SI KUMBANG MERAH PENGHISAP KEMBANG

 DAFTAR ISI








































jilid 1

USIA pria itu sudah lima puluh lima tahun, akan tetapi masih nampak tampan dan gagah dengan pakaiannya yang rapi. Rambutnya yang sudah terhias oleh uban itu tersisir rapi dan halus mengkilap karena minyak harum. Sepasang matanya memancarkan gairah dan kegembiraan hidup, bibirnya selalu tersenyum dan wajahnya tidak dikotori kumis mau pun jenggot karena dicukur licin halus seperti wajah seorang pemuda. Pada pagi itu dengan langkah-langkah santai dia berjalan menuruni bukit, menyongsong matahari pagi yang baru muncul dari balik bukit di depan. Pagi yang cerah itu menambah kegembiraan pria tampan gagah itu, dan agaknya kegembiraan pula yang mendorongnya untuk bernyanyi di tempat yang sunyi itu. Suaranya lepas dan merdu, dan lagunya juga gembira. Bebas lepas beterbangan dari taman ke taman mencari kembang harum jelita untuk kuhisap sari madunya setelah puas kumenikmatinya kutinggalkan kembang layu merana untuk mencari kembang segar yang baru Si Kumbang Merah, inilah aku! Pria itu bernyanyi dengan suara lantang. Padahal dia pasti akan menghadapi kesukaran bila nyanyiannya itu terdengar orang, apa lagi jika tertangkap oleh pendengaran seorang pendekar, tentu dia akan menghadapi kesulitan. Nama Si Kumbang Merah memang sudah amat terkenal di dunia persilatan. Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) adalah julukan seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), yaitu penjahat cabul yang suka mempermainkan dan memperkosa wanita, yang dimusuhi oleh semua pendekar. Dia dijuluki si Kumbang Merah karena ketika meninggalkan korbannya, baik yang masih hidup mau pun yang telah mati, dia selalu meninggalkan pula sebuah tanda mata berupa perhiasan yang berbentuk kumbang merah dan terbuat dari pada tembaga berlapis emas. Jarang ada orang yang sempat melihat mukanya karena penjahat ini bekerja amat cepat, memperkosa wanita dalam kegelapan atau kalau hal itu dilakukan di siang hari, dia selalu menyembunyikan mukanya di balik bermacam topeng. Selain tinggi ilmu silatnya, Ang-hong-cu ini pun sangat ahli dalam hal menyamar sehingga mukanya dapat berubah-ubah dan tidak ada seorang pun pernah melihat wajahnya yang sejati. Karena inilah maka semenjak dia malang melintang di dunia kang-ouw dan menjadi seorang jai-hwa-cat yang telah mengorbankan banyak sekali anak gadis atau isteri orang, ratusan mungkin sudah ribuan, dia selalu dapat lolos dari pengejaran para pendekar yang berusaha untuk menangkap atau membunuhnya. Siapakah pria berusia lima puluh lima tahun yang berjuluk Ang-hong-cu dan yang dibenci oleh semua pendekar ini? Dan kenapa pula seorang yang memilki ilmu kepandaian tinggi dan wajah yang tampan gagah seperti dia itu, yang juga agaknya pandai membuat sajak tanda bahwa dia berpendidikan, dapat menjadi seorang penjahat cabul yang begitu kejam dan ganas? Mari kita menengok ke belakang untuk melihat riwayat hidup Ang-hong-cu ini, semenjak dia masih kanak-kanak. Tang Siok adalah seorang pejabat tinggi yang mempunyai kedudukan penting di kota raja. Pada saat itu Kaisar Ceng Tek baru saja dinobatkan menjadi kaisar dalam usia lima belas tahun. Karena kaisar yang masih sangat muda ini sama sekali tidak berwibawa dan hanya mengejar kesenangan, maka pengawasan terhadap para pembesar tentu saja sangatlah kurang. Keadaan ini membuat para pejabat bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat, berlomba untuk menggendutkan kantung uang dan perut sendiri. Tang Siok atau Tang-taijin juga tidak mau ketinggalan. Dia hidup mewah dan walau pun usianya sudah lebih dari setengah abad, dia masih terus menambah penghuni harem-nya yang sudah penuh dengan selir-selir yang cantik jelita dan muda belia. Di antara seluruh selirnya, yang paling disayang adalah Kui Hui, seorang wanita cantik menarik dan pandai memikat hati. Kui Hui menjadi selir Tang-taijin ketika dia berusia tujuh belas tahun. Kini dia telah berusia dua puluh enam tahun dan memiliki seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang diberi nama Tang Bun An. Agaknya karena bisa mempunyai anak laki-laki inilah yang kemudian membuat Tang Siok semakin sayang kepadanya. Selir cantik ini sangat dimanja, lebih dari pada selir lainnya, bahkan lebih dari pada isteri pertamanya. Karena itu para selir tentu saja merasa iri hati, tetapi tak seorang pun berani menentang atau menyatakan kebencian mereka terhadap Kui Hui dengan berterang. Tang-taijin sudah berusia enam puluh tahun ketika Kui Hui berusia dua puluh enam tahun. Selain terhadap selir terkasih itu, pembesar ini juga sangat sayang kepada Tang Bu An. Sejak kecil Tang Bun An dimanja oleh ayah bundanya. Dia memperoleh pendidikan yang baik, mempelajari ilmu baca tulisan dari seorang guru sastra yang dipanggil oleh ayahnya untuk mengajar Tang Bun An beserta saudara-saudara tirinya. Dia merupakan anak yang paling tampan di antara para saudaranya, dan hal inilah yang membuat ayahnya paling sayang kepadanya. Apa lagi, selain tampan ternyata Tang Bun An juga memiliki otak yang cerdas sekali dan dia selalu menonjol dalam mata pelajaran baca dan tulis. Bahkan dalam usianya yang baru tujuh tahun itu dia telah pandai membuat sajak dan syair berpasangan, yaitu suatu bentuk kesenian yang memerlukan penguasaan bahasa, keahlian menulis dan bakat seni yang besar. Tetapi di dunia ini tiada satu pun yang sempurna dan tiada satu pun yang kekal. Keadaan yang penuh kemuliaan dan kebahagiaan itu tiba-tiba saja mengalami perubahan yang tak disangka-sangka oleh Tang Bun An. Anak ini tidak tahu betapa ibu kandungnya kini mulai merasakan penderitaan hidup dengan semakin menuanya suaminya. Sebagai seorang wanita cantik jelita berusia dua puluh enam tahun yang sering menerima pandangan mata penuh kagum dari banyak mata laki-laki muda, tentu saja Kui Hui masih mempunyai gairah yang besar. Oleh karena itu mulailah dia merasa kesepian ketika Tang Siok makin lama semakin lemah dan tidak hangat lagi seperti dulu-dulu, bahkan semakin jarang tidur di dalam kamar selir tersayang ini. Hal ini bukan disebabkan Tang Siok telah bosan kepadanya, melainkan karena akhir-akhir ini kesehatan Tang Siok memang menurun banyak. Maklumlah, semenjak masih muda dia sudah terlalu mengumbar nafsu sehingga dia mulai loyo dalam usia enam puluh tahun. Karena didera oleh perasaan kesepian, apa lagi ditambah dorongan gairahnya yang masih menyala-nyala, maka mudahlah bagi setan dan iblis untuk menggoda wanita muda ini. Di dalam gedung Tang-taijin yang besar dan luas bagaikan istana itu terdapat belasan orang pengawal di sebelah dalam gedung, dan lebih banyak lagi pengawal jaga di luar gedung. Mereka bertugas menjaga keselamatan Tang-taijin sekeluarga. Di antara para pengawal dalam itu terdapat komandan pengawal bernama Ma Cun, yaitu seorang pria berusia tiga puluh tahun lebih, tinggi besar dan tampan gagah seperti tokoh Si Jin Kui dalam dongeng. Mula-mula dua pasang mata bertemu pandang, hanya sekilas saja. Sebagai seorang wanita akhirnya Kui Hui menundukkan muka, dan sebagai seorang pegawai terhadap nyonya majikannya akhirnya Ma Cun mengalihkan pandangan matanya karena merasa rikuh. Namun api gairah cinta mulai membara di dalam lubuk hati masing-masing. Pada kesempatan lain, adu pandang mata itu berlangsung lebih lama, kemudian disusul dengan iringan senyum simpul. Rasa saling tertarik antara pria dan wanita adalah suatu hal yang wajar. Sudah menjadi pembawaan setiap orang manusia untuk tertarik kepada lawan jenisnya. Hal ini memang penting untuk mendorong dua orang berlawanan jenis saling berdekatan sehingga terjadi hubungan antara keduanya yang menjadi sarana perkembang biakan manusia di muka bumi. Akan tetapi manusia adalah makhluk yang berakal budi sehingga membentuk hukum dan tata susila, meletakkan batas-batas dan mengenal apa yang mereka namakan baik dan buruk sesuai dengan kebiasaan atau hukum yang dibentuk lingkungannya. Saling tertarik di antara pria dan wanita ini biasanya hanya boleh dilanjutkan bagi pria dan wanita yang masih bebas, yang belum terikat dalam keluarga sebagai suami isteri. Rasa saling tertarik itu harus segera diusir keluar lagi dari lubuk hati oleh seorang yang sudah terikat menjadi suami atau isteri orang lain, terutama sekali bagi wanita yang telah menjadi isteri orang lain seperti Kui Hui. Pada mulanya memang demikian, tapi rasa kesepian mendorongnya dan menggodanya. Akhirnya pertemuan yang dimulai dengan dua pasang mata yang saling beradu pandang itu berkelanjutan menjadi hubungan yang mesra antara Ma Cun dan Kui Hui yang tentu saja dilakukan dengan rahasia dan sembunyi-sembunyi. Hal ini tidak begitu sulit mereka lakukan karena Ma Cun memang seorang komandan atau pengawal dalam, sedangkan Kui Hui adalah selir terkasih yang bisa bergerak bebas pula. Ditambah lagi jarangnya Tang-taijin datang berkunjung, maka membuat kedua orang yang dimabok nafsu birahi itu leluasa menyalurkan gairah memuaskan birahi mereka. Pada suatu pagi, Bun An yang semestinya berada di ruangan belajar, tiba-tiba pulang ke kamar ibunya tidak seperti biasa. Ternyata hari itu guru sastra jatuh sakit dan tidak dapat mengajar, maka anak-anak itu diliburkan. Bun An berlari pulang ke tempat tinggal ibunya yang merupakan bagian sebelah belakang kiri dari perumahan besar Tang-taijin, kemudian langsung saja dia berlari masuk ke kamar ibunya. Begitu membuka daun pintu, mata anak laki-laki yang baru berusia tujuh tahun itu terbelalak, mukanya berubah penuh keheranan. Biar pun dia belum begitu mengerti, namun melihat ibunya dalam keadaan bugil berada di atas pembaringan bersama perwira Ma Cun yang juga bugil, dia segera dapat menduga apa yang terjadi antara ibunya dan perwira itu. Pengertian yang timbul akibat dia melihat perkawinan binatang seperti ayam, cecak, anjing, kucing dan sebagainya, ditambah pula percakapan sembunyi-sembunyi dengan kakak-kakak tirinya yang lebih tahu akan hal itu. Ibunya sedang bermain cinta dengan Ma-ciangkun! Perasaannya tidak karuan, berbagai pikiran menyelinap di dalam benaknya. Kui Hui dan Ma Cun terkejut bukan kepalang. Di tengah desakan gairah yang menggelora keduanya sampai lengah sehingga lupa mengunci pintu kamar dari dalam. Hal ini wajar saja karena siapakah berani memasuki kamar Kui Hui tanpa ijin? Tang-taijin tak mungkin muncul pada pagi hari itu, dan Bun An, satu-satunya orang yang berani masuk tanpa ijin selain Tang-taijin, sedang sibuk di ruangan belajar. Sungguh tidak mereka sangka bahwa anak itu akan pulang lagi karena tidak jadi belajar. Sesudah hilang rasa kaget yang membuat kedua orang yang sedang berjinah itu seperti lumpuh, keduanya langsung meloncat turun dari pembaringan sambil membungkus tubuh dengan selimut. Kui Hui cepat menghampiri Bun An yang masih bengong, lantas menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Saking malu, kaget dan takutnya kalau perbuatannya sampai terlihat oleh orang lain atau terdengar oleh Tang-taijin, tangan ibu ini menampar keras pipi puteranya. "Plakkk!" Tamparan itu keras sekali, membuat muka Bun An tersentak ke samping dan pipi kirinya menjadi biru kemerahan. Matanya terbelalak, bukan hanya karena nyeri yang dideritanya, melainkan lebih lagi karena kagetnya. Belum pernah dia ditampar ibunya seperti sekarang ini. "Bocah bengal! Kenapa kau berani membuka pintu ini? Kau... kau tidak belajar?!" bentak Kui Hui. Saking kagetnya, sejenak Bun An tidak mampu bicara, hanya memandang kepada ibunya dengan bengong, kedua matanya basah oleh air mata. "Hayo jawab!" bentak ibunya yang mengguncang tubuhnya sambil mencengkeram pundak dengan tangan kanan, ada pun tangan kirinya memegangi selimut yang hanya menutupi setengah tubuhnya. "Aku... aku... siang-seng sakit, tidak mengajar...!" Ma Cun yang menggunakan kesempatan itu untuk mengenakan pakaian kembali secara tergesa-gesa sehingga terbalik-balik dan salah memasukkan kancing, tiba-tiba saja sudah menghampiri Bun An. Dia mencabut pedangnya, kemudian dengan cepat tangan kirinya mencengkeram tengkuk anak itu, tangan kanan yang memegang pedang menempelkan mata pedang ke leher Bun An. "Anak bodoh! Apa kau ingin aku menyembelih lehermu?" bentak Ma Cun. Perwira ini tiba-tiba saja bersikap keras karena takutnya. Kalau sampai anak ini membuka rahasia hingga hubungannya dengan Kui Hui diketahui Tang-taijin, maka dia akan celaka. Tentu dia akan disiksa dan dibunuh. Karena takutnya, maka kini dia dapat bersikap kejam dan galak. Ada pun Kui Hui sendiri, juga karena takut rahasianya ketahuan, pada saat itu lupa akan kasih sayangnya kepada anaknya sendiri. Dia tahu bahwa tanpa diancam, Bun An tentu akan membuka rahasia itu dan kalau suaminya tahu bahwa dia berjinah dengan Ma Cun, pasti dia akan celaka, disiksa dan dibunuh pula, setidak-tidaknya tentu akan diusir dari situ, dari kemuliaan dan kemewahan! Wajah Bun An seketika pucat saat pedang itu ditempelkan pada lehernya. Baru sekali ini selama hidupnya dia merasa ketakutan. Dia tidak mampu menjawab, hanya menggeleng-geleng kepalanya. "Plakkk!" Kini tangan kiri Ma Cun menamparnya dan Bun An merasa kepalanya pening, semua yang dilihatnya berputar dan tubuhnya terpelating roboh terbanting keras. "Hayo kau berjanji untuk tidak menceritakan apa yang kau lihat di sini kepada siapa pun juga!" bentak Ma Cun. Bun An hanya menggeleng-gelengkan kepala. Rambutnya dijambak oleh ibunya kemudian dia pun ditarik bangkit berdiri. Dia melihat wajah ibunya tak seperti wajah cantik biasanya, melainkan nampak seperti wajah setan yang mengerikan. Hampir dia menjerit, akan tetapi segera ditahannya karena dia tahu bahwa sekali menjerit maka Ma Cun dan ibunya akan membunuhnya. "Bun An, hayo berjanji!" bentak ibunya sambil mengguncang-guncang tubuhnya. Dengan air mata bercucuran Bun An mengeluarkan kata-kata dengan gagap, "Aku... aku berjanji..." "Kau harus bersumpah!" kata pula Ma Cun dan pedangnya sudah mengancam dada anak itu untuk ditusukkan. "Aku... aku bersumpah...," kata Bun An ketakutan. "Bersumpah apa? Hayo yang jelas!" bentak pula Ma Cun dan jari tangan Kui Hui menjiwir telinga kiri Bun An dengan keras sehingga anak itu menyeringai kesakitan. "Ibu..., sakit!" Bun An mengeluh. "Lekas bersumpah! Katakan bahwa engkau tak akan memberi tahukan kepada siapa pun juga apa yang kau lihat di sini!" Kui Hui juga membentak dan tidak melepaskan jiwirannya kepada telinga anaknya. Sungguh mengherankan sekali betapa seorang ibu yang tadinya sangat sayang terhadap puteranya, dalam keadaan ketakutan hebat berubah menjadi sedemikian kejamnya. Rasa takut memang dapat membuat orang menjadi kejam dan jahat. Kini Bun An memandang kepada ibunya dan kepada Ma Cun bergantian. Di dalam sinar matanya yang basah oleh air mata itu, di samping rasa takut juga terdapat perasaan benci yang luar biasa. "Aku bersumpah tidak akan menceritakan kepada siapa pun juga apa yang kulihat di sini," katanya. Jiwiran telinganya dilepaskan dan tiba-tiba saja Kui Hui merangkul dan menciumi anaknya sambil menangis. "kau anakku yang baik! Kau anak ibu yang tersayang. Ketahuilah, Bun An. Paman Ma Cun ini amat sayang kepada ibu, dan kepadamu juga. Akan tetapi kalau kau bicara tentang apa yang terjadi di sini, maka kita semua termasuk kau akan celaka. Mengertikah kau anakku?" Tentu saja Bun An tidak mengerti. Tadi ibunya menyiksanya, bersikap begitu kejam, tetapi sekarang tiba-tiba merangkulnya dan menciuminya. Entah bagaimana dia merasa jijik dan cepat menarik mukanya ke belakang agar tidak diciumi lagi oleh ibunya. Ma Cun menyimpan pedangnya. Kui Hui mengenakan pakaiannya. Perwira itu kini duduk di kursi dan menarik kedua tangan Bun An anak itu agar mendekat. "Dengar, Bun An. Aku sayang kepada ibumu dan sayang kepadamu juga. Mulai sekarang engkau harus ikut pula merahasiakan pertemuan antara ibumu dan aku, bahkan engkau harus membantu kami melakukan penjagaan agar kalau ada orang datang, engkau dapat memberi tahu lebih dulu kepada kami. Mengertikah engkau?" Karena takut, Bun An mengangguk dan demikianlah, mulai hari itu kedua orang hamba nafsu birahi itu lebih leluasa lagi mengadakan pertemuan dan hubungan rahasia karena ada Bun An yang 'membantu' mereka dan melakukan pengawasan di luar kamar apa bila ibunya sedang bermain cinta dengan kekasihnya. Bun An taat karena takut, tetapi jauh di lubuk hatinya dia merasa muak melihat perbuatan ibunya dan dia amat membenci Ma Cun. Peristiwa yang terjadi sewaktu dia berusia tujuh tahun ini benar-benar merupakan guncangan batin yang hebat sekali, menggores hatinya dalam-dalam dan merupakan kesan yang tidak akan terlupakan selama hidupnya, bahkan menjadi dasar pembentukan wataknya di kemudian hari. Asap tidak dapat ditutupi. Sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai busuk, baunya akan tersebar ke mana-mana dan akhirnya akan ketahuan juga. Biar pun di jaga dengan hati-hati, namun hubungan antara Ma Cun dan selir terkasih dari Tang-taijin itu tetap saja diketahui oleh beberapa orang anggota pengawal dalam. Sudah wajar saja kalau di antara mereka itu ada yang merasa iri hati terhadap Ma Cun. Bayangkan saja! Ma Cun hampir setiap hari bermain cinta dengan selir yang cantik jelita itu, tanpa ingat kepada kawan-kawannya! Siapa tidak akan menjadi iri? Mulailah peristiwa itu menjadi bahan pergunjingan sehingga akhirnya desas-desus bahwa selirnya tersayang itu menyeleweng, sampai pula ke telinga Tang-taijin. Tang-taijin marah bukan main. Saking marahnya kakek ini bersikap kurang cerdik. Dia tak mau menanti sampai dia dapat membuktikan sendiri dan menangkap basah selirnya yang melakukan penyelewengan, namun langsung mendatangi Kui Hui di kamarnya kemudian pembesar ini memaki-maki Kui Hui. Kui Hui menangis, berlutut di depan kaki suaminya dan dengan gaya yang memikat, yang menimbulkan keharuan, dia bersumpah bahwa dia tidak pernah menyelewengan "Saya adalah isteri yang paling setia. Walau pun sekarang paduka jarang sekali datang berkunjung, saya selalu tetap menunggu dengan setia. Saya mendapatkan kasih sayang paduka dan saya pun amat mencinta kepada paduka, bukti buah kasih sayang antara kita adalah Bun An. Bagaimana saya berani melakukan penyelewengan? Desas-desus yang paduka dengar itu hanyalah disebarkan oleh mereka yang iri hati kepada saya, yang tidak suka karena paduka terlalu sayang kepada saya! "Kui Hui menangis sesenggukan. "mana buktinya bahwa saya melakukan penyelewengan? Kalau memang ada buktinya, saya tak akan ribut-ribut dan saya rela di hukum mati sekarang juga!" Karena Tang-taijin memang sayang sekali kepada selirnya yang cantik molek dan pandai merayu ini, dia pun menjadi bimbang. Dia memang tidak melihat buktinya. "Sudahlah," katanya sambil merangkul tubuh yang molek itu pada saat selirnya menangis sambil memeluk kakinya, "walau pun aku tidak melihat buktinya, namun desas-desus itu menunjukkan bahwa ada orang-orang yang memusuhimu. Oleh karena itu mulai sekarang engkau harus berhati-hati menjaga diri. Jangan meninggalkan kamar jika tidak perlu agar tidak ada orang yang dapat menyangka engkau melakukan hal yang bukan-bukan." Mulai hari itu pula Tang-taijin menugaskan Ma Cun di bagian luar gedung, juga mengutus pengawal pribadi yang dipercayainya untuk mengamati 'keamanan' di dalam gedungnya agar tidak terjadi hal-hal yang akan mengganggu ketentraman rumah tangganya dan bisa mencemarkan nama kehormatan keluarganya. Secara diam-diam tentu saja Kui Hui menjadi marah sekali atas tindakan Tang-taijin ini. Kini dia dikurung, dijaga dan diawasi. Kekasihnya, Ma Cun, dipindahkan keluar sehingga dia tidak berdaya sama sekali. Jangankan untuk mengadakan hubungan atau pertemuan rahasia, bahkan untuk melihat wajah kekasihnya saja sudah tidak ada kemungkinan lagi. Padahal gairah birahinya sudah menyesak sampai ke ubun-ubun! Kui Hui berpaling kepada puteranya lagi. Dengan berbagai bujukan dan ancaman akhirnya wanita ini berhasil mengirim surat kepada Ma Cun melalui Bun An yang sebagai seorang anak laki-laki tentu saja dapat keluar dan berjumpa dengan Ma Cun tanpa menimbulkan kecurigaan. Surat menyurat pun terjadilah dan isi surat itu menjalin rencana yang sangat keji. Ma Cun mencarikan racun yang amat keras dan tidak berbau, lantas dikirimnya racun itu melalui tangan Bun An yang tidak menyangka sesuatu. Kemudian, oleh Kui Hui racun itu disuguhkan kepada Tang-taijin ketika pembesar itu datang menggilirnya dan bermalam di dalam kamarnya. Tang-taijin jatuh sakit! Sakit yang berat sekali. Tidak ada tabib sanggup menyembuhkan pembesar ini dan seminggu setelah dia bermalam di kamar Kui Hui, Tang-taijin meninggal dunia. Diam-diam Kui Hui telah mengumpulkan banyak barang berharga, perhiasan emas berlian yang diselundupkan keluar, diserahkan kepada Ma Cun melalui tangan Bun An. Meski pun desas-desus tentang Kui Hui yang menyeleweng itu tidak ada buktinya, namun hal itu membuat Kui Hui dipandang rendah oleh isteri dan para selir mendiang Tang-taijin. Malah kematian Tang-taijin kemudian dikaitkan dengan desas-desus itu, dianggap bahwa matinya pembesar itu karena malu dan sakit hati akibat ulah selir tersayang itu. Maka Kui Hui dan Bun An memperoleh sikap yang tidak ramah. Hal ini bahkan merupakan hal yang diharapkan oleh Kui Hui karena dia mendapat alasan untuk keluar dari rumah itu dengan baik-baik, dengan alasan ingin pulang ke kampungnya. Sesudah Kui Hui dan Bun An keluar dari rumah keluarga Tang, wanita itu sama sekali bukan pulang ke kampung asalnya, melainkan diterima dengan tangan terbuka oleh Ma Cun, kekasihnya! Apa lagi karena di samping telah menitipkan banyak perhiasan, wanita itu juga membawa pula barang-barang berharga. Kehidupan Bun An mengalami perubahan besar. Ma Cun yang juga segera minta keluar sebagai kepala pengawal di rumah keluarga Tang-taijin ternyata menghambur-hamburkan harta yang dibawa oleh Kui Hui. Sikapnya sangat keras terhadap Bun An sebagai anak tirinya, dan Bun An diperlakukan sebagai seorang kacung pelayan saja. Bahkan kadang-kadang Bun An dipukul oleh Ma Cun dengan alasan pemuda cilik itu malas. Kui Hui yang mabok oleh rayuan dan kejantanan Ma Cun yang tentu saja jauh lebih muda dan gagah dari pada mendiang Tang-taijin, tidak pernah menentang suami barunya, bahkan kadang-kadang ikut mengomeli Bun An. Baru beberapa bulan saja ikut dengan ayah tirinya, Bun An sudah tidak kuat bertahan dan pada suatu malam larilah dia minggat dari rumah ibu dan ayah tirinya. Dalam usia kurang lebih delapan tahun Bun An melarikan diri, tanpa membawa apa-apa. Ayah tirinya merasa kebetulan sekali sehingga tak mau mencarinya, sedangkan Kui Hui yang tadinya merasa kehilangan, hanya dalam beberapa hari saja sudah terhibur oleh Ma Cun. Bun An hidup sengsara dan terlunta-lunta. Kadang-kadang bila ada orang yang menaruh kasihan kepadanya maka anak ini bisa mendapatkan pekerjaan ringan, membantu rumah tangga sebagai kacung dan sebagainya. Namun dia tidak pernah mau lama-lama di suatu tempat sebagai kacung orang, maka dia lebih banyak minta-minta untuk mengisi perutnya setiap hari. Pakaiannya sudah compang-camping dan tubuhnya amat kurus karena sering kali dia menderita kelaparan. Dua tahun lebih Bun An hidup sebagai pengemis kecil. Hidup penuh duka dan sengsara bagi anak kecil ini. Pada suatu hari, dalam perantauannya dia pun tiba di kota Wuhan di Propinsi Hopei. Di kota besar ini dia mencoba pula untuk mencari pekerjaan. Akan tetapi siapakah mau memberi pekerjaan seorang anak jembel yang kurus? Dia malah dicurigai, dituduh hendak mencuri, maka Bun An menjadi putus asa dan untuk mengisi perutnya kembali dia harus minta-minta untuk mempertahankan hidupnya. Ketika malam tiba dia pun tidur di mana saja, ada kalanya di bawah jembatan, di emper rumah orang, dan bila mana sedang mujur dia mendapatkan tempat di sebuah kuil di mana para pendetanya cukup ramah untuk menerimanya, atau juga di kuil kuno yang kosong. Akan tetapi di kota Wuhan ini dia mengalami nasib sial. Baru dua hari dia berada di sana dan setiap hari dia bisa memperoleh makanan yang cukup mengenyangkan perutnya dari rumah-rumah makan yang memberikan sisa-sisa makanan kepadanya. Akan tetapi, pada hari ketiga hampir semua restoran tutup! Bahkan yang buka nampak betapa para pelayan dan pengurusnya takut-takut sehingga tidak ada seorang pun yang mau mempedulikan anak jembel itu. Bahkan di mana-mana dia dibentak dan diusir. Ketika Bun An menyelidiki dan bertanya-tanya, dia mendengar bahwa tadi malam sudah terjadi kerusuhan. Segerombolan perampok datang dan mengganas di kota itu sehingga keesokan harinya banyak rumah makan dan toko tidak berani buka! Kabarnya semalam banyak toko yang dirampok. Bun An kembali ke kuil tua dengan hati mengkal. Hari itu terpaksa dia berpuasa. "Huhh! Gara-gara perampok jahanam itu aku menderita kelaparan!" Berulang kali dia menyumpah sambil mengepal kedua tinju tangannya yang kurus. Apa boleh buat, karena malam hampir tiba dia lalu memasuki kuil tua di luar kota Wuhan untuk melewatkan malam yang tentu sengsara karena perutnya kosong! Dan hawa mulai dingin bukan main. Karena tubuhnya terasa letih dan lemas akibat kelaparan, dapat juga dia tertidur nyenyak, melingkar, menarik kedua kakinya merapat ke dadanya untuk mengurangi rasa lapar dan dingin. Malam sudah gelap benar ketika dia terbangun karena ditendang-tendang orang. Bun An membuka matanya dan bangkit duduk, matanya agak silau oleh sinar api unggun yang dinyalakan orang beberapa meter jauhnya dari tempat dia tidur. "Hayo bangun dan pindah ke sana! Jangan di sini!" terdengar bentakan dan kembali ada kaki yang mendorong-dorongnya untuk pergi. Bun An membuka mata, kini sudah sadar benar. Dia melihat tujuh orang yang sikapnya kasar, tubuhnya tinggi besar dan nampak kuat, wajahnya menyeramkan, berada di dalam kuil tua itu. Memang kamar yang dia pakai adalah ruangan yang terbersih dan terlindung oleh dinding yang belum runtuh benar seperti bagian lain kuil itu, dan agaknya tempat ini juga dipilih oleh tujuh orang itu untuk beristirahat. Melihat sikap mereka yang kasar dan menyeramkan, tanpa banyak cakap lagi Bun An lalu meninggalkan ruangan itu ke ruangan sebelah, lantas dia pun duduk di atas lantai sambil memandang kepada mereka yang kini duduk mengelilingi api unggun. Mereka bercakap-cakap sambil tertawa-tawa, semuanya mengeluarkan bingkisan berisi makanan dan minuman yang serba lezat. Arak wangi, daging dan roti! Mereka lalu makan minum sambil bersenda gurau. "Ha-ha-ha-ha, hari ini Wuhan geger! Banyak toko dan rumah makan tidak berani buka!" "Heh-heh-heh, bahkan tadi kulihat banyak orang kaya yang mengungsi ke kota lain, takut kalau-kalau kita datang lagi!" "Baru mereka tahu siapa adanya Yang-ce Jit-houw (Tujuh Harimau Sungai Yang-ce)!" Bun An mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dia mendengar ada suara gerakan di belakangnya. Dengan bantuan cahaya api unggun dia dapat melihat bahwa di ruangan itu ternyata ada seorang laki-laki berpakaian pengemis yang sedang tertidur nyenyak dan agaknya pengemis tua inilah yang membuat gerakan tadi. Akan tetapi dia sudah menoleh lagi kepada tujuh orang laki-laki kasar itu dengan alis berkerut. Dari percakapan mereka selanjutnya, yakinlah Bun An bahwa mereka yang menyebut diri mereka Tujuh Harimau Sungai Yang-ce adalah gerombolan perampok yang mengganggu kota Wuhan sehingga membuat kota itu seharian tadi menjadi kota mati dan rumah-rumah banyak yang tutup! Hatinya mulai terasa panas. Jadi mereka inilah yang sudah membuat dia kelaparan, yang merampas rejekinya! Lebih lagi ketika melihat betapa mereka makan dan minum dengan lahapnya, membuat gigitan kelaparan di dalam perutnya semakin merasa! "Ha-ha-ha-ha, biar tahu rasa para hartawan yang kita ambil sebagian hartanya itu! Kita mewakili golongan miskin menuntut keadilan!" "Benar! Kalau tidak begitu, mereka tidak tahu betapa kaum miskin membutuhkan uluran tangan, membutuhkan bantuan!" "Kita mewakili pengadilan. Hidup haruslah adil, tidak baik jika ada yang terlalu kaya akan tetapi banyak yang terlalu miskin!" Mendengar ucapan-ucapan itu, Bun An merasa betapa perutnya semakin panas. "Bohong semua itu!" Tiba-tiba saja mulutnya membentak dan dia pun bangkit berdiri lalu melangkah ke pintu tembusan yang menghubungkan kedua ruangan itu. Tujuh orang itu terkejut dan mereka semua memandang kepada anak kecil yang muncul di ambang pintu tanpa daun itu, dan mengenalnya sebagai jembel kecil yang tadi mereka usir dari dalam ruangan yang kini mereka tempati. Tujuh orang itu adalah jagoan-jagoan besar, orang-orang yang telah biasa mengandalkan kekuatan dan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka, bahkan pernah mereka menjadi bajak-bajak Sungai Yang-ce sehingga mereka mendapat julukan Tujuh Harimau Sungai Yang-ce. Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dengan kepala besar yang tidak lumrah, dua kali besar kepala manusia biasa, bangkit berdiri menatap Bun An dengan sinar mengancam. "Gembel cilik! Apa maksudmu mengatakan bahwa semua itu bohong? Apa yang bohong?" "Percakapan kalian tadi yang semua bohong!" kata Bun An tanpa takut sedikit pun karena dia telah marah sekali. Orang-orang inilah yang membuat dia kelaparan, kemudian masih merampas tempat tidurnya di kuil itu pula, di samping membuat dia semakin lapar dengan makan minum di tempat itu dan percakapan mereka tadi sama sekali bohong. Si kepala besar melangkah maju lantas menghardik, "Bocah setan! Jangan lancang mulut kau! Apa kau ingin aku menampar hancur mulutmu? Bagaimana engkau berani berkata bahwa percakapan Tujuh Harimau Sungai Yang-ce semua bohong?" Dengan beraninya Bun An memandang mata orang itu, lalu berkata lantang agar keruyuk perutnya tidak sampai terdengar orang. "Kalian tadi berbicara seolah-olah kalian mewakili golongan miskin, seakan-akan kalian ini pembela-pembela keadilan dan penolong rakyat miskin! Akan tetapi mana buktinya? Kalian makan minum tanpa mempedulikan orang lain, bahkan kalian mengusir aku si jembel cilik! Kalian adalah perampok-perampok jahat yang mengacau kota Wuhan sehingga orang-orang seperti aku ini tidak mendapatkan makanan karena warung-warung dan toko-toko tutup semua akibat takut kepada kalian! Nah, apa salah jika aku mengatakan kalian tadi bohong semua? Mulut mengatakan pembela rakyat miskin akan tetapi kaki tangan malah menindas kaum miskin?" "Wah, wah, anak setan ini memang bosan hidup!" bentak si kepala besar lantas dia pun cepat melayangkan tangannya yang lebar dan besar, menampar ke arah Bun An. Kalau muka anak itu terkena tamparan tangan yang mengandung tenaga raksasa itu, tentu akan terkelupas kulitnya, hancur dagingnya dan remuk-remuk tulang dan giginya. Atau mungkin kepala anak itu akan retak-retak dan tewas seketika. Akan tetapi sungguh aneh! Sebelum tangan itu mengenai muka Bun An, tiba-tiba saja si kepala besar itu mengeluarkan seruan kesakitan dan tangannya terhenti di udara, tidak jadi melakukan tamparan kuat itu. Sejenak dia terbelalak, akan tetapi kakinya kemudian bergerak melakukan tendangan ke arah perut Bun An. Tendangan ini akan lebih hebat akibatnya jika mengenai sasaran. Isi perut anak itu akan remuk dan dia pun pasti akan tewas seketika, tubuhnya akan terlempar jauh menghantam dinding ruangan kuil. Akan tetapi kembali terjadi keanehan. Dan sekali ini bukan saja kaki yang menendang itu terhenti di udara, bahkan tubuh si kepala besar itu lalu terpelanting roboh! Hanya dia yang tahu betapa terjadi keanehan pada dirinya. cerita silat online karya kho ping hoo Ketika dia memukul tadi, tiba-tiba lengan tangan yang melakukan pukulan itu terasa nyeri dan lumpuh, ada sesuatu seperti seekor lebah yang menyengat sikunya! Dan ketika dia menendang, bukan hanya lutut yang menendang yang di sengat lebah, juga lutut kirinya sehingga dia terjungkal dan tidak mampu berdiri lagi. Peristiwa ini tentu saja mengejutkan enam orang perampok yang lain. Mereka berloncatan berdiri, dua orang lalu membantu pimpinan mereka, si kepala besar, untuk bangkit berdiri lagi. Semua mata ditujukan kepada Bun An dengan heran dan marah. Namun anak itu sendiri berdiri bengong saking herannya karena dia sendiri tidak mengerti mengapa perampok yang memukul dan menendangnya itu mengurungkan niatnya bahkan jatuh sendiri! "Bocah siluman! Berani engkau melawan kami?" bentak mereka dan kini ketujuh orang itu serentak maju mengepung Bun An yang sudah melangkah maju untuk melihat lebih jelas apa yang sebenarnya terjadi. Kini tujuh orang itu sudah mengepungnya dan sikap mereka buas, tangan mereka sudah siap untuk mengeroyok dan menghajar Bun An. Pada saat itu pula terdengar suara halus. "Anjing-anjing srigala pengecut tidak tahu malu, mengeroyok satu domba kecil! Kalian ini hanya namanya saja Tujuh Harimau, akan tetapi bernyali srigala yang pengecut!" Tujuh orang itu amat terkejut dan cepat memandang orang yang mengeluarkan kata-kata itu. Kiranya hanya seorang kakek tua renta yang melihat pakaiannya tentu hanya seorang pengemis jembel. Kakek itu usianya tentu telah tua sekali, pakaiannya compang-camping dan di sana-sini penuh dengan tambalan. Seperti jenggot dan kumisnya, rambutnya juga telah putih semua dan awut-awutan tidak terpelihara. Sepasang matanya terpejam seperti orang buta, sementara tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut! Tentu saja tujuh orang jagoan itu amat terkejut dan sekarang mereka pun mengerti bahwa agaknya jembel tua inilah yang tadi sudah membantu si jembel cilik. Karena merasa malu telah mengepung dan hendak mengeroyok seorang anak kecil yang baru berusia sepuluh tahun, maka mereka segera membalik dan kini bergerak mengepung pengemis tua itu. "Gembel tua, berani engkau mengatakan kami srigala pengecut?!" "Tua bangka ini harus dibunuh, mulutnya terlalu lancang!" "Hai, pengemis tua, siapakah namamu?" Menghadapi pertanyaan terakhir ini, jembel tua itu tersenyum memperlihatkan mulutnya yang ompong tanpa gigi lagi, akan tetapi matanya tetap terpejam. "Namaku ya yang seperti kau katakan tadi, ialah Lo-kai (Pengemis Tua)!" Orang yang bertanya merasa dipermainkan, "Aku tahu engkau pengemis tua yang busuk, akan tetapi siapa namamu?" "Namaku tidak ada, orang menyebut aku Lo-kai (Pengemis Tua)." "Aliok, untuk apa ribut-ribut dengan pengemis tua tanpa nama ini? Orang macam dia ini ada nama pun percuma. Bereskan saja!" kata pimpinan Yang-ce Jit-houw yang berkepala besar. Temannya yang bermuka hitam itu lalu maju menghantam ke arah dada kakek yang minta disebut Lo-kai saja itu. Pukulan yang kerasnya bukan main. Si muka hitam agaknya telah menduga bahwa kakek ini tentu mempunyai kepandaian, maka dia pun menonjok dengan pengerahan tenaga pada kepalan tangan kirinya, sekuatnya diarahkan ke ulu hati Lo-kai. Anehnya, kakek tua renta yang selalu memejamkan mata itu agaknya tidak tahu bahwa dia dipukul orang. Dia diam saja! Agaknya karena memejamkan mata, dia tidak melihat serangan itu, ataukah memang dia buta? Tetapi si muka hitam adalah jagoan tukang pukul yang sudah biasa melakukan kejahatan dan tindakan sewenang-wenang. Memukuli orang lemah yang tidak bisa melawan adalah hal yang biasa baginya. Maka kini, melihat betapa Lo-kai tidak mengelak atau menangkis, dia tak mengendurkan tenaga pukulannya apa lagi menghentikannya. Pukulan yang keras itu dengan tepatnya menghantam ulu hati kakek tua renta. "Krekkk...!" Pukulan keras itu menghasilkan suara tulang patah, akan tetapi agaknya bukan tulang iga kakek itu yang patah karena dia sama sekali tidak terguncang, masih tetap berdiri tegak. Sebaliknya pemukulnya, si muka hitam itu mengaduh-aduh sambil melompat ke belakang lalu memegang-megang tangan kirinya dengan tangan kanan. Kiranya bunyi tulang patah tadi berasal dari tulang tangan kiri si muka hitam. Muka hitam itu dari kesakitan kini menjadi marah sekali. Tanpa mempedulikan lagi tangan kirinya yang nyeri, tangan kanannya mencabut golok. Enam orang kawannya juga sudah mencabut golok semua dan sekarang mereka serentak menerjang maju menyerang kakek jembel itu dengan golok mereka, seolah-olah tujuh orang itu hendak berlomba siapa yang lebih dulu merobohkan kakek jembel itu! Bun An terbelalak menonton. Jantungnya hampir berhenti berdetak ketika ia melihat tujuh batang golok berkelebatan mengeluarkan cahaya yang mengerikan, menyambar ke arah tubuh kakek yang agaknya buta itu karena sejak tadi tidak membuka matanya. Akan tetapi, dalam pandangan Bun An tiba-tiba saja kakek itu lenyap dan yang nampak hanyalah sesosok bayangan berkelebatan, lantas disusul robohnya tujuh orang perampok itu seorang demi seorang. Golok mereka terlepas dan jatuh berkerontangan di atas lantai dan tubuh mereka kini terkulai lemas tak mampu bergerak lagi! Ternyata kakek jembel itu tadi mempergunakan tongkat bututnya dengan kecepatan luar biasa, menotok tujuh orang penyerangnya dan merobohkan mereka dengan hanya satu kali totokan saja! Melihat ini, tanpa disadarinya Bun An bertepuk tangan memuji, "Bagus! Bagus! Kalau saja aku mampu, aku pun akan menghajar mereka yang jahat ini!" Kakek jembel itu tersenyum, lalu menggunakan tongkatnya mencongkel tubuh tujuh orang itu, satu demi satu dicongkel untuk dilontarkan keluar kuil dengan mempergunakan ujung tongkat bututnya, seperti mencongkel dan membuang tujuh ekor cacing saja! Sambil melontarkan, kakek itu pun membebaskan totokan sehingga pada saat tubuh tujuh orang itu satu demi satu terlempar kemudian terbanting jatuh berdebuk di luar kuil, segera mereka mengaduh-aduh dan tanpa menoleh lagi mereka langsung lari tunggang langgang meninggalkan kuil! "Lo-kai, engkau hebat sekali!" Bun An memuji sambil menghampiri kakek jembel itu dan memegang tangan kirinya. "Jiauw-kai (jembel kecil), engkau pun berani sekali!" Kakek itu tertawa dan menggunakan tangan kirinya untuk mengusap kepala Bun An. Bun An menyangka kakek itu buta, maka dia pun menuntun kakek itu menghampiri api unggun. "Kita duduk di sini, Lo-kai, dekat api unggun. Biar kutambah lagi kayunya." Kakek itu menghela napas panjang, lega dan nyaman rasanya sesudah dia duduk di atas lantai dekat api unggun. Bun An cepat menambahkan kayu pada api unggun itu sehingga ruangan itu menjadi lebih hangat dan terang. Ketika Bun An menengok, kakek itu ternyata masih saja memejamkan kedua matanya. Melihat di sana masih terdapat banyak roti dan daging sisa makanan perampok tadi, Bun An berkata, "Lo-kai..., apakah engkau lapar?" "Hemm...?" kakek itu menengok ke kanan, ke arah anak itu duduk, akan tetapi sepasang matanya tetap terpejam. "Kalau aku lapar, lalu mengapa?" Bun An memandang ke arah roti dan daging, masih amat banyak, cukup untuk dimakan empat lima orang dan mulutnya menjadi basah. Dia menelan ludah sebelum menjawab, "Kalau kau lapar, di sini ada roti dan daging, boleh kau makan, Lo-kai." Pada saat itu perut Bun An berkeruyuk. Sejak kemarin malam dia belum makan apa-apa. Seharian tadi pun sama sekali perutnya tidak diisi apa-apa kecuali air jernih. Dia cepat menengok pada kakek itu, merasa malu kalau-kalau kakek itu mendengar bunyi perutnya. Selama dua tahun lebih dalam perantauannya ini sudah terlampau sering dia menderita kelaparan. Dia sampai hafal bagaimana rasanya kelaparan itu. Saat mulai lapar, mula-mula perut berkeruyuk dan melilit-lilit, seolah di dalam lambungnya ada jari-jari tangan yang bergerak-gerak, menggapai-gapai dan mencakar-cakar. Air bisa mengurangi rasa melilit-lilit ini. Semakin lama tubuh terasa lemas dan ringan, kepala mulai agak pening dan mata terasa mengantuk. Kemudian terasa kembali perut yang melilit-lilit, sebentar saja, lalu kembali lemas dan ringan. Kini perutnya mulai melilit-lilit dan berkeruyuk. Maka dengan cepat dia menelan ludahnya untuk menghentikan suara berkeruyuk itu. Biasanya tindakan ini bisa menghilangkan atau sedikitnya mengurangi kebisingan perutnya yang menuntut isi. "Jiauw-kai, apakah engkau juga lapar?" Bun An mengangguk karena merasa agak malu untuk menjawab, akan tetapi dia teringat akan kebutaan kakek jembel itu, maka dia pun menjawab lirih. "Ha, sejak kemarin malam memang aku tidak makan apa-apa, akibat ulah tujuh orang perampok itu yang mengacau kota sehingga rumah-rumah makan tutup semua, tak seorang pun mau memberi sedekah makanan kepadaku." "Kalau begitu, mari kita makan," kata Lo-kai dengan wajah gembira. Bun An mengambilkan roti dan daging yang terbaik untuk kakek itu dan mereka pun mulai makan dengan hati lega. Bun An sudah berpengalaman. Pernah dia hampir mati karena ketika amat kelaparan dan kemudian memperoleh makanan, dia langsung makan dengan lahap. Perut yang tadinya kosong itu secara tiba-tiba diisi dengan dijejal, dan hampir saja dia mati karena ini. Dia jatuh sakit sampai beberapa hari lamanya. Setelah peristiwa itu dia sangat berhati-hati dan kini, biar pun menurut nafsunya dia ingin melahap roti dan daging itu, namun pengertiannya membuat dia makan dengan hati-hati. Dia makan sedikit demi sedikit dan itu pun dikunyah hingga lembut benar baru ditelannya. Dia melihat bahwa kakek itu pun makan dengan perlahan-lahan dan hati-hati. Akan tetapi ternyata kakek yang sudah tak bergigi lagi itu dapat mengunyah daging yang agak keras. Setelah selesai makan dan sisa makanan dibungkus kembali oleh Bun An, kakek itu lalu minum arak. Bun An juga minum sedikit arak. Dia lebih suka minum teh atau air jernih. "Jiauw-kai, di manakah rumahmu?" Tiba-tiba kakek itu bertanya. Bun An menundukkan mukanya, teringat akan ibunya yang kini menikah dengan Ma Cun yang menjadi ayah tirinya itu. Lalu dia menggeleng kepala. "Aku tidak mempunyai rumah, Lo-kai." "Yatim piatu?" Bun An ingin mengiyakan, akan tetapi tidak tega membohongi kakek tua renta yang buta ini, apa lagi kakek ini tadi sudah menyelamatkannya dari tangan para perampok. "Ayahku telah meninggal, lalu ibuku menikah lagi tapi ayah tiriku terlalu galak kepadaku, maka dua tahun lebih yang lalu aku minggat dari rumah." Kakek itu terdiam, merenung lama. "Dan kau sendiri, Lo-kai? Di mana rumahmu?" Kakek itu tersadar dari lamunannya. "Aku tidak punya rumah, akan tetapi aku mempunyai tempat tinggal di dalam goa, di Pegunungan Himalaya sana. Sudah lima tahun aku pergi meninggalkan tempat tinggal itu dan sekarang aku sudah bosan merantau, ingin tinggal di sana karena aku rindu akan keheningan. Kau mau ikut?鈥? "Ikut padamu, Lo-kai? Lalu dia teringat akan peristiwa aneh tadi. "Lo-kai, kalau aku ikut, apakah kau mau mengajarkan aku cara mengalahkan para perampok seperti tadi? Kakek itu mengangguk. "Tentu saja, kau kira untuk apa aku mengajakmu ikut aku? Tentu saja untuk menjadi muridku. Dan kalau engkau telah tamat belajar, jangankan tujuh orang itu, biar ada seratus orang seperti mereka, engkau takkan dapat terganggu oleh mereka!? Bun An adalah seorang anak yang cerdik. Biar pun baru sepuluh tahun namun kepahitan hidup membuat dia matang. Sudah banyak dia mendengar cerita dari para jembel lainnya tentang adanya orang-orang sakti dan para pendekar yang gagah perkasa. Dia pun dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang di antara para tokoh sakti itu, maka dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. "Suhu, teecu (murid) suka sekali ikut denganmu dan menjadi muridmu!鈥? Kakek itu tertawa. Suara tawanya demikian nyaring sehingga membuat Bun An terheran dan dia pun mengangkat muka. Ketika itulah dia melihat kakek itu sedang memandang kepadanya dengan sepasang mata terbuka dan mata itu mencorong laksana mata naga di dalam dongeng! Kakek itu sama sekali tidak buta! "Suhu...!? katanya terkejut dan agak ngeri ketakutan. Kakek itu menyentuh kepalanya. 鈥淪iauw-kai, tidak perlu engkau merubah sebutanku. Aku tetaplah Lo-kai, baik bagimu atau bagi siapa pun, karena hanya kebetulan saja kita saling bertemu. Aku tidak pernah mencampuri urusan dunia, karena itu tidak ada yang mengenal namaku di dunia persilatan. Dan aku tidak mau engkau kelak memperkenalkan namaku. Maka bagiku engkau tetap Siauw-kai dan bagimu aku adalah Lo-kai! Mengerti?" "Baik, su... ehh, Lo-kai!" Demikianlah, pada keesokan harinya Lo-kai mengajak Bun An meninggalkan kuil. "Akan tetapi di sini banyak sekali barang berharga, hasil rampokan Tujuh Harimau malam tadi, Lo-kai, lihat, ada satu buntalan besar berisi perhiasan, emas dan perak!" "Hemm, untuk apa?" "Lo-kai, sering kali kita mengemis demi sepiring makanan, dan sekarang di sini ada harta yang akan dapat kita pergunakan untuk membeli laksaan piring makanan, cukup untuk kita makan selama hidup puluhan tahun!" "Huh, aku tidak butuh semua itu! Di tempat tinggalku sana, emas tidak laku, dan kita tidak bisa makan emas." "Tetapi kalau barang ini ditinggalkan di sini tentu para perampok itu akan kembali datang mengambilnya!" "Kalau begitu bawalah, kita akan bagikan kepada mereka yang membutuhkan di dalam perjalanan nanti." Biar pun masih merasa penasaran dan heran, Bun An tidak membantah lagi dan mereka pun berangkat menuju ke barat. Lebih besar lagi rasa heran di dalam hati Bun An ketika melihat betapa kakek itu benar-benar membagikan barang rampokan itu kepada rakyat di dusun yang miskin. Tentu saja dalam waktu sebentar saja barang itu habis dan mereka berdua tidak punya apa-apa lagi. Untuk mengisi perut, di sepanjang perjalanan guru dan murid itu kembali harus mengemis! Lo-kai mengajak Bun An ke Pegunungan Himalaya. Ternyata benar saja, kakek itu tinggal di sebuah goa yang terpencil, di puncak sebuah bukit. Hawa di sana dingin bukan main, juga sangat sunyi. Namun Bun An sudah mengambil keputusan bulat untuk mempelajari ilmu dari kakek itu, dan biar pun mereka hidup menghadapi keadaan yang serba kurang dan hawa udara yang kadang-kadang demikian dinginnya hampir tak tertahankan, namun anak itu mempunyai kenekatan luar biasa dan dia dapat mengatasi semua kesulitan hidup di tempat terasing ini. Dan meski pun sama sekali tidak terkenal di dunia ramai, ternyata kakek itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Banyak tokoh-tokoh sakti seperti kakek ini yang tak pernah mau memperkenalkan diri dan lebih suka bersembunyi di tempat-tempat terasing, seakan-akan hendak membawa kepandaian dan kesaktian mereka mati bersama mereka! Dari Lo-kai, Bun An mempelajari banyak macam ilmu. Bukan hanya ilmu-ilmu silat tinggi, akan tetapi juga ilmu lain seperti menyamar dan merobah wajah, ilmu pengobatan dan lain-lain. Tidak kurang dari sepuluh tahun lamanya Bun An menerima gemblengan dari kakek sakti yang hanya dikenalnya sebagai Lo-kai dan dia sendiri disebut Siauw-kai oleh kakek sakti itu. Dengan amat tekun Bun An mempelajari ilmu-ilmu dari kakek itu, akan tetapi akhirnya, betapa pun saktinya, Lo-kai tidak dapat melawan usia tua. Kalau ditanya oleh Bun An, Lo-kai sendiri tidak tahu berapa usianya, mungkin sudah ada seratus tahun! Dan pada suatu pagi, ketika Bun An baru terjaga dari tidurnya dan melihat gurunya, ternyata kakek itu sudah tidak bernapas lagi dalam keadaan duduk bersila! Bun An tidak menangis, malah berduka pun tidak. Kakek itu sering kali mengingatkan dia bahwa di antara mereka tidak ada ikatan apa pun! Karena hal ini selalu disinggung dan karena dia sendiri tak pernah memperlihatkan keakraban dan menunjukkan kasih sayang, maka meski pun Bun An berterima kasih sekali kepada kakek yang menjadi gurunya itu, namun di dalam perasaannya tidak ada ikatan apa pun terhadap Lo-kai. Sesudah membakar jenazah gurunya, Bun An segera meninggalkan goa itu. Pakaiannya tambal-tambalan seperti seorang pengemis muda, tetapi kini Bun An merupakan seorang pemuda yang tampan sekali, penuh semangat dan gairah hidup karena dia percaya penuh kepada diri sendiri yang sudah diisi ilmu-ilmu oleh gurunya, yang membuatnya menjadi seorang pemuda yang amat lihai! Tentu saja Bun An meninggalkan Himalaya, langsung menuju ke kota raja untuk mencari ibunya. Dia tidak takut lagi kepada Ma Cun, bahkan diam-diam dia mengambil keputusan untuk menghajar ayah tirinya itu kalau berani menghinanya lagi! Akan tetapi, sesudah sampai di kota raja dia mendapatkan kenyataan yang sama sekali berubah! Ibu dan ayah tirinya sudah tidak berada di rumah lama itu, dan menurut para tetangga, ayah dan ibunya sudah bercerai! Dia lalu melakukan penyelidikan dan akhirnya dia memperoleh keterangan yang menyayat perasaan hatinya. Menurut keterangan itu, harta benda yang dibawa oleh ibunya dihambur-hamburkan dan dihabiskan oleh Ma Cun, kemudian terjadi percekcokan setiap hari dan akhirnya ibunya disia-siakan oleh Ma Cun! Dalam keadaan yang sangat terjepit itu ibunya dijual ke sarang pelacuran dan kini menjadi seorang pelacur! Pukulan batin ini sangat hebat bagi Bun An. Dia ingin mendengar lebih jelas, maka dia cepat pergi ke rumah pelacuran untuk mencari ibunya. Para penjaga rumah pelacuran itu, yang juga bertindak sebagai tukang pukul dan pelindung mucikari dan para pelacur, tentu saja menerima kedatangannya dengan marah. Seorang pemuda, meski pun wajahnya tampan tetapi kalau berpakaian seperti pengemis, mau apa datang ke rumah pelacuran? Yang datang ke situ hanyalah pria-pria tua muda yang berpakaian mewah, yang sakunya padat uang, bukan segala macam kaum jembel! "Heiii! Mau apa kau datang ke sini?!" bentak seorang tukang pukul yang bertubuh kurus kering karena suka menghisap madat. "Kalau engkau mau mengemis jangan di tempat ini! Pergi ke pasar sana!" bentak orang kedua yang perutnya gendut seperti perut babi dan mukanya yang bulat membayangkan ketinggian hati. Tentu saja sikap kedua orang ini memanaskan hati Bun An, akan tetapi dia masih dapat menahan diri dan masih dapat tersenyum. "Aku datang bukan untuk mengemis, tapi untuk mengambil seorang wanita yang bernama Kui Hui. Suruh dia keluar menemuiku, ada urusan penting yang akan kubicarakan dengan dia." Mendengar disebutnya nama ini, dua orang tukang pukul itu saling pandang lalu tertawa. Yang kurus terkekeh menghina dan berkata. "Kui Hui? Ha-ha-ha! Memang dia paling tua di sini, akan tetapi bukan yang paling murah. Di sini dikenal istilah tua-tua keladi, makin tua semakin jadi! Apakah engkau memiliki uang maka berani hendak memesan Kui Hui?" "Keluarkan dulu uangmu, perlihatkan kepada kami!" kata si gendut. Bun An mengerutkan alis. Memang dia sudah marah sekali karena mendapat kenyataan bahwa sekarang ibunya menjadi pelacur. Hal ini saja sudah mendatangkan kemarahan dan kebencian terhadap wanita yang menjadi ibunya. Maka dia tidak dapat menahan lagi kesabarannya. "Mulut kalian sungguh busuk dan pantas dihajar!" Secepat kilat tangannya bergerak ke depan. "Plakk! Plakkk!" Dua orang itu terpelanting, tubuh mereka terbanting keras dan mereka memegangi pipi yang ditampar sambil mengaduh-aduh. Sedikitnya ada tiga buah gigi yang copot sehingga darah mengalir keluar dari ujung bibir mereka yang menjadi bengkak sampai ke telinga. Akan tetapi kini mereka menjadi marah sekali. Dengan suara tidak jelas karena mulutnya bengkak sebelah, keduanya memaki-maki dan sudah mencabut golok, lantas menyerang kalang kabut. Akan tetapi tentu saja tidak ada artinya bagi Bun An dalam menghadapi dua orang tukang pukul penjaga rumah pelacuran ini. Kembali tangannya bergerak, lantas dua batang golok terlempar dan lengan yang memegang golok menjadi lumpuh akibat tulang lengan itu telah patah ditekuk tangan Bun An. Kini kedua orang itu mengaduh-aduh dan berteriak minta tolong. Muncul empat orang kawan mereka, jagoan-jagoan yang menjadi tukang pukul di tempat pelesir itu. Melihat betapa dua orang teman mereka mengaduh-aduh dan agaknya sudah dihajar oleh seorang pemuda berpakaian jembel, keempat orang itu langsung menyerang dengan golok mereka. Kembali tubuh Bun An berkelebatan dan empat batang golok kembali beterbangan, diikuti robohnya empat orang itu yang merintih kesakitan, tangan kiri memegangi lengan kanan yang patah tulangnya! Melihat kenyataan ini, betapa enam orang tukang pukul itu dalam segebrakan saja roboh dengan tulang lengan patah, barulah mereka sadar bahwa mereka tengah berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Mereka menjadi ketakutan ketika Bun An melangkah maju. "Kalian masih belum mau memanggil keluar Kui Hui? Ataukah batang leher kalian harus kupatahkan dulu?" kata pemuda itu. Si tinggi kurus cepat-cepat memberi hormat dengan gerakan kaku karena lengannya tak bisa digerakkan. "Harap ampunkan kami, taihiap (pendekar besar), saya akan memanggil keluar wanita itu...!" Lalu dengan terpincang-pincang si kurus itu berlari masuk. Tidak lama kemudian keluarlah dia bersama seorang wanita cantik. Usia wanita itu sudah mendekati empat puluh tahun namun masih nampak cantik, apa lagi karena pakaiannya indah dan mukanya dirias dengan bedak tebal dan gincu, juga penghitam alis. Bun An segera mengenal ibunya dan dia merasa muak. Ibu kandungnya seorang pelacur! Hampir saja dia meloncat pergi lagi, akan tetapi segera terbayang olehnya betapa ketika dia masih kecil, ibunya ini amat sayang kepadanya. Wanita itu memang Kui Hui, ibu Bun An. Tadi oleh si kurus yang ketakutan dia diberi tahu bahwa ada seorang tamu, yaitu seorang pemuda berpakaian jembel akan tetapi memiliki kepandaian tinggi, yang minta agar dia keluar. Kini Kui Hui menjadi heran melihat seorang pemuda berpakaian tambal-tambalan tapi berwajah tampan berdiri di situ sedangkan para tukang pukul masih mengaduh-aduh. Wajah pemuda tampan yang tidak asing baginya, akan tetapi dia lupa lagi di mana pernah bertemu dengan pemuda itu. Meski pun dia merasa ragu-ragu untuk menerima tamu yang berpakaian tambal-tambalan, akan tetapi karena takut, dia pun segera tersenyum manis dan melangkah maju lalu memberi hormat. "Selamat datang, tuan muda. Siapakah tuan muda dan ada keperluan..." "Aku Tang Bun An!" Bun An memotong dengan suara lirih, akan tetapi pandang matanya mencorong penuh kemarahan. Kui Hui menahan jeritnya, menutupi mulut dengan punggung tangan, matanya terbelalak dan wajahnya pucat sekali ketika dia memandang kepada wajah pemuda itu. Kini dia pun teringat puteranya! Tanpa dapat dicegah lagi kedua mata yang terbelalak itu dipenuhi air mata dan berderailah air matanya berjatuhan di atas kedua pipinya. "Bun An... Bun An..., kau..." Bun An tidak ingin ibunya bicara di tempat itu, didengarkan oleh banyak orang, maka dia lalu memegang tangan ibunya. "Sudahlah, mari kita pergi dan bicara di tempat lain!" Dia menarik tangan ibunya. Wanita itu menahan karena bagaimana mungkin dia pergi begitu saja tanpa pamit? Dan pakaiannya, barang-barangnya masih berada di dalam kamarnya. "Nanti dulu... aku... aku pamit dan mengambil barang-barangku dulu..." "Tidak usah. Mari kita pergi!" Bun An menarik tangan ibunya. Wanita itu merasa betapa kuatnya tarikan tangan puteranya. Dia sama sekali tak mampu menahan sehingga tubuhnya ikut tertarik. Melihat sikap puteranya yang begitu marah dan tidak sabar, dia pun tidak membantah lagi dan keduanya lalu melangkah untuk keluar dari pekarangan rumah pelacuran itu. Dari dalam rumah pelesir tiba-tiba keluar seorang wanita tua, usianya kurang lebih enam puluh tahun dan tubuhnya gendut sekali. "Heiiii! Mau kemana kau, Kui Hui? Engkau tidak boleh pergi begitu saja! Engkau harus membayar dulu hutang-hutangmu!" Kui Hui tidak berani menjawab, hanya dapat memandang dengan gelisah. Bun An segera membalikkan tubuh dan menghadapi nyonya gendut itu. "Aku hendak mengajaknya pergi dari tempat terkutuk ini, engkau mau apa?" Nyonya itu pun tadi telah mendengar betapa pemuda ini sudah merobohkan enam orang tukang pukulnya, maka dia tidak berani bersikap galak. "Orang muda, kalau kau hendak membela dia pergi harus ada tebusannya, harus ada uang penggantinya!" "Babi betina, kuganti dia dengan nyawamu!" kata Bun An dan sekali menendang, tubuh nyonya itu langsung terjengkang. Wanita itu menguik-nguik seperti babi disembelih, namun Bun An tidak mempedulikannya lagi. Dia menarik tangan ibunya kemudian dengan cepat meninggalkan tempat itu. Dalam waktu sebentar saja mereka sampai di sebuah tempat sunyi di luar pintu gerbang kota. Di tempat sunyi ini Bun An menyuruh ibunya bercerita tentang keadaan sebenarnya. Sambil menangis Kui Hui menuturkan bahwa memang benar Ma Cun telah berubah sejak Bun An minggat. Orang itu menghambur-hamburkan harta yang dibawanya dari keluarga Tang, selalu berfoya-foya, main perempuan, berjudi dan akhirnya, setelah harta itu ludes, Ma Cun memaksa dia untuk mencari uang dengan menjual diri! Kalau dia menolak maka Ma Cun memukuli dan menyiksanya! Keadaan seperti itu tidak dapat dipertahankan lagi dan mereka lalu bercerai. Akan tetapi Ma Cun masih menyeret Kui Hui ke rumah pelacuran itu dan menjual isterinya kepada mucikari. Demikianlah, Kui Hui lalu menjadi anak buah mucikari itu dan dia harus bekerja siang malam melayani tamu untuk mencari uang karena dia dianggap mempunyai hutang yang makin lama makin besar sesuai dengan perhitungan bunganya yang amat berat! "Itulah nasib buruk ibumu, anakku...," kata Kui Hui yang menceritakan semua itu sambil menangis. "Aku... aku menjadi pelacur... aku.... aku menderita sakit, kadang kala batuk darah... tapi sekarang engkau mengajak aku pergi sedangkan semua pakaianku berada di sana, juga sedikit tabunganku, padahal engkau... ahh, engkau sendiri berpakaian tambal-tambalan seperti seorang pengemis...! Bagaimana kita akan hidup selanjutnya, Bun An?" Bun An mengerutkan alisnya. Ibunya sudah terperosok sedemikian dalam sehingga yang dipikirkan hanyalah harta benda dan uang saja, pikirnya! "Kika harta yang ibu inginkan, nanti malam aku akan mencarikannya untuk ibu. Sekarang ibu ikut saja dengan aku!" Bun An lalu mengajak ibunya ke sebuah kuil tua kosong yang berada di dalam hutan kecil di atas bukit di luar kota. Di kuil inilah dia menginap selama beberapa malam ini. Tentu saja Kui Hui hanya bisa menangis karena dia tidak biasa hidup seperti itu. Di dalam hatinya sekarang merasa menyesal sekali mengapa puteranya muncul dan memaksanya keluar dari rumah pelacuran itu. Di sana dia sudah mulai dapat menyesuaikan diri, dapat bersenang-senang dengan para pria yang membelinya, makan dan pakaian tidak pernah kurang, juga kamarnya indah. Tapi sekarang, tanpa bekal sepotong pun pakaian sebagai pengganti, dia harus rebah di atas lantai kotor sebuah kuil yang amat menyeramkan, yang pantasnya hanya menjadi tempat tinggal iblis dan siluman! Malam itu Bun An meninggalkan ibunya. Pemuda ini tidak banyak bicara, bahkan ketika ibunya bertanya mengenai pengalamannya, dia hanya menjawab singkat bahwa sepuluh tahun lebih ini dia hidup sebagai pengemis dan mempelajari ilmu silat. "Ibu tunggu saja di sini, aku akan mencarikan harta benda yang ibu inginkan itu. Jangan ibu pergi dari sini kalau ibu ingin selamat, karena di luar tentu banyak bahaya mengintai!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Bun An lenyap dari depan ibunya. Wanita itu terbelalak, lantas menangis di atas lantai kuil itu, ketakutan dan mengira bahwa puteranya itu agaknya telah menjadi iblis yang pandai menghilang! Bun An mengintai dari luar kuil dan membiarkan ibunya menangis. Sedikit pun dia tidak merasa kasihan, bahkan dia merasa betapa hatinya membenci wanita ini. Ibunya sudah membunuh ayahnya. Hal ini dia ketahui benar. Dia masih teringat akan semua percakapan antara ibunya dengan kekasihnya, Ma Cun. Dialah yang menerima bungkusan racun itu dari Ma Cun untuk diserahkan kepada ibunya. Sesudah mencuri banyak barang perhiasan keluarga Tang, ibunya yang berjinah dengan Ma Cun kemudian menjadi isteri Ma Cun. Lebih menggemaskan lagi, kini ibunya menjadi seorang pelacur! Akan tetapi, bagaimana pun juga dia adalah putera kandung ibunya, karena itu dia harus memelihara ibunya. Dan yang lebih dari itu, dia harus membuat perhitungan dengan Ma Cun! Siang tadi dia sudah menyelidiki di mana adanya orang itu. Tidak sukar untuk mencari Ma Cun yang biasa berjudi di Hok Pokoan (Rumah Judi Mujur). Tempat judi besar di kota raja ini menjadi pusat perjudian dan di sana terdapat banyak orang dari golongan sesat yang mengadu nasib dengan berjudi. Sebuah tempat berbahaya dan tidak ada orang baik-baik berani mengunjungi tempat ini. Orang yang bukan penjudi ulung, yang baru saja datang dan berani mencoba-coba untuk berjudi, tentu akan habis di curangi oleh ular-ular judi. Segala macam maling, perampok dan penjahat lain mempergunakan Hok Pokoan sebagai tempat pelesir dan di sana banyak terdapat pelacur-pelacur yang digunakan oleh bandar judi untuk memikat para langganan. Ramailah keadaan di rumah perjudian itu. Dari sore sampai pagi meriah penuh gelak tawa.....
jilid 2

SEPERTI tadi ketika dia datang berkunjung ke rumah pelacuran, kini Bun An juga disambut dengan alis berkerut oleh para penjaga keamanan, tukang-tukang pukul rumah perjudian itu. Tukang-tukang pukul di tempat itu tidak boleh disamakan dengan tukang-tukang pukul di rumah pelacuran. Di sini merupakan tempat para penjahat berkumpul, di mana terdapat banyak uang diperjudikan, maka penjagaannya amat ketat. Bandar judi sudah membayar tinggi jagoan-jagoan pilihan untuk menjaga tempat itu. “Heuii, kau jembel gila! Mau apa kau ke sini?” bentak seorang jagoan pada saat melihat Bun An memasuki pintu pekarangan. “A-boan, lemparkan saja sekeping uang kecil padanya agar tidak membikin kotor tempat ini!” kata orang kedua. Bun An merasa betapa perutnya panas mendengar ucapan yang nadanya menghina itu, akan tetapi dia berusaha menahan sabar, “Aku datang bukan untuk mengemis, melainkan untuk mencari seorang bernama Ma Cun. Harap kalian suka memanggil dia keluar.” Ma Cun sudah sangat terkenal di rumah perjudian itu. Selain merupakan langganan lama, juga Ma Cun terkenal sebagai seorang jagoan pula, bekas perwira pengawal pembesar yang mempunyai ilmu silat tinggi. Mendengar betapa pengemis muda ini menyebut nama jagoan dan penjudi itu begitu saja dan minta dipanggilkan, maka beberapa orang penjaga itu menjadi marah. “Cuhh!” orang pertama meludah. “Jembel macam kau berani menyuruh kami memanggil orang?” “Tidak seorang pun langganan kami boleh diganggu, apa lagi di ganggu jembel...” “Kalau kalian tidak mau memanggilnya, biarlah aku mencarinya sendiri ke dalam!” Bun An segera memotong karena dia mulai kehilangan kesabarannya, lantas dia pun melangkah hendak masuk ke dalam ruangan depan rumah judi itu. “Heii! Berhenti!” bentak seorang tukang pukul. Ia pun memegang lengan kiri Bun An kemudian menariknya dengan pengerahan tenaga, dengan maksud agar pemuda jembel itu tertarik dan terpelanting. Namun tubuh pemuda jembel itu sama sekali tidak bergeming, bahkan si tukang pukul merasa seolah-olah yang dipegangnya itu bukan lengan tangan, melainkan sepotong besi yang keras! Beberapa kali dia mengerahkan tenaga untuk membetot, akan tetapi percuma saja. Hal ini membuat dia merasa amat penasaran kemudian marah, dan langsung saja dia memukul dengan tinjunya ke arah muka Bun An. “Wuutttt…!” Dengan miringkan mukanya, pukulan itu meluncur dekat pipi Bun An. Pemuda ini menjadi marah dan sekali dia mengangkat lutut, maka lututnya telah masuk ke dalam perut orang itu. “Ngokkk…!” Orang itu menekuk perutnya dan memegangi perut yang terasa nyeri bukan main. Bun An menendang tubuh orang itu yang langsung terlempar lalu terbanting jatuh. Melihat ini, tujuh orang tukang pukul itu menjadi marah. Salah seorang di antaranya telah menubruk dari belakang dengan kedua lengan terpentang dan kedua tangan terbuka, siap untuk mencengkeram dan mencekik leher pengemis muda itu. Bun An membiarkan saja tangan itu mencengkeram lehernya dan si pencengkeram amat terkejut ketika merasakan betapa leher yang dicekiknya itu keras seperti besi! Pada saat itu Bun An sedikit miringkan tubuhnya dan siku kanannya menghantam ke belakang. “Dukkk!” “Aughhhh...!” Orang yang kena disiku dadanya itu terpental dan terbanting jatuh, seketika muntah darah karena dadanya seperti dihantam oleh toya besi saja! Kini para tukang pukul itu baru sadar bahwa pengemis muda ini sama sekali tidak boleh dibuat main-main. Mereka segera mencabut senjata lalu menyerang Bun An dari berbagai jurusan. Melihat gerakan mereka, maka tahulah Bun An bahwa mereka itu tidak boleh disamakan dengan para jagoan di rumah pelacuran. Karena itu dia pun segera mendahului mereka, tubuhnya bergerak cepat sekali sehingga bagi para pengepungnya tubuh itu bagai lenyap berubah menjadi bayangan yang terbang menyambar-nyambar, lantas tujuh orang jagoan itu roboh malang melintang di pekarangan itu! Dengan tenang Bun An melangkah memasuki ambang pintu, mendorong pintu ke dua lalu masuk ke ruangan perjudian yang amat luas itu. Ada belasan meja judi dikelilingi banyak orang. Suasana di sana sangat pengap bagi dia yang baru masuk dari tempat terbuka. Ruangan itu penuh asap berbau tembakau, bercampur bau minyak wangi dari pakaian para pelacur yang menghibur para penjudi, dan bau keringat semua orang! Dua orang jagoan yang berjaga di sebelah dalam sudah tahu akan peristiwa yang terjadi di luar. Mereka ini memiliki tingkat yang lebih tinggi dari pada mereka yang berada di luar tadi. Maka, begitu melihat Bun An melangkah masuk, dengan cepat dua orang ini sudah menyambutnya dengan serangan pedang dari kanan kiri. Pedang kiri menusuk ke arah lambung, pedang kanan membacok kepala dari atas. Menghadapi kedua serangan pedang yang dilakukan serentak dan mendadak ini, Bun An yang semenjak tadi tak pernah kehilangan kewaspadaan sedetik pun, mengangkat kedua tangan menyambut. Tangan kanan bergerak ke samping dan tangan kiri bergerak ke atas. Dua orang penyerang itu terbelalak ketika merasa betapa pedang mereka tiba-tiba saja berhenti meluncur, dan ternyata mereka melihat betapa pedang mereka terjepit di antara jari-jari tangan pemuda jembel itu. Mereka segera mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan pedang dari jepitan jari tangan, akan tetapi sia-sia karena pedang itu seperti terjepit oleh jepitan baja saja. Sebelum mereka sempat mengetahui apa yang akan terjadi, kedua kaki Bun An dengan bergantian tetapi cepat sekali seolah-olah kedua kaki itu bergerak berbarengan saja, telah menendang sehingga kedua orang itu terpelanting roboh dan tak mampu bangkit kembali karena sambungan lutut kaki mereka terlepas! Pedang mereka telah berpindah ke kedua tangan Bun An. Lima orang jagoan lain cepat maju mengepung dan langsung mengeroyok, menggerakkan senjata mereka, akan tetapi nampak sinar bergulung-gulung dari dua batang pedang yang berada di tangan Bun An. Terdengar teriakan-teriakan yang disusul robohnya lima orang itu karena lengan mereka telah terluka dan mengucurkan darah! Kini semua orang merasa gentar, bahkan jagoan-jagoan lain mengundurkan diri menjauh. Karena tidak ada yang berani menyerangnya, Bun An melempar kedua pedang ke atas lantai, kemudian melangkah perlahan-lahan ke tengah ruangan. Semua mata memandang kepadanya, mata yang terbelalak dan muka yang pucat karena ketakutan. Bun An memandang ke sana sini, mencari-cari sampai akhirnya dia melihat orang yang dicarinya. Tentu saja dia masih mengenal Ma Cun, orang yang sangat dibencinya itu. Bekas pengawal itu kini sudah berusia empat puluh tahun lebih, rambut kepalanya sudah bercampur uban, namun wajahnya yang gagah tidak berubah. Hanya perutnya yang kini menggendut, namun tubuhnya masih nampak kokoh kuat. Melihat orang yang dicarinya ini, Bun An menghampiri dan kini dia berdiri di depan Ma Cun dalam jarak lima meter. “Ma Cun, tinggalkan mejamu dan majulah ke sini!” kata Bun An, suaranya halus namun mengandung getaran dendam kebencian. Ma Cun mengerutkan alisnya. Dia sendiri adalah seorang jagoan yang memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, maka tentu saja dia tidak gentar melihat pengemis muda yang tadi mengamuk. Akan tetapi, ketika pengemis muda itu memanggilnya, dia merasa penasaran dan juga marah. “Bocah pengemis! Aku Ma Cun tidak punya urusan dengan engkau. Pergilah dan jangan menggangguku!” Dia membesarkan suaranya agar lebih berwibawa karena pada saat itu semua orang memandang kepadanya dan kepada pengemis muda yang tidak dikenalnya itu. “Ma Cun, buka matamu lebar-lebar dan lihat siapa aku!” Bun An berkata lagi, suaranya tetap halus, namun mengandung sesuatu yang membuat semua orang bergidik. Ma Cun memandang dengan penuh selidik, lantas mengerutkan alisnya lebih dalam dan menghardik, “Jembel busuk! Aku tidak mengenal orang macam engkau, pergilah sebelum hilang kesabaranku!” Ma Cun yang percaya akan kemampuannya sendiri itu menggertak, ada pun tangannya telah meraba gagang pedangnya yang selalu berada di dekatnya dan pada saat itu pedangnya berikut sarung pedang terletak di atas meja judi. Bun An tersenyum mengejek, sepasang matanya menyorotkan sinar dingin yang mau tak mau terasa juga oleh Ma Cun sehingga membuat tengkuknya terasa agak dingin. “Ma Cun, namaku Tang Bun An!” Ma Cun terbelalak. “Ha-ha-ha, engkau setan cilik ternyata kini sudah menjadi orang yang tidak berharga!” katanya sambil meninggalkan meja menghampiri Bun An. Setelah kini dia mengenal Bun An, seketika lenyaplah rasa jeri yang tadi sedikit banyak ada padanya dan terganti dengan pandangan rendah dan menghina. Sejak melihat Ma Cun tadi, Bun An sudah merasa seolah-olah ada api bernyala panas di dalam dadanya. Mendengar penghinaan itu kemarahannya langsung meluap-luap dan dia pun melangkah maju sehingga kini mereka berhadapan dalam jarak dua meter saja, saling pandang dengan sinar mata penuh kebencian. “Bun An jembel busuk, apakah engkau datang untuk mengemis padaku? Nih, uang kecil untukmu!” Sambil berkata demikian, dengan sikap dan pandang mata menghina sekali Ma Cun mengambil tiga keping uang kecil dari sakunya dan dilemparkan ke depan. Tiga keping uang itu mengenai tubuh Bun An, lantas jatuh ke bawah mengeluarkan suara berkeritikan. Tidak terlalu nyaring, akan tetapi karena semua orang diam menahan napas dengan hati tegang, jatuhnya tiga buah mata uang itu menimbulkan suara yang nyaring. “Ma Cun, dengarlah, buka telingamu lebar-lebar. Aku datang bukan untuk meminta uang, melainkan untuk mengambil nyawamu!” Suasana menjadi semakin tegang setelah kata-kata ini keluar dari mulut pengemis muda itu. Tidak lantang, namun karena suasana amat sepi dan hening seolah-olah di situ tidak ada manusia lain, maka terdengar jelas dan menimbulkan ketegangan mendalam. Wajah Ma Cun berubah merah sekali saking marahnya. “Singgg…!” Pedang itu telah dicabutnya. Dengan tangan kiri memegang pedang Ma Cun sudah menubruk maju ke depan, segera menyerang Bun An dengan sabetan pedangnya, tidak malu-malu lagi menyerang seorang pemuda yang tidak memegang senjata apa pun. Namun Bun An menghadapi serangan pedang itu dengan tenang saja. Tingkat kepandaiannya sudah jauh lebih tinggi dari pada Ma Cun, maka ketika pedang berkelebat menyambar ke arahnya, dia segera menangkis dari samping dengan menampar ke arah pedang itu. “Plakkk!” Pedang itu dapat ditangkapnya! Semua mata terbelalak memandang, hampir tidak percaya. Bagaimana mungkin pemuda jembel itu berani menangkap pedang yang amat tajam dan digerakkan oleh seorang yang bertenaga besar seperti Ma Cun? Akan tetapi kenyataannya pedang itu dapat ditangkap dan kini nampak Ma Cun bersitegang hendak menarik pedangnya agar tangan pemuda itu terbabat buntung. Akan tetapi sama sekali tidak berhasil. Sekali lagi dia membetot akan tetapi tiba-tiba Bun An melepaskan pegangannya sehingga tubuh Ma Cun segera terjengkang! Sambil tersenyum mengejek Bun An memberi isyarat kepadanya agar bangkit kembali. “Berdirilah dan keluarkan semua kepandaianmu sebelum kau kubunuh!” Wajah Ma Cun menjadi pucat sekali dan mulailah dia meragukan kemampuannya sendiri, hal yang belum pernah dia lakukan. Apa yang dialaminya tadi terlalu hebat dan nyalinya sudah menciut, bahkan kedua kakinya mulai gemetar. “Kawan-kawan, bantulah aku!” teriaknya tiba-tiba, lantas dia pun mendahului menyerang dengan membabi buta. Kini semua jagoan yang berada di sana seperti baru sadar bahwa ada seorang pemuda berpakaian seperti pengemis yang lihai sekali sedang mengacau di rumah judi itu, bahkan mengancam nyawa seorang kawan mereka. Belasan orang jagoan, baik yang bertugas sebagai penjaga keamanan di situ mau pun yang datang sebagai tamu dan penjudi, cepat mencabut senjata masing-masing dan menyerbu ke arah Bun An! Pemuda itu sudah marah sekali. Serangan Ma Cun yang membabi buta itu disambutnya dengan tamparan keras ke arah lengan Ma Cun. Ma Cun berteriak kesakitan, kemudian pedangnya terlepas dari pegangan karena lengan kanannya terasa nyeri bukan kepalang seperti dipukul dengan toya baja. Pada saat itu teman-temannya sudah menyerbu, maka dengan cerdik Ma Cun menyelinap di antara orang banyak lalu melarikan diri ke loteng. Bun An mengamuk hebat. Tubuhnya lantas berkelebatan di antara para pengepung dan pengeroyoknya, akan tetapi matanya tidak melepaskan pintu keluar, takut kalau-kalau Ma Cun lolos keluar. Dia marah karena kehilangan Ma Cun yang menyelinap di antara orang banyak. Bun An menggerakkan kaki dan tangannya, maka mulailah pengeroyok berpelantingan ke kanan kiri. Bukan hanya tubuh para pengeroyok, akan tetapi juga meja judi dan bangku-bangku beterbangan karena ditendangi oleh Bun An yang mengamuk sambil mencari-cari Ma Cun. Dalam waktu beberapa menit saja belasan orang jagoan sudah roboh malang melintang tidak sanggup bangun lagi dan hanya dapat merintih kesakitan. Para tamu yang tidak ikut mengeroyok sudah merapatkan diri di dinding dengan wajah pucat. Sesudah tidak ada lagi yang menyerangnya, Bun An mulai mencari-cari dengan matanya. Dia melihat seorang laki-laki gendut yang tadi bersikap angkuh dan sekelebatan dilihatnya sebagai majikan tempat itu. Sekarang orang itu sedang bersembunyi di balik meja yang roboh, tubuhnya yang gendut itu menggigil seperti diserang demam. Dengan sekali loncatan saja Bun An sudah tiba di belakang orang itu, lalu dengan sekali cengkeraman pada pundak si gendut itu, dia menariknya berdiri dan si gendut menahan jerit seperti seekor tikus terjepit. “Hayo katakan, di mana adanya Ma Cun?” Bun An merasa yakin sekali bahwa orang yang dicarinya tentu masih berada di situ karena sejak tadi dia memperhatikan pintu keluar dan tidak melihat Ma Cun keluar dalam keributan tadi. “Ti… tidak... tahu....” Si gendut menggeleng kepalanya. “Hemm, apa kau minta mati?” Bun An menekan pundak si gendut itu yang tiba-tiba saja merasa betapa tubuhnya bagaikan ditusuk-tusuk seribu jarum. Dia kini tidak lagi menahan jeritnya, melainkan menguik-nguik seperti seekor babi dimasukkan keranjang, “Kau masih tidak mau mengatakan di mana dia?” “Di... di loteng...,” kata si gendut yang tiba-tiba saja terkencing-kencing di celana. Bun An mendorongnya sehingga dia roboh terguling-guling dan cepat lari menaiki tangga menuju ke loteng. Semua orang yang berada di ruangan bawah itu kini memandang ke atas. Di loteng itu ada ruangan besar berikut beberapa buah kamar di mana para pemenang permainan judi boleh menghamburkan uangnya kepada para pelacur yang siap melayani mereka. Bun An segera memeriksa setiap kamar dan pada kamar ke tiga, tiba-tiba saja dia diserang orang dari dalam kamar dengan sebatang pedang. Penyerang itu bukan lain adalah Ma Cun yang sudah memperoleh sebatang pedang lagi. Akan tetapi Bun An sudah waspada. Begitu pedang meluncur dia segera mengelak, lalu tangannya menangkap pedang sambil kakinya menendang lengan kanan lawan. Terpaksa Ma Cun melepaskan pedangnya dan dia hendak lari turun. Akan tetapi tangan kiri Bun An segera menampar dan mengenai tengkuknya sehingga dia pun terjungkal roboh. Semua orang melihat peristiwa di loteng itu dengan mata terbelalak. Dilihat dari bawah, apa yang terjadi di atas itu seperti permainan wayang saja! Karena melihat sudah tidak ada jalan keluar lagi maka timbullah rasa takut di hati Ma Cun. Tanpa malu-malu lagi dia lalu berlutut dan meyembah-nyembah kepada Bun An. “Bun An, ampunkanlah aku... ahhh, ingatlah bahwa aku adalah ayah tirimu... dahulu aku pernah menyayangimu... ingatkah engkau ketika dahulu aku memberi hadiah kepadamu? Ampunkan aku, Bun An!” Kemarahan Bun An semakin menjadi ketika diingatkan akan peristiwa yang lalu. Memang dulu, pada waktu masih menjadi kekasih ibunya di rumah keluarga Tang, orang ini sering mengambil hatinya dengan memberi barang-barang mainan, juga mengancamnya karena dialah yang menjadi jembatan antara ibunya dengan orang ini! “Keparat jahanam! Masih ada muka engkau untuk minta ampun dan mengaku ayah tiriku? Apakah engkau juga masih ingat saat memukuli dan menyiksaku, bahkan menendangku? Sudah lupakah engkau dengan apa yang kau lakukan terhadap ibuku? Engkau hamburkan semua harta benda ibuku dan setelah habis, engkau sia-siakan ibuku, engkau siksa dia, kau pukul dan tendang, dan akhirnya kau jual!” “Ampun... ampun....” Ma Cun menyembah-nyembah ketakutan, keringat dingin sebesar kedelai keluar dari tubuhnya. “Dan ingatkah engkau betapa engkau sudah merencanakan pembunuhan terhadap ayah kandungku? Kau racuni dia sampai mati!” “Bukan aku... ampun, tapi ibumu... ampunkan aku...” “Pengecut hina! Biar pun kau tebus dengan kedua tanganmu, engkau masih belum dapat membayar hutangmu kepadaku. Kini berikan kedua tanganmu!” Sambil berkata demikian nampaklah sinar pedang berkelebat, yaitu pedang yang tadi dirampas Bun An dari tangan Ma Cun. Ma Cun menjerit dan kedua tangannya sebatas bawah siku terbabat buntung! Demikian cepatnya pedang itu berkelebat sehingga kedua lengan itu buntung tanpa dirasakan Ma Cun yang baru menjerit setelah melihat betapa kedua lengannya tak bertangan lagi! Dengan kakinya Bun An menendang kedua potongan lengan itu ke bawah loteng! Semua orang memandang terbelalak, muka mereka pucat karena ngeri melihat dua buah tangan itu melayang jatuh di atas meja judi! Ma Cun langsung menjerit-jerit ketika Bun An menghardik, “Dan serahkan kedua kakimu untuk membayar hutangmu kepada ibuku!” Kembali pedang berkelebat dan Ma Cun mengeluarkan jeritan yang lebih mengerikan lagi ketika tiba-tiba saja kedua kakinya sebatas lutut terbabat buntung oleh pedang. Tubuhnya terpelanting, berkelojotan sambil mulutnya masih merintih-rintih, Bun An juga menendang kedua potongan kaki itu ke bawah loteng. Kini semua orang menggigil. “Sekarang berikan kepalamu untuk membayar hutangmu kepada ayah!” Pedang berkelebat dan tubuh Ma Cun tidak bergerak lagi, tidak menjerit lagi, melainkan terlihat darah muncrat-muncrat ketika lehernya terbabat buntung oleh pedang. Kepalanya ditendang dan menggelinding ke bawah loteng! Bun An melemparkan pedangnya dan sekali lompat, dia sudah melayang turun ke bawah loteng. Melihat tumpukan uang di atas meja-meja, juga berserakan di bawah, dia teringat akan kebutuhan ibunya. Dia lalu mengambil semua uang itu, dimasukkan ke dalam taplak meja, dibungkusnya lantas dipanggulnya. Sebelum pergi dia memandang kepada semua orang dan berkata lantang, “Aku mengambil uang ini bukan merampok, melainkan mengambil kembali sebagian dari harta ibuku yang dihamburkannya di tempat ini. Kalau ada yang penasaran, carilah aku, Siauw-kai!” Lalu dia keluar dari tempat judi itu dengan tenang. Tak ada seorang pun yang berani bergerak melarangnya, bahkan tidak ada yang berani bergerak sebelum Bun An pergi jauh dari tempat itu. Dengan uang yang diambilnya dari tempat judi, Bun An mengajak ibunya untuk pulang ke dusun tempat asal ibunya. Di dusun ini Bun An membeli rumah sederhana dan sebidang tanah. Atas desakan ibunya dia membuang pakaian jembelnya dan mengenakan pakaian biasa. Kini jadilah dia seorang pemuda yang tampan. Karena uang yang diambilnya dari rumah judi itu tidak terlalu banyak, hanya cukup untuk membeli sebidang tanah, pakaian untuk dia dan ibunya, juga perabot rumah sederhana, maka uang itu pun lantas habis sehingga Bun An bersama ibunya harus bekerja di ladang untuk keperluan sehari-hari. Beberapa bulan kemudian, sesudah ibu dan anak itu hidup tenang di dusun itu, Kui Hui mulai membujuk puteranya untuk menikah. “Usiamu sudah cukup, anakku, dan aku pun sudah ingin sekali menggendong cucu. Gadis keluarga Lui di dusun sebelah amat cantik, menjadi kembang dusun-dusun di daerah ini. Aku ingin melamarnya untukmu, anakku.” Bun An tersenyum. Memang usianya kini sudah dua puluh tahun lebih, dan dia pun sudah pernah melihat gadis yang dimaksudkan oleh ibunya. Gadis keluarga Lui itu bernama Kim Bwe, berusia delapan belas tahun dan memang cantik sekali bagaikan setangkai bunga Bwe! Maka dia pun mengangguk dengan senang, menyatakan setuju. Pinangan segera diajukan dan diterima dengan senang oleh keluarga Lui, apa lagi karena keluarga itu melihat Bun An adalah seorang pemuda yang amat tampan, juga rajin bekerja dan masih berdarah bangsawan, karena kepada perantara Kui Hui membisikkan bahwa puteranya adalah keturunan keluarga Tang di kota raja yang pernah menjabat kedudukan tinggi. Pernikahan dilangsungkan dengan sederhana namun cukup meriah bagi penghuni dusun, lantas Bun An memboyong isterinya ke rumahnya. Karena isterinya memang cantik manis dan lembut, maka mudah saja bagi Bun An untuk jatuh cinta kepada Lui Kim Bwe. Sejak pernikahan mereka, selama berbulan-bulan berikutnya kedua orang suami isteri muda ini hidup berenang di dalam lautan kemesraan dan nampaknya saling mencinta. Namun diam-diam wanita muda yang pernah menjadi kembang dusun itu kadang-kadang merasa menyesal dan kecewa bukan main. Sesudah gairah api birahi mulai mengecil dan tidak sepanas pada masa pengantin baru, isteri yang masih muda belia ini mulai melihat kenyataan betapa dia masuk ke dalam kehidupan keluarga yang sangat sederhana, kalau tidak dapat dinamakan miskin. Suaminya memang tampan, akan tetapi apa artinya ketampanan kalau kehidupan mereka demikian sederhana, bahkan sama sekali tidak mewah? Memang harus diakuinya bahwa sebagai isteri petani muda, dia tak kekurangan makan. Akan tetapi makanan sederhana, dengan sayur-sayur dan jarang bertemu daging. Dan pakaiannya! Sudah hampir setahun dia menikah tapi belum satu juga pakaiannya bertambah dan dia harus memakai pakaian-pakaian yang dibawanya dari rumah, walau pun memang pakaian itu belum rusak. Sejak masih muda sekali Kim Bwe menjadi kembang di dusunnya, bahkan kecantikannya terkenal hingga ke dusun-dusun tetangga dan banyak sudah pemuda-pemuda anak orang kaya, bahkan orang-orang yang mempunyai kedudukan seperti kepala dusun dan lain-lain yang tergila-gila kepadanya. Namun orang tuanya malah memilih dan menerima pinangan Tang Bun An! Tadinya dia menyangka bahwa selain seorang pemuda tampan, tentu Tang Bun An juga anak seorang kaya raya karena bukankah dikabarkan bahwa Tang Bun An adalah putera bangsawan tinggi di kota raja yang telah meninggal? Sebagai putera seorang bangsawan tentu dia sudah menerima banyak warisan! Akan tetapi setelah menjadi isteri Bun An, dia melihat kenyataan bahwa pemuda itu sama sekali tidak memiliki apa pun kecuali sawah ladangnya yang tidak berapa luas, dan rumah yang sangat sederhana pula! Setelah pernikahan itu berjalan setahun lamanya, barulah wanita muda bernama Lui Kim Bwe itu melihat kenyataan bahwa ketampanan wajah suaminya saja tidak dapat membuat dia merasa bahagia. Selama beberapa bulan wajah tampan itu memang mengasyikkan, tetapi kemudian dia menjadi bosan, apa lagi jika dia melihat wanita-wanita lain yang kaya di dusun itu atau pendatang dari kota, yang mengenakan perhiasan gemerlapan, pakaian sutera halus indah yang mahal, sepatu yang indah pula, naik kereta yang mewah! Mulailah nyonya muda ini bersikap tidak manis kepada suaminya, bahkan dia mulai suka berkunjung ke rumah tetangganya, seorang janda setengah tua yang disebut Bibi Ciok dan di sini dia melampiaskan kekecewaan dan penyesalan hatinya kepada tetangga ini. Ia sama sekali tidak pernah mau membantu suaminya yang sibuk di sawah ladang, bahkan tidak mau membantu ibu mertuanya yang sibuk di dapur dan di rumah. Bibi Ciok adalah seorang wanita yang dulu menjadi pelacur di kota, yang setelah tua dan berhasil mengumpulkan banyak uang lalu pulang ke dusun ini dan hidup sebagai seorang janda yang tidak akan kekurangan makan karena memiliki sawah yang cukup. Mendengar keluhan serta celaan Kim Bwe ini, dia tidak tinggal diam melainkan menanggapi, bahkan menyatakan turut menyesal mengapa Kim Bwe yang pernah menjadi kembang beberapa buah dusun di sekitar situ, yang diperebutkan oleh banyak orang kaya, sekarang menjadi seorang isteri seorang pria yang miskin! “Kasihan sekali engkau ini, Kim Bwe,” demikian antara lain Bi Ciok berkata dan karena dia sudah akrab sekali dengan nyonya muda ini maka dia memanggil namanya begitu saja. “Seorang wanita muda yang cantik jelita dan manis seperti engkau ini, kalau di kota raja pasti sudah menjadi isteri seorang pemuda kaya raya, bahkan tidak aneh kalau engkau menjadi isteri bangsawan! Sedikitnya isteri muda yang hidup berenang dalam kemuliaan dan kekayaan. Namun di sini engkau hanya menjadi isteri seorang petani. Memang Tang Bun An itu seorang putera bangsawan, akan tetapi bangsawan itu telah meninggal dunia dan kau tahu? Ibunya diusir dari sana karena disangsikan bahwa Tang Bun An itu putera bangsawan Tang, mungkin anak dari hasil hubungan gelapnya dengan perwira pengawal! Dan setelah keluar dari keluarga Tang, ibu Bun An itu menjadi seorang pelacur!” “Ahhh...!” Kim Bwe terbelalak dan mukanya berubah merah. “Aku berani bersumpah, Kim Bwe! Aku melihat dengan kedua mataku sendiri!” kata Bibi Ciok dan hal ini memang bukan bohong. Karena dia sendiri pernah menjadi pelacur maka pernah pula melihat ibu Bun An yang sangat terkenal ketika mula-mula jadi pelacur. Demikianlah, Kim Bwe mulai keracunan hatinya dan dia merasa lebih dekat dengan Bibi Ciok dari pada dengan ibu mertuanya. Dan kesempatan ini tak disia-siakan oleh Bibi Ciok yang bermata tajam! Seorang wanita muda seperti Kim Bwe ini, yang sedang mengalami kekecewaan dan penyesalan terhadap suaminya, yang haus akan kemuliaan, kekayaan dan kemewahan, merupakan seekor domba yang jinak dan daging yang lunak bagi para serigala dan buaya. Dia pun melihat kesempatan terbuka lebar baginya untuk mengeduk keuntungan sebanyaknya. Demikianlah, sebagai seorang wanita yang berpengalaman Bibi Ciok dapat menghubungi Lai-jung-cu (Lurah Lai), yaitu lurah dari dusun tempat Kim Bwe yang pernah tergila-gila kepada Kim Bwe. Lurah ini kaya raya dan terkenal mata keranjang, dan pernah Bibi Ciok mencarikan seorang gadis dusun untuk menjadi mangsa lurah yang haus perempuan ini. Oleh karena itu maka dia berani menghubungi Lai-jung-cu dan menceritakan bahwa dia mampu membantu lurah itu kalau masih ada gairah besar terhadap Lui Kim Bwe yang kini telah menjadi nyonya Tang Bun An. Mendengar ini tentu saja sang lurah yang mata keranjang menjadi girang sekali. Bibi Ciok menceritakan pula betapa setelah menikah, Kim Bwe kini bagaikan setangkai bunga yang menjadi mekar semerbak harum dan sangat menggairahkan. Tentu saja mula-mula sang lurah merasa khawatir dan tidak percaya, namun Bibi Ciok menenangkan hatinya. “Kalau memang Jung-cu berhasrat, jangan khawatir. Saya akan mengaturnya dan takkan ada seorang pun yang mengetahuinya. Setiap hari suaminya sibuk di sawah, ada pun ibu mertuanya sibuk di dapur. Hampir setiap hari si denok cantik itu bermain-main ke rumah saya dan dia seperti anak saya sendiri!” Lalu keduanya mengatur siasat. Sang lurah akan berkunjung ke rumah janda tua ini, dan sang janda yang akan mengatur agar kedua orang itu akan dapat bertemu di rumahnya! Bibi Ciok juga mulai mengatur siasat di rumahnya, bagai seekor laba-laba yang membuat jaring halus untuk membuat perangkap dan menangkap lalat yang bukan lain adalah Kim Bwe! Seperti sambil lalu mulailah dia bercerita kepada Kim Bwe ketika nyonya itu datang berkunjung, betapa dia baru saja pulang dari dusun tempat asal Kim Bwe. Wanita muda itu tentu saja segera tertarik dan mendengarkan dengan penuh perhatian. “Kebetulan sekali aku bertemu dengan Lai-jung-cu. Engkau tahu lurah dari dusunmu itu, yang masih gagah dan ramah sekali? Juga dia terkenal kaya dan dermawan.” Kim Bwe mengangguk. Tentu saja dia mengenal lurah itu, bahkan sudah dikenalnya sejak dia masih kecil. “Kau tahu, Kim Bwe, Lai-jung-cu itu masih terhitung saudara misanku. Ketika kuceritakan bahwa engkau kini tinggal bertetangga dengan aku dan sering kali datang berkunjung, dia kegirangan bukan main dan bertanya banyak sekali tentang dirimu. Nampaknya dia rindu sekali kepadamu, Kim Bwe.” Kim Bwe mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah. “Ahh, kenapa begitu? Dia tidak mempunyai hubungan dengan aku.” “Aihhh! Benarkah engkau tidak tahu, Kim Bwe? Semenjak dahulu lurahmu itu tergila-gila kepadamu dan dia sangat mencintaimu, Kim Bwe. Mencintai setengah mati dan dia mau mengorbankan apa pun asal dapat bertemu denganmu!” “Ah, Bibi Ciok...!” Kim Bwe menjerit kecil dan pura-pura marah. “Aku tak mau mendengar orbrolanmu ini dan biarlah aku pulang saja!” Dia memperlihatkan sikap marah dan bilang hendak pulang, akan tetapi tidak beranjak dari kursinya! Bibi Ciok yang berpengalaman itu lalu menubruk dan merangkulnya. “Maafkan aku, anak baik. Bukan maksudku untuk membikin kau kikuk dan tidak enak hati. Aku hanya berkata yang sesungguhnya saja. Dan dia, lurah itu, juga tidak bermaksud menghinamu. Dia amat menghormatimu dan menghargaimu seperti seorang bidadari dari langit!” Demikianlah, sedikit demi sedikit sang laba-laba mulai memancing dan memasang umpan pada perangkapnya untuk menjebak lalat itu! Dengan rayuan mautnya, Bibi Ciok akhirnya berhasil membujuk Kim Bwe untuk berwajah cerah lagi, bahkan mendengarkan wanita tua itu mengobrol dan memuji-muji lurah Lai itu. Dia mengatakan bahwa lurah itu belum begitu tua dan masih amat kuat, bahkan sangat terkenal di kalangan para wanita sebagai seorang pencinta dan perayu besar yang pandai menyenangkan hati wanita. Selain itu dia royal pula dengan hadiahnya sehingga banyak wanita-wanita muda, baik masih perawan, janda mau pun yang masih bersuami, bermimpi untuk dapat dipilih lurah itu menjadi kekasihnya! Malam itu Kim Bwe tidak dapat tidur setelah dijejali banyak pujian-pujian atas diri lurah itu. Dia membayangkan wajah Lurah Lai yang selamanya belum pernah diingatnya! Sesuai dengan siasat yang telah diatur oleh Bibi Ciok, beberapa hari kemudian muncullah Lurah Lai selagi Kim Bwe pagi-pagi sudah datang berkunjung! Dari luar lurah itu sudah berteriak-teriak memanggil Bibi Ciok yang berpura-pura kaget. Tentu saja muka Kim Bwe seketika menjadi merah dan dia pun bangkit hendak pergi dari situ. Akan tetapi Bibi Ciok cepat mencegahnya. ”Aihh, Kim Bwe, ini terjadi hanya secara kebetulan saja. Engkau tamuku, dan dia datang bertamu, apa salahnya? Kalau engkau pergi berarti menghinanya dan juga membuat aku merasa tidak enak sekali. Duduklah dan tinggallah sebentar saja!” Kim Bwe pun terpaksa duduk kembali. Muncullah lurah itu dengan pakaian mewah dan rambutnya yang tersisir rapi! Dan kedua tangannya membawa beberapa gulung kain sutera beraneka warna, indah sekali. “Bibi Ciok, aku datang membawa hadiah untukmu!” katanya pura-pura tidak melihat Kim Bwe yang duduk di sudut. Bibi Ciok menyambut dengan girang bukan main. Ia menerima gulungan-gulungan sutera itu dan memuji-mujinya. Pada saat itu agaknya barulah lurah itu melihat Kim Bwe dan dia pun berseru kaget. “Aih, Bibi Ciok...! Siapa... siapa... ah, apakah ada seorang dewi dari langit yang turun...?” Bibi Ciok tertawa genit. “Ihh, masa Jung-cu lupa? Dia adalah Kim Bwe!” “Ya Tuhan...!” Lurah itu berseru dan matanya terbelalak, memandang kagum sekali. “Dia tiada ubahnya seorang bidadari... ahhh, maaf, sungguh aku tidak mengenalmu lagi nona Kim Bwe... ehh, sekarang nyonya ya, maafkan aku.” Semenjak tadi Kim Bwe menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali bagai udang direbus, akan tetapi membuat mukanya menjadi semakin cantik, mulutnya menyungging senyum dan matanya melirik dari bawah. “Ahh, Jung-cu terlalu memuji... Bibi, aku pamit pulang saja...” “Nanti dulu... engkau duduklah sebentar...!” kata Bibi Ciok yang segera pergi ke belakang pura-pura hendak mengambil minuman. “Benar, nyonya, bukankah sejak dahulu kita telah saling mengenal. Ahh, kebetulan sekali hari ini hari baik, aku menerima banyak keuntungan dari kota raja, dari penjualan rempah-rempah dan aku sedang suka sekali memberi hadiah. Bibi Ciok kuhadiahi kain-kain sutera dan aku pun ingin memberikan hadiah kepadamu. Wah, tapi apa ya? Tak ada yang cukup berharga untukmu. Biar kuambilkan dari rumah, kupilih yang paling berharga. Akan tetapi, sementara ini terimalah sedikit barang ini...” Dia lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku bajunya, membuka kotak kecil itu dan menyerahkannya kepada Kim Bwe. Dari sudut matanya Kim Bwe melihat kotak kecil terbuka itu dan mukanya berubah pucat kemudian merah kembali. Kotak itu berisi perhiasan dari emas permata yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan! Belum pernah dia melihat perhiasan seindah itu, apa lagi memakainya! Dia tidak berani menerima dan hanya menundukkan mukanya. Pada saat itu pula Bibi Ciok keluar membawa seguci arak. Melihat lurah itu meletakkan sebuah kotak terbuka berisi perhiasan di atas meja di depan Kim Bwe, dia mengeluarkan seruan kagum. “Aihhh...! Perhiasan yang begini indah! Kim Bwe, engkau boleh menerima pemberian itu. Ahh, cobalah betapa pantasnya engkau memakai perhiasan ini!” Setengah memaksa nenek itu segera mengenakan gelang dan cincin di tangan Kim Bwe yang membiarkannya saja sambil menundukkan mukanya. Pada waktu Bibi Ciok hendak memasangkan hiasan rambut dan kalung, lurah itu menghampiri dan berkata, “Biarlah aku yang membantu memakaikannya!” Antara lurah itu dengan Bibi Ciok lalu terjadi permainan mata. Dan seperti sudah mereka rencanakan, setelah melihat betapa Kim Bwe mandah saja, hal itu berarti bahwa umpan serta pancingan mereka mengena. Bibi Ciok tersenyum, mengangguk dan dia pun keluar dari rumahnya sendiri untuk berjaga di luar! Lurah Lai lalu mengambil hiasan rambut dan mengenakan hiasan itu di rambut kepala Kim Bwe. Wanita ini menggerakkan kepala seperti hendak mencegah dan dia kelihatan gugup melihat betapa pintu depan ditutup dari luar oleh Bibi Ciok. Akan tetapi Lurah Lai berseru, “Aihh, alangkah indahnya rambutmu! Betapa hitam, halus, panjang, dan harum pula. Dan cocok sekali memakai hiasan rambut. Dan ini kalungnya, biarlah kupakaikan juga...” Dan dia pun mengenakan kalung itu di leher Kim Bwe, menyetuh kulit leher, membelainya dan di lain saat, lurah itu telah merangkul leher Kim Bwe, menciumi leher itu, lalu ke muka dan akhirnya memondong Kim Bwe memasuki kamar Bibi Ciok! Kim Bwe hampir pingsan karena malu dan jantungnya berdebar tegang, namun dia tidak berani berteriak karena malu, dan juga pemberian itu telah melunakkan hatinya maka dia pun mandah saja ketika Lurah Lai menyatakan cinta dan kagum dengan perbuatan. Demikianlah, betapa berbahayanya menjadi seorang wanita apa bila menghadapi rayuan pria. Pria yang sudah tergila-gila kepada seorang wanita akan menggunakan segala daya upaya untuk menjatuhkannya! Dia tahu saja apa yang menjadi kelemahan hati seorang wanita! Dan kelemahan itu yang disinggungnya sehingga si wanita akan jatuh dan takluk! Ketika perbuatan hina itu dilakukan oleh kedua orang dalam kamarnya, Bibi Ciok duduk di luar, tersenyum-senyum sambil menghitung-hitung keuntungan yang akan didapatnya dari perjinahan antara dua orang yang sudah lupa diri itu. Tiada kesenangan yang tidak diulang oleh manusia yang lemah ini. Setiap pengalaman yang menyenangkan akan dicatat di dalam ingatan, kemudian kita selalu mendambakan pengulangannya. Demikian pula dengan Lurah Lai dan Lui Kim Bwe. Keduanya mendapatkan kesenangan dari perjinahan itu, bukan hanya kesenangan karena nafsu jalang mereka terlampiaskan, melainkan juga karena Kim Bwe menerima hadiah yang banyak. Hadiah-hadiah itu tentu saja tidak dibawa pulang oleh Kim Bwe, melainkan dititipkan kepada Bibi Ciok dan hanya dipakai kalau dia berkunjung ke rumah wanita itu. Namun sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, bau busuknya akan tercium juga, sepandai-pandainya orang menyembunyikan api, asapnya akan mengepul juga. Demikian pula dengan hubungan gelap antara Lui Kim Bwe dan Lurah Lai. Hubungan ini mulai menjadi pergunjingan para tetangga sesudah ada seorang anak kecil yang kebetulan bermain-main di dekat rumah Bibi Ciok tanpa disengaja melihat dua orang tamu itu, dan pada hari-hari berikutnya anak itu sering melihat mereka. Hal ini diceritakan di luar sehingga ramailah penduduk membicarakan hal-hal yang mencurigakan ini. Akhirnya berita itu sampai pula ke telinga Tang Bun An! Mula-mula Bun An tidak percaya. Isterinya demikian lembut, nampak demikian sayang kepadanya, menyambutnya dengan mesra dan manis setiap kali dia pulang dari sawah ladang. Isterinya memiliki hubungan gelap dengan seorang lelaki lain? Tidak mungkin! Pada saat dia bertanya kepada ibunya, ibunya juga tidak tahu. Biar pun mendengar pula akan hal itu, Kui Hui pura-pura tidak tahu saja! Wanita ini agaknya juga tidak menganggap perbuatan mantunya itu terlalu buruk! cerita silat online karya kho ping hoo Pada suatu hari Bun An meninggalkan sawah ladangnya ketika hari masih pagi. Dengan menggunakan kepandaiannya dia kembali ke dusun tanpa diketahui orang. Dengan cepat dia menyelinap masuk ke rumahnya dan sesudah melihat isterinya tidak berada di rumah, dia lalu bertanya kepada ibunya. “Ahh, dia merasa kesepian kalau engkau ke sawah. Mungkin dia bermain ke rumah Bibi Ciok. Kenapa harus ribut-ribut? Dia masih muda dan membutuhkan hiburan. Biarkan saja dia main-main dan kau kembalilah ke sawah,” kata Kui Hui dengan sikap acuh saja. “Aku akan mencarinya ke sana!” kata Bun An, hatinya merasa tidak enak. “Jangan nak. Perlu apa? Biar nanti aku yang menyusulnya, engkau kembalilah ke sawah!” Ibunya membujuk, merasa tidak enak juga karena dia pun sudah menduga bahwa berita yang didesas-desuskan itu boleh jadi ada benarnya. Akan tetapi tanpa pamit lagi Bun An sudah melompat dan keluar dari rumahnya, menuju ke rumah sebelah dengan mengambil jalan dari belakang, yaitu dengan melompati pagar! Dia melihat Bibi Ciok sedang duduk seorang diri di luar rumahnya, maka dia pun cepat menyelinap ke belakang dan memasuki rumah itu dari pintu belakang yang dibongkarnya. Tak lama kemudian dia telah mengintai dari jendela kamar dan dapat dibayangkan betapa perasaan hatinya mengalami keguncangan hebat pada waktu dia melihat isterinya berada di atas pangkuan seorang laki-laki dan mereka saling berciuman dan bercanda! Agaknya mereka baru saja selesai makan minum karena meja mereka masih penuh makanan dan arak! “Brakkk…!” Daun jendela itu hancur berantakan dan tubuh Bun An melayang masuk dari jendela. Dua orang yang sedang bermesraan di dalam kamar itu terkejut bukan kepalang. Apa lagi ketika mereka mengenal siapa yang memasuki kamar melalui jendela itu! Selama menjadi isteri Bun An, Kim Bwe tak pernah tahu bahwa suaminya itu bukan hanya seorang petani biasa saja, tidak pernah menduga bahwa suaminya adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Lurah Lai juga tidak tahu, maka kini lurah itu hendak mempergunakan kekuasaan dan kedudukannya. “Kami telah bersalah, biarlah aku akan menebus kesalahan ini dengan uang! Berapa saja yang kau minta!” katanya sambil melepaskan tubuh kekasihnya. Kim Bwe sendiri merasa betapa kedua kakinya gemetar dan dia pun telah berlutut sambil menundukkan mukanya. Bun An memandang laki-laki yang tidak dikenalnya itu, seorang pria berusia hampir lima puluh tahun, lalu memandang kepada isterinya. Isterinya mengenakan pakaian sutera yang amat indah, ada pun tubuhnya penuh dengan perhiasan emas permata yang tidak pernah dilihatnya. Mendengar ucapan lelaki itu, Bun An melangkah maju, tangannya menampar. Tangan kiri Bun An seperti petir menyambar sudah mengenai pinggir kepalanya. “Prakkk…!” Tubuh lurah itu terjungkal dan dia roboh tak dapat bangkit kembali karena tamparan yang mengenai kepala itu membuat batok kepalanya retak sehingga lurah itu tewas seketika. Tiba-tiba saja daun pintu kamar itu terbuka dari luar, dibuka oleh Bibi Ciok yang bergegas masuk bersama Kui Hui. Tadi Bibi Ciok mendengar suara hiruk pikuk di dalam kamar dan merasa khawatir. Bibi Ciok lalu membuka pintu dan pada saat itu Kui Hui datang dan ikut masuk karena mengkhawatirkan anak dan mantunya. Begitu daun pintu terbuka, mereka terbelalak melihat lurah itu sudah rebah di atas tanah dan darah mengalir dari kepalanya yang retak! “Ahhh...! Apa yang terjadi ini? Kau... bagaimana berani memasuki rumahku...?” Bibi Ciok yang melihat lurah itu tewas, kini menuding kepada Bun An dengan marah. Sejak tadi Bun An sudah memandang nenek ini dengan wajah bengis. Dia tahu bahwa isterinya telah terbujuk oleh nenek ini, yang agaknya menjadi comblang dan menyediakan rumahnya untuk dijadikan tempat perjinahan yang hina! Sekarang melihat Bibi Ciok marah kepadanya dan melangkah maju, dia pun mengayun kakinya menendang. “Desss...!” Bibi Ciok mengeluarkan suara menjerit ketika tubuhnya terpental dan terbanting di dinding kamar itu, lalu jatuh ke atas lantai. Ia merangkak dan mencoba untuk bangkit, akan tetapi kembali Bun An mengayun kakinya dan kini mengenai leher nenek itu. “Klokkk…!” Leher itu pun patah dan Bibi Ciok menggelepar, lalu diam tak bergerak karena nyawanya telah melayang. “Ibu... Ibu.....!” Kim Bwe kini merangkul ibu mertuanya dengan ketakutan. Tidak dikiranya sama sekali akan begini akibatnya, betapa suaminya demikian marahnya dan melakukan pembunuhan-pembunuhan secara mengerikan. Kui Hui merangkul mantunya dan berkata kepada Bun An, “Bun An, apakah engkau telah gila? Engkau membunuhi orang begitu saja! Engkau tentu akan ditangkap dan dihukum mati, dan engkau pun turut mencelakakan kami, ibu dan isterimu!” Perlahan-lahan wajah Bun An berubah merah sekali dan sepasang matanya mencorong laksana mengeluarkan api ketika dia menatap wajah ibunya dan isterinya. “Kalian... kalian perempuan... makhluk jahat, kalian sama saja! Kalian benar-benar jahat, berkedok wajah yang cantik, tubuh yang mulus, sikap manis lemah lembut, namun batinmu kotor, kalian adalah makhluk-makhluk berhati jahat penuh racun! Terkutuklah kalian...!” “Bun An! Aku ibumu sendiri, yang melahirkanmu!” Kui Hui membentak, marah mendengar anaknya mengutuk dan memaki-makinya. Bun An tertawa, suara ketawanya bergelak dan menyeramkan sekali seperti suara ketawa iblis, bukan suara manusia lagi, dan mukanya kini pucat seperti mayat tertawa saja! “Ha-ha-ha-ha! Ibuku seorang perempuan jahanam! Seorang perempuan jahat, lebih hina dari pelacur! Ibuku telah mengkhianati suaminya sendiri, ayah kandungku! Ibuku berjinah dengan lelaki lain, kemudian meracuni suami sendiri, ayahku. Ibu lalu mencuri hartanya, hidup bersama laki-laki yang sudah kubunuh itu, kemudian menjadi pelacur! Ya, ibuku seorang pelacur! Ibuku iblis betina!” “Bun An...!” Kui Hui menjerit dengan wajah pucat dan matanya terbelalak. “Dan kau... kau Lui Kim Bwe, kau isteriku, kau cantik jelita, manis, mesra, bukan hanya wajahmu yang amat jelita, tubuhmu juga mulus, tapi kau tidak ada bedanya dengan ibuku. Engkau hanya seorang isteri yang menyeleweng, seorang perempuan yang berhati penuh racun busuk! Kalau dilanjutkan penyelewenganmu, bukan tak mungkin suatu hari engkau akan meracuni aku pula. Engkau pun iblis betina dan kau layak mampus!” Tiba-tiba tubuh Bun An menerjang kedepan, tangannya bergerak. “Prakkk…!” Kui Hui menjerit, dua matanya terbelalak dan dia cepat-cepat melepaskan rangkulan pada pundak mantunya ketika melihat betapa tubuh mantunya berkelojotan dalam dekapannya dan betapa kepala Kim Bwe telah pecah berantakan dengan otak dan darah bermuncratan yang sebagian banyak membasahi bajunya sendiri! “Ibu, kalau saja engkau bukan ibuku, tentu kini sudah kubunuh pula! Akan tetapi engkau juga jahat, sama dengan mereka. Aku malu untuk tinggal dan hidup bersamamu. Semua perempuan memang jahat, palsu dan penuh racun!” Setelah berkata demikian Bun An lalu meloncat keluar dari rumah itu, tidak mempedulikan ibunya yang menjerit-jerit seperti orang gila karena merasa takut, ngeri dan juga batinnya terguncang oleh sikap dan kata-kata anak kandungnya sendiri tadi. Akhirnya para tetangga berdatangan dan mereka menemukan Kui Hui pingsan di antara tiga sosok mayat di dalam kamar itu! Kui Hui jatuh sakit, selalu mengigau dan berteriak-teriak. Dia terserang demam hebat dan beberapa hari kemudian dia pun menghembuskan napas terkahir! Dan orang-orang tidak berhasil menemukan Tang Bun An, kemana pun mereka mencari. Bahkan kematian Lurah Lai juga sudah membuat pasukan keamanan sibuk mencari-cari Bun An, akan tetapi tanpa hasil. Memang Bun An telah melarikan diri jauh meninggalkan dusun itu! Pemuda ini tidak akan kembali lagi kepada ibunya, wanita pertama yang membuat dia membenci wanita! Setelah terjadi peristiwa dengan isterinya, hatinya semakin dipenuhi perasaan sakit hati dan benci kepada perempuan. Padahal setiap kali melihat seorang perempuan, perhatiannya segera tertarik dan birahinya langsung berkobar, namun di lubuk hatinya terdapat kebencian yang makin membesar terhadap kaum lemah ini. *************** Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya itu, terutama sekali penyelewengan ibunya, kemudian isterinya yang amat melukai hatinya, masih belum membuat Tang Bun An menjadi seorang jai-hwa-cat. Biar pun dia mengalami guncangan batin, kepahitan yang bisa membuat hatinya mendendam, namun dia masih menganggap bahwa mungkin hanya kebetulan saja terjadi kepadanya, karena nasibnya yang sial sehingga dia dilahirkan oleh seorang wanita jahanam dan berjodoh dengan wanita jahanam lain pula. Dia meninggalkan dusunnya dan mulailah Bun An merantau. Dia sudah menyelidiki siapa adanya lelaki setengah tua yang menjinahi isterinya itu, dan ketika dia mendengar bahwa lelaki itu adalah lurah kaya dari dusun isterinya, dia pun cepat pergi ke dusun itu. Dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi dia memasuki rumah Lurah Lai, lantas mencuri harta lurah itu yang cukup banyak. Dengan harta curian inilah Bun An hidup merantau ke kota-kota dan dusun-dusun tanpa tujuan tertentu. Pada suatu hari tibalah Bun An di sebuah kota. Karena perutnya terasa lapar sekali, maka dia pun memasuki sebuah rumah makan lantas memesan makanan. Dia melihat seorang wanita muda yang amat manis berada di dalam kantor rumah makan itu dan melihat sikap wanita muda yang berusia kurang lebih dua puluh lima tahun itu, dia pun dapat menduga bahwa wanita cantik itu tentulah majikan rumah makan itu. Tanpa disengaja wanita yang tadinya sedang menghitung uang itu mengangkat mukanya. Pandang mata mereka bertemu dan hati Bun An tertarik sekali. Wanita itu memiliki mata yang indah sekali, dan bibir itu pun tersenyum simpul. Bibir yang merah basah dan segar menantang! Bun An kemudian makan sambil mencurahkan perhatian ke kantor itu, biar pun matanya tidak memandang secara langsung. Dugaannya ternyata benar. Dia mendengar wanita itu bicara dengan seorang laki-laki berperut gendut yang menjadi majikan rumah makan, juga sebagai suaminya. Ketika dia melirik dan memperhatikan, lelaki yang menjadi suaminya itu sedang menyerahkan sekantung uang kepada isterinya yang manis. Menurut pandangan Bun An, lelaki ini sama sekali tidak serasi sebagai suami wanita yang demikian manis dan memiliki daya tarik yang sangat kuatnya. Laki-laki itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, wajahnya dan tubuhnya seperti bola, serba bulat! Perutnya gendut sekali dan muka yang bulat itu seperti muka kanak-kanak. Melihat caranya bicara dengan isterinya, pria itu amat mencintainya. Sambil makan Bun An merasa iri hati mendengar suara perempuan ini. Agaknya dia amat mencintai suaminya dan juga dicintai sehingga dalam suaranya terdengar kemanjaan dan kemesraan. Betapa bahagia suami yang memiliki seorang isteri seperti ini! Selain pandai membantu pekerjaan suami, agaknya juga amat mencinta suami dan wanita ini tentu setia kepada suaminya! Tidak seperti isterinya, tidak pula seperti ibunya. Sesudah dia membayar harga makanan dan keluar dari rumah makan itu, hatinya tidak pernah dapat melupakan wanita pemilik rumah makan tadi. Seorang wanita yang sangat hebat! Seorang isteri pilihan! Kalau hidup didampingi seorang isteri seperti itu, alangkah bahagianya! Malam itu Bun An tak dapat tidur. Dengan perasaan gelisah dia berbaring di dalam kamar rumah penginapan sebab wajah wanita pemilik rumah makan itu terus terbayang di depan matanya! Akhirnya dia keluar dari kamarnya, bahkan lalu keluar dari rumah penginapan. Seperti orang mimpi saja, kakinya melangkah menuju ke arah rumah makan tadi! Rumah makan itu sudah tutup, seperti toko-toko lainnya di jalan raya itu, dan keadaan di jalan itu telah sunyi. Malam itu memang dingin sekali sehingga membuat orang malas sekali untuk keluar rumah. Bun An lalu menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk meloncat ke atas genteng dan bagaikan seekor kucing saja, dia berloncatan di atas genteng tanpa mengeluarkan suara berisik. Akhirnya dia mendekam di atas sebuah kamar, lantas mengintai ke dalam kamar melalui genteng yang dibukanya. Kamar inilah yang dicarinya setelah dia tadi mencari-cari dan mengintai ke dalam rumah. Kamar dari suami gendut bersama isterinya yang manis. Sedikit pun tidak ada niat dalam hati Bun An untuk datang mengganggu wanita manis itu. Dia memang tertarik dan kagum sekali karena menganggap wanita itu seorang isteri yang dapat membahagiakan suami, dan dia hanya ingin tahu benarkah dugaannya itu. Saat dia mengintai ke dalam, dia melihat wanita yang terus dipikirkannya sejak siang tadi sudah berada di atas pembaringan. Memang seorang wanita yang sangat menarik sekali, pikirnya sambil memandang dengan jantung berdebar. Wanita itu mengenakan pakaian dalam yang tipis dan merangsang, tubuhnya berbaring telentang dengan sikap yang menantang dan memikat pula. Dia belum tidur, hanya rebah telentang sambil bermain-main dengan mata kalungnya. Baju di dadanya terbuka hingga memperlihatkan bukit dada yang membusung. Suami itu tidak nampak. Tak lama kemudian terdengar langkah kaki berat dan suami gendut itu pun menggelinding masuk! Kalau dilihat dari atas, maka kaki pria itu tertutup oleh kepala dan perutnya yang bulat sehingga memang kelihatan seperti menggelinding saja dan Bun An tersenyum. Pria itu memang lucu dan menggelikan, akan tetapi isterinya betul-betul memikat. Seperti juga isterinya, pria itu mengenakan pakaian tidur yang longgar dan membuatnya nampak semakin lucu. Pada saat sang suami memasuki kamar, isterinya langsung menghentikan permainannya dengan mata kalung, lalu bangkit duduk dan tersenyum manis sekali. “Lama amat sih, aku sudah menantimu sejak tadi...,” kata sang isteri dengan suara manja dan sikap mesra sekali, bahkan wanita itu mengembangkan kedua lengannya seolah-olah memberi isyarat bahwa dia sudah siap untuk menerima pria gendut itu dalam pelukannya. Akan tetapi pria itu menghela napas panjang dan mengelus perutnya yang gendut, “Aku menghabiskan sisa bakmi tadi dan kini perutku kenyang sekali. Aaahh, tubuhku lelah dan aku ngantuk sekali. Aku mau tidur saja, besok harus bangun pagi-pagi sebab persediaan daging babi sudah habis, besok harus mengatur penyembelihan babi... auuhhhhh....” Pria itu menguap lalu menjatuhkan diri di atas pembaringan. Pembaringan itu bergoyang dan mengeluarkan suara menjerit seperti tersiksa sekali karena menerima tubuhnya yang gembrot. Akan tetapi dia segera miringkan tubuh, membelakangi isterinya dan belum ada lima menit dia sudah tidur mendengkur seperti babi yang disembelih! Isteri itu mengerutkan alis, masih duduk memandang suaminya, menggeleng-gelengkan kepala lantas beberapa kali menghela napas panjang, nampaknya jengkel sekali. Setelah suami itu mendengkur dengan nyenyaknya, wanita yang manis itu perlahan-lahan turun dari atas pembaringan, memadamkan lilin di atas meja. Bun An sudah siap untuk pergi, akan tetapi dia tertarik ketika melihat bayangan wanita itu berjingkat-jingkat menuju ke pintu kamar! Sesudah memadamkan api lilin, wanita itu tidak kembali tidur di atas pembaringan, melainkan keluar dari kamar itu! Dengan hati tertarik sekali Bun An pun melayang turun dari atas genteng, lalu menyelinap ke dalam rumah itu dan mengintai dari bawah, mengikuti bayangan wanita itu yang kini dengan hati-hati melangkah menuju ke belakang. Di dekat dapur terdapat sebuah kamar lain yang bentuknya kecil, dan nampak wanita itu dengan perlahan mengetuk pintu kamar ini. Tiga kali, berhenti, lalu tiga kali lagi, berhenti, lalu tiga kali lagi dan berhenti, demikian berkali-kali sehingga Bun An dapat menduga bahwa ketukan itu adalah ketukan rahasia yang merupakan isyarat. Daun pintu kamar itu terbuka dan nampak muncul sesosok tubuh pria yang tinggi besar. Biar pun cuaca tidak begitu terang, akan tetapi Bun An segera mengenal wajah orang itu sebagai wajah pelayan rumah makan yang tadi siang melayaninya! Di samping bekerja di rumah makan, agaknya pelayan rumah makan itu juga memperoleh pondokan di situ. “Aihh, masih sore begini engkau berani ke sini....?” pria itu berbisik. “Ssstttt, dia sudah tidur mendengkur seperti babi!” kata si wanita yang segera menubruk pria itu. Pria itu menyambut dengan pelukan dan mereka pun berciuman, kemudian daun pintu itu ditutup kembali! Hampir saja Bun An tertawa bergelak melihat adegan ini! Tertawa karena dianggapnya lucu dan alangkah tololnya dia! Dikiranya wanita itu seorang isteri yang setia dan baik, yang membahagiakan suaminya! Ternyata seujung rambut pun tiada bedanya dengan isterinya sendiri. Wanita iblis berhati kotor penuh racun! Dengan beberapa loncatan saja Bun An sudah berada di dalam kamar pria gendut, suami yang tidur mendengkur itu. Dia menyalakan lilin, kemudian menotok leher dan pundak pria gendut pemilik rumah makan itu sehingga lelaki itu seketika menjadi gagu dan tubuhnya terkulai lemas. Laksana orang menyeret seekor babi, Bun An menyeret pria itu keluar dari dalam kamar, menuju ke kamar belakang di mana isteri pemilik restoran tadi sedang bercumbu dengan pelayannya. Dengan sekali tendang daun pintu itu roboh, lantas Bun An menepuk pundak dan leher si gendut untuk memulihkannya dari pengaruh totokan. Ia masih sempat melihat dua insan yang tidak tahu malu itu bergumul di atas pembaringan, lalu Bun An berkelebat lenyap meninggalkan tempat itu. Sambil tertawa bergelak Bun An meloncat ke atas genteng. Dia masih sempat mendengar suara ribut-ribut di bawah. Suara makian dan jerit tangis wanita. Namun dia tak peduli lagi dan meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Aneh, kini dia merasa lega di dalam dadanya! Kenyataan bahwa wanita yang manis dan menarik perhatiannya itu ternyata tiada bedanya dengan mendiang isterinya, membuat dia merasa lega karena kini tidak ada lagi iri hati menggoda hatinya! Ia melihat kenyataan akan kelemahan wanita cantik. Isterinya lemah akibat menginginkan kekayaan sehingga terjatuh ke dalam lembah kehinaan karena mengejar kekayaan. Isteri pemilik rumah makan itu lemah dan terjatuh ke dalam lembah kehinaan karena mengejar kenikmatan sex yang tidak bisa didapatkannya dari suaminya. Mendiang isterinya juga tak akan mungkin mendapatkan kekayaan darinya, suaminya. Kalau begitu, untuk membuat seorang isteri setia, apakah dua hal itu harus dipenuhinya, yaitu kekayaan dan sex yang cukup? Tang Bun An masih juga merasa bimbang, kemudian di dalam perantauannya dia mulai mengadakan penyelidikan sendiri. Setiap kali dia bertemu dengan isteri orang yang cantik maka dia lalu menggodanya! Dia menggunakan rayuan atau uang untuk menjatuhkan hati mereka dan dia pun memperoleh kenyataan yang pahit, yang membuat dia semakin tidak percaya kepada wanita, bahwa sedikit sekali isteri orang yang menolak semua rayuannya dan setia kepada suaminya. Dari sepuluh wanita yang menjadi isteri orang, hanya dua atau tiga orang saja yang setia dan mereka yang setia ini bukan termasuk yang tercantik! Semua pengalaman dengan wanita yang dicobanya inilah yang kemudian membuat suatu watak yang aneh di dalam diri Tang Bun An! Dia mulai menanam benih-benih kebencian dan memupuk benih yang mulai timbul karena ulah ibunya dan isterinya itu. Dia tidak mau menikah lagi karena tidak percaya kepada wanita, dan mulailah dia bertualang di antara wanita-wanita cantik. Dia juga berkeliaran di antara rumah-rumah pelacuran yang paling terkenal di setiap kota, bahkan mendatangi kota raja dan mengenal semua wanita pelacur di kota raja. Baginya mudah saja untuk mendapatkan uang. Dengan mempergunakan kepandaiannya dia bisa memasuki gudang harta setiap orang bangsawan atau hartawan, lantas mengambil yang dibutuhkannya. Semua hasil pencuriannya itu kemudian dihamburkan habis dalam rumah-rumah pelesir. Maka jadilah Tang Bun An seorang laki-laki yang penuh pengalaman dan dia mempelajari segala macam kepandaian merayu dari wanita-wanita pelacur itu. Sesudah benih kebencian itu tumbuh subur, bersama dengan benih mata keranjang yang membuat dia mudah tertarik dan timbul gairah setiap kali melihat seorang wanita cantik, mulailah Bun An menggoda wanita-wanita yang dianggapnya cantik dan menarik hatinya, yang membangkitkan gairahnya. Dia tak peduli apakah wanita itu masih perawan ataukah isteri orang! Dia menggunakan rayuan dengan modal wajah tampan dan mulut manis, menggunakan uang atau dengan bantuan obat perangsang, dan kalau semua itu tidak berhasil membuat wanita yang ditaksirnya bertekuk lutut menyerahkan diri dengan suka rela, maka dia pun tidak segan-segan menggunakan kekerasan! Hal ini mudah baginya karena memiliki ilmu kepandaian tinggi! Tang Bun An lalu menjadi seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat pemetik bunga, seorang tukang pemerkosa wanita, atau seekor kumbang yang suka menghisap madu kembang! Dia lupa bahwa penyebab banyak wanita yang menjadi isteri orang jatuh olehnya bukanlah semata karena kelemahan wanita itu sendiri, melainkan juga disebabkan terutama sekali oleh ketampanan dan kegagahannya, juga kepandaiannya merayu. Tang Bun An suka akan keindahan, dan tidak segan-segan pula merusak keindahan yang dikaguminya itu demi kesenangannya, demi memuaskan hatinya, dan demi pelaksanaan dendam sakit hati dan kebenciannya. Dia menganggap dirinya bagaikan seekor kumbang yang beterbangan di antara kembang-kembang. Pada suatu hari dia melihat betapa ganasnya seekor kumbang merah yang menghisap kembang sampai layu dan rontok, dan betapa kumbang merah ini ganas pula menerjang setiap saingannya, yaitu kumbang lainnya untuk memperebutkan setangkai bunga yang segar dan harum. Karena tertarik dan kagum sekali kepada kumbang ini, maka Tang Bun An lalu membuat perhiasan berbentuk kumbang merah dan selanjutnya dia meninggalkan sebuah perhiasan ini kepada setiap orang wanita yang menjadi korbannya! Ada kalanya wanita itu dibunuh, yaitu mereka yang tidak mau menyerahkan diri dengan suka rela, mereka yang melawannya, atau mereka yang mengecewakan hatinya karena ternyata tak sehebat yang dibayangkannya semula! Entah sudah berapa ribu wanita yang menjadi korbannya selama puluhan tahun ini, dan berapa ratus yang telah dibunuhnya! Dan semenjak dia meninggalkan sebuah kumbang merah pada setiap orang wanita yang menjadi korbannya, hidup atau mati, dunia kang-ouw mengenalnya sebagai Si Kumbang Merah (Ang Hong Cu)! Namun si Kumbang Merah ini tidak pernah memperlihatkan wajah aslinya! Dia memang pandai menyamar dan selalu muncul dalam penyamaran. Karena itu tidak ada seorang pun yang pernah melihat wajah aslinya, dan hal ini menyukarkan para pendekar mau pun para petugas keamanan untuk dapat menangkapnya! Para korbannya, wanita cantik yang bagaikan kembang sudah dihisap habis-habisan oleh kumbang merah ini, hanya mengatakan bahwa si Kumbang Merah itu adalah seorang pria yang perkasa dan tampan, namun wajah yang digambarkan oleh semua wanita itu selalu berbeda-beda! Karena itulah, walau pun namanya amat terkenal, namun sampai puluhan tahun Ang Hong Cu tidak pernah dapat ditangkap biar pun para pendekar mengerahkan tenaga mereka untuk mencarinya. *************** Demikianlah riwayat singkat dari Ang-hong-cu yang bernama Tang Bun An! Nama Tang Bun An jarang dikenal orang, bahkan Ang-hong-cu sendiri sudah hampir tidak mengingat lagi namanya. Hanya pada wanita-wanita tertentu saja, yaitu korbannya yang benar-benar memikat hatinya, kadang-kadang dia memperkenalkan she (nama keturunan) Tang. Tapi hal ini jarang sekali terjadi. Jika bertemu seorang wanita yang amat memikatnya, yang membuat dia hampir jatuh hati dan benar-benar mencintanya, dia hanya membuat wanita itu menjadi kekasihnya, sering kali dikunjunginya dan dilimpahkan kasih sayangnya, akan tetapi sesudah itu pun selesai. Ia kemudian berusaha secepat mungkin melupakannya dan mematahkan ikatan batinnya terhadap wanita itu, dengan jalan mencari dan mendapatkan seorang korban baru! Ang-hong-cu juga tak peduli apakah korbannya itu seorang murid dari sebuah perguruan besar. Sudah beberapa kali dia tak segan-segan untuk mencemarkan nama perkumpulan besar dengan memperkosa pendekar-pendekar wanita yang menarik hatinya! Dan karena dia melakukan hal itu dalam penyamaran, maka para pimpinan perguruan silat yang besar itu pun dibuat tidak berdaya, hanya tahu bahwa murid perempuan mereka diperkosa oleh Ang-hong-cu. Akan tetapi mereka tidak tahu siapa itu Ang-hong-cu atau di mana dapat menemukannya! Itulah kakek yang berusia lima puluh lima tahun itu, yang pada permulaan cerita ini kita temui sedang menuruni bukit pada pagi hari itu dengan santai, dan wajah pria itu masih nampak gagah dan tampan. Itulah wajah Ang-hong-cu yang sebenarnya, wajah yang asli. Wajah itu halus dan sama sekali tidak dikotori kumis atau jenggot, masih segar bagaikan wajah seorang pemuda. Langkahnya tegap dan tenang, laksana langkah seekor harimau, dan dari mulutnya terdengar lagu yang dinyanyikan dengan suara yang lepas dan merdu, suara yang mengandung kegembiraan dan kebanggaan pada diri sendiri yang mengarah kesombongan! Bebas lepas beterbangan dari taman ke taman mencari kembang harum jelita untuk kuhisap sari madunya setelah puas kunikmati kutinggalkan kembang layu merana untuk mencari kembang segar yang baru Si Kumbang Merah, inilah aku! Dialah Ang-hong-cu si Kumbang Merah, jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang tiada duanya di dunia ini! Pria yang nampak jauh lebih muda dari pada usia yang sebenarnya itu tiba-tiba berhenti melangkahkan kakinya dan dia lalu duduk di atas rumput di lereng bukit itu. Dari tempat dia duduk, di hadapannya terbentang keindahan alam yang sangat menakjubkan. Dia duduk membelakangi matahari, memandang ke bawah sana. Semua bermandikan cahaya matahari pagi yang seakan-akan memberi kehidupan baru kepada segala yang tampak. Pohon-pohon menjadi cerah, warna hijau bercampur dengan cahaya matahari yang masih lembut kuning keemasan, padi-padian menghampar luas di depan, seolah-olah hanya dengan satu langkah saja dia akan dapat melampaui hamparan di bawah itu. Dan duduk menghadapi tamasya alam yang amat indah itu, di bawah sinar matahari pagi yang cerah, di hembus angin bersilir nyaman, seakan-akan menghanyutkan semangat Si Kumbang Merah kepada masa lampau.....

jilid 3


SEGALA peristiwa yang mengesankan hatinya terbayang di dalam kepalanya, seolah-olah dia membalik-balik lembaran buku catatan penuh gambar yang mengasyikan. Terlampau banyak wanita digaulinya, baik secara suka rela mau pun paksaan, demikian banyaknya sehingga jarang yang teringat olehnya, baik nama mau pun rupa. Namun ada beberapa orang wanita yang meninggalkan kesan cukup mendalam di hatinya. Sebagai seorang manusia biasa, bukan tidak pernah dia jatuh cinta terhadap korbannya! Tetapi perasan cintanya ini selalu dicampakkan jauh-jauh, dipandang sebagai racun yang berbahaya bagi dirinya sendiri. Tidak ada seorang pun perempuan yang baik di dunia ini, demikian pikiran dan pendapatnya. Pendapat seperti ini memberi kekuatan padanya untuk membuang jauh-jauh cinta kasih yang timbul dan untuk memutuskan ikatan yang muncul kalau dia tertarik lahir batin kepada seseorang korbannya. Biasanya, setelah dia memperkosa seorang korban atau menggauli seorang korban yang suka rela menyerahkan diri sesudah jatuh oleh rayuannya, dia akan meninggalkan begitu saja, mati atau hidup, meninggalkan pula sebuah hiasan kumbang merah kepada korban itu. Akan tetapi, kalau hatinya tertarik oleh seorang korban dan timbul rasa sayangnya, dia akan mengunjungi korban ini beberapa kali sampai dia merasa bosan, atau sampai dia mengambil keputusan untuk segera meninggalkan wanita itu sebelum hatinya terikat! Tidak banyak wanita yang demikian itu. Tetapi yang paling mengesankan, bahkan sampai dia berusia setengah abad belum pernah dapat dilupakannya, adalah seorang gadis yang bernama Teng Bi Hwa. Sesuai dengan namanya, gadis yang berusia tujuh belas tahun itu benar-benar seperti bi-hwa (kembang cantik), bagai setangkai bunga mawar yang sedang mekar semerbak! Tang Bun An yang pada waktu itu masih muda, kurang lebih berusia dua puluh tiga tahun, langsung menjadi tergila-gila begitu melihat Bi Hwa! Dia merasa sayang sekali bila harus memperkosa gadis yang membuatnya tergila-gila itu. Gadis itu didekatinya dan dirayunya. Karena dia memang tampan dan pandai pula merayu seperti yang dipelajarinya dari para pelacur tingkat tinggi, dengan bantuan obat perangsang yang berhasil dicampurkannya ke dalam minuman Bi Hwa, akhirnya dia berhasil membuat gadis itu bertekuk lutut dan jatuh cinta kepadanya! Berhasillah Bun An menguasai gadis itu lahir batin dan membuat gadis cantik itu dengan suka rela menyerahkan diri. Bi Hwa baru sadar setelah semuanya terjadi. Gadis itu maklum bahwa dia telah diperkosa secara halus, tetapi karena dia pun mencintai pemuda itu, dia berpegang kepada harapan agar Bun An yang hanya dikenalnya sebagai Tang-Kongcu (tuan muda Tang) akan suka mengawininya! Akan tetapi pemuda itu hanya minta waktu saja, sementara setiap malam membawa dia pergi dari kamarnya untuk bermain cinta, berasyik-masyuk, bermesraan berenang dalam lautan madu asmara sampai Bi Hwa menjadi mabok kepayang! Dan hal yang paling dikhawatirkan pun terjadilah! Bi Hwa mengandung! Dan Tang-Kongcu minggat tanpa pamit lagi, hanya meninggalkan sebuah hiasan berbentuk kumbang emas! Bi Hwa menangis sampai pingsan akan tetapi tidak berdaya, hanya menyesali kelemahan hatinya sendiri. Teringat akan Bi Hwa, Si Kumbang Merah langsung tersenyum, akan tetapi senyum pahit. Harus diakui bahwa dia sungguh mencintai Bi Hwa! Hanya kebencian terhadap wanitalah yang membuat dia memaksa dirinya meninggalkan wanita itu, biar pun sesudah dia pergi hatinya dipenuhi kerinduan selama berbulan-bulan. “Aahhh, semua itu telah berlalu!” Dia mencela diri sendiri dan mengusir bayangan Bi Hwa yang cantik. Tidak perlu memikirkan satu dua orang wanita karena banyak sekali yang sudah menjadi korbannya, akan tetapi dia tidak merasa menyesal. Dia pun tahu bahwa di antara banyak wanita yang ditinggalkannya dalam keadaan hidup, apa lagi yang pernah menarik hatinya sehingga dia telah menggauli korban itu beberapa kali, kemungkinan besar ada pula yang mengandung anak keturunannya. Akan tetapi dia tidak peduli! Takkan ada orang yang mengenal wajahku, pikirnya sambil mengusap wajah aslinya yang halus dan tampan. Dia selalu menyamar setiap kali menundukkan seorang wanita, setiap kali terjun ke tempat ramai. Andai kata dia mempunyai keturunan, para wanita itu pun tak akan dapat memberi tahu kepada anak mereka bagaimana macam wajahnya, sebab yang diberi tahukan tentulah wajahnya yang palsu, hasil penyamaran. Dan namanya pun tak ada yang pernah tahu, kecuali hanya she-nya, nama keturunannya yang kadang kala dia perkenalkan kepada beberapa orang wanita yang benar-benar jatuh cinta kepadanya. Tang-Kongcu, hanya itulah yang mereka ketahui, hanya she-nya saja, tetapi tidak tahu bagaimana wajah aslinya. Dan hiasan kumbang emas itu pun tidak dapat memberi keterangan apa pun, kecuali bahwa wanita itu telah menjadi korban Ang-hong-cu Si Kumbang Merah. Dia kemudian membayangkan bagaimana andai kata dia tak berhasil memutuskan ikatan dengan seorang di antara para korban itu yang menarik hatinya dan dicintainya. Tentu dia akan mengawini wanita itu dan hidup selama puluhan tahun bersama wanita itu, memiliki beberapa orang anak. Dan kini tentu dia sudah menjadi kakek, hidupnya terikat erat-erat seperti ada belenggu pada kaki tangannya yang membuatnya tidak leluasa bergerak! Dia tersenyum cerah. Ah, lebih enak begini! Bebas merdeka, boleh melakukan apa saja yang dikehendaki dan disenanginya, tanpa ada halangan atau ikatan yang mengganggu! Tiba-tiba dia termenung. Kebebasan ini pun sekarang terasa membosankan! Orang yang terikat tentu mendambakan kebebasan seperti dia, tetapi aneh sekali, kadang-kadang dia malah mendambakan ikatan! Memang aneh hidup ini! Yang nampak indah menyenangkan itu hanya segala yang belum didapatkan, belum dimiliki, yang sedang dalam pengejaran. Apa bila segala yang tadinya didambakan itu sudah berada dalam tangan, lambat laun keindahannya tidak akan terasa lagi, bahkan dapat membosankan! Rahasianya terletak pada keinginan! Keinginan memiliki sesuatu yang tidak atau belum dimiliki akan menciptakan pengejaran! Dan pengejaran untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan inilah sumber segala konflik, sumber segala kesengsaraan dalam kehidupan ini. Pengejaran akan sesuatu yang belum kita miliki, karena itu lalu kita inginkan, akan membuat mata kita menjadi seperti buta, tidak lagi melihat apa yang ada pada kita! Mungkinkah kita hidup tanpa membiarkan angan-angan menggambarkan keindahan dan kesenangan yang belum kita miliki sehingga kita selalu akan dihinggapi penyakit INGIN mendapatkan segala gambaran angan-angan itu? Tentu saja dapat kalau kita mau hidup seutuhnya, sepenuhnya menghayati apa adanya! Apa bila pikiran kita dicurahkan sepenuhnya kepada apa adanya, maka pikiran itu tidak punya waktu luang lagi untuk termenung mengkhayalkan gambaran-gambaran keindahan yang belum ada. Sekali kita dihinggapi penyakit ingin mendapat sesuatu yang dianggap indah dan lebih menyenangkan, maka penyakit itu tidak akan pernah meninggalkan kita, kecuali kalau kita menghentikan seketika. Sesudah satu yang diinginkan terdapat, maka timbul keinginan lain yang dianggap lebih baik dan lebih menyenangkan lagi, sehingga kita terus terseret ke dalam lingkaran setan. Bukan berarti kita lalu mandeg, statis, berhenti atau mati, tidak kreatif lagi, namun tidak menginginkan sesuatu yang tidak kita miliki! Dengan cara menghayati segala yang ada pada kita sehingga kita akan mampu melihat bahwa di dalam segala sesuatu terdapat keindahan itu! Karena bayangan kesenangan dari kebebasannya itu kini melenyap, kesenangannya tak terasa lagi, maka Si Kumbang Merah lalu merenungkan hal-hal yang baru saja terjadi. Dia terpaksa melarikan diri! Dia, Ang-hong-cu yang perkasa, yang selama puluhan tahun telah malang-melintang, memetik banyak kembang, menikmati keharumannya serta menghisap madunya lantas mencampakkan begitu saja kembang yang sudah layu di dalam remasan tangannya itu, namun kini dia melarikan diri! Sungguh lucu dan juga menyedihkan! Tentu sekarang dia telah mati bila tidak melarikan diri, mungkin tubuhnya akan dihancur-lumatkan oleh para pendekar perkasa itu, yang tentu amat membencinya! Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi, salah seorang di antara para pendekar itu, malah yang paling lihai, adalah seorang pemuda she Tang, puteranya sendiri! Dia tidak tahu bagaimana bisa muncul seorang puteranya! Akan tetapi dia merasa yakin bahwa tentu pemuda itu adalah puteranya. Hal itu terbukti dari tiga hal. Petama, pemuda itu memilki sebuah perhiasan kumbang emas, kedua, pemuda itu she Tang, yang ke tiga, dan hal ini amat meyakinkan hatinya, pemuda itu memiliki wajah yang mirip sekali dengan wajahnya pada waktu muda! Hanya dia tidak tahu siapakah ibu pemuda itu, yang mana di antara gadis-gadis yang diperkosanya dan dihamilinya! Pertemuan dengan pemuda yang bernama Tang Hay itu terjadi secara kebetulan saja. Dia mendengar tentang adanya pemberontakan oleh para tokoh sesat yang dipimpin Lam-hai Giam-Lo. Walau pun oleh para pendekar dia sendiri dianggap sebagai seorang penjahat kejam, seorang jai-hwa-cat dan digolongkan sebagai orang sesat, namun sebenarnya dia belum pernah berkawan dengan golongan sesat. Bahkan dia condong untuk menentang perbuatan jahat dan bertindak sebagai seorang pendekar. Kalau pun dia mengambil uang dari gudang harta pembesar atau hartawan yang kaya raya, hal itu hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya, bukan untuk bermewah-mewahan. Pada waktu mendengar tentang gerakan Lam-hai Giam-lo beserta kawan-kawannya yang dia tahu amat berbahaya bagi keselamatan rakyat, karena perang pemberontakan hanya akan menjatuhkan banyak korban di antara rakyat dan yang sengsara oleh perang hanya rakyat kecil, maka dia pun tidak tinggal diam. Secara diam-diam dia kemudian membantu pemerintah untuk menentang gerombolan pemberontak ini. Untuk keperluan itu dia lantas menyamar dan memakai nama Han Lojin, dan dia telah membuat jasa dalam bantuannya ini. Akan tetapi dalam perjuangan ini penyakit lamanya kambuh dan dia pun tidak mampu menahan diri ketika melihat gadis-gadis pendekar yang cantik jelita dan menawan hati. Secara kebetulan dia bertemu dengan Tang Hay dan terkesan sekali melihat pemuda ini. Gagah perkasa serta memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan dia harus mengakui bahwa tingkat kepandaiannya sendiri masih belum mampu menandingi kelihaian pemuda itu! Dan dia merasa yakin bahwa Tang Hay adalah putera kandungnya, entah dari ibu yang mana! Dan dia melihat betapa Tang Hay juga memiliki watak yang sama dengan dia, yaitu mata keranjang! Hanya bedanya, kalau setiap kali tertarik dengan seorang wanita, dia pun langsung melaksanakan hasrat hatinya dan menggoda wanita itu sampai didapat olehnya, baik dengan cara halus mau pun kasar, sebaliknya pemuda itu hanya merayu dengan kata-kata saja dan tidak pernah melanjutkan. Bahkan kalau si wanita nampaknya sudah tertarik dan jatuh cinta, pemuda itu selalu mengelak dan tidak pernah mau menggaulinya! Hal ini membuat hati Si Kumbang Merah menjadi kecewa dan penasaran sekali. Masakah puteranya amat penakut seperti itu? Sungguh tidak jantan menurut anggapannya! Apakah puteranya yang diam-diam dibanggakannya karena memiliki ilmu silat yang amat tinggi itu ternyata seorang pengecut dan penakut? Ataukah dia mempunyai kelainan sehingga tidak mampu menggauli wanita? Dia melihat betapa dua orang gadis pendekar yang sangat cantik dan juga gagah perkasa diam-diam jatuh cinta kepada Tang Hay. Namun meski pun selalu bersikap manis bahkan sering mengeluarkan kata-kata yang merayu dan sangat pandai menjatuhkan hati setiap wanita, agaknya pemuda itu menganggap mereka sebagai sahabat biasa saja dan tidak mau melangkah yang lebih jauh. Ketika dia menduga bahwa Tang Hay dikekang oleh perasaan tata susila, hati si kumbang merah bagaikan tertusuk dan terasa nyeri! Mereka yang memberi nasehat agar pria selalu menghormati wanita, memperlakukan wanita dengan sopan, agaknya belum tahu betapa jahatnya hati perempuan, demikian pikirnya. Rasa kecewa dan penasaran ini membuat Ang-hong-Cu bertindak lebih jauh lagi. Dengan sengaja dia memperkosa kedua orang pendekar wanita itu, dan sengaja melakukannya di tempat gelap. Ia pun menanggalkan penyamarannya sehingga wajahnya halus dan kedua orang gadis pendekar itu menduga bahwa pelaku pemerkosaan itu adalah Tang Hay! Biar tau rasa, pikirnya. Puteraku yang tolol itu harus kuajari dan kuberi contoh! Tentu saja terjadi geger. Dua orang pendekar wanita itu bukan orang-orang sembarangan. Yang seorang bernama Pek Eng, usianya tujuh belas tahun dan dia adalah puteri dari ketua Pek-sim-pang, perkumpulan yang amat terkenal. Bahkan kakak dari gadis bernama Pek Eng itu adalah seorang pendekar yang amat sakti pula, bernama Pek Han Siong dan pada waktu kecilnya amat terkenal dengan sebutan Sin Tong (anak ajaib) yang dijadikan rebutan oleh para tokoh kang-ouw! Ada pun gadis ke dua yang diperkosa oleh Ang-hong-cu adalah seorang pendekar wanita berusia tujuh belas tahun lebih bernama Cia Ling. Dan pendekar wanita yang kedua ini adalah cucu buyut pendekar Lembah Naga, juga masih keluarga dari Cin-ling-pai! Sesudah menyadari bahwa perbuatannya itu akan merupakan ancaman maut bagi Tang Hay, diam-diam Ang-hong-cu merasa menyesal. Semua pendekar sakti memusuhi Tang Hay yang disangka pelaku pemerkosaan itu dan betapa pun lihainya pemuda itu, mana mungkin kuat menghadapi para pendekar yang sakti itu? Karena itu dia pun lalu sengaja meninggalkan tanda hiasan kumbang merah dari emas, sebagai tanda bahwa pemerkosa kedua orang pendekar itu adalah Ang-hong-cu, bukan Tang Hay. Akan tetapi dia sendiri harus cepat-cepat melarikan diri setelah melakukan pengakuan ini! Kalau dia tidak lari dan dia tertangkap sebagai penyamaran Ang-hong-cu, maka dia bisa mati konyol! Demikianlah renungan yang bermain di dalam otak Ang-hong-cu Si Kumbang Merah itu! Berkali-kali dia menarik napas panjang, tersenyum-senyum, lalu menarik napas kembali. Puteranya itu memang hebat, hanya sayangnya tidak cukup jantan sehingga tidak berani melanjutkan perbuatannya yang sudah dimulai dengan baik sekali itu. Kalau puteranya itu mau mewarisi kebiasaannya, agaknya Tang Hay tak perlu melakukan banyak perkosaan karena sebagian besar wanita, mungkin semua, akan bertekuk lutut dan takluk hanya oleh rayuan mautnya! “Huh, engkau lihai akan tetapi tolol! Memalukan aku yang menjadi ayahmu!” Akhirnya dia menympah-nyumpah dan bangkit berdiri. Wajahnya sudah cerah kembali karena semua kenangan tadi sudah diusirnya. Dia harus mengakui bahwa semua petualangan itu akhirnya membosankannya. Semua wanita itu, yang merengek minta disayang atau merengek karena diperkosanya, akhirnya sama saja baginya, hanya mendatangkan kemuakan saja! Kalau dulu dia merasakan kenikmatan dan kesenangan yang besar, bukan hanya karena kesenangan menikmati tubuh para wanita itu, akan tetapi juga menikmati perasaan balas dendam terhadap perempuan pada umumnya. Kini dia tidak lagi merasakan kenikmatan dan kesenangan itu. Dia bahkan merasa muak! Kadang-kadang dia merasa sama dengan binatang jantan yang memaksakan kehendaknya terhadap binatang betina hingga terjadi pemaksaan untuk pelampiasan nafsu. “Sekarang aku sudah tua,” pikirnya menghitung-hitung usianya. ”Jika petualanganku terus kulanjutkan seperti yang sudah, apa akan jadinya dengan hari akhirku?” Dia melihat masa depannya suram. Sudah cukup dia membalaskan sakit hatinya kepada perempuan, dan kini sisa hidupnya harus diisi dengan perbuatan yang berguna, misalnya mencari kedudukan agar kelak meninggalkan nama besar! Bukankah mendiang ayahnya juga bukan orang sembarangan, melainkan seorang bangsawan tinggi? Tentang ibunya... ahh, dia tidak perlu mengenang ibunya lagi. Semua perempuan memang tidak baik! Ang-hong-cu mengepal tinju. “Sekarang aku akan menjadi seorang yang berjasa terhadap kerajaan agar kelak aku memperoleh kedudukan yang mulia. Dengan demikian hari tuaku akan terjamin, sebagai seorang terhormat dan mulia, bukan sebagai seorang jai-hwa-cat yang dikutuk oleh semua orang!” Dengan pikiran ini wajahnya menjadi cerah sekali dan kini dia pun melangkahkan kakinya dengan tegap menuruni bukit. Tujuannya adalah kota raja, dari mana dia berasal! Dan kini dia tidak perlu menyamar lagi. Dia adalah Tang Bun An, seorang yang terhormat! Tidak ada hubungannya dengan Ang-hong-cu lagi. “Kumbang Merah, maafkan saja, untuk sementara ini atau mungkin selamanya namamu akan kupendam. Kumbang Merah telah lenyap dan muncullah riwayat baru, ha-ha-ha!” Apa bila pada waktu itu ada orang yang kebetulan melihatnya, tentu menganggap bahwa yang sedang melangkah dengan tegap itu adalah seorang pria setengah tua yang tampan berwibawa, berwajah simpatik, ramah dengan mulut selalu tersenyum, sepasang matanya bersinar-sinar, pakaiannya rapi dan bersih dengan potongan seperti seorang sasterawan, seorang yang penampilannya mengesankan dan mendatangkan rasa suka di dalam hati orang lain. *************** Petualangan tokoh-tokoh sesat dunia kang-ouw yang melakukan pemberontakan dengan dipimpin oleh mendiang Lam-hai Giam-lo, melibatkan banyak sekali tokoh sesat. Karena itu para pendekar pun turun tangan membantu pemerintah sehingga pemberontakan itu dapat dihancurkan sebelum menjadi-jadi. Banyak sekali tokoh sesat yang akhirnya tewas di dalam pertempuran bebas antara para pemberontak dan pasukan pemerintah, juga antara tokoh-tokoh sesat dan para pendekar. Lam-hai Giam-lo sendiri yang menjadi pemimpin bersama Kulana, seorang bangsawan dan pelarian Birma yang sakti, juga tewas dalam pertempuran itu. Hampir semua tokoh sesat yang membantu gerombolan pemberontak itu tewas, kecuali beberapa orang saja. Di antara para tokoh pimpinan, semua tewas kecuali dua orang yang termasuk pimpinan penting. Yang seorang adalah Sim Ki Liong, seorang pemuda berusia sekitar dua puluh dua tahun yang amat lihai karena dia ini adalah murid dari Pendekar Sadis dan isterinya di Pulau Teratai Merah. Murid ini sebenarnya adalah putera bekas musuh yang datang menyelundup dan berhasil menjadi murid Pendekar Sadis. Setelah memiliki kepandaian tinggi dia kemudian minggat dari Pulau Teratai Merah dan bergabung dengan para pemberontak. Dalam pertempuran itu dia nyaris tewas pula kalau tidak cepat melarikan diri! Ada pun tokoh kedua yang bernama Ji Sun Bu adalah seorang wanita cantik jelita berusia tiga puluh tahun, yaitu seorang wanita cabul berkepandaian tinggi yang berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun). Ketika bertempur sebagai tokoh sesat yang membantu pemberontakan, wanita ini terjatuh ke dalam jurang dan sesudah itu tidak ada yang tahu bagaimana nasibnya, namun melihat betapa jurang itu amat curam, semua orang mengira bahwa tentu iblis betina ini pun telah tewas pula. Dalam pertempuran yang mati-matian itu, di pihak para pendekar banyak pula yang roboh dan tewas. Akan tetapi para pendekar yang terpenting berhasil keluar dengan selamat. Di antara para pendekar yang kemudian pulang ke tempat tinggalnya masing-masing adalah Cia Kui Hong. Dia seorang gadis yang kini sudah berusia sembilan belas tahun. Wajahnya manis sekali, dengan bibir yang penuh gairah. Hidungnya kecil mancung dan ujungnya, yaitu cupingnya dapat bergerak-gerak lucu. Sepasang matanya tajam berkilat, kadang-kadang lembut dan jenaka. Sikapnya selalu manis dan jenaka, namun berandalan dan gagah perkasa. Muka yang bulat telur dengan dagu runcing itu memang manis bukan main. Sepasang pedang yang tergantung pada punggungnya mendatangkan kesan gagah dan berwibawa. Dia bukan seorang gadis biasa, walau pun manis sekali hingga menggetarkan jantung setiap pria yang memandangnya. Dia adalah puteri dari ketua Cin-ling-pai. Ini saja sudah dapat menjadi bahan perkiraan bahwa tentu dia telah memiliki ilmu silat yang amat hebat, warisan dari ayah ibunya. Lebih hebat lagi, ibunya adalah puteri Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah! Selain telah mewarisi ilmu dari ibunya, dara ini juga pernah digembleng langsung oleh kakek dan neneknya, sepasang suami isteri sakti di Pulau Teratai Merah. Maka dapat dibayangkan betapa lihainya Cia Kui Hong, gadis manis itu! Ketika terjadi pertempuran antara para tokoh sesat yang membantu pemberontakan dan para pendekar yang membantu pemerintah, Cia Kui Hong juga ikut berperan, bahkan dia merupakan seorang di antara tokoh-tokoh penting. Setelah pertempuran selesai gadis ini pun segera berpisah dari para pendekar lainnya dan dia langsung pulang ke Cin-ling-pai, yaitu perkumpulan yang diketuai oleh ayahnya di Pegunungan Cing-lin-san. Cin-ling-pai adalah sebuah di antara perkumpulan-perkumpulan atau perguruan silat yang terbesar pada waktu itu. Banyak pendekar besar gagah perkasa dan budiman datang dari Cin-ling-pai, sebagai murid perguruan ini. Perguruan ini sangat terkenal karena memang murid-muridnya pilihan, dan perkumpulan itu memegang teguh peraturan, berdisiplin dan keras terhadap murid-muridnya sehingga di dunia persilatan sudah terkenal sekali bahwa Cin-ling-pai adalah tempat orang-orang gagah. Ketika Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai untuk membantu pemerintah membasmi kaum pemberontak, terjadilah hal-hal yang hebat dalam keluarga ayahnya. Ayahnya, yaitu Cia Hui Song yang menjadi ketua Cin-ling-pai, hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu dia seorang. Hal ini membuat kakeknya, yaitu Cia Kong Liang merasa tidak puas. Kakek ini menginginkan seorang cucu laki-laki, seorang keturunan yang dapat melanjutkan silsilah keluarga Cia. Karena itu kakek ini memaksa puteranya untuk menikah lagi supaya dapat memperoleh keturunan laki-laki. Hal ini menimbulkan masalah besar dalam keluarga Cia. Istri ketua itu, Ceng Sui Cin, ibu Kui Hong, adalah seorang wanita yang keras hati. Puteri Pendekar Sadis ini sama sekali tidak setuju dan menentang kehendak ayah mertuanya itu. Hui Song yang berada di tengah antara ayahnya dan istrinya menjadi bingung. Dia tidak mampu menolak kemauan ayahnya, maka terpaksa dia pun menikah lagi dengan seorang wanita muda bernama Siok Bi Nio, yang usianya hanya tiga tahun lebih tua dari Kui Hong puterinya! Hal ini membuat isterinya marah. Ceng Sui Cin segera mengajak puterinya meninggalkan Cin-ling-pai dan pulang ke pulau Teratai Merah, di mana Kui Hong digembleng oleh kakek dan neneknya. Ternyata benar saja. Pernikahan antara Cia Hui Song dan isterinya yang muda itu telah menghasilkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Cia Kui Bu. Setelah Kui Bu berusia dua tahun, Hui Song yang merasa rindu kepada isterinya yang pertama dan juga merasa berdosa kemudian memberanikan diri pergi menghadap mertuanya dan isterinya di Pulau Teratai Merah. Dia mengaku bersalah dan membujuk isterinya supaya suka kembali ke Cin-ling-pai. Akan tetapi isterinya mengajukan syarat bahwa kalau dia kembali ke Cin-ling-pai, maka Siok Bi Nio harus dibunuh dan dia mau memelihara Cia Kui Bu sebagai anaknya sendiri. Memang hati puteri tunggal Pendekar Sadis itu keras sekali. Hui Song lalu menyerahkan keputusannya kepada isterinya yang pertama dan mereka pun pergi ke Cin-ling-pai. Setelah sampai di situ, Bi Nio maklum akan isi hati suaminya dan juga madunya. Wanita ini telah terlanjur mencinta suaminya dan dia mau melakukan apa saja demi kebahagiaan suaminya. Hui Song menceritakan secara terus terang kepada Bi Nio tentang kehendak Sui Cin, dan Sui Cin pun bukan seorang yang jahat dan kejam. Dia hanya menghendaki agar Bi Nio pergi dan dia akan merawat Kui Bu seperti anaknya sendiri. Hancur rasa hati Bi Nio disuruh berpisah dari puteranya. Tentu saja dia tidak mau, dan dia lalu memondong puteranya untuk dibawa pergi dari sana. Pada saat itu, Cia Kong Liang, ayah Sui Hong, merampas cucunya dari tangan ibunya, melarang Bi Nio membawa pergi Kui Bu. Bi Nio yang merasa terdesak dan terhimpit hanya melihat satu jalan untuk mengatasi semua masalah itu. Dia ingin melihat suaminya berbahagia, namun dia pun tidak mungkin bisa hidup terpisah dari puteranya. Maka, di luar dugaan semua orang, Bi Nio membunuh diri! Peristiwa ini menghancurkan hati keluarga itu, semua orang merasa berdosa terhadap Bi Nio. Cia Kong Liang kemudian mengurung diri di dalam kamar semedhi dan tak mau lagi mencampuri urusan dunia, seolah-olah kakek ini hendak menghukum dirinya dan hendak menghabiskan waktunya untuk minta ampun kepada Tuhan. Cia Hui Song yang merasa berdosa terhadap isteri mudanya dan menyadari betapa besar cinta kasih Bi Nio kepadanya, juga lalu membuat pondok kecil di dekat makam Bi Nio dan menjaga makam itu sambil bertapa! Kini di perguruan itu tinggal Sui Cin sendiri yang juga merasa amat menyesal. Untuk menebus perasaan bersalah, dia merawat Kui Bu dengan penuh kasih sayang seperti merawat puteranya sendiri. Kini Cin-ling-pai menjadi pincang. Para murid menjadi bingung sebab mereka seolah-olah kehilangan pimpinan, kehilangan guru dan ketuanya. Ketua lama, Cia Kong Liang, selalu mengurung diri dalam kamar dan tidak mau mencampuri segala urusan. Ketua baru, Cia Hui Song, juga acuh dan tidak pernah mau meninggalkan makam isteri mudanya! Masih untung bahwa Ceng Sui Cin cukup berwibawa dan lihai sehingga para murid dan anggota Cin-ling-pai masih segan terhadapnya sehingga mereka itu masih dapat dikendalikan oleh nyonya ketua itu. Dalam keadaan seperti itulah Cin-ling-pai menyambut pulangnya Cia Kui Hong yang baru saja datang dari petualangannya membantu pemerintah membasmi kaum pemberontak! Dapatlah dibayangkan betapa kagetnya Kui Hong, apa lagi ketika ibunya menyambutnya dengan rangkulan lantas ibunya menangis tersedu-sedu tanpa mengeluarkan sepatah pun kata! Gadis ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa dia akan berjumpa dengan ibunya di Cin-ling-pai. Pada saat dia pergi ibunya masih ada di Pulau Teratai Merah, tempat tinggal kakek dan nenenknya. Dia tidak tahu bahwa ayahnya sudah berkunjung ke pulau itu dan berhasil membujuk Ceng Sui Cin, ibunya, pulang ke Cin-ling-pai. Hal ini tentu saja akan menggirangkan hatinya kalau tidak melihat ibunya menyambutnya dengan rangkulan dan tangisan. Padahal dia mengenal betul siapa ibunya, seorang wanita yang keras hati, sangat tabah dan biasanya pantang memperlihatkan kedukaan hatinya, bahkan hampir tidak pernah dia melihat ibunya menangis. Sungguh seorang pendekar wanita sejati! Akan tetapi sekarang ibunya menyambutnya dengan rangkulan dan menangis tersedu-sedu di atas pundaknya. “Ibu... ibu..., ada apakah? Kenapa ibu menangis? Di mana ayah dan... kongkong...?” Dia tentu saja menduga hal-hal buruk yang mungkin menimpa diri ayahnya atau kakeknya. Ceng Sui Cin tidak lama menangis. Dia segera dapat menguasai dirinya dan kini ibu serta anaknya itu saling pandang. Kui Hong melihat bahwa terjadi perubahan pada ibunya. Kini ibunya agak kurus dan matanya sayu. Sebaliknya Sui Cin merasa gembira sekali melihat keadaan puterinya yang bukan saja pulang dalam keadaan selamat, namun juga nampak sehat dan gagah perkasa, semakin cantik pula. “Mari kita berbicara di dalam,” kata ibu ini sambil menggandeng tangan puterinya. Mereka masuk ke dalam dan kembali Kui Hong merasa heran karena rumah itu kelihatan sunyi sekali. Hanya ada beberapa orang pelayan yang menyambutnya dengan pemberian hormat. Tidak nampak isteri muda ayahnya. Tidak nampak pula mrid Cin-ling-pai. Pada saat dia tadi memasuki pintu gerbang Cin-ling-pai, dia telah melihat perubahan yang amat mencurigakan. Para murid nampaknya bermalas-malasan menyambutnya, padahal mereka sudah tahu akan kedatangannya. Dan dahulu Kui Hong amat disayang oleh para murid Cin-ling-pai, tapi sekarang mereka hanya menyambutnya dengan sikap dingin saja dan hanya beberapa orang yang nampak gembira. Ketika Sui Cin mengajak Kui Hong masuk ke dalam kamar, gadis ini melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga tahun sedang diajak bermain-main oleh seorang wanita pengasuh. Begitu melihat Sui Cin, anak itu segera merentangkan kedua lengannya dan memanggil dengan suara nyaring, “Ibuuu....! Ibu....!” Sui Cin mengangkat anak itu, menciuminya beberapa kali lalu menyerahkannya kembali kepada pelayan pengasuh, menyuruh pelayan membawa anak itu bermain-main di luar. Diam-diam Kui Hong merasa heran bukan main. Tak mungkin ibunya kembali mempunyai anak, apa lagi sudah sebesar itu karena kepergiannya pun paling lama hanya satu tahun, sedangkan anak itu sudah berusia tiga tahun! “Ibu, siapakah anak itu? Apakah yang telah terjadi? Mana ayah dan kongkong?” tanya Kui Hong tak sabar lagi setelah pengasuh itu pergi bersama anak asuhannya. Kini nyonya itu sudah tenang kembali. Dia menghela napas beberapa kali, lantas berkata, “Duduklah dengan tenang, anakku, dan dengarkan ceritaku.” Mereka duduk berdampingan di atas pembaringan dan berceritalah Ceng Sui Cin kepada puterinya mengenai segala hal yang sudah terjadi. Betapa ayah gadis itu, Cia Hui Song, berkunjung ke Pulau Teratai Merah lalu membujuk dia untuk kembali ke Cin-ling-pai, dan betapa kemudian di Cin-ling-pai, Siok Bi Nio membunuh diri karena tidak ingin berpisah dalam keadaan hidup dari puteranya. “Aku merasa berdosa, Hong-ji. Kasihan Bi Nio. Sesudah dia tewas barulah aku menyadari betapa besar cintanya terhadap ayahmu. Dia tidak bersalah, dia tidak sengaja merampas ayahmu dariku, tetapi dia juga menjadi korban keadaan dan dia amat mencinta ayahmu, mungkin lebih besar dari pada cintaku. Aku masih mementingkan diri dalam cintaku, akan tetapi... ahh, dia rela mengorbankan nyawanya demi kebahagiaan ayahmu. Aku sungguh menyesal sekali. Maka, untuk menebus kesalahanku itu, aku berjanji akan merawat dan mendidik puteranya, Cia Kui Bu, anak yang kau lihat tadi.” “Ahhh...!” Kui Hong yang sejak tadi mendengarkan, kini termangu-mangu. Sungguh hebat apa yang terjadi menimpa keluarga orang tuanya! “Ayahmu juga tak bersalah. Dia ingin berbakti kepada orang tuanya dan buktinya, setelah dia menikah lagi dengan Bi Nio, keluarga Cia mendapat seorang keturunan laki-laki. Juga kongkong-mu tak bersalah. Wajarlah kalau dia menjadi cemas melihat betapa kami, ayah ibumu tidak memiliki keturunan laki-laki. Dia berusaha agar puteranya suka menikah lagi hanya agar memperoleh keturunan yang akan melanjutkan silsilah keluarga Cia. Tak ada yang bersalah, semua menjadi korban keadaan. Kesalahan kami adalah ketika mendesak dan menyudutkan Bi Nio sehingga dia membunuh diri...” Ceng Sui Cin lantas termenung, wajahnya nampak amat muram. “Sudahlah, ibu. Segalanya telah terjadi, tidak ada gunanya disesalkan lagi. Lalu, di mana ayah sekarang?” Ceng Sui Cin mengerutkan alisnya. “Dia pun dihantui penyesalan seperti aku, maka sejak kematian Bi Nio dia jarang sekali di sini. Ayahmu lebih banyak berdiam di pondok yang dibangunnya di dekat makam Bi Nio, di bukit belakang itu.” Mendengar ini Kui Hong menjadi semakin berduka. “Dan kongkong?” “Dia selalu mengurung diri di dalam kamar semedhinya, tidak pernah mau keluar lagi.” “Ahhhh..., mengapa keluarga kita menjadi begini? Biar kucoba menjumpai mereka!” Kui Hong lari meninggalkan kamar ibunya. Dia lalu mencari makam Siok Bi Nio di bukit belakang kebun Cin-ling-pai. Dan benar saja, di makam yang sunyi itu dia menemukan ayahnya sedang duduk bersemedhi di dalam sebuah pondok sederhana yang dibangun dekat sebuah makam sederhana. “Ayah...!” Kui Hong menjatuhkan diri berlutut di depan pria itu sambil memegang lututnya, mengguncang-guncangnya. Cia Hui Song adalah seorang pendekar yang sudah berusia empat puluh dua tahun. Dulu pada waktu mudanya dia terkenal berwatak lincah gembira, ugal-ugalan dan nyentrik. Ilmu kepandaiannya amat tinggi, sebagai ahli waris ilmu-ilmu keluarga Cin-ling-pai dan pernah pula menjadi murid Siangkiang Lojin, satu di antara Delapan Dewa yang kini telah tiada. Akan tetapi, semenjak dia diharuskan menikah lagi hingga anak isterinya terpaksa pergi meninggalkannya, wataknya telah berubah menjadi amat pendiam. Kini dia lebih berubah lagi. Sinar matanya redup ketika dia membuka mata memandang kepada Kui Hong, dan senyum lemah menghias di bibirnya. Wajahnya juga kurus dan rambutnya kusut, agaknya dia tidak pernah mempersolek diri sama sekali. “Kui Hong, engkau datang.....?” katanya sambil membuka lipatan kedua kakinya, lantas duduk di atas bangku yang terdapat di pondok itu. “Duduklah.” Kui Hong lalu bangkit dan dia pun mengambil tempat duduk di atas bangku, berhadapan dengan ayahnya. Pria itu pura-pura tidak melihat sinar mata anaknya yang penuh dengan keprihatinan dan tuntutan, lalu bertanya, “Bagaimana dengan perjalananmu, Kui Hong? Bagaimana pula dengan pemberontakan yang beritanya santer sampai di sini pula itu?” Akan tetapi Kui Hong tidak menjawab pertanyaan ayahnya, dan tak pernah ia melepaskan pandang matanya yang dengan tajam mengamati wajah ayahnya. Kemudian dia berkata, suaranya penuh tuntutan. “Ayah, apakah yang terjadi dengan keluarga kita? Dahulu kuanggap bahwa ayah dan ibu adalah dua orang yang paling gagah perkasa di dunia ini! Akan tetapi apa yang kudapat sekarang? Ayah dan ibu hanyalah orang-orang yang lemah dan cengeng!” Hui Song yang tadinya menunduk kini mengangkat mukanya dan matanya bersinar sekilat ketika memandang kepada puterinya. “Kui Hong, apa yang kau katakan ini? Engkau tidak tahu apa yang telah terjadi…” “Aku tahu semua, Ayah. Aku sudah mendengar semua cerita ibu tentang peristiwa yang terjadi pada keluarga kita. Semua itu sudah terjadi! Tidak ada yang bersalah dalam hal ini! Semua terjadi karena keadaan! Perlu apa bersikap lemah dan cengeng, mengurung diri dan menyiksa batin sendiri seperti yang dilakukan Ayah dan Kakek? Apakah kalau Ayah bersikap seperti ini, murung, berduka, menangis, menjaga makam selama hidup, apakah dengan sikap semacam ini lalu segala yang sudah terjadi itu akan berubah? Apakah isteri muda Ayah yang telah meninggal itu akan hidup kembali? Apakah kesalahan yang bukan berasal dari keluarga kita akan tertebus? Apakah dengan sikap ini Ayah mendatangkan kebaikan-kebaikan, baik bagi diri sendiri mau pun bagi keluarga kita dan orang lain?” “Kui Hong…!” Cia Hui Song terkejut bukan main setelah diberondong serangan kata-kata oleh puterinya itu. “Dengar dulu, Ayah!” Kui Hong melanjutkan, setengah membentak dan sekarang gadis itu bangkit berdiri, wajahnya merah dan matanya mencorong. “Sikap Ayah ini terlampau iba kepada diri sendiri, terlalu lemah sehingga Ayah lupa bahwa Ayah adalah seorang suami, seorang ayah, bahkan seorang ketua yang masih memiliki banyak tugas dalam hidup ini! Dan Ayah meninggalkan semua tugas itu hanya untuk menangisi dan merenungi nasib di depan makam ini! Apakah Ayah mengira bahwa isteri Ayah yang telah meninggal ini, yang menurut ibu amat mencinta Ayah, akan girang dan arwahnya akan tenteram kalau melihat keadaan Ayah seperti ini? Menurut ibu, isteri muda Ayah itu membunuh diri dan sengaja berkorban demi kebahagiaan Ayah! Dan sekarang, apabila dia melihat bahwa Ayah justru sama sekali menjadi tidak berbahagia seperti ini, apakah dia tak akan menyesal? Dengan demikian Ayah akan semakin menjerumuskan diri ke dalam dosa. Sudah berdosa kepada ibu dan kini berdosa pula kepada isteri kedua Ayah. Dan Ayah juga membikin susah aku, anakmu, dan juga adil Kui Bu!” Semenjak tadi Hui Song mendengarkan ucapan puterinya, kata demi kata, dan terjadilah perubahan pada wajahnya. Wajah yang tadinya layu itu sekarang perlahan-lahan berubah kemerahan seperti orang marah, kemudian pucat kembali, dan akhirnya ia menggerakkan kedua tangannya menutupi mukanya! Melihat ada air mata keluar dari celah-celah jari tangan ayahnya, Kui Hong menubruk dan merangkul ayahnya sambil menangis. “Ayah…! Ayah… maafkan anakmu…!” Akan tetapi tiba-tiba ayahnya merangkulnya dan memegang pinggangnya dengan kedua tangan, lantas ayahnya mengerahkan tenaga dan tubuh Kui Hong diangkatnya ke atas. Ketika dengan hati terkejut Kui Hong menunduk untuk melihat wajah ayahnya, dia melihat sebuah wajah yang basah dengan air mata, akan tetapi wajah itu penuh senyum, matanya bersinar-sinar, wajah itu berseri bagaikan setangkai bunga yang tadinya layu namun kini mendapatkan siraman hujan dan hidup kembali, segar kembali! “Engkau benar! Engkau Kui Hong anakku yang hebat! Engkau benar! Ah, betapa tololnya aku! Sungguh, aku telah gagal sebagai suami dan ayah, akan tetapi mulai sekarang akan kurubah semua itu!” Dia membawa Kui Hong keluar pondok, menurunkan gadis itu dan dengan gerakan kaki tangannya, pendekar itu lantas menghancurkan pondoknya! Pondok sederhana itu hancur berantakan diterjang kaki tangannya! “Ha-ha-ha! Hancurlah semua bayangan muram. Habislah sudah keluh kesah dan iba diri!” Kemudian dia menghampiri bong-pai (nisan) makam Siok Bi Nio, menepuk-nepuk nisan itu kemudian terdengar dia berkata lirih, “Bi Nio isteriku, maafkan kelemahanku selama ini. Engkau mengasolah yang tenang, isteriku, karena pengorbananmu tak akan sia-sia. Mulai sekarang suamimu hidup berbahagia, dan anak kita Kui Bu akan kudidik menjadi seorang manusia yang luhur budi!” Dengan kedua mata basah saking gembiranya Kui Hong mengamati semua gerak-gerik ayahnya. Kemudian mereka saling rangkul, dan dengan berangkulan mereka lalu kembali ke rumah induk Cin-ling-pai! Tentu saja Ceng Sui Cin menyambut kedatangan ayah dan anak itu dengan terbelalak. Hampir dia tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri! Dia melihat suaminya dan puterinya itu berangkulan dan bergandengan, datang kepadanya dengan sikap demikian gembira, seakan-akan kedua orang itu sedang berpesta. Keduanya jelas habis menangis, bahkan pipi mereka masih basah air mata, pipi yang kemerah-merahan dan berseri-seri, dengan bibir penuh senyum. Ketidak percayaannya itu lenyap seketika setelah suaminya melepaskan rangkulan pada puterinya, kemudian memeluknya dan di depan Kui Hong, suaminya itu mencium kedua pipinya. Dia meronta dan melepaskan diri, mukanya berubah merah sekali dan sekarang dia percaya bahwa suaminya beserta puterinya itu agaknya mabok atau gila “Ihhh…! Apa-apaan ini?” bentaknya. “Apakah engkau telah menjadi gila?” Hui Song tersenyum, senyum yang amat dikenalnya, senyum yang dahulu ketika mereka masih sama-sama muda, senyum yang membuat wajah suaminya demikian tampan dan menarik, senyum yang dulu membuat hatinya jatuh cinta kepada Hui Song! “Memang aku sudah gila, kita berdua sudah gila, isteriku. Namun berkat kehebatan anak kita Kui Hong, mulai hari ini aku sembuh, aku waras! Selama ini kita terlalu membesar-besarkan iba diri, tidak berani melihat kenyataan dan sudah menyia-nyiakan hidup kita! Cin-moi, bukankah kita masih saling memiliki, saling mencinta? Katakanlah di depan anak kita, bukankah engkau masih cinta kepadaku, seperti cintamu dahulu? Jawablah!” Semenjak tadi Sui Cin merasa perasaannya seperti diremas, keharuan dan kebahagiaan memenuhi hatinya sehingga kedua matanya menjadi panas dan air matanya jatuh bertitik. Kini dia tak mampu menjawab, melainkan hanya mengangguk. Dan bagaikan ditarik besi sembrani, suami isteri itu saling berangkulan lagi dan sekarang Sui Cin membalas ciuman suaminya! “Ihhh…! Ayah dan Ibu lupa bahwa aku berada di sini, hik-hik-hik!” dengan nakal Kui Hong berseru. Hui Song dan Sui Cin langsung menghentikan ciuman dan dengan muka merah mereka memandang puteri mereka. Seketika mereka pun sadar akan kekeliruan masing-masing. Sungguh tak ada gunanya sama sekali membiarkan diri muram dan bersedih, menyesali hal-hal yang telah lalu. Itu merupakan suatu kebodohan besar! Menyadari kekeliruan atau kesalahan yang sudah dilakukan di dalam hidup adalah suatu kebijaksanaan! Waspada akan diri sendiri sehingga setiap waktu dapat melihat kesalahan diri sendiri, kelemahan serta keburukan diri sendiri, adalah kebijaksanaan yang mutlak perlu kita miliki. Akan tetapi kesadaran ini membuat gerakan spontan, sekaligus dalam kesadaran ini lalu dibarengi tindakan menghentikan kesalahan atau kekeliruan itu. Bukan lantas menyesali dan membenamkan diri ke dalam duka! Sikap seperti itu sungguh tak ada gunanya, tidak ada artinya sama sekali, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain, bagi seluruh isi alam mayapada mau pun penciptanya, yaitu Sang Maha Pencipta! “Ihhh, anak bengal! Kau seperti anak kecil saja mau menggoda orang tua!” kata Sui Cin dengan kedua pipi kemerahan. Wanita ini terlihat cantik sekali dan kini tanpa disadarinya, kedua tangannya merapikan rambut kepalanya! “Wah, Ibu cantik sekali jika sedang begini. Lihat, Ayah. Bukankah Ibu cantik sekali? Dan Ayah harap berganti pakaian yang baik, mencukur kumis itu dan mencuci rambut Ayah!” Hui Song tersenyum, maklum akan godaan puterinya. “Sudahlah, anakku. Engkau berjasa besar bagi kehidupan ayah ibumu. Sekarang ceritakan semua pengalamanmu.” cerita silat online karya kho ping hoo Sambil duduk di antara kedua orang tuanya dan merangkul ibunya, Kui Hong kemudian menceritakan dengan singkat apa yang telah dialaminya ketika dia membantu pemerintah membasmi pemberontak. Juga diceritakannya betapa di sana dia bertemu dengan banyak pendekar-pendekar lihai. “Hampir semua tokoh sesat yang membantu pemberontakan itu berhasil ditewaskan, dan pasukan pemberontak dapat dibasmi,” demikian Kui Hong mengakhiri ceritanya. “Mungkin hanya sedikit saja yang lolos.” Ayah ibunya mengangguk-angguk sambil saling pandang. Mereka teringat betapa anak mereka bukanlah anak kecil lagi, melainkan seorang gadis yang sudah dewasa, lebih dari dewasa untuk mendirikan kehidupan baru sebagai seorang isteri di samping suaminya tercinta! “Ahh, pengalamanmu itu amat berharga, Hong-ji, selain dapat menambah pengetahuanmu tentu juga membuat dirimu semakin matang. Tahukah engkau, berapa usiamu sekarang?” tanya Sui Cin. “Ehh, ibu ini! Mengapa sih tanya-tanya usia? Bukankah ibu juga ingat bahwa sekarang usiaku sembilan belas tahun?” “Sembilan belas tahun!” Hui Song yang sudah tahu akan isi hati isterinya berseru, “Betapa cepatnya waktu berlalu! Sekarang engkau sudah seorang gadis yang dewasa, terlampau dewasa untuk hidup sendirian lebh lama lagi.” Kui Hong mengerutkan alisnya dan menoleh kepada ayahnya. “Apa maksud ayah dengan ucapan itu?” Hui Song tertawa, “Ha-ha-ha, apa lagi kalau bukan sudah tiba waktunya bagi kami untuk mempunyai seorang menantu? Usia sembilan belas tahun sudah bukan kanak-kanak lagi, Hong-ji, dan kami akan merasa gembira kalau engkau sudah mempunyai seorang pilihan hati sendiri. Mungkin selama ini engkau bertemu dengan seorang pemuda yang berhasil menjatuhkan hatimu?” Wajah Kui Hong berubah merah. Ayahnya ini benar sudah pulih kembali wataknya, bicara tentang hal itu demikian terang-terangan! Dan ibunya juga tersenyum-senyum. Maka dia pun teringat kepada Hay Hay! Terbayang pengalaman ketika untuk pertama kalinya dia bertemu dengan pemuda itu. Sikap serta wajah Hay Hay sangat menarik perhatiannya, dan kata-kata Hay Hay yang demikian penuh rayuan juga kehebatan ilmu silat pemuda itu, telah menjatuhkan hatinya. Bahkan di dalam hutan dia pernah berciuman dengan pemuda yang dikaguminya itu. Akan tetapi Hay Hay menolak hubungan yang lebih akrab. Pada saat dia mengaku cinta, pemuda itu dengan terus terang mengatakan bahwa biar pun pemuda itu suka dan kagum kepadanya, namun dia tidak mencintainya! Betapa nyeri rasa hatinya! Terlebih lagi ketika dia mendengar tuduhan-tuduhan bahwa Hay Hay adalah seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat cabul yang memperkosa wanita, dia merasa benci sekali dan ingin membunuh pemuda itu. Akan tetapi, kemudian ternyata bahwa pemerkosa itu bukan Hay Hay, melainkan Ang-hong-cu! Dan sesudah memperoleh kenyataan bahwa Hay Hay bukanlah pemuda jahat seperti yang dituduh orang, cintanya pun tumbuh kembali. “Hei, Hong-ji, mengapa engkau malah jadi melamun? Jawablah pertanyaan ayahmu tadi. Agaknya benar bahwa ada seorang pemuda yang telah menjatuhkan hatimu, ya?” tegur ibunya. Kui Hong mengangguk, akan tetapi mukanya tidak menunjukkan kegembiraan sehingga ayah ibunya saling bertukar pandang, kemudian menatap anaknya dengan khawatir dan pandang mata mereka penuh pertanyaan. Kui Hong menghela napas panjang, kemudian memaksa diri tersenyum, akan tetapi senyumnya nampak pahit. “Aku telah jatuh cinta kepada seorang pemuda, akan tetapi... dia tidak cinta kepadaku...” Lehernya terasa seperti dicekik, akan tetapi Kui Hong mengeraskan hatinya sehingga dia pun mampu tersenyum, “Sudahlah, aku tidak mau bicara tentang dia lagi!” Diam-diam suami isteri itu merasa terharu dan kasihan kepada puteri mereka. Ceng Sui Cin mengerutkan alisnya dan diam-diam dia mengutuk pemuda yang sudah menjatuhkan hati puterinya itu. Butakah pemuda itu sehingga dia menolak cinta kasih seorang gadis seperti Kui Hong? Apakah kekurangannya? Cantik, jelita, manis, bentuk tubuhnya indah, budi pekertinya baik, gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya. Sedangkan Hui Song hanya tersenyum biar pun hatinya juga dipenuhi perasaan iba, lalu dia berkata untuk menghibur hati anaknya. “Cinta tidak datang sepihak saja, cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Engkau benar, Kui Hong, tidak perlu lagi mengingat tentang orang yang tidak mencintaimu. Lebih baik kita melakukan persiapan untuk mengadakan pesta dan pertemuan besar.” “Ehh? Pesta apa dan pertemuan besar apa?” Sui Cin bertanya sambil mengamati wajah suaminya, juga Kui Hong memandang heran kepada ayahnya. Hui Song tidak menghentikan senyumnya. “Pertama, dan hal ini hanya kita bertiga yang mengetahui, untuk merayakan persatuan hati kita kembali. Kedua, untuk memilih seorang ketua Cin-ling-pai yang baru...” “Ayah...! Mengapa? Bukankah sekarang Ayah yang menjadi ketua Cin-ling-pai dan hal ini sudah tepat sekali? Kenapa harus dilakukan pemilihan ketua baru?” Ayahnya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Sebenarnya, sejak dahulu aku tidak suka menjadi seorang ketua. Aku sudah biasa bebas dan watakku tidak mau terikat. Apa lagi sekarang. Aku ingin merantau bersama ibumu, ingin berkunjung ke Pulau Teratai Merah dan mengunjugi tempat-tempat indah lainnya, berdua saja.” “Wah, aku pun ingin sekali!” seru Sui Cin dan dia tampak bersemangat sekali, seolah-olah merasa kembali muda ketika membayangkan betapa dia akan pergi berdua saja dengan suaminya. “Akan tetapi..., Kui Bu...,” sambungnya ragu. “Anak itu masih terlalu kecil untuk dapat kita didik. Biarlah dia di rumah dan kita serahkan kepada inang pengasuh yang dapat dipercaya. Bukankah Kui Hong juga sudah berada di rumah? Dia dapat mengamati adiknya.” “Jangan khawatir, Ibu. Aku akan menjaga adik Kui Bu,” kata Kui Hong yang turut gembira melihat keadaan ibunya. “Akan tetapi, Ayah. Kalau Ayah mengundurkan diri selaku ketua Cin-ling-pai, lalu siapakah yang akan menjadi penggantinya? Siapakah yang tepat untuk menjadi ketua baru?” “Karena itulah harus dilakukan pemilihan. Hal ini sebelumnya sudah kubicarakan dengan kongkong-mu dan dia pun telah setuju. Kebetulan kita akan merayakan hari ulang tahun kongkong-mu yang ke tujuh puluh. Kita mengambil peristiwa itu untuk mengadakan pesta, mengundang tokoh-tokoh persilatan yang terkenal untuk menjadi saksi akan pemilihan itu agar nama Cin-ling-pai menjadi semakin cerah dan terpandang.” “Akan tetapi, Ayah. Bukankah selama ini secara turun temurun Cin-ling-pai selalu diketuai oleh keluarga Cia? Ayah menggantikan kakek, dan kakek menggantikan kakek buyut?” “Memang demikian, dan sesungguhnya hal inilah yang membuat keadaan menjadi tidak sehat. Perkumpulan bukanlah milik seseorang, apa lagi perkumpulan seperti Cin-ling-pai yang juga menjadi perguruan silat. Bukan anak keturunan saja yang mewarisi ilmu silat dari ketua. Masih banyak murid lain yang mungkin lebih pandai. Apa bila anak keturunan yang diharuskan menggantikan menjadi ketua, seperti kaisar, maka mungkin saja terjadi perkumpulan itu dipimpin oleh seorang yang tidak berbakat menjadi pimpinan, atau yang tidak ada minat terhadap perkumpulan. Seperti aku ini. Dan perkumpulan tidak akan maju. Karena itu aku hendak mengubah kebiasaan ini. Sekarang yang terpandai sajalah yang berhak menjadi ketua, terpandai bukan saja dalam hal ilmu silat, akan tetapi juga dalam hal memimpin perkumpulan, yang berbakat dan berminat.” Diam-diam Sui Cin menyetujui pendapat suaminya ini. Bukankah keretakan keluarganya yang pernah terjadi juga menjadi akibat dari kekukuhan ayah mertuanya yang ingin sekali memperoleh cucu laki-laki agar kelak dapat melanjutkan sebagai ketua Cin-ling-pai? Dan tanpa kata-kata pun dia dapat menyelami pikiran suaminya. Bila datang banyak tamu dari kalangan persilatan, berarti membuka kesempatan bagi puteri mereka untuk mencari atau dicarikan jodoh! “Ahh, nanti tentu banyak datang kenalan lama, tokoh-tokoh persilatan yang lihai, pimpinan perkumpulan-perkumpulan dan perguruan silat yang terkenal,” katanya. “Dan siapa tahu, di antara mereka itu ada yang berjodoh untuk menjadi besan kami!” “Ihh, ibu! Agaknya ayah dan ibu yang sudah merindukan besan, padahal aku sama sekali belum memikirkan soal perjodohan!” berkata demikian Kui Hong merangkul ibunya. Ayah, ibu dan anak ini bercakap-cakap dengan asyik dan melepaskan kerinduan mereka. Kui Hong yang tahu bahwa ayah dan ibunya baru saja ‘akur’ kembali, kemudian mencari kesempatan untuk meninggalkan mereka berdua saja. “Aku ingin menemui kongkong serta para suheng dan sute!” Dan keluarlah dia dari dalam rumah itu. Sesudah Kui Hong pergi, suami isteri itu bangkit berdiri, saling pandang sampai lama dan perlahan-perlahan kedua mata Sui Cin menjadi basah. Bagaikan didorong oleh kekuatan gaib dia melangkah maju, dan pada lain saat kedua suami isteri yang telah lama berpisah batin itu kini sudah saling rangkul tanpa mengeluarkan kata-kata, rangkulan yang penuh kerinduan, kemesraan dan saling memaafkan. *************** Sementara itu Kui Hong lari menuju ke belakang, di mana kakeknya mengurung diri dan kabarnya tak mau lagi mencampuri urusan dunia. Setibanya di luar kamar kakeknya yang daun pintunya tertutup, dia tidak berani lancang membuka daun pintu. Dia tahu betapa galak kakeknya itu, dan biar pun dulu kakeknya itu amat menyayanginya, namun karena telah lama dia pernah meninggalkan Cin-ling-pai bersama ibunya, dia merasa agak asing lagi dengan kakeknya. Dari luar pintu kamar itu dia pun berseru memanggil, “Kongkong...! Kongkong, ini aku Kui Hong yang ingin bicara dengan Kongkong…!” Sampai tiga kali dia mengulang panggilannya, barulah ada jawaban dari dalam. “Hemmm, kau anak nakal sudah pulang? Bukalah pintunya dan masuklah!” Itulah suara kakeknya yang terdengar jelas dan dalam. Girang rasa hati Kui Hong. Ia pun mendorong daun pintu kamar itu, dan baru saja hendak melangkah masuk, dari dalam kamar melangkah keluar seorang laki-laki muda. Usia pria itu kurang lebih tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi besar, mukanya putih dan boleh dibilang tampan, sepasang matanya tajam dan pria itu agaknya terpesona saat bertemu pandang dengan Kui Hong. Akan tetapi dia cepat-cepat menunduk dan bahkan agak membungkuk dengan sikap hormat, lalu berdiri di samping dan membiarkan Kui Hong masuk lebih dulu! Kui Hong tidak mengenal orang itu, akan tetapi karena orang itu keluar dari dalam kamar kakeknya, dia merasa heran bukan main dan menduga bahwa tentu ada hubungan baik antara orang ini dengan kongkong-nya. Seorang laki-laki yang gagah dan sinar matanya sungguh tajam mencorong, akan tetapi nampak asing baginya. Kakek Cia Kong Liang duduk bersila di atas kasur. Cahaya matahari menerangi kamar itu, masuk dari jendela kaca yang terbuka menembus dari kamar itu ke dalam sebuah taman kecil yang tertutup dinding. Taman itu adalah taman pribadi kakek Cia Kong Liang. Kui Hong memandang kepada kakeknya penuh perhatian. Seorang kakek yang usianya sudah menjelang tujuh puluh tahun, tubuhnya masih tegak dan tegap,gagah. Rambut dan kumis jenggotnya sudah putih semua, namun terpelihara rapi. Kamar itu pun nampak bersih biar pun sederhana sekali. Ada rasa haru dan iba di dalam hati Kui Hong melihat keadaan kakeknya yang tengah mengasingkan diri ini. Seperti juga ayah dan ibunya, agaknya kakeknya ini penuh dengan rasa penyesalan dan mengalami banyak kepahitan hidup. “Kongkong, aku datang...!” kata Ku Hong, lalu dia duduk bersimpuh di hadapan kakeknya. Orang tua itu memandang kepadanya sambil tersenyum. “Kui Hong, cucuku yang nakal! Ke mana saja kau selama ini?” tegur sang kakek dan rasa sayangnya terhadap cucu ini tergetar melalui suaranya. Kui Hong dapat merasakan getaran kasih sayang kakeknya itu. Hatinya sangat terharu. ”Kongkong, aku telah pergi membantu pemerintah dengan para pendekar lain, membasmi gerombolan pemberontak dan berhasil dengan baik. Para pemberontak yang dibantu oleh tokoh-tokoh sesat itu dapat dihancurkan dan sebagian besar tokoh sesatnya juga berhasil ditewaskan.” Kui Hong lalu bercerita mengenai pembasmian gerombolan pemberontak itu, didengarkan dengan wajah berseri oleh kakeknya. Sesudah dia selesai bercerita, kakek itu kemudian mengangguk-angguk. “Aku bangga sekali mendengar ceritamu itu, Kui Hong. Tidak memalukan engkau menjadi keturunan Cin-ling-pai, dan sebagai kongkong-mu aku ikut merasa bangga bahwa engkau telah bersikap seperti seorang pendekar sejati, dapat berbakti kepada nusa dan bangsa.” “Kongkong, ada berita yang lebih baik dari pada itu!” “Berita apa cucuku?” “Berita yang datang dari tempat ini, Kongkong, yaitu bahwa mulai hari ini ayah dan ibu telah akur kembali. Ayah sudah meninggalkan tempat pertapaannya di dekat makam dan kini berkumpul dengan ibu.” Wajah kakek ini nampak cerah dan sepasang matanya yang tadinya redup itu kini terlihat bercahaya. ”Terima kasih kepada Thian...! Setiap saat itulah yang menjadi doa utama.” Lega rasa hati Kui Hong melihat betapa kakeknya juga bergembira mendengar berita ini. ”Lalu kapan kongkong sendiri meninggalkan kurungan ini dan kembali hidup di luar seperti biasa berjalan sambil memberi petunjuk ilmu silat kepadaku?” ajaknya. Kakek itu tersenyum. ”Hemmm jangan kau mentertawakan kakekmu, Kui Hong. Apa lagi yang dapat kulakukan untuk memberi petunjuk kalau tingkat ilmu silatmu sekarang sudah lebih tinggi dari kakekmu yang loyo ini? Dan tentang keluar itu…, ahhh, aku sudah terlalu tua untuk ikut memusingkan urusan dunia, akan tetapi aku berjanji akan sering keluar dari kamar ini” “Tentu saja kongkong harus keluar. Bukankah menurut ayah, di sini akan diadakan pesta ulang tahun kakek yang ke tujuh puluh?” Kakek itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang sambil mengelus jenggotnya yang putih. ”Baiklah, baiklah... ahh, Hui Song memang anak yang amat baik dan berbakti. Sayang dia tidak berbakat dan tidak suka menjadi ketua…” Mendengar kakeknya menyinggung mengenai kedudukan ketua, Kui Hong menjadi berani untuk membicarakan soal itu. ”Kongkong, menurut ayah, di dalam pesta yang dihadiri oleh banyak tokoh persilatan itu, ayah hendak mengadakan pemilihan ketua Cin-ling-pai yang baru, bernarkah itu? Kata ayah, dia akan mengundurkan diri dan akan merantau bersama ibu berkunjung ke pulau Teratai Merah dan tempat-tempat lain.” Kakek Cia Kong Liang mengangguk-angguk dan masih mengelus-elus jenggotnya. ”Hal itu sudah kami bicarakan secara serius. Ayahmu hendak merombak ketentuan yang sudah turun temurun, hendak memutuskan ikatan antara keluarga Cia dengan Cin-ling-pai. Akan tetapi dia benar juga. Cin-ling-pai adalah sebuah perguruan silat, bukan milik keluarga Cia. Siapa saja yang baik dan tepat dapat menjadi ketua demi kemajuan Cin-ling-pai. Dan aku sudah mempunyai pandangan, siapa kiranya yang paling tepat untuk menjadi ketua baru Cin-ling-pai menggantikan ayahmu.” Kui Hong diam-diam terkejut, akan tetapi dia langsung teringat akan pria yang baru saja meninggalkan kamar kakeknya. ”Kongkong, siapakah pria yang baru keluar dari sini tadi? Aku tidak pernah melihatnya.” “Nah, dia itulah yang menjadi calonku untuk memimpin Cin-ling-pai. Biar pun masih muda akan tetapi dia bijaksana, dan dalam hal ilmu silat kiranya tidak di sebelah bawah tingkat ayahmu dan ibumu sekali pun.” Tentu saja Kui Hong terkejut mendengar ini. Seorang murid Cin-ling-pai yang mempunyai tingkat kepandaian tidak kalah oleh ayahnya atau ibunya? Sungguh luar biasa! “Tapi, siapakah dia, Kongkong? Apakah murid Cin-ling-pai?” “Namanya Tang Cun Sek, tentu saja dia murid Cin-ling-pai!” “Tapi, Kongkong. Jika dia murid Cin-ling-pai bagaimana sampai aku tidak mengenalinya?” “Memang dia murid baru. Hanya beberapa bulan setelah engkau dan ibumu meninggalkan Cin-ling-pai, dia menjadi murid dan anggota Cin-ling-pai. Karena itu engkau tidak pernah melihatnya.” Kui Hong mengerutkan alisnya dan di dalam hatinya menghitung-hitung, lalu dia berkata, “Kongkong, sampai sekarang, kepergianku itu baru empat tahun lamanya. Bagaimana dia yang baru belajar empat tahun di sini, sekarang sudah memiliki tingkat kepandaian yang sejajar dengan ayah dan ibu? Hal itu sungguh tidak mungkin!” Kakek itu tersenyum, “Mengapa tidak mungkin? Ketika masuk menjadi murid Cin-ling-pai, dia telah memiliki ilmu silat yang tinggi! Dia adalah seorang pemuda yang semenjak kecil suka sekali mempelajari ilmu silat sehingga ia telah mempelajari banyak macam ilmu silat dari perguruan-perguruan silat yang besar. Dia masih juga belum puas lantas dia belajar di sini untuk menambah pengetahuannya. Ternyata dia berbakat sekali dan semua ilmu silat Cin-ling-pai bisa dikuasai dalam waktu singkat. Dia memang pantas sekali menjadi ketua baru, karena dengan ilmunya yang banyak macamnya itu, tentu saja dia dapat menambah perbendaharaan ilmu di Cin-ling-pai. Bahkan menurut pendapatku, dia pun pantas untuk menjadi jodohmu, Kui Hong.” “Ihhh! Kongkong ini ada saja!” teriak Kui Hong dan mukanya berubah merah sekali. Kakek itu tertawa. “Aku tidak main-main, cucuku. Bahkan aku pernah membicarakan soal ini dengan ayahmu. Ketahuilah, telah menjadi kebiasaan di dalam dunia persilatan bahwa seorang gadis akan memilih jodohnya yang gagah perkasa dan yang dapat mengalahkan ilmu silatnya. Dan aku melihat bahwa semua syarat itu ada pada diri Cun Sek! Dia adalah seorang pemuda yang sudah matang dan wajahnya pun tampan. Sepak terjangnya gagah perkasa, dia pun mempunyai pengetahuan cukup tentang ilmu baca tulis dan ilmu silatnya tinggi. Terlebih lagi kalau dia menjadi ketua Cin-ling-pai, berarti dia masih keluarga sendiri sebagai jodohmu, dengan demikian, meski pun berlainan she tetap saja Cin-ling-pai masih dipegang oleh anggota keluarga sendiri.” Diam-diam Kui Hong mengerti mengapa kakeknya agaknya demikian bersemangat untuk menjodohkan dia dengan lelaki yang bernama Tang Cun Sek itu, dan sangat mendukung pengangkatan Cun Sek sebagai ketua baru Cin-ling-pai. Ternyata kakek itu ingin supaya pimpinan Cin-ling-pai tidak terjatuh kepada orang lain! Kalau Cun Sek menjadi suaminya, berarti bahwa Cun Sek masih anggota keluarga, mantu dari ayahnya! Sekarang mengertilah gadis ini bahwa persetujuan kakeknya mengenai pergantian ketua di Cin-ling-pai adalah persetujuan yang terpaksa dan sesungguhnya berlawanan dengan suara hati kakeknya. Diam-diam dia merasa kasihan kepada kongkong-nya itu. Pendirian kakeknya masih tetap keras, akan tetapi kini telah terjadi perubahan, yaitu sikap kakeknya menjadi lebih lunak, tidak seperti dahulu bahwa setiap kehendaknya tidak boleh dibantah oleh siapa pun. Karena dia tidak ingin berbantahan dengan kakeknya atau mengecewakan hatinya, maka ketika kakeknya mendesaknya dan menanyakan pendapatnya, dia hanya menjawab, “Kita lihat bagaimana nanti sajalah, Kongkong.” Setelah pergi meninggalkan kamar kakeknya, Kui Hong kemudian keluar dan berkunjung ke perkampungan Cin-ling-pai di mana terdapat sekelompok rumah yang menjadi tempat tinggal para murid Cin-ling-pai. Semenjak ayahnya menjadi ketua, Cin-ling-pai tak pernah menerima murid wanita sehingga dia merupakan satu-satunya murid wanita! Semua murid Cin-ling-pai adalah pria, sebagian ada yang tinggal di luar dan mereka ini adalah murid-murid yang sudah berkeluarga, sedangkan yang masih bujangan tinggal di perkampungan Cin-ling-pai. Jumlah mereka mendekati seratus orang! Kedatangan Kui Hong disambut oleh para murid Cin-ling-pai, ada yang menyambut gadis itu dengan gembira, ada pula yang bersikap biasa, dan bahkan ada yang bersikap dingin! Mereka itu terdiri dari pria-pria yang berusia antara dua puluh sampai empat puluh tahun. Tentu saja banyak di antara mereka yang diam-diam mengagumi Kui Hong sebagai pria terhadap wanita, akan tetapi dapat dimengerti bahwa tak seorang pun berani menyatakan perasaan kagum dan suka ini secara berterang. Kui Hong melihat jelas bahwa ada semacam kelesuan di antara para murid Cin-ling-pai. Hal ini disebabkan terjadinya peristiwa menyedihkan di dalam keluarga ketuanya sehingga membuat ketua mereka kemudian mengasingkan diri di dekat makam, sedangkan ketua lama mengasingkan diri di dalam kamar. Tentu saja mereka semua merasa bingung dan seperti kehilangan pegangan, akan tetapi mereka masih memandang muka nyonya ketua yang amat lihai sehingga tidak membuat ulah macam-macam. Melihat sikap para murid yang dingin dan lesu, Kui Hong segera menegur mereka sambil tersenyum ramah. “Heii, kalian ini mengapakah? Seperti lampu kehabisan minyak! Aku ini masih Cia Kui Hong yang dahulu itu, teman kalian berlatih silat dan bermain-main! Hayo kita berkumpul di lian-bu-thia (ruangan latihan silat), ingin aku melihat sampai di manakah kemajuan para suheng dan sute di sini’’ Melihat kegembiraan gadis itu, ajakan itu langsung disambut oleh para murid yang masih muda dengan gembira. Mereka mengikuti Kui Hong sehingga sebentar saja lian-bu-thia itu penuh dengan murid Cin-lin-pai. Jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang, sebab hanya mereka yang agak tua dan menjadi suheng (kakak perguruan) dari Kui Hong yang tidak ikut. Mereka ini merasa diri sudah tua dan berkedudukan lebih tinggi, maka mereka tidak mau mencampuri kegembiraan para murid muda itu. Mereka adalah murid-murid tua dari Cin-ling-pai, bahkan ada beberapa orang yang masih terhitung susiok (paman guru) dari Kui Hong karena mereka adalah saudara-saudara seperguruan dari Cia Hui Song, atau murid langsung dari kakek Cia Kong Liang. Sesudah tiba di lian-bhu-thia, Kui Hong langsung meloncat ke tengah ruangan yang luas itu. Kegembiraannya muncul, akan tetapi diam-diam dia telah memperhitungkan sikapnya. Sebelum terjadi pemilihan ketua baru dia ingin sekali menguji, siapa di antara murid dan anggota Cin-ling-pai yang sudah memiliki ilmu silat tinggi dan pantas untuk menjadi ketua baru. Terutama sekali dia ingin memancing keluarnya murid bernama Tang Cun Sek itu, untuk diujinya sampai di manakah kepandaian orang itu maka oleh kongkong-nya dipilih sebagai calon ketua baru. Sesudah berada di tengah ruangan berlatih silat, Kui Hong lantas berkata, ”Hayo, silakan siapa yang hendak latihan denganku! Sudah lama kita tidak berlatih bersama-sama. Siapa di antara kalian yang paling maju ilmu silatnya.? Majulah, mari kita main-main sebentar!” Para murid Cin-ling-pai maklum benar siapa adanya Kui Hong. Memang benar di antara mereka banyak terdapat murid yang lebih tua dan lebih dahulu belajar dibandingkan Kui Hong. Akan tetapi mereka pun tahu bahwa kalau mereka hanya mempelajari ilmu-ilmu asli dari Cin-ling-pai, yaitu San-in Kun-hoat, Thai-kek Sin-kun yang sangat sukar, Tiat-po-san dan Ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut, sebaliknya gadis itu juga sudah mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Pendekar Sadis! Bahkan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh), gadis itu amat hebat karena sudah menguasai Bu-eng Hui-teng dari ibunya yang menjadi murid mendiang Wu Yi Lojin, yakni salah seorang di antara Delapan Dewa! Karena maklum bahwa mereka tak akan mampu menandingi ilmu kepandaian Kui Hong, maka tidak ada yang berani meyambut tantangan gadis itu. “Hayolah!” ajak Kui Hong. ”Mengapa sekarang kalian semua berubah menjadi pemalu dan penakut? Aku hanya ingin melihat kemajuan kalian, mari kita bersama latihan San-in Kun-hoat!” Salah seorang murid yang berusia tiga puluh tahun dan yang terkenal sebagai murid yang paling ahli dalam hal ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung), dengan malu-malu melangkah maju menghadapi Kui Hong, diantar oleh tepuk tangan pemberi semangat dari para saudaranya. Melihat laki-laki yang jangkung dan berwajah pemalu ini, Kui Hong tersenyum dan segera memberi hormat, “Aihh, kiranya suheng Ciok Gun! Saudara-saudara sekalian, aku girang bahwa dia ini yang maju. Ketahuilah bahwa ketika dahulu aku sedang belajar San-in Kun-hoat, justru suheng Ciok Gun inilah yang memberi banyak petunjuk kepadaku!” Ucapan ini kembali disambut tepuk tangan para murid Cin-ling-pai dan kini suasana berubah menjadi semakin meriah. “Sumoi terlalu memujiku, sekarang mana mungkin aku sanggup melawanmu?” kata lelaki jangkung yang bernama Ciok Gun itu sambil tersenyum. Dia cepat memasang kuda-kuda Ilmu Silat San-in Kun-hoat dan pasangan kuda-kudanya memang mantap. Setelah itu dia menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan semua khikang ke dalam pusar dari mana tenaga dalam itu akan mengatur semua gerakan dari tubuhnya untuk digunakan dalam ilmu San-in Kun-hoat yang lihai itu. Kui Hong mengangguk-angguk kagum lalu berseru, “Nah, mari kita mulai, Suheng. Lihat seranganku!” berkata demikian, gadis itu mulai melakukan serangan, dengan jurus Pek-in Toan-san (Awan Putih Memutuskan Gunung). Sepasang tangan gadis itu dengan cepatnya menyambar ke arah leher dan dada lawan. Gerakannya itu nampaknya tanpa tenaga, namun Ciok Gun merasakan betapa ada angin pukulan menyambar halus yang kuat bukan main, dan terutama sekali gerakan gadis itu sangat cepatnya, terlalu cepat baginya sehingga tergesa-gesa dia mengelak ke belakang dan membalas dengan tendangan kakinya dari samping. Dengan gerakan yang lincah sekali dan amat luwes, Kui Hong meliukkan tubuhnya hingga tendangan itu menyambar lewat di tempat kosong. Gadis itu pun membalikkan tangannya dan kembali sudah menyerang dengan amat cepatnya. Ciok Gun memutar tangan hendak menangkis disusul tangkapan tangan ke arah lengan lawan, tetapi dia kalah cepat karena Kui Hong telah menarik kembali tangannya dan mengganti serangan itu dengan serangan dari samping. Terjadilah pertandingan yang amat seru dengan ilmu silat yang sama. Akan tetapi segera nampak betapa Ciok Gun terdesak hebat, bahkan sesudah lewat sepuluh jurus dia hanya mampu mengelak atau menangkis, sama sekali tidak sempat membalas karena memang dia kalah jauh dalam kecepatan gerakan. Untung bahwa dia memang ahli ilmu silat San-in Kun-hoat, sehingga dia mampu membela diri dan melindungi tubuhnya. Lebih untung lagi baginya bahwa lawannya juga mempergunakan ilmu silat yang sama sehingga meski pun gerakan Kui Hong amat cepat, dia selalu dapat melihat awal gerakan dan menduga dengan tepat ke mana arah serangan gadis itu. Biar pun demikian, saking cepatnya lawan bergerak, dia dipaksa untuk bergerak cepat mengimbanginya dan hal ini membuat kepalanya terasa pening dan pandang matanya berkunang! “Apa bila ada suheng atau sute yang hendak turut meramaikan latihan ini dan membantu Ciok-suheng, silakan maju!” kata Kui Hong sambil mengelak dari sambaran tangan Ciok Gun yang baru dapat membalas serangan ketika gadis itu berhenti sebentar untuk bicara kepada murid lainnya. “Jangan malu-malu, hayo maju dan kita latihan bersama!” Mendengar ucapan ini, dan melihat betapa Ciok Gun yang mereka kenal sebagai ahli ilmu silat San-in Kun-hoat sama sekali tak mampu menandingi puteri ketua mereka itu, empat orang murid menjadi penasaran dan juga bangkit kegembiraan mereka. Mereka berempat adalah murid-murid yang lebih tua dari pada Kui Hong dan juga terhitung suheng (kakak seperguruan) gadis itu. Mereka saling memberi isyarat, kemudian keempatnya meloncat ke depan memasuki kalangan adu silat. "Sumoi, kami hendak ikut berlatih!" kata mereka. "Bagus! Marilah, suheng berempat, maju dan bantulah Ciok-suheng supaya lebih ramai!" tantang Kui Hong tanpa sombong, wajahnya berseri, cantik sekali dan sepasang matanya bersinar-sinar, membuat kagum semua murid yang berada di situ. Empat orang murid itu kemudian mulai membantu Ciok Gun, mengepung Kui Hong dan menyerang secara bertubi-tubi, akan tetapi serangan mereka itu selalu mempergunakan ilmu silat Sam-in Kun-hoat karena mereka itu sedang berlatih, bukan berkelahi dan tiada seorang pun di antara mereka yang mau bertindak curang. Kini Kui Hong benar-benar memperlihatkan kelihaiannya! Gadis itu tidak berani main-main lagi seperti ketika menghadapi Ciok Gun seorang. Kini dara ini dikeroyok oleh lima orang murid Cin-ling-pai yang sudah tinggi ilmunya, dan empat orang yang baru masuk itu pun tentu saja telah menguasai San-in Kun-hoat dengan baik, walau pun mereka tidak seahli Ciok Gun. Kini Kui Hong mengerahkan tenaga yang lebih besar dan memainkan San-in Kun-hoat sebaik mungkin. Terjadilah adu ilmu yang sangat seru dan menarik sekali. Gerakan Kui Hong sedemikian cepat dan ringannya, juga amat indah. Tubuhnya bergerak seolah-oleh seekor kupu-kupu di antara lima tangkai bunga yang tertiup angin bergerak ke sana sini, dan kupu-kupu itu beterbangan di antara mereka! Bagaimana pun kelima orang itu mendesak dan berusaha mengalahkan sumoi mereka, namun mereka tidak pernah mampu menyentuh ujung baju Kui Hong! Dan para murid yang menonton adu ilmu ini menjadi bengong. Barulah mereka melihat kenyataan bahwa ilmu silat San-in Kun-hoat dapat menjadi ilmu yang sangat hebat, yang membuat gadis itu sama sekali tidak terdesak meski pun dikeroyok oleh lima orang murid utama yang merupakan tokoh-tokoh tingkat dua di Cin-ling-pai! Tentu saja hal ini tidaklah aneh. Semua ilmu silat merupakan ilmu bela diri yang amat baik dan teratur, penuh dengan daya serang dan daya bertahan yang baik. Tinggi rendahnya tingkat seseorang bukan ditentukan oleh ilmu silatnya itu sendiri, namun oleh orangnya! Siapa yang tekun berlatih dan menguasai rahasia ilmu silat itu, dan yang memiliki tenaga sakti yang kuat, tentu dapat memainkan ilmu silat itu dengan amat baik dan membuatnya amat tangguh, sukar dikalahkan lawan. Sebaliknya, betapa pun tinggi dan hebatnya suatu ilmu, jika yang mempelajarinya hanya menguasai setengah-setengah saja, maka ilmunya belum matang dan tentu saja tidak membuat dia menjadi terlalu tangguh. *************


jilid 4


Kui Hong bukan saja sudah menguasai ilmu San-in Kun-hoat dengan sangat baik, akan tetapi sesudah menerima gemblengan dari kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, gadis ini telah memiliki sinkang yang amat kuat. Juga kakek dan neneknya menunjukkan kekurangan-kekurangan dalam gerakan semua ilmu silat yang telah dikuasainya sehingga ilmu itu menjadi semakin ampuh karena seolah-olah telah disempurnakan oleh dua orang ahli silat yang sakti! Oleh karena itu, menghadapi lima orang suheng-nya, biar pun seorang di antara mereka ahli San-in Kun-hoat, dara ini memang jauh lebih matang, lebih cepat karena menguasai ginkang (ilmu meringankan tubuh) gemblengan neneknya, juga memiliki sinkang (tenaga sakti) gemblengan kakeknya. Walau pun dikeroyok oleh lima orang, Kui Hong menguasai keadaan karena semua serangan yang sudah dikenalnya dengan baik itu dapat dielakkan dengan kecepatan gerakan tubuhnya, dan jika tak sempat mengelak, setiap tangkisannya membuat tubuh penyerangnya terdorong ke belakang. Akhirnya lima orang itu harus mengakui keunggulan sumoi mereka. Mereka tahu bahwa dalam perkelahian sungguh-sungguh, sudah sejak tadi mereka akan roboh seorang demi seorang! Ciok Gun yang lebih dulu melompat ke belakang diikuti empat orang murid lain. "Hebat, ilmu kepandaianmu sekarang amat hebat, sumoi. Sungguh membuat kami semua kagum dan membuka mata kami bahwa keturunan ketua dan guru kami memang hebat!" Mendengar ucapan Ciok Gun itu, semua murid menjadi gembira karena tadinya banyak di antara murid Cin-ling-pai kebingungan, merasa kehilangan pimpinan, seperti sekumpulan anak ayam ditinggalkan induknya ketika ketua mereka, Cia Hui Song, bertapa di makam isterinya yang kedua, sedangkan ketua lama, Cia Kong Liang hanya bersemedhi di dalam kamarnya tanpa mau mencampuri urusan luar, dan Sui Cin juga bersikap acuh terhadap perkumpulan itu karena bagaimana pun juga, dia merasa bukan haknya untuk memimpin Cin-ling-pai. Akan tetapi sekarang muncul Cia Kui Hong yang demikian lihai, maka para murid mempunyai harapan untuk dapat memperoleh seorang pemimpin yang pandai dan boleh diandalkan, juga yang ahli dalam ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. "Hidup nona Cia Kui Hong!" teriak para murid. Ada yang menyebut sumoi, suci, dan juga nona! Kui Hong menjura ke arah mereka dengan sikap merendah. "Para suheng dan sute, harap jangan terlalu memuji padaku. Ketahuilah, aku memperoleh kemajuan karena aku tekun dan giat berlatih, juga aku sudah menerima bimbingan kakek dan nenekku di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi aku mengajak kalian berlatih bukannya untuk pamer, melainkan karena aku melihat kelesuan di antara kalian. Marilah kita berlatih dengan baik, karena kalau bukan kita siapa lagi yang harus menegakkan nama besar Cin-ling-pai! Dan bagaimana kita akan mampu menegakkan nama besar Cin-ling-pai bila kita lemah dan malas berlatih? Ketahuilah, aku membawa berita baik, yaitu bahwa mulai hari ini ayahku, yaitu ketua kalian, telah meninggalkan tempat pertapaan dan akan memimpin Cin-ling-pai seperti biasa." Mendengar ini semua murid segera bersorak gembira sekali karena berita ini merupakan berita baik. Kui Hong mencari dengan matanya dan akhirnya dia melihat pemuda tinggi besar bermuka putih yang bernama Tang Cun Sek itu, murid Cin-Iing-pai yang baru dan amat disuka oleh kakeknya, yang menurut kakeknya lihai sekali karena sebelum masuk menjadi anggota Cin-ling-pai sudah mempunyai banyak macam ilmu silat yang tinggi. Dia melihat pemuda itu di sudut, turut pula bertepuk tangan dengan para murid lain. Tiba-tiba seorang murid lain yang berdiri di dekat Tang Cun Sek, yakni murid bertubuh kurus yang dikenal oleh Kui Hong sebagai seorang murid lama dan terhitung suheng-nya, berusia tiga puluh lima tahun, bangkit berdiri dan berkata dengan suara nyaring, "Tentu saja kami gembira sekali mendengar berita itu, Cia-sumoi, akan tetapi kami pernah mendengar bahwa nanti akan diadakan pemilihan ketua baru untuk Cin-ling-pai. Sampai di mana kebenaran berita itu?" Kui Hong kembali bertemu pandang dengan Tang Cun Sek dan ia melihat betapa pemuda itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian, seakan-akan tertarik sekali dan ingin benar mendengar jawabannya atas pertanyaan itu. Gadis itu tersenyum. Tentu saja para murid itu juga telah mendengar akan hal ini, karena bukankah kakeknya juga mendengar? Dia mengangguk dan memandang ke sekeliling. "Memang benar, ayahku telah memberi tahu pula kepadaku bahwa dalam waktu dekat ini akan diadakan pesta di Cin-ling-pai, pertama untuk merayakan hari ulang tahun ke tujuh puluh dari kakekku..." "Hidup dan panjang umur lo-pangcu!" terdengar para murid Cin-ling-pai serentak berseru untuk menghormati ketua lama yang akan merayakan ulang tahunnya itu. "Dan yang kedua, memang ayahku berniat untuk mengangkat seorang ketua Cin-ling-pai yang baru. Hal ini adalah karena ayah dan ibuku hendak pergi merantau dan tidak baik kalau Cin-ling-pai dibiarkan tanpa ketua," sambung Kui Hong. "Mengapa mesti susah-susah mencari ketua baru? Nona Cia Kui Hong sangat lihai dan amat pantas menjadi pengganti ketua!" terdengar teriakan seorang murid dan ucapan ini kembali mendapat sambutan sorak-sorai, tanda bahwa sebagian besar dari para murid itu setuju jika Kui Hong menjadi ketua Cin-ling-pai. Mereka sudah melihat kelihaian Kui Hong dan juga merasa senang sekali kalau ketua mereka seorang gadis yang demikian cantik dan gagah perkasa! Sejenak Kui Hong memperhatikan wajah Tang Cun Sek. Akan tetapi pemuda tinggi besar yang bermuka putih itu kelihatan tenang saja, malah tersenyum dan mengangguk-angguk tanpa menyatakan setuju, akan tetapi juga tidak menentang. Wajah Kui Hong yang menjadi merah, "Aihh, para Sute dan Suheng ini ada-ada saja. Aku hanya seorang wanita, bagaimana dapat menjadi seorang ketua yang harus menghadapi banyak tantangan dan persoalan? Aku paling tidak suka dengan kesibukan, apa lagi kalau harus mempergunakan otak memikirkan banyak persoalan. Aku ingin bebas. Kurasa Cin-ling-pai memiliki cukup banyak murid yang pandai dan pantas untuk menjadi ketua, kalau memang ayah menghendaki adanya seorang ketua baru," berkata demikian, kembali Kui Hong melayangkan pandang matanya kepada Tang Cun Sek yang masih diam saja, tidak membuat tanggapan apa pun. "Sudahlah, kita menanti datangnya saat itu dan kita lihat saja nanti. Bagaimana pun juga, seorang calon ketua Cin-ling-pai haruslah benar-benar seorang yang selain pandai ilmu silat Cin-ling-pai juga bijaksana. Tentu kepandaiannya itu akan diuji lebih dulu, dan kurasa para susiok dan pemuka Cin-ling-pai juga sudah siap untuk menghadapi peristiwa besar itu. Sekarang, siapa lagi yang ingin berlatih silat dengan aku?" Dengan gembira para murid Cin-ling-pai itu lalu bergantian maju dan berlatih silat dengan gadis puteri ketua itu yang ternyata pandai dalam semua ilmu silat perkumpulan mereka. Dan Kui Hong tidak segan-segan untuk memberi petunjuk dan bimbingan kepada mereka dengan hati tulus. Demikianlah, semenjak Kui Hong pulang ke Cin-ling-pai banyak di antara para murid yang memperoleh kegembiraan baru dan mereka mulai rajin lagi berlatih silat. Sementara itu Cia Hui Song sibuk mengirim surat undangan kepada para tokoh pendekar dan pimpinan perkumpulan persilatan besar untuk menghadiri pesta yang akan diadakan dengan dua peristiwa penting, yaitu pertama untuk merayakan hari ulang tahun ayahnya yang ke tujuh puluh tahun, dan ke dua untuk mengadakan pemilihan ketua baru dari Cin-ling-pai dengan disaksikan oleh para tokoh yang hadir. Dan tanpa diketahui orang lain kecuali ketua Cin-ling-pai itu dan anak isterinya, pesta itu pun diam-diam diadakan untuk merayakan pertemuan serta bersatunya keluarga mereka setelah berpisah batin selama kurang lebih empat tahun lamanya. Sesudah mengirimkan surat-surat undangan, Cin-ling-pai sibuk membuat persiapan untuk menyambut datangnya hari baik itu dan tempat-tempat darurat dipersiapkan untuk menampung para tamu. Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang sudah sangat terkenal. Keluarga Cia yang sejak turun temurun memimpin Cin-ling-pai juga dikenal sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa, dan para murid perkumpulan ini juga belum pernah ada yang melakukan penyelewengan sehingga nama Cin-ling-pai amat dihormati dan disegani dunia kang-ouw, ditakuti golongan hitam dan dikagumi para pendekar. Oleh karena itu para tokoh persilatan yang telah menerima undangan dari pihak Cin-ling-pai memerlukan datang untuk memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang, juga untuk menyaksikan pemilihan ketua baru yang tentunya akan menarik sekali. Seperti telah lajim dilakukan di kalangan persilatan, penggantian ketua selalu diramaikan dengan ujian ilmu silat, bahkan di dalam kesempatan itu tidak jarang terjadi adu ilmu. Juga berita bahwa Cin-ling-pai hendak mengangkat seorang ketua di antara para murid, bukan keturunan langsung dari ketua yang sekarang, merupakan hal yang amat menarik bagi para tokoh kang-ouw. Sedikit sekali di antara mereka yang menerima undangan tidak menyempatkan diri untuk datang hadir. Pada hari yang sudah ditentukan, para tamu berdatangan mendaki Gunung Cin-ling-san. Para murid kepala Cin-ling-pai menyambut mereka dengan sikap hormat, lantas mereka dipersilakan masuk ke dalam taman yang luas di belakang rumah induk. Memang taman itu sudah dipersiapkan untuk pesta ini. Sebuah taman yang amat luas dan kini telah dihias dan kursi-kursi berpencaran di antara tanaman bunga. Di tengah taman yang lapang itu dibangun sebuah panggung dan pihak tuan rurnah duduk di deretan kursi yang diletakkan di sudut, menghadap ke arah semua tamu yang duduk membentuk setengah lingkaran menghadap ke panggung. Ternyata Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai tak ingin membuat pesta besar-besaran. Tamu yang diundang tidak banyak, dan mereka yang sudah datang semua itu hanya berjumlah kurang lebih seratus lima puluh orang, terdiri dari berbagai macam golongan, tokoh-tokoh persilatan, pimpinan perkumpulan silat, dan orang-orang penting dalam dunia persilatan. Walau pun tamu yang diundang tidak begitu banyak, namun mereka mewakili tokoh-tokoh yang terpenting. Suasana pesta itu pun cukup meriah karena Cin-ling-pai mendatangkan rombongan musik, nyanyian dan tari yang kenamaan, juga mendatangkan koki yang telah berpengalaman. Tentu saja tamu yang diundang itu hanyalah tokoh-tokoh kalangan persilatan yang tinggal di daerah Propinsi Shensi saja, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar seperti Sian, Han-cung, Pao-ci, Yen-an dan sebagainya. Namun semua perkumpulan persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, dan Kun-lun-pai telah diwakili oleh wakil masing-masing yang terdapat di Propinsi Shensi karena kebetulan sekali di propinsi ini terdapat murid-murid pandai dari perkumpulan besar itu yang dapat mewakili perkumpulan masing-masing. Para tamu secara bergiliran memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang yang duduk di sudut panggung. Karena telah bertahun-tahun selalu mengeram diri di dalam kamarnya dan bersemedhi, maka kakek ini pun merasa lemah kalau terlalu lama berdiri, maka dia menyambut penghormatan para tamu sambil duduk. Puteranya, Cia Hui Song atau ketua Cin-ling-pai, berdiri di sebelah kanannya. Dialah yang membalas setiap ucapan selamat para tamu itu dengan penghormatan, mewakili ayahnya yang hanya duduk sambil tersenyum dan mengangguk-angguk terhadap setiap para tamu yang menghaturkan selamat kepadanya. Sesudah memberi kesempatan kepada para tamu untuk memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song lantas memberi ucapan selamat datang kepada para tamu dan pesta pun dimulailah dengan meriah. Rombongan pemain musik, penari dan penyanyi mulai memperlihatkan kemahiran mereka, maka taman itu pun penuh dengan senyum dan tawa di antara mengalirnya arak dan anggur harum sebagai teman hidangan yang serba lezat karena dibuat oleh koki yang pandai. Para tamu mulai makan minum sambil mengobrol dengan gembira. Ada pula yang makan minum sambil menikmati tontonan yang amat menarik, yaitu tari-tarian dan nyanyian yang dilakukan para gadis cantik. Mereka semua bergembira, terutama sekali karena mereka tahu bahwa sesudah makan minum mereka akan disuguhi tontonan yang sedang mereka nanti-nantikan, bahkan yang sudah mendorong mereka untuk hadir dalam pesta itu, yaitu pemilihan ketua baru dari Cin-ling-pai. Para tamu muda tak ada hentinya mengerling ke arah panggung di mana duduk seorang gadis yang amat menarik perhatian mereka, apa lagi sesudah mereka mendengar bahwa gadis yang cantik jelita dan gagah itu bukan lain adalah puteri ketua Cin-ling-pai! Nama Cia Kui Hong sudah banyak dikenal orang kalangan persilatan karena gadis ini termasuk seorang di antara para pendekar yang telah ikut membasmi pemberontakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Apa lagi mereka pun mendengar bahwa gadis cantik dan gagah perkasa itu, yang usianya sudah sembilan belas tahun, bagaikan setangkai bunga mawar sedang mekar mengharum dengan indahnya, belum menikah, bahkan belum bertunangan! Sesudah pesta makan minum selesai, Cia Hui Song lalu bangkit dan melangkah maju ke tengah panggung, menghaturkan terima kasih kemudian memberi tahu kepada para tamu bahwa kini Cin-ling-pai hendak mengadakan pemilihan ketua baru dan dia berharap agar para tamu suka menjadi saksi. "Harap Cia-pangcu (Ketua Cia) suka memberi tahu kepada kami kenapa pangcu hendak mengadakan pemilihan ketua baru? Bukankah pangcu adalah ketuanya dan Cin-ling-pai sudah mendapat banyak kemajuan selama dalam bimbingan pangcu?" terdengar seorang tamu berseru. Para tamu lainnya mengangguk menyatakan persetujuan mereka dengan pertanyaan itu karena memang rata-rata mereka merasa heran akan pemilihan ketua Cin-ling-pai secara tiba-tiba ini, pada hal ketuanya masih muda dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mendengar pertanyaan ini, Hui Song tersenyum ramah dan mengangguk. Dia memang sudah mempersiapkan diri menghadapi pertanyaan seperti itu. "Harap cu-wi (anda sekalian) tidak salah sangka. Sebenarnya tidak terjadi sesuatu yang aneh dalam perkumpulan kami dan pemilihan ketua baru ini wajar saja. Tidak lain karena saya bersama isteri ingin merantau dan karena merasa tidak baik jika meninggalkan Cin-ling-pai tanpa seorang ketua, maka sebelum pergi kami hendak mengadakan pemilihan ketua baru. Kami sengaja memilih hari ini agar ada cu-wi yang dapat menjadi saksi." Keterangan Cia Hui Song ini agaknya dapat diterima karena tidak ada lagi di antara para tamu yang mengajukan pertanyaan. Cia Hui Song kemudian menyerahkan pimpinan untuk pemilihan ketua baru itu kepada ayahnya. Baru sekarang Cia Kong Liang yang sudah tua itu nampak bersemangat setelah puteranya menyerahkan pimpinan kepadanya. Dia masih tetap duduk di atas kursinya, akan tetapi suaranya terdengar lantang ketika dia berkata, "Semua murid dan anggota Cin-ling-pai tanpa terkecuali, harap semuanya berkumpul di dekat panggung!" Maka berkumpullah semua murid Cin-ling-pai, bahkan mereka yang tadinya bertugas jaga atau ikut melayani tamu, kini ikut pula berkumpul. Setelah semua murid berkumpul dekat panggung, menempati bagian belakang panggung supaya tidak menghalangi pandangan para tamu yang duduk di kursi menghadap panggung, ketua lama Cia Kong Liang berkata kembali, nada suaranya tegas dan berpengaruh. "Sekarang dimulai tahap pertama, yaitu para murid diberi kesempatan untuk mengajukan calon-calon yang mereka pilih!" Semenjak ada pernyataan ketua Cin-ling-pai bahwa akan diadakan pemilihan ketua baru, maka sudah terjadi semacam persaingan di antara para murid Cin-ling-pai. Di satu pihak ada yang memilih Gouw Kian Sun untuk menjadi ketua. Gouw Kian Sun ini berusia hampir empat puluh tahun, dan dialah yang dapat dikata murid Cin-ling-pai terpandai di waktu itu. Dia adalah sute dari Cia Hui Song, atau murid dari Cia Kong Liang dan murid ini sudah menguasai seluruh ilmu silat Cin-ling-pai. Bahkan dialah yang selama ini mengurus sebagian besar tugas di Cin-ling-pai ketika Hui Song bertapa di makam isterinya yang ke dua dan Cia Kong Liang mengeram diri di dalam kamarnya. Oleh Cia Hui Song dia diangkat pula menjadi pembantu utama. Gouw Kian Sun ini seorang yang tidak memiliki keluarga, tidak punya orang tua dan dia belum menikah sungguh pun usianya sudah hampir empat puluh tahun. Orangnya sangat rajin, setia terhadap Cin-ling-pai, bertanggung jawab serta pendiam. Semua murid tingkat atas maklum belaka bahwa Gouw Kian Sun memiliki ilmu kepandaian silat yang menonjol dan hanya berada di bawah tingkat kepandaian ketua sendiri! Karena itu, maka sebagian murid memilih dan mengajukan dia sebagai calon ketua. Tetapi ada sebagian murid yang memilih Tang Cun Sek! Hal ini adalah karena mereka itu percaya akan kelihaian Tang Cun Sek yang menguasai banyak ilmu silat selain ilmu-ilmu Cin-ling-pai dan mereka menganggap bahwa kalau Cun Sek menjadi ketua, tentu mereka akan bisa mempelajari ilmu-ilmu silat yang baru. Di samping itu, juga Tang Cun Sek yang pendiam itu menarik perhatian, terutama sesudah para murid tahu bahwa Tang Cun Sek agaknya disayang oleh ketua lama, yaitu kakek Cia Kong Liang! Sebelum Kui Hong pulang ke Cin-ling-san, para murid terbagi menjadi dua kelompok yang memilih dua orang ini, akan tetapi sesudah gadis itu pulang, banyak di antara para murid yang condong memilih gadis puteri ketua itu menjadi pangcu (ketua) yang baru! Maka, ketika kakek Cia Kong Liang menyuruh para murid memilih dan mengajukan calon ketua terdengarlah teriakan-teriakan yang menyebut tiga nama. "Gouw Kian Sun!" "Tang Cun Sek!" "Nona Cia Kui Hong...!" Demikianlah terdengar para murid meneriakkan nama calon masing-masing. Mendengar disebutnya nama Cia Kui Hong itu, Cia Hui Song saling pandang dengan isterinya, Ceng Sui Cin. Mereka tidak menyangka bahwa ada sebagian murid yang memilih puteri mereka sebagai calon ketua baru! Akan tetapi karena mereka berada pada suatu upacara pemilihan, tentu saja mereka tidak dapat menyatakan sesuatu dan suara dari para murid pada waktu seperti itu mempunyai hak dan kekuasaan. Mereka hanya memandang kepada puteri mereka yang juga nampak terkejut mendengar namanya disebut-sebut sebagai calon ketua! Akan tetapi Kui Hong pun hanya tersenyum saja karena merasa tidak enak jika menolak begitu saja. Diapun sudah tahu akan peraturan pemilihan seperti ini, harus tunduk kepada suara banyak dan yang berhak menentukan adalah suara terbanyak. Jika dia menyatakan penolakannya, maka sama saja dengan melanggar peraturan yang sudah diadakan oleh perkumpulannya sendiri, atau sama saja dengan mengkhianati Cin-ling-pai. Akan tetapi gadis yang cerdik ini diam-diam membayangkan bagaimana kalau dia menjadi ketua, terikat oleh tugas dan kewajiban. Diam-dim dia merasa ngeri dan dalam benaknya sudah diaturnya bagaimana supaya dia dapat mengatasi hal itu. Dia pun sudah mengenal Gouw Kian Sun yang dipanggilnya susiok, seorang yang setia kepada Cin-ling-pai, pandai dan juga bijaksana. Dan dara ini pun tahu bahwa calon ke dua, Tang Cun Sek, adalah orang yang didukung oleh kakeknya, juga mempunyai banyak pendukung di antara para murid Cin-ling-pai. Biar pun dia sendiri belum membuktikan, dia mendengar bahwa Tang Cun Sek adalah orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Bahkan menurut keterangan kakeknya, pemuda tinggi besar bermuka putih itu mempunyai kepandaian silat yang tingkatnya tidak berada di bawah tingkat ayahnya atau ibunya! Sungguh hal ini sukar untuk dapat dipercayanya. Ayahnya adalah murid dari mendiang Siangkiang Lojin, seorang di antara Delapan Dewa, ada pun ibunya adalah puteri tunggal Pendekar Sadis, kongkong-nya yang amat sakti dan neneknya yang juga tak kalah saktinya! Kalau benar Tang Cun Sek ini mempunyai tingkat kepandaian seperti ayahnya atau ibunya, tentu dia lihai bukan main dan mudah diduga bahwa tingkat kepandaian susiok-nya, Gouw Kian Sun yang menjadi calon pertama itu tidak akan mampu mengalahkannya. Tentu saja diam-dlam Kui Hong condong memilih susiok-nya yang sudah dikenal benar wataknya. Setelah dia bicara dengan ayah ibunya tentang Tang Cun Sek, ternyata bahwa ayah ibunya agaknya juga tidak begitu setuju apa bila orang ini menjadi ketua baru, akan tetapi ayah ibunya juga merasa sungkan terhadap kakeknya. "Kami sendiri belum pernah membuktikan sampai di mana kelihaiannya," demikian antara lain Cia Hui Song menjawab pertanyaan puterinya mengenai Tang Cun Sek. "Akan tetapi ketika dia mohon menjadi murid Cin-ling-pai, sikapnya amat baik sehingga tak ada alasan bagiku untuk menolaknya. Dan dia memang berbakat sekali karena semua ilmu silat Cin-ling-pai dapat dikuasainya dengan baik, bahkan yang bagaimana sukar pun. Dan dia pun amat tekun belajar, bahkan paling menonjol dalam hal ketekunannya." "Dan bagaimana pun juga harus kami akui bahwa sikapnya amat baik. Dia pendiam, tidak banyak cakap dan tidak banyak ulah, bahkan rajin pula bekerja. Tak ada alasan bagi kami untuk merasa kecewa atau tidak suka kepadanya." "Dan agaknya ayah memang amat suka kepada pemuda itu. Entah mengapa kakekmu itu sering memanggilnya, dan bahkan hanya Tang Cun Sek yang diperkenankan memasuki pondoknya, kemudian bahkan mengharuskan murid itu yang melayani kakekmu," kata Hui Song. "Ayah dan Ibu, agaknya kakek sudah condong memilih dia sebagai ketua baru, bahkan kakek pernah mengatakan kepadaku bahwa murid itu pantas menjadi jodohku. Hemmm, agaknya kakek sudah suka bukan main kepada Tang Cun Sek itu." Ayah dan ibunya saling pandang dan tersenyum. "Mengenai hal itu, terserah kepadamu, anakku," kata Ceng Sui Cin. "Ayahmu dan aku memang sudah ingin sekali mempunyai mantu dan cucu, tetapi tentang jodohmu, kami menyerahkan sepenuhnya pada pilihanmu. Biar pun kakekmu serta ayah dan ibumu telah menyukai seorang calon suamimu, namun kalau engkau sendiri tidak suka dan tidak setuju, siapa pun tak akan dapat memaksamu." Mendengar ucapan ibunya itu, Kui Hong lalu merangkul dan mencium pipi ibunya dengan hati yang girang dan terharu. Ucapan ibunya itu saja telah menunjukkan betapa besarnya cinta kasih ayah dan ibunya kepadanya. "Terima kasih, Ayah dan Ibu. Semoga saja aku dapat menemukan seorang jodoh yang akan menyenangkan hati kita semua, juga termasuk hati kakek." Kini hati Kui Hong merasa tidak enak. Yang diajukan oleh para murid Cin-ling-pai hanya dua orang saja, tiga dengannya. Dan di antara kedua orang itu, agaknya Tang Cun Sek yang lebih unggul. Apakah dia harus memperebutkan kedudukan ketua dengan Tang Cun Sek? Padahal dia sama sekali tak ingin menjadi ketua! Tetapi membiarkan Tang Cun Sek menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru? Hal inilah yang diragukannya sebab dia belum tahu benar bagaimana watak orang baru itu. Bahkan ayah dan ibunya juga belum mengenal wataknya dengan baik. Dia lalu mendekati ibunya dan berbisik. "Ibu, bagaimana ini? Aku tidak ingin menjadi ketua. Apakah kita harus membiarkan Cun Sek menjadi ketua baru? Apakah susiok Gouw Kian Sun mampu mengalahkannya dalam ujian ilmu silat?" Ibunya kemudian balas berbisik kepadanya. "Dengar, Kui Hong. Terus terang saja, aku pun masih belum percaya kepadanya. Kalau memang dia seorang murid yang baik, tentu dia tidak mengandalkan kepandaian dari luar untuk merebut kemenangan dan menduduki jabatan ketua! Tentu dia akan mengalah dan membiarkan susiok-mu Gouw Kian Sun yang menjadi ketua baru. Karena itu lihat saja baik-baik, dan kalau perlu engkau harus menjadi penghalang agar dia tidak menjadi ketua dengan jalan kekerasan atau mempergunakan kepandaian silat yang datang dari luar Cin-ling-pai. Mengertikah engkau?" Kui Hong mengangguk dan pada saat itu terdengar suara kakek Cia Kong Liang, lantang berwibawa, "Apakah hanya tiga orang itu yang dijadikan calon oleh para murid?" Terdengar para murid Cln-ling-pai menjawab berbareng seperti sarang lebah diusik, tetapi semua membenarkan pertanyaan ketua lama itu. Akan tetapi di antara para tamu tiba-tiba saja nampak seorang laki-laki bangkit berdiri dari kursinya. Dia seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, dan dia adalah seorang di antara para wakil Bu-tong-pai. "Maaf, Cia Locianpwe (orang tua gagah Cia). Bolehkah kami ikut mengajukan pertanyaan karena walau pun bukan anggota Cin-ling-pai namun kami hadir di sini sebagai saksi." Kakek Cia Kong Liang tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Tentu saja boleh. Silakan!" "Locianpwe, apakah yang berhak menjadi calon ketua hanya murid atau anggota Cin-ling-pai saja? Bagaimana kalau ada orang luar yang hendak masuk pula menjadi calon dan menghadapi ujian, ingin menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru?" Kakek Cia Kong Liang kemudian memperlebar senyumnya. "Sungguh aneh pertanyaan itu, orang muda yang gagah. Kurasa tidak ada perkumpulan silat di dunia ini yang akan membolehkan orang luar menjadi ketua mereka. Dan kami pun tidak terkecuali. Tentu saja yang berhak menjadi calon ketua hanyalah seorang murid Cin-ling-pai." "Maaf, Locianpwe," kata lagi orang itu. "Telah bertahun-tahun kami mengenal Cin-Iing-pai, dan banyak murid-murid utama Cin-ling-pai yang kami kenal sebagai pendekar-pendekar budiman. Saudara Gouw Kian Sun juga kami kenal sebagai seorang anggota Cin-ling-pai yang gagah perkasa dan sudah selayaknya kalau dia terpilih menjadi calon ketua. Juga nona Cia Kui Hong, sudah sepatutnya pula menjadi calon sebab dia adalah seorang puteri Cia Pang-cu. Akan tetapi orang ke tiga yang namanya disebut tadi, Tang Cun Sek, sama sekali tidak kami kenal. Apakah dia seorang anggota Cin-ling-pai?" Mendengar pertanyaan ini, berkerut kening Tang Cun Sek, namun hanya Kui Hong yang agaknya memperhatikan perubahan pada wajahnya. Gadis itu melihat betapa sinar mata Cun Sek seperti mengeluarkan api ditujukan kepada si pembicara. "Tang Cun Sek memang seorang anggota baru," kata kakek Cia Kong Liang. "Baru empat tahun dia menjadi murid Cin-ling-pai, maka dia pun berhak untuk menjadi calon ketua." "Empat tahun?" Orang Bu-tong-pai itu berseru heran. "Locianpwe, bagaimana mungkin seorang murid yang baru empat tahun mempelajari ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai tahu-tahu dapat diangkat menjadi ketua? Tentu ilmu silatnya belum ada artinya sama sekali!" "Tidak, biar pun dia baru empat tahun menjadi murid Cin-ling-pai, namun sebelumnya dia sudah menguasai banyak macam ilmu silat tinggi. Kalau dia tidak mempunyai kepandaian tinggi, bagaimana mungkin dia dipilih?" Agaknya kakek itu ingin menyudahi percakapan ini, maka dia pun segera berseru dengan suara lantang, "Tiga orang calon yang terpilih supaya maju dan naik ke atas panggung!" Yang muncul lebih dahulu adalah Tang Cun Sek. Karena seperti para murid Cin-ling-pai lainnya dia pun berdiri di bawah panggung maka kini dia meloncat ke atas panggung yang tingginya sekepala orang itu. Agaknya dia memang ingin memperlihatkan kepandaiannya karena ketika dia meloncat, seperti terbang saja tubuhnya melayang naik jauh lebih tinggi dari panggung itu, berjungkir balik tiga kali sebelum dia turun ke atas panggung. Agaknya, untuk minta maaf atas perbuatannya yang seperti memamerkan kepandaian ini, begitu kedua kakinya turun, dia langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan kakek Cia Kong Liang, memberi hormat kepada kakek yang terhitung kakek gurunya itu. Cia Kong Liang memandang dengan wajah berseri, "Cun Sek, bangkitlah dan berdirilah di tengah panggung agar dikenal oleh semua tamu." Akan tetapi Cun Sek tak segera bangkit berdiri, melainkan cepat memberi hormat kepada Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin yang disebutnya suhu dan subo. Barulah dia bangkit dan mundur sampai ke tengah panggung, kemudian membalik dan menghadap ke arah para tamu sambil menjura dan bersoja (memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada). Para murid yang menjagoinya bertepuk tangan menyambut kehadiran orang muda tinggi besar ini. Melihat seorang pemuda berusia sekitar tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar bermuka putih, tampan dan gagah, sepasang matanya mencorong, para tamu diam-diam memandang kagum. Sementara itu Gouw Kian Sun juga meloncat ke atas panggung, meloncat biasa saja lalu menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada suhu dan suheng-nya. Dan berbareng dengan itu, Kui Hong juga melangkah maju, berlutut di dekat susiok-nya. "Suhu dan Suheng, sesungguhnya teecu tidak berani maju secara lancang untuk menjadi calon ketua, tetapi teecu didorong oleh para anggota Cin-ling-pai yang memilih teecu." Kui Hong yang berlutut di sampingnya cepat berkata, cukup keras untuk didengar semua orang, "Susiok, mengapa begitu? Engkaulah satu-satunya orang yang paling tepat untuk menggantikan ayah kalau ayah mengundurkan diri!" "Kian Sun! Kui Hong, bangkitlah dan berdiri di tengah panggung untuk memperkenalkan diri kepada para tamu!" terdengar kakek Cia Kong Liang berseru dengan suara nyaring. Kian Sun dan Kui Hong bangkit lantas berdiri di tengah panggung seperti yang dilakukan Cun Sek, dan para murid Cin-ling-pai yang mendukung mereka menyambut dengan tepuk tangan dan sorak sorai. Kembali terdengar suara kakek Cia Kong Liang yang menyuruh ketiga orang calon yang terpilih itu untuk duduk, lalu dengan lantang dia memberi tahu kepada para tamu dan para murid Cin-ling-pai bahwa kini pemilihan ketua baru itu akan dimulai. Pertama-tama, ketiga orang calon itu diharuskan memperlihatkan keahlian mereka dalam Ilmu Silat Cin-ling-pai untuk dinilai. Para penilainya, di samping kakek Cia Kong Liang sendiri, juga Cia Hui Song sebagai pangcu dan tujuh orang murid tertua yang menjadi suheng dan sute ketua. "Calon ketua Tang Cun Sek, perlihatkanlah kemampuanmu!" terdengar kakek Cia Kong Liang berseru. Pemuda tinggi besar itu bangkit berdiri, berjalan ke tengah panggung, memberi hormat ke arah kakek itu bersama para wasit, kemudian menjura ke arah para tamu dan mulailah dia bersilat. Dia menggerakkan tubuhnya dan memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, sebuah di antara ilmu-ilmu silat yang ampuh dari Cin-ling-pai. Ilmu ini memang sangat indah, dan sekarang dimainkan dengan gerakan sempurna, juga dengan pengerahan tenaga sakti yang membuat setiap gerakan tangan atau kaki pemuda itu mengeluarkan suara angin mencuit sehingga para tamu dapat merasakan betapa ada angin menyambar-nyambar dari arah panggung. Secara diam-diam Kui Hong sendiri terkejut bukan main karena dia dapat pula merasakan sambaran angin itu, maka tahulah gadis ini bahwa Tang Cun Sek memang seorang yang amat tangguh! Dia mengikuti semua gerakan pemuda itu dan walau pun permainan Silat Thai-kek Sin-kun itu amat hebat, akan tetapi dia masih dapat melihat suatu kekakuan atau ketidak wajaran yang menunjukkan bahwa ilmu silat itu sudah 'berbau' ilmu silat lain yang menjadi dasar gerakan pemuda itu. Hanya di dalam pandangan mata seorang ahli sajalah hal ini akan dapat nampak. Kui Hong tahu bahwa para wasit yang terdiri dari kakeknya, ayahnya dan para supek dan susiok-nya, yang semuanya adalah ahli-ahli Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, tentu akan dapat melihatnya pula. Hanya saja, kenyataan ini dapat menimbulkan dua macam tanggapan. Pertama adalah tanggapan bahwa Thai-kek Sin-kun yang dimainkan pemuda itu menjadi bertambah indah dan ampuh, namun yang ke dua adalah kenyataan bahwa ilmu itu tidak dimainkan secara murni lagi sehingga gerakan Cun Sek dapat dianggap kurang tepat. Dan secara diam-diam Kui Hong harus mengakui bahwa ilmu silat Thai-kek Sin-kun yang dimainkan pemuda itu memang hebat sekali, biar pun dia sendiri tidak melihat kemajuan dalam segi keindahannya karena 'berbau' dasar ilmu silat lain, namun gerakannya cepat dan mengandung angin pukulan yang hebat. Pemuda ini akan menjadi lawan yang amat tangguh, pikirnya. Sekarang dia percaya akan keterangan kongkong-nya bahwa Cun Sek ini memiliki tingkat kepandaian yang setara dengan ayah serta ibunya. Harus diakuinya sendiri bahwa andai kata dia belum digembleng secara keras oleh kakeknya dan neneknya di Pulau Teratai Merah, maka dia sendiri bukanlah tandingan anggota baru Cin-ling-pai ini. Tiba-tiba saja Cun Sek merubah ilmu silatnya dan dia kini memainkan ilmu silat Thian-te Sin-ciang, satu di antara ilmu silat yang amat tangguh dari perguruan Cin-ling-pai. Seperti juga Thai-kek Sin-kun tadi, ilmu ini pun dalam pandangan Kui Hong berbau gerakan ilmu asing sungguh pun harus diakuinya bahwa gerakan-gerakan pemuda itu cepat sekali dan semua pukulannya mengandung tenaga yang kadang bertentangan sebagai ciri khas ilmu silat Thian-te Sin-kun, tenaganya kadang keras dan kadang lunak. Berturut-turut Cun Sek memainkan sebagian dari ilmu-ilmu silat yang lain seperti San-in Kun-hwat, dan bahkan Im-yang Sin-kun yang merupakan ilmu simpanan dari ketua lama Cia Kong Liang. Kini mengertilah Cia Hui Song dan isterinya bahwa diam-diam ayahnya telah mendidik pemuda itu dengan ilmu silat simpanan ini. cerita silat online karya kho ping hoo Bukan itu saja, bahkan yang terakhir, pemuda itu menghunus sebatang pedang. Semua orang merasa silau ketika ada sinar emas berkilat dan pemuda itu sudah memainkan ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut, ilmu pedang yang paling rahasia dari Cin-ling-pai dan yang hanya diajarkan kepada murid-murid tingkat tertinggi saja! Dan pedang yang digunakan itu bukan lain adalah Hong-cu-kiam, pedang yang dapat digulung, pedang pusaka milik kakek Cia Kong Liang. Kembali Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang dan mereka mengerti bahwa pemuda ini benar-benar telah dipilih oleh ayah mereka. Tentu kakek itu yang telah mengajarkan ilmu pedang itu dan memberikan pedang Hong-cu-kiam pula! Kui Hong sendiri merasa betapa perutnya panas. Dia adalah cucu tunggal dari kongkong-nya sebelum terlahir adik tirinya, Cia Kui Bu. Akan tetapi kongkong-nya itu belum pernah meminjamkan pedang pusaka itu kepadanya! Kini tahu-tahu kakeknya sudah memberikan atau meminjamkan pedang itu kepada pemuda ini. Dan kembali dia mengerutkan alisnya, maklum benar betapa tangguhnya pemuda ini dengan pedang pusaka Hong-cu-kiam itu. Semua tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia persilatan nampak mengangguk-angguk dan kagum pada saat melihat betapa sinar emas itu bergulung-gulung mengelilingi tubuh pemuda itu yang sudah lenyap ditelan gulungan sinar emas! Tiba-tiba sinar itu lenyap dan nampaklah pemuda yang gagah itu berdiri tegak dengan pedang sudah melingkar pada pinggangnya, memberi hormat ke empat penjuru yang langsung disambut sorak sorai dan tepuk tangan dari para pendukungnya, juga dari sebagian para tamu yang merasa kagum. Dengan anggunnya pemuda itu segera berlutut memberi hormat kepada Cia Kong Liang, kemudian kepada Cia Hui Song dan isterinya, baru dia mundur ke pinggir panggung dan duduk bersila dengan sikap sopan. Tang Cun Sek memang seorang pemuda yang pandai membawa diri. Orangnya gagah, dengan wajah tampan ganteng berkulit putih, tubuhnya tinggi besar sehingga pantaslah dia menjadi seorang pendekar. Kakek Cia Kong Liang terlihat gembira melihat sambutan semua orang terhadap pemuda yang disukanya itu. Memang dia menyukai Cun Sek, dan hal ini tidak dapat disalahkan. Memang pemuda itu pandai sekali mengambil hati, bukan dengan menjilat-jilat, melainkan dengan sikapnya yang sangat sopan dan baik. Selama menjadi murid Cin-ling-pai belum pernah dia memperlihatkan sikap yang tercela. Selain tampan dan gagah, juga dia pantas menjadi murid kebanggaan Cin-ling-pai, dan menurut penglihatan Cia Kong Liang pemuda itu sangat pantas menjadi cucu mantunya, menjadi suami Cia Kui Hong! Karena itulah maka selama ini dia sendiri secara tekun sudah menggembleng pemuda itu dengan ilmu-ilmu silat simpanannya, bahkan menyerahkan pedang pusaka Hong-cu-kiam kepadanya. Bukankah pemuda itu adalah calon ketua Cin-ling-pai sekaligus calon cucu mantunya? Sudah sepatutnya mewarisi pedang pusakanya itu. "Sekarang calon ketua Gouw Kian Sun, perlihatkan kemampuanmu!" terdengar kakek ini berkata. Gouw Kian Sun adalah muridnya sendiri, murid Cin-ling-pai yang paling pandai, tentu saja kalau tanpa memperhitungkan Cun Sek. Gouw Kian Sun maju, lantas memberi hormat kepada Cia Kong Liang sebagai gurunya, kemudian kepada Cia Hui Song dan isterinya sebagai suheng dan juga ketua Cin-ling-pai, dan dengan sikap tenang dia pun lalu melangkah ke tengah panggung. Setelah memberi hormat kepada para penonton, dia pun mulai bersilat. Seperti yang dipertontonkan oleh Tang Cun Sek tadi, ia juga memainkan semua ilmu silat Cin-ling-pai walau pun tidak semua jurus dikeluarkan, hanya dipilih jurus-jurus yang paling baik saja. Permainannya mantap dan menunjukkan kemahiran serta kematangan. Walau pun kecepatannya tidak seperti yang dipertontonkan Cun Sek tadi, juga sambaran angin pukulannya tidak sedahsyat pemuda tadi, tetapi semua yang ahli dalam ilmu silat Cin-ling-pai maklum bahwa inilah ilmu silat Cin-ling-pai yang asli. Di lubuk hatinya yang paling dalam, kakek Cia Kong Liang sendiri harus mengakui bahwa permainan silat Gouw Kian Sun itu memang sudah mendekati kesempurnaan, gerakan-gerakannya mantap dan matang. Dan dia pun bukan tidak tahu bahwa gerakan silat Cun Sek tadi berbau percampuran gerakan silat asing. Akan tetapi karena dia sudah condong untuk memilih Cun Sek yang dipercayanya akan mampu memimpin Cin-ling-pai dengan baik dan bisa memajukan perkumpulan itu, maka dia pun memberi nilai yang lebih tinggi kepada pemuda itu. Berbeda dengan Tang Cun Sek yang tadi menutup permainan silatnya dengan jurus Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum), kini Gouw Kian Sun menutup ujiannya dengan permainan tongkat berpasangan yang disebut Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga). Dalam ilmu mempergunakan senjata ini pun gerakan Kian Sun sangat mantap dan jelas dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Cia Hui Song sendiri diam-diam memuji kemajuan sutenya ini. Ketika pria berumur empat puluh tahun itu berhenti bersilat, para pendukungnya bertepuk tangan memuji, termasuk Kui Hong yang bertepuk tangan paling keras dan panjang! Dara ini secara terang-terangan mendukung susiok-nya itu. Namun pada saat itu pula suara kongkong-nya sudah menyebut namanya sebagai tanda bahwa tiba saatnya dia diharuskan menunjukkan kemampuannya bersilat sebagai salah seorang di antara tiga orang calon ketua yang dipilih oleh para anggota Cin-ling-pai. "Kongkong, haruskah aku turut maju pula? Bukankah sudah jelas bahwa ilmu silat susiok tadi jauh lebih baik dan asli? Susiok Gouw Kian Sun adalah orang yang paling cocok dan tepat untuk menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru menggantikan ayah kalau ayah memang mengundurkan diri!" Suaranya lantang didengar semua orang dan kakeknya mengerutkan kening. "Cia Kui Hong," kakeknya berkata dengan suara yang lantang pula. "Menurut peraturan pemilihan ketua, setiap calon harus maju dan memperlihatkan kemampuannya. Sesudah itu baru diadakan pertandingan untuk menentukan siapa di antara para calon yang paling pandai sehingga tepat untuk menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru. Nah, kini perlihatkanlah kemampuanmu!" Kui Hong menghela napas panjang. Dia telah mengenal watak kakeknya yang keras hati. Kakeknya ini sudah menganggap bahwa Tang Cun Sek yang paling tepat untuk menjadi ketua karena memang dianggapnya paling baik. Dan agaknya kakeknya sudah demikian yakin akan kemenangan Tang Cun Sek! Tidak, dia yang akan menentangnya, bukan menentang kehendak kakeknya, akan tetapi menggagalkan pemuda itu menjadi ketua Cin-ling-pai! Kalau perlu dia sendiri akan turun tangan dan menjadi pengganti ayahnya! Tentu saja dia harus mampu mengalahkan Tang Cun Sek dan dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena dia maklum betapa lihainya pemuda pilihan kakeknya itu. Kalau pemuda itu berhasil memenangkan pemilihan ketua dan menjadi ketua baru, tentu kakeknya akan melanjutkan niatnya menjodohkan pemuda itu dengannya. Memang harus dia akui bahwa Cun Sek seorang pemuda yang tampan, gagah dan pandai ilmu silatnya, baik pula sikapnya. Akan tetapi entah mengapa, ada sesuatu pada diri pemuda itu yang tidak disukainya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dan apakah gerangan sesuatu itu. Ketika Kui Hong bangkit dan berjalan ke tengah panggung, para pendukungnya segera menyambutnya dengan tepuk tangan yang meriah. Juga para tamu banyak yang bertepuk tangan, terutama sekali para undangan. Memang Kui Hong nampak cantik bukan kepalang. Dia mengenakan celana biru dan baju merah muda, dengan sabuk berwarna kuning keemasan. Rambutnya digelung ke atas dan dihias tusuk sanggul dari emas yang berbentuk burung Hong dengan mata intan. Bibirnya tersenyum manis sekali, matanya tajam bersinar. Gadis berusia sembilan belas tahun ini bagai kembang yang sedang mekar semerbak mengharum. Bukan hanya nampak cantik jelita, akan tetapi juga gagah sekali. Pada saat dia memberi hormat kepada para tamu, semua orang tersenyum dan yang tua mengangguk-angguk sedangkan yang muda ramai bertepuk tangan. Sepasang mata Cun Sek juga menyinarkan api penuh kagum, dan diam-diam dia membayangkan betapa akan senangnya jika dia dapat menjadi ketua Cin-ling-pai dengan dara jelita itu duduk di sisinya sebagai isterinya! Sambil mengamati dara yang semenjak kepulangannya ke Cin-ling-pai telah membuatnya tergila-gila itu, Tang Cun Sek mengenang keadaan dirinya dan riwayatnya sendiri. Dia tak pernah mengenal ayah kandungnya sendiri. Pada saat dia sudah mulai dapat berpikir, dia mengajukan pertanyaan kepada ibunya kenapa dia memiliki she (nama keturunan) Tang, pada hal ayahnya seorang hartawan she Thio. Ibunya dengan terus terang menceritakan bahwa ketika ibunya menikah dengan hartawan Thio, dia sudah menjadi seorang janda yang masih sangat muda, baru berusia dua puluh tahun, ada pun Cun Sek berusia tiga tahun. Ibunya melahirkan ketika berusia tujuh belas tahun, masih muda sekali. Mengenai ayah kandungnya, dengan sepasang alis berkerut ibunya bercerita begini: "Ayah kandungmu adalah seorang she Tang. Aku sendiri tidak tahu namanya karena dia tak pernah mengaku, akan tetapi dia adalah seorang yang sakti dan dia memperkenalkan julukannya sebagai Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah). Dan aku pun bukan isterinya, dia... dia memaksaku dengan ancaman mati sehingga aku terpaksa melayaninya. Selama tiga bulan dia sering datang ke kamarku di malam hari dan setelah aku mengandung, dia pun meninggalkan aku dan hanya meninggalkan benda ini agar kelak engkau mengenalnya. Inilah benda itu," demikian cerita ibunya sambil menyerahkan sebuah benda kecil yang selalu disimpan olehnya secara rahasia dan tak pernah terpisah dari tubuhnya. Benda itu sebuah mainan berbentuk seekor kumbang merah terbuat dari emas dan permata. Hanya itulah yang diketahuinya tentang ayah kandungnya. "Orangnya tampan sekali dan pandai merayu, tubuhnya sedang, akan tetapi dia seperti iblis, datang dan pergi seperti pandai menghilang saja," demikian kata ibu kandungnya. Sejak berusia tiga tahun dia hidup di rumah gedung Thio Wan-gwe (Hartawan Thio) yang dipanggilnya ayah karena memang merupakan ayah tirinya. Agaknya ayah tirinya tak mau mengakuinya sebagai anak sendiri sehingga ibunya terpaksa memberinya she Tang, yaitu nama keturunan jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang juga she Tang. Sebagai putera keluarga kaya raya, walau pun hanya anak angkat saja, dia hidup serba kecukupan, mewah dan dimanja, tetapi semenjak kecil Cun Sek memiliki kecerdikan yang lebih dari anak-anak biasa. Pada mulanya dia mempelajari kesusasteraan dengan sangat tekun, akan tetapi setelah berusia sepuluh tahun, dia mempergunakan banyak uang yang diperoleh dari ibunya untuk belajar ilmu silat! Diam-diam dia menanam bibit dendam kebencian kepada orang yang oleh ibunya disebut Ang-hong-cu, ayah kandungnya sendiri karena orang itu setelah memperkosa ibunya dan ibunya mengandung dia kemudian meninggalkan ibunya begitu saja! Karena ibunya selalu menuruti permintaannya dan Cun Sek menghamburkan banyak sekali uang, dia pun bisa mempelajari banyak macam ilmu silat. Karena dia memang berbakat sekali, maka dia pun dapat menguasai bermacam-macam ilmu silat. Akan tetapi ada satu kelemahan dalam diri pemuda yang cerdik dan berbakat, juga penuh semangat ini. Semenjak berusia enam belas tahun dia telah mulai memperhatikan wanita. Bukan sekedar memperhatikan, bahkan dia mulai terangsang bila bertemu wanita cantik. Ayah tirinya mempunyai lima orang selir dan di antara mereka, ada dua orang selir yang masih sangat muda, berusia delapan belas tahun. Dua orang selir ini mulai bermain mata dengan Cun Sek yang berusia enam belas tahun. Hal yang sukar untuk dihindarkan pun terjadilah! Cun Sek mulai bermain cinta dengan dua orang selir muda itu. Kedua orang selir itu yang menjadi guru Cun Sek dan membuat dia seakan-akan seekor kuda yang terlepas dari kendali, menjadi liar dan menjadi seorang pengumbar nafsu yang tidak ketulungan lagi! Akhirnya persaingan dan kebencian di antara para selir membuat hubungan itu diketahui oleh Thio Wan-gwe yang mendapat bisikan dari selir yang lain. Dan Cun Sek tertangkap basah! Ayah tirinya marah sekali kemudian Cun Sek diusirnya! Pemuda ini juga memiliki harga diri yang tinggi. Merasa bahwa dia memang bukan anak kandung hartawan itu, maka dia pun pergi sambil membawa banyak sekali emas permata yang didapat dari ibunya yang amat memanjakannya. Mulailah Tang Cun Sek bertualang, bebas seperti seekor burung di udara! Dengan hartanya yang sangat banyak, dia mencari guru demi guru silat yang pandai dan mempelajari pelbagai llmu silat, baik dari golongan putih mau pun dari gerombolan hitam. Selain itu dia pun sering mengumbar nafsunya, berkecimpung dalam dunia kesenangan bersama wanita-wanita pelacur. Dan dia pun menjadi seorang kongcu hidung belang yang kaya raya dan yang menghambur-hamburkan uang untuk dilayani para wanita cantik dan menerima pelajaran silat dari guru-guru yang pandai. Akhirnya Cun Sek pun mulai bosan dengan pergaulannya dalam dunia pelacuran itu dan melanjutkan kehausannya akan ilmu silat sampai dia pergi mengunjungi guru-guru yang pandai di puncak-puncak gunung, mengangkat guru kepada siapa saja yang dia anggap mempunyai kepandaian tinggi. Berkat pengetahuannya yang cukup luas melalui bacaan, disertai sikap pandai membawa diri, maka banyak sudah orang-orang pandai di dunia persilatan menganggap dia sebagai seorang calon pendekar budiman sehingga mereka pun tidak segan untuk mengajarkan ilmu silat mereka kepada pemuda ini. Bahkan, pada saat mendengar tentang Cin-ling-pai, Tang Cun Sek dalam usia dua puluh enam tahun kemudian datang menghadap pimpinan Cin-ling-pai untuk menjadi murid perkumpulan silat yang besar dan terkenal itu. Demikianlah riwayat yang dikenang kembali oleh Tang Cun Sek pada saat dia mengamati gadis cantik di panggung itu. Tentu saja dia menyimpan rapat-rapat riwayatnya ini sebagai rahasia pribadinya. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Tang Cun Sek seorang pemuda yatim piatu yang suka mempelajari ilmu silat tinggi, dan karena sikapnya memang sangat baik, sopan dan halus, pandai membawa diri dan pandai menyenangkan hati orang lain melalui sikap dan tutur sapanya, dia pun diterima menjadi anggota Cin-ling-pai dan dapat mempelajari ilmu-ilmu silat milik Cin-ling-pai. Demikian pandainya dia menyenangkan hati orang sehingga kakek Cia Kong Liang sendiri sampai terpikat dan berkenan mengajarkan ilmu-ilmu simpanan Cin-ling-pai kepada pemuda ini. Kini Kui Hong sudah mulai bersilat. Seperti dua orang calon sebelumnya, Kui Hong juga memainkan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Dia langsung mengerahkan seluruh tenaga berikut kepandaiannya karena dia ingin melebihi Cun Sek dalam segala-galanya! Sebagai keturunan ketua Cin-ling-pai, dalam hal ilmu silat Cin-ling-pai tentu saja dia telah menguasai semua ilmu dengan baik. Akan tetapi kalau dibandingkan dengan Gouw Kian Sun, tentu saja dia masih kalah matang karena susiok-nya itu sudah menguasai ilmu-ilmu ini selama puluhan tahun, dan terutama sekali karena setiap hari Gouw Kian Sun selalu mempraktekkannya untuk melatih para murid Cin-ling-pai. Akan tetapi, karena gadis ini baru saja langsung digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, maka dia telah memperoleh kemajuan hebat dalam hal sinkang dan ginkang sehingga ketika bergerak tubuhnya bagai kilat menyambar-nyambar. Kecepatan gerakannya melebihi kecepatan Cun Sek dan hal ini memang disengaja oleh Kui Hong untuk mengurangi kesan baik yang diperoleh Cun Sek dalam pameran silatnya tadi. Kini tubuh gadis ini sukar diikuti pandangan mata. Tubuhnya berkelebat-kelebat menjadi bayangan warna-warni, merah biru dan kuning, sementara angin menyambar-nyambar ke semua penjuru karena dorongan tangan serta tendangan kakinya. Para penonton sampai terpesona karena apa yang diperlihatkan Kui Hong itu memang sangat indah dan amat hebat pula. Cun Sek sendiri terpesona dan dia semakin tergila-gila kepada gadis itu. Sesudah memainkan beberapa macam ilmu silat Cin-ling-pai, Kui Hong lantas mencabut sepasang pedang pemberian dari neneknya, yaitu Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang berwarna hitam sehingga nampak dua gulung sinar hitam. Dan gadis ini segera memainkan kedua pedangnya itu dengan ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam-sut yang dipelajarinya dari neneknya! Bukan main hebatnya ilmu pedang ini. Terdengar suara mengaung-ngaung tinggi rendah yang diselingi suara berdesing-desing, dan yang nampak hanyalah dua gulungan cahaya hitam yang menyeramkan dan dahsyat sekali. Tidak aneh karena ilmu pedang ini adalah ilmu dari nenek gadis itu yang bernama Toan Kim Hong. Pada waktu mudanya, Toan Kim Hong ini sudah terkenal dengan menyamar sebagai seorang nenek berjuluk Lam Sin dan termasuk seorang di antara tokoh-tokoh dan para datuk aneh di empat penjuru dunia! Seluruh murid Cin-ling-pai memandang bingung. Permainan sepasang pedang itu tidak mereka kenal sama sekali! Biar pun amat hebat, namun jelas bukan ilmu silat Cin-ling-pai, maka mereka saling pandang dengan heran walau pun hati mereka merasa kagum sekali. Baru dimainkan sendirian saja sudah dapat terlihat jelas betapa ampuh dan kuatnya ilmu sepasang pedang itu, membuat orang merasa jeri. Setelah selesai bersilat pedang pasangan dan memberi hormat kepada penonton, semua tamu bertepuk tangan memuji. Banyak di antara tamu yang tidak hafal akan ilmu-ilmu Cin-ling-pai dan mengira bahwa ilmu bermain sepasang pedang itu pun merupakan ilmu dari Cin-ling-pai. Melihat sambutan meriah yang diberikan para tamu kepada cucunya, Cia Kong Liang menggapai dan memanggil cucunya itu. Setelah Kui Hong duduk di dekatnya, dia menegur. "Kui Hong, kalau tidak salah, engkau tadi memainkan ilmu pedang dari nenekmu di Pulau Teratai Merah! Itu bukan ilmu dari Cin-ling-pai!" Teguran itu mengandung nada yang tidak senang. Memang sejak dahulu tokoh Cin-ling-pai ini tidak begitu suka terhadap Pendekar Sadis dan isterinya, terutama isteri Pendekar Sadis yang tadinya seorang datuk sesat! Akan tetapi Kui Hong adalah seorang gadis yang keras hati pula, dan dia tidak akan sudi mengalah terhadap siapa pun juga apabila merasa bahwa dia benar. Mendengar teguran kongkong-nya itu, dia pun berkata, walau pun suaranya lirih namun terdengar tegas. "Kongkong, siapa pun tahu bahwa permainan Tang Cun Sek tadi tidak asli sebab berbau ilmu silat dari luar, akan tetapi kongkong tidak menegur atau mencelanya. Aku sengaja memperlihatkan Hok-mo Siang-kiam agar dia tahu bahwa aku pun mempunyai ilmu lain di luar ilmu-ilmu Cin-ling-pai asli." Kakek itu mengenal watak cucunya ini, maka dia menghela napas panjang lantas berkata lantang, "Ketiga orang calon ketua telah memperlihatkan kepandaiannya masing-masing! Ternyata ketiganya memiliki tingkat yang sudah tinggi dan juga matang dalam ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Oleh karena itu, untuk menentukan siapa yang paling pandai di antara mereka, akan diadakan pertandingan antara mereka. Pertama kali akan berhadapan calon pertama dan ke dua, yaitu Tang Cun Sek dan Gouw Kian Sun!" Dua orang itu memberi hormat lalu menuju ke tengah panggung. Sebelum pemilihan itu dimulai, mereka sudah menerima petunjuk dari ketua Cin-ling-pai bahwa pertandingan itu diadakan menurut pilihan kedua calon yang berhadapan, dengan tangan kosong ataukah dengan senjata. Dan mengingat bahwa semua calon adalah anggota keluarga perguruan sendiri, maka tentu saja mereka harus dapat menjaga agar jangan sampai melukai lawan dengan parah, apa lagi sampai membunuhnya. Pertandingan semacam ini membutuhkan keahlian dan kemampuan yang mendalam, yaitu mengenai sasaran tanpa mendatangkan luka parah. Dengan sikapnya yang memang selalu menyenangkan, Tang Cun Sek memberi hormat kepada lawannya yang masih terhitung susiok-nya sendiri, bahkan susiok ini pulalah yang lebih banyak membimbingnya dalam latihan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, kemudian berkata, "Susiok, maafkan bila hari ini teecu memberanikan diri menjadi calon lawan susiok karena terpaksa dipilih sebagai calon. Teecu menyerahkan kepada susiok cara apa yang susiok pilih." Ucapan ini memang halus dan sopan, namun tidak urung mengandung nada menantang dan bahkan memandang rendah kepada sang paman guru sehingga pemuda itu bersikap mengalah dan mempersilakan susiok-nya itu memilih cara pertandingan. Dia seolah-olah hendak melayani saja. Gouw Kian Sun memandang tajam, lalu menarik napas. Dia pun bukan seorang bodoh. Dia tahu bahwa suhu-nya, ketua lama, condong berpihak dan memilih pemuda ini, dan dia pun tahu bahwa sebelum menjadi murid Cin-ling-pai, pemuda ini sudah memiliki ilmu silat yang tinggi. Meski pada mulanya dia menaruh curiga dan tidak mengerti kenapa pemuda yang sudah pandai ini mau menjadi murid Cin-ling-pai, akan tetapi melihat betapa suhu-nya amat menyayang pemuda ini, maka dia pun menghilangkan kecurigaannya. "Cun Sek, kita adalah orang sendiri, tak perlu mempergunakan senjata. Engkau atau pun aku yang menjadi ketua, apa bedanya? Mari kita mulai, dengan tangan kosong saja." "Tahan dulu!" Tiba-tiba Cia Kong Liang berseru keras lantas dia menyuruh seorang murid Cin-ling-pai supaya mengambil dua batang mouw-pit (pena bulu) dan tinta bak. Kemudian dia pun berkata kepada dua orang calon ketua itu. "Agar lebih mudah menentukan siapa pemenangnya, kalian gunakanlah mouw-pit yang sudah dicelup tinta untuk saling serang. Pada akhir pertandingan, siapa yang ternyata lebih banyak terkena goresan atau totokan hitam pada pakaiannya, dialah yang kalah." Baik Cun Sek mau pun Gouw Kian Sun menerima baik perintah ini, apa lagi memang tak akan terasa enak dalam hati kalau sampai mereka saling melukai. Betapa pun pandainya mereka, jika sampai terjadi sebuah pertandingan yang seimbang baik kekuatan mau pun kemahiran ilmunya, bukan tidak mungkin mereka takkan mampu mengendalikan diri dan kesalahan tangan melukai lawan. Dengan mouw-pit mereka dapat menotok atau mencoret pada bagian tubuh yang tertutup pakaian, biar pun tidak perlu menotok keras, cukup kalau sudah menodai bagian pakaian itu sebagai bukti bahwa mereka berhasil saling melukai. Pertandingan itu pun dimulai. Karena mouw-pit itu panjangnya hanya sejengkal dan dijepit di antara jari tangan yang terkepal, maka pertandingan itu lebih menyerupai pertandingan tangan kosong. Mereka berdua kini berhadapan, kedua tangan terkepal sambil menjepit mouw-pit di tangan masing-masing, memasang kuda-kuda yang sama, yaitu kuda-kuda dari ilmu silat Thian-te Sin-ciang. "Silakan, susiok!" kata Cun Sek. Ucapan ini juga nampaknya saja dia menghormati susiok-nya agar menyerang lebih dulu, padahal mereka berdua sama tahu bahwa dalam hal pertandingan semacam ini, seperti halnya latihan saja karena masing-masing mempergunakan ilmu silat yang sama, siapa menyerang lebih dahulu maka memiliki titik kelemahan. Gouw Kian Sun mengeluarkan seruan keras sebagai isyarat serangannya dan Cun Sek mengelak sambil membalas, dan mulailah keduanya serang menyerang mempergunakan ilmu silat Thian-te Sin-ciang. Mereka bertanding dengan pengerahan tenaga dan seluruh kepandaian sehingga nampak seru sekali. Mereka saling serang dan mengganti ilmu-ilmu silat mereka. Bagi para ahti silat Cin-ling-pai, nampak betapa setiap kali lawannya mendesak dan dia berada dalam ancaman pukulan atau lebih tepat colekan mouw-pit, Cun Sek tidak segan-segan untuk mempergunakan suatu gerakan yang menyimpang atau bukan gerakan ilmu silat Cin-ling-pai. Suatu gerakan reflek untuk menghindarkan diri dari serangan dan dalam gerakan ini secara otomatis akan keluar ilmu yang bukan merupakan ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai yang dikuasainya! Akan tetapi gerakan kedua orang jagoan ini demikian cepat sehingga kalau bukan ahli silat Cin-ling-pai, hal ini tidak akan nampak. Bahkan para murid Cin-ling-pai yang belum mencapai tingkat tertinggi juga tidak dapat membedakannya. Hanya Cia Kong Liang, Cia Hui Song, Ceng Sui Cin, Cia Kui Hong, dan beberapa orang murid kepala saja yang dapat mengetahuinya. Seperti sudah ditentukan dalam peraturan adu kepandaian itu, setelah sebatang hio (dupa biting) yang di awal pertandingan tadi dinyalakan kini habis terbakar, maka pertandingan langsung dihentikan dan para wasit menghitung jumlah noda yang terdapat pada pakaian masing-masing. Tentu saja dengan mudah dapat dilihat bahwa pada pakaian Gouw Kian Sun lebih banyak terdapat noda dan coretan. Hal ini berarti bahwa dia telah kalah. Dengan diam-diam Gouw Kian Sun mengerutkan alisnya. Mulailah dia merasa tidak suka terhadap Cun Sek, bukan karena iri, bukan karena dia dinyatakan kalah, melainkan dia melihat betapa murid keponakan itu ternyata seorang yang amat curang dan licik. Dia tadi melihat Cun Sek banyak menggunakan jurus ilmu silat lain yang dibaurkan dengan jurus ilmu silat Cin-ling-pai. Bukan itu saja kelicikan pemuda itu. Juga dia tadi melihat betapa setiap menyerangnya, pemuda itu menggerak-gerakkan kedua mouw-pitnya sedemikian rupa sehingga tinta bak dari ujung bulu pena itu memercik hingga menodai pakaiannya! Percikan yang membuat noda pada pakaiannya itu bukan seluruhnya disebabkan tepatnya serangan kedua mouw-pit di tangan Cun Sek, melainkan sebagian besar karena percikan itulah. Dari hal ini saja dapat diketahui alangkah curangnya pemuda itu. Dalam pengumpulan noda pada pakaian lawan, tentu saja Cun Sek memperoleh kemenangan yang banyak. Dengan sikap gembira kakek Cia Kong Liang lalu mengumumkan bahwa pemenangnya adalah Tang Cun Sek, calon ketua nomor satu dan sekarang akan diadakan pertandingan antara calon nomor satu dengan calon nomor tiga. Untuk itu Cun Sek diharuskan berganti pakaian yang bersih lebih dahulu karena pakaiannya sudah berlepotan noda hitam. Sementara menanti calon lawannya berganti pakaian, kesempatan itu dipergunakan oleh Kui Hong untuk mendekati kongkong-nya. Dia tahu bahwa kalau Tang Cun Sek sampai bisa menjadi calon ketua yang memperoleh banyak pendukung, bahkan sekarang mampu mengalahkan Gouw Kian Sun, hal itu adalah karena dukungan kakeknya ini. "Kongkong," bisiknya dan hanya kakeknya seorang yang dapat mendengarnya. "Kenapa kongkong membolehkan Cun Sek itu melakukan kecurangan? Dia menggunakan banyak jurus di luar ilmu silat Cin-ling-pai ketika melawan susiok Gouw Kian Sun, bahkan dia juga menodai pakaian Gouw-susiok dengan percikan-percikan dari mouw-pitnya." Kakeknya memandang kepadanya dan menjawab dalam bisikan pula. "Kui Hong, hal itu menunjukkan kecerdikannya. Dialah yang paling tepat untuk memimpin perkumpulan kita, dapat menambah ragamnya ilmu silat kita. Kiranya engkau tidak perlu maju lagi, cucuku. Untuk apa seorang wanita menjadi ketua? Kalau engkau menjadi isterinya, itu baru tepat." Kui Hong tidak menjawab, melainkan pergi menjauhkan diri dari kakeknya dengan muka cemberut. Sialan, pikirnya. Kakeknya sudah benar-benar dipengaruhi oleh Tang Cun Sek sehingga sudah bertekad bulat untuk mendukung pemuda itu menjadi ketua Cin-ling-pai. Bukan itu saja, malah agaknya bertekad untuk menjodohkan pemuda itu dengannya......

