian tinggi saja diantara para pendekar yang mampu meloloskan diri. Sedikitnya lima puluh orang pendekar tewas di dalam pertempuran itu dan selebihnya lolos. Akan tetapi, mayat-mayat anak buah pasukan pemberontak yang berserakan tewas di situ tidak kurang dari dua ratus orang jumlahnya!
Biarpun demikian, Siang Hwa merasa girang sekali dan membawa pulang pasukan ke San-hai-koan dengan gembira dan merasa telah memperoleh hasil baik membasmi sebagian para pendekar yang menjadi musuh besar gurunya dan golongannya. Dan di San-hai-koan mereka disambut dengan girang dan pujian.
Dalam kesempatan ini, Siang Hwa menonjolkan jasa Thian Bu sehingga Raja Iblis makin percaya kepada pemuda ini. Bahkan panglima pemberontak Ji Sun Ki juga mempercayakan seribu orang perajurit untuk dipimpin oleh Sim Thian Bu untuk menyerbu dan menduduki dusun-dusun di sekitar San-hai-koan untuk memperluas dan memperkuat kedudukan mereka di samping merampok bahan-bahan makanan dan ternak untuk ransum.
Cin-ling-pai mempunyai jasa besar dalam penyerbuan kota Ceng-tek karena perkumpulan orang gagah inilah yang dipimpin sendiri oleh Cia Kong Liang, isteri dan mertuanya, yang menyelundup ke dalam kota Ceng-tek. Ketika terjadi penyerbuan, mereka telah membantu dari dalam, membakari tempat-tempat penting, menyerang pembesar-pembesar sehingga kekacauan ini menyebabkan pertahanan kota Ceng-tek menjadi lemah dan mudah ditundukkan dan dirampas.
Untuk menyenangkan hati para pendekar Cin-ling-pai, atas petunjuk Raja Iblis, Ji-ciangkun lalu mengangkat Cia Kong Liang sebagai pimpinan pasukan keamanan di kota itu, sedangkan para anggota Cin-ling-pai diangkat menjadi perwira-perwira pasukan keamanan kota Ceng-tek.
Mereka itu, dari para murid sampai ketuanya, bertugas dengan penuh disiplin dan semangat tinggi, merasa bahwa mereka telah menjadi pejuang-pejuang yang menegakkan keadilan dan menentang pemerintah lalim demi kebaikan rakyat dan negara.
Hanya Bin Mo To den puterinya yang diam-diam merasa gembira dengan pengangkatan itu. Ini merupakan permulaan yang baik bagi Cia Kong Liang untuk menuju ke tangga kedudukan yang kelak tentu akan jauh lebih tinggi kalau pemberontakan itu berhasil. Bin Mo To yang diam-diam telah mengadakan kontak dengan Raja Iblis dapat menyimpan rahasianya dan ketika berjumpa di San-hai-koan, dia berpura-pura tidak mengenal pangeran itu.
Kakek ini memang sejak puterinya menikah dengan Cia Kong Liang, tidak lagi terjun ke dalam dunia kejahatan, akan tetapi bagaimanapun juga dia tidak mampu melawan dorongan ambisinya untuk melihat anak mantunya menjadi seorang yang berkedudukan tinggi sehingga dia sendiri otomatis akan terangkat martabatnya.
Setelah Ceng-tek terjatuh ke tangan para pemberontak, kekuasaan para pemberontak menjadi semakin besar dan mereka semakin rajin menyerbu ke dusun-dusun. Yang paling rajin diantara para pembantu Ji-ciangkun adalah Sim Thian Bu. Orang ini selain menjadi kekasih Siang Hwa, juga menjadi kepercayaan Raja Iblis dan Ji-ciangkun karena memang sudah banyak jasanya.
Sim Thian Bu selama ini memperlihatkan kesetiaannya dan kesungguhan hatinya dalam membantu pasukan pemberontak menaklukkan dusun-dusun dan melakukan perampokan-perampokan. Oleh karena itu dia dipercaya memimpin pasukan besar sebanyak seribu orang, bahkan dia boleh menentukan sendiri gerakan-gerakan aksinya ke dusun-dusun. Thian Bu tidak mau sembarangan menyerang dusun-dusun yang miskin. Dia selalu menyelidiki lebih dahulu apakah terdapat hal-hal yang menguntungkan bagi penyerbuan pasukannya. Kalau di dusun itu terdapat harta kekayaan, atau setidaknya ternak atau bahan makanan, terutama sekali kalau terdapat wanita-wanitanya yang muda, tentu dia akan mengerahkan anak buahnya menyerbu.
Pada suatu pagi, Sim Thian Bu menunggang kuda seorang diri. Dia mendengar dari seorang penyelidiknya bahwa ada serombongan orang suku bangsa Mancu memasuki sebuah dusun yang sudah kosong karena semua penghuninya telah pergi, yaitu sisa dari mereka yang terbunuh oleh pasukannya. Yang tinggal hanya sisa-sisa rumah mereka yang sudah rusak dan sebagian terbakar.
Mendengar berita bahwa rombongan itu terdiri dari kurang lebih seratus orang dan dalam rombongan terdapat banyak wanita cantik, hati Sim Thian Bu tergerak. Maka, pada pagi hari itu dengan menunggang kuda dia pergi sendiri melakukan penyelidikan.
Dusun itu berada di sebuah lereng bukit, tidak begitu jauh dari Ceng-tek. Sebuah dusun yang keadaannya amat menyedihkhn karena hanya tinggal belasan orang pondok yang masih utuh, selebihnya sudah menjadi puing bekas dibakar.
Ketika memasuki dusun itu, Thian Bu memandang dengan senyum bangga karena keadaan dusun itu merupakan hasil atau bekas tangan pasukannya. Lumayan juga hasil yang diperolehnya dari dusun ini ketika dirampoknya dua pekan yang lalu karena disitu terdapat serombongan pengungsi dari utara yang membawa harta benda cukup banyak.
Puluhan ekor kuda yang ditambatkan di lapangan rumput dekat dusun membuat Thian Bu memandang dengan gembira. Baru puluhan ekor kuda itu saja sudah akan menjadi hasil serbuan yang lumayan. Kemudian ada pemandangan lain yang menggirangkan hatinya, yaitu jemuran pakaian-pakaian wanita yang indah-indah!
Dia meloncat turun, menambatkan kudanya pada sebatang pohon dan memasuki dusun itu sambil berindap dan menyelinap diantara pohon-pohon. Kemudian dia mulai melihat beberapa orang laki-laki berjalan keluar dari dalam pondok. Mereka adalah orang-orang Mancu dan melihat pakaian mereka yang serba bagus, dia dapat menduga bahwa rombongan itu merupakan makanan yang berdaging.
Tiba-tiba perhatian Thian Bu tertarik kepada lima orang wanita yang baru muncul dari dalam pondok sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau. Sepasang mata Thian Bu terbelalak. Wanita-wanita itu muda-muda, antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, dan semua cantik-cantik. Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa di tempat seperti itu dia akan dapat melihat demikian banyaknya wanita muda cantik. Wanita-wanita muda bangsa Mancu yang cantik dan berpakaian indah-indah, memakai perhiasan badan dari emas permata! Agaknya rombongan orang kaya raya yang kini berada di dusun ini, pikirnya dengan mulut berliur.
Karena lima orang wanita itu membawa keranjang berisi pakaian dan keluar dari pondok menuju ke sebuah sungai kecil yang mengalir tidak jauh dari tempat itu. Thian Bu tidak dapat menahan diri lagi dan diam-diam dia membayangi mereka. Soal menyerbu rombongan orang Mancu dalam dusun itu adalah soal nanti, yang terpenting baginya sekarang juga dia harus dapat melarikan seorang diantara lima gadis cantik itu.
Selama menjadi pembantu Raja Iblis, dia kekurangan hiburan karena waktu luangnya habis oleh Siang Hwa yang tidak pernah mau melepaskannya. Dan wataknya sebagai seorang penjahat cabul, membuat dia tidak puas kalau hanya berdekatan dengan satu orang wanita yang itu-itu juga.
Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati laki-laki cabul ini ketika dia melihat lima orang wanita itu menuruni lorong kecil menuju ke anak sungal itu dan mereka berlima lalu melepas jubah luar dan mandi-mandi sambil mencuci pakaian! Dia dapat melihat dengan jelas sekali bentuk tubuh mereka dan kecantikan mereka sehingga sukarlah dia memilih yang mana yang akan dilarikannya. Kesemuanya cantik manis dan memiliki daya tarik khas sendiri-sendiri.
Bagaikan seorang anak nakal Thian Bu bersembunyi, mendekam di balik semak-semak tak jauh dari tempat mereka mencuci pakaian dan berendam di air atau duduk di batu-batu besar itu. Matanya tak pernah berkedip, mukanya menjadi kemerahan dan buah lehernya turun naik.
"Laki-laki tidak sopan, tidak malu kau mengintai wanita-wanita mandi?" tiba-tiba terdengar bentakan yang mengejutkan hati Thian Bu.
Dia terkejut bukan karena perbuatannya diketahui orang, melainkan karena ada orang yang muncul disitu dan berada di belakangnya tanpa dia ketahui kedatangannya.
Thian Bu menoleh dan melihat bahwa yang menegurnya adalah seorang pemuda yang berwajah tampan dan periang. Karena hatinya sedang gembira, diapun menaruh telunjuk ke depan mulut dan berbisik,
"Sobat, kalau engkau ingin menikmati pemandangan indah bersamaku, ke sinilah dan jangan ribut-ribut!"
Pemuda itu mengerutkan alisnya dan mukanya berobah merah, pandang matanya mengandung kemarahan.
"Aku bukan laki-laki cabul macam engkau! Sobat, pergilah dan jangan kurang ajar, kalau tidak..."
"Kalau tidak, bagaimana?"
Thian Bu menjadi marah pula dan meloncat dari balik semak-semak, berdiri menghadapi pemuda itu sambil bertolak pinggang. Orang ini mengganggu kesenangannya, dan karena menganggap pemuda ini seorang pemuda biasa saja, maka diapun bersikap sabar.
"Kalau tidak, terpaksa aku menyeretmu dan melemparmu pergi dari tempat ini!" kata pemuda itu dengan suara tegas.
Tentu saja Sim Thian Bu menjadi marah bukan main. Dia, yang jarang menemui tandingan, bahkan kini menjadi seorang penting dari pasukan pemberontak, pembantu Raja Iblis dan Panglima Ji yang dipercaya, juga kekasih murid Raja Iblis, mau diseret dan dilempar begitu saja oleh seorang pemuda dusun!
"Jahanam lancang mulut! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan maka berani membuka mulut sembarangan. Untuk itu engkau pengganggu kesenanganku. harus mampus!"
Berkata demikian, Sim Thian Bu lalu menyerang dengan pukulan tangannya yang ampuh, mengerahkan tenaga sin-kang karena dia ingin sekali pukul membuat kepala pemuda dusun ini pecah untuk melampiaskan kemengkalan hatinya. Apalagi lima orang wanita cantik itu mendengar suara ribut-ribut lalu berkemas dan meninggalkan tempat itu, membawa cucian mereka sambil berlari-lari kecil!
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Thian Bu melihat pemuda dusun yang pakaiannya aneh itu berani menangkis pukulannya yang mengandung sin-kang kuat itu. Dia tersenyum mengejek dan melanjutkan pukulannya dengan keyakinan hati bahwa tulang lengan lawan itu akan patah-patah dan tangannya tentu akan tetap dapat mengenai kepalanya.
"Dukkk...!"
Untuk kedua kalinya Thian Bu terkejut, akan tetapi sekali ini dia terkejut dan heran, juga kesakitan karena tubuhnya terdorong ke belakang dan lengannya yang kena tangkis tadi tergetar hebat dan terasa nyeri seolah-olah tulang lengannya akan patah rasanya! Barulah dia tahu bahwa pemuda dusun ini ternyata seorang yang memiliki kepandaian silat yang tinggi!
"Siapa... siapakah engkau?" tanyanya terdorong oleh rasa kaget dan heran yang besar.
Pemuda itu tersenyum dan sepasang matanya yang tajam itu ikut tersenyum, dan kelihatan jenaka dan nakal.
"Manusia cabul, kiranya engkau memiliki pula kepandaian yang tidak rendah. Aku tidak tahu orang macam apa adanya engkau dan apa keinginanmu maka mengintai para wanita yang sedang mandi, akan tetapi kalau kau ingin tahu namaku adalah Cia Hui Song."
Thian Bu terkejut. Dia sudah mendengar nama ini walaupun belum mengenal orangnya. Dengan hati-hati dia bertanya,
"Apa bubunganmu dengan ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Kong Liang?"
Kini Hui Song terkejut. Kiranya orang ini sudah mengenal nama dan kedudukan ayahnya. Tentu bukan orang sembarangan. Tadipun dia sudah merasakan betapa orang itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat sekali.
"Dia adalah ayahku. Sobat, siapakah engkau yang mengenal nama ayahku?"
"Pendekar manakah yang tidak mengenal nama besar Cin-ling-pai dan ketuanya? Maafkan tadi aku tidak mengenalmu, Cia-taihiap. Aku bernama Sim Thian Bu. Maafkan, ketika aku melakukan perjalanan lewat disini, melihat wanita-wanita itu mandi... mereka begitu gembira, aku tertarik dan mengintai..."
Kalau saja ketika terjadi penyergapan oleh pasukan gerombolan terhadap para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang terjadi pada siang hari, tentu Hui Song akan mengenal orang ini sebagai pembantu Gui Siang Hwa yang memimpin penyergapan itu. Akan tetapi malam itu gelap sehingga dia tidak mengenal Thian Bu dan dia percaya akan keterangannya. Bagaimanapun juga, dia maklum kalau seorang laki-laki mengintai wanita-wanita yang sedang mandi, apalagi kalau yang mandi itu adalah selir-selir Lam-nong yang demikian cantik manis dan periang.
"Sudahlah, harap engkau tinggalkan tempat ini. Wanita-wanita itu adalah isteri dari Lam-nong, harap jangan diganggu karena Lam-nong adalah sahabatku."
"Lam-nong...? Siapa dia?"
Thian Bu bertanya, tidak mau sembrono menentang pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini yang sekarang telah menjadi sekutu Raja Iblis, apalagi karena amat berbahaya melawan pemuda yang tadi sudah dia rasakan kekuatannya ketika menangkis pukulannya.
"Lam-nong adalah kepala suku Mancu Timur. Eh, saudara Sim, apakah engkau juga hadir ketika terjadi penyergapan terhadap para pendekar oleh pasukan pemberontak?"
Dengan cerdik dan hati-hati Thian Bu menggeleng kepala dan menark napas panjang.
"Sayang sekali aku datang terlambat, taihiap. Ketika aku datang ke benteng Jeng-hwa-pang, tidak ada seorangpun disana kecuali bekas-bekas pertempuran hebat. Lalu apakah yang menjadi keputusan para pendekar yang mengadakan pertemuan di tempat itu?"
Akan tetapi Hui Song juga bukan seorang yang bodoh dan ceroboh. Dia belum mengenal betul laki-laki ini, tidak tahu siapa dia sebenarnya, oleh karena itu tentu saja dia tidak mau sembarangan saja menceritakan tentang hasil pertemuan para pendekar yang diserbu oleh pasukan pemberontak itu.
"Keputusan-keputusan itu hanya boleh diketahui oleh mereka yang hadir. Maaf, aku tidak dapat memberi tahu padamu."
Diam-diam Thian Bu merasa penasaran. Dia tahu bahwa putera ketua Cin-ling-pai tidak percaya kepadanya dan dia dapat menduga pula bahwa Hui Song ini tentu belum tahu bahwa ayahnya kini berada di Ceng-tek membantu Raja Iblis, membantu para pemberontak! Bagaimanapun juga, dia gembira sekali mendengar keterangan tentang Lam-nong, kepala suku Mancu Timur yang kini bersama rombongannya berada di dusun itu.
"Sekali lagi maafkan kelancanganku, taihiap, dan perkenankan aku pergi," akhirnya dia berkata karena dia melihat datangnya beberapa orang Mancu menuju ke tempat itu.
Hui Song mengangguk dan Sim Thian Bu lalu pergi dengan cepat, diikuti pandang mata Hui Song yang masih menduga-duga orang macam apa adanya laki-laki yang berpakaian mewah dan berkepandaian tinggi itu.
Enam orang Mancu yang datang itu adalah Lam-nong dan para pengawalnya. Melihat Hui Song, Lam-nong segera mengulur tangan dan memegang tangan sahabatnya itu.
"Isteri-isteriku telah bercerita bahwa engkau datang dan bertengkar dengan seorang laki-laki. Apakah yang telah terjadi dan siapakah dia?"
Hui Song tidak mau menyembunyikan urusan itu kepada sababatnya.
"Dia kulihat mengintai isteri-isterimu yang sedang mandi, maka kutegur dia dan kusuruh dia pergi. Saudara Lam-nong, engkau dan rombonganmu hendak pergi kemanakah?"
"Kemana lagi kalau tidak pulang? Daerah ini berbahaya. Pasukan pemberontak membuat pembersihan di mana-mana. Mereka menyerbu dusun-dusun, membunuhi orang-orang dan merampok. Lihat, dusun inipun habis dirampok dan dibakar. Kami hanya beristirahat dan bermalam disini, besok pagi kami melanjutkan perjalanan ke timur, pulang ke kampung halaman kami sendiri."
"Engkau tidak membantu nenek Yelu Kim?"
Lam-nong menggeleng kepala dan menggandeng tangan sahabatnya diajak kembali ke dalam dusun. Mereka memasuki sebuah pondok yang telah dibersihkan dan dijadikan tempat bermalam Lam-nong dan para selirnya.
Kedatangan Hui Song disambut dengan gembira oleh para selir yang sudah mengenalnya dan mereka semua lalu duduk di atas lantai yang ditilami tikar. Sambil menjamu sahabatnya, Lam-nong mengajak Hui Song bercakap-cakap, sedangkan para selir hanya duduk mendengarkan. Mereka semua suka kepada Hui Song yang gagah, tampan dan sopan itu. Menghadapi pemuda ini dan bicara dengannya, para selir ini tidak merasa canggung atau malu-malu lagi, apalagi karena suami mereka juga amat suka dan percaya kepada pendekar itu.
"Bagaimana mungkin aku merendahkan diri mentaati perintah-perintah seorang wanita, sudah nenek-nenek pula? Tidak, aku tidak akan begitu merendahkan diri, lebih baik aku kembali ke timur dan lebih baik aku membantu seorang pemimpin bangsa Mancu yang kupercaya sekali waktu akan bangkit dan menjadi lebih besar daripada suku-suku lain di utara," Lam-nong berhenti sebentar, lalu memandang kepada pendekar itu. "Dan engkau sendiri, dari mana dan hendak kemana, Cia-taihiap? Bagaimana kabarnya dengan kepergianmu yang katanya hendak mengunjungi kawan-kawanmu itu?"
"Tidak baik sekali, kami yang sedang mengadakan pertemuan telah diserbu oleh pasukan pemberontak. Banyak diantara teman-teman kami tewas."
"Ah, kalau begitu mari engkau ikut bersama kami saja ke timur, Cia-taihiap. Aku akan merasa beruntung sekali kalau kelak engkau dapat membantu pergerakan kami orang-orang Mancu, kalau waktunya sudah tiba untuk itu," kata Lam-nong yang merasa amat suka kepada sahabat barunya ini.
Hui Song menarik napas panjang, memandang kepada Lam-nong dan isteri-isterinya. Mereka semua menatap wajahnya dengan sinar mata penuh harapan agar dia mau menemani mereka. Betapa baiknya orang-orang ini, pikirnya.
"Sayang sekali, saudara Lam-nong. Sebetulnya aku sendiripun merasa amat suka bersama dengan kalian, akan tetapi kiranya tidak mungkin. Aku harus menentang para pemberontak, karena mereka dipimpin oleh orang-orang jahat. Andaikata suku bangsamu mengangkat senjata menentang mereka, sudah pasti aku akan membantumu sekuat tenaga."
Lam-nong juga menarik napas panjang.
"Sayang sekali. Akan tetapi aku tidak akan melakukan gerakan sekarang. Untuk itu bangsaku belum siap dan untuk bekerja di bawah perintah seorang nenek-nenek akupun tidak sudi. Marilah kita bersenang-senang malam ini sebagai malam perpisahan, Cia-taihiap. Siapa tahu kita tidak akan saling bertemu kembali walaupun aku sungguh mengharapkan itu."
Hui Song dijamu dan mereka makan minum dengan gembira pada malam harinya. Hui Song ditahan untuk bermalam disitu bukan bermalam untuk tidur melainkan melewatkan malam bercakap-cakap dan makan minum dengan gembira bersama Lam-nong dan isteri-isterinya.
Mereka yang sedang bergembira dalam malam perpisahan ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa malam perpisahan itu merupakan malam perpisahan yang sungguh-sungguh dan amat menyedihkan, menjadi malam malapetaka besar bagi keluarga Lam-nong dan rombongannya yang tidak besar jumlahnya itu.
Bencana ini datang dari Sim Thian Bu. Pria ini tentu saja mempersiapkan segalanya karena yang diincarnya ini bukan hanya rombongan yang diduganya membawa banyak harta, melainkan juga rombongan dimana terdapat wanita-wanita mudanya yang cantik manis!
Pertemuannya dengan Hui Song yang memberi tahu kepadanya bahwa rombongan Lam-nong itu adalah sahabat putera ketua Cin-ling-pai itu, membuat Thian Bu semakin hati-hati. Pemuda itu tinggi ilmu silatnya dan amat berbahaya, pikirnya. Apalagi pemuda itu adalah putera ketua Cin-ling-pai yang tentu saja tidak boleh dibunuh. Akan tetapi, kalau pemuda itu memihak Lam-nong dan rombongannya, terpaksa dia turun tangan dan mengandalkan pasukannya yang amat besar itu, dia tidak takut menghadapi Cia Hui Song!
Maka, untuk meyakinkan keberhasilan pasukannya, dia mengerahkan pasukannya yang berjumlah seribu orang itu! Anak buah pasukan itu sendiri mengira bahwa mereka tentu dibawa menyerbu musuh yang besar jumlahnya dan kuat kedudukannya, maka tentu saja mereka merasa terheran-heran ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka serbu itu hanyalah serombongan orang yang kekuatannya tidak lebih dari tiga puluh orang lebih saja!
Dapat dibayangkan betapa paniknya tiga puluh orang lebih itu ketika tiba-tiba dusun itu sudah dikurung dan banyak sekali pasukan menyerbu mereka. Lam-nong yang sedang makan minum bersama Hui Song, terkejut dan bersama pendekar itu mengamuk dan membela diri mati-matian. Bahkan selir-selirnyapun, yang sedikit banyak pernah belajar ilmu membela diri karena mereka hidup di perantauan, ikut melawan dan membela diri.
Hui Song marah sekali dan dialah yang mengamuk seperti harimau kelaparan. Begitu ada penyerbuan itu, dia sudah dapat menduga bahwa penyerbu ini tentulah pasukan pemberontak, sama dengan pasukan yang menyergap para pendekar di benteng kuno Jeng-hwa-pang. Maka diapun mengamuk dengan hebatnya dan entah berapa banyak anak buah pasukan yang roboh dan terlempar oleh tamparan-tamparan dan tendangannya.
Akan tetapi jumiah lawan terlampau banyak dan Hui Song maklum bahwa betapapun gagahnya, menghadapi lawan yang nampaknya tidak pernah akan habis ini, akhirnya dia akan celaka sendiri, dan yang terpenting adalah menyelamatkan Lam-nong. Maka, melihat Lam-nong yang membela diri dengan pedangnya dan mengamuk dengan gagahnya itu dikepung oleh belasan orang musuh, diapun mengeluarkan suara melengking dan merobohkan beberapa orang ketika dia menerjang dan mendekati Lam-nong.
"Mari kita pergi, biar kulindungi engkau!" katanya kepada Lam-nong.
Kepala suku inipun maklum betapa sia-sianya melawan. Diapun lalu mengikuti Hui Song yang membuka jalan keluar dan setelah merobohkan belasan orang dan membuat yang lain menjadi gentar dan mundur, diapun menyambar tubuh kawannya itu dan dibawanya berloncatan dan lari menjauhkan diri. Akhirnya mereka dapat terbebas dan lolos dari kepungan pasukan dan Hui Song melarikan kawannya itu ke dalam hutan yang dekat.
"Berhenti... lepaskan aku disini, Cia-taihiap..." kata Lam-nong yang masih terengah-engah. Dan ketika Hui Song melepaskannya, Lam-nong berkata, "Taihiap, kasihanilah aku, engkau bebaskanlah isteri-isteriku... kasihan mereka..."
Hui Song berdiri dan tertegun, kemudian menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
"Saudara Lam-nong, betapa mungkin itu? Kulihat pasukan itu besar sekali jumlahnya, tentu ada ratusan orang. Mana mungkin aku dapat menyelamatkan isteri-isterimu yang begitu banyak?"
Tiba-tiba Lam-nong menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hui Song.
"Tidak semua, taihiap, hanya seorang saja, hanya isteri ke tujuh. Engkau tahu yang mana yang kumaksudkan. Aku cinta sekali padanya dan tanpa ia di sampingku, aku takkan dapat hidup lagi. Tolonglah, tolonglah aku, taihiap, selamatkan kekasihku itu...!"
Hui Song merasa kasihan sekali. Dia tahu betapa bahayanya memasuki dusun itu kembali, seperti orang menolong orang dari dalam sebuah rumah yang sudah terbakar dan apinya sedang berkobar saja. Akan tetapi, dia merasa kasihan kepada Lam-nong dan diapun merasa bahwa kalau hanya menyelamatkan seorang saja, kiranya dia masih akan sanggup dan akan dapat berhasil. Bagaimanapun banyaknya, para perajurit pasukan pemberontak itu hanyalah orang-orang yang hanya mengandalkan pengeroyokan saja dan tidak ada yang memiliki kepandaian yang berarti.
"Baiklah, tunggu saja disini, aku akan berusaha menyelamatkannya!" kata Hui Song dan tanpa menanti sahabatnya itu berterima kasih, dia sudah berkelebat lenyap.
Dengan cepat dia memasuki dusun yang masih ribut itu dan menyerbu ke dalam. Dan mudah saja baginya untuk memasuki rumah dimana tadi Lam-nong dan isteri-isterinya tinggal. Akan tetapi rumah itu telah kosong!
Dan selagi dia kebingungan tidak tahu harus mencari kemana, terdengar sorak sorai dan rumah itupun sudah dikepung dengan ketat. Kiranya dia memang dijebak dan kini seperti seekor harimau yang jatuh ke dalam perangkap, dan para perajurit pasukan pemberontak itu menyorakinya!
Hui Song menggigit gigi dan mengepal tinju. Dia akan membela diri dan melawan mati-matian, kalau perlu dia akan menumpas semua anak buah pasukan pemberontak ini, walau hal itu nampaknya tidak mungkin mengingat betapa banyaknya jumlah mereka. Akan tetapi, diapun yakin bahwa andaikata dia tidak dapat menemukan lagi isteri-isteri Lam-nong yang entah berada dimana itu, masih tidak terlalu sukar baginya untuk menerjang ke luar dan membuka jalan darah meloloskan diri.
Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang membuat Hui Song terbelalak dan mukanya menjadi merah, matanya memancarkan api kemarahan. Laki-laki itu bukan lain adalah Sim Thian Bu! Kini mengertilah dia! Kiranya siang tadi orang ini datang bukan hanya untuk mengintai wanita mandi, melainkan untuk memata-matai dan menyelidiki keadaan di dusun itu! Dan orang ini ternyata adalah seorang pemimpin pasukan pemberontak!
"Jahanam busuk! Kiranya engkau adalah seorang pemberontak?" bentak Hui Song. "Bagus, aku tidak akan dapat mengampunimu lagi!"
Akan tetapi, Sim Thian Bu melintangkan pedangnya dan berkata,
"Cia-taihiap, aku tidak ingin memusuhimu. Ketahuilah bahwa banyak orang gagah membantu kami untuk menghadapi kaisar lalim. Menyerahlah dan engkau akan kami sambut sebagai seorang pembantu kami yang terhormat."
"Tutup mulutmu yang busuk! Siapa sudi bersekutu dengan pemberontak busuk?"
Hui Song menyerang dengan cepat sekali. Akan tetapi, Sim Thian Bu menyelinap diantara para perajurit dan belasan orang perajurit dengan berbagai macam senjata menyambut terjangan Hui Song. Dua orang terdepan terjengkang muntah darah diterjang Hui Song dan yang lain-lain mundur. Akan tetapi, kepungan semakin diperketat dan puluhan batang senjata menyambar-nyambar.
Hui Song yang hanya bertangan kosong itu, cepat merampas dua batang pedang dan kini dengan sepasang pedang, dia mengamuk, menangkisi semua senjata dengan sepasang pedangnya dan merobohkan banyak sekali pengeroyok dengan tendangan-tendangannya!
Akan tetapi, betapapun lihainya, dia hanya seorang manusia biasa dan tenaganya tentu saja terbatas. Setelah merobohkan tiga puluh orang lebih, dan bajunya sudah robek-robek terkena senjata, akhirnya Sim Thian Bu berhasil melukai pahanya dan selagi Hui Song terhuyung, belasan orang menubruknya dan diapun akhirnya lemas terkena totokan Sim Thian Bu yang lihai.
Thian Bu melarang orang-orangnya untuk membunuh Hui Song dan dia sendiri menyeret tubuh Hui Song ke dalam sebuah kamar. Dia menambahkan beberapa totokan ke pundak dan punggung Hui Song, membuat pemuda ini menjadi lemas dan tidak mampu mengerahkan sin-kang, seperti setengah lumpuh kaki tangannya.
"Ha-ha, Cia-taihiap, Lihat, kalau aku mau membunuhmu, betapa mudahnya. Akan tetapi aku tidak akan membunuhmu. Aku bahkan akan membikin senang hatimu karena aku mengharapkan engkau kelak suka membantu kami."
"Pemberontak hina, kalau engkau mau membunuhku, lakukanlah, daripada bersekutu dengan pemberontak, lebih baik aku mati. Kalau engkau gagah dan memiliki kepandaian, mari kita bertanding satu lawan satu!"
Dengan suara lemah Hui Song berkata, akan tetapi Thian Bu hanya tertawa saja, tertawa dengan sikap mengejek. Setelah memerintahkan seregu pasukan pengawal untuk berjaga dengan ketat di luar kamar, dia lalu meninggalkan Hui Song.
Hanya Lam-nong seorang yang dapat lolos dari serbuan para perajurit pemberontak itu. Belasan orang wanita ditawan dan semua laki-laki dibunuh dengan kejam! Thian Bu sendiri lalu mendatangi para tawanan wanita yang bersimpuh di atas lantai sambil menangis.
Diantara para selir dan para pelayan itu, dia memilih empat orang selir Lam-nong yang paling muda dan paling cantik, kemudian dia membawa empat orang wanita tawanan ini ke dalam bekas kamar Lam-nong. Empat orang wanita itu menangis dan menjatuhkan diri berlutut di lantai kamar itu ketika Thian Bu membawa mereka masuk dan menutupkan pintunya.
"Ha-ha, nona-nona manis. Sekarang akulah yang menjadi suamimu, pengganti Lam-nong. Lihat, aku tidak kalah ganteng dan gagah dibandingkan dengan dia, bukan?"
Dia menyeringai dan membuka kancing bajunya, memperlihatkan dadanya yang bidang. Pria cabul ini memang berwajah tampan, berpakaian mewah dan bertubuh tegap. Memang dia memiliki daya tarik yang kuat bagi wanita. Akan tetapi, empat orang selir itu yang masih ketakutan dan berduka karena malapetaka yang menimpa suami dan keluarga mereka, tentu saja tidak tertarik oleh gayanya ini dan mereka hanya berlutut di lantai, menundukkan muka dan menangis.
Melihat mereka itu menangis, Thian Bu mengerutkan alisnya yang tebal, hatinya merasa jengkel sekali.
"Sudah, jangan menangis!" bentaknya. "Kalian kuajak kesini bukan untuk bertangis-tangisan, melainkan untuk bersenang-senang!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan wanita. Mendengar ini, empat orang wanita itupun menjadi ketakutan dan menangis semakin keras. Mereka mengenal suara jerit tangis itu sebagai suara tangis wanita-wanita yang tadi tidak terpilih oleh Thian Bu.
Belasan orang wanita, yaitu selir-selir Lam-nong dan para pelayan, oleh Thian Bu dihadiahkan kepada para pembantunya yang terdiri dari belasan orang perwira. Tentu saja orang-orang kasar ini segera berebutan dan sebentar saja wanita-wanita itu ditarik dan dibetot sana-sini dan dipondong, dibawa ke tempat-tempat terpisah oleh orang-orang itu dan merekapun menjerit-jerit dan menangis.
Mendengar jerit tangis itu, Thian Bu menyeringai.
"Nah, dengar itu. Mereka terpaksa harus melayani para perajurit itu dan mengingat jumlah para perajurit, tentu mereka akan hancur dan mati sebelum semua orang kebagian. Apakah kalian ingin kulemparkan kepada para perajurit itu?"
Empat orang wanita itu mengangkat muka dan mata mereka terbelalak memandang kepada Thian Bu. Muka mereka pucat dan mereka menggeleng-geleng kepala, merasa ngeri membayangkan betapa mereka akan menjadi rebutan para perajurit yang kasar itu, seperti seekor kelinci dijadikan rebutan ratusan ekor harimau. Mereka tentu akan dicabik-cabik sampai tubuh mereka hancur binasa!
"Tidak... tidak... jangan...!" teriak mereka memohon.
Thian Bu tersenyum.
"Jadi kalian memilih untuk melayani aku daripada para perajurit itu? Nah, kalau begitu, hentikan tangis kalian dan bersikaplah manis!"
Saking takutnya kalau-kalau mereka dilemparkan kepada para perajurit yang buas seperti segerombolan anjing serigala itu, empat orang wanita ini lalu memaksakan diri menghentikan tangis mereka.
Sim Thian Bu menjadi girang sekali dan mulailah dia membelai dan mempermainkan mereka. Biarpun hati mereka terasa hancur, empat orang itu terpaksa mandah saja dipermainkan sesuka hati oleh Sim Thian Bu. Pria ini memang ganteng dan banyak pengalamannya dengan wanita. Maka tidaklah mengherankan kalau empat orang wanita yang tadinya menangis sedih itu, akhirnya menyerahkan diri dengan pasrah, bahkan mulai timbul kegembiraan mereka melayani pria yang ganteng dan pandai mengambil hati itu.
Ada seorang tawanan lain yang bukan wanita. Seorang kakek yang terluka pundaknya. Oleh Thian Bu, kakek ini tidak boleh dibunuh, bahkan diobati lukanya. Pada keesokan harinya, Thian Bu membawa kakek ini ke sebuah kamar, lalu dia berkata,
"Lihat baik-baik, dan laporkan kepada Lam-nong agar lain kali dia berhati-hati memilih kawan. Kepercayaannya kepada Cia Hui Song menghancurkan dia. Ayah pemuda itu, ketua Cin-ling-pai, adalah seorang tokoh diantara pasukan kami yang sedang berjuang. Lihat, kini dia bersenang-senang dengan kami!"
Setelah berkata demikian, Thian Bu membuka daun pintu kamar itu dan membiarkan kakek Mancu menjenguk ke dalam. Setelah melihat ke dalam, kakek itu terbelalak dan mulutnya mengeluarkan makian.
Apakah yang dilihatnya? Cia Hui Song, pemuda yang selama ini dianggap sebagai sahabat baik Lam-nong, yang telah disambut sebagai tamu kehormatan oleh kepala sukunya itu, kini nampak rebah di atas pembaringan dengan pakaian setengah telanjang dan empat orang wanita cantik yang hampir tidak berpakaian sama sekali malang melintang rebah di sisi dan di atas tubuh pendekar itu, bahkan ada yang merangkulnya! Melihat ini, tentu saja kakek itu menjadi marah karena empat orang wanita itu adalah selir-selir kepala sukunya!
"Nah, kau sudah melihat jelas? Kakek, sekarang engkau boleh pergi, cari Lam-nong dan laporkan semua yang kau lihat," kata Thian Bu sambil menutupkan lagi daun pintu kamar itu.
"Akan tetapi... kenapa... kenapa engkau membebaskan aku sedangkan semua kawanku telah dibunuh?"
"Kakek, bersyukurlah kepada para dewa bahwa wajahmu mirip sekali dengan mendiang ayahku. Itulah sebabnya mengapa aku tidak membolehkan anak buahku membunuhmu. Nah, pergilah cepat!" katanya dan kakek itupun tanpa banyak cakap lagi lalu pergi meninggalkan dusun itu.
Apakah yang telah terjadi? Mengapa empat orang wanita itu kini berada di atas pembaringan bersama Hui Song? Ini adalah akal Thian Bu yang memang licik sekali. Setelah puas bermain-main dengan empat orang wanita itu semalam suntuk, dia lalu menyuruh mereka memasuki kamar dimana Hui Song rebah tak berdaya.
"Sekarang kalian bantulah aku. Kalian tentu mengenal Cia Hui Song sahabat suami kalian itu, bukan? Nah, kalau kalian tidak ingin kuserahkan kepada para perajurit, kalian berempat sekarang harus melayani dia! Rayulah dia agar suka bermain-main dengan kalian dan kalian boleh tidur di atas pembaringannya melepaskan lelah."
Empat orang wanita yang kelelahan itu lalu digiring ke dalam kamar dimana Hui Song nampak rebah di atas pembaringan seorang diri. Empat orang wanita itu dalam keadaan setengah atas hampir telanjang sama sekali, menghampiri pembaringan.
Melihat Hui Song yang mereka suka dan yang menjadi kepercayaan suami mereka, mereka merasa seperti bertemu dengan seorang sahabat baik, apalagi mengingat akan kelihaian Hui Song, mungkin mereka dapat mengharapkan pertolongannya. Maka tanpa diperintah lagi mereka lalu lari dan menubruk pemuda itu.
Akan tetapi, pemuda itu hanya dapat bergerak dengan lemah saja. Di dalam hatinya, Hui Song terkejut setengah mati. Tidak disangkanya bahwa ucapan Thian Bu tadi dibuktikannya, yaitu bahwa Thian Bu hendak menyenangkan hatinya, bahkan dengan cara yang membuat darahnya tersirap. Dia menjadi rikuh dan malu sekali melihat betapa empat orang selir-selir Lam-nong yang paling cantik menghampirinya dengan pakaian hampir telanjang, apalagi ketika mereka menubruk dan merangkulnya.
Akan tetapi dia tidak dapat menggerakkan kaki tangan untuk menolak atau mengelak. Dia diam saja dan membiarkan mereka menangis di pundaknya, di dadanya dan mungkin terpengaruh oleh rayuan-rayuan Thian Bu tadi, dan teringat akan ancaman Thian Bu, mereka bahkan mulai membelai tubuh Hui Song!
"Pergilah... jangan ganggu aku...!" kata Hui Song lemah akan tetapi empat orang wanita itu tidak menghentikan usaha mereka.
Dalam keadaan seperti itulah tadi kakek Mancu dibawa oleh Thian Bu untuk melihat ke dalam kamar. Tentu saja dia merasa terkejut dan marah. Sama sekali tidak disangkanya bahwa pemuda yang diterima dengan ramah dan baik oleh Lam-nong itu, yang dianggap sebagai seorang sahabat suku bangsanya hanya untuk menjadi mata-mata, dan setelah terjadi penyerbuan, berbalik malah menjadi musuh dan melakukan hal-hal yang amat tidak patut, yaitu menjinai isteri-isteri kepala sukunya.
Kakek Mancu itu tahu bahwa kepala sukunya, Lam-nong, berhasil menyelamatkan dirinya, dan dia tahu pula dimana kepala suku itu menyembunyikan diri, karena pernah mereka melewati sebuah hutan sebelum tiba di dusun itu dan Lam-nong pernah mengatakan bahwa hutan itu merupakan tempat yang amat baik untuk menyembunyikan pasukan kalau kelak terjadi perang di tempat itu.
Maka diapun lalu memasuki hutan itu dan menyusup-nyusup, mencari-cari dan memanggil-manggil. Akan tetapi baru dua hari kemudian panggilannya terjawab dan muncullah Lam-nong dari balik semak-semak belukar.
Melihat pemimpinnya berada dalam keadaan compang-camping itu, kakek Mancu lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis! Lam-nong merangkul satu-satunya anak buah yang masih hidup ini dan dapat dibayangkan betapa marah hatinya mendengar laporan orang itu bahwa seluruh anak buahnya dalam rombongannya telah habis dan tewas semua, dan betapa isteri-isterinya telah menjadi korban perkosaan, dan terutama sekali betapa Cia Hui Song ternyata adalah seorang tokoh pemberontak dan juga ikut pula menjinai empat orang isterinya yang paling disayangnya!
"Mustahil!" Dia membentak. "Cia-taihiap adalah seorang sahabat dan dia pula yang telah menyelamatkan aku sampai kesini!"
"Saya melihat sendiri dia dan empat orang isteri paduka dalam sebuah kamar, dalam keadaan yang amat tidak sopan dan memalukan. Saya berani bersumpah!" kata kakek itu.
Lam-nong mengerutkan alisnya dan hatinya mulai terasa panas.
"Akan tetapi... kenapa dia bersikap begitu baik ketika menjadi tamu kita, dan dia sama sekali tidak pernah bersikap kurang ajar atau menggoda isteri-isteriku. Kenapa sikapnya berbalik secara mendadak seperti itu dan kenapa pula dia menyelamatkan aku kalau memang dia itu berpihak kepada musuh?"
"Dia tentu bertindak sebagai mata-mata ketika menjadi tamu kita, dan dia sengaja menyelamatkan paduka hanya untuk menutupi niatnya yang busuk terhadap isteri-isteri paduka. Bagaimanapun juga, sepasang mata saya tidak dapat ditipu dan saya melihatnya sendiri."
Lalu kakek Mancu ini menceritakan kembali dengan penggambaran yang lebih jelas apa yang dilihatnya di dalam kamar itu, betapa dalam keadaan setengah telanjang Hui Song dipeluki oleh empat orang isteri Lam-nong yang telanjang bulat.
Mendengar penggambaran itu, hati Lam-nong menjadi semakin panas. Dia sudah terpukul sekali mendengar akan terbasminya seluruh anak buahnya, dan kini mendengar akan perbuatan Hui Song terhadap empat orang isterinya yang tercinta, dia mengepal tinju dan mukanya menjadi merah. Hui Song berjanji akan menyelamatkan seorang selirnya yang paling dicinta, siapa tahu pemuda itu malah menjinai selirnya itu dengan selir-selir lain pula.
"Keparat jahanam Cia Hui Song!" dia mengutuk, akan tetapi Lam-nong lalu menutupi mukanya dengan kedua tangannya. "Kasihan isteri-isteriku yang malang..." dan diapun menangis!
Kakek Mancu itu menjadi terharu sekali melihat pemimpinnya menangis dan diapun teringat akan dua orang anaknya yang menjadi anggota rombongan dan tewas pula, maka tak dapat ditahannya, diapun kini menangis. Dua orang laki-laki itu menangis di dalam hutan yang lebat dan sunyi, dengan hati dilanda duka yang hebat.
Dan memang sepatutnya Lam-nong menangisi isteri-isterinya karena nasib wanita-wanita itu memang menyedihkan. Sim Thian Bu adalah seorang laki-laki cabul yang berhati kejam bukan main. Dia tidak pernah merasa puas dengan wanita tertentu dan menganggap wanita seperti makanan atau pakaian saja. Kalau sudah kenyang dimakannya, maka sisanya akan diberikan kepada anjing dan kalau sudah bosan memakainya, bekasnya akan dicampakkan begitu saja.
Demikian pula setelah dia merasa kenyang dan bosan terhadap empat orang wanita itu, untuk menyenangkan hati anak buahnya, Thian Bu lalu menghadiahkan empat orang tawanan itu kepada anak buahnya.
Empat orang wanita yang sejak dahulu hidup berbahagia di samping Lam-nong kini mengalami nasib yang mengerikan. Mereka itu diperebutkan dan dipermainkan banyak orang kasar sampai akhirnya mereka tidak tahan dan tewas menyusul teman-temannya yang sudah mendahului mereka!
Akan tetapi mengapakah Thian Bu memperlakukan Hui Song seperti itu? Mengapa dia membiarkan kakek Mancu lolos setelah memberinya kesempatan melihat seolah-olah Hui Song sedang berjina dengan empat orang selir Lam-nong? Thian Bu melakukannya bukan hanya sekedar untuk melampiaskan kemarahannya kepada Hui Song ketika pemuda itu menggagalkan dia yang hendak menculik wanita ketika dia mengintai wanita-wanita yang sedang mandi itu. Dia melakukannya dengan perhitungan. Dia membiarkan kakek Mancu lolos bukan sekali-kali karena kakek itu mirip dengan ayahnya, sama sekali tidak. Itu hanya suatu alasan belaka.
Dia sengaja membiarkan kakek itu hidup agar kakek itu dapat menghubungi Lam-nong! Dan dia sengaja membiarkan kakek itu melihat seolah-olah Hui Song bermain gila dengan para selir Lam-nong agar timbul kebencian dan permusuhan antara suku bangsa itu dengan Hui Song.
Dia tidak mau membunuh Hui Song, mengingat bahwa ayah pemuda itu menjadi sekutu Raja Iblis, akan tetapi dia ingin memberi kesan buruk terhadap pemuda ini kepada suku bangsa Mancu. Kalau sudah demikian, tidak mungkin lagi Hui Song kelak membantu orang-orang Mancu. Dan dia hendak merusak nama baik Hui Song, bukan hanya untuk melampiaskan kebenciannya terhadap pemuda ini akan tetapi secara tidak langsung dia hendak menghantam pula nama baik ketua Cin-ling-pai.
Betapapun juga, keluarga Cin-ling-pai sejak dahulu adalah musuh-musuh yang dibencinya, orang-orang dari golongan pendekar yang selalu memusuhi golongannya. Dan di samping semua alasan ini, juga Thian Bu hendak main-main untuk merendahkan dan membikin malu Hui Song.
Karena memang sudah diaturnya, ketika kakek itu melarikan diri. Diam-diam Thian Bu menyuruh belasan orang pengawalnya untuk membayanginya dan kalau kakek itu sudah bertemu dengan Lam-nong, agar menangkap mereka tanpa membunuhnya karena dia masih memiliki rencana lebih jauh dengan kepala suku Mancu Timur itu.
Demikianlah, ketika Lam-nong dan kakek Mancu itu bertangisan di dalam hutan, tiba-tiba muncul tiga belas orang perajurit pengawal pilihan yang sudah mengurung mereka dan membentak agar keduanya suka menyerah tanpa perlawanan.
Akan tetapi, Lam-nong yang sedang dilanda duka dan dendam itu, tentu saja tidak sudi menyerah. Dia mencabut pedangnya dan mengamuk, dibantu oleh kakek Mancu yang sudah luka pundaknya.
Mereka mengamuk dengan nekat tanpa memperdulikan keselamatan nyawa sendiri sehingga agak kewalahanlah tiga belas orang pengawal itu. Kalau saja mereka diperintahkan membunuh, tentu dua orang itu sudah terbunuh sejak tadi. Akan tetapi mereka dilarang membunuh, melainkan disuruh menangkap mereka berdua itu hidup-hidup dan inilah sukarnya.
Dua orang itu nekat, membuat para pengeroyok itu sukar menangkapnya hidup-hidup. Betapapun juga, karena dikeroyok oleh banyak orang, perlahan-lahan Lam-nong dan pembantunya mulai kehabisan tenaga dan napas mereka sudah terengah-engah, tubuh sudah basah oleh keringat. Agaknya tidak lama lagi mereka akan roboh sendiri kehabisan tenaga sehingga akan mudah ditawan.
Pemimpin regu pengawal pemberontak itu tahu akan hal ini, maka dalam suatu kesempatan yang baik, kakinya terayun dan tepat mengenai lutut kanan Lam-nong yang roboh terguling. Empat orang menubruknya dan kakek Mancu yang sudah kehabisan tenaga itupun dapat tertangkap dari belakang dan keduanya lalu dibelenggu. Lam-nong meronta-ronta dan memaki-maki, akan tetapi dia segera tidak berdaya setelah kaki tangannya diikat.
Pada seat itu terdengar bentakan nyaring dan dua orang perajurit terpelanting disusul oleh dua orang perajurit juga terpelanting ke kanan kiri. Semua orang melihat dan ternyata yang datang adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang gagah perkasa. Begitu mereka berdua itu menggerakkan tangan tadi, empat orang telah terpelanting dan hal ini amat mengejutkan hati pasukan itu, juga membuat mereka marah.
Sembilan orang sisa pasukan pengawal itu segera mencabut senjata dan tanpa banyak cakap mereka lalu menerjang dan mengeroyok laki-laki dan wanita yang baru datang itu. Akan tetapi, dengan gerakan ringan dan mudah saja, dua orang itu mengelak dan begitu mereka menggerakkan kaki tangan membalas, sembilan orang itu terpelanting satu demi satu!
Untung bagi tiga belas orang perajurit pemberontak itu bahwa laki-laki dan wanita ini agaknya tidak berhati kejam dan tidak bermaksud membunuh sehingga mereka itu hanya menderita luka-luka ringan saja. Akan tetapi merekapun maklum bahwa dua orang ini adalah orang-orang sakti. Hati mereka menjadi gentar dan tanpa menanti komando lagi mereka lalu berloncatan tunggang langgang melarikan diri dari tempat berbahaya itu, meninggalkan dua orang tawanan yang sudah mereka belenggu.
Suami isteri setengah tua yang gagah perkasa itu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong. Tidak mengherankan kalau dalam segebrakan saja tiga belas orang perajurit pemberontak itu terpelanting semua. Setelah semua perajurit melarikan diri, Ceng Thian Sin lalu melepaskan ikatan tangan kaki Lam-nong dan pembantunya.
Setelah dibebaskan dari belenggu, Lam-nong berdiri memandang kedua orang penolongnya itu dengan penuh perhatian, kemudian dia bertanya dengan suara kaku, dalam bahasa Han.
"Apakah kalian ini dua orang pendekar dari selatan?"
Tentu saja suami isteri itu merasa heran melihat sikap dan mendengar pertanyaan ini. Akan tetapi sambil tersenyum Thian Sin mengangguk.
"Benar, kami datang dari selatan. Sobat, siapakah engkau dan mengapa kalian ditangkap oleh pasukan itu?"
Tiba-tiba Lam-nong mengepal tinju dan memandang marah.
"Sudahlah! Aku tidak mau berurusan dengan segala pendekar dari selatan yang berhati palsu. Daripada nanti kalian akan mengkhianati aku lebih baik kalian membunuhku sekarang juga!"
Berkata demikian, tiba-tiba saja Lam-nong menyerang kalang kabut kepada Thian Sin. Tentu saja pendekar ini menjadi kaget dan terheran-heran, cepat mengelak.
"Manusia tak kenal budi memang lebih baik mampus!"
Toan Kim Hong berseru marah dan tangannya bergerak hendak menghajar orang yang diselamatkan akan tetapi berbalik memusuhi mereka itu. Akan tetapi suaminya memegang pundaknya dan mencegahnya menyerang Lam-nong. Dan dia sendiri lalu menghadapi Lam-nong dan ketika tangan orang itu menyambar ke depan, dia menangkap dan tubuh Lam-nong tidak mampu bergerak lagi.
"Nantl dulu, sobat. Segala perkara harus dibicarakan dulu, tidak membabi buta menuduh dan menyerang orang. Apakah yang telah terjadi dan mengapa engkau membenci para pendekar dari selatan?"
Akan tetapi Lam-nong tidak menjawab dan ketika Thian Sin melepaskan tangannya, diapun menutupi mukanya dan menangis lagi! Hal ini tentu saja mengejutkan hati suami isteri itu dan Thian Sin lalu bertanya kepada pembantu Lam-nong yang hanya berdiri dengan wajah kusut dan muram.
"Sobat, sebenarnya apakah yang telah terjadi kepada kalian?"
Kakek Mancu itu menarik napas panjang lalu menjawab dalam bahasa Han yang kaku akan tetapi cukup jelas.
"Dia ini adalah pemimpin kami bernama Lam-nong kepala suku Mancu Timur yang biasa hidup tenteram. Akan tetapi dalam perjalanan sekali ini kami tertimpa bencana. Semua anggota rombongan kami terbunuh oleh pasukan pemberontak, harta benda dirampok dan wanita-wanita kami ditawan. Yang amat menyedihkan dan menggemaskan hati, semua ini gara-gara pengkhianatan seorang pendekar dari selatan."
"Hemm, gara-gara seorang pendekar dari selatan? Apa yang telah dilakukan pendekar itu?"
"Pemimpin kami telah bertemu dan bersahabat dengan seorang pendekar dan memperlakukannya sebagai tamu agung dan sebagai sahabat. Akan tetapi, ketika rombongan kami diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemberontak, baru ternyata bahwa pendekar yang tadinya kami kira seorang sahabat itu bukan lain adalah seorang mata-mata pemberontak yang amat keji dan telah mengkhianati kami!" Kakek itu mengepal tinju dan suaranya terdengar marah.
Agaknya Lam-nong kini sudah dapat menguasai dirinya. Dia menambahkan.
"Coba saja bayangkan, seorang yang kuanggap sebagai sahabat baik, bahkan seperti saudara sendiri, ketika rombonganku, anak buahku semua tertimpa bencana dan tewas, dia... dia malah menodai isteri-isteriku... dan aku yakin bahwa dia tentu menggunakan paksaan, kalau tidak, tidak mungkin isteri-isteriku bertindak serong dan berjina!"
Suami isteri itu terkejut juga. Kalau seperti itu perbuatan pendekar itu, maka dia sama sekali bukan pendekar melainkan seorang penjahat yang mengaku sebagai pendekar.
"Ah, dia itu penjahat keji yang terkutuk, bukan pendekar!" Toan Kim Hong berseru marah.
"Akan tetapi dia seorang pendekar, bahkan putera seorang tokoh yang terkenal. Menurut keterangannya, ayahnya adalah seorang ketua perkumpulan Cin-ling-pai yang besar."
"Tidak, Cia Hui Song adalah seorang pendekar, akan tetapi ternyata hatinya busuk dan penuh khianat keji!"
"Apa...? Siapa...?"
Ceng Thian Sin berseru kaget dan dia memegang lengan Lam-nong dengan kuat sehingga kepala suku itu menyeringai kesakitan. Thian Sin sadar dan melepaskan cengkeramannya dan ternyata baju pada lengan Lam-nong hancur lebur! Kepala suku itu memandang dengan wajah pucat, akan tetapi dia tersenyum.
"Aku tahu, pendekar-pendekar selatan memang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi hatinya palsu dan busuk. Nah, kau bunuhlah aku!" tantangnya.
"Nanti dulu, saudara Lam-nong. Tentu ada kesalah-pahaman disini. Kalau memang benar dia itu pendekar Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai, tidak mungkin dia melakukan hal yang kotor itu. Dan andaikata benar dia melakukannya, tentu dia bukan putera ketua Cin-ling-pai atau semua itu hanya fitnah belaka."
"Fitnah? Orangku ini menyaksikan dengan kepala sendiri dan masih dianggap fitnah? Kalian pendekar-pendekar selatan tentu saja membela!" kata Lam-nong dan dia menyuruh pembantunya menceritakan kembali semua yang telah terjadi.
Kakek Mancu itu menceritakan sejak terjadinya penyerbuan pasukan pemberontak sampai ketika dia tertawan dan dia dilepas karena mirip wajah pemimpin pasukan pemberontakg dan betapa dia menyaksikan Hui Song berjina dengan empat orang isteri Lam-nong yang tertawan, betapa wanita-wanita lainnya menjadi korban perkosaan yang biadab.
Mendengar penuturan ini, Thian Sin dan isterinya saling pandang dan pendekar ini menggeleng-geleng kepalanya,
"Sungguh sukar untuk dipercaya!" serunya.
"Sungguh membingungkan!" kata pula Toan Kim Hong.
Mereka sudah mendengar dari puteri mereka akan nama Cia Hui Song itu yang oleh puterinya dipuji-puji sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi menurut penuturan dua orang Mancu ini, ternyata Hui Song adalah seorang mata keranjang yang cabul den berwatak busuk dan palsu. Tentu saja mereka belum mau percaya sepenuhnya hanya dengan mendengar penuturan dua orang ini walaupun jelas bahwa dua orang yang keadaannya seperti itu, kehilangan semua kawan yang terbunuh habis, kiranya tidak akan sempat lagi untuk berbohong-bohong.
Tidak mungkin mereka ini menceritakan fitnah, akan tetapi besar kemungkinannya pendekar yang menjadi sahabat mereka itu bukan putera Cin-ling-pai yang sebenarnya, melainkan akuan saja. Betapapun juga, di dalam lubuk hatinya, suami istri ini kurang begitu suka kepada ketua Cin-ling-pai yang mereka anggap berwatak angkuh.
"Kami akan menyelidiki kebenaran keterangan kalian itu," akhirnya Thian Sin berkata. "Kalau benar orang itu melakukan hal yang demikian jahat, kami akan menghajarnya. Akan tetapi, dapatkah kalian menolong kami menceritakan dimana adanya nenek yang bernama Yelu Kim?"
Mendengar pertanyaan ini, sepasang alis Lam-nong berkerut dan diapun memandang penuh kecurigaan dan ejekan.
"Hemm, kiranya kalian ini pendekar-pendekar dari selatan yang ingin mengabdi kepada nenek Yelu Kim untuk memberontak terhadap pemerintah kalian di selatan?"
"Tutup mulutmu dan jangan menduga yang bukan-bukan!" Toan Kim Hong membentak marah.
Akan tetapi Thian Sin tersenyum dan dia maklum mengapa kepala suku ini demikian penuh dendam dan benci kepada para pendekar dari selatan.
"Sobat Lam-nong, mengapa kau menduga demikian?"
"Karena petualang-petualang dari selatan itu berkeliaran disini hanya untuk mencari kedudukan atau kekayaan. Nenek Yelu Kim sendiripun sekarang telah dibantu oleh seorang pendekar wanita dari selatan..."
"Ah, pendekar wanita itulah yang kami cari!" Toan Kim Hong berseru. "Bukankah ia masih muda sekali, cantik dan lihai, dan namanya Ceng Sui Cin?"
Lam-nong menggeleng kepala.
"Aku tidak mengenal namanya, akan tetapi memang ia muda, cantik dan lihai bukan main. Aku hanya mendengar bahwa ia menjadi murid dan pembantu nenek Yelu Kim, bahkan ialah yang memenangkan sayembara pemilihan jagoan sehingga kemenangannya membuat nenek Yelu Kim diangkat menjadi pimpinan para kepala suku."
"Ah, tentu ia itu puteri kami Ceng Sui Cin!" Toan Kim Hong berseru dan suaranya agak gemetar.
postingan
"Putert kalian? Ah, menarik sekali!" kata Lam-nong.
"Saudara Lam-nong, berlakulah baik kepada kami dan tolonglah tunjukkan dimana adanya nenek Yelu Kim agar kami dapat mencari puteri kami," kata Thian Sin, suaranya halus membujuk.
"Hemm, mengingat betapa kalian tadi baru saja menyelamatkan kami dari tangan pasukan pemberontak sudah cukup untuk kubalas dengan pertolongan apapun. Akan tetapi apakah arti pertolonganmu tadi sebagai pendekar dari selatan dibandingkan dengan kekejian yang dilakukan lain pendekar selatan kepada kami? Oleh karena itu, aku mau membantumu, bahkan bukan hanya menunjukkan melainkan mengantarmu ke sana kalau engkau mau berjanji bahwa engkau akan membantuku pula menangkap dan menyeret si jahanam Cia Hui Song ke depan kakiku! Bagaimana?"
Thian Sin saling pandang dengan isterinya. Janji yang berat. Bagaimana kalau ternyata bahwa pendekar itu benar-benar putera ketua Cin-ling-pai? Bukankah itu berarti bahwa mereka akan berhadapan sebagai lawan dan musuh dengan keluarga Cin-ling-pai? Demikian Thian Sin berpikir.
"Baik, kami setuju!" Tiba-tiba Toan Kim Hong berseru. "Siapapun juga adanya pendekar itu, kalau benar dia melakukan kekejian seperti itu, tentu akan kami hadapi sebagai lawan dan musuh!"