jilid 5


Kui Hong lantas melakukan persiapan untuk bertanding melawan pemuda yang cerdik itu. Kecerdikan harus dihadapi dengan kecerdikan, kelicikan harus dilawan dengan kelicikan pula, pikir gadis yang cerdik ini. Tidak lama kemudian kedua orang muda itu sudah berada di tengah panggung dan saling berhadapan. Apa bila Tang Cun Sek berdiri dengan gagahnya, dengan pakaian baru yang bersih, berwarna serba hijau yang menjadi warna kesukaan pemuda ini, dengan kedua tangan memegang sebatang mouw-pit yang bulu-bulunya telah dibasahi dengan tinta bak, Kui Hong berdiri tegak dengan senyum mengejek dan hanya tangan kanannya saja yang memegang sebatang mouw-pit, sedangkan tangan kirinya kosong tidak memegang apa pun, bahkan bertolak pinggang. Para tamu serta para anggota Cin-ling-pai menyambut mereka dengan tepuk tangan dan dengan hati berdebar tegang. Tentu saja keinginan kakek Cia Kong Liang yang hendak menjodohkan Cun Sek dengan Kui Hong sudah bocor hingga diketahui kebanyakan murid Cin-ling-pai, maka kini mereka semua memandang penuh perhatian. Harus mereka akui bahwa kedua orang yang kini saling berhadapan sebagai calon lawan itu, keduanya calon ketua Cin-ling-pai yang kuat, memang serasi sekali. Dalam pakaian barunya, Cun Sek nampak ganteng dan gagah perkasa, wajahnya yang berkulit putih itu tampan sekali. Sebaliknya, Kui Hong juga nampak cantik jelita dan gagah perkasa, apa lagi dia tersenyum-senyum manis. Melihat betapa Kui Hong hanya membawa sebuah mouw-pit saja pada tangan kanannya, terdengar Ceng Sui Cin, ibunya, berseru, "Kui Hong, engkau juga harus memegang dua buah mouw-pit seperti Cun Sek!" Akan tetapi Kui Hong menengok ke arah ibunya dan berkata lantang sehingga terdengar oleh semua orang, "Tidak perlu, Ibu. Sebuah mouw-pit saja sudah cukup!" Melihat dan mendengar ini, Cun Sek merasa tidak enak sekali, merasa dipandang rendah oleh gadis itu. Dia pun cukup maklum bahwa gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, tidak boleh disamakan dengan Gouw Kian Sun tadi. Dia telah melihat ketika gadis itu berlatih silat dikeroyok oleh lima orang suheng-nya, tetapi gadis itu masih tetap unggul. Karena itu, biar dia merasa dipandang rendah, dia tidak berani mengurangi mouw-pitnya. Dia harus dapat menundukkan gadis ini, harus mampu mengalahkannya, karena dengan demikian, bukan saja dia akan dapat menjadi ketua Cin-ling-pai di mana dia memperoleh kekuasaan dan nama besar, namun juga besar harapannya untuk dapat mempersunting gadis yang diidamkannya itu. Akan tetapi, untuk menutupi perasaan tak enak itu, dia pun berkata dengan sikap sopan. "Suci, harap Suci suka mempergunakan dua buah mouw-pit sungguh pun dengan sebuah mouw-pit saja, tentu saya tidak akan mampu mengalahkan Suci (kakak seperguruan)," Kui Hong tersenyum. Memang pemuda ini pandai membawa diri. Meski pun pemuda ini jauh lebih tua darinya, akan tetapi menyebutnya ‘suci’ sebagai tanda bahwa pemuda itu mengakuinya sebagai kakak seperguruan karena memang tentu saja Kui Hong lebih dulu menjadi murid Cin-ling-pai. Hal ini saja sudah menunjukkan kerendahan hati. Akan tetapi Kui Hong tidak hanya mendengarkan ucapan yang sopan itu, melainkan lebih memperhatikan sinar mata pemuda itu. Sinar mata itu mencorong dan sama sekali tidak menunjukkan kerendahan hati, melainkan mengandung penuh kecerdikan dan kelicikan. Dia hanya berpura-pura, pikirnya, hanya beraksi seperti pemain sandiwara yang ulung. Ia berhadapan dengan seorang yang lihai dan berbahaya sekali, maka dia haruslah berhati-hati, pikir Kui Hong. "Sudahlah, saudara Tang Cun Sek, tidak perlu bersungkan-sungkan. Aku lebih senang mempergunakan sebatang mouw-pit saja, engkau boleh menggunakan dua batang atau lebih kalau kau kehendaki!" Wajah Cun Sek menjadi merah. Bagaimana pun juga gadis ini terlampau sombong dan memandang rendah kepadanya. Untuk memenangkan hati gadis seperti ini, lebih dahulu harus menundukkan kesombongannya dengan cara mengalahkannya, barulah akan ada harapan untuk menundukkan hatinya, pikir pemuda yang sudah banyak pengalamannya dalam mengenal watak wanita ini. "Baiklah, Suci, jika engkau memang menghendaki demikian. Marilah, silakan Suci mulai, saya sudah siap melayanimu, Suci!" Kui Hong tersenyum lagi. Tentu saja dia maklum akan akal ini yang mempersilakan agar dia menyerang lebih dulu dan hal ini berarti bahwa kedudukannya akan lebih lemah. "Lihat seranganku!" bentaknya, kemudian dia pun segera menyerang dengan kecepatan kilat, tangan kirinya yang tidak bersenjata itu menampar ke arah kepala pemuda itu dari samping, disusul tangan kanannya yang menotokkan mouw-pitnya ke arah dada. Meski pun serangan dengan sebuah jurus Thai-kek Sin-kun yang sudah amat dikenal oleh Cun Sek, akan tetapi karena serangan itu dilakukan dengan kecepatan luar biasa serta mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, Cun Sek cepat mengelak sambil meloncat ke belakang, lalu kembali maju dari samping untuk membalas serangan gadis itu dengan totokan dua mouw-pitnya dari kanan kiri. Kui Hong harus mengakui kelincahan lawannya yang dapat demikian cepatnya melakukan serangan balasan. Namun dia pun mengelak dan menyerang lagi. Terjadilah serang menyerang yang amat seru, lebih seru dari pada pertandingan pertama tadi karena sekarang keduanya mengerahkan seluruh kecepatan gerakan mereka hingga tubuh mereka lenyap bentuknya berubah menjadi bayangan hijau dan bayangan merah dan biru dari pakaian Kui Hong. Mereka berdua saling desak, kadang-kadang mengubah ilmu silat mereka yang segera dikembari oleh lawan. Mau tak mau Tang Cun Sek harus mengakui dalam hatinya bahwa gadis ini benar-benar amat berbahaya. Meski pun mouw-pitnya hanya sebuah saja, tapi tangan kanan gadis itu menyambar-nyambar mengancam seluruh tubuhnya dengan totokan-totokan yang dapat membuatnya lumpuh! Dia harus mengakui bahwa dia masih kalah oleh Kui Hong di dalam hal kecepatan, juga dalam ilmu silat kalah matang karena tentu saja gadis itu lebih mahir memainkan ilmu silat nenek moyangnya. Hanya dalam hal tenaga sinkang saja dia masih mampu mengimbangi kekuatan Kui Hong. Karena memang kalah cepat, maka walau pun dia memegang dua batang mouw-pit dan gadis itu hanya memegang sebatang, dalam waktu singkat saja sudah ada lima goresan hitam pada bajunya, sedangkan dia hanya baru dapat menggores sebanyak dua kali, itu pun di ujung baju Kui Hong. Kalau diteruskan seperti ini, tentu dia akan kalah! Padahal dia harus dapat mengalahkan gadis ini. Harus! Kalau dia tidak dapat mengalahkannya, berarti akan sia-sia belaka usahanya selama empat tahun ini. Mulailah Cun Sek mempergunakan akalnya yang tadi telah membuat dia berhasil menang dengan mudah dari Gouw Kian Sun, yaitu dengan jalan menggetarkan dua ujung mouw-pitnya sehingga tinta dari bulu-bulu mouw-pit di kedua tangannya memercik dan mengenai pakaian Kui Hong! Dalam satu kali serangan saja dengan kedua batang mouw-pit, walau pun kedua mouw-pit itu tidak dapat menyentuh baju Kui Hong, namun dari percikan tinta itu baju Kui Hong ternoda lebih dari lima tempat! Memang inilah saat yang dinanti-nanti oleh Kui Hong. Dia sama sekali tak menjadi marah ketika melihat pemuda itu sudah mulai menjalankan siasatnya yang licik. Dia pun segera menggerakkan tangan kirinya ke dalam saku bajunya dan mengeluarkan sebotol tinta bak! Dan sekarang dia pun menggetar-getarkan ujung mouw-pitnya yang hanya sebatang itu, setelah mencelupnya ke dalam botol tinta bak yang sudah dia buka tutupnya. Tentu saja bulu mouw-pit yang basah itu lebih mudah memercik, bahkan bisa sampai jauh sehingga tanpa dapat dihindarkan lagi, kini banyak sekali noda-noda hitam menghias baju Cun Sek! Pemuda ini terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa gadis itu menyembunyikan sebotol tinta bak di saku bajunya. Kiranya gadis itu memang telah siap siaga dan pantas saja hanya menggunakan sebatang mouw-pit, kiranya tangan kiri memang dipersiapkan untuk memegangi botol penuh tinta itu! Dia berusaha untuk menggetarkan kedua mouw-pitnya agar lebih banyak lagi pakaian Kui Hong terkena percikan tinta. Akan tetapi betapa pun juga perang percikan tinta ini tentu saja dimenangkan oleh Kui Hong yang mouw-pitnya selalu basah, sedangkan sepasang mouw-pit di tangan Cun Sek mulai kering! Pakaian Cun Sek sudah penuh noda hitam, dua atau tiga kali lipat lebih banyak dari pada noda pada pakaian Kui Hong. Pemuda itu menjadi gugup dan mendongkol bukan main. Pada waktu Cia Kong Liang menyerukan agar pertandingan dihentikan karena hio sudah terbakar habis, Kui Hong lantas menyiramkan seluruh sisa tinta bak itu kepada lawannya. Cun Sek mencoba untuk mengelak, namun tetap saja sebagian muka, leher dan dadanya berlepotan tinta hitam! Kemarahan Cun Sek membuat dia lupa diri, lupa akan topeng sopan santun yang selama empat tahun ini dikenakan pada mukanya. Dengan mata melotot dia memandang kepada Kui Hong, lantas menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka gadis itu sambil membentak marah, suaranya lantang terdengar oleh semua orang. "Engkau... engkau... gadis curang! Engkau telah bertindak licik dan curang! Engkau gadis kurang ajar!" Kui Hong tersenyum mengejek dan begitu kedua tangannya bergerak, tampak sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu di tangan kanan dan kirinya sudah nampak sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam! "Benarkah itu?" jawabnya mengejek. "Aku curang dan licik sedangkan engkau bersih dan jujur, ya? Apa yang kau lakukan ketika engkau melawan susiok Gouw Kian Sun tadi? Apa pula yang kau lakukan kepadaku tadi ketika engkau mulai kalah? Engkau yang curang dan licik semenjak melawan susiok, aku hanya mengimbangimu saja! Sekarang kau mau apa? Kalau tidak terima, boleh kita mencoba dengan senjata, siapa yang lebih unggul di antara kita!" Setelah berkata demikian gadis itu lalu menggerakkan sepasang pedangnya, membuat kuda-kuda dan gerakan ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam yang amat dahsyat. Melihat ini Cun Sek menjadi semakin marah. "Kau berani menggunakan ilmu silat bukan dari Cin-ling-pai? Calon ketua macam apa kau ini?" Kembali Kui Hong tersenyum mengejek, dalam hatinya amat girang sebab pancingannya mengena. "Ahai...! Manusia tidak tahu diri! Engkau bilang aku mempergunakan ilmu silat bukan dari Cin-ling-pai? Kau kira ilmu silat yang kau mainkan itu ilmu Cin-ling-pai murni? Hemmm, bocah sombong! Aku adalah keturunan ketua Cin-ling-pai, aku mempelajari ilmu silat Cin-ling-pai sejak kecil! Aku jauh lebih mahir dalam ilmu silat Cin-ling-pai dari pada engkau yang baru empat tahun belajar di sini. Aku memperlihatkan Hok-mo Siang-kiam untuk menunjukkan kepadamu bahwa bukan hanya engkau seorang yang mahir ilmu-ilmu silat lain. Sekarang engkau mengajak bertanding dengan apa pun, akan kulayani! Dengan ilmu silat Cin-ling-pai yang asli tanpa kau campur-campur seperti cap-jai? Atau dengan ilmu silat lain? Aku siap! Hayo lekas keluarkan senjatamu!" Metihat keributan itu, para tamu dan semua murid Cin-ling-pai memandang dengan hati tegang, tidak ada yang berani mengeluarkan suara atau mencampuri. Cia Hui Song dan isterinya saling pandang dan bersikap tenang, pura-pura tidak tahu saja. Meski pun tidak membenci Tang Cun Sek yang pandai membawa diri dan menyenangkan hati, tapi suami isteri ini juga tidak tertarik atau suka sekali kepada pemuda yang mereka anggap penuh rahasia itu. Mereka pun telah melihat kecurangan yang dilakukan pemuda itu tadi terhadap Gouw Kian Sun, maka pembalasan yang dilakukan puteri mereka tidak membuat mereka menjadi marah. Akan tetapi, ketika melihat betapa ayahnya marah, Cia Hui Song menjadi tak enak hati dan dia pun ikut berdiri ketika ayahnya bangkit berdiri. "Kalian hentikan keributan itu!" bentak Cia Kong Liang kepada mereka. "Kui Hong, mundurlah engkau!" Cia Hui Song juga melanjutkan seruan ayahnya. Mendengar seruan kedua orang tua itu, Kui Hong menggerakkan pundaknya kemudian memandang kepada Tang Cun Sek dengan sikap mengejek dan berkata, "Ahh, sungguh sayang kongkong dan ayah melarangku. Untung bagimu tidak sampai berkenalan dengan sepasang pedangku Penakluk Iblis ini!" Dia pun lantas menyarungkan kembali sepasang pedangnya. Wajah Cun Sek akan terlihat merah padam kalau saja sebagian tidak tertutup tinta hitam. Dia maklum bahwa dirinya telah menjadi bulan-bulan penghinaan dan dipermainkan oleh Kui Hong di hadapan banyak orang. Kalau dia nekat berusaha membalas dan menyerang gadis itu, selain belum tentu dia menang, juga tentu semua orang akan membela dara itu. Maka dia pun membalikkan tubuhnya, menghadapi Cia Kong Liang dan memberi hormat lalu berkata pendek, "Teecu hendak membersihkan noda hitam dan bertukar pakaian!" Dan tanpa menunggu jawaban, dia pun melompat turun dari atas panggung lalu berkelebat cepat menghilang, menuju ke kamarnya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Kini banyak di antara para murid Cin-ling-pai yang berbalik pilihan. Tadinya mereka yang memilih Tang Cun Sek sebagai calon ketua adalah para murid yang merasa tertarik dan suka kepada murid baru ltu yang menjanjikan akan mengajarkan ilmu-ilmu silat yang tinggi, lebih tinggi dari pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai kalau dia menjadi ketua. Para murid Cin-ling-pai adalah orang-orang yang berjiwa gagah. Mereka memang senang sekali mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, namun mereka paling membenci perbuatan yang licik dan curang. Kini mereka semua mendengar betapa Cia Kui Hong membongkar rahasia kecurangan pemuda itu ketika tadi melawan Gouw Kian Sun, maka mereka pun mulai tak suka kepada pemuda itu dan pilihan mereka sekarang ditujukan kepada Cia Kui Hong. "Hidup nona Cia Kui Hong!" "Dia ketua baru yang paling tepat!" Mereka bersorak-sorak sehingga kakek Cia Kong Liang tak dapat membantah lagi karena dalam pertandingan tadi Kui Hong memang telah mendapatkan kemenangan mutlak. Dia tidak menyangka bahwa gadis itu mau mencalonkan diri menjadi ketua, dan tidak mengira gadis itu tidak tertarik kepada Cun Sek, bahkan menentangnya. Diam-diam dia merasa heran. Cun Sek demikian baiknya, mengapa tidak mendapatkan dukungan? Dia lalu menarik napas panjang dan hanya mengangguk-angguk ketika para anggota juri menghadap padanya, termasuk puteranya sendiri, untuk menyatakan bahwa yang keluar sebagai pemenang dalam pemilihan ketua baru itu adalah Cia Kui Hong. "Sudahlah, memang sudah ditentukan oleh Thian bahwa Cin-ling-pai harus mempunyai seorang ketua wanita, cucuku sendiri, Cia Kui Hong!" Para murid Cin-ling-pai menyambut dengan tepuk tangan dan sorak gembira ketika ketua mereka, Cia Hui Song, berdiri di atas panggung sambil mengumumkan bahwa ketua baru yang akan menggantikan dia adalah puterinya sendiri, Cia Kui Hong yang keluar sebagai pemenang. Cia Hui Song juga minta kepada para undangan untuk menjadi saksi bahwa sekarang Cin-ling-pai dipimpin oleh seorang ketua baru, yaitu nona Cia Kui Hong! Untuk diperkenalkan kepada para tamu, Kui Hong dipanggil ayahnya untuk tampil di atas panggung. Dengan pakaian masih berlepotan tanda-tanda hitam Kui Hong menghampiri ayahnya di atas panggung, disambut tepuk tangan meriah oleh para anggota Cin-ling-pai. Pada saat itu pula, seorang murid yang tadi diutus oleh Cia Kong Liang untuk memanggil Tang Cun Sek supaya hadir dalam pengangkatan ketua baru itu, karena kakek ini masih mengharapkan agar pemuda itu dapat menjadi wakil ketua atau pembantu ketua supaya dapat mendekatkan antara pemuda itu dengan cucunya, datang melapor dengan suara keras bahwa Tang Cun Sek tidak berada di dalam kamarnya, bahkan semua pakaiannya juga tidak ada! "Dia... dia berani minggat...?!” Kakek itu berseru marah, lantas menjatuhkan diri terduduk di atas kursi, wajahnya agak pucat dan dia pun mengeluh, "... ahhh, apakah semua yang kulakukan selalu salah belaka?" Kui Hong cepat-cepat berlutut di dekat kakeknya. "Kongkong, sebenarnya kongkong tidak bersalah. Kongkong berniat baik sekali, demi untuk kemajuan Cin-ling-pai atau pun untuk mencarikan jodoh bagiku. Namun Kongkong tertipu oleh topeng domba yang digunakan seekor serigala. Naluri kewanitaanku lebih peka, Kongkong, sehingga di dalam pertemuan pertama itu pun aku sudah merasa tidak suka kepadanya. Dia pandai membawa diri dan mengambil hati sehingga bukan Kongkong saja yang terpikat, bahkan ayah ibu dan para saudara Cin-ling-pai tidak ada yang menyangka bahwa dia adalah seorang yang berhati palsu. Sudahlah, tak perlu disesalkan lagi, Kongkong, yang penting kita masih untung bisa menyelamatkan Cin-ling-pai dari tangan orang luar yang tidak mempunyai itikad baik!” Wajah kakek itu nampak berduka sekali. "Ahh, akan tetapi pedang pusaka Hong-cu-kiam telah kuberikan kepadanya dan kini dibawa pergi... " "Biarlah, kelak akulah yang akan mencarinya untuk merampas kembali Hong-cu-kiam dari tangannya, kemudian membunuh dia karena sudah berani menipumu, Kongkong. Harap Kongkong tidak berduka, karena bukan kita saja yang tertipu oleh muka manis dan sikap yang baik. Bahkan kakek dan nenek di Pulau Teratai Merah yang demikian lihainya masih dapat kebobolan dan juga kemasukan orang jahat yang berhasil mewarisi ilmu-ilmu Pulau Teratai Merah bahkan juga telah minggat dan melarikan pusaka Gin-hwa-kiam dari sana." Dengan singkat gadis itu lalu bercerita tentang Sim Ki Liong, keturunan musuh besar yang berhasil menyelundup ke Pulau Teratai Merah dan diterima menjadi murid oleh Pendekar Sadis dan isterinya! Memang ada hasilnya cerita itu bagi kakek Cia Kong Liang. Agaknya terhibur juga hatinya mendengar betapa suami isteri yang demikian sakti seperti Pendekar Sadis dan isterinya dapat pula dikelabui oleh muka manis. Setelah pesta pemilihan ketua itu selesai dan para tamu pulang dengan membawa cerita menarik dan kesan mendalam tentang pemilihan yang ricuh itu, Cia Kui Hong menerima kedudukan sebagai ketua Cin-ling-pai secara resmi. Kakeknya sendiri yang memimpinnya untuk bersumpah setia kepada Cin-ling-pai dan dalam kesempatan ini, Kui Hong dengan resmi pula mengangkat susiok-nya, Gouw Kian Sun menjadi wakil ketua dan mewakilinya dalam semua urusan kalau dia sedang tidak berada di Cin-ling-pai. "Sebenarnya jiwaku tidak banyak bedanya dengan ayah dan ibu," katanya kepada kedua orang tuanya itu, juga di depan kakeknya. "Aku senang merantau dan tidak betah untuk tinggal di sini, dipusingkan dengan urusan perkumpulan. Aku melihat bahwa susiok lebih tepat untuk menjadi ketua, malah susiok pula yang selama ini mengurus Cin-ling-pai pada saat ayah tidak aktip. Tetapi karena dalam pemilihan itu terpaksa aku harus turun tangan demi menyelamatkan Cin-ling-pai kemudian terpilih menjadi ketua, maka biarlah aku akan bertanggung jawab. Namun, untuk dapat mengurusnya dengan baik dan untuk kemajuan Cin-ling-pai, maka aku wakilkan kepada susiok Gouw Kian Sun!" Tidak ada yang menentang pendapat dan keputusan ini. Nama Gouw Kian Sun memang merupakan nama yang cukup berwibawa dan juga disukai oleh para anggota Cin-ling-pai. Mereka yang tadinya mendukung Tang Cun Sek adalah karena terpikat oleh janji muluk-muluk dari pemuda itu dan kini mereka yang tadinya mendukung, berbalik menjadi benci kepada pemuda itu yang ternyata di samping curang dan licik, juga pengecut tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatannya malah melarikan diri tanpa pamit! Tentu saja Gouw Kian Sun girang sekali karena dia memang seorang murid Cin-ling-pai yang sangat mencintai perkumpulan itu. Seolah-olah seluruh hidupnya tergantung kepada perkumpulan Cin-ling-pai di mana dia dibesarkan, di mana dia tinggal dan mengalami suka duka dalam hidupnya. Sampai berusia empat puluh tahun, Gouw Kian Sun masih saja hidup membujang belum menikah. Dan sekarang, sebagai seorang wakil ketua tentu saja dia dapat mencurahkan segenap kemampuannya untuk memajukan Cin-ling-pai dan di bawah pimpinannya, dapat diharapkan Cin-ling-pai akan mengalami perubahan dan kemajuan pesat. Sesudah Kui Hong menjadi ketua Cin-ling-pai, dia merundingkan dengan susiok-nya yang menjadi wakil ketua, minta nasehat dari ayah ibunya dan juga dari kakeknya, lalu mulai mengadakan perubahan-perubahan kepada perkumpulan mereka itu. Pengalaman pahit dengan menyelundupnya Tang Cun Sek menjadi peringatan bagi mereka semua supaya lebih berhati-hati. Sebulan setelah itu, Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, meninggalkan Cin-ling-san untuk melakukan perjalanan ke Pulau Teratai Merah di wilayah selatan. Pertama untuk mengunjungi ayah ibu Ceng Sui Cin, yaitu Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong, dan ke dua untuk merayakan kembali kedamaian yang mereka dapatkan setelah Kui Hong pulang ke Cin-ling-san. Tidak lama kemudian, sesudah melihat bahwa keadaan perkumpulan Cin-ling-pai mulai teratur dengan baik di bawah pimpinan Gouw Kian Sun sebagai wakil ketua, Kui Hong sendiri lalu berpamit dari kakeknya untuk pergi merantau. Kakek Cia Kong Liang tak dapat menahan cucunya, apa lagi karena cucunya ingin memenuhi janjinya untuk mencari Tang Cun Sek, merampas kembali Hong-cu-kiam dan menghukum murid murtad itu. Sejak peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai itu, yaitu beberapa peristiwa susul-menyusul yang mendatangkan banyak guncangan batin baginya, kakek Cia Kong Liang tidak lagi menyembunyikan diri di dalam kamarnya. Kini dia keluar dan menyumbangkan tenaganya untuk menjadi penasehat bagi muridnya, Gouw Kian Sun yang sekarang menjadi ketua. Dan banyak perubahan terjadi pada dirinya yang sudah banyak mengalami kekecewaan itu. Dia menjadi seorang yang penyabar sekali, pandangannya menjadi luas dan dalam karena dia mulai menghilangkan rasa keakuannya yang dahulu sangat besar dan kuat itu. Kekerasan watak kakek itu kini hampir lenyap, terganti kesabaran dan kewaspadaan yang mengagumkan. Kekerasan watak manusia memang dibentuk oleh besarnya rasa keakuan. Pikiran akan menciptakan gambaran tentang diri sendiri, sedemikian besar dan agungnya sehingga diri sendiri selalu benar, selalu tepat, selalu baik dan semua ini akan membentuk kekerasan karena merasa benar sendiri. *************** Dua bayangan yang berkelebat di luar kuil Siauw-lim-si itu bergerak amat cepatnya. Kuil itu sendiri memang berdiri di tempat yang sunyi, kurang lebih sepuluh kilometer di luar kota Yu-shu, di tepi Sungai Cin-sha antara Pegunungan Heng-tuan-san di Propinsi Cing-hai selatan. Kuil itu merupakan kuil kuno yang cukup besar, dengan pekarangan depan yang amat luas dan bagian belakang kuil juga merupakan kebun yang luas, di mana para hwesio kuil itu menanam sayur-sayuran. Kepala kuil Siauw-lim-si itu bernama Ceng Hok Hwesio, seorang pendeta yang usianya telah lanjut, sekitar tujuh puluh tiga tahun. Hwesio tua ini memiliki tubuh yang tinggi besar dan mukanya agak kehitaman. Dia terkenal sebagai seorang hwesio yang berilmu tinggi, berwatak jujur dan berdisiplin, karena itu Ceng Hok Hwesio nampak keras. Karena kedisiplinan ketuanya, maka semua hwesio yang tinggal di kuil itu pun merupakan pendeta-pendeta yang berdisiplin pula. Hal ini terbukti dari adanya penjagaan yang ketat di sekeliling kuil itu dan pada setiap sudut terdapat hwesio yang berjaga, bahkan ada pula yang meronda di malam yang dingin sekali itu. Siapakah dua bayangan yang berkelebat laksana dua ekor burung dengan gerakan yang luar biasa cepatnya itu? Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu berusia dua puluh dua tahun, bertubuh sedang akan tetapi dadanya bidang dan tegap. Wajahnya yang bulat berkulit putih membuat alisnya yang tebal nampak hitam sekali, matanya agak sipit dengan sinar yang terang. Sebuah wajah yang tampan disertai sikap yang lembut dan tenang membayangkan kegagahan. Pakaiannya sederhana saja, rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan pengikat rambut dari sutera biru. Pemuda itu bernama Pek Han Siong, keturunan dari keluarga para pimpinan perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) di daerah Kong-goan Propinsi Secuan. Perkumpulan ini adalah perkumpulan atau perguruan silat yang gagah perkasa. Keluarga Pek ini secara turun temurun merupakan ketua dari Pek-sim-pang, bahkan ketua pertama dari perkumpulan ini yang bernama Pek Khun merupakan pendiri Pek-sim-pang. Mendiang Pek Khun adalah seorang ahli silat aliran Siauw-lim-pai, oleh karena itu mudahlah diduga bahwa Pek-sim-pang merupakan sebuah perguruan silat yang sumbernya dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Mendiang Pek Khun lalu digantikan oleh puteranya yang bernama Pek Ki Bu, kemudian putera Pek Ki Bu yang bernama Pek Kong menggantikan ayahnya menjadi ketua Pek-sim-pang. Pek Kong inilah ayah kandung dari Pek Han Siong, pemuda yang kini nampak bergerak dengan cepatnya bersama seorang gadis di luar tembok pagar kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu. Ketika Pek Han Siong masih berada di dalam kandungan ibunya yang bernama Souw Bwee, anak di dalam kandungan ini telah menimbulkan kegemparan karena ramalan dari para pendeta Lama di Tibet bahwa anak di dalam kandungan itu adalah seorang Sin-tong (Anak Ajaib) yang kelak akan menjadi seorang Dalai Lama atau pemimpin agama di Tibet yang besar. Para pendeta Lama mula-mula meminta dengan hormat dan sopan agar kelak anak yang terlahir itu diserahkan kepada mereka untuk dididik menjadi calon seorang guru besar dunia. Tentu saja keluarga Pek merasa keberatan sehingga mereka menentang kehendak para pendeta Lama. Hal ini kemudian menimbulkan pertikaian dan permusuhan. Karena para pendeta Lama di Tibet mempunyai banyak orang sakti, maka seluruh keluarga Pek bersama para murid dan anggota Pek-sim-pang melarikan diri mengungsi menjauhi daerah Tibet dan akhirnya menetap di kota Kong-goan, di Propinsi Secuan. Akan tetapi para pendeta Lama masih terus melakukan pengejaran. Untuk menghindarkan pengejaran inilah maka Pek Kong lalu mengajak isterinya melarikan diri dan bersembunyi. Akhirnya anak itu terlahir dan tepat seperti yang diramalkan para pendeta Lama di Tibet, anak itu laki-laki dan pada punggungnya terdapat sebuah tanda berwarna merah. Untuk menyelamatkan anak yang diberi nama Pek Han Siong itu, kakek buyutnya yang ketika itu masih hidup, yaitu Pek Khun, lalu membawa pergi Han Siong dari asuhan ayah ibunya. Sebagai gantinya, kakek Pek Khun kebetulan menyelamatkan seorang bayi laki-laki yang dibawa ibunya membunuh diri di lautan. Kakek itu berhasil menyelamatkan bayi itu akan tetapi ibu anak itu tewas, dan menyerahkan bayi itu kepada cucunya, Pek Kong dan isterinya, untuk menjadi pengganti Han Siong! Pek Han Siong dilarikan kakek buyutnya dan sesudah merawatnya selama tujuh tahun, akhirnya dia membawa cucu buyutnya itu ke kuil Siauw-lim-si di dekat Yu-shu itu, lantas menitipkannya kepada Ceng Hok Hwesio ketua kuil itu yang sebenarnya masih terhitung murid keponakannya sendiri. Pek Han Siong hidup di dalam kuil itu dan secara kebetulan sekali dia berjumpa dengan sepasang suami isteri sakti yang sedang melakukan pertapaan atau menerima hukuman atas dosa mereka telah melakukan perjinahan atau menikah secara tidak sah. Hukuman itu adalah hukuman kurung selama dua puluh tahun! Akan tetapi, karena mereka itu sakti, setiap saat bila mereka kehendaki, mereka dapat saling bertemu tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya atau mampu mencegah mereka. Dua orang sakti yang menjadi suami isteri itu bernama Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, keduanya merupakan keturunan dari datuk-datuk sesat yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu. Pasangan suami isteri ini kemudian mengangkat Pek Han Siong sebagai murid mereka. Di bawah bimbingan suhu dan subo-nya yang sangat sakti. Pek Han Siong memperoleh kepandaian yang hebat bukan main. Ilmu-ilmu silat tinggi sudah dikuasainya, dan dia pun menerima pedang pusaka Kwan-im Po-kiam dari kedua orang gurunya. Bukan hanya itu, akan tetapi kedua orang gurunya itu menjodohkan murid tunggal mereka itu dengan puteri mereka yang lenyap diculik orang ketika masih kecil! Hubungan dua orang sakti ini sudah menghasilkan seorang anak perempuan yang diberi nama Siangkoan Bi Lian! Karena itu, murid yang kini telah menjadi seorang pemuda yang tangguh itu diberi tugas untuk mencari puteri mereka sampai dapat, dan mengajaknya ke kuil Siauw-lim-si untuk menghadap mereka. Puteri mereka yang bernama Siangkoan Bi Lian itu semenjak masih bayi mereka titipkan kepada sebuah keluarga Cu di dusun yang berada di kaki gunung, tidak jauh dari kuil itu. Kadang-kadang dua orang suami isteri itu datang mengunjungi puteri mereka, akan tetapi mereka tidak memperkenalkan diri sebagai ayah ibu kepada Bi Lian, melainkan sebagai guru karena mereka mulai mendidik Bi Lian dengan dasar-dasar ilmu silat. Pada suatu hari, ketika Bi Lian masih berusia enam tahun, di dusun itu terjadi keributan. Pertempuran hebat antara datuk-datuk sesat membuat dusun menjadi geger dan banyak orang dusun tewas, termasuk keluarga Cu yang dititipi Bi Lian. Akan tetapi Bi Lian lenyap dan Siangkoan Ci Kang bersama Toan Hui Cu tidak berhasil menemukan anak mereka yang lenyap tanpa bekas itu. Demikianlah, setelah Han Siong tamat belajar dari mereka, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bersepakat untuk menarik pemuda murid mereka ini menjadi calon mantu mereka, dan memberi tugas kepada Han Siong untuk mencari sampai dapat puteri mereka yang hilang itu dan mengajaknya menghadap mereka di kuil Siauw-lim-si. Pada waktu itu Han Siong berusia dua puluh tahun, sementara sudah belasan tahun Bi Lian lenyap dari dusun. Oleh karena itu, tentu saja bukan merupakan tugas yang ringan bagi Han Siong untuk dapat menemukan gadis itu karena tidak ada sedikit pun petunjuk kemana perginya gadis itu dan siapa pula yang membawanya pergi. Dua tahun lamanya Han Siong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa yang hebat dan menarik dan dalam perantauannya inilah secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Bi Lian yang masih mempergunakan nama keluarga Cu! Semua pengalaman Han Siong sejak lahir sampai pertemuannya dengan Cu Bi Lian diceritakan dalam kisah Pendekar Mata Keranjang bagian pertama. Kini, tiba-tiba saja dia muncul kembali bersama seorang gadis. Gadis itu berusia kurang lebih dua puluh tahun, raut wajahnya manis sekali. Tubuh gadis itu ramping, kulitnya putih mulus, rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas dan dihiasi dengan tusuk konde perak. Sepasang matanya tajam bersinar-sinar, hidungnya mancung dan kecil, mulutnya berbentuk menggairahkan dengan bibir yang selalu merah membasah, mukanya bulat telur dan terdapat sebuah tahi lalat di dagunya. Siapakah gadis manis ini? Dia bukan lain adalah Cu Bi Lian, atau yang sebetulnya she Siangkoan! Ia berhasil ditemukan Han Siong dan diajak berkunjung ke kuil itu, berkunjung kepada suami isteri sakti yang dikenalnya sebagai gurunya di waktu dia masih kecil, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa kedua orang gurunya itu sebetulnya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri! Apa yang sudah terjadi dengan diri gadis ini ketika dia berusia enam tahun di dusun itu? Ternyata dia sudah terjatuh ke dalam tangan dua orang datuk sesat yang pada waktu itu amat ditakuti di dunia kang-ouw, yaitu yang berjuluk Pak-kwi-ong (Raja Setan Utara) dan Tung-hek-kwi (Setan Hitam Timur), dua orang di antara Empat Setan yang namanya telah menggetarkan kolong langit akibat kelihaian mereka dan juga tindakan mereka yang aneh-aneh, kadang-kadang tanpa mengenal peri kemanusiaan sama sekali. Dua orang datuk sesat inilah yang dulu mengamuk di dusun itu, membunuh banyak tokoh kang-ouw dan banyak orang dusun termasuk keluarga Cu yang oleh Bi Lian dianggap sebagai keluarganya yang sesungguhnya. Bi Lian menarik perhatian kedua orang datuk sesat itu sehingga dia pun akhirnya diambil sebagai murid. Dua orang datuk itu mewariskan seluruh ilmu-ilmunya yang hebat kepada gadis ini dan Bi Lian menjadi seorang gadis dewasa yang selain tinggi ilmu silatnya, juga berwatak aneh, berani, galak, dan tidak mengenal ampun kepada musuh-musuhnya. Karena itu, di dunia kang-ouw namanya segera menonjol dan dia dijuluki Thiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) saking keras wataknya. Dalam kisah Pendekar Mata Keranjang bagian pertama diceritakan tentang pengalaman gadis yang lihai ini sampai akhirnya kehilangan kedua gurunya yang tewas saling bunuh dalam perkelahian karena berbeda pendapat mengenai diri murid mereka yang tersayang itu. Yang seorang ingin menjodohkan Bi Lian dengan seorang tokoh pemberontak, akan tetapi Bi Lian tidak mau dan guru ke dua membelanya. Akhirnya keduanya tewas setelah mereka saling serang dengan hebatnya. Bi Lian merasa sakit hati terhadap para pemberontak itu, lantas dalam usaha menentang para pemberontak inilah dia bertemu dengan Pek Han Siong, saling bekerja sama untuk menghancurkan pemberontak bersama pendekar lainnya, kemudian mereka berkenalan. Pek Han Siong kemudian dapat menduga bahwa inilah puteri dari kedua orang gurunya, gadis yang telah dijodohkan dengan dia! Dia lalu memperkenalkan diri sebagai murid dari Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang oleh Bi Lian juga dianggap sebagai dua orang gurunya ketika dia masih kecil sehingga mereka pun seakan-akan masih terhitung suheng dan sumoi! Dan sesudah pemberontak itu dapat ditindas, Han Siong berhasil mengajak Bi Lian untuk berkunjung ke kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu itu untuk menghadap suhu dan subo-nya itu. cerita silat online karya kho ping hoo Demikianlah, pada malam hari itu dua bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya dan kini mereka sudah berdiri di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si. "Suheng, hari sudah demikian malam, apakah baik untuk mengunjungi suhu dan subo?" tanya Bi Lian ketika mereka berhenti di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si. "Kita lihat saja nanti. Kalau suhu dan subo bersedia menerima kita malam ini juga, maka kita langsung menghadap, kalau andai kata mereka tidur, kita akan menanti di dalam kuil untuk menghadap besok pagi." "Akan tetapi, kenapa kita harus masuk lewat pagar tembok? Bukankah lebih baik masuk melalui pintu gerbang dan mengetuknya kalau sudah ditutup, suheng?" "Ah, aku belum bercerita padamu, sumoi. Suhu dan subo adalah orang-orang... hukuman yang berada dalam kurungan di kuil ini." "Ahhh...!" Gadis itu terrcengang, "Orang hukuman? Mengapa...? Apa kesalahan mereka? Dan bagaimana pula mereka dahulu dapat mengunjungi aku dan melatih ilmu silat?" "Sumoi, sebaiknya kalau hal itu engkau dengar sendiri dari suhu dan subo karena aku... aku tak berhak untuk menceritakannya. Marilah, sudah dua tahun aku pergi meninggalkan mereka dan aku sudah rindu sekali untuk bertemu dengan mereka." Berkata demikian, Han Siong lalu menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok, diikuti oleh Bi Lian yang gerakannya lebih lincah lagi. Memang ia seorang gadis yang lincah sekali, sebaliknya Han Siong pendiam dan tenang. Padahal kalau diadakan perbandingan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) tentu saja Han Siong yang menerima gemblengan dari subo-nya yang merupakan seorang ahli ginkang hebat, jauh lebih pandai dari pada Bi Lian. Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga walau pun pagar tembok itu terjaga oleh para hwesio, tidak ada seorang pun di antara para penjaga itu melihat berkelebatnya dua bayangan yang memasuki kuil lewat pagar tembok belakang. Han Siong yang pernah tinggal di kuil itu selama bertahun-tahun tentu saja sudah hafal sekali akan keadaan di dalam kuil. Dia yang menjadi penunjuk jalan berada di depan dan Bi Lian mengikuti di belakangnya. Dengan mudah saja Han Siong mengambil jalan yang tersembunyi sehingga tidak pernah kepergok oleh seorang pun hwesio dan kini mereka tiba di luar sebuah kamar yang jendela dan daun pintunya tertutup. Inilah kamar kurungan di mana biasanya subo-nya berada, tempat hukuman bagi subo-nya! Dengan hati-hati Han Siong mengetuk daun pintu kamar itu, kemudian daun jendela, akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Pada saat dia mengintai ke dalam, kamar itu nampak gelap dan sunyi. Bahkan ketika dia menempelkan telinganya pada papan daun jendela, dia tidak mendengar bunyi pernapasan manusia di dalamnya. Kamar itu kosong! "Bagaimana, Suheng?" tanya Bi Lian yang mengikuti gerak-gerik pemuda itu. “Ini kamar subo, akan tetapi kamar ini sekarang kosong. Jangan-jangan subo sedang ke luar. Mari kita ke kamar tahanan suhu saja.” Mereka lalu pegi ke bagian lain dari kuil itu, jauh ke ujung kiri dan tak lama kemudian Han Siong sudah berada di luar sebuah kamar lainnya yang daun jendela serta pintunya juga tertutup. Akan tetapi nampak sedikit cahaya yang menerobos keluar dari celah-celah daun jendela, tanda bahwa di dalam kamar itu ada lilin bernyala. Gembira rasa hati Han Siong karena hal ini menandakan bahwa suhu-nya berada di dalam kamar itu. Daun pintu itu diketuknya perlahan-lahan. Tidak ada jawaban dari dalam. Diketuknya lagi dan dia pun berseru lirih, "Suhu...! Suhu, ini teecu yang datang mohon menghadap suhu!" Kini terdengar suara gerakan di dalam kamar itu, kemudian terdengar suara teguran dari dalam yang sangat mengejutkan hati Han Siong. "Omitohud…! Siapa berani mengganggu pinceng di tengah malam buta begini?" Tentu saja Han Siong amat terkejut karena dia mengenal suara yang berat dari Ceng Hok Hwesio, ketua Siauw-lim-si yang amat galak itu. Ketua inilah yang dulu memberi hukuman kepada suhu dan subo-nya! Biar pun Ceng Hok Hwesio selalu bersikap baik kepadanya, bahkan hwesio tua ini pula yang mendorongnya untuk mempelajari kesusasteraan melalui kitab-kitab agama yang kuno, namun Han Siong selalu merasa hormat dan segan kepada hwesio tua yang amat keras menjaga peraturan ini. Dia merasa serba salah. Dia sudah terlanjur mengeluarkan suara sehingga hwesio tua itu sudah tahu bahwa di luar ada orang, maka tidak mungkin lagi dia mundur. Apakah hwesio tua itu tengah mengadakan kunjungan kepada suhu-nya? Di malam buta begini? Sungguh aneh. Namun dia harus cepat menjawab karena hwesio tua itu sedang menunggu dengan hati tidak sabar. “Losuhu, maafkan saya. Saya adalah Pek Han Siong...," jawabnya. Hening sejenak di dalam kamar itu. Kemudian baru terdengar suara yang berat itu, "Pek Han Siong...? Ahh, engkau telah kembali? Apakah engkau mencari suhu-mu, Siangkoan Ci Kang?” Girang rasa hati Han Siong mendengar suara yang berat itu tak mengandung kemarahan. "Benar sekali, Lo-suhu! Bolehkah saya menghadap suhu?" Kembali hening sejenak, lalu kembali terdengar suara. "Baiklah, tapi pinceng mendengar gerakan dua orang. Siapa kawanmu itu?" Han Siong saling pandang dengan Bi Lian. Kakek yang berada dalam kamar itu ternyata memiliki pendengaran yang amat tajam. "Saya datang bersama seorang murid suhu dan subo yang lain, losuhu. Ia bernama... Cu Bi Lian, juga ingin menghadap suhu dan subo." “Seorang wanita?” Suara itu seperti terkejut, lalu disambungnya cepat-cepat, “Siancay... biarlah, kalian masuklah, pintu kamar ini tidak terkunci.” Han Siong memberi isyarat kepada Bi Lian dan keduanya membuka daun pintu kemudian masuk ke dalam kamar itu. Bi Lian memandang penuh perhatian, sedangkan Han Siong menutupkan kembali daun pintu dari dalam. Seorang hwesio tua sekali duduk bersila di tengah ruangan kamar itu, kamar yang kosong dan di sudut kamar terdapat sebuah meja di mana berdiri sebatang lilin yang bernyala. Beberapa batang lilin lain yang tidak bernyala menggeletak di atas meja. Han Siong mengajak Bi Lian untuk menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio yang duduk bersila di atas lantai itu, lantai dingin tanpa tilam! Dan Han Siong merasa teharu. Baru dua tahun berlalu, akan tetapi ketua kuil itu sekarang nampak sudah sangat tua, tua keriputan dan mukanya yang kehitaman itu, yang biasanya tampak segar, kini terlihat layu dan lesu. Sinar matanya bahkan diliputi kedukaan. "Losuhu, saya dan sumoi mohon maaf bila mengganggu losuhu. Akan tetapi di manakah adanya suhu? Tadi subo juga tak ada di dalam kamar tahanannya. Di manakah mereka?" Sepasang mata yang dulu menyinarkan kegalakan dan kekerasan itu nampak sayu, yang ada hanya tinggal sinar kejujurannya, dan kini sepasang mata itu mengamati Han Siong dan Bi Lian. "Han Siong, coba nyalakan dua batang lilin lagi supaya agak terang. Mata pinceng sudah tidak begitu awas lagi..." katanya lirih. Hati pemuda itu terharu dan dia pun cepat menyalakan dua batang lilin di atas meja. Kini kakek itu mengamati mereka dan diam-diam merasa terkejut sekali ketika melihat wajah gadis yang datang bersama Han Siong. Alangkah miripnya wajah itu dengan wajah Toan Hui Cu! Teringat akan Toan Hui Cu, hatinya bagaikan diremas dan dia pun memejamkan kedua matanya, merangkapkan kedua tangan di depan dada dan berkata lirih, "Omituhud... semoga semua dosa pinceng diampuni oleh Thian..." “Losuhu, sudilah kiranya losuhu menceritakan di mana adanya suhu dan subo sekarang," kata pula Han Siong yang merasa tak enak melihat kedukaan membayang di wajah kakek itu. Kakek itu membuka matanya dan menghela napas panjang. "Kalian duduklah yang enak. Kebetulan sekali kalian datang selagi pinceng bingung mencari siapa yang kiranya patut untuk menerima curahan penyesalan hati pinceng yang selama ini pinceng sembunyikan. Kalian berdua adalah orang yang paling tepat menerima dan mendengarkannya. Benar, terutama engkau, Han Siong. Dengarkan baik-baik pengakuan pjnceng, pengakuan orang yang berdosa besar!" "Losuhu...!" Han Siong membantah dengan perasaan terkejut sekali, akan tetapi kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas. "Diamlah, Han Siong, dan kau dengarkan saja pengakuan pinceng ini." Han Siong lalu duduk bersila menutup mulut dan menundukkan mukanya, sedangkan Bi Lian mengamati kakek itu dengan hati tertarik. Tentu dia akan mendengarkan cerita yang sangat menarik, pikirnya. Kakek ini sungguh aneh, akan tetapi melihat mukanya yang tua itu, sepasang mata yang redup dan sayu akan tetapi mengandung sinar kejujuran dan juga kekerasan itu membuat dia merasa suka kepada kakek tua renta itu. "Kurang lebih dua puluh satu tahun yang lalu ada sepasang orang muda datang ke kuil ini menghadap pinceng. Usia mereka seperti kalian berdua, masih muda, yang pria tampan dan yang wanita cantik. Mereka itu adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mereka membuat pengakuan yang amat mengejutkan hati pinceng. Siangkoan Ci Kang mengaku sebagai putera tunggal mendiang Siangkoan Lojin yang berjuluk Iblis Buta, seorang datuk sesat. Sedangkan Toan Hui Cu bahkan mengaku sebagai puteri mendiang Raja dan Ratu Iblis, sepasang raja datuk sesat yang menggemparkan dunia kang-ouw. Mereka sengaja menghadap pinceng dan minta agar diterima menjadi hwesio dan nikouw, karena mereka berdua merasa telah berbuat dosa dan untuk mencuci darah keturunan mereka yang amat jahat. Pinceng menerima karena melihat betapa mereka itu mempunyai niat yang tulus ikhlas…" Sampai di sini kakek itu berdiam sejenak. Han Siong merasa kagum sekali kepada suhu dan subo-nya. Biar pun keduanya adalah keturunan datuk-datuk sesat yang seperti iblis, akan tetapi keduanya agaknya menyadari kekeliruan orang tua mereka bahkan hendak menebus dosa orang tua dengan masuk menjadi pendeta! Bi Lian yang hanya samar-samar saja ingat kepada kedua orang gurunya itu, diam-diam juga merasa kagum dan bersimpati. Dia sendiri pun sejak kecil menjadi murid dua orang datuk sesat, tetapi dia sama sekali tidak sudi mengikuti jejak mereka sebagai orang jahat. Sama sekali tidak! Dia benci terhadap perbuatan jahat dan menentang mereka yang suka bertindak sewenang-wenang dan jahat. "Ketika itu, pinceng yang sudah puluhan tahun tidak pernah membayangkan wanita, tiba-tiba saja menjadi lemah dan seperti kemasukan iblis dalam diri pinceng. Pinceng... tergila-gila kepada Toan Hui Cu!" Mendengar ini, hati Han Siong terkejut bukan main. Kalau saja kakek itu tidak membuat pengakuan sendiri, pasti dia tidak akan percaya! Bi Lian menatap wajah kakek itu, kedua matanya memandang tajam penuh selidik. Ceng Hok Hwesio menghela napas panjang. "Batin pinceng masih lemah, terlalu mudah dimasuki kotoran. Pinceng tertarik oleh kecantikan Toan Hui Cu dan pinceng menyatakan perasaan ini. Dia menolak pinceng! Kemudian... di luar pengetahuannya, ternyata ketika masuk menjadi nikouw, Toan Hui Cu telah mengandung akibat hubungan cintanya dengan Siangkoan Ci Kang. Hubungan di luar nikah! Kesempatan ini lalu pinceng gunakan untuk membalas dendam kepada Toan Hui Cu yang telah mengecewakan pinceng dan menolak perasaan hati pinceng yang sesungguhnya hanyalah gejolak nafsu binatang belaka. Juga membalas dendam terhadap Siangkoan Ci Kang karena iri hati dan cemburu yang juga merupakan nafsu pementingan diri sendiri yang merasa dikecewakan. Maka pinceng lalu menjatuhkan hukuman kepada mereka, hukuman kurung selama dua puluh tahun dalam kamar kurungan yang terpisah!" "Aihhh, betapa kejinya!" tiba-tiba Bi Lian berseru. marah, matanya berapi-api memandang kepada hwesio tua itu. "Losuhu sebagai seorang hwesio tua sungguh tidak pantas sekali melakukan perbuatan yang begitu kejam terhadap mereka! Mula-mula tergila-gila kepada seorang wanita muda, dan karena tidak mendapat tanggapan lalu membalas dendam dan menghukum mereka sampai dua puluh tahun! Tidak malukah losuhu kepada diri sendiri?" "Sumoi...!" Han Siong berseru kaget sekali ketika mendengar ucapan yang nadanya amat mencela dan merendahkan ketua kuil itu! Akan tetapi kakek itu bahkan tersenyum, lantas merangkap kedua tangan di depan dada, memejamkan kedua matanya dan berkata, "Omitohud..., terima kasih, nona. Makian dan celaan tadi sungguh terasa sebagai obat pelunak rasa perih karena penyesalan pinceng. Pinceng memang layak dimaki, bahkan pantas dipukul atau dibunuh kalau perlu. Pinceng akan menerimanya dengan senang hati sekali..." Mendengar ini, Bi Lian segera menutup mulutnya dan memandang heran, juga bingung. Ia menoleh kepada Han Siong yang mengedipkan mata dan memberi isyarat kepadanya agar suka menahan diri. Karena Han Siong ingin sekali tahu ke mana perginya suhu dan subo-nya, maka dia pun kembali mendesak dengan hati-hati kepada kakek yang masih memejamkan kedua matanya itu. "Lalu bagaimana kelanjutannya, losuhu?" Kakek itu membuka matanya, masih tersenyum ketika memandang kepada Bi Lian, dan pandang matanya juga terlihat lembut, sama sekali tidak membayangkan kemarahan biar pun tadi dimaki dan ditegur dengan keras oleh gadis itu. "Ketika engkau pergi meninggalkan kuil, hukuman mereka itu tinggal dua tiga tahun lagi, Han Siong. Akan tetapi pada suatu hari pinceng menyadari dan menginsyafi dosa yang pinceng lakukan. Sayang kesadaran itu timbul sesudah pinceng begini tua. Pinceng lalu memanggil mereka, membebaskan mereka dari sisa hukuman itu dan di hadapan mereka pinceng mengakui semua dosa pinceng serta menyatakan bahwa pinceng telah menjatuhi hukuman pada diri pinceng sendiri dengan hukuman kurungan di kamar ini sampai mati" "Ahhh...!" Han Siong berseru dan tercengang, akan tetapi Bi Lian bersungut-sungut. "Hemm, masih terlalu ringan! Mereka yang tak berdosa harus menjalani hukuman selama hampir dua puluh tahun! Kalau losuhu, melihat usia losuhu yang sudah tua sekali, tentu hanya tinggal beberapa tahun saja..." "Sumoi...!" kembali Hong Siong menegur gadis itu. Kakek itu tersenyum lagi dan mengangkat tangannya. "Biarkan saja, Han Siong! Pinceng malah girang sebab gadis ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng. Sungguh selama ini pinceng merasa menyesal sekali, apa lagi ketika dikeluarkan dari sini, mereka berdua itu sama sekali tidak mengutuk pinceng. Sebab itu biarlah nona ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng...! Mereka memang tidak berdosa. Sesudah pinceng mendengar akan pengalaman mereka, ternyata mereka memang saling mencinta, sama-sama menderita dengan nasib yang hampir sama. Apakah dosa hubungan antara dua orang yang saling mencinta? Pinceng yang didorong nafsu iblis, nafsu binatang. Bahkan bukan mereka saja yang menderita, anak mereka yang tidak bersalah apa pun akhirnya ikut pula menderita akibat perbuatan pinceng yang kotor..." "Anak mereka...? Ahh, suhu dan subo mempunyai anak, lantas bagaimana dengan anak mereka itu?" Kini Bi Lian bertanya sambil menatap tajam wajah Ceng Hok Hwesio yang masih tersenyum. Mendengar ini, berdebar rasa hati Han Siong. Bi Lian bertanya tentang anak itu, tentang dirinya sendiri! Dan hwesio tua itu pun sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa yang bertanya itu adalah anak itu sendiri, anak dari dua orang hukuman itu! Han Siong merasa serba salah. Tentu saja tak mungkin dia mencegah kakek itu bercerita atau melarang Bi Lian bertanya. Pertanyaan sudah diajukan dan dengan jantung berdebar penuh ketegangan Han Siong hanya dapat memandang dan mendengarkan, menunggu jawaban dari Ceng Hok Hwesio. "Anak mereka itu? Ah, anak yang malang itu ikut pula menjadi korban dosa yang pinceng lakukan terhadap kedua orang tuanya. Anak itu perempuan dan karena mereka tidak ingin membiarkan anak mereka hidup dalam kurungan pula, mereka lalu menitipkan anak itu ke dusun di kaki gunung. Akan tetapi... Omitohud... semoga dosa pinceng dapat diampuni... anak itu kabarnya dilarikan oleh penjahat sesudah keluarga yang mereka titipi itu dibunuh penjahat..." Bi Lian meloncat bangun berdiri dan wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak ketika dia membentak Ceng Hok Hwesio dengan pertanyaan yang mengejutkan hati kakek tua itu. "Katakan! Siapa nama anak perempuan mereka itu? Hayo katakan, atau... demi Tuhan, kubunuh kau!" "Sumoi...!" Han Siong juga bangkit berdiri, siap mencegah kalau sampai gadis itu benar-benar hendak membunuh ketua Siauw-lim-si itu. Akan tetapi Ceng Hok Hwesio masih saja bersikap tenang dan tersenyum, seolah-olah dia memang mengharapkan ada orang yang membunuhnya untuk menghukum dosanya yang membuat dia terbenam dalam penderitaan karena penyesalan. "Sungguh pinceng tidak tahu siapa namanya. Kalau engkau hendak membunuh pinceng, silakan, nona, pinceng tidak akan menghindarkan diri..., silakan...!" "Sumoi...!" Han Siong kembali menegur. Bi Lian yang masih pucat itu kini menoleh dan berhadapan dengan Han Siong. "Suheng engkau... engkau tentu tahu... anak... anak itu... dia... dia…?" Sinar matanya penuh pertanyaan dan bibirnya gemetar, tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Tanpa suara pun Han Siong maklum apa yang menjadi dugaan hati gadis itu. Dia pun mengangguk. "Benar, sumoi. Engkaulah anak itu... engkau adalah puteri suhu dan subo yang dititipkan kepada keluarga Cu itu..." Bi Lian terbelalak, mengeluarkan jeritan melengking tinggi dan tubuhnya sudah bergerak, didahului tangannya yang menyambar ke depan, menghantam ke arah ubun-ubun kepala Ceng Hok Hwesio yang masih duduk bersila dan tersenyum, memandang tanpa berkedip. Tetapi pukulan itu bertemu dengan tangan Han Siong yang lunak, yang sudah menangkis pukulan itu dan mendorong mundur tubuh Bi Lian. "Sumoi, tenanglah. Apabila engkau membunuhnya, berarti engkau mengambil alih semua dosanya...! Jangan, Sumoi, demi Tuhan, jangan lakukan itu...!" Bi Lian mencoba untuk meronta, namun Han Siong terus memegangi kedua lengannya. "Lepaskan, Suheng! Ia telah mencelakakan kedua orang tuaku, menyiksa ayah dan ibuku! Aku harus membunuhnya!" "Omitohud... jadi nona ini adalah puteri mereka? Ya Tuhan, Han Siong lepaskan dia, biar dia membunuh pinceng. Omitohud... akhirnya hukuman yang adil datang. Lepaskan, biar dia membunuh pinceng. Anak baik, kau bunuhlah pinceng... kau bunuhlah pinceng..." Dan hwesio itu pun kini menangis terisak-isak sambil berbisik-bisik minta dibunuh. Han Siong tetap mencegah Bi Lian, "Ingat, Sumoi, suhu dan subo, yaitu ayah dan ibumu, tentu akan marah dan berduka sekali jika mereka mendengar engkau membunuh losuhu ini. Mereka yang menerima hukuman itu saja tak pernah mencela, tidak pernah mengutuk. Setidaknya engkau harus bertanya dahulu kepada mereka. Mari, sumoi, mari kita temui ayah ibumu...” "Ayah? Ibu? Di mana... di mana... mereka... ?" Gadis itu tergagap-gagap, kedua matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali. "Losuhu, tolong beri tahu, di mana adanya suhu dan subo kini?" Dengan kepala tunduk, masih menangis, Ceng Hok Hwesio berkata, "Mereka... mereka... di Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas), di puncak Heng-tuan-san ujung timur... tapi… tapi... biarkan dia membunuhku dulu, Han Siong... aku mohon padamu, biarkan dia membunuh pinceng..." Akan tetapi Han Siong tidak mempedulikan kakek itu, melainkan menarik tangan Bi Lian dan membawanya keluar dari kamar itu. Masih terdengar keluh kesah dari kakek itu yang di antara tangisnya terus minta dibunuh, akan tetapi Han Siong tetap mengajak sumoi-nya keluar. Di luar kamar mereka bertemu dengan banyak hwesio yang tadi terkejut mendengar jerit Bi Lian. Ketika mereka tiba di depan kamar, mereka mendengar tangis Ceng Hok Hwesio sehingga para hwesio ini tentu saja menjadi terkejut dan terheran akan tetapi tidak berani memasuki kamar yang dijadikan tempat hukuman atau pertapaan oleh ketua mereka itu. Ketika para hwesio itu melihat seorang pemuda dan seorang gadis keluar dari kamar itu, tentu saja mereka segera menghadang dan bersikap penuh curiga. Akan tetapi Han Siong cepat memperkenalkan diri. "Para Suhu dan Suheng, apakah lupa kepadaku? Aku adalah Pek Han Siong..." "Ahh, Han Siong...” "Sute..." Para hwesio itu kini mengenalnya, akan tetapi Han Siong tak ingin banyak bicara dengan mereka. Dia menggandeng tangan sumoi-nya dan berbisik, "Mari kita pergi, sumoi...!" Dia pun mengajak sumoi-nya untuk meloncat dan beberapa kali berkelebat saja, mereka telah menghilang dalam kegelapan malam. Para hwesio hanya bisa memandang dengan mata terbelalak penuh kagum. Mereka melanjutkan perjalanan dalam kegelapan malam, hanya diterangi sejuta bintang di langit. Karena perjalanan mendaki Pegunungan Heng-tuan-san merupakan perjalanan yang sulit dan berbahaya, maka mereka hanya berjalan perlahan-lahan. Tiba-tiba Bi Lian berhenti. "Marilah, Sumoi..." Akan tetapi Bi Lian tidak bergerak dan mencoba untuk menatap tajam wajah pemuda itu melalui kegelapan. "Suheng..." Dari suaranya dapat diketahui bahwa gadis itu menahan tangisnya. Semenjak keluar dari kuil tadi, hanya dengan kekerasan hatinya saja Bi Lian tidak sampai tersedu-sedu atau terisak-isak walau pun kedua matanya telah basah dan kadang-kadang ada air mata menetes ke atas pipinya. Pikirannya menjadi kacau tidak karuan. Ia membayangkan mereka yang pernah dianggapnya sebagai ayah dan ibu kandungnya, yakni suami isteri Cu Pak Sun yang terbunuh oleh mendiang kedua orang gurunya yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Lalu dia membayangkan dan mencoba untuk mengingat-ingat wajah kedua orang yang menjadi gurunya, yang sering datang di waktu malam dan memberi bimbingan ilmu silat kepadanya. Seorang pria yang gagah perkasa akan tetapi lengan kirinya buntung sebatas siku, serta seorang wanita yang cantik jeilta akan tetapi wajahnya selalu pucat. Mereka begitu baik kepadanya, bahkan wanita yang menjadi subo-nya itu setiap kali datang dan pergi selalu mencium kedua pipinya dan pria berlengan buntung sebelah yang menjadi suhu-nya itu selalu mengelus-elus kepalanya penuh kasih sayang! Jadi mereka itu adalah ayah dan ibu kandungnya! "Ya? Ada apa, Sumoi?" Han Siong bertanya, hatinya tidak enak karena tadi dia berkeras melarang sumoi-nya membunuh Ceng Hok Hwesio. "Suheng, katakan terus terang, apakah selama ini, sejak pertemuan pertama antara kita, engkau sudah tahu siapa diriku?" Han Siong mengangguk, akan tetapi cepat-cepat menjawab setelah teringat bahwa cuaca gelap dan belum tentu anggukannya kelihatan oleh gadis itu. "Aku tahu, Sumoi. Suhu dan subo telah memberi tahu kepadaku siapa namamu, yaitu Bi Lian dan menggunakan nama keluarga Cu. Ketahuilah, Sumoi. Aku memang diutus oleh suhu dan subo untuk mencari engkau. Selama dua tahun aku mengembara, tidak tahu harus mencari ke mana sampai pada hari itu kita kebetulan saling berjumpa dan begitu melihat, aku... aku sudah merasa tegang karena wajahmu mirip sekali dengan wajah subo. Sesudah mendengar namamu, maka aku menjadi yakin." "Tapi, kenapa kau diam saja, suheng? Kenapa kau tidak memberi tahu kepadaku bahwa sebenarnya aku adalah anak kandung mereka?" "Aku khawatir engkau tidak percaya, Sumoi. Maksudku hendak membawamu menghadap mereka dan biarlah engkau mendengar dari mereka sendiri. Tidak kusangka kita bertemu dengan losuhu Ceng Hok Hwesio sehingga rahasia itu kau ketahui...” Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Karena Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) itu berada di puncak paling ujung dan perjalanan dilakukan secara lambat, dan setelah terang tanah mereka baru dapat melanjutkan perjalanan dengan cepat, maka pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah mereka tiba di lembah itu. Tidak sukar mencari suami isteri itu sesudah mereka berdua tiba di lembah, karena baru saja mereka memasuki lembah yang nampak subur itu, mereka melihat dua titik hitam dari atas depan yang makin lama menjadi makin besar dan akhirnya nampak dua sosok tubuh manusia berlari cepat menyongsong mereka. Tanpa disadari, tangan Bi Lian mencari kemudian memegang lengan kanan Han Siong. Pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan gadis itu dingin dan gemetar . Seperti yang diduganya, setelah tiba di depannya, dua sosok tubuh itu bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu! Mereka menyongsong sambil tersenyum gembira dan dari jauh Siangkoan Ci Kang sudah berseru, "Heiiii..., bukankah itu engkau, Han Siong...?" Ketika mereka sudah berhadapan, Toan Hui Cu tersenyum. "Kami sudah menduga bahwa yang datang tentu engkau..." Mendadak dia berhenti dan matanya terbelalak mengamati wajah Bi Lian. Juga Siangkoan Ci Kang tiba-tiba saja memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya berubah pucat, suaranya gemetar ketika dia berkata, "Han Siong, ini... dia ini..." Seperti besi terbetot besi sembrani Toan Hui Cu melangkah maju menghampiri, "...kau... kau..." Dia tidak mampu melanjutkan karena takut kalau-kalau dia salah kira. Akan tetapi suaminya berteriak, "Pasti dia! Wajahnya itu... ahh, serupa benar denganmu, Hui Cu. Dia Bi Lian...!" "Kau... kau benar Bi Lian...?” Dengan suara bercampur isak Toan Hui Cu berkata, kedua lengannya dikembangkan. Sejak tadi Bi Lian sudah memandang kedua orang itu dengan air mata bercucuran dan kini dia tidak dapat menahan dirinya lagi. Dia lari menubruk Toan Hui Cu dan dirangkulnya wanita itu. "Ibuuuuu..., engkau ibuku...!" "Bi Lian anakku... ahh, Bi Lian...!" Kedua ibu dan anak itu saling berangkulan, kemudian Hui Cu mendekap puterinya sambil tersedu-sedu. "Bi Lian... ya Tuhan, syukurlah engkau selamat dan dapat bertemu kembali dengan kami, anakku..." Bi Lian melepaskan rangkulan ibunya, lalu lari menubruk kaki ayahnya. "Ayaahhh...!” "Anakku...!" Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang membelai kepala gadis itu. Pria yang sakti dan gagah perkasa ini tidak mampu menahan basahnya kedua matanya. Hui Cu merangkul lagi puterinya dan mereka bertiga saling berangkulan dalam suasana yang penuh keharuan dan kebahagiaan. Kemudian Siangkoan Ci Kang menghampiri Han Siong yang semenjak tadi juga sudah menjatuhkan diri berlutut di depan suhu dan subo-nya dan hanya memandang pertemuan itu dengan mulut tersenyum sambil menahan keharuan hatinya yang merasa ikut bahagia. Siangkoan Ci Kang yang lengan kirinya buntung itu menyentuh kepala muridnya dengan penuh perasaan syukur dan berterima kasih. “Syukur bahwa engkau berhasil menemukan anak kami, Han Siong." Toan Hui Cu sekarang bangkit berdiri sambil merangkul pinggang puterinya yang ramping. "Kami amat berterima kasih kepadamu, Han Siong. Tidak percuma kami mendidik dengan susah payah padamu selama ini, ternyata engkau berhasil membawa pulang Bi Lian." "Pertemuan antara teecu dan sumoi hanya kebetulan saja, Suhu dan Subo. Kami berdua sama-sama menentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo." "Ahh…! Jadi iblis itu malah mengusahakan pemberontakan?" Suami isteri itu bertanya. Tentu saja mereka berdua mengenal Lam-hai Giam-lo, pemimpin pemberontak itu karena Lam-hai Giam-lo pernah melarikan diri dari para musuhnya yang sangat lihai, menyamar sebagai hwesio dan bersembunyi di dalam kuil Siauw-lim-si pimpinan Ceng Hok Hwesio di mana mereka menjadi dua orang hukuman. Lam-hai Giam-lo menyamar sebagai seorang tukang sapu yang gagu dan berkat suami isteri yang sakti ini pula iblis itu dapat diusir dari kuil. "Ibu dan ayah... mengapa ibu dan ayah begitu... nakal terhadap diriku? Ayah dan ibu dulu memberikan aku kepada keluarga Cu! Apakah ayah dan ibu malu mengakui aku sebagai anak?" Dengan merengut manja gadis itu bertanya sambil merangkul ibunya. Suami isteri itu saling pandang lalu tersenyum lebar. "Hai, Han Siong! Bagaimana Bi Lian begitu berjumpa dengan kami segera tahu bahwa dia adalah puteri kami? Apakah engkau sudah menceritakan kepadanya?" Ibu gadis itu malah balik mengajukan pertanyaan ini kepada Han Siong sebelum dapat menjawab pertanyaan puterinya. Siangkoan Ci Kang tertawa, "Ha-ha-ha, hujan pertanyaan yang menuntut jawaban! Mari kita pulang dan kita bicara sejelasnya di dalam pondok. Kita masing-masing diharuskan menceritakan segalanya secara panjang lebar supaya tidak ada lagi rasa penasaran yang menyelinap di dalam hati. Sabarlah, anakku, sebentar lagi engkau pasti akan mendengar semua jawaban atas pertanyaanmu." Dara itu berjalan di tengah digandeng oleh ayah ibunya, dan Han Siong mengikuti mereka dari belakang, diam-diam hatinya merasa tegang karena masih ada satu hal yang belum terpecahkan dan yang masih menggoda perasaan hatinya. Dia meraba gagang pedang Kwan-im-kiam yang tergantung di pinggangnya. Pedang pusaka itu pemberian kedua orang gurunya, bukan hanya sebagai hadiah guru kepada muridnya, melainkan terutama sekali sebagai tanda bahwa dia sudah dijodohkan dengan Bi Lian. Dahulu hatinya merasa ragu-ragu mengenai ikatan jodoh ini, akan tetapi dia tidak berani menolak karena dia merasa hutang budi besar sekali kepada kedua orang gurunya. Akan tetapi sekarang, setelah dia berjumpa dengan gadis itu, tidak perlu ditanya untuk kedua kalinya, hatinya sudah seratus persen menerima dan setuju untuk menjadi calon suami Bi Lian! Begitu bertemu, dia sudah langsung jatuh hati. Yang membuat hatinya merasa tidak enak, tegang dan bimbang adalah karena dia belum dapat menduga bagaimana nanti tanggapan atau pendapat gadis itu apa bila mendengar bahwa dia dijodohkan dengan suheng-nya! Selama bergaul dengan Bi Lian, dia sungguh harus mengakui bahwa dia bingung dan tidak dapat menduga bagaimana perasaan gadis itu terhadap dirinya....

jilid 6


GADIS itu berwatak demikian terbuka, polos di samping galak dan keras, akan tetapi juga penuh rahasia baginya. Kadang-kadang gadis itu bersikap manis sekali, kadang-kadang seperti acuh. Bagaimana kalau nanti Bi Lian menolak? Bagaimana kalau diam-diam gadis ini telah mempunyai seorang pemuda pilihan hatinya sendiri? Hal ini membuat dia secara diam-diam merasa gelisah ketika mengikuti gadis dan ayah ibunya itu dari belakang. Diam-diam dia merasa iri melihat betapa tangan dan lengan suhu dan subo-nya melingkar di pinggang yang ramping itu. Kalau saja tangan dan lengannya yang berada di situ! Gadis itu bicara dengan sikap manja sambil menoleh ke kanan kiri, kepada ayahnya dan ibunya. Kalau saja gadis itu bicara seperti itu kepadanya! Mereka memasuki sebuah pondok sederhana yang berdiri di pinggir sebuah anak sungai yang airnya jernih, yang mengalir riang berdendang di antara batu-batu sungai. Pondok atau rumah tunggal di lembah itu, tidak mempunyai tetangga. Rumah orang lain berada di dusun yang berada di kaki gunung. Setelah berada di dalam pondok dan duduk di atas lantai bertilamkan rumput kering yang lunak dan bersih, mereka berempat kemudian bercakap-cakap. Untuk melenyapkan rasa penasaran di hati Bi Lian, mula-mula Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu menceritakan keadaan mereka sebagai keturunan para datuk sesat yang sudah yatim piatu dan saling mencinta dalam keadaan sengsara. Betapa kemudian mereka ingin menebus dosa orang tua mereka, lalu masuk ke dalam kuil Siauw-lim-si untuk menjadi hwesio dan nikouw. "Tapi agaknya Tuhan juga melarang kami menjadi pendeta. Buktinya, aku mengandung, Bi Lian. Engkau pun terlahir dan kami dihukum oleh losuhu Ceng Hok Hwesio," kata Toan Hui Cu. "Kenapa ayah dan ibu dihukum? Bagaimana hukumannya? tanya Bi Lian sambil menahan kemarahannya terhadap ketua kuil itu,. Siangkoan Ci Kang yang menjawab pertanyaan puterinya. "Kami dihukum agar bertobat dan bertapa di dalam kamar tahanan masing-masing selama dua puluh tahun...” "Dua puluh tahun?" Bi Lian pura-pura terkejut. "Mengapa losuhu itu menghukum seperti itu?" "Karena menurut losuhu, kami dianggap telah melanggar dosa. Dan kami harus menebus dosa dengan bertapa dan menyesali perbuatan kami itu," jawab ibunya. "Ayah dan Ibu menerima hukuman itu dengan rela? Ayah dan Ibu menganggap hukuman itu sudah pantas?" Bi Lian mendesak. Suami isteri itu saling lirik, lantas Siangkoan Ci Kiang menjawab, "Ya, kami menerimanya dan kami menganggapnya sudah pantas." "Tidak! Tidaakkk! Sama sekali tidak pantas! Hwesio tua itu hanya membalas dendam. Dia tergila-gila kepada Ibu, kakek yang tidak tahu malu itu! Ibu tidak mau melayaninya dan dia membalas dendam, menghukum Ayah dan Ibu untuk memuaskan dendamnya!" "Sumoi...!" Han Siong berseru menegur. Suami isteri itu saling pandang, lalu memandang Han Siong. Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang sebelum bertanya, "Aha, kiranya kalian sudah tahu pula hal itu? Dari siapa kalian tahu?" "Dia sendiri yang mengaku kepada kami!" Bi Lian menjawab. "Ayah dan Ibu, tadinya kami masuk ke dalam kamar tahanan Ayah dan Ibu, akan tetapi kami hanya bertemu dengan losuhu itu dan dia membuat pengakuan ini. Hampir saja aku membunuhnya!" "Bi Lian...!" Toan Hui Cu merangkul puterinya. Kini Han Siong turut bicara. "Suhu dan Subo, sebelum bertemu dengan losuhu Ceng Hok Hwesio, sumoi belum tahu bahwa dia adalah puteri Suhu dan Subo, karena teecu hanya mengajak sumoi untuk menghadap Suhu dan Subo yang dia ingat sebagai guru-gurunya pada saat dia masih kecil. Akan tetapi, ketika teecu mencari Suhu dan Subo di kuil, kami berjumpa dengan Ceng Hok Hwesio dan dialah yang mengakui segalanya kepada kami sehingga sumoi mengetahui bahwa dia adalah puteri Suhu dan Subo dan dia mengakui segala hal yang telah dilakukannya." "Aku heran sekali mengapa Ayah dan Ibu membiarkan saja orang berbuat begitu kejam terhadap Ayah dan Ibu?" Bi Lian menyambung dengan suara mengandung penasaran. Ayahnya tersenyum. "Engkau tidak tahu, anakku. Engkau tidak tahu betapa Ayah beserta Ibumu menderita tekanan batin mengingat dosa-dosa yang dahulu ditumpuk oleh kakek nenekmu. Kami menerima hukuman itu yang kami anggap memang tepat bagi kami untuk menebus dosa-dosa turunan. Biar pun sesudah hampir dua puluh tahun kemudian losuhu itu baru membuat pengakuan, kami tak merasa penasaran karena di dalam pelaksanaan hukuman itu kami mendapatkan hikmat dan anugerah yang sangat berharga dari Tuhan. Melalui pelaksanaan hukuman itu kami mendapatkan ilmu-ilmu tinggi, bahkan kemudian kami bertemu dengan suheng-mu ini yang menjadi murid kami. Tidak, anakku, kami tidak merasa penasaran kepada Ceng Hok Hwesio." "Bahkan kami merasa kasihan kepadanya, Bi Lian," kata ibunya. "Dia merasa menyesal dan penyesalan merupakan hukuman yang lebih berat lagi. Kini dia yang sudah begitu tua harus menderita kesengsaraan batin yang berat, bahkan dia akan menghukum diri sendiri di kamar itu sampai mati." Bi Lian mengangguk-angguk. "Mungkin benar juga pendapat Ayah dan Ibu. Dia menyiksa diri bahkan minta agar kubunuh, akan tetapi suheng mencegah aku. Akan tetapi, kenapa Ibu menyerahkan aku kepada keluarga Cu, bahkan juga menyuruh mereka mengakui aku sebagai anaknya?" "Begini, Bi Lian," jawab ayahnya. "Ibumu dan aku sudah merundingkan hal itu baik-baik. Kami akan hidup selama dua puluh tahun dalam kurungan sebagai orang-orang hukuman. Kalau kami membiarkan engkau hidup bersama dengan kami dalam hukuman, bagaimana jadinya dengan dirimu? Kami harus memikirkan masa depanmu. Oleh karena itu, sesudah berpikir masak-masak maka kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu yang kami tahu merupakan keluarga baik-baik. Kami selalu mengunjungimu untuk menjenguk keadaanmu sejak engkau masih bayi sampai engkau besar dan kami beri latihan dasar ilmu silat." "Nah, itulah sesungguhnya yang mendorong kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu di dusun itu, Bi Lian. Bukan sekali-kali karena kami tidak sayang kepadamu! Engkau tahu, sampai berbulan-bulan setiap malam aku menangis kalau teringat kepadamu, dan hanya demi kebahagiaanmu di masa depan sajalah aku dapat menahan penderitaan batin yang berat itu...” Bi Lian merangkul ibunya. "Aku percaya, Ibu. Aku pun dapat merasakan kasih sayang Ibu dan Ayah ketika sering datang mengajarku di dusun itu." "Nah, sekarang giliranmu untuk menceritakan semua pengalamanmu!" kata Siangkoan Ci Kang kepada puterinya. "Nanti dulu, Ayah dan Ibu," kata Bi Lian dengan sikap manja dan 'jual mahal'. "Aku ingin mendengar cerita suheng lebih dulu, tentang riwayatnya sampai dia bertemu dengan aku ketika menentang gerombolan Lam-hai Giam-lo itu." Toan Hui Cu tersenyum kemudian mengangguk kepada muridnya. "Kami pun ingin sekali mendengar, terutama tentang keberhasilanmu menemukan anakku. Kini berceritalah, Han Siong." "Sumoi, aku pernah menceritakan keadaan keluargaku kepadamu. Ayahku adalah ketua dari Pek-sim-pang di Kong-goan. Ketika masih bayi, terpaksa aku disembunyikan karena hendak diculik oleh para pendeta Lama di Tibet. Aku disembunyikan di kuil Siauw-lim-si itu sehingga bertemu dengan suhu dan subo kemudian menjadi muridnya." "Ya, aku sudah tahu tentang hal itu, dan aku tahu pula bahwa adik Pek Eng adalah adik kandungmu. Ceritakan saja sejak engkau meninggalkan ayah dan ibu," kata Bi Lian. Kini Han Siong menujukan ceritanya kepada dua orang gurunya. "Ketika Suhu dan Subo memberi tugas kepada teecu untuk mencari Sumoi, sesungguhnya teecu merasa bingung sekali karena selain selamanya teecu belum pernah bertemu dengan Sumoi, juga teecu tidak tahu harus mencari ke arah mana. Akan tetapi teecu mengambil keputusan tidak akan kembali menghadap Suhu dan Subo sebelum berhasil menemukan Sumoi. Teecu berangkat dibekali doa restu Suhu dan Subo, dan juga kenekatan. Dalam perjalanan itu teecu bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Ban Hok Lojin dan teecu diambil murid selama satu tahun!." "Ban Hok Lojin?" Siangkoan Ci Kang berseru kaget. "Bukankah dia adalah salah seorang di antara Delapan Dewa?" "Suhu benar. Suhu Ban Hok Lojin adalah seorang di antara Pat-sian (Delapan Dewa) dan selama satu tahun teecu diberi ilmu Pek-hong Sin-ciang dan juga ilmu sihir..." "Wah, Ayah dan Ibu! Suheng ini pandai main sulap, pandai main sihir!" “Hemm, coba kau perlihatkan sedikit sihirmu supaya kami dapat melihatnya, Han Siong," kata Toan Hui Cu, subo-nya. “Bagaimana teecu berani bersombong dan kurang ajar terhadap Suhu dan Subo?” kata Han Siong. "Tidak, Han Siong. Jangan mengira bahwa kami tidak senang mendengar engkau menjadi murid Ban Hok Lojin. Kami hanya ingin melihat sendiri kekuatan sihir yang kau pelajari itu," kata suhu-nya. "Suhu, menurut keterangan suhu Ban Hok Lojin, ada dua macam ilmu sihir, yaitu yang disebut ilmu hitam dan ilmu putih. Ilmu hitam adalah sihir yang dipergunakan orang untuk melakukan kejahatan, sedangkan yang diajarkan oleh suhu Ban Hok Lojin hanyalah untuk melindungi diri dari serangan musuh, terutama untuk menghadapi serangan sihir hitam." "Kalau begitu bagus sekali, Han Siong. Nah, perlihatkan sedikit kepada kami supaya kami menjadi yakin." "Aihh, Suheng! Kenapa pelit amat? Hayo perlihatkan kepandaianmu, aku pun ingin sekali melihatnya," kata Bi Lian. Han Siong tersenyum, lantas diam-diam dia mulai mengerahkan kekuatan batinnya untuk melakukan demonstrasi sihirnya. "Suhu, Subo dan Sumoi, andai kata sekali waktu teecu kewalahan menghadapi pengeroyokan atau seorang lawan tangguh, teecu bisa membuat lawan bingung untuk menyelamatkan diri dengan memperbanyak diri teecu!" "Memperbanyak diri?" Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui ClI bertanya hampir berbareng. "Apa maksudmu, Suheng?" Bi Lian juga ingin sekali tahu. "Suhu, teecu dapat memperbanyak diri, misalnya menjadi dua seperti ini!" Suara Han Siong berwibawa sekali, menggetar dan tiba-tiba saja ayah, ibu dan anak itu terbelalak melihat betapa tubuh Han Siong benar-benar berubah menjadi dua orang! "Atau menjadi tiga seperti ini!" terdengar lagi suara Han Siong dan sekarang muncul pula seorang Pek Han Siong yang lain dan berdirilah tiga orang pemuda yang kembar di depan mereka. Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dua orang tokoh kang-ouw yang sudah mempunyai banyak pengalaman dan memiliki kepandaian tinggi itu cepat-cepat mengerahkan tenaga khikang mereka dan memusatkannya kepada pandang mata dan kini lenyaplah dua orang bayangan Han Siong yang lain, tinggal seorang saja yang asli. Akan tetapi Bi Lian tidak tahu bagaimana caranya membuyarkan penglihatan aneh itu dan dia pun berseru sambil tertawa. "Wah-wah-wah...! Kalau aku menjadi lawanmu pasti aku benar-benar akan kebingungan sekali, Suheng! Yang mana sih engkau yang sesungguhnya?" Han Siong tersenyum. Dia pun segera melenyapkan dua bayangannya, lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan suhu dan subo-nya yang dia tahu dapat menguasai penglihatan mereka tadi. "Harap suhu dan subo suka memaafkan teecu." Suami isteri itu saling pandang dan Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang. "Memang hebat ilmu sihir itu, Han Siong. Kami sendiri seketika terpengaruh dan memang ilmu sihir ini dapat menjadi alat pembela diri yang ampuh. Kami ikut merasa gembira bahwa engkau dilatih oleh seorang sakti seperti locianpwe itu. Sekarang lanjutkan ceritamu, Han Siong." "Teecu lalu pergi berkunjung ke Pek-sim-pang. Di sana teecu bertemu dengan lima orang pendeta Lama yang hendak memaksa teecu ikut ke Tibet, namun teecu berhasil mengusir mereka. Kemudian teecu bertemu dengan ayah, ibu dan keluarga Pek." "Ah, syukurlah, Han Siong. Aku ikut merasa gembira bahwa engkau bisa bertemu dengan orang tuamu dan keluargamu di sana," kata Toan Hui Cu. "Tetapi teecu mendengar dari keluarga Pek bahwa adik kandung teecu yang bernama Pek Eng telah pergi meninggalkan rumah, katanya untuk mencari teecu, kakaknya yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya." "Ahh, kasihan sekali adik Pek Eng...,” kata Bi Lian. "Karena itu teecu merasa khawatir dan teecu juga tidak lama tinggal di asrama Pek-sim-pang. Teecu lalu berangkat untuk mencari adik Pek Eng dan juga Sumoi, teecu mencari dua orang gadis!" "Dua orang yang selamanya belum pernah Suheng lihat. Hik-hik, betapa sukarnya itu...!" Bi Lian tertawa. "Akhirnya teecu menemukan jejak adik Pek Eng yang kiranya ditangkap oleh gerombolan pemberontak Lam-hai Giam-lo yang bersarang di Lembah Yang-ce di Yunan, maka teecu segera menyusul ke sana dan ternyata teecu menemukan dua-duanya di sana!" Kembali Bi Lian tertawa. "Dua orang yang dicarinya itu telah berkumpul di Yunan, bahkan sebelum Suheng berjumpa dengan aku atau dengan adik Eng, aku dan adik Eng sudah menjadi sahabat baik!" "Pemberontakan Lam-hai Giam-lo dapat dihancurkan oleh para pendekar, kemudian teecu berhasil membujuk Sumoi untuk menghadap Suhu dan Subo di kuil Siauw-lim-si itu." Han Siong mengakhiri ceritanya. "Kami sungguh bersyukur sekali, Han Siong. Engkau bukan saja berhasil melaksanakan tugasmu dan memenuhi permintaan kami sehingga berhasil baik, akan tetapi juga dapat menemukan adik kandungmu dan dapat membantu para pendekar untuk menghancurkan persekutuan pemberontak Lam-hai Giam-lo," kata Siangkoan Ci Kang. "Nah, sekarang giliranmu untuk bercerita, Bi Lian." Bi Lian lalu menceritakan pengalamannya sejak dia diambil murid oleh mendiang Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang di antara Empat Setan yang menjadi datuk-datuk sesat di empat penjuru itu. Kedua orang datuk itu senang sekali melihat Bi Lian yang ketika itu berusia enam tahun, seorang anak perempuan yang mungil, manis lincah dan mempunyai keberanian luar biasa sekali. Tentu saja anak kecil yang pemberani itu tadinya mendendam kepada dua orang iblis ini yang dianggap sebagai pembunuh keluarga Cu, keluarganya! Akan tetapi kedua datuk itu menyalahkan dua pasang suami isteri iblis yang memusuhi mereka. Dua pasangan suami isteri iblis itulah yang membujuk rakyat dusun agar mengeroyok mereka sehingga banyak penduduk dusun tewas, termasuk keluarga Cu. Bi Lian dapat menerima alasan ini dan dia pun lantas mengalihkan dendamnya kepada dua pasang suami isteri iblis, yaitu Lam-hai Siang-mo dan Sepasang Suami Isteri Goa Iblis Pantai Selatan. "Pelajaran apa saja yang kau peroleh dari Dua Setan itu?" Toan Hui Cu bertanya. Bi Lian memandang kepada ayah ibunya. Ia melihat sinar mata khawatir ierpancar keluar dari pandang mata kedua orang tuanya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu memang merasa amat khawatir bila membayangkan bahwa anak kandung mereka menjadi murid dua manusia iblis seperti Tung-hek-kwi dan Pek-kwi-ong yang sudah terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai dua orang yang tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat dan kejam yang bagaimana pun juga. Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu sadar diri. Mereka merasa bahwa mereka adalah keturunan datuk-datuk jahat sekali, maka mendengar betapa puteri mereka menjadi murid dua di antara Empat Setan, tentu saja mereka merasa khawatir kalau-kalau darah nenek moyang puterinya itu akan menurun pada batin puterinya. Bi Lian tersenyum. "Ayah dan Ibu tak perlu khawatir. Memang aku mempelajari berbagai ilmu silat tinggi dari mendiang suhu Pek-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, akan tetapi aku tidak sudi mempelajari dan meniru perbuatan mereka yang kuanggap sangat jahat! Bagaimana pun juga, bimbingan keluarga Cu yang baik, juga bimbingan Ayah dan Ibu yang ketika itu kuanggap guru, masih meninggalkan kesan di hatiku sehingga aku tidak terpengaruh oleh watak jahat mereka." "Sumoi berkata benar,” Han Siong cepat menyambung. "Sejak bertemu dengan Sumoi, yang teecu lihat Sumoi mempunyai jiwa pendekar seratus prosen, dan bahkan dia sudah mendapat julukan Thiat-sim Sian-li sebagai tanda kekerasan hatinya menghadapi orang-orang jahat.” “Aihh, Suheng ini memuji-mujiku di depan Ayah dan Ibu, mau merayu, ya?” tanya Bi Lian dengan pandang mata nakal menggoda. Seketika wajah Han Siong berubah merah. Kalau saja gadis itu tahu bahwa mereka telah dijodohkan, tentu tidak akan mengeluarkan kata-kata seperti itu! Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu memandang sambil tersenyum. Mereka tahu bahwa puteri mereka memiliki watak keras, pemberani, dan polos sehingga ucapan yang dikeluarkan tadi hanya untuk menggoda Han Siong, tidak mempunyai makna lain. “Ah, aku hanya bicara jujur, Sumoi. Kalau engkau bukan berjiwa pendekar tentu tak akan menentang gerombolan Lam-hai Giam-lo. Bahkan engkau berjasa besar sekali karena di tanganmulah Lam-hai Giam-lo tewas!" "Ahh, benarkah?" Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu terkejut mendengar hal ini karena mereka berdua maklum akan kelihaian Lam-hai Giam-lo. Apa bila puteri mereka mampu membunuh iblis itu, tentu puteri mereka itu telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebatnya! "Wah, memang Suheng tukang memuji. Hemm, jangan-jangan Suheng sudah ketularan watak putera Si Tawon Merah itu!" Tiba-tiba saja Bi Lian termenung karena dia sekarang teringat pada seorang pemuda yang amat pandai merayu hati wanita, bahkan dia sendiri pernah terpikat oleh puji-pujian dan rayuan yang keluar dari mulut pemuda itu. Pemuda itu bernama Tang Hay, seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat bukan main, bahkan pandai pula bermain sihir, seorang pemuda pendekar yang gagah perrkasa. Akan tetapi kemudian ketahuan bahwa pemuda perkasa itu adalah putera Ang-hong-cu atau Si Kumbang Merah yang terkenal sebagai penghisap kembang atau seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) perusak dan pemerkosa wanita yang amat keji! "Sumoi, aku tidak memuji, namun bicara secara jujur,” kata Pek Han Siong yang merasa tidak enak mendengar disebutnya nama putera Ang-hong-cu itu. "Akan tetapi benarkah engkau telah berhasil membunuh Lam-hai Giam-lo, Bi Lian?" tanya Toan Hui Cu heran. "Ahh, ibu. Suheng ini bisa saja. Memang aku membunuhnya, akan tetapi bukan sendirian, melainkan mengeroyoknya bersama dua orang pendekar yang sakti. Kalau aku sendirian, kiranya tidak akan mampu mengalahkan dia." "Lanjutkan ceritamu," kata Siangkoan Ci Kang. "Selama belajar ilmu silat dari kedua orang suhu itu, aku diajak merantau tetapi aku tidak pernah mencampuri urusan suhu. Dan aku sendiri mempergunakan kepandaianku untuk menentang kejahatan di mana-mana sehingga aku dijuluki Thiat-sim Sian-li oleh kalangan kang-ouw. Kedua orang suhu lantas merantau ke daerah Yunan di mana aku menemukan jejak dua pasang suami isteri yang kuanggap sebagai musuh besarku karena merekalah yang menyebabkan terbasminya keluarga Cu yang kukira keluargaku sendiri. Dan dalam pengejaran terhadap dua pasang suami isteri itu kami bertiga kemudian bertemu dengan gerombolan Lam-hai Giam-lo! Suhu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi terbujuk oleh mereka dan meski pun aku tak senang, mereka tetap saja menjadi tamu kehormatan gerombolan pemberontak itu. Malah suhu Pak-kwi-ong kemudian hendak memaksaku agar menerima pinangan Kulana, seorang di antara pimpinan para pemberontak berasal dari Birma yang berilmu tinggi dan kaya raya. Aku tidak sudi, dan ketika suhu Pak-kwi-ong memaksa, suhu Tung-hek-kwi membelaku. Mereka kemudian saling serang hingga keduanya tewas! Pada waktu itulah bermunculan para pendekar dan aku lantas bergabung dengan mereka untuk membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo, Kulana serta banyak lagi tokoh sesat itu.” Bi Lian mengakhiri kisahnya. Gadis dan ayah bundanya itu melepaskan kerinduan masing-masing. Selama beberapa hari mereka hanya bercakap-cakap saja, saling menceritakan pengalaman mereka lebih terperinci. Beberapa hari kemudian, sehabis makan siang mereka berempat duduk di atas rumput tebal di luar pondok, di bawah pohon yang rindang. Mereka memang lebih suka bercakap-cakap sambil duduk di atas rumput ini dari pada di dalam pondok. Tiba-tiba saja Toan Hui Cu bertanya kepada Han Siong, "Han Siong, sudahkah engkau menceritakan kepada sumoi-mu tentang pedang pusaka Kwan-im Pokiam Itu?" Seketika wajah Han Siong berubah merah dan dia tak mampu menjawab, hanya meraba gagang pedang di pinggangnya. Melihat ini, Bi Lian yang menjawab sambil tersenyum. "Suheng pernah bercerita bahwa selain menerima ilmu-ilmu yang hebat dari ayah dan ibu, dia juga menerima pemberian pedang pusaka Kwan-im Pokiam, ibu!" "Bukan hanya sebagai pemberian, Bi Lian," kata Hui Cu dan dia segera menoleh kepada suaminya. Siangkoan Ci Kang mengangguk, agaknya setuju kalau isterinya menyinggung urusan itu. "Bukan hanya sebagai pemberian, lalu sebagai apa, ibu? Hadiah karena Suheng seorang murid yang baik?" Bi Lian bertanya, mengerling kepada suheng-nya untuk menggodanya. "Sebagai... ikatan, Bi Lian. Ikatan jodoh!" Bi Lian terbelalak memandang kepada ibunya, lalu kepada ayahnya. "Ikatan jodoh? Apa yang ibu maksudkan?" Sementara itu Han Siong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. "Bi Lian, aku dan ayahmu telah mengambil keputusan, jauh sebelum engkau pulang, yaitu dua tahun lebih yang lampau, pada waktu suheng-mu berangkat untuk pergi mencarimu. Keputusan itu adalah bahwa kami berdua menjodohkan engkau dengan Pek Han Siong, dan pedang pusaka Kwan-im Pokiam itu kami berikan kepadanya sebagai tanda ikatan jodoh...” Toan Hui Cu tiba-tiba saja menghentikan kata-katanya dan memandang kepada puterinya dengan wajah khawatir. Dia melihat perubahan pada wajah puterinya yang tadinya cerah dan riang itu. Wajah itu kini menjadi keras, sepasang matanya mencorong dan Bi Lian memandang ayah ibunya bergantian, lalu menoleh dan memandang kepada Han Siong yang masih menundukkan mukanya yang merah. Suasana menjadi amat sunyi, kesunyian yang menegangkan hati, terutama bagi Han Siong. "Kami harap engkau akan menerimanya dengan hati terbuka, anakku," kata Siangkoan Ci Kang. "Kami melihat Han Siong sebagai seorang pemuda yang amat baik, juga keturunan pendekar, dan selama ini engkau sendiri tentu sudah mengenalnya dan dapat menilainya sendiri....” "Justru itulah, Ayah! Selama ini aku menganggap dia sebagai seorang suheng, seorang kakak! Suheng, kenapa selama ini engkau diam saja tak pernah memberi tahu kepadaku tentang jodoh ini?" Dalam pertanyaan itu terkandung penyesalan dan teguran. Han Siong mengangkat mukanya, sikapnya masih tetap tenang sungguh pun dia merasa gugup sekali. Sesudah beberapa kali menelan ludah untuk menenangkan batinnya yang terguncang, dia pun lalu menjawab, "Maafkan aku, Sumoi. Aku tidak tega, aku tidak ingin membuat engkau menjadi sungkan dan malu, maka aku diam saja, biar Suhu dan Subo sendiri yang memberi tahu akan hal itu." "Tidak...! Tidak...! Bagaimana mungkin terjadi ikatan jodoh yang tiba-tiba ini? Aku sudah menganggapnya sebagai kakakku sendiri! Ayah dan Ibu, sungguh aku tak bisa menerima keputusan yang begini tiba-tiba!" Mendengar kata-kata ini, wajah Han Siong berubah pucat dan seperti tadi, dia pun hanya menundukkan mukanya. "Bi Lian, engkau tak boleh menolak mentah-mentah hanya dengan alasan bahwa engkau menganggapnya seperti kakak sendiri! Memang benar dia kakak seperguruanmu, akan tetapi tidak ada hubungan darah sedikit pun antara keluarga kita dan keluarga Pek," kata Siangkoan Ci Kang sambil mengerutkan alisnya karena kecewa melihat sikap puterinya yang menolak ikatan jodoh itu. "Tetapi, ayah! Bagaimana mungkin orang berjodoh dengan cara begitu saja? Selama ini aku memandang Suheng sebagai seorang kakak seperguruan, bagaimana tiba-tiba saja aku memandangnya sebagai tunangan, sebagai calon suami? Orang berjodoh harus ada perasaan cinta kasih!" bantah Bi Lian dengan polos, sesuai dengan wataknya. Bagaimana pun juga, dia mewarisi sikap kedua orang gurunya yang polos dan berandalan. Toan Hui Cu juga merasa amat penasaran. Dia mengambil keputusan dalam menghadapi puterinya yang bicara secara terbuka ini dengan cara yang lebih jujur, karena itu dia pun berkata kepada Han Siong, "Han Siong, sekarang lebih baik engkau pun berbicara terus terang saja! Bagaimana perasaan hatimu ketika kami menyatakan bahwa engkau kami jodohkan dengan puteri kami yang pada waktu itu belum kau lihat? Engkau memang telah menerimanya dengan patuh, akan tetapi bagaimana perasaanmu pada saat itu?" Mendengar pertanyaan ibunya, wajah Bi Lian menjadi berseri-seri. Ia memang lebih suka urusan secara terbuka begini dari pada harus menyimpan di dalam hati. "Suheng, jawablah sejujurnya. Percayalah, aku tidak akan menyesal atau marah, bahkan aku akan merasa penasaran dan marah kalau engkau tidak bicara jujur!" katanya kepada Han Siong. Pemuda ini merasa terhimpit sekali. Sejak kecil dia hidup di dalam kuil dan mempelajari segala macam kebudayaan dan sopan santun, kesusilaan, peraturan untuk menghormati orang tua, guru, wanita dan orang pandai. Kini dia diharuskan bicara secara terbuka tanpa tenggang rasa lagi, apa adanya! Biar pun dia tidak merasa keberatan dengan cara seperti ini, membicarakan rahasia hati di hadapan orang lain secara terbuka, namun tentu saja dia harus berkorban perasaan. Sesudah menghela napas panjang beberapa kali, dia pun memandang kepada suhu dan subo-nya, lalu memberi hormat sambil berlutut. "Suhu dan Subo, teecu sudah menerima budi besar dari ji-wi yang tak dapat teecu bayar dengan nyawa sekali pun dan teecu sama sekali tidak menghendaki untuk menyinggung perasaan atau menyakiti hati Suhu dan Subo. Akan tetapi karena Suhu, Subo dan juga Sumoi menghendaki jawaban yang sejujurnya dan terbuka, maka apa yang hendak teecu katakan merupakan suara hati teecu yang sebenarnya dan sama sekali tidak lagi ditutupi oleh perasaan sungkan." "Bagus, Suheng! Begitulah seharusnya sikap orang gagah!" kata Bi Lian dan wajahnya kini berseri gembira lagi. "Ketika Suhu dan Subo memberikan Kwan-im Pokiam ini kepada teecu dan mengatakan bahwa ji-wi menjodohkan teecu dengan puteri ji-wi, sebenarnya teecu juga merasa amat terkejut. Tentu saja tidak mungkin teecu dapat menyatakan suka atau tidak suka karena teecu belum pernah melihat Sumoi. Namun pada waktu itu teecu menerima sepenuhnya hanya karena terdorong keinginan teecu untuk membalas budi ji-wi serta menyenangkan hati ji-wi. Teecu merasa yakin bahwa ji-wi tentu telah memperhitungkannya secara masak dan tidak akan keliru mengambil keputusan. Oleh karena itulah teecu menerima dan mulai mencari sumoi." Sepasang suami isteri itu mengangguk-angguk dan dapat menerima keterangan ini. Juga Bi Lian mengerti bahwa alasan suheng-nya itu memang tepat, akan tetapi tidak urung dia mencela. "Suheng telah bersikap tidak wajar. Menerima secara membuta seperti itu sungguh bukan merupakan kebaktian yang benar. Kita harus mempertimbangkan baik-baik macam tugas yang diperintahkan, siapa pun yang menyuruh kita. Biar pun guru sendiri, atau orang tua sendiri, apa bila menyuruh kita melakukan hal yang berlawanan dengan suara hati, sudah sewajarnya jika ditolak. Mentaati karena ingin rnembalas budi itu namanya ketaatan yang ngawur dan nekat, dan yang akibatnya dapat membuat diri sendiri menyesal!" Kembali suami isteri itu saling pandang. Puteri mereka itu ternyata sudah dewasa benar dan telah mempunyai kematangan pandangan, walau pun terlalu polos, terlalu jujur tanpa ditutup-tutupi sehingga mudah menyinggung perasaan orang dan terdengar kasar. "Sekarang katakan, Han Siong. Setelah engkau bertemu dengan Sumoi-mu dan sesudah melihatnya, bicara bahkan bergaul dengannya, bagaimana pendapatmu? Mengaku saja terus terang, adakah cinta kasih di dalam hatimu terhadap anak kita Siangkoan Bi Lian?" Mendengar pertanyaan ini kembali wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Dia memberi hormat sambil berlutut dan berkata lirih, "Duhai Suhu dan Subo, bagaimana teecu berani menjawab pertanyaan itu...?” “Han Siong, tenangkan hatimu. Tadi Sumoi-mu menuntut agar kita semua bicara secara terbuka. Kalau dipikir, sikap ini memang benar. Segala macam persoalan bisa dipecahkan dengan cepat kalau kita bersikap terbuka. Jawablah sejujurnya, Han Siong." "Suheng, apakah engkau bukan laki-laki yang jantan? Kita harus jujur, kepada diri sendiri, kepada orang lain! Manusia yang tidak memiliki kejujuran dan tidak berani mengakui apa yang berada di dalam hatinya, dia itu hanya seorang pengecut! Tapi aku yakin, suheng-ku yang gagah ini sama sekali bukan pengecut!" Bukan main ucapan gadis itu. Lidahnya seperti pecut yang mencambuk-cambuk dengan tajamnya! "Baiklah, Sumoi. Suhu dan Subo, kini teecu mengaku terus terang, begitu teecu bertemu dengan Sumoi, melihat wajahnya, berbicara dengannya, melihat sikapnya dan segalanya, teecu langsung jatuh cinta padanya!" Suami isteri itu saling pandang dan tersenyum, akan. tetapi Bi Lian terbelalak keheranan memandang suheng-nya. "Waahhh! Benarkah itu, Suheng? Ataukah engkau hanya terikat oleh janji dan balas budi? Bagaimana mungkin begitu mendadak kau jatuh cinta, dan..... aku sama sekali tidak pernah melihat sikapmu yang mencinta itu, tidak pernah engkau mengatakan kepadaku bahwa engkau cinta padaku!" "Mana aku berani, Sumoi?" “Ahh, kenapa tidak berani? Dalam cinta mencinta, pertama-tama yang dibutuhkan adalah kejujuran pula!" "Sudahlah, Bi Lian, kini suheng-mu sudah mengaku sejujurnya bahwa dia mencintamu. Sekarang, bagaimana dengan engkau? Setelah bertemu dan bergaul dengan suheng-mu, bagaimana pendapatmu? Tidakkah dia amat pantas menjadi calon suamimu? Katakanlah, apakah engkau dapat membalas cinta kasihnya?" “Wah, aku masih bingung, Ibu. Aku memang suka sekali pada Suheng, suka dan kagum, dan terus terang saja, aku bangga mempunyai seorang Suheng seperti dia. Jarang pula ada pemuda sebaik Suheng! Akan tetapi cinta? Sama sekali hal itu tak pernah kupikirkan. Andai kata dia tidak memperkenalkan diri sebagai suheng-ku, mungkin saja hal itu akan kupikirkan karena selama ini aku pun belum pernah bergaul dengan seorang kawan pria seakrab dengan Suheng. Aku menganggap dia sebagai kakak, dan aku tidak tahu apakah aku dapat mencintanya sebagai seorang calon suami. Aku pun tidak yakin akan cintanya yang begitu tiba-tiba, apa lagi dilatar belakangi ketaatan serta hutang budi kepada Ayah dan Ibu!” "Lalu bagaimana keputusanmu, Bi Lian? Maukah engkau menerima ikatan jodoh dengan suheng-mu?" tanya Siangkoan Ci Kang. "Tidak, Ayah. Aku sama sekali belum memikirkan soal perjodohan." "Bi Lian," kata ibunya. "Tahukah engkau berapa usiamu sekarang?" "Kalau tidak salah dua puluh tuhun, ibu. Apa hubungannya usia dengan perjodohan?" "Aihh, Bi Lian, usia dua puluh sudah terlalu terlambat bagi seorang gadis untuk berjodoh," kata ibunya. cerita silat online karya kho ping hoo Gadis itu tersenyum lebar. "Tidak, ibu. Bagiku perjodohan tidak ada hubungannya dengan usia. Yang ada hubungannya hanyalah cinta kasih. Dan terus terang saja, aku suka dan kagum kepada Suheng, akan tetapi aku tidak... atau belum mencintanya seperti seorang calon suami." "Jadi jelasnya, engkau menolak, Bi Lian?" kata Siangkoan Ci Kang. "Sebaiknya ikatan jodoh itu dibatalkan dahulu saja, Ayah. Jangan ada pengikatan. Kelak, bila aku yakin bahwa aku cinta kepada Suheng dan dia juga cinta kepadaku, mudah saja dilakukan ikatan kembali!" "Bi Lian! Engkau mengecewakan hati ayah ibumu!" kata Siangkoan Ci Kang. "Maafkan, Ayah dan Ibu. Apakah Ayah dan Ibu ingin memaksaku dan membikin hidupku selanjutnya kecewa dan merana? Senangkah Ayah dan Ibu jika aku menurut hanya untuk berbakti? Itu hanya akan menjadi pernikahan paksaan, Ayah dan Ibu. Suheng menikah karena ingin membalas budi, dan aku menikah hanya untuk berbakti. Pernikahan macam apa itu? Maukah Ayah dan Ibu begitu?" Suami isteri itu saling pandang dan menghela napas panjang. Terus terang saja, mereka tidak menghendaki pernikahan anaknya seperti itu. "Lalu apa yang menjadi kehendakmu sekarang, Bi Lian? Apakah engkau sudah mempunyai seorang calon jodoh pilihan hatimu sendiri? Kalau benar demikian, katakanlah terus terang. Kami sudah ingin melihat engkau berumah tangga, mengingat usiamu sudah cukup dewasa," kata ibu gadis itu. Sementara itu, sejak tadi Han Siong hanya menundukkan mukanya. Hatinya terasa perih dan perasaannya terpukul hebat oleh penolakan sumoi-nya. Dia dipaksa untuk berterus terang di hadapan suhu dan subo-nya, dan setelah dia berterus terang menyatakan cinta kasihnya dengan menekan rasa malunya, kini dengan terus terang pula Bi Lian menolak cintanya! Padahal dia sudah ditunangkan dengan sumoi-nya itu. Bagaimana pun juga dia adalah seorang laki-laki maka tentu saja dia merasa harga dirinya terbanting keras. “Maaf, Suhu, Subo dan Sumoi. Teecu harap agar Suhu dan Subo tidak terlalu menekan Sumoi dan urusan perjodohan ini supaya dihabiskan sampai di sini saja. Sumoi memang benar. Perjodohan hanya dapat dilakukan kalau ada cinta kasih kedua pihak. Teecu yang tidak tahu diri, berani lancang mencinta Sumoi. Oleh karena itu, Suhu dan Subo, maafkan teecu dan sebaiknya jika Kwan-im Po-kiam ini teecu kembalikan kepada Suhu dan Subo, sebagai tanda bahwa tidak ada lagi ikatan perjodohan antara Sumoi dan teecu." Dengan dua tangannya pemuda itu menyerahkan pedang pusaka itu kepada kedua orang gurunya. Siangkoan Ci Kang terpaksa menerima pedang itu dengan kedua tangan pula, menarik napas panjang lalu berkata kepada muridnya, "Han Siong, engkaulah yang harus dapat memaafkan kami berdua. Mungkin kami terlalu terburu-buru mengikatkan tali perjodohan antara anak kami dan engkau, sama sekali tidak menyangka bahwa akan timbul penolakan dari pihak puteri kami. Engkau benar, memang sebaiknya kalau ikatan jodoh itu diputuskan. Apa bila Tuhan memang menghendaki kalian berjodoh, kelak tentu kalian akan dapat saling mencinta. Tetapi andai kata tidak, itu berarti bahwa memang Tuhan tidak menghendaki kalian menjadi suami isteri." "Han Siong, keputusanmu ini bijaksana sekali dan engkau kembali sudah memperlihatkan kebaktianmu pada kami. Dengan kebijaksanaanmu ini maka engkau telah membebaskan guru-gurumu dari keadaan yang tidak enak. Terima kasih, muridku," kata subo-nya sambil tersenyum dengan hati terharu. Nyonya ini melihat betapa muridnya sangat budiman dan alangkah akan bahagia rasa hatinya kalau puterinya mau menjadi isteri Han Siong! Bi Lian bertepuk tangan, wajahnya penuh senyum dan berseri gembira, kemudian dengan sikap manja dan lincah dia pun melangkah mendekati Han Siong lantas memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di dadanya. "Bagus, bagus sekali! Aku pun sangat berterima kasih kepadamu, Suheng! Nah, kau lihat, keputusanmu ini membuat engkau menjadi pahlawan dalam keluarga kami! Ayah dan Ibu terbebas dari perasaan tidak enak dan aku pun merasa bebas dari ikatan kebaktian yang kulanggar. Kini aku bisa menghadapi dan memandangmu dengan wajar sebagai seorang sumoi terhadap suheng-nya yang baik hati! Terima kasih, Suheng." Biar pun wajah pemuda itu tidak memperlihatkan sesuatu, namun sesungguhnya hatinya bagai diremas-remas. Dia tidak menyalahkan suhu dan subo-nya, juga tidak menyalahkan sumoi-nya, melainkan menyesali diri sendiri. Memang nasib dirinya yang selalu buruk dan sial, sejak dia dilahirkan. Tapi betapa pun juga, dalam hal ini dia merasa bahwa dia yang bersalah karena lemah. Mengapa dia begitu mudah jatuh cinta? Andai kata dia tidak jatuh cinta kepada Bi Lian, maka pembatalan ikatan jodoh ini tentu tidak terlampau menyakitkan hatinya. Cinta kita bergelimang nafsu, karena itu selalu mendatangkan suka duka, puas kecewa, nikmat sengsara. Cinta kita menimbulkan ikatan, menciptakan belenggu. Cinta kita mirip jual beli di pasar. Kita membeli dengan pengorbanan diri, kesetiaan, penyerahan, untuk memperoleh yang lebih menguntungkan dan lebih menyenangkan, yaitu pengorbanannya, kesetiaannya, penyerahan dirinya, serta kesenangan-kesenangan lain yang kita nikmati darinya. Kalau semua itu tidak terdapat oleh kita sebagai imbalan, maka cinta kita pun menguap ke udara dan tidak berbekas lagi, bahkan kadang kala berubah menjadi benci. Cinta kita selalu menyembunyikan pamrih demi kesenangan diri sendiri. Adakah cinta tanpa pamrih? Adakah cinta yang tidak mengandung pengajaran kepentingan diri sendiri? Adakah cinta yang tidak menimbulkan ikatan, yang memberi kebebasan? Dapatkah kita manusia memiliki cinta kasih seperti itu? Han Siong menderita akibat dari pada cinta seperti itu. Dia mencinta, tentu saja dengan pamrih agar yang dicintanya itu pun membalas cintanya, menjadi miliknya. Ketika ternyata bahwa gadis yang dicintanya itu tidak membalas cintanya dan tak mau menjadi miliknya, maka hatinya pun kecewa, malu dan timbullah duka. "Sumoi, harap jangan terlampau memujiku. Aku telah membuat Suhu, Subo, dan Sumoi rmerasa tidak enak saja. Semua salahku sendiri karena sesungguhnya akulah yang tidak tahu diri." "Han Siong, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Engkau hanya mentaati permintaan kami saja, dan kamilah yang sesungguhnya bersalah," kata Siangkoan Ci Kang. "Jangan putus asa, Han Siong. Bagaimana pun juga Bi Lian hanya terkejut karena berita yang mendadak itu. Biarlah dia berpikir dan mempertimbangkan. Apa bila kalian memang berjodoh, kelak ikatan ini tentu akan dapat disambung kembali," kata Toan Hui Cu yang juga merasa kasihan sekali kepada murid tersayang itu. "Sudahlah, Ayah dan Ibu, jangan mengulurkan harapan baru bagi Suheng agar kelak dia tidak akan menderita kekecewaan lagi. Suheng, kurasa sekarang ini belum waktunya bagi kita berdua untuk memikirkan soal perjodohan! Masih banyak tugas menunggu di depan. Lupakah Suheng akan nasib adik kandung Suheng itu? Apakah Suheng akan membiarkan saja si jahanam Ang-hong-cu itu?" Mendengar ini Han Siong mengerutkan kedua alisnya, wajahnya berubah merah dan dia termenung. Terbayanglah segala peristiwa yang terjadi ketika dia bersama para pendekar lainnya menentang persekutuan Lam-hai Giam-lo. Di dalam perjuangan para pendekar ketika menghadapi para pemberontak yang dipimpin persekutuan itu, muncul seorang tokoh yang juga membantu gerakan para pendekar, tapi tokoh itu ternyata adalah seorang tokoh hitam yang namanya sudah amat terkenal, yaitu Ang-hong-cu, si Kumbang Merah yang senang menghisap kembang. Seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang terkenal suka memperkosa serta merayu banyak wanita. Celakanya, di antara banyak wanita yang diperkosanya itu termasuk pula Pek Eng, adik kandungnya! Pek Eng diperkosa orang. Tadinya semua tuduhan ditimpakan kepada Tang Hay, seorang pendekar muda yang selain sakti, pandai ilmu silat, juga amat kuat ilmu sihirnya. Bahkan terjadi bentrok antara dia dan Tang Hay dan kesalah pahaman ini tentu akan berlarut-larut kalau saja kemudian tidak diketahui bahwa pemerkosa Pek Eng itu sama sekali bukanlah Tang Hay, melainkan Ang-hong-cu, penjahat cabul yang namanya sudah amat terkenal di dunia kang-ouw itu. Akan tetapi dia tidak segera mencari penjahat itu untuk membalaskan penghinaan yang menimpa diri adik kandungnya, melainkan menyibukkan diri untuk mengantarkan sumoi-nya kepada suhu dan subo-nya, tentu saja dengan pamrih tersembunyi bahwa dia akan dijodohkan dengan gadis yang menarik hatinya itu. Wajahnya seketika berseri ketika dia diingatkan oleh sumoi-nya tentang hal itu, dan dadanya penuh dengan getaran semangat. "Engkau benar sekali, Sumoi! Aku harus mencari manusia jahat itu supaya dia tidak dapat merajalela dan mendatangkan bencana bagi banyak orang yang tidak berdosa." Dia lalu berlutut memberi hormat kepada suhu dan subo-nya. ”Suhu dan Subo, sesudah teecu berhasil membawa pulang Sumoi dan mengantarkannya kepada Suhu dan Subo, maka selesailah tugas teecu dan teecu mohon diperkenankan untuk pergi, melaksanakan tugas lain, tugas keluarga teecu sendiri." Suami isteri itu merasa tidak enak sekali terhadap murid mereka, namun kepergian murid mereka itu justru akan dapat menghilangkan rasa tidak enak itu, maka keduanya memberi persetujuan tanpa banyak cakap lagi. Pemuda itu berpamit, memberi hormat lantas pergi meninggalkan kedua gurunya dan juga sumoi-nya, gadis yang dicintanya. Setelah pemuda itu pergi, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu mendengar lebih banyak dari puteri mereka tentang Ang-hong-cu Si Kumbang Merah, dan tentang adik kandung Han Siong yang menjadi salah satu di antara para wanita yang menjadi korban kejahatan jai-hwa-cat itu. *************** Kota Shu-lu tidak begitu besar namun cukup ramai dan di kota ini bahkan terdapat sebuah rumah penginapan Hok-lai-koan yang memiliki kamar cukup banyak serta sebuah rumah makan. Karena rumah penginapan ini memiliki rumah makan sendiri, maka banyak orang luar kota kalau terpaksa menginap di kota Shu-lu lebih senang bermalam di sini dari pada di rumah penginapan lain. Kalau di Hok-lai-koan sudah penuh barulah pengunjung kota itu terpaksa mencari rumah penginapan lain. Hampir setiap hari rumah penginapan itu penuh tamu, dan dengan sendirinya rumah makan itu pun selalu ramai karena semua tamu yang bermalam di situ juga makan di rumah makan itu. Pemilik rumah makan itu bernama Gui Lok, seorang pria berusia empat puluh lima tahun yang perutnya gendut dan orangnya ramah. Gui Lok ini ahli masak dan pandai bergaul, pandai menjilat dan mata duitan. Isterinya yang pertama sudah meninggal dunia, meninggalkan seorang anak perempuan yang sekarang sudah berusia tujuh belas tahun, cantik manis dan ramah walau pun agak pendiam. Gui Lok telah menikah lagi, dengan seorang janda muda yang usianya baru dua puluh lima tahun, cantik dan genit. Ketiga orang ini semua turun tangan mengurus rumah penginapan dan rumah makan mereka. Walau pun di kedua tempat itu sudah terdapat pegawai-pegawai yang bertugas, namun ayah ibu dan anak itu selalu saja membantu, kadang-kadang di rumah penginapan, akan tetapi lebih sering di rumah makan. Gui Lok sering membantu di dapur memberi petunjuk kepada para tukang masak, sedangkan isterinya dan puterinya membantu di luar. Hal ini menambah semaraknya rumah makan itu karena keduanya merupakan dua orang wanita yang cantik manis. Isteri Gui Lok dengan kecantikan yang genit memikat, ada pun Gui Ai Ling dengan kecantikan seorang gadis yang baru saja mekar bagaikan setangkai bunga segar. Pagi itu para tamu rumah penginapan sudah berada di rumah makan itu untuk sarapan pagi. Ada yang memesan bubur ayam, ada pula yang makan bakmi atau makan bakpao, bahkan mereka yang gembul pagi-pagi sudah memesan nasi dengan lauk pauknya! Di antara para tamu itu nampak seorang pemuda duduk seorang diri di sudut luar rumah makan. Dia seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, mempunyai tubuh sedang namun tegap dengan dadanya yang bidang. Matanya bersinar-sinar mencorong, mulutnya tersenyum-senyum dan memang pemuda ini memiliki wajah cerah yang manis. Hidungnya mancung dan pakaiannya sederhana, berwarna biru dengan garis-garis kuning. Pemuda yang juga menjadi tamu rumah penginapan itu agaknya sehabis sarapan hendak segera pergi ke luar kota karena di atas mejanya terdapat sebuah caping lebar pelindung panas dan hujan. Nampaknya dia seorang pemuda sederhana biasa saja. Terdapat ribuan orang pemuda seperti dia dan kehadirannya di sana sama sekali tidak menarik perhatian orang, kecuali isteri dan puteri Gui Lok karena pemuda itu memang dapat dibilang tampan dan sikapnya menarik. Akan tetapi, siapa pun yang telah mengenal pemuda ini pasti akan terkejut sekali melihat kehadirannya karena pemuda ini sebenarnya sama sekali bukan orang muda biasa saja, melainkan seorang pemuda gemblengan, murid dari dua orang di antara Delapan Dewa, kemudian digembleng lagi dalam hal ilmu sihir oleh mendiang Pek Mau San-jin dan masih beruntung pula dapat menjadi murid kakek Song Lo-jin yang aneh dan sakti. Pemuda ini bernama Tang Hay, atau lebih dikenal dengan sebutan Hay Hay saja. Seperti halnya pendekar Pek Han Siong, semenjak kecil kehidupan Hay Hay juga diliputi penuh rahasia, menjadi rebutan dan sering terancam bahaya maut. Bahkan kehidupannya pada masa dia masih bayi erat hubungannya dengan Pek Han Siong. Ibunya sudah tewas sejak dia masih bayi dan dia bahkan tidak tahu siapa nama ibunya. Ibunya adalah seorang gadis yang menjadi korban jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu, dan Si Kumbang Merah itu meninggalkan ibunya setelah mengandung. Ibunya membunuh diri di laut bersamanya, akan tetapi dia sendiri diselamatkan oleh mendiang kakek Pek Khun, yaitu kakek buyut dari Pek Han Siong. Dia kemudian diaku anak oleh Pek Kong, ayah Pek Han Siong. Dia dijadikan pengganti Pek Han Siong yang dilarikan secara diam-diam karena anak itu dianggap Sin-tong dan diperebutkan oleh para pendeta Lama di Tibet karena dianggap sebagai calon guru besar di Tibet! Pada saat dia masih bayi dan menjadi anak keluarga Pek, pengganti Pek Han Siong, dia diculik oleh suami isteri Lam-hai Siang-mo! Ia kemudian diambil anak oleh sepasang iblis itu dan namanya menjadi Siangkoan Hay, karena Lam-hai Siang-mo itu terdiri dari suami Siangkoan Leng dan isteri Ma Kim Li, dua orang datuk sesat yang amat jahat. Dalam usia tujuh tahun, dia yang masih dianggap sebagai sin-tong kembali diperebutkan lagi di antara orang-orang dunia kang-ouw sampai akhirnya dia mendengar bahwa dirinya bukanlah putera kandung Lam-hai Siang-mo! Dia lalu melarikan diri dan dikejar-kejar oleh para kang-ouw hingga akhirnya dia diselamatkan oleh See-thian Lama atau Gobi San-jin, seorang di antara Delapan Dewa, lalu menjadi muridnya. Selama beberapa tahun sempat pula dia menjadi murid Ciu-sian Sin-kai, juga seorang di antara Delapan Dewa. Demikianlah, berturut-turut dia menjadi murid dari orang-orang sakti sehingga sekarang Hay Hay menjadi seorang pemuda gemblengan yang memiliki kesaktian. Bukan saja ilmu silatnya tinggi, akan tetapi juga dia memiliki ilmu sihir yang cukup hebat! Pemuda ini memiliki watak periang. Suka bergembira dan menggoda orang, juga pandai sekali merayu wanita dengan kata-kata manis sehingga para wanita mudah sekali jatuh cinta atau setidaknya tertarik padanya. Akan tetapi, biar pun hal ini agaknya diwarisinya dari ayahnya yang tidak pernah dijumpainya, namun dia bukan seorang perusak wanita, bukan seorang pria cabul yang suka memperkosa atau mempermainkan wanita. Biar pun karena ulahnya itu dia dijuluki Pendekar Mata Keranjang, namun sifat mata keranjangnya itu hanya di kulit saja, hanya di luar karena dia selalu menjaga agar jangan sampai dia mengganggu atau berjinah dengan wanita. Pada waktu para pendekar menentang pemberontakan yang dipimpin oleh persekutuan Lam-hai Giam-lo, Hay Hay juga turut membantu para pendekar, bahkan dia terlibat secara langsung. Dia berjasa besar dalam perjuangan itu, akan tetapi karena sifatnya yang mata keranjang, maka dialah yang dituduh ketika ada beberapa orang gadis menjadi korban perkosaan Ang-hong-cu! Dan di tempat itu pula baru Hay Hay mendapat kenyataan bahwa Ang-hong-cu, penjahat keji perusak wanita itu, tak lain adalah ayah kandungnya sendiri! Dia lalu mengambil keputusan untuk menebus dosa ayahnya itu, bukan hanya dengan perbuatan-perbuatan baik sebagai seorang pendekar, namun terutama sekali dia harus dapat menangkap ayah kandungnya sendiri supaya orang itu mempertanggung jawabkan semua dosanya. Dia harus menangkap Si Kumbang Merah! Demikianlah riwayat singkat dari Tang Hay atau Hay Hay yang dikenal sebagai Pendekar Mata Keranjang! Padahal, sampai dia berusia dua puluh dua tahun itu, dia masih seorang perjaka tulen! Dan pada pagi hari itu dia duduk di dalam rumah makan karena malam tadi dia bermalam di rumah penginapan Hok-lai-koan. Sekarang Hay Hay enak-enak duduk seorang diri, menanti datangnya pesanannya, yaitu bubur ayam dan air teh panas. Dia tidak tahu betapa sejak dia datang, dia sudah menarik perhatian dua orang wanita cantik, ibu tiri dan anak pemilik rumah makan itu. Pada saat dia melamun, dia mendengar suara langkah kaki halus menghampirinya. Tentu saja suara ini amat halus dan lirih, tidak terdengar di antara suara bising para tamu, akan tetapi cukup jelas bagi telinga Hay Hay yang amat terlatih. Dia mengira pesanannya yang datang, maka dia menoleh dan seketika wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang berwajah manis kini sudah berdiri di dekat mejanya, memandang kepadanya dengan senyum yang manisnya mengalahkan madu! Dengan ramah sekali gadis itu bertanya tanpa malu-malu kepadanya, "Apakah kongcu (tuan muda) belum dilayani? Apakah kongcu sudah memesan makanan dan minuman?" Hay Hay tertegun. Sukar baginya untuk menduga bahwa gadis manis ini adalah seorang di antara para pelayan rumah makan itu. Gadis semanis ini? Dia pun mengangguk sambil tersenyum, "Sudah, aku sudah pesan kepada seorang pelayan tadi. Bubur dan air teh." "Kalau begitu harap tunggu sebentar, kongcu. Maafkanlah jika pelayanannya kurang cepat karena banyaknya tamu.” "Tidak mengapa, nona. Meski pun harus menunggu setahun di sini, kalau ada nona yang menemani bicara, sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar bagiku. Aduhh, betapa sayangnya...!" Gadis Itu memandang dengan kedua pipi berubah merah. Meski pun pemuda ganteng ini memujinya, akan tetapi pujian itu tidak kasar dan kurang ajar, berbeda dengan para tamu pria lain yang biasanya suka mengeluarkan kata-kata kotor, tidak bersusila dan bahkan kurang ajar kepadanya. "Kongcu, apanya yang sayang?" tanyanya, ingin tahu apa yang dimaksudkan pemuda ini. "Ketika tadi aku melihat engkau berdiri seanggun itu, aku pun mengira sedang bermimpi bertemu bidadari! Ketika nona bicara, kusangka seorang puteri bangsawan yang menjadi tamu restoran ini. Sungguh sayang gadis secantik jelita nona ini, yang anggun, manis dan elok, ternyata seorang pelayan. Di sini tempat umum maka nona tentu akan selalu digoda orang. Mengapa nona secantik ini tidak tinggal saja di rumah dan melakukan pekerjaan lain?" Wajah itu kini berubah semakin merah, akan tetapi bukan karena marah. Kecantikannnya dipuji setinggi langit, disamakan dengan bidadari, disangka puteri bangsawan! Hati gadis mana yang tak akan berdebar penuh rasa bangga kalau dipuji-puji seperti ini oleh seorang pria yang ganteng? Apa lagi pujian itu sama sekali tidak kurang ajar, bahkan mengandung nasehat. "Aih, kongcu ini bisa saja memuji orang!" katanya sambil menggigit bibirnya dan matanya mengerling malu-malu akan tetapi hatinya senang bukan main. "Sebetulnya aku bukanlah pelayan rumah makan ini, kongcu. Ayahku pemilik rumah penginapan dan rumah makan ini, aku hanya ikut membantu para pekerja di sini." "Ah, kalau begitu aku bersikap kurang hormat dan telah lancang bicara!" Hay Hay segera bangkit berdiri dan memberi hormat kepada gadis itu. "Silakan duduk, nona. Sungguh aku merasa beruntung sekali dapat berjumpa dan berkenalan denganmu. Namaku Hay Hay, dan nona...?" "Ai Ling..., mari ke sini! Ada tamu datang, sambutlah!" Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita lain. "Hemm, namamu Ai Ling, nona? Nama yang sangat manis, semanis orangnya," kata Hay Hay. Akan tetapi gadis itu sudah menjauhinya sambil berseru. “Baik, ibu!” Dan dia pun cepat pergi menuju ke pintu masuk untuk menyambut tamu-tamu yang baru datang. Sementara itu Hay Hay kembali menjadi bengong sesudah melihat orang yang datang membawa baki terisi bubur dan minuman teh yang dipesannya, yaitu wanita yang tadi menegur Ai Ling, dan yang disebut ibu oleh gadis itu. Ibunya gadis itu? Mana mungkin? Wanita yang datang dengan lenggang yang aduhai ini paling banyak berusia dua puluh lima tahun! Seorang wanita yang sudah matang, dengan tubuh denok montok dan penuh lekuk lengkung yang menggairahkan, wajahnya putih dan cantik manis, hanya sayang bedak dan gincu yang dipakainya agak terlalu tebal, dengan pakaian yang indah dan mahal, rambut digelung rapi dengan hiasan menarik. Dengan lenggang yang lemah gemulai seperti penari ahli, wanita ini datang menghampirinya dan tersenyum manis kepada Hay Hay. “Maaf kalau agak lambat, kongcu. Inilah pesananmu. Bubur ayam dan minuman air teh, bukan?” katanya sambil meletakkan hidangan itu di atas meja. Dia berdiri dekat sekali dengan Hay Hay sehingga pemuda ini dapat mencium keharuman semerbak keluar dari pakaian wanita ini. Dia masih bengong mengamati wanita ini, tetapi akhirnya dia menarik napas panjang dan berkata, "Terima kasih, akan tetapi... tidak salahkah pendengaranku? Tadi Ai Ling menyebut ibu..., tidak kelirukah aku?" Wanita itu adalah isteri Gui Lok bernama Kim Hwa. Dengan sikap genit dia mengerling kepada pemuda ganteng yang semenjak tadi memang amat menarik perhatiannya itu, lalu tersenyum cerah sehingga nampak kilatan giginya yang putih. "Engkau tidak keliru, kongcu. Aku adalah Kim Hwa, ibu tiri dari Ai Ling. Kenapa kongcu meragukan?" Hay Hay menarik napas panjang lagi. "Aihhh, siapa yang tidak ragu-ragu? Engkau masih begini muda, cantik jelita lagi, pantasnya menjadi kakak dari Ai Ling, jika kalian enci adik barulah pantas. Ternyata engkau ibu tirinya? Sungguh, kalian adalah dua orang wanita yang sama cantik manisnya, pantas saja rumah makan ini selalu penuh. Kalian bagaikan dua tangkai bunga mawar indah yang menghiasi tempat ini sehingga banyak kumbang beterbangan dan berkeliaran di sini...!" Senyum di wajah yang cantik genit itu makin cerah dan sepasang mata yang menantang itu makin berseri, "Ihhh, kongcu. Rayuanmu maut! Engkau sendiri seorang pemuda yang amat menarik hati. Siapakah namamu, orang muda yang tampan?" "Namaku Hay Hay...” “Hay Hay, di kamar nomor berapa?" "Kamar bagian belakang, nomor tujuh." "Kongcu, malam nanti lewat jam dua belas, kalau babi itu sudah pulas, aku ingin datang berkunjung ke kamarmu...," berkata demikian, wanita itu lalu pergi meninggalkan mejanya sambil membawa baki kosong, melempar senyum dan kerling tajam yang membuat Hay Hay bengong di atas bangkunya! Bukan main, pikirnya. Nyonya muda itu dengan mudah saja menjanjikan permainan kotor dengannya! Tak salah lagi, tentu yang dimaksudkan babi itu adalah suaminya, atau ayah Ai Ling! Pada saat itu pula dari pintu belakang yang menembus ke dapur justru muncul seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, seorang pria yang bertubuh gendut sekali, dan yang melihat sikapnya tentu dia adalah majikan rumah makan itu! Benar saja, pria gendut itu menggapai kepada Kim Hwa dan wanita genit itu segera menghampirinya dan mereka bicara bisik-bisik, keduanya memandang ke arah tamu baru yang datang dan disambut oleh Ai Ling. Melihat ini, Hay Hay juga langsung menoleh dan memandang ke arah gadis manis yang menyambut tamu baru itu. Tamu itu seorang lelaki berusia lima puluh tahun, tinggi besar laksana raksasa dengan pakaian mewah. Seorang hartawan besar, akan tetapi wajahnya menyeramkan dan menakutkan karena kulit muka yang hitam itu penuh dengan bopeng, yaitu cacat bekas penyakit cacar yang membuat kulit mukanya kasar dan kelihatan kotor. Matanya agak besar sebelah, hidungnya amat besar dan mulutnya juga lebar. Akan tetapi lagaknya jelas menunjukkan bahwa dia adalah orang kaya dan royal, lagak khas seorang hartawan yang yakin akan ‘harga dirinya’ yang diukur dengan kepadatan kantungnya. Di belakang hartawan raksasa ini kelihatan tiga orang yang juga tidak menyembunyikan lagak mereka sebagai tukang-tukang pukul atau pengawal dari si hartawan tinggi besar. Dengan lengan baju disingsingkan, pinggang dihias golok, dada dibusungkan dan kepala ditegakkan tinggi, langkah satu-satu laksana harimau berjalan, tiga orang itu seakan-akan memasang kedudukan mereka di atas dada agar semua orang tahu. Dengan sikap manis, seperti kalau menerima tamu rumah makan itu, Ai Ling menyambut empat orang tamu ini, akan tetapi sekali ini senyum yang menghias wajah yang manis itu agak dibuat-buat. Di dalam hatinya, gadis ini tidak suka kepada tamu hartawan itu karena hartawan Coa ini sudah terkenal sekali sebagai seorang mata keranjang yang sering kali mempergunakan harta kekayaannya untuk memaksakan kehendaknya. Selain sebagai seorang hartawan, Coa Wan-gwe ini juga seorang yang dianggap sebagai majikan dari para penjahat yang ada di sekitar kota Shu-lu. Dengan hartanya dan dengan kekuasaannya karena dia pandai mendekati para pejabat, juga dengan banyaknya tukang pukul yang menjadi pengawalnya, maka dia ditakuti oleh semua orang. Bahkan orang ini menguasai pula semua tempat pelesir di kota Shu-lu dan kota-kota lain yang berdekatan dengan kota raja. Di samping banyaknya orang yang merasa takut dan diam-diam membencinya, banyak pula orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan dari hartawan ini, dan orang-orang seperti ini tidak segan-segan untuk menjilat dan mencari muka. Kalau Gui Lok sendiri dan puterinya, Ai Ling, diam-diam merasa tidak suka bahkan membenci dan takut kepada Coa Wan-gwe, sebaliknya Kim Hwa selalu bersikap manis terhadap hartawan itu. Dia maklum akan kekuasaan dan kekayaan hartawan ini, bahkan sadar pula bahwa apa bila keluarga suaminya tidak membikin senang hati hartawan ini, maka perusahaan suaminya terancam kebangkrutan. Kalau hartawan itu sampai memusuhi mereka, maka tidak sukar baginya untuk memaksa suaminya agar menutup rumah penginapan dan rumah makannya, dengan menggunakan kekerasan dan siapakah yang akan berani membela suaminya? Semua pembesar di kota Shu-lu, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, semuanya telah berada dalam genggaman tangan Coa Wan-gwe, bagaikan boneka-boneka yang dapat menari menurut kehendak hartawan itu. Ketika makan di rumah makan mereka tiga hari yang lalu, ketika dilayani oleh Kim Hwa, hartawan itu sudah membisikkan hasrat hatinya untuk ‘memetik’ bunga rumah makan itu, yaitu Ai Ling! Mendengar hal ini tentu saja hati Kim Hwa diliputi rasa takut. Namun secara diam-diam dia juga merasa girang karena semenjak menjadi isteri Gui Lok, sebetulnya dia membenci Ai Ling. Maka dia lalu membujuk suaminya supaya menyerahkan Ai Ling kepada Coa Wan-gwe, untuk menjadi selir yang entah ke berapa kalinya. Gui Lok tidak setuju dan marah-marah kepada isterinya, akan tetapi dia pun merasa khawatir sekali dan tidak berani menentang kehendak Coa Wan-gwe karena dia tahu betapa bahayanya menentang kehendak orang itu. Ketika pada pagi hari itu sang hartawan muncul bersama tiga orang tukang pukulnya, Gui Lok tak berani keluar dari dapur. Isterinya cepat menyuruh Ai Ling menyambut tamu baru itu, kemudian dia pun cepat memasuki dapur dan setengah menyeret suaminya keluar. "Lihat, alangkah besar rasa cinta Coa Wan-gwe kepada anak kita," bisik Kim Hwa kepada suaminya yang memandang dengan muka agak pucat. "Lihatlah sinar matanya kepada Ai Ling. Aih, kalau engkau memiliki menantu dia, maka kedudukanmu tentu akan meningkat tinggi dan di Shu-lu ini tidak ada seorang pun yang berani kepadamu." Sementara itu, Ai Ling sudah menyambut tamu-tamu itu dengan sikap manis dibuat-buat, "Selamat pagi, lo-ya (tuan besar), dan silakan duduk di sudut sana. Masih ada beberapa meja kosong untuk lo-ya sekalian," kata Ai Ling dengan senyum buatan. Coa Wan-gwe bengong memandang gadis yang manis itu. Seperti setangkai bunga yang sedang mekar semerbak, pikirnya. Ia mengangguk-angguk, lalu berkata, "Ai Ling, engkau sediakan bakmi dan panggang babi, juga arak yang cukup untuk kami, dan engkau sendiri harus melayani aku pagi ini. Jangan khawatir, nanti akan kuberi hadiah yang banyak, Ai Ling, manis....!" Tiga orang tukang pukulnya tertawa-tawa dan Ai Ling tersipu. "Maaf, lo-ya, saya masih memiliki banyak pekerjaan. Akan tetapi pesan lo-ya akan saya sampaikan. Silakan duduk!" Gadis itu lalu setengah berlari masuk ke dalam. Sejak tadi Hay Hay menyaksikan semua yang terjadi itu. Telinganya yang sangat terlatih itu dapat menangkap bisikan hartawan tinggi besar muka bopeng ketika mengajak Ai Ling untuk melayaninya dan diam-diam dia merasa tidak senang kepada orang tinggi besar itu. Sikapnya begitu pongah dan congkak, seperti telah biasa memerintah, dan sinar matanya begitu penuh nafsu seolah-olah menggerayangi tubuh Ai Ling dari atas ke bawah. Orang ini berbahaya sekali, pikirnya dan dia mengkhawatirkan keselamatan Ai Ling. Dia melihat betapa Ai Ling terlibat ribut-ribut mulut dengan ayah dan ibu tirinya, biar pun mereka hanya berbisik-bisik. Nampak olehnya di balik pintu ke dapur itu betapa Ai Ling menggelengkan kepalanya keras-keras seperti menolak, sedangkan Kim Hwa memegang pundaknya dan seperti membujuk-bujuk, sementara Gui Lok yang gendut seperti babi itu hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan bingung dan khawatir . Kini nampak Kim Hwa yang mengantar seorang pelayan membawakan pesanan makanan dan minuman untuk hartawan itu. Sesudah mengatur hidangan di atas meja dan pelayan itu pergi, Kim Hwa berbisik kepada hartawan itu, suaranya manis dibuat-buat. "Harap Coa tai-ya sudi memaafkan Ai Ling. Dasar anak pemalu dan dia banyak pekerjaan di dalam, maka tidak dapat melayani tai-ya. Biarlah saya yang melayani di sini." Dengan sikap manis sekali dia kemudian menuangkan arak ke dalam cawan untuk hartawan itu, sedangkan ketiga orang tukang pukul itu memandang nyonya muda itu dengan senyum-senyum senang. Akan tetapi hartawan itu cemberut. "Hemm, apakah engkau belum menyampaikan hasrat hatiku kepadanya dan kepada suamimu?" "Sudah, tai-ya." "Dan suamimu tidak setuju?" Sepasang mata hartawan itu memandang penuh ancaman. "Ahh, tidak, tidak! Mana mungkin dia berani? Dia menyerahkan kepada saya dan kepada puterinya. Percayalah, tai-ya pasti akan mendapatkan apa yang tai-ya inginkan itu," kata Kim Hwa dengan sikap manis. Semenjak tadi Hay Hay terus mendengarkan. Kebetulan sekali meja yang dihadapi oleh rombongan hartawan itu tidak begitu jauh dari tempat duduknya sehingga pendengarannya yang sangat tajam dapat menangkap semua percakapan itu walau pun dilakukan dengan berbisik-bisik dan lirih. "Hemmm, nyonya Gui, dengar baik-baik. Aku sudah tidak sabar lagi. Malam ini aku akan bermalam di rumah penginapan suamimu. Sediakan kamar yang terbaik, dan malam nanti aku benar-benar mengharapkan dia berada di dalam kamarku! Apa bila perintahku sekali ini tidak ditaati, kelak jangan menyesal kalau keluarga dan perusahaan suamimu menjadi berantakan!" Wajah wanita itu nampak amat ketakutan, "Baik, tai-ya, jangan khawatir...,” lalu suaranya menjadi semakin lirih, "Bagaimana pun juga, saya akan berusaha sekuatnya agar dapat mendorongnya ke kamar tai-ya. Akan tetapi karena dia sangat pemalu, harap tai-ya suka menunggu sampai lewat tengah malam, kalau perlu saya akan memaksanya " Hartawan tinggi besar itu tersenyum lebar dan menjilati bibirnya, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya. "Tidak perlu dengan paksaan, kau gunakan ini. Campurkan dalam makanan atau minumannya dan dia akan menjadi mabok dan tidak akan melawan lagi." Kim Hwa menerima bungkusan itu, lalu melayani hartawan Coa beserta tiga orang tukang pukulnya makan minum hingga mereka menjadi setengah mabok. Sementara itu Hay Hay sudah meninggalkan rumah makan. Hatinya panas sekali....

jilid 7


HARTAWAN mata keranjang, pikirnya, perusak gadis-gadis orang. Dan wanita genit tak tahu malu itu adalah seorang ibu tiri yang kejam dan jahat, ingin menjebloskan puteri tirinya ke dalam lembah kehinaan dan menghidangkan puterinya itu, seorang gadis manis, menjadi santapan si bandot tua Coa! Dia harus mencegah hal ini terjadi, pikirnya. Namun karena peristiwa yang direncanakan orang-orang jahat itu baru akan dilaksanakan malam nanti, maka Hay Hay melanjutkan acaranya hari itu, yaitu melakukan penyelidikan dan mencari jejak Ang-hong-cu, Si Kumbang Merah, atau ayah kandungnya sendiri, untuk dibekuk dan dipaksanya mempertanggung jawabkan semua dosanya, apa lagi terhadap perbuatan hinanya, memperkosa dua gadis yang amat dikaguminya, yaitu perbuatan yang dilakukannya ketika para pendekar sedang menentang persekutuan Lam-hai Giam-lo. Kedua orang gadis pendekar itu yang pertama adalah Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong, puteri dari ketua Pek-sim-pang di Kong-goan. Yang kedua adalah Ling Ling atau Cia Ling, puteri dari pendekar besar Cia Sun, masih keluarga dari Cin-ling-pai yang tinggal di dusun Ciang-si-bun dekat kota raja. Peristiwa aib yang menimpa dua orang gadis perkasa itu telah mencemarkan namanya, karena dialah yang mula-mula dituduh sebagai pelakunya! Oleh karena itu dia harus bisa membekuk batang leher Ang-hong-cu, ayahnya sendiri, lantas menyeretnya kepada dua orang pendekar wanita itu untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, untuk mencuci bersih namanya sendiri yang hampir saja tercemar dan menjadi busuk! Mencari seorang datuk sesat haruslah menghubungi dunia penjahat, pikir Hay Hay. Maka dia pun tidak ragu-ragu lagi memasuki sebuah rumah judi terbesar di kota Shu-lu. Rumah judi ini bercat merah dan cukup luas. Ada beberapa belas meja perjudian. Ada permainan dadu, permainan kartu dan ma-ciok. Akan tetapi yang paling ramai dipenuhi orang adalah meja dadu terbesar di tengah ruangan. Banyak sekali tamu yang datang mengadu untung di tempat perjudian itu. Pada waktu Hay Hay masuk dengan memakai topinya yang lebar, segera ada dua orang tukang pukul menghampirinya. Karena dia tidak dikenal dan pakaiannya sederhana, juga mengenakan topi caping yang lebar, maka tentu saja dia dicurigai. "Hei, kawan. Di sini tidak boleh memakai caping lebar, seperti di sawah saja!" tegur salah seorang di antara mereka. "Ke sinikan, kau titipkan dulu capingmu pada kami. Nanti kalau kau hendak pulang, boleh kau ambil dari kami!" kata yang ke dua. Hay Hay menoleh. Dia melihat ada dua orang laki-laki tinggi besar dan terlihat kokoh kuat berdiri dengan sikap bengis dan mengancam. Hay Hay tersenyum dan menanggalkan topi capingnya, lalu menyerahkan kepada mereka. "Harap jaga baik-baik capingku, karena di sini tidak ada orang yang menjual caping lebar model selatan ini," katanya sambil tersenyum. Seorang tukang pukul menerima caping itu sementara orang ke dua memandang Hay Hay dengan sinar mata tajam penuh selidik. "Sobat, apakah engkau datang hendak berjudi?" Hay Hay tersenyum. "Sobat, kalau orang memasuki rumah judi lalu tidak hendak berjudi, lalu mau apa?" "Hemmm, siapa tahu? Ada saja manusia tolol yang mencoba-coba untuk merampok di po-koan (rumah judi) kami, ha-ha-ha!" "Ha-ha-ha-ha, dan mereka itu dihajar habis-habisan, bahkan ada yang mampus! Mereka tidak tahu siapa kami!" kata orang ke dua. Hay Hay ikut tertawa. "Sungguh tidak tahu diri! Merampok sebuah po-koan? Itu namanya tidak mengenal kawan sendiri. Akan tetapi aku tidak setolol itu, kawan. Aku datang untuk mengadu untung!" Dia menuding ke arah meja dadu yang penuh orang. "Nanti dulu sobat, kalau engkau hendak berjudi, maka engkau harus mempunyai modal. Nah, sekarang perlihatkan dulu modalmu. Maklumlah, engkau orang baru dan kami harus berhati-hati!" Hay Hay tersenyum. Memang ada dia membawa uang, akan tetapi tidak cukup banyak. Dia bukanlah seorang kaya yang banyak uang. Dia mengeluarkan beberapa uang logam tembaga yang tidak seberapa banyak, hanya segenggam dan harganya tentu saja tidak seberapa pula, akan tetapi pandang matanya mencorong ketika memandang kepada dua orang itu dan dia berkata sambil tertawa. "Lihat, cukupkah modalku ini?" Dua orang itu melihat Hay Hay membuka tangannya dan... mereka pun terbelalak melihat segenggam uang emas berkilauan pada telapak tangan pemuda itu. Segera sikap mereka berubah dan mereka berdua membungkuk-bungkuk. "Wah, lebih dari cukup, kongcu. Silakan..., silakan...!" kata mereka sambil mengundurkan diri dan menyimpan caping Hay Hay di tempat yang memang sengaja disediakan untuk orang menaruh segala barang bawaan yang tidak diperlukan di situ seperti topi, payung, jubah dan lain-lain. Dengan langkah seenaknya Hay Hay langsung menuju ke meja dadu. Dia melihat betapa tempat judi itu dilayani oleh banyak wanita muda cantik yang bersikap genit. Akan tetapi yang menjadi bandar adalah lelaki yang kelihatannya lihai sekali dalam mempermainkan dadu. Dia mendesak di antara banyak orang dan dapat melihat apa yang terjadi di atas meja judi putar dadu itu. Semua orang sudah memasang taruhan mereka di atas meja, di mana terdapat gambar dan nomor-nomor yang telah dipasang orang, yaitu nomor dua sampai dengan dua belas. Dadu yang diputar ada dua buah, masing-masing dadu memiliki enam permukaan yang digambar totol-totol merah, dari satu sampai dengan enam. Tidak ada yang memasang taruhan pada nomor-nomor dua, tiga dan dua belas. Meski pun bukan seorang penjudi, namun Hay Hay yang cerdik segera memperhitungkan kenapa tidak ada orang yang memasangkan taruhannya pada tiga nomor itu. Tentu saja, karena kemungkinan keluar ketiga nomor itu hanya masing-masing satu kali saja. Untuk nomor dua hanya jika keluar satu tambah satu, nomor tiga kalau keluar satu tambah dua, dan nomor dua belas kalau keluar enam dan enam. Demikian pula nomor sebelas tidak ada yang memasang, karena nomor sebelas hanya keluar satu kemungkinan, yaitu enam dan lima. Akan tetapi nomor-nomor lain, dari empat sampai sepuluh, mempunyai dua kemungkinan keluar. Karena itu mereka semua hanya memasangkan uang mereka pada nomor empat sampai dengan sepuluh. Dan yang menang akan mendapatkan tiga kali lipat dari uang taruhannya! Kelihatannya saja menguntungkan sekali, akan tetapi Hay Hay dapat memperhitungkan bahwa kemungkinan menang bagi para penjudi itu kecil sekali, dan kemungkinan menang itu sudah diborong oleh bandarnya! Bayangkan saja! Kemungkinan keluar dari dua dadu itu sebanyak delapan belas nomor sehingga kesempatan menang dari setiap pemasang adalah dua lawan delapan belas, atau satu lawan sembilan. Akan tetapi imbalannya kalau menang hanya satu mendapat tiga! Hay Hay memandang kepada bandar di meja judi itu, seorang lelaki pendek gendut yang selalu menyeringai. Setelah semua orang meletakkan taruhannya, bandar cepat memutar dua buah dadu di dalam sebuah mangkok, lantas dengan cekatan dia menelungkupkan mangkok itu di atas meja, dengan dua buah dadunya tertutup di bawah mangkok. "Hayo tambah lagi taruhan, masih ada kesempatan!" tantang bandar itu, dan empat orang pembantu wanita yang cantik-cantik, dengan gaya masing-masing turut membujuk penjudi yang banyak uang untuk menambah taruhan mereka. Memang pasaran taruhan menjadi semakin ramai bila mana mangkok itu sudah ditelungkupkan, tinggal dibuka saja. Meja itu kini penuh dengan uang taruhan yang ditumpuk-tumpuk. "Awaaaasssss, mangkok akan segera dibuka! Perhatikan baik-baik! Satu... dua... tiga...!" Dengan sangat cekatan tangan si pendek gendut membuka mangkok dan dua buah dadu itu jelas memperlihatkan angka di permukaan mereka, yaitu angka satu dan dua! "Tigaaaaaa...!" teriak bandar dadu dengan alat pengeruk di tangannya. Dan tentu saja dia mengeruk semua uang yang bertumpuk di atas meja karena tidak ada seorang pun yang memasang nomor tiga. Para pelayan wanita sibuk pula membantunya dan ada beberapa orang pembantu lagi mengatur uang kemenangan itu dalam tumpukan-tumpukan yang rapi, memisah-misahkan mata uang itu dan menghitung-hitung. "Silakan pasang lagi! Pasang lagi...! Siapa tahu sekali ini pasangan anda tepat mengenai sasaran! Pasang seratus mendapatkan tiga ratus, pasang seribu mendapatkan tiga ribu!" teriak beberapa orang gadis cantik pelayan meja dadu itu. Sebuah tangan yang halus menyentuh lengan Hay Hay. Pemuda ini menengok dan dia terpesona. Gadis ini cantik bukan main. Bedak pada mukanya tidak setebal gadis-gadis yang lain dan agaknya dara ini baru saja tiba di situ karena tadi dia tidak melihatnya di antara para gadis pelayan. Juga pakaiannya sangat berbeda, gadis ini lebih mewah dengan hiasan rambut terbuat dari emas permata. Matanya sungguh indah, seperti mata burung Hong! Usianya tentu tidak lebih dari dua puluh tahun. "Kongcu, mengapa tidak ikut bertaruh? Kulihat engkau orang baru, biasanya orang baru akan selalu menang." Hay Hay tersenyum. Gadis ini ramah sekali dan wajahnya amat menyenangkan, juga bau semerbak harum yang keluar dari pakaian serta rambutnya amat sedap, tidak menyolok. "Aku sedang berpikir-pikir nomor berapa yang harus kupasangi," katanya. Gadis itu tersenyum. "Kongcu, aku bekerja di sini maka tidak semestinya aku membantu para penjudi. Akan tetapi percayalah, malam tadi aku bermimpi indah sekali maka kalau aku menjadi kongcu, akan kupasangi nomor dua belas!" Di dalam hatinya Hay Hay tertawa. Gadis ini bekerja di situ sebagai pelayan, tentu saja tugasnya selain membujuk para tamu agar berjudi, juga tentu berusaha supaya tamunya kalah, maka menganjurkan dia agar memasang nomor dua belas, nomor sial yang hanya memiliki kemungkinan keluar satu kali saja! Akan tetapi dia tersenyum dan mengeluarkan semua sisa uang yang ada di sakunya, hanya setumpuk uang tembaga dan dua potong uang perak, hanya kurang lebih dua tail perak saja harganya! "Nah, inilah semua uangku, boleh kau pasangkan sesukamu, Nona." Dara itu memandang dengan alis berkerut. "Kongcu, apakah semua uangmu hanya ini?" Hay Hay mengerling ke kiri dan melihat betapa dua orang penjaga atau tukang pukul yang tadi menyambutnya sedang berbisik-bisik dan memandang ke arahnya. Ia pun tersenyum dan dapat menduga bahwa tentu dua orang itu yang melapor ke dalam dan dari dalam lalu mengutus gadis ini untuk melayaninya setelah mendengar laporan bahwa dia memiliki banyak uang emas! "Semua uang kecilku hanya itu," katanya sambil tersenyum, "uang emasku masih banyak. Kau dengarlah ini!" Dia menepuk saku bajunya. Gadis itu mendengar suara gemerincing nyaring, maka dia pun tersenyum manis sekali kemudian mendesak maju ke pinggir meja. "Kongcu mempertaruhkan semua uang kecil ini pada nomor dua belas!" Semua orang memandang heran. Bagaimana pun juga tumpukan uang itu cukup banyak. Mana ada orang mempertaruhkan uangnya pada nomor dua belas? Bandar itu memandang sambil tersenyum menyeringai lebar, memperlihatkan deretan gigi yang kuning menghitam karena rusak. Dia pun memutar-mutar dua buah dadu di dalam mangkok, lantas cepat menelungkupkan mangkok itu di atas meja. Semua petaruh masih diberi kesempatan untuk menambah taruhan mereka, dan tidak seorang pun kecuali Hay Hay mempertaruhkan uangnya pada nomor dua belas. Mangkok dibuka dan... Dua belaaaasss...!" teriak bandar. Dua buah dadu itu jelas memperlihatkan nomor enam dan enam! Semua orang berteriak heran, ada pun dara manis itu sambil tersenyum-senyum membantu Hay Hay menghitung uang taruhannya. Hay Hay menerima tiga kali uang taruhannya sehingga di atas meja, di hadapannya, sekarang dia menghadapi uangnya yang menjadi bertumpuk-tumpuk! Dia memperoleh sebuah bangku dan gadis cantik itu pun duduk di dekatnya, memberi isyarat kepada seorang pelayan lain supaya mengambilkan minuman anggur untuk kongcu. "Wah, engkau memang sedang mujur sekali, Nona...!" "Siok Bi, namaku Siok Bi, Kongcu..." "Dan namaku Hay Hay!" "Hay Kongcu, sesungguhnya bukan aku yang mujur melainkan engkau!" katanya sambil menyentuh lengan dengan mesra sekali. Sentuhan itu membuat Hay Hay merasa betapa bulu tengkuknya segera meremang. Begitu lembut, begitu hangat dan mesra. Jantungnya berdebar kencang dan mukanya menjadi merah. "Siok Bi, coba kau tukarkan semua uang ini dengan uang perak supaya lebih mudah kita bertaruh." katanya. Gadis itu membantu dengan penuh gairah, dan dengan bantuannya, maka sebentar saja tumpukan uang di depan Hay Hay berubah menjadi setumpuk uang perak yang berjumlah sepuluh tail! "Silakan pasang lagi...!" bandar sudah berteriak, agaknya sama sekali tak kecewa melihat betapa uangnya ditarik demikian banyaknya oleh tamu baru itu. "Siok Bi, nomor berapakah sebaiknya kini?" tanya Hay Hay kepada gadis di sampingnya yang bersikap demikian mesra, seolah-olah mereka sudah lama berpacaran. "Aih, mimpiku hanya satu kali, Kongcu. Sebaiknya jika engkau memilih sendiri agar tidak keliru." "Baiklah, aku akan bertaruh pada nomor dua!" Hay Hay mendorong separuh dari semua uangnya ke atas nomor dua. Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Gilakah pemuda itu? Setelah menang secara kebetulan sekali atas nomor dua belas, kini dia bertaruh atas nomor dua, lagi-lagi nomor sial yang sukar keluarnya. "Mengapa nomor dua, Kongcu? Nomor itu jarang sekali keluar karena hanya mempunyai satu kemungkinan," bisik gadis di sisinya, mendekatkan mukanya dengan muka Hay Hay sehingga ketika bicara, dia dapat merasakan napas gadis itu hangat bertiup di pipinya. Hay Hay tersenyum. "Biarlah, bukankah tadi nomor dua belas juga keluar?" Karena tertarik dengan keberuntungan pemuda itu, ada dua orang penjudi lain ikut-ikutan memasang pada nomor dua, akan tetapi hanya secara iseng-iseng saja sehingga jumlah uangnya tidak banyak. Dadu dikocok di dalam mangkok, lalu ditelungkupkan. Ketika dibuka, ternyata jatuh pada nomor lima! Beberapa orang penjudi yang kebetulan memegang nomor lima memperoleh uang hadiahnya, namun jumlahnya tidak banyak sehingga bandar masih menang cukup banyak. "Aih..., Kongcu tidak percaya kepadaku sih!" Siok Bi mengeluh. "Sekarang pasang coba-coba saja dulu, Kongcu, jangan banyak. Sepotong perak saja untuk memancing nasib." "Baiklah, aku menuruti usulmu," kata Hay Hay sambil tertawa. Dengan sembarangan saja dia lalu melempar sepotong perak yang jatuh pada angka tiga! Kembali angka sial! Dan sekarang tak ada seorang pun yang mau ikut-ikutan memasang nomor tiga. Akan tetapi, ketika mangkok dibuka, dua dadu menunjukkan angka satu dan dua! "Tigaaaa...!" Bandar berteriak dan menggaruk semua uang, kecuali taruhan Hay Hay yang menang lagi sehingga menerima hadiah tiga potong perak. Dengan genit Siok Bi mencubit paha Hay Hay di bawah meja, lalu merapatkan tubuhnya sambil tertawa girang. Hay Hay juga tertawa-tawa untuk menenteramkan jantungnya yang berdebar. Ketika para penjudi dipersilakan bertaruh lagi, Hay Hay lantas mendorong semua uang di hadapannya ke atas nomor sebelas. Lagi-lagi nomor sial! Akan tetapi sekali ini ada empat orang ikut-ikutan memasang nomor sebelas sehingga jika sekali ini keluar nomor sebelas, maka bandarnya akan rugi cukup canyak! Siok Bi hanya tersenyum, maklum bahwa tamunya ini mulai panas dan mulai dipengaruhi oleh setan judi sehingga sebentar lagi tentu akan mengeluarkan uang emas dari dalam kantongnya! Dadu dikocok, lalu mangkok ditelungkupkan! "Silakan menambah uang taruhan!" teriak bandar . "Siok Bi, keluarkan semua uangmu, kupinjam dulu untuk taruhan!" kata Hay Hay. Gadis itu terkejut, akan tetapi mengeluarkan uangnya dan ternyata ada lima tail. "Bagaimana kalau kalah, Kongcu?" "Jangan khawatir, akan kuganti dengan uang emas!" Siok Bi girang sekali. Kalau tidak terdapat banyak orang, tentu sudah diciumnya pemuda yang ganteng dan menarik ini. Tidak seperti para tamu lain, pemuda ini tidak pernah jail, tidak mengganggunya, bahkan menyentuhnya pun tidak, apa lagi kurang ajar. Akan tetapi selalu ramah dan pandang matanya itu membuat birahinya sudah bangkit sejak tadi! Hay Hay menambahkan uang Siok Bi ke atas taruhannya. Mangkok kemudian dibuka dan... sepasang mata bandar itu melotot keheranan ketika dua buah dadu itu menunjukkan angka enam dan lima! "Se... sebelas...!" serunya dan si gendut ini kelihatan bingung bukan main. Juga Siok Bi terbelalak heran, menatap tajam wajah bandar gendut, akan tetapi dengan cepat dia bisa menguasai keheranannya, lalu memegang lengan Hay Hay. "Kita menang, Hay Kongcu...!" serunya gembira, berbareng dengan seruan mereka yang ikut memasang nomor sebelas. Dengan muka agak pucat bandar lalu menghitung semua uang dan membayar kemenangan mereka yang bertaruh pada nomor sebelas. Sesudah tiga putaran lagi Hay Hay tetap menang dan semua penjudi di meja itu sekarang ikut memasang nomor yang sama dengan Hay Hay, bandar judi yang bertugas di meja itu menjadi pucat sekali. Tubuhnya gemetar dan beberapa kali dia menghapus keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Setiap kali membuka mangkok tangannya selalu gemetar, kemudian matanya terbelalak setelah melihat betapa sepasang dadu itu menunjuk angka yang tepat seperti yang dipasang oleh pemuda itu! Orang-orang bersorak gembira dan uang di meja bandar itu telah dikuras habis, bahkan sang bandar terpaksa menyuruh pembantunya mengambil uang dari dalam! Kini bandar judi yang gendut pendek itu menyeka keringatnya dan menggoyang-goyang kepalanya. "Aku... aku... lelah sekali... biarlah aku berhenti dulu dan... minta diganti rekan lain..." Dengan terhuyung-huyung dia lalu meninggalkan meja itu menuju ke dalam dan tak lama kemudian muncullah lima orang pria dari dalam, mengawal seorang kakek berusia enam puluh tahun yang bermuka hitam dan bertubuh jangkung. Mata kakek ini tajam bagaikan mata elang. Diam-diam Hay Hay tersenyum melihat mereka, maklum bahwa sekarang tentu muncul jagoan nomor satu dalam permainan judi itu, diikawal oleh lima orang pengawal jagoan yang pilihan pula. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan sibuk menyerahkan setumpuk uang yang banyak sekali kepada Siok Bi. "Nona manis, ini aku kembalikan uangmu berikut pembagian keuntungan untukmu!" kata Hay Hay. "Ahhh" banyak sekali, Kongcu...!" kata Siok Bi, setengah gembira namun juga khawatir. Tentu saja gadis ini gembira menerima pengembalian yang begitu banyak, puluhan kali lebih banyak dari pada uangnya sendiri sehingga untuk membawanya saja dia telah amat kewalahan. Akan tetapi, sejak pasangan pemuda itu terus menerus menang, dia sudah amat terkejut dan terheran, namun juga khawatir sekali. Kemenangan demi kemenangan itu sungguh tidak wajar sama sekali. Dia tahu betapa pandainya Si Gendut itu memainkan dadu-dadu itu dan dapat mengatur sedemikian rupa sehingga dadu-dadu itu akan menghasilkan angka seperti yang telah dia kehendaki sebelum memutarnya. Akan tetapi entah kenapa hari ini kepandaiannya seperti musnah sehingga dadu-dadu itu agaknya tidak mau menurut perintahnya lagi, melainkan menurut kepada perintah atau harapan pemuda ganteng itu! Di antara para pelayan wanita, Siok Bi bukanlah pelayan biasa, melainkan kepala pelayan dan dia dipercaya penuh oleh pimpinan mereka. Kini, melihat keadaan yang aneh itu, Siok Bi amat mengkhawatirkan keadaan Hay Hay yang telah menarik perhatiannya. Tentu akan terjadi malapetaka pada pemuda yang nasibnya amat mujur dalam perjudian itu! Melihat munculnya kakek jangkung bermuka hitam yang dikenal sebagai Kepala Bandar tempat perjudian itu, beberapa penjudi yang kegirangan akibat kemenangan-kemenangan mereka dan yang masih menghendaki kemenangannya lebih banyak, segera menyambut riuh. "Lanjutkan permainan dadu!" "Kami akan mempertaruhkan semua uang kami!" Dengan tenang Si Jangkung itu menghampiri meja, lantas menyapu wajah semua penjudi dengan matanya yang sedikit juling namun tajam luar biasa itu, dan agak lama matanya menatap wajah Hay Hay, kemudian tersenyum dan berkata, "Jangan khawatir, sobat-sobat. Teman kami tadi sudah terlalu lelah, maka aku yang akan menggantikan dia. Nah, bersiaplah dengan taruhan kalian. Dadu-dadu ini kuganti dengan yang baru. Lihat, dua dadu ini masih baru dan semua angkanya tepat dari satu sampai dengan enam!" Dia lalu memperlihatkan sepasang dadu yang dikeluarkannya dari dalam saku bajunya dan menyimpan dua buah dadu yang tadi digunakan, lalu memasukkan dadu-dadu itu ke dalam mangkok besar yang sudah dipersiapkan di situ. "Sediakan dulu uang untuk membayar uang kemenangan kami!" "Uang bandar sudah habis!" "Smbil dulu uang dari dalam. Tanpa ada uang kami tidak mau!" Hay Hay tersenyum dan memandang kepada Si Jangkung itu. "Mereka itu benar, orang berjudi harus memiliki modal dan kami tidak melihat bandar bermodal. Setidaknya harus ada beberapa puluh kali dari jumlah modal kami semua!" "Bagus! Benar sekali itu! Aku tidak mau berjudi lagi kalau bandar tidak ada uangnya!" Teriakan-teriakan itu riuh rendah dan kini semua penjudi berkumpul merubung meja dadu yang terbesar di tengah ruangan karena agaknya semua penjudi itu hendak membonceng keberuntungan Hay Hay. Di depan Hay Hay bertumpuk uang yang amat banyak, bahkan ada sebagian yang harus ditumpuk di bawah meja. Siok Bi juga kewalahan membawa uang pemberian Hay Hay, maka dia memberi tanda kepada dua wanita pelayan bawahannya untuk membawakan uang itu. Suasana menjadi tegang dan Si Jangkung muka hitam tersenyum pahit. "Jangan khawatir, sobat-sobat! Pasanglah taruhan berapa pun juga, dan kami pasti akan membayar setiap kemenangan kalian!" "Sediakan dulu uangnya!" teriak Hay Hay dan semua orang menyambutnya dengan sorak sorai. "Dengar, sobat muka hitam!" kata Hay Hay sambil tersenyum. Jantungnya kembali berdebar karena kini demikian banyaknya orang berdesakan di situ sehingga Siok Bi terhimpit dan tubuhnya yang montok dan lunak hangat itu mepet dengan tubuhnya sampai dia dapat merasakan betapa dada yang membusung itu merapat pada pundaknya karena gadis itu kini telah berdiri sedangkan dia masih duduk di atas bangku. Lengan yang halus dan putih mulus itu melingkar di sekitar pundak dan lehernya. Siok Bi kini agaknya sudah berani sekali menganggap dia sebagai kekasihnya! "Kau lihat semua uang perakku ini dan taksir, ada berapa? Jika semua ini ditukar dengan uang emas, berapa kau berani menukarnya?" Bandar itu memicingkan mata, menaksir tumpukan di atas meja dan di bawah meja. "Kami berani menukarnya dengan lima belas tail emas murni!" katanya. Tentu saja dia tahu betul bahwa nilai tumpukan uang perak itu sedikitnya ada dua puluh tail emas! "Bagus! Suruh orang mengangkatnya dan menukarnya dengan lima belas tail emas sebab sekarang aku ingin berjudi dengan taruhan emas saja agar tidak memenuhi meja!" Kembali semua orang riuh dan bising. Banyak di antara mereka yang tahu betapa pemuda itu sudah diakali dan dirugikan, akan tetapi tidak ada yang berani ribut karena bagaimana juga semua uang itu adalah hasil menang judi. Ketika bandar jangkung memberi isyarat, para pengawalnya lalu mengambil uang emas yang cukup banyak dari dalam. Lima belas tail diberikan kepada Hay Hay dan bandar itu sendiri menumpuk lima puluh tail di atas meja sebagai modal judi. Tumpukan uang perak yang dimenangkan Hay Hay diangkut pula ke atas meja di belakang bandar itu. Semua penjudi memandang dengan hati gembira sekali, membayangkan betapa semua uang itu nanti akan menjadi milik mereka. Kini bandar itu berseru, suaranya terdengar nyaring. "Silakan pasang!" Hay Hay masih diam saja dan ternyata semua penjudi juga ikut diam. Suasana menjadi sunyi sekali karena semua penjudi menunggu pemuda itu memasang nomornya, barulah mereka akan memasang dengan nomor yang sama! Suasana yang sangat tegang itu menggembirakan hati Hay Hay. Dia pergi ke tempat ini untuk mencari jejak Ang-hong-cu, akan tetapi terlibat dalam permainan judi. Kalau saja dia tidak melihat betapa bandar gendut tadi bermain curang dengan dadu-dadunya, tentu dia pun tidak akan duduk menjadi penjudi di sini. Tadinya dia hanya ingin mengganggu bandar gendut itu, akan tetapi dengan adanya Siok Bi yang cantik, maka gangguannya menjadi berlarut-larut sampai semua uang dikurasnya dari meja bandar! Tentu saja dia tidak membutuhkan banyak uang seperti itu, dan kalau dia melanjutkan permainannya itu hanya untuk menghajar para bandar judi, membantu para penjudi yang dia tahu selama ini tentu telah banyak mengalami kekalahan, dan untuk memancing agar dia bisa mendapatkan jejak Ang-hong-cu melalui perjudian itu. "Sobat, kocok dulu dadunya. Kalau sudah kau telungkupkan mangkok itu, baru aku akan memasang taruhanku. Akan tetapi, aku juga sudah lelah maka aku ingin berjudi satu kali lagi saja. Akan kupertaruhkan semua uang emasku ini untuk satu nomor!" Semua orang menahan napas. Semuanya hendak dipertaruhkan? Lima belas tail emas, berarti tumpukan emas di depan bandar itu akan tersedot hampir habis kalau pemuda itu menang! Si bandar harus membayar empat puluh lima tail emas! Mendengar tantangan yang amat berani itu, si bandar muka hitam terbelalak sedikit, akan tetapi dengan tenang dia pun mengangguk. "Baik, kuterima! Bagaimana yang lain?" "Aku pun mempertaruhkan semua uangku ini!" "Aku juga!" "Aku juga!" Semua penjudi berteriak ingjn mempertaruhkan semua uang mereka. Kini wajah bandar judi itu agak pucat. Bayangkan saja! Semua orang yang berjudi di sana mempertaruhkan seluruh uang mereka. Akan bangkrutlah apabila dia kalah, lantas bagaimana dia akan mempertanggung jawabkan kepada pemimpinnya? Dia tahu bahwa semua penjudi tentu akan mempertaruhkan uang mereka seperti pemuda itu, dengan nomor yang sama! Akan tetapi dia yakin akan kemampuannya, maka dia menekan perasaannya dan mengangguk-angguk. "Baiklah! Kawan-kawan, hitung uang mereka semua supaya lebih mudah pembayarannya nanti!" Dia pura-pura tenang saja, seperti telah siap kalau sampai kalah untuk membayar semua kekalahannya! Kini meja itu penuh dengan tumpukan uang, di antaranya ada tumpukan uang emas lima belas tail milik Hay Hay. Hebatnya, semua penjudi menaruh seluruh uang mereka di atas meja, tidak menyisakan sedikit pun dalam saku baju mereka. Kalau sampai kalah, mereka semua akan pulang dengan kantong kosong sama sekali! Sebaliknya, kalau bandar yang kalah, maka tumpukan uang emas, perak dan tembaga yang berada di situ semua akan amblas! Sesudah selesai menghitung uang taruhan dan mencatat, si jangkung muka hitam lantas berseru keras, "Dadu dikocok....!" Dan cara dia mengocok dadu memang sangat aneh, lain dari kocokan si gendut tadi. Dia memutar-mutar mangkok yang lebih besar dari pada mangkok yang digunakan rekannya tadi, memutar cepat sekali di atas kepalanya hingga terdengar bunyi berkerotokan ketika dadu-dadu itu berputaran di dalam mangkok, kemudian dia menurunkan mangkok itu dan tangan kirinya menarik tutupnya. "Brukkkk!" Mangkok jatuh menelungkup di atas meja dan meja itu pun tergetar. Diam-diam Hay Hay memperhatikan dan maklumlah dia bahwa si jangkung ini memiliki tenaga sinkang yang kuat! Dia maklum pula bahwa seperti rekannya tadi, si jangkung ini tentu menggunakan tipu muslihat dan mungkin dibantu dengan tenaga sinkang-nya untuk mengatur keluarnya nomor dadu. Maka dia pun langsung bersiap siaga, mengerahkan kekuatan sihirnya karena dia belum tahu akal apa yang akan dipergunakan orang. Tentu saja kedua telapak tangannya juga ditempelkan di meja itu untuk mengetahui melalui getaran di meja apa yang terjadi. "Silakan memasang nomor!" teriak pula bandar itu, sementara tangan kanannya masih di atas mangkok yang telungkup di depannya. Tanpa ragu-ragu lagi Hay Hay lantas mendorong lima belas tail emasnya ke atas nomor tiga! Kembali semua orang tertegun. Sungguh nomor-nomor yang sial dan jarang keluar saja yang selalu dipilih oleh pemuda itu. Akan tetapi, tanpa ragu-ragu mereka semua lalu mendorong uang masing-masing ke atas nomor tiga, mengelilingi tumpukan uang emas milik Hay Hay! Uang yang bertumpuk-tumpuk di atas meja itu semuanya dipertaruhkan kepada nomor tiga! Hay Hay tidak melihat ada perubahan pada muka si jangkung itu, akan tetapi walau pun hanya sedetik dia melihat betapa sepasang mata itu terbelalak atau mengeluarkan sinar kaget, kemudian sepasang tangannya yang diletakkan di atas meja itu dapat merasakan getaran yang datangnya dari dalam mangkok besar itu. Pendengarannya yang terlatih itu pun mendengar suara bunyi kretek-kretek dua kali. Hay Hay dapat menduga bahwa itulah alat rahasia di dalam mangkok. Pasangannya pada nomor tiga itu agaknya tepat mengenai sasaran dan dua buah dadu di bawah mangkok itu betul-betul menunjukkan angka tiga, akan tetapi alat rahasia di dalam mangkok kini telah bekerja sehingga dua buah dadu itu tentu akan membalik dan menjadi angka lain. Hal ini dapat dibacanya dari muka hitam itu, yang kini bibirnya mengandung senyum mengejek dan sepasang matanya bersinar penuh keyakinan menang. Suasana menjadi sunyi, tegang mencekam hati para penjudi. Ada yang mukanya pucat, ada yang merah, ada yang peluhnya bercucuran. Semua orang dicengkeram oleh harapan kemenangan dan dicekam rasa takut akan kekalahan. "Sobat-sobat, lihat baik-baik, mangkok ini akan kubuka. Satu... dua... tiga....!" Semua mata memandang dan penglihatan Hay Hay yang paling tajam itu sudah melihat bahwa salah satu dadu menunjukkan angka satu, tetapi dadu kedua menunjukkan angka enam! Jadi yang keluar adalah tujuh! Dia kalah! Akan tetapi, dengan getaran dua telapak tangannya, tiba-tiba saja secepat kilat sehingga tidak tampak oleh mata biasa, dadu yang menunjuk angka enam itu bergulir dan kini menunjuk angka dua! "Satu dan dua...!" "Tiga...! Kita menang!" "Kita menang! Hayo bayar taruhanku!" Suasana menjadi riuh rendah, akan tetapi Hay Hay hanya menatap dengan pandang mata tajam kepada wajah Si Jangkung. Muka yang hitam itu menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada dua buah dadu itu, kemudian dia berteriak parau. "Sobat-sobat, kalian keliru! Lihat yang betul, bukan angka tiga yang keluar!" Dengan menekan meja tiba-tiba saja dia menggetarkan sinkang sehingga biji dadu yang tadinya menunjukkan angka dua kini kembali berguling ke angka enam! Akan tetapi hanya sebentar karena sudah berguling ke angka dua! Semua penjudi memandang bengong dengan mata terbelalak heran. Kini semua orang melihat betapa dadu yang satu ini dapat bergulir-gulir, suatu saat bergulir ke angka enam, lalu bergulir lagi ke angka dua! Terjadi perang antara dua kekuatan sinkang yang digetarkan melalui telapak tangan Hay Hay dan Si Jangkung muka hitam itu. Akan tetapi, ketika untuk kesekian kalinya dadu itu bergulir ke angka enam dan Hay Hay menggulirkannya lagi ke angka dua, dia pun segera mengerahkan tenaga dan menahan sehingga betapa pun Si Jangkung berusaha dengan sinkang-nya, tetapi tetap saja dia tak mampu menggulirkan dadu itu yang tetap menunjuk angka dua. Satu dan dua! "Tigaaaa...!" Semua penjudi berseru sesudah melihat betapa dadu itu kini tidak bergerak lagi dan keduanya tetap menunjuk angka satu dan dua! Kembali orang-orang bersorak, akan tetapi tiba-tiba saja si jangkung muka hitam bangkit berdiri dan berseru, "Tidak! Ada kesalahan di sini! Kalian tadi melihat sendiri betapa dadu yang satu itu bergulir-gulir. Ini tidak benar! Pengocokan dadu harus diulang dan sekarang semua orang harus menjauhi meja!" Tentu saja ucapan ini membuat para penjudi terkejut dan marah sekali. "Wah, itu tidak adil!" "Curang sekali!" "Kami sudah menang, bayar kemenangan kami!" Dengan gerakan yang cekatan sekali tiba-tiba si jangkung muka hitam meloncat ke atas meja dan bertolak pinggang. Wajahnya kereng dan bengis sekali, sementara itu belasan tukang pukul sudah siap siaga di belakangnya sambil meraba gagang senjata. "Siapa bilang kami curang? Pernahkah rumah judi kami tidak membayar para pemenang? Kami hanya ingin mengulang pengocokan dadu sebab tadi tidak wajar. Hayo, mundur dan tidak boleh menyentuh meja! Kami telah mengambil keputusan, siapa akan menentang?" Para pengawal di belakang si muka hitam memandang beringas, sudah siap menyerang siapa saja yang berani menentang keputusan itu. Para penjudi masih bersungut-sungut penasaran dan merasa tak puas, akan tetapi tak ada yang berani rnenentang dan semua orang mundur menjauhi meja. Kini mereka semua memandang kepada Hay Hay karena pemuda inilah yang mereka harapkan, dan tanpa pemungutan suara lagi pemuda itu telah mereka anggap sebagai pemimpin mereka! Hay Hay tersenyum dan dia pun hanya menurut saja ketika lengannya ditarik oleh Siok Bi menjauhi meja. Gadis itu masih tetap merangkul pinggangnya ketika Hay Hay berkata, "Saudara sekalian, biarlah kita terima saja keputusan itu! Meski pun dikocok ulang, kalau memang sudah nasib kita untuk menang maka kita tetap akan menang!" Mendengar ucapan ini, semua orang menjadi lega kembali. Si muka hitam memandang penuh curiga. Tadi dia tahu bahwa ada orang yang main-main dan melawan sinkang-nya dan dalam pertarungan adu kekuatan itu dia telah kalah! Akan tetapi karena banyak sekali tangan yang berada di atas meja, tentu saja dia tidak tahu tangan siapa itu yang sudah menyalurkan sinkang. Namun agaknya tidak mungkin tangan pemuda aneh yang digandeng Siok Bi itu. Selain pemuda itu nampaknya biasa saja, juga Siok Bi selalu menggandeng dan merangkulnya. Gadis yang juga merupakan pembantu dari pimpinan rumah judi dan memiliki kepandaian lumayan pula itu tentu akan mengetahui apa bila pemuda itu menyalurkan sinkang-nya. cerita silat online karya kho ping hoo Si jangkung muka hitam sudah meloncat turun kembali dan setelah mengamati dua buah dadu itu, dia pun memutar atau mengocok sepasang dadu itu ke dalam mangkok. Seperti tadi, dia menelungkupkan mangkok di atas meja dan berteriak, "Apakah nomor pasangan tidak dirubah?" "Tidak, tetap nomor tiga!" kata Hay Hay. "Kami juga nomor tiga!" "Nomor tiga...!" Semua orang serempak berteriak, walau pun hati mereka khawatir sekali. Bagaimana mungkin dua kali berturut akan keluar nomor sial itu? "Jangan gelisah, saudara-saudara! Yang keluar pasti nomor tiga. Nomor tiga...!" seru Hay Hay dan seruan ini mengandung kekuatan sihir yang besar hingga seketika semua orang di ruangan itu terpengaruh tanpa mereka sadari. "Satu... dua... tiga...!" teriak si jangkung muka hitam dan begitu mangkok dibuka, kembali dia terbelalak dan mukanya berubah pucat karena benar saja seperti yang dikatakan oleh pemuda itu, dadu-dadu itu menunjuk angka satu dan dua. "Tigaaa...! Nomor tiga, kita menang!" teriak orang-orang itu dengan gembira. "Nanti dulu, kalian salah lihat! Lihat baik-baik!" teriak si muka hitam dan kini dia menekan meja. Hanya kedua tangannya saja yang menekan meja, tidak ada tangan lain maka dia merasa yakin akan mampu menggulirkan dadu tanpa ada yang menghalanginya. Benar saja, begitu dia menggetarkan telapak tangannya, sebuah dadu yang nomor satu bergulir ke angka tiga. Akan tetapi betapa heran, terkejut dan bingungnya ketika dadu itu bergulir, bukan angka tiga yang nampak, melainkan angka satu pula! Jadi tetap satu dan dua! Kembali dia mengerahkan sinkang dan dadu itu bergulir-gulir, namun ke permukaan mana pun dadu itu bergulir, tetap angka satu seolah-olah ke enam permukaannya semua berangka satu! Si muka hitam terheran dan meneliti dadu itu dari samping. Angka-angkanya masih tetap biasa, dari satu sampai enam! Akan tetapi mengapa kalau berguIir, yang nampak angka satu Iagi? Sementara itu, para penjudi bersorak-sorak gembira. Mereka pun melihat dadu itu bergulir-gulir, namun tetap angka satu sehingga tetap saja angka itu menjadi satu dan dua. Kini si muka hitam terbelalak dan mukanya penuh dengan keringat. Celaka, pikirnya. Dia sudah membikin bangkrut rumah judi, maka tentu dia harus bertanggung jawab terhadap pemimpinnya. Dia merasa ngeri dan seperti tadi, tiba-tiba saja dia telah meloncat ke atas meja dan tangannya sudah memegang sebatang pedang telanjang! "Tidak ada yang menang atau pun kalah!" bentaknya. "Ada orang membikin kacau di sini! Rumah judi ditutup dan kalian boleh membawa pulang uang masing-masing!" "Tapi kami menang! Harus dibayar dulu...!" "Hendak dibayar dengan ini?" Si muka hitam mengacungkan pedangnya. "Kami tidak mau membayar sebab permainan judi tadi tidak wajar dan ada kecurangan! Hayo kalian semua keluar, atau kami akan menggunakan kekerasan!" Pada waktu semua orang memandang, belasan orang tukang pukul itu kini sudah menghunus senjata tajam masing-masing dan sikap mereka sangat mengancam. Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dan ketika semua orang memandang, ternyata yang tertawa itu adalah Hay Hay. "Ha-ha-ha-ha, maling teriak maling, orang curang teriak orang lain yang curang, alangkah palsunya hidup kalian sebagai penyelenggara perjudian. Saudara sekalian, mundurlah, biar aku yang menghadapi manusia-manusia jahat ini!" Semua tamu mundur dan mepet pada dinding, dan dengan lembut Hay Hay mendorong Siok Bi untuk melepaskan gandengannya. Siok Bi bukanlah wanita sembarangan dan dia mempunyai ilmu silat yang cukup hebat sehingga dipercaya sebagai kepala para pelayan wanita. Akan tetapi ketika didorong, dia merasa betapa ada kekuatan yang amat dahsyat sehingga betapa pun dia sudah mempertahankan, tetap saja dia terdorong dan terhuyung sehingga terpaksa dia pun mundur sampai ke dinding. Hay Hay menjulurkan tangannya, lantas menyambar mangkok besar di atas meja dadu. "Saudara sekalian, lihatlah betapa curang mereka ini!" Dia menelentangkan mangkok itu dan nampaklah oleh semua orang betapa pada sebelah atas mangkok itu terpasang alat rahasia dan nampak pula ada sepasang dadu di sana. Agaknya, kalau sepasang dadu di atas meja itu hendak diganti sehingga nomornya keluar menurut kehendak bandar, maka alat di dalam mangkok itu menukar dadu di atas meja dengan dadu yang berada di dalam mangkok. Kalau alat rahasia ini gagal, masih ada kekuatan sinkang bandarnya yang dapat membuat dadu bergulir. Akan tetapi semua itu, alat dan kekuatan sinkang si bandar, sekali ini tidak berhasil karena di halangi oleh Hay Hay yang menggunakan kekuatan sinkang kemudian menggunakan sihir. Melihat ini, tentu saja para penjudi itu menjadi terkejut dan marah bukan main. "Nah, lihat betapa bodohnya berjudi di rumah judi. Hampir semua rumah judi tentu mempergunakan tipu muslihat dan mana mungkin kalian menang? Yang sengaja diberi kemenangan untuk menarik para tamu biasanya adalah anak buah mereka sendiri. Hendaknya kenyataan ini akan membuka mata saudara sekalian sehingga tidak mau lagi menjadi korban perjudian, menghentikan kebiasaan berjudi yang buruk!" Mendengar ucapan Hay Hay itu, dipimpin oleh si muka hitam, belasan orang pengawal itu sudah mengepung Hay Hay. Bahkan dari dalam muncul pula bandar pendek gendut itu dan beberapa orang lain sehingga jumlah mereka kini ada dua puluh orang! Semua orang memegang senjata tajam, ada pun sikap mereka amat bengis. Semua tamu memandang dengan hati tegang dan penuh kekhawatiran. Tiba-tiba nampak Siok Bi, wanita cantik yang tadi menemani Hay Hay, menyelinap masuk ke dalam lingkaran dan meloncat ke dekat Hay Hay. Wajahnya agak pucat dan matanya bersinar-sinar. "Tidak! Kalian tidak boleh menyakiti Hay Kongcu! Dia tidak bersalah, dan dia melakukan perjudian juga hanya iseng-iseng saja! Kongcu, kuharap engkau suka menyudahi urusan ini dan membawa pergi uangmu dari tempat ini. Tidak ada gunanya bagimu dan tidak ada untungnya kalau memusuhi rumah perjudian ini, apa lagi mengingat bahwa Kongcu bukan orang Shu-lu. Sekali lagi kuanjurkan agar kong-cu pergi dari sini dengan aman. Aku yang menanggung bahwa Kongcu dapat pergi dengan aman dan tidak diganggu!" Aneh sekali. Dua puluh orang lelaki bengis itu agaknya tidak ada yang berani menentang ucapan Siok Bi, hanya memandang kepada Hay Hay seakan hendak melihat bagaimana tanggapan Hay Hay terhadap nasehat Siok Bi itu. Hay Hay tersenyum dan menjulurkan tangannya, membelai dagu yang halus itu. "Siok Bi, engkau manis sekali. Terima kasih atas usahamu mengamankan aku. Akan tetapi, tidak. Mereka berbuat curang dan mereka harus membayar kekalahan mereka kepada semua penjudi di sini!" "Ahh, kau... kau berani... menentang mereka semua itu?" tanya Siok Bi, membelalakkan mata, tidak percaya. Ia bisa menduga bahwa pemuda yang amat menarik hatinya ini tentu memliki kepandaian. Akan tetapi betapa pun lihainya, kalau harus melawan dua puluh orang bersenjata yang marah itu, apa lagi dia tahu betapa lihainya si muka hitam dan si pendek gendut, pemuda ini tentu akan celaka. Hay Hay tertawa. "Mengapa tidak berani? Mereka itu hanya sekawanan tikus yang tidak tahu mana kawan mana lawan!" "Ehh? Apa maksudmu, Kongcu?" "Nanti engkau akan melihat sendiri. Minggirlah, Siok Bi yang manis, dan terima kasih atas kebaikanmu." Mendengar percakapan itu, dua puluh orang yang mengepung Hay Hay menjadi marah bukan main. Mereka dianggap sebagai sekawanan tikus oleh pemuda itu! Begitu Siok Bi yang menggeleng kepala dengan penuh kekhawatiran itu minggir dan kembali ke dinding, si muka hitam lalu berteriak, "Hajar dan bunuh manusia sombong ini!" Dia sendiri segera menyerang dengan pedangnya, mengirim tusukan ke arah dada Hay Hay. Pemuda ini dengan tenang saja miringkan tubuhnya dan pada saat itu pula bandar ke dua yang bertubuh pendek gendut sudah ikut menyerangnya pula dari arah belakang, membacokkan goloknya ke arah leher. Hay Hay juga mengelak dengan lompatan ke depan, kemudian dia membalik dan kedua tangannya menyambar dengan kecepatan kilat. Si jangkung muka hitam serta si gendut pendek yang merupakan dua orang paling lihai di antara dua puluh orang itu, tidak tahu apa yang terjadi atas diri mereka akan tetapi tiba-tiba saja kepala mereka terasa seperti disambar petir dan mereka pun terpelanting roboh. Kiranya petir itu adalah dua buah tangan Hay Hay yang tadi menyambar cepat sekali dan menampar mereka. Ketika dua orang itu dapat bangkit kembali, Hay Hay sudah meloncat ke atas meja dadu yang lebar itu lantas bertolak pinggang. Dia tersenyum dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong! "Kalian ini sekumpulan tikus! Musuh berada di sekelilingmu, kalian tidak saling serang mau tunggu apa lagi? Hayo cepat serang musuh di sekeliling kalian!" Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya ke arah mereka dan terjadilah peristiwa yang amat luar biasa. Si jangkung muka hitam dan si gendut pendek kini sudah menggerakkan senjata masing-masing dan saling serang! Semua anak buah mereka juga saling serang sehingga terjadilah pertempuran yang kacau-balau, seperti segerombolan tikus yang tiba-tiba menjadi gila semua lantas saling serang, tidak lagi mengenal mana kawan dan mana lawan! Tentu saja para tamu memandang terbelalak penuh keheranan. Pemuda yang mereka anggap sebagai pemimpin itu enak-enak saja berdiri di atas meja judi, bertolak pinggang sambil tersenyum-senyum, sedangkan dua puluh orang tukang pukul sudah saling serang tak karuan. Karena mereka semua menggunakan senjata, maka sebentar saja sudah ada beberapa orang yang roboh mandi darah terkena bacokan. Siok Bi juga terbelalak penuh keheranan. Akan tetapi, melihat betapa telah ada beberapa orang yang roboh mandi darah, dia lalu meloncat ke atas meja di mana Hay Hay berdiri. Semua orang terkejut dan kagum. Meja itu agak jauh dan dia harus melompat di antara orang-orang yang sedang berkelahi dengan senjata tajam, namun Siok Bi dapat meloncat ke atas meja dan tiba di depan Hay Hay tanpa mengguncangkan meja itu! Hay Hay yang sudah menduga bahwa Siok Bi memiliki kepandaian, tidak merasa heran dan menyambut gadis itu dengan senyuman. "Kau mau membantu mereka?" tanyanya. Siok Bi memegang lengan pemuda itu, "Tidak, Kongcu, tidak sama sekali! Aku bahkan gembira bahwa engkau yang mampu mempermainkan dan menghajar orang-orang kejam itu. Akan tetapi hentikanlah. Aku tak ingin melihat mereka tewas dan aku pun mempunyai tanggung jawab di sini. Oleh karena itu hentikanlah, kasihanilah aku sebab aku tentu akan mendapat marah dari pimpinan kalau berdiam diri saja..." Hay Hay mengangguk, lalu menghadapi mereka yang sedang berkelahi dan dia bertepuk tangan! Tepukan tangannya sangat nyaring, disusul teriakannya yang berpengaruh. "Heiii, berhenti semua! Apakah kalian sudah gila, saling serang sendiri! Hayo berhenti berkelahi kataku!" Tiba-tiba saja perkelahian berhenti dan semua orang itu terheran-heran melihat betapa mereka tadi sudah saling serang di antara kawan sendiri! Ada delapan orang yang terluka karena bacokan senjata kawan sendiri, bahkan si muka hitam terpincang-pincang dengan paha terluka, dan si gendut pendek juga meringis karena bahunya robek akibat sabetan pedang. Kini mereka semua memandang kepada Hay Hay yang berdiri di atas meja, ada pun Siok Bi sudah cepat meloncat turun. "Nah, bagaimana sekarang? Apakah kalian masih hendak berkelahi dengan aku? Ataukah kalian mau memenuhi kewajiban kalian, membayar semua kemenangan kami?" Siok Bi menghampiri si muka hitam dan si gendut pendek, lantas berbisik. "Sebaiknya kita penuhi saja permintaannya. Kalian bukanlah lawan dia, jika dilanjutkan maka kita semua akan celaka!" Agaknya semua anak buah rumah judi itu kini sudah merasa gentar dan dengan pimpinan si muka hitam, mereka lalu membayar semua kemenangan para penjudi yang menerima uang kemenangan mereka dengan muka gembira. Mereka segera meninggalkan tempat itu dan berjanji di dalam hati sendiri untuk tidak kembali lagi. Seluruh anak buah rumah judi itu memandang dengan penuh rasa gentar ketika Hay Hay membungkus semua uang emasnya yang kini berjumlah enam puluh tail emas itu dengan kain yang lebar, kemudian memanggul buntalan emas itu di atas pundaknya seperti benda yang biasa saja. Padahal buntalan itu merupakan harta yang cukup berat. Siok Bi memandang dengan sinar mata penuh kekaguman. Selama ini belum pernah dia berjumpa dengan seorang pemuda seperti itu. Memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan sakti, juga tampan gagah dan sangat pandai mengeluarkan kata-kata indah yang menyenangkan hati, merayu tanpa bersikap kurang ajar! Wanita muda ini merasa betapa baru pertama kali ini dia benar-benar tertarik kepada seorang pria, bahkan diam-diam dia mengaku telah jatuh cinta! Sebelum meninggalkan tempat judi itu Hay Hay menoleh kepada rnereka dan memandang kepada Siok Bi sambil tersenyum. "Siok Bi, sekali lagi terima kasih kepadamu dan tolong beri tahukan kepada semua orang bahwa aku sedang mencari seorang tokoh kang-ouw yang berjuluk Ang-hong-cu. Lihat, semua emas pada pundakku ini akan kuberikan kepada siapa saja yang bisa menunjukkan di mana adanya Ang-hong-cu itu. Nah, akan kutunggu beritamu sampai besok siang di kamarku. Aku menginap di rumah penginapan Hok-lai-koan." Setelah berkata demikian, dia segera melangkah pergi. Setelah Hay Hay pergi, barulah semua anak buah rumah judi itu menjadi gempar. Mereka cepat mengobati teman-teman yang terluka dan mereka semua bingung bagaimana harus menghadapi pemimpin mereka yang tentu akan menjadi marah sekali. "Nona Siok Bi, sebaiknya engkaulah yang menyampaikan peristiwa ini kepada Coa Wan-gwe!" kata si muka hitam dengan muka membayangkan perasaan takut. "Tenanglah, aku melihat sendiri bahwa kalian tak mampu berbuat apa-apa, tidak berdaya menghadapi Hay Kongcu yang sakti itu. Tentu akan kuceritakan kepadanya, akan tetapi tidak sekarang. Sekarang ini dia tidak boleh diganggu karena dia sedang beristirahat, dan kabarnya malah hendak bermalam di rumah penginapan. Biar kuselidiki... ehh, tadi kalian telah mendengar sendiri. Pemuda itu mencari Ang-hong-cu. Adakah di antara kalian yang mengenal tokoh kang-ouw yang berjuluk Ang-hong-cu itu?" Semua orang mengerutkan alis dan mengingat-ingat. Kemudian, si jangkung muka hitam berkata, "Nama itu telah lama kudengar, akan tetapi belum pernah aku melihat orangnya. Bahkan sepanjang yang kudengar, tidak ada orang kang-ouw yang pernah melihatnya. Juga namanya sudah lama tak terdengar lagi di dunia kang-ouw, melainkan puluhan tahun yang lalu. Tapi, nona, siapakah sebetulnya pemuda itu? Kepandaiannya demikian hebat... dan... hiihhh, bagaimana tadi kami dapat saling serang sendiri? Ilmu apakah yang tadi dia gunakan itu?" Si muka hitam itu bergidik, juga teman-temannya semua merasa takut dan jeri. Siok Bi menggeleng kepala. "Jelas bahwa ilmu silatnya tinggi, akan tetapi aku sendiri tidak mengerti kenapa tadi kalian menurut saja pada waktu dia menyuruh kalian saling serang sendiri." "Tentu dia tadi mempergunakan ilmu sihir!" kata si pendek gendut. "Aihh, kalau disuruh melawan orang yang pandai sihir, lebih baik aku angkat tangan saja !" Tak ada hentinya para anak buah itu membicarakan pemuda yang sudah mendatangkan kekacauan serta membuat mereka terpaksa menutup rumah judi karena bangkrut! Akan tetapi hati mereka menjadi lega setelah Siok Bi, gadis kepala pelayan yang menjadi orang kepercayaan majikan atau pemimpin mereka, menyanggupi untuk melaporkan peristiwa itu kepada majikan mereka. *************** Walau pun peristiwa di po-koan (rumah judi) itu segera diketahui oleh seluruh penduduk kota Shu-lu karena para penjudi itu ramai membicarakannya, namun tidak ada yang tahu bahwa pendekar muda yang mempunyai kesaktian itu tinggal di rumah penginapan Hok-lai-koan. Hay Hay hanya memberi tahu kepada Siok Bi dan para tukang pukul yang kini telah kehilangan lagak, bahkan tak berani keluar dari rumah judi itu, takut kalau dijadikan buah tertawaan orang-orang. Dengan seenaknya Hay Hay kembali ke rumah penginapan membawa buntalan emas yang banyak itu. Pada malam itu, kurang lebih jam delapan malam, seorang gadis cantik memasuki rumah penginapan itu. Para petugas yang berjaga di rumah penginapan itu agaknya mengenal baik gadis ini sehingga tidak ada yang berani bersikap kurang ajar, bahkan mereka cepat menyambutnya dengan sikap hormat dan bertanya apa keperluan gadis itu malam-malam berkunjung ke hotel Hok-lai-koan. Semua petugas di situ mengenal dara ini sebagai orang kepercayaan Coa Wan-gwe, bahkan tahu bahwa gadis ini pandai ilmu silat! "Apakah kedatangan Nona ini ada hubungannya dengan pesanan kamar Coa Wan-gwe? Beliau belum datang..." "Tidak, aku hendak berkunjung kepada seorang tamu. Sudahlah..., kalian tidak perlu tahu urusanku!" katanya dan dia pun terus masuk ke dalam. Para petugas itu tak berani mengikutinya dan Siok Bi, gadis itu, terus menuju ke ruangan belakang. Orang-orangnya sudah melakukan penyelidikan, maka dia tahu di mana kamar yang disewa Hay Hay, yaitu kamar nomor tujuh di belakang. Siok Bi membawa sebuah buntalan yang semenjak tadi dipegangnya dengan tangan kiri dan kini dia mengetuk daun pintu kamar nomor tujuh. "Tuk-tuk-tuk...!" Sunyi sejenak, lalu terdengar suara Hay Hay dari dalam. "Ya, siapa di luar?" Mendengar suara yang ramah gembira ini, Siok Bi lantas tersenyum girang. Ia rnenyentuh rambutnya dengan tangan kanan untuk melihat apakah letak rambutnya sudah beres, lalu mengebutkan ujung bajunya dan baru menjawab dengan suara merdunya. "Hay Kongcu, aku Siok Bi yang datang berkunjung." Daun pintu terbuka dan Hay Hay berdiri di ambang pintu, memandang gadis itu dengan senyum dan pandang mata kagum. " Aihh, engkau semakin tambah manis dan jelita saja, Siok Bi!" Wajah yang lembut itu menjadi kemerahan lantas dia pun melangkah masuk kamar tanpa rikuh lagi. "Hemmm, engkau murah sekali dengan pujianmu, Kongcu. Wanita bisa mabok oleh rayuanmu!" Hay Hay juga masuk kamar tanpa menutup daun pintu. Hal ini nampak benar oleh Siok Bi dan kembali dia semakin kagum. Pemuda ini benar-benar berbeda dengan para pria lain yang tentu akan cepat-cepat menutupkan daun pintu seperti seekor harimau yang melihat seekor kambing memasuki kandangnya! "Siapa memuji dan merayu? Aku berbicara sebenarnya saja, Siok Bi. Kalau engkau tidak percaya bahwa engkau jelita dan manis, coba kau bercermin!" Siok Bi tersenyum manis. "Tidak usah kau suruh. Sebagai seorang wanita normal, setiap hari aku pasti bercermin, Kongcu, sedikitnya dua tiga kali atau malah lebih akan tetapi tak pernah aku melihat diriku seperti yang kau puji-puji. Sungguh engkau baik sekali, Kongcu, dan selama hidupku belum pernah aku bertemu seorang pemuda sehebat Kongcu..." "Wah-wah, siapa kini yang memuji-muji? Siok Bi, sebenarnya apa maksud kunjunganmu ini? Apakah ada hubungannya dengan berita tentang Ang-hong-cu?" Siok Bi menoleh ke arah pintu. "Kongcu, tidakkah sebaiknya kalau daun pintu kamar itu ditutup dulu?" "Ehh? Engkau tidak khawatir, Siok Bi?" "Apa yang harus kukhawatirkan?" "Kalau-kalau aku melakukan hal-hal yang tidak baik, atau kalau sampai ada orang lain melihat engkau berada di sini dan..." "Aku tidak peduli dengan pendapat orang lain, Kongcu. Dan tentang kemungkinan engkau melakukan hal-hal yang kau maksudkan itu, aku... aku bahkan akan merasa berbahagia sekali kalau kau sudi...." Mendengar ini, jantung di dalam dada Hay Hay berdebar keras. Dia tersenyum kemudian menutupkan daun pintu, akan tetapi berkali-kali mengingatkan diri sendiri bahwa dia tidak boleh terjatuh dalam rayuan gadis ini, seorang gadis pelayan rumah judi yang nampaknya memiliki kedudukan cukup terpandang di perkumpulan itu.Tentu bukan seorang perawan yang masih hijau, pikirnya, walau pun mungkin juga bukan seorang wanita penghibur atau wanita pelacur, melihat sikapnya yang lembut walau pun cukup berani. Akan tetapi baru saja dia mau menutup daun pintu dan membalik, tiba-tiba saja dua buah lengan yang lembut itu telah merangkulnya dan gadis itu telah menciumnya dengan penuh rasa kagum dan mesra sampai Hay Hay gelagapan. Akan tetapi kemesraan itu langsung membakar hatinya sehingga dia pun membalas dengan penuh perasaan. Ketika api gairah itu terasa membakar, Hay Hay cepat melepaskan rangkulannya. "Cukup, Siok Bi. Duduklah dan cetitakan apa maksudmu berkunjung ini!" Kalau tadi Siok Bi hampir terlena di dalam rangkulan itu, tenggelam ke dalam kemesraan karena baru sekali inilah dia berangkulan dan berciuman dengan seorang laki-laki dengan suka rela dan sepenuh perasaan cinta dari hatinya, kini dia pun sadar dan terkejut setelah mendengar suara yang penuh wibawa itu. Dengan dua kaki agak gemetar dan tubuh masih panas dingin Siok Bi menjatuhkan diri di atas pembaringan, napasnya agak terengah. "Aih, Hay Kongcu.... Belum.... belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan seorang pria seperti Kongcu yang sungguh seorang jantan sejati! Kedatanganku ini membawa banyak urusan, Kongcu. Pertama, aku hendak mengembalikan ini." Dia membuka buntalan dan ternyata itu adalah caping milik Hay Hay yang tadi tertinggal di rumah judi. Hay Hay menerima caping itu sambil tertawa. "Ha-ha-ha-ha, terima kasih. Ini adalah sahabatku yang setia dalam perjalanan selama ini." Dia menerima caping itu dan meletakkannya di atas meja. "Urusan ke dua adalah mengenai pesanmu agar aku menyelidiki tentang Ang-hong-cu itu, Kongcu. Hal ini sudah kutanyakan kepada semua orang. Memang ada juga yang pernah mendengar akan nama Ang-hong-cu, akan tetapi tokoh itu terkenal beberapa puluh tahun yang lalu, setidaknya belasan tahun yang lalu dan selama ini namanya tak terdengar lagi. Bahkan belum pernah ada orang yang pernah melihat wajahnya. Akan tetapi, dari seorang pembantu yang baru saja pulang dari kota raja, aku mendengar bahwa di kota raja ada seorang yang membual bahwa dia adalah seorang keturunan Ang-hong-cu." "Ahhh...! Siapakah orang itu? Siapa namanya dan di mana tinggalnya?" "Aku pun telah bertanya akan hal itu. Kebetulan sekali pembantu baru itu mengetahuinya. Akan tetapi dia tidak tahu namanya, hanya mengenalnya sebagai Tang-ciangkun (perwira Tang), seorang perwira yang bekerja sebagai pasukan pengawal istana " "She Tang ?" Hay Hay bertanya dan jantungnya berdebar kencang. "Benar, Kongcu. Akan tetapi orang itu hanya mendengar bahwa Tang-ciangkun sering kali membual di luaran bahwa dia adalah keturunan Ang-hong-cu. Itu saja, benar atau tidak, tak ada yang mengetahuinya." "Bagus, keterangan ini sudah cukup, Siok Bi. Besok aku akan segera pergi ke kota raja untuk menyelidiki orang she Tang yang menjadi perwira pasukan pengawal di istana itu. Beritamu ini sungguh cukup penting dan amat berharga bagiku. Apakah masih ada urusan lain lagi?" "Ada, Kongcu. Mengenai dirimu..." dan tiba-tiba saja Siok Bi menangis. Hay Hay menatap tajam dan dia mendapat kenyataan bahwa tangis ini bukan dibuat-buat, bukan sandiwara, melainkan tangis karena duka. "Tenanglah, Siok Bi. Apakah yang kau susahkan? Sejak pertemuan pertama secara diam-diam aku sudah merasa heran mengapa seorang gadis seperti engkau sampai terperosok menjadi seorang pelayan rumah judi..." Mendengar ucapan itu, Siok Bi menangis semakin sedih, bahkan kemudian menjatuhkan diri menelungkup di atas pembaringan dan terisak-isak. Hay Hay merasa kasihan sekali. Dia duduk di tepi pembaringan dan menekan pundak gadis itu, mengelus rambutnya. "Tenangkan hatimu dan bicaralah, aku akan menolongmu sedapatku jika memang engkau membutuhkan pertolongan." Gadis itu bangkit, lantas dengan muka basah air mata dia memandang kepada Hay Hay. "Be... benarkah, Kongcu...? Benarkah engkau sudi menolongku...? Sudi mengangkat aku dari lumpur kehinaan ini...?" Hay Hay tersenyum, lantas menggunakan jari-jari tangannya mengusap air mata dari pipi yang kini ditinggalkan bedak akan tetapi ternyata kulitnya memang putih mulus dan halus itu. Dia mengangguk. "Tentu saja, Siok Bi." "Ah, Kongcu....!" Siok Bi menubruk, merangkul dan menangis di dada Hay Hay. Jantung di dalam dada itu kembali berdebar keras, tangannya balas mendekap akan tetapi Hay Hay dapat bertahan untuk tidak tergelincir ke dalam jurang birahi. "Tenanglah, nah, kini duduklah yang baik dan berceritalah," katanya dan dia pun bangkit berdiri, lalu pindah duduk di atas kursi, baju di bagian dadanya basah oleh air mata ketika gadis itu tadi menangis di dadanya. Siok Bi menyusuti air matanya dengan sehelai sapu tangan yang sudah menjadi basah. Ia cepat menenangkan dirinya dengan memejamkan mata, dan kembali Hay Hay mendapat kenyataan bahwa gadis cantik ini memang pernah mempelajari ilmu silat, juga cara untuk bersemedhi dan memperkuat batin. Dia hanya memandang sambil tersenyum. Tidak lama kemudian Siok Bi membuka matanya dan kini pandang matanya terang, tidak layu seperti tadi. Ia menarik napas panjang, "Maafkan kelakuanku tadi, Kongcu. Bagi Kongcu tentu sikapku tadi bukanlah sikap seorang gadis yang sopan dan bersusila. Memang aku sudah menjadi seorang gadis yang tak tahu tahu malu, Kongcu, terseret oleh keadaan diriku," Siok Bi lalu menceritakan riwayatnya dengan singkat. Pada waktu dia berusia tiga belas tahun, ayahnya yang sudah menduda menjadi gila judi dan habis-habisan sehingga akhirnya dia dijual oleh ayahnya kepada Hartawan Coa yang merupakan orang terkaya di Shu-lu, juga menjadi kepala dari golongan hitam di daerah itu. Ternyata Hartawan Coa suka kepadanya, karena selain cantik Siok Bi juga amat cerdas. Gadis remaja ini lalu diperlakukan dengan sangat baik, bahkan dilatih pula dengan segala macam kepandaian, termasuk ilmu-ilmu silat tinggi. Ketika dia telah dewasa, dia terpaksa melayani Hartawan Coa yang mengambilnya sebagai seorang di antara para selirnya yang amat banyak. Mulai saat itu, selain menjadi selir Siok Bi juga menjadi orang kepercayaan dan menjadi kepala para pelayan yang berada di rumah judi itu. "Nah, demikianlah riwayatku, Kongcu. Aku hidup bergelimang kehinaan, dan hatiku selalu merana semenjak aku dijual oleh ayah kepada Coa Wan-gwe. Tetapi ayah pun menderita karena merasa menyesal dan dia meninggal dunia karena penyesalannya pada saat aku dipaksa menjadi selir Coa Wan-gwe." Hay Hay mengangguk-angguk. Betapa banyak gadis-gadis keluarga miskin yang bernasib seperti itu, terutama yang berwajah cantik manis seperti Siok Bi. Banyak penggoda yang datang, berupa hartawan-hartawan yang haus akan bunga cantik yang baru mekar, yang menggunakan uang mereka untuk membeli gadis-gadis itu. Masih baik nasib gadis cantik miskin yang mempunyai orang tua yang mempunyai harga diri. Akan tetapi, sungguh celaka kalau orang tuanya mata duitan. Gadis itu akan menjadi laksana barang dagangan, dijual kepada hartawan untuk menjadi alat pemuas nafsunya. Terlampau banyak keluarga yang tidak menghargai anak perempuan, dianggapnya anak perempuan hanya menjadi beban orang tua saja. Pikiran yang sungguh jahat! "Lalu apa yang dapat kulakukan untukmu, Siok Bi? Biar pun aku merasa sangat kasihan mendengar nasibmu, akan tetapi apa yang dapat kulakukan?" "Tolonglah aku, Kongcu. Tolonglah aku supaya aku bisa terbebas dari cengkeraman Coa Wan-gwe...," gadis itu memohon. "Hemm, kalau engkau memang tidak suka lagi menjadi selir dan pembantu hartawan Coa itu, kenapa engkau tidak melarikan diri saja? Engkau bukan seorang wanita yang lemah, Siok Bi, dan kulihat engkau mendapat kebebasan bergerak. Dengan mudah sekali engkau akan dapat melarikan diri meninggalkan kota Shu-lu ini ke tempat jauh!" Gadis itu menggelengkan kepala. "Tidak mungkin, Kongcu. Ahhh, engkau tidak tahu akan kekuasaannya. Dia memiliki banyak tukang pukul dan aku tentu akan dapat ditangkapnya dengan cepat, kemudian menerima hukuman yang amat kejam. Tidak, Kongcu. Melarikan diri bukanlah jalan yang baik." "Kalau begitu, katakan saja terus terus terang kepadanya bahwa engkau ingin bebas dan hidup sendiri." Gadis ini menundukkan mukanya dan menarik napas panjang. "Pernah kukatakan hal itu kepadanya tetapi apa akibatnya? Aku dihukum cambuk sepuluh kali dan dia mengatakan bahwa aku telah menjadi miliknya karena sudah dibeli dari mendiang ayahku. Kalau aku ingin bebas, maka aku harus menebus diriku yang katanya kini harganya sudah menjadi lima puluh tail emas!" "Wah, kenapa demikian banyak? Apakah dulu ayahmu menjualmu dengan harga seperti itu?" Siok Bi menggeleng. "Hanya beberapa tail emas, tetapi dia memperhitungkan bunganya yang tinggi selama lima tahun ini...." Hay Hay mengerutkan alisnya dan melirik ke arah buntalan uang emasnya. Uang itu lebih dari cukup untuk menebus diri Siok Bi! "Siok Bi, kalau engkau sudah berhasil bebas dari Hartawan Coa, lantas ke mana engkau hendak pergi? Bukankah ayahmu telah meninggal dunia? Apakah engkau masih memiliki keluarga lain?" Siok Bi kembali menggeleng kepalanya. "Hanya seorang paman di kota raja, akan tetapi dia tentu tidak sudi menerima aku yang sudah bergelimang lumpur. Tetapi... ada seorang pemuda...," gadis itu berhenti sejenak dan matanya memandang kepada Hay Hay dengan penuh duka. Hay Hay tersenyum. "Aha! Ternyata engkau sudah mempunyai pillhan seorang kekasih? Bagus sekali kalau begitu!" Siok Bi nampak tersipu-sipu. "Bukan begitu, Kongcu. Sebenarnya ada seorang pemuda yang dahulu suka berjudi. Dia sebetulnya seorang pemuda yang baik dan dia.... dia amat mencintaku. Ketika aku memberi nasehat agar dia berhenti berjudi, dia pun mau menurut, berhenti tidak pernah berjudi lagi dan kini dia bekerja, berdagang kecil-kecilan. Dia sangat mencintaku dan tentu akan menerimaku sebagai calon isterinya dengan hati bahagia..." "Dan engkau tentu juga mencintanya, bukan?" "Sayang... sayang dia bukan engkau, Kongcu....! Ahh, kenapa aku harus mengharapkan yang bukan-bukan? Aku kasihan dan suka padanya, akan tetapi terus terang saja, tidak mencintanya. Tetapi bagaimana pun juga hidupku akan lebih terhormat dan terjamin kalau dapat menjadi isterinya." Mendengar pengakuan yang jujur itu, Hay Hay merasa terharu sekali. Gadis ini jatuh cinta kepadanya! Gadis ini tersesat ke jalan hitam bukan atas kehendaknya, melainkan karena terpaksa, dan sekarang dia berusaha untuk kembali ke jalan yang bersih. Agaknya hanya dialah yang mampu menolongnya, dengan cara menebusnya. "Baiklah, Siok Bi. Kemenangkanku di meja judi itu cukup untuk menebus dirimu. Aku akan menemui Coa Wan-gwe dan aku akan menebus dirimu dengan lima puluh tail emas!" "Hay Kongcu...!" Siok Bi menjerit kecil kemudian menubruk pemuda itu dengan hati penuh kebahagiaan sehingga keduanya berguling ke atas pembaringan. Siok Bi merangkul dan mencium, penuh perasaan terima kasih dan penuh kepasrahan diri. "Kongcu...." bisiknya di antara ciumannya, "sampai mati aku tak akan mampu membalas budimu... maka... hanya tubuhku inilah yang kumiliki, hendak kuserahkan padamu untuk membalas budi dengan segala keikhlasan...! Hay Kongcu... aku kagum kepadamu, aku cinta padamu...." Dara itu merintih ketika Hay Hay dengan halus mendorongnya, lantas pemuda itu bangkit duduk. Tadinya dia pun terseret gelombang nafsu sehingga membalas ciuman dan belaian gadis itu, namun kesadarannya membuat dia melihat betapa buruknya jika dia lanjutkan. Seolah-olah dia menolong dengan pamrih imbalan yang begitu rendah! Dia bukan hendak membeli tubuh Siok Bi, melainkan kebebasannya! "Siok Bi, sadarlah! Aku kagum dan suka pula padamu, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku lalu ingin memperoleh imbalan darimu. Ingat, engkau telah bersiap-siap untuk menempuh jalan bersih bersama pemuda yang mencintamu. Maka sejak saat ini engkau harus menahan semua perasaanmu, dan harus pula menjadi seorang calon isteri yang setia! Kalau begitu, barulah engkau dapat mengharapkan akan membentuk rumah tangga bahagia dengan pemuda itu." Wajah gadis itu menjadi merah dan dia pun segera meloncat turun dari atas pembaringan, membereskan pakaiannya kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hay Hay. "Kongcu, aku menghaturkan banyak terima kasih, juga mohon maaf atas kelancanganku tadi." Gadis itu semakin kagum, akan tetapi juga jeri karena kini dia merasa bahwa pemuda ini bukanlah manusia biasa! Tidak mungkin ada laki-laki, apa lagi masih muda, yang mampu bertahan seperti itu, padahal keduanya sudah saling peluk dan saling berciuman di atas pembaringan dalam sebuah kamar! Padahal dia telah siap menyerahkan diri dengan suka rela! Dan pemuda itu demikian pandai merayu, demikian pandai bercumbu! Selama hidup belum pernah Siok Bi mengalami hal seperti itu. Hay Hay menyentuh kedua pundaknya lantas menariknya berdiri. Hay Hay memandang wajah yang manis itu, tersenyum, kemudian memberi ciuman mesra di dahi yang halus itu. "Siok Bi, tidak perlu berterima kasih dan tak perlu minta maaf. Uang itu adalah uang milik rumah judi, bukan uangku. Dan tentang permintaan maaf, terus terang saja aku pun amat suka kepadamu, dan alangkah akan mudahnya dan senangnya jika aku menuruti bisikan nafsu. Akan tetapi orang harus lebih dulu sadar, waspada dan memperhitungkan segala perbuatan, bukan membuta karena nafsu. Kalau sekarang kita menuruti nafsu, kelak kita berdua akan merasa menyesal sekali. Terutama engkau, Siok Bi. Di sudut hatimu tentu akan timbul penyesalan karena engkau telah berkhianat terhadap cinta pemuda itu. Nah, sekarang katakan ke mana aku harus menyerahkan uang itu kepada Hartawan Coa. Aku ingin urusan selesai saat ini juga."' "Ahhh, jangan sekarang, Kongcu. Besok pagi saja karena malam ini Hartawan Coa tidak berada di rumah. Dia bermalam di rumah penginapan ini!" "Ehhh?! Di sini? Kenapa.... ?" Hay Hay bertanya heran. Gadis itu mengerutkan alisnya. "Aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi dia sudah sering kali begitu, bermalam di mana saja dan itu tandanya bahwa dia memperoleh seorang korban baru, seorang gadis yang baru saja didapatnya!" Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar dan terdengar suara seorang laki-laki, suara yang parau dan dalam, "Di mana kamar untukku? Harus yang paling baik!" "Tentu saja, tentu saja... tai-ya. Di sana, di kamar paling kiri, sudah kami persiapkan..." Siok Bi menaruh telunjuk ke depan mulutnya. "Sstttt, itu dia....!" bisiknya. Hay Hay kemudian membuka daun pintu dan keluar dengan tenang. Dia sempat melihat seorang lelakl tinggi besar bermuka hitam bopeng! Dia terbelalak. Kiranya pemilik rumah judi, pemimpin dan kepala dari para bandar curang itu, bukan lain adalah hartawan yang sudah memiliki janji rahasia dengan isteri Gui Lok, pemilik rumah penginapan dan rumah makan Hok-lai-koan! Dia melihat pria tinggi besar itu memasuki kamar terbesar di sebelah kiri, dan dua orang tukang pukul atau jagoan yang bertubuh kokoh kekar berjaga di luar kamar itu! Isteri Gui Lok itu, yang bernama Kim Hwa, si cantik genit, berjanji akan mengantarkan puteri tirinya setelah lewat jam dua belas malam ke kamar itu! Mempergunakan obat bius pula! Dia harus mencegah terjadinya peristiwa terkutuk itu. Kasihan Ai Ling, gadis pendiam yang bagaikan bunga baru mekar itu harus dipetik secara paksa, direnggut oleh Hartawan Coa yang rakus ini! Dia pun cepat masuk lagi ke dalam kamarnya. "Ternyata si tinggi besar muka bopeng itukah Hartawan Coa?" katanya kepada Siok Bi. Pantas saja dara jelita ini merasa menderita. Wanita muda mana yang suka menjadi selir seorang laki-laki seperti itu yang kelihatannya kasar dan bengis? Siok Bi mengangguk. "Siok Bi, engkau pulanglah. Besok akan kubereskan masalahmu. Aku akan menemui dia di rumahnya dan menebus dirimu, kemudian kuantar engkau ke rumah calon suamimu." Siok Bi merasa gembira sekali. "Terima kasih, Hay Kongcu, terima kasih...!" Dia menghampiri dan merangkul lagi, akan tetapi tiba-tiba dia menahan diri dan menatap wajah pemuda itu. Dua pasang mata saling bertaut. "Bolehkah aku...., Kongcu... ?" Hay Hay tersenyum, mengangguk dan menerima ciuman hangat gadis itu, sebuah ciuman yang tidak lagi dicekam oleh nafsu birahi, melainkan ciuman yang mengandung rasa haru, syukur dan terima kasih yang amat besar. Kemudian gadis itu melepaskan rangkulannya, lantas keluar dari dalam kamar itu disertai isak tertahan. Akan tetapi Hay Hay menangkap lengannya. "Jangan, jangan lewat situ, lebih baik jangan terlihat bahwa engkau berada di sini," kata Hay Hay dan dia membuka jendela, lalu membantu Siok Bi meninggalkan kamarnya lewat jendela yang menembus ke dalam kebun yang gelap. Setelah bayangan Siok Bi lenyap, Hay Hay menutup daun jendela dari luar sebab dia pun meninggalkan kamarnya untuk melakukan pengintaian dalam usahanya menyelamatkan Ai Ling dari ancaman bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut!....

jilid 8


PADA sebuah kamar di rumah yang letaknya tepat di belakang rumah penginapan, bahkan bergandeng dengan penginapan itu, Hay Hay menemukan orang yang dicarinya, yaitu Ai Ling. Kamar gadis itu cukup rapi dan bersih dan pada waktu Hay Hay tiba di luar kamar, ternyata Kim Hwa, ibu tiri gadis itu telah berada di dalam kamar! Bila Ai Ling berpakaian sederhana saja, pakaian tidur yang longgar, sebaliknya Kim Hwa mengenakan pakaian yang indah seolah-olah dia hendak bepergian. Mukanya juga dirias dengan pesolek sekali. Hay Hay teringat akan janji wanita genit itu untuk berkunjung ke kamarnya lewat tengah malam ini dan mukanya menjadi merah. Agaknya wanita genit itu memang bersolek untuk berkunjung ke kamarnya dengan maksud yang tidak sukar untuk ditebak. Sungguh kasihan sekali ayah kandung Ai Ling sudah mengawini seorang wanita seperti Kim Hwa. Bukan saja selalu siap untuk melakukan penyelewengan dan berjinah dengan leIaki lain, akan tetapi bahkan tidak ragu-ragu untuk menjebloskan puteri tirinya ke dalam lembah kehinaan, menjadikannya korban dan mangsa serigala berwajah manusia seperti Hartawan Coa! "Ai Ling, kenapa engkau tidak mau makan? Makanlah agar jangan masuk angin. Engkau tahu, kita mempunyai banyak pekerjaan dan kalau engkau sampai jatuh sakit, maka kami akan sibuk bukan main." "Aku tidak bernafsu makan dan kepalaku agak pening," Ai Ling mengeluh, "biar aku akan tidur saja, tentu besok juga sudah sembuh." "Mana boleh tidur dengan perut kosong? Kalau begitu, biar kau minum saja obat masuk angin. Manjur sekali obatku, pemberian Sinshe Tung. Biar kuambilkan sebentar"' Kim Hwa lalu keluar dari dalam kamar itu dengan menyeret sandalnya. Ai Ling menarik napas panjang dan duduk di tepi pembaringan. Tiba-tiba muncul seorang pemuda di dalam kamar itu. Ai Ling yang sedang melamun, menjadi terkejut bukan main saat melihat bahwa yang muncul seperti setan itu adalah pemuda yang tadi pagi sarapan di rumah makan dan dilayaninya, pemuda tampan yang amat ramah dan menyenangkan hatinya. Saking kagetnya hampir saja dia menjerit, akan tetapi Hay Hay segera menaruh telunjuknya di depan mulut. "Sssttt, tenanglah Nona dan jangan berisik. Aku datang untuk membebaskan engkau dari ancaman bahaya!" "Apa... apa maksudmu, Kongcu...? Aku tidak mengerti...” Gadis itu masih takut-takut dan merasa bingung. "Sstt, dengarlah baik-baik. Ibu tirimu bermaksud mengorbankan engkau kepada Hartawan Coa, dan obat yang dia berikan itu adalah obat bius. Karena itu ingatlah baik-baik, kalau dia datang memberikan obat, katakan saja bahwa engkau tidak suka dan agar dia sendiri yang minum obat itu. Mengerti?" Gadis itu mengangguk tetapi masih merasa bingung. " Akan tetapi...” "Ikuti saja petunjukku kalau engkau mau selamat." bisik Hay Hay. Pada saat itu pula terdengar bunyi sandal diseret. Sekali berkelebat, tubuh Hay Hay telah lenyap karena dengan cepat dia sudah menyelinap ke balik pembaringan itu, tertutup oleh kelambu dan lemari pakaian. Daun pintu kamar terbuka dari luar, lantas masuklah Kim Hwa dengan langkahnya yang gemulai. Dia membawa sebuah cawan terisi cairan merah yang berbau harum. "Nah, ini obat masuk angin. Minumlah, Ai Ling sayang, supaya tubuhmu terasa segar dan besok kau dapat bekerja dengan rajin. Minumlahl.” Ia menyerahkan cawan itu dan Ai Ling memandang cawan itu dengan alis berkerut. Ia masih merasa heran akan kemunculan Hay Hay dan semua ucapan pemuda itu. Akan tetapi apa yang dia dengar dari pemuda itu bukan hal yang tidak boleh jadi! Ia tahu bahwa diam-diam ibu tirinya ini tidak suka kepadanya, apa lagi ketika pada suatu hari dia pernah menegur ibu tirinya yang suka bercanda secara keterlaluan dan berlebihan dengan para pegawai pria. Ia bahkan berani menduga bahwa ibu tirinya itu tentu mempunyai hubungan gelap dengan beberapa orang pegawai. Maka, tidak akan mengherankan kalau ibu tirinya mempunyai tipu muslihat busuk dan menjerumuskannya ke dalam pelukan Hartawan Coa. Dia bergidik dan melihat betapa cawan itu seperti mengandung racun! "Tidak, aku tidak mau minum. Aku mau tidur saja, harap kau suka minum saja sendiri obat itu!" katanya, teringat akan pesan Hay Hay. Mata Kim Hwa terbelalak. Sungguh dia merasa aneh sekali mengapa ucapan puterinya itu mempunyai kekuatan yang mendorongnya sehingga timbul suatu keinginan aneh di dalam dirinya, yaitu untuk minum ‘obat’ di dalam cawan itu! Tentu saja cawan itu berisi obat dari Hartawan Coa yang sudah dia campur dengan anggur merah. "Apa? Kuminum sendiri...?" dia berkata penuh keraguan, setengah berbisik. Melihat sikap ibu tirinya ini, Ai Ling juga merasa heran, tetapi teringat akan pesan pemuda aneh ltu, dia pun menjawab. "Benar, lebih baik kau minum sendiri obat itu!" Dan kini terjadi keanehan dalam sikap Kim Hwa. "Baik, kuminum saja sendiri, kuminum sendiri...” dan sepertl dalam mimpi dia pun lalu minum obat dalam cawan itu hingga habis! Setelah minum obat itu, Kim Hwa melepaskan cawan kosong yang jatuh berkerontang di atas lantai. Ia berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang dan kedua matanya dipejamkan. Ai Ling memandang khawatir. Obat itu adalah obat yang mengandung bius, membuat orang kehilangan kemauan, juga mengandung obat perangsang sehingga orang yang minum obat ini dalam keadaan tidak sadar akan menjadi hamba nafsu birahinya sendiri. Kim Hwa mengeluh, lalu tanpa pamit ia keluar dari kamar itu, diikuti pandang mata Ai Ling yang masih bingung dan khawatir. Hay Hay muncul kembali, dipandang oleh Ai Ling yang masih menaruh curiga kepadanya. Akan tetapi pemuda itu tidak rnelakukan sesuatu yang tidak patut, bahkan Hay Hay cepat berkata kepadanya, “Ai Ling, lekas kau beri tahukan kepada ayahmu bahwa ibu tirimu mengadakan pertemuan dengan Hartawan Coa di dalam kamar terbesar di rumah penginapan Hok-lai-koan. Suruh ayahmu pergi sendiri menangkap basah isterinya yang menyeleweng itu dan jangan takut! Aku akan melindunginya. Kim Hwa itu harus dihukum, Ai Ling, demi keselamatan ayahmu dan engkau sendiri. Cepat!" Dan kembali Hay Hay berkelebat lenyap dari dalam kamar. Sejenak Ai Ling menjadi bengong dan bulu tengkuknya meremang. Apakah pemuda itu bukan manusia melainkan setan yang pandai menghilang? Ataukah dewa yang hendak menolong dia dan ayahnya? Dia sama sekali tidak merasa heran mendengar betapa ibu tirinya menyeleweng, mengadakan pertemuan dalam kamar hotel dengan Hartawan Coa. Akhirnya dia turun dan pergi ke kamar ayahnya. *************** Bagaikan seorang yang kehilangan ingatannya, Kim Hwa melalui pintu tembusan menuju ke ruangan rumah penginapan Hok-lai-koan. Yang dlingatnya hanyalah dua hal. Pertama mengantarkan Ai Ling ke kamar Hartawan Coa, dan kedua pergi mengunjungi pemuda ganteng yang menarik hati, yang menginap di kamar nomor tujuh di belakang. Akan tetapi tubuhnya terasa demikian ringan dan dia tidak ingat lagi mengapa dia bisa menjadi begitu, kepalanya juga ringan dan kosong! Ketika Hay Hay tiba-tiba muncul, dia tidak terkejut dan bahkan tersenyum genit. Apa lagi ketika Hay Hay berbisik, "Manis, aku sengaja menjemputmu! Mari kita pergi ke kamarku, sayang!" Kim Hwa tertawa kecil dengan sikap genit, kemudian membiarkan dirinya digandeng oleh pemuda yang menarik hatinya itu dan dia malah menyandar, lalu mereka berdua berjalan sambil bergandeng tangan. Hay Hay tidak membawa wanita itu ke kamarnya, namun diajaknya menghampiri kamar besar di mana berdiri dua orang jagoan yang berjaga. Malam telah larut sekali, menjelang tengah malam dan suasana sangat sunyi. Dua orang jagoan itu duduk di atas kursi, agak melenggut. Mereka tenang saja karena siapa yang akan berani mati mengganggu majikan mereka? "Mari Ai Ling, marilah sayang...” Suara ini mengejutkan dua orang jagoan itu. Akan tetapi pada waktu mereka mengangkat muka, mereka melihat sekelebatan seorang pemuda bergandeng tangan dengan seorang wanita cantik. Anehnya, begitu mereka memandang, pemuda itu segera lenyap dan yang nampak adalah dua orang wanita muda yang sedang menghampiri mereka sambil saling bergandeng tangan. Setelah lampu gantung menerangi wajah mereka, dua orang jagoan ini cepat berdiri dan menyeringai senang. Mereka sudah tahu bahwa majikan mereka menanti datangnya isteri pemilik rumah penginapan itu yang akan mengantarkan puterinya, dan ternyata sekarang mereka benar-benar muncul! Melihat betapa gadis manis itu seperti orang mabok maka tahulah mereka bahwa gadis ini telah minum obat bius, sementara isteri pemilik rumah penginapan yang cantik genit itu senyum-senyum kepada mereka. Dua orang wanita ini menghampiri pintu dan mengetuk tiga kali. Kedua orang jagoan itu tidak menghalangi mereka, hanya saling pandang sambil tersenyum-senyum penuh arti. "Siapa yang mengetuk pintu?" terdengar suara parau yang dalam, suara Hartawan Coa yang memang sejak tadi belum tidur dan dengan tidak sabar menanti datangnya Kim Hwa yang berjanji akan mengantar Gui Ai Ling, si perawan jelita. "Saya Kim Hwa, tai-ya, saya mengantarkan Ai Ling. Harap buka pintunya!" Mendengar suara ini, tentu saja Hartawan Coa menjadi girang dan dia segera membuka daun pintu. Mula-mula dia terkejut sekali melihat bahwa yang berdiri di depan pintu adalah seorang pemuda yang tak dikenalnya dan Kim Hwa, isteri pemilik rumah penginapan yang genit itu, akan tetapi ketika berkedip dia mendengar suara Kim Hwa, "Saya Kim Hwa dan Ai Ling datang seperti yang telah saya janjikan, tai-ya," dan ketika dia membuka mata, ternyata yang berdiri di hadapannya adalah Kim Hwa dan Ai Ling, gadis yang membuatnya selalu menelan air liur itu! "Ahhh, engkau sudah datang, manis!" katanya sambil menggandeng tangan Ai Ling. "Mari masuk, manis!" Ai Ling menurut saja digandeng masuk, dan Kim Hwa tersenyum. "Bersenang-senanglah dengan Ai Ling, tai-ya, saya harap tai-ya tidak lupa kepada saya." Hartawan Coa yang sudah tidak sabaran itu hanya mengangguk, lantas menutup kembali daun pintu tanpa menguncinya karena bukankah di luar telah ada dua orang pengawalnya, jagoan-jagoan yang dapat dipercaya dan akan menjaga di situ semalam suntuk? Kim Hwa lalu melenggang pergi. "Eih, nyonya muda. Hendak ke mana? Apakah tidak mau menemani kami di sini sebentar menghilangkan dingin dan kantuk?" salah seorang di antara dua penjaga itu menegur dan menggoda. Kim Hwa hanya tersenyum. "Lain kali saja, aku mempunyai keperluan lain." Dan dia pun mempercepat langkahnya. Setelah sampai di tempat gelap, ternyata bahwa Kim Hwa ini bukan lain adalah Hay Hay yang tadi mempergunakan kekuatan sihirnya untuk membuat mata dua orang jagoan dan juga mata Hartawan Coa melihatnya seperti Kim Hwa, sedangkan Kim Hwa sendiri yang sudah berada di bawah pengaruh obat bius itu mereka lihat sebagai Gui Ai Ling! Hay Hay mengintai tak jauh dari situ. Tidak lama dia mengintai karena segera dia melihat seorang laki-laki gendut berlari-lari melalui pintu tembusan dari rumah Gui Lok, menuju ke rumah penginapan itu. Pria ini bukan lain adalah Gui Lok, pemilik rumah penginapan dan rumah makan Hok-lai-koan. Agak jauh di belakangnya, dia melihat pula Ai Ling berjalan dengan muka khawatir. Gui Lok yang menerima laporan dari puterinya bahwa isterinya mengadakan pertemuan gelap dengan laki-laki di dalam kamar hotelnya, tentu saja menjadi marah sekali dan dia langsung menuju ke kamar besar, kamar istimewa termahal di rumah penginapannya itu. Ketika sampai di depan kamar, dua orang tukang pukul mencoba untuk menghadangnya, akan tetapi si gendut Gui Lok berteriak lantang. "Ini rumah penginapanku sendiri! Siapa berhak melarang?" Dua orang tukang pukul itu tentu saja tahu bahwa Gui Lok pemilik rumah penginapan itu, maka mereka pun merasa sungkan, juga mereka terbelalak heran bukan main melihat Ai Ling berada di belakang si gendut itu! Bukankah tadi mereka melihat sendiri betapa gadis itu diantar oleh ibu tirinya memasuki kamar majikan mereka dan kini sedang berada dalam pelukan majikan mereka ? Bagaimana kini tahu-tahu gadis itu berada di luar kamar tanpa pengetahuan mereka? Apakah tadi mereka bermimpi? Padahal mereka tidak pernah tidur. Bagaimana pun juga, melihat adanya gadis itu, hati mereka tidak khawatir. Kalau gadis itu tidak berada di dalam kamar majikan mereka, apa yang mereka khwatirkan? Biarkan saja si gendut itu membikin ribut, kalau majikan mereka yang kini tentu sendirian saja keluar, tentu si gendut itu yang akan mendapat kemarahan! Kiranya majikan mereka sedang tidur sendirian di kamar itu! Melihat dua orang penjaga itu tidak menghalanginya lagi, Gui Lok lalu menghampiri daun pintu kamar itu dan menggedor-gedor dengan keras. "Buka pintu! Kim Hwa, engkau tidak perlu sembunyi! Aku sudah tahu bahwa engkau sedang berada di dalam bersama laki-laki lain! Engkau perempuan busuk, pelacur hina, isteri penyeleweng yang tak tahu malu!" Karena Gui Lok dilanda kemarahan hebat, maka dia berteriak-teriak bagaikan orang gila. Tentu saja teriakannya yang keras itu membangunkan semua tamu, maka sebentar saja seluruh kamar di rumah penginapan itu terbuka dan para tamu sudah keluar dari dalam kamar untuk menonton pertunjukan menarik itu. Hay Hay juga keluar dari kamarnya, lalu turut pula menonton bersama para tamu. Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Ai Ling yang nampak khawatir, dia pun berkedip dan menganggukkan kepala, seolah-olah memberi jaminan kepada dara itu agar tidak usah takut karena ada dia yang akan melindunginya. Dan anehnya, melihat pemuda itu, hati Ai Ling menjadi agak tenteram, tidak lagi ketakutan seperti tadi. "Hayo buka, kau perempuan laknat, pelacur hina tak tahu malu!” “Dorr-dorrr-dorrrr…!" Gui Lok terus menggedor pintu dengan kemarahan meluap, apa lagi melihat munculnya banyak tamu. Semua orang melihat dan mengetahui betapa isterinya telah menyeleweng. Betapa malunya dia kalau tidak dapat membikin perhitungan dengan isterinya itu! Bisa dibayangkan betapa kagetnya mereka yang sedang bermesraan di dalam kamar itu. Baru saja Hartawan Coa dan Kim Hwa mendapatkan kenyataan yang mengejutkan hati mereka berdua. Kim Hwa mulai ditinggalkan pengaruh obat bius dan ketika dia sadar lalu mendapatkan dirinya dalam pelukan Hartawan Coa, hampir saja dia menjerit. Bukankah seharusnya ia berada dalam pelukan pemuda tampan yang pandai merayu itu? Kenapa kini dia berada dalam rangkulan Hartawan Coa yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, penuh bulu kasar, mukanya hitam dan bopeng? Bukankah seharusnya Ai Ling yang berada di pelukan hartawan ini? Akan tetapi dia adalah seorang wanita yang cerdik. Walau pun dia tidak mengerti kenapa bisa begini, namun dia pandai bersandiwara dan dengan manja dia langsung mempererat rangkulannya dan mengeluarkan suara rintihan manja. Sementara itu, Hartawan Coa juga sudah tidak lagi terpengaruh oleh kekuatan sihir yang dilepaskan Hay Hay tadi, dan kini dia melihat bahwa yang dipeluk dan digumulinya sejak tadi bukanlah gadis yang dirindukannya itu, melainkan isteri Gui Lok, nyonya muda yang cantik dan genit itu! Dia pun terkejut mengapa bisa terjadi perubahan ini! Padahal tadi dia jelas melihat bahwa yang dibimbingnya masuk adalah Ai Ling dan gadis itu tadi menurut saja tanpa melawan karena berada dalam pengaruh obat bius. Akan tetapi mengapa kini mendadak berganti orang? Bagaimana pun juga hartawan ini memang cocok sekali dengan Kim Hwa sehingga meski pun dia terheran, namun dia tidak begitu peduli lagi setelah merasakan kehangatan tubuh dan kepandaian Kim Hwa merayu dan melayaninya. Dia pun mendekap semakin kuat dan keduanya tenggelam ke dalam gelombang nafsu yang tak pernah mengenal puas. Mereka berdua sedang terlena di ambang kepulasan karena lelah ketika tiba-tiba mereka dikejutkan oleh gedoran pada daun pintu kamar itu! Mendengar teriakan suaminya, tentu saja Kim Hwa terkejut setengah mati dan dia pun langsung melepaskan diri dari rangkulan Hartawan Coa dan tergesa-gesa mengenakan pakaiannya. Dia lalu lari ke jendela, hendak membuka jendela kamar itu, akan tetapi betapa heran dan khawatirnya ketika ternyata daun jendela itu macet dan sama sekali tak dapat dibukanya. Tentu saja dia menjadi panik. Melihat ini Coa Wan-gwe lalu menghampiri jendela dan dia pun mencoba untuk membuka jendela itu. Sia-sia belaka. Biar pun hartawan ini memiliki tenaga yang besar, namun daun jendela itu sama sekali tidak dapat dibukanya, benar-benar macet. Hal ini tidaklah aneh karena macetnya daun jendela itu bukan sewajarnya, namun akibat perbuatan Hay Hay. "Sudahlah, kau tidak perlu gelisah. Biar aku yang bertanggung jawab!" kata hartawan itu, teringat akan kedudukan dan kekuasaannya. Apa artinya seorang Gui Lok baginya? "Tapi... tapi suamiku di depan kamar! Dia akan marah...” "Huhh, coba saja apa yang dapat dia lakukan kepadaku! Coba dia marah kepadaku kalau berani, akan kusuruh hajar dia sampai mampus!” Hati hartawan itu semakin besar karena bukankah di depan pintu itu ada dua orang pengawal yang menjaga keselamatannya? Mendengar ucapan hartawan itu, hati Kim Hwa tidak menjadi lega, bahkan merasa makin khawatir. Diraihnya lengan hartawan itu, kemudian ditahannya ketika pria itu hendak keluar dari kamar. "Kau akan dapat menyelamatkan diri dengan mudah, dia takkan berani mengganggumu, akan tetapi bagaimana dengan aku? Harap jangan tinggalkan aku di sini...!" Coa Wan-gwe mengerutkan alisnya, kemudian mengibaskan lengannya sehingga wanita itu terpelanting ke atas pembaringan. "Huh, jangan banyak tingkah kau! Salahmu sendiri! Bukankah engkau berjanji akan mengantarkan Ai Ling kepadaku di kamar ini? Akan tetapi engkau sendiri yang datang menggantikan anakmu. Perempuan tak tahu malu!" Kim Hwa terkejut dan tidak berani bicara lagi, hanya memandang dengan mata terbelalak ketika hartawan itu membuka daun pintu kamar itu kemudian melangkah keluar dengan mengangkat dada. Gui Lok yang berada di depan kamar itu sudah siap untuk meluapkan kemarahannya, akan tetapi begitu melihat Hartawan Coa, nyalinya menjadi kecil dan dia hanya memandang bengong seperti berubah menjadi arca. "Hemm, Gui Lok! Mau apa engkau lancang menggedor pintu kamarku? Bukankah kamar ini sudah kusewa? Kau tahu, rumah penginapan ini dapat kubeli, bahkan kepalamu dapat pula kubeli. Mengerti?!" Begitu mendengar bentakan hartawan ini, seketika keberanian dan kemarahan Gui Lok menguncup dan kakinya gemetar. "Maaf, tai-ya, tapi... tapi isteriku..." “Peduli apa dengan isterimu?! Aku tidak memanggilnya ke sini! Kau tanyakan saja kepada isterimu sendiri! Tapi kau... yang sudah berani menggangguku, menggedor pintu kamarku secara kurang ajar, tidak dapat kumaafkan begitu saja. Kau perlu dihajar!" Tangan yang besar dari hartawan itu menyambar dan sebuah pukulan mengenai kepala Gui Lok. "Plakkk!" Si perut gendut itu terpelanting dan jatuh. Hartawan Coa melangkah maju, siap menendang kepala Gui Lok yang dianggapnya telah kurang ajar dan membikin malu kepadanya di depan begitu banyak orang. Maka dia pun hendak menghajar Gui Lok di depan para tamu yang sudah jadi penonton agar namanya kembali terang dan disegani orang. Kaki yang besar dan dilindungi sepatu kulit yang tebal dan keras itu menyambar ke arah kepala Gui Lok. "Dukkk!" Akibatnya bukan kepala itu yang tertendang dan Gui Lok mengeluh kesakitan, sebaliknya malah Hartawan Coa yang memekik kesakitan, mengangkat kaki yang menendang, lantas memegangi kaki itu sementara kaki yang sebelah lagi berjingkrak-jingkrak. Serasa patah-patah tulang kakinya. Ketika tadi dia menendang, kakinya itu bertemu dengan sebuah kaki lain, yaitu kaki Hay Hay. Hartawan Coa menjadi marah bukan main melihat ada seorang pemuda sederhana yang tadi menyambut tendangannya dengan tangkisan kaki, yang menyebabkan kakinya terasa nyeri setengah mati. "Hajar dia! Bunuh dia!" teriaknya kepada dua orang pengawal yang semenjak tadi hanya menjadi penonton. Ketika dua pengawal ini melihat majikan mereka menghajar Gui Lok, mereka diam saja. Sama sekali tidak mereka sangka bahwa akan ada orang yang berani melindungi Gui Lok dan bahkan membuat kaki majikan mereka kesakitan. "Pemuda lancang, beraninya kau menentang majikan kami?" Dua orang tukang pukul itu meloncat ke depan, menghadapi Hay Hay yang berdiri tegak sambil tersenyum tenang. "Ha-ha-ha, kalian ini adalah dua ekor anjing yang setia kepada majikan, sungguh pandai menggonggong! Nah, lanjutkan gonggonganmu agar semua orang melihat kalian!" Kini semua tamu yang telah keluar dari kamar masing-masing dan menonton keributan itu terbelalak heran ketika melihat betapa dua orang tukang pukul yang tadi bersikap galak kini tiba-tiba saja mereka menjatuhkan diri berdiri di atas kaki dan tangan seperti binatang berkaki empat, lantas mereka berdua segera menggonggong seperti dua ekor anjing yang sedang marah! Tentu saja gonggongan mereka tidak seperti anjing. Mereka yang menonton tadinya terbelalak keheranan dan menyangka dua orang itu main-main atau mendadak menjadi gila. Namun keadaan yang lucu itu membuat mereka tidak dapat menahan ketawa mereka. Bahkan Hartawan Coa sendiri pun lupa akan kenyerian kakinya dan dia pun berdiri bengong memandang kepada anak buahnya. Apakah kedua orang pengawalnya itu mendadak menjadi gila? Sementara itu, Gui Lok yang tadi terhindar dari hajaran yang lebih hebat kini telah bangkit berdiri dan dia pun melihat peristiwa aneh itu sehingga sejenak lupa kepada isterinya yang menjadi biang keladi keributan itu. Hay Hay tersenyum sambil menghampiri dua orang tukang pukul yang masih merangkak-rangkak itu, kemudian kaki kirinya bergerak dua kali dan dua orang tukang pukul itu telah kena ditendang, terlempar kemudian terbanting jatuh. Setelah jatuh agaknya mereka baru sadar akan keadaan diri mereka. Cepat mereka meloncat dan sudah mencabut golok dari pinggang, lalu dengan kemarahan meluap karena mereka merasa dibikin malu di depan banyak orang, mereka segera menerjang dan menyerang Hay Hay dengan bacokan golok dari atas ke bawah, ke arah kepala pemuda itu. Semua orang melihat dengan hati ngeri betapa dua batang golok itu dengan tepat sekali mengenai kepala pemuda itu dan dengan mudahnya, bagaikan agar-agar saja, kepala itu terbelah menjadi tiga potong oleh kedua bacokan itu. Akan tetapi tidak ada darah keluar ketika tubuh yang terbelah menjadi tiga buah itu terkulai jatuh sambil mengeluarkan suara bising. Akan tetapi, pada saat mereka semua memandang, termasuk dua orang tukang pukul itu, terdengar seruan heran melihat bahwa yang terbabat buntung mejadi tiga potong itu sama sekali bukan tubuh orang melainkan sebuah bangku panjang yang kini sudah menjadi tiga potong! Pantas saja mengeluarkan suara bising! Ke mana larinya pemuda aneh itu tadi? Kiranya pemuda itu telah berdiri di belakang dua orang tukang pukul itu. Sekarang kedua tangannya tiba-tiba menjambak rambut dua orang tukang pukul itu dari belakang, lantas dengan sekali menggerakkan kedua tangan dia mengadu dua buah kepala itu. Dua orang pengawal itu mengeluh, goloknya terlepas dan mereka pun terkulai lemas seperti karung basah ketika Hay Hay melepaskan kedua tangannya. Kedua pengawal itu jatuh pingsan! Melihat ini, semua orang merasa kagum dan terheran-heran. Hartawan Coa yang tadinya memandang bengis kini menjadi pucat bukan main. Apa lagi ketika pemuda itu berjalan menghampirinya. "Coa Wan-gwe, engkau pulanglah dan bawa pula dua ekor anjingmu ini. Sebentar nanti aku akan datang berkunjung ke rumahmu, ada urusan penting yang hendak kubicarakan denganmu." Kali ini Hartawan Coa tidak banyak cakap lagi. Dia maklum bahwa menghadapi pemuda ini, dia tak berdaya. Dia harus mengerahkan semua pengawalnya kalau mau menghadapi dan menentang pemuda aneh ini. Dia lalu menendang-nendang dua orang pengawalnya. Mereka siuman dan terheran-heran, akan tetapi langsung teringat akan keadaan mereka. Karena itu, ketika majikan mereka memberi isyarat, mereka pun bersikap seperti dua ekor anjing ketakutan, lalu mengikuti Hartawan Coa meninggalkan rumah penginapan, bahkan melupakan golok mereka. Sementara itu, begitu hartawan itu pergi, Gui Lok menyerbu ke dalam kamar. Dia melihat isterinya masih duduk ketakutan di atas pembaringan. “Perempuan lacur! Tidak tahu malu!" bentaknya dan dia pun menjambak rambut isterinya. Rambut itu terurai dan diseretnya tubuh wanita itu keluar kamar. "Lihat semua! Lihat baik-baik perempuan ini. Dia bernama Kim Hwa dan dari pecomberan kuangkat dia menjadi isteriku, akan tetapi kini dia melakukan penyelewengan dengan laki-laki lain! Dia tiada bedanya dengan seekor babi betina, biar dibersihkan dan ditempatkan di mana pun, biar diberi tempat yang bersih dan baik, tetap saja babi betina ini memilih pecomberan. Nah, mulai saat ini juga dia bukan isteriku lagi dan kuusir dia. Pergilah kau, perempuan laknat! Engkau tidak mempunyai apa-apa ketika kupungut, sekarang engkau pergilah dan boleh kau miliki pakaian serta perhiasan yang menempel di tubuhmu!" Andai kata mereka kini hanya berduaan saja tentu Kim Hwa akan minta-minta ampun dan mempergunakan segala daya kecantikannya, segala ilmunya merayu untuk melemahkan hati suaminya dan agar dirinya diampuni. Namun apa hendak dikata, peristiwa itu terjadi di hadapan puluhan pasang mata yang menjadi penonton dan di sana sini dia mendengar cemoohan dan celaan kepada dirinya. Maka sambil menutupi mukanya dan menangis, dia pun lari keluar dari rumah penginapan yang tadinya menjadi miliknya itu. Beberapa bulan kemudian orang-orang sudah mendapatkan dirinya menjadi kembang dari sebuah rumah pelacuran di sebuah kota besar dekat kota raja! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum Gui Lok beserta puterinya, Gui Ai Ling, sempat menghaturkan terima kasih kepadanya, Hay Hay sudah menghilang dari kamar itu sambil membawa buntalan uang emasnya. Hari masih pagi sekali ketika dia sudah berada di depan pintu gerbang pekarangan gedung Hartawan Coa! Ternyata pekarangan itu kini telah penuh dengan pasukan pengawal yang jumlahnya tak kurang dari dua lusin orang bersenjata lengkap! Mereka telah diperingatkan oleh Hartawan Coa agar berjaga dengan ketat dan terutama sekali menjaga kalau ada muncul seorang pemuda berpakaian sederhana yang memakai caping lebar. Setibanya di rumah, Hartawan Coa yang tadi malam mengalami kekagetan itu langsung mengumpulkan para pembantunya dan dia menjadi semakin terkejut dan khawatir ketika menerima laporan bahwa pemuda yang bercaping lebar, yakni pemuda yang itu-itu juga, ternyata sudah mengacau rumah judi pula, bahkan sudah menggondol puluhan tail emas yang dimenangkan dalam permainan dadu di mana pemuda itu menggunakan ilmu yang aneh seperti sihir. Dan dia pun teringat betapa dua orang pengawalnya juga disihir sehingga menggonggong seperti anjing, kemudian betapa tubuh pemuda itu kelihatan terpotong-potong akan tetapi ternyata yang terpotong itu hanyalah sebuah bangku panjang! Jelas pemuda yang itu-itu juga, pikirnya. Maka dia pun mengerahkan seluruh pasukan pengawal untuk melakukan penjagaan di pekarangan, di sekeliling rumah gedungnya, bahkan ada pula yang berjaga di dalam gedung dan di atas atap! Barulah dia merasa aman dan dapat tidur pulas. Ketika Hay Hay muncul pagi-pagi sekali, hartawan itu masih belum bangun. Setelah para penjaga melihat munculnya seorang pemuda yang memakai caping lebar, berdiri di depan pintu gerbang, segera mereka menjadi panik. Tentu saja mereka itu gentar sekali karena mereka sudah mendengar cerita kawan-kawan mereka tentang sepak terjang pemuda itu di rumah judi, juga cerita dua orang tukang pukul yang menderita pengalaman pahit di rumah penginapan. Tapi betapa pun juga, karena kini berada di pekarangan itu dan di dalam rumah terdapat kepala-kepala pengawal yang merupakan orang-orang berkepandaian silat tinggi, mereka tidak menuruti hati yang gentar. Dengan memberanikan hati, mereka kemudian mengikuti pimpinan mereka menyambut kedatangan pemuda itu. Kepala pengawal yang kini berjaga di rumah gedung Hartawan Coa ada tiga orang. Yang pertama adalah seorang jagoan dari kota raja bernama Thio Kang berjuluk Tiat-ci (Si Jari Besi), terkenal sebagai seorang yang memiliki tangan seperti besi, dapat menusuk papan tebal dan batu sampai tembus dan selain itu pandai pula bermain sepasang pedang. Tiat-ci Thio Kang adalah seorang jagoan yang berasal dari kota raja, bahkan pernah pula menjadi jagoan di istana kaisar, dan kini menjadi jagoan nomor satu dari Coa Wan-gwe, bergaji besar. Jagoan ini berusia kurang lebih lima puluh lima tahun, tubuhnya jangkung kurus kering dan sikapnya tinggi hati, sikap seorang yang percaya akan kemampuan diri sendiri dan memandang rendah orang lain. Jagoan ke dua berjuluk Hek-houw (Harimau Hitam) dan bernama Ji Sun. Sesuai dengan julukannya, Hek-houw Ji Sun ini berperawakan kokoh, tinggi besar berkulit hitam dan dia memiliki ilmu silat harimau yang menubruk dan mencengkeram dengan tangkas sekali, di samping ahli bermain golok dan perisai. Usia jagoan nomor dua ini sekitar empat puluh lima tahun. Ada pun jagoan yang ke tiga bernama Phang Su, julukannya Kang-thouw-cu (Si Kepala Baja) dan tubuhnya pendek gemuk bundar. Kepalanya yang besar dan bundar itu sudah terkenal sekali karena amat kuat, kebal dan dapat membobolkan tembok, sesuai dengan julukannya. Selain keahlian mempergunakan kepala sebagai senjata, juga Kang-thouw-cu Phang Su pandai memainkan sebatang rantai besi yang berat. Tiga orang kepala pengawal ini tentu saja sudah mendengar akan sepak terjang seorang pemuda bercaping lebar yang mengacau di rumah judi dan di rumah penginapan, bahkan juga telah mengganggu majikan mereka. Akan tetapi mereka adalah jagoan-jagoan besar, terutama sekali Tiat-ci Thio Kang, tentu saja memandang rendah kepada pengacau yang katanya mau datang berkunjung ke gedung majikannya itu. Apa yang perlu ditakuti? Dia mengandalkan kepandaian sendiri yang selama ini sulit dicari tandingannya, hampir belum pernah kalah. Selain itu masih ada dua orang pembantunya yang juga amat lihai, dan ada pula hampir lima puluh orang pengawal di rumah itu! Setan pun tidak akan mampu masuk ke dalam rumah itu tanpa ketahuan penjaga yang sudah ditempatkan di seluruh lingkungan rumah itu. Dan kalau pemuda itu benar-benar berani datang, dia tentu akan menghadapi kehancuran di sini! Akan tetapi tidak urung jantungnya berdetak tegang pada waktu mendengar laporan anak buahnya bahwa pagi-pagi itu, pemuda bercaping lebar sudah datang dan berada di luar pintu gerbang! "Tahan dia di luar pintu gerbang, aku akan menemuinya sendiri!" kata Tiat-ci Thio Kang. Dia cepat mempersiapkan diri, memasang siang-kiam pedang pasangan di punggungnya, lantas mengajak dua orang pembantunya untuk keluar menemui pemuda itu. Hek-houw Ji Sun dan Kang-thouw-cu Phang Su juga sudah siap siaga dengan senjata masing-masing. Mereka bertiga diikuti puluhan orang pengawal, semuanya bersenjata lengkap seolah-olah mereka itu bukan hendak menyambut seorang pemuda melainkan seperti hendak maju perang melawan banyak musuh! Hay Hay yang mengintai dari balik caping lebarnya, diam-diam tersenyum ketika melihat munculnya tiga orang yang nampaknya gagah, diiringi oleh puluhan orang pengawal yang semuanya bersenjata lengkap! Dia tidak merasa heran karena tentu Hartawan Coa sudah siap siaga menanti kedatangannya dan dia dapat menduga bahwa dia akan menghadapi kekerasan dari pihak Hartawan Coa yang tentu saja merasa penasaran dan marah atas terjadinya dua peristiwa yang merugikan uangnya dan namanya, yaitu di rumah judi dan di rumah penginapan. Dengan sikap angkuh Tiat-ci Thio Kang memberi isyarat kepada Hek-houw Ji Sun sebagai wakil pembicara, untuk menegur pemuda itu. Si Harimau Hitam ini selain pandai bicara, juga orangnya tinggi besar dan suaranya lantang berwibawa. Hek-houw Ji Sun mengerti dan dia pun maju dua langkah mendekati Hay Hay. "Orang muda, siapakah engkau dan apa maksudmu pagi-pagi begini datang ke sini?" Hay Hay mendorong caping bagian depan ke belakang. Caping itu lantas merosot turun dari kepalanya sehingga tergantung di pungguungnya, menutupi buntalan yang berada di punggung. Kini wajahnya nampak jelas, wajah yang periang, mulut yang selalu tersenyum nakal, hidung yang mancung, mata bersinar-sinar dan kadang-kadang mencorong aneh. Hay Hay tersenyum sambil memandang ke arah orang-orang itu seperti mencari-cari, lalu dia menggelengkan kepala. "Hemm, tidak kulihat dia berada di sini! Aku sedang mencari Hartawan Coa. Harap kalian sampaikan kepada majikan kalian itu bahwa aku bernama Hay Hay ingin bertemu dengan Hartawan Coa karena ada urusan penting sekali hendak kubicarakan dengan dia." "Hemm, orang muda, tidak mudah untuk bertemu dengan majikan kami. Tidak sembarang orang boleh bertemu dengan beliau, dan karena saat ini majikan kami masih tidur, maka sampaikan saja urusanmu itu kepada kami. Kami akan melaporkannya dan kalau majikan kami memang berkenan menerimamu, tentu engkau dapat menghadap." Hay Hay tertawa. "Wah, seperti hendak menghadap seorang kaisar saja! Majikan kalian itu bukan raja, bukan pula orang berpangkat tinggi. Dia hanyalah hartawan yang memiliki rumah-rumah judi, dan kulihat dia semalam tidak begitu tinggi hati, bahkan mau bermalam di rumah penginapan umum dan tidur bersama isteri pemilik rumah penginapan! Mengapa sekarang tiba-tiba saja dia tidak mau menerimaku? Ingat, kedatanganku ini akan memberi untung kepadanya, akan menyerahkan uang lima puluh tail emas!" Mendengar ucapan itu, tiga orang jagoan itu saling pandang. Alangkah beraninya pemuda ini! Sesudah memenangkan perjudian sebanyak lima puluh tail emas lebih, agaknya kini dia membawa harta itu ke sini! Mata mereka segera ditujukan ke arah punggung pemuda itu di mana terdapat buntalan yang nampaknya berat. "Serahkan saja lima puluh tail emas itu kepada kami! Memang sudah sepatutnya engkau mengembalikan uang yang kau rampas dari rumah judi milik majikan kami itu, dan mohon maaf kepada majikan kami!" kata pula Hek-houw Ji Sun. Hay Hay tersenyum. "Menyerahkan kepada kalian? Wah, mana mungkin? Kalian adalah orang-orang yang paling tidak dapat dipercaya di dunia ini! Sudahlah, tidak ada gunanya membuang banyak waktu bicara dengan orang-orang seperti kalian ini. Bangunkan saja Hartawan Coa kalau dia masih tidur, dan katakan bahwa aku datang untuk bicara dengan dia dan aku akan menyerahkan uang lima puluh tail emas." Tiat-ci Thio Kang memberi isyarat kepada pembantunya yang ke dua, yaitu Kang-thouw-cu Phang Su. Si gundul yang pendek berperut gendut ini lalu melangkah maju. "Bocah sombong, serahkan saja lima puluh tail emas itu kepada kami dan cepat berlutut untuk menyerah!" bentaknya dan tangannya menyambar. Kedua lengan yang pendek itu menyambar dari kanan kiri, mengirim pukulan dan totokan susul menyusul. Gerakannya yang cepat serta mengandung angin pukulan yang kuat itu menunjukkan betapa si pendek gendut ini memang bertenaga besar dan mempunyai ilmu kepandaian yang sudah tinggi. Namun sekali ini dia bertemu dengan Hay Hay! Kelihatan pemuda ini tidak bergerak sama sekali, akan tetapi serangan kedua tangan Si Kepala Baja itu tidak mengenai sasaran. Demikian halus dan cepatnya gerakan Hay Hay ketika kakinya membuat geseran hingga tubuhnya hanya miring sedikit dan mundur satu langkah. Aneh bagi mereka yang menonton karena nampaknya si gundul pendek yang menyerang dan luput, akan tetapi kenapa si gundul itu yang berteriak kesakitan dan kedua lengannya seperti mendadak menjadi lumpuh? Kang-thouw-cu Phang Su memang amat terkejut dan merasa kesakitan karena kedua sikunya seperti disengat kalajengking dan kedua lengan itu tergantung lumpuh selama beberapa detik. Dia tidak tahu mengapa begitu, akan tetapi Tiat-ci Thio Kang, seorang ahli totok yang pandai, dapat mengerti bahwa pemuda itu telah menotok kedua siku pembantunya itu. "Ihh, engkau kenapa sih? Datang-datang menyerang orang kemudian menjerit-jerit sendiri seperti babi disembelih?" Hay Hay sengaja mengejeknya sehingga Kang-thouw-cu Phang Su menjadi merah mukanya dan kemarahannya memuncak. Sekarang dia merendahkan tubuhnya, kepalanya dipasang di depan dan sikapnya seperti seekor kerbau yang siap mempergunakan tanduknya, bahkan kedua kakinya menggaruk-garuk tanah di depannya. Sungguh sikap ini lucu sekali dan agaknya si gundul pendek itu memang mendapat ilmu ini dari gerakan seekor kerbau marah! Hidungnya mengeluarkan suara mendengus. Namun yang menarik perhatian Hay Hay adalah kepala yang gundul licin itu. Dia melihat betapa kepala itu kini mengkilap seperti diberi minyak dan digosok, juga agak kemerahan! Tahulah dia bahwa orang ini tidak boleh dipandang ringan dan agaknya mempunyai ilmu serangan dengan kepalanya yang sudan terlatih baik dan kepala itu tentu mengandung tenaga yang amat dahsyat! Benar saja dugaannya. Mendadak si gundul pendek gendut itu mengeluarkan gerengan aneh dan tubuhnya lalu menerjang ke depan, dengan kepala lebih dulu laksana terjangan seekor kerbau! Hay Hay tidak mau menyambut kepala itu dengan tangan atau badannya karena dia tidak ingin membunuh orang. Pertemuan tubuhnya dengan kepala itu membahayakan nyawa lawan karena kalau sampai bagian dalam kepala itu terluka sedikit saja, maka si pendek itu akan tewas! Maka, dia pun lalu cepat mengelak sambil melompat ke kanan belakang. cerita silat online karya kho ping hoo Namun kembali Kang-thouw-cu Phang Su sudah membalikkan tubuh dan menerjangnya lagi. Sungguh seperti sikap seekor kerbau. Hay Hay melompat lagi sehingga kini dia tiba di dekat sebatang pohon sebesar pinggangnya. Sengaja dia membelakangi pohon itu dan sekarang kembali lawannya sudah menerjang dari depan, lebih hebat dari pada tadi. Dia menanti hingga kepala itu dekat sekali, lalu tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas melewati kepala lawan. "Brakkkkk…!" Kepala itu menghantam batang pohon dan seketika pohon itu tumbang, batangnya patah dan remuk terkena terjangan kepala yang gundul itu! Hay Hay memandang kagum. Memang seperti yang telah diduganya. Lawannya memiliki kepala di mana terkumpul tenaga yang dahsyat. Tentu saja dia akan mampu menerima terjangan kepala itu dengan perut atau dada atau tangannya, akan tetapi akibatnya akan terlalu hebat, kemungkinan besar kematian bagi orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak pernah bermusuhan dengan dia itu. Kembali Kang-thouw-cu Phang Su sudah menerjang ke depan, sepasang matanya melirik juling, persis kerbau marah atau kerbau gila. Kembali Hay Hay sengaja bergerak lambat. Begitu kepala itu menyeruduk, Hay Hay miringkan tubuhnya hingga kepala itu lewat dekat sekali dengan perutnya, hanya dua sentimeter saja jaraknya dan secepat kilat tangan Hay Hay bergerak menyambar. "Plakkk!" Tangan itu menghantam tengkuk, tidak terlalu keras akan tetapi cukup membuat Kang-thouw-cu Phang Su terjungkal bergulingan sambil mengaduh-aduh, dan kedua tangannya sibuk menjangkau tengkuk yang terkena tamparan tadi. Kalau Hay Hay menambah sedikit lagi saja tenaganya, tentu si gundul pendek itu tidak akan mampu mengeluh lagi. Kang-thouw-cu Phang Su memang sudah terbiasa mengandalkan diri sendiri. Maka, biar pun lehernya terasa seperti akan patah-patah dan kepalanya berkunang, dia masih cepat melompat bangkit kembali lantas memandang kepada Hay Hay yang tersenyum lebar itu dengan pandang mata merah. Seperti hendak ditelannya bulat-bulat pemuda di depannya yang sudah membuat dia malu itu. "Wuuuttt…!" Kini tangan kanannya telah memegang rantai baja yang tadi dilibatkan pada pinggangnya. Rantai ini terbuat dari baja, panjangnya satu setengah meter dan cukup berat sehingga ketika diputar-putar terdengar suara angin bersiutan. Tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang ke depan dengan serangan rantainya ke arah kepala Hay Hay. Dengan mudah saja Hay Hay merendahkan tubuh dan rantai itu lewat di atas kepalanya. Akan tetapi sekali putaran rantai itu telah menyambar lagi ke arah kakinya, maka Hay Hay kembali mengelak dengan loncatan sehingga rantai itu menyambar di bawah kakinya. Kini rantai berputar dan menyerang lagi ke arah pinggangnya! Melihat datangnya rantai yang menyambar ke arah pinggangnya, Hay Hay tidak mengelak lagi, namun melindungi pinggang dengan sinkang. Rantai itu datang melibat pinggangnya, cepat dan kuat sekali sehingga pinggangnya sudah dilibat dua kali. Dengan wajah girang membayangkan kemenangan di depan mata untuk menebus beberapa kali kekalahannya tadi, kini Kang-thouw-cu Phang Su mengerahkan seluruh tenaga yang ada dan menarik! Dia ingin membuat pemuda itu tersungkur di depan kakinya. Akan tetapi dia merasa seolah-olah tangannya menarik sebuah karang yang sangat besar dan berat. Tubuh Hay Hay sedikit pun tidak terbetot, apa lagi sampai roboh tersungkur! Kang-thouw-cu merasa penasaran sekali. Kembali dia menarik dan menarik, makin lama semakin kuat, menahan napas yang membocor sana-sini sampai terdengar suaranya ah-ah-uh-uhh! “Brooottt…!" Saking penasaran serta kuatnya dia menarik dan menahan napas, ada angin membocor dari bawah! Beberapa orang sempat tertawa karena geli sehingga wajah Kang-thouw-cu menjadi semakin merah. "Wah, benar-benar tidak tahu malu...!" Hay Hay mempergunakan jari tangan kanan untuk menjepit hidungnya. "Bau.... bau....! Pergilah!" Kakinya lalu menendang. "Desss....!" Perut gendut itu kena ditendang dan tubuh itu pun terlempar, terbanting dan bergulingan. Si gendut merasa perutnya mulas sekali sehingga dia pun tidak mampu bangkit kembali, hanya menekan-nekan perut yang terasa mulas dalam keadaan setengah pingsan! Melihat rekannya tidak sanggup melawan lagi, Hek-houw Ji Sun marah bukan kepalang. Kekalahan rekannya berarti merupakan sesuatu yang memalukan dirinya juga. Dia masih belum percaya bahwa rekannya itu kalah melawan pemuda ini. Akan tetapi kenyataan itu tidak membuat dia jeri. "Bagus! Pemuda sombong, kiranya engkau memiliki juga sedikit kepandaian! Pantas saja engkau berani membuat kekacauan di kota Shu-lu ini!" Dia meloncat ke depan sehingga berhadapan dengan Hay Hay. "Kalau memang engkau mampu menandingi Hek-houw Ji Sun, barulah aku mengakui kehebatanmu!" "Sungguh di sini banyak harimaunya! Ada harimau gundul, ada harimau hitam, dan entah harimau apa lagi. Akan tetapi sayang, harimau-harimau di sini nampaknya sudah ompong dan kehilangan kukunya sehingga hanya pantas untuk menakut-nakuti kanak-kanak saja. Hek-houw Ji Sun, aku tidak mau mencari permusuhan dengan kalian atau dengan siapa pun juga. Aku hanya ingin bertemu dengan Hartawan Coa, mengapa kalian menghalangi dan mencari keributan dengan aku?" Hek-houw Ji Sun mendelik dan dia lalu mengeluarkan suara gerengan yang mengejutkan hati Hay Hay. Banyak anak buah para jagoan itu sendiri sampai terkulai seperti mendadak kaki mereka lumpuh ketika gerengan yang merupakan auman itu menggetarkan jantung mereka. Tahulah Hay Hay bahwa orang ini mahir sekali mempergunakan suara untuk menyerang lawan. Semacam ilmu khikang yang disalurkan lewat suara untuk menyerang! Pantas dia menjadi juru bicara teman-temannya. Selamanya Hay Hay tidak pernah memandang rendah lawannya, tetapi serangan melalui auman harimau itu lewat tanpa mempengaruhinya. Kalau hanya serangan seperti itu saja tidak ada artinya bagi Hay Hay. Kalau dia mau, dia dapat membalas dengan serangan melalui suara yang seketika akan melumpuhkan lawan! Seperti kebanyakan para jagoan tukang pukul yang biasanya mengandalkan kekerasan dalam hidup mereka, juga Hek-houw Ji Sun ini terlalu mengandalkan kepandaian sendiri, memandang remeh orang lain. Biar pun dia tadi melihat betapa rekannya kalah oleh Hay Hay dengan mudah, namun dia masih belum mau mengakui kehebatan lawan dan kini dia menyerang dengan tangan kosong, mengandalkan keampuhan ilmu silatnya yang dia beri nama Hek-houw sin-kun (silat sakti Harimau Hitam). Begitu gerengannya lenyap dan tinggal gemanya saja, dia sudah menyerang. Tubuhnya melompat seperti seekor harimau menubruk, kedua lengannya dikembangkan dan jari-jari tangan itu membentuk cakar, mencengkeram ke arah leher dan ubun-ubun kepala lawan! Hay Hay sudah waspada. Dia cepat mengelak dan membiarkan tubuh lawan lewat. Kalau dia mau, alangkah mudahnya untuk menyambut serangan itu dengan serangan balasan, akan tetapi dia tidak ingin menghilangkan muka lawan ini. Memang ilmu silat milik Hek-houw Ji Sun itu hebat sekali. Cepat dan juga mengeluarkan angin pukulan yang kuat, ada pun jari-jari tangan itu dapat merobek benda yang kuat dan keras, apa lagi hanya kulit dan daging tubuh manusia! Namun semua serangannya selalu dapat dielakkan oleh Hay Hay. Beberapa kali dia menubruk tetapi selalu gagal. Karena itu dia lalu menyerang dari jarak dekat. Seperti cakar harimau, dua tangannya menyambar-nyambar dengan kuat sekali. Hay Hay terpaksa menangkis pada waktu tangan kiri lawan mencengkeram dengan cepat bukan main ke arah lambung kanannya. Tangan kanannya menangkis lengan lawan, akan tetapi tangan yang tertangkis itu cepat membalik dan kini mencengkeram lengan kanan Hay Hay dekat siku. Lengan itu kena dicengkeram, maka Hek-houw Ji Sun sudah merasa girang sekali karena tentu lengan itu akan dapat dia cengkeram sampai patah dan buntung! Akan tetapi betapa terkejutnya ketika jari-jari tangannya merasa betapa lengan yang dicengkeramnya itu licin sekali bagai batangan baja yang diminyaki sehingga cengkeramannya meleset dan hanya merobek lengan baju! “Breettt…!" Tangan Hay Hay cepat sekali meraih baju orang dan sekali renggut, baju di bagian perut dan dada dari Hek-houw Ji Sun terobek lebar sehingga nampak perut dan dadanya yang berkulit hitam! "Salahmu sendiri, engkau merobek lengan bajuku, maka aku pun harus merobek bajumu supaya lunas!" kata Hay Hay. Diam-diam Hek-houw Ji Sun kaget sekali. Jika tadi dia merobek lengan baju, hal ini tidak disengajanya karena dia gagal mencengkeram patah lengan pemuda itu. Tapi sebaliknya pemuda itu memang sengaja merobek bajunya. Apa bila pemuda itu menghendaki, tentu bukan bajunya yang dirobek, melainkan perut dan dadanya! Baru dia tahu benar bahwa ilmu silat dan gerakan pemuda ini memang hebat bukan main, maka dia tidak mau mengalami seperti rekannya tadi dan cepat dia sudah melompat ke samping, menyambar golok dan tameng (perisai) yang sudah dipersiapkan sebelumnya. "Orang muda, keluarkan senjatamu! Mari sekarang kita bertanding senjata!" tantangnya dengan garang. Hay Hay tersenyum. Dia melihat betapa lengan bajunya yang kanan sudah robek, maka dia menggunakan tangan kiri untuk merenggut putus robekan itu. Kini ada robekan kain dari lengan bajunya, hanya sehelai kain yang panjangnya setengah meter. "Baik, Hek-houw Ji Sun, inilah senjataku!" Semua orang terbelalak, ada pun wajah Ji Sun yang hitam menjadi semakin hitam karena terlalu banyak darah yang naik ke kepalanya. Dia telah dipandang rendah, bahkan dihina oleh musuhnya yang masih muda itu. Bagaimana mungkin ada orang berani menghadapi golok dan perisainya yang kehebatannya sudah amat terkenal itu hanya dengan sepotong kain yang pendek? Pemuda ini mencari mampus! Juga semua orang memandang dengan heran, tidak percaya bahwa pemuda itu berani menghadapi sepasang senjata itu dengan sepotong kain saja! "Orang muda, aku bukanlah seorang yang suka mempergunakan kellcikan untuk mencari kemenangan. Lekas keluarkan senjatamu agar engkau tidak mati konyol dan orang akan mentertawakan aku!" "Aih, engkau menantang berkelahi dengan senjata dan ini adalah senjataku! Engkau tidak percaya? Hemm, dengan senjataku yang istimewa ini aku sanggup mengalahkan sepuluh ekor harimau, apa lagi hanya seekor saja! Majulah, Hek-houw Ji Sun dan hati-hatilah agar jangan sampai engkau kalah dalam waktu kurang dari sepuluh jurus!" Sepasang mata Ji Sun terbelalak, mendelik saking marahnya, "Bagus. Bocah sombong! Bila aku kalah olehmu kurang dari sepuluh jurus, aku akan berlutut dan menyembahmu!" "Begitukah? Baik!" Belum juga Hay Hay sempat menutup mulutnya, nampak sinar golok menyambar dengan kecepatan kilat. Hay Hay cepat mengelak sambil mundur dan secara diam-diam harus mengakui bahwa gerakan Hek-houw Ji Sun ini lebih hebat dibandingkan gerakan Kang-thouw-cu Phang Su dengan rantai bajanya tadi. Memang permainan golok dan perisai itu amat hebat. Golok itu berkelebatan menyambar-nyambar, sedangkan tubuh Hek-houw Ji Sun praktis bersembunyi di balik perisai! Sukar sekali bagi lawan untuk menyerang tubuhnya yang terlindung itu, sedangkan dia dengan enaknya dapat mengincar lawan dan melakukan serangannya dari bawah atau samping perisai yang terbuat dari baja tebal dan kuat! Namun sekarang dia menghadapi seorang lawan yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, bahkan gurunya sendiri sekali pun belum tentu akan dapat menandingi pemuda ini! Dengan amat mudahnya Hay Hay dapat menghindarkan diri dari setiap sambaran golok, padahal dia seolah-olah tidak pernah mengelak, tetapi tahu-tahu sambaran golok itu luput. Hal ini karena dia telah mempergunakan ilmu langkah-langkah sakti Jiauw-pou Poan-san. Akan tetapi, walau pun sambaran goloknya tidak pernah menyentuh lawan, Hek-houw Ji Sun menyerang terus bertubi-tubi dan dia tetap bersembunyi di balik perisainya. Diam-diam Hay Hay maklum betapa lihai dan cerdiknya lawan ini. Agaknya Hek-houw Ji Sun kini sudah mengetahui benar akan kelihaian lawan, maka dia teringat akan janjinya dan andai kata dia harus kalah sekali pun, dia harus dapat mempertahankan diri sampai sepuluh jurus! Hal ini hanya dapat terjadi apa bila dia terus menyerang secara bertubi-tubi sambil bersembunyi di balik perisainya! Dan kini dia sudah menyerang selama tujuh jurus! Tinggal tiga jurus lagi maka dia dapat bertahan sampai sepuluh jurus! "Wirrrrrr...!" Golok itu kembali menyambar. Kali ini tubuh Hek-houw Ji Sun hampir mendekam di atas tanah, ditutupi perisai dan golok itu menyambar dari atas kakinya yang tampak terjulur di bawah perisai, golok menyambar ke arah kaki Hay Hay. Kembali hal ini menunjukkan kecerdikan Ji Sun. Agaknya dia tahu bahwa kelihaian pemuda itu yang selalu dapat menghindarkan diri dari sambaran goloknya terletak pada geseran-geseran dan langkah-langkah kaki. Oleh sebab itu kini dia menyerang kaki pemuda itu, sambil bersembunyi di balik perisainya sehingga dia sudah berani memastikan di dalam hatinya bahwa tentu dia akan sanggup bertahan sampai lebih dari sepuluh jurus! Katakanlah dia tidak akan mampu menang melawan pemuda ini, akan tetapi jika ternyata dia sanggup mempertahankan diri selama lebih dari sepuluh jurus, maka berarti dia sudah dapat membersihkan mukanya karena pemuda itu seperti kalah bertaruh! Hek-houw Ju-sin sama sekali tidak tahu bahwa Hay Hay memang sengaja mengalah. Apa bila pemuda itu menghendaki, dengan dasar tingkat ilmu kepandaiannya yang jauh lebih tinggi, maka hanya dalam dua tiga jurus saja agaknya Hay Hay sudah bisa melumpuhkan semua perlawanan Hek-houw Ju-sin! Hay Hay memang sengaja membiarkan lawan menyerangnya secara bertubi-tubi sambil memperhatikan permainan golok dan perisai itu, mencari titik kelemahan. Kalau dia mau mengerahkan sinkang-nya, dengan tangan kosong saja agaknya dia akan dapat memukul pecah perisai itu, atau kalau dia mau menggunakan kekuatan sihirnya, juga akan mudah baginya untuk menundukkan lawan. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal itu, menanti sampai Ji Sun menyerangnya sebanyak delapan jurus. Kemudian, melihat betapa kaki kiri lawan itu terjulur keluar dari lindungan perisainya, secepat kilat buntungan lengan baju itu menyambar ke arah pergelangan kaki itu, bagaikan seekor ular kain itu membelit kaki. Hek-houw Sun terkejut bukan main, menggerakkan goloknya untuk membacok putus kain itu. Akan tetapi pada saat itu pula Hay Hay sudah menarik kain itu secara tiba-tiba sambil mengerahkan tenaganya dan... tubuh Hek-houw Ji Sun yang tinggi besar itu terlempar ke atas. Biar pun tubuhnya telah melambung ke atas, kaki kirinya masih saja terlibat kain. Dengan sekali sentakan ke bawah, tubuhnya meluncur lagi ke bawah dan sebelum menghantam tanah, kembali Hay Hay menggerakkan tangan. Demikianlah, tubuh itu diputar-putar oleh Hay Hay, makin lama semakin cepat sepertl kitiran hingga akhirnya Hay Hay melepaskan kain dan tubuh itu pun meluncur sampai jauh dan terbanting ke atas tanah. Hek-houw Ji Sun telah kehilangan golok dan perisainya yang terlepas ketika diputar-putar tadi. Begitu tubuhnya terbanting ke atas tanah, dia pun segera meloncat bangun. Semua orang sudah merasa kagum melihat betapa si tinggi besar hitam yang sudah dipurat-putar seperti itu dan terbanting jatuh, begitu jatuh sudah dapat bangkit kembali. Juga Hay Hay memandang terbelalak. Betapa kebal tubuh orang itu, pikirnya. Akan tetapi dia lalu tersenyum melihat betapa tubuh itu terhuyung-huyung, lalu jatuh terkulai dan tidak bergerak lagi karena pingsan. Ternyata Hek-houw Ji Sun hanya mampu bangkit sebentar saja. Kepalanya terasa pening, pandang matanya berputar-putar dan dia roboh pingsan. Karena pemandangan ini memang menggelikan, di antara para anak buah yang berada di situ, banyak yang menahan senyum geli melihat tingkah jagoan kedua ini. "Keparat...!" Tiat-ci Thio Kang membentak keras dan kini dia sudah menghadapi Hay Hay, mengamati wajah dan seluruh tubuh pemuda itu. Seorang pemuda yang biasa-biasa saja, pikirnya, namun mampu merobohkan Hek-houw Ji Sun dalam sembilan jurus! "Orang muda, sebenarnya siapakah engkau, dari mana asalmu dan apa pula maksudmu datang membikin kacau di sini?" Lagaknya tinggi dan memang Tiat-ci Thio Kang terkenal seorang yang tinggi hati. Dia adalah jagoan yang datang dari kota raja, suka memandang rendah orang lain. Hay Hay tersenyum. "Sudah kukatakan bahwa namaku Hay Hay, aku seorang perantau dan aku datang bukan untuk membikin kacau, melainkan hendak bertemu dan berbicara dengan Hartawan Coa. Tapi kenapa engkau dan teman-temanmu menghalangiku? Kalian yang membikin kacau, bukan aku!" "Hemm, lagakmu sombong sekali, Hay Hay. Jika engkau mampu mengalahkan sepasang pedangku serta jari tanganku, barulah engkau boleh menghadap majikan kami. Nah, kini rasakan kelihaian Tiat-ci Thio Kang!" Berkata demikian dia lantas menggerakkan tangan dan nampaklah kilatan sinar sepasang pedang yang telah dicabutnya dari punggung. Kini dia telah memasang kuda-kuda sambil melintangkan sepasang pedang itu di atas kepala, membentuk sebuah gunting. Hay Hay mengangguk-angguk. "Memang kalian ini orang-orang yang tinggi hati dan biasa mengandalkan kepandaian silat untuk menggunakan kekerasan memaksakan kehendak." "Tak usah cerewet! Jika engkau tidak berani, berlututlah dan menyerahkan kembali emas yang lima puluh tail itu kepadaku!" Kini Hay Hay sudah kehabisan kesabaran. Dia tidak mau melayani orang-orang sombong ini, maka diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata lantang. "Tiat-ci Thio Kang, engkau membawa-bawa dua ekor ular berbisa di tanganmu itu untuk apakah?" Tiat-ci Thio Kang terkejut. "Hah? Ular berbisa...?!" Dia menurunkan kedua tangannya dan melihat sepasang pedangnya. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan bentakan aneh, lalu dia membuang jauh-jauh dua ekor ular kobra yang dipegangnya! Dua ekor ular itu sudah mengembangkan lehernya dan agaknya siap hendak mematuknya! Untung dia cepat membuangnya, kalau tidak, sekali patuk saja dia akan tewas! Semua orang yang melihat betapa Tiat-ci Thio Kang tiba-tiba membuang sepasang pedangnya, menjadi heran sekali. Hay Hay mengambil sepasang pedang itu, kemudian dengan dua tangannya dia menekuk dua batang pedang itu. “Krekk! Krekk!” terdengar suara dan dua batang pedang itu pun patah-patah. Pemuda itu seolah mematahkan dua batang ranting kecil yang lemah saja! Dibuangnya patahan dua batang pedang itu ke atas tanah. Tiat-ci Thio Kang terbelalak. Ketika membuang dua ekor ular itu, dia melihat betapa dua ekor ular itu terjatuh ke atas tanah lalu berubah menjadi dua batang pedangnya sendiri! Lantas dia melihat pula betapa dua batang pedangnya itu dipatah-patahkan oleh pemuda yang luar biasa itu! "Bagaimana, Tiat-ci Thio Kang, apakah engkau belum juga mau mengundang majikanmu untuk keluar menemui aku?" tanya Hay Hay yang mengharapkan agar perkelahian dapat terhenti sampai sekian saja. Akan tetapi watak Tiat-ci Thio Kang amat tinggi hati. Biar pun dia melihat kenyataan yang aneh ketika sepasang pedangnya berubah menjadi ular berbisa, kemudian kedua pedang itu dipatah-patahkan lawan, hal yang membuktikan betapa lihainya lawan, tetapi dia masih belum mau menyerah kalah bahkan menjadi penasaran. Dia tak percaya bahwa seorang pemuda sederhana seperti itu akan dapat mengalahkannya, dan mampu menandingi jari-jari tangannya! "Pemuda iblis! Jangan engkau mempergunakan sihir dan ilmu setan, mari kita mengadu kekuatan sebagai laki-laki sejati!" "Maksudmu, mengadu kekuatan bagaimana?" Hay Hay bertanya. "Lihat jari-jari tanganku ini!" Thiat-ci Thio Kang mengangkat kedua tangannya ke depan, menunjukkan jari-jari tangannya yang warna kulitnya berbeda dengan warna kulit bagian tubuh lain. Kulit jari tangan itu agak membiru dan mengkilat. "Sudah kulihat jelas. Jari-jari tanganmu itu seperti tahu!" kata Hay Hay sambil tersenyum mengejek. Thio Kang marah bukan main, akan tetapi dia menahan diri dan berkata, "Bagus! Mari kita mengadu kekuatan. Jari tanganku yang seperti tahu ini boleh diadu dengan dadamu yang seperti agar-agar itu! Kalau sekali tusuk dengan kedua jari telunjukku ini aku tidak mampu menembus dadamu, maka aku mengaku kalah!" "Bagus, bagus! Sungguh pertandingan yang menarik. Jari tahu melawan dada agar-agar! Baik, Thiat-ci Thio Kang, aku menerima tantanganmu, tapi harus kubuka bajuku agar tidak sampai kotor oleh jari tanganmu." Berkata demikian, Hay Hay lantas melepaskan kancing bajunya dan setelah bajunya terbuka, nampak kulit dadanya yang putih. Secara diam-diam Tiat-ci Thio Kang telah mengerahkan sinkang-nya, menggunakan Ilmu Jari Besi sehingga jari-jari tangannya menjadi keras, terutama sekali dua jari telunjuknya di mana dia memusatkan tenaga dalamnya. Mereka sudah saling berhadapan. Hay Hay berdiri tegak dan santai, ada pun Tiat-ci Thio Kang berdiri dengan kaku sambil memasang kuda-kuda. "Aku sudah siap!" kata Hay Hay dan ketika dia masih berbicara, Tiat-ci Thio Kang sudah mengeluarkan suara bentakan nyaring lantas tiba-tiba saja kedua lengannya meluncur ke depan, kedua jari telunjuknya menusuk ke arah dada kanan kiri! Cepat dan kuat sekali tusukannya itu dan semua orang yang sudah pernah melihat jagoan ini menggunakan dua jari tangannya menusuk batu sampai berlubang dan papan sampai tembus, langsung membayangkan betapa dada pemuda itu akan segera berlubang dan mengucurkan darah. "Krekkkk!" Dua jari telunjuk itu dalam saat yang sama bertemu dengan dada yang telanjang itu dan akibatnya, tiba-tiba Tiat-ci Thio Kang menekuk pinggangnya, kemudian membungkuk dan menggenggam jari telunjuk di kedua tangan, mukanya pucat dan mulutnya merintih-rintih, mukanya penuh dengan keringat dingin. Rasa nyeri yang menusuk-nusuk jantung datang dari dua jari telunjuknya yang tulangnya patah-patah! Dia mencoba untuk bertahan, akan tetapi akhirnya dia terkulai dan roboh pingsan! Kini Hek-houw Ji Sun dan Kang-thouw-cu Phang Su sudah dapat memulihkan diri. Melihat jagoan pertama itu roboh pingsan, mereka lalu memberi aba-aba kepada puluhan orang pengawal untuk mengeroyok Hay Hay. "Tangkap dia!" "Bunuh dia!" Para pengawal sengaja bergerak lambat. Mereka ragu-ragu dan merasa agak jeri setelah melihat betapa tiga orang jagoan itu sudah roboh semuanya oleh pemuda sederhana ini, roboh dengan mudahnya! Pada saat itu pula terdengar bentakan seorang wanita. "Tahan semua senjata! Semua orang mundur!' Mendengar suara yang sangat mereka kenal ini serta melihat munculnya Siok Bi, gadis cantik manis yang selain menjadi pengawal pribadi Hartawan Coa juga menjadi seorang kekasihnya itu, para pengawal cepat-cepat menahan gerakan mereka. Tentu saja mereka mentaati gadis itu yang biar pun ilmu kepandaiannya tidak setinggi tiga orang jagoan yang telah kalah, namun memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari mereka. "Kalian mundur dan tidak boleh mengeroyok tamu ini! Di samping kalian takkan menang, juga majikan kita berkenan hendak menerimanya. Dia memang datang untuk berjumpa dengan majikan kita dan diterima sebagai tamu!" Siok Bi memberi isyarat kepada Hay Hay, akan tetapi dia menjura dan berkata, "Taihiap dipersilakan masuk." Hay Hay juga memberi hormat dan menjawab, "Terima kasih, Nona." Mereka berdua berjalan memasuki gedung itu, diikuti pandangan mata semua pengawal yang kini memandang jeri dan kagum. Tidak mereka sangka bahwa pemuda bercaping lebar yang sederhana itu memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya. Bukan hanya ilmu silat yang aneh dan tinggi, akan tetapi juga kekebalan tubuh dan ilmu sihir! Diam-diam tiga orang jagoan itu, setelah kini Thio Kang siuman, bergidik membayangkan apa akan jadinya dengan mereka andai kata tadi pemuda itu bersungguh-sungguh hendak mencelakakan mereka. Tentu sekarang mereka bertiga telah menjadi mayat. Sementara itu Siok Bi mendampingi Hay Hay memasuki gedung yang sangat besar itu. Para pengawal menjaga di setiap tikungan dengan tombak di tangan. Akan tetapi mereka berdiri tegak tak bergerak karena melihat bahwa pemuda asing itu ditemani oleh Siok Bi yang mereka kenal dan percaya. "Aku girang sekali engkau memenuhi janji, taihiap....” Siok Bi berbisik ketika mereka lewat di bagian yang jauh dari penjaga. Hay Hay tersenyum. "Aku tidak pernah melanggar janji, apa lagi terhadap seorang gadis cantik jelita seperti engkau, nona Siok Bi!" Gadis itu menahan senyum dan merasa terharu sekali. Pemuda ini memang hebat. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu menyenangkan hati! Aihh, kalau saja dia dapat hidup di samping pria ini untuk selamanya! Biar dikurangi sepuluh tahun usianya, dia rela! Mereka berhenti di depan pintu yang tertutup, pintu sebuah kamar yang amat besar. Siok Bi mengetuk pintu dengan ketukan lirih tiga kali. "Ah, engkaukah itu, Siok Bi? Bagaimana, apakah dia sudah datang?" terdengar suara dari dalam kamar, suara besar Hartawan Coa. "Sudah, tai-ya, bahkan dia kini sudah berada di sini bersama saya. Bolehkah dia masuk menghadap?" Hening sejenak, kemudian terdengar suara Hartawan Coa. "Suruh dia masuk!" Daun pintu didorong terbuka oleh Siok Bi. Hay Hay melihat sebuah kamar yang mewah sekali. Kamar yang luas dan penuh dengan perabot yang serba mahal, indah dan mewah. Hartawan Coa sedang menghadapi meja penuh hidangan yang masih mengepulkan uap panas! Itukah sarapan pagi? Bukan main! Hidangan untuk sarapan pagi saja sudah mengalahkan sebuah pesta orang biasa, lantas bagaimana dengan makan siang atau makan malam?! Agaknya hartawan itu sedang sarapan pagi, dilayani oleh tujuh orang gadis yang rata-rata berwajah cantik, bertubuh langsing dan bersikap genit. Di sebelah dalam agak ke sudut, terdapat sebuah pembaringan yang besar, yang cukup untuk tidur sepuluh orang. Agaknya kini hartawan itu telah selesai sarapan, karena pada saat itu para gadis sedang menyingkirkan sisa hidangan yang masih panas itu. Ketika Hartawan Coa melihat Siok Bi masuk bersama seorang pemuda yang menggantung caping lebar di punggungnya hingga menutupi sebuah buntalan yang cukup besar, dia pun cepat memandang penuh perhatian.....

jilid 9


INILAH pemuda yang semalam melindungi Gui Lok, mengalahkan dua orang pengawalnya dan membikin malu padanya di depan umum! Dan kini pemuda ini berani muncul, bahkan menurut laporan Siok Bi tadi, pemuda ini mengalahkan semua jagoannya dan tentu akan merobohkan puluhan orang pengawal kalau tidak segera diundang masuk. Siok Bi mengatakan bahwa pemuda itu datang bukan hendak membikin kacau, melainkan untuk menyerahkan uang sebanyak lima puluh tail emas! Dan dia pun sudah mendengar bahwa pemuda ini pula yang sudah mengeduk lima puluh tail emas dari rumah judinya, mengalahkan semua bandar judi yang tangguh. Meski hatinya diliputi keraguan dan perasaan takut, terpaksa dia menyetujui ketika Siok Bi menyatakan hendak mengundang saja pemuda itu masuk supaya dapat bicara baik-baik. Menghadapi seorang pemuda yang selihai itu memang lebih baik dilakukan dengan cara damai. Bahkan, akan sangat menguntungkan kalau pemuda selihai itu mau menjadi kaki tangannya! "Duduklah, orang muda yang gagah perkasaa," kata Hartawan Coa. Para pelayan wanita segera mengundurkan diri sehingga di dalam kamar itu hanya tinggal Hartawan Coa, Hay Hay dan Siok Bi bertiga saja. Para pengawal kini bergerombol di luar kamar itu, siap melindungi majikan mereka kalau diperlukan. "Terima kasih, Coa Wan-gwe,” kata Hay Hay sederhana dan dia pun lantas menurunkan buntalannya dari atas punggung, meletakkannya di atas meja dan dia sendiri lalu duduk di atas bangku dekat meja. Siok Bi juga turut duduk di antara mereka, dengan wajah berseri dan kedua pipi merah. Matanya yang indah itu bersinar-sinar karena dia tahu bahwa pemuda itu menepati janji, membawa lima puluh tail emas itu untuk membeli kebebasannya! Tadi malam dia sudah memberi kabar kepada pemuda yang mencintainya itu supaya pagi ini siap menantinya di depan gedung, siap pergi bersamanya untuk menjadi suami isteri dan memulai hidup baru yang cerah! "Anak muda, semalam engkau berkata kepadaku akan datang berkunjung. Dan sekarang, pagi-pagi engkau benar-benar datang berkunjung dan mengatakan kepada para pengawal bahwa engkau datang sambil membawa lima puluh tail emas untuk diberikan kepadaku. Benarkah itu dan apakah maksudmu? Apakah engkau hendak mengembalikan lima puluh tail emas yang kau bawa dari rumah judi itu?" Melihat sikap hartawan jtu, Hay Hay tersenyum. Tentu saja hartawan ini bersikap angkuh karena pada saat itu dia menjadi tuan rumah dan selain itu, juga di luar kamar ini terdapat puluhan orang pengawal dan di dekatnya ada Siok Bi yang tentu dianggapnya sebagai seorang pengawal yang setia. Dan memang sebenarnya Siok Bi seorang pengawal yang setia, kalau saja dia tidak merasa begitu sengsara menjadi kekasih hartawan yang tidak dicintanya itu. "Coa Wan-gwe, rumah judi itu milikmu, bukan? Pernahkah engkau mengembalikan uang kekalahan dari para penjudi selama ini? Beberapa ratus ribu tail saja yang dimenangkan rumah judi itu dari para penjudi?" Hartawan itu tersenyum. "Dalam perjudian, menang dan kalah merupakan hal yang biasa, bukan?" "Benar begitu. Karena itu, kemenanganku di rumah judimu juga bukan hal aneh, mengapa sekarang kau berharap aku mengembalikan uang kemenanganku dari rumah judi itu?" Hartawan yang tinggi besar dengan muka hitam bopeng itu tertawa. "Ha-ha-ha, aku pun tidak mengharapkan, hanya aku tadi mendengar bahwa engkau hendak memberikan lima puluh tail emas kepadaku. Benarkah itu, dan apa maksudmu dengan itu?" "Aku hendak menebus kebebasan nona Siok Bi!" Wajah yang tadinya tertawa itu tiba-tiba menjadi kaku, dan matanya terbelalak ketika dia menoleh dan memandang pada Siok Bi. Gadis ini menundukkan mukanya yang berubah merah, akan tetapi lalu diangkatnya mukanya itu dan dia menentang pandang mata Coa Wan-gwe dengan berani. "Dulu tai-ya membeliku dari mendiang ayah, jika sekarang ada yang hendak menebusku kembali, anehkah itu?" Siok Bi berkata dengan suara yang tegas. "Tapi... tapi... uang tebusan itu banyak sekali sekarang!" kata Coa Wan-gwe yang merasa sayang kepada Siok Bi untuk dua hal. Pertama, sebagai seorang di antara selirnya, Siok Bi tetap merupakan seorang kekasih yang istimewa, tidak genit seperti para wanita lain sehingga kadang terasa menjemukan, dan ke dua gadis ini memiliki ilmu silat yang cukup lihai sehingga dapat menjadi pengawal pribadi yang boleh diandalkan. Rumah judi miliknya itu maju pesat setelah Siok Bi menjadi pengurusnya. "Aku tahu, tai-ya. Pernah tai-ya mengatakan bahwa harga diriku kini telah mencapai lima puluh tail emas, bukan?" kata Siok Bi. "Nah, untuk urusan itulah aku datang, Coa Wan-gwe. Ini adalah lima puluh tail emas itu, untuk menebus kebebasan diri nona Siok Bi!" kata Hay Hay sambil mendorong buntalan emas itu ke arah tuan rumah. Sepasang alis yang tebal itu berkerut, kemudian Hartawan Coa menoleh kepada Siok Bi. Teringatlah dia betapa sudah selama hampir satu bulan ini Siok Bi selalu menjauhkan diri darinya, dengan dalih tidak enak badan dan sebagainya! "Ahh, kiranya engkau jatuh cinta kepada pemuda ini dan hendak menikah dengan dia?" tanyanya. "Jangan salah mengerti, Wan-gwe," kata Hay Hay cepat, sedangkan Siok Bi menggeleng kepalanya. "Aku hanya ingin menolongnya supaya dia bebas dari sini dan dapat memilih jodohnya sendiri. Engkau tidak perlu tahu siapa yang dipilihnya, tetapi yang jelas bukan aku. Nah, bagaimana jawabanmu, Coa Wan-gwe?” Hartawan itu merasa serba salah. Uang lima puluh tail emas memang sangat banyak bagi kebanyakan orang, tapi bagi dia tak ada artinya. Dia tidak ingin uang sebanyak itu karena uangnya sudah jauh lebih banyak lagi. Dia juga sayang kepada Siok Bi. Terutama sekali, dia tidak rela harus mengalah terhadap pemuda yang pernah membuat dia malu ini. Akan tetapi menentang kehendak pemuda lihai ini? Dia pun ragu-ragu! Tiba-tiba saja dia tersenyum karena mendapat pikiran yang dianggapnya baik dan sangat menguntungkan. Di dunia ini terdapat banyak wanita, bahkan yang lebih cantik menarik dari pada Siok Bi dan yang mudah dia dapatkan kalau dia menghendaki. "Aku tidak berkeberatan jika Siok Bi hendak menikah dengan seorang pria pilihan hatinya. Akan tetapi aku tidak rela kalau harus kehilangan seorang pembantu yang cakap. Begini saja, orang muda. Bagaimana kalau engkau menggantikan kedudukannya? Bukan hanya kedudukannya sebagai pemimpin rumah judi, bahkan akan kuserahkan kepadamu semua pimpinan para pasukan keamanan serta pengawal! Kuangkat engkau menjadi pembantu utama dan berapa saja gaji yang kau kehendaki, akan kupenuhi! Bagaimana?" Wajah pemuda itu berubah menjadi merah. Kurang ajar, pikirnya. Dia hendak dijadikan antek hartawan ini! "Coa Wan-gwe, urusan itu adalah urusan antara kita berdua dan boleh kita bicarakan nanti. Sekarang, beri dulu keputusan mengenai kebebasan nona Siok Bi!" Tidak ada pilihan lain bagi Hartawan Coa untuk mempertimbangkannya lagi kecuali harus menyetujui. Dia tahu betapa bahayanya menentang pemuda ini, apa lagi setelah kini Siok Bi berpihak kepadanya! Apa bila terjadi keributan, maka dapat dipastikan bahwa Siok Bi yang akan dibebaskan oleh pemuda itu tentu akan membantunya. Dia menarik napas panjang dan menyentuh buntalan uang emas. "Baiklah, aku menerima lima puluh tail emas ini sebagai penebus kebebasan Siok Bi. Mulai saat ini engkau bebas, Siok Bi." Mendengar ini, Siok Bi mengeluarkan seruan lirih dan dia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Hay Hay lantas merangkul kaki pemuda itu. "Ahhh, taihiap, terima kasih... terima kasih atas budimu ini yang takkan kulupakan selama hidupku....” Suaranya mengandung isak. Hay Hay tersenyum dan sekali tarik dia telah memaksa gadis itu bangkit berdiri kemudian merangkulnya. Dengan lembut sekali diciumnya dahi gadis itu, lalu dua pipinya sehingga ada air mata yang memasuki mulut melalui hisapan bibirnya. "Siok Bi, engkau memang pantas mendapatkan kebahagiaan. Nah, semoga engkau hidup berbahagia bersama suamimu dan ini, aku tidak dapat memberi apa-apa kecuali bekal ini, agar engkau dan suamimu dapat memulai hidup baru dan memiliki modal." Hay Hay mengambil sebuah guci arak, menaruhnya di atas meja di depan Coa Wan-gwe dekat buntalan emas, lalu dia meraih buntalan emas lima puluh tail itu dan menyerahkan emas itu kepada Siok Bi. Gadis itu terbelalak. "Tapi... tapi...” Dia memandang ke arah Hartawan Coa yang agaknya sudah berubah menjadi arca atau tidak melihat atau tak peduli bahwa buntalan emas itu diambil oleh Hay Hay dan sebagai gantinya, di depannya kini berdiri sebuah guci arak itu, yang telah kosong pula. "Bawalah, Siok Bi, disertai doaku. Ini milikmu! Ingat, bukankah engkau yang telah berhasil menyelidiki tentang Ang-hong-cu itu? Nah, bawalah dan cepat kau pergi dari sini!" Gadis itu menahan isak, lalu merangkul Hay Hay dan tanpa mempedulikan Coa Wan-gwe yang berada di sana dan duduk seperti patung, Siok Bi mencium bibir pemuda itu dengan sepenuh perasaan hatinya, penuh kemesraan, kehangatan, keharuan, disertai rasa syukur yang tidak terukur dalamnya. Kemudian, sambil menahan isak dia pun menerima buntalan emas itu dari tangan Hay Hay dan berbisik, "Selamat tinggal, sampai jumpa pula, taihiap." Dia lalu keluar dari kamar dengan langkah yang cepat. "Selamat jalan, sampai jumpa kembali, Siok Bi," Hay Hay berkata lirih sambil tersenyum. Masih terasa kehangatan dan kelembutan bibir gadis itu akan tetapi dia segera mengusir lenyap kenangan indah itu. "Coa Wan-gwe, lebih baik kita bungkus dulu emas ini dan suruh orangmu menyimpannya, baru kita bicara," katanya kepada hartawan yang tadi duduk seperti patung itu. Sekarang dia seperti baru sadar dari tidur. "Ahh, engkau benar sekali, sebaiknya kusuruh simpan dulu," katanya, sementara itu Hay Hay mengambil kain tilam meja yang lebar dan membungkus guci itu. Coa Wan-gwe bertepuk tangan dan muncullah dua orang gadis pelayan yang cantik genit. Tepukan tangan tadi adalah tepukan khas untuk memanggil dua orang selir terkasih ini. "Simpan dahulu buntalan emas ini di dalam almari dan jangan bilang kepada siapa pun bahwa di situ disimpan emas lima puluh tail," katanya. Dua orang gadis itu lalu mengambil buntalan guci dari atas meja, membawanya ke almari di sudut dan menyimpannya. Mereka lalu meninggalkan kamar lagi saat mendapat isyarat dari majikan mereka. Walau pun mereka adalah selir, akan tetapi kedudukan mereka tidak lebih sebagai pelayan yang melayani majikan mereka, bukan sebagai isteri. "Nah, sekarang kita berada berdua saja di dalam kamar ini, Coa Wan-gwe. Terus terang saja, bila aku menjadi pembantumu maka dalam waktu beberapa bulan saja tentu engkau akan jatuh bangkrut dan seluruh harta bendamu akan habis!" "Mengapa begitu?" tanya hartawan itu terkejut. "Pertama, karena aku tidak suka melihat orang menjadi korban perjudian. Ke dua, karena aku selalu menentang perbuatan jahat dan kejam yang dilakukan oleh anak buahmu atas perintahmu. Ke tiga, karena aku tidak suka melihat orang bersikap sewenang-wenang dan memaksa wanita muda untuk menjadi miliknya. Dan ke empat, aku tak dapat tinggal diam saja melihat orang-orang hidup melarat dan tidak dapat makan, dan hartamu tentu akan kubagi-bagikan kepada mereka!" Sepasang mata hartawan itu terbelalak. "Wah, wah, kalau begitu, tidak jadi saja! Aku tak mau mempunyai pembantu seperti itu!" Hartawan Coa menjadi marah, lalu bangkit berdiri. "Orang muda, segera kau pergi tinggalkan rumahku ini dan jangan lagi menggangguku!" "Kalau aku tetap mengganggumu, kau mau apa?" Hartawan itu masih belum mau menyerah dan tiba-tiba dia menyambar sebuah tali yang tersembunyi di antara kain-kain sutera yang menghias kamar itu. Segera terdengar suara kelenengan di luar, lantas daun pintu kamar itu terbuka. Muncullah tiga orang gadis pelayan cantik yang bertubuh kuat, bersama tiga orang jagoan yang tadi sudah dirobohkannya! Tiga orang jagoan itu nampak gentar sekali sungguh pun mereka cepat-cepat datang ketika mendengar kelenengan yang berarti tanda bahaya bagi majikan mereka itu. Di luar pintu masih berdiri puluhan orang pengawal yang siap dengan senjata di tangan. "Nah, engkau masih berani menggangguku?" bentak hartawan itu. Hay Hay tersenyum lebar. Hartawan Coa ini harus diberi hajaran yang cukup keras untuk melunakkan hatinya yang keras. "Hemmm, kau mengandalkan para pengawalmu? Engkau tidak tahu bahwa setiap waktu para tukang pukul dan pengawalmu itu bisa saja berbalik memusuhimu, bahkan mungkin pula engkau akan dibunuh oleh mereka." "Tidak mungkin! Mereka adalah para pembantuku yang setia!" "Setia? Karena terpaksa dan karena uang, seperti halnya nona Siok Bi tadi. Heiiii, kau....!” Hay Hay menggapai salah seorang di antara ketiga gadis itu. "Kau ke sinilah dan beri satu kali tamparan pada pipi Hartawan Coa!" Semua orang terkejut, juga Hartawan Coa. Akan tetapi sungguh aneh. Gadis yang tadinya terbelalak kaget mendengar perintah itu, sekarang melangkah maju mendekati Hartawan Coa. "Plakkk!" Tangannya menampar dan pipi hartawan itu sudah ditamparnya! Tidak begitu nyeri, akan tetapi Hartawan Coa menjadi terkejut dan marah bukan main. Wajahnya sebentar pucat dan sebentar merah. "Tangkap perempuan kurang ajar ini!" Hay Hay melangkah maju. "Siapa yang berani menangkapnya?! Kalau aku tidak memberi perintah, maka tak seorang pun boleh mengganggu dia!" Dan aneh, mendengar teriakan Hay Hay ini, tak seorang pun berani maju, walau pun Hartawan Coa berkali-kali memberi perintah. "Kau! Majulah dan tampar pipi hartawan ini supaya dia tidak berteriak-teriak lagi!" kata Hay Hay pada gadis ke dua. Gadis itu pun tadinya terbelalak, akan tetapi dia melangkah maju dan tangannya menampar. Hartawan itu hendak menangkis, namun kalah cepat. "Plakkk!" Dan untuk kedua kalinya pipinya kena ditampar oleh gadis kesayangannya yang biasanya amat patuh kepadanya. "Tiat-ci Thio Kang, jarimu sudah patah, karena itu pergunakan kakimu menendang pantat Hartawan Coa! Hayo cepat, jangan keras-keras, biar dia tahu rasa saja!" Mendengar ucapan ini, tentu saja Tiat-ci Thio Kang mempertahankan diri sekuatnya untuk menentang perintah yang berlawanan dengan kemauan hatinya itu. Akan tetapi, entah apa yang mendorongnya untuk melangkah maju dan kakinya lantas terayun. "Bukkk!” Hartawan Coa jatuh tersungkur, lalu bangkit sambil meringis dan menggosok pinggulnya yang ditendang. Sekarang mukanya pucat dan matanya terbelalak ketakutan memandang kepada Hay Hay. "Bagaimana? Haruskah aku lanjutkan? Bila aku memerintahkan mereka menyembelihmu, maka sekarang juga akan mereka laksanakan, Wan-gwe!" "Tidak.... Tidak...! Hentikan permainan setan ini !" katanya meratap ketakutan. “Kalau begitu, perintahkan mereka itu mundur." "Mundur! Kalian semua mundur, terkutuk kalian!" Hartawan Coa membentak dan mereka semua segera keluar dari dalam kamar, menutupkan daun pintu kamar dengan khawatir ketika melihat betapa majikan mereka marah-marah. "Nah, Wan-gwe. Begjtulah kalau engkau memelihara harimau-harimau liar. Sekali waktu mereka akan membalik dan mencelakai dirimu sendiri. Sekarang aku minta agar engkau tak lagi mempergunakan kekayaan dan kekuasaanmu untuk berbuat sewenang-wenang. Apabila aku mendengar engkau masih melanjutkan perbuatanmu yang jahat, maka aku akan segera kembali ke kota ini lantas akan kuperintahkan anak buahmu membunuhmu, atau mungkin juga keluargamu sendiri akan kuperintahkan membunuh dan menyiksamu lebih dulu!" "Aku... aku tidak berani lagi...” "Engkau juga tidak akan mengganggu lagi Gui Lok dan puterinya, Gui Ai Ling yang kau inginkan itu?" "Tidak, tidak... tidak lagi." "Dan engkau tidak akan menyuruh orang-orangmu mencari Siok Bi untuk kau ganggu?" "Tidak, aku tidak berani." "Bagus, akan tetapi jangan mencoba-coba untuk membohongi dan menipuku. Bila perlu, aku dapat menyuruh siapa saja atau apa saja untuk menghukum dan membunuhmu. Kau lihat tombak dan pedang di sudut kamar itu? Aku dapat memerintahkan mereka itu untuk membunuhmu!" Sekali ini, di dalam pandang mata hartawan yang tadinya ketakutan itu, kini berkilat sinar tidak percaya, walau pun mulutnya tidak berani mengatakan hal itu. "Engkau tidak percaya, Coa Wan-gwe? Nah, lihat baik-baik! Pedang dan tombak milikmu sendiri itu akan menyerangmu!" Tiba-tiba mata hartawan itu terbelalak, lantas mukanya yang hitam itu menjadi berkurang hitamnya karena pucat sekali. Dia melihat betapa pedang yang berada dalam sarungnya dan tergantung di tembok, sekarang meninggalkan sarung lalu melayang-layang bersama dengan tombak yang juga meninggalkan rak senjata. Kedua senjata itu melayang-layang ke atas lalu keduanya meluncur ke arah dirinya! Dia terkejut, ketakutan dan melompat menjauhi, akan tetapi ke mana pun dia mundur, dua batang senjata itu terus mengejar. Tombak itu bagaikan hendak menusuk-nusuk perutnya dan pedang yang tajam itu mengancam untuk membacok lehernya! Tentu saja dia mandi keringat dingin. "Tidak...! Tidak...! Jangan... ahh, ampunkan aku... ampunkan...” dia jatuh berlutut dan tak berani mengangkat lagi mukanya, tidak berani melihat dua senjata yang seperti hidup dan mengancamnya itu. "Mereka sudah kuperintahkan kembali ke tempat masing-masing, Wan-gwe." Hartawan Coa mengangkat mukanya dan benar saja. Dua buah senjata itu sudah berada pada tempatnya masing-masing, tidak bergerak dan mati seperti biasanya. Dia mengeluh dan menghapus keringat dengan ujung lengan bajunya. "Nah, kau lihat sendiri, Wan-gwe. Sedangkan benda mati saja dapat berkhianat padamu, apa lagi manusia hidup. Sekali waktu, mungkin saja pelayanmu sendiri meracunimu atau membunuhmu selagi engkau tidur. Sebab itu bertobatlah dan tinggalkan semua perbuatan jahat, baru Tuhan akan mengampunimu." Hartawan itu masih berlutut dan dia mengangguk-angguk. "Baik, baik... aku minta ampun, aku bertobat... tidak berani lagi...” Ketika dia mengangkat muka, ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ! Pada saat para pelayan dan pengawal memasuki kamar, mereka menemukan hartawan itu masih berlutut dalam keadaan seperti tidak bersemangat lagi! Hay Hay sama sekali tidak tahu bahwa sepeninggalnya, dia tak hanya membuat hartawan itu menjadi bertobat, bahkan lebih dari itu dan amat menyedihkan. Hartawan Coa menjadi seperti orang gila yang selalu ketakutan, takut terhadap isterinya, anak-anaknya, pelayan, bahkan takut kepada benda-benda di dalam kamarnya. Dia selalu berteriak-teriak bahwa mereka semua hendak membunuhnya. Akhirnya, karena dia selalu marah-marah dan minta agar semua benda disingkirkan dari kamarnya, maka kamar itu menjadi gundul dan kosong. Bahkan dia tidur begitu saja di atas lantai karena takut kalau segala macam ranjang, kelambu, meja kursi, bantal guling, akan membunuhnya di tengah malam! Hartawan Coa menjadi seperti orang gila. Akan tetapi kota itu menjadi tenang dan para penduduknya bernapas lega karena setidaknya, seorang yang tadinya amat ditakuti dan mengganggu ketenangan hidup mereka kini telah mati kutu. *************** Malam yang gelap karena malam itu gelap bulan. Langit hanya dihiasi laksaan bintang, atau jutaan atau bahkan lebih. Tak terhitung! Biar pun tidak ada bulan, namun sinar lemah dari bintang-bintang itu bergabung dan mampu pula mengurangi kepekatan malam, bukan menjadi gelap gulita lagi melainkan remang-remang. Akan tetapi, kompleks bangunan dalam lingkungan istana sama sekali tidak pernah gelap! Banyak sekali lampu-lampu gantung besar kecil, beraneka warna dan bentuk, menerangi bagian dalam dan luar istana. Bahkan di taman-taman bunga yang teratur indah terdapat lampu penerangan. Malam itu sunyi sekali karena hawa malam itu amat dingin. Musim semi telah mulai, akan tetapi sisa musim salju masih meninggalkan hawa dingin yang menyengat tulang. Karena dinginnya, maka malam itu amat sunyi meski di lingkungan istana sendiri. Para penghuni istana, yaitu kaisar serta semua keluarganya, juga para dayang, para selir, para pelayan dan bahkan para pengawal, lebih suka berada di dalam bangunan dari pada di luar! Di udara terbuka hawa dingin sungguh tak tertahankan. Para pengawal luar yang sedang melakukan penjagaan di luar kompleks bangunan lebih suka berkelompok di dalam gardu-gardu penjagaan di mana mereka dapat menghangatkan tubuh di dekat arang membara, atau perapian yang sengaja dibuat untuk sekedar menghangatkan badan melawan hawa dingin. Para penjaga menjadi malas untuk meronda sebab meronda berarti meninggalkan gardu dan memasuki tempat terbuka di mana mereka akan disambut oleh dekapan hawa yang amat dingin. Lagi pula, siapakah yang akan berani mengganggu ketentraman istana? Berarti mencari mati konyol! Maling? Sebelum memperoleh sesuatu dia sudah akan mati kedinginan lebih dulu! Malam itu, malam yang dingin sunyi sehingga para penjaga menjadi lengah. Akan tetapi, bagi seseorang yang sedang dimabok cinta dan dendam birahi, yang sedang menderita rindu, berkencan dengan kekasih yang dirindukan merupakan kewajiban yang harus dilakukan dengan sepenuh hati, dengan nekat dan kalau perlu mengorbankan diri! Jangankan hanya hawa dingin di malam sunyi itu, biar harus menghadapi rintangan yang lebih berat sekali pun, seorang yang sedang merindukan pertemuan dengan kekasihnya tidak akan mundur selangkahpun! Demikian pula bagi pria yang kini sedang menunggu di dalam taman bunga sebelah barat istana itu. Dia bersembunyi di balik rumpun-rumpun bunga yang tumbuh lebat di sebelah kiri depan pondok indah itu. Pondok yang bercat merah dan diberi nama 'Sarang Madu' di depannya, nama itu tertulis indah di papan yang tergantung di depan pondok. Nama ini diberikan kaisar karena dia merasa seolah-olah berada di sarang madu ketika sedang bersenang-senang dengan para selir dan dayang yang muda-muda dan cantik jelita di pondok merah itu. Nama Sarang Madu itu ada riwayatnya. Ketika itu, pondok merah ini baru saja selesai dibangun dan belum ada namanya. Ketika kaisar bersama para selir tercinta tengah bersenang-senang di situ, kaisar melihat sebuah sarang lebah tergantung pada dahan pohon dekat pondok. Sarang lebah itu sudah penuh madu, nampak ada madu menetes-netes turun. Kaisar segera menyuruh pengawal untuk mengusir lebah-lebahnya dan menurunkan sarang lebah itu. Ternyata sarang itu memang penuh dengan madu! Tentu saja kaisar menjadi girang sekali, lalu bersama para selir dan dayang minum madu yang manis. Karena peristiwa itulah maka pondok ini diberi nama Sarang Madu. Bukan hanya karena madu itu memang manis. Akan tetapi berpesta pora dengan para dayang dan selir yang cantik-cantik itu memang amatlah manisnya! Dan bagi pria yang kini bersembunyi di dekat pohon Sarang Madu itu, memang pondok itu merupakan sarang madu yang sangat manis baginya. Semua kenangan manis, indah dan menggembirakan berada di dalam pondok itu sejak dia bertemu dan berhubungan dengan Hwee Lan! Sekarang laki-laki itu menyelinap dekat tembok pondok yang lebih melindungi dirinya dari hembusan angin lembut sehingga sinar lampu gantung yang halus dapat menyentuhnya. Dia seorang laki-laki muda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, berpakaian sebagai seorang perwira dan dia nampak gagah sekali dalam pakaian yang cemerlang ini. Sebuah pedang tergantung pada pinggangnya, dan topi bulunya nampak bersih. Bulu itu kelihatan putih sekali di atas rambutnya yang hitam panjang. Wajahnya tampan menarik dan jantan. Wajah yang disuka oleh kaum wanita. Tubuhnya jangkung dengan pinggang ramping, tubuh yang juga menjadi idaman wanita. Pendeknya, pemuda berusia dua puluh lima tahun ini amat menarik bagi wanita. Seorang yang tampan, gagah dan memiliki kedudukan baik. Seorang perwira pengawal! Dari pangkatnya ini saja, yakni perwira pengawal dalam istana, mudah diduga bahwa dia bukanlah seorang pemuda lemah, melainkan seorang pemuda gemblengan yang memiliki kegagahan dan ilmu silat tinggi. Perwira muda ini bernama Tang Gun. Baru dua tahun dia menjadi perwira di dalam istana dan dipilih oleh kaisar sendiri karena dia telah berjasa saat membantu pasukan pengawal membasmi perampok yang berani memberontak dan mengusik ketenangan kaisar ketika kaisar berburu binatang di hutan. Pemuda yang gagah perkasa dan yang pekerjaannya sebagai seorang pemburu itu lalu membantu para pengawal, bahkan dialah yang berhasil membunuh kepala perampok. Mendengar tentang kegagahan pemuda ini, kaisar memanggilnya dan karena gembiranya kaisar lantas menganugerahkan pangkat perwira pengawal kepadanya. Bukan pengawal luar, akan tetapi pengawal dalam istana, sebuah pangkat yang hanya diberikan kepada orang-orang yang benar-benar dipercaya oleh kaisar! Tadinya Tang Gun hidup berdua saja dengan ibunya yang telah berusia empat puluh tiga tahun. Mereka hidup berdua dalam keadaan miskin karena ibunya adalah seorang janda dan kehidupan mereka hanya mengandalkan hasil buruannya. Bila dia berhasil membunuh seekor dua ekor kijang atau beberapa ekor kelinci, dagingnya lantas dibuat daging kering oleh ibunya, kemudian kulit dan daging kering itu dijual dan di tukar dengan beras, terigu dan bumbu-bumbu masak, juga untuk membeli pakaian. Mereka hidup di tempat terpencil, di dekat hutan. Sejak kecil Tang Gun memang suka mempelajari ilmu silat. Dari kawan-kawannya, para pemburu, dia belajar silat dan mencari guru-guru silat yang pandai. Karena tekunnya dan tidak mengenal lelah, juga rajin mencari guru yang pandai, akhirnya dia menjadi seorang pemuda gemblengan yang pandai silat dan menjadi jago di antara para pemburu. Ibunya selalu mengatakan bahwa ayah kandungnya telah meninggalkan mereka sejak dia masih kecil sekali. Menurut ibunya, ayah kandungnya adalah seorang pria she Tang dan ibunya menyerahkan sebuah benda berbentuk ukiran seekor kumbang yang terbuat dari emas dan batu permata. Si Kumbang Merah atau Ang-hong-cu, demikianlah julukan ayah kandungnya. Demikian menurut ibunya. Dia tidak pernah mengenal ayahnya, hanya tahu bahwa ayahnya she Tang dan berjuluk Ang-hong-cu. Menurut ibunya, ayahnya adalah seorang yang sangat sakti dan kalau dia kelak melihat seorang pria yang mempunyai tanda mainan seperti yang dimilikinya, maka itulah ayahnya! Tang Gun telah mencari keterangan di dunia kang-ouw tentang Ang-hong-cu. Akan tetapi, dengan kecewa dia mendengar bahwa sudah bertahun-tahun dunia kang-ouw tidak lagi mendengar nama Ang-hong-cu. Si Kumbang Merah itu seakan telah lenyap atau mungkin juga sudah mati! Maka Tang Gun menjadi putus asa dan tidak mencari lagi. Pada saat dia masih menjadi seorang pemburu biasa, kenyataan bahwa dia tidak berayah lagi, bahkan dia tidak tahu di mana ayahnya, sudah mati atau belum, tidak merupakan hal yang perlu dirisaukannya benar. Dia hanyalah seorang pemburu miskin. Siapa yang akan memperhatikan dirinya dan siapa yang ingin mengetahui siapa ayahnya? Akan tetapi, setelah dia menjadi seorang perwira pengawal di istana, hal itu menjadi amat penting! Ia kini seorang yang berkedudukan, dihormati dan disegani, bahkan cukup dekat dengan keluarga kaisar! Untuk mengangkat harga dirinya, terutama di kalangan pasukan dan juga di dunia persilatan, maka mulailah dia mengaku bahwa dia adalah putera Ang-hong-cu yang dikabarkan memiliki kesaktian hebat itu! Berita yang dibangga-banggakan inilah yang akhirnya sampai ke telinga Hay Hay lewat Siok Bi. Karena dia memiliki wajah tampan menarik, tubuh yang kokoh kuat sehingga dia nampak gagah dan jantan, sejak remaja Tang Gun disukai oleh banyak wanita. Dan dia pun sadar akan ketampanannya, sadar bahwa banyak wanita menyukainya. Oleh karena itu, walau pun ibunya yang menjanda itu sering mendesaknya supaya segera menikah, Tang Gun selalu menolak. Dia merasa rugi kalau harus menikah. cerita silat online karya kho ping hoo Pertama, untuk menikah dia harus memiliki uang namun dia seorang yang miskin. Setelah menikah, berarti tanggungannya bertambah, tadinya hanya dua orang menjadi tiga orang, belum lagi kalau isterinya melahirkan anak. Ke dua, sesudah dia beristeri tentu rasa suka para wanita terhadap dirinya akan berkurang. Jauh lebih senang kalau dia masih bebas, dia dapat berpacaran dengan wanita mana pun yang suka kepadanya dan disukainya. Maka mulailah Tang Gun dikenal sebagai seorang pemuda yang mata keranjang, selalu diburu wanita dan selalu berganti-ganti pacar! Betapa pun juga dia tak pernah melakukan pelanggaran. Tidak pernah dia memperkosa wanita, tak pernah pula dia mempermainkan isteri orang. Dia hanya menyambut uluran cinta seorang gadis atau seorang janda muda. Sesudah dia berusia dua puluh tiga tahun dan diangkat menjadi perwira pengawal dalam istana, nafsu birahi yang selama ini memperhamba batin dan tubuhnya menjadi terkekang dan tak mudah dapat disalurkan. Dia kini telah menjadi seorang perwira pengawal dalam istana. Tentu saja dia tidak boleh sembarangan mengumbar nafsu seperti ketika dia masih tinggal di dusun. Dia harus menjaga namanya dan kini dia tinggal di kompleks perumahan para perwira yang berada di lingkungan istana, meski pun di bagian luar akan tetapi masih berada di belakang tembok yang mengelilingi istana. Dia tinggal bersama ibunya di dalam sebuah rumah yang cukup indah walau pun sedang saja. Ada pula dua orang lainnya, lelaki dan wanita, yang menjadi pelayan rumah mereka. Dia hanya bisa mencari hiburan dan bersenang-senang apa bila dia sedang memperoleh giliran cuti. Dia sering pergi ke rumah pelesir yang jauh berada di sudut kota, menyamar sebagai seorang pemuda biasa. Akan tetapi dia tidak dapat berkutik apa bila dia sedang bertugas atau berada di rumah,. Sebagai seorang perwira pengawal, apa lagi pengawal di dalam istana, dia harus selalu sopan dan menjaga kesusilaan. Sebagian besar para perwira pengawal, juga para prajurit pengawal yang mengawal bagian dalam istana, apa lagi yang mengawal bagian keluarga puteri kaisar, adalah para thai-kam (laki-laki kebiri). Dia sendiri tidak diharuskan menjadi thai-kam karena kaisar percaya kepadanya. Karena tugasnya sebagai komandan pengawal dalam istana, maka sering kali Tang Gun memimpin rombongan pengawal melakukan perondaan di waktu malam. Bahkan sering pula dia mendapat giliran berjaga di dalam taman yang berhubungan dengan tempat para puteri. Karena itu sering pula dia melihat kaisar kalau Sribaginda ini sedang berjalan-jalan di dalam taman atau sedang bersenang-senang dengan para selir dan dayang di pondok-pondok indah. Tentu saja dia selalu bersikap hormat, berlutut sambil menundukkan muka, tidak berani mengangkat muka memandang Sribaginda dan para wanita cantik itu. Biar pun matanya tidak dapat melihat, namun hidungnya masih bisa mencium keharuman yang keluar dari pakaian para wanita, juga telinganya bisa menangkap suara tawa merdu sekali, sepatah dua patah kata yang keluar dengan halus lembut seperti nyanyian merdu. Karena dia berwatak mata keranjang, maka jantungnya langsung terguncang hebat. Lambat laun, setelah hampir dua tahun dia terbiasa dengan kesempatan seperti itu, maka mulailah dia berani bermain mata. Biar pun kepalanya ditundukkan, akan tetapi matanya mengerling ke atas. Makin kagumlah dia ketika melihat wanita-wanita cantik jelita dalam pakaian yang serba indah itu. Tadinya dia hanya mampu melihat bagian bawah tubuh saja, dari kaki-kaki mungil sampai lutut yang tertutup sutera beraneka warna. Tapi kini dia dapat melihat wajah para pemilik kaki mungil itu. Ternyata dia tidak menemukan wanita yang angkuh dan tinggi hati seperti di dalam dongeng tentang puteri-puteri dan keluarga kaisar, melainkan wajah-wajah cantik jelita dan manis yang memandang kepadanya dengan penuh gairah! Mata yang jeli itu, mulut yang segar kemerahan itu, dengan jelas sekali menunjukkan betapa mereka sangat kehausan! Tang Gun yang telah banyak bergaul dengan para wanita dapat melihat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa kebanyakan dari para wanita muda itu, para selir serta dayang dari Kaisar, memandang kepadanya dengan penuh birahi! Memang demikianlah keadaan para wanita muda dan cantik itu. Mereka melihat seorang perwira pengawal yang muda, tampan, ganteng, gagah dan jantan. Apa lagi mereka juga mendengar dari para thai-kam yang selalu bermuka-muka terhadap mereka bahwa Tang-ciangkun (Perwira Tang) ini, yang pernah menyelamatkan kaisar, adalah seorang perwira yang benar-benar jantan dan laki-laki tulen, bukan thai-kam! Tentu saja hal ini membuat mereka tertarik dan mereka selalu timbul birahi dan gairah setiap kali melihat perwira itu. Memang seperti itulah keadaan para wanita muda yang menjadi penghuni istana raja di mana pun juga. Seorang kaisar sudah lajim mempunyai banyak sekali selir dan dayang, bisa sampai puluhan orang banyaknya. Hal ini tentu saja merupakan keadaan yang tidak seimbang. Puluhan orang selir dan dayang itu adalah wanita-wanita yang masih muda, bagai bunga-bunga di taman yang sedang segar-segarnya, sedang mekar indah dan membutuhkan banyak sekali siraman dan curahan kasih sayang dan kemanjaan pria. Sebaliknya, kaisar yang sudah setengah tua itu tentu saja tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan badan dan batin mereka. Kaisar hanya mampu memberikan kedudukan dan kemewahan saja. Para wanita itu mendambakan perhatian, pencurahan kasih sayang yang lebih sering dan lebih banyak. Mereka rata-rata merasa kesepian, seperti burung-burung dalam kurungan. Maka tidaklah mengherankan dan bukan semata karena watak mereka yang genit kalau mereka itu segera tertarik kepada Tang Gun yang muda, tampan, gagah dan mempunyai kerling mata tajam serta senyuman menggairahkan hati mereka itu. Akan tetapi bagi Tang Gun, yang paling membuat dirinya tergila-gila adalah seorang selir kaisar yang bernama Hwee Lan. Mula-mula pertemuannya dengan Hwee Lan merupakan hal yang kebetulan saja dan tidak disengaja. Pada suatu malam, beberapa bulan yang lalu, malam terang bulan yang amat indah. Tang Gun yang kebetulan dinas jaga, memimpin para pengawal dalam istana dan membagi-bagi tugas jaga, merasa iseng sehingga dia pun memasuki taman istana bagian barat yang indah. Sambil meronda dia pun sekalian menikmati malam yang sangat indah itu. Malam yang hawanya tidak begitu dingin, terang bulan pula dan karena pada saat itu bunga-bunga di taman sedang mekar, maka keadaan taman itu benar-benar amat indah, romantis dan penuh dengan keharuman bunga. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh gerakan dan suara orang di belakang pondok Sarang Madu yang merah itu. Menduga terjadi sesuatu yang mencurigakan, ia pun cepat menyelinap di antara semak-semak dalam taman dan mengintai dari balik batang pohon. Kiranya yang berada di antara bunga mawar yang ditanam di bagian belakang pondok itu adalah salah seorang di antara para selir yang paling jellta! Selir itu memang sangat menarik dan mempesona hati Tang Gun setiap kali melihatnya, dengan kulit muka yang bukan hanya putih mulus seperti para selir lain, melainkan putih bercampur warna merah segar, seperti kulit bayi yang montok. Selir yang usianya paling banyak delapan belas tahun itu ditemani oleh seorang dayang pelayan yang juga usianya masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun dan cantik pula. Namun, dibandingkan dengan selir itu, kecantikan dayang ini tidak ada artinya lagi. “A Sui, malam begini indah, taman penuh bunga, udara demikian sejuk dan harum. Aihh, alangkah indahnya malam ini..." Tang Gun yang mengintai, merasa jantungnya berdebar penuh kagum. Suara itu demikian merdu, dan kata-kata itu demikian halus dan indah. Dayang itu tersenyum. "Aduh, kata-kata nona Hwee Lan selalu indah sekali, mirip seperti nyanyian, seperti sajak...,” dayang itu memuji. "Memang aku suka bersajak, A Sui, apa lagi di dalam suasana yang begini indah...” Selir cantik itu mengangkat muka memandang ke arah bulan purnama. Wajah itu sepenuhnya tertimpa cahaya bulan, nampak putih kemerahan laksana disepuh emas sehingga Tang Gun yang sedang mengintai menjadi terpesona. Selama hidupnya belum pernah dia melihat wanita secantik selir itu. Dan namanya Hwee Lan! Dayang itu bertepuk tangan memuji. "Kalau begitu, mengapa Nona tidak membuat sajak tentang malam yang indah ini? Saya akan berbahagia sekali mendengarkannya, Nona." Sikap dayang itu amat bersahabat, karena biar pun kedudukannya hanya sebagai dayang yang melayani selir itu, sebagai pelayan pribadi, namun dayang ini pun termasuk seorang di antara para dayang cantik yang menerima ‘kehormatan’ dari kaisar, yaitu pernah dan sewaktu-waktu menemani dan melayani kaisar di kamar tidurnya. Oleh karena itu, walau pun kedudukan mereka berbeda tapi keduanya merasa senasib dan seperti madu saja. Hwee Lan kembali merenung memandang bulan, lalu beberapa kali dia menghela napas panjang. "A Sui, pada malam terang bulan seperti ini selalu mengingatkan aku akan masa remaja ketika aku belum dibawa ke dalam istana, bergembira ria bersama teman-teman di kampung. Dan malam sepertl ini selalu mengingatkan aku akan keadaanku sekarang. Aku akan mencoba bersajak, akan tetapi hanya untuk telinga kita berdua saja, A Sui." Suasana menjadi hening. A Sui dan Tang Gun yang bersembunyi, menanti dengan penuh pesona. Bahkan kembang-kembang di taman itu seperti sedang menanti pula, dan semilir angin lembut tiba-tiba saja berhenti berhembus, seperti memberi kesempatan kepada si jelita untuk mengalunkan suaranya yang merdu. Hwee Lan masih berdiri, demikian lembut gemulai seperti sebatang pohon yang-liu muda. Dia memandang bulan, kemudian terdengarlah suaranya lirih dan lembut seperti desahan bayu di antara daun pohon cemara. "Malam syahdu penuh pesona Mencipta sajak memuja asmara Bulan gemilang bayu berdendang Taman mengharum mengapa hati bimbang? Mawar merah cantik jelita, Tiada belaian, sepi menderita Siapa peduli mawar sengsara Apa guna segala ratap hampa Mawar indah menangis sendiri Akhirnya layu... kering... mati...!" Sajak itu diakhiri dengan isak tangis tertahan. A Sui segera bangkit berdiri, lalu merangkul Hwee Lan dan ikut pula menangis, akan tetapi disertai kata-kata menghibur. "Sudahlah, nona, Tidak perlu membiarkan duka berlarut-larut menggerogoti hati. Memang beginilah nasib wanita-wanita seperti kita...” "Wahai mawar merah nan suci ada taman sepotong hati dengan pupuk kesetiaan sejati dan siraman air cinta murni bersedia menampung jika sudi!" Dua orang wanita itu terkejut dan menengok ke arah pohon besar di belakang pondok. Pada waktu melihat munculnya Tang Gun, Hwee Lan tidak menjadi ketakutan. Wajahnya berubah kemerahan dan kedua kakinya gemetar ketika perwira yang tampan itu berjalan menghampiri. Mereka berdiri dan saling pandang, sedangkan A Sui sambil menahan senyumnya cepat mundur ke belakang nonanya. Kedua wanita ini sudah sering kali membicarakan tentang ketampanan dan kegagahan Tang Gun. "Kiranya Tang-ciangkun...!" kata Hwee Lan, suaranya merdu dan lirih, tetapi agak gemetar karena jantungnya berdebar penuh ketegangan. “Selamat malam, Tuan Puteri, dan maafkan jika hamba mengganggu. Hamba tadi sedang meronda lalu mendengar...” "Sudahlah, ciangkun. Engkaukah yang menjawab sajakku tadi?" Betapa beraninya wanita ini, pikir Tang Gun, betapa hausnya! "Benar, Tuan Puteri, dan ampunkan hamba....” "Benarkah apa yang kau katakan dalam sajak tadi? Engkau bersedia menampung mawar layu, bersedia menyirami dan menyegarkannya kembali?" "Hamba bersedia dengan sungguh hati dan dengan segala kebahagiaan dan kehormatan, Tuan Puteri...” Kini seluruh tubuh Hwee Lan gemetar dan dia pun menoleh ke sekelilihg. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain di situ, dia melangkah maju, memegang tangan perwira itu lalu berkata lirih, "Mari kita bicara di dalam pondok, ciangkun. Tidak baik bila diketahui orang. A Sui, engkau menjaga di luar." A Sui tersenyum gembira dan mengangguk, membayangkan bahwa kelak dia pun sudah pasti akan mendapat bagian karena bukankah rahasia mereka berdua berada di telapak tangannya? Tang Gun menjadi berani dan dia pun menggenggam tangan yang kecil lunak dan hangat itu, kemudian mereka bergandeng tangan memasuki pondok Sarang Madu. Mudah dibayangkan apa yang terjadi malam itu di pondok Sarang Madu. Dua orang muda yang tengah dilanda dan dicengkeram nafsu birahi itu sepenuhnya menyerah dan menjadi permainan nafsu mereka sendiri yang tak pernah mengenal puas. Dan keduanya terkulai dan menyerah. Bagi Hwee Lan yang sejak perawan dibawa ke dalam istana, selama ini hanya mengenal kaisar yang setengah tua sebagai satu-satunya pria yang menggaulinya. Dan kini, begitu bertemu dengan Tang Gun yang masih muda, gagah, tampan dan jantan, maka tidaklah mengherankan kalau dia menjadi tergila-gila. Sebaliknya, biar pun Tang Gun sudah banyak bergaul aengan wanita, namun selama ini dia pun belum pernah bertemu dengan wanita secantik dan sepanas Hwee Lan, maka dia pun tergila-gila. Keduanya lantas saling melekat dan merasa bahwa mereka tak mungkin dapat saling kehilangan atau saling berpisah! Tang Gun yang cerdik maklum bahwa keselamatan dia dan kekasihnya berada di tangan A Sui. Apa bila hal itu dibiarkan lewat begitu saja, tentu dia dan kekasihnya akan menjadi permainan dayang itu dan dapat diperas habis-habisan. Oleh karena itu, atas persetujuan Hwee Lan yang juga melihat ancaman bahaya ini, Tang Gun kemudian mempergunakan ketampanannya untuk merayu A Sui. Dayang ini pun hanya seorang gadis yang tidak jauh bedanya dengan Hwee Lan, haus akan belaian dan kasih sayang pria, apa lagi kalau prianya setampan dan segagah Tang Gun. Dia pun kemudian menyerah dalam dekapan Tang Gun. Maka amanlah hubungan mereka karena semuanya terlibat. Nafsu tidak pernah merasa puas. Bahkan semakin dituruti, nafsu menjadi semakin ganas, semakin kelaparan dan selalu menghendaki lebih! Karena itu pertemuan antara Tang Gun dan Hwee Lan yang ditemani A Sui dan kemudian berakhir dengan permainan cinta gelap sepanjang malam itu tidak berhenti sampai di situ saja. Pertemuan demi pertemuan diatur dan diadakan antara mereka, makin lama semakin sering seperti orang kecanduan! Dua bulan telah lewat dan pada malam yang amat dingin itu, Tang Gun tidak undur oleh dinginnya hawa udara dan dia sudah menanti kekasihnya di dekat pondok Sarang Madu. Malam itu adalah malam yang penting sekali bagi mereka bertiga, karena pada malam itu mereka sudah mengambil keputusan hendak melarikan diri dari dalam istana! Atau lebih tepat, Hwee Lan akan dibantu kekasihnya melarikan diri keluar istana. Tang Gun yang menjadi komandan pengawal sejak sore tadi sudah mengatur sedemikian rupa sehingga ada jalan terbuka yang tidak dijaga. Dan agaknya hawa udara yang dingin ikut pula membantu mereka sebab para pengawal lebih suka bersembunyi di dalam gardu penjagaan menghangatkan diri. Karena dia sendiri juga terlibat, maka tentu saja A Sui ikut pula melarikan diri. Tang Gun bukan seorang bodoh. Dia tidak berani melarikan dua orang wanita yang sudah menjadi kekasihnya itu ke rumahnya yang masih berada dalam lingkungan istana. Tidak, dia tidak setolol itu. Atas bantuan keuangan dari Hwee Lan yang menjual barang-barang perhiasan mahal, Tang Gun telah membeli sebuah rumah di kota Yu-sian, jauh di sebelah barat kota raja. Menurut rencana mereka, jika dua orang wanita itu sudah dilarikan ke Yu-sian, kemudian keributan karena pelarian mereka itu sudah mereda, maka Tang Gun akan melepaskan jabatannya lalu menyusul ke Yu-sian di mana mereka akan hidup baru dengan berdagang menggunakan modal yang sudah mereka kumpulkan. Tidak lama kemudian muncullah dua orang wanita muda itu sambil membawa buntalan. Tang Gun segera menyambut mereka dengan rangkulan dan mereka berciuman mesra, lalu ketiganya menyelinap di antara pohon-pohon dan rumpun bunga di taman, melarikan diri melalui jalan yang sudah di atur oleh Tang Gun. Sesuai rencana, mereka dapat keluar dari lingkungan istana tanpa diketahui orang. Seorang paman, sanak dari ibunya, sudah menanti di luar tembok istana dengan sebuah kereta. Dua orang wanita itu segera naik ke dalam kereta. Sesudah mereka berangkulan sejenak dengan Tang Gun di dalam kereta untuk mengambil selamat berpisah, kereta lalu dilarikan dan Tang Gun menyelinap kembali ke dalam tembok istana, kembali ke gardu penjagaan seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya barulah para selir dan dayang menjadi ribut karena mereka tidak melihat adanya Hwee Lan dan A Sui di sana. Setelah melapor kepada Tang-ciangkun dan komandan ini mengerahkan semua anak buahnya mencari-cari di dalam kompleks istana tanpa hasil, barulah laporan disampaikan kepada kaisar tentang menghilangnya selir dan dayang itu. Bagi kaisar, kehilangan seorang selir dan seorang dayang tidak ada artinya karena dalam sehari saja dia mampu mendapatkan sepuluh orang penggantinya yang lebih muda dan cantik. Namun yang membuat kaisar marah sekali adalah karena peristiwa itu merupakan tamparan dan merupakan hal yang memalukan. Larinya mereka itu seolah-olah memberi kesan bahwa para selir dan dayang merasa tidak beruntung hidup di dalam istana. Sebab itu kaisar memanggil Tang Gun dan mernarahinya. "Tang Gun! Engkaulah yang menjadi komandan jaga, komandan pengawal bagian dalam istana. Bagaimana sampai engkau dan pasukanmu kebobolan dan tidak tahu adanya dua orang wanita yang meloloskan diri dari istana?" Tang Gun berlutut dan memberi hormat sampai dahinya menyentuh lantai. "Mohon beribu ampun, Sribaginda. Semalam hamba telah mengerahkan seluruh pasukan untuk berjaga-jaga, bahkan hamba sendiri ikut melakukan ronda. Akan tetapi tadi malam hawa demikian dinginnya sehingga para pengawal banyak yang berlindung di dalam gardu, Bahkan para pengawal di bagian luar istana pun banyak yang berada di dalam gardu sehingga tak ada seorang pun yang melihat dua orang wanita itu keluar dari dalam istana. Hamba menerima salah, dan hamba siap menerima hukuman dari paduka, bahkan hamba akan menerima andai kata hamba dihukum mati, buang atau dihentikan dari jabatan hamba sekali pun." Ucapan terakhir itu bukan hanya untuk pemanis bibir atau untuk pengakuan salah belaka. Tang Gun akan bersyukur sekali kalau memang dia dihentikan dari jabatannya karena dia akan dapat segera menyusul kekasihnya ke kota Yu-sian. Akan tetapi kaisar lantas mengampuninya karena kaisar masih teringat akan jasa perwira muda itu. Kaisar kemudian memerintahkan Tang Gun agar menghubungi para komandan pasukan pengawal di dalam dan di luar istana untuk melakukan penyelidikan dan mencari dua orang wanita yang lolos dari istana itu. Untuk merangsang kerja mereka, kaisar menjanjikan kenaikan pangkat dan hadiah besar kepada siapa saja yang dapat berhasil membawa kembali dua orang wanita itu ke istana. Semua ini dilakukan kaisar bukan karena dia merasa sayang kepada dua orang wanita itu, melainkan karena dia ingin menghapus kesan buruk dan akan menghukum mereka. Tentu saja usaha ini sia-sia belaka. Memang tidak mudah mencari dua orang wanita yang sudah pergi jauh itu, apa lagi ada Tang Gun yang selalu mengelabui dan menyesatkan arah penyelidikan dan pengejaran. *************** Malam itu kembali Tang Gun berdinas jaga. Dia duduk termenung di dalam gardu jaga. Sudah lewat sebulan semenjak kekasihnya pergi melarikan diri. Selama itu baru satu kali dia sempat menengok ke kota Yu-sian dengan dalih mencari jejak mereka yang melarikan diri, sekalian cuti. Hatinya lega bahwa Hwee Lan dan A Sui sudah sampai di tempat tujuan dengan selamat. Dengan pamannya sebagai tuan rumah, kedatangan mereka sebagai penduduk baru tidak menimbulkan kecurigaan. Akan tetapi hanya sehari semalam saja dia dapat melepaskan rindunya kepada Hwee Lan dan A Sui. Dia harus cepat mengundurkan diri dari jabatannya, pikirnya. Akan tetapi tidak sekarang, karena akibat pelarian itu sekarang masih menjadi buah bibir, juga kaisar masih belum melupakan peristiwa itu dan sering kali menanyakan berita pencarian dua orang wanita itu. Tang Gun merasa gelisah. Dua orang kekasihnya di Yu-sian itu terlampau cantik. Mereka masih muda, juga mereka sampai nekat melarikan diri dari istana adalah karena merasa kesepian dan ingin menikmati hidup bersama dia. Sekarang, kembali mereka kesepian di Yu-sian dan hal itu amat berbahaya jika dibiarkan berlarut-larut. Siapa tahu akan muncul penggoda di sana, seorang pemuda yang ganteng! Hatinya dipenuhi rasa cemburu dan dia semakin gelisah. Dia bangkit dan memesan kepada anak buah yang berada di pintu supaya waspada. Dia sendiri lalu meninggalkan gardu dan memasuki taman. Dia ingin mencari angin dan hawa sejuk untuk menenangkan hatinya yang gelisah. Tanpa disengaja langkah-langkah kakinya membawanya menuju taman barat, kemudian tibalah dia di depan pondok Sarang Madu. Ia berhenti sejenak dan membayangkan semua pengalaman yang amat menyenangkan di pondok itu bersama Hwee Lan dan A Sui. Maka terkenanglah dia kepada mereka dan timbul perasaan rindu. "Tang-ciangkun....” Suara merdu seorang wanita yang memanggilnya itu membuat Tang Gun tersentak kaget. Hampir saja dia berseru memanggil nama A Sui ketika melihat munculnya seorang gadis berpakaian dayang dari balik semak-semak. Teringat bahwa A Sui sudah pergi bersama Hwee Lan, dia cepat menahan suaranya dan memandang penuh perhatian. Ternyata wanita itu adalah A Cui, seorang dayang lain, pelayan dari selir ke lima kaisar. Karena banyaknya dayang di istana, tentu saja Tang Gun tidak mengenal mereka semua dan meski pun dia tahu bahwa wanita yang manis ini pun seorang dayang, tetapi dia tidak tahu siapa namanya. "Ada apakah? Siapakah engkau dan mengapa memanggilku di sini?" tanyanya, pura-pura alim. Kalau saja tidak pernah terjadi peristiwa larinya Hwee Lan dan A Sui, tentu sikapnya berbeda dan dia akan lebih ramah dan manis terhadap dayang ini. "Ssttt, Ciangkun, aku A Cui dan aku akan membicarakan urusan penting denganmu. Mari kita masuk ke dalam pondok dan bicara di dalam," kata wanita itu sambil melepas kerling tajam disertai senyum manis menantang. Ketika itu Tang Gun sedang berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan setiap kecurigaan tentang menghilangnya selir kaisar dan dayangnya itu dari dirinya. Maka, biar pun dengan hati menyesal, terpaksa dia tidak berani melayani tantangan yang menggairahkan itu. "Aihh, nona A Cui. Jangan main-main. Mana aku berani?" katanya menolak. "Tang-ciangkun, tidak usah berpura-pura. Aku mau bicara tentang rahasia pondok Sarang Madu. Hayolah!" Dia lalu melangkah menuju ke pintu depan pondok. Tang Gun mengerutkan alisnya. "Rahasia pondok Sarang Madu'?" jantungnya berdebar tegang. "Apa maksudmu?" "Maksudku... hemmm, apa lagi kalau tidak mengenai Hwee Lan dan A Sui? Nah, maukah engkau ikut masuk? Atau engkau lebih suka kalau aku membicarakan urusan itu dengan orang lain?" Mendengar ucapan itu, seketika pucat wajah Tang Gun. Tak perlu di jelaskan lagi, sudah cukup jelas, bahkan sudah terlampau jelas bahwa dayang ini mengetahui semua rahasia pelarian Hwee Lan dan A Sui! Maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengiringi wanita itu melangkah masuk ke dalam pondok Sarang Madu. Setelah mereka tiba di dalam pondok, Tang Gun segera bertanya lirih, ”A Cui, sebetulnya apakah yang kau inginkan?” A Cui membalik kemudian mendekati Tang Gun, matanya mengerling tajam dan mulutnya tersenyum. “Masih perlukah engkau bertanya lagi, orang muda yang tampan? Aku tidak membutuhkan apa-apa kecuali apa yang dibutuhkan Hwee Lan dan A Sui dan aku tidak menginginkan apa-apa darimu kecuali apa yang telah kau berikan kepada mereka.” Wanita itu kemudian melingkarkan kedua lengannya ke leher Tang Gun. Dua buah lengan itu melingkari leher sekuat dua ekor ular dan yang terdengar kemudian hanya dengus dan rintih, disusul napas tersendat-sendat dalam kegelapan di pondok Sarang Madu itu. Baik A Cui mau pun Tang Gun tidak tahu betapa semenjak tadi ada sepasang mata tajam mencorong yang mengintai perbuatan mereka, sejak mereka saling jumpa di luar pondok. Pemilik mata ini adalah seorang lelaki setengah tua, berusia sekitar lima puluh lima tahun, bertubuh sedang masih tegap, pakaiannya amat rapi. Tentu saja Tang Gun tak mengenal Tang Bun An, atau yang berjuluk Ang-hong-cu Si Kurnbang Merah! Seperti yang telah kita ketahui, Tang Bun An pergi ke kota raja untuk memulai hidup baru sebab dia merasa telah tua dan mulai bosan dengan kehidupan petualangan seperti yang selama ini dialaminya. Musuhnya terlampau banyak, malah akhir-akhir ini dia dikejar-kejar orang-orang pandai sekali, termasuk puteranya sendiri yang bernama Tang Hay. Dia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja dan mencari kedudukan, untuk dapat mengembalikan kedudukan dan kemuliaan yang dahulu pernah dimiliki ayah kandungnya, yaitu mendiang Tang Siok yang menjadi pejabat tinggi di kota raja. Dia harus bisa meraih suatu kedudukan yang lebih tinggi dari pada yang pernah dimiliki ayahnya. Satu-satunya jalan untuk dapat memperoleh kedudukan tinggi itu hanyalah membuat jasa, kalau mungkin langsung terhadap Kaisar! Biar pun dia pandai ilmu silat dan mengerti juga ilmu sastera, tetapi tanpa memiliki hubungan yang baik dengan para pejabat tinggi, maka akan sukarlah untuk memperoleh kedudukan. Apa lagi bagi seorang setua dia. Setelah berada di kota raja, Tang Bun An segera mendengar berita yang sangat menarik hatinya, yaitu tentang adanya seorang perwira pengawal muda yang menyebarkan berita bahwa perwira itu adalah putera dari Ang-hong-cu! Hal ini dirasakannya amat aneh. Bukankah selama ini namanya dianggap jahat dan buruk, dibenci oleh para pendekar dan ditakuti di dunia kang-ouw? Bahkan andai kata dia memiliki anak kandung, seperti halnya Tang Hay, maka anak itu tentu akan malu mengaku sebagai putera Ang-hong-cu. Namun kenapa orang ini, seorang perwira pengawal pula, menyebarkan berita bahwa dia adalah putera Ang-hong-cu. Seolah-olah hal itu membanggakan hatinya? Tadinya dia hanya tersenyum saja mendengar berita itu dan dia menganggap perwira itu adalah seorang pemuda tolol yang suka membanggakan diri meminjam ketenaran orang lain. Akan tetapi setelah dia mendengar bahwa perwira muda itu bernama Tang Gun, dia terkejut! She Tang? Dunia kang-ouw sudah sangat mengenal nama julukan Ang-hong-cu, namun tidak ada atau amat jarang sekali orang mengetahui bahwa Ang-hong-cu memiliki she (nama keturunan) Tang! Berita itu amat menarik hati Tang Bun An. Apa lagi ketika dia mendengar bahwa perwira bernama Tang Gun itu kini bekerja sebagai seorang komandan pengawal dalam istana, sebuah kedudukan yang diterimanya sebagai hadiah dari kaisar karena Tang Gun pernah menolong rombongan kaisar dari gangguan pemberontak dua tiga tahun yang lalu! Ahh, siapa tahu, dari orang yang mengaku puteranya inilah datang kesempatan baginya untuk meraih kedudukan! Dan memang dia harus dapat mendekati istana, tempat tinggal kaisar kalau dia ingin memperoleh pangkat yang tinggi. Demikianlah, sesudah melakukan penyelidikan tentang keadaan istana, Tang Bun An lalu menggunakan ilmu kepandaiannya dan dengan tidak betapa sukar dia berhasil melewati pagar tembok lalu masuk ke dalam taman bunga di bagian barat, dan kebetulan sekali dia dapat melihat dan mendengar pertemuan antara perwira Tang Gun dan seorang dayang. Ia belum sempat menyelidiki perwira yang mengaku puteranya itu, maka tadinya dia tidak tahu siapa perwira yang mengadakan pertemuan dengan seorang dayang istana itu. Akan tetapi dia menjadi terkejut dan juga merasa gembira sekali setelah mendengar dayang itu menyebut ‘Tang-ciangkun’. Tak salah lagi, pikirnya. Inilah perwira yang mengaku sebagai putera Ang-hong-cu itu! Dari penerangan yang tidak begitu cerah, cukup baginya untuk bernapas lega. Setidaknya orang muda itu tidak mengecewakan untuk menjadi puteranya. Jangkung, tegap, tampan dan gagah. Apa lagi setelah dia mendengar percakapan antara mereka, hatinya merasa bangga sekali. Pemuda yang mengaku sebagai puteranya ini ternyata seorang pria yang disukai wanita! Buktinya, dayang itu juga memikat cintanya, dan menggunakan semacam rahasia pondok Sarang Madu sebagai alat untuk memeras agar perwira muda itu suka memuaskan nafsu birahinya! Diam-diam Tang Bun An tersenyum bangga, dan melihat pemuda itu mengikuti si dayang memasuki pondok, dia pun cepat meloncat ke atas genteng untuk melakukan pengintaian. Di dalam kamar pondok itu hanya diterangi dua buah lilin, namun cukup bagi mata Tang Bun An yang tajam dan terlatih baik. Mula-mula dia hendak melihat apakah orang yang mengaku sebagai puteranya itu cukup jantan melayani wanita dalam bercinta. Namun dia segera terbelalak ketika mengintai dari atas. Mula-mula hanya terdengar suara dengus napas dan rintihan, lantas disusul napas yang tersendat-sendat! Ia melihat perwira muda yang mengaku puteranya itu sama sekali tidak mencumbu rayu, tidak membelai mesra, tapi mencekik leher gadis itu menggunakan ikat pinggang dayang itu sendiri! Betapa gilanya! Sayang kalau gadis muda semanis itu dibunuh begitu saja! Kalau perwira muda itu sudah menikmatinya, mau dibunuh atau tidak dia tidak akan peduli. Akan tetapi jelas bahwa mereka itu baru saja saling bertemu, lalu mengapa perwira itu membunuhnya tanpa membelai atau mencumbu sedikit pun? Namun dia menahan diri, tidak mau mencampuri karena ingin sekali tahu perkembangan selanjutnya. Baginya, keadaan perwira muda yang mengaku puteranya itu tentu saja jauh lebih menarik dan lebih penting dari pada nyawa seorang gadis dayang istana! Melihat cara perwira itu membunuh dayang, yang memakan waktu cepat sekali, Tang Bun An dapat menduga bahwa perwira muda itu sedikit banyak memiliki tenaga yang lumayan juga. Sekarang Tang Gun melepaskan ikat pinggang dayang itu, mengikat ujung ikat pinggang ke atas tiang dan menggantung mayat dayang itu pada lehernya, mengatur sedemikian rupa sehingga sekali lihat saja orang akan menduga bahwa dayang itu mati akibat bunuh diri dengan cara menggantung. Dia juga membalikkan sebuah bangku di bawah mayat. Dengan cermat dia mengukur dan memperhitungkan. Jika gadis itu membunuh diri, tentu menggunakan bangku itu untuk berdiri, kemudian mengikat ujung ikat pinggang ke tiang, mengikatkan ujung yang lain di lehernya dan menendang bangku itu sehingga tubuhnya tergantung dan mati tercekik. Tepat sekali. Sesudah merasa puas, dia pun meniup padam api lilin dan keluar dari dalam pondok, lalu menutupkan daun pintu pondok itu. Kemudian, dengan tenang dia pun kembali ke pos penjagaan seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, istana kaisar kembali menjadi gempar pada waktu mayat A Cui ditemukan dalam keadaan menyedihkan. Ia mati tergantung dalam Pondok Sarang Madu, lidahnya terjulur panjang, kedua matanya melotot dan tubuhnya kaku! Akan tetapi karena keadaannya jelas menunjukkan bahwa dia telah menggantung diri sampai mati, maka tak ada persoalan lain kecuali mengurus mayatnya dan selanjutnya tidak ada apa-apa lagi. Meski pun Tang Gun sudah berhasil membunuh A Cui yang mengetahui rahasianya tanpa meninggalkan jejak, tetap saja hatinya merasa tidak tenteram. Dia dapat menduga bahwa kalau sampai A Cui mengetahui rahasia itu, berarti A Sui, dayang yang menjadi pelayan Hwee Lan itulah yang bermulut panjang dan membocorkan rahasia. Mungkin hanya untuk pamer dan membanggakan diri bahwa dia sudah berhasil menjadi kekasih perwira Tang yang banyak dikagumi para puteri itu! Yang membuat dia gelisah, siapa saja yang sudah mengetahui akan rahasia itu? Apakah A Sui hanya bercerita kepada A Cui saja? Ataukah celotehnya didengar oleh lebih banyak dayang lagi? Celakalah kalau begitu! Dia harus cepat-cepat pergi ke kota Yu-sian untuk minta keterangan A Sui, dan dayang yang panjang mulut itu perlu ditegur, atau bahkan dihajar supaya lain kali tidak berani lagi berlancang mulut menyebarkan rahasia yang seharusnya dipegang teguh karena sangat berbahaya kalau sampai terdengar oleh istana. Pada keesokan harinya, Tang Gun mohon diri dari kaisar untuk keluar dari istana dalam usahanya menyelidiki sendiri kehilangan selir Hwee Lan dan pelayannya, A Sui. Untuk itu, dia minta cuti selama sebulan. Tentu saja permohonannya dikabulkan karena kaisar juga masih merasa amat penasaran dengan menghilangnya selir dan dayangnya itu, dan hal ini memang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Tang Gun sebagai perwira pengawal dalam istana untuk dapat menangkap selir yang melarikan diri itu. ***************
jilid 10


Kedatangan Tang Gun di kota Yu-sian dilakukan secara diam-diam. Bagaimana pun juga dia tidak berani secara terang-terangan memperlihatkan diri kepada umum pada saat dia mengunjungi kekasihnya, yaitu Hwee Lan dan A Sui yang kini sudah membuka sebuah toko kain di kota itu. Dia datang pada malam hari, melalui genteng rumah seperti seorang pencuri! Akan tetapi kedatangannya itu langsung disambut dengan mesra dan manis oleh Hwee Lan dan A Sui yang sudah merasa rindu sekali kepada pria ini. Tetapi kemesraan itu diliputi mendung. Tang Gun yang juga merasa rindu kepada mereka, nampak diam dan murung. Tentu saja hal ini membikin dua orang wanita itu menjadi amat khawatir. "Koko, apakah yang menyebabkan engkau terlihat murung dan tidak senang?" Hwee Lan merangkul dan duduk di atas pangkuan kekasihnya. Tang Gun menghela napas. "Aku telah membunuh dayang A Cui..." "A Cui....?!" A Sui terkejut sekali mendengar bahwa kekasih majikannya, juga kekasihnya sendiri itu, telah membunuh A Cui, seorang dayang istana yang menjadi sahabat baiknya. "Membunuh A Cui? Mengapa...?" Hwee Lan juga berseru kaget dan dia segera turun dari atas pangkuan kekasihnya, akan tetapi masih merangkulnya dan mengamati wajah yang tampan itu dengan khawatir . "Dia telah mengetahui rahasia kita, dan dia memerasku untuk melayaninya. Sebab itu aku lalu membunuhnya." Diceritakannya peristiwa dalam taman itu kepada dua orang wanita yang mendengarkan dengan wajah berubah pucat. "Dan apa bila A Cui sampai mengetahui rahasia kita itu, sudah pasti bahwa salah seorang di antara kalian yang sudah membocorkannya dan menceritakannya kepada A Cui. Hayo, siapa yang telah bicara dengan A Cui? Mengaku saja!" Hwee Lan memandang kekasihnya yang sudah bangkit berdiri itu dengan mata terbelalak, lantas dia menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku sama sekali tak pernah bicara tentang hubungan kita kepada siapa pun juga. Aku cukup mengetahui betapa berbahayanya kalau hal itu kulakukan. Akan tetapi A Sui...! Engkau..., tentu engkau yang telah bicara dengan A Cui, bukan? Aku tahu bahwa engkau adalah sahabat karib A Cui!" Bekas selir kaisar yang cantik jelita itu kini memandang kepada pelayannya. Wajah A Sui menjadi semakin pucat. Ia menundukkan mukanya, kemudian dia berlutut di atas lantai dan menangis. "Ampun... saya kira... hal itu tidak ada bahayanya karena dia... dia adalah seorang sahabat baik yang biasanya setia... dan..." "Goblok! Engkau lancang mulut!" Tang Gun dengan marah segera menggerakkan kakinya menendang. "Bukkk!" Tubuh selir yang mungil itu terlempar dan menabrak dinding lalu terbanting jatuh. Dia menangis dan pipinya yang tertabrak dinding membiru, juga mulutnya berdarah. "Kau... kau akan membikin celaka kita semua!" Tang Gun membentak lagi dan perasaan marahnya masih berkobar. "Ampun... ampunkan saya..." Bekas dayang itu merintih ketakutan. Sebelum Tang Gun kembali turun tangan menghajar atau mungkin membunuh bekas dayang yang menjadi kekasihnya itu, mendadak nampak bayangan berkelebat dibarengi suara seorang laki-laki, "Tang Gun, apakah engkau hendak membunuh pula wanita ini seperti engkau membunuh dayang A Cui?" Tentu saja tiga orang itu amat terkejut, terutama sekali Tang Gun. Dia cepat membalikkan tubuhnya dan ternyata di ruangan itu sudah berdiri seorang laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali. Seorang pria yang usianya sudah lima puluh lima tahun, pakaiannya sangat rapi, tubuhnya sedang dan setua itu masih nampak tampan menarik. Melihat bahwa pria itu hanya orang biasa saja, tidak membawa senjata, Tang Gun bersikap garang. Sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah muka pria itu, dia membentak lantang, "Heh, siapakah engkau yang datang memasuki rumah kami tanpa diundang?" Walau pun suara dan sikapnya garang, akan tetapi hatinya berdebar tegang mendengar betapa pria ini telah tahu akan rahasianya yang ke dua, yaitu membunuh A Cui! Pria setengah tua itu tersenyum mengejek dan kedua matanya mengeluarkan sinar tajam. "Aku adalah utusan kaisar yang datang untuk menangkap kalian bertiga lantas membawa kalian kembali ke istana!" Wajah Tang Gun seketika pucat mendengar ucapan ini. Akan tetapi, melihat betapa orang itu hanya seorang diri saja dan tidak bersenjata, maka dia pun menjadi nekat. Dia harus membunuh orang ini apa bila ingin selamat. Secepat kilat dia sudah mencabut pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang dengan tusukan pedangnya ke arah dada orang itu. "Singggg...!" Pedang berdesing saking cepat gerakannya, tapi hanya meluncur lewat karena orang itu sudah dapat mengelak dengan amat mudahnya. Akan tetapi, dengan lompatan ke kanan Tang Gun sudah cepat membalikkan tubuh, kemudian pedangnya menyambar ganas, kini membacok ke arah leher dan gerakan pedang ini segera disusul dengan tendangan kaki kirinya ke arah bawah pusar lawan. Serangan ini sangat hebat karena Tang Gun sudah memainkan jurus Li-kong Sia-ciok (Li Kong Memanah Batu), gerakannya selain cepat juga mengandung tenaga yang dahsyat. Namun ternyata lawannya adalah seorang yang lihai sekali. Dia tak pernah mimpi bahwa lawannya ini adalah orang yang dicari-carinya semenjak dia kecil, yaitu ayah kandungnya sendiri yang berjuluk Ang-hong-cu! Ang-hong-cu Tang Bun An menghadapi serangan dahsyat itu dengan sangat tenang. Dia melangkah mundur sehingga bacokan tidak mengenai lehernya, dan ketika tendangan itu menyambar lewat, tangannya cepat bergerak menyentuh bawah kaki kemudian sekali dia menggerakkan tenaga ke arah tumit itu, tubuh Tang Gun lantas terlempar dan terjengkang ke belakang! "Brukkk!" Tubuh Tang Gun terbanting, akan tetapi orang muda inl sudah cepat meloncat bangun lagi dan menyerang lebih ganas. Dia kini dapat mengerti bahwa lawannya sangat pandai, maka dia menjadi nekat. Dia harus dapat mengalahkan orang itu, atau dia akan celaka! Pedangnya lantas menyambar-nyambar, berubah menjadi cahaya yang bergulung-gulung, yang menyambar-nyambar bagaikan maut kelaparan mencari nyawa. Namun tingkat ilmu kepandaian silat yang dikuasai Tang Gun jauh berada di bawah tingkat Ang-hong-cu yang di samping ilmunya tinggi, juga sudah memiliki pengalaman luas, maka semua sambaran pedangnya tidak pernah mengenai sasaran. Kalau Si Kumbang Merah itu menghendaki, bahkan dalam beberapa jurus saja Tang Gun tentu sudah roboh dan dikalahkan. Akan tetapi, mengingat bahwa perwira muda ini adalah puteranya sendiri seperti yang sudah diakui oleh Tang Gun dan yang dipercayanya pula, agaknya Si Kumbang Merah hendak menguji sampai di mana ketangguhan pemuda yang mengaku sebagai anaknya itu. Setelah puas mempermainkan Tang Gun dengan elakan-elakan yang membuat tubuhnya berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara cahaya pedang, tiba-tiba saja Si Kumbang Merah mengeluarkan seruan nyaring. "Heiiiittttt...!" Kedua tangannya bergerak, yang kiri menotok ke arah siku kanan lawan dan yang kanan mencengkeram pundak, dan di lain saat tubuh Tang Gun sudah menjadi lemas kemudian pedangnya dengan mudah berpindah tangan! Si Kumbang Merah cepat menyusul dengan totokan ke arah jalan darah thian-hu-hiat, maka tubuh perwira itu pun terkulai lemas tidak mampu bergerak lagi! Dua orang wanita itu menjadi ketakutan sampai hampir terkencing-kencing. Akan tetapi Si Kumbang Merah tersenyum ramah dan berkata kepada mereka, "Hayo kalian berdua ikut bersamaku. Kereta sudah menunggu di luar. Jangan sampai aku harus mempergunakan kekerasan terhadap kalian dua orang nona manis!" Hwee Lan dan A Sui tak berani membantah pula biar pun mereka ketakutan dan maklum bahwa mala petaka menanti mereka. Ang-hong-cu menarik tubuh Tang Gun bangun, lalu memapahnya keluar sambil menggiring dua orang wanita itu yang berjalan dengan tubuh menggigil ketakutan. Ternyata di luar sudah tersedia sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda! Ang-hong-cu yang membayangi Tang Gun dan mengetahui tempat persembunyian perwira dengan dua orang kekasihnya itu telah mempersiapkan kereta untuk memboyong para tawanan itu kembali ke kota raja! Setelah ketiga orang itu berada di dalam kereta, Tang Gun tertotok lemas dan dua orang wanita itu menangis lirih, Ang-hong-cu segera melarikan keretanya menuju ke kota raja. Penangkapan terhadap ketiga orang itu merupakan peristiwa yang aneh karena tidak ada orang lain yang mengetahuinya! Dua orang wanita itu pun merasa tak berdaya, hanya mampu menangis ketakutan karena mereka dapat membayangkan bahwa mereka pasti akan menerima hukuman. Orang yang mereka percaya kini telah duduk setengah rebah di dalam kereta, tak dapat bergerak lagi dan hanya mampu memandang kepada mereka berdua dengan sinar mata putus asa dan ketakutan. *************** "Cepat laksanakan penangkapan itu kalau benar engkau mampu melakukannya! Selama ini, seluruh pasukan pengawal tidak mampu menangkap dua orang perempuan itu. Sebab itu Tang Bun An, jika engkau melanggar janji kesanggupanmu dan mengecewakan kami, jika engkau gagal melakukan penangkapan, maka kami akan memberikan hukuman berat! Sebaliknya, kalau engkau berhasil memenuhi janji, yaitu dalam waktu sehari akan mampu menghadapkan dua orang wanita itu dan biang keladinya yang membuat mereka minggat dari istana, maka kami akan mengangkatmu menjadi kepala seluruh pasukan pengawal, baik yang di dalam mau pun yang di luar istana!" Demikianlah kata kaisar ketika Tang Bun An diperkenankan menghadapnya. Tang Bun An menyatakan kesanggupannya untuk menangkap serta menyeret dua orang wanita, yaitu selir Hwee Lan dan dayang A Sui, kembali ke istana dalam waktu satu hari saja. Bahkan juga dia bersedia menangkap orang yang telah melarikan dua orang wanita itu dari dalam istana. Mendengar ini, tentu saja semua pengawal menjadi terkejut dan heran sekali. Bagaimana mungkin orang setengah tua ini akan mampu menangkap buronan itu dalam waktu sehari saja, pada hal para pengawal yang pandai telah gagal sama sekali? Tentu saja hal itu tidaklah terlalu mengherankan kalau saja mereka ketahui bahwa ketika Tang Bun An menghadap kaisar, tiga orang itu sudah menjadi tawanannya dan sekarang dia sembunyikan dalam sebuah kuil tua di dalam hutan sebelah utara kota raja! Dengan sikap hormat dan gagah Tang Bun An segera menolak ketika kaisar menawarkan bantuan pasukan pengawal. Dia pun berangkat dan tepat pada keesokan harinya, pagi-pagi dia sudah kembali ke istana membawa tiga orang tawanan itu yang telah dibelenggu kedua tangan mereka dan dirantai kaki mereka. Semua orang tentu saja menjadi bengong dan terkejut sekali melihat bahwa komandan pengawal muda itu menjadi tawanan, apa lagi pada saat mereka mendengar bahwa yang melarikan Hwee Lan dan A Sui adalah Tang Gun, perwira pengawal yang amat dipercaya oleh kaisar. Gegerlah seluruh penghuni istana mendengar bahwa Tang Gun tidak hanya melarikan selir dan dayangnya itu, akan tetapi juga dia yang telah membunuh A Cui yang disangka mati membunuh diri di Pondok Sarang Madu. Kaisar sendiri tentu saja menjadi marah bukan kepalang. Dengan muka merah dan mata melotot dia mendengarkan pengakuan ketiga orang tawanan itu, kemudian dengan suara lantang kaisar menjatuhkan hukumannya. Hwee Lan dan A Sui dijatuhi hukuman menjadi nikouw (pendeta wanita), harus mencukur gundul rambut mereka dan selanjutnya mereka diharuskan menjadi nikouw, hidup di kuil untuk menebus dosa selama hidup mereka. Ada pun Tang Gun, karena mengingat akan jasa-jasanya yang pernah dilakukannya terhadap kaisar, perwira pengawal ini dihukum buang sesudah menerima cambukan sebanyak lima puluh kali! Tentu saja Tang Bun An menerima hadiah seperti yang dijanjikan kaisar. Dia kemudian diangkat menjadi komandan seluruh pasukan pengawal! Suatu kedudukan yang tinggi! Akan tetapi tentu saja kedudukan itu tidak diterimanya dengan begitu mulus dan mudah. Seorang di antara para menteri, yaitu menteri bagian keamanan, segera memperingatkan kaisar bahwa semestinya dalam menerima seseorang untuk menjadi komandan pasukan pengawal istana tidak dilakukan semudah itu, "Ampun, Sribaginda, memang sudah ada bukti akan kesetiaan dan jasa dari Tang Bun An sehingga sudah sepantasnya bila dia menerima anugerah dari paduka. Akan tetapi, akan lebih bijaksana kiranya kalau dia diuji lebih dulu. Bagaimana pun juga, tingkat kepandaian seorang komandan seharusnya lebih tinggi dari pada tingkat semua perwira pasukan itu sehingga takkan menimbulkan perasaan iri di antara para prajurit mau pun perwira! Juga hal ini akan mempertebal ketaatan seluruh anak buah terhadap komandannya," demikian antara lain menteri itu mengemukakan pendapatnya. Kaisar dapat menerima pendapat ini dan demikianlah, sebelum menerima pengangkatan dirinya sebagai seorang panglima, kepala seluruh pasukan pengawal istana, Tang Bun An diharuskan melewati ujian. Pengujinya adalah seseorang yang sangat disegani di seluruh pasukan pengawal, yaitu Coa-ciangkun (Panglima Coa) yang tadinya menjabat sebagai kepala pasukan pengawal tetapi kini harus menjadi orang ke dua setelah Tang Bun An! Coa Ciangkun ini terkenal memiliki tenaga gajah dan juga ilmu silatnya tinggi, maka boleh dibilang dia adalah jagoan istana nomor satu yang selama ini sukar dicari tandingannya! Dia baru berusia empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi besar menyeramkan. Kaisar sendiri langsung tertarik ketika melihat sikap Tang Bun An yang sedikit pun tidak menyatakan ketakutan ketika dikabarkan bahwa dia akan diuji oleh Coa Ciangkun yang terkenal itu. Oleh karena itu kaisar berkenan hendak menyaksikan sendiri ujian atau adu kepandaian itu. Mendengar bahwa kaisar sendiri hendak menyaksikan, legalah hati Tang Bun An. Kalau junjungan itu menyaksikan sendiri, sudah pasti perwira Coa itu tak akan berani melakukan kecurangan dan tentu adu kepandaian itu akan berlangsung dengan jujur dan adil. Hal ini melegakan hatinya yang tadinya merasa ragu-ragu dan khawatir kalau-kalau nantinya dia akan dicurangi oleh para pembesar istana yang tentu merasa iri hati kepadanya. Dan dia pun maklum betapa lihainya para jago istana sehingga kalau sampai dia dikeroyok, hal itu akan berbahaya juga baginya. Pada hari dan waktu yang sudah ditentukan, sebuah lian-bu-thia (ruang berlatih silat) telah dipersiapkan dan kaisar sudah hadir bersama beberapa orang selir dan dayang yang suka akan ilmu silat. Juga para pembesar militer hadir untuk menilai hasil ujian itu. Sesudah memberi hormat dengan berlutut di hadapan kaisar, Tang Bun An dan lawannya menuju ke tengah ruangan. Tang Bun An kemudian memandang kepada calon lawan itu dengan penuh perhatian. Seorang raksasa berusia empat puluh tahun yang biar pun tubuhnya tinggi besar, namun gerak-geriknya keihatan gesit. Seorang lawan yang tangguh, pikirnya, akan tetapi sedikit pun dia tidak merasa gentar. Dia percaya kepada kemampuan dirinya. Sekelebatan saja dia tahu bahwa dalam menghadapi lawan seperti itu, amat bodoh kalau dia harus mengadu tenaga. Jelas bahwa orang itu memiliki tenaga yang sangat kuat, baik tenaga otot mau pun tenaga dalam. Karena itu, satu-satunya cara untuk menghadapinya hanyalah mengandalkan kecepatan dan dia merasa yakin akan bisa mengatasi lawannya dalam hal kecepatan. Memang dia terkenal sebagai seorang ahli ginkang yang hebat, dan karena mengandalkan ginkang-nya inilah maka selama puluhan tahun ini tidak ada yang mampu menangkap Ang-hong-cu! Pertandingan ujian itu akan segera dimulai. Untuk mentaati perintah kaisar yang khawatir kalau dua orang yang sangat berguna baginya itu mengalami cidera, maka pertandingan dilakukan dengan tangan kosong. Begitu mereka bergebrak dan saling serang, tahulah Si Kumbang Merah bahwa lawannya memang amat tangguh dan mempunyai ilmu silat yang pada dasarnya adalah aliran silat Siauw-lim-pai namun gerakannya telah bercampur dengan silat dari utara dan barat. Akan tetapi, yang amat merepotkannya adalah kekuatan yang dahsyat dari lawan itu. Meski pun dia sendiri memiliki sinkang yang kuat, namun setelah beberapa kali mencoba tenaga lawan dan mengadu tenaga, lengannya terasa agak nyeri karena dia kalah muda sehingga tulang-nya juga kalah kuat! Sebab itu mulailah Si Kumbang Merah Tang Bun An mempergunakan kecerdikannya. Tubuhnya berkelebatan amat cepatnya dan benar seperti dugaannya. Biar pun si raksasa itu juga memiliki gerakan yang cepat, tetapi masih jauh kalah cepat jika dibandingkan dia. Coa Ciangkun mulai merasa pening karena lawannya lenyap, berubah menjadi bayangan yang terus berkelebatan di sekeliling dirinya! Lawannya itu seperti seekor kumbang yang beterbangan mengitarinya, membuat Coa Ciangkun kini terdesak dan repot sekali. Setelah lewat lima puluh jurus dan membuat lawan benar-benar pening, dengan kecepatan kilat ketika tubuhnya berkelebat di belakang lawan, Tang Bun An mempergunakan ujung kakinya menendang cepat mengarah tekukan lutut kedua kaki Coa-ciangkun. Tidak keras tendangan itu, akan tetapi karena yang ditendang adalah bagian yang lemah, maka tanpa dapat dipertahankan lagi, kedua kaki perwira raksasa itu pun tertekuk dan dia berlutut! Tang Bun An yang cerdik tidak ingin menambah musuh, maka cepat dia menjura kepada perwira itu sambil berkata, "Ciangkun, engkau sungguh hebat, maafkan aku." Perwira Coa bangkit berdiri lantas balas menjura. Hatinya kagum sekali. Orang ini sangat lihai, pikirnya, akan tetapi pandai pula merendahkan diri. Meski pun dia tadi kalah, namun lawannya sengaja tidak membikin malu padanya. Dia tahu bahwa kalau lawan yang amat lihai itu menghendaki, dia dapat dikalahkan dalam cara yang lebih keras lagi. Kaisar merasa puas dan para pembesar militer juga menyatakan kekaguman mereka. Semua orang tahu belaka bahwa pria setengah tua yang masih ganteng dan simpatik itu memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan boleh diharapkan menjadi komandan pengawal yang dapat dipercaya. Mulai hari ini resmilah Tang Bun An menjadi Tang-ciangkun, dan kedudukannya bahkan jauh lebih tinggi dari pada Tang Gun. Lalu bagaimana dengan nasib Tang Gun? Bagi dua orang kekasihnya sudah jelas. Hari itu juga mereka digunduli dan diserahkan kepada para nikouw pengurus kuil, dan dua orang wanita muda itu dipaksa menjadi nikouw, setiap hari kerjanya hanya berdoa dan mempelajari kitab-kitab agama untuk menebus dosa mereka! Ada pun Tang Gun sendiri, dengan punggung yang masih penuh babak belur serta terasa perih, lehernya dikalungi papan berlubang dan dikawal oleh dua orang petugas penjara, dibawa keluar dari kota raja dalam perjalanannya ke tempat pembuangan, jauh ke utara di mana terdapat tempat pembuangan dan di sana para terhukum itu dijadikan pekerja rodi, memperbaiki dinding dari Tembok Besar yang rusak, melayani pasukan penjaga dan lain-lain pekerjaan kasar, sampai mereka itu mati atau habis masa hukumannya. Sesudah Tang Gun dikawal dua orang petugas penjara keluar dari kota raja, pada malam harinya Tang Bun An merasa gelisah di dalam kamarnya. Ia terkenang kepada Tang Gun, teringat akan percakapan antara Tang Gun dan Hwee Lan di dalam kuil sebelum mereka dia serahkan kepada kaisar. Dua orang itu bertangisan dan dalam keluh kesahnya itulah dia mendengar Tang Gun berkata dengan suara penuh duka. "Aih, aku telah melupakan pesan ibuku, dan seperti juga ibuku, aku menjadi korban nafsu. Ibuku pernah bercerita bahwa karena terbuai oleh nafsu, dahulu ibuku telah menyerahkan diri kepada seorang pria. Ibuku mengandung dan pria itu pergi begitu saja. Ibu melahirkan aku lantas hidup merana dan itu semua adalah korban nafsu yang hanya beberapa waktu saja! Aku lupa akan pengalaman ibu, dan aku pun sudah tergoda oleh nafsu sehingga kita melakukan hubungan dan sekarang akibatnya sungguh pahit, sama sekali tidak sepadan dengan kesenangan sejenak yang kita nikmati..." "Akan tetapi, koko. Kita saling mencinta... ," bantah Hwee Lan. "Hemm, benarkah hal itu? Apa bila kita saling mencinta, tentu kita tidak akan melakukan hubungan yang akibatnya hanyalah mencelakakan kita sendiri. Kita saling mencelakakan. Yang mendorong hubungan kita bukanlah cinta, tapi nafsu birahi! Peringatan ibu sungguh tepat. Kita harus senantiasa waspada terhadap nafsu kita sendiri karena nafsu kita yang akan menyeret kita ke lembah kesengsaraan. Apa bila kita lengah, nafsu akan menerkam kita. Untuk kenikmatan yang hanya beberapa saat kita rasakan, mungkin akan menyeret kita ke lembah kesengsaraan selama hidup!" Pemuda itu menangis dan merintih-rintih memanggil ibunya! Itulah yang selalu mengiang di dalam telinga Si Kumbang Merah pada malam hari itu. Dia sendiri tidak tahu siapa ibu pemuda itu, namun dia percaya bahwa Tang Gun adalah puteranya. Sudah terlalu banyak wanita dia permainkan sehingga dia tidak ingat lagi, wanita yang mana yang menjadi ibu pemuda itu! Dan dia pun tidak mempunyai hasrat untuk mengetahuinya. Namun betapa pun juga Tang Gun adalah anak kandungnya! Dia tidak memiliki rasa cinta terhadap pemuda itu, akan tetapi, mengingat bahwa Tang Gun tidak bersalah kepadanya, dan juga tidak mengecewakan menjadi puteranya, pandai menjatuhkan hati wanita, maka hatinya merasa tidak tega. Demikianlah, pada keesokan harinya ketika Tang Gun dan dua orang pengawalnya tiba di jalan sunyi di lereng sebuah bukit, tiba-tiba muncul seorang yang berpakaian serba hitam dan memakai kedok hitam pula. Tanpa banyak cakap, si kedok hitam ini menyerang dua orang pengawal itu. Mereka mencabut golok lalu melakukan perlawanan. Namun percuma saja, hanya dalam beberapa jurus keduanya sudah terjungkal tewas dan si kedok hitam lantas menendangi mayat mereka sampai terlempar ke dalam jurang yang sangat dalam. Sesudah itu, masih tanpa bicara, si kedok hitam membikin pecah "Pang' (alat papan berlubang mengalungi leher), mematahkan semua rantai, kemudian menyerahkan sebuah buntalan kain kuning kepada Tang Gun. Buntalan kain itu ternyata berisi uang emas! Tang Gun terheran-heran namun si kedok hitam meloncat pergi. Pemuda itu hanya dapat berteriak, "Kedok hitam, aku Tang Gun tidak akan melupakan pertolonganmu ini selama hidupku!" Si Kedok Hitam itu tentu saja bukan lain adalah Si Kumbang Merah Tang Bun An. Setelah menolong dan membebaskan putera kandungnya serta memberi emas yang cukup untuk bekal hidup pemuda itu, dia lalu kembali ke kota raja dan hatinya merasa lega dan puas. Tang Gun adalah anak keturunannya yang patut dibanggakan! Hanya sayang ilmu silatnya tak begitu tinggi, tidak seperti Hay Hay atau Tang Hay itu. Begitu teringat akan Tang Hay, diam-diam Si Kumbang Merah bergidik. Anak itu sungguh luar biasa. Amat lihai dan memiliki ilmu sihir yang mengerikan pula. Dan timbul kekhawatiran di dalam hatinya bahwa anak kandungnya yang satu itu sekali waktu akan dapat menemukannya! Apakah dia akan sanggup menandingi anaknya itu? Apakah dia akan mampu menyelamatkan dirinya? "Aku tidak perlu takut!" Akhirnya dia mengeluh. Bukankah tidak seorang pun di antara mereka, termasuk Tang Hay sendiri, mengetahui bahwa dia kini sudah menjadi seorang panglima di istana? Panglima, komandan seluruh pasukan pengawal yang amat kuat! Maka, apa artinya musuh-musuh dari golongan para pendekar itu? Dalam kedudukannya sekarang, mereka takkan mampu berbuat sesuatu! Sejak itu mulailah Si Kumbang Merah Tang Bun An menikmati kehidupannya yang baru. Seorang panglima yang ditakuti dan disegani, yang memiliki kekuasaan di istana, luar dan dalam. Dialah yang mengatur semua penjagaan, dia pula yang bertanggung jawab akan keamanan dan keselamatan istana, akan keamanan dan keselamatan kaisar sekeluarga! Dia berkedudukan tinggi serta terhormat, juga hidup dalam kemewahan. Sebentar saja di dalam gedungnya yang megah telah dimeriahkan dengan adanya belasan orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik. Bahkan karena pengalamannya dalam urusan wanita, Si Kumbang Merah memilih gadis-gadis yang cantik dengan segala macam sifat dan pembawaan, ada sesuatu yang khas dan menjadi daya tarik bagi setiap para pelayan itu. Dia memilih dengan amat teliti sehingga sebentar saja para pejabat tinggi di kota raja mendengar atau melihat sendiri bahwa panglima baru ini mempunyai gadis-gadis pelayan yang hebat, yang tidak kalah dibandingkan dengan para dayang di istana kaisar! *************** Apakah Si Kumbang Merah Tang Bun An sudah merasakan bahagia di dalam hidupnya? Apakah dia sekarang sudah merasa puas dengan keadaan hidupnya yang baru, di mana dia bergelimang dengan kehormatan, kekayaan dan kemuliaan? Orang-orang menghormatinya, rumahnya besar dan dilayani pelayan-pelayan wanita yang muda-muda lagi cantik, dijaga pasukan pengawal dan hidup sebagai seorang pembesar yang otomatis menjadi bangsawan yang kaya raya. Apakah hidupnya bahagia? Memang senang, namun kesenangan bukanlah kebahagiaan. Kesenangan hanyalah merupakan keadaan sepintas saja, selewat saja, bahkan ada pula kesenangan yang umurnya amat pendek. Setelah saat senang itu lewat, maka muncullah kebosanan dan kekecewaan. Kesenangan hanya sekedar pemuasan nafsu keinginan dan sesudah tercapai, maka kepuasan itu pun ternyata hanya sekelumit saja dan baru terasa bahwa apa yang dicapainya itu, kesenangan yang diidamkan itu, tidaklah sebesar ketika dikejarnya. Kesenangan adalah muka yang lain dari kesusahan, ada suka tentu ada duka, ada puas tentu ada kecewa. Kesenangan hanyalah merupakan permainan perasaan yang dikuasai oleh nafsu. Sedangkan kebahagiaan bukanlah keadaan badan, melainkan keadaan jiwa! Keadaan jiwa yang bebas dari pada cengkraman nafsu. Jiwa yang tidak lagi terbungkus dan tertutup nafsu, jiwa yang sudah terbuka, sudah bersatu dengan Tuhan! Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membersihkan jiwa dari kurungan nafsu! lkhtiar manusia melalui pikiran dan akal budi tidak mungkin menundukkan nafsu, karena pikiran dan akal budi pun sudah bergelimang nafsu. Tidak mungkin nafsu dapat menundukkan nafsu. Hanya kekuasaan Tuhan yang akan bisa membersihkan jiwa yang bergelimang nafsu, atau jiwa yang tertutup oleh kekuasaan gelap, kekuasaan nafsu yang memikat manusia dengan segala macam bentuk kesenangan badani atau kesenangan pikiran dan hati. Panca indera, pikiran, hati dan akal budi hanyalah alat pelengkap hidupnya jiwa dalam badan. Namun sungguh sayang, karena badan diperalat nafsu dan daya rendah, maka jiwa bagaikan tertutup dan terbungkus. Bagaimana mungkin kita membersihkan jiwa kita, betapa mungkin kita menundukkan nafsu kalau kita sudah bergelimang dengan nafsu? Hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu membersihkan jiwa kita, dan satu-satunya ikhtiar yang dapat kita lakukan hanyalah menyerah kepada Tuhan Yang Maha Pengasih! Penyerahan yang berarti keimanan yang mutlak, penyerahan total, dengan penuh ikhlas, kesabaran, dan ketawakalan. Orang seperti Si Kumbang Merah Tang Bun An adalah manusia yang tak mau mengenal Tuhan, tak mau mengakui bahwa ada Yang Maha Kuasa di alam semesta ini. Dia mengira bahwa dirinya adalah sang penentu bagi dirinya sendiri, baik atau buruk berada di telapak tangannya. Orang seperti inilah yang akhirnya akan terpeleset, tersesat ke dalam lembah kejahatan, tanpa merasa bahwa dia tersesat. Kalau sudah tertimpa mala petaka sebagai akibat dari perbuatannya sendiri, orang seperti ini baru mengeluh, lantas mencari-cari sasaran untuk dijadikan biang keladi mala petaka itu, dijadikan sebagai kambing hitam untuk melempar kesalahannya. Orang yang tak mau mengakui kekuasaan Tuhan selalu menyombongkan diri sendiri bila berhasil, dan melemparkan kesalahan kepada pihak lain kalau gagal. Sebaliknya, orang yang percaya kepada kekuasaan Tuhan, dalam keadaan berhasil dengan rendah hati dia berterima kasih atas berkah Tuhan, dalam keadaan gagal dia mohon pengampunan atas segala kesalahannya kepada Tuhan. Si Kumbang Merah Tang Bun An lantas merayakan kemenangan serta keberhasilannya, seakan-akan mabok dalam keberhasilannya. Namun segala kesenangan yang diraihnya melalui nafsu yang dilampiaskan tanpa batas lagi ini, hanya sebentar saja terasa nikmat olehnya. Dalam waktu beberapa bulan saja dia sudah mulai merasa bosan! Belasan orang pembantu wanita, gadis-gadis cantik jelita dan manis itu sudah kehilangan daya tarik baginya, seperti sekumpulan bunga yang sudah tidak menarik lagi bagi seekor kumbang yang telah menghisap madu bunga-bunga itu sampai sepuasnya. Dan mulailah matanya menjadi jalang mencari-cari bunga lain! Si kumbang Merah yang tadinya merasa bosan dengan cara hidupnya yang liar, lantas merindukan kekuasaan dan kedudukan yang dianggapnya akan mendatangkan kemuliaan dan kemewahan, kini sesudah memperoleh semua itu, bahkan rindu akan cara hidupnya yang lalu! Dan sekali ini, dia tidak perlu lagi mencari-cari ke kota-kota atau dusun-dusun seperti dahulu lagi. Kini wanita-wanita cantik seolah-olah berserakan di depan hidungnya! Bagaimana tidak? Dia adalah panglima yang mengepalai pasukan pengawal istana, baik di dalam mau pun di luar istana. Karena itu, para thai-kam pengawal yang selalu berjaga di sebelah dalam istana, di bagian para puteri, juga menjadi anak buahnya. Dan di dalam istana bagian para puteri itu terdapat banyak wanita pilihan, wanita-wanita tercantik dari seluruh negeri! Maka mulailah si kumbang merah beraksi. Biar pun usianya sudah lima puluh lima tahun, namun Tang Bun An menjadi seperti muda kembali, menjadi seekor kumbang merah yang beterbangan di antara bunga-bunga yang sedang mekar dengan indahnya di taman istana, hinggap dari satu ke lain kembang untuk menghisap madu manis sepuas hatinya! Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tentu saja dengan mudah Si Kumbang Merah dapat menyelinap ke dalam kamar seorang selir atau dayang tanpa di ketahui orang lain. Baginya, tidak peduli wanita itu selir kaisar, atau bahkan puteri kaisar, atau dayang, asal muda dan cantik, tentu akan dirayunya. Dia memang pandai merayu wanita, dengan rayuan maut yang membuat setiap wanita menjadi lemas dan bertekuk lutut, menyerahkan diri tanpa melawan lagi, bahkan dengan suka rela, dengan kehausan seorang wanita yang menjadi isteri atau selir kaisar dengan puluhan orang saingan! Maka dalam waktu beberapa bulan saja hampir seluruh selir dan dayang telah membiarkan diri dihisap oleh Si kumbang Merah. Bahkan banyak pula gadis puteri kaisar yang menyerah! Namun Si Kumbang Merah Tang Bun An adalah seorang pria yang berpengalaman dan cerdik sekali. Dia tidak lagi berani melakukan paksaan atau pemerkosaan terhadap wanita di dalam istana seperti yang dahulu sering kali dia lakukan ketika dia masih liar sebagai Ang-hong-cu yang ditakuti orang. Tidak, dia tidak ingin mengorbankan kedudukannya. Dia berlaku hati-hati dan hanya merangkul wanita yang menanggapi rayuannya sehingga selalu terjadi hubungan yang suka sama suka. Dia kini dapat menjaga pula agar jangan sampai ada puteri kaisar yang masih gadis menjadi hamil akibat perjinahan mereka. Dan dia pun tidak mau jatuh cinta seperti Tang Gun yang dianggapnya bodoh. Hubungannya dengan para wanita itu hanyalah hubungan nafsu semata, saling meminta dan memberi, setelah itu habis sudah, tidak ada ikatan dalam hati. Tidak lama kemudian, semua selir dan dayang yang menjadi kekasihnya sudah rnenjadi sekutunya. Mereka itu beramai-ramai selalu melindungi dan menyembunyikan rahasia Si Kumbang Merah. Bagi mereka, Tang-ciangkun yang satu ini sungguh merupakan seorang pria yang amat menyenangkan! Dan mereka semua tahu bahwa sekali rahasia itu terbuka, bukan hanya panglima jantan itu yang akan celaka, akan tetapi mereka semua pun akan menjadi korban. Mereka masih teringat akan nasib selir Hwee Lan dan dayang A Sui, dan mereka tidak ingin menjadi nikouw! Karena hampir semua selir dan dayang terlibat, maka Si Kumbang Merah merasa aman. Bunga-bunga harum itu bukan hanya suka menyerahkan madu manis kepadanya, bahkan melindunginya pula. cerita silat online karya kho ping hoo Betapa pun juga, masih ada juga satu hal yang kadang-kadang mengkhawatirkan hati Si Kumbang Merah, yaitu permaisuri! Wanita berusia empat puluh tahun lebih yang masih tampak cantik dan amat berwibawa ini merupakan ganjalan dan juga merupakan ancaman bahaya bagi dia dan semua kekasihnya di dalam harem kaisar itu. Permaisuri ini amat anggun dan juga angkuh. Sebagai seorang pria yang berpengalaman dia maklum bahwa tidak mungkin merayu dan menundukkan hati seorang wanita seperti permaisuri itu. Kalau saja tarikan mulutnya tidak sekeras itu, atau pandang matanya tidak setajam dan sedingin itu, mau rasanya dia mencoba merayu sang permaisuri. Walau pun usianya sudah empat puluh tahun lebih, namun dia juga merupakan seorang wanita yang amat menarik, setangkai bunga yang sama sekali belum layu. Namun Ang-hong-cu Tang Bun An tidak berani mencoba hal ini karena sekali gagal, dia akan celaka. Walau pun dia mampu melarikan diri andai kata terjadi sesuatu, yang jelas dia akan kehilangan kedudukannya dan akan menjadi seorang buruan pemerintah. Berat! Kekhawatiran Ang-hong-cu ini memang tidak meleset. Diam-diam, permaisuri yang juga memiliki kecerdikan itu sudah bisa 'pencium' bau rahasia ketidak beresan yang terjadi di dalam istana bagian puteri itu. Walau pun para selir dan dayang, juga para thai-kam (pria kebiri) pengawal yang bertugas di sana semua membantu Ang-hong-cu, akan tetapi ada beberapa orang thai-kam yang menjadi orang-orang kepercayaan sang permaisuri! Mereka inilah yang membocorkan rahasia itu kepada permaisuri! Pada saat permaisuri mendengar bahwa banyak selir dan dayang yang telah 'mengotori' istana dengan perbuatan jinah mereka besama Panglima Tang, maka secara diam-diam permaisuri marah bukan main. "Hemm, pelacur-pelacur itu...!" dia mengepal tangannya. "Awas, akan kubongkar semua ini!" Tanpa adanya bukti yang nyata, sang permaisuri tidak berani melapor begitu saja kepada suaminya, yaitu kaisar. Kaisar harus dapat menangkap basah mereka itu, dan tentu saja hal itu dapat diatur dengan bantuan para thai-kam pengawal yang menjadi pembantunya yang setia! Demikianlah, diam-diam permaisuri yang cerdik ini sudah mengatur siasat bersama para pembantunya yang setia. Dan laksana seekor laba-laba betina, dia telah menenun sarang yang penuh jebakan dan perangkap. Hal ini dilakukan dengan penuh rahasia sehingga sama sekali tak mencurigakan Si Kumbang Merah dan para wanita yang menjadi kekasih Ang-hong-cu itu. Pada suatu malam, seperti biasa Si Kumbang Merah berada di kamar salah seorang selir kaisar. Selir itu masih muda, usianya tak lebih dari tiga puluh tahun, cantik jelita dan amat menarik, juga merupakan seorang di antara para selir yang tersayang oleh kaisar. Seperti biasa pula, dayang selir itu yang juga telah menjadi kekasih Si Kumbang Merah, melayani mereka berdua yang berpesta pora di dalam kamar. Ang-hong-cu Tang Bun An demikian mabok kesenangan sehingga sesudah lewat tengah malam, dia pun sudah tertidur nyenyak dalam kamar itu, dalam pelukan dua kekasihnya. Sama sekali dia tidak tahu bahwa sejak memasuki bagian puteri itu gerak-geriknya sudah diamati oleh para thai-kam pengawal yang menjadi mata-mata permaisuri. Untunglah bahwa selama ini Ang-hong-cu selalu bersikap baik dan royal sekali terhadap para pengawal. Para thai-kam pengawal yang tidak menjadi mata-mata permaisuri, masih setia kepada Ang-hong-cu. Panglima Tang ini adalah seorang atasan yang royal dengan hadiah, bahkan sering pula mengajarkan satu dua jurus ilmu silat tinggi kepada mereka. Maka, sebelum jerat yang dipasang sang permaisuri mengena, pintu kamar selir itu telah digedor dari luar oleh beberapa orang pengawal yang setia kepada Ang-hong-cu. "Ciangkun..., Ciangkun... cepat buka pintu !" kata mereka. Tentu saja Si Kumbang Merah terkejut sekali, apa lagi sesudah dia membuka pintu dan mendengar laporan seorang anak buahnya yang setia. "Ciangkun, sungguh celaka sekali. Entah apa yang terjadi, tahu-tahu Sribaginda datang berkunjung dan anehnya, kini semua jalan keluar telah dijaga oleh pengawal-pengawal kepercayaan Sang Permaisuri! Agaknya rahasia ciangkun sudah ada yang membocorkan. Cepat, mereka akan menuju ke sini!" Setetah berkata demikian, para pengawal itu cepat mengundurkan diri karena tentu saja mereka tidak ingin terlibat. Mendengar laporan itu, selir dan dayangnya sudah menangis dengan wajah pucat dan tubuh gemetar ketakutan. Akan tetapi Si Kumbang Merah tenang saja. Dia menutupkan pintu kamar itu, lalu merangkul selir itu sambil berbisik, "Kau pura-pura sakit, lekas berselimut!" Dan kepada dayang itu, dia pun berkata, "Engkau rawat majikanmu, memijat-mijat kakinya dan laporkan bahwa sejak sore tadi majikanmu merasa pening dan badannya lesu. Kalian berdua bersikap tenang saja, dan pura-pura kaget kalau ada yang menggedor pintu. Mengerti?" Setelah berkata demikian, Si Kumbang Merah mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku bajunya kemudian mulailah dia berhias muka. Sebentar saja mukanya telah berubah menjadi wajah seorang wanita setengah tua! Dayang itu membantunya dengan pakaian yang lusuh dan tua sehingga kini dia pun telah menjadi seorang wanita tua yang berwajah lembut! Dan sekali berkelebat, dia sudah keluar dari jendela kamar itu. Daun jendela lalu ditutup kembali oleh sang dayang. Dan benar saja, tak lama kemudian pintu kamar itu digedor dari luar, keras sekali. "Cepat buka pintu! Perintah Sribaginda!" terdengar teriakan itu. Karena perasaan takut, selir itu menggigil ketakutan, mukanya pucat dan keringat dingin membasahi tubuhnya. la bersembunyi ke dalam selimut dan dayangnya segera membuka daun pintu itu, dengan perasaan takut yang ditahan-tahan pula. Setelah daun pintu dibuka dan melihat Sribaginda Kaisar di ambang pintu, dayang itu lalu menjatuhkan diri berlutut. Kaisar tidak memperhatikan dayang itu, melainkan memandang ke seluruh kamar dengan sinar mata penuh selidik, lalu bertanya, "Apa yang dilakukan majikanmu?" "Ampun..., Paduka. Nyonya... nyonya sedang sakit, sejak sore tadi terus tiduran..., hamba merawatnya..." Mendengar ini, kaisar segera melangkah mendekati pembaringan, kemudian menyingkap kelambu. Kaisar melihat selir terkasih itu rebah terlentang, wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil. "Engkau sakit... ?" Kaisar meraba dahi serta lehernya dan memperoleh kenyataan betapa tubuh itu panas dingin dan basah oleh keringat. "Ah, engkau benar sedang sakit. Tidurlah, besok biar diberi obat oleh tabib istana." Kaisar menutup kembali kelambu, lantas keluar dari kamar itu dengan wajah bersungut-sungut. Tadi permaisuri menyindir bahwa mungkin peristiwa Hwee Lan sekarang terulang kembali, dan kaisar dipersilakan untuk berkunjung ke kamar selir itu lewat tengah malam. "Kalau tidak ada pria di sana, tentu pria itu sudah melarikan diri dan harus dicari sampai dapat, Jangan sampai nama baik paduka menjadi ternoda aib akibat peristiwa tidak tahu malu seperti itu." Demikian sang permaisuri berkata. Lewat tengah malam, kaisar lalu melakukan pemeriksaan dengan hati dipenuhi perasaan cemburu, membawa pasukan pengawal yang dipilih oleh permaisuri. Akan tetapi ternyata kamar itu kosong, malah selir terkasih yang dituduh menyimpan kekasih itu sedang rebah dalam keadaan sakit! "Geledah seluruh kamar di sini, cari dan tangkap apa bila sampai terdapat seorang asing!" Demikian perintah kaisar yang merasa penasaran, lalu melangkah pergi dari tempat itu. Dia sendiri hendak mencari permaisuri di dalam kamarnya, untuk menegur permaisurinya itu kalau memang ternyata tidak ditemukan sesuatu. Untuk ini dia telah membuang waktu dan tidak tidur, namun semua untuk percuma saja! Akan tetapi, di kamar permaisuri terjadi hal yang amat aneh. Ketika itu permaisuri sedang rebah sambil tersenyum-senyum penuh kemenangan dan membayangkan betapa selir itu tentu ditangkap dan dijatuhi hukuman, dan dayangnya terkasih sedang memijati kakinya sambil mengantuk. Tiba-tiba saja tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di kamar itu telah berdiri seorang wanita setengah tua. Dayang itu hendak berteriak, akan tetapi wanita itu telah meraba tengkuknya dan dia pun menjadi lemas tak mampu berteriak atau bergerak lagi. Wanita itu lalu merenggut gelang yang dipakai oleh dayang itu dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. Kemudian dia menghampiri permaisuri yang juga sudah bangkit duduk dan memandang dengan kedua mata terbelalak. Melihat permaisuri itu hendak menjerit pula, nenek yang bukan lain adalah Si Kumbang Merah cepat berbisik, "Harap jangan berteriak kalau Paduka sayang akan nyawa Paduka! Dengar baik-baik, hamba adalah seorang laki-Iaki... sstt, Paduka tidak perlu takut. Hamba tidak akan mengganggu Paduka, dan malam ini Paduka harus rnelindungi hamba. Hamba akan berada di sini dan Paduka katakan kepada sribaginda bahwa hamba adalah seorang ahli pijat yang sengaja Paduka panggil ke sini. Ingat, apa bila Paduka membuka rahasia sehingga hamba ketahuan kalau hamba laki-Iaki, maka hamba akan membuat pengakuan bahwa hamba adalah kekasih paduka." Sepasang mata itu terbelalak, apa lagi pada saat itu tangan Si Kumbang Merah bergerak cepat dan tahu-tahu kalung yang berada di lehernya telah dirampas oleh nenek itu. "Kalung ini, seperti juga gelang milik dayang ini, akan menjadi bukti bahwa hamba sudah menjadi kekasih Paduka yang Paduka selundupkan ke dalam kamar ini." "Kau... kau sungguh tak tahu malu, hendak melempar fitnah kepadaku! Siapakah engkau sebenarnya?" "Paduka tidak perlu tahu. Hamba hanya minta supaya malam ini dilindungi dan besok diperbolehkan keluar dengan aman atau... nama baik Paduka akan ternoda. Semua orang akan percaya pada hamba, dan semua selir akan suka bersumpah bahwa hamba adalah kekasih paduka!" "Ihh...! Kau... kau... jahanam yang menodai istana, berjinah dengan para selir dan dayang itu! Engkau Tang-ciangkun!" Wanita bangsawan itu tiba-tiba menjadi pucat. "Jangan kau berani menggangguku! Aku akan menjerit, aku akan bunuh diri, aku..." "Jangan khawatir. Hamba tidak akan mengganggu Paduka. Selama ini hamba juga tidak pernah mengganggu para selir dan dayang. Bahkan hamba telah menolong mereka yang kehausan..." "Tutup mulutmu yang kotor!" "Sekali lagi, kalau Paduka membuka rahasia hamba, maka hamba pasti akan bersumpah menjadi kekasih Paduka. Mungkin hamba akan dihukum mati, akan tetapi nama Paduka akan menjadi cemar sampai tujuh turunan!" Pada saat itu pula terdengar suara di luar dan Si Kumbang Merah cepat membebaskan totokan pada dayang itu, lantas berbisik, "Engkau sudah mendengar semuanya. Hayo kau tidur di sudut sana, dan kau akui bahwa aku adalah seorang ahli pijat yang dipanggil oleh majikanmu!" Dayang itu hanya mampu mengangguk-angguk, lantas dia cepat merebahkan diri di sudut kamar itu dan pura-pura tidur. Ia takut bukan main, akan tetapi dia pun tahu bahwa seperti juga majikannya, kini dia sudah berada dalam cengkeraman pria yang menyamar sebagai wanita itu, pria yang dia tahu adalah Tang Ciangkun! Gelangnya telah dirampas dan kalau pria itu tertangkap lalu membuat pengakuan bahwa dia telah menerima gelang itu sebagai hadiah dari kekasih, tentu dia akan celaka, akan digunduli dan dipaksa menjadi nikouw! Ketika kaisar memasuki kamar permaisurinya dengan wajah muram dan bersungut-sungut karena hatinya tidak senang, dia merasa heran saat melihat seorang wanita setengah tua memijati pinggul permaisurinya. Dapat dibayangkan betapa marah rasa hati permaisuri itu pada waktu 'nenek' itu memijati pinggulnya dengan tekanan-tekanan dua tangannya, hangat dan mesra. Namun terpaksa dia menekan kemarahannya karena harus diakuinya bahwa tekanan-tekanan itu memang pijitan seorang ahli sehingga otot-otot pinggul dan punggungnya kini terasa nyaman! Wanita setengah tua itu cepat-cepat berlutut saat kaisar memasuki kamar dan mendekati pembaringan. "Hemm, siapakah wanita ini?" Kaisar bertanya kepada permaisurinya yang sudah bangkit dan memberi hormat pula kepadanya. Si Kumbang Merah yang masih berlutut itu sudah bersiap-siap untuk meloncat kemudian melarikan diri kalau permaisuri itu membuka rahasianya. Akan tetapi hatinya merasa lega ketika permaisuri itu menjawab dengan suara sambil lalu. "Ahh, dia adalah seorang ahli pijat dari luar istana yang kabarnya sangat pandai. Karena hamba sedang merasa lelah dan tak enak badan, maka hamba memanggilnya ke sini dan memang dia pandai sekali." Permaisuri lalu menggandeng tangan kaisar dan dibawanya duduk di atas kursi kesukaan Sribaginda, di dekat meja. Dengan lembut dia lalu bertanya, "Bagaimanakah dengan penyelidikan Paduka?" "Hemm, tidak kutemukan siapa-siapa di kamarnya. Malah dia rebah dalam keadaan sakit! Agaknya engkau hanya menduga yang bukan-bukan saja!" Permaisuri itu segera memberi hormat dan berkata dengan suara lembut, "Kalau begitu, ampunkan hamba. Sesungguhnya hamba selalu merasa khawatir kalau peristiwa seperti yang dilakukan oleh Hwee Lan sampai terulang kembali. Hamba khawatir jika nama besar Paduka sampai ternoda." "Hemm, jangan bicara dulu jika belum ada bukti yang nyata. Engkau hanya mengganggu pikiranku saja dan kini aku menjadi lelah karena kurang tidur. Ahhh, benarkah dia pandai memijit? Biar kau suruh dia memijati tubuhku yang terasa lelah sekali," kata Kaisar sambil menuding ke arah wanita setengah tua yang masih berlutut di atas lantai. Tentu saja permaisuri merasa khawatir sekali, akan tetapi dia pun tak berani membantah karena khawatir kalau rahasia nenek itu ketahuan. Maka terpaksa dia lalu membereskan pembaringan dan setelah membantu kaisar rebah di atas pembaringan, dia lalu menyuruh nenek itu memijati tubuh kaisar . Akan tetapi Si Kumbang Merah sama sekali tak merasa khawatir. Dia adalah seorang ahli silat tinggi, pandai ilmu menotok jalan darah dan sudah hafal tentang kedudukan otot-otot dan urat-urat, tahu betul cara pengobatan dengan urut dan pijit. Maka tanpa ragu-ragu dia pun lalu memijati tubuh kaisar, dimulai dari kedua kaki, terus naik ke pinggul, punggung, kedua lengan dan leher. Lega rasa hati permaisuri setelah mendengar Sribaginda mengeluarkan kata-kata memuji dan merasa keenakan, bahkan tidak lama kemudian Sang Kaisar sudah tertidur nyenyak sekali! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, permaisuri menyuruh Si Kumbang Merah untuk menghentikan pijitannya. "Engkau boleh pergi sekarang, biar diantar keluar oleh pengawal kepercayaanku," katanya. Si Kumbang Merah tersenyum sambil memberi isyarat berkedip kepada permaisuri dan dayangnya, lalu memberi hormat dan mengikuti dua orang thai-kam pengawal yang sudah diberi perintah oleh permaisuri itu. Dengan aman, karena dikawal oleh dua orang thai-kam pengawal kepercayaan permaisuri, dia telah keluar dari daerah terlarang itu. Semenjak terjadinya peristiwa itu, Si Kumbang Merah semakin leluasa mengaduk-aduk daerah terlarang itu, bagaikan seekor kumbang yang dengan bebasnya beterbangan di antara bunga-bunga pilihan di taman istana, menghisap madu dari satu ke lain kembang sesuka hatinya! Permaisuri sama sekali tak berdaya, bahkan permaisuri itu sudah merasa berterima kasih bahwa Si Kumbang Merah tidak memaksa dia untuk rnenjadi kekasihnya pula! Akan tetapi dayangnya tidak terlepas dari sengatan kumbang rnerah yang nakal itu. Bahkan para thai-kam pengawal yang tadinya setia kepada permaisuri, kini semua telah tunduk di bawah kekuasaan Si Kumbang Merah dan tentu saja hal ini pun terjadi melalui sang permaisuri yang merasa tidak berdaya di bawah ancaman Si Kumbang Merah yang telah rnenguasainya dengan menyimpan kalung dan beberapa barang perhiasan lainnya. Benda-benda ini merupakan senjata ampuh, membuat sang permaisuri bertekuk lutut tak berdaya karena sekali saja Si Kumbang Merah memperlihatkannya kepada orang lain dan mengatakan bahwa dia menerimanya dari sang permaisuri sebagai hadiah, maka istana, bahkan seluruh negeri akan geger! Tentu nama permaisuri itu akan langsung terseret ke dalam lumpur sebagai seorang permaisuri yang menyimpan seorang kekasih gelap!" *************** Kita tinggalkan dahulu Si Kumbang Merah Tang Bun An yang sedang mabok kesenangan dan menjadi seperti ayam jantan tunggal di antara ayam ayam betina di harem kaisar! Dia telah kembali pada kehidupannya yang dulu lagi, walau pun terdapat banyak perbedaan. Dulu dia suka merusak wanita, memperkosa, membunuh, lalu meninggalkannya sesudah wanita itu mengandung, sambil di dalam hati mentertawakan wanita yang pada dasarnya menimbulkan rasa dendam kebencian padanya. Kini, agaknya dia hanya menuruti nafsu, mencari senang tanpa rasa benci kepada wanita-wanita itu. Kita tinggalkan dulu tokoh itu dan mengikuti perjalanan seorang di antara puteranya, yaitu Tang Cun Sek. Setelah melarikan diri dari Cin-ling-san, pemuda yang usianya sudah tiga puluh tahun itu lalu mengembara. Dia seorang pemuda tinggi besar dan gagah. Wajahnya yang berkulit putih itu nampak tampan. Kedua matanya tajam mencorong, sikapnya halus dan dia adalah seorang yang sangat pendiam. Seperti sudah kita ketahui, Tang Cun Sek juga mengalami nasib yang sama dengan para keturunan Si Kumbang Merah. Dahulu ibunya menyerahkan diri karena rayuan jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) itu, dan setelah ibunya mengandung, maka Si Kumbang Merah meninggalkan ibunya dan tidak pernah muncul lagi. Ibunya menikah lagi dengan seorang hartawan Thio dan menjadi selirnya. Sebagai anak tiri hartawan Thio, kehidupan Cun Sek cukup baik, menerima pendidikan dan tidak sampai terlantar. Akan tetapi, dasar dia memiliki watak yang kotor, ketika dia berusia enam belas tahun dia bergaul dengan para pemuda yang tidak karuan dan dia berani berjinah dengan dua orang selir ayah tirinya sendiri. Dia tertangkap basah lalu diusir. Tang Cun Sek pergi setelah berhasil mencuri banyak emas dari gudang harta ayah tirinya. Akan tetapi dia sangat cerdik sehingga akhirnya dia berhasil menyelundup ke Cin-ling-pai lalu menjadi murid dan anggota perkumpulan para pendekar itu. Bahkan bukan itu saja, dia mampu merayu dan menundukkan hati kakek Cia Kong Liang sehingga dia disayang dan dari kakek itu dia menerima banyak ilmu silat tinggi dari Cin-ling-pai. Demikian pandainya dia mengambil hati orang tertua dari Cin-ling-pai itu sehingga bukan saja dia disayang, akan tetapi oleh kakek itu juga dicalonkan sebagai ketua Cin-ling-pai yang baru. Namun usahanya menguasai kedudukan ini digagalkan oleh Cia Kui Hong, gadis lihai dan cerdik itu sehingga dia bukan saja tidak dapat terpilih menjadi ketua baru Cin-ling-pai, bahkan menderita malu. Sebab itu dia pun minggat meninggalkan Cin-ling-pai sambil membawa pergi pedang pusaka Hong-cu-kiam, yaitu pedang pusaka dari Cin-ling-pai. Demikianlah, Cun Sek tak berani berhenti berlari cepat. Selama berbulan-bulan dia terus menjauhi Cin-ling-san karena dia maklum bahwa mungkin sekali pihak Cin-ling-pai akan melakukan pengejaran karena dia melarikan pedang pusaka. Hampir empat bulan telah lewat sejak dia melarikan diri dari Cin-ling-pai dan pada suatu pagi dia tiba di sebuah kota. Kota Tian-cu-an merupakan sebuah kota yang cukup besar. Musim panas telah tiba dan hawa udara lumayan panasnya biar pun matahari belum naik terlalu tinggi. Tang Cun Sek yang semalam tinggal di sebuah kuil To-kauw (Agama To) yang berada di luar kota, memasuki kota dengan sikap tenang. Dia memiliki banyak uang, sisa dari emas yang dulu dicurinya dari rumah ayah tirinya, maka dia bersikap tenang dan dapat membeli pakaian dalam perjalanan itu. Kini dia memasuki kota Tian-cu-an sebagai seorang pria muda yang berpakaian rapi dan bersih, membawa buntalan kain kuning dan sikapnya seperti seorang terpelajar. Pedang Hong-cu-kiam yang tadinya merupakan pedang pusaka Cin-ling-pai dan menjadi milik Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai, kini tersimpan di dalam buntalan pakaian itu. Pedang pusaka Hong-cu-kiam adalah sebatang pedang yang dapat digulung saking tipis dan lenturnya. Cun Sek merasa perutnya sangat lapar setelah hidungnya mencium bau masakan sedap yang keluar dari sebuah rumah makan. Ia kemudian memasuki rumah makan yang masih belum banyak pengunjungnya itu, dan memesan bubur ayam kepada seorang pelayan. Pada saat dia sedang makan bubur ayam yang sedap dan panas, pendengarannya yang tajam mendengar percakapan yang dilakukan oleh tiga orang laki-laki yang duduk di meja sebelah belakang. Mereka bercakap-cakap dengan suara lirih sekali, namun cukup jelas bagi pendengaran Cun Sek yang tajam. "Kita harus berhati-hati sekali. Iblis betina itu lihai bukan main." "Tentu saja dia lihai, kalau tidak mana mungkin sute (adik seperguruan) sampai tewas di tangannya." "Hemm, meski pun begitu, kalau kita bertiga maju bersama, mustahil kita tidak akan dapat membinasakan iblis betina itu," kata orang ke tiga dengan suara penasaran. "Sstttttt...!" Kawannya agaknya memberi isyarat sambil memandang ke arah Cun Sek dan tiga orang itu tak lagi melanjutkan percakapan mereka dan pada saat itu, pelayan datang membawa pesanan mereka. Cun Sek melanjutkan makan bubur seolah-olah dia tidak pernah mendengar percakapan bisik-bisik tadi, namun secara diam-diam dia memperhatikan. Ketiga orang itu berpakaian seperti orang-orang dari dunia persilatan. Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun dan dari gerak gerik mereka mudahlah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu silat. Tubuh mereka kelihatan kokoh dan gerak gerik mereka pun sigap, pandang mata mereka tajam. Bahkan di balik jubah mereka nampak gagang pedang. Kalau saja mereka tadi tidak menyebut iblis betina, tentu Cun Sek tidak tertarik dan tidak mau peduli sebab dia pun tak ingin mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi disebutnya iblis betina membuat dia tertarik. Siapakah yang mereka maksudkan dengan iblis betina itu dan mengapa seorang wanita disebut iblis? Karena dia memang tidak mempunyai tujuan tertentu dan memiliki banyak waktu terluang, juga karena hatinya tertarik, maka dia pun mengambil keputusan untuk membayangi tiga orang itu dan melihat sendiri siapa sebenarnya iblis betina itu dan wanita macam apakah sampai dijuluki iblis betina. Demikianlah, pada saat tiga orang itu meninggalkan rumah makan, tanpa disadari mereka sudah dibayangi oleh Cun Sek. Ketiga orang itu keluar dari kota melalui gerbang selatan. Begitu keluar dari pintu gerbang, mereka lalu mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke sebuah bukit yang tidak jauh dari kota Tian-cu-an, sebuah bukit yang kelihatan subur penuh hutan lebat. Ketika tiga orang itu sampai di luar sebuah hutan di lereng bukit itu, mereka berhenti dan seorang di antara mereka bersuit nyaring. Segera terdengar jawaban, yaitu suitan-suitan yang sama dari berbagai penjuru dan tidak lama kemudian dari balik semak belukar, balik pepohonan, bahkan ada pula yang melayang turun dari atas pohon, bermunculan banyak sekali orang yang kesemuanya mengenakan seragam hitam. Diam-diam Tang Cun Sek terkejut. Biar pun mungkin lihai, namun tiga orang laki-laki tadi belum merupakan lawan yang terlalu tangguh. Akan tetapi dengan munculnya dua puluh orang lebih ini yang kesemuanya berpakaian hitam-hitam serta sikap mereka bengis dan kejam, sungguh mereka ini merupakan pasukan kecil yang berbahaya. Hatinya semakin tertarik. Demikian banyaknya orang laki-laki hendak mengeroyok seorang wanita? Kalau begitu, wanita yang di sebut iblis betina itu tentu luar biasa lihainya. Dengan kepandaiannya yang tinggi, Cun Sek melayang naik ke atas pohon besar yang amat lebat daunnya, tepat di atas sekumpulan orang itu sehingga dia bisa mendengarkan dan melihat dengan jelas. Ada dua puluh empat orang berpakaian seragam hitam. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang mukanya penuh dengan cambang, kumis dan jenggot. Matanya melotot bengis dan sesudah mendengar bahwa orang-orang menyebutnya pangcu (ketua), maka mudah diduga bahwa si brewok itu adalah ketua dari gerombolan orang berseragam hitam itu. Dan melihat sikap ketua gerombolan seragam hitam itu terhadap tiga orang yang datang dari kota Tian-cu-an tadi, dapat diduga bahwa mereka merupakan sekutu. Antara ketua dan tiga orang itu nampak hubungan yang saling menghargai, berbeda dengan sikap para anggota kelompok seragam hitam yang bersikap amat hormat kepada ketua mereka dan juga kepada tiga orang itu. Karena sejak muda berada di Cin-Iing-pai dan sudah lama tidak berkecimpung di dunia kang-ouw, maka Tang Cun Sek sama sekali tidak tahu bahwa dia sudah bertemu dengan tokoh-tokoh kangouw yang kenamaan! Gerombolan seragam hitam yang sedang berkumpul di situ adalah para anggota pilihan dari perkumpulan Hek-tok-pang (Perkumpulan Racun Hitam)! Dari nama perkumpulan ini saja mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang ahli dalam penggunaan racun berbahaya di samping mereka memiliki pula ilmu silat kaum sesat yang amat berbahaya. Nama Hek-tok-pang selalu mendatangkan perasaan takut pada semua orang yang sering melakukan pelayaran di sepanjang Sungai Kuning, karena mereka yang tinggal di lembah Huang-ho itu merupakan perkumpulan yang mengangkat diri sendiri sebagai penguasa di sepanjang Huang-ho. Mereka suka menuntut pajak atau sumbangan dari para pedagang yang menggunakan perahu, dan mereka tidak segan-segan untuk membunuh siapa saja yang berani menentang mereka. Ketua mereka, yaitu pria yang tinggi besar dan brewok itu bernama Cu Bhok dan terkenal memiliki ilmu silat golok yang amat dahsyat. Ada pun tiga orang yang dibayangi oleh Cun Sek sejak dari kota Tian-cu-an itu pun bukan orang-orang sembarangan. Mereka bertiga tadinya terdiri dari empat orang dan terkenal dengan julukan mereka Kwi-san Su-kiam-mo (Empat Setan Pedang dari Kwi-san). Orang pertama bernama Giam Sun, lalu yang ke dua ialah adik kandungnya bernama Giam Kun. Orang ke tiga bernama Thio Su It, dan yang keempat bernama Yauw Kwan. Akan tetapi, karena yang termuda telah tewas di tangan 'Iblis betina', maka kini mereka hanya tinggal tiga orang saja. Cun Sek yang mengintai dari atas pohon melihat mereka itu mengadakan perundingan di bawah pohon. Ketua Hek-tok-pang itu bersama tiga orang pria yang dibayanginya tadi kini bercakap-cakap di bawah pohon, ada pun dua puluh empat orang anggota Hek-tok-pang kemudian menyebarkan diri di sekitar tempat itu, siap untuk melakukan perlindungan dan penjagaan agar jangan sampai ada orang luar mendengarkan percakapan ketua mereka dengan tiga orang tokoh sekutu mereka itu. Sungguh tak seorang pun di antara mereka yang pernah menduga bahwa semenjak tadi sudah ada seorang yang nongkrong di atas pohon dan melihat semua kegiatan mereka, bahkan mendengar semua percakapan yang berlangsung di bawah pohon itu. "Pangcu," kata seorang di antara tiga orang Kwi-san Su-kiam-mo, yaitu orang pertama yang bernama Giam Sun itu, "Sebelum kita menyerbu ke Bukit Teratai Emas itu, terlebih dahulu kita harus mengetahui jelas akan kedudukan kita dan sifat kerja sama kita. Pangcu maklum bahwa meski pun kita sama-sama menentang iblis wanita itu, namun alasan kita berbeda. Kami menentang dia karena hendak membalaskan kematian seorang sute kami, sedangkan Pangcu karena Hek-tok-pang pernah dirugikan oleh iblis betina itu. Akan tetapi kami kira bukan itu yang menjadi alasan terpenting." "Benar sekali ucapanmu tadi, kawan," kata ketua Hek-tok-pang itu dengan suaranya yang berat. "Selama ini di antara kita tidak pernah ada persekutuan walau pun kita juga tidak pernah saling bertentangan. Kita mengambil jalan masing-masing dan tidak pernah saling mengganggu. Akan tetapi mendadak iblis betina itu muncul dan jelas bahwa dia hendak menjagoi, tidak memandang mata kepada pihak lain. Tapi, betapa pun lihainya dia hanya seorang perempuan dan kami tentu saja tidak sudi tunduk kepada seorang wanita! Kalau dia tidak dibasmi, tentu hanya akan merendahkan nama besar kita sebagai laki-laki yang gagah perkasa." Tiga orang itu mengangguk-angguk tanda setuju. "Akan tetapi kita harus berhati-hati. Jika perhitungan kami tidak salah, dia mempunyai banyak pembantu yang pandai. Kalau nanti kita berhasil memancing mereka keluar dari sarang mereka di Kim-lian-san (Bukit Teratai Emas), harap Pangcu serta para saudara Hek-tok-pang menghadapi para pembantunya. Ada pun kami sendiri akan menghadapi iblis betina itu." Setelah mengadakan perundingan, empat orang ini diikuti oleh dua puluh empat anggota Hek-tok-pang lalu menuruni lereng dan kini mereka menuju ke sebuah bukit lainnya yang bersambung dengan bukit itu. Sebuah bukit yang lebih besar dan lebih liar karena penuh dengan hutan-hutan lebat, di mana nampak bagian-bagian yang berbatu, akan tetapi ada pula bagian yang ditumbuhi pohon-pohon raksasa serta semak belukar penuh duri yang amat liar dan tempat itu tidak pernah didatangi manusia. Para pemburu binatang hutan pun agaknya segan untuk berburu binatang di Bukit Teratai Emas, karena hutan itu memang sangat berbahaya. Apa lagi sejak kurang lebih setahun yang lalu ada desas desus bahwa bukit itu dihuni segerombolan iblis yang amat lihai dan jahat! Bahkan penduduk dusun yang tadinya mencoba memperbaiki nasib dengan membangun dusun di situ dan bertani, kini beramai-ramai meninggalkan dusun mereka dan pindah ke tempat lain yang lebih aman sesudah berkali-kali mereka diganggu oleh iblis-iblis yang amat jahat! Dengan hati semakin tertarik, Cun Sek membayangi serombongan orang itu dari jauh. Dia merasa semakin penasaran. Jelaslah bahwa serombongan orang itu adalah orang-orang kang-ouw yang hendak menentang orang yang mereka sebut iblis betina. Tentu seorang wanita yang lihai, yang agaknya juga mempunyai anak buah dan mungkin wanita itu dan anak buahnya bersarang di bukit yang bernama Bukit Teratai Emas itu. Tentu akan ramai, pikirnya, dan tanpa ada keinginan mencampuri urusan itu, dia hanya membayangi untuk menjadi penonton. Semenjak meninggalkan Cin-ling-pai, dia memang tidak mempunyai tujuan tertentu. Satu-satunya tujuan perjalanannya hanyalah mencari ayah kandungnya, yaitu seorang tokoh yang menurut ibunya amat lihai dan berjuluk Ang-hong-cu. Selama ini dia sudah bertanya-tanya, namun biar pun ada pula orang-orang kang-ouw yang pernah mendengar nama Si Kumbang Merah, namun tak seorang pun mengetahui di mana adanya tokoh yang sudah lama tidak pernah muncul di dunia kang-ouw itu. Akhirnya, menjelang tengah hari, rombongan itu tiba di lereng Bukit Teratai Emas. Mereka tadi mendaki dengan amat hati-hati, dan setelah tiba di lereng yang terjal, tak begitu jauh lagi dengan puncak dan nampak tertutup pohon-pohon raksasa, mereka lantas berhenti. Cun Sek menyelinap dekat dan mengintai dari balik semak belukar. Dia melihat betapa kini para anggota Hek-tok-pang itu menyebar bubuk hitam di antara semak-semak di kanan kiri jalan setapak. Selain bubuk hitam yang disebarkan pada daun dan duri semak-semak, juga ketua mereka menebarkan benda-benda kecil runcing seperti paku berwarna hitam di atas tanah. Bukan sembarang paku, melainkan benda bulat kecil yang mempunyai banyak duri seperti ujung paku pada permukaannya sehingga setelah disebar di atas tanah, maka ada saja duri runcing yang mencuat ke atas sehingga siapa saja yang lewat di jalan setapak itu tentu akan menginjak benda itu dan karena benda itu runcing sekali, maka mungkin saja dapat menembus sepatu dan melukai kulit telapak kaki!.....
jilid 11

TAHULAH Cun Sek bahwa benda runcing itu tentu mengadung racun yang berbahaya, juga bubuk hitam yang ditaburkan itu tentu racun yang sangat jahat! Hatinya menjadi tegang, dan secara diam-diam dia harus mengakui bahwa orang-orang ini merupakan lawan yang amat curang dan berbahaya sekali. Setelah menebarkan bubuk hitam pada semak-semak dan benda-benda runcing di jalan setapak, mereka semua lantas menuruni lereng dan kini di sebelah bawah, tidak jauh dari tempat yang ditebari racun itu, mereka mengumpulkan ranting dan daun kering kemudian membakar setumpuk daun dan ranting kering! Kini mereka semua bersembunyi di kanan kiri, dekat api yang mereka buat itu, setiap orang siap dengan senjata di tangan! Cun Sek mengangguk-angguk. Orang-orang ini benar-benar licik. Agaknya mereka tidak berani menyerbu naik, maka menggunakan siasat ini. Mereka membakar tempat itu untuk memancing pihak musuh menuruni puncak, namun sebelum tiba di tempat yang mereka bakar, tentu pihak musuh akan melalui jalan setapak yang telah penuh dengan benda dan bubuk beracun. Celakalah kiranya pihak musuh yang berada di puncak itu, pikirnya. Namun dia tidak ingin mencampuri. Bukan urusannya. Dia hanya ingin menjadi penonton dan ada kenikmatan tersendiri di dalam hatinya menonton peristiwa yang menegangkan hati ini. Tepat seperti yang diduga oleh Cun Sek, tidak lama kemudian dari tempat sembunyinya dia melihat lima orang laki-laki berlarian dari atas, turun dari puncak menuju ke tempat kebakaran. Mereka adalah lima orang laki-laki yang mempunyai ilmu meringankan tubuh yang lumayan, terbukti dari cara mereka berlari yang cukup cepat biar pun harus melalui jalan setapak yang cukup sukar dengan adanya batu-batu yang berserakan. Kalau tidak hati-hati maka kaki mereka akan terpeleset dan jika sampai terjatuh di atas jalan setapak berbatu-batu itu, maka akan membuat kulit mereka babak belur. Makin dekat lima orang itu datang ke jalan setapak yang dipasangi racun, makin kencang debar jantung Cun Sek karena tegang. Sedikit pun dia tidak ingin memperingatkan kelima orang itu. Dia tak ingin berpihak, karena dia tidak mengenal kedua pihak itu. Apakah lima orang itu akan mampu menghindarkan diri dari ancaman malapetaka? Sementara itu, sesudah mereka sampai dekat api yang nampak dari atas, tentu saja lima orang yang datang dari puncak itu mempercepat larinya dan kini mereka memasuki jalan setapak yang telah ditaburi dengan benda berduri tadi. Berturut-turut terdengar mereka itu berteriak kaget. Akan tetapi benda runcing yang menembus sepatu mereka hingga melukai telapak kaki, agaknya mengandung racun yang sangat hebat sehingga sekali berteriak, tubuh mereka lantas terguling. Tentu saja mereka jatuh menimpa benda-benda runcing beracun itu, dan begitu terjatuh, mereka tidak dapat bergerak lagi, merintih pun tidak mampu dan nampak beberapa bagian tubuh mereka menjadi hitam! Dari tempat persembunyiannya, Cun Sek bergidik. Racun hitam itu ampuhnya luar biasa! Begitu terjatuh, lima orang itu tewas seketika sehingga mayat mereka malang melintang menutup jalan setapak. Pada saat itu pula Cun Sek melihat lima bayangan orang berlari cepat menuruni puncak. Sebentar saja lima sosok bayangan itu sudah tiba di sana dan dia melihat bahwa mereka adalah lima orang wanita yang usianya antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata memiliki wajah cantik dan tubuh yang ramping padat. Dia pun diam saja, hanya memandang penuh perhatian karena dari gerakan mereka itu, dia dapat menduga bahwa mereka lebih lihai dari pada lima orang pertama yang menjadi korban racun. Apakah mereka akan mampu melewati tempat yang merupakan perangkap maut itu? Lima orang itu menghentikan lari mereka dan mereka terbelalak memandang ke arah lima orang yang telah tewas dan malang melintang di jalan setapak itu. Mereka mengamati ke arah tanah dan saling berbisik, agaknya mereka maklum bahwa lima orang pria itu sudah menjadi korban benda-benda kecil beracun yang bertebaran di atas jalan setapak. "Ikuti aku!" kata seorang di antara mereka dengan nada memimpin. Dia lalu mencabut pedang, menggunakan pedangnya untuk membacok putus dua batang ranting pohon. Teman-temannya cepat meniru perbuatannya sehingga kini masing-masing mereka memegang dua buah kayu ranting yang besarnya selengan tangan mereka. Lalu, didahului oleh pemimpin mereka, lima orang wanita itu mempergunakan dua batang kayu untuk menyeberangi jalan setapak yang penuh dengan benda-benda runcing beracun itu tanpa menyentuhkan kaki ke atas tanah. Akan tetapi begitu mereka melewati jalan setapak itu, melangkahi lima sosok mayat yang malang melintang dan mereka tiba di seberang jalan berbahaya itu, mereka mengaduh-aduh lantas lima orang wanita itu pun terpelanting jatuh dari atas dua batang tongkat yang tadi mereka pergunakan untuk menyeberang sebagai pengganti kaki. Cun Sek tak merasa heran. Lima orang wanita itu ternyata memang dapat menghindarkan kaki mereka sehingga tidak tertusuk benda runcing dan keracunan, namun mereka tidak tahu bahwa semak-semak di kanan kiri jalan itu telah ditebari bubuk hitam beracun. Ketika mereka lewat, tangan mereka terkena daun-daun yang sudah mengandung racun, maka ketika tiba di seberang, mereka merasa betapa kedua tangan mereka gatal dan panas. Rasa gatal dan panas itu menjalar ke seluruh tubuh dan lima orang wanita itu kemudian bergulingan, menggunakan kedua tangan untuk mencakari tubuh sendiri hingga pakaian mereka koyak-koyak dan mereka berlima itu sampai telanjang bulat, namun tidak berhenti menggaruk dan tubuh mereka segera penuh dengan guratan merah dan hitam. Mereka pun tewas dalam keadaan tersiksa sekali, tidak seperti lima orang pria tadi yang tewas seketika. Sebelum tewas, lima orang wanita itu harus menderita siksaan rasa gatal dan panas yang menjalar dari tangan mereka yang terkena bubuk racun hitam sampai ke seluruh tubuh! Kembali Cun Sek bergidik ngeri. Sungguh hebat sekali! Sungguh bukan main kejamnya orang-orang Hek-tok-pang itu! Akan tetapi dia tetap hanya menjadi penonton dan tinggal tidak berpihak. Akan tetapi kini dia semakin tertarik. Agaknya yang menjadi korban racun itu, lima orang pria dan lima orang wanita, hanyalah anak buah saja. Rombongan yang masih bersembunyi itu agaknya masih menunggu musuh mereka yang tadi mereka sebut-sebut, yaitu iblis betina! Sementara itu Cun Sek sendiri pun ingin sekali tahu bagaimana macamnya iblis betina itu dan bagaimana lihainya sehingga dua puluh delapan orang itu masih saja bersembunyi dengan senjata di tangan, agaknya siap untuk mengeroyok musuh yang ditunggu-tunggu itu. Ketika Cun Sek memperhatikan tiga orang yang dibayanginya dari kota tadi, tiba-tiba dia melihat mereka menuding ke arah puncak bukit dan sikap mereka tegang sekali. Dia pun langsung memandang ke arah puncak dan nampaklah sesosok bayangan sedang berlari cepat seperti terbang menuju ke tempat itu. Dia merasa betapa hatinya tegang sekali. Agaknya itulah orang yang mereka nanti-nanti, yang disebut iblis betina! Tentu orangnya sangat menakutkan, seperti iblis, mungkin sudah nenek-nenek, yang lihainya bukan main. Akan tetapi, semakin dekat sosok tubuh itu, semakin terbelalak lebar mata Cun Sek! Apa lagi sesudah wanita itu tiba di dekat jalan setapak yang beracun, dan memandangi mayat lima orang pria dan lima orang wanita di seberang jalan, Cun Sek melongo. Dia adalah seorang wanita yang usianya sekitar tiga puluh tahun. Pakaiannya serba indah dan mewah sehingga nampak ganjil sekali seorang wanita berpakaian seindah itu berada di dalam hutan! Dan cantiknya! Bentuk tubuhnya! Seorang wanita yang telah matang dan penuh daya tarik, menggairahkan! Kalau saja tidak nampak gagang sepasang pedang di balik pundaknya, tentu tidak ada seorang pun yang dapat menduga bahwa wanita cantik yang lemah-gemulai ini adalah seorang ahli silat yang amat pandai! Wajah itu bulat dan kulitnya putih kemerahan, dan kecantikan itu masih ditambah dengan bedak serta pemerah pipi dan bibir. Pandang matanya amat tajam, dan kerlingnya begitu memikat sehingga akan sukar ditemukan pria yang mampu bertahan bila disambar kerling mata seperti itu. Begitu melihat wanita itu, seketika timbul rasa sayang dan suka di dalam hati Cun Sek, maka tanpa ditanya lagi otomatis hatinya sepenuhnya berpihak kepadanya! Oleh karena itu, ketika melihat wanita itu agaknya ragu-ragu dan hendak menyeberang melewati jalan setapak yang mengandung ancaman maut itu, tanpa disadarinya sendiri dia lalu berseru, "Hati-hati, nona! Jangan lewat jalan itu, tanah dan semak-semaknya sudah ditaburi racun jahat!" Tiba-tiba saja wanita itu meloncat ke samping, tinggi sekali dan bagaikan seekor burung terbang, tubuhnya sudah melayang lantas hinggap di atas cabang pohon, terus diayunnya tubuhnya itu hingga melayang ke atas lagi, lalu hinggap lagi di cabang lain dan demikian seterusnya sehingga dalam waktu beberapa detik saja dia sudah hinggap di atas cabang pohon di depan Cun Sek! Cun Sek memandang terbelalak kagum bukan main. Kiranya wanita itu bukan saja cantik manis, akan tetapi juga memiliki ginkang yang demikian hebatnya hingga nampak bagai seekor burung yang sangat indah, yang kini berdiri di atas cabang sambil memandang kepadanya dengan sinar matanya yang jeli indah dan mulutnya yang tersenyum manis. "Siapakah engkau dan mengapa engkau memperingatkan aku tentang bahaya racun itu?" Wah, bukan hanya wajahnya cantik tubuhnya menggairahkan, sinar mata dan senyumnya memikat, juga suaranya amat merdu. Tanpa menyembunyikan kekaguman pada pandang matanya, Cun Sek menjawab sambil tersenyum. "Tadinya aku memang hanya menjadi penonton, tak ingin mencampuri urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan aku. Akan tetapi, melihat engkau yang begini cantik jelita terancam bahaya maut yang demikian mengerikan, aku merasa tidak tega sehingga tanpa kusadari aku sudah berteriak memberi peringatan." Di dalam hatinya dia masih merasa heran mengapa yang muncul seorang wanita yang demikian cantiknya. Bukankah yang dinanti oleh orang-orang di bawah itu adalah seorang iblis betina? Kini dua puluh delapan orang itu sudah bermunculan dari tempat persembunyian mereka dan mereka telah siap dengan senjata di tangan. Terdengar raksasa brewok tadi berteriak sambil mengacungkan golok besarnya ke arah pohon. "Iblis betina, turunlah! Mari kita membuat perhitungan!" "Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun), bersiaplah engkau untuk menebus nyawa sute Yauw Kwan!" orang pertama dari Kwi-san Su-kiam-mo juga berteriak sambil menudingkan pedangnya ke arah wanita yang masih di atas cabang pohon itu. Kini Cun Sek semakin kaget. Kiranya benar wanita ini yang disebut Iblis Betina. Wah, bagi dia, wanita ini lebih pantas disebut bidadari kahyangan! Semua penilaian melahirkan pendapat yang palsu, karena penilaian selalu didasari pada perhitungan untung rugi si penilai. Bila mana yang dinilai itu menguntungkan, dan berarti menyenangkan, tentu dinilainya baik, sebaliknya jika merugikan atau tak menyenangkan, maka akan dinilainya buruk. Para anggota Hek-tok-pang telah dirugikan oleh Tok-sim Mo-li, banyak anggotanya yang tewas di tangan wanita itu, maka tentu saja menganggap wanita itu jahat sekali, bahkan kecantikan wanita itu tidak lagi menarik karena telah timbul kebencian dan dendam dalam hati mereka. Seperti itu pulalah perasaan tiga orang di antara Kwi-san Su-kiam-mo yang menaruh dendam karena sute mereka tewas di tangan wanita itu. Akan tetapi sebaliknya, Cun Sek sama sekali tidak pernah merasa dirugikan oleh wanita itu, dan ketika melihat kecantikan wanita itu, dia menilainya sebagai seorang wanita yang menarik dan patut dibela! Orang seperti Cun Sek ini tentu saja hanya menilai seseorang hanya dari kulitnya. Dia lupa bahwa kecantikan hanya setipis kulitnya, hanya merupakan pembungkus belaka, pembungkus tengkorak dan rangka yang sama pada setiap orang manusia. Memang sungguh sayang sekali. Pada umumnya kita lebih senang memperhatikan dan memperindah badan dari pada batin kita. Kita mencuci badan kita setiap hari, dua tiga kali, akan tetapi ingatkah kita untuk mencuci batin kita? Mencuci batin berarti ingat pada Tuhan dan menyerah dengan seluruh pemasrahan, karena hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan mampu membersihkan batin kita yang dipenuhi kekotoran. Tentu saja Cun Sek tidak tahu siapa sebenarnya wanita cantik itu. Kalau dia sudah benar-benar mengenalnya, maka dia akan semakin terkejut. Wanita ini bernama Ji Sun Bi, yang di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Tok-sim Mo-li. Dari julukan ini saja sudah bisa diketahui bahwa dia adalah seorang wanita yang hatinya beracun, berarti memiliki watak yang amat jahat. Dia pernah menjadi murid juga kekasih dari mendiang Min-sa Mo-ko, seorang datuk sesat yang pernah menjadi tokoh Pek-lian-kauw. Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi ini mewarisi ilmu-ilmu yang dahsyat dari gurunya, dan selain lihai dan cantik manis, juga dia mempunyai suatu penyakit, yaitu gila laki-laki! Dia seorang penjahat cabul yang selalu timbul birahinya ketika melihat seorang pria muda yang tampan dan ganteng. Oleh karena itu, begitu melihat Cun Sek yang tinggi tegap dan tampan, tentu saja seketika hatinya tertarik sekali. Apa lagi begitu berjumpa pemuda itu sudah berpihak kepadanya dan berusaha menyelamatkannya dari ancaman bahaya! Kurang lebih satu tahun yang lalu, Ji Sun Bi bersama mendiang gurunya, Min-san Mo-ko, membantu gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh mendiang Lam hai Giam-lo serta seorang bangsawan Birma yang bernama Kulana. Akan tetapi pemberontakan itu berhasil dihancurkan oleh pasukan Menteri Cang Ku Ceng yang dibantu oleh para pendekar gagah perkasa. Hampir semua tokoh pemberontak tewas. Hanya ada beberapa orang saja yang berhasil menyelamatkan diri, di antaranya termasuk Tok-sim Mo-li li Sun Bi. Ketika terjadi pertempuran, Ji Sun Bi bertanding melawan Cia Kui Hong, puteri ketua Cin-ling-pai yang sudah digembleng oleh Pendekar Sadis dan isterinya, yaitu kakek neneknya sendiri. Ji Sun Bi terdesak hebat dan pada saat terakhir dia dapat membuang dirinya ke bawah tebing. Kui Hong mengira bahwa Ji Sun Bi yang jahat tentu tewas karena tebing itu amat curam. Akan tetapi ternyata tidak! Ji Sun Bi sudah memperhitungkan ketika dia melempar diri ke bawah tebing itu. Dia maklum benar bahwa di bawah tebing, tepat di bawah dia melempar tubuh, terdapat sebuah danau kecil yang dalam. Karena itu, ketika dia sampai di bawah, bukan batu atau tanah yang menerima tubuhnya, melainkan air! Biar pun dia hampir saja pingsan ketika terbanting ke air danau, namun dia dapat menyelamatkan dirinya dan tidak tewas! Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi kemudian melarikan diri dan bersembunyi sampai berbulan-bulan, takut kalau-kalau ada pengejaran dari para pendekar. Dan di dalam perantauannya sambil sembunyi-sembunyi ini Ji Sun Bi bertemu dengan seorang pria muda yang membuatnya girang bukan main. Siapakah pria muda itu? Dia bukan lain adalah Sim Ki Liong, seorang di antara para pembantu utama dalam pemberontakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo itu! Pemuda itu adalah salah seorang di antara mereka yang berhasil menyelamatkan diri dan pemuda itu amat lihainya, bahkan tingkat kepandaiannya lebih lihai dari Ji Sun Bi sendiri. Dan yang lebih dari segalanya, pemuda itu adalah bekas kekasih atau seorang di antara para kekasih wanita cabul itu! Ketika dua orang bekas rekan dan kekasih itu saling berjumpa, tentu saja mereka merasa gembira bukan main. Bukan saja gembira dalam melepas kerinduan masing-masing, akan tetapi terutama sekali gembira karena mereka kini merasa lebih kuat. Dengan kerja sama di antara mereka tentu saja mereka merasa kuat dan mampu melakukan hal-hal besar! Sim Ki Liong adalah seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang berwajah tampan dan sikapnya halus lagi sopan. Dia sesungguhnya putera dari mendiang Sim Thian Bu, seorang seorang tokoh sesat yang tewas di tangan suheng-nya sendiri, yaitu Siangkoan Ci Kang. Sim Ki Liong yang cerdik ini kemudian berhasil menyusup ke Pulau Teratai Merah. Karena dia memang pandai mengambil sikap, dia pun berhasil menarik perhatian Pendekar Sadis dan isterinya yang berkenan mengambil dia sebagai murid! Sebagai murid terkasih dari Pendekar Sadis dan isterinya, tentu saja Sim Ki Liong menjadi lihai bukan main! Akan tetapi, pada saat Cia Kui Hong berkunjung ke rumah kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, Sim Ki Liong yang tergila-gila kepada Kui Hong itu seperti membuka kedok sendiri. Maka dia pun kemudian melarikan diri, minggat dari Pulau Teratai Merah sambil membawa pedang pusaka pulau itu, yaitu pedang pusaka Gin-hwa-kiam! Sim Ki Liong kemudian ikut bergabung dengan gerakan pemberontakan Lam-hai Giam-lo, menjadi salah seorang di antara para pembantu yang dipercaya selain Ji Sun Bi. Pada waktu gerombolan pemberontak itu diserbu oleh para pendekar dan pasukan pemerintah, seperti juga Ji Sun Bi, Sim Ki Liong yang ternyata sangat cerdik itu dapat menyelamatkan diri juga. Demikianlah, setelah Ji Sun Bi berjumpa dengan Sim Ki Liong, tentu saja kedua orang ini merasa girang bukan main. Keduanya lalu memilih Kim-lian-san (Bukit Terati Emas) itu sebagai tempat tinggal dan dengan kerja sama mereka sebentar saja mereka berdua telah mampu membangun tempat itu sebagai sarang dari perkumpulan yang mereka dirikan bersama, yang mereka beri nama Kim-lian-pai (Perkumpulan Teratai Emas)! Tentu saja ketuanya adalah Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi menjadi wakil ketua. Mereka berdua lalu menundukkan tokoh-tokoh sesat di sekitar daerah itu dan memaksa mereka untuk mengakui kekuasaan Kim-Iian-pai. Kalau ada tokoh atau golongan yang tak mau mengakui, maka Ji Sun Bi lalu turun tangan mengalahkan tokoh itu atau mengobrak-abrik gerombolan yang melawan. Dalam waktu beberapa bulan saja hampir seluruh tokoh kang-ouw dan gerombolan penjahat sudah dapat ditundukkan! Mereka berdua lalu memilih pemuda-pemuda atau para pria yang memiliki kepandaian, juga wanita-wanita tangkas untuk menjadi anggota Kim-Iian-pai. Keduanya lantas melatih mereka sehingga tak lama kemudian Kim-lian-pai telah menjadi suatu perkumpulan yang anggotanya berjumlah lebih dari seratus orang dan rata-rata mereka memiliki kepandaian silat yang cukup tangguh. Nama besar Kim-Iian-pai mulai dikenal dunia kang-ouw. Kelompok-kelompok yang sudah mengakui kekuasaan Kim-lian-pai tentu saja mulai menyumbangkan hasil kekayaan atau kejahatan mereka kepada perkumpulan baru itu. Baik Sim Ki Liong mau pun Ji Suri Bi tidak mempunyai niat untuk mengulangi apa yang dilakukan oleh gerombolan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo. Tidak, mereka sudah cukup berpengalaman dan cerdik. Melawan pemerintah adalah perbuatan yang tolol. Kekuatan pemerintah tidak mungkin dapat dilawan. Mereka hanya ingin mendirikan perkumpulan yang kuat dan berkuasa karena dari dunia kang-ouw mereka dapat mengharapkan sumbangan yang akan membuat perkumpulan mereka cukup kuat untuk hidup mewah. Selain itu, kalau mereka kuat, para pendekar juga tidak akan berani mengganggu mereka. Di samping itu semua, Sim Ki Liong yang menjadi ketua Kim-lian-pai juga memiliki suatu cita-cita, yaitu membalaskan dendam sakit hatinya kepada pendekar Siangkoan Ci Kang yang telah membunuh ayahnya. Dengan adanya perkumpulan kuat yang dipimpinnya ini, tentu tidak akan sukar baginya untuk mencari di mana adanya musuh besar itu. Di samping memupuk kekuatan untuk perkumpulannya, Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi tidak menghentikan kesenangan mereka. Dua orang ini memang cocok sekali. Mereka memiliki kesukaan yang sama, yaitu bila Sim Ki Liong tiada bosannya mencari gadis-gadis cantik untuk menemaninya, juga Ji Sun Bi tidak pernah merasa puas dengan pria-pria tampan yang hampir setiap hari berganti-ganti melayaninya! Hampir semua anggota Kim-lian-pai yang bertubuh kekar dan berwajah tampan pernah dikeram di dalam kamar wakil ketua yang cantik itu. Akan tetapi watak Ji Sun Bi memang pembosan. Biar di puncak itu sudah ada Sim Ki Liong dan banyak anggota perkumpulan yang pria, tapi dia masih suka berkeliaran turun dari bukit untuk melampiaskan nafsunya dengan pria-pria baru! Demikianlah, perbuatannya itulah yang mendatangkan keributan pada hari itu. Ia bertemu dengan Yauw Kwan, pemuda berusia dua puluh lima tahun yang menjadi anggota termuda dari Kwi-san Su-kiam-mo, empat orang tokoh kang-ouw yang kenamaan. Bertemu dengan pemuda yang gagah dan tampan ini, Ji Sun Bi segera merayunya. Yauw Kwan dengan mudahnya jatuh ke dalam pelukan wanita cabul itu. Akan tetapi celakanya, Yauw Kwan yang belum banyak pengalaman itu benar-benar jatuh cinta kepada Ji Sun Bi dan tidak ingin berpisah lagi. Bahkan dia membujuk Ji Sun Bi agar suka menjadi isterinya. Seperti biasa, setelah bermesraan dengan Yauw Kwan selama beberapa hari lamanya, Ji Sun Bi mulai bosan dan sikap Yauw Kwan yang rewel, yang hendak memaksanya supaya suka menjadi isteri pemuda itu, telah membuat Ji Sun Bi menjadi marah. Dia menganggap pemuda itu terlalu banyak rewel sehingga akan merepotkan saja, maka dia memaki-maki dan mengusir Yauw Kwan. Pemuda itu terkejut, marah dan tahu bahwa wanita itu hanya mempermainkannya. Lalu terjadilah perkelahian dan Yauw Kwan melarikan diri membawa luka parah. Akhirnya dia tewas dalam rangkulan ketiga orang suheng-nya sesudah menceritakan tentang Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi yang menjadi wakil ketua Kim-lian-pai di puncak Kim-lian-san. Bukan hanya dengan Kwi-san Su-kiam-mo saja Ji Sun Bi menanam permusuhan. Juga dengan Hek-tok-pang. Perkumpulan Hek-tok-pang ini adalah perkumpulan para nelayan. Mereka merupakan ahli-ahli racun dan dengan kepandaian itu mereka menangkap ikan, menggunakan bubuk racun yang tidak begitu keras. Akan tetapi, selain mencari ikan mereka dikenal pula sebagai penguasa pada sepanjang sungai Huang-ho dan dengan kekerasan sering menuntut sumbangan dari para saudagar yang perahunya lewat di tempat itu. Juga bajak-bajak sungai tunduk kepada mereka dan suka memberi bagian hasil kejahatan mereka. Mendengar tentang perkumpulan ini, Ji Sun Bi mewakili Kim-lian-pai untuk menundukkan perkumpulan itu. Namun ketuanya, Hek-tok Pangcu Cui Bhok, tidak sudi tunduk kepada seorang wanita yang mewakili sebuah perkumpulan baru. Dia membuat perlawanan dan mengerahkan anak buahnya. Dihadapi puluhan orang anggota Hek-tok-pang, tentu saja Ji Sun Bi menjadi kewalahan, akan tetapi ketika terjadi perkelahian, dia sempat menyebar maut di antara para anggota Hek-tok-pang. Tidak kurang dari tujuh orang tewas dan banyak yang terluka. Inilah yang membuat Hek-tok Pangcu Cui Bhok merasa sakit hati. Karena itu, dengan dibantu oleh dua puluh empat anggotanya yang pilihan, dia bergabung dengan tiga orang dari Kwi-san Su-kiam-mo dan pada hari itu melakukan penyerbuan ke Kim-lian-san. Ketika dua puluh delapan orang itu mengepung pohon besar di mana Sun Bi dan Cun Sek berada, wanita ini tersenyum sambil matanya mengerling ke arah pemuda gagah perkasa yang kini juga telah berdiri di atas cabang pohon itu. Diam-diam dia pun mengagumi tubuh yang kokoh kekar itu dan Ji Sun Bi lalu menelan ludah seperti seekor harimau kelaparan melihat segumpal daging yang segar. "Sobat yang gagah perkasa, siapakah namamu?" tanya Ji Sun Bi dengan suara merdu. Cun Sek semakin kagum. Wanita ini memang hebat. Di bawah itu ada dua puluh delapan orang lihai yang menunggu dan menantangnya, akan tetapi dia masih bersikap demikian tenang dan enak-enakan saja seakan-akan tidak ada ancaman apa pun. Dia pun segera mengimbangi dan bersikap santai dan tenang. Sambil mengamati wajah cantik manis itu, dia pun menjawab sambil tersenyum ramah. "Namaku Tang Cun Sek, dan siapakah engkau, Nona? Mengapa pula mereka semuanya memusuhimu?" "Namaku Ji Sun Bi," jawab wanita itu sambil memperlebar senyumnya sehingga sekarang nampak deretan giginya yang putih bersih. "Mereka di bawah itu adalah orang-orang tolol. Aku menjadi wakil ketua Kim-lian-pai yang ada di puncak Kim-lian-san ini, dan kami ingin agar mereka itu tunduk dan membantu kami. Ehh..., mereka malah melawanku! Saudara Tang Cun Sek, kalau menurut pendapatmu, bagaimana? Apakah aku harus membunuh mereka semua?" Cun Sek menjadi semakin kagum. Wanita ini bukan khawatir bahkan mengatakan dapat membunuh mereka semua, seakan-akan dua puluh delapan orang di bawah itu tidak ada artinya baginya. Akan tetapi dia memikirkan pertanyaan itu dengan serius. "Kalau engkau ingin menundukkan mereka, apa gunanya kalau mereka dibunuh semua? Kalahkan saja pemimpin mereka, maka yang lain-lain akan menakluk dengan sendirinya." Dia mengerutkan alis kemudian memandang ke bawah. "Alangkah baiknya kalau engkau mampu menarik mereka menjadi pembantu. Mereka itu amat pandai menggunakan racun. Lihat, sepuluh orang yang menjadi korban itu, sungguh mengerikan. Siapakah mereka?" "Mereka adalah para anggota perkumpulan kami." "Wah, kalau begitu maka lebih penting lagi untuk menundukkan mereka agar mereka mau membantumu sehingga kerugianmu kehilangan sepuluh orang anggota itu dapat ditebus." Ji Sun Bi mengangguk-angguk. Memang pendapat pemuda ini sangat tepat. Kim-lian-pai adalah sebuah perkumpulan baru yang sedang menyusun kekuatan. Kalau Hek-tok-pang dapat ditundukkan dan membantu, berarti Kim-lian-pai akan menjadi semakin kuat. Kalau mereka semua dibunuh, tidak ada untungnya bagi Kim-lian-pai. "Saudara Tang Cun Sek, tadi engkau sudah menolongku, memperingatkan aku mengenai racun. Dan sekarang maukah engkau membantuku menghadapi mereka? Atau kelirukah penilaianku bahwa engkau seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi?" Cun Sek tersenyum. "Terus terang saja aku pernah mempelajari ilmu silat, akan tetapi jika dibandingkan denganmu tentu saja aku masih kalah jauh!" "Hik-hik, aku tahu bahwa orang yang merendahkan diri itu justru merupakan lawan yang berbahaya. Tong kosong nyaring bunyinya sebaliknya tong yang penuh tidak berbunyi!" "Aihh, jadi engkau hanya menganggap aku ini sebagai sebuah tong saja?" "Apa salahnya menjadi tong?" "Kalau tong beras atau tong anggur memang cukup berguna, akan tetapi tong sampah?" kelakar Cun Sek yang timbul kegembiraannya melihat sikap wanita yang lincah jenaka dan genit ini. "Tong sampah juga berguna sekali. Akan tetapi siapa menyamakan engkau dengan tong? Engkau seorang pemuda yang begini gagah perkasa dan ganteng. Hanya saja aku ingin melihat apakah engkau mampu menghadapi seorang di antara mereka." Cun Sek merasa kejantanannya ditantang. Kalau tadi dia bersikap tak peduli dan tak ingin mencampuri urusan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya, dengan mudah saja kini dia berpihak. Tentu saja dia memilih pihak wanita yang cantik menarik ini! "Iblis betina! Apa bila engkau tidak mau turun, terpaksa kami memaksamu turun bersama antekmu itu!" terdengar lagi suara dari bawah. Dan tiba-tiba dari bawah tampak sinar berkelebat ketika dua batang hui-to (pisau terbang) meluncur ke arah Cun Sek dan Ji Sun Bi. Pisau-pisau terbang itu dilempar oleh Thio Su It, orang ke tiga dari Kwi-san Su-kiam-mo yang mempunyai keahlian menggunakan pisau ini sebagai senjata rahasia. Sebelum Ji Sun Bi menggerakkan tubuhnya, Cun Sek lebih dahulu menggerakkan kedua lengannya. Kedua tangannya menyambar ke bawah dan ternyata dia sudah menyambut dua batang pisau itu! Kalau saja yang melemparkan pisau itu adalah orang Hek-tok-pang, tentu saja dia tak akan berani menyambut dengan tangan begitu saja karena ada bahaya keracunan. Akan tetapi yang menyambitkan pisau adalah salah satu di antara tiga orang yang dibayangi dari kota tadi, maka dia berani menyambutnya. Tanpa berkata apa pun, Cuk Sek memandang ke bawah dan melihat salah satu anggota Hek-tok-pang mengacung-acungkan goloknya, diikuti oleh seorang anggota lain dan kini mereka berdua mendekati batang pohon di mana dia dan Ji Sun Bi berada. Dia lantas melemparkan dua batang pisau terbang tadi ke bawah, namun membidik ke arah pundak kedua orang itu. Dua sinar menyambar turun, dibarengi suara mencuit nyaring dan dua orang anggota Hek-tok-pang itu lantas roboh sambil berteriak kesakitan. Pundak mereka sudah tertusuk pisau terbang tanpa mereka dapat mengelak saking cepatnya dua pisau itu menyambar. Melihat hal ini, Ji Sun Bi merasa girang bukan main. Dengan mesra dan lembut dia memegang tangan Cun Sek dan berbisik dengan suara merdu, "Bagus sekali! Ternyata engkau adalah seorang yang sangat lihai. Saudara Tan Cun Sek yang gagah, mari kau bantu aku menundukkan mereka dan selanjutnya aku akan menjadi sahabatmu yang amat manis. Engkau akan kuhadapkan kepada pangcu kami dan engkau akan bisa menjadi pembantu kami yang utama. Coba kau perlihatkan kepandaianmu dan kau kalahkan ketua Hek-tok-pang itu!" Cun Sek tersenyum. Memang lebih enak jika memihak wanita cantik ini dari pada mereka yang berada di bawah. Lagi pula dia sendiri perlu mendapat kedudukan yang kuat untuk memulai hidup baru. Bila dia bersekutu dengan wanita yang lihai ini, agaknya bukan saja kedudukannya kuat, akan tetapi dia juga memperoleh kehangatan dan kemesraan yang tentu akan amat menyenangkan. Dia memandang ke bawah. Ketua Hek-tok-pang itu memang terlihat amat menyeramkan. Seorang raksasa brewok yang kasar dan dia tahu juga amat lihai, apa lagi dengan racun-racun berbahaya. Namun tentu saja dia tidak merasa takut, maka dia pun mengangguk. "Baiklah, aku memang ingin sekali mencobanya. Mari kita turun dan kita hadapi mereka!" Berkata demikian, Cun Sek lalu melayang turun dari atas pohon itu seperti seekor burung garuda besar menyambar. Dengan senyum girang Ji Sun Bi memandang dan dari cara pemuda itu melayang turun saja dengan mudah dia dapat menduga bahwa memang pemuda itu bukan orang biasa, melainkan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tidak disangkanya bahwa dalam menghadapi musuh yang telah menewaskan sepuluh orang anak buahnya ini dia akan bertemu dengan seorang pemuda yang tampan, gagah perkasa dan suka membantunya! Dia pun segera melayang turun untuk mendampingi pemuda itu menghadapi musuh-musuhnya. Tiga orang dari Kwi-san Su-kiam-mo dan Hek-tok Pangcu juga terkejut melihat cara kedua orang itu melayang turun. Mereka tidak tahu kalau Cun Sek adalah orang luar yang hanya kebetulan saja bertemu dengan iblis betina itu tetapi mengira bahwa Cun Sek tentu rekan dari Tok-sim Mo-li yang pandai. Sebelum mereka mengerahkan anak buah untuk mengeroyok, lebih dahulu Tok-sim Mo-Ji Ji Sun Bi berkata dengan nada suara mengejek. Tentu saja dia tahu kenapa orang-orang itu datang menyerbu Kim-lian-san, namun dia sengaja ingin agar Cun Sek mendengarkan percakapan mereka supaya pemuda itu tahu mengenai duduknya perkara dan bagaimana selanjutnya sikap Cun Sek, apakah tetap ingin membantu padanya atau tidak, ingin sekali dia mengetahuinya. "Haiiii! Kalian ini apakah orang-orang gila yang tiada hujan tiada angin berani menyerbu Kim-lian-san dan telah membunuh sepuluh orang anggota Kim-lian-pai kami?" Mendengar pertanyaan itu gerombolan orang yang tadinya sudah siap mengeroyok cepat menunda gerakan mereka. Hek-tok Pangcu Cui Bhok yang kasar itu menggereng seperti seekor singa terluka, matanya melotot merah dan dia lalu berteriak lantang. "Tok-sim Mo-li, tak perlu engkau berpura-pura dan bertanya lagi. Engkau telah menyerbu tempat tinggal kami di lembah Huang-ho dan menewaskan banyak anak buah kami, tetapi sekarang engkau masih bertanya lagi mengapa kami datang menyerbu. Tentu saja untuk membalas dendam dan membunuhmu!" cerita silat online karya kho ping hoo Sun Bi tersenyum lebar, manis sekali. "Hek-tok Pangcu, aku datang ke tempatmu untuk memperkenalkan Kim-lian-pai kami dan minta kepadamu agar mengakui kekuasaan kami, akan tetapi engkau malah mengerahkan orang-orangmu sehingga aku pun terpaksa turun tangan memberi hajaran. Jika aku menghendaki, pada saat itu juga aku dapat membunuh kalian semua. Akan tetapi kami dari Kim-lian-pai tak bermaksud memusuhi golongan lain, melainkan hendak mengajak kerja sama. Engkau dan orang-orangmu secara curang telah membunuh sepuluh orang anggota kami, biarlah hal itu sebagai imbangan kematian anak buahmu di tanganku tempo hari. Dan sekarang tentu engkau suka menyerah dan mau membantu kami" "Tidak sudi! Aku tidak akan menyerah sebelum orang mengalahkan aku!" bentak ketua Hek-tok-pang itu. "Baiklah. Ada sahabatku ini, Tang Cun Sek yang akan mengalahkanmu. Dan kalian ini, bukankah tiga orang dari Kwi-san Su-kiam-mo? Ada apakah kalian juga ikut-ikutan datang menyerbu ke tempat tinggal kami?" Giam Sun, orang tertua dari mereka cepat melangkah maju, mukanya merah padam dan matanya melotot. "Iblis betina, kami datang untuk minta tebusan nyawa sute kami, Yauw Kwan! Masihkah engkau pura-pura bertanya lagi?" "Aihh, Yauw Kwan? Pemuda bodoh yang tidak tahu diuntung itu? Dia hendak memaksaku untuk menikah! Tentu saja aku tidak mau terikat dengan pernikahan tolol itu. Maka kami bertengkar, lalu berkelahi. Di dalam perkelahian itu dia kalah dan roboh tewas. Apa pula yang harus diributkan? Dia tewas dalam perkelahian yang adil dan tidak penasaran. Dan sekarang kalian bertjga datang hendak mengeroyokku? Lebih baik kalian cepat insyaf dan menyadari kesalahan sute kalian, lalu bekerja sama dengan kami dari Kim-lian-pai..." "Tak perlu banyak cakap lagi! Engkau atau kami yang harus mampus!" bentak Giam Sun marah. "Aha, begitukah ? Kalian hendak main keroyok? Ataukah sebaliknya kalau kita bertanding seperti orang-orang gagah? Kalau begitu biar sahabatku Tang Cun Sek ini yang lebih dulu menghadapi ketua Hek-tok-pang." Hek-tok Pangcu Cui Bhok memang sudah tidak sabar mendengar percakapan antara Ji Sun Bi dan Giam Sun tadi. Semenjak tadi dia telah memandang kepada Cun Sek dengan sepasang mata merah. Pemuda itu memang bertubuh tinggi tegap, akan tetapi selebihnya tidak mendatangkan kesan apa-apa maka dia pun memandang rendah. Biar pun calon lawan itu tinggi tegap, namun nampak kecil ringkih dibandingkan tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa. Agaknya, dengan sekali tangkap saja dia akan mampu mematahkan tulang punggung pemuda itu. Kini, mendengar ucapan si iblis betina, tanpa banyak cakap lagi dia pun segera menerjang dan menyerang Cun Sek dengan goloknya yang lebar dan panjang! "Singgg...!" Golok itu menyambar lewat dekat kepala Cun Sek saat pemuda ini mengelak dengan lincah sekali. Gerakan ketua Hek-tok-pang itu memang cepat bukan main dan hal ini saja membuktikan alangkah besar tenaganya sehingga dia mampu memainkan golok yang sangat berat itu bagaikan sebatang senjata yang sangat ringan saja. Namun bagi Cun Sek kecepatan itu masih nampak terlalu lambat. Pemuda yang pernah mempelajari banyak macam ilmu silat, bahkan secara beruntung sudah dapat menguasai pula ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai ini memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi dari tingkat lawan. Oleh karena itu bacokan golok yang pertama tadi bisa dielakkannya dengan amat mudah. Bahkan pada waktu mengelak ke samping dia masih sempat mengirim pukulan ke arah lambung lawan. "Wuutttttt...!" Ketua Hek-tok-pang terkejut bukan main. Dia yang menyerang dengan goloknya, namun kini malah dia yang terancam bahaya. Pukulan itu mendatangkan angin yang sangat kuat sehingga terpaksa dia melempar tubuh ke belakang, lalu berjungkir balik dan hampir saja terpelanting jatuh! Terdengar orang bertepuk tangan. Kiranya Ji Sun Bi yang bertepuk tangan memuji. "Hebat, engkau hebat, saudara Tang Cun Sek!" Wanita itu memuji dengan kagum dan juga girang bukan main. Tak disangkanya bahwa pemuda itu mempunyai ilmu kepandaian sehebat itu sehingga dalam segebrakan saja hampir dapat membuat ketua Hek-tok-pang itu roboh! Akan tetapi hal itu terjadi karena Hek-tok Pangcu memandang rendah lawannya sehingga dia sama sekali tidak memperhatikan pertahanan diri. Kini dia marah bukan main. Akan tetapi, di samping marah dia juga penasaran dan lebih waspada karena dia mulai dapat menduga bahwa lawannya ini ternyata jauh lebih lihai dari pada nampaknya. Tiba-tiba Hek-tok Pangcu Cui Bhok mengeluarkan gerengan yang sangat dahsyat. Itulah ilmu khikang yang disalurkan melalui suara sehingga lawan yang tidak mempunyai tenaga sakti yang kuat akan dapat dilumpuhkan oleh serangan suara ini yang disebut Sai-cu Ho-kang (Auman Singa), seperti yang suka dilakukan binatang buas seperti beruang, singa, harimau dan lain-lain. Seekor singa bisa melumpuhkan calon korban hanya dengan auman yang menggetarkan jantung calon korbannya atau lawannya, malah sudah banyak pula manusia yang menjadi korban binatang buas, belum apa-apa sudah merasa lumpuh dan tidak mampu melarikan diri begitu mendengar auman binatang buas itu. Kini Hek-tok Pangcu itu agaknya juga menggunakan ilmu semacam itu. Suara aumannya menggetarkan jantung. Akan tetapi yang sekarang dihadapinya adalah seorang pemuda gemblengan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Cun Sek juga merasa betapa auman itu sudah menggetarkan jantungnya, namun dengan pengerahan sinkang-nya dia bisa menolak pengaruh itu dan hanya tersenyum mengejek. Keika auman berhenti, golok besar itu sudah menyambar-nyambar dan berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata. Agaknya raksasa brewok itu telah menggunakan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melakukan serangan. Tiba-tiba, tangan kirinya bergerak dan nampak uap hitam menyambar ke arah Cun Sek! Hal inilah yang dinanti-nantikan oleh Cun Sek. Dia tahu bahwa Hek-tok-pang merupakan perkumpulan ahli racun, karena itu tentu saja ketuanya pandai sekali memainkan senjata beracun. Maka, begitu tangan itu bergerak dan nampak uap hitam menyambar, tahulah dia bahwa lawannya sudah menyebar bubuk racun yang amat berbahaya dan yang sudah rnenewaskan lima orang wanita anggota Kim-lian-pai tadi. Dia pun cepat-cepat mengumpulkan pernapasannya, lalu meniup ke arah asap atau uap hitam Itu. Uap hitam itu langsung membuyar dan bahkan tiga orang Kwi-san Sun-kiam-mo berloncatan menyingkir agar jangan terkena uap hitam yang menyebar. Demikian pula Ji Sun Bi yang cepat meloncat mundur ke belakang. "Hek-tok Pangcu bukan seorang laki-laki jantan, belum apa-apa sudah mengandalkan uap beracun!" Cun Sek mengejek. Kini uap itu sudah menjauhi dirinya, terpukul dan terdorong oleh tiupan mulutnya tadi. Raksasa brewok itu marah sekali. Goloknya mengeluarkan suara berciutan dan berubah menjadi segulung sinar yang menerjang dengan dahsyatnya ke arah Cun Sek. Pemuda ini maklum betapa berbahayanya serangan itu, maka dia pun cepat meraba ke bawah jubahnya. Tiba-tiba saja nampak sinar emas yang mencorong dan tahu-tahu pada tangannya sudah nampak sebatang pedang yang mengeluarkan sinar emas. Itulah Hong-cu-kiam, pedang pusaka Cin-ling-pai yang bersinar emas dan yang sangat tipis sehingga dapat digulung dan disembunyikan di bawah jubah, bahkan dapat dipakai sebagai sabuk! Ketika dia mengintai di atas pohon, diam-diam dia mengambil pedang itu dari buntalannya dan memakainya sebagai sabuk, sedangkan kini buntalan pakaiannya itu dia gantungkan di atas pohon. Melihat ini Ji Sun Bi terkejut dan kagum, akan tetapi alisnya berkerut karena dia teringat bahwa pedang itu benar-benar mirip dengan pedang Hong-cu-kiam, pedang pusaka milik Cin-ling-pai! Apa lagi ketika Cun Sek memainkan pedangnya untuk menyambut serangan golok besar dari lawannya, maka Ji Sun Bi yang tadinya kagum kini terkejut dan matanya terbelalak! Dia adalah seorang tokoh sesat yang telah banyak pengalaman, dan dia sangat mengenal ilmu gaya Cin-ling-pai itu! Pemuda itu adalah murid Cin-ling-pai! Padahal orang-orang Cin-ling-pai adalah para pendekar yang memusuhi golongannya. Akan tetapi kini Ji Sun Bi hanya bersikap waspada saja dan diam-diam dia memutar otak untuk mencari siasat apa yang akan dia lakukan nanti untuk menghadapi Tang Cun Sek yang mungkin sekali adalah seorang tokoh Cin-ling-pai yang termasuk musuh besarnya itu! Dia masih ingat benar saat terjadi perang antara gerombolan pemberontak pimpinan Lam-hai Giam-lo di mana dia menjadi seorang pembantu utamanya. Dia berhadapan dengan Cia Kui Hong, puteri ketua Cin-ling-pai dan hampir saja dia tewas di tangan gadis itu! Cin-ling-pai adalah musuh besarnya! Akan tetapi sebelum menghadapi Cun Sek sebagai musuh, dia akan mempergunakannya lebih dahulu sebagai pembantu menghadapi pihak musuh yang menyerbu Kim-lian-san ini. Memang tidak sukar baginya untuk mengirim tanda ke puncak, minta bala bantuan. Akan tetapi dia merasa malu kepada Sim Ki Liong, ketua Kim-lian-pai kalau untuk menghadapi pengacau-pengacau itu dia harus minta bantuan sang ketua! Tepat seperti yang diduga dan diharapkan oleh Ji Sun Bi, pedang Hong-cu-kiam di tangan Cun Sek membuat raksasa brewok itu menjadi kalang kabut dan terdesak hebat! Sesudah lewat tiga puluh jurus, Hek-tok Pangcu Cui Bhok hanya sanggup menangkis saja, tanpa mampu lagi menggunakan goloknya untuk balas menyerang. Bahkan dia pun tak sempat menggunakan tangan kiri untuk melakukan serangan dengan senjata rahasianya. Begitu hebatnya gulungan sinar emas itu mendesaknya! Akan tetapi Cun Sek memang tidak ingin membunuh ketua Hek-tok-pang ini. Dia sudah mengambil keputusan untuk bekerja sama dengan Tok-sim Mo-li, dan dia pun tahu bahwa orang seperti ketua Hek-tok-pang ini bersama anak buahnya akan merupakan pembantu yang amat berguna. "Haiiitttttt...!" Tiba-tiba Cun Sek merubah ilmu pedangnya dan kini dia mengeluarkan sebuah jurus dari Siang-bhok Kiam-sut, ilmu pedang yang amat hebat dan langka dari Cin-ling-pai! Ilmu ini sebenarnya merupakan ilmu simpanan, dan untung bagi Cun Sek dia sempat mempelajari beberapa jurus pilihan ilmu pedang itu dari kakek Cia Kong Liang yang dulu menjanjikan bahwa kalau dia sampai dapat menjadi ketua Cin-ling-pai, barulah dia berhak mempelajari seluruh ilmu pedang ini. Namun jurus yang dikeluarkan itu sudah lebih dari cukup. Terdengar suara nyaring ketika golok besar itu terlepas dari tangan ketua Hek-tok-pang. Cui Bhok. Ketua itu mengeluarkan seruan kaget sambil tangan kirinya memegang tangan kanan yang luka berdarah akibat tergores ujung pedang lawan hingga membentuk guratan memanjang sampai ke siku, dan lengan bajunya juga robek. Pada saat itu pula Cun Sek sudah menodongkan pedangnya ke dadanya, membuatnya tidak berdaya sama sekali! "Nah, Pangcu, kuharap engkau mengerti bahwa di antara kita tidak ada permusuhan. Kim-lian-pai berniat baik. Memang beberapa orang anggotamu sudah tewas di tangan toanio (nyonya) ini, akan tetapi engkau sudah membalas dengan membunuh sepuluh anggota Kim-lian-pai. Berarti engkau tidak kehilangan muka dan sudah tidak ada perhitungan lagi, bukan? Sekarang, kalau engkau mau menyatakan tunduk kepada Kim-lian-pai, aku akan menganggap engkau sebagai sahabat dan tidak akan membunuhmu." Biar pun kasar namun Cui Bhok bukan seorang yang tolol. "Baik, aku maklum bahwa aku berhadapan dengan orang-orang yang jauh lebih pandai. Kalau Kim-lian-pai mempunyai banyak pembantu selihai engkau, maka sudah sepatutnya bila Hek-tok-pang berlindung di bawah pengaruh dan kekuasaannya. Aku menyerah! Hayo, kalian lepaskan senjata kalian dan berlutut!" Dua puluh empat orang anggota Hek-tok-pang itu melepaskan golok mereka dan semua berlutut tanda menyerah. Melihat ini, tiga orang dari Kwi-san Su-kiam-mo menjadi marah sekali. "Bagus kiranya Hek-tok Pangcu Cui Bhok hanyalah seorang pangecut besar!" teriak Giam Sun, kemudian bersama dua orang sute-nya dia sudah mencabut senjatanya dan mereka bertiga berloncatan ke depan. "Akan tetapi kami bertiga tetap hendak menuntut balas atas kematian sute kami! Tok-sim Mo-li, majulah engkau untuk menerima kematian di tangan kami!" Tok-sim Mo-li- Ji Sun Bi mengerling ke arah Cun Sek, lalu dengan sikap manja dan suara merdu dia berkata, "Saudara Tang Cun Sek, relakah engkau melihat aku tewas di tangan tiga orang yang hendak mengeroyokku ini?" Cun Sek tersenyum dan melintangkan pedang Hong-cu-kiam di depan dadanya. "Jangan khawatir, nona. Aku tidak membiarkan mereka main keroyokan dan aku yakin bahwa Hek-tok Pangcu juga akan membuktikan kesungguhan tekadnya untuk bekerja sama dengan Kim-lian-pai!" Mendengar ini, Hek-tok Pangcu Cui Bhok melihat kesempatan untuk membuat jasa yang pertama. Dia seorang yang cerdik dan tahu bahwa yang paling menguntungkan adalah kalau berpihak kepada golongan yang lebih kuat. Maka,tanpa mempedulikan luka guratan bekas pedang Cun Sek pada tangan kanannya, dia sudah menggerakkan golok besarnya yang tadi sudah dipungutnya. "Kwi-san Su-kiam-mo terlampau sombong! Biar aku Cui Bhok mencoba sampai di mana kelihaian pedang mereka yang begitu disombongkan!" Kwi-san Su-kiam-mo yang kini tinggal tiga orang itu maklum bahwa mereka menghadapi lawan yang tangguh dan mereka harus mengadu nyawa. Mereka adalah orang-orang yang telah terlanjur memandang diri mereka sebagai orang-orang gagah, dan juga menganggap bahwa ilmu pedang mereka selama ini tidak ada tandingannya. Karena itu kematian sute mereka telah membuat mereka marah dan sakit hati sekali, karena terutama sekali hal ini menghancurkan bayangan mereka tentang ketangguhan diri mereka berempat. Giam Sun mengeluarkan teriakan melengking, kemudian bersama adiknya dia pun sudah menggerakkan pedang menerjang ke depan. Giam Sun menyerang Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, dan adiknya, Giam Kun menyerang Cun Sek, sedangkan orang ketiga, yaitu Thio Su It, menyerang ketua Hek-tok-pang. Serangan mereka langsung disambut sehingga terjadilah perkelahian yang amat hebat, seru dan mati-matian. Sementara itu, dua puluh empat orang anggota Hek-tok-pang sekarang menjadi penonton. Tanpa perintah ketua, mereka tidak berani ikut-ikutan turun tangan biar pun mereka terus memusatkan perhatian kepada perkelahian antara ketua mereka dengan Thio Su It, dan mereka pun siap dengan golok di tangan untuk membantu ketua mereka apa bila mereka diperintah atau apa bila mereka melihat ketua mereka terdesak dan terancam bahaya. Sambil melayani Giam Kun yang terus menyerangnya dengan sengit, diam-diam Cun Sek memperhatikan Ji Sun Bi yang diserang oleh orang pertama dari tiga orang jagoan itu. Dia pun memandang kagum. Wanita itu selain cantik manis, juga amat lihai dan kini wanita itu telah memainkan sepasang pedang secara amat indah. Bagaikan menari saja dia melayani lawan yang menggunakan pedang. Sepasang pedang di tangan wanita itu menyambar-nyambar, cepat sekali hingga membentuk dua gulungan cahaya yang melingkar-Iingkar dan menutup semua jalan penyerangan lawan! Indah akan tetapi juga cepat dan mengandung tenaga yang amat kuat. Maka legalah hati Cun Sek karena melihat sepintas lalu saja dia pun merasa yakin bahwa wanita itu tidak akan kalah menghadapai lawannya. Dia pun segera mencurahkan seluruh perhatiannya kepada lawan yang terus mendesaknya dengan serangan-serangan ampuh. Harus diakuinya bahwa lawannya memang mempunyai ilmu pedang yang sangat lihai dan berbahaya. Tidak mengherankan kalau orang-orang ini memakai julukan kiam-mo (setan pedang) karena memang ilmu pedang mereka amat berbahaya. Namun tingkat kepandaian Giam Kun masih jauh sekali dibandingkan tingkat kepandaian Tang Cun Sek. Setelah menghadapi belasan jurus serangan lawan, Tang Cun Sek sudah dapat mengukur sampai di mana ketangguhan Giam Kun dan kini mulailah dia memutar pedang Hong-cu-kiam untuk membalas. Giam Kun langsung merasa terkejut sekali begitu dia memainkan pedangnya dengan cepat. Kini Giam Kun merasa repot sekali menghadapi serangan yang datangnya bertubi-tubi itu. Dia tidak mampu membalas lagi, hanya memutar pedang sekuat tenaga untuk melindungi tubuhnya. Pada saat Cun Sek melirik untuk melihat keadaan Ji Sun Bi, ternyata wanita itu pun telah mendesak lawannya yang terhuyung-huyung! Cun Sek tersenyum dan dia pun tidak mau kalah. Dia harus dapat memperlihatkan kepandaiannya dan jangan sampai dia dikalahkan oleh wanita yang menarik hatinya itu. Dia pun mempercepat gerakan pedangnya. Terdengar teriakan beruntun dan Cun Sek secepat kilat mencabut pedangnya yang tadi menancap di dada lawan, hampir berbareng dengan gerakan pedang Ji Sun Bi yang juga mencabut pedangnya dari leher lawannya. Secara berbareng mereka itu saling memutar badan dan saling pandang, keduanya tersenyum melihat bahwa perlombaan itu ternyata berakhir dengan tidak ada yang lebih cepat atau lebih lambat. Mereka merobohkan lawan pada detik yang sama. Kini tinggallah Thio Su It yang masih bertanding melawan ketua Hek-tok-pang. Ternyata tingkat kepandaian mereka seimbang walau pun Hek-tok Pangcu Cui Bhok mulai berhasil mendesaknya. Melihat betapa kedua orang suheng-nya telah roboh, tentu saja Thio Su It menjadi terkejut, berduka akan tetapi juga gentar sekali. Dia maklum bahwa tak mungkin dia dapat menyelamatkan dirinya, maka dengan nekat dia lalu melawan terus. Kenekatan Thio Su It inilah yang membuat dia menjadi lawan yang tangguh. Melihat betapa Hek-tok Pangcu bersungguh-sungguh melawan Thio Su It, hati Ji Sun Bi sudah merasa girang bukan main. Orang ini boleh dipercaya dan boleh diharapkan untuk menghadapi tokoh Cin-ling-pai itu, pikirnya. Tiba-tiba dia menggerakan tangan kirinya dan sinar halus berwarna hitam menyambar ke arah dua orang yang sedang berkelahi itu. Thio Su It mengeluarkan seruan lirih, lantas dia terhuyung. Pada saat pula itu ujung golok di tangan Cui Bhok telah mengenai pundaknya sehingga dia pun roboh dan dalam waktu beberapa detik saja tubuhnya berubah hitam dan dia pun tewas seketika. Golok besar itu mengandung racun yang amat hebat! Kini tiba-tiba Ji Sun Bi merubah sikapnya yang tadi tersenyum-senyum kepada Cun Sek. "Pangcu, bantu aku menangkap mata-mata ini. Dia seorang pendekar tokoh Cin-ling-pai, musuh golongan kita!" Mendengar ini, Hek-tok Pangcu Cui Bhok terkejut sekali, akan tetapi dia segera meloncat ke dekat Cun Sek sambil menodongkan golok besarnya dan memberi isyarat kepada dua puluh empat orang anak buahnya. Mereka itu segera mengepung Cun Sek, sedangkan Ji Sun Bi sendiri sudah berdiri di samping Cui Bhok, sepasang pedangnya di tangan dan dia memandang kepada Cun Sek yang terheran-heran itu dengan senyum mengejek. "Wah, saudara Tang Cun Sek, tak perlu engkau berpura-pura lagi. Engkau seorang tokoh Cin-ling-pai, katakan apa maksudmu datang ke tempat kami ini. Apakah engkau datang sebagai mata-mata, sebagai musuh? Katakan terus terang sebelum kami turun tangan karena aku tak akan segan-segan membunuhmu sebagai seorang murid Cin-ling-pai yang selama ini menjadi musuh besar kami." Tentu saja Tang Cun Sek terkejut bukan main melihat perubahan ini. Namun pemuda ini sangat cerdik dan sebentar saja otaknya yang bekerja cepat itu sudah dapat memaklumi keadaan, juga dia dapat menduga apa yang menyebabkan wanita cantik itu kini berbalik memusuhinya. Tentu Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi ini pernah bermusuhan dengan pihak Cin-ling-pai dan tadi, ketika dia mengeluarkan pedang Hong-cu-kiam lantas memainkan ilmu silat Cin-ling-pai, wanita cantik itu mengenalnya sehingga tidak mengherankan jika wanita itu kini menaruh curiga kepadanya. Tang Cun Sek tertawa. "Ha-ha-ha-ha, ternyata Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi yang cantik jelita dan lihai tidak mampu mengenali sahabat dan juga masih belum terlalu cerdik sehingga tidak mampu membedakan mana kawan mana lawan, ha-ha-ha!" Ji Sun Bi mengerutkan alisnya dan sepasang matanya yang jeli itu berkilat, akan tetapi dia masih belum tersenyum. "Tang Cun Sek, apa alasannya engkau menganggap aku tidak mengenal sahabat dan tidak cerdik?" "Pertama, engkau masih saja mencurigaiku walau pun aku telah membantu menarik Hek-tok-pang menjadi sekutu dan membunuh tiga orang musuh yang hendak membunuhmu. Ini namanya tidak mampu mengenal sahabat! Dan ke dua, kalau benar aku ini mata-mata Cin-ling-pai dan hendak memusuhimu, bukankah tadi aku memiliki kesempatan yang baik sekali dengan membantu mereka mengeroyokmu? Apa kau kira akan mampu menandingi kami kalau aku tadi membantu mereka? Nah, bukankah itu menunjukkan bahwa engkau kurang cerdik dan salah menilai orang?" Kini Ji Sun Bi tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia lantas menoleh kepada Hek-tok Pangcu Cui Bhok dan berkata lembut, "Pangcu, mundurlah dan kita harus dapat percaya keterangannya itu." KetuaHek-tok-pang itu pun mengangguk-angguk dan memberi isyarat kepada dua puluh empat orang anak buahnya untuk mundur. Ji Sun Bi lalu menghampiri Cun Sek. Sejenak mereka saling berpandangan dan keduanya saling kagum. "Tang Cun Sek, keteranganmu tadi memang dapat kami terima, akan tetapi untuk lebih meyakinkan hati kami sebelum engkau kami hadapkan kepada Pangcu kami, terlebih dahulu ceritakanlah mengapa engkau yang mempunyai ilmu silat Cin-ling-pai dan memegang pedang pusaka Cin-ling-pai, tiba-tiba saja kini berpihak kepada kami!" Sebetulnya Cun Sek segan menceritakan riwayatnya, akan tetapi ia maklum bahwa kerja sama dengan orang-orang seperti mereka itu adalah suatu keuntungan baginya, terutama sekali akan memudahkan dia dalam mencari serta menemukan ayah kandungnya, yaitu Ang-hong-cu! Apa lagi yang berada di situ hanyalah Ji Sun Bi dan Cui Bhok, sedangkan para anak buah Hek-tok-pang sudah disuruh menjauhkan diri. Dengan singkat namun jelas dia kemudian menceritakan betapa semenjak kecil dia sudah mempelajari ilmu silat dan setelah dewasa dia ingin menambah pengetahuannya dengan masuk menjadi anggota Cin-ling-pai. "Hanya beberapa tahun saja aku menjadi anggota Cin-ling-pai, tetapi aku beruntung dapat mempelajari ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai dari ketua lamanya. Akan tetapi aku gagal menjadi ketua baru, lalu aku melarikan diri dari Cin-ling-pai sambil membawa Hong-cu-kiam yang dihadiahkan ketua lama Cia Kong Liang kepadaku." Tentu saja bagian terakhir ceritanya itu adalah kebohongan sebab pedang pusaka itu bukan hadiah pemberian melainkan hasil pencurian! Ji Sun Bi minta kepada ketua Hek-tok-pang untuk memerintahkan anak buahnya supaya menguburkan jenazah sepuluh orang anggota Kim-lian-pang yang tewas keracunan dan membersihkan kembali tempat yang tadi mereka taburi racun. Setelah itu, maka Ji Sun Bi menjadi petunjuk jalan dan mereka pun naik ke puncak Kim-lian-san. Dalam perjalanan ini barulah orang-orang Hek-tok-pang melihat betapa besar bahayanya jika mereka menyerbu ke atas. Perjalanan itu mengandung banyak sekali tempat rahasia, jebakan-jebakan yang mengerikan. Tanpa petunjuk jalan, sebelum tiba di puncak mereka semua tentu akan menjadi korban perangkap yang banyak dipasang di sepanjang jalan menuju ke puncak. Bahkan Hek-tok Pang-cu Cui Bhok sendiri bergidik dan diam-diam dia girang bahwa dia sudah dikalahkan oleh Tang Cun Sek sehingga dia menakluk. Apa lagi sesudah nampak banyak anggota Kim-lian-pang yang mulai menyambut, berdiri berjajar di sepanjang jalan, laki-laki dan wanita-wanita yang semuanya berwajah tampan dan cantik, bersikap gagah dan jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang. Kemudian barulah dia tahu bahwa seluruh anggota Kim-lian-pang berjumlah seratus orang lebih, sebagian ada yang bertugas di bawah gunung dan tersebar ke kota-kota dan dusun-dusun sekitar daerah itu, bertugas sebagai mata-mata. Baik Cui Bhok mau pun Tang Cun Sek merasa heran dan kagum sekali ketika mereka diajak oleh Ji Sun Bi menghadap orang yang disebut pangcu atau ketua dari perkumpulan Kim-lian-pang. Sama sekali mereka tak pernah membayangkan bahwa pangcu itu kiranya hanyalah seorang pemuda yang masih sangat muda, tidak akan lebih dari dua puluh tiga atau dua puluh empat tahun saja usianya! Cun Sek memperhatikan orang yang menerima kedatangan mereka dengan berdiri dari tempat duduknya dan yang mengamati mereka dengan pandang mata tajam menyelidik itu. Dia adalah seorang pria muda yang bertubuh sedang, gerak-geriknya halus dan sopan, pakaiannya seperti seorang terpelajar, wajahnya tampan dan kedua matanya mencorong penuh wibawa! Ji Sun Bi segera memperkenalkan dua orang tamu itu sesudah memberi bisikan kepada Cui Bhok untuk memerintahkan anak buahnya yang ikut memasuki ruangan luas itu agar berlutut semua. Sambil tersenyum Ji Sun Bi mendekati ketua Kim-lian-pang yang menjadi rekan, kekasih, juga ketuanya itu dan dia sendiri menjabat wakil ketua. "Pangcu, dia adalah Hek-tok Pangcu Cui Bhok yang kini sudah menakluk kepada kita dan membawa dua puluh empat orang anak buahnya menakluk dan siap untuk bekerja sama dengan kita." Orang muda tampan itu memandang kepada Cui Bhok dengan sinar mata penuh selidik, alisnya berkerut dan dia berkata dengan halus, "Hemm... , aku mendengar bahwa sepuluh orang anak buah kita tewas karena racun yang disebarkan mereka?" Diam-diam Tang Cun Sek merasa kagum. Kiranya peristiwa di lereng tadi telah diketahui oleh ketua ini, tentu ada mata-mata yang lebih dahulu melapor ke atas sebelum mereka tiba di situ. "Benar, mereka tewas karena kurang waspada," jawab Ji Sun Bi. Walau pun bagi Cui Bhok keadaan ketua Kim-lian-pang itu kurang menyakinkan, hanya seorang pemuda yang nampaknya tidak begitu hebat, namun mengingat bahwa pemuda itu adalah ketua Kim-lian-pang dan Tok-sim Mo-li yang demikian lihainya hanya menjadi pembantunya, dia pun tidak berani memandang rendah. "Saya Hek-tok Pangcu Cui Bhok menghadap pangcu dari Kim-lian-pang dan menyatakan bersedia untuk bekerja sama dengan Kim-lian-pang!" katanya sambil memberi hormat. "Hemmm...!" Kim-lian Pangcu Sim Ki Liong tersenyum dingin, namun suaranya terdengar halus saat dia berkata kepada Cui Bhok yang bertubuh tinggi besar dan wajahnya brewok menyeramkan itu. "Hek-tok Pangcu, janji penyerahan diri dan kerja sama membutuhkan kesetiaan dan kesetiaan harus dibuktikan. Anak buahmu telah membunuh sepuluh orang anak buah Kim-lian-pang, padahal enci Ji Sun Bi hanya membunuh tujuh orang anak buah Hek-to-pang. Dengan demikian, Hek-to-pang masih berhutang tiga nyawa terhadap Kim-lian-pang. Nah, apa yang akan kau lakukan untuk membuktikan kesetiaanmu?" Mendengar pertanyaan ini, wajah yang kasar penuh brewok itu berubah menjadi pucat, lalu merah padam dan matanya terbelalak. Cui Bhok paham apa yang dimaksudkan ketua Kim-lian-pang yang masih sangat muda itu dan dia merasa penasaran. Bagaimana pun juga, kalau ketuanya hanya seorang pemuda ingusan seperti ini, dia harus melihat bukti dulu bahwa ketua yang amat muda ini memang pantas untuk menjadi atasannya sebelum dia melaksanakan segala perintahnya. Dia pun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, sungguh tuntutan yang wajar dari seorang ketua besar sebuah perkumpulan yang besar pula! Akan tetapi, Pangcu, bagaimana pun juga, saya juga harus melihat bukti bahwa Pangcu adalah orang yang pantas untuk saya taati. Mohon petunjuk!" katanya dan pria tinggi besar ini segera memasang kuda-kuda. Dia tidak mencabut senjata karena dia maklum bahwa dia berada di sarang harimau dan kedudukannya amat berbahaya. Dia hanya ingin menguji kelihaian ketua yang amat muda itu, lain tidak. Dia sama sekali tak ingin menentang karena dia sudah takluk kepada orang muda yang membantu Tok-sim Mo-li tadi. Mendengar ucapan ketua Hek-tok-pang itu, Sim Ki Liong tersenyum dan wajahnya yang tampan itu nampak cerdik dan licik sekali. Tang Cun Sek memandang dengan hati tegang akan tetapi juga gembira. Ketua yang masih amat muda itu tadi hanya memandang acuh saja kepadanya, dan kini ketua itu ditantang atau diuji oleh Cui Bhok. Suatu kesempatan baik baginya untuk melihat sendiri sampai di mana kelihaian ketua ini. Dia sudah mengukur kepandaian Cui Bhok, dan dari perlawanan ketua itu terhadap Cui Bhok, dia akan dapat mengukur sampai di mana kelihaiannya. Kalau melihat betapa Tok-sim Mo-li, yang tadi dia lihat pula kehebatannya, hanya menjadi pembantu ketua Kim-lian-pang, maka dapat diduga bahwa kepandaian ketua yang masih amat muda ini tentu hebat bukan main....