Ucapan ini menyadarkan Thian Sin akan kewajibannya sebagai seorang gagah, yaitu menentang siapa saja tanpa pilih bulu, menentang siapa saja yang melakukan perbuatan jahat.
"Benar, kami setuju. Mari antar kami kepada tempat kediaman nenek Yelu Kim!" katanya.
Lam-nong nampak gembira. Janji ini merupakan sinar terang dalam kegelapan hatinya. Dia baru akan merasa puas kalau dapat membalas dendam kepada Cia Hui Song, atas perbuatannya yang biadab kepada isteri-isterinya!
Memang kelihatannya aneh sikap Lam-nong ini, akan tetapi memang sudah demikianlah sifat dendam yang mengotori batin kita semua. Perbuatan merugikan kita yang dilakukan oleh orang yang dekat dengan kita terasa jauh lebih menyakitkan daripada kalau dilakukan oleh orang lain yang asing bagi kita.
Inilah sebabnya mengapa kebencian yang menyelinap dalam batin terhadap seorang bekas teman baik atau keluarga jauh lebih mendalam daripada kebencian terhadap orang asing.
Lam-nong seolah-olah melupakan parbuatan para pemberontak yang telah membasmi keluarga dan rombongannya, juga seperti lupa akan cerita kakek pembantunya betapa selir-selirnya yang lain diperkosa secara biadab oleh mereka. Yang diingatnya dengan penuh rasa sakit hati hanyalah perbuatan Hui Song yang berjina dengan empat orang isterinya!
"Baiklah, akan kuantar sampai ke depan nenek Yelu Nim. Bahkan aku akan mintai pertanggungan jawabnya atas peristiwa yang menimpa rombonganku, karena bukankah ia telah menamakan dirinya pemimpin para kepala suku? Mari, mari kita pergi. Tapi, siapakah ji-wi? Aku belum mengenal nama ji-wi."
Thian Sin tersenyum.
"Namaku Ceng Thian Sin dan ini adalah isteriku."
Lam-nong mengangguk-angguk, baru sekarang teringat dia betapa lihainya suami isteri ini ketika tadi membubarkan pasukan pemberontak.
"Mari, taihiap dan toanio, mari kita berangkat."
Bagaimana dengan Cia Hui Song? Pemuda ini merasa marah dan mendongkol sekali ketika dalam keadaan tertotok dan tidak berdaya, dia melihat empat orang isteri sahabatnya memasuki kamarnya itu dalam keadaan hampir telanjang bulat. Dia melihat betapa wajah mereka pucat, rambut mereka kusut dan pandang mata penuh takut dan duka.
Dia tahu bahwa mereka itu ketakutan dan menangis ketika mereka memeluknya seperti hendak minta perlindungan, bahwa mereka itu dipaksa oleh Sim Thian Bu untuk merayunya. Dia tidak marah kepada wanita-wanita ini melainkan merasa kasihan, akan tetapi apa yang dapat dilakukannya? Dia tidak berdaya sama sekali.
Untung baginya, hanya sebentar saja wanita-wanita itu disuruh merayu atau menemaninya. Dan dia melihat wajah orang Mancu itu ketika pintu dibuka, melihat betapa orang Mancu tua itu terbelalak lalu menyumpah dan pintu ditutup lagi. Agaknya hanya untuk keperluan memperlihatkan adegan itu kepada orang Mancu tadilah maka empat orang wanita itu disuruh naik tempat tidurnya. Tak lama kemudian mereka disuruh keluar lagi, entah dibawa kemana oleh Thian Bu.
Pada keesokan harinya, Sim Thian Bu muncul pula di dalam kamarnya. Totokan pada tubuhnya sudah bebas, akan tetapi malam tadi Thian Bu mengikat tangannya dengan tali sutera yang amat kuat sehingga percuma saja ketika Hui Song berusaha melepaskan diri dengan cara menariknya putus.
"Aha, Cia-taihiap. Engkau nampak segar pagi ini. Bagaimana, apakah usulku semalam sudah kau pertimbangkan?"
"Aku tidak sudi bersekutu dengan pemberontak. Biar akan kau bunuh sekalipun, aku tidak perduli. Akan tetapi ingat, kalau aku sampai dapat lolos dari sini, aku akan mengejar dan mencarimu, dan akan kupaksa engkau bertanding sampai mampus!"
"Aih, mengapa galak amat? Bukankah aku telah memperlakukanmu dengan amat baik? Bahkan telah kusuguhkan wanita-wanita cantik. Sayang engkau yang bodoh tidak mau menerimanya. Cia-taihitip, ketahuilah bahwa aku bersikap baik kepadamu bukan tanpa sebab. Tahukah engkau bahwa ayah ibumu, juga kakekmu, kini telah berada bersama kami dan bekerja sama dengan kami, bahkan ayahmu kini mengepalai pasukan keamanan di Ceng-tek?"
"Bohong! Siapa sudi percaya omongan busukmu?" bentak Hui Song. "Sim Thian Bu, aku tidak tahu mengapa engkau memusuhiku, akan tetapi yang jelas engkau adalah tokoh pemberontak rendah. Jangan mencoba-coba untuk membujukku. Perbuatanmu semalam dengan memaksa empat orang isteri Lam-nong dalam keadaan tak tahu malu itu kesini saja sudah melampaui batas dan untuk itu, mau rasanya aku membunuhmu sampai tujuh kali! Sekarang, kau apakan mereka itu?"
"Ha-ha-ha, karena mereka tidak berhasil membujukmu, mereka kuhadiahkan kepada orang-orangku dan kau dapat membayangkan apa jadinya kalau empat orang wanita itu harus melayani ratusan orang perajurit..."
"Jahanam keparat kau!"
Hui Song membentak dan wajahnya berobah merah sekali, hatinya perih membayangkan nasib para isteri Lam-nong.
Sim Thian Bu sama sekali tidak tahu bahwa semua percakapannya dengan Hui Song itu ada yang mendengarkan. Seorang laki-laki yang berpakaian seragam perajurit berdiri di luar kamar itu, dengan sikap bertugas jaga, akan tetapi sebenarnya dia sedang mendengarkan dengan teliti apa yang sedang dibicarakan di dalam kamar. Perajurit ini bertubuh tinggi tegap dan memiliki sepasang mata yang mencorong tajam.
Perajurit ini adalah Siangkoan Ci Kang! Seperti telah kita ketahui, Ci Kang terancam bahaya maut di tangan Raja Iblis Pangeran Toan Jit Ong, akan tetapi secara kebetulan dan tiba-tiba muncul Pendekar Sadis dan isterinya yang menyelamatkannya dan setelah dia memberi tahu kepada mereka tentang Sui Cin, suami isteri yang sakti itu lalu meninggalkannya untuk mencari puteri mereka.
Setelah berpisah dari suami isteri yang sakti itu, yang membuat Ci Kang merasa semakin nelangsa karena mereka itu adalah ayah bunda Sui Cin yang dicintanya, membuat dia merasa semakin kecil dan rendah, pemuda ini lalu mengambil keputusan untuk mencari Raja Iblis yang melarikan Hui Cu.
Dia harus dapat menyelamatkan gadis itu dari tangan ayah kandungnya sendiri yang jahatnya melebihi iblis. Gadis itu sudah dua kali menyelamatkannya, pertama kali ketika dia bersama Cia Sun terjeblos ke dalam guha bawah tanah dan kedua kalinya ketika dia hampir celaka di tangan murid Raja Iblis, Gui Siang Hwa. Sekarang, dia tahu bahwa gadis itu berada dalam cengkeraman iblis yang membahayakan keselamatannya, maka dia harus berusaha untuk menolongnya, biarpun untuk itu keselamatan nyawanya sendiri akan terancam.
Dalam perjalanannya mencari Hui Cu inilah secara kebetulan Ci Kang di dusun itu. Dia hanya melihat bekas-bekas kejahatan pasukan pemberontak yang dipimpin Sim Thian Bu itu, yang telah membasmi puluhan orang anak buah suku Mancu Timur di bawah pimpinan Lam-nong.
Hatinya menjadi panas oleh kemarahan ketika dia mendengar dari penyelidikannya betapa sutenya itu telah sedemikian jahatnya membunuhi orang-orang yang tidak berdosa, bahkan menganiaya dan memperkosa wanita-wanitanya. Akan tetapi kedatangannya terlambat dan dia tidak sempat lagi mencegah perbuatan sutenya. Pula, Ci Kang tidaklah begitu bodoh untuk langsung menemui Thian Bu dan menegurnya. Bagaimanapun juga, jalan hidup antara mereka telah terpisah, mereka telah bersimpang jalan, bahkan saling menentang.
Sutenya itu, setelah kini memimpin ratusan orang perajurit, mana mungkin mau mentaatinya? Tentu tidak takut kepadanya dan dia akan dianggap musuh dan dikeroyok. Karena itulah, Ci Kang diam-diam lalu menculik seorang perajurit yang perawakannya seperti dia, membawa perajurit itu ke dalam sebuah hutan yang cukup jauh, mengikat kaki tangannya setelah melucuti pakaiannya, dan dengan berpakaian perajurit dia kembali ke dalam dusun.
Dengan mudah dia menyelinap diantara perajurit yang seribu orang banyaknya itu dan dia berhasil masuk ke dalam pondok dimana Sim Thian Bu sedang mengunjungi Hui Song yang tertawan. Dengan muka geram dia mendengarkan semua percakapan itu dan tahulah dia bahwa pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu sedang dibujuk oleh sutenya untuk membantu pemberontak.
Sutenya, Sim Thian Bu, telah membantu Raja Iblis. Padahal, ayahnya, Siangkoan Lo-jin, guru sutenya itu tewas di tangan Raja Iblis. Sungguh seorang murid murtad. Dia sendiri memang tidak mendendam atas kematian ayahnya yang dianggapnya tewas karena ulah sendiri, akan tetapi dia tidak akan sudi diperalat oleh pemberontak. Dan biarpun Hui Song pernah memperlihatkan sikap bermusuh dengannya, ketika dia muncul di bekas benteng Jeng-hwa-pang dan ketika dia berada dalam kamar bersama Sui Cin, namun dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar sejati.
Diapun sudah mendengar tentang ketua Cin-ling-pai yang membantu gerakan para pemberontak, maka diam-diam dia merasa kasihan kepada Hui Song. Sedikit banyak ada persamaan antara dia dan pemuda ini. Biarpun ayah pemuda ini seorang pendekar besar, ketua Cin-ling-pai, akan tetapi sekarang menyeleweng dan membantu pemberontak, padahal puteranya mati-matian menentang pemberontak dan lebih memilih mati daripada harus menjadi kaki tangan pemberontak seperti yang diperlihatkan ketika dibujuk oleh Sim Thian Bu itu. Dan agaknya Hui Song belum tahu akan penyelewengan ayahnya.
"Hui Song, engkau sungguh orang yang tidak tahu akan kebaikan orang!" Akhirnya Sim Thian Bu menjadi marah dan tidak menyebutnya taihiap lagi. "Melihat muka orang tuamu yang kini menjadi rekanku, aku bersikap baik kepadamu dan tidak membunuhmu walaupun engkau telah membantu suku bangsa liar. Bahkan aku telah menyuguhkan empat orang wanita tawanan untuk menghiburmu, akan tetapi engkau menolak. Baiklah, agaknya engkau baru akan mau percaya kalau sudah kubawa ke Ceng-tek dan bertemu dengan ayah ibumu." Dia mendengus marah. "Karena engkau masih tidak mau tunduk, terpaksa harus kubelenggu terus sampai ke Ceng-tek. Hari ini juga kita berangkat ke sana!"
Dengan uring-uringan Thian Bu meninggalkan Hui Song dalam kamar itu. Tadinya dia berniat untuk membujuk Hui Song agar dapat membantu dan ikut dengannya secara suka rela agar dia dapat berbangga memamerkan jasanya di Ceng-tek. Tak disangkanya Hui Song demikian keras hati sehingga terpaksa dia akan membawanya sebagai tawanan, hal yang amat tidak enak terhadap ketua Cin-ling-pai.
"Jaga dia, awasi terus jangan sampai dia dapat meloloskan diri!" perintah Sim Thian Bu kepada dua orang pengawal yang berada di luar pintu kamar.
Dua orang pengawal itu mengangguk dan masuk ke dalam kamar, berdiri dekat pembaringan dengan tombak di tangan.
Akan tetapi, tidak lama kemudian setelah Sim Thian Bu meninggalkan kamar itu, sesosok bayangan berkelebat masuk ke dalam kamar itu. Hui Song yang masih rebah tak mampu berkutik itu melihat betapa dengan gerakan yang amat ringan, bayangan ini menyergap ke arah dua orang penjaga yang tidak sempat berteriak atau mempertahankan diri. Dua kali totokan membuat mereka itu roboh pingsan. Dengan cekatan Ci Kang, bayangan itu, menyambar dua batang tombak agar tidak mengeluarkan bunyi keras ketika terbanting ke atas lantai.
Hui Song terbelalak ketika mengenal siapa adanya perajurit tinggi tegap yang merobohkan dua orang pengawal itu.
"Hemmm...kau...?" gumamnya, sama sekali tidak girang melihat kedatangan penolong ini, bahkan matanya mengandung sinar kemarahan. Andaikata dia tidak dalam keadaan terbelenggu, tentu dia sudah bergerak menerjang Ci Kang!
Ci Kang dapat melihat kebencian terpancar dari mata putera ketua Cin-ling-pai itu dan diapun maklum.
"Sobat Cia Hui Song, sebaiknya engkau tahan kemarahanmu dan kita simpan dulu urusan pribadi. Yang jelas engkau tertawan..."
"Benar, dan yang menawan adalah murid ayahmu!" Hui Song mengejek.
"Simpan ejekanmu itu, sobat! Biarpun dia suteku, akan tetapi jalan hidup kami tidak sejalur. Biarpun mendiang ayahku seorang datuk sesat, akan tetapi tak dapat kau samakan aku dengan mereka, seperti juga berbedanya jalur hidupmu dengan ayahmu yang kini mengabdi kepada pemberontak..."
"Tutup mulut! Kalian pembohong...!" Hui Song membentak.
"Sstttt kita tunda dulu perselisihan ini. Yang penting kita harus dapat lari dari tempat ini," berkata demikian Ci Kang cepat melepaskan ikatan kaki tangan Hui Song.
Biarpun bekas ikatan pada kaki dan tangan itu masih membuat kaki tangannya terasa kesemutan dan setengah lumpuh, namun Hui Song memaksa diri meloncat turun dari pembaringan dan langsung dia menyerang Ci Kang!
"Jahanam busuk, aku harus membunuhmu untuk membalaskan penghinaanmu terhadap Sui Cin!"
Serangan Hui Song tentu saja hebat sekali dan Ci Kang yang sudah mengenal kelihaian lawan ini cepat mengelak.
"Sabar dulu, sobat. Masih banyak waktu dan kesempatan bagi kita untuk bertanding. Sekarang yang penting kita harus meloloskan diri dari dusun ini!"
Ci Kang berseru, akan tetapi semua seruannya percuma saja karena Hui Song yang sudah marah sekali teringat akan perbuatan pemuda ini memeluk dan mencium Sui Cin, sudah menerjang lagi kalang kabut.
Tentu saja Ci Kang menjadi bingung sekali dan sikap Hui Song ini membuat dia naik darah juga, maka setelah mengelak dan menangkis, diapun mulai balas menyerang! Terjadilah perkelahian yang amat hebat di dalam kamar itu dan tentu saja, hal ini menarik perhatian para pengawal yang cepat datang melihat.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka melihat tawanan itu telah bebas dan kini sedang berkelahi melawan seorang rekan perajurit sedangkan dua orang perajurit pengawal sudah roboh tak bergerak di atas lantai. Melihat ini, para perajurit itu yang mengira bahwa Ci Kang adalah seorang diantara kawan mereka cepat menerjang dan membantu Ci Kang sehingga Hui Song kini dikeroyok!
Pemuda yang sudah mempunyai perasaan benci terhadap Ci Kang ini, rasa benci yang bukan hanya karena Ci Kang putera datuk sesat Iblis Buta, akan tetapi terutama sekali karena rasa cemburu yang hebat, kini menjadi semakin marah dan semakin yakin bahwa Ci Kang tentu bekerja sama dengan sutenya, Sim Thian Bu yang licik itu.
"Huh, Siangkoan Ci Kang, majulah bersama semua antekmu! Aku tidak takut!"
Dan diapun mengamuk merobohkan empat orang perajurit dengan sekali serang! Pada saat itu, Sim Thian Bu yang diberi tahu oleh anak buahnya datang dan diapun terkejut bukan main ketika mengenal perajurit tinggi tegap itu yang ternyata adalah Siangkoan Ci Kang!
Sebaliknya, melihat Sim Thian Bu, Ci Kang juga marah sekali. Kalau tadi ketika dia mendengar Thian Bu membujuk Hui Song dia masih mempertahankan kemarahannya karena perlu membebaskan Hui Song lebih dulu, kini setelah ketahuan dan dikeroyok, kemarahannya terhadap sutenya itu makin berkobar.
"Sim Thian Bu, engkau semakin gila dan jahat saja!" bentaknya dan tiba-tiba saja dia menyerang Sim Thian Bu!
Thian Bu maklum akan kelihaian putera suhunya ini. Maka cepat dia menangkis dengan lengan kanannya.
"Dukkk...!"
Dan tubuh Thian Bu terlempar sampai bergulingan. Terkejutlah dia dan baru dia tahu bahwa suhengnya itu ternyata telah menjadi semakin lihai saja. Maka diapun berteriak kepada para perajuritnya.
"Dia perajurit palsu! Kepung dan bunuh dia juga!"
Tadi para perajurit bingung melihat pimpinan mereka berkelahi melawan perajurit itu, bahkan mereka kaget melihat betapa dalam segebrakan saja komandan mereka yang biasanya amat lihai itu terlempar sampai bergulingan. Akan tetapi begitu mendengar teriakan Thian Bu mengertilah mereka bahwa perajurit itu adalah seorang musuh yang menyamar, maka tentu saja segera mereka mengeroyok Ci Kang!
Hui Song sendiri juga dihujani senjata dan kini melihat betapa Ci Kang dikeroyok, tadinya dia masih bingung dan ragu, mengira bahwa Ci Kang bersandiwara. Akan tetapi melihat betapa Ci Kang mengamuk dan merobohkan banyak perajurit seperti juga dia, dan betapa para pengeroyoknya itu juga menyerang dengan sungguh-sungguh, baru dia percaya bahwa Ci Kang benar-benar dimusuhi oleh Sim Thian Bu dan pasukannya!
Dia masih bingung, akan tetapi tidak mendapat kesempatan untuk berpikir lebih lama lagi. Para pengeroyok terlalu banyak dan melihat betapa Ci Kang mendesak para pengeroyok dan berhasil keluar dari dalam kamar yang sempit, diapun menerjang dan membuka jalan darah.
Segera dua orang pemuda perkasa ini dikeroyok di luar pondok yang lebih luas dan terjadilah pertempuran yang amat seru. Akan tetapi, baik Ci Kang maupun Hui Song maklum bahwa mereka berdua saja tidak akan mungkin dapat menandingi pengeroyokan perajurit yang jumlahnya hampir seribu orang itu.
Mereka tentu akan kehabisan tenaga. Oleh karena itu, seperti telah berunding lebih dulu saja keduanya menyerang ke depan dan menyelinap lalu meloncat jauh dan melarikan diri. Beberapa orang perajurit yang berusaha mengejar, mereka robohkan dengan pukulan jarak jauh. Melihat ini, para perajurit lainnya menjadi gentar dan ragu-ragu untuk mengejar.
Thian Bu yang marah sekali melihat dua orang itu lolos, cepat berteriak memerintahkan anak buahnya untuk mengejar. Karena mengandalkan jumlah banyak pasukan itu melakukan pengejaran, akan tetapi dua orang pemuda perkasa itu telah lari jauh dan tidak nampak lagi bayangannya sehingga terpaksa para perajurit mencari ke sana-sini di bawah pimpinan Sim Thian Bu yang menyumpah-nyumpahi mereka karena pengejaran itu gagal sama sekali.
Sim Thian Bu cukup maklum bahwa perajurit-perajurit itu tidak dapat disalahkan karena memang kedua orang pemuda itu amat lihai, akan tetapi karena kegagalan ini amat menjengkelkan hatinya, maka untuk melampiaskan kemarahannya itu dia memaki-maki para perajuritnya.
Biarpun tidak berjanji lebih dulu, akan tetapi kenyataannya Ci Kang dan Hui Song lari ke satu jurusan. Agaknya mereka itu keduanya tidak mau mengambil jalan lain atau memisahkan diri, khawatir kalau disangka takut atau sengaja melarikan diri menghindarkan perkelahian.
Dan setelah mereka lari jauh dan pasukan pemberontak tidak mengejar lagi, di sebuah tanah datar di lereng sebuah bukit, keduanya berhenti tanpa kencan dan berdiri saling berhadapan.
"Cia Hui Song, masih tidak percayakah kau kepadaku? Aku juga menentang kaum pemberontak!"
"Boleh jadi engkau menentang pemberontak, akan tetapi aku tidak mungkin dapat mengampunimu atas kebiadabanmu menghina Sui Cin!" bentak Hui Song dan diapun sudah menyerang dengan dahsyatnya.
Ci Kang merasa betapa pemuda ini keterlaluan sekali mendesaknya. Biarpun ada dorongan aneh dalam dirinya ketika dia menjadi terangsang dan timbul berahinya sehingga dia melakukan hal yang tidak patut terhadap Sui Cin, namun dia tidak mau mencari alasan untuk membela diri. Dia diam saja dan menangkis, bahkan lalu membalas sehingga dua orang muda itu terlibat dalam suatu perkelahian yang amat seru dan mati-matian, walaupun Hui Song lebih banyak menyerang karena Ci Kang masih merasa enggan untuk menyerang.
Dia tidak membenci Hui Song, tidak ada alasan baginya untuk membenci pemuda ini, maka diapun hanya membela diri dan menghadapi seorang lawan selihai Hui Song, kalau hanya membela diri dengan menangkis atau mengelak saja sungguh amat berbahaya dan tidak cukup aman. Serangan balasan yang dilakukannya, yang tidak kalah dahsyatnya, hanya dilakukan untuk membendung gelombang serangan yang dilakukan Hui Song terhadap dirinya.
Dua orang ini memang sama mudanya, sama gemblengan orang-orang pandai, bahkan keduanya pada akhir-akhir ini selama tiga tahun telah digembleng oleh orang-orang sakti yang segolongan. Oleh karena itu, sukar dikatakan siapa yang lebih kuat diantara mereka.
Hui Song adalah putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang tentu saja mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai yang tinggi, dan gemblengan selama tiga tahun yang diterimanya dari Siang-kiang Lo-jin membuat ilmu-ilmunya menjadi matang. Akan tetapi di lain pihak, Ci Kang juga telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah kandungnya, Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta, dan gemblengan selama tiga tahun oleh Ciu-sian Lo-kai juga mematangkan ilmu-ilmunya. Maka pertandingan antara mereka ini sedemikian dahsyatnya bagaikan perkelahian dua ekor naga sakti yang tidak mau saling mengalah.
Setelah perkelahian itu berlangsung seratus jurus tanpa ada yang terdesak, keduanya semakin maklum bahwa lawan masing-masing itu lebih sukar dikalahkan seperti yang mereka sangka semula, oleh karena itu kini bergerak dengan hati-hati sambil mengeluarkan seluruh ilmu silat mereka dan mengerahkan seluruh tenaga.
"Dukkk...!"
Kembali terjadi adu tenaga yang amat dahsyat yang mengakibatkan kedua orang muda itu terhuyung ke belakang dan keduanya harus mengatur pernapasan beberapa detik lamanya untuk menghimpun hawa murni melindungi tubuh bagian dalam agar jangan sampai terluka akibat guncangan pertemuan tenaga dahsyat itu.
Dan pada saat itu, selagi keduanya siap untuk saling terjang lagi, nampak dua bayangan orang berkelebat. Seorang gadis cantik menghadang di depan Hui Song, dan seorang pemuda perkasa menghadang di depan Ci Kang.
"Suheng, harap jangan berkelahi...!" Gadis itu berteriak.
"Ci Kang, tahan dulu...!" Pemuda itu berseru pula.
Melihat gadis itu yang menghadangnya, Hui Song terpaksa menghentikan serangannya, juga Ci Kang segera menghentikan gerakannya ketika dia mengenal siapa yang menghadang di depannya. Gadis dan pemuda itu adalah Tan Siang Wi dan Cia Sun!
Bagaimanakah dua orang muda ini dapat saling berkenalan dan dapat datang bersama di tempat itu? Seperti kita ketahui, Cia Sun hadir pula dalam pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang dan seperti juga yang lain, dia terpaksa melawan sambil berpencar dan akhirnya menyelamatkan diri karena jumlah lawan yang terlampau banyak.
Ketika dia sedang melarikan diri tiba-tiba dia melihat seorang gadis yang dikepung dan dikeroyok oleh banyak sekali perajurit yang agaknya hendak menangkap gadis cantik itu hidup-hidup. Akan tetapi, gadis cantik itu memainkan sepasang pedang secara hebat sehingga dua puluh lebih orang perajurit itu sukar dapat menangkapnya, dan hanya mengepung dan menyerang dari jauh dengan tombak mereka untuk menghabiskan tenaga gadis itu agar akhirnya dapat disergap. Gadis itu adalah Tan Siang Wi.
Sejak muda, Tan Siang Wi telah biasa hidup dalam kekerasan sebagai seorang gadis kang-ouw yang disegani. Ia murid Bin Biauw, isteri ketua Cin-ling-pai, bahkan menerima petunjuk pula dari ketua Cin-ling-pai sehingga tentu saja ia amat lihai, terutama sekali Ilmu Silat Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang hebat itu.
Karena sifatnya yang keras dan berani, juga karena ia tidak pernah memberi ampun kepada para penjahat, maka di dunia kang-ouw ia dijuluki Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa)!
Maka, biarpun kini dikepung dan dikeroyok dua puluh orang lebih, ia mengamuk dan sedikitpun tidak menjadi gentar. Gadis ini mendengar tentang adanya pertemuan di antara para pendekar di Jeng-hwa-pang. Selama tiga tahun ini ia merantau dengan hati penuh duka, mencari-cart Hui Song, pemuda yang menjadi pujaan hatinya. Dan seperti telah kita ketahui, ia melihat betapa suheng yang dicintanya itu dirayu dalam kamar oleh Siang Hwa, membuat ia cemburu dan marah sekali.
Akan tetapi akhirnya ia tertawan dan yang amat menyedihkan hatinya, suhengnya bersekutu dengan wanita iblis itu dan ia disuruh pergi! Sakit sekali rasa hatinya walaupun ia tahu bahwa Hui Song melakukan hal itu untuk menyelamatkan nyawanya dari ancaman Gui Siang Hwa. Akan tetapi, baginya, rasanya lebih suka mati di tangan wanita itu daripada melihat suhengnya berkawan dengan iblis betina itu dan ia disuruh pergi. Akan tetapi, suhengnya yang menyuruhnya dan ia tidak dapat membantah.
Dengan hati dirundung duka, gadis yang usianya sudah dua puluh dua tahun ini lalu pergi ke utara, hendak menghadiri pertemuan antara pendekar di benteng Jeng-hwa-pang. Hal ini dilakukannya bukan hanya untuk memperluas pengalaman, akan tetapi terutama sekali karena ia mengharapkan akan bertemu dengan suhengnya. Ia percaya bahwa seorang pendekar besar seperti suhengnya itu pasti akan hadir pula di sana.
Demikianlah, ia tiba diantara para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang, menyelinap diantara mereka, tidak berani muncul berterang karena ia tidak mewakili siapa-siapa dan iapun tidak datang atas nama perguruan Cin-ling-pai. Hatinya merasa girang sekali ketika ia melihat Hui Song berada disitu pula, bahkan membuat pelaporan.
Ia merasa ikut bangga akan tetapi ia tetap bersembunyi dengan keputusan akan menemui suhengnya itu setelah pertemuan selesai. Hatinya lega karena ia tidak melihat adanya iblis betina yang merayu suhengnya dahulu. Akan tetapi, ada perasaan kecut dan cemburu di dalam hatinya kalau mengingat akan sikap suhengnya yang dingin terhadap dirinya, sikap yang tidak membalas cintanya, teringat pula betapa manis sikap suhengnya terhadap Ceng Sui Cin, kemudian terhadap wanita iblis itu.
Dan ketika pasukan pemberontak yang sangat besar jumlahnya datang menyergap, Siang Wi ikut pula bertempur dan membela diri sambil mencari jalan keluar. Akan tetapi, belum jauh ia lari meninggalkan bekas benteng itu, ia dikepung oleh dua puluh orang lebih perajurit pemberontak dan kembali ia mengamuk membela diri dan sama sekali tidak merasa gentar walaupun pihak lawan terlampau banyak baginya.
Dalam keadaan terancam inilah muncul Cia Sun yang segera turun tangan membantu. Walaupun dia belum mengenal gadis itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa gadis yang dikeroyok para perajurit pemberontak itu tentulah seorang diantara para pendekar yang tadi hadir dalam pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
Serbuan Cia Sun mengubah keadaan dan dengan kerja sama mereka, dua puluh orang perajurit pemberontak itu kocar kacir dan banyak diantara mereka yang roboh tak dapat bangkit kembali. Selebihnya, hanya beberapa orang saja, melarikan diri.
"Saudara yang gagah, terima kasih atas bantuanmu," kata Siang Wi sambil menjura setelah semua pengeroyok roboh dan pergi.
"Lebih baik kita pergi secepatnya sebelum pasukan lain datang!" jawab Cia Sun tidak memperdulikan ucapan terima kasih orang dan diapun lari dengan cepat, diikuti oleh Siang Wi.
Gadis ini tadi merasa kagum sekali melihat kelihaian Cia Sun ketika membantunya, dan kini menjadi semakin kagum karena pemuda itu memiliki ilmu berlari cepat yang hebat, sehingga ia tidak akan mampu menyusulnya kalau saja pemuda itu tidak memperlambat larinya.
Demikianlah, setelah berhasil menyelamatkan diri, mereka saling berkenalan. Keduanya terkejut dan girang setelah mendengar tentang diri masing-masing. Sudah lama Siang Wi mendengar tentang keluarga Cia yang gagah perkasa di Lembah Naga, maka cepat ia memberi hormat ketika mendengar bahwa ia berhadapan dengan Cia Sun, putera Lembah Naga.
"Sungguh beruntung aku dapat bertemu dengan pendekar gagah perkasa dari Lembah Naga! Pantas tadi aku seperti mengenal gerakan silatmu. Bukankah menurut keterangan suhu, ilmu silat keluarga Cia di Lembah Naga masih dekat sekali kaitannya dengan ilmu dari Cin-ling-pai?"
"Benar, nona. Ilmu-ilmu silat keluarga kami memang satu sumber dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Dan akupun girang bahwa engkau adalah murid dari ketua Cin-ling-pai. Apakah nona hadir di pertemuan itu bersama dengan putera ketua Cin-ling-pai yang kulihat tadi hadir pula? Ataukah sebagai wakil Cin-ling-pai?"
"Cia-toako, pertama-tama kuharap engkau tidak memanggil nona padaku. Bukankah kalau diselidiki benar, diantara kita ini masih ada ikatan saudara dalam perguruan? Aku tidak datang bersama suheng, juga bukan utusan suhu. Aku datang untuk... mencari suheng yang sudah lama pergi dan untuk meluaskan pengalaman. Toako, apakah engkau melihat kemana larinya suheng tadi?"
"Maksudmu Cia Hui Song? Entahlah, nona... eh, Wi-moi. Akupun tidak melihatnya. Mana mungkin bisa melihatnya diantara serbuan ribuan orang pasukan pemberontak itu?"
Siang Wi mengepal tinju.
"Aku benci pemberontak-pemberontak itu! Apalagi iblis betina yang memimpinnya itu! Sekali waktu aku harus membunuhnya!"
Diam-diam Cia Sun tersenyum. Tidak begitu mudah, nona cilik, betapapun lihaimu. Murid Raja Iblis itu terlalu lihai bagimu, demikian pikirnya.
"Siauw-moi, apakah engkau mengenal wanita iblis itu?"
"Tentu saja! Ia adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis! Dan ialah wanita cabul yang pernah merayu... suhengku. Aku benci padanya! Dan sekarang, ia mengerahkan pasukan pemberontak untuk menyerang dan banyak kawan kita yang tewas. Dan aku terpisah lagi dari suheng yang kucari-cari, tidak tahu kemana harus mencarinya sekarang?"
Cia Sun memandang wajah gadis itu. Malam telah terganti pagi dan sinar matahari pagi yang keemasan menyiram wajah yang cantik itu. Wajah yang manis sekali dan sepasang mata yang jeli dan penuh sinar berapi, penuh semangat hidup dan keberanian.
"Wi-moi, benarkah engkau membenci para pemberontak dan engkau hendak menentang mereka?"
"Eh, eh, kenapa engkau masih bertanya? Bukankah aku hampir celaka oleh mereka dan mungkin sekarang aku sudah tewas kalau tidak ada engkau yang menolongku, toako?"
"Begini, Wi-moi. Adanya aku bertanya kepadamu adalah... eh, apakah engkau belum mendengar atau mengerti bahwa suhu dan subomu juga berada di utara sini?"
Siang Wi kaget akan tetapi juga girang.
"Aih! Benarkah itu? Dimana mereka sekarang? Apakah toako sudah berjumpa dengan suhu dan subo? Kenapa mereka tidak nampak hadir dalam pertemuan antara pendekar?"
Cia Sun menggeleng kepala dan memandang tajam penuh selidik.
"Siauw-moi, agaknya engkau belum tahu atau mendengar tentang suhu dan subomu. Tahukah engkau kenapa mereka berada di daerah ini dan sekarang berada di Ceng-tek?"
Siang Wi memandang bingung.
"Aku tidak tahu, toako. Mereka di Ceng-tek? Apa yang terjadi dengan mereka?"
"Mereka... membantu para pemberontak menyerbu Ceng-tek dan kini menjadi tokoh pemberontak di Ceng-tek..."
"Ahh...! Tidak mungkin!" seru gadis itu.
"Aku sendiri ketika mendengar berita itu untuk pertama kalinya, tidak percaya dan merasa penasaran sekali. Aku memang mendengar bahwa gurumu, paman Cia Kong Liang adalah seorang yang keras hati, akan tetapi menurut penuturan ayah, paman Cia Kong Liang selalu menjunjung tinggi kegagahan dan agaknya tidak mungkin kalau sampai beliau begitu rendah menjadi kaki tangan pemberontak. Akan tetapi berita itu sudah kuselidiki kebenarannya dan temyata memang paman Cia Kong Liang bersama isterinya dan ayah mertuanya kini membantu Raja Iblis dan Panglima Ji Sun Ki yang memberontak. Aku tidak dapat menyelidiki mengapa terjadi hal yang mustahil itu."
Siang Wi termenung dengan wajah pucat. Ia dapat menduga. Tentu ini gara-gara kakek Jepang yang menjadi mertua suhunya itu. Bagaimana juga, ia sebagai murid subonya tahu bahwa kakek itu dahulu pernah menjadi datuk sesat di timur. Bukan tidak mungkin kakek itu mempunyai hubungan dengan Raja Iblis dan para datuk sesat yang kini memberontak, dan berhasil membujuk suhunya untuk membantu pemberontak!
"Aku harus mencari mereka... harus menyadarkan mereka...!" Ia berkata berkali-kali seperti kepada dirinya sendiri.
Cia Sun merasa kasihan, juga kagum akan kegagahan gadis ini. Biarpun mendengar betapa suhu dan subonya membantu pemberontak, gadis ini tetap dengan pendiriannya berpihak kepada para pendekar yang menentang pemberontak, bahkan ia hendak menyadarkan suhu dan subonya dari kesesatan itu.
"Wi-moi, telah menjadi keputusan rapat bahwa kita terpaksa harus bertindak sendiri-sendiri, dengan cara sendiri menentang para kaum sesat yang temyata kini bersekutu dengan pasukan pemberontak. Dan kita tidak akan berhasil menghadapi mereka kalau tidak bergabung dengan pasukan pula. Oleh karena itu, mari kita melakukan penyelidikan ke Ceng-tek, dan kita bantu gerakan pasukan pemerintah, sekalian menyelidiki paman Cia Kong Liang dan kalau sampai berhasil menyadarkan mereka sehingga mereka membantu kita dari dalam untuk menghancurkan pemberontak, alangkah baiknya."
Siang Wi yang kini merasa suka dan kagum kepada pendekar muda Lembah Naga ini, merasa setuju dan berangkatlah mereka bersama. Dan secara kebetulan sekali mereka tiba di tempat sunyi di lereng bukit dimana Ci Kang sedang berkelahi mati-matian melawan Cia Hui Song. Melihat ini, tentu saja mereka menjadi terkejut sekali.
"Suhengku melawan putera Iblis Buta, aku harus membantunya!" kata Siang Wi, dan ia sudah siap menerjang. Akan tetapi lengannya disentuh Cia Sun.
"Jangan tergesa-gesa! Putera Iblis Buta itu seorang yang gagah perkasa yang juga menentang kaum sesat. Kita hentikan perkelahian itu dan bicara dengan baik!"
Setelah berkata demikian, mereka lalu meloncat ke dalam gelanggang perkelahian. Siang Wi menghentikan suhengnya den Cia Sun menahan Ci Kang.
Baik Ci Kang maupun Hui Song terpaksa menghentikan gerakan perkelahian mereka ketika Siang Wi dan Cia Sun melerai, walaupun hati Hui Song masih merasa penasaran sekali.
Cia Sun segera memberi hormat kepada Hui Song. Walaupun usia mereka sebaya, dia hanya satu tahun lebih tua dari Hui Song, akan tetapi menurut "abu" dia jauh lebih muda dan Hui Song masih terhitung pamannya.
Kalau pendekar sakti Cia Bun Houw adalah kakek Hui Song, maka baginya kakek sakti itu adalah kakek buyutnya. Kakek Cia Bun Houw adalah ayah kandung Cia Kong Liang dari ibu Yap In Hong, sedangkan kakeknya sendiri, Cia Sin Liong adalah anak kandung Cia Bun Houw dari ibu Liong Si Kwi. Kakeknya itu dengan Cia Kong Liang adalah saudara seayah berlainan ibu.
"Harap paman Cia Hui Song suka bersabar dan maafkan saya yang berani melerai dan menghentikan perkelahian ini," katanya.
Hui Song sudah tahu bahwa pemuda perkasa ini adalah Cia Sun, keturunan Lembah Naga yang masih keluarga Cia juga. Dan biarpun dia terhitung paman dari pemuda itu, karena mereka sebaya, diapun cepat membalas penghormatan itu.
"Engkau tentu Cia Sun, bukan? Sebetulnya senang sekali dapat berkenalan dengan anggota keluarga sendiri, dan aku sudah melihatmu di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Akan tetapi Cia Sun, apakah engkau tidak tahu siapakah jahanam ini?" Dia menuding ke arah Ci Kang. "Kalau engkau sudah tahu dia siapa tentu engkau tidak akan melerai melainkan membantuku membunuhnya. Dan kau juga sumoi, apakah engkau sudah lupa siapa adanya penjahat ini?"
"Aku tidak lupa, suheng, dan tadipun aku sudah hendak membantumu. Akan tetapi Sun-toako mencegah."
"Paman Hui Song, akupun tahu siapa adanya Siangkoan Ci Kang. Aku tahu benar bahwa dia adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin..."
"Putera Si Iblis Buta, datuk sesat yang amat jahat itu!" Hui Song menambahkan.
"Benar, akan tetapi dia tidak boleh disamakan dengan mendiang ayahnya. Saudara Ci Kang ini kukenal benar karena kami sudah sama-sama menentang Raja Iblis dan kami berdua bahkan hampir tewas oleh Raja Iblis dan muridnya yang jahat, Gui Siang Hwa. Saudara Ci Kang ini adalah murid locianpwe Ciu-sian Lo-kai dan dia selalu menentang kejahatan sampai dimusuhi oleh ayahnya sendiri dan oleh para tokoh sesat. Dia adalah seorang gagah dan berjiwa pendekar..."
"Hemm, engkau kena ditipunya, Cia Sun! Engkau tidak tahu siapa dia sebenarnya. Karena dia berkedok domba, engkau tidak tahu bahwa di balik kedok itu adalah seekor harimau yang liar dan buas! Aku dapat membuktikannya sendiri kejahatannya! Ketahullah bahwa kalau tidak ada aku yang mencegahnya, mungkin dia sudah... memperkosa Sui Cin!"
"Ahhh...!" Cia Sun terbelalak dan memandang wajah Ci Kang dengan penuh selidik. Dia sudah tahu sendiri betapa pemuda itu tidak mau menyerah memilih mati ketika dirayu Siang Hwa. Pemuda ini bukan orang yang lemah terhadap nafsu berahi dan agaknya tidak mungkin akan melakukan hal terkutuk itu terhadap Sui Cin! "Ci Kang, benarkah itu...?" tanyanya, masih terkejut dan tidak percaya.
Ci Kang menghela napas panjang.
"Pendekar Cia Hui Song terlalu membenciku, terlalu bernafsu memusuhiku sehingga tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela diri. Cia Sun, engkau telah mengenalku, kita sama-sama telah menghadapi ancaman-ancaman maut dan sudah saling mengenal watak masing-masing. Tidak kusangkal bahwa memang aku pernah bersikap kurang ajar terhadap nona Ceng Sui Cin, akan tetapi apa yang kulakukan itu terjadi di luar kehendakku, di luar kekuasaanku untuk menahan. Pada waktu itu aku dikuasai nafsu dan gairah yang tidak wajar, dan aku yakin bahwa aku telah keracunan sehingga melakukan hal-hal di luar kesadaranku. Ketika itu aku terluka dan menerima obat dari nona Ceng Sui Cin. Aku diobati dan dirawat, mana mungkin aku melakukan hal keji? Akan tetapi hal itu terjadi dan aku yakin bahwa racun itu terdapat justeru dalam obat itu!"
"Alasan yang dicari-cari!" Hui Song membentak marah.
"Terserah, akan tetapi kenyataannya demikianlah. Bukan aku mencari alasan untuk membela diri. Tidak, aku cukup tersiksa dan merasa menyesal dan kalau nona Ceng Sui Cin sendiri yang menghukumku, aku akan menyerahkan diri tanpa melawan. Akan tetapi, jangan orang lain yang hendak menghukumku!" kata Ci Kang dengan sikap dingin.
Mendengar ini, Hui Song merasa betapa mukanya panas kemerahan. Dia seperti diingatkan bahwa dia tidak berhak marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang. Bagaimanapun juga, walau dia amat mencinta Sui Cin, akan tetapi secara resmi gadis itu bukan apa-apanya, bahkan kekasihnyapun bukan karena gadis itu belum pernah menyatakan membalas cintanya! Kalau Sui Cin yang dihina itu tidak apa-apa, mengapa dia ribut-ribut?
"Hemm, sekarang memang tidak dapat kubuktikan bahwa nona Ceng marah dan mendendam, akan tetapi kalau kelak ia mencarimu untuk membuat perhitungan, aku akan membantunya dan kami akan membunuhmu!" katanya menahan kemarahan.
"Sudahlah, paman Hui Song. Kita semua sedang menghadapi keadaan yang amat gawat. Para pemberontak telah merebut Ceng-tek dan semakin merajalela saja. Kalau diantara kita ribut sendiri, bagaimana kita dapat menentang mereka? Seperti telah diputuskan di dalam pertemuan itu, kita harus bergerak sendiri-sendiri untuk membantu pasukan pemerintah yang tentu akan segera menyerbu mereka dari selatan. Kita harus bersiap-siap dan kalau mungkin, sebelumnya kita melakukan gangguan-gangguan untuk melemahkan mereka, atau setidaknya menyelidiki kekuatan mereka, memata-matai mereka agar kita dapat memberi pelaporan kepada pasukan pemerintah kelak."
"Benar, suheng," Siang Wi menyambung. "Urusan pribadi lebih baik dikesampingkan saja dulu, lebih baik kita cepat-cepat pergi ke Ceng-tek."
"Ke Ceng-tek? Ada apa? Bukankah kota itu sudah diduduki musuh?" tanya Hui Song.
"Kita harus cepat pergi ke sana, suheng, karena..." Tiba-tiba Siang Wi menghentikan kata-katanya dan melirik ke arah Ci Kang.
Melihat ini, Cia Sun menoleh kepada Ci Kang,
"Ci Kang, mari kita pergi."
Ci Kang mengangguk.
"Memang aku sedang mencari nona Hui Cu..."
"Hui Cu? Ada apa dengannya?"
"Ia telah tertawan oleh Raja Iblis..."
"Ahhh...!" Cia Sun merasa terkejut bukan main.
"Cia Sun, kita sudah berhutang budi kepadanya, mari kau bantu aku mencarinya dan menyelamatkannya."
Cia Sun mengangguk dan mereka lalu berpamit kepada Siang Wi dan Hui Song. Setelah dua orang muda itu pergi, Siang Wi berkata,
"Suheng, apakah engkau tidak tahu? Suhu dan subo kini berada di Ceng-tek, juga semua saudara anggota Cin-ling-pai."
Sepasang mata Hui Song terbelalak. Dia teringat akan kata-kata Sim Thian Bu tentang orang tuanya.
"Ada... ada apakah mereka berada di Ceng-tek?" tanyanya gagap dan gelisah.
Siang Wi dapat menduga bahwa suhengnya belum mendengar tentang hal yang amat mengejutkan mengenai gurunya itu.
"Suheng, suhu, subo, dan sukong bersama para murid Cin-ling-pai telah berada di Ceng-tek karena mereka semua membantu pemberontak..."
"Tak mungkin!" Hui Song berteriak. "Sumoi, dari siapa engkau mendengar berita bohong itu?"
"Suheng, ketika pertama kali mendengarnya, akupun terkejut dan tidak percaya, bahkan ingin marah. Akan tetapi... yang memberi tahu kepadaku adalah toako Cia Sun sendiri."
"Ahh...!" Jantung Hui Song berdebar keras. Jadi, benarkah apa yang didengarnya dari Sim Thian Bu? "Bagaimana mungkin itu? Tidak kelirukah Cia Sun ketika bercerita kepadamu?"
"Suheng, kalau saja yang bercerita itu orang lain, tentu sudah kuserang dia! Akan tetapi Cia-toako, kiranya tidak mungkin dia berbohong dan aku khawatir sekali suheng. Aku ingin cepat-cepat bertemu dengan subo dan untuk membuktikan kebenaran berita itu."
"Mari kita ke Ceng-tek. Berita itu harus kita selidiki dan kalau memang benar terjadi hal yang luar biasa itu, aku harus menegur dan mengingatkan ayah dan ibu!"
Dengan hati gundah dan gelisah Hui Song dan Siang Wi meninggalkan tempat itu menuju ke Ceng-tek. Mereka berdua mengambil keputusan bahwa kalau memang benar ketua Cin-ling-pai dan para anggotanya membantu pemberontak, mereka akan menegur dan menyadarkan sedapat mungkin.
"Suhu, teecu merasa sangsi apakah tindakan kita membantu para pemberontak ini sudah tepat," seorang diantara lima pria gagah itu berkata kepada Cia Kong Liang yang duduk bersanding dengan isterinya.
Semenjak pasukan pemberontak, dengan bantuan orang-orang Cin-ling-pai yang lebih dulu menyelundup kedalam, berhasil menduduki Ceng-tek, ketua Cin-ling-pai itu diangkat oleh Panglima Ji Sun Ki menjadi komandan pasukan penjaga keamanan kota benteng itu. Dia sekeluarga berikut puluhan orang murid Cin-ling-pai mendapat pelayanan yang mewah dan hormat oleh pasukan pemberontak dan dianggap berjasa besar.
Pagi hari itu, ketua Cin-ling-pai duduk dalam ruangan belakang bersama isterinya, didalam gedungnya yang megah, menerima lima orang murid kepala Cin-ling-pai yang menghadap sebagai wakil semua murid.
Mendengar ucapan seorang diantara murid kepala itu, Cia Kong Liang memandang tajam. Dia sendiri pada hari-hari terakhir ini merasa tidak tenang dalam keraguan karena dia melihat betapa pasukan Ji-ciangkun dibantu oleh serombongan orang-orang aneh yang dari sikap mereka menunjukkan kekerasan dan kekejaman golongan hitam. Maka, mendengar ucapan muridnya yang biasanya tentu akan membuatnya marah itu, dia merasa tertarik sekali.
"Kenapa tidak tepat? Kita bukan sekedar memberontak memperebutkan kedudukan! Kita berjuang menentang pemerintah yang lalim. Ini tugas para pendekar dan patriot, menyelamatkan rakyat dari penindasan pemerintah lalim," katanya memancing pendapat.
"Akan tetapi, suhu," kata murid kedua, "Pasukan pemberontak ini dibantu oleh kaum sesat! Teecu melihat sendiri betapa mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap penduduk dusun yang diserbu, menculik dan memperkosa wanita-wanita, merampok harta benda bahkan hasil sawah ladang dan binatang ternak petani! Apakah benar kalau kita membantu orang-orang seperti itu, suhu?"
Cia Kong Liang meraba jenggotnya dan mengerutkan alisnya.
"Hemm, benarkah semua itu? Apalagi yang kalian dengar atau lihat?"
"Teecu tidak berbohong, suhu!" kata orang ketiga. "Selama dalam perantauan teecu dalam dunia kang-ouw, teecu sudah beberapa kali bertemu dengan tokoh-tokoh sesat yang kini nampak berada dalam rombongan mereka yang membantu pasukan dan yang kini berdiam di San-hai-koan. Akan tetapi kadang-kadang ada utusan mereka datang ke Ceng-tek ini dan kalau bertemu dengan teecu, mereka pura-pura tidak mengenal teecu. Teecu yakin, mereka itu adalah dari golongan hitam, kaum penjahat yang kejam!"
"Bukan itu saja, suhu," kata orang keempat, "teecu dahulu pernah bertemu dengan Hwa Hwa Kui-bo, nenek iblis yang menjadi seorang tokoh dari Cap-sha-kui, dan teecu melihat pula nenek iblis itu dalam rombongan mereka! Teecu dapat menduga bahwa rombongan itu tentu dipimpin oleh iblis-iblis dari Cap-sha-kui!"
Mendengar ini, Cia Kong Liang menjadi terkejut sekali.
"Cap-sha-kui...?"
Pernah dia mendengar nama Tiga Belas Iblis ini walaupun dia belum pernah bertemu dengan mereka. Dia mendengar bahwa Cap-sha-kui pernah merajalela di dunia kang-ouw, dikepalai oleh Si Iblis Buta. Dan kalau benar Cap-sha-kui sekarang membantu pasukan pemberontak, ini merupakan hal yang amat mencurigakan!
"Apalagi yang kalian ketahui?" tanyanya.
"Satu hal lagi yang amat mengejutkan, suhu," kata seorang murid lain. "Teecu... teecu takut mengatakan..."
Murid ini memandang ke kanan kiri dengan muka pucat dan mata membayangkan ketakutan.
"Takut apa? Tak usah takut, siapa yang akan mendengar keteranganmu kecuali kita sendiri, dan andaikata ada orang lain mendengar, takut apa? Aku berada disini!"
Mendengar ucapan guru atau ketuanya itu, murid Cin-ling-pai ini menjadi besar hati dan biarpun demikian, suaranya masih lirih ketika dia melanjutkan keterangannya,
"Suhu, teecu mendengar bahwa Pangeran Toan itu, yang memimpin pemberontakan bersama Ji-ciangkun, adalah rajanya kaum sesat yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis...!"
"Ahhh...!" Untuk kesekian kalinya Cia Kong Liang terkejut akan tetapi yang terakhir lebih hebat lagi sehingga matanya terbelalak dan mukanya pucat. "Benarkah itu? Tidak kelirukah penyelidikanmu?"
"Hati-hatilah kau, jangan sembarangan karena keteranganmu itu kalau tidak benar, amat berbahaya dan engkau telah menjatuhkan fitnah!" kata Bin Biauw yang juga terkejut bukan main mendengar berita yang sama sekali tidak disangkanya ini.
Wanita ini maklum bahwa ayahnya membujuk suaminya membantu pemberontak agar suaminya kelak bisa memperoleh kedudukan tinggi, akan tetapi dasar pemberontakan itu adalah perjuangan menentang pemerintahan kaisar sekarang yang dianggap lalim. Akan tetapi sedikitpun ia tidak pernah menduga bahwa pemberontakan itu dipimpin oleh raja kaum sesat!
Seperti juga suaminya, biarpun tidak jelas benar, pernah ia mendengar tentang Cap-sha-kui dan Raja Iblis. Nyonya ketua Cin-ling-pai ini, biarpun puteri bekas datuk sesat, sejak muda tidak suka akan kejahatan dan apalagi setelah ia menjadi isteri ketua Cin-ling-pai, jiwa kependekarannya semakin menebal.
"Suhu dan subo, teecu mana berani menyampaikan berita ini kepada suhu berdua kalau teecu tidak lebih dahulu melakukan penyelidikan dengan seksama? Teecu telah bicara dengan beberapa orang anggauta pasukan pemberontak yang sedang mabok dan mereka itu agaknya tidak mampu menyimpan rahasia lagi. Hal itu mungkin karena mereka menganggap teecu sebagai teman atau rekan sepasukan. Bahkan menurut mereka, ada pasukan inti yang biasanya menyerbu ke dusun-dusun, dipimpin oleh seorang tokoh hitam bernama Sim Thian Bu, murid mendiang Iblis Buta. Juga Gui Siang Hwa, wanita cantik yang suka berkeliaran dan memimpin pasukan pengawal itu adalah murid Raja dan Ratu Iblis."
"Sssttt...!"
Tiba-tiba Cia Kong Liang memberi isyarat kepada muridnya supaya jangan melanjutkan kata-katanya karena dia mendengar sesuatu di luar. Cepat tubuhnya berkelebat dan ketua Cin-ling-pai ini sudah meloncat keluar, kemudian terus meloncat naik ke atas genteng.
Akan tetapi tidak terdapat seorangpun disitu. Betapapun juga, dia yakin bahwa tadi ada seorang yang mengintai atau mendengarkan percakapan mereka. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang disitu, ketua Cin-ling-pai segera meloncat turun lagi dan memasuki ruangan, disambut oleh isterinya dan lima orang muridnya yang sudah berdiri dan memandang dengan wajah tegang. Cia Kong Liang menggeleng kepala sebagai jawaban pertanyaan yang terbayang dalam pandang mata mereka, lalu berkata lirih.
"Mulai sekarang, kalian harus berhati-hati dan melakukan penyelidikan lebih teliti lagi. Kawan-kawanmu semua agar dibisiki agar siap siaga dan menanti perintahku selanjutnya. Nah, masih ada lagi yang hendak kalian laporkan?"
"Ada satu lagi, suhu," kata murid pembicara pertama, "teecu mendengar bahwa serombongan pendekar yang sedang mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang, telah disergap oleh pasukan pemberontak dan banyak diantara mereka yang tewas."
Suami isteri itu saling pandang dengan muka pucat dan tahulah mereka bahwa pada saat itu keduanya mengkhawatirkan hal yang sama, yaitu bahwa mungkin sekali putera mereka berada diantara para pendekar yang disergap itu!
Cia Kong Liang mengangguk lalu memberi isyarat kepada lima orang murid itu agar mengundurkan diri. Setelah lima orang murid itu meninggalkan mereka berdua didalam ruangan itu, Cia Kong Liang berkata kepada isterinya.
"Sungguh mengejutkan dan menggelisahkan apa yang kita dengar dari para murid tadi. Kalau benar demikian, mengapa gak-hu (ayah mertua) diam saja dan tidak memberi tahu kepadaku? Apakah engkau tidak diberi tahu oleh ayahmu?"
Isterinya menggeleng.
"Aku juga hanya mengenal pangeran dan isterinya itu sebagai Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya yang hendak menolong negaranya dengan menggulingkan kaisar yang sekarang dianggap lalim. Dan aku tidak pernah bertemu lagi dengan mereka sesudah kita bicara dengan Ji-ciangkun tempo hari. Mereka berada di San-hai-koan dan kita berada disini, mana aku tahu?"
"Sebaiknya ayahmu harus diberi tahu dan diajak bicara. Panggil dia kesini, sebaiknya sekarang juga kita bicarakan hal yang amat penting ini. Hatiku merasa khawatir sekali kalau-kalau kita telah keliru membantu kaum sesat yang hendak memberontak bukan untuk mengenyahkan kaisar lalim, melainkan untuk merebut kedudukan."
"Baik, akan kucari dia dalam kamarnya," kata isterinya.
Ketika tiba di luar kamar, Bin Biauw melihat berkelebatnya orang diatas genteng. Sebagai seorang isteri ketua Cin-ling-pai yang juga memiliki ilmu silat tinggi, nyonya ini cepat melakukan pengejaran, meloncat ke atas genteng. Akan tetapi setibanya di atas genteng, ia tidak melihat seorangpun dan ia terkejut. Orang tadi benar-benar memiliki gin-kang yang amat hebat, jauh lebih tinggi daripada gin-kangnya sendiri.
Maka setelah celingukan dan tidak melihat lagi bayangan itu, iapun turun kembali dan tak lama kemudian ia mengetuk daun pintu ayahnya. Ayahnya belum tidur dan sedang membaca buku. Ketika daun pintu dibuka, puterinya segera memberi tahu bahwa putera mantunya minta agar dia suka memasuki ruangan belakang untuk diajak merundingkan sesuatu yang amat penting. Bin Mo To cepat berpakaian yang pantas dan bersama puterinya pergi ke dalam ruangan.
"Ada keperluan apa sih malam-malam begini suamimu memanggilku?" tanya ayah itu dengan sikap heran.
"Ada urusan penting sekali, ayah. Kita bicarakan saja di dalam nanti," jawab puterinya dan melihat sikap puterinya yang serius itu kakek itupun tidak bertanya-tanya lagi.
Begitu berhadapan dan dipersilakan duduk, kakek itu lalu bertanya.
"Ada urusan penting apakah...?"
Akan tetapi kata-katanya terhenti karena Bin Biauw yang merasa tegang itu memotongnya dengan menceritakan kepada suaminya bahwa ketika keluar dari kamar tadi ia melihat bayangan orang.
"Tidak kau kejar?" tanya suaminya.
"Sudah, akan tetapi orang itu memiliki gin-kang yang amat hebat. Begitu berkelebat ke atas genteng dan kukejar, dia lenyap dan tidak nampak lagi bayangannya."
"Hemm, makin mencurigakan lagi..." gumam Cia Kong Liang.
"Aih, apakah artinya semua ini? Apa yang telah terjadi?" kakek Bin Mo To bertanya.
Cia Kong Liang memandang wajah ayah mertuanya dengan tajam penuh selidik dan diapun berkata,
"Maafkan kami, ayah, kalau kami mengganggu dan mengejutkan ayah dari istirahat. Saya ingin bertanya, apakah ayah mengenal baik Pangeran Toan Jit Ong?"
Ditanya demikian dan dipandang dengan penuh selidik, kakek Bin Mo To maklum bahwa mantunya ini agaknya mulai tahu akan kenyataan sebenarnya, akan tetapi dia masih berpura-pura tidak mengerti.
"Tentu saja aku mengenal baik Pangeran Toan Jit Ong. Ada apakah?"
"Maksud saya, apakah sebelum kita datang kesini ayah sudah mengenalnya?"
Terpaksa kakek itu membohong dan dia menggeleng kepala.
"Tidak, aku hanya tahu bahwa komandan pasukan yang memberontak terhadap kekuasaan kaisar lalim adalah Panglima Ji Sun Ki dan setelah tiba disini kita mendengar bahwa pangeran itu adalah pemimpin kedua setelah dia atau sekutunya."
"Bukan itu, ayah. Akan tetapi pernahkah ayah mendengar bahwa Pangeran Toan itu adalah raja golongan hitam yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis?"
Kini yakinlah hati kakek itu bahwa mantunya sudah tahu akan rahasia itu. Dengan wajah polos dia berkata,
"Benarkah itu? Aku tidak tahu..."