jilid 12

MELIHAT Cui Bhok sudah siap siaga di tengah ruangan yang luas itu, sambil tersenyum Sim Ki Liong bangkit dari kursinya. Semua anak buah Hek-tok-pang yang masih berlutut juga memandang dengan hati tegang. Mereka setuju sekali dengan sikap ketua mereka. Kalau hendak menaluk kepada seseorang, maka terlebih dahulu mereka harus melihat sendiri bagaimana lihainya orang itu! "Cui-pangcu, permintaanmu wajar pula. Aku akan membuktikan bahwa aku memang patut kau taati. Nah, mulailah!" katanya dan dia berdiri seenaknya saja di depan Cui Bhok yang bertubuh kokoh kekar itu, berbeda dengan tubuh Sim Ki Liong yang sedang saja sehingga nampak kecil lemah di depan raksasa itu. Cui Bhok tak mau membuang waktu lagi, lalu tiba-tiba dia mengeluarkan suara mengaum seperti singa, disusul bentakannya, "Kim-lian Pangcu, lihat seranganku!" Tubuhnya langsung menerjang dengan dahsyatnya, kedua tangannya membentuk cakar singa, kuku jari-jari tangannya terlihat menghitam tanda bahwa kuku-kuku itu mengandung racun yang sangat berbahaya. Sekali terkena goretan kuku hitam itu akan mengakibatkan luka melepuh yang sukar disembuhkan kalau tidak memakai obat pemunah racun buatan ketua Hek-tok-pang itu! Namun serangan bertubi-tubi yang berupa cakaran-cakaran dan cengkeraman itu dengan mudah dapat dihindarkan oleh Sim Ki Liong, hanya dengan gerakan kedua kakinya saja, kemudian dia membalas dengan tamparan lembut tapi mengandung tenaga yang dahsyat sehingga hampir saja pundak ketua Hek-tok-pang terkena tamparan. Meski pun luput dan hanya menyerempet sedikit saja, namun cukup membuat Cui Bhok terhuyung. Tentu saja raksasa ini terkejut dan mulai merasa kagum karena hanya dalam beberapa jurus saja, bahkan baru satu kali pemuda itu menyerang, dia sudah hampir dirobohkan. Namun dia masih kurang puas, kurang yakin dan kembali dia menyerang, lebih ganas dari yang tadi. Sementara itu Cun Sek terbelalak! Dia melihat dengan jelas betapa serangan balasan itu, tamparan yang lembut dan gerakan kaki itu adalah ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung), sebuah ilmu pilihan dari Cin-ling-pai! Menghadapi serangan ganas dari ketua Hek-tok-pang ini, Sim Ki Liong lalu mengeluarkan bentakan nyaring, sepasang tangannya bergerak dari kanan dan kiri, menangkis sekaligus menyerang. Begitu kedua tangannya bertemu dengan sepasang tangan ketua Kim-lian-pang, Hek-tok Pangcu Cui Bhok berteriak kaget. Kedua tangannya itu terdorong keras ke belakang dan sebelum dia sempat menghindarkan diri, ada angin pukulan dari kanan kiri menyambar ke arah kedua pundaknya. Dia pun roboh terguling, kedua pundaknya terasa nyeri seolah-olah tulangnya retak-retak! Dia terkejut, akan tetapi juga kagum dan takluk. Dia bangkit berdiri lalu menjura dengan sikap hormat karena dia mendapat bukti betapa lihainya ketua Kim-lian-pang yang masih amat muda itu. "Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit Bumi)...!" Tak terasa lagi mulut Cun Sek berseru ketika dia melihat gerakan kedua tangan Sim Ki Liong tadi. Mendengar ini, Ki Liong cepat membalik dan sepasang matanya mencorong, memandang ke arah Cun Sek. Akan tetapi pada saat itu Cui Bhok sudah berkata dengan suara kagum, "Biar pun masih amat muda, kiranya Kim-lian Pangcu sungguh memiliki kepandaian yang sangat hebat. Saya mengaku kalah dan takluk, dan saya akan memperlihatkan kesetiaan saya kepada Pangcu!" Berkata demikian, tiba-tiba saja raksasa ini bergerak cepat sekali ke arah para anggotanya yang masih berlutut. Terdengar teriakan berturut-turut, kemudian empat orang anak buahnya roboh dan tewas seketika dengan muka menghitam. Mereka tadi telah diserang dengan cakaran maut oleh ketua mereka sendiri. Yang menjadi korban adalah dua orang yang tadi terluka oleh Cun Sek dan dua orang lain yang tingkatannya paling rendah dalam Hek-tok-pang. Semua anak buah Hek-tok-pang terkejut dan ketakutan, akan tetapi hati mereka menjadi lega ketika ketua mereka tidak menyerang lagi. Cui Bhok lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil menghadap Sim Ki Liong. "Nah, Pangcu. Itulah bukti dari kesetiaan kami. Dengan tewasnya empat orang anak buah saya, maka kini kami yang rugi seorang dibandingkan dengan Kim-lian-pang." Sim Ki Liong tersenyum dan mengangguk-angguk. "Bagus, engkau memang pantas untuk kami terima sebagai sekutu dan pembantu, Cui Pangcu!" Dia lalu bertepuk tangan, menyuruh pengawal atau anak buahnya untuk menyingkirkan keempat mayat itu, dan menyuruh anak buahnya untuk menjamu para anggota Hek-tok-pang yang kini tinggal dua puluh orang itu. Kemudian dia menyuruh para pelayan supaya menambah arak dan mengeluarkan hidangan untuk menyambut Cui Bhok. Ketika itulah dia memandang kepada Cun Sek dan bertanya kepada Ji Sun Bi. "Siapakah dia ini yang mengenal Thian-te Sin-ciang?" Ji Sun Bi tersenyum. "Tadi aku belum sempat mengenalkan dia. Tentu saja dia mengenal ilmu silatmu yang berasal dari Cin-ling-pai, Pangcu, karena dia adalah seorang tokoh Cin-ling-pai!" "Ehhh...!" Sim Ki Long terkejut bukan kepalang, akan tetapi dengan sikap gagah dia tidak memperlihatkan kekagetannya, melainkan matanya saja yang memandang tajam kepada Cun Sek, tetapi kini mengandung kecurigaan. "Mau apa seorang tokoh Cin-ling-pai datang ke sini?" Pertanyaan ini mengandung terguran kepada Ji Sun Bi. Sebelum Ji Sun Bi menjawab, Cun Sek mendahuluinya. "Maaf, Pangcu. Aku tidak sengaja datang ke sini melainkan diajak oleh Tok-sim Mo-li untuk diperkenalkan kepada Pangcu." Mendengar ini Ji Sun Bi tersenyum dan dia pun cepat menjelaskan. "Pangcu, ketahuilah bahwa ketika aku turun dari puncak untuk menghadapi Hek-tok-pang, aku diperingatkan akan lorong beracun yang dibuat Hek-tok-pang oleh saudara Tang Cun Sek ini. Bukan itu saja, bahkan dialah yang telah menundukkan dan menaklukkan Hek-tok Pangcu, dan dia membantu pula ketika aku dikeroyok oleh tiga orang dari Kwi-san Su-kiam-mo. Melihat kelihaiannya dan mengenal gerakan silatnya serta pedangnya yang jelas dari Cin-ling-pai, tadinya aku juga curiga dan terkejut. Akan tetapi sesudah dia menceritakan keadaannya, kupikir sebaiknya kalau dia kuajak ke sini agar berkenalan dengan Pangcu. Bagaimana pun juga, kepandaian Pangcu dan dia datang dari satu sumber, bukan?" Sim Ki Liong mulai tertarik dan sekarang dia memandang kepada Cun Sek dengan penuh perhatian, akan tetapi kecurigaannya telah menipis. "Saudara Tang Cun Sek, terus terang saja, Cin-ling-pai kami anggap sebagai musuh kami. Maka, harap kau jelaskan mengapa engkau tidak memusuhi kami, bahkan ingin berkenalan denganku." Cun Sek menarik napas panjang, "Tidak kusangkal bahwa aku adalah seorang murid Cin-ling-pai, bahkan aku telah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dari ketua lama Cia Kong Liang sendiri. Akan tetapi, setelah aku gagal untuk menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru, maka Cin-ling-pai kuanggap sebagai musuh. Aku melarikan diri dari sana dan biar pun banyak ilmu dari sana yang kukuasai, namun aku tidak menganggap diriku sebagai seorang Cin-ling-pai," Cun Sek mengepalkan tinju, masih mendongkol kalau mengingat kekalahannya di Cin-ling-pai. "Demikianlah keadaanku, Pangcu. Oleh karena itu Pangcu tak perlu khawatir, aku bukan seorang anggota Cin-ling-pai lagi, bahkan aku pun membenci Cin-ling-pai! Aku melarikan diri dari Cin-ling-pai, dan dalam perjalanan untuk mencari jejak ayahku yang sejak dalam kandungan belum pernah kulihat, secara kebetulan aku lewat di bawah bukit dan melihat rombongan orang Hek-tok-pang, lalu aku membayangi mereka dan kubantu Tok-sim Mo-li." Sim Ki Liong mengangguk-angguk. "Kalau engkau gagal menjadi ketua Cin-ling-pai, lalu siapa yang menjadi ketuanya yang baru?" Dengan suara gemas Cun Sek menjawab, "Gadis liar itu, Cia Kui Hong!" Mendengar ini, mata Sim Ki Liong terbelalak memandang, kemudian dia tertawa bergelak. Lenyaplah sikap lembut dan sopan ketika dia tertawa dengan mulut terbuka, lalu mulut itu ditutup sehingga suara ketawanya hanya sampai di tenggorokan. "Ha-ha-ha...! he-he-he, Cia Kui Hong? Dia menjadi ketua Cin-ling-pai?" dia tertawa lagi. "Dara itu yang telah menggagalkanmu?" "Hemm, Cia Kui Hong! Lagi-lagi gadis setan itu yang menjadi penghalang. Dia musuh kita bersama!" kata pula Ji Sun Bi dengan gemas. Sekarang Tang Cun Sek yang memandang dengan sinar mata heran kepada dua orang itu. Tentu saja dia tidak tahu betapa Sim Ki Liong juga sampai terlempar keluar dari Pulau Teratai Merah tempat tinggal gurunya, yaitu Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, gara-gara kedatangan Cia Kui Hong, cucu luar pendekar sakti itu. Ada pun Ji Sun Bi tentu saja tidak pernah dapat melupakan pengalaman pahitnya ketika dia membantu gerakan mendiang Lam-hai Giam-lo dan ketika gerombolan pemberontak itu diserbu oleh para pendekar. Dia sendiri bertanding melawan Cia Kui Hong dan hampir saja dia tewas ketika dia terjatuh ke dalam tebing! "Pangcu, apakah engkau sudah mengenal Cia Kui Hong?" tanya Cun Sek. Ki Liong masih tertawa sehingga Ji Sun Bi yang menjawab. "Tentu saja kenal baik! Cia Kui Hong itu masih terhitung murid keponakannya!" Cun Sek terbelalak bingung. Pemuda ini? Usianya masih begitu muda dan dia menjadi paman guru Kui Hong? Paman guru dari mana? Tak mungkin pemuda ini murid kakek Cia Kong Liang pula. Melihat tamu itu menjadi bingung, sekarang Ki Liong yang melanjutkan keterangan Sun Bi. "Ketahuilah, Tang-toako, aku adalah murid Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah!" "Ahhh...!" Sungguh hal ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Cun Sek. Tentu saja dia tahu siapa itu Pendekar Sadis! Dan dia pun mengerti sekarang. Memang Kui Hong adalah cucu Pendekar Sadis, cucu luar, maka kalau pemuda ini murid Pendekar Sadis, otomatis Kui Hong dapat dianggap sebagai murid keponakannya. "Akan tetapi..., kalau begitu... bagaimana pula Pangcu menganggap Kui Hong sebagai musuh?" "Dialah yang menjadi gara-gara sehingga aku terpaksa pergi meninggalkan Pulau Teratai Merah untuk selamanya, tetapi tidak perlu kujelaskan persoalannya," kata ketua itu yang tentu saja merasa tidak enak mengingat akan pengalamannya di Pulau Teratai Merah itu. Pada waktu Kui Hong berkunjung ke Pulau Teratai Merah, tempat tinggal kakek luarnya, seketika Ki Liong jatuh jatuh cinta dan tergila-gila kepada gadis itu. Dia berusaha merayu, namun bukan saja ditolak oleh Kui Hong, bahkan gadis itu marah-marah dan menyerang dirinya. Peristiwa itu diketahui oleh suhu dan subo-nya sehingga dia merasa malu dan malam itu juga dia melarikan diri meninggalkan Pulau Teratai Merah sambil membawa benda-benda berharga, bahkan dia juga membawa lari pedang pusaka Gin-hwa-kiam! Dia berniat untuk mencari musuh besar pembunuh ayahnya, yaitu Siangkoan Ci Kang, akan tetapi sampai sekarang usahanya itu belum juga berhasil. "Dan bagaimana dengan engkau, Tok-sim Mo-li? Bagaimana engkau juga mengenal Cia Kui Hong dan memusuhinya?" tanya Tang Cun Sek. Dia merasa girang setelah mendengar keterangan ketua itu yang ternyata murid Pendekar Sadis sehingga dia tidak merasa heran kalau ketua itu mempunyai ilmu kepandaian yang demikian hebat. Ketua itu dan dia memiliki dasar ilmu silat yang sama, yaitu dari Cin-ling-pai walau pun mereka berdua masing-masing memiliki pula ilmu-ilmu lain. Ji Sun Bi menghela napas panjang dan Ki Liong yang menjawab, "Dia pernah bertanding dan dikalahkan oleh Cia Kui Hong, bahkan hampir saja dia tewas ketika terjatuh ke dalam jurang tebing yang curam." Ji Sun Bi cemberut dan mukanya berubah merah, sepasang matanya berkilat. "Lain kali akan kubunuh gadis setan itu!" Pertemuan lalu dilanjutkan dengan pesta makan minum untuk menghormati persekutuan baru itu. Cun Sek diterima dengan tangan terbuka oleh Ki Liong dan mulai saat itu pula Cun Sek merupakan pembantu utama dari pasangan Ki Liong dan Sun Bi, bahkan dia pun mulai hari itu menjadi seorang kekasih baru dari Ji Sun Bi yang tak pernah merasa puas dengan laki-laki itu. Tentu saja Kim-lian Pangcu bisa memaklumi hal ini sebab dia memang tak pernah merasa cemburu, bahkan memberi kebebasan sepenuhnya kepada Ji Sun Bi untuk mengadakan hubungan dengan pria mana pun juga, seperti juga Ji Sun Bi tidak peduli dengan wanita mana ketua itu berhubungan! Maka terdapatlah hubungan segi tiga yang amat akrab dan aneh antara Ji Sun Bi, Sim Ki Liong, dan Tang Cun Sek. Namun tiga sekawan ini merupakan kesatuan yang berbahaya sekali karena ketiganya mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Apa lagi setelah kini Hek-tok-pang menjadi sekutu mereka pula. Perkumpulan Teratai Emas itu menjadi semakin kuat dan semakin terkenal. Mereka terus melebarkan sayap kekuasaannya ke kota-kota lain, tetapi mereka tidak bergerak sebagai pemberontak, malah sebaliknya mereka menyusup ke dalam gedung-gedung para pejabat dan mendekati para pejabat dengan sogokan-sogokan. Kemudian mereka menaklukkan tokoh-tokoh dunia persilatan dengan mengalahkan para pemimpinnya, namun tidak menanam permusuhan dan kebencian karena setelah berhasil mengalahkan, mereka lalu mendekati dan menarik bekas lawan itu untuk menjadi sekutu mereka. Maka makin kuatlah Kim lian-pang di bawah pimpinan Sim Ki Liong yang dibantu dengan setia oleh Ji Sun Bi dan Tang Cun Sek itu. Mulailah mereka menyebar anak buah Kim-lian-pang yang jumlahnya semakin banyak itu, selain untuk melebarkan pengaruh juga untuk mulai melakukan penyelidikan tentang dua orang tokoh persilatan, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Si Kumbang Merah Ang-hong-cu. Yang pertama untuk sang ketua, dan yang ke dua untuk Tang Cun Sek. *************** Pek Han Siong melangkah lesu. Sebenarnya pemandangan alam di sekitar pegunungan itu amat indahnya pada pagi hari yang cerah itu, namun tiada keindahan di luar diri bagi seseorang yang menanggung derita di dalam dirinya. Keindahan bukan terletak di luar, melainkan di dalam diri. Kalau batin sedang terlanda duka, apa pun yang dilihat oleh mata akan nampak tidak indah lagi. Dan pada saat itu, Pek Han Siong sedang dilanda duka. Cintanya terhadap Siangkoan Bi Lian ditolak! Gadis itu telah menolak cintanya. Dia dapat menghargai kejujuran dan keterus terangan Bi Lian, tapi kenyataan itu sungguh membuat hatinya bagaikan ditusuk. Pedih perih karena kecewa. Apa lagi penolakan cinta gadis itu dinyatakan di depan suhu dan subo-nya. Dia tahu betapa mereka amat menyayangnya, maka dia pun ditarik sebagai calon mantu. Akan tetapi apa hendak dikata, Bi Lian yang terlibat langsung di dalam urusan perjodohan itu menolak! Dia pun tidak dapat menyalahkan Bi Lian. Bagaimana dia bisa menyalahkan seorang gadis karena tidak mencintanya? Han Siong menjatuhkan diri duduk di atas akar pohon. Tubuhnya terasa penat. Semalam suntuk dia tak pernah berhenti, terus saja berjalan meski pun lambat, tak tentu arah tujuan sampai pada pagi hari itu dia tiba di pegunungan itu yang tidak dia ketahuinya namanya. Tubuhnya lemas karena sudah dua hari dia tidak makan, hanya minum air, itu pun kalau kebetulan dia melewati sebuah sumber air bersih. Membiarkan tubuhnya duduk mengaso tetap saja tidak mampu menghilangkan perasaan dukanya, malah kini pikirannya melayang-layang, mengenang keadaan dirinya dan semua peristiwa yang terjadi. Dan hatinya terasa semakin tertekan. Sejak kecil dia tidak pernah merasakan kebahagiaan, kecuali mungkin saat dia tinggal di kuil Siauw-lim-si dan menjadi murid suami isteri sakti yang menjadi guru-gurunya, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Duka timbul dari pikiran yang penuh dengan perasaan iba diri. Pikiran mengenang masa lalu yang penuh dengan kegagalan, atau membayangkan masa depan yang penuh dengan kesuraman, maka pikiran atau si aku merasa iba terhadap diri sendiri, merasa nelangsa dan sengsara. Maka datanglah rasa duka. Duka menghilangkan kewaspadaan, melenyapkan makna hidup. Hidup bukanlah sekedar membiarkan diri diseret ke dalam lamunan, membiarkan diri dipermainkan pikiran! Hidup adalah kenyataan, apa yang ada, tidak peduli apakah kenyataan itu menyenangkan atau menyusahkan. Yang senang atau yang susah adalah pikiran, si-aku yang selalu menghendaki keenakan dan menghindarkan ketidak enakan. Namun kenyataan hidup adalah seperti apa adanya, dan menerima kenyataan apa adanya inilah seni paling indah, paling agung dan paling murni dari kehidupan. Menerima kenyataan seperti apa adanya, tanpa menilai dan tanpa mengeluh melainkan menyerahkan kepada Tuhan! Tuhan Maha Kuasa, Maha Bijaksana, Maha Kasih! Hanya Tuhan yang akan mampu membimbing kita, lahir mau pun batin. Kewajiban kita dalam hidup hanyalah untuk menggunakan segala alat yang ada di tubuh ini sebagaimana mestinya. Panca indera adalah alat-alat untuk bekerja seperti yang telah ditentukan dalam tugas masing-masing, termasuk pikiran yang sesungguhnya merupakan alat untuk berpikir, untuk bekerja, untuk dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain. Pikiran bukanlah alat untuk menyeret kita ke dalam lamunan kosong tentang suka atau duka. Tak mungkin kita bisa membersihkan pikiran yang bergelimang dengan daya-daya rendah, pikiran yang penuh nafsu, pikiran yang penuh dengan keinginan untuk mengejar enak sendiri. Tidak mungkin karena kita yang ingin membersihkan ini adalah pikiran itu sendiri! Keinginan pikiran selalu hanya bersumber pada satu pamrih, yakni mengejar keenakan untuk diri sendiri. Bisa saja pikiran menciptakan bermacam-macam akal seperti sebutan muluk-muluk, bertapa, mengasingkan diri, mengheningkan cipta dan segala macam cara lagi untuk membersihkan batin. Namun semua itu adalah pekerjaan pikiran, pekerjaan si-aku, usaha dari nafsu pula sebab pikiran itu sendiri bergelimang nafsu, dikemudikan oleh nafsu. Di balik semua usaha itu terdapat satu pamrih, yaitu sifat dari nafsu, ialah untuk mengejar keenakan bagi diri sendiri! Karena itu tak mungkin kita membersihkan pikiran, tidak mungkin nafsu mampu mengendalikan atau mengalahkan nafsu. Semua ini hanya akal-akalan saja, akalnya si akal-pikir! Satu-satunya kenyataan adalah bahwa yang mampu merubah segalanya itu, yang dapat membersihkan jiwa dari cengkeraman nafsu, yang bisa menempatkan semua alat tubuh luar dalam kepada kedudukan dan tugas mereka masing-masing secara utuh dan benar, hanyalah KEKUASAAN TUHAN! Dan kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau si-aku, yaitu hati dan akal pikiran kita tidak bekerja! Dan kekuasaan Tuhan akan bekerja apa bila kita menyerah kepadaNya, menyerah dengan penuh ketawakalan, kepasrahan dan keiklasan, menyerah dengan kesabaran. Kehendak Tuhan pun terjadilah! Dan inilah satu-satunya kenyataan yang mutlak. Di dalam kepasrahan lahir batin ini kita akan menerima semua kenyataan hidup sebagai kehendak Tuhan, dan karenanya kita akan menghadapinya tanpa keluhan, tanpa celaan. Bukan berarti kita lalu acuh dan mandeg. Sama sekali tidak! Kita pergunakan semua alat tubuh luar dalam untuk berusaha! Tuhan yang akan memberi bimbingan dan tuntunan. Kalau sudah begini, apa pun yang terjadi takkan menimbulkan penasaran atau keluhan, apa lagi duka, selain ingat dan waspada. Ingat kepada Tuhan serta kekuasaanNya yang mutlak, menyerah, waspada terhadap setiap gerak langkah kita di dalam hidup, waspada terhadap pikiran kita, ucapan kita, perbuatan kita, seperti kewaspadaan seseorang yang memegang kemudi kendaraan. Dan Tuhan Maha Kasih! "Muridku, Han Siong. Engkau akan terjun ke dunia ramai dan akan menghadapi segala macam pengalaman hidup. Ingatlah bahwa hidup tidak selalu seperti yang kita kehendaki. Hidup adalah hidup, merupakan kesatuan dari segala macam peristiwa. Jika hidup ini kita umpamakan sebagai rasa, maka hidup itu terdiri dari semua rasa, manis, pedas, masam, gurih, asin, pahit dan sebagainya lagi. Jangan engkau menghendaki agar hidup ini selalu manis. Bagaimana mungkin engkau dapat menikmati rasa manis kalau belum merasakan pahit, getir, asin, pedas dan lain-lainnya itu? Karena itu bersiaplah engkau, jangan terkulai hanya oleh suatu peristiwa atau keadaan saja, karena apa pun yang terjadi, itu hanyalah sebagian kecil saja dari hidupmu! Bangkitlah dan senyumlah, terimalah segala peristiwa dengan tabah, lalu jadikanlah segala pengalaman sebagai guru. Tuhan selalu besertamu bila mana engkau tabah dan selalu pasrah kepada kekuasaanNya!" Entah kenapa, ketika dia sedang merasa tertekan itu, merasa betapa dirinya seolah-olah semakin tenggelam ke dalam lautan duka, tiba-tiba saja bayangan gurunya yang terakhir, yaitu Ban Hok Lojin, kakek yang bertelanjang dada itu, amat gendut seperti arca Jilaihud, dengan wajah yang selalu terseyum lebar, salah seorang di antara Delapan Dewa, seperti tampak di depannya dan ucapan gurunya itu bergema di telinganya. Seketika bangkitlah semangat dan batin Han Siong. Dia merasa seperti disiram air dingin. Betapa bodohnya membiarkan diri tenggelam ke dalam kedukaan yang hanya dibikinnya sendiri. Tadi pikirannya sudah berubah menjadi tangan kejam yang meremas-remas dan mencengkeram hati dan perasaannya sendiri. Dia segera bangkit. Wajahnya tersenyum, matanya yang tadinya sayu itu kini berkilat dan mencorong, dan pada saat itu pula dia mendengar betapa perutnya berkeruyuk dengan nyaring! "Ha-ha-ha!" Dia tertawa, tertawa bebas lepas seperti orang gila. "Ha-ha-ha, engkau tolol! Ha-ha, engkau tolol! Terima kasih, Suhu, terima kasih!" Dia lalu menepuk-nepuk perutnya yang kempis. "Maafkan aku, perut. Aku sampai lupa kepadamu. Baiklah, sekarang mari kita mencari makanan untukmu!" Han Siong melompat dan menuruni bukit itu. Akan tetapi tiba-tiba saja dia harus berhenti karena di depannya mendadak muncul lima orang dengan senjata pedang di tangan dan sikap mereka mengancam! "Keparat, bersiaplah untuk menerima pembalasan kami!" bentak salah seorang di antara mereka. Tentu saja Han Siong menjadi terbelalak kaget dan merasa heran. Dia memandang penuh perhatian kepada mereka. Yang tadi berbicara adalah seorang pria setengah tua, berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan gagah. Di wajahnya terbayang kegagahan namun diliputi duka dan kemarahan. Pakaiannya sederhana, akan tetapi serba putih, demikian pula pakaian empat orang lainnya, pakaian berkabung! Orang kedua amat menarik perhatian. Ia adalah seorang gadis yang usianya kurang lebih delapan belas tahun, wajahnya yang putih halus itu berbentuk bundar, cantik dan bersih, matanya jeli dan bibirnya tipis, rambutnya panjang dibiarkan berjuntai ke belakang dalam bentuk dua buah kuncir hitam yang tebal dan panjang sampai ke pinggul Gadis ini juga memegang sebatang pedang. Tiga orang lainnya adalah pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, ketiganya bersikap garang dan gagah. Seperti orang pertama dan gadis itu, mereka juga berpakaian serba putih dan wajah mereka diliputi kedukaan dan kemarahan. "Heii, nanti dulu!" teriaknya ketika mereka itu secara serentak sudah menyerangnya tanpa peringatan lebih dahulu. Hal ini hanya menunjukkan bahwa mereka itu benar-benar sudah marah sekali kepadanya dan amat membencinya. Gerakan pedang mereka ganas dan cepat, juga mengandung tenaga yang cukup kuat. Ilmu pedang yang sumbernya dari selatan, dikombinasikan dengan tendangan-tendangan yang menyusul tusukan atau sabetan pedang. Teriakannya tidak memperoleh tanggapan dari mereka, bahkan lima orang itu menyerang dengan hebatnya. Terpaksa Han Siong menggerakkan tubuhnya, berloncatan ke sana sini dan melihat mereka terus mendesak, dia segera memainkan Kwan Im Sin-kun (Silat Sakti Kwan Im) yang lemah lembut namun tubuhnya bagaikan sehelai kapas saja yang sukar untuk dibabat pedang sehingga babatan atau tusukan itu selalu luput. Tubuhnya menjadi demikian ringan, akan tetapi juga sangat cepat sehingga sampai belasan jurus, serangan lima orang itu tak pernah mengenai sasaran. "Heii, nanti dulu! Mari kita bicara dulu!" teriak Han Siong penasaran. Karena dia tidak mengenal mereka, tentu saja dia tak mau membalas, khawatir kalau dia akan melukai mereka dan hal ini tentu akan menambah kebencian mereka yang belum diketahui sebabnya. Dia ingin menggunakan ilmu sihir untuk menundukkan mereka, akan tetapi dia pun khawatir kalau-kalau mereka akan merasa terhina dan tersinggung sehingga kembali hal itu akan menambah kebencian mereka kepadanya. Dia akan menggunakan usaha lain, yaitu memperkenalkan diri karena dia menduga bahwa tentu mereka itu keliru mengenal orang. Mereka bukan perampok dan sama sekali tidak nampak seperti orang-orang jahat. Begitu mendapat kesempatan, tubuhnya tiba-tiba melayang naik ke atas pohon sehingga mengejutkan lima orang pengeroyok itu yang tiba-tiba saja kehilangan lawan dan mereka semua kini memandang ke atas, ke arah pemuda itu yang sudah berdiri di atas cabang pohon. Pandang mata mereka kagum akan tetapi juga penuh kebencian. "Heiii, apakah ngo-wi (kalian berlima) terlalu banyak minum arak hingga mabok? Aku Pek Han Siong selama hidupku baru sekali ini melihat ngo-wi, apa lagi bermusuhan. Mengapa tiada hujan tiada angin ngo-wi menyerang aku demikian ganas dan kejam?" Mendengar ini, lima orang itu saling pandang, dan pria setengah tua tadi berseru lantang, "Sobat, coba sekali lagi katakan. Siapa namamu?" Han Siong tersenyum. Tahulah dia kini bahwa memang mereka sudah keliru menyangka orang, atau keliru mengenal orang. "Namaku Pek Han Siong, dan selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan ngo-wi." "Engkau... bukankah engkau Kim-lian Pangcu? Wajah dan bentuk tubuhmu mirip sekali!" kata orang tua itu lagi. "Ayah, kita baru melihatnya satu kali, itu pun tidak terlalu jelas. Agaknya kita sudah salah mengenal orang!" kata gadis itu. Sekarang Han Siong tertawa. "Ha-ha-ha, Paman yang baik. Orang macam aku ini mana bisa menjadi pangcu (ketua)? Apa lagi ketua perkumpulan Teratai Emas, bahkan Teratai Tembaga pun tidak! Aku seorang perantau, tidak memiliki kedudukan apa pun." "Wahh... kalau begitu maafkan kami, orang muda. Ihh, kalian berempat ini mengapa tidak memberi tahu? Aku sudah tua, mungkin mataku mulai kurang awas, akan tetapi kalian..." omelnya kepada puterinya dan tiga orang itu. Han Siong sudah melompat turun dan gayanya melompat membuat lima orang itu berseru kagum. Mereka seperti melihat seekor naga atau seekor garuda melayang turun dari atas pohon itu dan ketika kedua kakinya tiba di atas tanah, sama sekali tidak terdengar suara! Diawali oleh laki-laki setengah tua, kini lima orang itu menyambut Han Siong dengan dua tangan diangkat di depan dada sebagai tanda penghormatan. Han Siong cepat membalas penghormatan mereka. Karena mereka kini tidak lagi memusuhinya, dia pun tidak berani bicara main-main. "Paman, seperti kukatakan tadi, aku Pek Han Siong tidak pernah bertemu dengan ngo-wi sebelumnya. Apa sebabnya ngo-wi medadak menyerangku? Mohon penjelasan, paman, agar hatiku tidak tegang dan penasaran lagi." Pria itu menengok ke kanan kiri, lalu berkata, "Di sini masih daerah kekuasaan musuh, taihiap. Terlalu lama di sini kita bisa dikepung musuh. Marilah ikut dengan kami ke tempat tinggal kami, taihiap, dan di sana kami akan menceritakan semuanya dengan jelas." Walau pun dia tersenyum dan merasa tidak enak disebut taihiap (pendekar besar), akan tetapi Han Siong yang merasa penasaran dan ingin tahu itu mengangguk dan mengikuti mereka menyusup ke dalam hutan. Dia tertarik melihat ada tanda gambar seekor burung rajawali putih pada baju mereka berlima, yaitu di dada kiri. Tentu mereka ini dari sebuah perkumpulan, pikirnya. Akan tetapi dia kecelik kalau tadinya dia menyangka akan diajak pergi ke sebuah rumah perkumpulan besar di salah satu kota terdekat. Dia bukan di ajak ke kota, melainkan ke sebuah bukit, kemudian mereka mengajaknya masuk ke dalam sebuah goa besar yang tersembunyi! Biar pun demi kesopanan dia diam saja, akan tetapi di dalam hatinya timbul pertanyaan. Siapakah mereka ini dan perkumpulan apa yang bersarang di sebuah goa tersembunyi? Mereka ini seperti orang-orang buruan saja, seperti pelarian! Ternyata di dalam goa itu terdapat tikar bersih yang terhampar di atas lantai goa. Goa itu pun cukup besar, cukup untuk menampung puluhan orang! Akan tetapi di situ sunyi saja, tidak ada orang lain kecuali mereka berenam. "Silakan duduk, taihiap. Maafkan, di sini tidak ada bangku atau kursi, terpaksa duduk di atas lantai." "Tidak mengapa, Paman...," kata Han Siong dengan tenang, walau pun hatinya semakin tertarik karena keadaan mereka itu jelas tidak sewajarnya. Sesudah mereka duduk bersila di atas tikar, mulailah pria setengah tua itu bercerita. Dia bernama Ouw Lok Khi, ketua dari perkumpulan Pek-tiauw-pang (Perkumpulan Rajawali Putih). Dia telah menduda dan mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Ouw Ci Goat, gadis berusia delapan belas tahun yang wajahnya bulat putih dan manis itu. Perkumpulan Rajawali Putih mempunyal anak buah yang cukup banyak, ada empat puluh orang lebih dan selain mempelajari ilmu silat, perkumpulan ini juga membuka usaha jasa pengawalan. Nama mereka sudah cukup dikenal sebagai orang-orang yang menentang kejahatan dan mencari nafkah secara halal. Namun pada suatu hari Ouw Lok Khi didatangi oleh seorang utusan dari Kim-lian-pang yang menuntut supaya perkumpulan Pek-tiauw-pang mau mengakui kekuasaan Kim-lian-pang dan suka bekerja sama, membagi rejeki, yaitu membagi sebagian dari hasil usaha perkumpulan itu kepada Kim-lian-pang sebagai upeti atau pengakuan kekuasaan. Tentu saja Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi segera menolak dan menganggap permintaan itu keterlaluan. Perkumpulannya sudah berdiri selama belasan tahun, bagaimana mungkin sekarang harus mengakui kekuasaan sebuah perkumpulan yang baru saja muncul dan didirikan di Bukit Kim-lian-san yang agak jauh dari kotanya, yaitu di Hok-lam? Akibat penolakan itu, lalu muncullah seorang pemuda yang mewakili ketua Kim-lian-pang menantang untuk mengadu kepandaian. Karena marah, Ouw Ci Goat melayani tantangan pemuda dari Kim-lian-pang itu. Akan tetapi Ci Goat kalah jauh, bahkan ketika Ouw Lok Khi sendiri maju, dia pun hanya mampu bertahan belasan jurus saja lalu roboh dan kalah. Setelah mengalahkan mereka ayah dan anak, utusan Kim-lian-pang ini kembali membujuk agar Ouw Pangcu suka takluk dan menyerah. Namun ketua Pek-tiauw-pang ini tidak sudi menyerah. Juga puterinya dan semua anak buah Pek-tiauw-pang tak sudi menyerah dan tidak sudi membagikan hasil kerja mereka kepada perkumpulan itu. "Karena kami tetap saja menolak, beberapa kali Kim-lian-pang mengirimkan jago-jagonya untuk menyerang kami. Dan memang mereka mempunyai banyak orang pandai, terutama sekali kedua orang pembantu ketua, pemuda dan wanita iblis itu! Kami tetap melakukan perlawanan dan kami tidak mau menyerah biar pun mereka mengancam akan membunuh kami semua. Akhirnya, tujuh hari yang lalu, benar saja serombongan orang dari Hek-tok-pang, yaitu perkumpulan jahat yang sudah menjadi anak buah mereka, menyerbu asrama kami di tepi kota Hok-lam. Kami mengadakan perlawanan secara mati-matian, akan tetapi mereka mempergunakan racun dan habis binasalah anak buah Pek-tiauw-pang! Tinggal kami berlima ini yang hidup..." Ketua Pek-tiauw-pang itu tidak menangis, akan tetapi jelas nampak betapa wajahnya penuh kedukaan dan penasaran. Juga Ci Goat tidak menangis, akan tetapi dia mengepal tinju. "Kami akan melawan terus sampai mati!" kata gadis itu penuh semangat. "Akan tetapi, mengapa tadi paman sekalian mengeroyok aku?" Han Siong bertanya. cerita silat online karya kho ping hoo "Ketika orang-orang Hek-tok-pang itu menyerbu, kami sempat melihat tiga orang pimpinan Kim-lian-pang. Mereka tidak ikut turun tangan, akan tetapi sempat ketuanya menawarkan perdamaian dengan kami. Akan tetapi untuk terakhir kalinya kami tetap menolak dan dia pun lalu mengerahkan orang-orang Hek-tok-pang itu. Ketuanya itulah yang mirip dengan Taihiap. Kami memang sedang mengintai dan menanti saat yang baik. Kalau pemimpin mereka keluar, maka kami akan menyergap dan membunuhnya. Ketika Taihiap muncul, kami mengira Taihiap adalah ketua Kim-lian-pang yang bernama Sim Ki Liong itu." "Siapa...?!" Han Siong bertanya, kaget mendengar nama itu. "Namanya Sim Ki Liong!" "Orangnya masih muda, sekitar dua puluh dua tahun?" "Betul sekali, apakah... Taihiap sahabatnya...?" tanya Ci Goat dengan suara mengandung kekhawatiran. Han Siong menoleh sehingga dua pasang mata bertemu, bertaut dan gadis itu menundukkan mukanya. Jelas nampak kedua pipi yang putih halus itu kemerahan. "Sama sekali tidak bersahabat, Nona, justru pernah kami saling bermusuhan! Dia pernah membantu pemberontakan seorang datuk sesat terhadap pemerintah. Dia memang lihai sekali dan sayang bahwa ketika gerombolan itu diserbu, dia sempat melarikan diri. Dan siapakah dua orang pembantunya yang lihai itu?" "Seorang pemuda yang amat lihai pula bernama Tang Cun Sek," kata Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi. Han Siong mengerutkan alis dan menggeleng kepala, tidak mengenal nama itu. "Dan seorang wanita iblis, yaitu Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi...," kata Ci Goat. "Aihh, kiranya siluman betina itu?" kembali Han Siong terkejut. "Dia dulu juga membantu gerombolan pemberontak, kiranya berhasil menyelamatkan diri. Ahhh, kalau mereka yang memimpin, tentu Kim-lian-pang merupakan perkumpulan yang kuat dan juga jahat!" Mendengar bahwa pemuda perkasa ini pernah bermusuhan melawan dua orang di antara para pimpinan Kim-lian-pang, hati kelima orang sisa anggota Pek-tiauw-pang yang sudah terbasmi hampir habis itu menjadi girang dan timbul kembali harapan mereka untuk dapat membalas dendam. Ouw Lok Khi cepat-cepat berlutut dan menghadap pemuda itu sambil berkata, "Pek Taihiap, mohon Taihiap sudi menolong kami..." Terkejut juga Han Siong ketika melihat orang tua itu berlutut. Cepat dia memegang kedua pundaknya dan mengangkatnya duduk kembali. 鈥淧angcu, harap jangan begitu. Tanpa kau minta sekali pun, kalau aku melihat dua orang jahat itu merajalela, sudah pasti aku akan menentang mereka." "Aih, kalau taihiap sudi turun tangan, sudah pasti mereka akan dapat kita hancurkan. Mari kita menyerbu sarang mereka di puncak Kim-lian-san, Pek Taihiap!" kata pula ketua Pek-tiauw-pang itu penuh semangat, sedangkan puterinya serta tiga orang pembantunya juga mengangguk dan penuh semangat. Mereka berlima sudah siap untuk membalas dendam dengan taruhan nyawa mereka. Akan tetapi Han Siong tetap tenang dan menggerakkan tangan menyatakan tidak setuju. "Pangcu, sungguh tidak bijaksana bila kita menuruti hati yang mendendam saja. Dendam dan kebencian akan menghilangkan kewaspadaan, dan akhirnya bahkan menyeret kita ke dalam kehancuran. Seperti yang kau ceritakan tadi, Kim-lian-pang kuat sekali, di samping dipimpin oleh tiga orang yang lihai, juga dibantu Hek-tok-pang dan memiliki banyak anak buah. Kita yang hanya enam orang ini mana mungkin mampu menandingi begitu banyak lawan? Belum lagi jika diingat bahwa sarang perkumpulan sejahat itu tentu penuh dengan jebakan dan perangkap rahasia." "Aku tidak takut!" tiba-tiba Ci Goat berseru sambil mengepal tinju. Han Siong tersenyum dan memandang kagum kepada gadis itu. "Kegagahanmu sangat mengagumkan dan kuhargai, Nona. Akan tetapi, dalam menghadapi lawan yang kuat dan jumlahnya besar, tidak mungkin kita hanya mengandalkan keberanian. Keberanian karena dendam akan membuat kita nekat dan tanpa perhitungan, dan aku tak ingin membiarkan kita semua mati konyol." Ouw Lok Khi mengangguk-angguk kemudian menarik napas panjang. "Sekarang baru aku melihat kebenaran ucapanmu, Taihiap. Memang kami sudah menjadi gila akibat dendam sehingga kami tidak memperhitungkan bahaya dan kemungkinan kalah. Karena engkau berada di pihak kami, maka kami menyerahkan kepadamu semua cara untuk menghadapi musuh." Han Siong mengangguk dan menerima penyerahan pimpinan ini tanpa sungkan-sungkan lagi karena dia tahu bahwa orang-orang yang sedang diamuk dendam kebencian bukan merupakan pimpinan yang baik. "Bila kita hendak menentang gerombolan jahat yang lihai itu, maka setidaknya kita harus mempunyai pembantu yang cukup berani dan gagah, yang jumlahnya seimbang dengan jumlah mereka." "Hal itu amat mudah, Taihiap. Banyak perkumpulan yang merasa sakit hati terhadap Kim-lian-pang, namun mereka itu tidak berani bergerak karena merasa tidak kuat menghadapi kekuatan Kim-lian-pang. Aku akan menghubungi mereka, sebab di antara mereka banyak terdapat sahabat baikku, dan akan kubujuk mereka supaya suka bekerja sama. Beberapa perkumpulan persilatan tentu bersedia membantu. Menurut perkiraanku, jumlah anak buah Kim-lian-pang tidak melebihi seratus lima puluh orang dan kita akan dapat mengumpulkan lebih banyak lagi." Han Siong mengerutkan alisnya. Banyak juga anak buah yang sudah dikumpulkan Sim Ki Liong, pikirnya. "Apakah tidak mungkin kalau kita minta bantuan dari pasukan keamanan pemerintah?" "Ahhh, itu sama saja dengan bunuh diri!" kata Ouw Lok Khi dengan muka muram. "Kalau kita melapor, kita malah akan ditangkap lebih dulu! Ketahuilah, Taihiap, gerombolan Kim-lian-pang itu cerdik dan licik bukan main. Mereka mendekati para pimpinan pemerintahan daerah dengan jalan menyuap dan menyogok, mengambil hati mereka, bahkan Kim-lian-pang menunjukkan jasa dengan membasmi gerombolan penjahat. Kim-lian-pang sendiri tidak pernah melakukan kejahatan. Mereka hanya menundukkan semua perkumpulan dan memaksa para pimpinan perkumpulan itu untuk takluk dan membagi hasil rejeki. Mereka memungut pajak dari mana pun yang menghasilkan banyak uang, dengan dalih menjaga keamanan mereka. Toko besar, perusahaan dan bahkan rumah-rumah penginapan. Tidak, kita tidak mungkin dapat mengharapkan bantuan dari pasukan keamanan yang tentu akan berpihak kepada mereka." Han Siong mengerutkan alisnya. Kiranya Sim Ki Liong cerdik sekali, tak mau mengulang kesalahan mendiang Lam-hai Giam-lo yang memberontak terhadap pemerintah. Kini dia bahkan mendekati pemerintah atau mendekati pejabat korup yang suka disogoknya agar mereka berpihak kepadanya! Memang satu-satunya jalan untuk mengumpulkan pasukan adalah seperti yang diusulkan Ouw Pangcu tadi, yaitu mengumpulkan orang-orang yang mendendam kepada Kim-lian-pang. "Baiklah, Ouw Pangcu. Engkau kumpulkan orang-orang yang mau diajak menyerbu Kim-lian-pang. Sesudah mereka siap, kita kepung puncak itu kemudian kau ajukan tantangan kepada Sim Ki Liong untuk mengadu kepandaian di lereng. Aku akan menghadapinya dan ketika aku sedang bertanding dengan para pimpinan itu, maka kau kerahkan pasukan kita untuk menyerbu ke atas. Akan tetapi harus berhati-hati terhadap jebakan dan perangkap." "Sebaiknya kita pergunakan api untuk memaksa mereka semua keluar sehingga kita tak perlu harus menerjang jebakan dan perangkap berbahaya," kata Ouw Lok Khi yang kini telah tenang, tak lagi didesak dendam yang membuatnya nekat. Han Siong mengangguk girang. "Siasatmu itu tepat sekali, Pangcu. Marilah kita mulai bekerja. Aku akan mempersiapkan diri dan karena engkau membutuhkan waktu untuk mengumpulkan tenaga bantuan, maka sebaiknya kalau aku menanti pada rumah penginapan di kota terdekat," Han Siong lantas bangkit berdiri. Ketua Pek-tiauw-pang itu pun cepat-cepat bangkit. "Taihiap, sebaiknya jika Taihiap tinggal bersama kami. Walau pun asrama kami di Hok-lam telah dihancurkan oleh Kim-lian-pang, akan tetapi kami dapat tinggal di rumah seorang murid kami ini." Dia menunjuk kepada seorang di antara tiga orang anggota Pek-tiauw-pang itu. "Dia memiliki rumah besar dan kita semua dapat tinggal untuk sementara di sana." "Benar sekali, Pek Taihiap," kata pria berusia tiga puluh tahun itu. "Rumah kami cukup besar dan kami dapat menyediakan sebuah kamar untuk Taihiap," orang itu bernama Thio Ki dan sikapnya ramah. Karena merasa bahwa memang lebih baik jika dia tidak berpisah dari lima orang itu, Han Siong lalu menyetujui dan berangkatlah mereka meninggalkan goa dalam hutan itu, pergi ke kota Hok-lam. Akan tetapi mereka bersepakat bahwa goa yang tersembunyi itu akan dijadikan markas baru untuk kegiatan mereka saat melakukan penyerbuan terhadap Kim-lian-pang karena tempat itu baik sekali, merupakan goa dalam hutan di bukit yang tidak berjauhan dari Kim-lian-san. *************** Beberapa hari saja sesudah dia tinggal di rumah Thio Ki, Han Siong merasa benar bahwa dia amat dihormati dan diperhatikan. Terutama sekali Ouw Ci Goat. Gadis itu sendiri yang melayaninya, mencuci pakaiannya, membersihkan kamarnya. Perhatian Ci Goat terhadap dirinya sungguh membuat dia merasa sungkan dan malu. Berkali-kali dia melarang gadis itu mencucikan pakaiannya, namun Ci Goat tetap memaksanya. "Taihiap adalah tamu agung kami, bagaimana harus mencuci pakaian sendiri? Lagi pula aku seorang wanita, sudah selayaknya kalau mencucikan pakaian Taihiap. Harap jangan sungkan, Taihiap, bukankah kita telah bersahabat dan Taihiap adalah penolong kami?" Perhatian gadis itu bukan hanya dengan cara melayaninya saja, akan tetapi beberapa kali dia pernah memergoki gadis itu menatapnya dengan pandang mata yang aneh, pandang mata yang sayu dan seperti orang terpesona, dan kalau tanpa disengaja dia menengok sehingga mereka bertemu pandang, gadis itu tersipu lalu menundukkan mukanya dengan cepat, akan tetapi dia masih sempat melihat sepasang pipi yang tadinya putih halus itu berubah kemerahan. Sungguh aneh sekali! Dua hari kemudian mereka hanya berdua saja di rumah itu. Ouw Lok Khi dan tiga orang murid merangkap anak buahnya, pergi untuk melanjutkan usahanya mengumpulkan bala bantuan. Thio Ki memang tinggal seorang diri di rumah itu. Ayah ibunya dan juga isterinya telah dia ungsikan ke dusun semenjak dia terlibat permusuhan dengan Kim-lian-pang, dan semua pelayan juga sudah disuruh pulang. Hanya Ci Goat yang ditinggal di rumah untuk melayani keperluan Han Siong yang mereka hormati. "Taihiap, silakan makan pagi," kata Ci Goat sesudah dia menyiapkan makan pagi di meja ruangan makan. "Semenjak pagi sekali tadi ayah bersama tiga orang suheng sudah pergi berkunjung ke Ki-lam untuk mengumpulkan teman. Silakan Taihiap makan sendiri." "Ahh, mari kita makan bersama, Nona. Engkau pun belum makan pagi bukan?" "Harap jangan sebut aku nona, tidak enak rasanya... seakan-akan kita ini saling merasa asing..." "Tapi engkau pun menyebut taihiap padaku, Nona." "Engkau memang seorang pendekar sakti, pantas disebut taihiap. Akan tetapi aku... ahh, sebut saja namaku. Namaku Ci Goat." "Aku mau menyebutmu adik Ci Goat kalau engkau juga mau merubah sebutan kepadaku. Panggil saja aku toako (kakak)." Gadis itu tersenyum dan kembali kedua pipinya berubah merah sekali. "Baiklah..., Toako." katanya sambil menunduk. "Silakan makan pagi, Toako." "Kita hanya berdua saja di rumah ini, apa salahnya kalau kita makan bersama, Goat-moi (adik Goat)? Hayolah, bukankah engkau sendiri bilang bahwa kita ini bukan orang asing?" Biar pun masih tersipu, akhirnya Ci Goat mau juga diajak makan bersama. Setelah duduk berhadapan dekat, hanya terhalang meja makan, barulah Han Siong mendapat kenyataan bahwa biar pun gadis ini sederhana sekali, wajahnya tanpa bedak dan gincu, akan tetapi wajah itu sungguh bersih dan manis. Juga sikapnya amat sederhana, tidak banyak cakap, jarang tertawa, bahkan wajahnya diliputi awan duka. Namun mulut itu selalu membayangkan senyum ramah, senyum dikulum yang membuat wajahnya tampak manis selalu. Juga ketika dia bicara dan Han Siong memperhatikannya, gadis itu memiliki gigi yang berderet rapi dan putih bersih. "Goat-moi, setelah kita kini menjadi sahabat yang akrab, kiranya sudah sepantasnya jika aku mendengar lebih banyak tentang dirimu dan ayahmu. Maukah engkau menceritakan riwayat dan keadaanmu sampai engkau kehilangan tempat tinggal seperti sekarang ini?" tanya Han Siong ketika mereka baru saja selesai makan dan dia turut membantu gadis itu membersihkan meja, menyingkirkan sisa makanan dan mencuci mangkok. Dara itu menarik napas panjang. "Tidak banyak yang dapat kuceritakan, Twako, dan yang dapat diceritakan hanya hal-hal yang menyedihkan saja. Aku sudah kehilangan ibuku saat berusia kurang dari sepuluh tahun. Semenjak itu aku hidup berdua dengan ayah dan para suheng, dan aku dididik oleh ayah, mempelajari ilmu silat dan ilmu baca tulis sekedarnya. Sesudah remaja aku membantu pekerjaan ayah, kadang-kadang membantu pengawalan kiriman barang bersama para suheng. Kemudian terjadilah mala petaka yang disebabkan oleh Kim-Iian-pang itu. Hampir semua anggota perkumpulan kami binasa, hanya tinggal kami berlima. Juga dalam perkelahian itu aku telah kehilangan... calon suamiku..." "Ahhh...! Sungguh menyedihkan! Kasihan sekali engkau, Goat-moi!" kata Han Siong yang terkejut dan juga ikut bersedih. Gadis itu kemudian menarik napas panjang. "Jangan engkau salah duga, Twako. Bagiku kematiannya tiada bedanya dengan kesedihan melihat para suheng lain yang juga tewas. Tunanganku itu juga seorang suheng-ku, murid dari ayah. Terus terang saja, perjodohan itu atas kehendak ayah, namun bagiku dia itu seperti para suheng yang lain. Aku bahkan sering termenung dan sulit membayangkan dia menjadi suamiku kelak. Sudahlah, kini dia sudah tidak ada dan semoga dia mendapatkan tempat yang penuh damai." Sekarang Han Siong tidak berani banyak bicara lagi, takut jika mengusik kenangan yang menyedihkan. Akan tetapi dia maklum bahwa gadis ini tidak mencintai tunangannya yang tewas itu, dan kalau dia mau dijodohkan dengannya, hal itu hanya karena dia mentaati perintah ayahnya saja. Secara diam-diam dia menaruh hati iba kepada gadis yang manis ini yang telah begitu percaya kepadanya sehingga menceritakan semua tentang dirinya. "Toako, sekarang tiba giliranmu. Aku pun ingin sekali mendengar riwayatmu, tentu hebat. Maukah engkau menceritakan kepadaku, toako?" tanya gadis itu dan mereka kini duduk di belakang rumah, di atas bangku dalam taman yang bermandikan cahaya matahari pagi. "Tidak ada hal yang menarik, Goat-moi. Ayahku juga seorang pangcu, ketua dari Pek-sim-pang di daerah Kong-goan yang sangat jauh dari sini, jauh di barat sana. Sejak kecil aku mempelajari ilmu silat, dan sekarang aku sedang melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman dan memperbanyak pengetahuan. Kebetulan saja aku lewat di sini sehingga bertemu dengan kalian berlima." Han Siong memang tidak suka terlalu banyak bercerita tentang dirinya, dan agaknya hal ini terasa pula oleh Ci Goat, maka gadis itu pun tidak mendesak. Hanya ada satu hal yang sejak tadi agaknya mengganjal hati Ci Goat, dan kini dengan memberanikan diri, dengan kedua pipi berubah kemerahan ketika dia menatap wajah pemuda itu, dia pun berkata, "Toako, kurasa usiamu jauh lebih tua dari pada aku yang berusia delapan belas tahun," Jelas bahwa ucapan ini memancing keinginan tahuannya tentang usia pemuda itu. Han Siong tersenyum. "Tentu saja aku jauh lebih tua, adik Goat. Aku sudah berusia dua puluh dua, hampir dua puluh tiga tahun." "Ah, kalau begitu tentu engkau telah berkeluarga, Toako," kata gadis itu cepat dan sambil lalu, seolah acuh. Mendengar pertanyaan ini, Han Siong merasa betapa hatinya tertusuk karena dia teringat kepada Siangkoan Bi Lian, gadis yang dicintanya namun juga telah menolaknya! Ci Goat telah berterus terang kepadanya, maka sudah sepantasnya kalau dia pun berterus terang, sekalian mendapat kesempatan untuk menyalurkan rasa penasaran dan kekecewaannya. "Seperti juga engkau, tadinya aku sudah ditunangkan oleh guru-guruku, tapi pertunangan itu gagal..." Dara itu terbelalak, memandang dengan matanya yang jeli, dan bayangan senyum segera menghilang dari ujung bibirnya. "Dia... dia juga... mati...?" Han Siong menggeleng kepala kemudian menghela napas. "Dia menolak untuk berjodoh denganku." "Ahhh...!" Gadis itu mengeluarkan suara keluhan lirih, "tidak mungkin... tidak mungkin..." Han Siong mengangkat muka, memandang dengan sinar mata heran. "Apanya yang tidak mungkin, Goat-moi?" "Bagaimana mungkin seorang gadis menolak engkau untuk menjadi jodohnya...!" tiba-tiba gadis itu berhenti bicara dan menundukkan mukanya yang kemerahan, karena dia merasa betapa dia telah kelepasan bicara, begitu saja mengeluarkan suara hati melalui mulutnya. Han Siong tersenyum pahit, kemudian dia pun berjalan meninggalkan gadis itu menuju ke kamarnya. Malam itu Han Siong gelisah dan tidak bisa tidur. Percakapan dengan Ci Goat tadi telah membongkar kenangan lama, membuat wajah Bi Lian selalu terbayang di depan mata, mendatangkan rasa rindu yang hebat. Ketika Ci Goat menawarkan makan malam, dia mengatakan bahwa dia tidak lapar dan minta kepada gadis itu untuk makan malam sendiri. "Taruh saja di atas meja, Goat-moi, nanti kalau lapar aku akan mengambilnya sendiri," katanya dengan lesu. Agaknya Ci Goat juga melihat sikap pemuda yang lesu itu, maka dia pun tidak berani lagi mengganggunya. Tadi ketika makan siang pun pemuda itu hanya makan sedikit dan tidak banyak bicara. Malam telah larut, namun Han Siong masih rebah termenung tidak dapat pulas. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara di belakang rumah. Dia menjadi curiga dan cepat dia turun dari pembaringan, mengenakan sepatunya lantas berindap keluar dari kamarnya, cepat menuju ke belakang rumah. Kiranya yang menimbulkan suara itu adalah Ci Goat! Gadis itu keluar dari rumah menuju ke kebun di belakang sambil membawa buntalan. Han Siong menahan diri tidak menegur, hanya membayangi dengan perasaan heran. Apa yang hendak dilakukan gadis itu pada malam hari begini? Ci Goat berhenti dekat bangku panjang di mana pagi tadi mereka duduk bercakap-cakap, lalu dia meletakkan buntalan di atas bangku dan membukanya. Kiranya buntalan itu terisi alat-alat untuk bersembahyang, seperti hio-swa (dupa biting) dan lain-lain. Dan gadis itu lalu meletakkan semua persiapan sembahyang di atas bangku, menyalakan hio dan mulai bersembahyang! Dara itu mengucapkan kata-kata permohonan dengan suara bisik-bisik. Dia merasa yakin bahwa tidak mungkin ada orang yang akan mendengar suaranya yang sangat lirih. Kebun itu sunyi dan kosong, dan andai kata ada orang didekatnya pun tak akan bisa menangkap kata-kata doa yang diucapkan sambil berbisik. Dia salah perhitungan! Orang biasa mungkin tidak dapat menangkap kata-kata bisikan itu, namun pendengaran Han Siong lain dari pada orang biasa. Biar pun jarak antara dia yang berada di balik batang pohon tidak terlalu dekat dengan gadis itu, namun di tempat yang sesunyi itu dia mampu menangkap kata-kata doa gadis itu dengan jelas! Ternyata gadis itu berdoa untuk dia! Gadis Itu bersembahyang untuk dia. Antara lain yang didengarnya adalah kata-kata yang membuatnya terharu sekali, "Ya Tuhan, Tuhan dari Bumi dan Langit, dengarlah permohonan saya ini. Kalau sampai terjadi perkelahian dengan Kim-lian-pang kelak, lindungilah Toako Pek Han Siong, berilah kemenangan padanya atau andai kata dia kalah pun, lindungilah dia. Jangan sampai aku kehilangan dia pula, ya Tuhan, karena dialah satu-satunya orang yang menjadi tumpuan harapanku, dialah satu-satunya orang yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku..." Han Siong tidak dapat mendengarkan terus. Dia sudah berkelebat pergi dengan jantung berdebar dan muka terasa panas. Gadis itu jatuh cinta padanya! Begitu sampai di dalam kamarnya, kembali dia termenung. Sekali ini bukan membayangkan wajah Bi Lian, namun yang terbayang adalah wajah Ci Goat, gadis yang bersembahyang bagi keselamatannya, gadis yang takut kehilangan dia, yang mencintanya dengan jiwa raganya! Pada keesokan harinya dia bersikap biasa, akan tetapi sekarang baru dia mengerti akan pandangan mata gadis itu yang tadinya dianggap aneh. Ternyata pandangan mata gadis itu penuh dengan sinar kagum dan cinta! Hal ini membuat dia merasa rikuh sekali, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan merasa semakin kasihan kepada gadis itu. Kalau saja Ci Goat tahu bahwa hatinya telah melekat pada bayangan Bi Lian dan bahwa tidak mungkin ada gadis lain di dunia ini yang dapat menjatuhkan cinta hatinya! Dia hanya mencinta Bi Lian seorang, dan andai kata dia dapat mencinta gadis lain, tentu tidak akan seperti cintanya kepada Bi Lian. Sepekan kemudian siaplah sudah pasukan yang dikumpulkan oleh Ouw Pangcu. Mereka itu adalah sekumpulan orang-orang gagah dari beberapa perkumpulan silat yang pernah menerima penghinaan dari Kim-lian-pang. Jumlah mereka tak kurang dari dua ratus orang! Mereka yang bersedia membantu adalah para anggota perkumpulan silat yang rata-rata mempunyai ilmu silat yang lumayan, dipimpin oleh ketua atau guru masing-masing. Tentu saja para pimpinan ini pun lihai, satu tingkat dengan ilmu kepandaian Ouw Pangcu dan jumlah mereka ada enam orang. Enam orang ini kemudian dipertemukan dengan Han Siong dan mereka semua merasa kagum kepada pemuda itu ketika mereka mendengar betapa Han Siong adalah seorang di antara para pendekar yang pernah membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin mendiang Lam-hai Giam-lo. Mereka lalu mengadakan perundingan dan menyusun siasat. Pada hari yang sudah ditentukan, Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi berdiri di lereng Bukit Kim-lian-san dekat puncak, kemudian beberapa orang anak buahnya melepas anak panah berapi ke arah puncak. Sesudah beberapa kali melepas panah berapi dan di antaranya ada yang membakar daun-daun kering dekat puncak, Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi lalu mengeluarkan teriakan nyaring sambil mengerahkan tenaga khikang. "Haiii, para pimpinan Klm-lian-pang! Kalau kalian memang gagah perkasa, turunlah dari puncak dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!" Sampai tiga kali dia mengulang teriakannya itu, kemudian bersama semua pasukan yang telah siap di tempat itu, dia bersembunyi. Kini hanya Han Siong seorang yang menanti di lapangan rumput di lereng bukit itu, dengan sikap waspada dan hati-hati. Tidak lama kemudian nampak bayangan orang berkelebat dari atas dan tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang pria muda yang tampan dan gagah. Tadinya Han Siong mengira bahwa ketua Kim-lian-pang, yaitu Sim Ki Liong yang muncul sendiri. Akan tetapi sesudah dia memperhatikan, yang muncul itu adalah seorang pria muda berusia kira-kira tiga puluh tahun yang tidak dikenalnya. Pria ini bertubuh tinggi besar. Wajahnya berkulit putih dan tampan gagah, kedua matanya mencorong aneh. Pria ini bertangan kosong, tapi sikapnya yang tenang itu, tanpa senjata, dan pemunculannya yang tiba-tiba bagaikan setan, sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang lawan yang tangguh. Pria itu bukan lain adalah Tang Cun Sek. Para pimpinan Kim-lian-pang marah bukan main melihat serangan anak panah berapi itu. Walau pun anak panah yang diluncurkan itu tidak sampai mencapai puncak sehingga tidak mengenai perumahan Kim-lian-pang, akan tetapi cukup mengejutkan juga, apa lagi ada beberapa batang anak panah berapi yang sempat mengakibatkan kebakaran sesudah mengenai daun-daun kering di atas tanah. Anak buah Kim-lian-pang terpaksa harus cepat-cepat memadamkan kebakaran itu sebelum menjalar dan membakar hutan di dekat puncak. Ketika mereka mendengar tantangan yang diteriakkan oleh Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi, Tang Cun Sek segera berkata kepada Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi bahwa dia akan menghadapi ketua Pek-tiauw-pang itu. "Hemm, aku yakin dia tidak datang sendirian. Tentu banyak kawannya, dan tentu dia telah membentuk pasukan yang kuat. Kalau tidak, mana dia berani bersikap seperti itu?" kata Ji Sun Bi yang berhati-hati. "Aku pun menduga demikian," kata Sim Ki Liong. "Tang-toako, engkau keluarlah dulu dan sambut tantangan itu, kami mengikuti dari belakang karena aku hendak mempersiapkan anak buah lebih dulu untuk bertahan kalau-kalau mereka berani menyerang ke atas dan kita harus dapat membasmi mereka." Tan Cun Sek menyanggupi lalu dia pun berlari turun dari puncak. Ketika dia melihat ada seorang pemuda berdiri seorang diri di lapangan rumput itu, dia pun cepat menghampiri dan mereka kini sudah berdiri saling berhadapan dan saling pandang dalam jarak kurang lebih empat meter saja. Laksana dua ekor ayam aduan, mereka berdua saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, seperti hendak mengetahui keadaan lawan masing-masing. Watak Cun Sek yang tinggi hati membuat dia belum apa-apa sudah memandang rendah terhadap calon lawan itu. "Mana dia ketua Pek-tiauw-pang yang berteriak menantang tadi?" tanyanya. "Kenapa dia bersembunyi dan siapakah engkau?" Han Siong tersenyum tenang. "Memang akulah yang mewakilinya untuk menghadapi para pimpinan Kim-lian-pang. Di mana adanya ketua Kim-lian-pang? Biarkan dia turun sendiri untuk menandingiku." "Keparat, engkau hanya datang mengantar nyawa. Tak perlu Kim-lian Pangcu yang maju sendiri, sudah cukup aku untuk menghajarmu, kalau perlu membunuhmu!" kata Tang Cun Sek sambil melangkah maju. "Hemm...! Sayang, sungguh sayang, seorang muda yang gagah seperti engkau ternyata hanya menjadi kaki tangan iblis-iblis seperti Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi. Tentu engkaulah yang bernama Tang Cun Sek, bukan? Hemm, apa saja yang kau peroleh dari mereka? Janji muluk, harta dan juga kecabulan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi itu, bukan?" Mendengar ucapan ini, seketika wajah Cun Sek menjadi merah sekali. Memang ucapan itu dengan tepat menelanjanginya, maka dapat dibayangkan betapa rasa malu membuat dia marah bukan main. "Tutup mulutmu, keparat busuk!" bentaknya dan dia sudah menerjang dengan dahsyat. Kedua tangannya bergerak cepat dan kuat sekali, mendatangkan tenaga yang amat hebat karena dia sudah mengerahkan tenaga dan memainkan ilmu silat Thian-te Sin-ciang yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Cjn-ling-pai. Menghadapi serangan yang dahsyat ini, tentu saja Han Siong tidak berani memandang ringan. Dari angin pukulan itu saja dia pun maklum bahwa benar seperti yang diduganya, lawan ini bukanlah lawan yang ringan. Dia pun cepat mengelak. Tetapi gerakan Cun Sek memang cepat sekali, karena begitu pukulannya luput, tubuhnya segera membalik dan kembali dia sudah melakukan serangan bertubi-tubi yang sambung menyambung. Han Siong berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan serangan-serangan itu sambil memperhatikan gerakan lawan. Diam-diam dia pun terkejut dan heran sekali. Jelas bahwa pemuda ini menjadi pembantu dua orang muda yang sangat jahat, maka sepantasnyalah kalau pemuda ini juga seorang tokoh sesat. Akan tetapi kenapa gerakan silatnya demikian bersih? Bahkan ilmu silatnya sendiri jauh kalah bersih kalau dibandingkan ilmu silat yang dimainkan penyerangnya itu. Dia menerima ilmu-ilmunya dari suhu dan subo-nya, dan memang dua orang gurunya itu pernah membuat pengakuan bahwa mereka adalah keturunan datuk-datuk sesat sehingga ilmu mereka pun tidak bersih. "Bagaimana pun juga, yang menentukan bersih kotornya suatu ilmu adalah pemakainya," demikian suhu-nya pernah berkata. "Sudah menjadi kewajibanmu untuk membuat seluruh ilmu silat kita menjadi ilmu yang bersih dengan menghilangkan sifat-sifat yang curang dan licik, menghilangkan penggunaan hawa beracun, dan terutama sekali menggunakannya untuk menentang kejahatan dan membela keadilan dan kebenaran!" Dan selama ini dia selalu mentaati pesan gurunya itu, bahkan sesudah dia memperoleh gemblengan dari Ban Hok Lojin, maka ilmu-ilmu dari gurunya dapat disempurnakan dan dibersihkan. Setelah mempelajari gerakan lawan sampai belasan jurus, barulah Han Siong membalas dan mengingat akan kelihaian lawan, dia pun langsung memainkan ilmu silat Pek-hong Sin-ciang yang diperolehnya dari Ban Hok Lojin. Begitu dia memainkan ilmu silat ini, maka terkejutlah Cun Sek. Angin menyambar-nyambar laksana badai dan setiap kali lengannya bertemu dengan lengan lawan, Cun Sek terdorong sampai terhuyung ke belakang! Karena terkejut, setelah berdiri tegak kembali dia tidak segera menyerang lagi, melainkan memandang dengan mata mendelik, penuh rasa penasaran dan marah karena malu. "Singggg...!" Ketika tangan kanannya meraba pinggang, tiba-tiba berkelebat sinar emas dan pedang pusaka Hong-cu-kiam telah berada di tangan kanannya. "Keparat!" Dia membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah wajah Han Siong. "sebelum engkau kubunuh, katakanlah siapa namamu agar jangan sampai engkau mati tanpa nama!" Han Siong tersenyum. Pemuda bernama Tang Cun Sek ini bukanlah orang yang sedang dicarinya. Yang ingin dilawannya adalah Sim Ki Liong, akan tetapi bagaimana pun juga, pemuda di depannya ini merupakan seorang pembantu yang amat lihai dari Sim Ki Liong. Bahkan mungkin tidak kalah dibandingkan dengan Ji Sun Bi, maka harus ditundukkan! Apa lagi pedang yang kini berada di tangannya itu jelas bukan pedang biasa, melainkan sebatang pedang pusaka yang ampuh. Dari sinarnya saja dia sudah tahu bahwa pedang tipis yang tadi menjadi sabuk itu amat berbahaya. Padahal dia sendiri sudah tak memiliki pedang, karena pedang pusaka Kwan-im Po-kiam pemberian gurunya yang juga menjadi tanda ikatan jodoh sudah dia kembalikan kepada suhu dan subo-nya. Biarlah, dia hendak menguji dulu sampai di mana kelihaian lawannya itu. "Hemm, namaku Pek Han Siong, kawan. Lebih kusayangkan lagi bahwa pedang pusaka sebaik itu akan kau pergunakan untuk kejahatan!" Cun Sek belum pernah mendengar nama Pek Han Siong, maka baginya nama itu tak ada arti apa pun. Juga dia melihat lawannya itu masih belum mengeluarkan senjata. Sebagai seorang yang amat menghargai diri sendiri, Cun Sek merasa penasaran sekali. Tentu saja dia tidak mau dianggap pengecut karena menyerang orang tanpa senjata dengan pedang pusakanya, maka dia menantang. "Pek Han Siong, tidak perlu banyak cakap. Keluarkan senjatamu!" Han Siong menggelengkan kepalanya. "Aku tidak memegang senjata, tetapi engkau keliru kalau mengira aku takut menghadapi pedangmu. Aku akan melawan pedangmu dengan tangan kosong." "Manusia sombong, jangan salahkan aku kalau tubuhmu akan terbabat menjadi beberapa potong. Lihat pedang!" Terdengar suara berdesing dan nampak sinar emas menyambar ke arah leher Han Siong......

jilid 13

Han Siong kagum sekali. Pedang itu bukan saja merupakan pusaka ampuh, akan tetapi juga digerakkan oleh tangan ahli. Dia cepat mempergunakan ginkang-nya untuk meloncat dan mengelak. Namun pedang itu bergerak terus dengan sangat cepatnya sehingga Han Siong terpaksa harus berloncatan ke sana-sini. Dia semakin kagum. Tentu saja ilmu pedang lawan itu sangat hebat karena Cun Sek memainkan ilmu pedang Cin-ling-pai yang mengandung unsur ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut yang amat tinggi tingkatnya. Walau pun dia tidak menguasai Siang-bhok Kiam-sut sepenuhnya, akan tetapi cukuplah untuk membuat dia menjadi seorang ahli pedang yang amat lihai. Namun sekali ini Cun Sek berhadapan dengan seorang lawan yang memiliki tingkat lebih tinggi dalam ilmu silat. Han Siong masih lebih pandai, baik dalam ilmu silat mau pun lebih kuat dalam ilmu sinkang dan ginkang. Maka, walau pun Cun Sek menyerangnya bertubi-tubi, tubuh Han Siong berkelebatan dan selalu terhindar dari sambaran pedang, bahkan kini Han Siong mulai membalas dengan serangan yang tak kalah ampuhnya, meski hanya mempergunakan tangan dan kaki. Dengan Pek-hong Sin-ciang, beberapa kali Han Siong dapat membuat Cun Sek terdesak dan terhuyung. Bahkan pernah pedang pusaka Hong-cu-kiam di tangannya sudah hampir terlepas setelah lengan kanannya terkena tendangan kaki Han Siong. Kini Cun Sek mulai terdesak. "Haiiitttt...!" Cun Sek yang menjadi amat penasaran, dengan nekat memutar tubuh setelah tadi dia menghindarkan diri dari tendangan kaki kiri Han Siong, kemudian sambil berputar, pedangnya menusuk ke arah perut lawan. "Hemmm... huhhhh!" Han Siong membentak dan tangan kirinya mendorong dari samping. Dengan tangan kosong, dengan telapak tangannya, Han Siong mendorong pedang yang luar biasa tajamnya itu. "Plakkk!" Pedang itu terpukul menyerong, dan pada saat itu pula tangan kanan Han Siong sudah menampar ke arah kepala lawan. Cun Sek terkejut bukan main. Telapak tangan lawan itu mampu menangkis pedangnya, bahkan sekarang tiba-tiba ada angin yang menyambar ke arah kepalanya. Dia cepat miringkan tubuh dan menarik kepalanya ke belakang. ! "Plakkk!" Pundaknya terkena srempetan telapak tangan Han Siong hingga Cun Sek terpelanting. Ia terkejut sekali, cepat bergulingan menjauh sambil memutar pedang melindungi tubuhnya. Ketika dia meloncat bangun, ternyata lawannya tidak mengejar, melainkan berdiri tegak sambil memandang kepadanya dengan senyum. Mulailah Cun Sek merasa jeri karena dia maklum bahwa dia sedang menghadapi lawan yang mempunyai ilmu kesaktian. Pada saat itu nampak bayangan berkelebat dan ternyata Sim Ki Liong sudah berdiri di situ. Sim Ki Liong dan Pek Han Siong berdiri saling pandang dengan sinar mata mencorong. Mereka memang sebaya dan bentuk tubuh mereka juga sama. Keduanya sama tampan, hanya sikap Ki Liong terlihat lebih halus, kehalusan yang menyembunyikan keliaran yang terkendali, dan kadang kala mata Ki Liong mencorong aneh dan kejam, sedangkan Han Siong sebaliknya selalu bersikap tenang sekali. Ki Liong segera mengenal Han Siong dan dia pun mengangguk-angguk. "Hemm, kiranya engkau yang datang membikin ribut. Pek Han Siong, ternyata kini engkau sudah menjadi jagoan yang mewakili Pek-tiauw-pang. Berapa dia membayarmu? Apakah dibayar dengan puterinya yang cantik itu?" Apa bila orang lain yang menerima ejekan dan penghinaan ini, tentu akan menjadi marah. Akan tetapi Han Siong adalah seorang pemuda gemblengan. Dia hanya tersenyum, lantas menjawab dengan halus pula. "Sim Ki Liong, engkau sudah tahu siapa engkau dan siapa aku. Setelah gagal membantu pemberontakan mendiang Lam-hai Giam-lo dan engkau beruntung dapat meloloskan diri, kini engkau melakukan kejahatan baru dengan menguasai semua perkumpulan yang kau peras, juga mempengaruhi para pejabat daerah dan bersekutu dengan orang-orang jahat. Engkau melakukan pembunuhan dengan semena-mena. Dan engkau tahu bahwa sejak menentang Lam-hai Giam-lo hingga sekarang aku selalu akan menentang segala macam bentuk kejahatan! Aku bukan sekedar wakil Pek-tiauw-pang saja, melainkan wakil seluruh masyarakat yang menderita karena kejahatanmu. Aku sudah mendengar bahwa engkau bersekutu dengan Tok-sim Mo-li. Di mana dia sekarang? Mengapa tidak keluar sekalian?" Sambil berkata demikian, Han Siong menendang sebuah batu sebesar kepalan tangan yang berada di depan kakinya. Batu itu meluncur ke arah semak-semak dan tiba-tiba saja batu itu tertangkis dan runtuh. Dari balik semak-semak muncullah Tok-sim Mo-li Ji Sun bi, diikuti oleh tiga orang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang kesemuanya berjubah pendeta, dengan rambut panjang digelung ke atas seperti tosu (pendeta Agama To). Melihat munculnya wanita cantik ini, senyum di bibir Han Siong melebar. "Nah, sekarang baru lengkap, semua biang keladi kekacauan telah berkumpul di sini!" Ucapan ini sengaja dikeluarkan agak keras karena memang merupakan isyarat bagi Ouw Pangcu dan kawan-kawannya untuk mulai dengan penyerbuan mereka ke puncak Kim-lian-san. "Pek Han Siong, selamat berjumpa kembali dan selamat jalan ke neraka!" kata Ji Sun Bi sambil mencabut sepasang pedangnya. "Sekarang saatnya kami membalas dendam atas kekalahan kami dahulu!" Sim Ki Liong sudah maklum akan kelihaian Pek Han Siong. Dia tidak malu-malu lagi untuk mencabut pula senjatanya, yaitu Gin-hwa-kiam yang berkilauan seperti perak. Melihat betapa tiga orang muda yang jahat dan lihai itu sudah mencabut senjata masing-masing, dan dia tahu bahwa seperti juga Cun Sek, Ki Liong memegang sebatang pedang pusaka yang ampuh, Han Siong cepat mengerahkan tenaga saktinya. Sepasang matanya memancarkan cahaya aneh, ada pun suaranya terdengar melengking tinggi penuh wibawa ketika dia berkata, "Kalian bertiga hendak mengeroyokku? Baiklah, aku pun siap untuk melayani kalian satu lawan satu. Lihat, aku telah menjadi tiga orang seperti kalian!" Tiga orang muda itu terbelalak, terkejut bukan main melihat betapa tubuh Han Siong telah terpecah menjadi tiga dan kini di depan mereka berdiri tiga orang Pek Han Siong! Ji Sun Bi maklum akan kekuatan sihir yang dipergunakan Han Siong dan memang dia telah siap untuk menghadapi kemungkinan itu, maka ia cepat berseru sambil menoleh ke belakang. "Sam-wi Susiok (Paman Guru Bertiga), tolong bantulah kami!" Ji Sun Bi adalah murid dari mendiang Min-san Mo-ko, seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang selain pandai ilmu silat, juga ahli dalam hal ilmu sihir. Ji Sun Bi sendiri tidak pernah mempelajari ilmu sihir selengkapnya, hanya ilmu guna-guna untuk menjatuhkan hati pria saja. Akan tetapi, berkat gurunya dia mempunyai hubungan dengan Pek-lian-kauw. Ketika Ki Liong menjadi ketua Kim-lian-pang dan dia menjadi pembantu utama atau wakil ketua, dalam usaha mereka untuk memperkuat Kim-lian-pang, maka Ji Sun Bi menemui beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw dan berhasil membujuk tiga orang pendeta Pek-lian-kauw yang terhitung sute (adik seperguruan) mendiang Min-san Mo-ko, untuk membantu Kim-lian-pang. Tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu menyanggupi dan kini mereka berada di sana untuk membantu gerakan-gerakan Kim-lian-pang yang mendatangkan untung besar itu. Ketika Han Siong muncul, kebetulan mereka berada di puncak sehingga mereka dapat ikut pula turun menghadapi lawan. "Jangan khawatir!" terdengar seorang di antara mereka berseru pada saat Ji Sun Bi minta bantuan. Tadi mereka sempat melihat betapa pemuda itu menggunakan sihir yang sangat kuat sehingga mereka sendiri pun terpengaruh dan mereka melihat betapa tubuh pemuda Itu berubah menjadi tiga. Mereka bertiga maklum bahwa kekuatan sihir pemuda itu memang sangat hebat. Mereka tak akan mampu menandinginya tanpa menggabungkan kekuatan, maka mereka segera duduk bersila, bergandeng tangan dan mengerahkan kekuatan mereka. Seorang di antara mereka, yang berada di sudut kki, segera mengeluarkan kata-kata yang juga melengking tinggi berwibawa. "Pemuda itu hanya seorang! Yang dua hanya bayangan dan kami perintahkan agar kedua bayangan itu lenyap!" Mereka lalu mengeluarkan suara mengaung-ngaung seperti suara anjing meratapi bulan pada tengah malam, suara yang menyeramkan dan mengeluarkan getaran kuat. Ki Liong, Cun Sek dan Sun Bi memandang kepada Han Siong. Dan benar saja, dua di antara tubuh Han Siong itu perlahan-lahan lenyap, tinggal seorang lagi saja. Akan tetapi mendadak menjadi tiga lagi, lalu yang dua lenyap lagi. Maka tahulah mereka bahwa telah terjadi pertempuran kekuatan sihir antara Han Siong dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw. Han Siong sendiri sebetulnya mampu menandingi kekuatan sihir tiga orang Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi suara mereka sungguh amat mengganggunya dan jika dilanjutkan, dalam keadaan adu tenaga sihir itu kemudian dia dikeroyok tiga, maka keadaannya berbahaya juga. Karena itu, ketika tiga orang itu mulai menggerakkan pedang, dia pun menyimpan kekuatan sihirnya dan dirinya berubah menjadi satu lagi. Ki Liong sudah menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam dan sinar perak menyambar ke arah Han Siong. Pemuda ini cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Dia disambut oleh Ji Sun Bi dengan sepasang pedangnya, sedangkan di belakang pemuda itu Cun Sek juga sudah menggerakkan pedang Hong-cu-kiam untuk mengeroyok. Han Siong melihat gerakan mereka dan maklum bahwa sekali ini dia menghadapi bahaya. Tiga orang itu adalah orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan ketiganya memegang senjata. Kalau dia ingin menyelamatkan diri, sebenarnya mudah saja baginya untuk melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi dia harus dapat menahan mereka supaya Ouw Pangcu beserta kawan-kawannya dapat menyerbu sarang Kim-lian-pang di puncak. Kalau dia melarikan diri, tentu tiga orang ini akan mengamuk dan mungkin Ouw Pangcu bersama semua kawannya akan terbasmi dan dibantai! Tiba-tiba saja dia mengeluarkan bertakan nyaring dan tubuhnya sudah melayang ke arah Ji Sun Bi. Wanita ini terkejut ketika melihat tubuh Han Siong menyambar dari atas seperti seekor burung garuda. Dia menyambutnya dengan bacokan sepasang pedangnya yang membuat gerakan menggunting dari kanan kiri! Gerakan Ji Sun Bi ini berbahaya sekali terhadap tubuh Han Siong yang sedang melayang dan menyambar turun. Akan tetapi hal ini sudah di perhitungkan oleh Han Siong. Melihat wanita itu menggerakkan sepasang pedangnya, dia pun lantas membuat gerakan dengan tubuhnya sehingga tubuh yang meluncur turun itu mendadak terlempar ke atas membuat poksai (salto) dengan amat cepatnya. Tentu saja serangan Ji Sun Bi luput dan kini tubuh Han Siong telah turun di belakang wanita itu. Ji Sun Bi adalah seorang ahli silat yang lihai. Dengan cepat dia memutar tubuhnya hingga kedua pedangnya juga ikut berputar, yang kanan membabat leher lawan sedangkan yang kiri menyusul dengan tusukan ke arah perut! Han Siong sudah siap menghadapi ini. Dia segera merendahkan tubuh sehingga pedang yang menyambar leher itu lewat dl atas kepala, lalu dia menggeser kaki ke depan, sambil miringkan tubuh menghindarkan tusukan tangan kanannya membuat gerakan mendorong dengan pengerahan tenaga sinkang ke arah tangan Sun Bi yang menusukkan pedang. "Lepaskan!" bentaknya dan bentakan ini pun mengandung wibawa memerintah yang amat kuat. Tanpa dapat dicegah lagi pedang itu terlepas dari tangan Sun Bi dan sudah pindah ke tangan kanan Han Siong. Sun Bi terkejut dan cepat ia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan menjauh. Akan tetapi ternyata Han Siong tidak menyusulkan serangan melainkan bermaksud merampas sebatang pedang saja. Kini Cun Sek dan Ki Liang telah menyerang lagi dari kanan kiri. Han Siong mengelak dan membalas dengan pedang rampasan, juga dengan tamparan tangan kiri. Dia tidak berani menggunakan pedang itu untuk menangkis. Meski pun pedang rampasan dari Sun Bi tadi bukan pedang biasa, melainkan sebatang pedang yang baik sekali biar pun terlalu ringan baginya, tetapi besar sekali kemungkinan akan patah jika dipergunakan untuk menangkis pedang sinar emas dan pedang sinar perak dari dua orang muda itu. Ji Sun Bi yang marah sekali karena sebatang pedangnya terampas, kini sudah maju pula menyerang. Segera Han Siong merasa terdesak bukan main. Dia terpaksa mengeluarkan seluruh ilmu ginkang-nya untuk mengelak ke sana-sini dan hampir tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk membalas serangan. Bahkan ketika terpaksa dia menangkis Hong-cu-kiam yang menyambar dahsyat dari belakang, ujung pedang rampasan itu patah, seperti yang telah dikhawatirkannya. Sementara itu, tiga orang tosu itu masih duduk bersila dan kini mereka pun membantu pengeroyokan dengan serangan suara mereka! Mereka membuat suara yang seperti tadi, seperti anjing-anjing melolong, sungguh mengerikan dan menyayat hati. Tentu saja hanya Han Siong yang merasakan gangguan ini karena lolongan itu memang ditujukan kepadanya. Kalau saja dia tidak sedang dikeroyok tiga orang lawan tangguh ini sehingga seluruh perhatiannya harus dicurahkah untuk menyelamatkan diri menghadapi serangan maut itu, tentu dia akan mampu melawan suara yang sangat mengganggu itu. Semakin repotlah Han Siong karena serangan suara ini. Akan tetapi hatinya segera lega ketika terdengar sorak sorai dibarengi api dan asap yang mengepul dari puncak. Nampaknya Ouw Pangcu sudah berhasil menyerang dengan anak panah berapi yang membakar sarang itu, siasat yang digunakan untuk memancing keluar seluruh anak buah Kim-lian-pang dan Hek-tok-pang. Tiga orang pengeroyok itu terkejut sekali melihat kepulan asap dari puncak. Akan tetapi mereka enggan meninggalkan Han Siong yang sudah terdesak itu karena kalau pemuda lihai ini tidak dirobohkan lebih dulu, maka tetap saja keadaan mereka terancam. "Mari kita habiskan dia dulu sebelum menyerang yang lain!" kata Sim Ki Liong dan dia pun segera mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Murid Pendekar Sadis ini memang lihai bukan main dan hanya berselisih sedikit saja jika dibandingkan dengan Han Siong. Sebab itu desakannya yang diikuti dua orang kawannya membuat Han Siong kembali terhuyung, dan terpaksa Han Siong menggerakkan pedang buntungnya untuk menangkis sinar perak yang menyambar ke arah kepalanya. "Krakkk...!" Pedangnya kembali patah dan kini hanya tinggal sedikit sisanya. Dia membuang gagang pedang itu dan pada saat itu pula ujung sepatu kaki kanan Ki Liong sempat menyambar ke arah pahanya sehingga dia pun terpelanting! Namun ketika sinar perak dan sinar emas menyambar, dengan amat cekatan dia sudah melesat lagi ke samping sehingga terhindar dari bahaya maut. Tangannya kini sudah memegang sebatang ranting pohon yang dipatahkannya ketika dia meloncat menghindarkan diri tadi Sebatang ranting akan lebih berguna dari pada pedang rampasan yang kaku tadi. Ranting yang lentur mudah sekali menerima penyaluran tenaga sinkang dan tidak mudah dipatahkan pedang pusaka. Mulailah Han Siong kembali melawan mati-matian. Dia belum mau melarikan diri, hendak memberi kesempatan kepada Ouw Pangcu hingga berhasil menumpas perkumpulan jahat itu. Tendangan yang mengenai pahanya tadi tidak menimbulkan luka karena dia tadi telah melindungi pahanya dengan kekebalan sinkang, dan kini akibatnya hanya mendatangkan rasa nyeri sedikit. Meski pun demikian tetap saja gerakannya menjadi agak canggung dan dia pun semakin terdesak, terutama sekali suara melolong-lolong dari tiga orang tosu itu sungguh membuat dia semakin bingung. Tiba-tiba saja nampak bayangan biru berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah muncul lagi seorang pemuda yang berpakaian biru-biru dengan garis pinggir berwarna kuning. Kepala dan mukanya tertutup sebuah caping lebar dan di punggungnya terdapat sebuah buntalan kain kuning. Begitu tiba, pemuda ini tertawa bergelak dan menghampiri tiga orang tosu itu, tangannya membawa sebatang pendek ranting pohon. "Ha-ha-ha, pantas saja suaranya gaduh sekali. Ternyata di sini ada tiga ekor anjing yang sedang menggonggong berebut tulang! Nah, ini kuberi tulangnya, boleh kalian tiga ekor anjing memperebutkannya!" Dia pun melemparkan sepotong kayu tadi ke arah tiga orang tosu dan sungguh luar biasa sekali. Tiga orang tosu yang tadinya bersila dan bergandeng tangan sambil mengeluarkan suara melolong untuk menyerang Han Siong, kini tiba-tiba saja merangkak-rangkak dan saling memperebutkan kayu itu dengan mulut mereka, persis tiga ekor anjing memperebutkan tulang. Pada saat kepala mereka saling bertumbukan, barulah mereka sadar dan mereka saling pandang dengan mata terbelalak. "Apa... apa yang terjadi...?" Mereka bertiga berseru. Mendengar suara ketawa, mereka cepat-cepat menengok dan melihat seorang pemuda berpakaian biru memakai caping lebar sedang berdiri sambil tertawa geli, mentertawakan mereka. Tahulah mereka bahwa pemuda ini yang menjadi gara-gara, yang entah dengan ilmu apa telah memaksa mereka bertiga berlagak seperti tiga ekor anjing! "Keparat, engkaulah seekor anjing!" bentak seorang di antara mereka, setengah memaki untuk membalas penghinaan tadi dan setengah lagi untuk menggunakan tenaga sihirnya. Diam-diam pemuda itu mengerahkan kekuatan sihirnya yang hebat, dan dia pun berkata, "Betul sekali! Aku seekor anjing raksasa yang akan makan kalian tiga orang pendeta Pek-lian-kauw! Huk-huk-hukk!" Tiga orang pendeta Pek-lian-kauw itu terbelalak memandang kepada pemuda itu yang di dalam pandang mata mereka tiba-tiba sudah berubah seperti seekor anjing raksasa yang besarnya seperti sebuah rumah gedung, mulutnya terbuka selebar pintu gerbang dengan giginya yang besar-besar. Mereka menjadi pucat seketika, tubuh mereka gemetaran dan seperti dikomando saja, mereka lalu membalikkan tubuh dan lari tunggang langgang jatuh bangun, bahkan ada yang terkencing-kencing saking ngerinya karena merasa seolah-olah napas anjing raksasa telah mendengus-dengus di tengkuk mereka. Pemuda itu tertawa bergelak penuh kegembiraan. Han Siong yang semenjak tadi melihat kehadiran dan perbuatan pemuda berpakaian biru bercaping lebar itu, kemudian berseru dengan gembira, "Hentikan main-mainmu itu, Hay Hay, dan cepat bantulah aku!" Pemuda yang disebut Hay Hay itu menoleh dan melihat betapa Han Siong terdesak oleh tiga orang pengeroyoknya, dia pun tertawa lagi, "Ha-ha-ha, Sin-tong (anak ajaib), di mana pedang pusakamu yang ampuh itu? Engkau dikeroyok tiga orang lawan yang memakai senjata, bahkan ada pedang pusaka di situ, dan engkau bertangan kosong saja. Salahmu sendiri..." "Sudahlah, bantu aku dahulu dan nanti baru kita mengobrol!" kata Han Siong lagi dengan mendongkol. Dia begitu terdesak dan dalam bahaya, tetapi orang ini malah mengajaknya mengobrol dan bersendau-gurau. Pemuda bercaping itu memang Tang Hay, atau di antara kawan-kawannya lebih dikenal dengan sebutan Hay Hay saja. Seorang pemuda yang sebaya dengan Han Siong. Usia mereka sama, yaitu dua puluh dua tahun lebih, wajahnya juga tampan, dadanya bidang tubuhnya sedang dan tegap. Matanya selalu bersinar-sinar, tapi kadang kala mencorong penuh wibawa, dan mututnya tak pernah ditinggalkan senyum manis. Pemuda ini seorang yang amat romantis, juga pengagum keindahan termasuk kecantikan wanita. Di mana pun berada dia selalu memuji-muji wanita sehingga dia terkenal sebagai Pendekar Mata Keranjang walau pun kegenitannya itu memiliki batas yang kuat sehingga belum pernah dia melanggar, belum pernah dia menggauli wanita, baik dengan perkosaan mau pun dengan suka rela. Kedekatannya dengan wanita tak lebih dari saling rangkul dan saling cium saja. Dalam perjalanan mencari ayahnya, yaitu Ang-hong-cu, tanpa sengaja Hay Hay sampai di tempat itu dan melihat pertempuran itu. Dia sedang menuju ke kota raja karena dia sudah mendengar bahwa meski pun tidak ada seorang juga yang mengetahui di mana adanya si Kumbang Merah, jai-hwa-cat yang sudah lama sekali namanya dikenal orang akan tetapi akhir-akhir ini tidak ada kabar ceritanya lagi, namun di kota raja muncul seorang perwira muda disebut Tang-ciangkun yang mengaku sebagai putera Ang-hong-cu. Biar pun tipis, namun berita ini setidaknya merupakan suatu hal yang perlu diselidiki. Siapa tahu perwira muda Tang itu benar dapat membawa dia kepada jejak Ang-hong-cu! Maka, ketika melihat ada perkelahian di situ, dia pun tak peduli dan hendak melewatinya begitu saja, apa lagi dia belum melihat jelas dan tidak tahu siapa yang sedang berkelahi. Akan tetapi dia lantas tertarik oleh suara melolong-lolong yang mengandung getaran aneh dan berwibawa itu. Sebagai seorang yang sudah mempelajari ilmu sihir secara cukup mendalam, dia dapat merasakan ketidak wajaran dalam suara itu dan menduga bahwa suara itu mengandung kekuatan sihir! Maka dia pun tertarik kemudian mendekat. Setelah mendekat, barulah dia melihat bahwa yang dikeroyok tiga dan terdesak, masih diserang oleh suara mengandung kekuatan sihir pula, bukan lain adalah Pek Han Siong! Dulu Pek Han Siong pernah menuduhnya memperkosa adik kandungnya, yaitu Pek Eng sehingga Han Siong memusuhinya dan mereka lalu bertanding dengan hebatnya. Namun akhirnya Han Siong mengetahui bahwa yang memperkosa adik kandungnya sama sekali bukan Hay Hay, melainkan Si Kumbang Merah yang ternyata menurut pengakuan Hay Hay adalah ayah kandung Hay Hay sendiri! Karena kenyataan itu, maka permusuhan antara mereka pun lenyap dan tidak ada saling dendam di antara mereka. Bahkan sesungguhnya, ada hubungan yang amat dekat antara kedua pemuda ini. Sejak kecil Han Siong dianggap sebagai Sin-tong (anak ajaib) oleh para pendeta Lama di Tibet yang merasa yakin bahwa Han Siong adalah seorang calon Dalai Lama! Maka anak ini kemudian diperebutkan dan oleh para pendeta Lama hendak dibawa ke Tibet. Untuk menyelamatkannya, maka Han Siong disembunyikan dan sebagai gantinya, orang tuanya mengambil Hay Hay yang ketika itu seorang anak tanpa ayah ibu. Maka terjadilah hal-hal yang amat menarik seperti diceritakan dalam kisah Pendekar Mata Keranjang. Setelah keduanya menjadi pemuda dewasa, dalam cara hidup masing-masing keduanya menjadi pemuda gemblengan yang pandai ilmu silat, bahkan keduanya juga pandai ilmu sihir walau pun tingkat Hay Hay jauh lebih tinggi dalam hal sihir menyihir ini. Sekarang Hay Hay tidak mau main-main lagi, apa lagi sesudah dia melihat dengan penuh perhatian dan mengenal dua orang di antara para pengeroyok itu "Wah-wah-wahh! Bukankah itu Sim Ki Liong murid murtad dari locianpwe Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah? Dan yang seorang lagi, bukankah Ji Sun Bi si cantik manis yang memiliki hati penuh racun? Hayaa, pantas saja engkau terdesak, Han Siong. Kiranya para pengeroyokmu adalah dua orang yang teramat jahat. Dan siapa pula yang seorang lagi itu? Heiii! Bukankah itu Hong-cu-kiam yang dibawanya? Dan ilmu silatnya itu! Han Siong, apa kau lupa lagi dan tidak mengenal ilmu silat Cin-ling-pai? Dia seorang tokoh Cin-ling-pai!" Tiba-tiba Hay Hay telah meloncat ke dalam medan perkelahian itu. Dia sendiri tak pernah mempergunakan senjata. Cun Sek yang terkejut dan juga marah melihat betapa pemuda bercaping lebar yang baru muncul ini dapat mengenali pedang serta ilmu silatnya, sudah menyambutnya dengan tusukan pedang yang cepat dan kuat sekali, mengarah dada Hay Hay. Tanpa disadarinya, ucapan Hay Hay tadi memang sudah menarik perhatian Cun Sek, dia sudah terjatuh ke dalam pengaruh sihir Hay Hay! Melihat tusukan pedang Hong-cu-kiam itu Hay Hay segera miringkan tubuhnya dan berkata dengan suara nyaring. "Pedangmu itu buntung, mana bisa untuk menyerangku?" Cun Sek terbelalak. Dia memandang pedangnya yang tahu-tahu sudah menjadi sebatang pedang buntung yang pendek! Hanya beberapa detik saja dia termangu, namun ini sudah cukup bagi Hay Hay. Dengan sekali totokan ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang, tahu-tahu Hong-cu-kiam telah berpindah tangan! Barulah Cun Sek sadar dan dia menjadi marah sekali. "Kembalikan pedangku!" bentaknya sambil menerjang dengan tangan kosong. Akan tetapi Hay Hay cepat menggerak-gerakkan pedang Hong-cu-kiam sehingga nampak sinar emas bergulung-gulung mengelilingi tubuh Cun Sek yang menjadi amat bingung dan khawatir sekali. "Brett-brett-brett...!" Nampak potongan kain berhamburan dan Cun Sek merasa tubuhnya dingin-dingin. Ketika dia memandang, ternyata sinar pedang emas itu telah menelanjanginya! Pakaian luarnya sudah robek-robek dan dia berdiri di situ hanya dengan sebuah celana kolor pendek yang menutupi tubuh bawahnya! Hay Hay tertawa-tawa dan kini dia menggerakkan pedangnya untuk menyerang Ki Liong! Sejak tadi Ki Liong dan Sun Bi sudah kaget setengah mati ketika melihat munculnya Hay Hay, pemuda yang pernah membuat mereka gentar ketika pemuda ini muncul pula dalam rombongan para pendekar yang membasmi gerombolan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo. Keduanya segera maklum pula bahwa kemunculan Hay Hay yang di luar dugaan ini akan menghancurkan semua rencana mereka, bahkan sekarang mereka berada dalam bahaya besar. Hal ini langsung terbukti ketika dengan amat mudahnya Hay Hay sudah merampas pedang pusaka Hong-cu-kiam dari tangan Cun Sek yang telah dibuat tidak berdaya! Cun Sek merasa terkejut dan malu bukan main. Dia kemudian menjadi nekat dan sambil mengeluarkan suara menggeram bagai seekor harimau terluka, dia pun menubruk dengan nekat ke arah Hay Hay. Akan tetapi Hay Hay menyambutnya dengan sebuah tendangan sehingga tubuh Cun Sek terjengkang lalu terbanting keras ke atas tanah. Karena pemuda itu tadi memegang Hong-cu-kiam dan memiliki ilmu silat Cin-ling-pai, tentu saja Hay Hay tidak mau membunuhnya dan hanya merobohkannya tanpa melukai berat. Setelah merobohkan Cun Sek, Hay Hay lalu membalik dan kembali menyerang Ki Liong. Murid Pendekar Sadis yang maklum akan kelihaian Hay Hay ini cepat menangkis dengan Gin-hwa-kiam. "Trakkkk!" Dua pedang bertemu kemudian melekat! Ki Liong terkejut dan menarik pedangnya, akan tetapi Hong-cu-kiam yang lemas itu ternyata telah melibat. Ujung Hong-cu-kiam membelit pedang Gin-hwa-kiam seperti seekor ular saja! "Han Siong, cepat kau ambil pedangnya. Pedang itu tak pantas berada di tangannya. Kita harus kembalikan pedang itu ke Pulau Teratai Merah!" kata Hay Hay kepada Han Siong sambil mempertahankan pedang lawan dengan libatan pedangnya. Ji Sun Bi cepat maju menghalang dan menusukkan pedangnya kepada Han Siong untuk mencegah pemuda ini mengeroyok Ki Liong. Akan tetapi kini, setelah berhadapan dengan Ji Sun Bi sendiri, tentu saja Han Siong memandang ringan wanita itu dan dengan mudah dia membiarkan pedang yang menusuknya itu lewat, kemudian dari samping tangannya menyambar. "Plakkk!" Pundak Sun Bi terkena tamparan tangan Pek-hong Sin-ciang dan dia pun mengeluh lalu roboh terkulai. Kini Han Siong menerjang Ki Liong yang masih sibuk menarik Gin-hwa-kiam dari libatan Hong-cu-kiam. Tangan kirinya mencengkeram ke arah tangan murid Pendekar Sadis itu dan tangan kanannya mencengkeram ke arah pelipis! Menghadapi serangan dahsyat ini, terpaksa Ki Liong melepaskan pedangnya lantas berjungkir balik ke belakang. Pedangnya kini sudah berpindah ke tangan Han Siong. "Ha-ha-ha, bagaimana, Han Siong? Kita bunuh saja tiga ekor ular berbisa ini?" "Jangan, Hay Hay. Kita bukan pembunuh keji! Kita tangkap saja mereka dan..." Tiba-tiba nampak seorang pria raksasa meloncat ke depan mereka dan dia mengebutkan sebuah kain. Asap atau debu hitam lantas berhamburan dan terdengar pula suara ledakan yang menimbulkan asap hitam tebal. "Han Siong, mundur! Debu itu beracun!" teriak Hay Hay yang segera menyambar lengan Han Siong dan mengajaknya meloncat jauh ke belakang. Asap hitam menjadi tabir hingga membuat mereka tidak dapat melihat ke depan. Akan tetapi Hay Hay melihat kain yang dikebut-kebutkan itu dan dia berbisik, "Kita serang kain itu dengan pukulan jarak jauh. Mari!" Keduanya mengerahkan tenaga sinkang lantas mendorong dari tempat mereka berdiri ke arah kain itu. Angin dahsyat langsung menyambar ke arah kain itu dan terdengarlah jerit parau mengerikan di dalam asap hitam yang gelap itu, lalu keadaan menjadi sunyi. Setelah asap hitam lenyap ditiup angin, mereka hanya melihat pria raksasa tadi yang kini menggeletak tanpa nyawa di situ dengan muka berubah hitam, sementara kain itu masih menutupi mukanya. Ki Liong, Cun Sek dan Sun Bi telah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Kiranya pria raksasa itu adalah Hek-tok Pangcu Cui Bhok yang telah menolong tiga orang pemimpinnya sedangkan bahan peledak yang mengeluarkan asap hitam tadi dilepas oleh tiga orang tokoh Pek-lian-kauw untuk menolong teman-temannya. "Hemm, mereka telah lolos! Biar kucari dan kukejar mereka!" kata Hay Hay. "Tidak perlu lagi" kata Han Siong. "Lebih baik kita turut membantu mereka yang sekarang sedang membasmi anak buah Kim-lian-pang yang jahat. Anak-anak buah Hek-tok-pang itu masih berbahaya, aku khawatir akan terjatuh banyak korban di antara para penyerbu." "Kim-lian-pang? Hek-tok-pang? Aku tidak tahu apa yang terjadi di tempat ini," Hay Hay yang baru saja datang memang tidak tahu sehingga dia bertanya heran. "Kim-lian-pang anak buah Sim Ki Liong, dan Hek-tok-pang anak buah dia yang tewas ini. Sudahlah, nanti saja kujelaskan lebih lanjut, sekarang aku harus membantu mereka!" kata Han Siong yang segera meloncat pergi dari situ. "Aku membantumu!" kata Hay Hay sambil mengejar. Tentu saja dia percaya penuh bahwa yang dibela oleh Han Siong pasti berada pada pihak yang benar. Dia telah mengenal watak Sin-tong ini, seorang pendekar muda gemblengan yang selalu menentang kejahatan. Apa lagi tadi pun dia telah membuktikan sendiri bahwa pihak lawan pemuda itu adalah orang-orang yang dia tahu amat jahat, terutama Ji Sun Bi. Tentu saja dia mengenal baik siapa Ji Sun Bi itu! Bagaimana tidak mengenalnya? Bahkan wanita cantik berwatak cabul itu dapat dibilang merupakan gurunya dalam bercumbu dan berolah cinta! Wanita yang pertama kali saling peluk dan saling cium dengannya adalah Ji Sun Bi! Kalau saja batinnya tidak kokoh kuat, tentu dia sudah kehilangan perjakanya oleh wanita itu. cerita silat online karya kho ping hoo Dan hampir saja dia diperkosa ketika Ji Sun Bi dibantu mendiang gurunya, Min-san Mo-ko yang membuat dia tidak berdaya dengan sihir. Untung muncul Pek Mau Sanjin, mendiang kakek sakti yang kemudian menjadi gurunya dalam hal ilmu sihir. Dia sudah mengenal Ji Sun Bi secara baik, dan dengan mengenang peristiwa itu saja, sudah tentu dia tidak tega untuk membunuhnya! Wanita pertama yang mengajarnya tentang permainan asmara! Perhitungan dan siasat yang digunakan Ouw Pangcu memang tepat. Dia bersama teman-temannya menghujankan anak panah berapi ke puncak hingga hal ini memancing semua anak buah Kim-lian-pang dan Hek-tok-pang untuk turun dari puncak, pergi meninggalkan sarang mereka lalu mengamuk dengan penuh kemarahan. Apa lagi setelah mereka lihat betapa pimpinan mereka mengepung seorang pemuda lihai. Hek-tok Pangcu memimpin anak buahnya mengamuk. Tepat seperti yang dikhawatirkan Han Siong, dua puluh orang Hek-tok-pang serta pemimpin mereka ini merupakan lawan berat yang membuat para penyerbu kewalahan. Tapi karena jumlah pihak para penyerbu jauh lebih banyak, dan para penyerbu itu juga terdiri dari para anggota perkumpulan silat yang rata-rata pandai ilmu silat, maka pertempuran berlangsung dengan hebat dan pada kedua pihak telah jatuh korban belasan orang banyaknya. Munculnya Han Siong dan Hay Hay dalam pertempuran itu pada saat yang sangat tepat. Begitu dua orang pemuda sakti ini terjun ke dalam pertempuran, hanya mempergunakan kaki tangan karena mereka sudah menyimpan pedang pusaka yang mereka rampas tadi, tak ingin mempergunakan pedang pusaka yang bukan milik mereka itu untuk membunuh orang, maka kocar-kacirlah pihak lawan. Semua anak buah Hek-tok-pang telah roboh dan tewas, dan sebagian besar anak buah Kim-lian-pang juga roboh, sebagian kecil melarikan diri bahkan ada pula yang terjun ke dalam jurang untuk menyelamatkan diri. Dengan dipimpin oleh Ouw Pangcu, para penyerbu lalu naik ke puncak Kim-Iian-san dan kedua orang pemuda perkasa itulah yang menjadi pelopor di depan. Mereka berdua yang meruntuhkan semua penghalang serta jebakan, juga memunahkan segala macam racun yang disebar dengan membakar rumpun semak belukar pada sepanjang lorong dan jalan setapak yang menuju ke puncak. Akhirnya mereka sampai di puncak, di sarang Kim-lian-pang dan ternyata yang tinggal di sarang itu hanyalah isteri para anggota bersama anak-anak mereka. Ouw Pangcu cepat memberi aba-aba agar tak seorang pun boleh mengganggu mereka! Sikap ini saja sudah membuat Han Siong dan Hay Hay merasa senang sekali, karena itu mereka tidak merasa menyesal telah membantu gerakan yang dipimpin oleh Ouw Pangcu yang bijaksana itu. Oleh Ouw Pangcu, semua harta benda yang ada di sarang Kim-lian-pang lalu dibagikan kepada keluarga para anggota Kim-lian-pang. Dia menyuruh mereka semua turun bukit, kemudian dia membakar sarang itu, disaksikan oleh semua penyerbu yang bersorak sorai penuh kemenangan dan kepuasan karena mereka semua merasa sakit hati kepada Kim-lian-pang dan kini mereka telah berhasil membalas dendam dan membasmi perkumpulan jahat itu. Setelah api berkobar membakar sarang gerombolan Kim-lian-pang dan para penyerbu itu tengah bersorak-sorai, tiba-tiba terdengar suara lantang Ouw Pangcu. "Saudara sekalian, tanpa bantuan dari pendekar besar Pek Han Siong, tidak mungkin kita dapat membasmi gerombolan jahat itu. Mari kita berterima kasih kepada Pek Taihiap!" Berkata demikian, Ouw Pang Cu segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Pek Han Siong, diikuti oleh puterinya yang tadi juga ikut bertempur dengan gagah dan mati-matian. Melihat pemimpin penyerbuan itu telah berlutut, semua anggota penyerbu yang terdiri dari para anggota bermacam perkumpulan segera menjatuhkan diri berlutut dan menghadap pemuda itu. Hanya Han Siong dan Hay Hay saja yang berdiri, sedangkan semua orang berlutut. Melihat ini, Hay Hay tersenyum dan berseru dengan nyaring. "Hidup pendekar gagah Pek Taihiap!" Mendengar ini, semua orang yang berlutut juga berseru, "Hidup Pek Taihiap! Hidup Pek Taihiap!" "Ahh, engkau gila!" Han Siong memaki Hay Hay yang masih cengar-cengir menggodanya, kemudian Han Siong menghampiri Ouw Pangcu dan mengangkat bangun ketua itu dan juga puterinya. Dia ingin membalas kepada Hay Hay, maka katanya dengan lantang, "Ouw Pangcu dan saudara sekalian harap bangun dan jangan berterima kasih kepadaku saja. Tanpa bantuan pendekar sakti Tang Hay ini, mana aku mampu mengalahkan para pimpinan Kim-lian-pang? Dia inilah yang sudah membantuku dan dia yang berjasa besar dalam pertempuran ini. Hidup Pendekar Mata Keranjang Tang Hay!" Tentu saja semua orang merasa heran sekaligus geli mendengar julukan itu. Pendekar Mata Keranjang? Karena itu mereka pun tidak berani menirukan sorakan Han Siong tadi, khawatir kalau-kalau menyinggung hati pemuda berpakaian biru dan bercaping lebar itu. Ouw Pangcu cepat maju memberi hormat kepada Tang Hay. "Terima kasih atas bantuan Taihiap!" katanya yang diturut pula oleh Ci Goat, puterinya. Hay Hay memandang kepada Ci Goat dan tersenyum. "Aih, tidak kusangka bahwa di antara banyak orang gagah ini terdapat pula seorang nona yang gagah perkasa. Han Siong, perkenalkan aku kepada mereka!" Han Siong tersenyum mengejek. Pemuda yang satu ini memang sangat payah, pikirnya. Tak dapat dia menyangkal bahwa Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, bahkan dia sendiri merasa sukar untuk dapat menandinginya, juga mempunyai watak gagah dan bertanggung jawab, seperti yang pernah dibuktikannya pada saat mengakui Ang-hong-cu sebagai ayahnya. Akan tetapi satu hal yang membuat dia merasa kecewa. Pemuda ini memiliki sifat mata keranjang yang sudah tidak ketulungan lagi! Bagaikan seekor kumbang yang tidak pernah mau melewatkan setangkai kembang yang indah bermadu. Begitu melihat wanita, segera saja merasa tertarik! Memang harus diakuinya bahwa pada kenyataannya pemuda ini tak pernah mengganggu wanita dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, melainkan hanya karena iseng dan hanya tertarik untuk berdekatan saja. Namun tentu saja semua orang akan mudah menjatuhkan kesalahan kepadanya kalau terjadi sesuatu dengan gadis yang didekatinya. "Ouw Pangcu dan adik Ci Goat, dia ini adalah seorang pendekar sakti bernama Tang Hay dan berjuluk..." "Aihh, tidak ada julukan bagiku, Han Siong, tidak seperti engkau yang sejak kecil dijuluki Sin-tong!" Hay Hay mencela. Tentu saja ucapannya ini hanya untuk bergurau, tetapi baik dia mau pun Han Siong tidak menyadari bahwa senda gurau ini ternyata berakibat panjang. Seorang di antara mereka yang tadi ikut menyerbu, terbelalak mendengar sebutan Sin-tong untuk ke dua kalinya ini, akan tetapi dia hanya diam saja. "Hay Hay, ini adalah Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi dan ini adalah nona Ouw Ci Goat, puterinya," Han Siong memperkenalkan. . "Ouw Pangcu, sungguh beruntung aku dapat berkenalan dengan ketua Pek-tiauw-pang," kata Hay Hay dengan sikap sopan. "Aihh, Tang-taihiap, sekarang Pek-tiauw-pang hanya tinggal namanya saja. Tadinya, yang tersisa dari pembunuhan yang dilakukan Kim-lian-pang hanya tinggal aku, anakku ini dan tiga orang murid. Akan tetapi kini tiga orang murid itu pun gugur dalam pertempuran tadi. Tinggal aku dan puteriku ini, maka mulai saat ini aku adalah Ouw Lok Khi biasa, bukan lagi seorang pangcu (ketua). Aku sudah terlalu tua untuk membangun kembali Pek-tiauw-pang yang sudah terbasmi habis." "Ahh, kurasa tidak perlu paman Ouw berputus asa. Bukankah di sini masih ada nona Ouw yang gagah perkasa dan cantik jelita, lagi pula masih muda belia? Dengan bantuannya, apa sulitnya bagi paman untuk membangun lagi perkumpulan?" Hay Hay berkata dengan ramah. Dia melihat sepasang mata yang jeli itu terbelalak mendengar pujian bagi dirinya, akan tetapi terbelalak heran atas keberanian orang, bukan karena marah! "Sudahlah, aku telah menerima kalah. Mari, ji-wi taihiap, marilah ji-wi (kalian) singgah dulu di rumah muridku Thio Ki yang telah diserahkan kepada kami. Karena dia pun telah gugur, maka rumahnya kini menjadi tempat tinggal kami untuk sementara." Han Siong hendak menolak, dan hal ini nampak oleh Hay Hay yang bermata tajam, maka Hay Hay cepat mendahuluinya. "Baiklah, Paman, dan Nona. Terima kasih atas undangan itu. Mari, Han Siong, kita singgah dulu di rumah paman Ouw agar dapat mempererat tali persahabatan." Dengan ucapan seperti itu, tentu saja Han Siong merasa dilumpuhkan sehingga dia tidak berani menolak. Bagaimana dia berani menolak bila persinggahan itu dimaksudkan untuk mempererat persahabatan? Dia lalu mengerling tajam kepada Hay Hay yang menyeringai lebar karena maklum bahwa kawannya itu mendongkol. Hay Hay merasa heran, mengapa dalam pertemuan dengan Han Siong sekali ini, setelah lenyap semua rasa curiga dan kemarahan di antara mereka, dia kini merasa sangat akrab dengan Han Siong, seolah-olah mereka adalah dua orang sahabat lama. Sesudah menyerahkan pengurusan para jenazah muridnya dan teman-teman lain kepada para sahabatnya yang ikut dalam penyerbuan itu, Ouw Lok Khi dan Ouw Ci Goat lantas mengajak dua orang pemuda perkasa itu ke rumah Thio Ki yang juga gugur. Tiga jenazah murid Pek-tiauw-pang, termasuk jenazah Thio Ki, sesudah dirawat kemudian dimasukkan ke dalam peti dan dibawa ke rumah itu, dijajarkan di serambi depan. Malam itu banyak kenalan yang datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada tiga jenazah dalam peti mati dan pada keesokan harinya, tiga peti jenazah itu pun dikuburkan dengan upacara sederhana. Selama itu pula Hay Hay tanpa rikuh lagi selalu mendekati Ci Goat dan mengajak gadis itu bercakap-cakap dengan sikap ramah dan akrab sekali! Berbeda dengan Han Siong yang selalu menjauhkan diri dari gadis itu karena dia merasa tidak enak kalau berdekatan dengan gadis yang dia ketahui sudah jatuh cinta kepadanya itu. Hay Hay melihat gadis itu nampak murung ketika orang-orang mulai menimbuni lubang kuburan tiga orang murid Pek-tiauw-pang itu dengan tanah. Pada waktu gadis itu duduk di bawah pohon untuk berlindungi dari sengatan matahari, Hay Hay lalu mendekatinya dan masih sempat berkelakar untuk memancing percakapan. Hay Hay juga duduk di atas sebuah batu, dalam jarak tiga meter dari gadis itu dan tanpa rikuh-rikuh dia mengamati wajah gadis yang bulat dan berkulit putih mulus itu. Wajah itu kelihatan muram dan sinar matanya mengandung kedukaan. Pandang mata orang biasa saja sudah mengandung getaran yang akan terasa oleh orang yang dipandang, apa lagi pandang mata Hay Hay yang matanya mengandung kekuatan sihir yang hebat walau pun pada waktu itu dia tidak mempergunakan kekuatannya. Gadis itu mengangkat muka dan pandang matanya bertemu dengan mata Hay Hay yang tidak menyembunyikan sinar kekagumannya. Melihat betapa mata pemuda itu terus memandang kepadanya dengan kagum, Ci Goat mengerutkan alisnya. Akan tetapi dia lalu teringat akan ucapan Han Siong yang menjuluki pemuda ini dengan julukan aneh, yaitu Pendekar Mata Keranjang! Jika melihat pandang mata itu, tidak aneh kalau dia dijuluki mata keranjang! Dia tidak berani marah, mengingat bahwa pemuda ini juga seorang penolong besar yang membuat dia dan ayahnya berhasil membalas dendam dan menghancurkan perkumpulan Kim-lian-pang bersama antek-anteknya. Maka dia hanya menundukkan kembali mukanya dengan cepat dan muka yang putih itu berubah kemerahan. "Heiii, nona Ouw, mengapa bermuram durja? Alangkah sayangnya kalau bulan purnama tertutup awan dan matahari terhalang mendung, dunia akan menjadi gelap dan kehilangan serinya! Nona, kenapa berduka pada hal pagi seindah dan secerah ini?" Sepasang pipi yang putih halus itu menjadi semakin merah. Dia diumpamakan bulan dan matahari! Sungguh kata-kata rayuan maut yang akan dapat membuat wanita tergetar dan berlonjak kegirangan penuh bangga. Akan tetapi Ouw Ci Goat tersipu malu dan melirik ke arah Han Siong yang berdiri dekat mereka yang sedang melakukan pemakaman. Hatinya khawatir sekali. Dia telah jatuh cinta kepada Han Siong dan kini Pendekar Mata Keranjang mengeluarkan kata-kata yang merayunya. Andai kata bukan pendekar ini yang mengeluarkan kata-kata rayuan itu, tentu akan dijauhinya, tidak dipedulikannya. Akan tetapi Hay Hay adalah seorang pendekar yang juga berjasa seperti Han Siong, dan harus diakuinya bahwa mendengar kata-kata manis laksana madu dari seorang pemuda yang demikian gagah perkasa dan gantengnya, sungguh merupakan belaian lembut pada hatinya. Untuk mencegah pemuda itu melanjutkan rayuannya, dia pun menjawab dengan sikap, pandang mata, dan nada suara yang serius, bahkan hatinya yang sedang diliputi kedukaan itu membuat kedua matanya basah air mata. "Taihiap, bagaimana mungkin aku tidak berduka? Aku sudah kehilangan seluruh saudara anggota Pek-tiauw-pang yang juga menjadi murid-murid ayah, menjadi saudara-saudara seperguruanku. Mereka semua tewas, bahkan hari ini tiga orang yang terakhir pun tewas. Mala petaka besar telah menimpa keluarga kami. Tentu saja aku berduka sekali, Taihiap." Hay Hay tersenyum, "Aihh, nona Ouw, sungguh sayang kalau menghamburkan air mata dan meremas hati sendiri. Berduka akan membuat wajahmu yang seperti bulan purnama itu menjadi kerut merut, juga dapat membuat engkau yang muda belia ini menjadi cepat tua. Nona yang baik, aku ingin bertanya, siapa yang kau tangisi, siapa yang kau sedihkan itu?" Gadis itu memandang heran. Matanya yang agak kemerahan karena tangis itu sekarang agak terbelalak sehingga Hay Hay memandang kagum. Indahnya mata itu! "Taihiap, aneh sekali pertanyaanmu itu. Tentu saja aku menangisi tiga orang suheng yang tewas itu, semua saudara seperguruanku yang telah tewas oleh para penjahat Kim-lian-pang!" "Mengapa engkau menangisi mereka yang sudah mati? Apakah kalau ditangisi mereka akan merasa senang di sana, ataukah mereka akan hidup kembali kalau disedihkan?" Gadis itu makin terkejut dan heran. "Tentu saja tidak! Pertanyaanmu sungguh aneh sekali, taihiap. Orang di seluruh dunia ini tentu akan bersedih dan menangis bila mana kematian orang-orang yang dekat dengan mereka!" "Ahh, jadi kalau begitu engkau bersedih dan menangis karena umum melakukannya? Jadi tangismu itu hanya ikut-ikutan saja? Mari kita bicara tentang kesedihanmu, perasaanmu sendiri, bukan kesedihan orang-orang lain, Nona yang baik. Nah, mari mulai kita selidiki. Apakah engkau bersedih untuk mereka? Rasanya tidak mungkin. Mereka sudah mati dan engkau tidak tahu keadaan mereka. Yang jelas mereka tidak menderita lagi, jadi tidak ada alasan untuk mengasihani mereka. Bahkan mereka itu mati sebagai orang-orang gagah, sebagai pendekar yang menentang kejahatan, maka sepantasnya engkau malah bangga dengan kematian mereka, bukan berduka. Tidakkah benar demikian, Nona?" "Aku... aku tidak tahu... aku menjadi bingung. Kurasa... pendapatmu itu benar juga, akan tetapi tak mungkin aku berbangga dan tidak berduka. Orang-orang akan menganggap aku tidak wajar..." "Justru sebaliknya! Apa bila tangismu ini kau katakan untuk menangisi mereka yang mati, maka tangismu itu sama sekali tidak wajar bahkan berpura-pura! Mari kita membuka mata melihat kenyataan, Nona. Coba jenguk perasaan hatimu sendiri. Lihat baik-baik apa yang kau rasakan. Benarkah engkau menangis dan bersedih karena kasihan kepada mereka yang mati? Ataukah engkau bersedih dan menangis untuk dirimu sendiri, karena engkau merasa kehilangan dan merasa kasihan kepada dirimu sendiri? Beranikanlah hatimu dan amatilah baik-baik!" Gadis itu tertegun. Selama hidupnya baru sekali ini dia mendengar pendapat yang seperti itu. Bukan, bukan pendapat, melainkan pembukaan kenyataan yang tak dapat dia bantah lagi. Memang benar, dia menangis dan berduka karena merasa kasihan terhadap dirinya sendiri, kepada nasib dirinya, sama sekali bukan menangisi mereka yang mati. Ia berduka karena dia kehilangan saudara dan sahabat baik, karena dia merasa ditinggalkan. Hal ini nampak jelas sekarang. "Aku... aku menjadi bingung... kata-katamu memang benar, Taihiap. Akan tetapi, apakah aku tidak boleh menangis dan harus bergembira menghadapi kematian para suheng-ku?" Hay Hay tersenyum. "Tidak ada orang yang menyuruhmu menangis atau tertawa, Nona, juga tidak ada yang melarangmu untuk menangis atau tertawa. Tangis dan tawa adalah pencurahan dari keadaan hati dan tidak ada orang lain yang mampu mengatur keadaan hatimu. Yang penting, engkau harus yakin benar apa yang kau tangiskan atau tawakan, agar tangis dan tawamu tidak menjadi palsu." Dara itu termenung, wajahnya kosong dan polos. Tiba-tiba saja Hay Hay tertawa bergelak sehingga gadis itu menjadi semakin heran dan menatap wajah yang tampan itu. "Ha-ha-ha, coba rasakan baik-baik, Nona. Semenjak kita bercakap-cakap, engkau sama sekali tidak berduka lagi, tidak menangis lagi! Ini menjadi bukti jelas bahwa duka hanyalah permainan pikiran sendiri belaka! Pikiran mengenang hal-hal yang tidak menguntungkan diri sendiri. Tadi pikiranmu mengenang tentang kehilangan saudara-saudaramu sehingga timbul iba diri dan pikiranmu seperti meremas-remas hatimu sendiri, maka timbullah duka. Begitu pikiranmu terisi perhatian untuk percakapan kita tadi, kenangan itu pun lenyap dan duka pun hilang tanpa bekas! Biang keladi susah senang hanyalah kenangan pikiran yang didasari rugi untung bagi diri pribadi, keduanya saling berlomba menguasai diri kita. Akan tetapi, kalau harus memilih, mengapa tidak memilih tersenyum dari pada menangis. Kalau engkau menangis, wajahmu yang cantik itu penuh kerut merut, matamu kemerahan, juga hidungmu merah dan engkau akan menyeret orang lain untuk menangis pula. Sebaliknya, kalau engkau tersenyum... hemm, cobalah tersenyum, Nona, dunia akan turut tersenyum bersamamu. Dan wajahmu yang cantik itu akan menjadi semakin manis apa bila engkau tersenyum!" Ci Goat tidak dapat menahan dirinya lagi untuk tidak tersenyum, dan Hay Hay terpesona. Alangkah manisnya gadis itu kalau tersenyum! Akan tetapi senyum itu segera lenyap dan Ci Goat berkata lirih, agak cemberut. "Taihiap, harap jangan mempermainkan aku. Kalau ayahku melihat betapa aku senyum-senyum pada saat mereka menguburkan jenazah tiga orang suheng-ku, tentu ayah akan marah karena menganggap aku tidak sopan, tidak mengenal aturan, tidak sayang kepada suheng-suheng-ku, malah mungkin juga aku akan dianggap gila! Apa yang harus kujawab kalau ayah atau orang lain bertanya kenapa aku justru tersenyum-senyum dalam keadaan berkabung seperti ini?" "Katakan saja bahwa engkau gembira bahwa tiga orang suheng-mu tewas sebagai orang-orang gagah yang menentang kejahatan. Katakan bahwa engkau sangat gembira karena sudah menemukan dirimu sendiri seperti apa adanya, tidak berpura-pura, berani melihat kenyataan hidup!" Hay Hay tersenyum dan kini Ci Goat juga tersenyum. Gadis ini merasa betapa dadanya lapang dan lega, tidak lagi tertindih duka yang ternyata hanya dibuat oleh angan-angan pikirannya sendiri! Dia merasa bebas lepas dan nyaman! Pada saat itu Han Siong mendekati mereka. "Wah, ada apa ini kalian amat gembira dan senyum-senyum. Goat-moi, hati-hati jangan sampai terbuai oleh rayuan maut Si Pendekar Mata Keranjang!" "Ha-ha-ha. Sin-tong! Mana mungkin dia bisa terbuai rayuan? Hatinya sudah melekat pada seseorang, cintanya hanya ditujukan kepada seseorang!" Tentu saja Ci Goat tersipu malu. Ia ingin membantah, akan tetapi karena di situ hadir Han Siong, dia pun tidak dapat mengeluarkan kata-kata selain, "Ihh, Taihiap..." "Hay Hay, siapakah seseorang yang kau maksudkan itu?" tanyanya ingin tahu karena dia menduga bahwa tentu Hay Hay ngawur saja, hanya untuk mengoda Ci Goat. "Hemmm, jangan engkau pura-pura tidak tahu! Siapa lagi kalau bukan Sin-tong Pek Han Siong?" Han Siong terbelalak, terkejut dan heran. Juga Ci Goat terkejut, akan tetapi dengan muka berubah merah sekali dia lalu lari dari situ menuju ke tempat di mana ayahnya dan orang-orang lain sedang menimbuni tiga makam dengan tanah. "Hay Hay, bagaimana engkau bisa tahu? Ataukah engkau ngawur saja?" tanya Han Siong sambil mendekati Hay Hay, matanya memandang penuh selidik. "Tahu apa?" Hay Hay pura-pura tidak tahu untuk mengoda. "Tahu bahwa dia mencintaku!" "Ha-ha, yang matanya tidak buta tentu tahu! Cara dia memandang kepadamu saja sudah jelas, belum lagi jika dia berbicara kepadamu, tentu lebih jelas lagi. Rahasia hati seorang wanita yang tengah jatuh cinta amat mudah diketahui dari pandang matanya. Ada kalanya matanya bersinar penuh kagum, penuh harap, penuh penantian. Ada kalanya pula sinar matanya itu redup seperti orang mengantuk, penuh tantangan, penuh penyerahan, tampak malu-malu, mengandung kegenitan... ahh, pendeknya jelas sekali. Kalau berbicara, tentu suaranya akan menggetarkan lagu cinta, disertai senyum dikulum penuh arti, dan andai kata dia hendak menyembunyikan perasaan cintanya pun pasti akan nampak jelas pada pandang matanya dan pada suaranya. Ah, dia jatuh cinta tidak ketulungan lagi kepadamu Sin-tong, maka seharusnya engkau bahagia sekali. Dia seorang gadis yang cantik manis, gagah perkasa, mudah menerima kebijaksanaan dan hemm... wanita semacam itu tentu penuh gairah dan panas!" Hay Hay tertawa, ada pun Han Siong mengerutkan alisnya dan wajahnya menjadi muram. Akan tetapi diam-diam dia heran mendengar ucapan Hay Hay itu yang jelas membuktikan bahwa Hay Hay memang seorang ahli wanita! Untuk menutupi kemuramannya, dia lantas tersenyum. "Hay Hay, engkau betul-betul seorang mata keranjang yang ahli wanita. Bagaimana pula engkau bisa tahu tentang penuh gairah dan panas itu?" Hay Hay tertawa. "Itu mudah saja, sudah ada tanda-tandanya. Lihat saja sinar matanya, seperti ada apinya. Lihat juga tarikan mulutnya. Bibir itu penuh gairah dan menantang. Dan bentuk tubuhnya! Hemm, dia seorang wanita pilihan, Han Siong. Sebaiknya engkau cepat memetik bunga yang sedang mekar cerah dan harum semerbak itu!" Han Siong menghela napas panjang. "Engkau benar, Hay Hay. Memang dia jatuh cinta kepadaku, dan inilah yang membuat aku pusing. Aku tidak ingin menyakiti hatinya, akan tetapi aku... aku tidak mungkin dapat membalas cintanya!" Kini Hay Hay tertegun, akan tetapi dia segera tersenyum. "Wahai sobat, agaknya engkau sudah jatuh cinta kepada wanita lain?" Kembali Han Siong terkejut dan mengamati wajah Hay Hay dengan tajam, seolah hendak menjenguk isi hatinya. Kenapa pemuda ini tahu segala? "Hemm, bagaimana lagi engkau bisa tahu akan hal itu?" "Ha-ha-ha-ha, engkau memang masih hijau dalam soal asmara, sobat! Kalau ada seorang pemuda menolak cinta seorang gadis sehebat nona Ouw Ci Goat, tentu pemuda itu tidak waras atau miring otaknya! Karena kulihat engkau ini bukan pemuda yang kurang waras atau miring otaknya, maka satu-satunya sebab penolakanmu sudah pasti bahwa engkau telah jatuh cinta kepada wanita lain!" Han Siong memandang kagum. Anak ini benar-benar hebat, pikirnya. Otaknya demikian cerdas dan walau pun sikapnya ugal-ugalan dan ceriwis, namun harus diakui bahwa apa yang diucapkannya memang benar. Dia menarik napas panjang dan kembali dia teringat kepada Bi Lian, gadis yang dicintanya. "Engkau memang benar, Hay Hay. Sesudah secara hebat dan tepat engkau mengetahui keadaan hati kami, kini aku ingin minta pertolonganmu. Kau ceritakanlah kepada Ci Goat bahwa aku tidak mungkin dapat menerima cintanya karena aku sudah mempunyai pilihan hati gadis lain." Hay Hay tersenyum. "Wah, tugas berat itu! Kenapa engkau tidak mau berterus terang saja kepadanya?" "Ihh, engkau ini bagaimana? Dia belum pernah mengaku cinta, lalu bagaimana aku akan menceritakan bahwa aku tidak dapat menerima cintanya? Pula, aku tidak ingin menyakiti hatinya, sementara engkau yang ahli asmara ini tentu akan dapat mencari akal agar dia bisa menerima kenyataan ini dengan tabah dan dapat mengerti penolakanku." Hay Hay menepuk mulut sendiri. "Dasar mulut usil! Sekarang tertimpa tugas yang berat." "Hemm, katakan saja bahwa engkau tidak mampu melakukan itu, tidak perlu sungkan dan mencari-cari alasan!" kata Han Siong cemberut. "He-he-he, siapa bilang tidak mampu? Pekerjaan begitu saja, menghadapi wanita, uhhh, sepele bagiku!" "Hah, jadi engkau mau, bukan?" kata Han Siong sambil tersenyum. Hay Hay terbelalak. "Setan! Engkau memancing kesanggupanku dengan mengatakan aku tidak mampu, ya? Engkau penuh akal bulus dan tipu muslihat, Han Siong!" kata Hay Hay tertawa. "Aku hanya mencontoh engkau!" "Baiklah, aku menyerah. Aku yang akan menyampaikan kepadanya biar pun hatiku akan hancur lebur jadi debu melihat seorang gadis menangis karena patah hati. Akan tetapi, untuk itu engkau harus bersabar dan selama beberapa hari kita tinggal di rumah keluarga Ouw. Berilah waktu sepekan untukku..." "Sepekan? Biar sebulan pun boleh. Engkau tinggal di rumah mereka dan aku melanjutkan perjalananku." "Enaknya! Kalau begitu, aku pun tidak akan sudi! Engkau harus menemani aku di rumah itu sampai aku selesai dengan tugasku. Bagaimana?" Han Siong kembali menghela napas panjang. "Baiklah, mari kita ke sana. Penguburan itu agaknya telah selesai dan sekarang tinggal sembahyang sebagai penghormatan terakhir." Mereka lalu bergandeng tangan sebagai dua orang sahabat yang akrab sekali menuju ke makam baru yang rupanya sudah selesai ditimbuni tanah itu. Memang Hay Hay dan Han Siong saling merasa suka dan akrab, merasa seolah-olah ada pertalian hubungan di antara mereka. Betapa tidak? Sejak terlahir di dunia ini, keduanya memang mempunyai hubungan yang dekat sekali, jalan hidup mereka saling kait mengait secara aneh. Memang bukan sanak bukan kadang, akan tetapi sejak lahir sampai menjadi besar, Hay Hay menempati hidup Han Siong sehingga seolah-olah dia menjadi Han Siong ke dua! Sejak bayi dia dipakai menjadi pengganti Han Siong yang disembunyikan orang tuanya, lalu dia mengalami banyak sekali hal hebat karena dia disangka Han Siong. Dan sesudah dewasa, mereka berdua sama lihainya, mempunyai tingkat kepandaian yang berimbang, bahkan keduanya menjadi murid orang-orang sakti dan selain menerima gemblengan ilmu silat, juga keduanya mahir ilmu sihir! Ketika semua orang baru selesai bersembahyang untuk memberi penghormatan terakhir di depan tiga buah makam itu, mendadak terdengar suara kelenengan kecil yang nyaring. Semua orang segera menengok ke arah suara itu dan melihat tiga orang pendeta Lama yang berjubah merah dengan langkah lebar menuju ke tempat itu. Melihat mereka itu, Han Siong dan Hay Hay saling pandang, lantas Hay Hay tersenyum. Keduanya sudah mengenal baik para pendeta Lama yang sejak mereka masih kecil terus berusaha untuk menemukan dan menculik Sin-tong, yaitu Pek Han Siong. Tak salah lagi, pikir mereka, kemunculan ketiga orang pendeta Lama itu tentu ada hubungannya dengan urusan lama itu, maka keduanya siap siaga dan waspada. Mereka segera memperhatikan tiga orang pendeta Lama itu. Seperti pada umumnya, tiga orang pendeta Lama itu pun bertubuh jangkung. Orang yang pertama tinggi besar bagaikan raksasa, dengan kaki tangan yang kokoh kuat. Sepasang matanya bundar dan amat tajam, mukanya membayangkan kekuatan dan keberingasan. Orang ini memikul sebatang tongkat panjang yang dipasangi kelenengan perak kecil yang mengeluarkan bunyi nyaring bila dia bergerak, dan di ujung lain dari tongkatnya tergantung sebuah buntalan yang cukup besar. Raksasa berkulit hitam ini agaknya menjadi pimpinan walau pun usianya sebaya dengan dua orang temannya, yaitu kurang lebih enam puluh tahun. Pendeta Lama yang ke dua berkulit putih dan tubuhnya tinggi kurus. Sepasang matanya nampak seperti selalu terpejam saking sipitnya. Dia tidak kelihatan membawa senjata apa pun, akan tetapi kalau orang melihat ke arah pinggangnya, maka orang itu akan merasa ngeri melihat betapa sabuk di pinggang orang tinggi kurus ini adalah seekor ular hidup! Ada pun pendeta yang ke tiga juga bertubuh jangkung, tetapi agak bongkok sehingga dia seperti seekor onta. Kulitnya kuning dan wajahnya kekanak-kanakan, kecil mengkerut. Di punggungnya tergantung sepasang cakar harimau yang sudah diberi gagang, sepanjang pedang. Ouw Pangcu atau sekarang lebih tepat disebut namanya saja, yaitu Ouw Lok Khi karena dia tidak menjadi ketua lagi mengingat betapa semua anak buahnya sudah tewas, tinggal dia dan puterinya seorang, segera maju menyambut ketiga orang pendeta itu. Dia sendiri merasa amat heran ketika melihat munculnya tiga orang pendeta, namun karena dia yang menyelenggarakan pemakaman untuk ketiga orang muridnya, maka dia merasa sebagai tuan rumah dan menyambut tiga orang hwesio itu dengan sikap ramah ramah dan sopan. "Selamat datang, sam-wi lo-suhu (tiga bapak guru)! Kami sedang melakukan pemakaman dan sembahyangan bagi tiga orang murid kami yang tewas dibunuh gerombolan penjahat. Tidak tahu apakah keperluan sam-wi (kalian bertiga) datang berkunjung ke tempat ini?" "Omitohud..., semoga yang benar selalu mendapatkan perlindungan dan berkah! Pinceng (saya) bertiga sengaja datang untuk memberi hadiah penghibur bagi kalian yang berduka, juga untuk menyembahyangkan supaya arwah ketiga orang ini mendapatkan tempat yang damai abadi. Nah, sekarang terimalah hadiah penghibur yang kami bawa ini!" Berbarengan dengan habisnya ucapan itu, pendeta Lama yang bertubuh raksasa bermata lebar itu segera menggerakkan tongkatnya dan buntalan itu pun melayang turun ke depan kaki Ouw Lok Khi. Begitu jatuh ke tanah buntalan itu lalu terlepas dan terbuka, dan semua orang memandang ngeri melihat bahwa isi buntalan adalah tiga buah kepala orang yang masih segar, leher yang buntung itu masih berdarah, agaknya baru saja tiga buah kepala itu dipenggal dari tubuhnya! "Ohhh...!" Ouw Lok Khi terhuyung mundur dengan mata terbelalak dan muka pucat. Hay Hay dan Han Siong yang sudah siap siaga telah berloncatan ke depan. Sekali lihat saja mereka berdua mengenali tiga buah kepala itu. "Ini adalah kepala para tosu Pek-lian-kauw ahli sihir itu!" seru Hay Hay. Pendeta Lama yang tinggi besar itu tertawa, ada pun dua orang temannya berdiri seperti patung dan hanya menonton. "Ha-ha-ha, benar sekali, orang muda. Bukankah mereka ini yang menyusahkan kalian? Ehhh, orang muda yang baik, apakah engkau yang bernama Pek Han Siong?" Sebelum Hay Hay menjawab, Han Siong yang sudah mempunyai dugaan buruk terhadap semua pendeta Lama, segera menjawab, "Akulah yang bernama Pek Han Siong! Tidak tahu sam-wi lo-suhu mempunyai keperluan apakah dengan aku?" Tiga orang pendeta Lama itu menatap kepada Han Siong dengan pandang mata penuh selidik. Kemudian, melihat sinar mata mencorong pemuda itu yang agaknya seperti penuh tantangan, pendeta Lama yang tinggi besar itu lalu berkata ramah. "Bagus, setelah sekian lamanya kami mencari, kebetulan bertemu di sini. Saudara sekalian, dan juga engkau Pek Han Siong, ketahuilah bahwa kedatangan kami ini mempunyai iktikad baik. Buktinya, kami sudah membunuh tiga orang tosu yang telah mengacau di sini dan menimbulkan banyak korban. Terus terang saja, kami senang bertemu dengan Pek Han Siong dan kami ingin membicarakan suatu hal yang sangat penting. Akan tetapi sebelum itu, biarlah kami akan membuat sembahyangan dulu agar roh ketiga orang yang mati ini akan mendapat tempat yang tenang abadi." Sesudah berkata demikian, pendeta Lama yang agak bongkok kemudian mengeluarkan alat sembahyang dari saku jubahnya yang lebar, yakni dupa, tempat dupa gantung dan sebagainya. Lalu, disaksikan oleh semua orang, tiga orang pendeta Lama itu melakukan sembahyang dengan upacara yang aneh bagi mereka yang menyaksikan. Upacara sembahyang untuk kematian yang dilakukan oleh para pendeta Lama ini sangat berbeda dengan apa yang biasa dilakukan oleh para hwesio. Mereka berjalan mengelilingi tiga buah makam itu, mengucapkan doa dan mantera dengan nada dan lagu yang asing. Namun bagaimana pun juga Ouw Lok Khi merasa bersyukur dan berterima kasih kepada tiga orang pendeta itu. Setelah tiga orang pendeta Lama itu menyelesaikan upacara sembahyang, mereka lantas menghampiri Pek Han Siong dan Hay Hay yang sejak tadi menonton upacara itu dengan penuh perhatian. "Hati-hatilah, Han Siong. Aku merasa curiga pada mereka. Kurasa mereka datang karena engkau dan ada hubungannya dengan dirimu sebagai Sin-tong," Hay Hay berbisik kepada Han Siong. Han Siong setuju dengan pendapat Hay Hay itu dan sejak tadi dia memang sudah merasa curiga dan bersiap siaga. Kini pendeta yang bertubuh raksasa itu berkata sambil memberi hormat kepadanya. "Saudara muda Pek Han Siong, kami bertiga mohon supaya engkau suka menerima kami yang ingin bicara dengan engkau tanpa kehadiran orang lain, untuk urusan yang teramat penting.....

jilid 14


Hay Hay dan Han Siong saling pandang, kemudian Han Siong menjawab, "Sama sekali aku tidak keberatan untuk bicara dengan sam-wi lo-suhu, akan tetapi lebih dulu aku ingin tahu siapa sesungguhnya sam-wi ini." Han Siong yang cerdik agaknya cukup berhati-hati sehingga dia ingin agar Hay Hay lebih dulu juga mendengar siapa adanya tiga orang pendeta Lama itu sebelum dia mengadakan pembicaraan sendirian saja bersama mereka. Mendengar ini, tiga orang pendeta itu juga saling pandang, kemudian orang pertama yang bertubuh tinggi besar menjawab, "Ketahuilah, saudara muda Pek, kami adalah tiga orang pendeta dari Tibet. Nama pinceng (aku) adalah Gunga Lama." “Pinceng bernama Janghau Lama," kata pendeta tinggi kurus yang matanya sangat sipit dan bersabuk ular hidup. "Dan pinceng bernama Pat Hoa Lama," kata pendeta bongkok yang pada punggungnya terdapat senjata sepasang cakar harimau. Dari nama mereka saja dapat diketahui bahwa yang dua orang pertama adalah orang-orang Tibet asli, sedangkan orang ke tiga adalah peranakan Tibet dan Han. Ouw Lok Khi yang merupakan seorang berpengalaman, dengan diam-diam juga merasa curiga melihat tiga orang pendeta Tibet begitu datang lantas ingin berbicara dengan Pek Han Siong. Maka dia pun mendahului mereka, sesudah mereka memperkenalkan diri, dia segera maju dan memberi hormat. "Sam-wi lo-suhu, kami sangat berterima kasih kepada sam-wi dan untuk memperlihatkan rasa terima kasih kami, maka kami mengundang sam-wi untuk menjadi tamu kami dan di sanalah sam-wi dapat berbicara dengan Pek-taihiap secara leluasa tanpa terganggu. Mari, silakan, sam-wi lo-suhu, Pek-taihiap dan Tang-taihiap." Diam-diam dua orang pendekar muda itu bersyukur akan sikap hati-hati dari bekas ketua Pek-tiauw-pang itu. Tiga orang pendeta itu tertegun, akan tetapi sesudah saling pandang, mereka mengangguk dan tanpa banyak cakap mereka semua lalu bubaran meninggalkan kuburan. Para pelayat lain kembali ke rumah masing-masing, ada pun tiga orang pendeta itu turut bersama Ouw Lok Khi dan Ouw Ci Goat. Han Siong dan Hay Hay juga berjalan mengikuti mereka, dan mereka berdua berjalan paling belakang. "Hay Hay, kurasa mereka tidak berniat buruk walau pun aku tetap akan berhati-hati sekali dalam menghadapi mereka. Engkau jangan lupa tugasmu!" "Tugasku...? Ahh, nona Ouw maksudmu? Jangan khawatir. Kita membagi tugas, engkau bicara dengan tiga orang pendeta Lama itu dan aku bicara dengan Ouw Ci Goat. He-he, tugasku lebih menyenangkan, dapat berdekatan dan bercakap-cakap dengan gadis cantik manis, sedangkan engkau... heh-heh!" "Dasar mata keranjang kau!" Han Siong mengomel. Akan tetapi Hay Hay hanya tertawa saja, walau pun di dalam hatinya dia harus mengakui bahwa tugasnya jauh lebih berat. Dia harus menyampaikan kenyataan yang sangat tidak menyenangkan bagi Ci Goat, dan dia harus mencari akal yang jitu supaya gadis itu dapat menerima berita yang disampaikannya dengan tabah. *************** "Ci Goat, aku ingin bicara denganmu, bolehkah?" Gadis itu terkejut. Dia sedang termenung seorang diri di kebun belakang rumah barunya, rumah yang merupakan peninggalan dari suheng-nya, yaitu mendiang Thio Ki. Dia sedang termenung dan terkenang akan percakapannya dengan Hay Hay yang pandai merayu, kemudian terkenang akan ucapan pemuda itu yang di depan Han Siong yang secara terus terang mengatakan keyakinannya bahwa dia mencinta Han Siong! Betapa malu rasa hatinya ketika itu, akan tetapi diam-diam dia pun bersyukur bahwa Hay Hay sudah mengetahui akan isi hatinya dan mewakilinya menyampaikan hal itu kepada Han Siong! Kini dia tinggal menanti bagaimana reaksi dari Han Siong setelah mendengar bahwa dia mencintanya. Diam-diam dia merasa sangat berterima kasih kepada Hay Hay yang perayu akan tetapi tidak kurang ajar itu. Ketika ada suara memanggilnya, dia tersentak kaget dan menoleh. Kiranya Hay Hay yang memanggilnya. Kedua pipinya menjadi kemerahan, apa lagi mendengar betapa pemuda ini menyebut namanya begitu saja, padahal biasanya menyebutnya nona! “Ahhh, ternyata Tang-taihiap...” katanya sambil bangkit berdiri dari atas bangku yang tadi didudukinya. Hay Hay tersenyum dan agaknya dia pandai membaca hati orang dengan hanya melihat sikapnya. "Jangan kaget kalau aku menyebut namamu begitu saja, Ci Goat. Sesudah kita menjadi kenalan dan sahabat baik, rasanya janggal kalau aku harus menyebutmu nona, apa lagi engkau menyebut taihiap kepadaku, sebut saja toako (kakak), bukankah engkau juga menyebut begitu kepada Han Siong?" Kedua pipi itu semakin merah sehingga nampak amat menggairahkan seperti buah tomat! Manisnya melebihi madu! "Baiklah... Toako. Ehh, tentu saja boleh bicara dengan aku. Silakan duduk...” Bangku itu terlalu pendek. Kalau dia harus duduk di sana bersama Ci Goat, tentu mereka harus duduk berdempetan. Tentu akan senang sekali duduk begitu dekat, akan tetapi Hay Hay maklum bahwa tentu gadis itu yang akan merasa risih dan rikuh. Maka dia pun duduk saja di atas batu depan bangku itu, dalam jarak dua tiga meter. "Engkau duduklah, Ci Goat. Aku ingin mengobrol denganmu karena sahabatku Han Siong lebih senang mengobrol dengan tiga orang pendeta Lama itu dari pada dengan aku atau engkau!" Ci Goat mengerutkan alisnya dan memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata jelas membayangkan kekhawatiran. "Tang-taihiap... eh, Toako, sebetulnya siapakah tiga orang pendeta itu dan apakah maksud mereka hendak menemui dan bicara dengan Pek-toako? Kemunculan mereka yang tiba-tiba sungguh mencurigakan!" Sikap gadis ini yang mengkhawatirkan keadaan Han Siong menambah jelas bagi Hay Hay bahwa gadis ini memang sudah jatuh cinta kepada Anak Ajaib itu. Dia tidak pernah dapat melupakan bahwa Pek Han Siong adalah Sin-tong (Anak ajaib) yang menurut pendapat para pendeta Lama di Tibet, Anak Ajaib adalah seorang anak yang sudah ditakdirkan dan dipilih menjadi seorang Dalai Lama! "Jangan khawatir, Ci Goat. Apa pun yang menjadi maksud mereka, ketiga orang pendeta Lama itu tak akan mampu mencelakai Han Siong. Di samping dia sendiri mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi, masih ada aku di sini yang selalu siap untuk membantunya andai kata dia terancam bahaya." Jelas nampak betapa wajah yang tadinya diliputi kekhawatiran itu sekarang berseri tanda bahwa hatinya lega. "Ohh, terima kasih, Taihiap... ehh Toako…" "Sudahlah, Ci Goat, jangan kita membicarakan orang lain. Aku hendak mengajak engkau mengobrol tentang diri kita sendiri, tidak membicarakan orang lain." Kini Ci Goat dapat tersenyum. Dia sudah mulai mengenal watak pendekar yang ganteng ini. Watak yang perayu, mata keranjang akan tetapi tetap sopan dan tidak kurang ajar biar pun agak ‘berani’! Pemuda semacam ini tidak cocok bila ditanggapi dengan serius, maka sebaiknya dia bersikap ramah dan main-main pula. "Tang-toako, engkau ingin bicara tentang apakah?” "Tentang cinta!" Sepasang mata jeli itu terbelalak dan Hay Hay pun terpesona. Gadis ini memang sudah cantik, dengan wajahnya yang putih mulus dan berbentuk bulat bagaikan bulan purnama, juga senyumnya yang memikat. Akan tetapi begitu sepasang mata itu terbelalak, muncul sepasang bintang yang amat indahnya! "Apa... apa maksudmu... ?” Gadis itu bertanya dengan suara lirih dan seketika mukanya berubah merah. Hay Hay tertawa. "He-he-he, adik Ci Goat yang manis, kenapa engkau begitu tersipu dan terkejut mendengar kata cinta? Apa sih salahnya orang muda berbicara mengenai cinta? Engkau sudah cukup dewasa, dan aku pun bukan kanak-kanak. Tidak ada salahnya kalau orang-orang muda seperti kita bicara tentang cinta." “Tapi... tapi, apa maksudmu?” Senyum Hay Hay semakin melebar. Dia tahu kenapa gadis itu tersipu. Tentu disangkanya bahwa dia akan menyatakan cinta kepada gadis itu! Ah, betapa mudahnya mengaku cinta kepada gadis-gadis muda cantik, apa lagi yang seperti Ci Goat ini. Akan tetapi pengakuan cintanya akan merupakan kebohongan besar kalau hal itu dia lakukan. Tidak, dia belum pernah jatuh cinta walau pun entah sudah berapa puluh kali dia tertarik dan suka sekali kepada gadis cantik jelita. Bahkan setiap gadis selalu menarik hatinya, menimbulkan rasa suka. Akan tetapi jatuh cinta? Rasanya belum pernah! Perasaannya terhadap wanita-wanita seperti Ji Sun Bi atau Siok Bi merupakan dorongan nafsu birahi saja yang dibangkitkan oleh sikap kedua orang wanita itu. Dan memang ada gadis-gadis yang sangat dikaguminya dan disukanya, seperti misalnya Siangkoan Bi Lian dan Cia Kui Hong, akan tetapi dia pun tidak tahu apakah dia mencinta seorang di antara mereka atau tidak. Dia ingin bebas, tidak terikat cinta dengan seorang wanita tertentu. Enak bebas, sehingga dia akan bebas pula mengagumi kecantikan setiap orang wanita yang dijumpainya tanpa merasa bahwa dia mengkhianati cintanya terhadap wanita tertentu itu! "Jangan khawatir, adik manis. Aku tidak bermaksud yang bukan-bukan, melainkan hanya ingin bicara tentang cinta itu sendiri denganmu, mengingat bahwa engkau adalah seorang wanita sehingga pandanganmu mengenai cinta tentu berbeda kalau dibandingkan dengan pendapat seorang pria seperti aku." "Aku masih belum mengerti, Toako. Akan tetapi bicaralah, dan aku akan mencoba untuk mengerti apa yang kau maksudkan," kata gadis itu tabah. Dia merasa yakin bahwa pendekar ini tidak akan bicara yang bukan-bukan. Pendekar ini sendiri yang pernah menyatakan bahwa dia jatuh cinta kepada Pek Han Siong, maka tak mungkin kalau kini dia akan begitu tega untuk menyatakan cinta kepadanya! "Begini, Ci Goat. Terus terang saja, sampai berusia dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun sekarang ini, aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Aku tidak tahu apa cinta itu dan bagaimana rasanya orang jatuh cinta. Tentu saja aku hanya dapat mengira-ngira saja sehingga belum tentu benar. Sekarang aku ingin mendengar dari mulut seorang wanita, bagaimana sesungguhnya rasanya orang jatuh cinta?" Ci Goat tersenyum lega. Pemuda ini memang aneh luar biasa! Mengajak dia berbincang-bincang tentang cinta, bukan untuk mengaku cinta. Dia sendiri pun baru sekali jatuh cinta, yaitu sekarang ini jatuh cinta kepada Pek Han Siong. Maka dia lalu mengenangkan segala perasaan yang dirasakannya selama jatuh cinta ini. Dia ingin jujur kepada Hay Hay yang ketika mengajukan pertanyaan itu kelihatan demikian sungguh-sungguh, tidak berkelakar lagi. "Rasanya jatuh cinta? Hemmm, aku sendiri pun tidak yakin apakah pendapatku ini benar, Koko. Akan tetapi... agaknya orang yang sedang jatuh cinta akan selalu terkenang pada orang yang dicintanya. Kalau siang jadi kenangan, kalau malam jadi impian. Ingin selalu berdekatan, ingin selalu bersamanya, ingin melihat dia bahagia, ingin memiliki dan dimiliki selamanya, ingin... ahh, hanya itulah yang kuketahui." Hay Hay memandang dan ada rasa iba di dalam hatinya. Jelas gadis ini sudah jatuh cinta kepada Han Siong, maka dapat mengatakan itu semua dan ketika mengatakan perasaan cinta itu, matanya melamun kosong dan pada saat bicara jelas bahwa perasaannya juga turut berbicara! Kasihan, gadis ini menjatuhkan benih cinta di atas tanah yang sudah ada tanamannya sehingga benih itu akan sia-sia dan tidak dapat tumbuh! "Ahh, bagus sekali! Hampir tidak ada bedanya dengan yang kubayangkan, Goat-moi (adik Goat)! Aku setuju sekali dan agaknya memang begitulah perasaan hati orang yang tengah jatuh cinta. Sekarang aku ingin sekali tahu bagaimana pendapat seorang wanita terhadap keadaan seorang pria yang gagal dalam cintanya." "Gagal dalam cintanya? Apa yang kau maksudkan, Toako?" "Begini, adikku. Ada seorang pemuda yang jatuh cinta kepada seorang gadis, jatuh cinta setengah mati! Namun kemudian dia mendapat kenyataan bahwa gadis yang dicintanya mati-matian itu ternyata sudah mencintai seorang pemuda lain! Cintanya hanya bertepuk sebelah tangan! Lalu menurut pendapatmu, apa yang harus dilakukan oleh pemuda yang gagal dalam cintanya itu? Apakah dia harus bunuh diri di hadapan gadis itu? Ataukah dia harus membunuh kekasih gadis yang dicintanya itu?" Gadis itu mengerutkan sepasang alisnya dan sinar matanya berkilat seperti orang marah, tanda bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat itu. "Ihhh…! Mengapa dia harus membunuh diri atau membunuh kekasih gadis itu? Itu adalah perbuatan yang bodoh dan jahat!” jawabnya hampir berteriak. Hay Hay menyembunyikan senyum dari bibir dan matanya. Dia memandang dengan sikap penasaran. "Lho! Kenapa bodoh dan jahat, Goat-moi? Bukankah pemuda itu menjadi sakit hati karena cintanya ditolak dan gadis itu memilih pemuda lain?" "Hati boleh sakit, akah tetapi pikiran harus tetap waras! Mana ada cinta yang dipaksakan oleh sepihak jika pihak lawan tidak menyambutnya? Cinta harus timbul dalam hati kedua pihak, baru jadi! Kalau gadis itu menolak cintanya karena sudah mencintai pemuda lain, maka gadis itu tidak bersalah dan kekasihnya juga tiak bersalah. Kenapa harus dibunuh? Dan pemuda yang putus cinta lantas membunuh diri adalah seorang yang bodoh dan tolol! Di dunia ini masih banyak sekali terdapat gadis-gadis yang mungkin lebih cantik dari pada yang dicintanya, yang siap untuk menyambut cintanya itu. Eh, Toako... apakah... apakah engkau pemuda itu? Maafkan aku...” Hay Hay tertawa dan dari suara ketawanya saja tahulah Ci Goat bahwa pemuda itu bukan Hay Hay, maka hatinya terasa lega sekali. "Syukurlah kalau bukan engkau, Tang-toako!" sambungnya. "Kita hanya mengobrol saja tentang cinta dan liku-likunya, tidak menyinggung seseorang. Pendapatmu tadi memang tepat dan agaknya cocok sekali dengan pendapatku sendiri." "Tang-toako, betapa pun juga... aku merasa kasihan sekali terhadap pemuda itu. Aku tahu siapa yang kau maksudkan itu dan aku merasa amat kasihan. Sungguh luar biasa sekali, bagaimana ada seorang gadis yang dapat menolak seorang pria seperti dia untuk menjadi suaminya...! Ahhh, betapa dia mencinta gadis itu, namun gadis bodoh itu justru menolak cintanya... apakah dia telah mencintai laki-laki lain?" Melihat gadis itu seperti bicara kepada dirinya sendiri, Hay Hay mengerutkan alisnya dan memandang dengan penuh perhatian. "Heii, Goat-moi, apa yang kau bicarakan itu? Siapa yang kau maksudkan dengan pemuda itu?" "Aih, engkau masih pura-pura tidak tahu, Toako? Sebagai seorang sahabat baiknya, tentu engkau sudah tahu bahwa yang kumaksudkan ialah toako Pek Han Siong. Tunangannya itu menolak untuk menjadi istrinya." Tentu saja Hay Hay tidak tahu akan hal ini, akan tetapi dengan cerdik dia mengangguk. "Ahh, benar, tentu saja aku tahu mengenai hal itu, hanya tidak kusangka bahwa ternyata dia sudah bercerita tentang hal itu kepadamu, karena itu aku tadi tidak menyangka bahwa engkau maksudkan dia. Sekarang sebaiknya kita tidak membicarakan orang lain dan kita melanjutkan obrolan kita tentang cinta." Gadis itu tersenyum. "Bicaralah, Toako. Agaknya engkau memang seorang yang sangat memperhatikan tentang cinta." "Tentu saja, adik manis. Apa artinya hidup tanpa cinta? Bila kita pikir secara mendalam, tanpa adanya cinta, engkau dan aku tidak akan terlahir di dunia ini!" Hay Hay tertawa dan biar pun mukanya berubah merah mendengar ucapan yang penuh arti itu, mau tidak mau Ci Goat juga tertawa. "Persoalan cinta apa lagi yang hendak kau kemukakan, Toako?" Dia mulai tertarik dengan percakapan tentang cinta ini, hal yang tentu saja sangat menjadi perhatiannya karena dia sendiri pun sedang dilanda cinta. "Masih persoalan yang tadi, akan tetapi kini peranannya dibalik. Sekarang seorang wanita yang jatuh cinta kepada seorang pria, tetapi ternyata bahwa pria itu tidak dapat menerima cintanya, atau menolak cintanya karena pria itu telah memiliki pilihan hati, telah mencinta seorang gadis lain. Nah, kalau demikian keadaannya, lalu apa yang harus dilakukan gadis itu?" Sejenak gadis itu memandang wajah Hay Hay dan pemuda ini pun balas memandang. Dua pasang mata saling menatap dan Hay Hay melihat betapa sinar mata itu meredup, wajah itu memucat dan betapa bola mata yang bening itu menjadi basah. Biar pun mulut gadis itu masih tersenyum, namun senyum itu membuat dia merasa jantungnya bagaikan disayat, membuat dia ingin merangkul dan menghiburnya karena dia tahu bahwa gadis itu sudah mengerti, bahwa gadis itu merasa betapa hatinya ditusuk-tusuk. Suaranya gemetar dan mata itu menunduk, bibir itu menggigil ketika akhirnya dia berkata, "Tang-toako, tolonglah... tolong engkau saja yang mengatakan, apa yang harus dilakukan gadis itu dalam keadaan seperti itu? Bunuh diri? Atau mencukur gundul rambutnya lantas menjadi nikouw (pendeta wanita)? Katakanlah, Toako, dan aku akan mempertimbangkan kata-katamu...” "Bunuh diri? Menjadi nikouw? Hanya gadis tolol dan bodoh yang akan melakukan hal itu, Goat-moi! Seperti kau katakan tadi. Cinta tidak mungkin hanya bertepuk sebelah tangan. Cinta tidak mungkin dapat dipaksakan! Kalau memang pemuda itu tidak dapat membalas cintanya karena telah mencinta gadis lain, berarti dia tidak berjodoh dengan pemuda itu! Dan dia tidak perlu terlalu berduka atau putus asa. Dunia bukan sebesar buah appel! Di dunia ini masih ada jutaan pemuda yang mungkin lebih segala-galanya dari pada pemuda yang tidak dapat membalas cintanya itu! Maka gadis itu harus dapat melupakan pemuda itu, hidup bebas dan mentertawakan saja kegagalan cintanya, menganggapnya sebagai suatu pengalaman hidup! Habis perkara!" Akan tetapi Hay Hay melihat betapa gadis itu menahan-nahan air matanya, betapa bibir itu gemetar dan suara itu sukar sekali keluarnya seakan lehernya tercekik ketika Ci Goat bertanya, "Toako... apakah dia masih mencinta gadis yang telah menolaknya itu?” Sepasang mata itu kini nampak seperti mata kelinci yang ketakutan, seperti mata yang penuh harap akan pertolongan, dan air yang tadi menggenang di pelupuk mata, kini mulai menetes turun, seperti dua butir mutiara perlahan menuruni kedua pipi yang agak pucat itu. Hay Hay merasa terharu sekali, merasa lehernya seperti dicekik sehingga dia tak mampu mengeluarkan suara. Akan tetapi, biar pun dia tidak tahu benar akan hubungan Han Siong dengan gadis kekasihnya ini, dia langsung mengambil kesempatan untuk berterus terang bahwa Han Siong tidak dapat menerima cinta Ci Goat. Maka dia pun lantas mengangguk, anggukan tanpa kata yang dengan amat tajamnya membabat putus tali harapan Ci Goat, dan dia pun menutup mukanya dengan kedua tangannya. Hay Hay memandang dengan hati bagaikan diremas. Melihat betapa gadis itu mengguguk dan air mata mengalir keluar melalui celah jari-jari kedua tangan yang menutupi muka, di luar kesadarannya dia pun bangkit dan menghampiri Ci Goat, lalu duduk di sampingnya di atas bangku, merangkul pundaknya dan berkata lembut, "Sudahlah, Ci Goat, kuatkan hatimu... tenangkan pikiranmu...” Sentuhan lembut dan kata-kata halus itu seperti membuka bendungan di hati Ci Goat. Dia menjerit dan merangkul, lalu menangis tanpa terbendung lagi, sesenggukan di atas dada Hay Hay! Pemuda ini memeluk, membenamkan wajahnya di kepala yang penuh rambut halus itu, tangannya mengelus pundak dan kepala, penuh rasa sayang dan iba seperti menghibur seorang adiknya sendiri. Karena hatinya diliputi keharuan yang mendalam, Hay Hay kehilangan kewaspadaannya dan dia tidak tahu bahwa pada waktu itu ada tiga pasang mata yang mengamatinya dari jauh. Tiga pasang mata yang mencorong tajam dan penuh kekuatan sihir! Mata tiga orang pendeta Lama yang agaknya sudah selesai melakukan pembicaraan dengan Han Siong dan kini mereka meninggalkan rumah yang telah menjadi tempat tinggal Ouw Lok Khi. "Hemmm, pasangan yang cocok. Wanitanya cantik, prianya tampan dan gagah!" kata Pat Hoa Lama. "Omitohud!" kata Janghau Lama. "Apakah engkau tergerak dan merasa iri melihat adegan itu, Sute?" "Aih, ji-suheng (kakak seperguruan ke dua)! Bagaimana engkau dapat berkata seperti itu? Pinceng hanya mengatakan bahwa mereka itu pasangan yang cocok dan...” "Ssttt, kalian jangan ribut dan jangan bertengkar.” Gunga Lama mencela dua orang adik seperguruannya. "Kita tadi melihat betapa lihainya pemuda itu. Hemm... sungguh sebuah kesempatan yang baik sekali. Dua orang pemuda itu harus dipisahkan dahulu, baru kita dapat membawa Sin-tong ke Tibet tanpa halangan!" "Bagaimana caranya, toa-suheng (kakak seperguruan terbesar)?" tanya kedua orang adik seperguruan itu. "Ssttt, serahkan pada pinceng. Mari kita cepat pergi dari sini!" Sementara itu, Ci Goat baru merasa lega setelah menumpahkan segala kedukaan hatinya melalui tangis yang tidak terbendung lagi sampai baju pada bagian dada Hay Hay basah kuyup, bahkan air mata itu membasahi pula kulit dadanya. Sekarang tangisnya itu hanya tinggal isak saja. Kesempatan ini digunakan oleh Hay Hay untuk mengelus rambut kepala gadis itu. "Nah, apakah sekarang air matamu telah habis, Goat-moi? Bagus, semua kesedihan kosong ini harus dilarutkan dengan banjir air mata, biar habis tidak berbekas lagi. Lebih baik engkau menangis sepuasmu seperti ini dari pada engkau membunuh diri seperti gadis tolol, atau menjadi nikouw. Wah, kepalamu akan menjadi gundul, rambutmu yang indah akan lenyap dan tentu engkau akan kelihatan lucu sekali, lucu dan jelek!" Kata-kata itu seperti mengusir sisa-sisa isak di dada Ci Goat. Dia segera melepaskan diri dan menarik tubuhnya ke belakang, memandang kepada pemuda itu dengan mata merah dan agak membengkak karena tangis. Akan tetapi mulutnya membentuk senyum pahit. "Terima, kasih, Toako, terima kasih. Engkau benar-benar merupakan sahabat dan seperti seorang kakak yang baik hati. Katakanlah, apakah dia... Pek-toako, tahu bahwa engkau datang menceritakan semua ini kepadaku?" Hay Hay mengangguk. "Dialah yang minta tolong kepadaku supaya aku menyampaikan kepadamu bahwa tidak mungkin baginya untuk menerima dan membalas cintamu." "Ohhh... , tapi... kenapa dia tidak menyampaikannya sendiri kepadaku... ?" "Dia tidak berani, dia tidak tega melihat engkau kecewa." Gadis itu mengangguk perlahan, kemudian menarik napas panjang. "Pek-toako memang seorang yang berwatak budiman, dan... engkau juga, Toako. Semoga kalian berdua akan selalu mendapat berkah dari Tuhan dan kelak akan hidup berbahagia dengan isteri pilihan hati masing-masing." Hay Hay merasa gembira bukan main. Diraihnya pundak gadis itu, ditariknya dan dia pun mengecup dahi yang halus itu dengan bibirnya, satu kali saja akan tetapi dengan sepenuh hatinya, lalu dilepaskannya kembali rangkulannya dan dia pun bangkit berdiri, sepasang matanya agak basah. "Engkau juga, Goat-moi. Engkau adalah gadis yang hebat! Dan aku merasa yakin bahwa seorang gadis seperti engkau ini kelak pasti akan memperoleh seorang suami yang amat baik!" Tadinya Ci Goat terkejut sekali ketika merasa betapa dirinya diraih kemudian ditarik oleh pemuda itu. Akan tetapi, ketika dia merasa betapa pemuda itu mencium dahinya dengan lembut, seperti ciuman dari seorang kakak atau seorang sahabat baik, ciuman yang sama sekali tidak mengandung nafsu birahi, hatinya menjadi terharu dan dia pun tadi memeluk pinggang pemuda itu. Sekarang mereka bangkit, keduanya melangkah mundur dan saling pandang. "Haiiii, adik manis, mana senyummu yang tadi? Hayo lekas perlihatkan! Tidak baik kalau hari hujan melulu, telah tiba saatnya hujan berhenti dan matahari muncul kembali berseri! Ingat, banyak duka menjadi lekas tua. Sayang sekali kalau kulit mukamu yang putih mulus dan halus itu berubah berkerut keriput, bukan?" Mendengar ucapan ini, Ci Goat tersenyum. Bibirnya saja tersenyum, akan tetapi matanya masih mata yang penuh tangis walau pun air matanya sudah habis tertumpah. "Aku akan selalu tersenyum kalau ingat kepadamu, Toako. Setiap kali berduka, aku akan mengenangmu agar aku dapat tersenyum," katanya dan dia pun membalikkan tubuhnya, lalu pergi meninggalkan Hay Hay yang berdiri mengikuti lenggang yang lemah gemulai itu dengan bengong. Dia langsung teringat kepada Han Siong. Apa yang terjadi dengan kawannya itu sesudah mengadakan percakapan dengan tiga orang pendeta Lama? Apakah mereka masih belum selesai dengan percakapan mereka? Memang dia telah menaruh kecurigaan. Maka, setelah Ci Goat meninggalkannya, dia pun cepat-cepat keluar dari kebun itu menuju ke rumah. Tentu Han Siong mengajak tiga orang pendeta Lama itu untuk bercakap-cakap di ruangan belakang yang lebar. Dia melihat Ouw Lok Khi di ambang pintu samping dan memandang kepadanya sambil tersenyum ramah. "Tang-taihiap, kuharap saja engkau akan dapat menghibur hati Ci Goat. Kehancuran Pek-tiauw-pang membuat hatinya terbenam dalam kedukaan," katanya. Hay Hay memandang kepadanya dengan hati bertanya-tanya. Mengapa orang ini berkata demikian? "Paman, agaknya paman belum mengenal betul watak puterimu sendiri. Dia adalah gadis yang berhati tabah, karena itu aku yakin dia mampu menghadapi serta mengatasi segala kedukaannya. Oh ya, paman Ouw, bagaimana dengan tiga orang pendeta Lama tadi? Di manakah mereka sekarang? Apakah masih bercakap-cakap dengan Han Siong?" "Mereka sudah pergi. Percakapan dengan Pek-taihiap berlangsung di ruangan belakang dan tidak terlalu lama. Mereka itu ramah dan baik sekali." "Hemm, di manakah Han Siong sekarang, Paman?" "Di dalam kamarnya." Hay Hay lalu memasuki rumah dan langsung pergi ke kamar Han Siong yang berada di sebelah kamarnya. Rumah peninggalan Thio Ki itu mempunyai lima buah kamar sehingga Han Siong dan Hay Hay masing-masing mendapatkan sebuah kamar. Kamar besar paling depan dipakai Ouw Lok Khi, sedangkan kamar Ci Goat berada di ruangan belakang yang jendelanya menembus kebun. "Tok-tok-tok!" Hay Hay mengetuk daun pintu kamar yang tertutup itu. "Siapa?" terdengar suara Han Siong. "Aku, bolehkah aku masuk?" Hening sejenak, lalu terdengar jawaban yang malas-malasan. "Masuklah, Hay Hay!" Hay Hay mendorong daun pintu yang tidak terkunci dari dalam. Dia memperhatikan kamar itu. Tidak ada sesuatu yang luar biasa, akan tetapi Han Siong nampak rebah terlentang di atas pembaringannya. Begitu dia masuk, Han Siong langsung bangkit duduk, nampaknya malas-malasan. "Heii, Han Siong apa yang telah terjadi?" "Tidak terjadi apa-apa...,” jawabnya, nampak tak bersemangat. "Ehhh? Kenapa engkau nampak malas dan tidak bersemangat? Han Siong, ceritakan apa yang telah terjadi antara engkau dan tiga orang pendeta Lama itu!" Hay Hay mendekatinya, lalu membuka daun jendela agar kamar itu nampak lebih terang. Kemudian, dengan sinar matanya yang mencorong dia mengamati sahabatnya itu penuh selidik, untuk meneliti apakah sahabatnya itu memperlihatkan tanda-tanda yang tak wajar atau tidak. Siapa tahu, mungkin saja tiga orang pendeta Lama itu telah mempergunakan ilmu hitam yang sangat kuat, yang mampu mematahkan pertahanan Han Siong. Akan tetapi tidak. Matanya tidak melihat tanda-tanda bahwa sahabatnya itu sedang berada di bawah pengaruh sihir. Juga tidak menderita luka. "Sudahlah, Hay Hay. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak apa-apa. Hanya ada sesuatu yang membuat aku termenung sejak tadi, sesudah tiga orang pendeta Lama itu pergi. Aku menjadi ragu dan bingung...” Hay Hay menarik sebuah kursi lantas duduk di atas kursi yang sudah didekatkan dengan pembaringan. Mereka saling pandang, kemudian Hay Hay berkata dengan suara sungguh-sungguh, tidak berkelakar seperti biasa. "Dengar, Han Siong. Aku sudah melaksanakan permintaanmu, aku sudah bicara dengan. Ci Goat, dan telah kujelaskan semua kepadanya bahwa engkau tidak mungkin menerima dan membalas cintanya karena engkau telah memiliki pilihan hati, seorang gadis lain." "Ahhh... dan dia... dia bagaimana, Hay Hay?" tanya Han Siong, pandang matanya penuh iba dan gelisah. "Dia seorang gadis tabah, Han Siong. Dia dapat menghadapi kenyataan yang bagaimana pun juga. Jangan khawatir, dia tidak akan membunuh diri, dia tidak akan menjadi nikouw, dan dia pun dapat melihat bahwa di dunia ini masih terdapat banyak sekali pemuda hebat yang akan dapat menyambut cintanya. Dia bisa mengatasi kedukaan dan patah hati, Han Siong." "Syukurlah kalau begitu! Terima kasih, Hay Hay, aku sungguh merasa kasihan padanya. Terima kasih." "Aku tidak butuh terima kasih darimu, Han Siong, melainkan butuh keterangan mengenai tiga orang pendeta Lama tadi. Nah, sesudah aku melaksanakan tugas yang berat darimu, sekarang kau ceritakanlah apa saja yang kau bicarakan dengan tiga orang pendeta Lama itu." cerita silat online karya kho ping hoo Han Siong tersenyum, akan tetapi Hay Hay melihat betapa wajah itu masih diliputi dengan keraguan dan kehampaan. "Tiga orang pendeta Lama itu mengaku sebagai utusan Dalai Lama sendiri, Hay Hay. Menurut mereka, tanpa disengaja mereka mendengar disebutnya namaku sebagai Sin-tong ketika engkau berjumpa dengan aku dan menyebutnya secara main-main. Menurut mereka, sudah bertahun-tahun mereka ditugaskan untuk mencariku tanpa hasil sehingga mereka tidak berani kembali ke tibet. Setelah bertemu dengan aku, mereka mengatakan bahwa mereka tidak berani memaksaku kalau aku tidak mau pergi ke Tibet bersama mereka untuk menghadap Dalai Lama. Mereka mohon kepadaku agar aku suka menolong mereka sehingga mereka akan berani berani pulang dan tidak takut dengan hukuman dari Dalai lama…” Sampai di sini Han Siong berhenti. “Pertolongan apa yang mereka harapkan darimu, Han Siong?” tanya Hay Hay tak sabar lagi. “Mereka minta beberapa tetes darahku...” “Ahhh…! Untuk apa? Jangan kau berikan!” “Mereka itu memohon kepadaku. Tadinya aku juga tidak mau dan aku bertanya untuk apa mereka minta darahku. Mereka lalu mengatakan bahwa mereka akan membohongi Dalai Lama yang sejak dulu tidak pernah berhenti berusaha untuk mendapatkan diriku. Mereka akan mengatakan bahwa aku tidak mau diajak ke Tibet sehingga terjadi perkelahin dan akhirnya aku tewas di tangan mereka. Mereka akan menunjukkan beberapa tetes darahku kepada Dalai Lama sebagai bukti bahwa aku telah mati,." "Bohong itu! Ketika mereka tiba di sana, beberapa tetes darah itu tentu sudah kering, lagi pula, bagaimana mungkin Dalai Lama akan dapat mengenal darahmu?" "Tadi aku juga berkata persis seperti yang kau katakan itu, Hay Hay. Aku tetapi mereka menjawab bahwa walau pun darah itu sudah mengering, akan tetapi masih dapat dikenal karena meski pun sudah kering, darahku berbeda dengan darah orang biasa, darah biasa merah, dan darahku... putih!" "Bohong! Omong kosong! Aku tidak percaya! Kalau darahmu putih, tentu engkau akan nampak pucat seperti mayat yang menyeramkan!" "Aku pun tadinya tidak percaya, akan tetapi mereka dapat membuktikannya, Hay Hay!" "Membuktikan bahwa darahmu putih?" Han Siong mengangguk. "Mereka lalu mengeluarkan sebotol air yang mereka namakan air suci dari Tibet, kata mereka air itu keluar dari sebuah sumber di sana, dan air itulah yang akan menunjukkan keaslian darahku. Seorang dari mereka lalu menusuk jari telunjuknya dengan jarum, mengeluarkan darahnya sendiri beberapa tetes. Ketika darah itu ditetesi air dari botol, warnanya tetap merah, bahkan semakin merah. Kemudian aku diminta untuk mengeluarkan beberapa tetes darah dari telunjukku. Karena aku juga ingin tahu, kutusuk telunjukku, kukeluarkan beberapa tetes darah seperti yang dilakukan oleh Pat Hoa Lama. Darahku yang beberapa tetes itu lalu ditetesi air dari botol dan... seketika berubah putih seperti kapur!" "Ihhh! Itu tentu sihir!" "Bukan, Hay Hay. Aku pun menyangka demikian maka aku tetap waspada. Kalau mereka menyihirku, tentu aku akan merasakan hal itu. Tidak ada pengaruh sihir sama sekali!" "Lalu bagaimana?" "Melihat bukti itu, dan merasa kasihan bahwa sudah belasan tahun mereka tidak berani pulang, apa lagi yang diminta hanyalah beberapa tetes darah saja, aku lalu mengeluarkan beberapa tetes lagi dari ujung telunjukku. Mereka menampungnya dan membawa darah itu." "Tetapi mengapa bukan yang sudah dicampur air dan menjadi putih itu saja yang mereka bawa?" Han Siong tersenyum. "Aneh sekali, Hay Hay. Semua yang kau tanyakan itu sama benar dengan yang kutanyakan kepada mereka! Aku pun bertanya demikian lalu mereka berkata bahwa Dalai Lama harus diyakinkan dengan darah murni yang belum dicampuri air suci. Dalai Lama sendiri yang akan menguji bahwa darah itu adalah darahku agar dia percaya bahwa aku telah tewas dan dia tidak akan mencariku lagi. Sebetulnya, yang terakhir inilah yang mendorongku memenuhi permintaan mereka, Hay Hay. Aku ingin sekali bebas dan tidak dikejar-kejar lagi. Lagi pula, apa artinya beberapa tetes darah itu?" "Hemm... hemm..., aku sendiri tidak tahu apakah beberapa tetes darahmu itu ada artinyal Akan tetapi siapa tahu? Orang-orang seperti mereka itu sungguh sulit dimengerti. Mereka orang aneh dan tidak lumrah manusia. Akan tetapi sudahlah. Engkau sudah memberikan sedikit darahmu, tak dapat ditarik kembali. Akan tetapi, kenapa sekarang engkau nampak termenung dan engkau tadi mengatakan bahwa engkau ragu dan bingung! Nah, apa lagi maksudmu?" "Tentang darahku itu, Hay Hay. Bukan mengenai darahku yang mereka bawa pergi, akan tetapi kenapa darahku putih! Benarkah itu? Hal itulah yang membuat aku termangu-mangu dan bingung. Benarkah darahku aslinya putih dan berbeda dengan manusia lain? Hal ini yang menggelisahkan hatiku...” Hay Hay tersenyum. Melihat bahwa memang tidak ada apa-apa yang perlu dikhawatirkan, maka kembali sudah wataknya yang jenaka dan suka bergurau. "Aih, biar putih atau biru atau hitam sekali pun, apa bedanya, Han Siong? Kulihat engkau juga seperti manusia biasa. Mungkin darah putihmu itulah yang membuat engkau disebut Sin-tong! Aku sendiri belum percaya benar kepada mereka itu. Kalau engkau yakin bahwa mereka tidak main-main dengan sihir, tentu yang mereka sebut air suci itu adalah air yang mengandung obat tertentu. Akan tetapi andai kata mereka berbohong, apa pula maksud mereka? Yang jelas, mereka sudah pergi dan engkau tidak diganggu. Sudahlah, jangan memikirkan mereka lagi, namun engkau jangan meninggalkan kewaspadaan. Dan kukira tidak ada lagi urusan kita di rumah ini sesudah permintaanmu itu kulaksanakan dengan hasil baik." Han Siong tetap saja terlihat lesu. "Aku gembira sekali mendengar bahwa urusan itu telah kau selesaikan dengan baik, Hay Hay. Akan tetapi sebaiknya kita jangan pergi sekarang. Pertama, aku masih merasa malas dan ingin beristirahat dulu, yang ke dua, kita sudah menerima undangan paman Ouw, maka tidak baik kalau pergi sekarang. Setidaknya, malam ini kita bermalam di sini dan baru besok aku akan melanjutkan perjalananku.” “Baiklah, aku juga belum sempat mengobrol denganmu. Ingin kuketahui pengalaman apa saja yang kau hadapi semenjak kita berpisah, dan mengapa pula engkau berada di sini, dari mana hendak kemana...” “Ah, lain kali sajalah, Hay Hay. Biarkan aku mengaso sekarang, aku ingin beristirahat. Biar besok pagi kita berjumpa lagi...” “Heiii! Benar yakinkah engkau bahwa tidak terjadi sesuatu apa pun dengan dirimu?” Hay Hay masih bertanya ketika dia sudah melangkah ke ambang pintu. “Tidak, sungguh tidak apa-apa, Hay Hay!” jawab Han Siong tegas. Hay Hay menggerakkan kedua pundaknya, lalu keluar dan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar. Kalau saja Hay Hay tahu! Dan kalau saja Han Siong tahu. Dua orang pemuda sakti itu sama sekali tidak tahu dan tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu terjadi sesuatu yang amat membahayakan diri Han Siong! *************** Tiga orang pendeta Lama itu kini berada di sebuah bangunan kuil tua yang sudah tidak digunakan lagi, yang terletak di lereng sebuah bukit kecil di luar kota Hok-lam. Hari sudah mulai sore dan mereka duduk bersila di atas lantai dari ruangan dalam kuil tua itu yang sudah mereka bersihkan. "Mari segera kita mulai," kata Gunga Lama sambil mengeluarkan beberapa buah barang dari dalam saku jubahnya yang lebar. Ada tasbeh dari tulang manusia, sebuah tengkorak kecil sebesar kepalan tangan, ada seikat gumpalan rambut dan tali hitam, ada pula batu kapur dan buntalan-buntalan kain kecil yang bertuliskan huruf-huruf kuno yang aneh, yaitu jimat-jimat. Semua ini dikeluarkannya satu demi satu dan ditaruhnya di atas lantai. Terakhir dia mengeluarkan sebuah buntalan yang terisi segumpal kapas yang putih. Akan tetapi merah oleh darah. Darah Han Siong! Darah itu sudah dihisap dan ‘disimpan’ dalam kapas itu. "Toa-suheng (kakak seperguruan tertua), kenapa kita harus menggunakan cara bersusah-payah seperti ini? Ketika kita bertemu dengan dia, jika kita langsung saja menyergapnya, apa sih sukarnya menangkap orang muda itu?" tanya Pat Hoa Lama yang merasa tidak puas melihat cara yang dipergunakan Gunga Lama yang dianggapnya merepotkan dan tidak praktis. "Hemm, apa bila hal itu kita lakukan, ada kemungkinan kita akan gagal, Sute. Sin-tong itu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi dan meski pun kita bertiga tentu saja tidak perlu takut menghadapinya, tetapi kalau kita tidak dapat mengalahkannya kemudian terdengar oleh pemuda yang berpakaian biru itu, maka keadaan bisa berbahaya untuk kita. Pemuda itu memiliki ilmu silat yang lihai sekali." "Akan tetapi, Suheng. Kita bisa mempergunakan kekuatan sihir untuk menundukkan Pek Han Siong!" Janghau Lama juga membantah. "Wah, seperti kalian tidak tahu saja! Pek Han Siong adalah Sin-tong. Hal itu saja sudah menyulitkan kita untuk mempergunakan sihir, karena di dalam dirinya sudah ada kekuatan ajaib, ditambah lagi dia telah mempelajari ilmu sihir. Lihat saja sinar matanya. Terlebih lagi pemuda yang bernama Tang Hay itu! Apakah kalian tidak melihat betapa dia mengusir tiga orang Pek-lian-kauw itu dengan kekuatan sihirnya yang ampuh? Menggunakan sihir secara berterang akan lebih berbahaya lagi. Sekarang kita tempuh jalan yang aman dan hasilnya pasti memuaskan. Kita harus membuat dua orang pemuda itu bermusuhan dan berpisah, barulah kita dapat turun tangan. Nah, cukup sudah kata-kata ini, bahkan terlalu banyak. Sekarang mari kita bekerja. Lihat, sinar matahari mulai suram, saat yang terbaik untuk mempergunakan tenaga kegelapan.” Tiga orang pendeta itu duduk berjajar dan Gunga Lama mulai membuat coretan-coretan dengan batu kapur di atas lantai. Ada beberapa macam guratan aneh berupa lingkaran lebar yang diisi lingkaran-lingkaran kecil lainnya, dan pada beberapa sudut diberi gambar tengkorak. Tengkorak kecil lantas diletakkan di tengah-tengah lingkaran, kemudian kapas dengan darah Han Siong diletakkan di atas tengkorak itu, pada ubun-ubunnya. Beberapa batang lilin dinyalakan, dan dibakar pula dupa yang mengepul tebal. Tiga orang pendeta yang duduk bersila itu kemudian mempergunakan tasbeh, membaca mantera dan doa dalam bahasa Tibet kuno yang aneh didengar. Gunga Lama yang duduk di tengah dan memimpin upacara sembahyang itu, beberapa kali menggerak-gerakkan kedua tangannya ke atas dupa berasap, dengan tasbeh digenggam. Kemudian ditariknya sejumput kapas lantas dibakarnya kapas yang mengandung darah Han Siong itu di atas dupa membara. Terdengar letupan kecil dan muncul nyala api yang hanya sebentar saja menjilat ke atas. Sementara itu matahari sudah tenggelam ke barat dan ketiga orang pendeta itu semakin dalam saja tenggelam di dalam kesibukan mereka. ************* Han Siong yang rebah di atas pembaringan nampak gelisah. Dia masih pulas, akan tetapi tubuhnya gelisah dan selalu bergerak miring ke kanan kiri, telentang atau menelungkup. Sampai sekarang dia masih berpakaian lengkap. Semenjak ditinggalkan Hay Hay, dia tidak pernah keluar lagi dari kamarnya. Bahkan dia mengunci daun pintu dari dalam dan ketika ditawari makan malam, dia menjawab bahwa dia masih kenyang dan tidak ingin makan. Dia pun minta agar jangan diganggu karena malam itu dia hendak tidur dan mengaso. Menjelang tengah malam tiba-tiba Han Siong bangkit duduk dan dia memijat-mijat kedua pelipisnya. Kepalanya terasa pening bukan main, akan tetapi sungguh aneh sekali, wajah Ci Goat terbayang di hadapan matanya, wajah yang bulat dan cantik manis, tersenyum-senyum kepadanya. Pandang mata gadis itu seperti memanggil-manggil dan senyumnya amat menantang. Han Siong menjadi bingung. Apa lagi ketika dia merasa betapa darahnya seperti bergolak oleh nafsu birahi yang menyesak dada. Sekilas dia sadar bahwa hal ini tidak sewajarnya, maka dia pun cepat duduk bersila dan mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan. Akan tetapi dia malah terbawa hanyut, luluh oleh gairah nafsu sehingga dia merasa tidak berdaya, membiarkan pikirannya hanyut, mengingat dan mengenang segala kecantikan dan keindahan tubuh Ci Goat, teringat akan sikap Ci Goat terhadap dirinya yang sangat memperhatikan dan baik, bahkan teringat akan gadis itu yang mengaku cinta kepadanya! Makin hebat saja kenangan ini sampai tak tertahankan lagi. Dia harus bertemu dengan Ci Goat. Harus! Dia tidak boleh menyakiti hati Ci Goat. Dia mencinta Ci Goat. Dia sungguh cinta kepada gadis itu! Samar-samar muncul kesadaran di balik semua ini, kesadaran yang mengatakan bahwa semua ini aneh dan tidak wajar. Akan tetapi kesadaran itu pun kemudian hanyut, bahkan akhirnya menghilang. Kini Han Siong turun dari pembaringan, tubuhnya agak terhuyung seperti orang mabok, menghampiri jendela dan di lain saat dia sudah keluar dari kamarnya melalui jendela yang kemudian ditutupkannya kembali. Han Siong bergerak seperti orang dalam mimpi. Bahkan dia menjadi demikian lengah sehingga dia tidak tahu bahwa bayangan Hay Hay berkelebat keluar dari kamarnya dan mengintainya! Semenjak sore tadi Hay Hay memang tidak pernah tidur. Dia masih merasa curiga melihat sikap Han Siong, terlebih lagi ketika pemuda itu sama sekali tidak keluar lagi dari dalam kamarnya, malah menolak ketika ditawari makan malam. Tentu ada apa-apanya, pikirnya! Sikap Han Siong itu sama sekali tidak wajar. Walau pun dia belum sempat bergaul lama dengan Sin-tong (Anak Ajaib) itu, namun dia sudah dapat menilai wataknya. Maka sejak sore dia tidak tidur, melainkan duduk bersila di atas pembaringannya dan selalu waspada. Suara sedikit saja di luar kamarnya tentu akan tertangkap oleh pendengarannya yang dipusatkan, selalu memperhatikan ke arah kamar Han Siong di sebelahnya. Itulah sebabnya ketika Han Siong turun dan membuka jendela kamar, dia mendengarnya lalu keluar dengan cepat namun hati-hati. Hay Hay sudah keluar pula dari kamarnya dan mengintai, lalu membayangi Han Siong. Dia sudah merasa curiga, tentu ‘ada apa-apa’ pada diri Han Siong maka pemuda perkasa itu bersikap aneh. Entah apa pula yang akan dilakukannya sekarang! Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan penasaran Hay Hay terus membayangi dari jauh. Dia harus berhati-hati karena dia maklum betapa lihainya Han Siong. Kenyataan bahwa Han Siong tidak mengetahui kalau dia sedang dibayangi itu saja sudah merupakan suatu keanehan, dan membuktikan bahwa memang telah terjadi sesuatu yang aneh pada diri Han Siong. Han Siong menuju ke ruang belakang. Dia tidak berindap-indap seperti maling melainkan dengan tenang namun cepat berjalan menuju ke kamar Ci Goat, memutar ke belakang memasuki kebun dan tidak lama kemudian dia sudah mengetuk pintu jendela kamar itu! Dengan mata terbelalak Hay Hay mengintai dari belakang pohon di kebun itu! "Siapa...?” Dia mendengar suara Ci Goat dari dalam kamar. "Aku Han Siong. Bukalah jendela kamarmu, aku ingin bicara denganmu, Goat-moi!” kata Han Siong lirih. "Siong-ko...!" Terdengar pula suara Ci Goat mengandung keheranan, lalu jendela itu pun dibuka dari dalam. Bagai seekor kucing Han Siong melompat ke dalam kamar itu melalui jendela dan daun jendela segera ditutup dari dalam! Gawat, pikir Hay Hay dan dia sudah siap siaga untuk menerjang ke dalam kalau terdengar jerit Ci Goat. Apa bila Han Siong sampai melakukan perbuatan keji, memperkosa gadis itu, maka dia akan menentangnya dengan mati-matian! Akan tetapi dia tidak mendengar jerit Ci Goat. Dia mendekat dan mendengar ucapan Han Siong yang terengah-engah. "Ci Goat... Goat-moi... aku... aku cinta padamu...” "Siong-koko..., benarkah itu? Benarkah itu, Koko... ?" Hay Hay merasa penasaran, maka dia pun mengintai dari celah jendela. Di bawah sinar sebatang lilin yang kelap-kelip suram, dia melihat betapa kedua orang itu saling rangkul dan ketika Han Siong menciumi gadis itu seperti orang kesetanan, Ci Goat sama sekali tidak menolak, bahkan menyambutnya dengan mesra! Tak ada lagi kata-kata terdengar. Dia masih melihat betapa Han Siong memondong tubuh Ci Goat dan membawanya ke pembaringan, lantas sekali tiup padamlah lilin di atas meja sehingga kamar itu menjadi gelap, tidak nampak apa pun lagi! Hay Hay bengong, lalu menjauhi kamar. Mukanya merah sekali dan dia tertawa haha-hihi seperti orang sinting. Apakah yang harus dilakukannya kalau sudah begitu? Tak mungkin dia menerjang masuk! Betapa akan malunya mengganggu dua orang yang sedang bermain cinta dengan suka rela! Apa bila keduanya sudah sama-sama menghendaki, apa hubungannya dengan dia? Jika dia adalah ayah gadis itu, atau setidaknya saudaranya, tentu dia masih berhak untuk mencegah dan mengingatkan bahwa mereka berdua itu melakukan perbuatan yang tidak patut, melanggar ketentuan dan kesusilaan. Akan tetapi dia bukan apa-apa, hanya orang luar. Apakah dia harus memberi tahukan ayah gadis itu? Ahhh, apa gunanya? Kalau memang mereka berdua sudah saling mencinta, mau apa lagi? Tinggal menikah saja dan dia yang akan menjadi saksi. Bagaimana pun juga, Han Siong harus mempertanggung jawabkan perbuatannya malam itu. Setelah tiba di dalam kamarnya, Hay Hay tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, monyet benar Han Siong itu! Pura-pura alim, tidak tahunya... ha-ha-ha, wah, dalam hal ini aku kalah olehnya! Sungguh dia melakukan gerak cepat!" Hay Hay tertawa geli seorang diri. Akan tetapi dia lalu termenung. Benarkah watak Han Siong seperti itu? Pura-pura menolak cinta seorang gadis lalu pada malam harinya menggerumut ke dalam kamar gadis itu? Sungguh sikap yang tidak pantas dilakukan seorang pendekar seperti Han Siong! Jangan-jangan ada apa-apanya ini! Di lain saat Hay Hay sudah keluar lagi dari dalam kamarnya. Ketika dia mendekati kamar Ci Goat, dia hanya mendengar bisik-bisik mesra yang membuat wajahnya terasa panas dan merah sekali, lalu cepat dia menjauhinya lagi. "Setan! Bikin aku kebakaran saja!" gerutunya geli. Dia pun mengamati dari jauh saja. Dia harus melihat Han Siong keluar dari kamar dara itu untuk ditegur dan dimintai pertanggungan jawabnya. Dia hendak melihat bagaimana sikap Han Siong. Apa bila pemuda itu hanya ingin mempermainkan Ci Goat, mempergunakan kesempatan karena gadis itu jatuh cinta padanya, dan tidak mau bertanggung jawab, dia akan menghajarnya! Hemmm, boleh jadi Han Siong lihai dan dia belum tentu menang, akan tetapi bagaimana pun juga dia akan menentang dan menantangnya! Han Siong harus mempertanggung jawabkan perbuatannya malam ini. Waktu terasa merayap sangat lambat bagi Hay Hay. Beberapa kali dia harus menggaruki kulit tubuhnya yang dikeroyok nyamuk. "Setan," gerutunya, "mereka enak-enak bersenang-senang, aku di sini dikeroyok nyamuk! Monyet Han Siong agaknya sudah lupa diri dan lupa daratan sampai lupa waktu. Sudah hampir pagi masih enak-enak saja." Tiba-tiba dia melihat jendela kamar Ci Goat terbuka dari dalam dan Han Siong melompat keluar. Nampak Ci Goat dengan senyum manis dan rambut awut-awutan menutup kembali daun jendela. Hay Hay cepat mendahului Han Siong yang berjalan kembali ke kamarnya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Barulah Han Siong terkejut ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hay Hay sudah berada di depannya dengan sikap tidak ramah. Akan tetapi kekagetannya ini bukan lain karena kemunculan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka itu. "Han Siong, bagus sekali, ya! Engkau benar-benar seperti seekor harimau berbulu domba! Sesudah apa yang kau lakukan terhadap Ci Goat, maka engkau harus mempertanggung jawabkannya dan mengawini gadis itu dengan resmi!" "Engkau tidak berhak mencampuri urusanku! Apa pedulimu? Aku tidak akan mengawini gadis mana pun!" jawaban ini jelas bukan sikap Han Siong! "Han Siong, apa yang kau katakan ini? Engkau telah memasuki kamar seorang gadis dan tidur dengannya selama semalaman, tetapi engkau tidak mau mengawininya?" suara Hay Hay lirih karena dia tidak ingin terdengar oleh orang lain. "Heh engkau lancang mulut! Apa yang kulakukan adalah urusanku sendiri! Aku tidak akan mengawini siapa pun dan engkau tidak berhak mencampuri urusanku. Hayo lekas pergi atau terpaksa aku akan menghajar mulutmu yang lancang!" Hay Hay semakin heran dan dia memandang tajam, mempergunakan kekuatan sihirnya. Akan tetapi dia tidak berhasil membuat Han Siong sadar sehingga dia berkata lagi, "Pek Han Siong, tidak tahukah engkau siapa aku? Aku Hay Hay, aku Tang Hay Pendekar Mata Keranjang! Lupakah engkau?" "Aku tidak peduli engkau siapa!” bentak Han Siong. “Aihh, sungguh celaka! Jelas bahwa engkau telah bertindak di luar kesadaranmu. Celaka! Kenapa aku tidak menyadari hal ini? Engkau masuk ke kamar Ci Goat karena dituntun oleh kekuatan hitam! Engkau telah dicengkeram oleh ilmu hitam tiga orang pendeta Lama itu, Han Siong! Sadarlah!" “Keparat, engkau memang layak dihajar!” Han Siong membentak dan tiba-tiba. dia sudah menyerang Hay Hay dengan tamparan tangannya yang ampuh. Akan tetapi Hay Hay cepat mengelak. Sampai empat kali dia mengelak, dan agar jangan sampai menarik perhatian orang lain maka dia pun meloncat keluar dari rumah itu sambil berkata, "Kalau engkau memang jantan, mari kita selesaikan urusan ini di luar rumah supaya tidak mengagetkan orang lain!" Tentu saja tantangannya ini langsung diterima Han Siong yang cepat melakukan pengejaran ketika melihat lawannya melarikan diri keluar rumah. Sesudah tiba di tempat sunyi, agak jauh dari rumah keluarga Ouw, Hay Hay berhenti dan menghadapi Han Siong. Dia mengeluarkan bentakan nyaring yang penuh dengan sinkang untuk membuyarkan semua kekuatan hitam. "Pek Han Siong, sadarlah! Semua kekuasaan dari kegelapan sudah lepas darimu! Sinar terang mengusir kegelapan dan mengembalikan kesadaranmu!" Hay Hay menggerakkan kedua tangannya ke arah Han Siong. Han Siong terhuyung ke belakang seperti terdorong oleh kekuatan luar biasa, akan tetapi dia lalu meloncat dan kelihatan semakin marah. "Engkau sungguh manusia jahat dan layak dihajar!" Setelah berkata demikian, Han Siong sudah menerjang lagi dengan ganasnya. Hay Hay terkejut. Kekuasaan apakah yang sedang mencengkeram Han Siong sehingga kekuatan sihir dalam diri Han Siong ditambah kekuatannya sendiri tidak mampu mengusir kekuasaan aneh itu? Dia tidak sempat berpikir lebih banyak karena sangatlah berbahaya menghadapi serangan seorang lawan seperti Han Siong. Dia pun cepat mempergunakan kelincahannya dan mengelak sambil balas menyerang untuk merobohkan Han Siong yang agaknya sudah tidak menguasai dirinya sendiri itu. Terjadilah pertandingan yang dahsyat di pagi hari itu, di tempat sunyi luar kota Hok-lam. Pek Han Siong adalah seorang pemuda perkasa yang menguasai banyak ilmu silat yang tinggi. Dari orang tuanya yang turun temurun menjadi ketua perkumpulan Pek-sim-pang, dia sudah mewarisi ilmu silat Pek-sim-pang yang diringkas menjadi tiga belas jurus. Dari guru-gurunya, yaitu suami isteri Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu dia pun menerima gemblengan dan mewarisi ilmu-ilmu silat yang amat tinggi, baik dari aliran sesat karena kedua orang gurunya itu dahulunya berasal dari dunia sesat, mau pun ilmu-ilmu kesaktian yang ditemukan kedua orang gurunya itu, yaitu Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiam-sut, peninggalan seorang tokoh di antara Delapan Dewa. Selain itu dia masih mendapat gemblengan dari Ban Hok Lo-jin, juga seorang di antara Delapan Dewa, menerima ilmu pukulan sakti Pek-hong Sin-ciang, bahkan dari kakek ini dia mendapat pelajaran ilmu sihir yang cukup kuat! Pek Han Siong merupakan seorang pendekar muda yang sukar dicari tandingannya, pandai ilmu silat, pandai ilmu sihir, dan memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Di lain pihak, Tang Hay atau Hay Hay adalah seorang pemuda gemblengan pula. Dia juga murid dari dua orang datuk sakti yang termasuk sebagai anggota Delapan Dewa, yaitu See-thian La-ma dan Ciu-sian Sin-kai. Ilmu-ilmu silatnya disempurnakan oleh kakek sakti Song Lojin, dan dia juga menerima pelajaran ilmu sihir tingkat tinggi dari Pek Mau Sianjin. Di antara ilmu-ilmu pilihan yang dikuasainya adalah Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Pukulan) dari Ciu-sian Sin-kai yang luar biasa ampuhnya, sementara dari See-thian Lama dia memperoleh dua ilmu yang amat hebat, yaitu Yan-cu Coan-in ilmu meringankan tubuh yang membuat dia seakan-akan pandai terbang atau dapat menghilang saking cepatnya gerakannya, dan ilmu langkah ajaib Jiau-pouw Poan-san. Maka dapatlah dibayangkan alangkah hebatnya ketika dua orang pemuda sakti ini saling bertemu di dalam sebuah pertandingan! Tentu saja Hay Hay tidak memusuhi Han Siong yang dia tahu pasti dalam keadaan tidak wajar. Dia selalu mengalah dan mengandalkan ilmunya Jiau-pouw Poan-san yang membuat semua serangan Han Siong tidak mengenai dirinya. Akan tetapi, Hay Hay merasa kewalahan juga karena kalau dia tidak bersungguh-sungguh, sebaliknya Han Siong yang agaknya sudah tidak sadar lagi siapa dirinya, terus menyerangnya dengan hebat, mengerahkan semua tenaga dan kepandaiannya! Sambil menghindarkan semua serangan Han Siong dengan ilmu langkah ajaib Jiau-pouw Poan-san, Hay Hay memutar otaknya. Dia merasa yakin bahwa keadaan Han Siong tidak sewajarnya. Sudah pasti bahwa pemuda ini sedang dicengkeram kekuasaan ilmu hitam yang amat jahat dan kuat. Melihat sikap pemuda itu, bukan mustahil bahwa semenjak sore tadi kekuasaan itu mulai mempengaruhinya biar pun belum hebat. Akan tetapi kini kekuasaan itu telah menguasai Han Siong sepenuhnya! Bukan sihir biasa, dan agaknya mereka yang menyihirnya tidak berada di tempat itu. Tentu sihir ilmu hitam yang dilakukan dengan mempergunakan alat-alat dan jimat-jimat, dengan kekuatan mantera dan bantuan iblis. "Bukkk!" Tubuhnya hampir terjengkang dan cepat Hay Hay meloncat lalu menggerakkan kedua kakinya memainkan langkah ajaibnya. Setan, pikirnya. Hampir saja dia celaka karena tadi melamun memikirkan keadaan Han Siong. Sebuah pukulan ke arah dadanya hampir mengenai sasaran. Untunglah dia masih sempat memiringkan tubuh dan menerima tonjokan keras itu dengan pangkal lengannya. Dan merasa betapa pukulan itu keras sekali, Hay Hay maklum bahwa Han Siong dalam keadaan tidak sadar itu benar-benar menganggap dia seorang musuh besar! Sungguh berbahaya sekali. Dia tidak boleh melamun, namun harus mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya kalau tidak ingin benar-benar dipukul roboh! Akan tetapi tiba-tiba sekarang dia teringat sesuatu. Tentu darah itu! Darah Han Siong! Walau pun hanya beberapa tetes, darah Han Siong telah diambil oleh tiga orang pendeta Lama dan tentu melalui darah itulah mereka menyihir Han Siong! Dan dia pun tahu bahwa dalam ilmu yang berasal dari kegelapan, dari iblis, terdapat ilmu menguasai semangat dan pikiran orang lain melalui potongan kuku atau rambut, namun yang paling ampuh adalah dengan mempergunakan darah orang itu! Pantas semua usahanya menyadarkan Han Siong dengan kekuatan sihir selalu gagal dan tenaga atau kekuatan sihir dalam diri Han Siong sendiri tidak mampu menolak pengaruh jahat itu. Sekarang dia mengerti bahwa tentu semenjak sore tadi Han Siong telah mulai dikuasai oleh ilmu hitam dan pemuda itu juga dalam keadaan tidak sadar atau dikuasai sihir ketika memasuki kamar Ci Goat. Untuk merobohkan Han Siong bukanlah hal yang mudah. Tingkat kepandaian mereka tak banyak selisihnya. Dalam keadaan biasa kekuatan sihirnya masih lebih kuat dari pada Han Siong, akan tetapi pada saat itu ada kekuatan sihir yang sangat dahsyat menguasai Han Siong sehingga sukar baginya untuk mengalahkan Han Siong metalui sihir. Kemudian dia teringat. Naluri dari watak yang bersih dan baik! Itulah yang paling kuat dan biar pun nampaknya tidak berdaya karena orangnya dikuasai sihir, namun naluri itu masih ada dalam dirinya. Naluri ini datang dari kekuasaan Tuhan dan tidak ada kekuasaan apa pun di dunia ini yang mampu mengalahkannya! Pada saat Han Siong menyerang dengan sebuah tendangan, Hay Hay sengaja bergerak agak lambat dan menerima tendangan itu dengan perutnya yang telah dilindungi dengan sinkang agar isi perutnya tidak sampai rusak. "Desss…!" Tubuhnya terjengkang dan dia pun membiarkan tubuhnya berkelojotan sambil menggeliat-geliat, mulutnya merintih-rintih, "Aduhhh... aduhhhh... mati aku... engkau membunuhku... ahh… mati aku...!" Han Siong berdiri tertegun, matanya terbelalak memandang kepada tubuh Hay Hay yang sekarang sudah menelungkup tak bergerak, bibirnya gemetar dan berbisik, "...apa yang kulakukan ini...? Aku... aku membunuhnya...” Dugaan dan perhitungan Hay Hay memang tepat. Naluri watak yang baik kini bekerja dan Han Siong menghampiri tubuh Hay Hay, lantas berlutut. Akan tetapi, sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, Han Siong tetap waspada. Hay Hay maklum bahwa dia harus membuat perhitungan yang sangat tepat, tidak boleh salah sedikit pun. Apa bila dia menyerang pada saat itu, tentu dia akan gagal karena Han Siong memiliki kewaspadaan tinggi. Han Siong memegang pundak Hay Hay dan membalikkan tubuh yang menelungkup itu. Kini tubuh Hay Hay telentang dan nampak betapa ada darah segar keluar dari mulut itu. "Ahh... dia... dia mati...!” Han Siong berkata dengan penuh kaget dan penyesalan. Pada saat itulah Hay Hay baru menggerakkan tangannya, secepat kilat kedua tangannya telah melakukan gerakan menotok. Dalam keadaan menyesal dan terkejut itu, terlebih lagi melihat darah itu dia percaya bahwa orang yang ditendangnya benar-benar sudah mati, untuk sesaat Han Siong kehilangan kewaspadaannya dan saat itu digunakan dengan baik oleh Hay Hay. Han Siong berusaha melempar tubuh ke belakang, namun satu di antara serangan Hay Hay tepat mengenai sasaran. Jalan darahnya tertotok lantas dia pun roboh terkulai lemas! Hay Hay meloncat bangun dengan girang sekali. Ketika ‘berkelojotan’ tadi dia menggigit lengannya sendiri sampai keluar banyak darah yang berlepotan di bibirnya!.....
jilid 15

Kini dia cepat-cepat menghampiri Han Siong yang sudah tak mampu bergerak, kemudian menyusulkan beberapa tekanan pada jalan darah Han Siong sehingga Han Siong benar-benar tidak mampu berkutik lagi. Hay Hay lalu mengamati wajah yang telentang itu. Memang wajah Han Siong, akan tetapi sinar mata itu! Sungguh beringas dan penuh kemarahan. "Keparat, kau curang! Kubunuh kau!" Han Siong menggerutu dan matanya berkilat marah. Hay Hay mencoba untuk mempergunakan kekuatan sihirnya. Dengan pandang matanya yang mencorong dia menatap wajah itu, menentang pandang matanya, lantas terdengar suaranya yang dalam dan menggetar penuh kekuatan sihir. "Han Siong, sadarlah. Engkau Pek Han Siong... dan aku adalah Hay Hay! Sadarlah dan lepaskan pengaruh kekuasaan dunia kegelapan...!” Akan tetapi hasilnya sia-sia belaka. Sepasang mata itu masih berkilat marah dan setelah beberapa kali mengulang usahanya tanpa hasil, Hay Hay duduk termenung, menjadi agak bingung. Kalau saja dia tahu di mana adanya tiga orang pendeta Lama itu sehingga dapat menggempur mereka, tentu Han Siong akan dapat dibebaskan dari permainan sihir hitam mereka. Kemudian dia pun teringat. Batu giok mustika yang dimilikinya! Beberapa tahun yang lalu, karena merasa berhutang budi kepadanya, seorang jaksa, yaitu Kwan Taijin (Pembesar Kwan) telah menghadiahkan pusakanya yang sangat berharga, yaitu sebuah giok mustika yang berwarna belang merah dan hijau. Jaksa dari kota Siang-tan itu menghadiahkan batu giok itu kepadanya dan sampai sekarang masih tergantung di lehernya. Batu giok mustika itu merupakan obat pencegah racun yang amat mujarab. Segala jenis racun dapat dihisap dan dilenyapkan dari tubuh oleh batu giok mustika itu. Dan menurut penuturan jaksa itu, batu giok itu masih mempunyai khasiat lain, yaitu memiliki kekuatan mukjijat untuk menolak kekuatan setan. Dia belum pernah membuktikannya, akan tetapi sekarang, apa salahnya kalau dia mencobanya? Dia segera melepaskan tali yang mengikat mustika batu giok itu dari lehernya. Kalau dia mempergunakan totokan pada bagian kepala yang bawah di atas tengkuk dari Han Siong, yang menjadi pusat penerimaan segala yang datangnya dari luar, tentu hubungan dengan kekuatan sihir hitam itu akan terputus. Namun hal itu berbahaya sekali karena Han Siong akan menjadi terputus sama sekali dengan hal-hal di luar dirinya, dan kalau terlalu lama dapat membuat pemuda itu menjadi hilang ingatan dan hilang pula daya pikirnya. Akan tetapi, jika batu giok ini memang mempunyai kekuatan ajaib yang halus, siapa tahu mampu membebaskan Han Siong dari pengaruh sihir, atau setidaknya dapat mengurangi kekuatan sihir itu. Dengan pikiran demikian Hay Hay segera memutuskan untuk mencoba keampuhan batu giok mustika miliknya. Hay Hay lalu menggosok-gosokkan batu giok itu pada seluruh kepala, wajah serta leher, kemudian ditempelkan hingga lama pada tengkuk sambil terus memperhatikan wajah Han Siong. Tidak lama kemudian Hay Hay melihat perubahan pada pandang mata itu. Kalau tadi, ketika dia mulai dengan penggosokan batu giok, sepasang mata itu nampak berkilat marah, kini kilatan kemarahan itu semakin menipis dan akhirnya memudar. Tiba-tiba Han Siong membelalakkan matanya dengan pandang mata heran. "Heiii! Hay Hay, apa yang kau lakukan ini? Ihhh... aku tertotok!" serunya ketika dia gagal menggerakkan kaki tangannya. "Han Siong, dengarkan baik-baik dengan hati tenang dan sabar. Engkau baru saja sadar dari pengaruh sihir hitam yang sangat jahat. Tadi engkau menyerangku dan kita berkelahi, untung dengan akal aku dapat menotokmu roboh. Sekarang coba kau kerahkan kekuatan batinmu untuk merasakan datangnya serangan pengaruh sihir itu. Cepat...!” Hay Hay mengangkat batu gioknya dan Han Siong yang cerdik segera mentaati perintah Hay Hay. Benar saja, begitu batu giok di angkat, dia merasakan getaran aneh, akan tetapi sekarang dia mampu menahannya dengan kekuatan sihirnya sendiri. “Hay Hay, ada getaran aneh... begitu kuat untuk menguasai diriku. Ah, ada dorongan agar aku memusuhimu, membunuhmu...” “Bagus, engkau sudah dapat merasakannya dan dapat menguasainya. Dengar baik-baik, Han Siong. Engkau pertahankan terus dengan kekuatanmu dan peganglah kuat-kuat batu ini, tempelkan di atas tengkukmu, nah, di sini, dan pengaruh itu akan menipis. Akan tetapi jangan ditolak sama sekali, melainkan ikuti saja...” “Kau gila? Mengikuti pengaruh itu?” “Maksudku, ikuti saja kalau pengaruh itu memanggilmu karena hal itu akan membawa kita kepada yang melepaskan sihir atas dirimu. Aku akan membayangi dari belakang dan kita bersama akan menumpas mereka!” “Mereka? Kau maksudkan... para pendeta Lama itu?” "Siapa lagi? Mereka telah mengambil darahmu untuk menyihirmu. Ingat, jangan kau turun tangan menyerang kalau belum kuberi tanda. Sebaiknya urusanmu dengan Dalai Lama ini segera diselesaikan agar jangan sampai engkau terganggu lagi!" "Maksudmu bagaimana, Hay Hay...?" Han Siong bertanya bingung karena dia masih saja merasakan tarikan yang kuat dari pengaruh sihir hitam itu. "Jangan banyak bicara tetapi dengarkan baik-baik, Han Siong. Pendeta Lama itu sedang mempengaruhimu agar bermusuhan dengan aku, dan kalau tidak keliru dugaanku, hal itu bertujuan agar dengan mudah engkau akan dapat mereka bawa ke Tibet. Bukankah dari dahulu, sejak kau bayi, mereka itu memang hendak membawamu ke sana? Sekaranglah saatnya yang baik. Engkau telah tahu bahwa engkau disihir, akan tetapi dengan batu giok itu engkau dapat menolak sihir mereka. Engkau pura-pura dalam pengaruh sihir mereka dan bila mereka mengajakmu ke Tibet, kau ikuti saja. Aku membayangimu dari belakang dan kita bersama akan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di sana. Maukah engkau menempuh petualangan baru di Tibet bersamaku? Tentu akan penuh bahaya dan hebat sekali. Maukah engkau?" Hay Hay tidak menyebut tentang Ci Goat karena kalau sampai pemuda itu menyadari apa yang sudah diperbuatnya dengan Ci Goat maka hal itu akan menjadi pukulan batin yang sangat berat dan akan melemahkannya sehingga pengaruh sihir itu akan lebih mudah lagi menguasainya. “Baik, aku mengerti. Ahh, dorongan itu makin kuat, menyuruh aku membawa pakaianku dan pergi dari rumah itu...” "Bagus, sekarang kubebaskan engkau dan ikuti saja, Han Siong. Ingat, segera gunakan batu kemala (giok) itu kalau sampai dorongan itu terlalu kuat. Engkau harus selalu dapat menguasai dirimu, dan hanya berpura-pura saja taat kepada pengaruh sihir mereka." Tanpa ragu-ragu lagi Hay Hay lalu membebaskan totokan pada tubuh Han Siong. Pemuda ini dapat bergerak kembali dan Hay Hay mengangguk-angguk. "Nah, turutilah perintah melalui pengaruh sihir itu Han Siong." Keduanya lalu kembali ke rumah keluarga Ouw, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Kini di dalam telinga Han Siong terdengar jelas perintah bahwa dia harus membunuh Hay Hay, atau menjauhkan diri dan setelah mengambil pakaian harus meninggalkan rumah itu tanpa setahu Hay Hay. Tanpa setahu Hay Hay? Akan tetapi Han Siong segera tersenyum. Hay Hay akan mengetahuinya, yang tidak tahu adalah mereka yang menyihirnya! Kedatangan mereka disambut oleh Ouw Lok Khi yang terlihat bingung dan gelisah sekali. Betapa terkejut rasa hati Hay Hay ketika mendengar dari tuan rumah itu bahwa Ouw Ci Goat telah pergi dari dalam kamarnya! Ia mengamati wajah Han Siong yang mengerutkan alis dan kelihatan terheran-heran. Agaknya Han Siong belum menyadari apa yang sudah dia lakukan tadi malam, atau menganggapnya sebagai mimpi saja. "Kapan perginya, Paman Ouw? Dan ke mana?" "Entah ke mana dan kapan, akan tetapi pagi-pagi sekali tadi dia sudah tidak ada di dalam kamarnya, dan dia membawa pedangnya. Tadinya, melihat bahwa ji-wi taihiap (pendekar besar berdua) juga tidak berada di kamar, hati kami merasa lega dan mengira bahwa dia pergi bersama ji-wi (kalian). Akan tetapi sekarang ji-wi sudah pulang dan dia... ahhh, ke mana perginya anakku?" "Hemm, jangan khawatir, Paman. Kami berdua akan segera pergi mencarinya!" kata Hay Hay. Wajah Ouw Lok Khi kelihatan lega. "Ahh, terima kasih. Kalau ji-wi yang pergi mencarinya maka hatiku tidak akan khawatir lagi." Han Siong lalu mengambil pakaiannya, demikian juga Hay Hay dan tidak lama kemudian, sesudah matahari naik agak tinggi, Han Siong memberi isyarat kepada Hay Hay bahwa pengaruh sihir itu mulai memerintahkan agar dia pergi dari situ! Mereka lalu pergi meninggalkan rumah Ouw Lok Khi. Setelah tiba di luar kota, Hay Hay memberi isyarat agar Han Siong terus mengikuti arah yang ditunjukkan dalam pengaruh sihir, sedangkan dia sendiri mengikuti atau membayangi dari jauh. *************** Ke mana perginya Ci Goat? Tadi malam dia sudah mengalami hal yang sama sekali tak pernah disangkanya. Ketika dia mendengar dari Hay Hay bahwa Pek Han Siong, pemuda yang dicintanya itu, tidak mungkin dapat menyambut dan membalas cintanya, dia merasa berduka walau pun duka itu sudah banyak berkurang karena jasa Hay Hay yang pandai menghiburnya dan menyadarkannya. Akan tetapi bagamana pun juga malam itu dia tidak dapat tidur dan lebih banyak melamun sambil berbaring. Dia belum tidur ketika ada ketukan daun jendela, dan dapat dibayangkan betapa gembira dan tegang rasa hatinya ketika mendengar bahwa yang mengetuk daun jendela kamarnya adalah Pek Han Siong dan pemuda itu minta dibukakan jendela karena ingin bicara! Ketegangan dan kegembiraan itu berubah menjadi lautan kebahagian setelah pemuda itu melompat ke dalam kamarnya, menutupkan jendela dan langsung merangkulnya! Hampir dia tidak dapat mempercayai apa yang didengar, dilihat dan dirasakannya, disangkanya dia sedang dalam mimpi. Akan tetapi, karena pada saat itu dia sedang kehausan kasih sayang, sedang patah hati setelah tadi mendengar bahwa orang yang dicintanya tidak dapat menerima cintanya, kini melihat betapa orang yang dicintanya itu datang-datang merangkul dan menciuminya, Ci Goat kehilangan semua keseimbangan hatinya. Dia hanyut dan terseret. Dia tidak peduli apa pun yang akan menjadi akibatnya. Dia menyerah sebulatnya, penuh kepasrahan dan dengan suka rela, bahkan menyambut dengan api gairah yang menyala-nyala. Dia dan kekasihnya itu sampai lupa diri, lupa tempat dan waktu. Sesudah Pek Han Siong meninggalkannya baru dia terkejut. Selama tenggelam dalam gelombang nafsu birahi dan kemesraan tadi, keduanya tidak sempat bicara. Dalam keadaan seperti itu, kata-kata tidak ada artinya lagi. Pikiran tidak lagi bekerja, kesadaran tidak lagi bergerak. Yang ada hanya satu, yaitu mengikuti dorongan gairah dan nafsu birahi yang menguasai seluruh diri lahir batin, lain-lain hal tidak masuk hitungan lagi. Ci Goat baru tersentak kaget setelah Han Siong meninggalkannya. Dia kaget bukan main melihat kenyataan yang tidak masuk di akal itu. Dia sudah menyerahkan diri begitu saja kepada seorang pria, bahkan menyambut dengan gairah yang sama besarnya! Meski dia mencinta pria itu dengan seluruh jiwa raganya, namun penyerahan itu sungguh menyalahi segala peraturan, melanggar kesusilaan dan merendahkan martabatnya sebagai seorang wanita! Dia tidak menyesal, melainkan terkejut dan juga terheran mengapa hal seperti itu bisa terjadi! Dia mengenal Han Siong bukan sebagai seorang pemuda seperti itu, dan dia sendiri juga seorang gadis yang memiliki harga diri tinggi. Maka timbul rasa penasaran di hatinya dan dia pun keluar dari kamarnya, diam-diam membayangi kekasihnya yang menuju kembali ke kamarnya sendiri itu. Tiba-tiba dia melihat munculnya Hay Hay, lalu dia mendengarkan percakapan antara Han Siong dan Hay Hay. Semakin didengarkan percakapan itu, semakin pucatlah wajah Ci Goat. Bibirnya gemetar dan kedua matanya segera bercucuran air mata setelah dia mendengar ucapan Hay Hay, "…engkau masuk ke kamar Ci Goat karena dituntun oleh kekuatan hitam! Engkau sudah dicengkeram oleh ilmu hitam tiga orang pendeta Lama itu, Han Siong!" Dia juga mendengar ucapan Han Siong, "Aku tidak akan mengawini gadis mana pun!" Kini mengertilah Ci Goat. Dengan hati hancur dia baru mengerti bahwa segala yang telah terjadi semalam hanya merupakan sesuatu yang palsu. Kepalsuan yang harus ditebusnya dengan aib dan kehormatannya. Ternyata Han Siong sama sekali tidak mencintanya! Han Siong melakukan perbuatan tadi bukan atas kehendaknya sendiri, bukan karena cintanya, bahkan tanpa disadarinya! Dia melakukannya atas tuntunan pengaruh sihir atau kekuatan hitam dari pendeta Lama. Tiga orang pendeta Lama! Ci Goat tersentak dan cepat dia kembali memasuki kamarnya, mengenakan pakaian ringkas dan membawa pedangnya. la tahu ke mana dia harus pergi. Dia telah mendapat keterangan dari seorang penduduk yang ikut menyerbu para penjahat bahwa beberapa hari sebelumnya ada tiga orang pendeta Lama bertanya-tanya tentang orang yang bernama Pek Han Siong alias Sin-tong, dan mereka adalah tiga orang pendeta Lama yang hadir dalam pemakaman tiga orang murid Pek-tiauw-pang. Menurut orang itu, dia bertemu dengan tiga orang pendeta Lama yang tinggal di sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, di sebuah bukit kecil di luar kota Hok-lam. Kini, setelah dia mendengar kekuasaan ilmu hitam dari tiga orang pendeta Lama, dengan hati penuh duka dan dendam Ci Goat pergi menuju ke bukit itu. Cuaca masih gelap ketika dengan isak tertahan gadis itu berlari mendaki bukit. Sesudah tiba di depan kuil tua itu, Ci Goat mencabut pedangnya dan dengan nekat, tanpa mengenal rasa takut karena duka dan sakit hati menyesak di dada, dia melompat dan lari memasuki kuil itu. Di tengah kuil itu, di sebuah ruangan yang luas, dia melihat tiga orang pendeta Lama itu duduk bersila menghadapi dupa yang mengepulkan asap tebal dan di atas lantai terdapat coret-coretan, lilin dan jimat-jimat. Biar pun dia tidak tahu apa artinya semua itu, tetapi Ci Goat dapat menduga bahwa tentu mereka itu sedang melakukan sihir yang menguasai Han Siong. Hal ini mengingatkan dia akan keadaan dirinya yang sudah ternoda. Kalau saja Han Siong melakukan hal semalam atas dirinya dengan suka rela, atas dasar cinta dan pemuda itu bersedia mempertanggung jawabkannya, tentu dia tak akan merasa ternoda karena dia pun menyerah dengan suka rela. Akan tetapi pemuda itu melakukan hal itu bukan karena cinta, melainkan karena ulah ketiga orang pendeta Lama ini, di luar kesadarannya dan karena itu tidak mau bertanggung jawab. Maka semua dendam dan sakit hati gadis itu ditumpahkan kepada ketiga orang pendeta Lama. "Pendeta keparat, kalian layak mampus!" bentaknya dan gadis ini telah meloncat masuk. Namun tiga orang pendeta Lama itu kelihatan tenang-tenang saja, bahkan tidak bergerak seolah-olah tidak tahu akan kehadiran gadis itu. Dengan kemarahan meluap karena sakit hatinya, Ci Goat menerjang dan mengayun pedangnya ke arah kepala pendeta terdekat, yaitu Pat Hoa Lama. Pedangnya menyambar ke arah kepala yang gundul itu dan Pat Hoa Lama sama sekali tidak menangkis atau mengelak, seakan tidak tahu bahwa kepalanya sedang dibacok orang dengan sebatang pedang yang tajam. "Singgg…! Takkk!" Ci Goat kaget bukan main. Pedangnya terpental seolah-olah bertemu dengan baja, bukan kepala manusia! Pada saat itu pula pinggangnya dipeluk orang dan tahu-tahu pedangnya sudah dirampas dan tubuhnya sudah ditarik sehingga terjatuh ke atas pangkuan pendeta Lama yang berada di tengah. Pendeta tinggi kurus Janghau Lama sudah menangkapnya. Mata yang amat sipit itu kini terbuka dan mulutnya yang ompong menyeringai. "Ha-ha-ha-ha, gadis cantik, engkau datang hendak menemani pinceng? Bagus! Memang pinceng sedang merasa kesepian. Suheng dan Sute, kalian lanjutkan saja permainan kita, pinceng ingin bermain-main sejenak dengan gadis manis ini!" Dua orang pendeta yang lain seperti tidak tahu atau tak peduli, tetap duduk bersila seperti patung. Janghau Lama bangkit sambil memondong tubuh Ci Goat. Gadis itu merasa ngeri melihat keadaan tiga orang pendeta itu. Dia meronta, akan tetapi sepasang tangannya tidak dapat bergerak karena keduanya telah dipegang dengan amat kuatnya oleh tangan kiri Janghau Lama yang jarinya panjang-panjang. Janghau Lama membawa Ci Goat ke sudut ruangan itu, lalu dia menjatuhkan diri ke atas lantai sambil mendekap Ci Goat. Tangan kanannya cepat bergerak dan terdengarlah kain robek berulang kali pda waktu tangan yang kurus panjang namun amat kuat itu rnerobek-robek semua pakaian dan merenggutnya lepas dari tubuh Ci Goat. Jelas bagi Ci Goat apa yang akan dilakukan pendeta itu terhadap dirinya. Dia merasa tak berdaya. Kini dia maklum bahwa dirinya sama sekali bukan tandingan tiga orang pendeta Lama ini. Melawan pun akan percuma saja karena tentu dia akan diperkosa tanpa mampu mempertahankan diri sama sekali. Rasa ngeri membuat dia rnencari akal. Ketika Janghau Lama nampak terangsang setelah merenggut lepas semua pakaian Ci Goat, pendeta yang kini telah kelihatan watak aslinya itu mendengus dan mencium mulut Ci Goat. Gadis ini pura-pura lunglai dan lemas, tidak melawan lagi seolah membiarkan mulutnya dicium. Akan tetapi begitu bibir Janghau Lama menempel di mulutnya, dia cepat membuka mulut dan menggigit bibir itu sekuat tenaga. "Auhhh…!" Janghau Lama yang sedang dikuasai nafsu birahi itu menjadi lengah, bibirnya tergigit hampir putus dan terluka. Dia pun segera melepaskan rangkulannya. Begitu merasa betapa dirinya telah bebas, Ci Goat cepat-cepat menggerakkan kepalanya, dibenturkan sekuatnya pada dinding di dekatnya. Terdengar suara nyaring dan gadis itu terkulai dengan kepala retak! Dia tewas seketika. Agaknya dia memilih mati membunuh diri dari pada membiarkan dirinya dinodai pendeta Tibet itu, yakin bahwa dia tidak mampu melawan, tidak akan mampu menghindarkan diri dari perkosaan. Janghau Lama terkejut melihat gadis itu rebah tak bernyawa lagi, cairan merah bercampur putih keluar dari retakan kepalanya. Terdengar suara Gunga Lama. "Sute, engkau sudah bertindak ceroboh. Gadis itu telah tewas, dan urusan tentu menjadi kacau. Mari kita cepat memperkuat daya pengaruh kita untuk memanggil Pek Han Siong ke sini!" Janghau Lama tidak berani banyak membantah lagi. Dia telah merasa bersalah. Tadi dia terlampau dipengaruhi nafsu birahi sehingga dia kurang waspada, mudah dibuat lengah oleh gadis itu yang membunuh diri. Pada hal dia hanya ingin main-main sebentar sebelum menawan gadis yang datang mengamuk itu. Dia tahu bahwa permainan mereka bertiga kini sudah diketahui orang. Buktinya gadis itu datang dan menyerang. Hal itu berarti bahwa gadis itu sudah mengetahui atau setidaknya menduga bahwa mereka memainkan suatu permainan rahasia. Janghau Lama cepat kembali ke tempatnya semula dan mereka bertiga mengerahkan seluruh kekuatan untuk memanggil Pek Han Siong melalui ilmu sihir. Bibir Janghau Lama terluka dan berdarah. *************** Han Siong merasa benar tarikan pengaruh yang amat kuat itu, sesuatu yang memanggil-manggilnya, yang seperti menyedotnya. Dia mengikuti daya tarikan ini dan kadang, kalau tarikan itu terasa terlalu kuat, dia meraba batu kemala yang tergantung pada lehernya dan tersembunyi di balik bajunya, lalu menempelkannya di atas tengkuknya. Dan benar saja. Setiap kali dia melakukan itu, daya tarikan itu menjadi berkurang banyak sekali kekuatannya. Dengan adanya bukti ini, hatinya menjadi tenang. Apa lagi mengingat bahwa tidak jauh di belakangnya ada sahabatnya yang sangat boleh dipercaya, yaitu Hay Hay. Meski pun bayangan itu suram muram, namun kini Han Siong mulai dapat mengingat apa yang terjadi tadi malam. Rasanya bagaikan orang mengenang sebuah mimpi yang sudah hampir terlupa saja. Akan tetapi, setiap kali dia mengingatnya bayangan itu cukup membuat mukanya berubah merah. Apa yang telah terjadi di dalam kamarnya Ci Goat itu! Bergidik dia mengenangkan semua itu. Walau pun hanya samar-samar, tapi dia dapat menduga apa yang telah terjadi. Di bawah pengaruh daya sihir yang amat kuat, yang bisa melumpuhkan semua kekuatan sihirnya sendiri, dia telah dituntun memasuki kamar Ci Goat dan dibangkitkan oleh gairah yang tidak wajar. Dia dapat pula membayangkan penyambutan Ci Goat. Gadis itu jatuh cinta kepadanya, bahkan ketika bersembahyang gadis itu mengaku bahwa dia mencinta dirinya dengan sepenuh jiwa raganya. Agaknya semalam gadis itu pun telah menyambutnya dengan suka rela. Setelah Ci Goat mendengar dari Hay Hay bahwa dia tak dapat menerima dan membalas cintanya, tentu gadis itu menjadi patah hati dan berduka. Karena itu, ketika malam itu dia memasuki kamarnya, agaknya gadis itu memperoleh harapan baru. Dan dia bergidik bila membayangkan apa yang tentu telah terjadi di antara mereka. Meski pun samar-samar namun dia masih ingat, dan bulu tengkuknya segera meremang bila mana dia membayangkan apa yang akan menjadi tanggung jawabnya. Walau pun dia melakukannya di luar kesadarannya, karena terpengaruh sihir, namun hal itu telah terjadi. Ci Goat kini telah ternoda, dan sebagai seorang jantan dia harus berani mempertanggung jawabkannya. Tarikan daya kekuatan itu menuntunnya ke sebuah bukit dan tak lama kemudian dia telah sampai di depan sebuah kuil tua. Jantungnya berdebar tegang. Kalau menurutkan suara hatinya, ingin dia menghajar tiga orang pendeta Lama itu karena mereka sudah membuat dia tanpa disadarinya telah menodai Ci Goat. Hal ini berarti akan merubah seluruh jalan hidupnya karena dia harus mengawini gadis itu! Sudah sepantasnya tiga orang pendeta Lama itu dihajar bahkan dibunuhnya! Akan tetapi dia teringat akan nasehat Hay Hay. Memang sebaiknya kalau dia menyelidiki dan membiarkan dirinya dibawa ke Tibet agar urusan dirinya dengan para Lama di Tibet segera dapat diselesaikan dan tidak berlarut-larut. Jika dia membunuh tiga orang pendeta Lama ini, maka semua jejak menuju ke Tibet akan terputus dan terhapus. Dia memasuki kuil tua itu karena ada dorongan atau tarikan yang amat kuat dari arah itu. Ketika dia masuk ke ruangan dalam itu, tiga orang pendeta Lama telah bangkit berdiri dan menyambutnya dengan sikap hormat. "Terima kasih bahwa Sin-tong sudah berkenan menerima undangan kami dan datang ke sini!" kata Gunga Lama sambil memberi hormat, diturut pula oleh dua orang sute-nya. Han Siong bersikap seperti seorang yang linglung. Dia membalas penghormatan itu, lalu menjawab dengan suara datar. "Sam-wi lo-suhu ada keperluan apakah mengundang aku ke sini?" "Sin-tong, ketahuilah bahwa engkau adalah calon junjungan kami, engkaulah calon Dalai Lama yang sejati. Sudah terlampau lama kami menantimu, Sin-tong, dan sekarang tibalah saatnya engkau ikut bersama kami pergi ke tempat di mana selayaknya engkau berada, yaitu di Tibet, untuk memimpin kami ke Jalan Terang. Marilah, ikutilah kami, Sin-tong, kita pergi sekarang juga ke barat." Di dalam suara itu terkandung kekuatan mukjijat dan Han Siong kini merasakan getaran yang sangat kuat. Di hadapan mereka, dia tidak mungkin dapat mempergunakan kemala mustikanya yang tergantung di lehernya, maka dia pun mengangguk dan berkata singkat, "Baiklah, aku menurut." Tiga orang pendeta Lama itu girang bukan main dan mereka lalu mengajak Han Siong ke luar dari kuil itu, langsung menuruni bukit menuju ke barat. Di dalam kesempatan ini diam-diam Han Siong menggerakkan kalungnya sehingga kemala itu berputar ke tengkuknya dan seketika dia merasa betapa tekanan atau tarikan yang memaksanya itu mengendur. Hal ini perlu dia lakukan agar dia jangan tenggelam ke dalam pengaruh sihir mukjijat itu. Di dalam keadaan setengah sadar ini dia masih mampu meneliti apa yang sesungguhnya terjadi dan dia dapat berpura-pura taat dan tunduk atas permintaan mereka. Sementara itu, Hay Hay yang membayangi di belakang mengambil jalan memutar dan dia memasuki kuil dari arah belakang. Akan tetapi ketika dia tiba di belakang kuil, dia melihat tubuh seorang wanita menelungkup. Jelas dia sudah tak bernyawa lagi. Hay Hay cepat menghampiri. Mayat itu masih baru, masih ada darah basah di kepalanya. Dengan sangat hati-hati dia membalikkan tubuh mayat itu dan hampir dia menjerit saking kagetnya. Ci Goat! Gadis ini telah mendahului Han Siong, entah bagaimana bisa sampai ke kuil ini dan terbunuh. Kepalanya pecah! Pada waktu melihat tiga orang pendeta Lama sedang mengajak Han Siong pergi ke Tibet, hatinya panas sekali. Siapa lagi yang membunuh Ci Goat kalau bukan mereka? Ingin dia menerjang dan menghajar mereka. Tetapi dia lantas teringat akan Han Siong yang sedang pura-pura takluk di bawah kekuasaan mereka. Tidak, dia harus bersabar. Bagaimana pun juga Ci Goat sudah tewas. Kini tinggal menyelesaikan urusan Han Siong dengan para pendeta Lama. Kasihan pemuda itu yang semenjak bayi terus dikejar-kejar sampai sekarang. Dia dan Han Siong harus menyelidiki sedalamnya, kalau perlu bertemu dengan pimpinan para Lama untuk mengajukan protes. Setelah urusan Han Siong selesai barulah dia akan membalas kematian Ci Goat yang penasaran itu, menuntut ketiga orang pendeta Lama ini. Setelah tiga orang pendeta Lama dan Han Siong meninggalkan kuil, dan melihat betapa mereka menuruni bukit menuju ke barat, dia lalu cepat mengubur jenazah Ci Goat dengan sederhana di belakang kuil itu. Kemudian dia menggunakan ilmu berlari cepat mengejar ke barat karena dia tadi mendengar bahwa mereka mengajak Han Siong pergi ke Tibet dan mereka tadi menuruni bukit ke arah barat. *************** Hari itu kota Pao-teng amat ramai. Maklum, dua hari lagi rakyat akan merayakan hari raya Tahun Baru Imlek. Beberapa hari sebelum Sincia (Tahu Baru Imlek) biasanya orang-orang sibuk berbelanja. Mereka membeli kain dan pakaian baru, juga membeli beberapa macam bahan untuk mengadakan sembahyangan dan pesta. Para pedagang pakaian, bahan masakan dan sembahyang yang lebih dulu berpesta pora mengumpulkan keuntungan karena seperti biasanya, pada hari-hari sebelum Sincia para pedagang itu akan kebanjiran pembeli. Dan seperti biasa pula, kalau pembelinya terlalu banyak, lebih banyak yang dibutuhkan dari pada persediaannya, maka harga-harga akan membumbung tinggi sehingga perut para pedagang menjadi semakin gendut. Semua orang nampak berseri wajahnya. Mereka yang saling mengenal, saling menegur di jalan dan ada yang bercakap dengan santai dan gembira. Ada para wanita yang bicara serius sambil berbisik, apa lagi yang dibicarakan kalau bukan desas-desus tentang wanita lainnya! Memang asyik membicarakan aib atau keburukan orang lain, karena kita merasa bersih dan tinggi ketika membicarakan kekotoran orang lain dan merendahkannya,. Para wanita yang biasanya lebih banyak tinggal di rumah, kini banyak yang meninggalkan rumah keluar ke jalan raya. Inilah kesempatan baik sekali bagi para pria tua muda. untuk memuaskan mata mereka dan mengagumi gadis-gadis manis yang banyak berkeliaran di jalan-jalan, toko-toko dan pasar untuk berbelanja. Daya tarik lawan jenis yang selalu dikekang demi sopan santun dan tata susila antara pria dan wanita, pada kesempatan itu agak longgar dan terlepas sehingga kedua belah pihak merasakan kegembiraan besar karena bisa saling pandang dan saling senyum. Yang pria mengambil sikap dan mengeluarkan kata-kata menyanjung atau menggoda, yang wanita menyembunyikan rasa gembira di balik senyum tersipu malu. Di dalam kesempatan semacam itu, bukan mustahil dua hati akan bertaut dan merupakan suatu awal menuju kepada ikatan pernikahan. Ada pula yang menjadi awal mala petaka karena terjadi pelanggaran susila dan penyelewengan. Di segala pelosok dunia, keadaan semacam ini sudah lazim terjadi. Kehidupan memang berputar di sekitar hubungan antara pria dan wanita. Seperti telah menjadi kebiasaan semenjak jaman dahulu, pada hari-hari menjelang Sincia sampai biasanya lima belas hari sesudah Sincia, orang-orang berpesta pora dan di mana-mana orang memasang petasan hingga keadaan menjadi meriah dan bising. Kebisingan suara petasan mendatangkan suatu perasaan gembira tersendiri di dalam hati manusia. Dan biasanya orang tidak merasa sayang menghamburkan uang untuk membeli petasan dan membakar petasan seperti sedang bersaing dengan orang lain. Makin besar petasan yang disulut, makin banyak, akan makin banggalah hati. Di antara sekian banyaknya orang yang berlalu lalang di jalan raya kota Pao-teng, tampak seorang gadis yang amat menarik. Memang banyak terdapat wanita cantik berkeliaran di jalan sebab boleh dibilang pada pagi hari itu semua wanita di kota Pao teng keluar rumah. Akan tetapi gadis ini memiliki daya tarik tersendiri yang membuat semua mata pria yang berpapasan di jalan tentu memandangnya dengan kagum. Bahkan beberapa pria sampai menoleh ke belakang untuk terus menikmati penglihatan yang menyenangkan itu. Dia adalah seorang gadis berusia antara sembilan belas sampai dua puluh tahun, bagai setangkai bunga yang sedang mekar semerbak. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan dagu runcing. Mulutnya kecil dengan sepasang bibir yang manis sekali, segar kemerahan, dan ujung hidungnya yang mancung dapat bergerak-gerak, lucu sekali. Matanya jeli dan sinarnya tajam, jika mengerling nampak anggun dan dapat meruntuhkan hati setiap orang pria. Pakaiannya dari sutera yang halus dan meski pun tidak terlalu mewah, namun pakaian itu rapi dan menunjukkan bahwa gadis itu bukanlah seorang miskin. Melihat sebuah buntalan panjang yang tergendong di punggungnya, mudah diduga bahwa dia tentu seorang gadis pendatang, bukan penduduk kota Pao-teng dan agaknya hari itu dia baru saja memasuki kota sehingga buntalan barangnya masih digendong di punggung. cerita silat online karya kho ping hoo Gadis manis itu bukan lain adalah Cia Kui Hong! Seperti yang sudah kita ketahui, dalam pemilihan ketua baru Cin-ling-pai, terjadi perebutan di antara Cia Kui Hong dan Tang Cun Sek. Sebenarnya Kui Hong tidak ingin menjadi ketua Ci-ling-pai, dan kalau dia mengikuti pemilihan itu hanyalah untuk mencegah agar kedudukan ketua Cin-ling-pai tidak terjatuh ke tangan Tang Cun Sek. Dia berhasil mengalahkan Cun Sek, lantas dia diangkat menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru, sedangkan Cun Sek minggat sambil membawa pergi Hong-cu-kiam, pedang pusaka Cin-ling-pai. Karena ia memang tidak suka menjadi ketua baru, Kui Hong lalu menyerahkan kekuasaan pimpinan Cin-ling-pai kepada Gouw Kian Sun, yaitu sute dari ayahnya, untuk mengurus perkumpulan itu. Dia sendiri lalu meninggalkan Cin-ling-san untuk mencari Tang Cun Sek dan merebut kembali Hong-cu-kiam, juga akan mencari Sim Ki Long dan merebut kembali Gin-hwa-kiam milik Pulau Teratai Merah yang dibawa minggat oleh Sim Ki Liong. Ada pun ayah dan ibunya, sesudah menyerahkan kedudukan ketua Cin-ling-pai, pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah. Demikianlah perjalanan singkat Cia Kui Hong sampai pada pagi hari itu dia memasuki kota Pao-teng. Dia turut merasa gembira melihat ramainya kota itu dengan penduduknya yang bergembira ria menyambut datangnya Sincia yang tinggal dua hari lagi. Akan tetapi di samping kegembiraannya, di sudut hatinya terdapat perasaan sedih dan juga kesepian karena dia teringat pada ayah ibunya, juga kepada kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, dan kepada kakeknya di Cin-Iing-pai. Pada hari Sincia, biasanya dia selalu berkumpul dengan keluarganya, dan terdapat suatu kegembiraan yang khas ketika berkumpul dengan seluruh keluarga pada hari Sincia itu. Sekarang dia menyambut menjelang Sincia seorang diri saja, di tempat asing di mana dia tidak mempunyai seorang pun kenalan. Dan yang lebih mengesalkan hatinya lagi, sampai sekian lamanya dia belum dapat menemukan jejak dua orang yang dicarinya, yaitu Tang Cun Sek dan Sim Ki Liong. Pada saat itu pula terdengar bunyi roda kereta dan sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda lewat di jalan raya itu. Semua orang minggir dan memberi jalan, dan banyak di antara mereka yang memberi hormat ke arah kereta. Kui Hong melihat bahwa kereta itu adalah milik seorang yang berpangkat tinggi. Hal ini mudah dilihat dengan adanya sebuah bendera kebesaran di kereta itu, juga ada selosin pasukan mengiringi kereta. Ketika kereta itu lewat di depan sebuah toko, seuntai mercon besar-besar yang disulut oleh pemiliknya tiba-tiba saja meledak-ledak dengan suara yang amat nyaring dan bising. Empat ekor kuda penarik kereta menjadi terkejut, dan dua di antaranya mengangkat kaki depan tinggi-tinggi, lalu empat ekor kuda itu meloncat ke depan dan lari ketakutan sambil berloncatan. Kusirnya terkejut dan berusaha menenangkan kuda. Dia bangkit berdiri, akan tetapi kuda-kuda itu semakin ketakutan, terus melonjak-lonjak sehingga kusirnya terlempar keluar dari atas kereta saking kuatnya guncangan itu! Empat ekor kuda itu lalu kabur! Melihat ini, para pengawal membalapkan kuda untuk menyusul. Akan tetapi mereka pun tidak mampu menenangkan kuda, bahkan kuda-kuda penarik kereta itu menjadi semakin panik ketika melihat banyak kuda para pengawal lari di samping mereka. Semua orang terbelalak dan merasa khawatir melihat peristiwa itu terjadi. Mereka yang mengenal bendera di atas kereta itu tahu bahwa yang duduk di dalam kereta itu adalah Cang Taijin, yaitu seorang pembesar dari kota raja yang amat terkenal karena dia adalah seorang menteri yang bijaksana dan disegani seluruh pembesar, bahkan menjadi tangan kanan kaisar! Selagi semua orang merasa panik, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke atas kereta yang sedang dibalapkan empat ekor kuda yang kabur itu. Semua orang terbelalak heran melihat betapa di tempat kusir tadi kini sudah berdiri seorang gadis yang manis sekali. Dia bukan lain adalah Kui Hong! Ketika tadi dia melihat kereta dibawa kabur dan kusirnya terpental keluar kereta, Kui Hong segera lari menghadang dan begitu kereta itu lewat, dia pun mempergunakan kelincahan tubuhnya, melompat ke atas kereta dan cepat dia menyambar kendali kuda yang terlepas. Dengan kekuatan sinkang-nya, dia lalu menarik kendali kuda itu. Empat ekor kuda itu meronta, melonjak-lonjak dan mempergunakan tenaga mereka untuk melepaskan kendali yang menarik kepala mereka ke belakang, namun sia-sia belaka dan akhirnya, biar pun mereka itu masih meringkik-ringkik, tetapi mereka tidak mampu kabur lagi. Dengan kepala ditarik ke belakang seperti itu mau tidak mau mereka menghentikan lari mereka sehingga kereta itu pun berhenti. Pintu kereta dibuka dari dalam dan keluarlah seorang pria setengah tua bersama seorang laki-laki muda. Mereka berpakaian serba indah, pakaian bangsawan. Pria yang usianya lebih dari lima puluh tahun dan bertubuh tegap itu nampak tenang ketika menuruni kereta, tetapi orang kedua, seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, nampak pucat dan kedua kakinya gementar ketika dia menuruni kereta. Kusir kereta segera naik ke atas kereta dengan pipi lebam dan pakaian koyak-koyak. "Terima kasih, Nona, terima kasih...!” katanya sambil menerima kendali kuda dari tangan gadis itu. Kui Hong hanya mengangguk, lalu dia pun melompat turun. Buntalan panjang tadi masih melekat di punggungnya dan dia sama sekali tidak kelihatan tegang, masih tetap tenang seolah-olah apa yang dia lakukan hanyalah permainan kanak-kanak saja. Pembesar itu menatap kepadanya sambil mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti pernah mengenal nona manis itu. Sebaliknya, Kui Hong yang memandang kepada pria itu juga segera menghampiri dan memberi hormat dengan mengangkat dua tangan ke depan dada. "Ahhh, kiranya Cang Taijin yang berada di dalam kereta!" serunya gembira sekali karena ternyata pejabat pemerintah yang ditolongnya itu adalah seorang pembesar yang sangat dikaguminya dan dahulu pernah dikenalnya, yaitu Menteri Cang Ku Ceng yang setia dan bijaksana. Sejak tadi menteri itu sudah merasa mengenal Kui Hong. Sekarang dia melangkah maju dan mendekat lalu membalas penghormatan gadis itu. "Maafkan aku, rasanya aku pernah mengenalmu, Nona, akan tetapi aku lupa lagi kapan dan di mana.” Kui Hong tersenyum, tidak tersinggung walau pun pembesar ini lupa kepadanya. Maklum, sebagai seorang pejabat tinggi yang berhubungan dengan banyak sekali orang, tentu saja tidak mungkin Cang Taijin ingat semua orang yang pernah dikenalnya. “Memang kita pernah saling jumpa ketika para pendekar membantu pasukan Cang Taijin membasmi pemberontak Kulana...” "Ahh, benar! Nona adalah seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa itu. Maafkan kalau aku sudah lupa, dan siapakah namamu, lihiap (pendekar wanita)?” "Nama saya Cia Kui Hong, Taijin." "She Cia? Ahh, sekarang aku ingat. Lihiap adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan? Lihiap adalah seorang di antara para pendekar wanita muda yang kami kagumi. Dan kini, lihiap pula yang telah menyelamatkan kami dari bahaya. Sun-ji, (anak Sun), ini adalah pendekar wanita Cia Kui Hong dari Cin-ling-pai yang tadi sudah menyelamatkan kita. Lihiap, dia ini adalah puteraku Cang Sun." Kui Hong memberi hormat kepada pemuda itu dan diam-diam dia kecewa. Dia mengenal Cang Taijin sebagai seorang pembesar yang bijaksana, setia dan juga pandai, akan tetapi mengapa puteranya ini demikian penakut? Memang tampan, tetapi tidak memiliki wibawa dan keagungan seperti ayahnya, malah pandang matanya mengandung kecabulan ketika menjelajahi tubuhnya. "Nona Cia Kui Hong, terima kasih atas pertolonganmu tadi," Cang Sun berkata sambil tersenyum. "Cia-lihiap, agaknya engkau baru saja masuk ke kota ini. Buntalan pakaianmu masih kau gendong...,” kata pembesar itu. "Memang, baru pagi ini saya memasuki kota Pao-teng ini, Taijin." "Jika begitu, mari engkau ikut bersama kami, lihiap, menjadi tamu kami yang terhormat." "Saya hanya akan mengganggu dan membikin repot saja, Taijin." "Ahh, sama sekali tidak, lihiap. Kami mempunyai rumah di Pao-teng sini, dan keluargaku akan merasa girang sekali menerimamu sebagai seorang tamu." "Akan tetapi saya hendak mengunjungi keluarga paman Cia Sun di dusun Ciang-si-bun di sebelah selatan kota raja," kata Kui Hong. Alasan ini bukan dicari-cari karena memang dia ingin berkunjung ke rumah pendekar Cia Sun. Sebenarnya Cia Sun masih terhitung paman dari ayahnya, akan tetapi karena usia Cia Sun sebaya dengan ayahnya, dia sudah biasa menyebutnya paman saja. Memang hubungannya dengan keluarga ini cukup dekat. Cia Sun bukan saja mempunyai hubungan darah dengan ayahnya, akan tetapi isteri Cia Sun yang bernama Tan Siang Wi juga merupakan seorang tokoh dan murid Cin-ling-pai, murid kongkong-nya. Dan puteri mereka, Cia Ling juga telah dikenalnya dengan baik sekali ketika mereka bersama terlibat dalam gerakan pembasmian gerombolan pemberontak yang dipimpin Kulana. Dia bukan hanya ingin berkunjung, melainkan juga hendak mencari jejak Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, dan bertanya kepada keluarga pendekar itu kalau-kalau mereka mendengar tentang dua orang yang dicarinya itu. "Ciang-si-bun? Keluarga Cia Sun? Ah, jangan khawatir, akan kami antarkan karena kalau kami pulang ke kota raja juga melewati dusun itu, dan kami adalah sahabat baik pendekar Cia Sun! Hari ini kita bermalam di Pao-teng dan besok kita ke kota raja, singgah di rumah keluarga pendekar Cia Sun. Engkau harus ikut menggembirakan kami dengan merayakan Sincia di rumah kami di kota raja, lihiap." Melihat sikap yang sangat ramah dan kesungguhan hati pejabat tinggi yang bijaksana itu, Kui Hong tidak dapat menolak lagi. Dia merasa kurang enak kalau menolak terus setelah pembesar itu bersikap sedemikian ramahnya. Dan dia pun tahu bahwa Menteri Cang Ku Ceng ini memiliki kedudukan yang amat tinggi, bahkan dia dihormati oleh semua pejabat lain. Hal itu telah dilihatnya sendiri ketika mereka bersama menghadapi gerombolan yang dipimpin Kulana beserta kawan-kawannya. Sungguh merupakan suatu kehormatan besar yang membanggakan kalau menjadi tamu pembesar ini, apa lagi tamu kehormatan! Sesudah Kui Hong menerima undangannya, Cang Taijin merasa girang bukan main. Dia mempersilakan Kui Hong duduk di dalam kereta bersamanya, dan menyuruh puteranya, Cang Sun supaya menunggang kuda. Kemudian kereta yang dikawal itu meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata banyak orang dengan kagum. Mereka bukan saja kagum melihat gadis manis yang menyelamatkan Cang Taijin, dengan keberanian luar biasa telah mampu menghentikan kereta yang dibawa kabur empat ekor kuda, namun juga kagum melihat gadis itu menjadi tamu terhormat dari seorang menteri yang demikian terkenal seperti Cang Taijin. *************** Cang Ku Ceng adalah seorang menteri yang bukan saja pandai dan bijaksana, akan tetapi juga sederhana. Karena ia selalu melaksanakan tugasnya tanpa dinodai perbuatan korup, seperti pembesar lain yang menyalah gunakan kedudukan untuk memperkaya diri sendiri, maka kehidupan keluarganya yang hanya mengandalkan pada penghasilan halal sebagai seorang menteri, tidak terlalu berlebihan. Isterinya berasal dari Poa-teng, maka tidak mengherankan apa bila menteri ini mempunyai sebuah rumah di kota ini. Rumahnya memang besar, akan tetapi tidak terlampau mewah, tidak seperti rumah para pembesar lain yang walau pun pangkatnya belum setinggi Cang Taijin, akan tetapi dalam hal kemewahan, menyaingi kehidupan kaisar sendiri. Isteri dan kedua orang selir Cang Taijin menerima Kui Hong dengan gembira dan ramah sekali sehingga lenyaplah perasaan rikuh dari hati gadis itu. Hanya seorang saja di dalam keluarga itu yang tidak begitu dia sukai, yaitu Cang Sun. Pemuda ini selalu memandang kepadanya dengan sinar mata penuh nafsu. Walau pun di hadapan ayahnya pemuda itu kelihatan pendiam dan tidak pernah mengganggunya, namun sinar mata dan senyumnya jelas membayangkan kegenitan yang cabul! Sesudah bicara dengan isteri dan dua orang selir Cang Taijin, baru Kui Hong tahu bahwa pemuda itu adalah putera dari salah seorang di antara dua selir itu, dan hanya Cang Sun seoranglah keturunan Cang Taijin. Isteri Menteri Cang adalah seorang wanita yang lembut dan ramah sekali dan dia segera akrab dengan Kui Hong. Nampak jelas betapa nyonya yang tidak mempunyai keturunan itu sangat sayang kepada Kui Hong. Dan melihat keakraban keluarga itu terhadap dirinya, Kui Hong merasa tidak enak kalau terus disebut lihiap (pendekar wanita), maka dia minta agar mereka menyebut namanya saja, tanpa sebutan pendekar wanita. Setelah menginap satu malam di rumah keluarga Cang di kota Pao-teng, pada keesokan harinya Cang Taijin menyuruh puteranya mengantar isteri serta dua orang selirnya pulang lebih dulu ke kota raja menggunakan sebuah kereta besar, ada pun dia sendiri bersama Kui Hong akan berkunjung ke rumah keluarga Cia Sun. Pada waktu komandan pengawal hendak membagi pasukan pengawal, Menteri Cang tertawa. "Ha-ha-ha-ha, aku melakukan perjalanan bersama nona Cia Kui Hong," katanya kepada komandan pengawal. "Dia sendiri sudah merupakan kekuatan pengawal yang tidak kalah oleh seratus orang prajurit pengawal!" Dia memerintahkan kepala pasukan pengawal itu supaya mengawal kereta keluarganya saja. Dia sendiri lalu menunggang kuda bersama Kui Hong dan menuju ke dusun Ciang-si-bun. *************** Cia Sun adalah seorang pendekar kenamaan yang memiliki ilmu tinggi. Dia adalah putera pendekar dari Lembah Naga Cia Han Tong yang menjadi ketua Pek-liong-pang. Sebagai putera seorang pendekar sakti, juga sempat menjadi murid dari Go-bi San-jin, maka Cia Sun mempunyai kepandaian yang tinggi. Tetapi wataknya sederhana dan pendiam, halus berwibawa. Dia tidak pernah menonjolkan diri dan kini, sesudah usianya empat puluh tiga tahun lebih, dia bahkan jarang sekali muncul di dunia persilatan. Dia tinggal di dusun Ciang-si-bun bersama isterinya yang bernama Tang Siang Wi. Walau pun isterinya tidak selihai dia, namun Tang Siang Wi yang sekarang berusia empat puluh satu tahun itu bukanlah wanita lemah. Dia pernah menjadi murid kesayangan ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Kong Liang, juga digembleng oleh isteri ketua itu. Bahkan pada waktu masih muda wanita ini pernah terkenal di dunia persilatan dengan julukan Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa) karena sikapnya yang sangat ganas dan tidak mengenal ampun terhadap para penjahat. Suami isteri ini hanya memiliki seorang anak saja, yakni anak perempuan yang bernama Cia Ling atau selalu di sebut Ling Ling. Ling Ling yang kini berusia delapan belas tahun itu sudah menikah dan kini tinggal bersama suaminya yang bernama Can Sun Hok di kota Siang-tan. Can Sun Hok sendiri adalah seorang pemuda perkasa yang kaya raya. Setelah Ling Ling pergi meninggalkan rumah orang tuanya untuk ikut bersama suaminya, maka Cia Sun dan isterinya hanya hidup berdua dan sering kali merasa kesepian. Karena dia seorang pendekar besar yang kenamaan, maka beberapa orang pejabat pemerintah kadang suka minta bantuannya untuk membasmi penjahat dan mengamankan daerahnya. Bahkan sesudah mendengar namanya, Menteri Cang Ku Ceng yang bijaksana dan dapat menghargai para pendekar lantas menghubunginya dan setelah bercakap-cakap, Menteri Cang merasa amat cocok dengan Cia Sun sehingga sering kali mereka saling berkunjung. Terjalinlah persahabatan antara menteri dan pendekar itu. Di dusun Ciang-si-bun, Cia Sun dan isterinya dikenal sebagai sepasang suami isteri yang amat dermawan. Karena semua penduduk dusun itu mengenal siapa mereka, tahu bahwa suami isteri pendekar itu mempunyai banyak kenalan di kalangan pembesar tinggi, maka tentu saja mereka semakin dihormati. Penduduk dusun Ciang-si-bun tidak akan merasa heran lagi bila mana melihat ada kereta pembesar dari kota raja yang datang berkunjung ke rumah keluarga pendekar itu, kereta yang dikawal oleh pasukan yang gagah. Akan tetapi banyak penduduk memandang heran ketika mereka melihat Menteri Cang datang bersama seorang gadis cantik yang gagah, berdua saja dan hanya berkuda tanpa pengawal. Akan tetapi Cia Sun dan isterinya yang menyambut dua orang tamu itu tak merasa heran setelah mereka tahu bahwa menteri itu datang bersama Cia Kui Hong yang mereka kenal sebagai seorang gadis gemblengan yang gagah perkasa. Mereka tadinya agak pangling, akan tetapi sesudah Kui Hong memperkenalkan diri, isteri Cia Sun, yaitu Toat-beng Sian-li Tang Siang Wi segera merangkul murid keponakan itu dengan gembira sekali. "Aih, ternyata engkau, Kui Hong! Pantas saja kali ini Cang Taijin datang berkunjung tanpa pengawal, kiranya ada engkau! Mari, mari, silakan masuk." Ia menggandeng tangan gadis itu dan diajaknya masuk ke dalam setelah memberi hormat kepada kepada Cang Taijin. Cang Taijin memang seorang pejabat tinggi yang amat bijaksana dan sederhana. Dia tak pernah mengangkat dirinya tinggi-tinggi karena kedudukannya. Biar pun keluarga Cia Sun hanya rakyat biasa, akan tetapi sesudah bersahabat, dia tidak memperkenankan keluarga itu memberi penghormatan yang berlebihan kepadanya, karena itu sambutan Cia Sun dan isterinya juga sederhana saja. Sebagai seorang menteri dia layak dihormati dengan berlutut, akan tetapi menteri ini tidak mau bila seorang sahabatnya menghormatnya sambil berlutut. Sungguh merupakan sikap yang amat bijaksana! Karena sikapnya inilah maka Cang Taijin amat dikenal dan disayang oleh rakyat. Diam-diam Cia Sun merasa heran bagaimana menteri itu sekarang berkunjung bersama Kui Hong, dan mengapa hubungan antara menteri itu dengan puteri ketua Cin-ling-pai itu nampak demikian akrabnya. “Kau tentu heran melihat aku datang ke sini bersama Kui Hong!" pejabat tinggi itu segera mendahului ketika dia melihat sikap Cia Sun, setelah mereka berempat duduk di ruangan dalam. Cia Sun mengangguk. "Benar sekali, Taijin. Bagaimana Taijin dapat bersama dengan Kui Hong dan agaknya ada keperluan yang amat penting dalam kunjungan Taijin sekali ini." Menteri Cang menggelengkan kepalanya. "Sama sekali tidak, bahkan ini hanya kunjungan sambil lalu saja, untuk menemani Kui Hong yang memang ingin berkunjung ke sini. Kau tahu, Taihiap, kemarin, Kui Hong telah menyelamatkan aku dari bahaya maut!" "Ahhh…?!" Cia Sun dan isterinya terkejut mendengar ini. "Aih, Cang Taijin terlalu membesarkan, harap Paman dan Bibi tidak menerimanya dengan sungguh-sungguh. Yang benar, kereta yang ditumpangi Cang Taijin dan puteranya dibawa kabur oleh empat ekor kuda yang menariknya dan aku hanya menenangkan kuda-kuda itu. Sebelum itu memang aku sudah pernah berkenalan dengan Cang Taijin, yaitu ketika penumpasan gerombolan Kulana dahulu itu. Tentu Paman dan Bibi sudah mendengarnya dari Ling Ling. Oh ya, di mana Ling Ling, Paman? Aku ingin sekali bertemu dengannya." Suami isteri itu memandang kepada Kui Hong. Disebutnya nama puteri mereka itu sudah membuat hati mereka terasa perih. Telah terjadi mala petaka atas diri puteri mereka, akan tetapi menurut keterangan Ling Ling, Kui Hong adalah satu-satunya orang yang dipercaya puteri mereka. Gadis itu tahu pula akan mala petaka yang menimpa diri Ling Ling. Peristiwa itu terjadi pada waktu Ling Ling berada di antara para pendekar yang membantu Cang Taijin membasmi gerombolan Kulana. Gadis yang sejak kecil telah mempelajari ilmu silat dan telah menjadi seorang pendekar wanita yang cukup tangguh, pada suatu malam telah dibuat tidak berdaya kemudian diperkosa seorang pria! Tadinya Hay Hay Si Pendekar Mata Keranjang yang dituduh sebagai pemerkosanya, akan tetapi akhirnya diketahui bahwa yang melakukan perbuatan jahat itu adalah Ang-hong-cu, Si Kumbang Merah, jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga) yang amat tersohor itu. Masih baik nasib puteri mereka karena ada seorang pemuda perkasa yang jatuh cinta padanya, yaitu Can Sun Hok, yang tetap mencintanya dan bahkan meminangnya biar pun dia tahu akan mala petaka dan aib yang menimpa diri gadis yang dicintanya itu. "Ling Ling telah menikah dan sekarang dia ikut dengan suaminya ke Siang-tan," kata isteri Cia Sun singkat. Berseri wajah Kui Hong mendengar berita itu. Syukurlah, demikian bisik hatinya. Kiranya Can Sun Hok, cucu Pangeran Can Seng Ong itu adalah seorang pemuda yang setia akan kasihnya. Dia tahu bahwa Can Sun Hok seorang pemuda yang baik sekali walau pun Can Sun Hok pernah mendendam kepada ibunya dan pernah memusuhi ibunya. Hal itu adalah karena Can Sun Hok hendak membalaskan kematian ibu kandungnya. Ibu kandung Can Sun Hok adalah mendiang Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa (Dewi Racun Wangi), seorang tokoh sesat yang tewas di tangan ibu kandungnya, pendekar Ceng Sui Cin. Akan tetapi ibunya bisa menyadarkan Sun Hok mengenai kejahatan ibu kandungnya sehingga pemuda itu mau menghabiskan dendamnya. Hal ini saja sudah memperlihatkan bahwa Can Sun Hok adalah seorang pemuda yang gagah perkasa. Hanya seorang gagah saja yang mampu menyadari kesalahan pihaknya sendiri. Karena itu, sesudah mendengar keterangan bibinya bahwa kini Ling Ling telah pindah ke rumah suaminya di kota Siang-tan, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa suami gadis itu tentulah Can Sun Hok yang rumahnya di kota itu. "Jadi dia sudah menikah dengan Can Sun Hok? Bagus sekali! Aku turut merasa bahagia, Paman dan Bibi. Akan tetapi, kenapa aku tidak diberi tahu? Keluarga kami tidak ada yang diundang...” "Maafkan kami. Atas kehendak mereka berdua, pernikahan itu memang tidak dirayakan. Karena tidak dirayakan, kami pun tidak mengundang tamu, apa lagi yang dari jauh karena hanya akan merepotkan saja. Harap maklum,” kata Cia Sun. Tentu saja Kui Hong maklum. Dalam keadaan ternoda aib seperti keadaan Ling Ling, dia dapat memaklumi apa bila pernikahan itu dilakukan secara sederhana dan diam-diam dia semakin iba kepada Ling Ling dan makin berterima kasih kepada Can Sun Hok. "Aku dapat memaklumi, Paman dan Bibi. Tidak mengapalah, kelak bila ada kesempatan tentu aku akan berkunjung ke rumah mereka di Siang-tan." "Sebenarnya urusan apa yang membawamu sampai ke sini, Kui Hong? Apakah engkau hanya pesiar dan sengaja hendak berkunjung ke rumah kami, ataukah ada kepentingan lainnya?” Cia Sun bertanya. Kui Hong memandang kepada Cang Taijin dan sambil tersenyum menteri ini lalu berkata, "Apakah kehadiranku mengganggu dan membuat kalian sekeluarga menjadi tidak leluasa untuk bicara? Kalau begitu, biar aku menyingkir ke ruangan lain lebih dulu." "Ah, tidak sama sekali, Taijin,” kata Kui Hong. "Jangan begitu, membuat saya merasa tak enak saja. Kalau orang lain mungkin saja kami anggap orang asing yang tidak berhak ikut mendengar, Taijin, akan tetapi Taijin kuanggap bukan orang lain lagi. Baiklah, akan saya ceritakan keperluan saya maka sampai ke sini." Dia lalu memandang kepada paman dan bibinya. "Paman Cia Sun dan Bibi, sebetulnya perjalananku sekali ini memang membawa tugas atau keperluan yang amat penting, yaitu mencari dua orang yang jahat. Karena aku belum dapat menemukan jejak mereka, maka aku mencari ke arah kota raja dan sekalian hendak berkunjung ke sini, selain sudah rindu juga siapa tahu kalau-kalau Paman dan Bibi dapat membantuku dan mendengar tentang dua orang yang kucari-cari itu." "Siapakah dua orang jahat yang sedang kau cari itu, Kui Hong? Terus terang saja, sudah lama sekali aku dan bibimu tak lagi berkecimpung di dunia kang-ouw sehingga kami tidak banyak mengetahui tentang mereka yang hidup di dunia sesat,” kata Cia Sun. "Aku pun ingin sekali mendengar siapa yang kau cari itu, Kui Hong. Barangkali aku dapat membantu pula," kata Menteri Cang Ku Ceng. "Nama mereka Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek." Cia Sun dan isterinya saling pandang, lalu mereka menggeleng kepala. Dua buah nama itu tidak ada artinya bagi mereka karena mereka belum pernah mengenalnya. Akan tetapi Cang Taijin mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat. "Sim Ki Liong?" katanya perlahan sambil mengingat-ingat nama itu. "Aku seperti pernah mendengar nama ini, akan tetapi kapan dan di mana?" “Taijin tentu pernah mendengarnya karena dia adalah seorang di antara tokoh jahat yang ikut membantu gerakan pemberontakan Kulana," kata Kui Hong. "Ah, benar! Tokoh yang lihai dan berhasil lolos dari kepungan para pendekar. Akan tetapi nama ke dua itu belum pernah aku mendengarnya." "Tentu saja belum, Cang Taijin. Yang bernama Tang Cun Sek itu adalah seorang murid Cin-ling-pai yang murtad." "Kui Hong, kenapa engkau bersusah payah mencari dua orang itu?" Cia Sun bertanya. "Sim Ki Liong pernah menjadi murid Pulau Teratai Merah, namun kemudian dia minggat sambil membawa lari pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari Pulau Teratai Merah, sedangkan Tang Cun Sek minggat melarikan pedang pusaka Hong-cu-kiam milik kongkong Cia Kong Liang." "Aihhh...!" Tan Siang Wi berseru marah mendengar betapa pedang pusaka milik gurunya dilarikan orang. "Sungguh kurang ajar benar Tang Cun Sek itu. Murid Cin-Iing-pai berani berbuat semacam itu!" "Aneh sekali memang," kata pula Cia Sun. “Mengapa ada murid Pulau Teratal Merah juga melarikan sebuah pusaka dari sana?" Kui Hong mengangguk. “Sepandai-pandainya orang, sekali waktu dapat saja dia lengah, Paman. Agaknya sekali ini pun, kedua kongkong (kakek), baik kakek Ceng Thian Sin dari Pulau Teratai Merah mau pun kakek Cia Kong Liang dari Cin-ling-pai, keduanya lengah sehingga ada orang jahat dapat menyusup masuk menjadi murid, yaitu Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek. Aku sudah berjanji kepada kedua kakekku untuk pergi mencari mereka dan merampas kembali kedua pedang pusaka itu." "Akan tetapi, sampai sekarang engkau belum berhasil menemukan jejak mereka?” Kui Hong menggeleng kepala. "Aku bertemu dengan Sim Ki Liong ketika kami membantu Cang Taijin membasmi gerombolan Kulana, akan tetapi tidak berhasil merampas kembali pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari Pulau Teratai Merah, bahkan dia berhasil meloloskan diri. Ada pun jejak Tang Cun Sek, sampai sekarang aku belum menemukannya. Sungguh aku akan merasa tidak enak kepada kedua kakekku bila gagal merampas kembali kedua batang pedang pusaka." "Hemmm, aku pun tidak pernah mendengar berita tentang Sim Ki Liong yang tempo hari lolos," kata Cang Taijin, "akan tetapi aku akan dapat memerintahkan orang-orangku agar menyebar para penyelidik untuk mencari jejak dua orang itu. Jangan khawatir, Kui Hong, engkau tinggallah di rumah kami di kota raja. Aku yakin orang-orangku yang banyak akan segera dapat menemukan jejak mereka. Yang seorang lagi... aku tidak pernah mengenal nama Tang Cun Sek. Akan tetapi she Tang? Hemm, hal itu mengingatkan aku akan suatu peristiwa yang sampai sekarang masih terasa tidak enak bagiku. Mungkin engkau dapat membantuku melakukan penyelidikan di kota raja, Kui Hong." “Ada peristiwa hebat dan penting apakah yang terjadi di kota raja, Cang Taijin?" tanya Cia Sun setelah mempersilakan tamunya minum dan makan hidangan yang dikeluarkan oleh para pelayan. Cang Taijin minum air teh yang dihidangkan, lalu menghela napas panjang. "Sebenarnya urusan itu amat menggelisahkan, akan tetapi bagi kami juga mengalami kesukaran untuk memecahkannya, karena menyangkut urusan dalam istana Sribaginda Kaisar! Mula-mula terjadi penyelewengan yang dilakukan seorang selir Sribaginda dengan seorang perwira muda she Tang. Tidak ada yang tahu akan peristiwa itu sampai pada suatu malam, selir itu bersama dayangnya lenyap dari dalam istana. Tak seorang pun menduga bahwa selir itu kiranya berhubungan gelap dengan perwira pengawal istana yang bernama Tang Gun itu. Sribaginda menjadi marah sekali dan sudah menyebar orang untuk mencari selir yang hilang, namun sia-sia belaka karena disembunyikan oleh Tang Gun, perwira muda yang menjadi kekasihnya itu." Cia Sun, isterinya, dan Kui Hong mendengarkan penuh perhatian. Biar pun agaknya tidak ada hubungannya dengan mereka, akan tetapi mereka maklum bahwa bila Menteri Cang Ku Ceng telah menceritakan sesuatu hal, maka tentu urusan itu amat penting. Cang Taijin kembali meneguk air the, lalu melanjutkan ceritanya. "Nah, selagi kaisar marah dan semua petugas sudah hampir putus harapan untuk dapat menangkap selir dan dayangnya yang melarikan diri secara aneh, muncullah orang gagah yang bernama Tang Bun An itu. Dan dia telah menangkap Tang Gun dan selir itu, berikut dayangnya. Dia menghadapkan ketiga orang itu kepada kaisar yang tentu saja berterima kasih kepadanya. Selir dan dayang itu dihukum menjadi nikouw, sementara perwira Tang Gun dihukum buang." Menteri Cang berhenti pula. "Ahh, Taijin, kalau begitu, berarti urusannya sudah selesai, bukan? Yang bersalah sudah ditangkap dan dihukum," kata Kui Hong. "Urusan bukan hanya sampai di situ," kata Menteri Cang. "Masih ada kelanjutannya dan dalam urusan itu terkandung hal-hal yang aneh. Apakah kalian tidak merasakan sesuatu yang aneh?" "Hanya ada satu hal yang sedikit aneh, Taijin. Perwira yang melarikan selir kaisar itu she Tang, dan penangkapnya juga seorang yang she Tang. Apakah ini kebetulan saja?" tanya Cia Sun. Menteri Cang mengangguk. "Memang hal itu juga menarik perhatian dan sudah kuselidiki pula. Akan tetapi agaknya tidak terdapat hubungan kekeluargaan antara Tang Bun An dan Tang Gun itu, karena keduanya hidup sebatang kara dan tidak berkeluarga. Namun ada hal lain yang amat menarik. Tang Gun telah dijatuhi hukuman buang, tapi ketika hukuman dilaksanakan dan dia dikawal menuju ke tempat pembuangan, di tengah perjalanan dua orang pengawal itu dibunuh orang dan Tang Gun meloloskan diri. Tak seorang pun tahu siapa penolongnya itu." "Hemm, sungguh menarik sekali!" kata Kui Hong. "Peristiwa itu penuh teka-teki." "Ada satu hal lain yang kiranya patut kalian ketahui, yaitu bahwa pada saat masih menjadi perwira pengawal istana, Tang Gun sering kali membual bahwa dia adalah keturunan Si Kumbang Merah." "Ahhh...!" Seruan itu keluar dari tiga mulut pendengarnya, hampir berbareng. Nama Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) bukan nama asing bagi mereka, bahkan nama yang tak pernah mereka lupakan. Bagi Cia Sun suami isteri, nama itu amat dibenci karena Ang-hong-cu itulah yang pernah memperkosa puteri mereka! Dan bagi Kui Hong, dia pun sudah terlalu sering mendengar nama itu, bahkan dia pernah bertemu dengan Ang-hong-cu yang menyamar menjadi Han Lojin.....

jilid 16


Han Lojin ini pun malah membantu para pendekar dalam membasmi gerombolan Kulana! Bahkan lebih dari itu. Di dalam penyamarannya sebagai Ang-hong-cu, Han Lojin ini diakui oleh Hay Hay sebagai ayah kandungnya! Dan sekarang, Tang Gun itu mengaku sebagai keturunannya, berarti bahwa Tang Gun adalah seayah dengan Hay Hay. Tentu saja hal itu mengejutkan hati mereka bertiga yang mendengar keterangan Menteri Cang Ku Ceng. "Kalau begitu, sangat boleh jadi orang yang membebaskan Tang Gun adalah Si Kumbang Merah sendiri!" kata Kui Hong. Pembesar itu mengangguk-angguk. "Memang boleh jadi, akan tetapi siapa tahu? Sebelum kami dapat menangkap Tang Gun yang menjadi buronan, kami tak akan bisa mengetahui siapa yang membebaskannya. Akan tetapi yang akan kubicarakan ini adalah urusan lain. Mengenai Tang Gun, biarlah tak perlu kita pikirkan karena dia sudah menjadi pelarian dan buruan pemerintah. Ada soal lain yang memusingkan akan tetapi juga mengkhawatirkan bagiku, yaitu mengenai Tang Bun An." "Orang yang menangkap Tang Gun dan selir Sribaginda itu, Taijin?" tanya Cia Sun. “Ada apa dengan dia ?” tanya Kui Hong. "Tang Bun Ang sudah berjasa dengan menangkap selir dan Tang Gun, maka Sribaginda tentu saja tidak akan melupakan jasanya. Dia sudah diangkat menjadi seorang panglima yang memimpin seluruh pasukan pengawal istana!" "Wah, tinggi benar kedudukan itu!" seru Cia Sun. "Hemmm, apakah dia mempunyai kemampuan untuk menjadi komandan seluruh pasukan pengawal istana?" Tan Siang Wi turut pula bertanya. Walau pun dia tidak banyak cakap, namun nyonya ini juga amat tertarik dan mencurahkan perhatian karena yang dibicarakan itu amat penting dan tadi menyangkut pula nama Ang-hong-cu. "Tentu saja dia tidak diterima secara begitu saja. Dia telah diuji oleh Sribaginda dan diadu melawan Perwira Coa, raksasa yang sangat kuat dan lihai, jagoan di antara para perwira pengawal. Dan dia menang! Agaknya Tang Bun An itu memang memiliki ilmu silat yang lihai sekali, dan memang pantas dia menjadi komandan pasukan pengawal. Semenjak dia menjadi komandan pengawal, keamanan dan ketertiban di istana lebih terjamin.” "Kalau begitu, apa yang menjadi persoalannya?" tanya Kui Hong heran. Menteri Cang Ku Ceng menghela napas panjang. "Sebetulnya urusan ini terlampau kecil untuk ditangani oleh seorang pejabat tinggi, bahkan dapat memalukan. Karena itu para pejabat tinggi di kota raja pura-pura tidak tahu saja bila mendengarnya,. Akan tetapi, biar pun aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa, namun hatiku selalu gelisah akan keselamatan Sribaginda Kaisar. Semua ini disebabkan oleh desas-desus yang bocor dari istana bahwa kalau dahulu terjadi aib karena penyelewengan seorang selir dengan perwira Tang Gun, maka kini terjadi aib yang lebih besar lagi!” Sebagai seorang gadis, tentu saja Kui Hong merasa rikuh dan malu untuk mendesak dan minta penjelasan mengenai penyelewengan dan aib seperti itu, walau pun hatinya tertarik sekali. "Ada terjadi penyelewengan apa lagi, Taijin?" Tan Siang Wi yang bertanya. "Ada desas-desus bahwa kini sudah terjadi penyelewengan lagi, bukan oleh seorang dua orang selir, bahkan semua selir terlibat, melakukan penyelewengan dengan seorang laki-laki!" "Ahh, bagaimana mungkin itu? Bukankah istana dijaga ketat oleh para pengawal luar dan dalam, bahkan masih banyak pula para thai-kam (laki-laki kebiri) yang berjaga di bagian puteri?" seru Cia Sun. "Itulah sebabnya maka berita itu hanya merupakan desas-desus yang tidak ada buktinya sehingga sukar sekali bagi kami untuk melakukan tindakan. Bahkan para thai-kam sendiri tidak ada yang membenarkan adanya desas-desus itu. Pernah hal itu disinggung secara halus kepada Hong-houw (permaisuri), akan tetapi beliau marah-marah dan mengatakan bahwa selama dia berada di istana maka hal kotor itu takkan mungkin terjadi! Nah, kalau permaisuri sendiri sudah mengatakan demikian, apa yang dapat kami lakukan?" "Taijin, kalau demikian halnya, maka mungkin desas-desus itu hanya kabar bohong saja yang timbul karena pengaruh peristiwa yang lalu antara seorang selir dan Tang Gun itu." "Kurasa tidak sesederhana itu, Kui Hong. Engkau tentu tahu bahwa kalau ada asap, biar pun sedikit, tentu ada apinya. Kalau ada desas-desusnya, tentu ada kenyataannya." Kui Hong mengerutkan kedua alisnya. "Maaf, Taijin, akan tetapi saya tidak sependapat. Bagaimana kalau desas-desus itu sengaja disiarkan oleh seseorang untuk menjatuhkan fitnah?" “Kurasa tidak demikian karena desas-desus itu mula-mula keluar dari mulut seorang thai-kam tua yang mati karena sakit. Beberapa saat sebelum mati dia mengeluarkan ucapan itu, bahwa para selir tidak ada yang setia, semuanya melakukan penyelewengan dengan seorang pria.” "Dan pria itu…?" Kui Hong mendesak. "Itulah! Thai-kam itu tidak sempat menceritakan siapa lelaki itu. Andai kata dia menyebut nama pun, siapa percaya? Tidak mungkin kami bertindak tanpa bukti,." "Dan Taijin agaknya sudah mempunyai prasangka siapa lelaki itu?" Pembesar itu menghela napas dan menggelengkan kepala. “Aku tidak mau sembarangan menuduh. Hanya menurut penyelidikanku, orang yang bernama Tang Bun An itu memang aneh. Sesudah dia menjadi seorang komandan pasukan pengawal, memang dia bersikap baik, sopan santun, tegas, bahkan dia juga sering memberi latihan silat yang baik kepada anggota pasukannya. Akan tetapi, apa bila kita menjenguk keadaan di rumah tinggalnya, hemm...!” "Mengapa, Taijin?" tanya Cia Sun. "Dia tidak berkeluarga, akan tetapi di rumahnya penuh dengan wanita-wanita muda yang cantik! Bahkan kumpulan wanita-wanita itu lebih banyak dan lebih cantik dari pada para selir Sribaginda sendiri! Dan menurut keterangan yang kuperoleh, Tang Bun An itu masih terus mengumpulkan wanita, sering mengganti yang lama dengan yang baru. Kabarnya dia memang seorang lelaki yang gila wanita!" "Hemm, tapi apa hubungannya hal itu dengan penyelewengan para selir?" tanya Cia Sun. "Memang tidak ada kaitannya, hanya harus diingat bahwa yang berkuasa dalam urusan keamanan di istana adalah Tang Bun An, dan mengingat bahwa dia adalah seorang yang gila wanita...” "Berapa usianya, Taijin?" tiba-tiba Kui Hong bertanya. "Menurut pengakuannya, sudah lima puluh lima tahun, akan tetapi kelinatannya jauh lebih muda." "Ihhh...!" Kui Hong berseru dan bangkit berdiri. "Dialah itu!" "Siapa, Kui Hong?" Pembesar itu memandang kepadanya dengan tajam. "Ang-hong-cu...!” “Ahhh...!” Cia Sun dan isterinya berseru dan mereka pun bangkit berdiri. Menteri Cang Ku Ceng tersenyum kemudian mengangkat kedua tanganya. “Harap kalian tenang dan silakan duduk kembali.” Kui Hong, Cia Sun dan Tan Siang Wi duduk kembali. Pembesar itu mengangguk kepada Kui Hong dan berkata, "Dugaanku juga persis seperti dugaanmu, akan tetapi setelah kuteliti kembali, ternyata tak ada alasan untuk menyangka bahwa Tang Bun An adalah Si Kumbang Merah atau yang dulu menyamar sebagai Han Lojin. Biar pun usianya sebaya dan kesukaannya sama...” “Akan tetapi ada hal yang belum Taijin ketahui. Si Kumbang Merah itu juga she Tang!" kata Kui Hong, teringat bahwa Hay Hay adalah she Tang, yaitu nama selengkapnya Tang Hay. Mendengar ini, sepasang mata pembesar itu terbelalak. "Ahhh, benarkah itu? Dan nama lengkapnya?” "Saya tidak tahu nama lengkapnya, Taijin, akan tetapi jelas bahwa dia she Tang." "Hemm, kalau begitu dia semakin mencurigakan. Akan tetapi persamaan nama keturunan bukan merupakan bukti yang sah. Bisa saja orang lain mempunyai she yang sama. Aku sudah mengenal Han Lojin dan tahu akan ciri-cirinya, tetapi Tang Bun An ini sama sekali berbeda dengan Han Lojin. Agaknya Han Lojin lebih kurus dan lebih tinggi, juga Han Lojin memelihara kumis dan jenggot yang rapi, akan tetapi Tang Ciangkun ini mukanya bersih dan halus tanpa jenggot atau pun kumis. Juga sikapnya, gerak-gerik dan suaranya sangat berbeda." "Taijin, ada ilmu penyamaran yang dengan mudah akan dapat mendatangkan perbedaan-perbedaan itu. Tinggi orang dapat ditambah dengan ganjal dalam sepatu. Gerak gerik dan sikap dapat dibuat-buat, dan suara dapat diubah kalau mulut mengulum sesuatu. Jenggot dan kumis dapat dicukur...” "Benar, Kui Hong, akan tetapi andai kata benar bahwa Tang Bun An adalah Si Kumbang Merah atau Han Lojin, berarti Tang Gun itu adalah puteranya sendiri. Bagaimana mungkin dia menangkap dan mencelakai puteranya sendiri?" Mereka tertegun dan termenung, akan tetapi hati mereka semua tertarik sekali. Kemudian Kui Hong bertanya, "Tadi paduka mengatakan bahwa saya. dapat membantu paduka, lalu bantuan apa yang dapat saya lakukan, Taijin?" "Menurut suara hatiku, perubahan di dalam istana itu, geger tentang penyelewengan para selir itu, mulai terjadi semenjak Tang Bun An menjadi komandan pasukan pengawal. Oleh sebab itu menurut pendapatku dia pasti terlibat atau setidaknya dia mengetahui apa yang terjadi di istana dan kalau benar para selir itu menyeleweng, siapa pria yang berani mati menodai istana itu. Dan sekarang aku bertekad untuk menyelidiki keadaan dalam istana, khususnya dalarn istana bagian puteri. Oleh karena itu, hanya engkaulah yang akan dapat menolong dan membantuku, Kui Hong." "Bagaimana caranya, Taijin." "Nanti hal itu akan kita rundingkan dulu di rumahku, Kui Hong. Yang penting, bersediakah engkau membantuku, demi keselamatan kaisar dan keamanan negara?" "Saya bersedia, Taijin!” "Bagus, bagus! Legalah hatiku, Kui Hong! Aih, kalau saja engkau selalu dapat berdekatan denganku, sebagai anakku... atau sebagai... mantuku, aku akan selalu merasa aman dan senang." “Ihhh, Taijin...!” Kui Hong berkata tersipu dengan kedua pipi berubah merah. "Apa salahnya? Cia-taihiap, bagaimana menurut pendapatmu? Sudah pantaskah jika Kui Hong menjadi mantuku? Atau kalau dia tidak cocok dengan puteraku, bagaimana kalau dia menjadi anak angkatku?" Cia Sun saling pandang dengan isterinya dan mereka mengangguk-angguk. "Paduka adalah seorang menteri yang dikenal pandai dan bijaksana, sedangkan Kui Hong adalah seorang gadis pendekar yang gagah perkasa dan budiman, tentu saja sudah cocok dan pantas sekali, Taijin!" kata Cia Sun dan tentu saja Kui Hong menjadi semakin tersipu malu. Setelah bercakap-cakap hingga tengah hari, Menteri Cang kemudian berpamit dan dia pun mengajak Kui Hong melanjutkan perjalanan berkuda menuju ke kota raja. Kui Hong yang menganggap bahwa tugas yang hendak diserahkan kepadanya sangat penting, mengikuti pembesar itu dengan hati yang terasa tegang karena dia akan berurusan dengan istana kaisar! *************** Walau pun dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya besar di tangan tiga orang pendeta Lama yang sakti itu, akan tetapi Pek Han Siong tidak merasa gentar, bahkan dia berbesar hati. Tiga orang pendeta Lama yang memiliki ilmu sihir yang amat berbahaya itu dapat dia hadapi dengan perlindungan batu giok mustika yang dia terima dari Hay Hay. Di samping itu dia pun merasa yakin bahwa Hay Hay selalu membayanginya dan selalu siap untuk membantunya bila mana dirinya terancam bahaya maut. Dan sebagai seorang sahabat, dia dapat mengandalkan kemampuan Hay Hay. Jika mereka berdua yang maju bersama, maka dia sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang bagaimana pun. Han Siong bahkan merasa gembira mengingat akan ajakan Hay Hay untuk bertualang ke Tibet. Memang urusannya dengan Dalai Lama harus diselesaikan dengan baik. Jika tidak, selama hidupnya dia akan dibayangi ancaman dari Tibet yang agaknya tidak pernah mau menghentikan usaha mereka untuk menculik dan membawanya ke Tibet untuk dijadikan Dalai Lama! Dan bertualang bersama seorang sahabat seperti Hay Hay tentu akan menggembirakan. Bukan hanya karena Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang boleh diandalkan dan juga memiliki ilmu sihir yang kuat, namun dia juga sudah mengenal Hay Hay sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi walau pun mata keranjang tidak ketulungan lagi. Kini dia mulai mengenal Hay Hay. Memang mata keranjang, akan tetapi tidak pernah melakukan pelanggaran susila. Akan tetapi kegembiraan itu segera lenyap bila dia teringat kepada Ouw Ci Goat, teringat akan peristiwa yang terjadi di malam jahanam itu. Biar pun di luar kesadarannya, biar pun dia telah menggauli Ci Goat di luar kehendaknya dan di bawah pengaruh ilmu hitam yang jahat, namun dia harus bertanggung jawab! Dan inilah yang amat menyusahkan hatinya. Dia harus mengawini Ci Goat untuk menebus aib yang diderita gadis itu, akan tetapi hal itu akan dilakukannya secara terpaksa karena sesungguhnya, walau pun dia merasa suka dan kasihan kepada Ci Goat, namun dia tidak mencintanya. Han Siong mengira bahwa perjalanan menuju Tibet itu tentu akan memakan waktu yang sangat lama. Namun sungguh di luar dugaannya bahwa ketika mereka tiba di perbatasan Tibet, tiga orang pendeta Lama itu bukannya melanjutkan perjalanan ke barat, melainkan mengajaknya menuju ke sebuah bukit. Pada saat tiga orang pendeta Lama itu mengajak membelokkan perjalanan menuju bukit, mereka baru saja tiba di sebuah dusun yang indah di perbatasan Tibet. Dusun ini bernama Wang-kan di kaki Pegunungan Ning-jing-san, di sebelah timur Sungai Lan-cang (Mekong). Tiga orang pendeta Lama itu mengajak Han Siong singgah pada sebuah kedai makan di dusun Wang-kan itu, sebuah kedai yang menjual makanan cia-jai (pantang daging). Ketika tiga orang pendeta Lama bersama Han Siong memasuki kedai yang cukup besar itu, para pelayan segera menyambut mereka dengan sikap hormat. Agaknya ketiga orang pendeta Lama ini tidak asing di situ dan melihat sikap para pelayan itu, mereka nampak takut-takut sehingga Han Siong dapat menduga bahwa tiga orang pendeta ini merupakan tokoh-tokoh yang ditakuti orang di daerah itu. Padahal kota Lasha, ibu kota Tibet di mana Dalai Lama tinggal, masih cukup jauh dari situ. "Hidangkan sayur dan roti terbaik, kami lapar sekali. Juga arak yang tua, hawanya begini dingin dan kami ingin menghangatkan badan,” kata Pat Hoa Lama, orang yang termuda di antara tiga pendeta Lama itu. Han Siong tak merasa heran mendengar pendeta itu memesan minuman arak, minuman yang biasanya dipantang oleh para pendeta. Selama dalam perjalanan tiga orang pendeta Lama itu bukan saja minum arak, bahkan tidak pantang daging pula! Dan para pelayan di kedai makan itu pun agaknya tidak merasa heran. Hal ini saja sudah aneh dan tidak sewajarnya, pikir Han Siong. Memang ada banyak hal yang mencurigakan pada tiga orang pendeta Lama ini. Pernah pada suatu malam ketika Han Siong pura-pura pulas, dia mendengar ketiga orang pendeta Lama ini membicarakan wanita, pengalaman mereka dengan para wanita dan dia mendapat kesan bahwa mereka pun agaknya tidak pantang menggauli wanita! Orang-orang macam apakah para pendeta Lama ini, yang mengaku sebagai utusan Dalai Lama? Padahal menurut apa yang pernah didengarnya, Dalai Lama serta para pendeta Lama di Tibet adalah orang-orang yang memusatkan seluruh kehidupan mereka untuk urusan rohani, bukan saja pantang makanan barang berjiwa dan pantang minuman keras, juga pantang bergaul dengan wanita dan menjauhi kesenangan dunia. Namun tiga orang pendeta Lama ini makan daging, minum arak dan bicara tentang wanita! Akan tetapi tentu saja Han Siong pura-pura tidak mempedulikan semua itu. Setiap malam dia selalu merasa betapa ada daya tarik yang amat kuat, dan dia tahu bahwa pada saat seperti itu, tiga orang pendeta Lama itu memperkuat pengaruh ilmu hitam mereka kepada dirinya dan dia pun berpura-pura jatuh di bawah pengaruh mereka. Kalau timbul dorongan supaya dia tidur pulas, dia pun pura-pura tidur! Padahal, dengan bantuan pengaruh batu giok mustika, dia mampu menolak semua pengaruh ilmu hitam itu, diperkuat oleh tenaga saktinya sendiri. Ketika hidangan dikeluarkan, tanpa ragu dan tanpa rikuh lagi Han Siong juga ikut makan. Diam-diam dia menduga di mana adanya Hay Hay dan apakah kawannya itu pun sedang makan. Dia kagum bukan main karena selama dalam perjalanan ini dia tak pernah melihat bayangan Hay Hay. Begitu pandainya Hay Hay membayangi perjalanan mereka sehingga sama sekali tidak sampai terlihat atau terdengar oleh mereka yang dibayangi. Selagi mereka makan dan hampir selesai, tiba-tiba saja masuklah seorang tamu baru dan melihat betapa tiga orang pendeta itu menoleh dengan mata terbelalak kagum, Han Siong pun melirik. Dan dia pun merasa kagum. Gadis yang memasuki kedai itu memang pantas untuk dikagumi oleh setiap orang pria. Seorang gadis yang bentuk tubuhnya tinggi semampai dan padat, dengan lekuk lengkung yang sempurna, dada bidang membusung, leher panjang, pinggang ramping dan pinggul besar dan bulat. Wajahnya manis sekali dan rambutnya yang hitam panjang dikuncir dua seperti kebiasan gadis Tibet. Kulit mukanya putih kemerahan dan segar, sepasang mata sipit akan tetapi bersinar tajam, sepasang alis yang hitam sekali, subur namun bentuknya kecil panjang melengkung, hidungnya agak besar seperti hidung kebanyakan orang Tibet. Namun mulutnya kecil, dengan sepasang bibir yang penuh dan kemerahan karena sehat. Pakaiannya sederhana dan ringkas, pakaian wanita Tibet pada umumnya. Yang menarik, pada ikat pinggangnya terselip sebatang pecut yang biasanya dipergunakan orang untuk menggembala ternak. Han Siong yang melirik merasa heran sekali. Apakah gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun ini seorang gadis penggembala? Akan tetapi, ketika dia melangkah masuk ke dalam kedai makan itu, langkahnya bebas dan tegap, sama sekali tidak malu-malu seperti kebiasan gadis dusun. Bahkan sepasang mata yang sipit itu dengan terbuka melihat ke kanan kiri dan memandang kepada tiga orang pendeta Lama penuh perhatian. Kemudian, ketika gadis itu memandang kepadanya, sepasang alis yang hitam subur itu berkerut. Hanya sebentar karena gadis itu sudah disambut oleh seorang pelayan tua yang tersenyum ramah kepadanya. "Heii, nona Mayang! Kiranya engkau sudah kembali lagi dari mengantar domba-domba itu menyeberangi Sungai Lan-cang? Silakan duduk, hendak makan sayur labu kesukaanmu itu?" Dara itu tersenyum dan Han Siong semakin kagum. Indah bukan main deretan gigi seperti mutiara teratur rapi itu ketika gadis yang disebut Mayang itu tersenyum. “Benar, Paman, sudah menyeberang dengan selamat. Ya, aku ingin makan dengan sayur labu, dan tolong beri anggur manis." Pelayan itu mengangguk-angguk dan kini Han Siong melihat betapa ketiga orang pendeta Lama itu berbisik-bisik di depannya. Dia pura-pura tidak melihat atau mendengar, seperti orang yang setengah sadar, akan tetapi diam-diam dia memperhatikan dan mendengar Pat Hoa Lama yang dia tahu paling cabul dan mata keranjang itu berbisik kepada dua orang temannya. "Wah, Suheng, tidak kusangka di sini terdapat yang seperti dia! Hebat...! Ahh, sebaiknya kalau malam ini kita bermalam di sini semalam. Bagaimana?" Gunga Lama yang paling tua di antara mereka, menyeringai! "Dasar engkau rakus dan mata keranjang, Sute. Baiklah, namun harus aku yang pertama kali menghisap madu kembang itu." Mereka bertiga menyeringai dengan lagak genit dan diam-diam Han Siong mengerahkan tenaga batinnya untuk bersabar agar mukanya tidak membuka rahasia hatinya. Meski pun dia tidak mengenal gadis itu, tetapi kalau tiga orang monyet tua ini hendak mengganggu gadis itu, terpaksa dia akan turun tangan menghalangi mereka. Biar sandiwaranya gagal tidak mengapa, karena bagaimana pun juga dia tidak rela membiarkan kekejian terjadi di depan matanya tanpa dia melakukan sesuatu untuk menentangnya. Sesudah selesai makan, Pat Hoa Lama bangkit dari tempat duduknya dan dengan lagak seorang pendeta sejati, dia pun menghampiri meja gadis manis itu dan merangkap kedua tangan di depan dada sambil membungkuk. "Omitohud..., semoga engkau dilimpahi berkah yang membuat hidupmu bahagia, Nona." Gadis yang sedang makan itu mengangkat wajahnya dan memandang kepada pendeta Lama yang berdiri di depannya. Han Siong melirik dan dia pun melihat betapa sepasang mata pendeta Lama itu mencorong penuh wibawa, maka tahulah dia bahwa Pat Hoa Lama telah menggunakan sihir untuk mempengaruhi gadis itu! Akan tetapi dia belum berani melakukan sesuatu, hendak melihat terlebih dulu bagaimana perkembangan selanjutnya. Kalau sudah mencapai titik berbahaya bagi gadis itu, barulah dia akan turun tangan dengan resiko permainan sandiwaranya akan ketahuan. Dia melihat gadis itu mengejap-ngejapkan matanya yang sipit, lalu dia pun berkata dengan lembut, "Maafkan aku, lo-suhu. Sayang sekali aku belum menerima upah menggiring sekelompok domba itu menyeberang sehingga hari ini tak mungkin aku bisa menyerahkan sumbangan kepadamu. Uangku hanya cukup untuk pembayar makanan ini. Maaf, dan lain kali saja.” Pat Hoa Lama kelihatan tersenyum dan mengangguk-angguk. “Omitohud, Nona memang dermawan dan bijaksana. Tidak mengapa, Nona. Malam nanti pun masih belum terlambat kalau Nona hendak menyerahkan kebaktian. Pinceng menanti di gubuk peristirahatan, di luar pintu gerbang barat dusun ini. Nah, sampai malam nanti, Nona. Kami tunggu!" Dalam kalimat terakhir ini terkandung getaran kuat yang terasa pula oleh Han Siong. Dia melihat nona itu mengangguk, maka diam-diam Han Siong marah bukan main. Dia dapat menduga bahwa tentu gadis itu telah terpengaruh sihir dan mudah diduga bahwa malam nanti gadis itu tentu akan datang ke tempat yang dijanjikan Pat Hoa Lama, datang seperti seekor kijang muda menyerahkan diri kepada sekelompok serigala yang haus darah dan buas! Biarlah, pikir Han Siong. Kalau sampai terjadi gadis itu nanti datang dan tampak terancam bahaya barulah dia akan turun tangan. Syukur kalau Hay Hay yang membayangi mereka tahu pula akan bahaya yang mengancam gadis Tibet bernama Mayang itu dan Hay Hay yang turun tangan menyelamatkannya supaya dia tak usah membuka rahasia permainan sandiwaranya. Tiga orang pendeta Lama itu mengajak Han Siong bangkit dan mereka menghampiri meja kasir. Pada saat Han Siong melirik, dia melihat gadis itu justru sedang mengamati mereka dengan penuh perhatian. Sungguh celaka, pikir Han Siong gemas, tentu gadis itu benar-benar sudah terpengaruh sihir! Pat Hoa Lama yang agaknya mengenal baik pemilik kedai itu, setelah membayar lalu bertanya lirih kepada pemilik kedai makan. "Siapakah gadis penggembala itu?" "Ahh, lo-suhu maksudkan Mayang? Dia bukan gadis dusun ini dan pekerjaannya adalah mengawal atau menggiring kelompok domba atau ternak lain dari satu ke lain daerah. Dia terkenal cekatan dan dapat dipercaya, juga pandai sekali menggiring ternak yang ratusan ekor banyaknya. Ia memang gadis luar biasa. Kenapa lo-suhu bertanya tentang Mayang? Dia puteri seorang janda, begitu kami dengar, sudah tidak berayah lagi." "Omitohud, kasihan sekali," kata Pat Hoa Lama sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada. “Kami hendak mendoakan gadis itu, dan siapa tahu barang kali kami dapat mengabarkan tentang pekerjaannya sehingga kelak banyak saudagar ternak yang akan menggunakan tenaganya.” Mereka lalu meninggalkan kedai itu dan keluar dari dusun Wang-kan. Ketika tiba di luar pintu gerbang, dari jauh nampaklah sebuah gubuk yang berdiri di tepi jalan, di luar sebuah hutan kecil. Agaknya gubuk ini memang sengaja dibangun penduduk Wang-kan sebagai tempat peristirahatan. Agaknya orang-orang daerah itu memang mempunyai kebiasaan membangun bangunan gubuk sederhana di luar dusun sebagai tempat peristirahatan bagi para pendatang yang tidak memiliki keluarga di dusun itu atau sebagai tempat peristirahatan bagi para perantau dan pedagang yang kebetulan lewat di dusun itu. Gubuk itu sederhana sekali, lantainya tanah dan hanya ada sebuah ruangan dan sebuah kamar. Di lantai tanah kering itu terdapat jerami kering dan di dalam kamar ada sebuah dipan kayu sederhana dan kasar, ditilami dengan jerami kering sebagai kasurnya. Walau pun sederhana tempat itu cukup bersih. Agaknya para pendatang yang mempergunakan tempat itu pun tahu diri dan selalu membersihkan tempat itu sebelum meninggalkannya. "Kita berhenti di sini dan malam ini kita bermalam di gubuk ini," kata Gunga Lama kepada Han Siong. Han Siong menundukkan mukanya dan mengangguk. Sikapnya amat penurut dan taat seperti orang yang kehilangan semangat sehingga tiga orang pendeta Lama itu merasa lega. "Kau mengasolah di dalam kamar itu, Pek Han Siong. Tetapi malam nanti engkau tidur di ruangan ini karena kamar itu akan kami pakai," kata Pat Hoa Lama sambil menyeringai. Kembali Han Siong mengangguk lalu dia pun memasuki kamar itu dan merebahkan diri di atas dipan berkasur jerami kering. Dengan pendengarannya yang sudah terlatih tajam itu dia mengetahui bahwa ketiga orang pendeta Lama itu duduk bersila di atas jerami yang menilami lantai tanah di ruangan dan mereka berbisik-bisik. Han Siong lalu mengerahkan pendengarannya dan kembali perutnya terasa panas karena mereka itu membicarakan gadis bernama Mayang tadi! Mereka menanti gadis itu seperti segerombolan serigala yang telah mengilar melihat seekor kijang yang datang mendekati tempat persembunyian mereka. Han Siong turun dari dipan, hati-hati agar jangan sampai terdengar mereka. Tiga orang itu merasa yakin bahwa dia berada di bawah pengaruh ilmu hitam mereka, maka tentu saja mereka lengah dan tidak mengira bahwa dia sebetulnya masih sadar sepenuhnya, berkat pengaruh batu giok mustika yang memperkuat daya tahannya sendiri. Dia lalu mendekati bilik dan dari celah-celah bilik dia mengintai ke luar, ke arah belakang gubuk itu. Kebetulan sekali dia melihat bayangan biru berkelebat ke atas sebatang pohon besar tak jauh dari gubuk itu. Hay Hay! Siapa lagi kalau bukan kawannya itu yang meloncat ke atas pohon besar itu? Tempat yang baik sekali untuk membayangi mereka yang kini berada di dalam gubuk. Lega rasa hati Han Siong melihat kawannya begitu dekat. Kalau gadis bernama Mayang itu datang tentu Hay Hay akan melihatnya dan bukan Hay Hay jika matanya tidak menjadi ‘hijau’ melihat gadis yang demikian manisnya, dan sudah pasti Hay Hay tak akan tinggal diam saja melihat seorang gadis semanis itu memasuki gubuk. Dia tentu akan mengintai dan apa bila melihat gadis itu terancam bahaya, sudah pasti Hay Hay akan turun tangan menolong. Dia tidak perlu lagi membuka rahasia permainan sandiwaranya! Dengan hati terasa lega dan tenang Han Siong lalu merebahkan dirinya lagi di atas dipan dan tak lama kemudian dia pun tidur nyenyak. Tidak keliru dugaan Han Siong. Bayangan biru yang berkelebat ke atas pohon besar itu memang Hay Hay. Berhari-hari pemuda ini membayangi ke mana pun tiga orang pendeta Lama membawa Han Siong pergi. Sering kali dia harus mengomel panjang pendek karena dia sungguh harus mengalami banyak penderitaan dengan pekerjaannya yang tidak enak ini. Karena dia harus membayangi dengan hati-hati, maka dia tidur di mana saja asal dapat mengamati mereka. Kalau mereka itu enak-enak tidur di rumah penginapan atau di rumah keluarga di dusun, dia terpaksa harus tidur di udara terbuka untuk mengamati mereka. Kalau mereka makan di kedai, dia harus puas makan seadanya dengan membeli roti dan daging kering untuk bekal. Tadi pun ketika Han Siong dan tiga orang pendeta itu makan di kedai, Hay Hay terpaksa mencari penjual makanan dan membeli lalu membungkus makanan itu untuk bekal. Dan sekarang mereka kembali berhenti, tidak meneruskan perjalanan malah memasuki gubuk peristirahatan umum itu! Kembali dia harus mencari tempat persembunyian sambil mengamati. Ketika melihat ada sebatang pohon besar tak jauh dari gubuk itu, dia pun cepat meloncat ke atas pohon dan bersembunyi di balik daun-daun pohon yang lebat. Dia duduk nongkrong di atas dahan, bersembunyi di balik dedaunan dan terpaksa menggaruk-garuk lehernya ketika ada semut merah menggigitnya. Dia menggaruk leher, memelintir semut itu sambil mengomel, lalu mengeluarkan buntalan makanan yang dibelinya tadi. Mana ada enaknya makan sambil nongkrong pada dahan pohon yang banyak semutnya itu? Apa lagi kalau makanan itu adalah kue atau roti model Tibet yang sederhana dan rasanya hambar! "Hemm, Pek Han Siong, jika kelak engkau tak bersikap baik kepadaku, engkau sungguh seorang manusia yang tidak kenal budi!" Dia mengomel sambil makan roti yang hambar itu, sekedar untuk mengisi perutnya yang menjerit-jerit kelaparan. "Untuk kepentinganmu aku harus bersusah-payah begini. Hemm...!” Akan tetapi kalau dia mengenang nasib Pek Han Siong, timbullah perasaan iba di dalam hatinya. Memang, dia sendiri juga terseret ke dalam banyak kesengsaraan hanya karena dia harus menggantikan tempat anak ajaib itu! Akan tetapi dibandingkan dengan apa yang menimpa diri Han Siong, sungguh nasibnya masih jauh lebih baik. Memang dia pernah difitnah, disangka menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita), akan tetapi sangkaan itu segera terhapus sesudah ternyata bahwa pelakunya bukan dia, melainkan Ang-hong-cu Si Kumbang Merah yang ternyata adalah ayah kandung Hay Hay sendiri! Namun Han Siong bernasib jauh lebih buruk. Adik kandungnya, Pek Eng menjadi korban Si Kumbang Merah. Dan semenjak kecil Han Siong dikejar-kejar para pendeta Lama untuk diculik dan dipaksa menjadi pendeta! Kemudian, baru saja Han Siong telah ‘memperkosa’ atau menggauli Ci Goat di luar kesadarannya, namun dia belum tahu bahwa gadis yang digaulinya itu telah tewas di tangan tiga orang pendeta Lama yang terkutuk itu! Kasihan Han Siong yang tentu dikejar-kejar perasaan berdosa terhadap Ci Goat. Pemuda itu memang pantas dibantu dan ditolong. Pikiran ini mengusir kekesalan hati Hay Hay dan mendadak saja roti Tibet yang tadinya hambar itu kini terasa lezat! Memang, bumbu yang paling sedap untuk makanan adalah perut lapar dan hati tenteram! Setelah makan dan melihat betapa sepinya gubuk di bawah itu, Hay Hay cepat turun dari pohon. Dengan sangat hati-hati dan dengan cara menyusup-nyusup, bahkan ada kalanya pemuda ini harus bertiarap dan merangkak-rangkak, dia lantas mendekati gubuk. Dengan pendengarannya yang tajam, dari luar gubuk itu dia dapat menangkap pernapasan lembut dari Han Siong yang tidur nyenyak di dalam kamar, dan suara tiga orang pendeta Lama itu bercakap-cakap diiringi tawa kecil di ruangan. Dia lalu mundur lagi dan naik ke pohon. Han Siong sudah tidur dan tiga orang pendeta itu pun beristirahat. Agaknya mereka akan bermalam di gubuk itu, pikirnya. Dia pun harus beristirahat. Malam nanti dia harus berjaga sehingga sore ini sebaiknya tidur seperti Han Siong! Dan tak lama kemudian Hay Hay pulas tanpa dengkur. Hal ini penting sekali karena kalau sampai dia mendengkur di dalam tidurnya, tentu akan mudah didengar orang dan tempat persembunyiannya tidak lagi menjadi tempat persembunyian! Malam itu udara dingin bukan main dan kembali Hay Hay menyumpah-nyumpah ketika melihat api unggun dinyalakan orang di bawah, di dalam gubuk itu. Han Siong enak-enak di gubuk dan dihangatkan api unggun, namun dia harus menahan dingin di dalam pohon yang banyak semut dan nyamuknya! Karena daun-daun di sekelilingnya mendatangkan hawa yang lebih dingin, maka dia pun kemudian turun dari atas pohon dan duduk bersembunyi di balik sebatang pohon. Tanah mengeluarkan hawa yang hangat, tidak sedingin di antara daun-daun itu. Malam itu dingin dan sunyi, akan tetapi langit bersih, penuh bintang sehingga cuaca tidak begitu gelap. Tiba-tiba Hay Hay terkejut dan cepat menyelinap ke balik batang pohon, seperti hendak mengecilkan tubuhnya agar jangan sampai kelihatan orang. Dia kaget sekali karena tidak menyangka-nyangka bahwa di tempat sunyi itu akan ada orang lewat. Dia lalu mengintai dari balik pohon dan hampir saja mulutnya mengeluarkan siulan saking kagumnya. Cuaca remang-remang. Dia tidak dapat melihat wajah itu dengan jelas, akan tetapi garis-garis lengkung tubuh itu nampak sangat jelas. Tubuh seorang wanita! Jelas masih muda. Pinggang itu! Dada itu! Pinggul itu! Dia terbelalak kagum. Seorang wanita muda dengan bentuk tubuh yang hebat sekali! Sempurna! Belum pernah dia melihat seorang wanita muda dengan tubuh sesempurna itu. Agak jangkung, ramping dengan garis lengkung yang indah. Dan lenggangnya. Bukan main! Akan tetapi kekagumannya seketika hilang saat dia melihat wanita muda itu melenggang-lenggok ke arah gubuk! Celaka, pikirnya. Wanita muda itu agaknya tidak tahu siapa yang berada di dalam gubuk. Seperti seekor kelinci memasuki goa di mana terdapat tiga ekor harimau kelaparan yang tentu akan merobek-robek tubuh dan mengganyang dagingnya yang lunak! Dia hendak memperingatkan, akan tetapi wanita itu sudah terlampau dekat dengan gubuk. Apa bila dia bersuara, tentu akan terdengar dari dalam. Dia pun bangkit dan bermaksud hendak meloncat dan menangkap wanita itu lalu dibawanya pergi menjauhi gubuk. Akan tetapi tiba-tiba saja dia tertegun dan menahan gerakannya karena dia melihat gadis yang ‘lemah’ itu, yang disangkanya lemah karena melihat lenggang-lenggok yang begitu lemah gemulai, kini mengeluarkan sebatang cambuk dari ikat pinggangnya. Kini gadis itu berdiri di depan gubuk, tangan kanan memegang gagang cambuk dan tangan kiri bertolak pinggang! Sikapnya sama sekali tidak menunjukkan kelemahan atau rasa takut, bahkan ada sikap menantang! Pada saat itu pula terdengar suara dari dalam gubuk, suara parau seorang di antara tiga pendeta Lama itu, suara yang mengandung getaran penuh wibawa. "Omitohud...! Engkau sudah datang, nona Mayang? Masuklah, sudah semenjak tadi kami menanti kunjunganmu, nona manis. Kami sudah siap untuk melayanimu!" Hay Hay mengerutkan alisnya. Benarkah itu suara seorang di antara tiga pendeta Lama itu? Kata-katanya demikian genit dan mengandung kecabulan! Apakah wanita ini seorang tokoh sesat yang menjadi kawan mereka? Ataukah dia seorang calon korban yang datang karena pengaruh sihir? Karena jelas bahwa suara tadi didukung oleh kekuatan sihir yang dahsyat! Akan tetapi wanita itu tetap berdiri tegak, malah kini terdengar suaranya, nyaring lantang dan terdengar merdu. "Hemm, tiga orang pendeta Lama palsu! Memang aku telah datang berkunjung memenuhi panggilan kalian. Keluarlah kalian untuk menerima hajaran karena pendeta-pendeta palsu semacam kalian lebih berbahaya dari pada penjahat yang paling besar!" Sebagai penutup kata-katanya, wanita muda itu menggerakkan tangan kanannya hingga terdengarlah bunyi ledakan yang nyaring dari cambuknya. Hay Hay terbelalak kagum! Suaranya merdu, nyaring dan gagah! Dan cambuk yang dapat mengeluarkan ledakan seperti itu tentu digerakkan oleh tangan yang mengandung tenaga sinkang hebat! Apa lagi nampak betapa ujung cambuk itu ketika meledak mengeluarkan asap! “Ehhh...?!” Dari dalam gubuk terdengar seruan kaget dan tak lama kemudian, pintu gubuk itu terbuka. Cahaya api unggun kini menyorot keluar dan kembali Hay Hay harus menahan mulutnya untuk tidak bersiul nyaring. Kini seberkas cahaya jatuh menimpa wajah wanita itu dan dia terpesona! Wajah gadis itu serasi dengan keindahan bentuk badannya. Manis sekali! Dan usianya nampak begitu muda! Kini muncullah tiga orang pendeta Lama itu dan mereka melangkah maju menghampiri wanita itu dengan mata terbelalak penuh keheranan. Terutama sekali Pat Hoa Lama yang tadinya menyangka bahwa dia sudah berhasil menguasai Mayang dengan ilmu sihirnya. Karena merasa penasaran, begitu berhadapan dengan gadis itu, Pat Hoa Lama langsung mengerahkan kekuatan sihirnya melalui pandangan mata, gerakan tangan dan suaranya. Matanya menatap tajam kepada kedua mata gadis itu, tangan kirinya membuat gerakan bergoyang kekanan kiri dan suaranya terdengar lembut akan tetapi penuh kekuatan yang menggetarkan hati, bahkan dapat terasa pula oleh Hay Hay yang sedang mengintai dari balik batang pohon. "Nona Mayang, engkau berhadapan dengan kami, tiga orang yang memiliki kekuatan jauh lebih besar darimu! Kami perintahkan kepadamu, berlututlah dan menyerah, engkau akan merasa berbahagia ! Huahhhh...!" Teriakan terakhir itu amat kuat. Hay Hay terkejut karena dia mengira bahwa tentu gadis itu tidak akan mampu bertahan menghadapi serangan ilmu sihir yang mengandung kekuatan gabungan ketiga orang itu. Akan tetapi dia terbelalak ketika melihat gadis itu tertawa, suara ketawanya merdu akan tetapi juga mengerikan karena dalam keadaan seperti itu, gadis itu masih mampu tertawa mengejek dan kembali cambuknya mengeluarkan suara ledakan-ledakan yang langsung membuyarkan pengaruh sihir yang dilontarkan Pat Hoa Lama. "He-heh-hi-hi-hik! Kalian tiga ekor monyet tua ini masih berani menjual lagak di depanku? Apakah kalian telah menjadi tiga ekor monyet yang hendak membadut? Tidak laku di sini, sama sekali tidak laku!" Hampir saja Hay Hay bersorak! Dia begitu girang sampai mulutnya terasa melebar karena dia tertawa bergelak tanpa mengeluarkan suara, sampai perutnya terasa keras dan kaku! Entah ilmu apa yang dikuasai gadis manis itu, tapi yang jelas sihir dari tiga orang pendeta Lama itu sama sekali tak mampu menguasai, mempengaruhi apa lagi menundukkannya! Tiga orang pendeta Lama itu agaknya pun menyadari akan hal ini. Mereka menjadi marah sekali. "Bagus, ternyata engkau adalah siluman betina cilik yang banyak tingkah! Engkau tidak mau dihadapi dengan lembut, agaknya minta kami menggunakan kekerasan!" kata Gunga Lama. Sekali tangannya bergerak, tongkatnya yang memakai kelenengan hitam mengeluarkan bunyi berkelening nyaring dan ujung tongkat itu sudah menyambar ke arah kepala gadis itu. Serangan ini hebat sekali karena pendeta yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu memiliki tenaga yang dahsyat. Bahkan suara kelenengan yang berdentingan nyaring itu saja sudah merupakan suatu serangan yang dapat membingungkan lawan. Dengan gerakan lincah dan indah karena bentuk tubuhnya memang elok, ketika mengelak pinggang yang ramping seperti batang pohon yang liu mematah ke samping dan pinggul yang menonjol besar dan bulat itu seperti menari, dan dari samping, cambuk gadis itu lalu meledak-ledak, menyambar dengan serangan balasan yang tidak kalah hebatnya ke arah punggung lawan! Agaknya gadis itu memperlakukan Gunga Lama seperti seekor di antara ternak yang digembalanya, yang nakal dan tidak penurut, maka yang dicambuk adalah punggungnya. “Tarrrrr...!” Akan tetapi dengan memutar tongkatnya Gunga Lama sudah berhasil menangkis pecutan itu kemudian dia pun menyerang lagi. Terjadilah perkelahian seru antara kedua orang ini. Melihat pertempuran antara dua orang itu, walau pun baru beberapa jurus saja, Hay Hay segera dapat menilai bahwa dalam hal ilmu silat ternyata gadis itu tidak selihai kekuatan sihirnya. Agaknya, menandingi Gunga Lama itu saja akan sukarlah baginya untuk menang bahkan mungkin akhirnya dia akan kalah. Dan dua orang pendeta Lama yang lainnya belum turun tangan! Diam-diam dia merasa khawatir dan bingung. Bila dia muncul menolong gadis itu, tentu rahasia Han Siong akan ketahuan. Kalau tidak menolong, tentu gadis itu akhirnya tertawan dan dia bergidik ngeri kalau membayangkan apa yang akan terjadi bila gadis itu tertawan oleh tiga orang pendeta yang ternyata jahat itu! Kini barulah dia tahu bahwa tiga orang pendeta Lama itu bukanlah orang-orang suci seperti yang mereka tonjolkan, melainkan orang-orang jahat yang bahkan tidak pantang mengganggu seorang gadis remaja, dengan niat yang jahat dan cabul! Melihat betapa dua orang pendeta Lama yang lain menonton sambil siap dengan senjata mereka, Hay Hay cepat menyelinap pergi mendekati gubuk dari belakang dan tidak lama kemudian, nampaklah api besar membakar gubuk itu! Dia tadi mendekati bilik dari mana dia tadi mendengar dengkur atau pernapasan Han Siong yang tertidur, dan menempelkan mulut pada bilik itu dia berbisik, "Han Siong pemalas kau! Bangun, gubuk ini akan kubakar untuk menolong gadis di luar itu!" Han Siong telah tergugah oleh suara ledakan-ledakan cambuk tadi dan mendengar suara Hay Hay ini, dia merasa girang bukan kepalang. Memang dia pun dapat menduga bahwa suara cambuk itu tentulah cambuk gadis yang siang tadi berada di rumah makan. "Lakukanlah!" bisiknya kembali. Hay Hay membakar gubuk itu dari belakang dan begitu melihat api berkobar, Han Siong segera berteriak-teriak, "Kebakaran...! Ahh, sam-wi lo-suhu..., kebakaran…!" Dia berlari keluar seperti orang kebingungan, lalu masuk kembali, persis kelakuan orang yang sudah kehilangan akal karena berada di bawah pengaruh sihir. Janghau Lama dan Pat Hoa Lama yang sudah siap untuk mengeroyok serta menangkap Mayang merasa sangat terkejut, dan mereka menjadi khawatir sekali ketika melihat Han Siong masuk kembali ke dalam gubuk yang terbakar. Pemuda itu sangat penting baginya, lebih penting dari pada gadis yang hanya akan menjadi permainan mereka belaka. Maka mereka cepat berlari meninggalkan Gunga Lama yang masih berkelahi melawan Mayang untuk menolong Han Siong dari ancaman api yang mengamuk. Ternyata Mayang bukan seorang gadis yang bodoh. Begitu bertanding melawan Gunga Lama, secara diam-diam dia terkejut dan juga khawatir. Di luar perkiraannya, lawannya itu tangguh bukan main! Da pun tahu bahwa dia masih kalah dalam hal tenaga, dan melawan seorang saja, banyak kemungkinan dia akan kalah, apa lagi kalau sampai mereka bertiga maju bersama. Memang dia telah memperhitungkan secara matang dan sudah siap mencari kesempatan untuk menyelamatkan diri sebelum dua orang pendeta lainnya ikut maju mengeroyoknya. Sekarang, melihat betapa gubuk itu terbakar dan dua orang pendeta yang tadi menonton kini berlari ke arah gubuk, sedangkan pendeta yang menyerangnya juga nampak terkejut, dia pun menggunakan kesempatan itu untuk melompat jauh ke dalam kegelapan malam. Gunga Lama baru merasa penasaran setelah dara itu melarikan diri. "Hei, siluman betina, mau lari ke mana kau?" teriaknya sambil mengejar dengan langkah kakinya yang lebar. Mendadak Gunga Lama merasa ada angin menyambar dari kiri. Cepat dia merendahkan tubuh mengelak dan sebutir batu menyambar lewat di atas kepalanya. "Huhh!' Dia mendengus dan cepat dia meloncat ke arah dari mana menyambarnya batu tadi, tongkatnya menghantam dengan keras. "Desss...!" Tongkat itu menghantam semak-semak yang ternyata kosong. Tidak ada seorang pun di balik semak-semak itu dan ketika Gunga Lama hendak mengejar lagi dia telah kehilangan jejak. Lagi pula yang terpenting adalah menyelamatkan Pek Han Siong, maka dia pun lari ke arah gubuk yang masih terbakar itu. Hatinya merasa lega melihat dua orang sute-nya sudah berada di luar gubuk bersama Han Siong, dalam keadaan selamat. "Mana iblis betina itu, Suheng?" tanya Pat Hoa Lama. Gunga Lama menggeleng kepala. "Siluman itu menghilang ke dalam kegelapan,” katanya acuh, tak peduli betapa Pat Hoa Lama kelihatan kecewa bukan main. Daging yang sudah berada di ujung bibir dapat lolos! "Bagaimana gubuk itu bisa terbakar?" tanya Gunga Lama kepada kedua orang sute-nya. Dua orang pendeta itu menggeleng kepala dan mereka memandang kepada Han Siong dengan penuh selidik, namun pemuda itu nampak muram dan tidak bersemangat. Mereka bertiga rupanya merasa curiga, dan dengan pemusatan kekuatan sihir, mereka kemudian memandang pemuda itu dan Gunga Lama berseru dengan suara menggeledek. "Pek Han Siong, katakan siapa yang membakar gubuk?!" Han Siong dilindungi oleh batu giok mustika, maka meski pun dia merasa betapa seluruh tubuhnya bergetar, tetapi pikirannya masih sadar. Dia pura-pura linglung dan menggeleng kepalanya. "Tidak tahu..., aku tidur... tahu-tahu ada kebakaran. Aku berteriak-teriak..." "Hemm, tentu siluman betina itu membawa kawan yang melakukan pembakaran itu," kata Janghau Lama. "Sungguh mengherankan sekali, siapa gadis itu sebetulnya? Dia mampu menahan kekuatan ilmu kita!" "Memang kelak perlu diselidiki. Ilmu silatnya pun tidak jelek. Akan tetapi urusan kita lebih penting. Mari kita bawa Sin-tong, dan terpaksa kita harus melanjutkan perjalanan malam ini juga." Mereka lantas menggandeng tangan Han Siong, diajak menuju ke sebuah bukit, berjalan dengan hati-hati dan tidak dapat cepat karena jalan menuju ke pendakian bukit itu hanya merupakan jalan setapak yang amat liar. *************** "Nona, ke sini. Cepat lari ke arah ini!" Gadis itu terkejut melihat seorang pemuda menggapai kepadanya. Akan tetapi karena dia maklum bahwa keselamatannya terancam oleh ketiga orang pendeta Lama itu, maka dia pun menurut saja, melompat ke arah pemuda itu berdiri, kemudian mengikuti pemuda itu lari menuruni bukit dan memasuki sebuah hutan. Sesudah pemuda itu berhenti di tempat terbuka yang berada di tengah hutan, barulah dia turut berhenti. Tangan kanannya masih memegang cambuknya dan pernapasannya agak memburu. "Siapa engkau?" tanyanya sambil mencoba menembus kesuraman malam supaya dapat mengamati wajah pemuda yang berpakaian biru itu. Seorang pemuda yang bertubuh sedang, nampak tegap karena dadanya yang bidang. Di punggung pemuda itu nampak sebuah buntalan dan sebuah caping lebar yang menutupi buntalan, tergantung pada punggungnya. "Aku? Aku adalah tukang bakar gubuk," kata Hay Hay sambil tersenyum, diusahakan agar senyumnya nampak manis dan menarik walau pun usaha ini sia-sia belaka karena betapa pun manisnya senyum yang dipamerkan, tetap saja gadis itu tidak dapat melihat jelas! cerita silat online karya kho ping hoo "Ahh, kiranya engkau yang membakar gubuk tadi?" Gadis itu tertegun karena tadi pun dia merasa betapa terbakarnya gubuk itu telah menyelamatkan dirinya dari ancaman bahaya. "Mengapa engkau lakukan itu?" "Aha! Mengapa, ya? Aku memang suka bermain-main dengan api, Nona. Api itu demikian indahnya membakar gubuk. Warnanya kuning merah keemasan. Seperti emas! Ya, mirip emas, lebih indah lagi karena hidup, tidak seperti emas yang mati. Aku suka bermain api, Nona." Mayang mengerutkan alisnya, mencoba lagi menembus malam yang tidak begitu terang untuk memperhatikan wajah pemuda itu. "Apa kau gila?" tiba-tiba dia bertanya. "Apa? Gila? Aku? Wah, belum! Mudah-mudahan tidak akan pernah. Lagi pula, bagaimana membedakan orang waras dan gila? Apakah tiga orang pendeta tadi juga waras?” "Kalau tidak gila, kenapa jawabanmu begitu? Kenapa engkau membakar gubuk itu? Tidak mungkin karena kau suka bermain api!" Suara gadis itu mengandung kedongkolan karena merasa seperti dipermainkan. "Yang aneh bukan aku tapi engkau, Nona. Sudah jelas kenapa aku membakar gubuk itu, tetapi engkau masih bertanya. Ini namaya kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!" "Tar-tarrr...!" Cambuk itu meledak. Hay Hay berlagak terkejut dan ketakutan. Dia memegangi kepalanya. "Wah-wah, jangan main-main, Nona. Apa bila kena kepalaku, berat. Ke mana aku harus mencari pengganti kepalaku?" Mayang tersenyum geli mendengar kata-kata itu, akan tetapi juga masih merasa jengkel. "Nah, jawablah yang benar kalau engkau tidak ingin kehilangan kepala! Mengapa engkau membakar gubuk itu tadi?" “Ya ampun...! Nona cantik galak amat...” Dia sengaja memberi tekanan pada kata ‘cantik’ dan berbisik lirih ketika mengatakan ‘galak’ sehingga tidak terdengar oleh Mayang. Yang terdengar hanya “Nona cantik... amat...” “Apa kau bilang?" "Tidak, ehh… itu lho. Nona amat baik hati suka mengampuni aku. Begini, Nona. Tadi aku melihat Nona hendak dibunuh oleh pendeta raksasa yang amat menakutkan itu. Aku takut sekali, mau membantu tapi aku tidak berani. Aku hanya bisa merasa mendongkol kepada mereka, maka karena marah aku lantas membakar gubuk mereka. Nah, itulah sebabnya, Nona. Kemudian aku melihat nona di dalam kegelapan, maka aku mengajak Nona lari ke sini agar jangan sampai tersusul oleh mereka." Mendengar kalimat terakhir itu, Mayang melirik ke kanan kiri dan belakang. Kalau benar mereka itu dapat mengejar dan menyusul, dia akan celaka! Dan pemuda ini hanya berani dan nekat saja, agaknya tidak memiliki kemampuan apa pun. "Jangan khawatir, Nona. Mereka tidak akan dapat mengejar ke sini karena sedang sibuk dengan gubuk mereka yang terbakar," Hay Hay tersenyum. "Hemm, engkau membikin aku menjadi malu saja! Gara-gara engkau, aku menjadi kaget melihat kebakaran itu sehingga aku melarikan diri seperti seorang penakut! Padahal kalau tidak kau ganggu, aku tentu sudah merobohkan tiga orang pendeta palsu yang jahat itu!" Tentu saja diam-diam Hay Hay merasa geli. Akan tetapi dia harus melindungi Han Siong, betapa pun senangnya untuk bercakap-cakap lebih lama sambil berkenalan dengan gadis manis itu,. Sesudah gubuk itu dibakarnya untuk menyelamatkan gadis ini, tentu tiga orang pendeta itu kini telah membawa Han Siong pergi dari sana dan dia tidak ingin kehilangan jejak mereka. "Kalau begitu maafkan aku, Nona. Akan tetapi aku harus cepat pergi dari sini, takut kalau mereka itu pergi jauh. Aku harus terus membayangi mereka." Gadis itu mengangkat muka memandang heran. "Engkau? Membayangi mereka? Kenapa engkau ingin membayangi mereka? Sungguh berbahaya sekali membayangi mereka. Jika ketahuan, apa lagi kalau mereka tahu bahwa engkaulah yang membakar gubuk tadi, tentu engkau akan dibakar hidup-hidup!" Hay Hay bergidik dan pura-pura merasa ngeri seakan ketakutan. "Aihh, ampun…! Jangan berkata demikian, Nona. Bagaimana pun juga aku harus mengikuti ke mana mereka pergi karena mereka telah menawan... saudara misanku.” "Ahh, jadi pemuda... tampan itu saudara misanmu?" "Dia tidak begitu tampan, nona!" kata Hay Hay cepat. "Tapi mengapa mereka menawan dia?" "Hemm, mungkin karena tampan itulah. Katanya dia akan dijadikan pelayan. Aku merasa khawatir, maka aku lalu mengikuti mereka dengan diam-diam supaya aku tahu ke mana saudaraku itu dibawa. Kalau ternyata dia enak menjadi pelayan, hidup berkecukupan dan senang, aku pun akan ikut masuk menjadi pelayan mereka. Aku tidak kalah tampan oleh saudara misanku." Mayang merasa geli, akan tetapi juga mendongkol. Ucapan itu membuat dia ingin sekali melihat wajah pemuda ini dengan jelas. Dia tak percaya pemuda yang angin-anginan dan ketololan ini setampan pemuda yang bersama tiga orang pendeta Lama itu. "Tidak usah kau kejar dan cari. Aku tahu ke mana mereka akan pergi." "Ehh? Engkau tahu, Nona? Apakah Nona adalah sahabat dan kenalan mereka?" "Hushh! Ngawur saja kau bicara! Jika aku sahabat mereka, bagaimana tadi aku berkelahi dengan mereka? Tetapi aku pernah melihat mereka bertiga. Mereka memimpin puluhan orang pendeta Lama dan berkumpul di bukit tak jauh dari sini, yaitu Bukit Bangau. Ketika aku menggiring ternak beberapa hari yang lalu, aku melihat mereka masih berada di situ, dan kurang lebih dua bulan yang lalu aku melihat mereka bertiga itu pun berada di sana. Aku yakin bahwa saudaramu itu pasti diajak ke puncak Bukit Bangau." "Kalau begitu, sekarang juga aku hendak mengikuti mereka ke Bukit Bangau," kata Hay Hay. "Hemmm, kalau begitu engkau hanya akan menjadi seekor katak kecil yang menghampiri mulut bangau untuk dicaplok dan habis sekali telan!" Suara gadis itu mengejek. "Ehh? Kenapa begitu?" "Sudah kukatakan bahwa tiga orang pendeta Lama itu mempunyai banyak anak buah di sana, kukira tak kurang dari seratus orang dan tempat itu dijaga ketat. Tiga orang pendeta itu begitu lihai dan anak buahnya banyak. Kalau engkau mengikuti mereka mendaki bukit, bukankah hal itu sama dengan bunuh diri dan mati konyol?" Hay Hay tersenyum lebar. "Aih, Nona yang baik. Kenapa engkau mengkhawatirkan benar keadaan diriku?" Walau pun cuaca agak gelap, akan tetapi nampak jelas betapa gadis itu menjadi marah, tubuhnya meregang dan sepasang tangannya dikepal, "Siapa yang peduli akan nasib dan keadaanmu? Meski pun engkau dibunuh seratus kali aku tidak peduli! Aku hanya kasihan kepada saudara misanmu itu, karena dia tentu akan berduka kalau mendengar engkau mati konyol di sana." "Aduh… senangnya hati Han Siong!" "Siapa itu Han Siong?" "Saudaraku yang tampan itulah. Dia tentu senang sekali mendengar betapa engkau amat memperhatikan dia, Nona...” "Tutup mulutmu atau kutampar kau nanti!" Gadis itu membentak galak. Hay Hay cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk. “Maafkan aku, Nona. Kalau aku tidak boleh mengikuti mereka, lantas apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Kita lewatkan malam ini di sini. Besok pagi-pagi baru aku akan melakukan penyelidikan ke bukit itu dan kalau mungkin aku akan membebaskan saudara misanmu." "Apakah tidak berbahaya untukmu, nona?" "Tidak. Andai kata aku kewalahan, masih ada subo-ku (ibu guru) yang akan menolongku. Aku dapat mendaki Ning-jing-san, ke puncak Awan Kelabu, menghadap subo untuk minta bantuannya. Kalau aku bersama subo, jangankan baru tiga orang pendeta palsu tadi, biar ditambah sepuluh lagi semacam mereka, aku tidak takut!" Sombongnya, pikir Hay Hay. Sombong akan tetapi manis. Galak tetapi juga gagah berani. Seorang gadis hebat. Ingin sekali dia melihat wajah gadis itu dengan jelas. Lalu dia mulai mengumpulkan kayu kering. "Untuk apa?" tanya gadis itu sambil duduk di atas sebongkah batu sebesar perut kerbau. "Untuk membuat api unggun," kata Hay Hay. "Kalau harus melewatkan malam di sini, kita perlu membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin." "Api unggun akan nampak dari jauh." "Ehh, apakah engkau takut kalau tempat kita sampai diketahui orang?" Suara merdu itu mengandung kemarahan. "Siapa takut? Kalau engkau saja tidak merasa takut, bagaimana aku takut? Huh, kalau sampai ada musuh datang, yang mampus lebih dulu adalah engkau, bukan aku! Mengapa mesti takut?" Hay Hay tersenyum. "Ha-ha-ha, aku pun tidak takut, Nona, karena aku yakin bahwa Nona tentu tak akan membiarkan aku disembelih orang. Nona terlampau gagah dan terlampau baik untuk membiarkan aku dibunuh." Dara itu diam saja sehingga Hay Hay tidak tahu bagaimana tanggapannya terhadap kata-katanya itu. Akan tetapi, pada waktu dia mulai menumpuk kayu dan hendak membuat api unggun, gadis itu segera menghampiri dan duduk di dekat tumpukan kayu, membantunya sehingga dia merasa girang karena hal ini saja membuktikan bahwa gadis itu tidak marah lagi. Kalau Hay Hay menghendaki, dengan sekali menggosok dua batang kayu kering sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya, tentu akan segera timbul api. Akan tetapi dia tak ingin memperlihatkan kepandaiannya, dan dia pun menggosok-gosok dua batang kayu dengan tenaga biasa. Melihat sampai beberapa lamanya pemuda itu tidak juga berhasil membuat api, Mayang menjadi tidak sabar. Disambarnya dua batang kayu itu dari tangan Hay Hay, lalu dia pun menggosok-gosok beberapa kali sampai kayu kering itu terbakar. Tumpukan kayu dibakar dan jadilah api unggun yang cukup besar, terang dan hangat. "Aduhhhh...! Ya Tuhanku... , sungguh hebat bukan main...!" Gadis itu mengangkat muka memandang. Dia melihat pemuda itu terbelalak memandang kepadanya, sepasang matanya terbuka lebar dan mulutnya juga terbuka sehingga terlihat tolol seperti orang kehilangan semangat. "Ihhh…! Engkau ini kenapa sih?" tanya Mayang yang agak terkejut juga karena tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda itu nampak demikian kaget. “Bukan main...! Sudah kuduga bahwa engkau tentu cantik manis, Nona, akan tetapi tidak seperti ini! Cantik jelita seperti bidadari! Sungguh, engkau cantik jelita dan manis bukan main!" Mayang sudah meloncat berdiri. Tinggi ramping! Kedua tangannya bertolak pinggang dan agaknya jari jemari kedua tangannya dapat melingkari pinggang yang kecil itu. Mata yang sipit itu mengeluarkan cahaya berkilat, mulutnya cemberut dan hidung yang sedikit besar namun bentuknya indah itu kembang kempis, cupingnya nampak jelas bergerak seperti cuping hidung seekor kuda betina dilanda birahi. "Kau... kau...! Berani engkau mempermainkan dan mengolokku? Engkau hendak kurang ajar kepadaku, ya? Apakah engkau sudah bosan hidup?” Hay Hay kelihatan terkejut dan terheran-heran, mengembangkan kedua lengannya lantas dia pun berkata, "Ampun Dewi...! Apakah dosa hamba? Siapa yang mempermainkan dan memperolokkan siapa? Nona, ketika tadi bertemu denganmu dalam cuaca yang remang-remang, aku hanya mengetahui bahwa Nona mempunyai bentuk tubuh yang ramping dan padat berisi, juga mempunyai suara yang merdu, dan dalam keremangan itu aku melihat garis-garis wajahmu yang sangat manis. Kemudian, setelah kita membuat api unggun dan cahaya api unggun jatuh menerangi wajahmu, baru aku melihat bahwa Nona benar-benar memiliki kecantikan yang luar biasa, jauh melampaui dugaanku semula. Jika aku melihat wajah Nona yang begini cantik jelita lalu kukatakan itu dengan terus terang, apakah hal itu merupakan sebuah dosa? Bagaimana mungkin aku mengatakan bahwa Nona berwajah buruk, bersuara parau dan berperawakan jelek bila keadaannya sama sekali berlawanan? Memang Nona memiliki wajah yang cantik jelita dan manis, bentuk tubuh tinggi ramping yang sempurna, dan suara yang merdu seperti suara burung dewata. Nah, salahkah aku? Jika Nona menganggap aku bersalah, berdosa dan layak dibunuh, silakan saja!" Hay Hay sengaja memanjangkan lehernya seperti seekor angsa yang siap menyerahkan lehernya untuk dipenggal! Mendengar pidato panjang itu dan melihat sikap Hay Hay, mau tidak mau Mayang tertawa dan dia pun lalu duduk kembali, kini mengamati wajah pemuda yang duduk di depannya terhalang api unggun. Harus diakuinya bahwa pemuda ini mempunyai wajah yang tampan, memang tidak kalah oleh saudara misannya itu walau pun ketampanan mereka berbeda. Saudara misannya yang ditawan oleh tiga orang pendeta Lama itu memiliki wajah yang bentuknya bulat, berkulit putih dengan alis hitam tebal, mata sipit. Sedangkan pemuda di depannya ini selain bertubuh tegap dengan dada yang bidang, juga hidungnya mancung, mulutnya selalu tersenyum, matanya bersinar-sinar gembira dan bentuk wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing. Mulut dan matanya sungguh mempunyai daya tarik yang kuat sekali. "Apakah engkau agak miring?" tiba-tiba Mayang bertanya. Hay Hay melongo keheranan. "Miring? Apanya yang miring?” tanyanya tak mengerti. Mayang tidak menjawab, melainkan meletakkan jari telunjuk kirinya ke atas dahi sendiri, diletakkan agak menyerong. Sekarang Hay Hay baru mengerti dan dia cemberut. Kurang ajar! Dia disangka gila! "Kau kira aku ini setengah gila, Nona? Aih, kira-kira dong kalau menghina orang. Kenapa Nona menganggap aku gila?" "Habis, bicaramu aneh-aneh. Engkau memujiku habis-habisan dan anehnya aku tidak jadi marah kepadamu. Biarlah kuanggap semua omonganmu tadi seperti ocehan seorang gila. Ataukah engkau seorang laki-laki perayu yang palsu, yang biasa menyanjung dan memuji wanita dengan rayuan maut untuk kau jatuhkan hatinya? Begitukah?" Hay Hay menggelengkan kepala. "Aku hanya seorang laki-laki yang jujur dan tidak mau berpura-pura, Nona. Kalau aku melihat setangkai bunga yang indah dan harum, aku akan memujinya seperti apa adanya, tidak berpura-pura tak suka. Apa bila aku melihat seorang gadis yang cantik seperti Nona, aku tidak berpura-pura alim, pura-pura tidak mau melihat akan tetapi dengan diam-diam melirik sampai mataku menjadi juling! Aku akan menatap secara langsung dan mengagumi kecantikanmu. Aku akan terus terang memujimu, bukan untuk merayu atau menjilat." "Kalau begitu engkau mata keranjang!" seru Mayang. Hay Hay tersenyum dan kembali Mayang tertegun. Pemuda ini dapat tersenyum demikian wajar dan terbuka, seperti senyum kanak-kanak, tidak dibuat-buat. "Nona, lebih baik dianggap mata keranjang akan tetapi jujur dalam mengagumi kecantikan seorang wanita dari pada dianggap alim akan tetapi diam-diam mempunyai pikiran yang cabul terhadap seorang wanita!” Mayang tertegun. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang pria yang ucapannya dan sikapnya seperti pemuda ini! Biasanya seorang pria akan bersikap kurang ajar dan kasar, atau kalau pun nampak sopan santun tapi pandang matanya mengandung nafsu birahi yang cabul. Akan tetapi pemuda ini sikapnya kelihatan ugal-ugalan karena terlampau jujur mengakui dan mengagumi kecantikannya tanpa disembunyikan lagi. Belum pernah dia berhadapan dengan seorang pemuda yang memuji-muji kecantikannya akan tetapi tidak membuat dia tersinggung, bahkan merasa bangga dan gembira karena pujian itu sewajarnya dan jujur, tidak menyembunyikan pamrih yang cabul terhadap dirinya. “Siapa sih engkau ini? Maksudku, siapa namamu dan dari mana engkau datang?" "Namaku? Orang-orang memanggil aku Hay Hay, Nona, dan aku tidak mempunyai tempat tinggal tertentu. Aku seorang pengembara, empat penjuru adalah dinding rumahku. Langit menjadi atap rumahku dan tanah ini menjadi lantai rumahku. Ada pun saudara misanku itu bernama Pek Han Siong, dia adalah putera ketua Pek-sim-pang di kota Kong-goan. Aku sedang merantau dan bertemu dengan Han Siong ketika tiba-tiba muncul tiga orang pendeta Lama itu dan mereka menangkap Han Siong. Aku lalu mengikuti mereka sampai malam ini berjumpa denganmu. Kalau boleh aku bertanya, siapakah engkau, nona?” "Aku Mayang, tinggal bersama ibuku dan subo-ku di sebuah puncak di Pegunungan Ning-jing-san. Subo memelihara hewan ternak, ada pun pekerjaanku adalah mengurus hewan ternak. Kadang kala aku juga menerima pekerjaan mengirim dan menggiring ternak yang diperdagangkan orang, dari satu ke lain daerah.” Diam-diam Hay Hay merasa kagum. Gadis ini memang hebat. Melakukan pekerjaan yang sangat berbahaya. Menggiring ternak yang sampai ratusan banyaknya melintasi daerah-daerah yang sunyi pasti amat berbahaya. Tentu karena dia mempunyai kepandaian tinggi maka dia berani melakukan tugas berbahaya itu. Kalau hanya perampok-perampok biasa saja akan celakalah mereka bertemu dengan gadis seperti Mayang. “Engkau tentu seorang gadis Tibet, bukan? Dan apakah ayahmu juga tinggal di puncak itu? Engkau tadi hanya menyebut ibumu dan subo-mu.” “Ibu adalah seorang wanita Tibet, ayahku... seorang pria Han akan tetapi dia sudah pergi meninggalkan ibu, entah ke mana, entah masih hidup ataukah sudah mati.” Hay hay merasa betapa ada kedukaan terkandung dalam suara gadis itu, maka dia pun mencoba untuk menghiburnya. "Engkau masih beruntung, Mayang, sebab masih memiliki seorang ibu. Sejak bayi aku sudah tidak punya ibu. Ibuku telah meninggal dunia." "Dan ayahmu?" Hay Hay merasa dada dan perutnya panas. Kepada siapa pun juga dia tidak akan sudi mengaku bahwa ayah kandungnya adalah Si Kumbang Merah, seorang penjahat cabul pemerkosa wanita, bahkan dia sendiri dilahirkan akibat dari pemerkosaan yang dilakukan penjahat itu kepada ibu kandungnya! "Hemmm, seperti juga engkau, ayahku pergi, entah ke mana. Mungkin juga... dia sudah mati!" Keduanya diam sejenak. "Engkau dan saudara misanmu itu tidak mempunyai kepandaian akan tetapi berani melakukan perjalanan di daerah yang rawan ini. Sungguh tabah.” “Tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan engkau, Mayang. Engkau seorang wanita, seorang gadis remaja yang amat muda...” "Tidak muda sekali, usiaku sudah delapan belas tahun!" Hay Hay tersenyum. "Ya, seorang gadis dewasa, tetapi engkau berani menentang orang-orang jahat yang lihai. Maukah engkau menceritakan bagaimana engkau sampai bentrok dengan tiga orang pendeta Lama itu?" "Sore hari tadi ketika sedang makan di kedai makanan di dusun Wang-kan, aku bertemu dengan tiga orang pendeta itu yang juga sedang makan bersama siapa tadi nama saudara misanmu itu? Han Siong? Ya, mereka makan bersama Han Siong. Lalu seorang di antara ketiga orang pendeta itu, yang tinggi bongkok itu, menghampiri mejaku minta sumbangan. Pada saat itu dia telah mencoba menyihirku, dan dengan sihirnya dia memerintahkan aku untuk datang ke gubuk itu pada malam hari ini. Maka aku pun datanglah!" Hay Hay terkejut. Gadis ini dengan enak saja menceritakan bahwa dia disihir orang, dan dia pun teringat betapa tadi pun tiga orang pendeta itu tidak berhasil menguasai Mayang dengan kekuatan sihir. Diam-diam dia kagum bukan main. "Mayang, engkau disihir malah datang berkunjung kepada mereka? Apakah engkau tidak takut disihir? Apakah engkau mampu melawan kekuatan sihir mereka?" Mulut itu tersenyum mengejek. Ujung hidungnya bergerak sehingga terlihat manis sekali! "Huh, siapa takut menghadapi permainan kanak-kanak itu?" "Engkau pandai bermain sihir?" "Siapa sudi menjadi dukun sihir? Akan tetapi subo telah menggemblengku untuk melawan serangan sihir orang sehingga aku kebal terhadap segala macam permainan kanak-kanak itu! Lagi pula, sebagai seorang penggiring ternak dalam jumlah banyak, aku harus pandai menguasai ternak dengan kekuatan batin. Aku tidak bisa menyihir orang lain, akan tetapi tak seorang pun akan mampu menguasaiku dengan kekuatan sihirnya." "Dan engkau datang ke gubuk itu mau apa?” "Mau menghajar mereka, karena tiga orang pendeta itu palsu. Mereka bukan orang suci melainkan orang-orang jahat yang mempunyai niat cabul terhadap diriku. Tetapi, sebelum aku berhasil menghajar mereka, mendadak engkau muncul dan membikin kacau dengan membakar gubuk !" Hay Hay tersenyum. Tentu saja dia lebih tahu. Apa bila gubuk itu tidak dibakarnya, tentu sekarang Mayang telah tertawan! "Mayang, apakah engkau tidak salah bahwa tiga orang pendeta Lama itu akan membawa saudara misanku ke Bukit Bangau? Menurut pengakuan mereka ketika mereka mengajak saudara misanku dengan paksa, mereka adalah utusan Dalai Lama untuk mencari... ehh, pelayan pria." "Mereka bohong! Bahkan menurut dugaan subo, ketiga orang itu adalah pendeta-pendeta Lama yang pernah mengadakan pemberontakan terhadap Dalai Lama. Pemberontakan itu telah dihancurkan dan mungkin saja tiga orang itu merupakan sisa dari para pimpinan pemberontakan yang sudah dibasmi itu. Nanti aku akan melaporkan kepada subo tentang perbuatan mereka terhadap diriku, sebab perbuatan itu telah membuktikan bahwa mereka adalah pendeta-pendeta palsu atau pendeta sesat!” Kaget juga hati Hay Hay mendengar keterangan yang sama sekali tak pernah diduganya itu. Mereka bukan utusan Dalai Lama? Kalau begitu, mengapa mereka berkeras hendak membawa Han Siong yang sejak kecil memang dicari oleh para pendeta Lama di Tibet karena Han Siong dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) calon Dalai Lama? "Mayang, kalau begitu mengapa tidak sekarang saja kita menghadap subo-mu? Aku ingin sekali mendapatkan keterangan yang jelas tentang mereka! Aku sangat mengkhawatirkan saudara misanku!" Gadis itu memandang Hay Hay dan dia merasa heran. Pemuda ini tampan dan perayu, akan tetapi lemah dan tidak pandai silat, juga kadang ketololan. Begitu berjumpa sudah bersikap demikian akrab dan menyebut namanya begitu saja tanpa sebutan nona seolah-olah mereka sudah lama sekali bergaul dan menjadi sahabat. Namun anehnya dia tidak merasa tersinggung karena sikap Hay Hay demikian wajar! "Hay Hay, engkau tidak mengenal subo-ku. Kau sangka mudah saja bagi orang luar untuk menghadap subo? Kalau engkau tidak pandai membawa diri dan kalau tidak berkenan di hatinya, salah-salah begitu bertemu engkau akan dibunuh begitu saja!” "Wah? Begitu jahatkah subo-mu itu, Mayang?" "Sama sekali tidak jahat, akan tetapi dia paling benci kepada laki-laki yang lemah, apa lagi seorang penjilat dan perayu seperti engkau. Sebab itu aku khawatir sekali kalau engkau akan dibunuhnya begitu dia melihatmu." Mendengar ini hati Hay Hay bukannya jeri malah menjadi semakin tertarik. Akan tetapi dia bersikap pura-pura ketakutan. "Wah, sungguh berbahaya sekali. Aku akan bersikap baik-baik, Mayang. Tetapi kalau memang sudah nasibku tewas di tangan subo-mu, sudahlah, aku tidak akan merasa penasaran karena dia subo-mu!" “Kenapa engkau tidak penasaran kalau dibunuh subo-ku?” Gadis itu tertarik. Hay Hay tersenyum. “Aku akan mati dengan mata tertutup atau setengah terbuka karena aku akan selalu mengenangmu dan menghibur diri bahwa yang membunuhku adalah guru dari seorang gadis seperti bidadari yang...” “Sudah, jangan mulai merayu lagi!” Mayang membentak akan tetapi tidak marah. “Jangan khawatir, kalau subo hendak membunuhmu, aku yang akan mintakan ampun bagimu dan biasanya subo akan memenuhi permintaanku. Akan tetapi kenapa engkau nekat hendak ikut aku menemui subo?” “Aku sangat mengkhawatirkan nasib saudara misanku itu, dan aku hendak minta bantuan subo-mu untuk membebaskan dia.” Kini Hay Hay mulai percaya akan keterangan Mayang bahwa tiga orang pendeta Lama itu tidak pergi ke Lasha dan agaknya memang ada suatu rahasia yang tersembunyi di balik sikap para pendeta itu. Kalau mereka benar utusan Dalai Lama, tentu mereka merupakan pendeta-pendeta yang kedudukannya tinggi dan berwatak saleh, tidak seperti mereka itu yang telah membunuh Ci Goat, juga mempunyai niat cabul terhadap Mayang. Dia maklum betapa lihainya tiga orang itu, apa lagi kalau dibantu anak buah yang sampai seratus orang banyaknya. Dia perlu bantuan Mayang dan terutama sekali subo-nya yang agaknya merupakan seorang sakti yang mengasingkan diri di tempat sunyi ini. "Baik, kalau begitu mari kita berangkat sekarang. Akan tetapi kuperingatkan engkau, Hay Hay, bahwa jalan pendakian ke rumah kami amat sukar. Apa lagi dilakukan malam-malam begini. Sekali engkau salah langkah dan jatuh, maka engkau langsung menggelinding ke dalam jurang yang amat curam dan tubuhmu akan hancur, nyawamu akan melayang." "Aku tidak takut, Mayang. Kalau aku takut berarti aku memandang rendah kepadamu." "Ehh? Kenapa begitu?" "Karena aku yakin engkau tentu akan melindungi aku dan menjadi petunjuk jalan agar aku tidak sampai terguling ke dalam jurang. Kalau aku takut, berarti aku kurang percaya akan kemampuanmu." Mayang tersenyum akan tetapi juga mengerutkan alisnya, "Engkau... hemm, engkau bisa berbahaya!" Dia tidak menjelaskan apa yang dia maksudkan, dan dengan kakinya dia lalu menginjak-injak api unggun sampai padam. Dia menganggap pemuda ini sungguh berbahaya karena pandai sekali berbicara, pandai mengambil hati dengan rayuan-rayuannya yang sungguh menyenangkan hati! Maka berangkatlah mereka menyusup-nyusup di antara pohon-pohon. Mayang berjalan di depan dan Hay Hay di belakangnya. Perjalanan yang sangat sukar karena cuaca remang-remang, akan tetapi agaknya gadis itu sudah mengenal benar daerah itu. Dia melangkah tanpa ragu dan Hay Hay mengikuti dari belakangnya. Dia tahu bahwa gerakan gadis ini tentu akan lebih lincah dan gesit apa bila dia melakukan perjalanan sendiri saja. Kini, bila Mayang terlampau cepat, Hay Hay segera berseru agar jangan meninggalkannya sehingga gadis itu melangkah biasa saja, tidak mempergunakan ilmu berlari cepat. Hay Hay memang sengaja tidak mau tergesa-gesa karena diam-diam dia harus mengenal daerah yang dilewatinya. Dia tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya di tempat tinggal Mayang, maka yang terpenting dia harus tahu ke mana arah dia pergi dan mengenal jalan kalau dia terpaksa harus melarikan diri dari tempat itu. Lagi pula senang sekali berjalan di belakang gadis itu. Walau pun cuaca remang-remang, akan tetapi dia bisa menikmati penglihatan yang amat indah, yaitu gerakan tubuh Mayang ketika melenggang di depannya. Akhirnya mereka mulai mendaki bukit yang oleh dara itu dikatakan sebagai tempat tinggal ibunya dan gurunya. Pegunungan Ning-jing-san mempunyai banyak puncak dan mereka tadi memang berada di daerah pegunungan itu. Sebuah di antara puncaknya menjadi tempat tinggal Mayang, bersama ibu dan subo-nya. Puncak itu disebut Puncak Awan Kelabu dan menjadi tempat pertapaan guru Mayang. Di tempat itu mereka mengusahakan ternak dan biar pun hidup di tempat sunyi, mereka tidak kekurangan sesuatu. Sesudah mereka mendaki puncak itu, Hay Hay memperoleh kenyataan bahwa peringatan gadis itu memang benar. Jalan setapak itu amat sukar dilewati, licin dan juga sempit. Ada jalan yang lebarnya hanya setengah meter, di kanan kirinya merupakan jurang yang amat curam. Sekali kaki terpeleset maka nyawa taruhannya. "Aih, sungguh mengerikan!” kata Hay Hay berpura-pura. "Kalau jalan ke tempat tinggalmu begini sukar, bagaimana engkau bisa menggiring ternak melalui jalan seperti ini?” "Untuk menggiring ternak dapat melalui jalan lain yang lebar. Akan tetapi jauhnya dua kali lipat! Kalau tidak menggiring ternak lebih cepat lewat jalan ini." "Wah, sungguh berbahaya...!" Hay Hay sengaja bersikap ketakutan. "Kau takut?" "Wah, kalau tanpa bantuan, bagaimana aku dapat melalui jalan berbahaya di depan itu, Mayang?" “Huhh! Engkau laki-laki lemah tiada guna!" Mayang mengomel, akan tetapi dia memegang tangan Hay Hay dan menggandeng melewati jalan yang sempit dan licin itu. Di belakang gadis itu, Hay Hay tersenyum nakal. Alangkah lembut dan hangatnya tangan Mayang! Dia pura-pura semakin ketakutan lantas menggenggam tangan itu kuat-kuat, dan gadis itu pun memperkuat pegangannya sehingga kedua tangan itu saling pegang dengan eratnya! Setelah melewati bagian jalan yang sulit dan sekarang mereka berjalan naik melalui jalan berbatu, keduanya masih saja saling bergandeng tangan! Cuaca telah mulai terang ketika mereka tiba di tempat datar di puncak, karena pagi sudah menjelang tiba. Agaknya ketika itu barulah Mayang teringat bahwa mereka masih saling bergandeng tangan. Dia seperti terkejut dan cepat-cepat melepaskan pegangan tangannya. "Ihhh! Mengapa engkau masih terus menggandeng tanganku?" tanyanya bingung karena baru menyadari bahwa sejak melewati jalan yang berbahaya itu, dia sendiri tidak pernah ingat untuk melepaskan pegangan tangan pemuda itu! "Tanganmu... begitu halus dan hangatnya...,” Hay Hay berkata. Gadis itu tiba-tiba membalik, menghadapinya dengan sinar mata mencorong marah. Akan tetapi sesudah dia melihat wajah pemuda itu yang memandang kepadanya dengan polos dan jujur, teringat dia bahwa yang dihadapinya adalah seorang pemuda yang terbuka dan bicara apa adanya, bukan bermaksud lain, maka dia pun tidak jadi menggerakkan tangan untuk menampar. "Kau... kau dengan mulutmu... kau tahanlah sedikit kata-katamu yang penuh rayuan itu atau aku dapat lupa diri, menganggap engkau kurang ajar dan menamparmu!" bentaknya, akan tetapi suaranya lirih dan lebih tepat bila dikatakan setengah berbisik atau mengomel. Agaknya gadis itu menahan suaranya agar jangan sampai terdengar oleh subo-nya yang amat lihai. "Maafkan aku, Mayang. Apa kau ingin kalau aku mengatakan bahwa tanganmu itu kasar dan dingin? Berarti aku berbohong..." "Sudahlah! Jangan katakan apa-apa lagi!" kata Mayang kewalahan. Diam-diam jari-jari tangannya yang tadi bergandengan dengan Hay Hay mengelus telapak tangannya sendiri untuk merasakan apakah benar telapak tangannya itu halus dan hangat seperti yang dikatakan Hay Hay! Dan diam-diam timbul perasaan senang dan bangga di dalam hatinya. Bagaimana pun Mayang hanya seorang wanita, dan mana ada wanita yang tidak merasa senang kalau dipuji, apa lagi kalau yang memujinya itu seorang pemuda tampan dan yang dia tahu bukan sekedar merayu akan tetapi mengatakan keadaan yang sesungguhnya? Baginya pemuda ini seperti seorang juri atau penilai yang jujur dan adil, yang penilaiannya dapat dipercaya! Dan kalau dinilai bagus, alangkah puas dan senangnya hati! *************** Siapakah yang tinggal di puncak yang disebut Puncak Awan Kelabu itu? Biar pun belum lengkap, namun keterangan yang diberikan Mayang kepada Hay Hay memang benar dan gadis itu tidak berbohong. Delapan belas tahun yang lalu, ketika Mayang baru berusia beberapa bulan saja, ibunya rnembawanya berkeliaran ke Pegunungan Ning-jing-san. Ibunya menggendong Mayang yang masih berusia tiga bulan itu sambil menangis, tertawa dan mencari-cari seseorang. Mencari ayah Mayang! Ibu muda itu ternyata sudah menjadi seperti orang gila. Dia ditinggal pergi oleh pria yang menjadi ayah Mayang, ditinggal begitu saja ketika kandungannya telah tua tanpa memberi tahu dan dia tidak tahu ke mana perginya pria itu! Ayah ibunya menjadi marah, kemudian mengusirnya karena dia mengandung tanpa suami! Pria itu selalu mengunjungi kamarnya pada waktu malam dan tak ada seorang pun yang mengetahui hubungannya dengan pria itu. Setelah dia mengandung tua, pria itu pergi begitu saja. Dalam keadaan seperti gila ini, ibu Mayang, puteri seorang kepala suku bangsa Tibet, lalu mendaki puncak itu, dan di sana dia bertemu dengan seorang pertapa wanita. Pertapa itu berjuluk Kim Mo Siankouw (Dewi Berambut Emas). Pertapa itu merasa kasihan terhadap Mayang dan ibunya. Dia lalu mengobati ibu muda itu sampai sembuh dan semenjak saat itu, Mayang dan ibunya tinggal bersama pertapa itu di puncak. Dan semenjak ibu dan anak itu berada di situ, kehidupan Kim Mo Siankouw juga berubah. Dahulunya dia hanya bertapa di dalam sebuah gubuk tua tanpa mempedulikan keadaan dirinya. Akan tetapi setelah dia harus memelihara ibu beserta anak itu, Kim Mo Siankouw lalu berusaha di bidang peternakan, dibantu oleh ibu Mayang. Beberapa tahun kemudian peternakan itu menjadi besar dan keadaan mereka menjadi makmur. Kim Mo Siankouw lantas menyuruh orang-orang di dusun pegunungan itu untuk membangun sebuah rumah yang besar, dan dia bahkan mengambil beberapa orang wanita pembantu untuk mengatur rumah tangganya. Sejak kecil Mayang tinggal di sana dan ternyata bahwa Kim Mo Siankouw bukan sekedar seorang wanita yang sedang mengasingkan diri bertapa di situ, melainkan seorang wanita sakti yang mempunyai banyak ilmu! Dengan sendirinya, Mayang menjadi anak yang amat disayang oleh Kim Mo Siankouw, bahkan semenjak kecil Mayang sudah digembleng oleh pertapa wanita itu, diberi makanan yang mengandung ramuan sehingga Mayang tumbuh menjadi seorang gadis yang memiliki tubuh yang amat kuat. Semenjak berusia tujuh tahun Mayang telah diajari ilmu membaca tulis dan juga terutama sekali ilmu silat oleh Kim Mo Siankouw. Akan tetapi dengan keras pertapa itu melarang Mayang untuk memamerkan kepandaiannya kepada orang lain sehingga tidak ada yang tahu bahwa gadis itu amat lihai. Orang-orang hanya tahu bahwa Mayang adalah seorang gadis penggembala ternak yang cetakan dan pandai sekali, ahli menggiring ratusan ternak dari satu tempat ke tempat lain yang jauh tanpa ada seekor pun yang tercecer, bahkan mampu melindungi semua ternak dari gangguan binatang buas! Kalau mereka melihat gadis itu meledak-ledakkan pecutnya sambil menggiring ratusan ekor ternak, tidak ada seorang pun yang tahu bahwa cambuk pada tangannya itu mampu merobohkan pengeroyokan banyak orang jahat yang berani mengganggunya! Bukan hanya Mayang yang diberi pelajaran ilmu silat oleh Kim Mo Siankouw, bahkan juga ibu Mayang dilatih ilmu silat agar tubuhnya menjadi kuat. Memang ibu Mayang membantu peternakan milik Kim Mo Siankouw, karena itu tubuhnya harus kuat dan selalu sehat. Akan tetapi ibu dan anak ini tidak pernah mendengar tentang riwayat pertapa itu, seorang wanita yang usianya kurang lebih enam puluh tahun akan tetapi masih kelihatan anggun bahkan cantik, dengan wajah yang berkulit halus tanpa keriput, bentuk muka yang agung seperti seorang puteri, dengan sepasang mata yang masih jeli dan mencorong, dan mulut yang selalu tersenyum penuh kelembutan, akan tetapi sinar matanya yang mencorong itu kadang kala dapat bersinar keras. Ibu dan anak itu mengenalnya sebagai seorang wanita yang lembut hati, ramah dan budiman, akan tetapi juga sebagai seorang wanita yang bila sudah marah, dengan mudah saja membunuh orang yang dianggap jahat! Pada saat Mayang baru berusia sepuluh tahun, ketika dia menggembala ternak di padang rumput dan ternaknya diganggu oleh sekawanan perampok yang terdiri dari empat belas orang, Kim Mo Siankouw muncul dan dengan lembut dia menegur empat belas orang itu dan mengusir mereka. Akan tetapi empat belas orang itu memandang rendah kepadanya dan bahkan mengeluarkan kata-kata yang kasar dan cabul. Dan terjadilah hal yang sangat mengerikan itu! Kim Mo Siankouw menghajar mereka dan ketika mereka melawan dengan menggunakan golok, dia merampas sebatang golok lalu membunuh empat belas orang itu dengan golok. Dalam waktu sebentar saja empat belas orang gerombolan penjahat itu roboh malang melintang dengan kepala terpisah dari tubuh! Dengan sikap amat tenang Kim Mo Siankouw menyuruh para pelayannya untuk menggali lubang besar dan menguburkan jenazah mereka itu. Peristiwa ini membuat daerah itu menjadi aman. Tidak ada seorang pun penjahat berani melakukan kejahatan sehingga para penduduk dusun di daerah itu amat berterima kasih kepada Kim Mo Siankouw. Apa lagi karena pertapa itu sangat dermawan, siap menolong siapa pun yang membutuhkan bantuan, baik bantuan itu berupa uang, ternak, pengobatan mau pun hanya nasehat. "Sekali lagi, hati-hatilah engkau, Hay Hay. Kalau berhadapan dengan subo, jangan sekali-kali engkau pecengisan, juga jangan main-main dan jangan merayu. Kalau sampai engkau membuat subo marah kemudian dia turun tangan membunuhmu, jangan katakan bahwa aku belum memberi peringatan kepadamu," bisik gadis itu. Diam-diam Hay Hay tahu bahwa gadis ini memang bersikap serius dan tidak main-main. Baru sikapnya saja sudah begitu jeri, bicara pun tak berani keras-keras, tentu takut kalau sampai terdengar oleh subo-nya. Dan ketakutan seperti ini pun telah menunjukkan bahwa tentu guru gadis ini memiliki kesaktian yang amat hebat sehingga mampu mendengarkan percakapan dari tempat jauh. Dia pun lalu mengangguk karena tidak tega untuk membuat Mayang menjadi semakin ketakutan. Setelah sampai di puncak, Hay Hay melihat bahwa puncak itu ternyata datar, merupakan dataran yang cukup luas dan di tengah-tengah puncak itu tampak sebuah bangunan yang besar, dengan tembok warna putih dan genteng berwarna merah coklat. Daun pintu dan jendela dicat kuning dan di sekeliling rumah itu dihias pepohonan sehingga nampak teduh dan nyaman. Pada sebelah kiri dan belakang rumah terdapat taman bunga yang dipagari kuat, tentu untuk mencegah masuknya hewan ternak yang banyak terdapat di situ. Sebagian besar puncak itu terdiri dari padang rumput yang luas dan subur, dan Hay Hay dapat melihat hewan ternak seperti kambing dan lembu, juga kuda bahkan nampak ayam berkeliaran di puncak. Hewan ternak itu gemuk-gemuk, dan jauh di ujung puncak terdapat bangunan-bangunan dari bambu sederhana yang merupakan kandang ternak. Beberapa orang gadis sibuk bekerja, ada yang menggembala ternak, ada yang memikul air, ada yang membelah kayu. Mereka semua langsung berhenti bekerja dan mengangkat muka memandang, lantas alis mereka berkerut ketika mereka melihat munculnya Mayang bersama seorang pemuda tampan. Agaknya tamu pria jarang sekali muncul di puncak ini, kecuali mereka yang mempunyai urusan pekerjaan dengan keluarga Siankouw, yaitu jual beli ternak, mengirim bahan makanan atau kayu, dan lain-lain. Akan tetapi pemuda yang datang bersama Mayang ini tidak membawa apa-apa dan datangnya bersama gadis itu, tentu dia adalah seorang tamu. Namun mereka membalas salam Mayang dengan sopan dan sikap hormat. "Mari kita terus saja ke rumah," kata Mayang dan mereka menghampiri rumah besar itu. Sesudah tiba di ruangan depan, Mayang berkata lirih. "Engkau duduklah dulu menanti di ruangan tamu ini, aku akan memberi tahu kepada subo. Sekali lagi, bersikaplah sopan." Gadis itu lalu memasuki pintu tembusan ke dalam. Hay Hay duduk melamun, lalu memutar tubuh memandang keluar. Pekarangan itu sangat luas dan bersih, tidak berdebu karena ditaburi semacam pasir lembut yang berwarna agak gelap sehingga tidak menyilaukan mata kalau matahari bersinar, dan hangat kalau udara dingin. Tempat ini memang indah dan nyaman, pikirnya. Dan penghuninya tentulah orang-orang yang suka akan kebersihan dan keindahan. Guru Mayang itu tentu lihai sekali ilmu silatnya, dan lebih lihai lagi ilmu sihirnya. Sungguh merupakan pribadi yang sangat menarik. Kalau wanita sakti itu mau membantunya, tentu dia akan dapat membebaskan Han Siong dan berhasil menyelidiki keadaan para pendeta Lama itu, juga dapat membuka rahasia mereka mengapa mereka itu menculik Han Siong! Tiga orang pendeta Lama yang lihai itu mengaku sebagai utusan Dalai Lama, akan tetapi dia mendengar dari Mayang bahwa mereka itu adalah pemimpin para pendeta Lama yang pernah dibasmi sebagai pemberontak oleh Dalai Lama! Pada saat dia mulai merasa betapa lamanya Mayang meninggalkannya di situ, terdengar langkah-langkah kaki yang ringan di belakangnya Dia sudah mulai khawatir bahwa gadis itu mendapat kesukaran, bahwa subo gadis itu tidak mau menemuinya bahkan memarahi Mayang. Sebab itu, ketika mendengar langkah kaki yang ringan lembut, dia cepat bangkit berdiri dan membalik. Dia melihat Mayang, akan tetapi gadis itu sekarang telah mengenakan pakaian bersih dan nampak segar. Agaknya Mayang sudah mandi dulu sebelum keluar lagi. Pantas demikian lamanya, akan tetapi harus diakui bahwa kemunculan gadis ini mendatangkan kesegaran baginya.....

jilid 17

Mayang tetap sederhana, bahkan rambutnya tidak disisir rapi, agak awut-awutan namun bahkan menjadi semakin manis! Kemanisan yang wajar seorang gadis, bukan kecantikan karena riasan. Di samping gadis itu terdapat seorang wanita lain yang pantasnya menjadi kakak Mayang karena ada banyak persamaan di wajah mereka. Kalau Mayang bagaikan kuncup mulai mekar, wanita itu adalah bunga yang sudah mekar sepenuhnya. Keduanya sama menariknya! Hay Hay memandang mereka, dari yang satu kepada yang lain. Inikah subo dari Mayang? Inikah wanita pertapa yang berjuluk Kim Mo Siankouw itu? Memang seorang wanita yang cantik dan anggun, akan tetapi dia tidak melihat alasan mengapa wanita berjuluk Kim Mo Siankouw (Dewi Berambut Emas). Rambutnya hitam seperti rambut Mayang, tapi tersisir rapi dan tidak awut-awutan seperti rambut gadis itu. "Locianpwe yang mulia, saya Tang Hay datang menghaturkan hormat, mohon Siankouw sudi memaafkan kelancangan saya...” kata Hay Hay dengan penuh hormat. Hay Hay menghaturkan penghormatan seperti yang diberikan kepada seorang permaisuri atau raja. Namun dia terbelalak dan bengong memandang kepada Mayang karena gadis itu tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh, tangan kiri menutup mulut dan tangan kanan meraba perut karena merasa geli. "Ehhh, Mayang, ada apakah? Apakah... apakah aku kurang sopan dan kurang hormat?” tanya Hay Hay, benar-benar tidak mengerti kenapa gadis itu tertawa-tawa geli seperti itu. Gadis yang tadi tertawa sambil membungkuk itu mengangkat mukanya memandang. Saat melihat pemuda itu bengong dan mendengar pertanyaan tadi, tawanya kembali meledak, sampai terkekeh-kekeh dan ada air mata keluar dari kedua matanya yang bersinar-sinar. Akhirnya ketawanya mereda setelah wanita di sampingnya menegur halus. "Mayang, tidak sepantasnya engkau tertawa seperti itu." Mayang memandang Hay Hay, wajahnya masih penuh tawa. "Hay Hay, ini bukan subo, ini adalah ibuku, hi-hi-hik!” Gadis itu menahan ketawanya. Kini wajah Hay Hay seketika menjadi merah. Dia pun mengangkat muka dan memandang lagi kepada wanita itu, mengamati dengan penuh perhatian. Kemudian, sesudah menarik napas panjang dia pun berkata. "Ahhh, pantas... sungguh pantas, akan tetapi juga tidak patut sekali...” Mendengar kata-kata yang tidak karuan maknanya ini, Mayang berbalik menjadi bengong. "Apa maksudmu, Hay Hay? Ucapanmu tidak karuan. Kau bilang pantas akan tetapi juga tidak patut! Bagaimana pula itu?" "Memang pantas sekali menjadi ibumu karena mirip denganmu, Mayang, dan pantas pula engkau demikian cantik manis karena ibumu juga begini cantik jelita. Namun tidak patut menjadi ibumu karena dia masih terlalu muda, patutnya menjadi kakakmu!" Mayang tidak merasa heran mendengar pemuda mata keranjang ini memuji kecantikan ibunya, akan tetapi wanita itu terbelalak, mukanya berubah merah sekali. "Mayang! Siapakah dia ini? Orang macam apa yang kau bawa berkunjung ini? Apakah dia waras, tidak gila?" Mendengar pertanyaan ibunya, gadis itu kembali tertawa geli sambil menatap wajah Hay Hay. "Hati-hati, ibu, jangan-jangan engkau akan jatuh ke dalam rayuan mautnya. Memang Hay Hay ini seorang perayu maut yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita." Hay Hay segera teringat akan keadaan dirinya yang kini sedang berada di tempat orang, tempat berbahaya pula karena penghuninya adalah seorang pertapa wanita sakti. Cepat dia memberi hormat kepada ibu Mayang dengan sikap sopan, lantas berkata, "Harap Bibi sudi memaafkan saya yang selalu suka terus terang sehingga mungkin terdengar kurang ajar. Bukan maksud saya untuk merayu, melainkan untuk berterus terang. Maafkan, saya Tang Hay dan...” "She Tang...?” Tiba-tiba wanita itu membelalakkan matanya dan menatap wajah Hay Hay, lalu dia mengeluarkan jerit kecil tertahan, “Kau... kau... matamu dan hidungmu itu... ihhh, dan engkau she Tang pula... Orang muda, cepat katakan, siapakah ayahmu?" Hay Hay terkejut. Dia mengambil keputusan untuk tidak memperkenalkan siapa ayahnya bila tidak amat perlu, maka dia pun menarik napas panjang. "Saya tidak tahu siapa ayah saya, Bibi, karena ayah telah pergi sejak saya berada dalam kandungan dan mungkin dia sudah mati." "Ibu, mengapa Ibu terkejut mendengar she dari Hay Hay? Dan Ibu menyinggung mata dan hidungnya! Ada apakah, ibu...?" Mayang kini juga bersikap sungguh-sungguh karena dia pun terkejut dan heran melihat sikap ibunya. Wanita itu telah dapat menguasai dirinya. "Ahh, tidak apa-apa. Aku hanya merasa seperti pernah melihat pemuda ini. Akan tetapi, Mayang, bagaimana engkau dapat berkenalan dengan pemuda yang... eh, mata keranjang ini? Mau apa kau bawa dia ke sini? Siankouw bisa marah kalau...” “Orang muda kurang ajar ini harus pergi sekarang juga!" Mendadak terdengar bentakan halus dari sebelah dalam. Mendengar suara ini ibu Mayang cepat membungkuk, lantas merangkap kedua tangannya memberi hormat. Juga Mayang segera menjatuhkan diri berlutut di dekat ibunya, sikapnya amat hormat. Hay Hay mengangkat muka memandang. Yang rnuncul di ambang pintu memang sangat menakjubkan, seperti bukan manusia ketika mendadak muncul di situ, dengan sikap yang lembut dan anggun sekali. Sukar dapat dipercaya bahwa seorang wanita berusia enam puluh tahun masih seperti itu! Rambutnya yang bercampur uban itu berwarna keemasan! Kulit mukanya nampak lembut tanpa keriput, matanya mencorong dan bibirnya masih kemerahan namun terhias senyum aneh. Tubuh, wajah dan sikap wanita ini pantasnya terdapat pada sebuah patung, seperti arca Kwan Im Pouwsat saja! Tanpa dibuat-buat, di dalam hati Hay Hay timbul perasaan hormat terhadap wanita ini, maka dia pun cepat memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, kemudian berkata dengan suara lantang. "Mohon maaf sebesarnya dari Siankouw akan kelancangan saya yang telah berani datang dan menghadap Siankouw tanpa diundang. Saya memberanikan diri datang menghadap Siankouw untuk memohon pertolongan, karena saya mendengar bahwa Siankouw adalah seorang manusia berbudi luhur, seorang pertapa yang mencari penerangan dan tentu akan selalu menjulurkan tangan untuk menolong yang membutuhkan bantuan. Atas pertolongan Siankouw yang sakti dan suci, sebelumnya saya Tang Hay menghaturkan banyak terima kasih dan akan selalu berdoa semoga semua budi kebaikan Siankouw akan tercatat oleh para Malaikat dan Thian yang akan berkenan membalas semua amal perbuatan Siankouw yang berbudi sehingga kalau dalam kehidupan yang sekarang saya tidak dapat membalas segala kebaikan Siankouw yang mulia, semoga dalam kehidupan mendatang saya akan dapat menebusnya dan...” “Sudah, cukup... cukup...!” Kim Mo Siankouw berkata sambil menahan ketawanya ketika mendengar kata-kata yang berderet-deret tanpa ada putusnya itu. "Engkau lelaki perayu, dengan kata-katamu yang indah, suaramu yang merdu, ucapanmu yang manis, sungguh engkau seorang yang palsu dan berbahaya sekali bagi kaum wanita. Engkau harus pergi dari sini!" Sambil berkata demikian, seperti orang yang merasa jengkel, wanita itu lantas menggerakkan tangannya ke arah kepala Hay Hay. Pemuda ini mendengar angin berdesir dan dia terkejut bukan main. Biar pun nampaknya hanya mengebutkan tangan, akan tetapi sesungguhnya gerakan itu merupakan serangan yang sangat dahsyat dan berbahaya bukan main! Maka, agar jangan kentara bahwa dia mengelak, pada saat itu dia segera menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah wanita berambut keemasan itu sambil mengangguk-angguk memberi hormat. “Siankouw yang sakti, Siankouw yang budiman, Siankouw yang agung, tolonglah saya, tolonglah sahabat saya...” Kim Mo Siankouw agak terbelalak dan dia menoleh kepada Mayang. “Mayang, dari mana engkau memperoleh pemuda perayu ini dan apa kehendakmu membawa orang semacam ini kepadaku? Hayo jawab yang sejujurnya!" Ucapannya halus akan tetapi mengandung teguran dan perintah. Sambil berlutut Mayang lalu menjawab, "Harap Subo sudi memaafkan teecu (murid). Subo (ibu guru) tentu maklum bahwa teecu tidak akan berani berlancang hati untuk membawa seorang tamu pria datang menghadap subo. Akan tetapi telah terjadi peristiwa yang cukup hebat, yang teecu anggap cukup penting bagi Subo untuk mengetahuinya. Pertama-tama, agar Subo ketahui bahwa tadi teecu sudah bentrok dengan tiga orang pendeta Lama yang memimpin para pendeta Lama di puncak Bukit Bangau." Kim Mo Siankouw terkejut walau pun hal ini hanya nampak pada pandang matanya dan kerutan alisnya. "Hemmm, sudah kukatakan bahwa engkau tidak boleh berurusan dengan mereka. Urusan pemberontakan terhadap Dalai Lama bukanlah urusan kita dan kita tidak perlu mencampuri." "Maaf, Subo. Bukan maksud teecu untuk mencampuri, tetapi secara kebetulan saja teecu bertemu dengan mereka bertiga itu di kedai makan di dusun Wang-kan dalam perjalanan teecu pulang mengantar ternak ke kota Cauw-ti. Mereka makan di sana bersama seorang pemuda. Ketika mereka melihat teecu, seorang di antara mereka menghampiri teecu dan pura-pura minta derma, akan tetapi teecu merasakan betapa dia menggunakan kekuatan sihir untuk menguasai pikiran teecu. Tadi malam teecu datang ke gubuk di luar dusun di mana mereka menanti dan dengan sihir pendeta Lama itu menarik teecu datang. Karena teecu menganggap mereka itu jahat sekali, sebagai pendeta Lama tidak patut melakukan kekejian seperti itu terhadap teecu, maka teecu datang dan ingin menghajar mereka!" “Aih, engkau lancang, Mayang. Mereka itu adalah tiga orang pendeta Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Yang mana di antara mereka itu yang menyihirmu?" "Ketika teecu berada di dalam rumah makan, yang menyihir teecu adalah pendeta yang mukanya kekanak-kanakan, tubuhnya tinggi bongkok...” “Hemm, siapa lagi jika bukan Pat Hoa Lama si pendeta cabul? Huh, berani dia menghina muridku! Lalu bagaimana? Agaknya tidak mungkin engkau dapat lolos dari tangan mereka bertiga!" Setelah berkata demikian, Kim Mo Siankouw mengerling kepada Hay Hay yang masih menunggu dengan hati tegang. Dia merasa betapa wanita itu memang hebat, dan agaknya sudah mengenal dan mengetahui keadaan para pendeta Lama yang menculik Han Siong. "Mereka bertiga lantas menghadapi teecu dan mencoba untuk menguasai teecu dengan sihir. Akan tetapi... hemmm, mereka tidak tahu bahwa teecu adalah murid Subo. Segala permainan kanak-kanak itu...” "Jangan tergesa-gesa menyombongkan diri!" Kim Mo Siankouw memotong dengan suara tegas sehingga mengejutkan Mayang sendiri karena tidak biasanya gurunya menghardik dirinya. Sementara itu, diam-diam Hay Hay tersenyum melihat sikap Mayang. "Sesudah sihir mereka itu gagal, seorang di antara mereka yang memegang tongkat lalu menyerang teecu. Teecu melawan dengan cambuk. Kami berdua saling serang dan teecu sudah mengambil keputusan untuk menghajar mereka bertiga. Akan tetapi tiba-tiba teecu dikejutkan oleh terbakarnya gubuk itu dan teecu lalu pergi meninggalkan mereka. Teecu bertemu dengan Hay Hay ini, lantas dia menceritakan bahwa pemuda yang bersama tiga orang pendeta Lama itu adalah seorang sahabatnya yang diculik mereka untuk dijadikan pelayan. Karena teecu menduga bahwa kawannya itu dilarikan ke Bukit Bangau, maka Hay Hay minta kepada teecu untuk menghadap Subo dan mohon pertolongan Subo untuk dapat menolong dan membebaskan sahabatnya itu." Kim Mo Siankouw menahan senyum, memandang kepada muridnya itu dan menggeleng kepalanya. "Mayang, kau kira aku tidak tahu siapa ketiga orang pendeta Lama itu? Yang menyihirmu adalah Pat Hoa Lama, ada pun orang yang menyerangmu dengan tongkat itu bukankah bertubuh tinggi besar, dan tongkatnya itu memakai kelenengan? Lalu orang ke tiga itu tinggi kurus, matanya seperti selalu terpejam?" “Benar sekali, Subo." "Mereka itu adalah tokoh-tokoh di Tibet. Yang menyerangmu bernama Gunga Lama dan yang matanya terpejam itu Janghau Lama. Mereka bertiga adalah orang-orang sakti dan menghadapi Gunga Lama seorang saja belum tentu engkau dapat menang. Kalau tidak ada orang yang membakar gubuk itu, kiranya belum tentu engkau akan dapat meloloskan diri dari tangan mereka. Siapa yang membakar gubuk itu?" Hay Hay cepat mengacungkan telunjuk kanannya ke atas, "Saya, Siankouw! Untung ada saya...” Pada saat itu pula terdengar suara ribut di luar. Mereka segera memandang keluar dan nampaklah lima orang Lama sedang ribut mulut dengan para pelayan wanita yang bekerja di pekarangan depan. Agaknya para pelayan itu bersikeras melarang mereka memasuki pekarangan, tapi lima orang pendeta Lama itu berkeras pula akan memasuki pekarangan sehingga terjadi ketegangan. Melihat hal ini, Mayang melompat bangun, juga ibunya sudah melangkah keluar bersama puterinya. Kim Mo Siankouw sendiri dengan sikap tenang bangkit berdiri akan tetapi dia pun melangkah keluar. Hay Hay yang ditinggal seorang diri dalam keadaan masih berlutut itu pun segera bangkit dan keluar. "Heiii, apa yang telah terjadi di sini!” bentak Mayang yang bersama ibunya telah berada di pintu pagar di mana lima orang pendeta Lama itu bersitegang dengan para pelayan yang melarang mereka memasuki pekarangan. Lima orang pendeta Lama itu berusia kurang lebih antara empat puluh tahun. Mendengar bentakan ini, mereka mengangkat muka memandang dan ketika melihat Mayang, mereka memandang dengan wajah berseri. Salah seorang di antara mereka yang mulutnya lebar segera melangkah maju. "Apakah engkau yang bernama nona Mayang?” "Kalau benar aku, mengapa?" tantang Mayang yang sudah marah melihat mereka karena dia menduga bahwa tentu mereka ini anak buah tiga orang pendeta Lama yang mereka bicarakan tadi. Lima orang pendeta itu saling pandang dan mereka pun menyeringai kurang ajar. Si mulut besar tertawa. "Ha-ha-ha, pantas saja suhu berpesan agar kita membawanya hidup-hidup dan jangan melukainya. Kiranya memang manis sekali dan sayang kalau sampai terluka," katanya kepada kawan-kawannya, lalu dia menghadapi Mayang kembali. "Nona Mayang, kami diutus oleh para guru kami untuk mengundang Nona ke tempat kami, menghadap tiga orang suhu kami karena ada urusan penting yang hendak dibicarakan denganmu." "Aku tidak sudi!” Mayang membentak. "Nona Mayang, kami datang dengan niat baik dan tidak ingin menggunakan kekerasan, akan tetapi kami pun tidak berani pulang kalau tidak bersamamu. Maka marilah engkau ikut dengan kami agar tidak perlu kami menggunakan kekerasan untuk memaksamu." Mayang melompat lantas membanting kakinya dengan marah. “Kalian ini lima ekor anjing gundul berani mengancam aku? Majulah dan aku akan membikin remuk gundul-gundulmu itu!” "Mayang, mundur kau!" Mendadak terdengar Kim Mo Siankouw berkata lembut. Mayang terkejut dan dia pun tidak berani membantah, walau pun dia masih ragu-ragu. "Mayang, lekas taati Siankouw!" kata pula ibunya yang lebih mengerti mengapa Kim Mo Siankouw menyuruh Mayang mundur. Dia bisa menduga bahwa kalau tiga orang pendeta Lama itu mengirim utusan lima orang ini, tentu mereka sudah memperhitungkan bahwa lima orang pendeta utusan ini akan mampu menandingi bahkan mengalahkan Mayang. Kini Kim Mo Siankouw memandang kepada Hay Hay sambil tersenyum, senyum dingin mengejek. "Orang muda, pin-ni (aku) akan mempertimbangkan permintaanmu tadi kalau engkau dapat mewakili kami menghadapi lima orang pendeta Lama ini." "Subo, apakah Subo hendak mencelakakan Hay Hay? Dia tidak bisa apa-apa, seorang pemuda yang lemah, bagaimana harus...” "Mayang, jangan membantah kehendak Siankouw!" kembali ibu gadis itu menegur. Mayang tidak melanjutkan kata-katanya, hanya memandang terbelalak kepada Hay Hay, merasa kasihan karena bagaimana pemuda lemah itu akan dapat menandingi lima orang pendeta Lama itu? Melawan seorang dari mereka pun tidak akan mampu. Tentu dia akan tewas! Tiba-tiba dia merasa khawatir dan gelisah sekali. Tidak, pikirnya, pemuda itu tidak boleh mati. konyol. Dia tidak berani lagi membantah subo-nya, akan tetapi secara diam-diam dia akan berjaga-jaga dan akan melindungi Hay Hay! Sementara itu, diam-diam Hay Hay kagum bukan main kepada guru Mayang. Wanita tua yang masih cantik dan lembut itu sungguh memiliki penglihatan yang sangat tajam. Tentu dia telah tahu bahwa dia mempunyai kepandaian, kalau tidak demikian, tidak mungkin dia menyuruh dia melawan lima orang pendeta Lama ini! Maka dia pun tersenyum, walau pun masih berpura-pura tolol karena melihat sikap Mayang. "Aihhh, syaratnya berat amat! Akan tetapi, baiklah, Siankouw. Demi menolong sahabatku, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk melawan lima ekor anjing gundul ini. Melihat sikap Hay Hay, Mayang merasa girang dan bangga. Biar pun jelas bahwa pemuda itu bukan lawan lima orang pendeta Lama yang dia duga tentu lihai, akan tetapi pemuda itu sudah memperlihatkan sikap yang gagah! Berani memaki mereka sebagai lima ekor anjing gundul, meniru makiannya tadi. "Benar, Hay Hay. Hantam kepala lima ekor anjing gundul itu. Jangan takut, kalau mereka hendak menggigitmu, akan kuketok kepala mereka yang gundul itu!" Dia berteriak penuh semangat. Gurunya dan ibunya hanya melirik saja sambil tersenyum karena sungguh pun berteriak tetapi gadis itu tidak turun tangan, mentaati perintah subo-nya tadi. Hay Hay melirik kepada Mayang dan masih tersenyum, kemudian dengan langkah gontai seperti orang yang tidak bertenaga dia maju menghampiri lima orang pendeta Lama itu. Lima orang pendeta Lama itu adalah tokoh-tokoh di Tibet, dan merupakan tangan kanan dari tiga pendeta Lama yang bersarang di Bukit Bangau. Mereka sudah marah ketika tadi mendengar penghinaan Mayang, gadis manis yang berani memaki mereka sebagai lima ekor anjing gundul. Kini kembali mereka dimaki, dan yang memaki adalah pemuda yang terlihat lemah ini, bahkan tadi gadis itu telah mencegah pemuda ini maju karena dikatakan bahwa pemuda ini lemah. Dalam kemarahan itu, lima orang pendeta Lama bermaksud untuk mempermainkan dan menghina Hay Hay. Salah seorang di antara mereka yang tubuhnya kurus kering berkata dengan suaranya yang parau besar, tidak sesuai dengan tubuhnya. "Saudara-saudara sekalian, monyet cilik ini hendak melawan kita? Ha-ha-ha-ha, mari kita buat dia menari-nari!" Ucapan ini merupakan isyarat kepada teman-temannya agar mereka mempergunakan kekuatan sihir saja untuk mempermainkan dan menghina Hay Hay, yaitu menyihirnya agar dia bersikap seperti seekor monyet! Mereka berlima kemudian mengerahkan kekuatan sihir mereka, menatap wajah Hay Hay dengan tajam, lalu si kurus tadi membentak lagi, kini kekuatan sihirnya disatukan dengan kekuatan empat orang kawannya. "Orang muda, engkau adalah seekor monyet yang baru keluar dari dalam hutan! Ingatlah baik-baik, engkau adalah seekor monyet! Monyet! Monyet! Monyet! Hayo monyet, engkau menari-narilah!" Mayang merasa benar akan gelombang kekuatan sihir itu. Bagi dirinya sendiri yang sudah kebal, gelombang kekuatan itu hanya lewat saja tanpa membekas, akan tetapi ia khawatir sekali melihat Hay Hay karena bagaimana mungkin pemuda yang tidak mengenal sihir itu akan mampu bertahan menghadapi serangan ilmu sihir sekuat itu? Dia melihat Hay Hay tersenyum lebar, lalu memandang seperti orang bingung dan heran. "Monyet? Aku disuruh menjadi monyet? Ha-ha, baiklah, aku akan menari seperti monyet. Akan tetapi pertunjukan monyet harus dilengkapi dengan segerombolan anjing! Dan kalian yang menjadi lima ekor anjingnya! Anjing gundul, ha-ha! Kalian lima ekor anjing gundul, hayo kalian menggonggong, biar aku jadi monyet menari-nari!” Kini Mayang terbelalak. Apa yang telah dilihatnya? Lima orang pendeta Lama itu tiba-tiba saja merangkak-rangkak dan menggonggong mirip anjing, menyalak-nyalak dan meringis-ringis! Tadinya dia mengira bahwa mungkin subo-nya yang telah membantu Hay Hay sehingga dia merasa gembira sekali. Akan tetapi, ketika dia menoleh kepada subo-nya, dia melihat betapa subo-nya juga terbelalak dan terheran-heran, maka dia cepat memandang lagi ke arah Hay Hay dan lima orang pendeta Lama itu. Lima orang pendeta itu masih merangkak-rangkak, kadang kala berloncatan ke sana-sini sambil menyalak-nyalak, dan Hay Hay meloncat ke atas punggung pendeta kurus kering. Sambil menari dan menggaruk-garuk tubuh seperti seekor monyet, Hay Hay berloncatan dari satu punggung ke lain punggung, persis seekor monyet yang sedang bermain-main dengan lima ekor anjing. Riuh rendah suara lima orang pendeta itu menggonggong dan menyalak-nyalak dengan galak. Mayang hampir tidak dapat percaya akan pandangan matanya sendiri. Sudah jelas bahwa Hay Hay agaknya berada di bawah pengaruh sihir dan bersikap laksana seekor monyet, akan tetapi mengapa lima orang pendeta yang menyihir Hay Hay itu seperti terkena sihir pula? Bahkan lebih parah dari Hay Hay? Kalau Hay Hay hanya bersikap seperti monyet, menggaruk-garuk dan menari-nari tetapi masih bisa bercakap-cakap, lima orang pendeta Lama itu benar-benar bersikap dan bersuara seperti anjing! Akan tetapi ketika kembali Mayang menoleh kepada subo-nya, dia melihat subo-nya kini tidak terheran-heran lagi. Bahkan subo-nya tersenyum-senyum! Sekarang dia melihat Hay Hay meloncat turun dari punggung para pendeta Lama itu, masih berjingkrak-jingkrak dan menggaruk-garuk dada dan punggung seperti monyet, sambil tertawa-tawa. "Ha-ha-ha, bagus, bagus! Anjjng-anjing gundul, kalian sekarang boleh saling serang, lima ekor anjing berebut tulang dan aku monyetnya yang memberi tulang!" Dengan gerakan mirip monyet Hay Hay lalu mengambil sepotong kayu dan melemparkan kayu ke arah lima orang pendeta yang masih merangkak-rangkak dan berloncat-loncatan itu dan terjadilah suatu penglihatan yang membuat Mayang kini tertawa terkekeh-kekeh! Bagaikan lima ekor anjing tulen kelima orang pendeta itu sekarang menyerbu dan saling memperebutkan ‘tulang’ yang bukan lain hanya sepotong kayu itu! Mereka saling terkam dan saling gigit di antara gonggongan yang riuh rendah! Ada yang telinganya kena gigit sampai robek, atau hidungnya kena gigit sampai berdarah dan melihat semua ini, Mayang tertawa terpingkal-pingkal sampai harus memegangi perutnya yang terguncang-guncang dan menjadi keras. Tiba-tiba terdengar suara Hay Hay, "Sudah... sudah, cukup! Kalian ini lima orang pendeta Lama, kenapa bermain-main seperti anak-anak kecil?" Tiba-tiba lima orang pendeta itu berloncatan berdiri dan saling pandang. Wajah mereka seketika menjadi pucat, lalu menjadi merah sekali. Mereka menyusut darah dari muka dan kini mereka memandang kepada Hay Hay dengan mata melotot penuh kemarahan. "Srattt! Srattt! Singgg...!" Nampaklah sinar berkilauan dan lima orang pendeta Lama itu sudah mencabut golok dari sarung golok yang menempel di punggung mereka. Mereka segera mengepung Hay Hay dengan golok di tangan, sikap mereka nampak beringas serta penuh ancaman sehingga Mayang memandang dengan muka berubah agak pucat. "Heii, kalian ini berpakaian pendeta, kenapa memegang golok? Apakah pekerjaan kalian menjagal babi?" Hay Hay agaknya tidak sadar akan bahaya maut yang mengancam maka masih sempat berkelakar. “Kami memang jagal, sekali ini hendak menjagal kamu, monyet busuk!" bentak seorang di antara mereka yang hidungnya pecah berdarah karena digigit kawannya sendiri. "Hemm, tadi kalian memperebutkan tulang, tapi sekarang tulangnya ditinggal begitu saja!" kata Hay Hay, lantas dia pun mengambil sepotong kayu tadi yang besarnya selengan dan panjangnya tiga kaki. "Orang muda sombong, bersiaplah engkau untuk mampus!" bentak lima orang pendeta itu yang sudah mengepungnya. "Hay Hay, mundurlah! Mereka itu lihai dan engkau tidak pandai silat...!" Tiba-tiba Mayang berteriak karena gadis ini merasa khawatir sekali. Hay Hay menoleh kepadanya dan tersenyum. "Biarlah, Mayang. Justru karena mereka itu lihai, maka hendak kuhadapi dengan gerakan yang bukan silat. Aku menjadi monyet, aku akan bergerak seperti monyet." "Jangan, Hay Hay! Engkau akan celaka...!" Mayang sudah siap untuk meloncat ke depan, untuk menggantikan Hay Hay, atau setidaknya untuk melindunginya, akan tetapi subo-nya menegurnya. "Mayang, jangan mencampuri!" Mayang terkejut dan cepat dia menghampiri subo-nya, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah dekat subo-nya yang juga sudah duduk di atas sebuah bangku yang tadi disediakan oleh seorang pelayan wanita. Ibu gadis itu juga duduk di atas bangku di sebelah kiri Kim Mo Siankouw. "Subo, bagaimana ini? Jangan biarkan Hay Hay tewas, Subo. Dia akan mati konyol...” "Hushhh..., Mayang, kau pergunakanlah matamu baik-baik. Sejak bertemu tadi aku sudah melihat bahwa pemuda itu sama sekali bukan orang lemah. Kau lihat saja!" Gadis itu terkejut dan merasa heran. Hay Hay bukan orang lemah? Dengan bingung dia memandang dan melihat betapa kini lima orang pendeta Lama itu sudah mulai menyerang dengan golok mereka. Gulungan sinar golok menyambar-nyambar ganas dan hampir saja Mayang memejamkan mata karena merasa ngeri membayangkan tubuh pemuda itu akan tersayat-sayat. Akan tetapi aneh! Dia melihat tubuh pemuda itu bergerak seperti monyet, berloncatan ke sana-sini, tangan kanan memegang tongkat dan tangan kiri menggaruk-garuk sana-sini di tubuhnya, akan tetapi kelima batang golok itu tidak pernah mampu menyentuhnya! Mula-mula Mayang terbelalak, terheran-heran, akan tetapi segera dia tersenyum dan akhirnya dia berteriak-teriak saking gembiranya. Tentu saja Hay Hay bukan lawan seimbang bagi kelima orang pendeta Lama itu. Dengan mudah saja pendekar ini menggunakan ilmu Jiauw-pouw Poan-san, yaitu gerak langkah kaki ajaib yang membuat dirinya selalu dapat mengelak dari sambaran lima batang golok. Hanya gerakannya itu dicampurnya dengan gerakan dan loncatan mirip monyet sehingga nampak lucu sekali. Tongkat di tangannya itu kadang membantunya, setiap kali ada golok yang terlalu berbahaya menyambarnya, tongkat cepat bergerak dan ujungnya mendorong golok lawan sehingga menyerong. Lima orang pendeta Lama itu terkejut, akan tetapi juga penasaran dan marah sekali. Tadi mereka sudah dihina secara luar biasa, yaitu mereka seolah-olah menjadi seperti anjing yang saling serang sendiri. Sekarang golok mereka sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh pemuda itu, padahal katanya pemuda itu tidak pandai silat, dan kini hanya bergerak seperti monyet saja. Namun golok mereka selalu membacok dan menusuk udara kosong! "Bocah keparat! Kalau berani, hadapilah kami dan mari kita mengadu kepandaian, bukan terus mengelak seperti itu!" bentak si kurus kering. "Singgg...!" Goloknya menyambar ke arah leher Hay Hay dari kanan ke kiri. Hay Hay merendahkan tubuhnya dan golok itu menyambar lewat di atas kepalanya. "Nih tulang, makanlah!" kata Hay Hay dan tiba-tiba saja, tanpa dapat dihindarkan lagi oleh si tinggi kurus, ujung tongkat itu sudah menusuk ke arah mulutnya, lantas terdengar bunyi berkerotokan! "Auhhhh....!" Si tinggi kurus terjengkang, kemudian dia menutupi mulutnya yang berdarah-darah karena sebagian besar giginya di bagian depan telah rontok dan tanggal karena mulut itu dijejali ujung tongkat! Empat orang pendeta lainnya menjadi terkejut, akan tetapi juga marah bukan main. Golok mereka menyambar-nyambar semakin ganas, akan tetapi Hay Hay tidak ingin membuang banyak waktu lagi. Sekarang dia pun membalas dan nampak sinar hijau bergulung-gulung ketika tongkatnya berkelebatan. “Tak! Tuk! Tak! Tuk!” Terdengar suara tongkat beradu dengan empat kepala gundul, disusul teriakan kesakitan empat orang itu. Empat batang golok terlempar, dan keempat orang pendeta itu langsung menghentikan serangan mereka. Kini mereka mengelus-elus kepala gundul mereka yang ternyata telah benjol-benjol akibat dihajar tongkat. Lima orang pendeta itu langsung maklum bahwa kini mereka berhadapan dengan lawan yang amat pandai, maka tanpa banyak cakap lagi, tanpa memungut golok mereka, lima orang pendeta Lama itu segera lari tunggang langgang tanpa pamit! Sejak tadi Mayang hampir tidak berkedip. Dia meloncat berdiri dan menghampiri Hay Hay, kini pandang dari sepasang mata yang jeli indah itu berubah. Penuh kagum, akan tetapi juga penuh dengan perasaan penasaran. “Kau... kau... telah berpura-pura bodoh, ya?" bentaknya penuh teguran karena dia merasa dipermainkan pemuda ini. Hay Hay hanya tersenyum dan dia segera menghadap Kim Mo Siankouw dengan sikap hormat. Wanita itu sekarang bersikap angkuh ketika berkata dan bangkit berdiri. "Orang muda, kita bicara di dalam!" Hay Hay mengangguk, kemudian mengikuti wanita itu yang memasuki rumah bersama ibu Mayang. Gadis itu sendiri lalu mengikuti dari belakang, hatinya masih merasa dongkol terhadap Hay Hay karena dia merasa dibodohi, merasa dipermainkan pemuda itu dalam pertemuan pertama. Wajahnya berubah kemerahan apa bila dia membayangkan semua peristiwa yang sudah terjadi sejak dia berjumpa dengan Hay Hay yang membakar gubuk dan pura-pura sebagai seorang pemuda yang lemah! Tidak tahunya, pemuda ini memiliki ilmu silat yang hebat, yang dengan amat mudahnya mengalahkan lima orang pendeta Lama itu dan yang lebih hebat lagi, pemuda ini agaknya juga seorang ahli sihir! Mereka kini duduk di dalam ruangan sebelah belakang. Hanya empat orang yang berada di ruang itu. Kim Mo Siankouw duduk di atas kursi yang ditilami sutera merah. Ibu Mayang duduk di sebelah kirinya, dan Mayang sendiri berlutut di atas lantai di sebelah kanannya, Hay Hay duduk pula di bangku berhadapan dengan mereka. Untuk sejenak mereka hanya saling pandang saja. Ibu Mayang memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh selidik. Kim Mo Siankouw menatap dengan pandang mata menyelidik pula seperti hendak mengukur dan menjenguk isi hati pemuda itu. Sedangkan Mayang sendiri memandang dengan wajah berubah-ubah, kadang -kadang penuh kagum, lalu penuh perasaan dongkol. Hay Hay sendiri bersikap tenang saja. Walau pun dengan jelas dia dapat melihat keadaan hati mereka melalui wajah mereka, akan tetapi dia berpura-pura tidak tahu dan bersikap tenang, pada bibirnya terhias senyum. Tiba-tiba Hay Hay terkejut karena merasakan suatu getaran yang sangat kuat datang dari wanita tua itu. Ketika dia mengangkat muka, dia melihat betapa sepasang mata Kim Mo Siankouw mencorong laksana dua buah bintang yang memiliki sinar amat kuatnya. Maka tahulah dia bahwa wanita itu memandang kepadanya dengan pengerahan kekuatan batin untuk mengukur dirinya, karena sinar yang keluar dari mata wanita tua itu bukan bersifat menyerang, melainkan berusaha untuk membuka isi hatinya melalui pikiran, seakan-akan hendak memaksa dirinya mengaku. Dia pun cepat mengerahkan tenaga batinnya dan menyambut sinar mata itu dengan sinar matanya sendiri sehingga terjadilah bentrokan antara dua kekuatan batin yang amat kuat. Sejenak mereka itu saling tatap, kemudian, ketika merasakan betapa sinar mata Kim Mo Siankouw melembut, Hay Hay juga cepat-cepat menarik kembali tenaganya dan dia pun menundukkan pandang matanya. "Orang muda yang gagah, sekarang katakan terus terang kepadaku, siapakah yang telah mengajarkan ilmu sihir kepadamu?" pertanyaan itu lembut namun tegas. Hay Hay membutuhkan bantuan wanita sakti ini, maka dia pun tidak ragu untuk membuat pengakuan. "Yang mengajarkan kepada saya adalah mendiang suhu Pek Mau Sanjin dan Song Lojin." Kim Mo Siankouw mengangguk-angguk, tidak lagi merasa penasaran melihat kehebatan orang muda itu dalam ilmu sihir setelah mendengar siapa gurunya. "Dan siapa pula gurumu dalam ilmu silat?" Dari pertanyaan ini saja telah membuktikan bahwa Kim Mo Siankouw memang mengenal keadaan mendiang Pek Mau Sanjin, seorang pertapa sakti yang sangat kuat dengan ilmu sihirnya, namun yang tidak pernah mempelajari ilmu silat. "Kedua suhu saya adalah See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai." "Siancai...!" Kini wanita tua itu nampak terkejut. "Kiranya engkau adalah murid dari dua di antara Delapan Dewa...! Ahh, Mayang, sungguh engkau beruntung sekali dapat bertemu dan bersahabat dengan pendekar muda ini!" Akan tetapi Mayang cemberut. Biar pun dia merasa semakin kagum, tetapi juga semakin dongkol karena kebodohannya sehingga mudah saja dia dipermainkan Hay Hay, mengira bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang hanya memiliki kepandaian merayu saja, seorang pemuda yang menyenangkan namun lemah. "Orang muda yang gagah, melihat deretan nama para gurumu, engkau telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan kiranya engkau tidak perlu gentar menghadapi para pendeta Lama yang murtad dan sesat itu. Kenapa engkau masih ingin minta bantuanku?” Hay Hay menarik napas panjang. Kini dia tak boleh berpura-pura lagi, harus menceritakan segata hal dengan sejujurnya. "Locianpwe, sebenarnya saya tidak maju sendiri dalam menghadapi para pendeta Lama, melainkan berdua dengan sahabat baik saya itu, dan dia pun seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, baik ilmu silat mau pun ilmu sihir. Akan tetapi tetap saja kami merasa khawatir karena kami berada di Tibet, bukan di daerah kami. Apa lagi kalau diingat bahwa daerah ini berada dalam kekuasaan Dalai Lama yang agaknya terpaksa akan kami hadapi sebagai lawan." Kim Mo Siankouw rnengerutkan alisnya dan nampak sangat terkejut. "Memusuhi Dalai Lama? Hemm, orang muda, sungguh mengejutkan sekali ucapanmu itu. Kenapa engkau dan sahabatmu memusuhi Dalai Lama?" "Bukan kami yang memusuhi, melainkah Dalai Lama sendiri yang sejak lahirnya sahabat saya itu selalu mengganggu dan hendak menculik sahabat saya. Ketahuilah, locianpwe, sahabat saya itu bernama Pek Han Siong dan semenjak lahir dia selalu dicari dan hendak diculik oleh para pendeta Lama atas perintah Dalai Lama. Sahabatku itu dahulu dlsebut Sin-tong (Anak AJaib) yang menurut pendapat para pendeta Lama adalah seorang calon Dalai Lama!" "Hemmm, kiranya Sin-tong? Putera dari ketua Pek-sim-pang di Nam-co itu? Kami pernah mendengar mengenai peristiwa itu! Jadi sahabatmu itukah Sin-tong? Teruskan ceritamu, orang muda. Sungguh ceritamu mulai menarik hatiku." Kim Mo Siankouw kini benar-benar merasa tertarik. Dia sudah mendengar akan Sin-tong yang pernah dicari oleh para pendeta Lama. Dia sendiri merupakan sahabat Dalai Lama dan dia sendiri tahu bahwa Dalai Lama mencari Sin-tong bukan dengan niat buruk. "Keluarga Pek tidak merelakan putera mereka diambil oleh para pendeta Lima," Hay Hay melanjutkan ceritanya, "Hingga dewasa Han Siong bersembunyi dan dia menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi sampai kini para pendeta Lama itu agaknya masih terus mengejarnya. Akhir-akhir ini muncul tiga orang pendeta Lama di kota Hok-lam dan secara jujur mereka mengatakan bahwa mereka diutus oleh Dalai Lama untuk mengundang Pek Han Siong. Karena tidak ingin dia diganggu terus, Han Siong dan saya bekerja sama. Dia pura-pura terpengaruh oleh sihir tiga orang pendeta Lama itu dan menurut saja dibawa ke daerah ini. Dengan diam-diam saya membayanginya, maka terjadilah pertemuan antara saya dengan adik Mayang. Mendengar akan kesaktian locianpwe, juga melihat kehebatan adik Mayang yang tidak mempan sihir para Pendeta Lama. maka saya memberanikan diri untuk mohon bantuan Locianpwe dalam menghadapi para pendeta Lama, terutama untuk membujuk Dalai Lama agar tidak lagi mengejar-ngejar sahabat saya Pek Han Siong itu." Kim Mo Siankouw menarik napas panjang. "Benar-benar aneh! Ketahuilah, orang muda, bahwa Gunga Lama, Janghau Lama dan Pat Hoa Lama adalah tiga orang pendeta Lama tokoh-tokoh besar di Tibet yang pernah memberontak terhadap Dalai Lama. Mereka telah dihadapi para pengikut Dalai Lama, gerombolan mereka sudah dihancurkan dan mereka melarikan diri. Maka sungguh aneh sekali jika sekarang mereka itu mengaku utusan Dalai Lama untuk mengundang Pek Han Siong. Hemmm, tentu ada maksud tertentu yang tidak sehat. Dan sahabatmu itu sekarang seorang diri berada di antara mereka, tentu dibawa ke puncak Bukit Bangau dan hal ini sungguh berbahaya. Baiklah, aku akan membantumu karena tertarik oleh peristiwa ini, juga karena aku adalah sahabat baik Dalai Lama yang agaknya nama besarnya hendak dicemarkan. Memang, ketika Dalai Lama mendapatkan ilham bahwa calon Dalai Lama yang baru sudah terlahir sebagai Sin-tong, tentu saja dia berusaha menarik Sin-tong untuk dididik sebagai calon Dalai Lama. Namun hal itu terjadi dengan suka rela, dengan cara damai, tidak boleh ada pemaksaan sama sekali. Bila ada pemaksaan terhadap Pek Han Siong, maka hal itu tidak sesuai dengan sikap Dalai Lama dan merupakan hal yang tidak wajar. Nanti pada saat matahari telah naik tinggi, aku akan menemanimu naik ke Bukit Bangau. Sekarang engkau boleh beristirahat dahulu, orang muda. Mayang, engkau persiapkan sebuah kamar untuk tamu kita." Tentu saja Hay Hay menjadi girang sekali dan menghaturkan terima kasih, lalu mengikuti Mayang meninggalkan ruangan itu menuju ke sebelah dalam bangunan besar itu. "Nah, ini kamarmu, engkau boleh beristirahat sekarang," kata Mayang ketika mereka tiba di sebuah kamar tamu yang sudah bersih karena memang di situ terdapat kamar-kamar tamu yang siap pakai. Melihat sikap Mayang, Hay Hay lalu tersenyum. "Mayang, aku berterima kasih padamu. Gurumu suka membantu kami, dan semua ini berkat engkau, Mayang. Bila tidak bertemu denganmu, bagaimana mungkin aku bertemu dengan subo-mu." Akan tetapi dengan cemberut gadis itu berkata singkat, "Tak usah berterima kasih kepada aku seorang gadis yang bodoh!" katanya, kemudian dia pun membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Hay Hay. Pemuda ini terbelalak, lalu cepat mengejar. Mayang memasuki taman bunga yang indah, lantas duduk di atas bangku di dekat kolam ikan emas. Mendengar ada suara di sebelah belakangnya, dia segera membalik dan ternyata Hay Hay telah berdiri di belakangnya. "Mau apa engkau ke sini? Engkau disuruh beristirahat, bukan?" kata Mayang, suaranya mengandung keheranan, namun juga masih ketus dan terutama sekali pandang matanya tidak menyamankan rasa hati Hay Hay. "Wah, bagaimana aku bisa beristirahat kalau engkau seperti ini, Mayang? Suaramu yang ketus akan terus meledak-ledak di dalam telingaku, wajahmu yang cemberut akan terus menghantuiku, dan pandang matamu seperti hendak mencekik leherku. Amboi, dewi yang jelita, apakah gerangan dosa hambamu ini maka paduka marah-marah kepada hamba?” Akan tetapi sekali ini Mayang tidak tertawa melihat ulah Hay Hay, bahkan kerut di kening gadis itu semakin mendalam dan mulutnya yang cemberut menjadi semakin meruncing. Dengan gerakan marah dia membuat dua kuncir tebal yang tadinya bergantung di depan dada melayang dan berpindah ke punggungnya. Mata yang sipit itu basah, hidung yang agak besar itu cupingnya bergerak lembut, mulut yang kecil kemerahan itu membentuk bundaran runcing, kedua pipi yang putih mulus dan biasanya kemerahan itu kini menjadi merah padam. Akan tetapi bagi Hay Hay kelihatan semakin cantik manis saja! "Tidak perlu menjual rayuan! Aku juga tahu bahwa aku adalah seorang gadis bodoh dan tolol, tidak sehebat engkau ini pendekar jagoan yang serba bisa!" "Astaga! Ini namanya marah benar-benar! Mayang sayang, siapa yang mengatakan bahwa engkau gadis bodoh dan tolol? Biar kugampar mulut orang yang berani memakimu seperti itu!" Gadis itu tadinya memutar tubuh membelakangi Hay Hay yang hanya dapat mengagumi pinggulnya yang bulat besar membusung. Tiba-tiba dia membalik dan sepasang kuncirnya turut pula melayang ke depan, secepat gerakan pecutnya, suaranya pun meledak dalam serangan yang mendadak dan mengejutkan. "Engkau yang menghina dan memaki aku!" Hay Hay memandang bengong. "Aku? Ya ampun dewiku! Aku menghina dan memakimu? Akan kupukuli kepala ini kalau berani! Engkau sudah menolongku, engkau telah bersikap ramah dan baik, engkau begini manis dan jelita, dan engkau sahabat baikku. Bagaimana mungkin aku menghina dan memakimu?” "Engkau masih berani menyangkal? Bukankah ketika bertemu dengan aku, engkau sudah berlagak bodoh? Engkau berlagak seakan-akan seorang pemuda yang lemah? Bukankah itu berarti bahwa engkau sudah mempermainkan aku, bahwa engkau sudah menganggap aku bodoh dan karenanya menghinaku? Hayo katakan! Hayo katakan bahwa engkau tidak menganggapku bodoh! Engkau telah mempermainkan aku, membikin aku merasa bodoh dan malu bukan main! Ihhhh... ingin aku menghajarmu!" Barulah Hay Hay mengerti dan diam-diam dia pun menyesal. Dia tidak pernah bermaksud mempermainkan gadis ini, sama sekali tidak. Bila dia berpura-pura, hal itu adalah karena dia memang sengaja ingin menyembunyikan kepandaiannya, tidak ingin diketahui bahwa dia memiliki ilmu kepandaian. Hal ini penting baginya karena bukankah dia sedang membayangi para pendeta itu, dan bukankah dia sedang bertugas untuk menyelidiki rahasia para pendeta Lama? Tadi pun di depan Kim Mo Siankouw, karena terpaksa saja dia harus mengeluarkan ilmunya, karena dia tak mungkin dapat mengelak lagi ketika harus menghadapi pengeroyokan lima orang pendeta Lama yang lihai. Apa lagi karena agaknya mata Kim Mo Siankouw tajam sekali, dapat menduga bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian. Dan dia pun kini maklum bahwa tentu saja Mayang merasa dipermainkan. "Aduhh, Mayang, maafkanlah aku. Sungguh mati, demi Langit dan Bumi aku bersumpah, bukan maksudku mempermainkan engkau, sayang. Terus terang saja, tadinya memang aku hendak menyembunyikan kepandaianku, bukan hanya darimu, akan tetapi juga dari subo-mu dan dari semua orang. Ingat bahwa aku mempunyai tugas penting bersama Han Siong, menyelidiki keadaan para pendeta Lama. Kalau aku memperlihatkan kepandaian, tentu akan menghadapi banyak kesukaran. Sungguh mati, Mayang, aku tidak bermaksud menghinamu. Kalau engkau merasa begitu, maukah engkau mengampuni aku, sayang? Lihat, aku jujur, aku mau minta ampun, bila perlu aku akan berlutut di depan kakimu untuk minta ampun. Mayang, ampunkan aku." Dan Hay Hay benar-benar menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu. Tentu saja Mayang menjadi terkejut sekali dan cepat dia membalikkan tubuhnya sehingga Hay Hay berlutut di belakang sepasang bukit pinggul yang besar itu. “Taihiap, engkau... engkau bangkitlah, jangan berlutut seperti itu!" katanya, suaranya tidak begitu ketus lagi biar pun masih kering. “Ampun! Engkau menyebut aku taihiap lagil Ya ampun, Mayang, kalau engkau tidak mau menyebut namaku dan mengatakan bahwa engkau mengampuni aku, sampai mati pun aku tidak akan bangkit dan akan berlutut terus sampai dunia kiamat!" Mau tak mau Mayang tersenyum sendiri mendengar ini. "Aku tidak percaya! Mana kedua lututmu kuat bertahan kalau menanti sampai dunia kiamat!" Legalah hati Hay Hay mendengar ucapan yang nadanya sudah mengajak berkelakar itu. “Tentu akan kuat, asalkan engkau juga terus berdiri di depanku. Mari kita sama-sama lihat saja siapa yang kuat dan siapa yang tidak. Hayo, Mayang, lekas katakan bahwa engkau suka mengampuni aku. Aku berjanji bahwa selama hidupku, aku tidak akan berpura-pura bodoh lagi kepadamu!" Senyum di bibir gadis itu makin melebar walau pun dia belum memutar tubuh. "Huh, siapa mau makan akalmu? Berpura-pura bodoh pun tidak ada gunanya karena aku sudah tahu!" "Sudah tahu bahwa aku bodoh?" "Sudah tahu bahwa engkau pan...dir!" Hay Hay cemberut. Semula disangkanya gadis itu akan mengatakan ‘pandai’, tidak tahunya berubah menjadi ‘pandir’. "Nah, engkau telah membalas memaki aku. Kini sudah satu lawan satu, bukan? Mayang, hayolah, katakan bahwa engkau telah mengampuni aku. Kedua lututku sudah mulai nyeri dan lelah nih!" Mayang tak dapat menahan ketawanya lagi. Dia membalik dan tersenyum. "Baiklah, Hay Hay, aku memaafkanmu. Semenjak tadi pun aku telah memaafkanmu, kalau tidak begitu, tentu aku tidak akan sudi bicara denganmu." Hay Hay bangkit berdiri dan mereka saling pandang dengan wajah berseri-seri. "Aku pun sudah menduga bahwa engkau tentu akan suka memaafkan aku, Mayang. Seorang gadis yang manis dan jelita seperti engkau ini sudah pasti memiliki watak yang baik.” "Huh, merayu lagi! Sekali diberi kesempatan, engkau tentu akan terus merayu. Hay Hay, aku masih merasa penasaran. Engkau begini baik kepadaku, akan tetapi kenapa engkau tega mempermainkan aku? Bahkan ketika kita berjalan melewati tebing itu, engkau pura-pura ketakutan sehingga terpaksa harus kugandeng tanganmu. Mengapa engkau begitu kejam mempermainkan aku?" Hay Hay tersenyum. "Bukan mempermainkanmu, Mayang. Pertama-tama aku hanya ingin menyembunyikan keadaan diriku demi keamanan dan kepentingan penyelidikanku. Akan tetapi melihat engkau semanis ini, aku lalu berpura-pura dan ketika engkau menggandeng tanganku, hemmm... tanganmu begitu lembut, lunak dan hangat sehingga aku tidak ingin melepaskannya " "Ihhh! Engkau memang mata keranjang tak ketulungan lagi!" Mayang berkata, akan tetapi wajahnya berubah merah sekali dan untuk menutupi perasaannya yang terguncang, agar jangan sampai salah tingkah, dia pun tertawa. Dan sejak detik itu hati Mayang sudah jatuh cinta kepada pemuda yang demikian pandai merayu dan menyenangkan hatinya ini. Dia memang sudah merasa suka ketika pertama berjumpa dengan Hay Hay, dan rasa suka itu kini ditambah rasa kagum melihat betapa Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang demikian tinggi, maka timbullah perasaan cinta. "Sudahlah, Hay Hay. Tadi engkau disuruh beristirahat. Engkau sedang menghadapi tugas berat dan berbahaya. Beristirahatlah agar aku jangan sampai ditegur subo kalau melihat kita bercakap-cakap di sini." Hay Hay maklum bahwa seorang seperti Kim Mo Siankouw tentu memiliki watak aneh dan tidak mengherankan apa bila kadang-kadang dia bersikap keras luar biasa. Dia tidak ingin menyusahkan Mayang, maka dia pun lalu meninggalkan gadis itu, menuju ke kamar yang sudah disediakan untuknya. *************** TIGA orang pendeta Lama yang membawa Han Siong dari Hok-lam sampai ke perbatasan Tibet itu memang merupakan tokoh-tokoh besar di Tibet. Kim Mo Siankouw mengenal mereka sebagai tiga orang tokoh yang dulu menjadi pembantu-pembantu Dalai Lama dan kini menjadi tiga orang pimpinan sekelompok pendeta Lama yang memberontak terhadap Dalai Lama. Mula-mula jumlah mereka yang memberontak ini tidak kurang dari dua ratus orang. Akan tetapi, sesudah Dalai Lama dan para pengikutnya yang terdiri dari banyak orang pandai menghancurkan pemberontakan itu, jumlah mereka kini paling banyak tinggal lima puluh orang lagi. Gunga Lama, Janghau Lama serta Pat Hoa Lama mengajak Han Siong naik ke puncak Bukit Bangau. Han Siong masih terus bersandiwara, pura-pura tunduk terhadap pengaruh sihir dan dia mengikuti mereka sambil diam-diam memperhatikan lingkungan bukit itu. Ketika melihat ada puluhan orang pendeta Lama di puncak bukit, dengan diam-diam Han Siong merasa terkejut dan heran. Juga dia khawatir sekali. Bagaimana Hay Hay sanggup membayanginya terus kalau di puncak bukit ini terdapat demikian banyak pendeta Lama? Akan tetapi dia terus mengikuti dan dia mendengar betapa Pat Hoa Lama memerintahkan lima orang pendeta Lama untuk turun bukit dan mencari gadis bernama Mayang. "Dia seorang gadis manis yang pekerjaannya menggembala dan mengawal pengiriman ternak. Tangkap gadis itu dan bawa ke sini, jangan melukainya, apa lagi membunuhnya!" demikianlah pesan Pat Hoa Lama kepada lima orang muridnya. Agaknya pendeta yang batinnya sesat dan menjadi hamba nafsunya sendiri itu masih merasa penasaran karena gadis yang membuatnya tergila-gila itu terlepas dari tangannya. Setelah memerintahkan lima orang murid itu, Pat Hoa Lama dan kedua orang suheng-nya membawa Han Siong masuk ke dalam bangunan induk di puncak itu. Mereka mengajak pemuda itu duduk di dalam sebuah ruangan yang luas, lantas menghadapi pemuda yang duduk santai dan nampak tidak bersemangat itu. "Pek Han Siong," terdengar Gunga Lama berkata, suaranya mengandung penuh wibawa. Sinar mata tiga orang itu menatap wajah Han Siong dengan dorongan tenaga sihir yang amat kuat. Han Siong merasa betapa jantungnya terguncang dan seluruh bagian tubuhnya tergetar. Han Siong terpaksa menyerah, karena kalau dia mempergunakan kekuatan pada kalung kemalanya, dia khawatir kalau rahasianya ketahuan. Dia pun memejamkan matanya dan merasa betapa keadaan sekelilingnya berputaran dan dalam keadaan setengah sadar itu dia mendengar suara yang berwibawa itu. "Pek Han Siong, mulai detik ini engkau adalah calon Dalai Lama! Ingatlah baik-baik, sejak lahir engkau telah ditakdirkan untuk menjadi Dalai Lama, maka engkau akan kami angkat menjadi Dalai Lama dan upacara pengangkatannya dilaksanakan siang nanti. Sekarang beristirahatlah engkau, tidurlah di kamar yang sudah dipersiapkan dan terimalah nasibmu yang mengangkat dirimu menjadi calon Dalai Lama" Setengah terpaksa dan setengah sadar pula, Han Siong menjawab, "Saya mentaati...” Gunga Lama dan dua orang sute-nya lalu bangkit. Gunga Lama menghampiri Han Siong, memegang lengannya dan pemuda itu dituntun ke sebuah kamar. Kemudian dia disuruh memasuki kamar. Kamar itu cukup mewah dan di tengah kamar terdapat sebuah pembaringan. Han Siong yang merasa lesu dan lelah segera menghampiri pembaringan lalu merebahkan diri, dan sebentar saja dia sudah pulas! Tiga orang pendeta Lama itu lalu memanggil anak buah mereka. "Jagalah dia baik-baik. Kalau dia bergerak dan sadar, beri tahu kepada kami!" Ketiga orang pendeta Lama ini kemudian sibuk di dalam sebuah ruangan sembahyang, mempersiapkan upacara sembahyang besar untuk pengangkatan Pek Han Siong menjadi Dalai Lama! Telah dipersiapkan pula sebuah pisau untuk menggunduli kepala Han Siong, juga jubah pendeta Dalai Lama yang tersulam indah, bahkan sebatang tongkat komando sebagai tanda bahwa dia adalah Dalai lama yang berkuasa penuh! *************** Matahari telah naik tinggi, dan dari atap yang terbuka sinarnya menimpa gambar pat-kwa (segi delapan) yang berada tepat di tengah meja sembahyang. Ketika itulah tiga pendeta Lama menggugah Han Siong yang sedang tertidur nyenyak. Pemuda itu terbangun dan segera teringat akan keadaannya. Ia cepat-cepat membiarkan dirinya seolah-olah hanyut lagi dalam gelombang kekuatan sihir, akan tetapi secara diam-diam dia menggunakan tangan kiri untuk menekan kalung kemala ke dadanya sehingga dia tidak begitu tenggelam ke dalam gelombang pengaruh sihir tiga orang kakek itu. Pada saat dia dituntun dan kemudian disuruh duduk bersila di atas kasur bundar di depan meja sembahyang, dia melihat semua perlengkapan upacara sembahyang itu. "Losuhu, apa yang akan sam-wi (kalian bertiga) lakukan terhadap saya?" tanya Han Siong sambil menekan suaranya sehingga terdengar wajar saja. Pada hal ketika itu dia merasa gelisah dan menduga-duga di mana adanya Hay Hay. Dia mengharapkan Hay Hay berada di dekat situ bila mana dirinya terancam sampai bahaya. Pertanyaan itu dia ajukan agar dia tahu apa yang akan mereka lakukan terhadap dirinya. Tiga orang pendeta itu saling pandang sejenak, agaknya terkejut dan heran ketika melihat bahwa pemuda itu masih mampu mengajukan pertanyaan, hal yang membuktikan bahwa pemuda itu tak sepenuhnya berada di bawah pengaruh sihir mereka. Akan tetapi mereka tidak merasa khawatir. Kini pemuda itu telah berada di dalam cengkeraman mereka, telah berada di sarang mereka. Andai kata tidak terpengaruh sihir pun, tidak mungkin dia akan mampu meloloskan diri lagi. "Begini, Sin-tong," kata Gunga Lama. Dia sengaja menyebut Sin-tong kepada pemuda itu. "Sejak engkau dilahirkan, engkau sudah ditakdirkan menjadi Dalai Lama. Oleh karena itu kami akan mengadakan upacara sembahyang besar untuk mengangkat engkau menjadi Dalai Lama yang baru." “Tapi... bukankah masih ada Dalai Lama...?” "Hemm, dia sudah tidak patut menjadi Dalai Lama, dia sudah tersesat dan menyeleweng. Engkaulah yang seharusnya diangkat menjadi Dalai Lama yang baru, kemudian kita akan menggulingkan Dalai Lama yang tua itu. Engkaulah yang berhak menjadi Dalai Lama dan menguasai seluruh Tibet!" kata Gunga Lama. Biar pun tidak memperlihatkan sesuatu pada mukanya, akan tetapi diam-diam Han Siong terkejut dan kini mengertilah dia, atau dia sudah dapat menduga apa yang dilakukan tiga orang ini. Ternyata dia bukan dihadapkan kepada Dalai Lama, melainkan oleh tiga orang ini hendak diangkat menjadi Dalai Lama yang baru, sebagai Dalai Lama tandingan dengan maksud hendak merebut kedudukan Dalai Lama! Dia akan dijadikan Dalai Lama boneka, dan tentu selanjutnya semua kekuasaan berada di tangan tiga orang ini. "Tidak, losuhu, aku tidak mau menjadi Dalai Lama!" Tiba-tiba saja Han Siong berseru dan terpaksa dia tidak dapat lagi bersandiwara. Biar pun tadinya dia sudah hampir hanyut di dalam gelombang tenaga sihir mereka, tetapi berkat pengerahan tenaga batinnya dibantu khasiat kalung kemala dia dapat meronta dan melepaskan diri dari cengkeraman sihir. Kini dia pun meloncat berdiri. Dia merasa terlalu mengerikan kalau membayangkan bahwa dia dipaksa menjadi Dalai Lama untuk maksud pemberontakan! Tiga orang pendeta itu terkejut setengah mati. Mereka tak menyangka bahwa pemuda itu dapat melepaskan diri dari belenggu sihir mereka. Tahulah mereka bahwa mereka terlalu memandang rendah kepada pemuda ini sehingga mereka berbuat lengah dan kurang kuat menguasainya. "Pek Han Siong, engkau tak boleh menolak lagi!" Gunga Lama membentak dan dia sudah memegang tongkatnya yang memakai kelenengan hitam. Janghau Lama juga telah meloloskan sabuknya yang mengerikan, yaitu sabuk hidup yang berupa seekor ular putih. Sementara Pat Hoa Lama juga sudah mengeluarkan sepasang cakar harimau yang merupakan senjata ampuhnya. Mereka segera membentuk segi tiga yang mengepung Han Siong. cerita silat online karya kho ping hoo Han Siong maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya. Selain tiga orang kakek yang dia tahu sangat lihai ini, juga puluhan orang pendeta yang melihat betapa dia sudah terlepas dari pengaruh sihir, kini sudah mengepung ruangan itu dengan senjata di tangan! "Losuhu sekalian, harap tidak memaksaku," kata Han Siong untuk mencuri waktu sambil menunggu kemunculan Hay Hay. "Silakan saja kalau cu-wi Suhu hendak memberontak terhadap Dalai Lama, akan tetapi jangan membawa-bawa aku. Aku tidak memiliki urusan apa pun dengan para pendeta Lama di Tibet dan sejak kecil pun aku tidak suka dijadikan Dalai Lama." "Orang muda, percuma saja engkau menolak. Lihat, engkau sudah kami kepung sehingga tidak mungkin engkau akan mampu meloloskan diri dalam keadaan hidup!" bentak Gunga Lama sambil memberi isyarat kepada dua orang sute-nya. Mereka mencoba untuk menggertak serta menakut-nakuti pemuda itu. Mereka tidak tahu bahwa Han Siong adalah seorang pemuda gemblengan yang tentu saja tidak akan gentar menghadapi ancaman. Kematian bukanlah merupakan suatu hal yang terlalu menakutkan bagi seorang pemuda berjiwa pendekar seperti dia. Mati dalam kebenaran bahkan dapat membanggakan hati, sebaliknya hidup dalam keadaan sesat merupakan hal yang sangat dipantang. “Bagaimana pun juga, kalian tidak akan dapat memaksaku untuk menjadi Dalai Lama dan membantu pemberontakan kalian," kata pula Han Siong. Tiga orang pendeta Lama itu ternyata sudah menyimpan senjata masing-masing dan kini, sesuai dengan isyarat yang dilakukan Gunga Lama, mereka bertiga sudah menubruk dari tiga jurusan untuk menangkap Han Siong. Akan tetapi pemuda ini sudah siap siaga. Dia cepat mengelak dan membalas dengan ayunan kedua lengannya dalam ilmu Pek-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Pelangi Putih) yang menangkis ke tiga jurusan. "Wuuuttt...! Wuuuttt...!" Sepasang lengan itu mengeluarkan angin pukulan yang sangat kuat sehingga tiga orang penyerang itu terdorong ke belakang. Mereka makin terkejut, kemudian tiba-tiba mereka mengeluarkan teriakan parau yang rendah sekali, dan teriakan itu pelan-pelan meningkat menjadi tinggi. Mereka menggerak-gerakkan kedua tangan ke arah Han Siong. Pemuda ini merasa betapa seluruh tubuhnya menggigil. Selagi dia mengerahkan tenaga batinnya, terdengar pula suara gemuruh dan kiranya para pendeta Lama yang mengepung ruangan itu juga sudah mengeluarkan suara teriakan seperti itu. Tidak begitu kuat, tetapi karena keluar dari perut puluhan orang, tentu saja menjadi kuat bukan kepalang sehingga membuat tubuh Han Siong menjadi semakin menggigil. "Hay Hay !" Han Siong masih ingat untuk memanggil kawannya itu. Akan tetapi tiga orang pendeta Lama itu sudah menubruk dan dia tidak mampu menghindarkan diri lagi ketika tubuhnya ditotok sehingga dia pun roboh tak berdaya. Pengaruh sihir menguasainya lagi dan pikirannya menjadi gelap. Han Siong tidak sadar. Dia tidak tahu betapa kini seluruh pakaiannya mulai dilucuti dan sebagai penggantinya, dia dibungkus dengan pakaian pendeta Dalai Lama yang hanya merupakan kain sutera yang dilibat-libatkan pada tubuhnya. Dia juga tidak melihat betapa sembahyangan sudah diatur di atas meja, lilin-lilin besar dinyalakan dan dupa dibakar. Ketika Han Siong tersadar, dia mendapatkan dirinya sudah duduk bersila di depan meja sembahyang, seperti tadi sebelum dia memberontak. Walau pun kepalanya agak pening, namun dia sadar sepenuhnya! Dia melirik ke arah kalung di lehernya. Batu kemala itu masih ada. Agaknya para pendeta tidak mencurigai batu kemala itu sehingga tidak dirampas dan dibiarkan tergantung pada lehernya. Dan berkat kekuatan batu kemala itulah maka kini Han Siong masih dapat sadar kembali dari pengaruh sihir. Akan tetapi, ketika dia hendak menggerakkan tubuh, ternyata kaki tangannya tidak dapat dia gerakkan. Dia dalam keadaan tertotok! Ini justru lebih hebat dari pada pengaruh sihir. Pengaruh sihir masih dapat dilawan kekuatan batinnya dibantu khasiat batu kemala, akan tetapi totokan itu membuat dia benar-benar tak berdayar tak mampu berkutik lagi. Dia juga melihat betapa pakaiannya sudah berganti pakaian pendeta Lama! Jantungnya berdebar tegang. Apa lagi ketika dia melihat tiga orang pendeta Lama itu sedang berlutut di dekatnya, menghadap ke meja sembahyang dan berdoa. Doa yang terdengar aneh dan tidak dimengertinya. Kemudian, setelah tiga orang itu selesai sembahyang, Gunga Lama memegang sebatang pisau yang mengkilap saking tajamnya. Nampak pula olehnya Janghau Lama memegang sebuah bokor emas berisi air kembang dan mulailah Janghau Lama membasahi rambut kepalanya, sedangkan Pat Hoa Lama memegangi kepalanya. Tahulah dia. Dia akan digunduli! Dia akan dipaksa menjadi pendeta. Menjadi Dalai Lama! Akan tetapi apa daya? Dia tak mampu bergerak, bahkan ketika dia hendak mengeluarkan suara untuk membantah, suaranya pun tidak dapat keluar! Lehernya sudah tertotok pula, membuat dia tidak mampu bersuara! Kini Gunga Lama menggunakan tangan kirinya menjambak rambut kepalanya, mulutnya mengeluarkan doa pendek dan tangan kanan yang memegang pisau tajam itu sudah siap untuk mencukur rambutnya! Beberapa detik lagi dia akan menjadi pemuda gundul. Gunga Lama menggerakkan tangan kanan yang memegang pisau dan... "Tahan! Gunga Lama, engkau tidak boleh melakukan hal itu!" Bentakan suara wanita yang nyaring ini membuat ketiga orang pendeta itu terkejut bukan main. Mereka mengangkat muka dan semakin kaget melihat munculnya seorang wanita tua yang masih cantik, bersama seorang pemuda dan seorang gadis manis yang bukan lain adalah Hay Hay dan Mayang. Mereka mengenal pula Kim Mo Siankouw karena dulu mereka sering melihat wanita sakti ini menjadi tamu dan sahabat Dalai Lama. "Kim Mo Siankouw, engkau tidak boleh mencampuri urusan kami!" bentak Gunga Lama dengan marah tanpa melepaskan rambut kepala Han Siong yang sudah dijambak tangan kirinya. Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring sekali sehingga mengejutkan semua orang yang berada di sana. Suara nyaring itu keluar dari mulut Hay Hay. Melihat betapa rambut kepala sahabatnya terancam musnah, Hay Hay langsung mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya sambil dia mengeluarkan suara melengking itu untuk menjadi daya tarik pertama, lantas disusul teriakannya sambil menudingkan telunjuknya ke arah meja sembahyang. Dengan wajah nampak kaget disertai mata terbelalak, dia berseru, "Lihat, meja sembahyang itu terbakar! Ada kebakaran! Kebakaran! Awasss...!" Dia sendiri melompat ke depan. Semua orang terkejut. Tiga orang pendeta Lama itu menengok dan mereka pun terkejut melihat betapa meja sembahyang yang besar itu sudah berkobar dimakan api! Juga para pendeta Lama lainnya melihat kebakaran itu. Bahkan Mayang sendiri juga melihat meja itu terbakar! Saking kaget dan gugupnya, Gunga Lama segera melepaskan rambut kepala Han Siong yang sedang dijambaknya, juga Pat Hoa Lama melepaskan kepala pemuda itu yang sejak tadi dipegangnya. Mereka bertiga cepat melompat berdiri menghampiri meja sembahyang dengan maksud untuk memadamkan api yang telah berkobar besar sehingga mengancam menimbulkan kebakaran besar di ruangan itu. Akan tetapi setelah mereka bertiga tiba di dekat meja sembahyang mereka melihat bahwa tidak ada kebakaran apa pun di sana! Mereka terkejut dan menyadari bahwa mereka telah dipermainkan orang, namun ketika mereka membalikkan tubuh, mereka sudah terlambat. Hay Hay sudah mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat ke dekat Han Siong dan membebaskan totokan pada tubuh sahabatnya itu. Kini Han Siong telah terbebas dan dia pun bersama Hay Hay meloncat ke dekat Kim Mo Siankouw. Tiga orang pendeta itu marah bukan main. Gunga Lama menudingkan tongkatnya kepada wanita itu sambil membentak, "Kim Mo Siankouw, sungguh bagus perbuatanmu ini! Kami selamanya tidak pernah mencampuri urusanmu, akan tetapi hari ini engkau datang untuk menghina kami!" Kim Mo Siankouw rnenjawab dengan sikap tenang akan tetapi sinar matanya mencorong. "Gunga Lama, kenapa engkau tidak bercermin lebih dahulu sebelum mencela orang lain? Pin-ni hendak bertanya padamu, apa yang telah kalian lakukan terhadap muridku Mayang ini? Ketika kalian memberontak terhadap Dalai Lama, pin-ni tidak ambil peduli karena itu bukan urusanku. Akan tetapi kalian berniat keji terhadap Mayang, bahkan kalian hendak memaksa pemuda ini menjadi Dalai Lama agar bisa kalian peralat dalam pemberontakan kalian. Tentu saja pin-ni tidak mau tinggal diam saja!" "Kalian datang mengantar nyawa!" Gunga Lama berteriak marah, kemudian mengangkat tongkatnya dan memberi aba-aba kepada para anak buahnya. "Serbu dan bunuh mereka semua! Tangkap Sin-tong...!" Akan tetapi, Han Siong yang sudah menerima pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari tangan Hay Hay, di samping Hay Hay yang juga telah memegang pedang pusaka Hong-cu-kiam, kini sudah siap menyambut serangan mereka. Kim Mo Siankouw juga sudah siap dengan sebatang pedang pada tangannya, sebatang pedang pusaka yang disebut Kim-lian-kiam (Pedang Teratai Emas) karena pada gagangnya yang terbuat dari emas itu terukir bunga teratai. Juga Mayang sudah siap dengan senjatanya yang khas, yaitu sebatang cambuk! Dengan tongkat saktinya yang memakai kelenengan, Gunga Lama yang merupakan tokoh pertama segera menyerang Kim Mo Siankouw. Terdengar suara kelenengan yang nyaring ketika tongkatnya itu menyambar. Akan tetapi sinar pedang di tangan Kim Mo Siankouw langsung menyambut dengan tangkisan, bahkan sinar pedang membalas cepat sehingga amat mengejutkan Gunga Lama. Keduanya segera bertanding dengan seru, dan segera bermunculan banyak pendeta Lama membantu sehingga Kim Mo Siankouw dikeroyok. Dengan sabuk ular putihnya Janghau Lama menerjang ke arah Hay Hay. Hay Hay pura-pura ketakutan. "Hiiihh, kenapa senjatamu ular? Menjijikkan sekali!" katanya sambil mengelak, akan tetapi sambil membalik pedangnya menyambar dan nampak sinar emas meluncur ke arah ular putih itu. Janghau Lama terkejut sekali dan cepat menarik kembali ularnya sehingga ular itu luput dari sambaran sinar pedang. Hay Hay tertawa dan menyerang kembali. Namun lawannya cukup tangguh dan serangan balasan dengan ular berbisa itu amat berbahaya, maka biar pun dia tertawa-tawa, Hay Hay bergerak dengan sangat hati-hati. Seperti halnya Kim Mo Siankouw, dia juga segera dikeroyok oleh hampir sepuluh orang pendeta yang membantu Janghau Lama. Han Siong cepat menyambut Pat Hoa Lama yang menggunakan senjata sepasang cakar harimau. Pedang Gin-hwa-kiam di tangannya berubah menjadi gulungan sinar perak dan dia pun langsung dikeroyok oleh banyak pendeta. Seperti juga Hay Hay, dia mengamuk dengan pedangnya yang mengeluarkan suara berdesing-desing. Hanya dalam beberapa gebrakan saja Pat Hoa Lama sudah terdesak, namun segera bermunculan delapan orang pendeta Lama yang mengeroyok Han Siong seperti yang terjadi pada Kim Mo Siankouw dan Hay Hay. Melihat betapa gurunya, Hay Hay dan Han Siong telah terlibat perkelahian dan dikeroyok, Mayang menjadi khawatir akan tetapi juga marah sekali. "Kalian ini pendeta-pendeta sungguh tidak tahu malu dan curang sekali! Beraninya hanya main keroyokan!" Sesudah membentak dan memaki-maki, gadis lincah ini lalu mengamuk pula di antara para pendeta yang membantu tiga orang tokoh besar itu. Biar pun ruangan itu luas, tetapi dengan adanya perkelahian keroyokan ini, mereka mulai berpisah. Mayang sendiri tergeser keluar dari ruangan itu dan dikeroyok oleh enam orang pendeta Lama yang berusaha keras untuk menangkapnya. Agaknya para pendeta pengikut para pendeta Lama pemberontak itu memang bukanlah pendeta-pendeta sejati, melainkan orang-orang yang pada dasarnya berbatin rendah, dan yang mempergunakan jubah dan kedudukan pendeta sebagai kedok saja untuk menutupi gejolak nafsu mereka yang masih menguasai diri. Perkelahian berjalan semakin seru. Kim Mo Siankouw, Hay Hay, Han Siong dan Mayang harus menghadapi pengeroyokan kurang lebih enam puluh orang yang rata-rata memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi sehingga tidak mengherankan kalau mereka itu mulai terdesak. Sudah ada beberapa orang pengeroyok yang roboh, tetapi sisanya masih terlalu banyak bagi mereka, dan mereka mulai merasa lelah sesudah berkelahi selama hampir satu jam! Kini tidak ada kesempatan lagi untuk melarikan diri. Mereka berempat dikeroyok secara terpisah, ada pun pihak pengeroyok terlalu banyak sehingga jangankan untuk melarikan diri, bahkan untuk bersatu dengan kawan-kawan saja mereka tidak sempat sama sekali. Datangnya serangan seperti hujan dan setiap serangan lawan cukup berbahaya. Terutama sekali Mayang. Biar pun dia lihai dan lincah, namun di antara mereka berempat, boleh dikata dialah yang paling lemah. Masih untung baginya bahwa para pengeroyoknya jelas ingin menangkapnya hidup-hidup dan tidak ingin melukainya. Hal ini membuat gadis ini masih mampu bertahan sampai sekian lamanya biar pun dia sudah hampir kehabisan tenaga dan napas. Gadis ini pun maklum mengapa para lawan itu tidak mau melukainya dan mengapa pula mereka hendak menangkapnya hidup-hidup. Hal ini membuat dia menjadi semakin marah sehingga dia pun mengamuk dan mengambil keputusan untuk berkelahi sampai mati dari pada harus menyerah. Yang terutama membuat dia muak dan hampir tidak tahan, hampir muntah atau pingsan adalah bau keringat para pengeroyoknya! Mereka mengenakan jubah, karenanya tubuh mereka mengeluarkan banyak keringat. Ditambah lagi, agaknya mereka jarang mandi dan jarang berganti pakaian sehingga bau tubuh mereka benar-benar memuakkan! Dia sudah terbiasa mencium bau ternak, domba atau sapi, akan tetapi tak pernah ada yang baunya sebusuk gerombolan orang yang mengeroyoknya itu! Dengan kemarahan yang meluap dan kenekatan yang luar biasa, Mayang sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok, namun tetap saja dia masih dikeroyok oleh sepuluh orang! Mungkin dia hanya dapat mengimbangi saja kalau menghadapi pengeroyokan lima atau empat orang di antara mereka, namun kini dia dikeroyok sepuluh! Napasnya telah memburu dan keringatnya membasahi seluruh tubuh. Cambuknya masih meledak-ledak, akan tetapi ledakannya tidak senyaring tadi, tanda bahwa tenaganya telah banyak berkurang. Kim Mo Siankouw adalah seorang wanita sakti. Kepandaiannya sangat tinggi dan seperti juga Hay Hay dan Han Siong, andai kata tidak dikeroyok oleh demikian banyaknya lawan, tentu Gunga Lama tidak akan sanggup menandinginya. Seperti dua orang pemuda sakti itu, dia dikeroyok oleh dua belas orang dan meski pun dia sudah merobohkan tiga orang pengeroyoknya, tetap saja masih ada sembilan orang pengeroyok yang mengepung ketat. Tongkat sakti Gunga Lama sendiri sudah sangat berbahaya, apa lagi para pembantunya juga merupakan pendeta-pendeta yang dulunya menjadi jagoan-jagoan dari Dalai Lama. Demikian pula dengan Han Siong dan Hay Hay. Mereka berdua mengamuk secara hebat, akan tetapi mereka harus mengakui kebenaran berita yang pernah mereka dengar bahwa Tibet merupakan kedung atau gudangnya orang-orang yang berilmu tinggi. Baru sekarang mereka merasakan buktinya. Janghau Lama dan Pat Hoa Lama pasti tidak akan mampu menandingi mereka, akan tetapi dengan pengeroyokan seperti itu, mereka berdua merasa lelah dan juga terdesak. Pada saat yang amat berbahaya bagi empat orang penyerbu itu, terutama bagi Mayang karena gadis ini mulai terhuyung-huyung dan nyaris tertangkap, tiba-tiba terdengar bunyi lonceng yang disusul dengan suara doa yang dilakukan banyak orang secara berbareng. Makin lama, semakin nyaring bunyi doa yang di lakukan banyak orang secara berbareng. Makin lama, semakin nyaring bunyi doa yang memanjang itu. Mendengar ini wajah Gunga Lama dan teman-temannya menjadi pucat. Begitu mendengar suara itu, Pat Hoa Lama yang tadinya mengeroyok Han Siong segera menyusup lenyap di antara anak buahnya dan dia cepat berloncatan menghampiri Mayang. Ketika itu Mayang masih dikeroyok dan sudah terhuyung-huyung. Tiba-tiba saja Pat Hoa Lama meloncat di dekatnya dan menyambar tubuh Mayang. Melihat ini, Kim Mo Siankouw mengeluarkan suara teriakan melengking, tubuhnya sudah mencelat meninggalkan Gunga Lama dan kawan-kawannya yang kelihatan bingung, dan dengan pedang di tangan dia sudah menghadang di depan Pat Hoa Lama. "Pat Hoa Lama, lepaskan murid pin-ni!" bentaknya. "Kim Mo Siankouw, biarkan aku pergi! Muridmu ini hanya kujadikan sandera supaya aku dapat meloloskan diri. Kalau engkau menghalangiku, terpaksa kubunuh dulu muridmu ini!" Berkata demikian, Pat Hoa Lama yang memanggul tubuh Mayang segera mendekatkan cakar harimaunya ke kepala Mayang kemudian dia pun melompat pergi. Kim Mo Siankouw tertegun, tidak berani bergerak karena dia tahu bahwa kalau dia nekat menyerang, sebelum dia dapat merobohkan Pat Hoa Lama, tentu muridnya akan dibunuh lebih dulu oleh pendeta sesat itu. Sementara itu Gunga Lama bersama kawan-kawannya sudah menyerangnya lagi walau pun mereka berada dalam keadaan ketakutan. Suara itu makin bergemuruh dan tiba-tiba muncullah Dalai Lama bersama para pendeta Lama yang jumlahnya kurang lebih seratus orang! Dengan sikap anggun dan agung Dalai Lama meloncat ke atas meja dan berdiri sambil memegang tongkatnya. Melihat ini, para pendeta pemberontak menjadi panik. Akan tetapi pada saat itu para pengikut Dalai Lama sudah menyerbu sehingga kacaulah keadaan para pemberontak. Melihat munculnya Dalai Lama bersama para pengikutnya, Gunga Lama menjadi putus harapan dan nekat. Dia menggereng dan biar pun kini para pembantunya terpaksa harus menghadapi para pendeta dari Lasha, dengan marah dan nekat dia lantas menggunakan tongkatnya menyerang Kim Mo Siankouw. Wanita ini cepat menyambut dengan tangkisan pedangnya. “Tranggg…!” Pedang itu meleset dan terus meluncur ke arah perut Gunga Lama. Pendeta itu memutar tongkat sehingga gagang tongkat menangkis pedang, tetapi pada saat itu pula tangan kiri Kim Mo Siankouw menyambar ke arah kepalanya dengan tamparan yang amat dahsyat! Gunga Lama terkejut. Sesudah kini tidak dibantu oleh kawan-kawannya, dan wanita sakti itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dia pun segera terdesak. Karena tidak dapat menangkis tamparan itu, dia terpaksa mengelak dengan loncatan mundur, namun Kim Mo Siankouw sudah meloncat dan mengejar dengan sambaran pedang bertubi-tubi. Gunga Lama mencoba untuk menangkis, akan tetapi mendadak tubuhnya mengejang dan dia roboh sambil mendekap dada dengan tangan, tongkatnya terlempar. Ternyata dengan kecepatan kilat, pedang di tangan Kim Mo Siankouw tadi sudah berhasil menembus dada dan jantungnya sehingga robohlah Gunga Lama dan tewas seketika. Hampir berbareng dengan robohnya Gunga Lama, Janghau Lama juga roboh oleh pedang Han Siong. Janghau Lama juga ditinggalkan kawan-kawannya yang terpaksa menghadapi pengeroyokan para pendeta pengikut Dalai Lama yang jumlahnya lebih banyak. Kini Hay Hay mendesak sehingga Janghau Lama hanya dapat mengelak ke sana-sini karena leher ular putihnya juga sudah putus akibat terbabat pedang Hong-cu-kiam. Hay Hay memang suka mempermainkan orang. Apabila dia mau, tentu dia dapat segera merobohkan lawan ini dengan pedangnya. Akan tetapi ia sengaja menyerang ke sana-sini sehingga membuat kakek yang tinggi kurus itu berloncatan dan mengelak seperti seekor monyet menari-nari. Melihat ini, Han Siong yang sudah ditinggalkan lawannya merasa dongkol. Sahabatnya itu tadi datang hampir terlambat sehingga nyaris saja dia menjadi seorang pendeta gundul! Dia pun menerjang dan cepat menggerakkan Gin-hwa-kiam di tangannya. Janghau Lama mengeluarkan jerit tertahan lalu terjungkal roboh, lehernya hampir putus karena sambaran Gin-hwa-kiam. “Hay Hay, kenapa engkau masih juga main-main? Aku hendak menyusul gadis itu!” "Mayang? Ke mana dia? Apa yang terjadi?" Hay Hay terkejut. "Pendeta sialan yang tadi melawanku telah menangkapnya dan membawanya pergi. Aku hendak mengejarnya!" Sesudah berkata demikian, Han Siong lantas melompat dan lari ke arah dilarikannya Mayang oleh Pat Hoa Lama tadi. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan lembut namun kuat bukan main dari arah kiri. "Heii, orang muda, berhenti kau!" Han Siong terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja kedua kakinya tidak mampu bergerak, seperti tertahan oleh sesuatu! Dia segera menengok dan melihat seorang pendeta Lama tua berdiri di atas meja, berdiri tegak menonton perkelahian itu dan pendeta itu memegang sebatang tongkat. Melihat pendeta ini, Han Siong menduga bahwa tentu ini adalah seorang di antara kawan-kawan Gunga Lama, maka dia pun cepat meloncat dengan pedang di tangan, menyerang pendeta tua yang berdiri di atas meja itu. Akan tetapi dengan sikap tenang pendeta tua itu menggerakkan tongkatnya menangkis. "Tranggg...!" Akibatnya tubuh Han Siong terlempar ke belakang oleh tenaga tangkisan yang amat kuat itu. Han Siong terkejut bukan main. Pendeta ini sungguh sakti. Dia melompat maju untuk menyerang kembali, akan tetapi kini pendeta itu mengebutkan lengannya yang terbungkus jubah yang berupa kain dibalutkan di tubuh itu. Angin keras menyambar dan kembali Han Siong terlempar! "Omitohud... engkau adalah orang muda yang kuat dan tangkas, namun sungguh sayang mau dijadikan Dalai Lama palsu. Engkau tidak boleh diampuni lagi...” kata pendeta Lama tua itu lantas dia pun meloncat turun dari atas meja, tongkatnya melintang di depan dada, siap untuk menerjang Han Siong yang juga sudah bersiap siaga menjaga diri, tidak berani sembarangan menyerang lagi karena maklum akan kehebatan lawan. “Losuhu, tahan dahulu...!” tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Kim Mo Siankouw telah meloncat ke tengah-tengah di antara mereka. "Losuhu, harap jangan menyerang pemuda ini!" Pendeta Lama tua itu adalah wakil Dalai Lama yang mewakili Dalai Lama sendiri bila ada urusan keluar sehingga dia lebih dikenal di tempat umum dari pada Dalai Lama sendiri. Bahkan banyak yang menyebut bahwa dialah Dalai Lama, pada hal hanya wakilnya. "Omitohud... kiranya Kim Mo Siankouw. Kenapa engkau mencegah pinceng menghukum orang muda yang jahat ini, Siankouw? Dan mengapa pula engkau melindungi orang yang hendak memberontak kepada pinceng?" "Siancai... Losuhu salah mengerti. Sejak kapan pin-ni mencampuri urusan Losuhu? Akan tetapi kalau pin-ni membiarkan Losuhu membunuhnya, maka Losuhu jatuh ke dalam dosa yang besar sedangkan pin-ni juga bersalah membiarkan terjadinya pembunuhan atas diri orang yang tidak berdosa. Pemuda ini tidak pernah bersekutu dengan para pemberontak, Losuhu. Bahkan hampir saja dia menjadi korban, dipaksa menjadi Dalai Lama yang baru untuk dijadikan alasan oleh para pemberontak itu untuk merampas kedudukan. Sejak dia terlahir, para pendeta Lama mengejar-ngejar dia, dan sekarang hampir saja dia dijadikan alat untuk merampas kedudukan Losuhu. Dia adalah Pek Han Siong yang dahulu dijuluki Sin-tong." "Omitohud... begitukah? Orang muda she Pek, kalau begitu maafkan pinceng," kata wakil Dalai Lama yang oleh banyak orang sudah dianggap sebagai Dalai Lama sendiri karena dia memiliki kekuasaan dan wewenang sepenuhnya dalam mewakili Dalai Lama. "Kiranya engkau adalah anak dari Nam-co yang dahulu dicalonkan menjadi pengganti Dalai Lama akan tetapi selalu menolak?" Han Siong memberi hormat, "Sejak dahulu sampai sekarang, baik keluarga mau pun saya sendiri tidak mempunyai minat untuk dijadikan Dalai Lama, Locianpwe. Karena itu tadinya saya ingin menghadap Dalai Lama untuk mohon agar saya tidak dikejar-kejar lagi.” Pendeta tua itu tersenyum. "Kami tak pernah memaksa orang menjadi Dalai Lama orang muda. Biar pun semenjak dalam kandungan engkau memiliki tanda-tanda bahwa engkau adalah penitisan Dalai Lama, namun kalau engkau menolak maka kami menganggap hal itu sebagai garis nasibmu yang sudah ditentukan dan kami tidak berani melawan takdir. Sudah ada petunjuk untuk memilih calon lain." Sementara itu pertempuran sudah berakhir. Sisa para pemberontak sudah menyerah dan ditawan. Sekarang barulah Kim Mo Siankouw bingung mencari Mayang yang tadi ditawan oleh Pat Hoa lama. "Ehh, di mana muridku Mayang? Ke mana dia dibawa pergi?" “Tadi saya melihat dia dilarikan seorang pendeta Lama dan sekarang sedang dikejar oleh Hay Hay," kata Han Siong. "Ahhh, kalau begitu aku harus mengejar dan mencarinya!" seru Kim Mo Siankouw sambil melompat, akan tetapi dia masih menoleh kepada pemuda itu. "Ke mana dia dilarikan?" “Ke arah sana, Locianpwe." Kim Mo Siankouw berlari cepat menuju ke arah yang ditunjuk Han Siong. Pemuda itu pun cepat mengejar karena dia ingin membantu kalau-kalau Hay Hay menghadapi bahaya di sana. *************** "Lepaskan aku...! Lepaskan... ahhh… tolooongg...!” "Diam kau!" Pat Hoa Lama cepat menotok leher gadis itu sehingga Mayang tidak mampu berteriak lagi. Tadi dia disambar oleh Pat Hoa Lama yang menotoknya dan memanggulnya kemudian melarikannya. Karena merasa sangat lelah dan ngeri, Mayang pun jatuh pingsan di dalam panggulan pendeta sesat itu. Ketika dia siuman, biar pun tak mampu bergerak, dia segera menjerit-jerit sampai dia terdiam oleh totokan pada lehernya. Pendeta itu menuju ke lereng bukit yang berbatu-batu di mana terdapat banyak goa dan memasuki salah satu di antara goa-goa di bukit kapur itu. Dia menarik sebuah kaitan besi yang tersembunyi di antara tonjolan batu-batu lalu terdengar suara keras. Dinding sebelah dalam dari goa itu bergerak dan nampaklah sebuah lubang yang cukup dimasuki seorang manusia. Dia menyelinap masuk membawa tubuh Mayang dan mendorong kembali kaitan besi dan batu itu pun bergerak lagi menutupi lubang. Dari luar takkan ada orang dapat menduga bahwa di goa itu ada pintu rahasia. Kiranya di balik batu itu ada ruangan goa yang cukup luas dan di sana terdapat perabot sederhana seperti tempat tidur dan meja kursi. Bahkan terdapat pula bahan-bahan makanan. Goa ini merupakan tempat persembunyian rahasia yang sudah dipersiapkan olehnya kalau-kalau gerakan mereka gagal sehingga mereka harus melarikan diri dan menyembunyikan diri. Pat Hoa Lama membaringkan tubuh Mayang di atas dipan bambu, lalu dia duduk di tepi pembaringan dan tertawa. “Ha-ha-ha, di sini engkau boleh menjerit seseukamu. Dinding ini tidak tembus suara dan tidak akan ada orang yang mampu mendengarmu, ha-ha-ha!” Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, Pat Hoa Lama membebaskan totokan pada leher gadis itu sehingga Mayang dapat mengeluarkan suara kembali. Akan tetapi Mayang bukanlah seorang gadis yang bodoh. Biar pun dia merasa takut dan ngeri, akan tetapi dia tahu bahwa pendeta itu tidak berbohong sehingga selain percuma saja kalau dia menjerit, juga hal ini hanya akan menambah kegembiraan pendeta yang sadis ini. Mayang memutar otaknya. Meski pun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi dia bukan seorang gadis yang terkekang. Dia bebas menggiring dan mengirimkan ternak dari satu daerah ke lain daerah sehingga dia banyak mendengar, banyak pula melihat. Dan dia pun bukan seorang gadis yang buta huruf. Kim Mo Siankouw telah mengajarnya membaca dan menulis sehingga dia sudah banyak pula membaca kitab. Dia tahu tentang kejahatan orang seperti pendeta sesat ini, dan dengan hati ngeri dia pun maklum bahaya apa yang mengancam dirinya. Namun tidak mungkin subo-nya mendiamkannya saja. Subo-nya pasti akan mencarinya. Juga Hay Hay! Tidak mungkin Hay Hay diam saja. Dia harus pandai mengulur waktu dan karena dia tidak mampu bergerak, satu-satunya cara hanya melalui percakapan. "Losuhu, engkau adalah seorang pendeta Lama yang hidup suci dan bersih. Tapi kenapa engkau menawanku dan apa yang akan kau lakukan kepada seorang gadis seperti aku?" Pendeta itu menyeringai. Nampaklah giginya yang tinggal empat buah, besar-besar dan menghitam. "He-he-he, nona manis! Engkau masih bertanya lagi mengapa kau kutawan? Pertama, karena engkau seorang gadis yang amat manis dan aku tergila-gila kepadamu. Ke dua, engkau adalah muridnya Kim Mo Siankouw dan bersama gurumu engkau sudah membikin gagal rencana kami. Apa yang akan kulakukan kepadamu? He-he-heh, sedang kupikirkan. Aku harus membalas dendam. Engkau bersama gurumu telah membasmi dan menghancurkan semua rencana kami. Kini kawan-kawanku sudah tewas. Hemm, dosamu besar sekali!" "Akan tetapi, kulihat tadi yang membasmi gerombolanmu adalah pendeta-pendeta Lama juga! Apa bila tidak ada mereka yang datang, subo dan kami semua agaknya akan kalah," bantah Mayang untuk membela diri dan mengulur waktu. "Hemmm…, yang menjadi biang keladi adalah engkau! Engkau harus dihukum berat. Ya, engkau harus menebus semua dosamu, mernbayar semua kerugianku." Diam-diam Mayang menggigil. Kenapa subo-nya atau Hay Hay belum juga datang? "Losuhu, kalau engkau menggangguku, menyakiti atau sampai membunuhku, tentu sekali waktu subo akan dapat menemukanmu dan dia tentu akan menyiksamu untuk membalas kematianku! Dan engkau tahu betapa lihainya subo!" Dia menggertak. "Heh-heh-heh! Kalau dia tahu! Tetapi dia tidak akan tahu. Dia tidak akan berhasil mencari kita. Tempat ini adalah tempat rahasia yang hanya diketahui oleh kami bertiga. Sekarang hanya aku seorang yang tahu. Kita akan berdiam di sini sampai mereka pergi. Di sini ada makanan, ada air, dan aku memiliki teman yang manis! Heh-heh-heh!" Pat Hoa Lama tertawa dan jari-jari tangan kanannya mengelus dagu Mayang, membuat seluruh bulu di tubuh gadis itu meremang. Wajahnya menjadi pucat sekali dan perasaan takut membuat jantungnya seperti hendak pecah. "Losuhu, ingatlah bahwa engkau seorang pendeta yang seharusnya melakukan perbuatan baik. Kau ampunilah aku, Losuhu, dan kalau engkau suka membebaskan aku, maka aku berjanji akan membujuk subo agar dia tidak mengganggumu lagi dan suka melepaskan engkau." "Apa?! Membebaskanmu? Huh, aku belum gila! Engkau berdosa besar! Dengar apa yang akan kulakukan kepadamu! Membunuhmu begitu saja akan terlalu enak bagimu. Aku akan mempermainkan engkau, menjadikan engkau budakku yang menuruti segala perintahku. Sesudah aku bosan maka engkau akan kuberikan kepada gerombolan biadab yang hidup di hutan-hutan Pegunungan Himalaya sebelah utara. Kau tahu apa yang akan dilakukan manusia-manusia setengah binatang itu kepada seorang wanita? Ha-ha-ha, engkau akan dikeroyok oleh banyak laki-laki seperti binatang itu sampai engkau mati! Akan tetapi tidak usah khawatir, hal itu baru akan terjadi setelah aku bosan denganmu, ha-ha-ha!" Dapatlah dibayangkan betapa takut dan ngeri rasa hati gadis itu. Tanpa terasa lagi kedua matanya basah air mata. "Losuhu... aku mohon kepadamu... kau... kau bunuhlah saja aku sekarang juga! Aku lebih suka mati...!" "Ha-ha-ha-ha!" Pendeta yang sudah kerasukan setan itu tertawa bergelak, gembira sekali mendengar rintihan korbannya. "Sekarang saja engkau sudah minta mati, apa lagi kalau kelak engkau sudah kuserahkan kepada gerombolan orang biadab itu, ha-ha-ha! Engkau akan memilih seribu kali mati dari pada terjatuh ke tangan mereka. Akan tetapi sebelum itu engkau akan menjadi budakku lebih dahulu, menuruti segala kemauanku dan engkau akan hidup senang, heh-heh-heh!" Mayang menyadari sepenuhnya bahwa meratap dan memohon tidak akan ada gunanya terhadap manusia berhati binatang itu, maka timbul kembali kekerasan hatinya. Teringat dia akan nasehat gurunya bahwa lebih baik mati sambil mengaum seperti seekor harimau dari pada hidup merengek-rengek dan menjerit-jerit seperti seekor babi. "Pendeta palsu berhati iblis! Kau sangka aku sudi mentaatimu? Huhh, engkau dapat saja menyiksaku, dapat membunuhku, juga dapat memaksa tubuhku, tetapi hatiku akan selalu membencimu. Dan ingat, aku akan selalu mencari kesempatan untuk membunuhmu atau membunuh diri!" "He-heh-heh ! Kau kira engkau bisa melakukan itu? Ha-ha-ha, sebentar lagi engkau akan berlutut dan merengek-rengek kepadaku, minta kucinta dan kusayang. Aku tahu, engkau kebal terhadap sihir, akan tetapi aku memiliki bubuk racun ini yang akan membuat dirimu kehilangan ingatan, kehilangan segalanya dan menjadi hamba nafsu. Ha-ha, pasti engkau akan menyenangkan sekali, manis." "Tidak! Lebih baik aku mati!" Mayang lalu menggerakkan mulut untuk menggigit lidahnya sendiri. Akan tetapi agaknya Pat Hoa Lama telah menduga mengenai hal ini. Cepat sekali tangan pendeta itu bergerak menotok lehernya dan leher itu pun langsung terkulai, Mayang tidak mampu lagi menggerakkan mulutnya. Kini hanya matanya saja yang menitikkan air mata, menyesal sekali mengapa dalam kemarahannya tadi dia mengatakan keinginannya untuk membunuh diri. Kalau tidak, tentu lidahnya sudah tergigit putus dan dia akan tewas atau menjadi cacat. "Ha-ha-ha, engkau takkan dapat membunuh diri, manis. Engkau bahkan akan ingin hidup terus, haus akan cintaku, haus akan belaianku. Ha-ha-ha!" Tangan pendeta itu bergerak dan terdengar kain robek-robek ketika dia merenggut robek dan lepas semua pakaian yang menutupi tubuh Mayang. Gadis itu tidak mampu bergerak, tidak mampu bersuara, hanya air matanya saja yang bergerak turun di atas kedua pipinya yang pucat. Sesudah mencabik-cabik seluruh pakaian gadis itu, Pat Hoa Lama terkekeh-kekeh sambil memandang tubuh korbannya dengan mata yang liar dan lapar, muka kanak-kanak yang makin mengerikan lagi, tubuhnya yang tinggi bongkok itu nampak semakin bongkok ketika dia mengeluarkan sebuah bungkusan. Jari-jari tangannya lalu membuka bungkusan yang terisi bubuk hitam itu, sedangkan matanya tak pernah melepaskan tubuh Mayang. Pat Hoa Lama menuangkan bubuk hitam itu ke dalam sebuah mangkok, kemudian sambil tertawa-tawa dia menuangkan arak seperempat mangkok dan mengaduk bubuk obat itu dengan arak. "Nah, manis. Kau minumlah ini, enak rasanya, rasa arak biasa. Engkau akan mabok dan pulas, setelah terbangun, ha-ha-ha-ha, engkau akan menjadi liar dan binal, sebinal seekor kuda betina, ha-ha-ha!” Dia pun menghampiri pembaringan. Mayang tidak mampu bergerak mau pun mengeluarkan suara, hanya sepasang matanya saja yang terbelalak ketakutan. Pat Hoa Lama duduk di tepi pembaringan, tangan kirinya memegang dagu Mayang, jemari tangannya memaksa mulut gadis itu terbuka dan tangan kanan yang memegang mangkok sudah siap untuk menuangkan isi mangkok itu ke dalam mulut yang sudah terbuka lebar ini. "Brakkkkk...!" Dinding batu itu ambrol ke dalam. Pat Hoa Lama terkejut bukan main sampai mangkok itu terlepas dari tangannya, jatuh ke atas lantai dan pecah sehingga isinya mengalir hitam di atas lantai batu. Sesosok bayangan berkelebat dan Hay Hay sudah berdiri di hadapan Pat Hoa Lama! Begitu melihat Hay Hay, gadis itu menangis tanpa suara, hanya air matanya saja yang membanjir keluar dan tubuhnya terguncang-guncang! Sekali lirik tahulah Hay Hay akan keadaan Mayang dan dia menjadi marah bukan main. Tadi dia mengalami kesulitan ketika melakukan pengejaran karena yang dikejar lenyap di lereng berbatu-batu itu. Dengan hati-hati dan teliti sekali dia terus mengikuti jejak, melihat batu-batu yang berserakan, hingga akhirnya dia mendengar jerit melengking dari Mayang ketika gadis itu minta tolong dan sebelum dia ditotok gagu. Dengan penuh ketelitian dia dapat menemukan goa itu dan dia pun merasa curiga melihat bentuk dinding yang rata itu. Akhirnya, dengan mempergunakan sebongkah batu sebesar perut kerbau, dia mengerahkan seluruh tenaganya dan menghantamkan batu besar itu ke dinding sebelah dalam goa itu. Dinding itu pun jebol dan ternyata dia menemukan Pat Hoa Lama di sebelah dalam, sudah siap untuk meminumkan sesuatu kepada Mayang, gadis yang sudah tidak mampu bergerak dan dalam keadaan telanjang bulat itu. "Keparat jahanam!" Dengan kemarahan meluap yang membuatnya seperti gila, Hay Hay mencabut Hong-cu-kiam dan menyerang pendeta yang masih terkejut dan bingung itu. Dalam kegugupannya, tanpa sadar pendeta itu menangkis sinar emas pedang pusaka itu dengan lengan kirinya. Segera dia menjerit karena lengan itu langsung terbabat putus, dan sebelum dia sempat menghindarkan diri, pedang itu sudah menembus lehernya. Pat Hoa Lama terjengkang, roboh dan tewas seketika! Hay Hay cepat-cepat merenggut jubah pendeta itu sebelum tergenang darah, kemudian dia menyelimuti tubuh Mayang dengan jubah yang lebar itu, dan dibebaskannya gadis itu dari totokan gagu dan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh. "Hay Hay... ahh, Hay Hay... hu-hu-hu-huuuhh !" Mayang bangkit merangkul dan menangis di pundak Hay Hay. "Tenanglah, Mayang. Bersyukurlah kepada Tuhan bahwa kedatanganku belum terlambat," kata Hay Hay, diam-diam merasa bersyukur sekali, karena dia dapat menduga bahwa jika satu menit saja dia terlambat dan gadis itu sudah minum cairan hitam itu, entah apa yang akan terjadi dengan gadis manis itu. Mayang menangis mengguguk sampai Hay Hay merasa betapa air mata itu menembus bajunya sehingga membasahi pundak dan dadanya, "Hay Hay..., hu-hu-huuuu...dia... mau meracuni aku... membikin aku kehilangan ingatan… kemudian katanya… kalau dia sudah merasa bosan... dia akan memberikan aku kepada gerombolan manusia biadab setengah binatang... hu-hu-huuuu...!” Hay Hay mengepal tinju. Jahanam betul pendeta itu, pikirnya. Dia menepuk-nepuk pundak yang kini terselimuti jubah itu dan mengelus rambut yang halus itu. “Sudahlah, Mayang. Engkau sudah selamat, dan dia sudah mati. Jangan menangis lagi, Mayang. Kalau terlalu banyak menangis, nanti matamu membengkak, kemerahan dan mukamu menjadi jelek!" Mendengar kata-kata ini, dengan agak tergesa-gesa Mayang mengangkat wajahnya dari pundak pemuda itu, menyusut air matanya lalu memandang kepada Hay Hay, di bibirnya sudah membayangkan senyum! "Bagaimana, Hay Hay, apakah aku menjadi jelek sekali?” Hay Hay hampir bersorak. Gadis ini luar biasa. Baru saja terbebas dari bahaya maut, tapi sekarang sudah dapat tersenyum bahkan sudah memperhatikan kecantikan wajahnya! "Wah, sekarang engkau bertambah manis, Mayang. Kedua pipimu menjadi begini merah, seperti buah apel masak " Sepasang mata yang agak membengkak itu menatap sayu. "Hay Hay, aku... aku sangat berterima kasih kepadamu. Aku... aku hutang budi, hutang kehormatan, bahkan hutang nyawa kepadamu... selama hidupku tak akan kulupakan..." "Hushhh! Memangnya aku ini tukang kredit, memberi hutang begitu banyak macamnya? Mana kau bisa bayar? Sudahlah, kita bikin lunas saja, engkau tidak hutang apa-apa, aku tidak menghutangkan sesuatu. Bisa enak tidur, bukan?” “Aku berterima kasih! Aku... aku…” Tiba-tiba Mayang merangkul leher Hay Hay dan mencium pipi pemuda itu dengan kuat, satu kali di kanan satu kali di kiri, kemudian tubuhnya menjadi lunglai dan menangis lagi, kini mukanya disembunyikan pada dada Hay Hay. Hay Hay menjadi bengong dan kalau saat itu ada orang lain melihatnya, kedua matanya nampak juling saking kaget dan herannya. Kedua pipinya masih terasa senut-senut bekas ditimpa hidung dan bibir Mayang. Lalu dia tersenyum dan memeluk kepala itu penuh rasa sayang. "Engkau anak nakal, bikin aku kaget setengah mati," akan tetapi dia membiarkan Mayang menangis lirih di dadanya. Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan di sana sudah berdiri Kim Mo Siankouw dan Han Siong! Melihat adegan mesra itu, Hay Hay memeluk seorang gadis bugil yang hanya berselimut jubah pendeta dan yang menangis di dadanya, Han Siong segera berdehem. Dasar mata keranjang, pikirnya. Kalau sudah menolong gadis itu, kenapa pakai dirangkul-rangkul dan bermesraan? Tidak cepat-cepat membawanya keluar dari goa itu? Tentu saja pertanyaan ini hanya diteriakkan oleh hati Han Siong, sedangkan mulutnya tinggal diam. Kim Mo Siankouw memandang ke arah mereka, lalu ke arah mayat Pat Hoa Lama yang menggeletak tanpa nyawa dan tanpa jubah, juga ke arah tumpukan robekan dari pakaian muridnya. Tentu saja dia merasa khawatir bukan kepalang, namun juga bersyukur bahwa agaknya pemuda lihai itu telah berhasil menyelamatkan muridnya. “Mayang…" Dia memanggil muridnya. Mayang cepat mengangkat mukanya. Melihat subo-nya telah datang, dia lalu melepaskan diri dari Hay Hay dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan wanita itu sambil menangis, “Subo...!” Kim Mo Siankouw merasa heran. Biasanya Mayang adalah seorang gadis yang sangat tabah dan dia belum pernah melihat gadis itu menangis. Akan tetapi sekarang demikian mudahnya gadis itu menangis. Baginya hal ini merupakan suatu tanda bahwa muridnya itu sedang dilanda cinta. "Sudahlah, Mayang, hentikan tangismu. Bagaimana pun juga engkau sudah terhindar dari malapetaka, bukan?" Mayang mengangguk cepat. "Teecu selamat berkat pertolongan Hay Hay, Subo." Kim Mo Siankouw memandang pemuda itu yang sedang berbisik-bisik dengan Han Siong. “Hay Hay, kurang ajar sekali engkau! Engkau terlambat sehingga aku hampir saja celaka. Dan sekarang kembali engkau mempergunakan kesempatan dalam kesempitan terhadap nona itu," bisik Han Siong yang menegurnya. Hay Hay tersenyum. "Tenanglah, Sin-tong (Anak Ajaib). Seorang pendeta dilarang keras untuk merasa iri dan mendongkol." Han Siong terbelalak. "Pendeta...? Apa maksudmu?" "Lihat jubahmu. Engkau seorang pendeta berkedudukan tinggi, bukan?" Han Siong baru teringat bahwa dia masih mengenakan jubah seorang pendeta Lama! Dia cemberut oleh godaan itu, akan tetapi segera tersenyum, karena bagaimana pun juga dia berterima kasih atas semua bantuan Hay Hay. Kini semua rahasia sudah terungkap dan dia tidak akan dikejar-kejar lagi oleh para pendeta Lama! Ketika itulah Kim Mo Siankouw menghampiri Hay Hay. "Orang muda, engkau telah menyelamatkan Mayang, namun sekaligus membuat muridku itu selamanya akan bergantung kepadamu. Pin-ni (aku) harap engkau tidak akan kepalang menolongnya dan tidak akan mengecewakan harapan kami." Sesudah berkata demikian, Kim Mo Siankouw mengajak muridnya keluar dari dalam goa. Hay Hay memandang kepada Han Siong dan berbisik, "Apakah gerangan yang tadi dia maksudkan?" Han Siong tersenyum gembira. Kini dia mendapatkan giliran untuk menggoda sahabatnya yang mata keranjang itu. "Hemm, apakah engkau masih belum tahu atau pura-pura tidak tahu? Engkau telah menyelamatkan gadis manis itu dari mala petaka, dan melihat kalian tadi bermesraan seperti itu, hemmm...ke mana lagi larinya urusan ini kalau tidak berakhir dengan pernikahan?" Hay Hay menganggap ucapan itu hanya kelakar, maka dia pun tertawa saja. Akan tetapi dia lalu teringat akan sikap dan kata-kata Mayang tadi. Mayang mengatakan bahwa dia berhutang budi, kehormatan dan nyawa, dan bahwa gadis itu selama hidupnya tidak akan melupakannya, kemudian gadis itu telah menciumi kedua pipinya! Sekarang guru gadis itu berkata demikian, dan mengharapkan agar dia tidak mengecewakan mereka. "Wah,wah, wah...!” tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali karena dia teringat pula akan keadaan tubuh gadis itu yang bugil pada waktu dia menolongnya. Jantungnya berdebar kencang ketika pemandangan itu terbayang kembali. "Wah... pernikahan... ya ampun...!” Dia memegangi kedua pipinya, matanya nanar menatap wajah Han Siong yang sedang mentertawakannya. ***************** Dengan dikawal oleh tujuh pendeta Lama, wakil Dalai Lama menerima undangan Kim Mo Siankouw dan datang berkunjung ke rumah wanita sakti itu di puncak Awan Kelabu. Juga Hay Hay dan Han Siong terpaksa tidak dapat menolak undangan Kim Mo Siankouw, apa lagi karena mereka pun ingin bicara dengan wakil Dalai Lama. Mereka dijamu dengan masakan-masakan yang tidak mengandung daging binatang, dan dalam kesempatan ini Han Siong menceritakan penderitaannya sejak terlahir sehubungan dengan pengejaran para pendeta Lama terhadap dirinya. "Jangan khawatir, Pek-taihiap," kata wakil Dalai Lama. "Mulai saat ini juga tidak akan ada pengejaran lagi. Sesungguhnya, sudah sejak lama kami tidak mencarimu, semenjak kami yakin bahwa Taihiap tidak suka menjadi seorang pendeta. Sungguh kami tak menyangka bahwa Taihiap hendak dimanfaatkan oleh para pemberontak. Mereka ingin mengangkat Taihiap untuk menjadi Dalai Lama tandingan, lantas mempengaruhi para pendeta di Tibet untuk mengakui Taihiap sebagai Dalai Lama sejati yang baru. Hal itu amat berbahaya dan mungkin saja usaha mereka itu akan berhasil karena Taihiap memang mempunyai ciri-ciri untuk menjadi Dalai Lama. Akan tetapi sekarang, calon Dalai Lama yang baru sudah ada dan kami sudah membebaskan Taihiap." Tentu saja Han Siong merasa girang sekali. Seperti diangkat sebongkah batu besar yang selama ini menekan perasaannya dan yang membuatnya selalu merasa tidak aman. Karena hari telah menjelang senja dan perjalanan ke Lasha masih jauh dan tidak mungkin dilakukan pada waktu gelap, maka wakil Dalai Lama menerima dengan senang hati ketika Kim Mo Siankouw mengundangnya untuk melewatkan malam di rumahnya yang besar itu. Juga dua orang pemuda yang sudah diterima sebagai tamu terhormat bahkan sahabat itu mendapatkan dua buah kamar. Malam itu pintu kamar Han Siong diketuk orang. Dia membuka daun pintu dan seorang pelayan wanita nampak berdiri sambil memberi hormat. "Maaf kalau saya mengganggu, Pek-taihiap. Saya diutus oleh Siankouw untuk mengundang Taihiap ke ruangan belakang karena Siankouw ingin membicarakan hal yang penting dengan Taihiap." Tentu saja Han Siong merasa heran. Akan tetapi dia tidak membantah, segera mengikuti pelayan itu menuju ke ruangan belakang. Di ruangan itu telah menanti Kim Mo Siankouw dan seorang wanita setengah tua yang dikenalnya sebagai ibu Mayang. "Duduklah, Pek-taihiap dan terima kasih bahwa Taihiap suka memenuhi permintaan kami untuk datang ke sini," kata Kim Mo Siankouw. "Terima kasih," kata Han Siong sesudah memberi hormat, kemudian duduk di atas kursi berhadapan dengan dua orang wanita itu. "Ada keperluan apakah yang hendak Siankouw bicarakan dengan saya?” Kim Mo Siankouw tersenyum dan Han Siong merasa kagum. Wanita yang usianya sudah enam puluh tahun ini masih anggun dan kelihatan jauh lebih muda dari usia sebenarnya kalau sedang tersenyum. "Harap jangan merasa kaget jika malam-malam begini kami mengundangmu, Pek-taihiap. Sebetulnya kami hanya mengganggu saja, karena kami hanya membutuhkan keterangan darimu mengenai sahabatmu itu, yaitu Hay Hay." Karena Mayang selalu menyebut nama Hay Hay begitu saja, maka nama itu menjadi dikenal sekali dan baik ibunya mau pun Kim Mo Siankouw juga menyebutnya Hay Hay. Han Siong melebarkan matanya dan memandang heran. "Keterangan tentang Hay Hay? Mengapa? Apa yang Siankouw maksudkan? Apakah dia masih diragukan setelah jasanya yang besar? Saya berani menanggungnya bahwa dia seorang yang baik dan..." “Bukan begitu maksud kami, Taihiap. Sebaiknya kami berterus terang saja. Sebenarnya, kami, yaitu pin-ni dan juga ibu Mayang telah mengambil keputusan hendak menjodohkan Mayang dengan Hay Hay. Oleh karena Taihiap adalah sahabat baiknya, maka kami ingin mengetahui segalanya tentang dia." Wajah Han Siong berseri dan senyumnya melebar. Hatinya lega, dan dia bahkan merasa girang sekali. Bagus, pikirnya. Sekarang tiba saatnya kuda jantan yang binal itu dipasangi kendali! Kalau sudah beristeri, tentu tidak akan berani bersikap mata keranjang lagi! Dan dia melihat bahwa Mayang juga seorang gadis yang hebat, sudah sepantasnya jika menjadi isteri Hay Hay. Dia cukup manis, cukup pandai dan cukup galak. Amat diperlukan seorang isteri yang galak untuk bisa mengendalikan watak Hay Hay yang mata keranjang itu. Dan aku akan membantu agar perjodohan ini tidak gagal, pikirnya mantap. "Begitukah, Siankouw? Saya merasa ikut bergembira dengan niat baik itu. Nah, apa yang perlu ji-wi (anda berdua) ketahui?" Kim Mo Siankouw menoleh kepada ibu Mayang dan berkata, "Nah, sekarang katakanlah apa yang ingin kau ketahui." Dengan sikap malu-malu wanita itu memandang Han Siong. Seorang wanita yang cantik seperti puterinya, pikir Han Siong. Namun sinar matanya sayu mengandung kedukaan sehingga dia merasa kasihan. Agaknya wanita ini pernah menderita batin, pikirnya. "Apakah yang ingin Bibi ketahui dari saya? Harap katakan saja dan saya akan memberi keterangan segala yang saya ketahui," kata Han Siong sesudah melihat sikap wanita itu yang seperti sungkan-sungkan. "Hay Hay itu... dia... dia she (marga) Tang dan bernama Hay?" sambil berkata demikian, wanita itu menatap tajam wajah Han Siong. Han Siong termenung sejenak. Kalau sampai diketahui Kim Mo Siankouw bahwa Hay Hay adalah putera Ang-hong-cu penjahat besar yang cabul, maka jelas bahwa tali perjodohan itu akan gagal. Dan orang sakti seperti Kim Mo Siankouw tentu pernah mendengar akan nama Ang-hong-cu itu. "Ah, biasanya kami semua sahabatnya hanya mengenalnya sebagai Hay Hay begitu saja. Dulu dia pernah mengaku bahwa dia she Siangkoan. Akan tetapi kemudian dia mengaku bahwa she-nya adalah Tang. Agaknya dia sendiri tak begitu menghiraukan tentang nama keturunannya." "Siapakah nama ayahnya yang she Tang itu?" Ibu Mayang mendesak. "Saya tidak tahu, Bibi." Han Siong mengerutkan alisnya. "Bahkan Hay Hay sendiri juga tidak mengetahuinya. Pernah dia bercerita kepada saya bahwa ketika dia masih kecil, dia diaku anak oleh suami isteri keluarga Siangkoan. Kemudian dia mendengar bahwa ibunya sudah tewas di laut dan bahwa ayahnya juga tidak ada, mungkin sudah tewas pula. Dia seorang sebatang kara, tak pernah melihat ayahnya mau pun ibunya. Kasihan sekali dia, mungkin karena kesengsaraan yang dideritanya sejak kecil itulah maka dia menutupinya dengan sifatnya yang gembira dan jenaka. Akan tetapi dia seorang yang sangat baik hati, seorang pendekar sejati, hal ini saya berani tanggung!” Ibu Mayang mengangguk-angguk dan nampaknya puas dengan jawaban itu. Kini Kim Mo Siankouw yang bertanya. "Engkau tahu benar bahwa dia belum mempunyai isteri atau tunangan, Pek Taihiap?' Han Siong menggelengkan kepalanya. "Belum, Siankouw. Hal ini saya tahu benar karena kalau dia sudah bertunangan atau menikah, tentu memberi tahu kepadaku dan tentu aku mengetahuinya. Dia masih sendiri, sebatang kara, tidak ada keluarga sama sekali! Hanya punya sahabat baik, di antaranya saya. Para pendekar mengenal siapa Hay Hay, karena dia pernah berjasa besar ketika bersama para pendekar lain membantu pemerintah dalam membasmi pemberontakan yang dipimpin oleh mendiang Lam-hai Giam-lo." Sengaja Han Siong memuji-muji temannya supaya perjodohan benar-benar dijadikan. Dia ingin melihat sahabatnya itu terikat dan tidak binal lagi....

jilid 18

KINI Kim Mo Siankouw bersikap serius. "Pek Taihiap, agaknya engkau akrab dan kagum kepada Hay Hay. Dia tentu seorang sahabatmu yang baik sekali." "Bukan hanya sahabat, Siankouw, bahkan lebih dari itu. Dulu ketika masih bayi, Hay Hay pernah dipungut anak oleh orang tuaku, maka dia itu dapat dikatakan saudara angkatku pula." "Bagus sekali. Tidak mengherankan mengapa kalian demikian akrab! Pek Taihiap, kalau engkau menyayang Hay Hay, maka kami pun menyayang muridku Mayang. Dan engkau sendiri sudah menyaksikan betapa terdapat kemesraan antara Hay Hay dengan Mayang. Maka kami ingin minta bantuanmu, Taihiap, untuk menjadi perantara dan menyampaikan kepada Hay Hay mengenai niat hati kami yang murni, yaitu menjodohkan Mayang dengan Hay Hay. Maukah engkau membantu kami, Taihiap?" "Tentu saja, dengan segala senang hati, Siankouw! Bahkan saya setuju sekali bila mana ikatan perjodohan itu diadakan, dan Hay Hay sudah sepatutnya menyambut gembira! Aku tahu bahwa dia menyayangi nona Mayang. Dan kali ini dia harus mau, bahkan kalau perlu saya akan membujuk atau memaksanya!" Ibu Mayang bangkit lalu memberi hormat kepada pemuda itu. Melihat ini, Han Siong cepat membalas sambil berkata, "Bibi, harap jangan sungkan dan tidak perlu memakai banyak penghormatan...” "Pek Taihiap, sebagai ibu Mayang sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih atas kebaikanmu yang suka menjadi perantara perjodohan anakku Mayang dengan Hay Hay. Tentu saja bukan maksud kami untuk memaksa Hay Hay, Taihiap. Akan tetapi perlu Taihiap ketahui bahwa Mayang... anakku yang keras hati itu, dengan tegas mengatakan kepadaku bahwa kalau dia tidak menikah dengan Hay Hay, dia... dia akan bunuh diri...” "Ahhh...!" Han Siong terkejut bukan main mendengar ini. Mayang, gadis yang lincah dan galak itu hendak membunuh diri? "Kenapa sampai begitu, Bibi?" Wanita itu menghela napas panjang. "Mayang memang berwatak keras. Dia mengatakan bahwa Hay Hay merupakan satu-satunya pria yang masih hidup, yang melihat keadaan dirinya bertelanjang bulat. Kalau Hay Hay menjadi suaminya, maka hal itu tidak mengapa. Akan tetapi bila tidak menjadi suaminya, maka peristiwa itu dianggapnya sebagai aib yang sangat memalukan dan satu-satunya jalan untuk mencuci aib itu adalah membunuh Hay Hay. Karena hal itu jelas tidak mungkin, maka dia akan membunuh diri kalau ikatan jodoh itu sampai gagal." "Hemm, bukan itu saja,” tiba-tiba Kim Mo Siankouw berkata, "kalau dia menolak, berarti dia telah menghina muridku dan menghinaku, karena dia telah mempermainkan kami. Hal ini tentu tidak mungkin kubiarkan saja. Kalau Mayang tidak berani membunuhnya, masih ada aku yang akan turun tangan membunuhnya!" Han Siong terkejut. Ini semua gara-gara mata keranjangmu, Hay Hay, pikirnya. "Harap Siankouw dan Bibi jangan khawatir. Saya akan membujuk agar dia tidak menolak." Dua orang wanita itu kembali mengangkat kedua tangan memberi hormat, dan Kim Mo Siankouw berkata lembut. "Kami percaya akan ketulusan serta kebaikan hati Pek Taihiap dan sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih!" Han Siong cepat membalas penghormatan mereka, lalu minta diri meninggalkan ruangan itu. Dia tidak kembali ke dalam kamarnya, melainkan langsung saja menghampiri kamar Hay Hay dan mengetuk daun pintunya. "Tok-tok-tok!" Hay Hay sudah hampir tertidur pulas ketika mendengar ketukan pada pintu kamarnya itu. Suara ketukan itu seketika mengusir semua kantuknya dan dalam satu dua detik saja dia telah terjaga dalam keadaan siap siaga menghadapi ancaman dari mana pun datangnya. "Tok-tok-tok!" ketukan itu terulang. "Siapa di luar?" Hay Hay bertanya. "Aku Han Siong. Bukalah pintunya, Hay Hay, aku mau bicara. Penting sekali!" Hay Hay menarik napas lega, akan tetapi juga dia merasa mendongkol karena terganggu tidurnya. "Malam-malam begini mengganggu orang," omelnya, akan tetapi dia tetap turun dari pembaringan dan membuka daun pintu kamarnya. Dengan wajah serius Han Siong melangkah masuk dan melihat sikap sahabatnya itu, Hay Hay lalu menutupkan kembali daun pintu kamarnya. Ketika dia membalik, dia melihat Han Siong sudah duduk di atas kursi dekat pembaringannya. Dia pun tersenyum dan duduk di atas pembaringan. "Han Siong, ada urusan apa sehingga malam-malam begini engkau mengganggu orang yang sedang tidur?" tegurnya. Teringat olehnya betapa sebelum tidur tadi dia masih memikirkan Han Siong dengan hati penuh iba. Dalam pengaruh sihir jahat sahabatnya itu telah menggauli Ci Goat dan setelah menyadari hal itu, Han Siong merasa menyesal bukan main. Dia merasa berdosa kepada gadis itu. Orang semacam Han Siong tentu akan mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri, walau pun perbuatan itu didorong akibat pengaruh sihir jahat. Dan dia belum tahu bahwa gadis manis yang sudah menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela karena memang mencintainya itu kini telah meninggal dunia dalam keadaan yang amat mengerikan! Kini Han Siong tersenyum dan bangkit dari duduknya, lalu mengangkat tangan memberi hormat kepadanya. "Sebelumnya biarlah lebih dulu aku memberi selamat kepadamu, Hay Hay!" Hay Hay terbelalak. "Ehh, ehh, apakah engkau bermimpi? Mengapa malam-malam begini mendadak memberi selamat kepadaku?” Dia juga turun dari pembaringan dan memegang lengan kawannya agar tidak memberi hormat kepadanya. "Jangan main-main, Han Siong. Katakan apa artinya semua ini." "Hay Hay, bergembiralah. Aku datang membawa berita yang bagus sekali. Engkau akan menjadi pengantin! Aku ikut merasa gembira, Hay Hay. Engkau sungguh beruntung sekali dan memang sudah sepatutnya engkau berbahagia " "Ehh, nanti dulu! Menjadi pengantin? Bagaimana ini? Siapa dan mengapa?" "Duduklah dan dengarkan keteranganku," kata Han Siong. Mereka lalu duduk di atas dua buah kursi yang berhadapan, terhalang meja kecil di dekat pembaringan. "Tadi baru saja aku dipanggil Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang. Mereka mengajukan pertanyaan tentang pribadimu, kemudian mereka minta aku menjadi perantara agar menyampaikan kepadamu bahwa mereka ingin menjodohkan nona Mayang denganmu." Hay Hay terkejut sekali, cepat dia bangkit seperti ada kalajengking menyengat pinggulnya kemudian memandang kepada sahabatnya itu dengan mata terbelalak. "Ahhh... ehhh... bagaimana...? Tidak bisa ini...” Han Siong juga bangkit, menarik lengan Hay Hay dan diajaknya duduk kembali. "Engkau tenanglah, jangan ah-eh-oh begitu!" Dia mulai menikmati keadaan itu. Sudah terlalu sering Hay Hay menggodanya dan kini dia mendapatkan kesempatan untuk membalas! Betapa manisnya pembalasan dendam! "Hay Hay, tak perlu engkau meragu lagi. Mereka telah bertekad bulat untuk menjodohkan nona Mayang denganmu dan engkau sungguh beruntung sekali. Nona Mayang demikian cantik jelita dan baik, dan aku melihat bahwa engkau memang pantas menjadi suaminya. Engkau harus menyetujui keinginan mereka, Hay Hay. Sukar untuk mendapatkan seorang calon isteri sehebat nona Mayang dan..." "...dan aku menjadi suami orang, lalu menjadi ayah dari anak-anak kecil dan terikat di sini, seperti seekor kera yang diikat pinggangnya, seperti seekor burung yang terkurung dalam sarang, kehilangan kebebasanku? Ahh, tidak, Han Siong, aku tidak mau...!" "Apa? Berani engkau menolak nona Mayang? Hay Hay, jangan gila kau! Dia begitu cantik jelita, dia begitu pandai dan dia mencintaimu dan engkau...” "Hushh, Han Siong. Engkau ini kenapa sih? Engkau seperti hendak mendorong-dorongku, engkau seperti hendak memaksaku menikah dengan Mayang. Engkau kenapa? Apakah masih ada sisa-sisa pengaruh sihir pada tubuhmu? Ahhh, benar juga! Dari pada engkau mendesakku, mengapa tidak engkau sendiri saja yang menikah dengan Mayang? Benar! Engkau akan merupakan suami yang baik, dan kalian serasi sekali, cocok kalau menjadi suami isteri. Biarlah aku yang akan mengusulkan kepada mereka agar engkau saja yang menikah dengan Mayang!" "Hay Hay, hentikan kelakarmu itu. Aku tidak akan menikah dengan nona Mayang atau dengan wanita mana pun juga, karena aku..." Dia berhenti dan wajahnya tiba-tiba nampak berduka. "Engkau kenapa, Han Siong?" Hay Hay tidak menggodanya lagi sesudah melihat betapa wajah sahabatnya itu nampak bersedih. Han Siong menghela napas panjang. "Hay Hay, hanya engkau yang tahu apa yang telah terjadi antara aku dan nona Ouw Ci Goat. Sesudah apa yang terjadi dengan kami, walau pun hal itu terjadi karena aku dikuasai sihir, namun aku harus bertanggung jawab! Dialah satu-satunya wanita yang harus menjadi isteriku, karena dia telah... ternoda olehku..." "Han Siong...! tiba Hay Hay memegang kedua tangan sahabatnya itu dan hatinya merasa terharu sekali. Juga kagum bukan main. Pemuda ini memang pantas menjadi sahabatnya, dan pantas pula menjadi seorang pendekar budiman. Penuh tanggung jawab atas semua perbuatannya! "Han Siong, tenangkan hatimu, kawan! Terpaksa aku akan memberi tahu kepadamu akan hal yang amat menyedihkan, yang telah menimpa diri Ci Goat..." Han Siong terkejut. "Apa? Apa maksudmu?" "Dia... Ouw Ci Goat... dia telah tewas, Han Siong." Han Siong terkejut, wajahnya pucat dan matanya terbelalak. "Apa? Bagaimana? Hay Hay, ceritakanlah apa yang telah terjadi!" Hay Hay menghela napas, penuh rasa iba karena teringat akan keadaan gadis manis itu. "Ketika aku membayangimu, begitu sampai di kuil tua di mana tiga orang pendeta Lama itu berada, aku lantas masuk melalui pintu belakang. Dan di bagian belakang kuil itu aku menemukan tubuh nona Ouw Ci Goat yang sudah menjadi mayat, tentu karena terbunuh oleh mereka..." Han Siong melompat dan mengepal tinju. "Keparat jahanam para pendeta Lama itu...!” "Sudahlah, Han Siong. Mereka bertiga juga sudah mati. Agaknya sudah kehendak Tuhan bahwa sampai sekian saja riwayat nona Ouw Ci Goat. Aku telah mengubur jenazahnya di dekat kuil itu, baru aku melakukan pengejaran ketika engkau dibawa oleh tiga orang Lama itu. Nah, sekarang engkau sudah tahu dan tidak perlu menyedihi yang sudah mati." Hay Hay menghibur dan sengaja dia bersikap gembira lagi. “Dan itu berarti bahwa engkau kini telah bebas, Han Siong, engkau dapat menikah dengan nona Mayang!" Dengan sikap masih penuh kedukaan Han Siong berkata lirih, "Hay Hay, betapa pun juga nona Ouw Ci Goat tewas karena aku! Bagaimana aku tidak akan berduka dan menyesal? Aku adalah orang yang bertanggung jawab, Hay Hay. Andai kata nona Ouw Ci Goat tidak tewas, dengan sungguh hati aku akan menikahinya! Kuharap engkau pun memiliki cukup kegagahan untuk bertanggung jawab atas perbuatanmu terhadap nona Mayang. Karena kalau tidak, tentu aku akan membencimu dan tidak akan memandangmu sebagai sahabat lagi, Hay Hay. Mungkin engkau akan kupandang sebagai seorang laki-laki pengecut dan sebagai musuhku!" Hay Hay memandang sahabatnya itu dengan mata terbelalak dan lenyaplah semua sikap main-main dari wajahnya. "Han Siong, apa maksudmu? Engkau mengatakan aku harus bertanggung jawab terhadap Mayang? Apa artinya ini? Kalau kau kira aku telah... telah… engkau keliru sekali!" Han Siong yang masih tenggelam dalam kegetiran dan kedukaan itu memandang wajah sahabatnya, dan suaranya terdengar bersungguh-sungguh. "Aku percaya bahwa engkau belum bertindak sejauh itu, Hay Hay. Akan tetapi engkau sudah melihat gadis itu dalam keadaan telanjang bulat!" "Heii! Apa salahnya dengan itu, Han Siong? Memangnya aku yang menelanjanginya? Aku hanya menyelamatkannya dari tangan Pat Hoa Lama yang hampir saja memperkosanya!" "Benar, akan tetapi bagaimana pun juga, engkaulah satu-satunya pria hidup yang pernah melihatnya dalam keadaan seperti itu. Dan engkau pun sudah bermesraan dengan nona Mayang, saling peluk dan saling cium! Apakah engkau hendak menyangkal bahwa nona Mayang amat mencintaimu?" Hay Hay sekali ini memandang bodoh dan menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu akan isi hatinya, Han Siong." "Dan engkau berani menyangkal bahwa engkau mencintanya?" "Itu... itu aku pun tidak tahu benar. Aku suka, kagum dan sayang kepadanya, akan tetapi cinta? Ahh, aku tidak pernah merasa jatuh cinta..." "Mata keranjang! Perayu wanita! Engkau telah mendekapnya dan menciuminya, sekarang engkau bilang tidak tahu apakah mencintanya? Hay Hay, apakah engkau hendak menjadi seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau penjahat pemerkosa wanita)?” Wajah Hay Hay berubah merah sekali karena saat Han Siong mengeluarkan kata-kata itu, dia pun teringat akan ayah kandungnya! Ucapan itu seperti mengingatkannya bahwa dia adalah putera kandung Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah), seorang jai-hwa-cat yang amat keji dan jahat! "Pek Han Siong!" katanya dengan nada ketus. "Apakah engkau ingin mengatakan bahwa karena ayahku seorang jai-hwa-cat, maka aku pun menjadi seorang penjahat cabul?" "Benar! Kalau engkau tidak mau bertanggung jawab dan menikah dengan nona Mayang, lalu apa bedanya engkau dengan Ang-hong-cu?" Han Siong berkata marah. "Engkau hendak menghinaku?" Hay Hay bangkit sambil mengepal tinju. Han Siong turut bangkit dan mengepal tinju pula. "Sesukamu kalau engkau berpendapat begitu! Pendeknya, kalau engkau tidak mau menikah dengan nona Mayang, engkau akan menghadapi tiga hal!" "Huhh! Engkau mengancamku? Apa yang kau maksudkan dengan tiga hal itu?" Hay Hay mengambil sikap menantang pula. "Dengar baik-baik! Pertama, engkau akan menghadapi aku sebagai seorang musuh! Aku akan menganggap engkau sebagai orang yang merusak kehidupan seorang gadis, sudah mendatangkan aib baginya namun tidak mau bertanggung jawab. Tentu saja aku tak akan tinggal diam dan akan menantangmu!" "Hemm, itu hanya anggapanmu. Dan aku tidak mungkin dapat kau paksa menikah hanya dengan ancaman itu" "Yang ke dua," Han Siong melanjutkan tanpa mempedulikan jawaban Hay Hay. "Engkau akan berhadapan dengan Kim Mo Siankouw yang tentu akan menantangmu karena dia tidak mau membiarkan engkau menghina muridnya, merayu muridnya kemudian sesudah muridnya jatuh cinta, engkau tidak mau bertanggung jawab." "Ehhh? Kenapa Kim Mo Siankouw juga berpandangan sesempit itu, seperti juga engkau? Sungguh aku tidak mengerti!" sekali ini Hay Hay mengeluh. "Masih ada yang ke tiga!" kata pula Han Siong penuh kemarahan dan suaranya meninggi. "Kalau engkau menolak untuk menikah dengan nona Mayang, maka nona Mayang akan membunuh diri!" "Bohong...!" Hay Hay berseru, kaget bukan main, matanya terbelalak memandang wajah Han Siong karena biar pun mulutnya meneriakkan pemuda itu bohong akan tetapi hatinya maklum bahwa Han Siong tidak akan berbohong. Dan ancaman ke tiga ini sungguh menggetarkan hatinya. Ancaman ke tiga itu yang paling hebat. Walau pun amat berat baginya, dia masih dapat menghadapi ancaman tantangan Pek Han Siong dan Kim Mo Siankouw. Akan tetapi ancaman Mayang untuk membunuh diri benar-benar membuat dia menyerah sebelum bertanding! Dan ancaman ke tiga ini sungguh menggetarkan hatinya. Ancaman ke tiga itu yang paling hebat. Menghadapi ancaman tantangan Pek Han Siong dan Kim Mo Siankouw, biar pun amat berat baginya, masih dapat dia hadapi. Akan tetapi ancaman Mayang untuk membunuh diri benar-benar membuat dia menyerah sebelum bertanding! “Tidak mungkin dia... dia... sebodoh itu!" "Hemmm, dasar laki-laki mata keranjang yang mau enaknya sendiri saja, mau mengambil bunganya tapi tidak mau terkena durinya! Engkau mengatakan dia bodoh, ya? Bayangkan saja! Dia sudah mengalami aib, tubuhnya dalam keadaan telanjang bulat dilihat seorang pria, kemudian pria itu dicintanya namun ternyata pria itu tidak mau menjadi suaminya! Hanya ada dua pilihan bagi seorang gadis yang menjaga baik nama dan kehormatannya, yaitu membunuh pria itu atau membunuh diri. Karena nona Mayang mencintamu, padahal engkau laki-laki yang tidak patut mendapatkan cinta seorang wanita, maka dia tidak akan membunuhmu dan akan membunuh diri. Hal ini dikatakan oleh ibu nona Mayang dan aku mendengarnya sendiri! Nah, katakanlah aku membohong!" Sekali ini Hay Hay jatuh terduduk dan bengong seperti patung. Dia tidak mampu bicara lagi, hanya menatap kosong seperti orang kehilangan semangat, dan mulutnya berkemak-kemik, "...menikah...? Menikah...? Ya ampuuunn... menikah?” Melihat ini, diam-diam Han Siong merasa girang. Rasakan engkau sekarang, orang mata keranjang, pikirnya. Bilamana sudah menjadi suami Mayang, tentu gadis itu akan mampu memasangi kendali pada hidungnya sehingga dia tidak akan liar lagi! Dia tidak merasa kasihan kepada sahabatnya itu. Kenapa harus kasihan? Hay Hay akan menikah dengan seorang gadis yang hebat! Cantik jelita, manis, pandai, kaya raya. Mau apa lagi? Dia masih tenggelam dalam duka teringat akan kematian Ci Goat, maka dia lalu berkata dengan suara lembut, "Hay Hay, pikirkan baik-baik semalam ini. Besok pagi-pagi mereka sudah mengharapkan jawabanmu yang pasti. Selamat malam!" Han Siong meninggalkan Hay Hay yang masih duduk di atas kursinya seperti boneka hidup itu. *************** "Kiong-hi (selamat), kiong-hi!" kata Wakil Dalai Lama setelah pada keesokan harinya dia mendengar bahwa Hay Hay dipertunangkan dengan Mayang. "Aihh, sungguh tepat sekali. Pinceng (aku) mengenal baik siapa Kim Mo Siankouw, maka muridnya tentu hebat dan merupakan seorang gadis pilihan! Dan saudara ini, meski pun masih muda namun sudah mempunyai kepandaian yang hebat! Tentu dia akan menjadi seorang yang amat berguna bagi negara dan bangsanya!” Kini mereka semua berkumpul di ruangan tamu. Pada hari itu Hay Hay terpaksa memberi jawaban dan tak ada jalan lain baginya kecuali menerima usul perjodohan itu. Yang paling berat adalah kenekatan Mayang. Gadis itu akan membunuh diri kalau dia menolak ikatan jodoh itu! Tentu saja dia tidak ingin gadis itu mati karena dia! Dan bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa Mayang adalah seorang gadis yang hebat! Demikianlah, ketika pada pagi itu Kim Mo Siankouw mengundangnya, dan dia memasuki ruangan tamu, di situ sudah menunggu Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang! Dan dengan sikap halus namun serius, Kim Mo Siankouw bertanya, "Bagaimana, Hay Hay, apakah engkau sudah mendengar dari sahabatmu Pek-taihap itu akan niat hati kami menjodohkan Mayang denganmu? Dan bagaimana jawabmu?" Ditanya secara terbuka dan jujur itu, Hay Hay juga menjawab sejujurnya. "Sesungguhnya di dalam hati saya belum ada keinginan untuk menikah, Siankouw. Akan tetapi saya pun tidak dapat menolak kehormatan yang diberikan kepada saya." "Jadi, bagaimana keputusanmu?" tanya ibu Mayang. Hay Hay menundukkan mukanya. "Saya menerima ikatan jodoh itu dengan rasa haru dan terima kasih." "Siancai...! Giranglah rasa hatiku, Hay Hay," kata Kim Mo Siankouw. "Terima kasih, Hay Hay! Sungguh engkau telah membahagiakan kami semua," kata pula ibu Mayang dengan suara bercampur isak akibat terharu. "Semoga Tuhan selalu memberi bimbingan kepada anakku agar bisa menjadi isterimu yang setia dan membahagiakanmu kelak." Hay Hay memberi hormat. "Saya yang merasa berterima kasih. Akan tetapi karena masih ada tugas penting di pundak saya, yaitu urusan pribadi yang harus saya selesaikan lebih dulu, maka saya mohon agar pernikahan dapat dilaksanakan setelah saya menyelesaikan tugas pribadi itu." Kedua orang wanita itu mengangguk setuju. Diterimanya usul ikatan jodoh itu saja sudah amat membahagiakan hati mereka. Maka mereka lalu mengumumkan ikatan perjodohan itu sehingga Wakil Dalai Lama yang masih berada di situ segera datang memberi selamat. Kini mereka semua berkumpul di ruangan itu. Bahkan Mayang juga telah dipanggil ibunya. Gadis yang biasanya tabah dan lincah ini nampak jinak dan malu-malu. Akan tetapi ketika ibunya menyuruh dia memberi hormat kepada calon suaminya, dengan cepat tanpa ragu dia lalu memberi hormat kepada Hay Hay yang dibalas oleh pemuda itu dengan muka kemerahan pula. "Kiong-hi, sekali lagi kiong-hi kuucapkan kepadamu, Hay Hay, dan kepadamu, Mayang. Akulah orang pertama yang merasa paling berbahagia dengan terikatnya kalian menjadi calon suami isteri!" kata Han Siong. Namun wajahnya sama sekali tidak membayangkan kegirangan hati karena pemuda yang semalaman tidak tidur ini masih terus teringat akan kematian Ouw Ci Goat. "Kalau kelak diadakan upacara pernikahan, jangan lupa mengundang pinceng, Siankouw! Engkau memperoleh seorang mantu yang amat hebat, maka pinceng juga menghaturkan selamat kepadamu!" Secara diam-diam Han Siong merasa betapa dia juga telah ikut memaksa Hay Hay untuk menerima usul ikatan jodoh itu. Karena itu, ketika melihat betapa Hay Hay nampak tersipu dan kehilangan kejenakaannya, dia pun berusaha menghiburnya dengan memuji-mujinya di depan orang banyak. "Losuhu mungkin belum mengenal betul siapa adanya calon mempelai pria ini! Sahabatku ini pernah menjadi seorang pahlawan, membantu dua orang Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng ketika membasmi pemberontakan di Yunan yang dipimpin oleh mendiang Lam-hai Gim-lo!" "Omitohud…!" Wakil Dalai Lama segera berseru kagum. "Kiranya begitukah? Kami sudah mengenal kedua orang Yang Taijin dan Cang Taijin, dua menteri yang bijaksana. Bahkan Yang Taijin pernah mengirim pasukan untuk membantu kami membasmi pemberontakan. Kalau begitu, kami hendak menitipkan sepucuk surat untuk dihaturkan kepada dua orang menteri yang bijaksana itu. Maukah engkau membawa surat kami ke kota raja kemudian menyerahkannya kepada mereka, Taihiap?" Ucapan ini ditujukan kepada Hay Hay. Tentu saja Hay Hay merasa tak enak untuk menolak. "Dengan senang hati, Losuhu. Akan tetapi hendaknya cu-wi (kalian semua) tidak mendengarkan bualan Pek Han Siong! Yang membasmi para pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo itu bukan saya sendiri, namun ada banyak pendekar yang ikut membantu pemerintah, termasuk Pek Han Siong sendiri!" Wakil Dalai Lama memuji. "Omitohud...! Ji-wi (kalian berdua) adalah pendekar-pendekar yang berjiwa patriot. Sungguh beruntung sekali sebuah negara yang memiliki orang-orang muda seperti ji-wi!" Sesudah menerima hidangan sarapan pagi yang disuguhkan nyonya rumah, Wakil Dalai Lama kemudian minta diri untuk kembali ke Lasha, dan dia menyerahkan sesampul surat kepada Hay Hay untuk disampaikan kepada kedua orang menteri itu. Setelah Wakil Dalai Lama bersama rombongannya pergi, kini yang tinggal di rumah Kim Mo Siankouw sebagai tamu hanya tinggal Hay Hay dan Han Siong berdua. Siang hari itu Hay Hay mendapat kesempatan untuk berdua saja dengan Mayang. Mereka duduk di taman belakang rumah. Mayang terlihat cantik sekali dengan pakaian baru yang bersih. Potongan pakaiannya itu ketat sehingga mencetak tubuhnya yang tinggi ramping, dengan dada membusung dan pinggul yang padat membukit. Rambutnya dikuncir menjadi dua dan rambut yang lebat serta panjang itu bergantungan manis di kanan kiri, kadang-kadang di depan, kadang-kadang di belakang, ujungnya diikat sutera merah. Pakaiannya merupakan kombinasi warna hitam dan kuning sehingga kulit yang nampak di leher dan tangannya semakin putih, putih mulus serta kemerahan seperti kulit anak-anak bayi. Mau tidak mau Hay Hay merasa bangga juga. Gadis ini memang seorang wanita hebat dan dia akan selalu merasa bangga memandang wanita ini sebagai isterinya. Biasanya gadis ini bersikap lincah jenaka dan tak mengenal rasa takut atau malu-malu. Akan tetapi sekarang dia lebih banyak menundukkan muka dan setiap kali mengangkat muka lantas bertemu pandang dengan Hay Hay, maka wajahnya yang manis itu berubah kemerahan. “Mayang, aku sengaja mencarimu karena aku ingin bicara denganmu,” kata Hay Hay dan dia sendiri merasa heran kenapa suaranya tidak seperti biasa, agak gemetar dan kenapa jantungnya berdebar demikian keras! Belum pernah dia menjadi begini gugup saat berhadapan dengan seorang wanita. Seolah lenyap semua ketabahannya. Biasanya dengan mudahnya kata-kata manis meluncur dari mulutnya kalau memuji-muji wanita, akan tetapi sekarang, dia selalu khawatir kalau-kalau membikin hati gadis ini menjadi tidak senang! Mayang mengangkat mukanya hingga sejenak dua pasang mata itu bertemu. “Bicaralah, Hay Hay,” kata Mayang lirih lalu dia menunduk kembali. “Mayang, tentu Siankouw dan ibumu telah memberi tahu tentang keputusanku. Aku masih mempunyai suatu tugas pribadi yang sangat penting. Aku harus menyelesaikan tugas itu lebih dahulu dan untuk sementara aku akan meninggalkanmu. Sesudah tugas itu selesai, aku akan kembali ke sini untuk melangsungkan pernikahan kita.” Sejenak Mayang tak dapat bicara karena kepalanya semakin menunduk. Dia tersipu dan merasa rikuh sekali mendengar pria yang dicintanya itu bicara tentang pernikahan. Akan tetapi karena timbul perasaan duka dan khawatir ketika mendengar bahwa kekasihnya itu hendak meninggalkannya, akhirnya dia mengangkat mukanya sehingga dua pasang mata kembali bertemu dan bertaut. Indahnya mata itu, pikir Hay Hay dengan bangga. Memang sipit, akan tetapi bentuknya amat indah dan di kedua ujungnya seperti ditambahi garis hitam memanjang ke atas. Dan dari balik belahan pelupuk mata yang sipit itu memancar dua pasang mata yang amat jeli dan tajam. “Hay Hay, engkau hendak ke manakah?” Suaranya lirih, tidak malu-malu lagi akan tetapi kini suara itu mengandung penuh kekhawatiran. Aku hendak pergi ke kota raja, Mayang. Mengantar surat titipan Wakil Dalai Lama kepada Yang Taijin dan Cang Taijin." Dia tidak ingin bercerita mengenai usahanya mencari jejak Ang-hong-cu di kota raja dengan menyelidiki perwira she Tang di kota raja yang kabarnya mengaku sebagai putera Ang-hong-cu. "Dan tugas pribadimu itu, tugas apakah? Atau... engkau tidak mau menceritakan tentang hal itu kepadaku?" Hay Hay tersipu, Mayang adalah calon isterinya, tentu saja dia berhak mengetahui urusan pribadinya. Akan tetapi bagaimana mungkin dia akan mengaku bahwa dia adalah putera kandung seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat besar yang tersohor di dunia kang-ouw? "Aku hendak mencari musuh besarku!" Mayang kelihatan terkejut dan kini dia mengangkat muka, memandang sepenuhnya pada wajah kekasih hatinya, sepasang matanya penuh selidik. "Apa yang telah dilakukan oleh musuh besarmu itu!” Hay Hay mengerutkan alisnya. Dia merasa tidak senang membicarakan urusan itu, akan tetapi dia harus menjawabnya. "Dia sudah membunuh ibuku! Sudahlah, Mayang, kuharap engkau tidak bertanya mengenai urusan ini. Aku selalu merasa berduka, kesal dan marah kalau membicarakan musuh besar itu." Ketika tangan gadis itu memegang salah sebuah kuncir rambutnya dan memindahkannya ke belakang punggung, tangan itu gemetar dan wajahnya agak berubah pucat. "Aku tak akan bertanya lagi, Hay Hay. Akan tetapi... orang yang menjadi musuh besarmu tentu lihai bukan main. Karena itu aku harus menemanimu! Aku harus ikut denganmu ke kota raja. Aku akan membantumu menghadapi musuh besarmu itu, Hay Hay!" Hay Hay terkejut. Hal ini sungguh tak pernah disangkanya. "Ahh, jangan, Mayang! Musuh besarku itu lihai bukan main. Aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya!" Dalam lubuk hatinya, Mayang merasa girang bahwa calon suaminya itu mengkhawatirkan keselamatannya. Namun dia pun tidak ingin ditinggal, apa lagi ditinggal untuk menempuh bahaya. "Hay Hay, meski pun ilmu kepandaianku tidak ada artinya bagimu, akan tetapi aku dapat membantu sekuat tenagaku. Setidaknya aku dapat menyaksikan bagaimana keadaanmu setelah engkau berhadapan dengan musuh besarmu itu, Hay Hay. Aku akan mati karena selalu gelisah bila engkau pergi menempuh bahaya dan aku diharuskan menanti di sini." "Tapi, Mayang...” "Tak ada tapi, Hay Hay. Aku tak bermaksud untuk memaksakan kehendakku kepadamu. Sama sekali tidak. Engkau adalah calon suamiku, engkau satu-satunya orang yang mulai sekarang harus kutaati. Tetapi setelah kita terikat perjodohan, bukankah berarti nasib kita menjadi satu? Bukankah mati hidup harus selalu kita hadapi bersama-sama? Aku harus ikut denganmu, Hay Hay. Kalau engkau memaksaku tinggal, kalau engkau menolak aku ikut serta, kalau engkau meninggalkan aku, aku pun tidak berani memaksamu, akan tetapi tak lama setelah engkau pergi, maka aku pun akan menyusulmu, mencarimu ke kota raja. Apakah engkau menghendaki kita melakukan perjalanan sendiri-sendiri dan menghadapi ancaman bahaya dalam keadaan saling terpisah?" cerita silat online karya kho ping hoo Hay Hay menghela napas panjang. Dia sudah mulai merasakan akibat ikatan perjodohan itu. Sudah terasa betapa dia kini terikat, tidak bebas lagi, tidak seperti sebelum ada ikatan perjodohan. Semua yang dikemukakan Mayang itu memang tak dapat dibantah kebenarannya. Kalau Mayang seorang wanita biasa, tidak memiliki kepandaian silat, maka apa yang dikatakan itu tentu tidak benar. Akan tetapi Mayang adalah seorang gadis yang pandai, yang bukan saja mampu menjaga dan melindungi diri sendiri, tetapi bahkan dapat pula membantunya dalam menghadapi lawan tangguh! “Tentu saja aku tidak menghendaki demikian, Mayang. Akan tetapi kita baru bertunangan, belum menikah, bagaimana mungkin engkau pergi berdua saja bersamaku? Tentu ibumu dan gurumu tidak akan memperkenankan." "Sekarang juga aku hendak memberi tahu ibu dan subo, dan meminta ijin mereka!" kata gadis itu. Akan tetapi pada saat itu pula kebetulan sekali tampak Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang berjalan keluar dari dalam rumah menuju ke taman. Melihat ini, dengan gembira Mayang cepat berlari menyambut mereka. "Subo, Ibu…, kebetulan sekali. Aku hendak mencari kalian untuk membicarakan hal yang teramat penting." Melihat puterinya demikian bersungguh-sungguh serta kelihatan risau dan tegang, ibunya menegurnya. "Tenanglah, Mayang. Segala hal dapat dibicarakan dengan tenang. Biarkan Subo-mu duduk dulu, baru engkau bicara." Hay Hay juga cepat memberi hormat kepada Kim Mo Siankouw dan calon ibu mertuanya. Mereka berdua duduk di atas bangku panjang, ada pun Mayang dan Hay Hay lalu duduk di bawah, di atas batu-batu hiasan taman itu. "Nah, muridku. Katakanlah apa yang terkandung dalam hatimu," kata Kim Mo Siankouw. "Subo, Hay Hay mengatakan bahwa dia hendak pergi menunaikan tugas pribadinya dan ketika teecu (murid) menanyakan apa tugas itu, dia mengaku bahwa dia hendak mencari musuh besarnya. Subo dapat membayangkan bahwa yang menjadi musuh besar seorang yang mempunyai kepandaian tinggi seperti dia tentulah orang yang lihai dan berbahaya sekali. Oleh karena itu teecu ingin ikut bersamanya, Subo! Teecu mohon perkenan Subo dan Ibu agar diperbolehkan menemani Hay Hay untuk membantu dia menghadapi musuh besarnya. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang calon isteri? Hati teecu akan terasa tersiksa sekali jika teecu ditinggalkan dan mengetahui bahwa tunangan teecu menempuh bahaya seorang diri. Mohon Subo dan Ibu sudi memberi ijin." Kedua orang wanita itu saling pandang, kemudian Kim Mo Siankouw memandang kepada Hay Hay, bertanya lembut. “Benarkah apa yang dikatakan calon isterimu itu, Hay Hay?” "Memang benar, Siankouw. Akan tetapi sebenarnya saya sudah merasa keberatan untuk membawa Mayang menghadapi ancaman bahaya. Musuh besar saya itu lihainya bukan main. Saya akan lebih merasa lega kalau dia tinggal saja di rumah. Akan tetapi saya tidak dapat mencegah kehendaknya yang kuat." Kembali kedua orang wanita itu saling pandang, lantas Kim Mo Siankouw berkata kepada Mayang. “Muridku, dalam hal melepaskan dirimu untuk ikut dengan Hay Hay, karena ada ibumu di sini, maka dialah yang berhak menentukan. Aku sih setuju saja atas keputusan yang diambil ibumu." Mendengar ucapan subo-nya itu, wajah Mayang segera berseri. Ia mendekati ibunya lalu merangkul ibunya dengan sikap manja. "Ibu tentu memperkenankan aku pergi bersama Hay Hay, bukan?" Selama ini ibu yang sangat menyayangi puterinya itu hampir selalu mengabulkan segala permintaan puterinya yang pantas, maka Mayang juga hampir yakin bahwa ibunya tentu akan mengangguk. Akan tetapi kali ini wanita setengah tua yang masih nampak cantik itu mengerutkan alisnya, kemudian dengan perlahan menggelengkan kepalanya. "Ibu...!" Mayang berseru penuh kekecewaan dan keheranan. "Akan tetapi kenapa, Ibu...?” "Mayang, sungguh tidak bijaksana jika aku membiarkan engkau pergi berdua saja dengan Hay Hay. Ingatlah, Nak, dia itu baru calon suamimu, belum suami yang sah! Andai kata kalian sudah menikah, tentu saja aku akan menyetujui sepenuhnya." Mendengar ini, Mayang pun merajuk. Mulutnya cemberut dan matanya semakin sipit saja seperti hendak menangis. "Aihh, ibu..., apakah ibu takut akan anggapan orang-orang lain? Yang penting aku mampu menjaga diri, Ibu, dan aku percaya bahwa Hay Hay juga akan dapat menjaga diri." Akan tetapi ibunya masih mengerutkan alisnya. Dia teringat akan keadaannya sendiri. Dia membayangkan hal yang buruk-buruk. Bagaimana kalau mereka, dua orang muda yang sedang dewasa, lupa diri dan melakukan pelanggaran? Bagaimana kalau kemudian Hay Hay meninggalkan puterinya dan tidak jadi menikahinya? Segala mala petaka yang timbul akibat hubungan di luar nikah itu selalu akan menimpa diri wanita. “Ibu, kalau ibu melarangku kemudian Hay Hay meninggalkan aku, tentu aku akan menjadi kurus dan akan jatuh sakit karena selalu gelisah dan khawatir memikirkan dia. Aku... aku akan minggat dan mencarinya..." “Mayang, tidak baik engkau mengancam ibumu seperti itu!" mendadak Kim Mo Siankouw membentak muridnya. Mendengar bentakan marah ini, Mayang cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki gurunya. "Akan tetapi, Subo. Bagaimana mungkin teecu membiarkan Hay Hay pergi dan menempuh bahaya tanpa membantunya sama sekali? Teecu akan selalu merasa gelisah dan takut. Subo, teecu takut kalau... kalau kehiangan dia... dia satu-satunya..." Kim Mo Siankouw tersenyum. "Siancai..., baru saja mendapatkan seorang tunangan, tapi engkau sudah lupa bahwa di dunia ini masih ada aku dan ibumu, bukan hanya ada Hay Hay seorang!" Mayang tersipu dan baru teringat, maka dia hanya menundukkan mukanya. "Mohon belas kasihan dan pertimbangan Subo dan Ibu...," katanya memelas. Ibu Mayang kembali bertukar pandang dengan Kim Mo Siankouw, kemudian ibu Mayang menghela napas panjang. "Aku hanya dapat memberi ijin engkau pergi bersama Hay Hay apa bila kalian sudah menikah. Karena itu, kalau engkau berkeras hendak pergi mengikuti Hay Hay, kalian harus menikah sekarang juga. Bagaimana pendapatmu, Hay Hay?” Hay Hay tertegun dan sejenak dia bengong. Menikah? Sekarang juga? Hal ini sungguh tak pernah dipikirkannya sehingga kini dia tidak mampu menjawab. Bagaimana dia dapat melakukan pernikahan kalau dia hanya hidup sebatang kara di dunia ini, tidak mempunyai apa-apa kecuali beberapa potong baju saja? Dia merasa bingung, perasaan yang belum pernah mengganggunya selama hidupnya. “Ini... ini... saya... saya bingung, tidak tahu..." Melihat sikap pendekar muda yang dikaguminya itu, diam-diam Kim Mo Siankouw merasa iba juga. Hay Hay adalah seorang pemuda dan sekarang baru tampak bahwa sebenarnya dia masih hijau dalam urusan rumah tangga. Maka dia pun berkata, "Biarlah lebih dahulu kita memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk membicarakan hal ini dengan Pek Taihiap, satu-satunya sahabat atau keluarganya yang dapat mewakilinya dan memberinya nasehat. Nah, engkau bicarakanlah urusan pernikahan itu dengan Pek Taihiap, Hay Hay, dan nanti malam kami mengharap jawaban dan kepastian darimu." Pemuda itu mengangguk, memberi hormat kepada mereka kemudian mengundurkan diri, meninggalkan taman itu dan memasuki rumah untuk mencari Han Siong. Setelah pemuda itu pergi, Kim Mo Sian-kouw menegur Mayang dan ibunya. "Aihh... kalian ini sungguh membuat seorang pemuda menjadi tersipu sehingga tidak tahu harus berkata bagaimana. Kalian seperti mendesaknya saja. Mudah-mudahan dia dapat menerimanya dan dapat melangsungkan pernikahan yang tiba-tiba ini." Mendengar teguran itu, ibu Mayang menjawab lembut, "Anak inilah yang memaksa saya!" Mayang menubruk dan merangkul ibunya. "Subo, Ibu, aku… aku terlalu cinta kepadanya, dan tidak ingin berpisah darinya..." Kedua orang wanita itu saling pandang dan tersenyum. Dengan diam-diam mereka hanya mengharap agar Hay Hay suka menerima usul baru itu, yaitu melangsungkan pernikahan sekarang juga agar dia dapat pergi membawa isterinya yang rewel ini! *************** Sementara itu, Han Siong yang sedang duduk bersila dan berlatih sambil bersemedhi di dalam kamarnya, terkejut sekali ketika Hay Hay memasuki kamarnya seperti orang dikejar setan. "Pek Han Siong, sekarang engkau harus menolong aku...!" kata Hay Hay begitu pemuda ini mendorong daun pintu kamar hingga terbuka. Han Siong membuka matanya. Dia tidak merasa heran melihat sepak terjang sahabatnya ini karena sudah sering melihat Hay Hay ugal-ugalan dan kadang-kadang aneh. "Hemm, Hay Hay, apakah engkau sedang mabok? Engkau mengejutkan orang saja. Ada apa sih? Mungkin hanya kalau dunia kiamat saja engkau kebingungan seperti sekarang ini!” Hay Hay menjatuhkan diri di atas kursi, lalu memegangi kepala dengan kedua tangannya. "Lebih dari kiamat, Han Siong, sebab itu engkau harus menolongku sekarang! Aku benar-benar bingung, tidak tahu harus berbuat apa!" "Ha-ha-ha, tenanglah sahabatku. Ada peristiwa apakah yang membuat engkau menjadi seperti ini? Ceritakanlah, tentu saja setiap saat aku siap sedia untuk membantumu." "Aihh, Han Siong, apa yang harus kukatakan sekarang? Ketahuilah, mereka itu, Mayang, ibunya dan gurunya, mereka mengusulkan supaya pernikahan itu dilangsungkan sekarang juga!" "Ehhh.... ?!" Han Siong terkejut dan heran juga. “Mengapa mereka begitu tergesa-gesa? "Tapi... kenapa begitu? Tentu ada alasannya yang kuat." Hay Hay menarik napas panjang, lalu dia menceritakan betapa Mayang berkeras hendak ikut dengan dia, untuk membantunya menghadapi musuh besarnya. Apa bila dia menolak maka gadis itu kelak akan minggat untuk mencari dan menyusulnya. Ketika mereka minta ijin kepada ibu Mayang, maka ibu dan guru Mayang lalu mengajukan saran agar mereka menikah dulu, sekarang juga. “Mayang berkeras hendak ikut, dan ibunya berkeras agar kami menikah dahulu. Nah, aku terjepit di tengah-tengah. Bagaimana ini, Han Siong?" Pek Han Siong tertawa terpingkal-pingkal karena dia merasa alangkah lucunya keadaan Hay Hay. Rasakan kau sekarang, kata hatinya. Ini pembalasan untuk watakmu yang mata keranjang. Akan tetapi, setelah berhenti tertawa dia pun berkata, "Hay Hay, terjepit secara demikian bukankah malah enak buatmu? Apa lagi masalahnya? Sekarang engkau disuruh menikah, lantas isterimu ikut denganmu, melakukan perjalanan bersama seperti sedang berbulan madu! Kurang enak bagaimana? Kenapa engkau masih bingung dan mengomel lagi? Dasar tidak tahu terima kasih!" "Han Siong, jangan engkau main-main! Berilah jalan keluar, berilah nasehat bagaimana aku harus menghadapi perkembangan baru ini!" "Siapa main-main, Hay Hay. Apa sih yang perlu kau risaukan? Menikah hari ini atau bulan depan atau tahun depan, apa sih bedanya?" "Han Siong, jangan bergurau! Engkau sudah tahu bahwa aku mau menerima ikatan jodoh dengan Mayang karena tiga hal, yaitu pertama aku tidak ingin bermusuhan denganmu, ke dua aku tak ingin berkelahi dengan Kim Mo Siankouw, dan ke tiga aku tidak ingin Mayang membunuh diri...." "Masih ada yang ke empat dan tidak boleh engkau melupakan itu, ialah kenyaaan bahwa Mayang cinta padamu dan engkau pun cinta padanya!" "Tak kusangkal kalau aku suka dan kagum kepada Mayang, akan tetapi cinta? Aku tidak tahu. Tapi sudahlah, aku sudah menerima ikatan jodoh, akan tetapi pernikahan sekarang? Aku belum siap!" Han Siong tertawa. "Ha-ha, apanya lagi yang belum siap? Engkau sudah cukup dewasa, belum siap apanya?" "Ihh, jangan main-main, Han Siong. Aku sebatang kara, tidak mempunyai apa-apa, rumah pun tidak punya. Bagaimana aku dapat menikahi anak orang. Apakah isteriku lalu kuajak mengembara tanpa tempat tinggal? Apa dia bisa kuberi makan rumput dan daun saja?" "Hemm, kukira Mayang tidak membutuhkan itu semua! Dan hal itu pun merupakan urusan nanti, dapat kalian rundingkan bersama. Sekarang, yang penting engkau terima saja usul mereka. Engkau menikah sekarang juga dengan Mayang dan hal itu berarti engkau telah membuat jasa besar bagi manusia dan dunia!" Hay Hay bengong dan memandang terbelalak,. "Ehh? Kau jangan membikin aku menjadi semakin bingung, Han Siong. Engkau mengatakan bahwa kalau sekarang aku menikah dengan Mayang maka aku sudah berjasa terhadap manusia dan dunia. Apa maksudmu?" "Betapa tidak? Jika sekarang engkau menikah dengan Mayang, berarti engkau membikin senang hati Mayang, membikin lega hati ibunya serta gurunya, membikin gembira hatiku, dan membikin gembira para tamu yang nanti akan menghadiri perayaan pernikahan itu. Nah, berarti engkau menyenangkan banyak manusia, juga menyenangkan dirimu sendiri. Betapa senangnya melakukan perjalanan ditemani seorang isteri sehebat Mayang. Selain itu, engkau mendatangkan kebaikan kepada dunia karena dengan adanya seorang isteri yang selalu menemani, maka bahaya bagi para gadis lain tidak ada lagi!" "Bahaya bagi para gadis lain?" Hay Hay mengerutkan alisnya, tidak mengerti. "Tentu saja, karena engkau tentu tidak lagi berani mengumbar mata keranjang kalau ada isterimu di sisimu!" "Ahhh...!” bibir Hay Hay cemberut. “Engkau tidak memberi obat, malah membikin penyakit ini menjadi lebih parah!” Han Siong bangkit dari pembaringan, menghampiri Hay Hay yang duduk di atas kursi, lalu memegang pundak kawannya. "Sahabatku, gunakanlah akal sehatmu dan jangan murung. Syukurilah berkah yang dilimpahkan Tuhan kepadamu! Engkau tahu, ada kalanya orang harus mengorbankan sesuatu dan meniadakan kepentingan diri sendiri untuk melakukan kebaikan kepada orang lain. Akan tetapi sekarang ini, engkau dapat melakukan banyak kebaikan kepada banyak orang, tanpa berkorban apa-apa, bahkan engkau menerima pula nikmat dan kebahagiaan. Pria mana yang tak akan berbahagia memetik setangkai bunga yang demikian indah dan harumnya seperti calon isterimu itu? Nah, hadapilah kenyataan dan berterima kasihlah kepada Tuhan!" Hay Hay menghela napas, lalu bangkit dengan malas. "Sudahlah, akan kupertimbangkan semalaman ini.” "Besok pagi aku akan membawa keputusanmu yang menggembirakan kepada mereka!" kata Han Siong sambil tersenyum memandang sahabatnya yang meninggalkan kamarnya dengan langkah gontai. *************** Memang tidak ada pilihan lain bagi Hay Hay kecuali menerima usul baru agar pernikahan dilangsungkan dulu sebelum dia pergi meninngalkan puncak Awan Kelabu tempat tinggal Kim Mo Siankouw itu. Pernikahan yang sangat mendadak ini dirayakan dengan sederhana. Bahkan tak sempat lagi mengundang tamu jauh, juga Wakil Dalai Lama tidak mungkin dapat diundang. Yang diundang hanya penduduk dusun di sekitar Pegunungan Ning-jing-san saja dan perayaan dilaksanakan secara sederhana namun cukup meriah. Yang menemani Hay Hay hanyalah Han Siong seorang. Pemuda ini menjadi semacam hiburan bagi Hay Hay, yang menganggap sahabat ini seperti saudara sendiri. Dan Han Siong juga menemani Hay Hay dengan kesungguhan hati karena di dalam hati Han Siong memang amat kagum dan sayang kepada Hay Hay. Para tamu yang terdiri dari penduduk dusun di pegunungan itu tentu saja bergembira ria dijamu masakan yang lezat dan arak wangi sehingga belum sampai tengah malam, para tamu sudah banyak yang mabok lantas mereka pun berpamit meninggalkan tempat pesta setelah memberi selamat kepada sepasang mempelai dan kepada Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang. Han Siong juga mewakili pengantin pria untuk membalas pemberian selamat itu. Akhirnya semua tamu sudah meninggalkan tempat pesta dan sepasang pengantin lalu diarak memasuki kamar pengantin. Dalam kesempatan terakhir ini, Han Siong sekali lagi memberi selamat kepada Hay Hay dan Mayang. "Kionghi, kionghi (selamat, selamat) sekali lagi," katanya gembira. "Semoga Tuhan memberkahi kalian de ngan kebahagiaan abadi!" Mayang hanya menunduk tersipu malu, akan tetapi Hay Hay memandang sahabatnya itu dengan sinar mata haru. "Han Siong, engkau adalah sahabatku yang paling baik. Terima kasih untuk segalanya!" Sepasang pengantin itu didorong memasuki kamar yang segera ditutup, kemudian semua orang meninggalkan kamar itu. Para pelayan lalu sibuk membersihkan bekas pesta. Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang yang merasa lelah sekali setelah tadi menerima tamu juga segera beristirahat di kamar masing-masing, sekalian hendak menyembunyikan keharuan mereka karena begitu memasuki kamar masing-masing, kedua orang wanita ini langsung menangis terharu mengingat betapa gadis yang mereka kasihi itu sekarang telah menjadi isteri orang dan memulai suatu kehidupan baru. Rasa haru dan bahagla membuat mereka dlam-diam mencucurkan air mata! Sepasang mempelai itu telah berganti pakaian. Sambil bersembunyi di balik tirai, Mayang melepaskan pakaian pengantin lalu mengenakan pakaian tidur yang tipis, sedangkan Hay Hay juga telah mengenakan pakaian biasa. Sekarang mereka duduk bersanding di pinggir pembaringan. Mayang menunduk, tersipu malu. Gadis yang biasanya lincah jenaka dan sangat tabah itu kini tidak berani berkutik, tidak berani bersuara, bahkan juga tak berani mengangkat muka memandang wajah suaminya. Hay Hay juga duduk dengan muka kemerahan karena tadi dia agak terlalu banyak minum arak ketika menerima penghormatan dan ucapan selamat, akan tetapi dia pun tersipu, kehilangan akal, salah tingkah dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Terbayanglah semua pengalamannya dengan para wanita pada masa lalu. Baru satu kali hubungannya dengan wanita benar-benar hampir melanggar batas, yaitu dengan Kok Hui Lan, janda muda yang tubuhnya semerbak harum seperti bunga itu! Juga pada waktu dia hampir ‘diperkosa’ wanita cabul Ji Sun Bi. Selain dua kali pengalaman itu, belum pernah dia berhubungan dengan wanita sampai ke hubungan badan, kecuali hanya bermesraan luar saja. Kini dia berdebar penuh ketegangan dan kebingungan ketika menghadapi seorang gadis yang mulai saat itu sudah menjadi isterinya, yang akan menyerah sebulatnya kepadanya dan dapat dia gauli tanpa ada orang yang melarang, tanpa ada pelanggaran susila atau hukum apa pun. Dia sama sekali tidak berpengalaman dalam hal itu! Karena sulit membuka mulut, hanya duduk bersanding di tepi pembaringan, Hay Hay lalu berdehem dua kali dan mengeluarkan suara tawa kecil untuk menarik perhatian ‘isterinya’. Dan usahanya berhasil. Mendengar suaminya berdehem lalu mengeluarkan suara ketawa kecil, Mayang khawatir kalau ada sesuatu pada dirinya yang tidak beres sehingga memancing tawa suaminya. Ia cepat memandangi pakaiannya kalau-kalau ada yang tidak beres, kemudian karena tidak menemukan sesuatu yang salah, dia pun mengangkat mukanya memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut dan akhirnya Mayang menundukkan kembali mukanya yang menjadi kemerahan, akan tetapi bibirnya menahan senyum. Manisnya! "Mayang....” suara Hay Hay terdengar gemetar dan hal ini terasa benar olehnya sehingga dia pun tidak berani melanjutkan! Mayang kembali menoleh dan kembali dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut. "Hay Hay..." Mayang berbisik, lalu cepat dibetulkannya. "Hay-koko (kanda Hay)!" Ia cepat menunduk lalu dan mukanya semakin merah. Begitu merdu dan manisnya sebutan Hay-koko itu sehingga perasaan bahagia menyelinap di dalam kalbu Hay Hay. Tanpa disadari, tangan kirinya bergerak dan memegang pundak itu dengan sentuhan lembut. "Mayang, engkau.... engkau... sungguh cantik jelita dan manis bukan main....” Mayang kembali menoleh tetapi kini dia tersenyum. "Engkau perayu!" katanya manja dan entah siapa yang mulai lebih dahulu, tahu-tahu keduanya saling rangkul dan saling dekap. Ketika Hay Hay menciumnya, Mayang lantas menyambut dengan rintihan lirih. Mereka kini rebah dengan saling rangkul. Tiba-tiba Mayang bangkit duduk dan matanya yang sipit itu dibuka lebar memandang ke arah leher Hay Hay dan tanpa terasa dia mengeluarkan seruan lirih namun mengejutkan. "Ihhhh...!" Hay Hay juga bangkit duduk. "Ada apakah, Mayang...?" Tangan kanan Mayang bergerak menangkap benda yang tergantung pada leher Hay Hay, yaitu mainan berbentuk kumbang merah yang tadi sempat berjuntai keluar dari balik baju Hay Hay. "Ang... hong... cu...!" Mayang berbisik dan tangan kirinya juga mengeluarkan benda yang sama dari balik bajunya! Kini giliran Hay Hay yang tersentak kaget. Sekali tangannya bergerak dia telah merampas dua buah benda itu dari kedua tangan Mayang, lalu dia membandingkan dua buah benda itu. Persis sama! "Mayang..." suaranya terdengar gemetar dan wajahnya pucat sekali, "dari mana... engkau mendapatkan benda ini... ?" "Dari ibuku, baru tadi ibu memberikannya kepadaku sebagai hadiah pernikahan. Benda... benda itu... tadi ibu menyebut Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah), kata ibu itu peninggalan ayah kandungku...” "Ayah... ayah kandungmu...? Ya Tuhan...!" Tiba-tiba saja wajah Hay Hay menjadi semakin pucat dan seluruh tubuhnya menggigil. Mayang terkejut bukan main melihat keadaan Hay Hay itu. "Kenapa, Hay-koko? Kenapa? Dan dari mana engkau bisa mendapatkan benda yang serupa benar dengan peninggalan ayahku? Dari mana engkau dapat memiliki Ang-hong-cu?" "Mayang...," Hay Hay menggeser duduknya lebih menjauh agar tubuhnya tak menyentuh tubuh Mayang, "Mayang... kita... kita... kau... Ang-hong-cu... dia ayah kandungku pula..." Sepasang mata yang sipit itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi sepucat mayat lalu terdengarlah suara melengking tinggi dan nyaring dari mulut itu, lengkingan yang keluar sebagai jeritan dari dalam. Kedua tangan itu merenggut dua buah benda itu dari tangan Hay Hay, kemudian tubuh itu bergerak melompat turun dari atas pembaringan dan berlari menerjang pintu kamar sehingga terbuka dan Mayang pun berlari keluar. "Mayang...! Mayanggg...!" Dengan tubuh masih menggigil Hay Hay juga melompat turun. "Ang-hong-cu... ahhh, Ang-hong-cu..., hu-huu-huuuhhh...!" sambil menangis sesenggukan Mayang berlari keluar dan hampir saja dia bertabrakan dengan gurunya dan ibunya yang sedang berlarian menuju ke kamarnya. Dua orang tua itu terkejut ketika mendengar pekik melengking tadi dan keduanya sudah berlari keluar dari kamar masing-masing menuju ke kamar pengantin. "Mayang, ya Tuhan, ada apakah, Mayang?" ibunya segera merangkul puterinya dengan wajah penuh kekhawatiran. Kim Mo Siankouw memandang muridnya dengan alis berkerut dan sepasang mata tajam penuh selidik. Dan pada saat itu pula Kim Mo Siankouw juga melihat bayangan Han Siong berkelebat. Pemuda ini juga sudah keluar dari kamarnya dan terkejut oleh jeritan Mayang tadi. Kini, melihat Mayang menangis dalam rangkulan ibunya, Han Siong cepat melompat dan lari ke arah kamar pengantin untuk melihat Hay Hay. "Mayang, berhentilah menangis dan katakan ada apa?" Ibunya menggoyang-goyang tubuh puterinya yang masih tersedu-sedu menangis sambil merangkulnya. "Tenanglah, Mayang. Apakah engkau tidak malu menjadi gadis cengeng seperti ini? Mana kegagahanmu?" kata pula Kim Mo Siankouw. Mayang segera melepaskan rangkulan pada ibunya, kemudian menoleh dan memandang subo-nya dengan air mata bercucuran. "Subo....!" Sekarang dia menubruk subo-nya dan menangis di pundak Kim Mo Siankouw. Gurunya terheran-heran, juga terkejut melihat sikap muridnya seperti kanak-kanak itu. "Mayang, engkau kenapa? Mayang anakku...!" Ibunya berkata dengan hati bingung dan khawatir sekali. Mayang kembali melepaskan rangkulan pada gurunya dan kini menangis dalam rangkulan ibunya. "Ibu... hu-hu-huuuhhh... ibu..., subo.... bunuh saja aku, ibu... hu-hu-huuuhhh....” "Ehh? Engkau kenapa, Mayang? Ada apakah? Ibunya semakin khawatir. Mayang segera menjulurkan kedua tangannya yang sejak tadi menggenggam dua buah benda kecil itu. "Ang-hong-cu... dia.... dia... Ang-hong-cu....,” katanya dengan suara terputus-putus akibat isak yang menyesak dadanya. Kini ibunya terbelalak, lantas mukanya berubah pucat. "Ang-hong-cu...? Apa maksudmu? Dan kenapa benda itu kini menjadi dua? Dari mana yang sebuah lagi?" "Dia... dia... putera Ang-hong-cu...!" Dan kini Mayang terkulai, pingsan dalam rangkulan ibunya. Dua buah benda itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke atas lantai. Kim Mo Siankouw cepat-cepat mengambil dua buah benda itu. Ketika para pelayan mulai berdatangan, Kim Mo Siankouw memberi isyarat dengan tangan agar mereka cepat pergi dan kembali ke kamar mereka. Para pelayan tidak berani membantah walau pun mereka menjadi terheran-heran melihat nona mereka menangis, menjerit-jerit dan kemudian pingsan itu. Mereka tak bisa mengerti mengapa nona mereka yang menjadi pengantin bersikap seperti itu. Sementara itu, ketika Han Siong memasuki kamar pengantin yang pintunya terbuka lebar, dia melihat Hay Hay duduk di tepi pembaringan seperti sebuah patung. Pemuda itu duduk dengan mata terbelalak, mukanya pucat dan penglihatannya nampak kosong. Han Siong cepat memegang kedua pundak Hay Hay. "Hay Hay, sadarlah! Apa yang sudah terjadi? Ada apa dengan Mayang isterimu?" Tanpa disengaja Han Siong memandang ke atas pembaringan dan jelas bahwa tempat itu belum pernah dipergunakan. Bantal, selimut dan tilam sutera itu masih rapi, belum kusut seperti kalau sudah dipakai tidur. Karena pundaknya diguncang keras oleh Han Siong, Hay Hay seperti baru sadar. Dia pun menghela napas panjang, lalu dia memegang kedua lengan sahabatnya. Kedua matanya basah! "Eh? Engkau menangis?" Han Siong hampir tidak percaya. Akan tetapi dia melihat kedua mata itu basah, basah dan berlinang air mata! Hay Hay mengusapkan mukanya pada kedua pangkal lengan, lalu berkata dengan suara seperti orang dalam rnimpi. "Untung... sungguh Tuhan masih melindungi kami... aiiihh, Han Siong, mengapa nasibku sekarang jadi seperti ini? Ataukah ini dosa orang tuaku?" "Hay Hay, katakan apakah yang telah terjadi?" Melihat Hay Hay sudah tenang, Han Siong melepaskan tangannya dan dia kini mundur, memandang wajah sahabatnya yang masih pucat itu. "Han Siong, dia adalah adikku! Kami seayah berlainan ibu!" "Ahhh...?! Mayang puteri Ang Ang-hong-cu...?” Kini Han Siong yang melongo keheranan. Hay Hay mengangguk, kembali menghela napas. “Dia juga memiliki benda perhiasan itu, seekor kumbang merah, persis dengan yang aku punyai. Baru hari ini dia menerima dari ibunya sebagai hadiah pernikahan, peninggalan ayah kandungnya..." Han Siong jatuh terduduk di atas kursi. Bengong. Kini mengertilah dia mengapa gadis itu tadi menjerit-jerit dan Hay Hay seperti arca. Dan dia pun mengerti maksud kata-kata Hay Hay yang mengatakan masih untung bahwa mereka masih dilindungi Tuhan. Jelas bahwa mereka belum melakukan hubungan suami isteri! Apa bila sudah, berarti dunia ini kiamat bagi mereka! Dia menghela napas. "Aihh, engkau masih beruntung, Hay Hay. Aku turut merasa girang bahwa kalian masih belum terjatuh ke dalam aib dan dosa. Kasihan engkau, Hay Hay....” "Kasihan Mayang, bukan aku, Han Siong. Tentu hancur hatinya... ah, mari kita keluar. Aku harus menghiburnya, menghibur adikku...” Mereka lalu keluar dari dalam kamar itu. Ketika melihat Mayang terkulai pingsan dalam pondongan ibunya, Hay Hay terkejut. “Mayang...!” Kim Mo Siankouw berkata dengan suara lembut namun tegas, “Mari kita bicara di ruang dalam. Engkau juga, Pek Taihiap!" Kini Ibu Mayang memondong tubuh Mayang. Gadis itu masih pingsan, dan mereka semua memasuki ruangan dalam. Kim Mo Siankouw sendiri menutup dua buah pintu tembusan pada ruangan itu. Ibu Mayang merebahkan puterinya di sebuah kursi panjang. “Kalian duduklah!” kata Kim Mo Sian-kouw kepada Hay Hay dan Han Siong. Dua orang pemuda itu lalu duduk dan Hay Hay menundukkan mukanya, menutupi muka dengan sepasang tangannya, tidak tahu harus berbuat apa atau berkata apa. Dia merasa bingung karena kenyataan yang teramat pahit itu merupakan pukulan yang mengguncang batinnya dengan hebat. Nyaris dia menjadi suami isteri dengan adiknya sendiri!....