Bin Biauw yang sudah mengenal watak ayahnya itu, yang demikian pandai menguasai dirinya, sehingga apa yang berada dalam hatinya tidak pernah terbayang pada wajahnya, segera berkata,
"Harap ayah tidak berpura-pura lagi karena kita bicara antar keluarga. Ayah, aku tidak dapat percaya kalau ayah tidak mengetahui semua ini. Bagaimanapun juga, belasan tahun yang lalu ayah pernah menjadi seorang datuk di timur. Tentu ayah mengenal semua tokoh dalam dunia hitam. Kalau sekarang tokoh-tokoh besar seperti Cap-sha-kui membantu Raja dan Ratu Iblis memimpin pemberontakan ini, mustahil kalau ayah tidak tahu sama sekali!"
Kakek itu menarik napas panjang, merasa tiada gunanya lagi mengelak karena anak dan mantunya ini agaknya telah mengetahui segalanya.
"Baiklah, memang aku mengetahui bahwa mereka membantu pemberontak..."
"Kalau ayah tahu mengapa menyeret kami kesini?" puterinya berseru kaget dan marah.
"Ayah, mengapa ayah mengajak kami membantu pemberontakan yang dipimpin oleh para datuk kaum sesat? Ini adalah penyelewengan besar sekali bagi seorang pendekar!" kata pula Cia Kong Liang, terkejut bahwa ayah mertuanya sejak belasan tahun telah mencuci tangan tidak lagi mau berkecimpung di dalam dunia kaum sesat, akan tetapi mengapa kini kakek itu malah menyeret keluarganya membantu pemberontakan yang dipimpin para datuk sesat?
Kembali kakek itu menghela napas, lalu memandang mantu dan anaknya dengan sinar mata tajam.
"Apakah artinya para datuk sesat itu tanpa adanya pasukan besar? Mereka itupun hanya menjadi pembantu-pembantu pasukan yang dipimpin Ji-ciangkun. Berarti kita membantu Ji-ciangkun dan bukan membantu mereka."
"Akan tetapi hal itu hanya sedikit bedanya. Bagaimanapun juga, berarti kita bekerja sama atau bersekutu dengan para datuk sesat," bantah Cia Kong Liang.
"Apa salahnya?" Mertuanya menjawab. "Bekerja sama untuk menentang kaisar lalim. Kalau kelak perjuangan berhasil dan kita memperoleh kedudukan tinggi, apa sukarnya untuk berbalik menentang mereka kalau mereka itu melakukan kejahatan?"
"TIdak! Tidak mungkin!" Cia Kong Liang bangkit berdiri. "Aku telah melakukan penyelewengan, bersekutu dengan kaum sesat. Ah, perbuatanku ini menyeret nama baik keluargaku, menyeret nama Cin-ling-pai ke lembah kehinaan. Aku harus cepat bertindak!" Berkata demikian, pendekar ini melangkah maju ke pintu.
"Apa yang akan kau lakukan? Kemana engkau hendak pergi?" Isterinya tiba-tiba memegang lengannya dan memandang dengan wajah khawatir.
Cia Kong Liang berhenti dan menepuk-nepuk pundak isterinya.
"Aku harus melakukan penyelidikan sendiri ke San-hai-koan dan menemui Ji-ciangkun. Ini merupakan urusan besar yang menyangkut nama baik keluarga kita, lebih penting daripada sekedar keselamatan nyawa."
"Aku ikut!" kata isterinya sambil memegang lengan suaminya kuat-kuat.
Suaminya menggeleng kepala.
"Kita harus membagi tugas, isteriku. Semua anggota Cin-ling-pai berada disini. Aku menyelidiki ke San-hai-koan dan engkau mengumpulkan semua murid dan mengajak mereka diam-diam melarikan diri keluar dari Ceng-tek. Kita kembali ke Cin-ling-san! Akan tetapi aku harus yakin dulu dan aku akan menemui Ji-ciangkun!"
Isterinya mengenal kekerasan hati suaminya dan membantahpun tidak ada gunanya. Apalagi karena memang apa yang dikatakan suaminya itu tepat. Kalau mereka berdua pergi, lalu siapa yang akan memimpin para murid yang berkumpul di Ceng-tek. Iapun mengangguk lemah menyembunyikan kekhawatirannya terhadap keselamatan suaminya.
Setelah sekali lagi menepuk pundak isterinya dengan perasaan kasih sayang besar, Cia Kong Liang lalu meloncat keluar dan sebentar saja sudah lenyap dalam kegelapan malam.
"Ayah, semua ini adalah kesalahan ayah!"
Bin Biauw kini menghadapi ayahnya dan menegur marah. Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.
"Anakku, jangan kau marah-marah dulu. Semua ini kulakukan demi kebahagianmu!"
"Demi kebahagiaanku, ayah? Engkau menyeret aku dan suamiku ke dalam persekutuan kotor ini yang mengancam kebersihan nama baik suamiku dan keluarganya, dan kau mengatakan bahwa engkau melakukannya demi kebahagiaanku? Apa kau kira kebahagiaanku terletak dalam kehancuran nama dan kehormatan suamiku?"
"Tenanglah, dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Aku melakukan ini bukan lain hanya dengan maksud untuk memberi kesempatan kepada suamimu agar suamimu mendapatkan sebuah kedudukan yang tinggi kelak. Kalau pemberontakan ini berhasil, tentu suamimu akan memperoleh kedudukan. Sekarangpun sudah nampak hasilnya. Suamimu diangkat menjadi komandan pasukan keamanan di Ceng-tek. Ini baru permulaan. Kelak, kalau gerakan ini berhasil, tentu sedikitnya suamimu akan menjadi seorang panglima besar, berkedudukan tinggi dan mulia, dihormati semua orang dan bukankah dengan demikian nama dan kehormatannya akan terangkat tinggi? Nah, siapa bilang aku hendak menghancurkan nama dan kehormatan mantuku sendiri?"
"Akan tetapi ayah telah menggunakan cara yang amat kotor, bersekutu dengan orang-orang jahat dari dunia hitam!" bantah puterinya.
Kakek itu tertawa.
"Apa artinya cara? Yang penting dan menentukan adalah tujuannya! Tujuanku baik, yaitu mengangkat derajat mantuku sendiri, dengan cara apapun asal untuk tujuan baik, apa salahnya?"
Mendengar bantahan ayahnya, Bin Biauw termenung dan bimbang. Benarkah pendapat ayahnya itu? Selama ini ayahnya sudah mencuci tangan, tidak pernah berkecimpung dalam dunia kejahatan, dan ayahnya selalu kelihatan bangga sekali terhadap mantunya, dan ia tahu bahwa ayahnya amat suka kepada suaminya. Mungkinkah ayahnya mencelakakan keluarga mereka? Agaknya tidak mungkin dan kalau yang dilakukan ayahnya itu demi kebahagiaan keluarganya, bukankah itu benar? Wanita ini menjadi bimbang dan hanya duduk dengan alis berkerut, hatinya gelisah.
"Percayalah, anakku. Ayahmu ini sudah tua, tidak ingin apa-apa lagi. Segala yang ayah lakukan hanya demi kebahagiaanmu dan suamimu. Kalau suamimu kelak berkedudukan tinggi, bukankah kalian berdua menjadi bahagia? Menjadi orang-orang terhormat, mulia dan kaya raya?"
Bin Biauw semakin bingung. Hampir semua orang tua, baik disadari maupun tidak, melakukan hal yang sama seperti Bin Mo To itu. Orang tua selalu ingin mengatur anak-anaknya, mengambil keputusan mengenai anak-anaknya dalam hal apa saja, dari pendidikan sampai kepada perjodohan dan pekerjaan.
Mereka, orang-orang tua yang berbuat di luar kesadarannya ini, menganggap bahwa apa yang baik baginya tentulah baik bagi anaknya pula. Apa yang dianggapnya menyenangkan baginya tentu menyenangkan anaknya pula. Karena inilah banyak sekali terjadi orang tua memilihkan pendidikan sekolah, agama, bahkan calon jodoh untuk anaknya, bukan hanya memilihkan makanan dan pakaian, bahkan kalau perlu orang-orang tua ini mempergunakan kekuasaannya sebagai orang tua, dengan memaksa anak-anak mereka mentaati kehendak mereka.
Tentu saja dengan anggapan bahwa pemilihan mereka itu sudah baik dan benar! Mereka, orang-orang tua kurang pikir ini, hampir tidak ada atau sedikit sekali memperhatikan selera anak mereka, pilihan anak mereka, mencari kesalahan-kesalahan dalam pilihan anak-anak mereka dan menonjolkan kebaikan-kebaikan mereka sendiri, membujuk si anak, baik dengan halus maupun keras.
Akibatnya, si anak yang terpaksa mentaati karena takut, karena tergantung, diam-diam merasa tersiksa karena harus mempelajari pelajaran-pelajaran yang tidak disukai, menganut agama-agama yang tidak cocok dengan hati nuraninya, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak cocok dengan dirinya, bahkan hidup berdua dengan jodoh-jodoh yang sama sekali tidak dicintanya. Demi orang tua!
Dan siapa yang senang dan lega? Si orang tua itulah! Dengan demikian, sebenarnya orang-orang tua ini hanya mencari kesenangan diri sendiri belaka, mencari kepuasan diri sendiri belaka, dengan melalui anak-anak mereka! Orang-orang tua yang bijaksana tidak akan memperhitungkan selera diri sendiri, melainkan mementingkan selera anak-anaknya, tentu saja bukan berarti melepaskan pengawasan dan pengarahan, melainkan dengan dasar membahagiakan si anak, bukan si diri sendiri! Bukan tidak mungkin selera anaknya bertolak belakang dengan selera diri sendiri, namun demi cinta kasih terhadap anaknya, harus berani mengesampingkan selera dan pendapat diri pribadi.
Juga pendapat Bin Mo To tentang mementingkan tujuan merupakan penyakit yang banyak menghinggapi batin kita. Cara apapun yang dilakukan, dianggap baik kalau saja cara itu dipergunakan untuk TUJUAN BAIK. Betapa kita terlalu sering ditipu oleh istilah "tujuan baik" ini sehingga kita terjebak ke dalam perbuatan-perbuatan yang sama sekali tidak baik atau bersih, dengan alasan bahwa perbuatan itu merupakan cara untuk mencapai tujuan baik tadi! Bagi orang yang dihinggapi penyakit ini, maka pegangannya adalah : Tujuan menghalalkan segala cara!
Sepintas lalu kita mudah terbujuk dan tertipu oleh tujuan baik, cita-cita mulia, dan sebagainya lagi. Maka terjadilah di dunia ini sebuah perang yang dianggap suatu cara terbaik untuk mencegah terjadinya perang, sebuah perang yang dianggap cara terbaik untuk mencapai perdamaian dan sebagainya lagi. Betapa menyesatkan!
Mungkinkah kita dapat hidup damai dengan seseorang dengan cara memukuli dan menaklukkan orang itu? Mungkin saja perdamaian di satu pihak, yaitu pihak yang menang, akan tetapi yang dipukul dan ditaklukkan itu hanya mau berdamai karena terpaksa, karena kalah, karena takut. Akan tetapi berilah yang kalah itu suatu kesempatan, suatu ketika maka dia akan memberontak dan membalas dendam!
Tidaklah mungkin sama sekali tujuan baik dicapai dengan cara yang buruk! Kalau caranya kotor, maka yang tercapai tentulah kotor pula. Tujuan hanya suatu gambaran yang kita buat, jadi bukan kenyataan dan sama sekali tidak ada sangkut paut atau hubungannya dengan perbuatan yang kita lakukan dalam kehidupan. Yang terpenting sekali adalah CARA itulah!
Cara ini menentukan segalanya, karena cara berarti perbuatan kita sekarang ini, saat ini! Kalau cara ini didikte oleh tujuan, maka cara ini menjadi palsu! Akan tetapi kalau cara atau perbuatan ini tanpa tujuan dan didasari cinta kasih, maka itulah cara hidup yang benar! Tanpa tujuan tertentu, berarti TANPA PAMRIH. Dan hanya cinta kasih sajalah yang menciptakan perbuatan tanpa tujuan, tanpa pamrih.
Bin Mo To, mungkin tanpa disadarinya lagi sebetulnya mementingkan diri sendiri ketika dia menyeret anak dan mantunya untuk bersekutu dengan gerombolan Raja Iblis. Dan hal ini dilakukan dengan keyakinan bahwa tujuannya adalah baik, yaitu mengangkat derajat mantunya sehingga kelak dia boleh membonceng kemuliaan dan kehormatan.
"Aku harus mengumpulkan para murid..."
"Nanti dulu!" Ayahnya mencegah. "hal itu belum perlu, pula kalau kita memanggil mereka semua kesini, tentu akan menimbulkan kecurigaan saja. Sebaiknya kalau memanggil beberapa orang diantara mereka, sebaiknya para murid kepala..."
Tiba-tiba dua orang murid Cin-ling-pai masuk dengan tergesa-gesa, ke dalam ruangan itu. Muka mereka pucat sekali sehingga Bin Biauw yang tadinya hendak marah melihat mereka berani masuk tanpa dipanggil, berbalik bertanya,
"Ada apakah? Mengapa kalian kelihatan begitu takut?"
"Subo... celaka, subo... celaka...!" kata seorang diantara mereka dan agaknya lidahnya menjadi kaku sehingga sukar baginya untuk bicara.
"Tenanglah! Ada apa? Apa yang terjadi?" Bin Mo To membentak tak sabar.
"Celaka... lima orang suheng... mereka... mereka telah tewas...!"
"Apa?" Bin Biauw dan ayahnya berteriak kaget sekali. "Hayo ceritakan apa yang terjadi dengan mereka!"
Dengan suara patah-patah, dua orang murid itu menceritakan betapa lima orang murid kepala itu telah tewas semua, yang tiga orang tewas dalam kamar masing-masing dan dua orang lagi tewas di luar rumah jaga. Tidak ada orang mendengar mereka itu berkelahi.
"Dimana mereka sekarang?"
"Jenazah mereka... kami kumpulkan di ruangan besar markas kami..."
Tanpa membuang waktu lagi, Bin Biauw dan Bin Mo To lari bersama dua orang murid itu menuju ke markas yang menjadi tempat tinggal para anggota Cin-ling-pai yang dianggap oleh pasukan pemberontak sebagai pasukan istimewa yang berjasa dan menjadi tamu terhormat.
Ketika memeriksa keadaan lima jenazah itu, hati Bin Biauw terharu, akan tetapi juga terkejut. Lima orang murid itu adalah murid-murid kepala yang sore tadi masih bicara dengan ia dan suaminya. Dan kini ia merasa yakin bahwa mereka itu dibunuh karena tadi telah melaporkan kepada guru mereka tentang Raja dan Ratu Iblis yang dibantu Cap-sha-kui.
Sudah pasti ini sebabnya, dan pembunuhnya tentulah bayangan yang telah dikejarnya dan lenyap tadi, juga yang menimbulkan suara sehingga suaminya mencoba pula untuk mengejar akan tetapi tidak melihat siapapun di atas genteng. Bayangan itu lihai dan lima orang murid inipun tewas oleh orang yang lihai sekali.
Lima orang itu adalah murid-murid kepala, tentu saja tingkat kepandaiannya sudah lumayan tingginya. Akan tetapi, mereka tewas tanpa mengeluarkan teriakan dan tubuh mereka tidak terluka parah, hanya di kepala mereka ada bekas telapak jari tangan menghitam! Mereka itu terbunuh dengan tiba-tiba atau lebih dahulu dirobohkan dengan pukulan atau benda beracun. Ini memperkuat dugaannya bahwa musuh yang membunuh lima orang murid ini tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan jelas merupakan seorang tokoh kaum sesat yang biasa mempergunakan racun.
Bin Mo To juga memeriksa dengan teliti dan kakek ini mengerutkan alisnya.
"Hemm, benarkah mereka akan melanggar janji?" gumamnya kepada diri sendiri. "Benarkah mereka mengingkari janji kerja sama dan tidak akan mengganggu anak buah Cin-ling-pai? Kita sudah berjasa besar dan mereka masih tega membunuh lima orang murid kepala secara ini?" Kakek itu menjadi marah, mengepal tinju dan mukanya berobah merah.
Melihat sikap ayahnya ini, Bin Biauw berbisik,
"Hemm, kiranya ayah memang sudah bersekutu dengan mereka?"
"Anakku, aku bukan ingin berbaik dengan mereka, hanya kulihat kesempatan baik untuk meraih kedudukan bagi suamimu, maka biarlah persekutuan ini dijadikan jembatan untuk mencari kedudukan. Tak kusangka mereka sekeji ini..."
Para anggota Cin-ling-pai sudah mendengar akan adanya kaum sesat yang membantu pemberontakan Ji-ciangkun dan mereka itu yang sejak dahulu digembleng dengan keras oleh Cia Kong Liang untuk menjadi pendekar-pendekar sejati, merasa penasaran sekali. Apalagi melihat tewasnya lima orang saudara tua mereka ini, mereka merasa marah dan ingin mengamuk.
"Subo, apa yang harus kami lakukan?"
"Subo, dimana suhu?"
"Subo, haruskah kita berdiam diri saja?"
Lontaran-lontaran penasaran ini membuat Bin Biauw semakin bingung.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya kepada ayahnya.
Kakek itupun merasa bingung dan gelisah. Baru dia merasa menyesal sekarang telah bermain api, telah menyeret anak dan mantunya, bahkan sebagian besar anggauta Cin-ling-pai yang pada waktu itu dapat dihubungi, untuk bersekutu dengan orang-orang macam Cap-sha-kui dan para datuk yang membantu Raja dan Ratu Iblis.
Kesetiaan orang-orang seperti mereka itu memang sama sekali tidek boleh dipercaya. Andaikata pemberontakan berhasil sekalipun, belum tentu mantunya akan bisa memperoleh kedudukan dan kemuliaan tanpa adanya pengkhianatan-pengkhianatan dari orang-orang golongan hitam itu.
"Tidak ada lain jalan kecuali menanti kembalinya suamimu."
Jawaban ini cocok dengan pendapat Bin Biauw, maka wanita ini lalu berkata kepada para murid Cin-ling-pai.
"Kuminta kalian jangan bertindak sendiri-sendiri dengan ceroboh. Kita harus menanti sampai suhu kalian pulang, baru kita akan berunding tindakan apa yang selanjutkan akan kita lakukan."
"Akan tetapi, subo. Kelau kita terlambat, mungkin kita semua akan mereka bunuh selagi kita berada disini."
"Subo, kemanakah perginya suhu?" Kembali suara-suara terdengar diantara para murid Cin-ling-pai yang marah itu.
"Suhu kalian sedang melakukan penyelidikan ke San-hai-koan..."
".... dan menjadi tawanan di sana!" tiba-tiba terdengar suara wanita memotong, "dan kalian orang-orang Cin-ling-pai yang hendak berkhianat, menyerahlah daripada harus kubasmi semua!"
Bin Biauw dan Bin Mo To cepat membalikkan tubuh dan mereka melihat betapa yang bicara itu adalah Gui Siang Hwa dan di sebelahnya berdiri seorang laki-laki tampan pesolek, yaitu Sim Thian Bu!
"Kalian sudah dikepung, melawanpun percuma!" kata Sim Thian Bu dengan suara mengejek.
Wajah Bin Mo To menjadi merah sekali.
"Apa maksud kalian?" bentaknya dengan kedua tangan dikepal. "Kami adalah orang-orang yang telah berjasa dalam menduduki Ceng-tek! Kami bukan pengkhianat melainkan pejuang-pejuang gagah berani!"
Sim Thian Bu tertawa.
"Ha-ha-ha, Tung-hai-sian, mungkin engkau adalah segolongan dengan kami, akan tetapi orang-orang Cin-ling-pai itu jelas bukan! Karena engkau bergabung dengan Cin-ling-pai, engkaupun harus menyerah!"
Tung-hai-sian yang sekarang bernama Bin Mo To dan sudah lama membuang nama julukan ketika dia masih menjadi datuk sesat itu menjadi marah sekali. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya bicara dengan mereka. Dia merasa menyesal sekali mengapa rencananya menjadi berantakan begini. Dan semua ini adalah karena ulahnya.
Mantunya yang pergi menyelidiki ke San-hai-koan sudah diketahui musuh dan tentu terjebak. Cin-ling-pai juga sudah dikepung dan menghadapi bahaya besar. Semua ini dia yang menjadi biang keladinya. Oleh karena itu dia pula yang harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan orang-orang Cin-ling-pai.
"Serbu keluar! Berpencar dan mencari jalan keluar sendiri-sendiri! Kita kembali ke Cin-ling-san!" teriaknya dengan penuh geram.
Suaranya nyaring melengking dan para anggota Cin-ling-pai yang maklum pula akan adanya bahaya yang mengancam lalu tumbuh semangat dan merekapun bergerak mencabut senjata masing-masing dan menyerbu keluar! Bin Mo To dan Bin Biauw sendiri sudah mencabut pedang mereka dan menerjang Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu.
Siang Hwa dan Thian Bu mengelak, dan wanita itu berteriak memberi komando kepada pasukan yang mengepung tempat itu untuk menyergap. Ia sendiripun sudah mencabut pedangnya dan menangkis kuat-kuat ketika Bin Biauw kembali menyerang.
"Cringgg...!"
Dan Bin Biauw terkejut bukan main karena merasa betapa lengannya yang memegang pedang tergetar dan pedangnya terpental. Siang Hwa tertawa mengejek dan balas menyerang. Bin Biauw memutar pedangnya melindungi diri dan sebentar saja ia sudah terdesak hebat.
Bagaimanapun juga, ia adalah isteri ketua Cin-ling-pai dan sedikit banyak sudah menerima banyak petunjuk suaminya dalam ilmu silat. Maka biarpun tingkat ilmu pedangnya kalah tinggi dan tenaganya kalah kuat dibandingkan Siang Hwa, ia membela diri mati-matian dan terjadilah perkelahian yang amat seru.
Sementara itu, Bin Mo To yang sudah tua sekali itupun mengamuk, akan tetapi amukan pedangnya ditahan oleh pedang di tangan Sim Thian Bu. Bin Mo To pernah menjadi datuk timur yang terkenal sekali dengan ilmu pedangnya dan ilmunya di dalam air. Akan tetapi sudah dua puluh tahun lebih dia tidak pernah mencabut pedang, tidak pernah berkelahi dan ketika pasukan menyerbu Ceng-tek, diapun hanya memberi petunjuk saja dan tidak ikut terjun ke dalam pertempuran.
Akan tetapi sekali ini, dia terpaksa bertanding mati-matian dan lawannya adalah murid terkasih mendiang Iblis Buta, maka tentu saja dia merasa kewalahan dan repot sekali. Bukan hanya gerakannya kurang tangkas lagi, juga napasnya pendek dan lewat tiga puluh jurus saja napasnya sudah terengah-engah. Keadaannya tidak lebih baik daripada puterinya yang juga sudah terkurung oleh gulungan sinar pedang di tangan Siang Hwa.
Maklum bahwa keadaannya terhimpit dan sukar untuk meloloskan diri, Bin Biauw berseru keras sekali,
"Anak-anak, pergilah kalian dan selamatkan diri! Cepat...!"
Suaranya kandas dan tubuhnya terhuyung, pedangnya terlepas dan kedua tangannya mendekap dada dimana terdapat luka yang mencucurkan darah karena ketika ia berteriak tadi, pedang di tangan Siang Hwa telah menembus jantungnya.
"Ayah... lari...!" Bin Biauw masih sempat berteriak sebelum tubuhnya terguling dan tak bergerak lagi.
Bin Mo To terkejut bukan main dan hal ini melemahkan dan membuatnya lengah sehingga dengan mudah pedang di tangan Sim Thian Bu menyambar dan mengenai batang lehernya! Tanpa dapat mengeluarkan suara lagi kakek itu terpelanting dan roboh dengan darah bercucuran dari lehernya. Kakek itu tewas hanya beberapa detik saja sesudah puterinya tewas.
Sementara itu, para murid Cin-ling-pai sejak tadi sudah menerjang keluar dan terjadilah pertempuran yang seru yang berat sebelah, antara puluhan orang Cin-ling-pai melawan ratusan orang perajurit pemberontak, pasukan yang dipimpin oleh Gui Siang Hwa, pasukan istimewa yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan.
Biarpun para anak murid Cin-ling-pai melawan dengan gagah berani, namun jumlah lawan terlampau banyak. Setiap orang Cin-ling-pai harus menghadapi pengeroyokan belasan orang lawan, maka tentu saja mereka terdesak hebat.
Ketika Bin Biauw berteriak menyuruh mereka lari, ada beberapa orang yang berhasil meloloskan diri dari kepungan dan melarikan diri, dikejar-kejar para perajurit. Keadaan yang kacau timbul dari kejar-kejaran ini memberi kesempatan kepada para murid Cin-ling-pai untuk berusaha meloloskan diri.
Akan tetapi, banyak diantara mereka yang gagal dan roboh sebelum berhasil keluar dari kota. Ada belasan orang saja yang akhirnya dapat lolos dari dalam kota, melarikan diri sambil membawa luka-luka di tubuh mereka, sedangkan puluhan orang lainnya tewas. Hanya seperempat bagian saja orang-orang Cin-ling-pai itu selamat dari pembantaian yang terjadi di Ceng-tek!
Bagaimana dengan nasib Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu? Ejekan yang keluar dari mulut Siang Hwa bukan hanya kosong belaka. Memang kedatangan ketua Cin-ling-pai itu ke San-hai-koan sudah diketahui lebih dahulu oleh Raja Iblis! Apa yang terjadi di Ceng-tek telah didengarkan oleh Siang Hwa dan Thian Bu, bayangan-bayangan yang terlihat oleh Bin Biauw dan terdengar oleh Cia Kong Liang.
Mendengar percakapan itu, Siang Hwa yang memang selalu memata-matai orang-orang Cin-ling-pai, cepat mengirim utusan ke San-hai-koan memberi tahu kepada gurunya sehingga tentu saja kunjungan ketua Cin-ling-pai itu ke San-hai-koan sudah diketahui lebih dahulu dan kedatangannya itu sudah ditunggu-tunggu!
Cia Kong Liang yang memiliki watak keras dan gagah perkasa itu memasuki San-hai-koan pada keesokan harinya setelah melakukan perjalanan semalam suntuk tak pernah berhenti. Dia langsung masuk saja dan karena dia sudah dikenal oleh para penjaga pintu gerbang, dia diperbolehkan masuk dengan sikap hormat.
Biarpun hari masih amat pagi dan belum pantas untuk sebuah kunjungan, Cia Kong Liang tidak perduli. Kemarahan yang bergejolak di hatinya hampir tak dapat ditahannya lagi dan diapun langsung mengunjungi gedung Panglima Ji Sun Ki yang dijaga ketat oleh pasukan pengawal. Merekapun mengenal Cia Kong Liang dan menyambutnya dengan hormat.
"Aku ingin bertemu dengan Ji-ciangkun," katanya dengan tenang. "Katakan ada urusan penting sekali dan kuharap dia akan suka menerimaku sekarang juga!"
Setelah dilaporkan ke dalam, ketua Cin-ling-pai itu segera dipersilakah masuk ke dalam ruangan tamu yang luas dan ketika dia masuk, disitu telah duduk Panglima Ji Sun Ki seorang diri. Begitu melihat ketua Cin-ling-pai, panglima itu mengangkat tangan kanan sebagai salam dan mempersilakannya duduk.
"Silakan duduk, Cia-pangcu. Pagi sekali pangcu sudah mencariku, ada unusan penting apakah?" tanyanya ramah akan tetapi tegas.
Dengan tenang Cia Kong Liang mengambil tempat duduk berhadapan dengan panglima itu, terhalang sebuah meja besar. Setelah duduk, dia memandang sejenak penuh selidik, baru dia berkata,
"Ji-ciangkun, maafkan kalau kedatanganku ini mengganggumu. Akan tetapi sebuah hal yang teramat penting memaksaku malam-malam meninggalkan Ceng-tek dan langsung mengunjungi ciangkun pada pagi hari ini."
Panglima itu tersenyum ramah.
"Ah, kalau begitu tentu penting sekali urusan itu. Katakanlah, pangcu, urusan apakah itu?"
Sambil memandang tajam Cia Kong Liang melontarkan pertanyaannya,
"Ciangkun, sebenarnya siapakah Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya itu?"
Panglima itu mengerutkan alisnya dan memandang heran.
"Sungguh mengejutkan pertanyaan pangcu ini dan aku tidak mengerti apa yang pangcu maksudkan dengan pertanyaan aneh itu. Pangeran Toan Jit Ong adalah seorang pangeran keluarga kaisar yang sudah puluhan tahun meninggalkan kota raja dan hidup bertapa. Sekarang melihat keadaan pemerintah demikian lalim, beliau turun gunung."
"Akan tetapi dia adalah datuk sesat yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis! Benarkah itu?"
Ji-ciangkun mengangkat kedua pundaknya.
"Aku tidak memperhatikan perkara itu, pangcu, dan andaikata benarpun, apa bedanya?"
"Apa bedanya?" Cia Kong Liang berseru marah, "dia adalah seorang raja datuk sesat dan dia dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk sesat lain dari golongan hitam! Tak tahukah ciangkun akan hal ini?"
Ji-ciangkun mengerutkan alisnya.
"Aku tahu atau memang dapat menduga. Akan tetapi apa salahnya? Yang penting adalah menggulingkan pemerintah yang dipimpin oleh kaisar lemah dan pembesar-pembesar lalim, dan Pangeran Toan adalah seorang pangeran asli..."
"Ji-ciangkun! Aku... kami dari Cin-ling-pai tidak sudi bekerja sama dengan golongan hitam! Para penjahat itu akan mengotori perjuangan kita. Ji-ciangkun, engkau tidak boleh bersekutu dengan orang-orang jahat dari kaum sesat itu!"
Panglima Ji memandang dengan alis berkerut dan sinar matanya dingin sekali.
"Cia-pangcu, sikap dan kata-katamu sungguh aneh. Lalu apa yang akan kau lakukan karena aku bersekutu dengan mereka?"
"Ji-ciangkun, engkau harus mengusir mereka semua dan tidak menggunakan tenaga mereka untuk perjuangan!"
Wajah panglima itu menjadi merah dan sinar matanya mengandung kemarahan.
"Cia-pangcu, bicaramu sungguh aneh dan lancang. Ada hak apakah engkau hendak melarang dan mengatur apa yang kulakukan? Kalau aku tetap bekerja sama dengan mereka, engkau mau apa?"
"Brakkk...!"
Cia Kong Liang bangkit berdiri dan tangannya menampar meja di depannya sehingga empat kaki meja itu menancap dan masuk ke dalam lantai hampir sejengkal dalamnya!
"Ji-ciangkun, engkau tinggal memilih saja. Mereka yang pergi atau kami yang pergi!"
Panglima itupun bangkit berdiri dan memandang marah.
"Orang she Cia, engkau orang yang sombong dan angkuh! Apa sih artinya puluhan orang Cin-ling-pai bagiku? Kalian datang tanpa kuundang dan kalau mau pergi, tidak semudah itu. Kami tidak mau kalian keluar membawa rahasia-rahasia pertahanan kami!"
Tiba-tiba terdengar suara dengusan dan disusul suara wanita,
"Ketua Cin-ling-pai ini memang besar kepala dan patut menerima hukuman!"
Cia Kong Liang membalikkan tubuhnya dan dia melihat Raja Iblis dan Ratu Iblis sudah berdiri di ambang pintu ruangan itu dengan sikap menakutkan, seperti dua mayat hidup saja wajah mereka yang kehijauan. Dan di belakang mereka nampak puluhan orang perajurit pengawal yang siap dengan tombak dan golok mereka.
Sekilas pandang saja tahulah ketua Cin-ling-pai itu bahwa dia telah terkepung dan tidak mungkin dapat meloloskan diri kecuali harus melawan mereka. Diapun dapat menduga bahwa Raja dan Ratu Iblis ini tentu lihai sekali, apalagt ditambah puluhan orang pasukan pengawal. Mana mungkin dia yang hanya seorang diri melawan musuh yang sekian banyaknya itu? Pikirannya bekerja cepat dan tiba-tiba tubuhnya membalik dan meloncat ke arah Ji-ciangkun!
Panglima ini terkejut bukan main, dapat menduga bahwa ketua Cin-ling-pai itu menyerangya, dia lalu menyambutnya dengan pukulan tangan kanan yang keras ke arah dada Cia Kong Liang!
Akan tetapi, dengan mudahnya ketua Cin-ling-pai itu menangkap pergelangan lengan kanan lawan dan sekali menggerakkan jari tangan kanan menotok, tubuh panglima itu menjadi lemas tak mampu melawan lagi!
Cia Kong Liang menelikung lengan itu ke belakang tubuh dan sambil mengancam dengan pedangnya. Ketika dia mencabut Hong-cu-kiam, nampak berkelebat sinar emas. Itulah pedang pusaka Hong-cu-kiam yang tipis dan dapat digulung menjadi ikat pinggang! Sambil mwempelkan pedangnya di batang leher Ji-ciangkun, dia menghardik ke depan,
"Kalau ada yang menyerangku, panglima ini akan kubunuh lebih dahulu!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Ratu Iblis mengejek.
"Heh-heh, pangcu, kau boleh bunuh panglima tujuh kali dan kami masih mampu mengangkat yang lain delapan kali. Apa artinya seorang panglima bagi kami? Setiap waktu kami dapat mengangkat penggantinya. Bunuhlah kalau mau bunuh dia, akan tetapi tetap engkau tidak akan mampu lolos dari kami!"
Cia Kong Liang bukan orang bodoh dan dia tahu bahwa apa yang dikatakan Ratu Iblis itu memang benar. Sekarang baru dia menyadari bahwa orang pertama dalam barisan pemberontak itu bukan Ji-ciangkun, melainkan Pangeran Toan Jit Ong atau Raja Iblis yang berdiri diam saja di samping isterinya yang menjadi juru bicara itu.
Menyandera Ji-ciangkun tidak ada artinya dan membunuhnyapun tidak ada artinya. Bahkan kalau mungkin dia memanaskan hati Ji-ciangkun. Maka diapun membebaskan totokannya dari tubuh panglima itu.
"Nah, ciangkun, harap jangan bodoh. Lihat sikap dan ucapan mereka! Apakah engkau masih sudi bersekutu dengan iblis-iblis jahat dan palsu macam mereka?"
Setelah terbebas dari totokan, Ji Sun Ki mundur-mundur dan wajahnya nampak merah sekali tanda kemarahan.
"Cia-pangcu, engkau sungguh bodoh! Tanpa bimbingan Toan Ong-ya, mana mungkin kita berhasil? Menyerahlah saja!"
Tentu saja Cia Kong Liang menjadi marah. Tak disangkanya bahwa Raja Iblis sudah menguasai Ji-ciangkun seperti itu. Tahulah dia bahwa harapan untuk lolos tidak ada lagi, dan dia menjadi nekat.
"Baiklah Raja Iblis, kalau begitu aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Cia Kong Liang meloncat dan pedangnya berkelebat menjadi sinar emas yang panjang dan cepat menyambar ke arah Raja Iblis. Akan tetapi, tiba-tiba Ratu Iblis mengeluarkan lengkingan panjang dan pedangnya sudah berada di tangan, bergerak menangkis serangan ketua Cin-ling-pai itu.
"Tranggg...!"
Keduanya meloncat ke belakang dan memeriksa pedang masing-masing karena pertemuan kedua batang pedang itu tadi membuat tangan mereka tergetar. Setelah melihat bahwa pedang mereka tidak rusak, Cia Kong Liang menyerang lagi dengan dahsyatnya, disambut oleh Ratu Iblis yang memutar pedangnya dengan cepat. Serang menyerang terjadi akan tetapi semua serangan dapat dielakkan atau ditangkis.
Lewat belasan jurus, tiba-tiba Ratu Iblis membentak nyaring dan kini bukan hanya pedangnya yang menusuk ke arah lambung lawan, akan tetapi rambutnyapun sudah berobah menjadi senjata ampuh menyambar ke arah tenggorokan Cia Kong Liang.
Pendekar ini terkejut sekali dan maklum bahwa serangan rambut itu tidak kalah ampuhnya dari serangan-serangan pedang, maka sambil menangkis pedang yang menusuk lambung, diapun mengerahkan tenaga pada telapak tangan kirinya dan kini tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuatnya menyambar ke arah gumpalan rambut itu.
Rambut itu membuyar dan hilang tenaganya ketika bertemu dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, membuat nenek itu terkejut bukan main. Dengan sendirinya ia tidak memandang rendah lawan dan dapat menduga bahwa orang yang telah menjadi ketua Cin-ling-pai tentu lihai sekali, akan tetapi tidak disangkanya selihai itu! Maka iapun mengeluarkan suara memekik nyaring dan kini pedangnya bergerak-gerak aneh dan liar, sedangkan tangan kirinya diputar-putar lalu menyambar-nyambar ke depan dengan telapak tangan terbuka.
Terdengar desir angin ketika tangan kiri itu didorongkan ke depan dan Cia Kong Liang merasa betapa angin pukulan yang panas dan kuat menyambar ke arah tubuhnya. Cepat diapun mengerahkan Thian-te Sin-ciang dan melawan pukulan-pukulan itu dengan dorongan telapak tangan kirinya, sedangkan pedangnya masih terus merupakan gulungan sinar emas yang kuat. Pertandingan itu berlangsung semakin seru dan ternyata kedua pihak memiliki tingkat kepandaian dan kekuatan yang seimbang.
Cia Kong Liang merasa penasaran bukan main melihat kenyataan bahwa sampai puluhan jurus dia belum mampu mengalahkan nenek itu. Baru melawan nenek itu saja dia tidak mampu mengalahkan, apalagi kalau Raja Iblis sendiri yang maju!
Dia membentak dan kini gerakan pedangnya berobah sama sekali karena dia mainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum) yang amat aneh dan hebat. Pedangnya bergerak tanpa mengeluarkan suara dan tahu-tahu pedang itu menghunjam ke arah dada lawan.
Nenek itu cepat menangkis, akan tetapi ketika kedua pedang bertemu, pedang Hong-cu-kiam itu membuat gerakan memutar dan tiba-tiba terdengar suara keras ketika pedang di tangan nenek itu patah menjadi dua potong!
Jurus Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut tadi memang hebat dan pedang di tangan ketua Cin-ling-pai itu adalah sebatang pedang pusaka yang lebih ampuh daripada pedang si nenek. Akan tetapi pada saat itu, rambut itu menyambar dan menotok ke arah pergelangan tangan kanan lawan, sedangkan kedua tangan nenek itu sudah menubruk dan mencengkeram. Gerakan ini dilakukan dengan lengking nyaring mengejutkan.
Biarpun Cia Kong Liang sudah mengerahkan Tiat-po-san, semacam ilmu kekebalan, tetap saja lengannya kesemutan ketika terkena totokan rambut dan pada saat pedangnya hampir terampas itu, tiba-tiba menyambar angin pukulan yang amat hebat dari samping dan tahu-tahu pedangnya telah terbang meninggalkan tangannya.
Dia cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tubrukan Ratu Iblis dan ketika dia mengangkat muka, ternyata pedangnya telah berada di tangan Raja Iblis yang menimang-nimangnya dan memeriksanya tanpa memperdulikan dirinya. Cara Raja Iblis tadi merampas pedang saja sudah membuktikan betapa saktinya iblis itu.
Akan tetapi Cia Kong Liang tidak menjadi gentar, malah merasa penasaran dan marah sekali. Sambil mengerahkan tenaga, diapun meloncat ke depan, menyerang Raja Iblis sambil membentak,
"Kembalikan pedangku!"
Akan tetapi, Ratu Iblis yang sudah kehilangan pedang pula, meloncat dan menyambut serangan ketua Cin-ling-pai yang ditujukan kepada suaminya. Dua tubuh itu bertemu di udara dan dua pasang tangan saling bersilang dan berbenturan.
"Desss...!"
Tubuh keduanya terlempar ke belakang, akan tetapi tubuh Ratu Iblis terlempar lebih jauh dan ia agak terhuyung ketika kedua kakinya menyentuh tanah, sedangkan tubuh pendekar itu tetap tegak.
"Ji-ciangkun, tangkap dia!" tiba-tiba terdengar suara Raja Iblis memerintah dan terdengar Ji Sun Ki memberi aba-aba kepada anak buahnya.
"Kepung dan tangkap pengkhianat ini!" bentaknya.
Mendengar bentakan Ji-ciangkun ini, Cia Kong Liang menjadi marah sekali dan tahulah dia bahwa panglima itu sudah menjadi antek Raja Iblis. Bukan Panglima Ji yang memimpin pemberontakan itu, melainkan Raja Iblis! Betapa bodohnya! Dia telah membawa nama Cin-ling-pai ke dalam lumpur, menyeret Cin-ling-pai menjadi antek-antek Raja Iblis!
"Majulah jangan dikira aku takut!" bentaknya dan diapun mengamuk ketika dikepung oleh banyak sekali perajurit pengawal.
Akan tetapi, jumlah mereka banyak sekali dan tiba-tiba lengannya dapat tertangkap oleh seorang perajurit. Dia hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba perajurit itu berbisik, suaranya terdengar dekat sekali di telinganya, tanda bahwa perajurit itu menggunakan ilmu mengirim suara yang amat kuat.
"Percuma melawan, menyerah saja untuk saat ini!"
Didalam suara itu terkandung nasihat dan juga bujukan dan Cia Kong Liang dapat menduga bahwa perajurit ini tentu bermaksud baik, maka diapun berhenti meronta dan membiarkan dirinya ditelikung dan dibelenggu.
"Bunuh saja dia!" Terdengar Ji-ciangkun berkata. "Kalau tidak tentu mereka akan menyusahkan saja di kemudian hari."
"Tidak, masukkan saja dalam tahanan dan jaga keras jangan sampai lolos. Lain waktu kita bisa membutuhkan dia," terdengar Raja Iblis berkata dan tubuh ketua Cin-ling-pai lalu diseret oleh beberapa orang perajurit pengawal, dibawa ke dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat dan dijaga oleh selosin orang perajurit pengawal.
Cia Kong Liang mencari-cari dengan pandang matanya akan tetapi perajurit yang tadi berbisik kepadanya sudah lenyap menyelinap diantara banyak perajurit disitu.
Gerakan para pemberontak yang telah menduduki San-hai-koan dan Ceng-tek, tentu saja amat mengejutkan pemerintah di kota raja. Panglima Ji dikenal sebagai seorang Panglima golongan tua yang sejak dahulu setia terhadap pemerintah, oleh karena itu, ketika mula-mula terdengar berita bahwa San-hai-koan diduduki oleh panglima yang memberontak ini, pemerintah di kota raja masih merasa ragu-ragu untuk dapat percaya.
Mungkin ada pertikaian pendapat antara pimpinan pasukan Ceng-tek dengan pimpinan pasukan San-hai-koan yang dipimpin Ji-ciangkun, demikian para menteri di istana kaisar berpendapat. Oleh karena itu, sebelum dilakukan penyelidikan lebih dahulu, tidak perlu dikirim pasukan besar dari kota raja, karena jaraknya cukup jauh.
Penyelidikan dilakukan dan terkejutlah kaisar dan para pembantunya ketika mendengar bahwa bukan hanya San-hai-koan diduduki, bahkan Ceng-tek juga sudah diduduki oleh pasukan pemberontak yang kini memperluas kekuasaan mereka dengan penyerbuan ke dusun-dusun.
Setelah mengadakan perundingan dengan para menteri, Panglima Yang Ting Houw, seorang panglima muda yang cerdik berkata,
"Menurut penyelidikan dan laporan beberapa orang pendekar yang baru kembali dari utara, pergerakan kaum pemberontak yang dipimpin Ji Sun Ki itu dibantu oleh golongan hitam di dunia kang-ouw. Dan pergerakan itu diikuti pula oleh para suku bangsa liar di utara yang agaknya hendak menegakkan kembali kekuasaan mereka di selatan. Oleh karena itu, menurut pendapat hamba, lebih baik kalau membiarkan dua pihak itu, pasukan pemberontak dan pasukan suku liar, saling hantam sendiri. Setelah mereka saling hantam dan menderita sehingga menjadi lemah, barulah kita turun tangan membasmi keduanya dan mengerahkan pasukan besar yang sudah kita persiapkan secara rahasia."
Kaisar dan para pembesar menyatakan setuju, maka diaturlah pasukan yang berjumlah dua puluh lima ribu orang, dipimpin oleh panglima-panglima yang berpengalaman, untuk menuju ke utara secara diam-diam dan dengan cara berpencar.
Sementara itu, Yelu Kim yang kini sudah menjadi pimpinan para kepala suku bangsa di utara, sudah mempersiapkan diri pula. Dibentuknya pasukan amat kuat yang terdiri dari berbagai suku bangsa utara itu dan dilatihnya mereka agar mengenal tanda-tanda dan isyarat-isyarat barisan.
Untuk bertempur, mereka itu tidak perlu dilatih lagi karena setiap anggota pasukan dari suku bangsa di utara itu merupakan orang yang sudah biasa bertempur, biasa menghadapi kesukaran, pendeknya orang yang sudah digembleng oleh keadaan hidup yang sukar dan keras. Mereka adalah penunggang-penunggang kuda yang mahir, pemanah-pemanah yang terlatih dan orang-orang yang berani mati.
Karena nampaknya pihak pemerintah selatan belum juga mengirim pasukan besar dan yang menentang gerakan para pemberontak itu hanyalah pasukan-pasukan pemerintah di perbatasan yang tidak berapa kuat, Yelu Kim lalu merencanakan penyerbuan ke Ceng-tek. Apalagi setelah ia mendengar akan pemberontakan di dalam benteng itu oleh orang-orang Cin-ling-pai yang tadinya membantu pemberontak. Dianggapnya telah tiba saatnya yang baik untuk bergerak karena benteng Ceng-tek itu tidak sekuat San-hai-koan yang menjadi pusat pemberontak dimana tinggal para pimpinan pemberontak dengan pasukannya yang besar dan kuat.
Kekuatan Ceng-tek hanya beberapa ribu orang pasukan dan setelah mengumpulkan kurang lebih tujuh ribu orang, Yelu Kim lalu mengatur siasat untuk melakukan penyerbuan kepada para pemberontak yang menduduki Ceng-tek. Kota itu akan diserbu dari delapan jurusan penjuru angin! Dan para pembantunya yang pandai akan menimbulkan kekacauan di empat pintu gerbang, kemudian jauh hari sebelum penyerbuan dilakukan, sebanyak mungkin pembantu yang pandai akan diselundupkan memasuki kota benteng itu dan pada saat para pembantu menimbulkan kekacauan di empat pintu gerbang, maka mereka yang menyelundup ini serentak melakukan pengrusakan dengan cara membakar tempat-tempat penting.
Kebakaran ini yang akan menjadi tanda bagi pasukan Yelu Kim untuk menyerbu dari delapan penjuru, yang empat bagian menyerbu langsung ke pintu gerbang yang sedang kacau, dan yang empat bagian lain menyerbu dengan menghujankan anak panah melalui tembok benteng dan menyerbu dengan menggunakan tangga dan tali.
Demikian rapinya Yelu Kim mengatur siasatnya sehingga sudah puluhan orang mata-mata diselundupkannya ke Ceng-tek tanpa ada yang mengetahuinya. Para komandan di Ceng-tek masih tenang saja, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kota mereka diam-diam telah terkepung oleh banyak perajurit pasukan suku bangsa utara!
Setelah Cin-ling-pai dihancurkan, kota Ceng-tek ini dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa, dibantu oleh para perwira pasukan pemberontak. Diantara beberapa orang datuk sesat yang membantu dua orang ini melakukan penjagaan di Ceng-tek terdapat Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kui-bo, dan Tho-tee-kwi, tiga diantara Cap-sha-kui yang tinggal tujuh orang itu.
Empat orang tokoh lain tak pernah berpisah dari Raja dan Ratu Iblis karena mereka yang berjuluk Hui-thian Su-kwi (Empat Setan Terbang ke Langit) ini dipercaya untuk menjadi pengawal pribadi Raja dan Ratu Iblis!
Kaum pemberontak itu bukanlah pejuang-pejuang sejati, melainkan segerombolan orang-orang yang selalu mengejar kesenangan. Bahkan pemberontakan itu mereka lakukan demi mengejar kesenangan. Oleh karena itu, setelah Cin-ling-pai dibasmi, penjagaan di kota benteng itu tidaklah seketat semula.
Para pimpinan itu kerjanya hanya bersenang-senang saja, makan minum, pesta pora dan melampiaskan nafsu-nafsu mereka sepuasnya karena di kota benteng itu merekalah yang berkuasa. Memang mereka tidak merasa khawatir. Benteng mereka itu amat kuat, terjaga oleh ribuan orang, ada lima ribu lebih orang tentara. Dan tidak nampak tanda-tanda datangnya pasukan pemerintah dari selatan. Apa yang perlu ditakutkan?
Pada senja hari itu, seperti biasa, para penjaga pintu gerbang menjaga sambil bersenang-senang. Ada yang bermain kartu, ada yang minum-minum dan setiap ada wanita muda lewat di pintu gerbang, tentu mereka akan mengganggu, baik dengan ucapan-ucapan ataupun dengan sentuhan-sentuhan. Karena kebiasaan yang amat buruk ini, jarang ada wanita muda berani melewati pintu gerbang.
Akan tetapi pada senja hari itu, di pintu gerbang sebelah timur, nampak seorang wanita muda mendorong sebuah gerobak, datang dari luar pintu gerbang. Wanita ini masih muda, pakaiannya seperti wanita petani biasa, akan tetapi wajahnya amat cantik, berkulit halus dan matanya indah bersinar-sinar.
Senja itu jarang ada orang lewat di pintu gerbang dan keadaannya sudah sunyi, membuat para penjaga menjadi semakin jemu dan membutuhkan hiburan. Sebentar lagi, kalau sudah ada tanda genta dibunyikan, pintu gerbang akan ditutup dan mereka dapat berjaga sambil tidur.
Ketika melihat wanita yang mendorong gerobak itu datang dari jauh, segera penjaga yang melihatnya mengeluarkan seruan girang.
"Si cantik datang mengunjungi kita!" serunya dan para penjaga yang jumlahnya selosin orang itupun keluar semua.
Yang sedang berjudi menghentikan permainan mereka, yang sedang minum-minumpun keluar dan semua kini berdiri menghadang di pintu gerbang, memandang wanita muda yang mendorong gerobak itu dengan mulut menyeringai.
Wanita muda itu agaknya tidak perduli dan terus saja datang menghampiri pintu gerbang. Gerobak dorong itu tidak besar, muatannya penuh dengan jerami. Agaknya ia baru pulang mengumpulkan jerami untuk makanan ternaknya. Tentu perempuen ini keluar melalui pintu gerbang lain, pikir para penjaga itu karena mereka tidak melihat wanita itu keluar tadi.
"Aih, manis, perlahan dulu...!" kata kepala jaga sambil melintangkan tombak panjangnya ketika wanita itu hendak lewat.
Wanita muda itu terpaksa menghentikan gerobaknya dan memandang tajam kepada dua belas orang penjaga itu. Alisnya berkerut dan matanya bersinar-sinar, akan tetapi bibirnya tersenyum. Memang cantik jelita sekali gadis ini, maka biarpun ia berpakaian wanita dusun, kecantikannya menonjol dan membuat dua belas orang penjaga itu mengilar. Tak mereka sangka bahwa hari itu, sebelum tutup pintu gerbang, mereka memiliki nasib begini baik bertemu dengan seorang wanita secantik ini.
"Kalian mau apa? Biarkan aku lewat!" kata gadis itu sambil mencibirkan bibirnya yang merah basah.
"Aih, kenapa terburu-buru amat?"
"Berhenti dulu, kita bicara-bicara nona manis. Masih banyak waktu untuk pulang."
"Siapa sih namamu, manis?"
"Berapa usiamu?"
"Dimana rumahmu? Aku belum pernah melihat seorang gadis secantikmu!"
Dengan sikap ceriwis para penjaga itu mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda dan merayu, akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja.
"Harap jangan menahanku, aku tergesa-gesa, sapiku sudah lapar," katanya membujuk.
"Ha-ha-ha, perlahan dulu, nona. Engkau tidak boleh lewat sebelum membayar pajak!" kata kepala jaga sambil tertawa-tawa dan mengamang-amangkan tombaknya seperti orang mengancam dan menakut-nakuti.
"Pajak? Pajak apa?" tanya gadis itu.
"Orang lain harus membayar uang, akan tetapi tetapi engkau cukup membayar... ehm, engkau tahu sendiri, nona."
"Hemm, membayar apakah? Harap dijelaskan," gadis itu mendesak.
Kepala jaga itu menyeringai lebar.
"Bukan sapimu saja yang lapar, akan tetapi kami juga lapar, bukan lapar makanan, melainkan lapar wanita cantik. Engkau harus menemani kami tidur, baru boleh lewat."
"Ihhh!" Wajah yang cantik itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar berapi. "Sudah tak kusangka! Kalian hanyalah babi-babi yang kurang ajar dan suka mengganggu wanita! Mau makan? Nih, makanlah ini...!" Dan tiba-tiba saja gadis itu mendorong gerobaknya menabrak si kepala jaga.
"Bresss...!"
Kepala jaga itu terjengkang dan menimpa seorang kawannya di belakangnya. Dia mengaduh-aduh dan menyumpah-nyumpah karena tulang betisnya yang tertabrak muka gerobak itu terasa nyeri bukan main, kiut-miut rasanya dan dia takut kalau-kalau tulang itu patah.
"Perempuan keparat! Tangkap dia...!"
Akan tetapi gadis itu sudah mendorong kembali gerobaknya dengan kuat menabrak seorang penjaga lain yang sudah mencabut golok. Penjaga itu terpelanting, goloknya terlepas dan diapun mengaduh-aduh kesakitan.
Kini semua penjaga menjadi sadar bahwa wanita ini agaknya memang sengaja hendak memusuhi mereka. Mereka lalu mencabut senjata masing-masing dan mengepung. Akan tetapi si kepala jaga berteriak,
"Simpan senjata kalian, tolol! Tangkap ia hidup-hidup, kita permainkan ia sepuasnya sebelum membunuhnya. Jahanam betina ini harus dihajar sampai kita puas!"
Kepala jaga dan kawan-kawannya itu tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin! Seperti kita ketahui, gadis ini menjadi pembantu Yelu Kim, karena ia melihat bahwa dengan membantu para suku bangsa di utara, ia dapat pula ikut menentang para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Maka, ketika Yelu Kim mengatur siasat dan merencanakan penyerbuan Ceng-tek, ia mengajukan diri untuk bertugas mengacau satu diantara empat pintu gerbang pada saat penyerbuan hendak dilakukan. Dan gurunya, Yelu Kim, yang percaya akan kelihaian Sui Cin, menyetujui dan menugaskan muridnya itu untuk mengacau di pintu gerbang bagian timur itu.
Andaikata para penjaga itu mengenal Sui Cin, tentu dia akan mengerahkan semua kekuatan kawan-kawannya, menggunakan senjata untuk menyerang dan mengeroyok gadis pendekar itu. Bahkan, andaikata mereka mempergunakan senjata tajam sekalipun, mereka bukanlah lawan pendekar wanita perkasa ini.
Maka kini, karena mereka maju dengan tangan kosong, enak dan mudah saja bagi Sui Cin untuk mengamuk dan merobohkan mereka semua hanya dengan gerobaknya yang didorong ke sana-sini!
Mereka yang roboh tidak mampu bangkit kembali karena tulang mereka patah atau retak-retak dihantam kayu melintang di depan gerobak. Setelah mereka semua roboh dan mereka berteriak-teriak minta tolong, Sui Cin cepat menyalakan api membakar jerami di dalam gerobaknya, kemudian mendorong gerobak yang berkobar-kobar itu sampai masuk ke dalam pondok penjagaan sampai pondok itu terbakar pula.
Ia melihat datangnya puluhan orang perajurit dari dalam. Cepat Sui Cin menyambar dua batang golok dari atas tanah dan berlari menghampiri alat pemutar pintu gerbang. Pintu gerbang yang berat itu dibuka atau ditutup dengan menggunakan alat putaran yang kuat, kini Sui Cin menghajar rantai besar itu dengan sepasang goloknya, membacoki rantai itu sehingga sepasang goloknya rompal akan tetapi rantai itupun putus! Kini daun pintu gerbang tidak dapat ditutup kembali setelah rantai itu putus.
Ketika puluhan orang perajurit menyerbu dan mengeroyoknya, Sui Cin mengamuk, menggunakan sepasang goloknya yang sudah rompal. Ia sengaja mengulur waktu untuk memberi kesempatan kepada teman temannya bergerak.
Memang pada saat yang sama, di tiga pintu gerbang lainnya terjadi pula kekacauan yang ditimbulkan oleh pembantu-pembantu Yelu Kim, yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, mereka itu datang sedikitnya berlima, tidak seperti Sui Cin yang bekerja seorang diri saja.
Tiba-tiba saat yang ditunggu-tunggu oleh Sui Cin sambil mengamuk itupun tiba. Terdengar suara teriakan-teriakan riuh rendah di sebelah dalam kota dan nampaklah api berkobar tinggi. Ternyata teman-teman yang menyelundup ke dalam itu kini sudah mulai dengan aksi mereka membakari tempat-tempat penting. Tentu saja ada diantara mereka yang kepergok dan dikeroyok sehingga mulailah terjadi pertempuran-pertempuran antara para mata-mata dengan para petugas keamanan.
Melihat ini Sui Cin tidak mau melayani para pengeroyoknya. Cuaca mulai menjadi gelap dan iapun mempergunakan ilmu gin-kangnya untuk melompat dan melarikan diri memasuki kota Ceng-tek, meloncat ke atas wuwungan rumah rumah orang dan lenyap dari kejaran para penjaga.
Keadaan menjadi kacau ketika para penjaga melihat bahwa pintu gerbang tidak dapat ditutup dan betapa di dalam kota sudah terjadi pembakaran-pembakaran dan pertempuran-pertempuran.
Dan pada saat itulah terdengar ledakan-ledakan disusul bunyi terompet dan tambur, dan dari delapan penjuru pasukan-pasukan Yelu Kim menyerbu. Kacau balaulah pertahanan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Siang Hwa.
Begitu mereka mencurahkan perhatian untuk menahan serbuan musuh ke empat pintu gerbang, datang serbuan melalui tembok-tembok benteng dan datang hujan panah dari luar tembok. Penyerbuan di waktu malam gelap ini sungguh telah diperhitungkan dengan masak-masak oleh Yelu Kim. Pasukannya mempunyai sasaran yang jelas, yaitu benteng itu. Dan di dalam kota benteng itu terdapat penerangan yang cukup sehingga mereka mampu melihat keadaan musuh.
Sebaliknya, pasukan pemberontak yang berada di dalam benteng menjadi bingung karena pihak musuh datang dari tempat gelap, tidak tahu dari arah mana yang tepat, dan pihak musuh sama sekali tidak membawa obor. Mereka bahkan tidak tahu siapakah musuh mereka dan berapa jumlahnya. Maka tanpa banyak susah payah, menjelang tengah malam pasukan-pasukan Yelu Kim mulai dapat mendesak masuk melalui pintu gerbang dan melalui tembok-tembok benteng!
Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu tak dapat disangkal adalah dua orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi dalam hal ilmu perang, mereka bukan ahli dan tidak berpengalaman, maka menghadapi penyerbuan yang dilakukan dengan taktik yang matang dari Yelu Kim ini, mereka menjadi bingung. Dan seperti ahli-ahli silat, mereka hanya mengandalkan kepandaian silat untuk bertahan, lupa bahwa perang antara pasukan tidak dapat disamakan dengan perkelahian antar perorangan dimana ilmu silat memegang peran yang menentukan kalah menang.
Karena pasukan mereka kalah banyak, juga karena mereka diserbu secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga, pertahanan mereka akhirnya bobol dan terjadilah pertempuran di dalam kota benteng itu antara pasukan pemberontak dan suku bangsa utara yang berani mati.
Sebelum melakukan penyerbuan, Sui Cin sudah mendengar dari para mata-mata Mancu bahwa perkumpulan Cin-ling-pai yang dipimpin oleh ketuanya sendiri membantu pemberontakan Raja Iblis, bahkan ketika pasukan pemberontak menyerbu Ceng-tek dan akhirnya menguasainya, orang-orang Cin-ling-pai berjasa besar. Kemudian iapun mendengar bahwa orang-orang Cin-ling-pai kini bertugas sebagai perwira-perwira dan kepala-kepala pasukan penjaga untuk menjaga keamanan Ceng-tek.
Oleh karena itu, ketika ia berhasil mengacau pintu gerbang timur dan teman-temannya, baik yang berada di dalam maupun di luar sudah mulai bergerak, ia lalu berloncatan dari wuwungan ke wuwungan lain, mencari-cari.