jilid 19

Kim Mo Siankouw menghampiri Mayang, kemudian mengurut beberapa bagian punggung serta tengkuknya. Gadis itu mengeluh, membuka matanya, melihat ibu dan subo-nya, lalu dia pun merintih dan menangis setelah teringat segalanya. "Sudahlah, Mayang. Tenangkan hatimu dan mari kita bicara. Hay Hay juga sudah berada di sini," kata ibunya. Mendengar ini, Mayang bangkit duduk menengok dan begitu melihat Hay Hay, mulutnya bergerak-gerak, bibirnya menggigil dan dia pun kembali menangis. Akan tetapi tangis ini segera ditahannya sehingga dia menangis tanpa suara, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Hay Hay merasa jantungnya laksana ditusuk-tusuk. Dia merasa iba sekali melihat Mayang, adiknya yang hampir menjadi isterinya tadi. "Mayang, maafkan aku. Kita sudah menjadi permainan nasib...” katanya lirih, akan tetapi ucapannya ini hanya disambut suara sesenggukan dari Mayang. "Hay Hay, sekarang kuminta engkau suka berbicara terus terang. Dari manakah engkau mendapatkan benda ini?" tanya ibu Mayang sambil menunjuk dua buah benda perhiasan kumbang merah yang telah diletakkan di atas meja oleh Kim Mo Siankouw. "Benda itu adalah peninggalan dari ayah kandung saya, yang diberikan kepada mendiang ibu saya." "Hay Hay, sekarang kita berada di antara orang sendiri. Untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebaiknya kalau engkau menceritakan riwayat ibu dan ayahmu, dan sesudah itu akan kuceritakan mengenai diriku dan ayah Mayang. Dengan demikian dapat diketahui bagaimana sesungguhnya hubungan antara engkau dan Mayang," kata pula ibu Mayang dengan sikapnya yang lembut dan halus. Kini Mayang juga merasa amat tertarik dan dia sudah mampu menenangkan dirinya. Dia duduk dekat ibunya, memandang kepada Hay Hay dengan wajah pucat dan mata merah. Hay Hay menghela napas panjang. Apa bila tidak ada urusan yang begini ruwet dengan Mayang, tentu dia tak akan pernah menceritakan riwayat hidup ibunya kepada siapa pun juga. Sekarang dia terpaksa, demi untuk menjernihkan kekeruhan antara dia dan Mayang. "Terus terang saja, Bibi. Saya sendiri tidak tahu dan tidak mengenal siapa sebenarnya ibu saya. Ketika saya masih bayi, ibu saya membawa saya terjun ke laut untuk membunuh diri! Pada waktu itu Locianpwe Pek Khun, yaitu kakek buyut saudara Pek Han Siong ini melihatnya, lalu cepat menolong ibu dan saya. Akan tetapi ibu tidak tertolong dan tewas, lalu saya yang masih bayi dibawa oleh Locianpwe Pek Khun ke Pek-sim-pang. Kebetulan pada waktu itu saudara Pek Han Siong yang juga sebaya dengan saya perlu diungsikan dan disembunyikan karena dia dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) dan dikejar-kejar oleh para pendeta Lama yang hendak merampasnya karena dia dianggap sebagai calon Dalai Lama. Saudara Han Siong ini lalu disembunyikan dan saya dijadikan penggantinya. Ketika Locianpwe Pek Khun menyelamatkan saya, ibu saya sempat menitipkan benda ini agar diberikan kepada saya. Dalam saat terakhirnya ibu saya bercerita kepada Locianpwe Pek Khun bahwa ibu adalah seorang korban jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu, yang pernah memberikan tanda perhiasan kumbang merah itu. Demikianlah riwayat ibu saya, Bibi. Saya sendiri tidak mengenal siapa ibu saya. Setelah dewasa, saya baru mengetahui bahwa saya adalah putera Ang-hong-cu, dan saya bahkan pernah melihat kejahatannya! Dia bukan saja penyebab kematian ibu saya, melainkan juga saya melihat sendiri betapa dia telah menodai beberapa orang gadis pendekar. Dia amat jahat dan keji!" "Hemm, jadi kalau demikian, ketika engkau mengatakan kepada Mayang bahwa engkau akan mencari musuh besarmu yang membunuh ibumu, maka musuh besarmu itu adalah Ang-hong-cu, juga ayah kandungmu?" tanya pula ibu Mayang. "Benar Bibi. Tadinya semua itu hendak saya rahasiakan dan hanya beberapa orang saja yang mengetahui, termasuk saudara Pek Han Siong ini." Han Siong mengangguk-angguk. "Ang-hong-cu itu memang sangat jahat dan keji, akan tetapi dia lihai dan juga cerdik dan licik sekali!" "Hay Hay, tahukah engkau siapa nama ayahmu itu?" tanya pula ibu Mayang. Hay Hay menggeleng kepalanya. "Dalam pesan terakhir ibu saya, dia hanya mengatakan bahwa ayah itu memiliki nama keluarga Tang." "Dan dalam penyamarannya, dia memakai nama Han Lojin," sambung Han Siong. Ibu Mayang mengangguk-angguk. "Aih, aku sendiri juga bersalah dalam hal ini. Pada saat engkau datang bersama Mayang dan mendengar engkau she Tang, lantas melihat wajah serta bentuk tubuhmu, aku sudah terkejut dan terheran. Engkau she Tang, sama dengan she-nya ayah Mayang, dan wajahmu mirip. Akan tetapi aku tidak manyangka sejauh itu. Kalau begitu, engkau memang benar puteranya, Hay Hay. Engkau putera Ang-hong-cu, orang yang kukenal sebagai Tang-kongcu (Tuan Muda Tang), yaitu ayah kandung Mayang. Kalau begitu tidak salah lagi, engkau memang masih kakak beradik dengan Mayang, satu ayah berlainan ibu." Hay Hay saling pandang dengan Mayang. "Engkau... adikku..." kata Hay Hay perlahan, namun Mayang tidak menjawab dengan kata-kata melainkan dengan linangan air mata. "Kini dengarkan riwayatku, Hay Hay. Seperti juga engkau, hanya karena timbul peristiwa antara engkau dengan Mayang ini sajalah yang memaksa aku untuk menceritakan riwayat hidupku yang mirip dengan riwayat ibu kandungmu. Tadinya aku sama sekali tak mengira bahwa pemuda yang tampan dan terpelajar itu, yang sikapnya lemah lembut dan halus, yang oleh penduduk dusun kami dikenal sebagai Tang-kongcu yang pandai silat dan juga pandai mengobati orang sakit, sebenarnya adalah seorang penjahat cabul yang berjuluk Ang-hong-cu yang kejam. Aku yang saat itu masih seorang gadis bernama Souli, segera terpikat oleh ketampanan dan rayuan Tang Kongcu sehingga secara tidak tahu malu aku menyerahkan diri dengan harapan akan dikawininya. Namun, sesudah aku mengandung, dia pergi begitu saja dan hanya meninggalkan perhiasan kumbang merah itu. Orang tuaku marah kepadaku, lalu dalam keadaan mengandung aku diusir dari dusun dan tidak diakui lagi. Aku hidup terlunta-lunta, lantas melahirkan Mayang dalam keadaan sengsara sekali. Seperti ibumu, agaknya aku pun akan mati kalau saja tidak ada subo Kim Mo Siankouw ini yang telah menolong kami." Wanita itu menangis dan Mayang merangkul ibunya. Hay Hay mengepal tinju. "Saya akan mencari Ang-hong-cu sampai dapat, dan dia harus menebus semua dosanya! Bukan saja terhadap ibuku dan terhadap Bibi, akan tetapi juga terhadap entah berapa ratus orang wanita lainnya yang kehidupannya sudah dirusak oleh kejahatan Ang-hong-cu ini!" "Hay koko, aku ikut denganmu!" Tiba-tiba Mayang berkata, suaranya lantang dan penuh kemarahan. Agaknya gadis ini telah berhasil memulihkan kekuatan batinnya sehingga kini nampak garang. Semua orang terkejut. Akan tetapi Hay Hay memandang dan wajahnya mulai cerah. Dia gembira melihat gadis itu telah pulih kembali, tidak tenggelam ke dalam kedukaan seperti tadi. "Adikku Mayang, kenapa engkau hendak ikut dengan aku?" tanyanya. "Mayang, engkau baru saja mengalami guncangan batin, sebaiknya beristirahat di rumah saja," kata ibunya. "Ibumu benar, Mayang. Menurut kakakmu, Ang-hong-cu itu sangat lihai sehingga agaknya engkau perlu berlatih keras untuk dapat menandinginya. Biarlah kuajarkan engkau jurus-jurus simpanan agar dapat menandingi Ang-hong-cu,” kata Kim Mo Siankouw. "Tidak, Hay-koko, Ibu dan Subo! Aku harus ikut! Pertama, orang yang berjuluk Ang-hong-cu itu, biar pun dia ayah kandungku, akan tetapi dia juga orang yang telah merusak hidup Ibu, hidupku, bahkan kini mendatangkan malapetaka kepada aku dan Hay-ko. Dia harus mati di tanganku! Aku akan membantu Hay-ko menghadapinya! Selain itu, Ibu dan Subo, sesudah terjadi peristiwa ini, bagaimana mungkin aku tinggal di sini lagi? Semua orang di sekitar daerah ini sudah datang menjadi tamu dan menyaksikan aku menjadi pengantin, minum arak pengantin dan memberi selamat. Kemana aku akan menaruh mukaku ini bila mereka mendengar bahwa pernikahan ini dibatalkan, bahkan aku nyaris menikah dengan kakakku sendiri?" Setelah mengucapkan kalimat terakhir ini, kembali Mayang menangis. Hay Hay merasa kasihan sekali kepada adiknya itu. Memang dia bisa merasakan hal itu. Sebagai seorang pria tentu dia bebas dari aib. Akan tetapi keadaan hidup seorang wanita mengenai hal yang menyangkut nama, kehormatan yang berhubungan dengan kesusilaan memang sungguh gawat. Begitu mudahnya orang melemparkan aib kepada diri seorang gadis. Wanita akan selalu menjadi sasaran celoteh. "Kalau subo-mu dan ibumu mengijinkan, sekarang aku tidak merasa berkeberatan untuk mengajakmu, Mayang." "Terima kasih, Hay-koko, aku memang harus ikut denganmu. Kalau tidak diperkenankan maka aku akan minggat dan mencari sendiri Ang-hong-cu!" kata gadis itu. Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang bertukar pandang. Mereka sadar bahwa sekarang ini mereka tidak mungkin dapat membujuk atau berkeras. Pula, mereka juga merasa kasihan kepada Mayang. Melihat ibu Mayang menganggukkan kepalanya, Kim Mo Siankouw lalu berkata, "Baiklah, Mayang. Aku dan ibumu setuju jika engkau pergi bersama Hay Hay, akan tetapi mengingat bahwa engkau akan menghadapi lawan yang sangat lihai maka lebih dulu aku akan mengajarkan jurus-jurus pilihan selama sepuluh hari. Engkau bisa melatihnya dalam perjalanan setelah engkau hafal akan semua gerakannya. Tanpa bekal itu, aku tetap akan merasa khawatir kalau engkau pergi." Mayang memandang kepada Hay Hay dan suaranya mengandung permohonan ketika dia bertanya. "Hay-ko, maukah engkau menanti sampai sepuluh hari baru kita berangkat?” Hay Hay tersenyum. Kini dia telah memperoleh kembali ketenangan dan kegembiraannya setelah urusannya dengan Mayang itu bisa diselesaikan tanpa akibat yang menyedihkan. Dia tahu bahwa mulai saat ini mendadak dia mendapatkan seorang adik perempuan yang sangat manja! Karena itu dia mengangguk menyetujui. Han Siong ikut merasa gembira dan dia menyatakan hal ini dengan ucapan yang disertai senyum dan wajah yang cerah. ”Saya merasa gembira sekali bahwa urusan yang tadinya membuat saya merasa amat khawatir ini telah dapat diselesaikan dengan baik. Saya pun sangat berterima kasih kepada Tuhan yang masih melindungi Hay Hay dan nona Mayang sehingga walau pun mereka telah melaksanakan upacara pernikahan, akan tetapi mereka masih belum menjadi suami isteri dan kini dapat menjadi kakak dan adik secara wajar. Bagaimana pun juga, saya akan ikut memikul dosanya kalau sampai pelanggaran terjadi, karena saya ikut pula membujuk Hay Hay untuk menerima usul perjodohan itu. Sesudah sekarang semuanya beres, saya pun hendak mohon diri, dan saya menghaturkan terima kasih kepada Kim Mo Siankouw atas semua kebaikannya selama saya berada di sini." "Han Siong, mengapa engkau tergesa-gesa pergi? Hendak ke manakah engkau?" tanya Hay Hay. "Engkau tahu bahwa aku pun mempunyai perhitungan dengan Ang-hong-cu. Akan tetapi aku akan pulang dahulu ke Kong-goan, ke Pek-sim-pang untuk menemui keluargaku. Mari kita berlomba, siapa yang akan lebih dulu berhasil menangkap Ang-hong-cu, Hay Hay!" "Bagus!" Hay Hay yang telah mendapatkan kembali kegembiraannya itu segera menerima tantangan itu. "Kita lihat saja nanti. Yang kalah harus menjamu makanan apa saja yang diminta si pemenang dalam rumah makan besar!" "Baik, Hay Hay. Nah, sekarang aku harus pergi." Han Siong lalu memberi hormat kepada mereka semua dan pergilah dia meninggalkan tempat itu. Hatinya merasa gembira bukan main. Dia kini merasa bebas seakan-akan semua ikatan pada dirinya telah putus, seolah beban yang selama ini menghimpit hatinya telah tanggal. Pertama, Wakil Dalai Lama sendiri sudah menjanjikan bahwa mulai sekarang tidak akan ada lagi pendeta Lama yang mengganggunya, yang hendak memaksanya turut ke Tibet menjadi Dalai Lama! Ke dua, urusan Hay Hay dengan Mayang sudah dapat diselesaikan dengan baik. Bagaimana pun juga dia turut bertanggung jawab, ikut pula membujuk Hay Hay, bahkan mengancam akan memusuhinya kalau Hay Hay tidak mau berjodoh dengan Mayang! Dia bergidik membayangkan. Apa bila sampai terlanjur terjadi pelanggaran dan hubungan suami isteri antara dua orang yang masih sedarah itu, tentu dia sendiri merasa berdosa, menyesal bukan main. Dan Hay Hay tentu akan mendapat alasan yang sangat kuat untuk melampiaskan kemarahan kepadanya tanpa dia mampu membela diri. Hay Hay tentu akan menganggapnya jahat dan mengatakan bahwa dia telah mendorong Pendekar Mata Keranjang itu terjerumus ke dalam lembah kehinaan! Untung juga kedua muda-mudi ini memakai perhiasan kumbang merah itu sebagai kalung! Kini semua telah lewat dan Han Siong dapat melakukan perjalanan dengan wajah berseri dan hati lapang. Ada sebuah hal lagi yang menggembirakan hatinya. Kegagalan cintanya terhadap Siangkoan Bi Lian tidak menimpa dirinya sendiri! Kepahitan karena cinta gagal baru saja juga menimpa Hay Hay, bahkan lebih parah dari pada dia. Berarti dia memiliki teman sependeritaan! Hal ini membuat dia kini merasa bertambah dekat dengan Hay Hay! Di dalam kegembiraannya pemuda gemblengan ini lupa bahwa dia sudah menjadi hamba dari pada ke-akuan yang menghinggapi hampir seluruh manusia di permukaan bumi ini. Pada umumnya, orang yang tengah tertimpa mala petaka, yang tengah merasa sengsara, tengah berduka, akan merasa terhibur dan berkurang kedukaannya jika dia melihat orang lain, terlebih lagi yang dekat dengan dia, tertimpa kemalangan yang lebih besar dari pada kemalangan yang menimpa dirinya sendiri! Orang yang sudah diperbudak ke-akuannya sendiri itu, yang merasa terhibur dan berkurang kedukaannya apa bila melihat orang lain tertimpa kedukaan yang lebih besar, tentu akan merasa tidak senang dan iri hati apa bila melihat orang lain memperoleh keuntungan yang lebih besar dari pada keuntungan yang diperolehnya sendiri. Seperti inilah kelemahan manusia yang tercengkeram oleh nafsu-nafsunya sendiri. Nafsu selalu mendorong kita supaya menjadi yang paling baik, paling besar, paling penting dan tidak kalah oleh orang lain! Berbahagialah orang yang dapat melihat, merasakan, serta menyadari kelemahan yang ada pada dirinya ini. Karena hanya mereka yang waspada dan sadar sajalah dapat melihat ulah nafsu yang ada pada diri sendiri. Mereka bertiga berjalan-jalan di puncak bukit yang penuh dengan pohon cemara itu. Pagi itu cerah sekali dan pemandangan alam amatlah indahnya. Matahari pagi telah tersenyum lembut di atas puncak, sinarnya juga lembut dan hangat di antara kesejukan semilir angin gunung. Aroma rumput dan daun cemara yang khas sungguh nyaman dan harum menyenangkan, keharuman yang lembut sehingga membuat hidung terasa segar dan lega. Kicau burung-burung yang telah sibuk sejak matahari timbul tadi bagaikani ribuan karyawan yang sudah siap melaksanakan tugas pekerjaan sehari-hari pada pagi itu, memulai pekerjaan dengan semangat berkobar dan hati penuh kebahagiaan, merupakan suara yang amat merdu dan gembira, menjadi santapan pagi yang sangat sehat bagi telinga. Betapa nikmatnya hidup kalau pada suatu saat tiga di antara alat panca indriya kita, yaitu mata hidung dan telinga, dapat menikmati keindahan bersama-sama. Sepasang mata menikmati pemandangan alam yang sangat menakjubkan, penuh pesona dan penuh kegaiban. Hidung menghirup udara yang sejuk segar, jernih dan bersih dengan aroma yang khas alami, membuat udara yang dihisap itu penuh tenaga mukjijat dari alam, memenuhi rongga dada bahkan terus hingga ke bawah pusar. Sungguh menyehatkan dan membahagiakan! Pada saat yang sama telinga mendengar suara yang penuh kedamaian, penuh ketentraman, penuh kewajaran dan keindahan. Betapa nikmatnya hidup! Dalam keadaan seperti itu hati dan akal pikiran berhenti berceloteh, dan segala sesuatu akan nampak indah. Suara angin bermain dengan daun-daun cemara, suara air gemercik di antara batu-batu, kicau burung, kokok ayam hutan, semua itu merupakan pendengaran yang seolah-olah bunyi-bunyian merdu dari sorga! Aroma tanah bermandikan embun saja sudah demikian sedap dan harumnya, masuk ke dalam rongga dada melalui hidung, demikian harum menyegarkan! Dan melihat kupu-kupu warna-warni beterbangan di antara bunga-bunga, melihat burung-burung berloncatan dari dahan ke dahan, bahkan melihat sebutir embun bergantung pada ujung daun, berkilauan tercuci sinar matahari pagi, sudah merupakan penglihatan yang indahnya sulit dilukiskan! Sayang sungguh sayang sekali bahwa sejak kecil kita sudah dijejali dengan kesenangan-kesenangan pemuas nafsu hingga kita menjadi mabuk. Kesenangan badani yang semu, yang hanya merupakan pelampiasan dari pada hasrat nafsu, membuat kita mabok dan tidak lagi dapat melihat segala keindahan, tidak dapat mendengarkan segala kemerduan dan tidak lagi mampu menghirup segala kesedapan yang segar. Kita terbuai oleh kesenangan tuntutan nafsu. Hati dan akal pikiran kita selalu berceloteh dan sibuk dengan urusan pengejaran kesenangan nafsu. Kalau pun kadang-kadang kita mampu merasakan keagungan serta keindahan itu, hati dan akal pikiran segera datang mengacau dan seketika lenyaplah semua keindahan itu karena batin ini telah disibukkan kembali dengan urusan kesenangan diri, kesenangan dari pelampiasan nafsu keinginan! Demikian pula dengan tiga orang yang berjalan-jalan pada pagi hari itu. Tadinya mereka tidak berkata-kata, seperti tenggelam dalam keindahan itu, bahkan mereka merasa sudah bersatu dengan semua keindahan itu, tidak terpisah-pisah. Rasa aman tenteram bahagia, bukan senang, menyelubungi mereka sehingga pada saat seperti itu mereka tak ber-aku, mereka bersatu dengan alam, dengan kekuasaan Tuhan, dengan Tuhan! Mereka berada dalam keadaan semedhi yang sejati, bukan pengosongan diri karena dikehedaki oleh hati dan akal pikiran! Kekosongan batin yang dikosongkan oleh hati dan akal pikiran adalah kekosongan palsu karena kekosongan itu penuh dengan usaha dari keinginan. Kekosongan berpamrih. Tiga orang itu bukanlah orang-orang biasa, bukan penghuni pegunungan biasa. Mereka adalah ayah, ibu dan anak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan bisa disejajarkan dengan orang-orang sakti! Pria itu berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun. Lengan kirinya buntung sebatas siku sehingga ujung lengan baju yang kiri terkulai lemas tanpa isi. Tubuhnya tinggi dan tegap, dibalut pakaian longgar yang mengingatkan orang akan pakaian hwesio (pendeta Buddha) yang berwarna kuning. Namun kepalanya tidak gundul, melainkan memiliki rambut yang hitam tebal dan panjang, yang digelung ke atas seperti gelung rambut tosu (pendeta agama To). Wajahnya tampan dan jantan, dengan alis tebal dan sepasang matanya mencorong. Sikapnya pendiam dan bahkan dingin. Pria ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang! Seperti telah kita ketahui, pria ini adalah putera dari mendiang Siangkoan Lojin atau yang di dunia kang-ouw terkenal dengan sebutan Si lblis Buta. Meski pun kedua matanya buta, namun Siangkoan Lojin ditakuti semua orang karena lihainya dan juga karena kejamnya. Seorang datuk sesat yang namanya tersohor. Akan tetapi sungguh aneh! Puteranya, yaitu Siangkoan Ci Kang, walau pun juga berhati sekeras baja namun tidak mewarisi watak kejam dan jahat seperti ayahnya. Bahkan sejak muda dia selalu menentang kejahatan hingga membuat dia menjadi penentang ayahnya sendiri! Wanita berusia empat puluh dua tahun di sampingnya itu adalah isterinya, Toan Hui Cu yang masih kelihatan cantik sekali. Walau pun mukanya sedikit pucat, akan tetapi bukan pucat karena sakit. Dan riwayat wanita ini bahkan lebih hebat dari pada riwayat suaminya. Seperti suaminya, Toan Hui Cu juga adalah keturunan datuk sesat. Bahkan bukan datuk biasa, melainkan rajanya datuk kaum sesat! Meski pun ayah kandungnya masih keluarga kerajaan, berdarah bangsawan tinggi, tetapi ketika masih hidup ayahnya terkenal dengan julukan Raja Iblis, sedangkan ibunya adalah Ratu Iblis! Ayah dan ibunya mempunyai kepandaian yang membuat mereka itu sakti, dan mengenai kekejaman dan kejahatan, tak ada datuk sesat yang lebih mengerikan dari pada mereka! Anehnya, Toan Hui Cu yang merupakan anak tunggal, seperti juga halnya Siangkoan Ci Kang, tidak mewarisi watak jahat ayah ibunya. Bahkan dia condong berwatak pendekar! Dua orang dari keturunan tokoh sesat ini saling mencinta, hingga akhirnya nasib membuat mereka berdua itu menjadi murid di kuil Siauw-lim-si, akan tetapi juga menjadi dua orang hukuman karena oleh ketua Siauw-lim-si mereka dianggap melakukan dosa, melanggar kesusilaan karena mereka berdua telah menjadi suami isteri tanpa nikah! Selama dua puluh tahun mereka harus menjalani hukuman bertapa di kuil itu, akan tetapi justru dalam menjalani hukuman itulah mereka berdua menemukan kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi peninggalan orang-orang sakti yang termasuk Delapan Dewa! Walau pun mereka dihukum dalam ruangan berbeda, dengan ilmu mereka yang tinggi keduanya bisa mempelajari ilmu dari kitab-kitab itu sehingga keduanya menjadi semakin sakti! Dari hubungan mereka lantas terlahirlah seorang anak perempuan! Karena mereka dalam keadaan sebagai terhukum, maka terpaksa anak perempuan itu harus mereka titipkan di dusun. Nasib lalu membuat anak itu lenyap terculik, dan setelah dewasa barulah anak itu kembali kepada mereka,. Orang ke tiga yang sedang berjalan-jalan di pagi hari itulah anak mereka, puteri mereka yang bernama Siangkoan Bi Lian! Seorang gadis berusia dua puluh satu tahun, bertubuh ramping dengan pinggang yang amat kecil dan dengan kulit yang putih mulus. Rambutnya panjang sampai ke pinggul, hitam mengkilap dan tebal, dan pada pagi hari ini rambut itu dikuncir menjadi dua, dibiarkan tergantung dan kedua ujungnya diikat pita sutera biru. Bi Lian memiliki mata ayahnya yang mencorong tajam. Hidungnya kecil mancung seperti hidung ibunya, bentuk mulutnya seperti mulut ibunya, hanya bedanya, kalau bibir ibunya selalu terlihat agak pucat seperti wajahnya, bibir Bi Lian selalu terlihat merah membasah. Bentuk mukanya bulat telur dan sebutir tahi lalat di dagunya menjadi pemanis yang amat menarik. Walau pun ayah dan ibunya amat lihai, tapi karena sejak kecil terpisah dari mereka, gadis ini menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tinggi dari dua orang datuk iblis yang amat linai, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, dua orang di antara Empat Setan. Di bagian depan cerita ini sudah diceritakan betapa Bi Lian berjumpa dengan murid ayah ibunya, yaitu Pek Han Siong yang oleh ayah ibunya telah diangkat menjadi tunangannya. Han Siong inilah yang membuka rahasianya bahwa dia adalah puteri Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dan Han Siong pula yang membawanya ke kuil Siauw-lim-si, kemudian menyusul ke tempat tinggal suami isteri itu, yaitu Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) yang terletak di pegunungan Heng-tuan-san sebelah timur. Sesudah bertemu, pertemuan yang penuh keharuan dan kebahagiaan, ayah ibu gadis itu memberi tahu tentang ikatan jodoh antara Bi Lian dan Han Siong. Gadis itu menolak! Dia menolak bukan karena dia membenci Han Siong, malah sebaliknya dia amat mengagumi Han Siong dan juga amat menyukainya. Akan tetapi Bi Lian sudah menganggap Han Siong sebagai suheng (kakak seperguruan) sehingga perubahan yang mendadak itu membuat gadis ini merasa canggung dan salah tingkah. Maka dia menyatakan tidak setuju. Mendengar ini Han Siong tersinggung, dan dia pun mohon kepada kedua orang gurunya untuk membatalkan ikatan jodoh itu. Dia pun lalu mengembalikan pedang pusaka Kwan-im-kiam yang dulu diterimanya dari kedua orang gurunya sebagai tanda perjodohan. Demikianlah, setelah Han Siong pergi Bi Lian tinggal bersama ayah dan ibunya. Dan dari kedua orang tuanya itu dia pun menerima gemblengan ilmu silat tinggi. Dia memilih jurus-jurus simpanan saja sehingga dia yang sudah lihai sebagai murid Pak-kwi-ong (Raja Iblis Utara) dan Tung-hek-kwi (Iblis Hitam Timur) kini menjadi semakin lihai. Pada pagi hari itu ayah ibu dan anak ini tengah berjalan-jalan di puncak menikmati keindahan suasana pagi hari yang cerah itu. Sejenak mereka bertiga tenggelam dalam keheningan yang indah itu. Bukan hening yang berarti sepi. Puncak-puncak cemara bergoyang, bunyi daun gemersik ditimpa dendang air dan meriahnya suara burung, keharuman yang meriah. Sama sekai tidak sepi, melainkan keheningan yang tercipta ketika hati dan akal pikiran berhenti berceloteh. Sayang sekali, keheningan itu segera dikacaukan oleh pikiran. Melihat burung terbang berpasangan, Siangkoan Ci Kang menghela napas panjang dan melirik kepada puterinya. Semua keindahan itu lenyaplah sudah, terganti oleh kegelisahan dan kedukaan karena kini batinnya terpenuhi permasalahan mengenai diri puterinya. Sudah hampir dua bulan puterinya tinggal bersama mereka di Kim-ke-kok, dan selama dua bulan itu dia dan isterinya mengajarkan jurus-jurus rahasia simpanan mereka kepada Bi Lian. Akan tetapi, pada waktu malam apa bila dia berada berdua saja dengan isterinya di dalam kamar mereka, mereka tiada hentinya membicarakan puteri mereka dengan hati yang kecewa dan berduka. Puteri mereka telah menggagalkan dan bahkan membikin putus ikatan perjodohan antara puteri mereka dan murid mereka, Pek Han Siong. Mereka tidak melihat adanya pemuda lain yang lebih baik dari pada murid mereka itu. Hal inilah yang pada waktu itu menyelinap di dalam pikiran Siangkoan Ci Kang ketika dia melihat burung-burung beterbangan secara berpasangan. “Lian-ji (anak Lian), tahukah engkau, berapa usiamu sekarang?' Bi Lian dan ibunya yang masih tenggelam dalam keheningan, seperti baru terbangun dan Bi Lian menoleh, memandang ayahnya dengan heran. Sungguh dia tak pernah menduga bahwa ayahnya akan mengajukan pertanyaan semacam itu di pagi hari ini. Sejak mendaki puncak itu mereka bertiga tidak pernah berbicara, mereka hanya menikmati suasana yang amat indah itu. Dan tiba-tiba ayahnya bertanya tentang usianya! "Kalau tidak salah sudah hampir dua puluh satu tahun. Kenapa, Ayah?" jawabnya sambil menatap wajah ayahnya dengan sinar mata bertanya. Ayahnya juga menatap kepadanya sehingga dua pasang mata yang sama mencorongnya itu saling pandang seperti hendak menembus hati masing-masing. "Tidak mengapa, hanya... kukira bagi seorang wanita usia sedemikian itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi seorang isteri yang baik. Bahkan sudah cukup pula untuk menjadi seorang ibu yang baik. Aihh, betapa inginku menimang seorang bayi, seorang cucuku...!" kata pula Toan Hui Cu sambil menarik napas panjang karena dia sudah membayangkan kesenangan itu. Bi Lian mengerutkan alisnya, namun dia tidak marah. Dia cukup mengerti akan perasaan hati ayah ibunya yang ingin melihat dia menikah kemudian mempunyai anak! "Aihhh, Ayah dan Ibu selama dua bulan ini hampir setiap hari bicara tentang pernikahan untukku!" Dia hanya mengeluh, lalu berhenti melangkah. Ayah dan ibunya juga berhenti. Mereka berada di puncak dan di bawah kaki mereka, di sekeliling puncak itu, nampak hutan dan pohon-pohon kelihatan begitu kecil dan pendek. "Terus terang saja, anakku, Ayah dan Ibumu hanya memiliki satu keinginan, yaitu melihat engkau berumah tangga. Anak kami hanya engkau seorang dan kelirukah kalau Ayah dan Ibumu ingin melihat anaknya berumah tangga?" kata pula ibu Bi Lian. Bi Lian mendekati ibunya, lantas merangkul pinggang ibunya. Ibunya masih cantik sekali, bahkan patut kalau menjadi kakaknya. "Ibu, aku tahu dan aku tidak menyalahkan kalian, hanya saja urusan perjodohan bukanlah urusan yang sedemikian mudahnya. Tak mungkin jika aku secara begitu saja memungut seorang calon suami dari pinggir jalan!" "Ha-ha-ha!" Siangkoan Ci Kang tertawa. "Tentu saja hal itu tidak mungkin! Engkau harus memperoleh seorang suami yang terbaik, anakku! Dan menurut penglihatan kami, kiranya tidak ada pemuda yang lebih baik dari pada suheng-mu sendiri, Pek Han Siong! Sayang sekali engkau membencinya, Lian-ji." "Ayah, aku sama sekali tidak membencinya! Bahkan aku kagum dan suka kepadanya!" Bi Lian membantah cepat. "Hemm, kalau benar demikian, kenapa engkau begitu tega untuk menghancurkan hatinya dengan memutuskan ikatan perjodohan itu? Dari mana lagi kita akan bisa mendapatkan seorang pemuda yang melebihi Han Siong, baik kepandaiannya mau pun wataknya? Dia seorang pendekar sejati, anakku!" Bi Lian menahan senyumnya dan entah mengapa, pada saat itu terbayanglah wajah Hay Hay yang tersenyum-senyum nakal itu! Dia pun menghela napas. "Ayah dan Ibu, aku tahu bahwa kalian masih menyesali kegagalan perjodohan antara aku dengan suheng. Maafkan aku. Terus terang saja aku pun kagum dan suka pada suheng Pek Han Siong, akan tetapi rasa sukaku itu hanya sebatas perasaan terhadap seorang suheng. Aku tidak tahu apakah di dalam hatiku ada cinta terhadap suheng. Akan tetapi itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa aku tidak yakin akan cintanya kepadaku." "Ehh? Bukankah dia secara terus terang telah menyatakan cintanya kepadamu, di depan aku dan ibumu? Lian-ji, Han Siong mencintaimu, itu sudah jelas!" kata pula Siangkoan Ci Kang. "Ayahmu benar, Bi Lian. Han Siong cinta kepadamu dan dia akan menjadi seorang suami yang amat baik, juga ayah yang baik untuk anak-anakmu," kata ibunya. "Bagaimana Ayah dan Ibu dapat begitu yakin? Ingatlah, ketika suheng mengaku cinta, dia telah terikat perjodohan denganku maka tentu saja dia mengaku cinta, karena kalau tidak, berarti dia akan menghina Ayah dan Ibu dan juga aku! Dia sudah terikat jodoh denganku sebelum dia melihat aku, Ayah dan Ibu. Hal ini harap dipertimbangkan. Andai kata ketika dia mengaku cinta kepadaku itu dia belum terikat dengan perjodohan, mungkin sekali aku akan percaya, bahkan merasa yakin. Akan tetapi keadaannya tidak demikian. Aku tidak puas, Ayah dan Ibu. Maafkan aku, akan tetapi aku hanya mau menikah dengan seorang pria yang aku yakin benar-benar mencintaku, dan tentu saja kalau aku mencintanya." Suami isteri itu saling pandang. Alasan puteri mereka itu memang kuat dan tepat. Kini pun mereka dapat merasakannya. Memang mereka percaya bahwa Han Siong benar-benar mencinta Bi Lian. Akan tetapi, andai kata tidak demikian halnya, apakah Han Siong berani mengatakan bahwa dia tidak mencintai gadis itu? Gadis yang sudah ditetapkan menjadi calon isterinya? Tentu tidak akan berani! "Hemmm, kalau begitu, Lian-ji. Andai kata kelak engkau menjadi yakin bahwa Han Siong benar-benar mencintamu, apakah masih ada harapan untuk... ehh, menyambung kembali tali yang telah putus itu?" tanya Siangkoan Ci Kang. Bi Lian termenung. Bagaimana pun juga, selama ini hanya ada dua orang laki-laki yang menarik hatinya dan dikaguminya. Yang pertama adalah Hay Hay, ada pun yang ke dua adalah Pek Han Siong! Tentu saja Hay Hay memiliki daya tarik yang lebih kuat bagi setiap orang wanita, karena pemuda itu pandai sekali mengambil hati secara wajar, bukan menjilat. Hidup di samping Hay Hay tentu merupakan suatu keadaan yang selalu menggembirakan sehingga dunia akan selalu nampak cerah. Sebaliknya Han Siong adalah seorang pemuda yang jantan, pendiam dan halus tenang, mendatangkan suasana damai yang tenang. Keduanya memang tampan dan gagah, dengan ilmu kepandaian yang seimbang, bahkan keduanya juga menguasai ilmu sihir yang ampuh. Tapi dia merasa kecewa terhadap Han Siong karena pemuda itu menerima ikatan jodoh begitu saja, pada hal selama hidupnya belum pernah berjumpa dengannya! Hal inilah yang mengganjal di hatinya, seakan-akan dia merasa bahwa Han Siong ingin berjodoh kepadanya bukan karena dirinya, melainkan karena hendak mentaati ayah ibunya! Hal ini membuat dia merasa dirinya kurang penting dan kurang berharga! "Tentu saja hal itu mungkin sekali, Ayah. Kita lihat saja perkembangannya kelak. Apa bila dia memang benar mencintaku dengan tulus dan kalau kemudian aku melihat kenyataan bahwa aku pun mencintanya, maka tak ada halangannya bagi kami untuk dapat berjodoh. Bukankah jodoh itu di tangan Tuhan?" Mendengar ucapan puteri mereka, suami isteri itu saling pandang dan ada sinar harapan baru terpancar di dalam pandang mata mereka. Akan tetapi pada saat itu terdengar kokok ayam hutan jantan dan seketika berubah sikap Siangkoan Ci Kang dan isterinya. Mereka cepat-cepat menyelinap ke balik semak-semak dan Siangkoan Ci Kang memberi isyarat kepada Bi Lian untuk bersembunyi pula. Bi Lian terkejut dan terheran, lalu segera dia menyelinap ke dekat mereka. "Ada apakah?" tanyanya dengan bisikan lirih. "Sstttt... inilah yang kami tunggu-tunggu selama berbulan-bulan. Agaknya dia menghadapi lawan. Kita harus mendekat dengan sangat hati-hati agar jangan mengejutkan mereka dan jangan mengganggu perkelahian mereka. Mari ikuti aku dan hati-hati, jangan berisik!" kata Siangkoan Ci Kang. Isterinya mengikuti di belakangnya, dan Bi Lian yang masih terheran-heran mengikuti di belakang ibunya. Siapakah yang sedang berkelahi, pikir Bi Lian. Tentu orang-orang yang sakti, kalau tidak begitu, tidak mungkin ayah ibunya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu begitu berhati-hati menghampiri tempat perkelahian itu. Dan siapakah yang berkelahi sambil mengeluarkan kokok ayam hutan jantan itu? Sungguh aneh! Dengan cepat tapi dengan pengerahan ginkang agar gerakan mereka ringan sehingga tak bersuara, mereka bertiga menyusup-nyusup menuruni puncak menuju ke hutan cemara di sebelah kiri. Akhirnya Siangkoan Ci Kang berhenti kemudian bersembunyi di balik semak-semak, memberi isyarat kepada isteri dan puterinya untuk bersembunyi di situ pula. Kemudian suami isteri itu mengintai dengan penuh perhatian, dengan wajah berseri-seri. Bi Lian juga mengintai ke arah mereka memandang dan dia terbelalak karena yang diintai oleh ayah ibunya itu bukan dua orang jago silat yang sedang bertanding, melainkan dua ekor ayam jago hutan sedang bertanding! Seekor ayam jago yang bulunya seperti emas melawan seekor ayam jago yang bulunya kelabu. Pantas saja mereka harus berindap-indap karena dua ekor ayam hutan itu tentu langsung terbang pergi jika mereka mengeluarkan suara berisik. Ayam hutan merupakan binatang yang liar sekali, tak dapat didekati manusia. Akan tetapi mengapa ayah ibunya menonton ayam bertanding dengan perhatian seperti itu? Dengan penuh perhatian Bi Lian ikut memandang. Akan tetapi baginya dua ekor binatang yang sedang bertanding itu hanyalah dua ekor ayam hutan yang tidak begitu besar, tidak sebesar ayam jago biasa,. Akan tetapi sesudah memperhatikan, dia melihat bahwa ayam berbulu emas itu memiliki ketangkasan luar biasa, sedangkan si bulu kelabu hanya galak dan menyerang secara ngawur saja. Semua serangan dari si kelabu itu tak pernah berhasil, patukannya luput, sabetan kakinya juga tidak pernah mengenai sasaran. Si bulu emas jarang menyerang, akan tetapi setiap kali menyerang pasti mengenai sasaran dengan tepatnya sehingga sudah beberapa kali si kelabu kena tertendang hingga terjengkang! Biar pun demikian, semua itu tidak ada artinya bagi Bi Lian. Akan tetapi bila dia menoleh kepada ayah ibunya, mereka menonton tanpa pernah berkedip seolah-olah setiap gerakan dua ekor ayam hutan itu hendak ditelan dengan pandang mata mereka, dan beberapa kali dia melihat ayahnya mengangguk-angguk dengan wajah gembira sekali. Perkelahian mati-matian itu tidak berlangsung lama. Pada saat si kelabu yang telah mulai lemah dan mukanya sudah mulai membengkak dan berdarah itu untuk ke sekian kalinya menerjang dengan tenaga terakhir, si bulu emas mengelak ke samping dan ketika tubuh lawan menubruk tempat kosong, dia membalik, menggunakan paruhnya mematuk leher si kelabu, kemudian kakinya menendang. "Bressss...! Keokkk...!" Si kelabu hanya berteriak satu kali dan dia berlompatan aneh, dari kepalanya bercucuran darah. Kiranya sabetan kaki yang berjalu runcing itu telah mengenai kepala dengan tepat, dekat telinga sehingga tempurung kepala itu retak dan darah keluar, membuat si kelabu berloncatan dalam keadaan sekarat! Dan si bulu emas, dengan lagak yang gagah sekali, lantas mengembangkan sayapnya, menarik tubuh ke atas setinggi mungkin, dengan leher terjulur panjang dan keluarlah bunyi kokoknya penuh kebanggaan dan kemenangan! Biar pun pertandingan itu telah selesai, Siangkoan Ci Kang memberi isyarat kepada isteri dan puterinya agar berdiam diri. Selagi Bi Lian merasa heran, tiba-tiba dari semak-semak di seberang berloncatan keluar dua ekor binatang musang. Tidak terlampau besar, hanya sebesar anjing kecil, akan tetapi mereka itu melompat dengan cekatan sekali. Yang seekor telah menyambar ayam yang sekarat, menggigit lehernya dan menyeretnya pergi dari situ. Musang ke dua, yang lebih besar, menubruk ke ayam hutan berbulu emas yang tadi menang bertanding. Lompatannya sangat cepat dan gesit, dan agaknya sukar bagi ayam itu untuk meloloskan diri. Akan tetapi pada detik terakhir ayam berbulu emas itu dapat melempar tubuh ke belakang lalu membanting diri ke samping sehingga tubrukan itu luput. Kalau ayam itu mau, dengan mudah saja dia dapat terbang meloloskan diri dari musang itu. Akan tetapi ternyata tidak! Ayam itu sekarang berdiri dengan kepala menunduk, sepasang mata melotot, bulu emas dilehernya mekar dan siap untuk bertarung! "Tolol!" pikir Bi Lian dalam hatinya. "Mana mungkin kamu akan dapat menandingi seekor musang?" Ayam berbulu emas itu amat sombong, pikirnya, tidak memperhitungkan siapa lawannya. Mungkin dia sudah menjadi kepala besar dan tidak takut melawan siapa pun juga karena kemenangannya terhadap ayam kelabu tadi! Agaknya musang itu juga menjadi tercengang. Tadi tubrukannya sudah luput dan menurut pengalamannya, tentu ayam hutan yang luput ditubruk itu telah terbang pergi. Akan tetapi ayam hutan berbulu emas ini tidak segera terbang melarikan diri malah menantang untuk berkelahi! Kalau saja wataknya seperti manusia, tentu dia sudah tertawa untuk mengejek ayam kecil itu! Akan tetapi dia tetap seekor musang, maka melihat calon mangsanya masih di sana, dia telah menerkam lagi dengan ganasnya. Musang pun termasuk binatang liar, hidupnya di hutan dan makanan utamanya memang binatang yang lebih kecil, maka gerakannya ganas dan beringas sekali, penuh kebuasan binatang liar yang hidup di hutan. "Wuuuttt...! Bresss...!" Bi Lian hampir bersorak. Pada saat musang itu menubruk, ayam itu meloncat ke samping atas dan sebelum musang yang luput menubruk itu sempat membalik, ayam itu sudah menerjang dari atas, secara serentak paruhnya mematuk dan kakinya menendang kepala musang. Musang itu terkejut. Patukan serta tendangan kaki berjalu itu cukup mendatangkan nyeri walau pun tidak dapat melukai kulitnya yang terlindung bulu itu. Dia segera membalik dan kembali menerkam. Ayam itu mengelak lagi sambil terbang dan kembali sudah menerjang dari atas dan hal ini terjadi berkali-kali. Bi Lian menonton dengan hati tegang. Walau pun sambarannya dapat mengenai kepala musang dengan tepat, akan tetapi tenaga ayam itu tidak cukup kuat untuk melukai kepala musang yang terlindung bulu apa lagi merobohkannya. Sedangkan sebaliknya, sekali saja terkaman musang itu mengenai sasaran, tentu leher atau perut ayam itu kena digigit dan akan tamatlah riwayat ayam yang pemberani itu. Ketika dia menengok ke arah ayah ibunya, dia melihat kedua orang itu masih saja seperti tadi, tidak pernah berkedip mengikuti perkelahian itu dengan pandang mata mereka. Dan kembali seperti tadi, beberapa kali ayahnya mengangguk-angguk gembira. Musang itu agaknya marah sekali. Kembali dia menubruk dan ketika ayam itu mengelak ke atas, musang itu tiba-tiba saja berdiri di atas kaki belakang dan kedua kaki depannya mencoba untuk menangkap ke atas. cerita silat online karya kho ping hoo Akan tetapi dengan sekali mengebutkan sayapnya yang dikembangkan, ayam itu kembali luput sebab tubuhnya naik ke atas kemudian secara tiba-tiba sekali dia membalas dengan patukan dan cakaran, tak lagi menendang melainkan mencakar. Dengan kuku-kuku yang menjadi kuat dan tebal, juga runcing melengkung karena setiap hari dipergunakan untuk menggaruk-garuk tanah keras mencari cacing itu, kedua kaki itu lantas mencakar ke arah moncong musang, sedangkan paruhnya yang juga runcing melengkung dan sangat keras itu mematuk ke arah mata kiri. "Bresss...!" Musang itu mengeluarkan suara seperti tikus terjepit batu, lantas dari hidung dan matanya mengucur darah! Mata kirinya pecah terpatuk dan hidungnya luka berdarah. Dia pun lari tunggang langgang dan menghilang ke dalam semak-semak jauh dari situ. Ayam hutan itu pun terbang ke atas, hinggap pada sebuah dahan pohon cemara dan dia pun berkeruyuk dengan sombongnya, dengan dada mengembung dan leher memanjang! Bi Lian menjadi demikian gembiranya sehingga tanpa sadar dia pun melompat keluar dari tempat sembunyinya dan bertepuk tangan memuji. Begitu mendengar suara tepuk tangan ini, ayam jantan yang pemberani itu langsung terbang dan melarikan diri ketakutan sambil mengeluarkan teriakan berkokok panik! Akan tetapi mendadak Bi Lian menghentikan tepuk tangannya dan memandang terbelalak melihat betapa ayah dan ibunya kini bersilat saling serang! Dia melihat ibunya menyerang dengan jurus-jurus dahsyat dari Kwan Im Sin-kun yang sedang dia pelajari dari mereka, jurus-jurus pilihan paling hebat. Dari kedua tangan ibunya itu menyambar-nyambar angin pukulan yang lembut namun dia tahu bahwa di balik kelembutan itu terkandung tenaga dahsyat. Itulah kehebatan ilmu silat Kwan Im itu. Sesuai dengan sifat Dewi Kwan Im sendiri, Dewi Welas Asih yang terkenal lembut dan murah hati, akan tetapi di balik kelembutan itu terkandung kesaktian yang tak dapat dikalahkan oleh segala macam setan dan iblis! Dia tidak merasa heran melihat ibunya menyerang ayahnya dengan ilmu silat itu. Tentu saja serangan-serangan ibunya amat hebat karena ibunya adalah ahli dalam ilmu silat itu yang tingkatnya sudah sejajar dengan ayahnya. Akan tetapi yang membuat dia bengong adalah ketika melihat ayahnya menghadapi serangan ibunya itu dengan gerakan-gerakan yang hampir saja memancing ketawanya. Gerakan ayahnya itu mirip sekali dengan gerakan ayam jantan hutan berbulu emas tadi! Betapa ayahnya menggerak-gerakkan kepalanya ke depan dan belakang, betapa kepala itu kadang kala mengelak ke bawah dan ke belakang dengan gerakan melengkung sambil menjulurkan leher, kemudian kedua kaki itu berloncatan seperti lagak ayam jago berbulu kuning emas tadi. Ketika ibunya menyerang dengan dahsyat, tiba-tiba ayahnya mengelak dengan loncatan ke atas, lalu dari atas dia menerkam ke bawah. Lengan baju kiri yang tidak berisi lengan itu meluncur ke arah mata, sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah hidung dan mulut, sementara kedua kaki juga menendang ke arah dada. Teringatlah Bi Lian akan ‘jurus’ yang digunakan oleh ayam jago bulu emas tadi terhadap lawannya yang jauh lebih kuat, yaitu musang. Jurus itulah yang tadi membuat si musang berdarah pada mata dan hidungnya, kemudian membuat musang itu lari ketakutan. "Ihhhh... bagus sekali...!" Ibunya melempar tubuh ke belakang sambil terhuyung. Ayahnya juga melompat turun dan keduanya tersenyum dengan wajah cerah. Bi Lian adalah seorang gadis yang cerdik. Biar pun tadi dia terheran-heran dan juga geli, sekarang dia pun memandang kagum kepada mereka setelah dia mengerti. "Aihh, kiranya Ayah dan Ibu sudah lama mempelajari gerakan ayam hutan jantan berbulu kuning emas itu untuk menciptakan ilmu silat baru! Pantas tadi kita harus berhati-hati agar jangan mengejutkannya!" Ayah dan ibunya serentak mengangguk. "Ayam hutan berbulu kuning emas itu memang hebat bukan kepalang," kata ibunya. "Kami pernah melihat dia mengalahkan seekor ular, bahkan juga menghajar sampai mati seekor tikus hutan yang sangat besar. Dan sekali ini engkau melihat sendiri, bukan saja dia menghajar ayam hutan lain tadi, bahkan dia sudah berhasil mengalahkan seekor musang! " "Gerakannya memang cepat, gesit dan cerdik. Kami dapat meniru beberapa gerakannya yang memang hebat sekali," sambung ayahnya. "Sudah beberapa tahun kami mengamati gerakannya dan baru pagi hari ini aku berhasil menyempurnakan beberapa jurus gerakan yang sudah lama kupelajari." "Hebat sekali!" seru Bi Lian. "Lalu apa namanya ilmu silat yang Ayah Ibu ciptakan itu?" "Kami beri nama Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas), selain memang berdasarkan banyak gerakan ayam hutan berbulu emas itu, juga disesuaikan dengan tempat ini yang disebut Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas). Tentu saja gerakan ayam hutan itu merupakan dasarnya, tapi dicampur dengan ilmu silat kami. Kau telah mempelajari gerakan ilmu silat kami, tentu akan mudah menguasai Kim-ke Sin-kun." Bi Lian girang sekali mendengar ucapan ayahnya itu, dan mulai hari itu juga dia pun mulai mempelajari ilmu silat yang baru diciptakan oleh ayah ibunya itu. Seperti juga sifat seekor ayam jantan dari hutan yang masih liar, maka ilmu silat Kim-ke Sin-kun itu mengandung pula kecepatan, kegesitan, kewaspadaan alamiah dan kecerdikan yang disertai keliaran. Di samping itu, karena ilmu ini dipadukan dengan Kwan Im Sin-kun, maka mengandung kehalusan dan kelembutan pula, didorong oleh sinkang (tenaga sakti) yang amat dahsyat. Selama tiga bulan Bi Lian mempelajari ilmu baru itu dengan tekunnya, juga memperdalam ilmu Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiam-sut. Seperti biasanya, pada pagi itu dia sedang berlatih di puncak yang sunyi di mana dia bersama ayah dan ibunya pernah melihat ayam hutan berbulu emas berkelahi. Pagi hari itu ia sengaja meminjam pedang pusaka Kwan Im Po-kiam dari ayah ibunya dan menggunakan pedang itu untuk berlatih silat pedang Kwan Im Kiam-sut. Sebelumnya dia berlatih silat tangan kosong Kim-ke Sin-kun yang merupakan ilmu silat baru ciptaan orang tuanya itu. Tiba-tiba Bi Lian menghentikan permainan pedangnya dan cepat menyarungkan pedang, kemudian pandang matanya ditujukan ke bawah. Dia melihat seorang penunggang kuda sedang membalapkan kudanya mendaki bukit itu. Kuda itu besar dan kuat, dan agaknya penunggangnya juga pandai sekali. Akan tetapi Bi Lian mengerutkan alisnya. Jalan menuju ke rumah ayah ibunya itu amat berbahaya jika dicapai dengan menunggang kuda yang dilarikan demikian cepatnya. Pada jalan mendaki itu ada bagian yang berbatu-batu kecil yang licin sekali. Seekor kuda yang berlari cepat dapat jatuh apa bila menginjak batu-batu kecil yang mudah runtuh ke bawah itu. Bi Lian khawatir dan juga tertarik. Cepat ia menuruni puncak untuk melihat apa yang akan terjadi dengan penunggang kuda itu ketika melewati jalan yang berbahaya itu. Sebaiknya kalau dia dapat datang lebih dulu untuk memperingatkan penunggang kuda itu. Maka Bi Lian lalu mempergunakan kepandaiannya, berlari menuruni puncak seperti terbang untuk mendahului kuda itu. Akan tetapi kuda itu berlari cepat sekali dan Bi Lian masih berada agak jauh di atas saat kuda itu telah memasuki jalan yang berbahaya itu. Akan percuma saja kalau dia berteriak memperingatkan, sebab selain jaraknya masih jauh sehingga ucapannya tentu tidak dapat ditangkap jelas, juga penunggang kuda yang belum dikenalnya itu belum tentu akan mau memperhatikan teriakan serta isyaratnya. Maka dia pun hanya memandang saja dengan hati khawatir. Jika hanya kuda itu tergelincir dan jatuh saja, hal ini masih tidak mengkhawatirkan. Paling hebat penunggangnya akan terlempar dan lecet-lecet atau patah tulang saja. Akan tetapi di sebelah kiri jalan mendaki itu terdapat jurang yang menganga lebar dan sangat dalam. Kalau penunggang kuda itu sampai terlempar ke dalam jurang, akan habislah riwayatnya! Inilah yang mengkhawatirkan hatinya. Penunggang kuda itu kini kelihatan jelas oleh Bi Lian. Seorang pria muda yang bertubuh tinggi besar sehingga serasi dengan kudanya yang juga besar dan kuat. Cara dia duduk di atas pelana kuda saja menunjukkan bahwa dia seorang penunggang kuda yang mahir. Duduknya tegak, lentur dan seolah-olah tubuhnya telah menjadi satu dengan kuda karena gerakan tubuhnya sesuai dengan gerakan kuda. Sekarang kuda mulai memasuki jalan yang berbatu kerikil itu. Bi Lian memandang dengan penuh perhatian dan tepat seperti yang dikhawatirkannya, kuda itu segera saja tergelincir begitu keempat kakinya menginjak batu-batu kecil! Agaknya kuda itu sudah melakukan perjalanan jauh dan dalam keadaan yang kelelahan pula. Peluh membasahi seluruh tubuhnya dan ketika binatang itu tergelincir, dia mencoba untuk mempertahankan tubuh dengan keempat kakinya. Akan tetapi setiap kali menginjak tanah dengan kuat, kakinya terpaksa menginjak batu kerikil pula sehingga tergelincir dan akhirnya kuda itu terjatuh, terpelanting dan keempat kakinya seperti ditarik dalam waktu yang bersamaan. Bi Lian melihat kuda itu terjatuh, akan tetapi pada saat itu pula ia terbelalak kagum ketika melihat tubuh penunggang kuda itu tiba-tiba saja melayang ke atas, lantas berjungkir balik membuat salto sampai lima kali sebelum dia turun ke atas tanah dengan tegak. Dan baru nampak bahwa tubuh pemuda itu tinggi tegap, tubuh seorang pria yang jantan dan gagah sekali. Dengan sikap amat tenang pemuda itu lalu menghampiri kudanya yang tak dapat bangkit kembali. Tadi kuda itu terjatuh, lalu tubuhnya meluncur kembali ke bawah karena jalan itu mendaki dan tubuhnya baru berhenti terseret ketika menumbuk batu besar yang berada di tepi jalan. Untung ada batu besar itu, jika tidak tentu tubuhnya akan terjerumus ke dalam jurang di balik batu itu. Ketika pemuda itu berjongkok memeriksa kudanya, binatang itu hanya dapat menggerak-gerakkan sedikit kaki dan kepalanya, akan tetapi tak mampu bangkit. Agaknya tulang dua kaki depannya sudah patah, juga kepalanya terluka dan berdarah. Pemuda itu memeriksa dengan teliti, kemudian mengambil buntalan pakaiannya dari atas punggung kuda. Diikatnya buntalan itu pada punggungnya, lalu pemuda itu memandang ke sekeliling. Sunyi tidak nampak orang lain. Lalu dia menjenguk ke dalam jurang di balik batu. "Kuda yang baik, engkau telah banyak berjasa kepadaku. Terpaksa aku akan mengakhiri penderitaanmu. Selamat berpisah!" Mendadak tangan kanannya bergerak ke arah kepala kuda itu. "Prakkk…!” Kuda itu terkulai, terlihat kakinya tidak bergerak-gerak lagi. Kemudian pemuda itu menarik kaki kuda, dan dengan pengerahan tenaga, dia melemparkan bangkai kuda itu ke dalam jurang! Bi Lian terbelalak, wajahnya berubah merah karena marah dan dia pun melompat keluar dari tempat pengintaiannya. "Engkau manusia berhati iblis!" bentaknya marah sekali. Pemuda itu sangat terkejut ketika tiba-tiba saja ada seorang gadis cantik jelita muncul di hadapannya, tangan kanan bertolak pinggang, tangan kiri menudingkan telunjuk kecil ke arah mukanya, sepasang mata itu mencorong penuh kemarahan dan seketika itu juga hati pemuda itu meloncat-loncat di dalam rongga dadanya, berjungkir balik dan dia jatuh hati! "Apa...? Mengapa...? Aihh, Nona, kenapa Nona marah dan memaki aku? Siapakah Nona dan apa kesalahanku sehingga Nona memaki aku berhati iblis?" tanyanya dengan gugup karena kecantikan Bi Lian benar-benar membuat dia terpesona, salah tingkah dan hampir dia tidak percaya bahwa gadis itu seorang manusia, bukan seorang dewi dari langit! "Manusia busuk! Kau kira tidak ada yang melihat perbuatanmu? Kau kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan tadi? Engkau ini manusia berhati kejam. Kau tadi mengaku sendiri bahwa kuda itu telah banyak berjasa kepadamu. Akan tetapi engkau justru membunuhnya dan melempar bangkainya ke dalam jurang! Di samping kejam engkau juga telah merusak tempat ini sehingga aku tidak dapat membiarkan saja!" "Ahh, itukah gerangan yang membuat engkau menjadi sangat marah, Nona?" Pemuda itu baru mengerti sekarang dan dia tersenyum. Harus diakui oleh Bi Lian bahwa pemuda itu memang gagah. Selain tubuhnya tinggi tegap dan kokoh, juga wajah itu memiliki daya tarik yang sangat kuat ketika tersenyum. Akan tetapi bila mana mengingat akan perbuatannya tadi, hatinya tetap merasa penasaran dan marah sekali. "Akan tetapi, Nona, perbuatanku tadi tidak merugikan siapa pun, juga tidak merugikanmu. Kuda itu adalah milikku sendiri, dan bangkainya pun kubuang ke dalam jurang yang dalam sehingga tidak akan mengganggu orang lain. Kenapa engkau marah-marah, Nona?" "Masih bertanya mengapa aku marah? Pertama, melihat kekejamanmu tadi, engkau patut dihukum! Ke dua, tempat ini adalah tempat tinggal kami, dan engkau mengotori jurang itu dengan bangkai kuda yang nanti tentu akan mengeluarkan bau busuk. Dan engkau masih bertanya mengapa aku marah?" Pemuda itu tidak tersenyum lagi, nampak terkejut dan heran mendengar ucapan itu. "Ahh, jadi bukit ini adalah tempat tinggalmu, Nona? Kalau begitu maafkanlah aku, Nona, sebab aku tidak mengerti dan..." "Sudahlah! Engkau adalah orang yang kejam dan melihat engkau tadi telah mengeluarkan kepandaianmu, maka aku tahu bahwa engkau pandai silat. Agaknya kepandaian itu yang membuat engkau berhati kejam. Nah, majulah dan terimalah hukumanmu!" Ditantang begitu, pemuda ini kelihatan gembira. Dia percaya akan kepandaiannya sendiri, dan tentu saja dia memandang rendah kepada seorang gadis yang kelihatan begitu cantik jelita dan lemah, walau pun gadis aneh itu mengaku pemilik bukit itu! "Nona, aku tak ingin berkelahi denganmu, bahkan aku ingin berkenalan denganmu kalau engkau suka. Namaku Tan Hok Seng dan aku...” "Aku tak ingin berkenalan denganmu, melainkan ingin menghukummu atas kekejamanmu tadi. Majulah!" Bi Lian sudah siap. Pemuda yang mengaku bernama Tan Hok Seng itu sekarang tersenyum. "Nona, sudah kukatakan bahwa aku tak ingin berkelahi denganmu. Tetapi mengapa engkau mendesak dan menantangku? Ketahuilah, Nona, aku sama sekali tidak berbuat kejam terhadap kuda itu. Aku adalah seorang penyayang kuda dan selama ini kuda itu menjadi sahabat baikku. Tetapi setelah tadi dia terjatuh dan kuperiksa, ternyata tulang kedua kaki depannya sudah patah dan kepalanya juga retak. Tiada harapan hidup lagi baginya. Bagaimana aku dapat membiarkan dia menderita terlampau lama? Lebih baik dia dibunuh saja untuk mengakhiri penderitaannya." Bi Lian bukan seorang gadis bodoh atau seorang yang masih belum matang. Sebaliknya dia adalah seorang gadis dewasa gemblengan yang sudah banyak pengalaman, seorang pendekar wanita yang tentu saja selalu berpikir panjang dan berpemandangan luas. Dia dapat menerima alasan yang dikemukakan pemuda tinggi tegap, tampan dan gagah itu, dan dia sudah tidak lagi menyalahkan pemuda itu. Mungkin agak terlalu keras, namun apa yang dilakukan oleh pemuda itu terhadap kudanya memang merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan binatang yang disayangnya itu. Namun diam-diam timbul keinginannya untuk menguji sampai di mana kehebatan pemuda gagah perkasa ini. Kalau saja ia tadi tidak melihat pemuda itu menghindarkan diri terbawa jatuh bersama kudanya dengan membuat pok-sai (salto) sedemikian indahnya, kemudian melihat betapa sekali pukul saja pemuda itu dapat membunuh kudanya, tentu tidak timbul keinginan hatinya untuk menguji kepandaian pemuda itu. "Sudahlah, cukup! Aku tidak ingin berpanjang cerita lagi. Engkau sudah mengotori tempat tinggal kami dengan bangkai kuda di dalam jurang itu. Kini hanya ada dua pilihan bagimu. Engkau ambil bangkai kuda itu lantas kau kuburkan baik-baik agar tidak menimbulkan bau busuk, atau engkau harus menghadapi seranganku!" Pemuda yang bernama Tan Hok Seng itu mengerutkan alisnya yang hitam dan berbentuk golok, akan tetapi mulutnya masih tersenyum. Dia menjenguk ke bawah jurang, kemudian menarik napas panjang. "Nona, bagaimana mungkin aku menuruni jurang ini untuk mengambil bangkai kuda itu?" katanya. Tentu saja Bi Lian maklum akan ketidak mungkinan ini, karena itu dia justru mengajukan pilihan itu sehingga takkan ada piihan lain bagi pemuda itu kecuali menandinginya! "Hemm, kalau engkau tidak dapat mengambilnya dan menguburnya, maka engkau harus menandingiku!" Lalu dia segera menambahkan. "Tentu saja kalau engkau bukan seorang pengecut yang takut menerima tantanganku!" Biar pun pada dasarnya Bi Lian mempunyai jiwa pendekar, namun dia pernah menerima gemblengan dua orang datuk sesat, yaitu Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, maka sedikit banyak watak ugal-ugalan menular kepadanya dan dia dapat bersikap keras mau menang sendiri! Tan Hok Seng menarik napas panjang, akan tetapi matanya yang agak lebar itu bersinar dan wajahnya berseri. Dia kagum bukan main dan harus diakuinya dalam hati bahwa dara yang berdiri di depannya itu bukan main cantiknya. Tubuhnya padat ramping dengan lekuk lengkung yang menunjukkan bahwa dara itu telah matang dan dewasa. Kulitnya putih mulus dan kulit muka serta lehernya demikian halus, tangannya begitu kecil lembut sehingga sukar dipercaya bahwa tangan selembut itu dapat bermain silat dan memukul orang. Rambut yang panjangnya sampai pinggang itu dikuncir. Sepasang matanya demikian jeli dan tajam sinarnya, hidung kecil mancung, mulut yang menggairahkan dengan bibir yang basah kemerahan. Manisnya masih ditambah oleh tahi lalat kecil di dagu. Bukan main! "Nona, sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu, apa lagi sampai berkelahi. Akan tetapi bukan berarti aku pengecut atau takut kepadamu. Tapi...” "Sudahlah, kau sambut seranganku ini!" bentak Bi Lian yang ingin berkelahi bukan karena marah, melainkan karena ingin tahu hingga di mana kepandaian pemuda yang gagah dan tampan ini. Hok Seng langsung mengelak karena dari sambaran tangan yang lembut itu datang angin pukulan yang sangat kuat. Dia terkejut dan sambil mengelak, dia pun membalas dengan tamparan ke arah pundak. Dia masih sungkan karena melihat kecantikan gadis itu, maka yang diserang hanyalah pundak lawan. Bi Lian melihat betapa gerakan pemuda itu cukup tangkas, dengan jurus silat yang baik, kalau dia tidak salah menilai, dari aliran silat Bu-tong-pai. Maka dia pun cepat menangkis untuk mengukur sampai di mana besarnya tenaga pemuda itu. "Dukkk!" Lengan Hok Seng terpental dan dia meringis kesakitan. Tidak disangkanya bahwa lengan kecil gadis itu mengandung tenaga yang begitu kuatnya sehingga dia merasa lengannya bertemu dengan sepotong baja, bukan lengan gadis yang halus. "Huhh, jangan memandang rendah kepadaku! Kerahkan semua tenagamu dan keluarkan semua kepandaian silatmu!" Bi Lian mengejek, karena tahu bahwa pemuda itu tadi tidak mengerahkan semua tenaganya. Hok Seng terkejut ketika Bi Lian kembali menyerang dengan kecepatan luar biasa. Tubuh gadis itu bergerak seperti bayangan saja, karena memang Bi Lian mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dia warisi dari mendiang Pak Kwi Ong si ahli ginkang. Dia juga menggunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Tung Hek Kwi, mengandalkan sinkang dan dengan ilmu silat ini dia dapat membuat lengannya mulur hingga bertambah panjang hampir setengah lengan! Hok Seng berusaha melawan dengan gerakan cepat dan mencoba untuk membalas. Akan tetapi sebentar saja dia menjadi pening karena harus memutar-mutar tubuhnya mengikuti gerakan Bi Lian yang menyambar-nyambar bagaikan burung walet. Biar pun cukup gesit dan bertenaga besar, namun di dalam hal ilmu silat ternyata pemuda itu masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Bi Lian. Padahal Bi Lian belum memainkan ilmu silat yang baru saja dia pelajari dari ayah ibunya! Bi Lian pun maklum akan hal ini, maka dia pun tidak menjatuhkan tangan maut kepada Hok Seng, hanya menyerang bertubi-tubi untuk mengacaukan perlawanannya saja. Kalau dia menghendaki, tentu pemuda itu tak akan mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus! Tiba-tiba saja nampak dua sosok bayangan orang berkelebat di tempat itu dan terdengar seruan nyaring berwibawa, "Hentikan perkelahian!" Mendengar suara ayahnya, Bi Lian cepat meloncat ke belakang, mendekati ayah ibunya yang segera memandang ke arah Hok Seng. Mereka tadi melihat betapa puteri mereka menyerang seorang pemuda yang mencoba untuk membela diri mati-matian, akan tetapi hati mereka lega karena melihat bahwa Bi Lian sama sekali tidak bermaksud mencelakai orang itu yang kalah jauh dibandingkan puteri mereka. "Ayah dan Ibu, orang ini sudah membunuh kudanya yang jatuh terluka lantas membuang bangkainya ke dalam jurang." Bi Lian langsung melapor karena tidak ingin dipersalahkan. "Aku melihatnya sebagai hal yang kejam, dan dia mencemarkan udara ini dengan bangkai kuda yang tentu akan membusuk di dalam jurang lalu baunya akan mengotorkan udara di sini. Maka kutantang dia!" "Aihh, engkau ini mencari gara-gara saja, Bi Lian." tegur ibunya. Melihat gadis itu ditegur ibunya, Hok Seng cepat memberi hormat kepada suami isteri itu, merangkap kedua tangan dan membungkuk dengan sikap sopan sekali. "Mohon maaf kepada Paman dan Bibi yang terhormat karena secara lancang saya telah melanggar wilayah tempat tinggal ji-wi (kalian berdua). Sebenarnya Nona ini tak bersalah dan sayalah yang bersalah. Kuda saya itu kelelahan sehingga terpeleset dan jatuh di sini, kedua kaki depannya patah dan kepalanya retak. Untuk mengakhiri penderitaannya maka terpaksa saya membunuhnya dan membuang bangkainya ke dalam jurang dengan tujuan agar tidak mengganggu orang yang lewat di sini. Tetapi saya telah melakukan kesalahan karena tanpa disadari saya telah membuangnya ke jurang sehingga mengotorkan udara di sini...” Suami isteri itu memandang dengan senyum. Hati mereka tertarik dan merasa suka sekali kepada pemuda gagah tampan yang pandai membawa diri itu. "Orang muda, kami yang minta maaf kepadamu untuk anak kami. Walau pun kami tinggal di daerah ini, akan tetapi tentu saja kami tidak menguasai seluruh bukit dan lembah. Dan engkau tidak dapat dipersalahkan kalau membuang bangkai kudamu itu ke dalam jurang. Anak kami sudah bersikap tidak sepatutnya, harap engkau suka menyudahi saja urusan ini." "Dengan segala senang hati, Paman. Lagi pula, apa daya saya seorang yang bodoh dan lelah ini terhadap nona yang demikian tinggi ilmunya? Tadi pun saya sudah merasa segan melawannya, akan tetapi karena nona mendesak terpaksa saya..." "Sudahlah!" kata Bi Lian. "Bukankah ayahku sudah mengatakan agar urusan ini disudahi saja? Ataukah engkau masih merasa penasaran?" karena tidak ingin terus dipersalahkan, gadis itu membentak. "Bi Lian! Tidak pantas bersikap kasar kepada seorang tamu!" kata ibunya. "Orang muda, apa yang diucapkan isteriku itu benar. Engkau adalah seorang tamu, maka kami persilakan berkunjung ke rumah kami di sana!" Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang menunjuk ke belakang. Tan Hok Seng memang sudah kagum bukan main kepada Bi Lian. Pertama kali bertemu tadi sudah menjadi tergila-gila oleh kecantikan gadis itu, kemudian setelah bertanding, dia kagum bukan main melihat bahwa gadis itu selain cantik jelita juga memiliki ilmu silat yang sangat tinggi sehingga dia yang biasanya membanggakan kepandaiannya, sekali ini sama sekali tidak berdaya! Maka, ketika ayah ibu gadis itu muncul, dia yang sudah kagum sekali kepada keluarga ini mempunyai niat untuk dapat menjadi murid suami isteri yang tentu sangat sakti itu. Tentu saja Hok Seng menjadi gembira bukan main ketika mendengar undangan itu, akan tetapi dengan rendah hati dia menjawab. "Ahhh, saya hanya akan mengganggu dan membikin repot saja kepada Paman dan Bibi yang terhormat...” "Ahh, jangan sungkan, orang muda. Terimalah undangan kami jika engkau memang mau memaafkan anak kami," kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya juga mengangguk ramah. Diam-diam Hok Seng girang bukan main. Apa yang ditemukan di Kim-ke-kok ini ternyata jauh melebihi apa yang telah didengarnya. Ketika tiba di kaki pegunungan Heng-tuan-san, dia telah mendengar dari para penduduk dusun di sekitar daerah itu bahwa di Kim-ke-kok tinggal sepasang suami isteri yang oleh para penduduk di sana dikenal sebagai pendekar sakti yang suka menolong para penduduk. Tertariklah hatinya, apa lagi ketika mendengar bahwa selama beberapa bulan ini sepasang pendekar itu kedatangan seorang dara cantik jelita yang kabarnya adalah puteri mereka. Kini, begitu melihat gadis itu, dia sudah kagum bukan main. Apa lagi setelah ayah ibunya muncul. Seorang lelaki berusia empat puluh tahun lebih yang tinggi tegap, lengan kirinya buntung akan tetapi sikapnya demikian gagah dan berwibawa. Dan isterinya juga merupakan tokoh yang tak kalah menariknya. Seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih sedikit, wajahnya agak kepucatan namun cantik dan dengan raut wajah yang agung. Juga bentuk tubuhnya masih padat dan indah seperti seorang gadis saja. Kiranya mereka inilah sepasang suami isteri pendekar yang dipuji-puji oleh para penduduk dusun itu. Dan meski pun dia belum pernah melihat mereka mempergunakan kepandaian, baru melihat kelihaian puteri mereka saja, tetapi dia sudah dapat membayangkan betapa saktinya suami isteri itu. Dengan sikap hormat Tan Hok Seng lalu mengikuti suami isteri itu bersama puteri mereka ke sebuah rumah yang berdiri di lembah, pada bagian yang datar dan subur. Rumah itu nampak mungil, namun terpelihara rapi dengan taman bunga yang penuh dengan bunga beraneka warna. Meski pun di dalam hatinya Bi Lian kagum juga kepada pemuda yang tampan gagah dan bersikap lembut itu, namun di sudut hatinya masih terdapat kekecewaan bahwa ilmu silat pemuda itu masih amat rendah dibandingkan dia sendiri. Maka begitu pemuda itu diterima ayah ibunya duduk di ruangan tamu, dia lalu mengundurkan diri dengan dalih membantu pelayan di belakang. "Orang muda, siapakah engkau, datang dari mana dan ada keperluan apa maka engkau berkunjung ke lembah ini?" tanya Siangkoan Ci Kang, akan tetapi suaranya yang lembut tidak menimbulkan kesan bahwa dia menyelidiki keadaan pemuda itu. Pemuda itu kelihatan berduka sekali ketika mendengar pernyataan ini. Bukan kedukaan buatan, melainkan benar-benar dia merasa berduka dan merasa betapa nasibnya sangat buruk. "Paman, saya adalah seorang yang hidup sebatang kara dan sudah tertimpa mala petaka dan penasaran besar," dia mulai menceritakan keadaan dirinya. Karena sudah mengambil keputusan untuk kalau mungkin berguru kepada suami isteri pendekar ini, maka dia tidak ragu-ragu lagi untuk menceritakan riwayatnya. "Saya adalah seorang yatim piatu. Dengan susah payah serta kerja keras akhirnya saya berhasil menjadi seorang perwira. Akan tetapi nasib saya sungguh malang, saya difitnah orang yang menginginkan kedudukan saya sehingga saya dijatuhi hukuman buang oleh pemerintah! Untung bahwa di dalam perjalanan ke tempat pembuangan saya ditolong oleh seorang pendekar yang tak mau memperkenalkan dirinya sehingga saya bisa bebas, lalu saya melarikan diri. Dalam perjalanan melarikan diri dari kemungkinan pengejaran petugas keamanan kota raja maka hari ini saya sampai ke tempat ini." "Hemm, begitukah?" Siangkoan Ci Kang menatap tajam untuk menyelidiki apakah cerita itu dapat dipercayan. Akan tetapi pemuda itu membalas tatapan matanya dengan penuh keberanian dan keterbukaan, dan ini saja sudah membuktikan bahwa ceritanya memang benar. "Siapakah namamu, orang muda?" "Nama saya Tan Hok Seng, Paman. Dan melihat kehebatan ilmu silat puteri Paman dan Bibi tadi, timbul keinginan hati saya, apa bila kiranya Paman dan Bibi sudi menerimanya, saya ingin sekali berguru kepada Paman dan Bibi di sini. Biarlah saya bekerja apa saja di sini, sebagai pelayan, tukang kebun atau pesuruh, asal Paman dan Bibi suka menerima saya sebagai murid." Setelah berkata demikian, langsung saja Hok Seng menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri itu.

jilid 20

SUAMI isteri ini sebenarnya sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengambil murid baru. Bagi mereka, seorang murid seperti Pek Han Siong sudah cukup, terlebih lagi masih ada puteri mereka yang sudah mewarisi ilmu-ilmu mereka. Akan tetapi apa yang mereka harapkan, yaitu agar Han Siong menjadi menantu mereka telah gagal dan mereka merasa kecewa bukan main. Baru saja mereka membicarakan urusan perjodohan puteri mereka. Mereka sudah ingin sekali mempunyai mantu dan memiliki cucu. Maka kemunculan seorang pemuda seperti Tan Hok Seng itu mempunyai arti besar bagi mereka, menumbuhkan suatu harapan baru. Biar pun baru saja berjumpa, namun banyak hal pada diri pemuda ini yang telah menarik perhatian mereka. Pertama, Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang cukup dewasa, berusia dua puluh lima tahun lebih, dan yatim piatu pula. Dia cukup tampan dan gagah, juga sikapnya sangat sopan, baik dan agaknya terpelajar. Sungguh merupakan gambaran seorang calon mantu yang baik. Mengenai ilmu silat, kepandaiannya juga tidak terlampau rendah, dan dengan gemblengan yang keras, dalam waktu tak terlalu lama tentu dia akan memperoleh kemajuan pesat. "Tan Hok Seng, bangkit dan duduklah. Permintaan itu akan kami pertimbangkan sesudah engkau tinggal beberapa hari di sini. Karena kami belum mengenal benar siapa engkau, maka kami tentu tidak dapat tergesa-gesa menerimamu sebagai murid," kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya segera menyambung dengan pertanyaan. "Orang muda, selain yatim piatu apakah engkau tidak mempunyai seorang pun anggota keluarga? Kakak atau adik, paman atau bibi, mungkin isteri atau tunangan?" Pertanyaan ini hanya sambil lalu dan tidak kentara, akan tetapi Tan Hok Seng bukanlah seorang pemuda hijau. Dia dapat menangkap apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu dan diam-diam dia pun merasa girang bukan main. Kalau saja selain menjadi murid suami isteri yang sakti ini juga dapat menjadi menantu mereka! Gadis tadi sungguh cantik manis menggairahkan! "Saya hidup sebatang kara, Bibi, tidak ada sanak tidak ada kadang, apa lagi keluarga." Mendengar ini, kembali suami isteri itu bertukar pandang. Mereka sungguh mengharapkan agar sekali ini puteri mereka akan bisa menemukan jodohnya. Atas pertanyaan pasangan suami isteri itu, Tan Hok Seng kemudian menuturkan pengalamannya, sampai dia difitnah sehingga selain kehilangan kedudukan dan pekerjaannya, bahkan dia dihukum buang pula oleh pemerintah. "Sejak kecil saya sudah kehilangan orang tua yang meninggal dunia karena sakit. Saya hidup terlunta-lunta, mengembara, dan menyadari bahwa saya akan hidup sengsara kalau tidak mempunyai kepandaian, maka sejak kecil saya bekerja sambil belajar. Banyak yang saya pelajari dengan biaya hasil pekerjaan saya memburuh. Mempelajari ilmu baca tulis sampai sastera, dan terutama sekali mempelajari ilmu-ilmu silat dari mana pun. Sesudah dewasa, dengan bekal ilmu-ilmu yang saya pelajari, saya berhasil mendapatkan pekerjaan di kota raja sebagai seorang prajurit pengawal istana. Karena ketekunan serta kerajinan saya, maka dalam waktu beberapa tahun saja saya menerima kenaikan pangkat sampai akhirnya menjadi seorang perwira pengawal." Suami isteri itu mendengarkan dengan hati senang. Pemuda ini sungguh mengagumkan. Sejak kecil yatim piatu dan hidup sebatang kara, namun mampu memperoleh kemajuan yang hebat sampai menjadi seorang perwira pasukan pengawal istana! Dari kemajuan ini saja dapat dijadikan ukuran bahwa Tan Hok Seng memang seorang pemuda yang penuh semangat. "Kemudian, bagaimana tentang fitnah itu?" tanya Siangkoan Ci Kang dengan hati tertarik. Hok Seng menghela napas panjang. "Itulah, Suhu..." Pemuda itu tergagap karena keliru menyebut suhu (guru), "maafkan teecu (murid)..." Siangkoan Ci Kang tersenyum dan mengangguk, "Tidak apa-apa, engkau boleh menyebut guru kepadaku." Mendengar ini, Hok Seng menjadi gembira bukan kepalang dan dia segera menjatuhkan dirinya lagi, berlutut dan memberi hormat kepada suami isteri itu dengan menyebut suhu dan subo. Suami isteri itu saling pandang dan tersenyum. Sekarang mereka tidak ragu lagi sehingga tidak perlu menanti sampai beberapa hari. Mereka percaya kepada pemuda ini dan suka menerima sebagai murid, bahkan dengan harapan untuk mengambil pemuda ini sebagai calon mantu, pengganti Pek Han Siong yang sudah ditolak oleh puteri mereka. "Bangkit dan duduklah, Hok Seng, lalu lanjutkan ceritamu kepada kami," kata Siangkoan Ci Kang. "Suhu, agaknya kemajuan serta keberuntungan teecu di kota raja itu menimbulkan iri hati kepada teman-teman dan rekan-rekan karena di antara mereka ada yang telah bertahun-tahun menjadi prajurit pengawal namun tidak pernah mendapatkan kenaikan. Sedangkan teecu dalam beberapa tahun saja sudah mendapatkan beberapa kali kenaikan pangkat. Nah, pada suatu hari istana ribut-ribut akibat kehilangan peti kecil terisi perhiasan seorang puteri istana, dan aneh sekali, peti itu kemudian ditemukan di dalam kamar teecu!" "Hemmm, dan engkau tidak mencuri peti perhiasan itu, Hok Seng?" Toan Hui Cu bertanya sambil memandang tajam. "Subo, bagaimana mungkin teecu mencuri? Selamanya teecu tidak pernah mencuri. Lagi pula bagaimana mungkin teecu dapat mencuri peti perhiasan yang berada di dalam istana bagian puteri? Hanya para thai-kam (kebiri) sajalah yang dijinkan memasuki bagian puteri. Itu jelas fitnah." "Hemm, kalau fitnah, bagaimana peti perhiasan itu dapat ditemukan di dalam kamarmu?" Siangkoan Ci Kang bertanya. "Itulah yang mencelakakan teecu, Suhu. Teecu tidak tahu bagaimana peti itu bisa berada di dalam kamar teecu dan tersembunyi di bawah pembaringan. Jelas bahwa ini perbuatan seorang yang sengaja melempar fitnah kepada teecu. Akan tetapi karena bukti ditemukan di kamar teecu, teecu tidak mampu banyak membela diri. Teecu hanya dijatuhi hukuman buang, karena Sribaginda Kaisar masih mengingat akan jasa-jasa teecu maka teecu tidak dihukum mati. Akan tetapi dalam perjalanan melaksanakan hukuman buang itu, di tengah perjalanan muncullah seorang pendekar berkedok yang membebaskan teecu bahkan juga memberi bekal uang emas kepada teecu tanpa memberi kesempatan kepada teecu untuk mengenal mukanya atau namanya." "Ahh, kalau orang benar ada saja penolong datang," kata Toan Hui Cu dengan girang. Akan tetapi Siangkoan Ci Kang mengerutkan alisnya lantas bertanya kepada pemuda itu. "Tahukah engkau siapa yang melakukan fitnah sekeji itu kepadamu?" "Teccu dapat menduga orangnya, akan tetapi tidak ada buktinya. Yang meyakinkan hati teecu adalah karena dialah yang mendapat kedudukan menggantikan teecu setelah teecu dihukum." "Engkau mendendam kepada orang itu?" kembali Siangkoan Ci Kang bertanya, suaranya tegas dan pandang matanya mencorong dan penuh selidik menatap wajah pemuda itu. Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Dia banyak membaca sehingga tahu bagaimana watak para pendekar. Seorang pendekar sejati tak akan mudah dikuasai nafsu, demikian dia membaca. Seorang pendekar sejati tidak akan membiarkan nafsu dan dendam kebencian meracuni hatinya. Maka, mendengar pertanyaan itu dengan tegas dan mantap dia pun menjawab, "Sama sekali tidak, Suhu! Teecu tidak mendendam, hanya kelak kalau ada kesempatan dan kalau kepandaian teecu memungkinkan, teecu ingin menyelidiki siapa sesungguhnya yang mencuri peti perhiasan lalu menyembunyikan di dalam kamar teecu itu." "Hemmm, apa bedanya itu dengan mendendam? Dan kalau engkau berhasil menemukan orangnya, lalu apa yang akan kau lakukan?" Kalau saja Tan Hok Seng bukan seorang pemuda cerdik dan hanya menuruti panasnya hati saja, kemudian menjawab bahwa dia akan membunuh orang itu, tentu suami isteri itu akan kecewa dan belum tentu mereka dapat menerimanya dengan hati bulat. Akan tetapi Hok Seng tahu apa yang harus menjadi jawabannya. "Teecu akan melaporkan ke pengadilan supaya ditangkap sehingga dapat membersihkan nama teecu yang telah difitnah." Jawaban ini melegakan hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Dan untuk menjenguk isi hati calon murid ini, Siangkoan Ci Kang bertanya lagi, "Apa bila namamu sudah bersih, apakah engkau masih menginginkan kembali jabatan dan kedudukan itu?" "Tidak sama sekali, Suhu. Teecu telah bosan dengan kedudukan itu sebab di sana terjadi banyak kebusukan. Persaingan, fitnah, sogok-menyogok, kecurangan dan mementingkan diri sendiri. Hampir semua pejabat hanya memikirkan bagaimana untuk mendapat untung sebanyaknya. Teecu sudah muak dengan semua keadaan itu." Bukan main girang hati suami isteri itu. "Baiklah, Hok Seng. Mulai hari ini engkau menjadi murid kami dan kami berharap engkau menjadi murid yang baik. Untuk mengetahui dasar yang ada padamu, cobalah engkau mainkan semua ilmu silat yang pernah kau pelajari." Mereka pergi ke lian-bu-thia dan belum lama mereka memasuki ruangan berlatih silat ini, Bi Lian menyusul mereka. Gadis ini merasa heran melihat betapa tamu itu diajak masuk ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) oleh ayah ibunya. Ketika dia bertanya, dia merasa semakin heran mendengar penjelasan ibunya. "Bi Lian, Tan Hok Seng telah kami terima menjadi murid kami. Mulai sekarang dia adalah sute-mu, tetapi engkau boleh menyebut suheng (kakak seperguruan) karena dia tebih tua darimu. Dan Hok Seng, engkau boleh menyebut sumoi (adik seperguruan) kepada puteri kami Siangkoan Bi Lian ini." "Sumoi...!" Hok Seng cepat mengangkat kedua tangan di depan dada menyalam gadis itu. Sikap ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda itu menghormatinya, bahkan tak segan memberi hormat lebih dahulu biar pun dia mendapat kehormatan untuk menjadi saudara tua. Diam-diam Bi Lian tidak puas. Bagaimana pun juga, pemuda itu baru saja menjadi murid ayah ibunya, dan dalam ilmu silat jauh berada di bawah tingkatnya, mana pantas menjadi suheng-nya? Akan tetapi rasanya tidak enak juga kalau disebut suci (kakak seperguruan) oleh pemuda yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya. Hal itu akan mendatangkan perasaan cepat tua di dalam hatinya. Maka dia pun tidak membantah dan dia membalas penghormatan Hok Seng sambil berkata lirih. "Selamat menjadi murid ayah dan ibu, Suheng." Demikianlah, sejak hari itu Tan Hok Seng menerima gemblengan dari dua orang gurunya sesudah memperlihatkan seluruh ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Menurut penilaian Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, ternyata dasar ilmu silat pemuda ini sudah cukup lumayan. Dia telah mempelajari bermacam-macam ilmu silat, hanya tenaga dasar sinkang-nya yang kurang, sebab itu Siangkoan Ci Kang memberi pelajaran berlatih dan menghimpun tenaga sinkang. Sedangkan Toan Hui Cu mengajarkan silat Kwan Im Sin-kun, bahkan sepasang suami isteri itu kemudian mengajarkan ilmu baru mereka, yaitu Kim-ke Sin-kun. *************** Tentu saja suami isteri yang selama belasan tahun tinggal sebagai orang hukuman di kuil Siauw-lim-si itu dan kurang pengalaman, sama sekali tak pernah bermimpi bahwa mereka sudah menerima seorang murid yang seolah-olah harimau berbulu domba! Tan Hok Seng bukanlah orang seperti yang mereka duga dan gambarkan! Sesudah mendengar Tan Hok Seng menceritakan riwayatnya, maka tidak sukar menduga siapa dia sebenarnya. Tan Hok Seng bukan lain hanyalah nama samaran dari Tang Gun! Sudah diceritakan di bagian depan betapa perwira muda istana ini melarikan seorang selir terkasih kaisar. Dia ditangkap oleh Tang Bun An yang ingin mencari jasa dan kedudukan, kemudian diserahkan kepada kaisar! Tentu saja kaisar marah sekali dan Tang Gun dijatuhi hukuman buang. Dalam perjalanan ke tempat pembuangan dia diselamatkan oleh seorang berkedok yang lihai sekali. Bukan saja dia dibebaskan, malah juga diberi sekantung uang emas sebagai bekal. Sama sekali dia tidak tahu dan tak dapat menduga siapa adanya orang berkedok yang membebaskan dirinya itu. Tang Gun, atau sebaiknya kini kita menyebutnya Tan Hok Seng sebagai nama barunya, tentu saja tidak berani mempergunakan nama aslinya karena betapa pun juga dia adalah seorang pelarian dan buronan. Selain itu, jika dia memperkenalkan nama aslinya kepada suami isteri yang kini telah menjadi gurunya itu dan kemudian mereka mendengar bahwa dia dihukum karena melarikan seorang selir kaisar, tentu kedua orang gurunya itu takkan sudi menerimanya sebagai murid. Karena itu dia pun mengarang cerita yang tidak begitu menarik perhatian, walau pun yang dia anggap sebagai musuhnya, yaitu yang melakukan fitnah adalah orang yang telah menangkapnya itu. Sejak remaja Tan Hok Seng telah merantau dan mengalami banyak penderitaan. Dengan pengalamannya yang amat banyak ini dia bisa membawa diri secara baik, dapat bersikap lembut dan sopan sehingga dengan mudahnya dia dapat mengelabui Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Bahkan Bi Lian sendiri mulai tertarik dan merasa suka kepada suheng itu sesudah lewat satu bulan dia tinggal dan mempelajari silat di rumah suami isteri pendekar itu,. Siapa pun dalam keluarga itu akan merasa suka kepada Hok Seng. Pemuda ini amat rajin, pagi-pagi sekali sudah bangun dan sejak dia berada di situ, rumah dan pekarangan keluarga itu nampak semakin bersih dan terpelihara baik-baik. Hok Seng bekerja tanpa mengenal lelah dan tidak mengenal pekerjaan kasar atau rendah. Biar pun dia pernah menjadi seorang perwira muda istana yang membuat dia hidup mewah serta terhormat, tetapi kini dia tidak segan untuk menyapu pekarangan, membelah kayu bakar, memikul air dan segala pekerjaan kasar lainnya. Ketekunannya dalam mempelajari dan melatih ilmu silat membuat suami isteri itu kagum bukan main, maka dia pun cepat mendapatkan kemajuan. Semua sikap yang baik inilah yang mulai menarik perhatian Bi Lian. Dan semakin tebal harapan terkandung dalam hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bahwa kelak pemuda itu akan dapat menjadi mantu mereka! Kurang lebih setengah tahun sudah lewat dengan cepatnya semenjak Hok Seng tinggal di Kim-ke-kok menjadi murid ayah dan ibu Bi Lian. Bukan saja kedua orang gurunya makin suka kepadanya, bahkan hubungannya dengan Bi Lian menjadi semakin akrab, dan gadis itu mulai percaya akan segala kebaikan yang diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada suatu sore mereka latihan bersama di lian-bu-thia. Mereka berlatih ilmu silat Kim-ke Sin-kun, ilmu baru yang diciptakan Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mengagumkan sekali melihat dua orang muda itu berlatih silat. Yang pria tinggi tegap, berwajah tampan dan gagah, memiliki gerakan yang mantap bertanaga, sedangkan wanitanya cantik jelita dan memiliki gerakan lincah. Dari latihan ini saja dapat diketahui bahwa Hok Seng sudah memperoleh kemajuan pesat sekali. Bahkan dalam latihan ilmu silat Kim-ke Sin-kun ini dia sama sekali tidak terdesak oleh sumoi-nya! Dalam hal tenaga sinkang dia juga sudah memperoleh kemajuan dan kini tenaganya menjadi amat kuat, walau pun dibanding Bi Lian tentu saja dia masih kalah. Mereka baru saja selesai latihan dan kini sedang beristirahat di luar lian-bu-thia, berjalan-jalan di taman bunga sambil menyeka keringat dengan kain. Keduanya lalu duduk saling berhadapan di dekat kolam ikan, di atas bangku batu. "Aih, Sumoi. Sampai kapan pun aku takkan mungkin mampu menandingimu. Gerakanmu demikian matang, tenagamu juga kuat sekali dan engkau dapat bergerak secepat burung walet." Hok Seng memuji sambil menatap wajah sumoi-nya dengan sinar mata kagum. Bi Lian sudah biasa dengan tatapan mata kagum ini, akan tetapi karena dia tidak melihat adanya pandang mata yang kurang ajar, maka dia pun bahkan selalu merasa bangga dan gembira bila mana suheng-nya memandang seperti itu. Andai kata Hok Seng tidak pandai menahan diri dan pandangan matanya mengandung pencerminan keadaan hatinya yang penuh birahi, tentu Bi Lian dapat melihat dan merasakannya, dan tentu dia akan merasa tidak senang bahkan marah sekali. "Suheng, jangan khawatir. Kulihat engkau telah memperoleh kemajuan yang pesat. Kalau engkau terus tekun berlatih, terutama sekali menghimpun sinkang seperti diajarkan ayah, aku percaya kelak engkau akan mampu menyusulku." Hok Seng menarik napas panjang dan wajahnya yang tampan nampak termenung, diliputi mendung. Melihat ini Bi Lian merasa heran. Selama ini belum pernah dia melihat suheng-nya bermuram seperti itu. "Suheng, engkau kenapakah? Apa yang kau pikirkan?" Kembali Hok Seng menarik napas panjang. "Ahh, Sumoi, betapa besar keinginanku dapat mempunyai ilmu kepandaian seperti engkau agar tidak ada lagi orang berani menghinaku dan menjatuhkan fitnah kepadaku seperti yang pernah kualami." "Suheng, aku pernah mendengar dari ibuku bahwa dulu engkau pernah menjadi seorang perwira di istana akan tetapi difitnah orang sehingga kehilangan kedudukanmu. Benarkah itu? Ceritakanlah kepadaku, Suheng. Aku ingin mendengarnya." "Memang betul demikian, Sumoi. Dengan susah payah aku merintis dan berusaha secara tekun sehingga dari seorang prajurit pengawal aku dapat menduduki jabatan perwira dan dipercaya oleh istana. Namun kemudian terjadi pencurian perhiasan milik seorang puteri istana dan si pencuri menyembunyikan peti perhiasan itu di bawah pembaringan di dalam kamarku. Jelas bahwa aku telah difitnah orang. Karena itu aku tekun berlatih silat supaya memperoleh kepandaian yang cukup untuk melakukan penyelidikan." "Engkau hendak membalas dendam?" "Tidak, aku hanya ingin membongkar rahasia pencurian itu sehingga yang bersalah akan dihukum, dan aku dapat membersihkan nama baikku." "Kalau engkau mengetahui bahwa engkau difitnah, kenapa dulu engkau tidak mengambil tindakan, Suheng?" Hok Seng menggelengkan kepala dengan sedih, lantas terbayanglah di dalam ingatannya penghinaan yang terjadi atas dirinya pada saat dia ditangkap dan diseret ke kota raja oleh penangkapnya itu. "Aku difitnah oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, Sumoi. Ketika itu pun aku sudah melawan, akan tetapi aku sama sekali tidak berdaya menghadapi orang yang lihai itu. Dan sekarang, menurut penyelidikanku sebelum tinggal di sini, orang yang melakukan fitnah itu telah memperoleh kedudukan tinggi sebagai imbalan jasanya karena menangkap aku sebagai pencurinya! Aku akan membongkar rahasianya itu kalau aku sudah memiliki kepandaian cukup tinggi. Sebelum kepandaianku cukup, baginya aku takkan ada artinya, bahkan mungkin aku akan ditangkap kembali sebagai seorang pelarian. Dia sangat lihai, Sumoi." Hati Bi Lian sangat tertarik. Ada perasaan setia kawan terhadap suheng-nya yang difitnah orang itu, juga perasaan marah dan penasaran. Orang yang melakukan fitnah jelas orang yang berhati kejam dan jahat, pikirnya. "Suheng, siapa sih orang yang melakukan fitnah terhadap dirimu itu?" "Menurut penyelidikanku, namanya Tang Bun An." Berkerut alis Bi Lian mendengar she (nama keluarga) Tang itu. Teringat dia akan Hay Hay yang juga marga Tang. Ang-hong-cu Si Kumbang Merah yang menjadi ayah kandung Hay Hay itu, penjahat cabul yang amat jahat, juga she Tang. Tetapi Bi Lian hanya menyimpan perasaan kaget itu di dalam hatinya saja. Bi Lian tidak ingin suheng-nya mendengar tentang Ang-hong-cu, juga tak ingin ada orang lain mendengar bahwa adik kandung suheng-nya yang pernah ditunangkan dengannya itu telah menjadi korban kecabulan Ang-hong-cu. Pek Eng, adik Pek Han Siong itu, kini telah menjadi isteri Song Bun Hok putera ketua Kang-jiu-pang. Seorang pendekar wanita lain, Cia Ling, masih keluarga dekat Cin-ling-pai, juga menjadi korban Ang-hong-cu itu, namun kini Cia Ling juga sudah menjadi isteri Can Sun Hok. Kalau dia bercerita mengenai Ang-hong-cu, tentu sukar baginya untuk tidak menceritakan kedua orang pendekar wanita itu dan dia tidak ingin melakukan hal ini. Peristiwa aib yang menimpa kedua pendekar itu harus dikubur dan dilupakan. Karena itulah Bi Lian tak mau memperlihatkan kekagetannya mendengar bahwa musuh Hok Seng adalah seorang she Tang yang mengingatkan dia kepada Si Kumbang Merah Ang-hong-cu. "Tang Bun An? Hemm, orang macam apakah dia dan sampai di mana kelihaiannya?". "Usianya sekitar lima puluh tahun lebih. Dia nampak tampan dan gagah, dan tentang ilmu silatnya, aku tidak dapat mengukur berapa tingginya, akan tetapi dulu aku seperti seorang anak kecil yang lemah ketika melawannya. Dalam segebrakan saja aku sudah roboh." "Apakah orang ini memelihara kumis dan jenggot yang rapi, matanya tajam mencorong dan mulutnya selalu tersenyum?" tanyanya. Dia teringat akan Ang-hong-cu yang dahulu pernah muncul dengan nama Han Lojin. Han Lojin yang kemudian ternyata Ang-hong-cu itu juga berusia lima puluh tahun lebih, gagah dan tampan, dengan kumis dan jenggot yang terpelihara rapi. "Dia memang memiliki mata yang tajam dan sikapnya ramah, akan tetapi mukanya halus bersih, tidak berkumis mau pun berjenggot. Kenapa engkau bertanya demikian, Sumoi?" "Ah, tidak. Aku teringat kepada seseorang, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan urusanmu itu. Suheng, mengapa tidak sekarang saja engkau pergi ke kota raja kemudian membongkar rahasia fitnah dan pencurian itu? Lebih cepat namamu dibersihkan, semakin baik, bukan?" "Mana mungkin, Sumoi? Aku merasa belum sanggup menandinginya dan kalau kembali aku tertawan, berarti aku bukan hanya menghadapi penderitaan dan hukuman berat, juga akan menyeret nama baik suhu dan subo. Tidak, sebelum merasa yakin telah menguasai ilmu yang lebih tinggi sehingga akan dapat mengalahkannya, aku belum berani mencoba untuk membongkar fitnah itu, sumoi." "Suheng, aku akan membantumu! Kalau dibiarkan terlalu lama, namamu sudah terlanjur rusak dan kedudukan orang itu terlanjur kuat sekali sehingga sukar untuk ditangkap." Wajah Hok Seng berseri. Kalau sumoi-nya ini mau membantu, tentu lain soalnya. Sumoi-nya ini hebat, memiliki ilmu kepandajan tinggi sekali, dapat disebut sakti, dan dia percaya kalau sumomya ini akan mampu menandingi orang yang dahulu menangkapnya itu. "Akan tetapi aku merupakan seorang pelarian atau orang buruan, maka aku tidak berani berterang memasuki kota raja, Sumoi." "Itu mudah saja, Suheng. Engkau masuk dengan cara menyamar dan menyelundup. Lalu secara diam-diam kita mencari orang yang melakukan fitnah itu, apa sukarnya?" "Akan tetapi harus berhati-hati, Sumoi. Selain lihai dia juga tukang fitnah, tentu dia akan menyangkal semua perbuatannya yang keji, bahkan tidak mungkin dia akan melontarkan fitnah yang lebih keji terhadap diriku!" "Jangan khawatir, Suheng. Aku yakin kita berdua akan dapat membongkar rahasia itu dan membekuknya." Ketika mereka menghadap Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu lalu menyatakan hendak pergi bersama ke kota raja untuk membongkar urusan fitnah, juga hendak membersihkan nama baik Tan Hok Seng yang pernah tercemar, kedua orang suami isteri itu sebenarnya merasa tidak setuju. Akan tetapi karena mereka melihat kesempatan bagi puteri mereka untuk bergaul secara lebih akrab dengan Hok Seng yang diharapkan menjadi calon mantu mereka, maka mereka pun memberi persetujuan mereka. "Akan tetapi engkau tentu masih ingat dengan pengakuanmu dahulu bahwa engkau tidak menaruh dendam pada orang yang melempar fitnah kepadamu, bukan?" kata Siangkoan Ci Kang. "Dan kalian jangan menimbulkan keributan di kota raja, apa lagi kalau sampai menentang petugas pemerintah," pesan pula Toan Hui Cu. "Harap Suhu dan Subo tenangkan hati," jawab Tan Hok Seng tenang. 鈥淭eecu ke kota raja bukan karena mendendam, melainkan atas dorongan sumoi teecu hendak mencuci nama baik teecu yang dicemarkan orang, menangkap yang bersalah agar dihukum. Dan teecu bersama sumoi akan bekerja diam-diam sehingga tidak sampai menimbulkan keributan di kota raja, apa lagi karena teecu masih merupakan seorang pelarian sebelum nama teecu dibersihkan kembali." Di dalam hatinya tentu saja pemuda ini sama sekali bukan berniat untuk 'membersihkan nama' karena bagaimana pun juga, namanya yang asli tidak mungkin dapat dibersihkan lagi. Dia sudah membuat dosa besar kepada kaisar, yaitu melarikan seorang selir terkasih kaisar. Hal itu telah terbukti, bagaimana mungkin dibersihkan lagi? Yang jelas, dia menaruh dendam kepada Tang Bun An yang menurut penyelidikannya kini telah menjadi seorang perwira tinggi, mempunyai kedudukan yang bahkan lebih tinggi dari kedudukannya dahulu karena sudah berjasa menemukan kembali selir yang minggat dan menangkap dia sebagai pembawa pergi selir itu. Dia merasa yakin akan dapat membalas dendam kepada orang itu, bukan saja karena kini dia telah memperoleh kemajuan pesat sekali dalam ilmu silat, akan tetapi dia ditemani Siangkoan Bi Lian, gadis perkasa yang memiliki ilmu silat tinggi itu. Sebetulnya hanya itulah yang terpenting, yaitu membalas dendam kepada Tang Bun An! Yang lain dia tidak peduli. Kalau sudah berhasil membunuh Tang Bun An, dia akan lebih tekun belajar silat, kemudian, apa bila keadaannya memungkinkan, dia akan mendekati Bi Lian dan mengusahakan agar gadis yang amat cantik jelita menggairahkan dan lihai ilmu silatnya ini dapat menjadi isterinya! *************** Tidak sukar bagi seorang menteri negara yang memiliki kekuasaan demikian besar seperti Menteri Cang Ku Ceng untuk minta bantuan seorang perwira pengawal thaikam (kebiri) sehingga Kui Hong dengan mudah dapat diselundupkan ke dalam istana! Karena maksud Kui Hong menyelundup ke dalam istana hanya untuk melakukan pengintaian dan sedapat mungkin menangkap basah pria yang menurut desas-desus kabarnya menggauli hampir semua selir, dayang dan puteri istana, maka dia pun hanya minta waktu satu minggu saja untuk melakukan penyelidikan. Dan waktu untuk mengintai baginya hanya malam hari. Oleh karena itu, untuk membebaskan gadis perkasa itu dari perhatian dan kecurigaan, Kui Hong selalu bersembunyi di siang hari, disembunyikan oleh perwira thaikam itu di dalam kamar seorang wanita setengah tua yang bekerja sebagai tukang cuci dan bisa dipercaya penuh oleh perwira thaikam itu. Setelah hari menjadi gelap, barulah Kui Hong keluar dari dalam kamar itu untuk melakukan perondaan secara rahasia. Memang tidak mudah bagi perwira thaikam itu untuk mempercaya seorang pun di dalam istana, kecuali wanita tukang cuci yang masih terhitung saudara misan ibunya di dusun. Hampir semua wanita di dalam istana, terutama yang masih muda dan cantik, agaknya memiliki hubungan dengan pria misterius yang tidak pernah dilihat orang memasuki istana itu. Kalau pun ada yang melapor, mereka hanya melihat berkelebatnya bayangan seorang pria, namun belum pernah melihat orangnya. Agaknya tidak mungkin ada orang yang kelihatan bayangannya tidak kelihatan orangnya. Hanya setan saja yang demikian itu. Tapi anehnya Sang Permaisuri sendiri agaknya acuh atau tidak menaruh perhatian, bahkan nampak tidak percaya kalau diberi laporan bahwa ada pria memasuki istana bagian puteri. Karena itulah terpaksa Kui Hong diselundupkan secara tersembunyi, tidak seperti seorang dayang baru atau pelayan baru. Karena jika tidak dilakukan demikian, Kui Hong khawatir kalau kehadirannya akan mencurigakan hati orang dan akan membuat laki-laki yang suka berkeliaran di dalam istana bagian puteri itu berhati-hati dan tidak muncul lagi. Kehadirannya di dalam istana harus dirahasiakan dan tidak boleh diketahui umum. Hal ini dia kemukakan kepada Menteri Cang Ku Ceng, dan menteri yang bijaksana ini kemudian menggunakan kekuasaannya untuk dapat memenuhi permintaan Kui Hong. Sudah tiga hari tiga malam Kui Hong berada di dalam istana, hanya diketahui oleh Menteri Cang, perwira thaikam, dan pelayan wanita tukang cuci di istana. Setiap malam gadis ini melakukan pengintaian dan perondaan, tetapi dari pagi sampai sore dia bersembunyi saja di dalam kamar. Akan tetapi selama ini belum pernah dia menemukan sesuatu yang mencurigakan, belum pernah bertemu seorang pria yang berkeliaran di istana bagian puteri itu. Yang kelihatan hanyalah para pengawal istana, yaitu orang-orang thaikam yang melakukan perondaan. Bosan juga rasanya, dan Kui Hong hampir putus asa ketika pada malam yang ke empat dia melakukan pengintaian lagi secara rahasia. Malam itu hawa udara dingin bukan main. Suatu keadaan yang menambah sengsara perasaan Kui Hong yang memang sudah kesal dan bosan karena semua jerih payahnya tidak ada hasilnya. Untuk melawan hawa dingin yang menusuk tulang, terpaksa dia mengerahkan sinkang di dalam tubuhnya. Padahal, pada waktu malam dingin yang membuat orang menggigil itu, enaknya tinggal di dalam sebuah kamar yang hangat, di mana terdapat perapian yang akan membikin badan terasa nyaman. Musim semi telah tiba, kembang-kembang di taman istana telah kuncup, bahkan ada yang mulai mekar sehingga keharumannya semerbak di seluruh istana. Akan tetapi hawa dingin musim lalu agaknya masih tergantung di udara. Bagaikan bayangan setan, Kui Hong menyusup di antara pondok-pondok mungil di celah-celah taman-taman bunga yang indah. Biar pun malam itu sunyi sekali karena sore-sore para penghuni istana bagian puteri sudah memasuki kamar masing-masing karena tidak kuat berada di luar yang amat dingin, akan tetapi Kui Hong tetap berhati-hati. Dia sedang melakukan pengintaian terhadap orang yang sama sekali tidak diketahuinya siapa dan kapan atau di bagian mana dari tempat itu dia akan muncul. Maka, tentu saja dia sama sekali tidak boleh kelihatan oleh orang itu. Kui Hong terus menyusup-nyusup di antara tanaman-tanaman bunga, atau pepohonan, atau pondok-pondok, kadang-kadang berhenti sejenak untuk memperhatikan keadaan di sekelilingnya dengan pandang mata dan pendengaran telingannya. Waktu itu sudah menjelang tengah malam. Ketika dia memasuki taman bunga di sebelah belakang bangunan induk istana yang menjadi tempat tinggal permaisuri, tiba-tiba saja dia melihat berkelebatnya bayangan orang! Jantungnya berdebar tegang ketika dia hampir menjatuhkan diri untuk menyelinap di balik bunga dan mengintai. Bayangan itu memiliki gerakan yang sangat ringan dan gesit, dan tahu-tahu bayangan itu sudah berdiri di bawah sebatang pohon sambil mengamati keadaan sekelilingnya. Hemm, orang itu memang berhati-hati sekali, pikir Kui Hong. Malam begitu dingin dan suasana begitu sunyi, bahkan para pengawal thaikam agaknya merasa malas untuk meronda saking dinginnya hawa udara. Dan orang ini agaknya kenal betul dengan keadaan ini, yaitu saat-saat dan tempat yang akan sunyi senyap kalau hawa udara sedang dingin sekali seperti sekarang. Walau pun berhati-hati, nampak jelas bahwa sikapnya amat tenang ketika melihat sekeliling, kemudian pandang matanya berhenti dan menatap sebuah pondok yang berdiri tak jauh dari situ. Pondok itu tidak terlalu besar tetapi sangat indah, apa lagi dikelilingi dengan taman bunga di mana kembang-kembangnya mulai mekar. Nampak dua lampu gantung yang dipasang di depan dan di belakang pondok itu sehingga biar pun hanya remang-remang akan tetapi Kui Hong dapat melihat bahwa dinding pondok itu berwarna hijau. Dari jendela terbayang penerangan di dalam pondok hijau itu, tanda bahwa ada orang di dalamnya Lelaki ini tidak lama berdiri di sana. Sesudah merasa yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain, dia kembali berkelebat dan dengan beberapa lompatan saja tubuhnya sudah tiba di depan pintu pondok yang masih tertutup. Tanpa ragu dia lalu mengetuk pintu itu. "Tok! Tok! Tok!" Dengan pendengarannya yang terlatih Kui Hong dapat mendengar ketukan itu, dan entah mengapa dia merasa tiga kali ketukan itu seolah-olah berirama seperti merupakan sebuah isyarat. Maka tahulah dia bahwa agaknya pria ini sudah mengenal penghuni atau orang yang berada di dalam pondok itu. Kui Hong melihat pintu itu dibuka dari dalam, namun pembuka pintu itu tidak nampak dari tempatnya mengintai. Sesudah pria itu memasuki pondok dan pintunya sudah ditutup lagi, dengan amat hati-hati dan dengan gerakan ringan sekali Kui Hong berkelebat mendekati pondok itu. Bukan main girangnya hati gadis itu ketika melalui celah-celah di antara tirai jendela dia dapat mengintai ke dalam. Kiranya, di dalam sebuah ruangan yang terang dan indah, pria itu sudah duduk di atas lantai yang ditilami kasur yang lebar dan dia sudah dikelilingi oleh lima orang wanita yang cantik-cantik! Wanita yang berpakaian mewah, berusia antara dua puluh hingga tiga puluh tahun, kelimanya cantik manis dan jelas merupakan wanita-wanita bangsawan! Dari perwira thaikam yang menyembunyikan dirinya, dia sudah mempelajari tentang para wanita yang tinggal di istana, maka dia pun tahu bahwa lima orang wanita itu tentu selir-selir kaisar! Dan kini kelima orang selir kaisar itu secara tidak tahu malu dan tanpa sopan santun sedang duduk mengelilingi seorang laki-laki dengan sikap dan pandang mata yang demikian genitnya! "Kalian berdua berjaga di luar, seorang di depan dan seorang lainnya di belakang. Cepat!" kata seorang di antara lima wanita cantik itu kepada dua orang gadis lainnya yang berdiri di dekat pintu. Dua gadis itu memberi hormat, lalu keluar dengan wajah bersungut-sungut. Malam begini dingin dan mereka disuruh berjaga di luar! Padahal mereka berdua juga termasuk kekasih pria setengah tua yang ganteng itu! Akan tetapi karena kedudukan mereka hanya dayang, sedangkan lima orang wanita di dalam pondok itu adalah majikan-majikan mereka, maka tentu saja kedua orang itu tidak berani membantah. Kui Hong cepat menyelinap pergi ketika dua orang gadis dayang itu keluar pondok. Dua gadis itu langsung berpisah saat keluar tadi, seorang melalui pintu belakang dan seorang lagi melalui pintu depan. Setelah tiba di depan dan di belakang pondok, mereka berjalan mengitari pondok. Akan tetapi karena keadaan sunyi, aman dan sangat dingin, keduanya lalu berlindung di dekat pintu depan dan belakang yang terlindung oleh tembok sehingga sedikit banyak dapat terhindar dari semilirnya angin malam yang membuat hawa menjadi semakin dingin tak tertahankan. Melihat dua orang dayang itu berdiri di dekat pintu, Kui Hong menyelinap lagi mendekati jendela. Begitu mengintai, dia langsung membuang muka setelah melihat betapa kini pria itu berpelukan dan bermesraan dengan lima orang wanita itu. Seorang pria dikeroyok oleh lima orang wanita! Dia hanya butuh mendengarkan percakapan di antara mereka, bukan melihat tontonan yang tidak senonoh itu! "Engkau sungguh kejam sekali, membiarkan kami kedinginan dan menanti dengan sia-sia sampai tiga malam. Kemana saja engkau selama ini?" "Memang laki-laki berhati kejam. Membiarkan orang setengah mati dalam kerinduan!" "Agaknya dia mempunyai kekasih di luar istana, maka sudah melupakan kita!" Demikian lima orang wanita itu menegur sambil diselingi suara tawa cekikikan. Kui Hong merasa muak sekali. Begitukah tingkah laku para selir itu? Mereka lebih pantas menjadi pelacur dari pada menjadi selir kaisar, menjadi wanita-wanita bangsawan! "Aah, ciangkun (perwira), apa yang hendak kau katakan sekarang?" seorang wanita lain menuntut. Kui Hong mendengar suara laki-laki tertawa. Suara tawa yang tenang dan bebas, lantas disambung dengan suaranya yang dalam. "Aih, kalian ini sungguh tidak menaruh kasihan kepadaku! Aku harus beristirahat. Ingat, aku bukan seekor ayam jantan yang masih enak saja berkokok walau pun harus melayani puluhan ekor ayam betina!" Terdengar suara wanita cekikikan menyambut ucapan pria itu. "Huhh, kau samakan kami dengan ayam-ayam betina, ya? Terlalu!" Kemudian terdengarlah suara gedebag-gedebug pukulan manja yang disambut oleh pria itu sambil tertawa-tawa. Kui Hong tidak tahan untuk mendengar lebih lanjut. Dia cepat berkelebat menjauhi jendela itu dan menyelinap ke bawah pohon yang rindang. Dari jauh dia termenung memandang ke arah jendela pondok itu. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Pria itulah yang dimaksud oleh Menteri Cang! Dan kecurigaan menteri itu memang tepat sekali, karena dia pun kini hampir yakin bahwa pengacau istana itu, lelaki yang menyeret hampir semua wanita di dalam istana ke lembah kenistaan, tentu juga perwira bernama Tang Bun An itu. Pertemuan di pondok itu sekaligus membongkar dua rahasia itu. Rahasia pria misterius yang mengotori kehormatan istana dan rahasia perwira Tang Bun An. Sungguh sayang, pikirnya. Sayang bahwa perwira itu bukan Ang-hong-cu seperti yang diduganya semula, walau pun nama keluarga mereka sama, yaitu Tang. "Apa yang harus kulakukan sekarang?" Kui Hong berpikir-pikir. Kini pergi meninggalkan pondok ini dan besok melaporkan hasil penyelidikannya kepada Menteri Cang? Akan tetapi, apa artinya? Tentu saja Tang Bun An dapat menyangkal dan semua selir pasti akan berpihak kepadanya. Para selir itu tentu berani bersumpah bahwa perwira itu tidak pernah mengunjungi mereka di istana bagian puteri itu! Maka apa artinya kesaksian dia seorang diri? Walau pun hatinya diliputi keraguan, namun Kui Hong terus memikirkan cara untuk dapat menangkap pria ini dengan bukti-bukti kuat agar dia tidak mampu mengelak lagi. Alisnya berkerut, sementara pandangan matanya tidak pernah lepas menatap pondok itu, di mana pria setengah tua yang masih nampak gagah itu sedang bersenang-senang dengan lima orang selir kaisar. Agaknya takkan ada gunanya untuk melaporkan pria itu. Dia tidak memiliki satu pun bukti selain pemandangan yang disaksikannya. Juga tidak ada orang lain yang dapat dijadikan saksi untuk mendukung keterangannya. Wanita-wanita di dalam pondok itu bahkan dapat membalikkan kenyataan sehingga akan menyerang dirinya sendiri. Tidak mungkin pula untuk menangkapnya saat ini, ketika mereka masih berada di dalam lingkungan istana. Melihat gerakannya tadi yang sangat cepat dan gesit, laki-laki ini tentu mempunyai kepandaian yang tidak rendah. Apabila dia nekat menyerangnya, pasti akan terjadi pertarungan yang menimbulkan keributan, lantas sekejap saja akan datang banyak pengawal istana mengepung tempat itu. Aku harus menunggunya di luar lingkungan istana, kemudian menangkapnya setelah dia keluar dari istana, demikian Kui Hong mengambil keputusan setelah tidak melihat adanya jalan lain. Mudah saja kalau dia sudah berhasil menangkapnya di luar istana. Apabila dia menyangkal maka dia dapat memaksanya agar mengaku dan kalau perlu menyiksanya! Setelah mengambil keputusan ini, Kui Hong lalu kembali ke kamarnya dan ia minta tolong kepada pelayan wanita setengah tua itu supaya secepatnya memanggil perwira thaikam, saat itu juga. Sesudah perwira itu datang, Kui Hong minta bantuan perwira itu supaya dia dapat dikeluarkan dari istana. "Sekarang juga, Nona? Malam-malam begini?" "Aku mempunyai keperluan penting sekali yang harus kulakukan di luar istana, karena itu aku harus keluar malam ini juga. Kau atur saja agar aku dapat keluar dari istana dengan selamat, ciangkun!" kata Kui Hong dan perwira itu tidak berani membantah. Gadis ini adalah orang kepercayaan Menteri Cang yang telah memerintahkan kepadanya agar dia melayani dan membantu gadis ini. Maka dia sendiri lantas mengawal Kui Hong keluar dari istana bagian puteri, bahkan terus meninggalkan lingkungan istana. Karena yang mengawalnya adalah seorang perwira thaikam yang mengatakan bahwa Kui Hong adalah kerabat seorang selir kaisar, maka dengan mudah saja Kui Hong bisa keluar dari lingkungan istana. Tanpa pengawalan perwira thaikam itu, maka jangan harap dapat keluar masuk istana yang dijaga ketat. *************** Walau pun sudah keluar dari lingkungan istana, namun Kui Hong tetap berada tidak jauh dari tempat itu, tepatnya dia menanti sambil mengintai dari sebuah tempat tersembunyi di dekat pintu gerbang bagian depan istana. Dari tempat ini dia dapat memperhatikan semua orang yang keluar dari pintu gerbang itu, akan tetapi dia sendiri tidak akan terlihat karena tubuhnya terlindung oleh sebatang pohon besar. Ketika menunggu, waktu terasa merambat amat perlahan seperti keong berjalan, apa lagi bagi seorang gadis muda seperti Kui Hong yang harus menanti pada tengah malam dan di tengah hawa udara yang demikian dingin. Karena itu tidak mengherankan apa bila lama kelamaan gadis ini mulai merasa bosan dan mengeluh, bahkan kadang-kadang kelihatan bibirnya berkomat-kamit mengomel, biar pun dilakukan dengan bisik-bisik saja. Tidak terlihat seorang pun yang keluar dari pintu gerbang itu, biar pun dari pos penjagaan di sampingnya dia dapat mendengar nada yang ribut-ribut, karena udara dingin membuat orang malas keluar sebelum matahari terbit. Dan dia memperhitungkan bahwa laki-laki itu tentu tidak akan mengeram diri di dalam istana bagian puteri itu sampai matahari terbit. Akan tetapi omelan yang keluar dari mulut mungil itu makin larut malam semakin menjadi-jadi penuh kedongkolan karena malam telah hampir lewat sedangkan orang yang dinanti-nanti itu belum juga muncul. Akhirnya, sesudah kesabarannya hampir habis, ketika ayam jantan mulai berkokok, nampak orang itu keluar dari pintu gerbang istana yang terdepan. SEORANG perwira setengah tua yang pakaiannya mewah serta langkahnya gagah. Ketika orang itu melewati pintu gerbang yang diterangi lampu besar, dia dapat melihat wajahnya secara jelas dan dengan girang dia mengenal orang itu sebagai bayangan yang semalam disambut di dalam pondok hijau oleh lima orang selir kaisar. Dia membiarkan orang itu lewat, kemudian diam-diam membayangi. Orang itu melangkah terus bagaikan setengah melamun, agaknya masih mabok kesenangan yang dinikmatinya semalam suntuk tadi. Melihat betapa orang itu melangkah biasa saja, agaknya tak curiga dengan keadaan sekitarnya, tidak menoleh ke kanan kiri, Kui Hong lalu membayangi dari jarak agak dekat. Di sinilah letak kesalahan Kui Hong. Dia terlalu memandang rendah terhadap orang yang dibayanginya itu. Dia sama sekali tidak tahu bahwa orang yang dibayanginya itu memang benar Ang-hong-cu seperti yang diduganya semula, tetapi dugaan itu dibuangnya karena melihat bahwa wajah perwira Tang Bun An itu berbeda dengan wajah Ang-hong-cu yang pernah dilihatnya sebagai Han Lojin. Dia lupa akan cerita Ling Ling atau Cia Ling bahwa pria yang memperkosanya itu selain tubuhnya berbau harum cendana, juga wajahnya halus tanpa kumis dan jenggot! Hal itu menunjukkan bahwa kemunculan Han Lojin yang berkumis dan berjenggot hanyalah hasil penyamaran, dan apa bila benar Han Lojin adalah Ang-hong-cu dan pemerkosa Cia Ling, maka kumis dan jenggot yang pada saat itu terpasang di wajahnya tentu hanyalah kumis dan jenggot palsu belaka. Biar pun Kui Hong memiliki gerakan yang cepat dan ringan, namun diam-diam Tang Bun An sudah mengetahui bahwa dirinya sedang dibayangi orang. Diam-diam perwira ini amat terkejut. Dia tidak tahu siapa yang membayanginya dan mengapa ada orang membayangi dirinya. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Jangan-jangan orang ini telah membayangi sejak tadi malam sehingga tahu akan apa yang dilakukannya bersama para selir di dalam istana. Ahh, tidak mungkin, dia membantah kekhawatirannya sendiri. Betapa mungkin ada orang yang dapat membayanginya keluar dari istana tanpa diketahuinya? Kalau orang itu sudah membayanginya sejak keluar dari istana, tentu para penjaga akan mengetahui kemudian timbul ribut-ribut di gerbang itu. Akan tetapi hal itu tidak terjadi, dan sejak tadi suasana di sana sunyi senyap saja. Tang Bun An adalah seorang yang amat percaya terhadap dirinya sendiri, selalu merasa yakin akan kepandaiannya. Selama ini dia malang melintang di dunia kangouw dan belum pernah sekali pun ada orang yang berhasil menangkapnya. Beberapa orang yang secara kebetulan berhasil memergokinya dapat diatasi dengan kepandaiannya. Karena itu sama sekali dia tidak merasa khawatir apa lagi ketakutan ketika mengetahui bahwa dia sedang diikuti oleh sesosok bayangan. Namun, kalau di sekitar istana terjadi ribut-ribut kemudian dia menjadi bahan percakapan dan sorotan, maka hal ini amat tidak baik, bahkan berbahaya. Dia ingin sekali mengetahui siapa yang membayanginya itu dan apa pula sebabnya, juga dia ingin menguji sampai di mana tingkat kepandaian orang ini. Maka kini Tang Bun An mempercepat larinya menuju tembok kota! Pada pagi itu pintu gerbang kota masih tertutup, maka hal ini juga memberi kesempatan kepada Tang Bun An untuk menguji orang yang membayanginya. Betapa pun pandainya, tidak mungkin dia dapat melampaui tembok kota raja yang berupa benteng yang kuat dan terjaga ketat itu. Orang itu tentu tak akan mampu keluar dari kota raja tanpa melalui pintu gerbang yang dijaga ketat oleh sepasukan prajurit-prajurit pilihan yang selalu siap siaga. Benar saja. Ketika dia mulai mendekati pintu gerbang kota raja, dari pos penjagaan tiba-tiba muncul delapan orang prajurit yang segera menghadangnya, dipimpin oleh seorang perwira bertubuh tegap dan berkumis tebal. Akan tetapi mereka semua langsung memberi hormat setelah mengenali siapa orang yang sedang mendekati pintu gerbang itu. “Selamat malam, Tang-ciangkun,” perwira berkumis tebal itu menegur ramah. “Apakah ada keperluan penting sehingga malam-malam seperti ini ciangkun merepotkan diri berkunjung ke sini?” “Benar sekali,” jawab Tang Bun An. “Ada urusan yang harus kuselidiki sehingga malam ini juga aku harus keluar kota. Kalian jaga baik-baik di sini, sampai matahari terbit tidak ada orang yang boleh melewati pintu ini. Tangkap setiap orang asing yang coba-coba keluar dari kota raja. Sekarang bukalah pintu gerbang itu dan segera tutup kembali sesudah aku keluar. Ingat, tangkap setiap orang asing yang hendak melewati pintu gerbang!” Setelah memberi perintah dan pintu gerbang dibuka, Tang Bun An segera berjalan keluar kemudian berdiri di luar dan menunggu hingga pintu itu ditutup kembali oleh para prajurit. “Hemm, hendak kulihat bagaimana caranya engkau dapat keluar dari kota raja dan terus mengikutiku,” pikirnya sambil berjalan menjauh dari pintu gerbang. Tang Bun An tidak pergi terlalu jauh. Sesudah berjarak setengah li dari pintu gerbang, dia pun berhenti dan menanti sambil memandang ke arah tembok benteng yang mengelilingi kota raja dan terutama ke arah pintu gerbang yang tadi dilewatinya. Dia tidak perlu menunggu terlalu lama. Tiba-tiba saja matanya terbelalak melihat sesosok bayangan ramping melompat turun dari atas tembok kota, tidak jauh di samping kiri pintu gerbang. Tang Bun An terkejut sekali. cerita silat online karya kho ping hoo Dalam keremangan cahaya matahari yang baru terbit dia masih dapat melihat bayangan ramping itu, dan sebagai seorang yang telah berpengalaman sekali dalam urusan wanita, dia tahu pasti bahwa bayangan itu adalah tubuh seorang wanita muda. Yang membuat dia merasa sangat terkejut adalah kenyataan bahwa wanita muda ini melompat turun dari atas tembok kota. Ini berarti bahwa ginkang wanita ini benar-benar hebat sehingga tadi di sebelah dalam dia mampu pula melompat naik ke atas tembok itu. Bukan main! Akan tetapi tentu saja dia tidak takut, hanya merasa heran kenapa pendekar wanita muda ini tahu-tahu membayangi dan mengejarnya! Dia bersikap tidak mengenalnya dan setelah gadis itu berdiri di depannya, dia pun berkata dengan nada suara keheranan. “Aihh, agaknya engkau mengejar aku, Nona. Benarkah dugaanku bahwa engkau sedang mengejarku?” dia bertanya sambil memandang dengan penuh perhatian. Kui Hong mengamati wajah perwira itu. Kini matahari pagi mulai mengusir kegelapan yang masih tersisa sedikit sehingga dia dapat melihat wajah itu lebih jelas dari pada ketika dia mengintai dari luar jendela. Wajah yang masih tampan dan gagah. Usia yang sudah setengah abad lebih itu bahkan membuatnya nampak matang dan dewasa benar. Akan tetapi sinar mata yang mencorong tajam itu mengandung kecabulan. Hal ini kelihatan jelas ketika sinar mata itu seolah-olah meraba-raba dan menggerayangi seluruh tubuhnya sehingga Kui Hong merasa geli dan jijik sendiri. “Hemm, penjahat cabul! Menyerahlah engkau untuk ketangkap dan kuhadapkan kepada yang berwajib untuk diadili!” Tang Bun An terkejut sekali, bukan dibuat-buat melainkan betul-betul terkejut. Jelas gadis ini menjadi petugas pemerintah, namun entah siapa yang mengutusnya untuk menyelidiki hal ihwal dirinya. Akan tetapi dia mengusir keterkejutan itu dan bersikap tenang. “Nona, apakah kesalahanku maka Nona hendak menangkapku? Dan siapa yang meminta agar Nona menangkapku?” “Tidak perlu berpura-pura lagi. Menteri Cang Ku Ceng menyuruhku untuk manangkapmu dan mengenai kesalahanmu, engkau dapat menanyakan kepada beliau. Aku terlalu muak dan jijik untuk menjelaskannya. Sekarang menyerahlah engkau!” Tang Bun An segera maklum. Agaknya perbuatannya sudah diketahui orang dan selama ini semua gerak-geriknya telah diawasi oleh Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal sebagai seorang menteri yang bijaksana dan setia terhadap istana. Maka tidak mengherankan apa bila Menteri Cang hendak menangkapnya, akan tetapi dia masih berlagak heran. “Menteri Cang Ku Ceng? Apa maksudnya semua ini? Mengapa beliau mengutus Nona untuk menangkap aku? Aku adalah seorang perwira pengawal, dan Nona adalah seorang gadis biasa. Bagaimana aku bisa percaya bahwa Nona diutus Cang Taijin?” Kui Hong mengeluarkan surat jimat itu, surat tugas dan kekuasaan yang didapatnya dari Cang Taijin. Dia membuka surat itu lalu memperlihatkannya kepada Tang Bun An. “Inilah surat perintah itu! Tang Bun An, lebih baik engkau segera menyerah untuk kutawan dan kuhadapkan kepada beliau!” Tang Bun An semakin kaget. Dia mengenal cap kebesaran menteri itu dan sekarang dara muda ini bisa menunjukkan surat kuasa di mana terdapat cap kebesaran itu. Jelas bahwa wanita ini tidak berbohong dan memang memegang kekuasaan untuk menangkapnya. Mata Tang Bun An memandang tajam. Ketika pertama melihat Kui Hong tadi, dia merasa girang bukan main setelah mendapat kenyataan bahwa yang mengejarnya adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dengan tubuh amat menggairahkan. Biasanya dialah yang mengejar para wanita, tetapi sekali ini justru ada seorang gadis muda yang mengejarnya. Harus diakuinya bahwa gadis ini adalah wanita tercantik yang pernah dilihatnya, bahkan wanita-wanita di dalam istana tidak ada yang dapat menyamainya. Namun, sesudah melihat gadis itu membawa surat kekuasaan dari Menteri Cang Ku Ceng untuk menangkapnya, hilang sudah seluruh nafsu birahinya terhadap kecantikan Kui Hong dan ancaman bahaya membuat dia sekarang menjadi buas. Dengan teriakan melengking panjang, dia mencabut pedangnya dan langsung menyerang Kui Hong tanpa peringatan lagi! Hal ini saja sudah menunjukkan kelicikannya. Akan tetapi Kui Hong sudah waspada. Melihat cahaya pedang berkelebat, gadis ini sudah cepat meloncat jauh ke samping sambil mencabut pedangnya yang berwarna hitam, yaitu Hok-mo Siang-kiam pemberian neneknya. Begitu pedang itu digerakkan maka nampaklah dua gulungan sinar hitam yang menyambar-nyambar dan melibat sinar putih pedang Tang Bun An yang bergulung-gulung. Terjadilah pertarungan yang seru dan mati-matian. Memang Tang Bun An memiliki kepandaian tinggi, namun kalau diadakan perbandingan maka kepandaian Kui Hong masih jauh lebih unggul. Ang-hong-cu hanya menerima ilmu dari seorang pengemis tua yang tidak dikenalnya, yang minta disebut Lo-kai saja. Walau pun gurunya ini sangat sakti dan mempunyai banyak macam kepandaian, termasuk ilmu menyamar dan pengobatan, tetapi ilmu silat yang dikuasainya bukan merupakan ilmu silat murni sehingga dasar-dasar jurus silatnya kurang kokoh. Sedangkan Kui Hong lahir dan dibesarkan di Cin-ling-san, pegunungan di mana terdapat salah satu perguruan silat yang terbesar dan terkuat di dunia kangouw, yaitu Cin-ling-pai. Sejak kecil dia telah dididik dan digembleng oleh ayah bundanya, yakni Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, sepasang suami isteri pendekar yang berkepandaian tinggi. Cia Kong Liang kakek dalamnya (kakek dari pihak ayah) yang waktu itu masih menjadi ketua Cin-ling-pai bahkan kadang-kadang turun tangan dan mendidiknya pula dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai yang bersifat murni. Kemudian, ketika dia mulai beranjak remaja, selama hampir lima tahun gadis ini tinggal di Pulau Teratai Merah sebagai akibat dari kekisruhan rumah tangga orang tuanya. Selama itu pula kakek dan nenek luarnya telah menggembleng dara ini dengan ilmu-ilmu lain yang tak kalah dahsyatnya, karena ilmu-ilmu silat ini dahulu telah mengangkat nama kakek dan neneknya sehingga terkenal sekali dengan julukan Pendekar Sadis dan Lam-sin. Bukan latar belakang mereka saja yang membuat Kui Hong lebih unggul, namun keadaan kedua orang itu pada saat sekarang justru memperkuat perbedaan di antara mereka. Kui Hong adalah seorang gadis muda, tenaga dan semangatnya masih penuh dan kini sedang berada pada puncaknya. Ada pun Tang Bun An mulai dimakan usia, maka tenaga, napas dan semangatnya juga sudah menurun, apa lagi selama ini dia sangat gemar mengumbar nafsu, bahkan tadi malam pun dia mengejar kesenangan dunia tanpa mengenal batas. Sesudah pertarungan berjalan tiga puluh jurus, Kui Hong dapat mendengar dengus napas lawannya yang mulai memburu, juga dia melihat beberapa butir keringat sudah menghiasi kening penjahat cabul ini. Maka dia mendesak makin gencar, pedangnya digerakkan lebih cepat sambil mengerahkan sinkang sehingga pedang itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung, sementara tubuhnya berkelebat laksana burung walet menyambar. Tang Bun An segera terdesak hebat. Kini dia lebih banyak menggerakkan tubuhnya untuk mengelak, hanya kadang-kadang pedangnya terpaksa menangkis ketika dia sudah tidak sempat mengelak lagi karena gerakannya kalah cepat dibandingkan serangan lawan. Dia semakin khawatir, sebab pedangnya selalu terpental setiap kali pedang itu beradu dengan pedang hitam lawannya. Pria ini pun maklum bahwa dia kalah segala-galanya, dan kalau pertandingan itu dilanjutkan maka tidak lama lagi dia tentu akan roboh di tangan gadis ini. Melihat lawannya telah terdesak hebat, kini Kui Hong menggerakkan pedangnya semakin cepat lagi sehingga tampak lingkaran sinar hitam bergulung-gulung mengurung sinar putih yang makin lama semakin mengecil, tanda bahwa pedang perak itu sedang tertindih oleh sepasang Hok-mo Siang-kiam. Nampak jelas olehnya bahwa walau pun pedang lawan itu juga hebat namun dia mulai kelihatan jeri. Maka timbullah kenakalan yang menjadi watak Kui Hong yang biasanya berandalan dan jenaka itu. “Huhh, perwira tua mata keranjang! Aku akan merobohkanmu tetapi tidak membunuhmu, agar engkau dijatuhi hukuman gantung di pintu gerbang. Semua orang akan meludahimu dan melihat engkau menderita sampai mampus! Akan kulihat apakah semua wanita yang menjadi kekasihmu itu akan suka mendekatimu lagi. Hi-hik-hik!” Wajah Tang Bun An menjadi sebentar pucat sebentar merah. Walau pun gadis itu hanya mengejek, tetapi dia merasa ngeri membayangkan hukuman semacam itu! Sukar baginya untuk mencapai kemenangan dalam menghadapi seorang gadis selihai ini. Paling bagus dia hanya dapat mengimbanginya saja, dan hal itu pun agaknya sukar sekali. Sayang dia tidak membawa senjatanya yang ampuh, yang biasa dipergunakannya untuk merobohkan wanita korbannya yang akan diculiknya, yaitu sapu tangan yang mengandung bubuk obat pembius. “Makan senjata rahasiaku!” bentaknya, dan mendadak tangan kirinya bergerak. Beberapa benda kecil segera menyambar tubuh Kui Hong. Dengan tenang namun cepat gadis ini memutar pedangnya menangkis. Terdengar suara nyaring dan benda-benda kecil itu terpental sehingga beterbangan. Sebuah di antaranya terpukul runtuh dekat kaki Kui Hong dan gadis itu melihat bahwa benda itu adalah seuntai kalung emas! Ternyata ‘senjata rahasia’ itu adalah perhiasan-perhiasan berharga yang agaknya diterima penjahat cabul itu dari para selir sebagai hadiah atau tanda cinta! “Jahanam busuk, hendak lari ke mana kau?!” bentaknya melihat bahwa serangan senjata-senjata kecil yang sebetulnya adalah benda-benda perhiasan itu hanya merupakan siasat untuk melarikan diri saja sebab begitu menyerang dengan sambitan, Tang Bun An segera membalikkan tubuhnya dan melompat jauh ke depan, melarikan diri ke dalam hutan dan mendaki bukit. Kui Hong juga melompat dan melakukan pengejaran. Agaknya orang itu telah hafal benar dengan keadaan di dalam hutan, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon dan rumpun semak belukar. Akan tetapi Kui Hong tidak mau melepaskannya dan terus mengejar. Ketika mereka tiba di puncak bukit yang berhutan, Kui Hong melihat lawannya lari ke arah sebuah rumah yang berdiri di puncak itu. Rumah yang terpencil, bahkan tak nampak dari bawah karena tertutup oleh pohon-pohon besar. Rumah itu entah milik siapa, akan tetapi melihat betapa orang setengah tua itu memasuki rumah melalui pintu depan yang dengan mudah terbuka ketika didorong, maka dia pun mengejar terus. “Keparat pengecut! Jangan lari kau!” bentaknya lagi dengan sepasang pedang masih di tangan. Kui Hong sempat melihat betapa Tang Bun An lari menyelinap masuk ke dalam sebuah kamar. Dengan hati-hati dia mengejar dan melompat pula ke dalam kamar itu. Dia sangat berhati-hati menghadapi jebakan, khawatir kalau-kalau lantai kamar itu terbuka kalau dia memasukinya. Dilihatnya Tang Bun An sudah sampai di seberang kamar, di mana terdapat pula sebuah pintu. Orang itu berlari keluar kamar melewati pintu belakang, sementara Kui Hong terus saja mengejar. Tiba-tiba saja terdengar suara keras di belakangnya! Kui Hong membalikkan tubuh sambil memutar kedua pedang untuk melindungi tubuhnya. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu apa pun. Mendadak pintu depan kamar itu tertutup oleh pintu besi yang turun dari atas dengan cepatnya. Ketika Kui Hong membalik hendak meloncat keluar dari pintu belakang, ternyata pintu itu pun sudah tertutup oleh pintu besi yang sama. Kui Hong meloncat ke pintu belakang itu dan mendorongnya, namun pintu itu ternyata terbuat dari besi dan amat kuat. Tahulah dia bahwa dia telah masuk perangkap! “Tang Bun An, jahanam pengecut yang curang! Buka pintu kemudian mari kita lanjutkan pertarungan sampai salah seorang di antara kita roboh di ujung senjata!” berulang kali Kui Hong berteriak sambil menendangi daun pintu besi sehingga terdengar suara berdentam-dentam. Akan tetapi yang menjadi jawaban hanya suara ketawa dari luar pintu. Tiba-tiba terdengar suara mendesis. Kui Hong cepat meloncat sambil membalikkan tubuh, dan melihat betapa dari sebuah lubang di bawah kini mengepul asap kehitaman ke dalam kamar! Celaka, pikirnya. Dia cepat duduk bersila di lantai kemudian menahan napas sambil mengerahkan sinkang. Akan tetapi tidak mungkin dia menahan napas selamanya! Kekuatan menahan napas ini amat terbatas, maka akhirnya terpaksa dia harus bernapas sebelum mati sia-sia. Akhirnya ruangan itu penuh dengan asap menghitam. Terdengar beberapa kali Kui Hong terbatuk-batuk, kemudian dia pun roboh terkulai sesudah terpaksa mengambil napas dan asap itu ikut terhisap. *************** Kui Hong membuka sepasang matanya. Yang pertama nampak adalah langit-langit bercat putih, lalu dinding berwarna merah muda. Ia menggerakkan kaki tangannya. Terbelenggu! Dia terbelenggu pada kaki tangannya dan rebah terlentang di atas sebuah pembaringan, di dalam sebuah kamar! Bukan kamar di mana dia terjebak tadi. Dia terjatuh ke tangan Tang Bun An, si penjahat cabul! Akan tetapi hatinya langsung lega ketika merasa bahwa pakaiannya masih menutupi tubuhnya dan tidak dirasakan sesuatu pada dirinya. Jahanam itu belum mengganggunya. Belum! Kemungkinan besar dia akan diganggu, dan hatinya dicekam kengerian membayangkan betapa dalam keadaan terbelenggu dan tidak berdaya itu dia dipermainkan dan diperkosa oleh perwira cabul itu! Jantungnya berdebar tegang, sementara hatinya dilanda kengerian dan ketakutan. Akan tetapi dia cepat mengatur pernapasannya sehingga rasa cemas itu pun menghilang. Sekarang dia bersikap tenang, tak mau membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin mengancamnya. Dia menyibukkan pikirannya sambil mencari akal bagaimana agar dapat lolos dari bahaya. Dengan menyibukkan pikiran mencari ikhtiar, maka tidak ada kesempatan lagi bagi pikiran untuk membayangkan hal-hal yang mengerikan. Pada saat itu jelas bahwa tidak mungkin dia bisa membebaskan diri dengan kekerasan. Belenggu pada kaki tangannya amat kuat, dan ketika dia mencoba untuk mengerahkan tenaga sinkang-nya, belenggu itu tidak putus namun melar seperti karet. Jika mengharapkan bantuan, siapa yang dapat menolongnya sekarang? Tidak ada orang yang mengetahui ketika dia membayangi penjahat itu, dan kini dia berada di tangan perwira cabul itu, di dalam hutan pada puncak sebuah bukit yang sangat sunyi. Andai kata dia menjerit sekali pun, tidak mungkin dapat terdengar oleh orang yang tinggal jauh di bawah bukit. Dan menjerit minta tolong bukan cara yang pantas dia lakukan, bahkan merupakan suatu pantangan bagi seorang pendekar seperti dirinya. Tidak! Dia tidak akan minta tolong atau menjerit, bahkan dia pun tidak sudi minta ampun. Dia harus mencari akal yang baik, dan sampai mati sekali pun dia tidak boleh memperlihatkan rasa takut. Tiba-tiba jantungnya berdebar. Ia mendengar langkah kaki yang amat berat menghampiri kamarnya dari luar, lantas daun pintu kamar itu didorong orang dari luar sehingga terbuka dan muncullah perwira Tang memasuki kamar sambil menggotong sebuah tong kayu yang besar dan tebal. Dia lalu meletakkan tong itu di tengah kamar, tak jauh dari tempat tidur di mana Kui Hong rebah telentang dalam keadaan terbelenggu. Setelah menurunkan bak atau tong kayu itu, Tang Bun An menoleh ke arah pembaringan. Melihat gadis itu telah siuman dan sekarang hanya menengadah, sama sekali tidak melirik kepadanya, dia pun tertawa. "He-heh-heh, nona manis. Engkau sungguh lihai bukan main, akan tetapi akhirnya engkau roboh juga menghadapi aku. Baru engkau mengakui kehebatanku, ya?" Kui Hong menoleh dan memandang pria itu dengan mata mencorong penuh kemarahan. "Cih, laki-laki pengecut curang tidak tahu malu! Engkau menggunakan perangkap, engkau curang dan licik, menandakan bahwa engkau hanyalah seorang yang pengecut dan keji. Kalau engkau memang merasa jantan, segera lepaskan belenggu ini kemudian mari kita bertanding seperti orang gagah sampai titik darah terakhir!" "Ha-ha-ha-heh-heh, engkau memang gagah, nona. Gagah dan cantik sekali. Betapa ingin hatiku untuk bertanding denganmu! Bukan bertanding untuk saling membunuh, melainkan saling menyenangkan. Ha-ha-ha! Namun sayang, semalam aku telah bertanding melawan lima orang harimau betina kelaparan. Aku lelah sekali dan perlu mandi untuk memulihkan tenaga. Engkau tunggulah. Setelah mandi aku akan melayanimu bertanding, ha-ha-ha-ha!" Dan perwira itu keluar meninggalkan kamar. Celaka, pikir Kui Hong. Dia tadi memang sengaja mengeluarkan ucapan untuk menghina serta memanaskan hati orang itu. Akan tetapi selain pengecut dan curang, ternyata orang itu pun tebal muka, sama sekali tak malu oleh ucapannya bahkan mengeluarkan jawaban dengan ucapan yang mengandung makna cabul yang menusuk perasaan kewanitaannya. Dia harus mencari akal lain. Melukai kejantannya dengan kata-kata tak ada gunanya bagi orang yang bermuka tebal itu. Biar pun tadinya dia tak ingin menoleh dan memandang, tetapi hatinya tertarik juga ketika mendengar perwira itu kembali masuk ke dalam kamar lantas menuangkan air ke dalam tong yang digotongnya masuk tadi. Dia segera melirik dan melihat betapa Tang Ciangkun tadi menggotong dua ember besar penuh air lalu menuangkannya ke dalam tong. Orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun, hanya tersenyum-senyum. Dia lalu keluar lagi dan tak lama kemudian terdengar suaranya bernyanyi! Nyanyian lagu rakyat dari daerah selatan dan dinyanyikan dengan lidah selatan pula. Terdengar lucu tapi Kui Hong harus mengakui bahwa suara orang itu cukup merdu. Dia masuk membawa dua ember air lagi dan menuangkan air ke dalam tong sambil tetap bersenandung. Sesudah tiga kali menuangkan dua ember besar air, barulah dia merasa cukup. "Heh-heh, nona manis. Aku hendak mandi dulu, ya? Sesudah itu baru kita bicara tentang pertandingan antara kita, ha-ha-ha!" Tanpa sungkan lagi, tanpa sopan santun sedikit pun, dia mulai menanggalkan pakaiannya satu demi satu di hadapan Kui Hong! Tentu saja Kui Hong cepat membuang muka, tidak sudi memandang dan melihat sikap ini, Tang Bun An tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, Nona manis, kenapa engkau membuang muka? Pandanglah aku, amatilah baik-baik. Lihat, setiap wanita mengagumi tubuhku ini. Lihatlah dan engkau akan merasa suka dan kagum, Nona!” Tanpa menoleh Kui Hong berkata ketus, “Engkau manusia yang jahat, kejam, curang dan tidak sopan. Manusia berwatak iblis! Biar kau mampus dibakar api neraka!” Tang Bu An yang kini telah telanjang bulat itu memasuki tong berisi air sambil membawa sebuah bungkusan dan tertawa-tawa. Perwira ini membuka bungkusan yang berisi bubuk berwarna kuning, lalu menaburkan bubuk itu ke dalam tong air. Segera tercium bau yang amat harum. “Ha-ha-ha, dan engkau seorang gadis yang sombong, kepala besar, tinggi hati! Kau kira aku tidak mengenal wanita? Hanya pada lahirnya saja tinggi hati dan jual mahal, padahal pada dasarnya amat rendah dan murah! Perempuan selalu beracun, palsu. Kecantikannya hanya ditujukan untuk menjatuhkan hati kaum laki-laki dan sesudah itu memperdayainya dan menipunya! Di balik senyummu yang manis menarik itu terkandung kepahitan yang beracun! Terkutuklah perempuan! Dan engkau masih berani mengatakan aku kejam dan jahat? Ha-ha-ha-ha-ha, tidak ada yang lebih jahat dari pada perempuan, akan tetapi tidak ada yang lebih mengasyikkan dan lebih menggairahkan selain perempuan." Kui Hong tidak menjawab karena dia sudah terbelalak memandang kepada laki-laki yang sudah berendam di dalam tong penuh air itu. Dia berani memandang karena kini laki-laki itu berada didalam tong yang menyembunyikan ketelanjangannya. Dia terpaksa memandang ketika tadi hidungnya mencium bau yang sangat harum. Harum cendana! Bau ini membuat dia terkejut bukan main sehingga memaksanya menoleh dan memandang. Bahkan dia hanya dapat mendengar sebagian saja ucapan laki-laki itu yang mengandung kebencian besar terhadap wanita. "Kau... kau... Ang-hong-cu !" Akhirnya dia berkata. Tang Bun An yang masih tertawa tiba-tiba saja menghentikan suara ketawanya ketika dia mendengar seruan Kui Hong itu. Kedua matanya terbelalak memandang gadis itu, alisnya berkerut. Gadis ini tahu bahwa dia Ang-hong-cu! "Bagaimana engkau bisa tahu?!" tanyanya dengan suara membentak sebab menganggap hal ini amat berbahaya baginya. "Sekarang aku mengerti mengapa mereka mengatakan bahwa engkau berbau cendana. Kiranya engkau selalu merendam diri dalam air bercampur bubuk cendana! Ang-hong-cu, engkau iblis busuk! Engkau jahanam kotor dan hina! Kelak engkau pasti akan mampus di tanganku!" teriak Kui Hong marah bukan main karena dia teringat akan aib yang menimpa diri Pek Eng dan terutama sekali Cia Ling yang masih terhitung keponakannya sesudah diperkosa oleh pria ini. Akan tetapi Ang-hong-cu Tang Bun An malah menyambut ancaman itu dengan suara tawa mengejek. "Ha-ha-ha-ha, engkauini gadis remaja berani mengancam aku? Bagus, engkau sudah mengetahui bahwa aku Ang-hong-cu. Memang, aku adalah Ang-hong-cu, akulah Si Kumbang Merah penghisap kembang! Dan engkau bagaikan setangkai bunga yang baru mekar penuh madu. Karena engkau sudah mengetahui rahasiaku, tunggulah sampai aku selesai mandi, nona manis. Aku akan menghisap madumu sampai habis dan sesudah itu, engkau harus mati agar rahasia diriku tak sampai terdengar orang lain. Tenanglah, Nona, engkau akan mati dalam keadaan bahagia, mati dalam kemesraan dan mabok cintaku, ha-ha-ha!" Kini diam-diam Kui Hong merasa ngeri. Dia adalah seorang gadis perkasa, seorang gadis gemblengan yang tidak takut akan ancaman maut. Ia adalah ketua Cin-ling-pai yang akan menghadapi maut dengan senyum dan dengan mata terbuka. Akan tetapi, ancaman yang dilontarkan Ang-hong-cu itu sungguh amat mengerikan baginya. Dia masih akan tenang-tenang saja kalau hanya diancam mati. Akan tetapi ancaman tadi justru lebih mengerikan dari pada maut! Sungguh merupakan bayangan yang mengerikan hatinya kalau membayangkan dirinya diperkosa, dipermainkan oleh penjahat cabul yang tersohor itu. Ingin rasanya Kui Hong menjerit dan menangis, minta supaya dia dibunuh saja dan jangan diperhina dengan perkosaan keji. Akan tetapi dia pantang menjerit apa lagi menangis, dan otaknya lantas bekerja cepat. Sungguh pun hatinya merasa ngeri dan takut menghadapi ancaman bahaya yang baginya lebih hebat dari pada maut, Kui Hong menguatkan perasaannya lantas dia pun tersenyum mengejek. "Ang-hong-cu, engkau boleh saja mengancamku sesuka hatimu setelah engkau bertindak secara pengecut, menangkapku dengan menggunakan asap pembius dan kamar jebakan. Engkau juga boleh menyiksaku, bahkan membunuhku. Aku tidak takut karena aku yakin bahwa kalau aku terhina dan tewas di tanganmu, maka pembalasan yang kelak menimpa dirimu akan seribu kali lebih hebat lagi! Mereka pasti akan mengetahui bahwa engkaulah yang sudah membunuhku, dan mereka semua akan mencarimu sampai dapat, membalas kekejamanmu berlipat ganda sehingga engkau akan menyesal sudah dijelmakan sebagai manusia!" Ancaman Kui Hong itu hebat sekali, namun Ang-hong-cu menerimanya sebagai gertak kosong belaka. "Ha-ha-ha, gadis sombong! Kau kira aku gentar mendengar gertakanmu? Ha-ha-ha, tak seorang pun tahu bahwa engkau berada di sini, dan takkan pernah ada yang mengetahui bahwa engkau pernah berada di sini. Ha-ha-ha-ha! Apakah nyawamu kelak akan mampu memberi tahu mereka?" "Huhh, engkau kejam akan tetapi juga tolol! Aku datang sebagai utusan Menteri Cang Ku Ceng untuk menyelidikimu! Apa bila aku hilang di dalam tugas ini, sudah pasti beliau akan menyangkamu! Kalau mereka mendengar akan hal ini, dan kelak sudah pasti mendengar dari Menteri Cang, bersiaplah engkau untuk menghadapi siksaan yang melebihi siksaan di neraka!" Ucapan ini membuat Tang Bun An mulai berpikir. Gadis ini bukan hanya membual atau menggertak saja. Ucapannya ada isinya! Jika benar gadis ini utusan Menteri Cang, tentu menteri keparat itu akan mencurigainya. Akan tetapi dia masih tertawa mengejek. "Kau kira aku takut? Siapa pun mereka, aku tidak takut. Huh, siapa yang kau maksudkan dengan mereka itu?" Ang-hong-cu Tang Bun An menggosok-gosok tubuhnya dengan sebuah handuk kecil yang sudah dibenamkan ke dalam air. Handuk itu pun diberi bubuk cendana, seolah dia hendak memasukkan sari keharuman cendana ke dalam tubuhnya dan memang dia telah berhasil karena tubuh dan keringatnya berbau cendana! Kebiasaan ini sudah dia lakukan puluhan tahun lamanya. "Siapa lagi kalau bukan para anak buahku? Mereka adalah seluruh anggota dan pimpinan Cin-ling-pai." "Ha-ha-ha-ha, engkau hanya menggertak! Apa hubunganmu dengan Cin-ling-pai? Jangan menggunakan nama besar perkumpulan silat itu untuk menakut-nakuti aku, Nona." "Siapa menggertak? Memang matamu buta dan telingamu tuli? Aku adalah Cia Kui Hong ketua Cin-ling-pai!" Terpaksa Kui Hong membuang muka lagi karena pria itu bangkit berdiri saking kagetnya mendengar pengakuannya itu sehingga tubuhnya yang telanjang nampak mulai dari pusar ke atas. Ang-hong-cu Tang Bun An memang terkejut bukan main mendengar pengakuan itu. Akan tetapi dia lalu tertawa bergelak, mentertawakan gadis itu. "Ha-ha-ha, nona manis. Seorang dara remaja seperti engkau ini mengaku ketua Cin-ling-pai? Jangan coba-coba untuk membohongiku, Nona. Aku mendengar bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang berisi orang-orang gagah, bagaimana mungkin ketuanya seorang gadis remaja yang cantik jelita?" Biar pun mulutnya berkata demikian, namun hatinya mulai menaruh perhatian dan dia pun mengeringkan tubuhnya dengan handuk besar, kemudian dalam keadaan telanjang bulat dia keluar dari tong itu. Setelah mengeringkan tubuhnya, dia lantas mengenakan kembali pakaiannya. Hal ini saja menunjukkan bahwa dia mulai memperhatikan gadis itu dan tidak segera melakukan hal yang tadi diancamkannya. "Engkau ini seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) mana mungkin tahu mengenai perkumpulan kami? Ayahku pendekar Cia Hui Song, baru saja mengundurkan diri sebagai ketua Cin-ling-pai, dan di dalam pemilihan ketua baru akulah yang dipilih. Kini aku ketua Cin-ling-pai, oleh karena itu, dapat kau bayangkan sendiri, bagaimana sikap mereka kalau mendengar ketuanya sudah dihina dan dibunuh oleh Ang-hong-cu! Kau kira akan mampu meloloskan diri dari jangkauan tangan-tangan para tokoh Cin-ling-pai? Biar bersembunyi di dalam neraka pun, mereka akhirnya akan dapat mencengkerammu!" "Ha-ha-ha, engkau hanya menggertakku! Aku tidak takut, aku akan mengusahakan agar selamanya mereka tidak dapat menemukan mayatmu! Ya, kecantikanmu akan kunikmati sepuasku, sesudah itu kau akan kubunuh lalu mayatmu akan kukubur di tempat rahasia. Tak seorang pun melihatmu masuk rumah ini, dan tak seorang pun akan tahu apa yang telah kulakukan terhadap dirimu!" Supaya pengaruh gertakan itu tidak membuatnya lemas, Kui Hong menjawab secepatnya. "Huh, engkaulah yang tolol! Aku boleh saja kau bunuh, tetapi Menteri Cang Ku Ceng akan mengerahkan seluruh pasukan untuk mencariku. Ke mana pun engkau menyembunyikan tubuhku, mereka pasti akan menemukan. Dan Menteri Cang pasti akan melakukan segala daya upaya untuk memaksamu mengaku! Engkau akan menghadapi kemarahan Menteri Cang, juga menghadapi dendam Cin-ling-pai!" "Aku tidak takut! Huhh, aku tidak takut sama sekali! Tidak akan ada bukti bahwa engkau tewas dan lenyap di tanganku!" Ang-hong-cu Tang Bun An berteriak, akan tetapi nyalinya semakin mengecil. Siapa orangnya yang tidak tahu akan kekuasaan Menteri Cang Ku Ceng? Menteri itu pasti akan mampu menjungkir-balikkan seluruh kota raja untuk mencari gadis ini! Dan seluruh pasukan tentu akan mentaati perintahnya dengan rasa bangga! Dinilai dari kedudukannya, kalau dia melawan Menteri Cang, sama dengan sebutir telur melawan batu. Dan Cin-ling-pai juga merupakan ancaman yang membuat jantungnya berdebar. Mulailah timbul keraguan di dalam hatinya. Kalau tadi dia timbul gairah terhadap gadis itu adalah karena gadis itu cantik manis dan mempunyai bentuk tubuh yang menggairahkan. Gairah yang sama dirasakannya setiap kali dia melihat wanita cantik. Namun bukan cinta, bahkan nafsunya itu hanya merupakan luapan kebenciannya terhadap kaum wanita! Kini semua gairahnya telah lenyap, malah diam-diam dia merasa takut membayangkan segala akibatnya kalau dia memperkosa lalu membunuh gadis ini. Kui Hong adalah seorang gadis yang selain tabah juga sangat cerdik. Dia dapat melihat sikap Ang-hong-cu yang kini sudah berpakaian lengkap. Melihat penjahat itu mengenakan pakaiannya kembali saja sudah merupakan suatu pertanda bahwa gertakan-gertakannya tadi mengenai sasaran. Kalau gertakannya tidak berhasil menyudutkan dan menimbulkan rasa takut di hati penjahat itu, tentu Ang-hong-cu tidak perlu mengenakan pakaian secara lengkap seperti itu, melainkan segera saja melaksanakan ancamannya yang dikeluarkan ketika mandi tadi. Seperti orang yang sedang bertanding silat, saat lawan terdesak merupakan kesempatan paling baik untuk merobohkannya dengan jurus-jurus serangan yang lebih ampuh. Maka dia pun berkata dengan nada suara sungguh-sungguh. "Itu baru dua pihak yang akan kau hadapi, Ang-hong-cu. Belum lagi kalau Pendekar Sadis dan isterinya turut keluar dari Pulau Teratai Merah untuk mencarimu! Engkau tentu sudah mendengar bagaimana nasib seorang musuh apa bila terjatuh ke tangan Pendekar Sadis! Hemmm...!" Ang-hong-cu yang wajahnya biasanya berseri dan mulutnya selalu tersenyum mengejek itu tiba-tiba berubah menjadi pucat ketika mendengar disebutnya julukan Pendekar Sadis. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman, tentu saja dia sudah mendengar tentang nama besar Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, majikan Pulau Teratai Merah di laut selatan. Bahkan isteri pendekar itu pun seorang yang sangat terkenal sekali, yang dahulu pernah menjadi seorang datuk besar berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Selain terkenal sebagai seorang sakti, Pendekar Sadis sendiri juga lebih terkenal karena kekejamannya yang melewati ukuran terhadap musuhnya, yaitu para penjahat. Pendekar itu dapat menyiksa lawan dengan berbagai macam siksaan yang melebihi segala siksaan yang digambarkan di neraka! Karena itulah maka pendekar itu dijuluki Pendekar Sadis. Setiap orang penjahat di dunia kang-ouw selalu berjaga-jaga agar langkah mereka jangan berpapasan dengan langkah Pendekar Sadis, bahkan mereka pantang berjumpa dengan bayangan pendekar itu! Dan kini, gadis bernama Cia Kui Hong ini mengancamnya dengan nama Pendekar Sadis! "Bocah sombong! Apa pula urusannya Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah dengan kita?" "Apa urusannya? Nah, itulah buktinya kalau engkau ini hanya seorang penjahat cilik yang tidak tahu apa-apa di dunia kang-ouw, Ang-hong-cu. Ayahku turun-temurun adalah ketua Cin-ling-pai, dan ibuku bernama Ceng Sui Cin adalah puteri Pendekar Sadis! Aku adalah cucu Pendekar Sadis, dan engkau masih menanyakan urusannya? Lihat pedangku yang kau gantung di dinding itu. Itu adalah sepasang Hok-mo Siang-kiam yang sangat terkenal, dahulu milik nenekku Lam-sin Toan Kim Hong yang telah memberikannya kepadaku." Kini wajah Ang-hong-cu Tang Bun An bertambah pucat. Celaka, pikirnya gelisah. Kali ini dia benar-benar telah salah tangkap! Agaknya gadis ini bukan menggertak kosong belaka. Dara ini bukan hanya utusan Menteri Cang, akan tetapi juga ketua Cin-ling-pai merangkap cucu Pendekar Sadis! Dia harus menimbang seribu kali sebelum mengganggu selembar rambut gadis ini. Akan tetapi keadaan menjadi serba repot baginya. Apa bila gadis ini dibiarkan hidup dan dibebaskannya, berarti dia akan celaka, akan kehilangan kedudukan dan menjadi buruan pemerintah. Sebaliknya kalau gadis ini sampai tewas di tangannya, dia akan menghadapi ancaman dari tiga pihak, yaitu dari Menteri Cang, dari Cin-ling-pai dan terutama sekali dari Pendekar Sadis! Dan itu berarti bahwa hidupnya akan selalu dicekam ketakutan. Tang Bun An juga bukan orang bodoh. Dia tahu apakah gertakan gadis itu kosong belaka ataukah memang merupakan kenyataan. Dan dia pun cepat memutar otak untuk mencari jalan keluar yang terbaik baginya. Dan kecerdikannya membuat dia segera menemukan jawabannya. "Cia Kui Hong, semua keteranganmu itu dapat kuterima dan aku percaya padamu. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau bukan seorang gadis bodoh. Karena itu tentu engkau dapat melihat kenyataan bahwa bukan aku saja yang terancam bahaya, melainkan engkau pula. Bahkan bahaya yang mengancammu sudah di depan mata. Bila aku menghendaki, maka sekarang juga engkau dapat kuperkosa dan kusiksa sampai mati. Sebaliknya, walau pun semua ancamanmu tadi dapat terjadi, namun masih jauh dan aku masih dapat berusaha untuk meloloskan diri." "Hemm, boleh kau coba!" kata Kui Hong sambil tersenyum mengejek. Dia sudah melihat kemenangan karena gertakannya yang diperhitungkan tadi. "Kalau engkau membunuhku sekarang, maka habis sudah penderitaanku. Akan tetapi engkau masih hidup dan setiap detik engkau dibayangi ketakutan! Aku tidak takut mati, dan terserah kepadamu!" "Cia Kui Hong, orang yang tidak ingin hidup lebih lama lagi hanyalah orang yang otaknya sudah miring. Aku tidak gila dan aku masih ingin hidup dengan tenang pada hari tuaku ini. Oleh karena itu aku ingin mengajukan bertukar nyawa. Bagaimana pendapatmu, Pangcu (ketua)?" Kui Hong yakin bahwa dia telah menang, akan tetapi dia tetap berhati-hati karena dia tahu bahwa dia sedang menghadapi seorang yang selain amat keji dan jahat, juga pandai dan licik bukan main. Mendengar dia disebut pangcu (ketua) saja sudah menunjukkan bahwa bekas lawannya ini hendak membicarakan sesuatu dengan dia sebagai Cin-ling Pangcu (ketua Cin-ling-pai), bukan dengan dia sebagai seorang gadis biasa! “Ang-hong-cu, apa yang kau maksudkan dengan bertukar nyawa? Coba engkau jelaskan dan akan kupertimbangkan!” katanya berwibawa. “Pangcu, bagiku hanya ada dua pilihan, dan aku akan memilih yang paling aman bagiku. Aku akan membebaskanmu sekarang juga tanpa mengganggumu sedikit pun, akan tetapi hanya dengan syarat bahwa setelah bebas engkau tak akan membuka rahasiaku kepada siapa pun juga! Engkau tidak akan bercerita kepada orang lain bahwa perwira pengawal Tang Bun An ialah Ang-hong-cu, dan tidak akan bercerita bahwa akulah yang menggauli para wanita di dalam istana bagian puteri. Pendek kata, engkau tidak akan memusuhiku, baik dengan kata-kata mau pun dengan perbuatan. Bagaimana pendapatmu?” Biar pun di dalam hatinya Kui Hong merasa lega bahwa dia kini memperoleh kesempatan dan harapan untuk terhindar dari aib dan maut, namun hatinya tidak senang mendengar syarat itu. Tak diduganya bahwa orang ini amat cerdik dan juga liciknya sehingga hendak mengikatnya dengan janji semacam itu! Namun dia pun tahu dengan pasti bahwa seorang seperti Ang-hong-cu pasti akan melakukan gertakannya, karena tidak ada kejahatan yang dipantang orang seperti ini. "Bagaimana kalau aku menolak syarat semacam itu?” pancingnya untuk mengetahui lebih jelas isi perut Ang-hongcu. Ang-hong-cu Tang Bun An tersenyum, akan tetapi senyumnya tidak seperti tadi lagi. Kini senyumnya masam dan paksaan. “Maka terpaksa aku akan melakukan keinginanku semula, yaitu memperkosamu dengan cara yang belum pernah kulakukan terhadap perempuan lain yang mana pun. Sampai aku menjadi bosan padamu, kemudian engkau akan kusiksa sampai mati dan mayatmu akan kubiarkan di dalam hutan agar dimakan binatang buas sampai tidak ada sisanya lagi. Dan semua akibat yang kelak akan timbul dari perbuatanku itu akan kuhadapi dengan segala kekuatanku.” “Ang-hong-cu, bagaimana kalau sesudah engkau membebaskan aku, kemudian aku tetap memusuhimu dan menyerangmu?” “Hemm, aku tidak percaya! Kalau engkau memang melakukan itu, maka seluruh kalangan kang-ouw akan mengetahui belaka bahwa ketua Cin-ling-pai, juga cucu Pendekar Sadis, gadis yang bernama Cia Kui hong itu hanya seorang pendekar gadungan, dan bukan lain hanyalah manusia rendah yang suka melanggar janjinya sendiri, suka menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut!” “Ang-hong-cu, bukan karena aku takut mati kalau aku menerima usulmu bertukar nyawa. Ini usulmu, bukan aku yang minta dibiarkan hidup. Nah, lepaskan belenggu-belenggu ini.” “Nanti dulu, Pangcu. Engkau belum mengucapkan janjimu. Bersumpahlah dahulu seperti yang kukehendaki tadi.” “Janji seorang pendekar lebih berharga dari pada segala macam sumpah. Janji seorang pendekar lebih berharga dari pada nyawa," kata Kui Hong dengan nada suara gemas, tapi kemudian melanjutkan. "Aku Cia Kui Hong, ketua Cin-ling-pai, berjanji bahwa kalau Ang-hong-cu membebaskan aku, maka untuk selanjutnya aku takkan memusuhinya lagi, juga tidak akan membuka rahasianya kepada siapa pun juga." Wajah Ang-hong-cu kembali berseri. Kini legalah hatinya. Yang terpenting bagi dia adalah keselamatan dirinya dan keuntungannya. Tidak begitu penting baginya untuk memperkosa dan membunuh gadis ini, namun sungguh amat menguntungkan kalau gadis ini menutup mulut dan tidak membocorkan rahasia dirinya. Dengan menggunakan pedang dia lantas membikin putus tali-tali belenggu kaki tangan gadis itu. Kui Hong bangkit lalu menggosok-gosok pergelangan kaki dan tangannya. Kemudian dia meloncat turun dan menyambar sepasang pedangnya yang tergantung di dinding. Betapa inginnya untuk mencabut sepasang pedang itu dan membunuh Ang-hong-cu, akan tetapi dia hanya memasang pedang itu di punggung, memandang kepada Ang-hong-cu dengan penuh kebencian. Mukanya terasa panas dan ingin dia menangis karena dia merasa begitu tak berdaya dan marah. Apa lagi ketika laki-laki itu memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum, dia merasa seperti ditertawakan! Dia menekan perasaannya sendiri, lalu melangkah ke pintu kamar itu. Akan tetapi setelah tiba di ambang pintu, dia membalik dan sejenak mereka berdua saling pandang bagaikan dua ekor ayam jantan hendak bertarung. "Ang-hong-cu, aku akan memegang teguh janjiku, akan tetapi aku bersumpah tidak akan menikah sebelum mendengar engkau mampus!" Sesudah berkata demikian, Kui Hong lalu meloncat keluar dan berlari cepat meninggalkan rumah itu agar Ang-hong-cu tidak mendengar isaknya. Dia berlari cepat menuruni bukit itu sambil menangis! Biar pun dia sudah bebas dari perkosaan dan kematian, akan tetapi dia merasa amat tidak berdaya dan rendah. Dia merasa seolah-olah dia menjadi seorang penakut yang begitu menyayang diri sendiri sehingga membiarkan seorang laki-laki sedemikian jahatnya hidup bebas hanya karena dia ingin dirinya selamat. Sungguh bukan seorang yang pantas disebut pendekar! Hal ini membuatnya sedemikian sedih dan bencinya sehingga tadi terlontar sumpahnya bahwa dia tidak akan mau menikah sebelum Ang-hong-cu mati! Ang-hong-cu Tang Bun An berdiri terpukau seperti patung. Hatinya yang tadinya merasa mendapatkan keuntungan besar, sekarang terguncang dan dia merasa gelisah. Dia tahu alangkah hebatnya kemarahan serta kebencian gadis tadi terhadap dirinya. Sumpah yang dilakukan tadi sungguh merupakan sumpah yang berat bagi seorang gadis seperti ketua Cin-ling-pai itu! Dia tidak akan cepat mati! Kalau rahasianya yang diketahui oleh gadis itu tersimpan rapat, tidak akan ada seorang pun yang mengetahui bahwa dialah yang menjadi penggoda para wanita istana itu, juga tidak ada yang tahu bahwa dia adalah Anghong-cu. Semua orang mengenal dia seorang perwira pasukan pengawal yang setia dan berjasa besar terhadap kaisar. Dan mulai sekarang dia harus berhati-hati menjaga segala tindakannya, terutama sekali terhadap Menteri Cang. ***************

jilid 21

SESUDAH tiba di kaki bukit itu, Kui Hong berhenti di bawah sebatang pohon kemudian dia menangis sepuasnya sambil bersandar pada batang pohon itu. Dia adalah seorang gadis yang tabah, bahkan biasanya dia seperti pantang menangis. Namun sekali ini dia merasa begitu gemas, begitu marah, tetapi begitu tidak berdaya! Dia tidak ingin ada orang lain melihat tangisnya, maka dia sengaja melepas tangisnya di tempat sunyi itu. Ada setengah jam lamanya dia termenung dan menangis, menyesalkan diri sendiri, menyesalkan nasibnya. Dia tidak mempunyai pilihan lain! Dia masih waras, belum gila untuk membiarkan dirinya diperkosa dan dipermainkan tanpa sanggup melawan sama sekali, kemudian membiarkan dirinya mati konyol. Dia terpaksa mengucapkan janji itu. Dia tak merasa bersalah kepada siapa pun juga, akan tetapi merasa berkhianat terhadap jiwa kependekarannya. Dia harus membiarkan saja manusia iblis itu berkeliaran. Setelah perasaannya mereda dan dia tidak menangis lagi, barulah Kui Hong melanjutkan perjalanannya. Dia mencuci bekas air mata dari mukanya ketika melihat sumber air yang jernih, kemudian dia melanjutkan perjalanan, tidak kembali ke istana melainkan langsung ke gedung tempat tinggal Menteri Cang Ku Ceng. Tentu saja Cang Taijin menerima gadis itu dengan penuh harapan, karena gadis itu tentu memperoleh hasil baik maka sudah keluar dari istana untuk memberi laporan kepadanya. Kui Hong disambut dengan ramah di ruangan tamu dan di sana dia diterima oleh Menteri Cang sendiri sehingga dapat berbicara empat mata. "Selamat datang, lihiap. Tidak kukira secepat ini engkau telah keluar dari istana. Apakah sudah memperoleh hasil baik?" tanya pembesar itu dengan sikap ramah. Kui Hong menghela napas panjang. Hatinya terasa semakin penuh sesal melihat betapa baiknya sikap pejabat tinggi ini kepadanya. Begitu ramah dan seperti berhadapan dengan keluarga sendiri. Ketika melihat gadis itu menarik napas panjang dan wajahnya yang jelita itu seperti penuh penyesalan, Menteri Cang segera berkata, “Apakah belum ada hasilnya? Kui Hong, kalau memang belum berhasil, katakan saja, tak perlu sungkan. Kami tidak akan menyesal karena memang kami telah mengetahui betapa lihainya penjahat itu sehingga semua usaha yang pernah kami lakukan untuk menangkap dia selalu gagal. Bagaimana pun, ceritakan hasil penyelidikanmu." Agak lega hati Kui Hong mendengar ini. Pembesar itu demikian ramah padanya sehingga kadang memanggil namanya begitu saja, seperti seorang paman kepada keponakannya. Hanya kalau ada orang lain dia selalu menyebut lihiap. "Paman, harap paman memaafkan saya karena terus terang saja, penyelidikan saya telah gagal." Kui Hong juga tidak lagi menyebut taijin kepada pembesar itu karena Cang Taijin berkali-kali minta agar dia menyebutnya paman saja. "Hemm, sudah kuduga sebelumnya. Memang penjahat itu lihai bukan kepalang dan tentu dia sudah tahu mengenai penyelundupanmu ke dalam istana maka dia tak berani muncul. Apakah engkau tidak menemukan tanda-tanda lain?" Kui Hong ingin sekali meneriakkan segala-galanya, akan tetapi tentu saja dia tidak mau melanggar janji. Lehernya seakan-akan dicekik dan dia pun hanya dapat menggelengkan kepala lantas menundukkan mukanya. Bahkan ketika bicara, dia tidak berani mengangkat pandang mata untuk bertemu pandang dengan pembersar itu. Cang Ku Ceng adalah seorang pejabat tinggi yang sangat bijaksana dan cerdik, juga dia mempunyai banyak pengalaman. Maka diam-diam dia merasa curiga sekali ketika melihat sikap gadis perkasa itu. Ini bukan sikap Cia Kui Hong yang wajar, pikirnya. Gadis itu kelihatan seperti berduka dan juga seperti orang yang sungkan dan malu-malu, seolah bersikap seperti orang yang tengah menyembunyikan dosanya. Apakah yang telah terjadi? Akan tetapi, sebagai orang yang bijaksana dia telah dapat mengenal watak gagah dari gadis itu. Bila Kui Hong mengambil keputusan untuk menyembunyikan sesuatu, maka hal itu tentu dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Dan akan sia-sia belaka kalau memaksa seorang gadis seperti Kui Hong ini untuk merubah sikap. “Sayang sekali," kata pembesar itu. “Akan tetapi tidak mengapalah, Kui Hong. Aku tetap merasa yakin bahwa pada suatu hari aku akan berhasil membongkar rahasia penjahat itu dan menghukumnya! Dia telah mencemarkan nama baik istana dengan perbuatannya itu." Tiba-tiba saja gadis itu mengangkat mukanya dan sinar matanya penuh harap ketika dia berkata, "Saya pun berharap begitu, paman! Bila perlu saya akan menghadap kakek dan nenekku di Pulau Teratai Merah agar mereka suka membantumu." "Apa? Kau maksudkan kakekmu pendekar Ceng Thian Sin, Si Pendekar Sadis itu? Ahhh, tidak perlu, Kui Hong. Ini adalah urusan dan tugas kami para petugas negara. Aku tidak berani membikin repot locianpwe (orang tua gagah) itu. Kami masih mempunyai banyak orang yang cukup pandai dan akan kami kerahkan mereka agar menangkap penjahat licik itu." Tentu saja Kui Hong tidak berani memaksa. Jika dia membujuk kakeknya agar membantu Menteri Cang, hal itu bukan berarti dia melanggar janjinya kepada Ang-hong-cu. Janjinya adalah bahwa dia sendiri tidak akan memusuhinya, tidak akan membongkar rahasianya. Dan ia sama sekali tidak melakukan hal itu. Karena telah gagal dan merasa malu kepada keluarga Menteri Cang, Kui Hong sekalian berpamit mohon diri untuk meninggalkan kota raja. Mendengar ini Menteri Cang terkejut sekali. "Ehh, mengapa engkau tergesa-gesa hendak pergi, Kui Hong? Tidak, engkau tidak boleh pergi begitu saja. Kalau bibimu dan kakakmu Cang Sun mengetahui, tentu mereka akan menyesal sekali. Engkau harus tinggal dulu beberapa lamanya di rumah kami, Kui Hong. Selain itu, apakah engkau sudah lupa akan tugasmu mencari dua orang itu?" "Dua orang?" Kui Hong memandang bingung. Pada waktu itu seluruh hati dan pikirannya sedang terganggu dan dipenuhi urusannya dengan Ang-hong-cu, maka dia sudah kurang memperhatikan persoalan lain. "Ehh? Apakah engkau sudah lupa? Bukankah engkau sedang mencari dua orang musuh besarmu yang bernama Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek yang sudah melarikan pusaka Pulau Teratai Merah dan Cinling-pai itu?" Kui Hong terkejut. Aihh, bagaimana dia dapat melupakan mereka? "Ahhh, mereka? Tentu saja saya tidak melupakan mereka, Paman. Justru saya berpamit untuk dapat segera melanjutkan perjalanan saya mencari dan menyelidiki mereka." "Tenanglah, Kui Hong. Aku telah menyebar para penyelidik ke mana-mana untuk mencari mereka. Bahkan kemarin aku mendengar berita tentang kedua orang itu." Kui Hong segera mengangkat mukanya, memandang dengan sinar mata gembira ketika mendengar ucapan itu. "Ahh, benarkah, Paman? Di mana dua orang keparat itu?" "Tenanglah dan dengarkan keteranganku. Baru kemarin dua orang di antara penyelidikku datang memberi laporan bahwa Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek diketahui berada di Kim-lian-san dan di situ mereka mendirikan perkumpulan para penjahat yang merajalela. Tapi baru-baru ini gerombolan mereka diserbu dan dikeroyok oleh para anggota perkumpulan lain sehingga gerombolan Kim-lian-pang itu berhasil dibasmi. Akan tetapi kabarnya kedua orang itu bisa meloloskan diri. Sekarang para penyelidikku sedang mencari dua orang itu. Percayalah, para penyelidik itu berpengalaman dan mereka tentu akan dapat menemukan kembali dua orang musuhmu itu. Engkau tinggallah dulu menanti di sini, Kui Hong. Mari, mari kuantar menemui bibimu dan kakakmu. Mereka selalu bertanya tentang dirimu." Ketika mereka memasuki ruangan dalam, isteri Menteri Cang dan puteranya, Cang Sun, menyambut Kui Hong dengan wajah berseri. "Adik Kui Hong! Ah, engkau sudah kembali? Lega dan senang hatiku melihat engkau selamat!” Wajah Kui Hong berubah agak kemerahan melihat sikap pemuda itu, apa lagi mendengar panggilan yang akrab itu seolah-olah mereka telah menjadi kenalan baik. "Cang Kongcu…!" katanya memberi hormat. "Aihh, Hong-moi (adik Hong), kenapa menyebut kongcu (tuan muda) kepadaku? Sungguh tidak enak didengar. Sebut saja toako (kakak), bukankah kami telah menganggap engkau seperti anggota keluarga sendiri?" "Benar ucapan puteraku tadi, Kui Hong," kata Nyonya Cang sambil melangkah maju dan memegang tangan gadis itu, lalu diajaknya duduk. "Sebut saja dia Sun-toako (kakak Sun), karena dia sudah berusia dua puluh tujuh, lebih tua darimu. Akupun girang engkau sudah kembali dengan selamat." "Terima kasih, Bibi...,” kata Kui Hong yang merasa tak enak melihat keramahan keluarga pejabat tinggi itu. Akan tetapi dia tidak menjadi rikuh. Dia seorang gadis yang sudah banyak merantau, tidak pemalu lagi, dan sungguh pun dia berada di antara keluarga bangsawan tinggi, akan tetapi dia sendiri adalah seorang ketua perkumpulan besar, ketua Cin-ling-pai! Bagaimana pun juga, kedudukan atau tingkatnya tidaklah rendah, maka dia pun tidak merasa rendah diri, hanya merasa sangat sungkan menghadapi keramahan mereka. Padahal, walau pun hanya dia sendiri yang tahu, dia sudah membuat kapiran tugas yang diberikan kepadanya. Dia sudah dapat membongkar rahasia busuk yang terjadi di istana, akan tetapi dia tidak dapat menceritakannya kepada keluarga itu, bahkan mengaku bahwa tugasnya telah gagal! Diam-diam dia merasa bersalah. "Tadinya Kui Hong berpamit hendak meninggalkan kota raja, tapi aku menahannya sebab selain kita masih merasa rindu, juga para penyelidik sedang melakukan tugas menyelidiki dua orang penjahat yang selama ini dicarinya,” kata Menteri Cang Ku Ceng kepada isteri dan puteranya. Mendengar ini, ibu dan anak itu nampak terkejut. "Ahh, Hong-moi, kenapa begitu tergesa-gesa hendak pergi?" Cang Sun berkata, nadanya khawatir dan kaget. "Kui Hong, tinggallah di sini dulu dan jangan tergesa pergi meninggalkan kami. Kami telah menganggapmu sebagai anggota keluarga sendiri. Bukan hanya karena engkau pernah menyelamatkan pamanmu, akan tetapi juga karena kami merasa suka sekali kepadamu. Bahkan, terus terang saja, Kui Hong, paman dan bibimu ini sudah bersepakat dan akan merasa senang sekali apa bila engkau suka menjadi mantu kami! Sun-ji (anak Sun) juga sudah setuju!" Cang Sun tersenyum, ada pun ayahnya juga tertawa. Tentu saja Kui Hong tersipu malu. Keluarga bangsawan ini sungguh mempunyai watak dan sikap yang terbuka, watak yang tentu saja amat cocok dan dihargainya. Namun karena yang dibicarakan adalah masalah perjodohannya, tentu saja dia tersipu. "Ha-ha-ha, maafkan keluarga kami, Kui Hong." kata Menteri Cang sambil tertawa. "Bukan kami tidak menghargaimu, tetapi kami memang suka berterus terang, apa lagi mengingat bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita, dan dari keluarga para pendekar besar, maka tidak perlu kami berbasa-basi dan langsung saja menanyakan pendapatmu tentang maksud hati kami itu. Bila mana engkau sudah setuju, barulah secara resmi kami akan mengajukan pinangan kepada orang tuamu!' Kui Hong dapat menghargai keterbukaan ini. Maka, biar pun dia merasa rikuh sekali dan tidak berani menentang pandang mata mereka bertiga secara langsung, dia menjawab, "Terima kasih atas perhatian dan penghargaan yang diberikan oleh Paman sekeluarga terhdap saya. Akan tetapi mengenai perjodohan, bukan berarti saya menolak kehormatan yang Paman berikan kepada saya. Akan tetapi terus terang saja, pada waktu sekarang ini saya masih belum mempunyai niat sama sekali. Harap Paman bertiga suka memaafkan saya." "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kui Hong. Kami lebih senang jika engkau mau berterus terang seperti ini. Baiklah, kami tidak akan mengungkit kembali soal perjodohan ini, kelak masih banyak waktu untuk membicarakan lagi, seandainya engkau mulai berminat. Cang Sun, untuk sementara ini lupakan saja niat hatimu itu dan anggap Kui Hong sebagar adik saja." Biar pun kecewa, Cang Sun dan ibunya dapat menerima alasan itu. Sikap mereka masih biasa, akrab dan ramah dan mereka tidak pernah menyinggung tentang usul ikatan jodoh itu. Hal ini membuat Kui Hong merasa bersyukur dan berterima kasih sekali. Dia tahu bahwa dia sudah ditawari sebuah kedudukan yang sangat mulia. Dia tahu bahwa kalau dia menjadi isteri Cang Sun, dia akan memperoleh seorang suami yang walau pun lemah karena tidak menguasai ilmu silat, akan tetapi tampan, pandai dan terpelajar, dan seorang calon pejabat tinggi yang baik. Selain itu dia juga akan menjadi menantu tunggal dari seorang menteri yang bijaksana, akan memiliki sepasang orang tua sebagai mertua yang baik. Dia juga akan memperoleh kedudukan tinggi yang terhormat dan hidup serba kecukupan dan terhormat. Mau apa lagi bagi seorang gadis? Namun ada satu hal yang kurang dan justru ini penting sekali. Di dalam hatinya tidak ada perasaan cinta seorang calon isteri terhadap Cang Sun! Dia mengharapkan agar menteri itu akan dapat cepat memperoleh keterangan tentang di mana adanya Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek. *************** Dengan wajah muram dan hati gundah Tang Bun An pulang ke rumahnya. Baru saja dia terlepas dari ancaman bahaya yang akan menghancurkan kehidupannya. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa semua rahasianya sudah berada di tangan gadis she Cia itu, ketua Cin-ling-pai, dan lebih lagi, cucu Pendekar sadis! Dia bergidik apa bila membayangkan betapa dia akan dimusuhi Cin-ling-pai dan dicari-cari oleh Pendekar Sadis. Hidupnya akan berubah seperti dalam neraka. Setiap saat dia akan dicekam rasa takut dan khawatir, dan hidupnya takkan pernah tenang dan tenteram lagi. Dia akan selalu merasa tidak aman. Untung dia bertindak cerdik dan mampu menjebak gadis perkasa itu. Sekarang dia sudah terbebas dari ancaman bahaya. Dia percaya sepenuhnya bahwa seorang gadis pendekar seperti itu tidak akan menjilat ludah sendiri, tidak akan melanggar janjinya sendiri, apa lagi dengan kedudukan ketua Cin-ling-pai. Betapa pun juga dia tetap merasa kurang tenteram karena dia mengetahui bahwa Menteri Cang Ku Ceng menaruh kecurigaan kepadanya! Kini dia harus waspada dan berhati-hati, tidak boleh terlalu menuruti nafsunya dan harus mengurangi atau bahkan menghentikan petualangannya di istana bagian puteri. Tang Bun An yang dikenal sebagai Tang Ciangkun, orang yang sudah berjasa terhadap kaisar, selama ini diam-diam memang telah mengumpulkan puluhan orang yang dipilihnya dari para prajurit anak buahnya. Dia tidak pernah menuturkan rahasia pribadinya kepada siapa pun, juga tidak kepada kelompok prajurit pengawal yang telah menjadi orang-orang kepercayaannya. Akan tetapi dia menimbuni mereka dengan hadiah, bahkan mengajarkan beberapa jurus pukulan kepada mereka sehingga dia percaya bahwa prajurit-prajurit ini adalah orang-orang yang boleh dipercayanya, bukan sebagai atasan saja melainkan juga secara pribadi. Begitu sampai di rumah dia segera memanggil anak buahnya dan memerintahkan mereka untuk menyebar anggota mereka ke seluruh kota raja. "Ketahuilah bahwa aku mempunyai banyak musuh di dunia kang-ouw. Tentu saja mereka itu merasa iri kepadaku yang sudah mendapatkan kedudukan baik di sini. Aku mendengar bahwa di antara mereka ada yang menyusup ke kota raja, tentu dengan niat buruk terhadap diriku. Karena itu kalian harus melakukan penyelidikan dan pengamatan di seluruh kota raja. Segera laporkan kepadaku bila ada orang-orang yang mencurigakan, apa lagi yang mencari aku atau mencari orang she Tang." Demikianlah pesannya kepada tiga puluh orang lebih yang dia tugaskan untuk menjadi mata-matanya. Dia mengerti bahwa para pendekar seperti Cia Kui Hong dan yang lain telah tahu bahwa Ang-hong-cu adalah seorang she Tang. Rahasia ini bocor karena Tang Hay menyatakan diri sebagai puteranya, dan juga karena ulah Tang Gun yang membanggakan diri sebagai putera Ang-hong-cu. Karena itulah maka kepada anak buahnya dia berpesan agar segera melaporkan kalau ada orang mencarinya atau mencari orang she Tang. Usahanya ini segera memperlihatkan hasil. Belum lagi sepekan dia menyebar mata-mata, pada suatu sore seorang anak buahnya melaporkan bahwa ada tiga orang muncul di kota raja dan mereka itu bertanya-tanya mengenai perwira Tang Gun yang kini menjadi orang pelarian. Mendengar ini, Tang Bun An mengerutkan alisnya. Hatinya merasa tidak enak. Biar pun yang ditanyakan mereka itu Tang Gun, namun ada hubungan dekat sekali antara dia dan Tang Gun. Tang Gun pernah membual di kota raja bahwa dia adalah putera Ang-hong-cu, dan kalau kini ada tiga orang mencarinya, besar kemungkinan ada hubungannya pula dengan Ang-hong-cu, seperti juga yang dilakukan oleh Cia Kui Hong. "Bagaimana rupanya tiga orang itu? Pria ataukah wanita?" tanyanya penuh perhatian. "Mereka adalah seorang wanita dan dua orang pria...” "Bagaimana wajah wanita itu? Dan berapa usianya? Siapa pula namanya, hayo cepat beri penjelasan!" Tang Bun An agak panik karena dia mengira wanita itu adalah Cia Kui Hong! "Dia seorang wanita yang sangat cantik dengan pakaian yang indah, Ciangkun. Usianya tiga puluh tahun lebih. Di punggungnya terlihat gagang sepasang pedang." Lega rasa dada Tang Bun An mendengar ini. Usianya sudah tiga puluh tahun! Jelas dia bukan Cia Kui Hong. "Dan bagaimana yang dua orang laki-laki itu?" "Mereka adalah dua orang muda yang tampan dan gagah, yang seorang berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan yang kedua baru berusia dua puluh tahun lebih.” "Siapa nama mereka?" "Saya tidak tahu, Ciangkun. Saya sudah mencari keterangan, tapi tidak ada seorang pun yang tahu. Mereka hanya bertanya-tanya tentang perwira Tang Gun kepada para pelayan rumah penginapan." "Mereka di rumah penginapan?" "Benar, Ciangkun. Di rumah penginapan Ban-lok Likoan." Tang Bun An mengangguk-angguk. Jelas bukan Cia Kui Hong, namun tetap saja sangat mencurigakan. Dia harus bertindak lebih dahulu sebelum terlambat. Siapa tahu mereka itu para pendekar kawan Cia Kui Hong. Gadis ketua Cin-ling-pai itu memang sudah berjanji tidak akan mengganggunya, akan tetapi siapa tahu dia mengundang teman-temannya! Walau pun dia tidak berani membuka rahasia karena sudah berjanji, akan tetapi mungkin saja dia menyerahkan tugas penyelidikan itu kepada teman-temannya. Ia harus waspada dan mendahului setiap orang yang akan mendatangkan bahaya baginya. Dia cepat-cepat membuat surat singkat dan memasukkannya dalam sampul. Dikumpulkannya semua pembantunya, lantas dia pun mengatur siasat untuk menghadapi tiga orang yang mencurigakan. Dia mengatakan kepada para pembantunya mungkin saja mereka itu adalah musuh-musuhnya. Sesudah itu dia lantas mengutus seorang pembantu untuk menyerahkan sampul suratnya kepada tiga orang itu. Tiga orang muda yang menjadi perhatian Tang Bun An itu sesungguhnya bukanlah orang-orang sembarangan, sebab mereka adalah Sim Ki Liong, Tang Cun Sek dan Ji Sun Bi! Ji Sun Bi yang usianya sudah tiga puluh satu tahun akan tetapi masih nampak cantik manis dan genit itu berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun), seorang tokoh sesat yang terkenal amat lihai dan juga amat jahat. Ada pun dua orang pemuda yang kini bersamanya sebenarnya merupakan murid-murid orang-orang pandai dan pendekar besar. Yang pertama adalah Sim Ki Liong yang pernah menjadi murid yang disayang dari Pendekar Sadis dan isterinya. Namun putera mendiang Sim Thian Bu ini memang memiliki dasar watak yang jahat. Dia melarikan diri dari Pulau Teratai Merah, dan mencuri pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari keluarga Pendekar Sadis. Ada pun pemuda yang ke dua adalah Tang Cun Sek, pernah menjadi murid terkemuka di Cin-ling-pai. Tetapi putera kandung Ang-hong-cu ini pun memiliki dasar watak yang jahat. Dia melarikan diri dari Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka Hong-cu-kiam! Tiga orang muda yang lihai namun jahat ini bertemu dan bersatu, bahkan mereka sempat bersama-sama memperkuat sebuah perkumpulan yang disebut Kim-lian-pang, bersarang di salah satu puncak di Pegunungan Kim-lian-san. Sim Ki Liong yang paling lihai di antara mereka menjadi ketuanya, dan dua orang lainnya menjadi pembantu-pembantu utama. Akan tetapi tindakan sewenang-wehang dari Kim-lian-pang telah memancing permusuhan dengan para perkumpulan lainnya, dan akhirnya Kim-lian-pang diserbu oleh orang-orang dari perkumpulan lain. Sebenarnya mereka tidak akan kalah kalau saja tidak muncul Pek Han Siong dan Tang Hay yang akhirnya mengalahkan mereka. Bahkan Hay Hay berhasil merampas pedang Gin-hwa-kiam dan pedang Hong-cu-kiam dari tangan Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek. Biar pun menderita kekalahan dan perkumpulan Kim-lianpang yang jahat itu dibasmi, tiga orang pimpinan ini berhasil meloloskan diri mereka. Mereka merasa kehilangan, terutama sekali Sim Ki Liong yang kehilangan kedudukan dan kekuasaan, kehilangan harta benda, kehilangan segalanya sehingga dia merasa sakit hati sekali terhadap Han Siong dan Hay Hay yang sudah menghancurkan kedudukan serta kekuasaannya yang mulai dipupuk dan mulai tumbuh itu. Dia kehilangan segalanya, akan tetapi merasa terhibur juga karena dua orang pembantunya yang juga menjadi sahabat baiknya, yaitu Ji Sun Bi dan Tang Cun Sek, ternyata dapat menyelamatkan diri dan kini terlah bergabung kembali bersamanya. Ji Sun Bi adalah pembantunya, sahabatnya, juga kekasihnya. Tang Cun Sek merupakan pembantu dan sahabatnya yang cocok, dan kedua orang itu memiliki ilmu silat yang boleh diandalkan. Karena itu, biar pun sudah kehilangan kedudukan tinggi dan kekuasaan besar sebagai ketua Kim-lian-pang, dia masih terhibur dan berbesar hati karena masih bersama dua orang pembantunya itu. "Aku harus membalas semua ini! Sekali waktu aku harus dapat mencincang hancur tubuh Tang Hay dan Pek Han Siong!" kata Sim Ki Liong dengan geram sambil mengepal tinju ketika ketiganya duduk mengaso di bawah pohon dalam hutan di mana mereka melarikan diri. Ji Sun Bi dan Tang Cun Sek juga duduk menyusut peluh, wajah mereka masih pucat karena baru saja mereka lolos dari cengkeraman maut. "Mereka adalah musuhku sejak dulu," kata Ji Sun Bi. "Dan memang tidak ada yang akan lebih menyenangkan hatiku dari pada melihat mereka itu dapat kubinasakan. Akan tetapi kita harus berhati-hati sekali, karena kedua pemuda itu memang sakti. Bukan saja mereka berdua mempunyai ilmu silat yang tinggi, akan tetapi yang paling berbahaya lagi, mereka memiliki ilmu sihir yang amat kuat dan sukar dilawan. Kita bertiga belum cukup kuat untuk menghadapi mereka. Kita harus berusaha mencari orang-orang pandai untuk membantu kita." "Pendapatmu itu memang benar, enci Sun Bi. Akan tetapi di mana kita dapat menemukan orang-orang pandai yang bersedia membantu kita?" tanya Sim Ki Liong. Dia sendiri baru keluar dari Pulau Teratai Merah sehingga belum banyak pengalaman, belum mempunyai hubungan dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Ji Sun Bi tersenyum. Tok-sim Mo-li ini tentu saja berbeda dengan kedua orang muda itu. Dia adalah seorang tokoh sesat yang kenamaan, maka tentu saja dia mengenal banyak tokoh sesat lain di dunia kang-ouw. "Untuk mencari kawan-kawan baru yang pandai, serahkan saja kepadaku!" "Kalau saja aku dapat bertemu dengan ayah kandungku, tentu dia akan suka membantu kita. Dan aku mendengar bahwa ayah kandungku itu, Ang-hong-cu, adalah seorang yang sakti," kata Tang Cun Sek. "Akan tetapi di mana kita dapat mencari dia? Memang aku sendiri sudah lama mendengar akan nama besarnya. Dia sedemikian lihainya sehingga tidak ada seorang pun dari dunia kang-ouw yang mampu mengenal siapa sesungguhnya tokoh yang amat terkenal dengan julukan Ang-hong-cu itu," kata Ji Sun Bi. Sim Ki Liong memandang kepada sahabatnya dan sekaligus pembantunya itu dengan alis berkerut. "Tang-toako, walau pun ayahmu itu sakti dan akan suka membantu kita, namun apa artinya kalau kita tidak dapat mengetahui di mana dia berada?” “Jangan khawatir. Berdasarkan penyelidikanku, aku yakin bahwa dia berada di kota raja. Ada berita bahwa di kota raja terdapat seorang perwira muda she Tang yang mengaku bahwa dia adalah putera Ang-hong-cu. Nah, apa bila kita mencari perwira Tang itu di kota raja, tentu kita akan dapat mengetahui di mana adanya ayahku itu. Kalau benar perwira itu memang putera Ang-hong-cu, berarti dia masih saudaraku seayah." Begitulah, karena sedang dalam keadaan bingung dan mengharapkan bantuan dari orang pandai yang dapat dipercaya, Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi menyetujui dan mereka bertiga dengan hati-hati lantas memasuki kota raja untuk menyelidiki tentang Perwira Tang yang kabarnya menjadi perwira pasukan pengawal istana di kota raja. Setelah mendapatkan sebuah rumah penginapan yang kecil agar kehadiran mereka tidak menyolok dan menarik perhatian, mereka mulai bertanya-tanya tentang perwira Tang itu. Mereka bertanya kepada para pelayan rumah penginapan dan pelayan rumah makan di mana mereka makan. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sikap mereka bertanya-tanya tentang perwira Tang telah menimbulkan kecurigaan seorang mata-mata pembantu Perwira Tang Bun An yang langsung melaporkan hal itu kepada majikannya. Dan dari hasil keterangan yang mereka peroleh, terdapat berita mengejutkan bahwa Perwira Tang yang mereka cari-cari itu telah ditangkap dan dihukum buang! Berita ini bukan mengejutkan, akan tetapi juga amat mengecewakan hati Tang Cun Sek. Jejak satu-satunya yang dapat membawanya kepada ayah kandungnya kini telah lenyap! Kalau bukan perwira she Tang itu, lalu siapa lagi yang dapat memberi keterangan kepada dia tentang Ang-hong-cu? Selagi mereka bertiga kebingungan sesudah mendengar berita itu dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba pelayan rumah penginapan menyerahkan sesampul surat kepada mereka sambil berkata, "Ini ada sepucuk surat untuk sam-wi." Sim Ki Liong yang menganggap dirinya sebagai pimpinan segera menerima surat itu dan bertanya heran, "Siapakah orang yang menyerahkan surat ini kepadamu?" Pelayan itu menggelengkan kepala. "Pada waktu saya sedang bertugas di luar, orang itu datang dan menyerahkan surat ini kepada saya dengan pesan agar disampaikan kepada sam-wi. Mula-mula dia bertanya apakah ada dua orang pemuda dan seorang wanita yang bermalam di sini, yang bertanya-tanya tentang Perwira Tang. Ketika saya membenarkan, dia lalu mengeluarkan surat ini dengan pesan agar saya serahkan kepada sam-wi." Sim Ki Liong mengangguk dan pelayan itu lalu pergi. Dengan heran dan ingin tahu Sim Ki Liong membuka sampul surat itu dan membaca isi surat yang singkat saja. "Jika kalian bertiga ingin tahu tentang Perwira Tang, keluarlah dari kota raja melalui pintu gerbang utara dan ikuti seorang yang akan menjadi penunjuk jalan.’ Surat itu tanpa nama pengirim, tanpa tanda tangan, ditulis dengan huruf indah dan gagah. Membaca ini, mereka bertiga saling pandang dan Tang Cun Sek menjadi gembira sekali. "Ahh, jejak yang menghilang itu kini timbul kembali!" serunya. "Kita harus cepat menuruti petunjuk surat ini. Kalau kita dapat menemukan Perwira Tang, tentu akan mudah mencari Ang-hong-cu ayahku." Ji Sun Bi yang mempunyai pengalaman jauh lebih luas dibandingkan dua orang muda itu, mengerutkan alis. "Kita harus berhati-hati dan waspada. Adanya surat ini memperlihatkan pengirimnya sudah tahu akan kedatangan dan gerak-gerik kita. Sebaliknya, kita tidak tahu siapa dia atau mereka, dan tidak tahu pula mereka itu kawan ataukah lawan. Undangan ini dapat saja beriktikad baik, akan tetapi juga dapat merupakan suatu perangkap." "Hemm, andai kata surat ini merupakan sebuah perangkap, apakah kita perlu takut? Kita hajar mereka!" kata Sim Ki Liong. Ini bukan merupakan suatu kesombongan atau bualan belaka. Mereka bertiga merupakan orang-orang yang mempunyai ilmu silat yang tinggi dan sukar dicari tandingannya, maka tentu saja mereka bertiga tidak takut terhadap ancaman pihak lawan yang belum mereka ketahui siapa. "Benar, kita tidak perlu takut. Lagi pula, kalau pengirim surat ini memang mempunyai niat buruk terhadap kita, perlu apa dia mengirim surat ini? Tentu saja mereka akan langsung mengepung dan menyerang kita," kata pula Tang Cun Sek. "Betapa pun juga, kita harus berhati-hati dan tetap waspada," kata Ji Sun Bi. "Mari sekarang juga kita pergi sebelum hari menjadi gelap," kata Sim Ki Liong. Mereka lalu meninggalkan rumah penginapan, menuju ke pintu gerbang utara dan keluar dari kota raja. Sesudah tiba di luar pintu gerbang dan berjalan terus sampai ke jalan yang sunyi, mereka dihadang seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai seorang pemburu. Laki-laki itu menjura dan berkata dengan suara lirih. "Sam-wi yang mencari Perwira Tang?" Tiga orang itu memandang penuh perhatian dan mengangguk. Laki-laki itu nampak gagah dan bertubuh tegap, namun mereka tahu bahwa dia ini hanyalah seorang anak buah atau utusan saja. "Silakan sam-wi ikut dengan saya," orang itu berkata pula. Tiba-tiba, secepat kilat Ji Sun Bi menggerakkan tubuhnya ke arah orang itu, lalu tangan kirinya mencengkerarn ke arah kepala. Orang itu terkejut sekali, akan tetapi jelas bahwa dia bukan orang lemah karena begitu melihat serangan itu, dia cepat miringkan tubuh dan menggerakkan tangan kanan untuk rnenangkis. Tetapi ternyata cengkeraman tangan kiri itu hanya gertakan saja, yang bergerak sungguh-sungguh adalah tangan kanannya, dengan dua jari rnenotok pundak. Gerakan Ji Sun Bi terlalu cepat bagi orang itu sehingga tidak sempat mengelak lagi. Pundaknya tertotok dan dia pun terguling roboh, tak mampu menggerakkan tubuhnya lagi! "Nah, kau lihat. Kalau ternyata engkau menipu dan menjebak kami, maka nyawamu akan melayang!" kata Ji Sun Bi, kemudian dia pun menepuk pundak orang itu untuk membuka kembali jalan darah yang tertotok. cerita silat online karya kho ping hoo Orang itu bangkit berdiri, kemudian memandang dengan wajah membayangkan perasaan jeri. Tak disangkanya bahwa wanita cantik itu sedemikian lihainya! Dia mengangguk dan berkata, "Saya hanyalah utusan untuk menyambut sam-wi. Kenapa saya diganggu?" "Tak perlu banyak cakap!" kata Sim Ki Liong. "Hayo antarkan aku dan teman-temanku ini kepada si pengirim surat!" Dengan sikap ketakutan orang itu lalu berjalan menuju ke arah sebuah bukit, diikuti oleh tiga orang itu. Matahari mulai condong ke barat ketika mereka menyusup-nyusup hutan. Akhirnya mereka pun tiba di depan sebuah pondok di puncak bukit yang tersembunyi di tengah hutan itu. Tempat itu amat sunyi, dan pondok itu sama sekali tidak nampak ketika mereka mendaki bukit itu, karena tersembunyi di dalam hutan yang lebat. Sesudah tiba di depan pondok, orang itu berkata kepada mereka, "Kita telah tiba, harap sam-wi masuk ke pondok. Pengirim surat itu telah menanti sam-wi di dalam pondok!" "Hemm, kau sangka kami anak-anak kemarin sore yang masih bodoh?" Ji Sun Bi berseru dengan suara mengejek. "Hayo cepat kau suruh dia keluar pondok, atau akan kubunuh kau lebih dulu!" Tentu saja orang itu menjadi ketakutan. Akan tetapi ketika itu pula pintu pondok terbuka dari dalam dan muncullah Tang Bun An. Dia melangkah keluar sambil tertawa bergelak, akan tetapi sepasang matanya yang tajam itu memandang kepada mereka bertiga penuh perhatian. "Ha-ha-ha, tiga orang muda yang sungguh sombong. Kalian masih berani berlagak dan mengancam? Lihatlah ke sekeliling kalian!" Tang Bun An melangkah keluar dengan sikap tenang sekali. Tiga orang muda itu memandang dengan sikap waspada, dan ketika mendengar ucapan itu mereka membalikkan tubuh. Kiranya mereka kini telah terkepung oleh dua puluh orang lebih yang siap dengan segala macam senjata di tangan. Ada yang memegang pedang, golok, toya, tombak atau ruyung dan melihat cara mereka memegang senjata maka dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang terlatih dan memiliki kepandaian silat. Tentu saja Sim Ki Liong, Tang Cun Sek dan Ji Sun Bi sama sekali tidak menjadi gentar menghadapi pengepungan kurang lebih dua losin orang itu, akan tetapi mereka merasa penasaran sekali. "Hemm, kalau engkau memaki kami sebagai tiga orang muda yang sombong, maka jelas bahwa engkau adalah seorang tua yang sangat curang dan pengecut! Siapa engkau dan mengapa pula engkau menjebak kami di sini dan ingin mengeroyok kami? Apa kesalahan kami terhadapmu, dan ada urusan apakah yang membuat engkau bersikap curang seperti ini?" Wajah Tang Bun An menjadi kemerahan dan sinar matanya mencorong. Pemuda tampan dan gagah ini sungguh berani mati! "Bocah sombong jangan kira bahwa aku tidak berani melawan kalian bertiga. Akan tetapi, sebelum kita bicara, aku ingin melihat lebih dulu apakah kepandaian kalian juga sebesar sikap sombong kalian!" Dia memberi isyarat kepada anak buahnya yang segera bergerak, mengepung dan mulai menyerang! Ji Sun Bi segera mencabut sepasang pedangnya dan begitu dia memutar pedang-pedang itu, nampak dua gulungan sinar lantas beberapa orang penyerang rnengeluarkan seruan kaget karena senjata mereka tiba-tiba saja membalik, bahkan ada sebatang pedang dan sebatang golok terlepas dari pegangan tangan pemiliknya. Sim Ki Liong telah kehilangan Gin-hwa-kiam yang terampas oleh Hay Hay, juga Tang Cun Sek kehilangan Hong-cu-kiam yang juga dirampas oleh Hay Hay. Kedua orang pemuda ini belum memiliki senjata akan tetapi keduanya mempunyai kepandaian yang cukup tinggi sehingga dengan tangan kosong saja mereka menyambut serangan para pengeroyok itu. Kedua tangan rnereka menampar-nampar, kaki mereka menendang-nendang dan dalam waktu beberapa menit saja dua losin orang yang mengeroyok itu segera kocar-kacir dan terlempar ke sana-sini! Melihat ini secara diam-diam Tang Bun An terkejut dan kagum bukan main. Kalau mereka ini adalah pendekar-pendekar seperti Cia Kui Hong, maka celakalah dia. "Tahan !" Dia berseru dan anak buahnya yang sudah terdesak hebat itu cepat berloncatan mundur. Sim Ki Liong, Tang Cun Sek dan Ji Sun Bi berdiri sambil tersenyum mengejek. "Nah, apakah sekarang engkau hendak memperkenalkan diri dan bicara apa maksudmu mengundang kami?" tanya Sim Ki Liong, sikapnya mengejek dan penuh tantangan. Tang Bun An masih merasa penasaran, ingin sekali dia menguji sendiri ilmu kepandaian mereka atau seorang di antara mereka. Maka dia pun berkata, "Kalian hebat! Akan tetapi aku masih penasaran. Sebelum bicara, aku ingin merasakan sendiri kelihaian kalian. Nah, majulah salah seorang di antara kalian yang paling pandai, dan mari kita bertanding untuk melihat sampai di mana tingkat kepandaian masing-masing." Sim Ki Liong yang merasa paling pandai, bahkan memang tadinya dialah yang menjadi ketua, segera maju. "Akulah yang akan menandingimu!" "Tak perlu engkau yang maju sendiri, Pangcu. Urusan ini adalah urusan pribadiku, biarlah aku yang menandinginya!" kata Tang Cun Sek. Dan dia pun segera melompat ke depan, menghadapi Tang Bun An. Dia masih menyebut pangcu kepada Sim Ki Liong walau pun sekarang pemuda itu bukan lagi seorang ketua perkumpulan dan sudah tidak memiliki anak buah lagi. Sejenak Tang Bun An menatap tajam wajah pemuda tinggi besar itu dan dia pun kagum. Selain tinggi besar dan tubuhnya kokoh kuat, juga wajah pemuda yang berkulit putih itu menarik sekali, tampan dan gagah. Matanya mengeluarkan cahaya mencorong dan jelas bahwa dia seorang pemuda yang ‘berisi’. Dia pun heran sekali mendengar pemuda tinggi besar ini menyebut ‘pangcu’ kepada pemuda tampan yang halus dan jauh lebih muda itu. "Bagus! Kalian bertiga sama-sama lihai, asal bisa menguji salah seorang di antara kalian, hatiku sudah puas. Orang muda mulailah!" tantangnya. Tang Cun Sek juga seorang yang mempunyai watak tinggi hati. Dia merasa bahwa tingkat ilmu silatnya sudah amat tinggi dan jarang ada orang mampu menandinginya, maka tentu saja dia memandang rendah kepada pria setengah tua itu. Juga sudah lama dia menjadi murid utama di Cin-ling-pai, maka dia pun dapat menirukan sikap para pendekar. Kini pun dia mencoba bersikap gagah. "Orang tua, engkaulah yang menantang dan mengundang kami, maka engkau pula yang harus mulai menyerang. Silakan!" katanya dengan sikap waspada karena bagaimana pun juga dia belum tahu benar sampai di mana kelihaian calon lawan ini, walau pun dia agak memandang rendah. "Bagus, sambut seranganku!" bentak Tang Bun An. Bentakannya mengandung tenaga khikang sehingga menggetarkan jantung, namun Cun Sek sudah melindungi dirinya dengan pengerahan tenaga sakti dan begitu tangan kanan terbuka dari lawan menyambar ke arah dadanya, dia pun cepat mengelak mundur sambil memutar lengan kiri menangkis, sedangkan lengan kanannya meluncur ke depan dengan tangan terkepal, menghantam dari samping ke arah pelipis lawan sebagai balasan. "Hemmm!" Tang Bun An berseru dan sengaja mengerahkan tenaga pada lengan kirinya untuk menangkis hantaman tangan lawan ke arah pelipisnya itu untuk mengadu tenaga dan menguji kekuatan tenaga lawan. "Dukkk!" Dua lengan itu bertemu dan akibatnya keduanya terdorong mundur dua langkah! Kini Cun Sek tidak lagi berani memandang rendah. Kiranya lawannya memiliki tenaga yang sangat kuat, yang dapat mengimbangi tenaganya sendiri! Dia pun merasa penasaran dan cepat dia menerjang ke depan sambil mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang ampuh. Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu silat andalan Cin-ling-pai, selain gerakannya mantap dan mengandung tenaga dahsyat, juga kadang amat cepat seperti kilat menyambar. "Uhhh...!" Tang Bun An berseru karena kaget bukan main. Dia mengenal ilmu yang pernah dia lihat dimainkan pula oleh Cia Kui Hong, ketua Cin-ling-pai itu! Celaka, pikirnya. Jelas pemuda ini ada hubungannya dengan Cia Kui Hong. Tentu dia ini seorang jagoan dari Cin-ling-pai yang sengaja diundang Kui Hong untuk memusuhinya. Gadis itu telah melanggar janjinya, atau kalau tidak melanggar janji dan tidak membuka rahasianya, agaknya telah mengirim orang-orang Cin-ling-pai yang lihai untuk memusuhinya! Dia pun cepat menggerakkan tubuhnya dan mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya yang banyak ragamnya, menangkis, mengelak dan membalas dengan pengerahan seluruh tenaganya. Diam-diam dia merasa gentar juga. Walau pun dia mungkin mampu menandingi bahkan mengatasi pemuda tinggi besar itu, namun di sana masih ada dua orang temannya yang juga amat lihai. Bahkan mudah diduga bahwa pemuda yang disebut pangcu ini tentu lebih lihai, dan wanita itu pun tak boleh dipandang ringan. Apa bila mereka maju bertiga, maka sukarlah baginya untuk dapat lolos! Mereka saling serang dengan serunya dan pada suatu saat, ketika Cun Sek mengubah pula ilmu silatnya dan kini memainkan Im-yang Sin-kun, pada waktu sepasang tangannya mendorong dengan pengerahan tenaga, Tang Bun An juga mendorong kedua tangannya untuk menyambut sambil mengerahkan tenaga pula. "Desss...!" Kali ini pertemuan dua pasang tangan itu lebih hebat dari pada tadi dan akibatnya mereka berdua terdorong ke belakang sampai terhuyung! "Tahan!" kata Tang Bun An sebelum pemuda tinggi besar itu menyerangnya lagi. "Apakah hubunganmu dengan Cin-ling-pai, orang muda?" Mendengar pertanyaan itu, Cun Sek juga terkejut. Kiranya orang tua yang gagah dan lihai itu mengenal ilmu silatnya yang diperoleh dari Cin-ling-pai! Jangan-jangan orang ini tokoh yang berdekatan dengan Cin-ling-pai! Kalau demikian halnya, berbahaya sekali. Tiba-tiba Sim Ki Liong telah mendahuluinya. Pemuda ini meloncat ke depan, menghadapi orang tua yang lihai itu. "Paman, mengingat bahwa engkau yang mengundang kami dan mengirim surat, maka sudah sepatutnya jika engkau pula yang menceritakan siapa dirimu dan apa pula maksudmu mengundang kami, kemudian menguji kepandaian kami di sini." Tang Bun An meraba-raba dagunya yang telah dicukur bersih. "Aku sengaja mengundang kalian ketika mendengar dari anak buahku bahwa kalian bertanya-tanya tentang Perwira Tang. Apakah yang kau maksudkan adalah Perwira Tang Gun yang telah dihukum buang oleh kaisar?" Melihat sikap tiga orang muda itu berkeras menuntut dia yang lebih dahulu memperkenalkan diri dan membuat pengakuan, dia pun menyambung cepat. "Kalau yang kalian maksudkan Tang Gun, maka aku dapat memberi keterangan sejelasnya tentang dia." Kini Tang Cun Sek yang menjawabnya. "Sesungguhnya akulah yang punya kepentingan dengan perwira Tang itu. Kami tidak tahu siapa namanya, yang kami cari adalah Perwira Tang yang mengaku bahwa dia adalah putera Ang-hong-cu!" Tang Bun An kini memandang wajah Cun Sek penuh perhatian, sinar matanya yang tajam mencorong itu seperti hendak menyelidiki isi hati pemuda itu lewat pengamatan wajahnya. "Hemmm, orang muda, yang kau cari itu Tang Gun ataukah Ang-hong-cu?" Bagaimana pun juga, pemuda ini pandai ilmu silat Cin-ling-pai dan kalau dia mencari Ang-hong-cu, jelas bahwa dia datang diutus oleh Cia Kui Hong! "Kami mencari Ang-hong-cu!" Cun Sek berseru. "Dapatkah engkau menceritakan di mana adanya Ang-hong-cu?” Meski pun jantungnya berdebar tegang, namun Tang Bun An masih dapat tersenyum dan mengangguk-angguk. "Itu tergantung dari sikap kalian. Kalian bertiga yang membutuhkan keterangan, maka sepatutnya kalau kalian memperkenalkan diri lebih dulu kepadaku, dan menjelaskan apa maksud kalian mencari Ang-hong-cu. Barulah akan aku pertimbangkan apakah aku dapat memberi tahu kalian di mana adanya Ang-hong-cu ataukah tidak." "Nanti dulu, jangan sembarangan membuat pengakuan!" kata Ji Sun Bi cepat, lalu wanita ini memandang kepada Tang Bun An dengan sinar mata tajam. "Hemmm, engkau adalah orang tua yang licik bukan main. Kami bertiga tidak mempunyai urusan denganmu, tapi engkau mengirim surat kepada kami, memancing kami datang ke sini. Lantas engkau mengerahkan anak buahmu untuk mengeroyok kami, bahkan engkau sendiri menguji kepandaian salah seorang di antara kami. Apa artinya semua ini? Dan kini engkau hendak memancing keterangan kami tanpa memberi tahu kepada kami siapakah engkau dan apakah artinya semua perbuatanmu ini. Padahal pengeroyokan anak buahmu telah gagal, dan betapa pun lihaimu, kiranya engkau tak akan mampu mengalahkan kami bertiga. Bahkan kalau kami mau, kami akan dapat mengeroyok dan merobohkanmu. Nah, dalam keadaan seperti ini, sepatutnya engkaulah yang lebih dahulu memperkenalkan diri dan menjelaskan mengapa engkau mengundang kami." Tang Bun An tertawa dan dia pun memandang kepada wanita itu dengan kagum. Seorang wanita yang bukan saja cantik, namun berkepandaian silat tinggi dan cerdik sekali, dan tentu saja dia mengenal baik siapa Ji Sun Bi. Pada awal pertemuan tadi dia lupa. Akan tetapi sekarang dia teringat bahwa dia pernah bertemu dengan wanita ini. Pada saat itu dia menyamar sebagai Han Lojin yang berkumis dan berjenggot. "Ha-ha-ha-ha! Tok-sim Mo-li, kau kira aku tidak mengenal kalian? Dan engkau adalah Sim Ki Liong yang pernah menjadi murid Pendekar Sadis itu, bukan? Ha-ha-ha, siapa bilang kalau keadaanku kalah? Lihat di belakang kalian!" Tentu saja Ji Sun Bi dan Sim Ki Liong terkejut bukan main mendengar betapa orang tua itu telah mengenal mereka, dan sesudah mereka memutar tubuh, ternyata di sana sudah terdapat puluhan orang berpakaian seragam prajurit pengawal yang sudah siap dengan busur dan anak panah! “Siapa... siapakah engkau...?” Sim Ki Liong bertanya, kaget bukan main. "Ha-ha-ha, kalau aku menghendaki, dapat saja aku mendatangkan ratusan orang prajurit pengawal. Aku adalah seorang perwira pengawal yang mengepalai ribuan orang prajurit. Nah, sekarang kalian masih berkepala besar dan tidak mau mengaku apa maksud kalian mencari perwira Tang Gun dan Ang-hong-cu?" Tiga orang muda itu saling pandang dan mereka sungguh terkejut bukan main. Mereka tidak menduga siapa adanya perwira yang lihai ini, yang ternyata sudah mengenal Ji Sun Bi dan Sim Ki Liong! Melihat bahwa agaknya perwira itu belum mengenal dirinya, Cun Sek lalu berkata dengan sikap hormat. "Ciangkun, maafkan sikap kami tadi karena tidak mengenalmu. Baiklah kujelaskan bahwa sebetulnya yang berkepentingan dengan An-hong-cu adalah aku pribadi. Aku mempunyai urusan pribadi yang sangat penting dengan Ang-hong-cu, karena itulah maka aku mencari dia dan kalau Ciangkun tahu di mana dia, tolong memberi tahu kepadaku." Tadinya Tang Bun An masih menaruh curiga terutama kepada pemuda tinggi besar yang pandai ilmu silat Cin-ling-pai itu, akan tetapi setelah dia teringat kepada Ji Sun Bi dan juga Sim Ki Liong sebagai dua orang muda yang berpihak pada golongan sesat, bahkan juga pernah membantu pemberontakan golongan hitam yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo, maka hatinya terasa lega. Jelas bahwa dua orang semacam Ji Sun Bi dan Sim Ki Liong itu dapat ditariknya menjadi pembantu atau sekutu yang bisa diandalkan! Ada pun pemuda tinggi besar yang mencari Ang-hong-cu ini, walau pun dia belum mengenalnya, tetapi agaknya dia pun sahabat dua orang muda sesat itu. "Hemmm, kalau begitu, marilah kita berbicara di dalam. Urusan pribadi tidak sepantasnya dibicarakan diluar." Karena maklum bahwa kini keadaan mereka bertigalah yang berada di bawah ancaman bahaya kalau sampai mereka menentang, maka tiga orang muda itu lalu mengikuti Tang Bun An memasuki pondok itu. Ang-hong-cu lalu mempersilakan tiga orang tamu itu duduk di ruangan tamu, ada pun dia sendiri memasuki kamarnya. Tak lama kemudian dia keluar kembali dan kini sudah berpakaian sebagai seorang perwira sehingga tiga orang muda itu semakin percaya kepadanya. “Nah, orang muda. Sekarang kita dapat bicara di sini sehingga tidak ada orang luar yang mendengarkan kita. Katakanlah kenapa engkau mencari Ang-hong-cu, dan urusan pribadi penting apa yang kau miliki terhadap dia. Ceritakan saja terus terang, baru nanti aku akan memberi tahukan di mana adanya Ang-hong-cu yang kau cari-cari itu.” Cun Sek kini merasa bahwa tidak ada gunanya lagi dia merahasiakan dirinya. Agaknya perwira itu boleh dipercaya, dan tentu dia benar-benar tahu di mana adanya Ang-hong-cu, karena sikapnya terhadap mereka bertiga tidak memusuhi. Kalau memang dia bermaksud buruk, tentu semenjak tadi dia sudah mengerahkan anak buahnya lebih banyak lagi untuk menangkap mereka bertiga. “Baiklah aku mengaku terus terang saja, Ciangkun. Aku mencari Ang-hong-cu karena dia adalah ayah kandungku. Semenjak kecil aku selalu mencarinya, maka ketika mendengar di sini ada seorang perwira she Tang mengaku putera Ang-hong-cu, aku segera mencari ke sini, ditemani oleh mereka ini." Biar pun dia terkejut mendengar pengakuan pemuda tinggi besar itu, Tang Bun An tetap bersikap tenang. Dia memang tahu bahwa perbuatannya selama ini sudah membuahkan keturunan di mana-mana, dan tentu saja dia tidak tahu siapa di antara para wanita yang menjadi korbannya, yang kemudian melahirkan seorang keturunan darinya. Mula-mula muncul Tang Hay atau Hay Hay yang sangat lihai itu, yang mengaku sebagai puteranya. Namun pemuda ini kemudian menjadi musuh besarnya yang paling ditakutinya karena harus diakuinya bahwa selama ini belum pernah dia bertemu tanding sekuat dan selihai Hay Hay. Kemudian muncul Tang Gun yang juga mengaku sebagai puteranya. Putera ini terpaksa dia korbankan demi mencari kedudukan tinggi bagi dirinya sendiri. Akan tetapi diam-diam dia telah membebaskan puteranya itu dari hukuman buang, dan memberinya bekal. Tang Gun bukan apa-apa kalau dibandingkan Hay Hay, tidak mempunyai ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi kini muncul pemuda ini yang mengaku puteranya pula, dan pemuda ini pun amat lihai, bahkan agaknya menjadi murid Cin-ling-pai, walau pun tingkat kepandaian pemuda ini belum sehebat Hay Hay. “Orang muda, jangan engkau sembarangan saja mengaku sebagai putera Ang-hong-cu," katanya dengan suara yang tegas dan kaku. "Kalau engkau benar putera Ang-hong-cu, lalu apa buktinya dan apa tandanya?" Cun Sek cepat menanggalkan kalungnya, kalung dengan mainan seekor kumbang merah, kemudian memperlihatkannya kepada Tang Bun An. "Inilah bukti dan tanda itu, juga nama keturunanku Tang, Tang Cun Sek. Ibuku she Phoa, berasal dari dusun Liok-ciu di Propinsi Shantung. Ibuku ditinggalkan begitu saja oleh Ang-hong-cu setelah dia mengandung. Ibu yang mengatakan kepadaku bahwa ayah kandungku adalah Ang-hong-cu, she Tang, dan benda ini pemberian ayah kandungku. Nah, Ciangkun. Setelah aku dapat memperlihatkan bukti, maka kuharap Ciangkun suka memberitahu di mana adanya Ang-hong-cu." Tang Bun An menghela napas panjang, lantas memandang kepada tiga orang muda itu. "Semenjak nama besar Ang-hong-cu dikenal di dunia kang-ouw, tak seorang pun pernah dapat melihat wajahnya. Bahkan anak-anaknya sendiri pun tak akan dapat mengenalnya. Hanya aku yang mengetahui rahasianya. Akan tetapi dia sudah memberi tahu kepadaku bahwa dia berencana untuk muncul di dunia kang-ouw dengan terang-terangan sesudah dia mendapatkan sekutu dan kawan-kawan yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan. Melihat kalian bertiga adalah orang-orang yang memiliki kepandaian, kukira dia akan suka menerima kalian. Akan tetapi, tentu saja aku harus lebih dahulu mendapat kepastian dari kalian apakah kalian akan suka bekerja sama dengan Ang-hong-cu." "Bekerja sama dalam hal apa?" Sim Ki Liong bertanya. "Dia ingin membangun sebuah kekuatan besar untuk menguasai dunia kang-ouw, untuk menundukkan dan menaklukkan perkumpulan-perkumpulan besar di dunia kangouw dan mengangkat diri menjadi bengcu (pemimpin rakyat). Bagaimana pendapat kalian bertiga?" "Aihhh, kebetulan sekali!" seru Ji Sun Bi girang. “Kami bertiga memang sedang mencari sekutu pula, sesudah perkumpulan kami dihancurkan oleh musuh! Tentu saja aku setuju sekali!" "Hemm, aku pun setuju untuk bekerja sama asalkan dia bisa menghargai kemampuanku!" kata Sim Ki Liong. "Aku sendiri dengan senang hati akan membantu Ang-hong-cu, karena sudah sejak kecil aku merindukan ayah kandungku dan aku akan berbahagia sekali kalau dapat membantu ayah!" kataTang Cun Sek. "Bagus! Kalau begitu nanti malam aku akan memberi tahukan dia, dan akan kubujuk dia agar datang menemui kalian. Sekarang harap kalian beristirahat dulu. Kalian dapat mandi dan beristirahat, kemudian malam nanti kita akan makan malam dan dalam kesempatan itu mungkin sekali Ang-hong-cu akan hadir di tengah-tengah kita." "Nanti dulu, Ciangkun. Ada satu hal yang membuat kami penasaran. Bagaimana engkau dapat mengenal aku dan Tok-sim Mo-li? Pernahkah kita saling jumpa, dan siapakah nama Ciangkun?" tanya Sim Ki Liong yang merasa penasaran. Tang Bun An bangkit dan tersenyum. "Nanti saja akan kuceritakan semua." Dia bertepuk tangan dan masuklah lima orang prajurit pengawal. "Antarkan tiga orang tamu ini ke kamar masing-masing dan layani mereka baik-baik. Nah, sampai jumpa malam nanti di ruangan makan!" katanya kepada tiga orang tamunya lantas dia pun meninggalkan ruangan itu. Dengan hati penuh pertanyaan maka tiga orang muda itu terpaksa mengikuti para prajurit pengawal yang mengantar mereka ke tiga buah kamar yang terletak di bagian belakang pondok yang ternyata cukup luas itu. Ketika para prajurit itu hendak mengundurkan diri, Ji Sun Bi yang masih merasa penasaran cepat memegang lengan seorang di antara mereka dan tersenyum manis kepadanya. "Sobat yang tampan, tolong beritahu, siapa sih namanya komandanmu tadi?" Sejenak prajurit itu memandang wajah yang cantik itu dengan penuh rasa kagum dan bibir tersenyum, akan tetapi sikapnya langsung berubah tegas dan dia pun berkata, "Bagi kami beliau adalah Ciangkun dan kami tidak mengetahui nama lain." Setelah berkata demikian dia membalikkan tubuh dan pergi dari situ. Memang Tang Bun An sudah memesan kepada semua anak buahnya supaya mereka itu tidak pernah menyebut namanya dan merahasiakan dirinya. Perintah ini disertai ancaman hukuman berat. "Sialan!" gerutu Ji Sun Bi kepada dua orang temannya. "Kalau tidak ingat urusan Cun Sek tentu sudah kubekuk prajurit tadi dan kupaksa dia mengakui siapa nama komandannya! Aku merasa seperti anak kecil dipermainkan saja." "Sabarlah, Mo-li. Bukankah kita memang berniat untuk mencari sekutu yang kuat agar kita dapat bangkit kembali? Kalau memang Ang-hong-cu menghendaki semua rahasia ini, apa salahnya? Dan aku melihat bahwa memang dia telah memiliki kedudukan yang kuat," kata Sim Ki Liong. "Bagaimana engkau bisa tahu?" kata Tang Cun Sek. "Lihat saja. Dia sudah dapat mempengaruhi ciangkun itu untuk bekerja sama dengan dia! Dan nampaknya perwira itu benar-benar taat kepadanya! Memiliki perwira kerajaan yang mengepalai ribuan orang prajurit pengawal, itu sudah hebat namanya! Agaknya aku akan suka sekali bekerja sama dengan Ang-hong-cu." Mereka pun tidak akan menanti terlalu lama karena hari sudah sore. Dan mereka dilayani dengan amat baik. Para prajurit pelayan itu menyediakan air cukup banyak untuk mandi, juga air teh dan arak. Setelah hari menjadi gelap, tibalah saat yang amat ditunggu-tunggu oleh mereka bertiga, terutama sekali oleh Cun Sek. Pemuda ini sudah ingin sekali dapat bertemu dengan ayah kandungnya yang namanya amat tersohor di dunia kang-ouw itu. Seorang prajurit datang memberi tahu bahwa mereka diundang ke ruangan makan untuk makan malam. Karena maklum bahwa prajurit di sana memang diharuskan menutup mulut, tanpa banyak bertanya lagi mereka bertiga mengikuti prajurit itu memasuki sebuah ruangan makan yang cukup besar. Di situ ada sebuah meja makan bundar besar yang dikelilingi delapan buah bangku, namun tidak nampak ada orang di situ. Prajurit itu lantas mempersilakan mereka bertiga duduk menghadapi meja makan itu. Sesudah prajurit itu pergi, tidak lama kemudian perwira tua yang menjadi tuan rumah itu memasuki ruangan makan dengan wajah berseri. "Selamat malam!" katanya gembira. "Apakah kalian mendapatkan pelayanan yang cukup baik?" "Terima kasih, Ciangkun," kata Cun Sek. "Akan tetapi, mana dia yang bernama Ang-ong-cu...? "Ha-ha-ha, engkau nampaknya tidak sabar benar untuk dapat bertemu dengan ayahmu, orang muda. Aku sudah menyampaikan keinginan kalian untuk bertemu dengan dia, juga telah kusampaikan bahwa kalian bertiga suka untuk membantu dia sebagai seorang calon bengcu. Akan tetapi dia minta agar kalian suka bersumpah setia lebih dahulu sebelum dia muncul. Karena itu kuharap kalian suka mengucapkan sumpah itu di hadapanku sebagai wakilnya. Bagaimana pendapat kalian?" Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi adalah seorang wanita iblis, seorang tokoh kaum sesat yang tidak pantang melakukan kejahatan macam apa pun. Juga tidak pantang untuk mengucapkan sumpah palsu! Maka dia pun sama sekali tak merasa keberatan karena baginya, sumpah dapat saja setiap saat dilanggar, seperti juga janji. Melihat Ji Sun Bi mengangguk setuju, Sim Ki Liong yang pengalamannya belum begitu banyak juga mengangguk. Bagi Tang Cun Sek, tentu saja sama sekali tidak berkeberatan untuk bersumpah setia kepada ayah kandungnya sendiri. Dengan petunjuk Tang Bun An, mereka lalu bersumpah, seorang demi seorang. "Aku bersumpah bahwa aku akan taat dan setia kepada Ang-hong-cu, juga membantu dia sebagai bengcu. Kalau aku melanggar sumpahku ini, biarlah aku mati di ujung pedang.” Sesudah mereka bersumpah seorang demi seorang, Tang Bun An tertawa, kemudian dia mempersilakan mereka bertiga untuk duduk. "Sekarang kalian duduklah dengan tenang. Aku akan mengundang Ang-hong-cu datang ke sini!" Tiga orang itu tentu saja merasa tegang sekali dan mereka mengikuti tuan rumah dengan pandang mata mereka. Tang Bun An menghilang ke ruangan lain sebelah dalam dan ada sepuluh menit lamanya tiga orang tamu itu menunggu dengan jantung berdebar. Seperti apakah gerangan orang yang berjuluk Ang-hong-cu itu? Ji Sun Bi sendiri yang sudah memiliki banyak sekali pengalaman di dunia kang-ouw, yang hampir mengenal seluruh tokoh kang-ouw, harus mengakui bahwa dia sendiri juga baru mengenal nama Ang-hong-cu saja, belum pernah melihat orangnya. Seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang sangat lihai dan juga licik bukan kepalang sehingga para pendekar pun tidak pernah mampu memegang ekornya, tidak seorang pun pernah dapat melihat mukanya. Dan kini, tokoh besar itu akan muncul dan memperkenalkan diri kepada mereka! Akhirnya muncullah seorang lelaki dari ruangan sebelah dalam itu. Dia melangkah keluar dengan sikap tenang sekali, dan setiap gerak-geriknya tak pernah terlepas dari pandang mata tiga orang muda itu. Dia seorang pria yang usianya lima puluh tahun lebih, tubuhnya sedang dan tegak, agak besar di bagian dada sehingga nampak gagah. Wajahnya yang dihias kumis dan jenggot yang terpelihara rapi itu terlihat tampan, sepasang matanya mencorong dan berseri-seri, mulutnya terhias senyum mengejek. Pakaiannya rapi, dengan rompi sutera. Pendeknya laki-laki setengah tua ini amat menarik dan sama sekali tidak terlihat sebagai seorang penjahat yang menakutkan, bahkan sebaliknya dia pantas menjadi seorang pria terpelajar dan hartawan yang penampilannya pasti akan menarik hati banyak wanita! Kalau Tang Cun Sek memandangnya dengan mata terbelalak dan ragu apakah benar pria ini Anghong-cu, ayah kandung yang sejak kecil dirindukannya, sebaliknya Ji Sun Bi dan Sim Ki Liong terkejut bukan main sehingga mereka telah bangkit berdiri dari tempat duduk mereka. "Aku... aku pernah melihatnya... kita sudah pernah saling bertemu...," kata Sim Ki Liong yang lupa-lupa ingat sambil mengamati wajah itu. "Tentu saja!" kata Ji Sun Bi. "Bukankah engkau ini Han Lojin?" "Benar! Han Lojin...!” Kini Sim Ki Liong teringat akan semua peristiwa yang terjadi kurang lebih dua tahun yang lalu. Ketika itu dia membantu Lam-hai Giam-lo yang menghimpun kekuatan untuk melakukan pemberontakan dan muncullah orang ini, yang pada waktu itu mengenakan pakaian orang suku Hui, menunjukkan kepandaian untuk membantu gerakan Lam-hai Giam-lo. Orang itu memang lihai sekali dan dia mengaku bernama Han Lojin. Akan tetapi kemudian ternyata dia malah mengkhianati Lam-hai Giam-lo karena dia memihak pemerintah. "Han Lojin! Jadi engkau inikah Ang-hong-cu...?” Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi berseru, masih terheran-heran. "Tok-sim Mo-li, matamu benar-benar tajam dan ingatanmu kuat sekali. Aku memang Han Lojin yang dahulu pernah kalian lihat itu. Dan untuk pertama kali selama hidupku, kini di hadapan kalian aku mengaku bahwa akulah Ang-hong-cu!" Suara orang itu tenang sekali, agak dalam dengan logat barat dan agak asing seperti cara bicara orang Hui. "Tapi… tapi… benarkah engkau adalah Ang-hong-cu? Benarkah engkau ini adalah ayah kandungku...?” Tang Cun Sek bertanya, tentu saja penuh keraguan karena bagaimana dia dapat yakin bahwa pria ini benar ayah kandungnya?....

jilid 22

Han Lojin tersenyum lebar. Matanya terpicing ketika dia tersenyum lebar. "Engkau yang bernama Tang Cun Sek? Engkau masih meragukan bahwa aku Ang-hong-cu? Nah, kau lihat ini!" Dia mengeluarkan seuntai kalung dari untaian benda-benda perhiasan yang persis seperti sebuah yang dimiliki pemuda itu. Lebih dari tiga puluh buah perhiasan tawon terikat pada tali itu. Melihat ini, lenyaplah keraguan dari hati Cun Sek dan dia pun segera menjatuhkan diri berlutut menghadap ayahnya. "Ayah...!" katanya sambil memberi hormat. Han Lojin masih tersenyum, walau pun senyumnya mengandung keharuan. Baru sekali ini dia merasakan diberi hormat oleh seorang anak, diakui sebagai ayah! Anak yang pertama kali dijumpainya adalah Tang Hay, akan tetapi anak itu malah memusuhinya dan nyaris saja membunuhnya! "Duduklah, Cun Sek. Dan sekarang, setelah aku menerima kalian bertiga sebagai sekutu dan pembantuku seperti yang sudah kalian sumpahkan di hadapan perwira tadi, aku ingin tahu bagaimana engkau dapat memainkan ilmu-ilmu silat dari Cin-ling-pai, Cun Sek. Apa hubunganmu dengan Cin-ling-pai?" "Ayah, selama bertahun-tahun aku menjadi murid Cin-ling-pai. Sesudah gagal menguasai kedudukan ketua Cin-ling-pai karena dikalahkan oleh Cia Kui Hong, maka aku kemudian meninggalkan Cin-ling-pai. Aku bertemu dengan Tok-sim Mo-Li Ji Sun Bi dan juga Sim Ki Liong yang menjadi pangcu (ketua) dari Kim-lian-pang, lalu aku membantu mereka. Akan tetapi perkumpulan kami dIkeroyok oleh banyak perkumpulan lain sehingga kami terpaksa melarikan diri...” “Apa?! Kalian bertiga bergabung tetapi masih dapat dikalahkan perkumpulan lain?" tanya Han Lojin dengan heran. "Pasti kami tidak akan kalah kalau tidak muncul dua orang jahanam itu!" kata Sim Ki Liong marah. "Pek Han Siong dan Hay Hay itu!" “Ahhh…!” Han Lojin berseru kaget. "Kiranya mereka? Jangan khawatir, setelah kini kalian bergabung dengan kami, maka kita bersama akan sanggup melawan siapa pun juga dan menghancurkan musuh-musuh yang berani mengganggu kita!" "Akan tetapi, Han Lojin…" Sim Ki Liong berkata akan tetapi ucapannya dipotong dengan cepat dan galak oleh Han Lojin. "Jangan sebut aku dengan nama samaran itu! Mulai sekarang juga kalian harus menyebut bengcu kepadaku. Engkau juga, Cun Sek!" ucapannya itu berwibawa sekali sehingga Cun Sek sendiri terpaksa menunduk, meski pun hatinya tersinggung karena sebagai putera dia tidak diperbolehkan menyebut ayah. "Baiklah, Bengcu. Aku ingin bertanya, di mana adanya perwira tadi? Dia adalah seorang pembantumu yang utama, bukan? Kenapa tidak disuruh hadir di sini?" "Nanti dulu. Nanti akan kupanggil dia ke sini. Akan tetapi sebagai bengcu kalian, aku ingin mendengar riwayat kalian masing-masing. Aku sudah mendengar bahwa Cun Sek adalah seorang murid Cin-ling-pai yang pandai sehingga dia bisa kuandalkan. Tetapi bagaimana dengan engkau, Tok-sim Mo-li dan engkau pula, Sim Ki Liong? Pada waktu aku berada di antara para pembantu Lam-hai Giam-lo dahulu itu, aku hanya mendengar bahwa Ki Liong adalah seorang murid dari Pendekar Sadis. Benarkah itu? Dan kenapa pula engkau pergi meninggalkan Pulau Teratai Merah?" Ki Liong segera menjawab sejujurnya. "Memang benar bahwa aku adalah murid Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah. Akan tetapi gara-gara Cia Kui Hong, cucu dari suhu dan subo-ku, maka terpaksa aku melarikan diri dari Pulau Teratai Merah tanpa pamit." Lalu dia melanjutkan setelah menarik napas panjang. "Aku minggat dari sana, di samping hendak meluaskan pengalaman, mencari kedudukan yang baik, juga untuk mencari musuh besar yang telah membunuh ayahku. Musuh besarku itu adalah Siangkoan Ci Kang." Tang Bun An atau Han Lojin atau Ang-hong-cu memang seorang tokoh sesat yang hanya dikenal namanya namun tidak ada orang yang mengenal wajahnya. Akan tetapi sebagai seorang tokoh kang-ouw yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia kang-ouw, dia mengenal hampir semua tokoh persilatan yang terkenal. Maka dia pun sangat terkejut ketika mendengar nama Siangkoan Ci Kang. "Bukankah Siangkoan Ci Kang ini adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang dahulu ketika muda terkenal sebagai putera Si Iblis Buta Siangkoan Lojin? Dan yang sekarang menjadi seorang tokoh rahasia yang lengan kirinya buntung?" "Benar sekali... Bengcu. Apakah tahu dimana dia?” tanya Sim Ki Liong penuh gairah. Han Lojin tersenyum. “Tenanglah, orang muda. Sesudah kita bekerja sama dan memiliki pengaruh yang luas, apa sulitnya mencari seorang Siangkoan Ci Kang? Sabarlah, musuh besarmu itu pasti akan dapat kami temukan dan dapat kau bunuh dengan bantuan kami. Senang hatiku bisa mendapatkan bantuan seorang murid Pendekar Sadis! Engkau sama pentingnya dengan Cun Sek. Dan bagaimana dengan engkau, Tok-sim Mo-li? Aku sudah tahu akan kelihaianmu, akan tetapi aku belum tahu latar belakangmu. Engkau datang dari perguruan mana dan siapa pula gurumu?” “Mendiang guruku adalah Min-san Mo-ko dan selain dari dia, aku pun mempelajari banyak macam ilmu silat. Walau pun belum tentu aku dapat menandingi Sim Ki Liong atau Tang Cun Sek, akan tetapi sepasang pedangku juga jarang menemui tanding, dan di samping itu aku mempunyai kenalan dan hubungan dengan hampir seluruh tokoh kang-ouw.” "Murid Min-san Mo-ko? Bukankah Min-san Mo-ko adalah murid mendiang See Kwi Ong? Bagus, engkau juga dapat menjadi pembantuku yang bisa diandalkan. Senang sekali aku menerima kalian bertiga menjadi pembantu-pembantu utamaku!" Han Lojin tertawa senang sekali. Tentu saja hatinya senang bukan main karena tiga orang muda yang tadinya dicurigai sebagai musuh, kiranya bahkan menjadi para pembantunya yang tangguh, apa lagi seorang di antaranya adalah putera kandungnya sendiri! "Bengcu, aku ingin mengulangi pertanyaanku tadi. Di mana adanya ciangkun tadi? Kami pun ingin mengenalnya dan mengetahui kedudukannya di istana. Bukankah dia seorang perwira tinggi pasukan pengawal di istana? Kedudukan itu penting sekali, maka kami ingin berkenalan dengan dia," kata Sim Ki Liong. "Ha-ha-ha, kalian ingin bertemu dengan dia? Baiklah, akan kupanggil dia ke sini!" Han Lojin bangkit berdiri, lantas dengan cepat sekali kedua tangannya bergerak ke arah mukanya sendiri. Ketika kedua tangannya turun kembali, maka lenyaplah wajah Han Lojin yang terhias kumis dan jenggot tadi. Wajah itu berubah menjadi wajah yang gagah dan tampan, licin bersih tanpa kumis dan jenggot. Wajah Perwira Tang Bun An! Dan kembali kedua tangan itu bergerak ke arah tubuhnya. Terbukalah pakaian sutera itu dan kini yang membungkus tubuh itu adalah pakaian seragam perwira yang mentereng! Pantas saja tubuh itu tadi nampak besar dan lebih gemuk, ternyata berpakaian rangkap! Melihat betapa tiga orang muda itu menjadi bengong, Tang Bun An tertawa bergelak. "Ternyata Ang-hong-cu adalah Han Lojin dan juga Perwira Tang Bun An!" Sim Ki Liong berseru penuh kagum. "Ayah… ehh, Bengcu, engkau sungguh hebat bukan main!" Cun Sek bangga akan ayah kandungnya yang bukan saja amat lihai, akan tetapi juga ternyata seorang perwira tinggi pasukan pengawal dan seorang yang amat pandai menyamar sehingga dia sendiri dapat dikelabui! “Bukan main! Ternyata wajah Han Lojin hanyalah wajah samaran. Hebat, mataku seperti menjadi buta, sama sekali tidak tahu akan penyamaran itu. Aku tidak akan terkejut kalau wajah Perwira Tang Bun An yang sekarang pun hanya merupakan kedok penyamaran yang lain!” kata Ji Sun Bi penuh kagum. “Kini aku mengerti mengapa wajah Ang-hong-cu tak pernah dapat dikenal. Kiranya seorang ahli menyamar yang mempunyai seribu muka!” Sungguh senang dan bangga hati Tang Bun An mendengar semua pujian yang dia tahu bukan sekedar pujian menjilat belaka. Tiga orang muda ini adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu silat tinggi, dan kalau mereka memuji, maka pujian itu keluar dari hati yang kagum. Dia tertawa lagi, sekarang suara ketawanya keras bergelak, seperti suara ketawa yang biasa dilakukan Tang-ciangkun, suara ketawanya yang wajar dan tidak dibuat-buat karena sebagai Perwira Tang dia tidak lagi menyamar melainkan memperlihatkan kepribadiannya yang asli. “Ha-ha-ha-ha, syukurlah kalian dapat menghargai ilmu penyamaranku ini. Kadang-kadang ilmu ini sangat berguna. Ketahuilah, sesudah aku menjadi setua sekarang, aku tidak ingin lagi bertualang seperti dahulu. Aku ingin kembali menjadi diriku sendiri, dan karena itu aku mulai memikirkan kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang besar. Cita-cita itu kurintis dengan menjadi seorang perwira pasukan pengawal dan berjasa kepada kaisar sehingga aku dipercaya. Baru sekarang inilah Ang-hong-cu Tang Bun An memperlihatkan wajahnya yang asli dan memperkenalkan diri kepada kalian. Akan tetapi kedudukan sebagai perwira ini hanya sementara saja. Aku mulai merasa jemu, dan juga kedudukan ini tidak memberi kekuasaan seperti yang kuharapkan. Lagi pula kedudukanku yang sekarang ini pun goyah gara-gara seorang gadis dan keadaanku bahkan dalam bahaya. Kedudukan ini sewaktu-waktu dapat kutinggalkan. Karena itulah maka aku ingin menyusun kekuatan dan dengan bantuan kalian, kita akan membangun suatu kekuatan di dunia kang-ouw, menundukkan semua kekuatan lain." "Memberontak…?" tanya Sim Ki Liong sambil mengerutkan alis. Pemuda ini tidak setuju kalau dibawa ke pemberontakan karena dia pernah melihat kegagalan para pemberontak. Ang-hong-cu menggeleng kepalanya. "Aku bukan orang bodoh macam Lam-hai Giam-lo dan tokoh kang-ouw yang pernah melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Tidak, aku bukan seorang pemberontak, bahkan aku membenci kaum pemberontak! Aku ingin menjadi raja di antara para tokoh kang-ouw! Aku tak ingin menyaingi kaisar. Bodoh sekali bila melawan kerajaan yang memiliki ratusan ribu prajurit! Aku ingin menundukkan semua perkumpulan persilatan, ingin menundukkan semua tokoh dunia kang-ouw sehingga aku menjadi Bengcu yang menguasai dunia kangouw. Dan terhadap para pejabat tinggi, aku ingin bersahabat dengan mereka. Bagaimana pendapat kalian?" "Itu bagus sekali. Aku setuju, Bengcu! Dan aku... siap melaksanakan apa-saja yang kau perintahkan kepadaku!" kata Ji Sun Bi sambil memainkan matanya dan memandang genit disertai senyum memikat kepada perwira tinggi itu. Melihat ini Tang Bun An tersenyum, menyembunyikan kemuakan hatinya. Dia pembenci wanita, apa lagi yang genit. Jika dia memperkosa banyak wanita, hal itu dilakukan bukan hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya, tetapi juga untuk membalas dendam kepada para wanita! "Awas engkau, Tok-sim Mo-Ii. Aku bukan laki-Iaki biasa yang mudah saja kau rayu! Kalau engkau hendak taat kepadaku, maka haruslah merupakan ketaatan seorang pembantu terhadap pemimpinnya. Karena aku tidak akan tunduk oleh rayuan dan kecantikan wanita. Kalau engkau banyak tingkah dan tidak setia, nyawamu tidak akan tertolong lagi!" Ji Sun Bi mati kutu. Ia menundukkan mukanya. "Akan kuperhatikan dan kutaati pesanmu, Bengcu." "Bagus! Nah mulai sekarang kalian bertiga tinggallah di sini dahulu. Ki Liong dan Cun Sek bersiap-siap di sini, menunggu perintahku selanjutnya. Dan engkau, Ji Sun Bi, lakukanlah tugas pertamamu, yaitu kau hubungi tokoh-tokoh kang-ouw di sekitar kota raja ini dan beri tahukan kepada mereka bahwa Ang-hong-cu minta agar mereka semua suka menghadiri undangannya untuk berkumpul di bukit ini pada malam terang bulan, bulan depan, kurang satu setengah bulan lagi. Katakan bahwa kalau undangan atau katakanlah perintahku ini tidak ditaati, mereka yang membangkang akan dihajar! Bahkan engkau kuberi kekuasaan untuk menghajar mereka yang sudah lebih dulu menolak undanganku itu. Mengerti?" "Baik, Bengcu, akan kulaksanakan perintahmu," kata Ji Sun Bi. Ang-hong-cu mengeluarkan sebuah kantung kecil dan melemparkannya kepada wanita itu yang cepat menyambarkannya. "Ini untuk keperluan perjalanan. Kalau membutuhkan lagi, sampaikan saja pesanmu lewat para penjaga di pondok ini." Demikianlah, mulai hari itu juga tiga orang muda ini sudah menjadi pembantu utama dari Ang-hong-cu. Semua pihak merasa senang. Ang-hong-cu Tang Bun An tentu saja girang bukan main mendapat tiga orang pembantu yang boleh diandalkan, sedangkan tiga orang muda itu pun merasa gembira karena mereka yakin bahwa dengan pimpinan Ang-hong-cu, mereka akan dapat menguasai dunia kang-ouw dan mendapatkan kedudukan yang terhormat dan mulia. Bahkan dengan bantuan Ang-hong-cu mereka mengharapkan akan dapat membalas dendam terhadap para pendekar yang pernah merugikan mereka. *************** Pada jaman itu kerajaan Beng-tiauw dalam keadaan makmur berkat kebijaksanaan dua orang menteri yang menjadi kepercayaan kaisar. Dua orang menteri itu adalah Menteri Yang Ting Hoo yang berusia lima puluh tahun, seorang menteri yang setia dan bijaksana, ramah, sabar dan pandai mengatur siasat pemerintahan, dan orang yang ke dua adalah Menteri Cang Ku Ceng, yang suka bertindak tegas dan tidak segan-segan memberantas pejabat yang korup dan melakukan penyelewengan. Menteri Cang Ku Ceng kini berusia lima puluh tiga tahun dan dia adalah seorang menteri yang tegas, sedangkan Menteri Yang Ting Hoo pandai sekali menghadapi negara-negara lain, pandai berdiplomasi. Kedua orang menteri inilah yang membantu berputarnya roda pemerintahan yang pada waktu itu dipimpin oleh Kaisar Cia Ceng (1520-1566). Pada masa itu, sekitar tahun 1545, atas nasehat kedua orang menteri yang bijaksana dan sangat setia itu, Kaisar Cia Ceng tidak mengirim pasukan untuk memerangi negara lain, melainkan memusatkan kekuatan untuk menenteramkan keadaan di dalam negeri. Kedua orang menteri setia yang bersahabat baik itu, sering kali menukar tugas mereka. Apa bila Menteri Yang Ting Hoo bertugas mengatur ketentraman di dalam kota raja, maka Menteri Cang Ku Ceng yang bertugas mengatur ketentraman di luar daerah kota raja, begitu pula sebaliknya. Pada waktu itu yang bertugas mengatur ketentraman di kota raja adalah Menteri Cang Ku Ceng, ada pun Menteri Yang Ting Hoo bertugas melakukan perondaan di seluruh daerah selatan di mana masih terjadi pergolakan di perbatasan dengan Anam, Siam dan Birma, walau pun perang terbuka sudah dihentikan. Kedua orang menteri yang setia dan bijaksana itu maklum bahwa kini banyak orang asing berdatangan ke Cina. Biar pun mereka datang dengan dalih ingin berdagang, akan tetapi mereka ini harus dihadapi dengan hati-hati. Mereka sudah banyak mendengar dari utusan kaisar yang pernah merantau ke selatan mengenai sikap orang-orang kulit putih itu yang amat tamak, dan dengan dalih berdagang mereka ingin mencengkeram negara orang lain menjadi jajahan mereka. Oleh karena itu, munculnya orang-orang berkulit putih yang berdatangan dari segala penjuru, baik melalui darat mau pun melalui lautan, mereka amati dengan penuh kewaspadaan. Karena khawatir akan pengaruh mereka, maka atas nasehat para menterinya, Kaisar Cia Ceng menghentikan semua gerakan bala tentara ke perbatasan dan mulai menggerakkan pasukan untuk mengamankan keadaan di dalam negeri. Bila negara dalam keadaan aman maka negara akan kuat menghadapi ancaman dari luar. Sejak pertama kali rombongan orang Portugis menginjakkan kakinya di tanah Tiongkok, mereka telah disambut dengan sikap bermusuhan oleh kaisar. Hal ini terjadi karena selain sikap orang-orang Portugis memang congkak, sombong, kasar dan juga mereka itu suka mempergunakan kekerasan dan bahkan suka merampok. Lagi pula, sebelum orang-orang Portugis muncul di daratan Cina, terlebih dahulu datang Sultan Malaka menghadap Kaisar Tiongkok. Pada tahun 1511 Sultan Malaka ini pernah diserang oleh Bangsa Portugis hingga terusir dari negerinya. Bersama para pengikutnya, Sultan Malaka lalu berkeliling ke utara dan akhirnya menghadap kaisar untuk mengadu. Kaisar memandang Sultan Malaka sebagai seorang sahabat, maka kaisar menjadi marah sekali ketika mendengar tentang ulah orang-orang Portugis itu. Maka, ketika rombongan pertama orang Portugis datang, mereka segera diserang. Banyak di antara mereka yang tewas, sedangkan yang hidup ditawan dan dimasukkan penjara di mana mereka akhirnya juga tewas. Pada abad ke dua puluh itu memang orang-orang barat mulai bertualang ke Asia. Namun tidak mudah untuk memasuki Tiongkok karena Kaisar Cia Ceng sudah terlanjur menaruh curiga terhadap semua orang kulit putih. Terlebih lagi semenjak kedatangan orang-orang Portugis yang rata-rata menjadi pedagang tetapi juga merampok. Pemerintah dan rakyat tidak menaruh kepercayaan lagi kepada orang-orang berkulit putih bermata biru itu. Demikianlah, menghadapi usaha orang-orang kulit putih untuk memasuki Tiongkok, baik dengan dalih berdagang atau merampok, kedua orang Menteri Yang Ting Hoo dan Cang Ku Ceng kemudian menentramkan kehidupan rakyatnya lebih dahulu agar dapat digalang persatuan yang kokoh untuk menghadapi pengaruh dan ancaman dari bangsa asing itu. Kecurigaan Menteri Cang terhadap perwira pengawal Tang Bun An belum juga terbukti. Dia hanya mendengar desas-desus bahwa para wanita dalam istana kaisar bermain gila dengan seorang pria, namun tidak pernah ada orang yang melihat sendiri siapa pria yang menggegerkan para wanita itu. Dia memang menaruh kecurigaan kepada Tang Bun An, namun tentu saja dia tidak dapat bertindak apa-apa kalau tidak memiliki bukti, biar pun dia adalah seorang yang memiliki kekuasaan tinggi. Kalau dia menggunakan kekuasaan, memang setiap saat dia mampu menangkap Tang-ciangkun, tapi Menteri Cang bukanlah seorang pejabat semacam itu, yang menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Kalau tidak ada bukti, dia tidak mau bertindak. Apa lagi mengingat bahwa Tang Bun An sudah berjasa, dan memang keadaan di istana menjadi aman sejak dia menjadi kepala pasukan pengawal. Desas-desus tentang adanya permainan gila antara para wanita di harem kaisar dengan seorang lelaki misterius itu hanya merupakan desas-desus yang memalukan, tetapi tidak membahayakan! Dan agaknya kaisar sendiri seperti tidak menaruh perhatian, tidak peduli. Menteri Cang Ku Ceng yang merasa putus asa setelah Cia Kui Hong juga tidak berhasil menemukan suatu bukti pun bahwa Perwira Tang Bun An benar telah mengganggu para wanita di istana bagian puteri, diam-diam merasa heran sekali. Andai kata pengganggu keamanan di istana bagian puteri itu bukan Tang Bun An, tentu ada orang lain dan Kui Hong yang lihai tentu akan mampu menangkapnya, setidaknya melihat atau memergoki orangnya! Akan tetapi dia tidak mencurigai Kui Hong, hanya mengira bahwa pengacau itu agaknya takut ketika melihat Kui Hong melakukan penyelidikan, walau pun penyelidikan itu dilakukan dengan rahasia. Agaknya orang itu pun lihai bukan main dan sudah tahu bahwa ada gadis perkasa yang melakukan penyelidikan untuk menangkapnya. Tentu penjahat cabul Itu telah mengetahui lebih dahulu bahwa ada gadis sakti yang sedang melakukan pengintaian, maka dia tidak berani muncul! Setelah secara diam-diam dia menyelundupkan seorang mata-mata pribadinya ke dalam istana bagian puteri itu, seorang thai-kam (orang kebiri) kepercayaannya untuk melakukan penyelidikan, maka hatinya semakin yakin bahwa kehadiran Kui Hong benar-benar telah membikin kuncup hati petualang asmara yang menodai istana bagian puteri itu karena dia tidak pernah muncul kembali! Kecurigaannya terhadap Tang Bun An kini mulai berkurang. Bagaimana pun juga harus diakuinya bahwa keadaan di sekeliling istana menjadi aman sejak Tang Bun An diangkat menjadi perwira tinggi pengawal istana. Apa yang terjadi sehari sesudah Kui Hong keluar dari istana bahkan semakin menebalkan kepercayaan Menteri Cang terhadap Tang Bun An. Malam itu baru saja sehari Kui Hong pergi meninggalkan lingkungan istana. Malam yang benar-benar gelap gulita. Seperti biasa Tang Bun An melakukan pemeriksaan di sekeliling istana, untuk memeriksa apakah prajurit-prajurit yang menjadi anak buahnya sudah melakukan penjagaan dengan tertib sebagaimana biasanya. Dalam hal ini harus diakui bahwa Tang Bun An melakukan tugas yang amat baik. Dia bahkan amat keras dan disiplin terhadap anak buahnya, maka tidak mengherankan bila istana dan sekitarnya menjadi aman sekali sesudah dia menjadi kepala pengawal. Tang Bun An menciptakan kata-kata sandi yang sangat dirahasiakan, dan kata-kata sandi di antara para pengawal yang bertugas jaga itu setiap malam diganti sehingga akan sukar sekali bagi orang luar untuk mengetahuinya. Juga bunyi tanda bahaya yang sejak dahulu berupa bunyi canang dipukul gencar, kini dia rubah dengan bunyi sempritan. Tidak gaduh namun terdengar sampai jauh dengan tanda bunyi tertentu. Tang Bun An adalah seorang yang berpengalaman dan hati-hati sekali. Biar pun dia telah mendapatkan janji dari Cia Kui Hong bahwa pendekar wanita yang sekaligus juga menjadi ketua Cin-ling-pai itu tidak akan membocorkan rahasianya baik sebagai Ang-hong-cu mau pun sebagai pengacau istana bagian puteri, namun dia tidaklah begitu bodoh untuk nekat melanjutkan petualangannya di istana. Lagi pula dia sudah mulai bosan dengan para selir kaisar itu. Biasanya ia mempermainkan para wanita untuk membalas dendam, untuk melampiaskan kebenciannya terhadap wanita dengan cara lain. Dia biasa memperkosa mereka yang tak suka menuruti kehendaknya sehingga dengan demikian dia merusak masa depan gadis yang diperkosanya. Kalau ada wanita secara suka hati menyambutnya dengan hati yang mencinta, maka dia sengaja merayu dan menjatuhkan hatinya. Tetapi bila wanita itu telah tergila-gila, apa lagi jika sudah mengandung, maka wanita itu ditinggalkannya begitu saja, dipatahkan hatinya, dihancurkan perasaannya! Itulah caranya melampiaskan kebenciannya terhadap wanita. Akan tetapi, di istana dia merasa diperalat oleh wanita-wanita yang cantik itu. Dia merasa dijadikan alat pemuas nafsu birahi belaka, maka kini dia merasa muak. Karena inilah, dan karena hati-hatinya, maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak lagi mendekati para wanita di istana. Apa lagi kini dia bercita-cita untuk menjadi raja di luar istana, raja orang kang-ouw, raja dunia persilatan! Ketika pada malam hari itu dia melakukan pemeriksaan di sekeliling istana, seperti yang dilakukannya hampir setiap malam, tiba-tiba terdengar suara sempritan dari arah barat. Di barat adalah istana bagian puteri! Mendengar suara sempritan ini, yang disusul oleh suara sempritan lain sebagai balasan sehingga dalam waktu yang singkat saja seluruh pasukan keamanan yang bertugas jaga di semua penjuru tahu bahwa ada bahaya di istana bagian puteri, Tang Bun An cepat menggunakan kepandaiannya, berlari cepat menuju ke barat. Ketika tiba di bagian itu, di luar tembok yang memisahkan bagian puteri dengan bagian istana lainnya yang boleh didatangi oleh para pengawal, dia melihat betapa belasan orang anak buahnya tengah mengepung dan mengeroyok dua orang yang mengenakan pakaian hitam-hitam. Mereka adalah dua orang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun dan mereka itu lihainya bukan main. Dengan permainan pedang mereka yang cepat dan mantap, mereka berdua sama sekali tidak terdesak sungguh pun dikeroyok oleh empat belas orang prajurit pengawal, bahkan Tang Bun An melihat betapa sudah ada empat orang anak buahnya menggeletak mandi darah. "Jahanam, berani kalian mengacau di istana?!" bentak Tang Bun An. Dia sudah mencabut pedangnya dan dia pun mengeluarkan teriakan sandi yang ditujukan kepada semua anak buahnya untuk mengepung kedua orang itu dan menjaga supaya mereka jangan sampai lolos. Segera para prajurit pengawal sudah mengepung dan tidak kurang dari enam puluh orang yang bertugas jaga malam itu, kini semua berada di sana dan mengepung ketat. Begitu Tang Bun An terjun ke dalam pertempuran, dua orang itu langsung mengeluarkan seruan kaget. Seorang di antara mereka, yang berkumis tebal, menggerakkan pedangnya menyambut perwira yang dilihat dari gerakannya meloncat saja jelas memiliki kepandaian tinggi. “Tranggg…!” Kedua pedang bertemu dan si kumis tebal itu terhuyung ke belakang. Dia terbelalak, akan tetapi Tang Bun An tidak memberi banyak kesempatan kepadanya. Dia sudah menyerang lagi sehingga si kumis tebal terpaksa melindungi dirinya dengan memutar pedang sambil membalas. Segera mereka berkelahi mati-matian, namun si kumis itu segera mengetahui bahwa dia berhadapan dengan seorang perwira yang memiliki kepandaian tinggi. Sementara itu orang ke dua yang mukanya kuning dikeroyok oleh belasan orang prajurit pengawal. Karena temannya tengah didesak oleh Perwira Tang dan dia harus seorang diri saja menghadapi pengeroyokan begitu banyaknya prajurit pengawal, maka dia pun mulai terdesak. “Tangkap dia! Gunakan jaring!" terdengar Tang Bun An berseru. "Tangkap hidup-hidup!" Mendengar ini beberapa prajurit pengawal cepat mengeluarkan sebuah jala yang memiliki delapan ujung. Setiap ujung dipegang oleh seorang prajurit. Dengan menarik ujung-ujung itu, maka jala lantas berkembang dan walau pun dia tahu akan bahayanya jala itu, namun si muka kuning tetap saja tidak dapat menjauhkan diri karena dia sedang terdesak hebat oleh pengeroyokan belasan orang yang mengepungnya dari jarak jauh dan mereka itu kini menggunakan senjata tombak panjang. Karena tidak mampu mengelak, jala yang menyambar turun laksana payung itu menimpa dirinya. Dia meronta dan berusaha membabat jala dengan pedangnya, akan tetapi sia-sia belaka. Jala itu dibuat dengan cara istimewa, di bawah pengawasan Tang Bun An sendiri sehingga biar dibacok pun tak akan putus. Tidak lama kemudian si muka kuning itu sudah seperti seekor ikan besar dalam jala yang dilipat-lipat dan dia tidak mampu bergerak lagi. Melihat temannya tertawan, si kumis tebal menjadi semakin panik. Tidak diduganya sama sekali bahwa di istana dia akan berhadapan dengan seorang yang begitu lihainya seperti perwira itu. "Haiiiitttt...!" Dia berseru nyaring dan pedangnya lantas meluncur ke arah dada Tang Bun An dengan gerakan nekat yang amat berbahaya, baik bagi lawan mau pun bagi dirinya sendiri karena serangan mematikan itu membuka pula bagian tubuhnya. Seluruh tenaga dan gerakannya ditujukan untuk menyerang, sama sekali tidak mempedulikan pertahanan diri lagi. Tang Bun An terkejut melihat kenekatan ini. Tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dari lawan, akan tetapi sungguh berbahaya baginya apa bila lawan bertindak nekat seperti ini, berani mengadu nyawa. Maka terpaksa dia melompat ke belakang untuk menghindarkan serangan nekat itu. Saat itu digunakan oleh si kumis tebal untuk melompat ke belakang pula dengan maksud hendak melarikan diri, akan tetapi puluhan ujung tombak menghadangnya! Si kumis tebal itu maklum bahwa dia telah terjebak, seperti seekor tikus berada dalam kandang kucing. "Ha-ha-ha, menyerah sajalah! Engkau tidak dapat melarikan diri lagi!" kata Tang Bun An sambil tertawa mengejek. Si kumis tebal maklum bahwa bila tertawan seperti temannya, dia pun tak mungkin dapat hidup, bahkan akan mati tersiksa. Lebih baik mati dari pada tertawan. Juga temannya itu lebih baik mati dari pada membuka rahasia. Mendadak dia menubruk ke arah temannya yang masih terbungkus jala, menyerang dengan pedangnya untuk membunuh kawan itu lebih dulu sebelum dia membunuh diri. "Tranggg...!" Pedangnya tertangkis dari samping dan kembali perwira lihai itu yang menangkisnya. Si kumis tebal menjadi marah dan putus asa, dengan tenaga sepenuhnya dia menubruk dan menyerang ke arah perwira itu. Akan tetapi sekali ini Tang Bun An tidak meloncat mundur, melainkan mengelak ke samping kemudian sekali tangannya bergerak, pedangnya sudah memasuki lambung si kumis tebal yang segera roboh dan tewas seketika karena jantung pria ini telah tertembus pedang! Dengan kaki tangan diborgol sehingga sama sekali tak mampu bergerak, si muka kuning dihadapkan kepada Tang Bun An di dalam kamar tahanan. Semula dia sama sekali tidak mau bicara, bahkan membuang muka saat ditanyai oleh perwira itu. Akan tetapi akhirnya si muka kuning yang kini mukanya berubah pucat pasi itu membuat pengakuan, sesudah Tang Bun An menyiksanya dengan beberapa totokan yang membuat seluruh tubuhnya terasa nyeri, tidak pingsan namun seluruh tubuh rasanya bagaikan digigit semut api atau ditusuki ribuan jarum beracun,. Dia dan suheng-nya yang tadi tewas oleh pedang Tang Bun An adalah dua orang saudara seperguruan yang merupakan tokoh-tokoh bajak di sepanjang pantai selatan. Mereka itu diperalat oleh orang-orang Portugis, diberi hadiah dalam jumlah besar sekali dengan tugas membunuh kaisar! Orang-orang Portugis itu agaknya sangat mendendam atas kematian rekan-rekan mereka yang telah dibunuh akibat perintah kaisar. Menteri Cang Ku Ceng tentu saja gembira sekali menerima laporan Tang Bun An tentang tertangkapnya dua orang yang mencoba membunuh kaisar. Dia sendiri lalu memeriksa si muka kuning dan setelah mendengar pengakuan bajak laut itu bahwa dia dan suheng-nya menjadi pembunuh bayaran, diperintah oleh orang-orang Portugis yang berani membayar mahal untuk membunuh kaisar, Menteri Cang kemudian memerintahkan pengadilan untuk menghukum mati orang itu. Diam-diam Tang Bun An lantas menyuruh anak buahnya menyebar berita bahwa dia dan anak buahnya kembali sudah menyelamatkan kaisar dengan menangkap dua orang yang mencoba untuk menyelundup ke dalam istana dan membunuh kaisar! Dengan terjadinya peristiwa itu, maka Tang Bun An berhasil membersihkan namanya dari kecurigaan Menteri Cang. Apa lagi setelah menteri ini mendengar dari para mata-matanya yang sudah disebar di dalam istana bahwa sekarang tidak pernah ada lagi bayangan pria yang berani berkeliaran di istana bagian puteri. Bagaimana pun juga Menteri Cang masih belum merasa puas, maka pada suatu pagi dia memanggil Perwira Tang Bun An agar menghadap dia di rumahnya. Tentu saja Tang Bun An yang menerima panggilan ini menjadi gelisah sekali. Jantungnya berdebar tegang dan sejenak dia bingung, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Apakah yang tersembunyi di balik panggilan itu? Bagaimana kalau dia melarikan diri saja? Bukankah gadis lihai ketua Cin-ling-pai itu pernah menyelidikinya karena menjadi utusan Menteri Cang? Jangan-jangan dia dipanggil untuk ditangkap! Ahhh, tidak mungkin, dia membantah sendiri. Kalau Menteri Cang mempunyai niat buruk, tentu sudah datang pasukan menangkapnya, bukannya dia dipanggil dulu baru ditangkap. Justru dia harus memberanikan diri, memperlihatkan diri dengan berani seolah-olah orang yang tidak mempunyai kesalahan apa pun, bahkan baru saja berjasa besar menangkap calon pembunuh kaisar! Dengan pakaian perwira yang amat rapi Tang Bun An berkunjung ke rumah gedung besar tempat tinggal Menteri Cang. Hatinya terasa lega pada waktu menteri itu menerimanya di kamar tamu, seorang diri saja. Ini berarti bahwa menteri itu tidak ingin menangkapnya dan percaya kepadanya. Jika tidak demikian tentu menteri itu tidak akan berani menerimanya seorang diri saja dan mengajaknya bicara empat mata. Hal ini juga menunjukkan bahwa pejabat tinggi itu akan membicarakan hal yang amat penting, maka mengajaknya bicara berdua saja. Sesudah Tang Bun An memberi hormat dan dipersilakan duduk, Menteri Cang Ku Ceng yang berwibawa dan berwajah kereng namun ramah itu sejenak memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Namun Tang Bun An adalah seorang yang sangat berpengalaman dan dia pandai menyembunyikan perasaannya. Wajahnya nampak polos dan tenang saja, menyambut sinar mata pejabat tinggi itu dengan sikap wajar. "Taijin hendak memerintahkan apakah kepada saya? Tentu ada kepentingan besar sekali sehingga Taijin memanggil saya menghadap," kata Tang Bun An langsung saja, dengan sikapnya yang hormat. Cang Ku Ceng tersenyum. "Tang-ciangkun, maafkan kalau aku membikin engkau terkejut. Sebenarnya engkau mempunyai atasan sehingga semestinya aku menghubungi panglima atasanmu. Akan tetapi karena keamanan di kota raja menjadi tanggung jawabku sebagai orang pertama di atas panglima yang menjadi bawahanku, maka aku sengaja langsung saja mengundangmu ke sini untuk membicarakan dua hal yang sangat penting. Aku ingin minta bantuanmu untuk mengatasi dua hal itu, Ciangkun.” Sungguh pun hatinya merasa lega karena arah percakapan itu tidak menunjukkan bahwa menteri itu mencurigainya, tapi Tang Bun An sama sekali tidak memperlihatkan perasaan itu melalui wajahnya yang tampan dan gagah. Dia telah membuat persiapan sebelumnya, telah mengatur segalanya sehingga seluruh bekas-bekas yang mungkin ada akan semua perbuatannya yang lalu di dalam istana bagian puteri, telah terhapus sebersihnya. "Tentu saja saya akan merasa senang sekali kalau saya dapat membantu Paduka, Taijin. Katakanlah, perintah apa yang harus saya lakukan?" "Ada dua hal penting, Ciangkun. Pertama tentang keamanan di istana bagian puteri. Tentu engkau sudah mendengar sendiri akan desas-desus yang tersiar bahwa ada pria dari luar yang sering nampak berkeliaran di dalam istana bagian puteri. Hal ini harus segara dapat dibersihkan karena kalau tidak, tentu akan mencemarkan kehormatan istana dan menjadi urusan yang sangat penting. Tentu engkau pernah mendengarnya, Ciangkun?” Sepasang mata menteri itu bersinar tajam penuh selidik. Tang Bun An mengangguk ragu. “Memang saya sudah mendengar tentang hal itu, Taijin. Akan tetapi karena saya bertugas sebagai kepala pasukan pengawal di luar bagian puteri, maka hanya para pengawal thaikam yang berhak dan...” Dia nampak ragu. “Tang-ciangkun, mengapa engkau ragu-ragu? Hayo cepat katakan, apa yang kau ketahui tentang berita itu?” Sang menteri mendesak. “Maaf beribu maaf, Taijin. Memang saya pernah melakukan sesuatu berkenaan dengan berita itu, akan tetapi... maaf, saya tidak berani bercerita karena saya sudah berjanji tidak akan menceritakan hal ini kepada siapa pun..." Menteri Cang mengerutkan alisnya yang tebal. "Tang-ciangkun, lihat kepadaku dan ingat dengan siapa engkau sedang berhadapan! Kalau mengenai keselamatan istana, akulah yang bertanggung jawab dan kedudukanku hanya di bawah kaisar! Tidak boleh ada satu pun rahasia mengenai istana yang pantas kau sembunyikan dariku, kecuali kalau engkau berjanji kepada Sribaginda Kaisar!" Menteri itu bangkit berdiri, lantas mencabut sebatang pedang yang tergantung di pinggangnya. "Lihat ini! Pedang kekuasaan yang kuterima dari Sribaginda Kaisar sendiri, yang memberikan kekuasaan kepadaku untuk memeriksa dan menuntut siapa pun juga di negeri ini, bahkan termasuk seluruh penghuni istana kecuali Sribaginda sendiri!" Tentu saja Tang Bun An terkejut bukan kepalang dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut, tentu saja untuk menghormati pedang kekuasaan yang diberikan kaisar kepada menteri setia itu. “Mohon Paduka sudi mengampuni saya." Menteri Cang memasukkan kembali pedang kekuasaan itu ke dalam sarung pedangnya. "Duduklah kembali, Ciangkun. Nah, sekarang kau ceritakan semuanya, jangan rahasiakan sesuatu dariku." "Maaf, Taijin,” kata Tang Bun An sesudah duduk kembali. "Tadinya tentu saja saya takut untuk melanggar janji. Saya sudah berjanji kepada Hong-houw (Permaisuri) sendiri untuk tidak membocorkan rahasia ini." "Hemm, tenanglah. Hong-houw sendiri tak akan marah jika engkau menceritakan semua kepadaku. Sebenarnya apa yang telah terjadi, dan apa yang kau ketahui tentang desas-desus mengenai laki-laki yang merusak dan menodai nama baik serta kehormatan istana bagian puteri itu?" Tang Bun An sengaja menghela napas panjang, seakan-akan dia merasa terpaksa harus menceritakan semua itu. Diam-diam dia amat bersyukur bahwa dia telah mempersiapkan segalanya, bahkan dia telah cepat-cepat mengatur segala siasat untuk membersihkan diri sesudah pertemuannya dengan Cia Kui Hong,. "Baiklah, Taijin, akan saya ceritakan semuanya dengan terus terang karena saya percaya sepenuhnya bahwa Paduka cukup bijaksana dan terhormat untuk tidak menceritakan hal ini kepada orang lain. Kalau Paduka melakukan itu dan hal ini diketahui orang lain, berarti saya sudah berdosa terhadap Sang Permaisuri, kepada siapa saya pernah berjanji untuk tidak akan menceritakan apa yang terjadi kepada siapa pun juga." "Hemm, kau kira aku ini orang apa? Ceritakanlah, selain aku sendiri takkan ada seorang pun yang akan mendengar akan apa yang terjadi di istana bagian puteri itu." "Taijin, terus terang saja, hati saya merasa penasaran ketika saya mendengar mengenai desas-desus adanya bayangan pria yang berkeliaran di istana bagian puteri. Peristiwa itu merupakan tamparan pada muka saya, juga merupakan tantangan. Walau pun saya tidak mungkin dapat masuk istana bagian puteri tanpa ijin, akan tetapi bagaimana saya dapat menangkapnya tanpa memasuki daerah terlarang itu mengingat penjahat itu beroperasi di sana? Untunglah kesempatan itu tiba ketika Hong-houw memanggil saya menghadap dan beliau lalu memberi perintah rahasia kepada saya supaya menangkap penjahat itu, Taijin. Perintah itu diberikan kepada saya baru-baru ini dan saya segera melakukan penyelidikan di waktu malam sehingga akhirnya saya berhasil menangkap orang itu." "Ahhh! Engkau berhasil menangkapnya? Siapakah dia dan sekarang bagaimana?" tentu saja Cang Ku Ceng terkejut dan juga girang mendengar keterangan yang sama sekali tak pernah disangkanya itu. Tadinya dia curiga bahwa perwira ini yang menjadi pria rahasia itu, ternyata kini malah yang menangkap penjahatnya! "Dia seorang prajurit pengawal thai-kam, Taijin." "Ahh? Tetapi desas-desus itu mengatakan bahwa pria rahasia itu telah mengganggu para wanita penghuni istana bagian puteri! Lalu bagaimana mungkin bila dia seorang thai-kiam (kebiri)?" "Tadinya saya juga merasa heran bukan main, Taijin. Akan tetapi setelah saya melakukan pemeriksaan dengan seksama, ternyata dia bukan seorang kebiri sepenuhnya. Agaknya pengebirian terhadap dirinya sudah gagal dan tidak sempurna, sehingga dia masih dapat menjadi seorang laki-laki normal. Dan bukan menggoda para puteri saja yang dia lakukan di sana, tapi terutama sekali untuk mencuri barang-barang berharga, perhiasan-perhiasan para puteri." “Keparat! Di mana dia sekarang?" "Atas perintah Hong-houw saya telah membunuh penjahat itu, Taijin. Hong-houw memberi perintah kepada saya untuk membunuhnya dan merahasiakan semua ini, demi menjaga nama baik dan kehormatan istana bagian puteri. Kalau paduka ingin membuktikan, saya dapat menunjukkan kuburannya dan…” "Tidak perlu. Aku dapat menemui Hong-houw dan minta keterangan dari beliau mengenai kebenaran laporanmu ini." Sambil berkata demikian Cang Ku Ceng menatap tajam wajah perwira itu. Namun Tang Bun An bersikap tenang, bahkan berkata dengan tegas. "Itu malah lebih baik lagi, Taijin. Asal Taijin tidak lupa mintakan ampun bahwa saya telah membuka rahasia ini kepada Taijin." “Baiklah, nanti akan kusampaikan kepada beliau. Bagaimana pun juga aku percaya akan laporanmu ini, Tang-ciangkun dan hatiku lega bukan main mendengar bahwa penjahat itu sudah dihukum. Sekarang ada soal ke dua, dan kuminta engkau suka membantuku dalam hal ini." "Apakah urusan itu, Taijin? Tentu saja saya selalu siap membantu Paduka.” "Kami sedang mencari dua orang tokoh kang-ouw. Mereka adalah dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi dan berbahaya sekali, bahkan salah seorang di antara mereka pernah membantu pemberontakan di masa lampau. Seorang kebetulan mempunyai nama keturunan yang sama denganmu, Ciangkun. Namanya Tang Cun Sek dan orang ke dua bernama Sim Ki Liong. Nah, kami ingin agar kini engkau suka membantu kami mencari di mana adanya kedua orang itu. Baru-baru ini mereka itu memimpin perkumpulan Kim-lian-pang di Kim-lian-san. Akan tetapi karena bermusuhan dengan perkumpulan-perkumpulan lain, mereka lalu dikeroyok sehingga perkumpulan mereka hancur dan mereka melarikan diri. Nah, kuharap engkau akan dapat menemukan mereka untuk kami, Ciangkun." Kalau saja Tang Bun An bukan seorang gemblengan, tentu kata-kata itu sudah membuat dia terlonjak dari tempat duduknya. Dua orang muda yang dicari oleh Cang Taijin adalah dua orang pembantunya yang baru saja diterimanya, bahkan seorang di antara mereka adalah putera kandungnya sendiri! Otaknya yang cerdik segera bekerja cepat. Dia maklum bahwa menteri yang seorang ini cerdik sekali. Jangan-jangan Cang Taijin sudah ‘mencium’ bahwa dia telah menerima dua orang muda itu sebagai pembantunya! "Taijin memiliki banyak sekali pembantu, apakah di antara para penyelidik Taijin itu tidak ada yang dapat mengetahui di mana mereka kini berada? Di manakah mereka berdua itu untuk terakhir kalinya diketahui oleh para pembantu Taijin?" “Para penyelidikku kehilangan jejak mereka setelah pertempuran antara perkumpulan itu. Karena engkau sudah banyak pengalaman di dunia kang-ouw, maka kurasa engkau akan lebih mudah untuk dapat menemukan tempat mereka bersembunyi." "Sayang sekali akhir-akhir ini saya telah terputus sama sekali dari dunia persilatan, Taijin. Kalau saya masih bergerak di dunia persilatan, tentu akan mudah saja mencari dua orang tokoh kang-ouw itu. Akan tetapi kalau Paduka menyetujui, maka saya akan berhenti dari pekerjaan saya sebagai perwira pasukan pengawal. Menurut saya, dengan cara lain saya juga dapat mengabdi untuk Sribaginda Kaisar dan negara." Cang Taijin membelalakkan matanya. Dia benar amat terkejut mendengar ini. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa perwira yang telah banyak jasanya ini tiba-tiba saja ingin mengundurkan diri. "Eh? Apa maksudmu, Tang-ciangkun? Bagaimana engkau bisa mengabdi kepada negara kalau engkau mengundurkan diri dari kedudukanmu yang sekarang?" "Taijin, saya tahu bahwa negara kini sedang mengusahakan ketentraman di antara rakyat. Banyak ancaman bermunculan dari orang-orang kulit putih. Bahkan baru saja orang kulit putih rnengirim pembunuh bayaran yang mencoba hendak membunuh Sribaginda Kaisar. Saya kira, selain rakyat jelata juga penting sekali untuk mempersatukan dunia kang-ouw. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan merupakan sebuah kekuatan yang amat hebat. Kalau saja dunia kang-ouw dapat dipersatukan, lalu kesatuan itu dapat dlmanfaatkan untuk membantu pemerintah, bukankah hal itu baik sekali dan kita mempunyai pertahanan yang amat kuat? Bagaimana pendapat Paduka, Taijin?" Menteri itu mengangguk-angguk. Dia dapat melihat kebenaran yang dikemukakan perwira itu. Dia tahu bahwa di luar istana memang ada kekuatan yang amat dahsyat, yaitu dunia persilatan, para tokoh kang-ouw dan para pendekar persilatan. Akan tetapi mereka tidak mudah bersatu. Jangankan para tokoh kang-ouw yang terdiri dari mereka yang menjadi penghuni dunia hitam dan bergelimang kejahatan, juga mereka yang tidak peduli akan semua itu, hidup bebas menurut kehendak sendiri tanpa mengindahkan hukum walau pun golongan ke dua ini bukan pula orang-orang jahat, bahkan para pendekar pun kadang tidak dapat bersatu dan bahkan saling bermusuhan. Ada pula golongan pendekar yang bahkan acuh dan tak peduli terhadap pemerintah, tidak suka membantu, biar pun ada pula golongan pendekar yang suka membantu pemerintah, misalnya dalam menumpas gerombolan pemberontak. Tetapi ini pun mereka lakukan bila gerombolan pemberontak itu termasuk orang-orang jahat. Maka betapa kuatnya keadaan negara kalau dunia persilatan, baik itu golongan kang-ouw mau pun para pendekar, dapat dipersatukan dan semua kesatuan itu membantu pemerintah! "Hemm, aku dapat melihat kebenaran dalam ucapanmu. Lalu apa kehendakmu dan apa yang akan kau lakukan setelah engkau mengundurkan diri?" “Saya ingin berjuang untuk memperkuat negara melalui dunia kang-ouw, Taijin. Saya ingin mencoba menghimpun segenap kekuatan di dunia persilatan, menyatukan perkumpulan-perkumpulan, partai-partai dan semua aliran persilatan, juga mengurangi atau membatasi tindakan-tindakan kekerasan dan kejahatan, kemudian mengarahkan semua kekuatan itu untuk menjaga keamanan negara di dalam menghadapi ancaman orang-orang asing kulit putih. Dengan kekuatan itu saya juga dapat mempersatukah semua bajak sungai dan laut, untuk membersihkan lautan dari bajak-bajak asing." Menteri Cang mengerutkan alisnya dan meraba-raba dagunya yang ditumbuhi jenggot tipis halus. "Hemm, lalu apa kaitan urusan ini dengan aku sebagai menteri? Mengapa engkau menceritakannya kepadaku?" "Taijin adalah seorang menteri yang bijaksana dan amat terkenal, dan dapat saya anggap sebagai wakil kaisar, wakil pemerintah. Kalau sebelumnya saya sudah memberi tahukan rencana saya, lantas mendapatkan restu dari Paduka, tentu kelak tidak akan timbul salah duga dari pihak pemerintah kalau saya mulai bertindak mempersatukan semua kekuatan di dunia kang-ouw. Jika tidak saya beri tahu lebih dulu, mungkin saja timbul salah paham dan disangka bahwa saya menghimpun kekuatan untuk melakukan pemberontakan.” Kembali Cang Ku Ceng mengangguk-angguk biar pun alisnya berkerut. "Niatmu memang baik sekali, Tang-ciangkun. Akan tetapi tentu saja kami tidak dapat memberi restu secara resmi tentang bagaimana sikap pemerintah kelak terhadap usahamu itu, tentu saja semua tergantung dari sikap dan sepak terjangmu sendiri. Kalau memang membantu pemerintah dan tidak membahayakan pemerintah, tentu pemerintah juga tak akan merasa keberatan." "Terima kasih, Taijin. Kalau begitu saya hendak mengajukan permohonan kepada atasan untuk mengundurkan diri. Mohon bantuan Paduka untuk menjelaskan kepada panglima dan juga kepada yang mulia Sribaginda Kaisar mengapa saya mengundurkan diri, supaya tidak menimbulkan kecurigaan dan salah sangka." Cang Ku Ceng hanya mengangguk-angguk, meski di dalam hatinya dia masih meragukan kemurnian niat hati orang di hadapannya yang dianggapnya penuh rahasia itu. Sesudah perwira itu mengundurkan diri dia ingin menyelidiki kebenaran laporan Tang-ciangkun ini, maka dia pun mohon menghadap permaisuri di istana. Dan dari mulut permaisuri sendiri dia mendengar bahwa semua yang diceritakan oleh Tang-ciangkun tentang thai-kam yang mengacau di istana itu memang benar! Tentu saja Cang Ku Ceng tidak tahu bahwa semua ini sudah diatur oleh Tang Bun An. Dengan ‘senjata’ perhiasan yang pernah diambilnya dari permaisuri, Tang Bun An dapat memaksa permaisuri agar membuat pengakuan seperti itu untuk melindunginya. Dengan ancaman bahwa jika permaisuri tidak membantunya maka dia akan membuat pengakuan bahwa sang permaisuri juga menjadi kekasih gelapnya, dengan bukti perhiasan yang akan dikatakannya sebagai hadiah dan uang jasa dari permaisuri, maka wanita bangsawan itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali memenuhi permintaannya. Bagaimana pun juga sang permaisuri sudah merasa lega dan puas ketika Tang Bun An berjanji bahwa istana putri tidak akan mengalami gangguan lagi. Demikianlah, dengan lancar permohonan berhenti Tang-ciangkun lantas diijinkan dan dia pun berhenti sebagai perwira. Dan apa yang kemudian dilakukannya sehubungan dengan berhentinya sebagai perwira itu sungguh mengejutkan semua orang. Demikian banyak dia mengumpulkan selir, muda-muda dan cantik-cantik pula, tidak kalah dibandingkan sekumpulan selir para pangeran atau raja muda. Dan begitu dia berhenti, dia bubarkan semua selirnya itu! Dia menyuruh mereka pulang ke orang tuanya masing-masing dengan membekali pesangon yang cukup banyak, tidak mempedulikan hujan air mata para wanita yang benar-benar jatuh cinta kepada suami mereka itu! Bahkan terdapat perasaan puas di hati Tang Bun An melihat para wanita itu menangisi nasib mereka, sepuas bila dia meninggalkan seorang gadis yang baru saja diperkosanya, atau meninggalkan seorang wanita yang dahulu pernah menjadi kekasihnya lalu ditinggal pergi begitu saja kalau wanita itu mengandung atau kalau dia sudah bosan kepadanya. Kesadisan dan kekejamannya terhadap wanita yang timbul karena sakit hatinya ternyata masih tinggal di dalam dadanya dan tidak pernah lenyap! Setelah menjual semua harta miliknya, menjadikannya sekantung uang emas, Tang Bun An merasa bebas seperti burung di udara dan dia pun segera membangun pondoknya di puncak bukit di antara hutan lebat itu, dibangunnya menjadi sarang perkumpulannya yang baru. Perkumpulan ini dia beri nama Ho-han-pang (Perkumpulan Orang Gagah)! Sungguh sebuah nama yang muluk bukan main, dan seolah hendak mencerminkan iktikad baiknya, yaitu dia hendak menghimpun orang-orang gagah, bukan penjahat-penjahat! Tentu saja ini disesuaikan dengan siasatnya, seperti yang dibicarakannya dengan Menteri Cang. Dia bukan orang bodoh, dia bukan pemberontak. Tidak, dia memang ingin menjadi Bengcu, ingin menjadi raja tanpa mahkota, merajai dunia kang-ouw, akan tetapi dia juga hendak merangkul para pejabat tinggi, hendak merangkul pemerintah demi keuntungan perkumpulannya. Dia merasa beruntung sudah mendengar bahwa Cang Taijin mencari Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, dua orang pembantu-pembantu utamanya. Sebagai seorang ahli di dalam ilmu penyamaran, maka dia lalu membuatkan topeng tipis, setipis kulit kepada dua orang pemuda itu sehingga kini bentuk wajah Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek sudah berubah. Masih nampak muda dan tampan, akan tetapi sungguh telah berbeda jauh karena topeng tipis itu mengubah bentuk mata, hidung dan mulut mereka! Setelah mengajak mereka bercakap-cakap, dia pun dapat menduga bahwa yang mencari dua orang muda itu tentulah Cia Kui Hong yang pernah menjadi utusan menteri itu. Dan menurut dua orang pemuda itu, memang beralasan sekali kalau gadis yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai itu mencari mereka. Sim Ki Liong dicari karena minggat dari Pulau Teratai Merah sambil membawa lari pusaka Gin-hwa-kiam, sedangkan Tang Cun Sek melarikan pusaka Hong-cu-kiam dari Cin-ling-pai. Walau pun kedua pedang pusaka itu kini sudah dirampas oleh Hay Hay, tentu ketua Cin-ling-pai itu belum mengetahuinya dan masih terus mencari mereka. Berkat nama besar Tok-sim Mo-li dan hubungannya yang luas, maka sebentar saja nama Ho-han-pang dikenal oleh dunia kang-ouw serta para tokoh kang-ouw, dan baru melihat hadirnya Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi sebagai seorang pembantu Bengcu saja di perkumpulan itu, sudah banyak perkumpulan kang-ouw lainnya yang menyatakan takluk dan mengakui Ho-han-pang sebagai pimpinan. Sebagai Bengcu, Tang Bun An kini kembali menyamar sebagai Han Lojin, berkumis dan berjenggot! Sebentar saja terkenallah nama Ho-han-pang dengan bengcu-nya, yaitu Han Lojin. Padahal Han Lojin sendiri jarang turun tangan sendiri. Cukup dengan ketiga orang pembantunya itu saja, dan semua urusan bereslah! Kalau ada ketua perkumpulan yang membangkang dan tidak mau mengakui Ho-han-pang, maka salah seorang di antara para pembantu itu turun tangan dan ketua itu pasti dapat ditundukkan dengan amat mudahnya. Apa lagi ketika melihat betapa Ho-han-pang tidak seperti perkumpulan kang-ouw lainnya, tapi memiliki hubungan yang baik dengan para pejabat, maka hal ini membuat para tokoh kang-ouw semakin percaya. Dalam waktu beberapa bulan saja Ho-han-pang telah tumbuh menjadi sebuah perkumpulan besar, berpusat di Bukit Bangau, di mana sebuah bangunan besar berdiri di bawah lindungan hutan yang lebat. Untuk memberi kesan baik, Han Lojin dan tiga orang pembantunya yang mengumpulkan anak buah yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai ilmu silat yang lumayan, segera memberi tugas kepada anak buah itu untuk melakukan ‘pembersihan’ terhadap penjahat-penjahat yang suka mengacau kehidupan rakyat di kota raja dan daerah sekitarnya. Mulai terkenallah nama Ho-han-pang sebagai sebuah perkumpulan yang baik, yang menentang kejahatan, membantu pemerintah dan melindungi rakyat. Perkumpulan itu segera dikenal sebagai perkumpulan para ho-han (pahlawan)...! *************** Menteri Cang Ku Ceng bukanlah seorang pembesar yang bodoh. Meski pun dia percaya akan semua alasan dan pendapat dari bekas Perwira Tang Bun An yang mengundurkan diri dan berniat untuk mempersatukan para tokoh di dunia kang-ouw, diam-diam pejabat tinggi ini menyebar para penyelidik untuk mengamati gerak-gerik bekas perwira itu. Maka dia pun tahu akan segala perkembangan mengenai Ho-han-pang. Bahkan dia mendengar pula bahwa Perwira Tang Bun An itu kini tidak kelihatan lagi dan yang menjadi ketua Ho-han-pang adalah seorang yang setengah tua yang disebut Han Lojin. Mendengar laporan penyelidiknya tentang orang bernama Han Lojin itu, Menteri Cang lalu teringat akan Han Lojin yang pernah membantu pasukan pemerintah membasmi Lam-hai Giam-lo. Diam-diam dia pun merasa kagum dan semakin percaya. Bagaimana pun penuh rahasia, orang yang pernah menjadi Perwira Tang Bun An dan yang juga pernah muncul sebagai Han Lojin itu jelas memperlihatkan sepak terjang yang membantu pemerintah. Apa lagi ketika mendengar laporan tentang sepak terjang orang-orang Ho-han-pang yang melakukan pembersihan dan menundukkan para penjahat sehingga kota raja dan daerah di sekitarnya menjadi aman, maka hati pejabat tinggi itu merasa kagum dan senang. Dia pun memesan kepada para pejabat pemerintah agar tidak mengganggu Ho-han-pang dan hanya mengamati saja bagaimana sepak terjang mereka. Selama mereka tak melakukan kejahatan, juga tidak mengganggu keamanan dan ketentraman, maka mereka dianggap sebagai perkumpulan orang-orang baik dan patut dibiarkan hidup, bahkan dibantu. *************** SEMENTARA itu, Kui Hong yang tinggal dan menumpang di rumah Menteri Cang Ku Ceng merasa rikuh sendiri setelah lebih dari satu bulan dia tinggal di situ, belum juga anak buah menteri itu berhasil menemukan dua orang musuh besarnya yang dicarinya. Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek seakan-akan lenyap ditelan bumi sehingga tak seorang pun di antara para penyelidik yang disebar Menteri Cang dapat menemukan mereka. Dia merasa rikuh karena keluarga pejabat tinggi itu amat ramah dan baik kepadanya, apa lagi melihat sikap Cang Sun yang semakin terang-terangan menyatakan tergila-gila dan mencintanya! Sore hari itu, ketika dia duduk melamun seorang diri di dalam taman di belakang rumah keluarga Cang yang luas, dia mengambil keputusan di dalam hatinya untuk menghadap keluarga itu dan berpamit. Dia akan melanjutkan perjalanan, terutama mencari sendiri dua orang yang telah melarikan pedang pusaka dari Cin-ling-pai dan dari Pulau Teratai Merah itu. Matahari telah mulai condong ke barat, akan tetapi belum terlalu larut walau pun sinarnya sudah mulai lemah. Sinar matahari sore itu masih mampu menerobos antara celah-celah daun pohon sehingga taman bunga itu seolah-olah bermandikan cahaya yang lemah akan tetapi masih hangat itu. Indah sekali keadaan di taman itu. Burung-burung mulai beterbangan pulang ke sarang mereka di pohon-pohon, untuk berlindung di sarang yang aman dan hangat kalau malam gelap menjelang tiba. Dua ekor kelinci berkejaran dan menyusup ke dalam semak-semak. Seekor ular sebesar ibu jari kaki yang hitam dan mengkilap, berlenggak-lenggok menuju rumpun semak belukar pula, dengan lidah yang kadang terjulur keluar dengan cepatnya. Kepala ular itu berbentuk bulat telur, tidak segitiga. Bukan ular beracun, dan kulitnya yang hitam mengkilap itu indah bukan main, indah dan bersih seperti baru saja digosok dengan minyak. Semua makhluk pulang ke sarang masing-masing, pulang ke rumahnya masing-masing, pikiran ini menyelinap ke dalam benak Kui Hong dan dia pun mengerutkan alisnya. Hanya dia seorang yang tidak dapat merasakan kenikmatan itu. Pulang! Ke mana? Ayah bundanya, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, bersama adik tirinya, Cia Kui Bu, sudah pergi meninggalkan Cin-ling-san karena mereka ingin mencari hawa baru dan sementara ini hendak tinggal di Pulau Teratai Merah. Ke sana menyusul ayah ibunya? Ah, dia bukan anak kecil lagi. Dia harus berani hidup sendiri! Dia bukan anak-anak yang selalu mohon perlindungan ayah dan minta dimanjakan ibu. Kembali ke Cin-ling-san? Tentu sekali waktu dia harus kembali ke situ. Dia adalah pangcu (ketua) Cin-ling-pai, walau pun sebenarnya dia tidak suka menjadi ketua karena banyak urusan dan tidak bebas. Kalau dahulu dia ikut memperebutkan kedudukan pangcu, hal itu dilakukan secara terpaksa karena dia tak ingin melihat Tang Cun Sek menjadi ketua Cin-ling-pai. Kui Hong menarik napas panjang. Bagaimana seorang gadis seperti dia, seorang wanita, dapat benar-benar merasakan ‘pulang rumah’ kalau tidak memiliki rumah tangga sendiri? Dan memillki rumah tangga berarti menikah! Akan tetapi, dengan siapa? Banyak sudah dia menemui pria di dalam hidupnya. Pria-pria yang sungguh merupakan pemuda gagah perkasa dan tampan, yang memperlihatkan sikap jatuh cinta kepadanya, atau setidaknya suka kepadanya. Dalam setiap perjalanannya selalu saja ia bertemu pria muda yang memandang kepadanya dengan perasaan hati seperti sebuah kitab terbuka. Demikian jelas pandang mata itu membayangkan keadaan hati yang tertarik! cerita silat online karya kho ping hoo Sudah puluhan orang pemuda, bahkan mungkin ratusan. Bahkan banyak pula yang ingin mendapatkan dirinya, secara halus mau pun kasar. Terbayanglah wajah-wajah para muda itu berderet-deret. Sim Ki Liong, Tang Cun Sek, Hay Hay dan kini Cang Sun. Ya, putera Menteri Cang itu cinta padanya! Bahkan seluruh anggota keluarga Cang suka kepadanya dan mengharapkan dia menjadi isteri Cang Sun. Dia pun bisa membayangkan bagaimana jika dia menjadi isteri Cang Sun. Dia akan hidup mulia, terhormat, kaya raya, menjadi seorang wanita bangsawan yang tinggal di dalam gedung istana, ke mana pun dikawal pasukan, ingin apa pun tinggal perintah saja karena puluhan orang pelayan setiap saat siap melayaninya. “Ahh, seperti burung di dalam sangkar emas...," dia berbisik dan menarik napas panjang. Bukan, kehidupan macam itu bukan untuknya! Kalau pun harus berumah tangga, dia lebih senang hidup bebas dan menghadapi banyak tantangan hidup, tidak enak-enak seperti itu, bermalas-malasan! Tiba-tiba gadis itu sadar dari lamunannya. Dia mendengar langkah kaki orang! Ketika dia menengok, kiranya yang datang menghampirinya adalah Cang Sun! Pemuda itu dengan tenang melangkah menghampirinya, seperti biasa dengan sikap yang lembut, sopan dan ramah sambil mulutnya tersenyum. Seorang pemuda yang tampan, berpakaian rapi, pembawaannya tenang dan berwibawa, halus dan lembut, seorang pemuda yang telah dewasa dan tentu akan menarik hati setiap orang wanita, apa lagi kalau diketahui bahwa dia adalah putera tunggal seorang menteri yang amat terkenal, Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal amat bijaksana dan mempunyai kekuasaan besar! "Selamat sore, Hong-moi. Asyik melamunkan apa sore-sore begini seorang diri di dalam taman?" Kui Hong bangkit dan tersenyum. Dia adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup bebas dan sudah berkecimpung di dunia kang-ouw, mempunyai banyak pengalaman dan sudah terbiasa dengan sikap terbuka, bahkan mengarah kepada sikap lincah jenaka dan kadang berandalan. Akan tetapi, sejak dia berdiam di rumah keluarga Cang, keluarga bangsawan tinggi yang bergelimang kehormatan, mau tidak mau dia pun membatasi diri dan sikapnya juga sopan, meski pun masih ramah dan lincah jenaka. "Aihh, kiranya Toako yang datang. Selamat sore, Cang-toako." Walau pun pemuda itu sering kali mendesaknya agar bersikap kekeluargaan dan ramah, namun tetap saja Kui Hong merasa rikuh untuk bersikap terlalu akrab. Rasanya canggung bila dia menyebut nama kecil pemuda itu, terlalu akrab menyebutnya Sun-koko misalnya. Maka, biar pun dia telah menghentikan sebutan kongcu (tuan muda) dan menyebut toako (kakak), namun dia menyebut nama keluarga pemuda itu, bukan kakak Sun, melainkan kakak Cang! “Apa yang kau lamunkan, Hong-moi?” Pemuda itu duduk di atas bangku, di bagian ujung, dan Kui Hong juga duduk kembali di ujung yang lain. “Aku melihat burung beterbangan menuju ke sarang, dan tiba-tiba aku merasa rindu untuk pulang, Toako.” “Pulang ke mana, Hong-moi?” Gadis itu mengangkat muka memandang. Karena pada saat itu Cang Sun juga sedang menatap wajahnya, maka kedua pasang mata itu bertemu dan Kui Hong melihat betapa sepasang mata pemuda itu dengan lembut membayangkan kasih sayang besar. Pemuda bangsawan ini tidak lagi menyembunyikan perasaannya, dan kasih sayang dan kagumnya terbayang jelas dalam pandang matanya. "Ahh, toako. Ke mana lagi kalau bukan ke tempat tinggal keluargaku? Di Cin-ling-san atau di Pulau Teratai Merah karena saat ini mungkin ayah ibuku masih berada di sana." "Aihh, kukira tadi…” "Apa yang kau kira, Cang-toako?" "Kukira... ahh, betapa akan senangnya kalau rasa rindumu itu kau tujukan kepada... ehh, diriku dan arti pulang itu ke sini, bukan ke mana-mana. Betapa akan bahagia rasa hatiku bila engkau pun rindu kepadaku seperti aku yang siang malam selalu merindukan dirimu, Hong-moi..." "Hemm, Toako, apa yang kau katakan ini?" Kui Hong berkata dengan suara mengandung teguran karena baru sekarang pemuda ini begitu terang-terangan menyatakan perasaan hatinya. "Hong-moi, masih perlukah aku menjelaskan kepadamu? Aku rindu kepadamu karena aku cinta padamu, Hong-moi. Ahh… aku selalu membayangkan engkau bersanding denganku selamanya, sebagai isteriku tercinta, sebagai ibu dari anak-anakku." "Cukup, Cang-toako. Mari kita bicara serius. Coba katakan, mengapa engkau jatuh cinta kepadaku? Engkau adalah putera seorang bangsawan terkenal, memiliki kedudukan yang terhormat, engkau juga terpelajar dan kaya raya, dan kalau engkau menghendaki bahkan puteri kaisar pun mungkin dapat menjadi isterimu. Tapi mengapa engkau mendekati aku, seorang gadis ahli silat, gadis kang-ouw yang bergelimang kekerasan? Kenapa? Aku ingin sekali mengetahuinya, dan aku percaya bahwa engkau akan membuat pengakuan dengan sejujurnya, Toako." Cang Sun menarik napas panjang. Alangkah manisnya gadis ini bila mana bersikap wajar seperti itu, berani mengeluarkan semua perasaan hatinya tanpa disembunyikan lagi, tidak seperti kaum wanita pada umumnya, terutama wanita bangsawan yang sudah terbiasa menyembunyikan kepribadiannya di balik kesopanan dan kehormatan pura-pura yang palsu. "Pertanyaan yang baru kau ajukan itu saja telah mengandung keterbukaan dan kejujuran, Hong-moi. Oleh karena itu aku pun mencoba untuk keluar dari sangkar kesopanan pura-pura yang selama ini semenjak aku kecil sudah mengurung diriku dalam lingkungan kami. Memang betul ucapanmu tadi, bila aku menghendaki, mudah bagiku untuk mendapatkan jodoh seorang gadis bangsawan, bahkan mungkin puteri kaisar. Namun terus terang saja aku tidak tertarik kepada para gadis yang lemah itu. Melihat engkau aku seperti melihat setangkai bunga yang segar dan sehat. Kalau aku dapat hidup di sampingmu selamanya, aku akan merasa aman. Engkau tentu tahu, kehidupan ayahku sebagai seorang menteri selalu terancam bahaya. Kalau ada seorang seperti engkau ini yang teramat lihai, maka kami sekeluarga akan selalu merasa aman, juga keselamatan kami selalu terjamin. Nah, itulah hal-hal pada dirimu yang membuat aku jatuh cinta kepadamu." Kui Hong pun termenung. Ucapan itu memang jujur, dan jelas membayangkan apa yang tersembunyi di balik cinta kasih pemuda bangsawan itu terhadap dirinya. Justru karena ia gadis kang-ouw, karena ia memiliki ilmu silat tinggi dan boleh diandalkan sebagai jaminan keselamatan, maka Cang Sun jatuh cinta kepadanya. Bagaimana andai kata aku seorang gadis lemah seperti para puteri itu? Pertanyaan ini hanya dia ajukan kepada dirinya sendiri, di dalam batin pula. Dia tidak tega untuk mengajukan pertanyaan itu kepada Cang Sun yang sudah bersikap jujur. Jawaban pemuda itu tentu tidak enak. Kalau tidak jujur dia akan kecewa, namun kalau jujur hanya akan menyakitkan hati mereka berdua. Cang Sun jatuh cinta kepadanya bukan karena pribadinya, namun karena kelihaiannya! Dan hal ini mendatangkan rasa lega di hatinya. Dia sendiri tidak mencinta Cang Sun, dan kenyataan bahwa sesungguhnya pemuda itu pun tidak mencintanya, tetapi hanya tertarik oleh kepandaiannya, membuat hatinya lega. Cang Sun takkan menderita nyeri hati kalau cintanya ditolak. "Terima kasih atas kejujuran pengakuanmu dan atas perhatianmu, Cang-toako. Kini aku pun tidak ragu-ragu lagi untuk menjawab sejujurnya. Ketahuilah, Toako, bahwa aku bukan sekedar basa-basi ketika mengatakan kepada Paman dan Bibi Cang bahwa sama sekali aku belum berminat akan perjodohan. Selain itu, walau pun aku sangat kagum dan suka bersahabat denganmu, tetapi terus terang saja rasanya dalam hatiku tidak ada perasaan cinta terhadap dirimu. Kita dapat saja bersahabat atau bersaudara, tetapi bukan berjodoh. Nah, lega hatiku sudah dapat berterus terang kepadamu, Toako." Tepat seperti yang diduganya, pengakuannya yang terus terang bahwa dia tidak mencinta pemuda itu tidak membuat wajah pemuda tampan itu pucat pasi atau menimbulkan sinar duka pada pandangan matanya, melainkan membuat wajah itu berubah kemerahan dan pada matanya hanya terbayang perasaan kecewa dan keheranan. "Hong-moi… betapa pun tidak enaknya tapi kuterima kejujuranmu ini. Katakanlah, apakah di sana sudah ada seorang pria yang memenuhi hatimu?" Ditanya demikian, wajah Kui Hong juga menjadi kemerahan. Lalu terbayanglah beberapa wajah pria yang pernah menyatakan jatuh cinta kepadanya. Wajah Sim Ki Liong, wajah Tang Cun Sek, dan akhirnya yang tinggal hanyalah wajah Hay Hay! Dan timbullah perasaan rindu yang amat sangat terhadap pemuda ugal-ugalan yang mata keranjang itu! Hay Hay! Ah, betapa rindu hatinya kepada pemuda itu, dan baru sekarang, setelah ditanya demikian oleh Cang Sun, dia dapat melihat kenyataan bahwa sebenarnya selama ini hanya Hay Hay yang memenuhi hatinya, hanya pemuda ugal-ugalan itu yang dicintanya, walau pun hal ini dicobanya untuk disangkal dan ditentangnya sendiri. "Benar, Toako, dan... maafkan aku..." Satu di antara kenyataan yang terasa amat pahit dan menyakitkan hati adalah mendengar pengakuan seorang gadis yang dicinta bahwa dia mencinta orang lain. Akan tetapi, berkat lingkungan hidup yang selalu bertopeng kesopanan, Cang Sun dapat menutupi rasa nyeri di hatinya dengan senyum, dan dia pun mengangguk-angguk, "Aku dapat mengerti, Hong-moi." Apa yang kita namakan ‘cinta’ antara pria dan wanita itu selalu mendatangkan dua hal yang bertentangan, puas atau kecewa, senang atau susah. Ini membuktikan bahwa yang kita agung-agungkan itu sebenarnya hanyalah nafsu belaka. Nafsu adalah gairah, adalah ‘si-aku yang ingin senang’. Nafsu selalu berpamrih, karena bersumber pada pikiran yang menciptakan si aku lewat pengalaman dan pengetahuan. Pamrihnya hanya satu, sungguh pun kadang terselubung dan mengenakan beribu macam kedok, yaitu ingin mencapai sesuatu, ingin memperoleh sesuatu, dan ‘sesuatu’ ini pasti yang menyenangkan dirinya. Tidak mengherankan kalau kemudian muncul kecewa dan duka ketika keinginan itu tak tercapai. Kalau keinginan itu terlaksana maka timbullah kepuasan. Kepuasan sementara, selewatan saja. Karena nafsu selalu menghendaki lebih. Bukti bahwa yang kita anggap sebagai ‘cinta suci’ antara pria dan wanita itu pada hakekatnya hanyalah nafsu, dapat dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh cinta itu. Cinta antara pria dan wanita dimulai dari pandang mata, saling melihat. Dari sini timbul perasaan tertarik, karena apa yang dilihatnya itu menyenangkan hatinya, cocok dengan seleranya. Sesudah saling tertarik lalu timbul keinginan untuk saling memiliki. Kemudian bermunculan akibat dari nafsu ini. Cemburu, patah hati, duka, benci, pertentangan dan sebagainya. Betapa banyaknya kejadian di mana dua orang yang tadinya bersumpah saling mencinta hingga mati, setelah menjadi suami isteri bertengkar setiap hari, bahkan berakhir dengan perceraian dan saling membenci! Sungguh aneh kalau cinta kasih murni berakhir menjadi kebencian. Kalau nafsu, sama sekali tidak mengherankan bila kemudian mendatangkan akibat duka dan kebencian. Banyak orang melihat kenyataan ini! Mereka melihat bahayanya nafsu yang terselubung sebagai ‘cinta suci’ ini. Untuk menghindarkan diri dari duka, dan untuk membikin putus ikatan ini, ada orang yang dengan sengaja menjauhkan diri dari asmara ini. Mereka tidak mau melakukan hubungan antara pria dan wanita, lantas menjadi perjaka atau perawan selama hidup, tidak mau atau pantang melakukan hubungan sex. Apakah dengan cara demikian berarti mereka telah terbebas dari nafsu? Apakah nafsu itu hanya muncul melalui gairah birahi saja? Apakah kalau sudah begitu kita akan dapat bebas dari duka? Bagaimana dengan nafsu dalam bentuk lain, keinginan si aku dalam bentuk lain? Masih ada seribu satu macam cara bagi si aku untuk mengejar keinginannya. Bahkan satu di antaranya adalah ‘keinginan bebas dari nafsu sex’ itulah! Keinginan memuaskan nafsu dan keinginan menjauhi nafsu datang dari sumber yang sama! Sumbernya adalah si aku yang ingin! Pamrihnya adalah kesenangan bagi si aku. Karena maklum bahwa menuruti nafsu akan menimbulkan duka, maka si aku lalu berkeinginan untuk menjauhi nafsu, tentu saja pamrihnya supaya jangan mengalami duka, dan hal ini tentu akan menyenangkan! Demikian pandainya nafsu daya rendah mempermainkan kita! Begitu pandainya bersalin rupa sehingga kita sering kali terkecoh. Hati dan akal pikiran kita telah bergelimang daya rendah, maka apa pun yang dihasilkan hati dan akal pikiran telah terpengaruh oleh nafsu. Kenapa seluruh badan ini luar dalam bergelimang dengan nafsu? Karena memang sudah kodratnya demikian! Selama jiwa bersemayam di dalam badan, agar dapat hidup, badan harus disertai nafsu-nafsu daya rendah. Badan akan binasa tanpa adanya nafsu daya rendah. Badan kita ini dapat hidup karena ketergantungan pada banyak benda. Kita butuh makanan, kita butuh benda-benda, kita butuh orang lain. Kita tidak mungkin dapat terbebas dari ikatan-ikatan dengan daya-daya rendah yang sebenarnya merupakan alat hidup, merupakan sarana untuk hidup, bahkan kebutuhan mutlak bagi kehidupan. Memang ini sudah kodratnya, sudah kehendak Tuhan begitu. Kita tidak mungkin mengingkari ini. Nafsu yang kita namakan nafsu sex merupakan kodrat pula. Tidak mungkin dilenyapkan kalau kita menghendaki manusia masih berkelanjutan hidup di dunia ini. Nafsu sex hanya merupakan alat, merupakah sarana perkembang biakan makhluk manusia. Jika terdapat kenikmatan di situ, hal itu merupakan anugerah Tuhan yang patut kita syukuri. Karena seluruh badan kita luar dalam telah bergelimang nafsu, hati dan akal pikiran kita telah bergelimang nafsu rendah, maka badan dan batin kita dikuasai oleh nafsu, menjadi hamba nafsu. Padahal nafsu daya rendah itu seharusnya yang menjadi alat kita, menjadi hamba kita, menjadi pelayan kita. Lantas bagaimana kita dapat membebaskan diri dari cengkeraman nafsu kalau ‘kita’ ini adalah hati dan akal pikiran yang bergelimang nafsu? Hanya satu kekuasaan saja yang akan mampu mengatur, yang akan mampu merubah, yang akan mampu mengembalikan nafsu daya rendah ini ke dalam tempatnya semula, mengembalikan nafsu daya rendah pada tempat dan tugasnya yang benar, yaitu sebagai pelayan dalam kehidupan. Kekuasaan itu adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, kekuasaan yang juga menciptakan nafsu daya rendah, yang menciptakan segala sesuatu di alam mayapada ini! Dan kita? Kita hanya menyerah! Menyerah dengan sepenuhnya, menyerah dengan rasa ikhlas, dengan hati tawakal, dengan pasrah. Menyerah sebulatnya dengan mutlak, tanpa adanya hati akal pikiran yang mencampuri. Yang ada hanya penyerahan saja. Yang ada hanya kepasrahan. Yang ada hanya pengamatan, penerimaan tanpa disertai keinginan hati akal pikiran. Menyerah dan menerima, merasakan dan waspada, bukan ‘aku’ yang waspada. Kui Hong dapat melihat perubahan pada muka pemuda itu. Dara ini melihat kekecewaan dan juga penyesalan terbayang pada wajah tampan itu, maka dia pun cepat mengalihkan perhatian pada persoalan lain. "Toako, di mana adanya Paman Cang? Aku ingin menghadap dan berbicara dengannya. Kenapa dia jarang nampak? Apakah ada kesibukan?" Usahanya itu berhasil. Perhatian Cang Sun teralihkan dan kini wajahnya tak lagi dicekam kekecewaan dan kedukaan. "Ayah memang sedang sibuk bukan kepalang. Banyak sekali urusan yang harus ditanganinya." "Ahh, sayang aku tidak dapat membantu ayahmu, Toako. Tugas yang diberikan kepadaku untuk menyelidik ke istana pun telah gagal. Tidak ada gunanya lagi aku tinggal lebih lama di sini." "Hong-moi, engkau tidak perlu merasa menyesal lagi. Tentu saja engkau tidak berhasil menangkap penjahat yang sudah mencemarkan istana bagian puteri itu, karena penjahat itu memang telah tewas." Kui Hong terkejut bukan main. Dia menatap wajah pemuda itu dengan mata terbelalak. "Sudah tewas? Siapa yang menewaskannya dan siapa pula penjahat itu, Toako? Kenapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu?" "Memang hal itu harus dirahasiakan, orang luar tidak boleh tahu. Akan tetapi engkau tidak kuanggap orang luar, apa lagi engkau pernah melakukan penyelidikan untuk menangkap penjahat cabul itu. Penjahat cabul itu ternyata adalah seorang prajurit pengawal thai-kam yang bertugas di dalam istana." "Ahhh...!" Kui Hong menjadi semakin heran. "Siapa yang telah membunuhnya, Toako?" Pemuda itu tersenyum. "Pembunuhnya yang amat berjasa itu bahkan orang yang pernah dicurigai ayah, yaitu bekas perwira Tang Bun An." Kini Kui Hong terbelalak dan mulutnya terbuka. Demikian besar rasa heran dan kagetnya mendengar keterangan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu sehingga sampai beberapa lama dia tak mampu bersuara! Akhirnya dia dapat mengendalikan perasaannya, kemudian dia berkata dengan suara yang tenang saja, sama sekali tidak membayangkan ketegangan yang mencekam hatinya. "Hemm, dia...? Jadi perwira Tang... ehh, kau katakan tadi bekas perwira, Toako?" "Benar, karena dia kini telah mengundurkan diri" "Cang-toako, aku merasa tertarik sekali! Maukah engkau menceritakannya kepadaku apa yang terjadi? Bagaimana Paman Cang dapat tahu bahwa penjahat itu telah terbunuh oleh Tang-ciangkun, dan mengapa pula Tang-ciangkun tiba-tiba mengundurkan diri. Aku ingin tahu sekali...” Cang Sun tersenyum. Dia merasa girang bahwa percakapan sudah beralih sehingga dia tidak lagi merasakan akibat dari penolakan cinta gadis itu. "Begini, Hong-moi. Tadinya ayah memanggil Tang-ciangkun untuk minta perwira itu turut mencari penjahat cabul di dalam istana. Akan tetapi Tang-ciangkun yang tadinya harus merahasiakan peristiwa itu seperti diperintahkan Permaisuri, lalu memberitahukan bahwa penjahat itu telah ditangkap dan dibunuhnya atas perintah Hong-houw (Permaisuri).” "Ahhh...!” Diam-diam Kui Hong mengepal tinju dengan hati panas sekali. Sudah jelas yang menjadi penjahat cabul adalah Tang Bun An sendiri alias Ang-hong-cu, namun keparat itu malah berlagak menjadi penangkap dan pembunuh penjahat cabul! Ingin dia berteriak mengatakan bahwa Tang Bun An itulah penjahat cabulnya, akan tetapi dia menahan gelora hatinya. Dia sudah berjanji kepada Ang-hong-cu dan janjinya itu lebih berharga dari pada nyawa. Sampai mati pun dia tidak akan mau memusuhi Ang-hong-cu, tidak mau pula membuka rahasianya meski hatinya seperti akan menjerit-jerit menentang janjinya sendiri itu. "Jadi diakah yang sudah menangkap dan membunuh penjahat cabul itu? Tetapi mengapa pula sesudah membuat jasa yang sangat besar itu dia lalu mengundurkan diri? Bukankah kedudukannya sudah kuat dan baik sekali?" Pertanyaan ini bukan iseng atau pura-pura, tetapi memang hatinya penuh dengan pertanyaan ini. "Hal itu juga pernah kutanyakan kepada ayah. Ternyata Tang-ciangkun adalah seorang patriot, seorang yang mencinta tanah air dan bangsa, yang setia kepada kerajaan. Melihat betapa ada usaha pembunuhan terhadap kaisar yang dilakukan pembunuh bayaran yang diperintah oleh orang-orang kulit putih dan juga dibunuh olehnya, maka dia mengajukan permohonan untuk berhenti sebagai perwira pengawal. Dan sesudah berhenti dia hendak menghimpun semua kekuatan kangouw, menyatukan kekuatan kangouw untuk membela negara. Dan ayah menyetujui niatnya yang mulia itu, yaitu membantu pemerintah melalui dunia kang-ouw, dunia persilatan yang menjadi dunianya." Kui Hong mengerutkan alis. Dia sendiri merasa bingung. Dia tahu bahwa meski pun Ang-hong-cu seorang tokoh sesat yang amat jahat terhadap wanita, tetapi harus diakui bahwa dia bukan pemberontak, dan setia terhadap kerajaan. Pernah hal ini dibuktikannya ketika Ang-hong-cu menyamar sebagai Han Lojin dan membantu pemerintah dalam membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin Lam-hai Giam-lo. Tetapi apakah benar bahwa Ang-hong-cu meninggalkan kedudukan dan kemuliaan hanya untuk dapat berbakti kepada negara melalui dunia kang-ouw? Sehebat itukah semangat kepahlawanan seorang penjahat cabul macam Ang-hong-cu itu? Tidak, dia tidak percaya! Tentu ada pamrih lain di balik kepatriotannya itu! Dan dia akan menyelidikinya, walau pun tentu saja dia tidak mungkin memusuhinya karena telah terbelenggu oleh janjinya sendiri. Karena hari sudah menjelang senja, Kui Hong minta diri lalu meninggalkan taman itu dan memasuki kamarnya. Setelah tiba di dalam kamarnya, dia lantas membanting diri di atas pembaringan, telentang dan melamun. Pengakuan cinta Cang Sun sudah membangkitkan semua kenangan lama, pengalaman-pengalaman yang sudah lalu. Dengan hati perih harus diakuinya bahwa dia amat merindukan Hay Hay! Dan dia pernah menuduh pemuda itu sebagai Ang-hong-cu pemerkosa wanita! Akan tetapi bagaimana dia dapat memikirkan tentang cinta pada saat-saat semacam itu? Cinta? Menikah? Dia sudah bersumpah untuk tidak menikah sebelum Ang-hong-cu tewas! Dan jelas penjahat itu tidak mungkin dapat tewas di tangannya. Kui Hong menarik napas panjang. Dua tugasnya, yaitu mencari Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, lalu merampas dua pedang pusaka Cin-ling-pai dan Pulau Teratai Merah belum terlaksana dan dia sudah gagal pula menangkap Ang-hong-cu, bahkan terikat janji yang membuat dia sama sekali tidak berdaya terhadap penjahat itu. Kalau membayangkan hal ini, ingin rasanya dia menjerit-jerit dan menangis. Engkau sungguh tolol telah berjanji seperti itu. Ratusan kali dia memaki dan menyalahkan diri sendiri. Akan tetapi dia bergidik kalau dia membayangkan keadaannya ketika tertawan Ang-hong-cu. Kalau saja saat itu dia dibunuh, hal itu tidak mengapa. Tetapi Ang-hong-cu adalah penjahat cabul yang keji. Dia akan mengalami siksaan dan penghinaan yang jauh lebih hebat dari kematian. Itulah yang memaksanya untuk berjanji! Tapi itu berarti bahwa dia masih dicengkeram perasaan takut! Demikian dia menyalahkan dirinya sendiri. Walau tidak takut menghadapi maut akan tetapi masih takut menghadapi siksaan, penghinaan dan pemerkosaan! Itu berarti bahwa tetap saja dia adalah seorang penakut, seoang pengecut! Karena pengecutnya, kini dia harus membiarkan jai-hwa-cat itu bebas dan bertindak semaunya tanpa dia mampu turun tangan. Dia pengecut! Beberapa titik air mata menetes turun ke atas kedua pipinya. Kui Hong merasa menyesal bukan main. Dia tidak pantas menjadi seorang pendekar, sama sekali tak pantas menjadi pangcu dari perkumpulan orang gagah seperti Cin-ling-pai. Dia terlalu mementingkan diri sendiri, terlalu sayang pada diri sendiri. Dengan perasaan amat tertekan, pada keesokan harinya Kui Hong menghadap Menteri Cang Ku Ceng dan berpamit untuk meninggalkan rumah keluarga Cang, bahkan meninggalkan kota raja. "Ehhh? Kenapa tergesa-gesa, Kui Hong? Aku sedang menanti hasil penyelidikan tentang dua orang muda itu. Selain kuserahkan kepada para penyelidik, juga aku minta bantuan bekas perwira Tang." "Paman, saya tidak ingin membikin paman lebih repot lagi. Sudah terlalu lama saya pergi meninggalkan orang tua saya. Saya ingin pulang dan melaporkan semua kegagalan saya kepada ayah dan ibu." "Kui Hong, kami sudah menganggap engkau sebagai keluarga sendiri. Sayang..." sampai di sini suara Nyonya Cang jadi tersendat. “...sayang engkau tidak berjodoh dengan putera kami, akan tetapi hal itu tidak menghalangi kami untuk menyayangimu sebagai keluarga sendiri." Mendengar ini, Kui Hong melirik ke arah Cang Sun dan merasa berterima kasih. Pemuda itu agaknya telah memberi tahukan ayah ibunya tentang penolakannya dan keluarga yang budiman itu agaknya sama sekali tidak mendendam atau menyesal. Dan hal ini membuat perasaan hatinya menjadi semakin rikuh. Setelah mencoba untuk menahan namun tidak berhasil, akhirnya Menteri Cang berkata, "Baiklah, Kui Hong. Kami tak berhak untuk menahanmu lebih lama lagi di sini, akan tetapi kami sungguh mengharapkan agar engkau tidak melupakan kami yang menganggapmu seperti keluarga sendiri." Bagaimana pun juga sikap ramah dan akrab dari keluarga itu mendatangkan keharuan di dalam hati pendekar wanita itu. Dia memberi hormat, lantas berkata dengan suara tegas, "Percayalah, Paman dan Bibi, juga engkau, Cang-toako, bahwa aku Cia Kui Hong selama hidupku takkan melupakan keluarga Cang yang budiman. Semoga kelak kita dapat saling bertemu kembali dalam suasana yang lebih akrab dan bahagia." Biar pun tadinya dia menolak, namun karena desakan Menteri Cang, akhirnya Kui Hong tidak mampu menolak lagi ketika tuan rumah itu menghadiahkan seekor kuda yang amat baik kepadanya. Dengan diantar oleh keluarga itu sampai di pintu gerbang rumah mereka, Kui Hong kemudian meninggalkan keluarga itu sesudah sempat membisikkan kata-kata yang membuat Menteri Cang Ku Ceng termenung setelah gadis itu pergi. Bisikan itu hanya singkat saja. "Paman, kuharap Paman sekali lagi bertanya kepada Hong-houw tentang penjahat cabul di istana itu." Kui Hong memang sengaja membisikkan kata-kata ini. Dia tidak berani untuk menyebut nama Ang-hong-cu karena sudah terikat janji. Maka dia menganjurkan pejabat tinggi itu untuk menyelidiki lagi melalui Permaisuri. Kalau Permaisuri berani menyatakan kebenaran terhadap keterangan Tang Bun An yang jelas berbohong, maka tentu ada apa-apa di balik pernyataan itu, ada apa-apa yang tidak wajar antara Permaisuri dan Ang-hong-cu! *************** "Aduh, aku lelah sekali, Hay-ko," dara itu mengeluh, lalu menjatuhkan diri duduk di bawah sebatang pohon besar, menyandarkan punggungnya pada batang pohon dan menjulurkan kedua kakinya, memijati kedua kaki itu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya melepaskan ikatan buntalan kain di pundak, kemudian menghapus keringat dari leher dan dahinya. Hay Hay terpaksa berhenti dan memandang gadis itu sambil tersenyum. Mayang sungguh manis bukan main. Anak rambut di dahinya menjadi kusut ketika dia menggunakan sapu tangan menghapus keringatnya, akan tetapi justru keadaan pakaian yang tidak rapi, anak rambut yang kusut, muka yang basah oleh keringat itu yang membuat dia terlihat semakin manis! Rambutnya yang panjang hitam dikuncir dua tergantung manja di depan dada. Matanya yang sipit sekarang terpejam sehingga nampak bulu mata merapat lentik, hidungnya yang mancung kembang-kempis dan mulutnya yang kecil dengan bibir merah basah itu sedang cemberut. Kulit muka dan leher yang putih mulus itu kini kemerahan. Memang semenjak pagi mereka melakukan perjalanan tiada hentinya dan kini telah lewat tengah hari, karena itu tidak mengherankan kalau gadis itu mengeluh kelelahan. Memang Mayang bukan seorang gadis lemah, bahkan dia pandai berburu, sudah biasa berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung. Akan tetapi baru sekarang ini bersama Hay Hay dia melakukan perjalanan yang jauh dan berjalan kaki setiap hari melalui daerah-daerah yang terjal dan sukar. Hay Hay merasa iba juga dan dia pun menghampiri, lalu duduk pula di dekat adik tirinya itu, menurunkan buntalan dari punggungnya. “Sudah kukatakan bahwa perjalanan ini amat jauh, Mayang, sangat melelahkan, apa lagi bagi seorang gadis seperti engkau. Kasihan engkau, Mayang." Sepasang mata yang tadinya terpejam itu terbuka, sipit namun indah bentuknya, dengan kedua ujung pinggir meruncing dan naik, lalu mulut yang cemberut itu kembali mengeluh, "Uuhh, koko, kau bilang kasihan? Jangan kasihani aku, akan tetapi kasihanilah sepasang kakiku ini. Seperti remuk rasanya!" Hay Hay mendekati gadis itu. Dia memang merasa iba dan dapat membayangkan betapa nyeri rasa kedua kaki yang kecil mungil itu. Otot-otot kedua kaki itu tidak biasa digunakan untuk berjalan jarak jauh, maka tentu terasa nyeri dan penat, otot-otot seperti mau pecah dan tulang seperti retak-retak. Tetapi kelelahan pada otot-otot itu mudah saja dilenyapkan atau dikurangi. "Mari kupijati kedua kakimu untuk menghilangkan rasa penat itu, adikku,” katanya, lantas tanpa menanti jawaban kedua tangannya sudah mulai memijati kaki kiri Mayang. Dengan jari-jari tangannya yang peka dan terlatih, Hay Hay lalu memijati serta menekan jalan-jalan darah dan otot-otot besar di paha, belakang lutut, betis dan di sepanjang kaki, memulihkan jalan darah dan melemaskan otot-otot yang menjadi kaku. Dia melakukannya dengan lembut sekali sehingga Mayang merasa keenakan. Bukan hanya nyaman rasanya ketika dipijati oleh seorang ahli yang tahu akan jalan darah, akan tetapi dia juga merasa seolah-olah jari tangan itu menyentuh kakinya penuh kemesraan dan kasih sayang, meski pun kakinya terbungkus celana sutera. Mayang kembali memejamkan sepasang matanya dan hatinya dipenuhi kemesraan yang mengharukan. Seketika dia lupa bahwa pemuda yang tengah memijati kakinya itu adalah saudaranya seayah, dan timbul pula perasaan kasih sayangnya sebagai seorang wanita terhadap seorang pria, yang membuat pernapasannya tersendat-sendat. Hay Hay yang sudah mulai memijati kaki kanan, tentu saja dapat melihat dan mendengar pernapasan Mayang. Dia mengangkat muka, lalu memandang wajah gadis itu dan melihat wajah itu kini menjadi merah sekali, betapa cuping hidung yang mancung itu berkembang kempis dan mulutnya agak terbuka, seolah pernapasan tidak cukup melalui kedua lubang hidungnya. Karena pemijatan itu memang sudah selesai, Hay Hay lalu menghentikannya dan bertanya sambil menyentuh pundak gadis yang masih memejamkan kedua mata itu. "Mayang, engkau kenapakah? Sakitkah engkau?" tanyanya penuh kekhawatiran. Sentuhan pada pundak yang lembut itu seperti menjebolkan bendungan. Sambil merintih Mayang kemudian merangkul Hay Hay dan menangis pada dada pemuda itu, menangis sesenggukan sehingga amat mengejutkan Hay Hay. Dia tidak tahu kenapa Mayang dapat menangis sesedih itu. Padahal sepanjang pengetahuannya Mayang adalah seorang gadis yang tabah, bahkan keras hati dan tidak cengeng sama sekali. Andai kata dia terlampau kelelahan sekali pun, tidak mungkin dia menangis seperti anak kecil. Akan tetapi melihat betapa dara itu menangis dengan sungguh-sungguh, menangis penuh kesedihan, dia pun tak berani main-main dan membiarkan gadis itu menangis sepuasnya. Pada saat seperti itu, tangis merupakan obat yang paling ampuh bagi orang yang sedang dilanda kesedihan. Dia pun hanya mengelus kepala gadis itu dengan kasih sayang seorang kakak. Dia sama sekali tidak tahu betapa elusan tangan yang lembut pada kepala itu menambah derasnya air mata mengalir dari kedua mata sipit itu. Bagaimana pun derasnya hujan pasti akan mereda. Air mata pun akan terkuras habis dan tangis pun akan terhenti. Apa lagi bagi seorang gadis semacam Mayang, seorang gadis berhati baja. Biar pun tadi dia terseret dan terhanyut oleh keharuan hatinya, akhirnya dia dapat menenteramkan hatinya dan kini isaknya semakin lirih dan jarang. "Nah, sekarang coba katakan, mengapa engkau menangis?" kata Hay Hay, masih lembut dan belum berani bercanda seperti biasanya, takut kalau akan salah ucap dan menyentuh kembali hati gadis itu. Mayang masih merangkulkan kedua tangannya di leher Hay Hay, tetapi kini rangkulannya semakin kuat seolah-olah dia mengerahkan tenaga dan memaksa diri untuk bicara. "Hay-ko... maafkan aku... akan tetapi aku... aku... sangat cinta padamu...” Hay Hay mencium rambut di kepala gadis itu sambil tersenyum. "Aihh, tentu saja. Aku pun amat cinta kepadamu, Mayang. Engkau adikku dan aku kakakmu..." "Tidak! Bukan itu! Aku cinta padamu bukan sebagai adik, melainkan... ahh, koko, engkau tentu tahu... aku... aku hanya akan dapat hidup berbahagia kalau menjadi isterimu..." "Mayang...!" Hay Hay cepat melepaskan rangkulannya dan dengan lembut mendorong gadis itu, lantas dipegangnya kedua pundak gadis itu dan dijauhkan, dipaksanya supaya mereka saling pandang. Dengan mata sipit dan agak membengkak gadis itu memandang, sinar matanya penuh kedukaan. "Mayang, adikku yang bengal! Apa yang kau katakan ini? Inginkah engkau menyeret kita berdua ke dalam lembah dosa yang tak dapat diampuni? Kita ini saudara, Mayang. Ingat, kita saudara seayah! Kita sama-sama satu darah, satu she (Marga) sehingga kalau kita menjadi suami isteri, bukan hanya seluruh manusia akan mengutuk kita, juga Tuhan akan menghukum kita. Sadar dan ingatlah, adikku. Kalau karena keadaan kita tidak bisa saling mencinta seperti suami isteri, apakah kita tidak dapat saling mencinta sebagai kakak dan adik?" Mayang memandang wajah Hay Hay dengan mengejap-ngejapkan matanya yang penuh air mata, dan dia pun mengangguk-angguk. Gerakan ini membuat beberapa titik air mata yang telah bergantung pada pelupuk matanya kini berjatuhan. Pemandangan ini demikian mengharukan hati Hay Hay sehingga dia pun menahan air matanya keluar dari sepasang matanya yang panas. Ia tahu bahwa andai kata Mayang bukan adiknya seayah, mungkin saja dia benar-benar akan jatuh cinta kepada gadis ini, dan akan mencintainya sebagai seorang isteri yang baik. "Ehhh, bagaimana rasanya kedua kakimu sekarang?" tanya Hay Hay untuk mengalihkan persoalan dari batin adiknya. Mayang memandang ke arah kakinya, kemudian mulutnya yang kecil mungil membentuk senyum lagi. Senyum itu mendatangkan kecerahan seperti matahari tersembul dari balik awan setelah hujan mereda. Dia lalu bangkit berdiri, melangkah ke sana-sini, menggerak-gerakkan kedua kakinya. "Wah sudah tak terasa lelah lagi, Hay-ko. Hebat, engkau boleh membuka praktek menjadi tukang pijat. Pasti laris!" "Ihh! Kau ingin kakakmu ini menjadi tukang pijat? Siapakah yang akan suka membiarkan tubuhnya kupijati?" "Siapakah yang akan suka? Hemm, Hay-koko, akan banyak yang berdatangan, terutama kaum wanitanya. Tukang pijatnya tampan, dan pijatannya sungguh membuat tubuh terasa nyaman, menghilangkan semua kelelahan. Wanita-wanita akan berebutan dan antri untuk minta kau pijati, dan mereka pasti berani membayar mahal!" "Huh, bagaimana jika yang berdatangan dan antri itu nenek-nenek yang napasnya sudah empas-empis? Jangan-jangan mereka itu kehabisan napas ketika sedang kupijati. Bukan upah banyak yang kudapatkan, malah urusan berabe, orang menyangka aku membunuh para nenek itu!" Mayang tertawa dan diam-diam Hay Hay gembira bukan main melihat adiknya itu sudah dapat tertawa. Memang bukan watak Mayang untuk menjadi seorang wanita cengeng. "Koko, kenapa engkau ini bisa segala-galanya? Apa sih yang kau tidak bisa? Dari mana pula engkau mempelajari ilmu pijat yang membuat badan terasa begini enak?" "Mayang, apa sukarnya mempelajari ilmu memijat seperti tadi? Bukankah engkau sudah banyak mempelajari ilmu silat dari subo-mu? Engkau pun tentu sudah mempelajari letak jalan darah dan kedudukan tulang. Nah, pengetahuanmu tentang itu sudah cukup menjadi dasar untuk mempelajari ilmu pijat. Jika nanti ada waktu senggang biarlah akan kuajarkan kepadamu biar kelak kalau ada yang membutuhkan, engkau akan dapat memijatinya dan mengusir kelelahan dari tubuhnya.” "Ihh, siapa yang akan membutuhkan aku untuk memijatinya?" "Siapa lagi kalau bukan... ehh, suamimu kelak." Sepasang mata yang sipit itu dilebarkan, dan mulut yang tadinya tersenyum itu cemberut. Mayang bangkit berdiri dan bertolak pinggang. "Hay-ko, engkau nakal! Aku tidak akan mempunyai suami!" "Ehhh, kenapa, Mayang? Maafkan, tadi aku hanya main-main. Bagaimana pun juga kelak engkau tentu akan menikah dan sudah sepatutnya kalau engkau memijati suamimu. Itu hal yang wajar, bukan?" "Tidak! Aku tidak akan menikah!" “Ehh, bagaimana mungkin? Engkau adikku yang begini manis, begini cantik jelita, begini lihai dan pandai. Ribuan orang pemuda akan saling berebutan untuk menjadi suamimu, dan engkau tidak akan menikah?" "Aku tidak akan suka bicara tentang perjodohan sebelum..." “Sebelum apa? Hayo katakan, sebelum apa, adikku sayang?" "Sebelum engkau sendiri menikah, Hay-ko." Hay Hay berhenti bernapas. Lehernya terasa seperti dicekik dari dalam karena keharuan yang menyerbu keluar dari dalam hatinya. Dia mengerti. Mayang demikian mencintanya, cinta seorang gadis terhadap seorang pemuda, cinta seorang wanita terhadap pria, bukan cinta kasih antara saudara. Hanya kenyataan bahwa mereka adalah saudara seayah sajalah yang membuat gadis itu memaksa diri agar melihat kenyataan dan menekan gejolak hatinya. Akan tetapi cintanya masih tetap dan gadis itu tentu saja merasa berat untuk menikah dengan pria lain, maka mengatakan bahwa dia baru mau bicara tentang perjodohan setelah Hay Hay, pria yang dicintanya, juga kakaknya sendiri, telah menikah dengan wanita lain tentu saja. Sesudah berdiam sesaat dan memandang kepada adiknya, akhirnya dapat pula Hay Hay mengeluarkan keluhan lirih, “Mayang...” Mendengar suara yang menggetar ini dan melihat wajah kakaknya seperti orang menahan tangis. Mayang menubruk dan merangkul pinggang Hay Hay, menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu. "Hay-ko, ahhh... maafkan aku, Hay-koko…" "Engkaulah yang harus memaafkan aku, Mayang. Adikku sayang…!" Beberapa lamanya mereka berpelukan, tapi kini dengan perasaan kasih sayang kakak dan adik, sampai kemudian Hay Hay merasa betapa lemahnya mereka membiarkan perasaan mereka hanyut oleh keharuan. "Wah-wahh, apakah kita ini sedang main di panggung, menjadi anak wayang? Ha-ha-ha, sayang tidak ada penontonnya!" Mayang menatap wajah pemuda itu, lalu dia pun terkekeh-kekeh geli sehingga suasana menjadi gembira sekali. Mereka lalu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan tangan dan di sepanjang perjalanan itu Mayang bernyanyi-nyanyi. Semua kedukaannya tadi telah terlupa dan kini mereka seperti kakak beradik yang sedang pesiar bersenang-senang. Setelah melakukan perjalanan cepat, kadang melalui air sungai, kadang mereka membeli kuda dan berkuda, akhirnya tibalah mereka di daerah kota raja. Di sepanjang perjalanan mereka hanya menemukan rintangan yang tak berarti, akan tetapi berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, semua rintangan dapat mereka atasi dan beberapa kali perampokan terhadap mereka berakhir dengan kocar-kacirnya para perampok. Pada suatu sore tibalah mereka di sebuah dusun di luar kota raja. Ketika mereka sedang menanyakan jalan yang menuju ke kota raja kepada penduduk dusun, seorang penduduk tua yang merasa khawatir melihat Mayang gadis yang cantik jelita lagi muda itu, segera rnemberi nasehat. "Sebaiknya kalau Kongcu dan Siocia (Tuan muda dan Nona) bermalam saja di dusun ini dan besok setelah matahari naik baru melanjutkan ke kota raja." "Akan tetapi kenapa, Paman? Apakah perjalanan ini tidak aman?" tanya Mayang kepada penduduk dusun itu. "Apakah di tengah perjalanan ada gangguan dari perampok, Paman? Ataukah gangguan dari binatang buas?" tanya pula Hay Hay. Kakek itu menggelengkan kepalanya. "Jika bicara tentang keamanan, sekarang di sekitar daerah kota raja aman, tidak pernah terjadi perampokan, bahkan tidak ada pencuri berani melakukan kejahatan. Namun sungguh tidak aman sama sekali melakukan perjalanan di waktu sore dan malam hari bagi seorang gadis muda dan cantik seperti Nona. Perjalanan rnenuju ke kota raja masih cukup jauh dan sunyi sekali pada malam hari. Maka sebaiknya melakukan perjalanan pada besok hari siang saja, di mana terdapat banyak orang berlalu lalang sehingga Nona tidak akan terancam gangguan." "Hemm, apakah tak ada jalan pintas yang lebih dekat, Paman?” tanya Hay Hay, maklum akan maksud ucapan kakek itu. Kecantikan Mayang tentu akan menarik perhatian banyak pria yang mata keranjang dan hidung belang, dan mereka itulah yang nanti akan menjadi pengganggu, bukan para perampok yang menghendaki uang. "Ada, ada jalan pintas melalui hutan di bukit sana itu. Lebih dekat dan akan makan waktu yang lebih singkat, akan tetapi juga lebih berbahaya karena di sana banyak berkeliaran binatang buas dan di sana pun keselamatan seorang gadis seperti Nona akan terancam.” "Tetapi siapakah yang akan menganggu aku, Paman? Dan mengapa pula seorang wanita diganggu? Siapa mereka yang suka menganggu wanita?” "Sstt, jangan keras-keras bicara, Nona," kata kakek itu setengah berbisik sambil matanya memandang ke kanan ke kiri dengan sikap jeri. "Tidak ada penjahat yang menggunakan kekerasan. Akan tetapi sekarang banyak sekali orang-orang gagah yang agaknya sedang membutuhkan isteri. Bila mereka bertemu seorang gadis, apa lagi yang muda dan cantik seperti Nona, mereka akan memaksa Nona untuk menjadi isteri. Isteri yang sah! Sudah banyak sekali gadis yang menjadi isteri orang-orang itu." "Ehhh? Kalau aku tidak mau, apakah mereka akan memaksaku?" tanya Mayang dengan sikap penasaran dan mulai marah. "Kalau begitu, mereka itu sama saja dengan penjahat, bahkan lebih keji lagi!" "Ssttt... jangan keras-keras, Nona. Mereka itu bukan penjahat, dan tidak pernah terdengar berita bahwa mereka memaksakan kehendak atau memperkosa wanita. Nyata-nyata para gadis itu mau menjadi isteri mereka. Mereka benar-benar bukan penjahat, bahkan semua penjahat takut kepada mereka. Mereka adalah para anggota perkumpulan Ho-han-pang." Mendengar nama perkumpulan itu, Mayang dan Hay Hay bertukar pandang. Ho-han-pang (Perkumpulan Patriot Gagah)? Kalau nama itu benar sesuai, maka tentu saja mereka tak perlu khawatir akan mendapat gangguan. Mana mungkin para ho-han, yaitu sebutan bagi orang-orang gagah yang berjiwa pahlawan, mau mengganggu wanita? "Paman, di mana lebih banyak kemungkinan kita bertemu dengan para ho-han itu, melalui jalan raya ataukah melalui jalan pintas?” tanya Hay Hay. Kakek itu mengerutkan alisnya. "Kongcu, bila engkau sendiri yang melakukan perjalanan, maka melalui jalan raya tidak akan ada bahaya apa pun. Akan tetapi bagi Nona ini..., di jalan raya tentu akan bertemu banyak anggota Ho-han-pang..." “Jangan khawatir, Paman. Kami adalah sahabat para ho-han (orang gagah). Terima kasih, Paman, kami akan melanjutkan perjalanan sekarang juga." Setelah berkata demikian, Hay Hay lalu meloncat ke atas punggung kudanya, diikuti oleh Mayang. Gadis ini tersenyum manis kepada kakek itu, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut dan melihat cara gadis itu meloncat ke atas kuda, kakek itu pun bisa menduga bahwa gadis cantik itu tentulah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak begitu, mana ada gadis muda cantik yang tidak takut menghadapi orang-orang Ho-han-pang, bahkan menganggap mereka sebagai sahabat? Hay Hay dan Mayang segera membalapkan kuda mereka keluar dari dusun itu. Sesudah cukup jauh meninggalkan dusun, mereka menahan kuda mereka dan Hay Hay mengajak adiknya bicara. "Bagaimana pendapatmu tentang keterangan kakek tadi, Mayang?" "Mengenai Ho-han-pang itu? Aku merasa sangat curiga, Hay-ko. Mana ada ho-han yang suka mengganggu wanita?" "Cocok sekali dengan perasaanku, Mayang. Keterangan tadi tentu hanya mempunyai dua arti. Pertama, ada gerombolan orang jahat yang berkedok perkumpulan orang gagah dan menggunakan nama muluk Ho-han-pang. Dan ke dua, keterangan kakek tadi yang keliru. Mereka memang orang-orang gagah yang bergabung dalam perkumpulan Ho-han-pang, dan kakek tadi yang jahat dan memusuhi mereka maka menyebar berita bohong supaya dapat memburukkan mereka." Mayang mengangguk-angguk. "Mudah-mudahan saja kita akan berjumpa dengan mereka lantas membuktikannya sendiri, orang-orang macam apa adanya mereka yang mengaku para anggota Ho-han-pang itu. Atau mungkin mereka bukan orang yang suka melakukan kejahatan seperti mencuri atau merampok, seperti dikatakan kakek tadi bahwa daerah ini sekarang aman karena para penjahat takut kepada Ho-han-pang, melainkan sekumpulan laki-laki mata keranjang seperti..." Dara itu menghentikan ucapannya dan cepat menutupi mulutnya seperti hendak mencegah kata-kata selanjutnya meloncat keluar dari mulut kecil itu. "Seperti apa, Mayang?" "Seperti... engkau, Hay-ko!” Hay Hay mengerutkan alisnya, pura-pura marah. "Ihhh, engkau menghina aku, ya? Siapa yang mata keranjang? Kau memang bengal!” Tangannya meraih hendak mencubit, akan tetapi Mayang tertawa-tawa sambil membedal kudanya, membalap ke depan, dikejar Hay Hay. Mereka berkejaran sambil tertawa-tawa, seperti dua orang kanak-kanak bermain-main dan diam-diam perasaan Hay Hay menjadi girang melihat adiknya sama sekali sudah melupakan kedukaannya tadi. Dia tidak tertarik untuk menyelidiki orang-orang Ho-han-pang itu. Urusannya sendiri sudah cukup penting namun belum juga mampu dia laksanakan dengan hasil baik, yaitu mencari Ang-hong-cu, musuh besarnya sekaligus juga ayah kandungnya, yang bukan saja sudah melakukan banyak sekali kejahatan mengganggu wanita, tetapi juga telah mencemarkan nama baiknya sebab orang-orang gagah menyangka bahwa dialah yang telah melakukan perkosaan dan gangguan terhadap para wanita itu. Tiba-tiba Mayang menahan kudanya. Melihat gadis itu menghentikan kudanya, Hay Hay juga ikut menahan kendali kudanya. Dia tidak perlu bertanya lagi karena dia yang berada di belakang Mayang juga telah melihat apa yang membuat adiknya itu berhenti. Di depan mereka terdapat lima orang penunggang kuda sedang malang melintang di tengah jalan raya. Jelas lima orang itu sengaja menghadang mereka dan memenuhi jalan. Dia memandang tajam penuh perhatian kepada kelima orang itu. Matahari belum rendah benar dan sinarnya masih cukup terang. Lima orang itu adalah pria semua, berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun. Mereka berpakaian ringkas yang cukup rapi dan bahkan nampak mewah. Melihat gagang pedang atau golok di punggung mereka, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang dunia persilatan. Muka mereka terawat dan bersih, dan sikap mereka pun tidak kasar seperti para perampok atau penjahat pada umumnya. Sikap mereka lebih pantas seperti sikap orang-orang muda bangsawan atau hartawan yang berlagak congkak mengandalkan kedudukan atau kekayaan orang tua mereka. Mereka juga berlagak gagah-gagahan seperti biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu silat yang kepalang tanggung dan merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling lihai di dunia ini. Gentong kosong gaungnya lebih nyaring dari pada gentong penuh isi. Ayam katai keruyuknya lebih nyaring dari pada ayam besar.....

jilid 23

LIMA orang ltu sama sekali tidak memperhatikan Hay Hay. Mata mereka semua ditujukan kepada Mayang dan mulut mereka tersenyum-senyum. Sikap mereka tidak kasar, bahkan tidak ada ucapan-ucapan tak sopan yang keluar dari mulut mereka yang tersenyum, akan tetapi pandang mata mereka itu amat dikenal oleh Mayang. Pandang mata laki-laki yang dibakar nafsu birahi kalau melihat wanita cantik! Oleh pandang mata seperti itu saja, Mayang sudah merasa marah dan dia tahu dengan orang macam apa dia berhadapan. Segera dia teringat akan keterangan kakek di dusun tadi, tentang sekelompok orang yang menamakan diri mereka ho-han atau orang gagah berjiwa pahlawan yang menentang kejahatan akan tetapi mereka suka mengganggu para wanita. "Apakah kalian berlima ini yang dinamakan orang-orang Ho-han-pang?" Mayang langsung saja berteriak dengan suara lantang dan membentak. Lima orang pria muda itu saling pandang, kemudian mereka tertawa. Sikap mereka ketika tertawa juga tidak kasar, melainkan suara tawa orang-orang yang biasa bersopan-santun atau orang-orang terpelajar! Seorang di antara mereka yang berkumis tipis mengajukan kudanya dan mewakili teman-temannya memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada. "Selamat sore, Nona. Maafkan kebodohan kami bahwa kami tidak mengenal Nona yang ternyata telah mengenal kami. Kami berlima memang orang-orang Ho-han-pang. Bolehkah kami mengetahui siapa nama nona dan hendak pergi ke manakah?" Melihat sikap mereka yang sopan, bagaimana pun juga Mayang merasa tidak enak untuk bersikap kasar. Mulailah dia merasa ragu. Mereka ini harimau-harimau berkedok domba, ataukah keterangan kakek tadi yang tidak benar dan bersifat fitnah? Ia harus berhati-hati, jangan sampai nanti ditertawakan oleh Hay Hay yang nampaknya hanya berdiam diri saja di belakangnya itu. "Aku tidak ingin berkenalan dengan kalian, tidak perlu memperkenalkan nama. Aku hanya ingin tahu kenapa kalian agaknya sengaja menghadang dan merintangi perjalanan kami? Minggirlah dan beri jalan kepada kami!" Kembali si kumis tipis mewakili teman-temannya dan dengan sikap hormat dia menjawab, "Maatkan kami, Nona. Kami memang sengaja menghadang, tetapi bukan dengan maksud buruk melainkan memang telah menjadi tugas kami untuk menjaga keamanan di wilayah ini. Karena Nona adalah seorang yang asing dan belum kami kenal, maka sudah rnenjadi kewajiban kami untuk bertanya dan mengetahui siapa Nona dan temanmu itu. Ketahuilah bahwa keamanan di seluruh daerah kota raja menjadi tanggung jawab Ho-han-pang, oleh karena itu kami harus berhati-hati dan selalu menyelidiki semua pendatang yang belum kami kenal. Oleh karena itu, harap Nona dan teman Nona suka memperkenalkan diri dan memberi tahukan kami, dari mana Nona datang dan hendak ke mana Nona pergi.” “Hemm, apakah sekarang Ho-han-pang sudah menggantikan pasukan pemerintah untuk menjaga keamanan? Bagaimana kalau kami tidak mau memperkenalkan diri. Apa yang hendak kalian lakukan?” Kembali lima orang itu saling pandang, masih tersenyum dan kini pandang mata mereka bertambah kekaguman terhadap keberanian gadis jelita itu menantang mereka. Si kumis tipis kembali berkata, “Nona, agaknya Nona belum mendengar tentang Ho-han-pang, maka Nona tidak percaya kepada kami. Ketahuilah bahwa ketua kami adalah Bengcu yang hendak mempersatukan seluruh kekuatan di dunia persilatan. Bengcu kami adalah seorang pendekar dan patriot yang berilmu tinggi, yang hendak menuntun semua tokoh kang-ouw untuk menjadi patriot pembela negara! Bengcu kami membawa kami ke jalan kebenaran dan siapa saja yang menentang kami tentu akan tergilas oleh kebenaran. Oleh karena itu, harap Nona suka memperkenalkan diri sehingga kami tidak akan memberi laporan buruk tentang diri Nona kepada ketua perkumpulan kami." Empat orang temannya itu pun memberi hormat kepada Mayang dan berkata, "Maafkan kami, Nona." Sikap mereka berlima itu demikian sopan dan menarik, disertai senyuman menghias pada wajah mereka yang rata-rata memang tampan dan gagah. Mayang hendak bersikeras tidak mau memperkenalkan diri, tetapi tiba-tiba dia mendengar suara Hay Hay di belakangnya. "Maafkan adikku ini, ngo-wi ho-han (lima orang gagah)! Terus terang saja, adikku enggan memperkenalkan diri karena maklumlah, sebagai gadis-gadis terhormat, betapa mungkin memperkenalkan diri begitu saja kepada lima orang pria muda?" Mayang hendak menegur kakaknya dengan marah, akan tetapi dia bengong saat melihat betapa kelima orang laki-laki itu kini bersikap aneh sekali. Mereka berlima itu memandang kepada Hay Hay dengan sikap yang sangat aneh. Kini mereka berlagak dan pasang aksi, bahkan seorang di antara mereka berkata lirih, "Aduhhh... bukan main jelitanya nona berbaju biru ini...” Hanya sebentar saja Mayang terheran. Setelah dia memperhatikan, dia dapat merasakan getaran tak wajar yang keluar dari arah Hay Hay, maka tahulah dia bahwa kakaknya telah main-main lagi, menggunakan sihirnya untuk mempengaruhi lima orang itu yang agaknya melihat dia sebagai seorang wanita jelita! Maka kini Mayang diam saja, hanya tersenyum-senyum geli dan hendak melihat apa yang akan dilakukan Hay Hay terhadap lima orang anggota Ho-han-pang itu. Si kumis tipis kini memandang kepada Hay Hay yang mengajukan kudanya. Jelas betapa sinar mata si kumis tipis itu terpesona dan penuh kagum. "Duhai Nona yang cantik jelita dan manis budi! Terima kasih atas keramahanmu dan kami mohon sudi kiranya Nona memperkenalkan diri bersama adik Nona itu." "Aku bernama Ma Hwa dan adikku ini bernama Ma Yang. Kami datang dari luar kota raja dan hendak melihat-lihat keindahan kota raja. Kalian sungguh sopan dan gagah, terutama engkau sungguh ganteng dengan kumis tipismu." "Nona Ma Hwa dan nona Ma Yang. Ji-wi (kalian berdua) adalah gadis-gadis jelita dari luar kota yang hendak memasuki kota raja, maka biarlah kami yang mengawal kalian supaya jangan terdapat gangguan di dalam perjalanan." “Ahhh, tidak perlu dikawal. Kami berani pergi berdua saja!" Mayang cepat berkata karena dia tidak ingin ditemani lima orang itu. Dia mendahului kakaknya karena takut kalau-kalau kakaknya itu akan menerima tawaran mereka. "Kalau begitu, barang kali ada hal lain di mana kami dapat membantu ji-wi?” Si kumis tipis masih terus berusaha menawarkan jasa baiknya. Sikap lima orang itu demikian sopan dan menarik, maka kini mengertilah Mayang kenapa banyak gadis yang terpikat dan mau menjadi isteri para anggota Ho-han-pang. Ternyata Ho-han-pang memiliki anggota pria-pria muda yang pandai berlagak. "Jika sobat mau membantu kami, kami memang ingin mencari seorang perwira pengawal she Tang di kota raja..." Hay Hay yang dengan kekuatan sihirnya telah membuat mereka memandangnya sebagai seorang gadis cantik itu menatap dengan penuh perhatian, dan dia melihat betapa lima orang itu nampak kaget. "Perwira she Tang...? Bagaimana rupa orang itu?" Tentu saja Hay Hay tidak mampu menjelaskan karena sebenarnya dia sendiri pun belum pernah melihatnya. Dia hanya mendengar berita bahwa di kota raja ada seorang perwira muda she Tang yang membual bahwa dia adalah putera Ang-nong-cu. Tentu saja Hay Hay tidak menganggapnya sebagai bualan belaka karena memang benar bahwa Ang-hong-cu adalah seorang she Tang! Kalau hanya membual, bagaimana nama keturunan itu bisa demikian tepat? Padahal tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa Ang-hong-cu adalah seorang she Tang. "Dia… dia seorang perwira pengawal yang masih muda," akhirnya Hay Hay hanya dapat menerangkan apa yang diketahuinya. Akan tetapi hal itu agaknya telah cukup karena lima orang itu nampak lega mendengar keterangan itu. "Jangan khawatir, kami akan membantu ji-wi mencarinya. Kami akan menemui ji-wi siocia (nona berdua) di kota raja. Silakan melanjutkan perjalanan, Nona Ma Hwa dan Ma Yang.” Mereka lalu meminggirkan kuda mereka, membiarkan Hay Hay dan Mayang lewat. Setelah melewati lima orang itu, Mayang menegur kakaknya. "Hay-ko, mengapa engkau memperkenalkan namaku dan kenapa pula engkau menyamar sebagai seorang wanita?" "Mayang, orang yang kita cari ini lihai bukan main. Dia belum tahu namamu, akan tetapi dia sudah mengenal namaku, juga wajahku. Karena itu tidak ada salahnya kalau engkau memperkenalkan rupa dan namamu. Akan tetapi bagiku, lebih baik aku bersembunyi dan tidak sembarangan memperlihatkan diri." "Koko, begitu takutkah engkau terhadap Ang-hong-cu?" "Bukan takut, adikku, melainkan aku harus berhati-hati. Kalau dia tahu bahwa aku datang mencarinya di kota raja, dan kalau benar dia berada di sini, tentu dia akan melarikan diri lebih dahulu. Dia lihai bukan main, juga licik dan pandai menyamar. Kita tidak ada waktu main-main dengan Ho-han-pang, maka lebih baik kita segera melepaskan diri dari mereka karena kita memiliki tugas yang lebih penting. Sebaiknya kalau kita dapat masuk ke kota raja sebelum hari menjadi gelap sekali.” Mereka lalu membalapkan kuda mereka. Setelah tiba di kota raja dan masuk melalui pintu gerbang tanpa menimbulkan kecurigaan, mereka lalu menyewa dua buah kamar di dalam sebuah rumah penginapan di kota raja. Mereka menyerahkan dua kuda mereka kepada pelayan untuk dipelihara dan diberi makan. Tentu saja Hay Hay sama sekali tak pernah menyangka bahwa yang dinamakan Ho-han-pang adalah sebuah perkumpulan yang dipimpin oleh Ang-hong-cu sendiri! Tidak pernah mengira bahwa lima orang anggota Ho-han-pang itu adalah anak buah ayah kandungnya yang sedang dicari-carinya. *************** Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, sesudah keluar dari pekerjaannya sebagai perwira pasukan pengawal, dan telah membuat jasa-jasa, bukan hanya menangkap calon pembunuh kaisar, akan tetapi juga dia dianggap berjasa sudah membuat daerah kota raja menjadi aman, keluar dengan terhormat, Ang-hong-cu Tang Bun An lalu menghilang dan muncullah Han Lojin memimpin Ho-han-pang! Usahanya untuk menjadi seorang bengcu atau pemimpin besar di dunia kangouw dengan mempersatukan atau lebih tepat lagi menaklukkan seluruh tokoh dunia kang-ouw lantas mengangkat diri sebagai bengcu atau semacam raja, mulai berkembang dengan baik. Hal ini berkat bantuan Sim Ki Liong, Tang Cun Sek dan Ji Sun Bi. Terutama sekali Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi yang memiliki banyak sekali hubungan dengan para tokoh kang-ouw, telah menarik banyak tokoh kang-ouw untuk mengakui Han Lojin sebagai bengcu! Biar pun kini perkumpulan Ho-han-pang mulai berpengaruh, mulai diakui oleh para tokoh kang-ouw, namun Han Lojin tetap bersikap waspada. Dia selalu menyebar anak buahnya yang dipercaya untuk melakukan pengamatan di kota raja dan sekitarnya. Bila mana ada tokoh kang-ouw atau perkumpulan yang agaknya tidak mau tunduk, maka cukup dengan mengutus Sim Ki Liong, Tang Cun Sek atau Ji Sun Bi saja, mereka yang menentang itu pasti dapat ditundukkan. Tidak usah dia sendiri yang turun tangan! Han Lojin bukan orang bodoh. Dia tahu pasti bahwa perkumpulannya akan semakin maju pesat selama didukung oleh pembesar-pembesar kota raja, terutama para pejabat tinggi. Karena itu dia pun selalu menjaga agar Ho-han-pang mendatangkan kesan baik. Dia berpesan dengan ancaman keras kepada semua anak buahnya agar tidak melakukan perbuatan yang terlarang dan melanggar hukum. Tak boleh mencuri atau merampok, tak boleh bersikap kasar terhadap rakyat, bahkan harus selalu menentang kejahatan. Tentu saja mereka diberi jaminan yang cukup. Kalau ada yang melanggar maka Han Lojin tidak segan-segan untuk memberi hukuman dan menyiksanya sehingga semua anak buahnya menjadi takut dan taat. Bahkan dia juga melarang keras anak buah Ho-han-pang untuk memperkosa wanita, hal yang biasanya suka dilakukannya sendiri. Mereka boleh saja memilih seorang gadis yang disukai sebagai isteri, akan tetapi harus dengan cara baik, tidak boleh memperkosa. Dan Ji Sun Bi banyak membantu anak buah Ho-han-pang dalam hal menundukkan gadis yang mereka pilih. Banyak sudah para wanita yang berjatuhan dan terpaksa menjadi isteri salah seorang di antara anggota-anggota Ho-han-pang karena sudah ‘dijatuhkan’ dengan cara yang tidak wajar, walau pun bukan dengan kekerasan. Ji Sun Bi mempunyai banyak akal untuk membantu para anak buah Ho-han-pang dalam menjatuhkan kaum wanita, baik dengan ramuan obat, dengan rayuan dan bermacam akal lagi. Beberapa orang gadis dengan suka rela bahkan menyerahkan diri kepada ‘pendekar’ yang menyelamatkannya dari ancaman perampok ganas yang hendak memperkosanya. Tentu saja semua itu hanya permainan saja, siasat yang diatur oleh Ji Sun Bi! Demikianlah, Ho-han-pang segera dikenal oleh rakyat di kota raja dan sekitarnya sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang menentang kejahatan, akan tetapi kenyataannya banyak pula gadis yang menyerahkan diri menjadi isteri dari para anggota Ho-han-pang itu. Tentu saja Han Lojin sendiri belum dapat membebaskan diri dari kerakusannya terhadap wanita. Hanya beberapa bulan saja setelah menjadi bengcu, Ang-hong-cu sudah berhasil mengumpulkan banyak wanita muda yang cantik-cantik untuk dijadikan pelayan atau pun pembantu di rumahnya yang berdiri di dalam hutan pada puncak bukit. Nampaknya saja belasan orang gadis cantik itu menjadi pelayan dan pembantu, padahal sebenarnya mereka dijadikan pemuas birahi Han Lojin yang tetap melakukannya karena rasa bencinya kepada para wanita sehingga ingin mempermainkan mereka. Maka dalam beberapa bulan saja sudah beberapa kali dia berganti pelayan. Ada kalanya belum sampai satu bulan dia sudah mengeluarkan seorang gadis pelayan dari dalam rumahnya karena merasa bosan, lalu gadis itu dihadiahkan kepada seorang di antara para anak buahnya untuk diperisteri. Anak buah ini tentu saja menerima dengan kedua tangan terbuka karena ‘hadiah’ seorang gadis dari bengcu sudah dapat dipastikan amat cantik menarik! Gadis itu sendiri pun tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima. Dia sudah ternoda, kalau dicampakkan begitu saja oleh bengcu, mereka tentu akan terlantar dan mereka juga tidak berani pulang ke rumah orang tua karena malu. Tidak ada seorang pun di antara para pelayan ini yang diperkosa oleh Han Lojin. Semua dijatuhkan dengan bantuan siasat Ji Sun Bi! Dalam keadaan mabok atau lupa diri karena pengaruh ramuan obat, para gadis itu menyerahkan diri dengan suka rela kepada Bengcu dan mereka baru menyesal sesudah semuanya terlanjur sehingga hanya dapat menerima nasib! Ketika Han Lojin menerima Sim Ki Liong sebagai pembantu, dia telah berjanji bahwa bila pengaruhnya telah mulai berkembang, maka akan mudah saja mencari orang-orang yang menjadi musuh besar pemuda perkasa itu, yaitu Siangkoan Ci Kang. Dan dia memegang teguh janjinya. Sesudah banyak tokoh kang-ouw mulai mengakui kedudukannya sebagai bengcu di dunia kang-ouw, Han Lojin lalu menyebar penyelidik ke seluruh penjuru untuk mencari keterangan tentang Siangkoan Ci Kang. Demikianlah, secara perlahan-lahan Han Lojin mulai memperkuat kedudukannya sebagai ketua Ho-han-pang, juga sebagai bengcu baru di dunia kang-ouw. "Dua orang gadis Tibet katamu?" Han Lojin minta penjelasan pada waktu dia mendengar laporan anak buahnya, si kumis tipis bersama empat orang temannya. "Benar sekali, Pangcu (ketua)," kata si kumis tipis. Sebagai ketua perkumpulan itu, Han Lojin disebut Pangcu (ketua) oleh semua anak buah Ho-han-pang. Akan tetapi para pembantunya yang utama seperti Sim Ki Liong, Tang Cun Sek, Ji Sun Bi serta para tokoh kang-ouw yang mengakui kedudukan Han Lojin sebagai bengcu namun tidak menjadi anggota Ho-han-pang, menyebutnya Bengcu (pemimpin). "Dua orang gadis peranakan Tibet yang cantik jelita bukan kepalang. Belum pernah kami bertemu dengan dua orang gadis secantik itu!” "Benar, Pangcu. Terutama yang lebih tua, yang bernama Ma Hwa.” “Yang lebih muda juga cantik jelita, Pangcu, namanya Ma Yang.” Lima orang anggota Ho-han-pang ini termasuk anggota lama, bahkan telah menjadi anak buah sejak Han Lojin masih menjadi perwira Tang Bun An. Tentu saja mereka termasuk orang-orang kepercayaan sehingga mereka pun sudah tahu bahwa ketua mereka adalah seorang laki-laki yang suka mengumpulkan gadis cantik. Akan tetapi Han Lojin bukanlah seorang laki-laki yang mudah tertarik wanita cantik kalau dia tidak melihat sendiri. "Kau bilang tadi bahwa mereka datang ke kota raja untuk mencari perwira Tang?” "Benar, Pangcu. Akan tetapi yang mereka cari adalah seorang perwira Tang yang masih muda. Mungkin yang mereka maksudkan adalah perwira Tang Gun yang dahulu dihukum buang itu," kata si kumis tipis yang juga tahu akan peristiwa penangkapan Tang Gun yang kemudian dihukum buang dan sampai kini tidak ada lagi kabar ceritanya. Han Lojin mengerutkan alisnya, lantas menyuruh mereka mundur. Dia sendiri termenung. Kalau ada orang mencari Tang Gun, seperti dia dahulu, tentu karena tertarik mendengar bahwa Tang Gun membual sebagai putera Ang-hong-cu! Dan ini hanya berarti bahwa dua orang gadis cantik itu tentu dua di antara para pendekar wanita yang mencarinya! Dia mengingat-ingat para pendekar wanita yang pernah ditemuinya ketika terjadi peristiwa pembasmian gerombolan pemberontak pimpinan Lam-hai Giam-lo. Di antara mereka itu, yang paling mengesankan hanya beberapa orang saja, yaitu Cia Kui Hong, Kok Hui Lian, Siangkoan Bi Lian, Pek Eng, dan Cia Ling. Dua yang terakhir itu, Pek Eng dan Cia Ling, tidak pernah dapat dia lupakan karena mereka menjadi korban perkosaannya. Apa bila yang muncul adalah dua orang di antara mereka, dia tidak merasa heran karena para wanita pendekar itu memang memusuhinya. Akan tetapi jelas Kui Hong tidak masuk hitungan. Cia Kui Hong yang telah menjadi ketua Cin-ling-pai itu telah berjanji kepadanya dan dia merasa yakin bahwa gadis perkasa itu tidak akan melanggar janjinya sendiri. Akan tetapi dua gadis yang kini mencari perwira Tang Gun itu agaknya juga bukan gadis-gadis pendekar lainnya itu. Menurut anak buahnya, dua orang gadis itu bernama Ma Hwa dan Ma Yang, dan mereka adalah dua orang gadis peranakan Tibet. Karena merasa tidak enak dan penasaran, Han Lojin kemudian memanggil Sim Ki Liong, pembantu utamanya karena pemuda ini rnerupakan seorang yang berilmu tinggi. Bahkan dalam hal ilmu silat, dia sendiri tidak akan mudah dapat mengalahkan Sim Ki Liong yang telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dari Pulau Teratai Merah itu. Ki Liong sudah menjadi seorang pemuda lain sejak menjadi pembantu Han Lojin. Berkat ilmu penyamaran yang hebat dari Han Lojin, pemuda itu mengenakan kedok tipis, setipis kulit mukanya sehingga wajahnya telah berubah sama sekali. Kini dia tidak khawatir akan dikenal oleh para pendekar. Tang Cun Sek juga mengenakan kedok tipis yang merubah bentuk mukanya, seperti juga Ji Sun Bi. Han Lojin tak ingin para pembantunya itu dikenal orang. Dia mengatakan bahwa samaran itu hanya untuk sementara saja. Kalau kedudukan Ho-han-pang sudah kuat benar, maka kelak tak ada halangannya bagi tiga orang pembantunya itu untuk memperlihatkan wajah mereka yang sebenarnya. "Kau selidiki dua orang gadis itu," kata Han Lojin setelah menceritakan kepada Ki Liong tentang laporan lima anak buah Ho-han-pang tadi. "Selidiki yang jelas siapa mereka, dan mengapa pula mereka mencari perwira Tang. Kalau mereka itu mencurigakan dan dapat merugikan kita, jangan kau ragu. Tangkap atau bunuh saja mereka, akan tetapi lakukan dengan hati-hati agar jangan sampai menimbulkan kekacauan di kota raja. Mengertikah engkau?" Ki Liong mengangguk dan tersenyum. "Itu urusan kecil saja, Bengcu. Apa sih artinya dua orang gadis Tibet? Malam ini juga pasti aku sudah mendapat keterangan lengkap tentang mereka, dan kalau perlu malam ini juga kutangkap mereka kemudian kuhadapkan kepada Bengcu." "Bagus! Aku percaya akan kesanggupanmu, Ki Liong. Dan kau tahu, kalau bukan urusan penting, aku tak akan mengutusmu, cukup anak buah saja. Jadi, urusan ini penting sekali karena hatiku merasa tidak enak." Sim Ki Liong lalu meninggalkan puncak bukit yang kini menjadi perkampungan besar dan pusat perkumpulan Ho-han-pang itu, lantas dia pun memasuki kota raja dan mulai dengan penyelidikannya. Karena Han Lojin memang sudah menugaskan banyak sekali penyelidik dan anak buahnya di kota raja, maka bukan pekerjaan sukar bagi Ki Liong untuk mencari tahu di mana adanya dua orang gadis Tibet itu. Menurut para penyelidik, yaitu anak buah Ho-han-pang yang bertugas di kota raja, di sana tidak ada dua orang gadis Tibet, tetapi yang ada hanya seorang gadis Tibet saja bersama seorang pemuda yang mengaku sebagai kakaknya. Mereka menyewa dua buah kamar di rumah penginapan Hok Likoan. Tentu saja Ki Liong merasa heran bukan main. Menurut keterangan Bengcu, lima orang anak buah Ho-han-pang itu melaporkan bahwa yang perlu diselidikinya adalah dua orang gadis Tibet yang cantik-cantik dan mereka bernama Ma Hwa dan Ma Yang. Bagaimana sekarang yang ada hanya seorang saja gadis Tibet bersama kakak laki-lakinya? Dan menurut para penyelidik, gadis Tibet yang berada di rumah penginapan Hok Likoan itu serupa benar dengan seorang di antara dua orang gadis Tibet, yaitu yang muda. Ciri-cirinya yang menonjol adalah bertubuh tinggi ramping dengan kulit yang putih kemerahan, pinggulnya besar dan bulat, rambutnya panjang dikepang dua, wajahnya manis, matanya agak sipit, hidungnya mancung besar dan mulutnya kecil. Akan tetapi dara Tibet pertama, yang kabarnya lebih cantik jelita dibandingkan adiknya, tidak terlihat dan sebagai gantinya adalah seorang pemuda kakak gadis Tibet itu yang tampan. Karena penasaran, maka malam hari itu juga Ki Liong mendatangi rumah penginapan itu. Kebetulan sekali ketika itu dua orang kakak beradik yang hendak diselidikinya itu sedang makan malam di rumah makan sebelah rumah penginapan itu. Begitu dia melihat pemuda yang mengaku kakak dari gadis Tibet, hampir saja Sim Ki Liong terpelanting jatuh saking kagetnya sesudah dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Hay Hay atau Tang Hay, pemuda yang amat ditakutinya karena dia tahu betapa saktinya pemuda itu. Dia tahu bahwa Hay Hay bukan saja amat tinggi ilmu silatnya, akan tetapi juga memiliki ilmu sihir yang amat kuat. Kini mengertilah dia mengapa lima orang anggota Ho-han-pang itu melihat dua orang gadis Tibet. Tentu Hay Hay sudah menggunakan sihirnya sehingga lima orang itu melihat dia sebagai seornag gadis. Sesudah dia merasa yakin bahwa pemuda itu benar Tang Hay, cepat Sim Ki Liong pergi meninggalkan tempat itu dengan jantung berdebar tegang. Bahkan tadi napasnya terasa sesak ketika dia bertemu pandang dengan Hay Hay, sungguh pun dia tahu bahwa tak ada seorang pun yang akan dapat mengenal wajahnya yang sudah berubah sama sekali oleh penyamaran yang dilakukan Han Lojin. Dan memang Hay Hay sama sekali tidak mengenal Sim Ki Liong dengan wajah barunya itu. Kalau tadi dia sejenak memandang tajam adalah karena dia melihat pemuda tampan itu mengerling ke arah Mayang dan dia. Dengan napas masih memburu, malam itu juga Ki Liong langsung menghadap Han Lojin. Tentu saja Han Lojin terkejut bukan main melihat pembantu utamanya itu kelihatan gugup dan seperti orang yang ketakutan! Juga sudah berani minta menghadap pada malam itu juga, tanda bahwa dia datang membawa berita yang teramat penting. "Hayaaa…! Celaka, Bengcu..." Han Lojin mengerutkan alisnya sambil memandang marah. "Ki Liong, mengapa engkau? Sungguh tak kusangka engkau dapat menjadi seorang penakut macam ini! Hayo katakan, mengapa engkau kelihatan begini ketakutan?" Wajah Ki Liong menjadi merah. Dia baru menyadari bahwa sikapnya tadi memang sangat memalukan sekali. "Maaf, Bengcu. Saya tidak takut, hanya….. ehh, terkejut sekali karena menemukan orang yang sama sekali tidak disangka-sangka. Karena terkejut itulah maka saya menjadi gugup dan ingin cepat-cepat memberi laporan kepada Bengcu." Sekarang harga dirinya sudah kembali. Dia adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan murid dari Pendekar Sadis dan isterinya, majikan Pulau Teratai Merah yang amat terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Tidak sepatutnya dia memperlihatkan sikap ketakutan seperti tadi. "Katakanlah, Ki Liong, jangan seperti anak kecil. Siapa orang itu?" Kini ada perasaan was-was di hati Han Lojin karena dia cukup mengenal kegagahan dan kelihaian Ki Liong. Kalau sampai seorang yang memiliki kelihaian seperti Ki Liong sampai begitu ketakutan, maka tentu orang yang ditakutinya itu benar-benar orang luar biasa. "Dia adalah Hay Hay...” Sepasang mata Han Lojin terbelalak dan dia merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. "Dia...? Dia... yang datang...?" Sejenak kedua orang berdiam diri, tidak ada yang mengeluarkan suara karena keduanya melamun. Dan terbayanglah semua peristiwa yang pernah mereka alami, ketika Han Lojin bertanding melawan Hay Hay puteranya sendiri sampai dia terdesak hebat. Juga Ki Liong membayangkan ketika dia bertanding melawan Hay Hay sehingga hampir saja dia celaka, bahkan pedang pusaka yang dibawanya dari Pulau Teratai Merah, yaitu pedang pusaka Gin-hwa-kiam, akhir-akhir ini juga sudah dirampas oleh pemuda yang memiliki kesaktian hebat itu. Akan tetapi Han Lojin segera dapat menguasai hatinya yang agak terguncang mendengar bahwa musuhnya nomor satu yang ditakutinya, juga merupakan putera kandungnya, kini telah datang ke kota raja dan sudah jelas niatnya. Tentu untuk mencari dia! Dia langsung teringat akan kedudukannya. Kalau tadinya dia merasa gentar, kini dia dapat menguasai hatinya, bahkan otaknya yang cerdik segera mengatur siasat untuk dapat menundukkan Tang Hay. Kalau saja pemuda yang lihai itu, juga putera kandungnya sendiri itu, dapat membantu dia seperti halnya Tang Cun Sek, tentu kedudukannya akan menjadi bertambah kuat! Benar! Dia harus bisa membujuk atau bila perlu memaksa Tang Hay untuk membantu usahanya menjadi bengcu di seluruh dunia kang-ouw! "Ki Liong, cepat kau pergi panggil Sun Bi dan Cun Sek ke sini!" Ki Liong memandang Han Lojin. "Sekarang?" "Ya, sekarang juga. Cepat, kutunggu di sini!" Ki Liong segera pergi ke kamar kedua orang itu dan tidak lama kemudian dia bersama Ji Sun Bi dan Tang Cun Sek sudah berada di dalam ruangan duduk tadi di mana Han Lojin masih menanti dengan alis berkerut. Dua orang itu pun terkejut setengah mati mendengar dari Ki Liong bahwa Hay Hay sudah tiba di kota raja. Karena itu mereka bergegas datang sesudah mendengar bahwa Bengcu memanggil, dan kini keempat orang itu sudah duduk mengelilingi meja dan bicara dengan wajah serius. Walau pun wajahnya membayangkan kecemasan, akan tetapi dengan suara tenang Han Lojin menggambarkan siasatnya untuk menghadapi Tang Hay atau Hay Hay. Sampai jauh malam baru mereka mengakhiri perundingan itu dan pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat karena besok mereka masing-masing memiliki tugas yang penting dan berat sebagai pelaksanaan siasat yang telah diatur oleh Han Lojin! *************** Pagi-pagi sekali Hay Hay sudah mandi, kemudian keluar dari dalam kamarnya di rumah penginapan Hok Likoan. Ia melihat pintu kamar Mayang masih tertutup, maka dia pun tak mau mengganggu adiknya yang tentu lelah sesudah pada hari-hari yang lalu melakukan perjalanan jauh itu. Biarlah adiknya melepas lelah dan beristirahat. Dia pagi-pagi bangun untuk mulai dengan penyelidikannya tentang perwira Tang, dan dia tidak akan menyelidik jauh-jauh. Pagi hari itu tentu dia akan dapat minta keterangan dari karyawan rumah penginapan itu secara santai, karena hari masih pagi dan sepi. Dia melihat kesempatan yang baik sekali ketika melihat tukang kebun rumah penginapan itu menyapu pekarangan di luar bangunan. Tukang kebun itu sudah setengah tua, tentu sudah lama berada di kota raja. Maka dihampirinya tukang kebun yang sedang menyapu pekarangan itu. "Selamat pagi, Paman," tegurnya. Tukang kebun itu mengangkat mukanya dan memandang heran. Selama bertahun-tahun menjadi pegawai kasar dan yang dianggap rendah, yaitu menjadi tukang kebun, baru kali ini dia mendapat salam demikian akrabnya dari seorang tamu hotel! "Selamat pagi, Kongcu!" jawabnya gembira. “Sepagi ini sudah bekerja, Paman? Rajin amat?” cerita silat online karya kho ping hoo Tukang kebun itu menghentikan gerakan sapunya, lantas memandang sambil tersenyum. Seorang tuan muda yang amat ramah, pikirnya. "Kalau kesiangan sedikit, para tamu akan berlalu lintas di sini dan selain sukar, juga akan mengganggu tamu." Hay Hay melihat ada sebatang sapu bersandar di dinding luar. Diambilnya sapu itu dan dia pun mulai menyapu, membantu pekerjaan si tukang kebun. "Ehh, jangan, Kongcu. Pakaianmu nanti kotor...!" kata si tukang kebun dengan heran. "Aih, tidak mengapa, Paman. Aku ingin membantumu menyapu. Aku ingin engkau segera menyelesaikan pekerjaanmu ini sebab aku ingin mengajakmu bercakap-cakap sebentar." Biar pun dia bukan tukang sapu dan tidak biasa menyapu pekarangan, akan tetapi berkat tenaganya yang besar serta kecekatan gerakannya, maka sebentar saja Hay Hay berhasil menyelesaikan pekerjaan itu. Si tukang kebun amat terheran-heran melihat seorang tamu, seorang tuan muda, dapat mengayun tangkai sapu demikian mahir dan cepatnya. Dengan hati girang dia pun melayani Hay Hay dan mengajaknya bercakap-cakap. "Paman, aku hendak bertanya sedikit, aku harap Paman suka membantuku dan memberi keterangan sejujurnya." "Pertanyaan apakah, Kongcu? Tentu saya akan menjawab sejujurnya." "Begini, Paman. Aku ingin mencari keterangan mengenai seorang perwira di kota raja ini, seorang perwira she Tang yang mengaku sebagai putera Ang-hong-cu. Apakah engkau pernah engkau mendengar tentang Tang-ciangkun itu?” Tukang kebun itu memandang kepada Hay Hay dengan wajah berkerut. Nama Ang-hong-cu merupakan nama yang asing baginya. “Saya pernah mendengar tentang seorang perwira she Tang, namun entah dia itu putera siapa...” "Tidak apa, Paman. Perwira she Tang yang Paman ketahui itu, di mana dia tinggal?" Tukang kebun itu menggelengkan kepala. “Sekarang dia sudah mengundurkan diri, tidak menjadi perwira istana lagi. Entah ke mana perginya. Dia pernah berjasa besar terhadap Sribaginda Kaisar, demikian beritanya, lalu dia diangkat sebagai perwira pengawal. Akan tetapi sudah berbulan-bulan ini, mungkin sudah ada setahun, dia mengundurkan diri dan pergi entah ke mana. Begitulah yang saya dengar, Kongcu. Saya kurang memperhatikan urusan seperti itu, dan maaf kalau saya tidak dapat memberi keterangan secukupnya." "Keteranganmu sudah cukup berharga, Paman," kata Hay Hay berbohong. Sebenarnya dia merasa kecewa sekali mendengar keterangan yang tidak lengkap itu. "Tetapi tahukah Paman siapa nama perwira itu dan berapa kira-kira usianya?" "Saya sendiri tidak pernah melihatnya, hanya mendengar kabar saja bahwa dia setengah tua, lima puluh tahun lebih, dan namanya… namanya Tang... Bo An atau semacam itu." Hay Hay merasa semakin kecewa. Kalau perwira itu benar-benar puteranya Ang-hong-cu, tentu usianya tidak lima puluh tahun lebih! Dan mana ada orang bernama Bo An (Tidak Selamat)? Mungkin Bu An atau Bun An. Walau pun dia menduga bahwa tentu bukan perwira setengah tua itu yang dimaksudkan sebagai putera Ang-hong-cu, yang mengaku demikian dan merupakan satu-satunya jejak baginya untuk menyelidiki Ang-hong-cu, akan tetapi tak ada cara lain lagi baginya kecuali menyelidiki orang itu. Memang perwira setengah tua itu telah mengundurkan diri! Akan tetapi siapa tahu masih ada orang di bekas tempat tinggalnya yang dapat bercerita lebih banyak, terutama sekali memberi tahu kepadanya di mana sekarang perwira itu tinggal. Bagaimana pun juga, she perwira setengah tua itu juga Tang, dan hal ini saja sudah menarik perhatiannya. "Terima kasih sekali untuk semua keterangan tadi, Paman. Ada satu hal lagi, di manakah rumah perwira Tang itu?" Tukang kebun itu memandang heran. "Tadi sudah saya katakan bahwa saya tidak tahu ke mana dia pergi dan tidak tahu di mana rumahnya sekarang, Kongcu." "Maksudku bukan rumahnya yang sekarang, melainkan rumahnya dulu ketika dia masih menjadi perwira di kota raja ini." "Ahh, kalau itu saya tahu. Siapa yang tidak tahu gedung perwira Tang yang amat terkenal itu?" Lalu dia memberi petunjuk di mana adanya bekas rumah perwira Tang. Hay Hay mengucapkan terima kasih, lantas meninggalkan tukang kebun itu yang segera melanjutkan pekerjaannya. Dia tidak tahu betapa sesudah dia pergi, wajah ketololan dari tukang kebun itu langsung berubah. Matanya berkilat dan mulutnya terhias senyum, tanda seseorang yang merasa puas akan pelaksanaan tugasnya. Melihat betapa daun pintu kamar Mayang masih tertutup, Hay Hay tak mau mengganggu adiknya. Biarlah Mayang tidur sampai sepuasnya. Pula, yang akan diselidikinya hanyalah bekas tempat tinggal seorang perwira Tang yang agaknya lain dari pada yang mengaku sebagai putera Ang-hong-cu. Dia hendak melakukah penyelidikan ini sebagai iseng-iseng saja, sebagai jalan-jalan pagi selagi hawa udara masih sejuk dan bersih. Karena itu dia pun segera menggapai seorang pelayan rumah penginapan yang sedang mengepel lantai dengan kain basah, pekerjaan yang dilakukan setiap pagi sebelum para tamu bangun. "Toako," kata Hay Hay kepada pelayan yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu, "maukah engkau menyampaikan pesan untuk adikku perempuan di kamar itu kalau dia terbangun nanti dan mencari aku?" Pelayan itu mengangguk-angguk. "Tentu saja, Kongcu. Sudah menjadi tugas kami untuk melayani setiap orang tamu.” "Nah, kalau dia terbangun nanti, tolong katakan bahwa aku pergi berjalan-jalan mencari hawa pagi yang segar, dan agar dia menanti kembaliku untuk makan pagi bersama." Pelayan itu mengangguk. "Baik, Kongcu. Akan saya sampaikan pesan Kongcu ini kepada Siocia." Hay Hay mengeluarkan dua keping uang tembaga dan memberikannya kepada si pelayan yang menerimanya dengan ucapan terima kasih. Hay Hay lalu pergi meninggalkan rumah penginapan itu dan mengambil jalan ke arah bekas tempat tinggal Tang ciangkun melalui jalan raya yang masih sepi. Dia pun tidak tahu betapa pelayan yang tadi mencuci lantai itu berubah sikapnya, bahkan kemudian menyelinap masuk dan berbisik-bisik dengan tukang kebun tadi bersama beberapa orang pelayan lain. Tidak sukar bagi Hay Hay untuk menemukan gedung yang megah itu karena dia sudah mendapat gambaran dari tukang kebun di rumah penginapan. Seperti juga rumah-rumah lain, pada pagi hari itu gedung ini masih terlihat sunyi. Di waktu sepagi itu hanya burung-burung dan orang-orang miskin saja yang sudah keluar dari sarang atau rumah mereka untuk mencari nafkah hidup sehari-hari. Orang-orang kaya, bangsawan, dan mereka yang malas baru akan bangun setelah matahari naik tinggi. Orang-orang seperti ini tidak pernah dapat rnenikmati indahnya pagi hari, sejuknya hawa pagi, segarnya mandi pagi yang kemudian akan menyegarkan pula badan sepanjang hari. Orang yang terbiasa bangun pagi-pagi sekali, mandi air dingin, memulai kehidupan di hari itu dengan kegembiraan dan semangat yang timbul karena guyuran air dingin di pagi hari, badan dan batinnya akan selalu terasa segar selama sehari itu. Sebaliknya, orang yang terlalu banyak tidur, yang bangun terlampau siang, tidak akan kebagian suasana gembira dan penuh semangat di pagi hari itu, karena begitu bangun langsung diserang panasnya sinar matahari yang sudah naik tinggi sehingga menimbulkan kelesuan dan kemalasan di sepanjang hari itu. Karena itu bukan hanya omong kosong jika para budiman jaman dulu mengatakan bahwa siapa tidur tidak terlalu malam dan bangun pagi-pagi, akan banyak rejeki dan tubuh sehat hati bahagia! Setidaknya, yang jelas badan akan menjadi segar dan sehat! Gedung bekas tempat tinggal perwira Tang masih kelihatan sepi, bahkan lampu gantung yang dipasang di luar rumah masih belum dipadamkan. Namun sepagi itu sudah nampak seorang berpakaian pelayan atau tukang kebun menyirami bunga-bunga di pekarangan depan, taman bunga yang terawat rapi. Ketika tukang kebun itu melihat seorang pemuda berdiri di pintu pagar dan memandang-mandang ke dalam, dia segera menghampiri dan menegur. "Sahabat, siapakah engkau dan ada keperluan apa maka berdiri di sini mengamati rumah ini?" Sikapnya tidak bermusuhan, akan tetapi mengandung kecurigaan. Kebetulan sekali, pikir Hay Hay. Kesempatan baik baginya untuk mencari keterangan. "Maaf, lopek," katanya sambil memandang kakek yang usianya tentu lebih dari lima puluh tahun tapi tubuhnya masih kokoh kuat, agaknya berkat terbiasa kerja keras. "Aku hanya mengagumi gedung yang megah ini. Bukankah ini rumah Tang-ciangkun?" "Orang muda, jangan ngawur! Ini adalah rumah perwira Su, bukan perwira Tang!" "Akan tetapi bukankah dahulu perwira Tang tinggal di rumah ini?" bantah Hay Hay dengan sikap seolah dia sudah mengenal benar perwira Tang. "Semua orang juga sudah tahu, akan tetapi sudah setahun lebih rumah ini menjadi tempat tinggal Su-ciangkun." "Dan ke manakah pindahnya Tang-ciangkun?" "Mana aku tahu? Kabarnya dia mempunyai rumah peristirahatan di luar kota. Di luar kota raja sebelah utara ada bukit dan kabarnya di sanalah tempat tinggal barunya. Akan tetapi baru saja Tang-ciangkun lewat di jalan ini. Dia menunggang kuda di pagi hari, mungkin dia hendak pulang ke rumah peristirahatannya.” "Ahh, benarkah?" Hay Hay bertanya penuh semangat. "Baru saja dia lewat, kalau engkau cepat-cepat melakukan pengejaran, mungkin masih dapat melihatnya.” "Terima kasih, lopek!" kata Hay Hay dan begitu dia berkelebat, dia pun lenyap dari depan kakek itu. Tukang kebun itu tertegun, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Lalu dia menarik napas panjang. "Aihhh…., pantas saja Bengcu berpesan agar aku berhati-hati kalau bertemu pemuda itu. Kiranya dia memiliki kesaktian seperti setan, dapat menghilang!" Dan dia pun bergidik. Hay Hay memang mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk melakukan pengejaran. Apa bila dia dapat bertemu muka dengan perwira Tang ini, mungkin saja dia akan dapat mendengar tentang perwira Tang yang lain, yang kabarnya membual sebagai putera Ang-hong-cu itu. Karena hari masih pagi dan sepi, maka dia dapat dengan leluasa berlari cepat menuju ke pintu gerbang utara, tidak peduli akan keheranan tukang kebun yang melihat dia seperti menghilang. Untung bahwa sejak pagi pintu gerbang utara sudah dibuka karena ada saja orang-orang yang keluar dari pintu gerbang, yaitu orang-orang yang mempunyai keperluan keluar kota untuk berdagang atau untuk urusan lain. Ketika dia keluar dari pintu gerbang, dia melihat debu mengepul di depan, dan tahulah dia bahwa di depan sana ada orang menunggang kuda yang dibalapkan. Melihat ada dua orang petani memanggul cangkul sedang berjalan melenggang seenaknya dari depan, dia pun cepat bertanya kepada mereka. "Sobat, tahukah kalian siapa penunggang kuda itu tadi?" tanya Hay Hay sambil menuding ke arah penunggang kuda yang tentu telah lebih dahulu berpapasan dengan mereka. "Ahh, dia? Dia adalah Tang-ciangkun...," kata seorang di antara mereka. Mendengar ini, dengan girang Hay Hay melompat kemudian berlari cepat seperti terbang meninggalkan dua orang petani itu sesudah mengucapkan terima kasih. Dua orang petani itu berdiri bengong memandang sebab selama hidup mereka belum pernah melihat orang berlari secepat itu. Hay Hay tidak tahu bahwa dua orang petani itu saling pandang sambil tersenyum, dan seorang di antara mereka menjulurkan lidah. “Wuiii... lihai dan berbahaya sekali orang itu!" Hay Hay mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar penunggang kuda di depan. Karena debu mengepul tebal dia tidak dapat melihat kuda berikut penunggangnya, akan tetapi debu itu yang menunjukkan ke mana penungang kuda itu pergi. Ketika penunggang kuda itu mendaki bukit dan sampai di lereng yang berhutan, debu pun menghilang karena jalan yang dilalui kini berumput. Hay Hay terpaksa menghentikan larinya ketika dia tiba di luar hutan. Dia kehilangan jejak. Memang dapat saja dia melacak jejak kaki, akan tetapi hal itu akan memakan waktu lama dan tentu orang yang dikejarnya itu sudah pergi jauh. Dia tidak dapat terlalu lama pergi, karena Mayang akan menanti dan akan merasa khawatir. Bagaimana pun juga dia sudah tahu ke arah mana Tang-ciangkun itu pergi. Kini dia akan kembali ke rumah penginapan lebih dulu, lalu mengajak Mayang untuk kembali ke tempat ini, mencari sampai berhasil menemukan bekas perwira Tang untuk menanyakan apakah bekas perwira itu mengenal Perwira Tang muda yang mengaku putera Ang-hong-cu. Dia lalu menuruni lereng bukit itu dan kembali ke kota raja. Matahari sudah naik tinggi ketika Hay Hay tiba kembali di rumah penginapan Hok Likoan. Dia segera menghampiri kamar Mayang dan merasa heran ketika melihat pintu kamar itu masih tertutup. Begitu lelahkah adiknya itu sehingga sesiang itu belum juga bangun? Dia mengetuk daun pintu kamar itu sambil memanggil-manggil, akan tetapi tidak ada jawaban. Seorang pelayan losmen itu yang malam tadi menerima mereka, menghampirinya. "Percuma diketuk, Kongcu. Siocia tidak berada di dalam kamar." “Tidak berada di dalam kamarnya? Lalu ia ke mana?" tanya Hay Hay sambil memandang ke kanan kiri untuk melihat kalau-kalau adiknya berada di dekat situ. “Entah ke mana, Kongcu. Tadi ia duduk di depan kamar, lalu datang seorang tamu, bicara dengan siocia kemudian mereka pergi tergesa-gesa meninggalkan rumah penginapan.” “Apakah dia tidak meninggalkan pesan?" “Siocia sendiri tidak meninggalkan pesan, akan tetapi baru saja sebelum Kongcu datang, tamu yang tadi mengajak siocia pergi, datang lagi dan menyerahkan sesampul surat agar saya berikan kepada Kongcu.” “Apa? Cepat serahkan suratnya itu kepadaku!” Hay Hay berseru dan hatinya mulai terasa tidak nyaman. Setelah pelayan itu menyerahkan sepucuk surat dalam sampul, Hay Hay cepat membuka sampulnya kemudian dibacanya kertas yang mengandung tulisan yang rapi dan indah itu. Singkat saja bunyinya, singkat namun membuat jantungnya berdebar penuh ketegangan. Tang Hay, Kalau ingin bicara tentang nona Mayang, silakan datang sendiri ke tempat kami. Ho-han Pangcu. Celaka, demikian teriak Hay Hay di dalam hatinya. Kini semuanya jelas baginya. Dia telah terjebak! Dia seperti seekor harimau yang dipancing keluar meninggalkan sarang. Orang sengaja memancingnya supaya menjauhi rumah penginapan itu dan sementara dia pergi jauh, Mayang juga keluar dan tentu sudah ditangkap. Betapa pun lihainya gadis itu, tentu dia dapat ditawan kalau dikeroyok, apa lagi kalau lawan-lawannya berkepandaian tinggi. Dia lalu membayangkan kembali apa yang telah dialaminya sejak pagi tadi. Tukang kebun rumah penginapan itu! Dia yang pertama melempar umpan untuk memancingnya, dengan mengatakan di mana rumah Tang-ciangkun. Kemudian pelayan di gedung tempat tinggal Tang-ciangkun dulu memancingnya dengan memberi tahukan bahwa Tang-ciangkun baru saja lewat berkuda. Dan dua orang petani yang ditanyainya mengenai penunggang kuda yang lewat. Mereka semua memancing sehingga dia semakin jauh meninggalkan rumah penginapan, meninggalkan Mayang seorang diri. Dia memandang keluar dan melihat seorang tukang kebun sedang mencabuti rumput di taman pekarangan. Orangnya masih muda, jelas bukan tukang yang dibantunya pagi tadi dan ditanyainya tentang perwira Tang. "Diakah tukang kebun di rumah penginapan ini?" dia bertanya kepada pelayan itu sambil menunjuk ke arah orang yang bekerja di pekarangan. Pelayan itu memandang keluar, lalu mengangguk. "Benar, Kongcu. Dia A Kiat tukang kebun kami." "Selain dia apakah ada tukang kebun lain? Yang lebih tua?" Pelayan itu menggelengkan kepalanya. "Tidak ada lagi, Kongcu." Hemm, jelas bahwa orang tua pagi tadi adalah tukang kebun palsu, atau diselundupkan dan menyamar sebagai tukang kebun. Tentu dia adalah anggota Ho-han-pang. "Sobat, tolong beritahukan, di mana adanya pusat perkumpulan Ho-han-pang?" Pelayan itu tidak nampak heran. Nama Ho-han-pang sudah terkenal sekali di seluruh kota raja dan banyak sudah tamu-tamu yang menanyakan tempat itu. Banyak tokoh kang-ouw berkunjung ke sana. “Kongcu keluar kota raja melalui pintu gerbang utara. Di luar kota terdapat sebuah bukit dan di sanalah pusat Ho-han-pang…” Belum habis dia bicara, Hay Hay sudah berkelebat lenyap dari situ. Hay Hay sudah tahu di mana dia harus mencari Mayang. Kiranya penunggang kuda tadi adalah orang Ho-han-pang pula, dan tentu di sana pula sarang perkumpulan Ho-han-pang itu. Akan tetapi dia masih menduga-duga dengan hati mengandung keheranan. Mengapa Ho-han-pang memusuhinya? Dan bagaimana pula mereka itu dapat mengenalnya, mengenal namanya? *************** Apa yang sudah terjadi dengan Mayang? Pagi hari itu dia terbangun dan melihat betapa sudah ada sinar matahari pagi membayang pada tirai dan kaca jendela, dia lalu pergi ke kamar sebelah, kamar Hay Hay. Akan tetapi ternyata kakaknya tidak berada di kamarnya. Selagi dia termangu dan menduga-duga ke mana kakaknya pergi, tiba-tiba pelayan rumah penginapan datang menghampiri. "Selamat pagi, Nona." "Selamat pagi. Ehh, Paman, di mana kakakku?" "Pagi-pagi sekali dia telah pergi, Nona. Dan ada seorang tamu yang sejak tadi menunggu Nona keluar dari kamar. Dia bilang ada urusan penting sekali." "Tamu? Aku tidak mempunyai kenalan di sini...” Mayang berkata ragu. "Entahlah, Nona. Tetapi dia bilang ada urusan yang penting sekali dan ada hubungannya dengan kakakmu..." "Ahhh... ! Suruh dia masuk!" kata Mayang begitu mendengar bahwa tamu itu datang untuk bicara tentang Hay Hay. Tamu itu seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahunan dan sikapnya lembut, wajahnya pun bukan wajah orang jahat dan agaknya boleh dipercaya. Begitu bertemu dia langsung mengangkat kedua tangannya dan berkata, "Nona, saya datang membawa pesan dari kakakmu, akantetapi dia hanya menyuruh saya datang menemui Nona di sini dan mengatakan bahwa kakakmu sudah dapat menemukan jejak dan Nona diminta menyusulnya ke sana sekarang juga." Mayang mengerutkan alisnya. "Hemm, bagaimana aku dapat percaya tentang kebenaran omonganmu? Kita tidak saling mengenal dan...” "Nona, hal itu sudah saya katakan kepada Tang-taihiap kakakmu, akan tetapi dia hanya mengatakan bahwa dia bersama Nona sedang melakukan penyelidikan tentang seorang perwira she Tang di kota raja dan bahwa kini dia sudah mendapatkan jejaknya maka dia minta agar Nona secepatnya menyusul ke sana." "Di mana dia?” "Saya akan menjadi penunjuk jalan, nona. Di sebelah timur kota raja dan..." "Baiklah, mari kita pergi! Paman pelayan, harap keluarkan dua ekor kuda kami. Lebih baik kita menunggang kuda agar lebih cepat," tambahnya kepada laki-laki setengah tua itu. "Sebaiknya begitu, Nona. Kedua kakiku sudah lelah sekali setelah melakukan perjalanan cepat ke sini tadi." Mereka lalu menunggang dua ekor kuda itu dan melarikan kuda ke luar kota raja melalui pintu gerbang sebelah timur. Begitu ke luar dari pintu gerbang, laki-laki itu mempercepat larinya kuda. Mayang mengikuti dari belakang dan ketika mereka tiba di kaki bukit yang sunyi, tiba-tiba pria itu menghentikan kudanya. Mayang hendak bertanya, namun dari balik pohon-pohon dan semak-semak bermunculan belasan orang yang dipimpin oleh dua orang pemuda yang tampan dan gagah. “Hemm, apa artinya ini?" Mayang bertanya dengan alis berkerut. "Turunlah, Nona. Kita telah sampai dan Nona akan dapat bertemu dengan Tang Taihiap." kata pembawa berita itu. Dia sudah meloncat turun, bahkan membantu Mayang memegangi kendali kuda. Gadis itu pun melompat turun dan dengan waspada pandangan matanya menyapu belasan orang yang nampaknya bersikap gagah, bukan seperti gerombolan penjahat itu. Pembawa berita itu menuntun dua ekor kuda ke bawah sebatang pohon, ada pun belasan orang itu kini mengepung Mayang. Barulah Mayang merasa curiga. Melihat betapa kedua orang pemuda gagah itu berdiri di depan dan bersikap sebagai pimpinan, Mayang lantas menghadapi mereka dan mengamati dengan sinar mata tajam penuh selidik. Mereka berdua lebih pantas menjadi pendekar dari pada penjahat. Yang seorang masih muda, paling banyak baru berusia dua puluh tiga tahun. Wajahnya tampan dengan tubuh sedang yang kokoh, sikapnya halus dan senyumnya sopan. Akan tetapi dalam pandang matanya terdapat sesuatu yang membuat Mayang merasa marah dan bulu tengkuknya meremang. Pandang mata pemuda tampan itu seakan-akan menggerayangi dan meraba-raba seluruh bagian tubuhnya. Lelaki yang ke dua lebih tua, usianya tiga puluh tahunan, tubuhnya tinggi besar dan gagah perkasa, kulit mukanya putih dan matanya mencorong, wajahnya juga tampan. Yang membuat Mayang merasa semakin tidak enak adalah ketika dia melihat pembawa berita tadi, sesudah menambatkan dua ekor kuda di batang pohon, kini berdiri di belakang dua orang pemuda itu dan jelaslah bahwa pembawa berita itu ternyata merupakan anak buah mereka pula. Dia mulai merasa terjebak, seperti seekor kelinci yang dikepung oleh segerombolan serigala berkedok domba. "Siapakah kalian? Mengapa mengepungku? Di mana adanya kakakku?” tanyanya dengan sikap siap siaga. Ketika berangkat tadi dia telah membawa buntalan pakaiannya dan juga senjatanya yang sangat dia andalkan, yaitu sebatang cambuk penggembala. Sedikit pun dia tidak merasa takut dikepung belasan orang lelaki itu, akan tetapi dia khawatir bukan main memikirkan Hay Hay. Dua orang pemuda yang memimpin serombongan orang itu bukan lain adalah Cun Sek dan Ki Liong. Inilah hasil siasat yang dilakukan Han Lojin, yang tadi malam dirundingkan dengan para pembantu utamanya itu. Han Lojin menyebar anak buahnya menyusup ke rumah penginapan, menyamar sebagai tukang kebun. Tentu hal ini mudah saja dilakukan sebab boleh dikata semua perusahaan di kota raja pasti akan memenuhi permintaan Ho-han-pang yang sudah membuat nama baik dengan menciptakan suasana tenang dan tenteram di kota raja. Tepat seperti yang diduga Hay Hay, setelah dia kehilangan adiknya dan menyadari bahwa si tukang kebun di rumah penginapan, pelayan di bekas rumah Tang Ciangkun, juga dua orang petani itu adalah orang-orang dari Ho-han-pang yang menyamar dan yang bertugas untuk melempar umpan memancing Hay Hay keluar dari kota raja agar menjauhi Mayang, Han Lojin sendiri lantas menunggang kuda dan membiarkan dirinya dikejar oleh Hay Hay. Maksudnya tentu saja hanya untuk memancing Hay Hay agar jauh meninggalkan Mayang seorang diri. Setelah sampai di bukit di mana dia memimpin Ho-han-pang, sebuah bukit yang kini telah dilengkapi dengan berbagai jebakan dan perangkap berbahaya, dia menghilang ke dalam hutan. Menurut rencananya, kalau Hay Hay mengejar terus, pemuda itu akan menghadapi banyak jebakan berbahaya. Andai kata pemuda lihai itu sanggup melewati semua jebakan dengan selamat, maka dia akan berhadapan dengan Han Lojin, Ji Sun Bi beserta puluhan orang pembantunya dan akan dikeroyok! Sementara itu Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek bertugas untuk pergi menangkap Mayang! Untuk ini Sim Ki Liong menyuruh seorang anak buah untuk mengundang Mayang keluar kota raja dengan alasan dipanggil Tang Hay. Dan gadis yang masih kurang pengalaman itu masuk perangkap dengan amat mudahnya. Kini Mayang sudah berhadapan dengan Ki Liong dan Cun Sek, dalam keadaan terkepung. Untuk beberapa lamanya pertanyaan Mayang itu tidak ada yang menjawab. Sim Ki Liong seperti terpesona, dan Cun Sek juga kagum. Ki Liong seketika jatuh cinta kepada gadis peranakan Tibet yang memiliki kecantikan yang khas itu. Akan tetapi tentu saja Ki Liong tidak berani menyimpang dari pada perintah yang sudah digariskan oleh Bengcu. Dia dan kawan-kawannya hanya mendapat tugas menangkap gadis peranakan Tibet itu, tapi tidak boleh mengganggunya sama sekali. Menangkap dara peranakan Tibet itu hanya merupakan siasat Han Lojin untuk menundukkan Tang Hay dan memaksa puteranya agar menakluk dan membantunya! Maka gangguan terhadap Mayang tentu saja bisa merusak siasat yang sudah diatur sebaiknya demi keuntungan dirinya. "Haiiii! Apakah kalian ini tuli atau gagu semuanya? Engkau yang datang membawa berita tentang kakakku. Di mana sekarang kakakku berada?" Mayang membentak dengan suara mengandung kemarahan dan sekarang dia sudah mengeluarkan sebatang pecut panjang, seperti yang biasa dipergunakan oleh para penggembala ternak. Ki Liong saling pandang dengan Cun Sek kemudian keduanya tersenyum, merasa makin kagum karena sebagai orang-orang gagah, tentu saja mereka suka sekali melihat sikap gadis cantik yang demikian pemberani dan tabah. Sim Ki Liong yang memimpin pasukan kecil yang ditugaskan rnenangkap Mayang, cepat melangkah maju dan sambil tersenyum dia berkata, "Nona manis, harap jangan marah dulu. Sepanjang yang kuketahui, yang namanya Tang Hay itu tidak mempunyai seorang adik perempuan. Bagaimana engkau tiba-tiba mengaku dia sebagai kakakmu? Sebenarnya kakak ataukah pacar?" Sepasang mata yang agak sipit jeli itu sekarang mencorong karena hati Mayang menjadi panas akibat marah. "Apakah dia itu kakakku, pacarku atau apaku pun, apa hubungannya dengan kamu orang bermulut lancang? Hayo lekas katakan di mana dia atau aku akan menghajar orang yang datang membawa berita palsu!" Karena semua orang itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat dan tidak ada seorang pun dari mereka yang pernah mengenal Mayang, juga tidak pernah melihat gadis ini mengeluarkan kepandaian, maka mereka merasa kagum akan tetapi juga geli melihat seorang gadis yang baru berusia delapan belas tahun mengeluarkan ancaman seperti itu dan agaknya sama sekali tidak merasa gentar menghadapi pengepungan belasan orang gagah. Mereka merasa seperti melihat seorang anak kecil yang manja. Memang Sim Ki Liong pernah melihat beberapa orang dara pendekar seperti Siangkoan Bi Lian, Cia Kui Hong, Pek Eng, Cia Ling, Kok Hui Lian dan beberapa orang lagi. Namun gadis-gadis seperti mereka itu tidak banyak yang memiliki ilmu yang amat tinggi. Apa lagi gadis di depannya ini seorang peranakan Tibet, dan bawaannya hanya sebatang cambuk penggembala! Maka dia pun tersenyum mengejek. "Nona, pembawa berita itu adalah seorang anak buah Ho-han-pang yang gagah perkasa. Jangan kau samakan seperti seekor kambing yang bisa kau hajar dengan cambukmu itu." Semua orang tertawa mendengar ini, juga lelaki setengah tua yang tadi membawa berita kini tersenyum mengejek. Dia pun tentu saja tidak takut kepada gadis Tibet itu, apa lagi di situ terdapat banyak temannya dan dua orang pimpinan Ho-han-pang yang amat lihai. “Nona kecil, kalau aku tidak mengatakan di mana adanya kakakmu, habis engkau dapat berbuat apa? Ingin aku melihat bagaimana engkau akan menghajarku dengan cambuk itu, ha-ha-ha…!" Dan semua orang pun tertawa geli. Sepasang mata Mayang bagaikan mengeluarkan kilat saking marahnya, namun sikapnya tetap tenang ketika dia melangkah maju. "Baik, kalian lihat bagaimana aku menghajarnya!" Baru saja ucapannya itu habis, segera nampak sinar berkelebat dibarengi suara ledakan tiga kali. "Tarr! Tarrr! Tarrrr!" Ada sinar rnenyambar-nyambar ke arah pembawa berita tadi yang menjadi terkejut dan mencoba untuk mengelak. Akan tetapi sia-sia saja. Sinar yang menyambar itu terlampau cepat baginya, dan setelah tiga kali mukanya kena tersambar, dia terhuyung ke belakang, lantas menutupi muka dengan kedua tangan dan merintih-rintih. Sementara itu Mayang sudah menarik kembali cambuknya dan kini berdiri sambil tersenyum mengejek, sikapnya tenang sekali. Sim Ki Liong melompat ke dekat pembawa berita yang menutupi mukanya dengan kedua tangan sambil mengaduh-aduh itu. Dia menangkap dan menarik dua tangan itu sehingga mukanya kini nampak dan semua orang mengeluarkan seruan tertahan. Ternyata tiga kali ledakan pecut itu telah mengakibatkan wajah itu menderita hebat sekali. Lecutan pertama menyayat kulit muka hingga membuat guratan melintang, lecutan ke dua membuat guratan membujur, dua guratan silang yang mengeluarkan darah, dan lecutan ke tiga membuat bukit hidung itu hancur sehingga rata dengan pipi! Kini berubahlah pandang mata semua orang terhadap gadis Tibet itu. Sim Ki Liong sendiri lalu melangkah maju menghadapi Mayang dan menatap wajah gadis yang sikapnya amat tenang itu dengan sinar mata kagum sekali, akan tetapi juga penasaran. “Hemm, kiranya engkau mempunyai sedikit ilmu memainkan cambuk, Nona..." "Tidak perlu banyak cakap lagi. Katakan di mana kakakku, jika tidak maka terpaksa aku akan menghajar kalian semua seperti sekumpulan kerbau tolol!" Mayang cepat memotong ucapan Sim Ki Liong. Merah kedua telinga pemuda ini karena dia dimaki di depan banyak anak buah Ho-han-pang! Kesenangannya terhadap wanita cantik tidaklah sebesar keangkuhan dirinya, maka makian seorang gadis secantik Mayang pun membuat perutnya terasa panas sekali. Akan tetapi dia masih merasa terlampau tinggi untuk turun tangan sendiri menangkap seorang gadis remaja. "Tangkap bocah ini akan tetapi jangan sampai melukainya. Kepung dan tangkap, lantas belenggu kaki tangannya!" bentak Sim Ki Liong memberi aba-aba. Belasan orang anak buah Ho-han-pang itu seperti mendapat perintah yang benar-benar menyenangkan. Mereka itu dengan gembira bergerak maju mengepung ketat dan hendak berlomba agar dapat lebih dulu meringkus tubuh gadis yang denok manis itu. Melihat betapa belasan orang yang mengepungnya itu sudah mulai bergerak dengan dua tangan dijulurkan hendak mencengkeram dan menangkapnya, dengan cepat Mayang lalu menggerakkan cambuknya. Ujung cambuk itu berputar-putar sehingga ujung itu bagaikan berubah menjadi belasan banyaknya, sambil terdengar suara meledak-ledak dan mencicit saking cepatnya cambuk itu bergerak. Ujung cambuk itu mematuk, menyengat, melecut dan para pengeroyok itu jatuh bangun, mengaduh-aduh karena lecutan cambuk itu sungguh sangat nyeri. Di bagian tubuh mana saja ujung cambuk mematuk, tentu kulit menjadi pecah berdarah hingga terasa panas dan perih. Karena mereka tidak dibenarkan menggunakan senjata, tidak boleh melukai, hanya maju dengan tangan kosong, maka kini mereka menjadi gentar dan mereka pun mundur menjauhkan diri dari jangkauan cambuk yang panjang. Marahlah Sim Ki Liong. Dia memberi tanda dengan mata kepada Cun Sek dan dua orang pemuda ini lalu meloncat ke depan dan menggerakkan tangan hendak menangkap lengan Mayang. “Wuuuttt…!" Mayang terkejut ketika merasa betapa ada angin pukulan yang sangat kuat, dan tangan pemuda tinggi besar itu dari samping menyambar ke arah pundaknya. Karena tangan itu mengandung tenaga yang sangat dahsyat, Mayang cepat menangkis dengan tangan kiri sambil menggerakkan cambuknya menghantam dari atas ke arah kepala lawan. "Dukkk…! Tarrr...!" Mayang mengeluarkan teriakan kecil ketika merasa tubuhnya tergetar dan terhuyung oleh pertemuan lengannya yang menangkis. Dia tidak menyadari bahwa pemuda tinggi besar itu adalah Tang Cun Sek, murid dari Cing-ling-pai yang sudah menguasai tenaga Thian-te Sin-ciang (Tenaga Sakti Langit Bumi). Akan tetapi gadis ini lihai, dan meski pun pertemuan tenaga itu membuat dia terhuyung ke belakang, tetapi tetap saja cambuknya menyambar dan melecut ke arah kepala Tang Cun Sek yang tadi menyerangnya. Cun Sek terkejut, cepat miringkan kepalanya, namun ujung cambuk itu masih sempat mencium dan mencabik ujung pita rambutnya! Dengan marah Cun Sek lalu menerjang dan kini dia menyerang dengan pukulan dari ilmu silat Thai-kek Sin-kun. Kembali Mayang terkejut, akan tetapi pukulan yang datangnya dari kanan kiri dengan dua tangan itu bisa dihindarkannya dengan meloncat jauh ke belakang, lalu cambuknya kembali menyambar dan kini ke arah leher Cun Sek. Cun Sek yang telah marah itu mengeluarkan kepandaiannya. Dia mengerahkan tenaga sinkang-nya ke lengan kiri, kemudian menangkis sinar cambuk yang menyambar. "Prattt!" Ujung cambuk mengenai lengan lantas melibat. Cun Sek sengaja membiarkan lengannya dilibat, lalu tangan kanannya menangkap cambuk itu dan menariknya. Mayang berusaha mempertahankan dan selagi keduanya mengerahkan tenaga saling tarik, saat itu segera dipergunakan oleh Sim Ki Liong untuk menyerang. Tangannya menotok ke arah tengkuk Mayang. Gadis itu berusaha untuk mengelak, namun karena dia sedang mengadu tenaga dengan Cun Sek, gerakannya lambat hingga jari tangan yang kuat dan ampuh dari Ki Liong masih sempat mengenai jalan darah di pundaknya. Mayang mengeluh dan dia pun terpelanting roboh dengan tubuh lemas. Sim Ki Liong cepat-cepat meringkusnya dan dalam keadaan pingsan, Mayang dibawa pergi oleh rombongan orang Ho-han-pang itu. Ketika Mayang siuman dan membuka matanya, dia segera teringat akan apa yang sudah menimpa dirinya. Cepat dia hendak bangkit, namun hanya untuk mendapatkan kenyataan bahwa kaki tangannya terbelenggu dan dia tak mampu bangkit. Ia menenangkan hatinya, lalu membuka mata untuk menyelidiki keadaannya. Ia rebah telentang di atas sebuah pembaringan di dalam kamar yang luasnya kurang lebih lima kali tujuh meter. Sebuah kamar yang cukup mewah. Dinding serta langit-langit kamar dicat putih bersih, dimeriahkan oleh gantungan kain sutera beraneka warna. Pembaringan itu sendiri berkasur tebal, dengan tilam sutera merah dan kelambu kehijauan. Ada sebuah meja kecil bundar dengan empat buah bangku terukir indah berdiri di dekat pembaringan. Dia seorang diri saja di kamar itu. Dia lalu mengingat-ingat. Dia dihadang serombongan orang Ho-han-pang yang amat lihai, terutama dua orang pemuda tampan yang memimpin rombongan itu. Dia dikeroyok dan kalah. Agaknya dia pingsan dan ditawan, lantas dibawa ke tempat ini. Dibelenggu di atas pembarigan! Mayang mengerahkan tenaganya, mencoba melepaskan belenggu kaki tangannya. Akan tetapi tali pengikat kaki tangannya yang terbuat dari kulit itu ternyata kuat bukan kepalang. Pergelangan kaki dan tangannya sampai terasa pedih dan panas ketika ia mencoba untuk membebaskan diri. Akan tetapi dia berusaha terus. Dia harus bisa membebaskan dirinya. Dia maklum bahaya apa yang mengancam dirinya. Kalau mereka itu memusuhinya dan ingin membunuhnya, tentu dia tidak akan ditangkap seperti ini. Kulit pergelangan tangan dan kakinya mulai lecet-lecet. Suara dibukanya pintu kamar membuat dia menghentikan usahanya dan dia pun menoleh ke arah pintu dengan muka berubah karena hatinya tegang dan khawatir. Mayang melebarkan matanya yang sipit supaya dapat melihat dengan jelas orang yang memasuki kamarnya. Bukan seperti orang jahat, pikirnya. Juga bukan seorang di antara dua pemuda tampan yang telah menangkapnya. Dia adalah seorang lelaki yang usianya lima puluh tahun lebih, dengan kumis dan jenggot yang terpelihara rapi sehingga wajahnya kelihatan ganteng dan berwibawa, juga jantan. Pakaiannya rapi dengan rompi dari sutera mahal, sepatunya hitam mengkilap, rambutnya juga disisir rapi dan meski pun sudah bercampur uban, namun menambah kejantanannya. Sepasang matanya bersinar-sinar tajam, mulutnya terhias senyum. Wajah seorang lelaki yang jantan dan matang, wajah lelaki yang menarik hingga menimbulkan rasa suka dan percaya. Dan ketika dia bicara, suaranya juga lembut dan dalam, suara yang berwibawa. "Nona, percuma saja engkau mencoba untuk melepaskan diri. Tali belenggu itu terlampau kuat sehingga hanya akan membuat kulit lengan dan kakimu lecet-lecet." Mayang memandang kepada laki-laki itu dengan kedua alis berkerut. "Siapakah engkau? Dan kenapa aku ditawan?" Laki-laki itu tersenyum, kemudian menghampiri dan duduk di tepi pembaringan sehingga tubuhnya menyentuh tubuh Mayang. Gadis itu mencium bau harum cendana keluar dari orang itu! "Nona, engkau manis sekali. Sebenarnya kami tidak mempunyai permusuhan denganmu. Aku adalah Ho-han Pangcu, juga Bengcu (pemimpin) dari dunia kang-ouw. Engkau kami tawan untuk mengundang kakakmu ke sini..." "Hay-koko?" "Benar, Tang Hay. Nasibmu akan ditentukan berdasarkan sikapnya. Bila dia mau berbaik dengan kami, tentu engkau akan segera dibebaskan, bahkan engkau juga dapat menjadi anggota kehormatan kami. Tapi, Nona, bagaimana engkau dapat menjadi adik Hay Hay? Setahuku dia tidak mempunyai seorang adik perempuan!" Mayang mengerutkan kedua alisnya. Ternyata dia ditangkap untuk memancing Hay Hay! Kakaknya berada dalam bahaya. Dia tidak tahu siapa orang ini, akan tetapi tentu sangat lihai, maka tidak perlu dia menceritakan keadaan dirinya dan apa hubungannya dengan Hay Hay. Dia tidak boleh bersikap lancang, apa lagi kini kakaknya terancam bahaya. "Kalau engkau tidak mau membebaskan aku, aku tidak sudi bicara lagi denganmu!” kata Mayang dan dia pun membuang muka. Han Lojin tersenyum. Senang dia melihat gadis yang memiliki kecantikan khas ini. Selain wajahnya cantik manis, juga bentuk tubuhnya padat dan indah menggairahkan. Ditambah lagi sikap yang begitu tabah, pemberani dan penuh semangat! Seorang wanita pilihan dan jelas wanita seperti ini membangkitkan gairahnya. "Hemm, tidak ada untungnya bagimu bersikap angkuh, Nona. Ketahuilah bahwa Ho-han-pang adalah perkumpulan para pahlawan, dan aku bukan orang jahat. Kalau kakakmu itu suka membantu perjuangan kami dalam mengamankan negara, maka dia akan menjadi pembantu utamaku. Engkau juga akan kuangkat menjadi kepala pelayan dan pengawal pribadiku." "Aku tidak sudi! Dan Hay-ko tentu tak sudi pula menjadi pembantumu. Pergilah dan tidak usah merayu! Aku…. huhh, muak aku melihat mukamu!" Mayang sengaja bersikap kasar dan menghina agar lelaki itu marah dan kehilangan gairah yang membayang di matanya, dan meninggalkan dia sendiri. Akan tetapi Mayang tidak tahu dengan laki-laki macam apa dia berhadapan. Makin galak dia, semakin berkobar pula gairah birahi Han Lojin. Pria setengah tua ini pada hakekatnya sangat membenci wanita yang disebabkan oleh dendam sakit hati. Dia tidak pernah dapat mencinta wanita. Yang ada hanya nafsu birahi dan nafsu menyiksa, mempermainkan......

jilid 24

MULA-MULA wanita dirayunya sampai benar-benar bertekuk lutut dan sangat mencintanya. Setelah melihat wanita itu mencintanya setengah mati, lalu dia tinggalkan begitu saja, dia patahkan hatinya, dia hancurkan perasaannya. Dan dia akan meninggalkan wanita yang menangisinya itu sambil tertawa bergelak, dengan hati amat puas. Kalau melihat wanita yang galak dan angkuh, makin berkobarlah birahinya karena makin besar keinginannya untuk menaklukkan wanita itu dan menghancurkan keangkuhan serta harga dirinya. Karena itu, ketika Mayang membentak dan marah-marah memperlihatkan kegalakannya, di mata Han Lojin dia malah nampak semakin menggairahkan! “Ha-ha-ha, engkau memang cantik dan gagah. Seperti seekor kuda betina yang liar dan binal! Ha-ha-ha, akulah yang akan mampu menundukkanmu, manis, seekor kuda betina yang binal akan menjadi seekor kuda betina yang jinak dan penurut, ha-ha-ha!" Melihat perubahan sikap pria itu, Mayang merasa ngeri. Akan tetapi juga kemarahannya dan kebenciannya bertambah. "Cih, laki-laki tidak tahu malu! Kiranya engkau ini pangcu dan bengcu macam apa? Hanya lelaki rendah dan hina yang menghina wanita, pengecut yang hanya berani mengganggu kalau orang tidak berdaya. Lepaskan ikatanku dan aku akan menghancurkan kepalamu. Mari kita bertanding sampai mati!" tantangnya. "Ha-ha-ha, engkau sungguh amat gagah dan menarik. Aku akan melepaskan engkau, lalu kita boleh bertanding. Akan tetapi kalau engkau kalah, maka engkau harus mau menjadi pelayanku dan juga kekasihku yang tercinta. Mau berjanji?" Sepasang mata Mayang melotot. "Kalau aku kalah, aku roboh dan mati. Siapa yang kalah akan mampus!" Makin gembiralah hati Han Lojin. "Ha-ha, mari kita main-main sebentar kalau begitu, akan tetapi bukan di sini tempatnya!" Dengan cepat sekali tangannya lantas bergerak, jari-jari tangannya menotok jalan darah di bawah tengkuk dan Mayang seketika lemas. Dia tadi miringkan tubuh ketika membuang muka, maka mudah saja terkena totokan. Dia tak mampu menggerakkan kaki tangannya dan Han Lojin telah melepaskan belenggu kaki tangannya, lalu memondong tubuhnya dan dibawa keluar dari kamar. Mayang membuka mata memperhatikan keadaan. Dengan ringannya lelaki setengah tua itu memondongnya seolah-olah dia seorang anak kecil, lalu membawanya menuruni anak tangga, menuju ke ruangan bawah tanah! Sebuah pintu besi terbuka sendiri, agaknya ada alat rahasianya di situ dan dia pun dibawa masuk ke sebuah kamar. Kamar ini luas dan mewah. Terdapat sebuah pembaringan besar yang nampaknya cukup untuk ditiduri sepuluh orang! Dan di sana terdapat pula meja besar dengan belasan buah kursi. Kamar itu luasnya sama dengan lima kamar biasa yang dijadikan satu! Dipasangi lampu penerangan siang malam, walau pun ada sedikit sinar matahari turun dari sebuah lubang berterali baja di atas sana. Lantainya ditilami dengan permadani hijau. Kamar itu dilengkapi pula dengan sebuah kamar mandi yang lengkap. Sungguh sebuah kamar yang besar dan mewah sehingga amat enak ditinggali. Sambil tersenyum Han Lojin merebahkan tubuh lunglai Mayang di atas pembaringan yang besar itu. Mayang sudah merasa gelisah bukan main karena dia mengira bahwa lelaki itu akan memperkosanya dan dia tidak akan mampu mencegah, tidak akan mampu meronta atau melawan. Dia merasa ngeri sekali. Akan tetapi ternyata laki-laki itu tidak menjamahnya lagi, melainkan meninggalkannya dan menghampiri pintu. Ia tidak melihat pria itu menutupkan daun pintu, akan tetapi daun pintu itu menutup dengan sendirinya. Tentu ada alat rahasianya pula, pikir Mayang. Setelah menutupkan daun pintu besi itu, Han Lojin lalu menghampirinya sambil tersenyum dan kembali Mayang merasa ngeri, sepasang matanya membelalak, akan tetapi dia tidak mampu bergerak. “Jangan khawatir, nona manis. Sekarang aku pantang memperkosa wanita. Wanita harus menyerah dengan suka rela, menyambutku dengan mesra, seperti yang akan kau lakukan nanti." "Tidak sudi, lebih baik aku mati!” bentak Mayang. Hanya kaki dan tangannya yang tidak mampu bergerak, akan tetapi dia dapat bicara dan menggerakkan anggota tubuh lainnya. "Hemmm, engkau cantik manis dan pemberani, namun aku ingin melihat dahulu sampai di mana kelihaianmu. Menurut para pembantuku engkau cukup lihai dan berbahaya, maka tangan dan kakimu dibelenggu. Padahal aku ingin melihat engkau menyambutku dengan rangkulan kaki tanganmu, bukan terbelenggu. Nah, kini aku akan membebaskan totokan itu, hendak kulihat engkau akan berbuat apa." Dengan gerakan cepat Han Lojin lantas menotok kedua pundak gadis itu. Harnpir Mayang tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Orang itu benar-benar sudah rnembebaskan totokan pada tubuhnya. Kini dia dapat bergerak lagi! Dia maklum bahwa sehabis jalan darahnya dihentikan, maka kaki tangannya akan terasa kaku sehingga tidak leluasa bergerak. Karena itu dia tetap tenang, rnenggerak-gerakkan kaki tangannya dahulu supaya menjadi lemas kembali. Sementara itu Han Lojin berdiri di tengah kamar sambil bersedakap, memandang kepada gadis itu dengan senyum simpul. Sesudah rnerasa kedua tangan kakinya dapat digerakkan dengan wajar, barulah Mayang meloncat turun dari atas pembaringan. Sikap ini saja sudah rnengagumkan hati Han Lojin dan tahulah dia bahwa gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun itu cukup cerdik. Kini mereka berdiri berhadapan. Mayang dapat menduga bahwa pria ini tentu lihai sekali. Baru pembantu-pembantunya saja sudah demikian lihai, seperti dua orang pemuda yang memimpin rombongan anak buah dan telah menawannya itu. Akan tetapi dia sama sekali tidak merasa gentar. Dia akan melawan sampai mati karena maklum bahwa bila mana dia tertawan kembali maka dia akan terhina oleh laki-laki yang mengaku sebagai pangcu dan juga bengcu ini. "Pangcu, aku tadi telah mendengar alasanmu mengapa engkau menawanku, yaitu untuk memancing kakakku datang ke sini dan engkau hendak membujuknya agar membantumu dan membantu Ho-han-pang. Akan tetapi aku yakin bahwa seperti juga aku, dia tak akan sudi membantumu, karena biar pun perkumpulanmu mempergunakan nama yang muluk, yaitu Ho-han-pang (Perkumpulan Orang Gagah), namun sebenarnya perkumpulan Orang Busuk! Kakakku adalah seorang pendekar besar. Dia akan marah sekali dan tentu akan menghancurkan engkau berikut Ho-han-pang. Sebab itu sebaiknya engkau membebaskan aku dari sini dan kami berdua akan pergi, tidak akan mencampuri urusanmu." Han Lojin tertawa. Dalam keadaan terjepit gadis itu masih dapat mengancamnya! Betapa beraninya. Dia juga dapat menduga bahwa gadis seperti ini tentu akan melawan dengan mati-matian. Andai kata dia sampai memperkosanya, dalam sebuah kesempatan gadis ini tentu akan membalas dendam atau membunuh diri. Maka dia harus dapat menundukkan gadis ini, karena sekali menyerah, maka dia akan menjadi seorang pembantu yang setia dan seorang kekasih yang penuh semangat dan panas. "Sudah kukatakan bahwa aku mengharapkan bantuan engkau serta kakakmu. Aku tidak ingin memusuhi kalian. Akan tetapi aku ingin melihat sampai di mana kelihaianmu. Nah, majulah, nona manis dan keluarkan semua kepandaianmu." Mayang sudah kehilangan cambuknya. Namun sebagai murid seorang guru yang berilmu tinggi, tentu saja dia tidak hanya mengandalkan cambuknya sebagai senjata. Tangan dan kakinya masing-masing merupakan senjata yang cukup ampuh. Dia tahu bahwa sekali ini tidak ada jalan lolos baginya. Dia dengan ketua Ho-han-pang ini berada di ruangan bawah tanah, ada pun pintu besi itu telah tertutup. Jalan satu-satunya hanyalah berusaha merobohkan lawannya yang dia tahu tentu lihai sekali. Dia harus membela diri secara mati-matian, maka diam-diam Mayang telah mengerahkan sinkang-nya, mengumpulkan kekuatan itu pada kedua lengannya sebelum dia melakukan penyerangan. Kemudian dia mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang dengan kuat dan cepat sekali. “Haiiiiiiittt…!” Gerakannya cepat dan dahsyat. Tangan kiri dengan jari-jari direntangkan menyambar ke arah muka lawan, sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka juga menusuk ke arah dada. Gerakan tangan kiri itu merupakan gerak pancingan atau gertakan, sedangkan inti serangan terletak kepada tangan kanan yang menyerang dada. Biar pun tangan kanan Mayang itu berjari-jari kecil meruncing dengan kulit halus, namun jangan keliru sangka. Di dalam jari-jari tangan itu terkandung tenaga dahsyat yang akan mampu meremukkan tulang iga! Han Lojin mengenal pukulan ampuh, maka dia pun menghindarkan diri dengan melangkah ke belakang dan memutar kedua lengannya untuk melindungi tubuh, menangkis dengan cengkeraman untuk menangkap lengan lawan. Akan tetapi Mayang telah menarik kembali kedua tangannya yang gagal itu, lantas tubuhnya meloncat ke depan, kakinya melakukan tendangankilat. Kaki kanannya mencuat dengan cepat sekali sehingga lambung Han Lojin hampir saja termakan tendangan. Tapi Han Lojin yang semakin kagum sudah menangkis dengan lengan kirinya. "Dukkk!" Mayang merasa betapa kakinya nyeri ketika bertemu dengan lengan orang itu, tetapi dia menahan diri dan tidak mengeluh, melainkan melanjutkan serangan bertubi-tubi dan kini telapak tangannya yang kiri berubah menghitam. Han Lojin terkejut sekali melihat tangan hitam ini menyambar dahsyat, maka cepat melempar tubuh ke belakang lantas berjungkir balik beberapa kali. "Heiiiii! Bukankah itu Hek-coa Tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam)?" teriaknya ketika dia mencium bau amis terbawa oleh hawa pukulan tangan itu. Mayang terkejut. Orang ini sungguh lihai, sudah mengenal ilmu pukulannya, padahal ilmu pukulan itu merupakan ilmu simpanan yang dia pelajari dari Kim-mo Sian-kouw. Gurunya berpesan bahwa dia tidak boleh mempergunakan pukulan beracun itu kalau tidak sangat terpaksa, karena pukulan beracun sesungguhnya bertentangan dengan watak subo-nya. Kini, ketika menghadapi ancaman yang lebih mengerikan dari pada maut, terpaksa tadi dia mengeluarkan ilmunya itu dan sama sekali tidak disangkanya bahwa lawannya segera mengenal pukulannya. Hal ini membuktikan bahwa lawannya banyak pengalaman, tentu pernah berkelana ke daerah Tibet dan sangat boleh jadi pernah pula berjumpa dengan subo-nya. Mayang tersenyum mengejek. "Aku adalah murid Subo Kim-mo Sian-kouw!" Maksudnya dengan pengakuan ini agar lawannya menjadi jeri dan tidak akan mengganggunya. Han Lojin nampak terkejut. "Ahhh…! Pantas engkau begini lihai, Nona. Namamu Mayang, bukan? Nona Mayang, karena engkau murid Kim-mo Sian-kouw, pertapa yang sakti dan gagah itu, maka aku lebih senang lagi dan makin ingin menarikmu sebagai pembantu dan sekutu kami, bersama kakakmu Hay Hay itu. Oh ya, bagaimana sebenarnya hubunganmu dengan Hay Hay? Engkau adiknya? Adik tirikah? Bagaimana Hay Hay dapat mempunyai seorang adik di Tibet?" "Pangcu, lebih baik lagi kalau engkau telah mengetahui tentang subo-ku. Nah, sebaiknya engkau segera membebaskan aku dan tidak ada urusan lagi di antara kita. Engkau akan menghadapi kehancuran kalau masih berkukuh ingin bermusuhan dengan kami. Pertama, aku akan melawan sampai mati, aku tidak sudi menjadi pembantumu atau sekutumu. Ke dua, kalau engkau menggangguku dan aku sampai tewas, maka kakakku Hay-koko tentu tidak akan mau sudah begitu saja, dan akan membalas kematianku dengan bunga yang berlipat ganda. Dan ke tiga, jika subo mendengar pula bahwa aku tewas di sini, beliau pun pasti tidak akan tinggal diam dan akan menghukummu!" Kembali Han Lojin tertawa. "Ha-ha-ha-ha, nona Mayang. Engkau sungguh hebat. Engkau berada dalam tawanan, engkau yang terhimpit dan terancam bahaya, akan tetapi engkau pula yang mengancamku! Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu. Aku tidak bermaksud buruk, malah ingin memuliakan engkau dan kakakmu, takut apa? Nah, mari kita lanjutkan, aku masih ingin menguji kepandalanmu." Karena maklum bahwa bicara tidak akan ada gunanya, Mayang kemudian menerjang lagi sambil mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Akan tetapi lawannya adalah seorang yang jauh lebih berpengalaman dari pada gadis itu, bahkan mempunyai tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi, maka bagaimana dahsyat pun dia menyerang, selalu Han Lojin dapat menangkis atau mengelak, bahkan melakukan serangan balasan yang membuat Mayang menjadi kewalahan dan terdesak. "Haiiittttt…!" Mayang kembali memukul sambil merendahkan diri sehingga sekali ini pukulan tangannya mengarah ke perut lawan. Ketika lawannya mengelak ke samping, tangan itu dibuka dan mencengkeram ke samping pula. "Wuttttt...!" Han Lojin menangkis, lalu dari atas tangan kirinya menotok ke arah tengkuk gadis itu. "Ihhhh…!" Mayang melempar diri ke belakang, lalu bergulingan dan ketika dia meloncat bangun, dia telah menyambar sebuah bangku ukiran yang indah, mempergunakan bangku ini sebagai senjata dan dia kembali menyerang kalang kabut, menggunakan bangku yang diayun ke kanan dan kiri. "Hemmm, kuda petina yang liar!" Han Lojin memuji sambil berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari hantaman bangku. “Mayang, bangku itu amat mahal, terbuat dari kayu pilihan dan diukir oleh ahli. Jangan kau rusakkan!” teriaknya. "Lebih baik mati dari pada harus menyerah kepadamu, iblis busuk!" Mayang kini memaki karena dia telah merasa penasaran dan marah bukan main. Serangannya semakin hebat dan meski pun hanya sebuah bangku, namun di tangan gadis itu berubah menjadi senjata yang amat berbahaya. “Wuuutttt...!” Bangku itu menyambar sedemikian cepatnya sehingga biar pun dapat dielakkan oleh Han Lojin, akan tetapi angin pukulannya sempat membuat rambut kepala ketua Ho-han-pang itu menjadi tertiup kusut. “Ihhh! Kalau kubiarkan, bisa hancur kepalaku oleh bangkumu itu. Dan aku masih sayang kepada kepalaku ini, heh-heh-heh!" Mendadak dia membuat gerakan aneh. Tubuhnya bergulingan dan dari bawah dia lantas menyerang dengan tendangan bertubi-tubi, dengan gerakan memutar, ke arah kedua lutut dan kaki Mayang. Gadis ini mengeluarkan seruan kaget sambil berloncatan dengan kacau karena tendangan itu susul menyusul, menendang, menyapu dengan kekuatan luar biasa. Selagi dia kebingungan menghindarkan diri dari semua tendangan itu, tiba-tiba Han Lojin mengeluarkan suara melengking panjang, dan tahu-tahu ada sinar putih mencuat ke atas lalu lengan Mayang telah terlibat sehelai kain putih. Kain itu dibetot hingga tubuh Mayang terhuyung, lalu Han Lojin melompat dan sekali dia menggerakkan kedua tangan, yang kiri menotok sedangkan yang kanan merampas, tahu-tahu bangku itu pun berpindah tangan! Mayang terpaksa melepaskan bangku itu karena lengan kanannya seperti lumpuh terkena totokan tangan kiri lawan. Han Lojin meloncat ke belakang, mengamati bangku itu untuk melihat kalau-kalau rusak, lalu dia meletakkan kembali bangku itu ditempatnya semula. "Engkau kuda betina yang binal harus cepat-cepat kutundukkan!" kata Han Lojin. Mayang sudah menjadi marah bukan main. Dengan mata berapi-api dia telah menyerang lagi, tidak peduli akan kenyataannya bahwa dia memang bukan tandingan ketua Ho-han-pang itu. Ia menyerang kalang kabut, mengamuk dan dengan nekat dia hendak mengadu nyawa. Ketika dia mendapatkan kesempatan, dia meloncat dan menggunakan tendangan terbang dengan kedua kakinya ke arah dada Han Lojin. Tendangan dengan tubuh seperti terbang ini sungguh berbahaya sekali, baik bagi lawan mau pun bagi diri sendiri. Namun Mayang sudah nekat dan ingin merobohkan lawan yang tangguh itu, maka dia mempergunakan jurus tendangan terbang yang berbahaya itu. "Wuuuttt...! Plakkk!" Dengan perhitungan yang tepat dan mengandalkan tenaganya yang kuat, Han Lojin cepat menyambut tendangan dengan kedua kaki itu dengan kedua tangannya dan dia berhasil miringkan tubuh lalu menangkap kedua kaki itu pada pergelangannya, lalu dengan cepat sekali sabuk sutera putih tadi sudah melibat kedua kaki. Gadis itu meronta-ronta, akan tetapi Han Lojin tertawa-tawa dan memutar tubuh gadis itu dengan berpegang pada kedua kakinya. Tentu saja tubuh Mayang berputar seperti kitiran, lantas tubuhnya jatuh ke atas pembaringan dengan dua kaki di luar dan masih dipegangi oleh Han Lojin, bahkan kini kedua kakinya telah terbelenggu sabuk sutera putih. “Keparat, lepaskan kakiku!" bentak Mayang dan dia mencoba untuk bangkit duduk lantas menyerang dengan sepasang tangannya. Tapi Han Lojin menjauh, kemudian menangkis kedua tangan itu seperti orang bermain-main saja. "Engkau memang manis sekali, Mayang. Seekor kuda betina binal yang amat manis. Ingin kulihat apakah tubuhmu juga semanis wajahmu!" Han Lojin mencengkeram. Sia-sia bagi Mayang untuk menangkis. "Bretttt…!" Leher bajunya kena dicengkeram dan direnggut sehingga robek memanjang, cukup lebar sehingga sepasang buah dadanya nampak sebagian karena pakaian dalamnya ikut robek oleh renggutan tangan yang kuat itu. Dan Han Lojin berdiri bengong, terpesona, bukan terpesona melihat sebagian buah dada itu, melainkan terpesona melihat apa yang tergantung di antara buah dada. Dia menuding ke arah dada gadis itu. "Itu... itu... dari mana kau dapatkan benda itu?" tanyanya. Tadi Mayang terkejut dan marah bukan kepalang karena bajunya terobek dan tadinya dia mengira bahwa ketua itu hendak menggodanya dan bermaksud cabul dengan menuding ke arah buah dadanya yang nampak sebagian. Akan tetapi ketika ia menggunakan kedua tangannya menutupkan kembali baju yang terobek, ia menyentuh benda yang tergantung di dada dan dia teringat bahwa Han Lojin menyinggung tentang benda itu, bukan tentang tubuhnya. Mayang pun menjawab dengan ketus sambil tangan kirinya menutupkan kembali bajunya yang robek, "Benda ini tidak ada hubungannya dengan engkau!" Sekarang Han Lojin sudah terlihat tenang, hanya sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong yang aneh dan mulutnya juga tersenyum aneh. Dia mengangguk-angguk. "Hemm, sekarang mengertilah aku kenapa engkau dapat menjadi adik Hay Hay. Hay Hay adalah seorang putera dari Ang-hong-cu, sedangkan engkau juga mengenakan lambang Si Kumbang Merah pada dadamu. Jadi engkau pun seorang puteri dari Ang-hong-cu! Dan engkau datang dari Tibet? Apakah ibumu seorang wanita bernama... Souli?" Mayang terkejut sekali, menatap wajah yang tampan itu dan berseru, "Bagaimana engkau bisa tahu?" Akan tetapi kini Han Lojin tertawa bergetak. “Ha-ha-ha-ha!" Pada saat itu pula terdengar suara dari luar pintu, "Bengcu, dia sudah datang!" Daun pintu besi terbuka dengan sendirinya, dan di luar pintu sudah berdiri Sim Ki Liohg. Sejenak Sim Ki Liong memandang ke arah Mayang. Gadis itu berdiri dengan tegak seperti orang terheran-heran dan terkejut, dan tangan kirinya menutupkan baju bagian dada yang terobek. Melihat ini Sim Ki Liong segera berkata kepada Han Lojin. "Maafkan kalau saya mengganggu Bengcu…” Akan tetapi Han Lojin tidak marah, dan dia nampak tegang mendengar pemberitahuan Ki Liong itu. Dia memandang lagi kepada Mayang dan berkata, "Mayang, engkau tinggallah dulu di sini. Segalanya tersedia lengkap untuk keperluanmu. Kakakmu sudah datang dan aku akan menyambutnya. Jangan mencoba untuk melarikan diri karena engkau tak akan berhasil. Tenang-tenang sajalah di sini." Mendengar bahwa kakaknya sudah datang, ingin Mayang meloncat dan menerjang keluar dari tempat itu. Akan tetapi ia bukan gadis bodoh. Menghadapi seorang di antara mereka berdua saja dia tidak menang, apa lagi kini bajunya robek di bagian dada sehingga kalau dia bergerak menyerang, tentu baju itu akan terbuka kembali dan dadanya akan kelihatan. Maka dia hanya berdiri sambil memandang dengan penuh kemarahan ketika dua orang itu melangkah keluar dan daun pintu besi itu tertutup dengan sendirinya. Suara ketawa ketua Ho-han-pang itu masih bergema di dalam telinganya, suara ketawa yang aneh dan menyeramkan baginya. Mayang cepat melupakan kekhawatiran terhadap dirinya sendiri, sebaliknya kini dia gelisah sekali memikirkan kakaknya, Hay Hay. Kini dia pun mengerti mengapa dirinya dipancing keluar kota kemudian ditawan. Kiranya mereka menghendaki kakaknya! Mereka menawannya hanya untuk memancing datangnya Hay Hay ke tempat berbahaya itu. Dan dia merasa khawatir sekali membayangkan betapa lihainya sang ketua dengan para pembantunya itu. Akan tetapi dia harus membetulkan bajunya yang terobek tadi. Semua gerakannya takkan leluasa kalau bajunya terbuka seperti itu. Melihat di kamar itu terdapat sebuah almari, dia lalu menghampirinya dan membukanya. Dia terbelalak. Di dalam almari itu terdapat tumpukan pakaian yang serba indah. Ia hanya tinggal memilih saja! Pakaian wanita, pakaian pria, semuanya masih baru. Akan tetapi dia tak sudi memakai pakaian yang bukan miliknya itu. Dia mengambil sehelai sabuk panjang saja, lalu dengan sabuk itu diikatnya bajunya yang robek sehingga kini dadanya tertutup rapat kembali. Setelah itu dia pun meneliti keadaan di dalam kamar yang luas itu. Benar kata-kata ketua tadi. Kamar itu tertutup rapat sekali, tidak ada jalan keluar. Tidak ada jendela dan jalan satu-satunya hanyalah melalui pintu, padahal daun pintunya terbuat dari besi yang tebal dan kokoh. Jalan cahaya matahari dan hawa dari atas itu juga tidak mungkin dilewati. Terlalu tinggi dan juga lubang di atas itu tertutup jeruji besi yang kokoh pula. Terdengar suara pada pintu. Ia cepat bersiap siaga. Ia akan nekat menerjang keluar kalau pintu itu terbuka, tidak peduli siapa yang akan muncul di pintu. Ia harus dapat keluar dari situ, harus membantu kakaknya. Tetapi yang terbuka hanya sedikit saja di ujung bawah pintu. Terbuka lubang segi empat yang kecil saja, hanya cukup untuk memasukkan piring buah itu. Sebuah tangan nampak mendorongkan sebuah piring penuh berisi buah-buah segar. Juga sebuah poci teh berikut mangkoknya didorong masuk. Kemudian tangan itu lenyap dan lubang itu tertutup lagi. Hemm, mereka memperlakukan aku sebagai seorang tawanan yang dilayani dengan baik, seperti seorang tamu saja, pikir Mayang. Dia pun tidak sungkan lagi. Buah-buah itu perlu untuk memulihkan tenaganya. Dia pun memilih dan makan buah-buahan yang segar dan pilihan. Juga minum teh itu karena dia yakin bahwa tuan rumah tidak perlu meracuninya. Dia sudah tak berdaya. Kini dia hanya bisa menanti terbukanya kesempatan baik baginya untuk meloloskan diri. Setelah makan buah-buahan dan minum teh, gadis Tibet itu lalu duduk termenung di atas pembaringan yang lebar itu. Ia membayangkan sikap ketua tadi. Bagaimana ketua itu bisa tahu bahwa dia puteri Ang-hong-cu dan bahkan mengenal pula nama ibunya? Orang itu mengenal benda mainan kumbang merah yang tergantung pada lehernya, juga mengenal nama ibunya, bahkan mengenal pula jurus Hek-coa tok-ciang! Hal ini menunjukkan bahwa orang itu tentu pernah ke Tibet! Siapakah ketua itu? Ia hanya bisa termenung dan merasa bingung. *************** “Apakah Hay Hay muncul seorang diri saja?" di luar tempat tahanan bawah tanah itu Han Lojin bertanya kepada Ki Liong yang tadi mengabarkan kepadanya mengenai kedatangan seseorang. "Bukan dia, Bengcu. Bukan Tang Hay yang muncul...” "Ehh? Habis siapa?" ketua itu bertanya penasaran karena yang dipancing dan ditunggu-tunggu kemunculannya adalah Tang Hay. "Dia adalah... Cia Kui Hong... " suara Ki Liong menunjukkan bahwa hatinya tegang. Walau pun tidak gentar, memang pemuda ini merasa tegang ketika mendengar dari anak buah Ho-han-pang bahwa ada seorang gadis muncul di sarang mereka dan sesudah dia mengintai, ternyata gadis itu adalah Cia Kui Hong! Gadis itu adalah cucu dari suhu dan subo-nya di Pulau Teratai Merah, yaitu Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan Lam-sin Toan Kim Hong! Memang Ki Liong tidak gentar terhadap gadis itu, akan tetapi mengingat bahwa dia telah melarikan diri dari Pulau Teratai Merah dan mencuri pedang pusaka, bahkan kini pedang pusaka itu tidak berada di tangannya lagi sesudah terampas oleh Tang Hay, tentu saja dia merasa tidak enak dan tegang. Han Lojin sendiri tertegun, kaget dan heran mendengar bahwa yang muncul bukan orang yang dinanti-nantinya, melainkan gadis ketua Cin-ling-pai yang lihai itu! Di antara semua gadis pendekar, gadis inilah yang dianggapnya paling berbahaya dan paling lihai, dan dia harus mengakui bahwa gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang tinggi dan sama sekali bukan merupakan lawan ringan baginya. Akan tetapi yang sungguh membuat dia merasa terkejut dan heran karena gadis itu telah terikat janji dengan dia. Gadis itu sudah berjanji untuk tidak memusuhinya dan tidak akan membuka rahasianya. Apa maksud gadis itu kini muncul? Ahh, tentu ketua Cin-ling-pai itu tidak tahu bahwa Ho-han-pang dipimpin oleh Han Lojin yang juga Tang Bun An itu. Tidak tahu bahwa dia yang memimpinnya, maka kini berani datang berkunjung. "Cia Kui Hong? Biarlah aku yang menyambutnya sendiri. Engkau dan para rekanmu yang lain bersiap-siap saja turun tangan kalau sudah kuberi tanda." Sesudah berkata demikian, Han Lojin lalu keluar sedangkan Ki Liong cepat memberi tahu kepada Ji Sun Bi dan Tang Cun Sek agar mereka bertiga siap-siap membantu pimpinan mereka kalau dikehendaki. *************** Bayangan itu berlari cepat dan gerakannya cekatan dan ringan sekali. Ia mendaki lembah bukit menuju puncak di mana terdapat kompleks bangunan markas Ho-han-pang. Ketika tiba di pintu gerbang pertama, dia merasa heran karena tidak kelihatan seorang penjaga pun di situ. Ia mendorong pintu gerbang yang tertutup dan begitu pintu terbuka, terdengar suara berdesingan. Dia pun cepat melompat tinggi ke atas untuk menghindarkan diri dari sambaran anak-anak panah yang meluncur dari kanan kiri pintu gerbang. Dia memang telah berhati-hati terhadap perangkap, maka dia mampu menghindarkan diri dengan loncatan tinggi lantas melayang turun ke depan. Begitu kakinya menyentuh tanah, tiga orang dari kanan dan tiga orang dari kiri langsung menyambutnya dengan serangan tombak panjang. Kui Hong menggerakkan kedua tangannya dan nampak sinar berkelebat ketika sepasang pedangnya menangkis ke kanan kiri. Terdengar suara nyaring saat enam batang tombak itu patah-patah disusul pekik kesakitan kemudian dua di antara enam orang penyerang itu roboh terjengkang dengan pundak berdarah. Mereka bergulingan ke belakang kemudian menghilang di balik semak belukar. Kui Hong berdiri tegak. Sepasang pedang di tangannya siap menghadapi pengeroyokan. Akan tetapi tidak nampak gerakan apa pun, hanya terdengar suitan-suitan panjang saling sahut di sekitar tempat itu. Karena tidak ada serangan lagi, Kui Hong melanjutkan langkahnya, melalui jalan mendaki dari pintu gerbang pertama itu menuju ke pintu gerbang ke dua. Namun di sini juga tidak terdapat penjaga, dan tidak ada pula serangan lain. Keadaan sunyi saja. Dia tidak tahu bahwa suitan-suitan panjang tadi merupakan isyarat kepada para anggota Ho-han-pang supaya tidak bergerak dan membiarkan gadis itu naik terus tanpa diganggu. Bahkan perangkap-perangkap dimatikan agar tidak mengganggu perjalanan Kui Hong. Sesudah melampaui tiga lapis pintu gerbang, akhirnya Kui Hong tiba di depan bangunan yang kelihatan sunyi saja itu. Sunyi dan megah, sekaligus juga menyeramkan. Dia berdiri dengan tegak, menyimpan kembali sepasang pedangnya, lalu dia berteriak dengan suara melengking nyaring. "Ketua Ho-han-pang! Kalau engkau bukan seorang pengecut, cepatlah keluar! Aku ingin bertemu!" Dia tidak perlu mengulang teriakannya karena daun pintu bangunan itu terbuka dari dalam sebelum gaung suaranya padam. Kemudian nampak sedikitnya dua puluh orang laki-laki yang berpakaian seragam putih-putih dengan ikat pinggang biru dan sepatu kulit hitam mengkilap, dengan topi merah, berbaris rapi di kanan kiri jalan keluar depan pintu. Mereka memiliki pedang yang tergantung di pinggang dan sikap mereka gagah perkasa, seperti sepasukan pendekar! Barisan itu kemudian berdiri tegak dengan sikap menghormat, dan muncullah orang yang dinanti-nanti Kui Hong. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, nampak tampan dan gagah dengan kumis dan jenggot terpelihara rapi. Di kanan kiri serta belakang pria ini berbaris belasan orang wanita muda yang cantik dan mengenakan pakaian seragam pula. Cantik akan tetapi gagah, dengan pedang di punggung masing-masing dan sikap mereka seperti pendekar-pendekar wanita sejati! Berkerutlah sepasang alis Kui Hong melihat pria setengah tua itu. Tentu saja dia segera mengenal Han Lojin! Dan dia tahu pula bahwa Han Lojin dan Tang Bun An adalah orang yang sama! Entah yang mana yang merupakan muka aslinya, Tang Bun An ataukah Han Lojin, dia tidak tahu. Akan tetapi dia yakin bahwa Tang Bun An, Han Lojin, dan Ang-hong-cu adalah satu orang yang kini menjadi ketua Ho-han-pang! Meski pun hatinya terasa sangat tegang, Han Lojin tersenyum-senyum ketika melangkah menghampiri Kui Hong, ada pun pasukan pria dan wanita yang mengawalnya kini sudah berbaris rapi di kanan kiri, tidak ikut mendekat. "Aihhh, ternyata Cia Pangcu (Ketua Cia)! Selamat datang di tempat kami, Pangcu. Kami ingin sekali mengetahui apakah kedatangan Pangcu ini sebagai ketua Cin-ling-pai, atau sebagai pribadi?" Dia memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada. "Perkenalkan, kami adalah Pangcu dari Ho-han-pang, juga Bengcu dari dunia kang-ouw!" Kui Hong tersenyum pula, senyum mengejek. "Han Lojin, tidak perlu kita membawa-bawa nama perkumpulan. Aku datang sebagai Cia Kui Hong, dan kita sama tahu siapa engkau sebenarnya. Ini urusan pribadi antara aku dan engkau. Aku datang untuk menantangmu bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa!" “Ck, ck, ck!” Han Lojin mengeluarkan suara dengan lidahnya sambil menggeleng kepala. "Cia Kui Hong, kenapa engkau bersikap seperti ini? Ingat, seorang pendekar memegang teguh janjinya, lebih menghargai janji dari pada nyawa!" cerita silat online karya kho ping hoo Wajah gadis perkasa itu berubah merah dan matanya mengeluarkan cahaya mencorong. "Selama hidup aku tak pernah melanggar janjiku, keparat! Sampai detik ini pun aku tidak pernah melanggar janjiku! Justru karena janji itulah aku datang menantangmu. Aku ingin mencairkan dan membatalkan janji itu. Engkau boleh mengeroyokku, boleh membunuhku juga. Lebih baik mati dari pada membiarkan iblis macam engkau berkeliaran tanpa dapat menentangmu karena terikat janji. Nah, kini aku datang untuk mematahkan ikatan janji itu. Majulah!" tantang Kui Hong dengan sikap tabah dan tenang. "Ha-ha-ha, engkau tidak tahu malu, Kui Hong! Dulu ketika berjanji engkau berada dalam keadaan tertawan dan tidak berdaya. Kemudian engkau berjanji bahwa apa bila engkau kubebaskan, maka engkau takkan memusuhiku. Sekarang, setelah engkau kubebaskan, engkau datang menantangku. Bukankah itu berarti engkau melanggar janji?" Bagi gadis lain, diserang dengan ucapan ini tentu akan menjadi bingung. Akan tetapi Kui Hong adalah seorang gadis yang cerdik sekali. Hal ini pun telah dia pikirkan sebelumnya, maka dia tidak menjadi bingung mendengar ucapan itu, bahkan tersenyum mengejek. "Hemmm, Ang-hong-cu, bercerminlah engkau! Lupakah engkau bagaimana cara engkau menangkapku dahulu itu? Bukan seperti seorang gagah, tetapi sebagai seorang pengecut yang curang. Engkau menawanku dengan mempergunakan perangkap! Engkaulah yang sepatutnya merasa malu, pengecut! Sejak berjanji, aku tidak pernah melanggarnya. Kalau aku melanggar, tentu aku sudah datang kembali membawa kawan dan tentu engkau kini sudah mampus! Akan tetapi aku datang seorang diri saja, menghadapi engkau yang kini dibantu oleh banyak sekali anak buahmu. Engkau boleh mengeroyokku, menangkapku, menyiksaku dan membunuhku! Bagiku hanya ada dua pilihan saja. Membatalkan janji dan membunuhmu, atau terbunuh olehmu!" Han Lojin mengerutkan alisnya. Tahulah dia bahwa menggertak atau membujuk gadis ini tidak akan berhasil. Kalau dulu dia membiarkan gadis ini bebas adalah karena dia merasa ngeri menghadapi akibatnya kalau dia membunuh Cia Kui Hong, ketua Cin-ling-pai. Ngeri menghadapi pembalasan dari Cin-ling-pai, dan terutama sekali dari kakek gadis itu, yaitu Pendekar Sadis dan isterinya dari Pulau Teratai Merah! Namun sekarang tidak ada pilihan lain baginya. Dan dia pun kini berbesar hati karena dia kini memiliki banyak pembantu yang pandai. Kalau Cin-ling-pai datang menyerbu, dia pun memiliki Ho-han-pang untuk melawannya. Jika Pendekar Sadis dan isterinya yang datang menyerang, dia dan para pembantu utamanya pasti akan mampu menandingi mereka. "Cia Kui Hong, kalau aku bisa menawanmu lagi, sekali ini aku tidak akan melepaskanmu kembali!" katanya dan di dalam suaranya terkandung gairah yang membuat hati Kui Hong merasa ngeri. Dia pun sudah siap siaga mengadu nyawa. Bagi gadis ini, hidup pun tidak ada artinya dan dia akan selalu merasa menyesal kepada diri sendiri. Ia telah mengikat perjanjian dengan seorang manusia iblis yang seharusnya dia tentang mati-matian. Dengan perjanjian itu dia merasa seakan-akan sudah menjadi pelindung dan pembantu Ang-hong-cu! Hal ini selalu menggerogoti perasaannya, menumbuhkan penyesalannya. Waktu itu dia berjanji hanya karena ingin terbebas dari ancaman perkosaan maut! Namun sungguh merupakan siksaan yang tidak dapat dia pertahankan lebih lama setelah melihat Ang-hong-cu berbuat sekehendak hatinya, melakukan segala macam kejahatan yang dia ketahui akan tetapi tidak dapat turun tangan mencegah atau menentangnya. Ini sebabnya maka dia memaksa diri untuk mencari Ang-hong-cu dan membatalkan semua perjanjian itu dengan membiarkan dirinya ditangkap kembali! Ia tahu bahwa sekali ini dia maju menentang Ang-hong-cu hanya untuk roboh binasa atau tertawan. Ia datang seorang diri, menghadapi Ang-hong-cu beserta banyak anak buahnya yang tergabung di dalam Ho-han-pang! Sama dengan bunuh diri. Namun dia tidak peduli. Lebih baik dia mati sebagai pendekar dari pada tetap hidup tetapi terpaksa harus menjadi pelindung seorang iblis macam Ang-hong-cu, demikian tekad hatinya. Dia lalu mencabut sepasang pedangnya dan bersiap-siap. Apa yang disangkanya memang benar terjadi. Ang-hong-cu yang merasa jeri menghadapi gadis itu seorang diri, karena dia pernah melawannya namun dia yang terdesak hebat, cepat memberi isyarat dengan tepuk tangan dan muncullah Ji Sun Bi, Tang Cun Sek, dan Sim Ki Liong! Akan tetapi mereka sudah mengenakan kedok tipis sehingga Kui Hong tidak mengenal mereka. Mereka bertiga tentu saja mengenal Kui Hong, mengenal dengan baik sekali! Bahkan kedua orang muda itu, Cun Cek dan Ki Liong, pernah jatuh cinta kepada gadis ini! "Tangkap dia hidup-hidup!" Hanya itulah perintah Ang-hong-cu, akan tetapi ketiga orang itu sudah maklum apa yang dikehendaki pemimpin mereka. Hanya ada satu hal mengapa ketua mereka menghendaki dara itu ditangkap hidup-hidup, yaitu bahwa pangcu itu membutuhkan Cia Kui Hong hidup untuk dimanfaatkan, entah untuk mengurangi kehausan serta kerakusannya akan gadis-gadis cantik, atau untuk kepentingan lain. Perintah ini tidak berat bagi Cun Sek dan Ki Liong, sebab bagaimana pun juga dua orang muda yang pernah mencinta Kui Hong juga merasa sayang kalau gadis itu terbunuh. Tapi tidak demikian dengan Ji Sun Bi. Wanita ini amat membenci Kui Hong. Dalam pertemuan terakhir di antara mereka, ketika Ji Sun Bi membantu pemberontakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo sedangkan Kui Hong bersama para pendekar membantu pemerintah, dia pernah bertanding melawan Kui Hong dan akibatnya dia terlempar masuk ke dalam jurang! Nyaris dia tewas di tangan gadis Cin-ling-pai itu. Dan sekarang dia dilarang membunuh gadis itu, melainkan hanya disuruh menangkapnya hidup-hidup! Padahal dia melihat Kui Hong hanya datang seorang diri, sedangkan dia kini bersama rekan-rekannya di bawah pimpinan Han Lojin. Betapa pun juga Ji Sun Bi tidak berani melanggar perintah pemimpinnya, maka bersama Cun Sek dan Ki Liong, dia pun sudah mengepung Kui Hong yang kini berdiri dengan sikap tenang dan waspada, dengan sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) siap di kedua tangannya. Melihat Kui Hong memegang sepasang pedang yang dikenalnya sebagai Hok-mo Siang-kiam milik subo-nya, yaitu nenek Lam-sin Toan Kim Hong isteri Pendekar Sadis, Ki Liong diam-diam bergidik. Dia tahu keampuhan sepasang pedang itu dan dia merasa menyesal kenapa dia kehilangan Gin-hwa-kiam. Apa bila ada Gin-hwa-kiam di tangannya, tentu dia akan mampu menandingi sepasang pedang ampuh di tangan Kui Hong. Akan tetapi pedang Gin-hwa-kiam sudah dirampas oleh Hay Hay sehingga kini dia hanya memiliki sebatang pedang yang meski pun merupakan pedang pilihan dari baja yang baik, namun dia khawatir pedangnya itu akan rusak begitu beradu dengan Hok-mo Siang-kiam. Dia lalu mencabut pedangnya dan mengepung. Begitu pula dengan Tang Cun Sek. Pemuda ini mengenal benar kelihaian Cia Kui Hong, maka dia pun diam-diam gentar dan merasa menyesal mengapa dia kehilangan Hong-cu-kiam yang juga terampas oleh Hay Hay. Akan tetapi karena di situ terdapat Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi, bahkan Han Lojin juga kini ikut mengepung, dia merasa yakin mereka akan dapat menundukkan Kui Hong dan dia pun telah mencabut pedangnya, sebatang pedang yang cukup baik walau pun tidak dapat disamakan dengan pedang pusaka Hong-cu-kiam yang sudah terlepas dari tangannya. Sejak tadi Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi juga sudah mencabut senjata, yaitu sepasang pedang pula, dan kini dia mengepung sambil melintangkan sepasang pedang di atas kepala. Han Lojin sendiri juga turut maju, akan tetapi dia tidak memegang senjata apa pun. “Kau lihat, Kui Hong. Engkau sudah kami kepung dan tidak mungkin dapat lolos. Apakah tidak lebih baik engkau menyerah saja, kita berdamai dan engkau membantu perjuangan kami membela negara dan bangsa?" "Huhh! Yang sudi bersekutu denganmu hanyalah golongan sesat, orang-orang jahat yang sudah selayaknya dibasmi habis!" bentak Kui Hong dan tiba-tiba saja dia membalik ke kiri, pedang kanannya menusuk ke arah dada Cun Sek. Gerakannya cepat bukan main, ada pun pedangnya mengeluarkan sinar dan bunyi mendesing. Cun Sek menangkis dengan pedangnya dari samping, dia tidak berani mengadu langsung karena takut pedangnya akan patah. "Tranggg...!” Nampak bunga api berpijar dan diam-diam Kui Hong terkejut sekali. Tak dikiranya bahwa pembantu Ang-hong-cu yang berwajah tampan serta bertubuh tinggi besar ini tenaganya demikian kuat sehingga tangannya tergetar. Ia memutar pedang dan kini pedangnya yang kiri membabat ke arah kedua kaki lawan tinggi besar itu. Dan Cun Sek mengelak dengan loncatan yang membuat Kui Hong hampir mengeluarkan seruan kaget. Gerakan kaki itu mempunyai dasar ilmu Thai-kek Sin-kun dari Cin-ling-pai! Dia terkejut dan heran sekali, akan tetapi masih belum yakin benar. Dia hendak mendesak agar lawan tinggi besar itu mengeluarkan ilmu silatnya, akan tetapi terpaksa dia harus membalik dan memutar sepasang pedangnya untuk melindungi tubuh, karena pada saat itu pula wanita yang memegang sepasang pedang telah menyerangnya, disusul pengeroyok ke tiga, seorang pemuda yang tampan dan mempunyai gerakan kuat pula. Dan kembali dia terkejut ketika dia memutar siang-kiam melindungi tubuhnya karena dia seperti pernah melihat gerakan siang-kiam seperti yang dimainkan oleh wanita itu. Ketika dengan mendadak dia membalas ke arah laki-laki ke tiga yang mengeroyoknya, dengan sambaran pedang kanannya, dia pun hampir berteriak saking kagetnya sesudah melihat dasar gerakan kaki pemuda itu. Jelas dia melihat dasar gerakan kaki ilmu silat Hok-te Sin-kun yang hanya dimiliki oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah. Dan jantungnya berdebar ketika dia memperhatikan bentuk tubuh mereka. Biar pun wajah mereka itu berbeda, namun bentuk tubuh mereka dan gerakan silat mereka menunjukkan bahwa dia dikeroyok oleh si tinggi besar Tang Cun Sek, pemuda tampan Sim Ki Liong, dan wanita bersenjata siang-kiam Ji Sun Bi! Tak salah lagi! Akan tetapi Kui Hong menahan perasaannya dan hanya memusatkan perhatiannya pada penjagaan diri. Ia membela diri mati-matian dan memutar sepasang pedangnya sehingga tubuhnya seperti dilindungi oleh perisai yang kokoh kuat. Sambaran senjata ketiga orang pengeroyoknya itu seperti menghadapi sinar perisai yang amat kuat dan semua serangan itu membalik! Bahkan Han Lojin yang amat lihai, yang semenjak tadi ikut mengepung dan mencari kesempatan untuk turun tangan, tidak pernah berhasil karena sama sekali tidak ada lubang yang dapat dimasuki serangannya! Han Lojin memandang kagum sekali, akan tetapi juga khawatir. Sudah puluhan jurus tapi tiga orang pembantu utamanya belum juga mampu membekuk Kui Hong! Dia tahu bahwa apa bila dia tidak mengeluarkan perintah agar gadis itu ditangkap hidup-hidup, kalau tiga orang pembantunya berniat membunuhnya, maka perkelahian itu tidak akan berlangsung selama ini. Kui Hong tentu sudah roboh dikeroyok tiga orang yang tingkat kepandaiannya hanya sedikit di bawah tingkatnya. Akan tetapi justru karena mereka bertiga menjaga agar jangan sampai melukai apa lagi membunuh lawan, dan senjata mereka hanya dipergunakan untuk menjaga diri dan untuk berusaha meruntuhkan sepasang pedang Kui Hong, maka pertandingan menjadi berlarut-larut dan memakan waktu lama. Mungkin hanya kalau Kui Hong sudah kehabisan tenaga sajalah mereka itu akan berhasil. Tidak mudah untuk menanti sampai Kui Hong kehabisan tenaga karena dia seorang gadis yang sehat, terlatih baik dan tangguh. Kui Hong juga bukan seorang gadis bodoh. Dia maklum bahwa para pengeroyoknya amat taat terhadap perintah Han Lojin, jadi kini mereka berusaha untuk membuat dia kehabisan tenaga dan napas agar dapat ditawan hidup-hidup. Dan dia akan menderita penghinaan yang lebih mengerikan dari pada maut kalau sampai tertawan hidup-hidup. Oleh karena itu dengan nekat dia pun hendak mengadu nyawa dan sekarang mulailah dia membalas serangan lawan dengan serangan-serangan yang dahsyat. Dengan begitu dia membiarkan dirinya ‘terbuka’ sehingga mungkin saja dia akan terkena serangan senjata para pengeroyoknya sehingga terluka atau bahkan tewas. Setelah menyerang dengan dahsyat, hatinya makin yakin bahwa pemuda tinggi besar itu adalah Tang Cun Sek dan pemuda tampan itu adalah Sim Ki Liong. Serangan-serangan dahsyatnya membuat mereka tidak dapat menyembunyikan gerakan dasar yang asli dari ilmu silat mereka, dan dalam desakannya yang nekat ini dia berhasil menendang paha Ji Sun Bi sehingga wanita itu terpelanting. Akan tetapi karena serangan-serangannya itu telah membuat tubuhnya terbuka sehingga pertahanan dirinya tidak serapat tadi, Han Lojin lalu memperoleh kesempatan. Pada saat yang baik sekali, selagi sepasang pedang Kui Hong menempel kepada senjata di tangan Cun Sek dan Ki Liong, sebelum gadis itu mampu melepaskan sepasang pedangnya dari tempelan senjata lawan, Han Lojin menerjang ke depan dan tangannya berhasil menotok punggung Kui Hong. Gadis ini mengeluh lirih kemudian terguling pingsan! Hanya sebentar saja Kui Hong tak sadarkan diri. Ketika siuman ternyata tubuhnya lemas tak dapat digerakkan akibat jalan darahnya tertotok dan dia dipondong oleh pernuda tinggi besar yang berjalan bersama Han Lojin menuju ke lorong bawah tanah. Dia berpura-pura pingsan sesudah tahu bahwa dirinya tertotok dan tidak berdaya, karena kalau dia sadar, tentu hanya akan mendengar penghinaan Han Lojin saja. Setelah tiba di depan sebuah pintu besi yang tertutup, ia mendengar pemuda tinggi besar itu bicara dan begitu pemuda itu membuka mulut, tidak ada keraguan lagi dalam hatinya bahwa pemuda itu adalah Tang Cun Sek. Wajahnya boleh berubah, akan tetapi suaranya, bentuk badannya serta dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai tadi jelas membuktikan bahwa dia adalah Tan Cun Sek. Akan tetapi ada hal yang amat mengherankan hatinya ketika dia mengikuti percakapan singkat mereka di depan pintu. "Bengcu, kuharap Bengcu suka memberikan gadis ini kepadaku. Dia gadis yang kucinta dan aku... aku ingin memperisterinya..." "Hemm, dia berbahaya sekali, Cun Sek. Yang satu ini tidak boleh, aku sendiri yang akan menundukkannya agar tidak membahayakan kita." "Tapi... tapi... hanya sekali ini saja aku memohon. Aku adalah puteramu, aku minta agar dijodohkan dengan Kui Hong…” "Cukup! Masukkan dara ini ke dalam!" Han Lojin membentak sehingga Cun Sek nampak ketakutan. "Baik, Ayah... ehh, Bengcu. Baik!" Pintu terbuka secara otomatis dan dengan mata terbuka sedikit Kui Hong melihat seorang gadis yang cantik berdiri dengan sikap gelisah akan tetapi juga marah. Gadis itu berdiri di dekat sebuah pembaringan besar. Sesudah Cun Sek merebahkan tubuh Kui Hong di atas pembaringan itu, si gadis lantas membentak dengan suara kasar sambil menudingkan jari telunjuknya kepada Han Lojin. "Mana kakakku?! Dan siapa pula gadis ini, Ho-han Pangcu? Apa bila engkau tidak segera membebaskan aku, kakakku pasti akan menghancurkan engkau berikut perkumpulanmu! Sebaliknya, kalau engkau membebaskan aku, aku akan bicara dengan kakakku. Mungkin dia mau membantu perkumpulanmu, asal perkumpulanmu memang perkumpulan orang-orang gagah yang baik!" Han Lojin tersenyum. "Tenanglah, Mayang. Kakakmu tentu mau berunding denganku. Dia belum datang, dan sementara itu biarlah nona ini menemanimu di sini. Alangkah baiknya jika engkau dapat membujuknya agar dia suka membantu kami. Aku tentu akan berterima kasih sekali!" Sebelum Mayang menjawab, pintu besi sudah tertutup dan Han Lojin bersama Tang Cun Sek telah keluar dari kamar itu. Setelah yakin bahwa dia hanya berdua saja dengan gadis yang dia dengar namanya disebut Mayang itu, Kui Hong membuka matanya, lalu bangkit duduk. Melihat ini Mayang langsung menghampiri dan mereka duduk di atas pembaringan yang lebar itu, saling pandang dan saling mengagumi kecantikan masing-masing. “Enci, engkau siapakah dan bagaimana engkau dapat tertawan oleh mereka itu?" Mayang bertanya ketika melihat pandang mata penuh curiga dari gadis cantik itu. "Engkau sudah tahu bahwa aku tawanan, akan tetapi aku belum tahu siapa engkau dan mengapa pula di sini," kata Kui Hong yang masih menaruh curiga. Meski tadi dia mendengar betapa gadis Tibet ini mengancam Han Lojin bahwa kakaknya akan menghancurkan Han Lojin beserta perkumpulannya, akan tetapi dia tidak tahu siapa gadis ini. Mayang tersenyum, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang galak dan penuh prasangka. "Namaku Mayang, Enci. Jangan engkau khawatir. Aku masih menanti datangnya kakakku dan kalau dia sudah muncul, pasti dia akan dapat menghancurkan Ho-han-pang dan juga membebaskan kita." "Hemm, siapa kakakmu itu?” "Kakakku bernama Hay Hay. Hay-ko lihai sekali dan dia pasti akan datang dan..." Mayang cepat menghentikan ucapannya karena melihat betapa wajah gadis di depannya itu berubah, seperti orang terkejut dan memandang kepadanya dengan mata mencorong. “Dia Tang Hay maksudmu?" "Benar, Enci!" “Kau bohong! Dia tidak mempunyai adik perempuan, kecuali kalau engkau juga she Tang, berarti engkau juga puteri Ang-hong-cu!" Kini Mayang berbalik kaget sekali mendengar bahwa gadis ini sudah tahu bahwa dia dan kakaknya adalah anak-anak Ang-hong-cu. “Enci, engkau mengenal ini?" Dia menarik keluar mainan dari balik bajunya, yaitu mainan berbentuk seekor kumbang merah. "Ang-hong-cu...! Jadi kau... kau puterinya?" "Benar, aku adalah puteri Ang-hong-cu, seperti juga Hay-koko yang putera Ang-hong-cu. Agaknya engkau sudah mengetahui...” “Bagus sekali!" Tiba-tiba saja, secepat kilat tangan Kui Hong bergerak dan dia sudah menotok jalan darah di pundak kiri hingga Mayang terkulai lemas, kaki tangannya menjadi lumpuh. Tentu saja Mayang kaget dan marah sekali. Dia diserang dalam keadaan tidak menyangkanya sama sekali, dan mereka duduk berdekatan maka dia tidak sempat mengelak, apa lagi gerakan tangan Kui Hong memang cepat seperti kilat menyambar. Hanya kaki tangannya serta punggungnya saja yang lumpuh, akan tetapi Mayang masih dapat menggerakkan anggota tubuh yang lain. Dia memandang kepada Kui Hong dengan mata bersinar penuh kemarahan. "Heiiii! Kenapa kau lakukan ini?" bentaknya marah. Kui Hong tersenyum mengejek. "Engkau puteri Ang-hong-cu. Engkau satu-satunya orang yang dapat membebaskan aku dari sini. Engkau kujadikan sandera agar aku dibebaskan. Kalau mereka tidak mau membebaskan aku, maka engkau akan kubunuh!" Mayang juga seorang gadis yang keras hati dan tidak takut mati. Dia mendengus marah. "Huhh, aku tidak mengenal siapa engkau. Akan tetapi yang sudah jelas bagiku, engkau ini seorang pengecut yang tolol!” Kalau saja dia tidak dalam tahanan, tentu Kui Hong sudah menampar mulut yang berani memakinya pengecut dan tolol seperti itu. Dia menahan kemarahannya. “Jelaskan kenapa engkau mengatakan aku pengecut dan tolol. Kalau tidak ada alasannya yang kuat, akan kutampar mulutmu yang lancang itu!” "Lebih dari pada pengecut dan tolol, engkau mungkin sudah gila!" Mayang berteriak, tidak kalah galaknya dan walau pun dia rebah telentang tanpa dapat menggerakkan tubuhnya, namun dia membelalakkan matanya yang sipit, hidungnya kembang kempis dan mulutnya cemberut penuh amarah. "Masih perlu penjelasan lagi? Engkau pengecut karena engkau menyerang dan menotokku secara curang, tanpa memberi peringatan lebih dahulu bahwa engkau akan menyerangku. Apakah perbuatan demikian tidak curang dan pengecut? Bila engkau memang gagah, kenapa tidak terang-terangan saja menantang? Kau sangka aku takut padamu? Dan tentang tolol, engkau memang bodoh dan tolol bukan kepalang. Kau bilang hendak menjadikan aku sebagai sandera agar engkau dibebaskan? Apakah engkau ingin melucu di atas panggung? Aku sendiri menjadi tawanan di sini! Bagaimana mungkin pangcu dari Ho-han-pang mau membebaskan engkau hanya karena engkau menawan aku? Tawanan menyandera tawanan? Apakah ini tidak gila namanya?" Belum pernah selama hidupnya Kui Hong dimaki-maki orang seperti itu, dimaki pengecut, curang, tolol, bodoh, bahkan gila! Akan tetapi amarahnya masih kalah oleh keheranannya mendengar semua kata-kata itu. Diakah yang gila, ataukah gadis ini yang sudah menjadi gila? Gadis ini bicara tentang menjadi tawanan Ho-han Pangcu! Padahal Ho-han Pangcu bukan lain adalah Han Lojin alias Tang Bun An alias Ang-hong-cu alias ayah kandungnya sendiri! "Hemmm, bocah bermulut lancang! Sesungguhnya engkaulah yang tolol dan gila. Engkau ini benar tidak tahu apakah pura-pura tidak tahu? Coba jawab, siapakah yang menawan engkau?" "Siapa lagi kalau bukan dia yang juga menawanmu tadi. Yang menawanku adalah pangcu dari Ho-han-pang..." "Dan engkau tidak tahu siapa dia?" "Dia adalah ketua Ho-han-pang dan bengcu..." "Bodoh! Dia itu Han Lojin!" "Siapa itu Han Lojin?" Ahh, sekarang mengertilah Kui Hong. Gadis tolol ini belum tahu bahwa dia sudah menjadi tawanan ayah kandungnya sendiri "Han Lojin adalah Tang Bun An!" "Tang Bun An? Siapa pula..." "Penawanmu itu adalah Ho-han Pangcu, atau Han Lojin, alias Tang Bun An, alias Ang-hong-cu pula!" "Ahhh…!" Sepasang mata itu terbelalak. "Dia… dia... Ang-hong-cu...? Aku tak percaya!" "Itulah ketololanmu! Ketua Ho-han-pang adalah Ang-hong-cu dan hal ini aku tahu benar!" "Tapi... tapi... jika benar dia Ang-hong-cu, berarti dia adalah ayah kadungku? Akan tetapi kenapa dia... dia menawanku? Pantas saja dia mengenal nama ibu dan subo-ku...! Ahh, akan tetapi mungkinkah itu? Kenapa dia menawanku dan sikapnya seperti itu?” Ia teringat akan sikap cabul ketua Ho-han-pang itu. "Apakah engkau belum pernah melihat ayahmu?" "Sejak lahir belum pernah aku melihatnya." "Dan Hay Hay kakakmu itu, apakah dia pernah bercerita tentang jahatnya Ang-hong-cu?" "Hanya sedikit... ahh, Enci yang baik, ceritakan kepadaku bagaimana sebenarnya semua itu, tentang Han Lojin, tentang Tang Bun An, tentang Ang-hong-cu! Aku sungguh bingung sekali. Aku datang ke sini bersama kakakku untuk menyelidiki perwira she Tang, dan aku dipancing ke sini, lalu dikeroyok dan ditangkap, katanya untuk memancing agar kakakku datang pula ke sini. Tapi tidak tahunya engkau yang muncul! Apa artinya semua ini, Enci? Katakanlah. Engkau tidak ragu lagi dan percaya kepadaku, bukan?" Sepasang mata Mayang menjadi basah karena dia merasa tegang dan penasaran sekali setelah mendengar bahwa laki-laki setengah tua yang cabul dan menawannya itu adalah ayah kandungnya sendiri. Biar pun masih muda, Kui Hong sudah berpengalaman dan dia pun dapat membedakan sikap orang yang berbohong atau tidak. Dia tahu bahwa Mayang tidak berbohong dan dia percaya kepada gadis Tibet itu yang dia tahu tentu puteri seorang wanita Tibet yang dulu menjadi korban keganasan Ang-hong-cu pula, seperti ibu Hay Hay. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun membebaskan totokannya dan Mayang dapat menggerakkan kaki tangannya. Gadis Tibet itu bangkit duduk, mengurut-urut kaki tangannya sambil memandang kepada Kui Hong. "Enci, engkau mengenal kakakku?" "Tang Hay? Tentu saja aku mengenalnya." "Enci, siapakah namamu? Bagaimana pula engkau sampai dapat tertawan oleh mereka? Ceritakanlah tentang semua ini…” "Nanti dulu, Mayang. Namamu Mayang, bukan? Nah, adik Mayang, sebelum aku mulai bercerita lebih baik engkau lebih dahulu menceritakan pengalamanmu bersama Hay Hay supaya aku bisa mengerti duduknya perkara dan dapat menentukan langkah selanjutnya. Sekarang kita berada dalam kekuasaan persekutuan yang amat berbahaya dan kuat, adik Mayang. Nah, kau ceritakan semuanya, juga hal yang amat mengherankan bahwa engkau tidak tahu akan kenyataan bahwa ketua Ho-han-pang adalah Han Lojin atau Tang Bun An atau Ang-hong-cu, yaitu ayah kandungmu sendiri!" Rasa kaku pada kaki dan tangan Mayang sudah lenyap setelah dia mengurutnya, dan kini mereka duduk saling berhadapan di tepi pembaringan. "Baiklah, Enci. Memang sudah sepatutnya kalau engkau merasa curiga dan berhati-hati, dan maafkan semua kelancanganku tadi. Aku bertemu dengan kakakku Tang Hay ketika dia berada di Tibet bersama pendekar Pek Han Siong. Apakah engkau juga kenal dengan pendekar itu?" Kui Hong mengangguk. Ia mengenal Pek Han Siong. Ada persamaan antara Hay Hay dan Han Siong. Keduanya mempunyai ilmu kepandaian tinggi, bahkan keduanya juga memiliki ilmu sihir yang hebat. "Lanjutkan ceritamu," katanya. "Sesudah saling berjumpa, secara kebetulan kami saling melihat mainan yang tergantung di leher kami dan tahulah kami bahwa kami adalah kakak beradik. Ayah kami adalah Ang-hong-cu." Mayang tidak mau menceritakan bahwa dia sudah dinikahkan dengan Hay Hay, karena hal itu merupakan rahasia pribadinya, merupakan hal yang dapat mendatangkan aib. Menikah dengan kakak sendiri! "Dan ibumu?" "Ibuku bernama Souli, seorang wanita Tibet yang pernah tergila-gila kepada laki-laki yang oleh ibu disebut Tang Taihiap. Akan tetapi sesudah ibuku mengandung, Tang Taihiap itu meninggalkannya dan tidak pernah kembali, hanya meninggalkan benda ini kepada ibu." "Hemm, memang itulah sifat khas Ang-hong-cu," kata Kui Hong gemas. "Sesudah mendengar dari kakakku, Tang Hay tentang ayah kandungku, aku lalu ikut Hay-ko untuk mencari ayah, mencari Ang-hong-cu, bukan untuk berbaik-baik antara anak dan ayahnya, melainkan untuk minta pertanggungan jawab Ang-hong-cu yang menurut Hay-ko telah melakukan banyak kejahatan. Nah, kami berdua pergi ke kota raja karena Hay-ko bilang bahwa dia mendengar di kota raja ada seorang perwira she Tang yang mengaku sebagai putera Ang-hong-cu. Pada waktu kami melakukan penyelidikan, kami mendengar bahwa yang ada seorang perwira she Tang yang telah setengah tua, bukan perwira Tang muda. Ketika kemarin pagi Hay-koko pergi melakukan penyelidikan, datang seorang yang mengabarkan bahwa Hay-ko memanggilku. Aku dipancing dan dijebak, lalu aku dikeroyok sehingga akhirnya aku tertawan. Ternyata Ho-han-pang mempunyai banyak orang pandai, terutama dua orang pemuda yang menawanku itu." Kui Hong mengangguk-angguk. Dia sudah tahu dan dia juga tahu bahwa mereka adalah Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, juga ada Ji Sun Bi. Bahkan baru sekarang diketahuinya pula hal yang mengejutkan hatinya, yaitu bahwa Tang Cun Sek adalah putera Ang-hong-cu pula! Putera Ang-hong-cu yang satu ini pernah menyelundup ke Cin-ling-pai dan telah mempelajari ilmu-ilmu Cin-ling-pai, bahkan melarikan pedang pusaka Hong-cu-kiam dari Cin-ling-pai....