Ketika ia mendengar akan hal Cin-ling-pai, ia hampir tidak percaya dan merasa prihatin sekali. Benarkah orang-orang Cin-ling-pai ikut memberontak, bersekutu dengan Raja Iblis? Bahkan dipimpin sendiri oleh ketuanya, ayah Hui Song? Sukar untuk dipercaya. Bukankah Hui Song sendiri seorang pendekar muda yang gagah perkasa dan budiman? Dan biarpun ayah bundanya nampaknya tidak suka kepada ketua Cin-ling-pai yang mereka anggap angkuh dan sombong, namun merekapun mengakui bahwa ketua Cin-ling-pai adalah seorang pendekar yang lihai dan gagah perkasa. Mana mungkin kini pendekar itu bersama murid-muridnya malah bersekutu dengan Raja Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui?
"Tidak mungkin...!" katanya pada diri sendiri, akan tetapi tiba-tiba Sui Cin mendekam di atas wuwungan ketika ia melihat berkelebatnya dua orang dari dalam sebuah gedung di bawah.
Ketika dua orang itu berdiri di bawah penerangan, ia segera mengenal mereka yang bukan lain adalah Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu!
Melihat dua orang musuh besar yang dibencinya itu, Sui Cin lupa diri, lupa bahwa dua orang itu amat lihai dan terlalu berbahaya baginya kalau menghadapi mereka berdua itu sendirian saja. Akan tetapi kemarahan sudah membuat ia melompat ke bawah sambil berseru marah,
"Jahanam-jahanam busuk hendak lari kemana kalian?"
Memang dua orang itu nampaknya sudah bersiap-siap untuk lari. Mereka membawa buntalan yang kelihatan berat di punggung masing-masing dan agaknya mereka hendak melarikan diri sambil membawa barang-barang berharga dari dalam kota benteng itu.
Siang Hwa dan Thian Bu terkejut sekali. Keduanya mencabut pedang dan ketika mengenal Sui Cin, merekapun marah dan tanpa banyak cakap lagi keduanya menyerang Sui Cin. Gadis ini cepat mengelak. Dua orang yang melihat betapa gadis ini bertangan kosong dan sendirian saja, mempercepat serangan mereka, dengan penuh nafsu melancarkan serangan-serangan maut untuk membunuh Sui Cin.
Akan tetapi, Sui Cin telah menguasai Ilmu Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, gerakannya cepat bagaikan beterbangan saja dan dua pedang di tangan Siang Hwa dan Thian Bu tidak dapat menyentuhnya.
Dua orang lawan itu terkejut melihat kecepatan gerak Sui Cin dan mereka terus mendesak. Biarpun Sui Cin mampu mengelak dan berloncatan ke sana-sini, namun ia tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang.
Untung baginya bahwa dua orang lawannya itu nampak gugup. Pertempuran telah memasuki kota dan mereka itu tergesa-gesa hendak melarikan diri. Munculnya Sui Cin merupakan bahaya bagi mereka, bahaya terlambat melarikan diri. Maka mereka menyerang terus kalang kabut membuat Sui Cin terpaksa harus mengerahkan ilmu gin-kangnya untuk menghindarkan diri dari libatan dua gulung sinar pedang itu.
Tiba-tiba berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah nampak Hui Song dan Siang Wi! Siang Wi sudah menggunakan sepasang pedangnya menyerang Siang Hwa sedangkan Hui Song juga membantu Sui Cin menghadapi Thian Bu.
Munculnya dua orang muda ini tentu saja amat mengejutkan hati Siang Hwa dan Thian Bu. Apalagi ketika melihat betapa hebatnya gerakan Hui Song dan betapa sepasang pedang dari Siang Wi itupun tidak boleh dipandang rendah.
"Lari...!"
Thian Bu berseru sambil memutar pedangnya mendesak Hui Song dan Sui Cin yang bertangan kosong itu mundur. Keduanya meloncat dan lari ke dalam gelap.
Sui Cin, Hui Song dan Siang Wi tidak mengejar. Sui Cin dan Hui Song merasa girang sekali dapat bertemu disitu.
"Cin-moi, engkau selamat, aku gembira sekali bertemu denganmu disini!" kata Hui Song sambil memegang tangan gadis itu.
Sui Cin membiarkan saja tangannya digenggam sejenak oleh pemuda itu, kemudian sambil melirik kepada Siang Wi ia melepaskan tangannya.
"Song-ko, mari kita bantu pasukan suku bangsa utara menyerang pasukan pemberontak!"
"Nanti dulu, kami hendak menyelidiki apakah benar ayah dan ibu berada disini," kata Hui Song, suaranya mengandung rasa penasaran.
Sui Cin menatap wajah pemuda itu dengan hati tegang. Agaknya pemuda inipun sudah mendengar tentang Cin-ling-pai yang kabarnya membantu Raja Iblis!
"Sejak tadi akupun mencari-cari apakah benar ada anggota Cin-ling-pai yang..."
"Jadi engkau sudah tahu pula, Cin-moi?" Hui Song bertanya kaget. "Jadi... benarkah berita tentang..."
"Aku sudah mendengar beritanya dan aku tidak percaya, Song-ko. Akupun tidak melihat adanya orang Cin-ling-pai... akan tetapi mungkin mereka memakai pakaian seragam dan aku tidak mengenal mereka..."
"Tunggu...!"
Tubuh Hui Song berkelebat dan tak lama kemudian dia sudah kembali lagi sambil mengempit tubuh seorang perajurit pemberontak yang menggigil ketakutan namun tidak mampu bergerak itu. Hui Song melemparkan tubuh orang itu ke atas tanah dan meminjam sebatang pedang dari Siang Wi, lalu menodongkan senjata itu ke dada tawanannya.
"Hayo ceritakan dimana adanya orang-orang Cin-ling-pai!" bentak Hui Song.
Orang itu sudah amat ketakutan karena tadi secara tiba-tiba saja tubuhnya tidak dapat digerakkan lalu "diterbangkan" orang tanpa dia dapat berbuat sesuatu. Akan tetapi melihat sikap Hui Song yang agaknya bukan sahabat orang-orang Cin-ling-pai, dia mengira bahwa pemuda ini mencari musuh-musuhnya, maka dengan memberanikan hati diapun menjawab.
"Orang-orang Cin-ling-pai telah dibasmi, banyak yang tewas dan sebagian sudah ditahan dalam penjara. Pengkhianat-pengkhianat itu..."
Dia tidak mampu melanjutkan karena Hui Song telah menendangnya sehingga perajurit itu pingsan.
"Bagus!" Hui Song berseru gembira.
"Biarpun ayah mengajak saudara-saudara Cin-ling-pai kesini, ternyata bukan untuk menjadi sekutu, melainkan untuk melawan. Mari kita cari di dalam penjara!"
Sui Cin ikut pula dengan kakak beradik seperguruan itu dan merekapun berloncatan ke atas genteng. Akhirnya mereka dapat menemukan tempat para tahanan yang merupakan penjara di dalam kota benteng itu.
Penjara itu hanya dijaga oleh belasan orang saja karena sebagian besar para penjaga sudah menjadi panik dengan datangnya penyerbuan musuh dan kini mereka sudah ikut membantu pasukan untuk mempertahankan kota Ceng-tek dari serbuan pasukan-pasukan suku bangsa utara.
Karena hanya ada belasan orang penjaga, Sui Cin dan Siang Wi berdua saja sudah cukup untuk melayang turun dan menghadapi mereka, sedangkan Hui Song tanpa membuang banyak waktu sudah memaksa pintu penjara terbuka. Dia membebaskan semua tawanan dan akhirnya dia melihat murid-murid Cin-ling-pai yang diborgol di dalam sebuah kamar tahanan besar.
Para murid Cin-ling-pai gembira bukan main melihat munculnya Hui Song dan mereka segera merangkulnya sambil menangis. Hal ini mengejutkan dan mengherankan hati Hui Song, karena dia tahu bahwa murid-murid ayahnya amat gagah dan bukan merupakan orang-orang cengeng.
"Aih, kenapa kalian malah menangis setelah aku datang membebaskan kalian?" tanyanya dengan alis berkerut.
"Sute... ah, sute... kami telah mengalami malapetaka! Sedikitnya empat puluh orang saudara Cin-ling-pai tewas..."
"Hemm, itu sudah menjadi resiko perjuangan! Perjuangan menuntut pengorbanan, mengapa kalian menangis?"
Hui Song mencela karena hatinya merasa tidak puas melihat sikap cengeng saudara-saudara seperguruannya.
"Aih, sute... subo... subo dan sukong... mereka juga tewas..."
"Apa...?"
Wajah Hui Song pucat dan matanya terbelalak mendengar bahwa kedua orang tua itu, terutama sekali ibunya, tewas pula dan beberapa lamanya dia tidak mampu mengeluarkan suara. Siang Wi sudah langsung menangis terisak-isak mendengar subonya tewas.
Beginilah keadaan batin kita pada umumnya. Kalau orang lain yang terkena musibah, pandai-pandai kita menghibur dan menasihatinya dengan kata-kata yang indah. Hal ini lumrah karena kita sendiri tidak merasakan kedukaan akibat musibah yang menimpa itu.
Akan tetapi kalau kita sendiri yang terkena, entah kemana perginya segala nasihat kita tadi, sudah terlupa sama sekali dan kita tenggelam ke dalam kedukaan dan kemarahan. Ketika tadi melihat saudara-saudara seperguruan itu menangis dan mendengar mereka melaporkan bahwa banyak saudara yang tewas, Hui Song masih menghibur dan mengatakan bahwa perjuangan mereka memerlukan pengorbanan.
Akan tetapi begitu mendengar ibu kandungnya sendiri tewas, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Perlahan-lahan muka yang amat pucat tadi berobah merah oleh dendam.
"Siapa yang membunuh mereka?" pertanyaan ini keluar dengan datar.
"Sukong tewas oleh Sim Thian Bu dan subo tewas di tangan Gui Siang Hwa," jawab murid Cin-ling-pai itu yang sudah mengenal murid Iblis Buta dan murid Raja Iblis yang menjadi tokoh-tokoh besar dalam pemberontakan itu.
Mendengar siapa pembunuh ibu dan kakeknya, kemarahan Hui Song memuncak. Dia mengepal tinju.
"Jahanam keparat mereka itu! Aku harus bunuh mereka...!"
Tiba-tiba ada tangan menyentuh lengannya, tangan yang berkulit halus dengan sentuhan hangat namun dengan cengkeraman yang mengandung teguran.
"Song-ko, mereka itu korban-korban perjuangan." Lirih saja ucapan ini, akan tetapi langsung terasa oleh hati Hui Song dan diapun menoleh, memandang kepada Sui Cin dan menggunakan punggung tangan untuk menghapus dua titik air mata yang tergantung di pelupuk matanya. Dia menarik napas panjang dan mengangguk. "Engkau benar, Cin-moi," bisiknya kembali dan sesaat kemudian pemuda perkasa ini sudah dapat menguasai dirinya, memandang kepada saudara-saudara seperguruannya yang masih merubungnya.
"Semua ini adalah pengorbanan untuk perjuangan, mereka gugur sebagai orang-orang gagah yang menentang golongan jahat. Nah, sekarang ceritakan tanpa ragu-ragu, dimana ayahku?"
"Sebelum kami disergap oleh pasukan pemberontak itu, suhu telah pergi meninggalkan Ceng-tek untuk melakukan penyelidikan ke San-hai-koan, dan sejak itu tidak pernah kembali."
Hui Song mengerutkan alisnya. Pertempuran di luar penjara itu masih terdengar ramai sekali dan semua tahanan, kecuali anak buah Cin-ling-pai, sudah berlarian keluar untuk mencari kebebasan atau ada pula yang lari untuk ikut bertempur, tentu saja memihak para penyerbu. Atau ada pula tahanan orang-orang jahat yang keluar untuk mengail di air keruh, mencari keuntungan selagi keadaan kacau oleh pertempuran.
"Sebetulnya, apa yang telah terjadi? Mengapa kalian berada disini? Mengapa ayah berada disini? Ceritakan dengan singkat!"
"Suhu telah terbujuk dan membawa kami kesini untuk membantu pemberontak. Suhu tadinya mengira bahwa pasukan pemberontak yang dipimpin Ji-ciangkun mempunyai tujuan perjuangan yang murni, untuk menggulingkan pemerintahan lalim. Kemudian ternyata bahwa pemberontak bersekutu, bahkan dipimpin oleh datuk sesat Raja Iblis. Setelah mengetahui hal ini, suhu marah sekali dan suhu pergi ke San-hai-koan untuk menyelidik. Agaknya hal ini diketahui oleh pihak kaum sesat, maka mereka telah bertindak lebih dahulu, kami diserbu dan kami melakukan perlawanan sedapat mungkin. Akan tetapi fihak musuh terlampau banyak dan dalam pertempuran ini, subo dan sukong, juga banyak saudara kita tewas, kami ditangkap karena telah roboh dan tidak mampu melawan lagi."
"Kalau begitu mari kita keluar dan mengamuk dan membasmi para pemberontak keparat yang ditunggangi golongan hitam itu!"
Hui Song mengangkat tangan kanan dengan tinju terkepal, disambut sorak sorai para saudara seperguruannya.
"Tahan dulu...!" Tiba-tiba Sui Cin berseru. "Kurasa tidak benar kalau kita terjun ke dalam pertempuran..."
"Kami hendak berjuang dan untuk itu kami tidak takut kehilangan nyawa, kenapa kau katakan tidak benar?" tiba-tiba Siang Wi berkata dengan alis berkerut.
Ia tahu bahwa ada hubungan kasih antara suhengnya dan Sui Cin, dan bagaimanapun juga hal ini menimbulkan rasa tidak suka dalam hatinya terhadap gadis yang dianggapnya telah merebut hati pria yang sejak kecil dicintanya itu.
"Cin-moi, apa maksudmu menyalahkan maksud kami menyerbu keluar?" Hui Song juga bertanya dan memandang heran.
"Song-ko, menyerbu keluar dan ikut bertempur sama saja dengan bunuh diri..."
"Kami tidak takut mati!"
Siang Wi membentak. Gadis ini sudah mencabut sepasang pedangnya sejak tadi dan mukanya masih basah air mata ketika ia menangisi kematian subonya tadi.
Sui Cin tersenyum melihat sikap Siang Wi itu, dan ia mengalihkan pandang matanya kepada Hui Song.
"Song-ko, engkau tahu bahwa semua orang gagah tidak takut mati. Akan tetapi menceburkan diri dalam pertempuran adalah perbuatan nekat atau membunuh diri. Harus diingat bahwa yang menyerbu Ceng-tek ini adalah barisan suku bangsa utara dan mereka sudah mendengar bahwa Cin-ling-pai membantu pemberontak. Mereka itu tidak akan percaya semua alasan kita dan mereka tentu akan menganggap Cin-ling-pai sebagai musuh pula. Dan kita berada di dalam kota benteng seperti sekumpulan burung dalam sangkar perangkap. Kalau kita sekarang menyerbu keluar dan ikut bertempur di dalam kota, akhirnya kita semua akan tewas..."
"Itulah resiko perjuangan! Kalau kau takut, tak perlu ikut dengan kami!" Siang Wi berseru.
"Sumoi, diamlah!" Hui Song mencela sumoinya. "Cin-moi, lanjutkan bicaramu."
Dia mulai tertarik. Dia sudah mengenal siapa Sui Cin, gadis perkasa yang suka bertualang dan memiliki keberanian yang amat besar, dan tidak mungkin gadis seperti Sui Cin takut bertempur.
Sui Cin tetap tersenyum, tidak marah melihat sikap Siang Wi.
"Sumoimu memang penuh semangat, Song-ko. Sudah kukatakan tadi bahwa kalau kita menceburkan diri dalam pertempuran, berarti kita nekat dan membunuh diri. Dan perjuangan bukanlah usaha nekat dan bunuh diri! Mati konyol karena kenekatan itu malah merugikan perjuangan dan tiada gunanya sama sekali. Lebih berguna kalau kita berlaku cerdik. Kenekatan bukah perbuatan gagah perkasa, bukan suatu keberanian melainkan kebodohan orang yang sudah putus asa dan kehilangan akal. Kalau masih bisa dicari jalan yang lebih baik, kenapa mesti nekat dan mati konyol?"
"Lalu menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan, Cin-moi?"
"Kita menyerbu keluar, akan tetapi bukan untuk menceburkan diri dalam pertempuran melawan pemberontak dan membantu suku bangsa utara, melainkan untuk membuka jalan darah dan meloloskan diri keluar dari kota benteng ini."
"Apa? Melarikan diri? Aku tidak mau menjadi pengecut!"
Siang Wi kembali berteriak. Hui Song memandang sumoinya dengan alis berkerut dan memberi isyarat kepadanya agar tidak banyak bicara.
"Melarikan diri bukan karena takut, melainkan dengan perhitungan. Kalau kita sudah lolos dari kota benteng ini, kita dapat menyusun kekuatan dan siasat baru untuk bertindak selanjutnya menghadapi perkembangan dan dapat menarik keuntungan sebesarnya bagi perjuangan kita. Apakah itu pengecut namanya? Dalam urusan besar, tidak boleh hanya mengandalkan perasaan dan nafsu dendam belaka, melainkan harus mempergunakan kecerdikan dan ketenangan."
Hui Song mengangguk-angguk.
"Benar sekali apa yang diucapkan Cin-moi. Kita semua tidak boleh membuang nyawa sia-sia belaka. Kita keluar dari kota ini. Aku harus mencari ayah di San-hai-koan dan kalau dapat berjumpa dengan ayah, baru kita tentukan langkah selanjutnya. Mari kita keluar, berpencar dan mencari jalan keluar, lalu berkumpul di sebelah selatan kota raja, di dalam hutan cemara itu!"
Siang Wi terpaksa tidak membantah perintah suhengnya dan merekapun lalu keluar dan menyerbu sambil berpencar, mencari jalan keluar dan merobohkan setiap orang perajurit pemberontak yang berani menghalang di depan mereka.
Sementara itu, pertempuran masih berlangsung dengan amat serunya antara pasukan para suku bangsa utara dan pasukan pemberontak. Penyerbu sudah berhasil membobolkan pintu benteng dan kini pertempuran terjadi di mana-mana, di seluruh kota walaupun yang paling ramai terjadi di pintu-pintu gerbang yang kini semua telah dibuka secara paksa oleh pihak penyerbu.
Karena ada Sui Cin di samping mereka, orang-orang Cin-ling-pai hanya dihalangi oleh para perajurit pemberontak saja. Perajurit-perajurit suku bangsa utara semua mengenal Sui Cin sehingga gadis ini dapat mencegah para penyerbu itu menyerang orang-orang Cin-ling-pai. Dengan demikian, akhirnya mereka dapat lolos keluar dari kota benteng Ceng-tek walaupun jumlah mereka sudah berkurang pula.
Setibanya di dalam hutan cemara, Hui Song lalu mengajak Siang Wi dan para saudara lainnya untuk pergi ke San-hai-koan mencari ayahnya. Sui Cin tidak mau ikut.
"Song-ko, aku harus tinggal disini membantu subo Yelu Kim menghancurkan pemberontak."
Hui Song terbelalak.
"Apa? Dan engkau sudah tahu bahwa nenek itu mempunyai niat untuk menyerbu ke selatan! Apakah engkau akan membantu pemberontakan baru yang direncanakan oleh suku bangsa liar itu?"
Sui Cin tersenyum dan menggeleng kepala.
"Song-ko, engkau tentu tahu bahwa aku hanya mau membantu mereka menentang dan menyerbu para pemberontak yang dipimpin Raja Iblis. Kalau tiba saatnya mereka akan menentang pemerintah kita, tentu aku tidak akan membantu mereka, bahkan menentang mereka. Siapa tahu dengan halus aku dapat membujuk subo Yelu Kim untuk tidak melanjutkan rencananya yang gila itu. Nah, bukankah perjuangan dapat dilakukan dengan bermacam cara, pokoknya membela nusa dan bangsa?"
Hui Song merasa kecewa sekali harus berpisah lagi dari gadis yang dicintanya itu, akan tetapi dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu dia harus mengeraskan hatinya dan mengesampingkan semua urusan dan perasaan pribadi. Dia harus mencari ayahnya, dan apa yang dikatakan Sui Cin tadi memang tepat. Gadis ini bukan orang sembarangan dan selalu memakai perhitungan yang matang. Mungkin apa yang mampu dilakukan Sui Cin pada waktu itu akan jauh lebih besar gunanya daripada apa yang mampu dilakukan oleh para pendekar lain. Maka diapun berpamit dan bersama rombongannya pemuda ini lalu meninggalkan Sui Cin.
Gadis inipun segera kembali ke induk pasukan dan bertemu dengan Yelu Kim membuat laporan. Nenek itu merasa girang sekali dan memuji-muji muridnya. Pertempuran masih terus berlangsung. Biarpun pihak penyerbu berhasil membobolkan pintu gerbang, namun kekuatan pasukan pemberontak juga cukup besar sehingga pertempuran itu berlangsung sampai semalam suntuk.
Dan pada keesokan harinya, setelah bertempur mati-matian, akhirnya pasukan Yelu Kim mulai mendesak pasukan pemberontak yang mempertahankan kota Ceng-tek, dan pasukan pemberontak mulai melarikan diri keluar kota.
Selagi pasukan Yelu Kim mengobrak-abrik kota dan siap mendudukinya, tiba-tiba datang pasukan bala-bantuan dari San-hai-koan dan kembali terjadi pertempuran yang hebat lagi. Sekali ini, pasukan Yelu Kim yang sudah menduduki benteng itu menjadi pihak yang bertahan, mempertahankan benteng itu, sedangkan barisan pemberontak yang datang dari San-hai-koan itu menjadi pihak penyerbu!
Perhitungan Panglima Yang Ting Houw memang tepat sekali. Dia tidak tergesa-gesa mengerahkan pasukan pemerintah untuk menggempur pasukan pemberontak yang telah menduduki San-hai-koan dan Ceng-tek, melainkan memimpin balatentara ke utara secara diam-diam dan membiarkan pihak pemberontak bertempur melawan pasukan suku bangsa liar di utara.
Peristiwa penyerbuan Ceng-tek oleh pasukan suku bangsa di utara itu diikuti dengan gembira oleh Panglima Yang Ting Houw dan para perwira pembantunya, juga mereka melihat betapa San-hai-koan dikerahkan untuk menolong Ceng-tek.
Inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh Panglima Yang itu. Pasukannya sudah berkumpul dan kini pasukan yang besar jumlahnya itu dia bagi dua, yang sebagian menyerbu San-hai-koan dan sebagian lagi menyerang pasukan pemberontak yang sedang berusaha merebut kembali Ceng-tek itu dari belakang, setelah membiarkan pasukan pemberontak itu mati-matian bertempur melawan pasukan utara yang telah menduduki Ceng-tek.
Dan dalam penyerbuan ke San-hai-koan ini, pasukan pemerintah dibantu oleh orang-orang gagah yang datang menawarkan tenaganya dan yang diterima dengan gembira oleh Panglima Yang Ting Houw.
Sebelum pasukan pemerintah melakukan penyerbuan ke San-hai-koan, dua orang pendekar telah lebih dahulu memasuki kota benteng itu. Mereka adalah Cia Sun dan Siangkoan Ci Kang. Seperti kita ketahui, dua orang pendekar muda ini pergi ke San-hai-koan untuk mencari jejak Toan Hui Cu yang dilarikan ayah kandungnya sendiri, yaitu Pangeran Toan Jit Ong atau Si Raja Iblis.
Dengan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, dua orang muda ini berhasil menyelundup memasuki kota benteng San-hai-koan dan mereka lalu berpencar, mencari jalan sendiri-sendiri setelah mereka berjanji bahwa sebuah kelenteng tua di sudut barat kota itu menjadi tempat pertemuan mereka.
"Jika menemukan sesuatu yang penting, kita harus saling berhubungan," kata Cia Sun sebelum mereka berpisah. "Dan di belakang kuil ini, tepat jam dua belas malam, kita dapat mengadakan pertemuan."
Mereka lalu berpisah dan menyelinap dengan cepat, menghilang ke dalam kegelapan malam. Ci Kang merasa bingung, bagaimana dia akan dapat bersembunyi di waktu siang, akan tetapi dia tidak kekurangan akal. Ketika dia melihat banyaknya orang berpakaian tentara yang ketika saling berpapasan di jalan tidak saling menegur seperti tidak saling mengenal, dia memperoleh akal.
Dia dapat menduga bahwa saking banyaknya jumlah perajurit, apalagi mengingat bahwa banyak pula orang-orang kaum sesat yang membantu pasukan pemberontak, tentu diantara mereka banyak yang tidak saling mengenal.
Dia mencari kesempatan baik dan ketika melihat seorang perajurit yang tubuhnya sebesar dia berjalan seorang diri di tempat yang agak sunyi, dia telah menotoknya dan perajurit itupun roboh pingsan tanpa sempat melihat siapa yang merobohkannya. Tentu saja kalau dia menghendaki, sekali pukul saja dia mampu membunuh perajurit itu. Akan tetapi, semenjak berguru kepada Ciu-sian Lo-kai, hatinya semakin mantap untuk tidak sembarangan melakukan kekerasan-kekerasan terutama sekali membunuh, seperti yang dilakukan oleh mendiang ayahnya dan para kaum sesat pada umumnya. Diapun tidak membunuh perajurit itu, melainkan hanya melucuti pakaiannya dan melemparkan tubuh yang pingsan itu ke balik semak-semak.
Setelah perajurit itu siuman kembali, tentu saja dia merasa heran dan ketakutan setengah mati. Dia tidak melihat siapa penyerangnya, tahu-tahu pingsan dan telanjang, hanya memakai pakaian dalam, terbaring di semak-semak. Maka diapun diam saja, merasa malu untuk bercerita kepada orang lain bahwa dia telah dibawa "siluman" dan hal ini menguntungkan Ci Kang yang tidak menarik perhatian atas kecurigaan orang lain.
Mudah bagi Ci Kang untuk berkeliaran di kota benteng itu, bahkan di siang haripun dia berani jalan-jalan. Kalau berpapasan dengan rombongan perajurit yang tidak mengenalnya, rombongan itu tidak menjadi curiga karena memang banyak perajurit yang tidak saling mengenal di tempat itu.
Demikianlah, ketika ketua Cin-ling-pai, Cia Kong Liang, dikepung dan dikeroyok oleh para perajurit, dengan mudah tanpa dicurigai siapapun juga, Ci Kang dapat menyelundup dan ikut pula mengeroyok. Dia mengikuti semua percakapan antara ketua Cin-ling-pai itu dengan Ji-ciangkun dan Raja Iblis, dan dia merasa bingung sekali. Kalau dia turun tangan menolong dengan kekerasan, walaupun ketua Cin-ling-pai itu lihai, namun dia tahu bahwa mereka berdua tidak akan mampu menghadapi pengeroyokan banyak perajurit.
Maka diapun cepat mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh untuk membisiki Cia Kong Liang agar menyerah saja karena dia maklum bahwa Raja Iblis tidak menghendaki ketua Cin-ling-pai itu dibunuh, melainkan hendak ditawan saja dan dijadikan sandera. Dan ketua Cin-ling-pai itupun menurut sehingga ditangkap dan dimasukkan dalam tahanan dan dijaga dengan ketat.
Karena Ci Kang dapat pula menyelundup ke dalam tempat penjagaan penjara, maka diapun pada malam hari itu berhasil menyelundupkan sehelai surat yang dilipat-lipat kecil dan dilemparkannya mengenai tangan ketua Cin-ling-pai yang kedua lengannya diborgol di depan.
Kong Liang memandang ke arah perajurit tinggi tegap itu dan tahulah dia bahwa perajurit itu pula yang berbisik kepadanya agar dia menyerah. Dia mengangguk perlahan sambil mengepal lipatan surat itu. Setelah dia dibiarkan sendiri dan memperoleh kesempatan, dia membuka lipatan surat itu yang hanya terisi beberapa huruf yang isinya memperkenalkan perajurit muda itu bernama Siangkoan Ci Kang murid Ciu-sian Lo-kai yang menentang Raja Iblis.
Dan surat itu mengatakan pula bahwa untuk sementara, penjara itu merupakan tempat yang aman bagi Cia Kong Liang dan ketua itu diminta untuk bersabar karena kalau sudah tiba saatnya yang baik, tentu Ci Kang akan membebaskannya.
Membaca surat ini, Kong Liang merasa girang dan berterima kasih sekali, juga kagum akan kecerdikan pemuda itu. Dia merasa setuju bahwa untuk sementara penjara ini memang merupakan tempat aman baginya. Andaikata dia melepaskan belenggu kaki tangannya sekalipun, agaknya akan sukarlah baginya untuk dapat lolos dari San-hai-koan yang terjaga kuat itu, apalagi di situ terdapat banyak sekali orang yang amat lihai.
Dia lalu menggunakan tenaga sin-kangnya untuk meremas sampai hancur kertas surat itu dan bersila dengan tenang, walaupun sukar baginya menekan kegelisahannya memikirkan keadaan isteri, ayah mertua, dan murid-muridnya yang masih berada di Ceng-tek.
Bagaimana dengan pengalaman Cia Sun? Pemuda ini seperti juga Ci Kang, mendapatkan akal untuk dapat melakukan penyelidikan dengan baik, yaitu menyamar sebagai seorang perajurit. Akan tetapi berbeda dengan Ci Kang, sesuai dengan gemblengan Go-bi San-jin, dia bertindak keras dan tanpa ampun kepada perajurit yang ditangkapnya untuk diambil pakaiannya.
Dia membunuh perajurit pemberontak itu dan mengenakan pakaiannya sendiri kepada mayat perajurit itu yang tewas tanpa terluka karena pukulan ampuhnya membuatnya tewas seketika tanpa luka. Orang yang menemukan perajurit itu tentu akan mengira bahwa perajurit yang berpakaian preman itu mati karena penyakit mendadak!
Pada suatu malam, ketika Cia Sun sedang berjalan-jalan dengan aman dalam pakaian perajurit pengawal, dia melihat Raja Iblis berjalan diikuti oleh empat orang bertubuh tegap dan berpakaian seragam, akan tetapi bukan seragam perajurit.
Cia Sun yang maklum akan lihainya Raja Iblis, tidak berani sembarangan bergerak, bahkan membayanginya dengan hati-hati, dan berjalan sebagai seorang perajurit yang sedang bertugas ronda. Untung baginya bahwa Raja Iblis dan empat orang pengikutnya itu tidak begitu memperhatikannya, atau mungkin juga melihatnya dan tidak curiga karena memang banyak perajurit berkeliaran di dekat bangunan besar itu.
Ketika Raja Iblis dan empat orang itu memasuki sebuah pintu tembusan kecil di samping bangunan, terpaksa Cia Sun tidak berani mengikutinya lagi, apa pula di depan pintu kecil itu terdapat dua orang penjaga yang memegang tombak. Sebuah pintu tembusan saja dijaga, tentu tempat itu merupakan gedung yang penting pula.
Akan tetapi dia merasa penasaran. Dia harus dapat menyelidiki apa yang dilakukan oleh Raja Iblis di dalam gedung itu. Siapa tahu Hui Cu yang dilarikan bekas pangeran itupun kini berada disitu. Cia Sun lalu mengambil keputusan nekat. Dengan gerakan yang amat cepat dia menerjang dua orang penjaga itu secepat kilat dari tempat gelap dan dua kali tangannya bergerak, dua orang penjaga pintu kecil itu roboh dan tewas tanpa dapat mengeluarkan suara sedikitpun juga.
Cia Sun lalu memanggul tubuh dua orang penjaga yang sudah tidak bernyawa itu berikut tombak mereka, dan di belakang sebuah rumah yang sunyi, dia melemparkan mereka ke atas tanah, lalu mengatur mereka sedemikian rupa sehingga mereka itu seolah-olah tewas karena saling tusuk dengan tombak yang masih dipegang di tangan.
Kalau ada yang menemukan dua orang penjaga ini, tentu mereka akan mengira bahwa dua orang perajurit ini telah berkelahi dan mati sampyuh terkena tombak masing-masing.
Setelah itu, dengan berani Cia Sun menyelinap masuk ke dalam pintu kecil yang ternyata membawa dia ke dalam sebuah taman yang luas. Untung bahwa taman itu penuh dengan pohon-pohon bunga yang rimbun sehingga dia dapat menyelinap diantara pohon-pohon dan semak-semak mendekati sebuah bangunan besar yang gelap.
Giranglah hatinya ketika tiba-tiba dia melihat Raja Iblis dan empat orang pengikutnya tadi keluar dari dalam bangunan besar dan kini dengan langkah lebar menuju ke sebuah bangunan kecil di belakang taman. Raja Iblis membuka daun pintu, diikuti oleh empat orang tadi dan mereka berlima masuk ke dalam.
Cia Sun cepat mengintai dari balik sebuah jendela samping. Karena tidak terdapat lubang di jendela itu, terpaksa dia hanya mampu mendengarkan, akan tetapi tidak dapat melihat apa yang terjadi di sebelah dalam. Akan tetapi, apa yang didengarnya sudah cukup baginya, membuat jantungnya berdebar keras karena dia mengenal suara seorang gadis, suara Hui Cu yang menyambut kedatangan ayah kandungnya itu dengan kata-kata yang ketus.
"Iblis tua, mau apalagi engkau datang kesini?" terdengar suara Hui Cu menyambut Raja Iblis dengan kata-kata pedas.
Kini terdengar suara Raja Iblis yang suaranya aneh seperti datang dari tempat jauh, akan tetapi suara itu menggetar penuh wibawa dan menembus dinding bangunan kecil itu.
"Hui Cu, aku datang untuk memperingatkanmu yang penghabisan kalinya. Tinggal kau pilih, mau menjadi isteriku atau menjadi anakku. Kalau menjadi isteriku, engkau akan hidup senang di sampingku, apalagi kalau dapat menurunkan anak laki-laki untukku. Kalau menjadi anakku, aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri. Dan besok malam engkau harus sudah dapat memberi kepastian, mau hidup senang sebagai isteriku atau mati!"
"Iblis tua tak tahu malu! Aku tidak sudi menjadi isterimu, juga tidak sudi menjadi anakmu! Mau bunuh, bunuhlah."
Diam-diam Cia Sun kagum kepada Hui Cu. Biarpun Hui Cu puteri tunggal pasangan suami isteri iblis seperti Raja dan Ratu Iblis, akan tetapi ternyata Hui Cu memiliki semangat dan watak yang gagah perkasa, bahkan berani menantang ayahnya, walaupun ia tahu bahwa ayahnya itu adalah manusia berwatak iblis. Di samping kekagumannya, juga Cia Sun merasa khawatir sekali. Kalau Raja Iblis turun tangan sekarang juga membunuh puterinya, dia sendiri jelas tidak mungkin akan dapat menolong Hui Cu.
Akan tetapi hatinya merasa lega karena tidak terjadi gerakan sesuatu di dalam pondok itu, bahkan kini nampak Raja Iblis keluar dari situ bersama empat orang pengikutnya dan bekas pangeran itu berkata,
"Su-kwi, kalian harus menjaganya mulai sekarang sampai besok malam. Jangan sampai ia lolos dan andaikata ibunya sendiri yang datang untuk membebaskannya, kalian harus melarangnya. Hanya kalian berempat yang akan mampu menandingi ibunya. Awas, kalau sampai ia lolos dari sini, kepala kalian menjadi gantinya."
Empat orang itu bersikap siap dan mengangguk, kemudian mereka tinggal di ruang depan bangunan kecil itu ketika Raja Iblis pergi dengan langkah lebar dan cepat.
Sejenak Cia Sun termangu-mangu. Menurutkan dorongan hatinya, ingin dia menerjang ke dalam pondok itu untuk membebaskan Hui Cu. Akan tetapi, dia ragu-ragu. Baru saja dia mendengar sendiri ucapan Raja Iblis bahwa hanya empat orang itu saja yang akan mampu menandingi Ratu Iblis! Padahal Ratu Iblis memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dan empat orang ini disebut Su-kwi (Empat Setan) oleh Raja Ibils, maka teringatlah Cia Sun akan keterangan gurunya, Go-bi San-jin bahwa diantara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan) terdapat empat orang yang lihai sekali berjuluk Hui-thian Su-kwi (Empat Setan Terbang ke Langit)!
Agaknya empat orang Inilah mereka. Maka dia ragu-ragu apakah dia akan mampu mengalahkan empat orang ini. Andaikata mampu sekalipun, tentu akan memakan waktu dan keributan itu tentu akan diketahui oleh pengawal-pengawal lain dan kalau sudah begitu, dia akan celaka sebelum mampu membebaskan Hui Cu. Maka diapun diam-diam meninggalkan pondok itu. Raja Iblis memberi waktu cukup panjang kepada Hui Cu. Sampai besok malam. Berarti malam ini ia tidak akan diganggu. Dan kalau dia maju bersama Ci Kang, agaknya tidak akan sukar menolong Hui Cu.
Menjelang tengah malam, dua orang pemuda yang gagah perkasa itu saling bertemu di kuil sunyi. Mereka berbisik-bisik saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing.
Mendengar betapa ketua Cin-ling-pai yang masih terhitung paman dari ayahnya itu ternyata kini berbalik menjadi musuh Raja Iblis dan menjadi tawanan, hati Cia Sun merasa lega. Tadinya diapun ikut prihatin mendengar betapa paman ayahnya itu bersekutu dengan kaum sesat. Apalagi mendengar dari Ci Kang bahwa ketua Cin-ling-pai itu tertipu dan kini untuk sementara aman di dalam kamar tahanan karena Raja Iblis tidak berniat membunuhnya sekarang.
Dia lalu menceritakan kepada Ci Kang tentang Hui Cu yang ditahan di dalam sebuah bangunan kecil, dan percakapan antara ayah dan anak itu seperti yang telah didengarnya. Mendengar betapa Raja Iblis hendak memaksa Hui Cu menjadi isterinya, dan betapa Hui Cu lebih memilih mati, Ci Kang mengepalkan tinjunya.
"Manusia itu sungguh lebih keji daripada iblis! Anak kandungnya sendiri akan diperisteri!"
"Akan tetapi sikap Hui Cu sungguh mengagumkan. Di depan iblis itu sendiri ia berani mengatakan bahwa ia tidak sudi menjadi anaknya atau isterinya, menantang mati!" kata Cia Sun.
"Gadis itu memang hebat, Cia Sun, dan ia mencintamu!"
Wajah Cia Sun berobah merah.
"Hemm, dalam keadaan seperti sekarang ini, jangan kau berkelakar, Ci Kang!"
"Tidak, Cia Sun, aku mengatakan sejujurnya. Gadis itu tergila-gila kepadamu dan jatuh cinta kepadamu."
Cia Sun mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang sampai tiga kali. Dia percaya kepada Ci Kang dan pemuda perkasa di depannya ini tidak akan mau membohonginya. Maka diapun merasa kasihan sekali kepada Hui Cu.
"Kasihan Hui Cu..." katanya, kata-kata yang tanpa disadarinya keluar dari mulut, langsung dari dalam hatinya.
Ci Kang menatap tajam, berusaha menembus kegelapan malam untuk menjenguk isi hati sahabat yang dikaguminya ini.
"Cia Sun, apakah kata-katamu itu berarti bahwa engkau tidak membalas cintanya?"
Cia Sun menggeleng kepalanya.
"Ahh, kalau begitu kasihan sekali Hui Cu...!" kata Ci Kang yang mengerutkan alisnya mengenang nasib gadis yang patut dikasihani itu.
"Memang kasihan sekali Hui Cu. Akan tetapi aku harus berterus terang, aku mencinta seorang gadis lain, jadi tak mungkin aku mencintanya."
Ci Kang memandang tajam sesaat lamanya, lalu berkata,
"Sudahlah, mari kita menolongnya sebelum terlambat."
Dua orang pemuda perkasa yang sama-sama berpakaian sebagai perajurit pemberontak itu lalu berangkat menuju ke bangunan yang dimaksudkan Cia Sun. Dia menjadi penunjuk jalan dan Ci Kang mengikutinya di belakangnya. Mereka bergerak cepat menyusup-nyusup, dan kadang-kadang kalau ada perajurit-perajurit lain mereka bersikap wajar, bergandengan dan sempoyongan seperti dua orang perajurit setengah mabok, pemandangan yang biasa saja.
Setelah tiba di dekat pondok dimana Hui Cu ditahan, dua orang pemuda itu bergerak perlahan sesuai rencana yang telah mereka atur ketika mereka menuju ke tempat itu. Ci Kang dan Cia Sun kini berpencar. Ci Kang menghampiri empat orang penjaga yang duduk sambil bercakap-cakap itu dari depan, sedangkan Cia Sun menyelinap dari samping pondok dimana terdapat jendela yang dipergunakan untuk mendengarkan percakapan tadi.
Sesuai yang telah direncanakan, Ci Kang berpura-pura mabok, berjalan terhuyung-huyung ke arah empat orang Hui-thian Su-kwi yang sedang duduk diatas bangku di depan pondok. Melihat seorang perajurit mabok menghampiri mereka, Su-kwi menjadi marah.
"Hei, perajurit tolol! Pergi dari sini dan jangan ganggu kami!" bentak seorang dari mereka yang bermuka pucat.
"Heh-heh-hoh-hoh...!"
Ci Kang tertawa seperti orang mabok.
"Sobat, mari kau temani aku minum arak. Kau perlu minum banyak arak agar mukamu tidak pucat seperti mayat, heh-heh-heh!" Dia menunjuk ke arah muka yang menegurnya tadi.
Si muka pucat itu menjadi marah dan bangkit berdiri.
"Manusia goblok! Berani kau mengeluarkan kata-kata sembarangan terhadap kami? Kami adalah Hui-thian Su-kwi, pengawal pribadi Toan Ong-ya!"
"Hah-hah, agaknya majikanmu kurang memberi upah kepadamu sehingga badanmu kurus mukamu pucat kurang makan..."
"Eh, keparat mulut lancang! Kuhancurkan mulutmu...!"
Si muka pucat menjadi marah sekali dan sekali menggerakkan tubuhnya, tubuh itu sudah mencelat ke depan Ci Kang dan tangannya menampar ke arah mulut Ci Kang dengan keras sekali karena si muka pucat itu agaknya hendak benar-benar menghancurkan mulut perajurit yang berani menghinanya itu.
Diam-diam Ci Kang terkejut menyaksikan gerakan gin-kang yang demikian ringan dan cepatnya dan tahulah dia mengapa mereka ini dijuluki Hui-thian (Terbang ke Langit). Kiranya mereka adalah ahli-ahli gin-kang yang cukup tinggi tingkat kepandaiannya. Akan tetapi tamparan tangan itu menunjukkan tenaga yang tidak perlu dikhawatirkan. Maka dia hanya mundur sedikit sambil miringkan mukanya sehingga bukan mulutnya yang kena tampar, melainkan pipinya.
"Plakkk...!" Ci Kang sempoyongan dan hampir roboh, ditertawai oleh empat orang itu.
Ci Kang bangkit dan mengusap pipinya yang menjadi merah, matanya melotot dan diapun maju sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung orang yang tadi menamparnya.
"Kau monyet tak tahu malu, manusia tidak mengenal budi. Diajak minum arak malah memukul. Aku harus membalas pukulanmu!"
Dan dengan gerakan sembarangan saja diapun menerjang maju hendak memukul kepala si muka pucat. Melihat gerakan Ci Kang, si muka pucat tentu saja memandang rendah dan dia sudah menggerakkan tangannya hendak menangkis dan menangkap lengan lawan untuk dipuntir dan ditelikung. Akan tetapi, tangan yang memukul kepalanya itu berkelebat aneh dan tahu-tahu pipinya telah kena ditampar.
"Plakkk...!" keras sekali tamparan itu, membuat kepala si muka pucat terasa nanar dan tentu saja ia menjadi marah bukan main.
Kemarahan membuat dia lengah dan dia masih tetap memandang rendah kepada perajurit mabok ini ketika dia membalas pula dengan tendangan tenaga yang cukup kuat.
Akan tetapi, Ci Kang dengan mudah mengelak dengan lagak sempoyongan dan pada saat kaki lawan masih terangkat, ujung sepatunya menotok ke arah lutut kaki lawan yang masih berpijak di atas tanah dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh si muka pucat itupun terpelanting!
"Ha-ha!"
Ci Kang tertawa-tawa seperti orang mabok dan bertepuk-tepuk tangan kegirangan sambil memandang orang yang terpelanting itu.
Kini tiga orang lainnya juga bangkit berdiri. Orang yang mampu menampar teman mereka, bahkan mampu merobohkan dalam segebrakan saja, pasti bukan perajurit biasa!
"Siapa engkau?" bentak mereka dan kini mereka sudah mengurung bersama si muka pucat yang sudah bangkit kembali.
Akan tetapi Ci Kang bersikap pura-pura takut dikurung empat orang itu dan tiba-tiba diapun melompat ke belakang menjauhi empat orang itu yang kini menjadi semakin terkejut karena mereka yang mengurung itu ternyata tidak mampu menahan perajurit yang melompat jauh ke belakang itu.
Dan cara melompat Ci Kang juga mengejutkan mereka. Ci Kang melayang ke arah belakang begitu saja dan berjungkir balik sampai lima kali! Mereka dapat menduga bahwa orang yang berpakaian perajurit dan bersikap mabok-mabokan itu tentulah orang lihai yang mungkin adalah mata-mata musuh!
Maka, kini empat orang Hui-thian Su-kwi itu lalu mencabut pedang mereka dan melakukan pengejaran. Ci Kang sengaja memancing mereka agar menjauhi pondok dan pada saat itu, Cia Sun sudah cepat menyelinap masuk melalui jendela yang dibongkarya dari luar.
Dan benar saja, tepat seperti yang diduganya, di dalam pondok itu terdapat Hui Cu yang dibelenggu kaki tangannya dan rebah di atas sebuah pembaringan! Cia Sun tidak banyak bicara, cepat dia menghampiri dan menggunakan sin-kangnya mematahkan belenggu yang mengikat kaki dan tangan Hui Cu. Gadis itu terbelalak dan wajahnya berseri-seri ketika mengenal siapa pemuda yang menolongnya.
"Cia-toako...!" keluhnya setelah kaki tangannya bebas dan ia hendak berlari menghampiri, akan tetapi karena terlalu lama kakinya dibelenggu, aliran darahnya terganggu dan iapun terhuyung dan tentu terbanting kalau saja Cia Sun tidak cepat menyambarnya dan merangkulnya.
Hui Cu menjadi merah mukanya akan tetapi ia tersenyum dan balas merangkul leher Cia Sun dengan mesra dan penuh penyerahan. Ketika pemuda itu merasa betapa rangkulan Hui Cu tidak sewajarnya, melainkan rangkulan yang penuh arti, dia terkejut dan teringat akan ucapan Ci Kang bahwa gadis itu jatuh hati kepadanya, maka diapun cepat melepaskan rangkulannya dan membiarkan gadis itu berdiri.
"Aku harus membantu Ci Kang yang sedang bertempur melawan Hui-thian Su-kwi," katanya melihat betapa gadis itu memandang kecewa karena merasa betapa Cia Sun melepaskan rangkulan tadi dengan tiba-tiba dan agak kasar.
"Ahhh...!" Hui Cu seperti baru sadar. "Mereka itu lihai sekali. Akan tetapi jangan tinggalkan aku, lebih dulu bawa aku ke tempat rahasia yang hanya diketahui oleh ibu dan aku. Mari...!"
Ia menggandeng tangan Cia Sun dan diajaknya pemuda itu melarikan diri melalui pintu belakang. Gadis itu terus membawanya ke dalam taman dan membuka sebuah semak-semak yang cukup tebal.
Ternyata di bawah semak-semak ini terdapat sebuah bundaran besi yang segera digesernya dan nampaklah lubang. Hui Cu mengajak Cia Sun memasuki lubang itu dan ternyata di bawahnya terdapat tangga batu. Hui Cu menutupkan kembali bundaran besi dan segera otomatis semak-semak itupun ikut bergerak menutupi tempat rahasia itu.
Hui Cu terus berjalan turun sambil menggandeng tangan Cia Sun. Tempat itu tidak begitu gelap dan sinar remang-remang keluar dari depan. Dan ternyata lorong yang menyambung tangga itu membawa mereka ke sebuah ruangan segi empat. Sebuah ruangan bawah tanah pula!
Matahari dapat memasukkan sinarnya dari lubang-lubang yang terdapat pada retakan-retakan batu-batu yang berada di atas guha bawah tanah ini. Dan ternyata di ruangan itu terdapat sebuah lilin besar yang bernyala di atas meja. Nyala itu kecil saja karena sumbunya kecil, akan tetapi lilinnya besar sekali, sehingga kalau dibiarkan bernyala, mungkin dalam waktu sebulan belum habis! Dari nyala lilin inilah datangnya sinar remang-remang sampai ke lorong tadi.
"Tempat ini aman, toako. Hanya diketahui oleh ibu saja. Ibu yang memberitahukan kepadaku agar kalau sewaktu-waktu aku dapat lolos dari tangan iblis tua itu, aku dapat bersembunyi dengan aman disini. Ibu sengaja menyuruh seorang ahli bersama rombongannya membuat tempat ini dalam waktu dua hari setelah aku ditangkap iblis itu."
Cia Sun mengerutkan alisnya.
"Hemm, kalau begitu selain engkau dan ibumu, masih ada beberapa orang lain yang mengetahui rahasia tempat ini, yaitu para pembuatnya,"
"Tidak, mereka itu berjumlah sembilan orang dan begitu tempat ini selesai, ibu telah membunuh mereka semua dan ibu bahkan menanam mayat mereka di dalam tanah di belakang ruangan ini!"
Diam-diam Cia Sun bergidik mendengar kekejaman luar biasa itu. Ayah kandung gadis ini sudah jahat sekali, ternyata ibunya juga tidak kalah jahatnya. Yang amat mengherankan adalah gadis ini yang ternyata memiliki perangai yang jauh bedanya dengan ayah bundanya, seperti bumi langit!
"Hui Cu, aku sekarang harus keluar membantu Ci Kang."
Akan tetapi Hui Cu menghampirinya dan merangkulnya.
"Jangan, toako... jangan tinggalkan aku lagi. Aku takut kalau engkau celaka... lalu... bagaimana dengan aku? Kalau engkau mati, akupun tidak mau hidup lagi, toako. Aku... cinta padamu..." Gadis itu mempererat pelukannya.
Cia Sun menjadi bingung akan tetapi dia adalah seorang gagah yang harus berani bertindak tegas dan tepat. Dengan halus dia memegang kedua pundak Hui Cu dan mendorongnya ke belakang dan kini mereka saling pandang. Dengan sinar mata penuh iba Cia Sun menatap wajah cantik yang agak pucat itu.
"Hui Cu, dengarlah baik-baik. Aku suka padamu, aku sayang padamu dan aku suka menjadi kakakmu. Akan tetapi sebelum aku bertemu denganmu, aku... aku sudah jatuh cinta kepada seorang gadis lain..."
"Ahhh...! Kalau begitu engkau tentu akan meninggalkan aku, toako..."
"Tidak, biarpun aku tidak dapat berjodoh denganmu, aku akan selalu memperhatikan keadaanmu dan kalau perlu melindungimu. Aku sudah berhutang budi dan nyawa kepadamu, engkau seorang gadis baik... ah, aku harus membantu Ci Kang sekarang!"
"Toako..." Hui Cu menahan tangisnya, akan tetapi kedua matanya basah. "Aku ikut keluar lagi membantu kalian..."
"Jangan! Aku dan Ci Kang sudah susah-susah berusaha membebaskanmu, sekarang sudah bebas engkau hendak terjun kembali ke tempat berbahaya. Biarlah aku membantunya dulu, baru kami berdua masuk kesini dan kita bicara."
Gadis itu mengangguk.
"Baiklah, toako. Aku percaya padamu, dan kalau engkau tidak kembali kesini, sampai matipun aku tidak akan mau keluar dari tempat ini!"
Cia Sun merasa terharu sekali. Dia mendekat, dipegangnya kedua pundak gadis itu dan dengan penuh rasa terharu dan sayang dia mencium kepala gadis itu, lalu berkelebat keluar dari ruangan melalui lorong dan naik kembali ke atas taman dengan membuka penutup besi dan menyingkap semak-semak.
Ketika dia berlari ke depan pondok, ternyata Ci Kang dikurung oleh empat orang itu dan betapapun lihainya Ci Kang, dia terdesak juga oleh gerakan empat orang yang mengeroyoknya. Gerakan Hui-thian Su-kwi itu memang benar-benar cepat dan ringan, dapat berloncatan seperti kijang saja.
Melihat kawannya terdesak, Cia Sun cepat meloncat dan begitu dia menyerang kepungan terhadap Ci Kang itu pecah dan kini empat orang itu terkejut bukan main. Seorang perajurit lain datang dan ternyata perajurit yang baru datang ini kepandaiannya tidak kalah lihainya dari perajurit pertama!
Setelah Cia Sun membantu, keadaan menjadi berobah. Sebentar saja kedua orang pendekar muda ini dapat mendesak empat orang lawan itu, bahkan mereka berdua mampu merampas pedang dan membuat dua orang lawan terpelanting.
Hui-thian Su-kwi menjadi gentar juga dan tiba-tiba mereka teringat kepada tawanan mereka. Tanpa mereka sadari, mereka telah terpancing menjauhi pondok dan perkelahian itupun terjadi jauh dari pondok. Teringat akan hal ini, juga gentar terhadap dua orang perajurit muda yang amat lihai itu, mereka lalu berloncatan meninggalkan gelanggang perkelahian dan kembali ke dalam pondok untuk menjaga agar tawanan mereka jangan sampai lolos.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka ketika mereka memasuki pondok, ternyata tawanan itu telah lenyap, hanya tinggal borgol kosong berserakan di atas pembaringan!
"Celaka...!" teriak si muka pucat dan merekapun keluar dari pondok dan berteriak-teriak minta tolong.
Mendengar teriakan-teriakan ini, berbondong-bondong berdatanganlah perajurit-perajurit penjaga dan keadaan menjadi kalut. Ketika Hui-thian Su-kwi mencari-cari, dua orang pemuda yang berpakaian perajurit itu telah lenyap pula dari situ! Mereka mengatur pasukan penjaga dan mencari-cari tanpa hasil.
Tentu saja mereka tidak berhasil menemukan Ci Kang dan Cia Sun karena dua orang pemuda ini sudah aman berada di dalam guha bawah tanah bersama Hui Cu! Ketika melihat Hui-thian Su-kwi tadi lari ke pondok, Cia Sun lalu menarik tangan Ci Kang dan mengajaknya menyusul Hui Cu di tempat persembunyiannya.
Hui Cu merasa girang sekali melihat mereka masuk ke dalam guha bawah tanah, akan tetapi kegirangan itu hanya sebentar saja karena dara ini lalu duduk termenung dengan wajah murung, teringat bahwa cintanya terhadap Cia Sun tidak mendapatkan sambutan.
Ci Kang tidak tahu mengapa gadis itu nampak murung, maka untuk memecahkan kesunyian yang mencekam diantara mereka, sambil duduk di atas lantai bersandar dinding batu, dia berkata.
"Sungguh aneh nasib kita bertiga ini. Untuk kedua kalinya kita bertiga berkumpul menjadi satu di tempat persembunyian yang hampir serupa, di dalam guha bawah tanah. Inilah yang dinamakan jodoh barangkali!"
Ucapan ini tidak disengaja menyindir sesuatu, akan tetapi Cia Sun dan Hui Cu yang baru saja bicara tentang cinta itu merasa tersindir dan wajah Cia Sun menjadi merah, sebaliknya wajah Hui Cu menjadi semakin muram. Gadis itu dari tempat duduknya, sebuah bangku satu yang berada di situ, memandang kepada Cia Sun yang juga duduk di atas lantai bersandar dinding batu untuk memulihkan tenaga dan tiba-tiba gadis itu bertanya, suaranya lirih dan polos.
"Cia-toako, siapakah gadis yang kau cinta itu?"
Pertanyaan yang tiba-tiba dan tidak terduga-duga ini bukan hanya mengejutkan Cia Sun, akan tetapi juga Ci Kang. Barulah Ci Kang mengerti bahwa agaknya Cia Sun sudah memberi tahu kepada Hui Cu bahwa dia tidak dapat menerima cintanya karena telah mencinta gadis lain! Pantas saja wajah gadis yang cantik itu nampak muram saja sejak tadi. Dia merasa kasihan sekali dan tidak berani memandang wajah cantik itu lama-lama karena makin dipandang makin menimbulkan rasa iba.
"Hui Cu, tak perlu aku mengatakan siapa gadis itu. Engkaupun tidak akan mengenalnya."
Suasana menjadi sunyi sekali karena ucapan itu keluar dari mulut Cia Sun dengan suara tergetar. Mereka bertiga termenung dalam lamunan masing-masing. Ci Kang dan Hui Cu tidak tahu bahwa keadaan Cia Sun tiada bedanya dengan mereka. Hui Cu mencinta Cia Sun akan tetapi tidak terbalas. Cia Sun mencinta Sui Cin namun gadis itupun agaknya tidak dapat membalas cintanya. Apalagi Ci Kang yang mencinta Sui Cin akan tetapi malah melakukan suatu hal yang amat buruk terhadap gadis itu sehingga tidak mungkin gadis itu akan membalas cintanya. Tiga orang muda ini tenggelam dalam kesedihan masing-masing karena cinta yang bertepuk scbelah tangan, cinta gagal!
Cinta asmara yang condong kepada pemuasan nafsu diri pribadi selalu menimbulkan lebih banyak duka daripada suka. Cinta seperti ini selalu menuntut balasan, cinta seperti ini selalu ingin menguasai, ingin memiliki, ingin dimiliki! Ingin menyenangkan dan disenangkan, memuaskan dan dipuaskan.
Banyak sekali yang dituntut oleh cinta seperti ini dan satu saja diantara tuntutan-tuntutannya itu tidak terlaksana atau tercapai, maka hal ini sudah cukup untuk menghancurkan cinta itu! Dan akibatnya hanyalah kegagalan dan kedukaan. Cinta seperti ini mengikat, membuat kita lekat kepada yang kita cinta dan sekali waktu kalau saatnya tiba untuk perpisahan, hati kita menjadi luka dan timbul pula duka.
Cinta yang tidak terbalas menimbulkan duka. Cinta yang dihantui keraguan menimbulkan cemburu dan duka. Seperti segala macam nafsu yang meramaikan hidup ini, maka cinta seperti ini bersumber kepada keakuan, kepada keinginan menyenangkan diri sendiri dan orang yang dicintanya itu dengan sendirinya hanya menjadi alat, menjadi prabot atau sarana untuk menyenangkan dan memuaskan diri sendiri. Inilah sebabnya mengapa cinta seperti ini mudah berobah menjadi benci kalau dirinya sudah tidak disenangkan atau dipuaskan lagi. Ini kenyataan yang terjadi dalam hidup kita, dalam kisah cinta mencinta.
Akan tetapi, benarkah itu patut dinamakan cinta kalau hanya menimbulkan duka? Benarkah itu namanya cinta kalau dapat berobah menjadi benci? Benarkah itu cinta kasih kalau hanya sarat dengan beban berupa cemburu, nafsu berahi, ingin menguasai dan pementingan diri sendiri? Sudah jelas bukan! Cinta kasih tidak mungkin menimbulkan hal-hal yang buruk. Cinta kasih itu suci, murni, baik dan benar, wajar tidak dibuat-buat, tanpa pamrih!
Orang lalu mempersoalkan, menjadikannya sebagai bahan tanya jawab, mencari-cari apakah sesungguhnya Cinta Kasih itu! Dan semua pendapat, semua jawaban, tidak benar atau dapat disanggah, dapat dibantah dan didebat, karena semua pendapat itu selalu mengandung pementingan diri sendiri. Pendapat datang dari satu sumber yang tentu saja tergantung sepenuhnya dari keadaan sumber itu sendiri.
Cinta Kasih terlalu lembut, terlalu tinggi, terlalu luas dan terlalu rumit bagi otak kita yang lemah ini. Membicarakan Cinta Kasih seperti membicarakan Tuhan, membicarakan kekuasaan Alam Semesta. Tidak terbatas! Tidak terjangkau oleh akal budi, perasaan dan pikiran. Yang dapat kita selidiki dan mengerti hanyalah YANG BUKAN CINTA KASIH. Nafsu berahi bukanlah cinta kasih, walaupun nafsu berahi merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ini sendiri.
Kalau kita menyingkirkan semua hal yang menjadikan Bukan Cinta Kasih, mungkin saja kita dapat melihat berkelebatnya Cinta Kasih. Cinta Kasih tidak mungkin dapat dipelajari, dipupuk maupun dikejar dicari. Seperti juga cahaya terang yang tidak dapat menembus rumah yang daun pintu dan jendelanya tertutup rapat-rapat. Bukalah semua penutup itu dan cahaya terang itu akan masuk.
Seperti juga sinar lampu yang menjadi suram karena bola lampunya tertutup kotoran dan debu. Bersihkan semua kotoran itu, singkirkan debu dan kotoran, maka sinar lampu itu akan menjadi terang. Lenyapnya cemburu, iri hati, keinginan menyenangkan diri sendiri, keinginan ingin menguasai, ingin memiliki, lenyapnya ikatan, sama artinya dengan lenyapnya kotoran dan debu yang menempel pada bola lampu, dan sinar cinta kasih akan bercahaya terang.
Membiarkan pintu dan jendela terbuka sama dengan membiarkan diri sendiri terbuka, tanpa pamrih, wajar, peka, kosong dan cahaya terang cinta kasih, seperti cahaya matahari, akan masuk dan nampak.
Tiga orang muda itu duduk termenung menyedihi nasib masing-masing. Nasib yang seperti segala macam sebutan nasib, tercipta oleh ulah sendiri. Orang yang bijaksana akan selalu mencari kesalahan pada diri sendiri setiap kali menghadapi atau tertimpa keadaan yang dianggap tidak menyenangkan.
Akan tetapi orang yang picik akan selalu mencari sebab dan kesalahan pada orang lain, atau melemparkannya kepada nasib! Tak dapat disangkal lagi bahwa ada peristiwa-peristiwa terjadi diluar kemampuan kita untuk memikirkan sebab-sebabnya, peristiwa yang merupakan rahasia-rahasia.
Namun, tetap saja akan tepat dan baik sekali kalau kita mencari segala kesalahan yang menjadi sebab suatu peristiwa di dalam diri sendiri, karena sesungguhnyalah bahwa sumber segala peristiwa yang menimpa diri berada di dalam diri sendiri pula. Kalau sudah begini, tidak ada lagi pencarian kambing hitam, tidak menyalahkan orang lain, tidak mengeluh kepada Tuhan, tidak mengutuk kepada setan, melainkan melihat dengan penuh kewaspadaan bahwa sumber segala peristiwa terdapat dalam diri sendiri. Dari sini timbul penghentian segala tindakan yang tidak benar dan yang hanya akan menimbulkan akibat buruk.
Tiba-tiba Cia Sun dan Ci Kang meloncat berdiri dan dengan mata tajam memandang ke arah lorong dan siap siaga. Mereka mendengar gerakan orang dan tak lama kemudian berkelebat bayangan orang dan disusul munculnya Ratu Iblis di ruang itu. Wajah nenek yang biasanya pucat kehijauan itu kini nampak makin menyeramkan dengan sepasang mata yang mencorong dan liar memandang kepada dua orang pemuda itu.
"Kalian lagi!" terdengar Ratu Iblis membentak marah. "Sekali ini kalian harus mati untuk menyimpan rahasia tempat ini!"
Dan cepat iapun sudat menyerang ke depan, pedangnya menyambar dalam bentuk sinar berkilat ke arah dada Ci Kang sedang rambutnya yang panjang menyambar dalam bentuk sinar putih ke arah leher Cia Sun. Nenek ini sudah mempergunakan dua senjatanya yang ampuh untuk merobohkan dua orang muda itu dan jangan dikira bahwa serangan rambutnya itu tidak berbahaya. Bahkan dibandingkan dengan serangan pedangnya, mungkin lebih berbahaya.
Akan tetapi dua orang muda perkasa itu sudah siap dan karena mereka maklum akan kelihaian nenek itu, merekapun cepat meloncat ke belakang sehingga serangan pedang dan rambut itu tidak mengenai sasaran. Dan loncatan itu membuat Cia Sun dan Ci Kang berjauhan sehingga tak mungkin bagi nenek itu untuk melakukan serangan ganda kepada mereka. Terpaksa ia menyerang orang terdekat, yaitu Ci Kang, dengan sambaran pedangnya.
Serangan itu hebat sekali, membuat Ci Kang terdesak dan berloncatan ke belakang menghindarkan pedang yang menyambar-nyambar susul-menyusul itu. Melihat ini, Cia Sun menerjang maju mengirim totokan ke arah punggung nenek itu untuk menolong sahabatnya.
Ratu Iblis mendengar desir angin dari belakang, membalikkan kepala dan rambutnya menyambut tangan Cia Sun yang menotok, bermaksud menangkap pergelangan tangan itu dengan rambutnya. Namun Cia Sun yang menyerang hanya untuk membantu sahabatnya dan mengurangi penekanan terhadap Ci Kang, mengelak dengan cara menarik kembali tangannya.
"Ibu, jangan...!" Hui Cu berseru dan ia sudah meloncat ke depan, menghadang di depan ibunya.
Sejenak ibu dan anak saling berpandangan. Nenek itu masih memegang pedangnya dan ia menggerakkan kepala sehingga rambutnya yang riap-riapan panjang itu kini dari depan pindah ke belakang.
"Hui Cu, dahulu engkau membela dua orang ini dan sekarang masih kau ulangi lagi sikapmu itu. Akan tetapi tidak, sekali ini mereka harus mampus! Tempat ini merupakan rahasia kita sendiri, tidak boleh ada yang tahu. Yang tahu harus kubunuh!"
Ia sudah hendak menyerang lagi, akan tetapi dengan berani Hui Cu memegang lengan ibunya.
"Tidak boleh, ibu! Ketahuilah, mereka ini yang telah membebaskan aku dari kurungan, dari belenggu dan ancaman iblis tua itu! Kalau tidak ada mereka, tentu aku telah celaka. Mereka telah melepas budi kebaikan kepadaku, maka harus kubela mereka."
"Budi tahi kucing!" Nenek itu membentak marah. "Bicara tentang budi adalah kebohongan besar. Tidak ada budi di dunia ini. Semua orang yang melakukan sesuatu untuk membantu orang lain tentu mengandung pamrih!"
"Ibu jangan mengukur orang lain seperti teman-teman ibu sendiri! Teman-teman ibu memang orang-orang yang tak mengenal budi dan semua perbuatannya mengandung pamrih kotor. Akan tetapi, dua orang pendekar ini menolong tanpa pamrih dan akupun tidak mau menjadi orang yang tidak mengenal budi. Mereka sengaja kuajak kesini untuk bersembunyi dan siapapun yang akan mengganggu mereka, akan kulawan. Juga ibu!"
Sejenak nenek itu ragu-ragu, akan tetapi ia lalu menarik napas panjang dan menyarungkan lagi pedangnya. Ia terlalu mencinta puterinya dan demi cintanya kepada puterinya ia bahkan berani menentang suaminya, walaupun secara diam-diam.
"Baiklah, aku ampunkan mereka ini. Akan tetapi kalian harus berjanji untuk merahasiakan tempat ini!"
"Baik, kami berjanji," kata Ci Kang yang tidak ingin ribut-ribut di tempat itu karena biarpun dia tidak takut menghadapi nenek ini, akan tetapi dia merasa tidak enak terhadap Hui Cu kalau harus menentang ibu kandung gadis itu di depannya.
"Dan kalian harus berjanji pula untuk melindungi anakku!" kata pula nenek itu.
Diam-diam dua orang pendekar muda itu mendongkol. Nenek ini memang keterlaluan, bersikap seolah-olah sebagai seorang pemenang yang memberi ampun dan mengajukan syarat-syarat dan tuntutan-tuntutan. Padahal, mereka berdua tidak pernah kalah dan juga tidak takut menghadapi nenek ini. Akan tetapi, karena memang di dalam hatinya Cia Sun merasa suka kepada Hui Cu, tanpa ragu-ragu diapun berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Baik, kami berjanji!"
Setelah dua orang pemuda itu berjanji untuk merahasiakan tempat itu dan melindungi puterinya, barulah nenek itu merasa puas.
"Hui Cu, jangan tinggalkan tempat ini sebelum aku datang menjemputmu," pesannya kepada puterinya dan nenek inipun lalu berkelebat pergi, keluar dari tempat rahasia itu.
Setelah ibunya pergi, Hui Cu menghadapi dua orang pendekar itu,
"Harap kalian suka maafkan ibuku tadi."
Cia Sun tersenyum.
"Hui Cu, sungguh aku merasa heran sekali melihat betapa suami isteri seperti Raja dan Ratu Iblis dapat mempunyai seorang puteri seperti engkau. Sungguh seperti bumi dan langit bedanya!"
Gadis itu menjadi agak cerah wajahnya mendengar pujian Cia Sun ini walaupun pandang matanya masih suram dan iapun lalu mempersiapkan bahan-bahan masakan yang terdapat banyak di tempat itu untuk membuatkan makanan. Ada mi kering, daging kering dan gandum, juga beras sehingga sebentar saja, mereka bertiga sudah makan bersama untuk mengisi perut mereka yang sudah amat lapar.
Pada malam harinya, Ci Kang dan Cia Sun meninggalkan Hui Cu yang tidak dapat menahan mereka.
"Engkau tinggallah di sini, Hui Cu. Kami berdua harus menolong ketua Cin-ling-pai yang juga menjadi tawanan disini. Mungkin kalau kami berhasil, kami akan membawanya ke sini juga untuk bersembunyi. Andaikata kami gagal, kami tentu akan kembali kesini malam ini juga."
Terpaksa Hui Cu membiarkan mereka pergi dan dua orang pemuda itu lalu menyusup-nyusup lagi dalam penyamaran mereka sebagai dua orang perajurit. Mereka bersikap hati-hati sekali karena mereka tahu bahwa setelah Hui-thian Su-kwi menceritakan pengalamannyam tentu kini para pemberontak sudah tahu bahwa ada dua orang musuh yang menyamar sebagai perajurit pasukan mereka.
Untung bagi mereka bahwa keadaan di kota San-hai-koan malam itu tidak seperti hari-hari yang lalu. Nampak para perajurit hilir mudik dalam keadaan panik dan sebentar saja mereka berdua mendengar bahwa kota ini telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang besar jumlahnya.
Inilah sebabnya maka para perajurit di dalam kota benteng itu menjadi gelisah dan mereka sudah membuat persiapan pertempuran sehingga tidak begitu memperhatikan berita tentang dua orang mata-mata musuh yang menyelundup itu. Dan dengan sendirinya, mudah saja bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk menyusup diantara banyak perajurit yang berseliweran itu.
Mendengar bahwa benteng itu telah dikepung pasukan pemerintah, Cia Sun dan Ci Kang merasa girang, akan tetapi mereka juga tahu bahwa mereka harus cepat-cepat membebaskan Cia Kong Liang sebelum terlambat. Kalau Raja Iblis menganggap bahwa ketua Cin-ling-pai itu tidak ada gunanya lagi sebagai tawanan, tentu akan dibunuhnya. Dan mengingat bahwa pasukan pemerintah sudah bergerak mengurung kota San-hai-koan, bukan tidak mungkin ketua Cin-ling-pai itu kini terancam bahaya besar.
Kesibukan-kesibukan luar biasa terjadi di mana-mana, juga di penjara. Pasukan-pasukan hilir-mudik dan nampak gelisah dan tegang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cia Sun dan Ci Kang untuk menyusup memasuki penjara. Tiba-tiba, sampai di pintu gerbang sebelah dalam, seorang perwira penjaga melintangkan pedangnya di depan mereka dan memandang tajam.
"Mau apa kalian? Kalian bukan anggota pasukan penjaga di tempat ini!" bentaknya dengan sikap curiga.
"Ciangkun, apa kau mencurigai kami? Jangan mengira kami adalah dua orang mata-mata yang membikin kacau itu. Ketahuilah, kami diutus oleh Toan Ong-ya sendiri!" kata Ci Kang.
Perwira itu terkejut dan sikapnya berubah. Kalau benar dua orang ini utusan Toan Ong-ya, sungguh dia tidak boleh bersikap lancang atau kurang hormat karena hal itu bisa berarti hukuman berat baginya! Akan tetapi dia masih ragu-ragu.
"Kalau benar kalian utusan Toan Ong-ya, mana surat perintahnya atau tanda pengenalnya?"
Ci Kang mengerutkan alisnya, bersikap pura-pura marah.
"Apa? Kau tidak mempercaya kami sebagai utusan Toan Ong-ya? Apakah kami tidak boleh melaksanakan perintah itu? Baik, kami akan kembali dan melaporkan kepada Toan Ong-ya bahwa seorang perwira berani melarang kami dan membangkang terhadap perintah Toan Ong-ya!"
Wajah perwira itu menjadi pucat.
"Ah, bukan begitu maksudku! Saudara berdua harus tahu bahwa kita harus bersikap waspada dan aku bersikap begini karena berhati-hati. Baiklah, secara persahabatan saja, benarkah kalian ini utusan Toan Ong-ya? Dan bagaimana aku dapat yakin akan kebenaran pengakuan kalian itu?"
"Ciangkun, dalam keadaan benteng dikepung musuh dan terancam bahaya ini, mana Toan Ong-ya sempat memberi tanda pengenal segala macam? Kami adalah kepercayaan beliau dan kami diutus untuk menemui Cia Kong Liang..."
"Ketua Cin-ling-pai? Wah, ini gawat! Kami diperintahkan untuk menjaganya baik-baik agar dia jangan sampai lolos dan perintah itu kami terima sendiri dari Toang Ong-ya."
"Jadi kau tetap tidak percaya kepada kami?" Ci Kang bertanya dengan suara menantang.
Sikap ini kembali membuat perwira itu ketakutan.
"Tidak, tidak demikian. Akan tetapi aku harus berhati-hati karena akupun mempunyai tanggung jawab. Kalau kalian hanya mengunjungi saja tidak mengapa, akan tetapi kalau hendak membawa pergi ketua Cin-ling-pai itu terpaksa kami menentang. Aku sendiri menerima perintah dari Toan Ong-ya dengan pesan bahwa kecuali Toan Ong-ya sendiri, siapapun tidak boleh membawa tawanan itu!"
Ci Kang bertukar pandang dengan Cia Sun dan tiba-tiba Cia Sun yang berkata, suaranya halus membujuk.
"Ciangkun, harap tidak usah khawatir. Kami diutus Toan Ong-ya untuk membunuh ketua Cin-ling-pai itu, dengan tangan kami sendiri!"
Diam-diam Ci Kang terkejut akan tetapi dia dapat menekan perasaannya sehingga wajahnya biasa saja walaupun sinar matanya memandang Cia Sun penuh selidik.
Perwira itu sendiri nampak lega.
"Ah, kalau untuk membunuhnya tentu saja aku setuju sekali. Lebih cepat dibunuh lebih baik agar tidak menjadi beban penjagaan saja. Mari kuantar sendiri kalian ke sana!"
Diam-diam Cia Sun memberi isyarat dengan pandang mata kepada Ci Kang sehingga pemuda ini yakin bahwa Cia Sun mempergunakan siasat ketika mengatakan hendak membunuh ketua Cin-ling-pai, maka diapun diam saja. Tak lama kemudian mereka dapat dengan mudah tiba di depan kamar tahanan berkat pengawalan perwira itu dan dari jeruji jendela kamar tahanan mereka melihat ketua Cin-ling-pai dengan kaki tangan diborgol masih duduk bersila seperti arca.
"Nah, itu dia," kata sang perwira.
Belasan orang penjaga yang mendengar bahwa dua orang perajurit muda yang datang itu adalah utusan Toan Ong-ya, untuk membunuh ketua Cin-ling-pai, merasa tertarik dan merekapun datang bergerombol untuk menonton, berdiri di depan kamar tahanan. Melihat ini, Cia Sun lalu berkata kepada sang perwira.
"Ciangkun, karena kami tidak membawa pedang, tolong pinjamkan pedangmu itu untuk kupakai memenggal lehernya!"
Wajah perwira itu berseri dan dia segera mencabut pedangnya dan menyerahkannya kepada Cia Sun.
"Ah, sungguh pedangku memperoleh kehormatan besar untuk memenggal leher ketua Cin-ling-pai, ha-ha-ha! Kelak akan menjadi kebanggaanku!"
Sementara itu, Cia Kong Liang membuka matanya dan mendengar semua percakapan itu. Diam-diam dia terkejut mendengar ucapan Cia Sun, akan tetapi ketika dia melihat Ci Kang, dia mengenalnya dan hatinya menjadi tenang, apalagi dia menangkap isyarat mata Ci Kang kepadanya.
Perwira itu dengan gembira membuka pintu penjara dan semua perajurit penjaga penjara itu berdatangan untuk menonton pelaksanaan hukuman mati dari ketua Cin-ling-pai itu. Tanpa ragu-ragu lagi Cia Sun berkata,
"Ciangkun, seret dia keluar dari dalam kamar tahanan. Aku akan melakukan hukuman mati itu di lapangan penjara agar semua perajurit dapat melihatnya."
Ucapan ini merupakan siasat Cia Sun yang ingin mengetahui kekuatan penjagaan di situ, dan kalau semua berkumpul, agaknya akan lebih mudah baginya dan Ci Kang untuk membawa ketua Cin-ling-pai melarikan diri.
Perwira itu menjadi semakin girang dan bangga.
"Hayo bangun dan ikut kami!" bentaknya sambil memegang lengan Cia Kong Liang dan dengan kasar menariknya bangkit berdiri.
Cia Kong Liang bersikap tenang, bangkit berdiri dan dengan kaki tangan terbelenggu diapun diseret keluar dari dalam kamar tahanan. Pengikat kaki tangan ketua Cin-ling-pai ini tidak terbuat dari besi. Raja Iblis maklum bahwa ketua ini memiliki tenaga sin-kang yang besar sehingga belenggu besi akan dapat dipatahkannya. Maka untuk membuatnya tidak berdaya, kaki tangannya diikat pada pergelangannya dengan tali sutera yang amat ulet dan lentur sehingga tenaga sin-kang tidak akan mampu membikin putus karena tali itu kalau direntangkan dapat mulur akan tetapi tidak dapat putus saking uletnya.
Inilah sebabnya mengapa Cia Sun minta pinjam pedang. Kalau belenggu itu dari besi, tangannya akan mampu mematahkannya. Akan tetapi, tali sutera seperti itu hanya akan dapat dibikin putus dengan menggunakan senjata tajam. Pula, ketua Cin-ling-pai itu mungkin membutuhkannya, tidak seperti dia dan Ci Kang yang cukup bertangan kosong saja.
Dia minta agar tawanan dibawa ke lapangan karena di tempat ini mereka akan lebih leluasa bergerak kalau dikeroyok, tidak seperti di dalam kamar tahanan yang sempit. Kini Ci Kang dapat menebak apa yang direncanakan oleh sahabatnya yang cerdik itu maka diapun sudah bersiap-siap.
Kini Cia Kong Liang sudah berada di tengah-tengah lapangan, dikelilingi para perajurit penjaga yang hendak nonton pelaksanaan hukuman mati itu. Ketua Cin-ling-pai itu tetap berdiri dengan sikap gagah. Cia Sun menghampirinya dengan pedang di tangan dan hati para penonton menjadi tegang.
"Pangcu, aku menerima perintah dari Toan Ong-ya untuk menjatuhkan hukuman mati kepadamu. Maka, kuminta agar engkau suka menyerahkan nyawa dengan ikhlas dan memasang dirimu agar pedang ini dapat melaksanakan tugas sebaiknya!"
Cia Kong Liang memandang wajah pemuda itu dan diapun menjawab dengan suara lantang dan gagah,
"Aku akan menghadapi kematian dengan berdiri!"
Dan diapun menjulurkan kedua lengan yang diikat menjadi satu, juga kedua kakinya agak direntangkan.
"Baik, bersiaplah!"
Cia Sun berkata dan semua mata kini dengan terbelalak memandang ke arah pedang yang sudah diangkat ke atas kepala oleh Cia Sun. Tiba-tiba pedang itu berkelebat ke bawah dua kali dan putuslah tali sutera pengikat lengan dan kaki Cia Kong Liang sehingga ketua itu menjadi bebas!
"Heiii...!"
Perwira itu berteriak akan tetapi teriakannya terhenti di tengah jalan karena dia sudah roboh dan pingsan oleh tamparan Ci Kang yang mengenai tengkuknya. Gegerlah keadaan di situ! Pedang yang tadi membikin putus belenggu kaki tangan Cia Kong Liang, kini telah berada di tangan ketua itu dan bersama Cia Sun dan Ci Kang, dia mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok yang masih panik karena perubahan keadaan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka itu.
"Locianpwe, mari kita pergi!"
Ci Kang berkata sambil mendekati Cia Kong Liang yang mengamuk dengan pedangnya itu.
"Baik!" kata ketua Cin-ling-pai karena diapun tahu bahwa mereka bertiga saja, betapapun lihainya, tidak mungkin akan mampu menghadapi pengeroyokan banyak sekali perajurit, apalagi mereka berada di dalam benteng musuh.
Untung bagi mereka bahwa pada saat itu, pasukan pemerintah yang mengepung benteng itu mulai bergerak dan pertempuran mulai terjadi di sepanjang tembok benteng sehingga ketika ketiganya melarikan diri, keadaan di luar penjara cukup kacau balau sehingga sukarlah bagi para pengejar mereka untuk dapat mengikuti jejak mereka. Apalagi para pengejar itupun merasa gentar menyaksikan kelihaian tiga orang itu yang dalam waktu singkat saja sudah merobohkan puluhan orang pengeroyok.
Setelah menyusup-nyusup, akhirnya dua orang pendekar muda itu berhasil mengajak Cia Kong Liang memasuki guha rahasia di bawah tanah dan mereka disambut dengan girang oleh Hui Cu. Melihat gadis ini, Cia Kong Liang merasa heran dan dia segera bertanya.
"Siapakah nona ini?"
Bagaimanapun juga, dia tentu saja ingin mengenal semua orang yang berada disitu, mengingat bahwa mereka semua masih berada di tempat yang berbahaya.
"Lociainpwe, nona ini adalah Toan Hui Cu, puteri dari... Pangeran Toan Jit Ong."
Ci Kang hampir saja menyebut nama Raja Iblis, akan tetapi diubahnya ketika dia teringat bahwa gadis itu tentu akan merasa tersinggung dan tidak enak kalau ayahnya disebut Raja Iblis.
Akan tetapi, mendengar bahwa gadis itu puteri Pangeran Toan Jit Ong, berarti puteri Raja Iblis, ketua Cin-ling-pal itu terbelalak dan mukanya berobah merah. Tangannya yang masih memegang pedang tadi bergerak dan dia sudah menyerang Hui Cu dengan pedangnya!
Akan tetapi dia terkejut karena tiba-tiba saja tubuh gadis itu lenyap dan ternyata dengan gerakan yang luar biasa ringan dan cepatnya, gadis itu telah melompat jauh ke belakang sambil mengerutkan alisnya.
"Toako, kenapa kalian membawa orang sejahat itu kesini?" teriak Hui Cu penasaran.
Sementara itu, Cia Sun dan Ci Kang cepat melerai dan berkata.
"Harap locianpwe suka menyimpan kembali pedang itu. Biarpun ia puteri Pangeran Toan, akan tetapi ia sama sekali tidak boleh disamakan dengan ayahnya atau ibunya. Ia menentang kejahatan orang tuanya dan ia pernah menyelamatkan nyawa kami, bahkan sekarangpun kalau tidak ada ia yang menunjukkan tempat rahasia ini, kita bertiga jangan harap dapat lolos dari San-hai-koan."
Cia Kong Liang menarik napas panjang dan diapun melepaskan pedangnya yang jatuh berdenting ke atas lantai. Dia teringat akan isterinya. Bukankah isterinya juga puteri seorang datuk sesat? Isterinya juga tidak dapat dikatakan berwatak penjahat, walaupun dia tahu bahwa ayah mertuanya, yang sudah lama mencuci tangan, kini agaknya kumat lagi dan bersekutu dengan pemberontak yang dipimpin datuk-datuk sesat.
"Maafkan aku," katanya lirih kepada Hui Cu yang kini berani mendekat lagi.
"Nona Toan Hui Cu ini bahkan dimusuhi oleh ayahnya sendiri," Ci Kang menambahkan.
Cia Kong Liang menggeleng-geleng kepala keheranan, lalu memandang kepada Ci Kang dengan sinar mata mengandung kagum dan terima kasih.
"Dan sekarang baru kita sempat bicara, orang muda. Siapakah engkau dan mengapa engkau dengan berani mati telah menolongku?"
Ci Kang tersenyum pahit dan diapun menjawab,
"Locianpwe, keadaan saya tidak banyak bedanya dengan keadaan nona Hui Cu. Nama saya Siangkoan Ci Kang dan ayah saya adalah mendiang Siangkoan Lo-jin..."
"Ahhh...!"
Kembali Cia Kong Liang terkejut sekali. Dia tahu siapa adanya Siangkoan Lo-jin alias Si Iblis Buta! Seorang datuk sesat yang terkenal jahat, yang mengepalai para datuk sesat untuk mengeruhkan dunia kang-ouw. Dan pemuda yang amat disukanya dan dikaguminya ini, pemuda yang sudah menolongnya secara cerdik dan berani, adalah putera datuk sesat itu!
"Saudara Siangkoan Ci Kang ini, walaupun orang tuanya menjadi datuk sesat, namun dia sendiri berjiwa pendekar sejati yang selalu menentang kejahatan, dan memang benar bahwa agaknya keadaannya tidak berbeda dengan nona Toan Hui Cu." Cia Sun menerangkan.
Cia Kong Liang menarik napas panjang beberapa kali sambil mengangguk-angguk dan memandang kepada Ci Kang.
"Siangkoan Ci Kang," akhirnya dia berkata, "kalau melihat putera seorang pendekar menjadi orang gagah, hal itu tidaklah aneh dan tidak perlu dibicarakan lagi. Akan tetapi putera seorang raja datuk sesat menjadi seorang pendekar budiman, sungguh hal ini merupakan suatu yang luar biasa dan amat mengagumkan." Kemudian dia memandang kepada Cia Sun. "Dan engkau sendiri, orang muda. Siapakah kau?"
Cia Sun menjura dengan hormat.
"Harap locianpwe suka memaafkan kalau saya bersikap kurang pantas. Sesungguhnya, saya adalah cucu keponakan locianpwe sendiri, nama saya Cia Sun dan ayah bernama Cia Han Tiong."
Sepasang mata ketua Cin-ling-pai itu terbelalak dan wajahnya berseri ketika dia mengulur tangan dan memegang lengan pemuda itu.
"Ahh...! Kiranya engkau putera Cia Han Tiong? Pantas... Cia Sun, bagaimana kabarnya dengan ayah dan ibumu? Apakah masih tinggal di Lembah Naga?"
"Terima kasih, ayah baik-baik saja dan masih berada di Lembah Naga, akan tetapi ibu telah tewas terbunuh orang jahat."
Cia Sun lalu menceritakan keadaan keluarganya dengan singkat dan percakapan lalu menjurus ke arah pemberontakan itu sendiri.
"Aku telah tertipu! Aku telah khilaf karena kesembronoanku sendiri!" Ketua Cin-ling-pai itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali. "Tanpa penyelidikan lebih dahulu aku telah membawa keluarga dan murid-murid Cin-ling-pai untuk membantu pasukan pemberontak, karena tadinya kukira bahwa pemberontak Ji-ciangkun adalah suatu perjuangan yang menentang pemerintah lalim. Siapa kira, Ji-ciangkun sendiri diperalat oleh para datuk sesat yang hendak mencari kedudukan. Aku memberontak terhadap mereka dan ditawan, dan entah bagaimana nasib keluarga dan para muridku di Ceng-tek."
Tiba-tiba terdengar suara keras dan gaduh di sebelah atas.
"Ah, di atas terjadi pertempuran besar!" kata Hui Cu ketika mereka semua terkejut mendengar kegaduhan itu.
"Kota ini telah dikepung oleh pasukan besar pemerintah dan mungkin sekali kini telah terjadi pertempuran," kata Ci Kang.
"Bagus!" Cia Kong Liang bangkit berdiri dan mengambil pedang yang tadinya dilemparkan ke atas lantai. "Inilah kesempatan baik begiku untuk menebus dosa. Aku harus keluar membantu pasukan pemerintah dan menyerang para pemberontak laknat itu!"
"Akan tetapi kita harus bertindak hati-hati, locianpwe. Sebelum benteng ini bobol, kita bertiga saja mana mungkin dapat menghadapi pasukan besar," Ci Kang membantah.
"Tentu saja kita harus melihat keadaan," kata Cia Kong Liang yang sudah bangkit kembali semangatnya. "Mari kita keluar, kita melakukan pembakaran-pembakaran dan pengrusakan-pengrusakan untuk menimbulkan kekacauan dari dalam."
Cia Sun memandang kagum. Ketua Cin-ling-pai ini memang gagah perkasa dan penuh semangat, sayang sekali tadinya agak ceroboh sehingga mudah tertipu.
"Memang sebaiknya kalau kita keluar melakukan penyelidikan daripada menduga-duga di tempat ini dan tidak berbuat apa-apa."
"Harap kalian jangan pergi meninggalkan aku lagi!" kata Hui Cu. "Atau kalau kalian terpaksa pergi juga, aku akan ikut!"
"Hui Cu, kami keluar untuk melawan anak buah orang tuamu, sebaiknya engkau tinggal saja disini menunggu kedatangan ibumu. Tak mungkin engkau melawan ayahmu sendiri," kata Ci Kang.
Mendengar ini, wajah yang cantik dan agak pucat itu menjadi murung dan gadis itu hampir menangis, kini memandang kepada Cia Sun dengan sinar mata penuh permohonan.
Cia Sun merasa kasihan dan memegang tangan gadis itu.
"Hui Cu, kami terpaksa meninggalkanmu disini. Tinggallah kau disini. Kalau engkau ikut dan terlihat oleh ayahmu, tentu engkau terancam bahaya besar dan kami sudah berjanji kepada ibumu untuk menjagamu. Tinggallah disini dan aku berjanji bahwa kalau pertempuran sudah selesai, aku pasti menjemputmu disini."
Akhirnya Hui Cu tidak membantah lagi, akan tetapi tidak lama setelah tiga orang itu keluar, Hui Cu tidak tahan untuk berada di tempat itu seorang diri saja dan iapun segera menyelinap keluar.
Hati Sui Cin girang sekali bahwa ia telah berhasil mengantar Hui Song, Siang Wi dan para murid Cin-ling-pai keluar dari dalam benteng Ceng-tek dengan selamat. Ia berpisah dari mereka dan kembali ke Ceng-tek untuk membantu pasukan suku bangsa, yang dipimpin Yelu Kim menyerbu Ceng-tek.
Ia bergerak diantara para perajurit dan mencari gurunya. Pasukan para suku bangsa utara itu telah memperoleh kemajuan, telah menyerbu ke dalam dan kini terjadi pertempuran-pertempuran sengit di sebelah dalam kota benteng Ceng-tek dimana pihak penyerbu mulai mendesak pasukan pemberontak yang bertahan.
Akhirnya Sui Cin menemukan gurunya, nenek Yelu Kim sedang memimpin pasukan pengawal di depan sebuah gedung. Yelu Kim juga girang melihat muridnya. Tadi ia sudah merasa khawatir karena belum juga melihat gadis itu yang bertugas sebagai penyelundup untuk mengacau sebelah dalam benteng musuh.
Tiba-tiba dari dalam gedung itu bermunculan serombongan orang yang langsung menyerbu pasukan pengawal Yelu Kim. Ada tiga belas orang yang menerjang itu dan ternyata mereka semua memiliki gerakan yang cepat dan kuat, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi.
Beberapa orand perajurit pengawal Yelu Kim sudah roboh dalam segebrakan saja. Ketika Sui Cin memandang, ternyata mereka itu adalah datuk-datuk sesat yang diperbantukan di Ceng-tek oleh Raja Iblis. Tiga belas orang itu dipimpin oleh Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kui-bo dan Tho-tee-kwi, tiga orang dari Cap-sha-kui yang lihai!
"Hati-hati, subo, tiga orang itu adalah orang-orang Cap-sha-kui yang lihai!" katanya memperingatkan gurunya dan ia sendiri sudah menerjang maju dengan cepatnya.
Gerakannya yang lincah ini disambut oleh Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo. Koai-pian Hek-mo sudah menggerakkan pecut bajanya yang panjang dilecutkan ke arah kepala Sui Cin, sedangkan Hwa Hwa Kui-bo juga sudah menyambut dengan tusukan pedang.
"Wuuuuttt...!"
Secara luar biasa sekali tubuh Sui Cin yang masih melayang di udara itu menukik dan mengelak bagaikan seekor burung walet saja gesitnya dan serangan dua orang itu luput. Kini Sui Cin sudah turun dan berhadapan dengan mereka sambil tersenyum-senyum ia bertolak pinggang. Ia mentertawakan dua orang musuh besarnya ini dan teringat betapa kurang lebih empat tahun lalu ia pernah bertanding menghadapi dua orang tokoh Cap-sha-kui ini.
"Hi-hik, kiranya dua orang tua bangka Cap-sha-kui yang sudah bosan hidup! Beberapa tahun yang lalupun kalian tidak menang melawanku, apalagi sekarang. Kalian sudah menjadi semakin tua, sedangkan kepandaianku semakin maju!"
Tadinya dua orang tokoh Cap-sha-kui itu tidak mengenal Sui Cin, akan tetapi setelah gadis itu bicara dan tertawa, mereka teringat dan keduanya merasa kaget dan marah sekali. Sepasang mata di balik kedok hitam dari Hwa Hwa Kui-bo itu mengeluarkan sinar berapi dan mulutnya yang lebar dengan gigi besar-besar putih itu terbuka.
"Kiranya engkau bocah setan! Sekarang aku tidak akan mengampuni kamu lagi!"
Dan secepat kilat tangan kirinya bergerak dan dua sinar hitam menyambar ke arah tubuh Sui Cin. Gadis ini sudah maklum bahwa nenek ini pandai menggunakan jarum-jarum beracun sebagai senjata rahasia, maka ia sudah siap siaga dan sekali ia mengebutkan tangan kirinya, ada angin menyambar kuat sekali dan jarum-jarum itu runtuh, bahkan ada sebagian yang menyambar kembali ke arah muka berkedok itu!
Hwa Hwa Kuibo terkejut, mengeluarkan teriakan dan mengelak, lalu pedangnya bergerak melakukan serangan ganas. Gerakannya ini diikuti pula oleh menyambarnya paku di ujung pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo.
Dua orang tokoh muara Sungai Huang-ho ini lalu mengamuk dengan buasnya mengeroyok Sui Cin. Akan tetapi, gadis ini mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tubuhnya sudah berkelebatan diantara gulungan sinar senjata lawan, dengan enaknya ia mempermainkan dan semua sambaran senjata lawan selalu luput, sebaliknva iapun membagi-bagi tamparan dan tendangan yang tidak kalah dahsyatnya, bahkan yang membuat dua orang itu gentar dan terdesak mundur.
Tho-tee-kwi (Setan Bumi), kakek raksasa yang menyeramkan itu, yang memiliki kebiasaan mengerikan, yakni makan daging anak-anak manusia, seorang tokoh Cap-sha-kui yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo, kini ditandingi oleh Yelu Kim yang dibantu oleh perwira-perwira pengawal yang lihai pula.
Adapun para datuk lain dikeroyok oleh pasukan pengawal. Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian. Akan tetapi karena pihak pasukan pengawal jauh lebih banyak jumlahnya, kini para datuk itu segera terdesak hebat.
Sui Cin tadinya ingin mempermainkan dua orang musuh lama itu, sesuai dengan wataknya yang memang nakal. Akan tetapi iapun tahu betapa lihainya Tho-tee-kwi dan ia harus dapat cepat membantu gurunya menghadapi kakek raksasa itu. Maka iapun mempercepat gerakannya.
"Singggg...!"
Tiba-tiba Hwa Hwa Kuibo yang licik itu menyerangnya dengan merendahkan diri dan pedang itu membabat ke arah kedua kaki Sui Cin. Serangan ini berbahaya sekali karena pada saat itu Sui Cin sedang menghadapi serangan paku di ujung cambuk Koai-pian Hek-mo yang menyambar ke arah matanya.
"Tingggg...!"
Sui Cin menggunakan jari tangannya menyentil ke arah paku sehingga paku di ujung cambuk itu mencelat dan membalik, menyambar ke arah muka pemiliknya sedangkan tubuh gadis itu meloncat ke atas untuk menghindarkan babatan pedang nenek Hwa Hwa Kui-bo. Gerakannya cepat dan kuat.
Koai-pian Hek-mo terkejut melihat pakunya membalik dan menyambar ke arah mukanya. Akan tetapi sekali menggerakkan gagang cambuk, paku itu berhenti menyambar dan kini cambuknya yang panjang ia gerakkan ke arah tubuh Sui Cin yang masih meloncat ke atas ketika menghindarkan babatan pedang tadi.
Sui Cin mengulur tangan menangkap ujung cambuk! Gerakan ini terlalu berani akan tetapi gadis itu telah membuat perhitungan yang matang. Ketika jari tangannya berhasil menangkap paku di ujung cambuk, secepat kilat ia meminjam tenaga gerakan cambuk, melontarkan paku itu ke arah Hwa Hwa Kui-bo.
Paku di ujung cambuk itu meluncur bersama cambuk panjang itu ke arah kepala Hwa Hwa Kui-bo. Nenek ini sama sekali tidak pernah menyangka dan tahu-tahu ujung cambuk kawannya sendiri telah melayang ke arah kepalanya. Ia tidak keburu mengelak lagi.
"Cappp...! Aiiiiiihhh...!"
Nenek itu menjerit, paku menancap batok kepalanya dan melihat ini, Koai-pian Hek-mo terkejut setengah mati. Ditariknya cambuknya dan paku itu tercabut keluar, diikuti muncratnya darah dari kepala nenek itu. Dengan mata mendelik yang memandang dari belakang kedoknya, Hwa Hwa Kui-bo menubruk ke depan dan tahu-tahu pedangnya telah menembus dada Koai-pian Hek-mo!
Dasar orang sesat, karena paku di ujung cambuk temannya mengenai kepalanya, Hwa Hwa Kui-bo sudah menjadi marah kepada temannya sendiri dan menyerangnya dengan tiba-tiba. Koai-pian Hek-mo berteriak dan terjengkang roboh, darah muncrat dari dadanya. Hwa Hwa Kui-bo tertawa bergelak akan tetapi lalu terjengkang juga dan berkelojotan, tewas dalam waktu hampir berbareng dengan temannya.
Sui Cin sudah tidak memperdulikan mereka lagi, langsung saja ia terjun ke dalam pertempuran membantu nenek Yelu Kim yang dibantu oleh beberapa orang perwira pengawal mengepung Tho-tee-kwi yang lihai.
Majunya Sui Cin membawa perubahan. Kalau tadinya Tho-tee-kwi masih nampak gagah perkasa dan agaknya sukar bagi Yelu Kim untuk dapat merobohkan raksasa ini walaupun ia dibantu oleh para perwira pasukan pengawal, kini setelah Sui Cin maju dan menghujankan pukulan dan tamparan ampuh kepada Tho-tee-kwi, kakek itu terdesak hebat!
Bahkan sebuah tamparan yang amat kuat dari tangan kiri Sui Cin mengenai pundak kakek itu yang membuatnya terhuyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Yelu Kim untuk menggerakkan kebutannya yang berwarna putih. Ujung kebutan menjadi kaku dan menotok ke arah tiga jalan darah di tubuh kakek raksasa.
Tho-tee-kwi sempat menangkis dua totokan, akan tetapi totokan ketiga mengenai tengkuknya dan tubuhnya seketika menjadi kejang. Saat ini kekebalannyapun lenyap dan ketika dua orang perwira pengawal menusukkan pedangnya, pedang itu amblas dan memasuki lambung dan dadanya. Padahal tadi, sebelum terkena totokan, pedang para perwira itu tidak mampu menembus kekebalan kulitnya!
Robohnya Tho-tee-kwi berarti berakhirnya perlawanan gigih para datuk sesat. Tiga orang Cap-sha-kui yang menjadi pimpinan mereka itu telah roboh dan tewas, tentu saja semangat mereka menjadi kecil dan dengan mudah merekapun dapat dirobohkan. Habislah tiga belas orang datuk sesat itu, semua tewas di tangan rombongan Yelu Kim walaupun pihak Yelu Kim juga menderita kematian belasan orang pasukan pengawal.
Setelah bertempur semalam suntuk, Ceng-tek jatuh ke tangan pasukan Yelu Kim. Akan tetapi, kini datanglah balabantuan dari San-hai-koan, yaitu pasukan pemberontak sehingga kembali terjadi pertempuran yang lebih sengit lagi. Akan tetapi kini pihak Yelu Kim yang mempertahankan benteng Ceng-tek, sedangkan pihak pasukan pemberontak yang menjadi penyerang dari luar.
Hebat bukan main pertempuran ini. Pihak pasukan Yelu Kim sudah lelah setelah mengerahkan tenaga merebut benteng Ceng-tek, sedangkan pasukan pemberontak dari San-hai-koan masih segar dan jumlah merekapun lebih banyak.
Akan tetapi, dengan pandainya Yelu Kim dapat menyusun kekuatan dan benteng Ceng-tek yang pintu-pintunya rusak telah diperbaiki. Kini benteng itu menjadi kokoh kuat sehingga tidak mudah bagi pasukan pemberontak untuk merebut kembali benteng itu.
Sampai lima hari lamanya pasukan pemberontak mengepung Ceng-tek dan setiap hari terjadi penyerbuan, namun tetap saja benteng itu dapat dipertahankan oleh pasukan Yelu Kim.
Bagaimanapun juga, nenek itu mulai merasa gelisah. Kalau pengepungan itu dilanjutkan, paling lama sebulan saja pasukannya akan kehabisan ransum dan ini berarti mereka akan menderita kekalahan dan terpaksa melepaskan kembali Ceng-tek yang telah mereka kuasai. Bagaimanapun juga, nenek itu mengambil keputusan untuk mempertahankan Ceng-tek sampai kekuatan terakhir, karena sekali mereka meninggalkan benteng itu, akan sukarlah bagi mereka untuk memperoleh benteng baru dimana mereka akan dapat menyusun kekuatan untuk melakukan penyerangan ke selatan.
Sui Cin masih tinggal di Ceng-tek mendampingi gurunya. Gadis ini sudah bertekad membantu pasukan Yelu Kim selama pasukan ini bertempur melawan pasukan pemberontak dan iapun ikut prihatin melihat betapa pasukan gurunya terkurung di Ceng-tek dan benteng itu sudah dikepung oleh pasukan pemberontak yang besar jumlahnya.
Sementara itu, pertempuran di San-hai-koan juga terjadi dengan amat serunya. Sisa pasukan pemberontak yang berada di San-hai-koan terkejut bukan main melihat betapa tiba-tiba saja pasukan pemerintah yang berjumlah besar sekali telah mengepung San-hai-koan.
Mereka dipimpin oleh Ji-ciangkun dan para pembantunya melawan dengan gigih dan mempertahankan benteng San-hai-koan mati-matian. Juga para pembantu Raja Iblis, yaitu datuk-datuk sesat dan tokoh-tokoh dunia hitam, membantu pasukan pemberontak mempertahankan benteng itu.
Akan tetapi, pasukan pemerintah jauh lebih kuat dan pasukan inipun dibantu oleh para pendekar yang kini membalas dendam kepada pasukan pemberontak, maka dalam waktu sehari semalam saja benteng itupun bobol dan pertempuran terjadi dengan serunya di dalam kota San-hai-koan.
Cia Sun dan Ci Kang kini mengikuti Cia Kong Liang yang memimpin mereka untuk menggempur para pemberontak dari dalam. Mereka bertiga mengamuk sampai mereka dapat bertemu dengan para pendekar yang membantu pemerintah. Melihat betapa ketua Cin-ling-pai kini membantu pasukan pemerintah menggempur pemberontak, para pendekar menjadi girang dan mereka menganggap bahwa berita tentang Cin-ling-pai yang bersekutu dengan pemberontak ternyata tidak benar, atau mungkin juga ketua Cin-ling-pai menggunakan siasat pura-pura bersekutu dengan pemberontak untuk dapat menggempur dari sebelah dalam!
Setelah para pemberontak akhirnya tidak mampu melawan lagi, sebagian besar tewas, sebagian melarikan diri dan sebagian pula menakluk, Ci Kang dan Cia Sun cepat kembali ke tempat rahasia dimana Hui Cu tadi mereka tinggalkan.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah hati mereka ketika mereka tidak lagi melihat gadis itu di tempat itu. Hui Cu telah hilang dan mereka berdua tidak tahu apakah gadis itu pergi sendiri dari situ ataukah dilarikan orang. Juga dalam penyerbuan itu, walaupun mereka semua sudah mencari-cari bersama para pendekar lain, tidak ditemukan jejak Raja dan Ratu Iblis bersama Hui-thian Su-kwi dan beberapa orang datuk sesat lain.
Juga Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu tidak dapat mereka temukan. Hanya Ji-ciangkun yang akhirnya dapat tertawan hidup-hidup dalam keadaan luka-luka dan panglima pemberontak inipun tidak dapat menjawab kemana larinya Raja Iblis dan kaki tangannya itu. Tentu saja para pendekar merasa menyesal sekali. Mereka tadinya sudah siap-siap untuk mengeroyok dan membasmi para datuk sesat. Kiranya tokoh-tokoh terpenting mereka dapat melarikan diri.
Setelah San-hai-koan jatuh tanpa mengerahkan terlalu banyak tenaga bagi pasukan pemerintah, Yang-ciangkun lalu mengerahkan pasukan untuk menuju ke Ceng-tek. Seperti yang telah diperhitungkannya, pasukan-pasukan pemberontak sedang mengepung Ceng-tek dan menghamburkan banyak tenaga untuk mencoba membobolkan benteng Ceng-tek yang sudah diduduki pasukan Yelu Kim. Dan selagi kedua pihak itu kelelahan, muncullah pasukan pemerintah dari San-hai-koan yang keadaannya masih segar dan dalam jumlah yang besar, dibantu pula oleh para pendekar yang penuh semangat.
Tentu saja pasukan pemberontak yang sedang mengepung Ceng-tek menjadi terkejut dan panik ketika tiba-tiba mereka diserang oleh pasukan pemerintah dari belakang. Apalagi setelah mereka mendengar berita bahwa benteng pertama mereka, San-hai-koan, telah direbut kembali oleh pasukan pemerintah. Berarti mereka telah kehilangan kedua benteng itu. Ceng-tek direbut oleh pasukan suku bangsa utara dan San-hai-koan dirampas oleh pasukan pemerintah.
Pasukan pemberontak mencoba untuk melakuken perlawanan, akan tetapi mereka dihimpit dari depan dan belakang dan dalam waktu sehari saja merekapun hancur lebur dan cerai berai, sebagian besar melarikan diri atau menakluk.
Dan terjadilah perubahan pula di Ceng-tek. Pasukan Yelu Kim masih tetap mempertahankan kota itu dan kini yang mengepung kota itu adalah pasukan pemerintah yang jauh lebih kuat lagi dibandingkan pasukan pemberontak tadi.
Yang-ciangkun adalah seorang panglima yang pandai dan bijaksana. Biarpun dia sudah mendengar bahwa Yelu Kim memimpin para kepala suku bangsa utara untuk bergerak, pertama-tama menduduki bentmg Ceng-tek untuk kemudian menyerbu ke selatan untuk menegakkan kembali kekuasaan bangsa utara di selatan, namun dia menganggap bahwa Yelu Kim telah berjasa bagi pemerintah dalam menghadapi para pemberontak.
Dia tahu bahwa tidak ada untungnya menanam bibit permusuhan dengan suku-suku bangsa liar yang kalau sudah bersatu akan menjadi amat kuat itu. Lebih baik mengambil jalan damai dengan mereka, baru kalau tidak ada jalan lain, terpaksa harus dipergunakan kekerasan.
Oleh karena itu, Yang-ciangkun lalu menyuruh para pembantunya untuk menyuruh penyiar yang suaranya keras untuk menyampaikan pesan dan usulnya kepada pimpinan pasukan para suku bangsa utara. Beberapa orang yang memiliki suara nyaring dan memang bertugas untuk itu, maju ke depan dengan corong-corong di depan mulut mereka dan terdengarlah teriakan-teriakan mereka bergema dengan amat kuatnya.
"Para pimpinan suku bangsa yang gagah, dengarlah baik-baik pesan Yang-ciangkun! Kami tidak menganggap kalian sebagai musuh, melainkan sebagai sahabat yang telah membantu kami membasmi para pemberontak. Oleh karena itu, kami harap agar suka menyerahkan benteng Ceng-tek kembali kepada kami agar persahabatan diantara kita tidak terganggu!"
Berkali-kali kalimat-kalimat itu diteriakkan oleh para penyiar sehingga terdengar oleh mereka yang berjaga di pintu gerbang atau di atas tembok benteng dan tentu saja segera disampaikan kepada Yelu Kim.
Nenek itu berada di atas menara yang menjadi pusat dimana ia memimpin para kepala suku bangsa dan pasukan mereka. Nenek ini merasa bimbang sekali dan ia duduk berdua saja dengan Sui Cin. Ketika menerima laporan tentang usul yang diteriakkan oleh Yang-ciangkun, nenek itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali. Ia merasa penasaran, akan tetapi juga ragu-ragu.
"Keparat! Dengan susah payah kita merebut kota ini, dengan pengorbanan ribuan jiwa pasukan, dengan cucuran keringat dan darah. Dan sekarang hendak diminta begitu saja? Mana mungkin aku dapat memberikan kepada mereka?"
Sui Cin sejak tadi memandang wajah nenek itu. Ia merasa kagum terhadap nenek ini yang dengan gagah dan pandainya memimpin pasukan utara itu sehingga berhasil menduduki Ceng-tek.
Akan tetapi iapun tahu bahwa kini, setelah pasukan pernerintah datang dan berhadapan dengan pasukan Yelu Kim, ia sendiri tidak mungkin membantu nenek yang menjadi penolong dan gurunya ini. Maka, mendengar usul yang diajukan oleh Yang-ciangkun, Sui Cin melihat suatu cara yang baik untuk turun tangan, yaitu membujuk nenek ini agar suka menerima uluran tangan Yang-ciangkun.
"Subo..." katanya lirih dan hati-hati.
"Hemm...?"
Nenek yang sedang tenggelam dalam lamunannya sendiri itu agak kaget dan memandang muridnya.
"Subo tentu percaya kepadaku, bukan?"
"Percaya apa?"
"Percaya bahwa aku selalu beriktikad baik terhadap subo dan pasukan yang subo pimpin."
Nenek itu memperlebar matanya dan memandang tajam.
"Tentu saja. Sudah banyak yang kau lakukan untukku, Sui Cin, dan untuk itu aku berterima kasih sekali. Kalau aku tidak percaya padamu, tentu engkau tidak kuberi tugas yang penting-penting selama ini."
"Terima kasih! Aku suka menjadi murid dan pembantu subo, bukan hanya karena terikat perjanjian, bukan pula hanya karena aku sudah menerima budi pertolongan subo, melainkan karena aku merasa suka kepada subo yang gagah perkasa dan bijaksana, juga aku suka melihat pasukan suku bangsa utara yang demikian gagah berani. Nah, karena rasa suka saya itulah maka aku hendak mengemukakan pendapatku tentang penawaran Yang-ciangkun kepada subo, akan tetapi kuharap subo tidak akan merasa tersinggung dan menjadi marah."
Nenek itu tersenyum dan memandang lembut.
"Muridku, apa kau kira aku belum mengenalmu dan tidak tahu akan isi hatimu? Engkau membantuku karena melihat aku menentang para pemberontak. Engkau seorang gadis pendekar dan tentu engkau menentang para kaum sesat yang menunggangi pasukan pemberontak. Kalau kami berhadapan dengan pasukan pemerintah, jelas bahwa engkau tidak akan membantu kami walaupun aku percaya engkau tidak akan tega untuk mengkhianatiku. Bukankah demikian?"
Sui Cin terkejut dan memandang nenek itu dengan kagum. Sungguh seorang wanita tua yang cerdik dan bijaksana. Pantaslah kalau menjadi keturunan Yelu Ce-tai yang amat terkenal di jaman awal pemerintah Mongol itu.
"Sungguh tepat sekali wawasan subo."
"Nah, sekarang katakanlah apa yang menjadi pendapatmu mengenai keadaan kita sekarang ini."
"Begini, subo. Ceng-tek telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang amat besar jumlahnya. Tanpa diserang sekalipun, baru dikepung saja sampai sebulan lebih, kita akan kehabisan ransum dan akan celaka. Andaikata kita melawanpun, tidak mungkin dapat menang. Aku yakin subo tidak akan sebodoh itu, membiarkan pasukan hancur lebur hanya untuk mempertahankan sebuah benteng kecil seperti Ceng-tek ini. Kalau menurut pendapatku, jauh lebih menguntungkan untuk menerima usul Yang-ciangkun, menyerahkan kembali benteng ini dalam suasana damai dan bersahabat daripada mempertahankannya dengan kekerasan untuk akhirnya melihat pasukan subo dihancurkan."
"Pendapatmu memang tepat dan cocok sekali dengan apa yang kupikirkan, muridku. Akan tetapi, pantaskah kalau aku memberikan kota ini begitu saja sehingga semua pengorbanan yang telah kita lakukan itu, kematian ribuan orang saudara itu, menjadi sia-sia dan tanpa guna sama sekali bagi bangsa kami?"
"Subo, Yang-ciangkun mengulurkan tangan sebagai sahabat. Seorang sahabat yang baik tentu tidak hanya pandai minta saja, akan tetapi juga pandai pula memberi. Minta dan memberi merupakan syarat persahabatan yang baik. Kalau subo menyerahkan kota ini dengan damai, tentu subo dapat pula mengajukan permintaan-permintaan yang kiranya berguna bagi bangsa-bangsa di utara sehingga pengorbanan itu tidak sia-sia belaka melainkan ada pula hasilnya, bukan?"
"Aih, benar sekali, Sui Cin!" Nenek itu bangkit dan merangkul muridnya. "Mengapa aku tidak berpikir sampai kesitu? Engkau benar sekali. Aku akan menyusun permintaan-permintaan itu dan aku tahu siapa yang akan menjadi utusan dan wakilku. Engkaulah orangnya yang akan menyampaikan permintaan dan usul kami itu kepada Yang-ciangkun!"
Sui Cin gembira sekali.
"Aku bersedia, subo!"
Nenek itu lalu memerintahkan pembantunya untuk menjawab teriakan-teriakan dari bawah itu, menyatakan bahwa jawabannya akan dikirim besok pagi-pagi setelah matahari terbit.
Setelah jawaban diteriakkan ke bawah, tidak terdengar lagi teriakan-teriakan dari bawah dan keadaan menjadi sunyi. Yang mengepung kota tinggal diam saja dan tidak melakukan gerakan apa-apa, malam itu membuat api unggun, sedangkan yang melakukan penjagaan di pintu gerbang dan atas tembok benteng juga nampak tenang-tenang saja. Bahkan kedua pihak begitu percaya satu sama lain sehingga para pemimpinnya dapat tidur nyenyak pada malam hari itu.
Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, Sui Cin menerima gulungan kertas berisi permintaan-permintaan atau usul-usul dari Yelu Kim yang ditujukan kepada pemerintah Beng-tiauw melalui Yang-ciangkun yang tentu saja berwenang memutuskan peraturan di perbatasan utara karena di perbatasan yang berlaku adalah peraturan-peraturan militer.
Akan tetapi gadis itu tidak keluar sendirian, melainkan diantar sampai keluar pintu gerbang oleh Yelu Kim sendiri. Hal ini selain untuk memperlihatkan niat baik Yelu Kim, juga nenek ini merasa khawatir kalau-kalau ada diantara para kepala suku bangsa yang tidak setuju dan hendak mengganggu muridnya. Untuk keperluan menyampaikan surat itu, Sui Cin menunggang seekor kuda putih yang telah dipersiapkan oleh penjaga di pintu gerbang.
Pintu gerbang dibuka dan dengan diantar oleh Yelu Kim sampai keluar pintu gerbang, Sui Cin menuntun kuda putih dan setelah berpamit kepada gurunya, gadis itu lalu meloncat ke atas kudanya sambil membawa gulungan kertas itu.
Tiba-tiba nampak berkelebat dua bayangan orang yang menghadang kuda yang ditunggangi Sui Cin. Gadis ini terkejut sekali, apalagi setelah mengenal bahwa dua orang itu bukan lain adalah Raja dan Ratu Iblis sendiri!
Gadis itu berpikir cepat. Tentu kemunculan dua iblis ini ada huburgannya dengan surat yang dibawanya.
"Kalian mau apa?" bentaknya marah.
"Menyerahlah dengan baik!" kata Ratu Iblis.
"Huh, kalian kira aku takut? Sampai mati aku tidak sudi menyerah!"
Dan tiba-tiba Sui Cin membalapkan kudanya. Akan tetapi ia tidak mudah lolos begitu saja. Tangan Raja Iblis bergerak dan hawa pukulan yang amat kuat membuat kuda yang ditungganginya terpelanting ke kiri! Untung Sui Cin masih memiliki ketenangan sehingga dengan gin-kangnya yang tinggi, ia dapat melompat dan tidak ikut terbanting. Kuda itu terbanting akan tetapi tidak terluka, hanya terkejut saja dan meringkik ketakutan.
Sementara itu, nenek Yelu Kim yang juga melihat munculnya dua bayangan itu, tidak masuk kembali ke dalam pintu gerbang, melainkan cepat lari menghampiri tempat itu yang tidak begitu jauh dari tempat ia berdiri.
"Sui Cin, suratnya...!" nenek ini berseru.
Sui Cin maklum apa yang dikehendaki gurunya, cepat gulungan kertas itu ia lemparkan ke arah nenek yang cepat menyambarnya. Nenek itu langsung meloncat ke atas punggung kuda yang ketakutan dan ia membalapkan kuda itu untuk menggantikan Sui Cin menghadap Yang-ciangkun menyerahkan sendiri surat tuntutan atau permintaan bangsanya itu.
Akan ketapi kembali Raja Iblis menggerakkan tangannya dan sekali ini bukan untuk melakukan pukulan jarak jauh seperti yang dilakukan terhadap kuda tadi, melainkan ada benda bersinar putih meluncur dari tangan itu menuju ke arah tubuh Yelu Kim yang sedang melarikan kuda.
Benda itu berputar-putar cepat seperti hidup dan tahu-tahu sudah hinggap di atas punggung Yelu Kim. Nenek ini merasa betapa punggungnya panas dan perih sekali. Ia cepat mencengkeram ke arah benda di punggungnya itu dan menariknya dari punggung.
Ketika dilihatnya, ternyata itu adalah sebuah tengkorak kecil, agaknya tengkorak seorang anak kecil. Nenek ini terkejut dan membanting tengkorak itu ke atas tanah. Tengkorak pecah berantakan dan dari dalamnya keluar asap hitam! Nenek itu merasa betapa rasa panas menjalar cepat ke seluruh tubuh dan tahulah ia bahwa ia terkena senjata beracun yang amat ampuh.
Akan tetapi ia terus saja membalapkan kuda ke depan, ke arah perkemahan pasukan pemerintah yang mengepung kota Ceng-tek dari jarak antara dua tiga li jauhnya. Ia menahan rasa nyeri yang menyengat-nyengat tubuhnya, terus melarikan kuda putihnya yang kabur karena sudah ketakutan. Nenek itu berhasil mencapai perkemahan dan terpelanting dari atas kudanya sambil masih mencengkeram gulungan kertas.
Para perajurit yang menyaksikan peristiwa itu cepat mengangkutnya ke dalam kemah besar, ke hadapan Yang-ciangkun. Panglima ini cepat menerima gulungan kertas dan nenek Yelu Kim hanya sempat mengeluarkan kata-kata begini,
"Tai-ciangkun... demi kejujuran seorang pemimpin, kota Ceng-tek kuserahkan akan tetapi penuhilah permintaan-permintaan kami yang pantas ini..." dan nenek yang gagah perkasa inipun menghembuskan napas terakhir di depan Yang-ciangkun.