jilid 25

TIBA-TIBA dia tersentak kaget, teringat betapa ketika mengeroyoknya, Tang Cun Sek tidak memegang Hong-cu-kiam, dan Sim Ki Liong juga tidak memegang Gin-hwa-kiam! Apakah hal itu sengaja mereka lakukan karena mereka menyamar dengan memakai kedok tipis, tidak mau mengeluarkan pedang-pedang pusaka itu agar dia tidak mengenal mereka? "Lanjutkan ceritamu, Mayang." "Aku ditawan di sini dan aku menantang Ho-han Pangcu di kamar ini. Ia membebaskanku kemudian kami berkelahi. Akan tetapi dia amat lihai, dia berhasil merobek bajuku dan dia melihat benda mainan ini!" "Hemm, jadi dia tahu pula bahwa engkau puterinya?" “Agaknya demikianlah, walau pun dia tidak membuat pengakuan. Buktinya dia mengenal nama ibuku, Souli, dan dia mengenal pula subo-ku." "Siapakah subo-mu?" "Kim-mo Sian-kouw." "Hemm, lalu apa yang dilakukan terhadap dirimu?" "Dia tidak mengaku siapa dirinya, hanya mengatakan bahwa aku ditahan di sini dan baru akan dibebaskan bila Hay-ko mau menyerah dan mau membantu Ho-han-pang. Aku pun menanti saja di sini, diberi makan minum dan semua keperluan dicukupi, bahkan pakaian lengkap tersedia di sini. Mereka tidak pernah menggangguku, tetapi hatiku selalu khawatir akan nasib Hay-ko sampai engkau masuk tadi, Enci. Tetapi sekarang hatiku lebih tenang, sesudah mengetahui bahwa engkau juga musuh mereka dan agaknya engkau lihai. Kita dapat bekerja sama melawan mereka, enci!" Hati Kui Hong juga merasa lega. Gadis ini tentu mempunyai ilmu kepandaian yang cukup baik, sebab bila tidak demikian, tidak nanti Hay Hay mengajaknya mencari Ang-hong-cu. Dia sendiri belum pernah mendengar nama gadis ini atau ibunya, akan tetapi dia pernah mendengar nama guru gadis ini, Kim-mo Sian-kouw. Neneknya pernah bercerita bahwa di daerah Tibet selain terdapat banyak pendeta Lama yang sakti juga terdapat seorang tokoh wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan berjuluk Kim-mo Sian-kouw. "Tentu saja, adikku. Ketahuilah, namaku Cia Kui Hong…..” "Wah, kiranya engkau ini enci Kui Hong!" Mayang berseru dengan gembira sekali. Kui Hong memandang kepada Mayang dengan alis berkerut. "Engkau sudah mengetahui namaku?" "Tentu saja! Engkau merupakan sahabat terbaik dari kakakku, bagaimana aku tidak tahu? Hay-ko banyak bercerita tentang dirimu, kata Hay-ko engkaulah sahabatnya yang paling dikaguminya dan yang paling baik." "Ahh? Dia berkata demikian?" Wajah Kui Hong seketika berubah merah sekali sampai ke leher dan telinganya dan hal ini tidak dilewatkan oleh pandangan mata Mayang. "Apa lagi yang dikatakannya tentang diriku?" Mayang kemudian mengingat-ingat. Atas pertanyaan dan desakannya, memang Hay Hay banyak bercerita tentang pengalamannya yang lampau dan tentang para pendekar wanita yang pernah ditemuinya, juga yang pernah bekerja sama dengannya dalam menghadapi tokoh-tokoh sesat. "Dia bilang bahwa Enci merupakan seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan manis budi, juga berkepandaian tinggi sekali…" “Ihhh! Engkau perayu seperti kakakmu!" kata Kui Hong tertawa. "Tidak, Enci. Dia bukan memuji kosong sebagai rayuan. Memang engkau cantik jelita dan manis budi, dan tentu kepandaianmu tinggi sekali…" "Sudah, cukuplah. Lanjutkan ceritamu, adik Mayang," kata Kui Hong, akan tetapi bibirnya tersenyum manis dan hatinya terasa girang bukan main. Hay Hay masih ingat kepadanya! Bukan hanya ingat, akan tetapi bahkan memuji-mujinya! "Hay-koko mengatakan bahwa Enci adalah puteri ketua Cin-ling-pai yang terkenal sebagai perkumpulan para pendekar yang gagah perkasa, juga Enci adalah cucu Pendekar Sadis yang namanya menggemparkan dunia persilatan!" "Cukup tentang diriku. Ceritakan bagaimana engkau sampai terjebak di sini dan kakakmu itu belum juga datang menolongmu." Wajah Mayang kelihatan berduka. "Entahlah, enci Hong. Aku tidak tahu di mana adanya kakakku, tetapi aku khawatir sekali kalau sampai dia pun terperangkap oleh jahanam..." “Dia ayah kandungmu!" "Tidak peduli! Dia jahat! Dia telah meninggalkan ibu ketika ibu mengandung, membuat ibu menderita hebat. Dan sekarang dia malah menawanku, menghinaku! Enci Hong, engkau yang seharusnya melanjutkan ceritamu tadi, tentang Ang-hong-cu, tentang kedatanganmu ke sini, tentang segalanya!" Kui Hong teringat dan tersenyum. Tadi ceritanya terhenti karena dia tenggelam ke dalam kegembiraan mendengar Hay Hay memuji-mujinya dan masih ingat kepadanya. "Aku mengenal Han Lojin sebagai Ang-hong-cu beberapa waktu yang lalu pada saat para pendekar membantu pemerintah membasmi pemberontakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Han Lojin muncul dan dia pun membantu pemerintah. Di sanalah dia melakukan perbuatan-pebuatan jahat, memperkosa beberapa orang wanita dan di sana terdapat pula kakakmu Hay Hay. Ketika itulah kakakmu, aku dan yang lain-lainnya, mengetahui bahwa Han Lojin adalah Ang-hongcu, akan tetapi dia melarikan diri. Ketika aku tiba di kota raja, kebetulan aku bertemu dengan Tang Bun An yang menjadi perwira di istana, lantas aku mengetahui rahasianya, bahkan dialah Han Lojin dan juga Ang-hong-cu. Namun dengan liciknya dia menjebakku sehingga aku tertawan olehnya. Dan di situ aku melakukan suatu kebodohan yang membuat aku sangat menyesal. Aku telah berjanji takkan memusuhinya dan tak akan membuka rahasianya. Sebagai imbalannya dia membebaskan aku. Padahal sesungguhnya dia takut kepadaku, takut kepada Cin-ling-pai, takut pula kepada kakekku Pendekar Sadis. Sesudah bebas aku merasa sangat menyesal, merasa bahwa aku telah menjadi pelindungnya, menjadi sekutunya. Karena itu aku lalu datang menantangnya dan maklum bahwa dia tentu akan mempergunakan anak buahnya untuk mengeroyokku. Nah, kemudian aku dikeroyok dan ditawan, lalu dimasukkan ke sini." Mayang memandang heran. "Enci Hong! Engkau telah bebas akan tetapi engkau sengaja membiarkan dirimu ditangkap dan terancam maut?" Kui Hong tersenyum, kemudian mengangguk. "Bukan hanya ancaman maut, malah lebih mengerikan lagi. Mungkin aku akan disiksa, dihina, lalu dibunuh. Akan tetapi bagiku lebih baik mati dalam menentang kejahatan dari pada hidup menjadi sekutu orang jahat!" "Hebat! Engkau hebat, enci Hong. Memang pantas sekali kalau kakakku kagum padamu. Engkau seorang pendekar wanita yang hebat! Akan tetapi jangan khawatir, Enci. Kini kita bersatu. Kita berdua dapat melawan mereka! Dan masih ada kakakku pula, dia pasti akan menolong kita. Ia mempunyai sebuah hadiah untukmu, hal itu pernah dia katakan sendiri kepadaku." "Hadiah? Untukku? Hadiah apakah itu, Mayang?" "Sebatang pedang pusaka, Enci." "Pedang pusaka? Aku sudah memiliki Hok-mo Siangkiam... ahh, tetapi si keparat itu telah menyitanya!" katanya dengan wajah menyesal sekali. "Jangan khawatir, Enci. Pedang pusaka itu hebat, aku telah melihatnya, dan kata Hay-ko, pedang itu memang milikmu, milik Cin-ling-pai. Namanya Hong-cu-kiam." "Hong-cu-kiam?" Sepasang mata yang tajam itu terbelalak. Pedang pusaka itu dilarikan Tang Cun Sek dan kini telah berada di tangan Hay Hay? Pantas saja Cun Sek tidak mempergunakan pedang pusaka itu. Dan bagaimana dengan Gin-hwa-kiam yang tadinya dilarikan Ki Liong? "Ah, memang benar itu pusaka Cin-ling-pai yang dilarikan orang. Dan... barangkali engkau tahu tentang pedang pusaka Gin-hwa-kiam?” "Gin-hwa-kiam? Bukankah itu pedang pusaka yang kulihat dipergunakan oleh pendekar Pek Han Siong?" "Sudah berada di tangan Pek Han Siong? Bagus!" Kui Hong girang bukan main. Kiranya Hay Hay dan Han Siong sudah dapat merampas kembali kedua pedang pusaka itu! "Gin-hwa-kiam adalah pedang Pulau Teratai Merah yang juga dilarikan orang. Aihh…, adikku, engkau menceritakan berita yang sangat menggembirakan. Sekarang marilah kita periksa tempat ini, kalau-kalau ada jalan untuk melarikan diri dari sini." "Coba periksalah, Enci. Aku sudah lelah memeriksa namun tidak dapat menemukan jalan keluar. Ruangan ini adalah ruangan di bawah tanah dan jalan satu-satunya adalah pintu itu, tetapi pintu itu terbuat dari besi yang tebal dan kokoh kuat. Membukanya pun dengan alat rahasia. Sedangkan lubang angin dan sinar di atas itu, selain terlalu tinggi juga diberi terali besi yang kokoh pula." Tetapi Kui Hong merasa tidak puas kalau belum memeriksa sendiri. Dia lalu mengadakan pemeriksaan dengan sangat teliti. Namun ternyata benar seperti yang dikatakan Mayang tadi. Tempat itu sangat rapat dan tidak ada jalan keluar kecuali melalui pintu yang amat kokoh itu. Satu-satunya jalan hanyalah menanti sampai ada yang membuka pintu itu lalu menerjang keluar! Karena itu, ketika ada orang yang mendorong makanan dan minuman melalui lubang di bagian bawah pintu, dua orang gadis itu pun makan minum dengan cukup untuk membuat tubuh mereka tetap kuat. Kui Hong yang mengenal kelicikan lawan tadinya merasa ragu untuk makan dan minum. Dia tidak takut menghadapi racun karena dia dapat mengetahui kalau makanan atau minuman itu dicampur racun, tetapi yang dikhawatirkan adalah kalau ada kekuatan sihir terkandung dalam makanan dan minuman itu yang akan menundukkan mereka. Ketika dia menyatakan hal ini, Mayang pun tersenyum. "Kalau terhadap serangan sihir, jangan takut, Enci. Secara khusus aku sudah melatih diri untuk menolak segala kekuatan sihir." "Ehh! Engkau pandai sihir seperti Hay Hay dan Han Siong?" Kui Hong memandang gadis Tibet itu. Mayang tersenyum. Bukan main manisnya gadis Tibet itu bila mana tersenyum. Mulutnya yang kecil itu mekar bagaikan setangkai bunga yang merah merekah. Dia tidak menutupi keindahan itu dengan tangannya seperti biasanya gadis Han yang sopan-sopan. Kui Hong memandang kagum. Memang ada persamaan antara Mayang dengan Hay Hay. Mungkin dalam bentuk mulut dan hidungnya itulah, juga kecerahan wajah itu bila sedang tersenyum. "Tidak, Enci. Akan tetapi biar Hay-ko sendiri pun tak akan mampu menguasai aku dengan kekuatan sihirnya! Subo telah mengajarkan aku latihan untuk memperoleh kekuatan batin yang bisa menolak segala macam kekuatan sihir yang bagaimana kuat pun. Oleh karena itu jangan khawatir, aku mampu menolaknya." Kui Hong memandang kagum. Mereka lalu makan minum dengan gembira sehingga Kui Hong pun lupa bahwa dia sedang berada dalam tahanan musuh, bukan di dalam kamar hotel mewah sedang bersenang-senang dengan seorang sahabat yang menyenangkan sekali. Setelah makan dan beristirahat sejenak, Kui Hong lalu bangkit. "Adik Mayang, kini bersiaplah. Kita akan mengadu kepandaian silat. Kamar ini cukup lebar sehingga leluasa bagi kita untuk bertanding silat di sini." "Ehhh?!" Mayang memandang wajah Kui Hong dengan kaget, akan tetapi melihat wajah yang cantik itu tetap cerah dan mulutnya tersenyum, Mayang pun segera mengerti. "Maksudmu, kita berlatih silat, enci Hong?' Kui Hong mengangguk. "Kita harus selalu siap, oleh sebab itu kita perlu berlatih, terutama untuk mengenal kepandaian masing-masing sehingga mudah bagi kita untuk menentukan langkah selanjutnya. Jangan sungkan dan jangan main-main, adikku. Seranglah aku dan keluarkan semua kepandaianmu agar aku dapat menilai sampai di mana tingkatmu." "Baik, enci Hong, akan tetapi jangan mentertawakan aku!" "Aihh, engkau terlalu merendahkan dirimu, Mayang. Aku pernah mendengar nama besar subo-mu, maka aku tahu bahwa engkau pasti mempunyai ilmu silat yang hebat. Nah, mari kita main-main sebentar!" "Baik, enci Hong. Kau jaga baik-baik seranganku!" Setelah melihat bahwa Kui Hong sudah memasang kuda-kuda, Mayang kemudian mulai menyerang. Karena dia pun sudah dapat menduga akan kelihaian Kui Hong, maka begitu menyerang dia segera memainkan ilmu silat Kim-lian-kun (Ilmu Silat Teratai Emas) yang sangat ampuh, yaitu ilmu silat andalan dari Kim-mo Sian-kouw. Gerakannya sangat cepat dan mengandung tenaga yang dahsyat sehingga dari tangannya keluar angin berdesir. "Bagus!" Kui Hong berseru sambil mengelak dan membalas serangan Mayang. Dia pun tidak main-main karena dari gerakan pertama itu saja tahulah dia bahwa Mayang sungguh lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Kui Hong sudah mempelajari banyak macam ilmu silat, tapi belum pernah dia melihat ilmu silat seperti yang dimainkan oleh Mayang, maka dia pun bersikap hati-hati sekali. Serang menyerang terjadi di dalam kamar yang luas itu hingga terdengar angin berkesiur setiap kali mereka menggerakkan tangan. Dan bila sesekali terjadi adu lengan, keduanya tergetar dan mundur dua langkah, saling pandang dengan kagum. Makin lama serangan Mayang semakin hebat dan Kui Hong kagum bukan main. Ilmu silat gadis Tibet itu memang tangguh sekali, maka terpaksa dia harus mengerahkan ilmu ginkang (meringankan tubuh) Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) yang dipelajarinya dari Ceng Sui Cin, ibunya. Dengan ilmu ini tubuhnya menjadi ringan laksana kapas sehingga Mayang terkejut dan kagum bukan main. Lawannya itu seolah-olah dapat terbang dan tak pernah dapat disentuh oleh tangannya yang menyerang. Kui Hong lalu menilai ilmu yang dimiliki Mayang, juga kekuatan kedua tangannya. Harus diakuinya bahwa tingkat kepandaian Mayang sudah cukup tinggi, tak kalah dibandingkan para pendekar wanita lainnya. Apa bila tidak memperoleh gemblengan dari kakeknya dan neneknya di Pulau Teratai Merah, dia sendiri tentu akan mengalami kesulitan untuk dapat mengalahkan Mayang! Sampai lima puluh jurus lebih mereka berlatih dan kalau Kui Hong menghendaki, biar pun tidak terlalu mudah tapi dia akan mampu mengalahkan Mayang. Bagaimana pun lihainya gadis Tibet itu, Kui Hong masih menang tingkat, menang cepat dan tenaganya lebih kuat. Akan tetapi Kui Hong tidak mau mengecilkan hati Mayang. Dia sudah merasa cukup puas melihat kenyataan bahwa Mayang memang lihai sehingga bisa diandalkan untuk menjadi kawan dalam menghadapi Ang-hong-cu beserta anak-anak buahnya. "Cukup, Mayang!" katanya sambil melompat ke belakang. "Engkau lihai sekali!" "Ihhh, enci Kui Hong, jangan memuji! Kalau engkau mau, tentu sudah sejak tadi engkau dapat merobohkan aku. Ilmu aneh apakah itu yang tadi membuat tubuhmu begitu ringan seperti kapas terbang saja? Semua seranganku tidak ada gunanya!" "Itu adalah Bu-eng Hui-teng yang kupelajari dari ibuku, Mayang. Sudahlah, sekarang kita beristirahat. Engkau cukup tangguh dan kurasa kita berdua akan mampu menjaga diri bila mereka muncul," kata Kui Hong sambil mengusap peluh dari lehernya, seperti yang juga dilakukan oleh Mayang. "Sekarang mari menghimpun tenaga dan memulihkan kelenturan otot-otot, mengatur pernapasan," kata Kui Hong yang ingin agar keduanya berada dalam keadaan yang siap benar untuk memberontak kalau sewaktu-waktu pintu besi itu dibuka. Mayang mengangguk dan keduanya lantas duduk bersila di atas pembaringan, mengatur pernapasan. *************** Sebagai seorang pelarian, tentu saja Tang Gun tidak berani begitu saja memasuki kota raja. Kalau ada orang yang mengenalnya, tentu akan terjadi geger. Pasukan pemerintah pasti akan mengejar dan menangkapnya. Meski pun di sampingnya ada sumoi-nya, Siangkoan Bi Lian yang lihai sekali, namun jika pasukan pemerintah mengepungnya, tentu mereka berdua tidak akan mampu melawan, bahkan sulit untuk dapat meloloskan diri dari kota raja. Oleh karena itu, ketika memasuki pintu gerbang kota raja, Tang Gun menyamar sebagai seorang lelaki setengah tua yang rambutnya sudah penuh uban, dengan kumis dan jenggot palsu. Siangkoan Bi Lian yang berjalan di sampingnya mengaku sebagai puterinya. Penyamaran itu cukup baik sehingga tak seorang pun mengenalnya. Mereka masuk ke kota raja sesudah hari menjelang senja. Cuaca sudah mulai redup dan remang-remang. Tang Gun langsung mengajak sumoi-nya mencari seorang bekas anak buahnya yang dipercaya benar, karena mereka harus lebih dahulu menyelidiki di mana adanya Tang Bun An yang mereka cari-cari itu. Bekas anak buahnya itu bernama Gu Kiat, dan sebagai seorang prajurit pengawal istana tentu dia tahu akan segalanya mengenai Tang Bun An yang kabarnya menjadi perwira itu. Dahulu Tang Gun pernah menyelamatkan Gu Kiat, maka dia merasa yakin bahwa Gu Kiat yang hidup sebatang kara tanpa keluarga itu pasti akan suka membantunya. Gu Kiat kebetulan sedang duduk di ruangan depan rumahnya ketika Tang Gun atau yang kini dikenal sebagai Tan Hok Seng tiba. Dia cepat-cepat keluar dari pintu rumahnya dan memandang heran pada pria dan wanita yang tidak dikenalnya itu. Apa lagi ketika melihat betapa wanita muda itu amat cantik, maka keheranannya bertambah. "Paman hendak mencari siapakah?" tanya Gu Kiat sambil melirik ke arah wajah Bi Lian yang nampak cantik sekali tertimpa sinar lampu gantung di depan rumah itu. Hok Seng membalas penghormatan tuan rumah dan berkata, "Saya mempunyai urusan penting sekali untuk disampaikan kepada saudara Gu Kiat." "Saya sendiri yang bernama Gu Kiat." Hok Seng berkata kepada Bi Lian, "Anakku, engkau tunggu sebentar di sini, aku hendak bicara empat mata dengan saudara ini." Bi Lian mengangguk dan Hok Seng lalu berkata kepada Gu Kiat yang masih memandang keheranan itu. "Saudara Gu Kiat, dapatkah kita bicara empat mata di dalam? Apa yang akan saya bicarakan ini sangat penting dan tidak boleh diketahui orang lain." "Tapi... tapi..., siapakah Paman?" Gu Kiat bertanya ragu. Hok Seng berbisik, "Aku Tan Hok Seng dan aku ingin bicara mengenai guci emas istana. Mari kita bicara empat mata di dalam." Gu Kiat nampak kaget bukan kepalang, matanya terbelalak dan mukanya berubah pucat ketika dia memandang kepada Hok Seng. Bi Lian tidak mengerti, hanya mengira bahwa kini orang itu sudah mengenal Hok Seng yang menyamar. Padahal Gu Kiat terkejut sekali karena mendengar bisikan tentang guci emas istana tadi. Dulu, sebagai prajurit pengawal dia pernah mencuri guci emas istana dan perbuatannya itu ketahuan oleh pengawal lain. Kalau tidak ada Tang Gun yang menyelamatkannya, dia tentu sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman berat. Tidak mengherankan kini dia terkejut setengah mati mendengar laki-laki setengah tua yang tidak dikenalnya itu berbisik tentang guci emas istana! Karena itu, mendengar permintaan orang itu untuk bicara empat mata di dalam, dia pun mengangguk lantas memberi isyarat kepada orang itu untuk memasuki rumahnya. Bi Lian tidak turut masuk, melainkan duduk menunggu di atas bangku di ruangan depan itu. Biarlah suheng-nya yang melakukan penyelidikan di mana adanya Tang Bun An yang telah melempar fitnah kepada suheng-nya itu. Nanti bila telah berhadapan dengan musuh itu, barulah dia yang akan menandinginya. Setelah berada di dalam ruangan sebelah dalam, hanya berdua saja dengan Gu Kiat, Hok Seng kemudian berkata lirih, "Gu Kiat, pandanglah baik-baik. Aku adalah Tang Gun yang sedang menyamar!" Gu Kiat memandang tajam dan dia segera mengenal bekas atasannya itu, mengenal dari suara dan pandang matanya. "Tang-ciangkun....!" katanya terkejut dan heran. Selama ini dia menyangka bahwa bekas komandannya ini telah tewas. "Ahhh, jangan menyebut aku ciangkun lagi, aku sudah bukan seorang perwira." "Tapi... tapi... apakah kehendak Tang-kongcu, (tuan muda Tang) mendatangi saya?" jelas bahwa Gu Kiat ketakutan karena tentu saja dia akan celaka kalau sampai diketahui orang bahwa dia kedatangan tamu bekas perwira yang menjadi orang hukuman dan pelarian ini. "Dengarkan baik-baik, Gu Kiat. Aku pernah menolongmu, dan sekarang saatnya engkau membalas budi itu dan balik menolongku. Pertama, lupakan bahwa namaku adalah Tang Gun. Kini namaku adalah Tan Hok Seng, maka engkau harus menyebutku Tan-kongcu. Mengerti?" Diingatkan akan ‘budi’ itu, Gu Kiat mengangguk patuh. "Saya mengerti," katanya lirih. "Dan ke dua, aku ingin mendengar tentang diri Tang Bun An. Nah, ceritakan tentang dia!" Di dalam hatinya Gu Kiat tersenyum. Akan tetapi wajahnya tidak membayangkan apa pun ketika dia menjawab. "Ahh, dia? Setelah engkau pergi, dia lalu diangkat menjadi seorang perwira tinggi pasukan pengawal di istana." "Hemm, sudah kuduga. Di mana sekarang dia tinggal?" Gu Kiat menggeleng kepalanya. "Bagaimana saya bisa tahu? Sekarang dia telah berhenti menjadi perwira." "Berhenti?" "Dia mengundurkan diri dan sejak itu, saya tidak tahu lagi di mana dia berada." Tentu saja Hok Seng kecewa bukan main mendengar berita ini. Musuh besarnya itu telah lolos, dan tidak lagi berada di kota raja! "Akan tetapi saya dapat membantumu, Kongcu. Di antara kawan-kawan yang dulu pernah menjadi anak buahnya, tentu ada yang tahu di mana adanya bekas perwira itu." Wajah yang tadinya dibayangi kekecewaan itu menjadi cerah kembali. "Ahh, bagus sekali! Terima kasih dan ternyata engkau seorang yang mengenal budi, Gu Kiat. Kapan engkau akan melakukan penyelidikan itu? Lebih cepat lebih baik!" "Memang sebaiknya begitu, Kongcu. Malam ini juga saya akan pergi menyelidiki di antara kawan-kawan. Dan sebaiknya kalau Kongcu dan ehh… siapakah nona yang menunggu di depan itu?" "Dia sumoi-ku." "Sebaiknya Kongcu dan nona bersembunyi saja di rumah saya ini. Amat berbahaya kalau bermalam di luaran. Kongcu berdua mengaso dan bermalam di sini saja, sedangkan saya akan pergi melakukan penyelidikan. Mudah-mudahahan saja malam ini juga saya sudah bisa mendapatkan keterangan." Hok Seng menjadi girang bukan kepalang. Dia memesan kepada bekas anak buahnya itu agar tidak keliru menyebut namanya karena semenjak menjadi pelarian dia telah berganti nama, bahkan sumoi-nya sendiri pun mengenalnya sebagai Tan Hok Seng. Sesudah itu barulah mereka keluar dan mempersilakan Siangkoan Bi Lian masuk ke dalam. Sesudah mereka berada di ruangan dalam, Hok Seng memperkenalkan sumoi-nya kepada Gu Kiat. "Gu Kiat, ini sumoi-ku Siangkoan Bi Lian. Sumoi, saudara Gu Kiat ini dulu pernah menjadi anak buahku yang setia. Sekarang dia suka membantu kita dan malam ini juga dia akan melakukan penyelidikan tentang perwira itu. Malam ini kita tinggal di sini, lebih aman." Bi Lian mengerutkan alisnya dan dia menatap tajam wajah tuan rumah. "Kenapa harus menyelidiki lagi? Kita dapat menyelidiki sendiri asalkan diberi tahu di mana tinggalnya.” "Aihhh, engkau belum tahu, Sumoi. Orang yang kita cari itu ternyata sudah tidak menjadi perwira lagi, dan Gu Kiat ini tidak tahu ke mana dia pergi. Oleh karena itu, malam ini juga dia hendak mencari keterangan dari kawan-kawannya yang dahulu pernah menjadi anak buah perwira tua itu." "Hemm, begitukah?" Bi Lian merasa kecewa mendengar berita itu. "Harap Tan-kongcu dan Siangkoan-siocia (nona Siangkoan) tenangkan hati. Jji-wi (kalian) malam ini tinggal di sini, agar lebih aman dari pada kalau tinggal di luar. Dan percayalah, malam ini tentu saya sudah mendapatkan berita tentang perwira itu. Pakailah dua kamar di depan kamar saya, itu memang kamar untuk tamu. Apa bila ji-wi membutuhkan makan minum, di dapur masih ada persediaan lengkap untuk masak dan membuat air teh. Juga masih ada arak di dalam almari. Silakan, harap ji-wi tidak sungkan." Hok Seng merasa girang sekali. "Saudara Gu Kiat, terima kasih. Ternyata engkau adalah seorang sahabat yang baik sekali." "Sekarang saya harus berangkat sebelum kawan-kawan tidur semua. Kalau penyelidikan saya telah berhasil, tentu malam ini juga saya pulang, atau paling lambat besok pagi-pagi. Harap ji-wi tinggal dengan tenang saja.” Dua orang muda itu mengucapkan terima kasih dan Gu Kiat lantas meninggalkan mereka. Karena keduanya merasa lapar tetapi mereka tidak berani pergi ke rumah makan, mereka kemudian memeriksa dapur dan dengan girang mereka mendapatkan bahan-bahan untuk dimasak. Maka mereka segera sibuk membuat masakan untuk makan malam mereka dari bahan-bahan yang ada. "Ah, di mana-mana orang baik pasti menemukan penolong," kata Hok Seng ketika mereka berdua menghadapi meja dengan makanan dan minuman sederhana. "Tak kukira bahwa Gu Kiat demikian mengenal budi, masih ingat tentang banyak pertolongan yang kuberikan kepadanya ketika aku masih menjadi komandannya." Bi Lian hanya tersenyum, lantas berkata lembut, "Bagaimana pun juga kita harus berhati-hati, Suheng. Di dunia ini lebih banyak terdapat orang busuk dari pada yang baik. Jangan tergesa-gesa menilai orang apa bila belum terbukti,." "Aku yakin bahwa dia orang baik, sumoi. Apa lagi karena dia berhutang budi kepaddku. Kalau tidak ada aku yang menolongnya, mungkin dahulu dia telah dihukum mati!" "Ehh? Perbuatan apa yang telah dia lakukan, Suheng?" "Ketika itu dia menjadi anak buah pasukanku, pasukan pegawal istana. Sering kali aku mengganti regu penjaga sebelah dalam istana secara bergiliran. Pada waktu dia bertugas di dalam, dia telah mencuri sebuah guci emas. Perbuatannya itu ketahuan oleh pengawal lainnya. Tentu saja pengawal yang lain itu hendak melaporkan perbuatannya itu dan kalau sampai dilaporkan lantas didengar oleh kaisar, tentu dia sudah dihukum mati. Dosa besar bila mencuri barang istana, apa lagi dia bertugas sebagai seorang prajurit pengawal. Aku kasihan kepadanya, lalu aku melarang pengawal yang lain itu melapor, dan menyuruh Gu Kiat mengembalikan guci itu ke tempatnya semula. Maka selamatlah dia dan agaknya dia masih ingat akan budi itu dan sekarang berkesempatan untuk membalas kepadaku." Bi Lian diam saja. Dia sendiri tidak begitu peduli tentang budi dan sebagainya. Sejak kecil dia sudah menjadi murid Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, dua datuk sesat yang sangat jahat. Meski pun pada dasarnya dia memiliki watak yang gagah perkasa, bahkan pantang melakukan kejahatan dan menuruti nafsu ingin menyenangkan diri sendiri, tapi kehidupan dalam lingkungan dunia sesat membuat dia bersikap keras, bahkan ganas dan tak peduli. Malah dia sempat mendapat julukan Tiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) karena kekerasan hatinya ini. Namun sesudah dia kembali berkumpul dengan ayah ibunya, dia menerima gemblengan ilmu dan juga keteguhan batin dari ayah dan ibunya yang sakti. Bahkan orang tuanya juga menceritakan secara terus terang bahwa dia merupakan keturunan dari para datuk sesat yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan kesaktian dan kejahatan mereka. Oleh karena itu dia harus selalu ingat akan hal ini dan menunjukkan kepada dunia bahwa biar pun keturunan datuk sesat, namun dia dapat bertindak sebagai seorang pendekar! Kakek dalamnya, yaitu ayah dari ayahnya, adalah Siangkoan Lojin yang terkenal dengan julukan Si Iblis Buta! Dan kakek luarnya, ayah dari ibunya, lebih hebat lagi karena kakek itu adalah mendiang Raja Iblis! Raja Iblis dan isterinya, Ratu Iblis, benar-benar pernah merajai dunia sesat. Dan ayah ibunya, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, pernah pula menjadi orang-orang terhukum di kuil Siauw-lim-si sesudah dianggap berdosa oleh ketua kuil. Mereka berdua bersedia menerima hukuman ini untuk menebus dosa orang-orang tua mereka! Perbuatan yang dianggap baik oleh pelakunya, apa lagi oleh pelakunya dianggap sebagai budi, bukanlah perbuatan baik lagi, akan tetapi sebuah cara untuk memperoleh sesuatu. Kalau kita menolong orang lalu kita menganggap bahwa pertolongan yang kita berikan itu sebagai budi, bukankah itu sama saja dengan menghutangkan sesuatu yang kelak akan ditagih dan diharuskan membayar kembali berikut bunganya? Baik buruk hanya penilaian, dan penilaian selalu didasari pada kepentingan pribadi. Kalau segala sesuatu yang kita lakukan didasari cinta kasih, maka tidak ada pamrih lain, tidak ada lagi yang dinamakan budi mau pun dendam! Budi mau pun dendam hanyalah ikatan, perhitungan untung rugi dari hati akal pikiran yang bergelimang nafsu. Penyesalan tak ada gunanya! Semua perbuatan yang dilakukan melalui pemikiran selalu ditunggangi oleh nafsu pementingan diri sendiri karena pikiran adalah si-aku yang sudah bergelimang nafsu. Yang penting adalah kewaspadaan, pengamatan terhadap diri sendiri lahir batin. Pengamatan sepenuhnya tanpa si-aku yang mengamati ini akan menimbulkan kesadaran. Tidak mungkin kita mengubah sifat dan watak kita melalui pemikiran, karena pemikiran tidak mungkin dapat terepas dari pengaruh nafsu daya rendah. Setiap orang mudah saja menyadari dan mengetahui bahwa perbuatannya tidak benar. Namun setiap kali pikiran berniat mengubahnya, semua perbuatan itu malah akan diulang dan pikiran yang berniat mengubah tadi pun menipis dan lenyap. Tidak mungkin pikiran mampu mencuci kekotoran perbuatan karena perbuatan itu justru sudah dikendalikan oleh pikiran, dan pikiran itu bergelimang nafsu. Bagaimana mungkin mencuci bersih sesuatu yang kotor dengan menggunakan air yang kotor pula? Hanya kekuatan Tuhan yang dapat membersihkan batin, yaitu hati dan akal pikiran! Kita yang merasa bergelimang kekotoran, yang telah dikuasai oleh nafsu daya rendah, hanya tinggal menyerah saja kepada kekuasaan Tuhan! Biar kekuasaan Tuhan yang mencuci kotoran itu, biarkan kekuasaan Tuhan yang membimbing dan membersihkan batin kita. Kalau batin sudah bersih, maka terbukalah jendela dan pintu batin kita untuk menerima masuknya sinar cinta kasih. Jika sudah begitu maka setiap perbuatan kita diterangi oleh sinar cinta kasih. Lantas ke mana perginya nafsu daya rendah? Tidak pergi! Masih ada dan masih penting bagi kehidupan kita. Akan tetapi nafsu daya rendah tak lagi menjadi majikan, melainkan menjadi alat, menjadi pelayan untuk kepentingan hidup di dunia ini. Bukan lagi menjadi liar, karena bila nafsu daya rendah yang memegang kemudi, maka kita akan disesatkan ke arah pengejaran kesenangan nafsu sehingga menghalalkan segala cara, melakukan segala yang sifatnya merusak dan yang pada umumnya disebut jahat. Malam itu tidak terjadi sesuatu. Bi Lian dan Hok Seng menunggu di kamarnya masing-masing, namun tuan rumah tidak kunjung pulang. Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ketika mereka berdua sudah menyiram tubuh dengan air dingin dan sudah duduk di luar, muncullah Gu Kiat! "Bagaimana, saudara Gu Kiat? Berhasilkah?" Hok Seng langsung menyambutnya dengan pertanyaan yang ingin tahu sekali. Gu Kiat tersenyum, menarik napas panjang lalu duduk di depan mereka. "Tiada seorang pun tahu ke mana pindah atau perginya bekas perwira itu. Ketika saya sudah putus asa dan menjelang pagi tadi berjalan pulang, di tengah jalan saya bertemu atau dihadang oleh seorang bertopeng hitam....” "Topeng hitam...?" Tang Gun berseru kaget. “Ya, orang itu mengenakan kedok hitam. Ia muncul secara tiba-tiba dan bertanya kenapa saya mencari bekas perwira Tang Bun An. Karena sikapnya menyeramkan, terpaksa saya berterus terang mengatakan bahwa Kongcu yang mencarinya. Si kedok itu lalu menyuruh saya memberi tahukan Kongcu bahwa dia yang akan dapat menunjukkan kepada Kongcu di mana adanya bekas perwira itu." "Tapi... tapi... siapa dia?” Tang Gun bertanya, suaranya menunjukkan ketegangan hatinya dan Bi Lian hanya mendengarkan saja dengan sikap tenang. “Tadi saya juga bertanya demikian, Kongcu. Sesudah saya bertanya siapa dia, dia hanya mengatakan bahwa dia pernah memberi sekantung emas kepada Kongcu dan Kongcu tentu mengenalnya!" “Pendekar itu...!” Tang Gun menoleh kepada Bi Lian. “Sumoi, tentu dia adalah pendekar yang menolongku itu!” "Mungkin saja," kata Bi Lian. "Akan tetapi bagaimana selanjutnya pertemuanmu dengan si kedok hitam itu?" tanyanya kepada Gu Kiat yang terputus ceritanya tadi. "Oh, ya! Bagaimana selanjutnya, Gu Kiat? Apa yang dipesankan oleh pendekar berkedok hitam itu?" tanya Tan Gun. "Pesannya aneh sekali, kongcu. Dia bilang bahwa kalau Kongcu hendak mencari perwira Tang, Kongcu harus menemuinya di kuil tua kosong yang berada di sebelah timur pintu gerbang kota. Dan dia pesan agar kongcu datang seorang diri, tidak boleh ditemani siapa pun. Kalau Kongcu tidak sendirian, maka dia tidak akan menemui Kongcu dan tidak mau membantu lagi." "Hemm, orang itu penuh rahasia. Juga mencurigakan!" kata Bi Lian sambil mengerutkan alisnya. "Tapi dia... dia pernah menolongku, Sumoi! Tak mungkin sekarang dia hendak menjebak atau mencelakakan aku. Gu Kiat, kapan aku harus rnenemuinya." “Sekarang juga, Kongcu. Dia bilang jangan terlalu siang karena dia tidak mungkin dapat menanti terlalu lama." "Sumoi, kalau begitu aku akan pergi sekarang juga. Kau tunggulah di sini, sumoi. Aku tak akan lama dan akan segera kembali setelah mendapatkan keterangan." Bi Lian mengerutkan alisnya, akan tetapi dia lantas berkata. "Baiklah, Suheng. Akan tetapi berhati-hatilah. Aku masih curiga akan sikap aneh orang itu.” “Dia bermaksud baik, Sumoi, hal ini aku yakin. Nah, aku pergi dulu. Kau tunggulah di sini." Tang Gun atau Tan Hok Seng lantas pergi dan Bi Lian diam-diam memperhatikan sikap tuan rumah, akan tetapi Gu Kiat kelihatan biasa saja. Sesudah Hok Seng pergi, dia minta maaf kepada Bi Lian untuk beristirahat di dalam kamarnya karena semalam suntuk tadi dia tidak tidur. Tak lama kemudian Bi Lian mendengar dengkurnya dari dalam kamar dan dia pun tidak mempunyai alasan untuk mencurigai Gu Kiat. Akan tetapi hatinya tetap saja merasa tidak enak. Ingin dia membayangi suheng-nya dan melihat sendiri siapa sebenarnya orang yang berkedok itu. Akan tetapi dia pun tidak ingin menggagalkan usaha suheng-nya mencari orang yang melakukan fitnah itu. Pula, kalau si kedok hitam itu berniat jahat, tentu dahulu tidak menolong Hok Seng. Dengan pikiran ini hatinya menjadi lega dan dia menanti saja di situ. *************** Sementara itu dengan cepat Hok Seng berjalan keluar kota melalui pintu gerbang timur. Dia masih menyamar sebagai seorang setengah tua sehingga dia dapat keluar dari pintu gerbang dengan mudah. Dia sudah lama tinggal di kota raja dan tahu kuil tua mana yang dimaksudkan itu. Di luar pintu gerbang timur terdapat sebuah bukit kecil dan di puncak bukit itulah adanya kuil tua yang sudah lama tak pernah dipergunakan lagi. Ke sanalah dia pergi dan setelah berada di tempat yang sepi, dia mengerahkan tenaga dan berlari cepat mendaki bukit. Kuil tua itu sunyi sekali. Sepagi itu belum ada anak-anak penggembala menggiring ternak mereka ke bukit yang banyak padang rumputnya itu. Tidak nampak kehidupan di dalam atau di luar kuil, keadaan sunyi saja. Pagi itu langit amat cerah, sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan malam, seakan mempersiapkan kebersihan bagi kemunculan sang matahari. Tanpa ragu lagi Tang Gun memasuki kuil, menoleh ke kanan kiri. Kosong saja di bagian depan kuil itu. Selagi dia tidak tahu harus mencari di mana dan baru saja hendak berseru memanggil, tiba-tiba terdengar suara orang. "Aku di sini!" Suara itu datangnya dari belakang. Tang Gun segera menuju ke belakang dan di ruangan yang luas itu karena dindingnya telah runtuh sehingga bagian belakang itu terbuka, berdiri seorang laki-laki bertubuh tegap dan mengenakan kedok hitam, di tengah ruangan sambil bertolak pinggang. Tang Gun segera mengenal si kedok hitam yang dulu pernah menolongnya, maka cepat dia maju menghadapi orang itu dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada dan tubuhnya agak membungkuk dengan sikap hormat. "Selamat berjumpa, Taihiap (pendekar besar)!" katanya. Si kedok hitam itu diam saja, akan tetapi sepasang matanya yang mencorong bersinar dari balik kedok, mengamati wajah Tang Gun. "Hemm, engkau Tang Gun yang sedang menyamar sebagai orang tua?" suara itu dalam dan berwibawa. cerita silat online karya kho ping hoo "Maaf, Taihiap. Terpaksa saya menyamar karena khawatir kalau kehadiran saya di kota raja diketahui orang. Saya Tang Gun yang dahulu pernah menerima pertolongan Taihiap dan sampai sekarang saya tidak pernah melupakan budi itu." "Tang Gun, untuk apa engkau menyelidiki di mana tinggalnya Tang Bun An? Apa yang kau inginkan dari orang itu?" "Ahh, tentu Taihiap mengerti. Orang itulah yang telah mencelakakan saya, yang membuat saya dihukum. Karena itu saya hendak mencarinya untuk membalas dendam kepadanya. Mohon bantuan Taihiap untuk memberi tahu di mana saya dapat menemukan dia!" "Hemmm, dahulu kepandaianmu kalah jauh olehnya. Bagaimana sekarang engkau akan melawannya? Engkau akan kalah lagi!" "Sekali ini saya tidak takut! Ada sumoi Siangkoan Bi Lian yang akan membantu saya dan dia lihai sekali." Kemudian Tang Gun mendapat pikiran yang baik sekali. "Dan juga ada Taihiap di sini. Taihiap sudah menolong saya, mohon sekali ini suka pula membantu saya menghadapi Tang Bun An yang jahat itu." "Tang Gun, engkau memang orang tolol!" Tiba-tiba orang berkedok hitam itu membentak. Tentu saja bekas perwira itu terkejut sekali dan terbelalak heran melihat nada suara yang marah itu. "Engkau memang layak dipukul!" "Eh... maaf... apa kesalahan saya yang membuat Taihiap tiba-tiba menjadi marah kepada saya?" "Anak bodoh! Kalau tidak ada Tang Bun An, engkau sekarang tentu sudah mampus!" "Ehh? Apa artinya ucapan Taihiap itu? Dia telah menangkap saya dan menyeret saya ke depan Sribaginda Kaisar sehingga saya dijatuhi hukuman berat..." "Bayangkan saja kalau bukan Tang Bun An yang menangkapmu, tapi pasukan keamanan yang menangkapmu. Kau kira akan mampu menyembunyikan diri bersama kekasihmu itu begitu saja? Kau sangka akan mampu melawan kalau para jagoan istana mencarimu dan menemukanmu di kota Yu-sian? Dia sengaja menangkapmu justru untuk menyelamatkan nyawamu!" Dari heran Tang Gun menjadi penasaran dan tidak percaya. "Taihiap, bagaimana Taihiap bisa mengatakan bahwa dia bermaksud menyelamatkan saya? Saya telah dihukum berat, hukum buang dan sekiranya tidak ada Taihiap yang menolong saya, tentu sekarang saya sudah mati." "Hemm, jadi engkau mengakui bahwa aku yang dahulu menyelamatkanmu, menolongmu dan membebaskanmu dari tangan para pengawalmu ke tempat pembuangan?" "Bukan hanya menyelamatkan nyawa saya, tetapi Taihiap juga sudah memberi sekantung emas sehingga saya dapat hidup pantas. Untuk budi itu, saya tidak akan melupakannya selama hidup." "Tidak usah berterima kasih kepada aku si kedok hitam, tetapi berterima kasihlah kepada penyelamatmu yang sebenarnya, yaitu Tang Bun An!" , "Ehhh... tetapi maaf... saya belum dapat menerimanya sebagai penyelamat saya, Taihiap. Dia... dia..." "Tang Gun! Apakah engkau tidak percaya kepadaku?" "Percaya... percaya... akan tetapi..." "Kau lihat, siapa aku!" Berkata demikian, si kedok hitam membuka kedoknya. Tang Gun terbelalak, wajahnya berubah pucat dan sejenak dia tak mampu bicara, hanya melongo memandang kepada wajah yang tadi bersembunyi di balik kedok hitam. Wajah Tang Bun An! Akhirnya Tang Gun dapat menekan guncangan perasaannya dan dia pun berkata gugup, "Tapi... tapi... kenapa Taihiap..." "Sebut aku Bengcu! Aku adalah pangcu dari Ho-han-pang, juga bengcu dari dunia kang-ouw!" Suara Tang Bun An atau Han Lojin terdengar penuh wibawa. "Ahhh!" kembali Tang Gun terkejut dan memberi hormat. "Kiranya Bengcu sendiri. Tapi... apa artinya semua ini? Engkau menangkap saya, kemudian menyerahkan kepada kaisar untuk dihukum. Kemudian, Bengcu pula yang menyelamatkan saya, membunuh pengawal yang membawa saya ke tempat pembuangan, bahkan memberi emas kepada saya. Apa artinya perbuatan bengcu itu?" "Bukan lain untuk menyelamatkanmu, anak bodoh. Engkau telah memperoleh kedudukan yang baik tetapi engkau menyalah gunakannya, hanya karena engkau tergila-gila kepada seorang selir! Huhh, tolol! Boleh saja bermain-main dengan semua selir, akan tetapi tidak terikat seperti itu, sampai tergila-gila kemudian membawanya lari dari istana. Kalau tidak aku yang mendahului para jagoan istana menangkapmu, lalu membebaskanmu, apa kau kira sekarang engkau masih hidup?” "Untuk itu sekali lagi saya menghaturkan terima kasih dan saya tak akan melupakan budi kebaikan Taihiap kepada saya. Akan tetapi, jika boleh saya mengetahui, kenapa Taihiap bersusah payah untuk melakukan semua itu kepada saya?" "Hemm, Tang Gun. Sebelum ditangkap engkau selalu membual di kota raja bahwa engkau adalah putera dari Ang-hong-cu. Benarkah itu?" "Memang benar, Bengcu, akan tetapi itu bukan hanya kosong saja. Memang sebenarnya saya adalah putera kandung Ang-hong-cu yang terkenal itu," kata Tang Gun dengan nada suara bangga. "Hemmm, siapa mau percaya akan hal itu? Apa buktinya bahwa engkau memang putera Ang-hong-cu?" "Inilah buktinya, Bengcu." Tang Gun mengeluarkan sebuah benda yang bukan lain adalah perhiasan berbentuk seekor kumbang merah. "Saya menerima benda ini dari ibu saya, dan ibu saya yang menceritakan bahwa ayah kandung saya yang memberikan benda ini kepada ibu." "Katakan, siapa nama ibumu dan dari mana dia datang, di mana tempat tinggalnya ketika dia masih gadis." "Ibu bernama Teng Kim dan tinggal di dusun An-lok, akan tetapi sekarang ikut paman di kota Tai-goan karena melarikan diri dari kota raja sesudah saya ditangkap." "Teng Kim... Kim...? Begitu banyak wanita yang memakai nama Kim! Hemm, nanti dulu... bukankah pada leher di bawah telinga kanan ibumu ada sebuah tahi lalat? Tubuh ibumu tinggi semampai dan wataknya ramah gembira?" Tang Gun memandang dengan mata terbelalak. "Bagaimana... Bengcu dapat mengetahui hal itu...? Benar sekali apa yang Bengcu katakan tadi!" "Tang Gun, demikian bodohkah engkau? Bukankah engkau sudah tahu bahwa aku telah menyelamatkanmu dan engkau tentu tahu pula bahwa aku bernama Tang Bun An? Dan engkau masih tidak mengerti juga? Aku tahu segalanya tentang ibumu, dan benda yang kau perlihatkan tadi adalah milikku, pemberianku kepada ibumu." "Ahh... ohhh... jadi... jadi... engkau ini ayahku? Ang-hong-cu?" Tang Gun masih terbelalak dan ketika Han Lojin tersenyum sambil mengangguk-angguk, dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. "Ayah...!" Tang Gun berseru, gembira dan juga terharu bercampur bangga. "Bangkitlah dan duduklah! Aku tidak suka melihat kecengengan, apa lagi kalau dilakukan oleh anakku! Nah, Tang Gun, sekarang engkau sudah tahu bahwa aku adalah Ang-hong-cu Tang Bun An. Akan tetapi, karena orang lain tidak tahu bahwa aku Ang-hong-cu, dan sekarang aku sudah menjadi bengcu dan juga pangcu dari Ho-han-pang, maka engkau tidak boleh menyebut ayah, harus menyebut bengcu kepadaku. Mengerti?" "Baik, Ayah... ehh, Bengcu." "Hati-hati, jangan sampai keliru menyebutku, apa lagi di hadapan orang lain. Aku belum ingin dikenal sebagai Ang-hong-cu!" "Baik, Bengcu. Setelah sekarang kita berhadapan, saya ingin mengajukan permohonan." "Hemm, katakan, apa yang kau kehendaki?" "Saya ingin... membantu Bengcu, ingin dekat Bengcu dan mendapat petunjuk Bengcu." Han Lojin tersenyum girang. Memang itulah yang dikehendakinya. Tidak ada pembantu yang lebih setia dari pada anak sendiri. "Itu baik sekali, Tang Gun. Memang kami sedang membutuhkan banyak pembantu yang pandai. Engkau boleh ikut bersamaku, akan tetapi sebelumnya engkau harus mengetahui bahwa Ho-han-pang dipimpin oleh Han Lojin, yaitu namaku sebagai bengcu." Han Lojin menarik topeng tipisnya dan dalam beberapa detik saja wajahnya telah berubah menjadi seorang pria setengah tua gagah yang berkumis dan berjenggot rapi. "Aku adalah Han Lojin, pangcu dari Ho-han-pang, juga bengcu dari dunia kang-ouw. Mari engkau ikut denganku, kuperkenalkan kepada para pembantuku yang lain." "Akan tetapi, Bengcu. Bagaimana dengan sumoi? Pasti dia akan menanti-nanti dan tentu menjadi curiga kalau saya tidak segera kembali. Kami pergi bersama ketika kami hendak melakukan penyelidikan terhadap orang yang tadinya saya anggap sebagai musuh, yaitu perwira Tang Bun An. Bagaimana baiknya sekarang menghadapi sumoi?" "Siapakah sumoi-mu itu? Para penyelidikku hanya melaporkan bahwa engkau menyamar sebagai seorang tua muncul bersama seorang gadis cantik. Penyamaranmu terlalu kasar sehingga anak buahku mengetahuinya dan melaporkan kepadaku." "Sumoi adalah puteri dari suhu dan subo, Bengcu." "Dia lihai dan tenaganya boleh diandalkan?" "Tentu saja, Bengcu! Dia lebih lihai dari pada saya, jauh lebih lihai. Saya kira agak sukar untuk menemukan orang yang akan mampu menandingi sumoi," kata Tang Gun dengan nada suara bangga namun sungguh-sungguh. "Hemmm, begitukah? Akan tetapi aku belum tahu sampai di mana tingkat kepandaianmu. Nah, sambutlah ini!" Tiba-tiba saja Han Lojin menyerang Tang Gun. Pemuda ini tahu bahwa dirinya hendak diuji, maka dia pun segera mengelak ke belakang dengan lompatan jungkir balik. Sesudah menjadi murid ayah dan ibu Bi Lian, pemuda ini memang mendapat kemajuan yang pesat sekali dan kini dia jauh lebih lihai dibandingkan dahulu ketika masih menjadi perwira pengawal. Melihat gerakan yang lincah ini, Han Lojin menjadi gembira dan dia pun menyerang terus dengan jurus-jurus ampuh. Tang Gun juga ingin menunjukkan kehebatannya, maka begitu menghadapi serangan ayah kandungnya itu, dia pun sudah memainkan ilmu silat Kim-ke Sin-kun yang hebat! Kembali Han Lojin terkejut dan juga semakin gembira. Dia mendesak terus, mengerahkan tenaganya namun sampai lima puluh jurus puteranya itu masih mampu mempertahankan diri. Kalau dia mau, tentu akhirnya dia dapat juga merobohkan Tang Gun. Akan tetapi dia tidak menghendaki itu. "Cukup!" serunya sambil melompat mundur. Tadi Tang Gun sudah terdesak hebat sekali, maka legalah hatinya saat melihat Han Lojin menghentikan serangannya. Han Lojin menilai kepandaian Tang Gun telah lumayan. Biar pun belum sehebat ilmu kepandaian tiga orang pembantu utamanya, namun hanya sedikit selisihnya kalau dibandingkan tingkat kepandaian Ji Sun Bi. "Dan tadi kau bilang kepandaian sumoi-mu lebih tinggi dari pada kepandaianmu?" "Jauh lebih tinggi, Bengcu. Saya tak akan mampu bertahan selama lima puluh jurus kalau dia menyerang saya." "Hemmm...,” Han Lojin tertarik sekali. "Siapa nama sumoi-mu itu?" "Namanya Siangkoan Bi Lian." "Siangkoan... Bi Lian... ahh, rasanya nama itu tak asing bagiku. Hemm, tentu aku sudah pernah bertemu dengannya, atau setidaknya pernah mendengar namanya. O ya, apakah dia pernah bersama-sama para pendekar membasmi pemberontakan Lam-hai Giam-lo dan membantu pemerintah?" "Benar, Bengcu. Pernah sumoi bercerita bahwa dia dengan para pendekar lainnya pernah membantu pemerintah membasmi pemberontakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo." Han Lojin mengangguk-angguk. Dia masih belum ingat benar yang mana di antara para pendekar wanita itu yang dimaksudkan oleh Tang Gun. Tetapi jelas bahwa gadis bernama Siangkoan Bi Lian itu tentu lihai sekali, sangat berbahaya bila menjadi lawan, akan tetapi amat menguntungkan jika menjadi kawan atau pembantu. Dan seperti juga Cia Kui Hong, gadis itu tentu mengenalnya sebagai Han Lojin dan juga sebagai Ang-hong-cu. lni sangat berbahaya! "Tang Gun, benarkah pernyataanmu tadi bahwa engkau hendak membantuku dengan hati tulus? Dengan penuh kesetiaan?" "Bengcu adalah penolong saya, bahkan Bengcu adalah ayah kandung saya. Sudah tentu saja saya suka membantu dengan setia, kalau perlu dengan berkorban nyawa! Saya mau bersumpah...” "Tak perlu bersumpah. Aku baru percaya kepadamu kalau ada bukti yang nyata, melalui perbuatan." "Saya selalu siap melaksanakan semua perintah Bengcu!" "Nah, sekarang dengar baik-baik. Aku ingin agar bukan hanya engkau saja yang menjadi pembantuku, akan tetapi juga sumoi-mu yang amat lihai itu. Bagaimana pendapatmu?" "Itu bagus sekali, Bengcu, dan saya akan gembira bukan main kalau sampai sumoi suka pula membantumu. Akan tetapi saya kira tak akan mudah membujuknya, Bengcu. Sumoi berwatak sukar didekati, keras dan galak, tidak mau tunduk kepada siapa pun juga..." "Hemm, sudah kuduga." "Saking keras sikapnya terhadap para penjahat, dunia kang-ouw bahkan sudah menjuluki sumoi dengan sebutan Tiat-sim Sian-li (Bidadari Berhati Besi). Saya akan mencoba untuk membujuknya, Bengcu, akan tetapi saya khawatir dia akan menolak keras." "Hemmm, orang seperti dia itu sangat baik kalau dapat ditarik menjadi kawan, tetapi akan membahayakan kita bila gagal dan dia menjadi lawan. Jika dia menolak, maka kita harus menggunakan muslihat agar dia tunduk dan menyerah!" Tang Gun memandang kepada Han Lojin dengan mata terbelalak khawatir. "Bengcu...! Harap jangan ganggu sumoi..." Han Lojin mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah puteranya itu. "Hemmm...? Rupanya engkau jatuh cinta kepada sumoi-mu itu?" Tang Gun mengangguk lesu. "Saya sudah tergila-gila kepadanya, Bengcu." "Dan dia pun cinta kepadamu?" "Saya tidak tahu, Bengcu." "Kenapa engkau tidak mengaku terus terang dan melihat bagaimana tanggapannya?" "Saya tidak berani. Dia galak dan keras, saya takut dia marah." "Hemm, kalau begitu bagus, Tang Gun. Engkau bujuk dia supaya suka membantuku. Kita lihat saja. Jika dia menolak, maka kita tangkap gadis itu dan aku mempunyai akal agar dia menurut dan suka menjadi isterimu. Kalian akan kunikahkan di tempat kita." Tentu saja Tang Gun menjadi gembira sekali mendengar janji itu. "Saya akan melakukan segala perintah Bengcu dengan senang hati. Apa yang harus saya lakukan sekarang?" "Katakan kepada sumoi-mu bahwa aku, ketua Ho-han-pang, menunggu kunjungan kalian di markas Ho-han-pang, dan akan kutunjukkan di mana adanya orang yang kalian cari itu. Usahakan agar jangan sampai dia curiga. Kutunggu kunjungan kalian hari ini juga, siang atau sore hari ini di markas kami." Han Lojin lantas membuat gambaran dan petunjuk di mana adanya markas Ho-han-pang yang berada di bukit luar kota. "Satu hal lagi," kata Han Lojin ketika mereka hendak berpisah dan meninggalkan kuil tua yang kosong itu. "Nama sumoi-mu itu Siangkoan Bi Lian. Dia bermarga Siangkoan, apa ada hubungannya dengan orang yang namanya Siangkoan Ci Kang?" "Itu nama suhu!" seru Tang Gun. "Ahhh...?" Kini Han Lojin terbelalak. Dia teringat akan musuh besar pembantunya, Sim Ki Liong, yang sedang dicari-cari. "Kiranya engkau kini menjadi murid Siangkoan Ci Kang? Dan sumoi-mu itu puteri Siangkoan Ci Kang?" "Bengcu sudah mengenal suhu? Subo juga seorang yang sangat lihai, tidak kalah lihainya dibandingkan suhu. Menurut keterangan sumoi, subo bernama Toan Hui Cu dan dia puteri tunggal mendiang Raja dan Ratu Iblis yang kabarnya dulu pernah menggemparkan dunia persilatan," kata pula Tang Gun dengan bangga meski pun dia merasa menyesal kenapa baru sekarang dia menjadi murid suhu dan subo-nya sehingga belum banyak ilmu yang diserapnya. Dan dia semakin bangga setelah melihat sikap bengcu itu seperti orang yang terkejut dan agak gentar. Memang bukan main kagetnya hati Han Lojin mendengar bahwa yang dimusuhi oleh Sim Ki Liong itu adalah seorang sakti yang memiliki seorang isteri yang sakti pula. Tentu saja dia pernah pula mendengar nama besar Raja dan Ratu Iblis! Akan tetapi dia harus dapat menyenangkan hati Sim Ki Liong yang merupakan pembantu paling lihai, sambil dia harus meyakinkan hati Tang Gun ini agar tidak memihak guru-gurunya. "Aku tidak mengenal mereka secara pribadi, namun aku pernah mendengar nama besar mereka," jawabnya. "Tang Gun, sekarang engkau pergilah menjemput sumoi-mu dan ajak dia ke markas kita. Aku menunggu di sana." "Baik, Bengcu." Tang Gun lalu meninggalkan kuil itu dengan hati girang bukan main. Tidak saja dia dapat menemukan ayah kandungnya, akan tetapi dia bahkan sudah diterima sebagai pembantu ayahnya yang kini menjadi seorang pangcu (ketua perkumpulan) sekaligus juga menjadi bengcu (pemimpin rakyat)! Dan ayahnya juga sudah menjanjikan bahwa dengan bantuan ayahnya dia akan dapat memperisteri Siangkoan Bi Lian! *************** "Han Lojin?" Siangkoan Bi Lian memandang kepada Tang Gun dengan mata terbelalak. "Kau katakan tadi bahwa Han Lojin yang kau temui di sana?" Melihat sumoi-nya kelihatan terkejut ketika mendengar disebutnya nama Han Lojin, Tang Gun lalu bersikap hati-hati. "Sumoi, apakah engkau pernah mendengar nama Han Lojin? Dialah yang dulu menyelamatkan aku, dialah pendekar yang memakai kedok hitam, yang telah membebaskan aku dari hukuman pengasingan dan memberi bekal uang kepadaku." Mendengar ini Bi Lian menjadi semakin terkejut dan heran. "Aihh, ternyata dia? Ternyata Ang-hong-cu yang telah menolongmu....” “Ang-hong-cu...?” Tang Gun berseru kaget, bukan pura-pura karena dia memang terkejut bukan main mendengar sumoi-nya sudah mengetahui bahwa Han Lojin adalah Ang-hong-cu! “Sumoi, Han Lojin ini adalah seorang pangcu yang terhormat dari Ho-han-pang! Malah dia juga diakui sebagai seorang bengcu.” Bi Lian mengerutkan alisnya. Dia mengenang kembali pengalamannya ketika dia bersama Pek Han Siong, Hay Hay dan para pendekar lain membantu pemerintah untuk membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin Lam-hai Giam-lo. Pada saat itu muncul Han Lojin yang juga berjasa membantu pemerintah dalam menumpas pemberontak itu. Kemudian ternyata bahwa Han Lojin adalah ayah kandung Hay Hay, bahwa Han Lojin adalah Ang-hong-cu, kumbang merah penghisap kembang yang jahat itu, jai-hwa-cat (penjahat cabul pemetik bunga) yang pernah menggemparkan dunia persilatan. Tidaklah aneh kalau sekarang Han Lojin muncul sebagai ketua perkumpulan para ho-han (patriot). Namun dalam pandangannya, bagaimana pun juga Ang-hong-cu adalah seorang penjahat cabul yang tak pantas dibiarkan hidup! Terlebih lagi penjahat cabul itu juga telah memperkosa atau menodai kehormatan Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong, suheng-nya dan bekas tunangannya. Semua pendekar yang saat itu membantu penumpasan pemberontak tetap menganggap Ang-hong-cu jahat sungguh pun berjiwa patriot, dan mereka semua tentu saja menentang dan memusuhinya. Apa lagi dia sendiri yang sepatutnya membalaskan penghinaan yang dilakukan penjahat itu atas diri Pek Eng adik Pek Han Siong, dan Cia Ling. "Hemm, begitukah, Suheng? Lalu mengapa pula sekarang Suheng hendak mengajak aku menemuinya?" "Sumoi, dia mengundangku ke markas Ho-han-pang dan dia berjanji akan memberi tahu kepadaku di mana adanya Tang Bun An yang kucari itu." "Lalu mengapa aku harus ikut serta denganmu?" "Mengapa tidak, Sumoi? Bukankah engkau pergi bersamaku untuk membantuku? Selain aku ingin memperkenalkan engkau dengan penolongku itu, juga aku tetap mengharapkan bantuanmu kalau-kalau aku bertemu dengan musuhku dan berkelahi dengan dia." "Baiklah, Suheng. Akan tetapi kalau kemudian ternyata olehku bahwa penolongmu adalah Ang-hong-cu yang jahat itu, jangan salahkan aku kalau aku menentangnya dan berusaha untuk membunuhnya. Penjahat keji itu harus dibasmi, kalau tidak tentu akan berjatuhan lagi korban di antara para wanita muda yang dipermainkannya!" Tang Gun bergidik mendengar ancaman yang terkandung di dalam ucapan itu hingga dia merasa tegang. Akan tetapi bagaimana pun juga dia harus mentaati Han Lojin, bukan saja karena telah menjadi pembantunya, akan tetapi terutama sekali karena Han Lojin adalah ayahnya. Mereka kemudian berangkat menuju ke bukit di luar pintu gerbang kota, di mana markas Ho-han-pang berdiri. Bi Lian yang tetap mencurigai Han Lojin dengan diam-diam sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi bahaya, atau kalau perlu turun tangan membunuh jai-hwa-cat yang dibencinya itu. Bukan saja karena Han Lojin sudah menodai Pek Eng dan Cia Ling, dua orang gadis pendekar yang dikagumi dan disukanya, akan tetapi juga karena Han Lojin telah membuat Hay Hay terkena fitnah. Dahulu, semua orang juga termasuk dia sendiri telah menuduh Hay Hay yang melakukan semua perkosaan atau perbuatan busuk itu, karena Han Lojin memberi kesan ke arah itu. Jai-hwa-cat itu melakukan perbuatan terkutuk dan menjerumuskan Hay Hay yang menjadi sasaran pula dari kemarahan para pendekar karena dia disangka menjadi pelakunya. *************** Sementara itu Han Lojin juga sudah membuat persiapan. Dia mengumpulkan tiga orang pembantu utamanya, yaitu Sim Ki Liong, Tang Cun Sek dan Ji Sun Bi. Cun Sek belum mengenal Siangkoan Bi Lian, akan tetapi Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi terkejut sekali ketika mendengar keterangan Han Lojin bahwa gadis perkasa itu akan datang berkunjung. Terutama sekali Sim Ki Liong. Tentu saja dia merasa tegang bukan main saat mendengar bahwa gadis yang pernah menjadi musuhnya dalam pemberontakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo di mana dia menjadi pembantu utama, kini akan muncul di hadapannya. Apa lagi ketika Han Lojin mengatakan bahwa gadis perkasa itu adalah puteri musuh besarnya, yaitu Siangkoan Ci Kang! Kalau dia belum sempat membalaskan sakit hati orang tuanya kepada Siangkoan Ci Kang, biarlah dia akan lebih dulu membalasnya lewat puteri musuh besarnya itu. Agaknya Han Lojin dapat menduga isi hati pembantunya, maka dia pun berkata dengan suara penuh wibawa. "Siangkoan Bi Lian akan datang dibawa suheng-nya yang bernama Tang Gun. Mereka akan kutarik sebagai pembantuku. Tang Gun sudah menyatakan suka menjadi pembantuku dan bekerja sama dengan kalian, namun kita harus dapat membujuk Siangkoan Bi Lian dahulu agar suka pula membantu kita. Kalau dia tidak mau membantu, maka terpaksa harus menggunakan kekerasan..." "Jangan khawatir, Bengcu! Sayalah yang akan memaksanya!" kata Sim Ki Liong sambil mengepal tinju dan dengan hati panas karena dendam. "Ki Liong, aku tidak menghendaki engkau mengganggu gadis itu! Syukurlah bila dia mau membantuku,. Andai kata tidak, aku akan menangkapnya dan kalian hanya membantuku. Aku tidak ingin mengganggu atau membunuh, melainkan hendak menundukkannya agar dia suka membantuku, seperti halnya dua orang gadis yang kini sudah menjadi tawanan kita. Kita lihat saja bagaimana sikapnya nanti. Kita harus menggunakan akal jika dia tetap berkeras tidak mau membantu tetapi malah mengambil sikap bermusuhan." Han Lojin lalu mengatur siasat dan para pembantunya tentu saja tidak berani membantah. Bahkan Sim Ki Liong hanya mengangguk setuju, sungguh pun hatinya masih dibakar oleh dendam. Gadis itu adalah puteri musuh besarnya, malah gadis itu pernah pula membantu pemerintah membasmi pemberontakan Lam-hai Giam-lo di mana dia mengambil bagian sehingga berarti menggagalkan cita-citanya pula. Dan sekarang Han Lojin hendak menarik gadis itu sebagai pembantu, bekerja sama dengan dia. Demikianlah, ketika Tang Gun dan Bi Lian tiba di pintu gerbang markas perkumpulan Ho-han-pang, keadaan di situ terlihat tenang saja. Para anggota Ho-han-pang yang bertugas jaga sudah diatur sebelumnya sehingga mereka itu menyambut kedatangan pemuda dan gadis itu dengan sikap ramah dan hormat. "Kami hendak bertemu dengan Ho-han Pangcu," kata Tang Gun kepada beberapa orang pria muda yang berjaga di pintu gerbang masuk. Mereka itu nampak gagah dan tampan. "Apakah ji-wi (anda berdua) adalah saudara Tan Hok Seng dan nona Siangkoan Bi Lian?" tanya kepala jaga. "Benar," kata Tang Gun. "Ahhh, selamat datang di Ho-han-pang. Memang Pangcu sudah memesan kepada kami bahwa ji-wi akan datang berkunjung. Mari, silakan masuk, saya akan mengantarkan ji-wi ke ruang tamu." Mereka berdua lalu mengikuti pemuda tinggi besar itu dan diam-diam Bi Lian siap siaga. Bagaimana pun juga dia tetap curiga dan harus berhati-hati, kalau ternyata benar bahwa ketua Ho-han-pang adalah Han Lojin alias Ang-hong-cu. Tidak mungkin dia dapat percaya begitu saja terhadap seorang seperti Ang-hong-cu! Mereka dibawa masuk ke sebuah ruangan yang luas. Ruangan tamu ini besar dan hanya terisi belasan buah bangku yang dikelilingi sebuah meja bundar yang besar. Selebihnya kosong sehingga leluasa berlatih silat, bahkan untuk bertanding sekali pun. Dengan amat hati-hati Bi Lian memasuki ruangan itu. Kepala jaga lantas mempersilakan mereka duduk dan menunggu. "Harap ji-wi menunggu sebentar. Pangcu tentu akan datang menyambut ji-wi di sini karena kedatangan ji-wi telah dilaporkan." Kepala penjaga itu lalu pergi meninggalkan ruangan itu. Bi Lian mempelajari ruangan itu dengan pandang matanya. Selain pintu besar di depan, terdapat pula dua buah pintu di belakang dan di kiri yang entah menembus ke mana. Jadi kalau pihak tuan rumah menghendaki, kini dia sudah terkepung di ruangan itu. Tetapi dia bersikap tenang dan sama sekali tidak merasa gentar. Juga dia melihat betapa suheng-nya berusaha untuk bersikap tenang, namun dari pandang mata suhengnya dia tahu bahwa suheng-nya itu merasa gelisah dan matanya tak tenang memandang ke sana-sini.....

jilid 26

DAUN pintu di sebelah dalam terbuka lantas muncullah seorang laki-laki berusia lebih dari setengah abad tapi masih nampak ganteng dan gagah, dengan pakaian yang rapi, kumis jenggot terpelihara baik serta penampilan yang memikat. Dia tersenyum dan pandangan matanya bersinar tajam. Begitu melihat lelaki ini, Bi Lian langsung bangkit berdiri sambil menatap tajam. Dia tidak salah lihat. Memang itulah Han Lojin yang dahulu pernah dilihatnya. Itulah Ang-hong-cu, Si Kumbang Merah! "Kau... Ang-hong-cu...!” Bi Lian berkata dan sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat. Diam-diam Han Lojin bergidik. Gadis ini benar-benar amat berbahaya, mirip Cia Kui Hong. Kalau menjadi lawan, akan mengancam keselamatannya. Akan tetapi dia tersenyum dan membungkuk dengan sikap hormat. "Aihhh…, ternyata sumoi dari Tan Hok Seng adalah nona Siangkoan Bi Lian yang gagah perkasa! Kita sudah pernah saling bertemu dan bekerja sama membantu pemerintah saat membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin Lam-hai Giam-lo! Selamat datang di Ho-han-pang, Nona! Kami akan merasa terhormat dan gembira sekali apa bila kita dapat bekerja sama lagi dalam membantu pemerintah di segala bidang." Akan tetapi dengan senyum sindir Bi Lian menggerakkan tangan kanannya lalu tampaklah sinar berkelebat dan tahu-tahu tangan kanan itu sudah memegang sebatang pedang yang bercahaya. Itulah Kwan-im-kiam, pedang pusaka ampuh pemberian orang tuanya. Dengan pedang melintang di jari depan dada, Bi Lian menudingkan telunjuknya ke arah muka Han Lojin dan suaranya terdengar lantang. "Ang-hong-cu, tidak perlu banyak cakap lagi dan segera keluarkan senjatamu! Aku harus membunuhmu demi membalaskan kekejian yang kau lakukan terhadap Pek Eng, Cia Ling serta banyak wanita lain, juga demi menjaga keselamatan wanita-wanita lain. Keluarkan senjatamu dan mari kita mengadu nyawa!" "Aihhh, nona Siangkoan! Kami mengundang kalian berdua ke sini untuk membantu kalian menemukan orang yang sedang kalian cari, bukan untuk bermusuhan...!" kata Han Lojin sambil memandang kepada Tang Gun. Pemuda itu menjadi bingung melihat sikap sumoi-nya, maka dia pun cepat melangkah ke depan sumoi-nya. "Ehh, sumoi, kenapa begini? Bengcu ini adalah penyelamatku, juga dia akan menunjukkan di mana adanya orang yang kucari-cari...” "Suheng, dia inilah Ang-hong-cu, orang yang sangat jahat dan kejam. Dia harus kubunuh demi keselamatan dan keamanan para wanita lemah yang tidak berdosa!" Dengan sikap galak gadis itu telah melangkah maju hendak menyerang Han Lojin. Melihat ini Tang Gun cepat meloncat ke depan gadis itu dan menghalanginya. "Sumoi, kuminta engkau jangan menyerangnya dulu. Biarkan dia lebih dulu menunjukkan di mana aku dapat bertemu dengan musuhku, setelah itu barulah engkau boleh berurusan dengan dia. Kalau engkau menyerangnya, tentu dia tidak mau membantuku menunjukkan tempat di mana Tang Bun An bersembunyi!” Bi Lian mengerutkan alisnya, matanya mencorong menatap wajah Han Lojin yang masih tersenyum-senyum dengan tenangnya. Dia tahu bahwa jika dia berkeras menyerang Han Lojin, tentu saja Ang-hong-cu tak akan sempat memberi tahu lagi di mana adanya musuh besar Tang Gun. Maka dia menahan diri dan mengangguk. "Baiklah, akan tetapi aku tidak akan melepaskan dia dan aku harus mengikuti ke mana dia membawamu pergi!" "Ha-ha-ha, nona Siangkoan Bi Lian yang gagah dan cantik jelita. Jangan khawatir, Nona. Aku tidak akan melarikan diri dan setiap saat aku siap untuk melayanimu. Tapi sekarang, karena sudah berjanji dengan bekas perwira ini, aku akan melayaninya lebih dahulu untuk menunjukkan tempat di mana dia dapat menemukan sahabat lamanya, ha-ha-ha!" "Tak perlu banyak cakap lagi. Tunjukkan tempat orang itu kepada suheng, kemudian kita bertanding sampai kau mampus di ujung pedangku untuk pergi menghadapi hukumanmu di neraka!" bentak Bi Lian. "Bengcu, marilah! Kau tunjukkanlah di mana adanya Tang Bun An!" "Mari kalian ikuti aku!" kata Han Lojin sambil tersenyum, dan tanpa menoleh lagi dia pun melangkah memasuki pintu belakang. Bi Lian yang merasa khawatir kalau Ang-hong-cu yang dibencinya itu melarikan diri, juga untuk melindungi suheng-nya supaya jangan terjebak oleh jai-hwa-cat yang kini menjadi ketua Ho-han-pang itu, mendahului Tang Gun dan melangkah dengan cepat di belakang Han Lojin. Tang Gun berjalan di belakangnya sehingga dia tidak tahu betapa pemuda itu nampak tegang sekali. Memang hati Tang Gun gelisah bukan main memikirkan sumoi-nya ini! Ia telah jatuh cinta kepada sumoi-nya yang cantik manis dan gagah perkasa ini, dan setelah kini jelas bahwa sumoi-nya tidak saja enggan membantu Han Lojin bahkan memaksanya untuk mengadu nyawa, dia merasa khawatir karena sudah tahu bahwa ayahnya itu, Han Lojin, kini hendak menggunakan siasat untuk menjebak Bi Lian. Dan dia tahu pula bagaimana perangkap itu dipasang dan apa yang harus dilakukannya. Dia sayang kepada Bi Lian, akan tetapi juga taat kepada ayahnya. Akan tetapi karena dia sudah mendapat ketegasan dari ayahnya bahwa sumoi-nya hanya akan ditawan dan tidak akan diganggu atau dibunuh, bahkan kemudian akan dipergunakan siasat agar sumoi-nya suka menyerahkan diri kepadanya dan dengan suka rela mau menjadi isterinya, hatinya pun lega dan dia hanya mentaati saja perintah ayahnya yang kini menjadi atasannya. Dia tahu pula bahwa kini para pembantu ayahnya tentu sudah berjaga-jaga dan mengepung tempat itu sehingga bagaimanapun lihai sumoi-nya, dia tak akan mampu lolos dari tempat ini. Walau pun hatinya penuh dengan kecurigaan, namun Bi Lian tidak merasa gentar ketika tuan rumah memasuki sebuah lorong yang menuju ke bawah, menuju ke ruangan bawah tanah! Dia hanya menoleh sebentar ke arah suheng-nya. "Hati-hati, Suheng," bisiknya dan Tang Gun mengangguk. Engkaulah yang harus berhati-hati, Sumoi, katanya di dalam hati. Lorong bawah tanah itu membawa mereka ke depan sebuah kamar berpintu besar. "Nah, di dalam kamar ini kalian bisa menemukan orang yang kalian cari. Bukalah pintunya dan masuklah," kata Han Lojin. Tang Gun melewati sumoi-nya. Dia hendak membuka pintu itu, akan tetapi Bi Lian sudah menangkap lengannya. "Suheng, jangan! Waspada terhadap perangkap orang jahat!" Karena lengannya dipegang oleh Bi Lian, Tang Gun tidak jadi membuka daun pintu dan menoleh kepada Han Lojin yang tertawa. "Ha-ha-ha-ha-ha, nona Siangkoan Bi Lian yang gagah perkasa itu kiranya penakut. Nona, apakah engkau tidak berani membuka pintu itu? Apakah harus aku yang membukakannya untuk kalian?" Bi Lian tersenyum mengejek. "Ang-hong-cu, aku sama sekali tidak takut padamu, hanya tidak percaya dan curiga kepadamu. Bukan takut tetapi hati-hati terhadap kecuranganmu! Bukalah pintunya dan biarkan kami melihat dulu siapa yang berada di dalam kamar ini." Han Lojin tertawa, diam-diam kagum pada gadis perkasa itu. Seorang gadis yang gagah berani dan cerdik sekali, seperti juga Cia Kui Hong, maka akan amat menguntungkan bila gadis ini mau menjadi pembantunya. Dia sudah mengatur siasat sebelumnya dan merasa girang bahwa hal ini dia lakukan karena kalau tidak, akan berbahaya menghadapi amukan gadis semacami ini. Sebelum membawa Bi Lian ke depan kamar tahanan bawah tanah itu dia telah membuat kedua orang tawanan di kamar itu, Mayang dan Cia Kui Hong, roboh pingsan oleh asap pembius. "Ha-ha-ha, Siangkoan Bi Lian, akan kubuka pintunya. Kau lihatlah baik-baik siapa yang berada di dalam kamar ini!" katanya sambil maju menghampiri pintu kamar. Bi Lian menggerakkan tangan dan mencabut lagi pedang pusaka Kwan-im-kiam yang tadi telah dia simpan lagi di sarung pedangnya. Daun pintu terbuka dan Bi Lian melangkah ke ambang pintu, memandang ke dalam, Tang Gun berada pula di belakangnya, dekat sekali dan ikut menjenguk ke dalam. Kamar itu cukup luas akan tetapi tidak ada meja atau kursi di situ. Hanya ada kasur tebal di atas lantai dan sebuah kamar kecil di sudut. Di atas kasur itu nampak dua orang wanita rebah terlentang seperti dalam keadaan tidur. Bi Lian memandang penuh perhatian, begitu pula dengan Tang Gun. Tang Gun sama sekali tidak mengenal dua orang gadis itu. Dua orang gadis yang sama-sama cantik jelita. Dia hanya tahu bahwa ayahnya akan menggunakan tipu muslihat dan perangkap untuk menangkap dan menundukkan sumoi-nya, namun dia tidak tahu dengan cara bagaimana. Tiba-tiba Han Lojin mendorong punggung Tang Gun. Pemuda ini mengerti maka dia pun menabrak sumoi-nya yang berada di depannya sambil berteriak, "Celaka, sumoi...!" Bi Lian terkejut ketika merasa betapa suheng-nya terdorong dari belakang sehingga kedua tangan suheng-nya itu pun mendorong punggungnya,. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa yang diserang bukan dia melainkan suheng-nya yang berada di belakangnya. Tadi dia agak lengah karena kagetnya sesudah mengenal seorang di antara dua orang wanita yang rebah telentang di dalam kamar itu. Dia mengenal Cia Kui Hong! Pada saat dia terkejut itu, Tang Gun yang berada di belakangnya terdorong ke depan dan pemuda itu pun mendorongnya. Baginya tidak ada jalan lain kecuali cepat mendoyongkan tubuh ke kiri sambil meloncat ke dalam kamar, kemudian membalik. Dia melihat suheng-nya terdorong ke depan dan terhuyung, dan yang mendorong suheng-nya itu bukan lain adalah Ang-hong-cu! "Keparat!" serunya, akan tetapi terlambat. Ketika tadi dia meloncat, daun pintu kamar itu segera ditutup dari luar oleh Han Lojin. Dia melompat ke pintu untuk mencegah, namun pintu itu terbuat dari besi dan sudah tertutup. Dicobanya untuk mendorong daun pintu, namun sia-sia belaka. "Sumoi, mari kita buka pintu itu!" Tang Gun juga melompat, kemudian membantu sumoi-nya. Keduanya mengerahkan tenaga sinkang, namun pintu itu terlampau kuat! "Ha-ha-ha-ha!" Han Lojin tertawa bergelak dari luar pintu. Suaranya masuk melalui lubang kecil yang biasanya digunakan penjaga untuk memasukkan makanan dan minuman untuk tawanan yang berada di dalam kamar itu. "Tan Hok Seng dan Siangkoan Bi Lian, sekarang kalian tinggal pilih. Menyerah dan suka menjadi pembantu kami, bersama-sama bekerja di dalam Ho-han-pang untuk menguasai dunia kang-ouw, ataukah kalian akan kami bunuh perlahan-lahan sebagai tawanan kami!" Mendengar ini, Tang Gun mengerti bahwa dia sengaja dipergunakan oleh ayahnya untuk menjebak sumoi-nya. Dengan begini maka sumoi-nya takkan menyangka buruk terhadap dirinya, karena bukankah dia sendiri pun ikut pula terjebak dan tertawan? "Bengcu, kami tidak mempunyai permusuhan denganmu. Bukankah dahulu Bengcu telah menolongku? Mengapa kami ditawan? Apa bila kami tidak disuruh melakukan kejahatan, tentu saja kami mau membantumu dan..." "Suheng....!" Bi Lian membentak suheng-nya yang langsung terdiam. Kemudian gadis itu menghadapi lubang di pintu dan suaranya lantang ketika ia menjawab, "Ang-hong-cu! Biar pun gerombolanmu memakai nama Ho-han-pang (Perkumpulan Orang Gagah), siapa mau percaya? Aku tidak sudi membantumu dan tentang ancamanmu tadi, aku tidak takut mati! Kalau engkau gagah dan bukan seorang pengecut yang curang, mari kita bertanding satu lawan satu sampai seorang di antara kita mampus di ujung pedang!" Akan tetapi Han Lojin hanya menjawab dengan suara ketawanya yang riang. Agaknya dia gembira sekali melihat betapa dengan mudahnya dia telah berhasil menjebak gadis yang berbahaya itu. Gembira dia membayangkan betapa gadis yang keras dan liar itu akhirnya akan menjadi lunak dan tunduk kepadanya, menyerahkan segalanya dengan suka rela. Dia merasa muda kembali membayangkan betapa dalam waktu dekat ini dua orang gadis pendekar yang berilmu tinggi akan berada di dalam pelukannya. Siangkoan Bi Lian dan Cia Kui Hong, mereka berdua akan menjadi wanita taklukannya yang terakhir, yang akan mendatangkan perasaan bangga di hatinya di samping kepuasannya merusak kehidupan dua orang wanita, wanita pendekar pula! Suara ketawa itu semakin menjauh, juga langkah kaki Han Lojin terdengar meninggalkan lorong bawah tanah itu. Setelah suara langkah kaki itu tidak terdengar lagi, Bi Lian cepat-cepat menghampiri Kui Hong yang menggeletak seperti orang tidur itu. "Cia Kui Hong...!" dia berseru heran dan memeriksa. Hatinya lega karena Kui Hong tidak terluka dan pingsan saja. Ia mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak kalah dibandingkan dirinya sendiri, tetapi ternyata menjadi tawanan pula di sini. Dia dapat menduga bahwa Kui Hong terjebak pula, seperti dia dan suheng-nya. Ia memeriksa gadis ke dua yang juga rebah telentang dan keadaannya sama dengan Kui Hong. Tidak terluka tapi pingsan. Ia tidak mengenal gadis itu, yang melihat wajahnya seperti peranakan asing. Ketika dia menengok, dia melihat suheng-nya tengah memeriksa keadaan kamar tawanan itu, seolah mencari jalan keluar. Ia pun bangkit berdiri. "Bagaimana, Suheng? Apakah ada bagian lemah yang memungkinkan kita keluar?" Tang Gun menarik wajah duka dan khawatir, menggelengkan kepala kemudian dia balik bertanya, "Siapakah gadis-gadis itu, Sumoi? Agaknya engkau telah mengenal mereka." "Aku tidak kenal dengan yang peranakan asing ini, akan tetapi gadis ke dua ini tentu saja aku mengenalnya dengan baik. Ia seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi, pendekar terkenal dari Cin-ling-pai. Sungguh mengherankan sekali bagaimana seorang gadis yang lihai seperti dia dapat menjadi tawanan di sini." "Sumoi, hal itu membuktikan betapa lihainya Bengcu, ketua Ho-han-pang itu. Apakah tidak lebih baik bila kita membantu perkumpulan orang gagah itu dari pada menentangnya dan membiarkan diri kita terancam bahaya?" "Suheng! Engkau tidak tahu betapa jahat dan kejinya Ang-hong-cu! Kalau engkau tahu tentu tak akan berpendapat seperti itu! Kita harus menentang iblis busuk itu. Sampai mati aku tidak sudi membantu iblis seperti dia!" Tang Gun menundukkan mukanya yang terlihat amat sedih. Ini bukan dibuat-buat, karena memang dia merasa sedih sekali melihat betapa sumoi-nya sangat membenci Han Lojin, ayah kandungnya! Dia merasa sayang kepada Siangkoan Bi Lian dan dia mengharapkan dapat menjadi suami gadis perkasa yang cantik jelita itu. Akan tetapi gadis itu demikian membenci ayahnya. Apa bila sumoi-nya itu mengetahui bahwa dia bukan Tan Hok Seng, melainkan Tang Gun putera Ang-hong-cu, tentu sumoi-nya akan membencinya pula. “Akan tetapi... dia... eh, dia pernah menyelamatkan aku dan sikapnya kepadaku demikian baik...." Bi Lian memandang suheng-nya dan dia pun mengerti. Ang-hong-cu menjebak dia karena memusuhi jai-hwa-cat itu dan karena dia dan Ang-hong-cu bermusuhan. Kini suheng-nya itu terbawa-bawa dan menjadi tawanan pula. "Tan-suheng, aku menyesal sekali bahwa engkau ikut pula tertawan. Akan tetapi jangan khawatir, Suheng. Kita masih hidup dan kita berdua akan mampu membela diri. Bahkan kalau kita dapat bebas dari sini, aku tidak akan terjebak lagi dan akan kubasmi Ang-hong-cu dan sarangnya. Betapa pun muluk nama yang dia pakai untuk perkumpulannya, pasti di dalamnya busuk! Dan di sini masih ada Cia Kui Hong. Dia amat lihai, bahkan mungkin lebih lihai dari pada aku, maka kita bertiga pasti akan dapat membasmi Ang-hong-cu dan anak buahnya. Siapa tahu, mungkin gadis peranakan asing ini pun memiliki kepandaian. Biar kucoba menyadarkan Kui Hong." Bi Lian berjongkok di dekat Kui Hong yang masih pingsan, sedangkan Tang Gun hanya berdiri memandang saja. Tiba-tiba dia melihat asap putih memasuki kamar itu dari lubang kecil dari mana biasanya penjaga memasukkan makanan dan minuman. "Sumoi awas...!” teriaknya. Bi Lian cepat meloncat sambil membalikkan tubuhnya. Dia pun melihat asap itu. Dengan sekali bergerak tubuhnya telah mendekati lubang itu dan sekali tangannya bergerak, sinar hitam lembut menyambar keluar dari lubang. Terdengar teriakan kesakitan di luar dan asap berhenti berhembus masuk. Mudah diduga bahwa jarum-jarum halus yang dilepaskan oleh Bi Lian tadi sudah mengenai sasaran dan orang yang melepas asap itu tentu menjadi korban jarum beracun! Ilmu ini dipelajarinya dari kedua orang gurunya yang pertama, yaitu Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi! Tang Gun terbatuk-batuk. Dia sudah terkena pengaruh asap putih tadi. Asap tadi tersedot olehnya sehingga membuatnya batuk-batuk dan pusing. Akan tetapi Bi Lian bersikap lebih berhati-hati. Pada saat menyerang tadi dia menahan napas sehingga asap itu tak sampai tersedot dan kini dia meloncat ke belakang menjauhi lubang. Akan tetapi terdengar suara mendesis dan dia terkejut sekali ketika memandang ke kanan kiri dan atas. Asap putih sudah menyerbu kamar itu dari mana-mana, dari lubang-lubang tersembunyi, bahkan dari atas! Bi Lian cepat menyambar selimut yang berada di atas kasur dan memutar-mutar selimut itu untuk mengusir asap yang mendekatinya. Akan tetapi karena lubang-lubang di kamar tahanan itu tidak terlalu banyak sedangkan asap yang masuk sangat banyak, maka asap yang diusir dengan putaran selimut itu hanya berputar-putar saja di dalam kamar itu dan akhirnya membalik lagi ke arah Bi Lian. Gadis itu menahan napas dan terus melawan sekuat tenaga. Dia melihat betapa suheng-nya telah terhuyung kemudian terkulai pingsan. Dia masih terus melawan hingga akhirnya dia pun harus bernapas dan tersedotlah asap ke dalam paru-parunya. Dia mencium bau yang keras dan wangi, yang membuatnya terbatuk-batuk, lantas tubuhnya terkulai lemas dan dia pun pingsan. *************** Kalau saja Hay Hay langsung berkunjung ke Ho-han-pang, tentu dia akan dapat bertemu dengan Siangkoan Bi Lian. Akan tetapi Hay Hay tidak mau langsung berkunjung. Mayang sudah ditawan orang-orang Ho-han-pang. Kalau dia datang berkunjung, sama saja artinya dengan menyerahkan diri karena mereka pasti mempergunakan Mayang sebagai sandera untuk membuat dia tidak berdaya dan dia tahu bahwa kalau mereka mengancam Mayang, tentu dia tidak berani menggunakan kekerasan. Tidak, dia maklum bahwa dia berhadapan dengan pihak lawan yang licik dan curang. Dia tidak boleh datang berkunjung begitu saja. Dia harus lebih dulu melakukan penyelidikan dan kalau mungkin, lebih dulu membebaskan Mayang sebelum bertindak lebih lanjut. Dia masih menduga-duga mengapa perkumpulan yang namanya begitu gagah, Ho-han-pang, perkumpulan orang-orang gagah, sudah memusuhinya bahkan menawan Mayang. Dan cara yang mereka pergunakan itu jauh dari pantas untuk dilakukan oleh para ho-han (patriot gagah)! Setelah menggunakan kepandaiannya yang tinggi, menyusup mengelilingi dinding tembok yang mengepung perkampungan yang menjadi sarang Ho-han-pang, Hay Hay mendapat kenyataan bahwa penjagaan dilakukan secara ketat sekali oleh para anak buah Ho-han-pang yang rata-rata nampak muda dan gagah itu. Apa lagi di dua buah pintu gerbangnya, di situ dijaga oleh lebih dari dua puluh orang! Dan pada sepanjang dinding yang tingginya sekitar dua meter itu selalu terdapat peronda sehingga akan sulitlah bagi orang luar untuk memasuki tempat itu tanpa diketahui para peronda dan penjaga. Dengan ginkang-nya yang amat tinggi, tentu tidak sulit bagi Hay Hay untuk meloncat dan menyelinap masuk ke balik dinding tembok. Akan tetapi dia ingin yakin agar dapat masuk tanpa diketahui orang. Akan berbahayalah kalau sampai ada yang melihatnya, bukan bagi diri sendiri melainkan bagi Mayang! Tentu mereka itu akan mengancam untuk mencelakai Mayang kalau sampai diketahui dia memasuki sarang perkumpulan itu. Padahal dia ingin masuk tanpa diketahui, agar mendapat kesempatan untuk membebaskan Mayang terlebih dahulu sebelum bentrok secara terbuka dengan mereka. Dia pun tidak tahu mengapa Ho-han-pang memusuhinya. Hay Hay lantas teringat akan nasehat kakek yang dijumpainya bersama Mayang di dusun sebelah luar kota raja. Kakek itu menasehati bahwa perjalanan tidak aman, bukan karena gangguan perampok melainkan karena adanya orang-orang gagah dari Ho-han-pang yang suka merayu dan menggoda gadis-gadis cantik untuk dijadikan isteri mereka! Dia makin tertarik dan ingin sekali mengetahui, perkumpulan apa gerangan yang bernama Ho-han-pang itu. Kalau dilihat dari namanya, sepatutnya sebuah perkumpulan yang baik, bukan perkumpulan orang jahat. Tetapi mengapa kini memusuhinya dan mempergunakan siasat busuk untuk menawan Mayang? Baik adalah suatu keadaan batin, suatu mutu batin yang wajar, tidak dibuat-buat, seperti keadaan pohon mawar yang mengeluarkan bunga mawar yang indah dan harum tanpa disengaja. Perbuatan yang nampaknya baik belum tentu baik mutunya, karena perbuatan itu dapat saja palsu, kelihatannya saja baik akan tetapi itu hanya merupakan cara untuk mendapatkan sesuatu. Yang berpamrih selalu palsu! Batin yang bersih dari cengkeraman nafsu berdaya rendah akan membuahkan perbuatan yang baik, wajar, bahkan pelakunya sendiri tak menganggapnya sebagai perbuatan baik. Karena itu kebaikan tidak mungkin dapat dilatih atau dipelajari, karena kalau demikian maka kebaikan yang dilakukan dengan sengaja itu hanya merupakan perbuatan munafik belaka, sengaja dilakukan agar mendatangkan sesuatu yang diinginkan oleh si pelaku. Kebaikan adalah bebas dari perhitungan pikiran. Kebaikan adalah sesuatu yang dilandasi cinta kasih. Seorang ibu yang menyusui anaknya tak akan merasa bahwa dia melakukan suatu kebaikan wajar dan tidak disengaja, dasarnya cinta kasih. Cinta kasih hanya akan menyinari batin yang bebas dari pengaruh pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah! Matahari telah condong ke barat. Hay Hay cepat menyelinap ke belakang sebatang pohon pada saat melihat ada dua orang peronda berjalan menuju ke tempat itu sambil bercakap-cakap. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian. "Mengapa pangcu menyuruh kita berjaga dengan ketat dan waspada? Bukankah semua pengacau telah tertawan? Dan kalau yang datang itu hanya gadis-gadis cantik, untuk apa kita takut?" "Wah, engkau tidak tahu! Tiga orang gadis cantik itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga sepuluh orang dari kita belum tentu akan mampu mengalahkan mereka!" "Hemm, kalau begitu, tentu pangcu akan berpesta pora karena kemenangannya. Apakah ketiga-tiganya akan dimiliki dan dinikmati oleh pangcu sendiri?" "Hushh, jangan mencari penyakit!" bisik kawannya. "Apa pun yang akan dilakukan pangcu dan para pembantu utamanya, bukan urusan kita. Itu urusan tingkat tinggi!" Keduanya berjalan melewati pohon di mana Hay Hay bersembunyi dan tiba-tiba Hay Hay keluar dari balik pohon. Sejak tadi dia memang telah mengerahkan kekuatan sihirnya. "Ssttttt....!" Dua orang itu terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuh mereka. Mereka memandang terbelalak dan nampak bingung. Tadi Hay Hay sudah mengintai ke arah gardu di depan pintu gerbang di mana berkumpul para anak buah Ho-han-pang dan melihat seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pimpinan dan disebut Ciong-toako. "Hemm, mengapa kalian bengong? Apakah sudah tidak mengenal lagi pemimpinmu, aku orang she Ciong ini?" "Ahh, Ciong-toako!" kata yang tinggi kurus. "Ciong-toako mengejutkan kami saja!" kata orang ke dua yang perutnya agak gendut. "Kalau meronda baik-baik, jangan melamun," kata Hay Hay yang telah berhasil membuat dua orang itu melihat dia sebagai ‘Ciong-toako’. "Kalian tahu bukan? Bahwa pangcu kita sudah menawan tiga orang gadis yang sangat lihai?" Tentu saja kata-kata ini dikeluarkan sesuai dengan apa yang baru saja didengarnya dari percakapan mereka. Dua orang itu mengangguk-angguk. "Kalian tahu di mana tiga orang tawanan kita itu dikurung, bukan?" "Tahu, Toako. Di kamar tahanan bawah tanah..." "Bagus! Akan tetapi tutup mulutmu dan jangan ceritakan hal ini kepada siapa pun juga. Hati-hati kalau terdengar pihak musuh," kata Hay Hay. "Tidak mungkin, Toako. Lagi pula lorong bawah tanah itu selain rahasia juga dijaga ketat oleh para pembantu utama pangcu. Siapa yang akan mampu masuk ke sana?" "Hemm, bagaimana pun juga kalian yang berjaga di luar harus hati-hati. Tahukah kalian di mana sekarang pangcu berada?" "Tadi kami melihat pangcu pergi menuju ke puncak bukit kecil itu, mungkin pergi ke taman kesayangannya," jawab seorang dari mereka sambil menunjuk ke arah sebuah bukit kecil yang menjulang di tengah perkampungan itu. Bukan bukit, hanya merupakan bagian yang lebih tinggi saja dan di bawah gundukan itulah tahanan bawah tanah itu dibuat. "Sudahlah, sekarang lanjutkan perondaanmu!" katanya dan diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya untuk membuat mereka berdua itu melupakan pertemuan ini. Setelah mereka pergi dia pun segera melompati pagar dinding itu dan memasuki daerah perkampungan Ho-han-pang. Dia merasa lega bahwa dia sudah memperoleh keterangan yang amat diharapkan, yaitu tempat di mana Mayang ditahan. Dia merasa yakin bahwa di antara tiga orang wanita tawanan mereka ini terdapat adiknya. Dan dia tahu pula di mana adanya sang ketua yang menawan Mayang dan mengundangnya. Bukan hal yang mudah untuk mencoba menolong Mayang. Mayang ditahan dalam tempat tahanan di bawah tanah dan dijaga ketat oleh para pembantu utama Ho-han-pang. Sebaliknya sang ketua berada di gundukan tanah seperti bukit kecil itu, mungkin sedang berada di taman kesayangannya di sana. Mungkin seorang diri. Adalah lebih mudah untuk menemui ketua itu, kalau perlu menangkapnya dan memaksanya membebaskan Mayang, dari pada harus menghadapi semua anak buah Ho-han-pang dan dikeroyok banyak orang sebelum sempat membebaskan Mayang. Dengan kecepatan gerakannya yang ringan, Hay Hay menyusup-nyusup di antara pohon-pohon dan rumah-rumah perkampungan Ho-han-pang. Dua kali dia kepergok orang, akan tetapi dengan cepat dia menggunakan ilmu sihirnya sehingga dua kali pula dia dapat lolos dari perhatian orang-orang itu yang percaya bahwa yang mereka lihat itu hanya bayangan saja. Akhirnya dengan jantung berdebar tegang Hay Hay berlari naik mendaki gundukan tanah seperti bukit kecil yang berada di tengah perkampungan itu. Sebuah bukit kecil yang pada puncaknya dijadikan sebuah taman bunga yang indah oleh ketua Ho-han-pang! *************** Sementara itu, siang tadi di kota raja terjadi hal lain yang menarik hati. Seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang berpakaian sederhana bagai seorang pelajar, berwajah tampan dengan muka bulat putih dan alis tebal, mata agak sipit, dengan langkah tenang memasuki rumah penginapan Pak-hai-koan. Pemuda ini menggendong sebuah buntalan kuning dan gerak-geriknya halus dan tenang. Tidak terlihat tanda bahwa dia seorang pemuda luar biasa, kecuali bahwa sepasang mata yang agak sipit itu mengandung sinar cemerlang dan kadang-kadang tajam bukan main. Pemuda ini bertubuh sedang namun tegap dan dia adalah Pek Han Siong, pemuda yang di waktu kecilnya disebut Sin-tong (Anak Ajaib) dan dikejar-kejar oleh para pendeta Lama untuk dijadikan Dalai Lama! Seperti kita ketahui, dengan bantuan Hay Hay akhirnya Han Siong mampu membebaskan diri dari pengejaran para pendeta Lama, bahkan telah bertemu dengan Wakil Dalai Lama yang menyatakan bahwa para pendeta tidak lagi menganggap Han Siong sebagai calon Dalai Lama. Malah Han Siong sempat pula ikut ‘menjodohkan’ Hay Hay dengan Mayang, akan tetapi kemudian dia merasa menyesal bukan main sebab perjodohan itu hampir saja menyeret keduanya ke dalam lembah kenistaan, karena ternyata bahwa Mayang adalah adik tiri seayah berlainan ibu dengan Hay Hay. Dua muda-mudi itu adalah anak-anak dari Ang-hong-cu! Menghadapi peristiwa yang menyedihkan ini, Han Siong merasa semakin marah kepada Si Kumbang Merah yang dianggapnya menjadi penyebab utama dari kesengsaraan batin yang diderita Hay Hay, sahabat baiknya yang telah dianggapnya sebagai saudara sendiri, dan juga Mayang, gadis yang tidak berdosa itu. Dia kemudian berpamit dari Hay Hay yang sedang dilanda duka itu. Dengan hati penuh semangat dia pergi untuk mencari Ang-hong-cu dan membinasakannya, menghukumnya atas dosa yang sudah diperbuatnya terhadap adik kandungnya, Pek Eng, juga terhadap para gadis lain yang menjadi korbannya. Termasuk pula untuk dosanya terhadap Hay Hay dan Mayang! Sesudah meninggalkan Hay Hay yang juga sedang bersiap untuk pergi bersama Mayang yang mencari Ang-hong-cu, Han Siong lalu pergi mengunjungi suhu serta subo-nya, yaitu suami isteri Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang kini tinggal di puncak Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) Pegunungan Heng-tuan-san sebelah timur. Dia mencoba mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa dia berkunjung untuk memberi hormat kepada suhu dan subo-nya, akan tetapi jauh di lubuk hatinya terpendam pamrih utama dari keinginannya berkunjung itu. Pamrih itu ialah untuk dapat melihat dan bertemu dengan Siangkoan Bi Lian yang sudah amat dirindukannya. Dia tak pernah dapat melupakan gadis itu. Gadis yang menjadi bekas tunangannya, yang kemudian menjadi pujaan hatinya. Meski pun gadis itu menolak tali perjodohan itu dengan alasan bahwa dia tidak mempunyai perasaan cinta asmara kepada Han Siong, melainkan hanya perasaan suka sebagai saudara seperguruan, akan tetapi dia tidak pernah dapat melupakannya dan tidak pernah berhenti mencintainya. Akan tetapi ketika dia tiba di puncak Lembah Kim-ke-kok, yang menyambutnya hanyalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Suhu dan subo-nya menyambutnya dengan penuh kegembiraan dan kasih sayang. Mereka menghujaninya dengan berbagai pertanyaan dan mereka merasa ikut bangga dan gembira ketika mendengar akan pengalaman Han Siong di Tibet, gembira bahwa murid mereka kini sudah terbebas dari pengejaran para pendeta Lama di Tibet. Sungguh pun pada lahirnya Han Siong juga menperlihatkan kegembiraannya, namun dia merasa kecewa bukan main karena tidak melihat adanya Bi Lian. Akan tetapi dia merasa sungkan untuk bertanya kepada suhu dan subo-nya. cerita silat online karya kho ping hoo Setelah mereka mendengarkan pengalaman yang sangat menarik dari murid mereka itu, akhirnya Toan Hui Cu yang berpenglihatan tajam bisa menduga bahwa muridnya ini tentu diam-diam mempertanyakan ketidak munculan puterinya. "Han Siong,. engkau tentu merasa heran mengapa Bi Lian tidak berada di sini." Berdebar rasa jantung di dada Han Siong. "Benar, Subo. Di mana sumoi? Kenapa teecu sejak tadi tidak melihatnya?" "Baru beberapa hari yang lalu sumoi-mu berangkat turun gunung, Han Siong. Dia pergi bersama... sute-mu." "Sute? Siapakah yang Subo maksudkan?" tanya Han Siong terheran. "Belum lama ini kami menerima seorang murid baru, namanya Tan Hok Seng. Sebelum menjadi murid kami, dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup lumayan." Toan Hui Cu lantas menceritakan tentang Tan Hok Seng yang menjadi murid mereka dan menjadi ‘suheng’ baru Bi Lian. "Dan sekarang mereka berdua pergi? Ke manakah kalau teecu boleh bertanya?" "Mereka pergi ke kota raja untuk mencari orang jahat yang melempar fitnah kepada Tan Hok Seng hingga dia dipecat dari kedudukannya sebagai perwira istana, bahkan dijatuhi hukuman. Karena merasa kasihan kepada suheng-nya itu, Bi Lian hendak membantunya dan kini mereka berada di kota raja untuk mencari musuh yang bernama Tang Bun An itu." "Tang...?" Han Siong terkejut mendengar disebutnya she ini. She yang dihafalnya benar karena itu adalah she dari Hay Hay dan juga she dari Ang-hong-cu! "Ya, Tang Bun An. Apakah engkau mengenal nama itu, Han Siong?" tanya Siangkoan Ci Kang yang sejak tadi membiarkan isterinya yang bicara. Han Siong menggelengkan kepalanya. "Teecu belum pernah mendengar nama itu, akan tetapi she Tang itu yang amat menarik perhatian teecu karena Ang-hong-cu yang sedang teecu cari-cari juga she Tang." Suami isteri itu mengangguk-angguk. "Demikian pula dengan Bi Lian. Dia tertarik karena she Tang itulah." Han Siong mengerutkan alisnya. "Teecu merasa khawatir, Suhu. Siapa tahu sumoi akan berhadapan dengan Ang-hong-cu yang amat lihai dan jahat itu. Apa bila Suhu dan Subo menyetujui, teecu akan menyusul mereka ke kota raja, hanya untuk melihat kalau-kalau sumoi menghadapi bahaya dan memerlukan bantuan teecu." Suami isteri itu saling bertukar pandang, kemudian Siangkoan Ci Kang berkata, "Memang sebaiknya begitulah, Han Siong. Kami berdua juga akan merasa lebih tenang jika engkau suka membantu sumoi-mu." Han Siong lantas berpamit dan dia pun menuruni Gunung Heng-tuan-san untuk menyusul sumoi-nya ke kota raja. Dia tidak tahu betapa suhu dan subo-nya mengikuti bayangannya dengan pandang mata penuh keharuan dan betapa subo-nya berkata kepada suhu-nya. "Murid kita itu jelas masih mencinta Bi Lian." Suhu-nya menghela napas panjang. "Engkau benar. Kasihan dia..." "Memang kasihan, akan tetapi kalau Bi Lian tidak suka menjadi isterinya, bagaimana kita dapat memaksanya? Dan nampaknya anak kita itu akrab dengan Hok Seng." "Hemm, jodoh berada di tangan Tuhan. Biarlah Tuhan yang menentukan siapa yang akan menjadi jodoh anak kita. Kita hanya dapat berdoa semoga Bi Lian tidak akan salah pilih." Demikianlah, tanpa mengenal lelah Han Siong melakukan perjalanan, pergi ke kota raja untuk mencari sumoi-nya. Dan pada siang hari itu dia sudah sampai di kota raja. Kota raja amat besar dan ramai. Sukar untuk mencari sumoi-nya yang tidak diketahuinya berada di mana. Jalan satu-satunya baginya adalah menyelidiki tentang perwira yang bernama Tang Bun An itu. Akan lebih mudah menyelidiki tempat tinggal seorang perwira dari pada seorang pendatang seperti sumoi-nya yang tidak dikenal orang-orang di tempat itu. *************** Han Siong memasuki rumah penginapan Pak-hai-koan. Dia akan mencari sebuah kamar penginapan dahulu sebelum melakukan penyelidikannya. Dengan demikian dia akan lebih leluasa meninggalkan buntalan pakaiannya di dalam kamar. Lagi pula dia merasa gerah sekali dan pakaiannya kotor berdebu. Dia ingin mandi dan berganti pakaian. Dan di rumah penginapan itu pun dia sudah dapat memulai dengan penyelidikannya, bertanya kepada karyawan di situ tentang perwira Tang Bun An dan di mana dia tinggal. "Selamat siang, Kongcu…," seorang pelayan rumah penginapan menyambutnya dengan ramah. Meski pun pakaian Han Siong sederhana, akan tetapi dia rapi, tampan gagah dan juga sikapnya berwibawa dan lembut seperti seorang terpelajar. "Apakah Kongcu hendak menyewa kamar?" Han Siong mengangguk. "Benar, Paman. Tolong beri saya sebuah kamar yang sejuk dan bersih." "Ahh, kamar nomor tujuh kebetulan sedang kosong, Kongcu. Kamar itu sejuk dan bersih. Mari, silakan, Kongcu." Kamar itu memang bersih walau pun tidak besar. Han Siong lalu minta disediakan air dan mandi sampai bersih hingga tubuhnya terasa segar. Setelah mengenakan pakaian bersih, dia kemudian duduk melamun di kamarnya. Ke mana dia harus mencari Bi Lian? Dan dia terkenang akan perjalanannya dari Tibet ke sini. Dia sudah singgah di rumah ayah ibunya di Kong-goan, Propinsi Secuan. Ayahnya masih menjadi ketua Pek-sim-pang yang kini menjalankan usaha pengawalan barang dalam lalu lintas barat timur atau sebaliknya. Hanya dengan adanya usaha piauw-kiok (perusahaan pengawalan ekspedisi) inilah maka perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) dapat dipertahankan, bahkan nampak maju. Ketika dia pulang, ayahnya yang berusia empat puluh tiga tahun itu minta agar dia tinggal saja di rumah membantu pekerjaan perkumpulan yang mempunyai perusahaan itu. Juga ibunya membujuk agar dia segera memilih calon isteri dan berumah tangga. Akan tetapi dengan halus dia menolak kehendak ayah ibunya itu dan mengatakan bahwa dia masih ingin meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan. Sedangkan tentang perjodohan dia mengatakan bahwa dia belum memiliki pilihan dan masih ingin menyendiri. Dia telah berbohong pada ibunya. Dia sudah mempunyai pilihan hati, bahkan sudah lama, sejak dia berjumpa dengan sumoi-nya yang dicari-carinya, Siangkoan Bi Lian, sumoi-nya juga bekas tunangannya. Bayang-bayang gadis itu masih selalu melekat di hatinya. Akan tetapi dengan jujur dan gagah sumoi-nya menyatakan bahwa dia tidak mempunyai perasaan cinta kepadanya, dan minta agar tali perjodohan yang diikatkan oleh suhu dan subo-nya itu dibikin putus. Walau pun demikian, diam-diam dia masih selalu mengenang sumoi-nya itu, bahkan masih mengharapkan agar sekali waktu sumoi-nya itu akan dapat merasakan cinta kasihnya dan dapat pula menerima dan membalasnya. "Tok-tok-tok!" Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya dan dia menoleh ke arah pintu. "Buka saja pintunya, tidak dikunci," katanya. Daun pintu didorong dan terbuka dari luar. Pelayan yang tadi nampak berdiri di situ sambil membawa baki yang dipenuhi dengan mangkok piring yang berisi makanan masih panas dan mengepulkan asap yang sedap. "Kongcu, ini makanan yang Kongcu pesan tadi. Kongcu hendak makan di ruangan makan ataukah di dalam kamar ini saja?" "Bawa masuk saja, Paman. Aku ingin makan di sini saja." Mangkok dan panci berisi makanan itu ditaruh di atas meja oleh pelayan yang diam-diam merasa heran mengapa seorang pemuda yang begini halus memesan masakan demikian banyaknya. Tapi keheranannya berubah sesudah Han Siong berkata sambil menahannya ketika dia hendak pergi. "Paman, harap duduk di sini dan temani aku makan. Rasanya tak enak makan sendirian. Marilah, Paman. Aku sudah memesan makanan untuk dua orang, bukan?" Pelayan itu sejenak tertegun. Kini mengertilah dia kenapa pemuda itu memesan masakan demikian banyaknya. Dan dia terheran-heran melihat seorang tamu mengajaknya makan bersama. Dalam pekerjaannya selama belasan tahun sebagai pelayan, belum pernah dia mengalami hal yang seaneh ini. Akan tetapi karena sikap Han Siong demikian ramahnya, setelah menutupkan daun pintu dia pun lantas duduk di atas bangku berhadapan dengan pemuda itu, terhalang meja. "Terima kasih, Kongcu. Engkau baik sekali dan memang sesungguhnya saya juga belum makan siang ini." Dia meragu sejenak. "Akan tetapi, Kongcu, mengapa Kongcu mengajak saya seorang pelayan untuk makan bersama? Belum pernah saya mendapat kehormatan seperti ini." "Terus terang saja, Paman. Ketika melihat Paman, aku segera merasa suka sekali karena wajah Paman mirip sekali dengan wajah seorang pamanku yang tinggal jauh di selatan dan sudah bertahun-tahun tidak pernah kutemui," kata Han Siong. Tentu saja kata-kata ini hanya merupakan alasan yang dicari-cari. Dia sengaja menjamu pelayan ini karena ingin mencari keterangan pertama dari pelayan ini. Mereka lalu makan dan minum. Kesempatan inilah yang digunakan oleh Han Siong untuk melakukan penyelidikan. Sesudah bertanya tentang keadaan pelayan itu dan mendengar bahwa semenjak kecil pelayan itu tinggal di kota raja dan sudah belasan tahun bekerja di rumah penginapan itu, Han Siong lalu berkata dengan sikap sambil lalu. "Kalau begitu engkau tentu mengenal atau setidaknya mengetahui di mana tempat tinggal seorang perwira yang bernama Tang Bun An, Paman." "Perwira Tang... Bun An? Sungguh aneh!" "Kenapa aneh, Paman?" "Katakan dulu, Kongcu. Ada urusan apakah Kongcu mencari perwira she Tang itu?" "Aku mempunyai urusan pribadi yang amat penting dengan dia, Paman,” kata Han Siong girang, tak menyangka akan semudah itu mendapatkan keterangan tentang perwira Tang Bun An yang sedang dicari oleh Bi Lian itu. "Tahukah engkau di mana dia sekarang?" Han Siong kecewa ketika melihat pelayan itu menggelengkan kepala. “Saya tidak tahu di mana dia sekarang, Kongcu. Tentu saja saya tahu siapa dia. Tang Ciangkun tadinya amat terkenal di kota raja sebagai penolong kaisar, lantas dia menjadi perwira di istana. Akan tetapi sudah lama dia mengundurkan diri dan sekarang entah berada di mana.” "Kalau begitu, mengapa engkau tadi terheran dan mengatakan aneh ketika aku bertanya tentang dia kepadamu, Paman?" "Memang saya merasa heran karena baru kemarin dulu ada dua orang yang bermalam di sini, kebetulan yang pria juga menginap di kamar ini, juga mereka bertanya-tanya tentang seorang perwira she Tang. Dan sekarang Kongcu juga menanyakan orang yang sama, bukankah itu suatu kebetulan yang aneh?" "Hemm, siapakah dua orang itu? Apakah seorang gadis cantik dan seorang pemuda?" “Tepat sekali! Ahh, ternyata Kongcu mengenal mereka? Mereka itu aneh sekali. Setelah bermalam di sini, pagi-pagi sekali pemuda itu pergi. Kemudian ada tamu yang mengajak gadis itu pergi dan mereka tidak pernah kembali lagi, padahal mereka belum membayar sewa kamar...” "Jangan khawatir, Paman. Biar aku yang akan membayar sewa kamar mereka! Katakan, bukankah gadis itu cantik jelita, bertubuh ramping, berkulit putih mulus, ada tahi lalat kecil di dagu dan mukanya bulat telur?" Pelayan itu mengerutkan alisnya. "Dia memang cantik jelita dan bertubuh tinggi ramping. Akan tetapi saya tidak berani terlalu memperhatikan karena dia kelihatan galak. Entah di dagunya ada tahi lalat atau tidak, Kongcu. Ada pun tentang sewa kamar, biar pun mereka belum membayar, tetapi telah diselesaikan dan dibayar oleh Ho-han-pang, jadi tidak perlu menyusahkan Kongcu." Han Siong merasa heran. Dia belum yakin apakah gadis dan pemuda yang menginap di rumah penginapan ini benar Bi Lian dan suheng barunya itu. Akan tetapi kenapa mereka bertanya-tanya tentang perwira Tang? Tentu sumoi-riya. Dia tidak boleh terlalu mendesak sehingga menimbulkan kecurigaan pelayan itu, maka dia lalu mengajak pelayan itu untuk melanjutkan makan minum sampai kenyang. "Aih, sudah lama saya tidak menikmati masakan mahal seperti ini, Kongcu. Terima kasih, Kongcu," kata pelayan itu sambil menyusut bibirnya dengan lengan bajunya. "Dan tentang pemuda dan gadis itu, sekarang aku dapat membayangkan mereka, Kongcu. Pasangan yang serasi sekali. Gadis itu cantik manis walau pun kelihatan galak, tapi kecantikannya berbau asing. Dia bukan gadis Han, Kongcu. Agaknya peranakan dari barat, dari Sinkiang atau Tibet. Dan pemuda itu memakai caping lebar wajahnya tampan dan dia periang..." "Apakah pakaiannya berwarna biru?" "Benar, warna biru dengan garis-garis kuning!" kata pelayan itu girang. "Apakah Kongcu mengenal mereka?" Han Siong mengangguk. Tentu saja dia mengenal Hay Hay yang selalu memakai pakaian biru bergaris kuning dan bercaping lebar itu! Dan gadis peranakan Tibet yang cantik itu, siapa lagi kalau bukan Mayang? Kiranya mereka pun sudah tiba di kota raja dalam usaha mereka mencari Ang-hong-cu, dan agaknya Hay Hay juga menaruh curiga kepada perwira she Tang itu karena Ang-hong-cu juga she Tang. Akan tetapi apa pula peranan Ho-han-pang di dalam urusan ini? Mengapa Ho-han-pang membayar hutang Hay Hay dan Mayang kepada rumah penginapan ini? Dia tahu bahwa bukan watak Hay Hay, apa lagi Mayang, gadis yang angkuh dan memiliki harga diri yang tinggi itu, untuk begitu saja meninggalkan kamar yang rnereka sewa tanpa bayar! "Tahukah engkau di mana kedua orang itu sekarang? Kebetulan sekali rnereka itu adalah sahabat-sahabatku." "Saya tidak tahu, Kongcu. Hanya saja setelah mereka pergi, datang orang-orang Ho-han-pang membayar rekening mereka dan dalam percakapan mereka dengan majikan kami, mereka mengatakan bahwa dua orang muda itu menjadi tamu Ho-han-pang dan mereka datang untuk membayar uang sewa kamar." Tentu saja Han Siong menjadi girang sekaligus juga curiga terhadap perkumpulan yang memakai nama gagah itu. Ho-han-pang, perkumpulan orang gagah! "Di manakah markas Ho-han-pang itu, Paman? Aku ingin menyusul dua orang sahabatku itu." “Aihh! Kongcu belum mengenal Ho-han-pang? Biar pun belum lama berdiri, perkumpulan ini sudah terkenal sekali di kota raja dan semenjak perkumpulan itu berdiri, keadaan kota raja menjadi aman, tidak pernah ada gangguan penjahat. Markasnya di luar kota, Kongcu, di sebuah bukit." Pelayan itu lantas memberi petunjuk. Setelah menyelidiki di mana letaknya Ho-han-pang dan tidak berhasil bertanya lebih banyak karena pelayan itu nampaknya jeri untuk banyak bicara tentang Ho-han-pang, Han Siong lalu meninggalkan buntalan pakaiannya di dalam kamar dan keluar dari rumah penginapan itu. Pada siang hari itu juga dia keluar dari kota raja menuju ke bukit yang menjadi sarang Ho-han-pang untuk melakukan penyelidikan, apakah benar Hay Hay dan Mayang menjadi tamu di perkumpulan itu dan kalau benar demikian, apakah sebabnya? *************** Han Lojin duduk melamun seorang diri di puncak itu. Puncak bukit itu memang indah. Biar pun hanya sebuah bukit kecil merupakan gundukan tanah, akan tetapi dia telah membuat gundukan tanah itu menjadi sebuah kebun yang indah, dengan tanaman bunga beraneka warna dan pohon-pohon buah. Tanaman di situ hidup dengan subur karena dia memang memelihara tempat itu dengan baik, memberinya pupuk serta merawat tanaman itu dengan tangannya sendiri. Merawat tanaman merupakan satu di antara kesenangan hidupnya. Dia tidak menaruh bangku di kebun itu, melainkan batu-batu gunung yang halus, rata dan bersih, hitam mengkilap dan dapat menjadi tempat duduk yang nyaman. Han Lojin duduk melamun, menghirup hawa yang segar dan wajahnya berseri gembira. Memang hatinya gembira sekali karena dia berhasil menawan tiga orang gadis cantik itu. Terutama dia merasa gembira dapat menawan Siangkoan Bi Lian dan Cia Kui Hong, dua orang gadis pendekar yang selain ilmunya amat lihai, juga amat cantik. Mayang pun mempunyai kecantikan yang khas, malah sempat membangkitkan birahinya sungguh pun dia tahu bahwa gadis itu adalah anaknya sendiri! Mereka bagaikan bunga-bunga yang sedang mekar mengharum, dan akan puaslah hatinya kalau dapat menikmati, memetik dan merusak mereka. Semua perempuan harus menderita karena semua perempuan berhati palsu! Demikian besar kebenciannya terhadap para wanita, kebencian yang bercampur berkobarnya nafsu birahi, membuat dia selalu ingin menguasai wanita, akan tetapi juga menyengsarakannya. Han Lojin tidak tahu bahwa pada saat itu, satu-satunya orang yang membuat dia gentar dan takut, yaitu seorang di antara anak-anaknya sendiri, Tang Hay atau Hay Hay, sedang mengintai dan mengamati gerak-geriknya! Pada waktu Hay Hay menyusup-nyusup naik ke gundukan tanah yang menjadi kebun dan taman bunga itu, dia melihat seorang laki-laki duduk seorang diri di taman, duduk di atas batu hitam dan dia terkejut bukan main. Dia mengenal benar siapa yang dipandangnya itu. Pria setengah tua yang gagar dan tampan itu, dengan jenggot dan kumis terpelihara rapi. Han Lojin! Alias Ang-hong-cu! Ayah kandungnya yang jahat seperti iblis. Orang yang dicarinya dan akan terus dikejarnya sampai ke ujung dunia sekali pun. Dia sudah berjanji di dalam hatinya, juga kepada semua pendekar, untuk memaksa Ang-hong-cu mempertanggung jawabkan semua perbuatannya yang keji. Bukan saja penjahat itu melakukan perbuatan yang hina dan keji, memperkosa serta mempermainkan gadis-gadis tidak berdosa, bahkan gadis-gadis pendekar, akan tetapi juga melemparkan aib dan fitnah kepada dirinya. Hampir saja dia yang menjadi korban, dituduh menjadi pelaku dari perkosaan itu. Ayahnya harus bertanggung jawab! Dan sekarang, tanpa disangka-sangka dia melihat orang yang dicari-carinya itu duduk seorang diri di taman bukit! Akan tetapi Hay Hay belum mau memperlihatkan diri karena pada saat itu pula dia melihat berkelebatnya bayangan orang dan hatinya berdebar keras ketika dia melihat siapa tiga orang muda yang berlari cepat memasuki taman bukit itu. Di antara tiga orang muda itu, dia segera mengenal Sim Ki Liong! Pada saat itu Sim Ki Liong memang sedang menanggalkan topeng tipis penyamarannya, maka Hay Hay langsung mengenalnya dan tentu saja hal ini sangat mengejutkan hatinya. Dan meski pun pada waktu itu Tang Cun Sek masih mengenakan topeng tipisnya, namun, Hay Hay dapat pula mengenal Cun Sek setelah melihat Sim Ki Liong. Bentuk tubuh dan gerakan pemuda itu segera dikenalnya walau pun wajahnya berubah karena topeng tipis yang dipakainya. Kiranya dua orang tokoh Kim-lian-pang yang telah terbasmi dan berhasil melarikan diri itu kini berada di Ho-han-pang! Dengan adanya dua orang ini saja Hay Hay langsung dapat mengetahui macam apa adanya perkumpulan Ho-han-pang itu! Apa lagi di situ terdapat pula Ang-hong-cu! Pemuda yang ke tiga tidak dikenalnya, akan tetapi juga nampak gagah dengan gerak-gerik yang gesit. Pemuda ke tiga itu adalah Tang Gun. Mereka bertiga langsung memasuki taman nlenghadap Han Lojin, dan Hay Hay mengintai sambil menahan napas dengan hati tegang. Sungguh berbahaya, pikirnya. Han Lojin saja sudah amat lihai, kalau ditambah pembantu-pembantu seperti Sim Ki Liong dan pemuda tinggi besar yang pandai memainkan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai itu, tentu saja dia tidak boleh memandang rendah. Han Lojin menyambut tiga orang pembantunya itu dengan alis berkerut, tanda bahwa dia tak senang mendapat gangguan itu. "Hemm, mengapa kalian ke sini? Seharusnya kalian melakukan penjagaan ketat di bawah sana!" Dia menyambut mereka dengan teguran. Tang Cun Sek dan Tang Gun kelihatan ragu dan takut. Akan tetapi Sim Ki Liong nampak tenang dan tabah dan agaknya dialah yang bertugas menjadi pelopor. "Bengcu, maafkan kalau kami mengganggu Bengcu di sini. Kami bertjga sengaja mencari dan menghadap Bengcu untuk mengajukan permohonan pribadi." Makin mendalam kerut merut di antara alis Han Lojin. "Hemm, permohonan pribadi? Apa maksudmu? Permohonan apakah itu?" “Bengcu, begitu bertemu dengan nona Mayang, terus terang saja saya sudah jatuh cinta seperti yang belum pernah saya rasakan selama hidup saya. Oleh karena itu saya mohon perkenan Bengcu untuk mengambil nona Mayang sebagai isteri saya!" kata Sim Ki Liong. Han Lojin mengangkat muka memandang wajah pemuda itu. Di tempat pengintaiannya Hay Hay juga terkejut. Sim Ki Liong jatuh cinta kepada Mayang? Hemmm, melihat sepak terjang pemuda itu di masa lalu, tentu saja di dalam hatinya dia sama sekali tidak setuju kalau adik tirinya itu menjadi isteri Sim Ki Liong yang jahat! "Dan engkau, Cun Sek?" tiba-tiba Han Lojin bertanya sambil memandang pemuda tinggi besar itu. Dengan muka merah Cun Sek memberi hormat dan berkata lantang, "Bengcu, sejak saya menjadi murid Cin-ling-pai, saya telah jatuh cinta kepada Cia Kui Hong. Oleh karena itu harap Bengcu suka menyerahkan gadis itu kepada saya!" Sepasang mata Han Lojin mengeluarkan sinar marah, akan tetapi dia masih menahan diri dan kini menoleh kepada puteranya yang ke dua dan bertanya, "Dan engkau, Tan Hok Seng?" Dia sengaja memanggil Tang Gun dengan nama ini sebab ketika mereka menerima Tang Gun yang dikeluarkan dari dalam kamar tahanan sesudah terkena bius, Han Lojin memperkenalkan dia sebagai Tan Hok Seng dan menjadi seorang pembantu barunya. "Saya pun seperti dua orang saudara ini, Bengcu. Siangkoan Bi Lian adalah sumoi saya, dan sejak pertama kali bertemu saya sudah jatuh cinta kepadanya. Oleh karena itu saya harap agar Bengcu suka menyerahkan Bi Lian kepada saya. Saya akan mempertaruhkan nyawa saya untuk membantu Bengcu." Dalam tempat pengintaiannya Hay Hay mengerutkan alis. Sekarang jelaslah semuanya. Adiknya, Mayang sudah menjadi tawanan di Ho-han-pang. Bukan Mayang saja, bahkan juga Cia Kui Hong dan Siangkoan Bi Lian! Sungguh luar biasa sekali! Tiga orang gadis itu, terutama sekali Kui Hong dan Bi Lian, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Bagaimana mereka itu dapat tertawan? Dan kini tiga orang pembantu Ang-hong-cu yang dia tahu juga lihai itu jatuh cinta kepada tiga orang gadis tawanan! Sungguh hal ini amat menarik hatinya, biar pun dia marah sekali kepada mereka yang tidak tahu diri! Akan tetapi Hay Hay menahan kesabarannya dan ingin sekali tahu apa yang akan dikatakan Ang-hong-cu dalam menghadapi permintaan tiga orang pembantunya itu. Dan kini Han Lojin tampak marah! Wajahnya berubah kemerahan dan dia berkata dengan suara penuh teguran. "Kalian ini sungguh mau enaknya saja, tidak melihat keadaan yang sangat berbahaya! Tiga orang tawanan itu merupakan gadis-gadis yang amat lihai. Kalau mereka itu sampai lolos, agaknya kalian bertiga belum tentu akan sanggup menandingi mereka! Mereka harus dijaga ketat karena merupakan tawanan yang amat penting, tetapi pikiran kalian hanya ingin bersenang-senang saja! Aku sendiri yang akan menundukkan mereka. Setelah mereka tunduk, barulah mungkin dapat kuhadiahkan kepada kalian. Nah, sekarang pergi kepada mereka. Pergunakan asap pembius dan pisah-pisahkan mereka di dalam tiga kamar. Mereka akan terlalu kuat dan berbahaya kalau bersatu! Pergilah!" Tiga orang muda itu saling pandang, tetapi agaknya mereka jeri melihat pimpinan mereka marah. Mereka pun pergi meninggalkan Han Lojin yang masih duduk dengan wajah yang kini menjadi murung. Meski pun hatinya sudah panas sekali melihat Ang-hong-cu, juga tangannya sudah gatal-gatal untuk menerjang ayah kandung itu, namun Hay Hay menahan diri. Sesudah kini dia tahu bahwa Mayang, Cia Kui Hong serta Siangkoan Bi Lian menjadi tawanan di sana, dia tidak boleh tergesa-gesa menyerang dan menangkap Ang-hong-cu. Tindakan itu hanya akan membahayakan keadaan tiga orang gadis tawanan itu. Dia harus berusaha untuk menolong mereka lebih dulu, membebaskan mereka. Baru dia akan menghadapi Ang-hong-cu serta kaki tangannya. Dia tahu benar betapa bahayanya kalau ketiga orang gadis itu berada dalam cengkeraman Ang-hong-cu. Bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut bagi mereka. Walau pun Mayang puteri kandung Ang-hong-cu sendiri, namun hal itu tidak merupakan jaminan akan keselamatan Mayang. Dia harus dapat membebaskan mereka secepatnya. Oleh karena itulah, ketika tiga orang itu meninggalkan taman, secara diam-diam Hay Hay membayangi mereka dan dia pun meninggalkan Ang-hong-cu. Namun mulailah Hay Hay menghadapi kesulitan ketika tiga orang pemuda itu memasuki bangunan besar di tengah perkampungan markas Ho-han-pang. Tak mungkin lagi dia dapat membayangi mereka karena kini dia berada di sarang mereka, di tempat yang ramai di mana terdapat banyak anggota Ho-han-pang. Tiga orang pemuda itu menghilang ke dalam sebuah bangunan. Ketika Hay Hay mengikuti hingga memasuki sebuah ruangan, dia bertemu dengan lima orang anggota Ho-han-pang! Karena perjumpaan itu amat tiba-tiba, Hay Hay yang ingin mengikuti tiga orang pemuda tadi tidak sempat menyingkir lagi. Lima orang itu pun memandang heran. "Heiii, siapa...?" Akan tetapi Hay Hay cepat mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata dengan sikap berwibawa, "Aku Bengcu kalian! Mengapa kalian tidak cepat memberi hormat?" Dalam pandangan lima orang yang terkena daya sihir itu, seketika Hay Hay telah berubah menjadi Han Lojin sehingga mereka terkejut dan cepat-cepat memberi hormat. "Kiranya Pangcu...!" kata orang yang tadi hendak menegur. "Kalian tidak menjaga tawanan dengan baik malah mengobrol di sini?!" bentak Hay Hay. "Pangcu, sekarang giliran jaga bukan kami. Tempat tawanan terjaga dengan kuat, bahkan baru saja tiga orang pembantu utama Pangcu pergi ke tempat tahanan itu." , "Hemm, engkau ikut denganku, ada tugas untukmu. Mari!" kata Hay Hay kepada anggota Ho-han-pang yang hidungnya besar dan yang tadi mewakili teman-temannya bicara. Dia lalu melangkah keluar, diikuti si hidung besar. Hay Hay sengaja mengajak si hidung besar ke balik sebuah rumah yang kelihatan sunyi. Dari sini dia lalu mengajaknya terus ke sudut perkampungan yang berupa sebuah kebun kosong. Orang itu merasa heran melihat sikap pangcu (ketua) itu, akan tetapi tidak berani membantah. Sesudah tiba di kebun yang sunyi, tiba-tiba Hay Hay menangkap lengan orang itu. "Hayo katakan, di mana tiga orang gadis itu ditahan?" Si hidung besar terkejut, dan semakin kaget lagi sesudah dia memandang. Sang ketua itu telah berubah menjadi seorang pemuda tampan. “Eh, siapa engkau...?” Akan tetapi hanya sampai sekian dia bertanya karena dia telah terkulai pula di bawah pengaruh sihir . "Cepat gambarkan keadaan tempat tahanan itu kepadaku!" kata Hay Hay dengan suara memerintah. Orang itu kemudian menceritakan dengan jelas. Kiranya tempat tahanan itu dapat dicapai melalui rumah besar yang tadi dimasuki ketiga orang pembantu Han Lojin, melalui lorong bawah tanah dan tempat tahanan itu berada di bawah gundukan tanah seperti bukit kecil yang dijadikan kebun atau taman bunga. Sesudah mendapatkan keterangan jelas, Hay Hay lalu berkata dengan suara berwibawa, "Engkau tidur pulas di sini dan nanti sesudah terbangun engkau lupakan semua yang kau alami di sini!" Dia mengerahkan tenaga sihirnya sehingga si hidung besar itu terkulai dan tertidur di atas tanah. Hay Hay lalu meloncat pergi. Akan tetapi dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa di antara para penjaga tadi ada yang menaruh curiga. Bukan curiga terhadap sang pangcu, melainkan kecurigaan yang mengandung rasa iri. Si hidung besar diajak pergi oleh pangcu, tentu akan menerima hadiah dan tugas rahasia. Dia merasa iri sehingga diam-diam dia pun mengikuti dari jauh. Ketika Hay Hay membawa si hidung besar ke dalam kebun, anggota Ho-han-pang yang bercuriga itu pun diam-diam membayangi dan mengintai dari jauh, dari balik sebatang pohon. Dapat dibayangkan betapa kaget hati orang itu ketika melihat kawannya, si hidung besar, roboh terkulai di kebun itu dan sang pangcu kini telah berubah menjadi seorang pemuda! Dia sudah terbebas dari pengaruh sihir, maka kini dia dapat melihat Hay Hay seperti apa adanya. Maka, begitu Hay Hay tiba di dekat pintu masuk rumah besar di mana terdapat lorong tempat tahanan bawah tanah, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan riuh dan gaduh. "Tangkap penjahat!" "Tangkap mata-mata!" Belasan orang sudah mengepungnya dengan senjata di tangan! Tahulah Hay Hay bahwa dia tadi kurang teliti, menjadi lengah sehingga ada orang yang memergokinya. Hay Hay mengerahkan kekuatan sihirnya dan mengeluarkan lengking panjang, tubuhnya berputar dan belasan orang yang mengepungnya itu terkejut lantas banyak di antara mereka yang roboh! Akan tetapi, sebelum Hay Hay sempat lolos dari kepungan itu, di sana telah datang para anggota Ho-han-pang lainnya yang jumlahnya lebih banyak. Mereka segera mengepung dan yang berdiri paling depan adalah Han Lojin sendiri, didampingi oleh seorang wanita yang dikenalnya sebagai Ji Sun Bi!....

jilid 27

Han Lojin mengangkat tangan memberi isyarat kepada para anak buahnya agar menahan senjata mereka. Kemudian dia melangkah maju sambil tersenyum, diikuti Ji Sun Bi yang memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata jeri bercampur kagum. Sejak dahulu Ji Sun Bi amat mengagumi Hay Hay, namun juga gentar karena beberapa kali dia selalu kalah dan tak berdaya kalau bertanding melawan pemuda ini. Han Lojin yang juga merasa kagum kepada Hay Hay, kagum dan suka, juga mengharapkan agar puteranya ini dapat membantunya, tersenyum ramah. "Ahhh, ternyata engkau yang datang, Hay Hay!" katanya dengan ramah. "Kedatanganmu memang sudah kunanti-nanti. Mengapa engkau tidak datang secara biasa saja dari pintu depan, sebagai tamu yang kami hormati? Sama sekali kami tidak memiliki keinginan untuk menerimamu sebagai seorang lawan, Hay Hay." Hay Hay menahan kemarahannya ketika berhadapan dengan orang yang sesungguhnya adalah ayahnya sendiri itu. "Ang-hong-cu, engkau manusia jahat dan curang! Hadapi aku kalau engkau memang jantan, dan engkau boleh mengeroyokku bersama kaki tanganmu. Akan tetapi mengapa engkau bertindak curang, menawan Mayang? Selain gadis itu tidak bersalah apa pun, juga engkau tahu bahwa dia adalah anak kandungmu sendiri, hasil dari perbuatanmu yang keji dan penuh dosa! Bebaskan Mayang sekarang juga, selanjutnya engkau boleh mengeroyokku bersama antek-antekmu ini!” Biar pun dihina seperti itu di depan orang banyak, Han Lojin masih tersenyum. Di antara anak-anaknya, dia merasa bangga mempunyai anak seperti Hay Hay, satu-satunya anak yang gagah berani dan malah berani menentangnya. Juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga dia sendiri merasa sukar untuk mengalahkannya, bahkan sudah membuat dia merasa jeri! Han Lojin tertawa dan mengangkat kedua lengan ke atas. "Heiii, kalian semua lihatlah dan dengar baik-baik! Pemuda yang gagah perkasa ini adalah Tang Hay. Dia adalah puteraku, putera kandungku! Apa bila dia bersedia membantu kita, maka dia akan kuangkat menjadi wakilku, dan dialah yang akan memimpin Ho-han-pang!" "Ang-hong-cu, tidak perlu banyak cakap lagi. Keluarkan Mayang, atau terpaksa aku akan menyerangmu dan memaksamu membebaskan Mayang serta dua orang gadis lain yang kau tawan!" "Ha-ha-ha, anakku yang baik, anakku yang gagah perkasa. Mayang menjadi tamu, juga menjadi keluarga, karena dia adalah anakku pula. Ia adikmu berlainan ibu. Tentu saja aku tidak akan mengganggu selembar rambut anakku sendiri. Juga Siangkoan Bi Lian dan Cia Kui Hong, mereka menjadi tamuku dan tidak diganggu. Mereka semua dapat berkumpul kembali denganmu, asal engkau suka membantuku. Dengar, anakku yang baik. Hidup ini tidaklah lama. Apa artinya hidupmu kalau engkau tidak meraih kedudukan yang mulia?" “Cukup! Aku tak sudi berbincang-bincang lagi denganmu! Bebaskan mereka bertiga, lalu kita berdua akan menyelesaikan urusan lama di antara kita tanpa menyangkut orang lain!" Han Lojin mulai mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi. Saat itu Ji Sun Bi berkata, "Bengcu, untuk apa banyak bicara dengan bocah sombong ini? Mari kita tangkap dia. Aku mempunyai cara untuk menundukkannya, memaksanya dan menghilangkan ingatannya. Biarlah dia menjadi boneka hidup, kemudian kita pergunakan kepandaiannya untuk membantu Ho-han-pang!" Han Lojin cepat memberi isyarat kepada para anggota Ho-han-pang yang sekarang telah mengepung tempat itu. "Kalian bersiap, jangan sampai dia dapat lolos dari sini! Hay Hay, engkau lihat! Sedikitnya lima puluh orang anggota Ho-han-pang mengepungmu. Melawan pun akan sia-sia saja. Engkau akan mati, juga tiga orang gadis itu tak akan tertolong lagi kalau engkau melawan. Menyerahlah dan mereka akan selamat!" "Ang-hong-cu, engkau adalah iblis berujud manusia. Aku tak percaya padamu. Kehadiran perempuan ini, iblis betina Ji Sun Bi saja sudah membuktikan bahwa perkumpulanmu ini adalah perkumpulan jahat! Segera engkau bebaskan tiga orang gadis itu, atau aku akan mengamuk dan membunuh kalian semua!" "Kepung dan tangkap dia!" Han Lojin berseru. "Di mana Cun Sek, Hok Seng, Ki Liong? Panggil mereka dan para pembantu lain!" Pada saat itu pula terdengar suara orang tertawa. Suara ini semakin lama semakin keras dan sedemikian kuatnya sehingga banyak orang Ho-han-pang terhuyung dan menyeringai karena dada mereka terasa sakit, bahkan ada pula yang secara aneh turut tertawa! Han Lojin terkejut karena maklum bahwa di dalam suara ketawa itu terkandung khikang yang amat kuat, bahkan mengandung kekuatan sihir. Hay Hay membelalakkan matanya dan tersenyum girang. "Bagus sekali! Engkau datang tepat pada waktunya, Han Siong!" Yang muncul ini memang Pek Han Siong! Dia sedang melakukan penyelidikan dan begitu tiba, dia mendengar suara ribut-ribut dan melihat Hay Hay sudah dikepung banyak orang. Juga dia mengenal Han Lojin dan Ji Sun Bi. Terkejutlah Han Siong yang sama sekali tidak mengira bahwa Ang-hong-cu menjadi pimpinan Ho-han-pang, dan juga Ji Sun Bi menjadi pembantu Si Kumbang Merah. "Jangan khawatir, Hay Hay. Mari kita basmi semua tikus busuk ini!” kata Han Siong yang sudah melayang turun dari atas wuwungan rumah di mana tadi dia bersembunyi. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Han Lojin ketika melihat munculnya Pek Han Siong, orang ke dua sesudah Hay Hay yang paling diseganinya karena dia tahu bahwa pemuda ini juga sukar ditandingi olehnya. Akan tetapi dia mengandalkan anak buahnya yang banyak dan pada saat itu, muncul pula Tang Gun dan Tang Cun Sek dari dalam. "Mana Ki Liong?" tanya Han Lojin kepada Cun Sek. "Entah ke mana dia pergi bersama gadis Tibet itu," kata Cun Sek. "Kami menyingkirkan dua orang tawanan wanita lainnya.” Dia pun terkejut melihat munculnya Pek Han Siong dan Hay Hay. Tanpa banyak cakap lagi Tang Gun lantas mencabut pedang Kwan-im-kiam yang dirampasnya dari sumoi-nya, Siangkoan Bi Lian. Ada pun Tang Cun Sek juga sudah mencabut Hok-mo-kiam, sepasang pedang milik Cia Kui Hong yang telah dirampasnya. Terkejutlah Han Siong ketika melihat pedang Kwan-im-kiam di tangan Tang Gun. "Kwan-im-kiam...!” serunya. Jika pedang pusaka itu berada di tangan orang yang tak dikenalnya ini, hal itu berarti bahwa Bi Lian berada di situ pula dan mungkin sudah menjadi tawanan sehingga pedangnya dapat dirampas! "Siangkoan Bi Lian sudah menjadi tawanan mereka, Han Siong. Juga Cia Kui Hong dan Mayang!" kata Hay Hay yang melihat kekagetan sahabatnya. Hay Hay mengenal Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang milik Kui Hong yang sekarang berada di tangan Tang Cun Sek. Dia pun segera menggerakkan tangannya dan nampak sinar kilat ketika Hong-cu-kiam tercabut dan berada di tangannya. Juga Han Siong sudah mencabut Gin-hwa-kiam sehingga nampak sinar putih berkilauan. Dua pemuda itu kini sudah berdiri saling membelakangi, siap menghadapi pengeroyokan Han Lojin bersama para pembantunya dan banyak anak buahnya itu. Hay Hay dan Han Siong maklum bahwa mereka menghadapi lawan yang kuat dan jumlahnya banyak. Akan tetapi mereka sudah mengambil keputusan untuk melawan mati-matian, bukan saja untuk menyelamatkan diri sendiri, melainkan juga untuk dapat menyelamatkan tiga orang gadis yang menjadi tawanan di situ. "Kepung! Tangkap atau bunuh saja mereka!" Kini Han Lojin mengeluarkan perintah bunuh karena sungguh bukan merupakan pekerjaan mudah untuk menangkap hidup-hidup dua orang pemuda perkasa itu, bahkan amat sukar. Dia sendiri sudah mengeluarkan senjatanya yang luar biasa dan yang selama ini belum pernah dia perlihatkan atau pergunakan, yaitu sebatang rantai baja yang besar dengan dua macam senjata di kedua ujung rantai yang panjangnya dua meter itu. Ujung pertama merupakan sebatang pisau yang kedua sisinya tajam dan runcing, sedangkan ujung ke dua merupakan kaitan yang kokoh dan runcing. Begitu rantai baja itu diputar, terdengarlah suara mendengung bagai kumbang dan angin menyambar-nyambar, tanda bahwa senjata itu digerakkan oleh tenaga yang dahsyat. Namun senjata seperti itu kurang leluasa digerakkan karena banyaknya teman atau anak buahnya yang mengepung dan mengeroyok, ada bahaya mengenai teman sendiri. Maka dia pun hanya ikut mengepung dan belum ikut menyerang. Kini yang maju menyerang hanyalah Ji Sun Bi dengan sepasang pedangnya, Tang Cun Sek, Tang Gun dan lima orang pembantu lain yang kepandaiannya sudah lumayan, serta puluhan orang yang mengepung dan mengeroyok, dan terjadilah pertempuran yang hebat di mana Hay Hay dan Han Siong mengamuk bagaikan dua ekor naga sakti. Han Lojin menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya. Dia mendongkol sekali karena Sim Ki Liong, pembantu utamanya yang paling lihai, yang diharapkan akan mampu menandingi lawan, belum juga nampak. Di manakah adanya Sim Ki Liong? Telah terjadi sesuatu yang aneh atas diri Sim Ki Liong. Hati Sim Ki Liong tergoncang hebat semenjak dia melihat Mayang, gadis peranakan Tibet yang menjadi tawanan. Dia telah jatuh cinta seperti yang belum pernah dialaminya! Bukan sekedar bangkit gairahnya, sama sekali bukan, melainkan benar-benar dia jatuh hati! Karena itu, ketika mereka semua mengeluarkan Tan Hok Seng atau Tang Gun dari dalam kamar tahanan di mana pemuda ini ikut terbius ketika mereka melumpuhkan Bi Lian, dan diperkenalkan dengan pembantu baru ini, mereka bertiga, yaitu Sim Ki Liong, Tang Cun Sek dan Tang Gun, segera berkenalan. Dari sikap dan percakapan mereka, ketiganya menyatakan cinta kepada tiga orang gadis yang menjadi tawanan. Sim Ki Liong lantas mengajukan usul kepada Cun Sek dan Tang Gun agar mereka bertiga menghadap Bengcu agar mereka dapat memiliki gadis masing-masing yang telah mereka pilih. "Kalau kita tidak segera menghadap Bengcu dan menyatakan cinta kita terhadap mereka, tentu kita akan kehilangan! Aku yakin bahwa Bengcu tidak akan mau melepaskan mereka bertiga. Kita hanya akan gigit jari saja bila gadis yang kita cinta itu akhirnya nanti menjadi milik Bengcu semua!” demikian dia membujuk. Cun Sek memang jatuh cinta kepada Kui Hong dan sejak dahulu sudah bangkit birahinya rnelihat Kui Hong. Juga Tang Gun sudah tergila-gila sekali pada Siangkoan Bi Lian yang menjadi sumoi-nya. Maka, sesudah mendengar ucapan Sim Ki Liong itu mereka langsung menyetujui. Tentu saja kedua orang pemuda itu maklum sepenuhnya bagaimana watak ayah mereka! Ang-hong-cu pasti tidak akan begitu saja melepaskan tiga orang gadis cantik itu, seperti seekor kumbang merah yang selalu kehausan tidak akan melewatkan tiga tangkai bunga yang demikian segar mengharum. Demikianlah, ketika mereka bertiga dibentak oleh Han Lojin sesudah mereka menyatakan cinta mereka terhadap tiga orang gadis tawanan itu, lantas mereka diperintahkan untuk memisah-misahkan tiga orang gadis itu, ketiganya tak berani membantah dan mereka lalu memasuki lorong tempat tahanan dalam tanah. Biar pun ketiganya memperlihatkan sikap yang sama-sama gembira walau pun permohonan mereka ditolak, namun isi hati mereka berbeda, jauh berbeda seperti bumi langit. Jika Tang Gun dan Tang Cun Sek merasa bergembira karena mereka akan mendapatkan kesempatan berdua saja dengan gadis yang mereka cinta, dan mereka sudah mengambil keputusan hendak mendahului ayah mereka untuk terlebih dulu memperkosa gadis yang mereka cinta itu selagi mereka terbius, sebaliknya Sim Ki Liong merasa gembira karena dia mendapat kesempatan untuk menolong Mayang! Ya, terjadi perubahan besar dalam diri atau batin Sim Ki Liong yang pernah menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya di Pulau Teratai Merah itu. Dia sungguh-sungguh jatuh cinta kepada Mayang! Dia merasa kasihan dan ingin menolong gadis itu, bukan sekedar ingin memuaskan gairah nafsunya seperti Tang Cun Sek dan Tang Gun. Dengan mudah mereka membuat tiga orang gadis itu roboh terbius dalam kamar tahanan, kemudian mereka membuka pintu kamar itu dan otomatis mereka memondong gadis yang menjadi pilihan hati masing-masing. Melihat tiga orang pembantu utama ini, para penjaga tidak ada yang berani bertanya, bahkan mereka cepat-cepat keluar dari tempat itu ketika Ki Liong memerintahkan mereka pergi. Kemudian, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, tiga orang itu berpencaran, menuju ke kamar tahanan yang lebih kecil sambil memondong gadis pilihan masing-masing. Kalau Tang Gun dan Tang Cun Sek yang memondong Bi Lian dan Kui Hong bermaksud membawa gadis mereka ke kamar kemudian menggaulinya dengan paksa selagi mereka masih terbius, sebaliknya Ki Liong membawa Mayang ke kamar paling sudut. Memang dia sudah mempersiapkan obat penawar bius. Dia menutupkan pintu kamar itu, merebahkan Mayang di atas pembaringan, kemudian dia mempergunakan obat penawar bius yang diciumkan di depan hidung gadis itu. Tak lama kemudian Mayang mengeluh lirih sambil menggerakkan pelupuk matanya. Begitu dara itu membuka mata dan melihat Sim Ki Liong yang duduk di dekat pembaringan, dia meloncat dan siap menyerang. "Tenanglah, Nona, dan jangan berisik," bisik Ki Liong. "Aku telah membawamu ke sini dan menyadarkanmu dari obat bius. Aku sedang menyelamatkanmu, hendak mengajakmu lari dari tempat ini...." Mayang menghentikan gerakannya yang tadinya siap menerjang itu, lalu dia memandang Ki Liong dengan kedua alis berkerut dan sinar mata penuh kecurigaan. "Engkau? Hendak menolong aku? Bukankah engkau adalah seorang pembantu Ho-han Pangcu yang paling lihai? Namamu Sim Ki Liong, bukan? Tidak perlu kalian membujuk. Sampai mati aku tidak akan mau menyerah!” “Ssstttt, nona Mayang. Aku bersungguh-sungguh. Engkau harus secepatnya lari dari sini. Aku akan mengawalmu dan aku yang akan menahan serta melindungimu kalau ada yang mengejarmu nanti. Bersiaplah..." "Hemm, nanti dulu!" Mayang masih tetap merasa curiga. "Sim Ki Liong, jika engkau tidak berbohong, lantas apa artinya ini? Mengapa engkau mendadak mengkhianati pimpinanmu dan hendak menolong aku?” Dengan sinar mata tajam penuh selidik gadis itu mengamati wajah yang tampan itu, masih penuh kecurigaan. "Nona, tak perlu berpanjang cerita. Waktu kita sedikit sekali. Selagi pangcu masih berada di taman, kita dapat melarikan diri. Kenapa aku menolongmu? Kenapa? Karena aku cinta padamu. Nah, aku telah berterus terang, percaya atau tidak terserah kepadamu. Aku tak ingin melihat engkau celaka!" Mayang memandang bengong. Bagaimana dia bisa percaya? Secara tiba-tiba ada orang jatuh cinta begitu saja kepadanya! Tetapi harus diakuinya bahwa pemuda ini tampan dan gagah, juga berilmu tinggi. "Tapi kau... kau jahat! Kau membantu Ang-hong-cu yang jahat!" tiba-tiba dia berkata. "Aku tidak sudi kau tolong!" Pandang mata pemuda itu tiba-tiba saja nampak sedih dan wajahnya pucat. Dia merasa seperti ditampar. Baru sekarang dia merasa sedih karena ada orang mengatakan bahwa dia jahat! Ahh, betapa inginnya untuk menjadi seorang pendekar, bukan penjahat. Semua cita-cita untuk hidup senang sekarang sama sekali tidak ada artinya dibandingkan dengan sambutan gadis ini terhadap cintanya. Apa pun rela dia korbankan demi cintanya. Pandang mata itu. Ahh, tidak dapat dia menahannya. Ingin dia menangis, ingin dia minta ampun kepada Mayang, ingin dia melihat Mayang tidak menganggapnya sebagai orang jahat. "Nona, aku memang telah tersesat, akan tetapi setidaknya bantulah aku kembali ke jalan benar dengan membiarkan aku menolongmu. Lihat, senjata pecutmu telah kupersiapkan. Nah, terimalah senjatamu dan mari kuantar engkau pergi dari tempat ini. Cepat, sebelum terlambat. Percayalah, aku melakukan ini karena aku cinta kepadamu, karena aku ingin kembali ke jalan benar. Aku tidak mengharapkan balas jasa darimu...” Mayang menerima senjatanya, lantas dia pun mengangguk. "Mari engkau tunjukkan jalan keluarnya...” "Sssttt...!" Ki Liong memberi isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara karena pada saat itu dia mendengar suara gaduh yang lapat-lapat memasuki tempat itu melalui lorong bawah tanah. Dia mendengar suara orang berlari-lari masuk, kemudian disusul teriakan seorang anggota Ho-han-pang, “Semua siap! Ada musuh datang mengacau! Pangcu memanggil semua anggota untuk menghadapi musuh!" Kemudian terdengar suara Tang Cun Sek dan Tang Gun berlarian keluar pula dari tempat itu. "Mari kita keluar, cepat!" kata Sim Ki Liong dan dia menangkap lengan kiri Mayang, lalu diajaknya berlari keluar. Mayang tidak menolak. Dia pun merasa tegang karena kini dia mendengar suara orang bertempur di luar sana. Mungkin kakaknya sudah datang untuk menolongnya! "Tapi, bagaimana dengan enci Kui Hong dan enci Bi Lian?" tanyanya ragu. "Mereka masih terbius, tidak cukup waktu untuk menyadarkan mereka, aku khawatir nanti terlambat. Engkau lari lebih dulu, nanti akan kuusahakan menolong mereka pula!" kata Ki Liong. Dia melihat kesempatan baik. Selagi terjadi kekacauan di situ, maka akan lebih mudahlah baginya untuk menyelundupkan Mayang keluar. Asal tidak kepergok Han Lojin, orang lain tidak akan ada yang berani menghalangmya. Sesudah mereka akhirnya tiba di luar bangunan itu, mereka melihat dua orang pemuda dikeroyok oleh puluhan orang. Ki Liong segera mengenal dua orang yang dikeroyok itu. Tang Hay dan Pek Han Siong, dua orang yang merupakan lawan paling lihai yang pernah dia hadapi. "Ahh, itu Hay-koko dan Pek Taihiap! Aku harus membantu kakakku!" kata Mayang dan dia pun cepat menerjang orang-orang yang mengepung Hay Hay dan Han Siong itu dari luar. Sepak-terjangnya sangat menggiriskan, cambuknya meledak-ledak dan terdengar orang-orang berteriak kesakitan ketika cambuknya mendapat korban. "Hay-ko..., aku datang membantumu!" teriak Mayang dengan penuh semangat. “Mayang...! Hati-hati...!” Hay Hay berseru khawatir sekali karena maklum betapa lihainya pihak lawan. Dia melihat betapa Ji Sun Bi dan beberapa orang tokoh Ho-han-pang menyambut adiknya itu. Dia khawatir sekali, akan tetapi juga tidak dapat membantu adiknya karena dia sendiri bersama Han Siong sejak tadi sibuk menghadapi pengeroyokan banyak orang. Kalau hanya menghadapi Ji Sun Bi seorang saja, satu lawan satu, kiranya Mayang tidak akan mudah dikalahkan. Namun sekarang Ji Sun Bi dibantu oleh banyak orang sehingga Mayang repot juga menghadapi pengeroyokan itu. "Tar-tarr-tarrr...!" Cambuknya meledak-ledak, merobohkan dua orang pengeroyok akan tetapi pada lecutan ke tiga ujung cambuknya terbelit golok seorang pengeroyok lainnya. Sebelum dia sempat menarik kembali cambuknya, Ji Sun Bi telah menyerangnya dengan tusukan pedang dari kiri, mengarah lambungnya. Mayang menggeser tubuh ke kanan hingga pedang itu hanya lewat di samping tubuhnya, akan tetapi pada saat itu pedang ke dua di tangan kiri Ji Sun Bi membabat ke arah kaki Mayang! "Tranggg....!" Pedang itu terpental dan hampir terlepas dari tangan Ji Sun Bi. “Ihhh! Kau...?” Ji Sun Bi berseru marah ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya tadi untuk menolong Mayang adalah Sim Ki Liong! Akan tetapi Ki Liong tidak menjawab, bahkan segera menyerangnya dengan pedang yang sudah dicabutnya dan dipergunakan untuk melindungi Mayang tadi. Ji Sun Bi terkejut dan marah sekali, cepat menangkis dengan pedang kanan. “Trangggg...!" Pedang Ji Sun Bi terlepas dari pegangannya sebab Ki Liong memang telah mengerahkan tenaga sepenuhnya, dan di saat berikutnya sebuah tendangan sudah membuat wanita itu terjengkang! Ji Sun Bi cepat bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan lanjutan, dan dia pun terkejut bukan main, di samping penasaran dan marah melihat Sim Ki Liong yang pernah menjadi pemimpinnya itu kini membalik! "Tar-tarr-tarrr...!” Cambuk di tangan Mayang meledak-ledak dan menyambar-nyambar ke arah tubuh Ji Sun Bi yang bergulingan itu. Ji Sun Bi memutar pedangnya untuk melindungi tubuh dan terus bergulingan ke arah anak buah Ho-han-pang. Karena banyak anggota Ho-han-pang yang membantunya membendung serangan Mayang, maka wanita itu dapat lolos dari cambuk Mayang. Akan tetapi dia telah kehilangan sebatang pedang dan pahanya terasa nyeri oleh tendangan Sim Ki Liong. "Mayang...!” Hay Hay berseru girang melihat adiknya masih dalam keadaan selamat. Akan tetapi dia terbelalak keheranan melihat Sim Ki Liong sedang dikeroyok oleh Ji Sun Bi serta beberapa anggota Ho-han-pang! Pemuda itu membantunya, atau lebih tepatnya membela dan membantu Mayang! Hay Hay adalah seorang yang cukup cerdik untuk dapat menduga apa yang sudah terjadi dengan pemuda gemblengan Pulau Teratai Merah itu. Tak salah lagi. Tentu Sim Ki Liong sudah jatuh cinta kepada Mayang lalu dia membalik, menentang kejahatan demi cintanya kepada adiknya itu! Akan tetapi dia tidak sempat untuk berbicara lagi karena dia dikepung dan dikeroyok oleh banyak orang. Pek Han Siong juga melihat Mayang dan merasa girang walau pun hatinya masih sangat khawatir karena dia tidak melihat dua orang gadis lainnya, terutama sekali Siangkoan Bi Lian. Akan tetapi seperti Hay Hay, dia pun sibuk menghadapi pengeroyokan para anggota Ho-han-pang. Ternyata para anggota Ho-han-pang rata-rata mempunyai ilmu silat yang cukup tangguh sehingga pengeroyokan mereka yang begitu banyak itu telah membuat Hay Hay dan Han Siong kewalahan juga, walau pun mereka kini dibantu oleh Mayang dan Sim Ki Liong. Di lain pihak Han Lojin juga merasa penasaran bukan main, apa lagi melihat Sim Ki Liong yang sekarang membantu pihak lawan. "Sim Ki Liong, manusia busuk pengkhianat hina!" Bentaknya ketika melihat betapa pemuda itu melindungi dan membela Mayang. "Engkau berani melawan kami?!" “Han Lojin, demi cintaku yang murni, aku siap untuk membela Mayang dengan nyawaku!" kata Sim Ki Liong sambil mengamuk di samping Mayang. Diam-diam Hay Hay tersenyum mendengar kata-kata itu. Memang cinta mampu merubah watak manusia, mampu menguasai manusia untuk melakukan apa saja, baik atau pun tidak baik menurut penilaian orang lain. Diam-diam Han Lojin kagum bukan main kepada Hay Hay dan Pek Han Siong karena kedua orang ini sukar ditundukkan. Dan dia pun tahu betapa lihainya Sim Ki Liong, maka meski pun dia mengeroyok empat orang muda itu dengan banyak orang, namun agaknya banyak anak buahnya yang terluka atau tewas sebelum dia memperoleh kemenangan. Di lain pihak, Hay Hay dan Han Siong yang belum berhasil membebaskan Bi Lian dan Kui Hong juga merasa bingung. Mereka tidak dapat menggunakan ilmu sihir mereka karena selain Han Lojin atau Ang-hong-cu mempunyai kekuatan batin yang cukup tangguh untuk melawan kekuatan sihir mereka, juga terlampau banyak orang yang mengeroyok mereka sehingga sukar untuk dapat menguasai mereka dengan kekuatan sihir. Terpaksa mereka berdua mengamuk dengan mengandalkan pedang pusaka di tangan mereka. "Gunakan asap pembius!" Tiba-tiba saja terdengar perintah Han Lojin kepada para anak buahnya yang masih menganggur dan hanya mengepung tempat itu saja karena jumlah mereka terlalu banyak untuk dapat maju semua. Mendengar perintah ini, Hay Hay dan Han Siong menjadi bingung juga. Sebelum mereka dapat melakukan sesuatu, terdengar ledakan-ledakan dan nampak asap putih mengepul memenuhi tempat itu. Para anggota Ho-han-pang sudah mengeluarkan sapu tangan dan menutupi mulut dan hidung dengan sapu tangan yang mengandung obat penawar racun pembius itu. "Awas, tahan napas dan cepat menyingkir!" teriak Sim Ki Liong memperingatkan Hay Hay dan Han Siong. "Nona Mayang, kau pakai sapu tangan ini!" Ia meloncat ke dekat Mayang dan menyerahkan sehelai sapu tangan biru. Mayang menerima sapu tangan itu lalu mengikatkannya di depan mulut dan hidungnya. Ada aroma harum aneh yang melindunginya dari asap pembius, dan Mayang masih dapat memutar cambuknya untuk melindungi diri dari pengeroyokan, juga untuk membalas. Hay Hay dan Han Siong menahan napas, cepat melompat ke tempat yang tidak dipenuhi asap. Sim Ki Liong bergulingan sambil pedangnya menyambar-nyambar dari bawah, dan dia berhasil merobohkah tiga orang pengeroyok yang terbabat kakinya. "Pengkhianat!" Terdengar bentakan nyaring. Ketika itu Ki Liong sedang memutar pedang untuk menangkis hujan senjata para anggota Ho-han-pang dan Ji Sun Bi, maka pada waktu kaitan itu menyambar dengan dahsyatnya, dia kurang cepat dan tahu-tahu pundak kirinya sudah terkena kaitan yang berada di ujung rantai yang dimainkan oleh Han Lojin. "Aduhh...!" Ki Liong berteriak karena merasa betapa pundaknya nyeri bukan main. Melihat ini Mayang cepat menyerang Han Lojin dengan cambukhya. "Tarrrr...!" Akan tetapi tangan kiri Han Lojin menangkap ujung cambuk dan menarik dengan tenaga yang amat kuat sehingga tubuh Mayang terhuyung ke depan. "Lepaskan!" Tiba-tiba Hay Hay menerjang dari samping dengan tusukan pedang ke arah lengan kiri yang menangkap ujung cambuk. Han Lojin terkejut bukan main, tidak mengira bahwa Hay Hay berani masuk lagi ke dalam medan pertempuran yang penuh asap pembius. Terpaksa dia melepaskan ujung cambuk Mayang, dan kesempatan itu digunakan oleh Ki Liong untuk mencabut keluar kaitan dari pundak kirinya. Dia bergulingan sampai jauh kemudian meloncat berdiri, pundak kirinya berdarah. Pek Han Siong sendiri terpaksa harus berloncatan ke tempat yang bebas asap. Keadaan empat orang muda itu kini terancam karena mereka telah terdesak hebat. Pada saat yang amat berbahaya bagi mereka itu, tiba-tiba saja terdengar suara hiruk-pikuk dan muncullah puluhan orang prajurit! Melihat kedatangan para prajurit ini, tentu saja orang-orang Ho-han-pang menjadi terkejut dan ketakutan. Bagaimana pun juga mereka merasa gentar kalau harus melawan prajurit pemerintah yang jumlahnya tentu ratusan, bahkan ribuan orang itu! Dan yang memimpin pasukan itu adalah seorang panglima tinggi bersama Menteri Cang Ku Ceng sendiri! Bagaimana Menteri Cang dapat muncul pada saat yang amat tepat itu? Ketika Cia Kui Hong meninggalkan istana Menteri Cang Ku Ceng, gadis itu yang terikat janji dengan Han Lojin sehingga tidak berani membuka rahasia, hanya menganjurkan agar pembesar yang bijaksana itu melakukan penyelidikan dan bertanya kepada Hong-houw (permaisuri) lagi tentang rahasia laki-laki yang pernah mengacau di bagian puteri istana kaisar. Setelah gadis itu pergi, Menteri Cang termenung dan akhirnya dia mengambil keputusan untuk menjumpai sang permaisuri. Dengan bijaksana dan halus dia membujuk permaisuri supaya bercerita demi keselamatan negara dan demi kehormatan istana kaisar. Akhirnya berceritalah permaisuri tentang petualangan bekas perwira Tang Bun An dan betapa dia sendiri tidak berdaya karena diancam oleh perwira itu setelah perhiasannya dicuri. Mendengar ini Menteri Cang terkejut dan marah bukan main. Memang sejak dulu pun dia sudah menaruh curiga terhadap perwira itu, akan tetapi karena tidak ada bukti, maka dia pun tak mampu berbuat sesuatu. Kini, setelah mendengar keterangan Hong-houw sendiri, tentu saja dia tidak ragu-ragu lagi. Orang yang sudah berani membuat kekacauan di istana, berbuat cabul, berani memaksa Hong-houw agar menyimpan rahasia, adalah orang yang jahat dan berbahaya sekali. Biar pun sekarang memimpin perkumpulan yang dinamakan Ho-han-pang, yang kelihatannya membantu pemerintah dan mengamankan keadaan, tapi kalau orang seperti itu dibiarkan bebas menyusun kekuatan, kelak tentu akan berbahaya sekali bagi keselamatan negara. Karena itu dia segera menghubungi panglima pasukan keamanan, mengerahkan pasukan dan dia pun ikut memimpin pasukan itu menyerbu Ho-han-pang. Tentu saja Han Lojin terkejut bukan kepalang ketika melihat ada sejumlah besar pasukan datang menyerbu. Maka tahulah dia bahwa permainannya telah tamat, harapannya sudah hancur dan semua usahanya selama ini sia-sia belaka. Bahkan kini keselamatan dirinya sudah terancam pula. Tiba-tiba dia melemparkan sebuah benda ke atas tanah. Benda itu meledak dan tempat itu penuh asap hitam. Karena khawatir kalau-kalau asap itu beracun pula, Hay Hay cepat melompat ke belakang sambil berseru kepada Han Siong dan Mayang agar menjauhkan diri dari asap. "Asap ini hanya menggelapkan, tidak beracun. Halangi mereka melarikan diri!" terdengar Sim Ki Liong berseru. Akan tetapi, Hay Hay, Han Siong dan Mayang sudah berloncatan ke belakang. Ketika asap telah mulai menipis, pasukan pemerintah menyerbu kembali sehingga terjadi pertempuran yang berat sebelah. Kalau tadi Hay Hay bersama Han Siong yang kemudian dibantu Mayang dan Sim Ki Liong menghadapi pengeroyokan puluhan orang banyaknya, kini puluhan orang Ho-han-pang harus menghadapi serbuan ratusan orang prajurit! Sim Ki Liong sendiri yang tidak takut menghadapi asap itu. Dia tidak pernah melepaskan Ji Sun Bi dan biar pun wanita itu berusaha untuk melarikan diri, tetapi dia selalu dihadang oleh Ki Liong. Ji Sun Bi menjadi marah dan nekat, lantas menggunakan pedangnya yang tinggal sebuah itu untuk menyerang Sim Ki Liong. Ki Liong menangkis dan Mayang yang melihat Ki Liong tidak lari dari asap, segera melompat maju lagi membantu pemuda itu mengeroyok Ji Sun Bi. Menghadapi Sim Ki Liong sendiri saja Ji Sun Bi sudah kewalahan, apa lagi sekarang di situ juga ada Mayang yang memutar cambuknya dengan dahsyat. "Tar-tarr-tarrr....!” Cambuk itu meledak-ledak di atas kepala Ji Sun Bi. Wanita ini menggerakkan pedangnya untuk melindungi kepala serta menangkis cambuk itu. Akan tetapi saat itu Sim Ki Liong telah menyerangnya dengan pedang yang menusuk dada. Terkejutlah Ji Sun Bi. Dia segera membuang diri ke samping untuk mengelak, akan tetapi kaki Sim Ki Liong sudah menyambar dan mengenai lambungnya. Dia mengeluh dan tubuhnya terpelanting. Pada saat itu pula ujung cambuk di tangan Mayang menyambar dan mematuk ubuh-ubun kepalanya. Ji Sun Bi terkulai dan tewas seketika karena ubun-ubun kepalanya pecah oleh patukan ujung cambuk. Sementara itu Pek Han Siong dan Hay Hay sibuk mengamuk sambil mencari Han Lojin, Tang Gun dan Tang Cun Sek. Namun tiga orang itu telah menghilang di balik asap tebal tadi. Ketika melihat betapa Mayang dan Ki Liong sudah berhasil merobohkan Ji Sun Bi, Hay Hay meloncat ke dekat Ki Liong. "Ke mana larinya mereka?" Sim Ki Liong maklum siapa yang dimaksudkan Hay Hay. "Ada jalan rahasia menuju ke lorong bawah tanah. Mari!" Ki Liong mendahului mereka memasuki sebuah ruang yang nampaknya seperti ruangan sembahyang di mana terdapat sebuah meja sembahyang besar, lengkap dengan hio yang masih berasap dan lilin bernyala. Di samping meja terdapat sebuah singa batu yang indah ukirannya. Ki Liong memegang kepala singa batu ini, kemudian mengerahkan tenaga dan memutar singa itu. Terdengar suara keras kemudian meja sembahyang itu pun bergeser, membalik dan nampaklah sebuah lubang di mana terdapat tangga menurun. "Lorong ini menuju ke tempat tahanan bawah tanah. Mari kutunjukkan!" Dia pun langsung mendahului masuk, diikuti Mayang, kemudian Hay Hay dan Han Siong. cerita silat online karya kho ping hoo Dan benar saja, lorong itu membawa mereka ke tempat tahanan bawah tanah. Masih ada beberapa orang anak buah Ho-han-pang di situ. Mereka segera roboh oleh amukan Sim Ki Liong dan Mayang. Akan tetapi semua kamar tahanan telah kosong. Cia Kui Hong dan Siangkoan Bi Lian telah lenyap dari tempat tahanan itu. "Ah, tentu mereka telah dilarikan oleh Ang-hong-cu dan dua orang pembantunya itu!" kata Hay Hay. "Dua orang pembantu itu adalah Tang Gun dan Tang Cun Sek, mereka adalah dua orang putera Han Lojin...,” kata Sim Ki Liong. "Ahhh...!" Hay Hay memandang pada Ki Liong dengan sinar mata penuh selidik. "Sim Ki Liong, jika benar engkau telah menyadari diri dan insyaf, hendak merubah jalan hidupmu, lekas katakan ke mana mereka itu pergi!” Sim Ki Liong memandang kepada Mayang dan menarik napas panjang. Dia benar-benar merasa malu sekali kepada Mayang dan merasa menyesal mengapa dia mempunyai latar belakang yang hitam. Sukar mengharapkan balasan cinta kasih dari Mayang. Akan tetapi cinta kasihnya terhadap gadis itu telah mengubah pandangan hidupnya, menyadarkannya bahwa dunia hitam, jalan sesat bukanlah jalan yang baik dan tidak menuju kebahagian. “Aku tidak dapat memastikan ke mana mereka pergi. Akan tetapi ada jalan keluar rahasia dari lorong ini, menuju ke belakang perumahan Ho-han-pang menembus gunung. Ini pun belum pernah kulalui sendiri, hanya menurut keterangan Han Lojin. Mari...!” Kembali Sim Ki Liong menjadi petunjuk jalan, dan di sudut ruang tahanan paling belakang dia menggerakkan batu-batu tertentu yang menyembunyikan alat-alat rahasia di dinding. Terdengar suara berderit lalu dinding itu pun bergerak, dan akhirnya muncul sebuah pintu kecil. "Mayang, Ki Liong, kalian kembalilah ke depan. Biar aku bersama Han Siong saja yang melakukan pengejaran. Katakan kepada Menteri Cang bahwa kami melakukan pengejaran terhadap Han Lojin dan kami akan berusaha menangkapnya!" Setelah berkata demikian, Hay Hay dan Han Siong memasuki pintu rahasia itu melakukan pengejaran. Mayang ragu-ragu, akan tetapi Ki Liong menyentuh lengannya. "Kakakmu berkata benar. Terlalu berbahaya bagimu untuk ikut mengejar, dan mungkin di luar sana masih membutuhkan bantuan kita. Marilah, kita taati pesan kakakmu." Keduanya lalu keluar dari lorong bawah tanah itu. Di luar masih terjadi pertempuran dan mereka pun segera terjun ke dalam pertempuran untuk membantu pasukan pemerintah. Para anak buah Ho-han-pang melawan mati-matian, tetapi pertempuran itu berjalan berat sebelah dan tidak lama kemudian seluruh anak buah Ho-han-pang sudah dapat digulung, ada yang tewas, terluka atau tertangkap. Menteri Cang Ku Ceng yang menerima laporan dari perwira pasukan bahwa Mayang dan Sim Ki Liong tadi membantu pasukan pemerintah membasmi gerombolan Ho-han-pang, menerima mereka dengan ramah. Apa lagi ketika mendengar bahwa Mayang adalah adik Hay Hay dan Sim Ki Liong masih saudara seperguruan dengan Cia Kui Hong, pembesar itu menjadi kagum. Dia lalu bertanya bagaimana keadaan Cia Kui Hong dan Hay Hay. "Taijin, tadinya saya sendiri, enci Kui Hong dan enci Siangkoan Bi Lian ditawan oleh ketua Ho-han-pang. Sekarang kedua orang enci itu agaknya dilarikan oleh ketua Ho-han-pang dan para pembantunya, akan tetapi kakakku Hay Hay dan Pek Han Siong Taihiap sedang melakukan pengejaran. Bahkan sekarang saya bersama Sim Ki Liong hendak melakukan pengejaran pula untuk membantu mereka." "Bagus sekali! Kami harapkan agar mereka yang menjadi pengacau di kota raja itu dapat ditangkap." Mayang dan Ki Liong kemudian segera pergi untuk melakukan pengejaran terhadap Han Lojln, mengikuti jejak Hay Hay dan Han Siong melalui terowongan rahasia yang menjadi jalan keluar lewat pintu belakang. *************** Dengan bantuan kedua orang puteranya, Tang Cun Sek dan Tang Gun, Han Lojin atau Ang-hong-cu Tang Bun An memang sudah berhasil melarikan diri setelah dia meledakkan alat peledak yang menimbulkan asap tebal. Mereka bertiga cepat-cepat memasuki lorong bawah tanah. Kedua orang pemuda itu disuruh memanggul Cia Kui Hong dan Siangkoan Bi Lian yang masih pingsan terbius, maka dengan sendirinya dua orang pemuda itu memondong gadis pilihan masing-masing. Cun Sek memondong Kui Hong, ada pun Tang Gun memondong Bi Lian. Mereka melarikan diri melalui lorong rahasia dan berhasil keluar dari belakang, kemudian Han Lojin memimpin mereka melarikan diri ke sebuah bukit. Mereka tiba di puncak bukit di mana terdapat sebuah gubuk atau pondok yang memang dipersiapkan oleh Han Lojin di tempat itu. Pondok itu mempunyai dua buah kamar. Setelah dua orang gadis yang masih pingsan itu direbahkan di atas dipan kayu, Ang-hong-cu Tang Bun An atau Han Lojin lalu menyuruh dua orang puteranya keluar untuk diajak bicara di luar pondok. "Hemm, semua usaha kita telah gagal. Entah siapa yang membocorkan rahasiaku hingga pasukan pemerintah menyerbu. Ho-han-pang telah hancur, akan tetapi masih untung kita bertiga dapat menyelamatkan diri ke sini." "Tapi, Ayah...," kata Tang Cun Sek, kini menyebut ayah dan agaknya hal ini tidak ditolak oleh Ang-hong-cu, "mengapa kita berhenti di sini? Tempat ini tidak terlalu jauh dari markas Ho-han-pang. Bagaimana kalau mereka mengejar ke sinii" "Benar sekali," kata pula Tang Gun. "Sebaiknya kalau kita berlari terus sehingga mereka kehilangan jejak kita." Si Kumbang Merah tersenyum. "Jangan kalian khawatir. Tak akan ada seorang pun yang mengejar ke sini. Hanya mereka yang tahu tentang jalan rahasia itulah yang dapat ke sini, sedangkan dari jalan lain, puncak bukit ini hampir tak mungkin didatangi karena dikurung oleh jurang-jurang yang sangat dalam. Takkan ada yang menyangka bahwa kita berada di sini kalau mereka itu datang dari jurusan lain. Jalan menuju ke bukit ini hanyalah melalui terowongan rahasia itu. Hal ini sudah kuselidiki lebih dulu." Mendengar ini, dua orang pemuda itu merasa lega. "Tetapi... Sim Ki Liong si jahanam itu? Bagaimana kalau dia menjadi petunjuk jalan?" tanya pula Cun Sek dengan mendongkol ketika teringat akan sikap Sim Ki Liong yang berbalik memusuhi ayahnya. Si Kumbang Merah mengepal tinju. Dia pun marah sekali kalau teringat akan peristiwa itu. "Si pengkhianat keparat!" katanya lirih. "Kepala pengkhianat itu pasti akan kuhancurkan kelak! Jangan khawatir, dia sendiri pun tidak pernah memasuki lorong terowongan rahasia itu. Tidak ada yang tahu kecuali aku sendiri. Kita aman di sini." "Kalau begitu, sekarang tibalah saatnya Ayah membuktikan bahwa Ayah adalah seorang yang dapat menghargai jasa kami, dan juga seorang ayah yang baik. Kami berdua mohon agar Ayah suka mengijinkan kami memperisteri dua orang gadis yang kami cintai itu. Aku ingin memperisteri Cia Kui Hong, dan adik Tang Gun ini ingin memperisteri Siangkoan Bi Lian." "Benar sekali apa yang dikatakan oleh koko Cun Sek, Ayah. Sudah semenjak dahulu aku mencinta sumoi Siangkoan Bi Lian, dan sekaranglah saatnya Ayah memperkenankan aku memperisteri sumoi. Kuharap Ayah tidak keberatan sehingga tak sia-sia sejak dahulu aku merindukan Ayah bahkan kemudian membantu Ayah dengan setia." Sepasang mata itu mencorong seperti berapi, akan tetapi hanya sebentar saja, kemudian Ang-hong-cu tertawa bergelak sambil mengelus jenggotnya yang rapi. "Ha-ha-ha! Ini namanya tidak punya anak susah, punya anak juga susah. Dengan adanya kalian sebagai anak-anakku, kalian rewel dan membikin pusing saja! Sebelum ada orang yang mengaku anakku, setiap ada gadis terjatuh ke dalam tanganku akan kumiliki sendiri tanpa ada yang mengganggu. Sekarang aku telah menawan dua orang gadis pilihan, tapi kalian ribut hendak merenggut mereka dari tanganku. Apa bila permintaan kalian kuturuti, lalu untuk aku sendiri apa?" Dua orang muda itu saling pandang dengan alis berkerut, akan tetapi mereka tidak berani membantah. "Sekarang begini saja. Karena di sini hanya ada dua orang gadis, maka biar yang seorang akan kuberikan kepada kalian dan yang satunya lagi untukku. Nah, sekarang kalian boleh bertanding mengadu kepandaian. Siapa yang menang boleh memilih seorang di antara dua orang gadis itu. Yang kalah tak usah banyak rewel lagi, dan gadis ke dua untuk aku. Nah, mulailah!” Kembali dua orang muda itu saling pandang dengan alis berkerut, akan tetapi kini sinar mata mereka saling bertentangan. Tang Cun Sek lalu tersenyum menghadapi adik tirinya. "Gun-te (adik Gun), engkau adalah adikku, maka sudah sepatutnya jika sekali ini engkau mengalah. Biar aku dulu yang menikah, kelak tentu aku akan membantumu mencarikan seorang isteri." "Tidak bisa begitu, Toako!" bantah Tang Gun dengan alis berkerut. "Aku mencinta sumoi Siangkoan Bi Lian, maka aku akan mempertahankannya dengan taruhan nyawa. Engkau sajalah yang mengalah terhadap adikmu ini, Toako, dan aku tak akan pernah melupakan budimu ini." "Mengalah dan melepaskan Cia Kui Hong? Tidak mungkin, Gun-te!" “Aku pun tidak mungkin dapat mengalah!" “Hemm, mengapa kalian berdua begitu cerewet seperti perempuan-perempuan tua yang bawel? Hayo cepat mulai! Jangan sampai aku kehabisan sabar, nanti kedua-duanya akan kumiliki sendiri!” Mendengar ucapan ayah mereka itu, Tang Cun Sek dan Tang Gun segera melompat ke bawah pohon. Tang Gun sudah mencabut pedang Kwan-im-kiam, sedangkan Tang Cun Sek mencabut sepasang Hok-mo Siang-kiam, yaitu pedang-pedang yang mereka rampas dari Bi Lian dan Kui Hong. "Tak boleh mempergunakan senjata. Serahkan dulu pedang-pedang itu kepadaku!" Seru Ang-hong-cu. "Maksudku hanya untuk mengadu kepandaian, bukan mengadu nyawa!" Dua orang pemuda itu tidak berani membantah, maka mereka lalu melemparkan senjata itu kepada Ang-hong-cu yang menyambutnya dengan cekatan. Dia tak ingin pertarungan itu menyebabkan kematian dua orang puteranya karena dia masih membutuhkan bantuan mereka. Tapi di dalam hatinya tentu saja dia pun tidak rela menyerahkan dua orang gadis tawanan itu kepada mereka. Dua orang dara itu amat lihai dan terlalu berbahaya. Harus dia sendiri yang menundukkan mereka atau membunuh mereka apa bila mereka berkeras. Dia tahu dengan pasti bahwa mereka itu tidak akan mau secara suka rela menjadi isteri kedua orang puteranya ini, dan kalau menggunakan paksaan tentu mereka semakin tidak suka membantunya. Maka dia sendiri yang akan ‘menangani’ mereka. Kini Tang Cun Sek dan Tang Gun telah saling berhadapan seperti dua orang jagoan yang hendak mengadu ilmu. Karena maklum bahwa kakak tirinya itu sangat lihai, maka Tang Gun tidak mau membuang waktu lagi. "Lihat serangan!" bentaknya. Dia pun telah menggerakkan tubuhnya, menyerang dengan pukulan yang disertai loncatan seperti seekor ayam menerjang lawan. Karena maklum akan kelihaian lawan, maka begitu menyerang Tang Gun sudah mempergunakan Ilmu Kim-ke Sin-kun yang dipelajarinya dari suhu dan subo-nya! Tang Cun Sek terkejut bukan kepalang melihat serangan yang dahsyat ini,. Dia pun cepat melempar tubuh ke belakang sambil berjungkir balik sehingga terhindar dari serangan adik tirinya, kemudian membalas dengan memainkan ilmu silat andalan dari Cin-ling-pai, yaitu Thai-kek Sin-kun dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang! Tang Gun yang tidak berani menyambut, segera mengelak dengan loncatan ke samping, membalik dan menyerang lagi. Gerakannya lincah laksana seekor ayam jantan berkelahi, berloncatan ke sana-sini untuk mengelak, sepasang lengannya seperti sayap ayam yang menyambar dari kanan kiri, ada pun kakinya menendang-nendang dengan gerakan yang sukar diduga. Terjadilah pertandingan yang sangat menarik. Sebenarnya ilmu silat yang dipelajari Tang Gun dari suhu dan subo-nya, yaitu Kim-ke Sin-kun, merupakan ilmu silat tinggi yang sukar dikalahkan. Tetapi sayangnya Tang Gun belum lama mempelajarinya sehingga dia belum dapat menguasai benar ilmu itu. Andai kata dia telah menguasai sepenuhnya, maka akan sukarlah bagi Tang Cun Sek untuk dapat mengalahkannya. Di lain pihak, Tang Cun Sek adalah murid Cin-ling-pai yang tadinya sangat dikasihi kakek Cia Kong Liang, malah kakek itu sendiri yang menggemblengnya sehingga dia menguasai ilmu-ilmu simpanan dari Cin-ling-pai dengan baik sekali. Oleh karena itu, tentu saja tingkat kepandaian dan tenaganya masih menang setingkat dibandingkan Tang Gun dan setelah lewat tiga puluh jurus, nampaklah betapa Tang Gun mulai terdesak hebat dan pemuda ini hanya mampu mengelak atau menangkis saja, tidak diberi kesempatan untuk membalas lagi. "Hyaaattttt…!" Satu tamparan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang dari Tang Cun Sek menyentuh pundak Tang Gun. Biar pun yang terkena tamparan hanya pundak, namun rasa nyerinya sampai menembus ke jantung. Tang Gun terpelanting dan sebelum dia mampu bangkit kembali, Tang Cun Sek sudah menyusulkan serangan totokan sehingga Tang Gun langsung roboh lemas tak sadarkan diri lagi. "Bagus, coba kau lawan aku!" Tiba-tiba saja Ang-hong-cu Tang Bun An sudah menyerang Cun Sek dengan hebatnya. Cun Sek sama sekali tak menyangka bahwa ayahnya akan menyerangnya, maka saking kaget dan herannya, dia tidak sempat menghindarkan diri lagi sehingga dua buah totokan mengenai pundak dan dadanya. Pemuda ini mengeluh lalu roboh tak sadar diri lagi dalam keadaan tertotok. Ang-hong-cu tertawa. “Ha-ha-ha-ha, kalian anak-anak nakal! Ayah mana yang tidak ingin menyenangkan anaknya? Akan tetapi kalian juga harus menjadi anak-anak yang berbakti. Jangan khawatir, anak-anakku. Aku akan memberikan dua orang gadis itu kepada kalian, tetapi aku adalah Si Kumbang Merah penghisap kembang. Aku harus menghisap madu mereka dulu, baru akan kuserahkan mereka kepada kalian, ha-ha-ha-ha!” sambil tertawa-tawa Si Kumbang Merah mencengkeram punggung baju dua orang pemuda yang pingsan itu, mengangkat mereka seperti orang menjinjing dua ekor ayam saja lantas menurunkan tubuh mereka di atas lantai dalam pondok. Kemudian dia menutupkan daun pintu pondok dan keluar lagi. Si Kumbang Merah ini memang suka akan segala yang indah-indah. Bukan hanya wanita cantik, tetapi dia suka pula akan kembang-kembang yang indah dan harum. Di sekeliling pondok di puncak bukit itu pun penuh dengan tanaman bunga beraneka ragam dan warna. Sambil melamun dan menikmati keindahan alam, dia duduk di tengah-tengah taman yang dibuatnya sendiri itu. Saat itu musim semi telah lewat dan musim bunga membuat semua tanaman di situ tengah berbunga. Bunga-bunga ini menarik kumbang dan kupu-kupu yang beterbangan di sekitar tempat itu, hinggap dari satu ke lain bunga untuk menghisap madu. Dengan amat asyiknya Ang-hong-cu Tang Bun An memandang kupu-kupu yang bermain-main di antara bunga-bunga itu. Ketika nampak seekor kumbang merah terbang dengan cepat, mendahului kupu-kupu yang banyak itu lantas hinggap di kembang-kembang yang masih penuh madunya, dia pun memandang dengan hati tertarik. Pandang matanya jelas membayangkan kegembiraan dan kebanggaan. Melihat kumbang merah menghisap madu kembang-kembang itu, dia pun teringat akan semua pengalaman hidupnya. Sejak muda dia pun telah menghisap madu gadis-gadis muda yang cantik, tak terhitung banyaknya. Si Kumbang Merah ini sama sekali tidak tahu betapa pada saat dia melamun itu, dua orang yang ditakutinya tengah melakukan pengejaran lewat terowongan rahasia! Akhirnya Hay Hay dan Han Siong sampai di ujung lorong rahasia di bawah tanah itu dan mereka merasa kagum melihat bahwa terowongan itu menembus ke sebuah lereng bukit yang dikepung jurang. Jalan satu-satunya menuju bukit itu hanyalah melalui terowongan rahasia tadi! Maka mereka pun tidak merasa ragu lagi. Sudah pasti Si Kumbang Merah yang mereka kejar itu berada di bukit ini. Mereka pun lalu mendaki bukit itu dengan cepat namun hati-hati sekali karena maklum betapa licik dan berbahayanya lawan yang mereka kejar. Begitu tiba di puncak, mereka dapat melihat sebuah pondok berdiri di sana. Nampaknya sunyi saja di sekitar tempat itu. Pondok itu seperti tidak ada penghuninya dan di sekeliling pondok terdapat taman bunga yang sangat indah karena pada waktu itu hampir semua tanaman sedang berbunga. Dari tempat mereka mengintai saja sudah kelihatan banyak kupu-kupu beterbangan di antara bunga-bunga. "Sebaiknya kita berpencar agar tidak terjebak berbarengan. Engkau menuju pondok lewat depan dan aku lewat belakang, Han Siong. Akan tetapi berhati-hatilah engkau, orang itu penuh dengan tipu muslihat." Han Siong mengangguk dan mereka kemudian berpencar. Hay Hay menyelinap di antara pohon-pohon, mengambil jalan memutar menuju ke arah belakang pondok itu, sedangkan Han Siong berindap-indap menghampiri pondok dari arah depan. Jantung dalam dada Hay Hay berdebar tegang ketika dia melihat Ang-hong-cu Tang Bun An duduk seorang diri di belakang pondok, di dalam taman bunga, dikelilingi bunga-bunga beraneka ragam dan warna! Orang yang dicari-carinya kini berada di tengah taman itu, seorang diri! Dia tidak ragu lagi walau pun orang itu kini tidak berjenggot dan tak berkumis. Wajahnya bersih dan tampan, tapi itulah wajah Han Lojin! Seorang lelaki yang usianya kurang lebih lima puluh lima tahun, tampan dan gagah, dengan sinar mata penuh semangat, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dan hidungnya mancung. Dia yakin bahwa itulah wajah Ang-hong-cu yang sebenarnya! Wajah Han Lojin hanyalah satu di antara wajah samarannya saja, walau pun wajah Han Lojin tidak berubah, hanya ditambah kumis dan jenggot. Hay Hay menjadi marah membayangkan nasib para gadis yang pernah menjadi korban orang ini, terutama sekali Pek Eng dan Cia Ling. Dia sudah hampir melompat keluar tetapi dia langsung menahan diri karena melihat pria itu tertawa-tawa seorang diri seperti orang yang otaknya miring. Ang-hong-cu bangkit berdiri sambil tertawa-tawa, lantas memetik setangkai mawar merah yang baru mekar dan semerbak mengharum. Diciumnya mawar itu dengan kedua mata terpejam, nampaknya dia amat menikmati keharuman mawar itu. Kemudian dia membuka mata, menatap bunga mawar yang tadi diciuminya itu, dan jari-jari tangannya memereteli kelopak bunga itu satu demi satu, menaburkannya ke atas tanah, kemudian membuang tangkainya. Dipetiknya bunga lain, lantas diciuminya seperti tadi, penuh kasih sayang dan kemesraan seolah-olah keharuman bunga itu hendak dihisapnya habis, namun tidak lama kemudian kembali jari-jari tangannya memereteli sampai habis. Hay Hay yang sedang mengintai, memandang dengan mata terbelalak dan dia menahan napas seperti terpesona. Dia melihat bunga-bunga itu bagaikan gadis-gadis yang menjadi korban Si Kumbang Merah, dihisap keharumannya lalu dirusak dan dicampakkan begitu saja setelah keharumannya dihisap! Sesudah menghabiskan belasan batang kembang, Si Kumbang Merah lantas menangkap seekor kupu-kupu bersayap kuning kebiruan yang indah sekali. Diamatinya kupu-kupu itu. Wajahnya berseri, pandang matanya mengagumi keindahan sayap kupu-kupu, kemudian jari tangan yang kejam itu memereteli sayap kupu-kupu. Kupu-kupu itu meronta-ronta sampai akhirnya semua sayapnya putus dan habis, hanya tinggal tubuhnya menggeliat-geliat serta meronta-ronta di atas tanah. Si Kumbang Merah memandang ke arah sisa tubuh kupu-kupu itu, ke arah kelopak bunga yang bertebaran di depan kakinya, kemudian dia pun tertawa-tawa. "Manusia berwatak iblis!" Si Kumbang Merah terkejut mendengar seruan ini dan dia cepat membalikkan tubuhnya. Matanya terbelalak penuh keheranan ketika dia melihat bahwa orang yang menegurnya itu adalah Hay Hay! "Kau...?!" serunya kaget karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa puteranya yang paling disegani ini dapat menyusulnya ke situ. "Ang-hong-cu, engkau memang manusia iblis! Engkau memperlakukan para wanita yang tidak berdosa seperti kembang-kembang itu, seperti kupu-kupu itu. Engkau memperkosa, mempermainkan wanita sesuka hatimu, kemudian engkau campakkan mereka secara kejam! Engkau tidak patut hidup dipermukaan bumi, dan engkau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu yang busuk!" "Hemmm, orang muda. Lupakah engkau bahwa engkau she Tang, bahwa engkau adalah putera Ang-hong-cu, puteraku? Engkau, seorang pendekar gagah perkasa dan budiman, apakah engkau hendak menjadi seorang anak yang durhaka, pengkhianat, membuat dosa menentang ayah kandung sendiri? Seorang pendekar harus berbakti kepada ayahnya!" "Ang-hong-cu, engkau seorang penjahat besar, jadi tak perlu lagi memberi wejangan dan berkhotbah di hadapanku. Seorang gagah selalu membela kebenaran dan keadilan, dan hubungan keluarga tidak masuk hitungan dalam membela kebenaran dan keadilan! Biar ayah sendiri harus kutentang kalau jahat dan melanggar kebenaran dan keadilan!" "Ha-ha-ha, Hay Hay anakku yang ganteng dan gagah! Coba katakan, kesalahan apa yang telah kulakukan? Kebenaran dan keadilan yang bagaimana yang telah kulanggar? Jangan melemparkan fitnah kepada ayah kandung sendiri!" "Hemm, Ang-hong-cu, sejak kapan engkau mengakui aku sebagai anakmu? Ibuku sendiri kau perkosa, kau permainkan, kemudian kau campakkan begitu saja sampai dia bunuh diri. Dan masih banyak sekali wanita-wanita yang sudah kau rusak hidupnya, gadis-gadis yang tidak berdosa, bahkan pendekar-pendekar wanita! Engkau manusia berwatak iblis!" "Ha-ha-ha-ha, kau maksudkan wanita-wanita itu? Hay Hay, engkau anak kecil tahu apa? Wanita itu seperti bunga, indah dan harum, sudah sepatutnya dikagumi dan dinikmati, dan seorang laki-laki seperti engkau sungguh tolol apa bila sampai terjatuh oleh rayuan wanita dan bertekuk lutut kepadanya. Akhirnya engkau sendiri yang akan menderita, yang akan dikhianati cintamu, ditinggal menyeleweng dengan pria lain!" "Tidak semua wanita seperti itu!" "Tidak semua wanita? Ha-ha-ha, engkau memang masih hijau. Karena pengalaman maka aku tahu benar akan hal itu. Dari pada hatiku disakiti oleh wanita, dari pada dipermainkan oleh wanita, lebih baik aku yang mempermainkan mereka." "Engkau memang jahat dan keji!" "Dan engkau sungguh mengecewakan hatiku. Engkau gagah perkasa dan tampan, juga pandai menundukkan hati wanita, tapi engkau lemah, engkau munafik, engkau pura-pura alim!" "Cukup! Aku tidak mau banyak bicara lagi denganmu!" Hay Hay membentak dengan hati panas dan sebal. "Habis engkau mau apa, Hay Hay?" "Aku akan menangkapmu! Ang-hong-cu, menyerahlah. Engkau harus bertanggung jawab atas semua perbuatanmu!” "Menyerah? Kepada anakku sendiri? Ha-ha-ha, anak baik, jangan dikira bahwa ayahmu ini selemah itu! Kalau aku tidak mau menyerah, habis engkau mau apa?" "Terpaksa aku akan menggunakan kekerasan untuk menangkapmu!" “Anak durhaka, engkau perlu dihajar. Majulah!" Tentu saja ini hanya merupakan gertakan yang membual karena sesungguhnya di sudut hatinya Ang-hong-cu Tang Bun An merasa jeri terhadap Hay Hay. Dulu dia pernah menjadi pecundang sesudah dikalahkan anaknya sendiri itu. Karena maklum akan kehebatan Hay Hay, maka Si Kumbang Merah telah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu rantai baja dengan dua ujungnya dipasangi sebuah pisau dan sebuah kaitan. Diputarnya rantai itu sehingga terdengar suara mendesing-desing dan nampak gulungan sinar putih gemerlapan. Hay Hay juga sudah melepaskan pedang Hong-cu-kiam yang dapat digulung dan dipakai sebagai sabuk itu. Begitu pedang itu digerakkan, nampak sinar emas bergulung-gulung. "Trangg! Cringgg...!” Ketika pisau dan kaitan itu menyambar dahsyat secara beruntun, Hay Hay menyambut dengan tangkisan pedang Hong-cu-kiam sambil mengerahkan tenaganya dengan maksud hendak membabat putus senjata lawan dengan pedang pusaka dari Cin-ling-pai itu. Pisau dan kaitan membalik, akan tetapi tidak sampai rusak. Hal ini menunjukkan bahwa senjata di tangan Si Kumbang Merah itu pun terbuat dari baja yang kuat. Ayah dan anak itu segera bertanding dengan seru. Keduanya bertanding dengan hati-hati dan mengeluarkan semua ilmu simpanan mereka karena maklum bahwa lawan tak boleh dipandang ringan, harus dihadapi dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. *************** Kita tinggalkan dahulu ayah dan anak yang sedang bertanding dengan hebatnya itu, dan marilah kita menengok keadaan di dalam pondok. Karena tenggelam ke dalam lamunan ketika berada di taman tadi, Ang-hong-cu Tang Bun An lupa dengan keadaan dua orang puteranya yang sudah ditotok dan ditinggalkan di dalam pondok tadi. Selain lengah, juga dia memandang ringan mereka, mengira bahwa kedua orang pemuda yang sudah diberi pelajaran itu tentu tidak akan berani bertingkah lagi. Mula-mula Cun Sek yang terbebas dari totokan. Begitu dapat bergerak dia pun mengomel panjang pendek. "Ayah jahat, tega dia menipu anak-anaknya sendiri....!" omelnya dan dia lantas membebaskan totokan pada diri Tang Gun. Tang Gun yang sudah dapat bergerak segera hendak menyerangnya. "Jangan salah paham, Gun-te! Kita berdua telah ditipu oleh tua bangka itu. Kalau tadi kita maju bersama tentu dia merasa berat, maka dia mengadu kita. Setelah engkau roboh, dia juga menotokku!" "Ehh?! Kenapa begitu?" "Hemm, tidak salah lagi. Tentu dua orang gadis kita hendak dikuasainya sendiri." Tang Gun mengepal tinjunya. "Hemmm, tadinya aku sudah rnelupakan apa yang telah dia lakukan terhadap ibuku. Aku hendak menganggap dia ayahku yang sejati dan aku mau berbakti kepadanya. Tidak tahunya dia... dia...” “Sama dengan aku, Gun-te. Dia orang yang sangat jahat dan curang, bahkan tega sekali mencurangi anak-anaknya sendiri. Mari kita lihat apakah dua orang gadis kita masih ada." Mereka berdua memasuki dua kamar itu dan legalah hati mereka setelah mereka melihat bahwa Kui Hong dan Bi Lian masih rebah terlentang di atas pembaringan dalam keadaan tertotok. Mereka menambahkan lagi totokan agar dua orang gadis itu tidak dapat bergerak dalam waktu yang cukup lama. "Kalau begitu, mari kita cari dia dan kita keroyok dia!" seru Tang Gun dengan marah. "Nanti dulu, Gun-te...” Cun Sek mengusap-usap dagunya sambil memandang pada tubuh Bi Lian. "Memang belum tentu kita kalah melawan dia, akan tetapi seandainya kita kalah tentu usaha kita sia-sia belaka. Dua orang gadis kita tentu akan dirampasnya. Karena itu sebaiknya kalau kita memiliki dulu kekasih kita masing-masing, sesudah itu baru kita pergi mencarinya. Dengan demikian, andai kata kita kalah sekali pun, dua orang gadis itu telah menjadi milik kita!" "Ahhh, benar sekali.... engkau benar, toako!" kata Tang Gun dan dia pun segera berlari ke dalam kamar sebelah di mana tubuh Siangkoan Bi Lian masih tergeletak dalam keadaan yang sama dengan Kui Hong, yaitu tak mampu bergerak dan lemas tertotok. Dua orang gadis yang tak mampu bergerak akibat tubuh mereka lemas tertotok itu hanya bisa memandang dengan mata mendelik penuh kemarahan saja ketika dua orang pemuda itu menghampiri mereka di atas pembaringan masing- masing. Tang Gun memasuki kamar di mana Bi Lian rebah terlentang dan menutupkan daun pintu kamar itu. Dengan napas memburu dan wajah merah dia lalu duduk di tepi pembaringan Bi Lian. Gadis itu memandang kepadanya dengan mata mendelik penuh kebencian. "Sumoi, kenapa engkau memandangku seperti itu? Aih, Sumoi, semua ini kulakukan demi cintaku kepadamu. Aku sayang padamu, Sumoi, aku cinta padamu..." Bi Lian membuang muka. Beberapa kali dia mencoba untuk mengerahkan tenaganya, tapi sia-sia saja. Totokan pertama saja belum lenyap pengaruhnya dan tadi Tang Gun sudah menotoknya lagi. Ia membenci orang yang pernah diterima ayah ibunya menjadi suheng-nya ini. Kalau saja dia mampu bergerak, tentu orang ini segera dibunuhnya, dipenggalnya kepalanya, ditembusinya jantungnya dengan pedang. "Sumoi, engkau akan menjadi korban Si Kumbang Merah. Oleh karena itu, demi cintaku padamu dan untuk menyelamatkanmu, maka terpaksa aku akan menggaulimu. Terpaksa, Sumoi, agar engkau lebih dahulu menjadi milikku sehingga Si Kumbang Merah tidak akan menjamahmu lagi dan engkau akan menjadi… isteriku, Bi Lian." Bi Lian bukan hanya tertotok yang membuat dia tidak mampu bergerak, bahkan dia tidak mampu bersuara. Dapat dibayangankan betapa sakit rasa hatinya ketika Tang Gun mulai merangkulnya, menindih tubuhnya, memeluk dan menciumi mukanya, pipinya, hidung dan bibirnya tanpa dia mampu mengelak. Dan perasaan hatinya bagaikan disayat-sayat ketika dia melihat dan merasa betapa tangan pemuda itu mulai menggerayangi tubuhnya dan membuka pakaiannya. Bi Lian memejamkan matanya dan air mata mulai menitik keluar dari pelupuk matanya, tanpa dapat ditahannya. Siangkoan Bi Lian adalah seorang gadis yang berhati tabah, pemberani, bahkan galak dan keras sehingga dia pernah mendapat julukan Tiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) di dunia kang-ouw. Bahkan menangis pun seperti pantangan baginya. Jarang sekali dia menangis. Akan tetapi sekali ini dia tidak mampu menahan air matanya ketika menghadapi ancaman bahaya yang baginya lebih mengerikan dari pada maut. Dia akan diperkosa orang, akan diperhina orang tanpa mampu mengelak, tanpa mampu membela diri, bahkan tak mampu bersuara untuk memaki! “Jangan menangis, isteriku. Aku sayang padamu, aku tidak akan menyakitimu, sayang...” kata Tang Gun ketika melihat air mata mengalir keluar dari kedua mata itu, lalu dia pun mengecup pipi yang basah air mata itu dengan nafsu yang makin menggelora. Semakin deras air mata mengalir dari kedua mata Bi Lian. Kubunuh kau, kubunuh kau...! Kalimat ini berulang-ulang diucapkan di dalam hati. Dia tidak berani membuka mata dan akan menerima aib yang akan menimpa dirinya itu untuk mempertebal rasa dendam dan bencinya. “Brakkkk…!" Pada saat terakhir yang amat gawat bagi kehormatan Siangkoan Bi Lian itu, tiba-tiba pintu kamar itu jebol ditendang orang dari luar. Sesosok bayangan menyambar cepat ke arah Tang Gun yang sudah siap menanggalkan pakaian dari tubuhnya sendiri.....

jilid 28

TANG GUN amat terkejut, mencoba untuk mengelak sambil menangkis, namun masih saja tendangan kaki orang itu menyerempet pahanya. Dia pun cepat-cepat meloncat dari atas pembaringan sambil mencabut pedang Kwan-im-kiam! “Sumoi....!” Han Siong memanggil lirih saat melihat sumoi-nya tergeletak terlentang dalam keadaan sudah telanjang bulat sama sekali. Cepat dia menggerakkan tangannya menotok jalan darah di pundak dan tengkuk gadis itu. "Cepat berpakaian, Sumoi!" Kini Bi Lian dapat bergerak. Biar pun kaki tangannya masih terasa kaku, dia cepat meraih pakaiannya dan mengenakan pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tang Gun marah bukan main. Diumpamakan daging sudah di depan mulut, kini tergelincir lepas. "Keparat busuk!" bentaknya. Dia pun langsung menyerang dengan pedang Kwa-im-kiam. Akan tetapi Han Siong telah mengerahkan kekuatan sihirnya kemudian dia menuding ke arah pedang di tangan Tang Gun sambil membentak dengan suara nyaring penuh wibawa. "Engkau memegang ular itu untuk apa?" Tang Gun tertegun. "Ular...?" Dan otomatis dia memandang ke arah pedang pada tangan kanannya dan matanya terbelalak lebar, mukanya pucat seketika. "Ular....!" teriaknya. Dia pun cepat melemparkan pedang itu ke atas lantai dengan jijik karena yang dilihatnya bukan lagi pedang, tetapi seekor ular yang dipegang tangan kanannya. Timbul perasaan takut di hatinya sehingga dia hendak melarikan diri melalui pintu yang dijebol itu. Akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu sumoi-nya, Siangkoan Bi Lian, sudah berdiri di ambang pintu menghadangnya! "Suheng, serahkan keparat ini kepadaku. Tolonglah Cia Kui Hong, dia berada di kamar sebelah!" kata Siangkoan Bi Lian. Mendengar ini Han Siong segera meloncat keluar dari dalam kamar itu. "Jahanam busuk, sekarang saatnya kita menyelesaikan perhitungan sampai tuntas!" kata Bi Lian dengan sikap tenang, tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata naga dan mukanya merah karena dia sudah marah sekali. Tang Gun merasa jeri sekali. "Sumoi.... tadi aku telah khilaf... maafkanlah aku, Sumoi, dan biarkan aku pergi. Aku amat menyesal...” "Jahanam busuk! Engkau sudah membohongi dan menipu orang tuaku sehingga engkau berhasil mencuri ilmu silat kami! Kemudian, aku yang menjadi sumoi-mu sudah bersusah-payah hendak membantumu mencari musuhmu. Ternyata engkau adalah anak Ang-hong-cu, sudah bersekongkol dengan ayahmu untuk menawanku secara curang dan pengecut! Semua ini masih ditambah lagi dengan perbuatanmu yang terkutuk tadi. Engkau hendak memperkosa aku! Dan sekarang engkau minta maaf? Hemmm, orang she Tang! Biar pun engkau kubunuh sampai seratus kali, hutangmu masih belum lunas!" Tang Gun merasa takut sekali. Ketika sumoi-nya itu menjadi tawanan, dia pun tidak lagi menyembunyikan kenyataan dirinya bahwa dia bernama Tang Gun dan putera Ang-hong-cu, maka sekarang Bi Lian sudah mengetahui semua rahasianya. Bagaikan seekor anjing tersudut, matanya melirik ke sana-sini mencari lubang untuk melarikan diri. Pandang matanya melihat pedang Kwan-im-kiam yang tadi dibuangnya karena pedang itu berubah menjadi ular. Sekarang pedang itu menggeletak di sana, tidak lagi berbentuk ular melainkan sebatang pedang biasa! Tahulah dia bahwa tadi dia berada di bawah pengaruh sihir! Kini, melihat Kwan-im-kiam menggeletak di sana, matanya berkilat dan tiba-tiba saja dia membuat gerakan ke kiri, menubruk ke arah pedang itu. "Deessss....!" Tubuhnya terpelanting akibat sebuah tendangan yang datang dari kiri dan tepat mengenai lambungnya. Tang Gun segera meloncat bangun lagi dan ternyata pedang Kwan-im-kiam telah berada di tangan Bi Lian. Gadis itu tersenyum mengejek. "Pedang ini terlalu bersih untuk dijamah tanganmu yang kotor,” katanya dan menyimpan kembali pedang itu ke dalam sarung pedang yang sudah diambilnya dari atas meja, lantas memasang pedang itu di punggungnya. Dengan menyimpan pedang pusaka miliknya itu, berarti dia memandang rendah Tang Gun yang cukup dihadapinya dengan tangan kosong saja. Tang Gun tidak melihat jalan lain kecuali membela diri. Cintanya terhadap Bi Lian lenyap seperti asap tipis tertiup angin, dan sekarang yang ada hanyalah kebencian dan keinginan untuk membunuh gadis itu atau setidaknya untuk dapat menghindarkan diri dari ancaman sumoi-nya ini. Cinta nafsu memang tidak tahan uji. Cinta nafsu bukanlah cinta, melainkan rangsangan gairah nafsu belaka. Sekali nafsu itu terpuaskan, maka cintanya pun akan segera luntur, dan kalau nafsu itu tidak tercapai, maka cintanya berubah kebencian. Dia menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri bahwa dia telah mempelajari ilmu-ilmu yang dikuasai gadis itu. Setidaknya dia akan sanggup menandingi Siangkoan Bi Lian, apa lagi karena gadis itu pun tidak mempergunakan pedangnya. Tang Gun menggerak-gerakkan kedua lengannya menghimpun tenaga dalam, kemudian sambil mengeluarkan bentakan nyaring dia segera menyerang dengan pukulan dahsyat. Melihat betapa suheng-nya atau lebih tepat bekas suheng itu memainkan ilmu silat Kim-ke Sin-kun, ilmu ciptaan ayah ibunya, hati Bi Lian menjadi makin penasaran dan marah. Dimainkannya ilmu ini mengingatkannya bahwa pemuda di depannya sudah menipu ayah ibunya sehingga mereka berkenan menerima Tang Gun sebagai murid dan mengajarkan ilmu itu kepadanya. Maka Bi Lian juga memainkan ilmu silat itu dan mereka pun bertanding dengan seru dan mati-matian. Karena gerakan mereka sama, maka mereka nampak seperti sedang latihan saja. Akan tetapi sebenarnya mereka saling serang dengan dahsyat, dengan jurus-jurus maut. Biar pun Bi Lian menang matang latihannya, di samping tingkat kepandaian gadis ini memang lebih tinggi, namun Tang Gun masih dapat bertahan dengan kenekatannya. Sementara itu Han Siong cepat meloncat keluar kamar itu sesudah mendengar ucapan Bi Lian tadi. Dia percaya sepenuhnya bahwa sumoi-nya itu pasti akan marnpu rnengalahkan lawannya. Sekarang dia harus lebih dahulu menolong Cia Kui Hong yang berada di kamar sebelah. Seperti juga tadi, kini dia menendang roboh daun pintu kamar sebelah dan benar saja, di situ terjadi hal yang hampir sama. Tang Cun Sek sedang menggeluti Cia Kui Hong! Akan tetapi agaknya Tang Cun Sek tidak tergesa-gesa seperti Tang Gun. Dia mencoba untuk merayu dan menundukkan hati Kui Hong. Agaknya Cun Sek ingin gadis itu menyerahkan diri dengan suka rela, maka dia tidak tergesa-gesa hendak rnemperkosanya. Berbeda dengan Bi Lian yang tadi sudah hampir diperkosa, kini keadaan Kui Hong masih mengenakan pakaian lengkap. Cun Sek hanya membelai dan merayunya, memeluk dan menciuminya tanpa Kui Hong dapat mengelak atau melawan. Gadis ini pun lemas tertotok sehingga tidak mampu menggerakkan kaki tangan, juga tidak mampu berteriak. "Brakkkkk....!" Sesudah daun pintu jebol, barulah Cun Sek terkejut. Agaknya pemuda ini tadi tidak begitu memperhatikan kegaduhan yang terjadi di kamar sebelah karena dibakar nafsu birahinya. Sesudah daun pintu kamar itu jebol baru dia terkejut dan cepat-cepat meloncat turun dari pembaringan, membalik sambil mencabut sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam, pedang pasangan yang dirampasnya dari Cia Kui Hong. "Keparat!" bentak Han Siong dan dia pun telah menerjang dengan pedang Gin-hwa-kiam. Sinar perak berkilat menyilaukan mata. Cun Sek terkejut bukan main ketika mengenal siapa orangnya yang datang merobohkan daun pintu. Tentu saja dia mengenal Pek Han Siong, bahkan dia pernah dikalahkan oleh pemuda ini. Karena maklum betapa lihainya lawan ini, maka dia pun cepat menggerakkan sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam, menangkis sambil mengerahkan tenaganya. “Trangggg...!” Sepasang pedang di tangan Cun Sek terpental hingga hampir terlepas dari pegangan. Dia terkejut bukan main karena dia sempat terhuyung ke belakang. Kesempatan itu langsung digunakan oleh Han Siong untuk melompat ke dekat pembaringan. Tangan kirinya cepat membuat totokan dua kali pada tubuh Kui Hong dan gadis ini pun terbebas dari totokan. Cun Sek yang ketakutan meloncat ke pintu, akan tetapi Han Siong sudah mendahuluinya dan menghadang di pintu sambil membentak. "Engkau hendak lari ke mana?!” Cun Sek terkejut dan semakin jeri, akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar, dia pun menjadi nekat dan menyerang dengan sepasang pedangnya. Namun serangannya dapat ditangkis dengan mudah oleh Han Siong. Sementara itu Kui Hong menggerak-gerakkan kaki tangannya untuk mengusir kekakuan dan kepegalan, lalu dia meloncat ke depan. "Saudara Pek Han Siong, serahkan jahanam ini kepadaku! Aku yang akan membereskan keparat ini!" Pek Han Siong maklum akan perasaan Cia Kui Hong, karena itu setelah mendesak lawan sehingga Cun Sek meloncat ke belakang, dia lalu menyerahkan pedangnya kepada gadis itu. "Nona Cia Kui Hong, pakailah pedang ini. Ini adalah pedang rampasan dari Sim Ki Liong, sekarang kuserahkan kepadamu untuk dikembalikan ke Pulau Teratai Merah!" "Gin-hwa-kiam....!" Kui Hong berseru girang ketika menerima pedang itu dari tangan Han Siong. Sesudah menyerahkan pedang Gin-hwa-kiam itu kepada Kui Hong yang dia percaya akan mampu mengalahkan Cun Sek, Han Siong lalu meloncat keluar untuk melihat keadaan Bi Lian. Bagaimana pun juga dia mengkhawatirkan keselamatan sumoi-nya atau gadis yang dicintainya itu. *************** "Trang...! Cring...! Tranggg…!" Bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata ketika berulang kali kedua senjata itu bertemu di udara. Hay Hay mengerahkan tenaga saktinya, namun lawannya, Si Kumbang Merah yang merupakan ayah kandungnya sendiri, ternyata memiliki tenaga yang dahsyat pula. Pertandingan antara mereka merupakan pertandingan bisu, tidak ada yang menyaksikan, namun pertandingan itu merupakan pertarungan antara mati dan hidup bagi Ang-hong-cu Tang Bun An. Si Kumbang Merah ini maklum bahwa Hay Hay atau Tang Hay, puteranya yang amat dikagumi juga sangat disegani, tidak mungkin akan suka melepaskannya. Dan dia tidak mau ditangkap. Ditangkap berarti penghinaan besar sebelum kematian, mungkin dihukum buang atau dihukum seumur hidup, mungkin juga mati dikeroyok para pendekar yang sakit hati kepadanya. Tidak, dia harus dapat membunuh Hay Hay kalau dia ingin bebas, maka pertandingan itu merupakan persoalan mati hidup baginya. Dia mengeluarkan seluruh ilmu simpanannya dan mengerahkan semua tenaganya. Hanya satu yang dia khawatirkan, yaitu bila pemuda itu mempergunakan sihirnya. Dia sendiri memiliki kekuatan untuk menolak pengaruh sihir, akan tetapi kalau kekuatan sihir pemuda itu terlalu kuat maka dia akan terpengaruh dan ini berarti dia akan celaka. Namun sedikit pun tidak terpikir oleh Hay Hay untuk mempergunakan ilmu sihirnya. Tidak, dia harus menunjukkan kepada orang ini, ayah kandungnya, bahwa dia seorang pendekar gagah sejati. Dia akan menggunakan ilmu silat untuk menangkap orang tua itu. Hal yang membuat Hay Hay mengalami kesulitan adalah karena dia tak mau membunuh lawannya, melainkan ingin menangkapnya hidup-hidup. Kalau saja dia berkelahi dengan tekad membunuh, kiranya tak akan demikian sukarnya seperti sekarang. Dia membatasi serangannya agar tidak sampai membunuh lawan bila sampai mengenai sasaran, dan hal ini tentu saja mengurangi daya serangnya, mengurangi kehebatan serangan itu. "Trang…! Tranggg...!” “Haiiiiittt....!” Setelah dua kali pisau di ujung rantai itu bertemu pedang di tangan Hay Hay, tiba-tiba Si Kumbang Merah membuat gerakan berputar dan kini ujung lain dari rantai itu menyambar ganas. Ujung lain ini berupa kaitan runcing. Hay Hay kembali menggerakkan pedangnya menangkis karena sambaran itu amat cepat sampai mengeluarkan suara berdesing,. "Cringgg...!" Ujung rantai yang berbentuk kaitan itu sekarang melibat pedang dan kaitannya mengkait pedang. Pada saat Hay Hay menarik untuk melepaskan pedangnya dari libatan rantai itu, tiba-tiba pisau itu menyambar lagi ke arah lehernya! Serangan susulan ini hanya mungkin terjadi karena Hay Hay tidak bermaksud membunuh lawannya. Kalau dia menghendaki, dapat saja dia mengerahkan tenaga mukjijat yang dia latih dari Song Lojin, tenaga sinkang yang diperkuat tenaga sihir sehingga rantai itu akan putus dan pedangnya dapat meluncur menusuk dada lawan. Akan tetapi karena dia tidak ingin membunuh lawannya ini, maka dia mengerahkan tenaga hanya untuk menarik lepas pedangnya dan hal ini membuat lawan memperoleh peluang untuk menyerangkan pisau di ujung rantai. Dalam keadaan terdesak itu Hay Hay merendahkan tubuhnya mengelak. Gerakan ini pun kembali merupakan mengalah, hanya untuk menghindarkan diri. Apa bila dia mau, maka dengan kekuatan tangannya yang dahsyat dia dapat menyambar dan menangkap rantai di balik pisau itu, kemudian melontar balikkan pisau ke arah penyerangnya. Keadaannya makin terdesak Karena sikap mengalah ini, dan selagi dia mengelak dengan merendahkan tubuhnya, Si Kumbang Merah yang banyak pengalaman, memiliki banyak tipu muslihat dalam ilmu silatnya, telah mengirim tendangan secara tiba-tiba. "Dessss...!" Tubuh Hay Hay terlempar. Dia cepat bergulingan untuk menghindarkan diri dari sambaran pisau dan kaitan berganti-ganti karena lawannya sudah mengejarnya dan menghujankan serangannya. Walau pun dia tidak terluka, namun dadanya yang tertendang terasa nyeri. Dia berhasil menghindarkan desakan senjata lawan kemudian meloncat berdiri. Namun Si Kumbang Merah tidak memberinya kesempatan untuk mengatur kedudukannya dan terus melakukan serangan dengan gencar. Hanya dengan menggunakan langkah ajaib Jiauw-pouw Poan-san saja Hay Hay mampu menghindarkan diri dari semua sambaran senjata itu. Pertandingan antara ayah dan anak ini sungguh hebat. Ang-hong-cu Tang Bun An sudah mengeluarkan seluruh simpanan kepandaiannya untuk bisa merobohkan puteranya, akan tetapi semua serangannya itu sia-sia belaka dan karena usianya, juga karena dia seorang yang semenjak muda sering menghamburkan tenaga melalui keroyalannya dengan kaum wanita, maka mulailah dia terengah-engah, tubuhnya penuh keringat dan tenaganya mulai berkurang. “Tar-tarr-tarrr...!" Tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan kecil, dan sebatang cambuk dengan ganasnya menyambar-nyambar di atas kepala Si Kumbang Merah hingga membuat dia terkejut dan cepat memutar rantainya ke atas kepala sambil meloncat ke belakang. "Mayang....!" kata Hay Hay yang juga langsung menghentikan serangannya. Dia merasa girang sekali melihat adiknya selamat, namun juga khawatir melihat gadis itu menyerang Ang-hong-cu. "Jangan mencampuri, biarkan aku sendiri menghadapinya! Ini adalah urusan antara aku dan dia!" Mayang mengerutkan sepasang alisnya, bertolak pinggang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mengamangkan cambuknya ke arah Ang-hong-cu, matanya mencorong marah memandang kepada orang yang menjadi ayah kandungnya itu. "Tidak, Koko. Ini juga urusanku! Aku harus membunuh iblis ini! Dia telah mempermainkan ibuku, menyia-nyiakan ibuku. Kemudian, walau pun dia tahu bahwa aku adalah anaknya, dia masih tega menjebakku, menawanku, bahkan dia menawan enci Kui Hong dan enci Bi Lian dengan niat yang amat jahat. Aku harus membunuhnya!" Dia kembali menerjang dan cambuknya segera meledak-ledak menyerang Ang-hong-cu Tang Bun An yang cepat menggerakkan sepasang senjata pada kedua ujung rantai untuk membela diri sambil balas menyerang. Sim Ki Liong yang datang bersama Mayang telah menerjang maju pula untuk membantu Mayang. "Sim Ki Liong, kau pengkhianat!" bentak Ang-hong-cu dengan marah. Akan tetapi Sim Ki Liong diam saja dan terus menyerang dengan pedangnya. Melihat ini Hay Hay merasa tak enak sekali. “Ki Liong, mundurlah. Ini urusan antara ayah dan anak, orang luar tidak boleh mencampuri!” Dia meloncat ke dalam pertempuran dan mendengar ini, Sim Ki Liong meloncat keluar lapangan dan hanya menjadi penonton. Dia masih merasa tidak enak terhadap Hay Hay karena bagaimana pun juga, tadinya dia adalah musuh pemuda itu. Baru sekarang dia benar-benar menyadari betapa dia sudah melakukan penyelewengan besar sejak dia melarikan diri dari Pulau Teratai Merah. Hay Hay melompat ke depan, akan tetapi bukan untuk mengeroyok Si Kumbang Merah. Dia merasa malu untuk mengeroyok, karena itu dia membiarkan saja Mayang menyerang ayah mereka ini, sedangkan dia hanya bergerak untuk melindungi Mayang dari serangan Ang-hong-cu. Tentu saja Ang-hong-cu menjadi repot bukan main. Bagaimana pun juga Mayang memiliki kepandaian yang sudah tinggi dan serangan dengan cambuknya itu dahsyat bukan main. Sedangkan semua serangan balasan dari Ang-hong-cu kalau tidak dapat dielakkan atau ditangkis gadis itu, tentu ditangkis oleh Hay Hay yang selalu melindungi Mayang! "Tarrrrrr....!" Cambuk itu meledak keras ketika ujungnya menyambar ke arah kepala Ang-hong-cu. Orang tua ini cepat mengelak dengan merendahkan tubuhnya ke samping kiri, dan sambil mengelak kaitan di ujung rantainya lantas menyambar dari bawah ke arah perut gadis itu. Mayang tidak mau mengandalkan bantuan kakaknya saja. Dia melompat ke kanan untuk menghindarkan serangan lawan sambil menggerakkan cambuknya lagi. "Tarrr...!” Kini ujung cambuk menotok ke arah jalan darah di pundak lawan. "Prattt!" Ang-hong-cu menangkis dengan rantainya, kemudian tiba-tiba dia bergulingan ke kiri. Mayang agak bingung ketika melihat gerakan bergulingan ini. Akan tetapi karena lawan menjauh, disangkanya Ang-hong-cu hendak melarikan diri maka dia pun segera mengejar dengan loncatan. "Singgg...!" Kini pisau di ujung rantai menyambar dari bawah ke arah lutut Mayang. Gadis itu terkejut dan meloncat ke atas, akan tetapi kaitan baja itu mengejarnya, menyambar ke arah perut. “Tranggg…!" Kaitan itu terpental oleh tangkisan Hay Hay yang melihat datangnya bahaya mengancam adiknya. “Jahanam!" Mayang memaki, kemudian cambuknya menyambar dahsyat sampai tiga kali beruntun. "Tar-tarr-tarrr....!” Ang-hong-cu kembali bergulingan mengelak sambil menjauh, akan tetapi tetap saja ujung cambuk itu menyambar ke arah punggung. "Bretttt....!" Robeklah punggung baju itu, bahkan kulit punggungnya sempat dipatuk ujung cambuk sehingga terluka dan berdarah! Ang-hong-cu mengeluarkan teriakan nyaring dan sekarang rantainya menyambar-nyambar sedemikian dahsyatnya sehingga Mayang terpaksa harus berloncatan ke belakang untuk menghindarkan diri dan hanya karena ada gulungan sinar pedang Hong-cu-kiam sajalah maka gelombang serangan rantai itu bisa dibendung, bahkan kemudian serangan cambuk dari Mayang kembali membuat Ang-hong-cu kelabakan. Keadaan Si Kumbang Merah ini makin payah karena serangan-serangan Mayang cukup berbahaya sedangkan dia tak mampu membalas karena gadis itu terus dilindungi pedang ditangan Hay Hay. Kini napasnya semakin memburu dan pakaiannya sudah basah oleh keringat sehingga bau cendana makin semerbak keluar dari tubuhnya. Sementara itu, ketika Pek Han Siong meninggalkan Cia Kui Hong yang menghadapi Tang Cun Sek dan cepat pergi melihat keadaan Siangkoan Bi Lian, pertandingan antara Bi Lian dan Tang Gun telah berpindah keluar kamar. Tang Gun membela diri mati-matian, bahkan tidak lagi bertangan kosong karena ketika didesak, dia menyambar benda apa saja untuk dijadikan senjata. Kursi, bangku, pot bunga dan apa saja, tapi semua senjata sementara itu dapat dipukul atau ditendang hancur oleh Bi Lian yang sudah marah sekali. Tang Gun berusaha lari dan meloncat ke luar kamar, akan tetapi dengan cepat sekali Bi Lian langsung mengejarnya dan kini Tang Gun mati-matian membela diri karena didesak terus oleh Bi Lian. Ketika Han Siong muncul, pemuda ini pun hanya berdiri di pinggir dan menjadi penonton. Dia tentu saja tidak mau mengeroyok, apa lagi melihat betapa Bi Lian sama sekali tidak membutuhkan bantuan. Sepasang mata Tang Gun melotot karena marah dan juga merasa takut, mulutnya kering berbusa dan pipi kanannya bengkak membiru karena tadi terkena tamparan tangan kiri Bi Lian. Juga kini gerakan kakinya kurang tangkas karena paha kirinya juga pernah tercium ujung sepatu Bi Lian sehingga kain celana di paha berikut kulit serta dagingnya terobek dan berdarah. "Hyaaaattt....!" Bi Lian menyerang kembali, serangan pancingan dengan sebuah jurus dari Kim-ke Sin-kun yang sudah dikenal baik oleh Tang Gun. Melihat ini tahulah Tang Gun bagaimana dia harus menghadapi serangan yang dilakukan dengan tendangan terbang itu. Tubuh Bi Lian meluncur dari atas bagaikan seekor ayam yang menerjang lawan. Serangan ini hampir tidak mungkin untuk ditangkis. Menangkisnya berarti membahayakan diri sendiri, maka Tang Gun mengambil jalan yang paling aman. Dia tidak menyambut serangan, melainkan melempar tubuh ke belakang untuk mengelak, lalu berguling dan meloncat. Dia tidak tahu bahwa gerakannya ini sudah diperhitungkan oleh Bi Lian dan gadis ini pun bergulingan di atas tanah mengejar. Begitu Tang Gun meloncat bangun, tiba-tiba gadis itu pun meloncat dan menyerang dari bawah sambil mengeluarkan suara melengking. Tang Gun terkejut, tidak mengenal serangan ini dan karenanya dia menjadi bingung. Apa lagi ketika dara itu mengeluarkan suara gerengan melengking, tiba-tiba jantungnya terasa bagaikan diremas, kedua kakinya menggigil dan ketika kedua tangan gadis itu dari bawah memukul dengan jari tangan terbuka, mengenai perut dan dadanya, dia pun terjengkang dan roboh terlentang dalam keadaan tewas seketika! Memang Bi Lian tidak lagi menggunakan ilmu dari orang tuanya, melainkan menggunakan ilmu pukulan yang dibarengi dengan ho-kang atau teriakan yang menggetarkan jantung lawan, yang pernah dipelajarinya dari seorang di antara dua gurunya yang menjadi datuk-datuk sesat, yaitu Tung Hek Kwi (Iblis Hitam Timur)! Dia pun meloncat berdiri dan seperti patung memandang kepada tubuh Tang Gun yang sudah tak bernyawa lagi. Dia membayangkan betapa tadi Tang Gun telah menggelutinya, bahkan menelanjanginya, maka dia pun meludah ke arah mayat itu. "Sumoi...!" Pek Han Siong memanggil. Bi Lian memutar tubuhnya. Begitu melihat Han Siong, bayangannya lalu berlanjut. Betapa Han Siong melihat keadaannya yang telanjang bulat, betapa pendekar itu membebaskan totokannya, kemudian memenuhi permintaannya untuk tidak ikut menyerang Tang Gun. "Suheng....!" Bi Lian pun menggigil teringat akan bahaya yang tadi mengancam dirinya. "Kenapa, Sumoi... ?" Han Siong melompat dan berdiri mendekatmya. "Engkau kenapa?" Bi Lian menggeleng kepalanya. "Tidak apa-apa, Suheng... hanya aku teringat tadi... kalau engkau tidak cepat datang menolongku.... ahhhh.... si keparat itu...” "Sudahlah, Sumoi. Jangan dipikirkan lagi. Mari kita melihat keadaan nona Cia Kui Hong. Lihat, dia masih berkelahi melawan Tang Cun Sek. Bahkan kini mereka berkelahi di luar rumah." Keduanya lantas berloncatan menuju ke pekarangan pondok itu di mana Kui Hong masih bertanding melawan Tang Cun Sek. Memang Tang Cun Sek jauh lebih lihai dibandingkan Tang Gun, maka dibandingkan Siangkoan Bi Lian, Cia Kui Hong menghadapi lawan yang lebih tangguh dan tidak begitu mudah ditundukkan. Tang Cun Sek maklum bahwa nyawanya berada dalam ancaman maut. Ketika Pek Han Siong membebaskan totokan Kui Hong sehingga membuat gadis itu dapat bergerak lagi, kemudian Han Siong menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada gadis itu, tentu saja dia merasa khawatir bukan main. Dia tahu betapa lihainya Pek Han Siong, juga Cia Kui Hong. Menghadapi Pek Han Siong seorang diri saja dia pasti kalah, dan juga dia pernah kalah saat bertanding melawan Kui Hong dalam memperebutkan kedudukan ketua Cin-ling-pai. Kalau sekarang dua orang itu mengeroyoknya tentu dia akan roboh dalam waktu singkat. Akan tetapi kemudian Han Siong meninggalkan mereka dan hal ini membuat dia melihat harapan untuk dapat meloloskan diri. Dia lalu meloncat keluar dari dalam kamar. "Jahanam busuk, engkau hendak lari ke mana?!" Kui Hong mengejar. Ketika tiba di luar pondok, Cun Sek baru teringat akan keterangan Ang-hong-cu bahwa bukit itu tidak mempunyai jalan keluar kecuali melalui terowongan bawah tanah tadi! Dia menjadi bingung, namun pada saat itu pula Kui Hong sudah menyusulnya dan langsung menyerangnya. Sinar perak bergulung-gulung menyambar ke arahnya. Cun Sek terpaksa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melawan Kui Hong. Seperti juga pertandingan antara Siangkoan Bi Lian melawan Tang Gun tadi, sekarang pertandingan antara Cun Sek dan Kui Hong juga merupakan pertandingan antar saudara seperguruan. Seperti yang kita ketahui, Cun Sek sudah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari Cin-ling-pai, sedangkan Kui Hong adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bahkan kini dia adalah ketuanya! Akan tetapi Kui Hong memiliki satu kelebihan dari Cun Sek. Selain ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai yang sudah dikuasainya lebih matang dari pada Cun Sek, juga dia sudah digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah. Inilah kelebihan itu, yang membuat Kui Hong lebih unggul dibandingkan Cun Sek. Dan Kui Hong benar-benar memanfaatkan kelebihannya ini. Walau pun Cun Sek mampu membela diri dengan baik dan rapat, akan tetapi lambat laun dia terdesak hebat oleh Kui Hong. Sekarang Gin-hwa-kiam telah berada di tangannya, maka dia pun memainkan ilmu pedang tunggal Gin-hwa Kiam-sut yang dipelajari dari kakeknya, sambil kadang-kadang mencari lowongan untuk memasukkan pukulan ampuh Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) dengan tangan kirinya. Ketika Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian tiba di sana, Kui Hong sedang mendesak Cun Sek dengan hebatnya. Melihat ini Bi Lian dan Han Siong tidak mau membantu tetapi hanya menonton. Diam-diam mereka kagum karena gerakan Kui Hong amat dahsyatnya. Jelas bahwa gadis ini sudah memperoleh kemajuan pesat sekali dan semakin hebat saja kepandaiannya sehingga pantaslah kalau dia menjadi ketua Cin-ling-pai. Kui Hong tahu akan kemunculan Han Siong dan Bi Lian, maka dia pun dapat menduga bahwa Bi Lian sudah berhasil ‘membereskan’ Tang Gun. Ia merasa penasaran karena dia sendiri belum dapat merobohkan Tang Cun Sek. Maka dia segera mengeluarkan seruan melengking nyaring dan memutar pedang Gin-bwa-kiam dengan cepat serta mengandung tenaga yang amat kuat untuk menempel dua batang pedang lawan. Cun Sek terkejut sekali karena kedua pedangnya ikut terputar dan untuk menyelamatkan dirinya, dia cepat menarik sepasang pedang itu sambil meloncat mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kui Hong. Dia menancapkan pedangnya di atas tanah, lalu melompat ke depan dengan tubuh hampir bertiarap setengah berjongkok sambil kedua tangannya didorongkan ke depan dengan suara melengking. "Hyaaaaattt...!" Tenaga dahsyat menyambar keluar. Itulah sebuah di antara jurus ilmu silat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga) yang hanya delapan jurus namun yang sangat hebat dan dahsyat. Ilmu ini dipelajarinya dari kakeknya, dan merupakan ilmu ciptaan Bu-beng Hud-couw yang menjadi guru kakeknya, Pendekar Sadis. "Desssss...!" Walau pun dia berusaha untuk membabat dengan pedangnya, namun sepasang lengan dara itu menerobos sehingga hawa pukulannya membuat sepasang pedangnya terpental, lalu bagian bawah dada Cun Sek kena dihantam oleh pukulan sakti itu. Dia mengeluarkan suara parau lantas terjengkang, sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam terlempar ke atas dan dia pun tewas seketika. Kui Hong meloncat ke atas dan dengan dua tangannya dia menyambut sepasang pedang miliknya itu, kemudian mencabut pula Gin-hwa-kiam dari atas tanah. Dengan tenang dia lalu menghampiri Han Siong dan Bi Lian. "Jahanam itu sudah kau bereskan?" tanyanya kepada Bi Lian dan gadis ini mengangguk. Kui Hong lalu memandang kepada Pek Han Siong. "Saudara Pek Han Siong, aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu tadi, dan ini aku kembalikan Gin-hwa-kiam yang kau pinjamkan kepadaku tadi." Han Siong memberi hormat dan menolak dengan halus. "Ahh, nona Cia Kui Hong, kenapa berterima kasih. Di antara kita tidak ada pelepasan budi, yang ada hanyalah saling bantu. Tidak usah sungkan, dan tentang Gin-hwa-kiam ini, pusaka ini adalah milik Pulau Teratai Merah, maka sudah sepatutnya berada di tanganmu. Aku hanya meminjam dari saudara Tang Hay... ahh, di mana Hay Hay? Kenapa dia tidak nampak...?” "Kau maksudkan, dia datang bersamamu?" tanya Kui Hong tertarik. "Memang kami datang berdua, mengejar Ang-hong-cu. Ia mengambil jalan belakang, aku dari depan dan... ahhh, dengar. Itu suara cambuk! Seperti cambuk yang biasa digunakan Mayang. Mari!" Han Siong lalu berlari ke arah belakang pondok dan dari jauh saja sudah nampak adanya pertempuran di puncak belakang pondok itu. Mereka bertiga berlari menghampiri. Ternyata Mayang sedang berkelahi dengan seorang pria setengah tua yang wajahnya mirip Han Lojin akan tetapi tanpa jenggot dan kumis. "Hemm, agaknya inilah wajah yang asli dari Ang-hong-cu!" kata Han Siong. Mereka melihat betapa Mayang terus mendesak dan menghujankan serangan cambuknya kepada Ang-hong-cu yang tidak dapat membalas lagi karena gadis itu dilindungi oleh Hay Hay. Pakaiannya sudah tercabik-cabik dan mukanya sudah penuh guratan merah akibat terkena ujung cambuk. Namun Ang-hon-cu masih melawan sekuat tenaga. "Jahanam, kiranya engkau masih di sini?" tiba-tiba Kui Hong membentak, kemudian sekali loncat tubuhnya sudah berada di depan Sim Ki Liong. Sim Ki Liong nampak tenang saja bahkan menundukkan mukanya, sama sekali tidak ada gerakan atau sikap melawan. Melihat ini Kui Hong menahan tangannya yang sudah gatal untuk menyerang pemuda yang dibencinya ini. Pemuda yang minggat melarikan diri dari Pulau Teratai Merah, melarikan Gin-hwa-kiam, bahkan bersekutu dengan orang jahat dan ikut pula menangkapnya. "Sim Ki Liong, hayo cepat gunakan senjatamu. Di sini kita selesaikan semua perhitungan di antara kita. Aku mewakili kakek dan nenekku di Pulau Teratai Merah untuk menghukum engkau, juga aku bertindak atas diri sendiri untuk membasmi kejahatanmu." "Nona, aku Sim Ki Liong memang telah melakukan dosa besar terhadap suhu dan subo di Pulau Teratai Merah. Juga aku telah tersesat dan menyeleweng sehingga bergaul dengan orang jahat. Kalau engkau hendak mewakili suhu dan subo menghukumku, silakan, Nona. Aku siap menerima hukuman mati sekali pun, aku tidak akan melawan dan aku menerima kesalahanku." Kui Hong tertegun. Tidak percaya. Dia tahu bahwa Sim Ki Liong lihai dan belum tentu dia akan dapat mengalahkan bekas murid kakek dan neneknya ini secara mudah. Bagaimana kini pemuda itu menyerah begitu saja, rela dihukum mati sekali pun tanpa melawan? "Sim Ki Liong!" bentaknya dengan gemas. "Cabut senjatamu! Aku tidak sudi menyerang orang yang tidak melawan. Jangan menjadi pengecut engkau!" Mendadak Ki Liong menjatuhkan diri berlutut, tidak menghadap Kui Hong melainkan ke arah selatan, lalu terdengar suaranya penuh kedukaan dan penyesalan, "Suhu dan subo telah mendidik teecu, telah mencurahkan kasih sayang dan melimpahkan ilmu-ilmu, akan tetapi teecu telah membalasnya dengan pengkhianatan. Teecu merasa bersalah dan jika suhu dan subo mengutus nona Cia Kui Hong untuk menghukum teecu, maka teecu akan menerimanya dengan rela. Mohon suhu dan subo memberi ampun agar arwah teecu tidak terlalu tersiksa." Mendengar ini Kui Hong mengerutkan alisnya. Dia masih menganggap bahwa Ki Liong berpura-pura atau bersandiwara agar dia merasa iba. Maka dia berkata lantang, "Bagus! Kalau begitu biarlah aku mewakili kakek dan nenek memberi hukuman mati, hitung-hitung aku melenyapkan seorang manusia iblis yang mengacaukan dunia!" Ia melangkah maju dan Ki Liong menundukkan kepala, seolah menjulurkan lehernya dan siap untuk menerima pancungan pedang Kui Hong. "Enci Kui Hong, jangan...!" Tiba-tiba Mayang meloncat meninggalkan Ang-hong-cu. Teriakan ini mengejutkan Kui Hong sehingga dia menahan gerakan pedangnya. Mayang kini berdiri di depan Kui Hong, membelakangi Ki Liong yang masih berlutut. "Enci Kui Hong, jangan bunuh dia!" Kui Hong mengerutkan alisnya dan memandang dengan galak. “Mayang, dia ini seorang yang jahat sekali! Minggirlah, dia harus dilenyapkan dari permukaan bumi!” “Tidak, enci Kui Hong! Biar pun dia pernah tersesat, namun dia sudah menyadarinya dan bertobat. Bahkan dia sudah menyelamatkan aku. Tidak, kalau engkau memaksa hendak membunuhnya, kau bunuh aku lebih dulu, enci Kui Hong!” Ucapan Mayang ini membuat Ki Liong terbelalak dan sinar kegembiraan memancar dari sepasang matanya. “Adik Mayang, jangan engkau membelaku seperti itu. Aku tidak berharga..." "Mayang, minggir kau!” Kui Hong membentak. "Tidak, enci!" Suara Mayang tegas sekali sehingga Kui Hong tertegun. "Aihh, Mayang. Ada apa dengan engkau? Mengapa engkau mendadak melindungi Sim Ki Liong?" tanyanya penasaran. "Enci Kui Hong, karena dia mencintaku, dan aku... aku juga cinta padanya. Aku pernah mencinta Hay-koko, akan tetapi ternyata kami masih saudara seayah sehingga terpaksa aku harus berpisah darinya. Sekarang jangan engkau memaksa aku berpisah pula dari orang yang kucinta." Semua orang terbelalak, kagum dengan keberanian serta ketulusan hati gadis peranakan Tibet itu, juga merasa terharu. Akan tetapi Kui Hong yang marah sekali kepada Ki Liong, mengerutkan alisnya. "Mayang, jangan memaksa aku untuk merobohkanmu terlebih dahulu supaya aku dapat membunuh keparat itu." "Aku bersedia mati bersama dia, enci Kui Hong!" Pada saat yang menegangkan itu Hay Hay sudah bertanding kembali melawan Ang-hong-cu. Akan tetapi telinganya mendengar dan mengikuti perdebatan itu, dan hatinya menjadi gelisah bukan main. Dia tahu bahwa ada hubungan kasih antara Sim Ki Liong dengan adiknya, dan kini malah adiknya membuat pengakuan yang begitu terbuka bahwa dia pun mencintai pemuda itu. Maka Hay Hay menjadi semakin khawatir saat mendengar suara Kui Hong yang agaknya berkeras hendak membunuh Ki Liong. Karena perhatiannya terpecah, bahkan sebagian besar ditujukan ke arah adiknya dan Kui Hong, maka perlawanannya terhadap desakan Ang-hong-cu menjadi lemah sehingga dia pun terdesak. Saking khawatirnya, Hay Hay cepat meloncat ke belakang dan menoleh ke arah Kui Hong. “Hong-moi..., jangan bunuh dia. Dia telah membantu kami melawan para penjahat...” “Crattt...! Augghhh...!” Hay Hay sudah mengelak namun tetap saja pangkal lengan kirinya tersabet pisau di ujung rantai yang digerakkan Ang-hong-cu Tang Bun An secara curang karena tadi dia melihat kesempatan bagus sekali ketika Hay Hay meloncat dan menoleh ke arah Kui Hong. Hay Hay terhuyung dan melihat ini, Si Kumbang Merah menerjang dengan senjatanya. Kaitan itu menyambar ganas ke arah leher Hay Hay. "Trangggg...!” Kaitan itu membalik ketika ditangkis oleh pedang di tangan Kui Hong yang sudah menolong Hay Hay. "Ang-hong-cu iblis busuk! Engkau curang dan pengecut sekali!" bentak Kui Hong sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu, sedangkan pedang Gin-hwa-kiam siap di tangan kanan. cerita silat online karya kho ping hoo Ang-hong-cu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Cia Kui Hong! Katanya engkau ketua Cin-ling-pai, akan tetapi ternyata hanya menjadi seorang pengeroyok saja. Siapa yang curang dan pengecut? Ha-ha-ha, nona manis, engkau boleh membantu Hay Hay dan maju bersama dia untuk mengeroyok aku!" "Hong-moi, mundur. Aku masih sanggup menghadapinya!" kata Hay Hay setelah memberi obat bubuk pada luka di pangkal lengan kirinya. Kui Hong memandang kepada Hay Hay dengan alis berkerut. "Aku pun tidak sudi mengeroyok, dan aku pun percaya bahwa engkau tentu akan mampu mengalahkannya, Hay-ko. Aku juga percaya bahwa engkau sudah tahu kalau kebenaran dan keadilan harus ditegakkan, setiap penjahat harus dihukum, tak peduli siapa pun dia! Hubungan keluarga tidak boleh mempengaruhi keadilan!" Setelah berkata demikain, Kui Hong melangkah mundur. Gadis ini melihat betapa ketika membantu Mayang tadi Hay Hay sama sekali tak pernah menyerang Ang-hong-cu, seolah-olah dia tidak tega dan sengaja mengalah terhadap ayah kandungnya itu. Maka kini dia mengingatkan Hay Hay agar tidak bersikap lemah. Dialah orangnya yang akan merasa menyesal dan kecewa bukan main kalau karena hubungan keluarga, Hay Hay sampai melupakan kebenaran dan keadilan, dan sengaja melindungi ayah kandungnya yang jahat sekali itu. Hay Hay memandang pada Kui Hong dan dua pasang mata itu saling tatap, dua pasang sinar mata bertaut sebentar. "Aku mengerti, Kui Hong!" Kini Hay Hay menghadapi Ang-hong-cu dan begitu dia mengeluarkan suara melengking nyaring yang memekakkan telinga dan mengguncang jantung, dia pun menerjang dengan pedang Hong-cu-kiam diputar cepat. Nampak sinar emas bergulung-gulung, menyambar ke arah Ang-hong-cu yang cepat menyambut dengan senjata rantainya. "Tranggg…! Cringgg...!" Si Kumbang Merah terkejut bukan main karena kini Hay Hay menggunakan tenaga sakti yang amat dahsyat sehingga dua senjata itu, yaitu pisau dan kaitan, menjadi patah ketika kedua ujung rantainya bertemu dengan pedang! Dan sinar pedang emas itu masih terus menyambar ke arah kepalanya, demikian cepatnya sehingga kembali Ang-hong-cu harus menangkis dengan rantainya yang dipegang kedua tangan pada ujung yang sudah tidak ada senjatanya lagi. "Trangggg....!" Rantai itu putus menjadi dua dan tubuh Ang-hong-cu terjengkang lantas dia bergulingan sampai jauh. Dia cepat melompat bangun, wajahnya berubah pucat dan kedua matanya terbelalak, akan tetapi wajah itu menjadi merah kembali dan dia tersenyum menyeringai. "Bagus, Hay Hay! Engkau memang hebat. Akan tetapi aku belum kalah. Senjataku sudah putus dan tidak ada gunanya lagi, akan tetapi aku rnasih mempunyai tangan dan kaki!" Dia lalu membuang dua potong rantai itu dan mernasang kuda-kuda dengan sikup gagah sekali. Tubuhnya tegak lurus, kaki kanan diangkat sehingga tumitnya menempel lutut kiri, tangan kanan menempel pada pinggang dengan jari tangan terbuka dan tangan kiri agak bengkok ke depan, juga dengan jari tangan terbuka. Hay Hay memasukkan pedang Hong-cu-kiam ke sarungnya yang terselip di pinggangnya. Dia adalah seorang gagah, tentu saja tak sudi melawan orang bertangan kosong dengan senjata, apa lagi dia memang ingin menangkap Ang-hong-cu saja, bukan membunuhnya. Melihat Ang-hong-cu masih hendak melawannya dengan tangan kosong, bahkan bersikap menantang, Hay Hay menyimpan pedangnya dan dia pun melompat ke depan lawan. Ang-hong-cu menyambut Hay Hay dengan serangan gencar. Dia menyerang dengan dua tangan terbuka, kadang-kadang menusuk dan kedua tangannya dipergunakan membacok dan menusuk seperti golok, kadang-kadang tangan itu terbuka untuk mencengkeram, tapi di lain saat sudah dirubah lagi dengan kepalan yang memukul dahsyat. Namun dalam hal ilmu silat tangan kosong Hay Hay jauh lebih unggul dibandingkan ayah kandungnya itu. Bukan hanya dia sudah menerima gemblengan dari tokoh-tokoh Delapan Dewa, namun juga semua ilmunya itu menjadi matang oleh gemblengan kakek sakti Song Lojin. Betapa pun hebatnya ilmu silat tangan kosong Ang-hong-cu yang mengandung banyak kembangan dan tipu muslihat, namun segera dia menjadi bingung dan repot sekali begitu Hay Hay memainkan ilmu silat Cui-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Dewa Arak). Ang-hong-cu sama sekali tidak mengenal gerakan puteranya itu dan tidak dapat menduga bagaimana perubahannya, tetapi dia hanya melihat betapa lawannya seolah-olah berubah menjadi banyak, padahal Hay Hay sama sekali tidak mempergunakan ilmu sihir . Namun Ang-hong-cu tidak mau menyerah begitu saja. Dia mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan segenap tenaganya. Akan tetapi dia sudah terlampau lelah, tenaganya semakin berkurang dan setiap kali mereka mengadu lengan, dia terdorong dan terhuyung ke belakang, lantas menyeringai kesakitan. Hay Hay mendesak terus. Kui Hong, Mayang, Han Siong dan Bi Lian hanya menoton dan mereka berempat merasa lega serta kagum karena melihat betapa Hay Hay dapat mengungguli lawan yang sangat tangguh itu. Dalam kesempatan ini, dengan suara lirih Mayang menceritakan tentang Sim Ki Liong kepada Kui Hong. Ki Liong sendiri berdiri agak menjauh, juga turut menonton pertandingan walau pun lebih banyak menunduk. Kini matanya baru terbuka benar betapa selama ini dia lebih banyak bergaul dengan orang-orang sesat. Memang hal ini diakuinya, akan tetapi dia pun merasa terpaksa sekali melakukan semua perbuatan itu. Dia sudah salah langkah untuk pertama kalinya ketika dia tergila-gila terhadap Kui Hong lantas melarikan diri dari Pulau Teratai Merah dan mencuri pedang pusaka Gin-hwa-kiam. Itulah kesalahannya yang pertama, yang memaksa dia bergaul dengan para penjahat dan orang sesat karena perbuatan itu tidak memungkinkan dia untuk berdekatan dengan para pendekar. Kini sungguh terasa olehnya betapa ilmu silat baru bisa mendatangkan perasaan bangga dan bahagia bila digunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, kalau digunakan untuk menentang kejahatan. Sebaliknya, kalau dipergunakan untuk mengejar kesenangan nafsu, hidupnya akan berlepotan kejahatan dan tidak akan merasakan ketentraman lagi. Pada suatu saat Hay Hay menerjang lawannya dengan pukulan dari bawah depan. Gaya permainannya memang amat aneh dan sulit diduga. Maklum, karena penciptanya adalah Ciu-sian Sin-kai, si pengemis dewa arak sehingga gerakan itu mirip gerakan orang mabok kebanyakan minum arak. Tetapi justru gerakan seperti itu malah membuat lawan menjadi bingung. Ketika melihat tangan Hay Hay meluncur ke arah dadanya dengan gerakan yang sangat aneh dan cepat sehingga dia sama sekali tidak dapat menghindarkan diri lagi, Ang-hong-cu menjadi nekat. Dia tak peduli lagi akan keselamatan dirinya dan menerima begitu saja pukulan itu, akan tetapi membarengi dengan gerakan kedua tangannya mencengkeram ke arah leher Hay Hay dari kanan kiri! "Dukkk!" Dada Ang-hong-cu terpukul. "Plakkk!" Pukulan dua tangan terbuka dari Ang-hong-cu juga mengenai leher Hay Hay, akan tetapi alangkah kagetnya Ang-hong-cu ketika merasa betapa dadanya nyeri sehingga napasnya menjadi sesak. Pada waktu kedua tangan itu mengenai leher, dia merasa seakan-akan menampar leher yang terbuat dari baja yang keras dan licin. Kedua tangannya meleset ke bawah dan kini mencengkeram kedua pundak Hay Hay. "Brettttt...!" Baju pada kedua pundak Hay Hay robek dan jari-jari tangan itu mencengkeram kulit serta daging sehingga kedua pundak Hay Hay luka berdarah! Hay Hay menggerakkan kakinya dan lututnya menendang. "Brukkk!" Perut Si Kumbang Merah tertendang lutut dan dia pun roboh telentang, meringis kesakitan. Dia masih berusaha untuk bangkit berdiri sambil kedua tangannya memegangi dada, akan tetapi dia terjatuh kembali, jatuh terduduk. Kui Hong, Bi Lian, Mayang, dan Han Siong kini berloncatan mendekati Ang-hong-cu dan tangan mereka siap untuk memukul. Jelas nampak dari sikap dan pandang mata mereka bahwa empat orang itu hendak membunuh Ang-hong-cu. Melihat ini, tanpa mempedulikan kedua pundak serta pangkal lengan kiri yang terluka parah, Hay Hay mendahului mereka, meloncat menghadang antara mereka berempat dan tubuh Ang-hong-cu yang kini masih terduduk sambil meringis kesakitan. "Jangan...! Kalian tidak boleh membunuh dia!" katanya sambil mengembangkan sepasang lengannya melindungi Ang-hong-cu yang meski pun masih meringis kesakitan akan tetapi kini dia mengangkat muka memandang dan wajah yang kesakitan itu berseri gembira! "Hay-koko, aku harus membunuh dia untuk membalaskan sakit hati ibuku!" kata Mayang yang sudah siap dengan cambuknya. "Hay 'Hay, ingatlah engkau kepada adikku Pek Eng?" kata Han Siong. "Dan ingat pula kepada Cia Ling. Aku harus membunuhnya!" kata Kui hong. "Hay-ko, orang ini terlalu jahat, kejam seperti iblis. Sudah sepatutnya kita bunuh dia!" kata pula Bi Lian. Hay Hay menggeleng kepalanya dengan tegas. "Tidak, siapa pun tidak boleh membunuh dia. Aku sudah berjanji untuk menangkapnya dan menyeret dia ke pengadilan supaya dia dapat mempertanggung jawabkan semua dosanya. Aku menangkapnya untuk menentang kejahatannya. Sekarang dia sudah tertangkap, dalam keadaan tidak berdaya sama sekali, jika ada yang hendak membunuhnya maka terpaksa aku akan melindunginya. Bagaimana pun dia ini adalah... ayah kandungku!" “Bagus! Engkau seorang lelaki sejati, Hay-ko!" Kui Hong berseru dengan wajah gembira sekali dan dia pun kini melangkah maju lalu berdiri di sisi Hay Hay, sikapnya menantang. "Hay-ko benar! Aku akan membantu dia melindungi Si Kumbang Merah kalau ada yang hendak membunuhnya!" Bi Lian dan Han Siong mengerutkan alisnya, sementara itu Mayang memandang bingung. Tiba-tiba mereka semua memandang kepada Ang-hong-cu yang tertawa bergelak sambil duduk bersila. “Ha-ha-ha! Semua anak-anakku yang tidak mampu mengalahkan aku ingin membunuhku. Sebaliknya Tang Hay, satu-satunya anakku yang mampu mengalahkan aku justru hendak melindungiku dan tidak mau membunuhku. Ha-ha-ha! Engkau memang hebat, Tang Hay. Engkau lebih hebat dari ayahmu. Sayang sekali engkau lemah dan tidak dapat menikmati hidupmu. Engkau mata keranjang namun hanya lahirnya saja. Engkau tidak sepenuhnya mewarisi watakku. Akan tetapi aku cukup puas. Aku kalah oleh anakku sendiri. Tang Hay, sekarang apa yang akan kau lakukan terhadap diriku?" Hay Hay memandang dengan alis berkerut. "Aku akan rnenyerahkanmu kepada Menteri Cang. Beliau seorang pembesar yang adil dan bijaksana, tentu akan memberi hukuman yang adil. Nah itu, beliau datang...” Memang pada saat itu terdengar suara gaduh, kemudian muncullah Cang Taijin bersama puluhan orang prajurit pengawal. Mereka berhasil menemukan terowongan bawah tanah sehingga akhirnya dapat sampai di tempat itu. "Ha-ha-ha, di dunia ini tidak ada seorang pun yang berhak membunuhku!" Ang-hong-cu berseru sambil tertawa bergelak. Semua orang memandang, sementara Hay Hay cepat menangkap lengan Ang-hong-cu. Akan tetapi terlambat. Orang itu sudah menelan sebutir pil hitam, lantas tiba-tiba saja dia terkulai roboh. Wajahnya berubah menghitam, namun dia masih tertawa terkekeh-kekeh. Suara ketawa itu lalu berhenti dan Si Kumbang Merah terkulai lemas, tewas dengan mata terbelalak dan mulut masih terbuka seperti orang tertawa. Hay Hay menjatuhkan diri berlutut di dekat mayat ayahnya, kemudian dia memejamkan mata seperti orang berdoa. Bagaimana pun juga pria ini adalah ayah kandungnya! Tidak lama kemudian Hay Hay bangkit dan memondong mayat ayahnya, mencari tempat yang terbaik di bukit itu, lalu menggali lubang kuburan. Tanpa banyak cakap lagi Pek Han Siong membantunya, bahkan Mayang turut pula menangisi mayat ayah kandungnya yang pernah dirindukannya itu. Yang terbujur itu adalah sesosok mayat, alat yang di waktu hidupnya dijadikan perebutan antara daya-daya rendah yang menguasai seluruh anggota badan. Tubuh yang mestinya menjadi alat bagi kehidupan jiwa yang mendiaminya akhirnya justru menjadi budak nafsu. Bahkan pikiran yang menjadi kusir pemegang kendali juga telah dikuasai oleh kuda-kuda nafsu. Badan bagaikan kereta. Baik kereta badan, kuda-kuda nafsu, kusir mau pun kendalinya, semestinya semua menjadi hamba dan alat yang melayani jiwa. Tanpa adanya kuda-kuda nafsu maka kereta badan tak akan dapat bergerak maju. Tanpa adanya kusir pikiran dan kendalinya, segalanya akan kacau dan rusak arahnya. Akan tetapi bila kuda-kuda nafsu itu tidak terkendali lagi dan menjadi liar, maka nafsu akan kabur sesukanya dan kalau sampai terjerumus ke dalam jurang, segalanya ikut menderita. Bukan hanya keretanya, juga penghuni kereta, Sang Jiwa. Sebaliknya, kalau jiwa yang menjadi majikannya sedangkan semua alat itu hanya menjadi hambanya, barulah jiwa itu dapat menjadi seorang manusia yang seutuhnya. Hanya kalau jiwa ini bisa bersatu dengan sumbernya, yaitu Tuhan Yang Maha Kasih, Allah Yang Maha Kuasa, maka jiwa akan mendapatkan kembali kekuasaannya atas semua hambanya, yaitu jasmani. Sesudah jenazah Ang-hong-cu Tang Bun An atau Si Kumbang Merah dimakamkan, juga jenazah Tang Gun dan Tang Cun Sek yang dikubur di sebelah kiri Ang-hong-cu, Hay Hay bersama Mayang lalu menyembahyangi kuburan mereka secara sederhana. Menteri Cang Ku Ceng menyatakan penghargaan serta rasa terima kasihnya kepada para pendekar yang untuk kedua kalinya membantu pemerintah dalam membasmi gerombolan yang dianggap berbahaya. Akan tetapi seperti biasa, Hay Hay dan para pendekar lainnya tidak bersedia menerima anugerah jabatan, juga menolak pemberian hadiah berupa harta kekayaan. Hal ini membuat Menteri Cang menjadi semakin kagum dan hormat terhadap mereka. *************** "Nona Cia, kalau nona memperbolehkan dan masih percaya kepadaku, aku mohon agar Gin-hwa-kiam diserahkan kepadaku," kata Sim Ki Liong kepada Cia Kui Hong, didengar pula oleh para pendekar lainnya. "Benar, enci Kui Hong. Kami sudah membicarakan tentang hal itu dan aku pun berharap agar sukalah kiranya engkau menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada Liong-koko." “Menyerahkan Gin-hwa-kiam kepadamu?" Kui Hong mengulang kata-kata itu dengan hati heran. "Untuk apa?" Sinar matanya penuh selidik menatap wajah Ki Liong. "Nona Cia. Pedang Gin-hwa-kiam adalah pusaka Pulau Teratai Merah. Akulah yang dulu mencurinya dan melarikannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa kini aku telah sadar dan bertobat, aku ingin mengembalikan sendiri pusaka itu kepada suhu dan subo. Aku akan menghadap suhu dan subo, dan seandainya suhu dan subo marah dan hendak menghukumku, aku akan menerimanya dengan rela." "Aku akan menemaninya, enci Hong. Andai kata engkau belum dapat percaya kepadanya tentu engkau percaya kepadaku, bukan?" kata Mayang. Kui Hong terlihat bimbang, kemudian dia menoleh kepada Hay Hay dan biar pun mulutnya tidak berkata sesuatu, namun pandang matanya jelas minta pertimbangan pendekar itu. Sungguh aneh, dia sendiri tidak mengerti mengapa dia berpaling kepada Hay Hay untuk meminta pertimbangan. Hay Hay dapat menangkap pandang mata itu dan dia menghela napas panjang. "Beruntunglah orang yang sakit tapi dapat sembuh dari penyakitnya. Sebaliknya, berhati-hatilah orang yang sehat karena sewaktu-waktu dia dapat saja dihinggapi suatu penyakit. Saya lebih menghargai orang jahat yang menyadari kejahatannya lalu bertobat dari pada orang baik yang membanggakan serta menyombongkan kebaikannya sehingga takabur. Aku sendiri kini dapat mempercayai Sim Ki Liong karena aku yakin bahwa adikku Mayang tidak akan salah pilih." "Aku setuju dengan pendapat Hay-ko," kata Siangkoan Bi Lian. Gadis ini bukan saja teringat betapa dia pernah menjadi murid dua orang datuk sesat, tapi juga dia tahu bahwa ayahnya adalah putera seorang datuk sesat, bahkan ibunya adalah puteri suami isteri yang menjadi datuk besar dunia hitam sebagai raja dan ratu! Kui Hong termenung. Dia teringat akan neneknya di Pulau Teratai Merah. Dulu neneknya adalah seorang datuk besar kaum sesat dengan julukan Lam Sin (Malaikat Selatan), akan tetapi sesudah menikah dengan kakeknya kemudian berubah menjadi seorang pendekar yang menentang kejahatan. "Baiklah, kau boleh antarkan pedang pusaka ini kembali ke Pulau Teratai Merah. Andai kata engkau menipuku, aku masih dapat mencarimu dan membuat perhitungan." Sim Ki Liong yang sejak bertobat wajahnya selalu kelihatan muram, kini nampak gembira bukan main. Wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar kembali. Dia lantas menerima pedang Gin-hwa-kiam dan memberi hormat kepada Kui Hong. "Nona Cia, dahulu mataku seperti buta, melihat engkau sebagai seorang gadis yang tinggi hati, keras dan kejam. Sekarang baru aku dapat melihat betapa engkau sangat bijaksana. Terima kasih, Nona, engkau telah menghidupkan kembali semangat dan harapanku. Mari, adik Mayang, sekarang juga kita berangkat ke Pulau Teratai Merah!" Mayang lari menghampiri Hay Hay dan memegang lengan pemuda itu. "Hay-ko, engkau tidak marah bukan dengan keputusanku untuk menemani Liong-koko?" Hay Hay tersenyum. "Sama sekali tidak, adikku. Aku bahkan merasa gembira sekali dan aku hanya mendoakan agar engkau berbahagia. Ki Liong, jaga adikku baik-baik." Sim Ki Liong dan Mayang lalu berpamit kepada semua orang dan mereka pun berangkat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata para pendekar. Sesudah bayangan kedua orang ini lenyap, Bi Lian saling pandang dengan Han Siong, sedangkan Kui Hong saling pandang dengan Hay Hay. Mereka masih merasa terharu akan perubahan yang terjadi pada diri Sim Ki Liong. Sungguh, cinta kasih dapat merubah segalanya! Tiba-tiba Siangkoan Bi Lian melangkah maju menghampiri Pek Han Siong. Ia melepaskan pedang Kwan-im-kiam berikut sarungnya dan menyerahkannya kepada Han Siong. "Suheng, engkau terimalah pedang ini," katanya lirih. Han Siong memandang dengan mata terbelalak. “Kwan-im-kiam? Akan tetapi ini adalah pedangmu, Sumoi. Pedang pusaka milik ayah ibumu!" "Tidak, Suheng. Pedang ini milikmu. Ingat, ayah dan ibu telah memberikan Kwan-im-kiam ini kepadamu." "Tapi... tapi...” Han Siong mengerutkan alisnya karena diingatkan akan kenyataan pahit itu, suhu dan subo memberikan pedang ini sebagai ikatan dan ikatan itu telah putus." Dia tidak berani menjelaskan dengan kata ‘perjodohan’ karena di situ terdapat Kui Hong dan Hay Hay. Siangkoan Bi Lian tersenyum sehingga wajahnya nampak manis sekali. "Benar, Suheng. Itu dahulu. Sesudah pedang ini kembali ke tanganmu, bukankah berarti ikatan perjodohan itu telah bersambung kembali?" Wajah Han Siong seketika berubah merah dan matanya kembali terbelalak, namun sinar kebahagiaan terpancar dari pandang matanya itu. "Bi Lian..., Sumoi... ini... ini... benarkah ini... ehh, maksudku, engkau... engkau mau..." Dia tidak dapat bicara terus terang karena merasa malu didengar oleh Hay Hay dan Kui Hong. Bi Lian mengangguk sambil tersenyum. "Terserah padamu, Suheng. Kini ada dua jalan. Engkau dapat menghadap ayah dan ibu lantas mengembalikan pusaka ini, atau engkau boleh datang bersama orang tuamu ke sana. Nah, aku pergi dahulu, menunggu di sana bersama ayah dan ibu. Hay-ko, adik Hong, aku pergi dulu!" Setelah berkata demikian, Bi Lian meloncat dan berlari cepat sekali menuju ke jalan keluar satu-satunya yang tadi juga dilewati Ki Liong dan Mayang, yaitu jalan menuju ke terowongan bawah tanah. Han Siong masih berdiri tertegun dengan Kwan-im-kiam di tangan. Dia baru sadar ketika Hay Hay merangkul pundaknya dan sahabatnya itu tertawa gembira. "Han Siong, bocah ajaib, sekarang engkau menjadi bocah beruntung! Kionghi (selamat), Han Siong!" "Hay Hay..., kau... kau pikir, dia... dia...” Han Siong masih salah tingkah karena hatinya terguncang oleh keharuan dan kegembiraan. "Dia menanti datangnya pinangan orang tuamu, bocah bodoh!" Han Siong tersenyum, lantas mengangkat kedua tangan ke arah Hay Hay dan Kui Hong, "Selamat tinggal... selamat tinggal dan terima kasih!" Dan dia pun melompat pergi dengan cepatnya, diikuti pandang mata Hay Hay dan Kui Hong. Mereka berdiri saling pandang. Kini hanya tinggal mereka berdua saja di bukit itu bersama tiga gundukan tanah kuburan. Dalam keadaan itu terbayanglah di dalam ingatan mereka semua pengalaman mereka dahulu. Mereka pernah mengalami banyak hal yang sangat hebat ketika melakukan perjalanan bersama (baca kisah Pendekar Mata Keranjang). Kui Hong teringat bahwa Hay Hay merupakan laki-laki pertama yang sudah menjatuhkan hatinya! Juga Hay Hay teringat betapa dia pernah tertarik sekali kepada Kui Hong, namun dahulu dia selalu menolak perasaan cinta yang membutuhkan persatuan sebagai suami isteri. Baru sekarang dia menyadari bahwa sesungguhnya dia sudah ingin sekali memiliki seorang teman hidup, seorang isteri yang mencinta dan dicinta, seorang calon ibu anak-anaknya. Dan dalam diri Kui Hong dia melihat segala keindahan yang pernah didambakannya. Dia tahu bahwa gadis ini mencintanya. Pandangan mata dan sikap gadis itu, suaranya, juga ketika tadi meminta pertimbangan kepadanya melalui pandang mata tentang diri Sim Ki Liong. Dia lantas melangkah maju menghampiri. Kui Hong menyambut dengan pandang matanya, tidak menjauh. "Kui Hong...” "Hay Hay...” Gelora perasaan yang aneh itu demikian kuatnya, membuat mereka merasa canggung dan sukar untuk bicara. Akan tetapi Hay Hay dapat menguasai perasaannya dan dia pun menyerahkan Hong-cu-kiam kepada gadis itu. "Pangcu...” "Hushh, aku tidak sudi disebut pangcu olehmu. Tidak enak...!" "Tetapi engkau memang ketua Cin-ling-pai. Baiklah, Hong-moi, ini kukembalikan Hong-cu-kiam kepadamu. Pedang ini adalah pusaka Cin-ling-pai dan secara kebetulan aku dapat merampasnya dari Tang Cun Sek." "Engkau bawalah, Hay-ko. Aku sudah mempunyai Hok-mo Siang-kiam. Kelak kau boleh kembalikan ke Cin-ling-san, aku akan menunggu di sana...,” kata Kui Hong, teringat akan ucapan Bi Lian kepada Han Siong tadi. Hay Hay tersenyum maklum, akan tetapi dia lalu menarik napas panjang. "Hong-moi, Han Siong akan datang bersama ayah ibunya untuk meminang Bi Lian. Akan tetapi aku...? Aku sebatang kara, tiada ayah ibu lagi…" "Takutkah engkau menghadap seorang diri kepada orang tuaku? Biasanya engkau begitu pemberani, Hay-ko!" "Tapi... tapi.... bagaimana kalau aku ditolak?" "Hemm, keputusan sepenuhnya berada di tanganku." "Hong-moi, engkau... engkau... sudikah engkau menjadi isteriku?" Kui Hong memandang kepadanya dan dua pasang mata bertemu. Sebetulnya tidak perlu lagi mereka bicara. Sinar mata mereka sudah berbicara banyak dan tanpa bertanya sekali pun mereka telah sama-sama mengetahui bahwa mereka saling mencinta, bahwa dengan hati bahagia mereka suka menjadi suami isteri. "Hay-ko, salah satu di antara sifatmu yang menarik hatiku adalah keterbukaanmu. Akan tetapi katakanlah, mengapa engkau tiba-tiba ingin memperisteri aku?" "Hemm, mengapa? Karena aku clnta padamu tentu saja." "Aneh! Masih terngiang di telingaku betapa dahulu engkau mengatakan tidak ada cinta itu di hatimu. Engkau tidak ingin terikat biar pun engkau memuji-muji diriku. Engkau senang dengan keindahan akan tetapi tidak mau terikat...” "Dulu aku bodoh, Hong-moi. Mana ada orang yang lahir terus pintar? Untuk menjadi pintar tentu harus melalui kebodohan dulu, bukan? Sekarang mataku terbuka sudah. Engkaulah segala keindahan di dunia ini! Dan tanpa engkau, aku akan kehilangan semua keindahan itu. Perjodohan adalah satu di antara kodrat manusia, tak terelakkan lagi, kecuali mereka yang sengaja hendak menyiksa diri tidak mau menikah dan menjadi orang alim. Dan aku bukan orang alim!" "Huh, engkau mata keranjang, siapa bilang alim?" Kui Hong mencela akan tetapi sambil tertawa dan Hay Hay juga tertawa. "Biar pun mata keranjang tetapi aku tidak cabul, aku tidak seperti mendiang ayahku, aku tidak pernah mempermainkan wanita, aku...” “Hushh, cukup. Kalau engkau seperti itu, mana mungkin aku sudi menjadi isterimu?" "Jadi engkau mau?" "Kalau engkau melamarku kepada orang tuaku!" "Hong-moi...!" Hay Hay menangkap Kui Hong lantas melemparkan tubuh gadis itu ke atas, diterimanya dengan lembut, lalu dilemparkan lagi sampai berulang kali. Kui Hong tertawa dan menjerit-jerit. Permainan itu baru berhenti sesudah Hay Hay menyambutnya dengan dekapan dan tahu-tahu mereka telah berciuman dengan lembut dan mesra. "Ahh… Hong-moi, pujaan hatiku, kekasihku, sayangku yang kucinta dengan sepenuh jiwa ragaku, mari kita pergi ke Cin-ling-pai, sayang...” Kui Hong tertawa geli, akan tetapi juga senang. "Dasar perayu kau, mata keranjang kau!" Mereka bergandengan tangan sambil tertawa-tawa, meninggalkan tempat itu dengan hati penuh kebahagiaan dan harapan. T A M A T Serial Selanjutnya : Jodoh Si Mata Keranjang







Komentar