Berita tentang kegagahan nenek Yelu Kim ini tersiar luas dan sampai puluhan tahun mendatangkan namanya menjadi kebanggaan suku bangsa di timur dan dikagumi pula para pendekar selatan.
Tuntutannya adalah pembebasan pajak bagi suku bangsa utara yang membawa barang dagangan keluar masuk perbatasan dan hal ini disetujui oleh Yang-ciangkun sehingga keadaan para pedagang suku bangsa utara menjadi jauh lebih baik.
Sementara itu, Sui Cin dengan nekat melakukan perlawanan. Melihat betapa nenek Yelu Kim berhasil lari walaupun agaknya terluka, gadis ini menjadi marah.
"Kalian ini iblis-iblis busuk!" bentaknya dan iapun sudah menerjang mereka dengan tangan kosong, menggunakan ilmu pukulannya yang ampuh sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.
Akan tetapi, yang diserangnya adalah Raja Iblis yang luar biasa tangguhnya. Setiap kali kakek bermuka pucat kehijauan itu menangkis, Sui Cin merasa betapa lengannya nyeri dan tergetar hebat. Akan tetapi ia tidak takut dan menyerang terus sehingga kakek itu menjadi marah.
Bagaimanapun juga, tingkat kepandaian Sui Cin tidak dapat dibilang rendah dan sampai belasan kali tubrukan balasan Raja Iblis tidak mampu menangkap Sui Cin yang lincah dan menggunakan gin-kangnya untuk mengelak ke sana-sini itu.
Sui Cin tidak membiarkan dirinya ditangkap, bahkan membalas dan ketika ia mengelak dari cengkeraman kedua tangan Raja Iblis, tiba-tiba ia membalik dan dengan kedua tangannya yang terbuka telapak tangannya, ia melakukan pukulan yang dilakukan dengan mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya.
Angin dahsyat menyambar ke arah Raja Iblis yang diam-diam merasa kagum juga kepada gadis yang pernah membikin ia penasaran dan repot ketika Sui Cin dahulu merampas Tongkat Suci dari tangannya. Kini, kembali dia tidak mampu menangkap gadis ini dalam waktu singkat.
Raja Iblis merasa penasaran sekali. Dia dan isterinya telah gagal dalam pemberontakan membonceng pasukan Ji-ciangkun dan kedua kota benteng telah jatuh ke tangan pemerintah. Melihat betapa pasukan pemerintah berhadapan dengan pasukan liar dari utara, dia masih mempunyai harapan agar kedua pihak berperang sehingga keduanya lemah.
Akan tetapi ternyata Yelu Kim menerima tawaran dan uluran tangan Yang-ciangkun untuk berdamai. Oleh karena itu, dia lalu keluar bersama isterinya untuk menggagalkan ini, merampas surat dan juga menawan Sui Cin untuk dijadikan sandera. Akan tetapi, terayata nenek Yelu Kim berhasil melarikan surat, dan mengorbankan nyawa sendiri dan kini tinggal gadis itu yang juga tidak mudah ditangkap!
Melihat betapa gadis itu malah menyerangnya dengan dahsyat, kakek seperti setan itu mengeluarkan suara mencicit seperti burung dari dalam mulutnya dan diapun mengulur kedua tangan ke depan menyambut pukulan Sui Cin.
"Plakk!"
Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan Raja Iblis merasa betapa tubuhnya tergetar! Semakin kagumlah dia, akan tetapi sebaliknya Sui Cin merasa betapa telapak kedua tangannya melekat pada telapak tangan Raja Iblis. Dia berusaha menarik kedua tangannya akan tetapi merasa betapa ada tenaga menyedot dari kedua telapak tangan iblis itu yang membuat kedua tangannya melekat.
Dan pada saat itu, Ratu Iblis sudah bergerak menotok punggungnya. Sui Cin tidak mampu mengelak dan iapun roboh dengan lemas lalu dipanggul oleh Ratu Iblis.
Pada saat itu, serombongan perajurit Yelu Kim sudah menghampiri tempat itu dan mengurung dengan senjata ditodongkan. Akan tetapi nenek Ratu Iblis membentak mereka,
"Majulah dan nona ini akan kubunuh dulu, baru kalian!"
Melihat betapa Sui Cin yang mereka kenal sebagai pembantu dan murid nenek Yelu Kim sudah tertawan, dan mendengar ancaman Ratu Iblis, pasukan itu tidak berani menyerang dan terpaksa membiarkan saja kakek dan nenek itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh Sui Cin yang sudah tidak mampu bergerak.
Sementara itu, Cia Sun dan Ci Kang yang bersama Cia Kong Liang sudah bergabung dengan para pendekar dan ikut pula membantu pasukan pemerintah yang mengurung Ceng-tek, melihat betapa nenek Yelu Kim tewas di tangan Raja Iblis. Dari jauh mereka melihat kakek dan nenek itu yang melarikan diri tanpa diganggu oleh pasukan suku utara. Keduanya segera berlari cepat menuju ke depan pintu gerbang Ceng-tek.
Semua orang mengenal Ci Kang yang gagah perkasa karena Ci Kang pernah dicalonkan menjadi jagoan bahkan hampir memperoleh kemenangan kalau tidak dikalahkan oleh Sui Cin.
"Apa yang terjadi? Kenapa kalian tidak menahan dua orang kakek dan nenek itu tadi?" tanya Ci Kang.
"Mereka menawan nona Sui Cin, kami tidak berani turun tangan."
"Apa?" Cia Sun terkejut mendengar bahwa Sui Cin ditawan Raja dan Ratu Iblis. "Kemana mereka lari?"
"Ke sana...!"
Seorang perwira menunjuk ke arah sebuah bukit yang nampak gundul dari tempat itu. Tanpa banyak cakap lagi, seperti sudah berunding lebih dahulu, Siangkoan Ci Kang dan Cia Sun berlari menuju ke bukit itu, mempergunakan ilmu berlari cepat.
Ketika keduanya tiba di kaki bukit itu, mereka bertemu dengan Hui Song dan sisa murid-murid Cin-ling-pai. Seperti kita ketahui, Hui Song dan Siang Wi bersama murid-murid Cin-ling-pai, berhasil dibawa keluar dari Ceng-tek oleh Sui Cin. Akan tetapi ketika mereka pergi ke San-hai-koan untuk mencari ketua mereka, ternyata San-hai-koan sedang dalam perang sehingga mereka tidak dapat masuk kota benteng itu.
Terpaksa mereka menjauhkan diri karena mereka merasa khawatir terjadi salah paham dari pasukan pemerintah yang agaknya sudah mendengar bahwa Cin-ling-pai bersekutu dengan pemberontak. Barulah setelah perang berakhir, Hui Song, Siang Wi dan saudara-saudara seperguruan mereka mendengar bahwa Cia Kong Liang kini membantu pasukan pemerintah menyerang ke Ceng-tek, sehingga mereka merasa gembira sekali dan merekapun mengejar ke Ceng-tek.
Biarpun hati Hui Song tetap tidak senang melihat Ci Kang, akan tetapi melihat Cia Sun dia segera bertanya,
"Cia Sun, engkau hendak ke manakah dan bagaimana dengan keadaan di Ceng-tek? Apakah engkau bertemu dengan ayah?"
Cia Sun mengangguk.
"Kami bersama-sama dengan ayahmu dan beliau kini berada diantara pasukan yang mengepung Ceng-tek. Kami berdua hendak mengejar Raja dan Ratu Iblis yang telah menawan dan melarikan nona Sui Cin..."
"Apa...?" Hui Song menjadi pucat wajahnya. "Kemana ia dibawa lari?"
"Ke bukit itu, dan kita akan mencarinya!" kata Cia Sun dan diapun cepat mengejar Ci Kang yang agaknya tidak mau banyak cakap dan sudah lari lagi.
"Aku ikut...!" kata Hui Song. "Sumoi, bawa saudara-saudara menemui ayah di luar Ceng-tek!"
Dan diapun cepat mengerahkan tenaganya untuk mengejar Ci Kang dan Cia Sun. Mereka bertiga seperti orang berlomba lari menuju ke bukit yang nampak gundul dan hitam dari tempat itu.
Bukit itu memang gundul dan kering. Setelah didekati, nampak bahwa bukit itu hanya terdiri dari padang pasir dan batu-batu karang belaka, tidak nampak sedikitpun tumbuh-tumbuhan. Dan di sebuah lereng bukit karang, mereka melihat pemandangan yang menegangkan hati dari jauh sehingga dengan sendirinya ketiganya berhenti dan memandang ke arah depan. Disana, dalam jarak puluhan meter, nampak Sui Cin sedang berdiri bersandar tiang dan jelas bahwa gadis itu diikat pada tiang itu.
"Itu Sui Cin...!" Hui Song berteriak dan dialah yang lebih dulu meloncat dan lari, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang.
"Cin-moi...!" Hui Song berseru setelah tiba dekat.
"Song-ko! Jangan mendekat...!"
Tiba-tiba Sui Cin berseru dan seruan ini mengejutkan tiga orang pemuda itu. Mereka berdiri memandang dengan alis berkerut dan memperhatikan keadaan.
Ternyata Sui Cin terikat pada sebuah tiang baja yang terletak di tengah-tengah lingkaran segi delapan. Pat-kwa atau Segi Delapan itu terbuat dari batu dan bentuknya biasa saja, akan tetapi amat mencurigakan. Garis tengahnya kurang lebih enam meter dan jarak dari sisi segi delapan itu ke tiang di mana Sui Cin terikat, sekitar tiga meter.
Tempat dimana Sui Cin diikat itu tidak dapat dijangkau dengan tangan dan untuk meghampiri atau menolongnya, orang terpaksa harus naik dan menginjak batu segi delapan yang tebalnya antara dua kaki itu. Dilihat begitu saja, tentu akan mudah melepaskan belenggu yang mengikat kedua lengan Sui Cin pada tiang di belakangnya.
Akan tetapi tiga orang muda itu bukan orang sembarangan, apalagi ada cegahan Sui Cin yang membuat mereka mengerti bahwa segi delapan ini merupakan jebakan yang mengandung rahasia yang amat berbahaya apabila diinjak oleh orang yang hendak menolong gadis itu.
"Jangan mendekat dari depan. Tadi ada seorang pendekar yang tewas karena hendak menolongku. Pasir di depan itu adalah pasir yang dapat membunuh, menyedot orang yang menginjaknya. Ah, mengerikan sekali...! Aku melihat orang yang hendak menolongku itu tersedot, menangis tanpa aku mampu menolongnya sampai dia lenyap ke bawah permukaan pasir..." Suara gadis itu tergetar hebat. "Raja Iblis sengaja menaruh aku disini untuk menjebak kalian yang tentu datang mencoba untuk menolongku. Hati-hati, jangan sembarangan bergerak."
Tentu saja tiga orang pemuda itu menjadi terkejut sekali dan bingung. Mereka berdiri agak jauh di depan Sui Cin. Kini gadis itu dapat melihat mereka semua dan wajahnya berseri gembira. Tak disangkanya bahwa tiga orang pemuda itulah yang datang hendak merolongnya, tiga orang pemuda yang begitu dekat dengan hatinya! Baru kini seperti terbuka matanya bahwa mereka itu, Cia Sun, Cia Hui Song, dan Siangkoan Ci Kang, semua mencintanya, jatuh hati kepadanya!
Dan melihat mereka bertiga itu berdiri barjajar di depannya, hati Sui Cin yakin bahwa sesungguhnya perasaan hatinya lebih condong kepada Hui Song. Apapun kekurangan pemuda ini kalau dibandingkan dengan dua orang pemuda yang lain, tetap saja perasaan Sui Cin lebih dekat dengannya dan ia tahu bahwa Hui Song memiliki watak dan citarasa yang mirip dengannya.
Hanya dengan Hui Song dia dapat bergembira, dapat bertengkar, berbaik kembali, berbantahan dan saling mengalah. Cia Sun terlalu serius, terlalu halus perasaannya sehingga tentu mudah tersinggung. Siangkoan Ci Kang mungkin yang paling gagah diantara mereka, penuh daya tarik kejantanan, akan tetapi juga pendiam dan bahkan agak dingin. Kini, dalam keadaan terancam bahaya seperti itu, memang lucu sekali, gadis ini mengambil keputusan bahwa yang dicintanya hanyalah Hui Song.
"Cin-moi, aku harus menolongmu. Aku dapat meloncat ke atas batu dan membebaskanmu, tanpa menginjak tanah di tepi batu pat-kwa ini!" kata Hui Song.
"Jangan...! Berhati-hatilah, Song-ko, engkau akan celaka nanti. Batu pat-kwa ini mengandung alat-alat rahasia yang mengerikan. Aku melihat sendiri betapa Raja dan Ratu Iblis melakukan langkah-langkah aneh ketika menginjak batu pat-kwa ini, dan aku yakin bahwa sekali saja salah langkah dan menginjak bagian yang ada alat rahasianya, akan terjadi hal-hal yang mengerikan."
"Aku tidak takut, kalau perlu aku boleh saja mati untuk menolongmu!"
"Nanti dulu, paman Hui Song! Kalau alat rahasia itu mengakibatkan kematianmu masih baik, akan tetapi bagaimana kalau alat rahasia itu bekerja membunuh Sui Cin?" kata Cia Sun dan Hui Song berubah agak pucat wajahnya karena dia teringat akan kemungkinan ini dan membayangkan kematian mengerikan bagi Sui Cin sebagai akibat perbuatannya yang gegabah!
"Begini saja!" tiba-tiba Ci Kang berkata. "Aku yang mencoba menghampiri nona Ceng dengan jalan di atas batu pat-kwa. Kalau terjadi apa-apa dengan diriku, biarlah, aku rela mati. Dan kalau terjadi sesuatu dengan nona Ceng, kalian berdua berjaga-jaga dan melindunginya."
"Biar aku saja yang mencobanya, Ci Kang," kata Cia Sun. "Engkau dan paman Hui Song yang berjaga-jaga melindungi Cin-moi."
"Jangan...!" Kini Hui Song yang berteriak. "Apakah kalian mau mempermainkan keselamatan Cin-moi? Tidak, tidak boleh gegabah! Kita harus menyelidiki dulu keadaan batu pat-kwa ini dan sekelilingnya!"
"Lalu apa yang akan kau lakukan, paman Hui Song?"
"Kita selidiki dulu tanah di sekelilingnya pat-kwa ini."
Hui Song mengambil batu-batu sebesar kepala orang. Dia melemparkan batu itu di dekat batu pat-kwa di depan Sui Cin dan benar saja, tiba-tiba begitu tersentuh batu, pasir di depan batu pat-kwa itu bergerak memutar dan batu itupun disedot dengan cepat sekali ke bawah! Hui Song mencoba lagi untuk melihat dimana batas pasir berputar itu dan ternyata sampai sejauh tiga meter di bagian itu masih berbahaya.
Kini Cia Sun dan Ci Kang tanpa diminta membantu pemuda Cin-ling-pai itu. Mereka menggunakan batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu pat-kwa.
Ada bagian yang kalau diinjak atau kejatuhan batu mengeluarkan paku-paku beracun, ada pula yang mengeluarkan asap beracun sehingga tidaklah mungkin menghampiri batu pat-kwa dengan menginjak tanah di sekelilingnya, kecuali satu bagian saja yang ketika dijatuhi batu tidak mengakibatkan apa-apa.
Bagian ini berada di sebelah kiri Sui Cin. Ketika beberapa kali mereka melemparkan batu di segi itu dan tidak terjadi reaksi apa-apa seperti yang terjadi pada tujuh segi yang lain, mereka menjadi girang.
"Bagian ini tidak mengandung perangkap!" kata Hui Song.
"Biar aku sekarang mencoba naik ke batu pat-kwa," kata Ci Kang sambil melangkah maju.
"Tidak! Engkau tidak boleh mendekatinya. Akulah yang berhak menolong Cin-moi, bukan engkau!"
Hui Song yang masih membenci Ci Kang karena perbuatannya yang lalu terhadap Sui Cin, membentak marah.
"Hemm, mengapa harus engkau saja?" Ci Kang merasa mendongkol dan membantah.
"Karena ia... ia... adalah orang yang kucinta!" dengan jujur Hui Song mengaku begitu saja sehingga wajah Sui Cin menjadi merah dan hatinya juga mendongkol mengapa Hui Song begitu lancang untuk bicara soal cinta di depan orang-orang lain dalam keadaan seperti itu.
"Hemm, engkau sungguh terlalu tinggi hati," kata Ci Kang tak puas.
"Paman Hui Song, siapapun orangnya boleh saja jatuh cinta kepada Cin-moi dan hanya ialah yang akan menentukan siapa yang berhak memiliki hatinya. Akan tetapi untuk menolongya kukira tidak ada perbedaan, semuapun berhak."
"Tidak! Biar aku yang mencobanya lebih dulu, dan kuharap engkau suka menjaga kalau-kalau ada sesuatu yang mengancam dirinya, Cia Sun."
Tanpa memberi kesempatan kepada dua orang pemuda yang lain, Hui Song melangkah ke atas tanah yang tadi sudah dicoba berkali-kali dengan lemparan batu dan tidak terjadi sesuatu. Sui Cin yang tadi merasa bingung melihat betapa terjadi pertengkaran diantara mereka, memandang dengan hati khawatir.
Tiba-tiba terdengar ledakan dan Hui Song cepat meloncat ke belakang sambil berjungkir balik. Untung dia dapat bergerak cepat dan bersikap waspada. Kiranya tanah yang tadi sudah dicoba dengan lemparan batu dan tidak berbahaya itu, begitu terkena injakan kakinya lalu melemparkan batu dan pasir ke atas disertai suara ledakan dari bawah!
"Sungguh aneh! Kenapa tadi ketika dicoba dengan batu tidak apa-apa?" tanya Hui Song.
Cia Sun juga merasa heran dan dia sudah melemparkan lagi sebuah batu ke tempat itu. Kembali terdengar ledakan dan pasir bersama batu menyambar ke atas disertai ledakan dari bawah!
"Ah, aku tahu sekarang!" kata Ci Kang yang menusuk-nusukkan sebatang kayu yang didapatnya keatas tanah di sebelah kanan bagian yang meledak tadi.
Dan di bagian itu, ketika ditusuk-tusuk, tidak terjadi apa-apa. Padahal tadi bagian itu kalau disentuh mengeluarkan paku-paku beracun!
"Aku mengerti sekarang. Lihat, bayangan tiang itu tadi tiba di segi yang meledakkan pasir dan ketika dicoba tidak apa-apa. Kini bayangan tiang sudah bergeser ke kanan, jatuh di bagian ini dan bagian ini yang tadi menyemburkan paku kini tidak berbahaya. Sebaliknya, bagian yang tadi terkena bayangan dan tidak berbahaya, kini menjadi berbahaya! Agaknya bayangan tiang itu membuat alat rahasia di bagian atau segi yang tertutup bayangan menjadi lumpuh dan alat rahasia itu tidak bekerja!"
Dua orang pemuda yang lain mencoba-coba dan memang benar. Kini bagian yang terkena bayangan yang nampak melintang hitam di satu segi dari batu pat-kwa, ketika dilempar batu tanah di depannya, tidak terjadi apa-apa.
"Aku akan naik, harap kalian menjaga nona Sui Cin!" kata Ci Kang dan dengan berani dia sudah melangkah ke depan.
Tanah itu diinjaknya dan tidak terjadi apa-apa. Dia melangkah menghampiri batu pat-kwa, dipandang dengan jantung berdebar oleh Sui Cin. Dua orang pemuda yang lain, karena kedahuluan Ci Kang terpaksa hanya berdiri dengan sikap penuh kewaspadaan mereka menjaga kalau-kalau Sui Cin akan terancam bahaya bekerjanya alat rahasia.
Ci Kang sudah tiba di dekat batu pat-kwa. Dia tidak mau gegabah naik ke atas batu-batu pat-kwa itu, akan tetapi lebih dahulu menggunakan tongkat kayu tadi memukul permukaan batu pada kotak pertama. Setelah tidak terjadi sesuatu, dia lalu naik dan menginjak bagian itu.
Dengan tongkatnya, dia memukul lagi bagian depan, juga tidak terjadi apa-apa. Kotak ketiga di depan dibagi menjadi dua oleh sebuah garis. Ci Kang meragu. Yang mana yang harus dipukul untuk mencari landasan yang aman. Dia memukulkan tongkatnya dengan hati-hati ke atas kotak yang kiri dan tiba-tiba saja bagian itu terbuka dan nampak berkelebat dua sinar hitam, satu ke arah Ci Kang dan yang lain ke arah Sui Cin!
Ci Kang cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik melompat ke bawah batu pat-kwa sehingga anak panah hitam itu meluncur lewat dan tidak mengenai tubuhnya. Dan pada saat itu, Hui Song melemparkan sebuah batu besar menyambit anak panah yang meluncur dan menyambar ke arah Sui Cin.
"Takkk...!"
Anak panah itu terpukul batu dan mencelat jauh keluar batu pat-kwa. Wajah Sui Cin menjadi agak pucat dan wajah tiga orang pemuda itupun diliputi ketegangan.
"Sungguh berbahaya!" kata Cia Sun. "Biarlah aku yang sekarang mencobanya, harap kalian suka menjaga baik-baik."
Tanpa menanti jawaban, diapun menghampiri bagian segi yang tadi dilalui Ci Kang. Seperti juga Ci Kang, dia berhasil naik sampai ke dalam kotak kedua dan disini, dengan hati-hati dia menggunakan ujung kakinya menekan kotak yang kanan dari kotak yang terbagi dua itu dan ternyata disini aman, tidak seperti di bagian kiri yang tadi menyemburkan anak panah. Dua orang pemuda lain memandang penuh ketegangan.
Di depan kotak ketiga yang terbagi dua itupun terdapat kotak yang terbagi dua. Satu segi dari batu pat-kwa itu terbagi menjadi lima kotak dengan garis melintang dan di bagian yang dilalui Cia Sun itu kotak ketiga dan keempat terbagi menjadi dua.
Disini Cia Sun menjadi ragu lagi. Kotak mana yang harus dilaluinya. Dia sudah dekat dengan Sui Cin, akan tetapi belum dapat menjangkau ke depan untuk melepaskan belenggu pada kedua pergelangan lengan gadis itu. Dia masih harus melalui dua bagian lagi ke depan. Dengan hati-hati dan secara untung-untungan, kakinya menginjak bagian kanan dari kotak yang terbagi dua itu.
"Blarrr...!"
Bagian itu terbuka dan dengan desis yang mengerikan, keluarlah dua ekor ular sendok yang agaknya sudah kelaparan karena dua ekor ular itu tiba-tiba menyerang ke arah Cia Sun dan Sui Cin.
Dalam keadaan berdiri dengan sebelah kaki seperti itu, tentu saja Cia Sun tidak dapat melawan serangan ular dan menghindarkan diri, dia melempar tubuh ke belakang seperti yang dilakukan oleh Ci Kang tadi. Akan tetapi, Ci Kang dan Hui Song yang sudah siap siaga, menggerakkan tangan dan dua buah batu menghantam dua ekor ular itu sehingga dua binatang berbisa itu terlempar jauh dengan kepala hancur oleh dua buah batu yang disambitkan dengan kekuatan besar itu.
Kini mereka bertiga saling pandang dengan muka pucat.
"Berbahaya sekali!" kata Cia Sun. "Sungguh tidak mungkin menghampiri Sui Cin melalui atas batu pat-kwa, terlalu berbahaya baginya, harus dicari jalan lain."
"Aku tahu," kata Hui Song "Aku akan meloncat ke atas tiang itu. Dengan demikian aku akan melewati batu pat-kwa dan dari atas tiang, aku dapat membebaskan belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin."
"Jangan, Song-ko, terlalu berbahaya. Bagaimana kalau sampai engkau terjebak dan celaka?" seru Sui Cin penuh kekhawatiran.
Bukan main gembiranya rasa hati Hui Song mendengar dan melihat kekhawatiran gadis itu. Mungkinkah Sui Cin begitu mengkhawatirkan keselamatan dirinya karena mencintanya?
"Ah, apa artinya malapetaka bagiku, Cin-moi? Yang penting asal engkau selamat dan bebas dari tempat ini!"
Setelah berkata demikian, dengan penuh semangat karena terdorong rasa gembiranya, Hui Song sudah meloncat ke atas. Bagaikan seekor burung garuda yang besar, dia melayang ke arah tiang di tengah batu pat-kwa dan hinggap di puncak tiang itu.
Akan tetapi, begitu kedua kakinya menginjak tiang, tiba-tiba terdengar suara keras dan tiang itupun berputar dengan cepat sekali, membawa tubuh Sui Cin dan Hui Song berputaran dengan cepat.
Karena Sui Cin tidak dapat bergerak, kedua pergelangan tangannya diikat di belakang tiang, ia merasa ngeri dan hanya memejamkan kedua matanya, menanti datangnya maut yang mungkin tak dapat dihindarkannya lagi. Tubuh Hui Song yang berdiri di atas tiang dengan sebelah kaki, berpusing dengan amat cepatnya pula. Pemuda inipun bingung sekali karena dia tidak mungkin dapat menghentikan gerakan tiang yang berputar dengan amat cepatnya itu, yang membawa tubuhnya berpusing seperti kitiran.
Betapapun pandainya, mana mungkin dia dapat menggunakan tenaga untuk melawan perputaran tiang. Yang membingungkan hatinya adalah karena dia memikirkan keselamatan gadis yang dicintanya, yang juga berpusing di sebelah bawahnya. Dia tidak begitu memperhatikan dirinya sendiri, akan tetapi lebih mengkhawatirkan keselamatan Sui Cin.
Semua orang yang berada di luar batu pat-kwa juga terbelalak bingung. Kalau tiang itu tidak cepat dapat dihentikan, kalau kedua orang itu terus berpusing seperti itu cepatnya, akan berbahayalah keadaan mereka. Orang akan dapat tewas hanya karena diputar secepat itu, atau setidaknya akan gila karena ketakutan.
"Hui Song, cepat meloncat turun!" tiba-tiba Ci Kang membentak dan nyaring.
Dia tidak ingat lagi akan segala ketidak senangan hatinya dan menyebut nama Hui Song begitu saja di luar kesadarannya, saking gelisahnya melihat Sui Cin dan Hui Song berpusing seperti itu.
Barulah Cia Sun teringat dan iapun cepat meneriaki Hui Song agar segera meloncat turun. Tadinya, Hui Song sendiri tidak sadar dan mengambil keputusan untuk mati bersama Sui Cin. Akan tetapi, mendengar teriakan-teriakan kedua orang pemuda di bawah itu, teringatlah dia bahwa berpusingnya tiang karena terinjak olehnya dan besar sekali kemungkinan tiang itu akan berhenti kalau tidak diinjak.
Akan tetapi, meloncat turun sampai di luar batu pat-kwa dalam keadaan berputar secepat itu bukanlah hal yang mudah dan tidak berbahaya. Betapapun juga, teringat akan keselamatan Sui Cin, dia tidak memperdulikan lagi bahaya apapun yang akan mengancamnya dan setelah mengumpulkan tenaga, tiba-tiba saja tubuhnya meloncat meninggalkan tiang.
Tentu saja dia tidak dapat mempergunakan perhitungan karena pandang matanya sudah kabur dan dia tidak dapat melihat ke arah mana dia melompat. Bayangan kedua orang pemuda di luar batu pat-kwa itupun sudah tidak nampak olehnya saking cepatnya tubuhnya berpusing.
Begitu tubuhnya meloncat terlepas dari tiang, tubuh itu terbawa oleh tenaga dorongan ketika berpusing itu dan loncatannya menjadi jauh sekali! Tubuhnya seperti sebuah batu dilemparkan dengan tenaga raksasa.
Kalau bukan Hui Song yang berkepandaian tinggi, tentu akan celakalah orang yang dilontarkan seperti itu. Akan tetapi Hui Song tidak kehilangan ketenangannya sehingga dalam keadaan yang amat berbahaya itu dia dapat mengambil tindakan tepat. Dia cepat mengerahkan tenaganya dan dengan gerakan kaki tangannya dia mampu meloncat jungkir balik sedemikian rupa sehingga tubuhnya melayang ke atas dan dorongan tenaga berpusing tadipun dapat dihindarkan.
Tubuhnya masih berjungkir balik beberapa kali kemudian meluncur turun dan dia dapat hinggap ke atas tanah dengan selamat, walaupun mukanya menjadi pucat sekali dan tubuhnya basah oleh peluh. Ketika memandang, kepalanya pening dan dia memejamkan mata sebentar, mengumpulkan hawa murni dan akhirnya dia dapat menguasai keadaannya. Dibukanya matanya dan ternyata dia telah terlempar sampai puluhan meter jauhnya!
Dia melihat betapa tiang itu masih berputar, akan tetapi tidak cepat lagi dan perlahan-lahan berhenti. Tubuh Sui Cin masih terikat dan gadis itu nampak lemas, kepalanya terkulai dan matanya terpejam. Gadis itu telah jatuh pingsan!
"Cin-moi...!"
Hui Song berseru dengan hati penuh kegelisahan dan dia berlompatan menuju ke batu pat-kwa itu.
"Ia tidak apa-apa, hanya pingsan. Pernapasannya berjalan seperti biasa," kata Cia Sun.
"Untung ia pingsan, itu lebih baik bagi syarafnya," sambung Ci Kang.
Hui Song memandang penuh perhatian dan hatinyapun lega. Memang gadis itu hanya pingsan, dan kini tiang itu telah berbenti sama sekali seperti tadi. Kiranya kalau tiang itu diinjak atau disentuh dari atas, ada alat yang menggerakkannya sehingga berputar sampai dia dan Sui Cin tidak kuat lagi. Sungguh berbahaya!
"Aihh, bagaimana kita dapat membebaskannya?" Dia mengeluh khawatir.
"Kita harus berhati-hati. Agaknya Raja Iblis sengaja menggunakan Sui Cin sebagai umpan agar para penolong celaka," kata Cia Sun.
"Atau dia sengaja memancing para pendekar agar berkumpul disini dengan maksud-maksud tertentu. Dia tentu tidak jauh dari sini. Kalau kita bisa menemukan Hui Cu, tentu gadis itu dapat memberi tahu kepada kita rahasia batu pat-kwa ini," kata Ci Kang.
"Aku tidak perduli Iblis itu menggunakan siasat apapun, aku tidak perduli siapa celaka asal dapat membebaskan Cin-moi!" kata Hui Song penuh nafsu.
Cia Sun mengerutkan alisnya.
"Membebaskan Sui Cin memang amat penting, akan tetapi keselamatan orang lain juga penting," katanya seperti kepada diri sendiri.
Ci Kang diam saja dan Hui Song sadar betapa dia terlalu mementingkan keselamatan Sui Cin saja sehingga meremehkan keselamatan orang lain.
"Maksudku, aku tidak perduli aku celaka atau mati sekalipun asalkan ia dapat diselamatkan dan dibebaskan dari situ," katanya lagi.
Pada saat itu terdengar suara keluhan dan mereka bertiga cepat mengangkat muka memandang kepada Sui Cin yang baru saja siuman. Gadis itu membuka matanya dan segera menutupkannya kembali. Seperti juga Hui Song tadi, ia merasa betapa sekelilingnya masih berpusing.
"Kumpulkan hawa murni, Cin-moi, sebentar juga pening itu akan hilang," kata Hui Song.
Mendengar suara Hui Song, legalah hati Sut Cin. Tadi ia sudah merasa khawatir sekali akan nasib Hui Song. Ia yang terbelenggu pada tiang saja, merasa berpusing sedemikian cepatnya dan ia mengkhawatirkan Hui Song yang juga ikut terputar di atasnya. Ia lalu menarik napas panjang berkali-kali, mengumpulkan hawa murni dan akhirnya ia dapat menguasai dirinya dan membuka matanya.
"Kalian berhati-hatilah, jangan gegabah," katanya. "Jangan sampai menolongku gagal, kalian malah tertimpa bahaya." Ia mengangkat mukanya memandang ke depan dan tiba-tiba gadis itu berkata. "Ah, siapa yang datang itu...?"
Tiga orang muda itu memandang dan mereka mangerutkan alis. Dari jauh, di atas sebuah bukit, nampak dua sosok bayangan besar dan kecil bergerak cepat sekali menuruni bukit itu menuju ke arah mereka.
"Hemm, kalau itu Raja dan Ratu Iblis yang datang, aku akan mengadu nyawa dengan mereka!" kata Hui Song mengepal tinju.
"Raja Iblis tidak segendut itu!" kata Ci Kang.
"Dan yang seorang lagi itu terlalu pendek untuk menjadi Ratu Iblis," kata Cia Sun.
"Heiii, itu suhu... tak salah lagi, itu suhu Wu-yi Lo-jin!" kata Sui Cin dengan suara gembira.
"Dan yang gendut itu adalah suhu Siang-kiang Lo-jin!" Hui Song juga berseru girang ketika mengenal kakek gendut botak itu.
Dan memang benarlah. Setelah tiba dekat, ternyata mereka adalah dua orang kakek aneh sakti yang pernah menggembleng Sui Cin dan Hui Song selama tiga tahun. Begitu tiba disitu, Wu-yi Lo-jin yang berjuluk Dewa Arak itu terkekeh dan menudingkan telunjuknya kepada Sui Cin.
"Heh-heh, bocah nakal, kau sedang mengapa disitu?"
"Suhu, aku tertawan oleh Raja Iblis dan diikat disini. Suhu, jangan dekat-dekat, mereka bertiga tadi hampir celaka ketika mencoba menolongku! Batu pat-kwa ini mengandung alat rahasia yang amat berbahaya!"
Mendengar seruan muridnya ini, kakek yang berkepala gundul dengan alis, kumis dan jenggot putih panjang sampai ke perut itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul.
"Wah, wah kalau begitu, bagaimana harus menolongmu?"
"Locianpwe, kami bertiga tadi sudah mencoba-coba, akan tetapi selalu gagal, bahkan bukan saja membahayakan penolongnya, juga membahayakan pula nona Sui Cin."
Mendengar ucapan Ci Kang ini, Hui Song yang sudah mendekati gurunya barkata,
"Suhu, tolonglah suhu memberi petunjuk, bagaimana teecu dapat membebaskan Cin-moi dari tiang itu tanpa membahayakan keselamatannya?"
Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas nampak tertegun memandang batu pat-kwa itu, alisnya berkerut dan sebentar saja penggunaan pikiran yang diperas itu membuat tubuh gendut itu mandi keringat. Terpaksa dia menggerakkan kipasnya yang lebar untuk mengipasi tubuhnya yang bagian depannya nampak karena bajunya tidak dapat dikancingkan itu.
"Ha-ha-ha, Si Dewa Kipas yang terlalu banyak makan, mana mampu memecahkan masalah rumit seperti ini? Aku berani bertaruh bahwa dia tidak akan mampu, ha-ha!" Wu-yi Lo-jin yang suka berkelakar dan menggoda orang itu tertawa-tawa mengejek.
Kerut diantara alis mata Si Dewa Kipas makin mendalam dan agaknya otaknya diperas lebih keras lagi untuk mencari akal.
"Aahhh, apa sih sukarnya? Biar batu pat-kwa ini mengandung banyak alat rahasia, kalau kugempur tentu hancur!"
"Jangan, suhu!" kata Hui Song. "Baru diinjak saja sudah mengeluarken senjata-senjata rahasia yang berbahaya, apalagi digempur!"
"Gendut, enak saja kau bicara! Kalau digempur dan alat-alat rahasia menggerakkan senjata-senjata maut menyerang muridku, berarti kau membunuhnya dan kalau terjadi demikian, mau tidak mau terpaksa aku akan menggempur perut gendutmu itu!" kata Wu-yi Lo-jin dengan mata terbelatak dan mulut cemberut.
Dia marah sungguh-sungguh akan tetapi tetap saja mukanya nampak lucu sehingga sama sekali tidak menyeramkan.
"Huh!" Siang-kiang Lo-jin mencela. "Lalu apa gunanya engkau si kerdil ini hadir disini? Aku menggempur batu pat-kwa dan engkau berjaga-jaga, kalau muridmu terancam bahaya, engkau menghalau serangan-serangan itu. Apa sukarnya? Kalau kau tidak mampu, berarti kau tidak berguna disini dan lebih baik kau pergi agar tidak memuakkan saja!"
"Wah, wah! Kau menghina, ya? Aku ini memuakkan? Engkaulah yang memuakkan. Lihat perutmu, orang macam engkau ini yang menyebabkan banyak orang kelaparan. Makan sepuluh orang kau habiskan sendiri!"
"Dan engkau ini si kerdil yang mabok-mabokan. Engkau ini namanya orang yang tidak tahu terima kasih kepada alam, biar alam melimpahkan segala untukmu, engkau tetap kurus kering, seperti cecak mati. Aku ini yang namanya mengenal budi dan selalu bersyukur sehingga tubuhku subur."
"Subur apanya? Perut gendut itu sarang cacing dan penyakit!"
Dua orang kakek itu berhadapan dan agaknya seperti dua orang anak kecil yang siap untuk berhantam. Melihat ini, Sui Cin berseru,
"Suhu, aku tak berdaya dan perlu pertolongan, akan tetapi suhu ribut-ribut sendiri saja bercekcok! Ini namanya suhu tidak sayang kepadaku!"
Ditegur demikian oleh Sui Cin, Wu-yi Lo-jin mundur menjauhi Siang-kiang Lo-jin dan kini dia memandang ke arah batu pat-kwa dengan alis bergerak-gerak. Sampai lama dia termenung. Melihat ini, Siang-kiang Lo-jin tertawa bergelak, memegangi perut gendutnya yang kembang kempis bergelombang.
"Hua-ha-ha, otakmu terlalu kecil untuk dapat memecahkan persoalan ini!"
Akan tetapi Wu-yi Lo-jin tidak melayani dan dia bertanya kepada Hui Song
"Kalian tadi sudah mencoba dan menyelidiki keadaan batu pat-kwa ini? Coba ceritakan, apa rahasianya!"
"Begini, locianpwe. Delapan segi dari batu ini semua mengandung alat rahasia yang kalau diinjak atau disentuh lalu mengeluarkan serangan senjata-senjata rahasia yang berbahaya. Bahkan setiap kotak satu segi itu mempunyai senjata rahasia sendiri-sendiri. Bahkan tanah di sekeliling batu pat-kwa inipun mengandung jebakan yang amat berbahaya sehingga mendekati batu pat-kwa itu saja sudah berbahaya. Hanya bagian tanah di luar segi pat-kwa yang tertutup bayangan tiang itu saja yang agaknya menjadi lumpuh dan tidak berdaya lagi alat rahasianya.”
“Akan tetapi yang lumpuh itu hanya tanah di luarnya saja, sedangkan batu pat-kwa itu sendiri masih bekerja. Kami telah mencoba dari berbagai jurusan, namun selalu gagal dan membahayakan keselamatan Cin-moi. Bahkan saya sendiri sudah mencoba dengan meloncat melewati batu dan hinggap di tiang itu akan tetapi begitu terinjak, tiang itupun berpusing dengan amat cepatnya sehingga amat membahayakan dan tidak memungkinkan saya menolong dan membebaskan Cin-moi."
Hui Song yang merasa gelisah sekali melihat keadaan Sui Cin lalu menyambung dengan suara memobon,
"Locianpwe, tolonglah... tolonglah Cin-moi...!"
Melihat muridnya memohon kepada kakek kerdil itu, Siang-kiang Lo-jin mengejek,
"Hemm, sudah kukatakan, otaknya terlalu kecil untuk dapat berpikir besar!"
Akan tetapi tiba-tiba kakek katai itu meloncat dan wajahnya nampak berseri,
"Nah, sudah tahu aku bagaimana harus membebaskan muridku!"
Hui Song memandang girang.
"Bagaimana, locianpwe?"
"Membebaskannya melalui batu patkwa tidak mungkin, meloncat ke tiang itupun tidak mungkin. Satu-satunya cara untuk menolongnya hanyalah membuka ikatan tangannya tanpa menyentuh batu pat-kwa atau tiang. Bukankah sederhana saja cara itu?"
Tiba-tiba kakek gendut itu tertawa bergelak. Kakek kerdil mengerutkan alis memandang kepadanya dengan marah.
"Ndut, kenapa kau tertawa? Engkau mentertawakan akalku yang amat bagus itu?"
"Akal bagus tahi kucing! Akalmu itu hanya dapat dilakukan oleh Sun Go Kong (Si Raja Monyet dalam dongeng See-yu)! Hanya Sun Go Kong yang bisa mengulur lengannya sampai satu li panjangnya atau pian-hwa (berganti rupa) menjadi seekor lalat yang dapat terbang ke tangan muridmu itu tanpa menyentuh tiang, terapung di udara! Omong kosong akalmu itu!"
Biarpun ucapan kakek gendut itu bernada mengejek, berkelakar atau menggoda, namun tiga orang pemuda dan Sui Cin yang mendengarkan, mau tidak mau harus membenarkan dan mereka menganggap akal Wu-yi Lo-jin itu biarpun benar akan tetapi tidak mungkin dapat dilaksanakan.
Akan tetapi kakek kerdil itu bertolak pinggang dan memandang kakek gendut dengan mata melotot.
"Nah, ini buktinya bahwa biar kecil, aku seperti sebuah ciu-ouw (guci arak) yang penuh dengan arak wangi, sebaliknya engkau biar besar, seperti sebuah gentong air yang kosong melompong! Kalau aku tahu akalnya, tentu aku tahu pula caranya untuk melaksanakan akal itu."
"Bagaimana caranya, suhu?" Sui Cin yang sudah tidak sabar mendengarkan perdebatan itu bertanya.
"Tenanglah, muridku. Selama ada gurumu disini, tentu engkau akan selamat." Dan dia lalu menghadapi Siang-kiang Lo-jin. "Kita adalah laki-laki berisi, bukan boneka-boneka lemah. Kita bentuk jembatan manusia. Engkau San-sian (Dewa Kipas), karena engkau paling gendut dan paling berat, juga untuk hukumanmu telah berani mengejek akalku, engkau menjadi tiang penyangga paling bawah. Kemudian pemuda tinggi besar yang bertubuh kokoh kuat itu." dia menunjuk kepada Ci Kang, "menjadi tiang penahan. Dia ini," ditunjuknya Cia Sun, "dan muridmu menjadi dua tiang penghubung yang melengkung ke arah muridku. Aku sendiri menjadi bagian paling atas untuk mencapai muridku dan membebaskannya dari belenggu. Nah, mengertikah engkau?"
Siang-kiang Lo-jin adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dalam hal kecerdikan, dia memang kalah oleh kakek kerdil itu. Agaknya memang orang yang bertubuh kecil biasanya lebih gesit dan cerdik daripada orang yang bertubuh besar. Dia menggeleng kepala.
"Aku tidak mengerti..."
"Suhu, aku sudah mengerti dan memang akal Wu-yi locianpwe itu hebat sekali! Mari kita laksanakan!" kata Hui Song.
Akan tetapi Siang-kiang Lo-jin masih belum mengerti dan melihat ini. Wu-yi Lo-jin berkata tidak sabar,
"Kalau tidak mengerti, turut saja perintahku! Tak perlu membuang waktu banyak lagi. Nah, gendut, engkau rebahlah di dekat batu pat-kwa di bagian yang ditimpa bayangan tiang. Engkau rebah terlentang di atas tanah dan persiapkan tenagamu. Apakah engkau masih kuat menyangga empat orang?"
Biarpun belum mengerti benar, akan tetapi pertanyaan ini dianggap tantangan oleh Dewa Kipas.
"Jangankan hanya empat orang, biar sepuluh orang masih dapat kuangkat!" jawabnya.
"Bagus, kalau begitu cepat kaurebahken dirimu terlentang, mukamu menghadap ke tiang!"
Siang-kiang Lo-jin menurut dan merebahkan dirinya terlentang di luar batu pat-kwa, di bagian segi yang tertutup bayangan tiang.
"Sekarang engkau orang muda!" kata Wu-yi Lo-jin kepada Ci Kang. "Sebaiknya lepas bajumu agar pegangan menjadi kuat, tidak berpegang kepada baju yang dapat robek."
Ci Kang membuka bajunya, diturut pula oleh Cia Sun dan Hui Song. Kemudian Ci Kang berdiri di depan tubuh Dewa Kipas, diantara kedua kakinya. Kini Dewa Kipas sudah mulai mengerti, maka ketika pemuda tinggi besar itu mengulurkan lengan kanannya yang kokoh kuat, Dewa Kipas memegang tangan Ci Kang dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang pangkal lengan pemuda itu. Ci Kang menekuk kedua kakinya dan Cia Sun lalu meloncat ke atas kedua paha yang melintang itu, membiarkan kedua lengannya ke belakang untuk ditangkap oleh tangan kiri Ci Kang.
Atas isyarat Wu-yi Lo-jin, kini Hui Song lalu memanjat ke atas dan dengan ilmu meringankan tubuhnya, dia berhasil duduk di atas kedua pundak Cia Sun, menjepit leher Cia Sun dengan kedua pahanya, kedua kakinya ditekuk ke belakang melalui kedua ketiak Cia Sun dan mengait punggung. Setelah itu, Wu-yi Lo-jin sendiri dengan sekali lompatan saja, seperti seekor burung, sudah melayang ke atas pundak Hui Song dan seperti juga Hui Song, kedua kakinya menghimpit leher dan mengait ke punggung pemuda itu. Jadilah lima orang itu sebuah tiang yang cukup tinggi.
"Sekarang, perlahan-lahan melengkung ke depan, kita membentuk jembatan!" kata Wu-yi Lo-jin. "Heii, gendut. Hati-hati kau, pegang yang kuat dan kerahkan tenagamu. Kalau kau gagal kami semua akan mampus!"
Tiang lima manusia ini mulai condong ke arah Sui Cin yang berdiri dengan hati tegang dan gadis ini menoleh ke belakang karena pada saat itu, matahari berada di depannya dan bayangan tiang itu berada di belakangnya sehingga lima orang itu beraksi di sebelah belakangnya.
"Ha-ha, engkau ringan seperti ampas kering, tidak perlu mengerahkan tenagapun aku masih sanggup menahanmu!"
Siang-kiang Lo-jin yang menahan tubuh empat orang itu masih sempat tertawa dan bicara. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga karena maklum bahwa biarpun dia berada paling bawah dan seperti diremehkan, namun sesungguhnya kepercayaan kakek kerdil itu dipusatkan kepadanya dan dialah yang kini memegang keselamatan mereka semua!
"Melengkung lagi, sedikit lagi!" kata Wu-yi Lo-jin.
Tubuh Ci Kang yang menjadi tiang penahan itu nampak kokoh, urat-urat melingkar-lingkar di kedua lengan dan dadanya yang telanjang. Akhirnya, tiang manusia itu melengkung dan kedua tangan Wu-yi Lo-jin dapat mencapai ikatan tangan Sui Cin!
Mereka akhirnya dapat mendekati Sui Cin tanpa menyentuh batu pat-kwa maupun tiang. Dan jari-jari tangan kakek kerdil yang kecil namun mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat itu dengan mudah melepaskan tali sutera pengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin.
"Hati-hati, jangan bergerak, lemaskan tubuhmu. Biar kulemparkan engkau keluar batu pat-kwa," bisik kakek itu. Lalu dia berkata ke bawah, "Kalian kerahkan tenaga, aku akan membuat gerakan melempar tubuh muridku keluar batu pat-kwa!"
Sui Cin menggeser kakinya sehingga tubuhnya kini berada tepat di depan gurunya, tidak terhalang tiang dan gurunya memegang kedua pundaknya, lalu dengan pengerahan tenaga yang tiba-tiba dia mengangkat dan melemparkan tubuh muridnya itu ke arah samping.
Tubuh gadis itu melayang jauh dengan cara berjungkir balik, Sui Cin menambah kecepatan luncuran tubuhnya dan akhirnya dengan lunak dara itu mendarat beberapa meter di luar daerah tanah berbahaya di luar batu pat-kwa!
Tiang manusia itupun terbongkar setelah Wu-yi Lo-jin meloncat turun, disusul oleh Hui Song, Cia Sun dan Ci Kang. Mereka semua berdiri dengan wajah berseri karena gembira melihat betapa mereka telah berhasil membebaskan Sui Cin.
"Suhu...!"
Sui Cin lari menghampiri Wu-yi Lo-jin yang melompat turun terlebih dahulu dan kakek kerdil itu merangkul muridnya sambil terkekeh gembira.
"Anak nakal, lain kali kalau mau main-main di tempat berbahaya, ajak gurumu!"
Sui Cin yang merasa gembira dan terharu sekali setelah mengalami ketegangan luar biasa kini lari menghampiri Hui Song yang sudah melompat turun. Mereka itu saling menghampiri dan kini berhadapan, berpegangan tangan dan saling bertatapan dengan penuh kebahagiaan. Pada saat itu Sui Cin merasa betapa ia mencinta pemuda ini dan dari dua pasang tangan itu keluar getaran-getaran kasih yang hanya dapat terasa oleh mereka berdua.
"Heh-he-he, kalian memang pasangan yang cocok sekali. Bukankah begitu, gendut?" kata kakek kerdil.
"Benar katamu!" kata Siang-kiang Lo-jin, hilang marahnya karena dia kagum akan kecerdikan kawannya yang berkepala kecil dan berotak sedikit itu.
Mendengar ucapan dua orang kakek itu, Sui Cin tersipu dan merasa mukanya menjadi panas. Muka itu kemerahan dan dua muda-mudi ini sudah melepaskan pegangan tangannya, lalu menghampiri Cia Sun.
"Sun-toako, terima kasih atas bantuanmu," katanya dengan sikap halus.
"Berterima kasihlah kepada suhumu, Cin-moi. Beliau yang memperoleh akal itu," jawab Cia Sun.
Ci Kang merasa risi dan sungkan sekali, di dalam hatinya dia tidak ingin berhadapan dengan Sui Cin karena hal ini hanya membuatnya malu. Akan tetapi gadis itu menghampirinya dan berkata halus,
"Saudara Ci Kang, terima kasih!"
Ci Kang mengankat muka memandang dan melihat betapa sinar mata Sui Cin kepadanya sama sekali tidak nampak marah atau benci, jantungnya berdebar keras dan dia merasa terharu sekali. Dia hanya mengangguk dan kata-kata sukar keluar dari mulutnya.
"Aku... aku tidak ada artinya, nona..."
Diam-diam Hui Song merasa mendongkol bukan main melihat betapa Sui Cin bercakap-cakap dengan Ci Kang. Kalau menurutkan perasaan hatinya, dia ingin meneriaki Ci Kang dan memakinya. Orang macam itu tidak pantas bercakap-cakap dengan Sui Cin! Akan tetapi mengingat bahwa bagaimanapun juga Ci Kang membantu pertolongan kepada Sui Cin, dia menahan kepanasan hatinya.
"Dimana adanya datuk sesat Raja dan Ratu Iblis itu, Cin-moi?" Hui Song meluapkan perasaan tidak senangnya kepada Ci Kang dengan pertanyaan itu. "Aku akan mengadu nyawa dengan mereka dan harus kubasmi iblis-iblis kaum sesat!"
Berkata demikian, dia melirik ke arah Ci Kang seperti hendak mengingatkan bahwa pemuda inipun putera seorang datuk sesat.
"Mereka setelah mengikatku disini lalu pergi ke puncak bukit hitam di utara itu. Entah sekarang masih disana ataukah sudah pergi," jawab Sui Cin.
"Kita harus cari mereka. Mari kita cari di bukit itu. Sebelum dua orang iblis itu dihancurkan, tentu akan timbul kekacauan-kekacauan yang lebih hebat lagi." kata Cia Sun dan semua orang merasa setuju.
Seperti dikomando saja, enam orang itu lalu berlari cepat meninggalkan batu pat-kwa yang berbahaya itu dan menuju ke bukit hitam di sebelah utara. Akan tetapi, sampai matahari tenggelam ke barat, mereka tidak menemukan apa-apa di bukit itu dan jejak suami isteri iblis itupun tidak mereka temukan.
Agaknya dua iblis itu tadi berada di bukit hanya untuk mengamati batu pat-kwa itu dari jauh, karena dari puncak bukit memang dapat terlihat batu pat-kwa itu dengan jelas sehingga segala hal yang terjadi disitu dapat terlihat dari puncak bukit. Agaknya suami isteri iblis itu ketika melihat betapa Sui Cin dapat tertolong oleh orang-orang pandai yang lima orang jumlahnya, enam orang bersama Sui Cin sendiri yang cukup lihai, mereka menjadi gentar dan meninggalkan tempat itu.
"Wah, iblis-iblis itu telah kabur agaknya!" kata Wu-yi Lo-jin dengan kecewa.
"Hemm, kemana kita dapat mencari mereka yang dapat datang dan pergi seperti iblis itu?" Hui Song juga berkata jengkel.
"Aku tahu dimana mereka dapat dicari!" tiba-tiba Ci Kang berkata dan semua mata memandang kepadanya.
Hui Song sudah memandang dengan sinar mata sinis, dan hatinya berbisik,
"Tentu saja kau tahu karena engkau segolongan dengan mereka."
Akan tetapi pada saat itu terdengar Cia Sun berkata,
"Benar, Ci Kang dan aku tahu dimana mereka berada. Mari kita cari mereka di sarang rahasia mereka!"
Ci Kang dan Cia Sun sebagai penunjuk jalan lalu lari cepat diikuti oleh yang lain. Ketika melihat bahwa dua orang pemuda itu mengambil jalan menuju ke San-hai-koan, Hui Song berseru kaget,
"Eh, kenapa ke San-hai-koan?"
"Memang di sanalah mereka bersembunyi. Tempat rahasia mereka berada di San-hai-koan, dan tentu saja hal ini tidak terduga-duga oleh siapapun sehingga disana mereka dapat bersembunyi dengan aman," kata Cia Sun.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, akan tetapi malam sudah sangat larut, bahkan hampir pagi ketika akhirnya mereka tiba di San-hai-koan.
Perang sudah selesai setelah San-hai-koan dan Ceng-tek direbut kembali oleh balatentara pemerintah. Ketika enam orang pendekar itu memasuki San-hai-koan, mereka disambut dengan ramah oleh Yang-tai-ciangkun dan para pendekar yang tadinya membantu pasukan dan kini masih berada di San-hai-koan.
Ketika mendengar bahwa Raja dan Ratu Iblis diduga keras bersembunyi di dalam sebuah tempat rahasia di San-hai-koan dan tempat itu diketahui oleh Ci Kang dan Cia Sun, Yang-ciangkun terkejut sekali dan cepat menyerahkan seratus orang pasukan pengawal untuk membantu enam orang pendekar itu mengepung tempat rahasia.
Pagi hari itu juga, Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, Cia Sun, Hui Song, Ci Kang dan Sui Cin berangkat ke tempat rahasia itu diikuti pula oleh beberapa orang pendekar yang merasa tertarik walaupun mereka merasa jerih juga mendengar bahwa enam orang itu hendak menyergap Raja dan Ratu Iblis yang amat sakti, juga diikuti oleh seratus orang perajurit pengawal pilihan.
Tempat rahasia itu dikepung oleh pasukan dan enam orang pendekar berjaga di luar lubang sumur dan lubang terowongan di balik semak-semak yang merupakan dua jalan keluar dari tempat rahasia itu.
"Kami akan bersembunyi dulu," kata Wu-yi Lo-jin kepada para pendekar muda, "kalau Raja Iblis melihat kami dan dia mempergunakan tongkat sakti itu, bagaimanapun juga kami berdua tidak dapat melanggar sumpah sendiri dan tidak akan dapat melawan."
"Baiklah, suhu," kata Sui Cin, "Nanti saja kalau kami sudah mengeroyoknya, suhu dan Siang-kiang locianpwe keluar membantu sehingga dia tidak sempat mengeluarkan tongkatnya itu."
Setelah dua orang kakek yang takut melanggar sumpah terhadap tongkat sakti yang berada di tangan Raja Iblis itu bersembunyi, Hui Song lalu menjenguk ke dalam lubang sumur dan berteriak sambil mengerahkan khi-kangnya.
"Pangeran Toan Jit Ong, Raja Iblis yang terkutuk, keluarlah menerima kematian!"
Tidak ada jawaban dari bawah, juga tidak nampak gerakan sesuatu. Yang ada hanya gema suara teriakan Hui Song yang terdengar mengaum dan menyeramkan, seperti jawaban atas teriakan tadi, jawaban yang bukan keluar dari mulut manusia.
Melihat ini, seorang perwira yang memimpin pasukan pengawal itu menjadi tidak sabar lagi.
"Siapkan kayu bakar dan tiupkan asap ke dalam sumur!"
Perwira ini hendak menggunaken siasat mengisi tempat persembunyian itu dengan asap agar mereka yang berada di sebelah dalam akan terpaksa keluar karena tidak tahan diasapi dari luar.
Melihat kesibukan para perajurit pengawal mempersiapkan perintah sang perwira, Wu-yi Lo-jin yang berada dalam persembunyiannya terkekeh.
"Heh-heh-heh, kelinci-kelinci yang diasapi tentu akan keluar sekarang!"
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan delapan orang perajurit yang berada paling dekat dengan lubang sumur berteriak dan roboh terjengkang. Mereka tewas seketika karena jarum-jarum beracun telah menyambar tenggorokan mereka. Dan dari dalam lubang sumur itu kini melayang dua sosok tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, tampan dan cantik dan keduanya mengenakan pakaian indah pesolek.
Tentu saja para perajurit pengawal menjadi kaget dan marah melihat robohnya delapan orang teman mereka. Dengan senjata golok atau tombak mereka segera mengepung dan menyerang. Akan tetapi, dua orang muda itu amat lihai dan begitu mereka berdua menggerakkan pedang kembali robohlah empat orang perajurit yang mengeroyok mereka.
Sementara itu, ketika mengenal bahwa dua orang itu adalah Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa, Ci Kang sudah marah sekali. Sim Thian Bu adalah murid mendiang ayahnya dan terhitung sutenya walaupun Thian Bu lebih tua darinya. Dia sudah meloncat maju, hampir berbareng dengan Sui Cin yang juga sudah marah sekali melihat Siang Hwa.
"Sim Thian Bu manusia keparat!" Ci Kang membentak marah. "Hayo menyerah sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan!"
Ternyata gemblengan Ciu-sian Lo-kai telah merobah sifat pemuda ini. Biarpun dia marah sekali dan tahu bahwa bekas sutenya ini adalah seorang jahat yang sepatutnya dibasmi, namun dia ingin memberi kesempatan kepada Thian Bu untuk menyerah dan menerima hukuman, kalau mungkin merobah sifatnya yang jahat.
Akan tetapi, Sim Thian Bu tersenyum mengejek.
"Siangkoan Ci Kang manusia busuk! Engkau seperti harimau berkedok domba, ha-ha-ha! Siapa tidak tahu bahwa engkau adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta? Engkau pura-pura alim dan menjadi pendekar? Ha-ha-ha, alangkah lucunya!"
Setelah berkata demikian, Sim Thian Bu sudah menggerakkan pedangnya menusuk dada Ci Kang. Namun, dengan mudah saja, Ci Kang mengelak dan menendang ke arah pergelangan lengan lawan yang juga dapat dielakkan. Mereka segera berkelahi dengan seru walaupun Ci Kang hanya bertangan kosong dan lawannya berpedang.
Sementara itu, Sui Cin yang marah melihat murid Raja Iblis itu sudah menyerang tanpa banyak cakap lagi. Iapun menggunakan tangan kosong saja, menubruk dan mencengkeram ke arah pundak Siang Hwa sambil membentak,
"Perempuan iblis, bersiaplah untuk mati!"
Siang Hwa, seperti juga Thian Bu, maklum bahwa ia telah terkepung banyak orang pandai, maka tanpa banyak cakap iapun juga mengelak dan mengelebatkan pedangnya membalas serangan Sui Cin dengan nekat.
Akan tetapi sabetan pedangnya juga hanya mengenai tempat kosong, bahkan ia terkejut bukan main melihat tubuh lawannya berkelebat lenyap dan tahu-tahu telah menyerang dengan tamparan ke arah kepalanya dari samping! Tahulah ia bahwa gadis cantik yang menjadi lawannya ini adalah seorang ahli gin-kang yang tangguh, maka iapun cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya melindungi tubuh. Terjadi perkelahian yang cepat dan mati-matian antara Sui Cin dan Siang Hwa.
Cia Sun dan Hui Song hanya menonton dan siap-siap membantu dua orang teman mereka kalau perlu, akan tetapi mereka tidak mengeroyok karena maklum bahwa Ci Kang dan Sui Cin akan mampu menundukkan dua orang musuh itu. Membantu teman yang lebih kuat daripada lawan merupakan pantangan bagi mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan tanah dengan batu muncrat dari tempat tidak jauh dari situ. Ledakan itu ternyata mengakibatkan tanah itu berlubang besar dan dari dalam lubang itu nampak empat orang yang memanggul kayu pikulan berbentuk joli tanpa atap berloncatan keluar dengan kecepatan yang luar biasa.
Mereka adalah empat orang yang berpakaian seragam, bukan pakaian perajurit melainkan pakaian jago silat dan diatas joli terbuka itu duduk dua orang yang membuat semua orang terkejut dan ngeri melihatnya. Dua orang itu adalah Raja dan Ratu Iblis!
Tentu saja para perajurit segera mengepungnya dan belasan batang tombak dan golok berkelebatan menyerang empat orang pemikul joli terbuka itu. Akan tetapi, segera terjadi kekacauan dan semua orang terkejut melihat betapa empat orang pemikul joli itu memiliki gerakan yang bukan main cepatnya.
Kadang-kadang mereka berloncatan seperti terbang, lalu turun dan lari, sedangkan kakek dan nenek yang kadang-kadang duduk kadang-kadang bangkit berdiri itu menggerak-gerakkan tangan mereka dan hawa pukulan menyambar dahsyat, membuat belasan orang perajurit terpelanting ke kanan kiri tanpa dapat bangkit kembali! Tentu saja hal ini menggegerkan para perajurit dan perwira mereka memberi aba-aba agar terus mengepung dan mengejar.
Melihat betapa Raja dan Ratu Iblis sudah keluar, Hui Song mengeluarkan bentakan dan diapun sudah berloncatan diantara para perajurit untuk membantu mereka mengepung dan mengeroyok Raja dan Ratu Iblis.
Cia Sun mengenal empat orang penggotong tandu atau joli tanpa atap itu. Mereka berempat itu bukan lain adalah Hui-thian Su-kwi, empat orang Cap-sha-kui yang memang memiliki gin-kang yang luar biasa sekali. Maka diapun cepat lari menghampiri dan ikut pula mengepung. Juga para pendekar ikut membantu sehingga kini empat orang pemikul tandu itu dikepung dari empat jurusan!
Akan tetapi, gerakan Hui-thian Su-kwi sungguh luar biasa cepatnya. Sebentar mereka berloncatan ke atas kepala para perajurit dan dua orang kakek dan nenek di atas tandu itu menyebar maut dengan pukulan-pukulan jarak jauh mereka. Hanya para pendekar yang dapat menghindarkan diri atau menangkis sambaran angin dahsyat itu, akan tetapi para perajurit pengawal banyak yang roboh dan tewas.
Agaknya Raja Iblis yang lebih banyak menyebar maut sedangkan Ratu Iblis "mengemudi" empat orang pemanggul tandu itu dengan teriakan-teriakannya,
"Kanan...! Maju...! Mundur... ke kiri!"
Dan Hui-thian Su-kwi mempergunakan kecepatan gerak kaki mereka untuk berloncatan sesuai dengan petunjuk Ratu Iblis. Sambil berloncatan, kaki merekapun tidak pernah bergerak dengan sia-sia, karena tendangan-tendangan mereka lakukan yang merobohkan pula banyak perajurit pengawal yang mengepung.
"Kejar! Kepung, robohkan para pemikul tandu!"
Perwira pasukan memberi aba-aba dan kini empat orang pemikul tandu itu berloncatan tinggi sampai di tenda besar yang didirikan oleh para perajurit setiba mereka disitu. Tenda itu diterjang dan tiang-tiangnya roboh oleh tendangan empat orang pemikul tandu yang berloncatan ke atas. Dan hantaman-hantaman yang dilakukan oleh telapak tangan Raja Iblis sedemikian hebatnya sehingga mayat-mayat para pengeroyok roboh berserakan.
"Kepung rapat!" teriak perwira pasukan ketika melihat empat orang pemikul tandu itu meloncat tinggi dan hinggap di atas tiang-tiang kayu bekas tenda besar. Para perajurit mengepung dan menyerang dengan tombak.
"Loncat turun ke depan!" terdengar Ratu Iblis mengomando dan Raja Iblis melancarkan pukulan ke arah tiang melintang di depannya.
"Krakkkk...!"
Tiang yang besar itu patah tengahnya dan tiang-tiang itupun roboh menimpa para perajurit sedangkan empat orang pemikul tandu meloncat jauh ke depan.
Melihat betapa Raja Iblis menyebar maut, Hui Song dan Cia Sun menjadi marah sekali. Mereka tidak dapat leluasa bergerak karena kesimpang-siuran para perajurit yang mengeroyok.
"Kita serang berbareng dengan loncatan ke atas!" tiba-tiba Cia Sun berbisik dan Hui Song mengangguk.
Tiba-tiba dua orang pemuda perkasa ini meloncat jauh ke atas, melampaui kepala beberapa orang perajurit dan mereka itu langsung menerjang Raja Iblis dari kanan dan belakang!
Memang mereka sudah memperhitungkan agar loncatan mereka tiba di sebelah kanan dan belakang Raja Iblis dan mereka menyerang dengan berbareng. Sambil meloncat itu, dari sebelah kanan Cia Sun sudah mengirimkan pukulan dengan sejurus Hok-mo Cap-sha-ciang, sebuah ilmu pukulan tangan kosong yang mujijat dan luar biasa ampuhnya. Pukulan itu mendatangkan angin kuat dan nampak seperti ada sinar kemerahan menyambar dahsyat ke arah leher Raja Iblis.
Pada saat yang sama pula, Hui Song sudah menyerang dengan pukulan Thian-te Sin-ciang yang juga merupakan pukulan amat ampuh, ditujukan ke arah punggung Raja Iblis.
Menghadapi penyerangan dua orang pemuda yang amat lihai ini, Raja Iblis mengeluarkan suara mendengus marah dan juga kaget. Cepat dia memutar tubuhnya ke kanan, tangan kirinya diputar menahan pukulan Cia Sun sedangkan tangan kanannya menangkis pukulan Hui Song.
Sementara itu, Ratu Iblis tidak tinggal diam melihat suaminya menghadapi penyerangan dahsyat itu dan iapun mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan mendorong ke arah Cia Sun dan Hui Song dari sebelah kanan suaminya.
"Plakkk! Desss...!"
Tubuh Hui Song dan Cia Sun yang menyerang sambil melompat itu, karena tidak mempunyai tempat berpijak dan saking kuatnya tenaga Raja dan Ratu Iblis, terpental ke belakang dan terpaksa berjungkir balik menghindarkan diri dari terbanting, akan tetapi tenaga mereka juga demikian kuatnya sehingga Raja dan Ratu Iblis yang tadi mengerahkan tenaga, membuat empat orang Hui-thian Su-kwi terhuyung karena tiba-tiba saja panggulan mereka menjadi berat luar biasa.
Sementara itu, perkelahian antara Sui Cin dan Gui Siang Hwa terjadi amat serunya. Akan tetapi, bagaimanapun juga, Siang Hwa harus mengakui keunggulan Sui Cin. Sebelum gadis ini digembleng oleh Wu-yi Lo-jin, belum tentu Sui Cin akan dapat mengalahkan Siang Hwa dengan mudah.
Akan tetapi, selama tiga tahun ini Sui Cin mengalami gemblengan yang amat mendalam sehingga ilmu-ilmunya yang banyak macamnya, yang diwarisinya dari ayah ibunya itu, kini menjadi matang. Oleh karena itu, biarpun Siang Hwa mempergunakan pedang, bahkan telah mempergunakan pula saputangan suteranya yang mengandung racun, ia sama sekali tidak berdaya dan semua serangannya dapat digagalkan dengan mudah oleh Sui Cin, sebaliknya desakan gadis Pulau Teratai Merah ini membuat ia repot dan terhuyung-huyung.
Beberapa kali ia sudah menerima tamparan Sui Cin dan hanya kekebalan dirinya saja yang membuat Siang Hwa masih dapat bertahan sampai puluhan jurus. Akan tetapi, ketika jari tangan Sui Cin yang kecil mungil dan meruncing itu menyambar pundaknya dengan totokan yang amat cepat, Siang Hwa terpelanting dan pedangnya terlepas ketika tangan kanannya ditendang oleh Sui Cin. Pada saat itulah para perajurit menubruk dengan tombak dan golok mereka sehingga wanita cabul itu tewas dalam keadaan mengerikan, tubuhnya hancur oleh belasan batang golok dan tombak.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Ci Kang juga sudah merobohkan sutenya, yaitu, Sim Thian Bu. Memang sejak semula Sim Thian Bu sendiri sudah gentar menghadapi putera mendiang gurunya ini. Sejak dahulu dia tidak pernah dapat menang terhadap Ci Kang. Apalagi setelah Ci Kang digembleng dengan hebatnya oleh Ciu-sian Lo-kai, tentu saja gerakan-gerakannya menjadi semakin matang dan kuat.
Namun, karena perasaan Ci Kang menjadi halus dan lembut, dia merasa tidak tega untuk membunuh bekas sutenya. Beberapa kali dia membujuk agar Thian Bu menyerah saja dan kalau mau bertobat, dia yang akan mintakan ampun kepada Yang Tai-ciangkun.
Akan tetapi semua bujukannya disambut dengan ucapan-ucapan menghina oleh Thian Bu sehingga perkelahian itu menjadi lama. Akhirnya, sebuah tendangan yang dilakukan dengan posisi miring dari Ci Kang amat tidak terduga oleh Thian Bu. Tendangan itu mengenai lambung Sim Thian Bu, mambuatnya tersungkur roboh. Pada saat itu, para perajurit juga menubruk dan menghunjamkan senjata mereka. Namun, sebelum tewas, Thian Bu masih sempat melontarkan pedangnya membunuh seorang diantara mereka. Dia sendiri, seperti juga Siang Hwa, tewas di ujung belasan batang tombak dan golok.
Pada saat Hui-thian Su-kwi terhuyung karena pertemuan tenaga antara Raja dan Ratu Iblis melawan Hui Song dan Cia Sun, tiba-tiba muncullah Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin!
Dua orang kakek ini melihat kesempatan baik sekali. Pada saat itu, Raja Iblis tidak memegang tongkat yang mereka takuti. Mereka melayang seperti yang dilakukan Hui Song dan Cia Sun tadi, dan mereka sudah menerjang ke arah Raja dan Ratu Iblis yang berdiri di atas joli terbuka.
Empat orang pemikul sedang terhuyung maka tidak sempat membawa pemimpin mereka meloncat dan terpaksa Raja dan Ratu Iblis yang kaget melihat munculnya dua orang kakek ini, menyambut serangan mereka dengan dorongan tangan. Raja Iblis menyambut hantaman tangan Siang-kiang Lo-jin sedangkan Ratu Iblis juga menyambut pukulan Wu-yi Lo-jin dengan dorongan kedua telapak tangannya.
"Wuuuuttt... desss...!"
Pertemuan tenaga sin-kang sekali ini lebih hebat lagi. Akibatnya, tubuh Raja dan Ratu Iblis terdorong dan condong ke belakang sedangkan tubuh dua orang kakek penyerang yang tadi meloncat terdorong ke belakang dan hampir mereka terjengkang, akan tetapi empat orang Hui-thian Su-kwi sampai jatuh berjongkok karena kaki mereka tiba-tiba tidak kuat lagi menahan tenaga yang menekan dari atas!
Pada saat itu Sui Cin, Ci Kang, Hui Song dan Cia Sun sudah menerjang maju, masing-masing menyerang seorang dari Hui-thian Su-kwi. Empat orang tokoh Cap-sha-kui ini terkejut sekali. Mereka baru saja jatuh berjongkok dan serangan empat orang muda itu sedemikian dahsyatnya sehingga mereka terpaksa melepaskan pikulan joli dan bangkit untuk meloncat mengelak atau menangkis.
Segera terjadi perkelahian antara mereka dan empat orang muda itu dan joli itupun terlempar ke samping! Akan tetapi, Raja dan Ratu Iblis sudah berloncatan turun dan ketika Wu-yi Lo-jin dan Siang-kang Lo-jin hendak menyerang, tiba-tiba mereka berdua terbelalak dan mundur karena Raja Iblis sudah mengangkat tinggi-tinggi tongkat saktinya!
Para pendekar yang hadir cepat maju menyerang, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja mereka terpental roboh dan kini para perajurit pengawal mengepung lagi, mengeroyok kakek dan nenek itu. Akan tetapi, para perajurit ini seperti sekelompok nyamuk menyerang api lilin saja, setiap kali kakek dan nenek itu menggerakkan tangan, tentu banyak orang yang roboh terpelanting.
Karena itu, para perajurit menjadi gentar dan Raja Iblis bersama isterinya dengan mudah berloncatan lalu melarikan diri dengan cepat sekali, tak pernah dapat disusul oleh para pengejarnya. Apalagi karena para pengejarnya itu sudah gentar, bahkan dua orang kakek yang paling lihai diantara mereka, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, juga mengejar dari jauh saja karena mereka itu juga gentar, bukan gentar terhadap Raja dan Ratu Iblis, melainkan terhadap tongkat sakti itu!
Mereka takut kepada sumpah mereka sendiri, takut melanggar sumpah. Hal ini membuat kakek dan nenek iblis itu dengan mudah keluar dari San-hai-koan dan melarikan diri menuju ke padang pasir di sebelah selatan, kemudian membelok ke barat.
Sementara itu, dalam keadaan panik dan juga karena memang jauh kalah tinggi tingkat kepandaiannya, keempat orang Hui-thian Su-kwi yang menghadapi empat orang pendekar muda sudah roboh semua.
Su Cin, Hui Song, Ci Kang dan Cia Sun juga melihat betapa Raja dan Ratu Iblis melarikan diri. Maka mereka memperhebat serangan mereka sehingga empat orang pendekar muda itu sudah berloncatan dan lari mengejar pula. Walaupun mereka itu tadi tertinggal jauh, karena kehebatan ilmu gin-kang mereka, akhirnya mereka dapat juga menyusul Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin yang tidak berani terlalu cepat.
"Suhu, dimana mereka?" tanya Sui Cin.
"Wah, mereka tadi menghilang di balik bukit sana itu," kata Wu-yi Lo-jin kepada Sui Cin.
"Sayang kami berdua tidak berani mengejar terlalu cepat. Si laknat itu telah memegang tongkatnya!" kata pula Si Dewa Kipas.
"Akan tetapi kami tidak takut tongkat iblisnya itu!" kata Hui Song dengan gemas dan diapun terus berlari cepat ke depan, diikuti oleh tiga orang pendekar muda lainnya, sedangkan dua orang kakek itu terpaksa mengejar pula dari belakang mereka dengan gelisah.
Dari arah jalan yang diambil oleh Raja dan Ratu Iblis, Ci Kang dan Cia Sun teringat akan tempat persembunyian Raja Iblis di sebuah gedung tua di lereng bukit itu, dimana terdapat guha dalam tanah dan disana untuk pertama kali mereka bertemu dengan Hui Cu.
Tidak salah lagi, tentu kesana Raja dan Ratu Iblis pergi! Maka, mereka lalu menjadi penunjuk jalan dan berlari cepat ke arah bukit itu. Kini yang melakukan pengejaran hanya tinggal mereka berenam lagi karena pasukan pengawal dari San-hai-koan bersama para pendekar sudah tidak mengejar, tidak sanggup mengejar secepat itu, dan pula, mereka lebih sibuk dan mementingkan untuk menolong teman-teman yang terluka dan mengurus mereka yang tewas ketika terjadi pengeroyokan atas diri Raja dan Ratu Iblis bersama pembantu-pembantu mereka yang pandai
Para pengejar itu mempercepat lari mereka ketika mereka melihat betapa di sebelah depan, pada persimpangan jalan menuju ke Ceng-tek dan ke bukit tempat gedung kuno persembunyian Raja dan Ratu Iblis, terdapat keributan. Agaknya disana terjadi pertempuran yang seru antara banyak orang yang melakukan pengeroyokan.
"Ayah...!"
Hui Song berseru kaget sekali ketika melihat bahwa yang mengeroyok Raja dan Ratu Iblis adalah ayahnya bersama sumoinya Tan Siang Wi, dan tiga puluh lebih orang anggota Cin-ling-pai, sisa dari para murid Cin-ling-pai.
Betapa lihainya Raja dan Ratu Iblis, namun dikeroyok oleh puluhan orang murid Cin-ling-pai yang dipimpin sendiri oleh ketuanya, mereka harus bersikap hati-hati. Mereka berdua dikurung ketat dan para murid Cin-ling-pai yang merasa dendam kepada Raja Iblis, berkelahi dengan semangat tinggi dan mati-matian.
Memang sudah ada lima enam orang diantara murid Cin-ling-pai yang roboh akan tetapi mereka masih bersemangat. Juga ketua Cin-ling-pai, Cia Kong Liang, nampak terluka pada pahanya, akan tetapi pendekar ini masih bergerak dengan gagah perkasa, mendesak Raja Iblis dibantu oleh Tan Siang Wi dan puluhan orang murid Cin-ling-pai.
Ketika Cia Kong Liang melihat munculnya puteranya, dia merasa girang sekali. Sebaliknya, Raja Iblis menjadi terkejut bukan main. Menghadapi orang-orang Cin-ling-pai mereka tidak merasa takut dan biarpun harus mengerahkan kepandaian dan dalam waktu yang agak lama, mereka yakin akan mampu mengalahkan puluhan orang musuh itu.
Akan tetapi kemunculan empat pendekar muda dan dua orang kakek itu membuat mereka gentar juga! Memang benar bahwa dua orang kakek itu tidak akan berani turun tangan melihat tongkat sakti di tangan Raja Iblis, akan tetapi empat orang pendekar muda itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Mereka berempat itu bahkan lebih tangguh daripada ketua Cin-ling-pai sendiri!
Kini tanpa banyak cakap lagi, Hui Song, Sui Cin, Cia Sun dan Ci Kang sudah menerjang maju mengeroyok Raja dan Ratu Iblis. Para murid Cin-ling-pai bernapas lega dan mereka yang merasa bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh berada di bawah untuk dapat mengimbangi perkelahian antara orang-orang sakti itu, lalu mundur dan hanya mengurung tempat itu sambil menonton dan siap-siap membantu pihak mereka.
Perkelahian kini menjadi seru bukan main setelah Sui Cin, Hui Song, Cia Sun dan Ci Kang maju mengeroyok Raja dan Ratu Iblis! Benar-benar merupakan perkelahian tingkat tinggi dimana setiap orang mengeluarkan semua kepandaian mereka dan mengerahkan seluruh tenaga.
Empat orang muda itu tangkas dan lihai, dengan jurus-jurus mereka yang merupakan ilmu-ilmu silat pilihan. Cia Sun dan kawan-kawannya maklum akan kelihalan kakek dan nenek itu, maka mereka berempat tidak merasa sungkan untuk maju berempat melawan dua orang.
Bahkan Cia Kong Liang berdiri bengong penuh kagum. Puteranya itu kini telah memiliki kepandaian yang amat hebat, bahkan berani bertemu tangan beradu sin-kang melawan Raja Iblis! Diapun hanya berdiri di pinggir dan siap membantu kalau-kalau puteranya dan para pendekar muda itu terancam bahaya.
Dua orang kakek Si Dewa Arak dan Dewa Kipas hanya nonton diantara para murid Cin-ling-pai tanpa berani turun tangan. Akan tetapi, Wu-yi Lo-jin mendapat akal. Dia melihat betapa gerakan-gerakan muridnya, Sui Cin, walaupun sudah hebat sekali, namun ada beberapa bagian yang masih lemah. Dia lalu berteriak-teriak memberi petunjuk kepada Sui Cin dan begitu gadis ini mendengar petunjuk-petunjuk gurunya, ia menyerang makin dahsyat membuat Ratu Iblis kewalahan!
Melihat ini, segera Siang-kiang Lo-jin berteriak memberi petunjuk kepada Hui Song yang segera dapat memperbaiki dan memperhebat gerakan-gerakannya setelah mendengar petunjuk-petunjuk dari kakek gendut itu.
Melihat ini, Cia Kong Liang semakin heran dan baru dia dapat menduga bahwa kakek gendut ini tentu seorang guru baru dari puteranya.
Selagi dua orang kakek itu berlomba memberi petunjuk kepada murid masing-masing, tiba-tiba terdengar suara dua orang lain yang berseru memberi petunjuk kepada Cia Sun dan Ci Kang!
Dua orang kakek ini girang sekali karena mengenal suara guru-guru mereka, Ciu-sian Lo--kai dan Go-bi San-jin! Lengkaplah sudah guru keempat pendekar muda itu. Mereka berempat berada disitu akan tetapi karena tongkat sakti di tangan Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit Ong, mereka berempat tidak berani berkutik dan hanya dapat memberi petunjuk kepada murid masing-masing.
Akan tetapi petunjuk-petunjuk ini berharga sekali karena kini gerakan keempat orang muda itu menjadi semakin dahsyat sehingga Raja dan Ratu Iblis sendiri menjadi repot, terdesak dan permainan silat mereka menjadi kalang kabut. Selain itu, mereka berdua sudah amat tua sehingga dalam hal daya tahan tubuh dan pernapasan, mereka kalah jauh dibandingkan empat orang lawan mereka.
Empat orang muda itu mengeroyok secara bergantian dan mereka seperti membentuk barisan segi empat, membuat suami isteri iblis itu kewalahan. Ketika memperoleh kesempatan yang baik, tiba-tiba Sui Cin menubruk maju dari tamparan tangannya yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang itu mengenai punggung Ratu Iblis.
"Uakkk...!"
Ratu Iblis tidak roboh akan tetapi dari mulutnya muncrat darah segar, tanda bahwa tamparan itu telah melukainya. Dan pada saat yang hampir bersamaan, dengan jurus Hok-mo Cap-sha-ciang yang mujijat, Cia Sun juga sudah berhasil memukul lambung Raja Iblis.
"Desss...!"
Demikian hebatnya pukulan itu, akan tetapi juga demikian lihainya Raja Iblis sehingga Cia Sun yang memukul malah terpelanting sendiri! Akan tetapi dari dalam dada Raja Iblis itu keluar suara keluhan pendek, kemudian dia dan isterinya secara tiba-tiba meloncat dan melarikan diri ke arah bukit!
"Cepat kejar!"
Hui Song berseru dan mereka berempat lalu mengejar, diikuti oleh empat orang kakek, Cia Kong Liang dan para murid Cin-ling-pai yang tertinggal jauh di belakang.
Kakek dan nenek itu berlari seperti terbang cepatnya menuju ke arah gedung kuno di lereng bukit.
Melihat ini, Ci Kang berseru,
"Cepat, kalau mereka memasuki gedung, akan sukar bagi kita karena gedung itu menyimpan banyak rahasia! Mungkin mereka bisa lolos melalui jalan rahasia!"
Mendengar ucapan ini, semua orang melakukan pengejaran secepatnya. Akan tetapi mereka kalah dulu dan kini kakek dan nenek itu sudah tiba di depan gedung. Hal ini membuat delapan orang pengejar itu menjadi gelisah. Juga Cia Kong Liang mendengar ucapan Ci Kang tadi dan diapun yang berada agak jauh di belakang delapan orang itu merasa gelisah.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang keras sekali dan gedung kuno di depan itu hancur berantakan! Kakek dan nenek itu tentu saja merasa terkejut sekali dan Raja Iblis terbelalak memandang kepada seorang gadis yang baru saja muncul dari belakang gedung yang sudah hancur itu.
"Hui Cu...!" Ratu Iblis berseru kaget. "Apa yang telah kau lakukan?"
Gadis itu memandang kepada ibunya dengan wajah muram, lalu berbalik memandang kepada Raja Iblis dengan sinar mata penuh kemarahan.
"Maafkan aku, ibu. Terpaksa aku menghancurkan gedung ini. Bagaimanapun juga aku harus menentang kejahatannya!" Ia menuding ke arah muka Raja Iblis.
"Anak keparat! Kalau begitu, engkau harus mampus!"
Raja Iblis tiba-tiba meloncat ke depan dan menyerang Hui Cu dengan pukulannya yang dahsyat. Pukulan itu dahsyat bukan main, datang menerjang Hui Cu seperti kilat menyambar. Gadis itu menggerakkan kedua tangannya menangkis untuk melindungi tubuhnya.
"Desss...!"
Tubuh gadis itu terlempar sampai beberapa meter ke belakang dan terbanting ke atas tanah. Akan tetapi, berkat latihan-latihan yang diterima dari ibunya, gadis itu tadi dapat melindungi dirinya dengan sin-kang sehingga ia hanya kesakitan saja dan tidak sampai terluka parah, maka ia hanya mengeluh dan perlahan-lahan bangkit lagi. Melihat ini, Raja Iblis menjadi penasaran dan semakin marah.
"Heh, satu kali pukulan belum cukup, ya?" katanya dan dia sudah menerjang lagi ke depan untuk menyusulkan pukulan maut kepada puterinya.
Akan tetapi pada saat itu, Ratu Iblis sudah meloncat mendahului suaminya dan menghadang di depan suaminya.
"Jangan bunuh anakku!" katanya dengan sinar mata mencorong seperti seekor harimau betina yang melindungi anaknya.
Sepasang mata Raja Iblis yang biasanya jarang bergerak itu kini terbelalak. Hampir dia tidak percaya melihat isterinya kini berdiri menghadang dan menentangnya. Selama ini, isterinya amat taat kepadanya, melaksanakan segala perintahnya dengan taruhan nyawa sekalipun.
Akan tetapi sekali ini, isterinya menghadapinya dengan sikap seorang musuh! Dia tidak tahu betapa di atas segalanya, seorang ibu mencinta anak tunggalnya dan berani menentang apa saja, berani kehilangan apa saja demi anaknya itu.
"Kau... kau berani menentang aku?" tanyanya, masih tidak dapat percaya.
"Jangan bunuh anakku!"
Hanya itulah yang dapat dikatakan Ratu Iblis karena sesungguhnya, nenek ini amat takut dan juga cinta kepada Raja Iblis, akan tetapi agaknya, kasihnya terhadap anak kandung yang tunggal itu lebih besar lagi.
"Kau membela anak keparat yang sudah menghancurkan tempat kita itu?" tanyanya lagi.
"Jangan bunuh anakku!"
"Hemm, kalau begitu kalian harus mampus!"
Dan Raja Iblis sudah menerjang isterinya dengan dahsyat. Ratu Iblis menangkis dan iapun terjengkang, sungguhpun tidak sehebat puterinya tadi. Ia meloncat bangun dan kini Hui Cu juga sudah meloncat dekat ibunya. Ketika Raja Iblis menyerang lagi, dia disambut oleh isterinya dan puterinya!
Terjadilah perkelahian yang seru dan yang membuat para pendekar yang sudah tiba di situ memandang bengong dan mereka tidak tahu harus berbuat apa. Mereka mengejar Raja dan Ratu Iblis, akan tetapi kini musuh-musuh yang dikejar itu bahkan saling hantam sendiri. Hal ini membuat mereka bingung, tidak tahu harus membantu siapa!
Betapapun lihainya Ratu Iblis, menghadapi suaminya sama saja dengan menghadapi gurunya. Dan kepandaian Hui Cu belum ada artinya kalau dibandingkan dengan ayahnya itu, maka dalam waktu tiga puluh jurus saja, pukulan tangan kiri Raja Iblis telah menyambar dengan tepat mengenai dada isterinya sendiri.
"Dukkk...!" Tubuh nenek itu terjengkang dan terbanting keras.
"Ibu...!"
Hui Cu menubruk ibunya dan pada saat itu, dengan kemarahan meluap Raja Iblis menyerang anaknya. Akan tetapi, Sui Cin, Hui Song, Ci Kang dan Cia Sun seperti dikomando telah menerjang maju, menyerang Raja Iblis yang sedang hendak membunuh puterinya itu.
Serangan empat orang muda yang parkasa itu sungguh dahsyat, membuat Raja Iblis terpaksa menarik kembali serangannya terhadap Hui Cu dan berloncatan ke belakang untuk menghindarkan diri dari hujan serangan yang berbahaya itu.
Kini, gedung kuno yang menjadi harapannya untuk dapat menyembunyikan atau melarikan diri telah dihancurkan puterinya sendiri, dan pembantunya yang paling dapat diandalkan, yaitu Ratu Iblis, telah tewas atau setidaknya sudah tidak mampu membantunya lagi.
Melarikan diri dari empat orang muda perkasa inipun percuma karena dia sendiri sudah amat lelah dan kalau disuruh berlomba lari, tentu dia akan kehabisan napas dan akhirnya tersusul juga. Kini, lalu mengeluarkan suara pekik melengking dan selagi tenaganya masih ada, tiada lain jalan bagi Pangeran Toan Jit Ong atau Raja Iblis kecuali melawan dan berusaha mengamuk, menjatuhkan semua lawan yang empat ini karena empat orang kakek itu tidak ada yang berani maju melanggar sumpah mereka sendiri. Oleh karena itu, Raja Iblis lalu mengeluarkan suara pekik melengking dan membalas serangan empat orang pengeroyoknya yang cepat menghindar pula.
Kini terjadilah perkelahian yang hebat dan mati-matian antara Raja Iblis yang dikeroyok oleh empat orang pendekar muda perkasa itu. Dan kini, empat orang kakek sakti tidak perlu lagi memberi petunjuk kepada murid masing-masing. Dengan hilangnya Ratu Iblis, maka kekuatan Raja Iblis banyak berkurang dan empat orang muda itu mulai mendesak dan memperketat pengepungan mereka. Bahkan Ci Kang dan Hui Song berhasil menyarangkan pukulan masing-masing ke tubuh Raja Iblis.
Akan tetapi, kakek ini memiliki kekebalan yang amat kuat sehingga nampaknya pukulan dua orang muda itu tidak berbekas. Betapapun juga, sama sekali tidak berarti bahwa pukulan itu tidak ada artinya. Biarpun kulit kebal dapat membuat pukulan-pukulan itu membalik, namun di sebelah dalam tubuhnya, Raja Iblis mengalami getaran hebat dan diapun telah mengerahkan terlampau banyak tenaga untuk menahan pukulan-pukulan tadi.
Gerakannya jelas nampak semakin lemah dan semakin lambat. Hal ini membuat empat orang pengeroyoknya bertambah semangat dan kembali tubuh kakek itu terkena pukulan, sekali ini Sui Cin yang menampar lambungnya, disusul Cia Sun mendaratkan pukulannya ke arah pundak.
Kakek itu terhuyung ke belakang dan ketika Hui Song menyusulkan sebuah tendangan keras yang mengenai perutnya, kakek itu mencelat ke belakang dan dari mulutnya tersembur darah segar. Namun, dia memekik dan menubruk maju. Hampir saja Sui Cin kena dicengkeram kalau saja Hui Song tidak cepat menolongnya dengan tangkisan yang membuat pemuda itu terjengkang, akan tetapi Sui Cin luput dari cengkeraman maut!
Ci Kang menampar pula dari belakang, tamparan yang keras mengenai tengkuk Raja Iblis. Tubuh kakek itu terputar dan kembali dia terhuyung-huyung. Dan tiba-tiba saja kakek itu terpelanting dan jatuh menelungkup tak bergerak lagi.
Empat orang pendekar muda itu tidak berani mendekat, khawatir kalau-kalau Raja Iblis hanya pura-pura roboh dan kalau mereka mendekat dengan gegabah, mereka mungkin celaka oleh serangan mendadak. Akan tetapi, beberapa menit mereka menanti, tubuh kakek itu tetap tidak bergerak dan tiba-tiba terdengar Ciu-sian Lo-kai terkekeh.
"Ha-ha, akhirnya Raja Iblis mati juga!"
Mendengar ucapan suhunya ini, barulah Ci Kang berani menghampiri dan membalikkan tubuh yang menelungkup itu. Nampak darah memenuhi tanah di bawah tubuh dan ternyata sebatang pedang telah menancap di dada kakek itu. Pedangnya sendiri! Kakek itu, setelah melihat bahwa dia tidak akan menang, lalu membunuh diri, memilih mati di tangan sendiri daripada di tangan empat orang muda itu!
Kini mereka semua menujukan perhatian kepada Hui Cu yang masih menangisi ibunya. Nenek itu masih belum tewas walaupun napasnya sudah empas-empis. Tiba-tiba ia berkata,
"Yang mana yang bernama Cia Sun...?"
Mendengar pertanyaan ini, Cia Sun mendekat dan berlutut di sebelah Hui Cu yang masih terisak menangis. Melihat Cia Sun, nenek itu mengangguk lemah. Ia sudah mengenal pemuda ini, sudah pernah jumpa di dalam guha bawah tanah.
"Engkau seorang pemuda yang gagah, dan aku girang Hui Cu mencintamu. Cia Sun, maukah kau berjanji untuk melindungi anakku Hui Cu dan menjadi suaminya? Ia mencintamu..." suaranya lemah dan agaknya nenek ini telah mengerahkan tenaga terakhir untuk bicara itu.
Cia Sun mengerutkan alisnya. Dia tidak perduli terhadap nenek ini yang dia tahu adalah seorang nenek yang keji dan jahat sekali. Akan tetapi dia harus mengakui pada diri sendiri bahwa dia merasa suka dan sayang kepada Hui Cu yang dianggapnya seorang gadis yang amat baik.
Tadi saja sudah terbukti bahwa Hui Cu menentang kejahatan dengan membakar gedung kuno itu. Akan tetapi, dia tidak mencinta Hui Cu dan hal ini sudah dia katakan terus terang kepada Hui Cu! Hal seperti ini mana mungkin dibicarakan di depan orang banyak? Hanya akan membuat Hui Cu berduka dan malu saja. Akan tetapi, nenek itu berada dalam sakratul maut dan dia harus bicara terus terang.
"Sayang, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku akan melindungi Hui Cu sebagai seorang sahabat, akan tetapi... aku tidak bisa menjadi suaminya..."
Nenek itu terbelalak dan tangis Hui Cu semakin menjadi.
"Apa? Kau... kau tidak cinta padanya? Engkau berani menolak?"
Nenek itu tiba-tiba bangkit dan mengerahkan tenaga untuk menyerang Cia Sun, akan tetapi ia terpelanting dan napasnya putus.
Hui Cu bangkit, mukanya pucat ketika ia memandang kepada mayat ibunya.
"Ibu... kau... kau kejam... kejam...!" Dan gadis itupun melarikan diri dengan amat cepatnya.
"Hui Cu...!"
Cia Sun memanggil, akan tetapi gadis itu tidak menoleh dan terus lari dengan amat cepatnya. Cia Sun tidak dapat berbuat lain kecuali menghela napas panjang.
Sementara itu, Hui Song menghampiri ayahnya dan merekapun saling pandang dengan wajah muram dan hati berduka.
"Ayah... kongkong dan ibu..."
Cia Kong Liang mengangguk.
"Aku sudah tahu, mereka tewas oleh Raja dan Ratu Iblis, dan engkau sudah membalas-kan kematian mereka."
"Ayah...!"
Hui Song menahan air matanya, mendekati ayahnya dan merekapun saling berpegang tangan. Dari tangan mereka terasa getaran dan kedua orang pria yang kuat ini saling menghibur dengan pegangan tangan mereka itu.
"Aku telah tertipu, Song-ji..."
"Sudahlah, ayah. Aku sudah mendengar dari para suheng. Akan tetapi, ayah telah cepat berbalik pikiran setelah mengetahuinya dan bagaimanapun juga, Cin-ling-pai telah banyak membantu pemerintah dalam menentang pemberontak."
"Song-ji, perkenalkan aku dengan para locianpwe ini. Apakah locianpwe itu gurumu?" ketua Cin-ling-pai berkata. "Juga siapakah gadis gagah itu? Siangkoan Ci Kang dan Cia Sun aku sudah kenal."
Hui Song lalu memperkenalkan Siang-kiang Lo-jin sebagai gurunya, juga Wu-yi Lo-jin guru Sui Cin, Ciu-sian Lo-kai guru Ci Kang dan Go-bi San-jin guru Cia Sun.
"Dan ini adalah nona Ceng Sui Cin, puteri tunggal dari locianpwe Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah."
"Ah, puteri Pendekar Sadis?" Ketua Cin-ling-pai bertanya sambil memandang penuh perhatian kepada Sui Cin. "Pantas lihai bukan main!"
"Dan ia adalah gadis yang kucinta, ayah, sudah kucalonkan ia menjadi isteriku!" kata Hui Song dengan cepat sambil mengerling ke arah Ci Kang dan Cia Sun.
Dia tahu bahwa dua orang muda itu agaknya juga menaruh hati kepada Sui Cin, maka kini di depan banyak orang, dengan terang-terangan dia mengaku cintanya kepada gadis itu kepada ayahnya.
Mendengar ucapan muridnya itu, Siang-kiang Lo-jin tertawa dan perutnya yang gendut itu bergerak-gerak.
"Ha-ha-ha-ha, ketua Cin-ling-pai sungguh beruntung mempunyai seorang putera yang jujur dan berani berterus terang tidak malu-malu kucing!"
Cia Kong Liang tersenyum. Di dalam hati kecilnya, dia kurang suka kalau puteranya berjodoh dengan puteri Pendekar Sadis, karena dalam pandangannya, Pendekar Sadis adalah seorang pendekar yang terlalu kejam terhadap musuhnya. Akan tetapi dia sudah memperoleh banyak pengalaman dalam peristiwa pemberontakan itu sehingga dia menekan perasaannya dan dia menjura kepada kakek gendut itu.
"Berkat bimbingan locianpwe anakku yang bodoh menjadi tabah. Nona Ceng, terus terang saja, setelah mendengar kata-kata anakku, bagaimana pendapatmu tentang itu?"
Pertanyaan yang diajukan ketua Cin-ling-pai ini lebih terang-terangan lagi daripada puteranya. Pendekar ini bertanya kepada seorang gadis begitu saja tentang pendapatnya mengenai pemyataan cinta puteranya!
Sui Cin adalah seorang gadis yang berwatak polos, jenaka dan bebas. Terutama sekali ia mencinta kebebasan yang sejak kecil memang diberikan oleh ayah bundanya kepadanya maka sikap Hui Song dan ayahnya itu tidak membuat ia bingung walaupun kedua pipinya kini menjadi lebih merah daripada biasanya.
"Locianpwe, Song-ko adalah seorang sahabatku yang baik. Aku suka kepadanya..."
"Suka ataukah cinta? He-he, kukira muridku juga bukan seorang yang pemalu dan berpura-pura. Sui Cin, suka berbeda dengan cinta!"
Tiba-tiba Wu-yi Lo-jin berkata sambil terkekeh. Sui Cin melirik kepada gurunya. Sialan. Gurunya ini lebih terang-terangan lagi sehingga ia merasa tersudut.
"Yaah, mungkin aku juga cinta padanya dan tentang perjodohan... wah, biarlah hal itu ayah ibuku yang memutuskan!"
Jawaban ini membuat semua orang tersenyum dan Hui Song nampak girang bukan main. Cia Sun diam-diam menarik napas panjang dan diapun hanya menundukkan muka saja, sedangkan Ci Kang juga menundukkan muka. Hanya mereka sendirilah yang dapat merasakan kepahitan yang sejenak menyelubungi hati mereka mendengar jawaban Sui Cin yang terang-terangan menyatakan cintanya kepada Hui Song itu.
Cia Kong Liang mengangguk-angguk.
"Baiklah, kalau memang kalian saling mencinta, kelak aku akan menemui Pendekar Sadis untuk membicarakan soal perjodohan kalian. Sekarang aku harus mengucapkan terima kasih kepada para locianpwe yang telah menolong calon mantuku ini, juga tidak lupa aku berterima kasih sekali kepada Ci Kang dan Cia Sun, terutama Ci Kang karena tanpa adanya dia ini, mungkin aku sekarang sudah mati dikeroyok oleh para pemberontak anak buah Raja Iblis."
"Nanti dulu, ayah!" tiba-tiba Hui Song berkata dengan suara nyaring sehingga mengejutkan hati semua orang.
Hati pendekar muda ini yang sedang bergelora penuh cinta asmara terhadap Sui Cin, agaknya masih belum dapat melenyapkan rasa marah dan cemburu teringat akan perbuatan yang pernah dilakukan Siangkoan Ci Kang kepada kekasihnya. Membayangkan peristiwa yang lalu, betapa Ci Kang dengan kekerasan merangkul dan menciumi Sui Cin, hatinya menjadi panas dan kini mendengar Ci Kang dipuji-puji ayahnya, dia tidak dapat menerimanya.
"Kita tidak dapat menilai hati orang melalui satu perbuatannya saja. Siapa tahu ketika Siangkoan Ci Kang menolong ayah, hal itu dilakukan secara kebetulan atau memang untuk mencari muka. Dia itu sesungguhnya seorang yang jahat, seorang tokoh sesat, ayah!"
Siangkoan Ci Kang mengangkat muka memandang kepada Hui Song. Sedikitpun tidak nampak penyesalan pada wajahnya yang gagah, bahkan sinar matanya masih lembut seperti biasa. Dia maklum apa yang sedang terjadi di dalam batin pemuda tampan itu. Dia tahu betapa cemburu dan kemarahan membuat Hui Song membenci padanya, atas perbuatannya kepada Sui Cin tempo hari.
Dan dia tidak menyalahkan Hui Song. Apalagi Hui Song, dia sendiripun marah dan menyesal sekali atas peristiwa yang terjadi itu dan sukar baginya untuk memaafkan diri sendiri. Oleh karena itu, dia menanti saja apa yang hendak dikatakan Hui Song yang nampaknya penasaran sekali dan siap membuka keburukan namanya di depan semua orang.
Akan tetapi, jawaban Cia Kong Liang sungguh di luar dugaan semua orang, terutama sekali Hui Song. Ketua Cin-ling-pai itu menjawab tenang,
"Hui Song, agaknya aku lebih mengenal dia daripada engkau. Aku sudah tahu, dan dia mengaku sendiri bahwa dia adalah putera tunggal mendiang Siangkoan Lo-jin..."
"Baik sekali kalau ayah sudah mengetahuinya," kata Hui Song memotong. "Akan tetapi tahu jugakah ayah bahwa Siangkoan Lo-jin itu adalah Si Iblis Buta, yang sebelum muncul Raja dan Ratu Iblis menjadi datuk kaum sesat yang dibantu oleh Cap-sha-kui!"
Ayahnya menarik napas panjang dan mengangguk.
"Aku tahu kesemuanya itu, Song-ji, dan keadaan keluarganya itu bahkan semakin mengagumkan hatiku terhadap Ci Kang, karena dia bagaikan sekuntum bunga teratai yang hidup di tengah lumpur, tetap indah dan bersih. Aku melihat sendiri betapa hebat sepak terjangnya dalam menentang kejahatan..."
"Ayah belum tahu apa yang tersembunyi di balik kedok domba itu! Ayah, dia jahat sekali! Dia pernah berusaha untuk memperkosa adik Sui Cin...!"
"Song-ko...!"
Sui Cin terkejut dan menegur karena ia menganggap bahwa tidak pantas pemuda itu membuka rahasia itu.
"Cin-moi, kalau tidak kuberitahukan sekarang, tentu semua orang menganggap dia seorang yang sebaik-baiknya dan hal itu amat berbahaya," bantah Hui Song.
Cia Kong Liang mengerutkan alisnya, sejenak matanya memandang kepada puteranya dengan marah. Sebagai seorang yang berpandangan tajam diapun dapat menduga bahwa di dalam batin puteranya itu penuh dengan kebencian dan cemburu. Kemudian dia mengalihkan pandang matanya, memandang wajah Siangkoan Ci Kang dan pemuda itu sama sekali tidak membantah, hanya menundukkan mukanya yang menjadi agak pucat, wajah yang membayangkan penyesalan besar.
Ucapan Hui Song itu membuat semua orang terkejut. Bahkan Cia Sun yang tadinya amat percaya dan suka kepada Ci Kang yang gagah perkasa, kini memandang dengan alis berkerut dan kakek Ciu-sian Lo-kai yang biasanya suka berkelakar dan jenaka itu, wajahnya berobah dan alisnya berkerut ketika dia memandang kepada muridnya.
"Siangkoan Ci Kang!" tiba-tiba kakek tinggi kurus yang berpakaian pengemis ini berkata, suaranya keras galak, matanya mengeluarkan sinar berkilat. "Benarkah apa yang dituduhkan orang kepadamu? Benarkan itu bahwa engkau pernah hendak memperkosa nona Ceng Sui Cin ini?"
Semua orang kini memandang kepada Ci Kang, terutama sekali Cia Sun yang merasa bingung dan sukar dapat mempercaya berita bahwa sahabatnya itu pernah hendak memperkosa Sui Cin.
Ci Kang mengangkat mukanya yang agak pucat itu, pertama-tama memandang ke arah Sui Cin yang juga memandang kepadanya, kemudian dia memandang kepada gurunya, lalu menunduk kembali dan suaranya lirih dan jelas.
"Benar, suhu. Saya pernah melakukan hal itu."
Sepasang mata Ciu-sian Lo-kai terbelalak, juga semua orang terkejut mendengar pengakuan blak-blakan ini.
"Ci Kang! Engkau memalukan aku yang menjadi gurumu! Aku tidak pernah mengajarkan engkau untuk bertindak biadab seperti itu!"
Dengan sikap tenang Ci Kang menjawab,
"Suhu mengajarkan agar saya bersikap jujur dan berani mempertanggung-jawabkan semua tindakan saya."
"Hemm, engkau telah melakukan perbuatan terkutuk, lalu apa tanggung jawabmu?" desak kakek tinggi kurus itu dengan marah.
"Saya akan menerima segala hukuman yang dijatuhkan kepada saya untuk perbuatan itu, suhu," jawab Ci Kang dengan tenang dan sedikitpun tidak kelihatan gentar.
Kakek tinggi kurus itu menarik napas panjang dan wajahnya nampak lega.
"Ah, setidaknya engkau cukup gagah untuk mengakui kesalahan dan menerima hukuman. Nah, aku yang akan menghukummu di depan orang banyak ini. Aku harus mencabut sebagian kepandaianmu dan melumpuhkan separuh badanmu!"
Berkata demikian, Ciu-sian Lo-kai melangkah maju menghampiri muridnya dan Ci Kang hanya berdiri tenang sambil menundukkan mukanya saja, menanti datangnya hukuman dengan pasrah.
"Nanti dulu!"
Tiba-tiba Cia Sun meloncat ke depan dan menghadang Ciu-sian Lo-kai.
"Locianpwe, harap maafkan kalau aku mencampuri urusan ini karena Ci Kang adalah sababatku yang baik dan aku mengenal benar kegagahannya. Kita semua sudah mendengar tuduhan paman Cia Hui Song dan juga Ci Kang tidak menyangkal tuduhan itu dan dia demikian gagahnya untuk mempertanggun-jawabkan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Akan tetapi disini kita mempunyai seorang saksi utama yang belum menyatakan kesaksiannya. Cin-moi, mengapa engkau berdiam diri saja? Pendapat semua orang bisa saja keliru, hanya engkau seoranglah yang dapat menjelaskan apa sesungguhnya yang telah teriadi. Aku hanya dapat mempercayai keteranganmu saja dalam hal ini. Benarkah tuduhan paman Hui Song terhadap Ci Kang tadi?"
Kini semua orang memandang kepada Sui Cin. Gadis itu sejak tadi menjadi merah mukanya dan ia sampai kehilangan suaranya saking kaget dan malunya mendengar betapa Hui Song membuka rahasia Ci Kang itu. Kini, secara langsung Cia Sun bertanya kepadanya dan iapun menarik napas panjang lalu memandang kepada Ci Kang dengan sinar mata kasihan.
"Apa yang dituduhkan Song-ko memang benar dan tadinya akupun menyangka bahwa saudara Ci Kang melakukan perbuatan yang amat jahat terhadap diriku. Hal itu terjadi ketika dia dan aku menjadi wakil suku bangsa untuk memilih pimpinan dan dia terluka oleh jarum-jarumku. Karena merasa menyesal, akupun mengunjunginya dalam perkemahan dan mengobatinya. Akan tetapi, setelah dia sadar, dia malah melakukan usaha untuk memaksaku... dan pada saat itu, Song-ko muncul dan terjadi perkelahian sampai saudara Ci Kang melarikan diri. Pada waktu itu, tentu saja Song-ko menyangka bahwa saudara Ci Kang hendak memperkosaku, bahkan aku sendiripun mempunyai dugaan demikian."
"Nah, sudah jelas! Tunggu apa lagi?" seru Hui Song.
"Nanti dulu, Song-ko!" kata Sui Cin, mengerutkan alisnya. "Hati yang penuh cemburu mengundang kebencian dan selalu berprasangka buruk. Aku tadi mengatakan bahwa pada waktu peristiwa itu terjadi, akupun menduga bahwa saudara Ci Kang telah melakukan perbuatan yang rendah dan jahat. Akan tetapi, kemudian baru aku tahu bahwa hal memalukan itu terjadi bukan karena kesalahannya! Sama sekali dia tidak bersalah!"
Hui Song memandang dengan mata terbelalak dan wajah Cia Sun berseri. Sudah dia duga. Dia tidak akan mungkin dapat percaya bahwa sahabatnya itu melakukan hal yang sedemikian rendahnya. Dia, biarpun belum lama bergaul dengan Ci Kang, sudah mengenal pemuda ini sebagai seorang jantan yang berjiwa gagah perkasa.
"Nona Ceng Sui Cin, bicaralah yang jelas. Nona mengakui bahwa muridku ini telah berusaha memperkosamu, akan tetapi selanjutnya nona katakan bahwa dia tidak bersalah! Apa artinya keteranganmu yang bertentangan itu?" Ciu-sian Lo-kai mendesak.
Kini Ci Kang sendiri merasa amat tertarik. Selama ini, dia hanya merasa amat menyesal atas perbuatannya terhadap Sui Cin itu. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia sampai melakukan hal terkutuk itu. Kini, mendengar keterangan Sui Cin, tentu saja dia tertarik sekali dan dia mengangkat muka memandang kepada gadis itu.
"Ketika aku mengunjungi perkemahan saudara Ci Kang untuk mengobatinya, aku membawa juga obat dari subo Yelu Kim. Dan ternyata obat itu manjur. Akan tetapi baru kemudian aku mendengar dari subo Yelu Kim bahwa obat itu mengandung racun perangsang dan racun inilah yang membuat saudara Ci Kang melakukan perbuatan itu terhadap diriku. Dia keracunan, bukan sengaja hendak berbuat keji terhadap diriku. Dia tidak bersalah, yang salah adalah obat pemberian subo Yelu Kim itu."
Bukan main lega rasa hati Cia Sun, Ciu-sian Lo-kai dan terutama Ci Kang sendiri. Pemuda ini menjadi merah lagi mukanya dan dia memandang kepada Sui Cin dengan perasaan terima kasih yang besar. Gadis itu seolah-olah telah mengangkatnya keluar dari dalam jurang kehinaan yang membuatnya berduka dan murung. Akan tetapi diapun marah kepada nenek Yelu Kim dan dia mengepal tinju.
"Ah, nenek Yelu Kim sungguh keji dan jahat!" katanya.
"Saudara Ci Kang hendaknya tidak salah sangka terhadap subo Yelu Kim!" Sui Cin berkata melihat sikap pemuda itu. "Subo Yelu Kim tidak berniat jahat dengan pemberian obat itu."
"Tidak jahat? Nona, ia hampir membuat aku menjadi seorang hina, membuat aku hampir putus asa karena penyesalan, dan engkau masih mengatakan bahwa dia tidak jahat?" Ci Kang berseru heran.
Sui Cin menggeleng kepala dan tersenyum simpul.
"Tidak, ia sama sekali tidak jahat, saudara Ci Kang. Semua terjadi karena salah pengertian. Ketika subo melihat betapa aku merasa menyesal melukaimu dan hendak mengobatimu, ia salah sangka. Ia mengira bahwa aku jatuh cinta padamu... dan... dengan obat itu, ia bermaksud hendak membantuku...! Ingat, subo adalah pemimpin suku-suku liar, jadi... dalam hal itu, mungkin saja cara berpikirnya dan kebiasaan suku liar itu sendiri jauh berbeda dengan kita..."
Cia Kong Liang memandang kepada puteranya.
"Song-ji, engkau sudah mendengar sendiri sekarang! Lain kali, jangan sembarangan menjatuhkan tuduhan kalau belum mengerti benar apa yang menjadi sebab-sebab perbuatan itu. Tuduban yang tanpa dasar bisa merupakan fitnah keji."
Wajah Hui Song menjadi merah padam, akan tetapi dengan gagah diapun menjura kepada Ci Kang.
"Siangkoan Ci Kang, maafkanlah aku. Akan tetapi, siapa dapat menduga tentang racun itu? Cin-moi sendiri sebelum mendengar dari nenek Yelu Kim juga tidak tahu. Jadi, aku tidak menuduh secara membabi-buta, harap kau dapat memakluminya."
Diam-diam Ci Kang merasa kagum. Pemuda itu, biarpun karena cemburunya menjatuhkan tuduhan penuh kebencian kepadanya, namun kini mau mengakui kesalahannya secara gagah perkasa dan minta maaf. Seperti juga ayahnya yang telah melakukan salah langkah yang amat hebat dan membawa anak buah membantu para pemberontak, akan tetapi setelah sadar berani bertindak membetulkan langkah, bahkan dengan pengorbanan nyawa isteri dan ayah mertuanya, dan banyak pula anak murid yang menjadi korban.
"Sui Cin! Apa saja yang telah kau lakukan selama ini?"
Tiba-tiba terdengar suara teguran yang nyaring, suara seorang wanita dan begitu suara itu berhenti, nampak dua bayangan orang berkelebat dan disitu telah berdiri seorang pria berusia hampir lima puluh tahun yang tampan dan gagah, bersama seorang wanita yang usianya sebaya, cantik dan berpakaian mewah indah seperti pria itu pula. Mereka ini adalah Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis, bersama isterinya, Toan Kim Hong yang pernah berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan).
"Ayah...! Ibu...!"
Sui Cin berseru girang bukan main dan cepat ia lari menghampiri mereka dan saling rangkul dengan ibunya. Gadis itu pakaiannya sederhana saja, bahkan agak nyentrik, sedangkan ibunya berpakaian rapi dan mewah, sungguh besar perbedaan pakaian mereka. Akan tetapi wajah mereka sama-sama cantik dan manis.
"Ayah, ibu, mari kuperkenalkan kepada orang-orang gagah ini!" kata Sui Cin dengan lincah gembira sambil menuntun tangan ibunya. "Cu-wi yang gagah, mereka ini adalah ayahku dan ibuku! Ayah, ibu, empat orang kakek ini adalah tokoh-tokoh sakti yang memimpin para pendekar menghadapi Raja Iblis dan kaki tangannya. Ini adalah suhu Wu-yi Lo-jin yang terkenal dengan sebutan Dewa Arak dan beliau ini telah menjadi guruku, membimbingku selama tiga tahun."
"Heh-heh, aku tua bangka ini telah lancang dan tak tahu diri berani menjadi guru puteri Pendekar Sadis yang amat lihai!" kata Wu-yi Lo-jin.
Akan tetapi sambil tertawa Ceng Thian Sin menjura.
"Bimbingan locianpwe terhadap anak kami yang bodoh merupakan budi yang besar sekali dan kami berterima kasih."
Sui Cin melanjutkan.
"Dan ini adalah locianpwe Siang-kiang Lo-jin yang disebut Dewa Kipas, lihai dan lucu, juga amat baik hati. Dan yang ini locianpwe Ciu-sian Lo-kai dan Go-bi San-jin. Pemuda ini adalah Cia Sun toako, putera dari paman Cia Han Tiong..."
Cia Sun cepat memberi hormat kepada Pendekar Sadis dan isterinya. Ceng Thian Sin girang sekali melihat Cia Sun dan memegang pundak pemuda itu sambil memandang wajahnya dengan penuh perhatian.
"Ah, kanda Cia Han Tiong memiliki seorang putera yang gagah perkasa, aku girang sekali."
"Ayah dan ibu, ini adalah enci Tan Siang Wi dan ini koko Cia Hui Song dan ayahnya, ketua Cin-ling-pai, lociawpwe Cia Kong Liang."
Mereka berhadapan dan saling pandang, kemudian Ceng Thian Sin dan isterinya menjura dengan hormat kepada ketua Cin-ling-pai yang dibalas dengan sikap sederhana oleh Cia Kong Liang sambil berkata,
"Gembira sekali dapat bertemu lagi dengan ji-wi di tempat ini."
Sebelum mereka sempat bercakap-cakap, tiba-tiba nampak seorang laki-laki berlari-lari mendatangi dan dengan napas agak terengah-engah, pria ini lalu maju dan menudingkan telunjuknya ke arah Hui Song.
"Itu dia! Itulah dia si Jahanam Cia Hui Song, keparat tak mengenal budi. Penjahat keji yang terkutuk itu!" Orang itu lalu menoleh ke arah Pendekar Sadis dan isterinya. "Orang gagah, engkau telah berjanji, cepat tangkap dan seret dia seperti yang telah kau janjikan!"
Sementara itu, melihat pria ini, Hui Song sudah melangkah maju.
"Eh-eh, saudaraku, Lam-nong, apakah yang telah terjadi? Kenapa engkau bersikap seperti ini?"
Lam-nong meloncat ke belakang dan matanya melotot.
"Jangan sentuh aku! Apakah engkau mau bunuh aku juga? Sebelum engkau membunuhku, biarlah semua orang gagah ini mendengar perbuatan apa yang telah kau lakukan kepada keluargaku, kepada suku kami!"
Hui Song mengerutkan alisnya dan memandang bingung. Apakah Lam-nong telah menjadi gila, pikirnya.
"Saudara Lam-nong, mengapa kau begini?"
"Tak usah berpura-pura. Anak buahku sendiri melihat dengan mata sendiri, dan dia tidak mungkin berbohong. Kami telah menerimamu sebagai seorang sahabat baik, membagimu makanan yang kami makan, minuman yang kami minum. Akan tetapi engkau telah membalas dengan perbuatan terkutuk! Engkau telah membantu pemberontak, menghancurkan semua anak buahku, bahkan engkau telah merampas isteri-isteriku, memaksa mereka untuk berjina denganmu dan akhirnya membunuh mereka. Engkau manusia iblis! Terkutuk!"
Lam-nong maju menyerang dengan nekat, akan tetapi sekali dorong saja Hui Song membuat dia terpelanting.
Ceng Thian Sin sudah maju dan menangkis tangan Hui Song yang hendak menampar Lam-nong.
"Dukkk...!" Dan Hui Song merasa lengannya tergetar hebat, maka diapun meloncat ke belakang.
"Aku dan isteriku bertemu dengan dia ini yang hampir gila karena duka mendengar betapa keluarganya hancur. Dan anak buahnya melihat sendiri semua yang telah diceritakannya tadi, karena itu, sebelum kesemuanya jelas, jangan persalahkan dia."
"Tapi, tapi... saya tidak..." Hui Song tergagap, tentu saja tidak berani melawan ayah Sui Cin!
"Song-ji!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya membentak marah. "Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Tak mungkin orang menuduhmu membabi-buta tanpa sebab! Hayo ceritakan sejujurnya!"
"Ayah, sungguh mati aku tidak pernah melakukan perbuatan itu..."
"Cia Hui Song, engkau selain jahat juga pengecut, tidak berani mengakui perbuatan sendiri! Anak buahku melihat dengan mata kepala sendiri. Dia melihat engkau dalam kamar bersama isteri-isteriku yang kau paksa melayanimu! Hayo katakan, tidak benarkah engkau berada di dalam kamar tidur bersama mereka?"
Hui song maklum bahwa terjadi kesalah-pahaman yang hebat. Memang kalau orang melihat ketika dia ditawan Sim Thian Bu, melihat betapa selir-selir Lam-nong dipaksa datang melayaninya, orang bisa saja salah paham.
"Aku tidak menyangkal. Memang aku berada dalam kamar bersama isteri-isterimu, akan tetapi..."
"Nah, taihiap sudah mendengar sendiri. Harap taihiap tangkapkan penjahat ini untukku seperti yang telah taihiap janjikan!" kata Lam-nong kepada suami isteri Pulau Teratai Merah itu.
"Pemuda tak tahu malu!" tiba-tiba Toan Kim Hong membentak dan tubuhnya sudah menyambar ke depan, ke arah Hui Song.
Tangannya terulur untuk mencengkeram pundak Hui Song karena nyonya ini sudah menjadi marah sekali dan merasa yakin akan keterangan Lam-nong.
"Dukkk...!"
Tiba-tiba Ci Kong Liang menggerakkan tubuhnya dan dengan cepatnya dia telah menangkis lengan wanita itu sehingga keduanya merasa betapa lengan mereka tergetar hebat oleh pertemuan tenaga dahsyat itu. Toan Kim Hong memandang dan tersenyum mengejek, sinar matanya berkilat.
"Hemmm, bagus sekali! Tadinya ketua Cin-ling-pai telah melakukan salah perhitungan dan membantu pemberontak yang bersekutu dengan kaum sesat, apakah kini hendak mengulang lagi dengan membantu anak yang menyeleweng dan melakukan perbuatan-perbuatan rendah?"
Akan tetapi dengan sikap angkuh dan tenang, Cia Kong Liang menjawab,
"Kesalahan anak harus dipertanggung-jawabkan orang tuanya! Aku sebagai ayahnya masih hidup, mana bisa aku membiarkan saja orang lain hendak menghukum anakku? Aku sendiri masih dapat menghajarnya!"
Campur tangan Toan Kim Hong tadi membuat ketua Cin-ling-pai tersinggung sekali dan kemarahannya tentu saja ditumpahkannya kepada Hui Song yang dianggap menjadi biang keladinya. Tangannya bergerak ke kiri dan tahu-tahu dia sudah mencabut pedang yang tadinya tergantung di punggung Siang Wi. Muridnya terkejut bukan main.
"Suhu...!"
Siang Wi berseru dengan muka pucat, akan tetapi gurunya memandang dengan mata penuh teguran sehingga gadis ini menunduk dan takut, akan tetapi mukanya yang pucat menjadi semakin pucat ketika ia melirik ke arah Hui Song.
"Hui Song, engkau tahu bahwa kita orang-orang Cin-ling-pai selalu berani mempertanggung-jawabkan perbuatan kita dan bahwa kita selalu siap menerima hukuman untuk perbuatan kita. Nah, untuk perbuatanmu itu, aku perintahkan engkau untuk membuang sebelah lenganmu. Engkau hendak melakukannya sendiri ataukah harus aku yang melaksanakannya?"
Semua orang terbelalak dan Sui Cin mengeluarkan seruan tertahan, matanya dibuka lebar-lebar memandang kepada Hui Song. Ia sendiri tidak dapat percaya bahwa pemuda yang dicintanya itu telah melakukan perbuatan yang demikian jahatnya seperti yang dituduhkan Lam-nong. Akan tetapi kalau saksi telah ada, bahkan ayah bundanya sendiri sudah percaya, apa yang dapat ia lakukan? Hatinya merasa tegang bukan main dan rasanya ia ingin lari saja meninggalkan tempat yang menegangkan itu.
Hui Song yang biasanya lincah gembira itu, kini wajahnya menjadi agak pucat dan lesu. Dia mengenal watak ayahnya yang keras dan memegang peraturan dengan patuh, sedikitpun tidak dapat ditawar-tawar lagi. Membantah ayahnya tiada gunanya, hanya menimbulkan gambaran bahwa dia tidak berani menghadapi akibat daripada hukuman itu saja.
Akan tetapi, menerima hukuman itupun merupakan sesuatu yang amat penasaran karena dia sama sekali tidak pernah melakukan perbuatan laknat seperti yang dituduhkan Lam-nong kepadanya.
"Ayah, aku bukan seorang pengecut yang suka mengelak hukuman, kalau memang aku bersalah. Dan aku merasa tidak bersalah. Akan tetapi, kalau ayah menetapkan demikian, terserah kepada ayah!"
Dengan berani dia menatap pandang mata ayahnya dan melihat betapa sinar mata orang tua itu suram dan layu. Teringatlah dia bahwa baru saja ayahnya kehilangan ibunya dan juga kongkongnya. Dia tahu betapa hebat penderitaan yang terasa dalam batin ayahnya dan kini harus menghadapi urusannya pula. Dia merasa kasihan sekali.
"Ayah, kalau hal itu menyenangkan hatimu, laksanakanlah hukuman itu!" katanya dengan gagah dan ikhlas.
Ucapan Hui Song ini oleh Cia Kong Liang yang sedang merasa terhimpit batinnya itu diterima sebagai tantangan dan keikhlasan itu dianggap sebagai pengakuan bersalah, maka dia mengambil keputusan bulat untuk melaksanakan hukuman itu atas diri putera tunggalnya!
Hatinya akan hancur dan kecewa sekali, akan tetapi di samping itu masih akan terhibur oleh rasa bangga bahwa keluarganya tetap bersikap jantan dan tidak lari daripada pertangungan jawab! Maka, karena tahu akan kelihaian puteranya, diapun menggerakkan pedangnya dengan jurus yang diambil dari ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut.
Bukan main hebatnya serangan ini, ketika pedang yang dipinjamnya dari Siang Wi karena pedangnya sendiri lenyap ketika dia tertawan, berkelebat menyambar ke arah lengan Hui Song!
Biarpun yang hadir disitu adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi, namun tak seorangpun diantara mereka yang berani mencampuri. Apa yang sedang terjadi itu adalah urusan antara anak dan ayah dan sang ayah adalah ketua Cin-ling-pai yang sikapnya demikian keras, angkuh dan penuh wibawa. Mereka semua hanya memandang dengan mata terbelalak dan hati diliputi ketegangan.
"Crakkkk...!"
Terdengar jeritan Siang Wi dan Sui Cin dan nampak sebuah lengan kiri sebatas siku terbabat putus dan jatuh ke atas tanah, darahpun muncrat keluar dari lengan yang buntung.
"Ci Kang...!"
Cia Sun dan Ciu-sian Lo-kai menubruk Ci Kang yang agak terhuyung itu. Kiranya tadi, ketika melihat pedang menyambar ke arah tubuh Hui Song, Ci Kang yang berdiri dekat dengan Hui Song, cepat menangkis dengan lengan kirinya. Dia sudah mengerahkan sin-kang ketika menangkis. Akan tetapi, gerakan pedang itu bukanlah gerakan biasa, melainkan merupakan jurus ampuh dari Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum), maka tak dapat dihindarkan lagi, lengan kiri Ci Kang mulai bawah siku terbabat buntung!
Cia Sun merangkul sahabatnya dan Ciu-sian Lo-kai menyuruh muridnya duduk bersila, lalu dia menotok jalan darah di pundak dan pangkal lengan untuk menghentikan darah yang bercucuren keluar.
"Aku membawa obat luka yang amat manjur!" kata Toan Kim Hong yang bersama suaminya bersikap biasa saja.
Mereka berdua ini sudah terlalu sering menyaksikan hal-hal yang amat hebat terjadi di dunia persilatan, dilakukan oleh kaum persilatan yang memang berwatak aneh-aneh. Biarpun mereka terkejut juga melihat kenekatan Ci Kang, namun mereka tidak sampai menjadi bingung seperti yang lain.
Dengan cekatan nyonya ini lalu menaruhkan obat bubuknya pada lengan yang buntung dan membalut lengan buntung itu dengan sehelai saputangan bersih. Ci Kang tadi duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni untuk melawan rasa nyeri dan kini sudah bersikap biasa.
Cia Kong Liang yang terbelalak kaget melihat betapa pedangnya ditangkis orang dan malah membuntungkan lengan Ci Kang yang dikaguminya, melepaskan pedang itu dan dia hanya dapat mengeluh dan menghapus peluhnya dengan saputangan, tak mampu mengeluarkan kata-kata.
Setelah pemuda itu diobati dan semua orang memandang kepadanya, barulah ketua Cin-ling-pai itu berkata kepada Ci Kang,
"Ci Kang, apa artinya perbuatanmu itu? Mengapa engkau melakukan itu?"
Ci Kang mengangkat muka memandang ketua Cin-ling-pai itu dan tersenyum masam.
"Locianpwe tidak boleh menghukum orang yang tidak bersalah dan akulah agaknya satu-satunya orang yang menjadi saksi bahwa Cia Hui Song memang tidak bersalah."
Tentu saja ketua Cin-ling-pai itu terkejut bukan main, juga semua orang yang hadir di situ kini memandang Ci Kang dengan penuh perhatian. Lam-nong melangkah maju dengan marah.
"Orang muda, apa yang kau lakukan ini memang aneh dan gagah perkasa, dan untuk pengorbanan lenganmu guna orang lain ini sudah membuat aku kagum sekali. Akan tetapi jangan kau main-main dengan kesaksian itu. Ingat, orang-orangku sendiri sampai mati tidak akan berbohong dan mereka melihat dengan mata kepala sendiri betapa Cia Hui Song ini telah..."
"Harap suka dengarkan dulu penjelasanku. Akupun mendengar rahasia itu secara kebetulan saja dan dibicarakan oleh pelaku-pelakunya sendiri."
Dia lalu dengan singkat menceritakan betapa dia melihat Hui Song ditawan oleh Sim Thian Bu dan kemudian mendengar pula percakapan antara Sim Thian Bu dan Hui Song, betapa Sim Thian Bu membujuk Hui Song untuk menakluk kepada Raja Iblis, juga mendengar betapa Thian Bu telah memaksa isteri-isteri Lam-nong untuk merayu Hui Song dan sengaja membiarkan kakek anak buah Lam-nong untuk melihat adegan itu sehingga nama baik Hui Song akan tercemar dan akan terjadi bentrok antara Lam-nong dan Hui Song.
"Semua itu kudengar sendiri dan aku tahu siapa Sim Thian Bu. Dia adalah bekas suteku dan aku tahu akan kejahatannya. Cia Hui Song telah difitnah dan laporan kakek anak buah bangsa Mancu itu memang benar, hanya dia tidak tahu bahwa pada waktu dia melihat empat orang isteri-isteri saudara Lam-nong berada dalam satu kamar bersama Hui Song, dia sedang dalam keadaan tertotok dan tidak mampu bergerak."
"Ahhh...!"
Lam-nong berseru dan laki-laki ini lalu menangis! Dia sudah dihimpit kedukaan karena keluarganya binasa semua, kini ditambah lagi dengan kekeliruan sangka sehingga mengakibatkan sahabat baiknya Cia Hui Song hampir saja terhukum.
"Hemm...!"
Cia Kong Liang juga mengeluarkan seruan tertahan dan bermacam perasaan terkandung dalam seruan itu. Ada perasaan lega karena ternyata putera kandungnya itu tidak berdosa, akan tetapi juga ada perasaan menyesal karena pedangnya, walaupun tidak disengaja, telah membuntungkan lengan Ci Kang yang gagah perkasa.
"Ci Kang... ah, Ci Kang...!"
Tiba-tiba Hui Song menjatuhkan dirinya berlutut di depan Ci Kang dan merangkul pundak pemuda tinggi besar itu. Biarpun Hui Song seorang pemuda perkasa yang gagah berani dan berbatin kuat, namun sekali ini keharuan membuat dia tidak kuasa menahan mengalirnya air matanya.
"Aku... aku telah berdosa kepadamu dan engkau malah melimpahkan budi tiada hentinya kepadaku! Engkau pernah membebaskan aku dari tawanan Sim Thian Bu dan aku malah mengajakmu berkelahi. Engkau datang ke benteng Jeng-hwa-pang untuk bergabung dengan para pendekar dan aku malah menghinamu dan mengajak para pendekar menyerangmu karena engkau putera mendiang Iblis Buta. Dan aku... tadi aku telah menuduhmu melakukan perbuatan keji terhadap Cin-moi... dan kini... engkau malah membelaku, engkau membersihkan namaku dan engkau... engkau bahkan rela mengorbankan sebuah lenganmu untukku...! Ci Kang, mengapa engkau begini baik sedangkan aku begini jahat dan kejam karena cemburu?"
Ci Kang menepuk-nepuk pundak Hui Song dengan tangan kanannya, lalu dia bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan bajunya dengan tangan kanan, wajahnya pucat dan senyumnya pahit.
"Sudahlah Hui Song. Aku melakukan ini memang sudah seharusnya, dan disamping itu, aku... aku..." Dia mellrik ke arah Sui Cin, "aku tidak ingin melihat nona Sui Cin menderita, dan kalau lenganmu buntung, tentu nona Sui Cin akan menderita. Aku... aku hanya anak seorang datuk sesat yang amat jahat, biarlah buntungnya lenganku ini sedikit meringankan hukuman bagi ayah kandungku di neraka... nah, selamat tinggal. Suhu, ampunkan teecu, selamat tinggal!"
Dia menjura kepada Ciu-sian Lo-kai, lalu memungut buntungan lengannya dari atas tanah.
"Ci Kang...! Kau... maafkanlah aku...!"
Sui Cin terisak sambil menyentuh lengan kanan pemuda itu. Sejenak Ci Kang memandang kepada wajah gadis itu, menarik napas panjang dan berbisik lirih.
"Nona... semoga engkau berbahagia..." Dan diapun cepat meloncat dan melarikan diri pergi dari tempat itu.
Tiba-tiba Ciu-sian Lo-kai tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, Go-bi San-jin, bagaimana sekarang? Masih engkau menganggap keliru sikap pendekar besar Cia Han Tiong? Lihat, bagaimana seorang putera datuk sesat yang amat kejam dan jahat telah berobah menjadi seorang pendekar budiman yang mengagumkan. Ha-ha-ha!"
Go-bi San-jin mengelus mukanya dan diapun menarik napas panjang.
"Engkau benar... engkau benar... akan tetapi bagaimanapun juga, muridku tidak berobah menjadi seorang yang jahat, melainkan tetap seorang pendekar yang adil dan jujur."
Tentu saja tidak ada yang mengerti apa maksudnya percakapan antara dua orang kakek itu, bahkan Cia Sun sendiri hanya memandang heran mendengar betapa nama ayahnya terbawa dalam percakapan itu.
Sementara itu, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin melangkah maju dan keduanya tertawa ha-ha-hi-hi setelah tadi saling memberi isyarat dengan pandang mata mereka. Mereka itu seperti saling dorong dengan sikap mereka, seperti dua orang anak-anak yang malu-malu ingin mengatakan sesuatu, dan akhirnya Wu-yi Lo-jin mengalah dan kakek pendek inilah yang bicara.
"Heh-heh-heh, kebetulan sekali disini hadir orang-orang gagah Cia Kong Liang dan suami isteri Ceng Thian Sin, dan juga anak-anak mereka atau murid-murid kami. Sungguh kebetulan sekali karena saat inilah yang teramat baik untuk bicara soal perjodohan. Pangcu dari Cin-ling-pai sudah mendengar bahwa puteranya jatuh cinta kepada muridku, Ceng Sui Cin dan bagaimana pendapat pangcu kalau saat pertemuan ini, selagi kita semua berkumpul, dibicarakan tentang ikatan jodoh antara Hui Song dan Sui Cin?"
Ketua Cin-ling-pai itu mengerutkan alisnya, memandang kepada kakek pendek itu lalu menarik napas panjang dua kali.
"Locianpwe, sudah banyak aku mencampuri urusan dan semuanya menjadi gagal dan rusak. Oleh karena itu, urusan perjodohan Hui Song terserah kepadanya dan kepada locianpwe yang sudah menjadi gurunya. Aku sih setuju saja, akan tetapi sekarang aku masih mempunyai kepentingan lain, biarlah lain hari saja kita bicarakan hal itu. Cu-wi maafkan, aku harus pergi dulu. Song-ji, mari bantu aku mencari dan mengurus jenazah ibumu dan kong-kongmu."
Mendengar ini, semua orang terkejut dan baru teringat bahwa ketua Cin-ling-pai ini baru saja tertimpa musibah, bahkan belum sempat mencari jenazah isterinya dan ayah mertuanya. Juga Hui Song tidak berani membantah perintah ini, maka pemuda itupun menoleh kepada Sui Cin, melempar pandang mata penuh arti lalu memberi hormat kepada empat orang kakek itu dan juga kepada Ceng Thian Sin dan isterinya. Kemudian ketua Cin-ling-pai menjura kepada semua orang lalu pergi dengan cepat diikuti Hui Song, Siang Wi dan para anggota Cin-ling-pai.
Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin saling pandang, keduanya menggerakkan pundak seperti kehabisan akal, akan tetapi Siang-kiang Lo-jin tidak kekurangan akal.
"Aha, sayang sekali ketua Cin-ling-pai mempunyai urusan yang amat penting, akan tetapi disini masih ada orang tua dan juga guru dari Ceng Sui Cin, masih ada kesempatan untuk membicarakan urusan itu walaupun hanya sepihak."
Mendengar ini, Wu-yi Lo-jin juga tertawa.
"Heh-heh, benar juga, benar juga. Bagaimana, Ceng-sicu dan juga toanio, ji-wi sudah mendengar bahwa antara puteri ji-wi dan putera ketua Cin-ling-pai itu ada hubungan kasih dan mereka berdua sudah bersepakat untuk mengikat perjodohan, dan kami berdua sebagai guru-guru mereka sudah merasa cocok sekali!"
"Hemm, aku tidak suka mempunyai mantu pemuda itu!" tiba-tiba Toan Kim Hong berseru.
Suaminya menyambung,
"Sesungguhnya, keluarga Cia dari Cin-ling-pai itu terlalu angkuh dan ketinggian hati itu membuat kami tidak suka untuk berbesan dengan mereka..."
"Ayah! Ibu!" Sui Cin berteriak marah, "Agaknya ayah dan ibu masih ingin memaksaku untuk menerima pinangan si pesolek Can Koan Ti itu, ya? Ayah dan ibu ingin sekali berbesan dengan Pangeran Can Seng Ong, seorang pangeran dan juga gubernur di Ce-kiang! Baiklah, ayah dan ibu saja yang menikah dengan mereka. Akan tetapi aku tidak sudi!" Setelah berkata demikian, Sui Cin meloncat dan melarikan diri sambil menangis!
"Sui Cin...!" teriak Pendekar Sadis marah, akan tetapi anaknya tidak perduli dan sudah lari cepat lenyap dari situ.
Ketika dia mendengar suara gerakan halus dan menengok, ternyata Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, dua orang kakek, telah lenyap pula dari situ.
"Hemm, anak itu menjadi besar kepala karena ulah dua orang kakek itu," kata Toan Kim Hong marah. "Setelah merantau dan berguru, Sui Cin malah menjadi seorang anak yang durhaka terhadap orang tuanya! Kakek itu perlu dihajar!"
Dan nyonya yang galak itu sudah melompat untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi ia dipeluk dari belakang oleh suaminya.
"Eh, eh, eh, jangan marah-marah dulu. Ingat, dua orang kakek itu adalah orang-orang sakti yang mencinta Sui Cin dan bermaksud baik. Pula, jangan kira bahwa kita akan mudah saja dapat mengalahkan mereka."
"Aku tidak takut!"
"Eit-eitt, nanti dulu. Tentu saja kita tidak mengenal takut, akan tetapi itu kalau berhadapan dengan orang-orang jahat dan untuk menentang kejahatan. Sekarang persoalannya lain lagi. Mereka bukan orang jahat, bahkan guru Sui Cin dan mereka berniat baik. Mari kita kejar mereka dan kita bicara dengan baik. Ingat, Sui Cin hanya anak tunggal kita, demi kebahagiaannya kita harus dapat merundingkan hal ini dengan perlahan dan dengan baik."
Setelah dibujuk suaminya, Toan Kim Hong mulai sabar dan merekapun meninggalkan tempat itu. Kini disitu tinggal Cia Sun dan dua orang kakek, Ciu-sian Lo-kai dan Go-bi San-jin yang sejak tadi hanya menjadi penonton.
Ciu-sian Lo-kai tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, betapa lucunya manusia di dunia ini, sungguh dunia ini tiada lain hanya sebuah panggung sandiwara dan manusia-manusianya menjadi badut-badut yang kadang-kadang tidak lucu sama sekali. Lihat itu Raja Iblis dan Ratu Iblis. Raja Iblis tadinya seorang pangeran besar, bahkan kemudian dia sudah merobah diri menjadi seorang pertapa yang berilmu tinggi sekali. Akan tetapi, ternyata dia masih belum puas dengan hidupnya dan menjangkau yang lebih tinggi. Dan apa jadinya sekarang? Dia dan isterinya hanya merupakan seonggok daging!" kakek itu menggeleng-geleng kepala.
Go-bi San-jin juga menarik napas panjang.
"Manusia berbunuh-bunuhan, mayat berserakan, semua itu hanya untuk mengejar cita-cita kosong dan saling mempertahankan kebenaran masing-masing, kebenaran kosong! Lihat itu...!"
Dia menunjuk ke arah pasukan yang sudah tiba di situ dan kini sedang mengurus mayat-mayat yang berserakan.
"Semua kalau sudah menjadi mayat, ya sama saja, sama-sama membusuk. Ketika masih hidup, juga bergelimang dalam kebusukan walaupun semua cita-cita untuk kebaikan. Betapa lucunya, lucu dan menyedihkan. Betapa hidup hampir dipenuhi sengsara belaka."
Mendengar percakapan kedua orang kakek itu, Cia Sun teringat kepada ayahnya dan tiba-tiba saja dia melihat betapa ayahnya adalah seorang bijaksana dan berbatin mulia. Ayahnya tidak mendendam, walaupun kehilangan isteri. Ayahnya dapat menerima segala hal yang menimpa dirinya dengan tenang, penuh kewaspadaan, tidak dikuasai oleh nafsu-nafsu amarah dan kebencian. Dan tiba-tiba saja dia merasa rindu kepada ayahnya. Juga dia harus menemui ayahnya untuk suatu hal. Dia tahu bahwa Sui Cin tidak dapat diharapkannya lagi, bahwa Sui Cin mencinta Hui Song.
Akan tetapi pertemuan dan perkenalannya dengan Tan Siang Wi, murid Cin-ling-pai itu, menghidupkan kembali harapannya untuk dapat berbahagia di samping seorang wanita. Dia amat tertarik kepada Siang Wi, gadis yang manis dan gagah perkasa itu. Diapun tahu bahwa gadis itu sebetulnya mencinta Hui Song, dan seperti juga dia mencinta tanpa balasan, hanya bertepuk tangan sebelah.
Siang Wi mencinta Hui Song dan dia mencinta Sui Cin, akan tetapi dua orang yang mereka cinta itu ternyata saling mencinta. Maka, kalau kini dia tertarik kepada Siang Wi, alangkah baiknya kalau dia berjodoh dengan Siang Wi, dengan demikian, rasa penasaran terobati dan mereka dapat saling menghibur!
"Suhu, teecu ingin menengok ayah," tiba-tiba dia berkata kepada Go-bi San-jin.
Kakek ini maklum akan isi hati muridnya. Dia tahu bahwa muridnya ini agaknya patah hati karena cintanya terhadap Sui Cin tidak terbalas. Sebagai orang-orang yang waspada, baik Ciu-sian Lo-kai maupun Go-bi San-jin sama-sama maklum bahwa murid masing-masing itu telah jatuh cinta kepada puteri Pendekar Sadis, dan keduanya telah ditolak karena gadis itu ternyata mencinta putera ketua Cin-ling-pai.
"Engkau mau pulang ke Lembah Naga? Baiklah, karena pekerjaan di sinipun sudah selesai, pulanglah dan laporkan segala yang terjadi kepada ayahmu. Kelak, kalau ada jodoh kita pasti akan bertemu lagi," kata Go-bi San-jin.
Cia Sun lalu pergi dan diikuti pandang mata dua orang kakek itu. Mereka berdua itu masih tenggelam ke dalam pikiran masing-masing, menyaksikan semua peristiwa di dunia ini, melihat semua ulah manusia yang berlomba mencari kebahagiaan namun hanya berakhir dengan kesengsaraan.
Sesungguhnya, kalau kita mau melihat kenyataan, timbul sebuah pertanyaan. Dapatkah kebahagiaan dikejar dan dicari? Sebelum menjawab ini, sebaiknya diselidiki lebih dahulu apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan BAHAGIA itu? Apakah kebabagiaan itu kepuasan hati karena tercapainya sesuatu yang diinginkan? Kalau begini, bahagia itu terbatas sekali dan hanya berumur beberapa lama saja karena kepuasan inipun hanya sementara, dan segera berobah dengan kebosanan.
Apakah bahagia itu kesenangan? Juga tidak, karena kesenangan hanyalah pemuasan nafsu belaka, rasa nyaman dan enak bagi badan kita dan pikiran, dan kesenangan inipun hanya sementara saja, amat pendek umurnya, dan kesenangan biasanya diseling kebosanan dan bahkan mempunyai saudara kembar, yaitu kesusahan, seperti tawa dan tangis yang datang silih berganti seperti datangnya musim. Kalau semua itu bukan, lalu apakah yang dimaksudkan dengan kebahagiaan?
Bagaimana kita dapat menggambarkan kebahagiaan kalau kita sendiri selalu berada dalam permainan susah dan senang, kalau kita selalu diombang-ambingkan gelombang nafsu? Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang mati, bukan sesuatu yang sudah pasti sehingga mudah dicari dan dicapai.
Kalau kita menghentikan segala kesibukan pikiran kita yang mengejar-ngejar kesenangan, mengejar-ngejar kebahagiaan itu sendiri, kalau kita sudah tidak terseret lagi ke dalam tarikan-tarikan susah dan senang yang bertentangan, kalau sudah tidak ada lagi konflik atau pertentangan dalam batin antara kenyataan yang ada dan gambaran yang kita inginkan, kalau KITA SUDAH TIDAK MENGEJAR APA-APA, tidak menginginkan apa-apa yang berada di luar jangkauan kita, nah, mungkin sekali kita akan dapat merasakan dan mengerti apa artinya bahagia itu.
Jelaslah bahwa yang dapat dikejar dan dicari hanyalah kesenangan dan kepuasan sementara dari dorongan keinginan kita untuk mendapatkan kesenangan itu. Dengan demikian, kebahagiaan itu tidak mungkin dapat dicari, tidak mungkin bisa didapatkan melalui pengejaran.
Kita selalu condong untuk mengejar. Karena mengira bahwa kebahagiaan berada di luar diri, kita mengejar keluar, kita merobah-robah yang berada di luar. Maka terjadilah pergolakan-pergolakan, terjadilah revolusi-revolusi, terjadilah perang.
Kita selalu condong untuk membuat keindahan di luar diri. Kita lupa bahwa sesungguhnya, yang indah itu berada di dalam, yang indah itu timbul dari dalam, dan bahagia itu adalah urusan batin, urusan di dalam diri kita sendiri.
Tinggal di dalam sebuah gedung memang senang akan tetapi belum tentu bahagia, sebaliknya tinggal di dalam gubuk mungkin saja merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan tidak berada di dalam gedung indah, tidak berada dalam makanan lezat, tidak berada dalam kedudukan tinggi atau diantara tumpukan emas.
Kalau batin sudah tidak mengejar-ngejar, tidak mencari-cari apa yang berada di luar jangkauan kita, maka batin itu akan menjadi tenteram dan kita dapat menerima segala sesuatu sebagai hal yang wajar, tanpa mengeluh sedikitpun juga, bahkan dengan senyum tulus ikhlas karena kewaspadaan membuat kita mengerti bahwa segala itu merupakan suatu kenyataan dan kenyataan itu mengandung keindahan.
Segala sesuatu di dunia ini mengandung keindahan bagi batin yang tidak mencari apa-apa. Baik hujan, maupun panas, dihadapi dengan senyum dan dipandang sebagai suatu keindahan, tanpa keluhan karena tidak ada yang perlu dikeluhkan, karena tidak ada penyesalan dalam batin, karena tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan yang dicari, karena memang tidak ada yang dicari-cari! Dalam keadaan inilah kita mungkin sekali akan merasakan dan mengerti apa sesungguhnya hakekat kebahagiaan itu.
Tidak mencari kesenangan ini sama sekali bukan berarti bahwa kita menolak kesenangan! Orang-orang yang menolak kesenangan, mengasingkan diri di puncak bukit, mengharamkan segala hal yang mendatangkan rasa enak dan nikmat, sesungguhnya adalah orang-orang yang MENCARI KESENANGAN, dalam bentuk lain!
Memang, dalam mencari kesenangan, orang seringkali lupa diri, dan bahkan mau bersusah payah menyiksa diri, dalam mengejar kesenangan yang dinamakan cita-cita. Dan andaikata yang dikejar dengan cara menyiksa diri itu tercapai, maka yang didapatkannya itupun hanyalah suatu bentuk kepuasan, suatu bentuk kesenangan perasaan belaka yang ekornya dapat berupa kekecewaan dan kebosanan pula.
Perasaan enak, nyaman, nikmat yang dinamakan kesenangan adalah suatu anugerah hidup. Tubuh dan perasaan kita dibekali alat-alat penangkap rasa senang ini, dan kita berhak menikmati kesenangan dalam hidup ini. Kesenangan adalah berkah dan sama sekali tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah PENGEJARAN itulah, PENCARIAN itulah, karena dalam mengejar inilah timbulnya segala macam perbuatan yang merugikan orang lain, yang pada umumnya disebut jahat.
Pengejaran kesenangan yang berbentuk kedudukan dan kemuliaan, seperti yang terjadi pada Raja dan Ratu Iblis, menimbulkan perang dan permusuhan, bunuh-bunuhan antara manusia. Pengejaran kesenangan dalam bentuk harta benda menimbulkan perbuatan-perbuatan curang, korupsi, penipuan, perampokan, pencurian dan sebagainya. Pengejaran terhadap kesenangan dalam bentuk nafsu berahi menimbulkan perkosaan, pelacuran, dan sebagainya dan segala macam perbuatan yang pada umumnya merugikan dan dianggap jahat, kalau ditelusur, sudah pasti dasarnya adalah pengejaran kesenangan itu.
Akan tetapi, orang yang tidak mengejar kesenangan, menganggap segala hal yang terjadi merupakan suatu kewajaran dan di dalam kewajaran ini, dimana tidak terdapat keluhan, tidak terdapat kekecewaan karena tidak ada pengejaran, terkandunglah kesenangan yang lain lagi!
Kenikmatan karena memang cita rasa menganggapnya enak, bukan kenikmatan karena tercapainya suatu pengejaran. Bagi orang yang tidak mengejar, memperoleh minuman apapun akan terasa nikmat, baik itu berupa air jernih belaka maupun minuman yang mahal harganya. Kenikmatan terdapat pula didalam nasi sambal maupun dalam nasi beserta masakan yang mahal bagi mereka yang tidak mengejar.
Bukan berarti pula bahwa orang yang tidak mengejar kesenangan lalu menjadi lumpuh semangat dan duduk menganggur! Sama sekali tidak demikian! Akan tetapi, orang bahagia seperti ini, kalau bekerja, bukan bermaksud mengejar uang, melainkan melakukan suatu pekerjaan yang bermanfaat dan yang sesuai dengan minatnya sehingga di dalam pekerjaan itu sendiri dia sudah mengecap kenikmatan!
Uang sebagai upah atau hasil pekerjaannya hanya merupakan akibat saja dalam dunia yang kesemuanya sudah diukur dengan uang ini. Akan tetapi uang bukan menjadi tujuan utama untuk dikejar melalui pekerjaan. Kalau pekerjaan itu dilakukan sebagai cara untuk mencari uang, maka akan timbul hal-hal yang buruk dan curang, pekerjaan itu mungkin menjadi kotor, pegawai berkorupsi, pedagang menipu dan memalsu, manipulasi, penyelundupan, dan sebagainya lagi keburukan yang terdapat dalam pekerjaan dan perdagangan.
Sejak ribuan tahun yang lalu, para cerdik pandai, para cendekiawan, para budiman sudah berusaha mati-matian untuk mencari cara yang baik agar manusia dapat hidup benar dan besar. Berbagai macam cara hidup telah diciptakan manusia dengan berbagai paham (isme), berbagai garis hidup telah dipaksakan kepada manusia. Akan tetapi, kalau kita sekarang menengok keadaan di seluruh dunia, semua cara itu ternyata tidak menolong, tidak dapat membebaskan manusia daripada kesengsaraan, daripada kemurkaan, ketamakan, ketakutan, kebencian dan permusuhan.
Ternyata segala macam kedudukan tinggi, kehidupan mewah, ilmu pengetahuan yang tinggi-tinggi, tidak mampu memperbaiki kehidupan batin manusia, tidak mampu mengusir kesengsaraan manusia, tidak mampu mendatangkan KEBAHAGIAAN dalam batin manusia. Tidak ada paham (isme) apapun, tidak ada cara apapun, yang akan dapat merobah batin manusia kecuali dirinya sendiri.
Dan perubahan itu baru bisa terjadi kalau kita mau mengenal diri sendiri, mengamati diri sendiri dan lika-liku kehidupan kita setiap hari dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan. Pengamatan yang mendalam setiap saat akan membuka mata kita bahwa kita sendirilah sumber segala derita, kita sendirilah pencipta kesengsaraan, kita sendiri yang menjauhkan diri dari kebahagiaan, menjauhkan diri dari Tuhan!
Tuhan dengan segala berkahNya berlimpahan tidak pernah sedetikpun menjauhi kita. Adalah kita yang setiap saat, demi pengejaran kesenangan, menjauhi Tuhan dan setelah akibat pengejaran itu menjerumuskan kita ke dalam lembah kesengsaraan, kita berteriak-teriak mengeluh kenapa Tuhan meninggalkan kita!
Orang bahagia akan selalu menerima segala hal yang terjadi sebagai suatu kenyataan hidup tanpa menilai hal itu sebagai baik atau buruk. Tidak mengeluh, tidak menyalahkan siapapun, melainkan membuka mata dengan waspada akan gerak-gerik "monyet putih" yang bercokol di dalam pikiran kita.
Gadis itu menangis sejadi-jadinya sambil duduk di bawah pohon di tempat sunyi itu. Ia tidak perduli pakaiannya kotor terkena tanah yang agak basah. Ia duduk dan menopang kepala yang ditundukkan, muka yang disembunyikan diantara kedua lengannya yang bersilang dan melintang di atas kedua lututnya.
Sui Cin adalah seorang gadis yang biasanya keras hati, berandalan, gembira dan tidak pernah menangis. Bahkan tangis dianggapnya suatu kecengengan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang gagah. Akan tetapi sekali ini, makin diingat keadaan dirinya, makin sedih hatinya dan makin keras tangisnya. Apalagi disitu tidak terdapat orang lain sehingga ia boleh menangis sepuas hatinya tanpa dilihat orang lain.
Betapa hatinya tidak akan berduka? Peristiwa yang menimpa diri Ci Kang, yang mengakibatkan buntungnya lengan kiri pemuda itu, membuat hatinya terasa pedih karena ia tahu bahwa Ci Kang mengorbankan lengannya semata-mata untuk dirinya, karena Ci Kang hendak melindungi Hui Song yang diketahuinya menjadi pilihan hatinya.
Juga ia maklum bahwa biarpun tidak menyatakan sesuatu, Cia Sun juga patah hati karena cinta kepadanya dan tidak dibalasnya. Hatinya telah melekat kepada Hui Song dan hanya pemuda itulah yang telah menawan hatinya. Ia mencinta Hui Song dan mengharapkan untuk menjadi isteri putera ketua Cin-ling-pai itu. Akan tetapi, ayah dan ibunya tidak setuju!
Dan mengingat betapa setelah bertahun-tahun berpisah dari ayah bundanya, kini begitu bertemu ia terpaksa berselisih paham dengan mereka, sungguh merupakan peristiwa yang amat menyedihkan hatinya. Kalau menurutkan perasaan hatinya, ia boleh tidak ambil perduli terhadap ayah bundanya dan langsung saja menemui Hui Song dan hidup bersama pemuda itu selamanya. Akan tetapi ia tahu bahwa perbuatannya itu akan menghancurkan perasaan hati orang tuanya yang hanya mempunyai anak ia seorang saja.
"Hu-hu-huuuhhh...!"
Ia tersedu lagi dan menyembunyikan mukanya diantara lengan, tubuhnya terguncang karena tangisnya.
Sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya dan terdengar suara ketawa terkekeh.
"Heh-heh-heh, sungguh lucu melihat engkau menangis! Engkau sama sekali tidak pantas kalau menangis, Sui Cin, seperti masakan kurang garam!"
Sui Cin mengangkat mukanya dan memandang kepada kakek katai yang menjadi gurunya itu dengan mulut cemberut.
"Suhu malah mengejek, ya? Tidak tahu orang sedang susah, malah diejek. Apa artinya orang menangis seperti masakan kurang garam?" katanya dengan marah.
"Heh-heh-heh, bagaimana rasanya masakan kurang garam? Tentu saja hambar dan tidak enak. Tangismu juga demikian, tidak enak dipandang, tidak sedap didengar, tidak menyedihkan malah menggelikan. Maka, jangan menangis!"
Akan tetapi, Sui Cin teringat kembali akan keadaan dirinya dan tanpa memperdulikan ejekan gurunya, iapun menangis lagi.
"Ha-ha-ha, muridmu ternyata hanya seorang bocah perempuan yang cengeng dan lemah sekali, Ciu-sian! Ha-ha-ha!"
Sui Cin kembali mengangkat mukanya dan memandang kepada Siang-kiang Lo-jin dengan mata melotot.
"Siapa cengeng?" katanya marah. "Kalau kalian berdua yang mengalami hal seperti aku, mungkin sudah membunuh diri!"
Dua orang kakek itu saling berpandangan lalu keduanya tertawa bergelak.
"Kami tidak pernah jatuh cinta, apalagi kerepotan dalam memilih jodoh!" kata kakek pendek berjenggot panjang Wu-yi Lo-jin atau Dewa Arak. "Sudahlah, Sui Cin, engkau adalah muridku yang baik, yang gagah perkasa, yang berbatin kuat. Kenapa kini menangis seperti anak kecil hanya karena sikap orang tuamu?"
"Aih, suhu. Bagaimana aku tidak akan menjadi sedih? Ayah dan ibu memperlihatkan sikap keras dan terang-terangan menolak ikatan jodoh antara aku dan Song-ko. Lalu apa yang harus kulakukan? Menurut mereka yang hendak menjodohkan aku dengan putera Gubernur Ce-kiang? Aku tidak sudi!"
"Wah, kenapa harus memikirkan orang tua yang tidak ingin membahagiakan anak?" Kakek pendek itu berseru.
"Tapi, suhu. Ayah Song-ko juga mengambil sikap tidak perduli, bahkan tidak mau mengambil keputusan ketika suhu berdua mengajukan pertanyaan. Lalu apa yang dapat kulakukan?"
"Ha-ha-ha, kenapa gelisah? Kalau ayah Hui Song tidak mau mengurusi lagi puteranya, masih ada aku gurunya yang dapat mewakili dan akulah yang akan mengajukan pinangan untuk muridku Hui Song. Beres, kan?"
"Tapi, kalau locianpwe meminangku kepada ayah dan ditolak?"
"Heh-heh-heh, masih ada aku di sini! Jangan perdulikan orang tuamu yang mau senang sendiri itu. Aku adalah gurumu dan aku berhak mewakili mereka dan menerima pinangan si gendut ini!" kata Wu-yi Lo-jin.
Siang-kiang Lo-jin tertawa bergelak.
"Benar! Benar! Orang-orang tua yang tidak becus seperti ayah bundamu dan ayah Hui Song itu biar kita tinggalkan saja!"
"Itu benar, Sui Cin. Kalau ayah bundamu hendak memaksamu menikah dengan orang yang tidak kau sukai, biarkan mereka berdua saja yang menikah dengan pilihan mereka!" kata Wu-yi Lo-jin penuh semangat.
"Tepat! Orang tua yang tidak dapat membahagiakan anaknya, berarti orang tua itu tidak mencinta anaknya, melainkan mencinta dirinya sendiri saja dan patut kita tentang!" sambung Siang-kiang Lo-jin.
"Jangan takut, Sui Cin. Kalau ayah ibumu marah dan hendak memaksamu, kami berdua yang akan menentang mereka dan melindungimu!" gurunya berkata dengan penuh semangat.
Tiba-tiba saja kedua orang kakek itu berhenti bicara dan memandang ke kiri. Sui Cin juga mendengar suara mencurigakan dari sebelah kiri dan terkejutlah gadis ini ketika melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu disitu telah muncul Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, ayahnya!
Pendekar ini nampak gagah perkasa, dengan pakaiannya yang indah dan baru, dengan topinya yang dihias bulu. Seorang pendekar yang tampan gagah walaupun usianya sudah hampir lima puluh tahun dan sikapnya penuh wibawa ketika dia berdiri memandang kepada Sui Cin dengan sinar mata mencorong marah.
"Sui Cin!" bentak pendekar ini. "Engkau hendak menentang orang tuamu?"
Suara pendekar ini penuh kemarahan dan Sui Cin menjadi gentar sekali. Belum pernah ayahnya marah seperti itu terhadap dirinya. Belum pernah ia melihat sinar mata ayahnya mencorong seperti itu, seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar dirinya. Gadis ini dengan sikap gentar lalu menyembunyikan diri atau berlindung di belakang tubuh Wu-yi Lo-jin yang pendek kecil.
Sejenak, Dewa Arak dan Dewa Kipas terbelalak memandang kepada Pendekar Sadis yang sudah berdiri di depan mereka dengan gagahnya. Kalau tadi mereka mengeluarkan ucapan-ucapan keras terhadap Pendekar Sadis dan isterinya, hal itu hanya mereka lakukan untuk menghibur hati Sui Cin. Kini, setelah orang yang tadi dicela dan ditantangnya berdiri di depan mereka, keduanya menjadi bingung dan tak tahu harus berkata atau berbuat apa.
"Suhu... locianpwe... lekas kalian bertindak...!"
Sui Cin berbisik dari belakang tubuh Dewa Arak, karena ia sendiri merasa takut untuk menghadapi ayahnya yang sedang marah itu.
Akan tetapi dua orang itu hanya saling pandang, lalu memandang kepada Ceng Thian Sin, saling pandang lagi dan keduanya seperti sudah kehilangan suara.
"Suhu... locianpwe... ingat janji kalian tadi..." kembali Sui Cin berbisik.
"Heh, kerdil tua bangka, muridmu benar, engkau harus ingat janjimu tadi!"
Tiba-tiba Dewa Kipas berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah dahi Dewa Arak.
"Apa? Gendut brengsek! Engkau yang berjanji akan melindunginya!"
Si kakek kerdil membalas, tangan kanannya mendorong perut gendut dan telunjuk kirinya membalas menuding ke arah dahi si gendut dan untuk ini, terpaksa dia harus berjingkat karena terlalu pendek.
"Kau yang berjanji!"
"Kau juga berjanji!"
Keduanya tidak mau mengalah dan agaknya siap untuk saling hantam sendiri. Sebetulnya, tentu saja dua orang sakti seperti Dewa Arak dan Dewa Gendut bukan orang-orang pengecut yang tidak berani bertanggung jawab. Akan tetapi karena mereka tidak setulus hati menentang Pendekar Sadis dan kini mereka saling dorong dan saling tuduh, maka terjadilah keributan diantara mereka sendiri yang memang suka bersaing.
Ceng Thian Sin tadinya berdiri dengan sikap marah dan kedua tangan terkepal, akan tetapi melihat tingkah dua orang kakek itu, sinar matanya yang tadi mencorong marah kini berobah. Mulut yang tadi cemberut kini mengarah senyum.
Memang sebenarnya Ceng Thian Sin tidak benar-benar marah. Tadi, dengan ilmu kepandaiannya, dia dan isterinya sebentar saja dapat menyusul Sui Cin dan ketika mereka tiba di tempat itu, mereka berdua sempat mendengar bualan atau tantangan-tantangan yang diucapkan oleh dua orang kakek sakti. Biarpun mereka berdua tadi mengeluarken kata-kata yang kasar dan keras seolah-olah menantang, akan tetapi Pendekar Sadis dan isterinya adalah dua orang pendekar yang berpengalaman dan mereka berduapun maklum bahwa dua orang kakek sakti itu sudah tahu akan kedatangan mereka dan bahwa kedua orang kakek itu sengaja menantang-nantang sambil mengerahkan khi-kang agar suara mereka terdengar oleh suami isteri yang sudah datang dan bersembunyi di balik batu karang itu.
Dua orang suami isteri itu mendengar semua percakapan dan semua tantangan, dan mereka berdua kinipun yakin bahwa puteri mereka mencinta Hui Song dan betapa dua orang kakek yang menjadi guru Hui Song dan Sui Cin itu telah menyetujui perjodohan mereka. Hal ini saja sudah meyakinkan hati keduanya bahwa pilihan hati puteri mereka tidaklah keliru, karena kalau demikian halnya, tentu dua orang kakek sakti itu tidak akan mati-matian membelanya.
Pendekar Sadis yang berpura-pura marah itu, ketika melihat betapa dua orang kakek saling tuding, tidak dapat menahan kegelian hatinya dan pada saat itu, bayangan lain lalu berkelebat dan isterinya sudah berdiri di sisinya. Melihat ini, dua orang kakek itu agaknya menjadi semakin ketakutan.
"Nah, hayo keluarkan kegarangarmu tadi, tua bangka kerdil!" bentak Dewa Kipas.
"Dan, dimana kegagahanmu? Engkau memikirkan enaknya perutmu sendiri saja, tidak memikirkan kepentingan muridmu!" balas Dewa Arak.
Tiba-tiba terdengar Pendekar Sadis tertawa bergelak, diikuti oleh isterinya. Melihat kedua suami isteri ini tertawa-tawa, Sui Cin terbelalak heran dan dua orang kakek yang tadinya ribut-ribut itupun berdiri bengong memandang.
"Sudahlah, ji-wi locianpwe tidak perlu bersandiwara lagi. Kami berdua bukanlah orang tua yang tidak ingin melihat kebahagiaan anak tunggal kami," kata Toan Kim Hong dengan suara lantang kepada dua orang kakek itu.
"Ayah...! Ibu...! Benarkah... benarkah ayah ibu menyetujui...?"
Sui Cin berteriak dan lari menghampiri ayah bundanya. Dua orang tua itu hanya membuka lengan mereka menyambut dan di lain saat Sui Cin sudah berada dalam rangkulan ayah bundanya, menangis terisak-isak tanpa dapat mengeluarkan kata-kata lagi, sekali ini menangis saking bahagia dan terharu.
Toan Kim Hong menciumi muka anaknya dan Ceng Thian Sin menepuk-nepuk pundak Sui Cin sambil berkata,
"Kami hanya ingin menguji dan melihat sampai dimana cintamu terhadap Hui Song, maka kami berpura-pura tidak setuju."
"Ayah dan ibu... ah, betapa bahagianya hatiku. Suhu dan Siang-kiang Locianpwe, lihat betapa ayah ibuku sudah setuju. Tinggal kalian yang harus memenuhi janji!" kini Sui Cin dengan muka masih basah air mata, dengan sepasang mata masih basah kemerahan, menghadapi dua orang kakek itu sambil tersenyum.
"Wah, cebol, kita ditagih!" Siang-kiang Lo-jin berseru tertawa dan tiba-tiba dia menjura kepada Wu-yi Lo-jin sambil berkata dengan sikap sungguh-sungguh dan serius sekali, "Wu-yi Lo-jin, aku sebagai guru dari Cia Hui Song, dengan ini menyatakan meminang muridmu yang bernama Ceng Sui Cin!"
Wu-yi Lo-jin juga menanggalkan sikap pura-pura dan gurauannya, kini diapun menjura dengan hormat kepada Siang-kiang Lo-jin dan berkata,
"Aku sebagai guru Ceng Sui Cin, menerima dengan baik pinangan itu dan merasa setuju sekali kalau muridku menjadi calon jodoh muridmu."
Setelah berkata demikian, dua orang kakek itu menghadapi Ceng Thian Sin dan isterinya, memandang tajam dan seolah-olah menanti keputusan mereka. Ceng Thian Sin menarik napas panjang.
"Perjodohan adalah urusan yang ditentukan oleh Thian, dan syarat utamanya adalah cinta kasih antara pria dan wanita yang hendak mengikatkan diri satu sama lain melalui pernikahan. Kami sebagai orang tua pihak wanita, hanya dapat menanti datangnya pinangan dari orang tua pihak pria. Hal ini tentu saja ji-wi locianpwe cukup maklum dan kami menanti di Pulau Teratai Merah! Sui Cin, mari kita pulang."
Sui Cin yang sudah merasa berbahagia sekali melihat orang tuanya menyetujui perjodohannya dengan Hui Song, mengerti akan maksud ayahnya. Tentu saja, sebagai seorang gadis, ia hanya dapat menanti datangnya pinangan dari orang tua atau wakil Hui Song. Maka iapun menghadapi dua orang kakek itu,
"Sampai sekarang, janji-janji kalian dua orang kakek yang kucinta dan kuhormati belum dipenuhi. Aku hanya dapat menanti kalian di Pulau Teratai Merah dan disana aku akan membuatkan masakan-masakan istimewa untuk kalian."
Ceng Thian Sin, Toan Kim Hong, dan Sui Cin memberi hormat kepada dua orang kakek itu lalu berkelebat pergi. Tinggal dua orang kakek itu yang bengong lalu saling pandang dan menarik napas panjang.
"Waaah, ini akibat kelancanganmu main-main, gendut!" kata Wu-yi Lo-jin sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak berambut. "Kini kita harus mendatangi ketua Cin-ling-pai dan harus dapat membujuknya untuk pergi ke Pulau Teratai Merah untuk melakukan pinangan itu."
"Jangan khawatir!" Dewa Kipas menepuk-nepuk perutnya yang gendut. "Aku yakin ketua Cin-ling-pai akan cukup bijaksana untuk mau mengunjungi Pulau Teratai Merah. Pengalaman pahitnya dalam urusan pemberontakan itu tentu merupakan obat yang membuatnya sadar bahwa hidup ini tidak berguna kalau tidak dapat membahagiakan orang lain, terutama orang-orang yang terdekat dengannya. Demi kebabagiaan puteranya, tentu dia mau merendahkan diri sedikit untuk berkunjung ke Pulau Teratai Merah. Mari kita berdua pergi mengunjunginya dan membujuknya." Dua orang kakek itupun lalu pergi dengan langkah santai.
Pesta pernikahan yang dirayakan di puncak Pegunungan Cin-ling-san, di rumah perkumpulan Cin-ling-pai itu meriah sekali. Lebih dari seribu orang tamu memerlukan datang menghadiri perayaan itu dari berbagai penjuru. Sebagian besar dari para tamu adalah golongan kang-ouw atau tokoh-tokoh dunia persilatan. Hal ini tidaklah mengherankan karena nama besar Cin-ling-pai sudah dikenal di dunia persilatan.
Apalagi mengingat siapa adanya keluarga besan-besan dari ketua Cin-ling-pai yang sekaligus merayakan pernikahan dari puteranya dan murid perempuannya itu. Putera ketua Cin-ling-pai, Cia Hui Song, menikah dengan Ceng Sui Cin, puteri tunggal Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya yang amat terkenal. Sedangkan murid perempuannya yang disayang seperti puteri sendiri, Tan Siang Wi, menikah dengan Cia Sun, putera tunggal dari ketua Pek-liong-pang, pendekar dari Lembah Naga yang juga terkenal.
Tiga besar itu, Cia Kong Liang, Cia Han Tiong, dan Ceng Thian Sin, bersepakat untuk merayakan dua pernikahan itu di Cin-ling-pai, karena bagaimanapun juga, mereka semua adalah pendekar-pendekar yang mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai.
Nama besar tiga keluarga ini menjamin terlaksananya perayaan pesta pernikahan itu dengan aman. Tidak ada yang berani mati mengganggu dan semua orang bergembira. Pesta dilakukan sejak pagi sampai jauh malam dan semua tamu meninggalkan Cin-ling-pai setelah malam dengan hati gembira dan kagum, dengan perut kenyang.
Setelah semua tamu pulang, keadaan di Cin-ling-pai sunyi kembali. Dua pasang pengantin sudah memasuki kamar pengantin masing-masing dan hanya mereka berempat yang dapat merasakan kebahagiaan mereka, sedangkan orang-orang lain hanya tersenyum penuh arti menduga-duga atau membayangkan saja betapa bahagianya dua pasang pengantin yang kini tinggal berdua saja dalam kamar mereka.
Akan tetapi, di dalam bayangan pohon-pohon yang gelap, tidak jauh dari rumah besar dimana dua pasang pengantin itu berasyik-mesra, nampak sesosok bayangan. Bayangan ini tidak gembira sama sekali, bahkan sejak berjam-jam ia berada di dalam kegelapan itu seperti sebuah patung, dan kini nampak tubuhnya terguncang-guncang. Bayangan itu menangis. Lirih hampir tanpa suara, akan tetapi air matanya bercucuran yang dicobanya untuk diusap dengan kedua tangannya yang gemetar.
Bayangan itu adalah Toan Hui Cu! Gadis ini merasa betapa hancur perasaan hatinya melihat pria yang dikasihinya, yang diharapkannya, Cia Sun, kini menikah dengan seorang gadis lain! Terasa olehnya betapa malang nasibnya, betapa sengsara keadaan dirinya. Semenjak kecil ia hidup terasing, kemudian ia terancam oleh ayah kandungnya sendiri yang jahat seperti iblis.
Ayah ibunya adalah raja dan ratu penjahat dan kini mereka telah tewas. Ia tidak mempunyai siapapun lagi di dunia ini, sebatangkara, tidak memiliki apa-apa dan terpaksa harus menghadapi kehidupan yang dianggapnya amat mengerikan dan kejam. Ia tidak berpengalaman hidup di dunia ramai. Satu-satunya harapan dalam hatinya digantungkan kepada Cia Sun.
Akan tetapi kini pemuda itu telah menjadi milik wanita lain dan ia tahu bahwa bagaimanapun juga, ia tidak berhak mendekati Cia Sun, tidak dapat mengharapkan lagi perlindungannya. Melihat Cia Sun menikah dengan wanita lain, baginya seperti melihat Cia Sun juga telah mati meninggalkan dirinya, seperti ayah bundanya. Maka, dapat dibayangkan betapa sedihnya, membuatnya hampir putus asa dan membuatnya tidak berani melanjutkan hidup yang dianggapnya kejam dan mengerikan itu.
"Ibu... oh, ibu... bagaimana dengan aku ini, ibu..."
Ia merintih dan tangisnya makin menjadi, sesenggukan karena pada saat itu yang dapat disambati hanyalah ibunya, satu-satunya orang yang pernah mencintanya dan kini ibunyapun sudah meninggalkannya.
"Ibu...!" Kedua pundaknya terguncang-guncang.
"Hui Cu..." Suara ini lirih dan ada tangan menyentuh pundaknya dengan halus.
Hui Cu tertegun. Suara Cia Sun-kah itu? Ia cepat menoleh penuh harapan dan di bawah sinar bulan yang bercahaya terang, ia melihat wajah yang amat dikenalnya, wajah Siangkoan Ci Kang, orang kedua setelah Cia Sun yang dikaguminya. Wajah yang gagah, agak pucat dan basah air mata! Seketika tahulah Hui Cu bahwa Ci Kang juga seperti ia sendiri, sudah lama berada disitu, menangis seperti ia sendiri, menangisi kepergian Sui Cin!
"Hui Cu, engkau menangis?"
"Engkau juga menangis..."
“Engkau... kehilangan Cia Sun...?"
"Dan engkau kehilangan Sui Cin..." Hui Cu berhenti sebentar dan memandang ke arah lengan kiri yang buntung itu, "... dan kehilangan lengan kirimu karena Sui Cin pula..."
Mengertilah Ci Kang bahwa agaknya ketika melarikan dirinya, Hui Cu tidak pergi jauh dan mengintai sehingga tahu akan apa yang terjadi selanjutnya, tentang buntungnya lengannya. Dia mengangguk dan keduanya berdiam diri. Kini tangis mereka terhenti, agaknya memperoleh hiburan setelah saling bertemu dan saling mengerti akan kesengsaraan hati masing-masing.
Setelah keduanya diam sampai beberapa saat lamanya sambil saling berpandangan, Ci Kang menarik napas panjang dan mengangguk.
"Ya, aku kehilangan lengan kiri, aku seorang yang bodoh, dan aku... aku hanya anak seorang penjahat kawakan yang rendah dan hina."
"Akupun anak penjahat, bahkan raja dan ratu iblis, penjahat yang paling besar. Kita sama-sama keturunan penjahat, orang-orang hina dan rendah..."
Tangan kanan yang kuat itu makin erat memegang pundak Hui Cu.
"Engkau benar, Hui Cu. Kita sama-sama keturunan penjahat, bagaikan burung gagak yang paling rendah dan dianggap kotor, mana bisa disamakan dengan burung-burung Hong? Biarlah burung gagak berkawan dengan burung gagak pula, keturunan penjahat bersanding dengan keturunan penjahat pula. Hui Cu, bagaimana pendapatmu kalau kita, yang senasib sependeritaan ini, mulai sekarang hidup bersama? Maukah engkau melanjutkan hidup yang kejam ini di sampingku, untuk selamanya, suka sama dinikmati, duka sama diderita? Maukah engkau?"
Mereka saling berpandangan. Dua pasang mata itu sampai lama tidak berkedip, saling pandang dengan tajam, seolah-olah ingin menyelami isi hati masing-masing.
"Tapi... tapi... apakah engkau cinta padaku, Ci Kang?"
Senyum pahit menghias bibir pemuda itu.
"Aku tidak tahu, Hui Cu. Sesungguhnya aku tidak pernah tahu apa artinya cinta itu. Akan tetapi aku kasihan padamu, dan aku suka dan kagum padamu."
Hui Cu menarik napas panjang dan Ci Kang merasa betapa pundak yang tadinya meregang kaku di bawah telapak tangannya itu kini menjadi lunak dan hangat
"Akupun kagum padamu, suka dan akupun kasihan padamu. Aku tidak tahu apakah perasaan kita yang sama ini, kagum suka dan kasihan, dapat memupuk cinta. Akan tetapi, aku menerima tawaranmu seperti seorang kehausan mendapatkan air jernih, Ci Kang. Aku sudah putus harapan dan kau tiba-tiba datang dan aku... aku... ahhh..."
Gadis itu tiba-tiba menjadi lemas dan ia menjatuhkan dirinya di atas dada yang bidang itu sambil menangis, menyembunyikan mukanya di dada yang kokoh kuat itu. Dengan hati merasa seperti tanah kering merekah menerima siraman air segar, Ci Kang merangkulkan lengan kanannya ke pundak gadis itu. Sejenak mereka berdiri seperti itu, tak bergerak kecuali pundak Hui Cu yang bergoyang-goyang oleh tangisnya yang tidak berbunyi.
Setelah tangis itu mereda, Ci Kang berbisik,
"Hui Cu, sudah bulatkah hatimu menerimaku? Ingat, aku seorang yang cacat, lengan kiriku buntung..."
"Tapi hatimu tidak cacat, Ci Kang."
Dan gadis itupun membiarkan dirinya ditarik dan diajak pergi dari situ. Mereka berjalan perlahan-lahan, dengan lengan kanan Ci Kang masih merangkul dan perlahan-lahan hati mereka menjadi semakin cerah dan tabah karena kini mereka merasa yakin akan kuat menempuh hidup baru berdua, tidak sendirian lagi, dan mereka akan hadapi dengan tabah apapun yang akan mereka hadapi dalam kehidupan selanjutnya.
Kebahagiaan adalah urusan hati, sebaliknya kesenangan adalah urusan badan. Selama batin dikeruhkan oleh segala urusan badan yang selalu mengejar kesenangan, maka kebahagiaanpun akan tiada, bagaikan cahaya yang tidak dapat bersinar menembus kaca yang kotor penuh debu.
Kebahagiaan, hanya terdapat dalam batin yang jernih, yang bebas daripada segala ikatan, yang tidak membutuhkan apa-apa lagi, dimana tidak ada lagi konflik-konflik atau pertentangan antara senang dan susah, antara suka dan benci, antara kenyataan dan apa yang diharapharapkan.
Kebahagiaan tidak akan lenyap walaupun badan boleh jadi tersiksa oleh sakit, oleh kemiskinan, oleh penghinaan dan sebagainya selama batin dapat menerima dan menghadapi semua itu sebagai suatu hal yang wajar dan tidak menimbulkan guncangan. Kebahagiaan adalah TIDAK ADA-NYA penentangan batin terhadap sesuatu yang menimpa diri, dan kebahagiaan adalah cinta kasih.
Sampai disini, ijinkan pengarang menyudahi kisah Asmara Berdarah ini dengan harapan mudah-mudahan di samping merupakan sebuah bacaan penghibur hati di kala senggang, cerita inipun mampu menyuguhkan sesuatu yang bermanfaat bagi para pembaca. Sampai jumpa di lain kesempatan.
T A M A T
*** Cari sesuatu klik disiniI***
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar